Kisah Cinta Abadi 6
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari Bagian 6
berbicara sedikit tentang kehilangannya yang tersembunyi dalam tawa dan
nyanyian. Dia masih mau mendengarkan kisah keberhasilanku dengan gembira.
"Setiap kau menang," dia berkata kepadaku, "pikirkanlah Mehrunissa. Kekuasaannya
melemah ketika kekuasaanmu semakin besar."
"Kekuasaan apa yang kumiliki di sini, dengan jarak begitu jauh dari ayahku?"
"Ini." Dia melambai ke arah perbukitan. "Kau adalah Mughal di sini. Kau memiliki
pasukan, kau memiliki daerah kekuasaan; ayahmu tidak bisa merampas semua ini
darimu; hanya kau yang bisa mempersembahkan ini semua kepadanya. Ini adalah
daerah taklukanmu." Arjumand berkata jujur. Di sini, sebenarnya akulah sang Mughal Agung. Semua
menyerahkan benteng mereka, daerah mereka kepadaku. Aku menerimanya atas nama
sang Sultan, tetapi dengan namaku sendiri. Berdasarkan hal ini, kami menjalani
kehidupan yang damai; kami memiliki satu sama lain, kami memiliki anak-anak
kami. Hanya udara panas dan lalat yang tidak menyambut para pendatang. Berita
yang sampai ke tanganku mengabarkan bahwa kesehatan ayahku sudah membaik, dan
pembawa pesan dari Asaf Khan terus membawakan kami kabar-kabar dari istana. Dan
Mehrunissa menahan dirinya.
mm Apa lagi" Tidak ada. Semua kehidupan tidak abadi.
Saat itu malam yang hening, tanpa angin. Arjumand sedang terlelap. Dalam
tidurnya, dia kembali menjadi seperti seorang gadis yang pertama kali kulihat.
Garis-garis usia dan kekhawatiran menghilang dari wajahnya yang cantik, kembali
tampak seperti wajah anak-anak. Aku terus menatapnya, dalam bayangan, malam demi
malam, hingga aku tertidur. Aku dibangunkan oleh Isa pada waktu subuh. Aku bangkit perlahan dari tempat
tidur dan mengikutinya ke koridor. Pembawa pesan dari Asaf Khan menunggu: sang
Sultan sedang sakit parah, mendekati kematian.
Aku berdiri di balkon, mengamati matahari menyinari perbukitan. Cakrawala masih
berwarna ungu kusam, tidak berubah warna sedikit pun.
"Panggil Allami Sa'du-lla Khan kemari. Beri tahu dia untuk membawa dua prajurit,
orang-orang yang bisa kita percaya."
Kamar Khusrav gelap, cahaya belum masuk. Dia terbaring sambil terlelap,
pengawalnya terbaring di lantai, di sudut kamar. Dalam kelelapan tidur, sosoknya
juga berubah. Dia tampak tidak buta, tetapi tampak seperti seorang teman kecil
di masa mudaku. Dia merasakan kehadiranku, terbangun, dan bangkit. Dia menatap
mataku, dan mengetahui apa yang terpancar.
Dia berbisik: "Taktya takhta?"[]
Taj Mahal 1056/1646 Masehi Makam itu sudah selesai. Bangunan itu berdiri di antara kepulan debu, tanah, dan
serpihan-serpihan sisa bangunan, dari tanah kasar dengan jejak roda kereta,
lubang-lubang, parit-parit, serpihan marmer, serbuk batu bata, dan kayu. Makam
itu masih tampak seperti kerangka di depan angkasa biru, sebuah pilar menyerupai
es sedang menangkap bayangannya, di atas iring-iringan yang mendekat dari
bangunan sementara berukuran kecil, di tepi Sungai Jumna.
Para mullah memimpin barisan, membacakan ayat-ayat Quran. Kemudian, Shah Jahan
menghampiri, kepalanya ikut menunduk untuk memanjatkan doa, jari-jarinya dengan
cepat menghitung tasbih mutiara. Beberapa langkah di belakangnya, empat anak
lelakinya mengikutinya: Dara, Shahshuja, Aurangzeb, dan Murad. Sebuah peti mati
sederhana: berupa sebuah kotak yang terbuat dari marmer dingin, polos, di
panggul para lelaki yang berkeringat di bawahnya. Sebuah jalan
menuju gerbang makam terus menanjak hingga setinggi enam meter. Iring-iringan
itu berjalan dengan perlahan, udara dipenuhi oleh gumaman mereka, dan aroma dupa
masih menguar ketika mereka menghilang ke dalamnya. Kemudian, seperti kerumunan
padat yang berkumpul untuk menyaksikan upacara, aroma itu memudar perlahan.
Hanya Isa yang masih tinggal di belakang, memerhatikan dari balkon marmer ke
arah sungai. Baginya, makam ini tampak seperti tonjolan dari bumi, tidak
proporsional: tampak terlalu tipis, terlalu tinggi, entah bagaimana terlihat
rapuh. Tentu saja, makam ini belum selesai. Sebuah landasan belum selesai
dibangun, panjang dan lebarnya dua kali makam, seperti sebuah kolam marmer
raksasa yang membuat marmer tampak seperti mengambang. Kemudian, menara-menara
akan menjulang di atas dua masjid, dan akhirnya taman akan dibangun pula. Isa
mengetahui harga bangunan ini yang sangat fantastis: seribu tiga puluh enam
karung emas telah digunakan untuk memasang pagar yang mengelilingi sarkofagus
dan lampu-lampu besar yang tergantung dari kubah. Seribu tiga puluh enam karung
perak pun telah digunakan untuk pintu-pintu. Setiap ragam batu mulia dan
semimulia, dalam jumlah yang tak terhitung, telah disusun dalam bentuk bunga-
bunga dan tanaman yang menghiasi interiornya. Berlian, batu mirah, zamrud,
mutiara, topaz, giok, safir, batu pirus, batu akik, wonderstone, batu cornelian,
kristal, malachite, agate, lapis lazuli, batu kaca, cangkang kerang,
onyx, chrysoprase, chalcedony, dan jasper. Batu-batu itu telah dipilih dan
disusun dengan presisi matematis oleh seorang ahli perhiasan bukan hanya untuk
merefleksikan cahaya yang berbeda-beda, melainkan untuk memancarkan konfigurasi
astrologis yang diinginkan ke peti mati. Sejumlah besar marmer merupakan hadiah
dari para pangeran Rajput. Dua puluh ribu pekerja telah bekerja siang dan malam
secara bertahun-tahun, dan akan terus melakukan hal tersebut. Isa paham betul
bahwa harta karun Mughal di bawah kakinya akan sangat sulit digenggam, tak
ubahnya aliran Sungai Jumna.
Dia berhenti di pintu masuk diwan-i-khas. Dalam bayang-bayang gelap, sebuah
singgasana merak berdiri. Singgasana ini dibangun oleh Shah Jahan, tetapi
meskipun mewah dan cahaya berwarna madu menyinari kaki-kakinya, singgasana itu
tampak terpencil, terabaikan. Di bawah patung singa emas, dibangun sebuah
landasan emas pula. Landasan itu memiliki lebar sekitar satu meter dan panjang
sekitar satu setengah meter, ditutupi dengan bantal-bantal. Di atasnya
tergantung sebuah kanopi, juga terbuat dari emas, yang disangga oleh dua puluh
pilar yang masing-masing setebal lengan manusia, dihiasi dengan zamrud. Di
puncak kanopi, ada dua patung merak dari emas yang tampak lebih indah
dibandingkan dengan burung merak asli. Bulu-bulu patung merak emas yang penuh
perhiasan memantulkan setiap warna dengan kecemerlangan yang sama. Di antara
mereka, ada sebuah pohon yang berbuah zamrud, batu mirah, berlian, dan mutiara. Bebadat
Khan, ahli perhiasan istana, membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menghiasi
singgasana. Isa duduk di atasnya, mencoba untuk merasakan kekuasaan Mughal Agung, tetapi
hanya bisa merasakan kenyamanan. Ketika dia duduk, suatu emosi aneh merasukinya,
berasal dari singgasana itu sendiri-perasaan kesepian yang dingin dan
menyedihkan. Murthi mengabaikan upacara itu. Dia bertarung dengan batu, dengan keras, terus-
menerus, dan tak kenal lelah bekerja. Tap, tap, tap; setiap serpihan yang dia
pahat mengiris hatinya. Pekerjaan ini harus selesai segera, segera, segera. Dia
bekerja lebih keras, lebih cepat, tanpa pernah bersantai. Dengan setiap ketukan
pahat, dia mendengar menit-menit, jam-jam, dan hari-hari bergulir. Dia berpacu
dengan waktu; saat ini mereka berlari dan terus berlari. Satu tahun berlalu
dalam kehidupannya, satu tahun lagi mendekati kematian. Tangannya yang terkepal
kencang terasa sakit, buku-buku jarinya menonjol. Dalam musim dingin, selama
musim hujan, jari-jarinya sakit, dan dia harus memaksa tangannya untuk
menggenggam pahat. Gopi bekerja di ujung jali yang lain, menggosok marmer dengan
pasir kasar. Di bagian atasnya, marmer itu telah menjadi mulus selicin kaca.
Murthi merasa bangga terhadap putra
sulungnya ini. Dia bekerja dengan kesabaran tinggi seperti ayahnya. Ke atas dan
ke bawah. Ke atas dan ke bawah. Ke atas dan ke bawah. Anak-anak lelaki yang
lebih kecil berkumpul di perapian, bermain dengan api, melemparkan ranting dan
serpihan kayu untuk membuat apinya menari.
Murthi merasa kehilangan Sita. Awalnya, kematian Sita membuatnya terkejut;
kemudian, rasa sakit mulai timbul, mencekiknya. Sepertinya saat ini Sita masih
mengulurkan tangan untuk menuangkan cinta dari hatinya, bagaikan menuangkan
darah. Dia mengingat kemudaan Sita, tawanya di perkampungan, sikap malu-malunya
saat hari pernikahan, yang semua telah menghilang. Dia merasa telah menyia-
nyiakan semua itu dengan sikap dingin yang disengaja. Sita seharusnya bisa
melahirkan anak-anak, dan dia telah mengecewakan Murthi. Sita telah berubah
menjadi lemah dan lesu, bukan hanya tubuhnya, tetapi juga jiwanya. Oh, Murthi
tidak pernah bermaksud mengatakan hal itu. Tidak dapat diragukan lagi, Murthi
tahu bahwa sejak awal Sita tidak pernah mencintainya. Dia telah dipilih untuk
seorang lelaki lain, dan hanya menerima Murthi saat abangnya menghilang, seakan-
akan dia hanyalah sebatang logam yang Sita pungut dari sisi jalan. Dan yang bisa
Murthi lakukan hanyalah menghukumnya, dan karena itu, menghukum dirinya juga.
Hakim memang datang, tetapi sudah terlambat. Sang hakim menyentuh nadi Sita;
ternyata sudah berhenti berdetak. Di akhir kehidupannya, usia Sita
telah tercabut, hanya kemudaan dan kenangan yang tertinggal. Saat ini, semua
yang tersembunyi di balik permukaan seolah menyeruak. Murthi berlutut dan
menyentuhkan bibirnya ke dahi Sita. Ada beberapa helai uban di rambutnya; Murthi
tidak pernah menyadari-dia hanya melihat kecantikan Sita, lengkungan pipinya,
dan kulitnya yang sehalus sutra.
Para perempuan memandikan Sita dan memakaikan bajunya. Mereka menyisiri
rambutnya, membubuhkan kum-kum di dahinya, dan rangkaian bunga di lehernya.
Mereka tetap berada di belakang, menonton upacara, mendengarkan suara dari kulit
tiram, menenangkan bayi-bayi yang menangis, ketika sekelompok kecil orang yang
berduka menyusuri jalanan Mumtazabad menuju ghat.
Isa memerhatikan usungan jenazah itu lewat. Usungan itu sederhana, terbuat dari
batang-batang bambu yang diikat. Tubuh Sita cukup ringan untuk dipanggul oleh
empat orang saja. Isa menatap wajah Sita, hanya hidung dan matanya yang bisa dia
ingat; sisanya tersembunyi di balik karangan bunga dari kuntum-kuntum mawar. Dia
tidak mengiringi upacara itu sampai ke ghat. Sambil berdiri di kejauhan, dia
memerhatikan pendeta menggumamkan sastra, menebarkan ghee dan beras, menyalakan
dupa. Ritual itu memakan waktu yang cukup lama. Awalnya, api terlihat menyala,
bergoyang-goyang di bawah sinar matahari, kemudian perlahan-lahan memudar.
Kematian selalu merenggut, Isa mengenang.
Istana itu tertutup. Bangunannya kosong; para prajurit, budak, punggawa, wazir,
musisi, penyanyi, dan pelayan telah berada di luar. Keadaan begitu hening. Debu
menebal, daun-daun kering bertebaran di lantai ruangan, burung-burung merpati
berkicau perlahan. Shah Jahan tidak duduk di singgasana, di dipan, ataupun di atas permadani. Dia
berlutut di atas lantai yang dingin. Dia tidak bergerak, tidak juga bersuara.
Dia tidak makan maupun minum. Dia terus begitu selama delapan hari delapan
malam. Jiwanya kelam dan melankolis, tidak memikirkan apa-apa. Perasaannya
hampa. Dia tidak menangis, tidak memukuli pelipisnya, tidak menangis keras-
keras. Isa mengawasi, terus berjaga tanpa pernah tidur.
Setiap jam, Sultan menggeliat dan meronta untuk mengendalikan kekuatan jahat
yang merobeknya. Setiap amarahnya menggelegar, dia akan melemah, lelah, lesu,
tetapi tidak pernah bangkit.
Awalnya, Isa berpikir bahwa ini adalah tipuan cahaya. Sinar matahari dan
kegelapan silih berganti terlihat di dinding-dinding ghusl-khana, dan ketika
cahaya menerpa wajah sang Sultan, sinar dan kegelapan itu menampakkan sesuatu
dari dalam dirinya, bagaikan air yang menghapus sosoknya dari
sebuah papan tulis. Saat sang Sultan pertama kali berlutut, hanya ada tujuh uban
di janggut hitamnya. Seiring berlalunya jam, hari, dan malam, janggutnya semakin
memutih. Isa melihat tahun-tahun berganti, menorehkan kekuasaan di tubuh sang
Sultan, mengubah warna setiap helai rambut menjadi putih. Garis-garis di
jidatnya mulai tampak, awalnya hanya satu, kemudian diikuti yang lain, bagaikan
tanah yang pecah-pecah di depan matanya. Saat fajar hari kedelapan, wajah Shah
Jahan mirip seorang tua, karena seluruh rambut di janggutnya sudah berwarna
putih. Dia mendongak, mengangkat wajahnya menentang matahari.
"AR-JU-MAND!" Suaranya mirip raungan seekor harimau yang terluka parah.
"ARJUMAND! ARJUMAND!" Jam demi jam, dia masih memanggil nama Arjumand, hingga
akhirnya dia hanya bisa berbisik, "Arjumand."
Isa mendengarkan gaung yang membahana di seluruh istana, seakan-akan ada seribu
suara yang memanggil nama sang Permaisuri, AR-JU-MAND. Dari sudut-sudut, dari
lengkungan gerbang yang indah, dari paviliun, gema itu terbawa oleh angin sejuk
yang lembut, terus berputar-putar, dan akhirnya menghilang.
Shah Jahan memberi isyarat. Dia tidak mampu berdiri. Isa mengangkatnya. Saat
sang Sultan berdiri, Isa terkejut. Sebelumnya, tinggi mereka sama. Saat ini, dia
harus menunduk untuk memandang sang Sultan. Dia memeriksa Shah Jahan dari dekat.
Sang Sultan tampak mengerut,
seakan-akan mengecil di dalam pakaiannya. Kematian selalu bisa merenggut siapa
pun. Murthi juga tampak semakin lemah. Perlahan-lahan, dia berjalan menjauhi api yang
mulai padam, dipapah oleh putranya. Debu beterbangan dan jatuh di jiba serta
dhoti putihnya yang bersih. Dia tidak menyadari bajunya kotor oleh warna abu-
abu. "Dia sudah meninggal," Murthi berkata kepada Isa. Suaranya bergetar menunjukkan
kesedihan. "Aku tahu." "Kupikir dia hanya mencintaimu. Aku tidak memperlakukannya dengan baik karena
hal itu." "Apakah kau bertanya kepadanya?"
"Tidak pernah. Kau bagaikan hantu. Kami tidak pernah membicarakanmu. Tampaknya,
dari cara dia menatapku beberapa kali ... aku membayangkan dia sangat menginginkan
agar aku bisa berubah menjadi dirimu."
"Ya, kau membayangkan. Dia telah melupakan aku. Jika kau telah melupakan,
memaafkan, Sita pasti akan bahagia. Saat ini sudah terlambat. Tapi, kau
memilikinya dan anak-anakmu yang lain."
Isa mengulurkan tangan ke arah keponakannya. Gopi menghindar dengan malu-malu,
tetapi mendekat dengan tingkah ganjil dan membiarkan Isa menepuk kepalanya. Dia
sudah terlalu tinggi untuk diperlakukan begitu, dan perlakuan itu sudah
terlambat. Isa mengeluarkan sekeping koin emas dari udara dan mengulurkannya.
"Bagaimana Paman melakukan itu?"
"Saat aku masih kecil, aku diculik dari desa dan dijual kepada seorang pesulap.
Aku masih bisa mengingat beberapa triknya. Ini, ambillah."
Gopi menerimanya dengan gembira. Di satu sisi koin tercetak simbol kerajaan,
yang lain bergambar sosok mirip Mughal Agung.
"Apakah kau menginginkan lagi sesuatu?" "Tidak ada!" Murthi menjawab dengan
kasar, kemudian berjalan melewati Isa, dan tidak menoleh ke belakang.
Murthi tidak bermaksud untuk menunjukkan kemarahan seperti itu, tetapi dia
melihat bahwa abangnya sama sekali tidak melawan. Dia semakin merasa pahit.
Empat belas tahun sudah dia bekerja. Betapa sia-sianya! Abangnya bisa mengangkat
Murthi untuk menjabat sebuah posisi, memberinya harta, tetapi dia tidak menolong
apa-apa. Isa adalah seorang lelaki kaya, kebutuhannya tercukupi, memakai
perhiasan, berpakaian dari kain sutra. Tangannya lembut, tidak ada goresan,
sementara tangan Murthi tergores-gores dan menebal. Murthi sendiri tampak lebih
tua dibandingkan usianya sendiri, merasa tubuh maupun jiwanya sakit.
Setelah hukuman mati wazir dilaksanakan, Murthi sangat ingin mengungkap siapa
Isa sebenarnya. Setiap malam, Murthi bertanya-tanya kepada orang-orang di
sekitar benteng: Siapa Isa"
Beberapa orang mengenalnya, beberapa tidak. Seorang budak, seorang teman,
seorang menteri, seorang penyihir, seorang peramal bintang; dia tidak memiliki
gelar apa pun, bukan jagir, bukan zat. Murthi tidak mendapatkan penjelasan apa-
apa. Jadi, dia menunggu untuk bisa bertemu dengan Isa. Dia sempat melihat Isa,
ketika Mughal Agung mendekat dan melintas, tetapi Isa terlalu jauh. Para
pengawal selalu membentuk barisan pertahanan di jalan. Akhirnya, suatu
kesempatan membawa Mughal Agung bertandang ke lokasi pekerjaan. Shah Jahan
datang untuk memeriksa jali. Baldeodas memanfaatkan kesempatan dengan menjilat
dan membujuk, menerangkan dan menunjuk-nunjuk. Para pemahat berdiri sambil
terdiam, penuh penghormatan. Shabash, Shah Jahan berkata kepada masing-masing
pemahat. Dia hanya memberikan pujian kepada Baldeodas.
"Siapa Isa?" Murthi berbisik kepada seorang prajurit.
"Itu dia, di sana!"
Murthi menoleh, dan terkesiap. Di tubuh terbalut sutra itu, Murthi melihat hantu
kakak lelakinya, Ishwar. Memang, tahun-tahun berlalu telah menipu
penglihatannya, membohongi kenangannya. Ketika rombongan Kesultanan mulai
menjauh. Murthi mengumpulkan keberanian.
"Ishwar," dia memanggil.
Pria itu berhenti, kemudian berbalik. Dia memisahkan diri dari sisi Sultan,
kemudian mendekati Murthi. Isa tidak menyadari jika Shah Jahan juga
berbalik untuk melihat siapa yang memanggil. "Kau kakakku, Ishwar?" "Ya."
Mereka tidak berpelukan. Cukup lama mereka terdiam. Isa menanti dengan sabar,
menunggu Murthi berbicara lagi.
"Kau yang menyuruh wazir dihukum mati?"
"Ya." Senyuman Isa membuat Murthi bergidik. "Si tolol itu yakin, jika bisa
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memenjarakanmu, dia bisa memenjarakan aku. Dia mengancam untuk memberi tahu
Sultan bahwa aku menggunakan pengaruhku untuk menolong dan melindungimu. Dia iri
karena Sultan memercayaiku, dan berencana untuk menjebakku. Aku membawanya ke
hadapan Sultan dan menyuruhnya menceritakan semua. Saat dia selesai bercerita,
Sultan bertanya kepadaku, apa yang ingin kulakukan terhadap wazir. Aku berkata:
hukum mati dia. Dia dihukum mati. Kau menyaksikannya."
"Siapa kau?" Murthi hampir tidak bisa mengerti kekuasaan Isa. Seorang manusia
telah dihukum mati karena ucapannya. "Kau tidak memiliki pangkat, tidak memiliki
posisi." "Aku melayani Sultan."
"Apakah kau pernah melihat sang Permaisuri"
Seperti apa dia" Aku harus tahu. Ceritakan padaku ii
"Itu akan memakan waktu terlalu lama. Dia pemberani. Dia terlalu mencintai." Isa
bergumam kepada dirinya sendiri dengan nada tersendiri-Agachi. "Shah Jahan tidak
akan pernah menyakitiku. Wazir itu tidak mengerti siapa aku sebenarnya." "Siapa kau?"
"Aku adalah kenangan sang Permaisuri Mumtaz-i-Mahal."
Terlihat kontras dengan kecemerlangan Dara, Aurangzeb tampak polos. Dia hanya
mengenakan pakaian katun dan tidak memakai perhiasan, bahkan sebuah cincin
sekalipun. Mereka duduk di harem menemani Shah Jahan. Para perempuan membuka cadar mereka,
kecuali Jahanara. Dia duduk di sudut, bukan karena kesopanan, tetapi karena
menyembunyikan lukanya yang mengerikan. Ketika pulih, dia memohon kepada Shah
Jahan untuk memaafkan Aurangzeb, dan sang Sultan menuruti keinginannya. Dia
kembali menghadiahkan jagir-jagir dan gelar bagi putra ketiganya; Aurangzeb
bahkan diberi gelar sebagai Subadar Deccan dan zatnya ditingkatkan.
Shah Jahan memerhatikan putra-putranya. Mereka sangat berbeda, tidak hanya dari
pakaian mereka-Aurangzeb pendiam dan selalu mengamati sekitar, sementara Dara
begitu bersemangat, terbuka, begitu supel. Selama pesta perayaan, Dara bisa
berbicara tentang apa pun, berdiskusi dan berdebat dengan para tamu lain. Betapa
dia mirip dengan Akbar-toleran, memedulikan rakyatnya, dan sangat menentang
pengaruh para mullah yang begitu menekan.
"Apakah kau juga meyakini din i illah, seperti Akbar?" Aurangzeb bertanya ? ?dengan sopan. Itu adalah pertama kalinya dia berbicara sepanjang malam.
"Akbar yakin bahwa dirinya sendiri adalah tuhan. Aku tidak. Din i illah adalah
? ?agama yang Akbar ajarkan kepada para pengikutnya, campuran Islam, Hindu,
Kristen, Buddha. Orang-orang tidak dapat beribadah dengan ritual yang
membingungkan seperti itu. Aku hanya percaya bahwa mereka harus dibebaskan untuk
mengikuti keyakinan mereka, dan jika aku bisa mendukung perdamaian kembali
antara para pemeluk agama ini, aku akan merasa puas."
"Kami harus memanggilmu Padishah-ji," Aurangzeb berkomentar. Dia membungkuk
dengan mencemooh. "Dan apakah aku harus memanggil adikku sebagai Hazrat-ji" Kau begitu dikenal
karena ketaatanmu." Aurangzeb melirik sekilas ke arah ayahnya. Sang Sultan telah menyadari perubahan
wajahnya, dan menarik diri dari perbincangannya sendiri untuk menunggu jawaban
Aurangzeb. "Ya. Aku hanya memiliki ambisi sederhana. Aku menuruti perintah ayahku. Jika dia
senang, aku juga senang. Aku tidak bisa menyetujui keyakinanmu. Aku adalah
seorang Muslim yang taat. Jika aku telah berbakti kepada ayahku sehingga dia
sangat puas, satu-satunya yang kuinginkan adalah berlibur ke suatu daerah sunyi,
tempat aku bisa beribadah."
"Aku harus mengingat-ingat itu," kata Dara.
"Aku akan mengingatkanmu."
"Lihat! Lihat!" Pembicaraan mereka terputus karena para perempuan berseru-seru
dari jendela. Mereka menunjuk-nunjuk.
Bulan telah bergerak dari balik awan dan angkasa berwarna kelabu keperakan. Di
kejauhan, Taj Mahal mengambang di atas air. Mereka menatap bangunan itu sambil
menahan napas. Marmer putih yang polos memancarkan keindahan surgawi.
Pemandangan ini bagaikan seorang perempuan jelita menatap sebuah cermin yang
dengan setia memantulkan setiap kesempurnaan. Tampaknya ada sebuah cahaya yang
memancar dari dalam, yang memantul di permukaan air gelap bagaikan malam yang
mengelilingi makam itu. Mereka tidak mengalihkan pandangan mereka selain ke
bangunan itu-kubah yang mirip mutiara raksasa mengambang di langit malam-mereka
hanya menatap citra yang dipancarkan makam itu. Pemandangan itu sangat memuaskan
hati dan mata, membuat orang-orang yang menyaksikan jadi membisu, dan berdoa.
Saat akhirnya mereka mengalihkan pandangan, makam itu tampak memancarkan
kesedihan dalam cahaya yang dingin, tampak bersinar, melalui selubung kemegahan-
sebuah kesedihan yang abadi.
Aurangzeb mundur saat sang Sultan sedang menatap makam. Sekilas pandangan saja
sudah cukup. Dia meninggalkan istana dan berkuda sendirian ke arah kota,
menjelajahi jalan-jalan sepi yang tertidur, hingga dia tiba di sebuah pintu
masjid makam itu. Dia mengetuk dan memasuki sebuah bangunan kecil yang rendah.
Ruangan itu sangat sederhana, hanya terisi oleh sebuah karpet, dipan, dan bantal-bantal. Aurangzeb
membungkuk dalam-dalam kepada seorang pria yang sedang duduk berselonjor. Lelaki
itu terburu-buru bangkit, terkejut, dan membungkuk lebih dalam.
"Duduklah. Akulah yang akan tetap berdiri karena kehadiranmu. Seorang wakil
Tuhan lebih terhormat daripada seorang putra sultan."
Shaikh Waris Sarhindi tidak menerima penghormatan sang Pangeran, dia juga
berdiri. Dia adalah seorang penganut Sunni ortodoks, seorang mullah seperti
ayahnya, Shaikh Ahmad Sarhindi. Akbar telah mengingkari ajaran ayahnya; Jahangir
telah mengirim ayahnya ke penjara. Saat ini, Shah Jahan tidak begitu
menghormatinya karena dia mengampanyekan warisan ayahnya: kekuasaan Islam dan
kematian orang-orang kafir.
"Aku telah menemani abangku, Dara. Aku merasa dia terlalu bergelimang kemewahan,
seperti makanan." Aurangzeb bersendawa. "Siapa yang akan kau dukung?"
"Yang Mulia, tentu saja. Kami semua akan mendukung Yang Mulia. Yang Mulia akan
memperbaiki keyakinan, dan akan menjadi Pedang Tuhan yang sebenarnya."
"Aku berjanji.11 [] 19 Arjumand Dalam tidurku, aku merasakan kekasihku pergi. Aku terbangun dan mendengar bisikan. Saat itu menjelang fajar, cahaya
terlihat begitu samar, hawa terasa dingin menyejukkan, tetapi juga terasa
membekukan. Ujung-ujung sinar matahari akan segera menyebarkan udara panas yang
tak akan berhenti, bahkan saat senja.
Aku bangkit dan menatap ke luar. Pangeranku berdiri di balkon, tenggelam dalam
pikirannya, kemudian tiba-tiba berbalik dan berjalan terburu-buru ke koridor.
Dia menuju ke sayap barat, menuju kamar Khusrav. Aku melihat bayangan-bayangan
lain mengikutinya. Isa menghampiriku.
"Ada apa ini, Isa?"
"Sang Sultan sakit parah," dia menjawab dan mengangkat bahu. "Lagi."
"Apa yang suamiku inginkan?"
"Allami Sa'du-lla Khan," lalu dia menambahkan
Kisah Cinta 1031/1621 Masehi dengan pelan, "dan para prajurit."
Aku berlari menyusuri koridor. Allami Sa'du-lla Khan menunggu di luar kamar
Khusrav bersama dua prajurit.
"Di mana Pangeran Shah Jahan?" "Di dalam, Yang Mulia. Apakah aku harus
memanggilnya?" "Tidak."
Saat itu masih gelap. Aku nyaris tidak bisa melihat dua bayangan yang bergabung
dalam peristiwa itu. Aku mendengar bisikan tajam Khusrav. Suaranya terdengar
kasar dan keras, memenuhi ruangan dengan cemoohnya, "Taktya takhta?"
Kemudian, setelah terdiam beberapa saat, suamiku menjawab dengan tegas:
"Takhta." "Tidak," aku berbisik.
Kekasihku menatapku, tetapi tidak bergerak. Suaranya keras, bagaikan bukit-bukit
batu, dan ucapannya juga sama kerasnya.
"Pergilah. Ini urusanku."
Si pengawal terbangun dari tidurnya, dan mengangkat senjatanya. Pertama-tama,
dia menatap Khusrav, kemudian menatapku. Dia ragu-ragu, tidak yakin harus
berbuat apa. "Tusuk. Tusuklah cepat," Khusrav berbisik. "Dia tidak bersenjata. Bunuh dia,
Tolol." Khusrav merangkak dengan kedua kaki dan tangannya. Sang pengawal masih
ragu-ragu. Kepalanya menoleh ke arah pintu, dan dia berusaha mengintip keluar,
seperti ingin melihat ke balik tembok. Dia adalah seorang lelaki muda, masih
belum terbangun sepenuhnya. Janggutnya hitam dan kasar. "Aku akan menjadikanmu Gubernur Bengal
jika aku menjadi Padishah. Tusuk!"
Kekasihku merunduk sambil menunggu. Dia bisa saja berteriak, tetapi masih
terdiam. Sang pengawal saat ini menyadari bahwa ada orang-orang di luar kamar.
