Pencarian

Expected One 2

The Expected One Karya Kathleen Mcgowan Bagian 2


melukis itu?" Rachel mengangguk. "Bakat seni mengalir dalam keluargaku. Nenekku seorang
pematung. Ia telah membuat beberapa patung Maria Magdalena menggunakan tanah
liat. Aku sering bertanya apakah karena itu Maria muncul kepada kami karena kami
memiliki suatu cara untuk mengekspresikannya?"
"Atau mungkin karena orangorang seni lebih terbuka," Maureen menyuarakan
pikirannya. "Karena otak kanan?"
"Mungkin saja. Kupikir setidaknya kombinasi keduanya. Tapi ada satu lagi yang
ingin aku ceritakan. Aku percaya sepenuh hati bahwa Maria ingin didengar. Jumlah peristiwa
penampakannya meningkat di McLean ini selama satu dasawarsa terakhir. Ia
menghantuiku selama setahun belakangan, dan aku tahu bahwa aku harus melukisnya
agar bisa menemukan kedamaian. Setelah potret itu selesai dan dipajang, aku bisa
tidur lagi. Bahkan sejak itu aku belum pernah melihatnya lagi."
f Kembali ke kamar hotelnya malam itu, Maureen mengaduk anggur merah di gelasnya,
matanya menerawang. Ia melirik ke televisi, memilih saluran kabel, berusaha keras tidak
membiarkan pembawa acara bincang-bincang yang sangat konservatif itu
memengaruhinya. Meski dari luar terlihat kuat, Maureen membenci konfrontasi.
Bahkan memikirkan kemungkinan mereka sedang
membicarakan karyanya saja sudah menyakitkan. Menyaksikan acara seperti itu
seolah sedang menonton kecelakaan mobil yang menyedihkan ia tak bisa mengalihkan
pandangan, betapapun tak menyenangkannya pemandangan di hadapannya.
Pembawa acara mengenalkan tamu-tamu terhormatnya, dilanjutkan dengan pertanyaan,
"Bukankah ini hanya satu lagi serangan di antara deretan panjang serangan
terhadap Gereja?" Teks Uskup Magnus O'Connor muncul di bawah sebuah wajah tua seorang pendeta yang
marah saat ia menjawab dalam aksen yang tak salah lagi adalah Irlandia. "Tentu
saja. Selama berabadabad, kami telah melewati berbagai serangan dari orangorang
sesat yang berusaha merusak keyakinan jutaan umat demi kepentingan pribadi
mereka. Para ekstremis feminis ini harus menerima kenyataan bahwa semua rasul
yang diakui adalah lelaki."
Maureen menyerah. Ia tidak memiliki energi untuk melayani urusan ini sekarang ia
baru saja menjalani hari yang sangat panjang dan emosional. Maureen
membungkam pejabat gereja itu dengan menekan salah satu tombol remote control,
sambil berkhayal seandainya saja ia bisa melakukan tindakan yang sangat mudah
itu dalam kehidupan nyata.
"Masa bodoh, Yang Mulia," gerutunya, sambil berjalan ke tempat tidur.
f Seberkas cahaya dari luar kamar hotel menyinari meja kecil di samping tempat
tidur. Cahaya itu juga menerangi pernak-pernik tidur Maureen : segelas anggur
merah separuh kosong dan sekotak pil tidur yang dijual bebas. Sebuah asbak
kristal kecil di samping meja lampu berisi cincin tembaga kuno dari Yerusalem.
Maureen bolak-balik dengan gelisah di ranjangnya. Usahanya untuk tidur pulas
tidak berhasil kendati ia telah meminum obat. Lalu mimpi itu datang, begitu
bersikukuhnya walau tak diundang.
Awalnya selalu sama keributan, keringat, kerumunan. Tapi Maureen tidak sampai ke
bagian tempat pada mimpi sebelumnya ia melihat seorang perempuan. Lalu semuanya
hitam. Maureen terjerumus ke dalam suatu kehampaan selama waktu yang tak
diketahui. Kemudian, mimpi itu berubah.
f Pada suatu hari yang tenang, di tepi pantai Galilea, seorang bocah lelaki
berlari-lari di depan ibundanya yang cantik. Bocah itu tidak memiliki mata
cokelat yang tajam dan rambut merah seperti yang dimiliki ibunya. Tapi adik perempuannya mewarisi
keduanya. Penampilan anak lelaki itu berbeda, matanya hitam dan tegas. Dan untuk ukuran
anak kecil, ia sangat lincah. Sambil berlari-lari di tepian pantai, ia memungut
sebongkah batu yang menarik lalu mengangkatnya untuk dimain-mainkan di bawah
sinar matahari. Sang ibu memperingatkan agar ia tak terlalu jauh ke air. Perempuan itu tidak
mengenakan selubung formalnya hari ini. Rambut panjangnya tak diikat, terurai di
sekeliling wajahnya saat ia meraih tangan gadis cilik yang wajahnya persis
seperti dirinya. Suara seorang lelaki mengekspresikan peringatan serupa, tapi dengan cara yang
halus, kepada gadis cilik yang telah terlepas dari tangan ibunya itu dan kini
berlari mendekati kakaknya. Anak itu tampaknya tak mau menurut, tapi ibundanya
hanya tertawa, lalu melirik lewat bahunya dan tersenyum kepada lelaki yang
berjalan di belakangnya. Dalam acara santai bersama keluarga kecilnya, lelaki
itu tidak mengenakan pakaian putih dan tidak berikat pinggang. Pakaian yang ia
kenakan berbeda dengan jubah putih sederhana yang biasa ia kenakan saat bertemu
dengan jemaat. Ia mengibaskan rambut panjangnya yang berwarna kastanye, sama
seperti bola matanya, dan membalas senyuman perempuan itu. Ekspresinya penuh
kehangatan dan ketenangan.
f Maureen didorong dengan kasar ke dalam kondisi terjaga, seolah tubuhnya dilempar
dari mimpi itu hingga kembali ke kamar hotelnya. Ia gemetar. Mimpi itu selalu
mengganggunya. Tapi kali ini bahkan lebih meresahkan. Ia merasa seperti anak
busur yang melaju dengan cepat melewati ruang dan waktu.
Maureen tersengal-sengal dan berusaha keras menyeimbangkan diri dan bernapas
dengan lebih santai. Ia baru mulai memperoleh kembali keseimbangannya ketika ia sadar ada sesuatu
yang berkelebat di kamarnya, di luar pintunya. Ia yakin ada gemerisik, tapi ia
lebih merasa alih-alih melihat sosok yang tampaknya ada di lorong depan
kamarnya. Yang sesungguhnya ia lihat, tak bisa didefinisikan suatu bentuk, suatu sosok,
suatu gerakan. Itu tidak penting. Maureen tahu siapa itu. Sama seperti ia tahu
bahwa ia tidak sedang bermimpi. Itu adalah Dia.
Wanita itu ada di sini, di kamar Maureen.
Maureen menelan ludah. Mulutnya kering lantaran terkejut dan takut. Ia tahu,
sosok di luar pintu itu bukan sosok yang nyata. Tapi ia belum yakin apakah itu
membuatnya lega. Ia mengerahkan seluruh keberaniannya dan berhasil berbisik
kepada sosok di luar pintu kamarnya.
"Apa...katakanlah bagaimana aku membantumu. Kumohon."
Selintas cahaya muncul sebagai jawaban, suatu kibasan selubung atau gerakan
dedaunan yang tertiup angin musim semi. Lalu hening. Sosok itu menghilang dengan
cepat, secepat kemunculannya.
f Maureen melompat dari tempat tidur dan menghidupkan lampu jam digitalnya
menunjukkan angka 4:10 pagi. Di sini lebih dulu tiga jam dibandingkan di Los
Angeles. Maafkan aku, Bapa, pikir Maureen sambil meraih gagang telepon dari meja kecil lalu
menekan angka secepat yang bisa ia lakukan dengan jemarinya yang gemetar. Ia
membutuhkan sahabat saat ini dan
barangkali, barangkali, ia membutuhkan seorang pendeta.
Suara Peter yang meyakinkan, dengan aksen Irlandianya yang menenangkan, membuat
Maureen kembali ke bumi. "Pengalaman-pengalaman seperti...hmm...visi ini sangat penting diingat. Kuharap kau
mencatat semuanya?" "Visi" Jangan berceramah tentang segala sesuatu yang berbau Vatikan padaku,
Pete." Maureen mengerang keras. "Aku sudah mati sebelum menjadi orang aneh yang
menghebohkan sehingga menyebabkan inkuisisi Roma."
"Huu, Maureen. Aku tak akan berbuat seperti itu padamu. Tapi bagaimana
seandainya yang kau alami itu memang visi" Kau tidak bisa meremehkan begitu
saja, karena yang ditunjukkan kepadamu itu mungkin saja penting."
"Pertamatama, hanya ada dua hal yang kita katakan saja visi. Selebihnya hanya
mimpi. Mimpi yang sangat gamblang dan kuat. Tapi tetap saja mimpi. Barangkali
ini kegilaan genetik. Menurun dari keluarga, kautahu." Maureen menghela napas.
"Sialan, aku benarbenar takut. Harusnya kau membuatku tenang."
"Maaf. Kau benar, dan aku mau menolongmu. Tapi kau harus berjanji untuk mencatat
tanggal dan waktu kedatangan vis eh, mimpimu itu. Cuma untuk pekerjaan kita
saja. Kau seorang sejarawan dan jurnalis. Di antara semua orang, harusnya kaulah
yang paling tahu mencatat data itu penting."
Maureen tertawa mendengar ucapan ini. "Oh ya, dan ini tentu data yang
bersejarah." Ia menghela napas lagi. "Oke, akan aku lakukan. Barangkali akan
menjadikan semuanya jelas suatu hari. Aku hanya merasa banyak yang terjadi di
bawah permukaan, dan semua itu sepenuhnya di luar kendaliku."
... A fiu harus menulis lebih ban yak leniang Nathaniel, yang kami panggil
Bartolomeus. karena aku sangat terharu dengan pengabdiannya. Bartolomeus sudah
beranjak dewasa ketika pertama bergabung dengan kami di Galilea. Dan meskipun ia
diusir dari rumah ayahnyayang terhormat To/ma dari Canae.
begitu bertemu dengannya aku mtrasa yakin balnya dia bukan pemuda yang berwatak
kasar. Tentulah patriarkhi yang kejam dan tidak bijaksana telah salah menilai
keluhuran dan tekad seoraiig putra tampan yang begitu berharga dan memiliki jina
yang istinrwa. Easa pun melihat karakter ini. dalam sekejap mata.
Bartolomeus bisa dipahami lewat tatap matanya. Selain Easa dan putriku, aku
belum pernah menyaksikan kemurnian dan kebajikan lewat sepasang mata. Kesucian
hati mencuat dari dalam diri merekasuatu jiwa yang murni dan bersih. Pada hari
ketlatangannya di rumahku di Magdak. putra kecilku naik ke pangkuannya dan tidak
t mm sepanjang senja itu. Anakanak
adalah hakim yang baik. Easa dan aku saling tersenyum dari seberang meja
menyaksikan Yohants kecil bersama sahabat bartmya. Yohanes memperkuat keyakinan
yang kami dapat begitu melihat Bartolomeusbahwa ia bagian keluarga kami. untuk
selamanya. INJIL ARQUES MARIA MACDALENA KITAB PARA MURID
Lima Los Angeles April 2005 Maureen kelelahan saat membawa mobilnya ke tempat pelayanan parkir di luar
gedung kondominium kelas atas yang ia tempati, di Wilshire Boulevard. Ia
membiarkan Andre, petugas gedung itu, memarkirkan mobil dan memintanya
membawakan tas ke lantai atas. Penerbangan dari Dulles yang tertunda, ditambah
kurang tidur semalam, membuat sarafnya tegang.
Hal terakhir yang ia harapkan atau butuhkan adalah kejutan. Tapi itulah yang ia
dapatkan begitu memasuki lobi.
"Nona Paschal, selamat sore." Laurence, manajer penerima tamu, menyapa. Lelaki
berperawakan kecil dan terkesan teliti itu terburu-buru keluar dari balik meja
untuk mengejar Maureen. "Maafkan saya, saya harus memasukkan barang Anda sore
ini. Kiriman itu terlalu besar untuk ditaruh di lobi.
Seharusnya Anda memberitahu kami jika sedang menunggu kiriman dengan ukuran
sebesar itu." "Kiriman" Kiriman apa" Saya tidakmenunggu kiriman apa pun."
"Yah, tidak ragu lagi kiriman itu untuk Anda. Barangkali dari pengagum berat
Anda." Merasa bingung, Maureen berterima kasih pada Laurence lalu masuk lift menuju
lantai sebelas. Saat pintu lift terbuka, ia dikejutkan dengan aroma bebungaan
yang menusuk hidung. Keharuman itu bertambah sepuluh kali lipat saat Maureen
membuka pintu kondonya, ia terperangah. Maureen tidak bisa melihat ruang tamunya
lantaran bunga yang begitu banyak. Rangkaian bunga yang indah ada di mana-mana.
Sebagian tinggi, sebagian disusun pada tangkai-tangkai, sebagian dalam vas
kristal di atas meja. Seluruh rangkaian itu memiliki tema yang sama mawar merah
tua, lili calla, lili hijau, dan lili Casablanca putih. Bunga-bunga lili yang
sudah mekar sempurna inilah sumber aroma yang memabukkan di ruangan itu.
Maureen tidak perlu mencari kartu. Benda itu sudah menunjukkan dirinya sendiri,
terpampang di dinding ujung ruangan tamu, dalam suatu lukisan besar berbingkai
logam keemasan yang menggambarkan suatu pemandangan pastoral klasik. Tiga orang gembala, berbaju
sederhana, bermahkota daun salam, mengelilingi sebuah batu besar yang tampaknya sebuah
kuburan yang tersendiri. Mereka sedang menunjuk ke sebuah tulisan. Titik sentral
dalam lukisan itu adalah seorang perempuan gembala berambut merah yang
kelihatannya adalah pemimpin mereka.
Anehnya, wajah perempuan itu mirip dengan Maureen.
f Les Bergers d'Arcadie. Peter membaca tulisan pada pelat
perunggu di bahwa bingkai. Ia terkesan dengan duplikat lukisan yang berdiri di
ruang tamu Maureen. "Karya Nicolas Poussin, suhu aliran Barok Prancis. Aku sudah melihat lukisan
aslinya, di Louvre."
Maureen mendengarkan Peter melanjutkan penjelasannya. Ia lega karena sepupunya
datang segera. "Terjemahan judul lukisan itu Para Gembala Arcadia."
"Aku tidak yakin apakah seharusnya merasa tersanjung atau takut. Katakan padaku
bahwa perempuan gembala dalam lukisan asli tidak mirip denganku."
Peter tertawa kecil. "Tidak, tidak. Yang itu sepertinya dibuat sendiri oleh
seniman yang menduplikasi lukisan itu, atau si pengirim. Siapa dia?"
Maureen menggeleng dan menyerahkan amplop besar. "Dikirimkan oleh seseorang
bernama...Sinclair atau apalah. Sama sekali tak kenal dengan dia."
"Penggemar" Seorang fanatik" Orang gila yang merangkak dari lemari setelah
membaca bukumu" Maureen tertawa, agak gugup. "Bisa jadi. Penerbitku menyampaikan beberapa surat
aneh padaku selama beberapa bulan terakhir."
"Surat pujian atau kecaman?"
