Pencarian

Kisah Cinta Abadi 7

Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari Bagian 7


Khan akan mengikuti mereka sementara kita berbelok ke barat menuju Mewar."
Hanya seratus penunggang kuda yang menemani kami dalam perjalanan. Sisanya terus
bergerak ke selatan di bawah pimpinan Allami Sa'du-lla Khan. Selama sebulan,
atau jika mungkin lebih lama, mereka akan menuntun Mahabat Khan, Parwez, dan
pasukan Mughal menjauh dari Mewar sebisa mungkin. Kemudian, mereka akan
berpisah, dan setelah melepaskan diri dari pengejaran, mereka akan bersatu
kembali dan bergabung dengan pangeran mereka di Udaipur.
Kami tidak lagi tampil seperti rombongan pangeran kesultanan, dengan putri dan
keluarga istananya. Tetapi, setelah melepaskan pakaian dan perhiasan mewahnya,
Shah Jahanku tampak mirip seorang pejabat rendahan yang bepergian untuk
mengunjungi kerabatnya yang kaya dan berkuasa. Memang dia mirip pejabat
rendahan, karena hanya memiliki seorang istri" Para prajurit juga tidak lagi
mengenakan seragam berwarna khas pemimpin mereka, tetapi tampak bagaikan para
dacoit. Kami maju dengan kekhawatiran yang berkurang, karena telah mengetahui
bahwa pasukan Mughal bergerak ke selatan, tetapi masih dengan kewaspadaan yang
sama. Suba-suba yang kami lalui adalah daerah kekuasaan Mughal dan semua
kerajaan Rajput berada di bawah perintahnya. Kami memulai perjalanan saat senja
dan beristirahat saat fajar, bersembunyi di bawah bayangan bukit-bukit dan
hutan. Kami membangun perkemahan di ngarai-ngarai atau hutan-hutan belantara,
tersembunyi dari matahari dan pandangan mata manusia.
Anak-anak menderita. Mereka tidur dengan gelisah, dan ketidaknyamanan kami
membuat mereka lemah. Mereka terisolasi, bertengkar, berkelahi dan berbaikan,
memilih musuh dan sekutu bagaikan raja-raja kecil. Dara dan Jahanara akan
bergabung untuk melawan Aurangzeb dan Raushanara, dan kadang-kadang Shahshuja
dan Aurangzeb akan bergabung. Tetapi, Dara dan Aurangzeb tidak pernah bersatu.
Mereka hanya memilih saudaranya yang bisa bergabung ke sana kemari. Shah Jahan mengizinkan
anak-anak lelaki untuk menunggang kuda bersama para prajurit; itu adalah hal
yang akan mereka pelajari sebelum mendapatkan pendidikan tata cara pertempuran
yang sebenarnya. Aurangzeb paling pemberani; Dara memilih berada di dekat Isa,
dan beberapa buku masih kami bawa bersama kami. Semua anak membaca Quran, Babur-
nama, dan Jahangir-nama. Sungguh suatu ironi yang pedih karena kami membawa
bukti cinta bagi Shah Jahan, sementara kami dikejar-kejar oleh pasukan yang haus
akan darah. Di perbatasan Mewar kami bertemu dengan Sisodia Karan Singh dan pasukan
berkudanya. Karan Singh turun dari kuda dan menyentuh lutut Shah Jahan; mereka
berangkulan dengan penuh kasih sayang. Kekasihku tidak bisa menyembunyikan
kelegaan karena telah menemukan sekutu di dunia yang terisolasi ini.
"Kalian boleh tinggal selama yang kalian inginkan," Karan Singh berucap.
"Aku hanya akan tinggal selama keselamatan kita semua bisa terjamin. Kami
membutuhkan istirahat. Arjumand sangat letih dan lemah, dan aku harus memberinya
waktu untuk memulihkan kekuatannya."
"Dia akan beristirahat di istanaku di dekat danau, di Jag Mandir. Keberaniannya
juga sama seperti leluhurku, Ratu Padmini, yang memilih menjadi pemimpin para
perempuan untuk melakukan
jauhar daripada diambil sebagai tawanan. Aku akan menghormati Arjumand
sebagaimana aku menghormati leluhurku."
Tentu saja, aku mengetahui legenda Ratu Padmini. Tiga abad yang lalu, Raja
Pathan, Ala-ud-din Khilji mendengar kecantikan Ratu Padmini yang tak terkira.
Dia adalah istri dari paman rana yang berkuasa, Bhim Singh. Ala-ud-din Khilji
menyerang Chitor dan berkata bahwa dia akan menarik pasukannya mundur jika dia
diperbolehkan untuk melihat Padmini. Seorang Muslim tidak mungkin bisa melihat
seorang putri Hindu secara langsung, tetapi untuk berdamai dengan Khilji dan
menghindari peperangan, Rana mengizinkan Raja Pathan untuk melihat bayangan
Padmini di sebuah cermin. Khilji begitu terpesona dengan keelokan Padmini,
sehingga dia melanggar janjinya dan menggandakan kekuatan untuk menyerang
Chitor. Tetapi, ketika dia hampir mencapai kemenangan, sang putri memimpin semua
perempuan Rajput untuk bersembunyi ke dalam gua bawah tanah, dan mereka
melakukan jauhar. Para pria Rajput kemudian mengenakan jubah saffron mereka dan
tewas dalam pertempuran. Kami meninggalkan debu, tanah kotor, dan jalanan keras di belakang dan dibawa ke
istana yang bagaikan sebuah awan marmer mengambang di atas air. Istana ini
beratap rendah dan damai di permukaan danau, dan ketika sampan-sampan
membawa kami menuju istana, aku tidak bisa lagi membayangkan pengungsian yang
lebih damai daripada ini. Aku menikmati keheningannya, percikan air yang
menerpa, angin sejuk menyapa kulitku yang terbakar, marmer dingin di kakiku, dan
udara tanpa debu yang mencekik.
Jag Mandir bukanlah seperti bangunan Hindu secara arsitektur, melainkan bangunan
Muslim. Kekasihku memerhatikannya dengan sangat tertarik, dan setelah kami
berada di dalam istana, dia menghabiskan beberapa hari untuk menjelajahi setiap
sudut istana dengan ditemani Karan Singh. Sang Sisodia telah memerhatikan istana
batu paras merah di Lai Quila, dan istana Akbar yang sama indahnya meskipun
tidak lagi digunakan, di Fatehpur Sikri. Batu paras merah tidak ada di sini,
jadi dia menggunakan marmer. Cahaya yang bermain di permukaan batu dan pantulan
bangunan di permukaan air dengan sempurna membuat kekasihku bahagia. Ketika
bulan bersinar, saat kami berada di balkon untuk memandang ke pantai di
kejauhan, pemandangan berubah menjadi keperakan. Shah Jahan akan menatapnya
selama berjam-jam, dan jatuh cinta dengan keindahannya.
Selama berhari-hari dan berminggu-minggu, kami beristirahat dalam kedamaian.
Pertempuran, kekalahan, kerasnya perjalanan kami, saat ini terasa jauh dan tidak
nyata. Ini adalah realitas yang kami alami: kami tidak bisa mencari yang lain.
Ketika terbangun dalam cahaya lembut yang bersinar di kamar kami, mandi dalam
kenyamanan hamam, berbaring dalam keadaan harum dan beristirahat dengan angin yang
menyejukkan tubuhku hingga senja, dan kemudian mendengarkan para penyanyi yang
melantunkan kisah para pangeran Rajput yang perkasa dengan keberanian mereka,
serta bagaimana mereka melawan Mughal Akbar-begitulah hari-hari kami berlalu.
Saat istana sudah hening, kami akan berbaring bersama dan bercinta, hingga kami
kelelahan dan puas. Kelembutan dan hasrat Shah Jahan tidak pernah berubah, tidak
pernah berkurang. Kami tidak pernah membicarakan masa depan kami; karena kami
tahu, kami tidak memilikinya. Saat-saat Shah Jahan menjadi putra mahkota
kesultanan Hindustan telah luput dari perbincangan kami. Kami hanya hidup untuk
masa kini, menikmati keindahan bulan, bintang, keelokan langit malam, warna-
warni fajar dan senja. Tetapi, kami tahu bahwa ini semua hanya impian. Jauh di
tepi cakrawala, Mehrunissa mengancam. Meskipun Karan Singh
menyembunyikan kami, pihak lain memiliki mata dan mengetahui keberadaan kami di
Jag Mandir. Kami mendengar bisikan-bisikan tentang perlawanan terhadap
Mehrunissa, dan ayahku menulis pesan bagi kami bahwa para pejabat sedang
tenggelam dalam ketidaknyamanan, tidak senang karena Mehrunissa bersikeras
mengejar Shah Jahan kekasihku.
Aku tahu, Shah Jahan berusaha untuk menyembunyikan kekhawatiran dariku. Tanpa
menyadari aku yang sedang memerhatikan, dia akan
mengerutkan wajah dan menatap kesultanan yang mengelilingi kami dengan penuh
kerinduan. Pada hari keseratus pengungsian kami, Allami Sa'du-lla Khan datang.
Dia tampak lebih kurus dan lelah. Dia telah menuntun Mahabat Khan sejauh mungkin
ke selatan, hingga ke Mandu, kemudian pasukan Mughal yang telah merasa bahwa
mereka tertipu, telah kembali dan mulai mencari kami. Tak lama lagi, mereka akan
menemukan persembunyian kami. Aku menghabiskan setiap hari dalam ketakutan yang
mencekik, merasa ngeri karena kami harus lari lagi dari pulau persembunyian
kami. Setiap malam, aku selalu berdoa agar kami diberi sehari lagi untuk hidup.
Kekuatanku kembali pulih, tetapi perasaanku menjadi suram lagi ketika aku
menemukan diriku mengandung sekali lagi. Ah, jika saja kita bisa memisahkan
kenikmatan dari konsekuensinya, tentu kita bisa merasakan betapa manisnya
kebahagiaan dan kenikmatan cinta. Aku tidak memberi tahu kekasihku; wajahnya
telah berkerut dan semakin tirus sementara dia menantikan bahaya mendekat.
Pada malam hari, saat kami tertidur, Isa memanggil kami, dan meskipun masih
mengantuk, kami bisa merasakan kegentingan dalam suaranya. Dia menggenggam
lentera dan di bawah cahaya kuning yang pucat, aku melihat anak-anak telah
berkumpul bersama, menggosok-gosok mata mereka untuk menghilangkan kantuk. Dia
telah menyiapkan anak-anak tanpa membangunkanku, untuk memberiku waktu istirahat
lebih lama. Mahabat Khan yang lihai telah kembali ke Ajmer,
dan saat ini bergerak cepat menuju Udaipur.
"Dia hanya sekitar satu hari dari sini," Karan Singh berkata saat kami terburu-
buru menyusuri koridor; bayangan kami terentang jauh di belakang, enggan untuk
meninggalkan kedamaian ini. "Pasukannya berderap dan tidak akan berhenti untuk
beristirahat hingga mereka mencapai pantai itu. Aku akan mengirimkan pasukan
untuk menahannya." "Tidak. Kau telah cukup membantu kami. Waktu sehari lebih lama daripada yang
kami butuhkan. Kami akan lolos dari kejarannya lagi."
Tidak ada bulan di langit pada malam kepergian kami. Angkasa begitu gelap dengan
gumpalan awan yang siap menurunkan hujan, dan Jag Mandir hanya berupa sesuatu
yang pipih dan tidak berbayang di permukaan air. Tidak ada pantulan, tidak ada
keindahan, dan kami tidak bisa lagi melihatnya meskipun belum mencapai pantai.
Istana itu sudah menjadi kenangan. Semua hanya impian semata. Perasaan tak
berdaya menghantam begitu tiba-tiba.
Kami bergerak di bawah musim hujan. Hujan turun dengan deras, memudarkan dunia
di sekeliling kami. Kami bergerak dalam sebuah kelompok yang rapat dan tidak
bersemangat, terasing dari makhluk hidup lain. Kami terus bergerak mencari
tempat perlindungan yang kering dan nyaman. Debu telah berubah menjadi lumpur,
dan arus sungai menjadi bergelora. Mereka menghantam, menerpa dengan dahsyat ke
tepian, menghancurkan dan merenggut semua kehidupan di kedua sisinya, membanjir
ke daratan, menjadi sebuah danau raksasa yang menenggelamkan desa-desa dan ladang-
ladang. Air penuh dengan kematian; sapi, lelaki, perempuan, anak-anak, anjing
liar; bau bangkai mereka memenuhi udara. Kerusakan lain, bukan hanya mayat-
mayat, tetapi pepohonan yang tumbang, tanah dan lapisan yang becek, mencekik
kami. Lumut dan jamur tumbuh di dipan-dipan yang lembap, shamiyana tercabik,
pakaian kami robek dengan mudah.
Seluruh dunia penuh keringat, panas, dan hujan. Bahkan rambutku pun terasa
seperti rontok dari kepalaku; menusuk-nusuk wajah dan belakang leherku, bagaikan
akar yang mencengkeram tanah tanpa daya.
Shah Jahan Aku tidak bisa bergerak ke utara; ayahku menunggu kami, aku tidak bisa bergerak
ke timur; Mahabat Khan berpacu mengejar kami. Aku tidak bisa bergerak ke barat;
Persia sedang berperang melawan kami. Mungkin, untuk menyakiti Jahangir,
Shahinshah bisa memberi kami perlindungan, sebagaimana yang mereka lakukan
kepada kakek buyutku Humayun. Tetapi, bergerak semakin menjauhi ayahku adalah
tindakan tolol. Akan terlalu lama untuk kembali dan mengklaim singgasana setelah
kematiannya. Aku harus tetap berada di dalam perbatasan kesultanan.
Jadi, kami bergerak ke selatan. Di Deccan, kami
akan menemukan perlindungan, meskipun hanya sementara, agar Arjumand bisa
beristirahat. Dia bisa saja tetap berada di Jag Mandir, dalam perlindungan Karan
Singh, tetapi aku tak bisa membayangkan akan kesepian tanpa kehadirannya dalam
pelarian yang panjang dan tanpa akhir ini. Aku membutuhkan rasa nyaman darinya,
keberaniannya, cintanya: aku tidak bisa mengharapkan itu semua dari orang lain
di dunia ini. Jika dia tidak ada, aku benar-benar sendirian; tanpanya, aku
sangat tak berdaya. Saat aku menatap wajahnya yang memukau, mendengar suara
lembutnya yang bagaikan sutra, yang masih mengingatkanku akan mengepulnya asap
dupa, merasakan sentuhan jari-jarinya di wajah dan bibirku, aku selalu bisa
melupakan kekalahan kami dalam sekejap, dan selama satu menit, satu jam,
masalahku terlupakan. Dia tidak pernah mengeluh atau memprotes, sementara
pasukanku mulai melakukan hal itu. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Mereka
mengikuti putra bi-daulat Jahangir dan imbalan mereka hanya sedikit.
Pengkhianatan bersembunyi di hati semua orang, kecuali di hati Arjumand.
Jalan yang kami tempuh berkelok-kelok. Kami tidak bisa menyeberangi sungai yang
meluap, jadi kami bergerak ke utara dan selatan untuk menemukan tempat
penyeberangan. Tempat istirahat kami adalah gubuk-gubuk di desa, benteng yang
tidak lagi digunakan, dan gua. Dalam ketidaknyamanan itu, Penakluk Dunia bisa
berkuasa. Hujan sudah mereda, dan matahari menyinari bumi dengan terik. Selama beberapa
hari, kami berjalan menyusuri dataran hijau lembut yang dipenuhi bunga, semak-
semak, dan hewan-hewan yang baru lahir. Saat-saat indah ini terlalu singkat.
