Pencarian

Pengabdian Dokter Perempuan 6

Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Bagian 6


yang kulalui tanpa tidur di atas dek kapal feri yang ramai, mungkin turut
menyebab-kanku merasa bahwa kedatanganku kembali ke Beirut ini seolah-olah
adalah mimpi. Betulkah aku telah berhasil" Apakah ini pelabuhan Beirut Timur yang pernah
kusinggahi pada 1982" Aku melewati pos bea cukai dan pos pemeriksaan, dan
seiring berjalan ke luar, aku menangkap sesosok berambut pirang dan berjaket
biru pudar, Oyvind, koordinator NORWAC. Ia melambai dengan penuh semangat dan
aku membalasnya. "Selamat datang, Swee!" Oyvind berteriak kencang dari arah
kerumunan. Tinggi dan berusia pertengahan tiga puluhan, Oyvind adalah seorang
yang sangat sabar dan bertutur kata lembut sisa-sisa dari masa pendidikannya
sebagai seorang pendeta. Ia kerap tertawa dan matanya yang ramah menunjukkan
bahwa ia adalah seorang pria yang mencintai kehidupan dan orang-orang.
Oyvind membawaku ke sebuah taksi yang menunggu di tepi jalan dan kami meletakkan
koper besarku, koper yang sama yang kugunakan pada 1982 ke dalam bagasi. Taksi
pun melaju. Beirut Timur terlihat lebih makmur dan lebih rapi daripada
tahun 1982, jalan-jalan raya terasa halus dan terdapat lampu-lampu lalu lintas
yang dipatuhi oleh para pengguna jalan. Terdapat toko-toko dan perkantoran.
Gambar-gambar besar Presiden Lebanon, Amin Gemayel, terpampang di mana-mana.
Kami menuju Garis Hijau, Oyvind memutuskan untuk menggunakan penyeberangan sipil
yang telah terbebas dari ancaman para penembak jitu. Kemacetan di penyeberangan
benar-benar parah. Kami memutuskan untuk turun, berjalan melintasi Garis Hijau
tersebut dengan menenteng koperku, dan menumpang taksi lainnya di Beirut Barat.
Di mataku, Beirut Timur tampak tidak ada bedanya dengan kota-kota lain di Timur
Tengah. Namun, ketika melintasi Garis Hijau menuju Beirut Barat dan melihat
dinding-dinding yang bolong terkena peluru, bangunan-bangunan yang hancur
terkena bom, dan jalanan yang kotor serta penuh debu, juga lalu lintas yang
kacau, aku tahu ini bukan mimpi, aku telah kembali ke tempat yang sama. "Halo,
Beirut," gumamku, "aku datang!"
Taksi menderu di jalanan yang sempit. Aku bisa tinggal bersama rekan-rekan
Norwegia di flat NORWAC di Hamra. "Bagaimana rasanya kembali ke sini?" Oyvind
tahu bahwa permohonan visaku ditolak di kedutaan-kedutaan Lebanon di London,
Roma, Athena, dan Siprus. Ia tahu bahwa aku nyaris tidak mendapatkannya.
"Fantastis!" kataku. Hanya itu kata terbaik yang dapat kutemukan untuk
menggambarkan perasaanku. Bahkan setelah bertahun-tahun terjadi perang, Beirut
masih tetap sebuah kota yang sangat indah. Sang sopir bertanya, "Apakah Anda mencintai Beirut?" Aku
menjawab bahwa aku memang mencintainya, dan ia meneruskan perkataannya, "Pertama
kali saya membawa putra saya yang masih kecil ke atas gunung dan menunjukkan
padanya pemandangan Kota Beirut dari puncak itu, ia menangis. Ia bertanya
mengapa orang-orang berusaha menghancurkan kota seindah ini."[]
Dua Puluh Enam Masyarakat Lebanon masih hangat, bersahabat, dan ramah. Meskipun mereka tampak
marah, kemarahan mereka tidak lagi ditujukan kepada sesamanya. Sungguh
menyedihkan bahwa sekian lama Lebanon menjadi ajang pertempuran. Banyak
prasarana ekonomi yang hancur akibat perang. Mata uang lira Lebanon nyaris
sepenuhnya kolaps. Selama bertahun-tahun, berbagai upaya telah dilakukan untuk
membuat Lebanon menjadi labil dan terpecah belah, dan mengubah putra-putranya
menjadi sasaran tembak. Upah sangat rendah dan pekerjaan sulit didapat. Banyak
pemuda yang terpaksa bertempur demi bertahan hidup. Mereka bergabung dengan
berbagai pasukan milisi, dan tatkala bertugas, mereka menembak sesamanya. Namun,
tatkala tidak bertugas, mereka tidak harus membunuh. Barulah saat itu kita
betul-betul bisa menghargai kebaikan mereka sisa-sisa keramahan khas bangsa Arab
dan kehangatan yang tetap bertahan meskipun menghadapi kekejaman. Dalam mimpi,
aku dapat mendengar suaraku yang berteriak kencang, "Biarkan Lebanon hidup
tenang, berikan anak-anak kesempatan untuk tumbuh dewasa. Tak perlu ada lagi
senjata, tak perlu lagi tank-tank. Biarkan mereka!" Setelah tiga belas tahun
peperangan, aku merasakan orang-orang ini menginginkan perdamaian. Tingkat toleransi mereka
menakjubkan. Tidak ada aturan lalu lintas mereka berlalu lalang di jalan dengan
saling pengertian. Jika terjadi kecelakaan yang tak menyebabkan timbulnya
korban, maka "malisy" tidak mengapa. Jika timbul korban, maka "alhamdulillah"
(puji Tuhan) bahwa tak ada yang meninggal. Di sini, tidak seorang pun harus
berkhotbah tentang perlunya saling memaafkan, semua berjalan dengan sendirinya.
Aku ingin sekali menemui banyak orang, orang-orang yang tidak pernah kudengar
kabarnya selama bertahun-tahun, baik warga Palestina maupun Lebanon. Oyvind
meyakinkanku bahwa tim MAP di Bourj elBrajneh masih hidup dan dalam keadaan
mental yang baik. Kami dipanggil ke klinik PRCS di kamp Mar Elias. Kamp ini
merupakan kamp pengungsi Palestina yang berukuran kecil, yang pada awalnya
merupakan sebuah kamp bagi para warga Kristen Palestina, kelompok ini cukup
besar jumlahnya. Pada tahun-tahun terakhir ini, kebanyakan keluarga Kristiani
telah meninggalkan Beirut dan Mar Elias menjadi pusat administratif hampir semua
partai politik Palestina, seperti Fatah Intifada partai Abu Musa yang merupakan
pecahan Fatah, Sa'iqah, Front Demokratik Pembebasan Palestina, dua partai
pecahan dari Front Pembebasan Palestina, Partai Nidal Dewan Revolusioner Fatah
(Abu Nidal), dan lain-lain semua kecuali kelompok yang setia terhadap Arafat.
Mereka yang setia pada Arafat ini harus beraktivitas secara diam-diam karena
pemerintah Suriah dengan agresif memburu mereka.
Selain kantor-kantor partai politik ini, terdapat berbagai perwakilan bala
bantuan dari Eropa dan United Nations Relief and Work Agency (UNRWA), dan
tentunya PRCS. Meskipun Ummu Walid masih memegang PRCS di Lebanon, kini ada
direktur-direktur wilayah seperti dr. Muhammad Utsman di Beirut, dr. Ali
Abdullah di Saida, dan banyak lagi. Sangat menyenangkan bertemu kembali dengan
Ummu Walid, dan aku diperkenalkan dengan dr. Utsman. Klinik PRCS di Mar Elias
merawat sebanyak seratus lima puluh hingga dua ratus orang pasien rawat jalan
setiap harinya, sekarang sebuah rumah sakit baru tengah dibangun. Ke mana pun
aku pergi Lebanon, Mesir, Sudan, pastilah kutemukan PRCS mendirikan sebuah
bangunan, klinik atau rumah sakit, pada saat damai maupun perang.
Pemerintah Suriah telah mencanangkan gencatan senjata dan kamp-kamp tidak lagi
diserang, tetapi masih tetap dikepung. Jalan masuk ke kamp ditutup dan dijaga
oleh Pasukan Khusus Presiden Assad dan Pasukan Intelijen Suriah. Para wanita
Palestina kini diperbolehkan keluar untuk membeli makanan bagi keluarga mereka.
Sebelum pasukan Suriah bergerak, para wanita dibunuh jika mencoba memasuki
ataupun meninggalkan kamp untuk membeli makanan dan mendapatkan air. Banyak dari
mereka terluka maupun terbunuh. Tak seorang pun kini berani menembaki para
wanita Palestina di hadapan pasukan penjaga perdamaian Suriah. Sungguh
menakjubkan betapa takutnya mereka terhadap pasukan Suriah baik orang-orang
Lebanon maupun Palestina!
Hari sudah siang sebelum aku meninggalkan Mar Elias, tetapi aku ingin
mengunjungi kamp Shatila dan Bourj elBrajneh. Menurut perjanjian gencatan
senjata, para wanita tidak perlu izin khusus dari Pasukan Intelijen Suriah untuk
memasuki atau pun meninggalkan kamp jadi kuputuskan untuk mencobanya. Aku
membeli sehelai kerudung, mengikatkannya di kepalaku, dan tiba di perbatasan
Sabra-Shatila. Pasar Sabra diliputi hiruk pikuk kehidupan dan banyak orang yang berbelanja
maupun berjualan. Selain kios-kios yang menjual sepatu, baju, dan alat-alat
mandi, ada kios-kios yang menjual ikan, daging, buah-buahan, dan sayur-mayur.
Kelihatannya suasana di sini baik-baik saja, dan para pengunjung yang tidak
berjalan hingga kamp Shatila mungkin tidak menyadari keadaan yang sebenarnya.
Akan tetapi, pasar tersebut tidak terletak di kamp Sabra bagian Palestina pasar
ini terletak di bagian Lebanon. Pada 1982, kamp Sabra dan Shatila merupakan
rumah bagi warga Palestina maupun Lebanon, mereka hidup bersama selama bertahun-
tahun. Ketika Israel menyerang dan mengirim para pembunuhnya untuk menghabisi
penduduk kamp, kedua warga ini sama-sama menderita. Namun, setelah 1985, ketika
perang kamp pertama dimulai, para penyerang menjalankan siasat mengisolasi warga
Palestina. Kamp Sabra jatuh ke tangan lawan pada 1985,
dan banyak keluarga Palestina yang tewas terbunuh dan pergi untuk menyelamatkan
diri. Sehingga, yang tersisa hanyalah para keluarga Lebanon yang menjadi saksi
atas apa yang terjadi pada para tetangga mereka orang-orang Palestina di
Shatila. Bagian kamp Sabra yang pernah ditinggali oleh warga Palestina letaknya
berdekatan dengan Rumah Sakit Gaza. Rumah-rumah milik warga Palestina
dihancurkan sehingga walaupun dilakukan gencatan senjata, mereka yang melarikan
diri tak punya tempat untuk kembali. Rumah-rumah tersebut belum dibangun
kembali. Di seberang jalan raya, kamp Shatila membuat gerakan perlawanan yang
hebat dan tidak jatuh ke tangan lawan. Akan tetapi, kamp tersebut dikepung musuh
sejak 1985. Kamp itu dikepung total selama hampir dua tahun sejak Mei 1985 hingga April
1987, pengepungan hanya sempat dihentikan selama beberapa bulan. Semua jalan
masuk dan keluar kamp dikelilingi tank dan pasukan milisi sehingga tak seorang
pun dapat masuk ataupun keluar dari kamp. Kamp menerima serangan dalam skala
besar-besaran, bom-bom berjatuhan serta roket-roket diluncurkan ke rumah-rumah
penduduk. Pernah terjadi gencatan senjata, dan hanya diberlakukan jam malam yang
ketat. Selama enam bulan terakhir pengepungan kamp Shatila, pasar terus
melanjutkan penjualan segala jenis buah-buahan yang lezat, daging, dan sayur-
mayur, sementara warga Palestina di kamp Shatila kelaparan. Ketika mereka
meminta makanan, yang mereka terima hanyalah peluru serta mortir.
Ketika para pemimpin spiritual Muslim mengizinkan warga Palestina yang kelaparan
di kamp Shatila untuk memakan jasad manusia, penduduk kamp menyeru kepada dunia,
Sepanjang sejarah, berbagai negara dan masyarakat telah terhapus karena
peperangan, bencana alam, dan wabah penyakit, tetapi bukan karena kelaparan yang
dipaksakan seperti yang kami alami ini. Apakah kalian menggunakan wabah
kelaparan sebagai senjata, untuk membuat kami lapar sehingga menyerah" Di
manakah kesadaran orang-orang abad ke-20 ini" Jika kami memang mati dengan cara
seperti ini, biarkanlah tercatat dalam sejarah manusia bahwa dunia yang
mengizinkan pembantaian di Sabra dan Shatila kurang dari lima tahun yang lalu,
kini membiarkan kami mati dengan cara seperti ini.
Kalian bilang kami boleh memakan daging dari jasad manusia. Tapi, bagaimana kami
bisa memakan jasad orang-orang yang kami cintai, saudara kami, saudari kami,
ayah, ibu dan anak-anak kami"
Para pemuda kamp Shatila rela kelaparan agar orang-orang tua, para korban yang
terluka, wanita, dan anak-anak tetap bisa mendapatkan makanan. Shatila mati
perlahan-lahan. Akan tetapi, mereka menyongsong kematian dengan penuh kebanggaan
dan martabat. Jelas bahwa tak suatu apa pun baik
pembantaian, dua tahun pengepungan, maupun embargo makanan yang dapat
meruntuhkan semangat penduduk kamp Shatila. Pengepungan diperketat dan bom-bom
terus menghujani reruntuhan dan puing-puing bangunan kamp sepanjang pagi dan
malam. Pada awal 1987, musim dingin yang menusuk tulang di Lebanon menyebabkan
berjangkitnya wabah kelaparan, penyakit, dan banjir di kamp. Aku berandai-andai
jika Shatila dapat bertahan dari semua itu.
Kamp kecil ini, dua ratus yard luasnya, telah menjadi simbol gerakan perlawanan
penduduk Palestina yang gigih. Kamp ini telah menjadi seperti Alamo atau
Stalingrad bagi warga Palestina.
