Kill Mocking Bird 2
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee Bagian 2
pesawat pos tujuh belas kali, sudah pernah ke Nova Scotia, pernah melihat gajah,
dan kakeknya adalah Brigadir Jenderal Joe Wheeler yang mewariskan pedangnya
kepada Dili. "Kalian diamlah," kata Jem. Dia berlari ke kolong rumah dan keluar membawa
tongkat bambu kuning. "Kira-kira ini cukup panjang tidak, ya, untuk menjangkau
dari trotoar?" "Orang yang cukup berani mendekati dan menyentuh rumah mestinya tak perlu pakai
tongkat pancing," kataku. "Kenapa tidak kamu dobrak saja pintu depannya?"
"Ini be da," kata Jem, "aku harus bilang berapa kali?"
Dili mengambil sehelai kertas dari saku dan memberikannya kepada Jem. Kami
bertiga berjalan dengan hati-hati ke rumah tua itu. Dili menunggu di tiang lampu
di pojok halaman depan, sedangkan aku dan Jem menyusuri trotoar yang sejajar
dengan sisi rumah. Aku berjalan lebih jauh daripada Jem dan berdiri di tempat
yang memungkinkan untuk melihat melewati tikungan.
"Kosong," kataku. "Aku tak melihat siapa-siapa." Jem menoleh kepada Dili, yang
mengangguk. Jem memasang surat pada ujung tongkat pancing, menjulurkan tongkat melintasi
halaman dan mendorongnya ke arah jendela yang sudah dipilihnya. Tongkat itu
terlalu pendek beberapa inci. Jem membungkuk sejauh mungkin. Aku mengamati dia
menyodok-nyodok begitu lama, akhirnya kutinggalkan posku dan menghampirinya.
"Suratnya tak mau lepas dari tongkat," gerutunya, "kalaupun bisa dilepaskan,
surat ini tak mau menempel. Kembalilah ke jalan, Scout."
Aku kembali dan mengamati tikungan jalan yang kosong. Sesekali aku menoleh
kembali kepada Jem, yang dengan sabar mencoba meletakkan surat itu di kosen jendela. Surat itu
berkali-kali melayang ke tanah dan Jem menusuknya lagi, sampai-sampai aku
berpikir bahwa andai Boo Radley akhirnya menerimanya, dia tak akan bisa
membacanya. Aku sedang memandangi jalan ketika lonceng makan berbunyi.
Dengan bahu terangkat, aku memutar, bersiap-siap menghadapi Boo Radley dan
taringnya yang berdarah-darah; alih-alih kulihat Dili membunyikan lonceng sekuat
tenaga di depan wajah Atticus.
Jem kelihatan kacau sekali, sehingga aku tak tega mengatakan, aku bilang apa.
Dia menyeret kakinya, menyeret tongkat di belakangnya pada trotoar.
Kata Atticus, "Hentikan bunyi lonceng itu." Dili berhenti membunyikan lonceng
itu; dalam keheningan yang menyusul, aku ingin sekali dia mulai membunyikannya
lagi. Atticus mendorong topinya ke belakang kepala dan meletakkan tangannya di
pinggang. "Jem," katanya, "kau sedang apa?" "Tidak ada apa-apa, Sir." "Aku tak
mau dengar itu. Ceritakan." "Aku hanya kami hanya mencoba memberikan sesuatu
kepada Mr. Radley." "Kau sedang mencoba memberikan apa kepadanya?"
"Hanya surat." "Coba kulihat." Jem menyodorkan secarik kertas kotor. Atticus
mengambilnya dan mencoba membacanya. "Mengapa kau ingin Mr. Radley keluar?"
Kata Dili, "Barangkali dia senang kalau bertemu dengan kami ..." dan berhenti
ketika Atticus menoleh padanya.
"Nak," katanya kepada Jem. "Aku akan mengatakan sesuatu padamu dan hanya sekali:
jangan menyiksa lelaki itu lagi. Ini juga berlaku untuk kalian berdua."
Apa pun yang dilakukan Mr. Radley adalah urusannya. Kalau dia ingin keluar, dia
akan keluar. Kalau dia ingin tinggal di dalam rumahnya sendiri, dia berhak
tinggal di dalam tanpa diusik oleh anak-anak yang ingin tahu, yang merupakan
istilah untuk menyebut anak-anak seperti kami. Apakah kami suka kalau Atticus
masuk begitu saja tanpa mengetuk, saat kami sedang di kamar malam-malam" Kami
sebenarnya melakukan hal yang sama kepada Mr. Radley. Perbuatan Mr. Radley
mungkin tampak aneh bagi kita, tetapi tidak aneh baginya. Lagi pula, pernahkah
kami terpikir bahwa cara yang sopan untuk berkomunikasi dengan orang lain adalah
melalui pintu depan, bukannya jendela samping" Terakhir, kami harus menjauhi
rumah itu sampai kami diundang ke sana, kami tak boleh melanjutkan sandiwara
konyol yang dia lihat kami mainkan atau mengejek siapa pun di jalan ini atau di
kota ini. "Kami tidak mengejek dia, kami tidak menertawakan dia," kata Jem, "kami hanya"
"Jadi itu yang kaulakukan waktu itu, ya?"
"Mengejeknya?" "Bukan," kata Atticus, "mempertontonkan sejarah hidupnya untuk menghibur para
tetangga." Jem tampak sedikit marah. "Aku tak pernah bilang kami melakukan itu, aku tidak
bilang begitu!" Atticus menyeringai. "Kau baru saja bilang," katanya. "Hentikan omong kosong ini
sekarang juga, kalian semua."
Jem melongo. "Kau ingin jadi pengacara, bukan?" Bibir ayahku tampak aneh, seolah-olah dia
mencoba mengendalikan bibirnya untuk menunjukkan ketegasan.
Jem memutuskan tak ada gunanya berdalih, dan terdiam. Ketika Atticus masuk ke
rumah untuk mengambil berkas yang terlupa dibawa ke kantor pagi itu, Jem
akhirnya sadar bahwa dia tertipu oleh muslihat pengacara yang paling kuno. Dia
menunggu dengan jarak yang cukup terhormat dari tangga depan, menyaksikan
Atticus meninggalkan rumah dan berjalan ke arah kota. Saat Atticus sudah tak
dapat mendengar kami, Jem berteriak, "Tadinya kupikir aku ingin jadi pengacara,
tapi sekarang aku tidak yakin lagi!"
Enam Boleh," kata ayah kami, ketika Jem meminta izin untuk berkunjung dan duduk-duduk
di tepi kolam ikan Miss Rachel bersama Dill, karena ini malam terakhirnya di
Maycomb. "Sampaikan selamat jalanku untuknya, dan sampai ketemu lagi musim panas
tahun depan." Kami melompati dinding rendah yang memisahkan halaman Miss Rachel dengan jalan
masuk rumah kami. Jem menyiulkan kicau burung puyuh dan Dili menyahut dalam
kegelapan. "Jangan mengembuskan sedikit napas pun," kata Jem. "Lihat ke sana."
Dia menunjuk ke timur. Bulan raksasa sedang naik di balik pohon kacang pecan
Miss Maudie. "Bulannya jadi kelihatan lebih panas," katanya.
"Malam ini ada salibnya tidak?" tanya Dili tanpa mendongak. Dia sedang membuat
rokok mainan dari koran dan tali.
"Tidak, hanya ada perempuan yang biasa. Jangan dinyalakan, Dili, nanti seluruh
bagian kota ini bau."
Ada bayangan perempuan di bulan di Maycomb. Dia duduk di depan meja rias sambil
menyisir rambut. "Kami nanti pasti merindukanmu, Teman," kataku. "Mungkin sebaiknya kita
mengamati Mr. Avery?"
Mr. Avery tinggal di seberang jalan rumah Mrs. Henry Lafayette Dubose. Selain
menyumbang receh di piring sumbangan setiap Minggu, Mr. Avery duduk di beranda
hingga pukul sembilan setiap malam dan bersin-bersin. Pada suatu sore, kami
mendapat hak istimewa untuk menyaksikan pertunjukannya, yang sepertinya
merupakan pertunjukan terakhirnya, karena dia tak pernah lagi melakukannya
selama kami mengamatinya. Aku dan Jem sedang meninggalkan tangga depan Miss
Rachel pada suatu malam, ketika Dili menghentikan kami, "Golly, lihat ke sana!"
Dia menunjuk ke seberang jalan. Mula-mula kami tak melihat apa-apa selain
beranda yang tertutupi tanaman kudzu, tetapi setelah mengamati lebih dekat kami
bisa melihat air melengkung turun dari dedaunan dan menciprat pada lingkaran
kuning lampu jalan, sekitar tiga meter dari sumbernya ke tanah; begitu yang
terlihat oleh kami. Kata Jem, Mr. Avery salah perhitungan, kata Dili, dia tentu
minum segalon sehari, lalu terjadilah adu hebat untuk menentukan jarak relatif
dan keahlian masing-masing, yang hanya membuatku merasa tersisih lagi, karena
aku tak punya bakat dalam bidang ini.
Dili menggeliat, menguap, lalu berkata dengan terlalu santai, "Aku tahu, ayo
kita jalan-jalan." Menurutku, suaranya terdengar mencurigakan. "Tak ada orang di Maycomb yang
jalan-jalan tanpa tujuan. Mau ke mana kita, Dili?"
Dili menganggukkan kepalanya ke arah selatan.
Kata Jem, "Oke." Waktu aku protes, dia berkata dengan manis, "Kau tak harus
ikut, Angel May." "Kau tak harus pergi. Ingat" Jem bukan orang yang suka mengingat-ingat kegagalan
masa lalu: agaknya, satu-satunya pesan yang dia terima dari Atticus adalah
pengetahuan tentang pemeriksaan silang. "Scout, kita tak akan melakukan apa-apa,
kita hanya akan ke lampu jalan, lalu kembali."
Kami berjalan dalam sunyi di trotoar, mendengarkan ayunan-ayunan beranda
berkeriat-keriut menahan beban lingkungan kami, mendengarkan gumam-malam lembut
dari orang-orang dewasa di jalan kami. Sesekali kami mendengar Miss Stephanie
Crawford tertawa. "Jadi?" kata Dili.
"Oke," kata Jem. "Kau pulang duluan saja, Scout."
"Kau mau apa?" Dill dan Jem hanya ingin mengintip lewat jendela yang daunnya
terlepas untuk mengetahui apakah mereka bisa melihat Boo Radley, dan kalau aku
tidak ingin ikut dengan mereka, aku boleh langsung pulang dan menutup mulut
besarku, itu saja. "Tapi kenapa juga kalian harus menunggu sampai malam ini?"
Karena tak ada yang dapat melihat mereka malam ini, karena Atticus akan begitu
tenggelam dalam buku sehingga tak akan mendengar walaupun hari kiamat telah
datang, karena jika Boo Radley membunuh mereka, mereka hanya kehilangan sekolah
bukan kehilangan liburan, dan karena lebih mudan melihat ke dalam rumah yang
gelap dalam kegelapan daripada di siang hari, aku mengerti tidak" "Jem, tolong"
"Scout, kuberi tahu untuk terakhir kalinya, tutup mulut atau pulang memang
benar, makin lama kau makin mirip anak perempuan!"
Karena itu, aku tak punya pilihan kecuali bergabung. Kami berpikir lebih baik
masuk lewat kolong pagar-kawat tinggi di belakang tanah Radley, lebih kecil
kemungkinan kami akan terlihat. Pagar itu mengelilingi taman besar dan bilik
kakus sempit yang terbuat dari kayu.
Jem mengangkat kawat paling bawah dan mengisyaratkan agar Dili masuk melalui
kolong itu. Aku mengikuti, dan mengangkat kawat untuk Jem. Baginya, kolong itu
agak sempit. "Jangan bersuara," bisiknya. "Apa pun yang kaulakukan, jangan
menginjak petak sawi, bunyinya bisa membangunkan orang mati."
Sambil mengingat ini, aku mungkin hanya melangkah satu kali dalam satu menit.
Aku bergerak lebih cepat ketika melihat Jem jauh di depan memanggil dalam sinar
bulan. Kami tiba di gerbang yang memisahkan kebun dari halaman belakang. Jem
menyentuhnya. Gerbang itu mendecit. "Ludahi saja," bisik Dili. "
"Kamu bikin kita terperangkap, Jem," gerutuku. "Tak akan gampang keluar dari
sini." "Sst. Ludahi, Scout." Kami meludah sampai mulut kami kering, dan Jem membuka
gerbang perlahan, mengangkatnya ke samping dan menyandarkannya pada pagar. Kami
memasuki halaman belakang.
Bagian belakang rumah Radley lebih tidak menarik daripada bagian depannya: ada
dua pintu dan dua jendela gelap di antara kedua pintu itu. Alih-alih pilar, kayu
kasar menyokong salah satu ujung atap. Kompor Franklin tua teronggok di sudut
teras; di atasnya, cermin gantungan-topi menangkap cahaya bulan dan bersinar
mengerikan. "Aduh," kata Jem lirih, mengangkat kakinya.
"Kenapa?" "Ayam," desahnya. Kemungkinan kami harus menghindari makhluk yang tak terlihat
dari segala arah dipertegas ketika Dili yang berada di depan kami berbisik
mengeja T-u-h-a-n. Kami merayap ke samping rumah, mengitarinya sampai ke jendela
yang salah satu engselnya terlepas. Kosennya beberapa inci lebih tinggi daripada
Jem. "Kubantu kau naik," bisiknya kepada Dili. "Tapi tunggu." Jem memegang
pergelangan tangan kirinya dan pergelangan tangan kananku, aku memegang
pergelangan tangan kiriku dan pergelangan tangan Jem, kami berjongkok, dan Dili
duduk di pelana yang kami buat. Kami mengangkatnya dan dia menggapai kosen
jendela. "Cepat," bisik Jem, "kami tak bisa menahanmu lama-lama."
Dili menonjok bahuku, dan kami menurunkannya ke tanah.
"Apa yang bisa kaulihat?"
"Tidak ada. Tirai. Tapi ada cahaya kecil sekali di dalam sana."
"Ayo kita pergi," Jem mendesah. "Ayo memutar lagi. Sst," dia memperingatkanku
sewaktu aku hendak protes.
"Ayo kita coba jendela belakang."
"Dili, jangan," kataku. Dili berhenti dan membiarkan Jem mendahului. Waktu Jem
meletakkan kakinya pada anak tangga terbawah, tangganya berdecit. Dia berdiri
diam, lalu memindahkan berat badannya secara bertahap. Tangga itu tak berbunyi.
Jem melompati dua anak tangga, meletakkan kakinya di teras, mengangkat tubuhnya
ke situ, dan berayun cukup lama. Dia memperoleh kembali keseimbangannya dan
berlutut. Jem merangkak ke jendela, mengangkat kepalanya, dan mengintip ke
dalam. Lalu, kulihat bayangan itu. Bayangan lelaki bertopi. Mula-mula kusangka bayangan
pohon, tetapi tak ada angin bertiup, dan batang pohon tak pernah berjalan. Teras
belakang bermandikan cahaya bulan, dan bayangan itu, tampak begitu nyata,
melintasi teras ke arah Jem.
Kemudian, Dili melihatnya. Dia menempelkan tangannya ke wajahnya.
Ketika bayangan itu melintasi Jem, Jem melihatnya. Dia menaruh lengannya di atas
kepala dan tubuhnya menjadi kaku.
Bayangan itu berhenti sekitar satu kaki setelah melewati Jem. Tangannya bergerak
ke samping, kembali lagi, lalu diam. Lalu, dia berbalik dan kembali
melewati Jem, berjalan melintasi teras, dan menghilang di sisi rumah, secepat
kedatangannya. Jem melompat dari teras dan berlari ke arah kami. Dia menghempaskan gerbang
hingga terbuka, menuntun Dili dan aku melewatinya, dan menggiring kami di antara
dua petak sawi. Setelah melewati setengah barisan sawi, aku tersandung; saat
itulah bunyi tembakan meledak membelah lingkungan kami.
Dill dan Jem menukik di sampingku. Napas Jem tersendat-sendat, "Pagar di dekat
halaman sekolah! cepat, Scout!"
Jem menahan kawat terbawah; aku dan Dili berguling lewat dan sudah setengah
jalan menuju naungan satu-satunya pohon di halaman sekolah saat kami menyadari
bahwa Jem tidak ada bersama kami.
Kami berlari kembali dan menemukannya bergulat di pagar, berusaha melepaskan
celana panjangnya untuk melepaskan diri. Dia berlari ke pohon ek hanya
mengenakan celana pendek.
Setelah merasa aman berlindung di balik pohon, kami tidak bisa merasakan apa-
apa, tetapi benak Jem berpacu, "Kita harus pulang, orang-orang akan mencari
kita." Kami berlari melintasi halaman sekolah, merangkak di kolong pagar dan menuju ke
arah Deer's Pasture di belakang rumah kami, memanjat pagar belakang rumah, dan
sudah berada di tangga belakang, ketika Jem membolehkan kami berhenti untuk
beristirahat. Setelah kembali bernapas normal, kami bertiga berjalan sebiasa mungkin menuju
halaman depan. Kami memandang ke ujung jalan dan melihat tetangga berkerumun di
gerbang depan Radley. "Sebaiknya kita ke sana," kata Jem. "Mereka pasti merasa aneh kalau kita tak
muncul." Mr. Nathan Radley sedang berdiri di balik gerbang, menimang senapan patah.
Atticus berdiri di samping Miss Maudie dan Miss Stephanie Crawford. Miss Rachel
dan Mr. Avery berdiri di dekat mereka. Tak ada yang melihat kami mendekat.
Kami menyelip di sebelah Miss Maudie, yang melihat ke sekeliling. "Kalian ke
mana saja, tidak dengar keributan ini?"
"Ada apa?" tanya Jem.
"Mr. Radley menembak seorang Negro yang menyelinap di kebun sawinya."
"Oh. Apakah tembakannya kena?"
"Tidak," kata Miss Stephanie. "Dia menembak ke udara. Tapi dia berhasil
membuatnya ketakutan sampai pucat. Katanya, jika ada yang melihat nigger
berkulit putih, itulah orangnya. Katanya, dia punya satu peluru lagi yang
menunggu suara berikutnya yang terdengar di kebun itu, dan kali berikutnya dia
tak akan menembak ke atas, baik itu anjing, nigger, atau Jem Finch1."
"Ma'am?" tanya Jem. Atticus berbicara. "Mana celanamu, Nak?"
"Celana, Sir?" "Iya, celana." Tak ada gunanya. Jem mengenakan celana pendek di depan Tuhan dan
semua orang. Aku menghela napas. "Ah Mr. Finch?"
Dari silaunya cahaya lampu jalan, kulihat Dili menyusun dusta: matanya melebar,
wajah montoknya yang bagaikan malaikat semakin membulat. "Ada apa, Dili?" tanya
Atticus. "Ah saya memenangkannya dari dia," katanya samar.
"Memenangkannya" Bagaimana caranya?"
Tangan Dili menggapai belakang kepalanya. Dia membawanya ke depan dan melintasi
keningnya. "Kami bermain kartu strip poker di dekat kolam ikan sana," katanya.
Aku dan Jem menjadi tenang. Para tetangga tampak puas: tubuh mereka tampaknya
menjadi kaku. Tapi strip poker itu apa"
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami tak sempat mencari tahu; Miss Rachel meledak seperti sirene pemadam
kebakaran kota, "Do-o-o Yee-sus, Dill Harris! Berjudi di tepi kolam ikanku! Akan
ku-strippoker kamu, Nak!"
Atticus menyelamatkan Dili dari pembantaian seketika, "Sebentar, Miss Rachel,"
katanya. "Saya belum pernah mendengar mereka melakukan itu. Kalian semua bermain
kartu?" Jem mengulur umpan Dili dengan mata tertutup, "Tidak, Sir, hanya dengan korek
api." Aku mengagumi kakakku. Korek api memang berbahaya, tetapi kartu berakibat fatal.
"Jem, Scout," kata Atticus. "Aku tak mau lagi mendengar poker dalam bentuk apa
pun. Mampirlah di rumah Dili dan ambil celanamu, Jem. Bereskan
urusan ini di antara kalian sendiri."
"Jangan khawatir, Dili," kata Jem saat kami berlari di trotoar, "Miss Rachel tak
akan menghukummu. Atticus akan membujuknya. Pikiranmu cepat, Teman. Dengar... kamu
dengar?" Kami berhenti, dan mendengar suara Atticus, "... tidak parah ... mereka semua
mengalaminya, Miss Rachel
Dill terhibur, tetapi aku dan Jem tidak. Masalahnya, Jem pasti akan diminta
untuk menunjukkan celananya besok pagi.
"Pakai punyaku saja," kata Dili, ketika mereka tiba di tangga Miss Rachel. Kata
Jem, celananya tak akan muat, tetapi terima kasih. Kami mengucap salam, dan Dili
masuk ke rumah. Rupanya dia teringat bahwa dia sudah bertunangan denganku karena
dia berlari lagi keluar dan dengan cepat menciumku di depan Jem. "Kalian harus
kirim surat, ya?" dia menangis tersedu-sedu mengantar kepergian kami.
Csw - Andaikan celana Jem menempel pada tubuhnya dengan aman, tetap saja kami tak akan
bisa tidur lelap. Setiap suara-malam yang berasal dari teras belakang terdengar
tiga kali lebih keras; setiap suara langkah kaki pada jalan berkerikil adalah
Boo Radley yang ingin membalas dendam, setiap orang Negro yang lewat sambil
tertawa dalam kegelapan malam adalah Boo Radley yang keluar dari rumah dan mencari kami; serangga
menabrak pintu kawat adalah jemari gila Boo Radley yang mengurai kawat hingga
hancur; pohon-pohon mindi mengganas, membayang, hidup. Aku berada dalam keadaan
antara tidur dan terjaga sampai aku mendengar Jem berbisik.
"Sudah tidur, Tiga-Mata Kecil?"
"Kamu gila apa?"
"Sst. Lampu kamar Atticus sudah mati." Dalam cahaya bulan yang memudar, kulihat
Jem mengayunkan kaki ke lantai.
"Aku mau mengambil celanaku," katanya. Aku bangkit tegak seketika. "Jangan. Aku
tak akan membiarkanmu."
Dia bersusah payah mengenakan kemeja. "Aku harus mengambilnya."
