Pencarian

Pengabdian Dokter Perempuan 1

Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Bagian 1


DR. ANG SWEE CHAI Penerima Penghargaan Star of Palestine
(best-seller) Tears of Heaven
from BEIRUT JERUSALEM KISAH PENGABDIAN SEORANG DOKTER PEREMPUAN DI KAMP PENGUNGSIAN PALESTINA
Sebagai seorang Kristen fundamentalis, dulu aku mendukung Israel. Pengalamanku
di Sabra-Shatila menyadarkanku bahwa orang Palestina adalah manusia. Kebodohan
dan prasangka telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa Palestina. Buku
ini adalah kesaksianku."
Tears of Heaven MIZAN PUSTAKA: KRONIK ZAMAN BARU adalah salah satu lini produk (product line)
Penerbit Mizan yang menyajikan buku-buku bertema umum dan luas yang merekam
informasi dan pemikiran mutakhir serta penting bagi masyarakat Indonesia.
Tears of Heaven Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan di Kamp Pengungsian Palestina
dr. Ang Swee Chai TEARs OF HEAVEN: Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan di Kamp Pengungsian
Palestina Diterjemahkan dari From Beirut to Jerusalem Karya dr. Ang Swee Chai "
1989, 2002 S.C. Ang Terbitan The Other Press, Kuala Lumpur, 2002
Penerjemah: Dina Mardiana
Penyunting: Andityas Prabantoro
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved Cetakan I, Juli 2006 Diterbitkan oleh Penerbit Mizan
PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jin. Cinambo No. 135 Cisaranten Wetan
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7834310 - Faks. (022) 7834311
e-mail: kronik@mizan.com http\//www .mizan .com Desain sampul: Gunawan Satari
Peta oleh Michael Troughton
ISBN 979-433-436-7 Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288
e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Perwakilan: Jakarta: (021) 7661724; Surabaya: (031) 69950079, 8286195;
Makassar: (0411) 440706 Teruntuk orang-orang Palestina dan teman-teman mereka ....
" Kamp-kamp pengungsi Palestina di Beirut Barat
Isi Buku Ucapan Terima Kasih ~ 13 Pengantar 16?BAGIAN PERTAMA Perjalanan Ke Beirut ~ 27
BAGIAN KEDUA Pembantaian Sabra-Shatila ~ 107 BAGIAN KETIGA
Dari Jerusalem ke Inggris ~ 213
BAGIAN EMPAT Kembali ke Beirut ~ 253
BAGIAN LIMA Dari Beirut ke Jerusalem ~ 349 Catatan Penutup ~ 501
Ucapan Terima Kasih Menulis buku ini bukan suatu pekerjaan mudah, pekerjaan itu telah melibatkan
masa laluku selama enam tahun, menghidupkan kembali kenangan-kenangan yang
sangat menyakitkan dan membuka luka-luka lama. Aku ingin berterima kasih kepada
Steve Savage atas kesabaran, dorongan, dan semangatnya, begitu pula saran-
sarannya dalam penyuntingan kisah ini. Tanpa bantuannya, buku ini takkan mungkin
dapat dibaca. Rasa terima kasihku juga untuk orang-orang di Grafton Books.
Demikian pula pada para sukarelawan MAP, pendukung dan staf yang namanya tidak
disebutkan di buku ini, dengan alasan keamanan ataupun atas keinginan mereka
sendiri, atau karena tidak cukup tempat untuk menuliskannya. Mereka itulah para
sahabat sejati rakyat Palestina. Merekalah yang bekerja keras agar program medis
ini dapat terus berlangsung.
Sahabat-sahabatku anggota MAP yang telah bekerja sama denganku sejak awal kami
bergabung, terutama Mayor Derek Cooper, sang Pendiri, dan istrinya, Lady Pamela,
David Wolton, Ketua, dan dr. Riyad Kreishi, Direktur Pelaksana MAP selama
kepergian dr. Rafiq Husseini aku berterima kasih atas sumbangsih dan pengertian
mereka terhadapku, dan juga bimbingan mereka yang tak ternilai
harganya. Orang Palestina selalu berusaha mengungkapkan terima kasih mereka kepada
sahabat-sahabat mereka. Kini akulah yang ingin mengucapkan terima kasih kepada
mereka atas keteguhan mereka yang terus-menerus menjadi sumber inspirasi
untukku, terutama ketika aku berada dalam keputusasaan yang mendalam. Terlebih
lagi, kepada Palestine Red Crescent Society atas segala yang telah diajarkannya
padaku, dan juga karena telah membuatku semoga menjadi seorang dokter dan
manusia yang lebih baik daripada dulu.
Aku juga berterima kasih kepada teman-teman Yahudiku yang telah menyemangatiku
untuk berani berbicara dan tidak menjadi penakut.
Kedua orangtuaku dan keluarga di Singapura, yang sudah lama tidak kutemui selama
bertahun-tahun, aku berterima kasih atas kesabaran dan kesudian memaafkanku.
Francis Khoo, yang telah menjalin ikatan pernikahan denganku, tiga kali ku
ucapkan terima kasih. Pertama, atas usahanya yang tak kenal lelah dalam
"melahirkan" MAP. Kedua, atas nasihat dan kritiknya dalam menulis buku ini.
Ketiga, atas kesetiaannya kepadaku meskipun aku telah membuatnya selalu cemas
dan gelisah dalam setiap tidurnya pada saat aku berada di Beirut.
Profesor Jack Stevens, Alan Apley, J.M. Walker, R.C. Buchanan, Fred Heatley, Tom
Wandsworth, Ian Pinder, Jo Pooley, Peter Robson, Ron Sutton, Kevin Walsh, dan
para kolega ortopedis senior dan guru-guru yang tidak saja telah melatihku, tetapi juga telah
meruntuhkan prasangka dunia kedokteran yang menentang wanita kulit berwarna
menjadi seorang ahli bedah, sehingga memungkinkanku mengejar karier di bidang
ortopedis. Terakhir, terima kasih kepada banyak orang dari seluruh penjuru dunia yang terus
hidup dalam keyakinan, harapan, dan cinta. Tanpa mereka, perjalanan dari Beirut
ke Jerusalem ini tidak akan pernah terjadi. []
Pengantar Kedua orangtuaku pertama kali bertemu di kamp tawanan Jepang pada masa Perang
Dunia II. Ibuku baru berusia sembilan belas tahun ketika dijebloskan ke penjara.
Ia adalah seorang guru sekolah yang beralih menjadi penggalang gerakan
masyarakat untuk kampanye "Menentang Penyerbuan Jepang". Ayahku adalah seorang
editor bahasa Cina pada sebuah surat kabar, ia juga menjadi penggalang gerakan.
Ibu sudah punya pendirian yang keras sejak usia belia. Ayahnya terlalu
konservatif dan tak pernah mempercayai pendapat bahwa para wanita juga berhak
bersekolah, dengan alasan itu akan menjadikan mereka ibu rumah tangga yang
buruk. Bahkan, ia memiliki tiga orang anak perempuan yang semuanya tidak bisa
membaca ataupun menulis. Ibu tidak mau seperti mereka, sehingga pada usia tujuh
tahun ia memutuskan mendaftarkan diri kepada kepala sekolah di sekolah terdekat.
Kakek benar-benar terperangah ketika mengetahuinya dan mau tak mau harus
menerimanya. Ketika usia Kakek mencapai enam puluh tahun, ia memberi tahu akan mempunyai
istri keempat. Ibu benar-benar marah, dan bahkan geram ketika ibunya sendiri
mendukung keputusan tersebut. Ia menolaknya mentah-mentah, kemudian mengepak
barang-barangnya dan kabur dari rumah. Kakek,
yang sangat menyayangi anak perempuannya yang mandiri itu, tidak sanggup menahan
kepergiannya. Tangis dan permohonannya tidak diacuhkan.
Namun, menjadi seorang wanita di tengah dunia yang dikuasai pria ada banyak
untungnya juga, meskipun untuk alasan yang tidak tepat. Ketika Jepang datang,
beberapa informan mengatakan bahwa Ibu termasuk anggota penting pergerakan. Ibu
di Taiwan, disiksa secara keji, tetapi tidak pernah mau mengaku. Ia selamat
karena tentara Jepang tidak percaya seorang wanita seperti Ibu memegang peran
sebegitu pentingnya. Kelak, ketika anak-anaknya sudah dewasa,Ibu berkata kepada kami, "Sebenarnya
tidaklah seburuk itu. Pertama kali, kalian ketakutan sehingga menyerahkan teman-
teman kalian. Tapi pada titik tertentu, kalian tak sadarkan diri. Ketika itu
terjadi, kalian tidak lagi merasa kesakitan. Saat telah terbiasa, kalian dapat
mengalahkan siksaan itu."
Setelah siksaan demi siksaan, Ibu dikurung di Penjara Outram Road di Singapura.
Keadaan di sana sangat menyedihkan dan banyak tawanan yang meninggal akibat
siksaan, kelaparan, dan penyakit. Sepertinya di sana tidak ada pemisahan jenis
kelamin, dan di Outram itulah ia bertemu Ang Peng Liat, ayahku.
Ayah juga melarikan diri dari rumah. Tapi, tidak seperti Ibu, ia adalah
kelahiran Cina yang kabur dari daerah selatan Cina untuk membebaskan diri dari
rencana pernikahan dengan seorang gadis yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Ayahnya mengatur keluarga dengan tangan besi dan tidak mau mendengar kata
"tidak" sebagai jawaban.
Ayah cepat beradaptasi, dan di usia yang kedua puluh ia mengedit sebuah harian
berbahasa Cina. Perang meletus, dan ia memobilisasi korannya untuk mengangkat
opini publik menentang penyerbuan Jepang. Korannya dibredel dan ia ditahan di
Penjara Outram Road. Tatkala perdamaian akhirnya tiba setelah Jepang menyerah kalah, pintu-pintu
penjara dibuka. Orang-orang membanjiri tempat itu untuk bersua dengan para
tawanan dan menyambut mereka dengan bunga. Empat tahun kemudian, orangtuaku
tinggal di daerah itu untuk berkeluarga.
Tahun-tahun pascaperang di Singapura dan di negeri yang saat itu bernama Malaya
ditandai dengan depresi ekonomi, kemiskinan, kelaparan, dan kemuakan terhadap
segala sesuatu, kecuali kekayaan. Dua kakak tertuaku meninggal ketika masih bayi
akibat kekurangan gizi dan infeksi penyakit. Hingga empat dekade berikutnya, Ibu
masih suka menangis jika mengingatnya.
Syukurlah, Ibu mengandung lagi. Kali ini, ia kembali ke kampung halamannya di
Pulau Penang untuk melahirkan bayinya. Proses kelahirannya sulit dan memakan
waktu. Namun, ketika sang bidan mengangkat seorang bayi perempuan seberat empat
kilogram ke hadapan sang ibu yang kelelahan, semua orang merasa lega. Dalam
tradisi keluarga Cina yang masih kolot, seorang bayi perempuan dianggap kurang
berharga dibandingkan bayi laki-laki,
tetapi seorang cucu perempuan mungil yang teguh hati tentu masih lebih baik
daripada tidak punya cucu sama sekali. Karena itu, Kakek segera meminta berkah
Dewi Pengasih, Kwan Im, serta memohon restu dan perlindungan sang Dewi agar aku
terlepas dari nasib yang menimpa kedua kakak laki-lakiku.
Awal masa kecilku dihabiskan di rumah Kakek di distrik Ayer Itam di Penang. Ibu
ingin agar aku diasuh di rumah pedesaannya yang luas yang di-kelilingui
tetumbuhan tropis yang lebat. Ibu dari ibuku adalah satu-satunya istri Kakek
yang masih hidup dan ia merasakan keindahan alam Penang mungkin adalah tempat
terbaik untuk melenyapkan efek-efek trauma pascaperang.
Kakek menjadi sosok yang tenang di usia tuanya, dan menyambut kedatangan adik
laki-lakiku, Lee Cyn, setahun berikutnya, dengan kegembiraan yang sama. Anak
laki-laki mungkin lebih berharga daripada anak perempuan bagi orang lain, tetapi
cucu perempuan Kakek ini (yaitu aku) memang "beda". Jadi, Lee Cyn dan aku
diasuhnya dengan adil serta memiliki masa kecil yang sangat bahagia di Penang,
dikelilingi pepohonan dan bunga-bunga, orang-orang dewasa yang mencintai kami,
burung-burung merpati, seekor anjing berbulu hitam-putih, serta seekor kucing
warna cokelat-jahe yang bertubuh besar.
Aku masih ingat kucing cokelat-jahe yang besar itu. Ia punya kepala yang sungguh
besar dan kasih sayang yang besar pula. Kelihatannya aku
selalu dikelilingi kucing-kucing, dan bahkan di flat kecil kami sekarang ini di
London, kami mempunyai seekor kucing betina jenis ang moh berusia dua belas
tahun dengan nama Cina, "Meowee". Namun, kucing cokelat-jahe itulah satu-satunya
kucing yang pernah kutemui yang sanggup duduk dengan tabah sementara aku mencuri
makan malamnya. Nenekku hampir pingsan ketika menemukanku makan makanan Ginger
(Jahe) di dalam rumah kucing dari kayu yang dibangun Kakek. Rumah kucing itu
cukup untuk kami berdua dan Ginger hanya menatap sambil mendengkur.
Pekerjaan Ayah segera membawa Ibu, Lee Cyn, dan aku pindah ke Singapura beberapa
tahun kemudian. Kami meninggalkan Penang dan Kakek serta Nenek yang menyayangi
kami, dan menempati lantai pertama sebuah flat dengan dua kamar tidur yang tidak
jauh dengan jalan utama di kawasan Serangon Atas. Mobil-mobil dan truk-truk yang
lalu-lalang baik siang maupun malam hari menerbangkan debu serta asap dan kami
harus berbicara dengan suara keras di tengah-tengah keriuhan.
Ayah bekerja keras sepanjang hari untuk menafkahi keluarga yang sedang
berkembang. Sementara itu, Ibu membiasakan anak-anaknya yang masih kecil dengan
rutinitas yang ketat. Kami diberi jadwal harian yang ditempel di samping tempat
tidur kami, di ruang keluarga, dan di dapur. Jam bercerita artinya Ibu akan
membacakan novel-novel dan cer-pen-cerpen karya Guy de Maupassant, Oscar Wilde,
dan Edmondo de Amicis kepada kami. Dalam waktu
singkat, bacaan kami meningkat ke karya-karya Tolstoy, Gogol, dan Turgenev. Ibu
membacakannya kepada kami dalam bahasa Cina dan aku tidak pernah menyadari
sampai beberapa tahun kemudian bahwa para pengarangnya menulis dalam bahasa-
bahasa Eropa yang berbeda-beda. Komik dilarang, begitu pula buku-buku
petualangan karya Enid Blyton dan musik pop.
