Pencarian

Kite Runner 6

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Bagian 6


Kush yang tetutup salju di sebelah utara, namun setiap kali perutku terasa
sedikit nyaman, truk kami kembali melewati satu tikungan tajam, menghadirkan
satu gelombang rasa mual baru.
"Coba makan lemon."
"Apa?" "Lemon. Bagus untuk mengobati mabuk perjalanan," kata Farid. "Aku selalu
menyiapkannya jika akan melewati jalan ini."
"Tidak usah, terima kasih," aku menolak tawarannya. Membayangkan mengecap rasa
asam membuat perutku semakin mual. Farid mencibir. "Ini memang tidak semewah
obat-obatan Amerika, aku tahu, hanya cara pengobatan kuno yang diajarkan
ibuku." Aku menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan untuk memecahkan ketegangan di
antara kami. "Kalau begitu, mungkin aku harus mencobanya."
Dia mengambil sebuah kantong kertas dari jok belakang dan mengeluarkan sepotong
lemon dari dalamnya. Aku menggigit potongan itu sedikit, menunggu selama
beberapa menit. "Kau benar. Aku merasa baikan," aku berbohong. Sebagai seorang
Afghan, aku tahu bahwa membiarkan diriku menderita masih lebih baik daripada
bersikap kasar. Aku memaksakan diri untuk tersenyum lemah.
"Trik kuno dari watan kita, tidak perlu obat-obatan mahal," katanya separuh
hati. Dia menjentikkan abu rokoknya dan menatap dengan sombong bayangan dirinya
di kaca spion. Farid berasal dari Tajikistan. Tubuhnya jangkung, kulitnya gelap,
wajahnya telah tertempa oleh cuaca, bahunya sempit, dan di tengah lehernya yang
jenjang, jakunnya yang menonjol hanya tampak mengintip dari balik janggut
lebatnya saat dia memalingkan kepala. Dia berpakaian sepertiku, meskipun
kupikir, akulah yang berpakaian seperti dia: pirhan-tumban abu-abu dan rompi
berlapis selimut wol dengan rajutan kasar. Di kepalanya, terpasang sebuah pakol
cokelat yang sedikit dimiringkan, sesuai gaya berpakaian seorang pahlawan Tajik,
Ahmad Shah Massoud yang oleh orang-orang Tajik dijuluki "Singa dari Panjsher."
Rahim Khanlah yang memperkenalkanku dengan Farid saat di Peshawar. Dia
mengatakan padaku bahwa Farid berumur 29 tahun, meskipun kerutan-kerutan di wajahnya
membuat dia tampak berusia 20 tahun lebih tua. Dia dilahirkan di Mazar-i-Sharif
dan tinggal di sana hingga ayahnya memindahkan keluarganya ke Jalalabad saat dia
berumur sepuluh tahun. Saat dia berumur 14 tahun, dia dan ayahnya bergabung
dalam jihad melawan Shorawi. Mereka bertempur di Desa Panjsher selama dua tahun
hingga serangan yang di-lancarkan dari helikopter menghancurleburkan ayahnya.
Farid memiliki dua istri dan lima anak. "Sebenarnya dia punya tujuh anak," Rahim
Khan berkata dengan tatapan sendu. Dia kehilangan dua anak perempuan terkecilnya
beberapa tahun yang lalu karena ledakan ranjau darat di dekat Jalalabad, ledakan
yang sama yang membuatnya kehilangan beberapa jari kaki dan tiga jari tangan
kirinya. Setelah kejadian itu, dia memindahkan kedua istri dan kelima anaknya ke
Peshawar. "Pos pemeriksaan," omelnya. Aku menurunkan posisi dudukku, melipat kedua
lenganku di dada, melupakan untuk sesaat rasa mual yang kurasakan. Ternyata aku
tidak perlu merasa khawatir. Dua orang anggota milisi Pakistan mendekati Land
Cruiser butut kami, melirik sambil lalu ke dalam, dan melambai pada kami.
Farid berada di urutan pertama dalam daftar persiapan yang kubuat bersama Rahim
Khan. Daftar itu mencakup menukarkan dolar menjadi mata uang Kaldar dan Afghani,
membeli pakaian dan pakoi yang kupakai ironisnya, saat tinggal di Afghanistan,
belum pernah sekali pun aku mengenakan pakaian model ini foto Polaroid Hassan
dan Sohrab dan, akhirnya, mungkin benda yang terpenting: janggut palsu, hitam
sepanjang dada, sesuai dengan syariat setidaknya syariat versi Taliban. Rahim
Khan memiliki kenalan seorang perajin janggut palsu di Peshawar, yang karyanya
kadang-kadang digunakan oleh wartawan perang dari Barat.
Rahim Khan memintaku untuk tinggal bersamanya beberapa hari lebih lama untuk
mematangkan rencana. Tapi aku tahu bahwa aku harus berangkat secepat mungkin.
Aku takut suatu ketika aku akan berubah pikiran. Aku takut aku akan
mempertimbangkan, memikirkan, mengkhawatirkan, mencari penjelasan, dan
meyakinkan diriku untuk membatalkan keberangkatanku. Aku takut pesona
kehidupanku di Amerika akan menarikku untuk kembali, lalu aku akan berenang
dengan susah payah melawan arus sungai besar itu dan membiarkan diriku lupa,
membiarkan segala hal yang baru kuketahui beberapa hari terakhir ini tenggelam
hingga ke dasarnya. Aku takut sungai itu akan menjauhkanku dari hal yang
seharusnya kulakukan. Dari Hassan. Dari masa lalu yang memanggilku. Dan dari
kesempatan terakhir untuk menebus kesalahanku di masa lalu. Jadi aku berangkat
sebelum salah satu kemungkinan itu terjadi.
Sedangkan bagi Soraya, aku tidak punya pilihan selain merahasiakan kepergian ke
Afghanistan. Kalau dia tahu, dia akan segera membeli tiket untuk penerbangan
selanjutnya ke Pakistan. Kami telah melewati perbatasan dan tanda-tanda kemiskinan bisa kami saksikan
dimana-mana. Di kedua sisi jalan, aku melihat daerah pemukiman kecil tersebar di
sana-sini, seperti mainan yang tertinggal di antara bebatuan. Rumah-rumah tanah
liat dan pondok-pondok kayu kecil beratap kain rombengan. Anak-anak kecil
berpakaian kumal bermain sepak bola di luar pondok-pondok itu. Beberapa
kilometer kemudian, aku melihat sekelompok pria berjongkok, seperti burung
gagak, mengerumuni bangkai tank Rusia tua yang terbakar habis; angin
mempermainkan ujung selimut yang membungkus tubuh mereka. Di belakang mereka,
seorang wanita berburqa cokelat memanggul sebuah pot tembikar besar di bahunya,
menyusuri jalan berbatu menuju deretan rumah tanah liat.
"Aneh," ujarku.
"Apa?" "Aku merasa seperti turis di negaraku sendiri," aku berkata sambil memerhatikan
seorang penggem-bala menggiring enam ekor kambing kurus kering di sepanjang sisi
jalan. Farid mencibir. Melontarkan sisa rokoknya. "Kau masih menganggap tempat ini
sebagai negaramu?" "Kupikir sebagian dari diriku akan selalu menganggap tempat ini negaraku," aku
tak mampu menyembunyikan pembelaan diri dalam kalimatku.
"Setelah 20 tahun tinggal di Amerika," katanya seraya membanting setir untuk
menghindari lubang sebesar bola voli yang menganga di tengah jalan.
Aku menganggukkan kepala. "Aku tumbuh di Afghanistan."
Farid kembali mencibir. "Mengapa kau mencibir?"
"Tidak apa-apa," gumamnya. "Tidak, aku ingin tahu. Mengapa kau melakukan-nya"'
Dari kaca spion, aku melihat matanya berkilat. "Kau mau tahu?" dia berkata
dengan nada mencemooh. "Biarkan aku membayangkannya, Agha sahib. Kau mungkin tinggal di sebuah rumah
besar belantai dua atau tiga dengan halaman belakang indah yang ditanami bunga-
bungaan dan pohon buah-buahan oleh seorang tukang kebun. Tentu saja pagar tinggi
mengelilingi rumah itu. Ayahmu mengendarai mobil keluaran Amerika. Kau memiliki
pelayan, mungkin beberapa orang Hazara. Orangtuamu mempekerjakan orang-orang
untuk menghias rumah sebelum mereka menyelenggarakan mehmanis mewah, supaya
teman-teman mereka bersedia datang untuk menyombong tentang perjalanan mereka ke
Eropa atau Amerika. Dan aku berani mempertaruhkan mata anak laki-laki pertamaku,
ini adalah pertama kalinya kau memakai pakol." Dia memandangku sambil
menyeringai, memamerkan deretan gigi yang membusuk. "Apa tebakanku tepat?"
"Mengapa kau mengatakannya?" "Karena kau ingin tahu," dia membentak. Dimea
menunjuk seorang pria tua berpakaian compang-camping yang sedang berjalan
tersaruk-saruk di jalan berdebu sembari memanggul karung goni yang penuh berisi
rumput liar. "Itulah Afghanistan yang sebenarnya, Agha sahib. Itulah Afghanistan
yang kukenal. Kau" Kau senantiasa menjadi turis di sini, hanya saja kau tidak
mengetahuinya." Rahim Khan telah memperingatkanku untuk tidak mengharapkan sambutan hangat dari
siapa pun yang tetap tinggal dan turut berperang di Afghanistan. "Aku ikut
bersedih karena kau kehilangan ayahmu," ujarku. "Aku ikut bersedih karena kau
kehilangan kedua putrimu, dan aku ikut bersedih karena kau kehilangan jari-
jarimu." "Itu tak ada artinya bagiku," katanya. Dia menggelengkan kepalanya. "Mengapa kau
kembali ke sini" Kau mau menjual tanah Babamu" Mengantongi uangnya dan lari
kembali ke pelukan ibumu di Amerika?"
"Ibuku meninggal saat melahirkanku," jawabku. Dia menghela napas dan menyalakan
sebatang rokok baru. Keheningan menyusul. "Berhenti." "Apa?"
"Berhenti, sialan!" teriakku. "Kau mau aku me-muntahimu?" Farid menghentikan
truknya di bahu jalan yang berbatu dan aku segera menghambur keluar. .
Menjelang senja, pemandangan puncak pegunungan yang terbakar matahari dan
tebing-tebing tandus digantikan oleh daerah pedesaan yang lebih hijau. Jalan
utama melintasi gunung itu berawal dari Landi Kotal melewati daerah Shinwari
hingga ke Landi Khana. Kami memasuki Afghanistan dari Torkham. Pohon-pohon pinus
berjajar di kedua sisi jalan, lebih sedikit dari yang kuingat, dan banyak dari
pohon itu gundul tak berdaun. Meski begitu, melihat kembali pepohonan setelah
menempuh perjalanan melelahkan melewati Celah Khyber terasa menyenangkan. Kami
semakin mendekati Jalalabad. Di kota itu, Farid memiliki kakak laki-laki yang
akan menampung kami malam ini.
Matahari belum sepenuhnya terbenam saat kami memasuki Jalalabad, ibukota negara
bagian Nangarhar, kota yang pernah terkenal dengan buah-buahan dan iklimnya yang
hangat. Farid mengemudi melewati gedung-gedung dan rumah-rumah batu di pusat
kota. Pohon-pohon palem yang berdiri tidak sebanyak yang kuingat, dan beberapa
rumah telah berubah menjadi bangunan tanpa atap dan timbunan puing-puing tanah
liat. Farid membelokkan Land Cruisernya ke sebuah jalan tanah sempit dan memarkir truk
itu di dekat selokan kering. Aku keluar dari truk itu, meregangkan badan, dan
menarik napas dalam-dalam. Dulu, angin yang bertiup sepoi-sepoi di sepanjang
dataran subur Jalalabad, di mana para petani menanami tanah mereka dengan tebu,
menyebarkan aroma manis ke seisi kota. Aku menutup mataku
dan mencoba mengendus manisnya aroma itu. Aku tidak menemukannya.
"Ayo," Farid berkata dengan tidak sabar. Kami menyusuri jalan tanah itu,
melewati beberapa batang pohon poplar gundul di sekitar deretan puing-puing
rumah tanah liat. Farid menunjukkan jalan menuju sebuah rumah yang kondisinya
mengenaskan dan mengetuk pintu kayunya.
Seorang wanita muda berkerudung putih dengan mata sehijau laut melongokkan
kepala. Saat melihatku, dia mengernyitkan wajah. Lalu dia melihat Farid, dan
seketika matanya berbinar. "Assalamu 'alaikum, Kaka Farid!"
"Salaam, Maryamjan," Farid menjawab salamnya sambil memberi wanita itu sesuatu
yang dia sembunyikan dariku seharian ini: senyuman yang hangat. Dia mencium
kening wanita itu. Mary am membuka pintu itu lebar-lebar, menatapku dengan
sedikit cemas saat aku mengikuti Farid memasuki rumah kecil itu.
Rumah itu memiliki langit-langit rendah yang terbuat dari tanah liat, dinding
yang bersih tanpa hiasan, dan penerangan hanya berasal dari sepasang lentera
yang diletakkan di sudut ruangan. Kami melepas sepatu dan menginjakkan kaki ke
tikar jerami yang menutupi lantai. Tiga orang anak laki-laki duduk bersila di
sepanjang salah satu sisi ruangan, di atas matras yang tertutup oleh bantal
dengan jahitan terbuka. Seorang pria jangkung berjanggut dan berdada bidang
berdiri menyambut kami. Dia dan Farid saling memberikan pelukan dan
ciuman di pipi. Farid memperkenalkan pria itu padaku, Wahid, kakaknya. "Dia dari
Amerika," dia berkata pada Wahid sambil menunjukku dengan jempolnya. Dia
meninggalkan kami berdua untuk menyapa ketiga anak laki-laki Wahid.
Wahid menemaniku duduk bersandar di dinding, berseberangan dengan anak-anaknya
yang saat itu menerjang Farid dan memanjat bahunya. Mengesampingkan protesku,
Wahid menyuruh salah satu anak laki-laki itu mengambil satu selimut lagi supaya
aku bisa duduk lebih nyaman di lantai, dan meminta Maryam menghidangkan teh. Dia
memintaku bercerita tentang perjalanan kami sejak dari Peshawar, saat kami
melewati Celah Khyber. "Untunglah kalian tidak bertemu dengan para dozd," katanya. Celah Khyber
terkenal dengan keadaan tanahnya dan para bandit yang memanfaatkan hal itu untuk
merampok para pemakai jalan. Sebelum aku berkomentar, dia mengedipkan salah satu
matanya dan berkata dengan keras, "Tentu saja, tidak ada satu pun dozd yang mau
membuang-buang waktu dengan truk rongsokan seburuk milik adik saya."