"Kalau kaupergi, akan kubangunkan Atticus." "Kalau kaubangunkan, akan kubunuh
kau." Aku menarik dia duduk di sampingku di dipan. Aku mencoba mengajaknya
berpikir logis. "Mr. Nathan akan menemukannya pagi-pagi, Jem. Dia tahu kau
kehilangan celana. Kalau dia menunjukkannya kepada Atticus, dia akan marah
besar, tetapi cuma itu. Tidur lagi saja."
"Itu aku juga tahu," kata Jem. "Karena itu, aku mau ambil."
Aku mulai merasa mual. Kembali ke tempat itu sendirianaku ingat yang dikatakan
Miss Stephanie: Mr. Nathan punya satu peluru lagi yang menanti suara berikut
yang dia dengar, baik itu Negro, anjing ...
Jem lebih tahu daripada aku.
Aku putus asa, "Dengar, semua ini tak sebanding, Jem. Dipukul memang sakit, tapi
takkan lama. Nanti kepalamu kena tembak, Jem. Tolong ..."
Dia menghela napas sabar. "Aku begini, Scout," gumamnya, "Atticus belum pernah
memukulku sepanjang ingatanku. Aku ingin tetap begitu."
Ini berita baru. Rasanya Attuics mengancam kami dua hari sekali. "Maksudmu, dia
tak pernah memergokimu melakukan apa pun?"
"Mungkin begitu, tapi aku cuma ingin keadaan tetap seperti itu, Scout. Mestinya
kita tak berbuat seperti malam ini."
Pada saat itulah, kurasa, aku dan Jem mulai mengambil jalan yang berbeda. Memang
kadang-kadang aku tak memahaminya, tetapi keherananku biasanya hanya bertahan
beberapa saat. Tapi saat ini aku benar-benar tak bisa memahaminya. "Tolong," aku
memohon, "apa kau tak bisa berpikir sebentar sendirian ke tempat itu" "Diam!"
"Toh tak akan sampai dia tak mau bicara lagi pa-damu ... akan kubangunkan dia,
Jem, sumpah, aku" Jem mencengkeram kerah piamaku dan menariknya erat. "Kalau begitu, aku ikut" aku
tercekik. "Jangan, kau hanya bikin ribut." Tak ada gunanya. Aku membuka pintu
belakang dan menahannya, sementara dia turun merayapi tangga. Saat itu tentu
sudah pukul 02.00. Bulan sedang terbenam dan bayangan bersilangan sedang
memudar menjadi ketiadaan yang kabur. Ujung belakang kemeja putih Jem timbul-
tenggelam seperti hantu kecil yang menari-nari untuk melarikan diri menghindari
pagi yang akan segera tiba. Semilir samar bertiup dan mendinginkan keringat yang
menuruni tubuhku. Dia mengambil jalan belakang, melalui Deer's Pasture, melintasi halaman sekolah,
dan memutar ke pagar, pikirku setidaknya ke sanalah dia menuju. Akan memakan
waktu lebih lama, jadi belum waktunya khawatir. Aku menunggu sampai tiba
waktunya untuk khawatir dan mencoba mendengar bunyi senapan Mr. Radley. Lalu
kupikir, kudengar pagar belakang berdecit. Hanya harapan kosong.
Lalu, kudengar Atticus terbatuk. Aku menahan napas. Kadang, kalau kami melakukan
perjalanan tengah malam ke kamar mandi, kami menemukannya sedang membaca.
Katanya, dia sering terbangun malam-malam, memeriksa kami, dan membaca sampai
tertidur. Aku menunggu lampunya menyala, memicingkan mata untuk melihat
cahayanya memasuki ruang tamu. Lampu tetap padam, dan aku bernapas lagi.
Makhluk-makhluk malam sudah tidur, tetapi pohon mindi ranum memukul atap ketika
angin bertiup, dan kegelapan terasa sepi dengan gonggong anjing dari kejauhan.
Dia pun datang, kembali kepadaku. Kemeja putihnya menyembul dari pagar belakang
dan perlahan membesar. Dia menaiki tangga belakang, mengunci pintu di
belakangnya, dan duduk di dipannya. Tanpa
berkata-kata, dia memperlihatkan celananya. Dia berbaring, dan beberapa lama
kudengar dipannya gemetar. Tak lama kemudian, dia diam. Aku tak mendengarnya
bergerak lagi. Tujuh Jem tetap murung dan tidak banyak bicara selama seminggu. Seperti saran Atticus,
aku mencoba menempatkan diriku dalam posisi Jem dan menyelami perasaannya: andai
aku pergi sendirian ke Radley Place pukul dua dini hari, pemakamanku tentu
diadakan keesokan sorenya. Jadi, kubiarkan Jem menyendiri dan mencoba untuk
tidak mengganggunya. Sekolah dimulai. Kelas dua sama buruknya dengan kelas satu, hanya lebih parah
mereka masih menggunakan metode flashcard kepada murid dan para murid masih tak
diperbolehkan membaca atau menulis. Kemajuan Miss Caroline di ruang sebelah
dapat diukur dengan seringnya tawa terdengar; anak-anak yang tahun sebelumnya
tinggal kelas bertugas membantu menjaga ketertiban. Satu-satunya hal yang
menyenangkan di kelas dua adalah tahun ini aku harus bersekolah sama lamanya
dengan Jem, dan biasanya kami berjalan pulang bersama pada pukul 15.00.
Pada suatu sore, ketika kami sedang menyeberangi halaman sekolah menuju rumah,
Jem tiba-tiba berkata, "Ada yang belum kuceritakan."
Karena ini adalah kalimat sempurna pertama
yang keluar dari mulutnya dalam beberapa hari ini, aku mengoreknya, "Tentang
apa?" "Tentang malam itu."
"Kau tak pernah bilang apa-apa tentang malam itu," kataku.
Jem mengabaikanku seolah-olah kata-kata yang kuucapkan adalah nyamuk yang
mengganggunya. Dia diam sejenak, lalu berkata, "Waktu aku kembali mengambil
celanaku celana itu terbelit waktu aku menanggalkannya, jadi tak bisa
kulepaskan. Waktu aku kembali" Jem menghela napas dalam. "Waktu aku kembali,
celananya terlipat di pagar ... seolah sudah disiapkan untukku."
"Di "Dan satu lagi" suara Jem datar. "Akan kutunjukkan di rumah. Celananya sudah
dijahit. Tidak seperti dijahit perempuan, lebih mirip kalau aku mencoba menjahit
sendiri. Jahitannya miring-miring. Hampir seperti"
"ada yang tahu kau akan kembali mengambilnya."
Jem gemetar. "Seperti ada yang membaca pikiranku ... seperti ada yang tahu apa
yang akan kulakukan. Tak ada orang yang bisa tahu apa yang akan kulakukan
kecuali dia kenal aku, kan, Scout?"
Pertanyaan Jem lebih terdengar seperti permohonan. Aku meyakinkannya, "Tak ada
orang yang bisa tahu apa yang akan kaulakukan kecuali tinggal serumah denganmu,
dan aku pun kadang tak tahu."
Kami berjalan melewati pohon kami. Di dalam ceruknya terdapat segulung benang
abu-abu. "Jangan diambil, Jem," kataku. "Ini tempat rahasia orang lain."
"Sepertinya tidak, Scout."
"Pasti iya. Seseorang seperti Walter Cunningham pergi ke sini setiap istirahat
dan menyembunyikan barangnya lalu kita lewat dan mencurinya. Dengar, kita
tinggalkan saja dulu dan kita tunggu dua hari. Kalau belum hilang, baru kita
ambil, ya?" "Oke, mungkin kamu benar," kata Jem. "Pasti kepunyaan anak kecil menyembunyikan
barangnya dari orang yang lebih besar. Kau tahu, hanya pada hari sekolah kita
menemukan sesuatu di situ."
"Memang benar," kataku, "tetapi kita kan tak pernah lewat sini saat musim
panas." Kami pulang. Keesokan paginya, gulungan benang itu masih ada di tempatnya.
Ketika pada hari ketiga masih tetap ada, Jem mengantonginya. Sejak saat itu,
kami menganggap segala sesuatu yang kami temukan dalam ceruk itu milik kami.
Csu - Kelas dua terasa membosankan, tetapi Jem meyakinkanku bahwa jika aku semakin
besar, sekolah akan semakin menyenangkan, bahwa dia juga merasa begitu ketika
mulai bersekolah, dan baru di kelas enam aku akan mempelajari sesuatu yang
bermanfaat. Kelas enam tampaknya menyenangkan baginya sejak awal: dia
mempelajari Fase Mesir yang singkat dan membingungkanku dia sering mencoba
berjalan seperti orang Mesir, menjulurkan satu tangan di depan dan satu di
belakang, meletakkan satu kaki di belakang kaki yang lain. Katanya, orang Mesir
memang berjalan seperti itu; kataku, kalau memang benar begitu, aku tak bisa
mengerti bagaimana caranya mereka bekerja dengan posisi itu, tetapi Jem bilang
mereka mencapai lebih banyak daripada bangsa Amerika, mereka menciptakan kertas
toilet dan pengawetan mayat; Jem bertanya akan di mana kita sekarang berada
kalau orang Mesir tidak menemukan segala hal itu" Atticus menyuruhku
menghilangkan semua kata sifat yang digunakan Jem, jadi aku akan memperoleh
faktanya. Tak ada musim di Alabama Selatan yang bisa didefinisikan dengan jelas; musim
panas berangsur menjadi musim gugur, dan musim gugur kadang tak pernah diikuti
musim dingin, melainkan langsung memasuki musim semi yang hanya berlangsung
dalam hitungan hari, lalu meleleh menjadi musim panas lagi. Musim gugur saat itu
berlangsung lama sekali; udaranya tidak terlalu dingin sehingga kami cukup
mengenakan jaket tipis. Aku dan Jem sedang berlari dalam rute kami yang biasa
pada suatu sore di bulan Oktober yang sejuk ketika ceruk itu sekali lagi
menghentikan kami. Kali ini di dalamnya terdapat sesuatu berwarna putih.
Jem mempersilakanku mengambilnya: aku memungut dua patung kecil yang dipahat
dari sabun. Satu berbentuk anak lelaki dan satu lagi mengenakan rok yang tidak
rapi. Sebelum aku ingat bahwa tak ada barang yang membawa sial, aku memekik dan
membantingnya. Jem mengambilnya. "Kamu kenapa sih?" bentaknya. Dia menggosok patung itu hingga
bersih dari debu merah yang menempel. "Ini bagus," katanya. "Aku belum pernah
lihat yang sebagus ini."
Dia memperlihatkannya kepadaku. Patung itu berupa miniatur dua anak yang hampir
sempurna. Si anak lelaki mengenakan celana pendek, dan sejumput rambut dari
sabun terjatuh ke alisnya. Aku mendongak melihat Jem. Ujung rambut cokelat
lurusnya jatuh ke kening dari belahan rambutnya. Aku belum pernah memerhatikan
hal ini sebelumnya. Jem memandangi boneka perempuan itu lalu menatapku. Boneka perempuan itu
berponi. Aku juga. "Ini kita," katanya.
"Menurutmu siapa yang membuatnya?" "Apa ada orang yang kita kenal di sekitar ini
yang suka memahat?" tanyanya. "Mr. Avery."
"Mr. Avery hanya bisa begitu-begitu saja. Maksudku, yang bisa mengukir."
Mr. Avery rata-rata menghabiskan sepotong kayu bakar per minggu; dia memahatnya
sampai menjadi tusuk gigi, lalu mengunyahnya.
"Bisa saja pacar Miss Stephanie Crawford tua,"
kataku. "Dia memang bisa mengukir, tetapi tinggalnya jauh di desa. Lagi pula, kapan dia
pernah memerhatikan kita?"
"Mungkin saat duduk-duduk di beranda dia memerhatikan kita, bukan memerhatikan
Miss Stephanie. Andai aku jadi dia, itu yang kulakukan."
Jem menatapku begitu lama sehingga aku menanyakan ada apa, tetapi dia hanya
menjawab, Tak ada apa-apa, Scout. Waktu kami sampai di rumah, Jem memasukkan
boneka itu ke petinya. Tidak sampai dua minggu kemudian, kami menemukan sepaket utuh permen karet, yang
langsung kami nikmati. Fakta bahwa segala sesuatu yang berasal dari Radley Place
itu beracun sudah menghilang dari ingatan Jem.
Minggu berikutnya, di ceruk yang sama terdapat sebuah medali bernoda. Jem
menunjukkannya kepada Atticus, yang mengatakan bahwa medali itu adalah hadiah
lomba mengeja, bahwa sebelum kami lahir, sekolah-sekolah di Maycomb County
mengadakan lomba mengeja dan menghadiahkan medali bagi para pemenangnya. Kata
Atticus, tentu seseorang kehilangan medali ini, dan dia menanyakan apakah kami
sudah bertanya ke orang-orang sekitar. Jem menendang kakiku ketika aku mencoba
menceritakan di mana kami menemukannya. Jem bertanya kepada Atticus apakah dia
ingat siapa saja yang pernah memenangi medali, dan Atticus bilang tidak.
Hadiah terbesar kami muncul empat hari kemudian. Sebuah jam saku yang sudah tak
berfungsi, dengan pisau aluminium yang terangkai di rantainya.
"Menurutmu, apa ini emas putih, Jem?"
"Aku tak tahu. Biar kutunjukkan pada Atticus." Kata Atticus, mungkin harganya
sepuluh dolar, pisau, rantai dan seluruhnya, andai masih baru. "Apa kau
mendapatkan benda ini karena bertukar dengan teman sekolahmu?" tanyanya.
"Oh, tidak, Sir!" Jem mengeluarkan jam kakeknya yang dibolehkan Atticus dibawa
seminggu sekali jika Jem berhati-hati. Pada hari-hari dia membawa jam itu, Jem
seolah-olah berjalan di atas telur. "Atticus, kalau boleh, aku mau yang ini
saja. Mungkin bisa kuperbaiki."
Setelah jam kakeknya tidak lagi baru, dan membawanya menjadi tugas sehari yang
membebani, Jem tak lagi merasa perlu melihat jam setiap lima menit.
Jem berusaha sebisa mungkin memperbaiki jam itu, hanya satu pegas dan dua bagian
kecil yang tersisa, tetapi jam itu belum berfungsi juga. "Ohh," desahnya, "tak
akan bisa jalan. Scout?" "Hah?"
"Menurutmu, apa kita perlu menulis surat pada siapa pun yang meninggalkan
barang-barang ini untuk kita?"
"Boleh juga, Jem, kita bisa sekalian mengucapkan terima kasih ada apa?"
Jem memegangi telinganya, menggelengkan kepala. "Aku tak mengerti, pokoknya tak
mengerti aku tak tahu kenapa, Scout Dia memandang ke
ruang tamu. "Kupikir sebaiknya kita memberi tahu Atticus ah, tidak, sebaiknya
tidak." "Kalau begitu, aku saja yang bilang untukmu."
"Jangan, jangan, Scout. Scout?"
"A-pa?" Dia sepertinya ingin memberi tahu aku tentang sesuatu sepanjang sore ini;
wajahnya tiba-tiba berseri-seri dan dia mencondongkan tubuh padaku, lalu tiba-
tiba dia berubah pikiran. Saat ini juga begitu. "Tak ada apa-apa."
"Nih, ayo kita tulis surat saja." Aku menyodorkan kertas dan pensil ke bawah
hidungnya. "Oke. Bapak yang budiman ..."
"Tahu dari mana orang itu laki-laki" Pasti Miss Maudie orangnya aku sudah lama
yakin." "Ahh, Miss Maudie tak bisa mengunyah permen karet" Jem menyeringai. "Kau tahu,
kadang bicaranya manis juga. Aku pernah menawarkan permen karet tapi dia
menolak, dia bilang, permen karet menempel di langit-langit mulutnya dan
membuatnya sulit bicara," kata Jem hati-hati. "Manis kan kedengarannya?"
Ya, dia memang kadang-kadang mengucapkan hal-hal manis. Tapi sepertinya dia tak
mungkin punya jam rantai.
"Bapak yang budiman," kata Jem. "Kami menghargai apa ah, tidak, kami menghargai
semua yang Bapak letakkan di dalam pohon untuk kami. Salam hormat, Jeremy
Atticus Finch." "Dia tak akan tahu siapa dirimu kalau kau memakai nama seperti itu, Jem."
Jem mencoret namanya dan menulis, "Jem Finch." Aku menulis, "Jean Louise Finch
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(Scout)," di bawahnya. Jem memasukkan surat itu ke dalam amplop.
Keesokan harinya, dalam perjalanan ke sekolah, dia berlari mendahuluiku dan
berhenti di pohon. Jem mendapatiku berada di hadapannya ketika dia mendongak,
dan kulihat wajahnya memucat. "Scout!"
Aku segera menghampirinya.
Seseorang telah menutup ceruk kami dengan semen.
"Jangan menangis, Scout ... jangan menangis, jangan khawatir" dia menggumam padaku
sepanjang perjalanan ke sekolah.
Saat pulang makan malam, Jem segera melahap makanannya, lari ke teras, dan
berdiri di tangga. Aku mengikutinya. "Belum lewat," katanya.
Keesokan harinya, Jem berjaga lagi dan mendapatkan keinginannya.
"Halo, Mr. Nathan," katanya.
"Pagi, Jem, Scout," kata Mr. Radley sambil lewat.
"Mr. Radley," kata Jem. Mr. Radley berbalik.
"Mr. Radley, ah apakah Anda yang menutup ceruk pada pohon di sana itu dengan
semen?" "Ya," katanya. "Aku yang menutupnya."
"Kenapa, Sir?" "Pohon itu sekarat. Kalau sakit, lubang-lubangnya harus diisi semen. Mestinya
kamu tahu itu, Jem." Jem tidak mengatakan apa-apa lagi tentang hal itu sampai menjelang malam. Ketika
melewati pohon kami, dia menepuk bagian yang ditutup semen sambil merenung, dan
terus tenggelam dalam pikirannya. Tampaknya suasana hatinya sedang buruk, jadi
aku menjaga jarak. Seperti biasa, sore itu kami menyambut Atticus saat dia pulang kerja. Ketika
kami sampai di tangga, Jem berkata, "Atticus, lihatlah ke sana ke pohon itu,
tolong, Sir." "Pohon apa, Nak?"
"Yang di pojok tanah Radley dekat sekolah." "Ada apa?"
"Apa benar pohon itu sedang sekarat?"
"Sepertinya tidak, Nak, menurutku tidak. Lihat daunnya, semuanya hijau dan
rimbun, tak ada gerombolan cokelat di mana pun"
"Sakit pun tidak?"
"Pohon itu sesehat dirimu, Jem. Kenapa?" "Kata Mr. Nathan Radley, pohon itu
sedang sekarat." "Mungkin saja iya. Aku yakin Mr. Radley lebih mengenal pohon miliknya daripada
kita." Atticus meninggalkan kami di teras. Jem bersandar pada pilar, menggosokkan
bahunya. "Punggungmu gatal, Jem?" tanyaku sesopan mungkin. Dia tak menjawab. "Ayo masuk,
Jem," kataku. "Nanti saja." Dia berdiri di situ hingga malam tiba, dan aku
menunggunya. Ketika kami masuk ke rumah, kulihat dia habis menangis; wajahnya
seperti orang yang habis menangis, tetapi kupikir, aneh juga aku tak
mendengarnya. m Delapan Untuk alasan-alasan yang tak bisa dipahami oleh peramal-peramal paling
berpengalaman di Maycomb County, musim gugur pada tahun itu berubah menjadi
musim dingin. Selama dua minggu, kami merasakan cuaca terdingin sejak 1885, kata
Atticus. Kata Mr. Avery, pada Prasasti Rosetta tertulis bahwa jika anak-anak
tidak mematuhi orangtuanya, mengisap rokok, dan terus bertengkar, musim akan
berubah: aku dan Jem dibebani rasa bersalah karena turut menyumbang penyebab
terjadinya penyimpangan alam, yang menimbulkan ketidak bahagiaan bagi para
tetangga kami dan ketidanya-manan bagi diri kami sendiri.
Mrs. Radley tua meninggal pada musim dingin itu, tetapi kematiannya hampir tidak
menimbulkan pengaruh para tetangga jarang melihatnya, kecuali saat dia menyiram
bunga kananya. Aku dan Jem memutuskan bahwa Boo akhirnya membunuhnya, tetapi
ketika Atticus kembali dari rumah Radley, katanya Mrs. Radley meninggal karena
penyakit; hal ini membuat kami kecewa.
"Ayo tanyakan," bisik Jem.
"Kau saja yang tanya, kau kan lebih tua."
"Justru itu, mestinya kau yang tanya."
"Atticus," kataku, "apa Mr. Arthur ada di situ?"
Atticus memandangku dengan tegas melalui korannya, "Tidak."
Jem mencegahku bertanya lebih lanjut. Katanya, Atticus masih sensitif soal
hubungan kami dan keluarga Radley, dan mendesaknya bukanlah tindakan bijak. Jem
merasa bahwa Atticus menganggap kegiatan yang kami lakukan pada malam musim
panas lalu tidak hanya sekadar strip poker. Jem tak punya dasar yang jelas untuk
membuktikan perasaannya, katanya ini hanya sekadar firasat.
Keesokan paginya aku bangun, melihat keluar jendela, dan hampir mati ketakutan.
Jeritanku mendatangkan Atticus yang sedang berada di kamar mandi, baru setengah
bercukur. "Dunia mau kiamat, Atticus! Lakukan sesuatu!" Aku menyeretnya ke jendela dan
menunjuk. "Dunia tidak kiamat," katanya. "Itu hujan salju."
Jem bertanya kepada Atticus apakah hujannya akan berlangsung lama. Jem juga
belum pernah melihat salju, tetapi tahu apa sebenarnya salju itu. Kata Atticus,
dia tak tahu lebih banyak tentang salju daripada Jem. "Tapi, kurasa, kalau
saljunya berair seperti itu, hujan salju ini lama-lama menjadi hujan biasa."
Telepon berdering dan Atticus meninggalkan sarapannya untuk menjawab. "Tadi itu
Eula May," katanya ketika kembali. "Aku mengutip ucapannya 'Karena belum pernah
turun salju di Maycomb County sejak 1885, hari ini sekolah diliburkan.'"
Eula May adalah operator telepon yang paling
populer di Maycomb. Dia dipercayai untuk menyampaikan pengumuman pada
masyarakat, undangan pernikahan, menyalakan sirene kebakaran, dan memberikan
petunjuk pertolongan pertama jika Dr. Reynolds sedang pergi.