"Dua-duanya." Peter mengeluarkan surat dari amplop besar itu. Tulisannya sangat
rapi dan menggunakan alat tulis yang mewah. Fleurde-lis, simbol kebesaran Eropa
selama berabadabad, terukir dan mendominasi halaman kertas. Di bagian bawah
surat berbingkai keemasan itu tertera nama sang penulis, Berenger Sinclair.
Peter membuka kacamata bacanya dan membaca keraskeras:
Yth. Nn. Paschal: Maafkan aku atas gangguan ini.
Tapi aku percaya, aku memiliki jawaban yang kaucari dan kau memiliki sebagian
jawaban yang aku cari. Jika kau berani mempertahankan keyakinanmu dan mengambil
bagian dalam suatu ekspedisi mengagumkan untuk menyibakkan kebenaran, kuharap
kau bersedia bertemu denganku di Paris pada summer solsticei. Sang Magdalena
sendiri yang mengharapkan kehadiranmu. Janganlah
mengecewakannya. Barangkali lukisan ini bisa menstimulasi alam bawah sadarmu.
Anggaplah lukisan itu sebagai peta yang lain daripada yang lain suatu peta masa
depanmu dan barangkali masa /alumu.
Aku yakin kau akan menghormati nama besarmu, Paschal, seperti ayahmu. Salam
hormat, Berenger Sinclair
"Nama besar Paschal" Ayahmu?" Peter penasaran. "Kau bisa mengira apa maksudnya?"
"Tidak sama sekali." Maureen berusaha memproses semua itu. Penyebutan ayahnya
membuat dirinya resah, tapi ia tak mau Peter tahu. Ia membalikkan persoalan.
"Kau 'kan tahu keluarga ayahku. Dari desa dan daerah rawa Lousiana. Tak ada yang
bisa dibanggakan, kecuali jika tidak waras itu hebat."
Peter tidak mengatakan apa-apa, hanya menunggu Maureen melanjutkan. Maureen
jarang berbicara dengan ayahnya, dan Peter penasaran apa lagi yang akan
dikemukakan gadis itu lebih lanjut. Tapi Peter harus kecewa karena Maureen
menyudahi topik itu begitu saja.
Maureen mengambil surat dari tangan Peter dan membaca lagi. "Aneh. Kaupikir,
jawaban apa yang ia 1 Titik balik matahari yang terjadi pada musim semi, jatuh
sekitar tanggal 21 Juni. maksud" Ia tak mungkin tahu tentang mimpiku. Tak ada yang tahu selain kau dan
aku." Maureen menelusuri surat itu dengan jarinya sambil termenung.
Peter melihat sekeliling ruangan yang penuh dengan bunga dan karya seni. "Siapa
pun dia, skenario ini berpusat pada dua hal kefanatikan dan uang dalam jumlah
besar. Berdasarkan pengalamanku, itu kombinasi buruk."
Maureen hanya separuh mendengarkan. "Lihatlah kualitas surat ini, sangat mewah.
Sangat Prancis. Dan pola timbul di sudut ini...apa ya" Anggur?" Pola pada kertas itu menarik
perhatian Maureen. "Apel biru?" Sambil memberbaiki letak kacamata di hidungnya, Peter menatap bagian bawah
surat. "Apel biru"
Hmmm, mungkin kau benar. Lihat ini. Ada alamat di bawah sini. Le Chateau des
Pommes Bleues."

The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bahasa Prancisku kurang baik, tapi bukankah artinya apel biru?"
Peter mengangguk. "Puri atau rumah Apel Biru. Kau pernah mendengarnya?"
Maureen mengangguk pelan, berpikir. "Sialan, dasar pelupa. Aku tahu pernah
membaca referensi tentang apel biru saat melakukan riset. Rasanya itu semacam
kode. Ada hubungannya dengan kelompok keagamaan di Prancis yang memuja Maria
Magdalena." "Kelompok yang percaya bahwa Maria pergi ke Prancis setelah penyaliban?"
Maureen mengangguk. "Gereja menganggap mereka pelaku bidah karena mengklaim
ajaranajaran mereka bersumber langsung dari Kristus. Mereka terpaksa melakukan
kegiatan secara diamdiam dan berkembang menjadi perkumpulan rahasia. Salah satu
perkumpulan itu mengambil simbol apel biru."
"Oke, tapi mengapa apel biru?"
"Aku tidak ingat." Maureen berpikir keras, tapi tak mendapat jawabannya. "Tapi
aku tahu orang yang memiliki jawabannya."
Marina del Rey, California April 2005
Maureen menyusuri tepi pelabuhan di Marina del Rey. Kapal kapal siar yang mewah,
bukti kemakmuran Hollywood, bersinar diterangi matahari California selatan. Seorang
peselancar mengenakan T-shirt buntung bertuliskan "Satu Lagi Hari Sialan di
Surga" melambai pada Maureen dari dek sebuah kapal layar kecil. Kulitnya memerah
dan rambutnya kusam karena sinar matahari yang menyorot tanpa lelah. Maureen
tidak mengenal lelaki itu, tapi senyuman sumringah dan botol bir di tangan
lelaki itu menunjukkan suasana hatinya sedang senang.
Maureen membalas lambaiannya dan terus berjalan menuju sebuah kompleks restoran
dan butik untuk wisatawan. Ia masuk ke El Burito, restoran Meksiko dengan
selasar menjorok ke laut. "Reenie! Aku di sini!"
Maureen mendengar suara Tammy sebelum ia melihatnya, selalu seperti itu jika ia
bertemu temannya yang satu ini. Ia berpaling ke sumber suara dan mendapati
temannya sedang meneguk mango
margarita di meja yang di letakkan di luar ruangan.
Tamara Wisdom berbeda jauh dari Maureen Paschal. Dengan tubuh yang tinggi
langsing dan kulit kuning langsat, gadis ini sangat eksotis. Rambutnya hitam
lurus hingga ke pinggang, diselingi warna-warna mencolok yang mengikuti suasana
hatinya. Hari ini ia memakai warna ungu mengilap. Hidungnya ditindik dan dihias
dengan berlian yang sangat besar hadiah dari mantan pacarnya yang kebetulan
seorang sutradara film independen yang sukses. Ada banyak lubang tindikan di
telinganya yang masingmasing dipasangkan perhiasan hasil desain sendiri, berpadu
dengan atasan tanpa lengan bertali hitam. Usia Tammy hampir empat puluh, tapi ia
tampak sepuluh tahun lebih muda.
Tammy lebih terkesan flamboyan, sementara Maureen konservatif. Ia banyak bicara
dan keras kepala sedangkan Maureen pendiam dan berhati-hati. Kehidupan dan
pekerjaan mereka pun jauh berbeda, tapi sikap mereka yang saling menghormati
membuat mereka cocok satu sama lain.
"Terima kasih kau mau menemuiku meski aku mengabarimu secara mendadak, Tammy."
Maureen duduk dan memesan teh. Tammy memutar matanya, tapi terlalu bersemangat dengan
alasan pertemuan itu untuk mengomentari pilihan minuman Maureen yang konsevatif.
"Yang benar saja. Berenger Sinclair mengikuti setiap langkahmu dan kaupikir aku
tidak ingin mendengar setiap detailnya?"
"Yah, kau sangat tertutup padaku di telepon, jadi lebih baik kau berterus
terang. Aku tidak percaya kau mengenal pria ini."
"Justru aku yang heran kau tidak kenal. Ya, Tuhan kau sudah menerbitkan buku
yang melibatkan Maria Magdalena tanpa melakukan riset ke Prancis" Kau 'kan
seorang jurnalis." "Aku memang seorang jurnalis. Itu juga alasannya
mengapa aku tidak pergi ke sana. Aku tidak tertarik dengan perkumpulan rahasia.
Itu bagianmu, bukan aku. Aku berangkat ke Israel untuk melakukan riset tentang
abad pertama." Kejujuran adalah sesuatu yang tak terpisahkan dalam persahabatan mereka. Maureen
bertemu Tammy pertama kali saat melakukan riset. Seorang teman memperkenalkan
mereka setelah tahu Maureen tengah melakukan penelitian tentang kehidupan Maria
Magdalena untuk penulisan bukunya. Tammy telah menerbitkan beberapa buku
alternatif tentang perkumpulan rahasia dan alkemi. Sebuah dokumentasi karyanya
tentang tradisi spiritual bawah tanah yang mengangkat pemujaan Magdalena telah
memperoleh pengakuan di lingkup festival. Maureen terkejut dengan eratnya kerja
sama para peneliti esoteris, karena Tammy tampaknya mengenal semua orang. Dan
meski Maureen dengan cepat tahu bahwa pendekatan alternatif Tammy dalam
mendapatkan sumber materi terpercaya berbeda dengannya, Maureen juga menyadari
kecerdasan di balik riasan mata yang tebal itu, hakikat di balik penampilan
luar. Maureen kagum pada keberanian Tammy dan sikapnya yang terus terang. Bahkan
jika ia menemui jalan buntu.
Tammy merogoh tas besar warna oranye dan mengeluarkan sebuah amplop surat yang
menawan. Ia melambai-lambaikan amplop itu di depan hidung Maureen sebelum
menggesernya ke tangan Maureen di atas meja. "Ini, aku ingin menunjukkannya
secara langsung padamu."
Maureen mengangkat alis matanya kepada sang teman saat melihat desain fleurde-
lis , yang kini tak asing lagi baginya, berpadu dengan pola apel biru yang aneh.
Ia mengeluarkan undangan dengan tulisan timbul dan
membacanya. "Ini undangan untuk ke pesta kostum tahunan yang diadakan Sinclair. Sangat
eksklusif. Tampaknya aku berhasil menjadi orang top. Kau menerima undangan
juga?" Maureen menggeleng. "Tidak. Cuma pesan aneh untuk bertemu saat summer solstice.
Bagaimana kau mendapat undangan ini?"
"Aku bertemu dengannya saat melakukan risetku di Prancis," katanya menekankan.
"Aku meminta bantuan dana untuk menyelesaikan proyek dokumentasi terbaruku. Ia
berminat untuk membuat film dokumentasi juga, jadi kami bernegosiasi kautahu,
aku akan membuatnya senang jika ia membuatku senang."
"Kau sedang menggarap film baru" Kenapa tidak cerita?"
"Kau jarang beredar belakangan ini, ya 'kan?" Maureen tampak malu. Ia telah
mengabaikan teman temannya karena kesibukan selama beberapa bulan terakhir.
"Maaf. Dan jangan terlalu puas begitu dong. Apa lagi yang tidak aku ketahui"
Kautahu banyak tentang Sinclair" Tentang...ia membuntuti aku?"
"Tidak, tidak sama sekali. Aku hanya bertemu dengannya sekali. Sialan, kenapa
bukan aku yang ia buntuti. Ia keren sekali keren dengan K besar dan
mengasyikkan. Kautahu, Reenie, ini kesempatan baik. Kapan terakhir kali
kaukencan?" "Tidak ada hubungannya."
"Barangkali ada."
Maureen menolak topik pembicaraan itu, berusaha menahan rasa kesalnya. "Aku tak
punya waktu untuk menjalin hubungan. Lagi pula aku tidak melihat isyarat
bahwa ia mengajak kencan."
"Sayang sekali. Tak ada tempat yang lebih romantis di planet ini."
"Jadi itu sebabnya kau berlama-lama di Prancis belakangan ini?"
Tammy tertawa. "Tidak, tidak. Hanya saja Prancis itu titik sentral esoterika
Barat dan kubah bidah. Aku bisa menulis ratusan buku tentang topik ini atau membuat film sebanyak
mungkin, dan itu semua baru kulitnya saja."
Maureen merasa sulit berkonsentrasi. "Menurutmu, apa yang diinginkan Sinclair
dariku?" "Siapa yang tahu" Ia terkenal sebagai orang yang eksentrik dan luar biasa.
Terlalu banyak waktu dan terlalu banyak uang. Kurasa ada sesuatu dalam bukumu
yang menarik perhatiannya dan ia ingin menambahkan tulisanmu itu ke dalam
koleksinya. Tapi aku tak punya gambaran apa itu. Karyamu itu sepertinya bukan
seleranya." "Apa maksudmu?" Maureen merasa sedikit defensif. "Mengapa bukan seleranya."
"Terlalu mengikuti mainstream, dan terlalu akademis. Ayolah, Maureen. Ketika
menulis bab tentang Maria Magdalena, kau terlalu berhati-hati. Jadi bolehlah
jika aku berpendapat begitu. Maria Magdalena mungkin memiliki hubungan dengan
Yesus tapi tak ada bukti, bla, bla, bla...blaah. Kau terlalu ingin aman.
Percayalah padaku, tak ada yang aman jika menyangkut keyakinan Sinclair.
Karena itulah aku menyukainya."
Maureen melontarkan komentar yang lebih pedas dibandingkan yang ia niatkan. "Kau
mengambil jalur meluruskan sejarah berdasarkan keyakinan pribadi. Aku tidak."
Tammy memang sudah keterlaluan, tapi ia menolak mundur, malah terus memburu
Maureen. "Dan apa keyakinanmu" Sepertinya kau bahkan tak tahu. Begini, kau sahabat baikku
dan aku bukannya tidak menghormatimu, jadi jangan marah. Tapi seperti aku,
kautahu ada bukti bahwa Maria Magdalena menjalin hubungan dengan Yesus dan
mereka memiliki anak. Mengapa kau begitu takut dengan kemungkinan itu" Kau
bahkan bukan orang yang religius. Gambaran itu tak akan
mengancammu." "Memang bukan ancaman. Aku hanya tidak mau mengambil jalur itu. Aku takut
tulisanku selebihnya menjadi tercoreng. Standar 'bukti' yang kau pegang berbeda
denganku. Aku menghabiskan nyaris seluruh masa dewasaku untuk melakukan riset
demi buku itu dan aku tidak akan menjerumuskannya begitu saja dengan teori
separuh matang dan tidak mendasar yang bahkan tidak pernah aku tengok sedikit
pun." Tammy terpukul. "Teori separuh matang itu tentang penyatuan ilahiah gagasan
bahwa dua orang saling menghormati dalam suatu hubungan sakral adalah ekspresi
terbesar Tuhan di bumi ini.
Barangkali kau harus berpikir untuk menengok gagasan ini."
Maureen memotong, mengalihkan topik secara mendadak.
"Kau berjanji akan bercerita padaku tentang apel biru."
"Yah, tapi maaf saja teoriku yang separuh matang dan tidak substansial...,"
katanya memulai. "Maaf." Maureen tampak benarbenar menyesal, sehingga Tammy tertawa.
"Tidak apa-apa, aku pernah mendapat julukan yang
lebih buruk. Oke, yang aku ketahui tentang apel biru adalah bahwa itu simbol
garis darah ya, garis keturunan itu. Garis darah yang kau dan temanteman
akademismu berlagak tidak tahu keberadaannya.
Garis darah Yesus Kristus dan Maria Magdalena yang berlanjut ke keturunan-
keturunan mereka. Berbagai perkumpulan rahasia menggunakan simbol yang berbeda-beda untuk garis
darah itu." "Dan mengapa apel biru?"
"Masih diperdebatkan, tapi ada keyakinan umum bahwa itu mengacu pada anggur.
Wilayah penghasil anggur di Prancis selatan terkenal dengan anggurnya yang
besar-besar, yang bisa disimbolkan dengan apel biru. Kita akan melompat
sekarang: anakanak Yesus sama dengan buah penghasil minuman, yakni anggur, yakni
apel biru." Maureen mengangguk. "Jadi itu sebabnya Sinclair terlibat dalam salah satu
perkumpulan rahasia ini?"
"Sinclair itulah perkumpulan rahasianya sendiri." Tammy tertawa. "Ia seperti
dewa saja di sana. Tak ada yang terjadi tanpa sepengetahuan atau persetujuannya.