Farid bergulat dengan anak laki-laki yang terkecil, menahannya di lantai dan
menggelitiki pinggangnya dengan tangannya yang utuh. Anak itu terkikik-kikik
sambil menendang-nendang. "Setidaknya aku punya kendaraan," Farid terengah-
engah. "Bagaimana kabar keledaimu akhir-akhir ini?"
"Keledaiku kendaraan yang lebih bagus dari pada trukmu."
"Khar khara mishnassah," Farid menyahut. Hanya keledai yang bisa memahami
keledai. Mereka berdua tertawa dan aku ikut tertawa. Aku mendengar suara wanita
dari ruang sebelah. Separuh ruangan itu terlihat dari tempatku berada. Maryam
dan seorang wanita lebih tua yang mengenakan jilbab cokelat mungkin ibunya
bercakap-cakap dengan suara lirih sambil menjerang teh.
"Jadi, apa pekerjaan Anda di Amerika, Amir agha?" tanya Wahid.
"Saya penulis," jawabku. Kurasa telingaku menangkap Farid tertawa saat mendengar
jawabanku. "Penulis?" Wahid tidak menutupi keterke-sanannya. "Anda menulis tentang
Afghanistan?" "Yah, saya pernah menulis tentang Afghanistan. Tapi saat ini tidak," jawabku.
Novel terakhirku, A Season for Ashes, bercerita tentang seorang profesor yang
bergabung dengan sekelompok gipsi setelah mendapati istrinya berselingkuh dengan
salah satu muridnya. Buku itu tidak buruk. Beberapa peresensi menyebut buku itu "bagus", dan salah
satunya malah menggunakan kata "memikat." Tapi tiba-tiba novel itu membuatku
merasa malu. Aku berharap Wahid tidak menanyakan tentang isinya.
"Mungkin Anda harus menulis tentang Afghanistan lagi," ujar Wahid. "Biarkan
seluruh dunia tahu tentang perlakuan Taliban pada negara kita."
"Yah, saya tidak ... saya bukan jenis penulis seperti itu."
"Oh," Wahid mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kulihat semburat merah mewarnai
pipinya. "Anda tahu yang terbaik, tentu saja. Bukan tempat saya untuk
menyarankan Saat itu juga, Maryam dan wanita lainnya memasuki ruangan sambil membawa baki
kecil berisi dua buah cangkir dan sepoci teh. Aku berdiri untuk menunjukkan
hormat, menekankan tanganku ke dada, dan menundukkan kepala. "Assalamu
'alaikum," ucapku. Wanita itu, yang kini membelitkan jilbabnya untuk menutupi bagian bawah
wajahnya, juga menundukkan kepala. "Waalaikumussalam," dia menjawab dengan suara
yang nyaris tak terdengar. Kami tak pernah bertatapan. Dia menuangkan teh saat
aku masih berdiri. Wanita itu meletakkan cangkir teh yang mengepul di hadapanku dan keluar dari
ruangan itu. kakinya yang telanjang tidak sedikit pun meninggalkan suara yang
mengirinya menghilang. Aku duduk dan menghirup teh hitam dan kental itu.
Akhirnya, Wahid memecahkan keheningan yang menyesakkan itu.
"Jadi, apa yang membawa Anda kembali ke Afghanistan?"
"Apa yang membawa mereka semua kembali ke Afghanistan, kakakku?" Farid menujukan
kalimat itu pada Wahid namun menatapku dengan menghina
saat mengatakannya. "Bas!" Wahid membentaknya.
"Alasannya selalu sama," ujar Farid. "Jual tanah di sini, jual rumah di sana,
kumpulkan uangnya, lalu kabur seperti tikus. Kembali ke Amerika, mereka
menghambur-hamburkan uang itu untuk liburan keluarga ke Meksiko."
"Farid!" teriakan Wahid menggelegar. Anak-anaknya, begitu juga Farid, tampak
terkejut. "Kau sudah lupa dengan tata krama" Ini rumah/cu! Amir agha ada-lah
tamuku malam ini dan aku tidak akan membiarkanmu mempermalukanku seperti ini!"
Farid membuka mulutnya, nyaris mengatakan sesuatu, mempertimbangkannya kembali,
dan menutup mulutnya. Dia menghempaskan tubuhnya ke tembok, menggumamkan
sesuatu, dan menyilangkan kakinya yang cacat di atas kakinya yang utuh. Tatapan
menuduhnya senantiasa diarahkan padaku.
"Maafkan kami, Amir agha," ujar Wahid. "Sejak masih kanak-kanak, mulut adik saya
sudah dua kali lebih besar daripada kepalanya."
"Saya yang bersalah," ujarku, berusaha menyunggingkan senyum meskipun Farid
terus menerus menatapku tajam. "Saya tidak tersinggung. Memang sudah seharusnya
saya menjelaskan urusan yang akan saya selesaikan di Afghanistan kepada Farid.
Tujuan saya kemari bukanlah untuk menjual kepemilikan. Saya pergi ke Kabul untuk
mencari seorang anak laki-laki."
"Anak laki-laki," Wahid mengulangi.
"Ya." Aku menunjukkan foto Polaroid yang tersimpan di saku bajuku. Melihat
gambar Hassan kembali menoreh luka yang disebabkan kematiannya. Aku harus
mengalihkan tatapanku dari foto itu. Aku menunjukkannya pada Wahid. Dia menatap
foto itu beberapa saat. Dia memandangku dan memandang foto itu, lalu kembali
mengulanginya. "Anak ini?"
Aku mengangguk. "Anak Hazara ini."
"Ya."

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa arti anak itu bagi Anda?" "Ayahnya sungguh berarti bagi saya. Dia pria yang
ada di foto itu. Sekarang dia sudah tewas."
Wahid mengedipkan matanya. "Dia teman
Anda?" Naluriku membuatku ingin mengiyakan pertanyaan Wahid, seolah-olah, di tingkat
tertentu, aku pun ingin melindungi rahasia Baba. Tapi sudah cukup banyak
kebohongan yang terucap. "Dia saudara tiri saya." Aku menelan ludah, lalu
menambahkan, "Saudara tiri haram saya." Aku memutar cangkir teh di tanganku dan
mempermainkan pegangannya.
"Saya tidak bermaksud mencampuri urusan Anda."
"Anda tidak mencampuri urusan saya," aku menanggapi.
"Apa yang akan Anda lakukan untuknya?"
"Membawanya ke Peshawar. Di sana ada orang-orang yang akan merawatnya."
Wahid mengembalikan foto itu kepadaku dan
menepukkan tangannya yang berkapal di bahuku. "Anda pria terhormat, Amir agha.
Seorang Afghan saja t i."
Aku merasa sangat malu mendengar pujian itu.
"Saya merasa bangga menerima Anda di rumah saya malam ini," kata Wahid. Aku
mengucapkan terima kasih padanya dan melirik ke arah Farid. Pria itu menatap ke
bawah, jari-jarinya mempermainkan ujung tikar jerami yang berserabut.
Beberapa saat kemudian, Maryam dan ibunya membawa masuk dua mangkuk mengepul
berisi shorwa sayuran dan dua bongkah roti. "Saya mohon maaf karena tidak bisa
menghidangkan daging untuk Anda," ujar Wahid. "Sekarang ini, hanya Taliban yang
mampu membeli daging."
"Hidangan ini tampak lezat," ujarku. Hidangan itu memang lezat. Aku menawarkan
padanya, dan pada anak-anaknya, untuk ikut makan bersama kami, namun Wahid
mengatakan bahwa mereka sekeluarga telah makan sebelum kami tiba. Aku dan Farid
menggulung lengan baju kami, mencelupkan roti kami ke shorwa, dan menyantap
hidangan itu dengan tangan.
Sambil makan, aku memerhatikan anak-anak Wahid. Ketiga anak laki-laki kurus
dengan wajah berdaki dan rambut cokelat tercukur pendek di puncak kepala itu
mencuri pandang ke arah arloji
digitalku. Anak yang terkecil membisikkan sesuatu ke telinga kakaknya. Kakaknya
mengangguk, tanpa melepaskan pandangan dari arlojiku. Anak yang terbesar mungkin
umurnya sekitar 12 tahun mengayun-ayunkan badannya, juga tanpa melepaskan
pandangan dari arlojiku. Setelah selesai menyantap makan malam, setelah aku
mencuci tangan dengan air yang dituangkan Maryam dari kendi tembikar, aku
meminta izin Wahid untuk memberikan hadiah bagi anak-anaknya. Dia berusaha
menolak, namun, saat aku bersikeras, dengan enggan dia menyetujui. Aku membuka
arlojiku dan menyerahkannya kepada anak yang terkecil. Dia menggumam dengan
malu-malu, "Tashakor."
"Arloji ini menunjukkan waktu di semua kota di seluruh dunia untukmu," aku
memberitahunya. Anak itu menganggukkan kepalanya dengan sopan, menunjukkan
arloji itu pada kedua kakaknya, dan mereka bertiga pun bergiliran mencobanya.
Tapi, tak lama kemudian, ketertarikan mereka berkurang dan, hanya beberapa saat
setelah mereka menerimanya, arloji itu digeletakkan begitu saja di atas tikar
jerami. * "Kau bisa memberitahuku sebelumnya," ujar Farid. Kami berdua berbaring
berdampingan di atas tikar jerami yang dihamparkan oleh istri Wahid untuk kami.
"Tentang apa?" "Alasanmu datang ke Afghanistan." Nada kasar yang selalu terdapat dalam suaranya
sejak aku bertemu dengannya tidak terdengar lagi.
"Kau tidak bertanya," kataku.
"Kau seharusnya mengatakan hal itu padaku."
"Kau tidak bertanya."
Dia membalikkan badannya untuk menghadapiku. Salah satu lengannya ditekuk di
bawah kepalanya. "Mungkin aku akan menolongmu menemukan anak itu."
"Terima kasih, Farid," ucapku.
"Aku salah memandang dirimu."
Aku menghela napas. "Jangan khawatir. Aku lebih sesuai dengan anggapanmu
daripada yang kautahu."
Tangannya terikat di beiakang tubuhnya dengan taii kasar yang meiukai
pergefangannya. Matanya tertutup dengan sehefai kain hitam. Dia berlutut di
jaian, di dekat selokan dengan air yang mengalir perlahan, kepalanya menunduk
dalam-dalam. Lututnya beradu dengan tanah yang keras dan darah merembes ke
celananya saat tubuhnya berguncang mengiringi doa yang dipanjatkan-nya. Saat itu
menjelang senja dan bayangan panjang tubuhnya berayun ke depan dan ke belakang
di jalan berbatu itu. Dia membisikkan sesuatu. Aku mendekatinya. Keseribu
kalinya, itulah yang dia katakan. Untukmu, keseribu kalinya. Tubuhnya berayun.
Aku melihat bekas luka tipis di atas
bibirnya. Kami tidak sendirian. Aku melihat moncong senjata itu lebih dahulu. Lalu aku melihat pria itu berdiri
di belakangnya. Dia jangkung, mengenakan rompi menyilang dan serban hitam. Dia
menatap ke bawah, pada pria berpenutup mata di hadapannya, dengan matanya yang
tidak menunjukkan apa pun selain kehampaan tanpa batas. Dia mengambil langkah
mundur dan mengangkat moncong senjatanya. Menempelkannya di bagian belakang
kepala pria yang berlutut itu. Untuk sesaat, logam pada senjata itu menangkap
cahaya matahari yang mulai melemah dan memantulkannya dalam sebuah kilauan.
Ledakan senjata itu menulikan telinga.
Aku menatap senjata itu. Menatap wajah yang tersembunyi di balik kepulan asap
yang mengikuti ledakan itu. Pria yang mengenakan rompi menyilang itu adalah aku.
Aku terbangun dengan teriakan tertahan di tenggorokan.
* Aku melangkah ke luar, berdiri di bawah cahaya perak yang terpancar dari bulan
setengah dan menatap langit yang bertabur bintang. Jangkrik mengerik dalam
kegelapan dan angin menyapu pepohonan. Tanah yang kuinjak dengan kaki
telanjang terasa sejuk dan tiba-tiba, untuk pertama kalinya sejak kami melewati
perbatasan, aku merasa bahwa aku telah kembali. Setelah bertahun-tahun, aku
kembali pulang, berdiri di atas tanah leluhurku. Di tanah inilah kakek buyutku
meikahi istri ketiganya setahun sebelum dia meninggal karena wabah kolera yang
melanda Kabul pada 1915. Wanita itu menganugerahkan kepadanya apa yang gagal
diberikan oleh kedua istri terdahulunya,akhirnya, seorang anak laki-laki. Di
tanah inilah kakekku pergi berburu dan menembak seekor rusa bersama Raja Nadir
Shah. Di tanah inilah ibuku meninggal. Dan di tanah inilah aku berjuang untuk
mendapatkan cinta ayahku.
Aku duduk bersandar pada tembok bagian luar rumah itu. Keterikatan pada tanah
ini yang tiba-tiba kurasakan ... ini sungguh membuatku terkejut. Aku telah pergi
cukup lama untuk melupakan dan dilupakan. Aku memiliki rumah di tanah yang, bagi
orang-orang yang tidur di balik tembok ini, mungkin berada di galaksi lain.
Kupikir, aku telah melupakan tanah ini. Tapi aku tidak melupakannya. Dan, di
bawah remang cahaya bulan setengah, aku merasakan senandung Afghanistan di bawah
kakiku. Mungkin Afghanistan juga belum melupakan-ku.
Aku memandang ke arah barat dan pikiranku melayang; di suatu tempat di balik
pegunungan itu, Kabul masih berdiri. Benar-benar berdiri, bukan hanya sebagai
kenangan masa lalu, atau sebagai tajuk sebuah artikel berita internasional di
halaman 15 koran San Francisco Chronicle. Di suatu tempat di sebelah barat, di balik
pegunungan itu, masih terdapat kota tempat aku dan saudaraku yang berbibir
sumbing berlari mengejar layang-layang. Di suatu tempat di sana, pria berpenutup
mata dalam mimpiku telah tewas dengan sia-sia. Suatu ketika, di balik pegunungan
itu, aku telah mengambil keputusan. Dan sekarang, seperempat abad kemudian,
pilihan itu telah membawaku kembali ke tanah ini.