Pada jam bermain, Lee Cyn dan aku membuat perahu-perahu dari kertas sambil terus
bermimpi bahwa suatu hari kami akan berlayar dengan perahu itu untuk mengunjungi
kakek dan nenek kami di Penang. Namun, hasil didikan keluarga yang ketat
membuahkan hasil pada masa-masa kami bersekolah, kami meraih nilai terbaik dalam
ujian sekolah dan mendapat berbagai penghargaan dan medali.
Tak lama kemudian, Swee Kim dan Swee Hua, adik-adik perempuanku, lahir, dan baik
aku maupun Lee Cyn harus berhenti membuat perahu-perahu kertas. Dengan segera
aku menjadi "Kakak Sulung", dan dia "Kakak Kedua". Kedua adik peerempuanm kami
membuat kami menjadi keluarga sungguhan dan flat kami menjadi rumah sungguhan.
Kemudian, Lee Cyn dan aku bersekolah di sebuah sekolah dasar tak jauh dari
rumah. Pulang pergi dari dan ke Kwong Avenue Primary School dengan berjalan kaki
menjadi suatu kegiatan harian yang menyenangkan. Setelah berkutat dengan jadwal
yang diberikan Ibu, sekolah menjadi hal yang seru dan mengasyikkan. Tahun-tahun
di sekolah adalah tahun-tahun yang penuh kesan. Aku memiliki
banyak teman, membaca banyak buku baru, tampil dalam acara pertunjukan dan drama
sekolah, dan tentu saja, meraih banyak penghargaan setiap tahunnya.
Aku masih ingat teman-teman sekelasku di SD. Hatifah adalah seorang sprinter
tercepat. Pada Februari 1989, aku menerima surat darinya, menyusul peluncuran
buku ini dalam edisi Inggris. Ia kini tinggal di Jerman Barat dan telah membaca
tulisanku dalam majalah mingguan berbahasa Jerman Der Spiegel, tentang
pekerjaanku membantu orang-orang Palestina di wilayah pendudukan Gaza. Ia
mengingatkanku betapa aku kagum ketika pesawat Sputnik mengorbit pada 1957, dan
bagaimana aku bersumpah untuk menjadi seorang ilmuwan suatu hari nanti, saat
Vuri Gargarin menjadi kosmonot pertama beberapa tahun berikutnya.
Ketika duduk di bangku SD, aku melihat dunia sebagai suatu tempat yang
mengasyikkan dan sains menjadi minatku. Namun, aku juga sadar bahwa banyak hal
penting terjadi di Malaya dan Singapura. Pemerintah Inggris mengakhiri kekuasaan
mereka di Singapura dan aku ingat pertama kalinya kami memilih pemerintah kami
sendiri pada 1959. Sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun, partai-partai
politik tidak banyak berarti buatku, tetapi bayangan bahwa rakyat Singapura
memiliki pemerintahan dan lagu kebangsaan sendiri adalah suatu hal yang hebat.
Setiap orang adalah bangsa Singapura atau Malaysia, meskipun nenek moyang mereka
berasal dari India, Cina, atau Indonesia.
Setelah melewati ujian seleksi sekolah menengah atas, aku ditempatkan di sekolah
khusus wanita Raffles Girls' School. Kehidupan di sana lebih dinamis dan dengan
segera aku merasa menemukan tempatku. Teman-teman sekelasku luar biasa pintar,
dan untuk pertama kalinya aku harus benar-benar giat belajar untuk bertahan di
jajaran siswa terbaik di kelas. Jadi, tak ada lagi kesempatan bagiku untuk
bersosialisasi, pesta ataupun kencan. Membaca dan mendengarkan musik adalah
hobiku, tetapi aku juga cukup tolol untuk tergila-gila pada permainan catur.
Permainan tersebut sungguh-sungguh menyita waktu, apalagi dengan adanya turnamen
dan latihan. Aku terpaksa mengurangi jam pelajaran musik dan waktu membacaku
jika aku ingin bermain dengan baik.
Sewaktu SMA, minatku dalam bidang sains bertambah. Namun, ada suatu hal yang
berubah. Aku masih menganggap dunia sebagai sesuatu yang menarik dan berbagai
bidang ilmu alam menarik minatku. Tetapi, aku segera sadar bahwa sains tidak
netral, sains punya peran untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat. Aku


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ingat persis bagaimana pemikiran seperti ini bisa terlintas di kepalaku,
tetapi pastilah itu datang dari program bimbingan karier yang diberikan
Kementerian Pendidikan. Kami diberi tahu di sekolah bahwa sains, agar
bermanfaat, harus diterapkan untuk mengurangi beban orang-orang yang menderita
dan miskin. Aku mencamkan pesan itu baik-baik dan mulai mempertanyakan bagaimana
sains dapat membantu hal-hal seperti itu, dan juga bertanyatanya tentang kemiskinan itu sendiri,
tentang kelaparan, hunian tidak layak, penyakit, dan buta huruf. Beberapa teman
dekatku mulai mengkhawatirkan pertanyaan-pertanyaanku yang cenderung aneh dan
sok filosofis. Setelah lulus ujian "O" dan "A" Level, aku memilih belajar ilmu kedokteran di
University of Singapore. Kupikir, ilmu kedokteran dapat memberi banyak manfaat.
Lee Cyn mengikuti jejakku dan Ayah harus bekerja siang-malam untuk membayar uang
kuliah kami. Kemudian, aku mengambil program master di bidang kesehatan masyarakat dan ilmu
kedokteran bagi kesehatan masyarakat, lalu program FRCS (di Inggris) untuk
menjadi seorang dokter bedah ortopedis. Gelar-gelar akademis dan medali-medali
emas yang kuperoleh memberiku kesempatan untuk menerapkan teknologi kedokteran.
Ilmu bedah juga menggabungkan tiga keahlianku, kedokteran, pekerjaan dapur
(menggunakan pisau dan memotong daging), serta menjahit. Keahlian-keahlian
seperti ini lebih banyak dimiliki wanita, yang memang lebih cekatan daripada
rekan-rekan pria mereka. Di sekolah kedokteran itu pulalah aku menjadi seorang pemeluk Kristen. Kedua
orangtuaku, yang telah banyak melewati masa-masa penderitaan dan telah banyak
melihat kematian, tetap memilih tidak memeluk agama apa pun, namun selalu
menegaskan bahwa anak-anak mereka mempunyai hak untuk memilih keyakinan mereka
sendiri. Menjadi seorang Kristiani membuatku lebih banyak bertanya tentang peranku
sebagai seorang dokter. Keahlian yang kami miliki dan ilmu yang kami dapat bisa
saja membuat kami menghasilkan uang banyak dan mengangkat martabat kami. Akan
tetapi, dokter tinggal di tengah-tengah masyarakat dan semestinya mengabdi
kepada mereka. Pada 29 Januari 1977, aku menikah dengan Francis Khoo, seorang pengacara
beragama Ka-tholik, yang juga banyak mempertanyakan perannya dalam masyarakat.
Sebagai seorang Baba generasi kesekian di Singapura dan lebih nyaman berbahasa
Melayu daripada Mandarin, ia sangat bangga akan negara dan tempat asalnya. Ia
pernah mengatakan padaku dan sampai sekarang masih bahwa jangan sampai kami
meniru mental orang-orang imigran yang tidak memedulikan negeri tempat mereka
tinggal. "Kita harus berakar di mana pun kita berada, jika tidak, takkan ada
yang namanya bangsa Singapura ataupun Malaysia. Kita takkan menjadi siapa pun.
Kita harus sepenuhnya hadir."
Ang Swee Chai Februari 1989
BAGIAN PERTAMA Perjalanan ke Beirut Musim Panas 1982 Satu Musim panas 1982 adalah musim panas keenam yang kami lalui di Inggris. Suamiku,
Francis, telah meninggalkan kampung halaman kami di Singapura dan aku bergabung
dengannya di London. Butuh waktu beberapa lama bagi kami untuk dapat menetap di
sana, tetapi pada 1982 kami tinggal di sebuah flat sempit di pusat kota.
Malam demi malam, siaran berita di televisi memberitakan penyerbuan tentara
Israel ke Lebanon. Yang mengerikan terutama adalah bagaimana mereka menyerang
Beirut dari udara. Francis dan aku duduk dan melihat pesawat-pesawat Israel
menjatuhkan bom-bom ke atas petak-petak flat, mereka mengebom daerah-daerah
sipil yang dipadati penduduk di ibu kota Lebanon. Siaran-siaran berita tersebut
menampilkan gambar blok-blok bangunan yang menjulang tinggi di sepanjang pesisir
Beirut, anehnya, itu mengingatkan kami pada flat tua kami di Marine Vista di
Singapura. Tampak pemandangan yang mengiris hati dari orang-orang yang terluka
dan tewas, banyak dari mereka adalah anak-anak. Lantas muncul pemberitaan
mengenai blokade tentara Israel atas Kota Beirut. Bantuan medis bagi para korban
dihalang-halangi, pasokan air, listrik, dan makanan juga diputus.
Lebanon dan Beirut adalah nama-nama yang tidak akrab buatku, sedangkan Israel
sebaliknya, gereja telah mengajarkanku bahwa anak-cucu bangsa Israel adalah orang-orang
pilihan Tuhan. Teman-temanku sesama Kristiani mengatakan bahwa berkumpulnya
orang-orang Yahudi dari seluruh penjuru dunia di Negeri Israel adalah pemenuhan
janji Tuhan yang terdapat dalam pengabaran-pengabaran di Kitab Injil.
Aku berpihak pada Israel untuk alasan lain. Di London, aku menghabiskan waktu
berjam-jam menonton acara televisi yang menyiarkan penderitaan luar biasa orang-
orang Yahudi di tangan Nazi. Kedua orangtuaku juga mengalami penyiksaan dari
sekutu Nazi, yaitu tentara imperialis Jepang. Sebagai seorang pengungsi di luar
negeri, aku mengerti apa arti tidak punya negara. Penciptaan Negara Israel, yang
memberi semua orang Yahudi sebuah rumah yang membuat mereka terbebas dari
penganiayaan dan siksaan, menurutku adalah suatu tindak keadilan bahkan suatu
keadilan dari Tuhan. Koran-koran menyebutkan bahwa penyerbuan Israel ke Lebanon telah mengakibatkan
ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal dan menewaskan empat belas ribu
orang, sehingga hal ini benar-benar membuatku marah. Aku tidak bisa memahami
mengapa Israel melakukan hal demikian. Pasti ada alasan yang bagus untuk itu.
Kebanyakan berita yang tersebar di Inggris menggambarkan penyerbuan tersebut
sebagai usaha Israel untuk menghalau PLO (Palestine Liberation Organisation,
Organisasi Pembebasan Palestina) dari markasnya di Lebanon. Yang kuketahui
tentang PLO adalah sekelompok orang Arab yang membajak pesawat, memasang bom di
mana-mana, dan membenci orang-orang Yahudi.
Beberapa seniorku di gereja mengatakan kepadaku bahwa orang-orang Palestina
adalah keturunan bangsa Filistin dalam Kitab Perjanjian Lama, dan setiap orang
tahu bahwa raksasa Goliath adalah termasuk orang Filistin penakluk yang meneror
lawan-lawannya. Kisah David dan Goliath menjadi salah satu kisah favoritku
ketika aku aktif menjadi guru sekolah Minggu, aku suka sekali bercerita pada
anak-anak bagaimana si kecil David mengalahkan si raksasa Goliath (tinggiku
sendiri kurang dari 150 cm).
Meskipun demikian, dari ulasan berita tersebut, tampaknya Israel telah berubah
menjadi Goliath, seorang raksasa angkuh yang membawa kehancuran, teror, dan
kematian kepada saudaranya, Lebanon. Seorang pemimpin Israel mengatakan kepada
pers bahwa ia sungguh menyesali jatuhnya banyak korban, tetapi, katanya, untuk
membuat telur dadar, terlebih dahulu kita harus memecahkan telur.
Memecahkan telur" Perkataan itu sangat mengejutkanku. Telur dadar seperti apa
yang hendak dibuat Israel" Dan apakah orang-orang di Lebanon itu adalah telur-
telur yang harus dipecahkan" Jelas sekali dari laporan-laporan berita tersebut
bahwa orang-orang yang terbunuh, terluka, atau kehilangan tempat tinggal adalah
warga sipil, dan banyak dari mereka adalah wanita dan anak-anak.
Mengebom orang-orang sipil adalah cara yang memalukan untuk melakukan perang.
Bom-bom itu jatuh selama berhari-hari, di taman bermain, pemakaman, rumah
penduduk, rumah sakit, sekolah, dan pabrik. Bahkan kapal Palang Merah
Internasional yang membawa persediaan makanan dan obat-obatan untuk Beirut juga
menjadi sasaran. Dari apa yang kudengar, aku menyimpulkan bahwa tidak ada seorang pun yang
peduli, dan bahwa Tuhan telah berpaling dari Lebanon. Melihat orang-orang yang
terluka di Lebanon membuatku pedih, pertama karena mereka telah disakiti oleh
Israel, kedua karena aku seorang Kristiani, dan ketiga karena aku seorang
dokter. Aku tak bisa mengerti betapa tega pesawat-pesawat Israel menjatuhkan
bom-bom fosfor ke penduduk sipil di dalam kota yang sangat padat tersebut. Aku
meminta kepada Tuhan sebuah penjelasan, memintaNya untuk memberiku pemahaman.
