Pencarian

Dibalik Keheningan Salju 3

Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 3


Lazuardi sebenarnya hanya berlangsung dua puluh menit.
Ka berjalan kembali ke hotel, menyusuri rel kereta api, melewati lumbung
berselimut salju yang menjulang bagaikan gumpalan awan putih, dan tak lama
kemudian telah berada kembali di dalam stasiun. Ketika melewati bagian depan
stasiun yang kotor, Ka melihat seekor anjing hitam mengibas-ngibaskan ekor
keritingnya dengan riang. Lalu, di ruang tunggu yang tak kalah kotornya, Ka
melihat tiga orang remaja laki-laki. Salah satunya adalah Necip, yang langsung
memisahkan diri dari teman-temannya dan berlari menyongsong Ka.
"Saya harap Bapak tidak mengatakan pada teman-teman sekelas saya bagaimana saya
tahu Bapak akan ada di sini,1 katanya. "Tapi, sahabat saya Fazyl punya sebuah
pertanyaan penting untuk Bapak. Jika Bapak mau meluangkan sedikit waktu,
tentunya dia akan sangat senang.1
"Baiklah,1 kata Ka, dan dia pun menghampiri bangku tempat dua orang remaja teman
Necip duduk. Sebuah poster yang tertempel di dinding di belakang mereka mengingatkan para
pelancong tentang betapa pentingnya jalur kereta api bagi Ataturk; sebuah poster
lain ditujukan untuk menghadirkan ketakutan bagi gadis mana pun yang berencana
bunuh diri. Kedua remaja teman Necip berdiri untuk menjabat tangan Ka, tampak
malu-malu. "Sebelum Fazyl bertanya, Mesut ingin menyampaikan sebuah cerita yang didengarnya
kepada Bapak,1 kata Necip.
"Tidak, aku tak bisa menceritakannya sendiri,1 ujar Mesut, tak mampu menutupi
semangatnya. "Ayolah, maukah kau menceritakannya untukku"1
Sementara Necip bercerita, Ka mengamati anjing hitam yang berkeliaran dalam
kegelapan bayangan di stasiun yang kotor itu.
"Cerita ini terjadi di sebuah madrasah aliyah di Istanbul, setidaknya begitulah
yang saya dengar," Necip memulai. "Sebuah sekolah amburadul di salah satu
wilayah pinggiran kota. Kepala sekolah itu memiliki janji temu dengan seorang
pejabat pemerintah kota di salah satu gedung pencakar langit Istanbul yang kami
lihat di televisi. Dia masuk ke dalam sebuah lift besar yang membawanya ke atas.
Ada orang lain di dalam lift itu seorang pria jangkung yang lebih muda darinya.
Pria itu menunjukkan buku yang dibawanya kepada si kepala sekolah, dan,
memperlihatkan halaman-halaman buku yang masih utuh, dia mengeluarkan sebilah
pisau dengan gagang berwarna mutiara sambil mengucapkan doa. Ketika lift
berhenti di lantai kesembilan belas, si kepala sekolah keluar dan menghadiri
pertemuan. "Bagaimanapun, beberapa hari kemudian, dia mulai merasa sangat aneh. Dia mulai
terobsesi dengan kematian, malas berbuat apa pun, dan tidak mampu berhenti
memikirkan pria yang ditemuinya di lift. Kepala sekolah itu adalah seorang pria
beriman, sehingga dia pergi ke sebuah pondok Cerrahi untuk mencari petunjuk dan
kedamaian. Dia duduk di sana hingga pagi tiba, mencurahkan segala keluh
kesahnya. Kemudian, seorang syekh terkenal dari tempat itu memberikan diagnosis
seperti ini: 'Sepertinya kamu kehilangan keimananmu kepada Tuhan,' katanya.
'Yang lebih buruk lagi, kamu tidak menyadarinya. Dan, seolaholah itu tidak cukup
buruk, kamu bahkan bangga karena tidak menyadarinya! Kamu tertular penyakit ini
dari seorang pria di dalam lift. Dia telah mengubahmu menjadi seorang ateis.1 Si
kepala sekolah berdiri sambil berlinangan air mata untuk menyangkal perkataan si
syekh, tapi masih ada bagian dalam hatinya yang murni dan jujur, dan bagian ini
meyakinkannya bahwa si syekh terkenal itu mengatakan kebenaran.
"Akibat tertular penyakit ateisme, kepala sekolah itu mulai memberikan tekanan
kepada murid-muridnya yang baik: dia menghabiskan banyak waktu berduaan dengan
ibu-ibu mereka; dia mencuri uang guru lain yang dicemburuinya. Dan, yang paling
parah, dia merasa bangga karena telah berbuat dosa. Dia mengumpulkan seluruh
siswa di sekolahnya dan mengatakan bahwa mereka memiliki keimanan buta; dia
mengatakan bahwa tradisi mereka haO nyalah omong kosong saja, dan menanyakan
mengapa mereka tidak bisa bersikap bebas seperti dirinya; dia selalu menyelipkan
katakata berbahasa Prancis dalam setiap kalimat yang diucapkannya; dia
menghabiskan uang hasil curiannya untuk membeli pakaian mengikuti tren terbaru
di Eropa. Dan, ke mana pun dia pergi, dia memastikan semua orang tahu bahwa dia
meremehkan mereka yang dianggapnya 'terbelakang1.
"Tak lama kemudian, terjadilah kekacauan di sekolahnya: sekelompok murid
memerkosa teman sekelas mereka yang cantik, sekelompok murid yang lain memukuli
guru agama mereka yang telah uzur, dan situasi di seluruh sekolah sangat
memanas. Setiap hari, si kepala sekolah pulang sambil menangis, sebagian dari
dirinya mendorongnya melakukan bunuh diri, tetapi, karena tidak berani mencabut
nyawanya sendiri, dia berharap seseorang akan membunuhnya. Untuk mewujudkan hal
ini, dia terkutuklah dirinya menyumpahi Nabi Muhammad di hadapan salah
seorang muridnya yang paling beriman. Tapi, mengetahui bahwa saat itu gurunya
pasti sudah gila, si murid membiarkannya begitu saja. Si kepala sekolah turun ke
jalanan untuk menyerukan terkutuklah dia bahwa Tuhan sebetulnya tidak ada, bahwa
masjid sebaiknya dijadikan tempat hiburan, dan bahwa kita hanya akan menjadi
kaya seperti orang Barat jika semua orang berpindah memeluk agama Kristen. Tetap
saja, semua orang, bahkan para pemuda Islamis, hanya menganggapnya sebagai orang
gila. "Tidak berdaya dan tak mampu lagi mencari cara mewujudkan harapannya akan
kematian, si kepala sekolah kembali ke gedung pencakar langit yang sama di
Istanbul. Memasuki lift yang sama, dia kembali mendapati dirinya berhadapan
dengan pria jangkung yang pertama kali memperkenalkannya dengan ateisme. Pria
itu tersenyum penuh arti, lalu dia menunjukkan buku yang sama kepada si kepala
sekolah. Penyembuhan untuk ateisme juga bisa ditemukan di sana. Saat si kepala
sekolah mengulurkan tangannya yang gemetar, pria itu lagi-lagi mengeluarkan
pisau bergagang mutiara, seolaholah bersiap-siap akan memotong halaman bukunya
lagi, tapi ternyata, di dalam lift yang masih bergerak ke atas itu, dia menikam
jantung si kepala sekolah."
Setelah mengetahui akhir dari cerita itu, Ka baru menyadari bahwa dia pernah
mendengarnya sebelumnya, dari seorang Islamis Turki di Jerman. Dalam versi
cerita Necip, si pembawa buku misterius tidak bernama, namun sekarang Mesut
menyebutkan nama satu atau dua orang penulis Yahudi yang dikenal sebagai agen
ateisme, begitu pula sejumlah penulis kolom yang menggalakkan kampaO nye media
untuk menentang Islam politis (salah seorang di antaranya akan tewas dibunuh
tiga tahun kemudian): "Kepala sekolah itu bukan satu-satunya yang menderita ada begitu banyak ateis di
tengah-tengah kita. Mereka tergoda oleh setan dan sekarang berkeliaran di antara
kita, mencari-cari kedamaian dan kebahagiaan hingga putus asa," katanya. "Apakah
Bapak juga seperti ini?" "Entahlah."
"Apa maksud Bapak, tidak tahu?" tanya Mesut dengan nada sedikit emosi. "Bukankah
Bapak juga seorang ateis?"
"Entahlah," jawab Ka.
"Kalau begitu, katakanlah ini kepada saya: apakah Bapak percaya atau tidak bahwa
Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan alam semesta dan segala isinya, termasuk salju
yang jatuh dari langit?"
"Salju mengingatkanku kepada Tuhan," kata Ka.
"Ya, tapi apakah Bapak percaya bahwa Tuhanlah yang menciptakan salju?" Mesut
menuntut jawaban. Ka tidak menjawab. Dia menyaksikan si anjing hitam berlari melewati pintu dan
menuju peron untuk bermain-main di hamparan salju di bawah sinar suram lampu
neon. "Bapak tidak menjawab pertanyaan saya," kata Mesut. "Jika seseorang mengenal dan
mencintai Tuhan, dia tak akan pernah meragukan keberadaanNya. Dari pengamatan
saya, Bapak tidak menjawab karena Bapak malu untuk mengakui bahwa Bapak adalah
seorang ateis. Tapi, kami sudah mengetahui hal ini. Karena itulah saya ingin
bertanya kepada Bapak atas nama Fazyl. Apakah Bapak merasakan banjir penderitaan
yang sama seperti ateis dalam cerita tadi" Apakah Bapak ingin bunuh diri?"
"Betapa pun diriku tidak bahagia, aku masih menganggap bunuh diri sebagai
tindakan yang mengerikan," kata Ka.
"Tapi, mengapa?" tanya Fazyl. "Apakah karena bunuh diri adalah pelanggaran
hukum" Tapi, negara menggembar-gemborkan kesakralan kehidupan manusia dengan
cara salah kaprah. Mengapa Bapak takut melakukan bunuh diri" Jelaskanlah hal ini
kepada saya." "Saya harap Bapak tidak tersinggung karena kekeraskepalaan teman saya,1 sela
Necip. "Fazyl memiliki sebuah alasan untuk menanyakan hal ini kepada Bapak
sebuah alasan yang sangat istimewa.1
"Saya ingin menanyakan,1 kata Fazyl: "Tidakkah bapak begitu susah dan menderita
sehingga Bapak ingin bunuh diri"1
"Tidak,1 jawab Ka. Dia mulai merasa jengkel.
"Tolonglah, tidak perlu menyembunyikan apa pun dari kami,1 kata Mesut. "Kami
tidak akan mencelakai Bapak hanya karena Bapak seorang ateis.1
Keheningan yang menegangkan menyusul. Ka segera berdiri. Dia tidak berminat
memberitahukan perasaannya kepada anak-anak itu. Dia mulai berjalan.
"Bapak mau ke mana" Tolonglah, jangan pergi dulu,1 kata Fazyl.
Ka berhenti namun tidak mengucapkan apa-apa. "Mungkin sebaiknya aku saja yang
bicara,1 kata Necip. "Kami bertiga mencintai 'gadis berjilbab' yang berani
mengambil segala risiko demi keyakinan mereka. Tapi, pers sekuler menyebut
mereka 'gadis berjilbab'. Bagi kami, mereka adalah gadis muslim biasa, dan apa
yang mereka perbuat untuk membela keyakinan mereka memang wajib dilakukan oleh
semua gadis muslim.' "Dan juga oleh semua pria muslim,' tambah Fazyl. "Tentu saja,' kata Necip. "Saya
mencintai Hicran. Mesut mencintai Hande. Fazyl mencintai Teslime, tapi
sekarang dia sudah meninggal. Atau bunuh diri. Tapi, kami tak mampu memercayai
bahwa seorang gadis muslim yang siap mengorbankan segalanya untuk keyakinannya
sampai hati melakukan bunuh diri.1
"Mungkin saja dia tak tahan lagi menanggung penderitaannya,1 Ka mengajukan
pendapat. "Lagi pula, dia sudah dikeluarkan dari sekolah, dan keluarganya
menekan dia untuk mencopot jilbabnya."
"Penderitaan sebesar apa pun tidak bisa memberikan pembenaran bagi seorang
beriman untuk melakukan dosa sebesar ini," kata Necid berapi-api. "Jika kami
melupakan atau meninggalkan salat Subuh, kami menjadi sangat mencemaskan dosa
kami di awal hari itu sehingga kami tak akan bisa tidur pada malam harinya.
Semakin sering hal ini terjadi, kami pun akan mengusahakan untuk pergi ke masjid
lebih pagi. Ketika seseorang memiliki keimanan sekuat ini, dia akan melakukan
apa pun untuk mencegah dirinya berbuat dosa, bahkan jika harus menderita seumur
hidup." "Kami tahu bahwa bapak telah menemui keluarga Teslime," kata Fazyl. "Apakah
menurut mereka dia melakukan bunuh diri?"
"Begitulah menurut mereka. Seusai menonton Marianna di TV bersama orangtuanya,
dia berwudu dan bersembahyang."
"Teslime tak pernah menonton opera sabun," ujar Fazyl lirih.
"Seberapa dekat kau mengenalnya?" tanya Ka.
"Saya tidak mengenal dia secara pribadi, kami bahkan tak pernah mengobrol,"
jawab Fazyl malu-malu. "Saya pernah sekali melihat dia dari kejauhan, dan dia
memakai jilbab yang membalut seluruh tubuhnya. Tapi, sebagai pasangan jiwa,
tentu saja saya sangat mengenalnya. Jika kita mencintai orang lain secara
khusus, kita tahu segalanya tentang dirinya. Teslime yang saya kenal tidak akan
pernah melakukan bunuh diri."
"Mungkin kau tidak mengenalnya cukup baik."
"Dan mungkin orang Barat mengirim Bapak ke sini untuk menyebarkan kebohongan
tentang kematian Teslime," kata Mesut dengan penuh amarah.
"Tidak, tidak, kami memercayai Bapak,1 Necip buru-buru menengahi. Kata pemimpin
kami, Bapak adalah seorang darwis, seorang penyair. Karena kami memercayai
Bapak, maka kami ingin membicarakan tentang sesuatu yang membuat kami sangat
risau. Fazyl ingin meminta maaf atas perkataan Mesut.1
"Saya meminta maaf,1 kata Fazyl. Wajahnya merah padam. Air mata menggenangi
pelupuk matanya. Mesut tidak berkata-kata melihat temannya mengupayakan perdamaian.
"Saya dan Fazyl adalah saudara sedarah,1 kata Necip. "Sering kali, pikiran kami
sama persis, bahkan kami bisa saling membaca pikiran. Meskipun begitu, tidak
seperti saya, Fazyl sama sekali tidak tertarik pada politik. Dan sekarang, kami
ingin tahu apakah Bapak mau membantu kami. Masalahnya, kami berdua dapat
menerima bahwa Teslime mungkin terdorong untuk berbuat dosa dengan melakukan
bunuh diri gara-gara tekanan dari orangtuanya dan negara. Ini memang sangat
menyakitkan, tapi Fazyl tak bisa berhenti memikirkan mengapa gadis yang
dicintainya melakukan dosa ini. Apakah Teslime adalah seorang ateis terselubung
seperti laki-laki dalam cerita tadi apakah dia adalah salah seorang dari para
ateis malang yang bahkan tidak tahu bahwa mereka ateis, atau apakah
dia melakukan bunuh diri karena dia adalah seorang ateis, semua itu membuat
Fazyl kebingungan. Hanya Bapaklah satu-satunya orang yang dapat menjawab
kecurigaan yang tak henti-hentinya mendera kami ini. Hanya Bapaklah yang bisa
memberikan sedikit ketenangan bagi Fazyl. Apakah Bapak mengerti maksud saya"1
"Apakah Bapak seorang ateis"1 tanya Fazyl dengan tatapan memohon. "Jika Bapak
memang ateis, apakah Bapak ingin melakukan bunuh diri"1
"Bahkan pada hari-hari saat aku paling yakin bahwa aku ateis, aku tidak pernah
merasakan dorongan untuk bunuh diri,1 kata Ka.