Saat aku beranjak masuk, aku mendengar suara percakapan dari dalam rumah. Salah
satu pemilik suara itu adalah Wahid.
"tak ada yang tersisa untuk anak-anak."
"Kita kelaparan tapi kita bukan orang tak tahu adat! Dia adalah tamu kita! Apa
yang bisa kulakukan?" Suaranya menunjukkan ketegangan.
"untuk mendapatkan sesuatu besok." Sepertinya tangis wanita itu akan pecah.
"Dengan apa aku harus memberi makan-"
Aku berjingkat menjauh. Sekarang aku mengerti mengapa anak-anak itu begitu cepat
melupakan arlojiku. Mereka sama sekali tidak memandang arlojiku. Mereka
memandang makananku. * Pada pagi buta keesokan harinya, kami mengucapkan selamat tinggal. Sebelum aku
memasuki Land Cruiser Farid, aku mengucapkan
terima kasih kepada Wahid atas kebaikannya. Dia menunjuk rumah kecilnya. "Ini
adalah rumah Anda," katanya. Ketiga anaknya berdiri di ambang pintu, menyaksikan
kepergian kami. Arloji itu dikenakan oleh anak yang terkecil menggantung di
tangannya yang sekurus ranting.
Aku menatap bayangan mereka di kaca spion saat kami berlalu. Wahid berdiri
dikelilingi anak-anaknya dalam kepulan debu yang disebabkan oleh truk kami.
Terpikir olehku bahwa, di belahan dunia lain, anak-anak itu tidak akan terlalu
lapar untuk mengejar truk ini.
Pagi ini, sebelum kami pergi, saat aku merasa yakin tak seorang pun
memerhatikanku, aku melakukan sesuatu yang pernah kulakukan 26 tahun sebelumnya:
menyimpan gumpalan uang kertas di bawah matras.
Dua Puluh &3l Farid telah memperingatkanku. Dia telah memperingatkanku. Tapi, ternyata, dia
hanya menyia-nyiakan napasnya.
Kami berkendaraan menyusuri jalan berlubang-lubang yang terbentang antara
Jalalabad dan Kabul. Terakhir kali aku melewati jalan itu adalah saat menumpang
truk beratap terpal yang melaju ke arah berlawanan. Baba nyaris tewas ditembak
seorang serdadu Roussi mabuk yang gemar menyanyi malam itu Baba membuatku merasa
sangat marah, sangat ketakutan, dan yang paling utama, sangat bangga. Jalan
meremukkan tulang antara Kabul dan Jalalabad yang berkelok-kelok membelah
perbukitan batu itu telah bertahan melewati dua perang. Dua puluh tahun yang
lalu, aku melihat dengan mataku sendiri awal dari perang pertama. Bekas-bekas
suram yang ditinggalkannya tersebar di sepanjang jalan itu: bangkai hangus tank-
tank Rusia, truk-truk militer penuh karat yang terjungkir di pinggir jalan, jip
Rusia yang hancur lebur karena terperosok ke lembah. Perang kedua kusaksikan di
layar TV. Dan sekarang, aku menyaksikannya melalui mata Farid.
Melihatnya membanting setir dengan terampil
untuk menghindari lubang-lubang yang menganga di jalan, aku menyadari bahwa
Farid tahu apa yang dia lakukan. Sejak kami berdua bermalam di rumah Wahid, dia
menjadi lebih ramah. Dia memintaku duduk di sebelahnya dan menatapku saat
berbicara. Sesekali, dia bahkan menyunggingkan senyuman. Sambil memegang kemudi
dengan tangannya yang cacat, Farid menunjuk rumah-rumah tanah liat yang berdiri
di perkampungan yang kami lewati, di mana bertahun-tahun sebelumnya orang-orang
yang dia kenali tinggal. Katanya, sebagian besar dari mereka tewas atau
ditampung dalam kamp-kamp pengungsian di Pakistan. "Dan kadang-kadang, mereka
yang tewas jauh lebih beruntung," ujarnya.
Dia menunjuk reruntuhan yang dulunya sebuah desa kecil. Sekarang, yang tersisa
dari desa itu hanyalah puing-puing bangunan, rumah-rumah tanpa atap yang hitam
bekas terbakar. Seekor anjing tertidur di tengah puing-puing itu. "Dulu, aku
punya seorang teman yang tinggal di sana," ujar Farid. "Dia montir sepeda yang
hebat. Selain itu dia juga ahli memainkan tabla. Taliban membunuh dia dan
keluarganya, lalu membakar seluruh desa ini."
Kami melewati desa yang habis terbakar itu, dan anjing itu bergeming.
* Dulu, perjalanan dari Jalalabad menuju Kabul membutuhkan waktu selama dua jam,
mungkin sedikit lebih lama. Sekarang, aku dan Farid menghabiskan empat jam lebih untuk
menempuh jarak itu. Setibanya kami di Kabul ... Farid telah memperingatkan aku
sejak kami melewati bendungan Mahipar.
"Kabul tidak lagi sama dengan yang kauingat," katanya.
"Begitulah yang kudengar." Farid memberiku tatapan yang menyiratkan bahwa
mendengar tidaklah sama dengan melihat. Dia benar, karena saat Kabul akhirnya
terpampang di hadapan kami, aku merasa yakin, sepenuhnya yakin, bahwa kami telah
salah mengambil jalan. Farid pasti memerhatikan ekspresi terpana di wajahku; dia
telah berulang-kali mengantar orang-orang yang ingin kembali ke Kabul. Ekspresi
yang ditunjukkan wajah-wajah mereka yang telah begitu lama berpisah dengan Kabul
tentu sudah sangat diakrabinya.
Dia menepuk bahuku. "Selamat datang kembali," ucapnya dengan muram.
Reruntuhan dan kemiskinan. Ke mana pun pandanganku tertuju, itulah yang kulihat.
Aku ingat para pengemis yang berkeliaran di jalanan Kabul di masa lalu Baba
selalu menyediakan segenggam recehan Afghani di saku celananya hanya untuk
mereka; aku belum pernah melihatnya menolak
peminta-minta. Sekarang, mereka berjongkok di setiap sudut jalan, mengenakan
pakaian goni compang-camping, menengadahkan tangan mereka yang bernoda lumpur
untuk sekeping uang logam. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak, kurus kering
dan berwajah muram, beberapa masih berumur di bawah enam tahun. Anak-anak itu
duduk di pangkuan ibu-ibu mereka yang berpakaian burqa di sepanjang persimpangan
yang ramai sambil meneriakkan "Bakhshesh, bakhshesh!" Dan ada hal lain, sesuatu
yang tidak langsung kusadari: Hampir tidak ada pria dewasa menemani anak-anak
itu perang telah menjadikan ayah suatu komoditi yang langka di Afghanistan.
Kami melaju ke arah barat menuju distrik Kar-teh Seh, ke suatu tempat yang
kuingat sebagai pusat keramaian pada tahun 70-an: Jadeh Maywand. Di sebelah
utara kami, Sungai Kabul tampak kering kerontang. Di perbukitan di sebelah
selatan, tembok tua yang dulunya melindungi kota hanya tinggal reruntuhan.
Sedikit di sebelah timur, berdirilah Benteng Bala Hissar benteng kuno yang
diduduki oleh pasukan Dostum pada 1992-di wilayah gunung Shidarwaza, di daerah
pegunungan tempat pasukan Mujahidin menyusun rencana serangan roket ke kota
Kabul dari tahun 1992 hingga 1996; serangan yang menimbulkan sebagian besar
kerusakan yang saat ini kusaksikan. Wilayah Shidarwaza membentang hingga jauh ke
arah barat. Aku ingat, dari daerah pegunungan itulah Topeh chasht, "meriam
tengah hari", ditembakkan setiap tengah
hari untuk menandai waktu Zuhur dan setiap senja hari pada bulan suci Ramadhan
untuk menandai waktu berbuka puasa. Gelegar meriam itu akan terdengar di seluruh
kota. "Saat masih kanak-kanak, aku sering berjalan-jalan di Jadeh Maywand," gumamku.
"Dulu, hotel-hotel dan pertokoan berderet di sini. Neon warna-warni dan rumah-
rumah makan. Aku sering membeli layang-layang dari seorang pria tua bernama
Saifo. Dia memiliki toko kecil yang khusus menjual layang-layang di dekat kantor
polisi." "Kantor polisi itu masih ada di sana," Farid memberitahuku. "Kota ini tidak
kekurangan polisi. Tapi kau tak akan lagi menemukan layang-layang atau toko
layang-layang di Jadeh Maywand atau di seluruh Kabul. Hari-hari itu telah
berakhir." Jadeh Maywand telah berubah menjadi istana pasir raksasa. Gedung-gedung yang
belum sepenuhnya hancur berdiri dengan enggan, atap dan dindingnya dipenuhi
lubang-lubang akibat pecahan roket. Gedung-gedung lainnya telah rata dengan
tanah. Aku melihat papan reklame penuh lubang peluru terkubur dalam timbunan
reruntuhan. Dari bagian papan yang mencuat ke luar, terbaca tulisan MINUMLAH
COCA CO-. Aku melihat anak-anak bermain di antara gedung-gedung tanpa jendela,
di tengah-tengah timbunan batu bata dan bongkahan batu. Pengendara sepeda dan
gerobak yang ditarik keledai berzig-zag menghindari anak-anak yang berlarian,
anjing-anjing kelaparan, dan tumpukan puing-puing. Kepulan debu memberati udara
kota itu dan, di seberang sungai, selarik asap membubung ke langit.
"Ke mana pepohonan di sini?" tanyaku.
"Orang-orang menebanginya untuk dijadikan kayu bakar pada musim dingin," jawab
Farid. "Shorawi juga menebang banyak pohon."
"Untuk apa?" "Para penembak gelap seringkah bersembunyi di balik pohon-pohon itu."
Rasa miris menerpaku. Kembali ke Kabul bagaikan bertemu kembali dengan seorang
teman lama yang telah terlupakan dan mendapatinya hidup menderita, jatuh miskin
dan menggelandang. "Ayahku membangun panti asuhan di Shar-e-Kohna, kota tua, di sebelah selatan,"
ujarku. "Aku ingat bangunan itu," Farid menanggapi. "Hancur beberapa tahun yang lalu."
"Bisa berhenti dulu?" ujarku. "Aku ingin berjalan-jalan sebentar di sini."
Farid memarkir truknya di dekat bangunan tanpa pintu yang ditinggalkan
penghuninya. "Dulunya bangunan ini toko obat," gumamnya saat kami keluar dari
truk. Kami berjalan di sepanjang Jadeh Maywand dan berbelok ke kanan, menuju ke
barat. "Bau apa ini?" tanyaku. Suatu aroma membuat mataku berair.
"Diesel," jawab Farid. "Pembangkit listrik kota ini tidak bisa diandalkan.
Listrik selalu mati. Jadi, orang-orang menggunakan disel."


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Diesel. Kau ingat aroma jalanan ini di masa
lalu?" Farid tersenyum. "Kebab."
"Kebab daging domba," tambahku.
"Daging domba," ulang Farid, mencoba mengecap kata itu dengan mulutnya.
"Sekarang ini, yang bisa menikmati daging kambing di Kabul hanyalah Taliban."
Dia menarik lengan bajuku. "Omong-omong
Sebuah kendaraan mendekati kami. "Patroli Janggut," gumamnya.
Itulah pertama kalinya aku melihat Taliban. Aku pernah melihat mereka di TV, di
Internet, di sampul-sampul depan berbagai majalah, dan di koran. Tapi di sinilah
aku berada saat ini, jarak di antara kami hanya kurang dari 15 meter. Aku
mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa rasa yang tiba-tiba kukecap dalam
mulutku bukanlah ketakutan yang benar-benar murni. Bahwa otot-ototku tidak
mengerut, mencengkram tulangku, dan bahwa jantungku tidak benar-benar berdebar
kencang. Mereka mendekati kami. Dengan segala kejayaan mereka.
Toyota merah berbak terbuka itu berjalan di depan kami. Di bak kendaraan itu,
beberapa orang pria muda berwajah tegang duduk sambil menyandang Kalashnikov di
bahu mereka. Semuanya berjanggut dan mengenakan serban hitam. Salah satu dari
mereka, seorang pria berkulit gelap dan beralis tebal berumur awal 20-an
memainkan cambuk di tangannya, dengan berirama melecutkan cambuk itu ke sisi
kendaraan yang ditumpanginya. Tatapan matanya menimpaku. Kami saling memandang.
Aku belum pernah merasa setelanjang itu seumur hidupku. Lalu Talib itu
meludahkan tembakaunya dan berpaling. Aku kembali bernapas. Kendaraan itu terus
melaju di sepanjang Jadeh May wand, meninggalkan kepulan debu di belakangnya.
"Jangan pernah menatap mereka! Paham" Jangan pernah!"
"Aku tidak bermaksud begitu," kilahku.
"Kawan Anda benar, Agha. Menatap mereka sama saja seperti menggoda anjing gila
dengan sebatang tongkat," seseorang berkata. Ucapan ini berasal dari seorang
pengemis tua yang duduk bertelanjang kaki di anak tangga sebuah gedung yang
hancur karena terpaan peluru. Dia mengenakan chapan kumal yang sepertinya
dipakai terus menerus hingga pinggirannya berserabut dan sebuah serban dekil.
Kelopak mata kirinya tampak cekung menutupi rongga mata yang kosong. Dengan
tangan bergetar, dia menunjuk ke arah kendaraan itu berlalu. "Mereka berkeliling
untuk melihat-lihat. Berharap seseorang akan memancing kemarahan mereka. Cepat
atau lambat, akan ada seseorang yang melakukan kesalahan. Lalu anjing-anjing itu
mulai berpesta dan hari itu tidak lagi membosankan. Setelah itu, semua orang
akan meneriakkan, "Allahu Akbar!" Dan bila sepanjang hari tidak seorang pun bisa
memancing kemarahan mereka, yah, mereka akan tetap berlaku kasar."
"Tundukkan kepalamu kalau berada di dekat Talib," ujar Farid.
