Pencarian

Simbol Yang Hilang 8

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown Bagian 8


dimunculkan oleh CIsebagai kecocokan prioritas-tinggi - kata- kunci yang unik
bagi kedua rangkaian data kami." Dia terdiam.
"Kau tahu kata ... symbolon?"
Nola langsung terlonjak, menumpahkan kopi di meja.
"Kata-kata kunci lainnya juga sama tidak biasanya," lanjut Parrish. "Piramida,
portal -" "Kemarilah," perintah Nola, seraya mengelap meja. "Dan bawa semua yang kau
dapat!" "Kata-kata ini benar-benar ada artinya bagimu?"
"SEKARANG!"[ ] BAB 89 Kolese Katedral adalah sebuah gedung elegan menyerupai kastil yang bersebelahan
dengan Katedral Nasional. Kolese Penginjil, seperti yang pada mulanya
dibayangkan oleh uskup Episkopal pertama Washington, didirikan untuk memberikan
pendidikan berkelanjutan kepada para pendeta setelah penahbisan mereka. Saat
ini, kolese itu menawarkan berbagai program mengenai teologi, keadilan global,
penyembuhan, dan spiritualitas.
Langdon dan Katherine berhasil melintasi halaman dan menggunakan kunci Galloway
untuk menyelinap ke dalam, persis ketika helikopter itu naik kembali ke atas
katedral dengan lampu-lampu sorot yang mengubah malam menjadi siang. Kini,
ketika berdiri kehabisan napas di dalam foyer, mereka meneliti keadaan di
sekeliling. Jendela-jendela memberikan penerangan yang memadai, dan Langdon
tidak melihat adanya alasan untuk menyalakan lampu-lampu dan menempuh risiko
mengumumkan keberadaan mereka kepada helikopter di atas kepala. Ketika bergerak
menyusuri lorong tengah, mereka melewati serangkaian gedung konferensi, ruang
kelas, dan area duduk. Interiornya mengingatkan Langdon pada bangunan-bangunan
neo-Gothik Universitas Yale - menakjubkan dari luar, tetapi sangat sederhana di
bagian dalam. Keanggunan dari periode mereka telah diubah agar bisa menahan lalu
lintas pejalan kaki yang sibuk.
"Ke sini," ujar Katherine, seraya menunjuk ke ujung jauh lorong.
Katherine belum menceritakan kepada Langdon apa yang baru disadarinya mengenai
piramida itu, tapi tampaknya penyebutan Isaacus Neutonuus-lah yang menyulutnya.
Yang dikatakan Katherine ketika mereka melintasi halaman hanyalah: piramida itu
bisa diubah dengan menggunakan ilmu pengetahuan sederhana. Perempuan itu yakin,
segala yang diperlukan kemungkinan ditemukan di dalam gedung ini.
Langdon sama sekali tidak tahu apa yang diperlukan Katherine atau bagaimana
caranya mengubah sepotong granit atau emas padat, tapi mengingat dia baru saja
menyaksikan sebuah kubus bermetamorfosis menjadi salib Rosicrucian, dia bersedia
untuk percaya. Mereka mencapai ujung lorong dan Katherine mengernyit, tampaknya tidak melihat
apa yang diinginkannya. "Katanya gedung ini punya fasilitas asrama?"
"Ya, untuk konferensi-konferensi yang memerlukan penginapan."
"Jadi mereka pasti punya dapur di suatu tempat di sinikan?"
"Kau lapar?" Katherine mengernyit memandangnya. "Tidak. Aku mencari suatu benda."
Tentu saja. Langdon melihat tangga menurun dengan simbol yang menjanjikan.
Piktogram favorit Amerika.
Dapur ruang bawah-tanah tampak seperti ruang industri - banyak perlengkapan dari
baja nirkarat dan mangkuk- mangkuk besar dirancang untuk memasak untuk kelompok-
kelompok besar. Dapurnya tidak berjendela. Katherine menutup pintu dan
menyalakan lampu-lampu. Kipas ventilasi menyala secara otomatis.
Katherine mulai membuka lemari-lemari untuk mencari benda yang diperlukannya.
"Robert," pintanya, "tolong letakkan piramida itu di meja dapur."
Langdon, yang merasa seperti asisten koki yang sedang menerima perintah-perintah
dari koki terkenal Daniel Boulud, melakukan seperti yang diperintahkan,
mengeluarkan piramida dari tas dan meletakkan batu-puncak emas itu di atasnya.
Ketika sudah selesai, Kathertne sibuk mengisi sebuah panci besar dengan air
keran panas. "Tolong angkatkan ini ke atas kompor."
Langdon mengangkat panci penuh air itu ke atas kompor, dan Katherine memutar
tombol gas untuk menyalakan api.
"Kita masak lobster?" tanya Langdon penuh harap.
"Lucu sekali. Tidak, kita melakukan alkimia. Dan, sekadar catatan, ini panci
pasta, bukan panci lobster." Dia menunjuk saringan berlubang-lubang yang
dikeluarkannya dari panci dan diletakkannya di atas meja di samping piramida.
Tolol sekali. "Dan merebus pasta akan membantu kita memecahkan kode piramida?"
Katherine mengabaikan komentar itu, nada suaranya berubah serius. "Seperti yang
aku yakin kau ketahui, ada alasan historis dan simbolis mengapa kaum Mason
memilih tiga puluh tiga sebagai derajat tertinggi mereka."
"Tentu saja," ujar Langdon. Pada masa Pythagoras, enam abad sebelum Kristus,
tradisi numerologi menganggap 33 sebagai angka tertinggi dari semua Angka Utama.
Itu angka tersuci, menyimbolkan Kebenaran Suci. Tradisi itu terus bertahan di
dalam Persaudaraan Mason... dan di tempat- tempat lain. Bukan kebetulan jika
orang Kristen diberi tahu bahwa Yesus disalibkan di usia tiga puluh tiga,
walaupun tidak ada bukti historis nyata untuk itu. Juga bukan kebetulan jika
Yusuf dikatakan berusia tiga puluh tiga saat menikahi Perawan Maria, atau Yesus
melakukan tiga puluh tiga mukjizat, atau nama Allah disebut tiga puluh tiga kali
dalam Kitab Kejadian, atau, dalam Islam, semua penghuni surga secara permanen
berusia tiga puluh tiga tahun.
"Tiga puluh tiga," ujar Katherine, "adalah angka suci dalam banyak tradisi
mistis." "Benar." Langdon masih tidak tahu apa hubungan ini dengan panci pasta.
"Jadi, seharusnya tidak mengejutkan bagimu jika alkimia kuno, penganut
Rosicrucian, dan ahli mistik seperti Isaac Newton juga menganggap angka tiga
puluh tiga istimewa."
"Aku yakin begitu," jawab Langdon. "Newton sangat mempelajari numerologi,
ramalan, dan astrologi, tapi apa-"
"Semuanya terungkap pada deraiat ketiga puluh tiga," Langdon mengeluarkan cincin
Peter dari saku dan menulis inskripsinya. Lalu dia melirik kembali panci air
itu. "Maaf, aku tidak mengerti."
"Robert, tadi kita semua berasumsi bahwa derajat ketiga puluh tiga mengacu pada
derajat Mason. Akan tetapi, ketika memutar cincin tiga puluh tiga derajat,
kubusnya berubah mengungkapkan sebuah salib. Saat itu kita menyadari bahwa
derajat digunakan dalam pengertian lain."
"Ya. Derajat kelengkungan."
"Tepat sekali. Tapi, derajat juga punya arti ketiga." Langdon mengamati panci
air di atas kompor. "Suhu."
"Tepat sekali!" ujar Katherine. "Sudah ada di depan mata sepanjang malam.
'Semuanya terungkap pada derajat ketiga luh tiga'. Jika kita membawa suhu
piramida ini sampai tiga tiga derajat... mungkin saja benda ini akan mengungkap
suatu." Langdon tahu, Katherine Solomon luar biasa pintar. Tetapi, tampaknya
perempuan ini melewatkan sesuatu yang jelas terlihat. "Jika aku tidak keliru,
suhu tiga puluh tiga derajat nyaris membekukan. Tidakkah kita seharusnya
meletakkain piramida itu dalam lemari pembeku?"
Katherine tersenyum. "Tidak, jika kita ingin mengikuti yang ditulis oleh alkemis
hebat dan ahli mistik Rosicrucian menandatangani makalah-makalahnya dengan Jeova
Sanctus Unus." Isaacus Neutonuus menulis resep"
"Robert, suhu adalah katalisator alkimia mendasar, dan tidak selalu diukur dalam
Fahrenheit dan Celsius. Ada skala suhu yang jauh lebih tua, salah satunya
ditemukan oleh Isaac Newton."
"Skala Newton," ujar Langdon, monyadari bahwa Katherine benar.
"Ya! Isaac Newton menemukan seluruh sistem pengukur suhu yang benar-benar
berdasarkan pada fenomena alam. Suhu es meleleh merupakan titik dasar Newton,
dan dia menyebutnya sebagai 'derajat zeroth (nol)'." Katherine terdiam. "Kurasa,
kau bisa menebak derajat apa yang diberikannya untuk suhu air mendidih - raja
dari semua proses alkimia?"
"Tiga puluh tiga."
"Ya, tiga puluh tiga! Derajat ketiga puluh tiga. Pada Skala Newton, suhu air
mendidih adalah tiga puluh tiga derajat. Aku ingat pernah bertanya kepada
kakakku mengapa Newton memilih angka itu. Maksudku, tampaknya begitu acak. Air
mendidih adalah proses alkimia yang paling mendasar, dan dia memilih tiga puluh
tiga" Mengapa bukan seratus" Mengapa bukan sesuatu yang lebih elegan" Peter
menjelaskan bahwa bagi ahli mistik seperti Isaac Newton, tidak ada angka yang
lebih elegan daripada tiga puluh tiga."
Semuanya terungkap pada derajat ketiga puluh tiga. Langdon melirik panci air,
lalu piramida. "Katherine, piramida itu terbuat dari granit padat dan emas
padat. Kau sungguh- sungguh mengira air mendidih cukup panas untuk mengubahnya?"
Senyum di wajah Katherine mengatakan kepada Langdon bahwa dia mengetahui sesuatu
yang tidak diketahui Langdon. Dengan yakin, dia berjalan ke meja, mengangkat
piramida granit berbatupuncak emas itu, dan meletakkannya ke dalam saringan.
Lalu dengan hati-hati diturunkannya saringan itu ke dalam air mendidih. "Ayo
kita cari tahu." Tinggi di atas Katedral Nasional, pilot CIA menyetel helikopter pada mode
melayang-otomatis dan meneliti perimeter bangunan dan tanah. Tidak ada gerakan.
Pencitraan-panasnya tidak bisa menembus batu katedral, jadi dia tidak bisa tahu
apa yang sedang dilakukan tinmya di dalam. Tapi, seandainya seseorang mencoba
menyelinap keluar, pencitraan-panas akan mengenalinya.
Sensor panas itu baru berdenting enam puluh detik. Detektor yang prinsip
kerjanya sama dengan sistem keamanan itu telah mengidentifikasi perbedaan suhu
yang kuat, ini berarti sesosok manusia sedang bergerak melewati ruangan dingin,
tapi yang tampak di monitor lebih menyerupai panas, sepetak udara panas yang
melayang melintasi halaman. Pilot itu menemukan sumbernya, sebuah lubang
ventilasi di bagian samping Kolese Katedral.
Mungkin bukan apa-apa, pikirnya. Dia melihat jenis-jenis ini sepanjang waktu.
Seseorang sedang memasak atau menyetrika pakaian. Tetapi, ketika hendak
mengalihkan pandangan, dia menyadari sesuatu yang aneh. Tidak ada mobil di
tempat parkir, tidak ada lampu di mana pun di dalam bangunan.
Dia mempelajari sistem pencitraan UH-60 untuk waktu lama. Lalu dia menghubungi
pemimpin tim. "Simkins, mungkin bukan apa-apa, tapi...."
"Indikator-suhu yang berpijar!" Langdon harus mengakui tindakan cerdik.
"Itu ilmu pengetahuan sederhana," ujar Katherine.
"Substansi yang berbeda berpijar pada suhu yang berbeda. Kami menyebutnya
sebagai penanda-panas. Ilmu pengetahuan menggunakan penanda-penanda ini
sepanjang waktu." Langdon menunduk memandangi piramida dan batu-puncak yang terendam itu. Walaupun
dia tidak merasa berharap, gumpalan-gumpalan uap mulai bergelung di atas air
mendidih. Dia menengok arloji, dan detak jantungnya semakin cepat:
11.45. "Kau percaya sesuatu di sini akan bersinar ketika semakin panas?"
"Bukan bersinar, Robert. Berpijar. Ada perbedaan besar, Pijaran disebabkan oleh
panas dan terjadi pada suhu yang spesifik. Misalnya, ketika para pembuat baja
menempa balok- balok baja, mereka menyemprotkan pelapis-transparan yang berpilar
pada suhu sasaran spesifik, sehingga mereka tahu kapan balok-balok-nya selesai
dikerjakan. Ingat mood ring". Kenakan saja di jari tanganmu, dan cincin itu akan
berubah warna akibat panas tubuh."
"Katherine, piramida ini dibuat pada 1800-an! Aku bisa megerti jika seorang
seniman membuat engsel-engsel pelepas tersembunyi di dalam kotak batu, tapi
mengaplikasikan semacam pelapis-panas transparan?"
"Benar-benar memungkinkan," jawab Katherine, seraya melirik piramida terendam
itu dengan penuh harap. "Para alkemis kuno menggunakan fosfor organik sepanjang
waktu sebagai penanda panas. Orang Cina membuat kembang-api berwarna, dan bahkan
orang Mesir-" Katherine berhenti di tengah kalimat, menatap serius ke dalam air
mendidih. "Apa?" Langdon mengikuti pandangan Katherine ke dalam air yang bergolak, tapi
tidak melihat apa-apa. Katherine membungkuk, menatap lebih serius ke dalam air. Mendadak dia berbalik
dan lari melintasi dapur menuju pintu.
"Mau ke mana?" teriak Langdon.
Katherine berhenti di dekat tombol lampu dapur, lalu mematikannya. Lampu-lampu
dan kipas ventilasi mati menjadikan ruangan itu gelap dan hening total. Langdon
kembali memandang piramida itu dan mengintip batu-puncak yang berada di bawah
air di balik uap. Saat Katherine kembali ke sisinya, mulut Langdon sudah ternganga tidak percaya.
Persis seperti yang diprediksi Katherine, sebagian kecil dari batu-puncak itu
mulai berkilau di bawah air. Huruf-huruf mulai bermunculan, dan semakin terang
ketika airnya memanas. "Teks!" bisik Katherine.
Langdon mengangguk, tak mampu bicara. Kata-kata berkilau itu mewujud persis di
bawah inskripsi yang terukir di batu-puncak. Tampaknya seperti tiga kata saja.