"Terima kasih karena telah memberikan jawaban yang lugas untuk pertanyaan kami,1
kata Fazyl. Sekarang dia tampak lebih tenang. "Hati Bapak penuh kebaikan, tapi
Bapak takut memercayai Tuhan.1
Melihat Mesut masih memelototinya, Ka segera menjauhkan diri dari ketiga remaja
itu. Pikirannya sudah berada di tempat lain. Dia merasakan hasrat bergejolak di
dalam dirinya, dan sebuah mimpi yang berhubungan dengan hasrat tersebut, namun
dia tak dapat mengingat-ingat mimpinya karena kesibukan di sekeliingnya.
Nantinya, saat dia mampu berkonsentrasi, dia akan memahami bahwa inti dari mimpi
ini bukan hanya kerinduannya kepada Ypek, melainkan juga ketakutannya akan
kematian dan kegagalannya memercayai Tuhan. Dan, sejenak kemudian, Mesut akan
menambahkan sebuah unsur lain.
"Saya harap Bapak tidak salah paham,1 kata Necip. "Kami tidak keberatan terhadap
siapa pun yang memilih menjadi ateis. Selalu ada ruang untuk para ateis dalam
masyarakat muslim.1 "Kecuali di kuburan, yang memang harus dipisahkan,1
tukas Mesut. "Jiwa orang-orang yang beriman tidak akan tenang jika terbaring di
kuburan yang sama dengan orang-orang kafir. Jika manusia menjalani kehidupannya
dengan menutupnutupi kekurangan imannya, dia akan mendatangkan kekacauan tidak
hanya di dunia tempat tinggalnya, tapi juga di kuburannya. Yang saya maksudkan
di sini bukan hanya siksaan akibat harus bersisian dengan orang ateis hingga
Hari Pembalasan. Yang paling menakutkan adalah saat orang beriman dibangkitkan
pada Hari Pembalasan hanya untuk mendapati dirinya berhadap-hadapan dengan ateis
yang hina. Bapak Penyair, Bapak Ka, Bapak tidak menutupnutupi fakta bahwa Bapak
pernah menjadi seorang ateis. Mungkin saat ini Bapak juga masih ateis. Karena
itu, katakanlah kepada kami, siapakah yang menurunkan salju dari langit" Apakah
rahasia salju?" Selama sesaat, mereka semua memandang melampau serambi stasiun untuk menyaksikan
salju turun ke jalanan. Apakah yang kulakukan di dunia ini" Ka bertanya kepada dirinya sendiri. Betapa
menyedihkannya sebuah kepingan salju dipandang dari perspektif ini; betapa
menyedihkannya kehidupanku. Seorang manusia menjalani kehidupannya, lalu mati,
dan tidak akan ada yang tersisa. Ka merasa seolaholah setengah jiwanya baru saja
meninggalkan dirinya, namun masih ada setengah lagi yang tertinggal. Dia masih
memiliki cinta. Seperti sebuah kepingan salju, dia akan jatuh jika memang telah
tiba saat baginya untuk jatuh; dia akan mengabdikan jiwa dan raganya untuk tugas
melankolis yang digariskan dalam kehidupannya. Ingatan akan aroma khas ayahnya
sehabis bercukur sekonyong-konyong menghampiri Ka. Lalu, dia
memikirkan ibunya yang sedang menyiapkan sarapan, dengan kaki terbalut sandal
yang terasa nyeri di atas dinginnya lantai dapur. Dia membayangkan sebuah sikat
rambut; dia teringat ketika ibunya memberinya sirup manis merah jambu saat dia
terbangun akibat terbatuk-batuk pada tengah malam; dia merasakan sendok di dalam
mulutnya. Saat pikirannya hinggap di semua hal kecil yang menyusun kehidupannya
itu, saat dia memikirkan bagaimana semuanya saling menunjang dan menyatu, dia
melihat sekeping salju ....
Dan ketika itulah Ka mendengar panggilan dari lubuk hatinya yang terdalam,
panggilan yang didengarnya ketika inspirasi muncul, satu-satunya suara yang
dapat membuatnya bahagia: suara ilhamnya. Untuk pertama kalinya dalam empat
tahun, sebuah puisi menghampirinya. Meskipun belum mendengar kata-katanya, Ka
tahu bahwa puisi itu telah tertulis di dalam benaknya. Bahkan meskipun puisi itu
masih berada di tempat persembunyiannya, kekuatan dan keindahannya telah
memancar ke mana-mana. Hati Ka seolaholah terangkat. Dia mengatakan kepada
ketiga remaja yang sedang bersamanya bahwa dia sedang terburu-buru, lalu segera meninggalkan stasiun kotor yang telah
terbengkalai itu. Dia berjalan secepat-cepatnya menembus salju, memikirkan puisi
yang akan langsung ditulisnya setibanya di hotel.[]
Apakah yang Menjadikan Puisi Ini Indah"
Salju dan Kebahagiaan KA LANGSUNG menanggalkan mantelnya setelah memasuki kamarnya. Dia membuka buku


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

catatan bersampul hijau yang dibawanya dari Frankfurt dan menulis puisi yang
menghampirinya, kata demi kata. Rasanya begitu mudah, seolaholah seseorang
membisikkan katakata itu ke telinganya, namun Ka tetap memberikan perhatian
penuh pada segala sesuatu yang ditulisnya. Karena Ka tidak pernah menggubah
puisi seperti ini sebelumnya dalam satu kilasan inspirasi, tanpa sejenak pun
jeda terdapat sebuah sudut dalam pikirannya yang meragukan nilai karyanya kali
ini. Tetapi, ketika baris demi baris tertumpahkan di atas kertas, Ka dapat
melihat bahwa puisinya kali ini sempurna dilihat dari sisi mana pun, dan
kepuasan ini membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Maka, dia pun terus
menulis, tanpa jeda, hanya meninggalkan sedikit kekosongan di sana sini untuk
katakata yang tidak terlalu didengarnya, hingga akhirnya dia menulis sepanjang
tiga puluh empat baris. Puisi itu merangkum begitu banyak pikiran yang serentak menghinggapinya beberapa
saat sebelumnya: hujan salju, kuburan, anjing hitam yang berkeliaran dengan
riang di stasiun, berbagai kenangan masa kecil, dan bayangan yang kembali
mendatanginya setibanya dia di hotel, Ypek betapa bahagianya dirinya hanya
karena membayangkan wajah Ypek. Tetapi, dia juga ketakutan! Ka menjuduli
puisinya "Salju1. Lama kemudian, ketika memikirkan tentang bagaimana dirinya menulis puisi ini,
bayangan tentang sekeping salju menghampiri Ka. Kepingan salju ini, putusnya,
adalah sekelumit catatan kehidupannya; puisi yang telah membuka kunci makna
kehidupannya, yang sekarang diihatnya berada di dalam inti dirinya. Tetapi
seperti puisi itu sendiri yang tidak memberikan penjelasan sederhana sulit untuk
mengatakan seberapa banyak dia telah memutuskan pada saat itu, dan seberapa
banyak kehidupannya ditentukan oleh simetri tersembunyi yang berusaha
kuungkapkan dalam buku ini.
Tepat setelah menyelesaikan puisi ini, Ka menghampiri jendela dan dalam
keheningan mengamati pemandangan di luar kepingankepingan salju besar melayang
begitu anggun di udara. Ka merasa, hanya dengan melihat salju, dia akan mampu
mematangkan kesimpulan puisinya. Terdengarlah ketukan di pintu dan, tepat saat
dia membukanya, dua baris terakhir puisi itu menyongsongnya, namun sejurus
kemudian menghilang kembali, entah bagaimana. Baris-baris itu akan tetap
menghilang selama Ka berada di Kars.
Ypek berdiri di depan pintu. "Ada surat untukmu,1 katanya, menyerahkan sepucuk
surat kepada Ka. Ka mengambil surat itu dan, tanpa memandangnya, merobek amplopnya. "Aku sangat
senang,1 katanya. Dia selalu berpikir hanya orang-orang kampungan sajalah
yang menggembar-gemborkan tentang betapa senangnya mereka, namun saat mengatakan
hal ini sekarang, dia sama sekali tidak merasa malu. "Masuklah,1 katanya kepada
Ypek. "Kau terlihat sangat cantik.1
Ypek memasuki kamar dengan santai, seolaholah dia mengenal semua kamar di hotel
itu sebaik kamarnya sendiri. Bagi Ka, betapa lamanya mereka berpisah sepertinya
justru menambah keakraban mereka.
"Aku tidak bisa mengatakan bagaimana terjadinya,1 kata Ka, "tapi sepertinya aku
berhasil menulis puisi karenamu.1
"Kondisi direktur Institut Pendidikan semakin parah,1 kata Ypek.
"Itu kabar baik, mengingat pada awalnya kita mengira dia tewas.1
"Polisi meluaskan wilayah pencarian. Mereka merazia asrama-asrama universitas
dan sekarang mulai merambah hotel-hotel. Mereka datang ke sini dan melihat buku-
bukumu, lalu menanyakan satu per satu tentang semua tamu kami.1
"Apa yang kaukatakan kepada mereka tentangku" Apa kau memberi tahu mereka bahwa
kita akan menikah"1 "Kau sangat manis. Tapi aku tak bisa memikirkannya sekarang
ini. Kami baru saja mendengar bahwa mereka menjemput Muhtar dan memukulinya.
Tapi, rupanya sekarang mereka sudah membebaskannya.1
"Dia memintaku menyampaikan sebuah pesan untukmu: dia siap melakukan apa pun
agar kaumau rujuk dengannya. Dia meminta maaf ribuan kali karena pernah berusaha
menyuruhmu memakai jilbab.1
"Muhtar sudah mengatakan sendiri hal itu padaku. Dia mengatakannya setiap hari,1
kata Ypek. "Setelah polisi
melepaskanmu, apakah yang kaulakukan"1
"Aku berjalan-jalan di kota,1 kata Ka. Selama sesaat, dia merasa bimbang.
"Ayolah, ceritakan saja padaku."
"Ada yang membawaku menemui Lazuardi. Aku seharusnya tidak mengatakan hal ini
kepada orang lain." "Kau tidak boleh mengatakannya kepada orang lain," kata Ypek. "Kau tidak boleh
mengatakan tentang kita, atau juga tentang ayahku, kepada orang itu."
"Apa kau pernah bertemu dengannya?"
"Selama beberapa waktu, Muhtar sangat mengidolakan Lazuardi, dan dia pernah
beberapa kali bertamu ke rumah kami. Tapi, waktu Muhtar memutuskan bahwa dia
ingin mendalami Islam yang lebih moderat dan demokratis, Lazuardi menjauh
darinya." "Katanya, dia datang ke sini untuk menghentikan wabah bunuh diri di kalangan
para gadis." "Berhati-hatilah pada apa yang kaudengar darinya, dan jangan pernah membicarakan
hal ini dengan orang lain," kata Ypek. "Kemungkinan besar polisi sudah menyadap
tempat persembunyiannya."
"Kalau begitu, kenapa mereka tidak langsung menangkapnya saja?"
"Mereka akan menangkapnya pada waktu yang tepat."
"Bagaimana kalau kau dan aku keluar dari kota ini, sekarang juga?" tanya Ka.
Sensasi yang selalu dirasakan Ka saat masih kanakkanak dan remaja ketika
mendapatkan kebahagiaan luar biasa membuncah di dalam dirinya: prospek masa
depan yang diiputi penderitaan dan keputusasaan. Dalam kepanikan, dia berusaha
mencegah munculnya momen bahagia ini. Dia berharap hal ini akan meringankan
dampak ketidakbahagiaan yang diketahuinya akan menyusul. Cara terpasti untuk
menenangkan dirinya, pikirnya, adalah menerima apa yang tak bisa dihindari:
bahwa cinta yang dirasakannya kepada Ypek sumber kegelisahannya akan menjadi
sumber kegagalannya; bahwa keakraban yang mungkin dinikmatinya akan
menghancurkannya, sama seperti garam yang melelehkan es; bahwa dirinya tidak
layak mendapatkan kebahagiaan ini, karena hanya aib dan cela sajalah yang akan
menjadi akibatnya. Ka berusaha menahan diri.
Tetapi, apa yang ditakuti Ka tidak terjadi. Alih-alih, Ypek mengalungkan lengan
ke tubuhnya. Pertama-tama, mereka hanya berpelukan, lalu hasrat menyusupi
pelukan itu. Mereka mulai berciuman, dan tak lama kemudian berbaring bersisian
di ranjang. Pesimisme Ka tidak sebanding dengan gairah asmaranya: tak lama
kemudian, mereka telah menyerah pada nafsu yang tak terbendung lagi. Tak lama
kemudian, Ka bermimpi, mereka akan saling melepas pakaian dan bercinta selama
berjam-jam. Tetapi, Ypek tiba-tiba menjauh. "Aku juga menganggapmu sangat menarik, dan aku
juga ingin bercinta, tapi aku tak pernah berhubungan dengan siapa pun selama
tiga tahun terakhir. Aku belum siap,1 katanya.
Aku tidak pernah bercinta dengan siapa pun selama empat tahun, pikir Ka. Dia
yakin Ypek dapat melihat katakata itu tertulis di wajahnya.
"Dan kalaupun kita siap,1 kata Ypek, "aku tak akan pernah bercinta dengan
mengetahui bahwa ayahku ada di dekatku, di rumah yang sama.1
"Apa ayahmu harus keluar dari hotel supaya kau mau
telanjang dan naik ke ranjang denganku"1 tanya Ka.
"Ya. Dan dia nyaris tak pernah meninggalkan hotel. Dia membenci jalanan Kars
yang berlapis es.1 "Baiklah, kalau begitu, kita tak usah bercinta sekarang. Tapi, mari kita
berciuman lagi,1 kata Ka. "OK.1
Ypek mendekatkan diri kepada Ka, yang duduk di pinggir ranjang, dan mereka
berciuman lama dan penuh hasrat.
"Aku akan membacakan puisiku untukmu," kata Ka setelah merasa yakin ciuman
mereka telah berakhir. "Apa kau mau mendengarnya?"
"Baca saja suratmu dahulu. Seorang pemuda mengantarkannya ke sini."
Ka membuka surat itu dan membacanya dengan
keras. Ka, putraku tersayang. Jika kau lebih suka menganggap dirimu bukan anakku, aku
ingin meminta maaf dengan setulusnya kepadamu. Semalam, aku melihatmu di dalam
mimpiku. Salju turun dalam mimpiku, dan setiap kepingan salju yang jatuh ke bumi
memendarkan cahaya suci. Aku menanyakan kepada diriku apakah ini adalah sebuah
pertanda, dan siang ini aku melihat salju yang sama seperti yang kulihat dalam
mimpiku jatuh di depan jendelaku. Kau berjalan melewati rumah kami yang reyot,
Jalan Baytarhane no. 18. Kawan kami yang terhormat, Muhtar, yang baru saja
dikenai cobaan berat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, menjelaskan kepada kami tentang
makna salju ini. Kita adalah musafir yang melewati jalan yang sama. Aku
menantikanmu, Tuan. Tertanda, Saadettin Cevher.
"Syekh Saadettin," kata Ypek. "Pergilah menemuinya. Sekembalinya dirimu, kita
bisa makan malam bersama ayahku." "Apa aku harus mengunjungi semua orang gila di Kars?"
"Aku memintamu berhati-hati terhadap Lazuardi, tapi jangan seburu-buru itu
menganggap Syekh Saadettin gila. Dia orang lihai. Dia tidak bodoh."
"Aku ingin melupakan mereka semua. Bolehkah aku membacakan puisiku sekarang?"
"Baiklah, bacalah puisimu."
Ka duduk di dekat meja kopi dan mulai membaca dengan nada penuh semangat dan
percaya diri, namun tiba-tiba berhenti. "Duduklah di sana," katanya kepada Ypek.
