Pencarian

Dibalik Keheningan Salju 6

Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 6


baik daripada semua orang dan selalu meremehkan orang lain jika bukan karena
dukungan militer, orang-orang fanatik akan menusukkan pisau berkarat kepada mereka
dan para wanita mereka yang bergaya, mencacah-cacah mereka hingga potongan yang
terkecil. Tapi, apakah yang dilakukan oleh para amatiran itu untuk membalas budi"
Mereka bersikap sok Eropa dan mengerutkan hidung mungil mereka pada para prajurit
yang menjamin kebebasan mereka. Jika kita mengikuti jejak Iran, apa kaupikir
orang-orang akan mengingat betapa seorang liberal berhati lembek sepertimu pernah
meneteskan air mata untuk seorang murid madrasah aliah" Saat hari itu tiba, mereka
akan membunuhmu hanya karena kau sedikit kebarat-baratan; karena kau ketakutan
dan melupakan katakata Arab dari sebuah doa pendek; bahkan hanya karena kau
memakai dasi, atau mantelmu itu. Omong-omong, di mana kau membeli mantel
bagusmu ini" Bolehkah aku meminjamnya untuk pentas"1 "Tentu saja.1 "Hanya
supaya mantel indahmu ini tidak berlubang, aku akan memberimu seorang pengawal.
Sebentar lagi, aku akan menyampaikan pengumuman di televisi. Jam malam baru
berakhir tengah hari nanti, jadi jangan berkeliaran di jalan.1 "Aku tak percaya ada
Islamis yang sangat berbahaya di Kars ini, sampai-sampai aku dilarang keluar.1 "Yang
sudah terjadi, terjadilah,1 kata Sunay. "Di atas semuanya, mereka tahu bahwa
satu-satunya cara yang dapat mereka gunakan untuk mengendalikan negara ini adalah
dengan meneror kita. Seiring waktu, ketakutan kita akan terbentuk dengan sendirinya.
Jika kita tidak membiarkan tentara dan negara mengurus para fanatik berbahaya ini, kita
akan berakhir dengan kembali lagi ke Abad Pertengahan, terjerumus ke dalam anarki,
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menyusuri jalan terkutuk yang telah dilewati oleh begitu banyak bangsa terbelakang di
Asia dan Timur Tengah.1 Posturnya yang sempurna, suaranya yang berwibawa,
tatapannya yang tajam dan dalam tertumpu pada titik imajiner jauh di atas kepala para
penontonnya Ka ingat pernah melihat Sunay berpose persis seperti ini di atas panggung
dua puluh tahun sebelumnya. Tetapi, ini tidak membuatnya tertawa dia merasa
seolaholah dirinya sendiri juga menjadi aktor dalam sandiwara kuno yang sama.
"Apakah yang kauinginkan dariku?" tanya Ka. "Katakan saja." "Jika bukan karena aku,
kau mungkin tak akan bertahan hidup di kota ini. Tak peduli betapa besarnya usahamu
untuk menjilat para Islamis, mantelmu akan tetap berlubang. Akulah satu-satunya
temanmu di sini; akulah satu-satunya orang di Kars yang bisa melindungimu. Dan,
jangan lupa, tanpa jaminan pertemanan dariku, tak lama lagi kau akan gemetar di dalam
salah satu sel di kantor polisi, menantikan siksaan. Teman-temanmu di Republican
sendiri tidak memercayaimu; mereka memercayai tentara. Ketahuilah di mana kakimu
berpijak." "Aku sudah tahu." "Kalau begitu, katakanlah kepadaku apa yang
kausembunyikan dari polisi pagi ini. Ceritakanlah kepadaku tentang rasa bersalah yang
kausembunyikan jauh di dalam hatimu." "Kurasa, aku mungkin mulai meyakini Tuhan di
tempat ini," ujar Ka sambil tersenyum. "Ini sesuatu yang mungkin kusembunyikan
bahkan dari diriku sendiri." "Kau menipu dirimu sendiri! Bahkan kalaupun kau meyakini
Tuhan, tidak masuk akal jika kau hanya sekadar yakin. Kau harus meyakini Tuhan
dengan cara seperti orang miskin; kau harus menjadi salah seorang dari mereka. Untuk
meyakini Tuhan mereka, kau harus memakan apa yang mereka makan, tinggal di
tempat mereka tinggal, menertawakan lelucon yang sama, dan marah untuk alasan
yang sama dengan mereka. Jika kau menjalani kehidupan yang sepenuhnya berbeda,
kau tak bisa menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan mereka. Tuhan cukup
mengetahui bahwa ini bukanlah masalah alasan atau logika melainkan bagaimana
caramu menjalani kehidupan. Tapi, bukan itu yang sedang kutanyakan kepadamu
sekarang ini. Dalam waktu setengah jam, aku akan tampil di televisi dan berbicara
kepada seluruh penduduk Kars. Aku ingin menyampaikan kabar gembira untuk mereka.
Aku akan mengatakan bahwa kami telah menangkap pembunuh yang menembak
direktur Institut Pendidikan. Kemungkinan besar, dia adalah orang yang juga menembak
wali kota. Bolehkah aku mengatakan bahwa kaulah yang mengidentifikasi orang ini
untuk kami pagi ini" Setelah itu, kau bisa muncul di televisi dan menceritakan kisah
seutuhnya. "Tapi, aku tidak mengidentifikasi siapa pun." Dengan kemarahan yang sama
sekali tidak dibuat-buat, Sunay mencengkeram lengan Ka dan menyeretnya keluar dari
ruangan, menyusuri koridor yang lebar, dan memasuki sebuah ruangan bercat putih
cemerlang dengan jendela mengarah ke halaman belakang rumah. Sekali saja
memandang ruangan ini sudah cukup untuk membuat Ka gentar: bukan karena
kekotorannya, melainkan karena atmosfernya yang mesum. Sejumlah stoking
tergantung di seutas tali yang dibentangkan dari kaitan jendela ke paku di dinding. Di
sudut ruangan, Ka melihat sebuah koper terbuka yang berisi sebuah pengering rambut,
sepasang sarung tangan, beberapa pakaian, dan sebuah bra besar yang mungkin
hanya pas dikenakan oleh Funda Eser. Wanita itu sendiri sedang duduk di sebuah kursi
di dekat koper; meja di depannya penuh berisi tumpukan kertas dan kosmetik yang
disisihkannya untuk meletakkan sebuah mangkuk. Manisan buah" Ka menebak-nebak.
Atau sup" Dia membaca sambil makan. "Kita berada di sini atas nama kesenian
modern .... Kita saling terpaut seperti kuku dan daging," kata Sunay sambil meremas
lengan Ka lebih keras. Ka tidak terlalu memahami pesan yang disampaikan oleh Sunay
dan Sunay sepertinya tidak bisa membedakan kehidupan nyata dengan panggung sandiwara.
"Vural si penjaga gawang menghilang," kata Funda Eser. "Dia keluar pagi ini dan
tak kunjung kembali." "Dia pingsan entah di mana," kata Sunay.
"Tapi, di mana?" ujar istrinya. "Semua tempat ditutup. Tidak seorang pun
diperbolehkan turun ke jalan. Para prajurit sudah memulai pencarian. Aku
khawatir dia diculik."
"Aku berdoa kepada Tuhan supaya dia diculik," kata Sunay. "Jika mereka mau
menguliti dia hidup-hidup dan memotong lidahnya, tak ada yang bisa kita
lakukan." Meskipun mereka bersikap serampangan dan berkata kasar, ada ketulusan dalam
keakraban pasangan itu, sesuatu yang berakar dari kedalaman pemahaman mereka
akan pribadi masing-masing, dan Ka menghormati mereka karenanya bahkan sedikit
iri. Saat tatapannya bertemu dengan tatapan Funda Eser, secara refleks Ka
membungkuk begitu rendah hingga kepalanya nyaris menyentuh lantai.
"Nyonya, penampilan Anda semalam sungguh luar biasa," ujar Ka dengan suara
berwibawa yang mengandung jejak kekaguman setulus hati.
"Sayang sekali," sambut Funda Eser dengan sedikit malu-malu. "Dalam kelompok
kami, bukan para aktor yang menjadi pusat perhatian; tapi para penonton."
Dia menoleh pada suaminya, dan mereka mulai bercakap-cakap, dengan cepat beralih
dari satu topik ke topik lainnya, bagaikan sepasang raja dan ratu yang terdesak oleh begitu banyak
masalah kenegaraan yang penting. Ka mendengarkan dengan campuran rasa hormat dan
kagum saat pasangan suami istri itu mendebatkan tentang kostum yang tepat untuk
dikenakan Sunay saat tampil di TV. (Pakaian sipil" Seragam militer" Dasi hitam")
Setelah itu, mereka mendiskusikan skrip pidatonya (Funda Eser menulis sebagian
di antaranya) dan pernyataan dari pemilik hotel tempat mereka tinggal selama
kunjungan mereka sebelumnya (gugup karena para prajurit tak henti-hentinya
datang untuk melakukan razia dan berusaha menjilat, si pemiik hotel secara resmi
mengumumkan tentang keberadaan dua tamu muda berpenampilan mencurigakan yang
menginap di hotelnya). Akhirnya, mereka mengeluarkan kotak rokok tempat
seseorang telah menuliskan jadwal siaran siang Border City Television (lima kali
penayangan ulang acara di Teater Nasional, tiga kali penayangan pidato Sunay,
lagu-lagu rakyat tentang kepahlawanan dan kota perbatasan, sebuah liputan
tentang keindahan Kota Kars, dan sebuah film Turki, Gulizar). Mereka membaca
jadwal itu dan menyepakatinya.
"Dan sekarang,1 kata Sunay, "apa yang akan kita lakukan dengan penyair kita ini,
yang kepintarannya dimiliki Eropa, yang hatinya dimiliki miitan agama sekolahan,
dan yang isi kepalanya campur aduk tak karuan"1
"Jelas terlihat dari wajahnya,1 ujar Funda Eser, tersenyum manis. "Dia orang
baik. Dia akan membantu kita.1
"Tapi dia meneteskan air mata untuk para Islamis.1
"Karena dia sedang jatuh cinta, itulah penyebabnya,1 kata Funda Eser. "Penyair
kita sedang tenggelam dalam emosi beberapa hari terakhir ini.1
"Ahhhh, jadi penyair kita sedang jatuh cinta"1 tanya
Sunay, tampak bersemangat. "Hanya penyair termurni yang membiarkan cinta
memasuki hatinya dalam masa revolusi.1
"Dia bukan seorang penyair murni; dia seorang pecinta murni,1 kata Funda Eser.
Sementara pasangan suami istri itu bercakap-cakap dengan teknik mereka yang
tanpa cela, Ka merasa marah sekaligus terpana.
Setelah itu, mereka kembali ke ruang kerja penjahit dan bersama-sama minum teh
di meja besar. "Aku mengatakan ini kepadamu supaya kautahu mengapa menolong kami menjadi hal
paling bijaksana untuk dilakukan," kata Sunay. "Kadife adalah gundik Lazuardi.
Kautahu, bukan politik yang menarik Lazuardi ke Kars melainkan cinta. Mereka
tidak menangkapnya karena mereka ingin tahu siapa saja Islamis muda yang
berhubungan dengannya. Sekarang mereka menyesal, karena semalam, tepat sebelum
dilakukannya razia di asrama madrasah aliah, Lazuardi lenyap begitu saja
bagaikan asap. Semua Islamis muda di Kars berada di bawah pengaruhnya, dan di
dalam genggamannya. Dia ada di suatu tempat di kota ini, dan dapat dipastikan
dia akan ingin menemuimu lagi. Kau mungkin akan kesulitan memberikan bisikan
untuk kami. Aku menyarankan supaya satu atau dua mikrofon dipasang di tubuhmu,
dan mungkin sebuah pengendali transmisi di dalam lapisan mantelmu kau pun akan
mendapatkan perlindungan seperti almarhum direktur Institut Pendidikan, jadi kau
tak perlu mencemaskan keamananmu sendiri. Setelah kau menemuinya, kami akan
masuk dan menangkapnya."
Dari ekspresi wajah Ka, Sunay dapat melihat bahwa proposalnya tidak mendapatkan
sambutan hangat. "Aku tidak akan memaksa," kata Sunay. "Mungkin kau tidak merasa, tapi kelakuanmu
hari ini menimbulkan kesan mencurigakan. Tentu saja, kau orang yang bisa menjaga
diri, tapi aku tetap memperingatkanmu untuk sangat berhati-hati saat berada di
dekat Kadife. Kami curiga dia akan mengatakan semua yang didengarnya kepada
Lazuardi, dan ini mencakup percakapan ayahnya dengan para tamunya di meja makan
mereka setiap malam. Kadife mungkin berbuat begitu sebagian karena gejolak
menyenangkan yang didapatkannya saat mengkhianati ayahnya. Tapi, dia juga
melakukannya karena ikatan cintanya kepada Lazuardi. Bagaimana kau bisa
menjelaskan kekuatan gairah semacam ini"1
"Maksudmu gairah Kadife"1 tanya Ka.
"Tidak,1 tukas Sunay, kehilangan kesabaran. "Maksudku gairah terhadap Lazuardi.
Apakah yang dimiiki oleh pembunuh ini sehingga semua orang jatuh cinta
kepadanya" Kenapa namanya menjadi legenda di seluruh Anatolia" Kau pernah
berbicara dengannya apakah kau bisa memecahkan misteri ini untukku"1
Funda Eser mengambil sebuah sisir plastik dan menyisir rambut kelabu suaminya
dengan kelembutan yang menarik perhatian Ka dan membuatnya terdiam.
"Aku ingin kau mendengar pidato yang akan kubawa-kan di televisi,1 ujar Sunay.
"Ikutlah bersamaku di truk tentara, dan kami akan menurunkanmu di hotel dalam
perjalanan ke stasiun TV.1
Jam malam akan berakhir dalam empat puluh lima menit. Dengan sopan, Ka menolak
tawaran Sunay dan meminta izin padanya untuk berjalan pulang ke hotel. Sunay
mengizinkannya. Ka merasa lega saat menyusuri trotoar yang luas
dan kosong di Jalan Atatiirk merasakan keheningan jalanan yang berselimut salju,
sekali lagi memandangi rumah-rumah Rusia dan pohon-pohon oleander yang tampak
menawan dalam balutan salju tetapi, dia segera menyadari bahwa seseorang
mengikutinya. Ka menyeberang ke Jalan Halitpapa, lalu berbelok ke kiri di
Kazymbey Kecil. Detektif yang menguntitnya terengah-engah sambil berjalan
terburu-buru di atas salju, berusaha mengejar Ka. Berlari-lari menyusul mereka
adalah seekor anjing hitam yang dilihat Ka di stasiun saat dia menemui Necip dan
kedua temannya. Ka bersembunyi di balik tembok sebuah bengkel di distrik
Yusufpa?a, berharap dapat berkelit dari si detektif, namun dia justru mendapati
dirinya tiba-tiba berhadapan dengan penguntitnya.
"Anda membuntuti saya untuk memata-matai atau memberi saya perlindungan?"
"Hanya Tuhan yang tahu, Pak. Apa pun yang terbaik bagi Anda, saya ikuti saja."
Tetapi, pria itu tampak sangat letih sehingga Ka ragu apakah dia bahkan dapat
melindungi dirinya sendiri. Umurnya tentu setidaknya enam puluh lima tahun.
Wajahnya berkerut-merut, suaranya lirih, dan matanya telah layu. Dia memandang
Ka dengan tatapan malu, penuh ketakutan, seperti pandangan yang diberikan
kebanyakan orang pada polisi. Seperti semua petugas berpakaian preman di Turki,
dia mengenakan sepatu Siimerbank, dan Ka merasa iba saat melihat lem sol sepatu
pria itu telah lepas. "Anda polisi, bukan" Jika Anda membawa kartu identitas Anda, sebaiknya kita
pergi ke Restoran Pastura Hijau dan menyuruh mereka buka supaya kita bisa duduk-
duduk sejenak." Mereka tidak perlu berlama-lama mengetuk pintu
restoran sebelum seseorang membukanya. Ka dan si detektif, yang bernama Saffet,
masuk dan duduk, menenggak raki dan berbagi kudapan keju bersama si anjing hitam
sambil mendengarkan pidato Sunay di TV. Pidato itu sama persis dengan pidato
yang dibacakan oleh para pemimpin kudeta militer selama masa kanakkanak Ka.