Hingga pada suatu hari di bulan Agustus 1982, aku mendengar dari seorang rekan
sejawat Bryan Mayou bahwa sebuah pesan SOS internasional telah dikirim untuk
meminta pengiriman seorang dokter bedah ortopedis yang akan merawat para korban
di Beirut. Tuhan telah menjawab doaku, sebagai seorang dokter bedah ortopedis,
aku tahu apa yang harus kulakukan. Untuk pertama kalinya di musim panas itu,
sejak perang meletus, aku merasa tenang. []
Dua Tatkala aku merasa tidak yakin apa yang harus kuperbuat dalam hidupku, adik
laki-lakiku mendorongku untuk menekuni bidang kedokteran. Kemudian, ketika aku
terkaget-kaget oleh kenyataan yang mengerikan dalam sekolah kedokteran, orangtua
membujukku untuk bertahan di situ. Demikian pula, ketika komunitas dokter
menyudutkanku karena terlalu blak-blakan berbicara tentang Singapura, bidang
bedah ortopedis menyediakan jalan bagiku untuk melarikan diri. Ketika Francis
dan aku harus meninggalkan Singapura, aku ingin bekerja sebagai dokter bedah di
Inggris, tetapi aku menghadapi banyak sekali prasangka dari para pria kulit
putih dalam komunitas dokter Inggris. Akhirnya aku mendapat kesempatan dan
menjadi anggota Royal College of Surgeons. Kini aku resmi menjadi seorang dokter
bedah ortopedis, dan waktunya mempraktikkan keahlianku untuk tujuan mulia.
Saat aku mendaftarkan diri untuk pergi ke Beirut, organisasi amal Kristen yang
membuka lowongan sukarelawan tidak mau mengirimku ke sana karena aku tak
memiliki paspor. Yang kupunya hanya dokumen perjalanan dari pemerintah Inggris.
Organisasi tersebut khawatir aku tak dapat memasuki Lebanon tanpa paspor.
Kemudian, Francis menghubungi Kantor Urusan Luar Negeri Inggris, dan mereka
meyakinkan kami bahwa meskipun surat
jalan tersebut tidak memberiku kuasa perlindungan dari korps diplomatik Inggris
atau perwakilan konsulatnya di luar negeri, mereka akan berusaha sebisa mungkin
membantuku bila aku mengalami kesulitan dan membutuhkan pertolongan dari
Kedutaan Inggris di Beirut. Berbekal jaminan itu, aku berusaha membujuk
organisasi amal tersebut untuk membawaku serta. Lalu, Francis berbicara dengan
Kolonel Gray dari Palang Merah Inggris untuk meyakinkan bahwa aku cukup
berpengalaman untuk pekerjaan itu. Kolonel Gray sangat senang mendengarnya dan
mendoakan keberuntungan berpihak pada Francis untuk upayanya itu. Beberapa saat
kemudian, barulah ia sadar bahwa bukan Francis yang berencana pergi ke Beirut.
Tak butuh waktu lama untuk bersiap-siap pergi ke sana. Aku mengundurkan diri
dari rumah sakit tempatku bekerja di Inggris, mengepak barang-barangku, dan
berangkat ke bandara. Sejak Israel menutup Bandara Internasional Beirut, kami
harus terlebih dulu terbang ke Larnaca di Siprus untuk kemudian melanjutkan
perjalanan dengan kapal feri. Cukup banyak yang ikut pergi bersama kami aku
bukan satu-satunya dokter sukarelawan yang pergi ke Beirut. Secara keseluruhan,
terdapat sekitar seratus tenaga medis dari berbagai penjuru dunia. Kami memiliki
warna kulit yang beragam dan memeluk agama yang berbeda beda Kristen, Islam,
Yahudi, dan sebagainya. Kami meninggalkan rumah kami dengan harapan dapat
menolong para korban di Lebanon. Bulan-bulan berikutnya, beberapa dari
kami menjadi teman dekat.
Agustus adalah puncak musim liburan, dan pesawat jet yang lepas landas dari
Bandara Heathrow di London mengangkut para turis yang dengan riang gembira
hendak menikmati hangatnya matahari Siprus dan pantainya. Setelah beberapa jam
bersama para pelancong tersebut, aku melangkah keluar dari pesawat yang mendarat
di Bandara Larnaca. Dalam beberapa hal, Siprus mengingatkanku pada Asia Tenggara, dan aku segera
teringat rumahku di sana. Ketika dulu di Singapura aku memutuskan untuk menjadi
dokter, timbul perbedaan pendapat di antara kedua orangtuaku. Ibuku tergetar
hatinya memikirkan bahwa anak perempuannya akan menjadi dokter, tetapi ayahku
lebih menyukai karier di bidang musik. Aku menetapkan pilihanku sendiri, dan
dengan mantap aku berangkat ke sekolah kedokteran pada hari pertama kuliah.
Hal yang tidak diberitahukan siapa pun kepadaku adalah bahwa aku harus melalui
hari pertama kuliah dengan membedah mayat manusia yang diawetkan dalam cairan
formalin. Ruang bedah anatomi tersebut terlihat seperti seting film horor dan
bau formalin yang sungguh menyengat membuatku nyaris pingsan, bau itu menjalari
hidungku, menusuk-nusuk ke dalam, dan menyebabkan mataku berair.
Di tahun pertamaku terdapat dua puluh dua mahasiswa wanita dan sembilan puluh
delapan mahasiswa pria, kami dibagi ke dalam enam kelompok,
dan tiap kelompok mendapat satu mayat untuk dibedah. Jasad yang malang itu akan
dipotong bagian demi bagian sepanjang tahun perkuliahan kami. Potongan-potongan
tungkai dan irisan-irisan paru-paru, otak, dan jantung yang disisakan para
pendahulu kami tergeletak begitu saja di meja-meja bedah, di baskom-baskom, dan
bahkan di lantai. Pada meja bedah nomor satu diletakkan sesosok mayat untuk kelompok kami. Aku
mengamatinya. Pada labelnya tertulis, "Pria, identitas tak diketahui, tidak
diakui". Lalu, masuklah sang dosen Anatomi, ia sosok yang riang dan lincah, dan
menggenggam sepotong tulang paha manusia yang digunakan sebagai alat penunjuk.
"Halo, Nona Mungil!" sapa si profesor. Dengan seringai di wajahnya, ia menepuk
pelan bagian atas kepalaku dengan tulang paha itu. Kontan, aku hampir saja
menjerit karena aku tak pernah sebelumnya disentuh oleh anggota tubuh manusia
yang sudah mati. Untunglah pada saat itu juga terdengar bunyi hantaman keras dan
seisi kelas berpaling untuk melihat apa yang terjadi. Dua mahasiswa pria jatuh
tak sadarkan diri di lantai. Peristiwa tersebut menyelamatkanku hari itu, sebab
perkuliahan ditangguhkan, sedangkan kedua temanku itu diangkut ke lapangan luar
untuk mendapatkan udara segar dan air minum.
Gara-gara huru-hara itu, aku pulang. Sesampai di rumah, aku mengatakan pada
ibuku bahwa urusanku dengan kedokteran sudah selesai. Setinggi apa pun
keinginanku untuk mengabdikan diri
mengobati orang-orang yang sakit dan menderita, watakku terlalu lembut untuk
setiap hari berhadapan dengan kematian.
Ibuku sangat terpukul mendengarnya. Ia mengingatkanku tentang kemajuan yang
dicapai para wanita pada abad ke-20, lima puluh tahun yang lampau, penduduk desa
di Cina masih menenggelamkan bayi-bayi perempuan mereka ke sungai. "Banyak hal
yang bisa kamu berikan kepada orang-orang jika kamu mengambil kesempatan ini,"
ujarnya. "Sekarang kamu ingin menyia-nyiakan semua itu hanya karena kamu tidak
mau mengatasi rasa takutmu terhadap mayat! Sejak kapan aku mendidikmu menjadi
lemah seperti itu" Kamu membuatku kecewa!" Ibu tak dapat melanjutkan kata-
katanya, ia menangis. Pada saat itulah, aku tersadar betapa banyak masa sulit yang telah dilaluinya.
Dua kali ia melepaskan pekerjaannya sebagai guru dan penulis. Kali pertama
adalah untuk menggalang gerakan peralawanan terhadap pendudukan militer Jepang,
dan akibatnya ia harus berakhir di dalam barak tawanan. Kali kedua adalah untuk
membesarkan kami. Ia telah banyak berkorban untuk kami, anak-anaknya, ia juga
telah memberi banyak hal kepada kami. Sekolahku mengajarkanku membaca dan
menulis, sedangkan Ibu mendidikku. Melalui didikannya, aku belajar tentang
kemiskinan dan penderitaan rakyat jelata dan kemerosotan serta pelecehan yang
menimpa kaum wanita. Darinya, aku menerima sebuah pandangan tentang kehidupan
sebagaimana mestinya. Aku sungguh berutang budi padanya. Namun, ia tidak
berusaha mengubah keputusanku untuk berhenti kuliah di kedokteran.
Berbeda dengan tanggapan Ayah. Ketika diberi tahu bahwa aku tidak akan
melanjutkan kuliah di kedokteran, ia merasa senang. Ia berkata bahwa aku telah
melanggar perjanjianku dengannya, dan bertanya apakah aku akan mempertimbangkan
untuk mengembalikan uang kuliah yang baru saja dibayarkannya. Keesokan harinya,
aku kembali ke ruang bedah yang menyebalkan itu.
Setelah beberapa minggu berlalu, aku sangat menyukai dosen Anatomi itu, dan
dengan segera merasa bagai di rumahku sendiri saat berada di dalam ruang bedah
itu, sehingga aku dapat mengunyah sandwich atau minum kopi sambil memeriksa
bagian-bagian mayat. Sebagai tenaga intern, aku segera menyadari bahwa menjadi seorang dokter
bukanlah sesuatu yang istimewa. Ilmu kedokteran hanyalah aplikasi teknologi
untuk meredakan penyakit atau rasa nyeri. Seorang dokter adalah seorang teknisi
yang dilatih untuk berurusan dengan masalah-masalah tertentu. Pemikiran mulia
tentang menyelamatkan nyawa banyak orang pudar begitu saja, kami mempraktikkan
"teori dan aplikasi" dan "pelatihan" untuk pengobatan darurat dan penyakit
berat, dan mencoba menemukan solusinya. Orang-orang lain membetulkan mobil-mobil
yang rusak atau pipa yang bocor. Mereka juga teknisi.
Aku sepenuhnya menikmati kuliah maupun
pekerjaanku di Singapore General Hospital. Aku sangat sibuk sepanjang waktu.
Kehidupanku berkutat di seputar bangsal, pasien-pasien yang keluar masuk,
konferensi-konferensi kedokteran, ruang-ruang operasi, dan perpustakaan.
Lingkungan sosialku terdiri dari para rekan sejawat dan pasien, dan terkadang
anggota keluargaku. Rumah sakit menjadi tempatku bekerja dan bermain, berbagi
suka dan duka, meraih keberhasilan atau menerima kegagalan di sanalah tempatku
hidup dan duniaku. Begitulah kegiatan setiap dokter muda yang bekerja ratusan
jam per minggu untuk bertahan hidup.
Pada hari-hari ketika aku sedang bebas dan tidak ada "panggilan", aku berjalan-
jalan ke luar rumah sakit. Cahaya matahari, awan, udara terbuka, dan trotoar di
bawah kakiku, awalnya semua itu bagiku terasa bukan sungguhan. Pusat-pusat
perbelanjaan yang megah dengan jendela display toko-toko yang berwarna-warni
terang, wanita-wanita yang mengenakan busana elegan dan rias wajah berkelas,
lalu lin-tas yang padat dan bus-bus yang penuh sesak, lampu-lampu lalu lintas
yang mencolok, musik pop yang hingar-bingar terdengar hingga ke luar toko, semua
itu adalah dunia yang terasa asing bagiku.


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singapura adalah kota yang supersibuk urban, modern, komersil, industrialis, dan
sering serba elektronis. Orang-orang di dalamnya selalu terburu-buru. Makanan
yang lezat dilahap di berbagai tempat makan. Mungkin ini memang cara yang tepat
untuk makan makanan rumah sakit, tetapi di
dalam kota yang punya banyak jenis makanan yang begitu bervariasi dan berlimpah,
rasanya rugi sekali bila tidak sejenak menikmatinya.
Untuk mencegah Singapura menjadi hutan beton, pemerintah telah mencanangkan
kampanye besar penanaman pohon untuk menjadikan Singapura sebagai "kota asri"
seperti yang tertera pada papan-papan promosi wisata. Di mana-mana terdapat
taman dan kebun yang luas, yang membuat seluruh kota menjadi tempat yang
menyenangkan. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku jadi sangat rindu Singapura.
Di Siprus, aku berjalan-jalan di bawah terik matahari, dan bunga sepatu berwarna
merah membuatku ingat Asia Tenggara dan rumahku.
Karena tiba pada saat terjadi serangan udara selama tiga puluh enam jam di
Beirut, kami terpaksa tinggal beberapa hari di Siprus. Salah seorang pekerja PBB
di pulau itu memberi tahu kami bahwa dua puluh ribu keluarga di Lebanon telah
kehilangan rumah mereka gara-gara penyerbuan Israel. Namun, jumlah korban yang
tewas tidak dapat dipastikan, sebagian karena banyak mayat terpendam di bawah
reruntuhan bangunan, dan sebagian lagi karena banyak orang ditawan pasukan
Israel, dan tak ada jalan untuk mengetahui apakah mereka sudah mati atau masih
hidup. Sewaktu kami menunggu di Siprus, ada kabar bahwa Israel mengebom lagi kapal
Palang Merah Internasional yang lain. Tampaknya, di hadapan Israel, menjadi
seorang dokter tidak memberi kita
imunitas. Jika mereka tega melakukan hal seperti itu terhadap Palang Merah
Internasional, yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa, apa yang akan mereka
lakukan terhadapku, seorang dokter sukarelawan yang hanya dilindungi oleh
dokumen perjalanan" Apa yang akan mereka perbuat terhadap sukarelawan lainnya"
Aku menenangkan diriku sendiri dengan berpikir, yah, tak apalah, setidaknya jika
aku kena bom, orang-orang Lebanon sudah pernah memiliki seorang teman asal
Singapura yang berusaha semampunya.
Kemudian terpikir olehku Francis. Kepergian kami dari Singapura telah
mengorbankan kariernya sebagai pengacara, rumahnya, keluarganya, dan teman-
temannya. Kini ia hanya punya aku istrinya dan ia masih saja mendukung
keputusanku pergi ke Lebanon. Sewaktu di London, ia berkata padaku, "Dengarlah,
Swee Chai, seandainya aku dokter, aku sendiri akan pergi. Tetapi aku bukan
dokter, sehingga satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mendorongmu pergi."
Lalu, ia memasang wajah tegar dan membantuku mengepak tasku. Ia mungkin tidak
mengira bahwa aku tahu, jauh di dalam hatinya, perasaannya remuk redam
membayangkan suatu saat nanti menerima kiriman tubuhku yang sudah tak bernyawa
karena Israel mengebom rumah sakit tempatku bekerja. Pada malam sebelum aku
pergi, aku menyuruhnya minum pil tidur dan memintanya berhenti memikirkan
kemungkinan aku akan pulang dalam kantong mayat berwarna hitam.