"Aku ingin melihat wajahmu sambil membaca." Saat merasa yakin dapat melihat Ypek
dari sudut matanya, Ka mulai membaca lagi. "Indahkah puisi ini?" tanyanya
beberapa saat kemudian. "Ya, indah sekali!" kata Ypek.
Ka membaca beberapa baris lagi, dan dia berhenti untuk kembali bertanya:
"Indahkah puisi ini?" "Sangat indah," jawab Ypek.
Ketika selesai membacakan puisinya, Ka bertanya, "Jadi, apakah yang menjadikan
puisi ini indah?" "Entahlah," jawab Ypek, "tapi aku langsung menganggapnya indah."
"Apakah Muhtar pernah membacakan puisi seperti ini untukmu?"
"Tidak pernah," kata Ypek.
Ka mulai membacakan puisinya kembali, kali ini dengan suara lebih berat, namun
dia tetap berhenti di tempat-tempat yang sama untuk menanyakan, "Indahkah puisi
ini?" Dia juga berhenti di beberapa bait baru untuk menanyakan, "Puisi ini
memang sangat indah, ya?"
"Ya, puisi ini memang sangat indah!" jawab Ypek.
Ka sangat bahagia karena dirinya merasa (seperti yang pernah dia rasakan pada
awal kariernya, ketika dia menorehkan setangkai puisi untuk seorang bocah)
cahaya indah yang aneh seolaholah menyelimuti dirinya, dan, melihat bayangan
Ypek dari balik selubung cahaya ini membuatnya semakin bahagia. Menganggapnya
sebagai pertanda bahwa mereka tak perlu memedulikan aturan lagi, Ka kembali
memeluk Ypek, namun kali ini Ypek mendorongnya dengan lembut.
"Sekarang, dengarkan aku: pergilah menemui syekh kita yang terhormat sekarang
juga. Dia dianggap orang sangat penting di sini, jauh lebih penting daripada
yang kausangka: banyak orang di kota ini pergi menemuinya, bahkan orang-orang
yang menganggap diri mereka sebagai sekularis. Bahkan, kata orang-orang, istri
gubernur juga menemuinya, begitu pula banyak orang kaya dan pejabat militer. Dia
berada di pihak negara. Saat dia mengatakan bahwa gadis-gadis di universitas
harus mencopot jilbab mereka, Partai Kemakmuran tidak menggubrisnya. Di tempat
seperti Kars, jika seorang pria berkedudukan setinggi itu mengundangmu, kau
tidak boleh menolaknya."
"Kaukah yang menyuruh Muhtar yang malang menemuinya?"
"Apa kau khawatir syekh itu akan menemukan bagian dari dirimu yang takut kepada
Tuhan dan menyuruhmu menjadi pengikutnya?"
"Aku sedang sangat bahagia sekarang ini. Aku tidak butuh agama," kata Ka. "Dan,
lagi pula, bukan karena itulah aku kembali ke Turki. Hanya satu hal yang mampu
mendorongku kembali ke sini: cintamu .... Apakah kita akan menikah?"
Ypek duduk di sisi ranjang. "Ayo, pergilah," katanya. Dia menyunggingkan
senyuman hangat dan menawan untuk Ka. "Tapi, kau juga harus berhati-hati. Tidak
ada orang yang lebih hebat darinya dalam menemukan titik lemah dalam jiwamu dan
menyelusup ke dalam dirimu seperti jin."
"Apakah yang akan dilakukannya kepadaku?"
"Dia akan berbicara denganmu, lalu tiba-tiba dia akan menjatuhkan dirinya ke
lantai. Dia akan mendengarkan hal-hal biasa yang kaukatakan dan mengatakan
betapa bijaksananya dirimu. Dia akan bersikeras menyebutmu pria sejati. Beberapa
orang bahkan berpikir dia mengolok-olok mereka pada tahap ini. Tapi, memang
itulah bakat istimewa Yang Mulai Syekh. Dia melakukannya dengan sangat
meyakinkan, sehingga akhirnya kau akan percaya bahwa dia benar-benar menganggap
perkataanmu bijaksana, dan bahwa dia mendukung pendapatmu dengan sepenuh hati.
Dia bertindak seolaholah ada seseorang yang lebih hebat di dalam dirimu. Setelah
beberapa waktu, kau juga akan mulai melihat keindahan batiniah ini, dan, karena
kau belum pernah merasakan adanya keindahan di dalam dirimu, kau akan berpikir
bahwa perasaan ini muncul karena kehadiran Tuhan, yang membuatmu bahagia. Dengan
kata lain, dunia menjadi tempat yang indah saat kau berada di dekat pria ini.
Dan kau akan mencintai syekh yang kami hormati karena dia memberikan kebahagiaan
untukmu. Sementara itu, sebuah suara lain di dalam kepalamu membisikkan bahwa
semua ini hanyalah tipuan yang dimainkan oleh sang syekh dan bahwa dirimu adalah
seorang idiot yang menyedihkan. Tapi, sejauh yang bisa kubayangkan dari cerita
Muhtar, sepertinya kau tak akan lagi punya kekuatan untuk meyakini idiot
menyedihkan itu. Kebahagiaanmu akan lenyap begitu saja, sehingga yang kauharapkan hanyalah
penyelamatan dari Tuhan. Lalu, pikiranmu yang sama sekali tidak mengetahui apa
yang didambakan oleh jiwamu akan sedikit keberatan, tapi ini tidak cukup: kau
akan mulai melangkah di jalan yang ditunjukkan oleh Syekh karena hanya di jalan
itulah, di seluruh dunia ini, kau bisa berdiri tegak. Bakat terbesar Syekh
Saadettin Efendi adalah membuat bajingan yang duduk di hadapannya merasa
istimewa; bahkan jauh lebih istimewa daripada Yang Mulia sendiri. Bagi sebagian
besar penduduk Kars, ini sama saja dengan mukjizat. Karena mereka tahu betul
bahwa tidak seorang pun di Turki sebajingan, semiskin, dan segagal mereka. Jadi,
awalnya kau akan menaruh kepercayaan kepada sang syekh, dilanjutkan pada ajaran
Islam yang sudah lama kaulupakan. Berlawanan dengan anggapan orang di Jerman,
juga dengan pernyataan para intelektual sekuler, ini bukanlah sesuatu yang
buruk. Kau bisa menjadi seperti semua orang yang kaumau, dan, meskipun hanya
sesaat, kau dapat melarikan diri dari perasaan tidak bahagia.1
"Tetapi sekarang aku bahagia,1 kata Ka.
"Nyatanya, orang yang mengaku tidak bahagia sebenarnya tak bisa dikatakan sama
sekali tidak bahagia. Bahkan orang yang paling menderita memiliki tempat
berpaling dan harapan yang secara diamdiam mereka pegang. Di sini berbeda dengan
Istanbul tidak ada yang mengolok-olok orang ateis. Segalanya lebih sederhana di
sini.1 "Aku akan pergi sekarang, tapi hanya karena kau menyuruhku. Yang manakah Jalan
Baytarhane" Hingga berapa lamakah aku harus berada di sana"1
"Tinggallah di sana sampai jiwamu menemukan sedikit kedamaian,1 kata Ypek. "Dan
jangan takut untuk memercayai.1 Ypek membantu Ka mengenakan mantel. "Apakah kau
masih mengingat ajaran Islam"1 tanyanya. "Apa kauingat cara bersembahyang yang
kaupelajari saat di sekolah dasar" Bisa-bisa kau mempermalukan dirimu sendiri.1
"Waktu aku masih kecil, pembantu kami sering mengajakku ke Masjid Te?vikiye,'
kata Ka. "Sebenarnya dia pergi ke masjid lebih untuk mendapatkan kesempatan
bergaul dengan perempuan-perempuan lain daripada untuk beribadah. Mereka
bergosip panjang lebar sambil menunggu waktu salat tiba, sementara aku
berguling-gulingan di karpet bersama anak-anak lainnya. Di sekolah, aku
menghafal semua doa untuk mengambil hati guruku. Dia menyuruh kami menghafalkan
alfatihah dengan memukul, menjambak, atau menjepitkan kepala kami ke tingkap
meja, dengan Alquran terbuka di hadapan kami. Aku memahami semua yang diajarkan
kepadaku tentang Islam, tapi kemudian aku melupakan semuanya. Sekarang,
sepertinya semua yang kuketahui tentang Islam kudapatkan dari The Call kau tahu,
film yang dibintangi Anthony Quinn," Ka tersenyum. "Film itu pernah diputar
belum lama berselang di saluran TV Turki di Jerman, tapi entah untuk alasan aneh
apa, disulihsuarakan ke bahasa Jerman. Kau akan ada di sini malam ini, kan?"
"Ya." "Karena aku ingin membacakan puisiku lagi untukmu," kata Ka sambil memasukkan
buku catatannya ke saku mantelnya. "Apa menurutmu puisi itu indah?"
"Ya, sungguh, puisi itu indah."
"Apakah yang membuatnya indah?"
"Entahlah, pokoknya indah," kata Ypek. Dia memu-ka pintu kamar Ka.
Ka memeluk Ypek dan mencium bibirnya. []
Apakah Orang Eropa Memiliki Tuhan yang Berbeda"
Ka Bersama Syekh Saadetin Efendi
KA TERBURU-BURU meninggalkan hotel (sejumlah orang masih ingat melihatnya
berlari menembus salju di bawah deretan panjang spanduk propaganda menuju Jalan
Baytarhane). Ka sangat bahagia sehingga seolaholah dua buah film diputar secara
bersamaan di dalam gedung bioskop khayalannya seperti saat dia menikmati momen
bahagia pada masa kanakkanaknya. Di film pertama, yang diputar secara berulang-


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ulang, dia biasanya berada di suatu tempat di Jerman meskipun bukan di rumahnya
di Frankfurt bercinta dengan Ypek. Kadangkadang, mereka tidak berada di Jerman
tetapi di kamar hotelnya di Kars. Di film khayalan kedua, sedang diputar
katakata dan gambar yang berhubungan dengan dua baris terakhir puisinya,
'Salju1. Pertama-tama, Ka mampir ke Restoran Pastura Hijau untuk menanyakan arah. Tergiur
oleh deretan botol di rak di dekat lukisan Ataturk dan pemandangan alam Swiss,
di situ Ka duduk di sebuah meja dan, dengan sikap mendesak khas seseorang yang
sedang terburu-buru, memesan raki dobel beserta sepiring keju putih dan chickpea
panggang. Menurut penyiar di TV, meskipun salju turun dengan lebat, persiapan
siaran langsung pertama di Kars telah hampir selesai. Pengumuman itu disusul
dengan serangkaian berita pendek lokal dan nasional. Sepertinya, untuk
kepentingan perdamaian dan untuk menghindari berlarut-larutnya masalah deputi
gubernur, aparat telah memperingatkan stasiun TV supaya tidak menyebutkan
perihal penembakan direktur Institut Pendidikan. Sambil menonton televisi, Ka
meneguk rakinya layaknya meminum air putih.
Setelah menghabiskan tiga gelas raki, Ka berjalan menuju pondok sang syekh, dan
empat menit kemudian telah tiba di sana. Saat mendaki tangga demi tangga, dia
teringat bahwa dirinya masih menyimpan "Tangga", puisi karya Muhtar, di
jaketnya. Ka yakin segalanya akan berjalan lancar di sini, namun dia masih
merasa gamang, seperti seorang bocah yang menderita saat dibawa ke dokter bedah,
bahkan meskipun dia mengetahui dirinya tidak akan mendapatkan perlakuan buruk di
sini. Setelah mencapai puncak tangga, Ka menyesal karena mendatangi tempat itu.
Sang syekh langsung merasakan kegelisahan di hati Ka begitu menatap matanya.
Dan, Ka tahu bahwa sang syekh dapat merasakannya. Tetapi, terdapat sesuatu dalam
diri pria itu yang menghilangkan perasaan malu dari diri Ka. Di dinding depan
tangga, terdapat sebuah cermin dengan bingkai ukiran kayu kenari. Ka pertama
kali melihat sosok Syekh Saadetin di cermin itu. Rumah itu sendiri begitu sesak
sehingga udara di dalamnya terasa hangat oleh napas dan panas tubuh. Tak lama
kemudian, Ka mencium tangan sang syekh, bahkan sebelum dia menyadari apa saja
yang ada di sekeliingnya dan melihat
siapa saja yang ada di ruangan itu.
Ada dua puluh orang lain yang datang untuk menghadiri sebuah upacara sederhana
yang diselenggarakan setiap Selasa, untuk mendengarkan ceramah syekh, dan untuk
meringankan beban hati mereka. Lima atau enam orang di antara mereka adalah
pedagang atau pemilik kedai teh atau toko hasil olahan susu mereka menyambar
setiap kesempatan menghabiskan waktu bersama sang syekh supaya dapat merasakan
kebahagiaan. Di tempat itu juga hadir seorang pria muda yang menderita
kelumpuhan, seorang manajer perusahaan bus yang bermata juling, seorang pria tua
teman si manajer, seorang penjaga malam di Perusahaan Listrik, seorang pria yang
sudah empat puluh tahun menjadi pesuruh di Rumah Sakit Kars, dan beberapa orang
lainnya. Membaca mimik kebingungan di wajah Ka, syekh mempersilakannya masuk dan mencium
tangannya. Ada sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dalam caranya bersikap,
seolaholah dia menghormati Ka. Dan, meskipun Ka telah mengira akan mendapatkan
perlakuan seperti ini dari sang syekh, dia tetap terpana. Menyadari sepenuhnya
bahwa semua orang di ruangan itu sedang menyaksikan mereka, kedua pria itu mulai
bercakap-cakap. "Semoga Tuhan memberkatimu karena mau menerima undanganku,1 kata sang syekh.
"Aku melihatmu dalam mimpiku. Salju sedang turun.1
"Saya melihat Anda dalam mimpi saya, Yang Mulia,1 kata Ka. "Saya datang kemari
untuk mencari kebahagiaan.1
"Kami senang mengetahui bahwa kebahagiaanmu hadir di Kars ini,1 kata sang syekh.
"Tempat ini, kota ini, rumah ini ... membuat saya gelisah,1 kata Ka. "Karena
semuanya terasa begitu asing bagi saya. Karena saya selalu melindungi diri dari
hal-hal seperti ini. Saya tidak pernah ingin mencium tangan seseorang ... atau
membiarkan seseorang mencium tangan saya.1
"Sepertinya kau telah berbicara secara terbuka tentang keindahan jiwamu dengan
saudara kami, Muhtar,1 kata sang syekh. "Jadi, katakanlah kepada kami, kepada
siapakah hujan salju ini mengingatkanmu"1
Di ujung dipan yang diduduki sang syekh, tepat di dekat jendela, Ka melihat
Muhtar. Beberapa plester terpasang di kening dan hidungnya. Untuk menyembunyikan
memar di sekeliing matanya, dia mengenakan sebuah kacamata hitam besar, seperti
pensiunan tua yang menjadi buta gara-gara terserang cacar. Muhtar tersenyum pada
Ka, namun ekspresinya jauh dari ramah.
"Salju mengingatkan saya kepada Tuhan,1 kata Ka. "Salju mengingatkan saya pada
keindahan dan kemisteriusan makhluk hidup, pada kebahagiaan yang paling asasi,
yaitu kehidupan.1 Ka sejenak terdiam dan menyadari bahwa semua mata masih
tertuju ke arahnya. Tatapan syahdu sang syekh mulai membuatnya kesal. "Untuk
keperluan apakah Anda mengundang saya kemari"1
"Tolonglah, jangan menanyakan hal itu!1 seru sang syekh. "Setelah Muhtar Bey
mengatakan kepada kami tentang apa yang kaukatakan kepadanya, kami merasa
mungkin kaumau membuka hati kepada kami, berbicara kepada kami, mencari teman.1
"Baiklah, marilah kita berbincang-bincang jika begitu,1 kata Ka. "Sebelum pergi
ke sini, saya minum tiga gelas raki.'
"Mengapa kau setakut itu kepada kami"1 tanya sang syekh, melebarkan matanya,
seolaholah sangat terkejut.