Di Barat, hanya tersiar segelintir kabar mengenai Shatila. Aku tidak tahu apa
yang akan kusaksikan di sana dan jantungku berdetak semakin cepat seiring aku
meninggalkan pasar Sabra menuju kamp Shatila. Jalanan tidak rata dan berlumpur,
setengah tergenang banjir dengan sampah-sampah mengapung. Aku dapat melihat
bagian belakang Rumah Sakit Gaza. Bangunan itu tampak kosong serta terpencil.
Seiring aku terus berjalan, bagian depan Rumah Sakit Gaza yang berselimutkan
jelaga mulai tampak. Bangunan-bangunan di sebelahnya tampak kosong, keluarga-
keluarga di dalamnya pasti telah pergi, pikirku.
Tiba-tiba terdengar bentakan, "Stop!" Dan tiba-tiba muncul seorang pria
bersenjata yang berbaju luntur. Ia adalah seorang intelijen Amal berusia sekitar
dua puluhan, bertubuh langsing. Menurutku,
ia tampan, tetapi aku kemudian melihat matanya memerah dan tangannya gemetaran,
dan otomatis aku mulai menerka-nerka apakah ada yang salah dengannya. Tubuh
gemetar, mata merah sangat mungkin ia mengisap ganja dan mungkin juga meng-
konsumsi obat perangsang. Perilakunya kasar. Aku berada dalam situasi yang tidak
menyenangkan, pria Amal ini bersenjata dan sejauh mata memandang, hanya aku
satu-satunya makhluk hidup selain dia. Saat melirik ke arah pistolnya, kusadari
ia tidak memakai peredam suara. Yah, setidaknya jika ia menembakku, seseorang
akan mendengarnya. Aku hanya bisa berdoa karena aku benar-benar tak dapat menebak apa yang akan ia
lakukan. Syukurlah aku membawa beberapa pucuk surat untuk para penghuni kamp
Shatila. Surat-surat itu ditulis oleh keluarga-keluarga Palestina yang berada di
Eropa untuk saudara-saudara mereka di kamp semua kalimat yang setipe seperti
"Bagaimana kabarmu" Aku berdoa untuk keselamatanmu". Pria itu berbicara bahasa
Inggris cukup baik. Setelah ia membuatku tegang dengan menggeledah tas tanganku,
surat-suratku, sepatuku, ia tampaknya mendadak memutuskan bahwa aku tidak sedang
berupaya menyelundupkan senjata ke dalam kamp, dan bahwa aku berkata jujur saat
menyatakan aku melakukan kunjungan biasa. Ia membiarkanku lewat. Kejadian itu
benar-benar menegangkan sampai-sampai aku tak ingin lagi berkeliaran di sekitar
kamp Sabra tanpa alasan yang benar-benar jelas.Sepanjang perjalananku menuju kamp Shatila,
aku sering distop oleh anggota pasukan Amal, beberapa di antaranya berseragam
militer dan beberapa lagi berpakaian sipil, tetapi mereka semua bersenjata.
Perjalanan itu membuatku stres. Aku memikirkan para wanita di kamp Shatila yang
harus melalui situasi ini setiap hari, saat pergi ke pasar untuk membeli makanan
bagi keluarga mereka, dan saat pulang sambil menenteng belanjaan. Jika orang-
orang Amal bisa melecehkan dan mengancam seorang dokter sepertiku yang baru saja
tiba dan jelas-jelas orang asing, aku dapat membayangkan seperti apa perlakuan
mereka terhadap wanita-wanita Palestina. Gencatan senjata memang diberlakukan,
tetapi aku yakin, jika bukan karena tentara Suriah, aku pasti akan masuk ke
dalam daftar orang-orang "hilang" atau bahkan tertembak.
Setelah distop secara "tidak sah" oleh orang-orang itu, akhirnya aku tiba di
markas resmi pasukan milisi Amal. Markas itu berupa sebuah blok berisi gedung-
gedung flat setinggi empat lantai yang telah rusak akibat tembakan meriam.
Melalui lubang-lubang bekas tembakan meriam, aku dapat melihat tumpukan kantong-
kantong pasir dan para tentara bersenjatakan senapan mesin. Pada dinding bagian
luar terpampang sebuah foto besar pemimpin Amal, Nabih Berri. Selusin lebih
tentara Amal berjaga di pos-pos pemeriksaan. Dokumen perjalanan serta barang-
barang bawaanku diambil untuk diperiksa. Di dalam bangunan yang tinggi tersebut,
terlihat lebih banyak lagi tentara. Mereka tampak berbadan besar dan seram, aku
merasa betul-betul takut. Aku tak
pernah mengalami ketakutan seperti ini sebelumnya, bahkan saat intimidasi yang
kuterima pada September 1982. Sebagai orang asing, aku bisa saja diculik. Dan
karena aku adalah kawan orang-orang Palestina, aku bisa saja ditembak mati.
Mereka sepertinya bisa membaca pikiranku dan salah seorang di antara mereka
mengokang senapan mesinnya dan menodongkannya ke arahku.
Aku harus melakukan sesuatu sebelum aku jatuh lemas. Aku menarik napas dalam-
dalam, menegakkan bahuku, dan mengatakan kepada mereka selantang mungkin bahwa
aku punya janji dengan seorang perwira Suriah di pos pemeriksaan Shatila.
Mendengar kata "Suriah", mendadak mereka bersikap lebih lunak. Mereka
mengembalikan dokumen perjalanan serta barang-barang bawaanku dan memberi
isyarat kepadaku untuk pergi ke pos pemeriksaan Suriah.
Kejadian ini memberiku sebuah kalimat bermanfaat yang untuk seterusnya pasti
kuucapkan setiap kali distop oleh pasukan Amal, "Aku punya janji dengan seorang
perwira Suriah di pos pemeriksaan." Kalimat ini membuatku terhindar dari bahaya.
Sebagai seorang dokter, aku merasa geli menyadari bahwa kedua kakiku, yang
sedetik sebelumnya hampir-hampir tak dapat menahan berat tubuhku, kini
memutuskan sendiri untuk berlari menuju pos pemeriksaan Suriah yang terletak di
jalan masuk kamp Shatila. Aku ingin berlambat-lambat sehingga tak seorang pun
tahu bahwa aku sebenarnya takut, tetapi kakiku tak mau berkompromi sedikit pun.
Pos pemeriksaan Suriah hanyalah berjarak selemparan batu, aku mengatakan kepada
tentara Suriah bahwa aku hendak menyerahkan beberapa pucuk surat kepada para
penduduk di kamp. Mereka membuka semua surat itu dan membaca isinya dan akhirnya
memutuskan untuk mengizinkanku mengunjungi kamp selama tak lebih dari satu jam.
Mereka menyimpan dokumen perjalananku, seraya mengatakan bahwa mereka akan
merobeknya jika aku tinggal lebih lama dari enam puluh menit. Hal itu,
menurutku, adalah kesepakatan yang pantas, apalagi setelah perlakuan yang
kuterima dari pasukan Amal. Aku berterima kasih kepada para tentara Suriah itu
dan memasuki kamp Shatila.
Tempat itu secara fisik tak dapat dikenali lagi, sepenuhnya luluh lantak. Di
mana-mana terdapat puing-puing, bangunan-bangunan yang sudah rubuh, terabaikan,
dan rusak parah. Para warga Palestina berdiri di kedua sisi jalan raya kamp.
Kali ini tak ada orang yang melambaikan tangan atau berteriak memanggilku. Tak
ada tawa, tak ada sambutan. Tak seorang pun bergerak. Aku tak pernah melihat
suasana kamp Shatila yang sebegitu dinginnya. Aku tak dapat memercayainya,
alangkah muramnya. Apa yang telah terjadi di sini" Kemudian, aku melewati pria
Palestina pertama yang kujumpai di jalan tersebut. Ia masih saja tidak bergerak,
tetapi menggumamkan ucapan selamat datang, "Antan, Doctora, ahlan."


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata-kata itu terus terulang senyampang aku melangkah memasuki kamp. Sambil
berdiri atau duduk, orang-orang Palestina menyambutku dengan sangat, sangat
muram, sama sekali tanpa bergerak.
Samar-samar kuingat jalan yang kutempuh dari kunjunganku pada 1985. Aku berbelok
ke kiri ke salah satu lorong sempit kamp yang menuju Masjid Shatila. Begitu aku
masuk ke dalam lorong itu, dan bangunan-bangunan yang hancur terkena tembakan
meriam menghalangi pandangan orang-orang di pos militer Amal dan Suriah,
beberapa bocah dan seorang wanita menghampiriku dan mengantarkanku ke Rumah
Sakit Shatila. "Siapa nama Anda?" tanya anak-anak.
Aku menatap mereka dan bertanya, "Siapa nama kalian?" Yang paling kecil, seorang
gadis kecil yang manis, melemparkan senyum lebarnya kepadaku, memasukkan
tangannya ke dalam mulutnya dan wajahnya memerah. Rombongan itu kemudian
mendampingiku menuju Rumah Sakit Shatila, memberitahuku agar menemui Chris
Giannou, seorang dokter keturunan Kanada-Yunani.
Chris dan aku pernah bertemu sekali sebelumnya, yaitu pada 1983 di Paris. Ia
telah sangat lama memberikan komitmennya kepada rakyat Palestina dan pernah
ditahan pasukan Israel pada masa awal serangan 1982. Chris pergi ke kamp Shatila
tahun 1985 untuk mendirikan sebuah rumah sakit dan tetap tinggal di dalam kamp
yang dikepung tersebut selama hampir dua tahun. Jika ada seorang dokter asing
yang menyerahkan segalanya demi rakyat Palestina, Chris Giannoulah orangnya.
Keahlian bedahnya, kemampuannya mengelola administrasi rumah sakit, kesabaran
dan keberaniannya, bahkan kehidupan pribadinya, semua diberikannya kepada rakyat
Palestina. "Halo, Chris!" sapaku
Ketika hendak memeluknya, aku menangis. Sudah lebih dari empat tahun sejak
terakhir kalinya kami bertemu. Sekarang Chris hanyalah sesosok tulang berbalut
kulit. "Tidak apa-apa," ujarnya. "Jangan mengkhawatirkan kami. Bagaimana kabar Francis"
Kemarilah, akan kutunjukkan padamu seisi rumah sakit ini. Kami memiliki
segalanya. Rumah sakit ini akan berfungsi lebih baik untuk melayani setiap
orang. Lihat, para wanita bahkan membawakan sekotak cokelat. Ambillah," ia
menawariku sepotong cokelat.
"Tidak, buat kamu saja, Chris," kataku. "Kamu butuh lebih banyak makan daripada
aku. Sudahkah belakangan ini kamu becermin?" Aku mengatakan hal yang bodoh dan
kami berdua terbahak. Di sini tidak ada kaca untuk becermin.
Setelah aku berjalan-jalan sebentar melihat-lihat isi Rumah Sakit Shatila,
tampaklah betapa bangunan ini telah jauh berkembang daripada sekadar sebuah
bunker perlindungan yang sempit pada 1985. Kini, rumah sakit tersebut terdiri
dari sejumlah blok yang terpisah satu sama lain. Bangunan utama didirikan di
atas bunker perlindungan bawah tanah. Bunker perlindungan itu sekarang diubah
menjadi sebuah bangsal operasi yang efisien dan aman, di atasnya terdapat dua
buah bangsal untuk pasien rawat inap. Lantai teratas rusak parah dan tak
dapat digunakan. Bangsal operasinya bersih dan semua peralatan bedah tersusun
dengan rapi. Di sini, tim operasi bedah telah melakukan lebih dari tiga ratus
operasi penyelamatan selama enam bulan terakhir. Bangsal itu tidak terlalu luas,
maksimal sekitar tiga puluh dengan ketinggian dua puluh kaki. Namun, bangsal
operasi itu terbagi dua sehingga mereka dapat melakukan dua operasi sekaligus.
Departemen UGD dan pasien rawat jalan berada di klinik lama milik PRCS yang
dibangun pada 1985, dipisahkan dari bangsal operasi dan blok bangsal perawatan
oleh sebuah lorong sempit. Klinik itu juga memiliki departemen sinar-X. Mesin
sinar-X portable telah difungsikan semaksimal mungkin dan telah disesuaikan
untuk menghasilkan pemetaan urogram intravenous dan pemetaan khusus lainnya.
Terdapat pula sebuah laboratorium, bank darah, dan sebuah ruangan untuk praktik
dokter gigi. Apotek dan klinik obat berada di bangunan lain. Di seberang klinik
ini terdapat "kantor" Chris Giannou yaitu sebuah ruang dapur. Di sana, Giannou,
sang kepala dokter bedah kamp Shatila dan Direktur Rumah Sakit Shatila, biasa
duduk di kursi kayu, menghadap meja kayu bujur sangkar dan melaksanakan tugas-
tugas administrasinya. Para pengunjung biasanya dipersilakan duduk di atas
tumpukan kantung beras di atas lantai, atau di atas sebuah tabung besar berisi
minyak goreng, minyak parafin, atau sabun detergen.
"Perlengkapan kantorku ini beranggaran rendah," kata Chris terkikik. Ruang di
sebelahnya adalah sebuah dapur besar dengan luas dua puluh kaki, dan di ruangan
inilah mereka tiga kali sehari memasak makanan rumah sakit. Ruang makan para
staf, di sebelah dapur, berukuran setengah kali ruang dapur. Ruangan itu
mempunyai sebuah meja panjang dari kayu dan dua deret bangku dari kayu pula,
tempat para staf rumah sakit duduk untuk makan dan melakukan rapat. Rumah sakit
ini adalah rumah sakit yang paling praktis dan efisien yang pernah kudatangi.
Banyak dari staf PRCS yang mengenaliku, dan di dalam rumah sakit ini, jauh dari
intaian pasukan Amal, kami bebas untuk saling memberikan peluk sayang.
Saat bergegas meninggalkan tempat itu, kudengar dari seluruh penjuru ruangan
orang-orang berkata, "Kami baik-baik saja, Doctora Swee, kami baik-baik saja.
Jangan khawatir. Kembalilah dan temuilah kami lagi." Dengan kata-kata yang
meneguhkan hati ini terngiang-ngiang di telingaku, aku tergesa-gesa pergi menuju
pos pemeriksaan Suriah untuk mengambil dokumen perjalananku dan meninggalkan
Shatila. [] Dua Puluh Tujuh Malam itu, sepulang ke flat NORWAC di Hamra, aku merasa sangat lelah, tapi tak
bisa tidur. Ketika akhirnya tertidur, aku menangis dalam mimpiku. Kamp Shatila
kini telah mempunyai makanan, tapi akankah warga Palestina di dalamnya cukup
kuat untuk membangun kembali komunitas mereka yang telah hancur" Mereka telah
terpenjara di dalam puing-puing bangunan selama hampir dua tahun. Shatila kini
benar-benar menjadi tempat yang melarat dan berbahaya sebuah kamp konsentrasi.