Dan, walaupun belum bisa membaca kata-kata itu, Langdon bertanya-tanya apakah
kata-kata itu akan mengungkapkan semua yang mereka cari malam ini. Piramida itu
adalah peta yang nyata, kata Galloway kepada mereka, dan menunjukkan lokasi yang
nyata. Ketika huruf-huruf itu bersinar lebih terang, Katherine matikan gas, dan airnya
perlahan-lahan berhenti bergolak. Batu puncak itu kini tampak jelas di bawah
permukaan air tenang. Tiga kata yang bersinar terbaca dengan jelas. [ ]
BAB 90 Dalam cahaya suram dapur Kolese Katedral, Langdon dan Katherine berdiri di depan
panci dan menatap batu-puncak yang berubah di bawah permukaan air. Di sisi batu-
puncak emas itu, sebuah pesan berpijar berkilauan.
Langdon membaca teks bersinar itu, dan nyaris tidak mampu memercayai matanya.
Dia tahu, piramida itu didesas- desuskan mengungkapkan lokasi yang spesifik ...
tapi dia tak pernah membayangkan lokasinya akan sespesifik ini.
Eight Franklin Square (Franklin Square Delapan)
"Sebuah alamat," bisiknya, terpukau.
Katherine tampak sama takjubnya. "Aku tidak tahu apa yang ada di sana. Kau?"
Langdon menggeleng, Dia tahu, Franklin Square adalah salah satu bagian lama
Washington, tapi dia tidak mengenal alamat itu. Dia memandang ujung atas batu-
puncak itu, membaca ke bawah, mengamati seluruh teks.
The secret hides within The Order Eight Franklin Square (Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo Franklin Square Delapan)
Adakah semacam Ordo di Franklin Square"
Adakah bangunan yang menyembunyikan lubang menuju spiral ke bawah"
Langdon sama sekali tidak tahu apakah benar-benar ada sesuatu yang terkubur di
alamat itu. Yang penting, saat ini dia dan Katherine sudah memecahkan kode
piramida, dan kini informasi yang diperlukan untuk menegosiasikan pembebasan
Peter. Dan memang sudah saatnya.
Jarum-jarum jam yang berkilau pada arloji Mickey Mouse menunjukkan bahwa mereka
hanya punya waktu kurang dari sepuluh menit.
"Cepat telepon," ujar Katherine, seraya menunjuk telepon dinding dapur.
"Sekarang!" Kedatangan momen yang mendadak ini mengejutkan Langdon, dan dia bimbang.
"Apakah kita yakin soal ini?"
"Aku yakin sekali."
"Aku tidak akan memberinya informasi apa pun sampai tahu Peter aman."
"Tentu saja. Kau ingat nomornya, bukan?"
Langdon mengangguk dan berjalan menuju telepon dapur. Dia mengangkat gagang
telepon dan memutar nomor ponsel laki itu. Katherine mendekat dan meletakkan
kepala di samping kepala Langdon sehingga dia bisa ikut mendengarkan. Ketika
dengung di ujung yang satunya mulai terdengar, Langdon menyiapkan diri untuk
mendengar bisikan mengerikan lelaki yang telah meneleponnya malam ini.
Akhirnya telepon tersambung.
Tapi tidak ada sapaan. Tidak ada kata-kata. Hanya suara napas di ujung yang
satunya. Langdon menunggu, lalu akhirnya bicara. "Aku punya informasi yang kau inginkan,
tapi jika kau menginginkannya, kau harus menyerahkan Peter kepada kami-"
"Siapa ini?" jawab suara perempuan.
Langdon terlompat, "Robert Longdon," katanya secara refleks. "Siapa kau?"
Sejenak dia berpikir telah salah memutar nomor.
"Namamu Langdon?" Perempuan itu kedengaran terkejut. Ada seseorang di sini yang
menanyakanmu." "Apa" "Maaf, siapa ini?"
"Officer Paige Montgornery dari Preferred Security." Suaranya tampak gemetar.
"Mungkin kau bisa membantu kami tentang situasi ini. Sekitar satu jam yang lalu,
partnerku merespons telepon 911 di Kalorama. Heights... kemungkinan situasi


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyanderaan. Aku kehilangan kontak dengannya, jadi aku menelepon bantuan dan
kembali untuk mengecek tempat itu. Kami menemukan partnerku meninggal di
pekarangan belakang. Pemilik rumah tidak ada, jadi kami membobol masuk. Sebuah
ponsel berdering di meja lorong, dan aku-"
"Kau ada di dalam?" desak Langdon.
"Ya, dan telepon 911 itu... benar-benar serius." Perempuan itu tergagap. " Maaf
jika aku kedengaran gugup, tapi partnerku meninggal, dan kami menemukan seorang
lelaki yang ditahan di sini dengan paksa. Kondisinya buruk, dan kami sedang
mengurusnya. Dia menanyakan dua orang - yang satu bernama Langdon dan yang
satunya Katherine." "Itu kakakku!" teriak Katherine di gagang telepon, seraya menekankan kepala
semakin dekat dengan kepala Langdon.
"Aku yang tadi menelepon 911! Dia baik-baik saja"!"
"Sesungguhnya, Ma'am, dia...." Suara perempuan itu pecah. Kondisinya buruk.
Tangan kanannya hilang-"
"Kumohon," desak Katherine. "Aku ingin bicara dengannya!"
"Saat ini mereka sedang mengurusnya. Dia bolak-balik pingsan. Jika sedang berada
di dekat sini, kau harus kemari. Jelas dia ingin bertemu denganmu."
"Jarak kita sekitar enam menit!" ujar Katherine.
"Kalau begitu, kusarankan agar kalian cepat-cepat kemari." Terdengar suara
teredam di latar belakang, lalu perempuan itu kembali bicara. "Maaf, tampaknya
aku diperlukan. Kita akan bicara saat kalian tiba." Sambungan telepon terputus.
BAB 91 Di dalam Kolese Katedral, Langdon dan Katherine menaiki tangga ruang bawah tanah
dan bergegas menyusuri lorong gelap untuk mencari pintu keluar depan. Mereka
tidak lagi mendengar suara baling-baling helikopter di atas kepala. Langdon
berharap, mereka bisa menyelinap keluar tanpa terlihat dan menemukan jalan
mereka ke Kalorama Heights untuk menengok Peter.
Mereka menemukannya. Dia masih hidup.
Tiga puluh detik yang lalu, ketika mereka mengakhiri pembicaraan telepon dengan
penjaga keamanan perempuan itu, Katherine bergegas mengangkat piramida dan batu-
puncak mengepul itu dari air. Piramida itu masih meneteskan air ketika dia.
memasukkannya ke dalam tas kulit Langdon. Kini lelaki itu bisa merasakan panas
yang memancar menembus kulit tas.
Untuk sementara waktu, kegembiraan ditemukannya Peter mengalahkan perenungan
lebih lanjut mengenai pesan berkilau batu-puncak - Franklin Square Delapan -
tapi akan ada waktu untuk itu setelah mereka menjumpai Peter.
Ketika mereka berbelok di puncak tangga, mendadak Katherine berhenti dan
menunjuk ruang duduk di seberang lorong. Melalui jendela yang menonjol, Langdon
bisa melihat sebuah helikopter hitam mengilap bertengger tanpa suara di
pekarangan. Seorang pilot berdiri di sampingnya, menghadap ke arah yang
berlawanan dari mereka dan bicara di radio. Juga ada Escalade hitam dengan
jendela-jendela gelap yang diparkir di dekat situ. Langdon dan Katherine tetap
berada di dalam bayang-bayang, bergerak memasuki ruang duduk, dan mengintip dari
jendela untuk mengetahui apakah mereka bisa melihat seluruh tim lapangan.
Syukurlah, halaman besar di luar Katedral itu kosong.
"'Agaknya mereka berada di dalam katedral," ujar Langdon.
"Tidak," kata sebuah suara rendah di belakang mereka. Langdon dan Katherine
berputar untuk melihat siapa yang berbicara. Di ambang pintu ruang duduk, dua
sosok berpakaian serba hitam mengarahkan senapan berpembidik laser kepada
mereka. Langdon bisa melihat titik merah berkilau menari-nari di dadanya.
"Senang berjumpa kembali denganmu, Profesor," kata suara parau yang tak asing
lagi. Agen-agen itu memisahkan diri dan sosok mungil Direktur Sato menyeruak
dengan mudah, menuju ruang duduk dan berhenti persis di depan Langdon. "Kau
membuat beberapa pilihan yang sangat buruk malam ini."
"Polisi menemukan Peter Solomon," jelas Langdon bersemangat. "Kondisinya buruk,
tapi dia akan hidup. Sudah berakhir."
Seandainya Sato terkejut, karena Peter telah ditemukan, ia tidak
memperlihatkannya. Matanya tetap tenang ketika dia jalan menghampiri Langdon dan
berhenti hanya beberapa jauhnya. "Profesor, bisa kuyakinkan dirimu bahwa ini
sama sekali belum mendekati akhir. Dan jika sekarang polisi terlibat, ini semua
akan menjadi semakin serius. Seperti yang kubilang malam tadi, situasinya
teramat sangat sensitif. Seharusnya kau tidak melarikan diri dengan piramida
itu." "Ma'am," sela Katherine, "aku harus menemui kakakku. Kau boleh mendapatkan
piramida itu, tapi kau harus mengizinkanku-"
"Aku harus?" desak Sato, seraya berputar menghadap Katherine. "Miss Solomon,
bukan?" Dia menatap Katherine dengan berang, lalu beralih kembali kepada
Langdon. "Letakkan tas kulit itu di meja."
Langdon menunduk memandang titik laser di dadanya. Dia meletakkan tas kulit itu
di meja kopi. Seorang agen mendekat dengan hati-hati, menarik risleting tas,
lalu membuka lebar- lebar tas itu. Sedikit gumpalan uap yang terperangkap
membubung dari dalam tas. Agen itu mengarahkan senter ke dalam tas, menarik
nafas kebingungan untuk waktu yang lama, lalu mengangguk kepada Sato.
Sato berjalan menghampiri dan mengintip ke dalam tas. Piramida itu basah dan
batu-puncak itu berkilau dalam cahaya senter. Sato berjongkok, memandang batu-
puncak emas itu dengan sangat cermat. Langdon tersadar bahwa perempuan itu hanya
pernah melihat benda itu dalam gambar sinar-X.
"Inskripsinya," desak Sato. "Adakah artinya untukmu"
'Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo"'"
"Kami tidak yakin, Ma'am."
"Mengapa piramida itu panas mengepul?"
"Kami merendamnya dalam air mendidih," ujar Katherine tanpa ragu. "Itu bagian
dari proses pemecahan kode. Kami akan menceritakan semuanya kepadamu, tapi harap
izinkan kami pergi menjumpai kakakku. Dia telah mengalami-"
"Kau merebus piramida itu"* " desak Sato.
"Matikan senter," ujar Katherine. "Lihat batu-puncaknya. Mungkin kau masih bisa
melihatnya."' Agen itu mematikan senter, dan Sato berlutut di depan batu puncak. Dari tempat
Langdon berdiri sekalipun, dia bisa melihat bahwa teks di batu-puncak itu masih
sedikit bersinar. "Franklin Square Delapan?" tanya Sato, kedengarannya takjub.
"Ya, Ma'am. Teks itu ditulis dengan vernis-berpijar atau semacanmya. Derajat
ketiga puluh tiga sesungguhnya-"
"Dan alamat itu?" desak Sato. "Ini-kah yang diinginkan lelaki itu?"
"Ya," jawab Langdon. "Dia yakin piramida itu adalah peta yang akan menunjukkan
lokasi harta karun besar - kunci untuk mengungkapkan Misteri Kuno."
Sato kembali memandang batu-puncak, raut wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.
"Katakan," ujarnya. Rasa takut menjalari suaranya. "Sudahkah kau menghubungi
lelaki ini" Sudahkah kau memberi-nya alamat ini?"
"Kami sudah mencoba." Langdon menjelaskan apa yang terjadi ketika mereka
menghubungi ponsel lelaki itu.
Sato mendengarkan, lidahnya menelusuri gigi kuningnya ketika Langdon bicara.
Walaupun kemarahannya tampak meledak menghadapi situasi itu, dia berbalik kepada
salah satu agennya dan berbisik pelan. "Bawa dia kemari. Dia ada di sana."
Agen itu mengangguk dan bicara di transivernya.
"Bawa siapa kemari?" tanya Langdon.
"Satu-satunya orang yang berharap bisa memperbaiki kekacauan yang kau buat!"
"Kekacauan apa?" sergah Langdon. " Kini setelah Peter ditemukan, semuanya-"
"Demi Tuhan!" bentak Sato. "Ini bukan soal Peter! Aku mencoba memberitahumu di
Gedung Capitol, Profesor, tapi kau memilih untuk bertindak melawan-ku ketimbang
bekerja sama dengan-ku! Kini kau telah membuat kekacauan yang menjengkelkan
ketika kau menghancurkan ponselmu, yang memang sedang disadap, kau memutuskan
hubunganmu dengan lelaki ini - dan alamat yang kau ungkapkan ini - di mana pun
gerangan itu, alamat inilah satu-satunya peluang kami untuk menangkap orang gila
ini. Aku memerlukanmu untuk mengikuti permainannya, memberinya alamat ini
sehingga kami tahu di mana kami menangkapnya!"
Sebelum Langdon bisa menjawab, Sato mengarahkan sisa kemarahannya kepada
Katherine. "Dan kau, Miss Solomon! Kau tahu di mana orang gila ini tinggal. Mengapa tidak
kau katakan kepadaku" Kau mengirim petugas keamanan sewaan ke rumah lelaki ini"
Tidakkah kau mengetahui bahwa kau telah merusak segala peluang yang kami miliki
untuk menangkapnya di sana" Aku senang kakakmu selamat, tapi bisa kusampaikan
ini kepadamu: malam ini kami sedang menghadapi sebuah krisis yang konsekuensi-
konsekuensinya jauh melampaui keluargamu. Konsekuensi-konsekuensi ini akan
dirasakan seluruh dunia. Lelaki yang menculik kakakmu punya kekuasaan yang
sangat besar, dan kami harus segera menangkapnya."
Ketika Sato menyelesaikan kecamannya, siluet jangkung elegan Warren Bellamy
muncul dari bayang-bayang dan melangkah ke dalam ruang duduk. Dia tampak kusut,
memar, dan terguncang... seakan baru saja melewati neraka.
"Warren!" Langdon berdiri. "' Kau baik-baik saja?"
"'Tidak," jawabnya. "Tidak begitu baik."
"Kau sudah dengar" Peter aman!"
Bellamy mengangguk, tampak bingung, seakan tidak ada lagi yang berarti. "Ya, aku
baru saja mendengar percakapan kalian. Aku senang."
"Warren, apa yang terjadi?"
Sato menyela. "Kalian bisa berbincang-bincang sebentar lagi. Saat ini Mr.