Bahkan, saat Sunay menjelaskan bagaimana orang-orang Kurdi dan miitan Islamis
merupakan antek "musuh-musuh kita di luar negeri" dan menjelek-jelekkan
politikus yang melakukan segala cara untuk memenangkan pemilihan sehingga
mendorong Kars ke tepi jurang kehancuran, Ka menjadi sedikit bosan.
Sementara Ka meminum raki keduanya, Saffet, menunjuk penuh hormat pada Sunay,
memusatkan perhatiannya ke televisi. Entah bagaimana, ekspresi wajahnya berubah:
bukan lagi seperti seorang detektif kelas tiga. Dia tampak seperti seorang
penduduk yang telah lama menderita, yang sedang mendaftarkan petisi. "Anda
mengenal beliau; dan, terlebih lagi, beliau menghormati Anda," kata Saffet
dengan murung. "Saya harap Anda dapat membantu saya menyampaikan permohonan saya
yang hina. Jika Anda bersedia mengatakannya kepada beliau, berarti Anda telah
menyelamatkan saya dari kehidupan saya yang seperti di neraka. Saya mohon,
katakanlah kepada beliau untuk membebastugaskan saya dari 'investigasi racun'
ini dan memberi saya penugasan yang lain."
Setelah berkata begitu, si detektif menghampiri pintu restoran dan memasang
palang. Dia kembali ke meja dan mulai menceritakan kepada Ka tentang
"investigasi racun". Tetapi, detektif malang itu mengalami kesulitan dalam
mengekspresikan perasaannya, dan raki telah merasuki kepala Ka yang berat,
sehingga dia kesulitan mengikuti cerita si detektif. Kisah ini dimulai di
Prasmanan Modern, sebuah warung yang menjual makanan ringan di pusat kota, tidak
jauh dari markas militer dan badan intelijen. Sejumlah besar tentara sering
pergi ke sana untuk merokok dan menyantap roti isi. Akhir-akhir ini,
bagaimanapun, timbul kecurigaan bahwa sorbet kayu manis yang disajikan di sana
mengandung racun. Korban pertama adalah seorang prajurit infanteri dari Istanbul. Dua tahun
sebelumnya, pada pagi hari setelah melakukan latihan yang luar biasa berat dan
menguras energi, prajurit ini mengalami demam yang membuat seluruh tubuhnya
gemetar begitu hebat sehingga dia bahkan tak kuat berdiri. Dia langsung dibawa
ke ruang perawatan, dan segera diketahui bahwa dirinya keracunan. Karena
berpikir dirinya mendekati ajal, si prajurit menyalahkan sorbet pedas yang
diminumnya di warung makan di persimpangan jalan Kazymbey Kecil dan Kazym
Karabekir hanya karena, dia menambahkan dengan marah, dia merasa ingin mencoba
sesuatu yang baru. Awalnya, kejadian ini tampak seperti kasus keracunan makanan biasa, sehingga
semua orang segera melupakannya. Tetapi, tak lama kemudian, dua orang prajurit
lain mengalami gejala yang serupa dan dibawa ke ruang perawatan yang sama.
Seperti pada kasus pertama, mereka gemetar begitu hebat sehingga kesulitan
berbicara dan tak bisa berdiri lama sebelum roboh begitu saja. Keduanya
menyalahkan sorbet kayu manis panas yang sama, yang mereka minum hanya untuk
menjawab rasa penasaran. Kemudian, diketahui bahwa minuman itu dibuat oleh
seorang nenek-nenek Kurdi di rumahnya, di distrik Atatiirk; semua orang
menggemari minuman ini, sehingga cucu si nenek memutuskan untuk menjualnya di
warung makan mereka. Informasi ini muncul dalam sebuah interogasi rahasia yang diadakan
di markas militer Kars tak lama setelah kasus kedua dan ketiga terjadi. Tetapi,
ketika sampel dari sorbet si nenek diuji di laboratorium, tidak ditemukan adanya
jejak racun. Sesuatu yang tidak terduga terjadi dalam penyelidikan itu ketika seorang
jenderal tanpa sengaja menyebutkan kasus ini kepada istrinya. Pria itu kaget dan
cemas saat mengetahui bahwa istrinya meminum beberapa cangkir sorbet yang sama
setiap hari, berharap minuman itu akan bisa mengobati penyakit rematiknya.
Ternyata, beberapa istri tentara lainnya, dan juga beberapa perwira, telah
meminum sorbet ini dalam jumlah besar semuanya menyatakan bahwa mereka
melakukannya untuk alasan kesehatan, meskipun sebenarnya mereka hanya penasaran.
Penyelidikan yang lebih jauh mengungkapkan bahwa bukan hanya para perwira dan
istri merekalah yang tertarik pada minuman ini. Para prajurit yang sedang bebas
tugas juga menyukai minuman ini, begitu pula keluarga mereka yang sedang datang
berkunjung, sebagian alasannya karena warung makan yang menjualnya begitu
nyaman, berada tepat di pusat kota, tetapi alasan utamanya adalah karena sorbet
merupakan hal baru di Kars. Ketika sang jenderal menambahkan penemuan baru ini
ke dalam penyelidikan, dia juga mengkhawatirkan dampak yang mungkin terjadi,
sehingga dia menyerahkan masalah ini kepada MYT dan polisi militer.
Saat tentara mengambil keuntungan dari kasus ini untuk memperkeruh konflik yang


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin memuncak dengan gerilyawan PKK Kurdi, semangat para pengangguran Kurdi
yang telah putus asa merosot semakin dalam. Situasi ini memancing sebagian
pemuda tersebut untuk me -
melihara impian yang aneh namun serius, yaitu membalas dendam, seperti yang
dilaporkan oleh cukup banyak detektif yang menghabiskan hari-hari mereka dengan
terkantuk-kantuk di berbagai kedai kopi di seluruh penjuru kota. Para detektif
itu mendengar para pemuda tersebut membicarakan tentang bom dan rencana
penculikan, kemungkinan serangan untuk menghancurkan patung Atatiirk, skenario
untuk meracuni persediaan air minum kota, dan rencana pengeboman jembatan.
Karena itulah para petugas menangani kasus sorbet kayu manis dengan sangat
serius, tetapi, mengingat kesensitifan isu ini, mereka tidak bisa menginterogasi
ataupun menyiksa si pemiik warung. Maka, alih-alih, mereka menugaskan sejumlah
detektif dari kantor gubernur untuk menyusup bukan hanya ke Prasmanan Modern
melainkan juga ke dapur si nenek, yang sekarang sedang berada di atas angin
karena kemajuan bisnisnya.
Detektif yang ditugaskan di warung sekali lagi mengambil sampel minuman buatan
si nenek untuk diuji, dan dia juga memeriksa gelas, pegangan sendok sayur yang
tahan panas, kotak kembalian, sejumlah lubang-lubang karat, dan tangan-tangan
para pegawai warung untuk mencari adanya tanda-tanda serbuk yang janggal.
Seminggu kemudian, si detektif juga mengalami semua gejala keracunan: dia
gemetar dan terbatuk-batuk hebat sehingga harus meninggalkan pekerjaan.
Detektif yang ditugaskan di dapur si nenek bekerja jauh lebih keras. Setiap
malam, dia duduk dan menulis laporan yang panjang, mendaftar bukan hanya orang-
orang yang lalu lalang di dapur pada hari itu, melainkan juga semua jenis
makanan yang dibeli si nenek (wortel, apel, plum, murbei kering, bunga delima,
mawar liar, dan marshmallow). Laporan si detektif juga mencakup resep ramuan sorbet yang lezat
dan digemari banyak orang ini. Si detektif, yang menghabiskan lima atau enam
teko minuman tersebut dalam sehari, tidak menderita gej ala keracunan apa pun:
bahkan, dia justru menyebut minuman itu sebagai ramuan bonafide, sorbet "gunung"
asli, seperti yang disebutkan dalam kisah epik Kurdi yang berjudul Mem u Zin.
Para ahli yang didatangkan dari Ankara tidak memercayai laporan detektif ini
karena dia sendiri adalah seorang Kurdi. Lagi pula, dari laporannya, mereka
dapat menyimpulkan bahwa sorbet itu beracun bagi orang Turki, namun aman
dikonsumsi oleh orang Kurdi. Bagaimanapun, karena sesungguhnya orang Kurdi dan
Turki tidak jauh berbeda satu sama lain, mereka menyimpan kesimpulan ini.
Pada titik ini, sekelompok dokter yang didatangkan dari Istanbul membuka sebuah
klinik khusus di Rumah Sakit Jaminan Sosial. Tetapi, sebelum lama berdiri,
tempat itu sudah dibanjiri para penduduk Kars yang sepenuhnya sehat namun ingin
mendapatkan perawatan gratis, belum lagi orang-orang penyakitan yang mengeluh
tentang kerontokan rambut, ruam-ruam kulit, hernia, dan bahkan kegagapan dalam
berbicara. Kericuhan ini membuat semua orang melupakan keseriusan penyelidikan
yang sedang berjalan. Maka, dinas intelijen Kars kembali mendapatkan tugas untuk mengungkap rencana
sorbet yang lambat laun menghantui kota dan telah membahayakan kesehatan ribuan
orang tentara. MYT harus menangkap pelaku yang sesungguhnya sebelum semangat
seluruh kota hancur, dan Saffet hanyalah salah seorang dari beberapa agen
berkinerja bagus yang ditugaskan untuk menangani kasus
ini. Sebagian besar dari mereka hanya diperintahkan untuk membuntuti orang-orang
yang menggemari sorbet buatan si nenek. Maka, inti dari penyelidikan itu bukan
lagi mencari sumber racun, melainkan usaha sia-sia untuk menemukan siapa yang
telah teracuni oleh sorbet dan siapa yang tetap sehat. Untuk mendapatkan
informasi ini, para detektif membuntuti semua tentara dan polisi preman yang
menjadi pelanggan minuman kayu manis is nenek, kadangkadang hingga mereka tiba
di rumah mereka masing-masing.
Ketika Ka mendengar bahwa misi melelahkan dan membosankan ini tidak hanya
mematahkan sol sepatu si detektif tetapi juga semangatnya, dia berjanji untuk
mengangkat topik ini dalam pembicaraannya dengan Sunay, yang ketika itu sudah
menyelesaikan pidatonya di televisi.
Si detektif sangat senang saat mendengar janji Ka, sehingga dia memeluk Ka
dengan penuh rasa syukur dan mencium kedua pipinya, sebelum membuka palang pintu
restoran dengan kedua tangannya sendiri. []
"Aku, Ka" Kepingan Salju Berpucuk Enam
DENGAN ANJING hitam membuntuti tepat di belakangnya, Ka berjalan pulang ke
hotel, sekali lagi sambil menikmati keindahan hampa jalanan yang berselimut
salju. Dia menulis pesan "Cepatlah datang" dan meminta Cavit, si resepsionis,
untuk segera mengantarkannya kepada Ypek. Dia naik ke kamarnya dan menjatuhkan
diri ke ranjang. Sambil menunggu, pertama-tama Ka memikirkan tentang ibunya,
namun pikirannya segera beralih ke Ypek, yang belum juga datang. Rasa pedih
menderanya saat dia memutuskan bahwa dirinya begitu tolol karena telah jatuh
cinta kepada Ypek, terlebih lagi karena telah datang ke Kars. Waktu berlalu, dan
masih juga belum ada tanda-tanda kedatangan Ypek.
Tiga puluh delapan menit setelah Ka kembali ke hotel, Ypek memasuki kamarnya.
"Aku harus pergi membeli batu bara," kata Ypek. "Aku tahu akan ada antrian
panjang di sana setelah jam malam berakhir, jadi aku keluar pukul dua belas
kurang seperempat dari halaman belakang. Setelah pucuk dua belas, aku berlama-
lama berkeliaran di pasar. Seandainya aku tahu, aku pasti akan
langsung pulang." Ypek mengembuskan kehidupan ke kamar hotel itu, dan semangat Ka melambung begitu
tinggi sehingga dia takut melakukan suatu kesalahan yang akan merusak momen
indah ini. Ka memandang rambut pajang Ypek yang berkilauan. Tangan Ypek tak
pernah berhenti bergerak. (Dalam sekejap, tangannya berpindah dari rambut ke
hidung, ke sabuk, ke daun pintu, dan ke leher jenjangnya yang menawan, sebelum
kembali meluruskan rambut, dan sesaat kemudian membelai kalungnya yang berbandul
batu giok tentu dia baru saja memakainya. Baru sekarang Ka melihat kalung itu.)
"Aku tergilagila padamu dan kesakitan karenanya," ujar Ka.
"Jangan khawatir cinta yang tumbuh secepat ini akan layu dengan sama cepatnya."
Ka memeluk Ypek dan menciumnya. Ypek balas menciumnya, namun sikapnya yang
tenang berlawanan dengan sikap Ka yang berapi-api. Ka merasakan tangan Ypek di
bahunya, dan manisnya ciuman Ypek membuat kepalanya berputar. Ka tahu dari
kelembutan gerakan Ypek bahwa wanita itu telah siap bercinta dengannya sekarang,
dan Ka begitu bahagia sehingga mata, pikiran, dan ingatannya terbuka sepenuhnya
untuk menyerap momen ini dan dunia ini.
"Aku juga ingin bercinta denganmu," kata Ypek. Sejenak, dia menatap lurus ke
depan. Lalu, dengan cepat dan tegas, dia mengalihkan pandangannya ke mata Ka.
"Tapi, seperti yang sudah kukatakan, ini tidak bisa terjadi di bawah hidung
ayahku." "Jadi, kapan ayahmu akan keluar?"
"Dia tak pernah keluar. Aku harus pergi," kata Ypek
sambil menarik diri. Ka berdiri di pintu, memerhatikan Ypek hingga wanita itu menghilang di tangga di
ujung koridor yang temaram. Lalu, dia menutup pintu, duduk di pinggir ranjang,
mengeluarkan buku catatannya dari saku, dan, membuka halaman yang masih kosong,
mulai menulis puisi yang akan dijudulinya "Yang Harus Dipikul oleh Mereka yang
Tak Berdaya". Setelah menyelesaikan puisinya, Ka tetap duduk di pinggir ranjang dan menyadari,
untuk pertama kalinya sejak kedatangannya di Kars, bahwa di samping mengejar
Ypek dan menulis puisi tak ada yang bisa dilakukannya di kota ini. Kesadaran ini
membuatnya merasa kekurangan sekaligus merdeka. Dia tahu bahwa jika dia berhasil
membujuk Ypek untuk meninggalkan Kars bersamanya, dia akan mendapatkan
kebahagiaan seumur hidup bersama wanita itu. Mengetahui bahwa momen saat dia
akan membujuk Ypek mendekatinya dengan sangat cepat, setelah dia menemukan
tempat yang sesuai untuk memudahkan usahanya, Ka mensyukuri turunnya salju.
Ka mengenakan mantelnya dan berjalan ke luar, tanpa dilihat oleh siapa pun.