Melarat, karena tempat itu tak lebih dari sebuah kumpulan puing, tanpa air,
listrik, maupun harapan hidup. Berbahaya, karena Amal bisa menembakkan peluru
dan meriam ke arah kamp kapan saja tanpa memberi peringatan.
Aku terbaring di tempat tidur sambil memikirkan temanku Nahla, aku berharap
dapat bertemu dengannya. Pada 1982, ia bekerja bersamaku di Rumah Sakit Gaza, ia
sedang melakukan kerja praktik untuk menjadi perawat. Pada 1985, ketika Sabra
dan Shatila diserang, Nahla menghentikan studi keperawatannya dan ikut berjuang
mempertahankan kamp. Ketika kamp Shatila kehabisan amunisi, dengan gagah berani
Nahla melewati tank-tank Amal untuk membeli peluru. Empat orang wanita membawa
kembali tiga puluh lima ribu butir peluru ke dalam kamp. Pada 1985, Nahla
terluka dan harus bersembunyi. Aku tak dapat mengunjunginya karena ia sedang
dalam daftar "incaran" pasukan Amal.
Pada saat berada dalam perjalanan ke Beirut pada April 1987, aku baru mengetahui
bahwa Nahla telah meninggal. Kini, reuni yang pernah kami rencanakan takkan
pernah terlaksana. Aku terus-menerus bertanyatanya, apakah nasib Nahla adalah
cerminan nasib kamp Shatila. Namun, Nahla adalah sosok yang tegar, dan meskipun
karier militernya hanya sebentar dan ia gugur dalam usia muda, ia telah menjadi
seorang mayor ketika kehilangan nyawanya. Aku tak bisa tidur malam itu sehingga
aku menggubah sebuah puisi untuk Nahla. Dalam puisi itu, aku meratapi
kematiannya, dan terutama betapa ingin aku berada di sisinya saat ia gugur. Pada
saat kematiannya, Nahla baru saja bertunangan, dan aku memikirkan gaun pengantin
yang takkan pernah dipakainya.
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Sesaat sebelum fajar, aku memutuskan tidak
jadi tidur. Aku bangun, mandi, lalu menunggu Oyvind bangun. Kami akan pergi
menemui pasukan Suriah hari ini untuk merundingkan cara supaya Pauline Cutting
dan timnya dapat keluar dari kamp dengan aman. Amal telah memberikan ancaman
resmi akan membunuh Pauline dan Susan apabila mereka berani keluar dari kamp
tersebut. Kami tahu bahwa mereka bersungguh-sungguh dengan perkataan mereka.
Hanya pasukan Suriah yang dapat menghentikannya, sehingga Oyvind dan aku pun
memutuskan untuk bernegosiasi langsung dengan Jenderal Ghazi Kanaan, Kepala
Pasukan Intelijen Suriah di Lebanon.
Kami tiba di Beau Rivage yang dulunya adalah sebuah hotel terkenal di Lebanon.
Kini, hotel itu diambil alih oleh pasukan Suriah sebagai markas besar intelijen
militer mereka. Jenderal Kanaan sedang pergi ke Damaskus, tetapi deputinya
bersedia menemui kami. Setelah pengalaman burukku dengan pasukan Amal di kamp
Shatila kemarin, pasukan Suriah jadi terlihat jauh lebih beradab. Aku memberikan
kepada deputi Jenderal Kanaan selembar salinan surat yang kutulis untuk Presiden
Assad, dan bertanya apakah mereka bersedia mengawal tim medis kami keluar dari
kamp. Sulit berkomunikasi dengan mereka karena para perwira Suriah di kantor ini
hanya berbicara bahasa Arab dan Prancis, dan Oyvind dan aku hanya bisa bahasa
Inggris, Norwegia, dan Cina. Tetapi tampaknya mereka bisa menerka-nerka apa yang
kami katakan dan mengutus Mayor Walid Hassanato, perwira intelijen Suriah yang
bertugas menangani kamp Beirut, supaya mengantarku ke Bourj elBrajneh untuk
menemui tim MAP. Mayor Walid berusia tiga puluhan awal, mempunyai wajah bulat dengan kumis yang
tergunting rapi. Kesan pertamaku terhadapnya adalah tindak-tanduknya
menyenangkan dan beradab. Sulit membayangkan ia berlaku kasar terhadap orang-
orang Palestina yang tercatat dalam daftar sasarannya, tetapi banyak orang di
kamp yang berkata ia bisa
berubah mengerikan ketika menggunakan kekuasaannya sebagai perwira intel.
Mayor Walid memutuskan untuk mengantarkan Oyvind dan aku ke kamp Bourj elBrajneh
untuk menanyai Pauline Cutting dan timnya yang terperangkap di sana apakah
mereka ingin meninggalkan tempat itu. Kami diantar ke mobilnya, lalu kami
berangkat. Seluruh situasi ini terasa sangat aneh bagiku. Bagaimanapun,
untunglah aku mampu menjaga hubungan baik dengan Mayor Walid, meskipun aku telah
lupa hampir semua kata bahasa Arab yang pernah kupelajari, sedangkan Mayor Walid
tidak bisa berbicara selain dalam bahasa Arab.
Satu-satunya kalimat yang bisa kukatakan dalam bahasa Arab adalah, "Terima
kasih." Jadi, aku mengucapkannya kapan pun kelihatannya pantas untuk diucapkan.
Mayor Walid sangat baik dan sopan, dan setiap kali aku mengucapkan terima kasih,
ia menjawab, "Terima kasih kembali, Dokter," dalam bahasa Arab.
Ia menurunkan kami di sebuah kantor milik seorang anggota faksi pendukung
Suriah-Palestina di Bourj elBrajneh dan memberitahukan bahwa ia akan kembali
pada pukul satu siang untuk menjemput kami. Dengan demikian, kami berkesempatan
untuk berbicara kepada orang-orang kami. Setelah Mayor Walid pergi, aku menuju
Rumah Sakit Haifa untuk mencari Pauline dan rekan-rekannya. Rumah sakit itu
masih berdiri, tapi keadaannya sungguh menyedihkan. Pauline Cutting tampak
sangat, sangat kurus. Begitu juga dengan Ben Alofs. Dan aku
bertemu Susan Wighton serta Hannes untuk pertama kalinya. Mereka semua dalam
keadaan baik. Sulit untuk memberi tahu mereka bahwa inilah waktunya pulang ke rumah, kembali
berkumpul dengan keluarga mereka. Sebab, kenyataannya, tidak seorang pun dari
mereka yang ingin pergi. Penduduk Bourj elBrajneh juga akan merasa sedih. Untuk
sesaat, aku memikirkan apakah aku berhak membujuk tim tersebut pulang. Pada
akhirnya, aku memutuskan untuk mengutarakannya. Enam bulan dalam pengepungan
yang mengerikan ini sudah cukup bagi mereka dan mereka butuh istirahat. Jika
mereka ingin kembali setelah menemui keluarga mereka, MAP selalu dapat mengirim
mereka kembali ke sini. Setelah berpelukan hangat dan memberi salam, aku
memberanikan diri bertanya, "Kapan kalian ingin pulang" Keluarga kalian sangat
mengkhawatirkan keadaan kalian. Aku harus menyusun rencana dengan para tentara
Suriah itu untuk mengawal kalian."
Hening total. Aku merasa telah mengucapkan sesuatu yang tak pantas diucapkan.
Namun, akhirnya Pauline mengatakan bahwa mereka dapat pergi meninggalkan tempat
itu pada Senin 13 April. Mereka mengatakan ingin menghabiskan beberapa hari lagi
di kamp Mar Elias bersama teman-teman mereka. Mereka yakin bahwa kamp Mar Elias
sangat aman. Mereka tampaknya lupa bahwa beberapa anggota tim telah menerima
ancaman pembunuhan terang-terangan, belum lagi banyak wartawan menunggu mereka
di luar kamp. "Aku harus membicarakannya dengan Ummu
Walid dan penduduk di Mar Elias," kataku. "Tapi, jika kami berhasil membawa
kalian semua keluar dari sini pada Senin pagi dan mungkin setelah itu pergi ke
kamp Mar Elias, setelah itu kami bisa menanganinya sendiri. Aku juga harus
menghubungi Duta Besar Inggris untuk mengupayakan agar kalian dapat menyeberangi
Garis Hijau dan naik kapal bandara Beirut masih ditutup. Kurasa, visa kalian
semua kini telah habis masa berlakunya."
Kami semua menyetujui rencana ini, kemudian aku berkeliling di dalam rumah
sakit. Kedua lantai atas telah meledak terkena bom dan sisa bangunan Rumah Sakit
Haifa tidak memiliki aliran air maupun listrik. Dinding-dindingnya tampak suram,
lembap, dan berjamur. Namun, aku gembira bertemu dengan kawan-kawan lamaku Nuha,
dr. Ridha, Ahmad Diep sang teknisi anestesi, dan yang lainnya. Mereka semua
adalah petugas medis PRCS dan telah melewati empat masa peperangan di kamp
selama dua tahun ini. Aku pertama kali bertemu dr. Ridha, Direktur Rumah Sakit
Haifa, dan Nuha, sang perawat bangsal perawatan, pada 1985. Aku telah mengenal
Ahmad Diep sejak masa kerjaku di Rumah Sakit Gaza pada 1982, ia termasuk salah
seorang yang bekerja selama berjam-jam di bangsal operasi di basement selama
terjadi pembantaian di Beirut, sampai Azzizah memerintahkannya untuk
meninggalkan rumah sakit itu pada hari Jumat, tepat sebelum rumah sakit diserang
oleh para pembunuh. Ia seorang ahli anestesi yang hebat, dan aku dapat
memercayainya untuk melakukan pembiusan pasien-pasien berisiko tinggi dalam
pembedahan besar. Teman-temanku terlihat lelah, namun sangat bersemangat untuk
bercerita kepadaku tentang peperangan di kamp baru-baru ini.
Saat kami mengobrol, seseorang tiba-tiba datang dengan membawa sebuah pesan
untukku, "Doctora, Mayor Walid telah sampai dan ingin agar Anda berangkat
sekarang." Ben Alofs menatapku dengan tatapan tercengang dan berkata, "Ini si Walid
Hassanato, orang Suriah itu?"
Aku tahu bahwa ia terkejut, tapi tidak mungkin menjelaskan semuanya dalam waktu
singkat begini. "Ya," kataku, "Mayor Walid Hassanato. Ia telah menyanggupi untuk
mengawal kepulangan kalian nanti."
Ben terlihat semakin heran. Alasannya, Suriah lah yang memasok senjata kepada
pasukan Amal serta memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka. Banyak penduduk
kamp menganggap tentara Suriah sebagai sekutu pasukan Amal. Suriah men-
justifikasikan dukungannya terhadap Amal dengan menegaskan reputasi Amal sebagai
bagian penting dari "Perlawanan Lebanon Selatan" anti-Israel. Ini sesuai dengan
sikap anti-Zionis Suriah, Israel telah menduduki Lebanon Selatan, Palestina,
Dataran Tinggi Golan, serta wilayah-wilayah Arab tetangganya, wilayah-wilayah
yang menurut Suriah secara historis termasuk bagian dari "Suriah Raya". Oleh
karena itu, Suriah mendukung Amal dalam pertempurannya melawan Israel.
Tak seorang pun pernah memberikan penjelasan yang meyakinkan mengapa tank-tank
dan senjata-senjata yang dipasok Suriah kepada Amal untuk mmerangi Israel malah
digunakan untuk menyerang kamp-kamp pengungsi Palestina. Setelah bertanya kepada
kelompok-kelompok yang berbeda, menurut dugaanku, pasukan Amal mendapat tekanan
dari Israel untuk menyerang warga Palestina. Di wilayah selatan, warga Palestina
menuduh pasukan Amal telah membuat persetujuan dengan Israel untuk menghapuskan
populasi Palestina sehingga dengan demikian, keamanan perbatasan Israel di utara
terjamin. Tentunya pasukan Amal membantah hal ini. Akan tetapi, para warga
Palestina mengatakan mereka telah menangkap tiga orang penasihat pasukan Israel
yang bekerja sama dengan pasukan Amal ketika para pejuang Palestina mengepung
desa Magdoushe, dekat Saida, pada 1986. Jika hal ini benar, Amal pasti telah
bekerja sama dengan Israel, dan hal ini akan menjelaskan mengapa mereka bersikap
sangat keji terhadap orang-orang Palestina.
Namun, Amal mempunyai penjelasan sendiri tentang peperangan di kamp itu.
Berkali-kali aku distop oleh para perwira Amal dan diberi tahu bahwa warga
Palestina membawa terlalu banyak bencana di Lebanon. Jika bukan karena warga
Palestina, kata mereka padaku, Lebanon tidak akan pernah dibom dan dihancurkan
oleh pasukan Israel. Lebanon telah cukup banyak menderita karena menampung warga
Palestina. Amal takut serangan besar-besaran yang dilakukan Israel pada 1982
akan terulang kembali. Mereka terutama merasa kesal karena para warga Palestina di kamp-kamp
pengungsian berani mempersenjatai diri mereka sendiri. Salah seorang dari
pasukan Amal bertanya padaku, "Katakan kepadaku, Dokter, ibu kota Arab mana yang
pernah mengizinkan sekelompok pengungsi membawa-bawa senjata?"
Tentu saja ia tidak sadar sedang berbicara kepadaku yang selamat dari
pembantaian Sabra-Shatila 1982. Pembantaian itu bisa berjadi karena orang-orang
Palestina tidak bersenjata. Aku telah melihat keadaan kamp Shatila dan Bourj
elBrajneh pada 1987. Bagaimana bisa orang-orang itu meminta warga Palestina
untuk menyerahkan hak mereka mempertahankan diri" Supaya peristiwa pembantaian
1982 terulang kembali" Para pejuang remaja Palestina di kamp Shatila takkan
pernah dapat dibujuk untuk menyerahkan senapan Kalashnikov mereka, tidak setelah
penderitaan yang mereka alami pada 1982 dan pengepungan pada dua tahun terakhir.