Perlahan-lahan, dia menurunkan pedangnya. Khusrav mendesis putus asa, penuh
kemarahan. "Ini bukan nasib Anda, Yang Mulia," kata sang pengawal. "Saya adalah prajurit
Anda, tapi saya hanya seorang diri. Terlalu banyak pertempuran yang harus saya
hadapi sebelum Anda menjadi Padishah. Anda telah kehilangan begitu banyak. Tuhan
tidak menggariskan itu kepada Anda." Dengan hati-hati, dia meletakkan pedang dan
belatinya di permadani seraya mendekati Khusrav. Dia berlutut, meraih tangan
Khusrav, kemudian menempelkannya di dahi. Itu adalah sebuah tanda kasih sayang,
simbol perpisahan yang menyedihkan. Khusrav membungkuk dan memeluk si pengawal.
"Oh Tuhan, impianku," Khusrav berbisik. Dia melepaskan temannya, kemudian meraih
setumpuk perhiasan dari meja kecil: cincin-cincin, rantai emas, dan gelang
lengan. "Ini. Simpan ini sebagai kenangan."
"Saya tidak membutuhkan perhiasan itu, Yang Mulia."
"Ambillah. Biarkan seseorang mendapatkan kebaikan hati Khusrav yang tolol."
Dia menyerahkan semuanya kepada si pengawal: sebuah cincin jatuh dan bergulir,
tetapi dua orang itu mengabaikannya. Sang pengawal bangkit dengan gugup, tangannya penuh dengan
emas dan berlian. Mungkin perhiasan itu adalah batu-batu mulia dari daerah hulu
sungai. Dia menatap Khusrav sebentar, mencoba mengenang wajahnya; ruangan itu
terang sekarang. Kemudian, dia menatap Shah Jahan.
"Saya tidak bisa membunuh seorang pangeran," tetapi, sebelum kekasihku bisa
menerima pengakuan itu, sang pengawal menambahkan dengan dingin, "saya
membiarkan para pangeran yang melakukannya."
Dalam keterkejutan, kami menyaksikannya pergi. Dia berjalan dengan harga diri
seorang lelaki yang baru saja mendapat kemenangan. Khusrav terkekeh. "Pria yang
bijaksana. Dia membiarkan para pangeran yang membunuh. Tanpa kita, tanpa ambisi
kita, para prajurit kembali menjadi manusia. Tidak diragukan lagi, dia akan
kembali ke desanya dan menceritakan kisah kepada anak-anaknya tentang kegilaan
pangerannya." Sebuah pikiran terlintas di benak Khusrav dan dia menyentuh bahu
Shah Jahan dengan lembut: "Jangan sakiti dia. Biarkan dia pergi. Setidaknya,
seorang dari kita telah mengungkapkan kejujuran malam ini. Malam ini" Tidak,
hari ini. Aku berbicara berdasarkan waktu, dan aku harus akurat."
"Tinggalkan kami," Shah Jahan mengulangi perintahnya kepadaku.
"Mengapa?" tanya Khusrav. "Apakah kau tidak menginginkan Arjumand cantikmu untuk
menjadi saksi kematianku?" Khusrav menoleh ke arahku, memicingkan mata. "Dia memiliki
darah yang sama dengan Mehrunissa si pelacur itu."
"Aku datang bukan atas perintah Mehrunissa. Aku bukan ayahku."
Shah Jahan meraih lenganku dan menuntunku ke pintu. Tetapi, aku meronta,
melepaskan diri darinya. "Kau tidak boleh membunuhnya. Tolonglah, aku mohon kepadamu, Sayangku, Suamiku.
Kau tidak boleh membunuhnya."
"Tidak boleh" Ini harus dilakukan. Dia masih memiliki pengikut; bayangannya akan
menghantui singgasana. Biarkan bayangannya jatuh dalam sebuah makam."
"Kirim dia ke pengasingan. Biarkan dia tetap terantai. Penjarakan dia. Tapi,
jangan bunuh dia." Shah Jahan menatapku dengan kemarahan yang berlebihan. Aku tahu, dia tak akan
berubah pikiran. Aku belum pernah melihat kekerasan hati di wajahnya sebelum
ini; dan ini membuatku takut.
"Apa yang kau rasakan terhadap kakakku?"
"Tidak ada. Aku hanya berbicara karena cintaku kepadamu. Kematiannya akan
menjadi kutukan kita, kutukan bagi anak-anak kita, dan cucu-cucu kita. Lihatlah
dia. Kebutaannya sudah menghantui hidup kita. Kematiannya akan membuat kita
semakin tersiksa. Jika kau membunuhnya, kau akan menjadi orang pertama yang
melanggar hukum Timurid. Leluhurmu, Timur-i-leng, pertama kali
memproklamasikannya tiga ratus tahun yang lalu: 'Jangan sakiti saudaramu,
meskipun mereka mungkin layak mendapatkannya.1 Itu sudah dipatuhi oleh semua pangeran keturunannya.
Babur berkata kepada Humayun, Humayun kepada Akbar, Akbar kepada Jahangir.
Mereka mematuhi hukum itu, apa pun provokasi yang mereka dapatkan. Hukum itu
yang melindungi Khusrav dari amarah ayahmu. Darah Khusrav adalah darahmu
sendiri, kau tak boleh mengucurkannya melalui tanganmu. Itu akan memengaruhi
kehidupan kita selama beberapa generasi."
Shah Jahan mulai tertawa. Dia menggeram, kemudian memeluk dan menciumku.
"Aku tidak tahu jika aku menikahi seorang perempuan cenayang, selain dia jelita.
Yang akan terjadi adalah singgasana akan aman bagiku."
"Aku tidak menginginkan itu seperti sebuah hadiah." Aku mendorongnya. Aku tidak
bisa mengendalikan kehampaan yang timbul di hatiku. Seperti asap pekat,
kehampaan itu mencekikku. "Pada hari pertemuan kita, aku memimpikan warna merah.
Warna itu tetap terlihat di benakku, bahkan ketika aku terjaga. Aku tidak tahu
apa artinya hal itu. Saat aku bertemu denganmu, kupikir itu adalah warna
kebangsawanan pangeran mahkota. Tapi aku salah. Itu adalah warna darah. Warna
itu akan menghancurkan kita, Sayangku. Biarkan dia."
"Dengarkan istrimu," Khusrav berseru. "Aku tidak takut terhadap kematian. Setiap
hari, aku terbangun dengan mengharapkan seseorang membunuhku. Hukum Timur-i-
leng-lah yang membuat ayahku sendiri tidak bisa membunuhku.
Kau juga tidak bisa. Aku bersumpah, aku tak akan menginginkan takhta, bukan
bagiku sendiri, tetapi demi dirimu."
"Semua orang menawarkan aku kehidupan dengan mengorbankan kepentingan mereka.
Sungguh murah hati." Shah Jahan menoleh ke arahku, dengan sangat lembut
menggamit lenganku, dan menuntunku menjauhi Khusrav. "Aku telah mendengarkanmu,
seperti tradisi kita, tapi aku tak bisa membiarkannya hidup."
"Dan apa," Khusrav berseru kepadanya, "yang akan terjadi dengan Parwez dan
Shahriya" Apakah mereka akan mati juga" Tapi mereka tidak ada di sini, sendirian
dan tak berdaya; mereka ada di Lahore, dikelilingi pasukan."
"Tidak. Kumohon, Sayangku. Kau tak boleh melakuk annya."
"Aku harus melakukannya."
Aku menangis sepanjang hari untuk suamiku, anak-anakku, dan diriku sendiri. Aku
belum pernah merasakan ketakutan seperti yang sekarang menyelubungiku. Rasa
takut ini memeras air mata kepedihan dari mataku. Warna merah dalam mimpiku
adalah darah; dan memang sudah terjadi. Aku telah mengartikannya, karena
keinginanku sendiri, sebagai turban kekasihku. Aku tak mampu merendahkan
pandanganku dan melihat tangan yang berdarah. Air mataku tidak bisa mencucinya
hingga bersih, tetapi menetes dan terus menetes. Dan ketika air mataku menyentuh
daging tubuhku, mereka berubah juga menjadi darah. Bahkan helai-helai rambutku,
yang kugunakan untuk menyeka air mata itu, berubah juga menjadi merah.
Aku mencoba menutup telingaku, tetapi suara-suara masih menyelusup di antara
jemariku. Bahkan seandainya tiba-tiba aku tuli, aku masih bisa mendengar
bisikan-bisikan. Para prajurit telah masuk ke ruangan. Khusrav menghadap ke arah
Makkah, ke arah matahari terbit, bersembahyang dalam keheningan, kemudian
bangkit untuk berdiri di depan jendelanya, memandang dunia di luar. Dia tidak
ingin melihat wajah-wajah algojonya, seperti yang telah dia alami saat mereka
membuatnya buta. Dia pasrah, tanpa melawan, ketika selembar kain dengan koin
yang ditalikan di bagian tengah dipakaikan ke tubuhnya, tanda mereka akan
menebas lehernya. Mereka mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di dalam sebuah
peti mati sederhana. Aku tidak diberi tahu di mana mereka menguburnya. Berapa
banyak pembunuhan yang bisa diterima oleh bumi"
Hal itu dilakukan dengan terburu-buru; terlalu terburu-buru. Sekali lagi, sebuah
pesan tentang keadaan ayahku sampai: Jahangir masih hidup. Dan pesan itu diikuti
oleh surat dari Jahangir sendiri.
Aku telah menerima laporanmu bahwa Khusrav meninggal karena sakit perut empat
puluh hari yang lalu. Aku berdoa agar dia mendapatkan ampunan dan tempat di sisi
Tuhan. Aku juga menerima pesan dari mata-mataku yang memperingatkan bahwa Shah
Abbas yang kejam, Shahinshah kerajaan terkutuk, Persia, akan menyerang Kandahar. Kita harus
menghadapinya dengan pasukan terbesar yang bisa kupimpin. Kau harus berangkat ke
utara bersama semua pasukanmu segera.
mm Jiwa Khusrav sepertinya bangkit dari tempat persembunyiannya; aku merasakan ada
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suatu aura mengerikan di sekeliling kami. Berbulan-bulan setelah kematiannya,
aku terus-menerus merasakan kehadirannya yang mencemooh. Jiwanya memerhatikan
saat aku tertidur, kemudian menungguku terbangun; jiwanya tergantung di awan
gelap yang bergumpal rendah di atas perbukitan, memancarkan kesuraman di daerah
ini. Semua tempat di istana terasa mencekam dan kami bergerak dengan perlahan,
pelan, tidak ingin mengagetkan hantu Khusrav. Aku bersembahyang, tidak lima kali
sehari, tetapi lusinan kali. Aku membaca Quran; tetapi semua tidak bisa mengusir
kepedihan yang menguasaiku. Dan saat ini, datanglah perintah Jahangir: bergerak.
Kekasihku tidak segera menjawab panggilan ayahnya. Dia mondar-mandir di balkon,
berhenti untuk menatap perbukitan yang keras dan tidak ramah. Aku mengetahui apa
yang dia lihat. Bukan hanya sekadar tanah, tetapi tanahnya. Dia telah bertempur;
orang-orang telah tewas; batu-batu, parit-parit, dan benteng-benteng ini adalah
kerajaannya. Jika dia meninggalkan daerah ini,
semua akan menghilang. Dan tanpa semua itu, dia hanya akan berada di bawah
kendali ayahnya. Dan Mehrunissa.
"Aku bisa melihat campur tangan Mehrunissa dalam hal ini," dia berkata kepadaku.
"Tapi, Shahinshah memang menuju Kandahar."
"Aku tahu, tapi, mengapa ayahku menginginkan pasukanku?"
"Kau adalah putranya yang paling berpengalaman."
"Tapi dia berkata, 'Pasukan terbesar yang bisa kupimpin1. Bukan 'kau pimpin'.
Mengapa dia tidak tetap tinggal di tempat tidurnya" Aku bisa mengalahkan keparat
Persia itu sendiri. Jika kita berpindah, aku akan kehilangan semua ini."
"Dan jika tidak ...?"
Pertanyaanku tidak terjawab, tetapi tidak diabaikan. Aku mengetahui bahwa
Jahangir mengkhawatirkan masa depan kami. Jika Shah Jahan menolak perintah,
Jahangir akan murka. Mereka mengalami kebuntuan, dan selama berhari-hari
kekasihku mondar-mandir di balkon. Khusrav pasti akan menertawakannya.
Tampaknya, jiwa Khusrav telah terbang langsung ke Lahore dan berbisik di telinga
Mehrunissa. Karena, Mehrunissa mengetahuinya. Sebuah pesan datang dari ayahku,
memberi tahu bahwa Jahangir telah menyerahkan semua jagir Shah Jahan kepada
Shahriya, termasuk Hissan Feroz, tanah tradisi seorang putra mahkota. Mehrunissa
telah mendorong menantunya, yang pandai melakukan hal bodoh, selangkah lebih
dekat ke singgasana, mendorong dirinya sendiri selangkah lebih jauh untuk memerintah
setelah kematian Jahangir.
"Aku sudah kalah," kata Shah Jahan. "Dia bergerak terlalu cepat. Aku tidak bisa
melawan saat ayahku meninggal. Mehrunissa akan mengumumkan bahwa Shahriya yang
akan menjadi sultan. Dia telah menjadi putra mahkota."
"Kalau begitu, kau harus memutuskan apakah akan pergi ke Kandahar atau tidak.
Menurutku, paling baik kau katakan kepada ayahmu, jika kau akan menunggu hingga
hujan reda. Itu akan memberi kita waktu."
"Apa gunanya penundaan jika aku tidak bisa mengambil keuntungan darinya" Aku
tidak bisa membiarkan ayahku menyingkirkanku dengan begitu mudah. Bagaimana
cintanya bisa menguap seperti itu?"
"Bibiku mengisapnya keluar dari tubuh ayahmu."
"Aku harus menyenangkan ayahku, tetapi juga memperlihatkan kekuatanku. Aku akan
pergi ke utara setelah musim hujan, dan dia harus mengizinkan aku memimpin
pasukan. Dan dia harus memberiku jagir Panjab. Itu akan melindungi punggungku
dari Mehrunissa dan saudara-saudara lelakiku."
Ternyata itu tidak membuat Jahangir senang. Dia marah kepada kekasihku. Jahangir
memanggil anaknya bi-daulat, bahkan menuliskan namanya di Jahangir-nama bahwa
semua harus mengetahui bahwa kekasihku adalah "si pecundang". Dia
memerintahkan kepada Shah Jahan untuk tetap berada di Burhanpur selamanya,
tetapi Shah Jahan harus mengirimkan pasukannya segera.
"Tanpa pasukanku, aku bukan siapa-siapa."
"Dengan menahan mereka, kau akan membuat ayahmu marah sekali lagi."
Sejak kematian Khusrav, guntur terus-menerus menggelegar di luar, bergulung-
gulung di hatiku, membuatku gemetar karena memikirkan kekasihku. Aku tidak bisa
menyebut-nyebut nama Khusrav karena takut mengingatkan Shah Jahan akan kutukan
yang telah secepat kilat terjadi pada hidup kami. Kami merasa terasing di atas
sebuah rakit tanpa pengemudi yang terus maju membabi-buta ke arah keabadian.
Kami saling mencintai. Itu satu-satunya yang membuat kami nyaman. Kami saling
mengungkapkannya melalui sentuhan, bibir, tubuh, dan bersembunyi di dalamnya
hingga kami merasa tidak terlihat oleh dunia di sekeliling kami.
"Ini sudah terlambat," dia berbisik, "aku yakin. Mehrunissa telah menyebarkan
racunnya. Semua tidak bisa dihentikan."
"Suruh Allami Sa'du-lla Khan segera ke Lahore. Dia harus menyampaikan permohonan
maaf kepada ayahmu. Ayahmu akan menerimanya, kemudian kita bisa bergerak ke
Kandahar." Dia tersenyum: "'Kita"1 Berapa kali aku harus memberi tahumu, kau tidak boleh
ikut dalam peperangan. Kau bisa terluka."
"Aku tak akan pernah membiarkanmu pergi sendiri. Utus Allami Sa'du-lla Khan."
Sejam kemudian, Allami Sa'du-lla Khan berangkat.
Minggu-minggu berlalu, dan kami menunggu. Hujan yang membanjiri lembah-lembah
membuat istana menjadi lembap dan hangat, memenuhi seisi istana dengan aroma
humus. Semangatku sedikit menurun karena aku kembali mengandung, dengan perasaan
tidak enak badan pada pagi hari, dan kekuatanku melemah. Kemudian, Allami Sa'du-
lla Khan kembali. Ekspresi wajahnya sama gelap dengan awan yang bagaikan
melayang di atas kepala kami.
"Jahangir tidak mau menemuiku. Aku menunggu selama berhari-hari. Aku bahkan
tidak diizinkan untuk masuk ke diwan-i-am. Mehrunissa menyarankan dia untuk
menolakku, dan dia telah memerintahkan semua orang di istana untuk tidak lagi
menyebut-nyebut namamu di depan ayahmu. Kau telah menghilang dari pandangan
ayahmu. Saat ini, Na-Shudari Shahriya yang mondar-mandir di istana dengan turban
merah, mengancam untuk membunuhmu jika kau memperlihatkan wajahmu di sana."
Allami Sa'du-lla Khan tertawa geli. "Dia mengayunkan pedangnya, menakut-nakuti
semua orang, membual bahwa dia akan mencincangmu dalam perkelahian satu lawan
satu. Mehrunissa bertepuk tangan setiap dia mempertontonkan arogansinya."
"Dan Ladilli" Bagaimana kabarnya?"
"Dia tidak berubah, aku mendengar. Aku menerima sebuah pesan darinya,
mengirimkan salam sayang kepadamu. Pesan itu tidak ditulis, siapa tahu ibunya menemukan pesan itu
ada padaku. Sekarang dia memiliki dua anak. Aku hanya berharap agar mereka tidak
tumbuh dewasa dengan tampang mengerikan seperti Shahriya." "Ada apa dengannya?"
"Dia mengidap suatu penyakit. Dia telah kehilangan seluruh rambutnya, dan
matanya terus-terusan basah. Kulitnya juga tampak mengelupas, seperti bulu yang
rontok dari seekor kucing jalanan."
"Ladilli yang malang."
"Cukup," kata Shah Jahan. "Aku tidak bisa duduk di sini dan membiarkan diriku
sendiri tersiksa oleh Mehrunissa dan ayahku, membiarkan Shahriya tolol itu
membualkan bahwa dia akan menjadi sultan. Jika mereka di Lahore, aku bisa
mencapai Agra sebelum ayahku. Apakah harta kesultanan masih ada di sana?"
"Ya. Tapi, semua akan segera dipindahkan ke Lahore untuk membayar gaji pasukan
Sultan." Shah Jahan Aku langsung bergerak ke utara. Aku ingin Arjumand dan anak-anakku tetap tinggal
di Burhanpur, karena kami tidak akan banyak beristirahat. Dengan keras kepala,
dia menolak, meskipun semakin hari, dia semakin terbebani oleh kehamilannya. Aku
menderita karena melihatnya merasa tidak nyaman. Lebih banyak lagi bantal yang
diletakkan di bawahnya untuk mengurangi guncangan kereta, tetapi, setiap malam dia ambruk
kelelahan. Tampaknya, bahkan saat aku baru menentukan keputusan, beritanya telah sampai di
telinga ayahku. Aku bahkan tidak lagi merupakan bi-daulat; lebih buruk, jauh
lebih buruk lagi, aku dianggap sebagai pelaku makar. Aku tidak ingin naik takhta
sebelum waktuku, aku hanya ingin menyelamatkan nasibku, bukan untuk merebutnya.
Aku berpikir, jika aku menahan harta karun, aku akan mampu meyakinkan ayahku.
Tentu saja, aku tidak akan mampu meyakinkan Mehrunissa. Dia tahu, sekali aku
memegang kendali, aku tidak akan menyisakan ruang baginya di mana pun, di
dekatku, keluargaku, atau singgasanaku.
Mereka membawa sebuah kabar kepadaku bahwa Kandahar sudah jatuh ke tangan Shah
Abbas. Jantung perdagangan paling kaya dari kesultanan sudah tidak lagi berada
di bawah kekuasaan kami. Aku bersumpah, jika aku nanti memerintah, aku akan
merebutnya kembali. Kejatuhan Kandahar membuat ayahku makin marah. Kandahar
sudah kami kuasai sejak zaman kekuasaan Akbar, dan Jahangir merasa bahwa dia
mengecewakan ayahnya. Tentu saja, akulah yang disalahkan; dia akan bergerak ke
selatan untuk berperang melawanku. Ada yang memberi tahuku tentang apa yang dia
tulis di Jahangir-nama: Apa yang bisa kukatakan dalam penderitaanku ini" Dafam
kesakitan dan kelemahan, aku masih harus berkuda dan aktif, dan daiam keadaan
ini, aku harus melawan seorang anak yang tidak berbakti."
Kata-katanya menyakiti hatiku. Aku telah tersinggung karena ketidakpeduliannya,
karena ketidakmampuannya sehingga lebih memilih untuk mendekatkan telinganya
kepada Mehrunissa, ketidakmampuannya untuk menepati janji dan cintanya kepadaku.
Tidak ada kejelekan dirinya yang keluar dari mulutku. Tetapi, dia masih murka.
1032/1622 Masehi Pada hari kedua puluh lima perjalanan, aku mulai yakin bahwa aku tidak akan
berhasil. Agra masih begitu jauh, dan seluruh kekuatan pasukan Mughal ada di
antara diriku dan Agra. Ayahku telah memutuskan untuk tidak memimpin pasukan.
Dia tidak bisa melawan anaknya sendiri, tidak dapat bertanggung jawab atas
kematianku. Dia mematuhi hukum Timurid. Tetapi, aku telah melanggarnya, dan aku
mendengar gaung kata-kata Arjumand. Arjumand tidak pernah mengungkit-ungkit hal
itu lagi, tetapi aku tahu, hal itu mengganggu pikiran dan perasaannya, seperti
juga mengganggu pikiran dan perasaanku. Pasukan itu akan dipimpin oleh guru
lamaku, Jenderal Mahabat Khan.
Dia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan berpengalaman. Dia tidak
memberiku pilihan medan pertempuran, tetapi dengan kecepatannya, dia maju ke
arahku. Balockpur adalah sebuah desa kecil di tepi sebuah lapangan yang
dikelilingi perbukitan rendah, gundul dan gersang, dan tidak ada tempat
perlindungan. Aku pasti akan memilih bukit-bukit itu sendiri. Pasukanku lebih
kecil, lebih mudah bermanuver, dan dengan mengerahkan para penunggang kuda yang
bergerak cepat, aku pasti mampu menyerang secepat kilat, kemudian mundur.
Tetapi, dia mengetahui keuntungan taktikku dalam situasi seperti itu. Lapangan
terbuka memaksaku untuk berhadapan dengan kekuatan Mughal.
Sehari sebelum pertempuran, aku berkuda sendirian, tidak mampu duduk dalam
keheningan gulabar: panas di sana membuat keringatku bercucuran deras. Arjumand
terbaring di dipan. Hakim memberi tahu bahwa bayiku akan lahir malam itu.
Pertanda baik atau buruk" Jika dia hidup, ini pertanda baik; jika dia meninggal,
berarti pertanda buruk. Jika dia lelaki, berarti pertanda baik; jika dia
perempuan, berarti pertanda buruk. Kami mengartikan tanda-tanda, meyakini bahwa
mereka bisa menentukan nasib karena keberadaan mereka. Jika keringatku yang
menetes menimpa seekor semut, aku akan menjadi pemenang; jika meleset, aku akan
kalah. Malam itu langit berawan. Bulan bersembunyi di balik gumpalan awan rendah,
bintang-bintang tampak pudar dan jauh, seolah-olah mereka telah melepaskan
tanggung jawab atas keterlibatan mereka terhadap nasibku. Andai saja bintang-
bintang itu bisa mendekat, menggerakkan bumi dengan tenaga mereka, membelokkan
nasibku agar menjadi baik. Itu adalah sebuah harapan kosong. Apakah bintang-
bintang itu benar-benar peduli" Bisakah mereka melihat kedua pasukan yang menunggu datangnya cahaya
fajar" Aku melihat wajah angkasa begitu dekat, bagaikan melihat sebentang tanah
di hadapanku. Di mana bintangku berada" Di sana, lebih jauh daripada bintang
yang terjauh. Cahayanya menyinariku, mengedipkan nasib baik di pihakku. Tetapi,
kemudian, secara menakutkan karena tidak ada angin, bahkan tak ada sedikit pun
angin sepoi bertiup, segumpal awan menghalangi bintang itu dariku. Mungkin,
bintang itu bukan milikku, tetapi milik Mahabat Khan.
Di bukit-bukit rendah yang mengelilingi, salah satu bukit yang terdekat
tampaknya adalah yang tertinggi, sebuah tonjolan di bumi, tampak bebatuan besar
dan semak lantana. Aku memilih jalanku menuju puncak, dan menatap ke arah desa
yang dikelilingi oleh pasukan. Aku bisa merasakan gerakan pasukanku, kuda-kuda,
gajah-gajah, suara-suara bisikan, doa-doa yang digumamkan, perapian-perapian
untuk memasak, yang kilau baranya tampak tersebar tak terhingga di atas tanah
hitam. Pasukan masih terus mengisi hingga kejauhan, dan pemandangan perkemahan
memberiku keyakinan. Orang-orang ini telah bertempur untukku selama bertahun-
tahun; kami akan meraih kemenangan sekali lagi.
Aku menatap ke utara, ke arah pasukan Mughal, dan menahan napas. Aku melihat
mereka samar-samar di kejauhan; begitu besar, mungkin yang kulihat saat ini
hanyalah sebagian kecilnya saja. Perapian membentuk titik-titik di sepanjang
cakrawala sejauh mata memandang, kemudian terus naik hingga ke angkasa, berkelip
dan berkilau tanpa terkendali, memanggil-manggilku untuk menerima kekalahan.
Bagaimana dia akan menyerang" Dengan siasat banteng" Dia memiliki kekuatan untuk
mengirimkan ribuan pasukan berkuda untuk mengepung pasukanku. Apakah dia akan
menungguku dengan sabar, kemudian merangkulku sebelum kami saling menyerang" Apa
yang akan dipikirkan oleh Mahabat Khan"
Tanah bergetar di bawahku. Isa memanjat di antara bebatuan dan semak, kemudian
berdiri di sampingku. Dia membungkuk, kemudian menoleh untuk memandang pasukan
Mughal, memperkirakan peluang kami. Wajahnya tidak memancarkan apa-apa.
"Anak yang baru dilahirkan Arjumand adalah perempuan, Yang Mulia, tapi tidak
selamat." Ini sebuah pertanda buruk, aku tahu. Aku menundukkan kepala untuk
berdoa bagi sang bayi. "Arjumand?" "Dia baik-baik saja, tapi kelelahan. Hakim berkata, dia harus tidur. Ada tamu
bagi Anda. Mahabat Khan mengajukan pertemuan."
Sang lelaki tua itu tampak sangat ceria dan akrab. Dia telah minum dua gelas
anggur dan berdiri bersandar di sebatang pohon asam. Di sampingnya ada beberapa
prajuritnya, seluruhnya berjumlah selusin, siaga dan waspada.
"Yang Mulia, aku akan menunggu di dalam, tetapi perabotannya tidak layak untuk
sebuah pertemuan dengan seorang pangeran. Aku tidak biasa minum anggur hangat-begitu
manjanya aku saat ini-tapi, kau tidak memiliki anggur dingin."
"Kapal tidak bisa kemari setiap hari. Aku minta maaf. Apakah Anda membawa pesan
dari ayahku?" "Tidak. Oh, kesehatannya prima, dan dia terus-menerus mengeluh tentang anaknya
yang berandal." "Kupikir aku adalah 'bi-daulat'."
"Itu juga. Tergantung perasaannya. Perasaannya berayun-ayun dari satu titik
ekstrem ke titik ekstrem lain, lebih buruk daripada sebelumnya." Dia meludah.
"Sultan hanya mendengarkan perempuan itu. Saat ini, kekuasaan Sultan sudah tidak
memiliki taji, semua diatur oleh Permaisuri. Setiap jam, aku menerima pesannya.
Serang, serang: hancurkan Shah Jahan. Aku harus menang. Apakah aku membutuhkan
lebih banyak pasukan" Apakah aku membutuhkan lebih banyak meriam" Aku bisa
memberi perintah berdasarkan keinginanku sendiri." Dia maju selangkah ke arahku.
Aku mendengar geraman peringatan Allami Sa'du-lla Khan dan dentingan pedangnya
yang ditarik. Mahabat Khan mengangkat tangannya. "Aku tidak membawa pedang. Aku
hanya ingin berbicara kepada Yang Mulia secara pribadi."
Kami berjalan menjauhi yang lain, tetapi tidak terlalu jauh. Aku tetap waspada
terhadap teman lamaku ini. Dia telah mencapai kesuksesan karena memiliki
mentalitas lihai dan cerdik; selalu ada kemungkinan jebakan yang sangat tidak
diharapkan. "Aku seorang prajurit," dia tertawa. "Bukan seorang pembunuh. Aku membiarkan
urusan itu dikerjakan oleh orang lain. Kau tidak bisa menang besok. Aku tidak
ingin mempermalukan muridku, karena kita pernah berteman. Jika kau menyerah,
Mehrunissa meyakinkan aku jika dia akan memperlakukanmu dengan penuh rasa
hormat." "Mehrunissa" Dan ayahku" Aku tidak peduli dengan janji perempuan itu. Apa yang
ayahku perintahkan?"
"Kami tidak boleh mencabut nyawamu." Aku melirik matanya yang setajam cahaya
bintang dalam kelamnya malam. "Kau adalah keturunan Timurid." Aku merasakan
kesedihan dalam desahannya. "Seharusnya kau tidak membunuh Khusrav. Itu tindakan
buruk." "Aku akan menentukan nasibku sendiri."
Dia berdiri menunggu keputusanku. Aku sangat berterima kasih karena
penghormatannya. Bisa saja dia hanya mengirimkan pembawa pesan, bukannya datang
sendirian. "Aku tidak bisa menyerah."
"Aku juga berharap demikian. Aku akan sangat kecewa jika Shah Jahan mundur
sebelum berperang." Dia terkekeh. "Bahkan saat dia tahu jika dia tidak akan
menang." "Allah akan menuntun kita."
"Allah akan menuntun kita semua, beberapa ke lembah, beberapa ke puncak gunung.
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa yang bisa mengetahui kehendak-Nya?"
Kami berjalan kembali ke para pengawal Mahabat Khan, melalui desa. Saat itu
terasa damai. Panci-panci berada di atas perapian yang menyala-nyala, berada dalam damai,
tidak memedulikan kami maupun pertempuran yang akan terjadi. Anak-anak kambing
mengisap susu induk mereka, anak-anak mengintip keluar untuk melihat pangeran
dan jenderal pasukan Mughal yang berjalan-jalan, bagaikan sedang berada di
istana. "Kau akan tinggal untuk makan bersama kami?"
