Pencarian

Pengabdian Dokter Perempuan 5

Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Bagian 5


klinik. Dengan segera ia membuang rasa sedihnya dan mulai mengerjakan tugas-
tugas keperawatannya. Kemudian, ketika hari menjelang sore dan para pasien telah pergi, aku bertanya
padanya tentang teman dekatnya, Nahla. Aku diberi tahu bahwa Nahla tengah
terluka dan kini sedang dalam persembunyian.
"Ia terus-menerus bertempur selama empat puluh hari dan empat puluh malam,"
jelas Hannah. "Lalu, kamp kehabisan peluru, dan empat orang wanita pergi ke luar
untuk membeli peluru. Ia termasuk salah satu dari mereka. Saat kembali ke kamp,
mereka mengikatkan peluru di tubuh mereka untuk melewati pos penjagaan Amal.
Namun, belakangan pasukan Amal mengetahui hal ini. Mereka menjadi sangat, sangat
marah. Mereka ingin membunuhnya. Kamu tidak bisa mendatangi tempat persembunyian
Nahla karena pasukan Amal akan mengikutimu dan membunuhnya."
Ini gila, padahal Nahla sedang menjalani pelatihan untuk menjadi perawat di
Rumah Sakit Gaza. Sekarang ia menghadapi ancaman kematian hanya gara-gara
membela warganya. Tinggi, berkulit putih, dan anggun, Nahla termasuk salah satu
wanita tercantik yang pernah kulihat dalam hidupku. Membayangkan ia ikut
bertempur dengan gagah berani membuatku bangga. Namun, menyadari bahwa saat ini
ia terluka dan dikejar-kejar ke seluruh Beirut, aku menjadi sangat gusar. Aku
tidak berani berharap dapat bertemu dengannya, kesempatan untuk menjadi temannya
sudah merupakan suatu kehormatan besar bagiku.
Hari berikutnya, ibu Nahla mengontakku dan ingin datang bertemu denganku.
Putrinya telah mengirimiku salam dan sebuah hadiah, sebuah taplak meja berbahan
kain yang di atasnya tersulam gambar bendera Palestina dan matahari terbit.
Nahla telah meminta ibunya untuk memberikannya kepadaku. Taplak meja itu dulu
terpasang di meja bacanya dan ibunya mengatakan bahwa Nahla berharap setiap kali
aku menatap warna-warni bendera Palestina tersebut, aku akan mengingat dirinya.
Lalu, ibu Nahla menyadari bahwa ia sendiri tidak membawa hadiah untukku.
Tergesa-gesa ia mengaduk-aduk keranjang rotannya. Ia menemukan sepasang garpu
dan sendok dan diberikannya kepadaku. Aku memeluknya dengan sangat erat,
mengembalikan garpu dan sendok itu, dan menciuminya berulang kali. Aku tahu
sekarang dari siapa Nahla mewarisi sifat dermawan dan semangat berkorban.[]
Dua Puluh Satu Keesokan harinya, aku pergi ke Hamra kawasan perbelanjaan di Beirut Barat dan
membeli seikat bunga untuk kuletakkan di kuburan para syuhada di Masjid Shatila.
Namun, aku kehilangan bunga-bunga itu dalam perjalanan antara Hamra dan masjid.
Meskipun begitu, aku tetap menuju masjid untuk memberikan penghormatan. Saat
itulah untuk pertama kalinya aku memasuki reruntuhan Masjid Shatila. Seiring
memasuki pintunya, kuperhatikan betapa bersih dan indah bagian dalam bangunan
itu. Lima puluh orang syuhada tersebut dikuburkan di pelataran utama masjid.
Tersebar bunga di mana-mana. Alih-alih batu nisan, foto-foto dan bendera-bendera
Palestina menandai setiap makam para syuhada. Dari sekilas pandang atas foto-
foto itu, aku tahu bahwa semua syuhada itu masih sangat muda. Tidak hanya muda,
tapi kebanyakan dari mereka adalah wanita sedangkan wanita di belahan lain dunia
tengah mengejar karier, mencari suami, dan merencanakan berkeluarga. Dalam foto-
foto itu, mereka tampak cantik dan tersenyum, gadis-gadis ini mengorbankan masa
muda dan kehidupan mereka yang berharga demi rakyat dan negara mereka tanpa
mengharap pamrih. Para pasien di Shatila adalah orang-orang
yang sangat bersemangat. Aku sering kali merasa kagum melihat bagaimana mereka
memahami dengan baik kondisi mereka sendiri, bagaimana mereka mengetahui dengan
persis letak setiap peluru atau pecahan bom dalam tubuh mereka, juga bagian
vital tubuh mereka manakah yang dikoyak oleh peluru tersebut. Lebih dari itu,
aku mengagumi kesabaran mereka berhadapan denganku. Hampir semuanya tahu bahwa
karena keterbatasan alat-alat bedah, aku tak dapat melakukan operasi besar
terhadap mereka. Namun, mereka tetap memenuhi janji untuk menjalani pemeriksaan
dan mendiskusikan keadaan mereka denganku.
Dokter sukarelawan asal Belgia yang bekerja untuk NORWAC biasa menertawakanku
karena membiarkan Klinik Spesialis Ortopedisku menjadi sebuah klub sosial yang
besar. Namun, aku merasa bahwa dengan membiarkan selusin pasienku duduk bersama-
sama, menyimak penuturan setiap orang mengenai luka-lukanya, dan membiarkan
mereka mempelajari bagaimana membalut luka dan melatih menggerakkan tungkai
mereka yang lumpuh, aku mendapatkan semacam dorongan moral, dan itu membantu
mengurangi keprihatinanku atas kurangnya fasilitas perawatan pasien yang ada.
Tak lama kemudian, para pasien itu saling melepas plester gips mereka sebelum
menemuiku, mereka juga membawakan trafo agar gergaji gips buatan Inggris yang
kami bawa dapat memakai listrik dari mesin generator kamp. Aku yakin bahwa
seandainya diberi cukup waktu, orang-orang ini akan menjadi para
teknisi ortopedis yang hebat, meskipun aku mengkhawatirkan apa pendapat Asosiasi
Ortopedis Inggris tentang klinikku yang banyak melanggar peraturan dan
kondisinya di bawah standar. Tapi, baik di bawah standar ataupun tidak, kami
tetap berhasil menjalankan klinik ini.
Suatu hari, aku harus mengeluarkan sebutir peluru dari telapak tangan seorang
pemuda Palestina, peluru itu menyebabkan telapak tangannya tak bisa ditutup.
Peluru itu tersangkut di tulang metakarpal ketiga. Tidak ada obat bius dan aku
harus mengoperasinya tanpa menggunakan sarung tangan, masker bedah, maupun topi.
Aku didampingi seorang perawat yang menggenggam sebatang lilin.
Sebelum memulai, aku memperingatkan dia,"Ini akan menyakitkan kami kehabisan
obat bius." Ia menjawabnya dengan tegas, "Doctora, Anda lupa, saya orang Palestina." Apa
yang dapat kukatakan kepada pasien yang menjawab dengan kata-kata seperti itu"
Operasi itu berhasil dilakukan bahkan tanpa menggunakan pembiusan lokal.
Setelah operasi itu, aku mulai melakukan lebih banyak lagi operasi dengan atau
tanpa bius lokal di rumah-rumah penduduk, di ruang duduk, di dipan, atau di
dapur. Biasanya, seorang juru rawat Palestina ikut denganku dan kami membawa
sebotol anti septik, perban, pisau bedah, benang bedah, wadah jarum, gunting
bedah, dan alat-alat lainnya untuk melakukan operasi bedah kecil-kecilan sambil
sekaligus mengunjungi para penduduk di rumah-rumah mereka yang sebagian telah
hancur. Menakjubkan betapa cepatnya aku terbiasa melakukan operasi dengan
peralatan seadanya. Namun, untuk perawatan luka-luka yang lebih serius, kami
harus menunggu sampai Shatila memiliki rumah sakit yang layak.
Sementara itu, diadakan renovasi besar-besaran atas bunker perlindungan di kamp
Shatila. Bangunan tersebut diubah menjadi sebuah kamar operasi, dengan bangsal-
bangsal, ruangan kecil untuk resusitasi, dan berbagai fasilitas pemulihan.
Ruangan-ruangan ini akan disambungkan dengan klinik PRCS, dan kelak di kemudian
hari, semua bangunan ini akan membentuk apa yang disebut dengan Rumah Sakit
Shatila. Para penduduk kamp ingin bersiap siaga seandainya pasukan Amal kembali
menyerang. John Thorndike, dengan pengalamannya yang luas di bagian gawat
darurat dan penanganan kecelakaan, dipindahkan dari Rumah Sakit Haifa ke kamp
Shatila untuk membantu pembangunan tempat itu.
Pada suatu sore, aku memutuskan bahwa inilah waktunya untuk mengunjungi kamp
Sabra, atau apa yang masih tersisa di sana, serta Rumah Sakit Gaza. Aku memilih
untuk menyusuri jalan raya yang sama yang pernah kami lalui di bawah paksaan
para tentara pada pagi 18 September 1982. Aku berharap, beberapa anggota tim mau
bergabung denganku untuk menapaktilasi perjalanan kami waktu itu sehingga
penduduk kamp dapat melihat bahwa kami telah kembali.
Taksi antar jemput atau taksi "layanan" me -
nurunkanku di Rumah Sakit Akka, dan setelah melintasi jalan raya, aku berada di
ujung selatan kamp Shatila, di sinilah Jalan Sabra berawal. Jalan raya tersebut
dipenuhi pos-pos pemeriksaan yang jaraknya berdekatan satu sama lain. Seiring
aku mulai menyusuri jalan tersebut, terdengar sebuah suara melengking, "Itu
dokter yang pernah pergi ke Komisi Israel!"
Orang-orang mulai berteriak keras di sepanjang jalan untuk menarik
perhatianku,membuat para tentara di pos-pos pemeriksaan keheranan. Saat itu
menjadi sebuah reuni besar. Lupa akan keberadaan buldoser-buldoser dan pria-pria
bersenjata yang berwajah tak bersahabat, kami berpelukan dan mengucapkan salam.
Para janda keluar dari tempat perlindungan mereka yang telah hancur, anak-anak
yatim piatu bermunculan, begitu juga dengan para orang tua. Kami semua merasa
sangat gembira. Lalu, sekali lagi, anak-anak berbaris di depan rumah-rumah
mereka yang hancur terkena bom, mengangkat kedua tangan mereka dengan jemari
membentuk huruf "Y" yang berarti kemenangan, dan meminta untuk dipotret, seperti
halnya anak-anak pada 19-82. Kali ini, tanda kemenangan itu mereka acungkan
dengan ekspresi teguh dan menantang. Bahkan senyum di wajah mereka lebih lebar
dan kualitas foto yang dihasilkan lebih bagus seiring meningkatnya kemampuan
memotretku. Aku diajak memasuki rumah-rumah penduduk kamp, disuguhi kopi dan
minuman dingin, sedangkan penduduk kamp lainnya mampir untuk sekadar menyapaku.
Di luar di Jalan Sabra, buldoser-buldoser melibas reruntuhan rumah-rumah dengan
ganas, mengaduk-aduk debu-debu, puing-puing, sampah-sampah bercampur dengan
pipa-pipa air serta kabel-kabel listrik. Penduduk kamp memberitahuku bahwa
buldoser-buldoser tersebut tiba dari Suriah. Pemerintah Suriah rupanya terobsesi
dengan dugaan bahwa kamp Sabra, Shatila, dan Bourj elBrajneh terhubung oleh
sebuah jaringan terowongan bawah tanah. Oleh karena rakyat Palestina selalu
membantah pernyataan tersebut, Suriah mengancam akan meratakan kamp-kamp
tersebut untuk membuktikannya.
Sebanyak empat puluh buah buldoser dari Suriah dan lima ratus teknisi konstruksi
dan insinyur asal Suriah tiba di Beirut, mereka mengaku datang untuk membantu
pembangunan kembali kamp-kamp, tetapi penduduk kamp meragukannya. Dan
terowongan-terowongan itu" Jelas bahwa sejauh ini mereka belum menemukannya.
Mereka hanya menemukan sistem-sistem pembuangan kotoran, pipa-pipa air, rumah-
rumah yang telah hancur, tumpukan puing-puing, dan tentu saja, penduduk
Palestina yang sangat berang. Para wanita dan anak-anak di kamp berencana
menghalang-halangi buldoser-buldoser tersebut dan mencoba menghentikan mereka
membawa pergi sisa-sisa rumah mereka. Namun, saat menatap kekacauan yang
disebabkan oleh pancaran air bersih dan air pembuangan dari pipa-pipa yang pecah
dan membanjiri jalanan di kamp, aku tidak bisa menahan kejengkelanku akan
perlakuan sinting terhadap orang-orang yang tak bersalah ini. Mereka hanya meminta hak yang
selayaknya diperoleh setiap manusia di muka bumi ini, tanah air.
Perjalanan yang kurencanakan hanya berlangsung sepuluh menit dari Rumah Sakit
Akka ke Rumah Sakit Gaza, ternyata menjadi dua jam, karena aku berhenti di
banyak rumah penduduk untuk menyapa mereka. Akhirnya, tampaklah Rumah Sakit
Gaza. Mula-mula, Rumah Sakit Gaza tidak terlihat seperti sebuah rumah sakit,
tetapi lebih mirip sebuah benteng yang telah diserang. Dinding-dindingnya masih
hitam berjelaga dan di semua tingkat, kaca-kaca jendela hancur berantakan. Pintu
utama terkunci dan bangunan tersebut dijaga para tentara. Mereka menyuruhku
untuk pergi. Saat aku berbalik untuk meninggalkan tempat itu, seorang teman lama
muncul, dan aku langsung mengenalnya sebagai salah seorang staf administrasi
Rumah Sakit Gaza. Ia pasti mengatakan sesuatu yang meyakinkan para tentara itu
karena mereka lantas membolehkanku memasuki rumah sakit.
Perjalanan dari lantai ke lantai Rumah Sakit Gaza adalah salah satu pengalamanku
yang paling menyedihkan dan aku merasa bersyukur bahwa Azzizah dan Hadla tidak
berada di sini dan melihat keadaan yang mengenaskan ini. Di setiap lantai, kaca-
kaca jendela serta pintu-pintu hancur lebur menjadi serpihan-serpihan kecil,
kasur-kasur serta bantal-bantal tercabik-cabik, kabel-kabel dan kawat-kawat
listrik tercerabut dan terbengkalai di atas lantai. Semua perlengkapan rumah
sakit yang bisa dibawa telah hilang. Alat-alat lainnya yang lebih berat dan tidak dapat
dipindahkan atau bernilai jual rendah telah remuk redam. Dinding-dinding
berselimutkan jelaga tebal dan lantai-lantainya beralaskan abu. Jelaga dan abu
lebih parah lagi di lantai-lantai atas.