Baru saja aku melangkah keluar dari lift, sebuah suara membuyarkan lamunanku,
"Dokter, apakah Anda akan pergi ke Lebanon untuk menolong bangsa saya" Terima
kasih banyak, dan selamat datang."
Orang yang berbicara padaku itu mengenakan celana panjang putih dengan sabuk
cokelat dan kaus katun berwarna pucat. Lelaki itu bertubuh tinggi, berkulit
gelap, dan berusia paruh baya.
"Anda orang Lebanon?" tanyaku.
"Bukan, saya orang Palestina," jawabnya.
Itulah orang Palestina pertama yang aku temui. Kata "orang Palestina" terdengar
tidak menyenangkan di telingaku, walaupun pria itu berbicara dalam bahasa
Inggris yang sempurna dan bersikap sangat sopan. Aku sama sekali tidak menyukai
ide bercakap-cakap dengan seorang berkebangsaan Palestina. "Maksud Anda, Anda
PLO?" tanyaku, diam-diam mengamati apakah ia menyembunyikan pistol atau granat
tangan di suatu tempat di tubuhnya.
Pria itu menerangkan bahwa ia bukan anggota PLO, melainkan seorang dosen di
sebuah universitas. Mata kuliah yang ia ajarkan adalah Kesusastraan Arab. Sambil
mengembuskan napas lega, aku menyambut ajakan makan siang bersamanya. Kemudian,
ia mulai bercerita tentang dirinya, dan aku takjub dengan apa yang
dituturkannya. Keluarga dari kenalan baruku itu berasal dari sebuah kota bernama Jaffa. "Anda
nantinya akan mendengar komentar orang-orang tentang jeruk Jaffa yang terkenal,"
ujarnya. "Orang-orang Israel
bilang, merekalah yang membuat gurun itu menjadi permai, tetapi saya dilahirkan
di sebuah tanah perkebunan jeruk, nenek moyang saya telah menanam jeruk selama
berabad-abad. Orang-orang itu mengusir kami. Kami kehilangan tempat tinggal dan
jeruk-jeruk kami, dan kami menjadi pengungsi. Keluarga saya tercerai-berai. Ibu
dan saudari-saudari saya mengungsi ke Yordania. Salah seorang saudara saya
sekarang di Arab Saudi, seorang berada di Yaman, dan seorang lagi di Kuwait.
Ayah saya tetap tinggal di Tepi Barat dan membawa saya bersamanya. Sayangnya,
daerah Tepi Barat menjadi semakin sulit untuk ditempati, sehingga ketika usia
saya tiga belas tahun, saya kabur dari rumah karena sudah tidak tahan lagi. Saya
menuju Beirut dan belajar di sebuah universitas di sana. Jadi, kini keluarga
saya tercerai-berai. Saya hanya berharap suatu hari dapat bertemu lagi dengan
mereka semua." Baru pertama kalinya aku mendengar kisah seperti itu. "Apa pendapat Anda tentang
PLO?" tanyaku. Ia mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan PLO, ia memberikan kepada mereka
lima persen dari pendapatannya dan menganggap PLO sebagai pemerintahnya.
Sebelumnya tak pernah ada yang menerangkan padaku bahwa PLO adalah sebuah
lembaga pemerintahan. Aku pasti terlihat kaget, karena ia meminta beberapa
lembar kertas. Setelah aku memberinya selembar kertas putih yang lebar, ia mulai
menggambar diagram organisasi PLO,
ada Dewan Nasional dan parlemennya, Federasi Perserikatan Perdagangan,
Kementerian Tenaga Kerja, Perserikatan Wanita Palestina, Perhimpunan Bulan Sabit
Palestina (PRCS), Kementerian Kesehatan, dan banyak lagi. Kertas itu terisi
penuh dengan semakin banyak organisasi. Tiba-tiba ia berhenti menulis, lantas
berujar, "Anda tahu 'kan, kami selalu dijuluki 'teroris'. Kami berjumlah lima
juta orang. Jika kami semua teroris, seharusnya kami telah menghancurkan seluruh
dunia hanya dalam waktu sehari!"
Pernyataannya itu tak membuatku lantas percaya seratus persen. Melihat kertas
yang digambarinya, yang sekarang penuh dengan kotak, garis, dan huruf, harus
kuakui bahwa diagram tersebut memang terlihat seperti struktur sebuah pemerintah
yang mewakili lima juta penduduk. Namun, gambar itu tidak cocok dengan
bayanganku tentang PLO. Apakah kelompok tersebut adalah sekumpulan teroris Arab,
atau apa" Apakah mereka ini para pembajak, pengebom, dan pembenci Yahudi"
Hal lain yang terdengar janggal adalah "Palestina". Meskipun kedengarannya tidak
masuk akal, aku tidak tahu di mana letak "Palestina". Lalu, kuambil sebuah peta
Timur Tengah dari tas tanganku. Tidak ada "Palestina" di sana. Ketika aku
memintanya untuk menunjukkan di mana Palestina berada, ia menempelkan jarinya di
atas Israel, lalu mengatakan bahwa itulah "Palestina yang dijajah".
"Para penjajah itu mengusir hampir satu juta orang Palestina keluar dari negeri
saya pada 1948," jelasnya. "Mereka tidak hanya merampas tanah dan kepemilikan barang-barang dari
orang-orang yang diusir itu, tetapi juga mengganti nama negeri saya menjadi
Israel. Mereka yang menolak meninggalkan tanah itu disiksa, bahkan hingga
sekarang." Setelah dua jam berdiskusi sambil makan siang, akhirnya untuk pertama kalinya
dalam hidup, aku menyadari bahwa rakyat Palestina adalah orang-orang buangan.
Yang hendak dijelaskan orang Palestina kenalanku itu adalah bahwa PLO merupakan
pemerintahan mereka di tanah buangan. Meskipun aku ingin menanyakan kaitan PLO
dengan penyerbuan Israel ke Lebanon, saat itu aku sudah terlambat untuk
mengikuti sesi briefing bagi para dokter sukarelawan, sehingga aku harus
bergegas. Ketika aku baru saja beranjak pergi, ia menghampiri dan berkata dengan
nada sangat serius, "Dokter, Anda harus ke Palestina. Jika Anda sampai di sana,
tolong lihatlah apa rumah ayah saya masih di sana dan kirimilah saya foto jika
memang masih ada." Ia memberi tahu letak rumah ayahnya sekaligus memberikan
alamat rumahnya sendiri. Sesi briefing yang kuhadiri tidak terlalu berguna, setidaknya sejauh yang
kuikuti, karena aku tidak terlalu berkonsentrasi pada hal itu. Pikiranku
mengembara ke mana-mana, mengingat-ingat kembali hal-hal yang baru saja kudengar
tentang orang-orang Palestina. Seandainya tak pernah menjadi sukarelawan ke
Lebanon, mungkin aku takkan pernah mendengar hal-hal itu. Namun, di lain pihak,
pria itu bisa jadi adalah seorang agen PLO
yang memberiku informasi yang salah. Lagi pula, mengapa aku harus memercayai
ceritanya" Kalau memang PLO bukan teroris, mengapa semua orang mengatakan hal
sebaliknya" Aku tak punya jalan untuk mencari tahu fakta sebenarnya, tetapi
sepertinya aku akan segera menemukannya di Lebanon nanti.
Pada hari berikutnya, kami naik kapal menuju Beirut. Tidak ada kejadian istimewa
dalam perjalanan itu selain satu kali diberhentikan oleh sebuah kapal meriam
Israel. Kapal yang kutumpangi itu adalah sejenis kapal feri yang berlayar di
sekitar Laut Tengah, dengan orang-orang yang duduk-duduk di sekitar buritan dan
bermain judi di kasino kapal. Namun, terasa ada hawa yang tidak mengenakkan.
Tidak seorang pun yang berminat membicarakan perang, tetapi setiap kali terlihat
ada benda bergerak di cakrawala, setiap orang berbisik, "Israel." Restoran di
kapal itu tutup pada siang hari, tetapi tersedia minuman.
Kebanyakan rekan sejawatku duduk-duduk di dek atas di atas bangku panjang dari
kayu, sambil menatap lama dan dalam ke arah lautan. Kami telah diingatkan untuk
tidak berbincang-bincang terlalu akrab dengan orang-orang asing, kendatipun
mereka tampak ramah. Seorang pemuda menghampiriku dan menanyakan apakah
rombongan kami akan merawat para korban perang. Lalu kujawab, "Ya." Kemudian, ia
mulai menyatakan kekagumannya terhadap para tenaga medis yang bersedia menjadi
sukarelawan untuk membantu orang-orang yang
menderita. Namun, ia juga memberitahuku bahwa dalam beberapa hal, orang-orang
Palestina dan penduduk Muslim Lebanon di kawasan Beirut Barat memang merupakan
pembuat onar dan tidak pantas diberi pertolongan. Komentarnya itu membuatku
yakin bahwa ia adalah orang Israel atau simpatisan Israel, dan aku segera
memohon diri agar tidak terseret lebih jauh lagi dalam kontroversi. []
Tiga Kapal tiba saat fajar di Jounieh, sebuah pelabuhan di Beirut Timur. Menurutku,
pelabuhan kecil itu sepertinya pernah menjadi sebuah tempat liburan yang indah,
tidak seperti saat ini, dipenuhi para tentara berseragam dengan laras senapan.
Namun, para wanita berwajah khas orang-orang Laut Tengah, berpakaian cerah, dan
mengenakan topi-topi cantik, untuk sementara membantuku melupakan bahwa aku
mengunjungi sebuah negeri yang dilanda perang. Bahkan, di balik kehadiran para
tentara itu, terlihat pegunungan hijau yang permai dan langit biru yang jernih.
Di bawah langit itu terbentang Laut Tengah yang bercahaya dengan kapal-kapal
nelayan yang mengarunginya.
Kami disambut oleh organisasi masyarakat Lebanon yang nantinya akan mengurus
kami sekaligus bertindak sebagai atasan kami, dan mereka menempatkan kami di
lantai pertama sebuah rumah sakit di Beirut Timur. Kota itu dipisahkan oleh
"Garis Hijau Perdamaian" yang membagi umat Kristen di sebelah timur dan umat
Islam di bagian barat. Mengapa garis itu disebut Garis Hijau Perdamaian, aku
sendiri juga tidak tahu, sebab selama bertahun-tahun terjadi lebih banyak
pertempuran di Garis Hijau itu daripada di daerah-daerah lainnya. Mungkin saja
itu karena dahulu pernah terjadi
gencatan senjata antara umat Kristen dan Muslim. Jika memang demikian, jelas
gencatan senjata itu telah dicabut. Beberapa jalan menghubungkan Beirut Barat
dengan Timur, dan jalan-jalan itu membentuk "persilangan". Batas wilayah umat
Kristiani biasanya dijaga oleh tentara Kristiani, dan batas wilayah umat Muslim
juga dijaga oleh tentara Muslim. Biasanya, keduanya merupakan bagian dari
pasukan Angkatan Bersenjata Lebanon, yang terbagi ke dalam brigade-brigade
menurut keyakinan religius mereka. Brigade ke-6 terutama berisi Muslim Syi'ah,
Brigade ke-18 Muslim Sunni, dan Brigade ke-S orang Kristen.
Selain tentara pemerintah Lebanon, ada pula banyak milisi nonpemerintah, baik
Kristen maupun Muslim. Setiap milisi punya hubungan dengan sebuah kelompok
politik atau keagamaan. Ada pula milisi-milisi pribadi milik tokoh-tokoh
terkenal dan kaya. Keesokan paginya, kami mengetahui bahwa persilangan Garis Hijau, yang rencananya
akan kami lewati, sedang ditutup. Sehingga, seharian itu kami punya waktu bebas
untuk berkeliling-keliling di sekitar Beirut Timur. Sebagai seorang yang benar-
benar asing terhadap daerah itu, aku diingatkan untuk selalu memasang mata dan
telinga baik-baik serta tutup mulut, terutama di hadapan tentara-tentara dan
anggota milisi, sampai aku mengenali kelompok-kelompok lokal di sana serta
afiliasi mereka. Salah bicara dapat membahayakan diriku maupun para kolegaku. Misalnya, ungkapan
sentimen anti Israel dapat memancing reaksi permusuhan beberapa milisi Kristiani
atau golongan di Angkatan Bersenjata, karena pada saat itu orang Israel
merupakan sekutu orang Kristen.
Beirut Timur adalah kota besar yang sibuk. Ada toko, bank, mobil, lampu lalu
lintas, dan orang-orang yang berseliweran dengan urusan mereka masing-masing.
Orang Lebanon secara keseluruhan rupawan, dengan kulit cokelat dan raut muka
khas Eropa Selatan. Para wanitanya sangat molek, dengan kehangatan dan keceriaan
bak anak-anak perempuan yang bergembira di bawah cahaya matahari tropis. Satu-
satunya yang mengingatkanku bahwa di sana sedang terjadi perang adalah kehadiran
banyak tentara, kendaraan militer, dan tank. Seragam para tentara itu sangat
menarik, sebagian mengenakan baju hijau gelap, sebagian hijau muda, dan sebagian
lagi warna khaki. Beberapa tentara mempunyai tanda pangkat khusus, sedangkan
yang lainnya memakai tanda berupa kain lebar berwarna yang dijahit di seragam
mereka. Dalam waktu singkat, aku dapat mengenali warna-warna dan tanda pangkat
tentara Israel, dan aku terkejut melihat sekelompok gadis Lebanon menghampiri
mereka untuk memberikan bunga.
Tak berapa lama kemudian, aku sampai di sebuah kantor pos yang besar dan padat
pengunjung. Aku membayar 100 lira setara dengan 30 poundsterling untuk menelepon
ke London selama tiga menit. Aku menelepon Francis untuk meyakinkannya bahwa
keadaanku baik-baik saja, dan memberitahunya bahwa aku mungkin akan menyeberang
dari Beirut Timur ke Barat esok hari jika persilangan dibuka.
Seusai menelepon, aku menemukan sebuah toko buku dan membeli kamus Inggris-
Prancis, karena kebanyakan orang Lebanon yang kutemui berbicara dalam bahasa
Prancis. Setelah itu, aku membeli kue-kue kering khas Lebanon yang manis dan
harum. Aku menemukan tempat yang enak untuk duduk, yaitu di tangga menuju sebuah
kantor besar. Di sanalah aku mulai melahap makanan dan kamus tersebut.