Bellamy akan menghubungi orang gila ini dan berkomunikasi dengannya. Persis
seperti yang telah dilakukannya sepanjang malam."
Langdon tidak mengerti. " Bellamy berkomunikasi dengan lelaki itu malam ini"
Lelaki ini bahkan tidak tahu Bellamy terlibat!"
Sato berpaling kepada Bellamy dan mengangkat sepasang alisnya.
Bellamy mendesah. "Robert, aku tidak bersikap jujur sepenuhnya terhadapmu malam
ini." Langdon hanya bisa menatap.
"Kupikir, aku melakukan hal yang benar," ujar Bellamy yang tampak ketakutan.
"Nah," ujar Sato, "sekarang kau akan melakukan hal yang benar... dan sebaiknya
kita semua berdoa kepada Tuhan agar perbuatanmu berhasil." Seakan untuk
memperkuat nada suara Sato yang mengancam, jam di atas perapian mulai
berdentang. Sato mengeluarkan kantong Ziploc berisi barang- barang dan
melemparkannya kepada Bellamy. "Ini barang- barangmu. Ponselmu berkamera?"
"Ya, Ma'am." "Bagus. Pegang batu-puncaknya."
Pesan yang baru saja diterima Mal'akh berasal dari kontak Warren Bellamy -
anggota Mason yang dikirimnya ke Capitol malam tadi untuk membantu Robert
Langdon. Seperti Langdon, Bellamy menginginkan kembalinya Peter dalam keadaan
hidup, dan dia meyakinkan Mal'akh bahwa dia bisa membantu Langdon mendapatkan
dan memecahkan kode itu. Sepanjang malam, Mal'akh menerima kabar-kabar terbaru
melalui e-mail yang secara otomatis dilanjutkan ke ponselnya. Ini seharusnya
menarik, pikir Mal'akh, seraya membuka pesan itu.
Dari: Warren Bellamy terpisah dari Langdon tapi akhirnya punya info yang kau
minta, bukti terlampir. harap telepon untuk mendapatkan bagian yang hilang.- w b
- satu lampiran (jpeg) - Harap telepon untuk mendapatkan bagian yang hilang" Mal'akh bertanya-tanya,
seraya membuka lampiran. Lampirannya berupa foto.
Ketika melihatnya, Mal'akh menghela napas keras dan bisa merasakan jantungnya
mulai berdentam-dentam gembira. Dia sedang memandang sebuah piramida emas mungil
jarak dekat. Batu-puncak yang melegenda! Ukiran di permukaan membawa pesan yang
menjanjikan: Rahasianya tersembunyi dalam Ordo.
Di bawah inskripsi itu, Mal'akh kini melihat sesuatu yang memukau. Batu-puncak
itu tampak bersinar. Dengan tidak percaya dia menatap teks yang berkilau samar,
dan menyadari bahwa legenda itu secara harfiah benar: Piramida Mason mengubah di
sendiri untuk mengungkapkan rahasianya kepada mereka yang layak.
Mal'akh sama sukali tidak tahu bagaimanan perubahan ajaib ini terjadi, dan dia
tidak peduli. Teks berkilau itu jelas menunjuk ke sebuah lokasi spesifik di DC,
persis seperti yang diramalkan. Franklin Square. Sayangnya, foto batu-puncak itu
juga menyertakan jari telunjuk Warren Bellamy yang diletakkan secara strategis
di atas batu-puncak itu untuk menutupi bagian penting informasinya.
The secret hides within The Order - - - - - - - - Franklin Square
Harap telepon untuk mendapatkan bagian yang hilang. Kini Mal'akh mengerti maksud
Bellamy. Arsitek Capitol itu telah bersikap kooperatif sepanjang malam, tapi kini dia
memilih untuk menjalankan permainan yang sangat berbahaya.
BAB 92 Di bawah pengawasan beberapa agen CIA bersenjata, Langdon, Katherine, dan
Bellamy menunggu bersama Sato di ruang Kolese Katedral. Di atas meja kopi di
hadapan mereka, tas Langdon masih terbuka, dan batu-puncak emas mengintip dari
bagian atasnya. Kata-kata Franklin Square Delapan kini semakin memudar; tidak
meninggalkan bukti keberadaannya.
Katherine sudah memohon kepada Sato agar diizinkan pergi menjumpai kakaknya,
tapi Sato hanya menggelengkan kepala dengan mata terpaku pada ponsel Bellamy.
Benda itu tergeletak di atas meja kopi dan belum berdering.
Mengapa Bellamy tidak bersikap jujur saja terhadapku" pikir Langdon bertanya-
tanya. Tampaknya, arsitek itu sudah berhubungan dengan penculik Peter sepanjang
malam, meyakinkannya bahwa Langdon mendapat kemajuan dalam memecahkan kode
piramida. Itu hanya bualan, upaya untuk mengulur waktu demi Peter. Jadi
sungguhnya, Bellamy telah berbuat semampunya untuk menghalangi siapa saja yang
mengancam hendak mengungkapkan rahasia piramida itu. Akan tetapi, kini tampaknya
Bellamy sudah berubah pikiran. Dia dan Sato kini siap mempertaruhkan rahasia
piramida itu dengan harapan bisa menangkap lelaki itu.
"Lepaskan tanganmu dariku!" teriak sebuah suara renta dalam lorong. "Aku buta,
bukan ceroboh! Aku mengenal jalan melalui kolese!" Dean Galloway masih memprotes
keras kepada seorang agen CIA menuntunnya ke ruang duduk dan memaksanya
menduduki salah satu kursi.
"Siapa di sini?" desak Galloway. Mata butanya menatap kosong ke depan.
"Kedengarannya seakan ada banyak orang. Berapa banyak yang kalian perlukan untuk
menangkap seorang lelaki tua" Yang benar saja!"
"Kami bertujuh," jelas Sato. "Termasuk Robert Langdon, Katherine Solomon, dan
saudara Masonmu, Warren Bellamy." Galloway memelorotkan tubuh, semua perkataan
mengancamnya menghilang. "Kami baik-baik saja," ujar Langdon. "Dan kami baru saja mendengar bahwa Peter
aman. Kondisinya buruk, tapi polisi bersamanya."
"Syukurlah," ujar Galloway. "Dan-"
Sebuah getaran keras mengakibatkan semua orang di ruangan itu terlompat. Ponsel
Bellamy bergetar di atas meja kopi. Semua orang terdiam.
"Oke, Mr. Bellamy," ujar Sato. "Jangan sampai gagal. Kau tahu taruhannya."
Bellamy menghela napas panjang, lalu mengembuskannya. Lalu dia menjulurkan
tangan dan menekan tombol pengeras- suara untuk menerima telepon itu.
"Ini Bellamy," katanya, bicara keras ke arah telepon di atas meja kopi.
Suara yang bergemeresak lewat pengeras-suara itu tidak asing lagi, sebuah
bisikan ringan. Kedengarannya seakan dia menelepon dari ponsel hands-free
berpengeras-suara di dalam mobil. "Sudah lewat tengah malam, Mr. Bellamy. Aku
hendak mengakhiri penderitaan Peter."
Muncul keheningan yang canggung di dalam ruangan.
"Biarkan aku bicara dengannya."
"Mustahil,"jawab lelaki itu. "Aku sedang menyetir. Dia terikat di dalam bagasi."
Langdon dan Katherine saling bertukar pandang, lalu mulai menggelengkan kepala
kepada semua orang. Dia membual! Dia tidak lagi membawa Peter!
Sato mengisyaratkan Bellamy agar terus mendesaknya.
"Aku ingin bukti bahwa Peter masih hidup," ujar Bellamy.
"Aku tidak akan memberimu-"
"Master Terhormatmu perlu dokter. Jangan membuang waktu dengan bernegosiasi.
Sebutkan nomor jalanan di Franklin itu, dan aku akan membawa Peter kepadamu di
sana." "Sudah kubilang, aku ingin-"
"Sekarang!" bentak lelaki itu. "Atau aku akan berhenti dan Peter Solomon mati
saat ini juga!" "Dengarkan aku," ujar Bellamy tegas. "Jika kau menginginkan alamat lengkapnya,
kau harus mengikuti peraturan-ku. Temui aku di Franklin Square. Setelah kau
mengantarkan Peter dalam keadaan hidup, akan kusebutkan nomor gedungnya."
"Bagaimana aku tahu kau tidak akan membawa pihak-pihak yang berwenang?"
"Karena aku tidak bisa mengambil risiko mengkhianatimu. Nyawa Peter bukan satu-
satunya kartu yang kau pegang. Aku tahu apa yang sesungguhnya dipertaruhkan
malam ini." "Sadarkah kau," ujar lelaki di telepon, "bahwa aku akan terus menyetir pergi
jika merasakan sedikit saja kehadiran orang lain selain dirimu di Franklin
Square, dan kau tidak akan pernah menemukan jejak Peter Solomon. Dan tentu


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja... itu akan menjadi akhir dari semua kekhawatiranmu."
"Aku akan datang sendirian," jawab Bellamy tenang, "ketika kau menyerahkan
Peter, akan kuserahkan segala yang kauperlukan."
"Di tengah lapangan," ujar lelaki itu. "Perlu waktu setidaknya dua puluh menit
bagiku untuk tiba di sana. Kusarankan agar menungguku selama yang diperlukan."
Sambungan telepon terputus.
Ruangan itu langsung riuh. Sato mulai meneriakkan perintah-perintah. Beberapa
agen lapangan meraih radio dan menuju pintu. "Jalan! Jalan!"
Dalam kekacauan itu, Langdon memandang Bellamy untuk meminta semacam penjelasan
mengenai apa yang sesungguhnya terjadi malam ini, tapi lelaki tua itu sudah
digiring keluar pintu. "Aku harus menemui kakakku!" teriak Katherine. "Kau harus mengizinkan kami
pergi!" Sato berjalan menghampiri Katherine. "Akul tidak harus melakukan apa-apa, Miss
Solomon. Jelas?" Katherine bersikukuh, memandang putus asa ke dalam mata sipit Sato.
"Miss Solomon, prioritas utamaku adalah menangkap lelaki itu di Franklin Square,
dan kau akan duduk di sini dengan salah satu orangku sampai aku menyelesaikan
tugas itu. Setelah itu, dan hanya setelah itu, kami akan mengurusi kakakmu!"
"Kau tidak mengerti," ujar Katherine. "Aku tahu persis di mana lelaki ini
tinggal! Secara harfiah hanya lima menit menyusuri jalanan di Kalorama Heights,
dan di sana akan ada bukti yang bisa membantumu! Lagi pula, kau bilang kau ingin
merahasiakan ini. Siapa yang tahu, apa yang akan diceritakan Peter kepada pihak
berwenang setelah keadaannya stabil."
Sato mengerutkan bibir, tampaknya mencerna perkataan Katherine. Di luar, baling-
baling helikopter mulai berputar. Sato mengernyit, lalu berpaling kepada salah
satu orangnya. "Hartmann, bawa Escalade-nya. Antar Miss Solomon dan Mr. Langdon ke Kalorama
Heights. Peter Solomon tidak boleh bicara kepada siapa pun. Mengerti?"
"Ya, Ma'am," jawab agen itu.
"Telepon aku ketika sudah tiba di sana. Ceritakan apa yang kau temukan. Dan
jangan biarkan kedua orang ini lepas dari pandangan."
Agen Hartmann mengangguk cepat, mengeluarkan kunci Escalade, dan menuju pintu.
Katherine mengikuti tepat di belakangnya.
Sato berpaling kepada Langdon. "Sampai jumpa sebentar lagi, Profesor. Aku tahu,
kau mengira aku musuh, tapi bisa kuyakinkan dirimu bahwa kasusnya bukan begitu.
Segera temui Peter. Ini belum berakhir."
Di samping Langdon, Dean Galloway duduk tenang di depan meja kopi. Kedua
tangannya sudah menemukan piramida batu itu, yang masih tegak di dalam tas kulit
terbuka Langdon di atas meja di hadapannya. Lelaki tua itu menelusurkan kedua
tangannya atas permukaan hangat batu.
"Bapa, kau ikut menjumpai Peter?" tanya Langdon.
"Aku hanya akan memperlambat kalian." Galloway mlepaskan tangan dari tas dan
menutup ritsleting di sekitar piramida. "Aku akan tetap berada di sini dan
mendoakan kesembuhan Peter. Kita semua bisa bicara nanti. Tapi, ketika
menunjukkan piramida kepada Peter, maukah kau menyampaikan pesanku kepadanya?"
"Tentu saja." Langdon menyampirkan tas itu ke bahunya.
"Katakan," Galloway berdeham, "Piramida Mason selalu menyimpan rahasianya dengan
jujur." "Aku tidak mengerti."
Lelaki tua itu mengedipkan sebelah mata. "Bilang saja kepada Peter. Dia akan
mengerti." Seiring perkataan itu, Dean Galloway menundukkan kepala dan mulai berdoa.
Dengan bingung, Langdon meninggalkannya di sana dan bergegas keluar. Katherine
sudah berada di kursi depan SUV, memberi agen itu pengarahan-pengarahan. Langdon
duduk di belakang dan baru saja menutup pintu ketika kendaraan raksasa itu
melesat melintasi lapangan, berpacu ke utara menuju Kalorama Heights. [ ]
BAB 93 Franklin Square terletak di kuadran barat laut pusat kota Washington, dibatasi K
Street dan Thirteenth Street. Itu lokasi banyak hangunan bersejarah, yang
terutama Sekolah Franklin, tempat Alexander Graham Bell mengirimkan berita-radio
pertama di dunia pada 1880.
Tinggi di atas lapangan, sebuah helikopter UH-60 yang bergerak cepat mendekat
dari barat, setelah menyelesaikan perjalanannya dari Katedral Nasional dalam
hitungan menit. Masih banyak waktu, pikir Sato, seraya mengintip lapangan di
bawah. Dia tahu, orang-orangnya harus sudah menempati posisi mereka masing-
masing tanpa terdeteksi sebelum sasaran mereka tiba. Katanya, dia perlu waktu
setidaknya dua puluh menit untuk tiba di sini.
Atas perintah Sato, pilot melakukan gerakan "melayang sambil menyentuh" di atas
atap bangunan tertinggi di sekitar situ - Franklin Square Satu yang terkenal -
gedung perkantoran prestisius yang menjulang dengan dua menara emas di atasnya.
Tentu saja manuver itu ilegal, tapi helikopter hanya berada di sana selama
beberapa detik, dan kaki-kakinya hanya sedikit menyentuh atap gravel gedung itu.
Setelah semua orang melompat turun, pilot langsung menaikkan helikopter,
berbelok ke timur, dan di sana helikopter itu naik sampai ketinggian-aman untuk
memberikan dukungan tak terlihat dari atas.