Di lantai enam, tujuh, dan delapan, aku merasa seakan-akan berada di dalam
sebuah tungku api yang bertahun-tahun tak dikosongkan. Di lantai sembilan dan
sepuluh terdapat lubang-lubang besar yang menghiasi dinding-dinding, aku diberi
tahu bahwa lubang-lubang ini dibuat dan dipakai para penyerang untuk menembak ke
arah kamp-kamp. Aku mengintip ke luar dari salah satu lubang ini dan melihat
kamp Sabra yang telah rata dengan tanah. Di lantai, aku mengambil beberapa butir
peluru M16. Terdapat pula kotak-kotak amunisi yang telah kosong, berlabel "Made
in USA". Para penyerang kamp pada Ramadhan 1985 ini membawa senjata-senjata
buatan Amerika. Amarahku yang tadi muncul kini sirna dan aku merasa menggigil
dingin bercampur tegang. "Doctora, tidak apa-apa," kata teman Palestinaku itu. "Kami akan mempersiapkan
rumah sakit ini lagi. Kami akan membersihkan dinding-dinding ini, membawa obat-
obatan, dan membuka rumah sakit ini kembali." Aku tahu dari nada suaranya bahwa
ia bersungguh-sungguh dalam setiap kata-katanya. Aku sudah pernah mendengar
kata-kata ini dan melihat pembuktiannya paling tidak dua kali sebelumnya, yaitu
pada Agustus 1982 setelah penyerangan di Beirut dan pada September 1982 setelah
pembantaian. Aku sering bertanyatanya, dari mana orang-orang ini mendapatkan
kekuatan mereka. Hari beranjak sore, dan aku harus pergi sebelum keadaan menjadi rawan untuk
melintasi pos-pos pemeriksaan. "Swee, saya mohon. Ibu ingin Anda datang untuk
minum kopi bersama kami." Aku berbalik dan mencari asal suara itu. Ia adalah
seorang wanita muda. Kurasa aku mengenali wajahnya. Tentu saja, ia Muna, kakak
perempuan Huda. Ia telah tumbuh dewasa. Ia lebih tinggi dan cantik sekarang,
tetapi aku masih mengenalnya sebagai Muna. Tiga tahun sudah berlalu sejak
terakhir kali aku melihat ia dan Huda, dulu aku senang berkumpul dengan keluarga
mereka. Aku menengadah ke arah blok-blok bangunan yang tinggi di seberang Rumah Sakit
Gaza, dan di lantai tujuh terlihat seorang wanita Palestina berdiri di atas
balkon, melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Ia mengenakan kerudung putih.
Tiga tahun telah berlalu sejak aku terakhir kali mengunjunginya. Aku sangat
senang melihat rumah mereka masih utuh. Muna dan aku berlari menaiki tangga
karena lift tidak berfungsi akibat putusnya aliran listrik. Kebanyakan flat di
blok ini kosong karena keluarga-keluarga Palestina yang tinggal di dalamnya
telah pergi menghindari serangan. Namun, di blok yang sama terdapat banyak
keluarga Syi'ah Lebanon kehadiran mereka itulah yang menghalangi keseluruhan
blok tersebut dihancurkan. Kami tiba di lantai tujuh, nyaris pingsan karena
berjalan tergesa-gesa. Kemudian, pintu di hadapan kami terbuka lebar dan dari
dalam seseorang menyambutku dengan ciuman dan pelukan hangat, dialah ibu Muna.
Flat tersebut keadaannya masih seperti pada 1982 bersih, rapi, dan dirawat
dengan baik. Akan tetapi, banyak dari perabotan indah di situ sudah tidak ada,
termasuk kain sulaman cantik khas Palestina yang dibuat oleh ibu Muna. Aku tak
berani menanyakan detail peristiwa yang terjadi. Ibu Muna membawakan kopi Arab
untuk kami, lalu duduk di atas kursi, menatapku, tersenyum lagi dan lagi, dan
mulai menyebut-nyebut beberapa ayat yang memuji-muji Allah. Aku dimintanya duduk
di atas sebuah kursi berlengan yang lebar. Kurasa, kursi ini terlalu besar untuk
diangkut oleh para penjarah itu.
Aku teringat bahwa dulu rumah Muna ramai. Pada 1982, ayah, ibu, dua orang anak
perempuan, empat orang anak laki-laki, dan dua orang menantu perempuan tinggal
di dalam flat berisi tiga kamar ini. Biarpun demikian, rumah ini terasa luas
bila dibandingkan standar kamp pengungsi. Kini, flat itu tampaknya kosong,
kosong dari perabotan dan dari orang-orang. Hanya ada Muna dan kedua
orangtuanya. Selebihnya telah menghilang.
Keluarga ini telah mengalami banyak penderitaan dan turut andil dalam perjuangan
para syuhada. Kedua kakak laki-lakinya dijebloskan ke penjara kamp Ansar yang
terkenal kejam oleh para tentara Israel pada 1982, dan nasib mereka tidak pernah
terdengar lagi. Sejak saat itu, keluarganya menunggu dengan cemas kepulangan
mereka, tetapi seiring hari berganti menjadi bulan, dan bulan berganti menjadi tahun, mereka
mulai sadar bahwa putra-putra mereka itu mungkin takkan pernah muncul lagi.
Sungguh berat bila ada anggota keluarga kita menghilang. Para keluarga yang tahu
pasti bahwa orang yang mereka cintai telah meninggal akan berduka dan kemudian
menerima kenyataan bahwa orang itu telah meninggal. Mereka menguburkannya,
mengunjungi makamnya, dan mendoakan arwahnya. Namun, keluarga-keluarga dari
orang-orang yang menghilang akan selalu bertanyatanya di manakah mereka berada
dan apakah mereka masih hidup. Seandainya masih hidup, keluarga-keluarga itu
akan bertanyatanya apakah orang-orang yang mereka cintai tengah disiksa dan
menderita, dan jika mati, di mana jasadnya berada. Keluarga-keluarga itu akan
selalu dihantui pertanyaan.
Putra ketiga mereka ditangkap oleh pasukan Amal pada hari pertama peperangan di
kamp pada 1985. Ia dibariskan menghadap tembok bersama para tawanan lainnya
untuk dihukum mati. Mungkin Tuhan masih menyayanginya dan mendengar doa-doa sang
ibu. Beberapa orang Syi'ah yang bukan anggota Amal ikut campur tangan dan
memohon pembebasannya. Akhirnya, ia dibawa ke lembah Be-ka'a dan keluarga ini
menerima kabar bahwa ia masih hidup. Muna mengeluarkan album keluarganya dan
menunjukkan padaku foto-foto keluarga mereka yang menjadi milik mereka yang
berharga. Foto-foto momen bahagia dari pernikahan kedua kakak laki lakinya, ?dan foto dari kakak laki-lakinya yang kini
berada di Beka'a. Juga terdapat foto-foto Huda dan Hisham yang sekarang, bersama
Milad, tinggal di Siprus bersama Paul Morris dan bersekolah di sana. Di lembar
terakhir album foto itu terlihat foto-foto berharga yang telah menguning dimakan
waktu, foto-foto kedua orangtuanya yang masih muda dan bahagia di Palestina.


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian, ibunya, yang semenjak tadi hanya duduk berdiam diri dan melemparkan
senyumnya yang ramah dan manis kepadaku, tiba-tiba angkat suara.
Muna berkata, "Ibu ingin tahu mengapa Anda datang kembali ke Beirut, apa yang
Anda suka dari Beirut?"
Hanya satu jawaban jujur. Aku tidak berani menyatakannya sejak kembali tiba di
Beirut. Tapi, kali ini aku harus mengatakan dengan jujur. Aku anggota Amal ikut
campur tangan dan memohon pembebasannya. Akhirnya, ia dibawa ke lembah Beka'a
dan keluarga ini menerima kabar bahwa ia masih hidup. Muna mengeluarkan album
keluarganya dan menunjukkan padaku foto-foto keluarga mereka yang menjadi milik
mereka yang berharga. Foto-foto momen bahagia dari pernikahan kedua kakak laki-
lakinya, dan foto dari kakak laki-lakinya yang kini berada di Beka'a. Juga
terdapat foto-foto Huda dan Hisham yang sekarang, bersama Milad, tinggal di
Siprus bersama Paul Morris dan bersekolah di sana. Di lembar terakhir album foto
itu terlihat foto-foto berharga yang telah menguning dimakan waktu, foto-foto
kedua orangtuanya yang masih muda dan bahagia di Palestina. Kemudian, ibunya,
yang semenjak tadi hanya duduk berdiam diri dan melemparkan senyumnya yang ramah
dan manis kepadaku, tiba-tiba angkat suara.
Muna berkata, "Ibu ingin tahu mengapa Anda datang kembali ke Beirut, apa yang
Anda suka dari Beirut?"
Hanya satu jawaban jujur. Aku tidak berani menyatakannya sejak kembali tiba di
Beirut. Tapi, kali ini aku harus mengatakan dengan jujur. Aku sungguh pedih
harus mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Aku merasa mendapat pertanda
bahwa kami takkan pernah bertemu lagi, setidaknya untuk jangka waktu yang lama,
sangat lama.[] Dua Puluh Dua Sangat kontras dengan Rumah Sakit Gaza, Rumah Sakit Akka secara ajaib selamat
dari kehancuran fisik. Tanah yang di atasnya dibangun Rumah Sakit Akka adalah
milik seorang Syi'ah Lebanon bernama Syekh Khabalan. Pengaruhnya telah membuat
Rumah Sakit Akka terhindar dari serangan para tentara milisi Amal yang mengganas
di Rumah Sakit Gaza. Oleh karena itulah, tim dokter Inggris beruntung
mendapatkan sebuah bangunan yang masih utuh. Rumah Sakit Akka, yang pertama kali
kulihat setelah ia hancur berkeping-keping oleh serangan bom Israel pada 1982,
kini telah sepenuhnya pulih. Rumah sakit itu adalah sebuah bangunan bertingkat
yang indah, tiga lantai di atas dan dua lantai di bawah tanah lengkap dengan
bangsal-bangsal perawatan, laboratorium biokimia dan hematologi, sebuah
departemen sinar-X dengan fasilitas pemindai, ruang-ruang penelitian dan
perpustakaan, bangsal-bangsal operasi bedah, dan sebuah sekolah pelatihan bagi
para perawat yang dijalankan oleh PRCS. Kendatipun demikian, setelah peperangan
di kamp, Rumah Sakit Akka tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya sebuah
rumah sakit karena banyak ruangan telah diubah menjadi pusat pengungsian
sementara. Apalagi, pasukan milisi telah memutus pasokan air ke rumah sakit. Di Rumah Sakit
Akka itulah, di tengah-tengah keriuhan dan kekacauan, aku menemukan segelintir
kawan lama yang kukenal pada 1982 para staf Rumah Sakit Gaza yang selamat dari
penyerbuan, para perawat juga dokter, dan sang profesor tua Arnauti, yang kami
juluki sebagai "Socrates".
Rambut abu-abu profesor kini berubah sepenuhnya putih, tetapi secara mental ia
masih sehat. Aku duduk di sebelahnya dan kami mengobrol tentang Palestina,
tentang Jerusalem. Ia bertanya apakah aku sejujurnya yakin bahwa orang-orang
Palestina akan dapat kembali ke Palestina, suatu hari nanti.
Aku menjawab, "Pasti, tapi aku tak yakin apakah Anda dan aku masih hidup untuk
melihat hari itu." Jawabanku membuatnya sangat senang, ia gembira melihat keyakinanku itu. Saat aku
sedang mengobrol dengan sang profesor tua, seseorang menghampiri kami dan
memberitahuku bahwa Ummu Walid ingin bertemu denganku. Di kantornya, kulihat
Ummu Walid sedang berbicara dengan sekitar dua puluh empat orang, membahas
berbagai hal dalam satu waktu. Setelah urusannya dengan orang-orang itu selesai
dan mereka pergi, ia menghampiri Synne dan aku. Ummu Walid ingin bertemu dengan
kami untuk mendiskusikan kemungkinan mendirikan semacam bangsal operasi di kamp
Ain al-Halwah di Saida, Lebanon Selatan.
Keadaan di kamp Ain al-Halwah sangat menegangkan, penduduk di sana setiap hari
hidup dalam ketakutan akan terjadinya serangan pasukan musuh. Penduduk kamp
berkebangsaan Palestina yang berjumlah tujuh puluh ribu orang tidak mempunyai
fasilitas UGD maupun bangsal operasi. Jika kamp tersebut diserang dan digempur
roket, penduduk yang terluka tidak akan dapat diungsikan ke mana pun, dan banyak
dari mereka akan mati. Staf PRCS dan komite kamp telah membuat rencana untuk
mengubah sebuah gua menjadi rumah sakit. Ummu Walid hanya meminta kami untuk
memindahkan beberapa barang ke Ain al-Halwah, apalagi jika dibandingkan orang-
orang Palestina, kemungkinan kami diculik dan dibunuh di pos-pos pemeriksaan
jauh lebih kecil. Jadi, setelah mobil ambulans disesaki oleh mesin pemacu jantung, kateter, alat-
alat bedah, mesin bius portable, lampu operasi, gergaji gips, kantong-kantong
transfusi darah, dan meja rawat yang dapat dilipat, Synne dan aku langsung pergi
ke selatan menuju Saida. Terakhir kalinya aku melihat Saida adalah pada 1982
ketika Ellen dan aku memesan taksi "layanan" untuk membawa kami ke selatan.
Kenangan terakhirku tentang kamp Ain al-Halwah adalah sebuah area yang luas,
rata dengan tanah akibat pengeboman, seperti kamp Sabra yang kulihat pada 1985.
Tidak satu pun bangunan yang terdapat di kamp Ain al-Halwah yang tingginya lebih
dari 1,2 meter benar-benar pemandangan tragis. Hari ini, tepatnya tiga tahun
kemudian, kamp Ain al-Halwah menyambutku dengan pemandangan yang sama sekali berbeda.