Dia adalah seorang pria gemuk yang tampak manis, dan orang-orang si sekeliingnya
menyunggingkan senyuman tulus yang serupa dengan senyumannya. "Tidakkah kau mau
mengatakan kepada kami mengapa kau begitu ketakutan kepada kami?"
"Saya akan mengatakannya kepada Anda, tapi saya harap Anda tidak tersinggung."
"Kami tidak akan tersinggung," kata sang syekh. "Silakan, kemarilah, duduklah di
dekat kami. Sangat penting bagi kami untuk memahami mengapa kau takut kepada
kami." Ekspresi wajah sang syekh setengah serius, setengah bercanda sewaktu-waktu, siap
membuat para pengikutnya tertawa. Ka menyukai pembawaan tuan rumahnya dan,
segera setelah dia duduk di dekat sang syekh, dia tergoda untuk menirunya.
"Saya selalu menginginkn negara ini menjadi kaya, menjadi modern ... saya
menginginkan kemerdekaan bagi para penduduk negara ini," kata Ka. "Tapi, saya
melihat, agama kita selalu bertentangan dengan hal itu. Mungkin saya salah. Saya
minta maaf, mungkin saya mengatakan semua ini karena saya terlalu banyak minum."
"Ayolah, jangan bilang begitu!"
"Saya dibesarkan di Istanbul, di Ni?anta?, di kalangan masyarakat kelas
menengah. Saya ingin menjadi seperti orang Eropa. Karena tidak bisa melihat
bagaimana saya bisa menjadi orang Eropa dengan adanya Tuhan yang mengharuskan
para wanita membungkus diri mereka dengan jilbab, saya menyingkirkan agama dari
kehidupan saya. Tapi, saat saya pergi ke Eropa, saya menyadari bahwa bisa jadi
terdapat Tuhan yang berbeda dengan Tuhan para reaksioner berjanggut kampungan
itu." "Apakah orang Eropa memiliki Tuhan yang berbeda?" sang syekh bertanya dengan
nada berseloroh sembari menepuk punggung Ka.
"Saya menginginkan Tuhan yang tidak meminta saya melepas sepatu saat berhadapan
denganNya, dan yang tidak menyuruh saya berlutut untuk mencium tangan orang
lain. Saya menginginkan Tuhan yang memahami kebutuhan saya akan kesendirian.1
"Hanya ada satu Tuhan/ kata sang syekh. "Dia melihat segalanya, memahami semua
orang. Bahkan memahami kebutuhanmu akan kesendirian. Jika kau meyakini-Nya, jika
kau mengetahui bahwa Dia memahami kebutuhan kau akan kesendirian, kau tidak akan
merasa begitu kesepian.1 "Tepat sekali, Yang Mulia,1 kata Ka, merasa seolaholah sedang berbicara dengan
semua orang di ruangan itu. "Karena saya seorang penyendiri itulah maka saya
tidak bisa memercayai Tuhan. Dan, karena saya tidak bisa memercayai Tuhan, saya
tidak bisa melarikan diri dari kesendirian. Apakah yang sebaiknya saya lakukan"1
Meskipun sedang mabuk dan tanpa diduga merasa senang karena dapat berbicara
seberani itu dengan seorang syekh sungguhan, sebagian dari diri Ka masih
menyadari bahwa dia sedang berada di dalam wilayah berbahaya. Maka, ketika sang
syekh terdiam, Ka kembali gelisah.
"Apakah kau betul-betul menginginkan petunjuk dari-ku"1 tanya sang syekh. "Kami
sama saja dengan orang-orang yang kausebutkan tadi reaksioner berjanggut
kampungan. Bahkan jika kami mencukur janggut kami, tidak akan ada yang bisa
menyembuhkan sifat kampungan kami.1 "Saya juga kampungan, dan saya bahkan ingin
menjadi lebih kampungan. Saya ingin menjadi terlupakan di sudut dunia yang
paling tidak terjamah ini, di bawah selimut salju,1 kata Ka. Sekali lagi, dia
mencium tangan sang syekh. Keluwesannya dalam melakukan hal ini membuat Ka
senang, tapi dia tahu bahwa sebagian pikirannya masih bekerja dengan cara
berbeda, dengan cara Barat, dan dia membenci dirinya sendiri karenanya.
"Saya harap Anda memaafkan saya, tapi, sebelum datang kemari, saya minum-minum
terlebih dahulu," ulangnya. "Saya merasa bersalah karena sepanjang hidup saya
telah menolak untuk meyakini Tuhan yang sama dengan yang diyakini oleh para bibi
berjilbab dan para paman bertasbih yang tidak berpendidikan. Ada kebanggaan yang
begitu besar dalam penolakan saya untuk meyakini Tuhan. Tapi, sekarang saya
percaya bahwa Tuhanlah yang menurunkan salju yang indah itu dari langit. Ada
Tuhan yang mencermati simetri tersembunyi di dunia, Tuhan yang akan membuat kita
semua lebih beradab dan bermoral."
"Tentu saja ada, Anakku," kata sang syekh.
"Tapi, Tuhan itu tidak ada di tengah-tengah kalian. Dia ada di luar, di
kesunyian malam, di dalam kegelapan, di dalam salju yang jatuh ke hati para
penyendiri." "Jika kauingin mencari Tuhan sendirian, lakukanlah keluarlah ke dalam kegelapan,
habiskanlah waktumu di tengah-tengah salju, gunakanlah salju untuk mengisi
dirimu dengan kasih sayang Tuhan. Kami tidak bermaksud membelokkanmu ke jalan
kami. Tapi, jangan lupakan bahwa orang-orang arogan yang terlalu banyak
memikirkan diri mereka sendiri selalu berakhir sendirian. Tuhan tidak menyukai
kesombongan. Kesombonganlah yang membuat setan diusir dari Surga."
Sekali lagi, Ka diterpa oleh kegelisahan yang nantinya akan dianggapnya
memalukan. Dia juga ketakutan memikirkan apa yang dia ketahui akan mereka
katakan tentang dirinya setelah dia meninggalkan mereka. "Jadi, apakah yang
sebaiknya saya lakukan, Yang Mulia?" tanyanya. Ka hendak mencium tangan sang
syekh sekali lagi namun berubah pikiran. Dia dapat melihat bahwa semua orang di
sekeliingnya mengetahui betapa dirinya kebingungan dan mabuk, dan karena itulah
mereka mengasi-haninya. "Saya ingin meyakini Tuhan yang Anda yakini dan menjadi
seperti Anda, tapi, karena ada sifat kebarat-baratan dalam diri saya, benak saya
merasa kebingungan."
"Jika niatmu memang sebaik ini maka ini adalah awal yang bagus," kata sang
syekh. "Hal pertama yang harus kaupelajari adalah kerendahan hati."
"Bagaimanakah caranya?" tanya Ka. Sekali lagi, dia dapat merasakan iblis yang
mengolok-oloknya di dalam dirinya.
"Setelah makan malam, siapa pun yang ingin berbicara, akan bergabung denganku di
sudut ini, di atas dipan yang kaududuki sekarang ini," kata sang syekh. "Semua
orang di sini adalah saudara."
Ka baru mengerti bahwa kerumunan pria yang duduk di kursi dan bantal di
sekelilingnya sedang mengantri untuk dapat duduk di sudut dipan yang sekarang
ditempatinya. Dia menduga sang syekh sekarang menginginkannya mundur,
menempatkan diri di ujung paling belakang antrian dan menanti dengan sabar,
seperti orang Eropa. Berbekal pikiran ini, Ka berdiri. Dia mencium tangan sang
syekh sekali lagi dan duduk di bantal yang terdapat di sudut ruangan.
Di sebelah Ka, duduklah seorang pria pendek berwajah ramah dan bergigi emas yang
bekerja di salah satu kedai teh di Jalan Ynonu. Pria itu begitu kecil (dan
pikiran Ka begitu berkabut) sehingga Ka mendapati dirinya membayangkan apakah
pria itu menemui sang syekh untuk meninggikan badannya. Saat dia masih
kanakkanak di Ni?anta?, ada seorang cebol yang sangat elegan, yang setiap malam
mengunjungi para gipsi di alun-alun untuk membeli sebuket bunga violet dan
setangkai bunga anyelir. Pria yang duduk di bantal itu mengatakan bahwa dia
melihat Ka lewat di depan kedai tehnya pagi itu, bahwa dia menyayangkan mengapa
Ka tidak masuk, dan bahwa dia akan sangat senang jika Ka mau mampir besok pagi.
Lalu, si manajer perusahaan bus yang bermata juling bergabung dengan mereka. Dia
membisikkan kepada Ka bahwa kehidupannya menjadi kacau balau lantaran seorang
gadis, sehingga dia menjadi pemabuk dan pemberontak, dan lambat laun kehilangan
keimanan kepada Tuhan, namun pada akhirnya dia mampu melupakan semua masalahnya.
Sebelum Ka dapat menanyakan, "Apa Anda menikahi gadis itu?" si manajer bermata
juling menambahkan, "Kami akhirnya menyadari bahwa gadis itu bukanlah pilihan
yang tepat untuk kami."
Sang syekh mengucapkan beberapa patah kata untuk menentang tindakan bunuh diri.
Semua pria di sekelilingnya mendengarkan dengan hening, beberapa mengangguk-
angguk mendengarkan kearifan dalam kata-katanya, namun Ka bersama dua orang
temannya di sudut masih saling berbisik di pojok ruangan. "Ada beberapa kasus
bunuh diri lagi," kata si pria pendek, "tapi pihak yang berwenang memutuskan
untuk tidak memublikasikannya. Alasannya sama seperti saat mereka tidak
mengatakan apa-apa soal suhu udara yang anjlok mereka tidak ingin
kita marah. Tapi, inilah penyebab sesungguhnya wabah itu: mereka menjual gadis-
gadis itu kepada pegawai-pegawai tua bangka, orang-orang yang tidak mereka
cintai." Si manajer mengajukan keberatan: "Waktu pertama kalinya istri saya bertemu
dengan saya," katanya, "dia juga tidak mencintai saya." Dia lantas mengatakan
bahwa wabah bunuh diri itu disebabkan oleh banyak hal, misalnya angka
pengangguran yang tinggi, harga-harga yang terus melambung, semakin rendahnya
nilai susila, dan kurangnya keimanan.
Karena dia menyetujui semua yang dikatakan oleh kedua pria itu, Ka merasa agak
bermuka-dua saat mereka duduk diam selama beberapa menit. Ketika temannya yang
tua mulai terlelap, si manajer bermata juling membangunkannya, namun keheningan
kembali menyusul, dan sebentuk perasaan damai muncul di dalam diri Ka: mereka
berada begitu jauh dari pusat dunia, begitu jauh sehingga tidak seorang pun
dapat membayangkan pergi ke sana, dan di bawah buaian sihir kepingan salju yang
sepertinya menggantung di langit, Ka mulai mengira dirinya memasuki sebuah dunia
tanpa gravitasi. Saat itu, tanpa adanya seorang pun yang memerhatikan Ka, sebuah puisi lain
mendatanginya. Ka membawa buku catatannya, dan, seperti pada 'Salju1, dia
menghanyutkan diri sepenuhnya pada suara di dalam dirinya. Tetapi, kali ini dia
menulis ketiga puluh enam baris puisi itu secara langsung. Karena pikirannya
masih berkabut akibat pengaruh minuman, Ka tidak yakin apakah puisinya bagus,
namun ketika badai inspirasi menerpanya, dia segera bangkit, memohon permisi
kepada sang syekh, menghambur keluar, dan duduk di tangga. Saat membaca
hasil coretannya, Ka dapat melihat bahwa puisi ini sesempurna puisi pertamanya.
Puisi itu menggambarkan rangkaian peristiwa yang baru saja dialami dan
disaksikan oleh Ka. Empat baris menyiratkan tentang percakapannya dengan seorang
syekh mengenai eksistensi Tuhan. Secara tersirat, tersebut pula tentang tatapan
malu Ka saat mengucapkan "Tuhan orang miskin", lalu sekelumit diskusi tentang
kesendirian, simetri rahasia dunia, dan penciptaan kehidupan. Seorang pria
bergigi emas, seorang pria bermata juling, dan seorang cebol yang memegang
setangkai bunga anyelir secara bergiliran mengisahkan tentang kehidupan mereka.
Tersentak oleh keindahan katakata yang ditulisnya, Ka menanyakan kepada dirinya
sendiri, "Apakah makna semua ini?" Puisi itu seolaholah ditulis oleh orang lain,
dan karena itulah, pikirnya, dia bisa menghargai keindahannya. Tetapi,
mengetahui bahwa puisi itu indah juga membuatnya terusik, mengingat isinya, dan
mengingat kehidupannya sendiri. Bagaimana mungkin dia memahami keindahan dalam
puisi ini" Lampu di tangga tiba-tiba padam. Ka terlempar ke dalam kegelapan. Setelah
menemukan saklar dan menyalakan kembali lampu itu, Ka sekali lagi melihat buku
catatannya dan mendapatkan sebuah judul yang tepat: 'Simetri Tersembunyi'.
Nantinya, dia akan mengatakan bahwa kecepatan judul itu mendatanginya adalah
bukti bahwa puisi ini dan semua puisi lain yang mengikutinya seperti dunia itu
sendiri bukanlah karyanya. Bersama pikiran ini, Ka akan bergerak menuju apa yang
mungkin bisa disebut sebagai posisi paling penting di lini 'Logika'.[]
Jika Tuhan Tidak Ada, Bagaimanakah Bapak Menjelaskan Penderitaan Orang Miskin"
Kisah Sedih Necip dan Hicran
SETELAH MENINGGALKAN pondok sang syekh, Ka kembali ke hotel. Saat berjalan
tersuruk-suruk menembus salju, pikirannya kembali melayang ke sosok Ypek: tidak
lama lagi mereka bakal bertemu kembali. Ketika menyusuri Jalan Halitpa?a, Ka
melewati kelompok kampanye pertama dari Partai Rakyat dan segerombolan pelajar
yang baru saja selesai mengikuti pelajaran tambahan sebelum mengikuti ujian
masuk universitas. Anak-anak itu membicarakan acara televisi yang akan mereka
tonton malam itu, juga ihwal betapa mudahnya mengakali guru kimia mereka; dan
mereka saling menggoda tanpa ampun, sama seperti yang kulakukan dengan Ka saat
seusia mereka. Ka melihat sepasang orangtua menggandeng anak mereka yang
menangis, keluar dari sebuah bangunan apartemen tempat mereka mengunjungi dokter
gigi yang berpraktik di lantai atas. Jelas terlihat dari pakaian yang mereka
kenakan bahwa pasangan ini hidup kekurangan, namun mereka memutuskan untuk
membawa anak kesayangan mereka ke dokter gigi swasta alih-alih ke rumah sakit
umum, mungkin supaya si anak tidak terlalu kesakitan. Dari pintu terbuka
sebuah toko yang menjual stoking wanita, gulungan kain, pensil warna, baterai,
dan kaset, sekali lagi Ka mendengar potongan lagu 'Roberta' karya Peppino di


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Capri. Ka ingat pernah mendengar lagu ini di radio saat pamannya membawanya
bermobil ke Bosphorus ketika dia masih kanakkanak. Merasakan hatinya melambung,
terpikir oleh Ka bahwa sebuah puisi lain sedang menghampirinya, sehingga dia
memasuki kedai teh pertama yang ditemukannya dan, setelah duduk di sebuah meja
kosong, mengelurkan pensil dan buku catatannya.