"Tidak. Aku harus kembali ke pasukanku. Masih banyak yang harus dilakukan malam
ini. Aku harus mencoba untuk mengingat semua hal yang kuajarkan kepadamu.
Kuharap kau tidak menjadi terlalu pintar untuk pria tua ini."
"Pria tua yang lihai," aku terkekeh.
"Dan kau pria muda yang lihai juga. Kau telah mendapatkan pengalaman bertahun-
tahun sejak aku pertama mengajarimu. Pengalaman lebih berarti daripada insting;
dan akan menuntunmu lebih baik daripada ribuan kalimat instruksi."
"Kalau begitu, aku akan menurutinya."
Arjumand Aku sedang tertidur saat dia kembali, tenggelam dalam ketidaksadaranku.
Kelelahan itu terus bersarang dalam tubuhku, seakan-akan membalutku dalam
kegelapan yang menyenangkan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, tidak ada
sentuhan yang menggangguku, tetapi sesuatu berkata kepadaku, menghunjam ke dalam
kegelapan yang hangat, bahwa dia datang. Para pelayan, pengasuh, Isa,
hakim, tidak ada yang mampu menggangguku, tetapi kehadirannya bisa membuatku
tergugah, seakan-akan dia masuk ke dalam tidurku, dan dengan lembut membawaku
kembali ke dalam cahaya. Dia berlutut di sebelahku sambil terdiam, menatap
dengan matanya yang lembut dan gelap. Dia menyentuh pipiku, kemudian membungkuk
untuk mengecupku, membelai rambutku. Itu adalah ungkapan kasih sayang yang
paling dia sukai, untuk membelai dengan lembut dan tenang.
"Anak kita perempuan, aku diberi tahu. Aku sedih karena dia tak bertahan hidup."
Kami saling memeluk dan membelai satu sama lain dalam waktu yang cukup lama.
Allah berkehendak anak kami tidak bertahan hidup.
"Kita sudah memiliki cukup anak. Aku tidak bermaksud membangunkanmu. Aku hanya
datang untuk menengokmu. Kau harus tidur lagi."
"Segera. Selalu ada waktu untuk itu, Cintaku." Dahinya berkerut dan aku
membelainya agar licin kembali. "Besok kita akan menang."
"Mahabat Khan menemuiku. Dia ingin aku menyerah. Dia mematuhi perintah bibimu."
"Kalau begitu, bibiku merasa khawatir. Jika kau menang, kau akan memenangi
segalanya. Apa yang tersisa baginya?"
"Jika aku kalah, aku kehilangan semuanya."
"Tidak semuanya. Apakah kau begitu cepat melupakanku?"
"Kau akan tetap bersama seorang pangeran yang terkalahkan?" Dia tersenyum sambil
menunduk. "Apa bedanya dengan seorang pangeran yang dikalahkan" Apakah cintanya akan
berubah" Apakah matanya akan berubah" Apakah sentuhannya akan berubah" Apakah
hatinya akan berubah?"
"Tidak." "Kalau begitu, aku akan tetap mendampinginya. Dunia tidak berarti apa-apa bagiku
tanpa Shah Jahan." Aku terbangun lagi karena keributan orang-orang yang mempersiapkan pertempuran,
perintah dan komando, derit pelana yang dikencangkan, dentingan kasar pedang-
pedang yang sedang diasah, gerakan meriam, dan derap kaki kuda-kuda yang gugup.
Aku merasa tidak nyaman, membenci suara-suara gaduh itu, hanya mendengar
kerusuhan mereka. Aku ingin mendengar suara burung bulbul yang melatih nyanyian
manisnya untuk menyambut raga fajar, cericit tupai, desir sapu yang berayun di
halaman, panggilan para penjual buah di luar jendelaku.
"Isa." Dia mendekat. Aku nyaris berbisik, namun dia selalu mendengarku. "Di mana
kekasihku" Panggillah dia."
"Dia sudah pergi, Agachi. Dia kemari untuk menengokmu, tapi kau tertidur begitu
lelap." "Mengapa kau tidak pergi bersamanya, Badmash" Aku memerintahkanmu untuk selalu
berada di sampingnya."
"Dia menyuruhku kembali. Dia ingin aku tinggal di
sini untuk mengatur persiapan." "Untuk apa?"
"Untuk kabur, jika diperlukan. Agachi, kau harus beristirahat."
"Kuharap orang-orang berhenti memerintahku untuk melakukan sesuatu. Istirahat,
istirahat, istirahat-itu hanya membuatku semakin lemah. Siapkan rath-ku. Aku
ingin melihat pertempuran."
"Itu tidak akan Perkemahan kami begitu kecil tanpa bala tentara, hanya aku sendiri, anak-anak,
para pelayan, dan beberapa pengawal yang tinggal untuk menjagaku. Putra-putraku
sudah berani pergi ke titik yang cukup tinggi untuk bisa melihat pertempuran;
mereka tidak mengetahui seberapa pentingnya konflik itu. Mereka memercayai ayah
mereka, seperti semua ayah, tidak akan terkalahkan, dan mereka ingin melihat
mundurnya pasukan Mughal.
Bebatuan berada di jalan kereta dan hampir semua perbukitan rendah tidak dapat
dilewati. Akhirnya, kami menemukan posisi yang cocok, sekitar satu kos dari
lapangan. Dara dan Shahshuja merunduk di depanku. Aurangzeb berdiri di kejauhan;
diam, serius, tetapi dengan sikap yang waspada, tidak mengharapkan kemenangan
maupun kekalahan. Aku berbaring, bersandar ke bantal, menatap melalui tirai
tebal ke arah badai debu yang mendekat. Dari kejauhan itu, tidak mungkin untuk
mengenali apa pun, kecuali aliran manusia dan
hewan, tetapi aku masih menatap ke pusat pasukan kami, mengetahui bahwa di sana,
tersembunyi di suatu tempat di balik debu, Shah Jahan menunggangi Bairam dengan
langkah-langkah pasti. Pasukan kami begitu kecil! Aku merasa kecil hati. Pasukan Mughal terentang
hingga jauh keluar tepi lapangan. Mereka menggetarkan bumi, menyapu tanah
bagaikan gelombang raksasa. Ketika mereka saling mendekat, aku mendengar
tangisan lemah para prajurit, yang terdengar di telingaku bagaikan bisikan. Dua
pasukan berkuda berderap menjauh; mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh
untuk mengepung pasukan Mughal, sayap pasukan terentang lebar, seperti bayangan
seekor burung raksasa. Meriam ditembakkan; pertempuran telah dimulai. Di kedua
pihak, manusia dan hewan berjatuhan, bangkit dan berkumpul lagi, dan menyerang,
berjatuhan, bangkit, dan menyerang lagi. Para penunggang kuda yang berderap ke
timur dan barat tidak perlu pergi jauh-jauh-hanya satu kos, mungkin kurang-
sebelum mengubah arah dan menyerang pasukan Mughal. Mereka bermaksud untuk
memotong sayap besar itu, dan sebelah sayapnya sudah tampak kacau karena
serangan tersebut, goyah, kemudian mundur. Sayap yang lain masih berada dalam
formasi rapat. Debu mengepul ke arah kami, kabut kuning kecokelatan yang membuat
pemandangan pertempuran menjadi samar-samar. Para prajurit yang ada di belakang
mendorong ke depan, melambaikan pedang, menghantam perisai, berteriak. Mereka
melakukan gerakan maju yang mantap dan mengancam, tetapi akhirnya mereka hilang dari
pandangan. Sepanjang hari, aku menyaksikan dan menunggu. Yang terdengar hanyalah suara,
yang terlihat hanyalah darah. Kedua pihak tidak mundur, tetapi tetap terpaku di
posisi awal mereka. Seperti pasang surut, salah satu pihak mundur, kemudian maju
lagi, mundur, dan maju lagi. Barisan pasukan kami agak goyah, tetapi kemudian
bisa bertahan. Aku mengetahui, jika lini depan pecah dan berantakan, artinya
Shah Jahan akan kalah. Senja datang begitu cepat, tanpa angin sejuk yang nyaman, tetapi hawa panas dan
berdebu, memudarkan cahaya matahari menjadi lapisan kuning keruh yang
menggantung di atas bumi. Kami tidak menyaksikan lebih lama. Para prajurit akan
mundur untuk beristirahat, memulihkan kekalahan mereka, tewas karena luka-luka
mereka, atau membalut luka-luka ringan. Saat kami mencapai perkampungan, orang
pertama mulai berjalan kembali. Mereka berlapis debu dan keringat, dengan
kewaspadaan di atas keinginan dan kekuatan mereka. Beberapa membopong rekan
mereka, mengerang kesakitan, beberapa terjatuh dan tenggelam dalam tidur abadi,
yang lain berjalan terseok-seok, terus-menerus. Beberapa pasti gugur; adakah
kesempatan mereka untuk hidup dengan luka-luka parah di tubuh mereka"
Malam telah menjelang, perapian dinyalakan dan makanan dimasak sebelum kekasihku
datang. Matanya merah; wajahnya tidak berbeda dengan
yang lain-berdebu, kelelahan, janggutnya berwarna kusam seperti tanah. Aku
mengambilkan anggur dan dia minum dengan lahap. Aku mengusap wajahnya dengan
tuval, yang berubah warna menjadi cokelat karena tanah. Sentuhan dingin itu
menghilangkan sedikit kekhawatirannya.
Pertama-tama, dia berbicara kepada Isa: "Apakah kau sudah menyiapkan segalanya?"
"Ya, Yang Mulia."
Dia menyentuh wajahku, dengan penuh permintaan maaf, sikap ingin dimaklumi.
"Kita harus bergerak cepat. Tidak banyak waktu lagi. Saat fajar, mereka akan
tahu jika aku telah kalah.11 []
20 Taj Mahal 1067/1657 Masehi Gopi berjongkok di depan sebuah panel marmer dan dengan hati-hati memahat untuk
membersihkan serpihan-serpihan. Dia menggosok batu dengan tangan yang kasar dan
kapalan, kemudian terus memahat bunga-sekuntum marigold-dengan cermat dari
marmer tersebut. Dia mewarisi keahlian ayahnya, dalam kesabaran, dalam
keterampilannya. Di sampingnya, Ramesh memanaskan dan mengasah pahat. Mereka
bekerja di dalam bayangan sebatang pohon gulmohar di luar dinding yang
mengelilingi Taj Mahal. Sepuluh tahun telah berlalu sejak makam itu selesai dibangun. Tetapi, pekerjaan
masih terus berlanjut. Sebuah landasan besar telah dibangun, yang memberi ilusi
bahwa makam itu tidak memiliki bobot. Di keempat sudutnya berdiri empat menara
yang indah, tinggi dan ramping, bagaikan pohon palem. Kehadiran mereka membuat
Sultan gembira. Mereka memberikan keseimbangan dan harmoni bagi landasan, yang
akan tampak seperti gurun marmer
jika tidak ada hiasan menara-menara. Masjid-masjid berdiri di sisi lain monumen.
Bangunan-bangunan itu kecil dan sederhana seolah-olah membungkuk dengan penuh
penghormatan dalam kemegahan makam.
Tetapi, bangunan itu tidak dirancang dan dibangun agar tahan terhadap debu.
Dengan perhatian dan kepedulian yang sama seperti sebelumnya, Sultan telah
memerintahkan untuk membangun bagh. Bagh itu terletak di kaki makam besar,
terbagi menjadi empat bagian; jalan setapak dari batu yang menanjak dan
terentang dari utara ke selatan, dan dari timur ke barat, bertemu di dua kolam
air mancur berisi bunga-bunga teratai yang terpahat dari marmer, dan di antara
jalan setapak itu ada kanal-kanal lebar. Lapisan air jernih yang tak bergerak
akan memantulkan makam yang berkilauan, tetapi agar tidak mengganggu
pemandangan, kolam-kolam air mancur itu hanya akan diletakkan di kanal-kanal
utara dan selatan. Agar sepadan dengan penampilan makam, Shah Jahan menghabiskan
biaya besar untuk menciptakan taman. Pipa-pipa bawah tanah, tangki-tangki
penyimpanan air raksasa, dan susunan bak-bak penampungan akan terus-menerus
mengalirkan air ke pepohonan dan tanaman-mangga, jeruk, limau, delima, apel,
jambu batu, nanas, mawar, tulip, lily, iris, dan marigold. Aliran utama air
tersebut dibawa oleh pipa-pipa bawah tanah yang dikubur di bawah jalan setapak
dari batu bata. Untuk memastikan bahwa setiap
kolam air mancur menerima jumlah air yang sama, sehingga pancaran air mereka
sama tinggi, air tidak langsung dialirkan ke pipa tembaga yang memasok dua kolam
itu. Tetapi, di bawah dua kolam dipasang sebuah wadah tembaga. Air mengalir
sepanjang kanal, mengisi dua wadah tersebut, kemudian langsung mengalir melalui
pipa-pipa dan memancar ke udara. Air untuk kolam air mancur dan taman itu
diambil dari Jumna oleh sekelompok kerbau, dituangkan ke bak penampungan, dan
dialirkan ke tangki. Dari sana, air akan mengalir ke bawah. Tekanan air akan
meningkat sehingga arusnya akan terus berjalan ke arah ujung selatan taman.
Perancangan itu dihitung dengan sangat teliti. Di dekat makam, Shah Jahan tidak
hanya ingin ada tanaman bunga, tetapi lebih jauh, untuk melindungi para peziarah
dari terik matahari, akan ada pepohonan.
Tidak sekali pun Gopi memandang ke arah Taj Mahal. Kepalanya masih tertunduk,
dan saat dia mengangkat kepala, bagaimanapun caranya, dia akan menghindari
pandangan ke arah monumen yang menjulang itu. Bangunan itu masih membuatnya
merasa pedih. Ayahnya tidak mampu menyelesaikan jali. Dia telah semakin menua dan rapuh,
tangannya tidak mampu menggenggam pahat. Tangan-tangan itu kaku dan membeku,
menjadi sebentuk cakar-cakar, jadi Gopi meneruskan pekerjaan yang tersisa
beberapa sentimeter lagi. Dibandingkan dengan hasil karya megah ayahnya yang
hampir rampung, sisa pekerjaannya tinggal sedikit lagi, tetapi tetap saja, tidak bisa dikerjakan
terburu-buru. Segalanya harus tepat. Gopi membutuhkan waktu setahun untuk
memahat bagian terakhir, kemudian, bagaikan membentuk tanah liat, dia memahat
tepi-tepi marmer itu dengan motif bunga-marigold dan lily yang sempurna, dengan
sulur-sulur dan dedaunan. Motif-motif itu diisi dengan campuran safeda dan
hirmich, serta pigmen warna. Bahan ini sama dengan yang digunakan pada lukisan
dinding yang dia lihat di gua-gua, yang digambar berabad-abad lalu oleh seniman-
seniman yang terlupakan. Isian itu akan menjadi sekeras marmer, dan akan
diglasir sehingga bersinar bagaikan batu. Gopi tersenyum mengingat kebanggaan
ayahnya yang membuncah saat pekerjaan mereka selesai. Dia telah memuji Gopi,
seakan-akan Gopi-lah yang melakukan semua pekerjaan itu. Bagi Gopi, tampaknya
setelah kematian ibunya, Murthi telah melunak, menjadi pemimpi, hanya bisa
berkomunikasi dengan dunia lain. Keempat anggota keluarga itu melakukan ziarah
ke kuil kecil untuk mengucapkan terima kasih. Beberapa orang lain yang datang ke
sana bersikap menjaga rahasia, waspada, karena meskipun terpencil, kuil itu
adalah tempat yang rapuh. Kening Durga diolesi saffron dan kum-kum, dinaungi
kain sutra, dan dihiasi dengan sebuah rantai emas dan berlian. Mereka
mempersembahkkan buah-buahan dan bunga, kemudian persembahan itu diberkati dan
dikembalikan. Saat mereka pergi, Murthi tampaknya merasa tenang dan damai.
mim "Kita akan kembali ke desa," dia mengumumkan. "Ibumu sangat merindukan kampung
halaman kita. Jika saja dia bisa pulang bersama kita. Tapi, pertama-tama, kita
harus melihat jali kita. Aku ingin melihat di mana jali itu diletakkan, melihat
bagaimana cahaya jatuh di permukaannya."
Para pekerja membungkus jali dengan karung goni dan meletakkannya bertumpuk di
atas sebuah kereta. Mereka memerhatikan kereta itu hingga lenyap dari pandangan,
masuk ke dalam kerumunan pekerja dan hewan. Gopi melihat tubuh ayahnya mengerut,
seakan-akan sebagian dari dirinya terbawa oleh kereta. Jali itu adalah
representasi tujuh belas tahun hidupnya, dan seluruh keterampilannya.
"Saat mereka sudah memasangnya," kata Murthi, "kita akan pergi.
Mereka mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh menuju rumah. Perjalanan itu
akan melelahkan dan sulit, tetapi Murthi merasa yakin mampu menjalani. Saat
mereka telah membuang semua barang yang tidak penting dan mengumpulkan yang akan
mereka bawa-perhiasan Sita yang akan menjadi milik anak perempuannya, peralatan
Murthi, dan sekantong kecil uang rupee-mereka pergi ke Taj Mahal,
Mereka mendekati para prajurit yang menjaga Taj Mahal, tetapi sebelum bisa
lewat, mereka dihentikan.
"Mau ke mana kalian?"
"Ke dalam. Untuk melihat."
Para prajurit memandang Murthi, lalu memandang putra-putra dan putrinya. Tidak
diragukan lagi: wajah mereka, pakaian mereka, tingkah laku mereka, semua orang
pernah menggunjingkan seperti apa keluarga Murthi ini.
"Kalian tidak boleh masuk."
Murthi terkejut. "Kenapa?"
"Kau Hindu. Itu tidak diizinkan. Sekarang, pergilah."
"Memang aku Hindu. Apa ada yang salah?" Murthi bertanya. "Aku bekerja selama
tujuh belas tahun untuk makam ini. Aku tidak pernah ditanya apakah aku Hindu
atau bukan. Aku memahat jali, yang sekarang berdiri mengelilingi makam
Permaisuri. Aku hanya ingin melihatnya, tidak lebih. Lalu, aku akan pergi tanpa
keributan." "Kalian tidak bisa masuk. Kalian bisa melihatnya dari sini."
"Aku hanya ingin melihat jaliku. Cahaya ...."
"Aku telah memberi tahumu. Kau tidak mungkin masuk. Orang-orang Hindu tidak
diizinkan masuk." Murthi masih bertahan. Dia membandel, tetapi, begitu juga para prajurit. Mereka
menghadang jalannya, tidak dengan kasar, tetapi tidak sabar karena Murthi tidak
mau mengerti. Dengan perlahan, Gopi menggamit lengan ayahnya, tetapi Murthi
menepisnya. Murthi berdiri sambil menatap bangunan, mencoba untuk memandang ke
balik dinding-dinding marmer raksasa.
Baru sore hari, ketika cahaya memudar dan
makam itu tampak mengambang dalam kilauan cahaya merah muda yang samar, dia
menyerah dan mau ditarik dari situ. Wajahnya tampak berkerut-kerut dan muram.
Dia bersandar ke putra-putranya; putrinya berjalan di depan mereka. Perjalanan
ke Guntur sudah terlupakan. Murthi terbaring di dalam gubuk dan tidak bisa
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi. Jiwanya terikat dengan sebongkah marmer itu; dia telah mempersembahkan
hidupnya kepada jali itu, dan dia akan merasa bebas hanya dengan melihatnya.
Gopi mengunjungi pamannya, Isa. Ketika duduk di kamar Isa yang mewah di istana,
Gopi berpikir, betapa berbedanya nasib dua saudara itu. Mungkin hanya kemewahan
itu yang membedakan Isa. Wajahnya lebih bercahaya, tubuhnya lebih kuat, dan
sikapnya penuh kepercayaan diri.
"Ayahku sekarat."
"Aku akan memanggil hakim."
"Tidak. Hakim tidak dapat menyembuhkannya. Dia berharap untuk melihat jali
karyanya, tetapi mereka tidak mengizinkannya masuk. Tolonglah, apakah Paman bisa
meminta izin kepada Sultan untuk membiarkan adik Paman masuk?"
Isa menatap ke bawah, ke arah sungai yang mengalir ke Taj Mahal. Pantulannya
menyilaukan di bawah matahari tengah hari, marmernya memantulkan cahaya ke
angkasa, berdiri sendirian dan terisolasi. Makam itu membutuhkan teman yang
sama indahnya, tetapi di dunia ini tidak ada yang bisa mengimbanginya. Isa telah
lama memikirkan makam itu; ia memiliki nyawa, ia bernapas. Dia membayangkan
batu-batu yang terangkat dan disusun, ketika makam itu mendesah. Isa menyadari
bahwa makam itu kesepian. Ia adalah benda sempurna di dunia yang penuh
ketidaksempurnaan, dan merupakan karya agung. Mungkin makam Shah Jahan sendiri,
refleksi makam itu dalam warna hitam, suatu hari akan menjadi teman bagi makam
Permaisuri. Tetapi, mengapa hitam-warna yang menyeramkan" Mungkin Sultan
berharap mengingatkan dunia akan dosa-dosanya. Makamnya akan berdiri untuk
selamanya, seperti Taj Mahal, tetapi akan menjadi kain kafan semata, bukan cadar
sutra. Saat itu, makamnya akan tampak jelek, menggunduk, dan tidak terbentuk di
bawah sinar matahari; dan pada malam hari, makamnya tidak akan terlihat,
sementara Taj Mahal akan muncul dan berkilauan, bermain-main dengan cahaya,
seperti juga bermain-main dengan permukaan air. Bahkan, sungai sekalipun tidak
mampu memantulkan warna hitam. Shah Jahan akan menerima hukumannya dengan
erangan dan penderitaan di dalam kekelaman itu, hidup selamanya di dalam
kegelapan. Sultan berharap agar dunia mengetahui bahwa dialah yang merusak satu-
satunya manusia yang pernah dia cintai.
Apakah hidup mereka bisa berbeda" Isa tidak tahu. Tidak terlalu mencintai bukan
berarti tidak mencintai sama sekali. Cinta tidak bisa diukur dalam
porsi seperti makanan maupun minuman, diatur agar tidak luber dan membanjir.
Mungkinkah manusia mencintai dengan berlebihan, dan karenanya, merenggut
kehidupan itu sendiri"
"Adik Paman sekarat karena patah hati." Gopi memecah kesunyian.
"Itu tidak bisa kusembuhkan. Apa yang bisa kulakukan?"
"Paman memiliki kekuasaan untuk menghukum mati seseorang. Paman bisa
menyelamatkan adik Paman."
"Kekuasaan" Apakah kau mengerti arti kekuasaan" Kau berpikir, karena dia Mughal
Agung, maka kekuasaannya tidak terbatas" Kekuasaan Sultan terbatas, karena dia
hanya seorang manusia. Dia bisa mencabut nyawa, tetapi tidak menciptakan nyawa;
dia bisa mengubah arah alur sungai, tetapi tidak bisa menciptakan setetes air.
Dia bisa membuatmu menjadi seorang yang terhormat, tetapi tidak bisa memberikan
kehormatan kepadamu. Dia bisa berpura-pura jika dia adalah tuhan, tetapi dia
bukan. Jika memang begitu, dia akan meniupkan nyawa kepada orang mati, dan makam
itu tak akan pernah dibangun. Dan dia juga tidak memiliki kekuasaan untuk
mengubah hukum dewa-dewa atau siapa pun yang memuja mereka. Kita adalah orang
Hindu, kita tidak bisa masuk."
"Bahkan Paman sekalipun?" Gopi mencemooh, tidak percaya.
Isa tidak menjawab. Murthi semakin melemah, meratapi kesedihannya. Kematian mengukir kulitnya,
memahat wajahnya; biasanya dia yang melakukan itu terhadap marmer; membentuk
sesosok mayat dari tulang, daging, darah, dan jantung.
Isa berjalan bersama keponakan-keponakannya menuju ghat. Dia mengamati Gopi
menyulut api pembakaran jenazah, kemudian mengulangi kata-kata pendeta. Adiknya
telah mengerut; dia tenggelam dalam taburan bunga-bunga. Api menyala-nyala,
membakar kayu, kain, dan daging. Dia terdiam sampai hanya debu yang tersisa, dan
para keponakannya berjongkok di samping sisa-sisa pembakaran, menatap dan
menunggu ayah mereka naik ke langit bersama kepulan asap.
"Apakah sekarang kau akan kembali ke desa?" Isa bertanya kepada Gopi.
"Mengapa" Aku tidak begitu ingat desa kita. Aku hanya setuju pulang karena
ayahku menginginkan itu. Aku harus menemukan pekerjaan di sini untuk menghidupi
adik-adikku." "Masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan di sana," Isa menunjuk ke arah Taj
Mahal. Gopi ingin menolak, ingin mengutuk monumen itu, tetapi tidak mengatakan
apa-apa. Monumen itu telah menghidupi ayah dan keluarganya; sekarang akan
menghidupinya. "Aku akan bekerja, selama masih ada pekerjaan."
Hasrat Sultan terhadap perempuan tidak pernah melemah. Para budak, devadais,
gadis-gadis nautch, putri-putri, begum-begum; yang paling cantik, yang paling
molek, semua tidur dengannya sepanjang siang dan malam. Dia tidak pernah bisa
terpuaskan. Iblis telah hidup di antara kedua kakinya; dia telah meminum ramuan
untuk meningkatkan kekuatannya, namun akibatnya saluran kencingnya mengalami
penyumbatan. Dia tidak bisa membuang air kecil dan merintih kesakitan. Dia
bergelayutan kepada Isa, bagaikan seorang anak yang takut hantu, hingga hakim
memberinya ramuan opium yang kuat.
Selama Shah Jahan tertidur, Isa pergi ke pertempuran di Lai Quila dan mencari
kabar tentang Delhi. Dia mendengar bisikan-bisikan sudah tersebar di seluruh
penjuru kota: sang Sultan sedang sekarat, sang Sultan sedang sekarat. Pintu-
pintu tertutup, toko-toko dipasangi jeruji, chai dan paan wallah mencair seiring
datangnya malam. Ketika menerima panggilan, dengan cepat Dara datang, dan derap
kudanya yang berpacu bergema di keheningan kota dan jauh ke seluruh penjuru
kesultanan. Berita itu juga sampai di telinga Shahshuja, Subadar Bengal; Murad,
Subadar Gujarat; dan Aurangzeb, Subadar Deccan. Isa merasakan mereka mondar-
mandir di istana mereka yang jauh.
Dalam kegelapan, di bawah maidan, dia melihat sosok-sosok yang berkumpul di
bawah jharoka-i-darshan. Satu orang, dua orang, sepuluh
orang, seratus. Di dalam istana, para pejabat muncul diam-diam, berkumpul di
diwan-i-am untuk menatap ke atas awrang kosong di bawah kanopi emasnya.
Semua menatap ke arah timur. Kegelapan mulai memudar, angkasa berubah warna
menjadi keemasan; fajar sudah merekah, tetapi Sultan tidak muncul. Para pejabat
dan orang-orang menunggu, bahkan setelah matahari meninggi dan menyengat di
punggung mereka. Isa mengetahui pikiran mereka: Sultan telah meninggal. Dan dia mendengar orang-
orang di bawah meratap, karena sang Sultan adalah ayah yang adil dan bijaksana
bagi mereka. Mereka juga meratapi sesuatu yang tidak mereka ketahui.
mim Shah Jahan terbangun dalam kesakitan, gigi-giginya bergemeletuk, dan berbisik
kepada Isa: "Agra ... Agra ... aku harus melihatnya."
"Dia tidak bisa dipindahkan," kata hakim.
"Sembuhkan ayah kami," Dara dan Jahanara memohon, tetapi hakim membungkuk
ketakutan karena ketidakmampuannya.
Dara memanggil seorang wazir: "Sebarkan sebuah pengumuman. Sultan Shah Jahan
saat ini sedang sakit, dan akan segera pulih. Kirimkan kabar itu ke seluruh
penjuru negeri." Wazir mematuhi perintah itu. Dia menempelkan pengumuman di gerbang-gerbang Lai
Quila dan mengirim pembawa pesan ke seluruh penjuru
Hindustan. Tetapi, pembawa pesan lain dengan cepat membawa pesan ke saudara-
saudara lelaki Dara: Sultan sekarat dan Pangeran Dara mengambil alih kekuasaan
kesultanan. Selama dua hari dua malam, Sultan terbaring dalam tidur yang panjang. Saat
akhirnya dia terbangun, rasa sakit sudah menghilang dari tubuhnya, tetapi di
wajahnya, kelelahan membekas.
"Agra. Aku harus pergi mengunjunginya, Isa," dia memerintah, "katakan kepada Mir
Manzil untuk mempersiapkan perjalananku." Dia menatap Dara, kemudian melihat
tatapan ingin tahu di mata sang anak. "Ada apa, Dara?"
"Adik-adikku mengumumkan rencana dan tujuan mereka. Mereka yakin Ayah sudah
meninggal. Saat ini Shahshuja menyebut dirinya sendiri Sikander Kedua, dan Murad
melemparkan koin-koin."
"Dan Aurangzeb?" Shah Jahan tidak bisa menyembunyikan kengeriannya.
"Tidak ada apa-apa," jawab Dara. "Dia tidak berbicara sepatah kata pun, tetapi
saat ini dia bergerak ke arah kita dengan pasukannya."
"Pasukannya" Dia Shah Jahan berteriak.
"Putra-putraku yang bi-daulat! Nafsu mengalahkan kasih sayang mereka. Bawa aku
ke awrang. Aku harus memperlihatkan diriku sendiri."
Para pejabat dipanggil dan Ahadi menyusun barisan di sekitar diwan-i-am. Shah
Jahan, dibantu oleh Dara dan Isa, menaiki tangga ke podium dan perlahan-lahan
duduk di singgasana merak. Para pejabat menyadari penyakit Sultan yang parah:
tangannya yang bergetar dan lehernya yang lemah. Dia telah kehilangan kekuatan.
Sebaliknya, mereka juga menyadari kekuasaan Dara.
"Aku baik-baik saja," sang Sultan berbicara, tetapi suaranya nyaris tak
terdengar di telinga mereka. "Putraku tersayang dan satu-satunya yang setia,
Pangeran Dara, akan memerintah hingga aku cukup kuat untuk kembali mengerjakan
tugasku sekali lagi."
Isa melihat selubung-selubung, gelap dan mengerikan, menutupi wajah-wajah mereka
yang mendongak. Dia bisa membaca pikiran mereka: apakah Dara cukup kuat" Dari
pengamatannya, Isa tahu bahwa sang Sultan membuat suatu kesalahan. Dibutakan
oleh cinta, dia telah meletakkan kesultanan ini di atas kesetiaan yang terbagi,
bagaikan pasir yang bergerak.
"Aku memerintahkan putra-putraku untuk kembali ke posisi mereka sebagai bagian
dari hukuman. Aku masih Padishah Hindustan."
mm Butuh waktu sepuluh hari untuk mencapai Agra, dan segera setelah mereka tiba,
Sultan memasuki makam besar dan pintu-pintu perak tertutup di belakangnya. Dia
berlutut di sarkofagus dan mengecup marmer dinginnya.