Kamp tersebut telah dibangun kembali. Di sana terdapat rumah-rumah bata yang
rapi, toko-toko, kabel-kabel listrik, dan perkantoran. Jalan raya utama kamp
diaspal dengan mulus, kendaraan-kendaraan bermotor dan sepeda lalu-lalang menuju
berbagai arah. Tidak banyak debu dan yang pasti tidak ada sampah. Kamp tersebut
tampak bersih. Para penduduk kamp terlihat rapi dan bersih dalam pakaian-pakaian
sederhana yang bersih pula. Aku tidak akan begitu berduka di London seandainya
tahu bahwa kamp Ain al-Halwah telah diperbaiki seperti ini. Hari itu menjadi
hari yang sangat menyenangkan bagiku, melihat kebangkitan kembali Kota Ain al-
Halwah. Rumah sakit yang direncanakan akan dibangun di kamp ini berada di dalam gua yang
terlindung dari serangan pasukan musuh. Pekerjaan pembangunan telah mulai
dilakukan dengan antusiasme yang sangat besar. Para penduduk kamp punya
kepedulian untuk menyelesaikan pembangunan rumah sakit ini, untuk mengejar
"tenggat waktu", untuk bersiap-siap merawat para korban yang akan banyak
berjatuhan seandainya pasukan Amal memutuskan untuk menyerang mereka. Rumah
sakit tersebut membutuhkan sebuah mesin sinar-X dan kami gembira karena
masyarakat Inggris telah menyumbangkan uang untuk membeli mesin sinar-X
portable. Tak lama setelah itu, aku membaca berita di surat kabar bahwa empat orang
pemimpin kamp Ain al-Halwah telah dibunuh dan muncul spekulasi bahwa pembunuhan itu disebabkan
oleh pertikaian antara kelompok pendukung dan penentang Arafat di dalam kamp.
Spekulasi ini terbukti tidak berdasar.
Kami membawa lebih banyak lagi alat-alat kedokteran ke kamp Ain al-Halwah dan
berkesempatan berbicara dengan salah seorang pemimpin kamp yang selamat. Pers
menyebarkan berita yang keliru, jelasnya. Para penduduk kamp justru telah
menahan para pembunuh itu. Mereka mengaku telah dibayar oleh pasukan Israel.
Para penduduk kamp merasa berang terhadap pembunuhan itu dan menyatakan bahwa
mereka akan berusaha lebih keras lagi untuk menjalin persatuan.
Seorang wanita Inggris yang tinggal di dekat kamp memberi tahu kami seperti apa
prosesi penguburan para pemimpin yang gugur itu. Di bagian terdepan prosesi itu
berjalan para pembawa peti mati dan peti-peti itu ditaburi bunga-bunga dan
dihiasi bendera-bendera Palestina. Mereka ini diikuti oleh orang-orang yang
memanggul senjata, menembak ke udara. Lalu, di belakangnya terdapat para
penduduk kamp, berjalan dengan tangan saling memegang bahu. Para pemimpin dari
semua faksi PLO ikut ambil bagian dalam prosesi itu. Semua orang berteriak
dengan serempak. Meskipun tak dapat mengerti apa yang diteriakkan orang-orang
itu, wanita itu mengatakan bahwa mereka mengucapkannya berbarengan, dan pesan
persatuan terasa jelas. Jika kamp Ain al-Halwah diserang, para warga Palestina
yang tinggal di situ akan mempertahankannya dengan rasa persatuan dan kesetia-
kawanan. Tatkala pulang dari selatan, kami baru tahu bahwa Ummu Walid jatuh sakit.
Awalnya kami sulit memercayainya, karena terkadang kami lupa bahwa Ummu Walid,
betapapun tegarnya, adalah manusia biasa. Untuk pertama kalinya, Ummu Walid
mengeluhkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Ia selalu menjadi menara
sumber kekuatan dan tidak pernah membiarkan rintangan apa pun menghalanginya
mencapai tujuan. Mungkin temperamennya yang tinggilah yang membuatnya kini
berkeluh kesah, tetapi sepertinya lebih diakibatkan oleh bertumpuknya peristiwa-
peristiwa yang menimpanya.
Terlalu banyak orang Palestina yang menderita, terutama para janda dan yatim
piatu. Itu baru satu masalah, ditambah lagi ia tidak berhasil mendapatkan izin
untuk pembangunan kembali Sabra dan Shatila, walaupun ia telah bernegosiasi
selama berjam-jam. Izin hanya diberikan untuk pendirian kembali dua ratus rumah
di kamp. Bagaimana bisa tiga puluh ribu orang yang kehilangan tempat tinggal
dapat ditampung dalam hanya dua ratus rumah" Lalu, dengan hancurnya Rumah Sakit
Gaza, ia harus mencari uang untuk membiayai perawatan para pasien yang dulu bisa
dirawat secara gratis di Rumah Sakit Gaza. Klinik pasien rawat jalan di Rumah
Sakit Akka sekarang telah berfungsi, tetapi kondisi kerja para stafnya jauh dari
layak. Ia sedang berada di Rumah Sakit Akka pada pagi hari ketika terjadi masalah di
klinik gigi. Terdapat antrean panjang pasien. Tiba-tiba, seorang pria yang
mengaku anggota pasukan Amal muncul dan meminta perawatan segera. Sang dokter
gigi Palestina tidak memperbolehkannya melangkahi antrean. Orang-orang di dalam
antrean mulai memaki-maki, sang dokter mengancam akan bunuh diri jika ia terus-
menerus ditekan. Ummu Walid harus mengatasi situasi tersebut dan membujuk si
dokter gigi untuk memprioritaskan orang tersebut, bertentangan dengan kebijakan
PRCS yang merawat semua pasien secara adil.
Selanjutnya, tubuh seorang perawat PRCS, yang telah menghilang selama seminggu,
ditemukan dalam sebuah tumpukan sampah. Ia dibunuh setelah diperkosa secara
brutal oleh banyak pria. Kemudian, semua peralatan laboratorium di Rumah Sakit
Gaza yang dijarah pasukan Amal saat penyerangan telah dijual dan PRCS harus
membelinya kembali. Ia tiba di rumah dan mengetahui bahwa sebuah keluarga yang tinggal di sana telah
ditembak mati tanpa alasan yang jelas. Mereka tak pernah terlibat apa pun.
Peristiwa demi peristiwa hampir semuanya tidak menyenangkan dan menjijikkan
telah menyita kekuatan yang tersisa pada wanita tangguh dan pemberani ini.
Keesokan harinya, aku bertemu lagi dengan Ummu Walid. Meskipun masih lemah, ia
sudah dapat menguasai diri dan kembali menjadi pribadi yang tangguh seperti
biasanya. Hampir tiba saatnya bagiku untuk meninggalkan Beirut, tapi sebelum pergi, aku
ingin berkunjung ke kamp Shatila, dengan harapan dapat bertemu lagi dengan Hannah dan mengetahui
apakah Nahla baik-baik saja dan untuk mengucapkan selamat tinggal. Tatkala aku
hendak pergi ke sana, hari sudah beranjak sore, sehingga aku membatalkan
rencanaku itu. Namun, seseorang yang baik hati menawariku untuk mengantarkanku
ke tempat Hannah mungkin berada. Kami melewati Masjid Shatila, melalui gang-gang
kamp yang sempit dan berliku-liku, di setiap pinggirnya tampak puing-puing dan
rumah-rumah setengah hancur. Kami akhirnya tiba di sebuah rumah di kamp.
Pada awalnya, aku mengira ini pasti rumah Hannah, tapi kemudian aku mengetahui
bahwa bangunan tersebut adalah kantor Serikat Umum Wanita Palestina (General
Union of Palestinian Women, GUPW) di kamp Shatila. Orang yang mengantarku itu
menduga Hannah berada di situ karena pada hari itu salah seorang anggota GUPW
melangsungkan pernikahan. Namun, kedua mempelai membatalkan perayaan pernikahan
itu. Mereka telah merencanakan hari besar ini berbulan-bulan lalu, tapi tak
mungkin mereka mengadakan upacara pernikahan setelah banyak penduduk kamp tewas
dan luka-luka mereka masih segar. Aku bertemu kedua mempelai itu dan berdoa agar
mereka diberikan kebaikan.
Ketika aku bersiap-siap untuk pulang, seseorang datang dan memberitahukan bahwa
lima orang Palestina telah diculik pasukan Amal di pos perbatasan dan bahwa kamp
tersebut dikepung dan diserang. Sangat berbahaya melintasi pos pemeriksaan pada
saat itu. Karena tak dapat meninggalkan tempat tersebut, aku memanfaatkan
kesempatan itu untuk mengenal para wanita yang mengajakku makan malam bersama
itu. GUPW aktif melakukan banyak kegiatan. Selama penyerangan Ramadhan, mereka
berusaha mengurus kamp itu, merawat orang-orang yang sakit dan terluka,
menyalurkan makanan kepada penduduk kamp, dan mendukung gerakan perlawanan kamp.
Selama masa-masa damai, mereka mengelola taman kanak-kanak dan sekolah-sekolah
kejuruan. Mereka juga mengajar para wanita Palestina membuat kain sulaman khas
Palestina, upaya ini tidak hanya menyediakan sumber pendapatan bagi penduduk
kamp, tetapi sekaligus melestarikan kesenian dan kebudayaan tanah air mereka
dalam bentuk barang-barang, seperti bantal, taplak meja, syal, rok, saputangan,
pembatas buku, dan bendera. Di mana pun terdapat sehelai kain, sebatang jarum,
dan segulung benang, kenangan tentang Palestina akan terwujud menjadi barang.
Mereka dengan rajin mengumpulkan daftar orang-orang yang diculik dan hilang
sejak peperangan di kamp dimulai. Jumlahnya sebanyak lima belas ribu orang dari
ketiga kamp di Beirut Barat. Terdapat bukti kuat bahwa orang-orang itu dibawa ke
tempat-tempat penyiksaan, dan di sana mereka dianiaya dan dibunuh. Beberapa
jasad yang dibuang ditemukan, tetapi masih ada seribu lima ratus lagi yang belum
jelas nasibnya. Mereka menghilang begitu saja.
Kemudian, seorang wanita muda dipanggil ke kantor itu, ia adalah istri salah
seorang pejuang. Lalu, seorang wanita yang lebih tua dipanggil, ia adalah ibu
dari dua orang pejuang yang gugur. Makanan yang dihidangkan sangat sederhana,
terdiri dari kentang, roti yang tidak diberi ragi, dan hummus kuah yang dibuat
dari buncis dan bawang putih tetapi merupakan kehormatan bagiku berkesempatan
makan bersama para wanita ini. Tidak berlebihan jika kukatakan bahwa setiap
orang dari mereka pantas disebut sebagai pahlawan.
Aku tiba-tiba teringat punya sebuah misi kecil-kecilan. Sebelum aku meninggalkan
London, seorang wanita perwakilan dari Miners' Support Group (Kelompok Pendukung
Buruh Tambang) di Yorkshire telah singgah ke rumahku dan memberiku 24 buah kartu
ucapan dari 24 keluarga buruh tambang di desanya, untuk diberikan kepada para
penduduk di kamp. Para buruh tambang batu bara di Inggris telah melakukan
pemogokan selama setahun, sejak 1984 hingga 1985. Selama pemogokan berlangsung,
mereka menghadapi keadaan yang serbasulit dan banyak keluarga buruh tambang
harus menjual perabotan rumah tangga dan barang-barang lainnya untuk bertahan
hidup. Selama pemogokan, para buruh tambang Inggris mendapatkan bantuan dari
organisasi yang serupa dengan GUPW. Para istri buruh tambang, ibu, saudara
perempuan, dan nenek mereka bergotong royong mendirikan Miners' Support Group.
Mereka menjalankan dapur-dapur umum, memasak sup untuk dibagi-bagikan kepada
komunitas mereka, berkeliling ke segenap penjuru Inggris untuk menggalang
pengumpulan dana, dan menyemangati setiap orang selama masa-masa penuh kesulitan
itu. Sebagaimana para wanita Palestina, mereka menjadi tulang punggung komunitas
para buruh tambang. Pers Inggris mencemooh berakhirnya pemogokan itu sebagai
suatu "kekalahan", tetapi teman-teman Palestinaku di kamp Shatila menyebutnya
sebagai sebuah kemenangan. Alasan mereka sederhana, kelompok mana pun yang mampu
bertahan selama setahun dalam keadaan seperti itu berarti telah meraih
kemenangan yang sebesar-besarnya.
Jadi, sementara para komentator Inggris membicarakan kekalahan yang dialami para
buruh tambang, para warga Palestina di kamp Shatila memberi selamat kepada para
penambang karena mampu melakukan pemogokan yang berlangsung lama dan dilakukan
dengan gagah berani. Mungkin orang-orang Palestina itu sangat memahami apa arti
perjuangan, mereka lebih memahaminya daripada pers Inggris. Salah seorang dari
para wanita Palestina ini memberitahuku bahwa pers Barat memperlakukan warga
Palestina sama seperti mereka memperlakukan para penambang Inggris.
"Mereka secara konsisten mendistorsikan fakta atau menolak memublikasikan
kondisi kami," ujarnya. "Biarpun begitu, bahkan seandainya koran-koran tidak mau
memublikasikan fakta tentang kami, kisah kami akan selalu tertulis, akan selalu
tertulis dengan darah para syuhada kami."
Papan pengumuman GUPW telah hancur terkena bom, tetapi mereka memutuskan
memajang kartu-kartu ucapan dari Yorkshire itu di dinding bersama-sama dengan
foto-foto para pahlawan mereka.
Bangunan Rumah Sakit Haifa di kamp Bourj elBrajneh menjadi semakin luas dalam
waktu singkat. Bangsal operasi kini sepenuhnya berfungsi dengan baik, bangsal-
bangsal perawatan menampung para pasien rawat inap, dan para staf medis
Palestina melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, ini adalah babak baru
kesuksesan pembentukan dan pembangunan kembali Palestina. Aku tinggal punya satu
tugas lagi, mendapatkan mobil ambulans untuk Rumah Sakit Haifa. Begitu ambulans
itu bisa difungsikan, berarti aku telah berhasil memanfaatkan semua dana yang
terkumpul di Inggris dan takkan ada lagi kewajiban administratif yang harus
kulakukan. Rakyat Inggris luar biasa dermawan dan kebanyakan dana yang terkumpul
untuk membantu penduduk kamp selama terjadi peperangan itu tidak hanya berasal


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari orang-orang kaya, tetapi juga dari rakyat biasa. Sebagian besar dana yang
dikirim dari Inggris telah digunakan untuk membeli mesin sinar-x, peralatan
resusitasi, serta pembiayaan bangsal operasi.