Alih-alih menuju balai kota, dia berbelok ke kiri di Jalan Kemerdekaan Nasional
dan berjalan menuruni bukit. Dia memasuki Apotek Pengetahuan untuk membeli
tablet vitamin C, lalu berbelok ke kiri menuju Jalan Faikbey, berjalan lurus,
berhenti di sana-sini untuk melongok ke dalam jendelajendela restoran, lalu
berbelok ke Jalan Kazym Karabekir. Spanduk-spanduk kampanye yang dilihatnya
terpasang di sepanjang jalan sehari sebelumnya telah diturunkan, dan semua toko
telah kembali buka. Sebuah toko alat tulis dan kaset memutar musik dengan
nyaring. Trotoar dipenuhi orang-orang
yang keluar hanya untuk menandai akhir dari jam malam; mereka berjalan hingga
tiba di pasar lalu kembali menaiki bukit, berhenti sesekali untuk berdiri
gemetar di depan etalase toko. Orang-orang yang biasanya menempuh perjalanan
dengan minibus dari daerah pinggiran, para pria yang sering berkunjung ke pusat
kota untuk bermalas-malasan di kedaikedai teh dan mungkin mampir sejenak untuk
bercukur di kios pangkas rambut, belum muncul hari ini, dan Ka senang melihat
begitu banyak kedai teh dan kios tukang cukur tampak sunyi. Anak-anak yang
bermain-main di jalan membuatnya melupakan ketakutan yang mengancam. Dia
menyaksikan mereka meluncur di jembatan, saling melempar bola-bola salju,
bermain perang-perangan dan saling mengumpat di lahan kosong, di lapangan yang
berselimut salju, di halaman sekolah, dan di taman-taman yang ada di sekitar
kantor-kantor pemerintah. Hanya beberapa di antara mereka yang mengenakan
mantel; sebagian besar mengenakan jas sekolah, syal, dan kupluk. Mereka senang
karena kudeta membuat sekolah mereka diiburkan. Kapan pun Ka merasa kedinginan,
dia bergabung bersama Saffet di kedai teh terdekat. Dia langsung duduk di meja
si detektif, memesan segelas teh, lalu kembali keluar.
Sekarang, setelah terbiasa akan keberadaan Saffet yang membuntutinya, Ka tidak
lagi menganggap pria itu menakutkan. Dia tahu bahwa jika mereka memang ingin
mengetahui apa pun yang dilakukannya, mereka akan menugaskan seseorang yang tak
bisa dilihatnya. Karena itulah Ka merasa panik ketika, saat dia berjalan-jalan,
Saffet menghilang dan dia harus mencari pria itu. Ka mendapati Saffet sedang
terengah-engah, memegang sebuah tas plastik di tangannya, di sudut Jalan Faikbey
tempat Ka melihat tank pada malam sebelumnya.
"Jeruknya sangat murah, saya tak bisa menahan diri," kata si detektif. Dia
mengucapkan terima kasih kepada Ka yang telah menunggunya, menambahkan bahwa Ka
terbukti "beritikad baik" karena memiih untuk tidak meloloskan diri darinya.
"Sejak saat ini, sebaiknya Anda memberi tahu saya ke mana Anda akan pergi itu
akan sangat memudahkan kita berdua."
Ka tidak tahu ke mana dirinya akan pergi, namun setelah meminum dua gelas raki
di satu lagi kedai teh kosong, dia menyadari bahwa dirinya ingin mengunjungi
Yang Mulia Syekh Saadettin. Ka merasa tidak mungkin dirinya akan bertemu lagi
dengan Ypek dalam waktu dekat, dan karena merasa tersiksa akibat memikirkan
wanita itu, dia lebih memilih menelanjangi jiwanya di depan sang syekh. Dia akan
mulai mengatakan kepada sang syekh tentang kasih Tuhan di dalam hatinya, dan
setelah itu mereka dapat berbincang-bincang secara beradab tentang kehendak
Tuhan dan makna kehidupan. Tetapi, Ka kemudian teringat bahwa pondok sang syekh
telah disadap: polisi akan mendengar apa yang dikatakannya, dan mereka akan
menjadikannya bahan tertawaan.
Tetap saja, saat melewati rumah sederhana Yang Mulia di Jalan Baytarhane, Ka
berhenti sejenak; dia memandang jendelajendela rumah itu.
Kemudian, Ka melihat bahwa pintu perpustakaan daerah terbuka. Dia masuk dan
menaiki anak tangga yang berlumpur. Di dinding terdapat sebuah papan pengumuman
tempat seseorang menempelkan tujuh buah surat kabar setempat dengan rapi.
Karena, seperti Border City Gazette, semua koran tersebut telah dicetak sehari
sebelum tanggal penerbitannya, tidak ada satu pun yang menyebut-nyebut tentang
revolusi; yang ada hanyalah berita tentang kemeriahan pementasan di Teater
Nasional dan badai salju yang tak kunjung berhenti.
Meskipun sekolah-sekolah di kota ditutup, Ka melihat lima atau enam orang
pelajar duduk di ruang baca, bersama sejumlah pensiunan pegawai negeri. Seperti
para pelajar itu, orang-orang tua tersebut mungkin datang ke perpustakaan untuk
melarikan diri dari udara dingin di dalam rumah mereka. Di sudut ruangan, di
antara sederet kamus dan ensiklopedia anak-anak yang telah kumal, Ka menemukan
beberapa jilid Ensiklopedia Kehidupan edisi lama, yang memberinya berjam-jam
kesenangan pada masa kanakkanaknya. Di bagian dalam sampul belakang setiap jilid
ensiklopedia tersebut terdapat berbagai seri transparansi, yang, jika dibalik
dengan cepat akan menunjukkan cara kerja mesin mobil, mesin kapal, atau tubuh
manusia. Ka langsung membuka jilid keempat, berharap akan menemukan seri
transparansi yang menunjukkan gambar bayi meringkuk di dalam perut ibunya,
bagaikan seekor anak ayam di dalam cangkang telur, namun ternyata seseorang
telah merobek bagian itu. Yang tertinggal hanyalah robekan bergerigi yang
menempel di sampul bagian belakang ensiklopedia.
Di halaman 324 di jiid yang sama (P-T), Ka menemukan sebuah entri yang dibacanya
secara saksama: SALJU. Bentuk padat dari air saat jatuh, melintasi, atau menembus atmosfer.
Merupakan kepingan kristal indah yang biasanya berbentuk heksagon. Setiap
kepingan kristal membentuk heksagon yang unik. Sejak zaman purba, manusia telah
kagum dan terpesona oleh rahasia salju. Pada 1955, ketika seorang pendeta
bernama Olaus Magnus di Uppsala, Swedia, menemukan bahwa setiap
keping salju, seperti yang ditunjukkan dalam diagram, memiiki enam pucuk ....
Berapa kali Ka membaca entri ini selama dirinya berada di Kars, hingga derajat
apa dia menghafal ilustrasi sebuah kristal salju, sungguh mustahil untuk
dikatakan. Bertahuntahun kemudian, saat mengunjungi rumah keluarganya di
Ni?anta? untuk selama berjam-jam membicarakan tentang dirinya bersama ayahnya
yang berlinang air mata dan seperti biasanya bermasalah dan penuh kecurigaan,
aku meminta izin untuk melihat-lihat perpustakaan pria tua itu. Naluriku
mengatakan bahwa buku yang kucari tidak akan ada di kamar Ka bersama buku-buku
lain dari masa kecilnya, tetapi di sudut gelap ruang duduk, di rak buku tempat
ayah Ka menyimpan koleksinya. Di sini, di antara buku-buku hukum berjilid indah
miik ayahnya, koleksi novel tahun empat puluhan beberapa berbahasa Turki, yang
lainnya terjemahan dan sederet buku telepon, aku menemukan satu seri
Ensiklopedia Kehidupan yang bersampul menawan. Hal pertama yang kulakukan adalah
membalik sampul belakang jilid keempat untuk mengamati ilustrasi anatomi wanita
hamil. Setelah itu, aku memfokuskan perhatianku pada keseluruhan buku itu. Aku
masih mengagumi kondisi sempurna buku itu ketika di sana, di depan mataku,
terbentanglah halaman 324. Buku itu seolaholah terbuka dengan sendirinya di
halaman itu. Di sana, tepat di sebelah entri tentang salju, aku menemukan
selembar kertas penyerap tinta yang telah berusia tiga puluh dua tahun.
Setelah selesai melihat-lihat ensiklopedia itu, Ka merogoh sakunya dan, seperti
seorang pelajar yang duduk mengerjakan PR, mengeluarkan buku catatannya. Dia
mulai menulis sebuah puisi yang kesepuluh sejak kedatangannya di Kars. Dalam
bait pembukanya, Ka mengagumi keterpisahan setiap kepingan salju, lalu dia
melanjutkan dengan menceritakan kenangan masa kecil tentang ibu dan anak yang
gagal ditemukannya di jilid keempat Ensiklopedia Kehidupan. Dalam baris-baris
terakhir, dia memetakan pandangan tentang dirinya sendiri dan tempatnya di dunia
ini, ketakutan-ketakutan khususnya, keyakinan-keyakinan tertentunya,
keunikankeunikannya. Judul yang diberikannya untuk puisi ini adalah "Aku, Ka".
Ka masih menulis puisi itu ketika dia melihat seseorang duduk di mejanya. Saat
mengangkat matanya dari halaman buku catatannya, dia terperangah: orang itu
adalah Necip. Dia tidak merasa ketakutan ataupun heran saat melihat penampakan
ini. Alih-alih, dia merasa malu di hadapannya adalah seseorang yang tidak akan
semudah itu mati, dan Ka begitu mudah percaya bahwa dia sudah mati.
"Necip," ujar Ka. Dia ingin memeluk dan mencium pemuda itu.
"Saya Fazyl," kata pemuda itu. "Saya melihat Bapak di jalan dan mengikuti Bapak
ke sini." Dia melirik ke meja tempat Saffet duduk. "Katakanlah secepatnya kepada
saya benarkah Necip sudah meninggal?"
"Itu betul. Aku melihatnya dengan mataku sendiri." "Kalau begitu, mengapa Bapak
memanggil saya Necip" Bapak belum yakin, bukan?"
"Tidak, aku memang tidak yakin."
"Dia menginginkan saya membalas dendam. Karena itulah saya yakin dia telah
tewas. Tapi, saat sekolah dibuka lagi nanti, saya hanya ingin belajar, saya
tidak ingin membalas dendam, saya tidak mau terlibat dalam politik."
"Lagi pula, balas dendam adalah hal yang sangat buruk."
"Meskipun begitu, saya akan membalas dendam jika saya berpikir dia memang betul-
betul menginginkan saya melakukannya," kata Fazyl. "Saya diberi tahu bahwa Bapak
membicarakan hal ini dengannya. Apakah Bapak sudah memberikan surat-surat itu
kepada Hicran ... maksud saya Kadife?"
"Sudah." Tatapan Fazyl membuat Ka merasa tidak enak. Haruskah aku meralat ucapanku" Ka
bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah sebaiknya aku mengatakan, "Aku bermaksud
begitu1" Tetapi, terlambat sudah. Untuk beberapa alasan, kebohongan ini justru
membuat Ka merasa lebih aman.
Ka tak mampu memandang kepedihan di wajah Fazyl. Pemuda itu menutupi wajah
dengan kedua tangannya dan terisak lirih. Tetapi, dia begitu marah sehingga air
matanya tidak mau keluar. "Jika Necip memang tewas, siapakah orang yang harus
mendapatkan pembalasan dendam dari saya"1 Saat Ka tetap diam, Fazyl menatap
langsung ke matanya. "Bapak tahu siapa dia,1 ujarnya tegas.


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku diberi tahu bahwa kadangkadang kalian berdua memikirkan hal yang sama pada
waktu yang sama,1 ujar Ka. "Jika kau masih bisa melakukannya, maka kau tahu
siapa orangnya.1 "Tapi, apa yang dipikirkannya, yang dia ingin saya pikirkan, membuat saya
merasakan kesakitan luar biasa,1 kata Fazyl.
Sekarang, untuk pertama kalinya, Ka melihat cahaya di mata Fazyl yang sama
persis dengan yang dilihatnya di mata Necip. Dia merasa seolaholah sedang duduk
berhadap-hadapan dengan hantu.
"Jadi, apakah yang dipaksakannya untuk kaupikirkan"1
"Pembalasan dendam,1 kata Fazyl. Dia kembali menangis.
Ka dapat langsung mengetahui bahwa bukan pembalasan dendam yang ada dalam
pikiran Fazyl. Dan, Fazyl sendiri sedang mengatakan hal yang sama saat dia
melihat Saffet berdiri dari mejanya dan menghampiri mereka.
"Tolong, tunjukkanlah kartu identitasmu,1 kata si detektif, menatap Fazyl tajam.
"Kartu pelajar saya ditahan di meja penitipan barang.1
Ka melihat kengerian yang terlintas di wajah Fazyl saat pemuda itu menyadari
bahwa dirinya sedang berbicara dengan seorang polisi berpakaian preman. Mereka
semua berjalan menghampiri meja penitipan barang. Si detektif menyambar kartu
identitas Fazyl dari tangan wanita ketakutan yang bertugas di sana, dan saat dia
melihat bahwa Fazyl adalah seorang murid madrasah aliah, dia melontarkan
pandangan yang mengatakan, "Seharusnya aku tahu,1 lalu, seperti seorang ayah
yang menyita mainan anaknya, dia mengantungi kartu identitas itu.
"Kalau kau menginginkan kartu pelajarmu ini kembali, kau harus datang ke kantor
polisi dan mengambilnya di sana.1
"Maafkan saya,1 ujar Ka, "pemuda ini telah melakukan apa pun yang bisa
dilakukannya untuk menjauhkan diri dari masalah, dan dia baru saja mendengar
bahwa sahabatnya telah tewas, jadi bisakah Anda mengembalikan kartu
identitasnya"1 Setelah sebelumnya berusaha begitu keras untuk menjilat Ka supaya mau
menolongnya hari itu, sekarang
Saffet menolak untuk bekerja sama. Tetapi, berharap dapat membujuk Saffet untuk
menyerahkan kartu pelajar itu nanti, saat tidak seorang pun melihat mereka, Ka
berjanji akan menemui Fazyl pada pukul lima sore di jembatan besi. Pemuda itu
pun langsung meninggalkan perpustakaan.
Sekarang, semua orang di ruang baca tampak gelisah, mengira bahwa kartu
identitas mereka juga akan diperiksa. Tetapi, Saffet mengabaikan mereka, kembali
ke mejanya dan menekuni majalah Life keluaran tahun 1960-an, untuk membaca kisah
sedih Putri Sureyya, yang ditalak suaminya sang Syah setelah gagal memberinya
keturunan, juga untuk melihat foto terakhir Adnan Menderes, sang mantan perdana
menteri, sebelum tewas digantung.
Setelah memperhitungkan bahwa dirinya tidak akan bisa menjamah kartu pelajar
Fazyl, Ka pun meninggalkan perpustakaan. Ketika kembali ke jalanan yang putih
memikat dan melihat bocah-bocah riang gembira saling melemparkan bola salju,
segala ketakutan Ka menguap. Dia merasa ingin berlari. Tetapi, di halaman
Kediaman Gubernur, Ka melihat antrian menyedihkan para pria gemetaran yang
memeluk karung-karung goni dan buntelan-buntelan koran yang diikat dengan tali.
Mereka adalah para penduduk Kars yang baik, yang memutuskan untuk menganggap
serius kudeta yang baru saja terjadi, dan sekarang berniat menyerahkan semua
senjata mereka ke negara. Pihak yang berwenang tidak memercayai mereka dan
melarang mereka memasuki kantor gubernur, namun mereka masih mengantri seperti
anak-anak domba kedinginan di depan gerbang utama. Ketika pertama kali diumumkan
bahwa semua senjata harus diserahkan ke negara, sebagian besar penduduk Kars
langsung keluar di tengah hujan salju pada malam buta untuk mengubur senjata-
senjata mereka di tanah yang beku, tempat tidak seorang pun akan terpikir untuk
mencari. Saat menyusuri Jalan Faikbey, Ka berpapasan dengan Kadife dan merasakan dirinya
tersipu malu. Dia baru saja memikirkan Ypek, dan karena dia mengasosiasikan
Kadife dengan kakaknya, sekarang dia juga menganggap Kadife sangat cantik
memikat. Ka harus menahan diri sekuatnya supaya tidak memeluk Kadife.
"Aku harus secepat mungkin mengatakan sesuatu kepadamu," kata Kadife. "Tapi
sekarang ada yang mem-buntutimu, jadi aku tak bisa mengatakan apa-apa selama dia
melihat. Bisakah kau kembali ke hotel dan masuk ke Kamar 217 pada pukul dua
siang" Kamar itu ada di ujung koridormu."