Sato menunggu ketika tim lapangan mengumpulkan barang-barang dan menyiapkan
Bellamy untuk tugasnya. Arsitek itu masih tampak bingung setelah melihat arsip
di laptop berpengaman milik Sato. Seperti yang kubilang... masalah keamanan
nasional. Bellamy segera memahami maksud Sato, dan kini bersikap kooperatif
sepenuhnya. "Semuanya siap, Ma'am," ujar Agen Simkins.
Atas perintah Sato, agen-agen itu menggiring Bellamy melalui atap dan menghilang
ke ruang tangga, menuju tingkat dasar untuk menempati posisi mereka.
Sato berjalan ke pinggir gedung dan memandang ke bawah. Taman persegi panjang
berpepohonan di bawah sana memanjang ke seluruh blok. Banyak tempat
persembunyian. Tim Sato benar-benar memahami pentingnya melakukan penangkapan
tanpa terdeteksi. Seandainya sasaran mereka merasakan kehadiran mereka di sana
dan memutuskan untuk menyelinap pergi begitu saja... direktur itu bahkan tidak
mau memikirkan kemungkinan itu.
Angin di atas sini kencang dan dingin. Sato membelitkan dua lengannya di tubuh,
menjejakkan kaki dengan mantap agar tubuhnya tidak melayang tertiup angin. Dari
sudut pandang tinggi yang menguntungkan ini, Franklin Square tampak lebih rendah
daripada yang diingatnya dan dengan lebih sedikit bangunan. Dia bertanya-tanya,
yang mana Franklin Square Delapan. Dia sudah meminta informasi ini dari Nola,
dan dia mengharapkan jawaban setiap saat.
Bellamy dan agen-agen itu kini muncul di bawah sana, tampak seperti semut yang
menyebar ke dalam kegelapan area pepohonan. Simkins menempatkan Bellamy di
lapangan di dalam bagian tengah taman sepi itu. Lalu Simkins dan timnya melebur
dalam persembunyian alami, menghilang dari pandangan. Dalam hitungan detik,
Bellamy ditinggal sendirian, berjalan mondar-mandir dan menggigil di dalam
cahaya lampu jalanan di depan bagian tengah taman.
Sato sama sekali tidak merasa iba.
Dia menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam, menikmati kehangatan asap yang
menembus paru-paru. Setelah merasa puas karena semuanya di bawah sana sudah
beres, dia melangkah mundur dari pinggir gedung, menunggu dua telepon masuk -
satu dari analisnya, Nola, dan satu lagi dari Agen Hartmann yang dikirimnya ke
Kalorama Heights. BAB 94 Pelan-pelan Langdon mencengkeram kursi belakang Escalade yang berbelok cepat
seakan hendak berjalan miring dengan dua roda. Entah agen CIA Hartmann
bersemangat memamerkan keahlian menyetirnya kepada Katherine, atau dia mendapat
perintah untuk menjumpai Peter Solomon sebelum lelaki itu cukup pulih dan
mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakannya kepada pihak berwenang
setempat. Permainan kecepatan-tinggi melanggar-lampu-merah di Embassy Row itu sudah cukup
mengkhawatirkan, tapi kini mereka berpacu melewati lingkungan perumahan yang
berkelok-kelok di Kalorama Heights. Katherine meneriakkan pengarahan-pengarahan
selama mereka melaju. Dia sudah mengunjungi rumah lelaki ini siang tadi.
Di setiap belokan, tas kulit di dekat kaki Langdon bergulir ke depan dan ke
belakang. Langdon bisa mendengar kelontang batu-puncak yang jelas sudah terlepas
dari bagian atas piramida dan kini berguncang-guncang di dasar tas. Khawatir
batu-puncak itu rusak, dia merogoh-rogoh tas sampai menemukannya. Benda itu
masih hangat, tapi teks berkilaunya kini sudah memudar dan menghilang, kembali
pada ukiran aslinya. Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo.
Ketika Langdon hendak memasukkan batu-puncak ke dalam saku, dia memperhatikan
bahwa permukaan elegan benda itu tertutup semacam gumpalan-gumpalan putih
mungil. Dengan bingung dia mencoba membersihkannya, tapi gumpalan- gumpalan itu
tetap melekat dan terasa keras ketika disentuh... seperti plastik. Apa ini" Kini
dia bisa melihat bahwa permukaan piramida batu itu sendiri juga tertutup bintik-
bintik putih kecil. Langdon menggunakan kuku jari tangannya dan mencungkil
sebutir, menggulirkannya di antara jari-jari tangan.
"Lilin?" ujarnya.
Katherine menoleh ke belakang. "Apa?"
"Ada bintik-bintik lilin di seluruh permukaan piramida batu- puncak. Aku tidak
mengerti. Dari mana kemungkinannya?"
"Sesuatu di dalam tasmu, mungkin?"
"Kurasa tidak."
Ketika mereka berbelok, Katherine menunjuk lewat kaca depan dan menoleh kepada
Agen Hartmann. "Itu dia! Kita sampai."
Langdon mendongak dan melihat lampu sirene berputar- putar di atas kendaraan
petugas keamanan yang di jalan masuk mobil di depan sana. Gerbang jalan masuk
terbuka dan agen itu melajukan SUV ke dalam kompleks Rumah itu berupa gedung
yang spektakuler. Semua lampu di dalamnya menyala dan pintu depannya terbuka
lebar. Setengah lusin kendaraan diparkir serampangan di jalan masuk mobil di
halaman, tampaknya tiba dalam keadaan terburu-buru. Mesin dan lampu depan
beberapa mobil masih menyala, sebagian menyoroti rumah, tapi ada satu mobil yang
diparkir miring, lampu-lampu depannya praktis membutakan mata ketika mereka
masuk. Agen Hartmann menghentikan mobil di halaman, di samping sedan putih dengan
stiker berwarna-mencolok: PREFERR SECURITY. Semua lampu yang berputar-putar dan
cahaya yang menyorot tinggi di wajah itu membuat mereka sulit melihat.
Katherine langsung melompat keluar dan berpacu menuju rumah, Langdon
menyampirkan tas ke bahu tanpa sempat nutup ritsletingnya. Dia mengikuti
Katherine dengan berlari- kecil melintasi halaman menuju pintu depan yang
terbuka. Suara-suara percakapan menggema di dalam. Di belakang Langdon, SUV
mendecit ketika Agen Hartmann mengunci kendaraan dan bergegas mengejar mereka.
Katherine menaiki tangga beranda, melewati pintu utama, lalu menghilang ke
dalam. Langdon mengikuti di belakangnya, melintasi ambang pintu, dan bisa
melihat Katherine sudah bergerak melintasi foyer, menyusuri lorong utama menuju
suara-suara percakapan. Jauh di depan Katherine terdapat meja makan, dan seorang
perempuan berseragam petugas keamanan sedang duduk memunggungi mereka.
"Petugas! " teriak Katherine sambil berlari. " Mana Peter Solomon?"
Langdon bergegas mengejarnya, tapi sebuah gerakan yang tak terduga menarik
perhatiannya. Di sebelah kiri, melalui jendela ruang tamu, dia bisa melihat
gerbang jalan masuk mobil kini terayun menutup. Aneh. Sesuatu yang lain menarik
perhatiannya... sesuatu yang lolos dari penglihatannya akibat semua lampu yang
berputar-putar dan cahaya yang menyorot tinggi serta membutakan ketika mereka
masuk. Setengah lusin mobil yang diparkir serampangan di jalan masuk itu sama
sekali tidak menyerupai mobil polisi dan kendaraan darurat yang dibayangkan
Langdon. Mercedes " ... Hummer" ... Tesla Roadster"
Seketika Langdon juga menyadari bahwa suara-suara yang didengarnya di dalam
rumah hanya berasal dari televisi yang menyala menghadap ruang makan.
Langdon berputar dalam gerak-lambat, berteriak ke lorong.
"Katherine, tunggu!"
Tapi, saat dia berputar, dia melihat Katherine Solomon tidak lagi sedang
berlari. Perempuan itu melayang di udara.
BAB 95 Katherine Solomon tahu dirinya sedang terjatuh... tapi tidak tahu mengapa.
Dia sedang berlari menyusuri lorong menuju petugas keamanan di ruang makan,
ketika mendadak kakinya terbelit penghalang yang tak terlihat dan seluruh
tubuhnya terdorong ke depan dan melayang di udara.
Kini dia kembali ke bumi... dalam hal ini, lantai kayu keras.
Katherine jatuh berdebum tertelungkup, dan langsung tak bisa bernapas. Di atas
tubuhnya, sebuah gantungan mantel mulai miring secara membahayakan, lalu jatuh
terguling, nyaris menimpanya di lantai. Dia mengangkat kepala, dengan masih
tersengal-sengal, dan bingung ketika melihat petugas keamanan perempuan di kursi
belum bergerak sedikit pun. Yang lebih aneh lagi, tampaknya ada kawat tipis yang
diikatkan pada bagian gantungan mantel yang terguling, dan kawat itu emmanjang
melintasi lorong. Mengapa seseorang ... "
"Katherine!" teriak Langdon kepadanya. Ketika Katherine menggulingkan tubuh ke
samping dan menoleh ke belakang memandang Langdon, dia merasakan darahnya
membeku. Robert, di belakangmu! Dia mencoba berteriak, tapi masih tersengal-
sengal. Yang bisa dilakukannya hanyalah menyaksikan dalam gerak-lambat
mengerikan ketika Langdon bergegas menyusuri lorong untuk membantunya, tanpa
menyadari sedikit pun bahwa di belakangnya, Agen Hartmann sedang terhuyung-
huyung melintasi ambang pintu sambil mencengkeram leher. Darah mengaliri kedua
tangan lelaki itu ketika dia meraba-raba pegangan obeng panjang yang menonjol
dari lehernya. Ketika agen itu jatuh tersungkur, penyerangnya terlehat jelas.
Ya Tuhan ... tidak! Lelaki bertubuh besar itu telanjang, hanya mengenakan pakaian dalam aneh yang
tampak seperti cawat. Tampaknya dia bersembunyi di dalam foyer. Tubuh berototnya
tertutup tato aneh dari kepala sampai ujung kaki. Pintu depan terayun menutup,
dan dia bergegas menyusuri lorong untuk mengejar Langdon.
Agen Hartmann menumbuk lantai persis ketika pintu depan terbanting menutup.
Langdon tampak terkejut dan berputar, tapi lelaki bertato itu sudah berada di
dekatnya, menusukkan semacam alat ke punggungnya. Muncul kilau cahaya dan desis
elektris tajam, dan Katherine melihat Langdon mengejang. Dengan mata terbelalak
beku, Langdon jatuh tersungkur, roboh dengan tubuh kaku. Dia jatuh dengan keras
menimpa tas kulitnya, dan piramida itu bergulir ke lantai.
Tanpa melirik korbannya sedikit pun, lelaki bertato itu melangkahi tubuh Langdon
dan langsung menuju Katherine. Perempuan itu sudah merangkak kembali ke ruang
makan, dan di sana dia menumbuk sebuah kursi. Petugas keamanan perempuan yang
duduk di kursi itu kini bergoyang dan jatuh ke lantai di sampingnya. Raut wajah
tak bernyawa perempuan itu mengerikan. Mulutnya tersumpal kain.
Sebelum Katherine sempat bereaksi, lelaki bertubuh besar itu sudah meraihnya.
Lelaki itu mencengkeram bahunya dengan kekuatan yang mustahil besarnya.
Wajahnya, yang tidak lagi tertutup make-up, benar-benar merupakan pemandangan
mengerikan. Lalu otot-otot lelaki itu mengendur, dan Katherine merasakan dirinya
ditelungkupkan seperti boneka kain. Lutut berat menghunjam punggungnya, dan
sejenak dia merasa tubuhnya akan patah menjadi dua. Lelaki itu meraih lengan
Katherine dan menariknya ke belakang.
Dengan kepala yang kini menoleh ke satu sisi dan pipi menekan karpet, Katherine
bisa melihat tubuh Langdon yang masih tersentak-sentak dengan wajah
membelakanginya. Di belakangnya, Agen Hartmann terbaring tak bergerak di dalam
foyer. Logam dingin menjepit pergelangan tangan Katherine. Dia menyadari bahwa dirinya
sedang diikat dengan kawat. Dengan ketakutan dia mencoba menarik tangannya, tapi
perbuatan itu menimbulkan rasa sakit yang mengiris tangannya.
"Kawat ini akan mengirismu jika kau bergerak," ujar lelaki yang sudah selesai
dengan pergelangan tangan Katherine, dan berpindah ke pergelangan kakinya dengan
keefisienan yang mengerikan.
Katherine menendangnya, dan lelaki itu menghunjamkan pukulan kuat ke bagian
belakang paha kanan Katherine, melumpuhkan kakinya. Dalam hitungan detik,
pergelangan kakinya telah terikat.
"Robert!" Kini dia berhasil berteriak.
Langdon mengerang di lantai lorong. Dia terbaring tak berdaya di atas tas kulit,
dengan piramida batu tergeletak di situ, di dekat kepala. Katherine menyadari
bahwa piramida itu adalah harapan terakhirnya.
"Kami sudah memecahkan kode piramida itu!" katanya kepada penyerangnya. "Akan
kukatakan semuanya. "Ya, memang." Lalu lelaki itu menarik kain dari mulut perempuan tak bernyawa
tadi dan menyumpalkannya kuat- kuat ke mulut Katherine.
Rasanya seperti kematian.
Tubuh Robert Langdon seolah bukan miliknya. Dia terbaring mati rasa dan tak
bergerak, pipinya menekan lantai kayu- keras. Dia sudah cukup banyak mendengar


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang stun gun, sehingga tahu kalau senjata itu melumpuhkan korbannya dengan
membebaskan sistem saraf secara berlebihan untuk sementara waktu. Aksi senjata
itu - yang disebut gangguan elektromuskular - bisa disamakan dengan sambaran
halilintar. Sengatan rasa sakit yang tidak terhingga seakan menembus setiap molekul tubuh
Langdon. Kini, walaupun pikirannya terfokus dengan baik, otot-ototnya menolak
mematuhi perintah yang dikirimkannya.
Bangun. Dengan wajah menghadap ke bawah dan tubuh lumpuh di lantai, Langdon tersengal-
sengal, nyaris tidak mampu bernapas. Dia belum melihat lelaki yang menyerangnya
tadi, tapi dia melihat Agen Hartmann terbaring dalam genangan darah yang semakin
meluas. Langdon sudah mendengar Katherine meronta-ronta dan berdebat, tapi
beberapa saat yang lalu suara perempuan itu berubah teredam, seakan lelaki itu
menyumpalkan sesuatu ke dalam mulutnya.
Bangun, Robert! Kau harus menolongnya!