"Nasihat kawan Anda bagus sekali," celetuk
pengemis tua itu. Dia terbatuk-batuk dan meludah pada sehelai saputangan penuh
noda. "Maafkan saya, tapi, bisakah Anda memberi saya beberapa Afghani?" katanya
dengan lirih. "Bas. Ayo pergi," Farid menarik lenganku.
Aku mengulurkan 100.000 Afghani, setara dengan $3 Amerika, kepada pria tua itu.
Saat dia mendekatiku untuk menerima uang itu, bau badannya seperti campuran susu
basi dan kaki yang tidak dicuci selama berminggu-minggu menusuk hidungku dan
membuat perutku mual. Dia segera menyelipkan uang kertas itu ke pinggangnya,
matanya yang tinggal satu melirik ke kanan dan ke kiri. "Terima kasih sebesar-
besarnya atas kedermawanan Anda, Agha sahib."
"Anda tahu letak panti asuhan di KartehSeh?" tanyaku.
"Bangunan itu tidak sulit ditemukan, letaknya di dekat Bulevar Darulaman,"
jawabnya. "Setelah roket menghantam panti asuhan tua yang berdiri di sini, anak-
anak yang menghuninya dipindahkan ke KartehSeh. Sama saja dengan menyelamatkan
mereka dari kandang singa dan melemparkan melemparkan mereka ke mulut harimau."
"Terima kasih, Agha," ucapku. Aku beranjak pergi.
"Ini kali pertama Anda, ya?" "Maaf?"
"Pertama kalinya Anda melihat Talib." Melihatku tidak mengatakan apa-apa,
pengemis tua itu mengangguk dan tersenyum. Memamerkan gigi-giginya yang tersisa,
semuanya kuning dan busuk. "Saya ingat saat pertama kali saya melihat mereka
memasuki Kabul. Sungguh hari yang membahagiakan!" kisahnya. "Akhir dari
pembantaian! Wah wah! Tapi seperti kata sang penyair: 'Saat cinta menggoda,
masalah pun tiba!1" Seulas senyum mengembang di wajahku. "Saya tahu ghaza! itu. Penulisnya Hafez."
"Ya. Memang dia," jawab pria tua itu. "Sudah semestinya saya tahu. Saya mengajar
tentang dia di universitas."
"Benarkah?" Dia terbatuk. "Dari tahun 1958 sampai 1996. Saya mengajar tentang Hafez,
Khayyam, Rumi, Bey del, Jami, Saadi. Saya pernah diundang sebagai dosen tamu di
Teheran, tahun 1971. Saya menyampaikan makalah tentang kepercayaan mistik
Beydel. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Ha!" Dia menggelengkan
kepalanya. "Tapi Anda lihat sendiri pemuda di truk tadi. Menurut Anda, nilai-
nilai apa yang mereka dapatkan dari Sufisme?"
"Ibu saya juga mengajar di universitas," aku menyelanya.
"Dan siapa namanya?"
"Sofia Akrami."
Mata-satunya menampakkan kilauan dari balik selubung katarak. "'Rumput di gurun
akan tetap bertahan, tapi bunga-bunga musim semi akan mekar dan layu.' Cantik,
terhormat, dan tragis."
"Anda mengenal ibu saya?" Aku berjongkok di hadapan pria tua itu.
"Ya," kata pengemis tua itu. "Kami sering duduk-duduk dan mengobrol setelah
mengajar. Terakhir kalinya aku berjumpa dengan dia adalah di hari saat hujan
turun sebelum masa ujian akhir tiba. Kami berbagi sepotong kue kenari yang
lezat. Kue kenari dengan teh panas dan madu. Saat itu, kehamilannya sudah
terlihat, dan itu membuatnya makin terlihat memesona. Saya tak akan pernah
melupakan perkataannya pada saya hari itu."
"Apa itu" Tolong, beritahu saya." Baba selalu menggambarkan ibuku dengan kalimat
standar, seperti, "Dia wanita yang hebat." Tapi yang selalu kudambakan adalah
mendengar detail-detail kecil seperti: rambutnya yang berkilauan di bawah sinar
matahari, rasa es krim kesukaannya, lagu yang suka disenandungkannya, apakah dia
suka menggigiti kukunya" Saat Baba meninggal, dia telah membawa pergi kenangan
tentang ibuku bersamanya. Mungkin menyebutkan nama ibuku membuat Baba teringat
akan kesalahan yang dilakukannya tak lama setelah istrinya meninggal. Mungkin
kehilangan yang dirasakan Baba begitu besar, kesakitan yang dirasakannya begitu
dalam, sehingga dia tak sanggup membicarakan tentang ibuku. Mungkin keduanya
benar. "Katanya, 'Aku sangat ketakutan.' Dan saya menanggapinya, 'Mengapa",1 lalu dia
berkata, 'Karena aku tenggelam dalam kebahagiaan, Dr. Rasul. Kebahagiaan yang
terlalu besar sungguh menakutkan.' Saat aku meminta dia untuk menjelaskan
maksudnya, dia berkata, 'Kita hanya akan
merasakan kebahagiaan sebesar ini jika kita akan kehilangan sesuatu,1 dan saya
mengatakan padanya, 'Sudah, diamlah. Jangan teruskan kekonyolan ini.'"
Farid menggamit lenganku. "Kita harus pergi, Amir agha," bisiknya. Aku menarik
tanganku. "Apa lagi" Apa lagi yang dikatakannya?"
Ekspresi wajah pria tua itu melembut. "Saya harap saya bisa mengingatnya untuk
Anda. Tapi saya tidak ingat lagi. Sofia sudah sangat lama meninggal dan yang
tersisa dari ingatan saya tinggal puing-puing, seperti bangunan-bangunan itu.
Maaf." "Tapi saya hanya ingin tahu hal-hal kecil saja, apa pun itu."
Dia tersenyum. "Saya akan mencoba mengingatnya. Anda bisa memegang janji saya,
kembalilah kemari dan carilah saya."
"Terima kasih," ucapku. "Terima kasih sebanyak-banyaknya." Aku mengucapkannya
dengan tulus. Sekarang aku tahu bahwa ibuku menyukai kue kenari dengan madu dan
teh panas, bahwa dia pernah menggunakan kata-kata "tenggelam dalam kebahagiaan,"
bahwa dia merasa cemas karena kebahagiaan yang dirasakannya. Aku mengetahui
lebih banyak tentang ibuku dari pengemis tua yang berkeliaran di jalanan, bukan
dari Baba. Saat berjalan kembali ke truk, kami tidak berkomentar tentang hal yang akan
dianggap sebagai kebetulan mustahil oleh siapa pun yang bukan warga Afgan, bahwa
seorang pengemis jalanan ternyata mengenal ibuku. Kami berdua tahu bahwa di Afgahnistan, terutama di
Kabul, kebetulan seperti itu umum terjadi. Baba seringkah mengatakan, "Masukkan
dua orang Afghan yang tidak saling mengenal dalam satu ruangan. Tunggu selama
sepuluh menit, dan mereka akan menemukan hubungan mereka."
Kami meninggalkan pria tua itu. Aku bermaksud untuk kembali ke sana di kemudian
hari, menagih janjinya, menggali lebih dalam ingatannya tentang ibuku. Tapi
itulah terakhir kali aku melihatnya.
Kami menemukan panti asuhan yang baru di sisi utara Karteh Seh, di dekat Sungai
Kabul yang telah mengering. Bangunan itu hanya berupa barak panjang dengan
dinding retak-retak dan jendela tertutup papan. Dalam perjalanan menuju ke sana,
Farid memberitahuku bahwa KartehSeh adalah salah satu lingkungan di Kabul yang
menderita kerusakan terparah akibat perang dan, saat kami keluar dari truk, kami
berhadapan dengan pemandangan yang sangat menyesakkan dada. Reruntuhan gedung-
gedung dan rumah-rumah kosong mengapit jalan yang dipenuhi lubang-lubang
menganga akibat ledakan bom. Kami melewati rangka berkarat dari sebuah mobil
yang tergelimpang, sebuah pesawat TV tanpa layar yang
setengah terkubur dalam puing, dan tembok dengan grafiti ZENDA BAD TALIBAN!
Panjang Umur Taliban yang dibuat dengan cat semprot hitam.
Seorang pria pendek, kurus, botak, dan berjanggut kelabu panjang membuka pintu
untuk kami. Dia mengenakan jaket kumal dari bahan tweed, kopiah, dan kacamata
yang salah satu lensanya retak bertengger di ujung hidungnya. Di balik
kacamatanya, bola matanya yang hitam menatapku dan Farid bergantian. "Assalamu
'alaikum," sapanya. "Waalaikumussalam," jawabku. Aku menunjukkan foto Polaroid yang kubawa pada pria
itu. "Kami mencari anak ini."
Dia melirik sekilas foto itu. "Maaf. Saya tidak pernah melihat anak ini."
"Anda belum betul-betul melihat fotonya, Bung," sergah Farid. "Mengapa Anda
tidak melihatnya dulu?" "Lotfart," aku menambahkan. Tolong.
Pria itu mengambil foto di tanganku dari balik pintu yang setengah tertutup. Dia
menatapnya selama beberapa saat. Menyerahkannya kembali padaku. "Tidak, maaf.
Saya mengenali semua anak yang menghuni panti asuhan ini dan saya belum pernah
melihat anak itu. Sekarang, bila kalian berkenan, saya masih harus menyelesaikan
banyak pekerjaan." Dia menutup pintu itu dan menguncinya
Aku menggedor pintu itu dengan kedua tanganku. "Agha! Agha, tolong, bukalah
pintunya. Kami tidak bermaksud menyusahkanmu."
"Saya sudah memberitahu Anda. Anak itu tidak
ada di sini," sahutnya dari balik pintu. "Sekarang, saya mohon kalian berdua
segera pergi." Farid menghampiri pintu itu dan menempelkan keningnya di sana. "Bung, kami tidak
ada hubungannya dengan Taliban," ujarnya dengan suara lirih yang menunjukkan
kewaspadaan. "Kawan saya ini ingin membawa anak itu ke tempat yang aman."
"Saya datang dari Peshawar," aku menambahkan. "Seorang teman baik saya mengenal
pasangan dari Amerika yang mengelola rumah penampungan untuk anak-anak." Aku
merasakan bahwa di balik pintu yang tertutup itu, pria itu mendengarkan
penjelasanku. Dia berdiri di dalam, mendengarkan, tidak tahu harus berkata apa, terperangkap
di antara kecurigaan dan harapan. "Dengar, saya mengenal ayah Sohrab," ujarku.
"Namanya Hassan. Ibunya bernama Farzana. Anak itu memanggil neneknya dengan
sebutan Sasa. Dia bisa membaca dan menulis. Dan dia pintar menggunakan katapel.
Ada harapan untuk anak ini, Agha, sebuah jalan keluar. Saya mohon, bukalah pintu
ini." Keheningan dari balik pintu menjawabku.
"Saya paman tirinya," tambahku.
Aku menunggu selama beberapa saat. Lalu aku mendengar bunyi kunci yang diputar.
Wajah tirus pria itu pun terlihat. Dia menatapku dan Farid, lalu berkata padaku.
"Ada satu hal yang salah dalam penjelasan Anda."
"Apa?" "Dia ahli menggunakan katapel."
Aku tersenyum. "Dia tidak bisa dipisahkan dari benda itu. Dia menyelipkannya di pinggang dan
membawanya ke mana pun dia pergi."
* Pria itu memperkenalkan dirinya dengan nama Zaman. Dia adalah direktur panti
asuhan itu. "Mari berbicara di kantor saya," katanya.
Kami mengikutinya melewati koridor yang suram. Anak-anak dalam balutan sweter
usang lalu-lalang tanpa alas kaki di sana. Kami melewati kamar-kamar dengan
lantai berlapis karpet lusuh dan jendela tertutup lembaran plastik. Ranjang-
ranjang baja, kebanyakan tanpa matras, memenuhi kamar-kamar itu.
"Berapa jumlah anak yatim piatu yang tinggal di sini?" tanya Farid.
"Jauh lebih banyak dari yang bisa kami tampung. Sekitar 250," Zaman mengangkat
bahu. "Tapi tidak semuanya yatim piatu. Kebanyakan dari mereka ke-hi-langan ayah
karena perang, dan ibu mereka tidak sanggup lagi menghidupi mereka karena
Taliban tidak mengizinkan para wanita bekerja. Jadi para wanita itu membawa
anak-anaknya kemari." Dia mengibaskan tangannya dan menambahkan dengan sedih,
"Tempat ini lebih baik daripada jalanan, tapi tidak sebaik itu. Bangunan ini
tidak layak huni dulunya, bangunan ini digunakan
untuk gudang penyimpanan sebuah pabrik karpet. Jadi, tidak ada pemanas ruangan
dan sumur yang ada pun dibiarkan mengering." Dia melanjutkan dengan lirih.
"Sudah berulang kali saya memohon bantuan dana untuk menggali sumur baru pada
Taliban. Mereka hanya mengurut tasbih dan mengatakan pada saya bahwa tidak ada
uang yang bisa mereka berikan untuk saya. Tidak ada uang." Dia mencibir.
Zaman menunjuk sederet ranjang. "Kami tidak punya cukup ranjang, dan tidak punya
cukup matras untuk ranjang yang ada. Yang lebih buruk lagi, kami tidak punya
cukup selimut." Dia menunjuk seorang gadis kecil yang sedang bermain lompat tali
bersama dua anak lain. "Anda lihat gadis cilik itu" Musim dingin yang lalu,
anak-anak harus berbagi selimut. Kakak laki-lakinya tewas kedinginan." Dia terus
berjalan. "Saat terakhir kali saya memeriksa, persediaan beras yang kami miliki
di gudang tidak akan mencukupi kebutuhan kami selama sebulan, lalu, saat beras
itu habis, anak-anak hanya akan mendapatkan roti dan teh untuk sarapan dan makan
malam." Dia tidak menyebutkan makan siang.
Dia berhenti berjalan dan berpaling menatapku. "Hanya ada sangat sedikit tempat
berlindung di sini, hampir tidak ada makanan, tidak ada pakaian, tidak ada air
bersih. Yang ada di tempat ini hanyalah anak-anak yang telah kehilangan masa
kecil mereka. Tragisnya, mereka adalah anak-anak yang beruntung. Kami telah
menampung jauh lebih banyak anak daripada yang kami mampu dan setiap
hari saya harus menolak para ibu yang membawa anak-anak mereka kemari." Dia
melangkah mendekatiku. "Anda mengatakan bahwa Sohrab memiliki harapan" Semoga
Anda mengatakan kebenaran, Agha. Tapi ... Anda mungkin terlambat." "Maksud Anda?"