Mereka telah kehilangan hak atas tanah air mereka, rasa aman di pengungsian, dan
kini eksistensi mereka tengah terancam. Siapa yang berani meminta mereka untuk
menyerahkan hak hidup mereka" Seorang pejuang wanita di kamp Shatila berkata
kepadaku, "Mereka terpaksa mengakui keberadaan kami karena kami telah melawan.
Mereka ingin membuat kami tidak dikenal, meniadakan kami, dan mengubur kami di
kuburan massal, tapi kami akan bertempur sampai titik darah penghabisan."
Beberapa dekade terakhir ini, di Timur Tengah


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi setidaknya empat konflik besar. Konflik-konflik itu adalah konflik
antara Iran dan Irak, antara Israel dan negara-negara Arab, antara Israel dan
Palestina, serta antara negara-negara Arab dan Palestina. Kecuali perang Iran-
Irak, konflik-konflik lainnya berkisar pada masalah Israel dan Palestina.
Konflik antara Israel dan negara-negara Arab telah menyebabkan berbagai perang
antara Israel dan negara-negara Arab. Israel telah menyerang dan menduduki tidak
hanya Jalur Gaza dan Tepi Barat, melainkan juga Dataran Tinggi Golan, yang
merupakan bagian dari Suriah. Pasukan udara Israel telah menyerang berbagai
negara Arab-Irak, Tunisia, Suriah, Lebanon, dan Mesir adalah beberapa contoh di
antaranya. Aku mendengar bahwa para politisi Israel membual bahwa mereka telah
bertempur dan memenangi lima perang besar melawan tetangga-tetangga Arab mereka,
tahun 1948, 1956, 1967, 1973, dan 1982. Perang yang terakhir itu bukan merupakan
perang "murni" antara Israel dan salah satu tetangganya. Walaupun hingga
sekarang Lebanon masih menderita akibat kehancuran ekonomi dan sosial yang
dideritanya, perang 1982 sebenarnya merupakan perseteruan antara Israel dan PLO.
Konflik Palestina-Israel terjadi karena Israel hanya dapat berdiri di atas
kehancuran negeri Palestina dan terusirnya rakyatnya. Pada 1988, negara Israel
merayakan empat puluh tahun eksistensinya, sementara orang-orang Palestina yang
terusir memperingati hilangnya tanah air mereka. Agar Israel dapat berkembang,
semua jejak eksistensi Palestina harus dihapuskan. Luka-luka yang diakibatkan
oleh Israel terus memburuk, bom-bom Israel menyebabkan kematian dan kehancuran,
penyiksaan dan mutilasi di kamp-kamp tawanan Israel, seperti kamp Ansar, tak
akan pupus dari ingatan. Setelah ini semua berlangsung, orang-orang Israel
memprotes bahwa orang-orang Palestina menolak untuk "mengakui" negara Israel.
Setelah dipaksa untuk menyerahkan negara mereka, rumah mereka bahkan hidup
mereka rakyat Palestina kini diminta untuk menyerahkan jiwa mereka kepada sang
pemenang. Konflik Palestina-Arab lebih rumit lagi. Beberapa orang beralasan bahwa konflik
tersebut merupakan konflik antara negara-negara tuan rumah dan para pengungsi.
Namun, orang-orang Palestina ini adalah orang-orang terusir, bukan pengungsi,
dan mereka ingin pulang. Prinsipnya, negara-negara tuan rumah itu mendukung
mereka, paling tidak pada prinsipnya. Akan tetapi, ketika orang-orang Palestina
ini menggunakan negara-negara tuan rumah sebagai basis serangan terhadap Israel,
negara-negara ini mengalami penderitaan akibat pembalasan Israel, sebuah roket
yang ditembakkan ke Galilea akan meratakan lusinan desa di Lebanon. Inilah yang
menyebabkan konflik antara Palestina dan Arab. Namun, keberanian rakyat Arab
patut dihargai, meskipun harus menerima akibat itu, mereka masih mendukung
perjuangan rakyat Palestina.
Masalah yang lebih fundamental dalam konflik Su-riah-Palestina diakibatkan
sebuah persoalan yang tak terpecahkan. Apakah Palestina bagian dari Suriah Raya"
Apakah Arafat pemimpin PLO atau Assad pemimpin Suriah yang berhak berbicara atas
nama rakyat Palestina"
Aku bukan orang Arab, dan bukan pula Muslim. Aku bukan orang Eropa sehingga
tidak punya beban untuk merasa bersalah akan kekejaman Nazi maupun merasa
bertanggung jawab atas Mandat Pemerintah Inggris di Palestina. Mendukung rakyat
Palestina bagiku bukanlah suatu urusan politik, ini adalah tanggung jawab
kemanusiaanku. Orang-orang Palestina berusaha agar dapat pulang ke tanah air
mereka. Oleh karena gagal melakukannya, mereka menuntut hak mendapatkan
kehidupan yang layak di tanah pembuangan hak untuk eksis di muka bumi. Tuntutan
mereka bisa dimaklumi. Aku mendukung mereka. Karena tak punya kecenderungan
terhadap aliran politik tertentu, aku dapat meminta tentara Suriah untuk
melindungi para sukarelawan medis kami, sehingga tugas kami di dalam kamp dapat
berlanjut. Beberapa orang mendiskusikan fakta bahwa beberapa hari sebelumnya, Suriah telah
mendukung penyerangan Amal ke kamp-kamp. Kini tentara Suriah mengambil alih
penjagaan di jalan-jalan masuk kamp untuk mencegah penembakan para wanita
Palestina dan mengawal konvoi-konvoi makanan masuk ke dalam kamp. Aku tak punya
perkiraan mengapa mereka melakukannya dan atas alasan apa.
Jika orang-orang Suriah kini menjadi teman warga Palestina, maka mereka kini
temanku juga untuk sementara waktu. Aku tidak mau berspekulasi tentang apa yang
akan terjadi besok, atau pada minggu berikutnya. Kondisi aman ini sama rentannya
dengan cairan di padang pasir. Namun, saat ada kesempatan bernapas, makan,
maupun hidup, orang-orang harus memanfaatkannya. Para wanita keluar-masuk kamp
untuk membawa makanan dan air minum bagi keluarga mereka. Selama gencatan
senjata yang dijalankan oleh pasukan Suriah berlangsung, para penduduk kamp
memanfaatkan kesempatan ini semaksimal mungkin.
Ketika kami kembali ke kantor tempat sang Mayor Suriah menjemput kami, aku dapat
melihat sebuah kerumunan besar telah berkumpul untuk menyambut konvoi bala
bantuan PBB yang membawa karung-karung berisi tepung. Anak-anak dan wanita
bertepuk tangan serta bersorak-sorai seiring pasukan tentara Suriah mengawal
konvoi tersebut melaju ke dalam kamp. Sementara itu, di belakang kantor sang
Mayor, jenazah seorang wanita digali dari sebuah kuburan sementara untuk dibawa
ke pemakaman. Ia adalah salah seorang wanita yang tewas saat mencoba mendapatkan
makanan bagi penduduk kamp selama berlangsung pengepungan. Saat jenazah tersebut
diangkat, dibungkus dalam sebuah kantong plastik besar, dan diangkut melewati
gedung kantor itu, baunya yang busuk sangat menyesakkan pernapasan. Bau itu
mengingatkanku pada mayat-mayat yang dimutilasi dan dirusak pada
pembantaian 1982. Apakah kamp sedang merayakan gencatan senjata, atau tengah
meratapi hilangnya orang-orang yang mereka cintai"
Oyvind dan aku memberi tahu Mayor Walid bahwa orang-orang kami akan bersiap
untuk meninggalkan kamp pada Senin 13 April. Ia meminta kami menghubungi Duta
Besar Inggris dan memintanya untuk menyiapkan penjagaan di sepanjang Garis
Hijau, karena pasukan Suriah tidak mengawasi kawasan Beirut Timur yang dihuni
oleh penduduk Kristen. Jadi, Pauline dan anggota tim MAP lainnya akan menjadi
tanggung jawab pasukan Suriah dari kamp Bourj elBrajneh sampai mereka tiba di
kantor Konsulat Inggris di Beirut Barat. Dari sana, dalam perjalanan menuju
Jounieh untuk naik feri, mereka akan menjadi tanggung jawab Duta Besar Inggris,
John Gray. Setelah menyepakati rencana ini, kami mengucapkan selamat tinggal kepada Mayor
Walid. Sang Duta Besar Inggris dengan ramah menerima kami dan menyetujui untuk
menyediakan pengamanan bagi Pauline, Susan, Hannes, Bendan Chris Giannou, jika
ia juga memutuskan meninggalkan kamp. Ibu Chris telah menghubungi Ummu Walid dan
menyampaikan kekhawatirannya tentang putranya, dan Ummu Walid merasa ini
waktunya bagi Chris meninggalkan kamp Shatila untuk beristirahat.
Demikianlah, Senin tanggal 13 April menjadi hari pergantian besar-besaran
anggota tim kami. Para perawat dan dokter asing yang baru akan memasuki kamp
Bourj elBrajneh dan Shatila, dan mereka yang telah bekerja tanpa kenal lelah
selama masa pengepungan kamp dapat meninggalkan tempat itu. Aku diminta
menelepon kantor Mayor Walid pada pukul sembilan pagi. Para prajuritnya
menunjukkan kantornya kepadaku, dan kulihat ternyata ia baru saja bangun. Ia
tampak malu karena aku tiba-tiba muncul di kantornya dan melihatnya sedang
berusaha mengenakan sepatu dan kaus kaki. Aku mencoba meyakinkannya bahwa bagiku
tidak masalah melihatnya dalam keadaan seperti itu. Bukan hanya karena aku
seorang dokter, tapi aku juga telah menikah dan berbahagia dengan pernikahanku.
Aku mengeluarkan dari dompetku selembar foto suamiku, Francis, yang berpose
bersama kucing betina kesayangannya yang berbulu hitam-putih, Me-owie.
Para serdadu sang Mayor melihat foto itu dari dekat, lantas menyatakan
kekagumannya akan kecantikan si kucing Meowie dan keramahan yang terpancar dari
wajah suamiku. Mereka lantas mengungkapkan keprihatinan karena aku belum
mempunyai anak, sehingga suamiku yang malang hanya ditemani si kucing, sementara
aku pergi jauh. Mereka bahkan menyarankan Francis untuk mencari seorang istri
Suriah yang dapat memberinya banyak anak. Aku merasa saran mereka itu sama
sekali tak dapat kuterima. Tapi kuduga, mereka hanya ingin mengakhiri
kunjunganku. Para perwira intelijen Suriah pertama-tama menuju kamp Bourj elBrajneh untuk
mengawal para sukarelawan asing ke kamp Mar Elias. Kemudian,
kami menuju kamp Shatila untuk menanyakan Chris Giannou, apakah ia mau ikut
pergi atau tidak. Pada malam sebelumnya, aku telah mengirim pesan kepada Chris
untuk memintanya mengepak barang dan bersiap-siap seandainya ia mau pulang ke
Kanada. Mayor Walid menghentikan mobilnya di pos pemeriksaan kamp dan
memberitahuku lewat penerjemahnya untuk pergi dan menjemput Chris. Aku
menemukannya sedang berada di dapur rumah sakit. Kukatakan kepadanya bahwa Mayor
Walid sedang menunggu di pos pemeriksaan untuk mengawalnya ke Kedutaan Inggris.
Chris menolak mentah-mentah. "Dengar," katanya, "aku tidak bisa pergi begitu
saja. Banyak sekali hal yang harus kulakukan. Selain itu, jika aku pergi
sekarang, akan berdampak buruk terhadap mental penduduk kamp. Aku akan coba
berbicara dengan ibuku dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."
"Baiklah, Chris," jawabku, "aku harus bilang bahwa aku bangga sekali dengan rasa
tanggung jawabmu, tapi setidaknya maukah kamu keluar sebentar dan berterima
kasih kepada Mayor Walid yang telah datang jauh-jauh untuk menjemputmu" Kalau
tidak, aku akan terlihat bodoh di hadapannya." Lantas, ia keluar bersamaku dan
kami menuju pos pemeriksaan. Ia berbicara kepada Mayor Walid dalam bahasa Arab,
sebelum akhirnya kembali ke kamp. Mayor Walid tampak tidak terlalu senang dengan
penolakan Chris terhadap tawaran bantuannya. Namun, pandanganku sekilas kepada
Chris Giannou seiring kami pergi meninggalkan tempat itu, dengan tubuhnya yang tinggal
tulang berbalut kulit dan berlapiskan sehelai selimut tua yang compang-camping,
berjalan kembali dengan bangganya ke kamp Shatila pada pagi hari tanggal 13
April, akan selalu terekam dalam ingatanku.
Pada hari Minggu Paskah, aku membujuk Oyvind untuk mengambil cuti sehari dan
pergi ke pegunungan. Aku ingin sendirian di flat NORWAC untuk membaca Injil,
untuk berdoa dan berterima kasih kepada Tuhan karena telah memulangkan Pauline
serta timnya, sesudah mendengar berita dari BBC World Service bahwa mereka telah
tiba dengan selamat di Inggris. Aku membuka bagian Surat Paulus kepada Jemaat di
Roma. Aku membaca, "Tetapi dalam semuanya itu, kita lebih daripada orang-orang
yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik
maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik
yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas
maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan
kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita" (Roma 8: 37-
39). Selama bertahun-tahun, aku telah banyak melihat kehancuran dan kematian,
tapi aku telah melihat begitu banyak cinta dan kesetiaan yang membuatku yakin
bahwa Tuhan ada. Setelah perenunganku usai, Tuhan mengirimkan kepadaku seorang pengunjung yang
luar biasa, dr. Said Dajani. Aku pertama kali bertemu dengannya pada 1982 dan
selalu menghormatinya. Ia mendirikan sekolah keperawatan PRCS di Lebanon dan
merupakan Direktur medis para dokter PRCS di Lebanon selama bertahun-tahun. Ia
telah mengajar di berbagai sekolah kedokteran di Lebanon, dan banyak dari mereka
yang pernah diajarnya kini menjadi spesialis yang terkenal. Ia hampir berusia
delapan puluh tahun dan seluruh rambutnya telah memutih, tetapi wajahnya masih
menyiratkan ketangguhan seorang anak muda. Kami mengobrol selama berjam-jam dan
pria tua yang malang itu menangis. Empat setengah tahun terakhir yang penuh
penderitaan ini sudah cukup baginya. Sekolah keperawatan PRCS miliknya telah
ditutup, dibuka, dan ditutup lagi beberapa kali. Saat ini, sekolah itu ditutup
kembali. Istrinya terserang kanker payudara dan lututnya terserang arthritis.