Dan ia seperti gudang uang yang membiayai berbagai riset. Termasuk risetku."
Tammy mengangkat gelasnya dengan lagak mengejek kedermawanan Sinclair.
Maureen meneguk tehnya dan memikirkan amplop di tangannya. "Menurutmu, ia tidak
berbahaya?" "Ya, Tuhan, tidak. Ia terlalu ningrat untuk hal semacam itu meskipun ia jelas
mempunyai uang dan pengaruh untuk menyembunyikan mayat. Aku bercanda, jadi
jangan pucat begitu dong! Dan
kemungkinan ia adalah pakar tertinggi sedunia tentang topik Maria Magdalena.
Akan menjadi pengalaman yang sangat menarik jika kau memilih membuka pikiranmu
sedikit." "Jadi, kau akan datang ke pesta itu?"
"Apakah kau gila" Tentu saja aku akan datang. Aku telah mendapat tiket. Dan
pestanya tanggal 24 Juni, jadi tiga hari setelah summer solstice. Hmmm..."
"Apa?" "Ia memiliki rencana tertentu, tapi aku tidak tahu apa itu. Ia mengundangmu ke
Paris tanggal 21 Juni, dan pesta diadakan pada tanggal 24 tepat pertengahan
musim panas menurut kalender kuno, tapi juga bertepatan dengan hari peringatan
Yohanes Pembaptis. Sangat menarik. Aku rasa ini bukan kebetulan.
Ia ingin bertemu denganmu di mana?"
Maureen mengeluarkan surat itu dari tasnya, berikut peta Prancis yang terlampir
dengan surat itu. Ia menyerahkan keduanya pada Tammy.
"Lihatlah," Maureen menunjuk. "Ada garis merah yang ditarik dari Paris ke
Prancis selatan." "Itu garis Meridian Paris. Garis itu tepat melewati jantung teritori Maria
Magdalena dan tanah milik Sinclair, sehubungan dengan persoalan ini."
Tammy membalik peta untuk melihat daerah lain, kali ini Paris. Ia menelusuri
peta dengan jarinya yang berkuteks merah menyala dan tertawa keras saat melihat
simbol Tepian Kiri2 dilingkari tinta merah.
"Ya, ampun. Apa maksudmu, Sinclair?" Tammy menunjukkan peta Paris itu. "Gereja
Saint-Sulpice. Di tempat ini ia ingin bertemu denganmu?"
Maureen mengangguk. "Kautahu tempat itu?"
"Tentu saja. Gereja yang sangat besar. Terbesar kedua di Paris setelah Notre
Dame, kadang disebut Katedral Tepian Kiri.
Tempat itu menjadi situs perkumpulan rahasia
setidaknya sejak abad 16. Andai saja aku mengetahui rencana ini lebih awal. Aku
akan mengubah jadwal ke Paris agar sampai beberapa hari sebelumnya. Aku rela
melakukan apa saja agar bisa menyaksikan pertemuanmu dengan sang dewa."
"Aku belum mengatakan akan pergi. Sepertinya semua ini gila. Aku tidak tahu
bagaimana menghubunginya. Aku tidak punya nomor teleponnya, emailnya. Ia tidak memintaku
untuk memberi kabar jika aku akan datang. Sepertinya ia berpikir aku akan
datang." "Dia lelaki yang terbiasa mendapatkan segala yang ia inginkan. Dengan alasan
yang sama, aku rasa ia menginginkanmu. Tapi jika kau ingin terlibat dengan
mereka, jangan samakan mereka dengan perkumpulan yang biasa.
Mereka tidak berbahaya, hanya sangat eksentrik. Mereka senang membuat orang
bingung, dan kau harus memecahkan sejumlah teka-teki untuk membuktikan dirimu
pantas masuk ke lingkaran dalam."
"Aku tidak yakin apakah aku ingin menjadi bagian lingkaran dalam."
Tammy menyesap sisa margarita di gelasnya. "Itu terserah padamu. Kalau terserah
padaku, aku tak akan menyia-nyiakan undangan seperti ini untuk apa pun. Kupikir
ini kesempatan besar bagimu.
Pergilah sebagai seorang jurnalis, pergilah untuk meneliti. Tapi ingat, begitu
kau melangkahkan kaki ke dalam misteri ini, kau akan merasa seperti berjalan
dengan kaca pembesar dan terjerumus ke dalam lubang kelinci.
"Jadi hati-hatilah. Dan berpeganglah pada realitasmu,
2 Distrik bohemia di Paris.
sobatku Alice yang konservatif."
Los Angetes April 2005 Perdebatan dengan Peter berjalan lebih panas dibandingkan yang Maureen duga. Ia
tahu, Peter akan menentang keputusannya bertemu dengan Sinclair di Prancis. Tapi
ia tidak siap dengan sikap Peter yang begitu keras mempertahankan pendiriannya.
"Tamara Wisdom itu gila. Aku tak percaya kau mau dibujuknya. Ia tidak bisa
dijadikan sumber informasi mengenai Sinclair."
Pertengkaran itu berkobar nyaris hingga makan malam berakhir. Peter bersikap
seperti seorang kakak dan pelindung yang mencemaskan keselamatan Maureen.
Maureen berusaha membuat Peter
memahami keputusannya. "Pete, kautahu aku bukan orang yang suka mengambil risiko. Aku senang
keteraturan dan aku senang jika aku bisa mengendalikan hidupku. Dan aku
berbohong jika mengatakan semua ini tidak
menakutkan." "Lalu mengapa kau mau pergi?"
"Karena mimpimimpi dan kebetulan-kebetulan itu lebih menakutkan lagi. Aku tidak
bisa mengendalikannya, dan semua itu semakin buruk karena semakin sering dan semakin
hebat. Aku merasa seolah harus mengikuti jalan ini dan melihat ke mana aku
dibawa. Sinclair memiliki jawaban yang aku cari, seperti yang ia katakan. Jika
dialah orang yang paling banyak tahu tentang Maria Magdalena, barangkali ia tahu
arti semua kejadian ini. Inilah satusatunya cara agar aku bisa memahami
persoalan ini."

The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di akhir perdebatan yang melelahkan itu, Peter mengalah. "Aku akan menemanimu,"
katanya. Dan itulah keputusan akhirnya.
f Maureen menekan speed dial untuk menghubungi Peter dengan telepon genggamnya
setelah ia keluar dari Westwood Travel Agency, keesokan Sabtu pagi. Ia belum
menceritakan semuanya pada Peter.
Kadang sepupunya itu memperlakukannya seperti anak kecil dan ia adalah
pelindungnya. Meski Maureen menghargai perhatiannya, ia adalah wanita dewasa
yang perlu mengambil keputusan penting di persimpangan hidupnya.
Sekarang, dengan keputusan yang telah diambil dan tiket di tangan, adalah saat
yang tepat untuk mengatakan padanya.
"Hai. Semuanya sudah siap. Aku sudah mendapat tiket. Pete, aku membuat keputusan
mendadak untuk mampir ke New Orleans dulu sebelum kita pergi ke Prancis."
Peter terdiam sesaat, kaget. "New Orleans" Baiklah. Apakah kita ke Paris dari
sana?" Ini bagian terberat. "Tidak. Aku berangkat ke New Orleans sendirian." Maureen
buru-buru mengatakan kalimat berikutnya sebelum Peter memotong. "Ini sesuatu yang harus
aku lakukan sendiri, Pete. Aku akan menemuimu di JFK keesokan harinya dan kita
pergi ke Paris bersamasama dari sana."
Peter tercenung sesaat lalu menjawab singkat, "Oke."
Maureen merasa bersalah karena tidak berterus terang. "Pete, aku di Westwood
sekarang, baru keluar dari biro berjalanan. Bisakah kita makan siang bersama.
Terserah kau di mana, aku traktir."
"Aku tidak bisa. Aku harus memberi kuliah pada mahasiswa tingkat satu untuk
persiapan ujian akhir di Loyola hari ini."
"Ayolah, kau 'kan bisa mencari orang lain untuk mengajarkan bahasa Latin selama
beberapa jam?" "Kalau Latin, ya. Tapi aku satusatunya dosen bahasa Yunani di sini, jadi tidak
ada pengganti." "Oke. Mungkin suatu hari kau akan menjelaskan padaku mengapa remaja abad dua
satu perlu mempelajari bahasa yang membosankan."
Peter tahu Maureen hanya bercanda. Gadis itu sangat menghargai pengetahuan Peter
dan kemampuan bahasanya yang luar biasa.
"Untuk alasan yang sama mengapa aku perlu mempelajari bahasa membosankan, dan
kakekku juga. Bemanfaat untuk kita, bukan?"
Maureen tidak bisa membantah, bahkan dengan lelucon. Kakek Peter, Dr. Cormac
Healy yang terpandang, masuk ke dalam suatu komite di Yerusalem yang mempelajari dan
memberikan jasa penerjemahan untuk perpustakaan Nag Hammadi yang mengagumkan.
Minat Peter terhadap manuskrip kuno telah tumbuh sejak remaja, saat ia menghabiskan musim panas di
Israel bersama kakeknya. Saat magang, Peter berpartisipasi dalam suatu
penggalian di Scriptorium di Qumran, tempat Naskah Laut Mati dituliskan. Selama
bertahuntahun, ia menyimpan serpihan batu dari dinding Scriptorium dalam suatu
kotak museum yang diletakkan di mejanya. Tapi
saat melihat sepupunya sangat tertarik dan membutuhkan untuk pekerjaannya
sebagai penulis, Peter merasa pantas menghadiahkannya sebagai sumber inspirasi.
Maureen memasukkan serpihan batu itu ke dalam kantong kulit yang ia kalungkan di
lehernya setiap saat ia bersemangat untuk menulis.
Selama musim panas di Israel itulah, Peter muda menyadari panggilan jiwanya,
baik sebagai seorang cendekiawan maupun pendeta. Ia berkunjung ke situs-situs
suci agama Kristen bersama kelompok Yesuit. Pengalaman itu sangat berpengaruh
terhadap idealisme Irlandianya. Kelompok Yesuit terbukti cocok untuk Peter. Ia
bisa memuaskan hasrat religius dan keilmuannya.
Maureen berencana bertemu dengannya minggu ini. Saat menutup telepon selulernya,
ia sadar, sekarang perasaannya lebih lega dibandingkan beberapa bulan ini. Tapi
Bapa Peter Healy tidak. f Pesisir Barat AS memiliki banyak gedung bersejarah, terutama gereja-gereja kecil
di California. Didirikan pada abad 18 oleh seorang rohaniwan Fransiskan yang sangat giat, Bapa
Junipero Serra, sisa-sisa arsitektur Spanyol itu umumnya diberkati dengan kebun
yang indah atau lokasinya yang menawan.
Peter sangat tertarik dengan ordo Fransiskan dan bertekad mengunjungi semua
lokasi gereja kecil di California sejak ia menginjakkan kaki di Amerika. Gereja-
gereja itu memadukan sejarah dan iman, suatu kombinasi yang menggetarkan hati
dan jiwa Peter. Saat membutuhkan waktu dan tempat untuk merenung, tidak
jarang ia pergi ke salah satu gereja kecil yang mudah dicapai. Tiap gereja
memiliki pesona dan mencerminkan oasis yang tenang, pelabuhan yang ramah bagi
gaya hidup Los Angeles-nya yang sibuk.
Peter memilih San Fernando Mission hari ini karena lokasinya yang dekat dengan
rumah temannya, Bapa Brian Rourke. Ia pemimpin ordo Yesuit yang berbasis di
wilayah pinggiran San Fernando Valley. Hubungan Peter dan Bapa Brian telah
terjalin sejak ia masih di tingkat pertama seminari.
Ketika itu, Bapa Brian adalah mentornya. Sekarang Peter membutuhkan seorang
teman yang ia percayai. Ia mencari suatu tempat pengungsian bahkan dari gereja
yang ia cintai dan patuhi. Bapa Brian setuju untuk bertemu meski Peter
memberitahu secara mendadak, ia menangkap sedikit kepanikan dalam nada bicara
Peter. "Sepupumu itu, apakah ia seorang Katolik?" tanya Bapa Brian sambil berjalan di
kebun gereja bersama Peter. Siang itu matahari bersinar terik, Peter menyeka
peluh dengan punggung tangannya.
"Tidak jelas. Tapi ia sangat taat saat masih kecil. Kami berdua sangat taat."
Bapa Rourke mengangguk. "Ada kejadian yang membuatnya menjauhi gereja?"
Peter ragu-ragu. "Persoalan keluarga. Lebih baik tidak kuceritakan secara
panjang lebar." Ia sudah merasa bahwa mengungkapkan visi Maureen tanpa izin
adalah pengkhianatan. Ia juga tak mau membuka rahasia keluarga Maureen
Setidaknya, belum mau. Tapi Peter tak tahu langkah selanjutnya yang harus ia
tempuh, dan ia membutuhkan saran seseorang dari struktur Gereja yang ia
percayai. Pendeta tua itu mengangguk maklum dengan persoalan yang tertutup itu. "Visivisi
ketuhanan memang sangat jarang diperhatikan. Kadang mereka menganggapnya mimpi,
atau delusi masa kecil. Barangkali tak ada yang harus dikhawatirkan. Kau akan ikut dengannya ke
Prancis?" "Ya. Aku selalu menjadi penasihat spiritualnya, dan kemungkinan akulah
satusatunya orang yang ia percayai."
"Bagus. Kau bisa terus mengawasinya. Hubungi aku secepatnya jika kau merasa
gadis ini membahayakan dirinya. "Aku yakin tak sampai sejauh itu." Peter tersenyum dan berterima kasih pada
temannya. Percakapan beralih ke perbandingan antara panas membakar di California
dengan kesejukan musim panas di kampung halaman mereka, Irlandia.
Mereka asyik berbincang tentang teman lama dan mantan guru dan teman sekampung
halaman yang kini telah menjadi uskup di suatu tempat di wilayah tenggara
Amerika. Saat tiba waktunya undur diri, Peter meyakinkan temannya bahwa ia
merasa lebih lega setelah berbincang-bincang dengannya.
Ia berbohong. f New Orleans Juni 2005 Maureen mengemudikan mobil sewaannya melewati pinggiran kota New Orleans. Sebuah
peta wilayah itu terhampar di kursi sebelahnya. Ia memperlambat mobil dan menepikannya ke pinggir
jalan. Matanya menatap peta untuk memastikan bahwa ia tidak salah jalan. Merasa
puas, Maureen menjalankan mobilnya kembali. Saat ia berbelok pada tikungan
berikutnya, tampaklah kuburan dan monumen sarkofagus yang adalah bagian dari
pemakaman New Orleans, berdiri pada suatu ketinggian.
Maureen memarkir mobilnya lalu mengambil tas tangan dan bunga yang ia beli dari
kios jalanan, di kursi belakang. Ia melangkah keluar mobil, berhati-hati agar
tidak menginjak kubangan lumpur sisa-sisa badai pramusim panas yang datang lebih
awal, lalu masuk ke pemakaman yang tertata rapi. Nisan yang indah dan rangkaian
bunga terhampar seluas mata memandang. Menarik napas dalam-dalam, Maureen
berjalan menuju pintu kuburan sambil membawa bunga. Ia berhenti di jalan masuk
utama dan mendongak, tapi tibatiba berbelok ke kiri tanpa memasuki kuburan itu.
Maureen berjalan melewati gerbang, menyisir pagar pemakaman, hingga sampai di
area pemakaman yang lain. Kuburan-kuburan di sini ditumbuhi lumut dan rumput
liar, terabaikan dan tampak menyedihkan. Pemakaman ini tidak tertata rapi.