"Apa kau yakin kita bisa bicara secara terbuka di sana?"
"Kalau kau tidak mengatakan pada siapa pun bahwa kita bicara" Kadife
membelalakkan mata "dan ini berarti kau juga tidak boleh mengatakannya kepada
Ypek, maka tidak seorang pun akan tahu." Kadife menjabat tangan Ka kuat-kuat
bagaikan seorang pebisnis. "Sekarang, lihatlah ke belakangmu dengan gaya
sesantai mungkin, dan katakan kepadaku apakah ada satu atau mungkin bahkan dua
orang detektif yang sedang mengikutiku."
Mengangguk sambil tersenyum tipis, Ka terkejut melihat kemampuannya sendiri
untuk berpura-pura. Meskipun gagasan menemui Kadife secara diamdiam di sebuah
kamar membuatnya bingung, dia tidak kesulitan menyingkirkannya dari benaknya.
Menyadari bahwa dia tidak ingin bertemu dengan Ypek sebelum pertemuannya dengan
Kadife, bahkan meskipun tanpa disengaja, Ka memutuskan untuk berjalan-jalan
sembari menghabiskan waktu. Sepertinya tidak seorang pun mengeluhkan kudeta;
alih-alih, semangat yang ditunjukkan oleh para penduduk kota tampak sama seperti
apa yang diingatnya dari masa mudanya. Ada gairah kehidupan baru, perubahan dari
rutinitas kehidupan sehari-hari yang membosankan. Para wanita menenteng tas dan
menggandeng anak-anak mereka, lalu memiih buah-buahan di kios buah dan melakukan
tawar-menawar di kios pedagang sayur. Para pria berkumis tebal berdiri di
sudutsudut jalan, mengisap rokok kretek, mengobrol sambil mengamati orang-orang
yang lalu lalang. Seorang pengemis yang berpura-pura buta, yang dua kali dilihat
Ka sehari sebelumnya, tidak lagi berada di posisinya di bawah naungan bangunan
kosong di antara lahan parkir umum dan pasar. Para pedagang yang menjual apel
dan jeruk di mobil-mobil pick-up yang diparkir di tengah jalan juga tidak
terlihat. Lalu lintas, yang pada hari biasa lengang, sekarang nyaris tidak ada,
namun sulit dikatakan apakah ini terjadi akibat kudeta atau salju. Lebih banyak
lagi polisi berpakaian preman berkeliaran di jalanan (salah satunya ditarik
sebagai penjaga gawang oleh anak-anak yang sedang bermain bola di ujung Jalan
Halitpa?a). Kedua hotel mesum di dekat lahan parkir (Pan dan Kemerdekaan)
tampak, seperti arena sabung ayam dan jagal-jagal ilegal, dilarang beroperasi
"untuk waktu yang tidak ditentukan". Sedangkan mengenai ledakan-ledakan yang
bersumber dari wilayah-wilayah kumuh, terutama pada malam hari, para penduduk
Kars telah terbiasa dengan hal ini, sehingga ketenangan mereka tidak lagi
terganggu. Ka mendapati kurangnya ketertarikan ini sebagai hal
yang memerdekakan, dan ini memberinya alasan untuk memasuki warung makan yang
berada di sudut jalan Kazymbey Kecil dan Kazym Karabekir, lalu memesan segelas
sorbet kayu manis panas. Dia menghirup minuman itu dengan penuh kenikmatan.[]
Hanya Sekaranglah Kita Bisa Menikmati Kemerdekaan di Kars
Ka Bersama Kadife di Kamar Hotel
SAAT MEMASUKI Kamar 217 enam belas menit kemudian, Ka merasa sangat khawatir
seseorang akan melihatnya, sehingga dia mencoba melontarkan lelucon kepada
Kadife tentang sorbet kayu manis, yang rasa asamnya masih tersisa di mulutnya.
"Selama beberapa waktu ada desas-desus bahwa orang Kurdi yang marah meracuni
sorbet itu untuk membunuh para tentara,1 kata Kadife. "Bahkan ada yang
mengatakan bahwa mereka menugaskan agen rahasia untuk memecahkan misteri ini.1
"Apa kau memercayai cerita-cerita itu"1 tanya Ka.
"Ketika pendatang yang berpendidikan dan kebarat-baratan tiba di Kars dan
mendengar tentang teori-teori konspirasi,1 kata Kadife, "mereka akan langsung
mencoba menyangkalnya dengan pergi ke warung itu dan memesan sorbet, lalu
akhirnya orang-orang bodoh itu keracunan. Karena desas-desus itu benar. Sebagian
orang Kurdi memang sangat tidak bahagia sehingga mereka mengabaikan Tuhan.1
"Kalau begitu, kenapa, setelah sebegitu lama, negara tidak juga turun tangan"1
"Seperti semua intelektual berpikiran kebarat-baratan, kau mencurahkan seluruh
kepercayaanmu pada negara, bahkan tanpa menyadarinya. MYT mengetahui semua yang
terjadi di Kars, dan mereka juga tahu tentang sorbet itu, tapi mereka tidak
menghentikannya.1 "Jadi, apakah MYT juga tahu bahwa kita hanya berdua di kamar ini"1
"Jangan takut. Sekarang ini, mereka tidak tahu,1 jawab Kadife sambil tersenyum.
"Suatu hari nanti, mereka akan mengetahuinya, tapi hingga hari itu tiba, kita
bebas di sini. Hanya sekaranglah kita bisa menikmati kemerdekaan di Kars.
Hargailah saat ini, dan tanggalkan mantelmu.1
"Mantel ini melindungiku dari kejahatan,1 ujar Ka. Melihat ekspresi ketakutan di
wajah Kadife, Ka menambahkan, "Dan di sini dingin sekali.1
Kamar tempat mereka bertemu bersebelahan dengan sebuah gudang tua. Sebuah
jendela kecil menunjukkan pemandangan halaman dalam hotel, dan kamar itu hanya
cukup untuk menampung sebuah ranjang kecil tempat mereka berdua duduk, Ka
bersandar dengan canggung di salah satu ujungnya, sementara Kadife di ujung yang
lain. Bau debu apak yang hanya dapat ditemukan di kamar hotel yang telah lama
terbengkalai memenuhi tempat itu. Kadife mencondongkan tubuh untuk memutar
tombol radiator, namun ketika mengetahui bahwa alat itu telah macet, dia
menyerah. Ketika melihat Ka menggoyang-goyangkan kaki dengan gugup, Kadife
berusaha tersenyum. Sejenak, Ka merasa Kadife sangat menikmati pertemuan rahasia ini. Setelah
bertahuntahun hidup dalam kesendirian, Ka pun merasa senang dapat berduaan di
sebuah kamar hotel dengan seorang wanita cantik, namun
dia merasa Kadife tidak punya waktu untuk beromong kosong: cahaya yang
berkilauan di matanya mengatakan sesuatu yang lebih gelap dan merusak.
"Jangan khawatir sekarang ini, agen yang ditugaskan untuk menguntitmu hanyalah
pria mengenaskan yang membeli sekantong jeruk itu. Ini bisa berarti negara tidak
takut padamu; mereka hanya ingin sedikit menakut-nakutimu. Siapakah yang
menguntitku?" "Aku lupa, aku tidak melihatnya," ujar Ka, malu-malu.
"Apa?" Kadife memberinya tatapan setajam belati. "Kau sedang jatuh cinta, ya"
Kau sedang tergilagila," serunya. Tetapi, dia cepat-cepat menenangkan diri.
"Maafkan aku, hanya saja, kita semua sangat ketakutan," katanya, dan sekali
lagi, ekspresi wajahnya seketika berubah. "Kau harus membahagiakan kakakku; dia
orang yang sangat baik."
"Apa menurutmu dia akan balas mencintaiku?" tanya Ka, nyaris berbisik.
"Tentu saja dia akan balas mencintaimu itu pasti. Kau pria yang sangat menawan,"
ujar Kadife. Ketika melihat betapa ucapannya membuat Ka kaget, Kadife
menambahkan, "Lagi pula, bintangmu Gemini, sama seperti Ypek." Setelah itu, dia
menjelaskan bahwa meskipun pasangan paling cocok untuk pria Gemini adalah wanita
Virgo, kepribadian ganda dari pria Gemini, yang menjadikan mereka ceria dan
berpandangan dangkal, dapat membuat wanita Gemini senang atau justru jijik.
"Tapi, kalian berdua layak bahagia," tambahnya dengan nada menenangkan.
"Saat kau membicarakan tentang diriku dengan kakakmu, apakah pernah timbul
pertanyaan tentang dirinya yang akan ikut denganku ke Jerman?"
"Dia menganggapmu sangat tampan," kata Kadife, "tapi dia tidak memercayaimu.
Butuh waktu untuk memupuk kepercayaan. Pria tidak sabaran sepertimu tidak jatuh
cinta dengan seorang wanita, tetapi ingin menguasainya."
"Itukah yang dikatakannya kepadamu?" tanya Ka, menaikkan kedua alisnya. "Waktu
adalah komoditas yang langka di kota ini."
Kadife menatap jam tangannya. "Pertama-tama, aku ingin berterima kasih padamu
karena mau datang ke sini. Aku mengundangmu karena ingin mendiskusikan sesuatu
yang teramat penting. Lazuardi menyuruhku menyampaikan sebuah pesan kepadamu."
"Jika kita bertemu lagi, mereka akan menguntitku dan langsung menangkapku saat
itu juga," ujar Ka. "Setelah itu, mereka akan menyiksa kita semua. Mereka sudah
menyadap rumahnya. Polisi mendengar apa pun yang dikatakannya."
"Lazuardi tahu bahwa mereka mendengarnya," kata Kadife. "Dia mengirimkan pesan
ini untukmu sebelum kudeta terjadi, dan dia juga menitipkan pesan kepadamu untuk
disampaikan ke Barat. Dia melakukannya untuk membuat penekanan filosofis:
berhentilah turut campur dalam masalah bunuh diri ini. Itulah yang ingin
disampaikannya kepada mereka. Tapi, sekarang semuanya telah berubah, jadi dia
ingin membatalkan pesan itu. Dan, ada sesuatu yang lebih penting: sekarang dia
punya sebuah pesan baru."
Semakin banyak Kadife berbicara, semakin gamang Ka dibuatnya. "Tidak mungkin
bepergian ke mana pun di kota ini tanpa ada seseorang yang melihat kita,"
ujarnya pada akhirnya. "Ada sebuah kereta kuda. Dua kali dalam sehari, kereta itu berhenti tepat di
luar pintu dapur untuk menurunkan tabung-tabung gas, batu bara, dan air minum
bo-tolan. Sesudahnya, kereta itu akan melakukan pengantaran ke seluruh kota, dan
ada selubung kanvas untuk melindungi barang-barang bawaannya dari salju dan
hujan. Kusirnya dapat dipercaya."
"Apakah aku harus bersembunyi di balik kanvas seperti seorang maling?"
"Aku sendiri sudah sering melakukannya," kata Kadife. "Dan rasanya jauh lebih
menyenangkan saat kita bisa melintasi kota tanpa diketahui orang lain. Kalau kau
menyetujui pertemuan ini, aku bersumpah akan melakukan apa pun yang bisa
kulakukan untuk menolongmu mendapatkan Ypek. Karena aku ingin kau menikahi dia."
"Kenapa begitu?"
"Perempuan macam apa yang tidak ingin kakaknya bahagia?"
Seumur hidupnya, Ka belum pernah bertemu dengan sepasang kakak beradik yang
tidak merasakan kebencian mendalam satu sama lain. Bahkan meskipun selalu tampak
akrab, biasanya selalu ada unsur penindasan dalam solidaritas mereka, sesuatu
yang mengingkari ketulusan hati mereka. Tetapi, bukan karena itulah Ka tidak
bisa memercayai perkataan Kadife. Dia meragukan Kadife karena alis kiri gadis
itu terangkat seolaholah dengan sendirinya, dan karena dia cemberut seperti
seorang bocah yang hendak menangis atau mungkin, seperti seorang aktris film
Turki yang berpura-pura tulus. Meskipun begitu, ketika Kadife memandang jam
tangannya sekali lagi dan mengatakan bahwa kereta kuda yang dimaksudnya akan
tiba dalam tujuh belas menit, dan bahwa jika Ka bersedia menemaninya menemui
Lazuardi, maka Lazuardi akan menceritakan segalanya, Ka langsung mengiyakan.
"Tapi, pertama-tama, kau harus mengatakan kepadaku alasanmu memercayaiku," ujar
Ka. "Kata Lazuardi, kau adalah seorang darwis. Dia yakin Tuhan telah menganugerahimu
dengan ketulusan seumur hidup."
"Baiklah, kalau begitu," Ka cepat-cepat menanggapi. "Apakah Ypek juga tahu
tentang bakat istimewaku ini?"
"Memangnya kenapa dia harus tahu" Ini adalah pendapat Lazuardi."
"Kumohon, katakanlah semua pendapat Ypek tentangku."
"Sebenarnya, aku sudah mengatakan kepadamu semua yang kami bicarakan," ujar
Kadife. Tetapi, melihat bahwa jawabannya telah menghancurkan hati Ka, dia
berpikir sejenak, atau setidaknya berpura-pura berpikir saat itu Ka terlalu
marah sehingga tidak dapat melihat perbedaannya dan mengatakan, "Menurut dia,
kau menyenangkan. Kau baru datang dari Jerman, dan lain-lain. Kau punya banyak
bahan obrolan!" "Apakah yang harus kulakukan untuk meyakinkan
dia?" "Kejadiannya mungkin tidak akan seketika, tapi dalam waktu sepuluh menit setelah
bertemu dengan seorang pria, seorang wanita akan tahu pasti siapa pria itu, atau
setidaknya siapa kemungkinan pria itu, dan hati si wanita akan mengatakan
kepadanya apakah dia bisa jatuh cinta dengan si pria. Tapi, kepala si wanita
butuh waktu untuk memahami keputusan hatinya. Kalau kau bertanya kepadaku, tidak
banyak yang bisa dilakukan oleh seorang pria pada saat itu kecuali menunggu
waktu berbicara. Jika kau sungguh-sungguh mencintainya, yang harus kaulakukan
hanyalah mengatakan semua keindahan yang kau-rasakan darinya. Kenapa kau
mencintainya. Kenapa kau ingin menikahinya."
Ka tidak mengatakan apa-apa. Ketika Kadife melihat Ka memandang ke luar jendela
seperti seorang bocah yang kecewa, dia mengatakan bahwa dirinya sudah mulai
membayangkan Ka dan Ypek hidup bahagia berdua di Frankfurt dan betapa bahagianya
Ypek karena dapat pergi dari Kars. Dia bahkan dapat melihat mereka berdua
tersenyum di seruas jalan di Frankfurt sambil berjalan untuk menikmati malam di
gedung bioskop. "Katakanlah padaku nama satu saja gedung bioskop yang akan
kaudatangi jika kau di Frankfurt," kata Kadife. "Gedung bioskop mana pun."
"Filmforum Hochts," ujar Ka.
"Bukankah di Jerman juga ada gedung bioskop dengan nama-nama semacam Alhambra,
Rumah Impian, dan Majestic?"
"Memang ada. Eldorado!"
Sambil menyaksikan kepingankepingan salju berputar-putar tanpa tujuan di atas
halaman, Kadife menceritakan kepada Ka tentang peran yang ditawarkan kepadanya
saat dia mempelajari drama di universitas. Drama tersebut merupakan produksi
Jerman Turki, dan seorang sepupu teman sekelasnya terlibat di dalamnya. Mereka
menginginkan seseorang untuk memerankan gadis berjilbab, namun Kadife
menolaknya. Sekarang, dia berharap Ypek akan mendapatkan kebahagiaan bersama Ka
di dunia Jerman Turki yang sama, karena kakaknya layak mendapatkan kebahagiaan.