Makanannya memang enak, tetapi mempelajari bahasa Prancis membuatku tak dapat
menyantapnya dengan nikmat!
Setelah seharian mengarungi kota, aku kembali ke rumah sakit, pergi tidur, dan
terlelap dalam waktu singkat.
Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi sekali untuk menyeberangi Garis Hijau
menuju Beirut Barat. Kami melewati jalan yang berdebu dan berliku-liku,
diselingi dengan karung-karung pasir dan tentara-tentara yang berjaga-jaga
setiap jarak lima puluh atau seratus meter. Pos-pos pemeriksaan tersebut
dikontrol oleh anggota kelompok milisi yang berbeda. Kecuali gangguan-gangguan
di pos-pos tersebut berupa pemeriksaan surat dan barang bawaan kami, tidak ada
masalah berarti. Semakin mendekati Beirut Barat, jalanan menjadi semakin
berdebu. Tiba-tiba saja kami sudah melewati Garis
Hijau dan menuju Beirut Barat, yang terlihat seperti apa yang telah sering kami
tonton di layar televisi, bedanya kini dalam bentuk tiga dimensi yang nyata.
Saat aku tiba di Beirut Barat, serangan udara terburuk telah usai. Meskipun
merasa lega karena tidak ada bom dan granat jatuh dari langit, aku terhenyak
melihat kerusakan di dalam kota. Bangunan-bangunan yang luluh lantak karena
dibom, tumpukan puing-puing, tembok-tembok yang runtuh, lubang-lubang besar yang
menganga di jalan akibat ledakan bom dan granat keseluruhan daerah itu tampak
hancur berantakan di mata pendatang dan merupakan mimpi buruk bagi penduduknya.
Sisa-sisa Beirut yang tidak terkena serangan masih terlihat sangat indah. Dalam
benakku, dapat kubayangkan keadaan kota ini sebelum pecah perang. "Mutiara Timur
Tengah" yang tegak berdiri membelakangi pegunungan dan menghadap ombak Laut
Tengah, pasti dulu kota itu adalah surga dengan pohon-pohon jeruk dan cedar,
bunga-bunga mawar dan melati, yang tumbuh subur karena adanya sungai-sungai dan
cahaya matahari yang melimpah.
Namun, kini kebanyakan bangunan indah dari batu halus dan pualam telah berubah
menjadi reruntuhan yang menyeramkan akibat dibom. Perang telah memudarkan kilau
mutiara itu, meninggalkan noda-noda yang gelap dan dalam yang mungkin takkan
bisa hilang. Pengemudi kami yang merupakan orang Lebanon memberi tahu bahwa
tidak semua bangunan yang hancur itu disebabkan oleh bom-bom Israel. Ada juga
yang sudah hancur sejak "Perang Saudara Pertama" pada pertengahan 1970-an. Orang-orang Lebanon sudah
bertahun-tahun tak melihat perdamaian. Sebagaimana kebanyakan orang Lebanon
lainnya, pengemudi kami juga merasa muak dengan perang.


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa senjata mutakhir telah diujicobakan di kota ini. Implosion bomb, juga
dikenal dengan vacuum bomb, sanggup "mengisap" satu blok bangunan sepuluh lantai
ke dalam tanah hanya dalam beberapa detik membuatnya menjadi tumpukan besar
beton dan puing, mengubur seluruh penghuni di dalamnya hidup-hidup. Semuanya
terjadi dalam sesaat. Tidak demikian halnya dengan bom fosfor, zat fosfornya
menempel di kulit, paru-paru, dan usus para korban selama bertahun-tahun, terus
membakar dan menghanguskan serta menyebabkan nyeri berkepanjangan. Bila
mendengar tentang fosfor, banyak orang bakal teringat pelajaran kimia di
sekolah, logam ini tidak bereaksi apa-apa di dalam air, tetapi bila dikeluarkan
dari air, logam itu secara spontan akan terbakar. Korban-korban bom ini mengisap
fosfor ke dalam paru-paru mereka dan ditakdirkan mati mereka akan mengeluarkan
gas fosfor hingga napas terakhir. Reaksi terbakar yang terjadi di kulit sering
menembus hingga otot-otot dan tulang.
Selain itu, ada bom antipersonel fragmentation bomb atau cluster bomb. Bom jenis
ini meledak dan tersebar cukup luas dalam bentuk kepingan-kepingan kecil.
Kepingan-kepingan ini akan diam sampai secara tak sengaja dicungkil oleh
anak-anak yang ingin tahu. Kepingan itu akan meledak menjadi pecahan-pecahan
kecil yang tak terhitung jumlahnya. Orang-orang yang terluka akibat pecahan-
pecahan tersebut sering mengalami luka di wajah, mata, tulang, dan organ-organ
tubuh. Fragmentation bomb yang dilengkapi mekanisme penunda ledakan, dijatuhkan
di wilayah-wilayah padat penduduk, dan jelas sekali sasarannya adalah penduduk
sipil, terutama anak-anak. Selain penemuan-penemuan yang cerdik dan kejam ini,
tentu ada pula bom-bom dan granat-granat eksplosif konvensional.
Jadi, inikah yang dimaksud dengan "telur dadar?" Atau itu baru "telur-telur yang
dipecahkan" saja"
Kantor atasanku orang Lebanon terletak di Hamra daerah modern di Beirut Barat
yang terdiri dari Rumah Sakit American University, gedung-gedung perkantoran,
hotel-hotel, apartemen-apartemen mewah, bank-bank dan pusat-pusat perbelanjaan
yang selamat dari pengeboman. Hotel-hotel mewah dipenuhi para wartawan, perang
Beirut merupakan berita hangat bagi mereka, dan akibatnya tarif hotel membumbung
tinggi. Di hotel-hotel seperti The Commodore, steak, anggur, ikan salmon,
sampanye, musik, dan bintang-bintang tamu tersedia cuma-cuma bagi mereka yang
mampu membayar biaya hotel. Akan tetapi, di luar hotel-hotel yang dilengkapi
kolam renang demi kenyamanan tamu-tamunya, kota itu dipenuhi orang-orang yang
mengantre air di titik-titik tertentu.
Hamra terbagi menjadi dua dunia, para koresponden asing dengan bayaran tinggi
dalam hotel-hotel besar nan mewah dan para pengungsi yang tak punya rumah.
Kebanyakan gedung perkantoran dan flat telah dikosongkan para pemiliknya yang
kaya-raya, yang telah terbang ke Swiss, Prancis, atau ke balik pegunungan di
Beirut Timur. Orang-orang Lebanon yang berduit biasanya mempunyai tiga atau
empat rumah di tiga atau empat negara berbeda. Rumah-rumah yang mereka
tinggalkan kini ditempati ribuan penghuni liar dari daerah pinggiran Beirut
bagian selatan dan Lebanon Selatan, yaitu daerah-daerah yang terkena ledakan bom
dan granat yang jatuh dari langit dan menghancurkan rumah-rumah mereka.
Para pengungsi berkumpul di tempat-tempat perlindungan sementara di dalam
gedung-gedung kosong, garasi-garasi, dan tangga-tangga. Di sana sudah didirikan
pusat-pusat bantuan bagi para keluarga yang kehilangan rumah. Di pusat-pusat
bantuan tersebut, lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan dan PBB membagi-bagikan
air, makanan, dan selimut.
Penderitaan orang-orang ini membuat masalah-masalah kami sendiri terlihat
sepele. Apa artinya jika tidak ada kertas tisu, keju Denmark, air, dan listrik"
Toh kami semua tahu bahwa kami masih punya rumah di kampung halaman. Kami berada
di Beirut hanya selama beberapa bulan atau setahun, sedangkan para pengungsi itu
tidak punya kepastian nasib.
Kenyataannya, ketika kembali mengunjungi Beirut hampir enam tahun kemudian,
kudapati bahwa para pengungsi itu masih tinggal di tempat perlindungan sementara
yang sama di dalam garasi-garasi dan bangunan-bangunan yang ditinggalkan, masih
sama sesak dan suram seperti dulu. Aku masih mendengar jeritan yang sama dari
anak-anak yang kelaparan dan ibu-ibu yang risau. Tapi ada satu perbedaannya.
Pada 1982, aku menganggap masalah mereka akan teratasi setelah penyerbuan
berakhir. Pada 1988, aku tahu bahwa mereka adalah orang Palestina dan Lebanon
yang tak punya rumah dan keadaan mereka akan tetap begitu sampai bertahun-tahun
lamanya. Pada sore harinya, para dokter sukarelawan asing kembali dari sesi briefing
sehari penuh yang melelahkan ke tempat tinggal sementara kami di asrama perawat
di American University. Jaraknya dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari Rumah
Sakit American University.
Keseluruhan kompleks tersebut cukup lengang sejak banyaknya mahasiswa yang pergi
untuk menghindari perang. Banyak perawat rumah sakit yang juga telah pergi,
kecuali sejumlah perawat dari Filipina.
Kami pun bercakap-cakap dengan mereka. "Kalian baik sekali masih mau tinggal di
sini untuk merawat para korban perang," kataku. "Kalian tidak takut?"
"Tentu saja kami takut," jawab salah seorang
perawat Filipina itu. "Tapi paspor kami ditahan, jadi kami tak bisa pulang
walaupun kami menginginkannya!"
Hal ini membuat marah ketiga perawat sukarelawan yang baru tiba dari Amerika
Serikat, menurut mereka, menahan paspor orang-orang Filipina tersebut adalah
tindakan tercela. Rumah Sakit American University telah menyelamatkan tak terhitung nyawa. Standar
kualitasnya sangat bagus dan dapat dibandingkan dengan rumah sakit pendidikan
yang besar di Inggris, dengan stafnya yang terlatih serta laboratorium dan
fasilitas-fasilitas teknis tercanggih. Staf dokter dan ahli bedahnya memenuhi
standar internasional. Sayangnya, rumah sakit tersebut sepenuhnya milik swasta. Waktu itu, seorang
pasien harus terlebih dahulu menaruh deposito sebesar sepuluh ribu lira Lebanon
(sekitar tiga ribu poundsterling) sebelum diterima pihak rumah sakit. Orang-
orang yang tidak memiliki uang sebanyak itu akan ditolak. Untuk orang sepertiku,
yang telah bertahun-tahun bekerja di Badan Pelayanan Kesehatan Masyarakat di
Inggris, nyaris tidak mungkin menyetujui pengobatan "bayar tunai di muka"
semacam itu terlebih bila kami berurusan dengan orang-orang yang sekarat.
Hampir semua rumah sakit di Lebanon adalah rumah sakit swasta. Rumah Sakit
American University, salah satu yang terbaik, memberlakukan standar harga yang
tinggi, dan rumah-rumah sakit lainnya yang punya kualitas di bawahnya
memberlakukan standar harga yang lebih rendah. Jadi, Anda mendapatkan pelayanan
sesuai yang Anda bisa bayar ada semacam skala perhitungan yang bergeser sesuai
keadaan. Bahkan, sistem tersebut telah dikacaukan oleh serangan Israel, banyak
rumah sakit lainnya yang hancur. Seorang Lebanon memberitahuku bahwa Israel
mengebom semua bangunan yang mengibarkan bendera Palang Merah. Semua rumah sakit
di Makassad, Babir, Akka, dan Gaza dihancurkan sehingga tidak bisa beroperasi.
Di bagian selatan, rumah sakit-rumah sakit di Nabatieh dan Saida juga mengalami
hal serupa. Namun, mereka tidak berani menyerang Rumah Sakit American
University. Jadi, meskipun mahal, masih tersisa rumah sakit yang bagus dan
berfungsi dengan baik untuk merawat orang-orang Lebanon yang menderita.
Tetapi aku tidak datang ke Beirut untuk bekerja di sebuah rumah sakit swasta.
Aku ingin menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan, mereka ini kebanyakan
miskin dan tidak sanggup membayar biaya perawatan. Pagi berikutnya, kami tiba di
kantor orang-orang Lebanon yang menjadi tuan rumah kami, dan di sana kami
diperkenalkan dengan dr. Rio Spirugi. Ia adalah seorang pria kurus namun
energik, berdarah Swiss-Italia. Ia pernah bekerja untuk Palang Merah
Internasional, namun kemudian menjadi koordinator untuk PRCS (Palestine Red
Crescent Society, Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina). Ia datang ke kantor
itu untuk mencari dokter bedah, ahli anestesi, dan perawat
bedah singkatnya, sebuah tim operasi untuk bekerja di Rumah Sakit Gaza, yang
dijalankan oleh PRCS. Dr. Spirugi menjelaskan bahwa Rumah Sakit Gaza menawarkan
perawatan medis gratis bagi yang membutuhkan, dan aku benar-benar senang
mendengarnya. Aku teringat pria Palestina yang kutemui di Siprus dan mengatakan
padaku tentang pelayanan medis yang diberikan organisasi ini. Pada saat itu,
tentunya, hal terakhir yang terlintas di benakku adalah bahwa aku akhirnya akan
bekerja dengan PRCS. Enam orang dari kami secara sukarela bekerja pada dr. Spirugi. Bryan Mayou,
seorang konsultan bedah plastik yang brilian dari Rumah Sakit St. Thomas di
London, yang telah mengajariku hampir semua hal tentang bedah rekonstruktif dan
bedah mikro, akan menjadi ketua tim. Selain merupakan dosenku, Bryan juga adalah
seorang temanku. Bryan pulalah yang membuatku terpanggil untuk menjadi
sukarelawan ke Lebanon. Orang-orang lainnya dalam tim itu adalah dr. David Gray,
seorang ahli anestesi dari Liverpool, dr. Egon, ahli anestesi dari Jerman, dua
orang perawat operasi Ruth dari Denmark, dan Sheila serta aku. Dr. Spirugi
terlihat cukup senang telah berhasil mengumpulkan sekawanan kecil sukarelawan.
Ia membawa kami ke mobil Peugeot biru miliknya yang ditempeli lambang PRCS, dan
bersama-sama kami berangkat menuju Rumah Sakit Gaza.
"Tahukah Anda," ujarnya padaku, "saya bekerja di Vietnam Selatan sebagai bagian
dari Palang Merah Internasional selama perang melawan Amerika. Tapi sayangnya Thieu mengusir
saya." Ia terkikik. Kuduga ia mengira aku orang Vietnam, jadi kujelaskan kepadanya bahwa aku orang
Singapura. "Kebanyakan dari Anda mungkin sudah pernah bekerja di negara-negara luar Eropa,"
lanjutnya di tengah perjalanan. "Yang harus Anda pahami adalah, PRCS tidak
memangkas jumlah staf medis yang bekerja sebelum penyerangan terjadi. Namun,
selama minggu pertama penyerbuan, para tentara itu menahan 150 dokter dan
perawat. Banyak juga dari mereka yang hilang, dan mereka yang bertugas selama
perang berlangsung kini berhenti mereka terlalu lelah. Beberapa dari mereka
mengalami gangguan saraf."