"Kekasihku, kekasihku ...." Bisikannya bergema ke seluruh penjuru kubah. "Apa yang
harus kulakukan sekarang" Putra-putraku berbaris menyerangku. Mereka tidak
mematuhi perintah ayah mereka, sang Sultan. Kata-kataku hanya akan menjadi debu di tengah angin. Di
saat aku jatuh sakit, mereka melawanku. Putra kesayangan kita Dara adalah
pendukung setiaku; cinta kita telah menumbuhkan kesetiaan di hatinya. Aku telah
mengirimnya untuk berperang melawan adiknya Shahshuja dan aku tidak bisa
bernapas karena ketakutan. Aku tidak pernah merasa takut jika menghadapi
peperangan; tetapi saat ini, aku gemetaran seperti seorang pengecut. Jagalah
Dara ... tuntunlah dia ... berikan dia kekuatanmu, Arjumand Sayangku."
Shah Jahan terjaga semalaman di makam hingga Dara menemuinya, dengan penuh
kemenangan, karena Shahshuja telah kalah dan saat ini kembali ke Bengal. Dara
tertawa puas dan kegembiraannya bergema di sekeliling makam.
Sang Sultan masih berlutut, "Dan Aurangzeb?"
Dara terdiam. "Sekarang dia maju bersama Murad. Aurangzeb telah mendukung Murad
sebagai sultan," dia terkekeh, "aku akan mengalahkan Murad semudah aku
mengalahkan Shuja." "Tapi, ada Aurangzeb di sisinya," Shah Jahan berkata dengan lembut. Dia menoleh
ke arah Isa. "Apakah kau percaya Aurangzeb akan mengizinkan Murad menjadi
sultan?" "Siapa yang bisa membaca pikiran Aurangzeb yang sebenarnya, Yang Mulia?"
"Kalau begitu, aku harus memimpin pasukan melawan mereka. Hanya pengalaman dan
kehadiranku yang bisa mengalahkan Aurangzeb."
"Tidak!" Dara berteriak. "Aku akan memimpin su-atu hari nanti. Aku harus
menghadapi Aurangzeb." Dia berbalik dan berjalan dengan marah keluar dari makam,
seperti seorang anak yang mainannya direbut.
Shah Jahan, yang perasaannya terluka, menatap Isa: "Apakah aku salah?"
"Tidak, Yang Mulia. Hanya Yang Mulia yang bisa mengalahkan Aurangzeb. Dara tidak
memiliki pengalaman."
"Tapi aku membuatnya tidak senang."
"Itu akan berlalu," tetapi, ketika Isa mengatakan itu, dia merasakan sang Sultan
mengubah pendiriannya, dan dia merasa ngeri.
Isa sudah menduga ini sebelumnya. Di tepi Sungai Chambal, sementara Shah Jahan
dan Isa menunggu di makam, Aurangzeb mengalahkan Dara. Ribuan orang mati dalam
pertempuran sepanjang hari, dan saat Dara mundur, pasukannya bubar. Dengan lusuh
dan lelah, dia kembali ke Agra. Sang ayah, yang mencintai dan memaafkannya,
menghiburnya meskipun saat ini Aurangzeb berbalik menjebak Murad. Aurangzeb
mengikat Murad dan mendudukkannya di atas seekor gajah, yang membawanya ke
sebuah penjara entah di mana. Pada saat itu juga, tiga gajah yang sama dikirim
ke titik-titik yang lain, ke arah yang berlainan.
"Monster itu!" Shah Jahan murka. "Penipu. Dia selalu ingin menjadi sultan."
"Dia bersumpah akan memenjarakanku juga," Dara berkata dengan putus asa. "Dia
membenciku." "Kita akan mengalahkan bi-daulat itu. Kita akan menyusun pasukan lain."
Kemudian, bagaikan ingin mengingkari setiap kekuatan takdir yang semakin
mendesaknya, Shah Jahan mengumumkan: "Shah Jahan saat ini adalah sultan
Hindustan." Isa mengawasi pasukan baru yang berbaris ke dataran berdebu di luar Agra.
Matahari berkilau di pelindung kepala, meriam dan jezail mereka. Para manusia
dan hewan tampak tak terhingga, tetapi Isa tahu, pasukan ini tidak kuat. Agra
telah kekurangan tukang jagal, juru masak, dan tukang kayu. Mereka bukan
tandingan Aurangzeb. Dan Aurangzeb, yang merantai kaki gajah tunggangan perangnya di sebuah tiang di
atas bumi, menikmati kemenangannya, hanya mengalahkan Dara karena pengkhianatan
komandan pasukan Dara, Khallihillah Khan. Dara menuju ke barat, sementara
Aurangzeb menuju Agra. 1068/1658 Masehi Di medan perang, Shah Jahan menatap ke bawah. Para prajurit mendongak. Tidak ada
yang bergerak. Dari atap masjid, meriam ditembakkan. Dia tidak mengernyit saat
tembakan itu mengenai dinding-dinding benteng dan tercebur ke kanal yang
melingkari. "Bi-daulat," dia berteriak, dan mengayunkan kepalan tangannya ke pasukan yang
mengelilingi Padishah, sang Mughal Agung, sultan Hindustan, Shah Jahan, Penakluk Dunia. "Bi-
daulat." Teriakannya tidak terdengar; pasukan itu tidak menghilang. "Apa yang telah
kulakukan?" "Yang Mulia merasa sakit," kata Isa. "Dan Aurangzeb ingin menjadi sultan."
"Dia tidak bisa merampas dariku, kecuali aku mati," Shah Jahan berkata dengan
marah. "Aku jatuh sakit selama tiga hari, dan pasukan besar menyerang. Apa yang
dia harapkan akan terjadi padaku dalam tiga hari itu" Aku akan mati" Badmash."
"Dia mengaku, dia datang hanya untuk membantu Yang Mulia," sahut Isa. "Untuk
memberi perlindungan dari putra-putra Anda yang lain."
"Dia pembohong. Dara, di mana Dara" Jika saja dia mendengarkanku, putra
kesayanganku itu akan menyelamatkan aku. Aurangzeb tahu, Dara tidak akan pernah
menyakitiku." "Aku tahu," kata Isa pelan. "Dara bertempur untuk membela Yang Mulia, tapi dia
tidak memiliki pengalaman Aurangzeb dalam pertempuran. Siapa yang tahu saat ini
dia berada di mana" Anda terlalu mencintai Dara, Yang Mulia, dan tidak cukup
mencintai Aurangzeb. Anda memberi Dara impian bahwa dia akan menjadi sultan,
tetapi dengan tetap menahannya di sisi Anda, Anda membuatnya lemah. Setiap
belaian, setiap kecupan kasih sayang akan melemahkan kekuatannya untuk bertahan
melawan Aurangzeb. Dan setiap kecupan, setiap belaian, hanya membuat kebencian
Aurangzeb semakin besar. Sekarang, dia membenci Dara."
"Aku mengutukmu Isa, karena memberi tahuku saat sudah terlambat. Memperingatkan"
Kau sudah meramalkan upacara di atas makam kami. Oh Tuhan, di mana Dara?"
"Dia pergi jauh."
"Kita harus memberinya waktu-waktu untuk kabur, untuk membangkitkan pasukan lain
dan mengalahkan Aurangzeb."
Tasbih mutiara sang Sultan berdetik-detik, menghitung pergantian waktu. Suara
putaran tasbih seakan bisa didengar dari seberang sungai. Saat ini, satu-satunya
yang memberi Shah Jahan ketenangan adalah Tuhan, dan dia pergi menghadap-Nya di
Masjid Mina-hanya di sana tersedia kedamaian bagi sang Sultan.
Taktya Takhta. Kalimat itu terukir di hatinya. Dia tidak dapat menghapusnya. Bisikannya sendiri
bergema setelah bertahun-tahun, dan tidak bisa dicabut. Di antara jeda kata-
kata, ada kilatan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Kekuasaan
sang Sultan telah menguap. Dia menjadi sesosok hantu yang berbisik dari balik
singgasana, tetapi tidak ada yang bisa mendengarnya.
Shah Jahan pergi menuju Masjid Mina. Sembahyang tidak membuatnya lebih nyaman;
usia mengiris tubuhnya, menyisakan garis-garis keriput di wajahnya.
"Aku akan mengundang Aurangzeb untuk datang kepadaku dan mendiskusikan masalah
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Lalu, dia harus kembali ke posisinya." Sesaat, Shah Jahan merasa murka, kejam, dan
berbahaya, tetapi kemudian dia tenang kembali. "Aku akan memohon agar dia
kembali ke Deccan, untuk pergi dengan damai. Aku akan memaafkannya."
mim Isa pergi. Dia membawa Alamgir, sebilah pedang yang dibentuk dari batu meteorit.
Gagangnya terbuat dari emas, bertatahkan berlian. Di ujung gagangnya yang
membulat ada sebuah batu seukuran kepalan tangan. Sarung pedangnya juga terbuat
dari emas, dihiasi mutiara, berlian, dan zamrud. Bilah pedangnya yang
menyeramkan dan melengkung tidak pernah kehilangan kilauan atau ketajamannya.
Alamgir: Penakluk Jagat Raya.
Aurangzeb menunggu Isa di istana Dara di dekat Jumna, kediaman Pangeran Shah
Jahan dan istrinya Arjumand. Isa tenggelam dalam kenangan. Selama bertahun-
tahun, dia tidak pernah masuk ke sini. Aurangzeb berdiri di tempat Arjumand
menebarkan perhiasan peraknya dan memenangi kembali hati pangerannya. Aurangzeb
berdiri di atas rumput, tampak tidak peduli. Dia mengambil pedang dari Isa dan
mencabut pedang itu dari sarungnya. Matahari berkilau di bilah tajamnya.
"Alamgir. Pedang ini dibuat dengan penuh perhitungan. Apa lagi yang ayahku
kirimkan, Isa?" "Dia mengundang Anda untuk mendiskusikan masalah ini."
Isa membuat Aurangzeb geli. Dia tersenyum dan
berbalik menatap benteng.
"Tidak diragukan lagi, dia ingin aku kembali ke posisiku. Dia memerintahkanku
untuk berlari ke sana, berlari ke sini. Beberapa tahun ini aku sudah berlari
untuknya, menyerang Kandahar, menyerang Samarkand. Aku telah mendaki pegunungan
dingin dan menyusuri gurun panas atas perintahnya. Aku adalah putranya yang
penurut, bukankah begitu, Isa?"
"Anda berbicara seakan-akan tugas Anda telah selesai."
"Memang belum," ada semangat dalam nada
suaranya; matanya tidak pernah lepas dari
benteng, tetapi menerawang dengan penuh
keinginan. "Salah siapa ini semua" Salahku" Aku
telah mencintainya, tapi seluruh cintanya mengalir
deras bagi si perampas, Dara."
"Dara tidak merampas takhta, Yang Mulia. Sultan ii
"Kau juga hanya akan berkata yang baik-baik tentang Dara. Kau mencintainya
seperti dia anakmu sendiri. Mengapa" Karena ibuku mencintainya. Putra pertama-
aku melihat ibuku menghujani Dara dengan kasih sayang. Dia menerima semua
kecupannya, sementara yang lain terlupakan."
"Anda beruntung karena bisa menimpakan kesalahan kepada banyak pihak, Yang
Mulia." "Kau memiliki lidah yang berbisa, Isa. Suatu hari, mungkin kau akan kehilangan
lidahmu." "Apakah Anda mengira aku akan takut kepada seorang anak yang pernah kugendong
dengan tanganku?" "Kau merasa terlalu yakin dengan belas kasihku."
"Aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi, Yang Mulia."
"Ah, Isa." Aurangzeb tersenyum maklum dalam sikap yang bersahabat, sambil
menepuk lengannya. Itu adalah tindakan yang kaku dan formal. Bagi Isa, Aurangzeb
dewasa tidak berbeda dengan Aurangzeb kecil. "Aku tidak akan menyakitimu, tapi
Dara telah menyakitiku. Dia membenciku. Dia telah meracuni pikiran ayahku untuk
melawanku, seperti Mehrunissa meracuni Jahangir. Jika aku mundur dari sini, dia
akan kembali. Dan sekali lagi, kami akan bertempur, dan aku akan kembali meraih
kemenangan. Si tolol itu tidak tahu apa-apa tentang pertempuran; dia hanya
mengetahui toleransi konyolnya terhadap semua umat manusia. Dia akan lebih
mencintai orang Hindu daripada kaum Muslim; dia akan memberi mereka kebebasan
untuk beribadah, kebebasan untuk mengembangkan agama Hindu, dan menumpas kaum
yang benar-benar beriman. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Kita harus
menumpas orang Hindu agar tidak bangkit kembali."
Tekad Aurangzeb menakutkan Isa. Dia percaya bahwa dirinya sendiri adalah pembela
keimanan, Pedang Tuhan yang sebenarnya. Babur, Akbar, Jahangir, dan Shah Jahan
juga memercayainya, tetapi tidak seperti ini, tidak seperti ini.
"Kalau begitu, tidak akan ada kedamaian dalam hidup Anda," kata Isa. "Jika Anda
mengobarkan perang terhadap rakyat Anda, mereka juga akan mengobarkan perang untuk melawan
Anda. Singgasana akan guncang dan jatuh, karena ia hanya berdiri di atas fondasi
yang dibangun oleh Akbar, dan diteruskan oleh kakek serta ayahmu. Mereka
mengeluarkan suatu hukum agar semua diperlakukan dengan adil. Jika Anda menebar
kebencian, Anda akan menerima kebencian juga. Apa yang Anda lakukan akan bergema
seiring waktu, seperti gema peristiwa masa lampau. Tidak ada celah konsekuensi
bagi tindakan Anda. Aurangzeb akan menjadi sebuah nama yang dibenci oleh
generasi-generasi berikutnya."
"Kau berbicara seperti si tolol Dara."
"Mungkin aku juga tolol, Yang Mulia."
"Kalau begitu, aku hanya membuang waktu. Kau boleh kembali ke ayahku dan
menyampaikan pesanku-dia harus menyerahkan benteng kepadaku."
"Dia akan menolak."
"Jangan bicara atas nama Sultan, Tolol."
"Dan jangan bicara seolah-olah Anda sudah menjadi sultan, Yang Mulia."
"Kelancanganmu membuatku marah. Selamanya aku tak akan pernah mengingat jika kau
menggendongku saat kanak-kanak."
Isa kembali ke benteng dan melapor kepada Shah
Jahan. Dia sudah menerka bagaimana hasilnya; Shah Jahan menolak.
"Kita harus memberi Dara beberapa waktu lagi.
Bahkan saat ini, dia sedang menyiapkan pasukan. Aku tahu dia akan
menyelamatkanku." "Tapi, dia tidak bisa mengalahkan Aurangzeb, Yang Mulia. Hanya keahlian Anda
yang bisa melakukan itu, dan semua itu terperangkap di dalam dinding-dinding
ini. Dara tidak memiliki cukup pengalaman."
"Ah, tapi Tuhan ada bersamanya. Kau selalu mengungkit-ungkit masalah, Isa.
Apakah Aurangzeb memberi tahumu apa yang akan terjadi padaku?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Dia berusaha membunuhku. Aku tahu itu."
Takhta, dia berbisik pada dirinya sendiri, dan selama sesaat, dia berpikir jika
suaranya terdengar seperti suara Khusrav. Seharusnya dia menurut kepada
Arjumand. Gopi, Ramesh, dan Savitri berkumpul bersama di gubuk mereka. Jalanan sepi,
keheningan menggantung bersama debu. Mereka telah melihat pasukan mengepung
benteng. Mereka tidak mengetahui apa yang sedang terjadi; tampaknya guntur akan
segera menggelegar di atas kepala mereka. Selama dua hari, mereka terus
bersembunyi, seperti yang dilakukan semua orang di kota. Kemudian, pada hari
ketiga, karena kelaparan, Gopi memberanikan diri ke pasar untuk membeli makanan.
Dia pergi dengan cepat, sembunyi-sembunyi, tetapi para prajurit tidak
memerhatikannya. Seorang pria tinggi yang berpakaian sederhana,
dikelilingi oleh pengawal, memasuki pasar. Dia mungkin seorang biasa, tetapi
dalam sikapnya terlihat kekuasaan besar. Dia berhenti, dan memandang sekeliling
dengan sikap menghina dan berkuasa.
"Siapa itu?" Gopi bertanya kepada seorang prajurit.
"Pangeran Aurangzeb, putra Sultan."
Dua ulama Muslim mendekati sang Pangeran dan membungkuk dengan hormat. Wajah
mereka memancarkan ketaatan yang sangat dalam. Orang ketiga mengikuti, membawa
sebuah karung goni. Gopi mengamati mereka mengambil karung goni itu dan
melemparkan isinya ke kaki Aurangzeb. Gopi merasa jantungnya sakit saking
terkejut. Di sana, masih dihiasi berlian, masih teroles kum-kum, masih
terbungkus dalam kain sutra, tergeletak Durga karya ayahnya.
Rantai berlian sudah dilepaskan dan diserahkan kepada seorang budak dan para
ulama mengambil sebuah palu besar berkepala besi. Aurangzeb menggenggamnya
dengan kedua tangan dan mengayunkannya di atas kepala. Dengan kekuatan dahsyat,
dia mengayunkannya ke arca Durga dari marmer itu, membuatnya pecah berkeping-
keping. Melihat serpihan-serpihan marmer tersebar di antara debu, untuk pertama kali
dalam hidupnya, Gopi merasakan sebuah ketakutan yang sangat dalam dan tak
beralasan. Dan perasaan itu diikuti oleh kebencian terhadap Aurangzeb, yang
mengalir deras bagaikan gelombang air sungai.[]
21 Kisah Cinta 1032/1622 Masehi Arjumand Kekasihku harus mengucapkan selamat berpisah kepada Bairam, dan itu hampir
menghancurkan hatinya. Hewan tua yang sudah tergores-gores itu telah menjadi
teman yang paling dia cintai dan percayai, sama lembutnya dengan Isa, sama
setianya dengan Allami Sa'du-lla Khan, dan di peperangan, dia sama beraninya
dengan Mahabat Khan. Tetapi, kesetiaannya yang tangguh akan berujung pada sebuah
penolakan yang hebat apabila dia dibuat kesal atau diburu-buru. Itulah alasan
terpenting mengapa kami harus meninggalkannya saat ini. Tampaknya, ia mengerti
bahwa kami memang harus berpisah; ia melingkarkan belalainya di sekeliling tubuh
Shah Jahan dalam rangkulan yang penuh kasih dan air mata berlinang di matanya
yang keriput. Ia telah membawa kekasihku pergi ke seluruh penjuru negeri tanpa
mengeluh, telah ikut dalam pertempuran yang tak terhitung jumlahnya, dan selalu
berani, bagaikan kesatria yang sesungguhnya. Shah Jahan menepuk belalainya dan menangis
seperti seorang anak kecil; dia memohon kepada mahout-yang setiap saat dalam
hidupnya adalah untuk mematuhi perintah sang pangeran-untuk mengurus sahabat
lamanya, menjaga dan merawatnya.
Keheningan daerah ini yang tidak alami menggaungkan setiap suara, sehingga
rencana kabur kami seakan-akan terdengar sangat keras. Meskipun orang-orang
hanya berbisik, sepertinya mereka sedang berteriak. Kelelahan akibat tenaga
mereka terkuras di peperangan panjang, mereka bangkit dan naik ke atas pelana
kuda, membangunkan unta-unta yang bertemperamen buruk, melipat shamiyana,
mengisi muatan ke kereta, meninggalkan yang terluka, meriam, dan gajah-gajah.
Ketika kami meninggalkan perkemahan, sekali lagi Shah Jahan menoleh ke belakang
di atas pelananya. Bairam mengangkat belalainya yang hitam ke arah langit dan
menjeritkan tangisan kepedihan, kemarahan, dan kehilangan yang begitu
mengerikan. Pasti jeritan itu menyebar ke seluruh penjuru negeri, untuk memberi
tahu rakyat bahwa pangeran mereka kabur karena kalah.
Dataran ini begitu kosong, berwarna abu-abu keperakan. Cahaya bulan memudarkan
warna sebenarnya perbukitan dan pepohonan yang ungu kusam, bebatuan besar dan
ngarai-ngarai, membuat mereka bagaikan sebuah ilusi. Kami berjalan di dalam
kabut, dan bergerak di dalam kegelapan.
Kami tidak bisa melihat ke mana kami pergi, atau dari mana kami berjalan.
Hanya anak-anak yang menyambut kepergian kami dengan keceriaan mereka. Mereka
dibangunkan oleh Isa, dibantu berpakaian, dan meskipun sedikit mengeluh, mereka
menikmati kegairahan dan kerahasiaan kepergian kami. Anak-anak perempuan
memegangiku dengan ketakutan. Dara, putraku yang tertua, menerima kekalahan kami
secara filosofis, meskipun belum mengerti apa artinya itu. Lengan-lengan
kecilnya di sekeliling leherku memberiku kenyamanan dan kasih sayang. Shahshuja
tampak acuh tak acuh dan tidak menampakkan emosi; Aurangzeb tetap terbangun, dan
ketika kami bergerak keluar dari Burhanpur, wajahnya menegang. Dia menerima
kekalahan ini sebagai penghinaan pribadi. Matanya berkilat, tetapi dia tidak
meneteskan air mata. Dia juga tidak mencari kenyamanan maupun memberikannya.
Hanya lima ribu penunggang kuda, para prajurit yang loyal, bergerak bersama
kami. Sisa pasukan itu, bagaikan asap yang tertiup angin, menyebar pada malam
hari. Beberapa akan kembali ke Deccan, beberapa ke desa mereka di utara.
Kekasihku tidak lagi mampu menyatukan mereka. Dia tidak lagi mampu membayar
mereka, dan mereka tidak bisa menerima alasannya. Aku tidak ragu, banyak yang
akan bergabung dengan Mahabat Khan; sang Mughal Agung akan membayar mereka
tinggi untuk memburu putranya.
Saat fajar, kami sudah berjalan bermil-mil. Pada siang hari, hawa panas kembali
menyengat, menusuk kuda-kuda dan manusia, membuat jalan kami silau dengan baju
zirah, pedang, perisai, senapan musket, dan kain-kain alas. Kami tidak bisa
beristirahat, seperti orang-orang dan hewan-hewan yang kami lalui, yang berteduh
di kerindangan pohon. Kabar kekalahan sampai di telinga kami dengan cepat. Semua
mengetahuinya. Desa-desa tertutup, sepi; kami melihat beberapa orang yang
ketakutan saat mengamati kami mendekat dari dalam, dan berdoa agar kami tidak
mendatangi gubuk mereka yang reyot. Tanah ini tampak terpencil, terselubung
kedamaian yang menipu, tetapi aku tahu, kedamaian itu jauh sekali dari kami.
Kesultanan yang tak terbatas telah mengerut menjadi segenggam tanah. Ke mana
kami akan pergi, ke mana kami akan bersembunyi" Tanah ini tidak menyediakan
tempat persembunyian; mata Jahangir menusuk ke setiap celah dan sudut. Tidak ada
tempat rahasia; selalu ada mata yang melihat, telinga yang mendengar, lidah yang
berkhianat. Kekalahan kami sangat mencekam. Kami terus bergerak ke selatan.
Selama dua hari dua malam, rombongan kami bergerak perlahan, menyakitkan, setiap
langkah lebih waspada daripada sebelumnya. Kuda-kuda berjatuhan, dan mereka mati
sambil mendesah berat. Para prajurit berjalan kaki, menoleh ke belakang dengan
ketakutan karena melihat debu yang diterbangkan pasukan Mughal. Cakrawala masih
terlihat jernih. Kekasihku memimpin di depan, mencari-cari tempat perlindungan di bumi ini. Tidak
ada yang bisa ditemukan; istana-istana tertutup, benteng-benteng dipalangi. Para
rana, nawab, amir, pejabat, semua mengabaikan kehadiran kami, seakan-akan
Jahangir telah merentangkan tangan dan menutup mata mereka. Aku tidak bisa
menyalahkan mereka. Kemurkaan sultan atau ketakutan pangeran-tidak ada pilihan.
Setiap hari, dia kembali dengan kelelahan dan putus asa yang tergambar jelas di
wajahnya. Debu menyelimuti dari turban hingga ujung jari kakinya, mengubah warna
kulitnya, mengecilkan kekuasaannya yang sebelumnya membanggakan menjadi kekakuan
yang menyeramkan. Aku tahu, aku adalah beban baginya, sebongkah batu yang
terseret-seret di kakinya.
"Pergilah. Kau bisa lebih cepat tanpa kami."
"Tidak." Dia berbaring di sampingku, beristirahat sejenak di bawah keteduhan
keretaku; kami saling mendekat. Matanya berwarna merah karena debu dan
kelelahan, dan aku mencucinya dengan lembut, menyeka wajahnya.
"Kita akan selamat. Tidak akan ada bahaya yang mengancam kita. Baik Sultan
maupun Mehrunissa tidak akan menyentuh ujung rambut kita sekalipun."
"Aku tahu." Seulas senyuman tersungging di wajahnya yang kelelahan, sedih, yang
tampak tidak tertahankan. "Mereka tidak akan melanggar hukum Timurid. Aku yang
telah melanggarnya."
"Itu masa lalu. Kita tidak bisa mengubah yang sudah terjadi."
"Kalau begitu, kau tidak akan menyalahkan aku?"
"Kita sama-sama bersalah. Kita tidak boleh memikirkan hal itu lagi. Khusrav
sudah meninggal. Kau masih hidup. Kau harus selamat."
"Aku tidak bisa meninggalkanmu. Atau, kau ingin ditinggalkan?"
"Tidak. Tapi, kami memperlambat pergerakanmu."
"Mahabat Khan hanya dua hari di belakang kita." Dia tersenyum penuh kasih.
"Macan tua itu memberiku waktu. Dia pasti mengetahui lolosnya kita, meskipun
kita sudah menyelinap diam-diam. Jahangir mengirimkan Parwez untuk bergabung
dengannya." "Bukan Shahriya" Itu akan memberinya sedikit pengalaman," aku berkata dengan
pahit. "Mehrunissa tidak ingin membahayakan nyawanya. Seorang calon sultan harus tetap
aman, tersembunyi di harem." Dia menciumku. "Apakah kau baik-baik saja?"
"Ya, selalu jika aku ada di pelukanmu," aku menjawab dengan tidak jujur, tetapi
itu membuatnya senang dan dia memejamkan mata, beristirahat di sampingku, di
dalam kereta. Dia tertidur dan aku memerhatikan. Garis-garis kelelahan itu masih ada di
wajahnya, istirahat singkat tak akan menghilangkannya. Aku mencoba melicinkan
garis-garis itu dengan jariku, tetapi tanda kelelahan segera muncul kembali, dan
dia berbalik. Aku tahu, penampilanku juga sama saja.
Meskipun aku tidak berperang, aku merasa jika aku remuk-redam di dalam. Tubuhku
sakit; dan gemetaran. Aku belum pulih benar dari persalinan yang terakhir; dan
prosesnya sulit. Setiap anak menyebabkan luka di tubuhku, untuk memulihkan diri
setiap kali terasa semakin lama. Dengan kelahiran Dara, aku bisa kembali aktif
dan ceria dalam memulihkan kesehatanku. Tetapi, saat ini aku semakin melankolis.
Aku hanya ingin tidur dan beristirahat, untuk menjatuhkan diri di kenyamanan hangat hamam yang menyegarkan, saat angin sepoi menurunkan suhu
tubuhku dan aku dapat terbaring tanpa bergerak. Berapa lama" Berapa lama lagi"
Aku tidak bisa menepis layar keabadian yang terbentang di antara kami.
Shah Jahan terbangun saat senja. Dia tidak tampak lebih segar, tetapi khawatir;
dia memimpikan sosok-sosok Jahangir, Mehrunissa, Mahabat Khan, Parwez, dan
pasukan berkuda yang terus menghantui.
"Ke mana kita harus pergi?"
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu. Tidak ada yang mau menyembunyikan kita. Mungkin kita bisa
kembali ke Burhanpur. Aku masih memiliki kekuasaan di sana."
"Tapi untuk berapa lama" Pasukanmu pasti telah memberi tahu mereka bahwa kita
kalah. Pangeran-pangeran Deccan akan siap berkhianat dan menyerahkan kita kepada
Jahangir untuk menjilatnya."
"Semua pangeran akan berkhianat, bukan hanya mereka yang ada di Deccan." Dia
mendesah. "Mahabat Khan akan mengira bahwa kita kembali ke Burhanpur. Jika kita terus ke
barat, mungkin kita bisa menemukan perlindungan dari salah seorang pangeran
Rajput." "Yang mana" Jaipur bergabung dengan Mahabat Khan. Malwarjuga."
"Kalau begitu kita akan ke Mewar."
"Karan Singh akan selalu ingat penaklukan ayahmu dengan tanganmu sendiri."
"Dia juga akan ingat kebaikan hati kita kepadanya. Aku akan mengirimkan seorang
pembawa pesan untuk memintanya memberi kita perlindungan dari ayahku. Dia
mungkin merasa senang karena bisa membangkang perintah Sultan."
"Atau membunuh kita."
"Semua orang bisa melakukan itu, Cintaku. Pengkhianatan adalah sifat alamiah
semua manusia. Aku tidak akan memercayai seseorang yang mengatakan bahwa itu
bukan sifat alamiah. Keselamatan kita tergantung kepada hasrat atau kehadiran
kita, dan dua-duanya berada di luar kendali. Mereka bisa berubah dari menit ke
menit, hari ke hari. Suatu hari kita mungkin bisa disambut, keesokan harinya
ditolak, tergantung badai yang berkecamuk di hati dan pikiran manusia. Mereka
akan menatap kita dan berpikir: apa yang bisa kita dapatkan" Pikiran itu akan
selalu ada dalam benak mereka siang dan malam, dan saat mereka mengamati kita,
kita harus mengamati mereka. Apakah aku berharga bagi mereka" Apakah tidak" Aku
tidak bisa menjanjikan kekayaan dan
kehormatan yang besar, tetapi mereka tahu, semakin putus asa seorang pangeran,
ia akan semakin murah hati."
Wajahnya memancarkan keputusasaan akan kata-kata yang diucapkan. Sebuah titik
terkecil di bumi ini bagi kami tampak seperti tempat tak terbatas untuk
bersembunyi. Kami hanya bisa menerima kemurahan hati seorang manusia. Jika
hatinya tak tergoyahkan, kami akan tetap tersembunyi selamanya; jika hatinya
goyah, mungkin kami akan diserahkan dalam keadaan terantai.
"Kirimkan seorang pembawa pesan ke Karan Singh kalau begitu. Dia mungkin akan
menawarkan tempat bagi kita. Tapi, apa lagi yang bisa kita lakukan?"
"Tidak ada. Aku juga akan menyuruh Allami Sa'du-lla Khan dan para prajurit yang
akan kita tinggalkan untuk terus berjalan ke selatan, menuju Burhanpur. Mahabat
Pendekar Pedang Sakti 4 Wiro Sableng 139 Api Cinta Sang Pendekar Cakar Maut 2
berbicara sedikit tentang kehilangannya yang tersembunyi dalam tawa dan
nyanyian. Dia masih mau mendengarkan kisah keberhasilanku dengan gembira.