Kami telah lepas dari terpaan hujan, dan hanya untuk dihancurkan oleh panas.
Kami membuka baju zirah kami yang berkarat dan hanya membawa pedang serta
perisai, pertahanan yang hampir tak berarti untuk menghadapi pertempuran. Hari-
hari berlalu tanpa arti; mereka datang dan pergi, kami bergerak lebih jauh ke
selatan. Pada hari kesembilan puluh, kami mencapai perbatasan luar Mandu.
Kami tidak dapat bergerak lebih jauh. Arjumand mengalami pendarahan. Hakim
mencoba menghentikan pendarahan itu semampunya, dan melarang dia bergerak. Aku
berdoa. Pendarahan itu terhenti, tetapi bayi kami meninggal. Aku meratap, bukan
menangisi si bayi, tetapi menangisi Arjumand, yang begitu pucat dan lelah. Jika
aku bisa memberikan nyawa dan darahku kepadanya, aku akan melakukan itu. Aku
tetap berada di sisinya selama berhari-hari, tidak memedulikan bahaya. Sepuluh
hari berlalu hingga dia bisa duduk kembali; Isa dan aku membopongnya dan
memberinya makan. Perlahan-lahan, warna kulitnya kembali cerah dan kekuatannya
pulih. Kami tidak bisa bergerak hingga dia pulih kembali.
Aku tidak layak untuk mendapatkan kemewahan itu. Allami Sa'du-lla Khan datang
kepadaku, ditemani oleh seorang prajurit yang telah diutus
untuk menyampaikan pergerakan Mahabat Khan.
"Yang Mulia, Mahabat Khan beberapa hari di belakang kita. Dia sudah mendekati
Indore." "Arjumand tidak bisa bepergian."
"Dia harus bisa."
'"Harus1" Kau mengatakan 'harus' kepadaku, ketika aku berkata bahwa dia tidak
bisa" Maafkan aku, temanku, karena memberimu perintah seolah-olah aku ini
seorang pangeran." "Memang begitu, Yang Mulia," Allami Sa'du-lla Khan tersenyum getir. Giginya
merah karena paan. Dia telah semakin kurus, seperti kami semua; kegemukan hanya
akan terjadi di istana. Berapa lama aku telah mengenalnya" Sepertinya sudah
berabad-abad, dan kesetiaannya tidak pernah goyah. Aku tahu dia hanya memiliki
sedikit kekayaan, dan aku terus menerus terkejut karena dia begitu setia
terhadap seseorang yang jatuh miskin seperti aku. Mehrunissa pasti akan
memberikan imbalan besar untuk pengkhianatannya.
"Suatu hari, Anda akan menjadi Padishah. Hingga saat itu, kita harus terus
berlari. Kita tidak dapat bergerak ke selatan. Mahabat Khan sudah mengirimkan
satu detasemen ke sana, di bawah perintah saudara Anda, Parwez. Kita tidak bisa
kembali. Kita hanya bisa bergerak ke timur atau ke barat, dan hanya ada satu
jalan sempit untuk keluar dari tanduk banteng Mahabat Khan."
"Kau menyarankan kita menyerah?"
"Tidak. Siapa yang mengetahui apa yang akan dilakukan Mehrunissa" Ayahmu tidak
akan melukaimu, tetapi Mehrunissa bukan keturunan Timurid. Dia bisa membujuk ayahmu
untuk mencabut nyawamu." Shah Jahan mengangkat bahu. "Aku menyarankan kita
bergerak ke barat." Kami tenggelam dalam keputusasaan. Pilihan itu juga berbahaya. Aku merasakan
penyerahan diri begitu membebani hatiku.
Seorang prajurit mendekat saat kami sedang berkumpul, dan di belakang seorang
prajurit muncul seorang pria kecil dan kurus. Dia maju beberapa langkah.
"Yang Mulia, lelaki ini berkata, dia ingin menolong Yang Mulia."
Aku menatap wajahnya yang berjanggut. Dia membalas tatapanku dengan berani,
menunggu untuk dikenali. Pakaiannya sudah usang, turbannya berdebu. Dia berdiri
dalam sikap seorang lelaki yang terbiasa membawa senjata, siaga, waspada, dan
cekatan. "Siapa kau" Mengapa kau ingin menolongku?"
"Pangeran Shah Jahan tidak mengingat saya" Tidak apa-apa. Itu adalah suatu
kejadian tidak penting dalam hidup seorang pangeran besar."
"Kau mencemoohku dengan pujianmu?"
"Tidak, Yang Mulia. Saya tidak akan menghina orang yang telah menyelamatkan
hidupku." Dia melihat bahwa aku masih kebingungan. "Nama saya Arjun Lal.
Beberapa tahun yang lalu, saat Anda bepergian ke Burhanpur, Anda melewati
seorang lelaki, adiknya, dan sepupunya. Mereka akan dihukum mati karena telah
berencana membunuh seorang thakur. Anda mendengar permohonan keadilan saya, dan malah memerintahkan
agar sang thakur dihukum mati."
"Shabash. Aku ingat. Apakah dia dihukum mati?"
Lelaki itu tersenyum getir, "Tidak oleh para petugas. Aku disiksa, kemudian
dilepaskan. Thakur itu diizinkan untuk hidup . sebentar."
"Aku tidak ingin mendengar lebih jauh. Biarkan itu menjadi rahasiamu. Bagaimana


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku bisa menolongmu saat ini?"
"Sayalah yang bisa menolong Anda. Saya bisa menuntun Anda menemukan jalan yang
aman. Saya mengenal dengan baik jalan-jalan dan lembah-lembah ini; semua adalah
rumah saya. Saya tahu sebuah tempat bagi Anda untuk beristirahat hingga keadaan
aman bagi Anda dan sang Putri untuk bepergian."
Aku tidak memiliki pilihan. Pada malam hari, dengan hati-hati dan perlahan, kami
bergerak membawa Arjumand ke timur di atas rath-nya. Orang itu membawa kami
menyusuri jalan berkelok-kelok melewati lembah-lembah,
sungai-sungai yang kering, dan menuju sebuah gua dalam yang tampak tak berujung.
Akhirnya, kami tiba di sisi lain, jauh dari Mahabat Khan dan saudaraku. Mereka
harus mencari jejak kami selama berbulan-bulan dan tidak akan menemukan kami.
Kami beristirahat di sebuah lembah kecil yang tersembunyi, hingga kekuatan
Arjumand pulih. "Saat aku sudah menjadi sultan, datanglah dan mintalah apa yang kau inginkan.
Pasti akan kukabulkan." "Jika bisa bertahan hidup selama itu, Yang Mulia, saya akan mendatangi Anda
hanya untuk memohon keadilan. Saya adalah seorang petani, dan saya ingin kembali
ke tanah saya." "Aku akan mengingat apa yang kau lakukan bagi kami."
Bagaimana aku bisa menandai dan menghitung hari demi hari, bulan demi bulan,
tahun demi tahun" Dengan cepat kami mendapatkan perlindungan dan kenyamanan,
seperti orang yang tertidur lelap. Kami hidup dengan apa yang bisa kami curi
dari kota-kota dan desa-desa. Saat ini, para pangeran yang pernah kami perangi
dan telah takluk memberiku dukungan karena kepentingan mereka. Setelah mereka
sudah tidak merasa ada kepentingan lagi, mereka mengenyahkanku. Pasukanku
mengembang dan menyusut, tergantung persekutuan yang bisa kuciptakan. Aku, Shah
Jahan, memohon bantuan dari orang-orang kejam dan tidak penting, para lelaki
yang tidak adil. Aku memberi kasih sayang berlebihan, sangat berterima kasih
kepada semua yang menyediakan atap di atas kepala kami, makanan bagi perut kami,
tetapi dalam hati aku berjanji akan menghukum pengkhianatan.
Kami bergerak ke arah timur, beristirahat sebentar dan mengumpulkan perbekalan
kami yang hanya segelintir, hingga kami mendengar Mahabat Khan dan saudaraku
semakin dekat. Jumlah pasukan di bawah pimpinan mereka tidak pernah berkurang-
lebih dari tiga puluh ribu anggota
pasukan berkuda, lima puluh gajah perang, tiga belas meriam, dan tak terhingga
banyaknya unta yang membawa cadangan perbekalan. Mereka bergerak dengan penuh
martabat, perlahan dan mantap, dalam keyakinan bahwa akhirnya mereka akan
mengalahkan, menaklukkan, kemudian tenggelam.
Di Surguja, jauh di dalam perbukitan, aku bertempur dengan Mahabat Khan lagi.
Bukan karena pilihanku, tetapi karena pengkhianatan. Pertempuran ini terjadi
saat musim dingin kedua. Kami menikmati keramahan Nawab, tuan rumah yang baik
dan murah hati. Dia adalah seorang penikmat dan pemuja musik, dan setiap malam
kami mendengarkan para lelaki dan perempuan yang berkumpul di istananya untuk
menghiburnya. Dan apa yang tidak dia berikan kepada kami" Hadiah, makanan, taman
untuk berjalan-jalan, kuda, gajah. Dia tidak berekspresi berlebihan, tetapi
peduli, seolah menganggapku anak lelakinya sendiri; dia sudah tua dan hanya
memiliki anak perempuan. Dia memiliki banyak istri, yang melayaninya sesering
yang dia inginkan dan sebatas kemampuannya, tetapi sayangnya dia tidak memiliki
ahli waris lelaki. Aku yakin bahwa dia menyayangiku, dan akan tetap berada di
kerajaan terpencil itu selama musim dingin jika Malik Ambar tidak mengirimkan
peringatan. Ambar adalah jenderal Abyssinia yang memimpin pasukan gabungan para
pangeran Deccan yang telah kutaklukkan bertahun-tahun lalu, dan musuh lamaku telah mencegat pembawa
pesan yang kembali ke Surguja. Si pembawa pesan memberi tahu Mahabat Khan tempat
persembunyian kami. Ambar mengirimiku pesan bahwa Mahabat Khan sudah semakin
mendekati kami. Tetapi terlambat. Bahkan ketika kami terburu-buru pergi dari keramahan Nawab,
pasukan Mughal sudah berada lima atau enam kos dari Surguja. Mereka telah
meninggalkan gajah-gajah dan meriam mereka untuk bergerak semakin cepat. Aku
tidak bisa menghadapi pasukan berkuda yang begitu besar dengan mengharapkan apa
pun selain kekalahan. Aku mengirim Arjumand, anak-anak, dan Isa untuk meneruskan
perjalanan. Mereka harus bergerak cepat dan tidak berhenti hingga aku dan
pasukanku bergabung kembali dengan mereka. Di mana kami bisa bertemu, aku tidak
bisa memperkirakan. "Mereka terlalu banyak, Yang Mulia," Allami Sa'du-lla Khan memperingatkan. "Kita
juga harus bergegas."
"Kita akan tertangkap. Yang paling baik kita lakukan adalah memberi mereka
sengatan kecil, seperti seekor lalat yang menggelisahkan gajah. Perbukitan ini
adalah satu-satunya keuntungan kita. Tidak mungkin bagi pasukan besar seperti
mereka bertempur di bukit-bukit dan ngarai-ngarai."
"Apa bedanya itu" Kita hanya memimpin dua ribu lima ratus anggota pasukan.
Berapa banyak yang akan mundur saat melihat sebesar apa pasukan
yang akan mereka hadapi?"
"Tapi, kita akan menyerang dengan cepat. Aku belajar dari Malik Ambar, bagaimana
sebuah pasukan kecil dapat mengganggu pasukan raksasa. Kita akan bersembunyi di
bukit-bukit-ya, seperti para gerilyawan, kita akan memukul mereka dengan cepat,
lalu mundur. Itu akan membingungkan mereka, memperlambat gerakan mereka."
Kami membagi pasukan kecil ke dalam lima pimpinan, masing-masing lima ratus
penunggang kuda, jumlah yang sangat kecil dibandingkan pasukan yang mendekati
kami. Tetapi, sebuah sungai bisa dibelokkan oleh sebatang pohon kecil yang
melintang menahan arusnya. Kami tidak akan bertempur, tetapi menyerang tiba-
tiba, bergerak cepat untuk menghantam sisi-sisi pasukan musuh, dan, sebelum
pasukan itu berbalik, kembali mundur ke ngarai-ngarai yang tak bisa mereka
capai. Pasukan Mughal telah tiba, dan aku tidak bisa menahan kepercayaan diriku
menguap. Pasukan itu sangat mengesankan, disiplin dan terkendali di bawah
pimpinan kehebatan Mahabat. Bagaimanapun, seperti pasukan-pasukan besar lain,
mereka tampil dengan arogan karena merasa tidak terkalahkan.
Aku menyerang sisi kanan, memotong dan mengacaukan para manusia dan kuda-kuda,
dan saat komando diberikan untuk menyerangku, aku berbalik dan mundur ke lembah-
lembah yang gelap. Kemudian, komandan-komandan lain, satu per satu, menyerang
sisi-sisi berbeda monster kaku yang
hanya bisa menerkam, tetapi tidak bisa menghancurkan serangga-serangga yang
mendengung di sekitarnya. Selama tiga hari tiga malam, meskipun merasa takut dan
kehilangan sejumlah besar kuda dan prajurit, kami mengacaukan Mahabat Khan. Pada
hari keempat, kami mundur, dengan harga diri yang sama seperti ketika kami
berderap maju. Saat ini, setelah beristirahat di lapangan datar, aku berharap
bisa bertempur di daerah terbuka.
Aku bertemu kembali dengan Arjumand dan anak-anakku sepuluh hari kemudian di
Jaspur. Mereka sama khawatirnya dengan aku. Anak-anak, dengan penyesuaian cepat
mereka yang khas kanak-kanak, telah terbiasa berada dalam situasi menekan,
perjalanan menyusuri tempat-tempat yang menyulitkan, malam-malam tanpa tidur
saat melewati desa-desa yang sedang terlelap dan bukit-bukit yang mencekam. Kami
harus berhenti selama beberapa hari, karena kami menunggu kelahiran seorang anak
lagi. Anak itu lelaki, dinamai Murad, dan kami terkejut karena dia bertahan
hidup. Tetapi, tidak ada waktu lagi untuk bersantai, Arjumand sendiri masih
tidak mengeluh. Kami kehilangan tiga ratus lima puluh prajurit dalam
pertempuran; itu adalah kehilangan yang besar. Para prajurit yang terluka
ditinggalkan di Jaspur, kemudian kami bergerak lebih jauh ke timur. Mahabat Khan
akan kembali, mungkin dengan pasukan yang lebih kecil, karena dia adalah
seseorang yang cepat belajar ilmu peperangan.
Daerah ini membantuku, tetapi memperlambat perjalanan kami saat ini. Bukit-bukit
curam dan lembah-lembah dalam menyulitkan gerakan kami. Kami hanya bergerak
beberapa kos setiap harinya, memutar dan menerobos, bagaikan seekor ular buta
yang mencari jalan keluar.
1035/1625 Masehi Pada musim dingin ketiga, kami mencapai Bengal. Daerah ini tidak mengalami musim
dingin. Bengal panas dan lembap, tanah-tanah pecah oleh sungai-sungai kecil yang
tak terkira jumlahnya, semua tidak bisa dilewati kecuali dengan membayar perahu-
perahu kepada para pemilik kapal. Arjumand tidak tahan dengan iklim ini. Dia
jatuh sakit, demam datang dan pergi, serta gemetaran seperti sedang terbaring di
atas salju daerah utara. Keringatnya membuat dipan lembap, dan bersama dengan
keringat, kekuatannya juga menguap.