Masalahnya adalah, Ypek tidak menyadarinya, sehingga sampai sekarang dia tidak
pernah bahagia. Kegagalannya mendapatkan anak menghancurkan hatinya, namun
sumber kemarahan utamanya adalah


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena dia tidak memahami mengapa sebagai seseorang yang sangat cantik, sangat
tulus, dan sangat blak-blakan kehidupannya tidak bahagia. Kadangkadang, Ypek
bahkan mengira apakah dia tidak bahagia karena dirinya memiiki begitu banyak
kualitas unggul. Saat mengatakan hal ini, suara Kadife mulai pecah. Kadife
lantas bercerita bahwa sejak kecil, dia selalu mengagumi kakaknya, berusaha
menjadi sebaik dan secantik Ypek. Suaranya kembali pecah. Tetapi, ketika
membandingkan dirinya dengan Ypek, Kadife merasa jahat dan buruk rupa. Kakaknya
mengetahui tentang hal ini, sehingga dia berusaha menyembunyikan kecantikannya,
berusaha membuat segalanya lebih mudah bagi Kadife. Sekarang, tangis Kadife
telah pecah. Di antara isakan penuh air matanya, dia bercerita kepada Ka dengan
suara gemetar tentang peristiwa yang terjadi saat dirinya masih duduk di bangku
SMP. "Kami tinggal di Istanbul ketika itu, dan tidak semiskin sekarang,"
katanya, dan Ka langsung memotongnya dengan mengatakan bahwa "sekarang pun
mereka tidak miskin," namun Kadife langsung membungkamnya dengan mengatakan,
"kami tinggal di Kars." Pada suatu pagi, ketika Kadife telat mengikuti jam
pelajaran pertama, Mesrure Hanym, guru biologinya, mengatakan, "Apakah kakakmu
yang brilian juga terlambat?" lalu wanita itu menambahkan, "Aku tidak akan
menghukummu kali ini karena aku sangat menyukai kakakmu." Tentu saja, Ypek tidak
terlambat. Kereta kuda memasuki halaman belakang hotel. Tidak ada yang istimewa dalam
penampilan kendaraan tua itu. Kuntum-kuntum mawar merah dan aster putih, lengkap
dengan daun-daunan hijau tergambar di bagian pinggirnya. Kuda tua yang tampak
letih berdiri di belakang gumpalan uap napasnya, dan tepian lubang hidungnya
berlapis es. Kusir kereta itu adalah seorang pria berdada bidang dan berpunggung
sedikit bungkuk; selimut salju tipis melapisi topi dan mantelnya. Saat Ka
melihat lapisan salju di atas terpal, jantungnya mulai berdegup lebih kencang.
"Ayolah, jangan takut," kata Kadife. "Aku tidak akan membunuhmu."
Ka melihat pistol di tangan Kadife, namun menurutnya gadis itu tidak sedang
menodongnya. "Aku tidak sedang kena serangan rasa panik, kalau itu yang kaupikirkan,1 kata
Kadife. "Tapi, kalau kau berusaha melakukan sesuatu yang konyol, percayalah
padaku, aku akan menembakmu .... Kami tidak percaya pada jurnalis yang mencari
Lazuardi karena ingin mewawancarainya, atau siapa pun sebenarnya
"Tapi, kau sendiri yang mengundangku,1 ujar Ka.
"Memang betul, tapi meskipun kau tidak berpikir begitu, MYT bisa saja menduga
kita sudah merencanakan kunjungan ini, dan mereka mungkin menguping pembicaraan
kita. Aku sudah curiga saat kau dari tadi tidak mau melepas mantel kesayanganmu
itu. Sekarang, buka mantelmu dan tinggalkan saja di ranjang cepat!1
Ka melakukan apa yang diperintahkan Kadife. Gadis itu meraba setiap lipatan
mantel dengan tangannya yang mulus, yang semungil tangan kakaknya. Tidak
menemukan apa pun, dia mengatakan, "Kuharap kau tidak salah paham, tapi sekarang
aku ingin kau melepas jaketmu, bajumu, dan juga kaos dalammu. Karena mereka
biasanya juga memasang mikrofon di punggung dan dada orang. Mungkin ada ratusan
orang yang berkeliaran di Kars dengan membawa mikrofon semacam ini sepanjang
siang dan malam.1 Setelah Ka melepas jaketnya, dia membuka baju dan kaos dalamnya, seperti seorang
bocah yang sedang membiarkan seorang dokter memeriksa perutnya.
"Sekarang, berbaliklah,1 kata Kadife. Tanpa berkata-kata, Ka mematuhinya.
"Baiklah, sudah cukup. Aku minta maaf .... Tapi, bila seseorang disadap, mereka
tidak akan mau diperiksa, mereka tidak akan tinggal diam Kadife belum juga
menurunkan pistolnya. "Sekarang, dengarkan aku,1 ujarnya dengan nada mengancam.
"Kau tidak akan mengatakan apa pun soal pembicaraan dan pertemanan kita kepada
Lazuardi." Dia terdengar seperti seorang dokter yang menasihati pasiennya
setelah melakukan pemeriksaan. "Kau tidak akan menyebut-nyebut soal Ypek atau
memberi tahu Lazuardi bahwa kau jatuh cinta kepada Ypek. Lazuardi tidak menyukai
kenistaan semacam itu .... Kalau kau bersikeras membicarakannya, dan Lazuardi
tidak membakarmu hidup-hidup karenanya, maka bisa dipastikan akulah yang akan
melakukannya. Kemampuannya untuk membaca pikiran lebih hebat daripada jin dia
mungkin akan berusaha memancingmu untuk mengatakan sesuatu. Jika dia
melakukannya, kau harus berpura-pura baru sekali atau dua kali bertemu Ypek,
tidak lebih. Mengerti?"
"Mengerti." "Pastikan untuk menunjukkan kehormatan kepada Lazuardi. Apa pun yang kaulakukan,
jangan coba-coba meremehkan dia dengan bertingkah seperti orang Eropa sombong
yang modern dan berpendidikan luar negeri. Jika kau tanpa sengaja melakukan
kebodohan ini, jangan pernah berpikir untuk tersenyum .... Selain itu, jangan
lupa, orang-orang Eropa yang kaupuja dan kautim sebegitu rupa tidak akan peduli
denganmu ... dan mereka takut
setengah mati dengan orang seperti Lazuardi." "Aku tahu."
"Aku temanmu, jadi jujurlah kepadaku," kata Kadife, berpose seperti bintang
dalam film-film Turki kelas dua.
"Kusir kereta itu sudah membuka terpalnya," ujar Ka, memandang ke luar jendela.
"Kau bisa memercayai kusir itu. Anak laki-lakinya tewas tahun lalu dalam sebuah
pertikaian dengan polisi. Semoga perjalananmu menyenangkan."
Kadife mendahului Ka menuruni tangga. Sesampainya Kadife di dapur, Ka melihat
kereta kuda yang akan membawanya bergerak ke gerbang lengkung yang memisahkan
halaman bergaya Rusia kuno itu dari jalan, dan Ka pun segera turun seperti yang
telah diinstruksikan. Karena tidak melihat seorang pun di dapur, sejenak
kepanikan melanda Ka, namun kemudian dia melihat si kusir berdiri di jalan masuk
menuju halaman. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berbaring di sebelah
Kadife, di antara tabung-tabung gas kosong.
Perjalanan itu, yang langsung disadari Ka akan melekat selamanya dalam
ingatannya, hanya berlangsung selama delapan menit, namun dirasakannya jauh
lebih lama. Sambil mengira-ngira di bagian kota mana dirinya berada, Ka
mendengarkan orang-orang di Kars mengomentari kereta bobrok yang melintas di
depan mereka, dan dia juga mendengarkan embusan napas lembut dari Kadife yang
berbaring diam di sampingnya. Sekelompok anak laki-laki menangkap tali yang
melambai-lambai di bagian belakang kereta dan menarik-nariknya selama beberapa
waktu. Ka menyukai senyuman manis Kadife untuknya; senyuman itu membuatnya
bahagia, sama seperti anak-anak yang bermain-main di belakang kereta.[]
Bukan Kemiskinan yang Menjadikan Orang-Orang Sep erti Kami Begitu Dekat dengan
Tuhan Pernyataan Lazuardi untuk Dunia Barat
SEMENTARA RODA-RODA kereta kuda bergulir di atas salju, menjadikan Ka
terguncang-guncang seperti bayi, baris-baris pertama sebuah puisi baru
mendatanginya. Tetapi, ketika kereta menaiki trotoar, Ka tersentak dan terlempar
kembali menuju kenyataan. Gemeretak dan derak roda kereta disusul oleh
keheningan yang berlangsung cukup lama, sehingga Ka sempat menerima beberapa
baris tambahan untuk puisinya. Lalu, si kusir mengangkat terpal dan Ka melihat
bahwa mereka berada di dalam sebuah halaman kosong berselimut salju, dikelilingi
sejumlah bengkel mobil dan bengkel las, di dekat rongsokan sebuah traktor. Di
salah satu sudut halaman itu, terdapat seekor anjing terikat rantai. Saat mereka
muncul dari balik terpal, binatang itu menyambut mereka dengan beberapa kali
menyalak. Mereka melewati sebuah pintu dari kayu kenari, lalu sebuah pintu lagi, dan Ka
melihat Lazuardi sedang memerhatikan halaman yang berselimut salju. Sekali lagi,
Ka terpana melihat kilauan merah di rambut cokelat Lazuardi, bintikbintik di
wajahnya, dan matanya yang biru tua pe -
kat. Saat berjalan melewati satu lagi ruangan kusam yang dipenuhi berbagai macam
perangkat yang familier (pengering rambut yang sama seperti sehari sebelumnya,
koper terbuka yang sama, dan asbak plastik "Ersin Electric1 yang sama, dengan
sosok-sosok Utsmani menghiasi sisinya, Ka tidak butuh waktu lama untuk menebak
bahwa Lazuardi telah pindah sejak semalam sebelumnya. Tetapi, dari senyuman
dinginnya, Ka dapat menduga bahwa Lazuardi telah menyesuaikan diri dengan
situasi baru ini, dan bahkan agak bangga terhadap dirinya sendiri karena
berhasil meloloskan diri dari pihak yang berwenang.
"Satu hal yang pasti,1 kata Lazuardi, "Anda tidak bisa menulis apa pun tentang
gadis-gadis pelaku bunuh diri itu sekarang.1
"Mengapa tidak"1
"Karena miiter tidak menginginkan siapa pun menulis artikel tentang mereka, sama
seperti saya.1 "Saya bukan juru bicara militer,1 ujar Ka, berhati-hati. "Saya tahu itu.1
Selama beberapa saat yang terasa lama dan penuh ketegangan, kedua pria itu
saling memandang. "Kemarin, Anda mengatakan kepada saya bahwa Anda berniat menulis tentang para
gadis pelaku bunuh diri itu dan menerbitkannya di pers Barat,1 kata Lazuardi.
Mengingat kebohongan kecilnya sendiri, Ka merasa
malu. "Surat kabar Barat manakah yang ada dalam pikiran Anda"1 tanya Lazuardi
sekarang. "Di koran Jerman yang manakah Anda memiliki kenalan"1
"Di Frankfurter Rundschau,' jawab Ka.
"Siapa"1 "Itu adalah sebuah koran liberal di Jerman.1 "Siapa
nama kenalan Anda"1 "Hans Hansen,1 jawab Ka, memeluk mantelnya erat-erat.
"Saya punya pernyataan untuk Hans Hansen. Saya berniat untuk menyampaikan
kecaman saya terhadap kudeta,1 kata Lazuardi. "Kita tidak punya banyak waktu;
saya ingin Anda menulis pernyataan saya ini sekarang juga.1
Ka membuka halaman belakang buku catatan puisinya dan mulai mencatat.
Lazuardi mengatakan bahwa sejauh ini, tiga puluh delapan korban telah tewas
(angka kematian yang sesungguhnya, termasuk korban yang tewas tertembak di
gedung teater, adalah tujuh belas). Sejumlah besar rumah dan sekolah telah
dijarah, dan tank-tank meluluhlantakkan sembilan perkampungan kumuh (angka yang
sesungguhnya adalah empat). Setelah menyebutkan angka pelajar yang tewas akibat
disiksa, Lazuardi menambahkannya dengan angka pertikaian jalanan yang
sepengetahuan Ka belum pernah disebutkan oleh orang lain. Lazuardi sedikit
melebih-lebihkan saat menambahkan secara sambil lalu tentang penderitaan bangsa
Kurdi yang pernah mendapatkan kunjungan dari para Islamis. Dia mengatakan bahwa
negara telah mengatur supaya wali kota dan direktur Institut Pendidikan dibunuh
untuk memberikan alasan bagi terjadinya kudeta. Dan, kudeta itu sendiri
dirancang untuk mencegah golongan Islamis memenangi pemilihan. Pencekalan
terhadap semua partai dan asosiasi politik membuktikan pernyataannya ini,
katanya. Ketika Lazuardi menjelaskan lebih banyak lagi detail, Ka menatap langsung ke
mata Kadife gadis itu mendengarkan setiap patah kata yang diucapkan Lazuardi. Di
bagian pinggir halaman-halaman yang nantinya akan dirobek dari buku catatannya,
Ka mencoretkan berbagai macam bentuk dan gambar yang membuktikan bahwa dirinya
sedang memikirkan Ypek: sebentuk leher jenjang, rambut yang terurai, gambar
rumah yang kekanak-kanakan, dengan asap kekanak-kanakan yang membubung dari
cerobong asap kekanak-kanakan. Bertahuntahun kemudian, Ka menjelaskan kepadaku
bahwa ketika seorang penyair yang baik dihadapkan pada fakta-fakta menyulitkan
yang dapat dipastikan kebenarannya namun juga bertentangan dengan puisi, tidak
ada pilihan lain baginya kecuali melarikan diri ke bagian pinggir halaman.
Pelarian seperti inilah, katanya, yang memungkinkan dirinya mendengar musik
tersembunyi yang menjadi sumber dari segala karya seni.
Ka cukup menghargai sebagian pernyataan Lazuardi sehingga dia menulisnya kata
per kata di buku catatannya. "Bertentangan dengan apa yang sepertinya dipikirkan
oleh Barat, bukan kemiskinan yang menjadikan orang-orang seperti kami begitu
dekat dengan Tuhan. Faktanya adalah, tidak ada seorang pun yang lebih penasaran
dari kami untuk mencari tahu mengapa kita berada di atas bumi ini dan apa yang
akan terjadi pada kita di dunia berikutnya."
Tetapi, alih-alih menjelaskan tentang sumber kepenasaranan ini dan mengungkapkan
tujuan manusia di muka bumi, kalimat terakhir Lazuardi justru mencerminkan
sebuah tantangan: "Akankah dunia Barat, yang menganggap penemuan dan
demokrasinya yang hebat lebih serius daripada Sabda Tuhan, menentang kudeta ini
dan mengakhiri masa demokrasi di Kars?" Dia terdiam sejenak untuk menekankan
ucapannya. "Atau, haruskah kita menyimpulkan bahwa demokrasi, kemerdekaan, dan
hak asasi manusia tidak ada artinya, bahwa yang diinginkan oleh Barat hanyalah
supaya seluruh dunia meniru mereka seperti monyet" Dapatkah Barat menghadapi
demokrasi apa pun yang berhasil dicapai oleh musuh-musuh yang sama sekali tidak
menyerupai mereka" Dan, saya juga ingin mengatakan sesuatu pada semua bangsa
lain yang diremehkan oleh Barat. Saudara-Saudaraku, kalian tidak sendirian..." Dia
kembali terdiam. "Tetapi, apakah Anda bisa memastikan bahwa teman Anda di
Frankfurter Rundscheau akan mencetak semua ucapan saya?"
"Dia tersinggung jika mendengar orang-orang membicarakan Barat seolaholah kata
itu adalah kata ganti orang pertama dengan satu saja sudut pandang," ujar Ka,
masih berhati-hati memilih setiap kata yang diucapkannya.
"Tetapi, memang betul begitu," ujar Lazuardi setelah sekali lagi terdiam. "Lagi
pula, hanya ada satu saja Barat dan satu pandangan kebarat-baratan. Dan,
pandangan kita bertentangan dengannya."