Pada kunjungan keduaku ke Lebanon ini, kulihat banyak hal telah berubah. Bahkan
sebagai orang asing, mudah bagiku untuk melihat betapa masyarakat di sini telah
terpecah belah. Sungguh menyedihkan. Suatu hari, seorang pasien Lebanon berusia
dua puluh satu tahun meninggal, dan aku
hanya dapat bersyukur kepada Tuhan karena telah mengakhiri penderitaannya. Pria
ini berasal dari sebuah keluarga Syi'ah miskin, mengalami kelumpuhan dari
pinggang ke bawah karena luka yang dideritanya sejak penyerangan pasukan Israel
pada 1982. Selama tiga tahun terakhir, Rumah Sakit Haifa yang sebelum serangan
Ramadhan merupakan pusat rehabilitasi, telah menjadi rumahnya.
Malangnya, selama penyerangan Ramadhan di kamp Bourj elBrajneh, ia seperti yang
lainnya juga mengidap gastroenteritis (muntaber) yang parah. Kamp tersebut, yang
dikepung selama empat puluh hari, tak diizinkan mendapat bantuan air, makanan,
maupun obat-obatan. Penyerangan yang berlangsung terus-menerus mengakibatkan
para penduduk kamp harus hidup berjejal-jejal di dalam bunker perlindungan
selama berhari-hari. Dalam kondisi seperti ini, penyakit-penyakit menular
seperti muntaber, infeksi kulit, dan saluran pernapasan dengan mudah menyebar.
Seorang dewasa yang sehat akan menganggap dirinya beruntung jika dapat bertahan
hidup setelah mengalami kondisi demikian. Bagi seorang penderita lumpuh,
terserang penyakit diare berarti kematian.
Bagian bawah tubuhnya mati rasa dan ia pasti telah duduk selama berjam-jam,
mungkin berhari-hari, dalam genangan beraknya. Ketika penyerangan kamp berakhir,
tubuhnya menjadi benar-benar kurus dan borok telah melebar hingga ke pantat. Ia
terserang diare terus-menerus, yang berarti luka-lukanya tak bisa dijaga tetap
bersih. Rumah Sakit Gaza dihancurkan dan Rumah Sakit Haifa se-dang direnovasi sehingga ia
dipindahkan ke Rumah Sakit Akka. Namun, tidak mungkin untuk merawat pasien
seperti dia di Rumah Sakit Akka. Kala itu, Rumah Sakit Akka baru mulai
menanggulangi akibat-akibat perang selama Ramadhan, dan lebih buruk lagi, tidak
ada persediaan air! Pemecahan yang lo-gis adalah memindahkannya ke salah satu
rumah sakit swasta Lebanon yang mempunyai pipa air, fasilitas infus, dan cukup
banyak perawat untuk mengurusnya.
Oleh karena pasien ini berkebangsaan Lebanon, kami berpikir untuk membujuk
beberapa badan amal Lebanon untuk mendanai perawatannya di salah satu rumah
sakit ini. Pada saat itulah, baru kutahu betapa sulit bagi seorang Lebanon
miskin mendapatkan perawatan medis. Badan-badan amal Sunni, Kristen, Druze, atau
Syi'ah hanya mau membantu komunitas mereka sendiri dan mereka biasanya telah
mempunyai lusinan kasus yang harus didanai. Badan amal Syi'ah yang kami dekati
ingin tahu dari desa mana pasien itu dan keluarganya berasal, karena terdapat
banyak desa Syi'ah di Lebanon Selatan, di Beka'a, dan di wilayah-wilayah lainnya
di negeri itu. Setelah kami memberikan informasi yang diminta, badan amal
tersebut menyarankan agar aku menemui seorang syekh yang berasal dari wilayah
tersebut untuk meminta bantuannya. Dengan halus sang syekh menolak untuk
menemuiku. Jadi, pemuda itu masih tetap menderita, dan para perawat di Rumah
Sakit Akka melanjutkan memandi-kannya dengan persediaan air yang dibatasi dengan ketat hanya untuk keperluan minum.
Kami juga telah sangat lama meminta bantuan kepada Menteri Kesehatan tapi hanya
Tuhan yang tahu kapan bantuan itu akan datang. Akhirnya pasien itu terserang
koma dan meninggal dengan badan tinggal tulang berbalut kulit yang pecah-pecah.
Kematiannya meninggalkan pelajaran yang mendalam bagiku. Memang pasukan
Israellah yang menyebabkannya lumpuh, tetapi ia meninggal dalam kondisi yang
sangat tidak manusiawi gara-gara berbagai masalah yang ada di Beirut Barat. Dua
hari sebelum meninggal, ia memohon kepadaku untuk membawanya kembali ke Rumah
Sakit Haifa begitu bangsal-bangsal perawatan dibuka kembali. Sulit untuk
memenuhi permintaannya. Dari pengalamanku di Beirut Barat selama invasi Israel pada 1982, kulihat orang-
orang Lebanon yang kutemui bersikap hangat, murah hati, dan bersahabat. Mereka
tidak pernah bersikap diskriminatif terhadap warga Palestina, tidak juga
terhadap sesama warganya sendiri meskipun berbeda agama maupun keyakinan. Namun,
pada 1985, mereka tampaknya terobsesi dengan perbedaan di antara mereka sendiri.
Sekarang, seorang sopir taksi Syi'ah tidak akan mau pergi ke wilayah Sunni, dan
begitu pula sebaliknya. Dan bila seorang menyebut-nyebut kata "kamp pengungsi
Palestina" kepada seorang sopir taksi, ia akan diusir ke luar. Saat melewati
daerah Lahut dekat Near East School of Theology aku teringat bahwa pada 1982,
bangunan itu diubah menjadi rumah sakit darurat atas usaha bersama warga Lebanon dan Palestina.
Sebagai hasilnya, ratusan nyawa pasti telah berhasil diselamatkan.
Pada saat itu, tak seorang pun ditanya apakah ia seorang Palestina ataupun
Lebanon. Jika ia orang Lebanon, ia takkan ditanya apakah ia beragama Kristen
atau Islam. Orang Islam tidak ditanya apakah ia pengikut aliran Sunni atau
Syi'ah. Kini, kehangatan, kedermawanan, dan semangat persatuan tampaknya telah
diganti dengan permusuhan antar golongan, sinisme, dan rasa ketakberdayaan.
Kini, dengan uang apa saja dapat dibeli, senjata, kesetiaan sesama milisi,
kebaikan hati, perawatan medis, dan mungkin bahkan prinsip-prinsip yang
mendasar. Lebanon telah membuatku sangat sedih. Tempat ini telah terlalu banyak melihat
tank, senjata, dan perang. Para pemuda, bukannya pergi ke sekolah atau bekerja,
terpaksa memanggul senjata dan berjuang untuk bertahan hidup. Alih-alih
mengucurkan uang untuk kesehatan dan kemakmuran, uang mengalir masuk ke dompet-
dompet para penjual senjata. Meminjam kalimat seorang kawan berkebangsaan
Lebanon, "Lebanon telah menjadi medan pertempuran berbagai kekuatan politik dari
luar dan putra-putra Lebanon menjadi mangsa meriam mereka. Kehidupan menjadi tak
berharga. Jika seseorang ditembak mati, hanya segelintir orang akan bertanya
mengapa atau siapa yang melakukannya."
Yang lebih meresahkan adalah bagaimana para pemuda dan remaja menggantungkan
diri kepada kekuatan, sering kali dalam bentuk senjata dan keanggotaan dalam suatu milisi.
Pikiran-pikiran ini terus berkecamuk dalam pikiranku seiring aku melewati
Mayfair Residence, tempat tinggal kami pada 1982. Tiba-tiba, seseorang
memanggilku dari seberang jalan, "Doctora, Doctoral"
Aku tidak mengenali pria ini, tapi ia berkata bahwa ia mengenalku sebagai salah
seorang dokter yang bertugas di Lahut pada 1982. Ia mengundangku minum kopi
bersamanya, kemudian mengenalkan dirinya sebagai seorang dokter. Ia adalah
anggota Partai Sosialis Progresif Suriah sebuah nama yang sama sekali tidak
kukenal. Dengan sabar ia menjelaskan kepadaku garis kebijakan partai politiknya.
Sebagian besar penjelasannya tidak terlalu membuatku tertarik, kecuali bahwa
partai ini tidak memihak golongan mana pun. Sungguh langka partai yang tak
memihak golongan mana pun di Beirut pada 1985!
Di bawah kaca meja sang dokter, terpajang foto seorang wanita muda yang cantik.
Aku pernah melihat wajahnya di poster-poster yang terpampang di dinding-dinding
di seluruh Beirut dan bahkan di Lebanon Selatan, dan aku sering mengira-ngira
siapa gerangan dirinya. Dokter itu memberitahuku bahwa wanita itu adalah seorang
gadis delapan belas tahun yang melakukan misi bunuh diri menyerang barak-barak
Israel di selatan, wanita Lebanon pertama yang melakukan serangan bom bunuh diri
terhadap pasukan Israel. Sang dokter dengan bersemangat berbicara
tentang wanita kedua yang melakukan misi serangan bunuh diri. Ia menceritakan
bagaimana gadis itu mendatangi dirinya pada suatu pagi dan membawakannya seikat
bunga nan cantik. Gadis itu lantas mengatakan padanya bahwa ia hendak pergi ke
suatu tempat, tetapi ia tak bisa memberitahukan ke mana persisnya. Ia akan
"melakukan sesuatu yang berarti, sesuatu yang indah demi Lebanon". Baru setelah
terjadinya misi serangan bunuh diri, sang dokter mengetahui ke mana perginya
gadis itu. Orang-orang Barat kebanyakan menganggap mereka yang melakukan misi serangan
bunuh diri ini sebagai orang gila atau "teroris". Sebagian lagi yang lebih
toleran hanya mendesah dan berkata, "Kasihan sekali! Menyia-nyiakan hidup!"
Tapi bagi kebanyakan orang di Lebanon, mereka adalah pahlawan yang gagah berani.
Sebagaimana rekan-rekan Palestina mereka di Masjid Shatila, kedua gadis ini
sangat cantik. Mereka bisa saja memilih kehidupan yang bahagia bersama suami
yang menyayangi mereka dan anak-anak yang lucu-lucu. Akan tetapi, mereka telah
memilih menyerahkan hidup mereka demi kemerdekaan rakyat dan negara mereka.
Pandanganku menjadi kabur karena air mata dan aku harus meninggalkan tempat itu
sebelum terlihat memalukan. Aku merasa malu akan anggapan negatifku beberapa
saat lalu terhadap Lebanon. Terbukti, kedua gadis muda ini telah menghapuskan
segala kesan sektarianisme yang kudapatkan selama aku di sini. Mereka tidak
memilih untuk "menyerang Palestina demi menyenangkan
pasukan Israel". Mereka juga tidak mencari-cari alasan atas berbagai kekacauan
di Lebanon. Mereka memilih bertarung dengan musuh dan melakukannya dengan gagah
berani dan semangat rela berkorban.
Sudah tiba waktunya bagi tim dokter Inggris untuk meninggalkan negeri ini. Di
Inggris, kami harus melakukan banyak publikasi ke media massa dan penggalangan
dana. Kami juga melihat bahwa kami perlu memulai program pelayanan medis jangka
panjang di Lebanon. Hal ini harus didiskusikan dengan MAP sekembalinya kami ke
London. Untuk saat ini, setelah pembangunan kembali Rumah Sakit Haifa dan
Shatila tuntas dilakukan, para dokter bedah harus melakukan operasi bagi para
korban yang sudah lama menunggu. Jika kamp kembali diserang, kami harus
mengerahkan lebih banyak bantuan medis untuk menangani para korban perang.
Pada malam keberangkatan, yaitu pada Agustus 1985, aku baru mengetahui bahwa
Immad dan Alison telah bertunangan. Aku pastilah seorang pemimpin tim yang
kurang perhatian dan tidak peka karena tidak menyadari bahwa keduanya saling
mencintai. Tetapi Alison begitu giat bekerja selama bertugas di Beirut sehingga
aku tidak menyadarinya. Seandainya saja aku tahu, aku akan berusaha membujuk
mereka untuk bersama-sama mengambil cuti. Namun, yang luar biasa adalah Alison
kini menolak meninggalkan Rumah Sakit Haifa, dan ingin tetap tinggal di sana
untuk membantu penduduk kamp. Aku selalu menghargai dedikasinya, tetapi
bagaimana dengan Immad yang akan pulang dengan
anggota tim lainnya ke London" Ia memohon kepada Immad untuk mengizinkannya
tetap tinggal, rumah sakit membutuhkan bantuannya, dan Immad harus menghormati
keinginannya. Belakangan, Alison tertembak oleh seorang penembak jitu dan terjebak dalam
sebuah serangan di sebuah kamp lain. Akhirnya, ia harus diungsikan keluar dari
kamp dan diterbangkan pulang ke London karena terserang pneumonia (radang paru-
paru) dan mengalami penurunan berat badan yang drastis akibat bekerja terlalu
berlebihan. Alison selamat sepenuhnya berkat belas kasih Tuhan. Seandainya
sesuatu terjadi pada dirinya, aku akan merasa bersalah karena telah
mengizinkannya tetap tinggal di Beirut. []
Dua Puluh Tiga Ketika membaca bab ini, Anda mungkin akan menerka-nerka siapakah Nabila Brier,
dan mengapa tiba-tiba aku memutuskan menulis tentangnya. Seperti banyak orang
yang bekerja sama dengan warga Palestina, aku telah belajar untuk tidak terlalu
banyak bertanya tentang latar belakang pribadi mereka atau memotret mereka.
Sering kali aku hanya punya perasaan biasa-biasa saja terhadap teman-teman
Palestinaku, sampai mendadak aku mendengar bahwa mereka telah dibunuh. Barulah
setelah itu aku mulai menghargai mereka, tapi su-ndah terlambat. Mungkin aku
harus belajar untuk mengatakan dengan sejujurnya perasaanku kepada orang-orang
yang kucintai pada saat mereka masih hidup dan masih dapat mendengarku.
Begitulah yang terjadi pada Nabila, kami selalu memanggilnya kapan pun kami
membutuhkan bantuannya, tetapi aku hampir tidak pernah teringat akan dirinya
ketika mulai menulis buku ini.