Akan tetapi, ia mengatakan suatu hal yang luar biasa, "Tebersit di pikiranku
bahwa entah bagaimana caranya, aku akan meninggal di Palestina jadi aku tidak
mungkin mati di sini."
Kemudian, ia berbicara tentang Palestina dengan antusias. Akan menyenangkan
sekali jika dr. Dajani dapat kembali ke Palestina dan kami semua mengunjunginya
di sana! Aku menatap wajah sang dokter Palestina yang lembut dan baik hati ini,
dan memikirkan penderitaan dan kesedihan yang dialaminya selama bertahun-tahun.
Meskipun begitu, tidak ada kebencian ataupun permusuhan hanya keyakinan dan
seulas senyum cerah yang tersungging di wajahnya ketika ia berbicara tentang
Palestina. Ia menceritakan kepadaku tiga pertempuran yang pernah ia menangkan dalam
hidupnya. Pertempurannya yang pertama bukan berkenaan dengan masalah Palestina, tetapi
untuk berhenti merokok. Ia dulu terbiasa merokok sembilan puluh batang sehari.
Ia harus berjuang keras untuk melawan keinginannya itu, tetapi ia menang dan
akhirnya berhenti merokok.
Lalu, ia menuturkan sebuah kisah yang menggugah. Pada 1947, dr. Dajani sedang
dalam perjalanan menuju Amerika Serikat untuk menghadiri konferensi para dokter
sebagai Direktur medis Palestine Medical Services. Saat singgah di Paris, ia
mendengar kabar tentang diputuskannya pemisahan negara Palestina dan ia tahu
akan terjadi masalah besar di negerinya. Ia tahu, ia bisa saja melanjutkan
perjalanannya ke Amerika Serikat dan melupakan Palestina atau kembali. Saat itu,
terjadi pertempuran hebat dalam dirinya sebuah suara berkata, "Dajani, kamu
pengecut, kabur sajalah." Suara lain menyahut, "Tidak, kamu bukan pengecut, kamu
harus kembali." Akhirnya, ia kembali ke Jaffa untuk memimpin layanan medis
selama masa-masa sulit tersebut.
Kemudian, pada 1983, Kedutaan Amerika di Beirut Barat dibom. Amerika membalasnya
dengan menyerang dan mengebom Beirut Barat. Pada saat itu, keadaan sangat buruk,
dan teman-teman dari Australia, Denmark, serta Spanyol menawarinya untuk keluar
dari negara itu. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk tetap tinggal. "Lari?"
tanyanya pada diri sendiri. "Tidak, aku bukan pengecut." Jadi, ia tetap tinggal.
Kemudian, meletuslah perang dan masa-masa penuh teror pasukan Amal terhadap
warga Palestina. Ia tetap tinggal. Kini, dengan antusias ia berbicara tentang
pembukaan kembali Sekolah Keperawatan yang telah ditutup selama peperangan di
kamp. Aku merasa bangga bertemu dengan seorang rekan senior yang memiliki
keberanian serta kekuatan moral yang hebat.
Dr. Dajani menceritakan kepadaku ketika ia sedang mendirikan pusat layanan medis
di Kota Sour di Lebanon Selatan, sebuah kawasan dengan tingkat kemiskinan
tertinggi. Pada suatu hari, ia melewati sebuah rumah dan mendengar anak-anak
menangis. Ia mendorong pintu rumah itu hingga terbuka. Kedua orangtuanya terlalu
malu untuk mengatakan kepadanya mengapa anak-anak itu menangis, namun terlihat
jelas bahwa mereka kelaparan. Sehingga, Said Dajani pergi ke luar, mengambil
roti, keju, dan buah zaitun dan memberikannya kepada anak-anak itu. Anak-anak
itu kemudian mulai tertawa dan bermain-main, tetapi sang dokter dan orangtua
mereka menangis. Sebelum Rumah Sakit Sour selesai dibangun, ia biasa melewatkan malam dengan
tidur di atas pasir. Pada suatu pagi, ia terbangun dan menemukan bahwa seseorang
telah menyelimutinya dengan sehelai selimut usang. Ia merasa sangat berterima
kasih, tapi tak pernah menemukan orang yang melakukannya. Kisah semacam ini
biasa terjadi di Lebanon sebuah tempat yang dilimpahi kebajikan dan
kedermawanan para penduduknya, di tengah-tengah kemiskinan dan peperangan.
Lalu, aku memberitahunya tentang semua masalah yang kuhadapi tatkala hendak
mengajukan permohonan visa. Ia sangat kesal dan berkata, "Mereka menolakmu
memberikan visa karena tidak ingin kamu membantu warga Palestina. Apakah
membantu orang-orang Palestina itu suatu kejahatan" Bagaimana orang-orang bisa
menjadi sekejam itu?"
Namun, aku mengatakan kepadanya untuk tidak usah khawatir, mereka harus berusaha
lebih keras sebelum dapat mencegahku menjadi kawan orang-orang Palestina. Ia
tertawa, mengucapkan salam perpisahan, dan mendoakan kami semua agar selalu
dalam kebaikan.[] Dua Puluh Delapan Hari-hari berikutnya menjadi sangat sibuk dan semrawut. Untunglah dr. Alberto
Gregori yang berkebangsaan Italia itu mau bekerja untuk MAP sebagai dokter bedah
sukarelawan di Rumah Sakit Haifa sementara aku berkeliling melakukan tugas-tugas
lainnya. Alberto adalah orang yang hebat dan dicintai penduduk kamp. Mereka
menjulukinya "Abu Garfil" seperti nama boneka kucingnya, Garfield. Tak lama
kemudian, penampilannya terlihat seperti orang Palestina dan ia memang distop di
pos pemeriksaan untuk ditanya-tanyai karena pasukan intelijen Suriah mengiranya
sebagai warga Palestina yang menyamar menjadi dokter Italia.
Seorang rekannya di MAP, seorang ahli anestesi Australia bernama dr. Murray
Luddington, pergi ke kamp Shatila. Akhirnya, Murray terkena "virus" Palestina.
Beberapa hari setelah memasuki kamp, ia menulis surat pengunduran diri permanen
kepada rumah sakit pemerintah Inggris sebelumnya, pihak rumah sakit masih
membuka kesempatan baginya untuk kembali bekerja di sana. Ia meminta pihak rumah
sakit untuk mencari ahli anestesi lain karena ia telah memilih tinggal bersama
para warga Palestina di kamp Shatila. Tak lama kemudian, penampilannya jadi
lebih kumuh daripada para penduduk kamp, sampai-sampai mereka harus memberinya
pakaian yang pantas. Bahasa Arabnya meningkat pesat, dan tak lama kemudian, ia
dapat berdebat dengan koki rumah sakit dan menjawab pertanyaan pasukan Amal di
pos perbatasan dengan kata-kata yang tidak terlalu sopan. Ia tidak pernah dikira
sebagai orang Palestina, tetapi jenggotnya yang lebat membuatnya hampir saja
ditawan oleh para tentara itu. Pada saat itu, hanya kelompok Hizbullah Syi'ah
Lebanon yang memelihara jenggot dan pasukan Suriah maupun Amal tidak bisa akur
dengan pasukan Hizbullah.
Tak lama kemudian, Alberto harus pergi, dan aku harus mengambil alih posisinya


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai dokter bedah di Rumah Sakit Haifa. Alangkah senangnya jika aku dapat
tinggal di Rumah Sakit Haifa untuk bekerja sepantasnya sebagai seorang dokter
bedah. Namun, pada saat itu, orang-orang Palestina membutuhkan lebih dari
sekadar seorang dokter bedah. Mereka memerlukan seseorang untuk mengurusi segala
sesuatu dan mengelola pasokan peralatan rumah sakit, merundingkan pengiriman
bahan bakar dan makanan ke dalam kamp, dan mengungsikan para korban keluar dari
kamp ke beberapa negara Eropa untuk mendapatkan perawatan khusus. Sebagai
pemimpin tim, aku harus melakukan semua itu pada siang hari, sekaligus merangkap
menjadi dokter bedah tetap pada malam hari. Hal ini penting karena pada malam
hari masih banyak orang yang terluka dan memerlukan operasi bedah. Karena
penyerangan masih berlanjut, mereka tak dapat dipindahkan ke luar kamp untuk
mendapatkan perawatan. Tidak selalu mudah bagiku melewatkan malam di kamp, setelah pada siang hari
pontang-panting disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah sakit. Baik saat akan
tidur di Rumah Sakit Haifa atau di klinik yang terletak di pojok seberang kamp,
biasanya aku mengobrol hingga tengah malam atau sibuk meladeni orang-orang yang
ingin menyampaikan berbagai keluhan yang tidak selalu bersifat medis. Suasana di
dalam kamp masih terasa tegang. Aku sering terlonjak ketika mendengar pintu
dibanting, menyangka ada sebuah ledakan. Suatu peristiwa sederhana, seperti
seruan dari pengeras suara masjid Bourj elBrajneh yang meminta sumbangan donor
darah, membuatku bergegas keluar dari klinik, menaiki tanjakan, menuju Rumah
Sakit Haifa karena mengira telah terjadi pertempuran, dan para korban
membutuhkan pertolongan. Biasanya, seruan semacam itu adalah pengumuman untuk
permintaan donor darah, dan bukan seruan darurat. Sikapku yang tegang dan
gelisah itu benar-benar tak beralasan karena para dokter PRCS luar biasa
cekatan. Mereka telah berhasil bekerja selama pengepungan kamp dan telah
menyelamatkan banyak sekali nyawa, dan apa pun yang bisa kukerjakan, mereka bisa
mengerjakannya lebih baik.
Suatu hari, pada pukul empat pagi, Ahmed Diep, ahli anestesi, dengan panik
menggedor pintu klinik. "Doctora Swee!" teriaknya. "Ada operasi bedah perut
mendesak di Rumah Sakit Haifa!"
Kami berlari menuju rumah sakit melewati tanjakan yang bergelombang, melalui
lorong-lorong kamp yang berliku-liku, meloncati puing-puing, pipa-pipa air, dan
beberapa kubangan air. Di dalam ruang UGD Rumah Sakit Haifa, terbaring seorang
pemuda yang telah menembak perutnya sendiri. Para dokter PRCS sudah berusaha
menyadarkannya, memberikan infus darah untuknya. Nuha, perawat bangsal operasi,
telah siap untuk melakukan operasi bedah mayor abdomen. Dr. Nassir, dokter bedah
tetap yang bertugas pada malam itu, sudah berganti baju dan bersiap-siap di
bangsal. Mereka memanggilku karena beberapa luka tembakan tersebut bisa jadi
sangat parah dan akan lebih baik apabila ada seorang dokter bedah senior yang
siap membantu. Dr. Nassirlah yang lebih berperan dalam operasi tersebut, aku hanya membantunya.
Peluru itu, seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, menembus bagian depan
abdomen, mengenai dua usus kecil pada dua tempat yang berbeda, bagian tepi
liver, usus besar di tiga tempat berbeda, dan menembus ke luar tulang pelvis
bagian belakang. Ahmed Diep memberikan pembiusan yang sempurna, dan baik Nuha
maupun dr. Nassir melakukan operasi yang sangat sukses.
Satu-satunya kesalahan ada padaku. Aku memutuskan mencoba untuk tidak melakukan
de-functioning colostomy suatu prosedur yang dianggap perlu oleh kebanyakan
dokter bedah dalam keadaan semacam ini. Prosedur itu dilakukan dengan
mengeluarkan dari tubuh sebagian usus besar pada
suatu titik yang tidak terkena luka dan membuat sebuah lubang, sehingga seluruh
isi usus dapat dibuang melalui lubang tersebut. Dengan cara ini, tidak ada
kotoran yang keluar melalui bagian perut yang terluka sehingga mengurangi risiko
terjadinya kontaminasi selama proses pemulihan. Aku mengambil risiko yang tidak
perlu, dan bahkan memberitahukan dr. Nassir bahwa kemungkinan paling buruk,
pasien tersebut hanya akan mengalami fecal fistula (atau pembuangan abnormal)
melalui luka tembak keluar (exit wound), dan kami akan menanggulangi persoalan
itu jika memang terjadi. Ternyata, si pasien memang mengalami hal tersebut, dan
harus menjalani operasi kedua untuk defunc-tioning colostomy dan re seksi fecal
fistula. Syukurlah pasien itu selamat. Menjelang berakhirnya operasi pertama, Nuha
menyodorkan pisau bedah kepadaku karena mengira aku akan melakukan colostomy. Ia
hampir saja menjatuhkan pisau bedah itu ke lantai ketika aku berkata, "Mungkin
operasi ini akan berhasil, Nuha. Kita coba saja." Sekarang, aku merasa malu
mengingat kata-kata dokter bedah yang pertama kali mengajariku cara membedah,
"Hal yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi masalah dan menghindarinya.
Jangan sengaja membuat masalah, lalu mencoba memecahkannya." Selama beberapa
bulan kemudian, Nuha masih tertawa setiap kali kami membicarakan hal itu.
Oleh karena semua kamp masih dikepung, setiap barang keperluan rumah sakit yang
dibawa masuk ke dalam kamp harus melalui negosiasi khusus
dan mendapatkan izin tertulis dari Pasukan Intelijen Suriah, yang selanjutnya
harus memberitahukan pasukan Amal bahwa mereka telah mengizinkan barang-barang
tersebut. Keadaan menjadi sangat, sangat susah. Misalnya saja, hanya demi
mendapatkan izin meninggalkan kamp Shatila untuk seorang dokter Palestina yang
ingin mengunjungi ayahnya di sebuah rumah sakit di Beirut Barat, aku harus
bolak-balik lima kali ke kantor pasukan intelijen Suriah itu. Dalam setiap
kunjungan, aku harus menunggu selama tiga atau empat jam, sering kali di bawah
terik matahari, terkadang sampai hari berganti malam. Birokrasinya benar-benar
bertele-tele. Para warga Palestina tidak membutuhkan keterampilan medisku karena PRCS memiliki
banyak dokter dan perawat yang terlatih. Pada masa puncak perang kamp, sebanyak
enam puluh dokter dan perawat PRCS terperangkap di dalam kamp. Ini tidak
mengejutkan, mengingat bahwa sebelum 1982, PRCS memberikan layanan medis
berdasarkan permintaan di Beirut Barat dan di seluruh kawasan Lebanon bagian
selatan. Kini, pada masa gencatan senjata, yang dibutuhkan berbagai rumah sakit
di kamp adalah persediaan obat-obatan, oksigen, ni-tro-oksida, dan peralatan
bedah, serta persiapan persediaan berbagai kebutuhan, kalau-kalau terjadi lagi
serangan ke kamp. Seseorang harus melewati pos pemeriksaan dengan membawa
berbagai barang kebutuhan tersebut. Hanya orang Palestina yang dapat membujukku
seorang dokter bedah Inggris yang terlatih untuk bersedia bertugas sebagai sopir
truk dan menunggu berjam-jam di kantor intelijen Suriah untuk mendapatkan izin
membawa barang-barang tersebut ke dalam kamp.