Zaman mengalihkan pandangan. "Ikuti saya."
Yang disebut kantor direktur hanyalah ruangan dengan dinding retak-retak,
selembar tikar di lantai, sebuah meja, dan dua buah kursi lipat. Saat Zaman
mempersilahkanku duduk, aku melihat seekor tikus abu-abu melongokkan kepalanya
dari sebuah lubang di dinding dan berlari melintasi ruangan. Aku berjingkat saat
tikus itu mengendus sepatuku, lalu sepatu Zaman, dan berlari menuju pintu yang
terbuka. "Apa maksud Anda mengatakan bahwa saya mungkin terlambat?"
"Anda mau chai" Saya akan menyeduhnya." "Tidak, terima kasih. Lebih baik kita
bicara saja." Zaman menyandarkan badannya ke kursi dan menyilangkan lengannya di dada. "Yang
akan saya sampaikan pada Anda tidak akan menyenangkan. Bah-kan mungkin sangat
berbahaya." "Untuk siapa?" "Anda. Saya. Dan, tentu saja, untuk Sohrab,
jika sekarang belum terlambat." "Saya harus tahu," ujarku. Dia mengangguk.
"Kalau itu yang Anda mau. Tapi, sebelumnya, izinkan saya bertanya: Sebesar apa
keinginan Anda untuk menemukan keponakan Anda ini?"
Aku memikirkan tentang perkelahian di jalanan yang melibatkan kami saat kami
masih kecil. Setiap kali, Hassan maju melawan mereka untukku, dua lawan satu,
kadang-kadang bahkan tiga lawan satu. Aku hanya mengernyitkan wajah dan
menontonnya, tergoda untuk ikut maju, namun selalu mengurungkannya, selalu
mundur karena satu dan lain hal.
Aku berpaling ke arah koridor, melihat sekelompok anak menari dalam lingkaran.
Seorang gadis kecil, dengan kaki kiri teramputasi, duduk di atas selembar matras
usang dan menonton mereka, tersenyum dan bertepuk tangan bersama anak-anak yang
lain. Kulihat Farid juga memerhatikan mereka, tangannya yang cacat menggantung
di samping tubuhnya. Aku teringat akan anak-anak Wahid dan ... aku menyadari
sesuatu: Aku tidak akan meninggalkan Afganistan sebelum aku menemukan Sohrab.
"Katakan pada saya di mana dia berada," ujarku.
Zaman menatapku selama beberapa saat. Lalu dia mengangguk, mengambil sebatang


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pensil, dan mempermainkannya. "Jangan sebut-sebut nama saya."
"Anda bisa memegang janji saya."
Dia mengetuk-ngetukkan pensilnya ke meja. "Meskipun Anda memegang janji, saya
rasa saya akan menyesali hal ini seumur hidup, tapi mungkin saya memang pantas
mendapatkannya. Saya memang seorang bajingan. Namun bila ada yang bisa dilakukan
untuk Sohrab ... saya memberitahu Anda karena saya percaya dengan Anda. Penampilan
Anda menunjukkan bahwa Anda adalah seorang pria putus asa." Dia terdiam. "Ada
seorang petinggi Talib," dia mengguman. "Dia berkunjung ke sini setiap satu atau
dua bulan sekali. Dia membawa uang tunai, tak banyak, tapi lebih baik daripada
tidak sama sekali." Matanya menatapku sesaat, lalu menatap lantai. "Biasanya dia
mengambil seorang anak perempuan. Tapi tidak selalu."
"Dan kau mengizinkannya?" sergah Farid dari belakangku. Dia mengelilingi meja,
mendekati Zaman. "Saya punya pilihan apa?" Zaman berteriak. Dia menjauh dari meja.
"Kau direktur di sini," sahut Farid. "Tugasmu mengawasi anak-anak itu."
"Saya tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya."
"Kau menjual anak-anak itu!" bentakan Farid menggelegar.
"Farid, duduklah! Biarkan dia bicara!" sergahku. Tapi aku terlambat. Seketika
itu Farid melompati meja. Kursi Zaman melayang saat Farid menerjang dan
menghimpit pria itu di lantai. Zaman meronta-ronta dan mengeluarkan jeritan
tertahan. Kakinya menendang-nendang laci meja, membuatnya terbuka ssehingga
kertas-kertas berhamburan di lantai.
Aku bergegas menghampiri mereka dan mendapati sebab teriakan Zaman tertahan:
Farid mencekik lehernya. Aku mencengkeram pundak Farid dengan kedua tanganku dan
menariknya kuat-kuat. Dia membebaskan dirinya. "Cukup!" bentakku. Namun wajah
Farid merah padam dan tegang. "Aku akan membunuhnya! Jangan coba-coba hentikan
aku! Aku akan membunuh bajingan ini," ujarnya dengan jijik.
"Lepaskan dia!"
"Aku akan membunuh dia!" Nada yang tersirat dalam suaranya memberitahuku bahwa
kalau aku tidak segera menghentikannya, aku akan menyaksikan pembunuhan untuk
pertama kalinya. "Anak-anak itu melihatmu, Farid. Mereka menyaksikan," ujarku. Aku merasakan
otot-otot bahunya menegang dan, untuk sesaat, kukira dia akan tetap mencekik
leher Zaman. Lalu dia membalikkan badannya, melihat anak-anak itu. Mereka
berdiri terpaku di pintu, berpegangan tangan, beberapa dari mereka menangis. Aku
merasakan ketegangan di bahu Farid berkurang. Dia melepaskan cekikannya di leher
Zaman dan berdiri, menatap Zaman, yang sedang susah payah mencoba bernapas di
lantai, dan meludahinya. Lalu dia berjalan ke pintu dan menutupnya.
Zaman berusaha berdiri, mengusap darah yang membasahi bibirnya dan ludah yang
membasahi pipinya dengan lengan baju. Sambil terbatuk-batuk
saat mencoba bernapas, Zaman mengenakan kembali kopiah dan kacamatanya, lalu
menyadari bahwa kedua lensa kacamatanya telah retak, dan melepasnya. Dia
membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Tidak satu pun dari kami
berkata-kata. "Dia membawa Sohrab sebulan yang lalu," akhirnya suara parau Zaman memecah
keheningan. Dia masih menutup wajahnya.
"Kau menyebut dirimu direktur panti asuhan?" sahut Farid.
Zaman menurunkan kedua tangannya. "Sudah lebih dari enam bulan saya tidak
dibayar. Saya bangkrut karena menghabiskan seluruh tabungan saya untuk mendanai
panti asuhan ini. Semua yang pernah saya miliki atau saya warisi sudah habis
terjual untuk menjalankan tempat mengenaskan ini. Anda pikir saya tidak punya
keluarga di Pakistan dan Iran" Saya bisa saja lari seperti semua orang lain.
Tapi saya tidak melakukannya. Saya tetap tinggal di sini. Saya bertahan karena
mereka." Dia menunjuk ke pintu. "Kalau saya menolak permintaannya untuk
mendapatkan satu orang anak, dia akan mengambil sepuluh orang anak. Jadi, saya
membiarkannya membawa seorang anak dan membiarkan Allah menilai sikap saya. Saya
menelan mentah-mentah kehormatan saya dengan menerima uang kotor ... dari keparat
itu. Lalu saya pergi ke pasar dan membeli makanan untuk anak-anak."
Farid menundukkan kepala.
"Apa yang terjadi pada anak-anak yang
dibawanya?" tanyaku.
Zaman memijit matanya dengan jari tengah dan ibu jarinya. "Kadang-kadang mereka
kembali." "Siapa dia" Bagaimana kami bisa menemukannya?" tanyaku.
"Besok, pergilah ke Stadion Ghazi. Anda akan melihatnya saat pergantian babak
tiba. Pria itu satu-satunya yang mengenakan kacamata hitam." Dia memungut
kacamatanya yang pecah dan mempermainkannya. "Sekarang, saya mohon kalian berdua
meninggalkan tempat ini. Anak-anak merasa ketakutan."
Dia mengantarkan kami keluar.
Saat truk kami meninggalkan tempat itu, aku melihat sosok Zaman dari kaca spion,
berdiri di ambang pintu. Sekelompok anak-anak mengelilinginya, memegangi ujung
kemeja-longgarnya. Kulihat dia mengenakan kembali kacamata pecahnya.
Dua Puluh Satu &3l l^ami melintasi sungai dan melaju ke utara melalui
Persimpangan Pashtunistan yang ramai. Baba sering membawaku ke tempat itu untuk
menikmati kebab di Restoran Khyber. Rumah makan itu masih berdiri, namun
pintunya tersegel, jendelanya luluh lantak, dan huruf R dan K di papan namanya
tidak lagi terbaca. Aku melihat sesosok mayat di dekat restoran itu. Telah terjadi penggantungan.
Tubuh seorang pria muda tergantung pada seutas tali yang diikatkan pada palang;
wajahnya sembap kebiruan dan pakaian yang dia kenakan pada hari terakhir
kehidupannya sobek di sana-sini dan bernoda darah. Hampir tak ada seorang pun
yang memerhatikannya. Kami melaju perlahan melalui persimpangan itu menuju distrik Wazir Akbar Khan.
Ke mana pun pandanganku tertuju, aku melihat gumpalan debu menyelimuti kota dan
bangunan-bangunan bata yang kering kerontang. Beberapa blok di sebelah utara
Persimpangan Pashtunistan, Farid menunjuk dua orang pria yang sedang bercakap-cakap dengan penuh semangat di sudut
jalan yang dipenuhi manusia. Salah satu pria itu terpincang-pincang dengan satu kaki,
sementara kakinya yang lain, yang buntung teramputasi dari lutut ke bawah,
menggantung begitu saja. Dia mengempit kaki palsunya. "Kau tahu apa yang sedang
mereka lakukan" Tawar menawar kaki." "Dia menjual kakinya?"
Farid mengangguk. "Harganya mahal di pasar gelap. Cukup untuk memberi makan
anak-anaknya selama beberapa minggu."
Aku terkejut ketika melihat bahwa sebagian besar rumah di distrik Wazir Akbar
Khan masih memiliki atap dan pagar. Bahkan, rumah-rumah itu masih berada dalam
kondisi lumayan. Pepohonan masih mengintip dari balik pagar tembok, dan
kerusakan pada jalannya tak separah di KartehSeh. Tanda-tanda nama jalan dengan
huruf memudar, beberapa terpelintir dan berlubang-peluru, masih terbaca.
"Ini tidak begitu parah," aku berkomentar.
"Jangan kaget.Kebanyakan orang penting tinggal di sini sekarang."
"Taliban?" "Mereka juga," jawab Farid. "Siapa lagi?"
Dia mengemudikan truknya di sepanjang jalan lebar yang diapit trotoar bersih dan
rumah-rumah berpagar di kedua sisinya. "Orang-orang yang ada
di belakang Taliban. Otak sebenarnya dari pemerintahan ini, kalau kita boleh
menyebutnya begitu: Mereka berasal dari Arab, Chechen, Pakistan," ujar Farid.
Dia menunjuk ke arah barat laut. "Jalan 15, di sebelah sana, disebut Sarak-e-
Mehmana." Jalan Para Tamu. "Begitulah mereka menyebut diri mereka di sini, tamu.
Kupikir, suatu hari nanti, tamu-tamu itu akan mengencingi karpet mereka
sendiri." "Sepertinya di sana!" teriakku. "Di sebelah sana!" Aku menunjuk sebuah rumah
yang dulu, saat aku masih kanak-kanak, kugunakan sebagai petunjuk. Kalau kau
sampai tersesat, Baba sering mengingatkanku, ingat saja, ada rumah bercat merah
jambu di ujung jalan kita. Pada saat itu, rumah merah jambu dengan atap
menjulang itu adalah satu-satunya rumah di lingkungan kami yang dicat dengan
warna itu. Sekarang pun masih begitu.
Farid membelokkan truknya ke jalan itu. Dan aku melihat rumah Baba.
Kami menemukan seekor kura-kura mungil di balik rumpun sweetbher di halaman.
Kami tidak tahu bagaimana binatang itu bisa ada di sana, tapi kami terlalu
bersemangat untuk memikirkannya. Kami mengecat cangkangnya dengan warna merah
menyala. Itu adalah gagasan Hassan, ide yang baik: Dengan begitu, kami tidak
perlu bersusah payah mencari kura-kura itu bila ia berkeliaran di
antara semak-semak. Kami berpura-pura menjadi dua orang penjelajah gagah berani
yang menemukan monster purba raksasa di tengah hutan lebat, lalu menaklukkan
monster itu dan memperton-tonkannya ke seluruh dunia. Kami meletakkan kura-kura
itu dalam sebuah gerobak kayu, yang dibuat oleh Ali musim dingin sebelumnya
untuk hadiah ulang tahun Hassan, menganggapnya sebagai sebuah kerangkeng baja
raksasa. Lihatlah monster raksasa penyembur api ini! Kami berbaris di atas
hamparan rumput sambil menarik gerobak itu, mengelilingi pohon apel dan ceri,
yang kami anggap sebagai gedung-gedung pencakar langit dengan tinggi menjulang
hingga ke awan; ribuan kepala melongok dari ribuan jendelanya untuk menikmati
tontonan yang kami arak di sepanjang jalan. Kami berjalan melewati jembatan
lengkung kecil yang dibangun Baba di dekat serumpun pohon murbei, kami
menganggapnya sebagai jembatan besar yang menghubungkan dua kota, dan kolam
kecil di bawahnya sebagai laut dengan ombak bergolak. Kembang api menyala di
atas pilar-pilar raksasa jembatan itu dan prajurit-prajurit bersenjata, yang
berbaris di kedua sisi jalan, memberi hormat pada kami. Untaian kabel-kabel baja
pada jembatan itu terbentang hingga ke langit. Kura-kura kecil itu terguncang-
guncang saat kami menyeret gerobak itu mengelilingi jalan masuk beralas bata-
merah di luar gerbang besi-tempa dan membalas penghormatan dari para pemimpin
dunia yang berdiri dan bertepuk tangan.
Kami, Amir dan Hassan, petualang termasyhur dan penjelajah terhebat di dunia
akan menerima medali kehormatan untuk keberanian luar biasa kami ....