Barulah setelah ia pergi, saat-saat yang pernah kami jalani bersama menjadi
terasa sangat berharga. Aku mulai memikirkannya, dan secepat mungkin berusaha
meyakinkan diriku bahwa bayangan wajahnya tidak akan sirna dari ingatanku
seiring berjalannya waktu. Ketika kami masih hidup dan
berkumpul bersama, kami selalu disibukkan oleh terlalu banyak pekerjaan, dan
sering kali kami terlalu sibuk untuk melewatkan waktu bersama-sama. Kami selalu
berjanji bahwa suatu hari kami akan duduk bersama-sama dan mengobrol tentang
hal-hal selain pekerjaan untuk saling mengenal. Kemudian tiba-tiba, salah
seorang dari kami menyadari bahwa ini tidak mungkin lagi kami lakukan.
Nabila Brier ditembak mati pada 18 Desember 1986 di Beirut Barat. Banyak dari
kami yang mengenalnya terlalu kaget untuk memikirkan apa yang sebenarnya
terjadi. Aku masih sangat jelas mengingat pertemuan pertama kami dengan Nabila.
Kami pertama kali bertemu dengannya pada suatu waktu di penghujung Juli 1985.
Masyarakat Inggris telah menyumbangkan sejumlah uang untuk pembelian mobil
ambulans bagi Rumah Sakit Haifa di kamp Bourj elBrajneh. Selama sebulan penuh,
aku telah berusaha untuk mendapatkan mobil ambulans bekas sebuah tugas yang
hampir mustahil dilakukan. Waktu itu, perang bulan Ramadhan baru saja usai,
benar-benar tidak ada mobil ambulans bekas yang layak pakai di Beirut. Kami
mendapat beberapa tawaran mobil bekas yang baru berjalan dua kilometer saja,
sudah mogok di tengah jalan. Akhirnya, seorang rekan Norwegia memberitahuku
untuk menemui Nabila Brier, petugas lapangan UNICEF di Beirut.
Nabila baru kembali dari Konferensi Wanita 1985 di Nairobi. Dalam acara itu ia
berbicara sebagai utusan UNICEF di Beirut. Aku diberi tahu agar datang ke
kantornya antara pukul 07.45 hingga
08.00 pagi untuk membicarakan masalah ambulans itu. Aku tiba pukul delapan
kurang sedikit, Nabila telah menungguku di dalam kantornya. Ia seorang wanita
Palestina yang menarik, berusia tiga puluhan, dengan sorot mata yang tajam dan
cerdas. Nabila punya sebuah mobil ambulans yang disumbangkan oleh rakyat Denmark
kepada GUPW. Mobil tersebut bukan mobil ambulans tipe kecelakaan, melainkan
jenis yang bisa dipakai untuk memindahkan pasien harian yang tak dapat berjalan.
Dengan kata lain, mobil itu lebih mirip minibus daripada ambulans. Mobil itu
dimaksudkan untuk mengangkut pasien anak-anak dan wanita dari dan ke rumah,
taman kanak-kanak, rumah sakit, dan pusat-pusat perawatan.
Mobil ini masih baru, berasal dari Eropa. Namun, pemerintah Lebanon memungut
pajak kendaraan hingga 50.000 lira Lebanon (2.500 poundsterling) dan organisasi
tersebut tak sanggup membayarnya. Sehingga mereka tidak bisa menggunakan
ambulans tersebut. Terlebih lagi, situasi keamanan di Beirut Barat sangat buruk.
Lembaga-lembaga milik warga Palestina menghadapi tekanan yang terang-terangan.
Oleh karena itu, GUPW mengalami kesulitan untuk berfungsi secara terang-terangan
dan harus menjalankan sebagian kegiatan mereka secara diam-diam. Mereka
memutuskan untuk menyumbangkan mobil ambulans itu kepada kami, dan kami dapat
menggunakan dana yang terkumpul di Inggris itu untuk membayar pajaknya. Lagi
pula, uang yang kami peroleh itu tidak cukup untuk membeli ambulans, hanya cukup
untuk membayar pajaknya. Nabila sangat berani dan tegar, baru belakangan aku tahu bahwa ia berada di
bawah tekanan yang sangat besar. Ia telah kehilangan banyak anggota keluarganya.
Ia memberitahuku, "Keluargaku telah membayar utang darah mereka di Lebanon."
Kata-kata yang aneh untuk kebanyakan orang, tetapi mereka yang akrab dengan
sejarah Palestina tahu bahwa banyak keluarga Palestina yang tinggal di Lebanon
telah kehilangan banyak anggota keluarga mereka.
Pers sering bertanya, "Apakah orang-orang Palestina membenci orang-orang Amal?"
Pertanyaan ini mengandung muatan tertentu. Orang-orang ingin tahu apakah
penderitaan warga Palestina yang ditimbulkan oleh Amal adalah penderitaan yang
terburuk. Mereka yang menganiaya orang-orang Palestina selalu senang menunjukkan
bahwa penderitaan yang mereka timpakan kepada orang-orang Palestina bukanlah
penderitaan yang paling hebat. Karena itulah, orang Israel sering dengan segera
menunjukkan bahwa orang-orang Arab pun berlaku sama kejamnya terhadap orang-
orang Palestina. Rata-rata keluarga yang tinggal di kamp pengungsi Palestina di Lebanon
kehilangan anggotanya karena serangan-serangan pasukan Israel maupun pasukan
Arab. Tidak terkecuali keluarga Nabila. Namun, ia keliru saat mengira bahwa
sudah cukup banyak darah keluarganya yang tertumpah sama sekali ia tak menyangka
bahwa satu setengah tahun kemudian ia akan menjadi korban berikutnya. Empat orang bersenjata
membunuh Nabila. Benar-benar tindakan yang tercela dan menjijikkan! Apakah perlu
sampai mengutus empat orang pengecut bersenjatakan senapan mesin untuk
menghadapi wanita pemberani berdarah Lebanon-Palestina ini, yang tidak
bersenjatakan apa-apa selain keberanian dan kejujuran" Dengan kematian Nabila,
mungkin keluarganya telah cukup menumpahkan darah untuk memuaskan jahanam-
jahanam ini. Satu-satunya hal yang melegakanku adalah Nabila meninggal seketika,
ia tidak disiksa atau diperkosa, tubuhnya tidak dimutilasi, seperti yang
biasanya dilakukan para pembunuh.
Apa yang telah dilakukan Nabila sehingga ia pantas mati" Ia adalah seorang
Palestina dan bekerja demi perdamaian. Sebagai seorang dokter, hubunganku
dengannya hanya sebatas mengatur pengiriman suplai obat-obatan ke Lebanon, tidak
hanya untuk kamp-kamp Palestina, tetapi juga untuk lembaga-lembaga kemanusiaan
Lebanon. Peti-peti besar berisi obat-obatan dan barang-barang kebutuhan lainnya
seperti selimut dan pakaian datang dari seluruh dunia dengan bertuliskan "Mrs.
Nabila Brier, c/o UNICEF, Beirut". Barang-barang ini kemudian disalurkan kepada
orang-orang yang membutuhkan, warga Palestina di kamp-kamp pengungsi, kaum


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Syi'ah Lebanon dari daerah-daerah miskin, dan orang-orang yang membutuhkan
pertolongan. Tidak ada komisi, pajak, pemotongan, dan sogokan, hal-hal yang
sangat umum di kalangan petugas bea cukai yang korup di Beirut.
Kematian Nabila merupakan teror terhadap banyak pekerja sosial di sini. Dengan
tewasnya Nabila, terbukti bahwa kerja kemanusiaan dan bantuan sosial dapat
mengakibatkan seseorang kehilangan nyawa. Mungkin inilah tujuan para pengacau
ini, yaitu untuk menakut-nakuti orang-orang yang ingin menolong warga yang
kehilangan hak-haknya di Lebanon. Selama terjadinya penyerangan 1985, tak
seorang pun diperbolehkan mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Jika ada
wartawan yang melaporkan keadaan sebenarnya kamp, ia akan mendapat ancaman. Aku
mendapat ancaman karena bersikap vokal menentang penyerangan kamp. Mereka yang
membantai warga Palestina tidak ingin ada saksi yang berbicara menentang aksi
kejahatan yang mereka lakukan.
Supaya aku mendapatkan semua informasi yang relevan tentang peperangan di kamp,
Nabila datang menemuiku di Hotel Mayflower pada pagi hari menjelang
keberangkatanku pada 1985. Ia menyerahkan kepadaku laporan UNICEF tentang
serentetan serangan yang baru-baru ini terjadi terhadap kamp. Perincian jumlah
warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal, kerusakan kamp-kamp termasuk
sekolah, taman kanak-kanak, dan klinik, semuanya dicatat dengan saksama dalam
laporan tersebut. Kedatangan Nabila menemuiku itu pastilah diawasi oleh mereka
yang menyerang dan menghancurkan kamp. Semakin keras upayanya untuk
menyebarluaskan fakta yang sesungguhnya, ia semakin membahayakan dirinya
sendiri. Namun, tanpa orang-orang seperti Nabila, keadaan akan semakin parah.
Kekejaman dan kekejian yang terjadi di sini tidak akan terdengar oleh dunia
luar. Jika ada seseorang yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk mewartakan
kebenaran, ia adalah Nabila.
Mereka telah cukup lama mengincar Nabila. Pada Desember 1985, suaminya mendapat
ancaman penculikan jika keduanya tetap tinggal di Beirut. Mereka meninggalkan
Beirut dan mengunjungi kami di London. Phil, wanita Irlandia ahli anestesi yang
bekerja di Rumah Sakit Gaza pada 1982, mengundang kami semua untuk makan malam
bersama. Acara makan malam yang sederhana itu berlangsung dalam suasana akrab
dan kami sangat senang melihat Nabila berada di London. Pembicaraan kami
berkisar tentang kebutuhan para penduduk kamp seperti bagaimana mengirimkan
pakaian kepada mereka yang kehilangan tempat tinggal, bagaimana membuat mereka
dapat melalui musim dingin di Lebanon dengan cukup nyaman. Acara makan malam itu
adalah kali terakhir kami berjumpa dengannya. Nabila segera kembali ke Beirut
dan melanjutkan pekerjaannya dengan UNICEF, walaupun menerima banyak ancaman.
Kematian Nabila benar-benar mengejutkan kami. Temanku, Phil, terlalu syok untuk
bereaksi terhadap berita itu. Namun, beberapa saat setelah itu, ia berteriak,
"Seandainya aku tak pernah tahu sedikit pun tentang orang-orang Palestina,
Lebanon, atau Israel! Tidak pernah ada sedetik pun perdamaian di antara
mereka!!" Phil menangis tersedu-sedu di ujung telepon, ia tengah melakukan piket
sebagai ahli anestesi di bagian ICU di sebuah rumah sakit besar di London.
Rekan-rekannya di rumah sakit itu pasti mengira Phil telah gila, ia pergi untuk
menerima telepon dan kembali dengan terisak-isak. Memang, keadaan di Beirut
sudah tak waras. Wahai Tuhan Yang Mahabesar, berilah kami kesabaran dan
anugerahkanlah kepada kami kekuatan.
Kini, aku semakin mengerti apa itu arti perjuangan. Hari ini kami bersama-sama,
saling berbagi, tertawa dan menangis bersama esok, salah seorang dari kami
diambil begitu saja untuk selamanya. Meskipun begitu, kami tetap melanjutkan
kehidupan kami, inilah satu-satunya cara untuk menghormati mereka yang telah
mengorbankan nyawa dengan sukarela.
Di samping tempat tidurku terdapat sebuah kotak berisi banyak sekali slide foto.
Slide bergambar alat-alat musik yang penuh hiasan, sulaman, para nelayan di
laut, perhiasan, potret para penari, petani, bunga-bunga anggrek...S//dei-s//dei
ini sangat indah, berwarna-warni dan elok, menunjukkan kebudayaan dan masyarakat
di negeri lain. Slide-slide ini adalah tentang Palestina dan kebudayaannya.
Nabila lah yang memberikannya untukku. Ia ingin agar aku memperlihatkannya
kepada orang-orang di seluruh dunia. Kini, permintaan-permintaannya kepadaku
terasa pedih untuk kukenang. Tapi aku masih ingat dengan jelas kesimpulannya,
"Teman-teman kami hanya mengenal kami melalui penderitaan yang kami alami.
Tetapi, mereka juga sebaiknya mengetahui bahwa sejarah Palestina tidak melulu
dipenuhi dengan pembantaian. Kami juga memiliki kebudayaan, kami menghargai
keindahan dan kesenian sebagaimana bangsa lain." Mungkin seperti itulah kami
harus mengingat Nabila, seorang wanita Palestina yang cantik, antusias, pandai,
berbudaya, dan berani, tidak ada musuh rakyat Palestina yang dapat mencabut
kenangan itu dari kami.[]
BAGIAN KELIMA Dari Beirut ke Jerusalem 1985 -1988 Dua Puluh Empat Tim medis kami kembali ke London pada Agustus 1985. Ketika kami tengah berada di
Beirut, muncul respons luar biasa dari masyarakat di Inggris, mereka ingin
mendukung kerja sosial organisasi amal kami. Dr. Rafiq Hussaini, Direktur MAP,
benar-benar harus bekerja keras selama kepergian kami. Ia adalah seorang
berdarah Palestina kelahiran Jerusalem dan menikah dengan seorang wanita
berkebangsaan Inggris. Sebelum menjadi Direktur sekaligus pendiri MAP, ia
bekerja di Loughborough dan merupakan seorang peneliti mikrobiologi di
Universitas Birmingham. Ia meninggalkan posisi itu agar dapat mengemban tanggung
jawab memimpin dan mengambil keputusan bagi organisasi amal kami. Ia juga adalah
saudara sepupu dr. Azzizah Khalidi, wanita Palestina yang mengelola Rumah Sakit
Gaza pada 1982. Seperti Azzizah, ia adalah seorang yang lembut, sabar, dan
senantiasa optimistis menghadapi bencana yang paling buruk sekalipun.
Sebelum keberangkatan kami, organisasi amal ini telah memasang sebuah iklan
kecil yang mengatakan bahwa kami membutuhkan tenaga sukarelawan dokter. Iklan
ini berhasil menarik minat sekitar enam puluh pendaftar. Uang pun mengalir
masuk. Walaupun hanya sedikit dana yang kami peroleh dari
institusi-institusi ternama, kami menerima cukup banyak dana dari para
penyumbang perorangan. Kantor kami dibanjiri berbagai macam sumbangan, selembar
uang kertas satu poundsterling dari seorang pensiunan, selembar uang kertas lima
poundsterling dari seorang janda, sumbangan lainnya berasal dari seorang
pengangguran, dan masih banyak lagi.