Kaki Langdon kini bergelenyar, pemulihan-rasa yang ganas dan menyakitkan tapi
kaki itu masih menolak untuk bekerja sama. Bergeraklah! Lengan Langdon berkedut-
kedut ketika sensasinya mulai kembali, bersama-sama dengan kembalinya rasa di
wajah dan lehernya. Dengan upaya keras, dia berhasil memutar kepala, menyeret
pipi dengan kasar di atas lantai kayu-keras ketika dia menoleh untuk melihat ke
dalam ruang makan. Penglihatan Langdon terhalang oleh piramida batu yang bergulir keluar dari tas
dan tergeletak miring di lantai, dengan bagian dasar hanya berjarak beberapa
inci dari wajah Langdon. Sejenak Langdon tidak mengerti apa yang sedang dilihatnya.
Persegi empat batu di hadapannya jelas merupakan bagian dasar piramida itu,
tetapi entah mengapa tampak berbeda.
Sangat berbeda. Masih berbentuk persegi empat, dan masih batu... tapi tidak lagi
datar dan halus. Dasar piramida itu ditutupi tanda-tanda yang diukirkan.
Bagaimana mungkin" Dia menatap selama beberapa detik bertanya-tanya apakah
dirinya berhalusinasi. Aku sudah memandang dasar piramida ini selusin kali ...
dan tidak ada tanda-tanda!
Kini Langdon menyadari penyebabnya.
Refleks bernapasnya mulai berjalan, dan dia menghela napas dengan terkejut,
menyadari bahwa Piramida Mason itu masih punya rahasia-rahasia untuk
diungkapkan. Aku telah menyaksikan perubahan lain.
Dalam sekejap, Langdon memahami arti permintaan terakhir Galloway. Katakan
kepada Peter, Piramida Mason selalu menyimpan rahasianya dengan jujur. Saat itu,
kata-kata itu terasa aneh, tapi kini Langdon memahami bahwa Dean Galloway
mengirimkan kode kepada Peter. Ironisnya, kode yang sama merupakan
pemutarbalikan plot cerita novel thriller biasa-biasa saja yang dibaca Langdon
bertahun-tahun lalu. Sin-cere (Jujur). Semenjak zaman Michelangelo, para pemahat menyembunyikan cacat-cacat pada karya
mereka dengan mengoleskan panas ke dalam celah-celahnya, lalu melapisi lilin itu
dengan bubuk batu. Metode ini dianggap penipuan. Oleh karena itu pahatan "tanpa
lilin" - secara harfiah sine cera - dianggap karya yang "sincere (jujur)". Frasa
itu terus bertahan. Sampai sekarang kita masih menandatangani surat- surat
dengan kata "sincerely, (dengan tulus)", sebagai janji bahwa kita menulis "tanpa
lilin", kata-kata kita benar.
Ukiran-ukiran di dasar piramida ini ditutupi dengan cara yang sama. Ketika
Katherine mengikuti petunjuk-petunjuk batu puncak dan merebus piramida, lilinnya
meleleh, mengungkap tulisan di bagian dasarnya. Galloway telah menelusurkan
jarinya pada piramida itu di ruang duduk, tampaknya meraba tanda-tanda yang
terpapar di bagian dasarnya.
Kini, walaupun hanya sejenak, Langdon melupakan semua bahaya yang sedang
dihadapinya bersama Katherine. Dia menatap susunan simbol menakjubkan di dasar
piramida itu. Dia sama sekali tidak tahu apa artinya... atau apa yang pada
akhirnya akan diungkapkan oleh simbol-simbol itu, tapi ada satu hal yang pasti.
Piramida Mason masih punya rahasia- rahasia untuk diungkapkan. Franklin Square
Delapan bukanlah jawaban akhir.
Langdon tidak tahu penyebabnya, apakah kesadarannya yang dipenuhi adrenalin atau
hanya karena beberapa detik berbaring di sana, tapi mendadak dia merasa bisa
mengendalikan tubuhnya kembali.
Dengan penuh rasa sakit dia menyapukan tangan ke samping, menyingkirkan tas
kulit agar pandangannya ke ruang makan tidak terhalang.
Yang menakutkannya, ia melihat Kathorine terikat, dan kain besar disumpalkan ke
dalam mulutnya. Langdon mengendurkan otot-ototnya, mencoba berlutut, tapi
sejenak kemudian dia terpaku dalam ketidakpercayaan total. Ambang pintu ruang
makan baru saja dipenuhi pemandangan mengerikan - sesosok manusia yang tidak
menyerupai apa pun yang pernah dilihat Langdon.
Apa... "! Langdon berguling, menendang-nendang, mencoba mundur, tapi lelaki bertato
bertubuh besar itu meraih tubuhnya, menelentangkannya, dan menduduki dadanya.
Lelaki itu meletakkan lutut di masing-masing lengan atas Langdon, menjepit
Langdon secara menyakitkan ke lantai. Dada lelaki itu bergambar phoenix
berkepala-dua yang beriak- riak. Leher, wajah, dan kepala plontosnya ditutupi
susunan simbol rumit yang tidak biasa dan menakjubkan - Langdon tahu itu sigil -
yang digunakan dalam ritual-ritual upacara sihir hitam.
Sebelum Langdon bisa mencerna lebih jauh lagi, lelaki bertubuh besar itu
menangkupkan kedua telapak tangannya pada masing-masing telinga Langdon,
mengangkat kepalanya dari lantai, dan dengan kekuatanyang luar biasa
membenturkannya kembali ke kayu-keras.
Segalanya berubah hitam. [ ]
BAB 96 Mal'akh berdiri di lorong dan meneliti pembantaian di sekelilingnya. Rumahnya
tampak seperti medan peperangan. Robert Langdon terbaring tak sadarkan diri di
dekatnya. Katherine Solomon terikat dan tersumpal di lantai ruang makan.
Mayat petugas keamanan perempuan terbaring meringkuku di dekat situ, setelah
terguling dari kursi tempatnya didudukkan. Petugas keamanan ini, yang ingin
sekali menyelamatkan hidupnya sendiri, telah melakukan persis seperti yang
diperintahkan Mal'akh. Dengan pisau di leher, dia menjawab ponsel Mal'akh dan
mengutarakan kebohongan untuk membujuk Langdon dan Katherine agar segera datang
kemari. Dia tidak punya partner, dan Peter Solomon jelas tidak baik-baik saja.
Segera setelah perempuan itu memainkan peranannya, dengan tenang Mal'akh
mencekiknya. Untuk melengkapi ilusi bahwa dirinya sedang tidak berada di rumah,
Mal'akh menelepon Bellamy dengan menggunakan pengeras- suara hands-free di salah
satu mobil miliknya. Aku sedang menyetir, katanya kepada Bellamy dan siapa pun
lainnya yang sedang mendengarkan. Peter berada di dalam bagasi. Sesungguhnya
Mal'akh hanya menempuh jarak antara garasi dan pekarangan depan. Di sana dia
meninggalkan beberapa mobilnya terparkir miring dengan lampu depan dan mesin
menyala. Penipuan itu berjalan dengan sempurna. Nyaris.
Satu-satunya penghalang adalah onggokan berdarah berpakaian hitam difoyer,
dengan obeng menonjol dari leher. Mal'akh menggeledah mayat itu dan tergelak
ketika menemukan alat komunikasi berteknologi tinggi dan ponsel dengan logo CIA.
Tampaknya mereka juga menyadari kekuatanku. Dia mengeluarkan semua baterai dan
menghancurkan kedua alat itu dengan pengganjal pintu perunggu berat.
Mal'akh tahu, dia kini harus bergerak cepat, terutama jika CIA terlibat. Dia
kembali melenggang menghampiri Langdon. Profesor itu akan tidak sadarkan diri
selama beberapa saat. Mata Mal'akh kini bergerak gelisah menuju piramida batu
yang tergeletak di lantai di samping tas terbuka profesor itu. Dia menghela
napas, dan jantungnya berdentam-dentam.
Aku sudah menunggu selama bertahun-tahun ....
Tangan Mal'akh sedikit gemetar ketika dijulurkan untuk memungut Piramida Mason
itu. Ketika menelusurkan jari-jari tagannya perlahan-lahan di atas ukiran-ukiran
itu, dia merasa takjub oleh janji yang tertulis. Sebelum menjadi terlalu
terpesona, dia memasukkan kembali piramida itu ke dalam tas Langdon bersama
dengan batu-puncaknya, lalu menutup ritsleting tas.
Aku akan segera menyusun piramida itu ... di lokasi yang jauh lebih aman.
Dia menyampirkan tas Langdon di bahu, lalu mencoba mengangkat Langdon, tapi
tubuh berotot profesor itu jauh lebih berat daripada perkiraannya. Mal'akh
memutuskan untuk mencengkeram kedua lengan bawah Langdon dan menyeretnya
melintasi lantai. Dia tidak akan menyukai tempat di mana dia berakhir, pikir
Mal'akh. Ketika dia menyeret Langdon, televisi di dapur masih menyala. Suara-suara
percakapan di TV telah menjadi bagian dari penipuan itu, dan Mal'akh belum
mematikannya. Stasiun itu kini menayangkan seorang penginjil yang sedang
membimbing umatnya untuk berdoa Bapa Kami. Mal'akh bertanya-tanya, apakah ada di
antara para pemirsa terhipnotis itu yang menyadari dari mana sesungguhnya asal
doa itu. "... Di atas bumi seperti di dalam surga ..." ujar kelompok itu.
Ya, pikir Mal'akh. Seperti yang di atas, demikian juga yang di bawah.
Dan jangan masukkan kami ke dalam pencobaan.
Bantu kami mengatasi kelemahan daging.
Lepaskanlah kami dari yang jahat pinta mereka semua. Mal'akh tersenyum. Itu
mungkin sulit. Kegelapan semakin berkembang. Walaupun demikian, dia harus memuji
upaya mereka. Manusia yang bicara kepada kekuatan-kekuatan tak terlihat dan
memohon pertolongan adalah keturunan sekarat di dalan dunia modern ini.
Mal'akh sedang menyeret Langdon melintasi ruangan ketika umat itu mengucapkan,
"Amin!" Amon, pikir Mal'akh membetulkan. Mesir adalah asal kalian. Dewa Amon adalah
prototipe untuk Zeus ... untuk Jupiter ... dan untuk setiap wajah modem Tuhan.
Sampai saat ini semua agama di dunia meneriakkan berbagai variasi nama itu,
Amen! Amin! Aum! Pendeta itu mulai mengutip ayat-ayat dari Alkitab menjelaskan hierarki malaikat,
iblis, dan roh yang memenuhi surga dan neraka. "Lindungilah jiwa kalian dari
kekuatan- kekuatan jahat!" katanya memperingatkan. "Angkat hatimu dalam doa,
Tuhan dan para malaikat-Nya akan mendengar kalian!"
Dia benar, pikir Mal'akh. Tapi, iblis-iblis juga akan mendengarnya.
Mal'akh sudah lama sekali tahu bahwa, melalui penerapan Ilmu Sihir secara tepat,
seorang praktisi bisa membuka portal menuju ranah spiritual. Kekuatan-kekuatan
tak terlihat yang ada di sana, yang sangat menyerupai manusia itu sendiri,
muncul dalam berbagai bentuk, yang jahat maupun yang baik. Yang Terang
menyembuhkan, melindungi, dan ingin membawa keteraturan pada alam semesta. Yang
Gelap berfungsi sebaliknya... membawa kehancuran dan kekacauan. Jika dipanggil
secara tepat, kekuatan-kekuatan tak terhingga itu bisa dibujuk untuk mewujudkan
permintaan seorang praktisi di dunia... sehingga memberikan kekuatan yang
tampaknya supernatural. Sebagai penukar atas pertolongan yang berikan kepada si
pemanggil, kekuatan- kekuatan ini meminta persembahan - doa-doa dan pujian bagi Yang Terang... dan
penumpahan darah bagi Yang Gelap.
Semakin besar pengorbanannya, semakin besar kekuatan yang ditransfer. Mal'akh
memulai praktiknya dengan darah hewan-hewan biasa. Akan tetapi, setelah beberapa
waktu, pilihan-pilihan untuk pengorbanannya menjadi lebih berani. Malam ini, aku
akan mengambil langkah terakhir.
"Waspadalah!" teriak pendeta di TV, memperingatkan kedatangan Hari Kiamat.
"Pertempuran terakhir bagi jiwa manusia akan segera berlangsung!"
Memang, pikir Mal'akh. Dan aku akan menjadi pejuang terbesarnya.
Pertempuran ini tentu saja telah dimulai lama, lama sekali. Di Mesir kuno,
mereka yang menyempurnakan Ilmu telah menjadi Ahli-Ahli besar dalam sejarah,
berevolusi melebihi orang banyak untuk menjadi praktisi sejati Terang. Mereka
bertindak sebagai tuhan di bumi. Mereka mendirikan kuil-kuil inisiasi besar, dan
ke sanalah para penganut baru berdatangan dari seluruh dunia untuk mengambil
bagian dalam kebijakan itu. Di sana, ras manusia unggul muncul. Untuk masa yang
singkat, umat manusia tampaknya siap mengangkat diri mereka sendiri dan
melampaui ikatan-ikatan duniawi mereka.
Era keemasan Misteri Kuno.
Akan tetapi, manusia - yang terdiri dari daging - rentan terhadap dosa-dosa
kecongkakan, kebencian, ketidaksabaran, dan keserakahan. Setelah beberapa waktu,
muncul mereka yang merusak Ilmu, mencemari dan menyalahgunakan kekuatannya demi
keuntungan pribadi. Mereka mulai menggunakan versi tercemar ini untuk memanggil
kekuatan- kekuatan gelap. Ilmu yang berbeda berkembang... dengan pengaruh yang
lebih dahsyat, seketika, dan memabukkan.
Seperti itulah Ilmuku. Seperti itulah Karya Besarku.
Para Ahli yang memperoleh penerangan dan kelompok- kelompok persaudaraan
esoteris mereka menyaksikan munculnya kejahatan, dan melihat bahwa manusia tidak
menggunakan pengetahuan baru itu untuk kebaikan spesies mereka. Oleh karena
mereka menyembunylkan kebijakan mereka untuk menjauhkan diri dari mata-mata yang
tidak layak. Pada akhirnya, kebijakan hilang dalam sejarah.
Seiring dengan itu, muncullah Kejatuhan Besar Manusia. Dan kegelapan kekal.
Sampai saat ini, keturunan-keturunan mulia para Ahli masih berjuang, meraih
Terang secara meraba-raba, mencoba kembali kekuatan masa lalu mereka yang
hilang, mennyingkirkan kegelapan. Mereka adalah para pendeta laki- laki dan
perempuan dari gereja, kuil dan tempat pemujaan dari agama di dunia. Waktu telah
menghapuskan segala ingatan dan memisahkan mereka dari masa lalu. Mereka tidak
lagi mengetahui Sumber asal kebijakan luar biasa mereka pemah mengalir. Jika
ditanya mengenai misteri-misteri suci nenek moyang mereka, penjaga-keyakinan
yang baru ini menyangkal mati-matian, dan mengatakan misteri-misteri itu sebagai
ajaran sesat. Apakah mereka sudah benar-benar lupa" pikir Mal'akh. Gema-gema Ilmu kuno masih
bergaung di setiap pojok dunia, mulai dari para penganut Kabbalah mistis
Yudaisme sampai Sufi Islam esoteris. Sisa-sisanya masih terdapat dalam ritual
misterius Kristen: ritual-ritual menyantap-Tuhan dalam Komuni mereka; hierarki
orang suci, malaikat, dan iblis mereka; pedupaan dan mantra mereka; landasan-
landasan astrologis kalender mereka; jubah-jubah suci mereka; dan janji
kehidupan kekal mereka. Bahkan saat ini, pendeta- pendeta mereka mengusir jahat
dengan mengayunkan pedupaan, membunyikan lonceng-lonceng suci, dan mencipratkan
air suci. Orang Kristen masih mempraktikkan keahlian supernatural mengusir setan
- praktek kuno dalam keyakinan mereka yang memerlukan kemampuan tidak hanya
untuk mengusir setan-setan, tapi juga untuk memanggil mereka.