"Faktanya adalah, orang Barat tidak hidup dengan cara seperti kita di sini,"
ujar Ka. "Kehidupan di sana berbeda dengan di sini mereka tidak suka jika semua
orang berpikiran sama. Semua orang, bahkan pedagang yang paling biasa-biasa
saja, merasa perlu menyampaikan pandangan pribadinya. Jadi, jika kita mengatakan
'demokrat Barat1 alih-alih 'Barat1, sama halnya kita membuat orang-orang merasa
bersalah." "Baiklah, lakukan saja apa yang terbaik menurut Anda. Apakah ada yang harus kita
ralat sebelum tulisan ini diturunkan?"
"Meskipun dimulai dengan niat sebagai bahan berita, artikel ini akan menjadi
sesuatu yang lebih menarik; lebih
mirip sebuah proklamasi," ujar Ka. "Mereka mungkin ingin mencantumkan nama
Anda . . dan mungkin menyertakan beberapa detail biografi..."
"Saya sudah menyiapkannya,1 kata Lazuardi. "Mereka harus menyebutkan bahwa saya
adalah salah seorang Islamis yang paling terkemuka di Turki, dan mungkin di
seluruh Timur Tengah.1 "Hans Hansen tidak akan menyebutkannya tepat seperti itu.1 "Apa"1
"Jika Frankfurter Rundscheau yang berlatar belakang sosial-demokratis mencetak
pernyataan dari hanya seorang Islamis Turki, mereka akan tampak seolaholah
sedang berpihak,1 ujar Ka.
"Saya mengerti. Jika pernyataan saya tidak menarik perhatian Herr Hans Hansen,
dia akan mencari alasan untuk mangkir,1 ujar Lazuardi. "Apa yang harus kita
lakukan untuk meyakinkan dia"1
"Bahkan jika para demokrat di Jerman ternyata menentang kudeta miiter di Turki
dan itu pun jika kudeta yang dimaksud benar-benar terjadi, bukan sandiwara
belaka mereka masih akan sangat ragu-ragu jika pihak yang mereka bela adalah
Islamis.1 "Ya, semua orang itu memang takut kepada kami,1 ujar Lazuardi.
Ka tidak yakin apakah Lazuardi sedang menyombongkan diri atau hanya merasa
orang-orang salah paham. "Jadi,1 katanya, "jika Anda bisa menyertakan tanda
tangan dari seorang mantan komunis, seorang liberal, dan seorang nasionalis
Kurdi, Anda tidak akan mendapat kesulitan memasukkan pernyataan ini ke
Frankfurter Rundschau.' "Maksud Anda"1 "Jika kita dapat menemukan dua orang lain di kota ini untuk mendukung pernyataan
Anda, maka kita dapat segera mengusahakan sebuah pernyataan bersama,1 Ka
menjelaskan. "Saya tidak akan minum anggur hanya untuk membuat orang Barat menyukai saya,1
ujar Lazuardi. "Saya tidak akan meniru tingkah mereka supaya mereka bisa cukup
lama menyingkirkan rasa takut mereka sehingga akhirnya bisa memahami apa yang
saya lakukan. Dan, saya tidak akan merendahkan diri di hadapan orang Barat ini,
Herr Hans Hansen ini, hanya untuk membuat para ateis yang tidak mengenal Tuhan
di seluruh dunia mengasihani kami. Memangnya siapa Herr Hans Hansen ini" Mengapa
dia harus menetapkan banyak syarat" Apakah dia seorang Yahudi"1
Ka tidak menjawab. Merasa Ka mengira dirinya salah bicara, Lazuardi memelototinya dengan penuh
kebencian. "Bangsa Yahudi adalah penindas terbesar di dunia ini,1 katanya,
berusaha menenangkan diri. "Sebelum saya mengubah sepatah kata pun dalam
pernyataan saya, saya ingin tahu lebih banyak tentang Hans Hansesn ini.
Bagaimanakah Anda berjumpa dengannya"1
"Saya mengenalnya dari seorang teman sesama orang Turki yang mengabarkan kepada
saya bahwa Frankfurter Rundschau akan membuat liputan tentang Turki, dan
penyusunnya ingin berbicara dengan seseorang yang akrab dengan latar
belakangnya.1 "Jadi, mengapa Hans Hansen tidak bertanya kepada teman Anda saja" Mengapa dia
harus berbicara dengan Anda"1
"Teman Turki saya itu tidak memiliki latar belakang seluas saya dalam bidang
ini.1 "Saya akan menebak bidang apa yang Anda maksud,1 kata Lazuardi. "Penyiksaan,
kebrutalan, kondisi penjara, dan berbagai macam hal lain yang membuat kita
terlihat semakin buruk.1

Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin, sekitar waktu itu, beberapa orang siswa madrasah aliah di Malatya
membunuh seorang ateis,1 ujar Ka.
"Saya tidak ingat pernah mendengar tentang kejadian itu,1 ujar Lazuardi. Dia
menatap Ka dengan cermat. "Sungguh tidak bisa diterima jika Islamis masuk
televisi untuk menyombongkan diri karena telah membunuh seorang saja ateis
malang, tapi sangat mengagetkan jika para sekularis orientalis menjelek-jelekkan
Islamis dengan menayangkan berita tentang angka kematian yang sudah dibengkakkan
menjadi sepuluh atau lima belas. Jika Herr Hans Hansen adalah salah seorang dari
mereka, lebih baik kita lupakan saja dia.1
"Yang dilakukan oleh Hans Hansen hanyalah memberikan beberapa pertanyaan kepada
saya tentang Uni Eropa dan Turki. Saya menjawab pertanyaan-pertanyaan-nya.
Seminggu kemudian, dia menelepon saya lagi. Dia mengundang saya untuk makan
malam di rumahnya.1 "Begitu saja tanpa alasan apa pun"1
"Ya.1 "Itu mencurigakan sekali. Apakah yang Anda lihat saat berada di rumahnya" Apakah
dia memperkenalkan Anda dengan istrinya"1
Ka melirik Kadife, yang duduk di dekat tirai yang tertutup rapat, menatapnya
tajam. "Hans Hansen memiliki keluarga yang ramah dan bahagia,1 ujar Ka. "Pada suatu
malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Hans Hansen menjemput saya dari
Bahnhof. Satu jam kemudian, kami tiba di sebuah rumah indah yang terang
benderang, yang dikelilingi oleh taman. Mereka semua sangat baik kepada saya.
Kami makan ayam panggang dan kentang. Istrinya merebus kentangnya terlebih
dahulu sebelum memanggangnya di oven.1 "Seperti apakah istrinya?"
Ka mengembalikan ingatannya pada Hans Hansen si pramuniaga di Kaufhof yang
menjual mantel kesayangannya. "Hans Hansen berambut pirang, tampan, dan berdada
bidang; istrinya Ingeborg dan anak-anaknya juga pirang dan rupawan."
"Apakah Anda melihat tanda salib di dindingnya?" "Saya tidak ingat. Sepertinya
tidak." "Ada tanda salib di sana, tapi mungkin Anda tidak memerhatikannya," ujar
Lazuardi. "Bertentangan dengan dugaan para ateis pemuja Eropa kita, semua
intelektual Eropa menganggap agama dan salib mereka secara sangat serius. Tapi,
ketika orang-orang kita itu pulang ke Turki, mereka tidak pernah menyebutkannya,
karena yang mereka ingin lakukan hanya menggunakan supremasi teknologi Barat
untuk membuktikan superioritas ateisme .... Katakanlah apa yang Anda lihat kepada
saya, juga apa yang kalian bicarakan."
"Meskipun dia bekerja di bagian berita luar negeri di Frankfurter Rundschau,
Herr Hans Hansen adalah seorang pecinta sastra. Percakapan kami segera beralih
ke puisi. Kami membicarakan berbagai macam puisi, negara, dan cerita. Saya tidak
menyadari betapa waktu berjalan dengan cepat."
"Apakah mereka mengasihani Anda" Apakah hati mereka melembut hanya karena Anda
adalah seorang Turki yang menderita, seorang buangan politik yang kesepian,
jenis orang Turki yang dipukuli oleh pemuda Jerman yang mabuk hanya untuk
bersenang-senang?" "Entahlah. Tidak seorang pun menekan saya."
"Bahkan kalaupun dia tidak menekan Anda dan mengatakan betapa dia mengasihani
Anda, sudah menjadi naluri manusia untuk mencari belas kasihan. Ada ribuan
intelektual Turki Kurdi di Jerman yang menjadikan belas kasihan sebagai modal
kehidupan." "Keluarga Hans Hansen anak-anaknya mereka semua orang baik. Mereka tulus, lemah
lembut. Mungkin mereka terlalu tulus untuk memperlihatkan kepada saya seberapa
banyak mereka mengasihani saya. Saya sangat menyukai mereka. Bahkan seandainya
mereka memang mengasihani saya, saya tidak akan keberatan."
"Dengan kata lain, situasi ini tidak menghancurkan harga diri Anda."
"Mungkin saja harga diri saya terluka, tapi malam itu tetap menyenangkan bagi
saya. Lampu di meja-meja kopi memancarkan cahaya oranye yang sangat membuat
nyaman. Jenis sendok dan garpu yang digunakan tidak pernah saya lihat
sebelumnya, tapi jenisnya tidak terlalu istimewa juga sehingga saya masih nyaman
memakainya .... Televisi menyala sepanjang malam dan mereka berulang kali
meliriknya, dan hal ini juga membuat saya merasa seperti berada di rumah
sendiri. Kadangkadang, saat mereka melihat saya kesulitan memahami bahasa Jerman
yang mereka ucapkan, mereka kemudian berbicara dalam bahasa Inggris. Setelah
kami selesai makan, anak-anak meminta bantuan ayah mereka untuk mengerjakan PR;
saat mengantarkan anak-anak mereka tidur, pasangan
suami istri itu mencium mereka. Sesudah kami menyantap hidangan utama, mereka
telah membuat saya begitu betah sehingga tanpa ragu-ragu saya mengambil potongan
kue kedua untuk pencuci mulut. Dan, tidak seorang pun memerhatikannya atau,
seandainya mereka memerhatikannya, mereka bertingkah seolaholah tindakan saya
itu adalah hal terwajar di dunia ini. Saya berulang kali memikirkan tentang hal
ini sesudahnya." "Kue apakah yang kaumakan?" tanya Kadife.
"Torte Wina dengan buah ara dan cokelat."
Setelah terdiam sejenak, Kadife bertanya. "Apakah warna tirai di rumah mereka"
Bagaimana motifnya?"
"Tirainya berwarna putih tulang atau krem," jawab Ka. Dia berusaha bersikap
seolaholah sedang mengingat dengan keras. "Seingatku, sepertinya tirai itu
bergambar ikan-ikan kecil, dan bunga, dan bulan, dan buah-buahan berbagai
warna." "Dengan kata lain, jenis bahan yang dibeli untuk anak-anak?"
"Tidak juga atmosfer di rumah itu sangat serius. Kalau menurutku begini: mereka
keluarga bahagia, tapi itu bukan berarti mereka tersenyum setiap menit, seperti
yang kita lakukan di sini bahkan meskipun tak ada yang membuat tersenyum.
Mungkin karena inilah mereka bahagia. Bagi mereka, kehidupan adalah masalah
serius yang harus dihadapi secara bertanggung jawab. Kehidupan bukanlah
perjuangan tanpa jalan keluar atau urusan menyakitkan seperti di sini. Tapi,
keseriusan mereka dalam mewujudkan tujuan hidup menjiwai setiap aspek dalam
kehidupan mereka. Sama seperti bulan dan ikan dan semacamnya di tirai mereka
membantu mengangkat semangat hidup mereka."
"Apakah warna taplak mejanya?" tanya Kadife.
"Aku tidak ingat," jawab Ka, berpura-pura mengerahkan seluruh tenaganya untuk
mengingat-ingat lebih banyak lagi detail.
"Dan, berapa kalikah Anda berkunjung ke rumah itu," tanya Lazuardi dengan
kejengkelan tersamar. "Saya sangat menikmati malam itu, sehingga saya sangat berharap akan adanya
kunjungan kedua. Tapi, Hans Hansen tak pernah mengundang saya lagi."
Anjing yang dirantai di halaman menyalak lebih nyaring. Saat Lazuardi
memelototinya dengan marah, Ka melihat ekspresi melankolis di wajah Kadife.
"Berkali-kali, saya ingin menelepon mereka,1 Ka bersikeras melanjutkan
ceritanya. "Kadangkadang saya berpikir apakah Hans Hansen menelepon saya untuk
mengundang makan malam lagi saat saya sedang tidak ada di rumah, dan kapan pun
pikiran ini muncul, sulit bagi saya untuk tidak segera meninggalkan perpustakaan
dan berlari pulang. Saya sangat mendambakan bisa melihat lagi bufet indah dengan
cermin di belakang rak-raknya, juga kursi-kursi di rumah itu saya sudah
melupakan warnanya, tapi kalau tidak salah kuning lemon. Saya membayangkan duduk
bersama mereka lagi saat mereka mengiris roti di meja, dan mereka akan menoleh
untuk bertanya kepada saya, "Apakah setebal ini cukup"1 (Seperti yang Anda
ketahui, orang Eropa tidak makan roti sebanyak kita.) Tidak ada salib di tembok
mereka, hanya sebuah lukisan pemandangan Alpen yang indah dan besar. Saya
bersedia memberikan segalanya supaya dapat melihat semua itu lagi.1
Ka melihat Lazuardi memandangnya dengan kebencian meledak-ledak.
"Tiga bulan kemudian, seorang teman saya datang
membawa kabar dari Turki,1 ujar Ka. "Berita mencemaskan itu menyangkut gelombang
baru penyiksaan, kebrutalan, dan perusakan, dan saya menggunakannya sebagai
alasan untuk menelepon Hans Hansen. Dia mendengarkan cerita saya dengan penuh
perhatian, dan lagi-lagi, dia sangat tulus dan sopan. Berita pendek pun muncul
di koran. Saya tidak peduli dengan penyiksaan dan kematian yang dilaporkan dalam
artikel itu. Saya hanya ingin Hans Hansen menelepon saya lagi. Tapi, dia tidak
pernah menelepon lagi. Berulang kali, saya mempertimbangkan gagasan untuk
menulis surat kepadanya, untuk mencari tahu apakah saya telah berbuat salah,
untuk medudukkan-nya di sebuah kursi di sudut, namun sekarang mereka bertingkah
sangat janggal, sehingga Ka yakin bahwa mereka sedang bersandiwara untuk
mengelabui dirinya. "Tarik lagi ucapanmu," Kadife terisakisak.
"Aku menarik lagi ucapanku," jawab Lazuardi. Suaranya seperti suara orang dewasa
yang sedang menenangkan seorang bocah yang rewel. "Dan, untuk membuktikannya
kepadamu, aku sudah siap untuk mengabaikan lelucon kafir yang dilontarkan oleh
ayahmu setiap pagi, siang, dan malam. Aku juga akan menandatangani pernyataan
bersama dengannya. Tapi, karena mungkin saja perwakilan Hans Hansen yang ada di
sini" dia berhenti berbicara untuk tersenyum kepada Ka "karena mungkin saja dia
berusaha menjebak kita, aku tidak akan datang ke hotelmu. Apa kau paham,
Sayang?" "Tapi ayahku tak pernah meninggalkan hotel," kata Kadife. Ka menjadi kesal saat
melihat Kadife berbicara seperti seorang gadis kecil yang manja. "Kemiskinan di
Kars merusak semangatnya."
"Kalau begitu, kau harus meyakinkan ayahmu untuk
sekali saja keluar, Kadife," ujar Ka, dengan nada memerintah yang belum pernah
digunakannya kepada Kadife.
"Kota ini tidak akan membuatnya kesal sekarang sal-ju menutupi segalanya." Dia
menatap langsung mata Kadife.