Sumbangan-sumbangan tersebut biasanya diiringi dengan sebuah surat. Salah satu
contoh yang sering kutemui adalah sebagai berikut:
"Yang terhormat Medical Aid for Palestinians (MAP),
"Saya membaca berbagai upaya yang Anda lakukan di Lebanon. Mohon diterima
sumbangan kecil-kecilan dari saya ini sebesar 2 untuk mendukung perjuangan Anda.
Saya minta maaf tidak dapat memberi lebih karena saya adalah pengangguran.
Semoga Tuhan memberkati kalian semua. Dari....11
Surat-surat yang menyertai sumbangan semacam itu membuatku yakin bahwa
kedermawanan tidak berbanding lurus dengan kekayaan. Semakin miskin seseorang,
semakin siap ia untuk menyumbang berapa pun jumlahnya. Pertama kali kami
menerima cek senilai lima puluh poundsterling adalah dari seorang pengangguran,
dan aku menangis karenanya. "Uang tunjangan" yang diterima para pengangguran di
Inggris setiap minggu adalah sebesar dua puluh satu poundsterling. Jadi, cek
yang ia berikan itu senilai dengan uang yang didapatnya dari pemerintah untuk
dua minggu. Cek kedua senilai itu kami terima dari seorang pensiunan dengan sebuah catatan, "Yang
terhormat MAP, tolong terimalah ini untuk mendukung kerja sosial Anda semua.
Maaf, jumlahnya tak lebih...." Yang ketiga adalah dari seorang wanita yang
menulis, "Yang terhormat MAP, saya adalah seorang janda. Namun saya ingin
memberikan ini untuk anak-anak di kamp pengungsi di Lebanon, karena mereka lebih
membutuhkannya daripada saya...."
Kantor kami juga berkembang. Banyak orang yang datang untuk membantu, mereka
menempelkan prangko, mengeposkan surat-surat, merapikan dus-dus, dan menyusun
acara-acara penggalangan dana bagi warga Palestina. Para simpatisan kamilah yang
membuat proyek kami untuk Lebanon dapat terus berjalan, merekalah yang
menggalang dana dan melakukan berbagai pekerjaan. Sering kali ketika orang-orang
di Lebanon berterima kasih kepadaku atas setiap pekerjaan yang telah kulakukan,
mereka tidak menyadari bahwa upaya tim medis kami bisa berhasil berkat bantuan
banyak orang di Inggris. Mereka adalah sahabat sejati orang-orang Palestina dan
Lebanon, kendatipun mereka tak pernah punya kesempatan untuk bertemu muka.
Pada 1986, MAP pindah ke kantor baru. Untuk menghemat biaya sewa, Rafiq Hussaini
menyewa basement sebuah gedung perkantoran di London. Ruangan itu tampak
terbengkalai sebelum kami pindah ke sana. Namun, setelah kami bekerja cukup
keras membenahinya, ruangan itu menjadi lebih pantas untuk ditempati. Dindingnya
kami cat warna krem, kami pasang karpet yang nyaman di lantai, ventilasi udara yang efektif,
dan lampu penerangan yang memadai. Di sini, kantor kami dilengkapi dengan word
processor, sebuah ruangan desain, dan sebuah ruang pameran dan penjualan. Kami
memasang delapan buah pesawat telepon, sebuah mesin teleks, dan faksimile.
Oleh karena MAP sangat bergantung pada keberadaan para sukarelawan, tersedia
banyak sekali meja dan kursi di aula utama, sehingga para sukarelawan dapat
duduk dan bekerja di sana. Mereka membuat bon-bon tanda terima, surat-surat
pernyataan terima kasih, dan dus-dus berisi barang-barang dagangan, seperti t-
shirt bersablon, mug, kartu ucapan, dan kain berhias sulaman khas Palestina.
Dinding-dinding biasanya dipenuhi lukisan-lukisan yang disumbangkan ke MAP untuk
dijual. Sejak 1985 hingga 1987, organisasi amal kami telah mengirim ke Beirut lebih dari
enam puluh orang sukarelawan medis dari sembilan kewarga negaraan yang berbeda-
beda. Sering kali, Lebanon menjadi tempat yang sangat berbahaya, bom, granat,
dan tembakan dari para penembak jitu adalah kenyataan yang harus dihadapi.
Namun, bagi orang asal Eropa, penculikan adalah ancaman utama. Lebih dari sekali
kami harus mengungsikan orang-orang kami dari Lebanon karena nyawa mereka benar-
benar terancam. Meskipun begitu, para dokter, perawat, dan petugas kesehatan
tetap berdatangan, dengan sukarela menyumbangkan keahlian dan tenaga untuk
mempertaruhkan nyawa demi merawat
para korban yang terluka maupun yang terserang penyakit di Lebanon.
Biaya hidup yang kami berikan kepada para sukarelawan sangatlah rendah, hanya
cukup untuk sekadar menyambung hidup di dalam kamp-kamp pengungsi. Kami berhasil
menyeleksi orang-orang terbaik, yaitu mereka yang memiliki komitmen tinggi,
bukannya mereka yang menyangka bahwa tugas di Lebanon itu akan mendatangkan
keuntungan materiil. Para dokter dan perawat kami terkadang bahkan menawarkan
untuk membiayai sendiri kepergian mereka ke Lebanon.
Semua staf kami harus memberikan pelayanan kepada siapa pun di Lebanon, tanpa
memandang ras, warna kulit, ataupun agama. Sudah cukup banyak penggolong-
golongan di negara itu, kedatangan tenaga kesehatan asing tidak boleh membuat
keadaan bertambah buruk. Dalam program Lebanon, aspek "birokrasi" sangatlah penting. Kami harus yakin
bahwa kami menjelaskan keadaan di Lebanon kepada para sukarelawan tersebut
dengan sebaik-baiknya. Kami harus melakukannya dengan sistematis. Kami harus
memaparkan risiko-risiko yang akan mereka hadapi dan para sukarelawan harus
menandatangani formulir pernyataan bahwa mereka memahami bahaya yang akan
dihadapi dan bersedia menanggung risikonya.
Walaupun tidak bisa membayar mahal para sukarelawan, kami harus membayar biaya
asuransi untuk menjamin mereka dari ancaman perang, perang
sipil, dan penyerbuan. Klausul-klausul tersebut membuat biaya premi asuransi
menjadi lebih besar daripada biasanya. Lebih parah lagi, kami tak dapat
menemukan perusahaan asuransi yang mau memberikan polis yang meliputi risiko
penculikan di Lebanon. Kami harus senantiasa menghadapi sebuah dilema, haruskah kami tetap mengirim
para sukarelawan tersebut ke wilayah yang demikian berbahaya dan kondisinya tak
menentu" Tapi kami menganggap bahwa kami punya kewajiban untuk bertindak sebagai
penghubung antara orang-orang Lebanon yang membutuhkan bantuan dan orang-orang
Inggris yang ingin memberikan bantuan. Sangatlah tidak bertanggung jawab jika
kami membiarkan hubungan di antara mereka itu terputus. Jadi, kami melanjutkan
program pengiriman sukarelawan ini dan berusaha mengatasi kekhawatiran yang
ditimbulkannya. Rafiqlah yang harus menanggung beban tanggung jawab terbesar
dari program sukarelawan ini. Namun, beberapa dari kami, seperti aku, masih
berangkat tidur setiap malam dengan kekhawatiran akan menerima telepon SOS jarak
jauh dari para sukarelawan kami. Pada saat itu, aku telah kembali ke jabatanku
sebagai Pegawai Pencatat Senior Bidang Ortopedis di Royal Victoria Infirmary,
Newcastle-upon Tyne. Tanggung jawab klinis yang diemban untuk jabatan ini sangat
banyak, tetapi tanggung jawab program Lebanon ini terus meningkat meskipun
energiku terus menipis. Rafiq tengah cuti dari tugas-tugas MAP untuk
mengunjungi keluarganya di Yordania ketika bencana itu terjadi. Pada Januari
1987, kantor kami menerima sebuah pesan teleks yang menggemparkan dari para
sukarelawan kami yang sedang bertugas di kamp Bourj elBrajneh. Isinya sebagai
berikut: Kami, sebagai petugas medis asing yang tinggal dan bertugas di kamp Bourj
elBrajneh, menyatakan bahwa situasi di kamp sedang dalam keadaan kritis dan
tidak manusiawi. Kamp ini kini telah dikepung selama lebih dari dua belas minggu
dan kami beserta dua puluh ribu orang penghuninya berada dalam keadaan yang
sangat kekurangan dan memprihatinkan. Air minum adalah kebutuhan paling mendasar
manusia. Kebanyakan rumah di sini tidak memiliki persediaan air minum dan mereka
harus mengambilnya setiap hari dari keran-keran di jalanan. Padahal, setiap
orang yang melakukannya menghadapi risiko yang sangat besar. Beberapa wanita
yang sedang mengambil air untuk keluarganya telah tewas tertembak. Persediaan
makanan benar-benar kosong. Tidak ada makanan bayi maupun susu, dan bayi-bayi
ini terpaksa minum teh dan air. Tidak ada tepung dan roti, tidak ada makanan
segar sehingga ibu-ibu hamil dan anak-anak menderita kekurangan gizi. Para warga
memakan makanan basi dan terserang muntaber. Banyak keluarga yang kini tak punya
persediaan makanan. Sekarang musim dingin dan
pasokan listrik ke kamp diputus sejak dua setengah bulan yang lalu. Orang-orang
kedinginan dan terserang radang paru-paru. Banyak tumpukan sampah yang tidak
dapat dibersihkan dan tikus-tikus dengan cepat berkembang biak. Seorang wanita
tua yang tidak mampu bangkit dari tempat tidurnya, kakinya digerogoti tikus-
tikus itu selama tiga malam berturut-turut, sebelum akhirnya diselamatkan.
Pengeboman yang terus-menerus memaksa para penduduk berkumpul di bunker-bunker
perlindungan yang berventilasi buruk dan tak punya sanitasi, atau menanggung
risiko terkena bom di rumah mereka sendiri. Ratusan anak-anak terserang penyakit
kudis dan banyak yang menderita infeksi kulit. Sekitar tiga puluh lima persen
rumah-rumah di Bourj elBrajneh kini telah hancur. Di rumah sakit, banyak obat-
obatan yang habis dan kami tak punya lagi perban. Bangunan rumah sakit menjadi
tidak stabil karena terus-menerus dilempari granat. Para pasien serta perawat
terluka karena pecahan bom. Air menetes dari dinding dan jamur tumbuh di setiap
ruangan. Kami menyatakan keadaan ini tidak manusiawi, dan berdasarkan alasan-
alasan kemanusiaan kami meminta penyerangan dihentikan dan agar organisasi-
organisasi bantuan internasional mengirimkan makanan serta obat-obatan.
DR. PAULINE CUTTING, DOKTER AHLI BEDAH INGGRIS
BEN ALOFS, JURU RAWAT BELANDA
SUSAN WIGHTON, JURU RAWAT SKOTLANDIA
23 Januari 1987 Mike Holmes mengontakku dan memintaku datang ke kantor MAP untuk membahas
keadaan tersebut. Aku tiba di sana dan kami membaca pernyataan itu. "Swee," kata
Mike setelah kami selesai membaca pesan itu, "apa yang akan kita lakukan?"
Mike adalah pegawai humas kami yang baru. Seorang pendukung rakyat Palestina
yang penuh semangat, ia baru saja tiba dari Skotlandia untuk bergabung dengan
kami di MAP. Sebagaimana para pegawai lainnya yang menghabiskan waktu berjam-jam
bekerja di kantor kami, menggalang dana, dan menyebarluaskan publikasi tentang
situasi di kamp, Mike belum pernah pergi ke Timur Tengah.
"Aku tidak tahu, Mike," balasku. "Tapi kelihatannya semua orang di sana
perlahan-lahan akan mati sekarat karena blokade yang berkepanjangan. Sekarang
hari Jumat. Sebaiknya akhir pekan ini kita sebarkan panggilan darurat dan
mengumpulkan semua orang. Bisakah kamu memberi tahu teman-teman Pauline dan Suzy
tentang apa yang terjadi?" "Tentu," ucap Mike.
"Oh, dan sebaiknya kita memastikan agar orang-orang yang sepanjang waktu hanya
mengobrol dan tak pernah mengerjakan tugas, tidak datang ke kantor kita dan
mengganggu pekerjaan kita."
Dengan segera Mike berangkat untuk mengerjakan semua instruksiku. Hal yang
membuat kami sangat jengkel adalah penyerangan itu sepertinya telah berlangsung
selama sekurang-kurangnya tiga bulan, tapi tidak ada pemberitaan di media massa
Inggris. Kami berasumsi bahwa para sukarelawan kami di Bourj elBrajneh pasti
telah berusaha menghubungi kami, tetapi mereka tidak berhasil melakukannya
karena terkepung. Kami tahu bahwa Rasyidiyah, sebuah kamp pengungsi Palestina
dekat Sour, juga sedang diserang, dan kami tengah berupaya untuk menolong orang-
orang di sana, tapi kami tak pernah menyadari bahwa kamp-kamp Beirut di Bourj
elBrajneh dan Shatila pun sedang diserbu dan diduduki. Pers Barat berkonsentrasi


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada kemelut PLO di Magdoushe, sebuah desa Kristen dekat Saida, tapi tak ada
satu pun pemberitaan tentang kamp.
Kami sangat marah membaca pernyataan tiga orang sukarelawan kami, dan marah pada
diri kami sendiri karena tidak menyadari betapa buruk keadaan di sana. Rasanya
sangat berat menyampaikan kabar ini kepada keluarga para sukarelawan, tapi kami
tahu kami harus melakukannya. Salah seorang sukarelawan kami di kamp Bourj
elBrajneh adalah seorang ahli fisioterapi berkebangsaan Austria bernama Hannes.
Meskipun bertugas di kamp Bourj elBrajneh, ia tidak ikut menandatangani pesan
teleks tersebut. Kami tahu ia masih hidup karena koordinator NORWAC di Beirut
telah melakukan kontak dengannya melalui radio setelah pesan teleks itu dikirim.
Suatu hari, polisi mendatangi kantor
kami di London, mereka telah diminta oleh polisi Austria untuk mencari informasi
tentang kami. Ternyata ibu Hannes yakin bahwa putranya telah mati dan kami
menyembunyikan fakta itu darinya! Jadi, kami harus berusaha agar semua keluarga,
termasuk keluarga Hannes, mengetahui apa yang sedang terjadi.