"Setiap kau menang," dia berkata kepadaku, "pikirkanlah Mehrunissa. Kekuasaannya
melemah ketika kekuasaanmu semakin besar."
"Kekuasaan apa yang kumiliki di sini, dengan jarak begitu jauh dari ayahku?"
"Ini." Dia melambai ke arah perbukitan. "Kau adalah Mughal di sini. Kau memiliki
pasukan, kau memiliki daerah kekuasaan; ayahmu tidak bisa merampas semua ini
darimu; hanya kau yang bisa mempersembahkan ini semua kepadanya. Ini adalah
daerah taklukanmu." Arjumand berkata jujur. Di sini, sebenarnya akulah sang Mughal Agung. Semua
menyerahkan benteng mereka, daerah mereka kepadaku. Aku menerimanya atas nama
sang Sultan, tetapi dengan namaku sendiri. Berdasarkan hal ini, kami menjalani
kehidupan yang damai; kami memiliki satu sama lain, kami memiliki anak-anak
kami. Hanya udara panas dan lalat yang tidak menyambut para pendatang. Berita
yang sampai ke tanganku mengabarkan bahwa kesehatan ayahku sudah membaik, dan
pembawa pesan dari Asaf Khan terus membawakan kami kabar-kabar dari istana. Dan
Mehrunissa menahan dirinya.
mm Apa lagi" Tidak ada. Semua kehidupan tidak abadi.
Saat itu malam yang hening, tanpa angin. Arjumand sedang terlelap. Dalam
tidurnya, dia kembali menjadi seperti seorang gadis yang pertama kali kulihat.
Garis-garis usia dan kekhawatiran menghilang dari wajahnya yang cantik, kembali
tampak seperti wajah anak-anak. Aku terus menatapnya, dalam bayangan, malam demi
malam, hingga aku tertidur. Aku dibangunkan oleh Isa pada waktu subuh. Aku bangkit perlahan dari tempat
tidur dan mengikutinya ke koridor. Pembawa pesan dari Asaf Khan menunggu: sang
Sultan sedang sakit parah, mendekati kematian.
Aku berdiri di balkon, mengamati matahari menyinari perbukitan. Cakrawala masih
berwarna ungu kusam, tidak berubah warna sedikit pun.
"Panggil Allami Sa'du-lla Khan kemari. Beri tahu dia untuk membawa dua prajurit,
orang-orang yang bisa kita percaya."
Kamar Khusrav gelap, cahaya belum masuk. Dia terbaring sambil terlelap,
pengawalnya terbaring di lantai, di sudut kamar. Dalam kelelapan tidur, sosoknya
juga berubah. Dia tampak tidak buta, tetapi tampak seperti seorang teman kecil
di masa mudaku. Dia merasakan kehadiranku, terbangun, dan bangkit. Dia menatap
mataku, dan mengetahui apa yang terpancar.
Dia berbisik: "Taktya takhta?"[]
Taj Mahal 1056/1646 Masehi Makam itu sudah selesai. Bangunan itu berdiri di antara kepulan debu, tanah, dan
serpihan-serpihan sisa bangunan, dari tanah kasar dengan jejak roda kereta,
lubang-lubang, parit-parit, serpihan marmer, serbuk batu bata, dan kayu. Makam
itu masih tampak seperti kerangka di depan angkasa biru, sebuah pilar menyerupai
es sedang menangkap bayangannya, di atas iring-iringan yang mendekat dari
bangunan sementara berukuran kecil, di tepi Sungai Jumna.
Para mullah memimpin barisan, membacakan ayat-ayat Quran. Kemudian, Shah Jahan
menghampiri, kepalanya ikut menunduk untuk memanjatkan doa, jari-jarinya dengan
cepat menghitung tasbih mutiara. Beberapa langkah di belakangnya, empat anak
lelakinya mengikutinya: Dara, Shahshuja, Aurangzeb, dan Murad. Sebuah peti mati
sederhana: berupa sebuah kotak yang terbuat dari marmer dingin, polos, di
panggul para lelaki yang berkeringat di bawahnya. Sebuah jalan
menuju gerbang makam terus menanjak hingga setinggi enam meter. Iring-iringan
itu berjalan dengan perlahan, udara dipenuhi oleh gumaman mereka, dan aroma dupa
masih menguar ketika mereka menghilang ke dalamnya. Kemudian, seperti kerumunan
padat yang berkumpul untuk menyaksikan upacara, aroma itu memudar perlahan.
Hanya Isa yang masih tinggal di belakang, memerhatikan dari balkon marmer ke
arah sungai. Baginya, makam ini tampak seperti tonjolan dari bumi, tidak
proporsional: tampak terlalu tipis, terlalu tinggi, entah bagaimana terlihat
rapuh. Tentu saja, makam ini belum selesai. Sebuah landasan belum selesai
dibangun, panjang dan lebarnya dua kali makam, seperti sebuah kolam marmer
raksasa yang membuat marmer tampak seperti mengambang. Kemudian, menara-menara
akan menjulang di atas dua masjid, dan akhirnya taman akan dibangun pula. Isa
mengetahui harga bangunan ini yang sangat fantastis: seribu tiga puluh enam
karung emas telah digunakan untuk memasang pagar yang mengelilingi sarkofagus
dan lampu-lampu besar yang tergantung dari kubah. Seribu tiga puluh enam karung
perak pun telah digunakan untuk pintu-pintu. Setiap ragam batu mulia dan
semimulia, dalam jumlah yang tak terhitung, telah disusun dalam bentuk bunga-
bunga dan tanaman yang menghiasi interiornya. Berlian, batu mirah, zamrud,
mutiara, topaz, giok, safir, batu pirus, batu akik, wonderstone, batu cornelian,
kristal, malachite, agate, lapis lazuli, batu kaca, cangkang kerang,
onyx, chrysoprase, chalcedony, dan jasper. Batu-batu itu telah dipilih dan
disusun dengan presisi matematis oleh seorang ahli perhiasan bukan hanya untuk
merefleksikan cahaya yang berbeda-beda, melainkan untuk memancarkan konfigurasi
astrologis yang diinginkan ke peti mati. Sejumlah besar marmer merupakan hadiah
dari para pangeran Rajput. Dua puluh ribu pekerja telah bekerja siang dan malam
secara bertahun-tahun, dan akan terus melakukan hal tersebut. Isa paham betul
bahwa harta karun Mughal di bawah kakinya akan sangat sulit digenggam, tak
ubahnya aliran Sungai Jumna.
Dia berhenti di pintu masuk diwan-i-khas. Dalam bayang-bayang gelap, sebuah
singgasana merak berdiri. Singgasana ini dibangun oleh Shah Jahan, tetapi
meskipun mewah dan cahaya berwarna madu menyinari kaki-kakinya, singgasana itu
tampak terpencil, terabaikan. Di bawah patung singa emas, dibangun sebuah
landasan emas pula. Landasan itu memiliki lebar sekitar satu meter dan panjang
sekitar satu setengah meter, ditutupi dengan bantal-bantal. Di atasnya
tergantung sebuah kanopi, juga terbuat dari emas, yang disangga oleh dua puluh
pilar yang masing-masing setebal lengan manusia, dihiasi dengan zamrud. Di
puncak kanopi, ada dua patung merak dari emas yang tampak lebih indah
dibandingkan dengan burung merak asli. Bulu-bulu patung merak emas yang penuh
perhiasan memantulkan setiap warna dengan kecemerlangan yang sama. Di antara
mereka, ada sebuah pohon yang berbuah zamrud, batu mirah, berlian, dan mutiara. Bebadat
Khan, ahli perhiasan istana, membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menghiasi
singgasana. Isa duduk di atasnya, mencoba untuk merasakan kekuasaan Mughal Agung, tetapi
hanya bisa merasakan kenyamanan. Ketika dia duduk, suatu emosi aneh merasukinya,
berasal dari singgasana itu sendiri-perasaan kesepian yang dingin dan
menyedihkan. Murthi mengabaikan upacara itu. Dia bertarung dengan batu, dengan keras, terus-
menerus, dan tak kenal lelah bekerja. Tap, tap, tap; setiap serpihan yang dia
pahat mengiris hatinya. Pekerjaan ini harus selesai segera, segera, segera. Dia
bekerja lebih keras, lebih cepat, tanpa pernah bersantai. Dengan setiap ketukan
pahat, dia mendengar menit-menit, jam-jam, dan hari-hari bergulir. Dia berpacu
dengan waktu; saat ini mereka berlari dan terus berlari. Satu tahun berlalu
dalam kehidupannya, satu tahun lagi mendekati kematian. Tangannya yang terkepal
kencang terasa sakit, buku-buku jarinya menonjol. Dalam musim dingin, selama
musim hujan, jari-jarinya sakit, dan dia harus memaksa tangannya untuk
menggenggam pahat. Gopi bekerja di ujung jali yang lain, menggosok marmer dengan
pasir kasar. Di bagian atasnya, marmer itu telah menjadi mulus selicin kaca.
Murthi merasa bangga terhadap putra
sulungnya ini. Dia bekerja dengan kesabaran tinggi seperti ayahnya. Ke atas dan
ke bawah. Ke atas dan ke bawah. Ke atas dan ke bawah. Anak-anak lelaki yang
lebih kecil berkumpul di perapian, bermain dengan api, melemparkan ranting dan
serpihan kayu untuk membuat apinya menari.
Murthi merasa kehilangan Sita. Awalnya, kematian Sita membuatnya terkejut;
kemudian, rasa sakit mulai timbul, mencekiknya. Sepertinya saat ini Sita masih
mengulurkan tangan untuk menuangkan cinta dari hatinya, bagaikan menuangkan
darah. Dia mengingat kemudaan Sita, tawanya di perkampungan, sikap malu-malunya
saat hari pernikahan, yang semua telah menghilang. Dia merasa telah menyia-
nyiakan semua itu dengan sikap dingin yang disengaja. Sita seharusnya bisa
melahirkan anak-anak, dan dia telah mengecewakan Murthi. Sita telah berubah
menjadi lemah dan lesu, bukan hanya tubuhnya, tetapi juga jiwanya. Oh, Murthi
tidak pernah bermaksud mengatakan hal itu. Tidak dapat diragukan lagi, Murthi
tahu bahwa sejak awal Sita tidak pernah mencintainya. Dia telah dipilih untuk
seorang lelaki lain, dan hanya menerima Murthi saat abangnya menghilang, seakan-
akan dia hanyalah sebatang logam yang Sita pungut dari sisi jalan. Dan yang bisa
Murthi lakukan hanyalah menghukumnya, dan karena itu, menghukum dirinya juga.
Hakim memang datang, tetapi sudah terlambat. Sang hakim menyentuh nadi Sita;
ternyata sudah berhenti berdetak. Di akhir kehidupannya, usia Sita
telah tercabut, hanya kemudaan dan kenangan yang tertinggal. Saat ini, semua
yang tersembunyi di balik permukaan seolah menyeruak. Murthi berlutut dan
menyentuhkan bibirnya ke dahi Sita. Ada beberapa helai uban di rambutnya; Murthi
tidak pernah menyadari-dia hanya melihat kecantikan Sita, lengkungan pipinya,
dan kulitnya yang sehalus sutra.
Para perempuan memandikan Sita dan memakaikan bajunya. Mereka menyisiri
rambutnya, membubuhkan kum-kum di dahinya, dan rangkaian bunga di lehernya.
Mereka tetap berada di belakang, menonton upacara, mendengarkan suara dari kulit
tiram, menenangkan bayi-bayi yang menangis, ketika sekelompok kecil orang yang
berduka menyusuri jalanan Mumtazabad menuju ghat.
Isa memerhatikan usungan jenazah itu lewat. Usungan itu sederhana, terbuat dari
batang-batang bambu yang diikat. Tubuh Sita cukup ringan untuk dipanggul oleh
empat orang saja. Isa menatap wajah Sita, hanya hidung dan matanya yang bisa dia
ingat; sisanya tersembunyi di balik karangan bunga dari kuntum-kuntum mawar. Dia
tidak mengiringi upacara itu sampai ke ghat. Sambil berdiri di kejauhan, dia
memerhatikan pendeta menggumamkan sastra, menebarkan ghee dan beras, menyalakan
dupa. Ritual itu memakan waktu yang cukup lama. Awalnya, api terlihat menyala,
bergoyang-goyang di bawah sinar matahari, kemudian perlahan-lahan memudar.
Kematian selalu merenggut, Isa mengenang.
Istana itu tertutup. Bangunannya kosong; para prajurit, budak, punggawa, wazir,
musisi, penyanyi, dan pelayan telah berada di luar. Keadaan begitu hening. Debu
menebal, daun-daun kering bertebaran di lantai ruangan, burung-burung merpati
berkicau perlahan. Shah Jahan tidak duduk di singgasana, di dipan, ataupun di atas permadani. Dia
berlutut di atas lantai yang dingin. Dia tidak bergerak, tidak juga bersuara.
Dia tidak makan maupun minum. Dia terus begitu selama delapan hari delapan
malam. Jiwanya kelam dan melankolis, tidak memikirkan apa-apa. Perasaannya
hampa. Dia tidak menangis, tidak memukuli pelipisnya, tidak menangis keras-
keras. Isa mengawasi, terus berjaga tanpa pernah tidur.
Setiap jam, Sultan menggeliat dan meronta untuk mengendalikan kekuatan jahat
yang merobeknya. Setiap amarahnya menggelegar, dia akan melemah, lelah, lesu,
tetapi tidak pernah bangkit.
Awalnya, Isa berpikir bahwa ini adalah tipuan cahaya. Sinar matahari dan
kegelapan silih berganti terlihat di dinding-dinding ghusl-khana, dan ketika
cahaya menerpa wajah sang Sultan, sinar dan kegelapan itu menampakkan sesuatu
dari dalam dirinya, bagaikan air yang menghapus sosoknya dari
sebuah papan tulis. Saat sang Sultan pertama kali berlutut, hanya ada tujuh uban
di janggut hitamnya. Seiring berlalunya jam, hari, dan malam, janggutnya semakin
memutih. Isa melihat tahun-tahun berganti, menorehkan kekuasaan di tubuh sang
Sultan, mengubah warna setiap helai rambut menjadi putih. Garis-garis di
jidatnya mulai tampak, awalnya hanya satu, kemudian diikuti yang lain, bagaikan
tanah yang pecah-pecah di depan matanya. Saat fajar hari kedelapan, wajah Shah
Jahan mirip seorang tua, karena seluruh rambut di janggutnya sudah berwarna
putih. Dia mendongak, mengangkat wajahnya menentang matahari.
"AR-JU-MAND!" Suaranya mirip raungan seekor harimau yang terluka parah.
"ARJUMAND! ARJUMAND!" Jam demi jam, dia masih memanggil nama Arjumand, hingga
akhirnya dia hanya bisa berbisik, "Arjumand."
Isa mendengarkan gaung yang membahana di seluruh istana, seakan-akan ada seribu
suara yang memanggil nama sang Permaisuri, AR-JU-MAND. Dari sudut-sudut, dari
lengkungan gerbang yang indah, dari paviliun, gema itu terbawa oleh angin sejuk
yang lembut, terus berputar-putar, dan akhirnya menghilang.
Shah Jahan memberi isyarat. Dia tidak mampu berdiri. Isa mengangkatnya. Saat
sang Sultan berdiri, Isa terkejut. Sebelumnya, tinggi mereka sama. Saat ini, dia
harus menunduk untuk memandang sang Sultan. Dia memeriksa Shah Jahan dari dekat.
Sang Sultan tampak mengerut,
seakan-akan mengecil di dalam pakaiannya. Kematian selalu bisa merenggut siapa
pun. Murthi juga tampak semakin lemah. Perlahan-lahan, dia berjalan menjauhi api yang
mulai padam, dipapah oleh putranya. Debu beterbangan dan jatuh di jiba serta
dhoti putihnya yang bersih. Dia tidak menyadari bajunya kotor oleh warna abu-
abu. "Dia sudah meninggal," Murthi berkata kepada Isa. Suaranya bergetar menunjukkan
kesedihan. "Aku tahu." "Kupikir dia hanya mencintaimu. Aku tidak memperlakukannya dengan baik karena
hal itu." "Apakah kau bertanya kepadanya?"
"Tidak pernah. Kau bagaikan hantu. Kami tidak pernah membicarakanmu. Tampaknya,
dari cara dia menatapku beberapa kali ... aku membayangkan dia sangat menginginkan
agar aku bisa berubah menjadi dirimu."
"Ya, kau membayangkan. Dia telah melupakan aku. Jika kau telah melupakan,
memaafkan, Sita pasti akan bahagia. Saat ini sudah terlambat. Tapi, kau
memilikinya dan anak-anakmu yang lain."
Isa mengulurkan tangan ke arah keponakannya. Gopi menghindar dengan malu-malu,
tetapi mendekat dengan tingkah ganjil dan membiarkan Isa menepuk kepalanya. Dia
sudah terlalu tinggi untuk diperlakukan begitu, dan perlakuan itu sudah
terlambat. Isa mengeluarkan sekeping koin emas dari udara dan mengulurkannya.
"Bagaimana Paman melakukan itu?"
"Saat aku masih kecil, aku diculik dari desa dan dijual kepada seorang pesulap.
Aku masih bisa mengingat beberapa triknya. Ini, ambillah."
Gopi menerimanya dengan gembira. Di satu sisi koin tercetak simbol kerajaan,
yang lain bergambar sosok mirip Mughal Agung.
"Apakah kau menginginkan lagi sesuatu?" "Tidak ada!" Murthi menjawab dengan
kasar, kemudian berjalan melewati Isa, dan tidak menoleh ke belakang.
Murthi tidak bermaksud untuk menunjukkan kemarahan seperti itu, tetapi dia
melihat bahwa abangnya sama sekali tidak melawan. Dia semakin merasa pahit.
Empat belas tahun sudah dia bekerja. Betapa sia-sianya! Abangnya bisa mengangkat
Murthi untuk menjabat sebuah posisi, memberinya harta, tetapi dia tidak menolong
apa-apa. Isa adalah seorang lelaki kaya, kebutuhannya tercukupi, memakai
perhiasan, berpakaian dari kain sutra. Tangannya lembut, tidak ada goresan,
sementara tangan Murthi tergores-gores dan menebal. Murthi sendiri tampak lebih
tua dibandingkan usianya sendiri, merasa tubuh maupun jiwanya sakit.
Setelah hukuman mati wazir dilaksanakan, Murthi sangat ingin mengungkap siapa
Isa sebenarnya. Setiap malam, Murthi bertanya-tanya kepada orang-orang di
sekitar benteng: Siapa Isa"
Beberapa orang mengenalnya, beberapa tidak. Seorang budak, seorang teman,
seorang menteri, seorang penyihir, seorang peramal bintang; dia tidak memiliki
gelar apa pun, bukan jagir, bukan zat. Murthi tidak mendapatkan penjelasan apa-
apa. Jadi, dia menunggu untuk bisa bertemu dengan Isa. Dia sempat melihat Isa,
ketika Mughal Agung mendekat dan melintas, tetapi Isa terlalu jauh. Para
pengawal selalu membentuk barisan pertahanan di jalan. Akhirnya, suatu
kesempatan membawa Mughal Agung bertandang ke lokasi pekerjaan. Shah Jahan
datang untuk memeriksa jali. Baldeodas memanfaatkan kesempatan dengan menjilat
dan membujuk, menerangkan dan menunjuk-nunjuk. Para pemahat berdiri sambil
terdiam, penuh penghormatan. Shabash, Shah Jahan berkata kepada masing-masing
pemahat. Dia hanya memberikan pujian kepada Baldeodas.
"Siapa Isa?" Murthi berbisik kepada seorang prajurit.
"Itu dia, di sana!"
Murthi menoleh, dan terkesiap. Di tubuh terbalut sutra itu, Murthi melihat hantu
kakak lelakinya, Ishwar. Memang, tahun-tahun berlalu telah menipu
penglihatannya, membohongi kenangannya. Ketika rombongan Kesultanan mulai
menjauh. Murthi mengumpulkan keberanian.
"Ishwar," dia memanggil.
Pria itu berhenti, kemudian berbalik. Dia memisahkan diri dari sisi Sultan,
kemudian mendekati Murthi. Isa tidak menyadari jika Shah Jahan juga
berbalik untuk melihat siapa yang memanggil. "Kau kakakku, Ishwar?" "Ya."
Mereka tidak berpelukan. Cukup lama mereka terdiam. Isa menanti dengan sabar,
menunggu Murthi berbicara lagi.
"Kau yang menyuruh wazir dihukum mati?"
"Ya." Senyuman Isa membuat Murthi bergidik. "Si tolol itu yakin, jika bisa
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memenjarakanmu, dia bisa memenjarakan aku. Dia mengancam untuk memberi tahu
Sultan bahwa aku menggunakan pengaruhku untuk menolong dan melindungimu. Dia iri
karena Sultan memercayaiku, dan berencana untuk menjebakku. Aku membawanya ke
hadapan Sultan dan menyuruhnya menceritakan semua. Saat dia selesai bercerita,
Sultan bertanya kepadaku, apa yang ingin kulakukan terhadap wazir. Aku berkata:
hukum mati dia. Dia dihukum mati. Kau menyaksikannya."
"Siapa kau?" Murthi hampir tidak bisa mengerti kekuasaan Isa. Seorang manusia
telah dihukum mati karena ucapannya. "Kau tidak memiliki pangkat, tidak memiliki
posisi." "Aku melayani Sultan."
"Apakah kau pernah melihat sang Permaisuri"
Seperti apa dia" Aku harus tahu. Ceritakan padaku ii
"Itu akan memakan waktu terlalu lama. Dia pemberani. Dia terlalu mencintai." Isa
bergumam kepada dirinya sendiri dengan nada tersendiri-Agachi. "Shah Jahan tidak
akan pernah menyakitiku. Wazir itu tidak mengerti siapa aku sebenarnya." "Siapa kau?"
"Aku adalah kenangan sang Permaisuri Mumtaz-i-Mahal."
Terlihat kontras dengan kecemerlangan Dara, Aurangzeb tampak polos. Dia hanya
mengenakan pakaian katun dan tidak memakai perhiasan, bahkan sebuah cincin
sekalipun. Mereka duduk di harem menemani Shah Jahan. Para perempuan membuka cadar mereka,
kecuali Jahanara. Dia duduk di sudut, bukan karena kesopanan, tetapi karena
menyembunyikan lukanya yang mengerikan. Ketika pulih, dia memohon kepada Shah
Jahan untuk memaafkan Aurangzeb, dan sang Sultan menuruti keinginannya. Dia
kembali menghadiahkan jagir-jagir dan gelar bagi putra ketiganya; Aurangzeb
bahkan diberi gelar sebagai Subadar Deccan dan zatnya ditingkatkan.
Shah Jahan memerhatikan putra-putranya. Mereka sangat berbeda, tidak hanya dari
pakaian mereka-Aurangzeb pendiam dan selalu mengamati sekitar, sementara Dara
begitu bersemangat, terbuka, begitu supel. Selama pesta perayaan, Dara bisa
berbicara tentang apa pun, berdiskusi dan berdebat dengan para tamu lain. Betapa
dia mirip dengan Akbar-toleran, memedulikan rakyatnya, dan sangat menentang
pengaruh para mullah yang begitu menekan.
"Apakah kau juga meyakini din i illah, seperti Akbar?" Aurangzeb bertanya ? ?dengan sopan. Itu adalah pertama kalinya dia berbicara sepanjang malam.
"Akbar yakin bahwa dirinya sendiri adalah tuhan. Aku tidak. Din i illah adalah
? ?agama yang Akbar ajarkan kepada para pengikutnya, campuran Islam, Hindu,
Kristen, Buddha. Orang-orang tidak dapat beribadah dengan ritual yang
membingungkan seperti itu. Aku hanya percaya bahwa mereka harus dibebaskan untuk
mengikuti keyakinan mereka, dan jika aku bisa mendukung perdamaian kembali
antara para pemeluk agama ini, aku akan merasa puas."
"Kami harus memanggilmu Padishah-ji," Aurangzeb berkomentar. Dia membungkuk
dengan mencemooh. "Dan apakah aku harus memanggil adikku sebagai Hazrat-ji" Kau begitu dikenal
karena ketaatanmu." Aurangzeb melirik sekilas ke arah ayahnya. Sang Sultan telah menyadari perubahan
wajahnya, dan menarik diri dari perbincangannya sendiri untuk menunggu jawaban
Aurangzeb. "Ya. Aku hanya memiliki ambisi sederhana. Aku menuruti perintah ayahku. Jika dia
senang, aku juga senang. Aku tidak bisa menyetujui keyakinanmu. Aku adalah
seorang Muslim yang taat. Jika aku telah berbakti kepada ayahku sehingga dia
sangat puas, satu-satunya yang kuinginkan adalah berlibur ke suatu daerah sunyi,
tempat aku bisa beribadah."
"Aku harus mengingat-ingat itu," kata Dara.
"Aku akan mengingatkanmu."
"Lihat! Lihat!" Pembicaraan mereka terputus karena para perempuan berseru-seru
dari jendela. Mereka menunjuk-nunjuk.
Bulan telah bergerak dari balik awan dan angkasa berwarna kelabu keperakan. Di
kejauhan, Taj Mahal mengambang di atas air. Mereka menatap bangunan itu sambil
menahan napas. Marmer putih yang polos memancarkan keindahan surgawi.
Pemandangan ini bagaikan seorang perempuan jelita menatap sebuah cermin yang
dengan setia memantulkan setiap kesempurnaan. Tampaknya ada sebuah cahaya yang
memancar dari dalam, yang memantul di permukaan air gelap bagaikan malam yang
mengelilingi makam itu. Mereka tidak mengalihkan pandangan mereka selain ke
bangunan itu-kubah yang mirip mutiara raksasa mengambang di langit malam-mereka
hanya menatap citra yang dipancarkan makam itu. Pemandangan itu sangat memuaskan
hati dan mata, membuat orang-orang yang menyaksikan jadi membisu, dan berdoa.
Saat akhirnya mereka mengalihkan pandangan, makam itu tampak memancarkan
kesedihan dalam cahaya yang dingin, tampak bersinar, melalui selubung kemegahan-
sebuah kesedihan yang abadi.
Aurangzeb mundur saat sang Sultan sedang menatap makam. Sekilas pandangan saja
sudah cukup. Dia meninggalkan istana dan berkuda sendirian ke arah kota,
menjelajahi jalan-jalan sepi yang tertidur, hingga dia tiba di sebuah pintu
masjid makam itu. Dia mengetuk dan memasuki sebuah bangunan kecil yang rendah.
Ruangan itu sangat sederhana, hanya terisi oleh sebuah karpet, dipan, dan bantal-bantal. Aurangzeb
membungkuk dalam-dalam kepada seorang pria yang sedang duduk berselonjor. Lelaki
itu terburu-buru bangkit, terkejut, dan membungkuk lebih dalam.
"Duduklah. Akulah yang akan tetap berdiri karena kehadiranmu. Seorang wakil
Tuhan lebih terhormat daripada seorang putra sultan."
Shaikh Waris Sarhindi tidak menerima penghormatan sang Pangeran, dia juga
berdiri. Dia adalah seorang penganut Sunni ortodoks, seorang mullah seperti
ayahnya, Shaikh Ahmad Sarhindi. Akbar telah mengingkari ajaran ayahnya; Jahangir
telah mengirim ayahnya ke penjara. Saat ini, Shah Jahan tidak begitu
menghormatinya karena dia mengampanyekan warisan ayahnya: kekuasaan Islam dan
kematian orang-orang kafir.
"Aku telah menemani abangku, Dara. Aku merasa dia terlalu bergelimang kemewahan,
seperti makanan." Aurangzeb bersendawa. "Siapa yang akan kau dukung?"
"Yang Mulia, tentu saja. Kami semua akan mendukung Yang Mulia. Yang Mulia akan
memperbaiki keyakinan, dan akan menjadi Pedang Tuhan yang sebenarnya."
"Aku berjanji.11 [] 19 Arjumand Dalam tidurku, aku merasakan kekasihku pergi. Aku terbangun dan mendengar bisikan. Saat itu menjelang fajar, cahaya
terlihat begitu samar, hawa terasa dingin menyejukkan, tetapi juga terasa
membekukan. Ujung-ujung sinar matahari akan segera menyebarkan udara panas yang
tak akan berhenti, bahkan saat senja.
Aku bangkit dan menatap ke luar. Pangeranku berdiri di balkon, tenggelam dalam
pikirannya, kemudian tiba-tiba berbalik dan berjalan terburu-buru ke koridor.
Dia menuju ke sayap barat, menuju kamar Khusrav. Aku melihat bayangan-bayangan
lain mengikutinya. Isa menghampiriku.
"Ada apa ini, Isa?"
"Sang Sultan sakit parah," dia menjawab dan mengangkat bahu. "Lagi."
"Apa yang suamiku inginkan?"
"Allami Sa'du-lla Khan," lalu dia menambahkan
Kisah Cinta 1031/1621 Masehi dengan pelan, "dan para prajurit."
Aku berlari menyusuri koridor. Allami Sa'du-lla Khan menunggu di luar kamar
Khusrav bersama dua prajurit.
"Di mana Pangeran Shah Jahan?" "Di dalam, Yang Mulia. Apakah aku harus
memanggilnya?" "Tidak."
Saat itu masih gelap. Aku nyaris tidak bisa melihat dua bayangan yang bergabung
dalam peristiwa itu. Aku mendengar bisikan tajam Khusrav. Suaranya terdengar
kasar dan keras, memenuhi ruangan dengan cemoohnya, "Taktya takhta?"
Kemudian, setelah terdiam beberapa saat, suamiku menjawab dengan tegas:
"Takhta." "Tidak," aku berbisik.
Kekasihku menatapku, tetapi tidak bergerak. Suaranya keras, bagaikan bukit-bukit
batu, dan ucapannya juga sama kerasnya.
"Pergilah. Ini urusanku."
Si pengawal terbangun dari tidurnya, dan mengangkat senjatanya. Pertama-tama,
dia menatap Khusrav, kemudian menatapku. Dia ragu-ragu, tidak yakin harus
berbuat apa. "Tusuk. Tusuklah cepat," Khusrav berbisik. "Dia tidak bersenjata. Bunuh dia,
Tolol." Khusrav merangkak dengan kedua kaki dan tangannya. Sang pengawal masih
ragu-ragu. Kepalanya menoleh ke arah pintu, dan dia berusaha mengintip keluar,
seperti ingin melihat ke balik tembok. Dia adalah seorang lelaki muda, masih
belum terbangun sepenuhnya. Janggutnya hitam dan kasar. "Aku akan menjadikanmu Gubernur Bengal
jika aku menjadi Padishah. Tusuk!"
Kekasihku merunduk sambil menunggu. Dia bisa saja berteriak, tetapi masih
terdiam. Sang pengawal saat ini menyadari bahwa ada orang-orang di luar kamar.