Pertama kali aku berusaha mendapatkan izin untuk membawa sebuah mobil ambulans
berisi obat-obatan ke dalam kamp, aku membutuhkan waktu yang sangat lama. Izin
tersebut harus didapatkan dari Intelijen Suriah sehingga birokrasinya berputar-
putar. Setelah permohonan tersebut dicatat, hari-hari berlalu tanpa jawaban. Aku
mengancam akan pulang ke Inggris dengan membawa semua obat-obatan tersebut
sekaligus mengumumkan kepada masyarakat Inggris bahwa pemerintah Suriah mencegah
upaya pengiriman bantuan obat-obatan ke dalam kamp. Mereka menjadi sangat marah
padaku, tetapi akhirnya sikap mereka melunak. Sebanyak empat ton obat-obatan
yang disumbangkan oleh warga Inggris, sedikit demi sedikit mengalir ke dalam
kamp. Para warga Palestina di kamp Bourj elBrajneh membetulkan sebuah mobil ambulans
tua yang bobrok untuk kubawa mengambil pasokan makanan, obat-obatan, kabel
listrik, selimut, parafin, perabotan rumah tangga dan bahkan pernah sebuah peti
mati untuk dibawa masuk atau keluar kamp. Tatkala kupikir-pikir lagi, aku merasa
ngeri membayangkan komentar rekan-rekanku sesama dokter di Inggris tentang
diriku, seorang Fellow of the Royal College of Surgeons of England, turun
pangkat menjadi sopir ambulans tidak, lebih parah lagi, sopir truk.Aku senang
sekali menjadi sopir truk, tapi dalam masyarakat Inggris yang memerhatikan
kelas-kelas sosial, profesi dokter disegani, sedangkan sopir truk tidak.
Bahkan, aku pun bukan seorang sopir truk yang andal, karena aku dilahirkan
dengan kepekaan-arah yang rendah. Sering kali aku menyetir ke arah timur,
padahal sebenarnya aku hendak pergi ke arah barat, dan di Lebanon hal itu bisa
jadi sangat berbahaya. Suatu hari, aku mengambil jalan yang salah, menyusuri
jalan pesisir pantai. Barulah belakangan kusadari bahwa aku berada di
perlintasan nonsipil Garis Hijau. Kawasan ini dikenal sebagai "Perlintasan
Museum" dan hanya kendaraan-kendaraan yang mendapatkan izin khusus dari pasukan
militer yang dapat melaluinya. Tentu saja aku ditahan di pos pemeriksaan dan
diinterogasi. Beberapa saat kemudian, para tentara itu merasa yakin bahwa aku
memang benar-benar tersesat. Salah seorang dari mereka melompat masuk ke dalam
ambulans dan mengarahkanku kembali ke tempat yang ingin kutuju. Sejak saat itu,
aku berusaha selalu membawa kompas ke mana pun aku bepergian.
Mengendarai sebuah mobil baru di Beirut Barat bukanlah hal yang mudah.
Mengemudikan mobil ambulans yang tua dan bobrok tanpa lampu sein, atau spion,
serta persneling yang hampir copot, benar-benar sebuah tantangan. Kaca mobil
sudah lenyap entah ke mana, tetapi ajaibnya, alat pembersih kaca (wiper) masih
berfungsi dan akan bekerja setiap kali ada guncangan sekecil apa pun. Pertama
kali aku membawa ambulans itu keluar dari kamp Bourj
elBrajneh, para tentara Suriah di pos pemeriksaan tercengang melihat "barang"
ini melaju keluar dari kamp dan mereka berlari menghampirinya. Mereka tidak
melihat ada seorang sopir di dalamnya. Aku begitu kecil sehingga mereka tak
dapat melihatku, dan mengira bahwa barang rongsokan itu berjalan sendiri!
Ada hal lain lagi yang membuatku kesulitan mengmudikan ambulans itu. Orang-orang
Inggris terbiasa berkendaraan di sebelah kiri jalan. Di Beirut, Anda harus
berkendaraan di sebelah kanan tapi pada kenyataannya, Anda dapat melaju di mana
pun semau Anda. Ketika Anda mendekati sebuah persimpangan, jangan berhenti.
Bisa-bisa Anda menunggu seharian untuk dapat melintasinya. Terus saja mengemudi
sambil berharap semoga kendaraan-kendaraan lainlah yang berhenti. Ini semacam
tes ketahanan saraf. Tidak ada prinsip-prinsip mengemudi yang baik yang
diajarkan di Sekolah Mengemudi Inggris dapat diterapkan di sini. Jika lampu
menyala merah, Anda harus tancap gas dan melintasinya dengan cepat. Jika tidak,
sopir di belakang Anda akan berang. Para pejalan kaki biasa menyeberangi jalan
semaunya dan sering kali menyeberang begitu saja di depan mobil-mobil.
Aku biasanya berhenti di pos pemeriksaan Suriah dan menunjukkan kepada seorang
perwira intelijen surat izin mengemudi ambulans yang ditandatangani Mayor Walid
Hassanato, yang isinya seperti ini, "Doctora Swee diizinkan mengemudikan
ambulans keluar dari kamp dan masuk kembali dengan membawa lima tabung oksigen
dan lima tabung nitro-oksida serta tiga puluh kotak obat-obatan untuk Rumah
Sakit Haifa. Ia dan mobil ambulans tersebut harus diperiksa secara saksama
ketika keluar dan masuk kamp. Tanggal ..." Surat izin tersebut hanya berlaku untuk
satu kali perjalanan, dan aku harus mengajukan permohonan surat izin baru setiap
kali melakukan perjalanan mengambil berbagai kebutuhan rumah sakit.
Setelah perwira intelijen itu yakin bahwa surat izinku tersebut asli, ia akan
mengizinkan aku keluar kamp. Para tentara Suriah biasanya berjalan ke arah jalan
utama yang menuju bandara dan menghentikan lalu lintas di sekitarnya, sehingga
aku dapat langsung melintasi jalan utama tersebut tanpa menabrak kendaraan
lainnya. Kurasa, mereka tidak mempercayai kemampuan menyetirku maupun kelayakan
mobil rongsokan ini. Jika aku melaju ke arah utara melalui jalan utama bandara, setelah beberapa
belokan, aku akan segera tiba di Kola, jalan layang dekat Arab University. Itu
kalau mobil ambulans itu tidak terperosok ke lubang jalan bekas terkena bom dan
bannya terjebak di dalamnya. Biasanya, seseorang yang baik hati akan membantuku
mengeluarkan ambulans dari lubang itu. Dalam perjalanan, aku biasa melewati
Rumah Sakit Akka, Stadion Olahraga, jalan masuk kamp Shatila yang bernama
Fakhani, dan beberapa pos pemeriksaan. Selain berhenti di tiap pos pemeriksaan
untuk menunjukkan kartu identitasku, aku juga berhenti untuk merawat para
pasien, memeriksa mereka dan memberi resep obat, atau menulis surat pengantar
untuk ditunjukkan pada klinik PRCS di kamp Mar Elias.
Para tentara Amal, tentara Suriah, dan semua orang yang melintas di jalan raya
di daerah pinggiran Beirut bagian selatan dengan segera mengetahui bahwa sopir
yang mengemudikan mobil ambulans tua ini juga adalah seorang dokter. Mereka tahu
bahwa aku akan berhenti di berbagai pos pemeriksaan untuk memeriksa orang-orang
yang terserang penyakit kulit, batuk dan pilek, diare dan muntah, nyeri dan
ngilu. Mobil ambulans itu selalu membawa banyak persediaan "obat-obatan untuk
pos pemeriksaan", dan terkadang aku akan melakukan perjalanan tambahan dan saat
kembali, biasanya aku mendapat lebih banyak lagi permintaan untuk pemeriksaan.
(Untuk menuju kamp Shatila, misalnya, aku harus melalui semua pos pemeriksaan
Amal. Ini berarti aku bisa saja harus menemui keluarga para tentara Amal di
sepanjang perjalananku. Awalnya, para tentara Amal menghentikan mobilku dan
mengancamku dengan mesin peluncur roket mereka, tapi sesaat kemudian mereka
membawa anak-anak atau istri-istri mereka untuk kuperiksa. Lalu, pasukan Suriah
juga melakukan hal yang sama.)
Jika cuacanya tidak terlalu panas, aku mengenakan sehelai kerudung ala Hizbullah
yang lebar di sekujur kepalaku. Ini menjadi tanda bagi setiap orang bahwa aku
seorang yang beriman kepada Tuhan, dan bukan orang asing yang menyukai per -
gaulan bebas. Ini membuat para pria berhenti menanyakan namaku, dan apakah aku
sudah menikah atau sedang mencari pacar. Tak seorang pun berani menatapku.
Jalan raya yang membentang dari Kola ke kamp Mar Elias selalu mengalami
kemacetan. Jadi, untuk menghemat waktu, aku mengambil jalan-jalan tikus di sisi
jalan yang salah. Jika seorang tentara menghentikan mobilku karena menyetir di
jalur yang salah, aku cukup berkata, "Maa arif, ana ajnabiya." (Saya tidak tahu,
saya orang asing di sini.)
Kamp Mar Elias menjadi semacam markas besar bagiku karena empat ton obat-obatan
dan peralatan bedah disimpan di gudang PRCS di sana. Mobil ambulansku berukuran
kecil dan Mayor Walid tak pernah mengizinkanku untuk memuati banyak barang di
dalamnya. Pengepungan masih berlangsung dan pasukan Amal setiap kalinya hanya
membolehkan sedikit obat-obatan dibawa masuk ke dalam kamp. Mereka sebenarnya
sangat jengkel kepada pasukan Suriah yang telah mengizinkanku membawa barang-
barang keluar masuk kamp. Sehingga, mereka pernah mengancam akan menembakku saat
melintasi wilayah yang dikuasai pasukan Amal. Namun, aku percaya bahwa hidupku
ada di tangan Tuhan, dan aku berusaha untuk tidak takut. Aku juga yakin bahwa
pasukan Suriah akan bertindak tegas jika aku terbunuh dalam perjalanan atas
seizin mereka. Bahkan, saat keamanan di sekitar kamp sangat buruk dan terjadi
pertempuran, para bawahan Mayor Walid sering kali mencegahku untuk
pergi mendekati kamp. Setelah keadaan membaik, mereka akan memerintahkanku
melanjutkan perjalanan. Setelah ambulans terisi dengan persediaan obat-obatan dari kamp Mar Elias, aku
akan pergi menuju kamp-kamp lain, baik kamp Shatila maupun Bourj elBrajneh.
Terkadang, ketika ambulans membawa tabung oksigen, aku menjadi sangat khawatir,
karena sebutir peluru yang menembus tabung tersebut akan membuat seisi mobil
meledak. Untungnya, belum pernah seorang pun mencobanya. Di pos pemeriksaan
kamp, aku biasanya berhenti, turun, dan menunjukkan surat izinku kepada seorang
perwira Suriah. Lalu, setiap kotak obat harus diturunkan dari ambulans, dibuka,
dan diperiksa. Pintu-pintu ambulans digedor, roda-roda dan jok kursi juga
diperiksa. Para wanita penghuni kamp lantas keluar dan menggotong kotak-kotak
obat, kantong-kantong infus, dan peralatan bedah ke rumah sakit. Para wanita
Palestina harus menggotong barang-barang ini dengan tangan mereka sendiri,
sebagaimana yang disebutkan dalam perjanjian gencatan senjata dan jumlah barang
yang diizinkan. Cara ini sangat tidak efisien untuk melakukan berbagai hal, dan
terkadang para wanita itu harus menghabiskan waktu dua sampai tiga jam di pos
pemeriksaan. Namun, ini sudah jauh lebih baik daripada kondisi saat pengepungan
kamp, dan kami merasa berterima kasih atas segala upaya yang mereka lakukan demi
ini semua. Kehidupan di dalam kamp yang tengah dikepung masih memilukan. Sementara Kota
Beirut terang benderang pada malam hari dengan lampu-lampu listrik, kamp-kamp
pengungsi Palestina masih gelap total. Anak-anak sering kali tersandung ketika
melewati puing-puing dan kabel-kabel yang malang melintang di tengah kegelapan
sehingga tumit mereka patah. Tidak ada listrik. Bahkan batu baterai dan aki
tidak diizinkan dimasukkan ke dalam kamp. Generator-generator listrik di dalam
kamp sudah usang dan terlalu sering dipakai sehingga perlahan-lahan harus
dipensiunkan, membuat hidup menjadi semakin sulit. Warga Palestina berhasil
mendapatkan atau "menyedot" listrik dari rumah-rumah keluarga Amal yang tinggal
di dekat kamp. Mereka tak pernah memberitahuku bagaimana atau kapan ini
dilakukan. Namun, aku sering diminta untuk membawakan sekian meter kabel ke kamp
sehingga mereka dapat mengalirkan listrik dari bangunan-bangunan milik Amal ke
klinik-klinik serta rumah sakit-rumah sakit.
Aku pernah mendapat kesulitan karena masalah listrik ini. Ada pertukaran pasukan
Suriah, dan Alberto membawa letnan yang baru datang untuk melihat-lihat keadaan
Rumah Sakit Haifa. Sebagai orang baru, ia terperangah melihat keadaan di kamp
yang sangat parah dan menanyakan jika ia dapat melakukan sesuatu untuk membantu
kami. Pengelola rumah sakit menanyakan apakah generator mereka dapat diangkut ke
luar kamp untuk diperbaiki. Dengan adanya listrik, rumah sakit setidaknya
memiliki penerangan dan orang-orang di sana dapat
membersihkan dinding-dindingnya. Sang letnan Suriah menjawab bahwa ia tak dapat
mengizinkannya. Namun, tiba-tiba ia memiliki ide cemerlang untuk membolehkan
Rumah Sakit Haifa "menyedot" listrik dari markas Suriah yang jaraknya sekitar
setengah kilometer. Aku diminta untuk mendapatkan satu kilometer kabel campuran
yang terdiri dari empat kabel individual, berdiameter dua puluh lima sentimeter,


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dipergunakan pihak rumah sakit menyedot listrik dari markas Suriah.