Kami melewati serombongan kru televisi. "Turis," komentar dr. Spirugi. "Para
wartawan ini hanya turis. Mereka menganggap perang sebagai sebuah pertunjukan
besar. Karena selalu berhati-hati terhadap warna lokal, mereka tidak punya
komitmen kepada apa pun. Dan mereka tidak punya kepedulian apa pun terhadap
masyarakat di sini."
Para wartawan itu perlahan menghilang di belakang kami. Dr. Spirugi jelas tidak
menyukai mereka, tapi aku tak dapat membayangkan bagaimana seluruh dunia akan
mengetahui penyerangan Israel ini jika bukan karena "turis-turis" itu.
"Coba dengar ini!" lanjut dr. Spirugi. "Pagi ini aku bentrok dengan rombongan
sinting itu di kantor. Ketika aku menanyakan jika aku dapat mengajak beberapa
orang dari Anda untuk bekerja di Gaza, yang mereka ingin tahu hanyalah apakah
Anda mau bergabung dengan para sukarelawan lainnya untuk berwisata akhir pekan
ke pegunungan. Kita kan sedang dalam perang, demi Tuhan, dan yang mereka
pedulikan cuma liburan dan jalan-jalan. Gila!"
Ia terbahak. Aku tak melihat apanya yang gila. Perang itu kan tidak berlangsung
di semua tempat, kami baru saja singgah di Beirut Timur, dan di sana tidak
terjadi perang. Para tuan rumah kami orang-orang Lebanon tentu ingin kami
melihat lebih banyak sisi Lebanon daripada sekadar tumpukan puing-puing di
Beirut Barat. Namun, kami mengatakan pada dr. Spirugi bahwa kami akan merasa
senang membatalkan wisata akhir pekan tersebut jika kami memang dibutuhkan di
rumah sakit, dan hal itu membuatnya sangat gembira.
Ini adalah pertama kalinya aku dibawa berkeliling Beirut Barat. Selain mobil
kami itu, tidak ada kendaraan lain di jalanan yang lengang dan dr. Spirugi
menyetir dengan kencang. Untungnya, ia khawatir kalau-kalau tangki besar zat
konsentrat klorin yang dibawanya di bagian belakang mobil akan terguling, kalau
tidak, pastilah ia akan menyetir lebih kencang lagi. "Hati-hati klorinnya, itu
untuk menyucihamakan seluruh Beirut Barat," katanya setiap kali melewati
tikungan-tikungan tajam. Ia mengambil rute yang membawa kami melewati Rumah Sakit Babir dan Makassad,
untuk menunjukkan kepada kami puing-puing kedua rumah
sakit terbesar di Lebanon yang telah hancur itu. "Evakuasi orang-orang PLO akan
segera dimulai," jelasnya ketika kami melewati Rumah Sakit Makassad, "dan
setelah itu, kita akan memindahkan para korban dari rumah sakit darurat ke Rumah
Sakit Gaza dan Akka."
Akhirnya, kami tiba di sebuah tempat yang disebut dr. Spirugi sebagai Rumah
Sakit Akka. Kedatangan kami disambut gundukan raksasa sampah beton berton-ton
puing dalam suatu kawasan yang terlihat hancur lebur. Tidak ada bangunan rumah
sakit yang tersisa. Setelah memarkir mobilnya, dr. Spirugi bahkan tidak memberi
kesempatan kepada kami untuk memandangi tempat itu lebih lama, ia langsung
membawa kami menuju puing-puing itu. Kami tersandung kabel-kabel yang terkelupas
dan potongan-potongan puing, dan sampai di sebuah tangga yang menuju bagian
bawah dinding yang setengah ambruk.
Untuk sesaat, aku merasa sedikit gugup. Anak tangga yang kupijak tidak seimbang
dan suasana di sekitarku bertambah semakin gelap sampai-sampai aku tak bisa
melihat jari-jemariku sendiri. Tapi, lama-lama mataku menjadi terbiasa dalam
gelap, dan dr. Egon mengeluarkan senter dari salah satu dari delapan sakunya.
Kami menuruni tangga dengan langkah terantuk-antuk. Apakah kami akan menuju
ruangan bawah tanah" Aku kemudian menyadari bahwa kami berada di basement Rumah
Sakit Akka. Berton-ton puing yang ada di atas pastilah melindungi basement ini
dari kehancuran total. Rio Spirugi mulai memanggil-manggil, sepertinya dalam bahasa Arab aku tahu pasti
itu bukan bahasa Cina, Prancis, atau Melayu. Beberapa orang keluar dari sebuah
ruangan untuk menyambutnya. Mereka adalah bagian dari staf PRCS. Terdiri dari
lima atau enam orang pria dan wanita, mereka semua tampak kurus kering akibat
trauma. Aku mengira-ngira apakah mereka juga menderita gangguan saraf. Kami
diperkenalkan kepada mereka, lalu mereka mengajak kami berkeliling bangunan
untuk melihat-lihat. Biasanya, aku akan mengemukakan banyak sekali pertanyaan. Aku bukan orang yang
dikenal pendiam. Namun, bagaimana aku bisa bertanya kepada para staf PRCS itu,
yang jelas-jelas telah mengalami penderitaan luar biasa, terlebih dengan apa
yang telah terjadi pada rumah sakit mereka"
Di Rumah Sakit Akka itu pulalah aku mempelajari kata pertama dalam bahasa Arab,
khalas yang artinya 'tamat'. Sekolah ilmu keperawatan dan pusat lembaga Arab
untuk penelitian dan perawatan khusus luka-luka telah khalas tamat riwayatnya.
PRCS tidak hanya kehilangan satu rumah sakit, tiga belas klinik dan sembilan
rumah sakit di berbagai penjuru Lebanon telah hancur total. Hanya Rumah Sakit
Gaza karena alasan yang baru kuketahui tiga tahun kemudian yang masih tegak
berdiri. Pada puncak serangan udara, ketika orang-orang Palestina mengetahui
bahwa setiap rumah sakit dan klinik PRCS menjadi sasaran pengeboman, mereka
membawa tiga orang serdadu Israel yang tertangkap di selatan Lebanon dan
menempatkannya di lantai teratas Rumah Sakit Gaza, dan mengirim pesan melalui radio kepada pasukan Israel
bahwa serangan ke Rumah Sakit Gaza akan berakibat hilangnya nyawa para serdadu
itu. Berkat itulah Rumah Sakit Gaza selamat dari kehancuran.
Salah seorang staf yang berbicara dalam bahasa Inggris memberi tahu kami bahwa
Rumah Sakit Akka dulunya adalah sebuah bangunan berlantai lima sebelum
dihancurkan pasukan Israel.
"Kami baru saja membuka lantai untuk operasi jantung by pass," katanya.
"Sekarang tak ada lagi yang tersisa." Kemudian, seolah-olah mendadak teringat
sesuatu, ia memberi tanda kepada kami agar mengikutinya. Kami kembali menaiki
tangga, pada saat kami keluar dari basement yang gelap menuju udara terbuka,
sejenak kami dibutakan oleh cahaya matahari. Kami mengikuti staf itu menyusuri
labirin dinding yang sebagian telah runtuh. Mereka telah menyingkirkan puing-
puing dari sebuah rongsokan yang jelas-jelas dulunya adalah tempat tidur pasien.
Di sampingnya terdapat tiang kantong infus yang masih setengah terisi darah yang
sekarang sudah membusuk. Dari labelnya, aku tahu kantong itu dulu digunakan
untuk menginfus seorang gadis usia sembilan tahun. Salah satu serangan udara
telah mengakhiri perawatannya dengan seketika, sekaligus mengakhiri hidupnya.
"Pasienku," sahut pria itu dengan nada muram. Kami kembali ke basement dalam
kebisuan. Para staf PRCS ingin menyuguhi kami dengan kopi, tetapi Rio Spirugi
dengan tegas menolaknya atas nama
kami semua. "Kita harus melanjutkan tugas kita," katanya, mengambil sebuah kotak
untuk menampung darah. "Jika setiap kali kita berhenti untuk minum kopi, tugas
kita tidak akan pernah tuntas." Ketika kami kembali menaiki tangga, tiba-tiba ia
berbalik dan kembali ke bawah untuk mengecek bahwa semua keran air telah
tertutup rapat. Hal ini penting karena jika aliran air dari kota kembali
berjalan, berliter-liter air yang berharga dapat terbuang percuma hanya gara-
gara sedikit kecerobohan. Setelah itu, ia mengingatkan para staf agar keran-
keran tersebut selalu tertutup.
Tempat pemberhentian kami berikutnya adalah Rumah Sakit Gaza. Dengan segera aku
menyukai tempat itu, sebuah bangunan megah dengan sebelas lantai. Dua lantai
paling atas rusak berat karena bom, dan langit-langit di lantai sembilan penuh
dengan lubang-lubang akibat hantaman bom dan roket. Akan tetapi, kerusakan rumah
sakit itu tidak bertambah parah karena alasan yang telah kujelaskan sebelumnya.
Sebagaimana Rumah Sakit Akka, di sana juga tidak ada air maupun listrik.
Selain ruang inap pasien, Rumah Sakit Gaza juga mempunyai tiga bangsal operasi
yang luas, unit perawatan intensif (ICU) berisi enam dipan, tempat penyimpanan


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cadangan darah yang modern, laboratorium, bagian sinar-X, bagian perawatan
korban dalam jumlah besar, dan bagian untuk pasien rawat jalan. Setiap lantai
rumah sakit tersebut mempunyai fungsi yang berbeda, Lantai Satu untuk ICU dan
bangsal operasi, berdempetan dengan ruang
recovery, Lantai Dua berisi kamar-kamar untuk para pasien ortopedis rawat inap,
Lantai Tiga berisi ruangan-ruangan untuk pengobatan umum, Lantai Empat untuk
pasien bedah rawat inap, dan seterusnya.
Tepat di samping Rumah Sakit Gaza terdapat rumah sakit bersalin dan ginekologi,
yang disebut Rumah Sakit Ramallah. Di Rumah Sakit Gaza hanya terdapat sedikit
staf. Kami diberi tahu bahwa para pasien telah dievakuasi ke rumah sakit-rumah
sakit lain untuk sementara waktu dan di situlah kebanyakan staf bertugas.
Padahal, Rumah Sakit Gaza terletak di salah satu wilayah yang banyak mengalami
pengeboman, dan lebih sering kita tidak bisa menuju atau meninggalkan rumah
sakit itu. Sejak tiga bulan yang lalu, administrator dan staf tidak pernah
meninggalkan rumah sakit itu.
Tak lama sebelum serangan 1982, PRCS di Lebanon melayani setiap tahunnya satu
juta pengunjung klinik dan pasien rawat inap. Seluruh pelayanan ini diberikan
gratis bagi mereka yang membutuhkan tanpa memandang ras, agama, ataupun
kekayaan. Banyak orang miskin Lebanon yang dirawat dengan gratis oleh PRCS.
Sebagai sebuah organisasi yang sepenuhnya bergerak di bidang bantuan kemanusiaan
dan sebagai anggota peninjau Komite Internasional Palang Merah, PRCS tidak
pernah menyangka orang-orang Israel akan menjadikan rumah sakit dan klinik
mereka sebagai sasaran serangan udara. Ketika invasi itu tiba dan rumah sakit-
rumah sakit serta klinik-klinik PRCS
dihancurkan, para korban perang kehilangan pelayanan medis berharga yang justru
sedang amat mereka butuhkan.
PRCS memindahkan sejumlah pasien mereka dan beberapa layanan ke sejumlah rumah
sakit darurat. Rumah sakit seperti ini sering disebut rumah sakit terbuka,
tetapi pada 1982, di Beirut tidak ada rumah sakit yang sanggup bertahan lama di
udara terbuka. Rumah sakit-rumah sakit darurat itu terletak di basement
bangunan-bangunan, seperti Near East School of Theology, atau lebih dikenal oleh
penduduk lokal dengan nama "Lahut". Dr. Spirugi sangat ingin kami bisa langsung
bekerja, dan ia menyarankan agar kami memulainya di Rumah Sakit Lahut pada hari berikutnya.
Kami pun berangkat menuju Lahut yang ternyata memiliki sebuah rumah sakit
"sungguhan" berupa tiga lantai di bawah tanah, lengkap dengan bangsal-bangsal
operasi, bangsal-bangsal pasien, UGD, ruang resusitasi, dan fasilitas sinar-X.
Di sini, jauh dari kamp-kamp pengungsi dan daerah kumuh di selatan kota, tepat
di tengah-tengah Hamra, PRCS melanjutkan tugasnya merawat orang-orang yang sakit
dan terluka. Apotek beserta obat-obatan yang berada di Rumah Sakit Akka telah
dipindahkan ke Lahut. Rio memperkenalkan kami kepada para staf dan meminta
mereka untuk melibatkan kami dalam kerja besok pagi ketika kami kembali ke sana.
"Anda sekalian dapat bekerja di sini sampai Rumah Sakit Gaza dibuka kembali,"
ujarnya, sekaligus mengatakan kepada kami bahwa setelah rumah sakit itu dibuka
kembali, ia berharap kami dapat memberikan layanan sementara, sampai masalah-
masalah dapat ditangani. "Jangan lupa," tambahnya, "kebanyakan dari mereka telah
mengalami masa-masa yang luar biasa berat selama tiga bulan terakhir. Mereka
sangat butuh bantuan. Dr. Habib, misalnya, nyaris tewas, dan ia masih menderita
gangguan saraf akibat pertempuran. Mungkin yang terbaik baginya adalah terus
bekerja, jika ia tetap sibuk, mungkin pikirannya tidak akan dipenuhi kenangan
akan hal-hal buruk. Tapi tenaganya terbatas. Banyak dari mereka telah kehilangan
rumah dan anggota keluarga. Perlu waktu bagi mereka untuk sembuh. Anda semua
masih segar dan energik. Jangan lupa, mereka butuh bantuan Anda."