Perlahan-lahan, dia menurunkan pedangnya. Khusrav mendesis putus asa, penuh
kemarahan. "Ini bukan nasib Anda, Yang Mulia," kata sang pengawal. "Saya adalah prajurit
Anda, tapi saya hanya seorang diri. Terlalu banyak pertempuran yang harus saya
hadapi sebelum Anda menjadi Padishah. Anda telah kehilangan begitu banyak. Tuhan
tidak menggariskan itu kepada Anda." Dengan hati-hati, dia meletakkan pedang dan
belatinya di permadani seraya mendekati Khusrav. Dia berlutut, meraih tangan
Khusrav, kemudian menempelkannya di dahi. Itu adalah sebuah tanda kasih sayang,
simbol perpisahan yang menyedihkan. Khusrav membungkuk dan memeluk si pengawal.
"Oh Tuhan, impianku," Khusrav berbisik. Dia melepaskan temannya, kemudian meraih
setumpuk perhiasan dari meja kecil: cincin-cincin, rantai emas, dan gelang
lengan. "Ini. Simpan ini sebagai kenangan."
"Saya tidak membutuhkan perhiasan itu, Yang Mulia."
"Ambillah. Biarkan seseorang mendapatkan kebaikan hati Khusrav yang tolol."
Dia menyerahkan semuanya kepada si pengawal: sebuah cincin jatuh dan bergulir,
tetapi dua orang itu mengabaikannya. Sang pengawal bangkit dengan gugup, tangannya penuh dengan
emas dan berlian. Mungkin perhiasan itu adalah batu-batu mulia dari daerah hulu
sungai. Dia menatap Khusrav sebentar, mencoba mengenang wajahnya; ruangan itu
terang sekarang. Kemudian, dia menatap Shah Jahan.
"Saya tidak bisa membunuh seorang pangeran," tetapi, sebelum kekasihku bisa
menerima pengakuan itu, sang pengawal menambahkan dengan dingin, "saya
membiarkan para pangeran yang melakukannya."
Dalam keterkejutan, kami menyaksikannya pergi. Dia berjalan dengan harga diri
seorang lelaki yang baru saja mendapat kemenangan. Khusrav terkekeh. "Pria yang
bijaksana. Dia membiarkan para pangeran yang membunuh. Tanpa kita, tanpa ambisi
kita, para prajurit kembali menjadi manusia. Tidak diragukan lagi, dia akan
kembali ke desanya dan menceritakan kisah kepada anak-anaknya tentang kegilaan
pangerannya." Sebuah pikiran terlintas di benak Khusrav dan dia menyentuh bahu
Shah Jahan dengan lembut: "Jangan sakiti dia. Biarkan dia pergi. Setidaknya,
seorang dari kita telah mengungkapkan kejujuran malam ini. Malam ini" Tidak,
hari ini. Aku berbicara berdasarkan waktu, dan aku harus akurat."
"Tinggalkan kami," Shah Jahan mengulangi perintahnya kepadaku.
"Mengapa?" tanya Khusrav. "Apakah kau tidak menginginkan Arjumand cantikmu untuk
menjadi saksi kematianku?" Khusrav menoleh ke arahku, memicingkan mata. "Dia memiliki
darah yang sama dengan Mehrunissa si pelacur itu."
"Aku datang bukan atas perintah Mehrunissa. Aku bukan ayahku."
Shah Jahan meraih lenganku dan menuntunku ke pintu. Tetapi, aku meronta,
melepaskan diri darinya. "Kau tidak boleh membunuhnya. Tolonglah, aku mohon kepadamu, Sayangku, Suamiku.
Kau tidak boleh membunuhnya."
"Tidak boleh" Ini harus dilakukan. Dia masih memiliki pengikut; bayangannya akan
menghantui singgasana. Biarkan bayangannya jatuh dalam sebuah makam."
"Kirim dia ke pengasingan. Biarkan dia tetap terantai. Penjarakan dia. Tapi,
jangan bunuh dia." Shah Jahan menatapku dengan kemarahan yang berlebihan. Aku tahu, dia tak akan
berubah pikiran. Aku belum pernah melihat kekerasan hati di wajahnya sebelum
ini; dan ini membuatku takut.
"Apa yang kau rasakan terhadap kakakku?"
"Tidak ada. Aku hanya berbicara karena cintaku kepadamu. Kematiannya akan
menjadi kutukan kita, kutukan bagi anak-anak kita, dan cucu-cucu kita. Lihatlah
dia. Kebutaannya sudah menghantui hidup kita. Kematiannya akan membuat kita
semakin tersiksa. Jika kau membunuhnya, kau akan menjadi orang pertama yang
melanggar hukum Timurid. Leluhurmu, Timur-i-leng, pertama kali
memproklamasikannya tiga ratus tahun yang lalu: 'Jangan sakiti saudaramu,
meskipun mereka mungkin layak mendapatkannya.1 Itu sudah dipatuhi oleh semua pangeran keturunannya.
Babur berkata kepada Humayun, Humayun kepada Akbar, Akbar kepada Jahangir.
Mereka mematuhi hukum itu, apa pun provokasi yang mereka dapatkan. Hukum itu
yang melindungi Khusrav dari amarah ayahmu. Darah Khusrav adalah darahmu
sendiri, kau tak boleh mengucurkannya melalui tanganmu. Itu akan memengaruhi
kehidupan kita selama beberapa generasi."
Shah Jahan mulai tertawa. Dia menggeram, kemudian memeluk dan menciumku.
"Aku tidak tahu jika aku menikahi seorang perempuan cenayang, selain dia jelita.
Yang akan terjadi adalah singgasana akan aman bagiku."
"Aku tidak menginginkan itu seperti sebuah hadiah." Aku mendorongnya. Aku tidak
bisa mengendalikan kehampaan yang timbul di hatiku. Seperti asap pekat,
kehampaan itu mencekikku. "Pada hari pertemuan kita, aku memimpikan warna merah.
Warna itu tetap terlihat di benakku, bahkan ketika aku terjaga. Aku tidak tahu
apa artinya hal itu. Saat aku bertemu denganmu, kupikir itu adalah warna
kebangsawanan pangeran mahkota. Tapi aku salah. Itu adalah warna darah. Warna
itu akan menghancurkan kita, Sayangku. Biarkan dia."
"Dengarkan istrimu," Khusrav berseru. "Aku tidak takut terhadap kematian. Setiap
hari, aku terbangun dengan mengharapkan seseorang membunuhku. Hukum Timur-i-
leng-lah yang membuat ayahku sendiri tidak bisa membunuhku.
Kau juga tidak bisa. Aku bersumpah, aku tak akan menginginkan takhta, bukan
bagiku sendiri, tetapi demi dirimu."
"Semua orang menawarkan aku kehidupan dengan mengorbankan kepentingan mereka.
Sungguh murah hati." Shah Jahan menoleh ke arahku, dengan sangat lembut
menggamit lenganku, dan menuntunku menjauhi Khusrav. "Aku telah mendengarkanmu,
seperti tradisi kita, tapi aku tak bisa membiarkannya hidup."
"Dan apa," Khusrav berseru kepadanya, "yang akan terjadi dengan Parwez dan
Shahriya" Apakah mereka akan mati juga" Tapi mereka tidak ada di sini, sendirian
dan tak berdaya; mereka ada di Lahore, dikelilingi pasukan."
"Tidak. Kumohon, Sayangku. Kau tak boleh melakuk annya."
"Aku harus melakukannya."
Aku menangis sepanjang hari untuk suamiku, anak-anakku, dan diriku sendiri. Aku
belum pernah merasakan ketakutan seperti yang sekarang menyelubungiku. Rasa
takut ini memeras air mata kepedihan dari mataku. Warna merah dalam mimpiku
adalah darah; dan memang sudah terjadi. Aku telah mengartikannya, karena
keinginanku sendiri, sebagai turban kekasihku. Aku tak mampu merendahkan
pandanganku dan melihat tangan yang berdarah. Air mataku tidak bisa mencucinya
hingga bersih, tetapi menetes dan terus menetes. Dan ketika air mataku menyentuh
daging tubuhku, mereka berubah juga menjadi darah. Bahkan helai-helai rambutku,
yang kugunakan untuk menyeka air mata itu, berubah juga menjadi merah.
Aku mencoba menutup telingaku, tetapi suara-suara masih menyelusup di antara
jemariku. Bahkan seandainya tiba-tiba aku tuli, aku masih bisa mendengar
bisikan-bisikan. Para prajurit telah masuk ke ruangan. Khusrav menghadap ke arah
Makkah, ke arah matahari terbit, bersembahyang dalam keheningan, kemudian
bangkit untuk berdiri di depan jendelanya, memandang dunia di luar. Dia tidak
ingin melihat wajah-wajah algojonya, seperti yang telah dia alami saat mereka
membuatnya buta. Dia pasrah, tanpa melawan, ketika selembar kain dengan koin
yang ditalikan di bagian tengah dipakaikan ke tubuhnya, tanda mereka akan
menebas lehernya. Mereka mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di dalam sebuah
peti mati sederhana. Aku tidak diberi tahu di mana mereka menguburnya. Berapa
banyak pembunuhan yang bisa diterima oleh bumi"
Hal itu dilakukan dengan terburu-buru; terlalu terburu-buru. Sekali lagi, sebuah
pesan tentang keadaan ayahku sampai: Jahangir masih hidup. Dan pesan itu diikuti
oleh surat dari Jahangir sendiri.
Aku telah menerima laporanmu bahwa Khusrav meninggal karena sakit perut empat
puluh hari yang lalu. Aku berdoa agar dia mendapatkan ampunan dan tempat di sisi
Tuhan. Aku juga menerima pesan dari mata-mataku yang memperingatkan bahwa Shah
Abbas yang kejam, Shahinshah kerajaan terkutuk, Persia, akan menyerang Kandahar. Kita harus
menghadapinya dengan pasukan terbesar yang bisa kupimpin. Kau harus berangkat ke
utara bersama semua pasukanmu segera.
mm Jiwa Khusrav sepertinya bangkit dari tempat persembunyiannya; aku merasakan ada
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suatu aura mengerikan di sekeliling kami. Berbulan-bulan setelah kematiannya,
aku terus-menerus merasakan kehadirannya yang mencemooh. Jiwanya memerhatikan
saat aku tertidur, kemudian menungguku terbangun; jiwanya tergantung di awan
gelap yang bergumpal rendah di atas perbukitan, memancarkan kesuraman di daerah
ini. Semua tempat di istana terasa mencekam dan kami bergerak dengan perlahan,
pelan, tidak ingin mengagetkan hantu Khusrav. Aku bersembahyang, tidak lima kali
sehari, tetapi lusinan kali. Aku membaca Quran; tetapi semua tidak bisa mengusir
kepedihan yang menguasaiku. Dan saat ini, datanglah perintah Jahangir: bergerak.
Kekasihku tidak segera menjawab panggilan ayahnya. Dia mondar-mandir di balkon,
berhenti untuk menatap perbukitan yang keras dan tidak ramah. Aku mengetahui apa
yang dia lihat. Bukan hanya sekadar tanah, tetapi tanahnya. Dia telah bertempur;
orang-orang telah tewas; batu-batu, parit-parit, dan benteng-benteng ini adalah
kerajaannya. Jika dia meninggalkan daerah ini,
semua akan menghilang. Dan tanpa semua itu, dia hanya akan berada di bawah
kendali ayahnya. Dan Mehrunissa.
"Aku bisa melihat campur tangan Mehrunissa dalam hal ini," dia berkata kepadaku.
"Tapi, Shahinshah memang menuju Kandahar."
"Aku tahu, tapi, mengapa ayahku menginginkan pasukanku?"
"Kau adalah putranya yang paling berpengalaman."
"Tapi dia berkata, 'Pasukan terbesar yang bisa kupimpin1. Bukan 'kau pimpin'.
Mengapa dia tidak tetap tinggal di tempat tidurnya" Aku bisa mengalahkan keparat
Persia itu sendiri. Jika kita berpindah, aku akan kehilangan semua ini."
"Dan jika tidak ...?"
Pertanyaanku tidak terjawab, tetapi tidak diabaikan. Aku mengetahui bahwa
Jahangir mengkhawatirkan masa depan kami. Jika Shah Jahan menolak perintah,
Jahangir akan murka. Mereka mengalami kebuntuan, dan selama berhari-hari
kekasihku mondar-mandir di balkon. Khusrav pasti akan menertawakannya.
Tampaknya, jiwa Khusrav telah terbang langsung ke Lahore dan berbisik di telinga
Mehrunissa. Karena, Mehrunissa mengetahuinya. Sebuah pesan datang dari ayahku,
memberi tahu bahwa Jahangir telah menyerahkan semua jagir Shah Jahan kepada
Shahriya, termasuk Hissan Feroz, tanah tradisi seorang putra mahkota. Mehrunissa
telah mendorong menantunya, yang pandai melakukan hal bodoh, selangkah lebih
dekat ke singgasana, mendorong dirinya sendiri selangkah lebih jauh untuk memerintah
setelah kematian Jahangir.
"Aku sudah kalah," kata Shah Jahan. "Dia bergerak terlalu cepat. Aku tidak bisa
melawan saat ayahku meninggal. Mehrunissa akan mengumumkan bahwa Shahriya yang
akan menjadi sultan. Dia telah menjadi putra mahkota."
"Kalau begitu, kau harus memutuskan apakah akan pergi ke Kandahar atau tidak.
Menurutku, paling baik kau katakan kepada ayahmu, jika kau akan menunggu hingga
hujan reda. Itu akan memberi kita waktu."
"Apa gunanya penundaan jika aku tidak bisa mengambil keuntungan darinya" Aku
tidak bisa membiarkan ayahku menyingkirkanku dengan begitu mudah. Bagaimana
cintanya bisa menguap seperti itu?"
"Bibiku mengisapnya keluar dari tubuh ayahmu."
"Aku harus menyenangkan ayahku, tetapi juga memperlihatkan kekuatanku. Aku akan
pergi ke utara setelah musim hujan, dan dia harus mengizinkan aku memimpin
pasukan. Dan dia harus memberiku jagir Panjab. Itu akan melindungi punggungku
dari Mehrunissa dan saudara-saudara lelakiku."
Ternyata itu tidak membuat Jahangir senang. Dia marah kepada kekasihku. Jahangir
memanggil anaknya bi-daulat, bahkan menuliskan namanya di Jahangir-nama bahwa
semua harus mengetahui bahwa kekasihku adalah "si pecundang". Dia
memerintahkan kepada Shah Jahan untuk tetap berada di Burhanpur selamanya,
tetapi Shah Jahan harus mengirimkan pasukannya segera.
"Tanpa pasukanku, aku bukan siapa-siapa."
"Dengan menahan mereka, kau akan membuat ayahmu marah sekali lagi."
Sejak kematian Khusrav, guntur terus-menerus menggelegar di luar, bergulung-
gulung di hatiku, membuatku gemetar karena memikirkan kekasihku. Aku tidak bisa
menyebut-nyebut nama Khusrav karena takut mengingatkan Shah Jahan akan kutukan
yang telah secepat kilat terjadi pada hidup kami. Kami merasa terasing di atas
sebuah rakit tanpa pengemudi yang terus maju membabi-buta ke arah keabadian.
Kami saling mencintai. Itu satu-satunya yang membuat kami nyaman. Kami saling
mengungkapkannya melalui sentuhan, bibir, tubuh, dan bersembunyi di dalamnya
hingga kami merasa tidak terlihat oleh dunia di sekeliling kami.
"Ini sudah terlambat," dia berbisik, "aku yakin. Mehrunissa telah menyebarkan
racunnya. Semua tidak bisa dihentikan."
"Suruh Allami Sa'du-lla Khan segera ke Lahore. Dia harus menyampaikan permohonan
maaf kepada ayahmu. Ayahmu akan menerimanya, kemudian kita bisa bergerak ke
Kandahar." Dia tersenyum: "'Kita"1 Berapa kali aku harus memberi tahumu, kau tidak boleh
ikut dalam peperangan. Kau bisa terluka."
"Aku tak akan pernah membiarkanmu pergi sendiri. Utus Allami Sa'du-lla Khan."
Sejam kemudian, Allami Sa'du-lla Khan berangkat.
Minggu-minggu berlalu, dan kami menunggu. Hujan yang membanjiri lembah-lembah
membuat istana menjadi lembap dan hangat, memenuhi seisi istana dengan aroma
humus. Semangatku sedikit menurun karena aku kembali mengandung, dengan perasaan
tidak enak badan pada pagi hari, dan kekuatanku melemah. Kemudian, Allami Sa'du-
lla Khan kembali. Ekspresi wajahnya sama gelap dengan awan yang bagaikan
melayang di atas kepala kami.
"Jahangir tidak mau menemuiku. Aku menunggu selama berhari-hari. Aku bahkan
tidak diizinkan untuk masuk ke diwan-i-am. Mehrunissa menyarankan dia untuk
menolakku, dan dia telah memerintahkan semua orang di istana untuk tidak lagi
menyebut-nyebut namamu di depan ayahmu. Kau telah menghilang dari pandangan
ayahmu. Saat ini, Na-Shudari Shahriya yang mondar-mandir di istana dengan turban
merah, mengancam untuk membunuhmu jika kau memperlihatkan wajahmu di sana."
Allami Sa'du-lla Khan tertawa geli. "Dia mengayunkan pedangnya, menakut-nakuti
semua orang, membual bahwa dia akan mencincangmu dalam perkelahian satu lawan
satu. Mehrunissa bertepuk tangan setiap dia mempertontonkan arogansinya."
"Dan Ladilli" Bagaimana kabarnya?"
"Dia tidak berubah, aku mendengar. Aku menerima sebuah pesan darinya,
mengirimkan salam sayang kepadamu. Pesan itu tidak ditulis, siapa tahu ibunya menemukan pesan itu
ada padaku. Sekarang dia memiliki dua anak. Aku hanya berharap agar mereka tidak
tumbuh dewasa dengan tampang mengerikan seperti Shahriya." "Ada apa dengannya?"
"Dia mengidap suatu penyakit. Dia telah kehilangan seluruh rambutnya, dan
matanya terus-terusan basah. Kulitnya juga tampak mengelupas, seperti bulu yang
rontok dari seekor kucing jalanan."
"Ladilli yang malang."
"Cukup," kata Shah Jahan. "Aku tidak bisa duduk di sini dan membiarkan diriku
sendiri tersiksa oleh Mehrunissa dan ayahku, membiarkan Shahriya tolol itu
membualkan bahwa dia akan menjadi sultan. Jika mereka di Lahore, aku bisa
mencapai Agra sebelum ayahku. Apakah harta kesultanan masih ada di sana?"
"Ya. Tapi, semua akan segera dipindahkan ke Lahore untuk membayar gaji pasukan
Sultan." Shah Jahan Aku langsung bergerak ke utara. Aku ingin Arjumand dan anak-anakku tetap tinggal
di Burhanpur, karena kami tidak akan banyak beristirahat. Dengan keras kepala,
dia menolak, meskipun semakin hari, dia semakin terbebani oleh kehamilannya. Aku
menderita karena melihatnya merasa tidak nyaman. Lebih banyak lagi bantal yang
diletakkan di bawahnya untuk mengurangi guncangan kereta, tetapi, setiap malam dia ambruk
kelelahan. Tampaknya, bahkan saat aku baru menentukan keputusan, beritanya telah sampai di
telinga ayahku. Aku bahkan tidak lagi merupakan bi-daulat; lebih buruk, jauh
lebih buruk lagi, aku dianggap sebagai pelaku makar. Aku tidak ingin naik takhta
sebelum waktuku, aku hanya ingin menyelamatkan nasibku, bukan untuk merebutnya.
Aku berpikir, jika aku menahan harta karun, aku akan mampu meyakinkan ayahku.
Tentu saja, aku tidak akan mampu meyakinkan Mehrunissa. Dia tahu, sekali aku
memegang kendali, aku tidak akan menyisakan ruang baginya di mana pun, di
dekatku, keluargaku, atau singgasanaku.
Mereka membawa sebuah kabar kepadaku bahwa Kandahar sudah jatuh ke tangan Shah
Abbas. Jantung perdagangan paling kaya dari kesultanan sudah tidak lagi berada
di bawah kekuasaan kami. Aku bersumpah, jika aku nanti memerintah, aku akan
merebutnya kembali. Kejatuhan Kandahar membuat ayahku makin marah. Kandahar
sudah kami kuasai sejak zaman kekuasaan Akbar, dan Jahangir merasa bahwa dia
mengecewakan ayahnya. Tentu saja, akulah yang disalahkan; dia akan bergerak ke
selatan untuk berperang melawanku. Ada yang memberi tahuku tentang apa yang dia
tulis di Jahangir-nama: Apa yang bisa kukatakan dalam penderitaanku ini" Dafam
kesakitan dan kelemahan, aku masih harus berkuda dan aktif, dan daiam keadaan
ini, aku harus melawan seorang anak yang tidak berbakti."
Kata-katanya menyakiti hatiku. Aku telah tersinggung karena ketidakpeduliannya,
karena ketidakmampuannya sehingga lebih memilih untuk mendekatkan telinganya
kepada Mehrunissa, ketidakmampuannya untuk menepati janji dan cintanya kepadaku.
Tidak ada kejelekan dirinya yang keluar dari mulutku. Tetapi, dia masih murka.
1032/1622 Masehi Pada hari kedua puluh lima perjalanan, aku mulai yakin bahwa aku tidak akan
berhasil. Agra masih begitu jauh, dan seluruh kekuatan pasukan Mughal ada di
antara diriku dan Agra. Ayahku telah memutuskan untuk tidak memimpin pasukan.
Dia tidak bisa melawan anaknya sendiri, tidak dapat bertanggung jawab atas
kematianku. Dia mematuhi hukum Timurid. Tetapi, aku telah melanggarnya, dan aku
mendengar gaung kata-kata Arjumand. Arjumand tidak pernah mengungkit-ungkit hal
itu lagi, tetapi aku tahu, hal itu mengganggu pikiran dan perasaannya, seperti
juga mengganggu pikiran dan perasaanku. Pasukan itu akan dipimpin oleh guru
lamaku, Jenderal Mahabat Khan.
Dia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan berpengalaman. Dia tidak
memberiku pilihan medan pertempuran, tetapi dengan kecepatannya, dia maju ke
arahku. Balockpur adalah sebuah desa kecil di tepi sebuah lapangan yang
dikelilingi perbukitan rendah, gundul dan gersang, dan tidak ada tempat
perlindungan. Aku pasti akan memilih bukit-bukit itu sendiri. Pasukanku lebih
kecil, lebih mudah bermanuver, dan dengan mengerahkan para penunggang kuda yang
bergerak cepat, aku pasti mampu menyerang secepat kilat, kemudian mundur.
Tetapi, dia mengetahui keuntungan taktikku dalam situasi seperti itu. Lapangan
terbuka memaksaku untuk berhadapan dengan kekuatan Mughal.
Sehari sebelum pertempuran, aku berkuda sendirian, tidak mampu duduk dalam
keheningan gulabar: panas di sana membuat keringatku bercucuran deras. Arjumand
terbaring di dipan. Hakim memberi tahu bahwa bayiku akan lahir malam itu.
Pertanda baik atau buruk" Jika dia hidup, ini pertanda baik; jika dia meninggal,
berarti pertanda buruk. Jika dia lelaki, berarti pertanda baik; jika dia
perempuan, berarti pertanda buruk. Kami mengartikan tanda-tanda, meyakini bahwa
mereka bisa menentukan nasib karena keberadaan mereka. Jika keringatku yang
menetes menimpa seekor semut, aku akan menjadi pemenang; jika meleset, aku akan
kalah. Malam itu langit berawan. Bulan bersembunyi di balik gumpalan awan rendah,
bintang-bintang tampak pudar dan jauh, seolah-olah mereka telah melepaskan
tanggung jawab atas keterlibatan mereka terhadap nasibku. Andai saja bintang-
bintang itu bisa mendekat, menggerakkan bumi dengan tenaga mereka, membelokkan
nasibku agar menjadi baik. Itu adalah sebuah harapan kosong. Apakah bintang-
bintang itu benar-benar peduli" Bisakah mereka melihat kedua pasukan yang menunggu datangnya cahaya
fajar" Aku melihat wajah angkasa begitu dekat, bagaikan melihat sebentang tanah
di hadapanku. Di mana bintangku berada" Di sana, lebih jauh daripada bintang
yang terjauh. Cahayanya menyinariku, mengedipkan nasib baik di pihakku. Tetapi,
kemudian, secara menakutkan karena tidak ada angin, bahkan tak ada sedikit pun
angin sepoi bertiup, segumpal awan menghalangi bintang itu dariku. Mungkin,
bintang itu bukan milikku, tetapi milik Mahabat Khan.
Di bukit-bukit rendah yang mengelilingi, salah satu bukit yang terdekat
tampaknya adalah yang tertinggi, sebuah tonjolan di bumi, tampak bebatuan besar
dan semak lantana. Aku memilih jalanku menuju puncak, dan menatap ke arah desa
yang dikelilingi oleh pasukan. Aku bisa merasakan gerakan pasukanku, kuda-kuda,
gajah-gajah, suara-suara bisikan, doa-doa yang digumamkan, perapian-perapian
untuk memasak, yang kilau baranya tampak tersebar tak terhingga di atas tanah
hitam. Pasukan masih terus mengisi hingga kejauhan, dan pemandangan perkemahan
memberiku keyakinan. Orang-orang ini telah bertempur untukku selama bertahun-
tahun; kami akan meraih kemenangan sekali lagi.
Aku menatap ke utara, ke arah pasukan Mughal, dan menahan napas. Aku melihat
mereka samar-samar di kejauhan; begitu besar, mungkin yang kulihat saat ini
hanyalah sebagian kecilnya saja. Perapian membentuk titik-titik di sepanjang
cakrawala sejauh mata memandang, kemudian terus naik hingga ke angkasa, berkelip
dan berkilau tanpa terkendali, memanggil-manggilku untuk menerima kekalahan.
Bagaimana dia akan menyerang" Dengan siasat banteng" Dia memiliki kekuatan untuk
mengirimkan ribuan pasukan berkuda untuk mengepung pasukanku. Apakah dia akan
menungguku dengan sabar, kemudian merangkulku sebelum kami saling menyerang" Apa
yang akan dipikirkan oleh Mahabat Khan"
Tanah bergetar di bawahku. Isa memanjat di antara bebatuan dan semak, kemudian
berdiri di sampingku. Dia membungkuk, kemudian menoleh untuk memandang pasukan
Mughal, memperkirakan peluang kami. Wajahnya tidak memancarkan apa-apa.
"Anak yang baru dilahirkan Arjumand adalah perempuan, Yang Mulia, tapi tidak
selamat." Ini sebuah pertanda buruk, aku tahu. Aku menundukkan kepala untuk
berdoa bagi sang bayi. "Arjumand?" "Dia baik-baik saja, tapi kelelahan. Hakim berkata, dia harus tidur. Ada tamu
bagi Anda. Mahabat Khan mengajukan pertemuan."
Sang lelaki tua itu tampak sangat ceria dan akrab. Dia telah minum dua gelas
anggur dan berdiri bersandar di sebatang pohon asam. Di sampingnya ada beberapa
prajuritnya, seluruhnya berjumlah selusin, siaga dan waspada.
"Yang Mulia, aku akan menunggu di dalam, tetapi perabotannya tidak layak untuk
sebuah pertemuan dengan seorang pangeran. Aku tidak biasa minum anggur hangat-begitu
manjanya aku saat ini-tapi, kau tidak memiliki anggur dingin."
"Kapal tidak bisa kemari setiap hari. Aku minta maaf. Apakah Anda membawa pesan
dari ayahku?" "Tidak. Oh, kesehatannya prima, dan dia terus-menerus mengeluh tentang anaknya
yang berandal." "Kupikir aku adalah 'bi-daulat'."
"Itu juga. Tergantung perasaannya. Perasaannya berayun-ayun dari satu titik
ekstrem ke titik ekstrem lain, lebih buruk daripada sebelumnya." Dia meludah.
"Sultan hanya mendengarkan perempuan itu. Saat ini, kekuasaan Sultan sudah tidak
memiliki taji, semua diatur oleh Permaisuri. Setiap jam, aku menerima pesannya.
Serang, serang: hancurkan Shah Jahan. Aku harus menang. Apakah aku membutuhkan
lebih banyak pasukan" Apakah aku membutuhkan lebih banyak meriam" Aku bisa
memberi perintah berdasarkan keinginanku sendiri." Dia maju selangkah ke arahku.
Aku mendengar geraman peringatan Allami Sa'du-lla Khan dan dentingan pedangnya
yang ditarik. Mahabat Khan mengangkat tangannya. "Aku tidak membawa pedang. Aku
hanya ingin berbicara kepada Yang Mulia secara pribadi."
Kami berjalan menjauhi yang lain, tetapi tidak terlalu jauh. Aku tetap waspada
terhadap teman lamaku ini. Dia telah mencapai kesuksesan karena memiliki
mentalitas lihai dan cerdik; selalu ada kemungkinan jebakan yang sangat tidak
diharapkan. "Aku seorang prajurit," dia tertawa. "Bukan seorang pembunuh. Aku membiarkan
urusan itu dikerjakan oleh orang lain. Kau tidak bisa menang besok. Aku tidak
ingin mempermalukan muridku, karena kita pernah berteman. Jika kau menyerah,
Mehrunissa meyakinkan aku jika dia akan memperlakukanmu dengan penuh rasa
hormat." "Mehrunissa" Dan ayahku" Aku tidak peduli dengan janji perempuan itu. Apa yang
ayahku perintahkan?"
"Kami tidak boleh mencabut nyawamu." Aku melirik matanya yang setajam cahaya
bintang dalam kelamnya malam. "Kau adalah keturunan Timurid." Aku merasakan
kesedihan dalam desahannya. "Seharusnya kau tidak membunuh Khusrav. Itu tindakan
buruk." "Aku akan menentukan nasibku sendiri."
Dia berdiri menunggu keputusanku. Aku sangat berterima kasih karena
penghormatannya. Bisa saja dia hanya mengirimkan pembawa pesan, bukannya datang
sendirian. "Aku tidak bisa menyerah."
"Aku juga berharap demikian. Aku akan sangat kecewa jika Shah Jahan mundur
sebelum berperang." Dia terkekeh. "Bahkan saat dia tahu jika dia tidak akan
menang." "Allah akan menuntun kita."
"Allah akan menuntun kita semua, beberapa ke lembah, beberapa ke puncak gunung.
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa yang bisa mengetahui kehendak-Nya?"
Kami berjalan kembali ke para pengawal Mahabat Khan, melalui desa. Saat itu
terasa damai. Panci-panci berada di atas perapian yang menyala-nyala, berada dalam damai,
tidak memedulikan kami maupun pertempuran yang akan terjadi. Anak-anak kambing
mengisap susu induk mereka, anak-anak mengintip keluar untuk melihat pangeran
dan jenderal pasukan Mughal yang berjalan-jalan, bagaikan sedang berada di
istana. "Kau akan tinggal untuk makan bersama kami?"