Namun, saat kami tengah menjalankan rencana ini, Mayor Walid kembali dari
Damaskus dan menghentikan upaya kami ini. Kami semua dikumpulkan dan harus
menghadapi amarahnya. Rumah Sakit Haifa masih berada dalam kegelapan untuk
beberapa waktu lamanya. Amarah sang Mayor membuatku khawatir, karena ia bisa
dengan mudahnya membatalkan izin mengemudikan mobil ambulans dan pengangkutan
obat-obatan ke dalam kamp. Sejauh ini, ia telah membolehkanku melakukan banyak
hal demi warga Palestina, yang dianggapnya merupakan "tugas kemanusiaan".
Mayor Walid menanyaiku beberapa kali, apakah aku tengah berusaha membantu para
warga Palestina "pro-Arafat". Pemerintah Suriah saat itu memusuhi pemimpin PLO,
Yasser Arafat. Namun, aku mengatakan bahwa aku berada di sini untuk membantu
semua warga Palestina. Bahkan, aku juga mengatakan kepadanya, jika aku bersedia
menolong tentara Amal yang telah menyerang kamp maka jelaslah bahwa tidak
mungkin aku bersikap diskriminatif dan berpihak kepada warga Palestina pendukung Arafat. Hal itu
adalah masalah internal antara Suriah dan Palestina, dan aku tak punya kekuasaan
bahkan hak untuk mencampurinya. Jawaban itu sangat memuaskan Intelijen Suriah.
Akhirnya, para perwira Suriah memberikan izin kepada kami untuk membawa keluar
generator dari Rumah Sakit Haifa untuk diperbaiki. Namun, sebenarnya generator
tersebut sudah tak dapat diperbaiki lagi. Para perwira Suriah itu tahu bahwa
sebenarnya aku mengeluarkan mesin itu untuk membuangnya, dan bahwa aku akan
membawa masuk generator yang baru ke dalam kamp. Namun, mereka merasa sangat
muak terhadapku yang membuntuti mereka sepanjang siang dan malam untuk
mendapatkan izin mengeluarkan mesin itu dari kamp.
Kazim Hassan Badawi, temanku yang menjabat sebagai pengelola PRCS di luar kamp,
diminta dr. Utsman membantuku mengurusi generator yang rusak tersebut. Kazim
bertubuh tinggi, berkulit cerah, serta bermata cokelat. Ia adalah seorang ahli
statistik, tetapi pelayanannya terhadap PRCS sungguh-sungguh hebat. Kazim dan
aku pertama kali bertemu pada 1985 di Rumah Sakit Haifa ketika jam makan siang.
Pada saat kami sedang bersantap, tiba-tiba ia mencopot kausnya dan menunjukkan
padaku parut di perutnya. Alison, yang baru saja tiba di Rumah Sakit Haifa dan
tengah menyesuaikan diri, tercengang melihatku yang mencoba memeriksanya
sementara mulutku masih penuh makanan. Pada 1987, Kazim telah dipindahkan dari
Rumah Sakit Haifa untuk bekerja di kamp Mar Elias yang tidak dikepung oleh pasukan
musuh. Kami pergi pagi-pagi sekali untuk menyewa sebuah forklift yang akan kami gunakan
mengeluarkan generator usang tersebut dari Rumah Sakit Haifa. Kami lalu kembali
dengan membawa generator baru. Kami telah menurunkan generator itu dari forklift
tersebut dan baru saja akan meninggalkan rumah sakit tatkala seseorang datang
dengan membawa pesan bahwa Mayor Walid ingin bertemu dengan kami. Kami menuju
kantornya yang terletak di pinggiran kamp. Tak jauh dari rumah sakit, dua
perwira intelijen Suriah menahan kami dan menangkap Kazim. Mereka membawanya
pergi. Kami terlalu senang karena telah berhasil mengganti generator yang lama,
sampai-sampai kami lupa bahwa Kazim adalah seorang pria Palestina. Amat
berbahaya bagi seorang pria Palestina berkeliaran di sekitar kantor pasukan
intelijen Suriah. Kami tidak menyadari bahwa ini adalah sebuah jebakan. Sejak
hari itu, aku tak pernah lagi berjumpa dengan Kazim. Aku mengetahui dari seorang
kawannya bahwa ia dipukuli, dituduh sebagai pendukung Arafat, dan digiring ke
penjara di ibu kota Suriah, Damaskus. Pada waktu itu, istrinya yang orang
Lebanon tengah hamil enam bulan, dan kemudian ia melahirkan anak pertama mereka.
Peristiwa itu membuatku terguncang, sampai aku benar-benar tak sanggup bekerja
selama beberapa hari. Tetapi, seorang wanita pengacara Palestina kenalanku
mengajakku bicara. Ia mengatakan
kepadaku bahwa aku harus berhenti memikirkan Kazim dan melanjutkan tugasku
memasok berbagai persediaan ke kamp. Agak lebih muda daripada Ummu Walid dan
berkepribadian sangat kuat, kawanku itu menatapku yang tengah duduk muram dan
berkata, "Swee, aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi kamu harus berhenti
menyalahkan dirimu sendiri. Para tentara Suriah itu melakukan hal ini, pertama
karena mereka memang menginginkan Kazim, dan kedua karena mereka ingin menekanmu
supaya kamu berhenti bekerja untuk rakyat kami. Bekerja dengan kami, orang
Palestina, kamu harus bisa menyusut hingga sebesar ini." Ia menyatukan jempol
dan jari telunjuknya. "Dan pada saat-saat tertentu, kamu harus menjadi sebesar
ini," dan ia membentangkan kedua tangannya selebar-lebarnya. Ia memelukku erat-
erat, lalu meneruskan, "Banyak sekali pekerjaan yang bisa kamu lakukan, dan kamu
harus melanjutkan tugas itu."
Tentu saja ia benar. Aku berusaha bangkit kembali dan melanjutkan tugas mengisi
ambulans rongsokan dengan makanan dan obat-obatan untuk kamp, membuang jauh-jauh
peristiwa mengerikan itu di belakangku. Namun, terkadang ketika aku berjalan
melewati kantor Kazim di kamp Mar Elias, kata-katanya terngiang-ngiang di
telingaku, "Bisakah kamu menungguku sampai aku kembali dari kantor Walid
Hassanato?" Aku pergi ke kantor intelijen militer Suriah beberapa kali untuk meminta
penjelasan. Tidak ada jawaban.
Tugas lain yang sebenarnya tidak kusukai adalah mengurus kepergian para korban
warga Palestina ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan khusus. Pertama,
hanya segelintir warga Palestina penghuni kamp yang mempunyai dokumen
perjalanan, mereka hanya membawa kartu identitas pengungsi bertuliskan nama,
tempat, dan tanggal lahir. Kartu identitas tersebut harus diserahkan kepada
pemerintah Lebanon supaya dibuatkan dokumen perjalanan yang layak. Akan tetapi,
prosedurnya sangat lama dan rumit, kecuali jika dipercepat dengan cara menyogok
para pejabat Lebanon. Setelah dokumen perjalanan diperoleh, masalah selanjutnya adalah mendapatkan
visa. Kebanyakan negara Barat enggan memberi visa kepada para warga Lebanon-
Palestina, dan mereka baru akan membuatnya jika ada permintaan dari rumah sakit
atau pusat spesialis, bersama-sama dengan jaminan uang. Oleh karena sistem
pelayanan pos di Lebanon telah hancur, bahkan sebuah surat rekomendasi sederhana
pun harus dikirim melalui kurir.
Ketika visa telah jadi, seseorang aku, misalnya harus mendatangi kantor
Intelijen Suriah dengan membawa salinan catatan medis dan fotokopi dokumen
perjalanan serta visa. Para pejabat di sana akan memastikan bahwa pasien yang
mendaftarkan diri untuk mendapatkan perawatan di luar negeri tidak termasuk
dalam daftar orang-orang yang terlibat kegiatan pro-Arafat. Ini akan memakan
waktu beberapa hari, dan jika si pasien dinyatakan "bersih", izin tersebut akan
diberikan. Jika si pasien berasal dari kelompok politik yang berseberangan, aku akan
dipanggil menghadap ke kantor Intelijen Suriah dan diberi tahu untuk tidak
menolong para pendukung Arafat melarikan diri. Sering kali aku akan dilepas
begitu saja karena aku orang asing dan hanya tahu sedikit tentang kelompok-
kelompok politik di Palestina. Terkadang, sang pejabat intelijen Suriah akan
terheran-heran terhadap ketidak tahuanku sehingga ia akan berkata, "Dengar,
Doctora Swee, kami semua ingin memudahkan upaya Anda menolong para korban. Tapi
kami melihat bahwa Anda sedang dimanfaatkan oleh para pendukung Arafat, dan itu
sangat buruk." Aku biasanya mendengarkan ceramah panjang itu dengan penuh
perhatian, melalui penerjemahku yang merangkap sopir, lalu akhirnya meminta maaf
sedalam-dalamnya karena telah bersikap naif.
Kadang-kadang, setelah ceramah yang berkepanjangan itu, para perwira Suriah
bersedia memberikan izin bahkan bagi para pendukung Arafat untuk meninggalkan
kamp. Misalnya, Mayor Walid pernah mengizinkan empat orang yang telah diamputasi
kakinya untuk keluar dari kamp Bourj elBrajneh dan mendapatkan perawatan di
Eropa. Ia menjelaskan bahwa walaupun mereka itu pendukung Arafat, mereka
bukanlah ancaman terhadap keamanan di sini, karena mereka tak punya kaki. Atas
alasan kemanusiaan, ia memperbolehkan mereka pergi.
Setelah menerima izin tertulis dari pihak intelijen, kami harus mengurus tiket
pesawat. Para keluarga pasien diberi tahu, lalu kami melapor kepada
Palang Merah Internasional supaya mengirim salah satu utusan ke kamp dan
mengangkut si pasien untuk dibawa ke bandara. Barulah ketika pesawat lepas
landas, aku dapat meyakinkan diriku bahwa para pasienku telah berangkat dengan
selamat, karena selalu terdapat kemungkinan mereka diculik atau ditawan di salah
satu pos pemeriksaan di sepanjang jalan menuju bandara.
Barulah setelah pesawat MEA pergi, aku bisa mengembuskan napas lega dan kembali
ke kamp, ditemani para kerabat yang meratapi kepergian para pasien tersebut.
Sisa anggota keluarga yang masih berada di sini biasanya tidak punya dokumen
perjalanan maupun visa, apalagi uang untuk membiayai mereka mendampingi si
pasien ke luar negeri. Sering kali terpikir olehku bahwa mereka tak akan bertemu
satu sama lain dalam waktu yang lama.
Bilal Chebib dan Samir Ibrahim al-Madany adalah dua anak laki-laki yang cacat
akibat terkena tembakan penembak jitu pada Desember 1986. Bilal berasal dari
Bourj elBrajneh dan merupakan pasien dr. Pauline Cutting. Samir berkebangsaan
Lebanon. MAP menerapkan kebijakan untuk tidak memihak kelompok mana pun dan
berusaha menolong baik orang-orang Palestina maupun Lebanon secara adil, jika
memungkinkan. Pusat Penelitian Tulang Belakang di Rumah Sakit Stoke Mandeville
di Inggris menawarkan diri untuk merawat kedua anak ini. Pauline menghubungiku
dari London pada akhir April 1987 dan memintaku untuk mengirim bocah-bocah itu
karena segala persiapan di Inggris telah rampung
dikerjakan untuk menerima kedatangan mereka.
Namun, meskipun aku telah berusaha mempercepat proses di Beirut, aku dan anak-
anak itu tak dapat berangkat sebelum 4 Juni 1987. Walaupun kedua anak itu
berumur di bawah sepuluh tahun, aku masih harus melalui semua prosedur
birokratis yang sama. Oleh karena mereka berdua lumpuh dari pinggul ke bawah,
aku harus terbang ke Inggris bersama mereka. Kami semua dijadwalkan pergi pada 2
Juni. Akan tetapi, Bandara Internasional Beirut ditutup pada hari itu gara-gara
terjadi pembunuhan Perdana Menteri Lebanon, Rashid Karami.
Kantor MAP kami di London mengirimiku sebuah pesan teleks yang panjang yang
mengeluhkan kerepotan yang kutimbulkan akibat tertundanya keberangkatan kami.
Ketika menerima pesan tersebut, aku merobek-robeknya karena frustrasi. Setelah
terjadinya pembunuhan terhadap Rashid Karami, kemungkinan akan pecah lagi perang
sipil. Setiap orang di sini bersikap waspada, termasuk para tentara Suriah.
Tentunya aku tak dapat berbuat apa-apa karena bandara ditutup. Untunglah situasi
membaik setelah empat puluh delapan jam, dan aku pergi bersama anak-anak itu
pada 4 Juni. Aku harus mengendarai mobil ambulans rongsokan itu sambil membawa
bocah-bocah tersebut serta kursi roda mereka ke Bandara Internasional Beirut.
Kami tiba di Bandara Heathrow pada malam hari, dan aku merasa lega karena dapat
menyerahkan kedua anak itu ke tangan Pauline.
Aku kembali ke Beirut sekali lagi. Musim panas
telah berlalu dan kamp masih tetap setengah diduduki. Para pria Palestina di
dalam kamp masih tidak diperbolehkan meninggalkan kamp tanpa izin khusus. Jika
berada di luar, mereka tak dapat kembali tanpa mendapatkan izin khusus. Para
pejabat PCRS diancam dan diusik. Suatu hari, enam orang pria bersenjata
berpakaian sipil memasuki kantor Ummu Walid di Rumah Sakit Akka. Mereka mengunci
pintu dan mengancamnya dengan senjata mereka. Salah seorang dari mereka berkata,
"Ummu Walid, kami mengenal Anda, Anda adalah pendukung Arafat." Di dalam
kantornya tergantung sebuah foto besar bergambar besar Yasser Arafat mungkin
satu-satunya foto yang terpampang terang-terangan di Beirut.
Ia menjawab, "Aku orang Palestina. Jika aku tidak mendukung Arafat, lantas siapa
yang memimpin PLO, siapa lagi yang dapat kudukung" Kalian semua orang Suriah
kalian mendukung Presiden kalian, Hafiz al-Assad. Jika kalian bersedia mendukung
Arafat, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk mendukung Presiden kalian."