Aku diberi tahu tentang sebuah benteng di tepi salah satu sungai. Benteng itu
menyediakan kenyamanan, obat, dan karena tempat itu adalah jangkauan terjauh
Jahangir, aku mencari tempat peristirahatan bagi Arjumand. Tempat itu kecil,
dibangun dengan dinding-dinding batu bata yang memiliki celah-celah untuk
meriam, dan menghadap ke arah laut. Laut sendiri berada di luar jangkauan
pandangan kami, tetapi kapal-kapal besar dengan tiang-tiang tinggi mengambang di
permukaan air di balik dinding. Aku tidak pernah melihat kapal besar seperti ini
sebelumnya. Benteng ini juga tidak
seperti benteng kami; bentuknya kaku dan tidak dihiasi apa-apa. Orang yang
membangun benteng ini tidak memiliki perasaan keindahan, hanya memikirkan
kegunaan semata. Tetapi, benteng ini akan memberikan perlindungan dan tempat
peristirahatan bagi Arjumandku.
Isa Pangeran Shah Jahan, Allami Sa'du-lla Khan, dan aku pergi bersama lima puluh
prajurit berkuda. Benteng itu terdiri dari beberapa bangunan rendah dan, di
setiap sudutnya, ada gereja mereka. Ada beberapa orang dari daerah kami yang
bisa ditemui, tetapi yang lain adalah para feringhi. Mereka berpakaian tebal
yang menguarkan bau tubuh mereka, karena mereka bukan orang-orang yang percaya
akan kekuatan air yang membersihkan. Di mataku, mereka tidak ada bedanya dengan
orang-orang yang pernah menghina Agachiku bertahun-tahun yang lalu di Agra.
Mereka semua berjanggut dan membawa jezail.
Mereka tidak memandang Shah Jahan dengan ramah. Dia menunggangi kudanya dengan
tegak, tidak memedulikan ketidakramahan yang mereka tunjukan. Selama bertahun-
tahun dalam situasi yang menekan, orang-orang tidak akan dapat mengabaikan
kekuasaan seorang pangeran, yang sudah menjadi bagian dari tubuhnya. Kekuasaan
itu melekat pada seseorang, dan terlihat meskipun oleh seorang yang tidak peduli
sekalipun. Tetapi, orang-orang ini tidak memperlihatkan penghargaan
mereka kepada Shah Jahan; wajah mereka keras dan dingin seperti udara yang
panas. Komandan benteng itu adalah seorang pria tinggi kekar, tidak bertutup
kepala, dengan rambut yang tergerai ke bahunya. Dia ditemani oleh pendeta-
pendeta yang kecil, misterius, dan waspada, yang mengenakan baju hitam dari
leher hingga mata kakinya. Mereka mengingatkanku kepada para mullah; kekerasan
hati berkilat di mata mereka. Di leher, mereka memakai seuntai salib kayu yang
mereka mainkan tanpa henti. Mereka tampaknya lebih berkuasa daripada sang
komandan, dan kesombongan mereka terlihat dari tatapan mencemooh ke arah
Pangeran Shah Jahan di atas kudanya. Sang komandan memberi penghormatan
sekenanya, karena dia mengetahui siapa yang datang kepadanya. Para pendeta tidak
berusaha untuk menunjukkan penghormatan.
"Aku ingin meminta waktu untuk berlindung di benteng Anda," Shah Jahan berkata
kepada sang komandan. "Istriku sakit, dan aku diberi tahu bahwa di sini Anda
memiliki obat yang bisa menyembuhkannya."
Sang komandan bermaksud hendak menjawab, tetapi tanpa permisi, seorang pendeta
maju dan langsung berkata kepada sang Pangeran. "Aku tidak melihatnya. Aku hanya
melihat para prajurit."
"Aku bicara jujur," Shah Jahan menyahut dengan sabar. "Istriku berada di kereta.
Kami akan menjemputnya, tetapi kalian tidak boleh menatap wajahnya. Kami sudah
berjalan lama, lama sekali, dan anak-anak membutuhkan istirahat di sini."
Perlahan-lahan, lebih banyak feringhi yang berkerumun, menatap sang Pangeran
dengan campuran rasa penasaran dan kebencian. Mereka tidak mencoba
menyembunyikan kesombongan mereka. Aku tidak mengetahui berapa banyak yang
tinggal di benteng ini, sepanjang tepi sungai. Mereka menyembah seorang
perempuan, dan memaksa semua orang yang datang untuk melakukan hal yang sama.
Aku tidak pernah bisa mengerti, mengapa manusia harus memaksa orang lain untuk
beribadah seperti mereka. Apakah itu muncul dari ketakutan-bukan keyakinan"
Ketakutan akan kesendirian, kecurigaan bahwa Tuhan mungkin ada jika mereka
membayangkanNya, dan keyakinan bahwa dengan meningkatkan jumlah mereka, itu akan
membuat mereka yakin bahwa mereka bukan orang tolol"
"Mungkin saja," kata si pendeta pelan, sambil mendongak. "Tapi itu tergantung
kepada Pangeran sendiri."
"Aku akan melakukan apa yang kau inginkan."
"Kalau begitu, kau harus datang ke tempat ibadah dan mengucapkan terima kasih
atas keselamatanmu. Bunda yang terberkati akan menunjukkan kasih sayangnya yang
besar." "Pangeran tidak bisa melakukan itu," sahut Shah Jahan. "Aku tidak memintamu
beribadah di masjid-masjid kami. Mengapa kau memintaku untuk berdoa di tempat
ibadahmu?" "Itu syarat dari kami. Jika kau tidak mau memenuhinya, kau harus pergi." Dia
berbicara seolah-olah memenangi suatu skirmish, dan dia ingin melihat apa yang akan
dilakukan Shah Jahan. "Obatnya juga akan tersedia bagi istrimu. Pikirkanlah
keputusanmu." Shah Jahan menatap sang komandan dengan penuh rasa ketidakpercayaan; pria itu
hanya mengangkat sebelah bahunya sedikit dan membiarkannya jatuh lagi. Dia telah
diperintah oleh sang pendeta. Sang pangeran mengalihkan tatapannya ke arah sang
pendeta. Matanya semakin gelap dan kelelahannya menguap. Dia memerhatikan si
pendeta: seorang lelaki gemuk dengan janggut kemerahan, wajahnya berwarna
seperti tomat busuk, dan matanya selalu berkedip-kedip. Tetapi, di sekitar
mulutnya, terlihat kekuatannya. Bibirnya mengatup dan tampak tegas, tidak
menampakkan kelemahan. Shah Jahan menatap tajam, tetapi hanya untuk mengingat
wajah lelaki itu. "Apa yang akan kau tawarkan jika aku berpindah keyakinan?" Shah Jahan bertanya.
Aku tahu, kesopanannya hanya ada di permukaan; di dalam hati, dia murka. "Selain
obat yang kami inginkan?"
"Perlindungan," si pendeta menjawab dengan tegas.
"Ah . perlindungan." Shah Jahan bertanya-tanya mendengar kata itu. "Perlindungan
dari apa" Bisakah tuhanmu membuat semua kesulitanku menghilang" Apakah
perlindungan semacam itu?"
"Perlindungan dari dosa-dosamu. Saat kau mengaku dosa, kau akan dimaafkan dan
kau akan mengalami kegembiraan."
"Tapi, bagaimana jika aku ... berbuat dosa lagi?"
"Dengan mengakui dosamu, kau akan dimaafkan. Tapi, kau akan mengerti bagaimana
sifat dosa itu dan berhenti melakukannya."
"Sungguh tidak mudah bagi orang sepertiku untuk mencegah diri dari perbuatan
dosa. Tapi, tampaknya itu adalah penawaran yang adil. Setiap dosa dihapuskan.
Dan berhala yang kau sembah itu yang memberi pengampunan?"
"Itu bukan berhala," si pendeta menukas tajam. "Perawan Maria adalah simbol
Tuhan Yang Mahakuasa."
"Dia sangat mirip dengan berhala umat Hindu. Kau menaunginya dengan sutra juga.
Apa bedanya" Aku tidak melihat perbedaan. Aku bisa memasuki sebuah kuil dan
menyembah, lalu semua dosaku akan diampuni. Pengampunan ini ditentukan olehmu.
Apakah perawanmu penuh dengan pengampunan?"
"Kau mencemoohku."
"Dan kau menipuku, dan menganggap bahwa Pangeran Shah Jahan seperti seorang
tolol. Aku meminta perlindungan, dan kau melakukan tawar-menawar. Kesehatan
istriku bukanlah saman di pasar. Karena aku membutuhkan pertolonganmu, kau pikir
kau bisa membuatku berpindah keyakinan. Ayah dan kakekku memberikan kebebasan
kepada kaummu untuk melakukan apa yang kalian inginkan-sebenarnya kau telah
mencoba siasatmu ini di istana Mughal Agung Akbar juga, dan dia kehilangan
kesabaran-dan kau bahkan tidak memiliki
kesopanan untuk memperlakukanku dengan kepedulian yang sama terhadap orang lain
yang seagama dengan kalian. Aku bahkan tidak melihat secangkir air pun
ditawarkan, sesuai dengan tradisi semua orang di negeri ini, kepada pengemis
paling miskin sekalipun."
"Dan apa yang akan kau lakukan, Pangeran Shah Jahan?" si pendeta merasa geli
karena kemarahan Shah Jahan yang dingin. "Mengirimkan pasukan" Kau memiliki bala
tentara yang terlalu kecil. Ayahmu akan merasa senang jika bisa mengetahui di
mana kau bersembunyi. Sekarang pergilah, sebelum kami mengirimkan pesan kepada
Mughal Agung untuk memberi tahu bahwa putranya bersembunyi di suba ini."
"Dan istriku?" "Kami tidak bisa menolongnya."
Pendeta itu berbalik dan berjalan menjauh. Yang lain berdiri sambil menatap kami
dengan sikap menantang, menunggu reaksi Shah Jahan. Dia tidak mengatakan apa-
apa, tetapi perlahan-lahan memandang berkeliling ke arah benteng dan wajah-wajah
yang memerhatikan kami. Dia memutar arah kudanya, dan kami mengikuti Shah Jahan
untuk bergabung bersama rombongan utama. Dalam perjalanan singkat itu, dia tidak


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengucapkan sepatah kata pun, tidak menoleh untuk memandang gerbang benteng yang
tertutup, atau orang-orang yang sedang mengamati kami. Aku tidak bisa mengira-
ngira apa yang sedang dia pikirkan, wajahnya sebeku batu. Anak-anak datang untuk
menyambut kami; anak-anak lelaki ingin menjelajahi benteng yang aneh itu. Dia
mengabaikan mereka semua, kecuali Dara. Saat turun dari kudanya, Shah Jahan
menggamit Dara dan mereka duduk bersama Arjumand di rath-nya. Perhatian dan
kasih sayangku tak sebanding dengan perhatian dan kasih sayangnya, tetapi aku
membawa yang lain sedekat mungkin ke benteng, sebisa mungkin berusaha agar tidak
membahayakan mereka. Sungguh mustahil untuk bisa memperkirakan temperamen
feringhi-feringhi itu. Aurangzeb mengangkat lengannya agar aku bisa
mengangkatnya, supaya dia bisa melihat lebih jelas. Dia menoleh sekali lagi
untuk menatap rath yang tertutup.
"Ayahmu sedang memiliki banyak pikiran, Yang Mulia. Mereka membuatnya khawatir
dan tidak memberinya cukup waktu untuk menemanimu, seperti yang dia inginkan."
"Lalu, Dara?" Aku tidak bisa segera menjawab. Aurangzeb menatapku. Kepedihan terlintas,
kemudian selapis kesadaran diri yang lembut menggantikannya. Tidak ada
penjelasan yang bisa memuaskan anak ini, hanya cinta ayahnya.
"Dia adalah putra tertua dan harus diajak berdiskusi. Kalau kau sudah lebih
besar, ayahmu juga akan mendiskusikan berbagai masalah denganmu. Kau harus
ingat, Yang Mulia, bahwa ayahmu bisa meninggalkan kalian semua di Agra bersama
kakekmu. Tapi, dia ingin membawa kalian
bersamanya." "Ibuku yang menginginkan itu."
"Ayahmu juga. Dia tidak bisa mengabaikanmu."
"Mengapa tidak bisa" Allah akan menjaga kita."
Itu adalah jawaban yang aneh. Dia telah mempelajari Quran, seperti saudara-
saudaranya, tetapi keyakinannya lebih kuat daripada yang lain. Allah adalah
satu-satunya yang memberi Aurangzeb kenyamanan, dengan dingin menggantikan
kebutuhannya akan kasih sayang. Kami bergerak ke utara untuk keluar dari iklim
yang buruk dan berat, yang menyelubungi Agachiku bagaikan kafan penuh keringat,
membuatnya kelelahan. Kami menyeberangi Damador dan berbelok ke timur hingga mencapai tepi Sungai
Jumna. Meskipun kami masih jauh dari Agra, pemandangan sungai itu memenuhi hati
kami dengan kerinduan. Kami bisa membayangkan air jernih yang sama mengalir
melewati benteng, menyusuri kota yang akrab. Kami mengingat pemandangan, aroma,
dan teman-teman yang kami miliki di sana. Sudah bertahun-tahun kami tidak
bertemu dengan mereka, dan kami tenggelam dalam keheningan menyedihkan yang
sudah lama kami rasakan. Shah Jahan membenamkan tangannya ke sungai, membiarkan
air dari kotanya, rumahnya, mengalir di antara jemarinya.
Arjumand mandi di sungai; dia bangkit setelah berendam seperti yang dilakukan
orang-orang di Sungai Gangga, lebih segar dan kuat. Kegembiraan
dan tawanya sudah kembali. Dia berbicara tentang segala hal yang dia lakukan
waktu kecil di Agra, berceloteh tentang orangtua dan kakek-neneknya, seakan-akan
dia bisa bertemu dengan mereka kapan saja. Kami belum pernah begitu dekat ke
rumah sebelumnya, dan kami merasa diri kami tertarik ke arah tempat itu.
Keinginan untuk kembali begitu kuat; keinginan untuk beristirahat di istana
sejuk di tepi Sungai Jumna, untuk menunggang kuda dan bermain chaugar di maidan
dekat benteng, untuk duduk saat matahari terbenam sambil menyesap anggur-
kemewahan yang sangat dirindukan oleh Shah Jahan-dan berbincang hingga bulan
muncul dan menyinarkan cahayanya ke seluruh dunia. Betapa jelasnya kami
mengingat detail-detail terkecil dari kehidupan kami sebelumnya; kemudaan kami
adalah sebuah mimpi yang terkenang dan kami saling menghibur dengan menceritakan
dan mengulangi cerita itu lagi.