Kali ini, Kadife memahami maksud Ka. "Baiklah," katanya. "Tapi, sebelum dia
meninggalkan hotel, seseorang harus bisa meyakinkan dia supaya mau mencantumkan
namanya di dokumen yang sama dengan seorang Islamis dan seorang nasionalis
Kurdi. Siapakah yang akan melakukannya?"
"Aku," jawab Ka. "Dan kau bisa menolongku."
"Di manakah mereka akan bertemu?" tanya Kadife. "Bagaimana jika semua ini omong
kosong belaka dan akhirnya ayahku yang malang akan ditahan" Bagaimana jika dia
harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara?"
"Ini omong kosong," tukas Lazuardi. "Jika ada satu atau dua bahan berita untuk
pers Eropa, Ankara akan berbisik ke beberapa telinga dan menghentikan
peredarannya." "Ini bukan soal memasukkan berita ke pers Eropa. Tujuan dari semua ini hanyalah
untuk memasukkan namamu ke pers Turki, bukan begitu?" tanya Kadife.
Saat Lazuardi menjawab pertanyaan ini dengan senyuman manis penuh toleransi, Ka
merasakan kehormatan untuk pria itu. Baru saat itulah dia menyadari bahwa koran-
koran Islamis berskala kecil di Istanbul akan menyambar penyebutan sekecil apa
pun di Frankfurter Rundschau dan membesar-besarkannya dengan penuh kebanggaan.
Ini akan membuat Lazuardi terkenal di seluruh penjuru Turki.
Keheningan panjang menyusul. Kadife mengeluarkan sehelai saputangan dan menyeka
matanya. Ka membayangkan bahwa segera setelah dirinya pergi, pasangan kekasih
ini akan bertengkar dan bercinta. Apakah mereka menginginkan dia pergi" Tinggi
di langit, sebuah pesawat menderu. Mereka semua mengalihkan pandangan ke bagian
atas jendela, mengamati langit, mendengarkan.
"Pesawat tidak pernah melewati tempat ini," ujar Kadife.
"Sesuatu yang sangat aneh sedang terjadi, sesuatu yang luar biasa," kata
Lazuardi, menertawakan ketakutannya sendiri. Tapi, dia tampak kesal saat Ka
turut tertawa bersamanya.
"Katanya, kalaupun suhu turun sampai di bawah minus dua puluh derajat,
pemerintah tak akan pernah mengakuinya,1 kata Ka.
Lazuardi menatap Ka dengan garang.
"Yang kuinginkan hanyalah kehidupan yang normal,1 kata Kadife.
"Kau menyia-nyiakan kesempatanmu untuk menjalani kehidupan yang normal dan borjuis,1 kata Lazuardi. "Inilah yang menjadikanmu
seorang manusia istimewa.1
"Tapi, aku tak mau menjadi istimewa. Aku mau menjadi seperti semua orang lain.
Jika bukan karena kudeta, siapa yang tahu" Aku bahkan mungkin akan memutuskan
untuk menjadi seperti semua orang lain dan mencopot jilbabku.1
"Semua wanita di sini memakai jilbab,1 tukas Lazuardi.
"Itu tidak benar. Sebagian besar wanita berwawasan yang memiliki latar belakang
dan tingkat pendidikan sama denganku tidak memakai jilbab. Jika ini masalah
menjadi orang biasa dan supaya bisa diterima di mana-mana, aku dapat dipastikan
akan menjauhkan diriku dari rekan-rekan segolonganku dengan memakai jilbab. Ada
unsur harga diri di sini yang membuatku sama sekali tidak bahagia.1
"Kalau begitu, terserah kau saja, copotlah jilbabmu besok,1 kata Lazuardi.
"Orang-orang akan memandangnya sebagai kemenangan bagi junta.1
"Semua orang tahu bahwa, tidak seperti dirimu, aku tidak menjalani kehidupanku
dengan memikirkan apa yang dipikirkan oleh orang-orang lain,1 kata Kadife.
Wajahnya memerah karena marah.
Sekali lagi, Lazuardi menanggapi ucapan Kadife dengan menyunggingkan senyuman
manis, namun kali ini Ka dapat melihat bahwa pria itu mengerahkan seluruh
tenaganya untuk melakukan hal itu. Dan, Lazuardi melihat bahwa Ka
memerhatikannya. Kedekatan yang canggung meliputi kedua pria itu, membuat Ka
merasa seperti sedang melanggar privasi sepasang kekasih. Saat mendengarkan
Kadife mencecar kekasihnya, dan saat menangkap hasrat bercinta yang tersembunyi
dalam suara gadis itu, Ka merasa Kadife sedang memamerkan kebobrokan mereka
kepadanya dan Kadife melakukannya bukan saja untuk memancing kemarahan Lazuardi
melainkan juga untuk membuat Ka malu karena telah menyaksikannya. Dan, mungkin
ada yang akan mempertanyakan, mengapakah Ka memiih saat ini untuk teringat pada
surat-surat cinta dari Necip untuk Kadife yang telah disimpannya di saku
mantelnya sejak semalam sebelumnya"
"Mengenai gadis-gadis yang telah dizalimi dan dikeluarkan dari sekolah gara-gara
mereka mengenakan jilbab, kita bisa memastikan mereka tidak disebut-sebut dalam
artikel-artikel ini." Nada suara Kadife selaras dengan kilatan marah di matanya.
"Mereka tidak akan tertarik dengan para wanita yang hidupnya telah hancur, dan
alih-alih, kita akan memasukkan foto-foto Islamis kampungan
bodoh dan penakut yang berjuang membela nama mereka. Jika foto seorang wanita
muslim muncul di koran, itu pasti disebabkan karena suaminya adalah wali kota
atau apa, dan dia kebetulan berdiri di dekat pria itu dalam sebuah acara
keagamaan. Karena alasan seperti inilah aku akan lebih marah jika fotoku dimuat
di koran. Aku mengasihani para pria yang menyia-nyiakan begitu banyak tenaganya
supaya diri mereka terkenal, sementara kami berbuat sebisa mungkin untuk menjaga
privasi kami. Karena itulah aku berpendapat bahwa menyebutkan gadis-gadis pelaku
bunuh diri itu penting untuk dilakukan. Pikirkanlah, kurasa aku sendiri berhak
mengatakan satu atau dua hal kepada Hans Hansen.1
"Itu akan sangat bagus,1 sambar Ka, tanpa berpikir. "Kau bisa turut
menandatangani pernyataan ini sebagai wakil dari golongan feminis muslim.1
"Aku tidak bermaksud mewakili siapa pun,1 kata Kadife. "Jika aku mau berhadapan
dengan orang Eropa, aku akan menjadi diriku sendiri, menceritakan kisahku
sendiri seluruh kisahku, lengkap dengan seluruh dosa dan kebo-dohanku. Kautahu
bagaimana kau kadangkadang bertemu dengan seseorang yang belum pernah kautemui,
seseorang yang kau yakin tidak akan kautemui lagi, dan kau tergoda untuk
menceritakan segalanya kepadanya, seluruh kisah kehidupanmu sama seperti tokoh
novel-novel Eropa yang kubaca saat aku masih lebih muda, yang mengatakan kisah
mereka kepada si penulis" Aku tidak akan keberatan jika harus berbuat seperti
itu pada empat atau lima orang Eropa.1
Terdengar sebuah ledakan yang sepertinya berasal dari tempat yang sangat dekat;
seluruh rumah berguncang dan jendelajendela bergetar. Satu atau dua detik
kemudian, Lazuardi dan Ka berdiri secara bersamaan.
"Biar aku saja yang melihat,1 ujar Kadife, yang tampak paling tenang di antara
mereka bertiga. Ka mengintip dengan gelisah dari balik tirai. "Keretanya tidak ada di sana,1
katanya. "Berbahaya baginya jika menunggu terlalu lama di halaman,1 kata Lazuardi. "Saat
keluar nanti, Anda akan melewati pintu samping.1
Ka mengartikan ucapan Lazuardi tersebut sebagai "Bagaimana kalau Anda pergi
sekarang"1, namun dia justru kembali duduk dan menunggu, saling melontarkan
tatapan penuh kebencian dengan Lazuardi. Ka teringat akan ketakutan yang
dirasakannya saat dia masih kuliah, kapan pun dia berjalan di koridor gelap dan
kosong, lalu berpapasan dengan mahasiswa nasionalis dari berbagai tingkat
keekstreman yang membawa senjata, namun setidaknya pada masa itu tidak ada
gelombang seksual yang terlibat.
"Kadangkadang, saya bisa menjadi sedikit paranoid," kata Lazuardi. "Tapi ini
tidak berarti Anda bukan mata-mata Barat. Anda mungkin menganggap diri Anda
bukan mata-mata, dan Anda mungkin tidak berminat menjadi mata-mata, namun ini
tidak mengubah situasi. Anda adalah orang asing bagi kami. Anda membuat gadis
yang taat dan penuh kasih sayang ini ragu-ragu, dan ini dibuktikan dengan hal-
hal aneh yang diucapkannya. Dan sekarang Anda mengatakan semua pandangan Barat
Anda yang memuakkan, mungkin bahkan sambil menertawakan kami dalam hati. Saya
tidak keberatan, begitu pula Kadife, namun dengan melontarkan gagasan-gagasan
naif Anda kepada kami, dengan menggembar-gemborkan tentang perburuan kebahagiaan


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan keadilan yang dilakukan orang Barat, Anda telah membuat kami kebingungan.
Ta-pi, saya tidak marah kepada Anda, karena, seperti semua orang baik lainnya,
Anda tidak menyadari adanya kejahatan di dalam diri Anda. Meskipun begitu,
setelah sekarang Anda mendengar dari saya, sejak saat ini Anda tidak akan bisa
lagi menganggap diri Anda tulus."f J
Bertalianlah Anakku, Pertolongan Sedang Datang dari
Kars Ka Berusaha Meyakinkan Turgut untuk Menandatangani Pernyataan
KA MENINGGALKAN rumah tanpa dilihat oleh seorang pun di halaman ataupun di
bengkel-bengkel di sekeliing tempat itu, dan langsung berjalan menuju pasar. Dia
memasuki toko alat tulis dan kaset tempatnya mendengar Peppino di Capri
menyanyikan "Roberta" sehari sebelumnya. Dia mengeluarkan surat Necip untuk
Kadife dan menyerahkannya, lembar demi lembar, kepada remaja pucat beralis tebal
yang bertugas mengoperasikan mesin fotokopi. Tetapi, untuk melakukan hal ini,
pertama-tama Ka harus membuka amplop surat itu. Maka, ketika semua lembaran
surat tersebut sudah selesai difotokopi, dia memasukkan surat-surat asli dari
Necip ke dalam sebuah amplop baru yang terbuat dari kertas buram murahan, sama
seperti kertas surat yang digunakan Necip, dan, meniru sebisa mungkin tulisan
tangan pemuda itu, Ka menulis nama Kadife Yildiz di amplop.
Siap berjuang demi kebahagiaannya, mengatakan kebohongan apa pun yang perlu
dikatakannya, melakukan tipuan apa pun untuk mewujudkan mimpinya, Ka bergegas
kembali ke hotel, menikmati bayangan Ypek yang terwujud di benaknya. Hujan salju
kembali turun kepingankepingan salju yang besar, sama seperti sebelumnya. Semua
orang di jalan sepertinya lelah dan tegang, seperti yang sewajarnya terjadi pada
malam-malam biasa. Di persimpangan antara Jalan Gerbang Istana dan Jalan
Halitpa?a, sebuah gerobak bersimbah lumpur yang ditarik oleh seekor kuda
terjebak di dalam kubangan salju. Wiper truk yang menunggu di belakang gerobak
tersebut tak mampu lagi membersihkan kaca depan kendaraan itu dari timbunan
salju. Ka memandang para pejalan kaki yang menenteng tas plastik dan
membayangkan mereka semua berlari pulang untuk menyongsong kebahagiaan. Meskipun
dapat merasakan atmosfer sendu yang mendatangkan kembali ingatan tentang malam-
malam musim dingin kelabu pada masa kecilnya, Ka tetap bertekad penuh, tanpa
tergoyahkan, untuk memulai kehidupannya dengan cara baru.
Ka berjalan langsung ke kamarnya, menyembunyikan salinan surat Necip di dasar
kopernya, bahkan sebelum dia melepas mantel dan menggantungnya, lalu mencuci
tangannya sebersih mungkin, nyaris berlebihan. Lalu, tanpa betul-betul
mengetahui alasannya, dia menyikat gigi (sesuatu yang biasa dilakukannya pada
malam hari). Merasakan sebuah puisi baru sedang mendatanginya, Ka menghabiskan
waktu dengan berlama-lama menatap ke luar jendela, menikmati kehangatan yang
terpancar dari radiator. Tetapi, alih-alih puisi baru, gelombang kenangan masa
kecillah yang justru mendatanginya: pagi hari musim semi yang cerah, saat dia
menemani ibunya ke BeyoSIu untuk membeli kancing baju, dan seorang "pria kotor"
membuntuti mereka; hari ketika ibunya pergi bersama ayahnya untuk melakukan
perjalanan keliing Eropa, dan dia memandang taksi yang membawa mereka dari Ni?-
anta? menuju bandara menghilang di sudut jalan; waktu yang dihabiskannya dengan
berdansa bersama seorang gadis jangkung berambut panjang dan bermata biru dalam
sebuah pesta di Biiyukada (selama berhari-hari kemudian, lehernya terasa kaku
dan tak bisa digerakkan) dia jatuh cinta kepada gadis itu, namun tidak tahu
bagaimana dia bisa menghubunginya .... Kenangan-kenangan ini tidak berhubungan
satu sama lain, kecuali bahwa semuanya memiliki keterkaitan dengan cinta. Ka
tahu betul bahwa kehidupan adalah rangkaian tanpa arti dari berbagai kejadian
acak. Ka menuruni tangga dengan penuh semangat, seperti seseorang yang baru saja tiba
di suatu tempat yang sudah direncanakannya untuk dikunjungi sejak bertahuntahun
sebelumnya. Lalu, dengan ketenangan yang bahkan membuat dirinya sendiri heran,
dia mengetuk pintu putih yang memisahkan lobi dengan kantor pemilik hotel. Si
pelayan Kurdi membukakan pintu, dan ekspresi wajahnya, setengah bersekongkol,
setengah menghormati, tampak sangat Turgenev. Ka memasuki ruangan tempat mereka
menyantap makan malam dan mendapati Turgut Bey duduk bersebelahan dengan Ypek di
atas sebuah dipan panjang yang menghadap ke pintu belakang; mereka sedang
menonton televisi. "Kadife, dari mana saja kamu" Acaranya hampir dimulai," kata Turgut Bey.
Cahaya pucat yang masuk melalui jendelajendela rumah Rusia itu memberikan nuansa
yang sangat berbeda pada ruangan luas berlangit-langit tinggi ini daripada
semalam sebelumnya. Ketika ayah dan anak itu melihat bahwa Ka yang memasuki ruangan, sejenak mereka
tampak kaget, seperti sepasang kekasih yang privasinya baru saja dilanggar oleh seorang asing. Tetapi,
Ka serta merta merasa senang saat melihat binar-binar di mata Ypek. Ka duduk di
kursi yang menghadap ke arah ayah dan anak itu sekaligus ke arah televisi, dan
sekali lagi melihat betapa Ypek jauh lebih cantik dalam kenyataan daripada dalam
ingatannya. Hal ini membuat ketakutannya semakin besar, meskipun, tak lama
kemudian, dia berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka ditakdirkan untuk
hidup bahagia selama-lamanya.
"Setiap pukul empat sore, aku dan kedua putriku duduk di dipan ini untuk
menonton Marianna,' kata Turgut Bey. Ada nada malu dalam suaranya, namun juga
hal lain yang mengatakan, "Tapi jangan harap aku akan minta maaf karenanya.1
Marianna, sebuah opera sabun Meksiko, ditayangkan lima kali dalam seminggu oleh
salah satu stasiun televisi besar di Istanbul dan disambut gembira oleh seluruh
negeri. Tokoh utama opera sabun itu adalah seorang gadis mungil yang ceria dan
menawan, dengan mata hijau yang besar dan kulit sangat mulus yang menandakan
kesehatannya; meskipun begitu, dia berasal dari kelas terendah dalam masyarakat.