Para pria bersenjata itu kemudian meninggalkannya. Beberapa minggu kemudian, ia
ditawan dan alat-alat kantornya disita. Oleh karena ia adalah Ketua PRCS
Lebanon, mereka tak dapat menyiksanya secara fisik. Akan tetapi, mereka menciduk
dr. Amir Hamawi dokter Lebanon yang kami cintai, yang pernah mengampu Rumah Sakit Gaza. Mereka membawanya dan meninju kedua matanya.
Namun, Ummu Walid bergeming dan mengatakan kepada
mereka bahwa seharusnya mereka malu karena menyiksa seorang dokter. Ia
dibebaskan dan dikembalikan ke kantornya di Rumah Sakit Akka pada keesokan
harinya untuk melanjutkan pekerjaannya demi PRCS di Lebanon. Penawanannya tidak
membuatnya goyah sedikit pun.
Seiring bulan September semakin dekat, mental penduduk kamp merosot lebih rendah
daripada sebelumnya. Para warga Palestina di kamp Shatila mulai melakukan
demonstrasi menentang pengepungan kamp. Pengepungan ini telah berlangsung lebih
dari dua tahun, dan orang-orang tak sanggup lagi bertahan. Ketika pemerintah
Suriah memberlakukan gencatan senjata beberapa bulan sebelumnya, harapan-harapan
yang muncul dari benak mereka sangat tinggi. Para penduduk kamp mengira dapat
menata kembali hidup mereka. Tapi tidak. Sekolah-sekolah tetap ditutup. Pasukan
Amal melarang mereka membangun kembali rumah-rumah mereka dan melarang
pengangkutan bahan-bahan material ke dalam kamp. Dua tahun penyerangan dan
pengepungan telah menghancurkan institusi-institusi sosial seperti sekolah bagi
anak-anak, pekerjaan bagi para pria dewasa, dan kehidupan rumah tangga bagi para
wanita, serta telah mengubah kamp menjadi penjara dengan kehidupan yang statis
karena tak ada mobilitas.
Di dalam kamp tak ada masa depan, harapan, keamanan, dan tawa. Keadaan ini
pastilah sangat berat, sampai-sampai para warga Palestina pernah berkata
kepadaku, "Kami merasa seolah-olah kami
tak punya apa-apa lagi untuk diberikan."
Setiap hari, kami melihat lebih banyak kasus depresi dan ketegangan mental.
Suatu hari, seorang dokter Palestina memasuki rumah sakit dan berulang-ulang
memukul dinding dengan kepalan tangannya, lalu berteriak, "Kenapa mereka
membiarkan kami hidup begini" Kami ingin tahu, berapa lama seseorang akan mati
dalam situasi seperti ini!" Seperti orang-orang lainnya, ia tak dapat
meninggalkan kamp sejak dua setengah tahun yang lalu. Ia bertugas selama empat
peperangan di kamp, dan merupakan salah seorang yang selamat dari serbuan
pasukan Israel pada 1982 dan pembantaian Sabra-Shatila. Ia kehilangan
keluarganya pada peristiwa pembantaian Tel al-Zaatar.
Syahadah, seorang wanita perawat Palestina yang lincah dan menarik, adalah salah
seorang teman baruku yang kukenal pada 1987. Ia menggendong keponakan laki-
lakinya untuk menemuiku pada suatu hari. Bocah malang itu telah kehilangan kedua
orangtuanya pada pembantaian 1982. Ia sering terbangun dengan rasa takut pada
tengah malam karena memimpikan ibunya. Sambil menangis, ia mengatakan bahwa ia
tak dapat mengingat rupa kedua orang tuanya, kecuali bahwa ibunya sangat cantik.
Syahadah berusaha keras melipur rasa kehilangan keponakannya itu dengan cara
menjadi ibu walinya. Beberapa hari kemudian, aku mendengar bahwa para tentara itu juga telah menciduk
Syahadah sehingga bocah laki-laki itu kehilangan satu-satunya keluarganya yang
masih ada. Meskipun begitu, ketika mengantar para perawat Rumah Sakit Shatila
membeli makanan untuk persediaan rumah sakit, aku harus mengagumi keteguhan dan
kemampuan mereka untuk berpikir jauh ke depan. Misalnya, pernah mereka mendapati
bahwa kacang kalengan yang dipesan pihak rumah sakit dilabeli, "TANGGAL
KEDALUWARSA 1989". Gadis-gadis itu berkeberatan dan menolak menerima kaleng-
kaleng tersebut, seraya berkata mereka hanya bersedia menerima makanan yang
bertahan dalam jangka waktu lima tahun. Dua tahun tidak cukup, secara mental
mereka telah bersiap menghadapi serangan berikutnya. Tidak ada sedikit pun
tanda-tanda menyerah, dan mereka berusaha bertahan untuk waktu yang lebih lama.
[] Dua Puluh Sembilan September 1987 adalah peringatan lima tahun pembantaian Sabra dan Shatila.
Keadaan di kamp masih tetap suram, dan seiring musim dingin di Lebanon akan
datang, kami semua mengalami kembali penderitaan yang pernah kami alami
sebelumnya. Tim MAP telah bertambah dengan kedatangan para sukarelawan dari Malaysia. Dr.
Alijah Gordon, seorang warga Malaysia asli Amerika, telah menggalang kampanye
nasional untuk pencarian para sukarelawan di Malaysia. Melalui usahanya yang tak
kenal lelah, para penduduk Malaysia dapat memberikan dukungan mereka bagi para
warga Palestina di Lebanon dengan cara mengirimkan bantuan obat-obatan serta
sukarelawan. Dalam beberapa minggu pelaksanaan kampanyenya, Alijah telah
merekrut dan mengirim empat orang sukarelawan medis untuk bekerja dengan kami di
kamp. Kini, tidak ada lagi kekurangan tenaga sukarelawan medis asing bagi kamp
pengungsi Palestina di Lebanon. Sampai tahap ini, sebanyak tujuh puluh orang
dari sepuluh negara telah direkrut MAP. Media massa di Barat juga telah
menyiarkan banyak sekali liputan tentang penderitaan warga Palestina. Baik
Pauline Cutting maupun Susan Wighton telah menerima penghargaan dari Ratu Elizabeth atas pelayanan
mereka terhadap orang-orang Palestina dan atas keberhasilan mereka bertahan
selama masa pengepungan. Namun, bagi para warga Palestina di kamp-kamp di Beirut, keadaan masih tak
menentu. Mereka masih tak punya air, listrik, ataupun bahan-bahan material untuk
menutupi lubang-lubang besar di dinding. Mereka tak punya masa depan dan
keamanan, anak-anak tak bisa bersekolah, para pria dewasa tak punya kebebasan
untuk bepergian. Jika rumah-rumah di kamp tidak diperbaiki dan dibangun kembali,
musim dingin yang akan datang merupakan bencana bagi mereka. Bagi mereka yang
menghindari kesengsaraan di kamp dengan berteduh di gudang-gudang kosong,


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

garasi-garasi, tangga-tangga rumah, atau tepian jalan raya di Lebanon, musim
dingin merupakan masa yang sangat suram. Para wanita yang mencoba menyelundupkan
semen dan bahan material dalam kantong makanan akan ditahan. Situasi ini adalah
jalan buntu pasukan Suriah tak mampu menekan pasukan Amal untuk memperbolehkan
bahan-bahan material memasuki kamp. Aku berpikir untuk membawa kantong-kantong
semen dengan berlabelkan "tepung" supaya dapat dimasukkan ke dalam kamp Shatila.
Namun, ketika melihat dua orang gadis Palestina yang punya gagasan serupa
diperintahkan memakan semen di pos pemeriksaan, aku membatalkan ide tersebut.
Susan Wighton kembali ke kamp Bourj elBrajneh. Meskipun menerima berbagai
ancaman yang membahayakan nyawanya dan disarankan untuk tidak kembali, ia tetap datang
untuk melanjutkan program pengobatan preventif di dalam kamp. Kembalinya Susan
membangkitkan moral penduduk kamp yang sedang merosot. Ia membawa medali yang
diterimanya dari Ratu dan meletakkannya di dalam masjid kamp Bourj elBrajneh. Ia
berkata, "Di situlah seharusnya medali itu berada."
Pada awal September, aku berencana kembali ke Eropa, untuk membuat publikasi
tentang kamp dalam rangka peringatan lima tahun pembantaian Sabra dan Shatila.
Sebelum pergi, aku menulis sebuah seruan:
Para korban yang selamat dari pembantaian di kamp Sabra dan Shatila, kini lima
tahun setelah invasi Israel meminta kepada Anda semua untuk memberikan bantuan.
Kedua kamp pengungsi ini pernah menampung sebanyak 80.000 orang warga Palestina.
Sejak 1982, kamp-kamp itu berturut-turut menghadapi invasi Israel, Pembantaian
Sabra-Shatila, dan serangan selama dua tahun terakhir. Kini, kamp Sabra telah
hancur dan kamp Shatila tinggal puing-puing. Sebagai tambahan, banyak yang mati
terbunuh, terluka, atau hilang, dan ribuan orang telah mengungsi.
Kini, pada 1987, sebanyak 30.000 orang warga Palestina hidup di sisa-sisa
reruntuhan kamp Shatila dan wilayah sekitarnya. Mereka kehilangan tempat
tinggal, hidup entah di tepian jalan atau mendekam di antara reruntuhan dan
puing-puing kamp Shatila. Ketiadaan air, listrik, obat-obatan, bahkan makanan,
sekaligus rasa takut akan terjadinya lagi serangan atas kamp, telah membuat
kehidupan menjadi benar-benar tak terperikan.
Kini orang-orang ini harus menghadapi cuaca dingin, lembap, dan musim dingin
yang ganas tanpa rumah, kehangatan, dan masa depan. Ini adalah Tahun
Internasional Perlindungan bagi para penduduk yang kehilangan rumah mereka.
Tulisanku terhenti oleh sebuah suara, "Doctora Swee ...." Suara itu membawaku
kembali ke dunia nyata aku berada di dalam sebuah rumah sakit yang telah
dihantam 248 tembakan meriam selama serangan terakhir. Bangsal-bangsalnya
ditembus angin dan sinar matahari karena ada lubang-lubang besar bekas bom.
Rumah sakit ini tak punya pasokan air, listrik, dan mengalami banjir ketika
hujan. "Ada apa?" tanyaku.
Aku berbalik, dan melihat seorang gadis cilik delapan tahun terbaring di atas
ranjang, dengan perban yang baru diganti oleh seorang perawat Palestina. Kedua
kakinya terkena luka bakar yang parah dan hampir-hampir seluruh kulit serta
tulang keringnya terkelupas. Ia telah menunggu selama berminggu-minggu supaya
dapat dipindahkan ke Eropa untuk mendapatkan perawatan khusus. Saat ia
memanggilku, kusangka ia ingin tahu kapan ia dapat berangkat.
Betapa kelirunya aku! Ia hanya ingin men -
ciumku. Saat membungkuk ke arah ranjangnya dan merengkuh kepalanya dengan
tanganku, aku memandang betapa cantiknya ia. Alih-alih mengamati luka bakar yang
parah di sekujur kakinya, aku menatap kedua bola matanya yang berwarna gelap dan
indah, serta rambut hitamnya yang keriting. Meskipun menderita, wajahnya tetap
menyiratkan rasa belas kasih dan sayang. Ia benar-benar seorang gadis cilik dari
kamp Shatila. "Ibu akan datang menemuiku besok?"
"Mungkin, insya Allah," jawabku. Aku tahu itu bohong. Besok aku akan berangkat
ke Eropa untuk melakukan perundingan, mungkin dalam sebuah ruang konferensi yang
mewah dengan kaca-kaca jendela yang besar dan meja-meja yang dipoles, berbicara
kepada para politisi yang berwibawa dan para pengucur dana yang akan menjelaskan
alasan mengapa mereka tak dapat membantu kami. Meskipun begitu, aku harus tetap
mencoba membujuk mereka. Setelah lima tahun bergelut dalam masalah ini, aku
telah menjadi seorang yang bermuka tebal dan keras hati.
Aku tak pernah mengucapkan selamat tinggal. Di dalam kamp-kamp pengungsi
Palestina, hidup, mati, dan perpisahan bercampur aduk sehingga kami tak pernah
mengucapkan selamat tinggal. Para penduduk hidup dengan harapan akan masa depan
yang lebih baik. Ungkapan yang menggambarkan harapan mereka adalah, "Kami tengah
menunggu. Tahun depan kami akan berada di Jerusalem."
Ketika sedang berada di Eropa, mengusahakan
publikasi tentang keadaan di kamp, aku bertemu Yasser Arafat, pemimpin
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Ia datang untuk berpidato dalam
konferensi di Jenewa yang diikuti sebanyak 240 LSM. Setelah itu, para peserta
konferensi diundang ke sebuah acara resepsi yang digelar oleh PLO. Seperti
peserta lainnya, aku juga menghadiri resepsi tersebut. Saat berlangsungnya acara
yang dipadati oleh para perwakilan LSM Eropa itu, Yasser Arafat menganugerahkan
kepada beberapa orang Bintang Palestina, penghargaan tertinggi yang diberikan
PLO. Aku tak tahu sama sekali harus berbuat apa ketika namaku tiba-tiba
dipanggil Ketua PLO tersebut ingin memberikan penghargaan kepadaku! Bagaimana
bisa aku menerima penghargaan semacam itu, padahal banyak sekali warga Palestina
yang kukenal lebih pantas menerimanya daripada aku" Banyak sekali teman
Palestinaku yang memberikan lebih banyak daripada yang pernah kubayangkan bisa
kuberikan. Aku tak beranjak. Ketika namaku dipanggil untuk yang ketiga kalinya,
aku harus beranjak menuju kursi sang Ketua untuk menghindari rasa malu.
Aku merasa sangat terhormat, tapi juga merasa rendah diri, dan berkata
kepadanya, "Sebagaimana halnya orang-orang Palestina, saya juga berasal dari
sebuah pergerakan yang tak memiliki pahlawan individual. Kehormatan yang Anda
berikan kepada saya ini seharusnya dipersembahkan kepada rakyat Palestina yang
gagah berani yang kini tengah dikepung di dalam kamp pengungsi di Lebanon,
para syuhada Palestina, kepada Nahla, Nabila, dan Nidal, dan banyak lagi lainnya
Pusaka Rimba Hijau 3 Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik Darah Dan Cinta Di Kota Medang 17
^