Ketika akhirnya Atticus berhasil menenangkan kami dan menyuruh kami memusatkan
perhatian pada sarapan kami daripada keluar jendela, Jem bertanya, "Bagaimana
caranya membuat boneka salju?"
"Aku tak tahu sama sekali," kata Atticus. "Aku tak ingin mengecewakan kalian,
tetapi aku ragu saljunya akan cukup lengket untuk dijadikan bola salju
sekalipun." Calpurnia masuk dan mengumumkan bahwa menurutnya salju di luar cukup lengket.
Ketika kami berlari ke halaman belakang, tanah telah tertutupi lapisan tipis
salju basah. "Kita tak boleh berjalan-jalan di atasnya," kata Jem. "Lihat, setiap langkahmu
membuang salju sia-sia."
Aku menoleh untuk mengamati jejak kakiku pada salju yang lunak. Kata Jem, kalau
kami menunggu sampai salju turun lebih banyak, kami bisa mengumpulkannya untuk
membuat boneka salju. Aku menjulurkan lidah dan menangkap sekeping besar salju.
Lidahku rasanya terbakar. "Jem, saljunya panas!"
"Bukan, tapi saking dinginnya, jadi terasa membakar. Jangan dimakan, Scout, kamu
menyia-nyia-kannya. Biarkan saljunya turun."
"Tapi aku ingin jalan-jalan di situ."
"Aku tahu! Kita ke rumah Miss Maudie saja." Jem melompat-lompat melintasi
halaman depan. Aku mengikuti jejaknya. Waktu kami berada di trotoar depan rumah
Miss Maudie, Mr. Avery mengadang kami. Wajahnya merah muda dan perutnya yang
buncit tertekan oleh sabuknya.
"Lihat kan hasil perbuata kalian?" katanya. "Sejak peristiwa Appomattox, belum
pernah turun salju di Maycomb. Gara-gara anak nakal seperti kalian, musim jadi
berubah." Aku bertanya-tanya apakah Mr. Avery tahu, betapa pada musim panas lalu kami
mengintai dengan penuh harap agar dia mengulangi pertunjukannya, dan aku
berpikir, kalau hujan salju ini ganjaran untuk kenakalan kami, berbuat dosa
sepertinya boleh juga. Aku tak bertanya-tanya dari mana statistika meteorologis
Mr. Avery berasal: datangnya langsung dari Prasasti Rosetta.
"Jem Finch, hei, Jem Finch!"
"Miss Maudie memanggilmu, Jem."
"Kalian tetaplah berdiri di tengah halaman. Di dekat teras ada tanaman thrift
yang terkubur salju. Jangan diinjak!"
"Ya, Ma'am!" seru Jem. "Bukankah cuacanya indah, Miss Maudie?"
"Indah apanya! Kalau malam ini udara membeku, azaleaku akan hancur!"
Sunhat topi dengan pinggir lebar untuk menutupi kepala dan leher dari sengatan
sinar matahari usang Miss Maudie berkilau dengan kristal salju. Dia sedang
membungkuk, membungkus semak-semak
kecil dengan karung goni. Jem bertanya untuk apa dia berbuat begitu.
"Supaya tanaman ini tetap hangat," katanya.
"Bagaimana bunga tetap hangat" Bunga kan tak punya darah."
"Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, Jem Finch. Yang kutahu hanyalah bahwa
kalau malam ini udara membeku, tanaman ini akan membeku, jadi aku harus
membungkusnya. Jelas?"
"Ya, Ma'am. Miss Maudie?"
"Apa, Nak?" "Bolehkah aku dan Scout meminjam sebagian saljumu?"
"Demi surga, ambil saja semua! Ada keranjang persik tua di kolong rumah, angkut
saja dengan itu." Mata Miss Maudie menyipit. "Jem Finch, hendak kamu apakan
saljuku?" "Lihat saja nanti," kata Jem, dan kami memindahkan salju sebanyak mungkin dari
halaman Miss Maudie ke halaman kami dalam sebuah operasi yang basah dan
berlumpur. "Kita mau membuat apa, Jem?" tanyaku.
"Lihat saja nanti," katanya. "Sekarang, ambil keranjangnya dan angkut ke sini
semua salju yang bisa kaukumpulkan dari halaman belakang. Jangan lupa jalan di
atas jejak yang sudah ada ya," dia memperingatkan.
"Apa kita mau bikin boneka salju bayi, Jem?"
"Bukan, boneka salju betulan. Kita harus bekerja keras."
Jem berlari ke halaman belakang, mengambil
cangkul kebun, dan mulai menggali dengan cepat di belakang tumpukan kayu,
menimbun cacing-cacing yang ditemukannya di satu sisi. Dia masuk ke rumah,
kembali dengan membawa keranjang cucian, mengisinya dengan tanah, lalu
membawanya ke halaman depan.
Ketika kami sudah punya lima keranjang tanah dan dua keranjang salju, Jem
berkata bahwa kami sudah siap untuk memulai.
"Tapi kan semua ini kelihatannya acak-acakan?" tanyaku.
"Sekarang kelihatannya acak-acakan, tapi nanti tidak," katanya.
Jem meraup tanah, menepuk-nepuknya hingga menjadi sebuah gundukan, lalu
menambahkan se-raup tanah lagi, dan seraup lagi sampai dia mendapatkan sebentuk
tubuh. "Jem, aku belum pernah dengar ada boneka salju nigger," kataku.
"Dia tak akan lama berwarna hitam," dengusnya. Jem memungut beberapa ranting
pohon persik dari halaman belakang, menjalinnya, dan membengkokkannya menjadi
tulang lalu melapisinya dengan tanah.
"Mirip Miss Stephanie Crawford yang sedang berkacak pinggang," kataku. "Gendut
di tengah dan lengannya kecil kurus."
"Kubuat lebih besar." Jem menyiramkan air pada boneka lumpur dan menambahkan
tanah. Dia memandanginya sambil berpikir sejenak, lalu membentuk perut besar di
bawah garis pinggang boneka.
Jem menoleh padaku, matanya berbinar-binar, "Mr. Avery bentuknya agak mirip
boneka salju, kan?" Jem meraup salju dan mulai melapisi boneka itu. Dia hanya mengizinkan aku
melapisi bagian belakang, mengerjakan sendiri bagian yang bisa dilihat umum.
Perlahan-lahan, Mr. Avery menjadi putih.
Dengan menggunakan potongan kayu untuk mata, hidung, mulut, dan kancing baju,
Jem berhasil membuat Mr. Avery tampak murka. Setangkai kayu bakar melengkapi
bonekanya. Jem melangkah ke belakang dan mengamati ciptaannya.
"Bagus sekali, Jem," kataku. "Dia kelihatannya hampir-hampir bisa bicara."
"Iya, ya?" katanya malu-malu.
Karena kami tak sabar menunggu Atticus pulang untuk makan malam, kami
meneleponnya dan berkata bahwa kami punya kejutan besar untuknya. Dia tampak
terkejut ketika melihat sebagian besar halaman belakang berpindah ke halaman
depan, tetapi dia memuji pekerjaan kami. "Tadi aku tak tahu bagaimana kau akan
melakukannya," katanya kepada Jem, "tetapi mulai sekarang, aku tak akan pernah
mengkhawatirkan kau akan jadi seperti apa kelak, Nak, kau selalu punya ide."
Telinga Jem memerah karena pujian Atticus, tetapi dia mendongak tajam ketika
dilihatnya Atticus melangkah mundur. Atticus memicingkan mata pada boneka salju
itu beberapa saat. Dia menyeringai, lalu tertawa. "Nak, aku tak tahu kelak kau
akan jadi apa insinyur, pengacara, atau pelukis potret. Kau hampir bisa dituduh
melakukan penghinaan terhadap seseorang di halaman depan kita. Kita harus menyamarkan teman kita
ini." Atticus menyarankan Jem mengurangi sedikit bagian depan ciptaannya itu, menukar
kayu bakar dengan sapu, dan memakaikan celemek.
Jem menjelaskan bahwa kalau saran Atticus itu dijalankan, boneka saljunya akan
berlumpur dan tak akan jadi boneka salju lagi.
"Aku tak peduli apa yang akan kaulakukan, asalkan kau berbuat sesuatu," kata
Atticus. "Kau tak boleh membuat karikatur para tetangga begitu saja."
"Ini bukan karaktertur," kata Jem. "Cuma mirip saja."
"Mr. Avery mungkin tak akan berpikir gitu." "Aku tahu!" kata Jem. Dia berlari
menyeberang jalan, menghilang ke halaman belakang Miss Maudie, dan kembali
dengan penuh kemenangan. Dia memasang sunhat Miss Maudie pada kepala boneka
salju itu dan menjejalkan gunting tanaman pada sikutnya. Kata Atticus, itu
cukup. Miss Maudie membuka pintu depannya dan keluar ke teras. Dia memandang kami dari
seberang. Mendadak dia menyeringai. "Jem Finch," panggilnya. "Kau anak nakal,
kembalikan topiku, Nak!"
Jem memandang Atticus, yang menggeleng. "Dia cuma cerewet," katanya. "Dia sangat
terkesan dengan prestasimu."
Atticus berjalan ke trotoar Miss Maudie, lalu mengobrol asyik sambil melambai-
lambaikan tangan. Satu-satunya frasa yang terdengar olehku adalah
"... mendirikan morfodit bagus di halaman! Atticus, kau tak akan bisa membesarkan
mereka dengan baik!"
Sorenya, hujan salju reda, suhu menukik turun, dan saat malam tiba, ramalan
terburuk Mr. Avery pun terwujud: Calpurnia menyalakan setiap perapian di dalam
rumah, tetapi kami masih saja kedinginan. Saat Atticus pulang malam itu, dia
berkata bahwa kami harus siap-siap menderita, dan bertanya kepada Calpurnia
apakah dia mau tinggal bersama kami malam itu. Calpurnia memandang langit-langit
tinggi dan jendela-jendela panjang di rumah kami lalu berkata bahwa sepertinya
dia akan merasa lebih hangat di rumahnya. Atticus mengantarkannya pulang dengan
mobil. Sebelum aku tidur, Atticus menambahkan batu bara dalam perapian di kamarku.
Katanya, termometer menunjukkan angka enam belas, bahwa ini malam terdingin
sepanjang ingatannya, dan bahwa boneka salju kami di luar padat membeku.
Rasanya baru beberapa menit, ketika seseorang membangunkanku dengan mengguncang
tubuhku. Baju hangat Atticus diselimutkan ke badanku. "Sudah pagi lagi?"
"Sayang, bangun."
Atticus menyodorkan mantel mandi dan jaketku. "Kenakan mantelmu dulu," katanya.
Jem berdiri di samping Atticus, tampak bingung dan kusut. Dia mencengkeram
bagian leher jaketnya dan memasukkan tangan lainnya ke saku. Dia tampak aneh,
sepertinya tiba-tiba badannya jadi ke -
gemukan. "Cepat, Sayang," kata Atticus. "Ini sepatu dan kaus kakimu."
Dengan bingung, aku mengenakannya. "Apa sekarang sudah pagi?"
"Belum, baru jam satu lewat. Cepatlah." Akhirnya, kusadari bahwa suatu hal buruk
telah terjadi. "Ada apa?"
Pada saat itu, Atticus sudah tak perlu memberitahuku lagi. Seperti burung yang
tahu kapan hujan akan turun, aku pun tahu jika suatu masalah telah terjadi di
lingkungan kami. Suara selembut kain taffeta dan bunyi berisik yang teredam
menjalanku dengan kengerian tanpa daya. "Rumah siapa?"
"Rumah Miss Maudie, Sayang," kata Atticus lembut.
Di pintu depan, kami melihat api menyeruak dari jendela ruang makan Miss Maudie.
Seolah-olah menegaskan apa yang kami lihat, sirene kebakaran meraung, dengan
nada meninggi lantang, menjerit.
"Rumah itu terbakar habis, ya?" Jem merintih.
"Sepertinya begitu," kata Atticus. "Sekarang dengarlah, kalian berdua. Pergilah
ke depan Radley Place dan berdiri di sana. Jangan menghalangi jalan, mengerti"
Kalian bisa melihat ke arah mana angin bertiup?"
"Oh," kata Jem. "Atticus, apa kita harus mulai memindahkan perabot keluar?"
"Belum, Nak. Turuti kataku. Larilah ke sana. Jaga Scout, ya. Jangan sampai dia
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lepas dari per - hatianmu." Atticus mendorong kami agar berjalan ke arah gerbang depan Radley. Kami berdiri
menyaksikan jalanan terisi orang dan mobil, sementara api melahap rumah Miss Maudie tanpa suara.
"Kenapa mereka tak cepat-cepat, kenapa mereka tak bergegas gumam Jem.
Kami melihat alasannya. Truk kebakaran yang sudah tua, rusak karena cuaca
dingin, sedang didorong dari kota oleh sekelompok orang. Ketika selang
disambungkan ke pipa air, selang itu meletus dan air menyemprot ke atas,
mengalir ke trotoar. "Ohh Tuhan, Jem ..."
Jem merangkulku, "Sst, Scout," katanya. "Belum waktunya kita khawatir. Akan
kuberi tahu kalau sudah waktunya."
Para lelaki Maycomb, berpakaian seadanya, mengangkuti perabot dari rumah Miss
Maudie ke halaman di seberang jalan. Aku melihat Atticus mengangkut kursi goyang
kayu ek yang berat milik Miss Maudie, dan berpikir betapa baiknya dia
menyelamatkan benda yang paling berharga bagi Miss Maudie itu.
Kadang, kami mendengar teriakan. Lalu, wajah Mr. Avery muncul di jendela atas.
Dia mendorong kasur keluar jendela menuju jalan dan melempar perabot sampai
orang-orang berseru, "Turunlah, Dick! Tangganya akan roboh! Keluarlah, Mr.
Avery!" Mr. Avery mulai memanjat keluar jendela. "Scout, dia terjepit ..." Jem
berbisik. "Oh Tuhan ii Mr. Avery terjepit ketat. Aku membenamkan kepala di bawah lengan Jem dan tidak
mampu melihat lagi sampai Jem berseru. "Dia bisa melepaskan diri, Scout! Dia
tidak apa-apa!" Aku mendongak dan melihat Mr. Avery melintasi teras atas. Dia menjulurkan
kakinya melompati pagar dan meluncur menuruni pilar, lalu jatuh tergelincir. Dia
jatuh, menjerit, dan menimpa semak di halaman Miss Maudie.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa orang-orang sedang menjauhi rumah Miss Maudie,
menyusuri jalan ke arah kami. Mereka tak lagi mengangkuti perabot. Api sudah
jauh memasuki lantai dua dan melahap rumah itu sampai ke atap: kerangka jendela
tampak hitam mengelilingi Jingganya api yang menyala-nyala.
"Jem, jadi mirip labu" "Scout, lihat!"
Asap berarak ke rumah kami dan rumah Miss Rachel layaknya kabut dari tepi
sungai, dan orang-orang menariki selang-selang ke arah itu. Di belakang kami,
truk pemadam kebakaran dari Abbottsville meraung mengitari tikungan dan berhenti
di depan rumah kami. "Bukunya kataku. "Apa?" kata Jem.
"Buku Tom Swift itu, itu bukan punyaku, itu punya Dili ...."
"Jangan khawatir, Scout, belum waktunya kita khawatir," kata Jem. Dia menunjuk.
"Lihat ke sana." Di antara kerumunan tetangga, Atticus berdiri
sambil membenamkan tangannya dalam saku jaket. Sikapnya sama seperti saat dia
sedang menonton pertandingan football. Miss Maudie berdiri di sampingnya.
"Lihat, Atticus juga belum khawatir," kata Jem.
"Kenapa dia tak naik ke salah satu rumah?"
"Dia terlalu tua, bisa-bisa lehernya patah."
"Apa sebaiknya kita memintanya mengeluarkan barang-barang kita?"
"Sebaiknya kita tidak mengganggu dia, dia pasti tahu kapan waktu yang tepat,"
kata Jem. Truk pemadam kebakaran Abbottsville mulai memompa air ke rumah kami; seorang
lelaki yang berdiri di atap menunjuk ke tempat-tempat yang paling
membutuhkannya. Aku menyaksikan Morfodit Bagus kami menghitam dan roboh; sunhat
Miss Maudie mendarat di atas onggokannya. Gunting tanamannya tak terlihat lagi.
Di antara rumah kami, rumah Miss Rachel, dan rumah Miss Maudie yang panas
membara, para lelaki sudah lama menanggalkan jaket dan mantel mandi. Mereka
bekerja dengan mengenakan kemeja piama dan kaus yang diselipkan pada celana,
tetapi aku mulai menyadari bahwa aku perlahan-lahan membeku di tempatku berdiri.
Jem mencoba membuatku tetap hangat, tetapi lengannya saja tidak cukup. Aku
melepaskan diri darinya dan mencengkeram bahuku. Dengan melompat-lompat kecil,
aku dapat merasakan kakiku.
Satu lagi truk pemadam kebakaran muncul dan berhenti di depan rumah Miss
Stephanie Crawford. Tak ada pipa air untuk satu selang lagi, dan orang-orang
mencoba membasahi rumah itu dengan tabung pemadam kebakaran kecil.
Atap aluminium Miss Maudie memadamkan api. Dengan bergemuruh, rumah itu runtuh;
api memancar ke mana-mana, diikuti dengan tebaran selimut dari orang-orang yang
berada di atap rumah tetangga, memukuli bunga api dan bongkahan kayu yang
membara hingga padam. Subuh menjelang ketika orang-orang mulai beranjak, mula-mula satu per satu, lalu
berkelompok. Mereka mendorong truk kebakaran Maycomb kembali ke kota; truk
Abbottsville kembali ke pangkalannya, truk ketiga tetap tinggal. Kami mengetahui
keesokan harinya bahwa truk itu berasal dari Clark's Ferry, enam puluh mil dari
sini. Aku dan Jem menyelinap ke seberang jalan. Miss Maudie sedang menatap lubang
hitam berasap di halamannya, dan Atticus menggeleng untuk memberi tahu kami
bahwa Miss Maudie sedang tidak ingin diajak bicara. Atticus membimbing kami
pulang, merangkul bahu kami untuk menyeberangi jalan yang penuh es. Katanya,
Miss Maudie akan menginap di rumah Miss Stephanie untuk sementara.
"Ada yang mau cokelat panas?" tanyanya. Badanku gemetar ketika Atticus
menyalakan kompor. Selagi kami minum cokelat panas, aku melihat Atticus memandangiku, pertama
dengan rasa ingin tahu, lalu dengan ketegasan. "Bukankah aku menyuruh kau dan
Jem tetap berdiri di tempat itu?" katanya.
"Kami di sana, kok. Kami tetap"
"Lalu, selimut siapa itu?" "Selimut?"
"Ya, Nak, selimut. Itu bukan milik kita." Aku melihat ke bawah dan ternyata aku
menggenggam selimut wol cokelat yang tersampir di bahuku, seperti perempuan
Indian. "Atticus, aku tak tahu, Sir... aku" Aku menoleh kepada Jem untuk meminta jawaban,
tetapi Jem malah lebih bingung daripadaku. Katanya, dia tak tahu bagaimana tiba-
tiba bisa ada selimut, kami benar-benar menuruti perintah Atticus, kami berdiri
di samping gerbang Radley, jauh dari semua orang, kami tidak bergerak seinci pun
Jem berhenti. "Mr. Nathan ada di tempat kebakaran," dia meracau. "Aku melihat dia, aku lihat,
dia sedang menarik-narik kasur Atticus, aku sumpah ..."
"Tak apa-apa, Nak." Atticus menyeringai perlahan. "Sepertinya malam ini seluruh
penduduk Maycomb keluar rumah. Jem, rasanya ada kertas pembungkus di lemari.
Ambillah dan kita akan"
"Atticus, jangan, Sir!" Jem sepertinya sudah kehilangan akal. Dia mulai
menyemburkan seluruh rahasia kami, sama sekali tidak memedulikan keamanan
posisiku, apa lagi keamanannya, dia tak meninggalkan satu hal pun, ceruk,
celana, semuanya. "... Mr. Nathan menutup pohon itu dengan semen, Atticus, dan itu dilakukannya agar
kami tak menemukan barang-barang sepertinya dia memang gila, seperti orang
bilang, tapi Atticus, aku bersumpah demi Tuhan, dia belum pernah menyakiti kami,
dia belum pernah mencederai kami, dia bisa saja menggorok leherku dari telinga
ke telinga malam itu, tetapi dia malah berusaha menjahitkan celanaku ... dia tak
pernah menyakiti kami, Atticus"
Atticus berkata, "Tunggu, Nak," begitu lembut sehingga aku merasa sangat lega.
Kelihatannya dia tak mengerti satu kata pun yang diucapkan Jem karena yang
dikatakan Atticus hanyalah, "Kau benar. Lebih baik kita rahasiakan cerita dan
selimut ini di antara kita saja. Suatu hari nanti, mungkin, Scout bisa
mengucapkan terima kasih padanya untuk menyelimutinya."
"Berterima kasih pada siapa?" tanyaku.
"Boo Radley. Kau begitu sibuk menonton kebakaran sehingga kau tak tahu waktu dia
menyelimuti tubuhmu."
Perutku rasanya mencair dan aku hampir muntah ketika Jem menyodorkan selimut itu
dan beringsut mendekatiku. "Dia menyelinap keluar dari rumah berbalik menyelinap
masuk lagi ke rumah, dia yang melakukannya!"
Atticus berkata datar, "Jangan sampai kejadian ini mengilhamimu untuk bertingkah
lagi, Jeremy." Jem merengut, "Aku tak melakukan apa-apa padanya," tetapi aku melihat percik
petualangan baru memadam di matanya. "Coba pikir, Scout," katanya, "andai kau
berbalik, kau pasti bisa melihat dia."
Calpurnia membangunkan kami pada tengah hari. Atticus sudah memberitahunya bahwa
kami tidak perlu bersekolah hari itu, kami tak bisa belajar apa-apa kalau tidak
tidur. Calpurnia menyuruh kami mencoba membersihkan halaman depan.
Sunhat Miss Maudie tergeletak dilapisi es tipis, seperti lalat yang terfosil
dalam batu ambar, dan kami harus menggali tanah untuk mendapatkan gunting
tanaman. Kami menemukan Miss Maudie di halaman belakangnya, memandangi rumpun
azalea yang gosong dan beku.