Aku berjingkat mendekati jalan masuk rumah itu. Sekarang, rerumputan tumbuh di
sela-sela bata merahnya yang memudar karena terbakar matahari. Aku berdiri di
hadapan gerbang rumah ayahku, merasa seperti orang asing. Aku meletakkan
tanganku di jeruji pagar yang berkarat, mengingat masa kanak-kanakku, saat
ribuan kali aku berlarian melewati gerbang itu untuk hal-hal yang sekarang
sepertinya sepele, tapi kurasakan sangat penting waktu itu. Aku melongok ke
dalam. Jalan masuk yang menuju ke halaman, tempat aku dan Hassan bergiliran jatuh saat
belajar mengendarai sepeda pada suatu musim panas, tidak selebar dan sepanjang
yang kuingat. Gerumbul rumput tum-buh di sela-sela retakan aspal. Sebagian besar
pohon poplar telah ditebang pohon-pohon yang sering kupanjat bersama Hassan
untuk memantul-mantulkan cahaya matahari dengan cermin ke rumah-rumah tetangga
sementara beberapa yang masih berdiri tidak lagi berdaun. Tembok Jagung Merana
tetap tegak berdiri meskipun aku tidak melihat lagi deretan jagung, baik merana
ataupun tidak, di sepanjang tembok itu. Cat pada tembok itu telah mengelupas
dan, di beberapa bagian, lapisan semennyalah yang mengelupas. Warna hamparan
rumput di halaman telah menjadi secokelat gumpalan debu yang menyelimuti kota,
diselingi oleh bagian-bagian gundul yang tak ditumbuhi tanaman sama sekali.
Sebuah jip yang terparkir di jalan masuk itu menjadi pemandangan yang begitu
sulit kuterima: Mustang hitam milik Babalah yang seharusnya terparkir di sana.
Selama bertahun-tahun, Baba menyalakan mesin Mustang bersilinder delapan itu
setiap pagi, membuatku terbangun dari tidur. Tetesan oli dari jip itu menodai
jalan masuk rumah Baba, seperti noda tinta Rorschach. Sebuah gerobak tanpa
muatan diletakkan di depan jip itu. Tidak tampak lagi sisa berumpun-rumpun mawar
yang ditanam oleh Baba dan Ali di sisi kiri jalan masuk itu. Yang ada hanya
aspal yang penuh noda. Dan rumput-rumput liar.
Farid membunyikan klaksonnya dua kali. "Kita harus pergi, Agha. Mereka akan
melihat kita," panggilnya.
"Sebentar, beri aku sedikit waktu lagi."
Rumah itu tidak mirip lagi dengan rumah besar bercat putih yang ada dalam
kenangan masa kecilku. Rumah itu tampak lebih kecil. Atapnya melesak dan
dindingnya penuh retakan. Jendela-jendela ruang tamu, ruang depan, dan kamar
mandi lantai atas semuanya pecah, digantikan, tanpa memedulikan keindahan,
dengan lembaran plastik atau lempengan papan yang dipaku pada kusen-kusennya.
Warna cat yang tadinya putih
cerah telah memudar menjadi kelabu suram dan di beberapa bagian, lapisan semen
pada dinding rumah itu telah mengelupas, menunjukkan susunan bata di baliknya.
Anak tangga di depan rumah telah hancur. Seperti banyak hal lain di Kabul, rumah
ayahku menjadi potret runtuhnya sebuah keagungan. Aku menemukan jendela kamar
lamaku, di lantai dua, jendela ketiga di sebelah selatan pintu masuk utama rumah
itu. Meskipun sudah berjinjit, aku tidak bisa melihat apa pun yang tersembunyi
di balik jendela itu. 25 tahun sebelumnya, akulah yang berdiri di balik jendela
itu, tetesan air hujan membasahi kacanya dan uap dari napasku menempel di sana.
Aku menyaksikan Hassan dan Ali memuat harta mereka ke dalam bagasi mobil ayahku.
"Amir agha," Farid kembali memanggilku. "Sebentar lagi," aku menjawabnya.
Desakan untuk memasuki rumah itu sungguh menggila. Aku ingin menginjakkan kakiku
ke tangga depan, tempat Ali selalu meminta aku dan Hassan untuk membuka sepatu
bot salju kami. Aku ingin menginjakkan kakiku ke ruang depan, menghirup campuran
aroma kulit jeruk dan serbuk gergaji yang dimasukkan Ali ke dalam tungku
pemanas. Aku ingin duduk di balik meja dapur, menikmati teh dan sepotong naan,
mendengar Hassan menyanyikan lagu-lagu Hazara tua.
Amir kembali membunyikan klakson. Aku berjalan kembali menuju Land Cruiser yang
diparkir di bahu jalan. Farid duduk di balik kemudinya sambil mengisap rokok.
"Ada satu tempat lagi yang harus kulihat," aku memberitahunya.
"Bisakah kau melakukannya dengan cepat?" "Beri aku sepuluh menit."
"Ya sudah." Lalu, saat aku beranjak pergi, Farid berkata: "Lupakan saja
semuanya. Itu lebih mudah."
"Untuk apa?" "Untuk melanjutkan kehidupanmu," kata Farid. Dia menjentikkan rokoknya ke luar
jendela. "Seberapa banyak lagi yang ingin kaulihat" Biarkan aku meringankan
bebanmu: Tak ada satu pun dalam kenanganmu tentang Kabul yang bertahan. Yang
terbaik adalah melupakan semuanya."
"Aku tak ingin melupakan lagi," ujarku. "Beri aku sepuluh menit."
* Dulu, aku dan Hassan bisa mendaki bukit di sebelah utara rumah Baba tanpa
mengucurkan setitik keringat pun. Kami saling mendahului untuk mencapai
puncaknya atau duduk di tebingnya untuk menikmati pemandangan bandara di
kejauhan yang terlihat begitu indah. Kami menyaksikan pesawat-pesawat tinggal
landas dan mendarat. Setelah itu, kami kembali berlarian.
Sekarang, saat aku mencapai puncak bukit yang curam dan berbatu itu, setiap
tarikan napasku terasa bagaikan api. Keringat membanjiri wajahku.
Aku berdiri terengah-engah selama beberapa saat, menunggu rasa nyeri di perutku
menghilang. Lalu aku memeriksa kuburan telantar yang ada di sana. Aku tidak
membutuhkan waktu lama untuk menemukannya. Kuburan itu masih ada di sana, begitu
juga pohon delima tua itu.
Aku bersandar pada gerbang batu kelabu pemakaman itu. Di situlah Hassan
menguburkan ibunya. Pagar besi tua yang menggantung pada engselnya telah tiada,
dan batu-batu nisan tersembunyi di balik gerumbul tebal rumput liar yang
memenuhi tempat itu. Sepasang burung gagak bertengger di pagar tembok pendek
yang mengelilingi kuburan itu.
Dalam suratnya, Hassan mengatakan bahwa pohon delima yang berdiri di sana sudah
bertahun-tahun tak lagi berbuah. Saat melihat pohonnya yang gundul tanpa daun,
aku meragukan pohon itu bisa kembali berbuah. Aku berdiri di bawah pohon itu,
mengingat saat-saat kami berdua memanjatnya, duduk di cabang-cabangnya, kaki
kami terayun-ayun, sinar matahari menerobos dedaunan dan menimpa wajah kami,
menghasilkan mozaik cahaya dan bayangan. Aroma delima yang tajam menari dalam
mulutku. Aku berlutut dan menyapukan tanganku pada batang pohon itu. Aku menemukannya.
Pahatan itu telah menipis, hampir-hampir tak tampak lagi, namun masih di sana:
"Amir dan Hassan. Sultan-Sultan Kabul." Aku meraba setiap lekukan huruf dengan
jariku lalu mencongkel sepotong kulit kayu
dari pahatan itu. Aku duduk bersila di bawah pohon itu dan memandang ke arah selatan, menatap kota
masa kecilku. Dulu, pucuk-pucuk pohon menyembul dari balik pagar tembok setiap
rumah. Langit luas dan biru membentang, dan cucian yang tergantung pada jemuran
berkilauan di bawah terpaan sinar matahari. Jika mendengar-kan dengan saksama,
teriakan pedagang buah, yang melewati distrik Wazir Akbar Khan beserta
keledainya, akan terdengar: Ceri! Aprikot! Anggur! Menjelang senja, azan dari
masjid Shar-e-Nau akan terdengar panggilan shalat dari muazin untuk mereka yang
beriman. Aku mendengar bunyi klakson dan melihat Farid melambai padaku. Sudah waktunya
pergi. Kami kembali melaju ke arah selatan, kembali ke Persimpangan Pashtunistan. Dalam
perjalanan, kami bertemu dengan beberapa mobil bak terbuka berwarna merah dengan
pria-pria muda berjanggut berjejalan di baknya. Setiap kali kami berpapasan


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mereka, Farid membisikkan umpatan.
Aku menyewa kamar di sebuah hotel kecil di dekat Persimpangan Pashtunistan. Tiga
orang gadis kecil berpakaian persis sama gaun terusan hitam dan kerudung putih
yang membalut tubuh kurus kering mereka dan seorang pria berkacamata berdiri
di balik meja penerimaan. Pria itu menyebutkan $75 sebagai harga sewa kamar,
harga yang luar biasa jika dibandingkan dengan penampilan menyedihkan tempat
itu, namun aku tidak keberatan. Menetapkan harga sewa yang mencekik leher untuk
sebuah rumah pantai di Hawaii adalah hal lain. Menetapkan harga yang sama
tingginya untuk menghidupi anak-anakmu adalah hal yang berbeda.
Tidak tersedia air panas dan toilet yang retak mampat. Yang tersedia hanyalah
sebuah ranjang baja berkasur tipis untuk satu orang, sehelai selimut usang, dan
sebuah kursi kayu yang diletakkan di sudut ruangan. Kaca jendela yang
menunjukkan pemandangan di persimpangan telah pecah dan belum diganti. Saat aku
meletakkan koperku, aku melihat noda darah yang telah kering menempel di tembok
di balik ranjang. Aku memberikan sejumlah uang pada Farid dan dia segera keluar untuk membeli
makanan. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa empat potong kebab panas,
naan segar, dan semangkuk nasi putih. Kami duduk di ranjang dan menyantap habis
makanan itu. Masih ada satu hal yang tidak berubah sama sekali di Kabul:
kebabnya masih menggiurkan dan selezat yang kuingat.
Malam itu, aku berbaring di ranjang dan Farid berbaring di lantai, membungkus
tubuhnya dengan selimut tambahan yang juga disewakan dengan harga selangit. Tak
ada cahaya yang menerangi ruangan itu selain cahaya bulan yang masuk melalui
kaca jendela yang pecah. Farid mengatakan bahwa
kata pemilik penginapan itu, listrik tidak lagi mengaliri Kabul selama dua hari
terakhir dan generator miliknya rusak. Kami mengobrol selama beberapa saat.
Farid bercerita tentang masa kecil yang dijalaninya di Mazar-i-Sharif dan
Jalalabad. Dia bercerita padaku tentang masa-masa dia dan ayahnya bergabung
dengan pasukan jihad dan melawan Shorawi di Lembah Panjsher. Mereka terkatung-
katung tanpa makanan dan untuk bertahan hidup, mereka harus menyantap belalang.
Dia bercerita padaku tentang serangan helikopter yang menewaskan ayahnya,
tentang ranjau darat yang merenggut nyawa kedua putrinya. Dia bertanya padaku
tentang Amerika. Aku mengatakan padanya bahwa di Amerika, kau bisa memasuki toko
kelontong dan membeli 15 atau 20 macam sereal. Daging domba yang dijual selalu
segar dan susu selalu dingin, buah-buahan yang tersedia sangat beragam dan air
selalu bersih. Setiap rumah memiliki pesawat TV, dan setiap pesawat TV
dilengkapi dengan remote control, dan kau bisa membeli antena parabola jika mau.
Dengan alat itu, kau bisa menangkap siaran dari 500 saluran lebih.
"500?" Farid terkaget-kaget.
"500." Keheningan mengisi ruangan selama beberapa saat. Ketika aku berpikir bahwa dia
telah tertidur, Farid tertawa. "Agha, tahukah kau apa yang dilakukan Mullah
Nasruddin saat anak perempuannya pulang dan mengeluh bahwa suaminya telah
memukul dia?" Aku bisa merasakan senyumnya
dalam kegelapan dan aku pun tersenyum. Tak ada seorang Afghan pun di dunia yang
tidak tahu sedikitnya beberapa lelucon tentang mullah konyol itu.
"Apa?" "Dia memukul anaknya, lalu mengirimnya kembali untuk mengatakan pada suaminya
bahwa Mullah Nasruddin bukan orang bodoh: Kalau bangsat itu berani memukul
putrinya, sang Mullah akan membalasnya dengan memukul istrinya."
Aku tertawa. Sebagian karena lelucon itu, sebagian karena mensyukuri bahwa
selera humor Afghan tak pernah berubah. Perang terus berlangsung, Internet
ditemukan, dan sebuah robot telah melangkahkan kakinya di planet Mars, tapi di
Afghanistan, kami masih saling bertukar lelucon Mullah Nasruddin. "Kau pernah
dengar cerita saat sang mullah memikul bungkusan berat di pundaknya dan
mengendarai keledainya?" tanyaku.
"Tidak." "Seseorang di jalan bertanya padanya, mengapa dia tidak meletakkan bungkusan itu
pada punggung keledainya" Dan dia berkata, "Itu tindakan yang kejam, aku sudah
cukup berat untuk binatang malang ini."
Kami bertukar lelucon Mullah Nasruddin hingga kehabisan, lalu keheningan pun
kembali. "Amir agha?" ujar Farid, mengagetkanku yang telah jatuh tertidur.
"Ya?" "Mengapa kau di sini" Maksudku, mengapa kau
benar-benar datang kemari?"
"Aku telah mengatakannya padamu." "Untuk anak itu?" "Untuk anak itu."
Farid berguling di lantai. "Sulit dipercaya."
"Kadang-kadang aku sendiri sulit memercayai bahwa aku berada di sini."