Setelah cukup lama memandang halaman kosong buku catatannya dengan mata lembap,
Ka memutuskan bahwa perkiraannya salah tidak ada puisi yang mendatanginya namun
hal ini sama sekali tidak menyurutkan semangatnya. Kedai teh itu dipadati pria
pengangguran dan pelajar, dan dinding di sekeliling Ka tertutup tidak hanya oleh
gambar-gambar pemandangan Swiss tetapi juga oleh poster-poster teater, kartun-
kartun dari surat kabar, berbagai macam potongan berita, pengumuman tentang
persyaratan ujian pegawai negeri, dan jadwal pertandingan yang diikuti oleh
Karsspor tahun itu. Hasil-hasil pertandingan sebelumnya sebagian besar kalah
ditulis dengan pensil oleh banyak tangan dan di samping skor kekalahan 6-1 saat
melawan Erzurumspor, seseorang menuliskan baris-baris yang kemudian akan
dicantumkan oleh Ka di dalam 'Seluruh Umat Manusia dan Bintang-Bintang', puisi
yang ditulisnya keesokan harinya saat duduk di Kedai Teh Mujur Bersaudara:
Bahkan saat ibu kami turun dari Surga untuk menjemput kami daiam pelukannya,
Bahkan saat ayah kami yang jahat tidak memukulinya semalam saja, Kau
masih akan berakhir melarat, tahimu masih akan beku,
jiwamu masih akan layu, tanpa ada harapan lagi! Jika kau cukup sial karena harus
tinggal di Kars, sekalian masuklah ke jamban. Saat sedang tersenyum senang
setelah menyalin katakata itu di bukunya, Ka didatangi Necip, yang sebelumnya
duduk di belakangnya. Jelas terlihat dari ekspresi wajah Necip bahwa dia terpana
melihat Ka berada di tempat ini, namun sekaligus senang.
"Saya senang sekali melihat Bapak di sini," kata Necip. "Apa Bapak sedang
menulis puisi" Saya ingin memintakan maaf untuk teman saya, yang menyebut Bapak
ateis. Mereka baru pertama kali ini bertemu muka dengan seorang ateis. Tapi,
sepertinya Bapak tidak mungkin benar-benar ateis, karena Bapak orang baik."
Necip berbicara tentang beberapa hal lain yang dirasanya tidak dapat disebutkan
selama pertemuan mereka sebelumnya: dia dan teman-temannya membolos dari sekolah
untuk menonton pertunjukan di teater malam itu, tapi mereka akan duduk di
deretan belakang karena, tentu saja, mereka tidak ingin kepala sekolah mereka
melihat mereka di televisi. Necip sangat bersemangat karena berhasil membolos
dan tak sabar lagi untuk menemui teman-temannya di Teater Nasional. Mereka semua
tahu bahwa Ka akan membacakan sebuah puisi di sana. Semua orang di Kars menulis
puisi, namun Ka adalah orang pertama yang pernah mereka temui, yang karya-
karyanya telah dibukukan. Bolehkah dia membelikan segelas teh untuk Ka" Ka
menjelaskan bahwa dia sedang terburu-buru.
"Kalau begitu, saya hanya akan mengajukan satu pertanyaan, satu pertanyaan
terakhir," kata Necip. "Tidak seperti teman-teman saya, saya tidak akan bersikap
lancang kepada Bapak. Saya hanya amat penasaran." "Ya?"
Sebelum berbicara, Necip menyalakan sebatang rokok dengan tangan gemetar. "Jika
Tuhan tidak ada, artinya Surga juga tidak ada. Dan, itu berarti orang-orang
miskin di seluruh dunia ini, jutaan orang yang hidup dalam kemelaratan dan
penindasan, tidak akan pernah masuk Surga. Dan, jika memang begitu adanya,
bagaimanakah Bapak menjelaskan semua penderitaan yang harus mereka tanggung"
Untuk apakah kita ada di sini, dan untuk apa kita harus menderita seperti ini
jika semua ini sia-sia saja?"
"Tuhan itu ada. Begitu pula Surga." "Tidak, Bapak hanya mengatakannya untuk
menenangkan saya, karena Bapak kasihan kepada kami. Segera setelah Bapak kembali
ke Jerman, Bapak akan mulai berpikir bahwa Tuhan tidak ada sama seperti
sebelumnya." "Untuk pertama kalinya dalam bertahuntahun, aku merasa sangat bahagia," kata Ka.
"Kenapa aku tidak boleh memercayai hal yang sama denganmu?"
"Karena Bapak berasal dari masyarakat kelas atas," kata Necip. "Orang-orang
kelas atas tidak pernah memercayai Tuhan. Mereka memercayai apa yang dipercayai
orang-orang Eropa, sehingga mereka menganggap diri mereka lebih baik daripada
orang biasa." "Aku mungkin berasal dari kelas atas," kata Ka. "Tapi aku bukan siapa-siapa di
Jerman. Hidupku di sana kacau balau."
Mata indah Necip tampak sendu. Ka dapat melihat bahwa remaja ini sedang mencerna
kata-katanya, berusaha menempatkan dirinya di posisi Ka. "Kalau begitu, mengapa
Bapak marah dengan negara ini dan melarikan diri ke Jerman?" tanyanya. Melihat
air muka Ka yang berubah keruh, Necip cepat-cepat mengatakan, "Lupakan saja!
Omong-omong, seandainya saya kaya, saya akan merasa sangat malu dengan kehidupan
saya sehingga saya tidak akan percaya lagi pada Tuhan."
"Suatu hari nanti, jika Tuhan berkenan, kita semua akan kaya," kata Ka.
"Tidak ada yang sesederhana itu, saya rasa. Saya juga bukan orang yang
sesederhana itu, dan saya tidak ingin menjadi kaya. Saya ingin menjadi seorang
penyair, seorang penulis. Saya sedang menulis novel fiksi ilmiah. Mungkin cerita
itu bisa diterbitkan di salah satu koran Kars, Lance tapi saya tidak mau karya
saya diterbitkan di koran yang oplahnya hanya tujuh puluh lima kopi. Saya ingin
karya saya diterbitkan di koran Istanbul yang beroplah ribuan kopi. Saya membawa
sinopsis novel saya itu. Jika saya membacakannya untuk Bapak, maukah Bapak
memberi tahu saya apakah koran Istanbul kira-kira akan memuatnya?"
Ka menatap jam tangannya.
"Ini sangat pendek!" Necip meyakinkan.
Listrik tiba-tiba padam dan seluruh Kars diliputi kegelapan. Satu-satunya cahaya
di kedai teh itu berasal dari kompor yang menyala. Necip berlari ke kasir dan
menyambar sebatang lilin. Dia menyalakan lilin itu, lalu menuangkan beberapa
tetes liin panas ke sebuah piring, mendirikan liinnya, dan meletakkannya di
meja. Mengeluarkan beberapa lembar kertas kumal dari sakunya, dia mulai membaca
dengan ragu-ragu, berhenti berulang kali untuk menelan ludah karena terlalu
bersemangat. Pada 3579, tersebutlah sebuah planet yang belum kita temukan sekarang. Planet
itu bernama Gazzali. Penduduknya kaya. Kehidupan mereka jauh lebih mudah
daripada kehidupan kita sekarang, tapi, berlawanan dengan yang diperkirakan oleh
kaum materialis, kekayaan kepuasan spiritual bagi penduduk planet ini. Ternyata,
semua orang sangat mengkhawatirkan kehidupan dan ketiadaan, manusia dan alam
semesta, Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya. Karena itulah sejumlah penduduk Gazzali
menempuh perjalanan ke tempat paling terpencil di planet bertanah merah mereka
untuk mendirikan Sekolah Menengah Islam jurusan Kajian Dakwah dan Ilmu
Pengetahuan. Sekolah itu hanya menerima siswa terpandai dan tergiat. Dua orang
sahabat dekat diterima di sana. Terinspirasi oleh buku yang ditulis 1600 tahun
sebelumnya, buku yang membahas tentang masalah Timur-Barat dengan begitu
indahnya sehingga seolaholah baru ditulis sehari sebelumnya, kedua anak itu
dinamai Necip dan Fazyl. Bersama-sama, mereka berulang kali membaca Timur yang
Hebat, buku terbesar yang dimiiki oleh guru mereka. Dan, pada malam hari, mereka
akan bertemu secara diamdiam di ranjang Fazyl, yang terletak di tingkat
tertinggi, tempat mereka berbaring bersama di bawah selimut, menyaksikan
kepingan salju jatuh ke atap kaca di atas mereka dan menghilang seperti planet-
planet di kejauhan. Dan mereka akan saling berbisik tentang makna kehidupan dan
citacita mereka setelah dewasa.
Orang-orang yang dengki berusaha menghancurkan persahabatan murni ini dengan
lelucon jahat dan penuh kecemburuan, namun sia-sia saja. Kebetulan, mereka
secara bersamaan jatuh cinta kepada gadis yang sama, seorang perawan bernama
Hicran. Bahkan setelah mengetahui bahwa ayah Hicran adalah seorang ateis, mereka
tidak dapat menyembahkan diri dari kerinduan yang senantiasa menghantui justru
sebaliknya, cinta mereka tumbuh semakin kuat. Dengan cara itulah mereka
menyadari bahwa tidak ada cukup ruang di planet merah itu bagi mereka berdua: di
dalam hati, mereka berdua tahu bahwa salah seorang dari mereka harus mati. Tapi,
mereka saling bertukar janji, bahwa setelah menghabiskan waktu di dunia
selanjutnya, tak peduli berapa tahun cahaya pun jaraknya, salah satu dari mereka
yang mati akan kembali ke dunia ini untuk mengunjungi temannya yang masih hidup
dan menjawab pertanyaan mereka yang paling menggelitik tentang kehidupan setelah
kematian. Sedangkan bagi pertanyaan tentang siapa yang akan membunuh siapa, dan bagaimana
cara melakukannya, mereka tidak bisa memikirkannya terutama karena mereka tahu
bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat mendatangi seseorang yang mengorbankan
kebahagiaannya sendiri untuk kebahagiaan orang lain. Jadi, misalnya, salah
seorang dari mereka, katakanlah Fazyl, berujar, "Bagaimana jika kita berdua
mencolokkan tangan ke colokan listrik pada saat yang sama?" Necip akan langsung
paham itu adalah trik cerdik yang ditemukan oleh Fazyl untuk mengorbankan diri
bagi sahabatnya. Tentu saja, sebelumnya Fazyl akan memutuskan sambungan listrik
di colokan Necip. Setelah berbulan-bulan bimbang dan ragu, berbulan-bulan yang
mendatangkan kepedihan besar bagi kedua remaja itu, pertanyaan ini terjawab
dalam hitungan detik: pada suatu malam, Necip kembali dari kelas malamnya dan
menemukan sahabatnya terbaring tanpa nyawa di ranjangnya, peluru bersarang di
tubuhnya. Tahun berikutnya, Necip menikahi Hicran, dan pada malam pernikahan mereka, dia
menceritakan kepada istrinya apa yang terjadi di antara dirinya dan sahabatnya,
dan bagaimana pada suatu hari nanti Fazyl akan kembali
dari dunia arwah. Hicran mengatakan kepada Necip bahwa dia sesungguhnya sangat
mencintai Fazyl, bahwa dia menangis berhari-hari setelah kematiannya, dan bahwa
dia mau menikah dengan Necip hanya karena Necip adalah sahabat Fazyl yang
mengingatkan Hicran kepadanya. Tidak ada api asmara dalam pernikahan mereka, dan
mereka setuju bahwa selibat mereka sebaiknya berlanjut hingga Fazyl kembali dari
dunia yang lain. Tetapi, seiring tahuntahun yang berlalu, mereka mulai saling mendamba. Awalnya,
kebutuhan mereka bersifat spiritual, namun tak lama kemudian menjadi bersifat
fisik. Pada suatu malam, selama inspeksi interplanetal, saat cahaya cerah
menerangi kota mereka yang bernama Kars, mereka tidak mampu lagi menahan diri:
mereka saling menubruk layaknya orang gila dan bercinta dengan penuh gairah.
Bapak mungkin mengira bahwa dengan melakukan hal ini berarti mereka telah
melupakan Fazyl, yang kenangannya telah begitu lama mengusik mereka bagaikan
gigi yang sakit. Tetapi, mereka belum lupa. Hari demi hari, rasa malu dalam hati
mereka tumbuh semakin besar, dan mereka mulai ketakutan. Tibalah suatu malam
saat mereka terbangun secara mendadak, dan keduanya memutuskan pada waktu yang
sama bahwa campuran aneh rasa takut dan emosi-emosi yang lain akan menghancurkan
mereka. Lalu, televisi di ruangan itu tiba-tiba menyala dengan sendirinya, dan
di sana, bersinar cerah, hantu Fazyl menjelma. Lubang peluru mematikan di
keningnya masih tampak segar, sementara bibir bawah dan lukalukanya yang lain
masih mengucurkan darah. "Aku menderita kesakitan," katanya. "Tidak ada satu pun tempat di pelosok dunia
yang belum kulihat. [Saya akan menulis detail-detail perjalanan ini menggunakan
Pe - naklukan Gazzali atas Mekah dan Ibnu Arabi sebagai sumber inspirasi," kata
Necip.] Aku sudah mendapatkan pujian tertinggi dari para malaikat Tuhan, dan aku
telah berkelana ke tempat yang dianggap sebagai puncak dataran tertinggi di
Surga. Di Neraka, aku melihat hukuman berat ditimpakan kepada para ateis berdasi
dan positifis kolonial arogan yang mengolok-olok rakyat jelata dan keimanan
mereka. Tapi, di mana pun aku berada, kebahagiaan enggan menghinggapiku, karena
pikiranku bersama kalian di sini."
Suami istri itu tenggelam dalam kekaguman penuh ketakutan mendengarkan kisah
yang dipaparkan si hantu sendu.
"Hal yang membuatku begitu merana selama bertahuntahun itu bukanlah pikiran
bahwa pada suatu hari aku akan melihat kalian duduk berdua dan tampak sangat
bahagia, seperti yang kulihat malam ini. Sebaliknya, aku menginginkan Necip
bahagia, lebih daripada aku menginginkan diriku sendiri bahagia. Karena perasaan
saling menyayangi di antara kami yang begitu kuat itulah kami tidak mampu
menemukan cara membunuh satu sama lain. Karena masing-masing dari kami lebih
menghargai kehidupan yang lain daripada kehidupannya sendiri, kami berdua
seolaholah mengenakan baju besi yang membuat diri kami abadi. Betapa hal itu
membuatku bahagia! Tapi, kematianku membuktikan kepadaku bahwa aku salah karena
memercayai perasaan ini."
"Tidak!" seru Necip. "Jangan pernah sekali pun menilai kehidupanku lebih tinggi
daripada aku menilai kehidupanmu!"
"Jika ini benar, maka aku tidak akan mati," ujar hantu Fazyl. "Dan kau tidak
akan pernah menikah dengan Hicran yang cantik. Aku mati karena kau memendam
harapan rahasia, sebuah keinginan yang begitu terpendam sehingga kau bahkan
menyembunyikannya dari dirimu sendiri: melihatku mati."
Necip menolak keras tuduhan ini, namun hantu itu tak mau mendengarnya.
"Bukan hanya kecurigaan bahwa kau berharap aku mati yang mencegahku mendapatkan
kedamaian di dunia yang lain," kata si hantu. "Melainkan juga karena kau
berperan dalam pembunuhanku, karena kaulah yang secara kejam menembakku di
kepala, dan di sini, dan di sini, saat aku tidur di ranjangku. Dan, ada pula
ketakutanku yang lain: bahwa kau menjadi agen untuk para musuh Alquran."
Sekarang, Necip tidak menyanggah dan terdiam cukup lama.
"Hanya ada satu cara supaya kau bisa membebaskanku dari penderitaanku dan
mengirimku ke Surga, dan hanya dengan mengikuti jalan yang sama, kau akan bisa
membebaskan dirimu dari kecurigaan atas kejahatan keji ini," kata si hantu.
"Temukanlah pembunuhku, siapa pun dia. Dalam waktu tujuh tahun tujuh bulan ini
belum ada satu pun tersangka yang ditangkap. Dan, setelah kau menemukan siapa
pun yang membunuhku atau menginginkan aku mati, aku ingin melihat pembalasan
dilakukan atas kejahatan ini: mata dibalas mata. Jika penjahat itu tak kunjung
dihukum, aku tidak akan mendapatkan kedamaian dalam kehidupan ini; dan kau juga
tidak akan mendapatkan kedamaian di dunia fana yang tetap saja kausebut 'dunia
nyata' ini." Baik Necip maupun istrinya tak mampu memikirkan apa pun untuk dikatakan. Mereka
memandang dengan penuh ketakutan saat si hantu menghilang dari layar.