Shah Jahan memandang ke arah Agra di utara dan menghabiskan berjam-jam berdua
bersama Arjumand. Mereka pasti duduk di tepi sungai bersama-sama, dan kami tidak
ragu-ragu jika dia sudah terlalu lelah untuk meneruskan. Dia ingin pergi ke
utara, melihat dinding-dinding benteng merah yang akrab, bersujud di gerbangnya,
dan masuk ke dalam. Tetapi, itu tidak bisa dilakukan. Mahabat Khan masih mengejar. Pasukan Mughal
yang khawatir Shah Jahan akan menyerang benteng, memblokade jalan kami dan mulai
bergerak ke selatan untuk
menghadang kami. Sekali lagi, jeda itu terlalu singkat; kami kembali berputar
dan bergerak cepat ke selatan. Kami kembali menyusuri rute yang telah kami
lalui, kali ini menghindari benteng feringhi, hingga kami tiba di batas
kesultanan, tepi dunia kami. Di sana, kami pergi ke barat. Kami bergerak di
sepanjang jalan sempit yang bagaikan seutas tali; di satu sisi terbentang
Hindustan, dan di sisi lain adalah tanah tempat aku dilahirkan. Aku sering
menatap ke selatan; desaku itu hanya kenangan samar dalam ingatanku. Hanya warna
hijaunya yang cerah dan kedamaian lembut kehidupan di sana yang teringat di
benakku. Aku tidak membicarakan hal-hal itu kepada Agachiku; kehidupan lampauku
terlalu terpisahkan oleh jarak dan waktu. Aku tahu, aku tidak bisa kembali.
Bagaimana kabar adikku Murthi" Bagaimana kabar Sita" Mereka pasti telah
melupakan aku. Orangtuaku mungkin sudah meninggal. Betapa berbeda dan
membosankannya hidup di sana saat ini. Karma telah merenggutku dari kenyamanan
itu dan menjerumuskanku ke dalam kehidupan yang terus bergulir ini.
Sekali lagi, di dekat Kawardha, Shah Jahan bertempur dengan Mahabat Khan. Itu
bukan pertempuran, hanya skirmish yang singkat, adu pedang, karena kedua pasukan
kelelahan. Kami mundur, dan Mahabat Khan tetap berada di posisinya meskipun dia
mampu membuat kami kewalahan dengan pasukannya yang besar. Seekor harimau pun
akan mundur dari perkelahian setelah memamerkan kekejamannya.
Shah Jahan begitu tenang. Dia duduk di shamiyananya, dan di hadapannya
terbentang secarik dokumen yang dia tulis dengan tangannya sendiri. Dia
menyuruhku memanggil Allami Sa'du-lla Khan dan saat kami kembali, kami berdiri
menunggu sampai dia menyelesaikan suratnya. Surat itu ditujukan kepada sang
Penguasa, Penakluk Dunia, Raja Sungai-Sungai, Raja Lautan, Calon Penghuni Surga,
sang Padishah, Sultan Hindustan, Mughal Agung Jahangir.
"Ayah," Shah Jahan membacanya, tanpa mendongak, "Aku, putramu yang paling
berdosa, memohon ampunanmu. Karena perbuatanku di masa lalu, aku telah
diperlakukan sebagaimana yang layak kudapatkan. Ayah pasti akan berpikir jika
aku adalah putra yang paling tidak tahu terima kasih, yang tidak menghormati
cinta dan penghargaanmu. Beberapa tahun terakhir ini, saat aku menjelajah
seluruh penjuru negeri, aku telah berpikir dalam-dalam tentang sikapku yang
salah dalam menerima kebaikanmu, dan merasa bahwa diriku tidak mampu menjalani
keadaan seperti ini lebih lama lagi. Aku takut terhadap kebencian kita, begitu
juga istri dan anak-anakku, dan kami hanya ingin hidup dalam kedamaian dan
harmoni dengan ayahku yang tercinta. Aku menyerahkan hidupku kepadamu, dan Ayah
bisa melakukan apa yang Ayah inginkan."
Dia menyegelnya dan memberikannya kepada Allami Sa'du-lla Khan.
"Kau harus menyerahkannya secara pribadi,"
perintah Shah Jahan. "Mehrunissa tidak akan mengizinkannya. Aku harus memberikannya kepada wazirnya,
Muneer si orang kasim. Apakah kalian akan dimaafkan atau tidak, semua tergantung
kepada Mehrunissa." "Mehrunissa akan siap untuk mendengarkan. Kekuatan Mahabat Khan telah terlalu
kuat. Setiap tahun, selama pengejaran, dia semakin bertambah kuat."
Allami Sa'du-lla Khan mengangkat bahu. "Mehrunissa bukan ayahmu. Siapa yang tahu
apa yang dia pikirkan tentang dirimu atau Mahabat Khan" Tapi, aku akan
mengerahkan seluruh kemampuanku, Yang Mulia. Aku akan membisikkan penyerahan
dirimu ke setiap sudut istana, sehingga semua tahu kau tidak lagi bersalah."
Kami menunggu dengan tegang di dekat Burhanpur. Tidak mungkin memperkirakan
keberadaan Jahangir. Jika dia ada di Agra, Mehrunissa akan segera menjawab. Jika
dia ada di Lahore, kami harus menunggu, dan jika dia ada di Kashmir, kami harus
menunggu lebih lama. Karena pesan itu membutuhkan waktu yang lama untuk sampai
di tangan kami-seratus delapan belas hari-kami memperkirakan dia berada di
antara Lahore dan Kashmir. Jawabannya tidak ditulis oleh tangan Jahangir, tetapi
oleh tangan Mehrunissa. Kekuasaannya begitu jelas. Dia memaafkan. Kesepakatan
damainya tidak sekeras yang kami kira. Shah Jahan harus menyerahkan benteng-
bentengnya dan menerima jabatan sebagai
Gubernur Balaghat, sebuah suba yang terpencil dan tak berguna.
Shah Jahan juga harus mengirimkan Dara dan Aurangzeb kepada Mehrunissa sebagai
sandera. Shah Jahan segera menerima syaratnya dan menunggu pembawa pesan istana datang
membawa firman, yang menjelaskan kesepakatan damai kami. Saat pesan itu tiba,
Shah Jahan menempelkan dahinya ke kertas itu, menandakan rasa malu dan
kepatuhannya terhadap Sultan. Tetapi, dia masih mengkhawatirkan tipu daya
Mehrunissa yang mungkin membahayakan nyawanya. Karena itu, dia dan Arjumand
memutuskan untuk tetap tinggal di Deccan.
Mahabat Khan mengirimkan sepuluh ribu penunggang kuda untuk menjemput dua
pangeran muda itu. Arjumand memerintahkan aku untuk menemani mereka kembali ke
istana. Dia memeluk mereka dengan kasih sayang yang sama, mencium wajah dan
tangan mereka. Aku melihat ekspresi penolakan di wajah Aurangzeb.
"Kau akan menjaga mereka, Isa. Lindungi mereka dari bahaya."
Ketika kami pergi, Dara sering kali menoleh untuk menatap orangtuanya, tetapi
Aurangzeb tidak sekali pun melakukannya.[]
22 Taj Mahal 1608/1658 Masehi Pengkhianatan, pengkhianatan, pengkhianatan. Kata itu sendiri terasa mengerikan,
busuk seperti terurainya tubuh seorang manusia. Kata itu menggelapkan udara dan
menyesakkan setiap tarikan napas dengan keputusasaan. Kata itu tidak dapat
diusir menjauh; bebannya tidak bisa ditanggung oleh manusia. Pengkhianatan akan
mengubah nasib dan terasa menyiksa sepanjang jalan yang berubah itu. Meskipun
kata itu singkat, konsekuensinya begitu hebat. Jika seorang lelaki yang
dikhianati tidak penting, pengaruhnya hanya akan terjadi pada satu orang, satu
keluarga, satu desa, kemudian memudar dan dilupakan. Tetapi, jika yang
dikhianati adalah seorang pangeran, aksi itu, seperti denyutan di inti bumi
terdalam, akan terus terasa selamanya.
Atau, apakah pengkhianatan adalah hasrat alamiah setiap manusia" Isa mengingat
kepercayaan Shah Jahan: bergantung kepada kepentingan atau ketidakpentingan,
taktya takhta. Apakah kehidupan para raja sekalipun, dengan begitu banyak pemburu keuntungan di
sekeliling mereka, akan menjadi pilihan-pilihan yang pahit"
"Dara. Selamatkan Dara. Selamatkan adikmu," sang Mughal Agung Shah Jahan
memerintah putrinya, Jahanara. "Aurangzeb mencintaimu. Dia hanya akan
mendengarkan permohonanmu, bukan permohonanku. Tuhan mencintai semua yang
kucintai. Ini adalah kutukan dalam hidupku. Aku sangat mencintai dan menjaga
putraku itu, aku berharap dia bisa menjadi sultan dalam keadaan damai, tetapi
tidak ada yang bisa mengungkap rahasia Tuhan, Raja Yang Mahakuasa. Saat ini aku
sudah tidak memiliki kekuatan untuk melakukan apa pun lagi, tetapi aku berdoa
agar dia bisa hidup layak dan bertahan untuk bisa menjadi sultan di seluruh
Hindustan. Siapa yang bisa disalahkan jika takdir mengalahkan perintah seorang
sultan" Apakah itu salah sang sultan sendiri" Karena cintanya, dia melakukan
hal-hal bodoh. Apakah itu kejahatan" Aku terlalu mencintai Dara, sementara tidak
cukup mencintai Aurangzeb. Karena ketidakadilan itu, seorang raja bisa mengalami
kejatuhan-bukan karena pasukan besar yang bisa dia pimpin atau kekuasaan yang
dia miliki, tetapi karena pembagian cinta yang tidak adil. Karena itu, aku akan
dianggap bersalah oleh Aurangzeb; karena itu, aku akan dihukum, dan karena itu
juga, Dara yang akan paling menderita. Ah, jika saja dia bisa lolos, jika saja
dia tidak dikhianati oleh orang-orang yang dia percayai. Dipercaya" Apakah dia
tidak menyelamatkan nyawa manusia yang mengkhianatinya dari kemurkaanku" Aku pasti
akan menghukum mati Malik Jiwan karena kejahatannya. Aku bahkan akan
memerintahkannya untuk diinjak-injak oleh gajah, tetapi Daraku tersayang berdiri
di antaraku dan bangsat itu. Dia memohon agar aku melunakkan hatiku, dan
mendengarkan suara lembut dan pelannya. Aku memaafkan Malik Jiwan. Oh Tuhan,
betapa saat ini aku menyesal karena telah mendengarkannya. Andaikan Jiwan tewas
saat itu, saat ini Dara akan selamat di bawah perlindungan Shahinshah, bukannya
terkurung di penjara bawah tanah Aurangzeb. Karena aksi sekecil itu, seperti
pasir yang bisa membendung sungai, butir demi butir, takdir akan mengubah hidup
manusia. Cepat, Jahanara, cepat. Aurangzeb akan mendengarkanmu. Manfaatkan kasih
sayangnya untuk menyelamatkan Dara. Aku sudah kehilangan Shahshuja, dibunuh oleh
gerilyawan di Bengal, dan Aurangzeb berkhianat dengan menangkap Murad. Hanya
Tuhan yang tahu di mana dia mengurungnya. Empat gajah dengan howdah yang sama
meninggalkan perkemahan Aurangzeb pada saat fajar. Di mana Murad berada" Hanya
Aurangzeb yang mengetahuinya. Dan putra Arjumand tersayang itu telah menghabisi
saudara-saudaranya. Bagaimana mungkin, dari kecantikan dan cinta yang begitu
besar, kejahatan itu bisa terlahir?"
Shah Jahan kebingungan, murung, dan meratap; dia duduk di seberang Sungai Jumna,
menatap ke arah Taj Mahal. Mereka terpisahkan oleh air: keduanya terpenjara di dalam
dinding-dinding marmer. Penjara Shah Jahan adalah dinding-dinding istananya yang
penuh perhiasan. Shah Jahan telah diperintahkan menyerah kepada putranya dalam
waktu tiga hari, tetapi mereka tidak akan dapat berdamai. Aurangzeb masih berada
di luar istana, Shah Jahan dengan kukuh bertahan di dalam. Isa dan Jahanara
berharap agar mereka saling bertemu, untuk bisa berdamai. Akhirnya Sultan
bersedia, tetapi dia memerintahkan para perempuan budak Tartar untuk menunggu
Aurangzeb yang bi-daulat di balik semak-semak. Ketika ayah dan anak itu akan
berpelukan satu sama lain, para perempuan itu akan menyerang. Tetapi bagaimana
bisa, tanpa cinta, kepercayaan bisa timbul" Aurangzeb tetap menolak untuk
datang. Dia berhasil menyadap sebuah pesan dari ayahnya untuk Dara: "Anakku
terkasih, anakku tercinta." Kalimat itu memenuhi tubuhnya dengan perasaan
melankolis yang pahit. Kekuasaan berganti, tetapi cinta tidak. Dia membalikkan
punggungnya ke arah benteng dan mengejar Dara.
"Cepat, cepat," Jahanara memerintah.
Kuda-kuda merasakan cambuk dan berlari kencang; mata mereka melotot kelelahan,
mulut mereka berbusa, dan bulu mereka berkilat bekas lecutan dan keringat. Jalan
dari Agra ke Delhi yang disinari rembulan lurus menuju cakrawala. Delapan
penunggang kuda berada di depan sebagai penunjuk jalan, Isa di samping rath.
Para lelaki, perempuan, dan hewan-hewan yang tidur di tepi jalan itu terbangun
dari tidurnya untuk mengamati kuda-kuda yang berpacu, kemudian kembali tertidur
saat mereka lewat. Sang Mughal Agung Aurangzeb menunggu Jahanara dan Isa di menara benteng Delhi.
Benteng itu telah dibangun oleh ayahnya dan pekerjaannya belum selesai. Kerangka
bangunan masih berdiri di sekeliling sang Sultan ketika dia menatap ke bawah
dari darwaza Delhi. "Kemari dan lihatlah."
Di bawah, kerumunan besar berkumpul. Para prajurit kesultanan membentuk jalan
sempit melewati rakyat yang memenuhi kota, bergelantungan di pohon, duduk di
atap, terdiam dengan muram, dan menunggu. Layang-layang berputar-putar di
angkasa, burung-burung bangkai merunduk dengan harga diri tinggi di tepi sungai.
Angkasa tampak pudar, berwarna biru kusam. Di dalam, sebuah upacara sedang
disiapkan. Seekor gajah yang sakit dan kurus, sisi-sisi tubuhnya penuh dengan
goresan bekas luka, berayun-ayun lemah. Howdahnya terbuka. Di belakangnya, duduk
seorang budak dengan sebuah pedang algojo; kekejaman pedang itu bukanlah
terlihat dari ketajamannya, melainkan dari lapisan kering darah yang telah
mengerak. Gajah kedua masih kuat dan sehat, dan dihias dengan megah. Howdahnya
terbuat dari emas bertatah batu-batu mulia, dan di dahinya ada sebuah penutup
dari emas dan zamrud. Ujung-ujung gadingnya dilapisi emas.
"Jemput dia," Aurangzeb memerintah.
Dara muncul dari penjara bawah tanah, berkedip silau karena melihat sinar
matahari. Dia terikat erat pada seuntai rantai, pakaiannya robek dan usang, debu
mengerak di wajah dan tubuhnya. Dia berjalan pelan dan para prajurit menyeretnya
ke arah gajah yang lemah. Tetapi, dengan harga diri tinggi, Dara tetap tenang.
Isa mengerang. Jahanara meratap. "Adikku, maafkanlah adikku ini. Kejahatannya hanya mematuhi
perintah ayahnya, yang sangat dia cintai. Dia adalah seorang anak yang baik dan
penurut, dan saudara yang baik bagi kita semua. Aku tidak memintamu, aku
memohon, seperti manusia termiskin di tanah ini-lihat, aku berlutut dan mencium
kakimu-bukan untuk kebebasannya, tetapi untuk hidupnya. Penjarakan dia di daerah
paling terpencil dalam kesultanan besar ini. Kurung dia di antara bebatuan di
pegunungan, atau di hutan belantara terdalam. Bangunlah sebuah benteng dan
jagalah agar dia tidak akan pernah lolos, tidak akan pernah melihat wajahmu
lagi, seperti yang telah kau lakukan terhadap adikmu Murad. Kau telah
mengalahkan Dara, membelenggunya dengan rantai, memperlakukannya dengan kejam.