"Tidak .... Yang ingin kutanyakan adalah, mengapa anak itu" Kau datang sejauh itu
dari Amerika untuk ... seorang Syi'ah"
Ucapannya membuatku melupakan semua lelucon yang sebelumnya telah membuatku
tertawa. Aku tidak lagi merasa mengantuk. "Aku lelah," jawabku. "Ayo kita
tidur." Bunyi dengkuran Farid segera menggema dalam kamar kosong itu. Aku tetap terjaga,
menyilangkan kedua tanganku di dada, menatap langit tanpa bintang melalui kaca
jendela yang pecah, dan berpikir bahwa mungkin perkataan semua orang tentang
Afghanistan memang benar. Mungkin Afghanistan memang sebuah tempat di mana
harapan tak lagi ada. Sorak-sorai penonton memenuhi Stadion Ghazi saat kami berjalan melewati lorong
masuk. Ribuan orang memadati tribun. Anak-anak bermain di antara jajaran bangku
dan saling mengejar naik turun tangga. Aroma kacang garbanzo dengan saus
pedas menggantung di udara, berbaur dengan aroma kotoran binatang dan keringat.
Aku dan Farid berpapasan dengan para pedagang asongan yang menjual rokok, biji
pinus, dan biskuit. Seorang anak laki-laki kurus yang mengenakan jaket dari bahan tweed menarik
lenganku dan berbisik di telingaku. Dia menanyakan padaku kalau aku ingin
membeli "foto-foto seksi."
"Sangat seksi, Agha," matanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan waspada
mengingatkanku pada seorang gadis yang, beberapa tahun sebelumnya, mencoba
menjual kokain padaku di distrik Tenderloin, San Francisco. Anak itu
memperlihatkan bagian dalam jaketnya dan menunjukkan sekilas padaku "foto-foto
seksinya": kartu-kartu pos iklan film India yang memperlihatkan aktris-aktris
berpose sensual, meskipun memakai pakaian lengkap, dalam pelukan aktor-aktor
utamanya. "Seksi sekali," ulang anak itu.
"Tidak, terima kasih," aku meninggalkannya.
"Kalau dia sampai tertangkap, mereka akan mencambuknya hingga ayahnya bangkit
dari kubur," gumam Farid.
Tidak ada nomor kursi, tentu saja. Tidak ada seorangpun yang dengan sopan
menunjukkan pada kami bagian, lorong, baris, atau pun tempat duduk kami. Memang
tak pernah ada, bahkan pada masa kejayaan monarki. Kami menemukan tempat duduk
yang lumayan di bagian kiri tribun tengah, meskipun untuk mendapatkannya, Farid
harus mendorong dan menyikut penonton lain.
Dulu, pada tahun 1970-an saat Baba sering
mengajakku menonton pertandingan sepak bola di sana rumput yang tumbuh di
lapangan itu sangat hijau. Sekarang, lapangan itu berantakan. Lubang-lubang
menganga di mana-mana, yang paling jelas terlihat adalah dua lubang yang cukup
dalam di belakang gawang sebelah selatan. Tak ada sejumput rumput pun yang
tumbuh di sana, yang ada hanya tanah. Saat kedua tim akhirnya memasuki lapangan
semua pemainnya mengenakan celana panjang, meskipun udara sangat panas dan
pertandingan dimulai, sangat sulit untuk mengikuti laju bola karena gumpalan
debu, yang ditimbulkan oleh tendangan para pemain, memenuhi lapangan. Para Talib
muda bersenjata cambuk berpatroli di antara bangku, menyerang siapa pun yang
bersorak terlalu keras. Sesaat setelah wasit membunyikan peluit untuk turun minum, pertunjukan tambahan
dimulai. Dua truk merah berbak terbuka, sama seperti yang kulihat di setiap
penjuru kota sejak kedatanganku, memasuki stadion melalui gerbang. Kerumunan
penonton berdiri. Seorang wanita dengan tubuh terbungkus burqa hijau duduk di
bak salah satu truk itu, sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di
bak truk yang lain. Kedua truk itu berjalan mengelilingi lapangan, perlahan-
lahan, seolah-olah membiarkan seluruh penonton di stadion itu memerhatikan
mereka. Efek yang timbul sesuai dengan keinginan mereka: Orang-orang menjulurkan
leher mereka, menunjuk-nunjuk, berjinjit. Di sebelahku, jakun Farid tampak naik
turun saat dia membisikkan sebuah doa. Kedua truk merah itu melaju ke tengah lapangan, terus berjalan menembus gumpalan
debu. Cahaya matahari terpantul di baknya yang terbuka. Truk yang ketiga
menghampiri kedua truk itu di ujung lapangan. Truk terakhir ini memuat sesuatu
yang membuatku tiba-tiba menyadari kegunaan dua buah lubang yang ada di belakang
gawang sebelah selatan. Mereka menurunkan muatan itu. Bisikan dan gumaman
seketika dilontarkan kerumunan penonton.
"Kau ingin tetap tinggal?" Farid bertanya dengan letih.
"Tidak," jawabku. Seumur hidupku, aku belum pernah begitu ingin meninggalkan
sebuah tempat seperti saat ini. "Tapi kita harus tetap di sini."
Dua orang Talib dengan senapan Kalashnikov tersandang di bahu menolong pria yang
matanya tertutup kain itu turun dari truk yang pertama dan dua orang yang lain
menolong wanita berburqa. Lutut wanita itu goyah dan dia pun tersungkur ke
tanah. Kedua prajurit Talib itu menariknya, namun dia segera tersungkur kembali.
Saat mereka mencoba menariknya kembali, wanita itu menjerit-jerit dan menendang-
nendang. Seumur hidupku, tak akan pernah kulupakan jeritan itu. Lengkingan
binatang liar yang mencoba membebaskan kakinya dari jebakan beruang. Dua Talib
lain mendekati mereka dan menolong mereka menyeret wanita itu ke dalam salah
satu dari kedua lubang sedalam dada itu. Berlawanan dengan sikap wanita itu,
pesakitan yang lain, pria dengan mata tersekap itu, dengan tenang membiarkan para Talib
memasukannya ke lubang yang lain. Sekarang, kedua pesakitan itu hanya tampak
dari dada ke atas. Seorang ulama gemuk dan berjanggut putih dengan pakaian abu-abu berdiri di dekat
gawang. Bunyi dehamnya terdengar melalui pengeras suara. Di belakangnya, wanita
yang setengah tubuhnya telah terkubur itu tetap menjerit-jerit. Sang ulama
melafalkan sebuah surat panjang dari Al-Quran, suara sengaunya mengisi stadion
yang tiba-tiba sunyi senyap. Aku teringat ucapan Baba kepadaku puluhan tahun
sebelumnya: Mereka tidak melakukan apa pun kecuali menghitung butiran tasbih dan
memamerkan hafalan isi kitab yang ditulis dalam bahasa yang tidak mereka pahami.
Kuharap Tuhan melindungi kita semua jika suatu saat nanti Afghanistan jatuh ke
tangan mereka. Setelah selesai membaca doa, ulama itu berdeham. "Saudara-saudaraku!" teriaknya
dalam bahasa Farsi. Suaranya membahana di seluruh stadion itu. "Hari ini kita
berkumpul di sini untuk menegakkan syariat. Hari ini kita berkumpul untuk
menegakkan keadilan. Hari ini kita berkumpul karena kehendak Allah dan sabda
Nabi Muhammad, semoga kedamaian selalu menyertainya, dijalankan dengan baik di
sini, di Afghanistan tanah air kita tercinta. Kita mendengarkan dan mematuhi
perintah Allah karena kita hanyalah makhluk yang tak berarti jika dihadapkan
dengan kebesaranNya. Dan bagaimanakah bunyi perintah Tuhan" Saya menanyakannya
pada Anda! BAGAIMANA BUNYI PERINTAHNYA" Allah memerintahkan pada kita untuk
menjatuhi setiap pendosa dengan hukuman yang pantas bagi mereka. Itu bukan kata-
kata saya, ataupun kata-kata saudara saya. Itu adalah kata-kata dari TUHAN!"
Tangannya yang kosong menunjuk ke langit. Kepalaku berdenyut dan panas matahari
terasa terlalu menyengat.
"Setiap pendosa harus dijatuhi hukuman yang pantas bagi mereka!" ulama itu
mengulang perkataannya pada pengeras suara, lalu berbicara dengan nada lebih
rendah, menekankan setiap kata yang diucapkannya dengan perlahan-lahan, dengan
dramatis. "Dan hukuman apa, saudara-saudaraku, yang pantas bagi seorang pezina"
Bagaimana kita harus menghukum mereka yang menodai kesucian pernikahan"
Bagaimana kita harus memperlakukan mereka yang telah meludahi wajah Tuhan"
Bagaimana kita harus membalas mereka yang telah melemparkan batu pada jendela-
jendela rumah Tuhan" KITA HARUS MEMBALAS DENGAN MELEMPARKAN KEMBALI BATU ITU
PADA MEREKA!" suaranya menggelegar melalui pengeras suara. Bisikan menyebar pada
kerumunan penonton. Di sebelahku, Farid menggelengkan kepalanya.
Lalu, seorang pria jangkung dan berdada bidang keluar dari salah satu truk. Saat
melihat pria itu, para penonton seketika bersorak. Kali ini, tak seorang pun
dipukul karena berteriak terlalu keras. Pakaian putih cemerlang yang dikenakan
pria jangkung itu berkilauan di bawah sinar matahari.
Semilir angin me-main-kan ujung pakaian longgarnya. Pria itu membentangkan kedua
tangannya, seperti Yesus yang terpaku pada salib. Saat dia menghadap ke bagian
kami, aku melihat sebuah kacamata bulat berlensa gelap-seperti yang biasa
dikenakan John Lennon bertengger di hidungnya.
"Dia pasti pria yang kita cari," kata Farid.
Talib jangkung berkacamata hitam itu berjalan mendekati tumpukan batu yang
mereka turunkan dari truk ketiga. Dia memungut sebongkah dan menunjukkannya pada
penonton. Sorak-sorai menyurut, digantikan oleh gumaman dan bisikan yang
seketika memenuhi bangunan itu. Aku melihat ke sekelilingku dan mendapati bahwa
semua orang terdiam. Talib yang, anehnya, tampak bagai seorang pelempar bola
pada pertandingan bisbol, melemparkan batu di tangannya pada pria yang matanya
tertutup. Batu itu mengenai bagian samping kepalanya. Rekan wanitanya kembali
menjerit. Kerumunan penonton serentak meneriakkan "OH!" Aku menutup mataku dan
menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Teriakan "OH!" dari para penonton
mengikuti setiap batu yang dilemparkan pada kedua pesakitan itu. Keadaan itu
berlangsung cukup lama. Saat teriakan penonton berhenti, aku bertanya kepada
Farid, apakah pertunjukan itu telah selesai. Farid menjawab dengan kata tidak.
Mungkin tenggorokan para penonton telah letih karena terlalu banyak dipakai
berteriak. Aku tak tahu berapa lama lagi aku harus duduk dengan kedua tangan
menutupi wajah. Aku tahu bahwa aku
baru membuka mataku saat aku mendengar orang-orang di sekelilingku berkata,
"Mord" Mord" Apa dia sudah mati?"
Yang tersisa dari pria dalam lubang itu hanyalah cabikan daging dan genangan
darah. Kepalanya menjorok ke depan, dagunya menempel di dadanya. Talib
berkacamata John Lennon menunduk menatap pria lain yang berjongkok di dekat
lubang, mempermainkan sebongkah batu di tangannya. Pria yang sedang berjongkok
itu menggunakan stetoskop untuk memeriksa para pesakitan. Dia menempelkan ujung
alat itu pada dada si pria, melepaskannya, dan menggelengkan kepalanya pada
Talib berkacamata. Para penonton mengerang.
John Lennon berjalan kembali mendekati tumpukan batu.
Saat semua itu berakhir, saat mayat-mayat berlumuran darah itu telah dilemparkan
dengan sembarangan dan secara terpisah ke bak kedua truk merah, beberapa pria
muncul sambil membawa sekop dan dengan cepat menutup kedua lubang itu. Salah
satu dari mereka secara sambil lalu mencoba menutup noda darah besar bekas
pertunjukan itu dengan menendangi tanah di sekelilingnya. Beberapa menit
kemudian, kedua tim kembali memasuki lapangan. Babak kedua dimulai.
Pertemuan kami dijadwalkan pada pukul tiga siang itu. Betapa cepatnya janji temu
itu disepakati mengejutkanku. Aku telah memperkirakan penundaan, setidaknya
interogasi yang berkepanjangan, mungkin surat-suratku pun akan diperiksa. Namun
aku teringat bahwa di Afghanistan, masalah seresmi apa pun akan ditangani dengan
tidak resmi. Sekarang pun masih begitu: yang harus dilakukan Farid hanyalah
mengatakan pada seorang Talib bersenjata cambuk bahwa kami harus mendiskusikan
masalah pribadi dengan pria yang berbaju putih itu. Mereka berdua bertukar
bicara. Talib bersenjata cambuk itu mengangguk dan berteriak dalam bahasa Pashtu
pada seorang remaja yang ada di lapangan, yang segera berlari menuju ke gawang
selatan, di mana Talib berkaca mata itu sedang bercakap-cakap dengan ulama gemuk
yang telah memberikan khutbah. Mereka bertiga berbicara. Aku melihat pria
berkacamata itu melihat ke arahku. Dia mengangguk, lalu membisikkan sesuatu ke
telinga pembawa pesannya. Remaja itu meneruskan pesannya pada kami.
Sudah ditetapkan, saat itu juga. Pukul 15.00.
Dua Puluh Dua Farid menghentikan Land Cruisernya di depan
jalan masuk sebuah rumah besar di distrik Wazir Akbar Khan. Dia memarkir truknya
di bawah naungan pohon willow yang mencuat dari balik pagar tembok sebuah rumah
mewah yang terletak di Jalan 15, Sarak-e-Mehmana, Jalan Para Tamu. Dia mematikan
mesin dan kami duduk diam selama beberapa saat, mendengarkan dentingan mesin
yang sedang mendingin. Tidak satu pun dari kami berkata-kata. Farid
menggoyangkan badannya dan memainkan kunci yang masih menggantung pada
tempatnya. Aku bisa melihat bahwa dia sedang mempersiapkan dirinya untuk
mengatakan sesuatu padaku.
"Sepertinya aku akan menunggumu di mobil," akhirnya kerisauannya terucapkan.
Nadanya menunjukkan permohonan maaf. "Ini urusanmu sekarang. Aku"
Aku menepuk-nepuk lengannya. "Kau telah melakukan jauh lebih banyak daripada
yang telah kubayarkan. Aku tidak mengharapkan kau ikut denganku." Tapi aku
berharap aku tidak harus memasuki rumah itu sendirian. Dan meskipun aku
telah mengetahui keburukan Baba, aku berharap dia berada di sisiku saat ini.