Maureen berjalan perlahan, hatihati, dan khidmat. Ia melawan air mata saat
menanjak menuju kuburan-kuburan yang terlupakan. Kuburan orangorang yang
diabaikan, bahkan setelah mereka meninggal. Lain kali ia akan membawa bunga
lebih banyak, untuk mereka semua.
Sambil berjongkok, ditepiskannya rumput liar yang menutupi nisan kuburan yang
sudah usang. Nama itu terlihat, EDOUARD PAUL PASCHAL.
Menggunakan tangannya, Maureen mencabuti tetumbuhan yang mengganggu. Debu
beterbangan saat ia membersihkan tempat itu, belum lagi tanah dan lumpur yang
menggumpal di bawah kukunya dan mengotori pakaiannya. Ia merapikan tempat itu
dengan tangannya dan menggosok nisan agar tulisan nama penghuni kubur tampak
jelas. Setelah puas membersihkan semampunya, Maureen meletakkan bunga di atas kuburan
itu. Dikeluarkannnya bingkai foto dari tasnya dan dipandanginya gambar itu sesaat.
Air matanya mengalir. Gambar itu mengingatkan Maureen saat masih kecil, saat usianya tak lebih dari
lima atau enam tahun, duduk di pangkuan seorang lelaki yang membacakan dongeng
untuknya. Mereka saling tersenyum bahagia, tak memerhatikan kamera yang
mengabadikan peristiwa itu.
"Hai, Ayah," bisiknya lembut pada foto itu, sebelum ia letakkan di hadapan batu
nisan. Maureen diam sesaat, matanya terpejam, hanyut da-lam usahanya mengenang setiap
detail bersama sang ayah. Di luar foto itu, ia tidak memiliki banyak kenangan
tentang sang ayah. Selepas kematian beliau, ibunya melarang Maureen membicarakan lelaki
itu atau perannya dalam kehidupan Maureen.
Ia dihilangkan begitu saja dari kehidupan mereka, begitu juga keluarganya.
Maureen dan ibunya pindah ke Irlandia tak lama setelah peristiwa itu. Masa
lalunya di Lousiana berubah menjadi kenangan suram seorang anak yang trauma dan
tidak bahagia. Tadi pagi, Maureen menelusuri buku telepon New Orleans, mencari penduduk bernama
Paschal. Ada beberapa, sebagian sepertinya tidak asing. Tapi Maureen cepatcepat
menutup buku itu. Ia tidak benarbenar berniat mengontak salah seorang yang
kemungkinan adalah kerabatnya. Tidak setelah semua kejadian ini, dan pastinya
tidak sekarang. Pengalaman itu pasti lebih dari sekadar latihan mengingat.
Maureen mengusap foto itu sebagai tanda perpisahan, kemudian menyapu air mata
dengan tangannya yang kotor hingga meninggalkan bekas di wajahnya. Ia tidak
peduli. Ia berdiri dan berjalan tanpa menengok ke belakang, lalu berhenti di
luar gerbang masuk utama. Di dalam area pemakaman itu, berdiri sebuah kapel
putih sederhana. Salib perunggu yang menjadi mahkota gedung itu berkilau ditimpa
matahari selatan. Mauren memandang gereja itu lewat jeruji pagar, seperti orang asing menatap ke
dalam. Ia melindungi matanya dari kilauan cahaya salib perunggu lalu membalikkan badan
dari gereja dan melangkah pergi.
Kota Vatikan Juni 2005 Tomas Cardinal DeCaro berdiri dari kursi kerjanya dan menatap ke halaman terbuka
di luar jendela. Matanya yang sudah berumur bukan satusatunya hal yang perlu diistarahatkan dari
kertas kuning di atas mejanya. Pikirannya perlu rehat untuk kemudian merenungkan
informasi yang baru ia terima pagi ini. Terjadi gempa bumi. Itu yang pasti. Yang
belum ia ketahui adalah seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan musibah ini
dan siapa orang yang menjadi korban.
DeCaro membuka laci paling atas untuk melihat barang yang memberinya kekuatan di
saat-saat seperti ini. Potret Paus Yohanes XXIII Yang Diberkati di bahwa tajuk
Vatican Secundum Vatican II.
Di bawah potret itu tertulis kutipan dari seorang pemimpin besar dan visioner
yang telah banyak berkorban demi mengangkat Gereja yang ia cintai ke dunia
kontemporer. Meski DeCaro telah hapal kutipan itu, ia masih takut membacanya:
"Bukanlah injil yang telah berubah. Akan tetapi kita yang mulai memahaminya
lebih baik. Sudah tiba waktu untuk merenungkan isyarat-isyarat masa, untuk
merebut kesempatan, dan berpandangan jauh ke depan."
Di luar, musim panas tengah menjelang, menjanjikan hari yang indah di Roma.
DeCaro memutuskan absen beberapa jam untuk berjalan-jalan menelusuri Kota Abadi
kesayangannya. Ia perlu berjalan-jalan, ia perlu merenung, dan lebih dari semua itu, ia perlu
berdoa untuk mendapatkan bimbingan. Barangkali roh Paus Yohanes yang baik
berkenan membantunya menemukan jalan untuk melewati krisis yang menghadang.
... Bartolomeusdalangkepada kami lenai Filipus. seorang lagi kalangan kami yaig
disalahpahanadan aku akan mengaku sekarang bahwa pada analnya aku salah
menilainya. Dulu ia adalah pengikut Yohanes. sang Umbaptis. dan aku mengena/
dirinya lenaihubungan ifu. Karenanya, buluh waktu cukup lama sebelum aku belaiar
untuk memercavai Fib'ous.
Filipus adalah k lak i misterius. Ia seorang yang praktis dan terpelajar.
Dengann ya, aku bisa berbkara dalam bahasa Heknis bahasa yangjuga aku pe/ajari.
la berasal dari keluarga terliormat. dilahirkan di Bethsakla. Namun sejak lama
ia memilih hidup dalam kesedarhanaan, menghindari jebakan dalam kehidupan
terhormat. Karakter ini iapelajaripertama kali dari Yohanes. Darihiar. Filipus terkesan
keras kepala dan senang menantang, tapi di balik itu ia ringan hati dan berbudi
baik. Tak ada sesuatu pun dalam diri Filipus yang akan mencelakakan makhluk hidup la
terutama sangat ketat dalam kebiasaan makan dan tak akan mengonsumsi makanan
yang membuathenan menderita.
Meskikalangan kami'hanya menyantap ikan. Filipus tidak bisa mendengarnya. Ia tak
sanggup mendengar perkataan bahwa mulut yang lembut itu dirobek dengan kail. dan
ia merasa tersiksa jika membayangkan ikan menggelepar di dalam jaring. Ia kerap
beringkar dengan Pelrus dan Andreas mengenai dikma ini! Aku sering
memikirkannya. Barangkali ia benar, dan komitmennya pada
keyakinan ini hanya satu di antara sekian banyak alasan mengapa aku
mengaguminya. Kadang aku merasa Bh'pus memiliki kemiripan dengan hewan-hewan yang sangat ia
kasihi, hewan-hewan yang melindungi diri dengan duriatau kulit keras, agar tak
ada yang mampu menembus sosok embut di balik itu. Namun ia nrmasukkan
Bartolomeus ke dalam perlindungannya saat ia mendapati lelaki itu di jalanan,
tanpa rumah tujuan, la melihat kebaikan dalam diri Barto oaieus. dan
menghadirkan kebaikan itu kepada kami.
Usai Masa Kegelapan. Filipus dan Bartolomevs m-n/adi sumber penghiburanku yang
ulama. Merekalali yangmempersiapkan segala
sesuatunya dengan cepat bersama Yusuf demi keberangkatanku ke Akxandria, tempat
aman yang jauhdarikampung halaman kami sendiri. Bartolomeus berperan pen ting
bagi anakanak. sebagaimana juga bagi kaum perempuan. Dan ia menjadi teman
kesukaan Yolianes kecil, yang mencintai semua k/aki ini. Tapi Sarah-Tamar juga
)a. kedua lelaki ini lava k mendapat tempat di surga yang dipenuhi cahaya dan
kesempurnaan untuk selama-lamanya. Kepedulian utama Filipus adalah mehitdungi
kami dan berharap kami sampai dengan selamat di terapat tujuan. Aku pikir ia
akan memenuhi segalanya, apa pun yang kuminta.
Seandainya kukatakan pada Filipus bahu a tujuan kami adahh bidan, ia pasti
mengerahkan si luruh k kualami ya agar kami sampai di sana.
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA.
KITAB PARA MURID Enam Paris 19 Juni 2005 Matahari menimbulkan percikan cahaya di permukaan Seine saat Maureen dan Peter
menyusuri tepiannya. Paris bermandikan cahaya hangat di awal musim panas, dan
mereka berdua bersantai dan menikmati pemandangan kota tercantik sedunia itu.
Masih cukup banyak waktu untuk mencemaskan pertemuan dengan Sinclair dalam dua
hari ini.

The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka tengah menikmati es krim horn, menyantap cepatcepat sebelum es itu
meleleh terkena sinar matahari dan meninggalkan sisa yang lengket.
"Mmm, kau benar, Pete. Berthillon memang es krim paling lezat di seluruh dunia.
Luar biasa." "Es krimmu rasa apa?"
Maureen ingin mempraktikkan bahasa Prancisnya. "Poivre."
"Lada?" tawa Peter meledak. "Es krimmu rasa lada?" Wajah Maureen memerah
lantaran malu, tapi ia mencoba lagi. "Pauvre?"
"Miskin" Kau memilih rasa miskin?"
"Oke, aku menyerah. Jangan menyiksaku lagi. Ini rasa
pir." "Poire. Poire adalah pir. Maaf, seharusnya aku tidak mengolok-olokmu."
"Yah, sudah jelas sekarang, siapa yang mewarisi bakat bahasa di keluarga kita."
"Itu tidak benar. Bahasa Inggrismu sangat baik." Mereka berdua tertawa,
menikmati keceriaan momen dan keindahan hari itu.
f Bangunan Notre-Dame yang megah dan bergaya Gotik mendominasi lie de la Cite
sebagaimana yang telah berlangsung selama 300 tahun. Ketika mereka mendekati
katedral itu, Peter menatap bagian luar bangunan itu yang menjelas di
hadapannya, berikut perpaduan orangorang suci dan patung-patung.
"Pertama kali melihat bangunan ini, aku berkata, 'Tuhan tinggal di sini.' Mau
masuk?" "Tidak. Lebih baik aku di luar saja bersama patung patung, di dalam bukan
tempatku." "Ini bangunan Gotik paling terkenal dan simbol kota Paris. Sebagai turis, kau
berkewajiban masuk. Lagi pula, jendela kacanya sangat mengagumkan, dan kau harus melihat jendela
bulat yang berornamen garis-garis saat diterangi matahari siang."
Maureen ragu-ragu, tapi Peter meraih tangannya dan menariknya. "Ayolah. Aku
janji dindingnya tidak akan runtuh saat kau masuk."
f Sinar matahari menembus jendela bulat yang sangat terkenal itu, menerangi Peter
dan Maureen dengan cahaya biru langit bergaris-garis merah keunguan. Peter
berkeliling, wajahnya mendongak ke jendela, perasaannya sangat tenteram. Maureen
berjalan pelan di belakangnya, berusaha mencamkan bahwa ia berada dalam bangunan
bersejarah yang memiliki nilai arsitektur tinggi, bukan sekadar gereja yang
lain. Seorang pendeta Prancis berjalan melewati mereka, memberi salam dengan
menganggukkan kepala. Maureen sedikit terpeleset saat ia lewat. Pendeta itu berhenti dan mengulurkan
tangan untuk berjaga-jaga seandainya Maureen jatuh. Ia menyatakan perhatiannya
menyangkut keadaan Maureen dalam bahasa Prancis. Maureen tersenyum dan
mengangkat tangan, sebagai isyarat bahwa ia baikbaik saja.
Peter berbalik ke samping Maureen, sementara pendeta Prancis itu melanjutkan
perjalanannya. "Kau tidak apa-apa?"
"Yah, tibatiba agak pusing. Jet lag, barangkali."
"Kau kurang tidur beberapa hari terakhir ini."
"Aku yakin itu juga berpengaruh." Maureen menunjuk ke salah satu bangku kayu
yang sejajar dengan jendela bulat itu.
"Aku akan duduk saja di situ sebentar dan menikmati keindahan jendela kaca. Kau
pergilah melihat-lihat."
Peter tampak cemas, tapi Maureen menenangkannya. "Aku baikbaik saja. Pergilah.
Aku di sini saja." Peter mengangguk lalu pergi mengelilingi katedral. Maureen duduk di bangku,
berusaha menyeimbangkan diri. Ia tidak mau mengaku pada Peter bahwa ia merasa sangat
limbung. Ini terjadi sangat cepat, dan ia tahu jika tidak segera duduk, ia pasti
jatuh. Tapi ia tidak mau mengatakan pada Peter. Barangkali ini hanya akibat jet lag bercampur kelelahan.
Maureen mengusap wajahnya, berusaha mengusir rasa pusing. Pantulan sinar
warnawarni yang berubah-ubah dari jendela bulat menerangi altar, juga salib
besar berpatung Yesus. Maureen mengedipkan mata keraskeras. Salib itu tampak
semakin besar, dan semakin besar dalam pandangannya.
Ia mencengkeram kepalanya erat-erat karena pusing yang sangat dan visi itu pun
muncul. f Petir menyambar di langit yang gelap secara tidak wajar pada Jumat siang yang
paling nestapa. Perempuan berselubung merah berjuang keras mendaki bukit untuk mencapai
puncaknya. Goresan dan luka terlihat di tubuhnya dan pakaiannya robek. Hanya
satu tujuannya, mendekati Dia.
Bunyi palu menghantam paku logam menempa logam bergema di udara, menyayat hati.
Perempuan itu akhirnya tak tahan, ia menjerit pedih, jeritan kesengsaraan
manusia yang tiada tara. Perempuan itu sampai di kaki salib, tepat ketika hujan mulai turun. Ia mendongak
kepadaNya, dan tetesan darahNya memercik ke wajah yang penuh dukacita itu,
bercampur dengan air hujan yang tak mau berhenti.
f Larut dalam visi, Maureen tidak sadar di mana ia berada. Jeritannya, gema
kepedihan Maria Magdalena, memantul
ke seisi katedral Notre-Dame, membuat para turis ketakutan dan membuat Peter
berlari cepat ke arahnya f "Kita ada di mana?"
Maureen tersadar di atas sofa dalam ruangan bersekat kayu. Wajah Peter yang
cemas ada di atas wajah Maureen ketika ia menjawab. "Di salah satu kantor
katedral." Peter mengangguk ke pendeta Prancis yang bertemu dengan mereka tadi.
Ia masuk dari pintu yang disamarkan di belakang ruangan itu, wajahnya cemas.
"Bapa Marcellah yang membantuku membawamu ke sini. Kau tidak boleh ke mana-mana
dulu." Bapa Marcel maju dan menyerahkan segelas air putih. Maureen meminumnya dengan
perasaan bersyukur. "Merci," katanya pada pendeta itu, yang mengangguk tanpa berkata-kata
lalu kembali ke belakang ruangan untuk menunggu sekiranya mereka membutuhkan
bantuannya lagi. "Maafkan aku,"
kata Maureen lemah. "Jangan berkata begitu. Ini di luar kendalimu. Kau i-ngin menceritakan apa yang
kau lihat?" Maureen mengungkapkan visi itu. Wajah Peter kian pucat dengan setiap kata.