"Kami mengembalikan barang-barangmu, Miss Maudie," kata Jem. "Kami ikut
menyesal." Miss Maudie memandang sekeliling, dan bayangan seringai khasnya melintasi
wajahnya. "Memang sejak dulu aku ingin rumah yang lebih kecil, Jem Finch.
Halamannya jadi lebih luas. Bayangkan, aku akan punya lebih banyak tempat untuk
azaleaku sekarang!" "Anda tidak sedih, Miss Maudie?" tanyaku, kaget. Kata Atticus, hanya rumah
itulah harta miliknya. "Sedih, Nak" Mengapa harus sedih" Aku membenci kandang sapi tua itu. Sudah
ratusan kali aku terpikir untuk membakarnya sendiri, tapi aku bisa-bisa
dipenjara." "Tapi" "Tak usah mencemaskan aku, Jean Louise Finch. Ada banyak cara yang belum
kauketahui untuk melakukan sesuatu. Aku bisa membangun rumah kecil dan menerima
dua pengontrak kamar dan wah, aku akan memiliki halaman tercantik di Alabama.
Halaman keluarga Bellingrath akan kelihatan menge-naskan kalau aku sudah mulai!"
Aku dan Jem saling memandang. "Kenapa bisa sampai terjadi kebakaran, Miss
Maudie?" tanyanya. "Tak tahu, Jem. Mungkin cerobong asap di dapur. Tadi malam aku menyalakan api di
sana untuk menghangatkan tanamanku yang ada dalam pot. Kudengar kau bertemu
teman tak terduga tadi malam, Miss Jean Louise."
"Dari mana Anda tahu?"
"Atticus memberitahuku ketika dia akan berangkat ke kota tadi pagi. Jujur saja,
aku juga ingin berada bersamamu waktu itu. Dan tentunya aku akan cukup pintar
untuk berbalik." Miss Maudie membuatku bingung. Meskipun hampir seluruh benda miliknya habis
terbakar dan halaman kesayangannya kacau-balau, dia masih menaruh perhatian
besar pada urusanku dan Jem.
Rupanya dia melihat kebingunganku. Katanya, "Satu-satunya yang membuatku cemas
tadi malam adalah bahaya dan kehebohan yang diakibatkannya. Seluruh lingkungan
ini bisa saja terbakar. Mr. Avery harus istirahat di tempat tidur selama
seminggu dia benar-benar terbakar. Dia terlalu tua untuk melakukan hal-hal
seperti itu dan aku sudah bilang padanya. Kalau urusanku sudah beres dan kalau
Stephanie Crawford sedang lengah, aku akan segera membuatkan kue Lane untuk Mr.
Avery. Si Stephanie sudah tiga puluh tahun mengincar resepku, dan kalau dia
pikir resep itu akan kuberikan kepadanya hanya karena aku menginap di rumahnya,
dia harus berpikir lagi."
Kupikir jika Miss Maudie menyerah dan memberikan resep itu, Miss Stephanie tetap
saja tak akan bisa mengerjakannya. Miss Maudie pernah menunjukkan resep itu
padaku: di antaranya, resep itu membutuhkan secangkir besar gula.
Hari masih siang. Udaranya sangat dingin dan cerah, dan kami mendengar jam di
gedung pengadilan berdentang, lalu menimbulkan serangkaian bunyi bising sebelum
menunjukkan waktu. Warna hidung Miss Maudie belum pernah kulihat sebelumnya, dan
aku menanyakannya. "Aku sudah di luar sini sejak jam enam," katanya. "Mestinya sudah membeku
sekarang." Dia mengangkat tangan. Jaringan kecil yang keriput malang melintang
di telapaknya, cokelat karena tanah dan darah kering.
"Tanganmu jadi rusak," kata Jem. "Mengapa tidak mencari orang Negro saja?" Tak
ada nada ingin menolong dalam suaranya ketika dia menambahkan, "Atau aku dan
Scout, kami bisa bantu."
Kata Miss Maudie, "Terima kasih, Nak, tetapi kau juga punya pekerjaan di sana."
Dia menunjuk halaman kami.
"Maksud Anda, Morfodit itu?" tanyaku. "Ah, itu bisa kami rapikan dengan cepat."
Miss Maudie menatapku, bibirnya bergerak tanpa suara. Tiba-tiba dia meletakkan
tangannya di kepala dan berseru dengan semangat. Ketika kami meninggalkannya,
dia masih tergelak. Kata Jem, dia tak tahu apa yang salah dengan Miss Maudie memang seperti itulah
Miss Maudie. ^ Sembilan Hei, tarik kembali kata-katamu!" Perintah yang kuberikan kepada Cecil Jacobs
ini, adalah awal masa sulit bagiku dan Jem. Tanganku terkepal dan aku siap
mengayunkannya. Atticus pernah berjanji bahwa dia akan memukulku kalau mendengar
aku berkelahi lagi; aku sudah terlalu tua dan terlalu besar untuk hal kekanak-
kanakan seperti itu, dan lebih cepat aku belajar menahan diri, keadaan akan
lebih baik bagi semua orang. Aku langsung melupakannya.
Cecil Jacobs membuatku lupa. Sehari sebelumnya, dia mengumumkan di halaman
sekolah bahwa ayah Scout Finch membela orang nigger. Aku menyangkalnya, tetapi
memberi tahu Jem. "Apa maksudnya, berkata seperti itu?" tanyaku. "Bukan apa-apa," kata Jem. "Tanya
saja Atticus, dia akan memberitahumu."
"Apakah kau membela nigger, Atticus?" tanyaku padanya malam itu.
"Tentu saja iya. Jangan bilang nigger, Scout. Tidak sopan."
"Itu yang dibilang semua orang di sekolah." "Mulai saat ini, semua orang kecuali
satu" "Kalau kau tak mau aku berbicara seperti itu, kenapa aku disuruh
bersekolah?" Ayahku memandangku lembut, rasa geli tersirat di matanya. Meskipun kami sudah
berkompromi, aksiku untuk menghindari sekolah berlangsung dalam berbagai bentuk
sejak mengecap hari pertama sekolah: pada awal September aku menyampaikan
berbagai keluhan tentang pingsan, pusing, dan sakit perut. Aku bahkan membayar
lima sen pada anak lelaki kepala koki Miss Rachel, yang terjangkit cacingan,
supaya mengizinkanku menggosokkan kepalaku pada kepalanya. Aku tidak tertular.
Tetapi, aku mencemaskan hal lain. "Apakah semua pengacara membela n-orang Negro,
Atticus?" "Tentu saja, Scout."
"Lalu, kenapa Cecil bilang kau membela nigger" Cara bicaranya seolah-olah kau
punya pabrik alkohol ilegal."
Atticus menghela napas. "Aku hanya membela seorang Negro namanya Tom Robinson.
Dia tinggal di permukiman kecil di seberang tempat pembuangan sampah kota kita.
Dia anggota gereja yang sama dengan Calpurnia, dan Cal kenal baik dengan
keluarganya. Katanya, mereka hidup bersih. Scout, kau belum cukup besar untuk
memahami beberapa hal, tetapi warga kota berpendapat bahwa aku sebaiknya jangan
berbuat banyak untuk membela orang ini. Kasusnya memang unik baru akan
disidangkan musim panas nanti. John Taylor sudah cukup baik memberi kami
penundaan "Kalau sebaiknya kau tidak membelanya, lalu kenapa kaubela?"
"Ada beberapa alasan," kata Atticus. "Alasan utamanya, kalau aku tidak
membelanya, aku tak akan bisa menegakkan kepalaku di kota ini, aku tak akan bisa mewakili county ini
dalam badan legislatif, aku bahkan tak bisa melarangmu atau Jem melakukan
sesuatu." "Maksudmu, kalau kau tidak membela orang itu, aku dan Jem tak perlu mematuhimu
lagi?" "Kira-kira begitu."
"Kenapa?" "Karena aku tak bisa lagi meminta kalian mematuhiku. Scout, karena memang
begitulah pekerjaannya, setiap pengacara sepanjang hidupnya setidaknya
mendapatkan satu kasus yang akan memengaruhinya secara pribadi. Sepertinya,
kasus inilah kasusku. Kau mungkin akan mendengar omongan buruk tentang hal ini
di sekolah, tetapi aku minta satu hal, kalau kau mau: tegakkan kepalamu tinggi-
tinggi dan tahan keinginanmu untuk memukul. Apa pun yang dikatakan orang
kepadamu, jangan dimasukkan ke hati. Cobalah untuk melawan mereka dengan
pemikiranmu ... sebaiknya begitu, meskipun mereka akan terus melawan."
"Atticus, apakah kita akan menang?"
"Tidak, Sayang."
"Lalu, kenapa" "Hanya karena kita telah tertindas selama seratus tahun sebelum kita mulai
melawan, bukanlah alasan bagi kita untuk tidak berusaha menang."
"Bicaramu mirip Sepupu Ike Finch," kataku. Sepupu Ike Finch adalah satu-satunya
veteran Konfederasi yang masih hidup di Maycomb County. Janggutnya menyerupai
janggut Jenderal Hood, yang
sering dibanggakannya secara berlebihan. Paling sedikit sekali setahun, Atticus,
Jem, dan aku mengunjunginya dan aku harus mengecupnya. Sungguh tidak
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyenangkan. Aku dan Jem biasanya dengan sopan mendengarkan percakapan Atticus
dan Sepupu Ike yang mengulang-ulang cerita tentang pengalaman perangnya. "Kuberi
tahu ya, Atticus," Sepupu Ike biasa berkata, "Kompromi Missou-rilah yang
merugikan kita, tetapi andai aku harus mengalaminya lagi, aku akan tetap
menapakkan setiap langkahku ke sana lalu kembali lagi seperti yang pernah
kulakukan, lebih dari itu, kita akan mengalahkan mereka kali ini ... nah, pada
tahun 1864, ketika Stonewall Jackson mampir maaf, aku salah anak-anak. Si Cahaya
Biru sudah di surga waktu itu, semoga Tuhan memberkati alis kudusnya ..."
"Kemarilah, Scout," kata Atticus. Aku merangkak ke dalam pangkuannya dan
meletakkan kepalaku di bawah dagunya. Dia memelukku dan membuaiku lembut. "Kali
ini berbeda," katanya. "Kali ini kita tidak melawan kaum Yankee, kita melawan
teman-teman kita. Tapi ingat ini, sepahit apa pun situasinya nanti, mereka masih
teman kita dan tempat ini tetap rumah kita."
Dengan mengingat perkataan Atticus, aku menghadapi Cecil Jacobs di halaman
sekolah keesokan harinya: "Hei, tarik kembali kata-katamu!"
"Coba saja paksa aku!" bentaknya. "Kata orang tuaku, ayahmu itu bikin malu dan
nigger itu seharusnya digantung di tangki air!"
Aku bersiap memukulnya, teringat perkataan
Atticus, lalu menurunkan kepalanku, dan pergi meninggalkannya. Teriakan "Scout
pengecut!" terngiang-ngiang di telingaku. Itulah pertama kalinya aku
meninggalkan perkelahian.
Entah mengapa, aku merasa, kalau aku berkelahi dengan Cecil, aku akan
mengecewakan Atticus. Atticus sangat jarang meminta aku dan Jem melakukan
sesuatu untuknya, jadi aku bisa menerima sebutan pengecut demi dia. Aku merasa
sangat mulia karena aku mengingat nasihatnya, dan tetap merasa mulia selama tiga
minggu. Lalu, Natal tiba dan bencana menghantam.
Aku dan Jem menantikan Natal dengan perasaan campur aduk. Sisi baiknya adalah
pohon Natal dan Paman Jack Finch. Setiap Malam Natal, kami menjemput Paman Jack
di Persimpangan Maycomb, dan dia melewatkan seminggu bersama kami.
Sisi buruknya menyangkut raut wajah Bibi Alexandra dan Francis yang kaku.
Kukira aku harus menyertakan Paman Jimmy, suami Bibi Alexandra, tetapi dia tak
pernah mengucapkan sepatah kata pun padaku sepanjang hidupku, kecuali mengatakan
"Turun dari pagar" satu kali; aku tak pernah melihat alasan untuk
memerhatikannya. Begitu pula Bibi Alexandra. Dahulu sekali, saat mereka masih
akrab, Bibi dan Paman Jimmy menghasilkan seorang putra bernama Henry,
yang meninggalkan rumah secepat dia bisa, menikah, dan menghasilkan Francis.
Henry dan istrinya menitipkan Francis di rumah orangtuanya setiap Natal, lalu
mencari kesenangan sendiri.
Meskipun telah menghela napas sebanyak yang kami mampu, kami tak bisa membujuk
Atticus untuk mengizinkan kami melewatkan hari Natal di rumah. Kami pergi ke
Finch's Landing setiap Natal sepanjang ingatanku. Keahlian memasak Bibi
Alexandra adalah kompensasi atas pemaksaan melewatkan hari raya agama bersama
Francis Hancock. Dia setahun lebih tua dariku, dan aku menghindarinya
berdasarkan prinsip: dia menikmati segala sesuatu yang tak kusukai, dan dia
terang-terangan tidak menyukai hobiku.
Bibi Alexandra adalah adik Atticus, tetapi ketika Jem bercerita tentang
persaudaraan dan bayi yang tertukar, aku menjadi yakin bahwa Bibi Alexandra
tertukar sejak lahir, bahwa kakek-nenekku mungkin mendapatkan seorang Crawford,
bukan seorang Finch. Seandainya aku pernah mengkhayalkan gunung-gunung, yang
tampaknya membuat para pengacara dan hakim terobsesi, Bibi Alexandra mungkin
bisa disamakan dengan Gunung Everest: sepanjang hidupku, dia dingin dan dia ada.
Ketika Paman Jack melompat turun dari kereta pada hari Malam Natal, kami harus
menunggu portir menyerahkan dua paket panjang kepadanya. Sejak dulu, aku dan Jem
merasa lucu kalau melihat Paman Jack mencium pipi Atticus; hanya mereka
berdualah lelaki yang pernah kami lihat saling mencium. Paman
Jack berjabatan tangan dengan Jem dan mengayunku ke atas, tetapi tidak cukup
tinggi: Paman Jack sekepala lebih pendek daripada Atticus; si bayi dalam
keluarga Finch, dia lebih muda daripada Bibi Alexandra. Dia dan Bibi Alexandra
berwajah mirip, tetapi kesan yang ditimbulkan wajahnya lebih baik: kami tak
pernah curiga pada hidung dan dagunya yang tajam.
Dia salah seorang dari sedikit ilmuwan yang tak pernah membuatku takut, mungkin
karena dia tak pernah bersikap seperti dokter. Ketika dia melakukan pemeriksaan
kecil padaku dan Jem, misalnya mengeluarkan serpih kayu di kaki, dia memberi
tahu kami apa persisnya yang akan dia lakukan, memberi kami perkiraan seberapa
besar rasa sakit yang akan timbul, dan menjelaskan kegunaan setiap alat yang
dipakainya. Pada suatu hari Natal, aku bersembunyi di pojok, mengusap-usap
kakiku yang kemasukan serpih kayu bengkok, tak mengizinkan siapa pun
mendekatiku. Ketika Paman Jack berhasil menangkapku, dia membuatku tertawa-tawa
dengan menceritakan lelucon tentang seorang pendeta yang begitu membenci pergi
ke gereja sehingga setiap hari dia berdiri di depan gerbang gereja dengan
mengenakan jubahnya, mengisap pipa rokok, dan menyampaikan khotbah sepanjang
lima menit kepada siapa pun yang menginginkan penghiburan spiritual, yang
kebetulan melewatinya. Aku menyela agar Paman Jack memberi tahu kapan dia akan
mengeluarkan serpih itu, tetapi dia menunjukkan serpih berdarah yang telah
dicabutnya dengan pinset itu dan
berkata bahwa dia mencabutnya saat aku tertawa; itulah yang namanya relativitas.
"Apa isi paketnya?" tanyaku padanya, menunjuk parsel panjang tipis yang
diserahkan portir. "Bukan urusanmu," katanya. Kata Jem, "Apa kabar Rose Aylmer?" Rose Aylmer adalah
kucing Paman Jack, betina berwarna kuning yang cantik. Kata Paman Jack, dia
adalah salah satu dari sedikit perempuan yang dia bisa tahan berdekatan dalam
waktu lama. Dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto.
Kami mengaguminya. "Dia makin gemuk," kataku.
"Memang semestinya. Dia makan semua sisa-sisa jari dan kuping yang kudapatkan
dari rumah sakit." "Ah, itu pasti kebohongan brengsek," kataku. "Maaf?"
Kata Atticus, "Tak usah dipedulikan, Jack. Dia sedang mengujimu. Kata Cal, sudah
seminggu ini dia fasih menyumpah-nyumpah."
Paman Jack mengangkat alis dan tak mengatakan apa-apa. Aku berbuat begini
berdasarkan suatu teori samar, selain adanya daya pikat dalam sumpah serapah
seperti itu, jika Atticus tahu bahwa aku mempelajari kata-kata itu di sekolah,
dia tak akan memaksaku bersekolah lagi.
Namun, pada acara makan malam itu, ketika aku meminta tolong padanya untuk
mengambilkan daging sialan, Paman Jack menudingku. "Temui aku setelah ini, gadis
muda," katanya. Seusai makan malam, Paman Jack masuk ke ruang tamu dan duduk. Dia menepuk
pahanya agar aku duduk di pangkuannya. Aku menyukai bau tubuhnya: aromanya
seperti botol alkohol dan sesuatu yang manis menyenangkan. Dia mengusap poniku
dan memandangku. "Kau lebih mirip Atticus daripada ibumu," katanya. "Kau juga
sudah sedikit lebih besar dari celanamu."
"Rasanya celanaku pas-pas saja."
"Kau suka mengucapkan kata-kata seperti sialan dan brengsek sekarang, ya?"
Kataku, sepertinya begitu.
"Yah, aku tak suka itu," kata Paman Jack, "kecuali ada yang memancing-mancingmu
untuk menggunakan kata-kata itu. Aku akan tinggal di sini selama seminggu, dan
aku tak ingin mendengar kata-kata seperti itu selagi aku di sini. Scout, kau
akan mendapat masalah kalau terus-terusan mengucapkan kata-kata itu. Kau ingin
tumbuh menjadi wanita terhormat, kan?"
Aku bilang, tidak juga. "Pasti kau mau. Nah, ayo menghias pohon kita." Kami menghiasi pohon sampai waktu
tidur tiba, dan malam itu aku memimpikan dua paket panjang untukku dan Jem.
Keesokan paginya, aku dan Jem terjun menyambarnya: hadiah itu dari Atticus, yang
menyurati Paman Jack agar membelikannya untuk kami, dan isinya memang apa yang
kami minta. "Jangan memainkannya di dalam rumah," kata Atticus, ketika Jem membidik sebuah
gambar di dinding. "Kau harus mengajari mereka cara menembak," kata Paman Jack.
"Itu tugasmu," kata Atticus. "Aku lebih baik tidak ikut campur."
Atticus harus menggunakan suara ruang sidangnya untuk mengalihkan kami dari
pohon Natal. Dia tak mengizinkan kami membawa senapan angin kami ke Landing (aku
sudah mulai membayangkan menembak Francis) dan berkata bahwa jika kami melakukan
hal buruk sekali saja, senapan itu akan disita selamanya.
Finch's Landing terdiri atas 366 anak tangga yang menuruni tebing dan berujung
di dermaga. Lebih hilir lagi, melewati tebing, terdapat sisa-sisa kebun kapas
tua, dahulu tempat orang-orang Negro yang bekerja untuk keluarga Finch
mengangkuti karung dan hasil panen, menurunkan berblok-blok es, terigu dan gula,
peralatan pertanian, dan pakaian-pakaian wanita. Jalan dua arah merentang dari
tepi sungai dan menghilang di antara pepohonan gelap. Pada ujung jalan terdapat
rumah putih berlantai dua, dengan beranda yang mengitari kedua lantainya. Pada
usia senja, leluhur kami, Simon Finch, membangunnya untuk menyenangkan istrinya
yang suka menuntut; tetapi dengan adanya beranda-beranda, rumah itu tak lagi
memiliki kemiripan dengan rumah biasa pada zaman itu. Pengaturan di dalam rumah
Finch menandakan ketulusan dan kepercayaan mutlak Simon pada anak-anaknya.
Di lantai atas ada enam kamar tidur: empat untuk delapan anak perempuan, satu
untuk Welcome Finch, satu-satunya anak lelaki, dan satu untuk kerabat yang
bertamu. Cukup sederhana; tetapi kamar para gadis hanya dapat dicapai dengan
satu tangga, kamar Welcome dan kamar tamu hanya dengan tangga yang lain. Tangga
Para Gadis terletak di kamar orangtua mereka di lantai dasar. Jadi, Simon selalu
tahu pukul berapa putri-putrinya pulang dan pergi pada malam hari.
Ada dapur yang terpisah dengan bagian rumah yang lain, yang menyatu dengan rumah
itu melalui jalan kayu yang sempit; di halaman belakang terdapat lonceng
berkarat yang tergantung di tiang, digunakan untuk memanggil pekerja ladang atau
mengirim sinyal bahaya; di atap rumah itu terdapat bagian datar yang disebut
Widow's Walk Jalan Janda meskipun tak ada janda yang pernah berjalan di situ
dari situ, Simon mengawasi mandornya, mengamati kapal sungai, dan mengintip
kehidupan para pemilik tanah di sekitarnya.
Rumah itu menyimpan legenda umum tentang kaum Yankee penduduk Amerika Serikat
bagian utara: seorang anggota keluarga perempuan Finch, yang baru bertunangan,
menyembunyikan barang-barang simpanan untuk pernikahannya agar tak dijarah
perampok setempat; dia terjepit di pintu menuju Tangga Para Gadis, lalu disiram
air dan akhirnya didorong hingga lepas. Ketika kami tiba di Landing, Bibi
Alexandra mencium Paman Jack, Francis mencium Paman Jack, Paman Jimmy berjabatan
tangan tanpa berkata-kata dengan Paman Jack, aku dan Jem memberikan hadiah
kepada Francis, yang juga memberi kami hadiah. Jem yang bertingkah sok tua mendekati para orang
dewasa, meninggalkanku mengobrol dengan sepupu kami. Francis berusia delapan
tahun dan rambutnya tersisir rapi.
"Dapat hadiah Natal apa?" tanyaku sopan.
"Apa yang kuminta," katanya. Francis meminta celana selutut, tas kulit warna
merah, lima kemeja, dan dasi kupu-kupu yang belum diikat.