Akan tetapi, mereka tidak bisa melihat masa lalu ajaran mereka"
Tidak ada satu tempat pun di mana masa lalu mistis Gereja paling jelas terlihat
daripada di epissentrumnya. Di Vatican City, di jantung Lapangan St. Peter,
berdirilah obelisk Mesir besar. Dipahat seribu tiga ratus tahun sebelum Yesus
menghela napas pertama-Nya, monolit besar ini tidak ada relevansinya di sana,
tidak ada kaitannya dengan Kristen modern. Akan tetapi, disanalah obelisk itu
berdiri. Di pusat gereja Kristus. Mercusuar batu yang berteriak agar didengar.
Pengingat bagi beberapa orang bijak yang masih ingat dari mana semua itu
dimulai. Gereja ini, yang lahir dari rahim Misteri Kuno, masih menggunakan
ritual-ritual don simbol- simbolnya.
Satu simbol di atas segalanya.
Yang menghiasi altar, jubah, menara, dan Alkitab mereka adalah gambaran tunggal
ajaran Kristen - yaitu, manusia berharga yang dikorbankan. Ajaran Kristen,
melebihi keyakinan lainnya mana pun, memahami kekuatan transformatif
pengorbanan. Bahkan sekarang pun, untuk menghormati pengorbanan yang dilakukan
Yesus, para pengikutnya menawarkan isyarat lemah pengorbanan pribadi mereka
sendiri... puasa, tirakat Lenten, persepuluhan.
Tentu saja semua persembahan ini tidak berarti. Tanpa darah... tidak ada
pengorbanan sejati. Kekuatan-kekuatan gelap sudah lama menjalankan pengorbanan darah. Dengan
pengorbanan darah, mereka menjadi begitu kuat sehingga kekuatan-kekuatan
kebaikan kini berjuang untuk mengendalikan mereka. Dengan segera, Terang akan
habis seluruhnya, dan para praktisi kegelapan akan bergerak bebas dalam benak
manusia. [ ] BAB 97 "Franklin Square Delapan pasti ada," desak Sato. "Cari terus!"
Nola Kaye duduk di kursinya dan menyesuaikan punggungnya. "Ma'am, saya sudah
mengeceknya ke mana- mana... alamat ini tidak ada di DC."
"Tapi aku berada di atas atap Franklin Square Satu,"
ujarnya. "Pasti ada nomor Delapan!"
Direktur Sato berada di atas atap" "Tunggu." Nola mulai menjalankan pencarian
baru. Dia berpikir untuk menceritakan peretas itu kepada Direktur OS, tapi saat
ini tampaknya Sato paku pada Franklin Square Delapan. Selain itu, Nola masih
belum mendapat semua informasinya. Lagi pula, mana petugas keamanan sistem
sialan itu" "Oke," ujar Nola, seraya mengamati layar, "saya memahami masalahnya. One
Franklin Square (Franklin Square Satu) adalah gedung... bukan alamat.


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesungguhnya, alamatnya adalah 131 Street."
Berita itu tampaknya mengejutkan Sato. "Nola, aku tidak punya waktu untuk
menjelaskan - piramida itu jelas menunjukkan alamat Franklin Square Delapan."
Nola langsung duduk tegak. Piramida itu menunjuk ke sebuah lokasi spesifik"
"Inskripsinya," lanjut Sato, "berbunyi: 'Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo -
Franklin Square Delapan."
Nola nyaris tidak bisa membayangkan. "Ordo seperti... ordo Mason atau kelompok
persaudaraan?" "Kurasa begitu," jawab Sato.
Nola berpikir sejenak, lalu mulai mengetik lagi. "Ma'am, mungkin nomor
jalanannya berubah setelah bertahun-tahun. Maksud saya, jika piramida ini setua
yang dinyatakan oleh legendanya, mungkin nomor-nomor di Franklin Square berbeda
ketika piramida itu diciptakan" Saya sedang menjalankan pencarian tanpa angka
delapan... untuk... 'ordo'... 'Franklin Square'... dan 'Washington, DC'... dan dengan cara ini, kita
mungkin akan tahu seandainya ada-" Dia terdiam di tengah kalimat ketika hasil-
hasil pencariannya muncul.
"Apa yang kau dapat?" desak Sato.
Nola menatap hasil pertama dalam daftar - gambar spektakuler Piramida Besar
Mesir - yang berfungsi sebagai latar belakang untuk home page yang dirancang
bagi sebuah gedung di Franklin Square. Gedung itu tidak menyerupai gedung
lainnya mana pun di sana.
Atau juga di seluruh kota.
Yang mengejutkan Nola bukanlah arsitektur aneh gedung itu, melainkan penjelasan
mengenai tujuan-nya. Menurut situs Web, gedung yang tidak biasa ini didirikan
sebagai kuil mistis suci, dirancang oleh... dan dirancang untuk... sebuah ordo
rahasia kuno. [ ] BAB 98 Robert Langdon tersadar kembali dengan sakit kepalanya.
Aku di mana" Di mana pun dia berada, keadaannya gelap. Segelap gua yang dalam, dan hening
total. Dia berbaring telentang dengan kedua lengan di samping tubuh. Dengan bingung,
dia mencoba menggerakkan jari-jari tangan dan kaki, dan merasa lega ketika
mengetahui bahwa semua bisa bergerak bebas tanpa disertai rasa sakit. Apa yang
terjadi" Dengan perkecualian sakit kepala dan kegelapan mendalam, semuanya
tampaknya kurang lebih normal.
Hampir semuanya. Langdon menyadari bahwa dia sedang berbaring di lantai keras yang kehalusannya
tidak biasa, seperti selembar kaca, dan lebih aneh lagi, dia bisa merasakan
permukaan licin itu bersentuhan langsung dengan kulit telanjangnya... bahu,
punggung, pantat, paha, betis. Aku telanjang" Dengan bingung, ia menelusurkan
tangan pada tubuhnya. Astaga! Di mana gerangan pakaianku"
Dalam kegelapan, kebingungan itu mulai menghilang. Langdon melihat kilas-kilas
ingatan... gambar-gambar mengerikan... agen CIA mati ... wajah makhluk buas
bertato... kepala Langdon menghantam lantai. Gambar-gambar itu bermunculan
semakin cepat dan kini dia mengingat gambar memualkan Katherine Solomon terikat
dan tersumpal di lantai ruang makan.
Ya Tuhanku! Langdon mengangkat tubuh dan, ketika dia melakukannya, keningnya menghantam
sesuatu yang melayang hanya beberapa inci di atasnya. Rasa sakit menyebar di
dalam tengkorak kepalanya dan dia teriatuh kembali, nyaris pingsan. Dengan
lemah, dia menjangkau ke atas dengan kedua langannya, meraba-raba dalam
kegelapan untuk mencari penghalang itu. Yang ditemukannya tidak masuk akal
baginya. Tampaknya, ketinggian langit-langit ruangan ini kurang dari tiga puluh
sentimeter di atasnya. Apa gerangan" Ketika dia membentangkan kedua lengan ke
samping dalam upayanya untuk berbalik, kedua tangannya membentur dinding
samping. Kenyataan itu kini terpikirkan olehnya. Robert Langdon sama sekali
tidak berada di dalam sebuah ruangan.
Aku berada di dalam sebuah kotak!
Dalam kegelapan wadah kecil yang menyerupai peti mati ini, Langdon mulai
menggedor-gedor panik dengan kepalan tangannya. Berulang-ulang dia berteriak
minta tolong. Kengerian yang mencengkeranmya menjadi semakin mendalam dengan
berlalunya setiap detik, sampai tak tertahankan lagi.
Aku terkubur hidup-hidup.
Tutup peti mati aneh Langdon tidak bergerak sedikit pun, bahkan dengan kekuatan
penuh kedua lengan dan kakinya yang mendorong ke atas dengan kepanikan luar
biasa. Kotak itu, dari yang bisa diketahuinya, terbuat dari kaca-serat tebal.
Kedap-udara. Kedap-suara. Kedap-cahaya. Kedap-jalan-keluar. Aku akan kehabisan
napas sendirian di dalam kotak ini.
Dia mengingat sumur dalam tempatnya terjatuh semasa kecil, dan malam mengerikan
yang dihabiskannya dengan mengapung di air sendirian dalam kegelapan jurang
tanpa dasar. Trauma itu menodai kejiwaan Langdon, membebaninya dengan fobia luar
biasa terhadap ruang-ruang tertutup.
Malam ini, ketika terkubur hidup-hidup, Robert Langdon menjalani mimpi buruk
terakhirnya. Katherine Solomon gemetar dalam keheningan lantai ruang makan Mal'akh. Kawat
tajam di sekeliling pergelangan tangan dan kakinya sudah mengiris kulit, dan
gerakan terkecil pun tampaknya hanya akan mengencangkan ikatan-ikatannya.
Lelaki bertato itu telah membuat Langdon pingsan dengan brutalnya, lalu menyeret
tubuh lunglai Langdon melintasi ruangan bersama-sama dengan tas kulit dan
piramida batu itu. Katherine sama sekali tidak tahu ke mana mereka pergi. Agen
yang mendampingi mereka sudah mati. Katherine belum mendengar satu suara pun
selama bermenit-menit, dan dia bertanya-tanya apakah lelaki bertato itu dan
Langdon masih berada di dalam rumah. Dia mencoba untuk berteriak minta tolong,
tapi setiap upanyanya hanya membuat kain di mulutnya merayap secara membahayakan
mendekati saluran udaranya. .
Kini dia merasakan langkah kaki mendekat di lantai, dan dia menoleh, berharap
setengah mati bahwa seseorang datang untuk menolongnya. Siluet besar
penangkapnya muncul di lorong. Katherine terenyak ketika membayangkan lelaki itu
berdiri di ruang keluarganya sepuluh tahun lalu.
Dia membunuh keluargaku. Kini lelaki itu melenggang ke arahnya. Langdon tidak tampak di mana pun. Lelaki
itu berjongkok dan mencengkeram pergelangan tangan Katherine, lalu mengangkat
tubuhnya dengan kasar ke atas bahu. Kawat mengiris pergelangan tangan Katherine.
Tapi kain itu meredam teriakan kesakitannya. Lelaki itu membopongnya menyusuri
lorong menuju ruang tamu, tempat keduanya minum teh dengan tenang bersama-sama
siang tadi. Ke mana dia membawaku"!
Lelaki itu membawa Katherine melintasi ruang tamu dan langsung berhenti di depan
lukisan cat minyak The Three Graces yang dikagumi Katherine siang tadi.
"Kau bilang, kau menyukai lukisan ini," bisik lelaki itu dengan bibir nyaris
menyentuh telinga Katherine. "Aku senang. Mungkin itu benda terindah terakhir
yang kau lihat." Dengan perkataan itu, dia menjulurkan tangan dan menkankankan
telapak tangannya ke sisi kanan bingkai besar itu. Yang mengejutkan Katherine,
lukisan itu berputar ke dalam dinding, dan berputar pada sumbu tengah seperti
pintu- putar. Ambang pintu tersembunyi.
Katherine mencoba menggeliat-geliat membebaskan diri, tapi lelaki itu menahannya
dengan kuat, membopongnya melewati lubang di balik kanvas. Ketika The Three
Graces berputar menutup di belakang mereka, Katherine bisa melihat insulasi
tebal di bagian belakang kanvas. Suara apa pun yang mereka ciptakan di belakang
sini, tampaknya itu tidak dimaksudkan untuk didengar oleh dunia luar.
Ruang di balik lukisan itu sempit, lebih menyerupai lorong daripada ruangan.
Lelaki itu membopongnya ke ujung jauh dan membuka pintu tebal, membopongnya
melewati pintu menuju tempat berpijak kecil. Katherine mendapati dirinya
memandang rampa sempit menuju ruang bawah tanah yang dalam. Dia mengheIa napas
untuk berteriak, tapi kain itu mencekiknya.
Rampa itu curam dan sempit. Dinding di kedua sisinya terbuat dari semen,
bermandikan cahaya kebiruan yang tampaknya memancar dari bawah. Udara yang
melayang ke atas terasa hangat dan apak, penuh campuran bau yang mengerikan...
bau tajam zat-zat kimia, bau lembu tmenenangkan dupa, bau tanah, keringat
manusia, dan yang paling tajam, aura samar perasaan takut hewani.
"Ilmu pengetahuanmu mengesankanku," bisik lelaki itu ketika mereka mencapai
bagian bawah rampa. "Kuharap, ilmu pengetahuan-ku mengesankan-mu."[ ]
BAB 99 Agen lapangan CIA Turner Simkins berjongkok dalam kegelapan Taman Franklin dan
tetap memandang Warren Bellamy. Tak seorang pun terbujuk oleh umpan itu, tapi
memang terlalu dini. Alat komunikasi Simskins berbunyi, dan dia mengaktifkannya, berharap salah satu
orangnya sudah melihat sesuatu. Dengan Sato. Dia punya informasi baru.
Simkins mendengarkan dan mengiyakan kekhawatirannya.
"Tunggu," katanya. "Akan saya periksa apakah saya bisa menemukannya." Dia
merangkak melewati semak-semak tempatinya bersembunyi dan menginfip ke belakang
ke arah kedatangannya di lapangan. Setelah beberapa gerakan, akhirnya dia bisa
menemukan jalur penglihatan.
Astaga. Dia sedang menatap sebuah gedung yang menyerupai markas Dunia Lama. Diapit dua
gedung yang jauh lebih besar, bagian depan bangunan bergaya Moor itu terbuat
dari ubin terakota. Ubin kilau yang dipasang membentuk desain multiwarna rumit.
Di dekat ketiga pintu besarnya, dua tingkat jendela-meruncing tampaknya seakan
dijaga oleh para pemanah Arab yang siap muncul dan mulai menyerang seandainya
seseorang mendekat tanpa diundang.,,., "Saya melihatnya," kata Simkins.
"Ada aktivitas?"
"Tidak ada." "Bagus. Kau harus menempatkan kembali dirimu dan mengawasi gedung itu dengan
saksama. Namanya Ahnas Shrine Tempple, dan itu markas sebuah ordo mistis."