Setelah selesai, Peter memandang Maureen dengan sangat serius.
"Maureen, aku tahu kau tak mau mendengar ucapanku ini, tapi kupikir kau
mengalami visi ilahiah."
"Jadi mungkin aku harus berkonsultasi dengan seorang pendeta?" gurau Maureen.
"Aku serius. Persoalan ini di luar lingkup pengalamanku. Tapi aku bisa
menghubungi orang yang mengetahui hal-hal semacam ini. Bicaralah dengannya,
hanya itu. Barangkali akan membantu."
"Tidak usah." Maureen berkukuh dan bangkit dari sofa.
"Kita kembali saja ke hotel agar aku bisa beristirahat. Setelah tidur, pasti aku
akan baikbaik saja."
f Maureen mampu menyingkirkan visi itu dan berjalan sendiri meninggalkan
lingkungan katedral. Ia merasa lega karena bisa keluar dari samping sehingga
tidak berpapasan lagi dengan interior bangunan tempat ikon besar Kristiani itu
berada. Setelah Maureen berbaring di kamarnya, Peter kembali ke kamarnya sendiri. Ia
duduk sebentar, memikirkan apakah ia harus menghubungi seseorang sekarang. Masih
terlalu pagi untuk menelepon ke Amerika. Peter berjalan-jalan sebentar dan
kembali setelah saatnya lebih pantas untuk menelepon.
f Di ujung sungai Seine, Bapa Marcel berjalan kembali dalam interior katedral yang
temaram. Ia diikuti seorang rohaniwan Irlandia, Uskup O'Connor, yang berusaha
mengajukan pertanyaan dalam bahasa Prancis yang berantakan.
Bapa Marcel membawanya ke sebuah bangku tempat Maureen mengalami visi, lalu
memberi penjelasan secara perlahan. Ia berusaha menjembatani kesenjangan bahasa di
antara mereka. Meski usahanya itu tulus, tapi pendeta
Prancis itu terlihat seperti sedang berbicara pada seorang idiot. O'Connor
menyudahi percakapan itu dengan kibasan tangan tidak sabar, duduk diam di bangku
itu, dan menatap salib besar di altar dengan penuh konsentrasi.
Pan's 19 Juni 2005 Gua Musketeer tidak terlalu suram di siang hari, lantaran diterangi bola lampu
mahaterang yang tak kenal ampun. Penghuninya mengenakan pakaian kasual dan tanpa
pita merah aneh terikat di leher yang menandakan mereka sebagai anggota
Persekutuan Keadilan. Sebuah replika lukisan Yohanes Pembaptis karya Leonardo da Vinci tergantung di
dinding belakang, terpisah satu blok saja dari versi orisinilnya yang tersimpan
di Louvre. Dalam lukisan tersohor ini, Yohanes menatap dari kanvas dengan senyum
penuh makna. Tangannya diangkat, jari telunjuk dan ibu jari kanannya menunjuk ke
langit. Leonardo melukis Yohanes dalam pose yang sering disebut sebagai pose
"Ingat Yohanes" ini, pada beberapa kesempatan. Makna posisi tangan itu
mengundang perdebatan selama berabadabad.
Lelaki Inggris itu duduk di kursi ujung meja seperti biasa. Punggungnya
menghadap lukisan. Seorang lelaki Amerika dan Prancis duduk di kanan dan
kirinya. "Aku tak mengerti maksudnya," kata si Inggris itu gusar. Diangkatnya buku
besampul tebal dari meja dan digoyanggoyangkannya ke dua lelaki itu. "Aku sudah
membaca dua kali. Tak ada yang baru, tak ada yang menarik perhatian kita. Atau
dia. Lalu apa" Apakah kalian memikirkan persoalan ini" Atau aku hanya berbicara
sendirian?" Ia melempar buku itu ke atas meja dengan muak. Si Amerika mengambil buku itu
lalu membuka-buka lembarannya tanpa perhatian.
Ia berhenti pada sampul lipatan dalam dan melihat foto penulisnya. "Cantik.
Mungkin itu sebabnya."
Si Inggris itu mengejek. Dasar Yankee goblok, tidak bisa mengambil kesimpulan.
Ia selalu keberatan jika orang Amerika menjadi anggota Persekutuan. Tapi si
idiot ini dari keluarga kaya raya dan berhubungan erat dengan pusaka mereka,
jadi mereka tak bisa mendepaknya.
"Dengan uang dan kekuasaannya, Sinclair bisa memperoleh lebih dari sekadar
'cantik1 dengan sekali menjentikkan jari, setiap saat selama dua puluh empat jam
sehari. Gayanya yang playboy sudah terkenal di Inggris dan Amerika. Tidak, pasti
ada sesuatu yang lebih besar dibandingkan sekadar ingin iseng-iseng saja dengan
gadis ini, dan kuharap kalian mendapat jawabannya. Segera."
"Aku hampir yakin bahwa dalam pandangan Sinclair, gadis itu adalah sang Gembala.
Tapi aku akan segera memastikannya," tutur si Prancis. "Aku akan berangkat ke
Languedoc minggu ini."
"Minggu ini sudah sangat terlambat," bentak si Inggris "Pergi paling lambat
besok. Hari ini lebih baik. Kita dikejar waktu, kalian tahu itu."
"Rambutnya merah," komentar si Amerika.
Si Inggris menggeram. "Dengan uang dua puluh euro dan kemauan, pelacur manapun
bisa berambut merah. Pergi dan selidiki mengapa gadis itu penting. Cepat. Karena
jika Sinclair mendapatkan yang ia cari sebelum kita..."
Ia tak menyelesaikan kalimatnya, memang tidak perlu. Mereka tahu persis apa yang
akan terjadi. Mereka sudah belajar dari peristiwa terakhir ketika seseorang dari kubu yang
salah, masuk terlalu jauh. Raut tersinggung tampak jelas di wajah si Amerika,
dan khayalan tentang penulis berambut merah tanpa kepala membuatnya sangat tidak
nyaman. Lelaki Amerika itu mengangkat buku karya Maureen dari meja, mengepit di
ketiaknya, lalu berjalan mengikuti teman Prancisnya menuju teriknya Paris.
f Setelah kedua bawahannya pergi, si lelaki Inggris, yang dibaptis dengan nama
John Simmon Cromwell, berdiri dan berjalan ke bagian belakang lantai dasar itu.
Di suatu sudut yang tidak terlihat dari ruang utama, terdapat ruang beratap
rendah yang menjorok ke dalam. Di sana terdapat sebuah lemari besar dari kayu
hitam. Sebuah altar kecil berdiri di sebelah kanan lemari. Di hadapannya
terdapat sebuah kayu kecil untuk bersimpuh memanjatkan doa.
Ada besi tempa yang tergantung di lemari itu, dan laci bawahnya dikunci dengan
sebuah gembok yang menyeramkan. Orang Inggris itu memasukkan tangan ke dalam
kemejanya untuk mengambil kunci yang tergantung di lehernya. Sambil berjongkok,
ia memasukkan kunci itu ke gembok dan membuka laci bawah.
Dikeluarkannya dua benda. Pertama, botol yang seperinya berisi air suci. Air itu
ia siramkan ke tulisan keemasan yang tertera di altar. Selanjutnya ia
mengeluarkan sebuah relik kecil tapi indah.
Perlahan, Cromwell meletakkan relik di atas altar dan mencelupkan tangannya ke
dalam air. Ia membasuhkan air itu ke lehernya dengan kedua telapak tangannya
sambil mengucapkan doa. Kemudian ia mengangkat relik itu setinggi mata. Lewat sebuah jendela mungil
dalam wadah yang sedianya kotak emas yang kokoh itu, sekilas tampak sesuatu yang
mirip gading gajah. Tulang manusia yang panjang, pipih, dan tidak rata,
berkeretak saat Cromwell mengintip peti pusaka itu. Didekapnya tulang itu lalu
ia membaca doa dengan khusyuk.
"Oh Guru Keadilan yang agung, ketahuilah aku tak akan mengecewakanmu. Namun kami
memohon bantuanmu. Tolonglah kami yang mencari kebenaran. Bantulah kami yang
hidup hanya untuk menjaga nama besarmu.
"Lebih dari segalanya, bantulah kami agar pelacur itu tetap pada tempatnya."
f Si Amerika, sekarang sendirian, melintasi rue de Rivoli dan berteriak di telepon
genggamnya karena lalu lintas Paris yang bising.
"Kami tak bisa menunggu lebih lama. Ia benarbenar pemberontak, benarbenar tidak
dapat dikendalikan." Suara di ujung lain juga beraksen Amerika terpelajar, bergaya
timur laut, dan samasama marah.
"Tetap pada rencana semula. Kita harus mencapai tujuan dengan cara yang rapi dan
sempurna. Lagi pula rencana itu dibuat oleh orangorang yang jauh lebih bijaksana
dibandingkan kamu," bentak suara seseorang
yang lebih tua, bermil-mil dari Paris.
"Orangorang bijak itu tidak ada di sini," balas lelaki muda itu di telepon.
"Mereka tidak melihat apa yang kulihat. Berengsek, Ayah, kapan kau akan memberi
aku kepercayaan?" "Nanti, kalau kau sudah pantas menerimanya. Sementara ini, aku melarangmu
melakukan sesuatu yang sembrono."
Pemuda Amerika itu menutup teleponnya dengan kasar sambil menyumpah-nyumpah. Ia
membelok di tikungan depan Hotel Regina, memotong lewat lokasi des Pyramides. Ia
mengangkat pandangan pada waktu yang tepat sehingga tidak bertabrakan dengan
patung Joan of Arc yang berkilau, mahakarya Fremiet.
"Sundal," makinya pada pahlawan Prancis itu, dan berhenti cukup lama untuk
meludah ke patung itu tanpa menghiraukan tatapan orang.
Pan's 20 Juni 2005 Piramida kaca I.M. Pei berkilau di pagi hari musim panas yang cerah di Prancis.
Maureen dan Peter, samasama merasa bugar setelah tidur nyenyak semalam,
mengantri bersama turis-turis lain untuk memasuki Louvre.
Peter menatap para pemandu museum di sekelilingnya yang menunggu di antrean
panjang, menggenggam buku panduan. "Aku tidak mengerti, mengapa banyak orang meributkan
Mona Lisa. Lukisan paling top di jagad ini."
"Setuju. Tapi sementara orang lain pergi kesana-ke-mari untuk melihatnya, kita
akan mendapat balkon Richelieu untuk kita sendiri."
f Maureen dan Peter membeli tiket dan memeriksa peta lantai Louvre. "Bagian mana
yang akan kita kunjungi lebih dulu?"
Maureen menjawab, "Nicolas Poussin. Aku ingin melihat Gembala Arcadia secara
langsung sebelum kita melihat yang lain."
Mereka berjalan menelusuri sayap bangunan yang berisi karya-karya besar Prancis,
memerhatikan dinding-dinding untuk menikmati mahakarya Poussin yang penuh teka-
teki.

The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maureen menjelaskan, "Tammy mengatakan bahwa lukisan ini menjadi pusat
kontroversi selama berabad abad. Louis XIV berjuang selama dua dasawarsa untuk
memilikinya. Ketika akhirnya lukisan itu ia dapatkan, ia menyimpannya di lantai
dasar Versaille agar orang lain tak bisa melihatnya. Aneh, bukan" Menurutmu,
mengapa raja Prancis itu berjuang keras untuk mendapatkan karya seni yang
penting lalu menyembunyikannya?"
"Itu menambah deretan misteri kita." Peter memeriksa nomor-nomor dalam buku
panduan sambil mendengarkan. "Menurut buku ini, lukisan itu seharusnya..."
"Di sini!" pekik Maureen. Peter menyusulnya dan mereka menatap lukisan itu tanpa
berkata-kata. Maureen memecah kebisuan, ia menoleh ke Peter.
"Aku merasa sangat bodoh. Aku seperti menunggu lukisan ini memberitahukan
sesuatu." Maureen menatap lukisan itu kembali. "Apakah kau ingin mengatakan
sesuatu, Perempuan Gembala?"
Peter tersentak dengan sebuah pikiran. "Aku tak percaya, mengapa tak terpikir
olehku sebelumnya." "Terpikir apa?"
"Ide tentang seorang perempuan gembala. Yesus ada lah Gembala Yang Baik.
Barangkali Poussin atau setidaknya Sinclair mengisyaratkan Perempuan Gembala
Yang Baik?" "Ya!" teriak Maureen, terlalu keras mengekspresikan kegembiraannya. "Barangkali
Poussin ingin menunjukkan Maria Magdalena sebagai Perempuan Gembala, pemimpin
jemaat. Pemimpin gerejanya sendiri!"
Peter meringis. "Yah, aku tidak persis mengatakan begitu..."
"Kau tak perlu mengatakannya. Tapi lihatlah, ada tulisan Latin pada kuburan di
lukisan ini." "E t in Arcadia ego," Peter membaca keraskeras. "Hmm. Tak masuk akal."
"Bagaimana terjemahannya?"
"Tak tahu. Tata bahasanya kacau."
"Kemungkinan bahasa Latin ini sangat buruk atau ini semacam kode. Terjemahan
harfiahnya adalah kalimat yang tidak lengkap, 'Dan di Arcadia aku...' tak ada
artinya." Maureen berusaha mendengarkan, tapi suara seorang wanita yang memanggil-manggil
seseorang dari seberang museum membuyarkan konsentrasinya.
"Sandro! Sandro!"
Ia melihat ke seliling, mencari sumber suara itu sebelum meminta maaf pada
Peter. "Maaf, tapi suara wanita itu sangat mengganggu."
Suara itu memanggil-manggil lagi, lebih keras dibandingkan sebelumnya, mengusik
Maureen. "Siapa itu?" Peter menatap Maureen, bingung. "Siapa apa?"
"Wanita itu memanggil..." "Sandro! Sandro!"
Maureen menatap Peter sementara suara itu semakin nyaring. Peter sama sekali
tidak mendengarnya. Maureen menoleh untuk melihat turis dan mahasiswa lain yang tengah khusyuk
menikmati karya seni bernilai tinggi. Tampaknya tak seorang pun mendengar suara
yang memanggil dengan penuh harap itu.
"Oh, Tuhan. Kau tidak mendengar, ya" Tak ada yang mendengar kecuali aku."
Peter tampak tak berdaya. "Mendengar apa?" "Ada seorang wanita memanggil dari
suatu tempat di museum ini. 'Sandro! Sandro! Ayolah!"
Maureen menarik lengan baju Peter dan berlari ke arah sumber suara. "Ke mana
kita?" "Mengikuti suara itu. Sumbernya dari arah ini." Mereka berlari melewati lorong-
lorong museum, Maureen meminta maaf sambil berlari ketika ia menabrak beberapa
pemandu museum. Suara itu berubah menjadi bisikan yang memohon dengan sangat,
tapi tetap mengajaknya ke suatu tempat.
Maureen berkeras mengikutinya. Mereka berlari kembali melewati sayap Richelieu,
tidak menghiraukan tatapan penjaga museum yang jengkel, lalu menuruni beberapa anak
tangga dan masuk ke koridor lain, melewati papan petunjuk bertuliskan sayap
Denon. "Sandro...Sandro...Sandro...!"
Suara itu mendadak berhenti saat Maureen dan Peter sampai di tangga yang mewah
melewati patung dewi Nike dengan segala kejayaannya.Setelah sampai di atas
tangga, mereka berbelok ke kanan dan berhadap-hadapan
dengan dua mahakarya Renaisans Italia yang kurang terkenal. Peter yang pertama
berkomentar. "Lukisan frescoi Botticelli."