"Lalu apa" Apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Ka.
"Saya belum memutuskannya," jawab Necip. "Tapi, seandainya saya menulis
ceritanya secara lengkap, apakah menurut Bapak saya bisa menjualnya?" Ketika
melihat Ka ragu-ragu, Necip menambahkan, "Dengarlah, setiap kalimat yang saya
tulis berasal dari lubuk hati saya yang terdalam. Semuanya mengekspresikan
perasaan saya yang terpendam. Apakah makna kisah ini bagi Bapak" Apakah yang
Bapak rasakan saat saya membacakannya untuk Bapak"'
"Aku merasa terguncang karena cerita ini menunjukkan kepadaku bahwa kau meyakini
sepenuh hati bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah persiapan untuk menghadapi
dunia selanjutnya.' "Ya, memang itulah yang saya yakini,' kata Necip penuh semangat. "Tapi,
bagaimanapun, itu belum cukup. Tuhan juga menginginkan kita berbahagia di dunia
ini. Dan itulah yang terberat.'
Mereka berdua terdiam merenungkan 'hal terberat'
itu. Tepat pada saat ini, listrik kembali menyala, namun orang-orang di dalam kedai
teh itu tetap diam, seperti saat keadaan gelap gulita. Pesawat TV tak kunjung
menyala, dan pemiiknya menghantam-hantamnya dengan tangan.
"Kita sudah duduk bersama di sini selama dua puluh menit sekarang ini,' kata
Necip. "Teman-teman saya pasti sudah mati penasaran.'
"Siapakah teman-temanmu"' tanya Ka. "Apakah salah satunya Fazyl" Dan, apakah
nama kalian asli"' "Tidak, tentu saja tidak. Saya memakai nama samaran, sama seperti Necip dalam
cerita itu. Bapak bukan polisi jadi jangan menginterogasi saya! Sedangkan Fazyl,
dia tidak mau mendatangi tempat seperti ini,1 Necip memberi tahu Ka dengan sikap
cukup misterius. "Fazyl adalah orang paling religius dalam kelompok kami, dan
saya memercayainya lebih daripada saya memercayai siapa pun di dunia ini. Tapi,
dia khawatir bahwa jika dirinya terlibat dalam politik, dia akan berakhir dalam
berkas polisi dan dikeluarkan dari sekolah. Dia punya seorang paman di Jerman
yang mungkin akan bersedia menampungnya, tapi meskipun begitu, kami terlalu
saling menyayangi, sama seperti kedua remaja dalam cerita tadi; jadi, jika
seseorang membunuh saya, saya yakin dia akan membalas dendam. Bahkan, sama
seperti dalam cerita itu kami begitu dekat, sehingga tidak peduli betapa pun
kami jauh terpisah, kami akan selalu saling mengatakan apa yang kami lakukan."
"Jadi, apa yang sedang dilakukan oleh Fazyl sekarang ini?"
"Hmmm," kata Necip, berpose aneh. "Dia sedang berada di asrama, membaca."
"Siapakah Hicran?"
"Itu juga bukan nama aslinya. Tapi, nama itu tidak dia pilih sendiri; kamilah
yang memberinya nama itu. Beberapa di antara kami tak henti-hentinya menulis
surat cinta dan puisi, namun kami tidak berani mengirimnya. Seandainya saya
punya anak perempuan, saya ingin dia menjadi secantik, sepintar, dan seberani
dia. Dia adalah pemimpin gadis-gadis berjilbab, dan tidak ada yang ditakutinya.
Tak ada yang bisa memengaruhinya. Sesungguhnya, mula-mula dia tidak beriman
karena dipengaruhi ayahnya yang ateis. Dia menjadi model di Istanbul dia muncul
di televisi, memamerkan paha dan kakinya yang
telanjang. Dia datang ke sini untuk pengambilan gambar iklan sampo yang
ditayangkan di televisi. Di sini, dia akan berjalan menyusuri Jalan Ahmet Muhtar
Pasha sang Penakluk jalan terjorok dan terburuk di Kars, tapi juga yang
tercantik. Lalu, saat berhenti di depan kamera, dia seharusnya mengibaskan


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambut cokelatnya yang indah dan sepanjang pinggang sambil mengatakan, 'Bahkan
di tempat terkotor di Kota Kars yang cantik, rambutku masih berkilau indah
berkat Blendax.' Iklan itu akan ditayangkan di mana-mana; seluruh dunia akan
menertawakan kita. "Waktu itu, gembar-gembor soal jilbab di Institut Pendidikan baru saja dimulai,
dan dua orang gadis berjilbab melihat Hicran di televisi dan juga mengenali dia
dari foto-fotonya di majalah gosip yang memberitakan skandalnya dengan pemuda-
pemuda kaya di Istanbul. Secara diamdiam kedua gadis itu mengaguminya. Mereka
pun mengundangnya minum teh. Hicran menerima undangan itu, meskipun baginya ini
sama saja dengan sebuah lelucon besar. Dia langsung bosan dengan kedua gadis
itu, dan tahukah Bapak apa katanya" 'Kalau agama kita' tidak, dia tidak
mengatakan 'agama kita', tetapi 'Kalau agamamu mengharuskanmu menyembunyikan
rambutmu, dan negara melarangmu memakai jilbab, kenapa kalian tidak sekalian
saja membangkang" dia menyebutkan nama seorang bintang rock luar negeri. 'Kenapa
kalian tidak sekalian saja memotong habis rambut kalian dan memakai anting
hidung" Dengan begitu, seluruh dunia akan tergugah dan memerhatikan kalian!'
Gadis-gadis kami yang malang begitu kaget mendengar pendapat keras itu, sehingga
mereka tak dapat menahan diri untuk tertawa bersamanya! Semakin berani, Hicran
mengatakan, 'Jilbab ini melemparkan kalian kembali
ke Abad Pertengahan kenapa kalian tidak sekalian saja mencopotnya dan memamerkan
rambut indah kalian"1 Tapi, ketika Hicran hendak melepas jilbab salah satu gadis
itu, tiba-tiba tangannya seolaholah membeku. Saat itu juga, Hicran menjatuhkan
diri ke kaki gadis itu saudara laki-laki gadis itu adalah salah satu teman
sekelas kami, dan saking bodohnya dia, seluruh kelas memanggilnya si Tolol dan
memohon maaf. "Hicran kembali keesokan harinya, dan hari berikutnya, dan akhirnya, alih-alih
kembali ke Kabul, dia bergabung dengan mereka. Dia adalah salah satu orang suci
yang mengubah jilbab menjadi bendera wanita muslim tertindas di Anatolia
camkanlah katakata saya ini!"
"Kalau begitu, kenapa kau tidak menyebut-nyebut tentang dia dalam ceritamu,
kecuali bahwa dia adalah seorang perawan?" tanya Ka. "Kenapa Necip dan Fazyl
tidak meminta pendapatnya terlebih dahulu sebelum berusaha saling membunuh untuk
memperebutkan dia?" Keheningan yang berat menyusul pertanyaan Ka, dan selama itu Necip membelalakkan
mata indahnya (salah satunya, dalam waktu dua jam tiga menit, akan tertembus
peluru). Dia memandang ke jalan yang gelap untuk menyaksikan hujan salju dalam
keheningan, lapis demi lapis, bagaikan bait-bait puisi. Tiba-tiba, dia berbisik,
"Itu dia. Itu dia!"
"Siapa?" "Hicran! Dia ada di luar sana, di jalan."f J
Aku Tidak Akan Mendiskusikan Keimananku dengan Seorang Ateis
Berjalan Menembus Salju Bersama Kadife
GADIS ITU mengenakan jas hujan ungu; matanya tersembunyi di balik kacamata hitam
bergaya futuristic. Di kepalanya terpasang salah satu kerudung polos seperti
yang dikenakan ribuan wanita sejak masa kanakkanak mereka dan sekarang menjadi
simbol Islam politis. Ketika melihat wanita muda ini memasuki kedai dan berjalan
langsung ke arahnya, Ka langsung melompat berdiri seperti seorang siswa yang
menyambut gurunya. "Aku adik Ypek, Kadife," kata wanita itu, tersenyum samar. "Semua orang
menantimu untuk makan malam. Ayahku menyuruhku ke sini untuk mencarimu."
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku ada di sini?" tanya Ka.
"Di Kars, semua orang selalu tahu tentang semua yang terjadi," kata Kadife.
Senyumnya telah menghilang. "Jika itu memang terjadi di Kars, tentunya."
Ka melihat sedikit kepedihan dalam ekspresi Kadife, namun dia tak dapat menebak
penyebabnya. Necip memperkenalkan mereka: "Perkenalkan, temanku ini seorang
penyair!" katanya. Mereka saling memandang namun tidak
bersalaman. Ka menganggapnya sebagai pertanda ketegangan. Lama kemudian, ketika
mengingat kembali peristiwa ini, dia akan menyadari bahwa sikap saling
mengabaikan seperti ini termasuk dalam cara bersikap islami. Necip tampak pucat
pasi saat memandang Kadife, seolaholah Hicran baru saja muncul dari luar
angkasa, namun pembawaan Kadife yang begitu apa adanya membuat tidak seorang pun
pria di kedai teh yang penuh sesak itu berpaling menatapnya. Dia juga tidak
secantik kakaknya. Tetapi, ketika berjalan bersamanya menembus hujan salju dan menyusuri Jalan
Ataturk, Ka merasa sangat bahagia. Kadife mengenakan jilbab yang rapat, dan,
meskipun tidak secantik kakaknya, wajahnya begitu segar, dan saat memandang
tepat ke mata cokelatnya, yang menyerupai mata Ypek, Ka dapat berbicara secara
santai dengannya. Karena itulah Ka menganggap Kadife sangat menarik, dan dia
merasa seperti sedang mengkhianati kakak gadis itu.
Pertama-tama, yang membuat Ka terkejut, mereka membicarakan meteorologi. Kadife
mengetahui segalanya yang perlu diketahui tentang ilmu ini dia membeberkan
detail-detail seperti orang tua yang pekerjaannya hanya mendengarkan radio
sepanjang hari. Dia mengatakan kepada Ka bahwa tekanan udara rendah yang datang
dari Siberia masih akan melanda hingga dua hari lagi; bahwa, jika hujan salju
masih terus turun, ruas-ruas jalan juga akan ditutup hingga dua hari lagi; bahwa
timbunan salju di Sarykarnyp telah mencapai 160 sentimeter; dan bahwa penduduk
Kars tidak lagi memercayai ramalan cuaca. Bahkan, katanya, semua orang sibuk
membicarakan bagaimana negara, yang tidak ingin membuat rakyat marah, secara
rutin menambah suhu udara sebanyak lima atau
enam derajat lebih tinggi dalam pengumuman mereka (tapi, tidak seorang pun
pernah menyebutkan hal ini kepada Ka). Kadife berbicara tentang bagaimana, pada
masa kanakkanaknya di Istanbul, dia dan Ypek menginginkan supaya salju tak
berhenti turun, karena salju membuatnya memikirkan betapa indah dan pendeknya
kehidupan ini dan bagaimana, meskipun saling membenci, semua orang memiliki
banyak persamaan. Dibandingkan dengan keabadian dan kehebatan makhluk hidup,
dunia yang mereka tinggali ini dapat dipandang sepele. Karena itulah salju
mempersatukan umat manusia. Salju seolaholah menjadi selimut yang menyelubungi
kebencian, keserakahan, dan kemarahan, dan membuat semua orang merasa
berdekatan. Mereka terdiam sejenak. Semua toko di sepanjang Jalan aehit Cengiz Topel tutup.
Mereka tidak melihat seorang pun berada di sana. Perjalanan menembus salju
bersama Kadife ini membuat Ka merasa gelisah sekaligus bahagia. Dia memastikan
pandangannya selalu tertuju pada lampu-lampu di jendela toko yang ada di ujung
jalan: seolaholah dia takut jika dirinya terus-menerus memandang wajah Kadife,
dia akan jatuh cinta kepadanya. Apakah dia benar-benar jatuh cinta kepada kakak
Kadife" Dia memiliki hasrat rasional untuk tergilagila kepada Ypek, itulah yang
diketahuinya. Ketika mereka mencapai ujung jalan, Ka berhenti untuk melihat tanda di jendela
Pondok Bir Kegembiraan, yang tertulis di atas selembar kertas: "Karena adanya
pementasan di teater, yang terhormat Zihni Sevuk, kandidat dari Partai Rakyat
Merdeka, menunda pertemuan malam ini". Melalui jendela kecil dan sempit di
Pondok Bir Kegembiraan, Ka dapat melihat Sunay Zaim duduk di kepala meja bersama
seluruh pengikutnya; hanya memiliki dua puluh menit sebelum pertunjukan dimulai,
mereka semua menenggak minuman dengan liar.
Saat mengamati poster-poster kampanye di dinding luar pondok bir itu, tatapan Ka
tertumbuk pada selembar poster kuning yang mengumumkan bahwa "Manusia adalah
mahakarya Tuhan dan bunuh diri adalah dosa besar1. Hal ini memancingnya untuk
menanyakan pendapat Kadife tentang bunuh diri Teslime.
"Aku yakin kau sudah punya cukup bahan untuk menjadikan Teslime sebagai kisah
yang sangat menarik bagi teman-temanmu di Jerman sana jangan lupakan juga pers
Istanbul,1 katanya, terdengar agak jengkel.
"Aku baru saja tiba di Kars,1 kata Ka. "Bahkan setelah aku memahami bagaimana
berbagai hal berjalan di sini, aku mulai berpikir bahwa aku tak akan pernah bisa
menjelaskannya kepada siapa pun di luar sana. Hatiku hancur saat melihat
kehidupan sengsara orang-orang di sini, juga penderitaan sia-sia mereka.1
"Yang mengkhawatirkan tentang penderitaan sia-sia hanyalah orang-orang ateis
yang belum pernah menderita,1 kata Kadife. "Karena, di atas segalanya, seorang
ateis hanya membutuhkan sekelumit kesusahan saja untuk memutuskan bahwa mereka
tidak sanggup lagi menjalani kehidupan tanpa iman, dan kemudian mereka akan
kembali ke jalan agama.1 "Tapi, penderitaan Teslime begitu hebat sehingga dia meninggalkan agama dan
melakukan bunuh diri,1 kata Ka. Alkohol yang masih mengalir di darahnya
membuatnya keras kepala. "Yah, jika Teslime memang bunuh diri, kita bisa mengatakan bahwa dia telah
melakukan dosa besar. Kalau
kau melihat ayat kesembilan belas dalam surah al-Nisa dalam Quran, kau akan
mendapatkan kepastian bahwa bunuh diri sangat terlarang. Tapi, pikiran bahwa
Teslime mungkin berdosa dan bunuh diri tidak ada apa-apanya dibandingkan cinta
yang kami rasakan untuknya: dalam hati kami masih ada sudut tempat kami
mengenangnya dengan penuh cinta dan kasih sayang.1
"Jadi, maksudmu adalah, meskipun gadis malang ini telah melakukan penghinaan
terhadap agama kita, kita masih mencintainya,1 kata Ka, bagaikan seorang
pengacara yang beraksi di depan sidang. "Kita tidak memercayai Tuhan dengan
sepenuh hati lagi. Kita tidak perlu lagi melakukannya, karena sekarang, seperti
di Barat, kita menegakkan keyakinan dengan alasan dan logika. Itukah yang hendak
kaukatakan"1 "Alquran adalah firman Tuhan. Jika Tuhan sudah membuat perintah yang jelas dan
lugas, manusia tidak seharusnya mempertanyakannya,1 kata Kadife. Dia terdengar
sangat yakin. "Tapi, meskipun begitu, jangan mengasumsikan bahwa agama kami
tidak menerima perdebatan. Aku akan mengatakan bahwa aku tidak siap
mendiskusikan keimananku dengan seorang ateis atau bahkan seorang sekularis.