Simkins sudah lama bekerja di area DC, tapi tidak mengenal kuil ini atau ordo
mistis kuno apa pun yang bermarkas di Franklin Square.
"Gedung ini," ujar Sato, "milik sebuah kelompok bernama Ancient Arabic Order of
Nobles of the Mystic Shrine."
"Belum pernah mendengarnya."
"Kurasa sudah," ujar Sato. "Mereka organisasi di bawah Mason yang lebih dikenal
sebagai para Shriner."
Simkins melirik gedung berhias itu dengan ragu. Shriner" Orang-orang yang
mendirikan rumah sakit untuk anak-anak" Dia tidak bisa tnembayangkan adanya
"ordo" yang kedengarannya lebih tidak mengancam daripada kelompok persaudaraan
para filantrop berkopiah merah kecil yang berbaris dalam parade.
Walaupun demikian, kekhawatiran Sato beralasan. "Ma'am, jika sasaran kita menyadari bahwa gedung ini sesungguhnya adalah 'Ordo' di Franklin Square, dia tidak
perlu alamat. Dia akan melewati saja tempat pertemuan itu dan langsung menuju
lokasi yang tepat." "Tepat sekali dengan pemikiranku. Awasi pinta masuknya."
"Ya, Ma'am." "Ada kabar dari Agen Hartmann di Kalorama Heights?"
"Tidak, Ma'am. Anda memintanya untuk menelepon Anda langsung."
"Well, dia belum melakukannya."
Aneh, pikir Simkins seraya menengok arloji. Dia terlambat.
][ BAB 100 Robert Langdon berbaring menggigil, telanjang, dan sendiri dalam kegelapan
total. Lumpuh oleh ketakutan, dia tidak menggedor-gedor atau berteriak. Dia
malah memejamkan, dan berbuat sebisa mungkin untuk mengendalikan jantungnya yang
berdentam-dentam dan napas paniknya.
Kau berbaring di bawah langit malam yang luas, pikirnya, mencoba meyakinkan diri
sendiri. Tidak ada apa-apa di atasmu, kecuali berkilo-kilometer ruang yang
terbuka-lebar. Visualisasi menenangkan ini adalah satu-satunya cara yang
digunakan Langdon untuk mengatasi sebuah tugas di dalam MRItertutup baru-baru ni
.... Cara itu, dan dosis Valium tiga kali lipat. Akan tetapi, malam ini,
visualisasinya sama sekali tidak berpengaruh.
Kain di mulut Katherine Solomon telah bergeser ke belakang dan mencekiknya.
Penangkapnya membawanya menuruni rampa sempit dan memasuki koridor bawah-tanah
yang gelap. Di ujung lorong, Katherine melihat sebuah ruangan yang diterangi
lampu ungu kemerahan mengerikan, tapi mereka tidak pergi sejauh itu. Lelaki itu
malah berhenti di sebuah ruang-samping kecil, membopong Katherine ke dalam, dan
meletakkannya atas kursi kayu. Dia meletakkan Katherine dengan pergelangan
tangan terikat di belakang punggung kursi, sehingga perempuan itu tidak bisa
bergerak. Kini Katherine bisa merasakan kawat di pergelangan tangannya mengiris daging
lebih dalam. Rasa sakit itu nyaris tak disadarinya, dikalahkan oleh meningkatnya
kepanikan yang dirasakannya karena tidak bisa bernapas. Kain di mulutnya
meluncur lebih dalam ke tenggorokan, dan dia merasakan dirinya muntah secara
refleks. Penglihatannya mulai menyempit.
Di belakangnya, lelaki bertato itu menutup satu-satunya pintu di ruangan dan
menyalakan lampu. Katherine kini berurai air mata, dan dia tidak bisa lagi
membedakan benda- benda yang berada di sekelilingnya. Segalanya mengabur.
Visi terdistorsi daging berwarna-warni muncul di hadapan Katherine, dan dia
merasakan matanya mulai berkedip-kedip ketika hampir tidak sadarkan diri. Sebuah
lengan yang tertutup sisik terjulur dan menarik kain itu dari mulutnya.
Katherine terkesiap, menghela napas dalam-dalam, terbatuk-batuk dan tersedak
ketika paru-parunya dibanjiri udara yang berharga. Perlahan-lahan penglihatannya
mulai jelas, dan dia mendapati dirinya memandang wajah iblis. Itu nyaris bukan
wajah manusia. Pola menakjubkan simbol-simbol aneh yang ditatokan menyelimuti
leher, wajah, dan kepala plontos lelaki itu. Dengan perkecualian lingkaran kecil
di puncak kepala, setiap inci tubuhnya tampak dihiasi tato.
Phoenix besar berkepala-dua di dadanya menatap Katherine lewat mata puting,
menyerupai semacam burung bangkai rakus yang dengan sabar menunggu kematiannya.
"Buka mulutmu," bisik lelaki itu.
Katherine menatap monster itu dengan sangat jijik. Apa"
"Buka mulutmu," ulang lelaki itu. "Atau kain itu kembali disumpalkan."
Dengan gemetar, Katherine membuka mulut. Lelaki itu menjulurkan jari telunjuk
tebal bertatonya, memasukkannya di antara bibir Katherine. Ketika lelaki itu
menyentuh lidahnya, Katherine mengira dirinya akan muntah. Lelaki itu
mengeluarkan jari basahnya dan mengangkatnya ke puncak kepala plontosnya. Seraya
memejamkan mata, dia memijatkan air liur Katherine pada petak melingkar kecil
berupa daging tidak bertato itu.
Dengan jijik, Katherine memalingkan wajah.
Ruangan tempat dia duduk tampaknya semacam ruang uap - pipa-pipa di dinding,
suara berdeguk, lampu-lampu resens. Akan tetapi, sebelum Katherine bisa
mengamati keadaan di sekelilingnya, pandangannya langsung terpaku pada sesuatu
di sampingnya di lantai. Setumpuk pakaian - kaus turtleneck, sport wol, sepatu
kulit santai, arloji Mickey Mouse.
"Astaga!" Dia menoleh kembali, memandang hewan besar di hadapannya. "Apa yang
kau lakukan terhadap Robert?"
"Shh," bisik lelaki itu. "Nanti dia mendengarmu." Dia melangkah minggir dan
menunjuk ke belakang. Langdon tidak ada di sana. Katherine hanya melihat sebuah kotak kaca-serat hitam
besar. Bentuknya menggelisahkan, menyerupai peti berat tempat mayat dikirim
pulang dari perang. Dua penjepit besar mengunci kotak rapat-rapat.
"Dia di dalam"!" teriak Katherine. "Tapi ... dia akan kehabisan napas!"
"Tidak," ujar lelaki itu, seraya menunjuk serangkaian pipa transparan yang
memanjang di dinding dan masuk ke bagian bawah peti. "Dia hanya bisa berharap
dirinya kehabisan napas."
Dalam kegelapan total, Langdon mendengarkan dengan saksama getaran-getaran
teredam yang kini didengarnya dari dunia luar. Suara-suara" Dia mulai menggedor-
gedor kotak dan berteriak sekeras mungkin. "Tolong! Ada yang bisa mendengarku"!"
Dari kejauhan, sebuah suara teredam menjawab. "Robert! Tuhan, tidak! TIDAK!"
Langdon mengenal suara itu. Itu Katherine, dan dia kedengarannya ketakutan.
Walaupun demikian, Langdon menyambut suara itu dengan gembira. Dia menghela
napas untuk berteriak kepadanya.-" tapi langsung terdiam, merasakan sensasi yang
tak terduga di bagian belakang leher. Angin lembut tampaknya memancar dari adsar
kotak. Bagaimana mungkin" Dia berbaring tak bergerak, berpikir cermat. Ya,
pasti. Dia bisa merasakan rambut-rambut halus di bagian belakang lehernya mulai
digelitiki gerakan udara.
Secara insting, Langdon mulai meraba-raba di sepanjang lantai kotak, mencari
sumber udara. Hanya perlu sejenak untuk menemukannya. Ada saluran udara mungil!
Lubang- lubang kecil itu terasa seperti saringan wastafel atau bak mandi, tapi
angin lembut yang terus-menerus kini masuk melaluinya.
Dia memompakan udara ke dalam untukku. Dia tidak ingin aku kehabisan napas.
Kelegaan Langdon hanya sebentar. Sebuah suara mengerikan kini memancar lewat


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubang-lubang saluran udara. Tak salah lagi, itu deguk cairan yang mengalir ...
masuk ke dalam. Dengan tidak percaya, Katherine menatap aliran jernih cairan yang melewati salah
satu pipa menuju peti Langdon. Pemandangan itu menyerupai semacam pertunjukan
aneh tukang sulap. Dia memompakan air ke dalam peti"!
Katherine menarik ikatan tangannya, mengabaikan irisan mendalam kawat-kawat di
sekeliling pergelangan tangannya. Yang bisa dilakukannya hanyalah memandang
dengan panik. Dia bisa mendengar Langdon menggedor-gedor dengan putus asa. Tapi,
ketika air mencapai sisi bawah wadah, gedoran itu berhenti. Sejenak muncul
keheningan yang mengerikan. Lalu gedoran-gedoran itu dimulai kembali dengan
keputusasaan baru. "Keluarkan dia!" pinta Katherine. "Kumohon! Kau tidak bisa berbuat seperti ini!"
"Kau tahu, tenggelam adalah kematian yang mengerikan." Lelaki itu bicara dengan
tenang ketika berjalan berputar- putar mengelilingi Katherine. "Asisten-mu,
Trish, bisa menceritakannya kepadamu."
Katherine mendengar kata-kata lelaki itu, tapi nyaris tidak mampu mencernanya.
"Kau mungkin ingat bahwa aku pernah nyaris tenggelam," bisik lelaki itu. "Di
tempat kediaman keluargamu di Potomac. Kakakmu menembakku, dan aku jatuh
menembus es, dari jembatan Zach."
Katherine memelototinya dengan penuh kebencian. Di malam itu kau membunuh ibuku.
"Dewa-dewa melindungiku malam itu," katanya. "Dan mereka menunjukkan cara...
untuk menjadi salah satu dari mereka."
Air yang berdeguk ke dalam kotak di belakang kepala Langdon terasa hangat...
suhu tubuh. Cairan itu sudah beberapa lama di dalamnya dan sudah menelan seluruh
bagian belakang tubuh telanjangnya. Ketika cairan itu mulai merambat naik ke
tulang rusuk, Langdon merasakan kenyataan pahit yang menghampirinya dengan
cepat. Aku akan mati. Dengan kepanikan baru, dia mengangkat kedua lengannya dan mulai menggedor-gedor
panik kembali. BAB 101 "Kau harus mengeluarkannya!" pinta Katherine, yang kini menangis. "Kami akan
melakukan apa pun yang kau inginkan!" Dia bisa mendengar Langdon menggedor-gedor
semakin panik ketika air mengalir ke dalam peti.
Lelaki bertato itu hanya tersenyum. "Kau lebih gampang daripada kakakmu. Hal-hal
yang harus kulakukan untuk membuat Peter menceritakan semua rahasianya."
"Mana dia"!" desak Katherine. "Mana Peter"! Katakan! Kami telah berbuat persis
seperti yang kau inginlkan! Kami memecahkan kode piramida itu dan-"
"Tidak, kalian tidak memecahkan kode piramida itu. Kalian bermain-main. Kalian
menahan informasi dan membawa seorang agen pemerintah ke rumahku. Bukan perilaku
yang bisa kuhargai."
"Kami tidak punya pilihan," jawab Katherine, seraya menahan air mata. " CIA
mencarimu. Mereka menyuruh kami pergi dengan seorang agen. Akan kukatakan
semuanya. Keluarkan saja Robert!" Katherine bisa mendengar Langdon berteriak dan
menggedor-gedor peti, dan dia bisa melihat air mengalir melalui pipa. Dia tahu,
Langdon tidak punya banyak waktu.
Di hadapannya, lelaki bertato itu bicara dengan tenang sambil mengelus-elus
dagu. "Kurasa, ada agen-agen yang menungguku di Franklin Square?"
Katherine diam saja, dan lelaki itu meletakkan kedua telapak tangan besarnya di
masing-masing bahu Katherine, perlahan-lahan menariknya ke depan. Dengan kedua
lengan masih terikat kawat di belakang kursi, bahu Katherine menegang, terbakar
rasa sakit, mengancam hendak terlepas.
"'Ya!" teriak Katherine. "Ada agen-agen di Franklin Square!" Lelaki itu menarik
lebih keras. "Apa alamat di batu-puncak itu?"
Rasa sakit di pergelangan tangan dan bahu Katherine makin tak tertahankan, tapi
dia diam saja. "Kau bisa mengatakannya sekarang, Katherine, atau aku akan mematahkan kedua
lenganmu dan kembali bertanya."
"Delapan!" Katherine menghela napas kesakitan. Angka yang hilang adalah delapan!
Batu-puncak itu mengatkan, rahasianya tersembunyi di dalam Ordo - Franklin
Square Delapan. Aku bersumpah. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan
kepadamu! Franklin Square Delapan!"
Lelaki itu masih tidak melepaskan bahu Katherine.
"Hanya itu yang kuketahui!" ujar Katherine. "Itu alamatnya. Lepaskan aku!
Keluarkan Robert dari tangki!"
"Aku mau" kata lelaki itu, "tapi ada satu masalah. Aku tidak bisa pergi ke
Franklin Square Delapan tanpa tertangkap. Katakan, ada apa di alamat itu?"
"Aku tidak tahu!"
"Dan simbol-simbol di dasar piramida" Di sisi bawah ini. Kau tahu arti semua
itu?" "Simbol-simbol apa di dasarnya?" Katherine sama sekali tidak tahu lelaki itu
bicara apa. "Tidak ada simbol-simbol di bagian bawahnya. Hanya batu kosong
halus!" Lelaki bertato itu - yang tampaknya kebal terhadap teriakan-teriakan minta
tolong teredam yang berasal dari kotak mirip mati itu - dengan tenang berjalan
menghampiri tas Langdon dan mengeluarkan piramida batu. Lalu dia kembali kepada
memegangi benda itu di depan matanya, sehingga perempuan itu bisa melihat bagian
dasarnya. Ketika melihat simbol-simbol terukir itu, Katherine terkesiap.
Tapi ... itu mustahil! Bagian dasar piramida itu tertutup seluruhnya oleh ukiran rumit. Tidak ada apa-
apa di sana sebelumnya! Aku yakin itu! Dia sama sekali tidak tahu apa
kemungkinan artinya. Simbol- simbol itu tampaknya meliputi semua tradisi mistis,
termasuk banyak tradisi yang bahkan tidak diketahuinya.
Kekacauan total. "Aku ... tidak tahu apa artinya", kata Katherine.
"Begitu juga aku," ujar penangkapnya. "Untungnya, kita punya seorang spesialis
yang siap melayani." Dia melirik peti. " Ayo kita tanyakan kepadanya." Dia
membawa piramida itu ke peti.