Suatu pengetahuan muncul di kepala mereka secara berbarengan. "Sandro.
Alessandro Botticelli."
Peter memandang fresco itu lalu menoleh pada Maureen. "Wow, bagaimana kau
melakukannya?" Maureen gemetar. "Aku tidak tahu. Aku hanya mendengarkan dan mengikuti."
Mereka mengalihkan perhatian ke sosok yang nyaris berukuran seperti aslinya
dalam lukisan-lukisan fresco yang berjejer. Peter menerjemahkan tulisan pada
plakat. "Fresco pertama ini diberi judul Venus dan Tiga Dewi mempersembahkan
hadiah kepada seorang perempuan muda. Yang kedua diberi judul Seorang Pemuda
Bersama Venus "Menghadap Seniseni Libera/. Fresco yang dibuat untuk pernikahan
Lorenzo Tornabuoni dan Giovanna Albizzi."
"Ya, tapi mengapa ada tanda tanya setelah Venus?" Maureen bertanya.
Peter menggeleng. "Mereka pasti tidak yakin bahwa ia subjeknya."
Lukisan itu tampak elegan tapi merupakan gambaran aneh seorang pemuda yang
memegang tangan seorang perempuan berbalut jubah merah. Mereka berhadapan dengan
tujuh perempuan, tiga di antara mereka memegang objek yang tidak lazim dan
ganjil; seorang menggenggam kalajengking hitam yang sangat besar dan tampak
ganas, sedangkan perempuan di sebelahnya memegang busur. Perempuan lainnya
memegang alat 1 Teknik melukis pada medium gips basah atau kering yang kemudian dipecah
menjadi sejumlah bagian, mengikuti kontur objek yang dilukis.
arsitek dalam posisi yang canggung.
Peter mengungkapkan isi pikirannya. "Tujuh seni liberal. Ranah pembelajaran
tingkat tinggi. Lukisan ini menyampaikan bahwa pemuda ini berpendidikan tinggi?"
"Tujuh seni liberal itu apa?"
Sambil memejamkan mata untuk mengingat mata kuliah klasiknya, Peter mengutip.
"Trivium, atau tiga jalur ilmu utama, adalah tata bahasa, retorika, dan logika.
Yang empat lagi, quadrivium, adalah matematika, geometri, musik, dan kosmologi.
Semua ini diilhami oleh Pytha goras dan perspektifnya bahwa semua angka
mencerminkan ilmu pola berdasarkan waktu dan ruang."
Maureen tersenyum padanya. "Sangat mengesankan. Sekarang bagaimana?"
Peter mengangkat bahu. "Aku tidak tahu bagaimana hal ini masuk ke dalam puzzle
kita yang kian besar."
Maureen menunjuk kalajengking itu. "Mengapa sebuah lukisan pernikahan
menggambarkan seorang perempuan memegang serangga besar yang sangat beracun" Ini
lambang seni liberal yang mana?"
"Aku tidak tahu pasti." Peter melangkah sedekat mungkin ke lukisan fresco yang
dipisahkan dengan pembatas lalu menjorokkan badannya. "Tapi lihatlah lebih
dekat. Kalajengking itu lebih hitam dan lebih jelas dibandingkan bagian lukisan
lainnya. Lebih jelas dibandingkan semua objek yang dipegang perempuanperempuan
ini. Sepertinya kalajengking itu..."
Maureen menyelesaikan ucapan Peter. "Ditambahkan belakangan."
"Tapi oleh siapa" Sandro sendiri" Atau seseorang yang ingin merusak fresco
mahakarya ini?" Maureen menggeleng, bingung dengan penemuan
mereka f Setelah membeli kopi krim di kedai kopi Louvre, Maureen berbelanja bersama
Peter. Ia memilih duplikat lukisan lukisan yang telah mereka amati, juga sebuah
buku tentang kehidupan dan karya Botticelli.
"Aku berharap bisa tahu lebih banyak tentang asal-usul fresco itu."
"Aku lebih tertarik untuk mengetahui asal-usul suara yang mengarahkanmu ke
fresco itu." Maureen meneguk kopinya sebelum menjawab. "Apa, ya" Alam bawah sadar" Petunjuk
Tuhan" Kegilaan" Hantu Louvre?"
"Seandainya saja aku bisa menjawab, tapi aku tidak bisa."
"Katanya kau ini penasihat spiritual," gurau Maureen, lalu mengalihkan perhatian
ke duplikat lukisan Botticelli yang telah ia keluarkan dari bungkusnya. Ketika
cahaya yang terpantul dari piramida kaca menerpa kertas itu, Maureen mendapat
ilham. "Tunggu sebentar. Bukankah kau tadi mengatakan bahwa kosmologi adalah salah satu
seni liberal?" Maureen menunduk ke cincin tembaga yang ia kenakan.
Peter mengangguk. "Astronomi, kosmologi. Ilmu bintang. Kenapa?"
"Cincinku. Orang di Yerusalem yang memberikannya mengatakan bahwa ini adalah
cincin seorang kosmolog."
Peter menutup wajahnya dengan tangan seolah dengan melakukannya ia bisa
memperoleh jawaban. "Jadi apa hubungannya" Apakah kita harus melihat ke
bintangbintang untuk mendapatkan jawaban?"
Maureen mengangkat jarinya ke perempuan misterius yang memegang serangga hitam
yang sangat besar. Ia nyaris melompat dari kursinya saat berteriak, "Scorpio!"
"Apa?" "Ini simbol astrologis untuk Scorpio. Dan perempuan di sebelahnya memegang
busur. Simbol Sagitarius. Dalam zodiak, letak Scorpio dan Sagitarius
bersebelahan." "Jadi menurutmu ada semacam kode dalam fresco itu yang berhubungan dengan
astronomi?" Maureen mengangguk pelan. "Paling tidak, gambaran itu adalah langkah awal untuk
memecahkan misteri kita."
f Cahaya Paris menembus jendela kamar hotel Maureen, menerpa barangbarang yang
terletak di sampingnya, di atas tempat tidur. Ia tertidur ketika membaca buku
Botticelli, dan lukisan Poussin tergeletak di samping yang lain.
Maureen tidak menyadari keberadaan barangbarang itu. Sekali lagi, ia hanyut
dalam sebuah mimpi. f Dalam kamar berdinding batu, temaram dengan lentera minyak, seorang perempuan
tua menghampiri meja. Kerudung merah pucat menutupi rambut panjangnya yang
kelabu. Tangannya yang terserang rematik menggerakkan pena bulu ayam dengan
hatihati di atas sehelai kertas.
Peti kayu besar adalah satusatunya ornamen dalam ruangan itu. Perempuan tua itu
berhenti menulis, berdiri dari kursinya, dan berjalan perlahan menuju peti.
Dengan sendi yang sudah rapuh, ia membungkuk hatihati dan membuka penutupnya
yang berat. Sambil menoleh dari bahunya, senyum tulus dan penuh makna tampak di
wajahnya. Ia menoleh pada Maureen dan mengajaknya mendekat, Paris 21 Juni 2005
Sebagai penghormatan yang manis terhadap keeksentrikan Gaul, jembatan tertua di
Paris, Pont Neuf, kerap disebut sebagai "Jembatan Baru". Jembatan ini menjadi
nadi utama kehidupan Paris, membelah Seine untuk menghubungkan Kota
Administratif Pertama dengan jantung Tepian Kiri.
Peter dan Maureen melewati patung Henri IV, salah seorang raja Prancis yang
paling dicintai, di atas jembatan. Sarana transportasi ini selesai dibangun pada
tahun 16D6, ketika sang raja memerintah dengan penuh toleransi. Pagi itu sangat
indah, penuh dengan percik percik pesona yang menjadi ciri khas Kota Cahaya yang
tiada banding ini. Namun, meski pemandangan di sekelilingnya sempurna, Maureen
merasa gugup. "Jam berapa sekarang?"
"Bertambah lima menit dari saat terakhir kau bertanya," jawab Peter tersenyum.
"Maaf. Aku mulai merasa gelisah."
"Di surat itu ia mengatakan akan bertemu di gereja pada tengah hari, Sekarang
baru jam sebelas. Masih banyak waktu." Mereka menyeberangi Seine dan mengikuti peta, menuju jalanjalan Tepian Kiri yang
berkelok-kelok. Dari Pont Neuf mereka masuk ke rue Dauphine, melewati stasiun kota Odeon lalu ke
rue Saint-Sulpice, dan berakhir di taman yang bak lukisan dengan nama yang sama.
Menara lonceng gereja yang sangat besar dan tidak serasi mendominasi taman,
memayungi air mancur terkenal yang dibangun oleh Visconti pada 1844. Ketika
Maureen dan Peter memasuki pintu masuk yang kelewat besar, Peter merasakan
keragu-raguan sepupunya. "Kali ini aku tak akan meninggalkanmu." Peter menggenggam tangan Maureen untuk
membesarkan hatinya lalu membuka pintu gereja yang megah.
f Mereka masuk dengan membisu. Ada sekelompok turis di kapel pertama di sebelah
kanan. Kelihatannya mereka adalah mahasiswa seni dari Inggris. Dengan suara pelan,
dosen mereka memberi kuliah tentang tiga mahakarya Delacroix yang menghiasi
tempat itu: Yakub Berdebat dengan Malaikat, Heliodorus Diusir dari Rumah Tuhan,
dan Santo Mikael Mengalahkan Setan, Pada
kesempatan lain, Maureen pasti tertarik untuk memandang karya seni terkenal dan
menguping kuliah dalam bahasa Inggris itu, tapi sekarang pikirannya tertuju pada
hal lain. Mereka melewati mahasiswa Inggris itu dan terus menuju perut gedung. Keduanya
terpesona dengan bangunan bersejarah yang luar biasa megah itu. Nyaris secara
naluriah, Maureen mendekati altar yang dibatasi sepasang lukisan besar. Tinggi
masingmasing lukisan itu sekitar tiga puluh kaki. Yang pertama menggambarkan dua orang perempuan seorang
mengenakan jubah biru, dan satunya lagi merah.
"Maria Magdalena dan Bunda Perawan?" tebak Maureen.
"Dari warna pakaiannya sepertinya begitu. Vatikan mengeluarkan dekrit bahwa
Bunda Maria hanya digambarkan dalam pakaian biru atau putih."
"Dan Magdalena selalu dalam pakaian merah."
Maureen pindah ke lukisan lain yang juga mengapit altar. "Lihat yang ini..."
Lukisan itu mengambarkan Yesus yang terbaring di malamnya, sementara Maria
Magdalena tampaknya sedang mempersiapkan penguburan jasadNya. Bunda Maria dan dua
perempuan lain menangis di sudut lukisan itu.
"Maria Magdalena mempersiapkan penguburan jasad Kristus" Ini tidak disebutkan
dalam Injil, bukankah begitu?"
"Markus lima belas dan enam belas menyebutkan bahwa Magdalena dan
perempuanperempuan lain membawa rempahrempah ke makam yang barangkali mereka
gunakan untuk mengurapi Kristus. Tapi kitab itu tidak menggambarkan prosesi ini
secara khusus." "Hmm," Maureen berpikir. "Dan di gambar ini Maria Magdalena sedang melakukannya.
Bukankah dalam tradisi Ibrani, pengurapan jasad untuk dimakamkan hanya boleh
dilakukan oleh..." "Istri," jawab suatu suara pria bangsawan dengan aksen Skotlandia yang kental.
Maureen dan Peter langsung menoleh ke lelaki yang muncul dari belakang mereka
secara tibatiba. Kehadirannya menyedot perhatian mereka. Ia luar biasa tampan,
pakaiannya necis. Namun meski busana dan pembawaannya menunjukkan keningratan,
ia tidak terkesan mem bosankan. Bahkan sebenarnya, segala sesuatu mengenai Berenger
Sinclair tidak terlalu konvensional, benarbenar orisinil. Pangkasan rambutnya
sempurna, meski agak terlalu panjang untuk diterima di House of Lords. Ia
mengenakan kemeja sutra Versace, alih-alih Savile Row. Arogansi alamiah disertai
keistimewaan luar biasa diimbangi dengan humor senyuman penggoda dan nyaris
kekanakkanakan selalu siap muncul saat ia berbicara. Maureen langsung terpesona,
merasa takjub saat ia menyimak kelanjutan penjelasannya.
"Hanya seorang istri yang diizinkan mempersiapkan jasad suaminya untuk
dikuburkan. Kecuali jika ia tidak menikah, dalam kasus ini ibunyalah yang
mendapat kehormatan itu. Seperti yang kalian lihat dalam lukisan ini, ibunda
Yesus hadir, tapi jelas bukan ia yang melakukan tugas itu. Sehingga hanya ada
satu kesimpulan." Maureen menatap lukisan itu, lalu kembali ke lelaki karismatik yang berdiri di
depannya. "Maria Magdalena adalah istriNya," tutur Maureen menuntaskan.
"Bravo, Nona Paschal." Lelaki Skotlandia itu membungkuk seperti di panggung
teater. "Tapi maafkan aku karena sudah bersikap tidak sopan. Lord Berenger
Sinclair, siap membantu Anda."
Maureen melangkah maju untuk menyambut tangannya, tapi Sinclair mengejutkannya
dengan

The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggenggam tangan Maureen cukup lama. Ia tidak langsung melepaskan, malah
membalikkan tangan mungil Maureen ke atas tangannya yang besar. Lalu jarinya menyentuh
cincin Maureen. Ia tersenyum kembali pada Maureen,
sedikit nakal, dan mengedipkan mata.
Maureen tidak bisa berkonsentrasi. Sebenarnya, ia sudah berkali-kali bertanya
dalam hati, lelaki seperti apa Lord Sinclair ini. Apa pun yang ia bayangkan,
tidak seperti yang ia lihat sekarang.
Maureen berusaha tidak terbata-bata saat berbicara.
"Kau sudah kenal aku." Lalu ia mengenalkan Peter. "Ini..."
Sinclair memotong. "Bapa Peter Healy, tentu saja. Sepupumu, jika aku tidak
salah" Kau sudah pernah ke sini tentunya." Ia melirik jam tangan Swissnya yang
trendi dan luar biasa mahal. "Kita tidak punya waktu banyak. Ayolah, ada
beberapa benda yang kupikir menarik dilihat."
Sinclair berbicara lewat bahunya sambil berjalan cepat cepat melintasi gereja.
"Sambil lalu saja, tak usah repot-repot melihat buku panduan yang dijual di
sini. Lima puluh halaman tanpa menyebutkan Maria Magdalena sama sekali. Seolah
dengan mengabaikannya, ia akan hilang begitu saja."
Maureen mengikuti langkahnya yang cepat, dan berhenti di sebelahnya ketika
sampai di depan altar samping lain yang berukuran kecil. "Seperti yang akan
kalian lihat, ia digambarkan dalam beberapa bagian gereja ini, tapi dengan
sengaja diabaikan. Ini salah satu contoh yang bagus."
Sinclair memimpin mereka ke sebuah patung marmer yang besar dan elegan. Sebuah
Pieta, patung klasik Bunda Maria memangku tubuh Kristus yang terluka parah. Di
sebelah kanannya, berdiri Maria Magdalena yang menyandarkan kepalanya ke bahu
Bunda Maria. "Buku panduan hanya menyebutkan patung ini dengan 'Pieta, abad 18 Italia'. Tentu
saja, Pieta tradisional menunjukkan Bunda Maria memangku putranya setelah penyaliban.
Penyertaan Maria Magdalena dalam karya ini sangat tidak ortodoks, tapi...diabaikan
secara sengaja." Sinclair mendesah dan menggelenggelengkan kepala lantaran ketidakadilan ini.