"Bagus," aku berbohong. "Aku dan Jem mendapat senapan angin, dan Jem mendapat
satu set perlengkapan kimia"
"Mainan, ya?" "Bukan, set betulan. Dia mau membuatkanku tinta tak terlihat, dan aku akan
menyurati Dili dengan tinta itu."
Francis bertanya buat apa aku berbuat begitu.
"Apa kau tak bisa membayangkan wajahnya waktu dia mendapat surat dariku yang tak
berisi apa-apa" Dia pasti penasaran."
Mengobrol dengan Francis memberiku perasaan tenggelam perlahan-lahan ke dasar
samudra. Dia anak paling membosankan yang pernah kutemui. Karena tinggal di
Mobile, dia tak dapat mengadu-kanku ke pihak berwenang sekolah, tetapi dia
berhasil menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya kepada Bibi Alexandra,
yang kemudian menumpahkan kecemasannya kepada Atticus, yang kemudian
melupakannya atau memarahiku, yang mana pun yang sedang ingin dilakukannya.
Tetapi, sekali-kalinya aku pernah mendengar Atticus berbicara tajam kepada orang
lain adalah ketika aku mendengarnya berkata, "Tenanglah, aku berusaha semampuku
dengan mereka!" Kalimat itu muncul karena aku suka mengenakan overall.
Bibi Alexandra sangat gemar membahas pakaianku. Katanya, aku tak mungkin bisa
menjadi wanita terhormat kalau aku selalu memakai celana: ketika kubilang aku
tak bisa melakukan apa-apa kalau memakai rok, dia berkata, aku memang semestinya
tidak melakukan hal-hal yang mengharuskanku mengenakan celana. Bayangan Bibi
Alexandra mengenai kegiatanku mencakup bermain dengan masak-masakan dan
mengenakan kalung Add-A-Pearl yang dihadiahkannya ketika aku lahir; lebih dari
itu, aku semestinya menjadi cahaya mentari dalam kehidupan ayahku yang sunyi.
Aku mengatakan, orang bisa saja menjadi cahaya mentari sambil bercelana, tetapi
Bibi Alexandra berkata bahwa seseorang harus berperilaku seperti berkas cahaya,
bahwa aku dilahirkan baik-baik, tetapi tumbuh semakin buruk setiap tahun. Dia
menyakiti perasaanku dan membuatku selalu sebal, tetapi ketika aku menanyakan
hal ini kepada Atticus, dia berkata bahwa sudah ada cukup banyak cahaya matahari
dalam keluarga kami dan aku boleh melanjutkan kegiatanku, dia tidak berkeberatan
denganku yang seperti ini.
Pada makan malam Natal, aku duduk di meja kecil di ruang makan; Jem dan Francis
duduk bersama orang-orang dewasa di meja makan. Bibi Alexandra terus
mengisolasiku, lama setelah Jem dan Francis lolos untuk duduk di meja besar. Aku
sering bertanya-tanya, memangnya menurutnya apa yang akan kulakukan, bangkit dan
melemparkan sesuatu" Aku kadang terpikir untuk bertanya padanya, jika dia
mengizinkanku duduk di meja besar bersama mereka semua sekali saja, aku akan
membuktikan bahwa aku bisa bersikap beradab; bukankah setiap hari aku makan di
rumah tanpa ada kecelakaan besar" Waktu aku memohon Atticus untuk memanfaatkan
pengaruhnya, katanya dia tak punya pengaruh kami tamu, dan kami duduk menurut
petunjuk tuan rumah. Dia juga berkata bahwa Bibi Alexandra tak banyak mengerti
anak perempuan karena dia tak pernah punya.
Tetapi, masakannya sebanding dengan semuanya: tiga jenis masakan daging, sayuran
khas musim panas dari rak makanan, acar pir, dua jenis kue, dan ambrosia
merupakan makan malam Natal sederhana. Setelahnya, orang-orang dewasa pindah ke
ruang tamu dan duduk-duduk kekenyangan. Jem berbaring di lantai, dan aku ke
halaman belakang. "Pakai jaketmu," kata Atticus lirih, jadi aku tak
mendengarnya. Francis duduk di sampingku di tangga belakang. "Itu yang terbaik sampai
sekarang," kataku. "Nenek pintar memasak," kata Francis. "Dia akan mengajariku."
"Anak lelaki tak boleh memasak." Aku cekikikan membayangkan Jem mengenakan
celemek. "Kata Nenek, semua lelaki harus belajar memasak. Lelaki juga harus berhati-hati
menghadapi istri dan harus melayaninya kalau sedang sakit," kata
sepupuku. "Aku tak ingin Dili melayaniku," kataku. "Aku lebih suka melayaninya." "Dili?"
"Ya. Jangan bilang apa-apa dulu, tetapi kami akan menikah kalau kami sudah cukup
besar. Dia melamarku musim panas lalu."
Francis tertawa mengejek.
"Memangnya kenapa?" tanyaku. "Dia kan tak apa-apa."
"Maksudmu, si cebol yang kata Nenek menginap di rumah Miss Rachel setiap musim
panas?" "Memang dia yang kumaksud."
"Aku tahu banyak tentang dia," kata Francis.
"Memangnya dia kenapa?"
"Kata Nenek, dia tak punya rumah"
"Punya, dia tinggal di Meridian." "dia selalu berpindah-pindah dari saudara ke
saudara, dan Miss Rachel mendapat giliran menampungnya setiap musim panas."
"Francis, kau bohong!"
Francis menyeringai. "Kau memang kadang-kadang bodoh sekali, Jean Louise.
Rupanya kau tak tahu, ya?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau Paman Atticus mengizinkanmu bermain dengan anjing liar, itu urusannya,
seperti kata Nenek, jadi bukan salahmu. Kurasa bukan salahmu kalau Paman Atticus
juga pencinta nigger, tetapi biar kuberi tahu, ini benar-benar membuat malu
seluruh keluarga" "Francis, sialan, apa maksudmu?"
"Ya, yang kubilang tadi. Kata Nenek, sudah cukup buruk ayahmu membiarkanmu
tumbuh liar, tetapi sekarang ternyata dia jadi pencinta nigger, kami tak bisa
lagi berjalan dengan tegak di jalanan Maycomb. Dia menghancurkan keluarga kita,
itulah yang dilakukannya."
Francis berdiri dan berlari menyusuri jalan kayu ke dapur tua. Pada jarak yang
aman, dia berseru, "Ayahmu itu cuma pencinta nigger1."
"Bukan!" seruku. "Aku tak tahu maksudmu, tetapi hentikan sekarang juga!"
Aku melompat turun dari tangga dan berlari menyusuri jalan kayu. Mudah saja
menangkap kerah Francis. Aku menyuruhnya agar cepat menarik kembali kata-
katanya.
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Francis meronta lepas dan berlari masuk dapur. "Pencinta nigger1." teriaknya.
Ketika mengintai mangsa, jangan terburu-buru. Jangan berkata apa-apa, dan bisa
dipastikan dia akan penasaran dan muncul. Francis muncul di pintu dapur. "Kau
masih marah, Jean Louise?" tanyanya dengan hati-hati.
"Aku tak bisa bilang apa-apa lagi," kataku. Francis keluar ke jalan kayu.
"Tarik kata-katamu, Francis?" Tetapi, aku terlalu cepat bergerak. Francis
melesat kembali ke dapur, jadi aku duduk di tangga. Aku bisa menunggu dengan
sabar. Mungkin aku sudah duduk di situ selama lima menit ketika kudengar Bibi
Alexandra berbicara, "Mana Francis?"
"Dia di dapur."
"Dia tahu dia tidak boleh bermain di sana."
Francis muncul di pintu dan berseru, "Nenek, dia memasukkanku ke sini dan tak
membolehkanku keluar!"
"Ada apa ini, Jean Louise?"
Aku memandang Bibi Alexandra, "Aku tidak memasukkan dia ke sana, Bibi, aku tidak
mengurungnya." "Bohong," seru Francis, "dia tidak membolehkanku keluar!"
"Kalian bertengkar?"
"Jean Louise marah padaku, Nenek," seru Francis.
"Francis, keluar sini! Jean Louise, kalau kudengar sepatah kata lagi darimu,
akan kuadukan pada ayahmu. Apakah tadi aku mendengarmu mengatakan sialan?"
"Tidak, Ma'am."
"Rasanya iya. Jangan sampai kudengar lagi."
Bibi Alexandra suka menguping di halaman belakang. Begitu dia tak terlihat,
Francis keluar dengan mengangkat dagu dan menyeringai. "Jangan main-main
denganku," katanya. Dia melompat ke halaman dan menjaga jarak, menendangi rumput, sesekali berbalik
dan tersenyum kepadaku. Jem muncul di teras, memandang kami, lalu pergi. Francis
memanjat pohon akasia, turun, mengantongi tangannya, dan berjalan-jalan
mengelilingi halaman. "Hah!" katanya. Aku bertanya, dia pikir dia siapa, Paman
Jack" Kata Francis, bukankah aku disuruh duduk dan jangan mengganggunya"
"Aku kan tidak mengganggumu," kataku. Francis memandangku dengan berhati-hati,
menyimpulkan bahwa aku sudah cukup jinak, dan menyanyi lirih, "Pencinta nigger..."
Kali ini buku jariku robek sampai ke tulang karena gigi depannya. Karena tangan
kiriku cedera, aku menyerang dengan tangan kanan, tetapi tak lama. Paman Jack
menahan tanganku ke badan dan berkata, "Jangan bergerak!"
Bibi Alexandra mengobati Francis, menyeka air matanya dengan sapu tangan,
membelai rambutnya, menepuk-nepuk pipinya dengan lembut. Atticus, Jem, dan Paman
Jimmy segera menuju teras belakang begitu Francis mulai menjerit-jerit. "Siapa
yang memulai?" tanya Paman Jack. Aku dan Francis saling menuding. "Nenek,"
tangisnya, "dia memanggilku perempuan jalang dan menyerangku!"
"Benarkah itu, Scout?" kata Paman Jack. "Sepertinya iya." Ketika Paman Jack
memandangku, raut wajahnya seperti Bibi Alexandra. "Kau tahu, aku sudah bilang,
aku akan menghukum dirimu kalau kau menggunakan kata-kata seperti itu" Aku sudah
bilang, kan?" "Ya, Paman, tapi"
"Sekarang, kau akan kuhukum. Diam di situ." Aku sedang mempertimbangkan apakah
lebih baik berdiri di situ atau lari, dan aku terlalu lambat
memutuskan: Aku berbalik untuk kabur, tetapi Paman Jack lebih cepat. Tahu-tahu
aku sudah berhadapan langsung dengan seekor semut kecil yang berjuang mengangkut
remah roti di rumput. "Aku tak mau lagi bicara denganmu sepanjang hidupku! Aku benci kau dan kuharap
kaumati besok!" Pernyataanku ini tampaknya membuat Paman Jack makin meradang.
Aku berlari ke arah Atticus untuk mencari perlindungan, tetapi dia berkata aku
pantas dihukum dan sudah saatnya kami pulang. Aku naik ke kursi belakang mobil
tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada siapa pun, lalu setibanya di rumah aku
berlari ke kamarku dan membanting pintunya. Jem mencoba menghiburku, tetapi aku
tak ingin dihibur. Aku memeriksa luka-luka pada tubuhku; hanya ada tujuh atau delapan bekas merah,
dan aku sedang merenungkan relativitas ketika seseorang mengetuk pintu. Kutanya
siapa; Paman Jack menjawab. "Pergi!"
Paman Jack berkata, kalau aku berbicara seperti itu lagi, dia akan menghukumku
lagi, jadi aku diam. Ketika dia masuk ke kamar, aku mundur ke pojok dan
memunggunginya. "Scout," katanya, "kau masih membenciku?"
"Tolong pergi saja, Sir."
"Wah, aku tak menyangka kau akan menya-lahkanku," katanya. "Aku kecewa padamu
kau pantas dihukum dan kau tahu itu."
"Aku tidak tahu."
"Sayang, kau tidak bisa seenaknya menyebut
orang" "Paman tak adil," kataku, "Paman tak adil." Alis Paman Jack naik. "Tak adil"
Kenapa?" "Kau baik sekali, Paman Jack, dan kukira aku akan tetap menyayangimu setelah
perbuatanmu ini, tetapi kau memang tidak terlalu paham anak-anak." Paman Jack
berkacak pinggang dan memandangku. "Dan kenapa aku tidak paham anak-anak, Miss
Jean Louise" Perbuatanmu itu tidak susah untuk dipahami. Perbuatan itu lancang,
liar, dan kasar" "Paman mau memberiku kesempatan untuk memberi tahu atau tidak" Aku tak bermaksud
tidak sopan padamu, aku cuma mencoba memberi tahu." Paman Jack duduk di tempat
tidur. Alisnya bertaut, dan dia memandangku. "Baiklah," katanya.
Aku menghela napas panjang. "Yah pertama-tama, Paman tak pernah meluangkan
waktumu sejenak saja untuk memberiku kesempatan bercerita dari sisiku Paman
langsung saja menyerangku. Kalau aku dan Jem bertengkar, Atticus tak pernah
hanya mendengar cerita Jem, dia mendengar ceritaku juga, dan kedua, Paman
melarangku menggunakan kata-kata seperti itu kecuali dipancing-pancing, dan
Francis memancingku untuk memukul kepalanya" Paman Jack menggaruk kepalanya.
"Apa cerita dari sisimu, Scout?"
"Francis menyebut Atticus sesuatu, dan aku tak rela mendengarnya."
"Francis menyebutnya apa?"
"Pencinta nigger. Aku tak yakin apa artinya, tetapi cara Francis mengucapkannya
kuberi tahu satu hal sekarang, Paman Jack, aku yakin aku bersumpah demi Tuhan, aku tak bisa
cuma duduk diam dan membiarkan dia berkata begitu tentang Atticus." "Dia
menyebut Atticus begitu?"
"Ya, Sir, dan banyak lagi. Katanya, Atticus bisa menghancurkan keluarga besar
kita dan dia membiarkan aku dan Jem tumbuh liar..."
Dari wajah Paman Jack, kusangka aku akan dihukum lagi. Tapi ketika dia berkata,
"Akan kita lihat lagi masalahnya," aku tahu Francis yang akan dihukum. "Aku akan
ke sana lagi malam ini."
"Tolong, Paman, biarkan saja. Tolong."
"Aku tak ingin membiarkannya," katanya. "Alexandra harus tahu soal ini.
Memikirkan bahwa tunggu saja sampai aku menemui anak itu ..."
"Paman Jack, tolong berjanjilah satu hal padaku, kumohon, Paman. Janjilah Paman
tak akan mengatakan pada Atticus tentang ini. Dia dia pernah memintaku untuk
tidak membiarkan apa pun yang kudengar tentang dia membuatku marah, dan aku
lebih suka dia berpikir kami berkelahi tentang hal lain. Tolong, janjilah ..."
"Tapi aku tak suka Francis dibiarkan berbuat begitu"
"Biarkan saja. Paman mau membalut tanganku" Masih berdarah sedikit."
"Tentu mau, Manis. Tak ada tangan lain yang lebih membuatku senang saat
membalutnya. Kemarilah."
Paman Jack dengan sopan membungkuk untuk mempersilakanku ke kamar mandi.
Sementara dia membersihkan dan membalut jemariku, dia menghiburku dengan kisah tentang lelaki
tua penderita rabun jauh yang lucu, yang memiliki seekor kucing bernama Hodge,
dan yang menghitung semua celah di trotoar kalau pergi ke kota. "Nah, sudah,"
katanya. "Kau akan punya bekas luka yang sangat tidak cantik di jari manismu."
"Terima kasih, Sir. Paman Jack"
"Ya, Nak?" "Perempuan jalang itu apa?" Paman Jack malah menceritakan kisah panjang lain
tentang Perdana Menteri tua anggota badan legislatif yang suka meniup bulu-bulu
di udara dan mencoba menjaganya di udara ketika di sekelilingnya semua orang
telah kehilangan akal. Kurasa dia mencoba menjawab pertanyaanku, tetapi
penjelasannya sama sekali tak masuk akal.
Malam itu, ketika aku semestinya sudah tidur, aku turun ke ruang keluarga untuk
mengambil minum dan mendengar Atticus dan Paman Jack sedang berbicara di ruang
tamu: "Aku tak akan menikah, Atticus."
"Mengapa?" "Bisa-bisa aku punya anak." Kata Atticus, "Kau masih harus belajar banyak,
Jack." "Aku tahu. Putrimu memberiku pelajaran pertama sore ini. Katanya, aku tak banyak
mengerti tentang anak-anak dan memberitahukan alasannya. Dia benar juga.
Atticus, dia memberitahuku bagaimana aku semestinya memperlakukannya duh, aku
sangat menyesal telah memarahinya."
Atticus tergelak. "Dia pantas dimarahi, jadi jangan terlalu menyesal."
Dengan tegang, aku menunggu Paman Jack memberi tahu Atticus tentang sisi
ceritaku. Tetapi ternyata tidak. Dia hanya bergumam, "Kata-kata makian yang
digunakannya sungguh tak terbayang-kan. Tapi dia tak tahu makna sebagian besar
kata-kata yang diucapkannya dia bertanya wanita jalang itu apa
"Apa kau memberitahunya?"
"Tidak, aku bercerita tentang Lord Melbourne."
"Jack! Kalau seorang anak bertanya sesuatu, jawablah, demi Tuhan. Jangan
berlebihan. Anak-anak adalah anak-anak, tetapi mereka tahu kalau kau menghindar,
mereka tahu lebih cepat daripada orang dewasa, dan menghindar hanya akan
membingungkan mereka. Tidak," renung ayahku, "kau mendapatkan pengetahuan yang
benar sore ini, tetapi dengan alasan yang salah. Bahasa yang buruk adalah tahap
yang dilalui semua anak, dan akan berakhir dengan sendirinya, ketika mereka
mengerti bahwa mereka tak akan mendapat perhatian dengan cara itu. Sifat Scout
yang gampang marah tidak akan hilang. Dia harus belajar menjaga perilakunya dan
harus segera, dengan apa yang akan terjadi padanya beberapa bulan ke depan. Tapi
dia sudah lebih baik. Jem semakin dewasa dan Scout banyak meneladaninya. Yang
dia butuhkan hanyalah bantuan, sekali-sekali."
"Atticus, kau belum pernah memukulnya."
"Aku mengakui itu. Sejauh ini aku berhasil hanya dengan mengancamnya. Jack, dia
mematuhiku sebaik yang dia bisa. Kadang-kadang dia memang bandel, tetapi dia
mencoba." "Itu bukan jawabannya," kata Paman Jack. "Tidak, jawabannya adalah dia tahu aku
tahu dia mencoba. Itulah yang membedakan. Yang menggangguku adalah dia dan Jem
akan harus menyerap hal-hal buruk tak lama lagi. Aku tidak mengkhawatirkan Jem
soal menjaga kelakuan, tetapi Scout lebih suka menyerang seseorang daripada
menghadapinya kalau harga dirinya dipertaruhkan ii
Aku menunggu Paman Jack melanggar janjinya. Dia tetap tidak melakukannya.
"Atticus, akan seburuk apa keadaannya nanti" Kau belum sempat membahasnya."
"Tak akan lebih buruk dari sekarang, Jack. Satu-satunya yang kita miliki adalah
perkataan seorang kulit hitam untuk melawan perkataan seorang Ewell. Pada
intinya, bukti menunjukkan, kau melakukannya, aku tidak melakukannya. Kita tak
mungkin mengharapkan Juri lebih memercayai kata-kata Tom Robinson daripada kata-
kata keluarga Ewell kau kenal dengan mereka?"
Paman Jack berkata ya, dia ingat. Dia menggambarkan ciri-ciri keluarga itu
kepada Atticus, tetapi Atticus berkata, "Kau terlewat satu generasi. Tetapi,
generasi yang sekarang sama saja." "Jadi, apa yang akan kauperbuat?"
"Sebelum aku menyelesaikan kasus ini, aku
berniat sedikit mengguncang juri tetapi kupikir kita akan punya peluang baik
untuk naik banding. Aku benar-benar tak bisa menduga apa yang akan terjadi pada
tahap ini, Jack. Kau tahu, aku pernah berharap bisa melewatkan hidup tanpa kasus
sejenis ini, tetapi John Taylor menunjukku dan berkata, 'Kau akan menangani
kasus ini.'" "Tapi bukankah kau bisa menolaknya?"
"Benar. Tapi bagaimana aku bisa menghadapi anak-anakku, kalau aku tidak
melakukannya" Kau tahu apa yang akan terjadi, Jack, dan aku berharap dan berdoa
aku bisa membawa Jem dan Scout melewati semua ini tanpa kepahitan, dan terutama,
tanpa terjangkiti penyakit Maycomb. Kenapa orang-orang yang pandai mudah naik
pitam jika ada kejadian yang melibatkan seorang Negro, adalah sesuatu yang tak
akan pernah kupahami ... aku hanya berharap, Jem dan Scout akan mencari jawaban
pada diriku, alih-alih mendengarkan warga kota. Kuharap mereka cukup
memercayaiku ... Jean Louise?"
Kulit kepalaku seperti terlompat. Aku menjulurkan kepalaku. "Sir?" "Tidurlah."
Aku berlari ke kamarku dan tidur. Paman Jack adalah pangeran yang tidak pernah
mengecewa-kanku. Tetapi, aku tak pernah mengerti bagaimana Atticus tahu aku
sedang menguping, dan baru bertahun-tahun kemudian aku menyadari bahwa dia ingin
aku mendengar setiap kata yang diucapkannya.
Sepuluh Atticus sudah uzur; usianya hampir lima puluh. Waktu aku dan Jem bertanya
mengapa dia begitu tua, katanya dia terlambat memulai, yang kami kira
memengaruhi kemampuan dan kejantanannya. Dia jauh lebih tua daripada para
orangtua teman sekolah kami, dan tak ada yang dapat aku atau Jem katakan tentang
dia ketika teman-teman kami berkata, "Kalau ayah-ku..."
Jem gila football. Atticus tak pernah terlalu lelah untuk menemani berlatih,
tetapi kalau Jem ingin men-tackle dia, Atticus berkata, "Aku sudah terlalu tua
untuk itu, Nak." Ayah kami tidak punya keistimewaan apa-apa. Dia bekerja di kantor, bukan di
toko. Atticus tidak mengendarai truk sampah untuk pemerintah county, dia bukan
sheriff, dia tidak berkebun, bekerja di bengkel, atau melakukan apa pun yang
bisa menimbulkan kekaguman orang.