Tak lama kemudian, kami menerima pesan yang memilukan dari para sukarelawan kami
di Beirut: Kami menyatakan bahwa situasi di kamp Bourj elBrajneh tidak dapat ditoleransi
lagi. Kamp ini telah dikepung oleh pasukan musuh selama lebih dari 14 minggu.
Dua minggu yang lalu kami mengirim pernyataan bahwa sebentar lagi persediaan
makanan di kamp akan habis dan keadaan menjadi kritis. Kami masih terkepung dan
sekarang orang-orang di kamp mulai kelaparan. Kami melihat anak-anak mengais-
ngais tumpukan sampah demi mendapatkan sisa-sisa makanan. Hari ini, seorang
wanita ditembak ketika sedang mengumpulkan rerumputan di pinggiran kamp agar
dapat memberi makan ketujuh anaknya yang sudah tak punya lagi makanan. Beberapa
wanita dan anak-anak membahayakan nyawa mereka dengan keluar dari kamp dan
banyak anak kecil dijebloskan ke penjara. Beberapa dari mereka yang kehabisan
makanan kini memakan anjing dan kucing agar dapat bertahan hidup. Kami
menyerukan kepada semua pihak yang berperang untuk menghentikan pertempuran dan
kami menyeru PBB untuk mengupayakan gencatan senjata dengan segera, sehingga
organisasi bantuan internasional dapat masuk dengan membawa makanan dan obat-
obatan, agar pembantaian ini dapat dihentikan.
Orang-orang di kantor kami di London sangat sedih menerima berita ini. Aku punya
firasat bahwa sebentar lagi sesuatu yang buruk akan terjadi. Bencana ini
mengingatkan kembali pada masa-masa suram 1982, ketika kamp-kamp dikepung. Saat
itu, kami menyerukan agar dunia internasional mengirimkan bantuan, tapi tak satu
pihak pun menjawabnya. Ketika penyerbuan dihentikan pada 1982 dan dunia luar
diperbolehkan memasuki kawasan bekas perang, jalanan dipenuhi mayat-mayat yang
bergelimpangan. Kali ini, penyerbuan tersebut mendapatkan perlawanan dari orang-
orang di kamp sehingga pembantaian tidak mudah dilakukan.
Namun, peperangan kali ini telah menguras banyak energi. Mungkin penduduk kamp
akan kelaparan sehingga akhirnya menyerah. Kemudian, saat keluar dari tempat-
tempat perlindungan, mereka akan diberondong peluru. Ini sudah pernah terjadi,
pengepungan Tel-al Zaatar pada 1976 baru berakhir setelah enam bulan dan
berujung pada terbantainya tiga ribu orang justru setelah kamp tersebut
menyetujui gencatan senjata dan evakuasi oleh Palang Merah Internasional.
Seorang teman wartawan memberitahuku kondisi Tel-al Zaatar tak lama setelah
penyerangan itu. Ia mengunjungi kamp tersebut ketika buldoser sedang
meratakannya. Mayat-mayat berserakan di mana-mana. Buldoser-buldoser melindas
mayat-mayat itu dan membenamkannya ke dalam tanah.
Kelaparan adalah senjata yang efektif. Semua orang yang pernah mengalaminya
pasti tahu seperti apa rasanya. Kelaparan dapat membuat bahkan orang-orang
Palestina yang terkenal tabah itu menyerah kalah. Lalu ada pula kehausan. Aku
ingat kisah yang diceritakan seorang anak yatim piatu dari Tel al-Zaatar, "Di
malam hari, ibu-ibu pergi mengambil air minum. Sumur-sumur berada di tempat-
tempat terbuka yang ditembaki terus-menerus. Ibu-ibu memberi ciuman perpisahan
kepada anak-anak mereka sebelum keluar rumah, karena mereka tidak tahu apakah
akan dapat melihat anak-anak mereka lagi." Dari kesepuluh wanita yang pergi
mengambil air minum di Tel al-Zaatar pada suatu malam, hanya empat yang kembali,
sisanya tewas tertembak. Pada Januari 1987, berita yang sampai di kantor MAP mengabarkan bahwa warga
Palestina di kamp telah meminta fatwa para ulama agar mereka diizinkan memakan
mayat. Ini menunjukkan bahwa kematian membayangi mereka semua yang berada di
kamp. Bahkan pada puncak serangan pasukan Israel pada 1982, tak seorang pun yang
terpaksa harus memakan kucing maupun anjing, pada 1987 orang-orang bahkan
terpikir untuk memakan tubuh manusia.
Aku beranjak ke rak penyimpanan dokumen di dalam kantor dan menarik keluar
sebuah dokumen bertuliskan "Sukarelawan Medis". Di dalamnya terdapat empat bundel formulir
lengkap dengan foto-foto Ben Alofs, Pauline Cutting, Susan Wighton, dan Hannes.
Aku merasa sedih memikirkan bahwa aku mungkin takkan pernah melihat mereka lagi.
Ben telah kukenal sejak 1982, Pauline dan aku hanya pernah bertemu sekali, Susan
dan Hannes hanya kukenal lewat penuturan Alison yang telah bergabung dalam tim
dokter pertama yang kami kirimkan ke Lebanon pada 1985.
Namun, karena telah berulang-ulang melihat formulir dan foto mereka, aku merasa
seolah-olah telah mengenal mereka sepanjang hidupku. Mereka adalah empat orang
pemuda-pemudi yang hebat, yang pergi jauh hanya untuk menolong orang-orang
asing, apa yang telah mereka lakukan sehingga pantas menerima nasib seperti itu
di dalam kamp" Pada Agustus 1985, dalam sebuah ruangan kecil dipenuhi para wartawan, aku
pertama kali bertemu Pauline Cutting. Aku baru saja kembali dari Beirut dan
sedang berbicara dalam sebuah konferensi pers mengenai keadaan di kamp-kamp
pengungsi Palestina. Karena tubuhku sangat pendek, tak seorang pun dapat
melihatku karena tertutup kerumunan orang. Pemimpin organisasi amal kami, Mayor
Derek Cooper, membawakanku sebuah kursi dan aku berdiri di atasnya sementara aku
berbicara. Ketika aku sedang melepaskan sepatuku untuk naik ke atas kursi, Mayor
Cooper berbisik kepadaku, "Ada seorang dokter bedah muda cantik yang ingin
menjadi sukarelawati ke Lebanon. Anda mau berbicara dengannya setelah ini?"
Demikianlah pertemuanku dengan Pauline. Sekarang, hampir satu setengah tahun
berlalu, tetapi aku masih mengingatnya dengan baik. Ia mempunyai wajah yang
sensitif, dan terlihat seolah-olah secara naluriah dapat merasakan penderitaan
orang lain. Semoga Tuhan melindunginya dari segala keburukan!
Tak ada gunanya mencemaskan keselamatan para sukarelawan kami di kamp yang
tengah diserang, atau merasa bersalah karena kondisi menjadi sedemikian buruk.
Kami harus melakukan sesuatu, berusaha sebisa mungkin mengabarkan keadaan ini,
menyerukan supaya penyerangan tersebut dihentikan, dan kami harus berupaya
membawa pulang orang-orang kami. Aku memutuskan meninggalkan pekerjaanku sebagai
dokter bedah ortopedis di National Health di Inggris sampai semua masalah ini
beres. Pada awal Februari 1987, beberapa peristiwa di Lebanon sekali lagi menarik
perhatian media massa Inggris, para penculik mengancam akan membunuh beberapa
orang sandera jika tuntutan mereka tidak dipenuhi dalam tenggat waktu yang
ditentukan. Terry Waite juga telah diculik. Mike Holmes berhasil mengupayakan
supaya aku tampil di sebuah acara stasiun televisi BBC untuk mendiskusikan
masalah penyanderaan di Lebanon. Tentu saja aku menganggap bahwa para
sukarelawan kami yang terperangkap di kamp-kamp adalah sandera juga. Bahkan,
semua warga Palestina yang terkepung dalam penyerbuan di kamp Shatila, Bourj
elBrajneh, dan Rasyidiyah semuanya adalah sandera.
Setelah program itu selesai, aku memperkenalkan diriku kepada editor program
siaran berita luar negeri BBC dan menunjukkan kepadanya salinan pernyataan para
sukarelawan kami. Sebagai seorang yang pernah disandera, ia memahami penderitaan
orang-orang yang terperangkap dalam penyerangan. Aku berkata padanya, "Nyawa dua
puluh lima ribu warga Palestina dan para sukarelawan kami bergantung pada
liputan Anda mengenai situasi ini." Ia menyetujui untuk membuat liputan tentang
kamp tersebut, dan sebagai hasilnya, kantor kecil kami dibanjiri para wartawan
selama beberapa hari berikutnya.
Meskipun telah diberitakan besar-besaran secara internasional, penyerangan
tersebut tidak juga dihentikan. Setiap kali Nabih Berri pemimpin pasukan milisi
Amal yang menyerbu kamp mengumumkan bahwa penyerangan akan dihentikan dan
kiriman makanan akan diizinkan memasuki kamp, tak lama kemudian tersiarlah
berita bahwa konvoi bala bantuan telah diusir dan bahkan ditembaki.
Pada Jumat 13 Februari, berita pagi menyiarkan bahwa sekali lagi Nabih Berri
berjanji akan menghentikan penyerangan supaya makanan dapat dikirim ke kamp.
Keluarga Cutting datang ke kantor MAP, berharap kami akan dapat menghubungi
putri mereka, Pauline, melalui radio. Mereka adalah orang-orang yang sangat
tabah dan luar biasa pengertian. Kami semua tahu pasti betapa cemasnya
mereka tetapi mereka tak pernah sekali pun menyalahkan kami karena membiarkan
Pauline terlibat dalam situasi berbahaya seperti ini, dan mereka selalu
mendukung segala kegiatan organisasi kami. Setiap kali ditanya tentang putri
mereka, mereka selalu mengatakan bahwa ia hanyalah salah satu dari ribuan orang
yang terperangkap dalam pengepungan tersebut.
Pada pukul sembilan malam, kami akhirnya berhasil menghubungi Pauline.
Penyerangan belum juga dihentikan dan rumah sakit dibanjiri para korban perang.
Empat belas kaki telah diamputasi pada hari itu. Enam orang meninggal dan
delapan belas orang terluka. Konvoi makanan telah ditembaki dan sang sopir
ditembak di bagian kepala.
Para sukarelawan memberi tahu kami, "Kami akan tinggal dengan para penduduk kamp
sampai bahaya ini usai. Kami akan tetap bersama mereka hidup atau mati bersama
mereka." Aku merasa sangat bangga dengan mereka, namun ketika memandang ke seberang
ruangan tempat orangtua Pauline berada dan memikirkan orangtua Suzy dan ibu
Hannes, aku tahu, ini saatnya bagiku untuk kembali ke Beirut.[]
Dua Puluh Lima Kami harus membentuk sebuah tim untuk menggantikan Pauline dan teman-temannya di
kamp Bourj elBrajneh, dan kami harus mengggalang dana untuk membeli obat-obatan
dan peralatan untuk mengganti alat-alat yang sudah usang di kamp. Kami sangat
sibuk selama beberapa hari berikutnya.
Mengganti tim medis tidaklah semata-mata menukar dua kelompok orang. Banyak hal
harus dibereskan sebelum rencana itu dapat diwujudkan. Harus diadakan gencatan
senjata, pengenduran pengepungan, dan pengawalan atas tim yang keluar dari kamp
sementara tim pengganti mereka memasuki kamp. Tidak ada tanda-tanda ke arah
sana. Situasi di kamp semakin memburuk seiring meningkatnya serangan, bahkan
terjadi pula serangan dari para penembak jitu. Lebih gawat lagi, di luar kamp
meletus perang sipil di antara penduduk Lebanon di Beirut, perang itu adalah
yang terparah selama ini.
Oleh karena itu, kami meminta empat ribu "kantong darah". Setengahnya untuk
diserahkan kepada Palang Merah Lebanon dan setengah lainnya kepada PRCS (Bulan
Sabit Merah Palestina). Kami juga memperoleh obat bius, alat-alat bedah,
antibiotik, plester Paris, dan segala kebutuhan sebuah rumah
sakit berat seluruhnya empat ton. Kami juga membentuk sebuah tim yang terdiri
dari delapan orang sukarelawan medis. Untuk mengurangi risiko penculikan, kami
memberangkatkan para tenaga medis yang memiliki paspor non-Inggris.
Kami pergi menuju Beirut pada 2 Maret 1987, kali ini melalui Siprus, karena
bandara Beirut lagi-lagi ditutup. Sayangnya, aku hanya bisa pergi sampai Siprus
karena visa masukku ke Lebanon ditolak. Aku tidak terkejut menerima perlakuan
seperti itu dari para petinggi Lebanon. Jelas sekali bahwa orang-orang yang
menyerang kamp tak ingin teman-teman dan pendukung Palestina datang ke kamp, dan
mereka pasti mengenali namaku. Mereka pasti telah menekan Kedutaan Lebanon untuk
tidak memberiku visa. Kami mendapat kabar bahwa Pauline Cutting telah menerima ancaman pembunuhan.
Segala sesuatu menjadi bertambah suram dan aku merasa tak berdaya. Harian The
Guardian di Inggris memuat profil diriku dengan judul "Malaikat dengan Sayap
Terbelenggu". Kurasa, judul berita utama itu sangat tepat, setidaknya tentang
sayap yang terbelenggu. Sisa anggota tim melanjutkan perjalanan ke Lebanon dengan kapal, membawa tiga
puluh sembilan peti berisi obat-obatan dan peralatan medis. Mereka dipimpin oleh
Mayor Derek Cooper, Ketua MAP. Ketika mereka tiba di Beirut Timur, Mayor Cooper
dan Lady Pamela, istrinya, dianjurkan oleh Duta Besar Inggris untuk tidak
menyeberangi Garis Hijau. Semua orang pemegang paspor Inggris menjadi sasaran
penculikan di Lebanon. Sang Duta Besar telah cukup kerepotan menangani masalah
penculikan Terry Waite dan John McCarthy, serta Pauline dan Suzy yang
terperangkap di kamp. Ia tidak mau tambah direpotkan dengan penculikan Mayor
Cooper dan Lady Pamela. Jadi, kelima sukarelawan yang tidak memegang paspor Inggris tak seorang pun dari
mereka pernah datang ke Beirut, pergi menuju Beirut Barat tanpa pasangan Cooper.