Sejenak Katherine berharap penangkapnya itu akan membuka tutup peti. Tapi lelaki
itu malah duduk tenang di atas kotak, menjulurkan tangan ke bawah, dan menggeser
sebuah panel kecil, mengungkapkan jendela Plexiglas di atas tangki.
Cahaya! Langdon menutupi mata, memicing dalam berkas cahaya yang kini mengalir masuk
dari atas. Ketika matanya sudah menyesuaikan diri, harapannya berabah menjadi
kebingungan. Dia sedang memandang melalui sesuatu yang tampaknya adalah jendela
di atas peti. Melalui jendela itu, dia melihat langit-langit putih dan lampu
fluoresens. Tanpa disertai peringatan, wajah bertato muncul di atasnya, mengintip ke bawah.
"Mana Katherine"!" teriak Langdon. "Keluarkan aku!"
Lelaki itu tersenyum. "Temanmu Katherine ada di sini bersamaku," jawabnya. "Aku
punya kekuasaan untuk menyelamatkan hidupnya. Dan hidupmu juga. Tapi waktumu
singkat, jadi kusarankan agar kau mendengarkan dengan cermat."
Langdon nyaris tidak bisa mendengar lelaki itu melalui kaca dan air sudah naik
semakin tinggi, merayapi dadanya.
"Sadarkah kau," tanya lelaki itu, "bahwa di dasar piramida itu ada simbol-
simbol?" "Ya!" teriak Langdon, setelah melihat susunan banyak simbol ketika piramida itu
tergeletak di lantai ruang atas. "Tapi aku sama sekali tidak tahu artinya! Kau
harus pergi ke Franklin Square Delapan! Jawabannya ada di sana! Itulah yang
dikatakan oleh puncak-"
"Profesor, kau dan aku sama-sama tahu kalau CIA menungguku di sana. Aku tidak
ingin berjalan memasuki perangkap. Lagi aku tidak perlu nomor jalanannya. Hanya
ada satu gedung di lapangan itu yang kemungkinan relevan - Almas Shrine." Dia
terdiam, menunduk menatap Langdon.
"The Ancient Arabic Order of Nobles of the Mystic Shrine." Langdon bingung. Dia
mengenal Almas Temple, tapi sudah lupa kalau letaknya di Franklin Square.
Shriner adalah "Ordo?" Kuil mereka terletak di atas tangga rahasia" Secara
historis sama sekali tidak masuk akal, tapi saat ini Langdon tidak bisa
memperdebatkan sejarah. "Ya!" teriaknya. "Mestinya itu! Rahasianya tersembunyi
dalam Ordo!" "Kau mengenal gedung itu?"
"Pasti!" Langdon mengangkat kepalanya yang berdenyut- denyut agar telinganya
tetap berada di atas cairan yang naik dengan cepatnya itu. "Aku bisa membantumu!
Keluarkan aku!" "Jadi, kau yakin bisa mengatakan kepadaku apa hubungan kuil ini dengan simbol-
simbol di dasar piramida?"
"Ya! Biarkan aku melihat simbol-simbolnya!"
"Baiklah kalau begitu. Ayo kita lihat apa yang bisa kau temukan."
Cepat. Dengan cairan hangat yang semakin tinggi di sekelilingnya, Langdon
mendorong tutup peti, berharap lelaki itu membukanya. Kumohon! Cepat! Tapi
tutupnya tidak pernah terbuka. Bagian dasar piramida itu malah mendadak muncul,
melayang di atas jendela Plexiglas.
Langdon menatap dengan panik.
"Aku yakin pemandangan ini cukup dekat untakmu." Lelaki itu memegangi piramida
dengan kedua tangan bertatonya.
"Berfikirlah cepat, Profesor. Kurasa, waktumu kurang dari enam puluh detik."
BAB 102 Robert Langdon sering mendengar perkataan bahwa hewan jika dipojokkan, mampu
mengerahkan kekuatan yang ajaib. Walaupun demikian, ketika dia mengerahkan
seluruh kekuatannya ke sisi bawah peti, sama sekali tidak ada yang bergerak. Di
sana cairan terus naik dengan mantap. Tanpa lebih dari enam inci ruang bernapas
yang tersisa, Langdon mengangkat kepala ke dalam kantong udara yang masih ada.
Dia kini berhadapan dengan jendela Plexiglass, dan matanya hanya berjarak
beberapa inci dari sisi bawah piramida berukiran membingungkan yang melayang di
atasnya. Aku sama sekali tidak tahu apa artinya.
Tersembunyi selama lebih dari satu abad di bawah campuran lilin dan serbuk batu
keras, inskripsi terakhir Piramida Mason itu kini terekspos. Ukirannya berupa
kisi persegi empat sempurna yang berisi simbol-simbol dari semua tradisi yang
bisa dibayangkan alkimia, astrologis, heraldik, angelik, sihir, numerik,
sigifilk , Yunani, Latin. Secara keseluruhan, ini merupakan anarki simbolis -
semangkuk sup alfabet yang huruf-hurufnya berasal dari lusin bahasa, kebudayaan,
dan periode waktu yang berbeda.
Kekacauan total. Simbolog Robert Langdon, dalam interpretasi-interpretasi akademik terliarnya
tidak bisa memahami bagaimana kisi simbol-simbol ini bisa dipecahkan agar
memiliki arti. Keteraturan dari kekacauan ini" Mustahil.
Cairan itu kini merayap ke jakun, dan Langdon bisa merasakan kengeriannya
meningkat seiring dengan peningkatan cairan. Dia terus menggedor-gedor tangki.
Piramida itu menatap balik, dan mengejeknya.
Dalam keputusasaan dan kepanikan, Langdon memusatkan sernua energi pikirannya
pada papan-catur berisi simbol- simbol itu. Apa kemungkinan artinya" Sayangnya,
kumpulan itu tampak begitu berlainan, sehingga dia bahkan tidak bisa
membayangkan harus memulai dari mana. Simbol-simbol itu bahkan tidak berasal
dari era yang sama dalam sejarah!
Di luar tangki, dengan suara teredam tapi masih bisa didengar, Katherine
kedengarannya memohon sambil menangis agar Langdon dilepaskan. Walaupun gagal
menemukan pemecahan, prospek kematian tampaknya memotivasi setiap sel dalam
tubuh Langdon untuk mencari pemecahan itu. Dia merasakan kejelasan pikiran yang
aneh, tidak menyerupai segala yang pernah dialaminya. Berpikirlah! Dia meneliti
kisi dengan serius, mencari semacam petunjuk- pola, kata tersembunyi, ikon
khusus, apa pun - tapi dia hanya melihat kisi berisi simbol-simbol yang tidak
berhubungan. Kekacauan. Dengan setiap detik yang berlalu, Langdon mulai merasa tubuhnya dikuasai
perasaan mati-rasa yang mengerikan. Seakan dagingnya sendiri siap melindungi
pikiran dari sakitnya kematian. Air kini mengancam hendak mengalir ke dalam
telinga, dan Langdon mengangkat kepala setinggi mungkin, mendesakkannya ke atas
peti. Gambar-gambar mengerikan mulai melintas di depan matanya. Seorang anak
laki-laki di New England mengapung di air di dasar sumur gelap. Seorang lelaki
di Roma terperangkap di bawah kerangka di dalam peti mati terbalik. Teriakan-
teriakan Katherine terdengar semakin panik. Dari yang bisa didengar Langdon,
Katherine sedang mencoba meyakinkan orang gila itu - bersikeras bahwa Langdon
tidak bisa diharapkan untuk memecahkan kode piramida tanpa mengunjungi Ancient
Temple. "Gedung itu jelas menyimpan bagian yang hilang teka-teki ini! Bagaimana
Robert bisa memecahkan kode piramida tanpa semua informasi itu"!"
Langdon menghargai semua upaya Katherine, tetapi dia menjadi yakin bahwa
"Franklin Square Delapan" tidak menunjuk ke alamat ... Temple. Zamannya benar-
benar berbeda! Menurut legenda, Piramida Mason diciptakan pada pertengahan 1800-
an, bahkan berdekatan dekade sebelum keberadaan para Shriner. Sesungguhnya,
Langdon menyadari bahwa piramida itu dibuat mungkin bahkan sebelum lapangan itu
disebut Franklin Square. Batu-puncak itu tidak mungkin menunjuk ke sebuah gedung
yang belum dibangun di alamat yang tidak ada. Apa pun yang ditunjukkan oleh
"Franklin Square Delapan" ... gedung itu harus ada pada 1850.
Sayangnya, pikiran Langdon benar-benar kosong.
Dia menggali bank ingatannya untuk mencari apa pun yang kemungkinan cocok dengan
urutan waktunya. Franklin Square Delapan" Sesuatu yang sudah ada pada 1850"
Langdon tidak menemukan apa-apa. Kini cairan itu menetes ke dalam telinga-nya.
Ia memerangi ketakutan, menatap kisi simbol- simbol pada kaca. Aku tidak
memahami hubungannya! Dalam luapan ketakutan yang luar biasa, benaknya mulai
memikirkan semua perbandingan sejauh apun pun yang bisa ditemukan. Franklin
Square Delapan ... squares (persegi empat) ... kisi simbols-imbol ini berbentuk
persegi empat... persegi empat dan kompas adalah simbol Mason... altar Mason
berbentuk persegi empat... persegi empat punya sudut-sudut sembilan puluh
derajat. Air naik terus, tapi Langdon memblokirnya.
Franklin Delapan ... delapan ... kisi ini delapan, kali-delapan ... Franklin
terdiri dari delapan huruf... "The Order (Ordo)" terdiri dari delapan huruf... 8
adalah simbol tegak oo untuk tak terhingga... delapan adalah angka penghancuran
dalam numerologi... Langdon sama sekali tidak tahu.
Di luar tangki, Katherine masih memohon, tapi pendengaran Langdon kini terputus-
putus ketika air berkecipak di sekeliling kepalanya.
"...mustahil tanpa mengetahui... pesan batu-puncak itu dengan jelas... rahasianya
tersembunyi di dalam-"
Lalu suara Katherine menghilang.
Air mengalir ke dalam telinga Langdon, memblokir perkataan terakhir perempuan
itu. Keheningan mendadak yang terasa seperti di dalam rahim menelan Langdon, dan
dia menyadari dirinya benar-benar akan mati.
Rahasianya tersembunyi di dalam Kata-kata terakhir Katherine menggema melalui
keheningan kuburannya. Rahasianya tersembunyi di dalam ....
Anehnya, Langdon menyadari bahwa dia pernah mendengar kata-kata yang persis sama
ini banyak kali sebelumnya.
Rahasianya tersembunyi ... di dalam.
Bahkan sekarang pun, tampaknya Misteri Kuno sedang mengejeknya. "Rahasianya
tersembunyi di dalam" adalah ajaran inti misteri itu, mendesak umat manusia
untuk tidak mencari Tuhan di dalam surga di atas sana... tapi di dalam diri
mereka sendiri. Rahasianya tersembunyi di dalam. Itu pesan dari semua guru
mistik besar. Kerajaan Allah ada di dalammu, kata Yesus Kristus.
Kenali dirimu sendiri, kata Pythagoras.
Tidak tahukah kau bahwa kau adalah tuhan, kata Hermes Trismegistus.
Daftarnya terus berlanjut Semua ajaran mistis berabad-abad telah berupaya
mengungkapkan gagasan yang satu ini. Rahasianya tersembunyi di dalam, Walaupun
demikian, umat manusia terus memandang ke atas untuk mencari wajah Tuhan.
Bagi Langdon, kesadaran ini kini menjadi ironi tertinggi. Saat ini, dengan mata
menghadap langit seperti semua manusia sebelum dirinya, Robert Langdon mendadak
melihat cahaya. Cahaya itu menghantamnya bagaikan halilintar dari atas.
The secret hides within The Order Eight Franklin Square Dalam sekejap dia mengerti.
Pesan di batu-puncak itu mendadak sangat jelas. Maknanya sudah berada di
depannya sepanjang malam. Teks di batu- puncak, seperti Piramida Mason itu
sendiri, adalah symbolon - kode terpecah-pecah - pesan yang ditulis dalam
beberapa bagian batu-puncak itu dikamuflase dengan cara begitu sederhana,
sehingga Langdon nyaris tidak percaya dia dan Katherine tidak melihatnya.
Yang lebih menakjubkan, kini Langdon menyadari bahwa pesan di batu-puncak itu


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang mengungkapkan dengan tepat cara memecahkan kode kisi simbol-simbol di
dasar piramida. Teramat sangat sederhana. Persis seperti yang dijanjikan Peter
Solomon, batu-puncak emas itu adalah jimat ampuh dengan kekuatan untuk
mendatangkan keteraturan dari kekacauan.
Langdon mulai menggedor-gedor tutup peti dan berteriak, "Aku tahu! Aku tahu!"
Di atasnya, piramida batu terangkat dan melayang pergi, dan sebagai gantinya,
wajah bertato itu muncul kembali, raut wajah mencekamnya menatap melalui jendela
kecil. "Aku berhasil memecahkannya!" teriak Langdon. "Keluarkan aku!"
Ketika lelaki bertato itu bicara, telinga Langdon yang terendam tidak mendengar
apa-apa. Akan tetapi, matanya melihat bibir itu mengucapkan sepatah kata.
"Katakan." "Ya!" teriak Langdon, Air hampir mencapai matanya, "Keluarkan akul Akan
kujelaskan semuanya. Begitu sederhana."
Bibir lelaki itu kemball bergerak-gerak. "Katakan sekarang... atau mati."
Dengan air naik sampai ke inci terakhir ruang udara, Langdon mondongakkan kepala
agar mulutnya tetap berada di atas batas itu. Ketika dia melakukannya, cairan
hangat mengaliri matanya, mengaburkan penglihatannya. Dengan melengkungkan
punggung, dia menekankan mulut pada jendela Plexiglas.
Lalu, dengan beberapa detik terakhir udara, Robert Langdon mengungkapkan rahasia
pemecahan kode Piramida Mason.
Ketika dia selesai bicara, cairan naik ke sekeliling bibirnya.
Secara insting, Langdon menghela napas terakhir dan menutup mulut rapat-rapat.
Sejenak kemudian, cairan itu menutupi seluruh tubuhnya, menjangkau bagian atas
kuburannya dan menyebar di seluruh Plexiglas.
Dia berhasil, pikir Mal'akh menyadari. Langdon menemukan cara memecahkan kode
piramida. Jawabannya begitu sederhana. Begitu jelas terlihat.
Di bawah jendela, wajah terendam Robert Langdon menatapnya dengan mata memohon
dan putus asa. Mal'akh menggeleng-gelengkan kepala kepadanya dan mulutnya berkomat-kamit
mengucapkan: "Terima kasih, Profesor. Selamat menikmati kehidupan di alam
Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 2 Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie Kisah Para Pendekar Pulau Es 20
^