Selain itu, dia berkacamata. Mata kirinya hampir buta, dan mata kiri yang
bermasalah adalah kutukan keluarga Finch. Kalau ingin melihat sesuatu dengan
lebih jelas, dia menoleh dan melihat dengan mata kanannya.
Dia tak melakukan hal-hal yang dilakukan ayah
teman-teman sekolah kami: dia tak pernah berburu, dia tak pernah bermain poker
atau memancing atau minum alkohol atau merokok. Dia duduk di rumah dan membaca.
Bagaimanapun, dengan sifat-sifat ini, ternyata dia tidak terus menjadi seseorang
yang tidak menonjol seperti yang kami inginkan: tahun itu, seluruh sekolah
membicarakan dirinya yang membela Tom Robinson, dan tak satu pun memujinya.
Setelah perkelahianku dengan Cecil Jacobs, aku menetapkan kebijakan pengecut.
Kabar yang tersebar adalah Scout Finch tak mau berkelahi lagi karena ayahnya tak
mengizinkan. Ini tidak sepenuhnya benar: demi Atticus, aku tak akan berkelahi di
depan umum, tetapi keluarga adalah lahan pribadiku. Aku akan berkelahi mati-
matian dengan orang dalam lingkup sepupu jauh. Francis Hancock, misalnya, tahu
itu. Ketika menghadiahi kami senapan angin, Atticus tak mau mengajari kami cara
menembak. Paman Jack yang mengajari kami dasar-dasarnya; katanya, Atticus tidak
tertarik pada senapan. Kata Atticus kepada Jem suatu hari, "Aku lebih suka kau
menembaki kaleng timah di halaman belakang, tetapi aku tahu kau akan memburu
burung. Kau boleh menembak burung biuejay sebanyak yang kau mau, kalau bisa
kena, tetapi ingat, membunuh mockingbird sejenis murai bersuara merdu itu dosa."
Itulah sekali-kalinya aku pernah mendengar Atticus berkata tentang sesuatu yang
menyebabkan dosa, dan aku menanyakannya kepada Miss
Maudie. "Ayahmu benar," katanya. "Mockingbird menyanyikan musik untuk kita nikmati,
hanya itulah yang mereka lakukan. Mereka tidak memakan tanaman di kebun orang,
tidak bersarang di gudang jagung, mereka tidak melakukan apa pun, kecuali
menyanyi dengan tulus untuk kita. Karena itulah, membunuh mockingbird itu dosa."
"Miss Maudie, lingkungan ini sudah tua, ya?"
"Sudah ada sebelum kota ini ada."
"Bukan, Ma'am, maksudku, orang-orang di jalan kita semuanya sudah tua. Anak-anak
yang tinggal di sekitar sini hanya aku dan Jem. Mrs. Dubose hampir berumur
seratus tahun dan Miss Rachel sudah tua, kau dan Atticus juga."
"Lima puluh tahun belum terlalu tua," kata Miss Maudie pendek. "Aku belum
didorong-dorong pakai kursi roda, bukan" Ayahmu juga belum. Tetapi aku harus
katakan, Yang Kuasa cukup baik hati membakar mausoleum tua milikku itu, aku
sudah terlalu tua untuk merawatnya mungkin kau benar, Jean Louise, lingkungan
ini cukup mapan. Kau tidak banyak bergaul dengan anak sebayamu, ya?"
"Hanya di sekolah."
"Maksudku, orang dewasa yang masih muda. Kau beruntung, Nak. Kau dan Jem
beruntung karena usia ayahmu. Andai ayahmu baru tiga puluh tahun, hidupmu pasti
berbeda." "Tentu saja. Atticus tak bisa berbuat apa-apa
ii "Kau pasti terkejut kalau tahu," kata Miss
Maudie. "Dalam tubuhnya masih ada semangat yang membara."
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang bisa dia lakukan"
"Dia bisa membuat seseorang begitu terlindung sehingga orang lain tak bisa
mengganggunya." "Yang benar saja ...."
"Eh, apa kau tidak tahu, dia adalah pemain checker terbaik di kota ini. Waktu
masih tinggal di Landing, Atticus Finch bisa mengalahkan siapa pun di kedua sisi
sungai." "Ya Tuhan, Miss Maudie, aku dan Jem selalu mengalahkannya."
"Sudah waktunya kau tahu, itu karena dia sengaja mengalah. Tahukah kau, dia bisa
memainkan Jew's harp?"
Prestasi kecil Atticus ini malah membuatku semakin malu.
"Tapikata Miss Maudie.
"Tapi apa, Miss Maudie?"
"Bukan apa-apa. Bukan apa-apa kusangka dengan semua itu kau akan bangga padanya.
Tak semua orang bisa memainkan Jew's harp. Nah, jangan ganggu para tukang kayu
yang sedang bekerja. Sebaiknya kau pulang. Aku akan mengurus azaleaku dan tak
bisa mengawasimu. Bisa-bisa kau tertimpa papan."
Aku ke halaman belakang dan menemukan Jem sedang mencoba menembak sebuah kaleng
timah dengan gigih. Usaha yang tampak bodoh karena banyak burung biuejay di
sekitarnya. Aku kembali ke halaman depan dan selama dua jam menyibukkan
diri mendirikan benteng rumit di sisi teras, yang terdiri atas roda, kerat
jeruk, keranjang cucian, kursi-kursi teras, dan bendera AS kecil hadiah dari
sekotak popcorn pemberian Jem.
Ketika pulang untuk makan malam, Atticus mendapatiku membungkuk, membidik ke
seberang jalan. "Kau sedang menembak apa?" "Pantat Miss Maudie." Atticus
berbalik dan melihat targetku yang besar sedang membungkuk di atas semaknya. Dia
mendorong topinya ke belakang kepala dan menyeberangi jalan. "Maudie,"
panggilnya, "kupikir sebaiknya aku memperingatkanmu. Kau terancam bahaya besar."
Miss Maudie menegakkan tubuh dan melihat ke arahku. Katanya, "Atticus, kau iblis
dari neraka." Ketika kembali, Atticus menyuruhku membongkar benteng. "Jangan
sampai aku memergokimu lagi sedang mengarahkan senapan itu pada orang," katanya.
Andai saja ayahku memang iblis dari neraka. Aku mengajak Calpurnia membicarakan
topik itu. "Mr. Finch" Wah, banyak sekali yang bisa dia lakukan."
"Apa misalnya?" tanyaku. Calpurnia menggaruk kepala. "Yah, aku tak tahu juga,"
katanya. Jem menegaskan prasangkaku atas ketidak mampuan Atticus ketika dia bertanya
kepadanya mengenai kemungkinan dia bergabung dengan kelompok jemaat Metodis.
Kata Atticus, lehernya bisa
patah kalau dia bergabung, dia sudah terlalu tua untuk hal-hal seperti itu.
Jemaat Metodis ingin melunasi pinjaman gerejanya, dan menantang jemaat Baptis
untuk bermain touch football. Sepertinya semua Ayah di kota kami ikut bermain,
kecuali Atticus. Jem sebenarnya tak mau menonton pertandingan itu, tetapi karena
dia tak mampu menolak football dalam bentuk apa pun, dia pun berdiri murung di
tepi lapangan bersamaku dan Atticus, menonton ayah Cecil Jacobs membuat
touchdown untuk regu Baptis.
Pada suatu Sabtu, aku dan Jem memutuskan untuk menjelajah sambil membawa senapan
angin kami, kalau-kalau kami menemukan kelinci atau tupai. Kami sudah berjalan
sekitar lima ratus meter melewati Radley Place ketika kulihat Jem memicingkan
mata menatap sesuatu di ujung jalan. Dia memutar kepalanya ke satu sisi dan
melihat dari sudut matanya.
"Kau lihat apa?"
"Anjing tua di sana itu," katanya. "Itu Tim Johnson tua, kan?" "Ya."
Tim Johnson adalah anjing milik Mr. Harry Johnson yang mengemudikan bus Mobile
dan tinggal di tepi selatan kota. Tim adalah anjing pemburu burung berwarna
merah hati; binatang kesayangan Maycomb.
"Sedang apa dia?"
"Aku tak tahu, Scout. Sebaiknya kita pulang." "Yah, Jem, ini kan Februari."
"Aku tak peduli. Aku mau beri tahu Cal." Kami berlomba pulang dan berlari ke
dapur. "Cal," kata Jem, "ikutlah dengan kami ke trotoar sebentar."
"Buat apa, Jem" Aku tidak bisa ikut ke trotoar setiap kali kau minta."
"Anjing tua di ujung jalan itu agak aneh." Calpurnia menghela napas. "Aku tak
bisa membalut kaki sembarang anjing. Ada perban di kamar mandi, ambillah,
kerjakan sendiri." Jem menggeleng. "Dia sakit, Cal. Ada yang aneh."
"Memangnya apa yang dia lakukan, mau menangkap ekornya sendiri?"
"Tidak, dia seperti ini." Jem megap-megap seperti ikan koki, membungkukkan bahu,
dan menggeleparkan tubuh. "Dia seperti itu, hanya sepertinya dia tak ingin
berbuat begitu." "Apakah kau sedang berbohong, Jem Finch?" nada suara Calpurnia meninggi.
"Tidak, Cal, sumpah, aku tidak bohong." "Apa anjing itu berlari?"
"Tidak, dia hanya jalan biasa, lambat sekali, sampai hampir tak kelihatan. Dia
berjalan ke arah sini."
Calpurnia membasuh tangannya dan mengikuti Jem ke halaman. "Aku tidak melihat
ada anjing," katanya.
Dia mengikuti kami melewati Radley Place dan melihat ke arah yang ditunjuk Jem.
Tim Johnson tak lebih dari titik di kejauhan, tetapi sudah lebih dekat. Dia berjalan terseok-
seok, seolah-olah kaki kanannya lebih pendek daripada kaki kirinya. Dia
mengingatkanku akan mobil yang terperangkap di kolam pasir.
"Dia timpang," kata Jem. Calpurnia menatap, lalu mencengkeram bahu kami, dan
membawa kami berlari pulang. Dia menutup pintu kayu di belakang kami, mengangkat
telepon, dan berseru, "Sambungkan dengan kantor Mr. Finch!"
"Mr. Finch!" teriaknya. "Ini Cal. Saya bersumpah demi Tuhan, ada anjing gila di
jalanan dia datang ke arah sini, ya Sir, dia Mr. Finch, saya berani bersumpah
Tim Johnson tua, ya Sir... ya Sir... ya"
Dia menutup telepon dan menggeleng ketika kami mencoba bertanya apa yang
dikatakan Atticus. Dia mengetuk-ngetuk kait telepon dan berkata, "Miss Eula May
tidak, Ma'am, saya sudah selesai bicara dengan Mr. Finch, jangan disambungkan
lagi dengar, Miss Eula May, bisakah Anda menelepon Miss Rachel dan Miss
Stephanie Crawford dan orang-orang yang tinggal di jalan ini dan memberi tahu
mereka ada anjing gila datang" Tolong, Ma'am!"
Calpurnia mendengarkan. "Saya tahu sekarang Februari, Miss Eula May, tetapi saya
bisa mengenali anjing gila hanya dengan melihatnya. Tolong, M a' am, cepatlah!"
Calpurnia bertanya kepada Jem. "Apa keluarga Radley punya telepon?"
Jem mencari di buku telepon dan berkata
tidak. "Mereka toh tak akan keluar, Cal."
"Aku tak peduli, aku akan memberi tahu mereka."
Dia berlari ke teras depan, aku dan Jem di belakangnya. "Kalian tinggal di dalam
rumah!" serunya. Pesan Calpurnia telah diterima oleh para tetangga. Setiap pintu
yang bisa kami lihat tertutup rapat. Sosok Tim Johnson belum terlihat. Kami
menyaksikan Calpurnia berlari ke arah Radley Place, mengangkat rok dan celemek
di atas lutut. Dia menaiki pintu depan dan menggedor pintu. Karena tak mendapat
jawaban, dia berseru, "Mr. Nathan, Mr. Arthur, ada anjing gila! Ada anjing
gila!" "Seharusnya dia memutar ke belakang," kataku. Jem menggeleng. "Tak ada bedanya
sekarang," katanya. Sia-sia saja Calpurnia menggedor pintu. Tak ada yang memedulikan peringatannya;
sepertinya tak ada yang mendengarnya.
Ketika Calpurnia berlari ke teras belakang, sebuah mobil Ford hitam masuk ke
garasi. Atticus dan Mr. Heck Tate keluar dari mobil itu.
Mr. Heck Tate adalah sheriff di Maycomb County. Tinggi badannya sama dengan
Atticus, tetapi tubuhnya lebih kurus. Pria berhidung panjang itu mengenakan
sepatu bot berlubang logam mengilap, celana berpipa melebar, dan jaket penebang
kayu. Di sabuknya terpasang sebaris peluru. Dia membawa senapan berat. Ketika
dia dan Atticus tiba di teras, Jem membuka pintu.
"Tetaplah tinggal di dalam, Nak," kata Atticus.
"Di mana anjing itu, Cal"
"Mestinya sudah sampai di sini," kata Calpurnia, menunjuk ke jalan.
"Dia tidak berlari?" tanya Mr. Tate.
"Tidak, Sir, dia masih pada tahap menggelepar, Mr. Heck."
"Apakah sebaiknya kita kejar dia, Heck?" tanya Atticus.
"Sebaiknya kita tunggu, Mr. Finch. Anjing gila biasanya berjalan lurus, tetapi
tidak pasti juga. Dia mungkin saja mengikuti jalan yang berbelok mudah-mudahan
begitu, atau dia akan masuk ke halaman belakang Radley. Kita tunggu saja
sebentar." "Sepertinya anjing itu tidak akan masuk ke halaman Radley," kata Atticus. "Dia
pasti terhalang oleh pagar. Dia mungkin mengikuti jalan
Kusangka mulut anjing gila akan tampak berbuih, dia akan berlari, melompat, dan
menyambar leher, dan kusangka penyakit anjing gila hanya muncul pada bulan
Agustus. Andai Tim Johnson bertingkah seperti itu, aku tentu tidak setakut ini.
Tak ada yang lebih mencekam daripada jalan yang sepi menanti. Pepohonan diam,
mockingbird tidak bernyanyi, tukang kayu yang bekerja di rumah Miss Maudie tidak
terlihat. Aku mendengar Mr. Tate mengendus, lalu membersihkan hidungnya. Kulihat
dia memindahkan senapannya ke dalam siku. Kulihat wajah Miss Stephanie Crawford
terbingkai dalam jendela kaca di pintu depannya. Miss Maudie muncul dan berdiri
di sampingnya. Atticus meletakkan kakinya pada kursi dan menggosokkan tangannya
perlahan di sisi paha. "Itu dia," katanya lirih. Tim Johnson muncul, berjalan sempoyongan di tepi dalam
tikungan yang berdekatan dengan rumah Radley.
"Lihat dia," bisik Jem. "Kata Mr. Heck, jalannya lurus. Dia bahkan tak bisa
tetap berada dijalan." "Dia lebih mirip anjing sakit," kataku.
"Andai ada sesuatu di hadapannya, pasti dia akan langsung menyerangnya."
Mr. Tate meletakkan tangan di kening dan mencondongkan tubuh ke depan. "Anjing
itu memang gila, Mr. Finch."
Tim Johnson maju selambat siput, tetapi dia tidak bermain atau mengendus
dedaunan: dia berjalan lurus menuju satu arah tertentu dan sepertinya
termotivasi oleh kekuatan tak terlihat yang mendorongnya mendekati kami. Kami
melihat dia gemetar seperti kuda mengusir lalat; rahangnya membuka dan menutup;
Asmara Pedang Dan Golok 1 Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara Sepasang Pendekar Dari Selatan 1
pesawat pos tujuh belas kali, sudah pernah ke Nova Scotia, pernah melihat gajah,
dan kakeknya adalah Brigadir Jenderal Joe Wheeler yang mewariskan pedangnya
kepada Dili. "Kalian diamlah," kata Jem. Dia berlari ke kolong rumah dan keluar membawa
tongkat bambu kuning. "Kira-kira ini cukup panjang tidak, ya, untuk menjangkau
dari trotoar?" "Orang yang cukup berani mendekati dan menyentuh rumah mestinya tak perlu pakai
tongkat pancing," kataku. "Kenapa tidak kamu dobrak saja pintu depannya?"
"Ini be da," kata Jem, "aku harus bilang berapa kali?"
Dili mengambil sehelai kertas dari saku dan memberikannya kepada Jem. Kami
bertiga berjalan dengan hati-hati ke rumah tua itu. Dili menunggu di tiang lampu
di pojok halaman depan, sedangkan aku dan Jem menyusuri trotoar yang sejajar
dengan sisi rumah. Aku berjalan lebih jauh daripada Jem dan berdiri di tempat
yang memungkinkan untuk melihat melewati tikungan.
"Kosong," kataku. "Aku tak melihat siapa-siapa." Jem menoleh kepada Dili, yang
mengangguk. Jem memasang surat pada ujung tongkat pancing, menjulurkan tongkat melintasi
halaman dan mendorongnya ke arah jendela yang sudah dipilihnya. Tongkat itu
terlalu pendek beberapa inci. Jem membungkuk sejauh mungkin. Aku mengamati dia
menyodok-nyodok begitu lama, akhirnya kutinggalkan posku dan menghampirinya.
"Suratnya tak mau lepas dari tongkat," gerutunya, "kalaupun bisa dilepaskan,
surat ini tak mau menempel. Kembalilah ke jalan, Scout."
Aku kembali dan mengamati tikungan jalan yang kosong. Sesekali aku menoleh
kembali kepada Jem, yang dengan sabar mencoba meletakkan surat itu di kosen jendela. Surat itu
berkali-kali melayang ke tanah dan Jem menusuknya lagi, sampai-sampai aku
berpikir bahwa andai Boo Radley akhirnya menerimanya, dia tak akan bisa
membacanya. Aku sedang memandangi jalan ketika lonceng makan berbunyi.
Dengan bahu terangkat, aku memutar, bersiap-siap menghadapi Boo Radley dan
taringnya yang berdarah-darah; alih-alih kulihat Dili membunyikan lonceng sekuat
tenaga di depan wajah Atticus.
Jem kelihatan kacau sekali, sehingga aku tak tega mengatakan, aku bilang apa.
Dia menyeret kakinya, menyeret tongkat di belakangnya pada trotoar.
Kata Atticus, "Hentikan bunyi lonceng itu." Dili berhenti membunyikan lonceng
itu; dalam keheningan yang menyusul, aku ingin sekali dia mulai membunyikannya
lagi. Atticus mendorong topinya ke belakang kepala dan meletakkan tangannya di
pinggang. "Jem," katanya, "kau sedang apa?" "Tidak ada apa-apa, Sir." "Aku tak
mau dengar itu. Ceritakan." "Aku hanya kami hanya mencoba memberikan sesuatu
kepada Mr. Radley." "Kau sedang mencoba memberikan apa kepadanya?"
"Hanya surat." "Coba kulihat." Jem menyodorkan secarik kertas kotor. Atticus
mengambilnya dan mencoba membacanya. "Mengapa kau ingin Mr. Radley keluar?"
Kata Dili, "Barangkali dia senang kalau bertemu dengan kami ..." dan berhenti
ketika Atticus menoleh padanya.
"Nak," katanya kepada Jem. "Aku akan mengatakan sesuatu padamu dan hanya sekali:
jangan menyiksa lelaki itu lagi. Ini juga berlaku untuk kalian berdua."
Apa pun yang dilakukan Mr. Radley adalah urusannya. Kalau dia ingin keluar, dia
akan keluar. Kalau dia ingin tinggal di dalam rumahnya sendiri, dia berhak
tinggal di dalam tanpa diusik oleh anak-anak yang ingin tahu, yang merupakan
istilah untuk menyebut anak-anak seperti kami. Apakah kami suka kalau Atticus
masuk begitu saja tanpa mengetuk, saat kami sedang di kamar malam-malam" Kami
sebenarnya melakukan hal yang sama kepada Mr. Radley. Perbuatan Mr. Radley
mungkin tampak aneh bagi kita, tetapi tidak aneh baginya. Lagi pula, pernahkah
kami terpikir bahwa cara yang sopan untuk berkomunikasi dengan orang lain adalah
melalui pintu depan, bukannya jendela samping" Terakhir, kami harus menjauhi
rumah itu sampai kami diundang ke sana, kami tak boleh melanjutkan sandiwara
konyol yang dia lihat kami mainkan atau mengejek siapa pun di jalan ini atau di
kota ini. "Kami tidak mengejek dia, kami tidak menertawakan dia," kata Jem, "kami hanya"
"Jadi itu yang kaulakukan waktu itu, ya?"
"Mengejeknya?" "Bukan," kata Atticus, "mempertontonkan sejarah hidupnya untuk menghibur para
tetangga." Jem tampak sedikit marah. "Aku tak pernah bilang kami melakukan itu, aku tidak
bilang begitu!" Atticus menyeringai. "Kau baru saja bilang," katanya. "Hentikan omong kosong ini
sekarang juga, kalian semua."
Jem melongo. "Kau ingin jadi pengacara, bukan?" Bibir ayahku tampak aneh, seolah-olah dia
mencoba mengendalikan bibirnya untuk menunjukkan ketegasan.
Jem memutuskan tak ada gunanya berdalih, dan terdiam. Ketika Atticus masuk ke
rumah untuk mengambil berkas yang terlupa dibawa ke kantor pagi itu, Jem
akhirnya sadar bahwa dia tertipu oleh muslihat pengacara yang paling kuno. Dia
menunggu dengan jarak yang cukup terhormat dari tangga depan, menyaksikan
Atticus meninggalkan rumah dan berjalan ke arah kota. Saat Atticus sudah tak
dapat mendengar kami, Jem berteriak, "Tadinya kupikir aku ingin jadi pengacara,
tapi sekarang aku tidak yakin lagi!"
Enam Boleh," kata ayah kami, ketika Jem meminta izin untuk berkunjung dan duduk-duduk
di tepi kolam ikan Miss Rachel bersama Dill, karena ini malam terakhirnya di
Maycomb. "Sampaikan selamat jalanku untuknya, dan sampai ketemu lagi musim panas
tahun depan." Kami melompati dinding rendah yang memisahkan halaman Miss Rachel dengan jalan
masuk rumah kami. Jem menyiulkan kicau burung puyuh dan Dili menyahut dalam
kegelapan. "Jangan mengembuskan sedikit napas pun," kata Jem. "Lihat ke sana."