"Tidak. Aku harus kembali ke pasukanku. Masih banyak yang harus dilakukan malam
ini. Aku harus mencoba untuk mengingat semua hal yang kuajarkan kepadamu.
Kuharap kau tidak menjadi terlalu pintar untuk pria tua ini."
"Pria tua yang lihai," aku terkekeh.
"Dan kau pria muda yang lihai juga. Kau telah mendapatkan pengalaman bertahun-
tahun sejak aku pertama mengajarimu. Pengalaman lebih berarti daripada insting;
dan akan menuntunmu lebih baik daripada ribuan kalimat instruksi."
"Kalau begitu, aku akan menurutinya."
Arjumand Aku sedang tertidur saat dia kembali, tenggelam dalam ketidaksadaranku.
Kelelahan itu terus bersarang dalam tubuhku, seakan-akan membalutku dalam
kegelapan yang menyenangkan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, tidak ada
sentuhan yang menggangguku, tetapi sesuatu berkata kepadaku, menghunjam ke dalam
kegelapan yang hangat, bahwa dia datang. Para pelayan, pengasuh, Isa,
hakim, tidak ada yang mampu menggangguku, tetapi kehadirannya bisa membuatku
tergugah, seakan-akan dia masuk ke dalam tidurku, dan dengan lembut membawaku
kembali ke dalam cahaya. Dia berlutut di sebelahku sambil terdiam, menatap
dengan matanya yang lembut dan gelap. Dia menyentuh pipiku, kemudian membungkuk
untuk mengecupku, membelai rambutku. Itu adalah ungkapan kasih sayang yang
paling dia sukai, untuk membelai dengan lembut dan tenang.
"Anak kita perempuan, aku diberi tahu. Aku sedih karena dia tak bertahan hidup."
Kami saling memeluk dan membelai satu sama lain dalam waktu yang cukup lama.
Allah berkehendak anak kami tidak bertahan hidup.
"Kita sudah memiliki cukup anak. Aku tidak bermaksud membangunkanmu. Aku hanya
datang untuk menengokmu. Kau harus tidur lagi."
"Segera. Selalu ada waktu untuk itu, Cintaku." Dahinya berkerut dan aku
membelainya agar licin kembali. "Besok kita akan menang."
"Mahabat Khan menemuiku. Dia ingin aku menyerah. Dia mematuhi perintah bibimu."
"Kalau begitu, bibiku merasa khawatir. Jika kau menang, kau akan memenangi
segalanya. Apa yang tersisa baginya?"
"Jika aku kalah, aku kehilangan semuanya."
"Tidak semuanya. Apakah kau begitu cepat melupakanku?"
"Kau akan tetap bersama seorang pangeran yang terkalahkan?" Dia tersenyum sambil
menunduk. "Apa bedanya dengan seorang pangeran yang dikalahkan" Apakah cintanya akan
berubah" Apakah matanya akan berubah" Apakah sentuhannya akan berubah" Apakah
hatinya akan berubah?"
"Tidak." "Kalau begitu, aku akan tetap mendampinginya. Dunia tidak berarti apa-apa bagiku
tanpa Shah Jahan." Aku terbangun lagi karena keributan orang-orang yang mempersiapkan pertempuran,
perintah dan komando, derit pelana yang dikencangkan, dentingan kasar pedang-
pedang yang sedang diasah, gerakan meriam, dan derap kaki kuda-kuda yang gugup.
Aku merasa tidak nyaman, membenci suara-suara gaduh itu, hanya mendengar
kerusuhan mereka. Aku ingin mendengar suara burung bulbul yang melatih nyanyian
manisnya untuk menyambut raga fajar, cericit tupai, desir sapu yang berayun di
halaman, panggilan para penjual buah di luar jendelaku.
"Isa." Dia mendekat. Aku nyaris berbisik, namun dia selalu mendengarku. "Di mana
kekasihku" Panggillah dia."
"Dia sudah pergi, Agachi. Dia kemari untuk menengokmu, tapi kau tertidur begitu
lelap." "Mengapa kau tidak pergi bersamanya, Badmash" Aku memerintahkanmu untuk selalu
berada di sampingnya."
"Dia menyuruhku kembali. Dia ingin aku tinggal di
sini untuk mengatur persiapan." "Untuk apa?"
"Untuk kabur, jika diperlukan. Agachi, kau harus beristirahat."
"Kuharap orang-orang berhenti memerintahku untuk melakukan sesuatu. Istirahat,
istirahat, istirahat-itu hanya membuatku semakin lemah. Siapkan rath-ku. Aku
ingin melihat pertempuran."
"Itu tidak akan Perkemahan kami begitu kecil tanpa bala tentara, hanya aku sendiri, anak-anak,
para pelayan, dan beberapa pengawal yang tinggal untuk menjagaku. Putra-putraku
sudah berani pergi ke titik yang cukup tinggi untuk bisa melihat pertempuran;
mereka tidak mengetahui seberapa pentingnya konflik itu. Mereka memercayai ayah
mereka, seperti semua ayah, tidak akan terkalahkan, dan mereka ingin melihat
mundurnya pasukan Mughal.
Bebatuan berada di jalan kereta dan hampir semua perbukitan rendah tidak dapat
dilewati. Akhirnya, kami menemukan posisi yang cocok, sekitar satu kos dari
lapangan. Dara dan Shahshuja merunduk di depanku. Aurangzeb berdiri di kejauhan;
diam, serius, tetapi dengan sikap yang waspada, tidak mengharapkan kemenangan
maupun kekalahan. Aku berbaring, bersandar ke bantal, menatap melalui tirai
tebal ke arah badai debu yang mendekat. Dari kejauhan itu, tidak mungkin untuk
mengenali apa pun, kecuali aliran manusia dan
hewan, tetapi aku masih menatap ke pusat pasukan kami, mengetahui bahwa di sana,
tersembunyi di suatu tempat di balik debu, Shah Jahan menunggangi Bairam dengan
langkah-langkah pasti. Pasukan kami begitu kecil! Aku merasa kecil hati. Pasukan Mughal terentang
hingga jauh keluar tepi lapangan. Mereka menggetarkan bumi, menyapu tanah
bagaikan gelombang raksasa. Ketika mereka saling mendekat, aku mendengar
tangisan lemah para prajurit, yang terdengar di telingaku bagaikan bisikan. Dua
pasukan berkuda berderap menjauh; mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh
untuk mengepung pasukan Mughal, sayap pasukan terentang lebar, seperti bayangan
seekor burung raksasa. Meriam ditembakkan; pertempuran telah dimulai. Di kedua
pihak, manusia dan hewan berjatuhan, bangkit dan berkumpul lagi, dan menyerang,
berjatuhan, bangkit, dan menyerang lagi. Para penunggang kuda yang berderap ke
timur dan barat tidak perlu pergi jauh-jauh-hanya satu kos, mungkin kurang-
sebelum mengubah arah dan menyerang pasukan Mughal. Mereka bermaksud untuk
memotong sayap besar itu, dan sebelah sayapnya sudah tampak kacau karena
serangan tersebut, goyah, kemudian mundur. Sayap yang lain masih berada dalam
formasi rapat. Debu mengepul ke arah kami, kabut kuning kecokelatan yang membuat
pemandangan pertempuran menjadi samar-samar. Para prajurit yang ada di belakang
mendorong ke depan, melambaikan pedang, menghantam perisai, berteriak. Mereka
melakukan gerakan maju yang mantap dan mengancam, tetapi akhirnya mereka hilang dari
pandangan. Sepanjang hari, aku menyaksikan dan menunggu. Yang terdengar hanyalah suara,
yang terlihat hanyalah darah. Kedua pihak tidak mundur, tetapi tetap terpaku di
posisi awal mereka. Seperti pasang surut, salah satu pihak mundur, kemudian maju
lagi, mundur, dan maju lagi. Barisan pasukan kami agak goyah, tetapi kemudian
bisa bertahan. Aku mengetahui, jika lini depan pecah dan berantakan, artinya
Shah Jahan akan kalah. Senja datang begitu cepat, tanpa angin sejuk yang nyaman, tetapi hawa panas dan
berdebu, memudarkan cahaya matahari menjadi lapisan kuning keruh yang
menggantung di atas bumi. Kami tidak menyaksikan lebih lama. Para prajurit akan
mundur untuk beristirahat, memulihkan kekalahan mereka, tewas karena luka-luka
mereka, atau membalut luka-luka ringan. Saat kami mencapai perkampungan, orang
pertama mulai berjalan kembali. Mereka berlapis debu dan keringat, dengan
kewaspadaan di atas keinginan dan kekuatan mereka. Beberapa membopong rekan
mereka, mengerang kesakitan, beberapa terjatuh dan tenggelam dalam tidur abadi,
yang lain berjalan terseok-seok, terus-menerus. Beberapa pasti gugur; adakah
kesempatan mereka untuk hidup dengan luka-luka parah di tubuh mereka"
Malam telah menjelang, perapian dinyalakan dan makanan dimasak sebelum kekasihku
datang. Matanya merah; wajahnya tidak berbeda dengan
yang lain-berdebu, kelelahan, janggutnya berwarna kusam seperti tanah. Aku
mengambilkan anggur dan dia minum dengan lahap. Aku mengusap wajahnya dengan
tuval, yang berubah warna menjadi cokelat karena tanah. Sentuhan dingin itu
menghilangkan sedikit kekhawatirannya.
Pertama-tama, dia berbicara kepada Isa: "Apakah kau sudah menyiapkan segalanya?"
"Ya, Yang Mulia."
Dia menyentuh wajahku, dengan penuh permintaan maaf, sikap ingin dimaklumi.
"Kita harus bergerak cepat. Tidak banyak waktu lagi. Saat fajar, mereka akan
tahu jika aku telah kalah.11 []
20 Taj Mahal 1067/1657 Masehi Gopi berjongkok di depan sebuah panel marmer dan dengan hati-hati memahat untuk
membersihkan serpihan-serpihan. Dia menggosok batu dengan tangan yang kasar dan
kapalan, kemudian terus memahat bunga-sekuntum marigold-dengan cermat dari
marmer tersebut. Dia mewarisi keahlian ayahnya, dalam kesabaran, dalam
keterampilannya. Di sampingnya, Ramesh memanaskan dan mengasah pahat. Mereka
bekerja di dalam bayangan sebatang pohon gulmohar di luar dinding yang
mengelilingi Taj Mahal. Sepuluh tahun telah berlalu sejak makam itu selesai dibangun. Tetapi, pekerjaan
masih terus berlanjut. Sebuah landasan besar telah dibangun, yang memberi ilusi
bahwa makam itu tidak memiliki bobot. Di keempat sudutnya berdiri empat menara
yang indah, tinggi dan ramping, bagaikan pohon palem. Kehadiran mereka membuat
Sultan gembira. Mereka memberikan keseimbangan dan harmoni bagi landasan, yang
akan tampak seperti gurun marmer
jika tidak ada hiasan menara-menara. Masjid-masjid berdiri di sisi lain monumen.
Bangunan-bangunan itu kecil dan sederhana seolah-olah membungkuk dengan penuh
penghormatan dalam kemegahan makam.
Tetapi, bangunan itu tidak dirancang dan dibangun agar tahan terhadap debu.
Dengan perhatian dan kepedulian yang sama seperti sebelumnya, Sultan telah
memerintahkan untuk membangun bagh. Bagh itu terletak di kaki makam besar,
terbagi menjadi empat bagian; jalan setapak dari batu yang menanjak dan
terentang dari utara ke selatan, dan dari timur ke barat, bertemu di dua kolam
air mancur berisi bunga-bunga teratai yang terpahat dari marmer, dan di antara
jalan setapak itu ada kanal-kanal lebar. Lapisan air jernih yang tak bergerak
akan memantulkan makam yang berkilauan, tetapi agar tidak mengganggu
pemandangan, kolam-kolam air mancur itu hanya akan diletakkan di kanal-kanal
utara dan selatan. Agar sepadan dengan penampilan makam, Shah Jahan menghabiskan
biaya besar untuk menciptakan taman. Pipa-pipa bawah tanah, tangki-tangki
penyimpanan air raksasa, dan susunan bak-bak penampungan akan terus-menerus
mengalirkan air ke pepohonan dan tanaman-mangga, jeruk, limau, delima, apel,
jambu batu, nanas, mawar, tulip, lily, iris, dan marigold. Aliran utama air
tersebut dibawa oleh pipa-pipa bawah tanah yang dikubur di bawah jalan setapak
dari batu bata. Untuk memastikan bahwa setiap
kolam air mancur menerima jumlah air yang sama, sehingga pancaran air mereka
sama tinggi, air tidak langsung dialirkan ke pipa tembaga yang memasok dua kolam
itu. Tetapi, di bawah dua kolam dipasang sebuah wadah tembaga. Air mengalir
sepanjang kanal, mengisi dua wadah tersebut, kemudian langsung mengalir melalui
pipa-pipa dan memancar ke udara. Air untuk kolam air mancur dan taman itu
diambil dari Jumna oleh sekelompok kerbau, dituangkan ke bak penampungan, dan
dialirkan ke tangki. Dari sana, air akan mengalir ke bawah. Tekanan air akan
meningkat sehingga arusnya akan terus berjalan ke arah ujung selatan taman.
Perancangan itu dihitung dengan sangat teliti. Di dekat makam, Shah Jahan tidak
hanya ingin ada tanaman bunga, tetapi lebih jauh, untuk melindungi para peziarah
dari terik matahari, akan ada pepohonan.
Tidak sekali pun Gopi memandang ke arah Taj Mahal. Kepalanya masih tertunduk,
dan saat dia mengangkat kepala, bagaimanapun caranya, dia akan menghindari
pandangan ke arah monumen yang menjulang itu. Bangunan itu masih membuatnya
merasa pedih. Ayahnya tidak mampu menyelesaikan jali. Dia telah semakin menua dan rapuh,
tangannya tidak mampu menggenggam pahat. Tangan-tangan itu kaku dan membeku,
menjadi sebentuk cakar-cakar, jadi Gopi meneruskan pekerjaan yang tersisa
beberapa sentimeter lagi. Dibandingkan dengan hasil karya megah ayahnya yang
hampir rampung, sisa pekerjaannya tinggal sedikit lagi, tetapi tetap saja, tidak bisa dikerjakan
terburu-buru. Segalanya harus tepat. Gopi membutuhkan waktu setahun untuk
memahat bagian terakhir, kemudian, bagaikan membentuk tanah liat, dia memahat
tepi-tepi marmer itu dengan motif bunga-marigold dan lily yang sempurna, dengan
sulur-sulur dan dedaunan. Motif-motif itu diisi dengan campuran safeda dan
hirmich, serta pigmen warna. Bahan ini sama dengan yang digunakan pada lukisan
dinding yang dia lihat di gua-gua, yang digambar berabad-abad lalu oleh seniman-
seniman yang terlupakan. Isian itu akan menjadi sekeras marmer, dan akan
diglasir sehingga bersinar bagaikan batu. Gopi tersenyum mengingat kebanggaan
ayahnya yang membuncah saat pekerjaan mereka selesai. Dia telah memuji Gopi,
seakan-akan Gopi-lah yang melakukan semua pekerjaan itu. Bagi Gopi, tampaknya
setelah kematian ibunya, Murthi telah melunak, menjadi pemimpi, hanya bisa
berkomunikasi dengan dunia lain. Keempat anggota keluarga itu melakukan ziarah
ke kuil kecil untuk mengucapkan terima kasih. Beberapa orang lain yang datang ke
sana bersikap menjaga rahasia, waspada, karena meskipun terpencil, kuil itu
adalah tempat yang rapuh. Kening Durga diolesi saffron dan kum-kum, dinaungi
kain sutra, dan dihiasi dengan sebuah rantai emas dan berlian. Mereka
mempersembahkkan buah-buahan dan bunga, kemudian persembahan itu diberkati dan
dikembalikan. Saat mereka pergi, Murthi tampaknya merasa tenang dan damai.
mim "Kita akan kembali ke desa," dia mengumumkan. "Ibumu sangat merindukan kampung
halaman kita. Jika saja dia bisa pulang bersama kita. Tapi, pertama-tama, kita
harus melihat jali kita. Aku ingin melihat di mana jali itu diletakkan, melihat
bagaimana cahaya jatuh di permukaannya."
Para pekerja membungkus jali dengan karung goni dan meletakkannya bertumpuk di
atas sebuah kereta. Mereka memerhatikan kereta itu hingga lenyap dari pandangan,
masuk ke dalam kerumunan pekerja dan hewan. Gopi melihat tubuh ayahnya mengerut,
seakan-akan sebagian dari dirinya terbawa oleh kereta. Jali itu adalah
representasi tujuh belas tahun hidupnya, dan seluruh keterampilannya.
"Saat mereka sudah memasangnya," kata Murthi, "kita akan pergi.
Mereka mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh menuju rumah. Perjalanan itu
akan melelahkan dan sulit, tetapi Murthi merasa yakin mampu menjalani. Saat
mereka telah membuang semua barang yang tidak penting dan mengumpulkan yang akan
mereka bawa-perhiasan Sita yang akan menjadi milik anak perempuannya, peralatan
Murthi, dan sekantong kecil uang rupee-mereka pergi ke Taj Mahal,
Mereka mendekati para prajurit yang menjaga Taj Mahal, tetapi sebelum bisa
lewat, mereka dihentikan.
"Mau ke mana kalian?"
"Ke dalam. Untuk melihat."
Para prajurit memandang Murthi, lalu memandang putra-putra dan putrinya. Tidak
diragukan lagi: wajah mereka, pakaian mereka, tingkah laku mereka, semua orang
pernah menggunjingkan seperti apa keluarga Murthi ini.
"Kalian tidak boleh masuk."
Murthi terkejut. "Kenapa?"
"Kau Hindu. Itu tidak diizinkan. Sekarang, pergilah."
"Memang aku Hindu. Apa ada yang salah?" Murthi bertanya. "Aku bekerja selama
tujuh belas tahun untuk makam ini. Aku tidak pernah ditanya apakah aku Hindu
atau bukan. Aku memahat jali, yang sekarang berdiri mengelilingi makam
Permaisuri. Aku hanya ingin melihatnya, tidak lebih. Lalu, aku akan pergi tanpa
keributan." "Kalian tidak bisa masuk. Kalian bisa melihatnya dari sini."
"Aku hanya ingin melihat jaliku. Cahaya ...."
"Aku telah memberi tahumu. Kau tidak mungkin masuk. Orang-orang Hindu tidak
diizinkan masuk." Murthi masih bertahan. Dia membandel, tetapi, begitu juga para prajurit. Mereka
menghadang jalannya, tidak dengan kasar, tetapi tidak sabar karena Murthi tidak
mau mengerti. Dengan perlahan, Gopi menggamit lengan ayahnya, tetapi Murthi
menepisnya. Murthi berdiri sambil menatap bangunan, mencoba untuk memandang ke
balik dinding-dinding marmer raksasa.
Baru sore hari, ketika cahaya memudar dan
makam itu tampak mengambang dalam kilauan cahaya merah muda yang samar, dia
menyerah dan mau ditarik dari situ. Wajahnya tampak berkerut-kerut dan muram.
Dia bersandar ke putra-putranya; putrinya berjalan di depan mereka. Perjalanan
ke Guntur sudah terlupakan. Murthi terbaring di dalam gubuk dan tidak bisa
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi. Jiwanya terikat dengan sebongkah marmer itu; dia telah mempersembahkan
hidupnya kepada jali itu, dan dia akan merasa bebas hanya dengan melihatnya.
Gopi mengunjungi pamannya, Isa. Ketika duduk di kamar Isa yang mewah di istana,
Gopi berpikir, betapa berbedanya nasib dua saudara itu. Mungkin hanya kemewahan
itu yang membedakan Isa. Wajahnya lebih bercahaya, tubuhnya lebih kuat, dan
sikapnya penuh kepercayaan diri.
"Ayahku sekarat."
"Aku akan memanggil hakim."
"Tidak. Hakim tidak dapat menyembuhkannya. Dia berharap untuk melihat jali
karyanya, tetapi mereka tidak mengizinkannya masuk. Tolonglah, apakah Paman bisa
meminta izin kepada Sultan untuk membiarkan adik Paman masuk?"
Isa menatap ke bawah, ke arah sungai yang mengalir ke Taj Mahal. Pantulannya
menyilaukan di bawah matahari tengah hari, marmernya memantulkan cahaya ke
angkasa, berdiri sendirian dan terisolasi. Makam itu membutuhkan teman yang
sama indahnya, tetapi di dunia ini tidak ada yang bisa mengimbanginya. Isa telah
lama memikirkan makam itu; ia memiliki nyawa, ia bernapas. Dia membayangkan
batu-batu yang terangkat dan disusun, ketika makam itu mendesah. Isa menyadari
bahwa makam itu kesepian. Ia adalah benda sempurna di dunia yang penuh
ketidaksempurnaan, dan merupakan karya agung. Mungkin makam Shah Jahan sendiri,
refleksi makam itu dalam warna hitam, suatu hari akan menjadi teman bagi makam
Permaisuri. Tetapi, mengapa hitam-warna yang menyeramkan" Mungkin Sultan
berharap mengingatkan dunia akan dosa-dosanya. Makamnya akan berdiri untuk
selamanya, seperti Taj Mahal, tetapi akan menjadi kain kafan semata, bukan cadar
sutra. Saat itu, makamnya akan tampak jelek, menggunduk, dan tidak terbentuk di
bawah sinar matahari; dan pada malam hari, makamnya tidak akan terlihat,
sementara Taj Mahal akan muncul dan berkilauan, bermain-main dengan cahaya,
seperti juga bermain-main dengan permukaan air. Bahkan, sungai sekalipun tidak
mampu memantulkan warna hitam. Shah Jahan akan menerima hukumannya dengan
erangan dan penderitaan di dalam kekelaman itu, hidup selamanya di dalam
kegelapan. Sultan berharap agar dunia mengetahui bahwa dialah yang merusak satu-
satunya manusia yang pernah dia cintai.
Apakah hidup mereka bisa berbeda" Isa tidak tahu. Tidak terlalu mencintai bukan
berarti tidak mencintai sama sekali. Cinta tidak bisa diukur dalam
porsi seperti makanan maupun minuman, diatur agar tidak luber dan membanjir.
Mungkinkah manusia mencintai dengan berlebihan, dan karenanya, merenggut
kehidupan itu sendiri"
"Adik Paman sekarat karena patah hati." Gopi memecah kesunyian.
"Itu tidak bisa kusembuhkan. Apa yang bisa kulakukan?"
"Paman memiliki kekuasaan untuk menghukum mati seseorang. Paman bisa
menyelamatkan adik Paman."
"Kekuasaan" Apakah kau mengerti arti kekuasaan" Kau berpikir, karena dia Mughal
Agung, maka kekuasaannya tidak terbatas" Kekuasaan Sultan terbatas, karena dia
hanya seorang manusia. Dia bisa mencabut nyawa, tetapi tidak menciptakan nyawa;
dia bisa mengubah arah alur sungai, tetapi tidak bisa menciptakan setetes air.
Dia bisa membuatmu menjadi seorang yang terhormat, tetapi tidak bisa memberikan
kehormatan kepadamu. Dia bisa berpura-pura jika dia adalah tuhan, tetapi dia
bukan. Jika memang begitu, dia akan meniupkan nyawa kepada orang mati, dan makam
itu tak akan pernah dibangun. Dan dia juga tidak memiliki kekuasaan untuk
mengubah hukum dewa-dewa atau siapa pun yang memuja mereka. Kita adalah orang
Hindu, kita tidak bisa masuk."
"Bahkan Paman sekalipun?" Gopi mencemooh, tidak percaya.
Isa tidak menjawab. Murthi semakin melemah, meratapi kesedihannya. Kematian mengukir kulitnya,
memahat wajahnya; biasanya dia yang melakukan itu terhadap marmer; membentuk
sesosok mayat dari tulang, daging, darah, dan jantung.
Isa berjalan bersama keponakan-keponakannya menuju ghat. Dia mengamati Gopi
menyulut api pembakaran jenazah, kemudian mengulangi kata-kata pendeta. Adiknya
telah mengerut; dia tenggelam dalam taburan bunga-bunga. Api menyala-nyala,
membakar kayu, kain, dan daging. Dia terdiam sampai hanya debu yang tersisa, dan
para keponakannya berjongkok di samping sisa-sisa pembakaran, menatap dan
menunggu ayah mereka naik ke langit bersama kepulan asap.
"Apakah sekarang kau akan kembali ke desa?" Isa bertanya kepada Gopi.
"Mengapa" Aku tidak begitu ingat desa kita. Aku hanya setuju pulang karena
ayahku menginginkan itu. Aku harus menemukan pekerjaan di sini untuk menghidupi
adik-adikku." "Masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan di sana," Isa menunjuk ke arah Taj
Mahal. Gopi ingin menolak, ingin mengutuk monumen itu, tetapi tidak mengatakan
apa-apa. Monumen itu telah menghidupi ayah dan keluarganya; sekarang akan
menghidupinya. "Aku akan bekerja, selama masih ada pekerjaan."
Hasrat Sultan terhadap perempuan tidak pernah melemah. Para budak, devadais,
gadis-gadis nautch, putri-putri, begum-begum; yang paling cantik, yang paling
molek, semua tidur dengannya sepanjang siang dan malam. Dia tidak pernah bisa
terpuaskan. Iblis telah hidup di antara kedua kakinya; dia telah meminum ramuan
untuk meningkatkan kekuatannya, namun akibatnya saluran kencingnya mengalami
penyumbatan. Dia tidak bisa membuang air kecil dan merintih kesakitan. Dia
bergelayutan kepada Isa, bagaikan seorang anak yang takut hantu, hingga hakim
memberinya ramuan opium yang kuat.
Selama Shah Jahan tertidur, Isa pergi ke pertempuran di Lai Quila dan mencari
kabar tentang Delhi. Dia mendengar bisikan-bisikan sudah tersebar di seluruh
penjuru kota: sang Sultan sedang sekarat, sang Sultan sedang sekarat. Pintu-
pintu tertutup, toko-toko dipasangi jeruji, chai dan paan wallah mencair seiring
datangnya malam. Ketika menerima panggilan, dengan cepat Dara datang, dan derap
kudanya yang berpacu bergema di keheningan kota dan jauh ke seluruh penjuru
kesultanan. Berita itu juga sampai di telinga Shahshuja, Subadar Bengal; Murad,
Subadar Gujarat; dan Aurangzeb, Subadar Deccan. Isa merasakan mereka mondar-
mandir di istana mereka yang jauh.
Dalam kegelapan, di bawah maidan, dia melihat sosok-sosok yang berkumpul di
bawah jharoka-i-darshan. Satu orang, dua orang, sepuluh
orang, seratus. Di dalam istana, para pejabat muncul diam-diam, berkumpul di
diwan-i-am untuk menatap ke atas awrang kosong di bawah kanopi emasnya.
Semua menatap ke arah timur. Kegelapan mulai memudar, angkasa berubah warna
menjadi keemasan; fajar sudah merekah, tetapi Sultan tidak muncul. Para pejabat
dan orang-orang menunggu, bahkan setelah matahari meninggi dan menyengat di
punggung mereka. Isa mengetahui pikiran mereka: Sultan telah meninggal. Dan dia mendengar orang-
orang di bawah meratap, karena sang Sultan adalah ayah yang adil dan bijaksana
bagi mereka. Mereka juga meratapi sesuatu yang tidak mereka ketahui.
mim Shah Jahan terbangun dalam kesakitan, gigi-giginya bergemeletuk, dan berbisik
kepada Isa: "Agra ... Agra ... aku harus melihatnya."
"Dia tidak bisa dipindahkan," kata hakim.
"Sembuhkan ayah kami," Dara dan Jahanara memohon, tetapi hakim membungkuk
ketakutan karena ketidakmampuannya.
Dara memanggil seorang wazir: "Sebarkan sebuah pengumuman. Sultan Shah Jahan
saat ini sedang sakit, dan akan segera pulih. Kirimkan kabar itu ke seluruh
penjuru negeri." Wazir mematuhi perintah itu. Dia menempelkan pengumuman di gerbang-gerbang Lai
Quila dan mengirim pembawa pesan ke seluruh penjuru
Hindustan. Tetapi, pembawa pesan lain dengan cepat membawa pesan ke saudara-
saudara lelaki Dara: Sultan sekarat dan Pangeran Dara mengambil alih kekuasaan
kesultanan. Selama dua hari dua malam, Sultan terbaring dalam tidur yang panjang. Saat
akhirnya dia terbangun, rasa sakit sudah menghilang dari tubuhnya, tetapi di
wajahnya, kelelahan membekas.
"Agra. Aku harus pergi mengunjunginya, Isa," dia memerintah, "katakan kepada Mir
Manzil untuk mempersiapkan perjalananku." Dia menatap Dara, kemudian melihat
tatapan ingin tahu di mata sang anak. "Ada apa, Dara?"
"Adik-adikku mengumumkan rencana dan tujuan mereka. Mereka yakin Ayah sudah
meninggal. Saat ini Shahshuja menyebut dirinya sendiri Sikander Kedua, dan Murad
melemparkan koin-koin."
"Dan Aurangzeb?" Shah Jahan tidak bisa menyembunyikan kengeriannya.
"Tidak ada apa-apa," jawab Dara. "Dia tidak berbicara sepatah kata pun, tetapi
saat ini dia bergerak ke arah kita dengan pasukannya."
"Pasukannya" Dia Shah Jahan berteriak.
"Putra-putraku yang bi-daulat! Nafsu mengalahkan kasih sayang mereka. Bawa aku
ke awrang. Aku harus memperlihatkan diriku sendiri."
Para pejabat dipanggil dan Ahadi menyusun barisan di sekitar diwan-i-am. Shah
Jahan, dibantu oleh Dara dan Isa, menaiki tangga ke podium dan perlahan-lahan
duduk di singgasana merak. Para pejabat menyadari penyakit Sultan yang parah:
tangannya yang bergetar dan lehernya yang lemah. Dia telah kehilangan kekuatan.
Sebaliknya, mereka juga menyadari kekuasaan Dara.
"Aku baik-baik saja," sang Sultan berbicara, tetapi suaranya nyaris tak
terdengar di telinga mereka. "Putraku tersayang dan satu-satunya yang setia,
Pangeran Dara, akan memerintah hingga aku cukup kuat untuk kembali mengerjakan
tugasku sekali lagi."
Isa melihat selubung-selubung, gelap dan mengerikan, menutupi wajah-wajah mereka
yang mendongak. Dia bisa membaca pikiran mereka: apakah Dara cukup kuat" Dari
pengamatannya, Isa tahu bahwa sang Sultan membuat suatu kesalahan. Dibutakan
oleh cinta, dia telah meletakkan kesultanan ini di atas kesetiaan yang terbagi,
bagaikan pasir yang bergerak.
"Aku memerintahkan putra-putraku untuk kembali ke posisi mereka sebagai bagian
dari hukuman. Aku masih Padishah Hindustan."
mm Butuh waktu sepuluh hari untuk mencapai Agra, dan segera setelah mereka tiba,
Sultan memasuki makam besar dan pintu-pintu perak tertutup di belakangnya. Dia
berlutut di sarkofagus dan mengecup marmer dinginnya.