Tugas mereka adalah mengirimkan 39 peti berisi obat dan peralatan medis
melintasi Garis Hijau, dan tiba di kamp Bourj elBrajneh, merundingkan gencatan
senjata, dan masuk ke kamp untuk menggantikan tim yang tengah terperangkap di
dalamnya. Mereka dengan penuh keberanian mengajukan diri secara sukarela untuk
melakukannya. Sebagai pemimpin tim, aku pasti telah sinting karena membiarkan
mereka pergi! Sementara itu, aku pergi ke Mesir dengan pesawat. Aku menduga, di Kairo ada
orang yang pernah mendengar upayaku membantu rakyat Palestina. Mungkin
perwakilan pemerintah Lebanon di sana mau memberiku visa. Konsulat Inggris di
Kairo menulis surat rekomendasi kepada Sekretaris Pertama di Kantor Bagian
Hubungan Luar Negeri Kedutaan Prancis, meminta mereka untuk mempercepat
pengurusan visa tersebut, sehingga aku dapat pergi ke Beirut dalam rangka misi
kemanusiaan. Aku berhasil mendapatkan visaku pada 30 Maret 1987, dua puluh
delapan hari setelah meninggalkan London.
Ketika menghubungi orang-orang di London,
aku baru tahu bahwa kelima orang sukarelawan itu belum berhasil memasuki kamp.
Penyerangan belum dihentikan dan 63 orang wanita telah tertembak oleh para
penembak jitu. Mereka terluka ketika hendak membawakan makanan bagi para
penduduk kamp yang kelaparan. Dua puluh satu orang wanita gugur. Kamp Shatila
kehabisan bensin dan mereka membakar perabotan rumah tangga supaya tetap hangat.
Para pemuda kamp Shatila rela kelaparan supaya para wanita dan anak-anak tetap
bisa makan. Pauline telah menerima sebuah surat ancaman pembunuhan.
Pasukan penjaga perdamaian Suriah telah pindah ke Beirut dan telah menghentikan
perang sipil yang terjadi di luar kamp. Namun, para tentara Suriah itu belum
juga dikerahkan ke sekitar kamp Palestina, dan Suriah tampaknya membiarkan
pasukan Amal melanjutkan pengepungan dan penembakan terhadap wanita dan anak-
anak. Kedua orangtua Pauline telah mengirim telegram kepada Hafiz al-Assad,
Presiden Suriah, memohon agar pengepungan tersebut dihentikan sehingga putri
mereka dapat pulang. Tak ada perubahan. Pasukan penjaga perdamaian Suriah tetap
menjaga jarak dan pengepungan pun terus berlanjut.
Kurasa, mungkin Damaskus memegang posisi kunci dalam situasi ini. Pasukan
penjaga perdamaian Suriah baru saja tiba di Beirut dan berhasil menghentikan
perang di antara warga Lebanon. Jadi, jika Suriah mampu menghentikan perang
sipil antara kelompok Druze, Amal, dan faksi Lebanon lainnya,
tentunya mereka dapat memaksa pasukan Amal menghentikan pengepungan kamp.
Presiden Assad pernah menyatakan bahwa Palestina adalah bagian dari Suriah Raya,
ini berarti ia berpihak kepada Palestina.
Walaupun hubungan antara Suriah dan PLO pada waktu itu sangat tegang karena
berbagai sebab, Suriah akan bisa memahami bahwa ada alasan kemanusiaan untuk
melakukan gencatan senjata dan mengizinkan pasokan untuk para penduduk yang
kelaparan. Banyak dari kami menyadari bahwa jika Suriah memerintahkan
penghentian pengepungan atas kamp itu, hubungan antara Suriah dan Amal akan
tegang. Padahal, Amal adalah salah satu sekutu utama Suriah dalam pertempuran
melawan Israel. Akan tetapi, demi menyelamatkan nyawa banyak orang, mungkin
Presiden Assad akan menganggap bahwa ini adalah harga yang pantas untuk dibayar.
Tapi maukah dia" Cepat atau lambat, aku harus berbicara kepada Suriah untuk menyediakan
pengawalan bagi orang-orang kami ketika mereka keluar dari kamp. Aku memutuskan
bahwa lebih baik aku segera melakukannya, sebagai persiapan sebelum tiba di
Beirut. Jadi, aku menulis sebuah surat kepada Presiden Assad:
Yang Mulia Presiden Hafiz al-Assad 3D Maret 1987
Yang Mulia, Saya berharap Anda telah menerima telegram dari orangtua dr. Pauline Cutting
yang memohon dihentikannya pengepungan sehingga putri mereka dapat pulang.
Saya adalah Ketua Tim Paramedis Internasional yang berangkat dari London menuju
Beirut pada 2 Maret 1987. Rakyat Inggris telah mengutus kami, berharap bahwa
kami dapat menggantikan tim dr. Cutting yang saat ini berada di kamp Bourj
elBrajneh di Beirut Barat. Mungkin saya terkesan tidak sopan, sebagai seorang
dokter asing, saya berani meminta secara langsung kepada Yang Mulia. Saya benar-
benar memohon supaya Anda memaafkan saya dan sudi bersabar menyimak permohonan
saya. Saya pertama kali menginjakkan kaki di Lebanon pada 1982, sebagai
sukarelawan yang membantu rakyat yang menderita di Lebanon dan menjadi korban
serangan Israel. Saya telah banyak melihat penderitaan dan kekejaman, dan saya
adalah salah seorang dokter yang pernah terkepung di kamp Sabra dan Shatila


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama pembantaian berlangsung. Dibesarkan sebagai seorang pemeluk Kristiani,
saat itu barulah saya membuktikan dengan mata kepala sendiri, kisah pedih rakyat
Palestina dan kisah itu ditulis dengan darah. Saya kemudian memberi kesaksian di
hadapan Komisi Kahan di Israel atas nama penduduk kamp. Saya merasa harus
menyuarakan nasib wanita dan anak-anak tak berdosa yang dibunuh secara brutal
ketika Israel menduduki kamp-kamp tersebut. Kali ini, lagi-lagi jerit tangis
wanita dan anak-anak Palestina di kamp Shatila dan Bourj elBrajneh terdengar
oleh saya. Bukan hanya saya yang mendengarnya, melainkan juga masyarakat
internasional, termasuk masyarakat di Inggris. Lima bulan pengepungan atas kamp-
kamp ini mengakibatkan bencana kelaparan, kematian, dan kesengsaraan. Para
korban terus menderita dan tewas. Masyarakat internasional dan masyarakat
Inggris telah memberikan tanggapan yang luar biasa terhadap penderitaan warga
Palestina ini. Kini, kami mempunyai obat-obatan dan makanan bagi mereka yang
kelaparan. Para dokter dan perawat dari seluruh dunia telah meninggalkan negeri
mereka dan menyumbangkan tenaga secara sukarela demi rakyat Palestina, meskipun
mengetahui risiko yang harus mereka hadapi.
Di seluruh dunia, orang-orang menyimak dengan antusias berita masuknya pasukan
penjaga perdamaian Suriah. Mereka berharap agar pengepungan kamp dihentikan
sehingga bala bantuan dapat diserahkan kepada warga Palestina yang telah lama
menderita. Namun, yang kami dengar justru berita-berita tentang para wanita yang
ditembaki dan tewas ketika berusaha keluar untuk membeli makanan bagi anak-anak
mereka, rombongan bala bantuan yang ditembaki ketika berusaha membawakan makanan
bagi penduduk kamp. Pastilah tindakan-tindakan seperti ini
bertentangan dengan kebijaksanaan Yang Mulia dan pasukan penjaga perdamaian
Suriah. Komunitas internasional dapat terus memberikan sumbangan makanan dan
obat-obatan. Para dokter dan perawat dapat terus menyumbangkan tenaga mereka.
Dr. Pauline Cutting dan timnya dapat terus bekerja sendirian hingga kepayahan di
kamp Bourj elBrajneh yang tengah terkepung, sampai seluruh kamp binasa akibat
kelaparan, penyakit, dan berbagai luka yang diderita. Namun, hanya Yang Mulia
yang dapat mengakhiri penderitaan yang kelewat batas ini. Pada 1982, di puncak
pembantaian Sabra dan Shatila, kami menyeru Angkatan Bersenjata Israel untuk
menghentikan pembantaian tetapi permohonan kami tidak digubris, dan pembantaian
terus berlanjut. Saya membawa fakta ini ke hadapan Komisi Kahan di Israel. Kini,
pada 1987 ini, saya menyerukan kepada Yang Mulia untuk menggunakan segala
kekuasaan Yang Mulia untuk mengakhiri penderitaan warga Palestina di kamp-kamp
yang diserang, serta untuk melindungi nyawa para wanita dan anak-anak. Saya juga
memohon Yang Mulia memberikan perlindungan kepada dr. Pauline Cutting dan timnya
dan mengizinkan tim dokter yang baru yang telah berada di Beirut Barat selama
hampir sebulan untuk menggantikan posisi mereka. Dengan cara ini, Yang Mulia
tidak hanya mengabulkan permohonan kedua orangtua dari dokter asal Inggris itu,
yang kini sedang dalam kecemasan yang luar biasa, tetapi juga masyarakat Inggris yang mensponsori
seluruh upaya ini. Dengan penuh harap saya menunggu instruksi Yang Mulia, dan
secara pribadi saya akan menelepon kedutaan Yang Mulia di Siprus pada minggu
ini. Dr. Swee Ang Agar surat itu dapat sampai ke Suriah, aku mengirimnya dari Kairo melalui faks
kepada Mike Holmes di kantor MAP London, dan memintanya untuk membawa surat itu
ke kuasa usaha Bagian Urusan Suriah di Kedutaan Lebanon di London. Kedutaan
Suriah baru-baru ini ditutup dan Kedutaan Lebanon lah yang menangani kepentingan
pemerintah Suriah. Mike juga membawa beberapa guntingan surat kabar tentang
diriku, dan semuanya itu dikirimkan dalam sebuah map diplomatik kepada sang
Presiden. Aku tahu bahwa siapa pun di Damaskus yang membuka surat untuk Presiden itu
mungkin mengira aku gila dan hanya akan memasukkan surat itu ke keranjang
sampah. Untuk memastikan hal itu tidak terjadi, aku meminta Mike memberi tahu
mereka bahwa aku bersiap-siap untuk menyiarkan isi surat itu melalui sebuah
radio Arab. Dengan demikian, seluruh warga Timur Tengah akan mendengarnya dan
Presiden juga akan mendengar apa yang telah kutulis. Pada malam yang sama, aku
baru mengetahui bahwa Mike telah pergi menemui kuasa usaha itu
dan telah memberitahukannya persis seperti yang kukatakan. Sekarang, aku hanya
tinggal kembali ke Siprus dan mendatangi Kedutaan Suriah untuk mencari
informasi. Tanggal 2 April, aku menelepon Kedutaan Suriah di Siprus untuk mencari tahu
apakah ada perkembangan lebih lanjut. Sepertinya, tak seorang pun di sana yang
mengetahui tentang tim paramedis Inggris yang tengah terperangkap di kamp Bourj
elBrajneh. Namun, Sekretaris Pertama dengan ramah menyanggupi untuk mengecek ke
Damaskus. Setelah meninggalkan nomor teleponku kepada sekretarisnya, aku pergi
sambil menunggu perkembangan selanjutnya.
Pagi berikutnya, pada pukul sembilan, Kedutaan Suriah menelepon dan memintaku
agar segera menghubungi mereka dan mengirimkan surat asli yang kutulis kepada
Presiden, bersama dengan dokumen perjalananku. Mereka ingin mengirim surat itu
kepada Presiden pada pagi itu juga. Surat yang dibawa Mike di London bukan yang
asli dan tidak ditandatangani olehku, dan kini jelas-jelas mereka ingin agar
surat itu dibuat dengan benar.
Setelah berputar-putar sekitar hampir sebulan hanya untuk mendapatkan visa dari
perwakilan pemerintah Lebanon, harus kuakui bahwa aku terkesan dengan efisiensi
kerja rekan mereka, yaitu pemerintah Suriah. Sekretaris Pertama Kedutaan Suriah
menganjurkan aku menunggu beberapa hari lagi.
Tiga hari kemudian, tanggal 6 April, siaran buletin berita pagi BBC, World
Service, mengumumkan bahwa pasukan penjaga perdamaian Suriah tengah bergerak
untuk mengambil alih posisi pasukan Amal di kamp Shatila, dalam rangka
mengupayakan gencatan senjata. Ini berarti makanan akan bisa dipasok ke dalam
kamp Shatila. Dua hari berikutnya, pasukan penjaga perdamaian Suriah
memberlakukan gencatan senjata di kamp Bourj elBrajneh. Hari berikutnya lagi,
Sekretaris Pertama Kedutaan Suriah di Siprus mendorongku untuk pergi ke Beirut
dan ke kamp Bourj elBrajneh, untuk menemui orang-orang kami. Ia pasti sudah
bosan melihatku berkeliaran di Kedutaan Suriah setiap hari, menanyakan apakah
aku dapat menemui Presiden Assad, dan menanyakan pula jika ada balasan untuk
suratku. Ia meyakinkanku bahwa tidak akan ada masalah ketika aku mencapai wilayah yang
diawasi oleh pasukan Suriah di Beirut. Aku pun pergi dan membeli tiket feri yang
berangkat malam hari dari Larnaca menuju Jounieh.
Tepat pada pukul tujuh pagi tanggal 10 April, kapal feri dari Siprus berlabuh di
dermaga Jounieh. Matahari telah terbit dan aku melemparkan pandangan ke laut.
Para tentara Lebanon memasuki feri dan berbaris di sepanjang tepi jalan menuju
dermaga. Mereka melakukan penjagaan sangat ketat, tetapi tidak kasar. Para
penumpang wanita bersegera mengulaskan lipstik dan menyemprotkan parfum ke tubuh
mereka seraya menatap ke luar ke arah kerumunan yang menunggu dengan tidak sabar
di luar kapal. Orang-orang melompat dengan gembira seraya menyapa orang-orang
terkasih yang berjajar di kedua tepian. Seorang tentara yang masih muda
berteriak kencang dalam bahasa Inggris, "I love you!" Seorang wanita muda
wajahnya merona merah karena malu dan berusaha menyembunyikan senyumnya. Minggu-
minggu penuh kekhawatiran dan ketidakpastian, dan ditutup dengan malam panjang
Rumah Tanpa Dosa 1 Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Kejutan Di Shock Street 1
^