Dia menunjuk ke timur. Bulan raksasa sedang naik di balik pohon kacang pecan
Miss Maudie. "Bulannya jadi kelihatan lebih panas," katanya.
"Malam ini ada salibnya tidak?" tanya Dili tanpa mendongak. Dia sedang membuat
rokok mainan dari koran dan tali.
"Tidak, hanya ada perempuan yang biasa. Jangan dinyalakan, Dili, nanti seluruh
bagian kota ini bau."
Ada bayangan perempuan di bulan di Maycomb. Dia duduk di depan meja rias sambil
menyisir rambut. "Kami nanti pasti merindukanmu, Teman," kataku. "Mungkin sebaiknya kita
mengamati Mr. Avery?"
Mr. Avery tinggal di seberang jalan rumah Mrs. Henry Lafayette Dubose. Selain
menyumbang receh di piring sumbangan setiap Minggu, Mr. Avery duduk di beranda
hingga pukul sembilan setiap malam dan bersin-bersin. Pada suatu sore, kami
mendapat hak istimewa untuk menyaksikan pertunjukannya, yang sepertinya
merupakan pertunjukan terakhirnya, karena dia tak pernah lagi melakukannya
selama kami mengamatinya. Aku dan Jem sedang meninggalkan tangga depan Miss
Rachel pada suatu malam, ketika Dili menghentikan kami, "Golly, lihat ke sana!"
Dia menunjuk ke seberang jalan. Mula-mula kami tak melihat apa-apa selain
beranda yang tertutupi tanaman kudzu, tetapi setelah mengamati lebih dekat kami
bisa melihat air melengkung turun dari dedaunan dan menciprat pada lingkaran
kuning lampu jalan, sekitar tiga meter dari sumbernya ke tanah; begitu yang
terlihat oleh kami. Kata Jem, Mr. Avery salah perhitungan, kata Dili, dia tentu
minum segalon sehari, lalu terjadilah adu hebat untuk menentukan jarak relatif
dan keahlian masing-masing, yang hanya membuatku merasa tersisih lagi, karena
aku tak punya bakat dalam bidang ini.
Dili menggeliat, menguap, lalu berkata dengan terlalu santai, "Aku tahu, ayo
kita jalan-jalan." Menurutku, suaranya terdengar mencurigakan. "Tak ada orang di Maycomb yang
jalan-jalan tanpa tujuan. Mau ke mana kita, Dili?"
Dili menganggukkan kepalanya ke arah selatan.
Kata Jem, "Oke." Waktu aku protes, dia berkata dengan manis, "Kau tak harus
ikut, Angel May." "Kau tak harus pergi. Ingat" Jem bukan orang yang suka mengingat-ingat kegagalan
masa lalu: agaknya, satu-satunya pesan yang dia terima dari Atticus adalah
pengetahuan tentang pemeriksaan silang. "Scout, kita tak akan melakukan apa-apa,
kita hanya akan ke lampu jalan, lalu kembali."
Kami berjalan dalam sunyi di trotoar, mendengarkan ayunan-ayunan beranda
berkeriat-keriut menahan beban lingkungan kami, mendengarkan gumam-malam lembut
dari orang-orang dewasa di jalan kami. Sesekali kami mendengar Miss Stephanie
Crawford tertawa. "Jadi?" kata Dili.
"Oke," kata Jem. "Kau pulang duluan saja, Scout."
"Kau mau apa?" Dill dan Jem hanya ingin mengintip lewat jendela yang daunnya
terlepas untuk mengetahui apakah mereka bisa melihat Boo Radley, dan kalau aku
tidak ingin ikut dengan mereka, aku boleh langsung pulang dan menutup mulut
besarku, itu saja. "Tapi kenapa juga kalian harus menunggu sampai malam ini?"
Karena tak ada yang dapat melihat mereka malam ini, karena Atticus akan begitu
tenggelam dalam buku sehingga tak akan mendengar walaupun hari kiamat telah
datang, karena jika Boo Radley membunuh mereka, mereka hanya kehilangan sekolah
bukan kehilangan liburan, dan karena lebih mudan melihat ke dalam rumah yang
gelap dalam kegelapan daripada di siang hari, aku mengerti tidak" "Jem, tolong"
"Scout, kuberi tahu untuk terakhir kalinya, tutup mulut atau pulang memang
benar, makin lama kau makin mirip anak perempuan!"
Karena itu, aku tak punya pilihan kecuali bergabung. Kami berpikir lebih baik
masuk lewat kolong pagar-kawat tinggi di belakang tanah Radley, lebih kecil
kemungkinan kami akan terlihat. Pagar itu mengelilingi taman besar dan bilik
kakus sempit yang terbuat dari kayu.
Jem mengangkat kawat paling bawah dan mengisyaratkan agar Dili masuk melalui
kolong itu. Aku mengikuti, dan mengangkat kawat untuk Jem. Baginya, kolong itu
agak sempit. "Jangan bersuara," bisiknya. "Apa pun yang kaulakukan, jangan
menginjak petak sawi, bunyinya bisa membangunkan orang mati."
Sambil mengingat ini, aku mungkin hanya melangkah satu kali dalam satu menit.
Aku bergerak lebih cepat ketika melihat Jem jauh di depan memanggil dalam sinar
bulan. Kami tiba di gerbang yang memisahkan kebun dari halaman belakang. Jem
menyentuhnya. Gerbang itu mendecit. "Ludahi saja," bisik Dili. "
"Kamu bikin kita terperangkap, Jem," gerutuku. "Tak akan gampang keluar dari
sini." "Sst. Ludahi, Scout." Kami meludah sampai mulut kami kering, dan Jem membuka
gerbang perlahan, mengangkatnya ke samping dan menyandarkannya pada pagar. Kami
memasuki halaman belakang.
Bagian belakang rumah Radley lebih tidak menarik daripada bagian depannya: ada
dua pintu dan dua jendela gelap di antara kedua pintu itu. Alih-alih pilar, kayu
kasar menyokong salah satu ujung atap. Kompor Franklin tua teronggok di sudut
teras; di atasnya, cermin gantungan-topi menangkap cahaya bulan dan bersinar
mengerikan. "Aduh," kata Jem lirih, mengangkat kakinya.
"Kenapa?" "Ayam," desahnya. Kemungkinan kami harus menghindari makhluk yang tak terlihat
dari segala arah dipertegas ketika Dili yang berada di depan kami berbisik
mengeja T-u-h-a-n. Kami merayap ke samping rumah, mengitarinya sampai ke jendela
yang salah satu engselnya terlepas. Kosennya beberapa inci lebih tinggi daripada
Jem. "Kubantu kau naik," bisiknya kepada Dili. "Tapi tunggu." Jem memegang
pergelangan tangan kirinya dan pergelangan tangan kananku, aku memegang
pergelangan tangan kiriku dan pergelangan tangan Jem, kami berjongkok, dan Dili
duduk di pelana yang kami buat. Kami mengangkatnya dan dia menggapai kosen
jendela. "Cepat," bisik Jem, "kami tak bisa menahanmu lama-lama."
Dili menonjok bahuku, dan kami menurunkannya ke tanah.
"Apa yang bisa kaulihat?"
"Tidak ada. Tirai. Tapi ada cahaya kecil sekali di dalam sana."
"Ayo kita pergi," Jem mendesah. "Ayo memutar lagi. Sst," dia memperingatkanku
sewaktu aku hendak protes.
"Ayo kita coba jendela belakang."
"Dili, jangan," kataku. Dili berhenti dan membiarkan Jem mendahului. Waktu Jem
meletakkan kakinya pada anak tangga terbawah, tangganya berdecit. Dia berdiri
diam, lalu memindahkan berat badannya secara bertahap. Tangga itu tak berbunyi.
Jem melompati dua anak tangga, meletakkan kakinya di teras, mengangkat tubuhnya
ke situ, dan berayun cukup lama. Dia memperoleh kembali keseimbangannya dan
berlutut. Jem merangkak ke jendela, mengangkat kepalanya, dan mengintip ke
dalam. Lalu, kulihat bayangan itu. Bayangan lelaki bertopi. Mula-mula kusangka bayangan
pohon, tetapi tak ada angin bertiup, dan batang pohon tak pernah berjalan. Teras
belakang bermandikan cahaya bulan, dan bayangan itu, tampak begitu nyata,
melintasi teras ke arah Jem.
Kemudian, Dili melihatnya. Dia menempelkan tangannya ke wajahnya.
Ketika bayangan itu melintasi Jem, Jem melihatnya. Dia menaruh lengannya di atas
kepala dan tubuhnya menjadi kaku.
Bayangan itu berhenti sekitar satu kaki setelah melewati Jem. Tangannya bergerak
ke samping, kembali lagi, lalu diam. Lalu, dia berbalik dan kembali
melewati Jem, berjalan melintasi teras, dan menghilang di sisi rumah, secepat
kedatangannya. Jem melompat dari teras dan berlari ke arah kami. Dia menghempaskan gerbang
hingga terbuka, menuntun Dili dan aku melewatinya, dan menggiring kami di antara
dua petak sawi. Setelah melewati setengah barisan sawi, aku tersandung; saat
itulah bunyi tembakan meledak membelah lingkungan kami.
Dill dan Jem menukik di sampingku. Napas Jem tersendat-sendat, "Pagar di dekat
halaman sekolah! cepat, Scout!"
Jem menahan kawat terbawah; aku dan Dili berguling lewat dan sudah setengah
jalan menuju naungan satu-satunya pohon di halaman sekolah saat kami menyadari
bahwa Jem tidak ada bersama kami.
Kami berlari kembali dan menemukannya bergulat di pagar, berusaha melepaskan
celana panjangnya untuk melepaskan diri. Dia berlari ke pohon ek hanya
mengenakan celana pendek.
Setelah merasa aman berlindung di balik pohon, kami tidak bisa merasakan apa-
apa, tetapi benak Jem berpacu, "Kita harus pulang, orang-orang akan mencari
kita." Kami berlari melintasi halaman sekolah, merangkak di kolong pagar dan menuju ke
arah Deer's Pasture di belakang rumah kami, memanjat pagar belakang rumah, dan
sudah berada di tangga belakang, ketika Jem membolehkan kami berhenti untuk
beristirahat. Setelah kembali bernapas normal, kami bertiga berjalan sebiasa mungkin menuju
halaman depan. Kami memandang ke ujung jalan dan melihat tetangga berkerumun di
gerbang depan Radley. "Sebaiknya kita ke sana," kata Jem. "Mereka pasti merasa aneh kalau kita tak
muncul." Mr. Nathan Radley sedang berdiri di balik gerbang, menimang senapan patah.
Atticus berdiri di samping Miss Maudie dan Miss Stephanie Crawford. Miss Rachel
dan Mr. Avery berdiri di dekat mereka. Tak ada yang melihat kami mendekat.
Kami menyelip di sebelah Miss Maudie, yang melihat ke sekeliling. "Kalian ke
mana saja, tidak dengar keributan ini?"
"Ada apa?" tanya Jem.
"Mr. Radley menembak seorang Negro yang menyelinap di kebun sawinya."
"Oh. Apakah tembakannya kena?"
"Tidak," kata Miss Stephanie. "Dia menembak ke udara. Tapi dia berhasil
membuatnya ketakutan sampai pucat. Katanya, jika ada yang melihat nigger
berkulit putih, itulah orangnya. Katanya, dia punya satu peluru lagi yang
menunggu suara berikutnya yang terdengar di kebun itu, dan kali berikutnya dia
tak akan menembak ke atas, baik itu anjing, nigger, atau Jem Finch1."
"Ma'am?" tanya Jem. Atticus berbicara. "Mana celanamu, Nak?"
"Celana, Sir?" "Iya, celana." Tak ada gunanya. Jem mengenakan celana pendek di depan Tuhan dan
semua orang. Aku menghela napas. "Ah Mr. Finch?"
Dari silaunya cahaya lampu jalan, kulihat Dili menyusun dusta: matanya melebar,
wajah montoknya yang bagaikan malaikat semakin membulat. "Ada apa, Dili?" tanya
Atticus. "Ah saya memenangkannya dari dia," katanya samar.
"Memenangkannya" Bagaimana caranya?"
Tangan Dili menggapai belakang kepalanya. Dia membawanya ke depan dan melintasi
keningnya. "Kami bermain kartu strip poker di dekat kolam ikan sana," katanya.
Aku dan Jem menjadi tenang. Para tetangga tampak puas: tubuh mereka tampaknya
menjadi kaku. Tapi strip poker itu apa"
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami tak sempat mencari tahu; Miss Rachel meledak seperti sirene pemadam
kebakaran kota, "Do-o-o Yee-sus, Dill Harris! Berjudi di tepi kolam ikanku! Akan
ku-strippoker kamu, Nak!"
Atticus menyelamatkan Dili dari pembantaian seketika, "Sebentar, Miss Rachel,"
katanya. "Saya belum pernah mendengar mereka melakukan itu. Kalian semua bermain
kartu?" Jem mengulur umpan Dili dengan mata tertutup, "Tidak, Sir, hanya dengan korek
api." Aku mengagumi kakakku. Korek api memang berbahaya, tetapi kartu berakibat fatal.
"Jem, Scout," kata Atticus. "Aku tak mau lagi mendengar poker dalam bentuk apa
pun. Mampirlah di rumah Dili dan ambil celanamu, Jem. Bereskan
urusan ini di antara kalian sendiri."
"Jangan khawatir, Dili," kata Jem saat kami berlari di trotoar, "Miss Rachel tak
akan menghukummu. Atticus akan membujuknya. Pikiranmu cepat, Teman. Dengar... kamu
dengar?" Kami berhenti, dan mendengar suara Atticus, "... tidak parah ... mereka semua
mengalaminya, Miss Rachel
Dill terhibur, tetapi aku dan Jem tidak. Masalahnya, Jem pasti akan diminta
untuk menunjukkan celananya besok pagi.
"Pakai punyaku saja," kata Dili, ketika mereka tiba di tangga Miss Rachel. Kata
Jem, celananya tak akan muat, tetapi terima kasih. Kami mengucap salam, dan Dili
masuk ke rumah. Rupanya dia teringat bahwa dia sudah bertunangan denganku karena
dia berlari lagi keluar dan dengan cepat menciumku di depan Jem. "Kalian harus
kirim surat, ya?" dia menangis tersedu-sedu mengantar kepergian kami.
Csw - Andaikan celana Jem menempel pada tubuhnya dengan aman, tetap saja kami tak akan
bisa tidur lelap. Setiap suara-malam yang berasal dari teras belakang terdengar
tiga kali lebih keras; setiap suara langkah kaki pada jalan berkerikil adalah
Boo Radley yang ingin membalas dendam, setiap orang Negro yang lewat sambil
tertawa dalam kegelapan malam adalah Boo Radley yang keluar dari rumah dan mencari kami; serangga
menabrak pintu kawat adalah jemari gila Boo Radley yang mengurai kawat hingga
hancur; pohon-pohon mindi mengganas, membayang, hidup. Aku berada dalam keadaan
antara tidur dan terjaga sampai aku mendengar Jem berbisik.
"Sudah tidur, Tiga-Mata Kecil?"
"Kamu gila apa?"
"Sst. Lampu kamar Atticus sudah mati." Dalam cahaya bulan yang memudar, kulihat
Jem mengayunkan kaki ke lantai.
"Aku mau mengambil celanaku," katanya. Aku bangkit tegak seketika. "Jangan. Aku
tak akan membiarkanmu."
Dia bersusah payah mengenakan kemeja. "Aku harus mengambilnya."
"Kalau kaupergi, akan kubangunkan Atticus." "Kalau kaubangunkan, akan kubunuh
kau." Aku menarik dia duduk di sampingku di dipan. Aku mencoba mengajaknya
berpikir logis. "Mr. Nathan akan menemukannya pagi-pagi, Jem. Dia tahu kau
kehilangan celana. Kalau dia menunjukkannya kepada Atticus, dia akan marah
besar, tetapi cuma itu. Tidur lagi saja."
"Itu aku juga tahu," kata Jem. "Karena itu, aku mau ambil."
Aku mulai merasa mual. Kembali ke tempat itu sendirianaku ingat yang dikatakan
Miss Stephanie: Mr. Nathan punya satu peluru lagi yang menanti suara berikut
yang dia dengar, baik itu Negro, anjing ...
Jem lebih tahu daripada aku.
Aku putus asa, "Dengar, semua ini tak sebanding, Jem. Dipukul memang sakit, tapi
takkan lama. Nanti kepalamu kena tembak, Jem. Tolong ..."
Dia menghela napas sabar. "Aku begini, Scout," gumamnya, "Atticus belum pernah
memukulku sepanjang ingatanku. Aku ingin tetap begitu."
Ini berita baru. Rasanya Attuics mengancam kami dua hari sekali. "Maksudmu, dia
tak pernah memergokimu melakukan apa pun?"
"Mungkin begitu, tapi aku cuma ingin keadaan tetap seperti itu, Scout. Mestinya
kita tak berbuat seperti malam ini."
Pada saat itulah, kurasa, aku dan Jem mulai mengambil jalan yang berbeda. Memang
kadang-kadang aku tak memahaminya, tetapi keherananku biasanya hanya bertahan
beberapa saat. Tapi saat ini aku benar-benar tak bisa memahaminya. "Tolong," aku
memohon, "apa kau tak bisa berpikir sebentar sendirian ke tempat itu" "Diam!"
"Toh tak akan sampai dia tak mau bicara lagi pa-damu ... akan kubangunkan dia,
Jem, sumpah, aku" Jem mencengkeram kerah piamaku dan menariknya erat. "Kalau begitu, aku ikut" aku
tercekik. "Jangan, kau hanya bikin ribut." Tak ada gunanya. Aku membuka pintu
belakang dan menahannya, sementara dia turun merayapi tangga. Saat itu tentu
sudah pukul 02.00. Bulan sedang terbenam dan bayangan bersilangan sedang
memudar menjadi ketiadaan yang kabur. Ujung belakang kemeja putih Jem timbul-
tenggelam seperti hantu kecil yang menari-nari untuk melarikan diri menghindari
pagi yang akan segera tiba. Semilir samar bertiup dan mendinginkan keringat yang
menuruni tubuhku. Dia mengambil jalan belakang, melalui Deer's Pasture, melintasi halaman sekolah,
dan memutar ke pagar, pikirku setidaknya ke sanalah dia menuju. Akan memakan
waktu lebih lama, jadi belum waktunya khawatir. Aku menunggu sampai tiba
waktunya untuk khawatir dan mencoba mendengar bunyi senapan Mr. Radley. Lalu
kupikir, kudengar pagar belakang berdecit. Hanya harapan kosong.
Lalu, kudengar Atticus terbatuk. Aku menahan napas. Kadang, kalau kami melakukan
perjalanan tengah malam ke kamar mandi, kami menemukannya sedang membaca.
Katanya, dia sering terbangun malam-malam, memeriksa kami, dan membaca sampai
tertidur. Aku menunggu lampunya menyala, memicingkan mata untuk melihat
cahayanya memasuki ruang tamu. Lampu tetap padam, dan aku bernapas lagi.
Makhluk-makhluk malam sudah tidur, tetapi pohon mindi ranum memukul atap ketika
angin bertiup, dan kegelapan terasa sepi dengan gonggong anjing dari kejauhan.
Dia pun datang, kembali kepadaku. Kemeja putihnya menyembul dari pagar belakang
dan perlahan membesar. Dia menaiki tangga belakang, mengunci pintu di
belakangnya, dan duduk di dipannya. Tanpa
berkata-kata, dia memperlihatkan celananya. Dia berbaring, dan beberapa lama
kudengar dipannya gemetar. Tak lama kemudian, dia diam. Aku tak mendengarnya
bergerak lagi. Tujuh Jem tetap murung dan tidak banyak bicara selama seminggu. Seperti saran Atticus,
aku mencoba menempatkan diriku dalam posisi Jem dan menyelami perasaannya: andai
aku pergi sendirian ke Radley Place pukul dua dini hari, pemakamanku tentu
diadakan keesokan sorenya. Jadi, kubiarkan Jem menyendiri dan mencoba untuk
tidak mengganggunya. Sekolah dimulai. Kelas dua sama buruknya dengan kelas satu, hanya lebih parah
mereka masih menggunakan metode flashcard kepada murid dan para murid masih tak
diperbolehkan membaca atau menulis. Kemajuan Miss Caroline di ruang sebelah
dapat diukur dengan seringnya tawa terdengar; anak-anak yang tahun sebelumnya
tinggal kelas bertugas membantu menjaga ketertiban. Satu-satunya hal yang
menyenangkan di kelas dua adalah tahun ini aku harus bersekolah sama lamanya
dengan Jem, dan biasanya kami berjalan pulang bersama pada pukul 15.00.
Pada suatu sore, ketika kami sedang menyeberangi halaman sekolah menuju rumah,
Jem tiba-tiba berkata, "Ada yang belum kuceritakan."
Karena ini adalah kalimat sempurna pertama
yang keluar dari mulutnya dalam beberapa hari ini, aku mengoreknya, "Tentang
apa?" "Tentang malam itu."
"Kau tak pernah bilang apa-apa tentang malam itu," kataku.
Jem mengabaikanku seolah-olah kata-kata yang kuucapkan adalah nyamuk yang
mengganggunya. Dia diam sejenak, lalu berkata, "Waktu aku kembali mengambil
celanaku celana itu terbelit waktu aku menanggalkannya, jadi tak bisa
kulepaskan. Waktu aku kembali" Jem menghela napas dalam. "Waktu aku kembali,
celananya terlipat di pagar ... seolah sudah disiapkan untukku."
"Di "Dan satu lagi" suara Jem datar. "Akan kutunjukkan di rumah. Celananya sudah
dijahit. Tidak seperti dijahit perempuan, lebih mirip kalau aku mencoba menjahit
sendiri. Jahitannya miring-miring. Hampir seperti"
"ada yang tahu kau akan kembali mengambilnya."
Jem gemetar. "Seperti ada yang membaca pikiranku ... seperti ada yang tahu apa
yang akan kulakukan. Tak ada orang yang bisa tahu apa yang akan kulakukan
kecuali dia kenal aku, kan, Scout?"
Pertanyaan Jem lebih terdengar seperti permohonan. Aku meyakinkannya, "Tak ada
orang yang bisa tahu apa yang akan kaulakukan kecuali tinggal serumah denganmu,
dan aku pun kadang tak tahu."