"Lalu, apa teorimu?" tanya Peter, sedikit lebih pedas dibandingkan yang ia
niatkan. Sesuatu dalam kearogansian Sinclair membuatnya gusar. "Apakah ada
konspirasi Gereja untuk menghilangkan Maria Magdalena?"
"Silakan menyimpulkan sendiri, Bapa. Tapi aku akan bercerita pada kalian bahwa
di Prancis, jumlah gereja yang dipersembahkan kepada Maria Magdalena lebih
banyak dibandingkan yang dipersembahkan kepada orang suci lainnya, termasuk Bunda Maria. Bahkan ada satu
wilayah di Paris yang mengambil nama beliau aku rasa kalian pernah ke
Madeleine?" Maureen tibatiba tersadar. "Baru terpikir olehku, Madeleine adalah sebutan
Prancis untuk Magdalena, bukan?"
"Tepat. Pernahkah kalian ke gerejanya yang berada di Madeleine" Sebuah bangunan
yang sangat megah, benarbenar didedikasikan kepadanya. Tapi pada awalnya tak
satu pun karya seni dan dekorasi di sana yang menggambarkan Maria Magdalena.
Tidak satu pun. Aneh, bukan" Mereka menambahkan pahatan Marochetti di atas
altar. Konon nama aslinya Asumsi Bunda Maria, lalu diubah menjadi Asumsi Maria
Magdalena karena tekanan...yah, mereka yang peduli pada kebenaran."
"Aku rasa kau akan mengatakan bahwa Marcel Proust juga menamakan kuenya
Magdalena," sindir Peter. Berlawanan dengan Maureen yang langsung terpesona, ia
merasa jengkel dengan keyakinan Sinclair yang kurang sopan.
"Yah, mereka membuat bentuk seperti cangkang kerang karena suatu alasan."
Sinclair mengangkat bahu, membiarkan Peter memikirkan sendiri ucapannya
sementara ia berjalan mendekati Maureen ke depan Pieta.
"Hampir seakan-akan mereka berusaha menghilangkan dia," komentar Maureen.
"Ya, Nona Paschal. Banyak orang yang berusaha membuat kita melupakan warisan
Magdalena. Tapi kehadirannya begitu kuat. Dan seperti yang telah kaulihat, ia
tidak akan dilupakan, terutama..."
Lonceng gereja berdentang pada jam dua belas siang, memotong jawaban Sinclair.
Lelaki itu malah mengajak mereka untuk cepatcepat ke bagian gereja yang lain. Ia
menunjuk suatu garis meridian tipis dari perunggu yang menempel di lantai
gereja, memanjang dari utara ke selatan. Garis itu berakhir di sebuah tugu
marmer bergaya Mesir, disertai sebuah bola bumi keemasan dan salib di atasnya.
"Ayo, cepat. Sekarang sudah tengah hari, kalian harus melihatnya. Perisitiwa ini
hanya terjadi setahun sekali."
Maureen menunjuk garis perunggu. "Itu apa?"
"Meridian Paris. Membelah Prancis secara menarik. Tapi coba lihat di atas sana."
Sinclair menunjuk sebuah jendela di atas dinding seberang mereka. Ketika mereka
menengadah, sebersit cahaya matahari bersinar melalui jendela dan menukik ke
bawah menerangi garis perunggu yang menempel di batu itu. Mereka menyaksikan
cahaya itu menari di lantai gereja, mengikuti garis perunggu.
Cahaya itu naik ke tugu hingga mencapai bola bumi
dan menerangi salib keemasan yang bermandikan cahaya.
"Indah, bukan" Posisi gereja ini disesuaikan untuk menandai titik balik matahari
dengan sempurna." "Indah sekali," kata Peter sepakat. "Sebenarnya aku tidak suka menentang
ocehanmu, Lord Sinclair, tapi ada alasan religius yang absah untuk peristiwa
ini. Paskah ditandai pada hari Minggu setelah bulan purnama pasca-terjadinya
ekuinoks musim semi.z Menciptakan sesuatu untuk mengidentifikasi ekuinoks dan
titik balik matahari tidak lazim dilakukan gereja."
Sinclair mengangkat bahu dan menoleh pada Maureen. "Dia benar juga."
"Tapi ada hal lain berkenaan dengan Meridian Paris ini, bukan?"
"Sebagian orang menyebutnya Garis Magdalena. Garis itu sama dengan garis di peta
yang aku kirimkan padamu. Garis itu bermula di Amiens dan berakhir di
Montserrat. Jika kau ingin tahu apa sebabnya, temui aku di rumahku di Languedoc
dua hari lagi. Aku akan menunjukkan alasannya, dan lebih banyak lagi. Oh, aku
hampir lupa." Sinclair mengeluarkan satu amplop mewah berwarna krem dari saku bagian dalam.
"Aku tahu kalian kenal dengan seorang pembuat film yang menyenangkan, Tamara
Wisdom. Ia akan datang ke pesta kostum kami di akhir minggu. Aku harap kalian
mau bergabung. Dan aku juga sangat berharap kalian mau menginap sebagai tamu di chateauku."
Maureen memandang Peter untuk melihat reaksinya. Mereka sama sekali tidak
menduga akan mendapat 2 Jatuh sekitar tanggal 23 September, salah satu dari dua hari setiap tahun kala
matahari melintasi khatulistiwa dan panjang siang dan malam sama.
undangan ini. "Lord Sinclair," kata Peter. "Maureen telah bepergian jauh untuk memenuhi
pertemuan ini. Dalam surat, kau berjanji memberi jawaban..."
Sinclair memotong ucapannya. "Bapa Healy, orang menghabiskan waktu dua ribu
tahun untuk memahami misteri ini. Kau tidak bisa berharap mengetahui segalanya dalam satu
hari. Pengetahuan sejati harus dihargai, bukan" Sekarang aku sudah terlambat
untuk suatu pertemuan, dan harus cepatcepat pergi."
Maureen memegang lengan Sinclair untuk menahannya. "Lord Sinclair, dalam surat
itu kau menyebut tentang ayahku.
Aku harap setidaknya kau mau menceritakan apa yang kau ketahui tentang dia."
Sinclair menatap Maureen, sikapnya melunak. "Manis," katanya ramah, "aku
menyimpan surat yang ditulis oleh ayahmu. Aku rasa kau akan sangat tertarik.
Surat itu tidak aku bawa, tapi ada di chateau.
Itulah salah satu alasanku memintamu datang dan menginap di sana. Dan Bapa Healy
juga, tentunya." Maureen membisu. "Surat" Apakah kau yakin surat itu ditulis ayahku?"
"Bukankah nama ayahmu Edouard Paul Paschal, dieja dengan bahasa Prancis" Dan
bukankah ia menetap di Lousiana?"
"Ya," jawab Maureen hampir berbisik.
"Maka surat itu pasti darinya. Aku menemukannya dalam arsip keluarga kami."
"Tapi apa isinya?"
"Nona Paschal, akan sangat tidak adil bagiku jika harus mengatakannya karena
ingatanku tidak baik. Aku akan dengan senang hati menunjukkannya padamu saat kau datang ke Languedoc. Sekarang,
aku benarbenar harus pergi. Aku sudah terlambat. Jika kau membutuhkan sesuatu,
telepon saja nomor di surat undangan itu dan berbicaralah dengan Roland. Ia akan
membantu apa pun kebutuhanmu. Apa saja, tinggal katakan."
Sinclair cepatcepat pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Ia melontarkan
ucapan terakhir lewat bahunya. "Oh, dan aku rasa kau sudah mempunyai peta. Ikuti
saja Garis Magdalena."
Bunyi langkah kaki lelaki Skotlandia itu, yang mening galkan gereja dengan
tergesagesa, bergaung di gereja yang beratap tinggi.
Tinggallah Maureen dan Peter saling menatap tak berdaya.
f Maureen dan Peter membicarakan pertemuan aneh mereka dengan Sinclair saat makan
siang di suatu kafe Tepian Kiri. Opini mereka tentang Sinclair berbeda-beda.
Peter curiga hingga ke batas jengkel.
Maureen terpesona hingga ke batas terpikat.
Usai makan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan menelusuri Jardin du
Luxembourg. Sebuah keluarga dengan anakanak yang nakal tengah berpiknik di taman saat mereka
lewat. Dua anak yang lebih kecil berlari mengejar bola, dan ke arah satu sama
lain, sementara kakak-kakak dan orangtua mereka memberi semangat. Peter berhenti
untuk menonton mereka, ekspresi wajahnya sendu.
"Ada apa?" tanya Maureen memerhatikan.
"Tidak apa-apa. Aku cuma memikirkan orangorang di rumah. Saudarasaudara
perempuanku, anakanak mereka.
Kautahu, sudah dua tahun aku tidak pulang ke Irlandia. Apalagi kau, lebih lama
lagi." "Dengan pesawat, hanya memakan waktu satu jam saja dari sini."
"Aku tahu. Percayalah, aku juga memikirkannya. Kita lihat saja nanti. Jika ada
waktu, aku akan pergi ke sana selama beberapa hari."
"Pete, aku sudah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri. Mengapa kau tidak
mengambil kesempatan selagi di sini?"
"Dan meninggalkanmu di tangan Sinclair" Kau sudah gila, ya?"
Bola yang kini berada dalam kekuasaan anak yang lebih tua, melayang ke arah
Peter. Ia menahannya dengan kaki lalu menendangnya ke arah anakanak itu. Setelah
melambaikan tangan untuk menyemangati mereka, Peter melanjutkan jalanjalannya bersama Maureen.
"Apakah kau pernah menyesali keputusanmu?"
"Keputusan apa" Pergi bersamamu?"
"Bukan. Menjadi pendeta."
Peter berhenti mendadak, kaget mendengar pertanyaan itu.
"Mengapa kau bertanya seperti itu?"
"Mengawasi kau tadi. Kau suka anakanak. Kau bisa menjadi seorang ayah yang
hebat." Peter melanjutkan langkahnya saat menjelaskan. "Tak ada penyesalan. Aku
merasakan panggilan dan aku mengikutinya.
Aku masih merasakan panggilan itu dan rasanya aku
akan selalu merasakannya. Aku tahu, kau sulit memahami hal ini."
"Aku masih sulit memahaminya." "Hmm. Kautahu apa yang ironis?" "Apa?"
"Kaulah alasanku menjadi pendeta."
Sekarang giliran Maureen yang berhenti. "Aku" Bagaimana" Mengapa?"
"Aturan gereja yang ketinggalan zaman membuatmu menjauhi iman. Ini sering
terjadi, tapi sebenarnya tak perlu. Dan sekarang ada banyak ordo ordo pemuda, progresif, cendekiawan yang berusaha
memasukkan spiritualitas ke dalam abad dua puluh satu sehingga mudah diakses
kalangan muda. Aku mendapatkan ini dalam Yesuit yang pertama kutemukan di
Israel. Mereka berusaha mengubah sebab yang
membuatmu menjauh. Aku ingin berpartisipasi dalam usaha itu.
Aku ingin membantumu menemukan keimananmu lagi. Kau, dan orangorang lain yang
sepertimu." Maureen menatap Peter, berusaha keras menahan air mata yang menggenang di balik
matanya. "Mengapa tidak kau katakan padaku sebelumnya." Peter mengangkat bahu. "Kau tak
pernah bertanya." ... Penderitaan terak/iir Easa adalah siksaan berai bagi kami. terutama bagi
Petrus. Tidak jarang ia menangis dalam tidurnya, namun ia tak mau memberitahu
apa sebabnya, tak pula ia mengizinkan kami meno/o/ignya. Akhirnya aku mengetahui
kebenaran itu dari mulut Bartolomeus. la mngatakan bahwa Filipus tidak berniat
melukaiku dengan kenangan buruk seperti itu. Namun setiap malam.
Filipus dihantui pikiran tentang penderitaan Easa. tentang bagaimana ia terluka.
Lelaki-klaki itu menunjukkan rasa hormatnya padaku, seakan aku/ah satusatunya
orang di antara kami yang mengetahui semangat Easa.
Selama kami di Mesir, Bartolomeus menjadi muridku yang pahng berbakti, la ingin
tahu sebanyak mungkin dan setepat mungkin, la begitu bersemangat, haus ilmu, bak
seorang kelaparan merindukan roti. Seakanakan penderitaan Easa menimbulkan
hmangdalam dirinya, yang hanya bisa diisi dengan ajaranajaran JaktnNya.
Belakangan aku tahu. ada suatu panggilan kltusus yang membuatnya
menyebarkan firman-firman Cinta dan Cahaya ke seluruh bumi. dan bahwa orang lain
akan berubah olehnya. Maka sedap malam, ketika anakanak dan yang/ainnya terklap.
kuberitakan rahasia-rahasia itu kepada Bartolomeus, Ia akan siap ketika waktunya
tiki. Tapi aku tak tahu bagaimana jika aku adalali dia. Aku mencintainya seperti darah
dagingku sendiri. Dan aku mencemaskannyakarena keindahan dan kemurniannya tak akan dipahami deh
orang lain sebagaimana yang dipahami orang-ang v.mg sangat mencintainya. Dia l
laki yang jujur. or INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB PARA MURID
Tujuh Wilayah Languedoc, Prancis 22 Juni, 2005
Kehijauan wilayah pedesaan Prancis berkelebat di jendela kereta api berkecepatan
tinggi. Perhatian Maureen dan Peter tidak tertuju pada pemandangan, melainkan
terserap sepenuhnya ke berbagai peta, buku, dan kertas yang terserak di hadapan
mereka. "Et in arcadia ego," gumam Peter sembari menulis asalasalan di buku catatan
warna kuning. "Et ... in
... Arcadia ... e-go ..."
Ia begitu khusyuk memerhatikan peta Prancis, khususnya bagian tengah yang
bergaris merah. Ia menunjuk garis itu. "Lihatlah, garis Meridian Paris melewati
Languedoc, di sebelah bawah, di kota ini. Arques. Nama yang sungguh menarik."
Peter melafalkan nama kota itu, bunyinya mirip dengan "Ark".
"Seperti pada Noah's Ark (Bahtera Nuh) atau Ark of the Covenant (Tabut
Perjanjian)?" Maureen sangat penasaran, ke mana persoalan ini mengarah.
"Tepat. Ark adalah kata Latin yang multimakna. Umumnya berarti wadah, tapi bisa
juga berarti kuburan. Tunggu sebentar, lihat yang ini."
Peter mengambil buku catatan itu lagi, juga pena. Ia mulai menggoreskan huruf-
huruf Et in Arcadia ego. Di bagian atas kertas, ia menulis ARK dengan huruf
kapital hitam. Di bawahnya, ia menulis ARC
dengan gaya yang sama. Maureen mendapat ide. "Oke, bagaimana jika begini" ARC. ARC - ADIA. Barangkali
kata ini mengacu pada suatu tempat legendaris di Arcadia. Barangkali, Arcadia adalah
gabungan beberapa kata" Apakah ada artinya dalam bahasa Latin?"
Peter menulis dengan huruf kapital: ARC A DIA "Bagaimana?" tanya Maureen tidak
sabaran. "Apakah ada artinya?"
"Jika ditulis seperti ini, bisa berarti 'Bahtera Tuhan'. Dengan sedikit
imajinasi, kalimat ini bisa berarti
'dan dalam Bahtera Tuhan aku berada'."
Peter menunjuk kota Arques di peta. "Barangkali kautahu tentang sejarah Arques"
Jika ada legenda suci yang terkait dengan kota ini maka kalimat itu bisa berarti
'dan dalam desa Tuhan aku berada'. Ini hanya perkiraan, tapi inilah jawaban
terbaik yang bisa kupikirkan."