Marianna yang lugu dan berambut panjang ini telah menjadi yatim piatu sejak
masih kanakkanak, dan dia menghabiskan sebagian besar kehidupannya dalam
kemiskinan dan kesepian. Tidak sehari pun berlalu tanpa adanya kejadian yang
menyedihkan; dan, setiap kali gadis itu jatuh cinta dengan seseorang yang tidak
membalas cintanya atau menjadi korban kesalahpahaman atau tuduhan asal-asalan,
Turgut Bey dan kedua putrinya akan saling berpelukan seperti kucing. Kedua putri
Turgut Bey akan meletakkan kepala di bahu dan dada
ayah mereka, dan mereka bertiga akan meneteskan air mata. Mungkin akibat merasa
malu karena Ka memergoki dirinya begitu terpikat pada sebuah opera sabun konyol,
Turgut Bey melontarkan komentar tentang alasanalasan utama yang menyebabkan
Marianna dan penduduk Meksiko lainnya hidup dalam kemiskinan. Dia bertepuk
tangan saat Marianna berjuang sendirian melawan kapitalis, dan dari waktu ke
waktu, dia berbicara ke layar televisi, "Ber-tahanlah Anakku, pertolongan sedang
datang dari Kars." Saat Turgut Bey mengucapkan kalimat ini, kedua putrinya akan
tersenyum samar dengan mata berkaca-kaca.
Ketika acara itu dimulai, Ka tersenyum, namun kemudian tatapannya bertemu dengan
tatapan Vpek, dan, merasa bahwa Ypek tidak menyambut senyumannya, Ka memasang
ekspresi yang lebih serius.
Selama jeda iklan pertama, dengan cepat dan penuh rasa percaya diri, Ka mulai
mengangkat topik pernyataan bersama. Dalam sekejap, dia berhasil membangkitkan
minat Turgut Bey, yang sepertinya merasa tersanjung karena dianggap serius. Dia
menanyakan dari mana asal gagasan ini dan bagaimana namanya bisa disebut.
Ka mengatakan bahwa dialah yang memutuskan sendiri setelah berkonsultasi dengan
pers liberal di Jerman. Turgut Bey menanyakan tentang oplah Frankfurter
Rundschau dan memikirkan apakah Hans Hansen menyebut dirinya sendiri seorang
"humanis". Untuk mempersiapkan Turgut Bey menemui Lazuardi, Ka menggambarkan
Lazuardi sebagai seorang fanatik agama berbahaya yang telah memahami pentingnya
demokrasi. Tetapi, Turgut Bey sepertinya tidak khawatir. Orang-orang memeluk
agama karena mereka miskin, katanya; dia mengatakan kembali bahwa meskipun
dirinya tidak meyakini apa yang
dilakukan putrinya dan teman-temannya, dia menghormatinya. Dengan cara yang
kurang lebih sama, dia menghormati nasionalis Kurdi siapa pun orangnya;
seandainya dia menjadi pemuda Kurdi yang hidup di Kars saat ini, dia juga akan
menjadi nasionalis yang garang. Turgut Bey mengatakan semua ini dengan nada
bercanda, sama seperti saat dia menawarkan bantuan untuk Marianna. "Tidak tepat
jika aku mengatakannya di depan umum, tapi aku menentang kudeta miiter,1 dia
menyatakan. Ka menenangkan pria itu dengan mengingatkannya bahwa pernyataan ini
tidak akan diterbitkan di surat kabar Turki, dilanjutkan dengan memberitahunya
bahwa satu-satunya tempat dia dapat menemui Lazuardi dengan aman adalah di
pondok yang terletak di atap Hotel Asia. Turgut Bey bisa pergi ke sana melalui
pintu belakang sebuah toko yang berbagi halaman dengan hotel tersebut dan tidak
seorang pun akan bisa menduga apa yang sedang dilakukannya.
"Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa ada juga demokrat sejati di Turki,1
kata Turgut Bey. Dia berbicara dengan cepat karena opera sabun kesukaannya akan
segera berlanjut. Tepat sebelum Marianna muncul kembali, dia melihat jam
tangannya dan bertanya, "Di manakah Kadife"1
Lalu, mereka bertiga kembali menonton Marianna tanpa berkata-kata.
Pada suatu ketika, Marianna menaiki tangga bersama kekasihnya; saat gadis itu
yakin bahwa tidak seorang pun melihat mereka, dia memeluk kekasihnya erat-erat.
Mereka tidak berciuman, tapi menurut Ka apa yang mereka lakukan lebih
mengundang: mereka saling memeluk dengan sekuat mungkin. Selama keheningan
panjang yang menyusul, terpikir oleh Ka bahwa seluruh penduduk kota
sedang menonton adegan yang sama; di seluruh Kars, ibu-ibu rumah tangga yang
baru saja pulang dari pasar menonton televisi bersama suami mereka; gadis-gadis
SMA menonton bersama anggota keluarga mereka yang telah berumur. Karena semua
orang menonton acara ini, Ka menyadari, bukan hanya jalanan rusak di Kars yang
sepi, melainkan semua jalan di negara ini.
Pada saat itu, Ka juga memahami bahwa sikap intelektual, aktivitas politik, dan
kebanggaan budaya menjadikan keberadaannya membosankan dan menjauhkannya dari
semua perasaan yang sekarang muncul akibat opera sabun ini. Dan, yang terburuk
di antara semuanya, Ka tahu bahwa ini adalah kesalahan bodoh yang dibuatnya
sendiri. Ka juga yakin bahwa, setelah mereka selesai bercinta, Lazuardi dan
Kadife akan berpelukan di sudut ranjang sambil menonton Marianna.
Saat Marianna menatap kekasihnya dan mengatakan, "Aku telah menunggu datangnya
hari ini seumur hidupku,1 Ka tahu bahwa bukan kebetulan jika dirinya sedang
mengucapkan kalimat yang sama di dalam benaknya. Dia berusaha menatap mata Ypek.
Ypek meletakkan kepala di dada ayahnya, dan matanya yang besar, sendu, dan
murung terpaku ke layar televisi, hanyut dalam gairah yang dibangkitkan oleh
opera sabun itu. "Tapi, aku masih khawatir,1 kata kekasih Marianna yang tampan dan berdagu mulus.
"Keluargaku tidak akan menyetujui hubungan kita.1
"Selama kita saling mencintai, tidak ada yang perlu kita takuti,1 kata Marianna
yang berhati mulia. "Hati-hati, Anakku, pria ini adalah musuh terburukmu!1 Turgut Bey berteriak ke
layar televisi. "Aku ingin kau mencintaiku tanpa rasa takut,1 kata
Marianna. Setelah begitu lama memandang mata misterius Ypek, Ka akhirnya berhasil menarik
perhatiannya tapi, Ypek cepat-cepat mengalihkan pandangan. Saat jeda iklan
berikutnya, dia berpaling menatap ayahnya dan mengatakan, "Ayah tersayang,
menurut pendapatku, terlalu berbahaya jika Ayah pergi ke Hotel Asia.1
"Jangan khawatir,1 kata Turgut Bey.
"Ayah sendiri yang selama bertahuntahun mengatakan kepadaku bahwa berkeliaran di
jalanan Kars mendatangkan nasib buruk."
"Ya, tapi jika aku tidak menghadiri pertemuan itu, penyebabnya harus masalah
prinsip, bukan karena aku takut," kata Turgut Bey. Dia menatap Ka.
"Pertanyaannya adalah, sebagai seorang patriot komunis, modern, sekuler, dan
demokrat, apakah yang harus kudahulukan Pencerahan ataukah kehendak rakyat" Jika
aku meletakkan keyakinan paling utamaku pada Pencerahan Eropa, maka aku wajib
menganggap Islamis sebagai musuhku dan tidak boleh mendukung kudeta militer.
Jika, bagaimanapun, komitmen utamaku adalah pada kehendak rakyat jika, dengan
kata lain, aku menjadi seorang demokrat sejati maka aku tidak punya pilihan
kecuali pergi dan menandatangani pernyataan itu. Dari perkataanku itu, yang
manakah yang lebih tepat?"
"Berpihaklah pada pihak yang tertindas dan pergilah untuk menandatangani
pernyataan itu," ujar Ka.
"Tidak cukup hanya menjadi pihak yang tertindas, kau juga harus menjadi pihak
yang benar, karena sebagian besar orang yang tertindas dapat dipandang salah
dari nyaris semua sudut pandang. Apakah yang harus kuyakini?"
"Dia tidak meyakini apa pun," kata Ypek. "Semua orang meyakini sesuatu," kata
Turgut Bey. "Tolonglah, katakanlah pendapatmu kepadaku."
Ka sebisa mungkin meyakinkan Turgut Bey bahwa jika dia menandatangani
pernyataan, dia akan berperan dalam menolong Kars bergerak ke arah demokrasi.
Merasakan kemungkinan kuat Ypek tidak akan mau pergi ke Frankfurt bersamanya, Ka
mulai khawatir dia juga akan gagal meyakinkan Turgut Bey untuk meninggalkan
hotel. Mengekspresikan keyakinan tanpa rasa bersalah sungguh memerdekakan. Saat
berbicara panjang lebar tentang pernyataan bersama, isu-isu demokrasi, hak asasi
manusia, dan berbagai hal lainnya, Ka melihat kilauan cahaya di mata Ypek yang
mengatakan kepadanya bahwa wanita itu tidak memercayai sepatah kata pun yang
diucapkannya. Tetapi, kilauan di mata Ypek tidak mempermalukan dan moralistik.
Yang tampak adalah kebalikannya: kilatan gairah. Mata Ypek mengatakan, "Aku tahu
kau menggembar-gemborkan seluruh kebohongan ini karena kau menginginkanku."
Maka, beberapa menit setelah menemukan pentingnya pemahaman melodramatis, Ka
memutuskan bahwa dia telah mengetahui kebenaran besar kedua yang tak dapat
dimengerti olehnya sepanjang hidupnya: ada wanita yang tidak bisa bertahan dari
pria yang tidak meyakini apa pun kecuali cinta. Melambung karena mendapatkan
penemuan baru ini, Ka meneruskan monolognya tentang hak-hak asasi manusia,
kebebasan berpikir, demokrasi, dan topik-topik lain yang berkaitan. Saat
merentetkan bentuk sederhana dari begitu banyak pandangan intelektual Barat yang
beritikad baik namun tak kenal malu dan membingungkan, juga komentar-komentar
yang diulang kata per kata oleh para pengikut Turki mereka, Ka merasa sangat bersemangat karena
mengetahui bahwa dia akan segera bercinta dengan Ypek, dan selama itu, dia
memandang langsung ke mata Ypek untuk melihat bayangan gairahnya sendiri.
"Kau benar," kata Turgut Bey setelah tayangan iklan selesai. "Di manakah
Kadife?" Saat opera sabun itu berlanjut, Turgut Bey menjadi gugup sebagian dari dirinya
ingin pergi ke Hotel Asia dan sebagian lagi menolak gagasan itu. Seperti seorang
pria tua murung yang tersesat di lautan impian dan hantu, dia membicarakan
tentang kenangan-kenangan politik yang menghampirinya saat dia menonton
Marianna, dan tentang ketakutannya kembali ke penjara, dan tentang tanggung
jawab seorang pria. Ka dapat melihat dengan sangat jelas bahwa Ypek kesal
kepadanya karena dia telah memancing ayahnya ke dalam keadaan mencemaskan ini,
namun Ypek juga mengagumi kecepatan Ka dalam meyakinkan pria tua itu untuk
meninggalkan hotel. Ka tidak keberatan melihat Ypek terus-menerus mengalihkan
pandangan. Dan, ketika opera sabun selesai dan Ypek berpaling kepada ayahnya,
memeluknya erat-erat sambil mengatakan, "Jangan pergi kalau Ayah tak mau pergi.
Ayah sudah cukup menderita karena terlalu banyak menolong orang lain," Ka tidak
merasa tersinggung. Ka melihat awan mendung melintasi wajah Ypek, namun sekarang sebuah puisi baru
yang ceria sedang memasuki kepalanya. Di kursi dekat dapur, yang baru sesaat
sebelumnya diduduki oleh Zahide Hanym yang menonton Marianna sambil berurai air
mata Ka duduk, merasakan gejolak optimisme dalam keheningan, dan mulai menulis.
Lama kemudian, dia memutuskan untuk menjuduli puisinya
"Aku Akan Bahagia", mungkin karena keinginannya untuk menyiksa dirinya sendiri.
Ka baru saja menyelesaikan puisinya tanpa kehilangan sepatah kata pun ketika
Kadife menghambur ke dalam ruangan itu.
Turgut Bey sontak berdiri, memeluk dan mencium putrinya, lalu menanyakan dari
mana dia dan mengapa tangannya begitu dingin. Setetes air mata membasahi pipi
pria itu. Kadife mengatakan bahwa dia pergi ke rumah Hande. Dia tinggal di sana
lebih lama daripada yang diperkirakannya, dan karena tidak ingin melewatkan
Marianna, dia memutuskan untuk menonton film itu di rumah Hande. "Jadi, apa
menurutmu yang akan terjadi pada gadis kita itu?" tanya Turgut Bey (pertanyaan
ini mengacu pada Marianna). Tetapi, tanpa menunggu jawaban Kadife, Turgut Bey
sudah mengalihkan pembicaraan. Awan kegelisahan yang tebal menyelimutinya saat
dia dengan cepat merangkum semua yang didengarnya dari Ka.
Kadife merasa tidak cukup hanya dengan berpura-pura baru mendengar semua ini
untuk pertama kalinya; saat melihat Ka duduk di sudut lain ruangan itu, dia
berpura-pura terkejut. "Senang sekali melihatmu di sini,1 serunya sambil cepat-
cepat menutupi rambutnya, namun kerudungnya belum terpasang rapi saat dia duduk
di depan televisi untuk menasihati ayahnya. Akting terkejut yang ditampilkan
oleh Kadife saat melihat Ka begitu meyakinkan sehingga ketika gadis itu
mendorong ayahnya untuk menghadiri pertemuan dan menandatangani pernyataan
bersama, Ka mengira bahwa Kadife juga sedang berakting. Dan, karena Lazuardi
ingin membuat pernyataan yang layak diterbitkan oleh pers Barat, kecurigaan Ka
bisa jadi benar. Tetapi, Ka dapat melihat dari ekspresi ketakutan di wajah Ypek
bahwa ada sesuatu yang lain


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang terjadi di sini. "Aku akan menemani Ayah ke Hotel Asia,1 kata Kadife.
"Aku tidak akan menjerumuskanmu ke dalam masalah,1 kata Turgut Bey, bersikap
seperti tokoh dalam opera sabun yang selalu mereka tonton bersama, atau dalam
novel yang pernah mereka baca bersama.
"Ayolah, Ayah, jika Ayah terlibat dalam urusan ini, Ayah bisa berhadapan dengan
risiko yang tidak semestinya ayah hadapi,1 kata Vpek.
Sementara Ypek berbicara dengan ayahnya, Ka memerhatikan baik-baik. Sepertinya
dengan semua orang berada dalam ruangan ini segala yang dikatakan Ypek memiliki
arti ganda. Ypek juga memainkan matanya tiba-tiba mengalihkan pandangan, lalu
sesaat kemudian menatap Ka tajam dan Ka menduga bahwa ini adalah caranya
menyampaikan pesan. Lama kemudian, Ka baru menyadari bahwa selain Necip semua
orang di Kars berbicara dengan gaya yang sama, begitu sama sehingga mereka
seolaholah berada dalam kelompok paduan suara. Ka menanyakan kepada dirinya
sendiri apakah kemiskinan yang menjadikan mereka begitu, atau rasa takut,
kesendirian, ataukah kesederhanaan kehidupan mereka. Bahkan saat mengatakan
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 3 Dewa Arak 72 Batu Kematian Pedang Pembunuh Naga 9
^