Maafkan aku.1 "Kau benar.1 "Dan aku bukan antek Islamis yang berkeliaran ke mana-mana, berusaha meyakinkan
para sekularis bahwa Islam bisa menjadi agama sekuler,1 tambah Kadife. "Lagi-
lagi benar,1 kata Ka. "Ini kedua kalinya kau mengatakan bahwa aku benar,1 kata Kadife sambil
tersenyum, "tapi menurutku kau tidak bersungguh-sungguh.1
"Memang tidak, lagi-lagi kau benar,1 kata Ka, namun
tanpa senyuman. Sejenak, mereka berjalan dalam keheningan. Mungkinkah Ka jatuh cinta kepada
Kadife alih-alih kepada kakaknya" Ka tahu betul bahwa dia tidak akan pernah
tertarik secara seksual kepada wanita berjilbab, namun dia tidak dapat berhenti
bermain-main dengan pikiran rahasia ini.
Saat bergabung dengan keramaian di Jalan Gunung Hitam, Ka mengalihkan topik
pembicaraan ke seputar puisinya. Lalu, secara pura-pura tidak sengaja, dia
menyebutkan bahwa Necip juga seorang penyair, dan menanyakan apakah Kadife tahu
bahwa dia punya banyak penggemar di kalangan siswa madrasah aliah yang memujanya
dengan nama "Hicran1.
"Mereka memanggilku apa"'
Ka melontarkan beberapa cerita yang didengarnya tentang Kadife dalam perannya
sebagai pemimpin para gadis berjilbab: Hicran, "Kesedihan1.
"Tidak satu pun cerita itu benar,1 kata Kadife. "Aku tidak pernah mendengar
seorang pun siswa madrasah aliah yang kukenal menceritakannya.1 Dia berjalan
beberapa langkah, lalu mengatakan, "Tapi aku pernah mendengar cerita sampo itu.1
Dia tersenyum. Bahkan, bukan dia melainkan seorang jurnalis Istanbul, yang cukup
kaya dan sangat dibenci, yang pertama kali menyarankan supaya para gadis
berjilbab membotaki kepala mereka dan ini dilakukan hanya untuk menarik
perhatian media Barat, untuk menjadikan gadis-gadis itu tampak penting. "Hanya
ada satu hal yang benar dalam cerita-cerita itu,1 lanjut Kadife. "Saat pertama
kali menemui gadis-gadis berjilbab itu, niatku memang untuk mengolok-olok
mereka. Selain itu, aku juga penasaran. Katakan saja begini: aku menemui mereka
dengan niat buruk.1 "Setelah itu, apa yang terjadi"1
"Aku datang ke Kars karena Institut Pendidikan menerimaku, dan juga karena
kakakku sudah ada di sini. Jadi, pada akhirnya gadis-gadis itu menjadi teman
sekelasku, dan kalau kau masih tidak percaya padaku, pergilah ke rumah mereka
jika mereka mengundangmu. Ayah dan ibu mereka membesarkan mereka sehingga mereka
menjadi seperti itu. Begitu pula peraturan agama yang mereka terima selama
belajar di sekolah negeri. Lalu, tiba-tiba, setelah seumur hidup disuruh
mengenakan jilbab, gadis-gadis itu sekarang mendengar, 'Copotlah jilbabmu,
karena negara menginginkamu melakukannya.1 Aku sendiri baru memakai jilbab
sehari untuk membuat pernyataan politik. Aku melakukannya sebagai lelucon, tapi
rasanya menakutkan juga. Mungkin karena aku ingat bahwa aku adalah putri seorang
pria yang sudah menjadi musuh negara sejak awal waktu. Aku yakin bahwa aku hanya
akan memakai jilbab selama sehari: yang kulakukan saat itu adalah salah satu
dari "isyarat revolusioner" yang bisa ditertawakan hingga bertahuntahun
kemudian, saat kau mengenang masa lalu yang indah ketika dirimu menggeluti
politik. Tetapi, negara, polisi, dan pers lokal menekanku begitu keras sehingga
aku tidak bisa menganggapnya sebagai lelucon lagi dan karena aku tersudut, aku
tak bisa melepaskan diri. Mereka menahan kami alasannya karena kami
menyelenggarakan demonstrasi tanpa meminta izin. Tapi, saat mereka melepaskan
kami keesokan harinya, seandainya aku mengatakan, "Lupakan saja soal jilbabku!
Aku kan cuma bercanda!" seluruh Kars tentunya akan meludahi mukaku. Sekarang,
aku memahami bahwa Tuhan memberiku cobaan itu untuk menolongku menemukan jalanku
yang sejati. Aku pernah menjadi ateis, sama sepertimu. Jangan melihatku seperti
itu, kelihatannya kamu kasihan padaku."
"Aku tidak melihatmu seperti itu."
"Ya, kau melakukannya. Aku tidak menganggap situasiku lebih aneh darimu. Aku
juga tidak menganggap diriku lebih unggul darimu kau sebaiknya juga mengetahui
hal ini." "Bagaimana pendapat ayahmu tentang semua ini?" "Sejauh ini kami masih berusaha.
Tapi, melihat situasinya, aku tidak tahu berapa lama lagi kami akan bertahan dan
ini membuat kami ketakutan, karena kami teramat saling menyayangi. Awalnya,
ayahku bangga kepadaku pada hari saat aku berangkat ke sekolah memakai jilbab,
dia bersikap seolaholah aku telah menemukan bentuk pemberontakan yang baru dan
istimewa. Dia berdiri di sampingku di depan cermin tua berbingkai kuningan miik
ibuku saat aku mencoba jilbab, dan saat kami masih berada di depan cermin, dia
menciumku. Meskipun kami tidak pernah membicarakannya dengan serius, hal ini
sudah sangat jelas: yang kulakukan bukanlah pembelaan terhadap Islam melainkan
pembangkangan terhadap negara. Pandangan ayahku seolaholah mengatakan, "Putriku
terlihat cantik," namun di dalam hati, dia sama takutnya dengan aku. Aku tahu
bahwa dia khawatir ketika mereka menjebloskanku ke tahanan, dan aku tahu bahwa
dia merasa bersalah. Dia bersikeras bahwa M Y T tidak peduli kepadaku, dan
tujuan mereka sesungguhnya adalah menjatuhkannya. Tapi, masa ketika aparat
menyimpan berkas tentang para aktivis kiri dan demokrat telah berakhir; sekarang
mereka lebih tertarik pada Islamis. Tetap saja, kau tentu paham mengapa ayahku
merasa seolaholah pistol yang sama sedang ditodongkan ke putrinya. Semuanya
menjadi semakin sulit saat aku mulai menganggap serius perjuanganku. Ayahku
bersusah payah mendukung setiap langkahku, tapi ini bukan sesuatu yang mudah.
Kautahu bagaimana kadangkadang orang tua tak peduli seribut apa rumah mereka,
tak peduli senyaring apa tungku pemanas berdentang, tak peduli selantang apa
istri mereka berkeluh kesah, tak peduli sekeras apa pintu-pintu berderit, apa
pun yang hinggap di telinga mereka, mereka sepertinya tidak mendengar apa-apa.
Yah, begitulah ayahku dalam menghadapi isu jilbab ini. Jika teman-temanku datang
ke rumah, dia kadangkadang bersikap seperti bajingan ateis, tapi tak lama
kemudian dia akan mendorong mereka supaya lebih keras berjuang. Dan, karena aku
tahu bahwa gadis-gadis itu cukup dewasa untuk menghadapinya, aku selalu
mengadakan pertemuan di rumah kami. Salah seorang temanku akan makan malam
bersama kita nanti namanya Hande. Setelah Teslime bunuh diri, orangtua Hande
menekannya untuk mencopot jilbabnya, dan dia setuju, meskipun ini sangat berat
baginya. "Ayahku terkadang mengatakan bahwa situasi ini mengingatkannya pada masa
kejayaan komunis. Ada dua macam komunis: komunis arogan yang berharap dapat
menjadi manusia unggul dan memberikan kemajuan bagi bangsa; dan komunis tulus
yang terlibat karena mereka memercayai kesamaan dan keadilan. Komunis arogan
terobsesi pada kekuasaan; mereka merasa pendapat mereka dapat mewakili keinginan
semua orang, dan hanya kebu-rukanlah yang dapat diharapkan dari mereka. Komunis
tulus hanya membahayakan diri mereka sendiri; tapi, memang itulah yang mereka
inginkan sejak awal. Mereka merasa sangat bersalah melihat penderitaan orang
miskin, dan sebagai tindakan pertolongan, mereka rela membuat hidup mereka sendiri
menderita. Ayahku adalah seorang guru, namun mereka mencopotnya dari jabatannya.
Dalam salah satu sesi penyiksaan, mereka mencabut salah satu kukunya; setelah
sesi yang lain, mereka menjebloskannya ke penjara. Tetap saja, ayahku melakukan
apa yang bisa dilakukannya. Selama bertahuntahun, dia dan ibuku mengelola sebuah
toko alat-alat tulis. Mereka menjalankan usaha fotokopi. Mereka bahkan
menerjemahkan beberapa novel berbahasa Prancis ke bahasa Turki. Sesekali, mereka
menjual ensiklopedia dari pintu ke pintu untuk melunasi cicilan. Ketika
kemiskinan tidak tertanggungkan lagi, ayahku memeluk kami dan menangis. Dia


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu khawatir kami akan tertimpa hal buruk.
Maka, ketika polisi menanyai kami setelah Direktur Institut Pendidikan ditembak,
dia tampak sangat ketakutan meskipun dia juga mengomeli mereka.
"Kudengar kau menemui Lazuardi. Tolong jangan katakan ini kepada ayahku."
"Aku tidak akan mengatakannya pada ayahmu," kata Ka. Dia berhenti sejenak untuk
membersihkan salju yang menempel di mantelnya. "Tidakkah kita seharusnya lewat
sini langsung ke hotel?"
"Kita juga bisa lewat sini. Hujan salju tak kunjung usai, begitu pula daftar
topik yang harus kita diskusikan. Selain itu, aku juga ingin menunjukkan Jalan
Jagal kepadamu .... Apakah yang dicari Lazuardi darimu?"
"Tidak ada." "Apakah dia mengatakan sesuatu tentang kami ayahku atau kakakku?"
Ka melihat ekspresi cemas di wajah Kadife. "Aku sudah lupa," katanya.
"Semua orang takut padanya. Kami juga begitu .... Inilah kios-kios tukang daging
yang paling terkenal di kota ini."
"Bagaimanakah ayahmu menghabiskan waktunya?" tanya Ka. "Apakah dia pernah
meninggalkan rumah hotel?" "Dia mengelola hotel. Dia memberikan perintah kepada
para pelayan, tukang bersih-bersih, tukang cuci, dan porter. Kakakku dan aku
membantunya. Tapi, ayahku nyaris tak pernah keluar. Apakah bintangmu?"
"Gemini," kata Ka. "Pria Gemini semestinya pembohong, tapi aku tidak yakin
juga." "Apa maksudmu kau tidak yakin apakah pria Gemini memang pembohong atau kau tidak
yakin apakah kau pembohong?"
"Jika kau memercayai astrologi, kau tentu tahu mengapa hari ini begitu istimewa
bagiku." "Ya, kakakku sudah menceritakannya padaku: hari ini kau menulis puisi."
"Apakah kakakmu menceritakan segalanya kepadamu?"
"Caranya ada dua. Kami membicarakan segala hal yang menimpa kami, dan setelah
itu, kami menonton televisi. Kami bahkan berbicara saat sedang menonton
televisi. Dan, saat kami berbicara, kami juga menonton televisi. Kakakku sangat
cantik, bukan?" "Ya, dia memang sangat cantik," ujar Ka dengan penuh kekaguman. "Tapi, kau juga
cantik," tambahnya dengan sopan. "Dan sekarang, kau juga akan memberitahukan
perkataanku ini kepadanya?"
"Tidak, aku tak akan menceritakannya padanya. Biarkan saja ini menjadi rahasia
kita. Ini adalah cara terbaik untuk memulai persahabatan."
Kadife menepiskan salju yang tertimbun di mantel ungu panjangnya.[]
Bagaimanakah Cara Anda Menulis
Puisi" Saat Makan Malam Disajikan, Percakapan Beralih ke Cinta, Jilbab, dan Bunuh Diri
MEREKA MEL IHAT kerumunan orang berdiri di depan Teater Nasional; hanya dalam
beberapa menit lagi, pertunjukan segera dimulai. Salju yang turun tak henti-
henti sepertinya tidak menyurutkan niat siapa pun, atau mungkin justru salju
itulah yang membuat orang-orang memutuskan bahwa, karena begitu banyak hal
berjalan kacau, mereka sebaiknya menyambar kesempatan untuk bersenang-senang
malam itu. Banyak di antara orang yang berkumpul di trotoar di depan bangunan
berusia seratus sepuluh tahun itu berasal dari kalangan pengangguran: ada para
pemuda yang meninggalkan rumah dan tempat kos mereka mengenakan kemeja dan dasi,
ada pula para remaja laki-laki yang menyelinap keluar rumah. Sejumlah orangtua
mengajak serta anak-anak mereka. Untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki
di Kars, Ka melihat sebuah payung hitam terbuka. Kadife tahu bahwa Ka
dijadwalkan untuk tampil dalam pertunjukan itu, untuk membacakan sebuah puisi.
Namun, saat Ka mengatakan dia tidak berminat tampil, lagi pula dia juga tidak
sempat, Kadife tidak berusaha membujuknya.
Sekali lagi, Ka merasakan sebuah puisi mendatanginya, dan dia segera memotong
percakapan mereka dan bergegas secepatnya ke hotel. Dia memohon diri dengan
mengatakan bahwa dirinya harus kembali ke kamar untuk menyegarkan badan; tak
lama kemudian, dia membuka pintu kamar dan melemparkan mantelnya, duduk di meja
dan mulai mencoret-coret di kertas. Tema utama puisi ini adalah persahabatan dan
rahasia. Kepingan salju dan bintang juga muncul, begitu pula sejumlah motif yang
menggambarkan hari-hari bahagia yang istimewa. Beberapa perkataan Kadife
termaktub sepenuhnya, tanpa perubahan, dan, saat baris demi baris selesai
ditulisnya, Ka memeriksa lembaran kertas itu dengan kepuasan dan kesenangan
seorang pelukis yang menyaksikan lukisannya terwujud di kanvas.
Sekarang Ka dapat melihat bahwa percakapannya dengan Kadife adalah sebuah logika
tersembunyi. Dalam puisinya yang berjudul "Bintang-Bintang dan Kawan-Kawannya"
itu, Ka menjabarkan teori bahwa setiap orang memiliki bintang, setiap bintang
memiliki sahabat, dan untuk setiap orang beserta bintangnya terdapat orang lain
yang menjadi bayangannya, dan semua orang menyimpan bayangan ini sebagai sahabat
di dalam hatinya. Meskipun Ka dapat mendengar alunan musik puisi itu di dalam
kepalanya dan terhanyut dalam kesempurnaannya, dia harus melewatkan satu kata
yang tidak dipahaminya di sana sini; ada pula beberapa baris yang masih kosong.
Nantinya, dia akan beralasan bahwa hal ini terjadi karena benaknya terlalu sibuk
memimpikan Ypek, perutnya masih kosong, dan kebahagiaannya meledak-ledak.
Segera setelah menyelesaikan puisi itu, Ka bergegas turun ke lobi dan memasuki
ruangan pribadi pemilik hotel.
Duduk di sebuah meja yang ditata secara berkelas, di tengah-tengah sebuah
ruangan luas berlangit-langit tinggi, diapit kedua putrinya yang bernama Kadife
dan Ypek, adalah Turgut Bey. Ada pula seorang gadis lain yang duduk di salah
satu sisi meja. Dia mengenakan kerudung ungu trendi, dan Ka langsung menebaknya
sebagai teman Kadife, Hande. Di seberang Hande, duduklah Serdar Bey, si pemiik
surat kabar. Di tengah-tengah keluarga ini, Serdar Bey seolaholah berada di
rumah sendiri. Sambil mengamati berbagai perangkat makan di meja tatanan yang
sungguh aneh sekaligus indah dan menyaksikan si pembantu Kurdi, Zahide, dengan
anggun keluar dari dan masuk ke dapur, Ka membayangkan Turgut Bey dan kedua putrinya menghabiskan malam-malam panjang di meja makan ini.