"Permukiman Sinclair berada tepat di luar Arques."


The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, tapi bukankah itu tidak menjelaskan mengapa Nicolas Poussin membuat lukisan
itu empat ratus tahun lalu" Atau mengapa kau mendengar suarasuara di Louvre
ketika kau memandang lukisan ini.
Kupikir, kita mesti memisahkan Sinclair dari persoalan-persoalan ini barang
sejenak." Peter berkeras menyingkirkan pentingnya Sinclair dari pengalaman Maureen. Gadis
ini telah beberapa tahun menerima visivisi Magdalena, jauh sebelum ia mendengar
tentang Berenger Sinclair.
Maureen mengangguk setuju. "Jadi, kita anggap saja Arques dikenal sebagai
wilayah suci karena alasan tertentu, atau 'desa Tuhan', berarti Poussin
memberitahukan kita bahwa ada sesuatu yang penting di sana, di Arques" Begitukah
teorinya" 'Dan dalam desa Tuhan aku berada"'"
Peter mengangguk, kelihatan merenung. "Hanya perkiraan. Tapi kupikir wilayah
sekitar Arques layak dikunjungi, bagaimana menurutmu?"
f Hari itu adalah hari pasar di desa Quillan. Kota di kaki gunung Pyrenees,
Prancis, itu ramai dengan aktivitas berkaitan dengan acara mingguan ini.
Penduduk daerah pedalaman Languedoc bergegas dari satu kios ke kios lain. Mereka
memborong hasil bumi dan ikan yang diangkut dari Mediterania.
Maureen dan Peter menelusuri pasar. Di tangan Maureen ada duplikat lukisan
Gembala Arcadia. Seorang pedagang buah melihatnya dan tertawa sambil menunjuk ke lukisan itu.
"Ah, Poussin!" Ia mulai memberondong mereka dengan petunjuk petunjuk dalam bahasa Prancis.
Peter memintanya berbicara lebih lambat.
Putra pedagang itu, usianya sepuluh tahun, memerhatikan Maureen dengan pandangan
bingung sementara sang ayah berbicara dengan Peter dalam bahasa Prancis. Sang
anak memutuskan untuk mencoba berbicara dalam bahasa Inggris, meski terpatah-
patah. "Anda ingin ke kuburan Poussin?"
Maureen mengangguk senang. Ia baru tahu bahwa kuburan dalam lukisan itu
benarbenar ada. "Ya.
Oui" "Oke. Pergilah ke jalan utama dan ikuti jalan itu. Jika Anda melihat gereja,
belok ke kiri. Kuburan Poussin ada di puncak bukit."
Maureen berterima kasih pada bocah itu. Lalu ia membuka tasnya, dan mengeluarkan
uang lima euro. "Merci, merci beaucoup," katanya pada anak laki-laki itu sambil menyelipkan uang
ke tangannya. Anak itu tersenyum lebar.
"De hen, Madame1. Bon chance," teriak pedagang buah itu ketika Maureen dan Peter
meninggalkan pasar. Putranya melontarkan kalimat terakhir. "Et in Arcadia ego1."
Bocah itu tertawa, lalu berlari untuk membeli permen dengan uang yang baru
diterimanya. f Maureen dan Peter berusaha menyatukan petunjuk petunjuk dari ayah dan anak tadi,
yang akhirnya membawa mereka ke jalan yang benar. Peter mengemudikan mobil
pelan-pelan agar Maureen bisa mengawasi wilayah itu lewat jendela kursi
belakang. "Di sana! Benar, 'kan" Di puncak bukit itu?"
Peter meminggirkan mobil di tepi lereng yang ditutupi pepohonan pendek dan
rerumputan. Di belakang kumpulan semak belukar itu, mereka bisa melihat batu
persegi empat, puncak kuburan itu.
"Aku pernah melihat kuburan yang terpisah seperti ini di Tanah Sucii. Ada
beberapa yang semacam ini di wilayah Galilee," jelas Peter. Lalu ia tercenung
sesaat, 1 Verusalem. seolah ada sesuatu yang ia pikirkan. "Ada apa?" tanya Maureen.
"Aku baru ingat, ada satu kuburan seperti ini di jalan menuju Magdala. Mirip
sekali dengan kuburan ini. Bahkan bisa dibilang sama."
Mereka menyisir tepi jalan, mencari jalur yang menuju ke kuburan itu. Ada satu,
jalur itu sepertinya dipenuhi semak belukar. Maureen berhenti di ujung jalur
itu, ia berjongkok. "Lihat ini, segala yang berserakan ini bukan tumbuhan hidup."
Peter jongkok di sampingnya dan memungut ranting dan semaksemak yang disebarkan
di sepanjang jalur itu. "Kau benar."
"Sepertinya seseorang sengaja menyamarkan jalur ini," kata Maureen.
"Mungkin hanya pekerjaan pemilik tanah. Barangkali ia bosan melihat orang
seperti kita menerobos tanahnya. Wisatawan berdatangan ke tempat ini sejak empat
ratus tahun lalu. Siapa pun bisa menjadi jengkel karenanya."
Mereka bergerak hatihati, melangkah di antara semak, menelusuri jalur itu hingga
ke puncak bukit. Ketika kuburan granit berbentuk persegi empat itu sudah dihadapan mereka,
Maureen mengeluarkan duplikat lukisan Poussin dan membandingkannya dengan
wilayah di sekelilingnya. Daerah bebatuan tepat di belakang kuburan serupa
dengan yang terlihat di lukisan.
"Keduanya sama."
Peter mendekati struktur itu dan mengusap permukaan kuburan. "Kecuali kuburan
ini begitu mulus," katanya sambil mengamati. "Tak ada pahatan."
"Jadi, pahatan itu hanya rekaan Poussin?" Maureen
membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Ia sendiri berjalan mengitari
sarkofagus. Melihat bagian belakang kuburan ditutupi semak dan ranting, Maureen
berusaha menyingkirkannya. Setelah bersih, bagian belakang itu menjadi jelas dan
membuatnya berteriak memanggil Peter.
"Ke marilah! Kau harus melihat!"
Peter berdiri di sampingnya, membantu Maureen menahan semaksemak itu. Ketika ia
lihat sumber yang membuat Maureen terpekik, ia menggelenggelengkan kepala tidak
percaya. Pahatan di bagian belakang kuburan itu ternyata pola sembilan lingkaran yang
mengelilingi cakram pusat.
Tampilannya sama seperti desain pada cincin kuno di jari Maureen.
f Maureen dan Peter bermalam di sebuah hotel kecil di Couiza, beberapa mil dari
Arques. Tammy yang memilihkan lokasi itu karena letaknya dekat dengan suatu
tempat misterius bernama Rennesle-Chateau. Kalangan esoteris mengenalnya sebagai
Desa Misteri. Senja itu, Tammy sedang terbang menuju Languedoc.
Mereka bertiga sepakat untuk bertemu di ruang sarapan, esok pagi.
Tammy muncul tibatiba di ruang sarapan. Di sana, Maureen dan Peter tengah
menikmati kopi sembari menunggunya.
"Maaf, aku terlambat. Penerbangan menuju Carcassonne ditunda, dan aku tiba lepas
tengah malam. Aku sulit sekali tidur dan kemudian sulit bangun."
"Aku cemas karena tidak mendengar kabar darimu semalam," ujar Maureen.
"Apakah kau mengemudi mobil dari Carcassonne?"
"Tidak. Ada temanteman yang datang untuk ke pesta Sinclair besok malam. Aku
pergi bersama mereka. Salah seorang di antara mereka penduduk di sini. Dialah
yang menjemput kita."
Maureen dan Peter terlihat bingung. "Mengapa?" tanya mereka serentak.
"Sinclair marah karena kita menginap di hotel. Ia meninggalkan pesan untukku
semalam. Ia menyediakan kamar di chateau untuk kita semua."
Peter terlihat khawatir. "Aku tak suka ide ini." Ia menyerahkan persoalan ini ke
Maureen. "Aku lebih suka tetap tinggal di sini. Kupikir akan lebih aman untukmu.
Hotel ini wilayah yang netral. Kita bisa kembali ke sini jika ada sesuatu yang
membuatmu merasa tidak nyaman."
Tammy merasa kesal. "Coba dengar, apakah kalian tahu, berapa banyak orang yang
sangat ingin menerima undangan ini" Chateau adalah tempat yang mengagumkan.
Rasanya seperti berada di museum. Jika kalian menolak, Sinclair akan
tersinggung. Kalian tentu tidak menginginkan hal ini terjadi.
Terlalu banyak yang bisa ia tawarkan."
Maureen tak tahu harus bagaimana. Ia menatap kedua temannya bergantian. Peter
benar hotel ini adalah wilayah yang netral. Namun ia mengkhayalkan bagaimana
rasanya tinggal di chateau.
Kesempatan itu membuatnya bisa mengamati lebih dekat Berenger Sinclair yang
penuh teka-teki. Tammy mencium dilema Maureen. "Sudah kukatakan, Sinclair itu tidak berbahaya.
Bahkan kupikir, ia lelaki yang
luar biasa." Ia memandang Peter, "Tapi, jika kau memiliki pandangan lain, anggap
saja kesempatan itu 'Tetap membuat temantemanmu mendekat, tetapi membuat musuhmu
lebih dekat lagi'." Ketika acara sarapan itu selesai, Tammy telah berhasil meyakinkan mereka untuk
keluar dari hotel. Peter mengawasi wanita itu dengan seksama ketika mereka makan. Ia mencamkan
bahwa Tammy adalah perempuan yang mahir membujuk.
Rennes-ie-Chateau, Prancis 23 Juni 2005
"Kau tak akan menemukan tempat itu pada kesempatan pertama. Kecuali ada orang
yang menunjukkan jalan." Tammy memberi arahan-arahan dari kursi belakang. "Belok
kanan lihat jalan kecil di sana" Jalan itu menuju Rennesle-Chateau di puncak
bukit." Jalan sempit yang menanjak dan penuh belokan tajam itu belum diaspal. Di puncak
bukit, terpancang papan petunjuk yang sebagiannya tertutup semak. Di papan itu
tertera nama desa kecil. "Kau bisa parkir di sini." Tammy mengarahkan mereka ke suatu tanah kosong yang
kecil dan berdebu, tepat di jalan masuk desa.
Begitu keluar mobil, Maureen melihat arlojinya. Ia melihat dua kali sebelum
berkomentar. "Aneh, arlojiku mati. Padahal sebelum meninggalkan AS, aku telah
memasang baterai baru."
Tammy tertawa. "Nah, kelucuan telah dimulai. Waktu memiliki makna baru di
pegunungan misterius ini. Aku jamin, arlojimu akan kembali normal setelah kita
meninggalkan wilayah ini."
Peter dan Maureen saling berpandangan lalu membuntuti Tammy. Tanpa berusaha
menjelaskan, ia terus saja berjalan sembari melemparkan guyonan ke Peter dan
Maureen yang berjalan di belakangnya. "Hadirin, sekarang kita memasuki Zona Antah-berantah."
Desa itu sendiri terkesan menyeramkan, seperti wilayah yang diabaikan waktu.
Ukurannya luar biasa mungil dan terlihat lain daripada yang lain.
"Adakah orang yang tinggal di sini?" tanya Peter.
"Oh, ya. Desa ini benarbenar berfungsi. Penduduknya tidak sampai dua ratus, tapi
tetap penduduk seperti di wilayah yang lain."
"Sepi sekali," ujar Maureen sambil mengamati.
"Memang selalu seperti ini," jelas Tammy, "hingga bus tur mengeluarkan
penumpangnya." Ketika mereka memasuki desa, di sebelah kanan mereka tampak sisa-
sisa chateau, sebuah rumah yang nyaris hancur yang darinyalah desa ini
memperoleh nama. "Itu Chateau Hautpol. Puri itu dulu milik para Ksatria Templar saat Perang
Salib. Lihat menaranya?"
Tammy menunjuk menara kecil yang sudah usang. "Jangan terkecoh dengan lokasinya
yang terpencil dan kondisinya yang sudah rusak.
Menara Alkemi adalah landmark esoteris yang paling penting di Prancis. Bahkan
barangkali di dunia."
"Kurasa kau akan menjelaskan sebabnya?" Peter merasa kejengkelannya menjadijadi.
Ia sudah letih dengan permainanpermainan yang dibungkus dalam misteri. Ia ingin
segera memperoleh jawaban yang masuk akal.
"Akan kukatakan padamu, tapi nanti. Karena tak a-kan ada artinya kecuali kau
sudah mengetahui sejarah desa ini. Kita tunda jawabannya. Akan kujelaskan dalam perjalanan pulang."
Mereka melewati sebuah toko buku kecil di sebelah kiri. Toko itu tutup, namun
bukubuku yang menampilkan simbolisme berhala terpajang di balik jendela.
"Tidak sama dengan jemaat Katolik di desa pertanianmu, ya?" bisik Maureen kepada
Peter sementara Tammy berjalan di depan mereka.
"Sepertinya begitu," Peter mengiakan sembari menatap jajaran bukubuku aneh dan
perhiasan berbentuk bintang bersudut lima di jendela.
Ada keanehan lain di dinding seberang jalan sempit itu yang menarik perhatian
Maureen saat mereka mengikuti Tammy melewati jalanjalan tua berbatu. Ukiran di
samping sebuah rumah, posisinya sejajar mata, terlihat seperti gambar jam
matahari. Bagian inti logam telah lama copot, menyisakan lubang lapuk di tengah-
tengahnya. Jika dilihat dari dekat, gambar itu sangat tidak biasa. Mereka
memulai dengan nomor sembilan dan terus hingga nomor tujuh belas. Kegiatan ini
memakan waktu setengah jam. Namun goresan di atas angkaangka itu tetap
serangkaian simbol yang terkesan misterius.
Peter memandang lewat bahu Maureen saat ia menunjukkan simbol yang sungguh
ganjil. "Menurutmu, apa arti simbol ini?"
ia bertanya pada Peter. Tammy mendekati mereka. Ia tersenyum bak kucing yang baru menghabiskan krim.
"Jadi kalian telah menemukan keganjilan penting pertama di RLC," katanya.
"RLC?" "Rennesle- Chateau. Begitu sebutan orang karena nama lengkapnya terlalu panjang.
Kalian mesti belajar menggunakan dialek lokal agar bisa menyesuaikan diri di pesta besok malam."
Maureen kembali menatap ukiran di dinding. Peter pun mengawasi dengan seksama.
"Aku mengenali simbolsimbol ini. Planet-planet. Itu bulan, dan Merkurius. Apakah
itu matahari?" Ia menunjuk lingkaran dengan titik di bagian tengah.
"Benar," jawab Tammy. "Dan itu Saturnus. Simbol selebihnya berhubungan dengan
astrologi. Ini Libra, Virgo, Leo, Cancer, dan ini Gemini."
Sepuah pikiran melintas di kepala Maureen. "Adakah Scorpio di sini" Atau
Sagitarius?" Tammy menggeleng, namun ia menunjuk ke sebelah kiri jam matahari dengan posisi
seperti jam tujuh pada permukaan jam biasa.
"Tidak ada. Kalian lihat lokasi tempat tanda-tanda ini berakhir" Itu planet
Saturnus. Jika tanda-tanda berlanjut dengan arah yang berlawanan dari arah jarum
jam, kalian akan menemukan Scorpio diikuti Libra dan kemudian Sagitarius."
"Kenapa berhenti di lokasi yang sangat aneh?" tanya Maureen.
Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 6 Wiro Sableng 083 Wasiat-iblis Payung Sengkala 7
^