Sekarang, seperti Allah, tunjukkanlah kemurahan hatimu. Kau selalu mengaku bahwa
kau sangat mencintaiku. Lihatlah dia dengan mata cintaku. Biarkan cintamu melembutkan kebencianku. Aku
akan mengabdi kepadamu sepanjang hidupku, dengan cinta dan kasih sayang. Jika
kau mencintaiku, maafkan dia."
"Bisakah cinta berpengaruh dalam situasi seperti ini?" Aurangzeb bertanya


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlahan. "Pada saat-saat tertentu, cinta diperlukan untuk menjaga situasi. Cinta adalah
hal yang paling rapuh, dan jika kita tidak memerintahkan orang lain untuk
menghormatinya, cinta akan hancur menjadi debu. Cinta tidak bisa diperlakukan
kasar." "Jadi, kau akan menggunakan cintamu untuk menyelamatkan adikmu?"
"Apa lagi yang kumiliki" Aku tidak memiliki pasukan, aku tidak bisa menggunakan
senjata. Aku adalah kakakmu. Aku perempuan lajang. Darah kita sama. Aurangzeb,
saat aku terbaring sakit dan sekarat, kau pergi sejauh seribu kos untuk berlutut
di sisiku. Itu adalah bukti kau mencintaiku. Buktikan cintamu sekali lagi
untukku saat ini, ampuni Dara."
"Dan saat aku tiba di sisimu, ayahku memerintahkan aku keluar, bagaikan seekor
anjing paria yang menyelinap ke dalam untuk mengendus-endus dan memohon sedikit
kasih sayang. Aku tidak pernah menerima itu darinya. Apakah aku juga tidak
patuh" Apakah aku tidak menuruti setiap perintahnya" Aku telah melayani ayahku
lebih setia daripada yang pernah Dara lakukan, tetapi karena Dara tidak bisa
melihatku, dia menghalangiku dan ayahku, seperti awan gelap yang menyembunyikan
matahari dari mata pemujanya. Katakan padaku, kakakku tersayang, siapa yang memohon ampunan bagi
Khusrav?" "Ibu kita."
"Apakah itu menyelamatkannya?" Aurangzeb menatap mata Jahanara. Matanya sendiri
tidak berkedip, melekat di wajahnya yang keras, bagaikan arang yang membara.
Mata Jahanara kelabu dan digenangi air mata. Tatapannya goyah dan dia
mengalihkannya. "Apakah itu menyelamatkannya" Ibuku juga menangis, seperti yang kau lakukan saat
ini. Apakah itu menyelamatkan Khusrav?"
"Tidak." "Kalau begitu, mengapa aku harus menuruti permohonanmu saat ini" Taktya takhta.
Itu adalah pertanyaan ayahku terhadap Khusrav-pilihan kejam bagi seorang
pangeran yang buta. Dia tidak memiliki pilihan. Sekarang, aku tidak memberi Dara
pilihan: makam adalah takdirnya. Saat kau melihatnya, ayahku akan ingat jika aku
hanya menirunya." Senyum Aurangzeb yang tipis mencemooh Dara. "Apa lagi yang
bisa dilakukan oleh seorang putra untuk menyenangkan ayahnya, selain
meneladaninya?" Aurangzeb menatap ke halaman lagi. Para prajurit telah mundur selangkah,
melepaskan pegangan mereka terhadap Dara. Dia berdiri goyah tetapi tetap tegak,
menatap berkeliling, saat ini menyadari siapa yang mengelilinginya: para
prajurit, para pejabat, pelayan, budak, algojo, dan, di balik istana, tanpa
kasatmata hadir beberapa perempuan. Meskipun ada banyak sekali manusia, lalat-lalat yang berdengung di
atas kepala mereka terdengar begitu jelas. Mereka hinggap, bergetar, terbang dan
hinggap kembali, menyiksa ketidakberdayaannya. Akhirnya, dia mengangkat kepala
untuk menatap saudaranya, di atas menara darwaza Lahore. Di sebelah kanannya,
kakaknya Jahanara berdiri, tersedu-sedu, berurai air mata, dan tampak lusuh; di
sebelah kirinya, Isa yang setia berdiri dengan sinar matahari yang memantul dari
air mata yang mengalir di pipinya. Aurangzeb sendiri hanya terlihat seperti
sesosok hitam yang menghalangi matahari. Dara mendesah; kerumunan bergoyang
dengan tidak nyaman, dalam kepedulian yang hening.
Itu adalah suatu pertanda buruk. Tetapi, Aurangzeb mengabaikannya. Dia ingin
menikmati, untuk menunjukkan dia gembira; kebencian tidak akan pernah bisa
menghilang begitu cepat, dan tidak ada yang bergolak di hatinya. Perasaannya
begitu membeku dan dingin, tidak mampu berdegup kencang dengan kepuasan karena
kekalahan kakaknya. Dia tidak mampu mengenali Dara, tetapi hanya bisa melihat
seorang asing yang baru saja memasuki hidupnya. Kepalan tangan Aurangzeb
mengencang dan melonggar, seiring denyut nadinya. Dia tiba-tiba menyadari dengan
jelas, bahwa dia membelenggu kakaknya dengan rantai, dalam kebencian, hanya
sebagai sandera bagi cinta Shah Jahan. Kebenciannya bisa mengalahkan
kebutuhannya untuk dicintai, meskipun rasa iri
masih ada, masam dan pahit. Tetapi, ada sedikit emosi yang bercampur dengan
kebenciannya yang menderu. Dia merasa nyaman dengan hal ini. Dia bisa mengampuni
Dara, bahkan bisa membebaskannya. Semua bergantung pada kekuasaannya. Dia adalah
sang Mughal Agung-bukan ayahnya. Semua akan dia lakukan, and ai saja ayahnya
bersedia datang. Apabila Shah Jahan bisa datang dengan cepat ke sisinya, memohon
seperti yang dilakukan oleh Jahanara, sekali saja merengkuhnya dengan penuh
kasih sayang, sama dengan yang dia lakukan terhadap Dara, dia akan memberikan
kehidupan bagi Dara. Anugerah kehidupan ini sudah cukup murah hati; Dara tidak
akan pernah mendapatkan kebebasan, tetapi akan hidup terpenjara di balik
dinding-dinding batu seperti adiknya, Murad.
Aurangzeb mengangkat tangannya.
Dara dibawa ke sebuah podium yang tinggi. Gajah yang terluka mendekat di sisinya
dan Dara diangkat ke howdah yang terbuka, dirantai dalam posisinya. Di
belakangnya, duduk sang algojo, pedangnya terangkat. Sang gajah berayun-ayun
dengan goyah. Para pejabat berjalan dengan membisu. Sang pengkhianat, Malik Jiwan, berjalan ke
lapangan terbuka. Dia adalah seorang lelaki tinggi, berkilauan dan bersikap
angkuh dengan hadiah-hadiah yang telah diberikan oleh Aurangzeb. Dia
mengharapkan sambutan, tetapi terkejut karena keheningan yang mencekam. Dia
ingin naik ke darwaza Lahore,
mencari kenyamanan di sisi Aurangzeb. Tetapi, sang Alamgir, Penakluk Jagat Raya-
Aurangzeb menjuluki dirinya sendiri seperti nama pedang suci-menghentikannya
dengan satu jari. Malik Jiwan mendekati gajah yang dihiasi dengan indah,
kemudian menaikinya. Setelah dia duduk di dalam howdah, gerbangnya terbuka.
Dengan perlahan, dua hewan besar itu melewati gerbang dan menuruni jalan di
antara dinding-dinding tinggi. Para prajurit menoleh sekali, kemudian
memalingkan wajah mereka. Aurangzeb merasa tersinggung dengan sikap mereka.
Apakah Dara, Dara tercinta yang lembut, telah memperlakukan mereka dengan
berbeda saat mereka meraih kemenangan" Dia menatap kakak perempuannya. Jahanara
membuang muka, ekspresinya sama datar dengan wajahnya sendiri. Gajah-gajah itu
melewati gerbang kedua. Kerumunan di kedua sisi bergerak, desahan mereka
terdengar bagaikan badai. Aurangzeb mendengar tangisan pertama, menyedihkan,
ratapan yang menyayat hati. Tangisan itu mulai bergema di mulut setiap orang
ketika Dara melewati mereka, menuju jalan-jalan sempit di kota yang tertutup
tembok. Saat ini pasar-pasar kosong; perdagangan terhenti. Rakyat menangis
dengan keras saat melihat pangeran mereka.
"Mengapa ayah kita tidak datang?" Aurangzeb menoleh ke arah Jahanara.
"Apakah kau akan mengampuni Dara jika bertemu dengan ayahmu?"
"Mungkin. Jika dia memohon kepadaku." Dia mengamati Dara menghilang di antara
kerumunan. "Mengapa dia tidak mencintaiku seperti dia mencintai Dara" Apa yang
kulakukan hingga dia menahan kasih sayangnya kepadaku" Atau, apakah itu
keinginan ibu kita" Ya. Ibu membenciku."
"Kau tidak akan percaya kemampuannya dalam hal itu." Jahanara berkata datar,
acuh tak acuh, terganggu oleh tangisan kerumunan yang semakin keras. Masa
kecilnya telah dirusak dan dihancurkan, terbakar dan bernoda darah. "Ibu kita
akan meratap seperti aku, jika melihat salah seorang anaknya menghancurkan yang
lain. Dia mencintai kita begitu dalam."
Kerumunan meratap untuk Dara dan mengutuk Malik Jiwan. Lolongan kesedihan dan
kemarahan terdengar di seluruh kota, begitu kuat, begitu mengancam. Tamasha
terdengar semakin keras, mereka mendengar para prajurit maju, pedang yang
memukul-mukul perisai, mendorong orang-orang agar mundur. Aurangzeb bergerak
dengan gugup. "Mereka ingin membunuh pengkhianatmu. Mereka akan menentangmu."
"Itu tidak akan terjadi. Mereka akan mengetahui siapa yang berkuasa, bukan Dara
mereka yang lembut, tetapi aku!"
Dia memberi tanda. Seorang prajurit berlari untuk membalikkan iring-iringan itu sebelum bergerak
lebih jauh. Aurangzeb tidak takut kepada rakyatnya, dia takut kepada cinta
mereka bagi Dara. Mereka tidak akan diizinkan
untuk menangis terlalu lama.
"Ayo, kita harus menyambut saudara kita setelah tur kemenangannya di Delhi."
Jahanara dan Isa mengikuti sang Sultan menyeberangi taman, menuju diwan-i-am.
Aurangzeb naik ke podium di atas kerumunan orang, dan Jahanara kembali ke tempat
tinggal terlindung para perempuan. Isa tetap berada di kejauhan. Para pejabat
berkumpul di bawah langit-langit yang berpilar batu paras. Aurangzeb duduk di
awrang emasnya, bersandar ke bantal-bantalnya.
mm Lalat-lalat mengerumuni luka-luka di sisi tubuh sang gajah. Tidak ada yang
membuat mereka bubar, meskipun gajah itu berjalan goyah, berayun-ayun, dan
meskipun kerumunan meratap. Ketika bayangan gajah itu menimpa Gopi, dia mencium
bau busuk, bau kematian; aroma menyesakkan dan jahat yang memenuhi lubang
hidungnya. Dia menahan napas dan mendongak untuk melihat Pangeran Dara. Dia
terkejut, karena sang pangeran juga memandangnya. Tatapan itu tidak berkilat
karena kemarahan atau ketakutan, tetapi datar dan penuh perhatian. Dia seperti
menilai sosok Gopi, dan Gopi merasa dia mendapat anugerah karena bisa
diperhatikan oleh seorang pangeran; kemudian, tatapannya beralih, mencari wajah
lainnya. Apa yang dia cari" Seorang penyelamat" Tidak ada yang bisa diharapkan
dari kerumunan itu, hanya rasa iba dan air mata, dan kekuatan mereka semua tidak
sebanding dengan lapisan baja para prajurit kesultanan, perisai Aurangzeb.
Tatapan Gopi mengabur dan dia juga mulai menangis. Betapa kacaunya nasib para
pangeran dan rakyat mereka! Seperti semua yang melihat, dia menangisi Dara dan
dirinya sendiri. Kekuasaan Dara tidak akan keras, tetapi lembut, penuh
kepedulian, dan di atas semua itu, dia akan bersikap toleran terhadap banyak
agama di tanah ini. Aurangzeb telah mengumumkan rencananya. Seperti Timur-i-
leng, dia akan menjadi Pedang Tuhan. Dia akan menumpas orang-orang dengan sekuat
tenaga; menghancurkan kuil-kuil dan gereja-gereja, dia akan membawa mereka semua
kepada Allah. Kerumunan meratap karena masa depan mereka, mengetahui bahwa
peristiwa pada hari itu akan bergema selama bertahun-tahun kemudian.
Para prajurit berbalik dan gajah-gajah itu berputar perlahan untuk kembali ke
benteng. Ketika Malik Jiwan lewat, Gopi memungut segumpal kotoran hewan dan
melemparkannya ke howdah emas. Lemparan itu mengenai sang pengkhianat, yang
mengerutkan tubuh untuk menghindari sentuhan jijik dan kemarahan rakyat. Seorang
prajurit kesultanan menusuk Gopi dengan gagang tombaknya, tidak keras, tetapi
cukup untuk menghentikan pembangkangannya. Prajurit itu berjanggut kelabu,
seorang lelaki yang agak gemuk, berkeringat karena kepanasan. Helmnya
berkilauan, dan jalinan rantai penutup kepala yang menggantung tampak berkarat.
"Apa yang akan terjadi dengan sang Pangeran?"
Si prajurit memberi isyarat dengan mengacungkan telunjuknya ke leher. Gopi
berkerenyit. Dia adalah seorang Acharya, pemahat dewa-dewa, dan kekerasan
seperti itu membuatnya takut.
Sikap sang prajurit melunak. "Itu adalah karma mereka. Saudara membunuh saudara.
Bagaimana bisa tidak, jika Shah Jahan membunuh abangnya sendiri, Khusrav" Aku
adalah pengawal Khusrav dan melayaninya dengan setia, tetapi saat aku berada di
Burhanpur untuk melindungi dirinya dari sang adik, aku gagal. Kenangan itu
menghantuiku. Shah Jahan adalah pangeran yang pemberani saat itu, kemenangan
bersinar di wajahnya ... hingga hari itu. Istrinya, Arjumand yang jelita, memohon
dan meratap untuk keselamatan jiwa pangeranku Khusrav, tetapi Shah Jahan tidak
mendengarkannya." "Kau pernah melihat Permaisuri?" Gopi tidak percaya, seorang prajurit biasa
pernah melihat wajah Mumtaz-i-Mahal.
"Ya. Sebentar. Dia memiliki mata yang sangat cemerlang, Temanku, dan saat
matanya menatapmu, kau akan merasa terbakar. Matanya membuatmu memimpikan untuk
memilikinya. Aku merasakan hasrat terhadap kecantikannya, dan hal itu membuatku
takut." Prajurit itu bisa mengenang sensualitas dan penderitaan sang Permaisuri. Gopi
hanya bisa melihatnya sebagai sebongkah marmer yang dia pahat.
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Aku tidak tinggal untuk menyaksikan kematiannya. Shah Jahan membebaskanku. Aku
kembali ke desaku, Sawai Madhapur, tetapi tidak bisa menetap di sana lama-lama.