"Kekasihku, kekasihku ...." Bisikannya bergema ke seluruh penjuru kubah. "Apa yang
harus kulakukan sekarang" Putra-putraku berbaris menyerangku. Mereka tidak
mematuhi perintah ayah mereka, sang Sultan. Kata-kataku hanya akan menjadi debu di tengah angin. Di
saat aku jatuh sakit, mereka melawanku. Putra kesayangan kita Dara adalah
pendukung setiaku; cinta kita telah menumbuhkan kesetiaan di hatinya. Aku telah
mengirimnya untuk berperang melawan adiknya Shahshuja dan aku tidak bisa
bernapas karena ketakutan. Aku tidak pernah merasa takut jika menghadapi
peperangan; tetapi saat ini, aku gemetaran seperti seorang pengecut. Jagalah
Dara ... tuntunlah dia ... berikan dia kekuatanmu, Arjumand Sayangku."
Shah Jahan terjaga semalaman di makam hingga Dara menemuinya, dengan penuh
kemenangan, karena Shahshuja telah kalah dan saat ini kembali ke Bengal. Dara
tertawa puas dan kegembiraannya bergema di sekeliling makam.
Sang Sultan masih berlutut, "Dan Aurangzeb?"
Dara terdiam. "Sekarang dia maju bersama Murad. Aurangzeb telah mendukung Murad
sebagai sultan," dia terkekeh, "aku akan mengalahkan Murad semudah aku
mengalahkan Shuja." "Tapi, ada Aurangzeb di sisinya," Shah Jahan berkata dengan lembut. Dia menoleh
ke arah Isa. "Apakah kau percaya Aurangzeb akan mengizinkan Murad menjadi
sultan?" "Siapa yang bisa membaca pikiran Aurangzeb yang sebenarnya, Yang Mulia?"
"Kalau begitu, aku harus memimpin pasukan melawan mereka. Hanya pengalaman dan
kehadiranku yang bisa mengalahkan Aurangzeb."
"Tidak!" Dara berteriak. "Aku akan memimpin su-atu hari nanti. Aku harus
menghadapi Aurangzeb." Dia berbalik dan berjalan dengan marah keluar dari makam,
seperti seorang anak yang mainannya direbut.
Shah Jahan, yang perasaannya terluka, menatap Isa: "Apakah aku salah?"
"Tidak, Yang Mulia. Hanya Yang Mulia yang bisa mengalahkan Aurangzeb. Dara tidak
memiliki pengalaman."
"Tapi aku membuatnya tidak senang."
"Itu akan berlalu," tetapi, ketika Isa mengatakan itu, dia merasakan sang Sultan
mengubah pendiriannya, dan dia merasa ngeri.
Isa sudah menduga ini sebelumnya. Di tepi Sungai Chambal, sementara Shah Jahan
dan Isa menunggu di makam, Aurangzeb mengalahkan Dara. Ribuan orang mati dalam
pertempuran sepanjang hari, dan saat Dara mundur, pasukannya bubar. Dengan lusuh
dan lelah, dia kembali ke Agra. Sang ayah, yang mencintai dan memaafkannya,
menghiburnya meskipun saat ini Aurangzeb berbalik menjebak Murad. Aurangzeb
mengikat Murad dan mendudukkannya di atas seekor gajah, yang membawanya ke
sebuah penjara entah di mana. Pada saat itu juga, tiga gajah yang sama dikirim
ke titik-titik yang lain, ke arah yang berlainan.
"Monster itu!" Shah Jahan murka. "Penipu. Dia selalu ingin menjadi sultan."
"Dia bersumpah akan memenjarakanku juga," Dara berkata dengan putus asa. "Dia
membenciku." "Kita akan mengalahkan bi-daulat itu. Kita akan menyusun pasukan lain."
Kemudian, bagaikan ingin mengingkari setiap kekuatan takdir yang semakin
mendesaknya, Shah Jahan mengumumkan: "Shah Jahan saat ini adalah sultan
Hindustan." Isa mengawasi pasukan baru yang berbaris ke dataran berdebu di luar Agra.
Matahari berkilau di pelindung kepala, meriam dan jezail mereka. Para manusia
dan hewan tampak tak terhingga, tetapi Isa tahu, pasukan ini tidak kuat. Agra
telah kekurangan tukang jagal, juru masak, dan tukang kayu. Mereka bukan
tandingan Aurangzeb. Dan Aurangzeb, yang merantai kaki gajah tunggangan perangnya di sebuah tiang di
atas bumi, menikmati kemenangannya, hanya mengalahkan Dara karena pengkhianatan
komandan pasukan Dara, Khallihillah Khan. Dara menuju ke barat, sementara
Aurangzeb menuju Agra. 1068/1658 Masehi Di medan perang, Shah Jahan menatap ke bawah. Para prajurit mendongak. Tidak ada
yang bergerak. Dari atap masjid, meriam ditembakkan. Dia tidak mengernyit saat
tembakan itu mengenai dinding-dinding benteng dan tercebur ke kanal yang
melingkari. "Bi-daulat," dia berteriak, dan mengayunkan kepalan tangannya ke pasukan yang
mengelilingi Padishah, sang Mughal Agung, sultan Hindustan, Shah Jahan, Penakluk Dunia. "Bi-
daulat." Teriakannya tidak terdengar; pasukan itu tidak menghilang. "Apa yang telah
kulakukan?" "Yang Mulia merasa sakit," kata Isa. "Dan Aurangzeb ingin menjadi sultan."
"Dia tidak bisa merampas dariku, kecuali aku mati," Shah Jahan berkata dengan
marah. "Aku jatuh sakit selama tiga hari, dan pasukan besar menyerang. Apa yang
dia harapkan akan terjadi padaku dalam tiga hari itu" Aku akan mati" Badmash."
"Dia mengaku, dia datang hanya untuk membantu Yang Mulia," sahut Isa. "Untuk
memberi perlindungan dari putra-putra Anda yang lain."
"Dia pembohong. Dara, di mana Dara" Jika saja dia mendengarkanku, putra
kesayanganku itu akan menyelamatkan aku. Aurangzeb tahu, Dara tidak akan pernah
menyakitiku." "Aku tahu," kata Isa pelan. "Dara bertempur untuk membela Yang Mulia, tapi dia
tidak memiliki pengalaman Aurangzeb dalam pertempuran. Siapa yang tahu saat ini
dia berada di mana" Anda terlalu mencintai Dara, Yang Mulia, dan tidak cukup
mencintai Aurangzeb. Anda memberi Dara impian bahwa dia akan menjadi sultan,
tetapi dengan tetap menahannya di sisi Anda, Anda membuatnya lemah. Setiap
belaian, setiap kecupan kasih sayang akan melemahkan kekuatannya untuk bertahan
melawan Aurangzeb. Dan setiap kecupan, setiap belaian, hanya membuat kebencian
Aurangzeb semakin besar. Sekarang, dia membenci Dara."
"Aku mengutukmu Isa, karena memberi tahuku saat sudah terlambat. Memperingatkan"
Kau sudah meramalkan upacara di atas makam kami. Oh Tuhan, di mana Dara?"
"Dia pergi jauh."
"Kita harus memberinya waktu-waktu untuk kabur, untuk membangkitkan pasukan lain
dan mengalahkan Aurangzeb."
Tasbih mutiara sang Sultan berdetik-detik, menghitung pergantian waktu. Suara
putaran tasbih seakan bisa didengar dari seberang sungai. Saat ini, satu-satunya
yang memberi Shah Jahan ketenangan adalah Tuhan, dan dia pergi menghadap-Nya di
Masjid Mina-hanya di sana tersedia kedamaian bagi sang Sultan.
Taktya Takhta. Kalimat itu terukir di hatinya. Dia tidak dapat menghapusnya. Bisikannya sendiri
bergema setelah bertahun-tahun, dan tidak bisa dicabut. Di antara jeda kata-
kata, ada kilatan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Kekuasaan
sang Sultan telah menguap. Dia menjadi sesosok hantu yang berbisik dari balik
singgasana, tetapi tidak ada yang bisa mendengarnya.
Shah Jahan pergi menuju Masjid Mina. Sembahyang tidak membuatnya lebih nyaman;
usia mengiris tubuhnya, menyisakan garis-garis keriput di wajahnya.
"Aku akan mengundang Aurangzeb untuk datang kepadaku dan mendiskusikan masalah
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Lalu, dia harus kembali ke posisinya." Sesaat, Shah Jahan merasa murka, kejam, dan
berbahaya, tetapi kemudian dia tenang kembali. "Aku akan memohon agar dia
kembali ke Deccan, untuk pergi dengan damai. Aku akan memaafkannya."
mim Isa pergi. Dia membawa Alamgir, sebilah pedang yang dibentuk dari batu meteorit.
Gagangnya terbuat dari emas, bertatahkan berlian. Di ujung gagangnya yang
membulat ada sebuah batu seukuran kepalan tangan. Sarung pedangnya juga terbuat
dari emas, dihiasi mutiara, berlian, dan zamrud. Bilah pedangnya yang
menyeramkan dan melengkung tidak pernah kehilangan kilauan atau ketajamannya.
Alamgir: Penakluk Jagat Raya.
Aurangzeb menunggu Isa di istana Dara di dekat Jumna, kediaman Pangeran Shah
Jahan dan istrinya Arjumand. Isa tenggelam dalam kenangan. Selama bertahun-
tahun, dia tidak pernah masuk ke sini. Aurangzeb berdiri di tempat Arjumand
menebarkan perhiasan peraknya dan memenangi kembali hati pangerannya. Aurangzeb
berdiri di atas rumput, tampak tidak peduli. Dia mengambil pedang dari Isa dan
mencabut pedang itu dari sarungnya. Matahari berkilau di bilah tajamnya.
"Alamgir. Pedang ini dibuat dengan penuh perhitungan. Apa lagi yang ayahku
kirimkan, Isa?" "Dia mengundang Anda untuk mendiskusikan masalah ini."
Isa membuat Aurangzeb geli. Dia tersenyum dan
berbalik menatap benteng.
"Tidak diragukan lagi, dia ingin aku kembali ke posisiku. Dia memerintahkanku
untuk berlari ke sana, berlari ke sini. Beberapa tahun ini aku sudah berlari
untuknya, menyerang Kandahar, menyerang Samarkand. Aku telah mendaki pegunungan
dingin dan menyusuri gurun panas atas perintahnya. Aku adalah putranya yang
penurut, bukankah begitu, Isa?"
"Anda berbicara seakan-akan tugas Anda telah selesai."
"Memang belum," ada semangat dalam nada
suaranya; matanya tidak pernah lepas dari
benteng, tetapi menerawang dengan penuh
keinginan. "Salah siapa ini semua" Salahku" Aku
telah mencintainya, tapi seluruh cintanya mengalir
deras bagi si perampas, Dara."
"Dara tidak merampas takhta, Yang Mulia. Sultan ii
"Kau juga hanya akan berkata yang baik-baik tentang Dara. Kau mencintainya
seperti dia anakmu sendiri. Mengapa" Karena ibuku mencintainya. Putra pertama-
aku melihat ibuku menghujani Dara dengan kasih sayang. Dia menerima semua
kecupannya, sementara yang lain terlupakan."
"Anda beruntung karena bisa menimpakan kesalahan kepada banyak pihak, Yang
Mulia." "Kau memiliki lidah yang berbisa, Isa. Suatu hari, mungkin kau akan kehilangan
lidahmu." "Apakah Anda mengira aku akan takut kepada seorang anak yang pernah kugendong
dengan tanganku?" "Kau merasa terlalu yakin dengan belas kasihku."
"Aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi, Yang Mulia."
"Ah, Isa." Aurangzeb tersenyum maklum dalam sikap yang bersahabat, sambil
menepuk lengannya. Itu adalah tindakan yang kaku dan formal. Bagi Isa, Aurangzeb
dewasa tidak berbeda dengan Aurangzeb kecil. "Aku tidak akan menyakitimu, tapi
Dara telah menyakitiku. Dia membenciku. Dia telah meracuni pikiran ayahku untuk
melawanku, seperti Mehrunissa meracuni Jahangir. Jika aku mundur dari sini, dia
akan kembali. Dan sekali lagi, kami akan bertempur, dan aku akan kembali meraih
kemenangan. Si tolol itu tidak tahu apa-apa tentang pertempuran; dia hanya
mengetahui toleransi konyolnya terhadap semua umat manusia. Dia akan lebih
mencintai orang Hindu daripada kaum Muslim; dia akan memberi mereka kebebasan
untuk beribadah, kebebasan untuk mengembangkan agama Hindu, dan menumpas kaum
yang benar-benar beriman. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Kita harus
menumpas orang Hindu agar tidak bangkit kembali."
Tekad Aurangzeb menakutkan Isa. Dia percaya bahwa dirinya sendiri adalah pembela
keimanan, Pedang Tuhan yang sebenarnya. Babur, Akbar, Jahangir, dan Shah Jahan
juga memercayainya, tetapi tidak seperti ini, tidak seperti ini.
"Kalau begitu, tidak akan ada kedamaian dalam hidup Anda," kata Isa. "Jika Anda
mengobarkan perang terhadap rakyat Anda, mereka juga akan mengobarkan perang untuk melawan
Anda. Singgasana akan guncang dan jatuh, karena ia hanya berdiri di atas fondasi
yang dibangun oleh Akbar, dan diteruskan oleh kakek serta ayahmu. Mereka
mengeluarkan suatu hukum agar semua diperlakukan dengan adil. Jika Anda menebar
kebencian, Anda akan menerima kebencian juga. Apa yang Anda lakukan akan bergema
seiring waktu, seperti gema peristiwa masa lampau. Tidak ada celah konsekuensi
bagi tindakan Anda. Aurangzeb akan menjadi sebuah nama yang dibenci oleh
generasi-generasi berikutnya."
"Kau berbicara seperti si tolol Dara."
"Mungkin aku juga tolol, Yang Mulia."
"Kalau begitu, aku hanya membuang waktu. Kau boleh kembali ke ayahku dan
menyampaikan pesanku-dia harus menyerahkan benteng kepadaku."
"Dia akan menolak."
"Jangan bicara atas nama Sultan, Tolol."
"Dan jangan bicara seolah-olah Anda sudah menjadi sultan, Yang Mulia."
"Kelancanganmu membuatku marah. Selamanya aku tak akan pernah mengingat jika kau
menggendongku saat kanak-kanak."
Isa kembali ke benteng dan melapor kepada Shah
Jahan. Dia sudah menerka bagaimana hasilnya; Shah Jahan menolak.
"Kita harus memberi Dara beberapa waktu lagi.
Bahkan saat ini, dia sedang menyiapkan pasukan. Aku tahu dia akan
menyelamatkanku." "Tapi, dia tidak bisa mengalahkan Aurangzeb, Yang Mulia. Hanya keahlian Anda
yang bisa melakukan itu, dan semua itu terperangkap di dalam dinding-dinding
ini. Dara tidak memiliki cukup pengalaman."
"Ah, tapi Tuhan ada bersamanya. Kau selalu mengungkit-ungkit masalah, Isa.
Apakah Aurangzeb memberi tahumu apa yang akan terjadi padaku?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Dia berusaha membunuhku. Aku tahu itu."
Takhta, dia berbisik pada dirinya sendiri, dan selama sesaat, dia berpikir jika
suaranya terdengar seperti suara Khusrav. Seharusnya dia menurut kepada
Arjumand. Gopi, Ramesh, dan Savitri berkumpul bersama di gubuk mereka. Jalanan sepi,
keheningan menggantung bersama debu. Mereka telah melihat pasukan mengepung
benteng. Mereka tidak mengetahui apa yang sedang terjadi; tampaknya guntur akan
segera menggelegar di atas kepala mereka. Selama dua hari, mereka terus
bersembunyi, seperti yang dilakukan semua orang di kota. Kemudian, pada hari
ketiga, karena kelaparan, Gopi memberanikan diri ke pasar untuk membeli makanan.
Dia pergi dengan cepat, sembunyi-sembunyi, tetapi para prajurit tidak
memerhatikannya. Seorang pria tinggi yang berpakaian sederhana,
dikelilingi oleh pengawal, memasuki pasar. Dia mungkin seorang biasa, tetapi
dalam sikapnya terlihat kekuasaan besar. Dia berhenti, dan memandang sekeliling
dengan sikap menghina dan berkuasa.
"Siapa itu?" Gopi bertanya kepada seorang prajurit.
"Pangeran Aurangzeb, putra Sultan."
Dua ulama Muslim mendekati sang Pangeran dan membungkuk dengan hormat. Wajah
mereka memancarkan ketaatan yang sangat dalam. Orang ketiga mengikuti, membawa
sebuah karung goni. Gopi mengamati mereka mengambil karung goni itu dan
melemparkan isinya ke kaki Aurangzeb. Gopi merasa jantungnya sakit saking
terkejut. Di sana, masih dihiasi berlian, masih teroles kum-kum, masih
terbungkus dalam kain sutra, tergeletak Durga karya ayahnya.
Rantai berlian sudah dilepaskan dan diserahkan kepada seorang budak dan para
ulama mengambil sebuah palu besar berkepala besi. Aurangzeb menggenggamnya
dengan kedua tangan dan mengayunkannya di atas kepala. Dengan kekuatan dahsyat,
dia mengayunkannya ke arca Durga dari marmer itu, membuatnya pecah berkeping-
keping. Melihat serpihan-serpihan marmer tersebar di antara debu, untuk pertama kali
dalam hidupnya, Gopi merasakan sebuah ketakutan yang sangat dalam dan tak
beralasan. Dan perasaan itu diikuti oleh kebencian terhadap Aurangzeb, yang
mengalir deras bagaikan gelombang air sungai.[]
21 Kisah Cinta 1032/1622 Masehi Arjumand Kekasihku harus mengucapkan selamat berpisah kepada Bairam, dan itu hampir
menghancurkan hatinya. Hewan tua yang sudah tergores-gores itu telah menjadi
teman yang paling dia cintai dan percayai, sama lembutnya dengan Isa, sama
setianya dengan Allami Sa'du-lla Khan, dan di peperangan, dia sama beraninya
dengan Mahabat Khan. Tetapi, kesetiaannya yang tangguh akan berujung pada sebuah
penolakan yang hebat apabila dia dibuat kesal atau diburu-buru. Itulah alasan
terpenting mengapa kami harus meninggalkannya saat ini. Tampaknya, ia mengerti
bahwa kami memang harus berpisah; ia melingkarkan belalainya di sekeliling tubuh
Shah Jahan dalam rangkulan yang penuh kasih dan air mata berlinang di matanya
yang keriput. Ia telah membawa kekasihku pergi ke seluruh penjuru negeri tanpa
mengeluh, telah ikut dalam pertempuran yang tak terhitung jumlahnya, dan selalu
berani, bagaikan kesatria yang sesungguhnya. Shah Jahan menepuk belalainya dan menangis
seperti seorang anak kecil; dia memohon kepada mahout-yang setiap saat dalam
hidupnya adalah untuk mematuhi perintah sang pangeran-untuk mengurus sahabat
lamanya, menjaga dan merawatnya.
Keheningan daerah ini yang tidak alami menggaungkan setiap suara, sehingga
rencana kabur kami seakan-akan terdengar sangat keras. Meskipun orang-orang
hanya berbisik, sepertinya mereka sedang berteriak. Kelelahan akibat tenaga
mereka terkuras di peperangan panjang, mereka bangkit dan naik ke atas pelana
kuda, membangunkan unta-unta yang bertemperamen buruk, melipat shamiyana,
mengisi muatan ke kereta, meninggalkan yang terluka, meriam, dan gajah-gajah.
Ketika kami meninggalkan perkemahan, sekali lagi Shah Jahan menoleh ke belakang
di atas pelananya. Bairam mengangkat belalainya yang hitam ke arah langit dan
menjeritkan tangisan kepedihan, kemarahan, dan kehilangan yang begitu
mengerikan. Pasti jeritan itu menyebar ke seluruh penjuru negeri, untuk memberi
tahu rakyat bahwa pangeran mereka kabur karena kalah.
Dataran ini begitu kosong, berwarna abu-abu keperakan. Cahaya bulan memudarkan
warna sebenarnya perbukitan dan pepohonan yang ungu kusam, bebatuan besar dan
ngarai-ngarai, membuat mereka bagaikan sebuah ilusi. Kami berjalan di dalam
kabut, dan bergerak di dalam kegelapan.
Kami tidak bisa melihat ke mana kami pergi, atau dari mana kami berjalan.
Hanya anak-anak yang menyambut kepergian kami dengan keceriaan mereka. Mereka
dibangunkan oleh Isa, dibantu berpakaian, dan meskipun sedikit mengeluh, mereka
menikmati kegairahan dan kerahasiaan kepergian kami. Anak-anak perempuan
memegangiku dengan ketakutan. Dara, putraku yang tertua, menerima kekalahan kami
secara filosofis, meskipun belum mengerti apa artinya itu. Lengan-lengan
kecilnya di sekeliling leherku memberiku kenyamanan dan kasih sayang. Shahshuja
tampak acuh tak acuh dan tidak menampakkan emosi; Aurangzeb tetap terbangun, dan
ketika kami bergerak keluar dari Burhanpur, wajahnya menegang. Dia menerima
kekalahan ini sebagai penghinaan pribadi. Matanya berkilat, tetapi dia tidak
meneteskan air mata. Dia juga tidak mencari kenyamanan maupun memberikannya.
Hanya lima ribu penunggang kuda, para prajurit yang loyal, bergerak bersama
kami. Sisa pasukan itu, bagaikan asap yang tertiup angin, menyebar pada malam
hari. Beberapa akan kembali ke Deccan, beberapa ke desa mereka di utara.
Kekasihku tidak lagi mampu menyatukan mereka. Dia tidak lagi mampu membayar
mereka, dan mereka tidak bisa menerima alasannya. Aku tidak ragu, banyak yang
akan bergabung dengan Mahabat Khan; sang Mughal Agung akan membayar mereka
tinggi untuk memburu putranya.
Saat fajar, kami sudah berjalan bermil-mil. Pada siang hari, hawa panas kembali
menyengat, menusuk kuda-kuda dan manusia, membuat jalan kami silau dengan baju
zirah, pedang, perisai, senapan musket, dan kain-kain alas. Kami tidak bisa
beristirahat, seperti orang-orang dan hewan-hewan yang kami lalui, yang berteduh
di kerindangan pohon. Kabar kekalahan sampai di telinga kami dengan cepat. Semua
mengetahuinya. Desa-desa tertutup, sepi; kami melihat beberapa orang yang
ketakutan saat mengamati kami mendekat dari dalam, dan berdoa agar kami tidak
mendatangi gubuk mereka yang reyot. Tanah ini tampak terpencil, terselubung
kedamaian yang menipu, tetapi aku tahu, kedamaian itu jauh sekali dari kami.
Kesultanan yang tak terbatas telah mengerut menjadi segenggam tanah. Ke mana
kami akan pergi, ke mana kami akan bersembunyi" Tanah ini tidak menyediakan
tempat persembunyian; mata Jahangir menusuk ke setiap celah dan sudut. Tidak ada
tempat rahasia; selalu ada mata yang melihat, telinga yang mendengar, lidah yang
berkhianat. Kekalahan kami sangat mencekam. Kami terus bergerak ke selatan.
Selama dua hari dua malam, rombongan kami bergerak perlahan, menyakitkan, setiap
langkah lebih waspada daripada sebelumnya. Kuda-kuda berjatuhan, dan mereka mati
sambil mendesah berat. Para prajurit berjalan kaki, menoleh ke belakang dengan
ketakutan karena melihat debu yang diterbangkan pasukan Mughal. Cakrawala masih
terlihat jernih. Kekasihku memimpin di depan, mencari-cari tempat perlindungan di bumi ini. Tidak
ada yang bisa ditemukan; istana-istana tertutup, benteng-benteng dipalangi. Para
rana, nawab, amir, pejabat, semua mengabaikan kehadiran kami, seakan-akan
Jahangir telah merentangkan tangan dan menutup mata mereka. Aku tidak bisa
menyalahkan mereka. Kemurkaan sultan atau ketakutan pangeran-tidak ada pilihan.
Setiap hari, dia kembali dengan kelelahan dan putus asa yang tergambar jelas di
wajahnya. Debu menyelimuti dari turban hingga ujung jari kakinya, mengubah warna
kulitnya, mengecilkan kekuasaannya yang sebelumnya membanggakan menjadi kekakuan
yang menyeramkan. Aku tahu, aku adalah beban baginya, sebongkah batu yang
terseret-seret di kakinya.
"Pergilah. Kau bisa lebih cepat tanpa kami."
"Tidak." Dia berbaring di sampingku, beristirahat sejenak di bawah keteduhan
keretaku; kami saling mendekat. Matanya berwarna merah karena debu dan
kelelahan, dan aku mencucinya dengan lembut, menyeka wajahnya.
"Kita akan selamat. Tidak akan ada bahaya yang mengancam kita. Baik Sultan
maupun Mehrunissa tidak akan menyentuh ujung rambut kita sekalipun."
"Aku tahu." Seulas senyuman tersungging di wajahnya yang kelelahan, sedih, yang
tampak tidak tertahankan. "Mereka tidak akan melanggar hukum Timurid. Aku yang
telah melanggarnya."
"Itu masa lalu. Kita tidak bisa mengubah yang sudah terjadi."
"Kalau begitu, kau tidak akan menyalahkan aku?"
"Kita sama-sama bersalah. Kita tidak boleh memikirkan hal itu lagi. Khusrav
sudah meninggal. Kau masih hidup. Kau harus selamat."
"Aku tidak bisa meninggalkanmu. Atau, kau ingin ditinggalkan?"
"Tidak. Tapi, kami memperlambat pergerakanmu."
"Mahabat Khan hanya dua hari di belakang kita." Dia tersenyum penuh kasih.
"Macan tua itu memberiku waktu. Dia pasti mengetahui lolosnya kita, meskipun
kita sudah menyelinap diam-diam. Jahangir mengirimkan Parwez untuk bergabung
dengannya." "Bukan Shahriya" Itu akan memberinya sedikit pengalaman," aku berkata dengan
pahit. "Mehrunissa tidak ingin membahayakan nyawanya. Seorang calon sultan harus tetap
aman, tersembunyi di harem." Dia menciumku. "Apakah kau baik-baik saja?"
"Ya, selalu jika aku ada di pelukanmu," aku menjawab dengan tidak jujur, tetapi
itu membuatnya senang dan dia memejamkan mata, beristirahat di sampingku, di
dalam kereta. Dia tertidur dan aku memerhatikan. Garis-garis kelelahan itu masih ada di
wajahnya, istirahat singkat tak akan menghilangkannya. Aku mencoba melicinkan
garis-garis itu dengan jariku, tetapi tanda kelelahan segera muncul kembali, dan
dia berbalik. Aku tahu, penampilanku juga sama saja.
Meskipun aku tidak berperang, aku merasa jika aku remuk-redam di dalam. Tubuhku
sakit; dan gemetaran. Aku belum pulih benar dari persalinan yang terakhir; dan
prosesnya sulit. Setiap anak menyebabkan luka di tubuhku, untuk memulihkan diri
setiap kali terasa semakin lama. Dengan kelahiran Dara, aku bisa kembali aktif
dan ceria dalam memulihkan kesehatanku. Tetapi, saat ini aku semakin melankolis.
Aku hanya ingin tidur dan beristirahat, untuk menjatuhkan diri di kenyamanan hangat hamam yang menyegarkan, saat angin sepoi menurunkan suhu
tubuhku dan aku dapat terbaring tanpa bergerak. Berapa lama" Berapa lama lagi"
Aku tidak bisa menepis layar keabadian yang terbentang di antara kami.
Shah Jahan terbangun saat senja. Dia tidak tampak lebih segar, tetapi khawatir;
dia memimpikan sosok-sosok Jahangir, Mehrunissa, Mahabat Khan, Parwez, dan
pasukan berkuda yang terus menghantui.
"Ke mana kita harus pergi?"
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu. Tidak ada yang mau menyembunyikan kita. Mungkin kita bisa
kembali ke Burhanpur. Aku masih memiliki kekuasaan di sana."
"Tapi untuk berapa lama" Pasukanmu pasti telah memberi tahu mereka bahwa kita
kalah. Pangeran-pangeran Deccan akan siap berkhianat dan menyerahkan kita kepada
Jahangir untuk menjilatnya."
"Semua pangeran akan berkhianat, bukan hanya mereka yang ada di Deccan." Dia
mendesah. "Mahabat Khan akan mengira bahwa kita kembali ke Burhanpur. Jika kita terus ke
barat, mungkin kita bisa menemukan perlindungan dari salah seorang pangeran
Rajput." "Yang mana" Jaipur bergabung dengan Mahabat Khan. Malwarjuga."
"Kalau begitu kita akan ke Mewar."
"Karan Singh akan selalu ingat penaklukan ayahmu dengan tanganmu sendiri."
"Dia juga akan ingat kebaikan hati kita kepadanya. Aku akan mengirimkan seorang
pembawa pesan untuk memintanya memberi kita perlindungan dari ayahku. Dia
mungkin merasa senang karena bisa membangkang perintah Sultan."
"Atau membunuh kita."
"Semua orang bisa melakukan itu, Cintaku. Pengkhianatan adalah sifat alamiah
semua manusia. Aku tidak akan memercayai seseorang yang mengatakan bahwa itu
bukan sifat alamiah. Keselamatan kita tergantung kepada hasrat atau kehadiran
kita, dan dua-duanya berada di luar kendali. Mereka bisa berubah dari menit ke
menit, hari ke hari. Suatu hari kita mungkin bisa disambut, keesokan harinya
ditolak, tergantung badai yang berkecamuk di hati dan pikiran manusia. Mereka
akan menatap kita dan berpikir: apa yang bisa kita dapatkan" Pikiran itu akan
selalu ada dalam benak mereka siang dan malam, dan saat mereka mengamati kita,
kita harus mengamati mereka. Apakah aku berharga bagi mereka" Apakah tidak" Aku
tidak bisa menjanjikan kekayaan dan
kehormatan yang besar, tetapi mereka tahu, semakin putus asa seorang pangeran,
ia akan semakin murah hati."
Wajahnya memancarkan keputusasaan akan kata-kata yang diucapkan. Sebuah titik
terkecil di bumi ini bagi kami tampak seperti tempat tak terbatas untuk
bersembunyi. Kami hanya bisa menerima kemurahan hati seorang manusia. Jika
hatinya tak tergoyahkan, kami akan tetap tersembunyi selamanya; jika hatinya
goyah, mungkin kami akan diserahkan dalam keadaan terantai.
"Kirimkan seorang pembawa pesan ke Karan Singh kalau begitu. Dia mungkin akan
menawarkan tempat bagi kita. Tapi, apa lagi yang bisa kita lakukan?"
"Tidak ada. Aku juga akan menyuruh Allami Sa'du-lla Khan dan para prajurit yang
akan kita tinggalkan untuk terus berjalan ke selatan, menuju Burhanpur. Mahabat
Pendekar Pedang Sakti 4 Wiro Sableng 139 Api Cinta Sang Pendekar Cakar Maut 2