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baba akan menghambur melalui pintu depan rumah itu dan menuntut untuk
dipertemukan dengan siapa pun yang berwewenang, mengencingi janggut setiap orang
yang menghadang jalannya. Tapi Baba telah lama meninggal, terkubur di pemakaman
Afghan kecil di lahan pemakaman Hayward. Baru sebulan yang lalu, aku dan Soraya
meletakkan buket bunga daisy dan freesia di dekat nisannya. Aku sendirian.
Aku keluar dari truk dan berjalan mendekati gerbang kayu di depan rumah itu. Aku
mencoba membunyikan bel, namun bel itu mati aliran listrik masih terputus dan
aku harus menggedor gerbang itu. Sesaat kemudian, aku mendengar percakapan
pendek dari balik gerbang dan dua orang penjaga yang menenteng Kalashnikov
membuka gerbang itu. Aku melirik Farid yang duduk di truk dan menggerakkan bibirku, aku akan kembali,
meskipun sedikit pun aku tak yakin bahwa aku akan kembali.
Kedua pria bersenjata itu memeriksaku dari u-jung kepala hingga ujung kaki,
membuka kakiku, meraba selangkanganku. Salah satu dari mereka mengatakan sesuatu
dalam bahasa Pashtu dan mereka berdua tertawa. Kami melewati gerbang. Kedua
penjaga itu mengawalku melintasi halaman yang terpangkas rapi, melewati deretan
bunga geranium dan semak-semak pendek yang ditanam di sepanjang sisi pagar
tembok. Pompa air bertangkai model kuno berdiri di sudut halaman itu. Dulu,
pompa air seperti itu ada di rumah Kaka Homayoun
di Jalalabad bersama si kembar, Fazila dan Karima, aku seringkah menjatuhkan
kerikil ke dalamnya, mendengarkan bunyi "plung" yang dihasilkannya.
Kami menaiki beberapa anak tangga dan memasuki rumah besar yang lengang. Kami
melewati ruang depan-sehelai bendera Afghan berukuran besar menutupi salah satu
sisi ruangan-dan kedua pria itu membawaku ke lantai atas, memasuki sebuah
ruangan dengan dua sofa kembar berwarna hijau daun mint dan sebuah pesawat TV
layar-lebar yang diletakkan di sudut. Selembar sajadah bergambar Kota Makkah
dipakukan ke dinding. Pria yang lebih tua menggerakkan moncong senapannya,
mengisyaratkan padaku untuk mengambil tempat di sofa. Saat aku duduk, mereka
meninggalkan ruangan. Aku menyilangkan kakiku. Meluruskannya kembali. Tanganku yang berkeringat
menempel di lututku. Apakah aku terlihat gugup" Aku menangkupkan kedua tanganku,
memutuskan bahwa penampilan macam ini akan membuat kesan yang kutimbulkan lebih
buruk. Pembuluh darah di keningku berdenyut. Aku merasa begitu terasing.
Berbagai pikiran melintas di benakku, tapi aku tak ingin berpikir sama sekali,
karena bagian dari diriku yang tetap sadar tahu bahwa keberadaanku di tempat ini
disebabkan oleh kegilaan. Aku berada ribuan kilometer dari istriku, duduk dalam
ruangan yang terasa bagaikan penjara, menantikan kemunculan seorang pria yang
kulihat telah mencabut dua nyawa pada hari yang sama. Kegilaanlah penyebabnya.
Lebih buruk lagi, ini sungguh tidak bertanggung jawab. Tidak mustahil tindakanku
ini juga akan berarti membiarkan Soraya menjadi seorang biwa, janda, pada
umurnya yang ke-36. Ini bukan dirimu, Amir, kata sebagian dari diriku. Kau
seorang pengecut Memang itulah sifat dasarmu. Dan itu tidaklah buruk karena kau
mengakui bahwa dirimu pengecut; itu sisi baikmu. Kau tidak menipu dirimu
sendiri. Tidak ada salahnya menjadi seorang pengecut selama kau tetap berhati-
hati. Tapi bila seorang pengecut mulai melupakan siapa dirinya .... Semoga Tuhan
melindunginya. Sebuah meja kopi terletak di dekat sofa. Kaki meja itu menyilang, berbentuk X,
dengan bola-bola logam seukuran biji kenari terpasang di pertemuan kaki-kakinya.
Aku pernah melihat meja seperti itu sebelumnya. Di mana" Lalu aku teringat: di
sebuah kedai teh yang ramai di Peshawar, pada malam saat aku berjalan-jalan.
Semangkuk buah anggur merah disajikan di atas meja itu. Aku mencabut sebutir dan
melemparkannya ke mulutku. Aku harus menyibukkan diriku dengan sesuatu, apa pun,
untuk membungkam suara-suara di kepalaku. Anggur itu manis. Aku menyantap
sebutir lagi, tanpa menyadari bahwa itu adalah makanan padat terakhir yang akan
kumakan dalam jangka waktu lama.
Pintu membuka dan dua penjaga bersenjata itu kembali, mengapit Talib jangkung
berpakaian putih itu. Kacamata hitam model John Lennon masih bertengger di
hidungnya, membuat pria itu terlihat bagaikan seorang guru mistis New Age
berdada bidang. Dia duduk di hadapanku dan meletakkan tangannya di dudukan lengan. Selama
beberapa saat, dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya duduk di sana, menatapku,
mengetuk-ngetukkan jari salah satu tangannya ke kursi, sementara tangannya yang
lain mengurut butiran-butiran tasbih berwarna turkois. Dia telah menambahkan
rompi hitam di atas kemeja putihnya, dan sebuah arloji emas terpasang di
pergelangan tangannya. Aku melihat setitik noda darah di lengan baju kirinya.
Menarik sekali bahwa dia tidak mengganti bajunya setelah melakukan eksekusi
siang tadi; sungguh mengerikan.
Secara teratur, dia mengangkat tangannya yang kosong dan menggerakkan jari-
jarinya yang tebal di udara. Seolah-olah dia sedang memanjakan binatang piaraan
yang tak terlihat; membelainya dengan lembut, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan
ke kanan. Salah satu lengan kemejanya terangkat dan aku melihat bekas-bekas luka
di bawah sikunya sama seperti yang kulihat dimiliki oleh para tunawisma yang
hidup di gang-gang suram San Francisco.
Kulit pria itu jauh lebih pucat daripada kedua penjaga tadi, pucat pasi, dan
butiran-butiran kecil keringat berkilauan di keningnya, tepat di bawah
serbannya. Janggutnya, sepanjang dada seperti yang lain, juga berwarna lebih
terang. "Assalamu 'alaikum," sapanya.
"Waalaikumussalam."
"Kau bisa melepasnya sekarang, kau tahu,"
katanya. "Maaf?"
Dia memberikan isyarat dengan tangannya pada salah satu penjaga bersenjata itu.
Rrrriiiip. Seketika aku merasakan pipiku tersengat dan penjaga itu melempar-
lemparkan janggutku sambil terpingkal-pingkal. Talib berbaju putih itu
menyeringai. "Salah satu dari yang terbaik yang kulihat akhir-akhir ini. Tapi
jauh lebih baik begini, kupikir. Benar bukan?" Dia memutar-mutar dan menjentik-
jentikkan jarinya, membuka dan menutup kepalannya. "Jadi, Insya Allah, kau
menikmati pertunjukan hari ini?"
"Cuma begitu sajakah?" aku mengusap-usap pipiku, berharap suaraku tidak
menunjukkan ledakan ketakutan yang kurasakan dalam diriku.
"Menegakkan keadilan pada masyarakat adalah pertunjukan terhebat, saudaraku.
Drama. Ketegangan. Dan, yang terbaik di antara semuanya, pendidikan massal." Dia
menjentikkan jarinya. Penjaga yang lebih muda menyalakan sebatang rokok
untuknya. Talib itu tertawa. Menggumam pada dirinya sendiri. Tangannya gemetar
dan dia hampir menjatuhkan rokoknya. "Tapi kalau kau ingin melihat pertunjukan
yang sebenarnya, seharusnya kau bersamaku saat di Mazar. Agustus 1998,
tepatnya." "Maaf?" "Kami membiarkan mayat-mayat mereka bergelimpangan di luar untuk santapan
anjing, kau tahu." Aku tahu maksud yang ingin dia capai.
Dia berdiri, mengelilingi sofa sekali, dua kali. Lalu duduk kembali. Dia
berbicara dengan cepat. "Dari pintu ke pintu, kami memanggil setiap pria dan
anak laki-laki. Kami menembak mereka saat itu juga, di depan keluarga mereka.
Biarkan saja mereka melihat.
Biarkan mereka ingat siapa diri mereka, di mana tempat mereka." Napasnya mulai
terengah-engah. "Kadang-kadang, kami mendobrak pintu-pintu dan memasuki rumah
mereka dengan paksa. Dan ... aku ... aku memberondongkan peluru senapan mesinku ke
seluruh ruangan. Aku menembak dan menembak hingga asap membutakan mataku." Dia
mencondongkan tubuhnya padaku, seperti seseorang yang ingin membisikkan suatu
rahasia. "Kau tidak akan mengerti makna kata "pembebasan" hingga kau
melakukannya, berdiri di hadapan seruangan penuh target, membiarkan pelurumu
melayang, membebaskan dirimu dari rasa bersalah dan penyesalan, mengetahui bahwa
dirimu lebih unggul, lebih baik, dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah
menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Itu mengesankan." Dia mencium tasbihnya, lalu
mengangkat kepalanya. "Kau ingat itu, Javid?"
"Ya, Agha sahib," jawab penjaga yang lebih muda. "Bagaimana mungkin saya
melupakannya?" Aku membaca berita di surat kabar tentang pembantaian kaum Hazara di Mazar-i-
Sharif. Peristiwa itu terjadi beberapa saat setelah Taliban mengambil alih
Mazar, salah satu dari kota-kota
terakhir yang jatuh ke tangan mereka. Soraya menunjukkan artikel itu padaku
setelah kami menyelesaikan sarapan; wajahnya pucat pasi.
"Dari pintu ke pintu. Kami hanya beristirahat untuk makan dan shalat," kata
Talib itu. Dia mengatakannya dengan senang, seperti seseorang yang sedang
bercerita tentang pesta besar yang dihadirinya. "Kami meninggalkan mayat-mayat
itu di jalan, dan kalau keluarga mereka mencoba menyelinap untuk menyeret
kembali mayat-mayat itu ke rumah mereka, kami tak akan ragu menembak mereka.
Kami membiarkan mayat-mayat itu menjadi santapan anjing. Daging anjing hanya
cocok untuk anjing." Dia melumat rokoknya. Memijat matanya dengan tangannya yang
gemetar. "Kau datang dari Amerika?"
"Ya." "Bagaimana kabar pelacur itu akhir-akhir ini?"
Tiba-tiba aku merasa ingin kencing. Aku berdoa semoga rasa itu segera berlalu.
"Aku mencari seorang anak laki-laki."
"Tidakkah semua orang begitu?" ujarnya. Pria-pria bersenjata Kalashnikov itu
tergelak. Gigi mereka bernoda hijau karena naswar.
"Aku tahu dia ada di sini, denganmu," jawabku. "Nama anak itu Sohrab."
"Aku akan menanyakan sesuatu padamu: Apa yang kaulakukan dengan pelacur itu"
Mengapa kau tidak tinggal di sini, dengan saudara-saudara Muslimmu, mengabdi
pada negaramu?" "Sudah lama sekali aku meninggalkan negeri
ini," hanya itulah jawaban yang bisa kuberikan, kepalaku terasa begitu panas.
Aku menempelkan kedua lututku, mati-matian menahan keinginan kencing yang
menderaku. Talib itu berpaling pada kedua penjaga yang berdiri di dekat pintu. "Apa dia
menjawab pertanyaanku?" tanyanya pada mereka.
"Tidak, Agha sahib," mereka menjawab serentak sambil tersenyum.
Dia mengembalikan tatapannya padaku. Mengangkat bahunya. "Ada orang-orang dalam
lingkaranku yang meyakini bahwa meninggalkan wa-tan saat ia paling membutuhkanmu
sama saja dengan pengkhianatan. Aku bisa membuatmu ditahan karena tuduhan
pengkhianatan, bahkan membuatmu dihukum tembak. Apa ini membuatmu ketakutan?"
"Aku kemari hanya untuk anak itu."
"Apa ini membuatmu ketakutan?"
"Ya." "Memang seharusnya begitu," katanya. Dia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Melumat
rokoknya. Aku memikirkan Soraya. Itu membuatku sedikit tenang. Aku memikirkan
tanda lahirnya yang berbentuk sabit, lekuk anggun lehernya, dan matanya yang
bercahaya. Aku memikirkan malam pernikahan kami, saat kami saling menatap
bayangan kami dari cermin di bawah kerudung, dan pipinya yang merona saat aku
membisikkan kata cinta padanya. Aku membayangkan saat kami berdansa diiring lagu
Afghan tua, berputar-putar, semua
orang memerhatikan kami dan bertepuk tangan, warna-warna dalam bunga, gaun,
tuksedo, dan wajah-wajah yang tersenyum, berbaur di sekeliling kami.
Talib itu mengatakan sesuatu. "Maaf?"
"Kataku, apa kau mau melihatnya" Kau mau melihat anakku itu?" Bibir bagian
atasnya membentuk cibiran saat dia mengatakannya.
"Ya." Salah satu penjaga meninggalkan ruangan. Aku mendengar bunyi pintu terbuka di
kejauhan. Penjaga itu berbicara, dengan keras, dalam bahasa Pashtu. Lalu,
seseorang berjalan, gemerincing lonceng meningkahi setiap langkahnya. Aku
teringat akan Pria Monyet yang seringkah kucari-cari bersama Hassan di sepanjang
Shar-e-Nau. Kami memberinya satu rupia dari uang saku kami, dan dia pun menari
untuk kami. Lonceng yang dipasang di leher monyetnya mengeluarkan gemerincing
yang sama dengan yang kudengar saat ini.
Lalu pintu terbuka dan penjaga itu masuk sambil membawa sebuah tape stereo.
Seorang anak laki-laki berpakaian pirhan-tumban biru safir berjalan di
belakangnya. Kemiripannya membuatku terpana. Membuat pikiranku kacau. Foto Polaroid Rahim
Keris Kala Muyeng 2 Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut Seruling Sakti 6
^