Hujan tidak juga turun, dan daerahku sangat berdebu. Aku kembali untuk melayani
Shah Jahan, dan sekarang melayani Aurangzeb. Tetapi, aku sudah terlalu tua, dan
saat ini semua akan memburuk."
Kerumunan bubar dan para prajurit mengikuti komandan mereka kembali ke benteng.
Gopi berjalan menyusuri pasar yang sepi. Keheningan mencekam menggantung di atas
kota; tiba-tiba, kota itu terasa kosong.
Gopi telah menyusuri tepi Sungai Jumna ke arah Agra. Dia telah dipanggil ke
Delhi oleh si lelaki tua, Chiranji Lal. Dialah yang membangun kuil Hindu di luar
Agra, yang telah menugaskan ayahnya untuk memahat sang dewi, Durga. Saat ini,
dia ingin agar Gopi memahat patung Durga yang lain. Mereka telah mendiskusikan
hal itu, tetapi karena ketidakpastian situasi, belum ada keputusan yang bisa
diambil. Saat ini berbahaya bagi umat Hindu untuk mereka membangun kuil lain,
hukuman dari Aurangzeb pasti akan sangat keras. Mullah-mullahnya memata-matai
rakyat yang berbeda keyakinan dengan ketat, diam-diam melaporkan, bahkan
meskipun hanya melihat kedua telapak tangan yang ditangkupkan untuk berdoa. Gopi
merasa lega karena dia telah lolos dari tugas itu.
Perjalanan ke Agra cukup lama. Dia mengikuti sungai, kadang-kadang berjalan
kaki, dan jika bisa, dia menumpang kereta. Perjalanan itu memberinya waktu untuk
berpikir. Dia merasa tidak nyaman dan tidak yakin. Dia yang bertanggung jawab
akan adik-adiknya; hidup mereka, masa depan mereka ada di tangannya. Mereka bisa
tetap tinggal di Agra, dia memiliki pekerjaan. Makam itu terus-menerus
membutuhkan perawatan, perbaikan, sentuhan-sentuhan tambahan, gerbang-gerbang
yang akan dihiasi marmer. Seorang lelaki dengan keterampilan pasti selalu bisa
mendapatkan pekerjaan. Putri Jahanara sedang berencana untuk membangun sebuah
masjid marmer raksasa di seberang Lal Quila. Tetapi, dia mengingat Aurangzeb
menghancurkan patung Durga yang telah dengan susah payah dipahat oleh ayahnya.
Dia merasa hidupnya sendiri terancam kehancuran. Dia memikirkan kampung halaman
yang dia tinggalkan saat masih kecil, bertahun-tahun yang lalu, meskipun
kenangan itu samar-samar. Dia bisa mengingat ladang-ladang, kedamaian,
kenyamanan dari sebuah keluarga yang terlupakan. Di sana juga akan tersedia
pekerjaan, meskipun tidak dibayar setinggi di sini tentu saja, setidaknya, di
sana dia memiliki status. Di bawah kekuasaan Raja, dia akan memahat Lakshmi,
Ganesha, atau Syiwa. Kemudian, Gopi merasakan kesepian yang mendalam. Usianya
sudah cukup untuk menikah, tetapi karena ibunya sudah meninggal, tidak ada yang
bisa mencarikan pengantin untuknya. Calon istrinya, sudah pasti,
harus berasal dari kasta yang sama dengannya. Kesempatan seperti apa yang
tersedia untuk menemukan satu keluarga Acharya di Agra" Selain itu, adik
perempuannya juga menjadi beban. Usianya juga sudah cukup untuk menikah, dan
lebih baik jika dia lebih cepat pergi ke rumah suaminya kelak.
"Kita akan kembali ke desa kita," dia berkata cepat kepada adik-adiknya saat dia
memasuki gubuk mereka. "Aku akan meminta paman kita Isa untuk mengantar kita.
Dia sudah tua dan saat ini, seseorang harus merawatnya."
Setelah membuat keputusan, Gopi merasa sedikit lega. Setelah makan siang, dia
dan adik lelakinya menyusuri jalan setapak berdebu menuju Taj. Ketika mereka
mendekat, makam itu semakin besar dan tinggi, dan saat mereka mencapai
dindingnya, makam itu membuat mereka merasa kerdil, dengan kemegahannya yang
dingin. Makam itu berkilau di bawah terik matahari, memaksa mereka untuk
menutupi mata mereka dari cahayanya. Makam itu bergetar di udara, bagaikan
terbuat dari sutra yang menggantung. Gopi berhenti, terkesiap. Selama bertahun-
tahun, dia telah terbiasa dengan para prajurit yang menjaga monumen. Hari ini,
monumen itu kosong. Dengan memindahkan prajuritnya, Aurangzeb telah membuat
makam ini menjadi tidak penting. []
Kisah Cinta 1036/1626 Masehi Isa Jahangir mendekat mengamati kami. Dia sedang bersandar di awrang, wajahnya gelap
karena bayangan podium. Aku melihat kilatan di matanya ketika dia membungkuk ke
depan untuk melihat dua anak lelaki ini. Sudah empat tahun dia tidak melihat
cucu-cucunya. Tampaknya dia ingin tahu dan begitu berharap, mungkin ingin
mencari sosok Shah Jahan di wajah mereka.
Panji-panji sutra yang tergantung di diwan-i-am bergoyang diterpa angin sepoi.
Para pejabat berkumpul di belakang pagar bercat merah cerah, bulu-bulu di turban
mereka mengangguk-angguk dan bergoyang ketika mereka menoleh untuk melihat kami
mendekat. Aku mendengar bisikan yang tidak jelas. Bagaimana Jahangir akan
menyambut putranya yang bi-daulat" Dengan kebaikan hati atau dengan kekejaman"
Di sebelah kanan podium, di belakang jali, aku merasakan kehadiran Mehrunissa.
Jahangir hanya akan bertindak berdasarkan keinginan Mehrunissa. Jika Mehrunissa berbicara: Kebaikan
hati, maka itu akan menjadi keuntungan bagi kami. Dan jika tidak ....
Aku mencoba untuk mengetahui perasaannya sebelum memasuki istana bersama Dara
dan Aurangzeb, tetapi tidak ada yang mau menjawab pertanyaanku. Mungkin dia
begitu murka akan ketidakpatuhan Shah Jahan dan keponakannya Arjumand-Arjumand,
darah dagingnya sendiri, yang telah kabur bersama suaminya untuk memberontak.


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia telah mengharapkan persekutuan dari Arjumand, bukan permusuhan.
Gurz-bardar yang tampak serius mendekati pagar kayu dan membuka gerbang. Kami
berjalan ke dalam, dengan kawalannya melewati pagar perak yang berisi para
pejabat tinggi, kemudian masuk ke dalam sebuah pagar emas. Di sana, kami
melakukan kornish kepada Mughal Agung Jahangir.
Setelah empat tahun perjalanan-ketidak-nyamanan, perlindungan yang buruk,
kecurigaan, benteng-benteng aneh, dan kesulitan-kemegahannya bagaikan embusan
dingin bagiku. Aku bisa mencium aroma dingin berlian, mutiara, dan zamrud,
begitu manis dan ringan. Debu dan tanah, teman kami yang setia, telah
tersembunyi di balik karpet-karpet sutra Persia, dan tulang belulang orang-orang
di sekitar kami mengenakan baju yang berupa daging. Aku merasa debu seakan-akan
masih mencekik kerongkongan kami dan tanah masih menyulitkan gerakan kami.
Ketidaknyamanan itu hanya membuat kaku gerakan
kami, seolah-olah kami baru saja turun dari kuda setelah menungganginya dalam
perjalanan panjang. Kami menyadari bahwa kami sedang menatap sekeliling istana
Mughal Agung dengan penuh kekaguman. Dari batas terluar kesultanan hingga ke
pusat, tatapan ke arah matahari sendiri dan perasaan hangat di dekatnya,
merupakan perjalanan mental yang belum selesai. Pasti kami masih berada dalam
impian dan ketika terbangun, kami akan menemukan bahwa diri kami sedang berada
di Burhanpur, bersama Shah Jahan dan Arjumand.
Anak-anak lelaki itu berdiri berjauhan. Dara, yang berusia sepuluh tahun, lebih
tinggi sekepala daripada adiknya, sikapnya lebih bangga dan lebih tegak daripada
Aurangzeb yang berusia tujuh tahun. Dia juga tampak lebih tabah, terlihat
wajahnya gemetar karena air mata yang akan tumpah, namun dengan seluruh
kekuatan, dia menahannya. Mereka mengenakan pakaian khas pangeran, biru pucat
dan turban hijau pucat dari sutra, masing-masing dengan berlian berukuran besar,
takauchiya tebal dari kain sutra yang ditenun rapat dan sulaman benang emas
mengelilingi pinggang mereka. Sandal mereka dihiasi bordir mutiara.
Perjalanan kami dari Burhanpur memakan waktu empat puluh hari, perjalanan lambat
yang dikawal oleh Mahabat Khan. Meskipun mereka berdekatan, putra-putra Shah
Jahan itu tetap saling membisu satu sama lain. Ada perbedaan ganjil pada kedua
pangeran kecil itu: mereka tidak memiliki kesamaan apa pun, kecuali penampilan
fisik mereka. Aku mencoba mendorong mereka agar bisa bersahabat, karena mereka
terlalu muda untuk bermusuhan, tetapi alam sendiri yang mengatur mereka menjadi
bertolak belakang seperti begitu. Seperti Shah Jahan dan Arjumand yang saling
jatuh cinta secepat kilat, Dara dan Aurangzeb secepat kilat dan secara insting-
karena itu adalah bagian rahasia dari sifat alamiah kita-saling membenci. Dari
kedua anak itu, Dara lebih ramah dan penurut. Dia juga berusaha untuk berteman
dengan adik lelakinya itu, tetapi sikap dingin dan acuh tak acuh Aurangzeb
segera membuatnya menyerah. Usahaku juga tidak mampu membuat mereka bersatu. Aku
berpikir, mungkin mereka adalah reinkarnasi dua musuh lama, yang membawa
kenangan lama ke dalam hidup masing-masing saat ini.
Dara adalah pangeran yang ceria; dia mudah tertawa dan menikmati peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Sifatnya lebih mirip Arjumand. Perangainya juga memiliki
kelembutan dan kehangatan seperti ibunya, dan dia lebih merindukan Arjumand
daripada Aurangzeb. Aku juga melihat sebagian sifat Shah Jahan pada dirinya,
bahkan juga sedikit sifat Jahangir. Keingintahuannya tidak terbatas: bunga-
bunga, hewan-hewan, kuil-kuil, orang-orang, misteri Tuhan dengan ciptaan-Nya,
semuanya membuatnya tertarik. Dia sering memintaku menemaninya, karena aku
memiliki banyak pengetahuan tentang tempat-tempat yang kami
lalui daripada sang jenderal tua Mahabat Khan. Baginya, tanah ini adalah
selembar halaman kosong yang harus ditulisi sejarah strategi, penaklukan, dan
peraturan. Dara sering menghindar dari sang jenderal.
Sementara, Aurangzeb memiliki visi yang sempit tentang dunia. Dia adalah seorang
bocah yang tabah, sering kali merasa betah sendirian dan menunggang kuda sambil
membisu di sebelah sang Jenderal. Kadang-kadang, dia juga menampakkan sedikit
keingintahuan, tetapi keingintahuannya itu hanya berupa sejauh mana gerakan para
prajurit yang mengawal kami. Dia akan mendengarkan kisah-kisah menegangkan
tentang peperangan dan penyerangan, tentang tuntutan dan strategi mundur, dan
penaklukan negara lain. Saat jenderal berhenti bercerita, Aurangzeb akan
meminta: lagi. Dia akan menunjukkan ketertarikan khas seorang bocah lelaki terhadap semua cerita itu. Tetapi, dengan cepat dia akan kembali berubah
menjadi diam dan murung. Kadang-kadang, aku melihatnya sedang melirik penuh
kedengkian terhadap kemegahan Mahabat Khan dan kemewahan pengawalannya. Meskipun
itu dia lakukan secara diam-diam, ekspresi yang dia tunjukkan, meskipun dia
masih kecil, terasa mengganggu. Seperti halnya semua Muslim yang taat
bersembahyang lima kali sehari, dan saat Mahabat Khan menunaikan ritual ini,
Aurangzeb melakukannya dengan khusyuk. Tidak ada yang bisa bergerak hingga sang
pangeran menyelesaikan sembahyangnya. Karena kekerasan
hatinya ini, aku berkata: "Dalam peperangan, tidak akan ada waktu untuk
bersembahyang, Yang Mulia." Aurangzeb menjawab dengan tegas: "Dalam peperangan,
pasti selalu ada waktu."
Bahkan di istana pun, Aurangzeb menunjukkan ketidakacuhannya. Selama mereka
menunggu tanda yang diberikan oleh sang kakek, Dara memandang berkeliling dengan
tatapan senang-dia kembali ke dunia yang akrab setelah terasing sekian lama-
tetapi Aurangzeb hanya menatap tanpa berkedip ke arah kakeknya.
Jahangir berdiri dengan kaku, seperti seekor singa tua yang berusaha menegakkan
diri. Tidak ada yang bisa membantu, karena penguasa monarki itu duduk sendirian
di podiumnya dan hanya ketika dia sampai ke tangga terakhir, seorang budak boleh
melangkah maju. Dia telah menua dengan cepat dalam empat tahun ini. Waktu telah
membuat wajah dan tubuhnya membengkak, membuat garis-garis keriput penuh
kekhawatiran di pipi dan dahinya. Kulitnya telah menipis, memerah, dan matanya
yang merah membara dengan lebih gelap. Dia bergerak perlahan, menyeret kaki
kanannya, dan saat ini udara tampak lebih sulit untuk masuk ke dalam tubuhnya.
Meskipun kami hanya beberapa langkah di hadapannya, dia berhenti dua kali untuk
menghela napas, menariknya dalam-dalam, berdengung seperti alat mekanis yang
telah berkarat. Tetapi, sang Mughal Agung tidak kehilangan sedikit pun
kemegahannya. Emblem kesultanan di turbannya-susunan zamrud besar di
atas sebuah bros emas dengan berlian-mutiara di lehernya, gelang-gelang emas di
lengannya, dan sabuk emas di sekeliling pinggangnya, semua menampilkan
kebesarannya. Aroma parfum cendana menguar dari tubuhnya.
Dia berhenti di depan kedua cucunya. Wajahnya sedikit berubah ketika
memerhatikan mereka dengan teliti seperti mengamati burung bangau yang pernah
dia pelajari dengan teliti, meneliti perilaku mereka. Tangannya kaku, jari-jari
bercincinnya tampak bengkok; dan bergetar bagaikan sedang mengalami demam.
"Siapa kau?" dia bertanya kepada Dara. "Dara, Paduka. Putra Pangeran Shah "Aku
tahu putra siapa kau ini. Putra anakku yang bi-daulat." Dia mendesah dengan
berat. "Seorang ayah harus membawa beban pengkhianatan putranya. Dalam usia
tuaku, aku hanya mengharapkan kedamaian. Tetapi, aku harus mengerahkan seluruh
kekuatanku selama empat tahun ini untuk berperang melawan putraku sendiri.