Sebenarnya, aku tidak terlalu segar dan energik. Yang bisa disebut segar dan
energik justru dr. Rio Spirugi, ia tak kenal lelah. Aku telah melihatnya
seharian beraktivitas. Ia selalu melakukan tiga tugas sekaligus, berbicara
dengan lima atau enam orang secara serentak, dan mungkin saja sedang memikirkan
setengah lusin rencana pada saat bersamaan. Temperamennya yang berapi-api
"memaksa" setiap orang untuk langsung bertindak mengingat kekacauan dan keadaan
yang menyedihkan seperti ini, semangatnya itu sungguh luar biasa. Aku berutang
budi kepada dr. Spirugi karena aku diberi kesempatan dan kehormatan untuk
bekerja sama dengan orang-orang Palestina. Ketulusannya itulah yang membuatku
langsung bekerja hampir pada saat itu juga, pertama di Rumah Sakit Lahut, kemudian di Rumah Sakit Gaza.
Banyak dari para sukarelawan yang pergi bersama kami tidak pernah bekerja untuk
para korban perang, namun dikirimkan ke bagian timur dan utara Lebanon yang
relatif aman. Kami mendapat masalah di penghujung hari itu. Bryan Mayou, dokter bedah plastik
berkebangsaan Inggris, tinggal di sebuah kompleks apartemen di Hamra bernama
Mayfair Residence. Tempat itu kelihatan mewah, tetapi di sana tidak ada air.
Sebaliknya, di hostel perawat tempat para sukarelawati menginap di American
University terdapat air. Meskipun pengunjung pria dilarang keras masuk ke hostel
kami, kami pikir kami dapat menutupi Bryan dengan sehelai handuk lebar dan
menyelundupkannya ke kamar mandi agar ia bisa mandi di sana.
Bryan berhasil masuk ke kamar mandi, tetapi beberapa menit kemudian, ia kepergok
seorang pengawas asrama yang galak. Walaupun pemandangan seorang pria Inggris
setinggi sekitar 180 cm dengan setengah tubuhnya terbungkus handuk menyebabkan
kami terkikik-kikik, insiden itu dianggap suatu pelanggaran serius, dan sangat
memalukan tuan rumah kami orang-orang Lebanon. Kami diperingatkan untuk
menghormati adat yang berlaku di sini, sangatlah tidak sopan bagi pria
menyelusup masuk ke kamar mandi wanita.
Setelah peristiwa konyol itu, kami menikmati makan malam di Relief Centre,
sebuah kafetaria luas yang kini berfungsi sebagai dapur untuk membuat sup. Dalam keadaan seperti itu,
kami, para sukarelawan, masih saja diperlakukan dengan sangat baik. Aku dijamu
dengan okra, kacang hijau, bahkan sepotong kecil daging, nasi, yoghurt, dan roti
pitta. Ketika melahap suapan pertamaku, mendadak aku tersadar bahwa aku sudah
enam kali makan sejak tiba di Beirut Barat tanpa pernah merawat seorang pasien
pun. "Payah!" batinku. "Aku tidak seharusnya rakus begini. Besok aku harus kerja
dan berhemat." Matahari mulai terbenam ketika aku berjalan pulang menuju American University
bersama seorang teman pria asal Lebanon. Lampu-lampu penerang jalan, yang
kemungkinan masih berfungsi tiga bulan yang lalu, kini tidak menyala. Di balik
siluet gedung-gedung dan reruntuhan bangunan, aku masih dapat melihat keindahan
Kota Beirut, garis pantai Laut Tengah, pepohonan Fiame of the Forest
(flamboyan), pepohonan bugenvil dengan dedaunan warna ungu, putih, merah jambu,
dan merah, juga bunga-bunga hibiscus (bunga raya) yang besar-besar. Perang tidak
berhasil mengoyak keindahan ini. Pohon-pohon cedar (aras) membuatku terpikir
ayat 92 dari Kitab Mazmur, "Orang yang benar akan bertunas seperti pohon kurma,
akan tumbuh subur seperti pohon aras di Lebanon". Tak lama, matahari yang
berwarna merah tua tenggelam ke dalam laut, dan ribuan bintang bermunculan di
langit biru yang mulai gelap.
Di luar universitas dapat kudengar sebuah nyanyian pelan yang merdu dari suatu
tempat di jalanan dalam bahasa Arab. Teman asal Lebanon itu memberi tahu bahwa yang
menyanyi itu adalah para pejuang Palestina yang hendak di evakuasi pagi ini. Aku
menanyakan padanya arti kata-kata dalam lagu itu, tetapi pria itu malah menangis
ketika menyimak nyanyian tersebut sehingga tidak sanggup menerjemahkan untukku.
Temanku itu masih muda, mungkin masih berusia remaja, dan sepuluh minggu
terakhir ini sudah pasti sangat melelahkan baginya. Aku ingat kehancuran di
Beirut, rumah sakit-rumah sakit, orang-orang yang terluka dan kehilangan tempat
tinggal, karenanya aku berhenti bertanya. Mungkin suatu hari nanti aku akan
mengerti arti kata-kata dari lagu itu suatu waktu, ketika Tuhan menghendakinya.
Sementara itu, aku perlu tidur lebih awal sehingga siap untuk bekerja dan
bermanfaat esok paginya.[]
Empat Pagi-pagi sekali aku terbangun oleh suara rentetan tembakan senapan mesin dari
kejauhan. Suara itu mengingatkanku saat-saat ketika aku terbangun oleh suara
letusan petasan pada Hari Tahun Baru Imlek di Singapura. Aku kembali melanjutkan
tidurku. Lalu, Jill, salah seorang perawat asal Amerika Serikat, membangunkanku.
Padahal, saat itu baru pukul setengah tujuh pagi. Sebagian besar sukarelawan
tenaga medis sudah mandi dan berpakaian rapi. Hari itu, mereka semua berencana
pergi ke pelabuhan untuk menyaksikan sebuah peristiwa besar evakuasi para
pejuang PLO dari Beirut. Sambil menatap ke luar jendela, dapat kulihat dua buah
kapal patroli besar di cakrawala. Kata teman-temanku, salah satunya adalah kapal
Prancis dan satu lagi kapal Italia, mereka ditugaskan mengawasi evakuasi
tersebut. Pasukan penjaga perdamaian internasional dipindahkan ke Beirut untuk
melindungi penduduk sipil dan sekaligus mencegah orang-orang Israel memanfaatkan
situasi tersebut untuk menimbulkan kekacauan di dalam kota.
"Kamu mau ikut atau tidak, Swee"!" bentak Mary tidak sabaran. Ia adalah salah
seorang perawat asal Amerika Serikat. Haruskah aku pergi dengan Mary dan Jill"
"Tidak, lebih baik tidak usah," jawabku setelah beberapa saat ragu-ragu.
Evakuasi pejuang PLO pastinya akan menjadi suatu urusan politik tingkat tinggi,
dan menurutku lebih baik aku tidak terlihat bersama-sama dengan sekumpulan
pejuang PLO. Sebagian karena aku merasa takut, dan sebagian lagi mungkin karena
aku masih menganggap PLO adalah teroris. Bagaimanapun, aku datang ke sini untuk
merawat para korban yang terluka, bukan untuk terlihat bersama-sama dengan PLO.
Bayangkan jika pemerintah Singapura mendengar kabar bahwa aku bergaul dengan
pejuang PLO! Apa yang akan dikatakan teman-teman Kristenku" Apa yang akan
dipikirkan orangtuaku tentang diriku" Apa yang akan dipikirkan teman-teman
paramedisku di Inggris tentang diriku" Semakin memikirkannya, semakin teguh aku
memutuskan untuk tidak terlihat bersama-sama dengan para pejuang Palestina di
mana pun memanfaatkan situasi tersebut untuk menimbulkan kekacauan di dalam
kota. "Kamu mau ikut atau tidak, Swee"!" bentak Mary tidak sabaran. Ia adalah salah
seorang perawat asal Amerika Serikat. Haruskah aku pergi dengan Mary dan Jill"
"Tidak, lebih baik tidak usah," jawabku setelah beberapa saat ragu-ragu.
Evakuasi pejuang PLO pastinya akan menjadi suatu urusan politik tingkat tinggi,
dan menurutku lebih baik aku tidak terlihat bersama-sama dengan sekumpulan
pejuang PLO. Sebagian karena aku merasa takut, dan sebagian lagi mungkin karena
aku masih menganggap PLO adalah teroris. Bagaimanapun, aku datang ke sini untuk merawat para korban yang
terluka, bukan untuk terlihat bersama-sama dengan PLO. Bayangkan jika pemerintah
Singapura mendengar kabar bahwa aku bergaul dengan pejuang PLO! Apa yang akan
dikatakan teman-teman Kristenku" Apa yang akan dipikirkan orangtuaku tentang
diriku" Apa yang akan dipikirkan teman-teman paramedisku di Inggris tentang
diriku" Semakin memikirkannya, semakin teguh aku memutuskan untuk tidak terlihat
bersama-sama dengan para pejuang Palestina di mana pun masih kecil di sebuah
tenda perlindungan. Suami dan dua anak laki-lakinya akan dipindahkan, dan rumah
mereka di daerah selatan telah dihancurkan pasukan Israel. Ia menunjukkan
kepadaku foto-foto mereka, anak laki-laki yang lebih muda baru berusia empat
belas tahun. "Tapi, tanpa suami dan dua anak laki-laki, bagaimana mungkin Anda bisa
mengurusnya?" tanyaku. "Bagaimana Anda akan mampu membangun kembali rumah Anda
di selatan dan mengurus keluarga Anda seorang diri?"
Ia tidak berpikir sejauh itu. Ia masih diliputi kekhawatiran bahwa setelah
keluarga yang dicintainya itu naik ke kapal, mungkin ia takkan pernah melihat
mereka lagi. Keluarganya berasal dari kawasan Gaza, sejak meninggalkan rumah
mereka di Palestina, mereka telah berpindah-pindah sebanyak tujuh kali. Wanita
ini telah terbiasa dengan kemiskinan, perang, dan penindasan. Namun, kini ia
bersedih karena ia bukan hanya kehilangan tempat tinggal,
melainkan keluarganya juga tercerai-berai. Aku tahu aku tidak dapat melipurnya,
jadi aku hanya diam dan mendengarkan. Tiba-tiba ia menghapus air matanya, lalu
mengundangku minum kopi. Betapa murah hatinya orang-orang ini meskipun menderita
akibat perlakuan sewenang-wenang yang mereka terima!
Itu adalah pertama kalinya aku mengetahui bahwa para pejuang PLO tersebut adalah
orang-orang yang memiliki rumah dan keluarga di Lebanon. Mereka meninggalkan
istri, anak-anak, saudara, serta orangtua mereka. Pengevakuasian tersebut
memaksa suami dan istri untuk berpisah, tentunya ini benar-benar mengguncang
struktur keluarga mereka.
Di Rumah Sakit Lahut, aku tiba tepat pada waktunya untuk bergabung dengan tim
bangsal. Aku dikenalkan pada dua orang dokter yang bekerja untuk PRCS dan
seorang dokter sukarelawan asal Inggris, Paul Morris. Kami berkeliling menjenguk
semua pasien dan aku diperkenalkan sebagai "spesialis dokter ortopedis Singapura
yang diutus Inggris". Dari semua pasien itu, sebanyak lima puluh orang atau
lebih adalah para penduduk sipil korban perang, dan banyak di antaranya adalah
anak-anak. Korban terbanyak dari penyerangan itu adalah penduduk sipil yang
tidak menyangka bahwa mereka akan menjadi sasaran.
Banyak sekali jenis luka perang. Kepingan-kepingan besar pecahan bom, terkadang
sebesar selembar papan, sanggup membuntungi tungkai kaki
dan lengan, bahkan membunuh seseorang dalam sekejap. Ada pula luka bakar
permukaan (flash burn), tapi ada juga luka bakar dalam (deep burn) yang menembus
ke lapisan otot. Pada waktu aku mengamati luka-luka itu, kebanyakan telah
mengalami infeksi selama berminggu-minggu. Yang paling menyedihkan adalah
korban-korban yang disebut oleh para perawat Amerika sebagai "Sindrom Awal
Reagan", umumnya mereka adalah anak-anak yang masih shock akibat perang, tampak
kurus dan ketakutan, bengong, dan menolak makanan dan minuman.
Kebanyakan dari saudara-saudara mereka tewas terbunuh dalam peristiwa
pengeboman. Dari sudut pandang medis, Sindrom Awal Reagan artinya satu atau dua
tungkai yang buntung, sebuah luka besar di dada yang menyebabkan anak-anak itu
kehilangan sebelah paru-paru mereka, dan sebuah luka memanjang di perut yang
menyebabkan hilangnya hati, ginjal, atau limpa. Semua luka itu sering disertai
pula dengan patah tulang terbuka yang mengalami infeksi. Sambil merawat anak-
anak itu, kata-kata pejabat Israel itu terngiang-ngiang di telingaku, walaupun
ia menyesali jatuhnya para korban, untuk membuat telur dadar harus memecahkan
telur-telur terlebih dahulu.
Oleh karena aku adalah satu-satunya dokter bedah ortopedis di sana, aku diminta
menangani semua kasus yang berhubungan dengan kerusakan atau patah tulang.
Fraktura komplikasi, yaitu tulang yang patah menembus kulit merupakan jenis
fraktura yang paling sering kuhadapi. Aku sama sekali tidak senang dengan
penanganan yang telah dilakukan terhadap para korban fraktura ini. Para dokter
cenderung langsung melakukan "fiksasi internal", yang artinya mereka mencoba
"masuk" ke dalam luka untuk membetulkan atau memperbaiki fraktura langsung
dengan memasang pelat, sekrup, atau baut. Kemudian, mereka umumnya memilih
"penutupan primer", yang artinya mereka juga sekaligus menjahit lukanya. Ini
adalah pendekatan modern yang meremehkan metode-metode tradisional yang sudah
lama dipraktikkan dan diuji.
Jika mereka merawat para korban sipil dalam bangsal operasi yang bersih dan
dilengkapi peralatan yang memadai seperti di Eropa atau Amerika, fiksasi
internal dan penutupan primer yang segera dilakukan mungkin saja akan membuahkan
hasil yang cukup baik. Akan tetapi, mereka merawat para pasien yang terkena luka
ledakan maupun luka tembak dalam bangsal-bangsal yang kotor, sehingga fiksasi
internal merupakan tindakan yang menimbulkan bahaya besar, setiap kasus yang
ditangani dengan cara demikian di zona perang seperti Beirut menyebabkan
penyakit gangren, dan mengharuskan amputasi atau menimbulkan infeksi kronis pada
tulang yang sangat sulit disembuhkan. Dalam kondisi seperti itu, fraktura
terbuka paling baik diatasi dengan cara-cara tradisional, melalui pembersihan
membuang semua jaringan yang mati dan terkontaminasi dan menutup luka secara
hati-hati dengan pembalut. Jika alat untuk fiksasi
fraktura dalam tersedia, alat ini dapat digunakan untuk memperbaiki fraktura
tersebut. Jika tidak, dapat digunakan belat (splint) atau traksi (traction, alat
penarik anggota tubuh yang patah agar kembali ke susunan semula).