"Aku memikirkanmu sepanjang hari ini; sepanjang hari ini aku mengkhawatirkanmu,1
kata Turgut Bey. "Kenapa kau baru datang selarut ini"1 Dia berdiri dan
mencondongkan tubuh untuk memeluk erat Ka sehingga Ka menyangka tuan rumahnya
itu akan menangis. "Hal buruk bisa terjadi kapan saja,1 katanya dengan nada
tragis. Ka duduk di kursi yang ditunjuk oleh Turgut Bey, tepat di seberangnya. Si
pelayan menghidangkan semangkuk sup lentil yang langsung disantap Ka dengan
lahap. Kedua pria lain kembali menyesap raki dan memandang pesawat televisi yang
ada di belakang Ka. Saat dia melihat semua orang melakukan hal yang sama, dia
melakukan sesuatu yang telah dia angan-angankan sejak lama: memandang wajah
cantik Ypek. Karena nantinya Ka akan menggambarkan secara mendetail kebahagiaan tak
berbatasnya ini dalam buku catatannya, aku tahu pasti perasaan apa yang sedang
menderanya malam itu bagaikan seorang bocah yang riang gembira, dia tak dapat
menahan tangan dan kakinya tetap diam. Antusiasmenya begitu meledak-ledak,
seolaholah dia dan Ypek sedang terburu-buru mengejar kereta yang akan membawa
mereka ke Frankfurt. Ka menatap meja kerja Turgut Bey yang dipenuhi oleh
tumpukan buku, koran, bon, buku catatan hotel dan saat melihat lingkaran cahaya
di bawah lampu duduk, Ka membayangkan lingkaran cahaya yang lain, yang ada di
meja kerjanya sendiri, di ruang kerja mungil yang akan digunakannya bersama Ypek
saat mereka kembali ke Frankfurt dan hidup bahagia selamanya di sana.
Tepat ketika itulah Ka melihat Kadife sedang mengamatinya. Tatapan mereka
bertemu, dan Ka melihat kilatan kecemburuan di wajah gadis itu, yang tidak
secantik wajah kakaknya, namun Kadife cepat-cepat menyunggingkan senyum
persekongkolan. Semua orang lain di meja makan sepertinya terpukau pada pesawat televisi; bahkan
di tengah-tengah percakapan, mereka terus-menerus memandang pesawat televisi
dengan sudut mata mereka. Siaran langsung dari Teater Nasional sudah dimulai:
pembawa acara bertubuh sangat jangkung dan kerempeng yang berjalan mondar-mandir
di atas panggung adalah salah seorang aktor yang dilihat Ka turun dari bus pada
malam sebelumnya. Mereka baru beberapa saat menonton acara itu ketika Turgut Bey
mengangkat remote control dan mengganti saluran TV. Sangat lama, mereka duduk
memandang gambar kabur yang dipenuhi bintikbintik cahaya: mereka tidak tahu
sedang menonton acara apa, namun sepertinya acara itu disiarkan dalam format
hitam-putih. "Ayah," kata Ypek, "kenapa Ayah menonton acara
ini?" "Karena di sini sedang hujan salju ..."jawab Turgut Bey. "Tontonan ini secara
tepat menggambarkan keadaan di sini. Ini sama saja dengan berita yang nyata.
Dan, omong-omong, kau sudah tahu kalau aku menonton satu saluran terlalu lama,
aku merasa kehormatanku terenggut."
"Kalau begitu, Ayah, kenapa televisi itu tidak dimatikan saja" Ada hal lain yang
merenggut kehormatan kita semua sedang terjadi di sini."
"Ceritakanlah apa yang terjadi pada tamu-tamu kita," kata Turgut Bey, terlihat
sedikit malu. "Aku merasa tidak enak kalau dia tidak tahu."
"Saya juga merasakan hal yang sama," kata Hande. Mata hitam dan lebarnya yang
indah berkilat-kilat marah.
Sejenak semua orang terdiam.
"Bagaimana kalau kau saja yang bercerita, Hande?" kata Kadife. "Tidak perlu
malu." "Tidak, itu tidak benar. Aku sangat malu, tapi justru karena itulah aku ingin
membicarakannya," kata Hande. Sirat senang yang aneh berkilatan di matanya. Dia
tersenyum seolaholah mengenang sesuatu yang indah dan berkata, "Hari ini tepat
empat puluh hari sejak teman kami Teslime bunuh diri. Dari semua gadis dalam
kelompok kami, Teslimelah yang paling gigih memperjuangkan agamanya dan perintah
Tuhan. Baginya, jilbab tidak hanya melambangkan kasih sayang Tuhan; jilbab juga
menjadi pernyataan keimanan dan penjaga kehormatannya. Tidak seorang pun dari
kami dapat membayangkan dia akan bunuh diri. Meskipun mendapatkan tekanan di
sekolah dan di rumah untuk mencopot jilbabnya ayah dan para gurunya pantang
menyerah Teslime tetap berpegang pada keimanannya. Dia hendak dikeluarkan dari
sekolah pada tahun ketiga studinya, tepat sebelum kelulusan. Lalu, suatu hari, ayahnya didatangi
beberapa petugas dari kepolisian; mereka mengatakan bahwa jika putrinya tidak
pergi ke sekolah 'tanpa jilbab1, mereka akan 'menutup tokonya dan mengusirnya
dari Kars'. Setelah itu, ayah Teslime mengancam akan mengusir Teslime dari
rumah, dan ketika taktiknya gagal, dia mengatur untuk menikahkan Teslime dengan
seorang polisi berumur 45 tahun yang baru saja menjadi duda. Perjodohan tersebut
sudah dibahas cukup mendalam saat si polisi datang ke toko membawa seikat bunga.
Teslime mengatakan kepada kami bahwa dia sangat membenci 'duda uzur' ini,
sehingga dia bahkan berpikir untuk mencopot jilbabnya jika memang itu yang harus
dilakukannya untuk menghindari pernikahan. Tapi, ternyata dia tidak mampu
melakukannya. Beberapa dari kami setuju jika dia mencopot jilbabnya untuk
menghindari pernikahan dengan duda itu, sementara beberapa yang lain mengatakan,
'Bagaimana kalau kau mengancam ayahmu untuk melakukan bunuh diri saja"' Aku
termasuk yang paling mendesaknya melakukan gagasan ini. Aku benar-benar tidak
ingin Teslime mencopot jilbabnya. Entah sudah berapa kali aku mengatakan,
'Teslime, jauh lebih baik kalau kau bunuh diri daripada harus mencopot
jilbabmu.' Tapi, aku hanya menegaskan kepadanya. Aku tidak mengira dia akan
benar-benar melakukannya. Kami meyakini apa yang dikatakan di koran-koran bahwa
para gadis itu melakukan bunuh diri karena mereka tidak beriman, karena mereka
adalah budak materialisme, karena mereka bernasib malang dalam percintaan jadi,
maksudku hanyalah supaya Teslime membuat ayahnya gentar. Teslime gadis yang
taat. Karena itulah aku tak pernah menyangka dia akan serius mempertimbangkan
bunuh diri. Tapi, saat kami
mendengar bahwa dia menggantung diri, akulah yang paling pertama percaya. Dan,
terlebih lagi, aku tahu bahwa seandainya aku menjadi dirinya, aku juga akan
melakukan hal serupa."
Hande mulai menangis. Ypek duduk di sampingnya, mencium dan menenangkannya.
Kadife turut mendekatinya. Melihat gadis-gadis itu berpelukan, Turgut Bey
meletakkan remote control dan turut mencoba menenangkan Hande. Entah siapa yang
memulai, mereka semua melontarkan lelucon supaya Hande tidak menangis. Meskipun
sambil berusaha menenangkan Hande, Turgut Bey masih sempat menunjuk gambar
jerapah di televisi: lalu, seperti seorang bocah yang sudah lelah menangis,
Hande memandang televisi dengan mata basah. Selama beberapa waktu, mereka semua
terhanyut dalam lamunan sambil menyaksikan dua ekor jerapah bergerak lambat, di
tanah yang jauh, di padang rumput yang dinaungi pepohonan.
"Setelah Teslime bunuh diri, Hande memutuskan untuk mencopot jilbabnya dan
kembali ke sekolah dia tidak ingin menyusahkan orangtuanya,' Kadife menjelaskan.
"Mereka sudah berkorban begitu banyak untuk memberinya pendidikan yang layak.
Orangtua Hande melakukan hal-hal yang dilakukan oleh kebanyakan orang untuk
putra tunggal mereka. Mereka selalu percaya bahwa Hande akan dapat menghidupi
keluarga mereka nantinya karena dia begitu cerdas.' Kadife berbicara dengan
lembut, nyaris berbisik, namun masih cukup keras untuk didengar oleh Hande, dan,
seperti semua orang lainnya di ruangan itu, Hande mendengarkannya, meskipun
matanya yang basah masih tertuju ke layar televisi. "Awalnya, kami semua mencoba
mencegahnya mencopot jilbab, tapi saat menyadari bahwa dia lebih baik mencopot
jilbabnya daripada melakukan bunuh diri, kami memutuskan untuk mendukung keputusannya. Ketika
seorang gadis telah menerima jilbab sebagai Perintah Tuhan dan simbol keimanan,
sangat sulit baginya untuk melepasnya. Hande mengunci diri selama berhari-hari
di rumahnya untuk berusaha 'berkonsentrasi1.1
Seperti semua orang di dalam ruangan itu, Ka terenyak malu mendengar cerita yang
sangat menggugah ini, namun ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Ypek,
gelombang kebahagiaan melanda dirinya. Sementara Turgut Bey memindah-mindahkan
saluran televisi, Ka berusaha menemukan lebih banyak lagi kebahagiaan dengan
menekankan lengannya ke lengan Ypek. Saat Ypek balas melakukan hal yang sama,
dia melupakan semua kisah sedih yang baru saja didengarnya.
Sekali lagi, acara yang disiarkan langsung dari Teater Nasional muncul di layar.
Si pria jangkung kerempeng sedang menyampaikan betapa bahagianya dirinya karena
menjadi bagian dari siaran langsung pertama di Kars. Dia membacakan jadwal acara
malam itu, menjanjikan pementasan spektakuler dari legenda-legenda terbesar di
dunia, pengakuan rahasia dari kiper nasional kita, pengungkapan mengagetkan yang
akan mempermalukan sejarah politik kita, adegan-adegan tak terlupakan dari
drama-drama Shakespeare dan Victor Hugo, bencana asmara, bintang-bintang film
dan teater Turki yang terbesar dan termentereng, lelucon-lelucon, lagu-lagu, dan
kejutan-kejutan yang menggetarkan dunia. Lalu, Ka mendengar dirinya disebut
sebagai "penyair terbesar kita, yang baru saja kembali ke negeri ini secara
diamdiam setelah bertahuntahun berkelana'. Di bawah meja, Ypek menggenggam
tangannya. "Aku paham bahwa kau tidak ingin mengambil bagian
dalam pertunjukan itu,' kata Turgut Bey.
"Saya sangat bahagia bisa berada di sini, Pak. Betul-betul bahagia,' kata Ka,
menekankan lengannya lebih keras ke lengan Ypek.
"Saya sungguh tidak ingin melakukan apa pun untuk mengganggu kebahagiaan Anda,'
kata Hande, membuat seluruh orang di ruangan itu langsung memerhatikannya.
"Tapi, saya datang ke sini malam ini untuk menemui Anda. Saya belum pernah
membaca satu pun buku Anda, tapi kenyataan bahwa Anda adalah seorang penyair dan
pernah berada di tempat seperti Jerman sudah cukup bagi saya. Apa Anda keberatan
kalau saya menanyakan apakah Anda menulis puisi baru-baru ini?"
"Aku menulis beberapa puisi sejak kedatanganku di Kars," jawab Ka.
"Saya ingin menemui Anda karenasaya pikir Anda bisa memberi tahu saya cara
belajar berkonsentrasi. Bolehkah saya bertanya, bagaimanakah cara Anda menulis
puisi" Apakah Anda harus berkonsentrasi?"
Setiap kali membacakan puisinya untuk orang-orang Turki di Jerman, para wanita
sering kali melontarkan pertanyaan serupa kepada Ka; tetapi, setiap kali mereka
betanya, Ka selalu mengelak, seolaholah mereka menanyakan sesuatu yang sangat
pribadi. "Aku tidak tahu bagaimana caraku menulis puisi," katanya. "Puisi yang
bagus selalu hadir dari luar, dari jauh." Dia melihat kecurigaan di mata Hande.
"Bagaimana kalau kau menjelaskan kepadaku apa yang kaumaksud dengan
'berkonsentrasi'?" "Saya berusaha sepanjang hari, tapi tetap tak mampu mendatangkan bayangan yang
saya inginkan, bayangan diri saya tanpa jilbab. Alih-alih, saya justru selalu
melihat segala hal yang saya ingin lupakan."
"Misalnya?" "Saat pemerintah pertama kali menyadari betapa banyaknya siswi yang berjilbab,
mereka mengirim seorang wanita dari Ankara untuk membujuk kami melepas jilbab.
'Agen persuasi' ini duduk di ruangan yang sama selama berjam-jam, menemui kami
seorang demi seorang. Dia menanyakan hal-hal seperti, 'Apakah orangtuamu suka
me-mukulimu" Berapa jumlah anak dalam keluar gamu" Berapa penghasilan ayahmu"
Pakaian macam apa yang kaupakai sebelum dirimu memakai busana muslim" Apakah kau
mencintai Atatiirk" Gambar-gambar apakah yang menghiasi dinding rumahmu" Berapa
kalikah dalam seminggu kau pergi menonton film di gedung bioskop" Dalam
pandanganmu, apakah pria dan wanita setara" Apakah Tuhan lebih hebat daripada
negara, ataukah negara yang lebih hebat daripada Tuhan" Berapakah jumlah anak
yang kauinginkan" Apakah kau pernah mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga"'


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia memberikan ratusan pertanyaan semacam itu kepada kami, dan dia menulis semua
jawabannya, mengisi sebuah formulir panjang untuk masing-masing dari kami. Dia
wanita yang sangat bergaya memakai cat kuku, rambutnya diwarnai, tidak
berjilbab, tentu saja, dan bajunya seperti yang dikenakan model-model di majalah
tapi pada saat yang sama juga bagaimanakah cara yang tepat untuk mengatakannya"
sederhana. Meskipun beberapa pertanyaannya membuat kami menangis, kami
menyukainya ... kami bahkan berharap jalanan berlumpur di Kars tidak memberinya
banyak masalah. Setelah itu, saya mulai melihatnya di dalam mimpi saya. Awalnya
saya tidak terlalu memedulikannya, tapi sekarang, kapan pun saya berusaha
membayangkan diri saya berjalan di tengah kerumunan orang dengan rambut terurai,
saya melihat diri saya sebagai 'agen persuasi'. Dalam mata hati saya, saya setrendi
dia, memakai sepatu hak tinggi, dan bahkan memakai rok yang lebih pendek
daripada roknya. Dan, para pria memandangi saya. Saya merasa senang dan pada
saat yang sama malu."
"Hande, kau tidak perlu membicarakan rasa malumu kecuali kau memang
menginginkannya," kata Kadife.
"Tidak, aku akan membicarakannya. Meskipun aku merasa malu dalam mimpiku, bukan
berarti aku malu terhadap mimpiku. Bahkan, meskipun aku mencopot jilbab, kupikir
aku tidak akan menjadi jenis perempuan yang suka main mata dengan pria, atau
yang hanya memikirkan seks dalam kepalanya. Lagi pula, kalau nantinya aku memang
melepas jilbabku, aku tidak akan melakukannya karena kehendakku sendiri. Tetap
saja, aku tahu bahwa manusia bisa didatangi hasrat seksual meskipun mereka
Harpa Iblis Jari Sakti 9 Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung Golok Halilintar 10
^