Ayahmu." Dia menatap Aurangzeb, mengabaikan tubuh kaku cucunya. Punkah bulu-bulu
meraknya berayun-ayun di udara hangat, menerpa wajah kami. "Tapi aku senang
karena dia sudah kembali berpikiran waras saat aku masih hidup. Kita mengalami
kedamaian di kesultanan ini, tetapi karena dia dan ketidakpatuhannya, kita
kehilangan Kandahar yang jatuh ke tangan bandit Persia itu." Tampaknya dia ingin
menumpahkan amarahnya, tetapi segera menahannya karena menyadari acara
ini. "Itu adalah masa lalu dan kita harus menerima kehilangan itu, hingga kita
bisa merebutnya kembali." Dia merentangkan tangannya dengan perlahan, seperti
seekor elang yang membentangkan sayapnya yang kuat. "Ke sini."
Dara yang terlebih dahulu menyambut pelukan sang Sultan. Sultan mengecup kedua
pipinya. Aurangzeb mengikuti dan juga menerima kecupan kakeknya. Para pejabat di
belakang kami berteriak, "Shabash, shabash." Dalam teriakan mereka, aku bisa
mendengar kelegaan. Jahangir, dengan perlakuan penuh kasih terhadap darah
dagingnya sendiri, telah menunjukkan kepatuhannya terhadap hukum, apa pun yang
disarankan oleh Mehrunissa. Mehrunissa bukan keturunan Timur.
Anak-anak lelaki itu didudukkan di atas karpet, dan para budak membawa mangkuk-
mangkuk berisi berlian, zamrud, dan batu mirah. Jahangir membenamkan tangannya
ke dalam batu-batu mulia itu dan menuangkannya kepada kedua anak lelaki itu.
Seorang budak lain membawa dua bungkus pedang dari emas dan pulquar besi dengan
pegangan bertatahkan perhiasan; masing-masing anak mendapatkan satu sebagai
hadiah. Khandas yang sama indahnya juga diselipkan ke patkas mereka. Aurangzeb
tidak bisa mengendalikan kegairahannya untuk memeriksa senjata itu, dan tanpa
berpikir, dia mulai mencabut bilah pedang dari bungkusnya. Geraman para prajurit
pengawal Sultan membuatku buru-buru menahan tangan Aurangzeb. Dia memandang
berkeliling dengan terkejut,
perlahan-lahan menyadari fakta bahwa dia hanya berjarak sepanjang sebilah pedang
dengan jantung kesultanan. Kapten Ahadi dengan perlahan mengambil senjata-
senjata itu dan meletakkannya di luar jangkauan Aurangzeb.
"Bagaimana kabar putraku?" Jahangir bertanya kepadaku, mendongak ke atas kepala
anak-anak itu. "Dia mengirimkan cinta dan rasa hormatnya kepada Padishah, Yang Mulia."
"Mengapa dia tidak datang sendiri, kalau begitu?" Jahangir bertanya dengan
kesal. Dia sudah lelah dengan upacara ini dan mulai menunjukkan perasaan tidak
nyamannya. "Yang Mulia, Pangeran Shah Jahan hanya ingin melayani Yang Mulia dengan seluruh
kemampuannya yang terbaik, dan sebagai putra yang patuh, dia merasa tidak boleh
meninggalkan posisinya."
"Burhanpur bukan daerah kekuasaannya. Itu daerah kekuasaanku. Dia harus pergi ke
Balaghat." Dia terkekeh. "Itu adalah tempat menyedihkan bagi seorang putra yang
paling menyedihkan." Dia mulai terbatuk-batuk, berusaha bernapas, hingga hakim
terburu-buru maju untuk memberinya ramuan obat. Jahangir melambai untuk menyuruh
kami pergi. "Bawa mereka untuk menemui Permaisuri sekarang. Aku akan
beristirahat; meskipun tubuhku harus tetap berada di tempat ini, jiwaku
mengembara di lembah-lembah Kashmir yang sejuk." Kemudian, dia menambahkan
dengan tajam: "Aku hanya menyeret diriku sendiri ke sini untuk menyambut
mereka." Kami membungkuk dan dia mundur, bukan ke
podiumnya, tetapi ke gulabar yang terletak di taman.
mm Mehrunissa menerima kami di istana Jahangir. Kami melalui halaman istana berbatu
paras merah yang sangat indah untuk menuju ruangannya yang menghadap ke Sungai
Jumna. Dia berbaring di dipan, punggungnya bersandar ke jali yang menyaring
cahaya matahari dan angin dingin ke dalam ruangan. Dokumen-dokumen kenegaraan
bertumpuk rapi di sisinya, dan di atas meja di hadapannya, ada Muhr Uzak.
Muneer, yang semakin gemuk dan licik, kemakmuran posisinya tampak dari gumpalan-
gumpalan lemak di tubuhnya, berdiri dengan sikap pelayanan berlebihan, tetapi
penuh kecurigaan terhadap kami. Ketidaksukaannya terhadap diriku tidak bisa
disembunyikan, dan aku bisa merasakan kemenangannya.
Meskipun Jahangir semakin tua, Mehrunissa tampak awet muda. Memang, matanya
telah sedikit menggelap, tetapi kecantikannya masih tampak jelas. Rambut
panjangnya yang hitam hingga ke pinggang belum dinodai uban, dan pinggangnya
masih ramping. Kekuasaannya tergambar dalam sikapnya yang tegak, dan dalam
keheningan itu, dia menunjukkan kekuasaan untuk merendahkan orang lain. Kekuatan
adalah kebisuan, karena yang berkuasa tidak perlu bernegosiasi; mereka hanya
perlu memerintah. Senjata itu diam-diam memberinya sebuah ketenangan.
Anak-anak membungkuk, dan seperti Jahangir, Mehrunissa mengamati mereka dari
dekat. Mereka adalah sultan-sultan masa depan, jika Shah Jahan naik takhta
setelah kematian ayahnya. Atau, apakah Mehrunissa menganggap putra dan cucu
Jahangir sebagai pelarian yang gagal, yang harus disingkirkan. Dia masih
mendukung klaim Shahriya dan masih memiliki ambisi untuk memimpin Hindustan,
meskipun belum ada keturunan dari Ladilli. Dia memberi isyarat; kedua anak itu
duduk. Muneer mengantarkan jalebis, mithai, dan lassi. Dara memilih makanan dari
piring emas itu dengan penuh selera; Aurangzeb tidak mengacuhkan makanan-makanan
manis itu dan hanya meneguk lassi. Diam-diam, mereka waspada terhadap posisi
Mehrunissa, dan tampaknya lebih terpesona karena kecantikannya dibandingkan
kekuasaannya. "Bagaimana kabar Arjumand?" tanya Mehrunissa.
"Ini adalah waktu yang sulit baginya, Paduka. Perjalanan tanpa henti membuat
kesehatannya tidak pernah membaik. Tetapi, dia baik-baik saja dan mengirimkan
salam kepada bibinya."
"Salam?" Sebelah alisnya terangkat. "Shah Jahan mengirimkan cinta kepada
ayahnya; Arjumand hanya mengirimkan salam kepada Permaisuri. Apakah dia marah
kepadaku, Isa?" "Saya tidak bisa mengatakannya, Paduka."
"Meskipun kau mengenal setiap sudut dalam jiwanya, bahkan lebih baik daripada
suaminya" Kau selalu bersikap hati-hati dan terlalu bermoral, tidak seperti
Muneer yang akan melakukan apa saja
untuk mendapatkan bakshees. Ini semua adalah kesalahan Shah Jahan; dia memiliki
anggapan sendiri terhadap semua peristiwa ini."
"Tetapi, bukankah Padishah ..." aku terdiam, menyadari bahwa aku benar-benar
berbicara kepada Mehrunissa, "... telah mengambil kembali jagir Hissan Feroz dan
memberikannya kepada Shahriya" Shah Jahan merasa dirinya dikhianati karena itu."
"Sebuah gelar, sebuah daerah-dia terlalu menganggap serius hal-hal itu."
"Sebuah kesultanan, Paduka, juga tidak lebih daripada sebuah gelar, sebuah
daerah. Tapi, saat ini Pangeran hanya berharap bisa berdamai dengan Paduka."
"Apakah dia masih berusaha menggapai ambisinya?"
"Apa lagi yang akan dimimpikan seorang putra sejati seorang Mughal, Paduka
Permaisuri?" Dia tersipu: "Lidahmu yang licin hanya akan membuatmu kehilangan kepala.
Shahriya juga adalah putra sejati Padishah, dan lebih patuh daripada Shah
Jahan." Dia melunakkan cemoohannya dengan sebuah senyum manis. "Kesalahpahaman
terjadi pada masa lalu, dan kami tidak bersekongkol melawan Shah Jahan. Kau
harus menyampaikan itu kepadanya."
"Saya akan menyampaikan salam Anda ... dan ampunan Anda, Paduka."
"Kuharap dia akan menyimpannya dalam hati selama bertahun-tahun."
Tatapannya tidak menjadi goyah, tetapi dia tidak bisa menyembunyikan perasaan
tidak enaknya. Dia sudah merasakan sebuah perubahan dalam rencana lamanya, dan
kendali kekuasaan sudah mulai lepas dari genggamannya. Saat ini sudah waktunya
untuk berkompromi, untuk sedikit mengakui perubahan jaminan keamanan saat dia
tidak lagi memerintah pasukan besar. Kami menatap kedua anak Shah Jahan. Mereka
telah tertidur, terbaring kaku dan lemah, tidak berbeda dengan anak-anak lain
yang kelelahan karena kemeriahan suatu acara.
"Mereka akan tetap aman." Pertanyaan yang tak terucapkan di antara kami ternyata
dijawab oleh Mehrunissa. Kemudian, dia terdiam dan meneruskan.
"Aku juga akan mematuhi hukum Timurid. Apakah Shah Jahan juga?" Aku tidak
menjawab. "Mengapa kau ragu-ragu menjawabnya, Isa" Apakah dia bukan keturunan
Timur-i-leng juga, sebagai putra ayahnya" Atau, apakah hukum Timurid tidak
berlaku bagi Penakluk Dunia?"
"Dia akan mematuhinya."
"Berdasarkan pernyataan seorang budak?" Dia mencemooh. "Arjumand tidak bisa
menyelamatkan Khusrav. Mengapa aku harus percaya bahwa kau bisa menyelamatkan
menantuku?" Dia bersandar kembali ke bantal-bantalnya. "Taktya takhta. Ada sifat
presisi dalam kalimat itu, suatu pilihan yang tegas. Jika saja di antara kedua
kata itu ada kata ketiga, yaitu kabur."
"Ada tempat pengungsian. Shahinshah akan selalu memberi perlindungan bagi putra-
putra Mughal." "Pengungsian. Selama berapa lama" Selamanya" Tidak, para pengungsi selalu
kembali ketika bala tentara menyerang tempat perlindungan itu. Taktya takhta.
Shahriya tidak memiliki ambisi menduduki singgasana, tetapi aku memaksakannya
karena ambisiku sendiri. Dan saat ini, aku mempersembahkan makam kepadanya. Dia
adalah seorang tolol yang lemah, terlalu mudah puas, terlalu kekanak-kanakan.
Dia tidak akan memiliki kekuatan untuk memerintah kesultanan ini. Aku yang
memilikinya." "Tentu saja." "Lidahmu, Isa-jagalah lidahmu. Aku masih seorang permaisuri, dan kau adalah
seorang budak yang jauh dari perlindungan tuanmu."
"Seorang pelayan."
"Sama saja." Dia kembali berpikir-pikir; ambisi dan pengakuan. Kedua kata itu
tidak berguna; aku akan meneruskannya kepada Shah Jahan. Dia sedang melakukan
penawaran bagi nyawa Shahriya.
"Jika Shah Jahan yang menjadi sultan, Shahriya akan cukup puas dengan menjadi
gubernur: Lahore, Punjab, sejauh mungkin yang Shah Jahan inginkan. Ladilli akan
memastikan bahwa dia tidak akan meneruskan ambisinya untuk menaiki takhta."
Cahaya dari jali menyinarkan pola samar di wajahnya. Sinar matahari begitu
lembut, berubah menjadi warna keemasan yang pudar, dan mengubahnya dari
permaisuri menjadi seorang perempuan yang semakin tua. "Ladilli mengirimkan
cintanya kepada Arjumand. Dia selalu mencintai
Arjumand, seolah-olah Arjumand adalah kandungnya sendiri. Dia terus-menerus
berkata tentang Arjumand: 'Arjumand begitu kuat, Arjumand begitu berani.'"
"Saya akan menyampaikan salamnya kepada Yang Mulia Putri Arjumand."
"Cinta. Kau selalu mengacaukan pesan-pesan yang dititipkan padamu, Isa. Cinta."


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia tiba-tiba terdiam. "Betapa besar yang Arjumand bayar untuk cintanya! Anak-
anak yang terus lahir, tahun-tahun penuh penderitaan. Dia bisa saja tinggal di
sini dengan mudah, di sisiku, bukannya menjelajah seluruh penjuru negeri bersama
. Shah Jahan itu." Dia tertawa dengan hampa. "Setidaknya, dia akan mendapatkan
istirahat dari permintaan Shah Jahan yang tak ada hentinya. Aku sudah memberi
tahunya bertahun-tahun yang lalu ... tapi tidak usah memikirkan hal itu. Dia pasti
mengingat nasihatku. Karena cintanya, dia tidak mematuhinya. Bayi, kematian,
bayi, kematian. Rasa sakit itu! Sekali saja sudah lebih dari cukup bagiku. Aku
tidak bisa menahan sakit, aku membencinya. Berbaring di sana, menjerit dan
melolong bagaikan binatang liar. Untuk apa" Seorang anak."
"Dia pasti bertambah gemuk dan berat."
"Kecantikan sang Putri tidak berubah."
"Kesetiaanmu begitu berlebihan, Isa. Alam tidak pernah memperlakukan seorang
perempuan berbeda dengan yang lain. Alam memperlakukan kami dengan kejam pada
akhirnya." Dia melambai untuk menyuruhku pergi. "Cobalah untuk mengingat apa
yang kita bicarakan, Isa, dan sampaikanlah dengan akurat."
"Baiklah, Paduka." Aku mendekati anak-anak.
"Tinggalkan mereka. Saat mereka terbangun, aku akan menyuruh seseorang
mengantarkan mereka ke kamar tidur mereka."
Arjumand Aku merindukan Dara dan Aurangzeb; aku ingin sekali merengkuh mereka dalam
pelukanku. Berbulan-bulan telah berlalu, dan seperti benteng-benteng yang
berlubang, aku merasakan dua kehampaan yang menyakitkan dalam hatiku. Aku memang
terhibur oleh kekasihku dan anak-anak yang lain, tetapi, setiap aku menatap
wajah mereka, aku merindukan dua anak lelakiku itu.
Aliran air tenang Sungai Tapti yang melewati istana menyejukkan hatiku. Selama
berjam-jam, aku memandangi air biru yang jernih dari balkon. Di bawah, orang-
orang bekerja perlahan; para petani memandikan kerbau-kerbau mereka, hingga
punggung kerbau-kerbau itu berkilau seperti batu; para perempuan memukul-
mukulkan cucian mereka ke batu, bruk, bruk; anak-anak lelaki berkecipak dan
berenang telanjang, tubuh mereka keemasan di bawah sinar matahari. Di arah
utara, di tempat sungai berkelok, kuil-kuil kecil berwarna putih seperti titik-
titik di tepi sungai. Mereka pasti telah berada di sana sejak zaman dahulu, aku
menduga, dan pemandangan itu memberiku perasaan damai setelah perjalanan
bertahun-tahun. Di seberang
sungai, sawah-sawah perlahan menanjak ke arah bukit-bukit berkabut di kejauhan.