Luka tersebut harus diawasi setiap hari. Apabila membaik, luka tersebut dapat
ditutup dengan lapisan kulit atau melalui okulasi kulit sederhana. Barulah
setelah itu, ketika peradangan telah usai, lebih baik dilakukan cangkok tulang
atau fiksasi internal. Kelihatannya memang agak berbelit-belit, tetapi kulihat
banyak luka yang mengalami gangren akibat penutupan primer. Metode kuno, yang
pada tahap perawatan awal membiarkan semua luka terbuka, masihlah yang terbaik.
Jika fraktura harus distabilkan agar pasien dapat dievakuasikan atau
dipindahkan, dan jika alat fiksasi luar tidak tersedia, maka belat seperti belat
Thomas yang didesain Hugh Owen Thomas asal Liverpool, yang lagi-lagi telah
teruji cukup baik digunakan, atau bahkan cukup dengan menggunakan pembalut gips
buatan Paris. Dalam keadaan genting saat terjadi serangan udara, berlusin-lusin sukarelawan
dari seluruh dunia semuanya bersikeras melakukan cara yang menurut mereka
terbaik. Sehingga, sulit bagiku untuk menerapkan prinsip-prinsip yang paling
mendasar tetapi paling aman dalam perawatan fraktura ini.
Tak lama setelah para pejuang Palestina dievakuasi, perdamaian memang terasa
pulih di Beirut Barat. Serangan udara juga berhenti. Tidak ada lagi pertempuran, orang-orang keluar
dari tempat perlindungan dan persembunyian mereka untuk kembali ke rumah. Aku


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan hostel para perawat di American University seiring mereka kembali
bekerja, dan pindah ke tempat menginap para sukarelawan yang masih tinggal di
Beirut, yaitu di May fair Residence. Namun, lama-kelamaan, kami merasa berat
juga pulang-pergi setiap hari dari dan ke Rumah Sakit Gaza. Oleh karena itu, tim
dokter bedah kami pindah menginap di rumah sakit itu, di sana kami ditampung
dalam suatu suite luas yang kosong di lantai sembilan. Jendela-jendelanya memang
sudah hancur, tetapi kerusakan akibat bom yang menghantam bagian pojok bangunan
ini hanya kecil saja. Nyaman sekali berada di ketinggian seperti ini, nyamuk-
nyamuk tidak akan menghinggapi kami, dan pada malam hari udaranya sejuk.
Kepindahan ke Rumah Sakit Gaza itu membuatku tersadar bahwa selama ini aku
adalah seorang ibu rumah tangga yang payah. Para kolegaku dengan rajin membenahi
"bagian dokter asing". Pertama-tama, mereka membersihkan lantai dari puing-puing
reruntuhan, setelah itu mereka membeli perkakas rumah tangga, seperti kompor
gas, cerek, panci, dan wajan, serta bahan-bahan makanan. Sedikit demi sedikit
mereka mengubah suite yang kosong tak berpenghuni itu menjadi sebuah hunian yang
layak dan nyaman untuk ditempati.
Sementara itu, para pasien secara bertahap dipindahkan kembali dari pusat-pusat
perawatan sementara Lahut, Sekolah Protestan, dan sebagainya dan mulai mengisi bangsal-
bangsal di Rumah Sakit Gaza. Banyaknya pasien yang terdapat di lebih dari satu
tempat membuatku harus melakukan inspeksi di Lahut sekaligus di Rumah Sakit
Gaza. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk menjalankan pembedahan, karena sumber
daya yang sangat terbatas harus dihemat bagi keadaan-keadaan darurat, sehingga
tugasku hanya sebatas membongkar luka-luka (dalam artian, menggunting dan
membersihkannya dengan cara mengangkat jaringan yang rusak), mengganti plester
gips, dan membubuhkan antibiotik. Beberapa pasien telah diberikan delapan jenis
antibiotik yang berbeda-beda, dengan segera menjadi kebal terhadap kedelapan
antibiotik tersebut. Menentukan kebijakan mengenai pemakaian antibiotik menjadi
penting. Itu juga tidak mudah.
Suatu hari, ketika sedang menunggu jip yang akan mengantarku dari Rumah Sakit
Gaza ke Rumah Sakit Lahut, aku bercakap-cakap dengan seorang perawat PRCS. Aku
bertanya kepadanya apakah aku bisa mengunjungi kamp pengungsi. Orang-orang di
sini selalu membicarakan kamp pengungsi, dan aku merasa hanya akulah satu-
satunya yang belum pernah mengunjungi kamp tersebut. Saat itu, kami baru
beberapa hari memulai bertugas di Gaza.
"Kamp pengungsi?" tanya wanita perawat itu. Lantas, ia tersenyum, meraih
lenganku, dan membawaku keluar dari rumah sakit. Sebuah jalan kecil yang sempit
memisahkan bangunan rumah sakit
dengan deretan panjang bangunan multitingkat gabungan toko dan flat tempat
tinggal. Kami berbelok ke kanan, lalu melangkah beberapa meter melintasi jalan
menuju pasar yang kulalui setiap hari, tempat dr. Egon membeli jeruk, tomat, dan
sayur-mayur untuk kami. Di samping pasar terdapat sebuah masjid, dan beberapa
blok lagi terdapat bangunan flat serta toko. Para wanita dengan selendang putih,
hitam, dan warna-warni lainnya yang menutupi rambut mereka tampak tergesa-gesa
berangkat atau pulang berbelanja. Anak-anak mendorong gerobak yang memuat batu
bata dan bahan-bahan material menuju reruntuhan bangunan. Di mana-mana terlihat
orang-orang yang sedang membetulkan rumah mereka.
Si perawat dari Rumah Sakit Gaza yang mengantarku itu melingkarkan tangannya di
bahuku. "Dokter Swee," ujarnya, "selamat datang di Sabra dan Shatila!"
Pasar yang ramai dengan kios-kios buah dan sayur-mayur serta hewan ternak adalah
Pasar Sabra. Sementara, bangunan-bangunan yang mengelilinginya adalah Kamp
Shatila. Bangunan-bangunan yang mengelilingi Rumah Sakit Gaza adalah Kamp Sabra.
Selama beberapa hari belakangan ini, aku menyaksikan dengan penuh minat
keluarga-keluarga yang pulang untuk membetulkan bangunan yang hancur akibat bom.
Setiap pagi aku menatap ke luar jendela dari lantai sembilan Rumah Sakit Gaza
dan melihat orang-orang yang datang dengan barang-barang bawaan yang sedikit
tas-tas, kasur, bantal untuk mengisi bangunan tersebut. Suatu hari, mereka masuk
ke bangunan yang berselimutkan debu dan lumpur, dengan kaca-kaca jendela yang
pecah serta lubang-lubang di dinding. Pagi berikutnya, aku akan memandang lagi
dari jendela, bangunan yang sama telah berubah. Batu bata yang masih baru
mengisi lubang-lubang di dinding, kaca-kaca jendela baru terpasang, cucian
dijemur, dan suara tawa anak-anak terdengar. Kukira ini hanyalah sebuah daerah
di Beirut Barat yang sedang berangsur-angsur kembali normal, padahal, sepanjang
waktu aku sudah berada di tengah-tengah kamp pengungsi!
Bayanganku tentang kamp pengungsi adalah lapangan luas yang dipenuhi deretan
tenda. "Jadi, di mana tenda-tendanya?" tanyaku pada si perawat. "Harusnya berupa
tenda-tenda, bukan?"
Ia menjelaskan bahwa ketika orang-orang Palestina di sebelah utara Galilea telah
diusir pada 1948, banyak dari mereka yang menyeberangi perbatasan utara menuju
Lebanon. Orang-orang dari Galilea tersebut menjadi pengungsi di Lebanon,
komunitas lainnya melarikan diri ke Yordania, Mesir, Suriah, Irak, dan seluruh
jazirah Arab. Atlas dunia tidak lagi memuat peta negara Palestina, tetapi hal
itu tidak menyurutkan semangat orang-orang terbuang yang berjumlah 750 ribu
orang ini untuk mengingat tanah air mereka.
Dulu, para pengungsi itu diharapkan akan membaur ke dalam komunitas negara-
negara tetangga sesama bangsa Arab, sehingga akhirnya mereka mengikuti jejak
komunitas-komunitas lain yang tak terhitung jumlahnya yang telah terhapus dari
sejarah. PBB, bersama-sama dengan organisasi kemanusiaan dan pemberi bantuan,
memasok tenda-tenda dan mendirikan kamp-kamp bagi rakyat Palestina yang kini
telah kehilangan tempat tinggal. Orang-orang Galilea menghuni beberapa "tenda
sementara" ini di Sabra, Shatila, dan Bourj elBrajneh di pinggiran selatan
Beirut. Perawat dari Rumah Sakit Gaza itu menerangkan bahwa para pengungsi itu tidak
bisa benar-benar berbaur karena mereka bukanlah pengungsi sungguhan. Mereka
lebih tepat dikatakan orang-orang buangan, dan ada perbedaan antara dua hal itu.
Sebagai orang-orang buangan, mereka selalu ingin pulang ke rumah. Tenda-tenda
itu segera dirubuhkan oleh orang-orang Galilea sendiri.
Di tempat-tempat pembuangan, berdasarkan kenangan-kenangan dan sedikit foto
rumah mereka, mereka mulai membangun kembali komunitas sendiri. Banyak dari
rumah-rumah itu dibangun sedemikian rupa agar tampak sama dengan rumah di
kampung halaman mereka. Setelah tenda-tenda itu digantikan dengan rumah-rumah
dan flat-flat dari batu bata, kamp-kamp tersebut menjadi kota-kota orang
buangan, dengan taman kanak-kanak, sekolah-sekolah, bengkel-bengkel, klinik-
klinik, dan rumah sakit-rumah sakit. Mereka menamakan rumah sakit-rumah sakit
mereka dengan nama Gaza, Haifa, dan Akka, seperti nama-nama kota di Palestina
supaya mereka tak pernah lupa dengan akar mereka. Selain tiadanya tenda-tenda,
dan fakta bahwa para pengungsi itu adalah orang-orang buangan, ada lagi
kekeliruan yang sudah jamak tentang istilah "kamp pengungsi Palestina", yaitu
kata "Palestina". Memang benar kamp-kamp tersebut awalnya dibangun untuk para
pengungsi dari Palestina. Namun, orang-orang Palestina itu telah mengambil
pelajaran dari kesengsaraan mereka dan menerapkan sebuah prinsip
nondiskriminatif yang meliputi seluruh institusinya, sehingga tidak pernah kamp-
kamp tersebut khusus diperuntukkan bagi orang-orang Palestina semata.
Rumah sakit-rumah sakit yang dikelola PRCS memberikan perawatan gratis bagi
semua orang yang membutuhkan. Mereka tidak mempermasalahkan negara asal, ras,
ataupun agama, kata perawat itu. Sekolah-sekolah yang dikelola orang-orang
Palestina memberikan pendidikan gratis bagi semua orang. Institusi-institusi
kejuruan dan organisasi-organisasi wanita yang mereka kelola menjalankan
kebijakan pintu terbuka. Hasilnya, lebih dari sepertiga penduduk di Sabra dan
Shatila bukan bangsa Palestina, melainkan orang-orang Lebanon yang berpihak
kepada rakyat Palestina atas dasar persamaan nasib, yaitu kemiskinan dan
perampasan hak-hak. Yang lebih mengejutkan, kata si perawat, ada beberapa keluarga Yahudi yang
tinggal di tengah-tengah kamp tersebut. Memang jumlahnya tidak banyak, mereka
adalah keluarga-keluarga Yahudi
yang meninggalkan kampung halaman mereka sebagai bentuk protes terhadap invasi
Israel. Mereka pergi bersama-sama dengan orang-orang Galilea buangan dan tetap
tinggal bersama-sama mereka di dalam kamp. Seperlima dari rakyat Palestina
beragama Kristen. Perawat itu tertawa melihat wajahku yang menunjukkan kebingungan karena tidak
tahu apa-apa. Ia mengundangku ke rumahnya untuk minum kopi, tetapi aku
menolaknya karena harus ikut jip ke Lahut.
"Bukrah," sahutku, berlagak menggunakan kata kedua bahasa Arab yang telah
kupelajari, yang artinya 'sampai besok'.
Keesokan harinya, ketika aku kembali ke kamp itu, tempat itu tambah sibuk saja,
pembangunan kembali kamp dilakukan dengan giat. Semakin banyak keluarga yang
telah kembali. Rumah sakit-rumah sakit juga ikut sibuk dan penuh aktivitas, para
stafnya yang selamat dari hukuman penjara maupun kematian kembali dengan
semangat baru. Mereka membersihkan puing-puing, mengepel lantai-lantai rumah
sakit, mengambil stok peralatan medis, serta memindah-mindahkan tempat tidur dan
peralatan lainnya dari satu lantai ke lantai lainnya untuk menyiapkan bangsal-
bangsal bagi para pasien. Rumah Sakit Akka, yang dipenuhi puing-puing saat
terakhir kali kami mengunjunginya seminggu lalu, kini telah dibersihkan,
basementnya pun telah dipel sampai mengilap. Tumpukan batu bata dan pipa baja
telah tersedia, kemungkinan
digunakan untuk membangun kembali rumah sakit tersebut.
Saat itu benar-benar menyenangkan, pertama kalinya aku merasa menjadi bagian
dari kekuatan dan semangat luar biasa orang-orang itu. Betapa ingin aku melihat
Francis berada di sini, sehingga ia juga dapat merasakan semangat ini! Pasukan
Israel mungkin telah gagal menghancurkan satu hal ini, semangat. Seandainya saja
aku pernah mengajari Francis cara memberikan pertolongan pertama, aku mungkin
akan membawanya serta sebagai sopir ambulans! Kami berdua memang pengungsi,
Sepasang Naga Lembah Iblis 7 Hotel Bertram At Bertrams Hotel Karya Agatha Christie Bayangan Berdarah 4
^