Aku merasa tenang, tetapi Shah Jahan tidak. Dia merasakan bahwa sudah tiba
waktunya untuk bergerak ke utara dan mengambil alih takhta, dan setiap hari dia
memandang ke arah sana. Dia memasang orang-orangnya di celah-celah benteng
Asigarh. Dari titik pengamatan itu mereka bisa melihat ke seberang bukit, ke
arah Agra. Saat ini ada tujuan penantian kami. Perdamaian telah memperkuat
posisinya: Shah Jahan bukan lagi bi-daulat. Ayahku mengirim pesan yang
menyebutkan bahwa secara terbuka, para pejabat mendukung klaim kekasihku. Karena
dukungan Mehrunissa, Shahriya menjadi tidak populer. Hanya Parwez yang masih
menjadi calon kuat, tetapi dia tidak ingin menyaingi saudaranya. Hanya Shahriya,
yang seperti Khusrav, telah tersentuh oleh impian kekuasaan yang tak terbatas.
Ini memengaruhi semua yang ada dalam jangkauannya, seperti suatu wabah yang
tidak bisa disembuhkan, karena Mughal Agung mampu untuk memerintah dunia.
Kehormatan adalah racun yang memabukkan; ia membuat manusia semakin penting dan
berpikir bahwa mereka adalah tuhan.
Aku tidak bisa mengendalikan keraguanku. Permaisuri! Betapa membebaninya gelar
itu, betapa menyesakkannya posisi itu. Aku tidak memiliki keinginan atau
kemampuan untuk memainkan peran seperti Mehrunissa. Aku akan lebih senang berada
di Tapti-atau di tepi sungai yang lebih sejuk, karena
aku merasa musim kemarau di daerah ini tidak tertahankan-dan mengamati waktu
berlalu dalam kenyamanan dan tanpa kelelahan. Jiwaku tidak lagi menginginkan
untuk berperang, untuk memasuki intrik-intrik istana yang tanpa henti.
Perjalanan kami telah memberiku perasaan bebas dari kecemburuan terselubung,
para perempuan yang berdebat, peraturan istana; jika saja kami bisa tinggal di
sini-tetapi aku tahu, itu tak akan pernah terwujud.
1037/1627 Masehi Seorang pembawa pesan datang saat musim dingin. Dia dikawal oleh ribuan
penunggang kuda dan Shah Jahan menerimanya di istana. Pesannya singkat: Jahangir
telah wafat di Kashmir. Jiwanya akan tetap berada di pegunungan, dan jika bisa
bernapas, dia akan merasakan udara bersih yang sejuk. Kekasihku memerintahkan
dilakukannya seratus hari masa berkabung di seluruh kesultanan. Aku berdoa,
semoga Jahangir menemukan kedamaian yang dia cari. Meskipun menangisi kematian
ayahnya, kekasihku tahu bahwa dia harus bergerak cepat. Kami pergi ke masjid
besar di Asigarh. Di sana, setelah membaca Quran, dia mendeklarasikan bahwa
dirinya adalah seorang sultan. Dia berdoa: "Ya Tuhan! Anugerahkanlah rahmat-Mu
yang tak terhingga kepada keyakinan Islam dan penjaga keyakinan itu, dengan
kekuasaan yang lama dan penghormatan mulia dari budak sultan, putra sultan,
raja, putra raja, pemerintah dua benua dan
penguasa dua lautan, kesatria yang berjalan di jalan Tuhan, Sultan Abdul
Muzaffar Shahabuddin Mohammed Shah Jahan Ghazi."
Dia hanya melakukan gerakan tubuh satu kali, dan tidak menyia-nyiakan waktu. Dia
telah menyiapkan para pengikutnya, dan mulai bergerak ke utara menuju Agra.
Perjalanan kami tidak lagi rahasia, kami melaju menyusuri daerah yang terhampar
dalam perasaan kemenangan. Para raja, nawab dan umara, gubernur suba, semua
datang untuk memberikan penghormatan kepada Mughal Agung Shah Jahan. Yang
berkibar di atas gajah-gajah bukan lagi panji-panji kecil berwarna merah, simbol
pangeran, melainkan bendera-bendera simbol kesultanan.
Aku merasa diriku sedikit berubah. Daerah ini tidak mekar bagi kami, orang-
orangnya masih malu-malu dan miskin. Keluarga-keluarga Adhivasi masih berlindung
di bawah kerindangan pohon-pohon kering kerontang, mengamati kami dengan
ketidakpercayaan seumur hidup mereka. Panasnya matahari tidak meredup meskipun
sang Mughal lewat; sungai-sungai tidak berhenti mengalir. Aku adalah permaisuri,
aku mengatakannya keras-keras kepada diriku sendiri dalam suasana paling pribadi
rath-ku, seolah-olah ingin membangunkan diriku sendiri dari mimpi. Tetapi,
Arjumand tetap terbaring, tidak berubah.
Meskipun Shah Jahan telah bersikap tegas, tantangan dari Shahriya masih tetap
mengancam. Mehrunissa berlindung dan bersembunyi,
memanipulasi menantunya, menyusun kekuatan pasukan, dan menabuh genderang
peperangan. mim Shah Jahan Untuk menggenggam tongkat kekuasaan, melaju di belakang bendera kenegaraan,
bukannya di belakang ayahku, bagaikan merasakan getaran terhalus bumi ini.
Perlakuan ini tidak kusukai, tidak kupercayai. Orang-orang itu yang meletakkan
kepala di tangan mereka seolah sedang menyembah tuhan membuatku sebal. Aku harus
segera menghentikan kebiasaan itu. Gerakan membungkuk sudah cukup bagiku. Itu
adalah peraturan pertama yang kusahkan, dan karena perkataanku itu, semua orang
di kerajaan ini berhenti melakukan kornish. Sebagai pangeran dan gubernur, aku
tidak memiliki kekuasaan untuk itu. Saat itu, kata-kataku bukan hukum; ayahku
selalu tampil di depanku. Saat ini, begitu adanya. Napasku, pikiranku, detak
jantungku, sekarang tak terhingga nilainya. Tetapi, bersamaan dengan kekuasaan
besar ini muncullah suatu perasaan yang mengiringi, kesendirian yang begitu
sepi. Aku bergerak di dalam dunia yang terpisah dari makhluk hidup lainnya;
mereka berada di sisiku, mengelilingiku, tetapi jarak di antara kami tidak
terkira jauhnya. Teman-teman lama memandangku sebagai manusia baru. Apakah benar
yang kulihat di wajah mereka" Rasa segan, ketakutan, kewaspadaan, pelayanan
berlebihan" Sekali waktu, mereka pernah mendekatiku sebagai
teman, tetapi sekarang mereka menjaga jarak, bukan dariku, Shah Jahan, tetapi
dari sang Mughal Agung. Bahkan Allami Sa'du-lla Khan pun berubah. Tindakanku
yang kedua adalah menjadikannya Vakil-ku. Dia telah setia selama bertahun-tahun
ini, dan aku percaya, dia memiliki kualitas yang Akbar anggap penting dari
seorang perdana menteri: "Kebijaksanaan, kehormatan dalam bersikap, keramahan,
keteguhan, kemurahan hati, seseorang yang mampu berdamai dengan semua orang,
yang jujur dan berketetapan hati dalam hubungan antarmanusia dan dengan orang
asing, tidak memihak kawan atau lawan, bisa dipercaya, cerdas, berpandangan jauh
ke depan, terampil dalam berbisnis, layak mengetahui rahasia-rahasia negara,
tidak membuang waktu dalam bertransaksi, dan tidak terpengaruh oleh begitu
banyak tugasnya." Tetapi, bahkan dia, yang sekarang sudah menduduki posisi
penting, saat ini menunjukkan perbedaan besar terhadap diriku.
Satu-satunya teman yang kumiliki, yang tidak menunjukkan perubahan terhadap
diriku, tetap jujur dan transparan seperti air, adalah Arjumandku tersayang.
Baginya, aku belum pernah menjadi seorang pangeran, dan saat ini aku bukan
seorang sultan baginya. Aku adalah suaminya, kekasihnya, hatiku masih terjalin
erat dengan hatinya. Cinta kami adalah kepercayaan; keduanya saling membaur
seakan-akan disatukan oleh logam paling kuat. Aku tidak dapat bernapas tanpa
kehadirannya; jika dia tidak ada, kesepian begitu
melanda. Kesepian itu tidak pernah merasukiku dalam-dalam, tetapi selalu
mengancam dan membuatku khawatir saat dia berada di sisiku, pengap dan berat
bagaikan suatu malam tanpa angin. Saat kami bergerak ke utara, sekali lagi dia
adalah tempatku menemukan ketenangan. Tugas-tugas kenegaraan sudah menghabiskan
banyak waktuku. Sebelum fajar, aku harus menunjukkan kehadiranku di jharoka bagi
para pejabat dan rakyat. Tampilnya wajahku menunjukkan aku tetap memerintah dan
hal ini membuat mereka nyaman. Sepanjang pagi kuhabiskan dengan pertemuan
bersama para pejabat dan menteri, serta pembantu pemerintahan. Meskipun aku
belum dilantik menjadi sultan hingga kami tiba di Agra, keyakinanku bertambah
karena bukti dukungan mereka.
Tetapi, Shahriya masih terus menekan, dipanas-panasi oleh Mehrunissa. Bagaimana
bisa Mehrunissa kehilangan tongkat kekuasaan" Hanya orang-orang yang pernah
benar-benar kehilangan kekuasaan akan menikmati hal itu. Aku tidak bisa
mengenyahkan ketidaknyamananku. Dahulu, Khusrav yang mengancam, saat ini
Shahriya. Aku harus bertindak cepat, karena jika tidak, kesultanan akan menjadi
tidak stabil oleh peperangan, dan tidak akan ada perdamaian hingga salah satu
dari kami menang. "Asingkan dia," Arjumand memberi saran, sambil membelai lenganku. Kami duduk
berdua di kharghah-nya setelah makan malam. Para pelayan
sudah disuruh pergi dan dia menuangkan anggur. Itulah saat-saat yang paling
kunikmati, bersandar di sampingnya, di atas dipan, mendengarkan suara jangkrik.
"Perintahkan penangkapannya, kemudian asingkan dia." Dia begitu murah hati,
tidak seperti rasa dendamku, dan aku menerima kepeduliannya itu.
"Tapi, dia akan kembali. Jika aku adalah Shahriya, aku juga akan melakukannya.
Aku akan mengumpulkan kekuatan pasukan dan bersiap untuk berperang. Bagaimana
seorang lelaki bisa memalingkan wajah dan hatinya dari kesempatan untuk menjadi
Mughal Agung" Ini adalah singgasana paling kaya di muka bumi."
"Kalau begitu, penjarakan dia selamanya." Arjumand mencari-cari jawaban di
wajahku dan dia terlalu mudah menyimpulkan. "Tapi, kau tidak akan begitu, iya
kan" Dia idiot dan para pengikutnya akan segera meninggalkannya. Tunggu sebentar
saja, ambisinya akan mati."
"Bukan ambisinya yang kutakuti, tetapi ambisi Mehrunissa. Baginya, semua ini
tidak akan berakhir. Aku hanya bisa menghancurkan kekuasaannya dengan ...."
"Tidak, Sayangku. Biarkan Shahriya. Ini bukan kesalahannya. Darahnya adalah
darahmu dan darah Khusrav, itu akan menodai hidup kita sekali lagi."
"Jika Khusrav masih hidup, seperti apa situasi saat ini" Pengklaim takhta lain,
lebih banyak perang" Perebutan takhta akan melemahkan kesultanan ini."
"Dia adalah keluarga kita."
"Kekuasaan tidak memiliki sifat kekeluargaan."
Meskipun terdengar kasar, aku benar, dan Arjumandku merasa sebal mendengarnya.
Dia mundur, seolah-olah aku telah menusuknya. "Jika aku menunjukkan belas kasih
terhadap Shahriya, semua pangeran baru yang sombong akan memberontak terhadap
kekuasaanku. Mereka akan berpikir bahwa Shah Jahan tidak memiliki keberanian."
"Biarkan mereka berpikir seperti itu. Lalu, hancurkan mereka. Tapi, tugas
seorang raja adalah untuk menjadi ayah bagi rakyatnya."
"Aku juga telah membaca nasihat kakekku," kataku tajam. Seorang raja juga harus
memiliki hati yang teguh, agar semua pemandangan apa pun yang tidak dia setujui
tidak akan membuatnya goyah, begitu Akbar menulis. "Shahriya melakukan
pengkhianatan terhadapku, sang Padishah, dan harus mati."
Aku telah mengatakannya. Itu adalah sebuah hukum. Aku mengamati dan menunggu,
tetapi Arjumand tidak berusaha lebih lanjut untuk mendebatku. Kekuasaanku
membuatnya takut, meskipun aku tidak menginginkan itu. Tetapi, singgasana dan
diriku harus terlindung. Kekuasaan seorang raja adalah pertunjukan kekuasaan
Tuhan, seberkas sinar matahari yang menyinari jagat raya. Aku mengenakan kiyan
khura yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada para penguasa. Hal itu tidak bisa
diganggu-gugat. Arjumand tidak bisa mengerti. Melalui kecintaannya kepadaku, dia telah
mencurahkan semua ambisinya. Pada saat beberapa perempuan di harem mempraktikkan
perdagangan, mengumpulkan kekayaan; yang lain merengek-rengek meminta jagir
besar atau hadiah yang hebat, tidak ada yang dapat memuaskan permintaan mereka
Arjumand justru seperti seorang sanyasi, dia hanya memiliki sedikit kebutuhan.
Kebutuhan mendasarnya-makanan, minuman, cinta-sudah cukup terpuaskan. Seorang raja tidak
bisa menolak untuk mengagumi kekayaan spiritual itu, tetapi tugasnya tidak
mengizinkannya untuk merengkuhnya. Dia mungkin cemburu terhadap kesederhanaan
seorang manusia suci, karena beban seorang raja begitu berat, tetapi dia tidak
bisa meninggalkan tugasnya untuk mengembara seperti biri-biri. Aku tidak pernah
bisa meniru tindakan Gautama. Siddharta adalah seorang pangeran kerajaan, suami
dari istrinya, ayah dari anaknya, dan dia meninggalkan tugas-tugasnya untuk
menjadi seorang petapa. Dia mengkhianati istrinya, anaknya, tugasnya, bebannya.
Apakah memang dia harus dibebani oleh masalah kekuasaan" Sudah pasti, seorang
Buddha akan membelanya, dan berkata: "dia menjadi 'Yang Tercerahkan'", tetapi
aku tidak bisa menerimanya. Apa yang lebih dibutuhkan oleh dunia: lebih banyak
dewa atau raja yang lebih baik"
Arjumand memerhatikan wajahku yang penuh pikiran. Intuisi, keajaiban perempuan,
kekuatan yang lebih besar daripada kekuasaan raja, mengatakan kepadanya bahwa aku tidak
akan tergoyahkan. Dia telah meneteskan air mata bagi Khusrav, tetapi kali ini
dia tidak menangisi Shahriya. "Kau sudah berubah."
Wajahnya tetap berada di dalam bayangan gelap, berpaling; aku mendengar
kesedihannya. Aku bergerak keluar dari ruangan terang, cahaya kuning menyinari
kesendiriannya, mengubahnya menjadi berwarna keemasan dan misterius. Hatiku
tergerak oleh wajahnya yang muram. Aku ingin menyentuh bibir, mata, dan pipinya,
merasakan kelembutan kulitnya, tetapi saat aku menggerakkan tangan, dia menjauh.
Pertarungan Raja Raja Arak 2 Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Terbang Harum Pedang Hujan 18
^