Kami berjalan melewati pohon kami. Di dalam ceruknya terdapat segulung benang
abu-abu. "Jangan diambil, Jem," kataku. "Ini tempat rahasia orang lain."
"Sepertinya tidak, Scout."
"Pasti iya. Seseorang seperti Walter Cunningham pergi ke sini setiap istirahat
dan menyembunyikan barangnya lalu kita lewat dan mencurinya. Dengar, kita
tinggalkan saja dulu dan kita tunggu dua hari. Kalau belum hilang, baru kita
ambil, ya?" "Oke, mungkin kamu benar," kata Jem. "Pasti kepunyaan anak kecil menyembunyikan
barangnya dari orang yang lebih besar. Kau tahu, hanya pada hari sekolah kita
menemukan sesuatu di situ."
"Memang benar," kataku, "tetapi kita kan tak pernah lewat sini saat musim
panas." Kami pulang. Keesokan paginya, gulungan benang itu masih ada di tempatnya.
Ketika pada hari ketiga masih tetap ada, Jem mengantonginya. Sejak saat itu,
kami menganggap segala sesuatu yang kami temukan dalam ceruk itu milik kami.
Csu - Kelas dua terasa membosankan, tetapi Jem meyakinkanku bahwa jika aku semakin
besar, sekolah akan semakin menyenangkan, bahwa dia juga merasa begitu ketika
mulai bersekolah, dan baru di kelas enam aku akan mempelajari sesuatu yang
bermanfaat. Kelas enam tampaknya menyenangkan baginya sejak awal: dia
mempelajari Fase Mesir yang singkat dan membingungkanku dia sering mencoba
berjalan seperti orang Mesir, menjulurkan satu tangan di depan dan satu di
belakang, meletakkan satu kaki di belakang kaki yang lain. Katanya, orang Mesir
memang berjalan seperti itu; kataku, kalau memang benar begitu, aku tak bisa
mengerti bagaimana caranya mereka bekerja dengan posisi itu, tetapi Jem bilang
mereka mencapai lebih banyak daripada bangsa Amerika, mereka menciptakan kertas
toilet dan pengawetan mayat; Jem bertanya akan di mana kita sekarang berada
kalau orang Mesir tidak menemukan segala hal itu" Atticus menyuruhku
menghilangkan semua kata sifat yang digunakan Jem, jadi aku akan memperoleh
faktanya. Tak ada musim di Alabama Selatan yang bisa didefinisikan dengan jelas; musim
panas berangsur menjadi musim gugur, dan musim gugur kadang tak pernah diikuti
musim dingin, melainkan langsung memasuki musim semi yang hanya berlangsung
dalam hitungan hari, lalu meleleh menjadi musim panas lagi. Musim gugur saat itu
berlangsung lama sekali; udaranya tidak terlalu dingin sehingga kami cukup
mengenakan jaket tipis. Aku dan Jem sedang berlari dalam rute kami yang biasa
pada suatu sore di bulan Oktober yang sejuk ketika ceruk itu sekali lagi
menghentikan kami. Kali ini di dalamnya terdapat sesuatu berwarna putih.
Jem mempersilakanku mengambilnya: aku memungut dua patung kecil yang dipahat
dari sabun. Satu berbentuk anak lelaki dan satu lagi mengenakan rok yang tidak
rapi. Sebelum aku ingat bahwa tak ada barang yang membawa sial, aku memekik dan
membantingnya. Jem mengambilnya. "Kamu kenapa sih?" bentaknya. Dia menggosok patung itu hingga
bersih dari debu merah yang menempel. "Ini bagus," katanya. "Aku belum pernah
lihat yang sebagus ini."
Dia memperlihatkannya kepadaku. Patung itu berupa miniatur dua anak yang hampir
sempurna. Si anak lelaki mengenakan celana pendek, dan sejumput rambut dari
sabun terjatuh ke alisnya. Aku mendongak melihat Jem. Ujung rambut cokelat
lurusnya jatuh ke kening dari belahan rambutnya. Aku belum pernah memerhatikan
hal ini sebelumnya. Jem memandangi boneka perempuan itu lalu menatapku. Boneka perempuan itu
berponi. Aku juga. "Ini kita," katanya.
"Menurutmu siapa yang membuatnya?" "Apa ada orang yang kita kenal di sekitar ini
yang suka memahat?" tanyanya. "Mr. Avery."
"Mr. Avery hanya bisa begitu-begitu saja. Maksudku, yang bisa mengukir."
Mr. Avery rata-rata menghabiskan sepotong kayu bakar per minggu; dia memahatnya
sampai menjadi tusuk gigi, lalu mengunyahnya.
"Bisa saja pacar Miss Stephanie Crawford tua,"
kataku. "Dia memang bisa mengukir, tetapi tinggalnya jauh di desa. Lagi pula, kapan dia
pernah memerhatikan kita?"
"Mungkin saat duduk-duduk di beranda dia memerhatikan kita, bukan memerhatikan
Miss Stephanie. Andai aku jadi dia, itu yang kulakukan."
Jem menatapku begitu lama sehingga aku menanyakan ada apa, tetapi dia hanya
menjawab, Tak ada apa-apa, Scout. Waktu kami sampai di rumah, Jem memasukkan
boneka itu ke petinya. Tidak sampai dua minggu kemudian, kami menemukan sepaket utuh permen karet, yang
langsung kami nikmati. Fakta bahwa segala sesuatu yang berasal dari Radley Place
itu beracun sudah menghilang dari ingatan Jem.
Minggu berikutnya, di ceruk yang sama terdapat sebuah medali bernoda. Jem
menunjukkannya kepada Atticus, yang mengatakan bahwa medali itu adalah hadiah
lomba mengeja, bahwa sebelum kami lahir, sekolah-sekolah di Maycomb County
mengadakan lomba mengeja dan menghadiahkan medali bagi para pemenangnya. Kata
Atticus, tentu seseorang kehilangan medali ini, dan dia menanyakan apakah kami
sudah bertanya ke orang-orang sekitar. Jem menendang kakiku ketika aku mencoba
menceritakan di mana kami menemukannya. Jem bertanya kepada Atticus apakah dia
ingat siapa saja yang pernah memenangi medali, dan Atticus bilang tidak.
Hadiah terbesar kami muncul empat hari kemudian. Sebuah jam saku yang sudah tak
berfungsi, dengan pisau aluminium yang terangkai di rantainya.
"Menurutmu, apa ini emas putih, Jem?"
"Aku tak tahu. Biar kutunjukkan pada Atticus." Kata Atticus, mungkin harganya
sepuluh dolar, pisau, rantai dan seluruhnya, andai masih baru. "Apa kau
mendapatkan benda ini karena bertukar dengan teman sekolahmu?" tanyanya.
"Oh, tidak, Sir!" Jem mengeluarkan jam kakeknya yang dibolehkan Atticus dibawa
seminggu sekali jika Jem berhati-hati. Pada hari-hari dia membawa jam itu, Jem
seolah-olah berjalan di atas telur. "Atticus, kalau boleh, aku mau yang ini
saja. Mungkin bisa kuperbaiki."
Setelah jam kakeknya tidak lagi baru, dan membawanya menjadi tugas sehari yang
membebani, Jem tak lagi merasa perlu melihat jam setiap lima menit.
Jem berusaha sebisa mungkin memperbaiki jam itu, hanya satu pegas dan dua bagian
kecil yang tersisa, tetapi jam itu belum berfungsi juga. "Ohh," desahnya, "tak
akan bisa jalan. Scout?" "Hah?"
"Menurutmu, apa kita perlu menulis surat pada siapa pun yang meninggalkan
barang-barang ini untuk kita?"
"Boleh juga, Jem, kita bisa sekalian mengucapkan terima kasih ada apa?"
Jem memegangi telinganya, menggelengkan kepala. "Aku tak mengerti, pokoknya tak
mengerti aku tak tahu kenapa, Scout Dia memandang ke
ruang tamu. "Kupikir sebaiknya kita memberi tahu Atticus ah, tidak, sebaiknya
tidak." "Kalau begitu, aku saja yang bilang untukmu."
"Jangan, jangan, Scout. Scout?"
"A-pa?" Dia sepertinya ingin memberi tahu aku tentang sesuatu sepanjang sore ini;
wajahnya tiba-tiba berseri-seri dan dia mencondongkan tubuh padaku, lalu tiba-
tiba dia berubah pikiran. Saat ini juga begitu. "Tak ada apa-apa."
"Nih, ayo kita tulis surat saja." Aku menyodorkan kertas dan pensil ke bawah
hidungnya. "Oke. Bapak yang budiman ..."
"Tahu dari mana orang itu laki-laki" Pasti Miss Maudie orangnya aku sudah lama
yakin." "Ahh, Miss Maudie tak bisa mengunyah permen karet" Jem menyeringai. "Kau tahu,
kadang bicaranya manis juga. Aku pernah menawarkan permen karet tapi dia
menolak, dia bilang, permen karet menempel di langit-langit mulutnya dan
membuatnya sulit bicara," kata Jem hati-hati. "Manis kan kedengarannya?"
Ya, dia memang kadang-kadang mengucapkan hal-hal manis. Tapi sepertinya dia tak
mungkin punya jam rantai.
"Bapak yang budiman," kata Jem. "Kami menghargai apa ah, tidak, kami menghargai
semua yang Bapak letakkan di dalam pohon untuk kami. Salam hormat, Jeremy
Atticus Finch." "Dia tak akan tahu siapa dirimu kalau kau memakai nama seperti itu, Jem."
Jem mencoret namanya dan menulis, "Jem Finch." Aku menulis, "Jean Louise Finch
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(Scout)," di bawahnya. Jem memasukkan surat itu ke dalam amplop.
Keesokan harinya, dalam perjalanan ke sekolah, dia berlari mendahuluiku dan
berhenti di pohon. Jem mendapatiku berada di hadapannya ketika dia mendongak,
dan kulihat wajahnya memucat. "Scout!"
Aku segera menghampirinya.
Seseorang telah menutup ceruk kami dengan semen.
"Jangan menangis, Scout ... jangan menangis, jangan khawatir" dia menggumam padaku
sepanjang perjalanan ke sekolah.
Saat pulang makan malam, Jem segera melahap makanannya, lari ke teras, dan
berdiri di tangga. Aku mengikutinya. "Belum lewat," katanya.
Keesokan harinya, Jem berjaga lagi dan mendapatkan keinginannya.
"Halo, Mr. Nathan," katanya.
"Pagi, Jem, Scout," kata Mr. Radley sambil lewat.
"Mr. Radley," kata Jem. Mr. Radley berbalik.
"Mr. Radley, ah apakah Anda yang menutup ceruk pada pohon di sana itu dengan
semen?" "Ya," katanya. "Aku yang menutupnya."
"Kenapa, Sir?" "Pohon itu sekarat. Kalau sakit, lubang-lubangnya harus diisi semen. Mestinya
kamu tahu itu, Jem." Jem tidak mengatakan apa-apa lagi tentang hal itu sampai menjelang malam. Ketika
melewati pohon kami, dia menepuk bagian yang ditutup semen sambil merenung, dan
terus tenggelam dalam pikirannya. Tampaknya suasana hatinya sedang buruk, jadi
aku menjaga jarak. Seperti biasa, sore itu kami menyambut Atticus saat dia pulang kerja. Ketika
kami sampai di tangga, Jem berkata, "Atticus, lihatlah ke sana ke pohon itu,
tolong, Sir." "Pohon apa, Nak?"
"Yang di pojok tanah Radley dekat sekolah." "Ada apa?"
"Apa benar pohon itu sedang sekarat?"
"Sepertinya tidak, Nak, menurutku tidak. Lihat daunnya, semuanya hijau dan
rimbun, tak ada gerombolan cokelat di mana pun"
"Sakit pun tidak?"
"Pohon itu sesehat dirimu, Jem. Kenapa?" "Kata Mr. Nathan Radley, pohon itu
sedang sekarat." "Mungkin saja iya. Aku yakin Mr. Radley lebih mengenal pohon miliknya daripada
kita." Atticus meninggalkan kami di teras. Jem bersandar pada pilar, menggosokkan
bahunya. "Punggungmu gatal, Jem?" tanyaku sesopan mungkin. Dia tak menjawab. "Ayo masuk,
Jem," kataku. "Nanti saja." Dia berdiri di situ hingga malam tiba, dan aku
menunggunya. Ketika kami masuk ke rumah, kulihat dia habis menangis; wajahnya
seperti orang yang habis menangis, tetapi kupikir, aneh juga aku tak
mendengarnya. m Delapan Untuk alasan-alasan yang tak bisa dipahami oleh peramal-peramal paling
berpengalaman di Maycomb County, musim gugur pada tahun itu berubah menjadi
musim dingin. Selama dua minggu, kami merasakan cuaca terdingin sejak 1885, kata
Atticus. Kata Mr. Avery, pada Prasasti Rosetta tertulis bahwa jika anak-anak
tidak mematuhi orangtuanya, mengisap rokok, dan terus bertengkar, musim akan
berubah: aku dan Jem dibebani rasa bersalah karena turut menyumbang penyebab
terjadinya penyimpangan alam, yang menimbulkan ketidak bahagiaan bagi para
tetangga kami dan ketidanya-manan bagi diri kami sendiri.
Mrs. Radley tua meninggal pada musim dingin itu, tetapi kematiannya hampir tidak
menimbulkan pengaruh para tetangga jarang melihatnya, kecuali saat dia menyiram
bunga kananya. Aku dan Jem memutuskan bahwa Boo akhirnya membunuhnya, tetapi
ketika Atticus kembali dari rumah Radley, katanya Mrs. Radley meninggal karena
penyakit; hal ini membuat kami kecewa.
"Ayo tanyakan," bisik Jem.
"Kau saja yang tanya, kau kan lebih tua."
"Justru itu, mestinya kau yang tanya."
"Atticus," kataku, "apa Mr. Arthur ada di situ?"
Atticus memandangku dengan tegas melalui korannya, "Tidak."
Jem mencegahku bertanya lebih lanjut. Katanya, Atticus masih sensitif soal
hubungan kami dan keluarga Radley, dan mendesaknya bukanlah tindakan bijak. Jem
merasa bahwa Atticus menganggap kegiatan yang kami lakukan pada malam musim
panas lalu tidak hanya sekadar strip poker. Jem tak punya dasar yang jelas untuk
membuktikan perasaannya, katanya ini hanya sekadar firasat.
Keesokan paginya aku bangun, melihat keluar jendela, dan hampir mati ketakutan.
Jeritanku mendatangkan Atticus yang sedang berada di kamar mandi, baru setengah
bercukur. "Dunia mau kiamat, Atticus! Lakukan sesuatu!" Aku menyeretnya ke jendela dan
menunjuk. "Dunia tidak kiamat," katanya. "Itu hujan salju."
Jem bertanya kepada Atticus apakah hujannya akan berlangsung lama. Jem juga
belum pernah melihat salju, tetapi tahu apa sebenarnya salju itu. Kata Atticus,
dia tak tahu lebih banyak tentang salju daripada Jem. "Tapi, kurasa, kalau
saljunya berair seperti itu, hujan salju ini lama-lama menjadi hujan biasa."
Telepon berdering dan Atticus meninggalkan sarapannya untuk menjawab. "Tadi itu
Eula May," katanya ketika kembali. "Aku mengutip ucapannya 'Karena belum pernah
turun salju di Maycomb County sejak 1885, hari ini sekolah diliburkan.'"
Eula May adalah operator telepon yang paling
populer di Maycomb. Dia dipercayai untuk menyampaikan pengumuman pada
masyarakat, undangan pernikahan, menyalakan sirene kebakaran, dan memberikan
petunjuk pertolongan pertama jika Dr. Reynolds sedang pergi.
Ketika akhirnya Atticus berhasil menenangkan kami dan menyuruh kami memusatkan
perhatian pada sarapan kami daripada keluar jendela, Jem bertanya, "Bagaimana
caranya membuat boneka salju?"
"Aku tak tahu sama sekali," kata Atticus. "Aku tak ingin mengecewakan kalian,
tetapi aku ragu saljunya akan cukup lengket untuk dijadikan bola salju
sekalipun." Calpurnia masuk dan mengumumkan bahwa menurutnya salju di luar cukup lengket.
Ketika kami berlari ke halaman belakang, tanah telah tertutupi lapisan tipis
salju basah. "Kita tak boleh berjalan-jalan di atasnya," kata Jem. "Lihat, setiap langkahmu
membuang salju sia-sia."
Aku menoleh untuk mengamati jejak kakiku pada salju yang lunak. Kata Jem, kalau
kami menunggu sampai salju turun lebih banyak, kami bisa mengumpulkannya untuk
membuat boneka salju. Aku menjulurkan lidah dan menangkap sekeping besar salju.
Lidahku rasanya terbakar. "Jem, saljunya panas!"
"Bukan, tapi saking dinginnya, jadi terasa membakar. Jangan dimakan, Scout, kamu
menyia-nyia-kannya. Biarkan saljunya turun."
"Tapi aku ingin jalan-jalan di situ."
"Aku tahu! Kita ke rumah Miss Maudie saja." Jem melompat-lompat melintasi
halaman depan. Aku mengikuti jejaknya. Waktu kami berada di trotoar depan rumah
Miss Maudie, Mr. Avery mengadang kami. Wajahnya merah muda dan perutnya yang
buncit tertekan oleh sabuknya.
"Lihat kan hasil perbuata kalian?" katanya. "Sejak peristiwa Appomattox, belum
pernah turun salju di Maycomb. Gara-gara anak nakal seperti kalian, musim jadi
berubah." Aku bertanya-tanya apakah Mr. Avery tahu, betapa pada musim panas lalu kami
mengintai dengan penuh harap agar dia mengulangi pertunjukannya, dan aku
berpikir, kalau hujan salju ini ganjaran untuk kenakalan kami, berbuat dosa
sepertinya boleh juga. Aku tak bertanya-tanya dari mana statistika meteorologis
Mr. Avery berasal: datangnya langsung dari Prasasti Rosetta.
"Jem Finch, hei, Jem Finch!"
"Miss Maudie memanggilmu, Jem."
"Kalian tetaplah berdiri di tengah halaman. Di dekat teras ada tanaman thrift
yang terkubur salju. Jangan diinjak!"
"Ya, Ma'am!" seru Jem. "Bukankah cuacanya indah, Miss Maudie?"
"Indah apanya! Kalau malam ini udara membeku, azaleaku akan hancur!"
Sunhat topi dengan pinggir lebar untuk menutupi kepala dan leher dari sengatan
sinar matahari usang Miss Maudie berkilau dengan kristal salju. Dia sedang
membungkuk, membungkus semak-semak
kecil dengan karung goni. Jem bertanya untuk apa dia berbuat begitu.
"Supaya tanaman ini tetap hangat," katanya.
"Bagaimana bunga tetap hangat" Bunga kan tak punya darah."
"Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, Jem Finch. Yang kutahu hanyalah bahwa
kalau malam ini udara membeku, tanaman ini akan membeku, jadi aku harus
membungkusnya. Jelas?"
"Ya, Ma'am. Miss Maudie?"
"Apa, Nak?" "Bolehkah aku dan Scout meminjam sebagian saljumu?"
"Demi surga, ambil saja semua! Ada keranjang persik tua di kolong rumah, angkut
saja dengan itu." Mata Miss Maudie menyipit. "Jem Finch, hendak kamu apakan
saljuku?" "Lihat saja nanti," kata Jem, dan kami memindahkan salju sebanyak mungkin dari
halaman Miss Maudie ke halaman kami dalam sebuah operasi yang basah dan
berlumpur. "Kita mau membuat apa, Jem?" tanyaku.
"Lihat saja nanti," katanya. "Sekarang, ambil keranjangnya dan angkut ke sini
semua salju yang bisa kaukumpulkan dari halaman belakang. Jangan lupa jalan di
atas jejak yang sudah ada ya," dia memperingatkan.
"Apa kita mau bikin boneka salju bayi, Jem?"
"Bukan, boneka salju betulan. Kita harus bekerja keras."
Jem berlari ke halaman belakang, mengambil
cangkul kebun, dan mulai menggali dengan cepat di belakang tumpukan kayu,
menimbun cacing-cacing yang ditemukannya di satu sisi. Dia masuk ke rumah,
kembali dengan membawa keranjang cucian, mengisinya dengan tanah, lalu
membawanya ke halaman depan.
Ketika kami sudah punya lima keranjang tanah dan dua keranjang salju, Jem
berkata bahwa kami sudah siap untuk memulai.
"Tapi kan semua ini kelihatannya acak-acakan?" tanyaku.
"Sekarang kelihatannya acak-acakan, tapi nanti tidak," katanya.
Jem meraup tanah, menepuk-nepuknya hingga menjadi sebuah gundukan, lalu
menambahkan se-raup tanah lagi, dan seraup lagi sampai dia mendapatkan sebentuk
tubuh. "Jem, aku belum pernah dengar ada boneka salju nigger," kataku.
"Dia tak akan lama berwarna hitam," dengusnya. Jem memungut beberapa ranting
pohon persik dari halaman belakang, menjalinnya, dan membengkokkannya menjadi
tulang lalu melapisinya dengan tanah.
"Mirip Miss Stephanie Crawford yang sedang berkacak pinggang," kataku. "Gendut
di tengah dan lengannya kecil kurus."
"Kubuat lebih besar." Jem menyiramkan air pada boneka lumpur dan menambahkan
tanah. Dia memandanginya sambil berpikir sejenak, lalu membentuk perut besar di
bawah garis pinggang boneka.
Jem menoleh padaku, matanya berbinar-binar, "Mr. Avery bentuknya agak mirip
boneka salju, kan?" Jem meraup salju dan mulai melapisi boneka itu. Dia hanya mengizinkan aku
melapisi bagian belakang, mengerjakan sendiri bagian yang bisa dilihat umum.
Perlahan-lahan, Mr. Avery menjadi putih.
Dengan menggunakan potongan kayu untuk mata, hidung, mulut, dan kancing baju,
Jem berhasil membuat Mr. Avery tampak murka. Setangkai kayu bakar melengkapi
bonekanya. Jem melangkah ke belakang dan mengamati ciptaannya.
"Bagus sekali, Jem," kataku. "Dia kelihatannya hampir-hampir bisa bicara."
"Iya, ya?" katanya malu-malu.
Karena kami tak sabar menunggu Atticus pulang untuk makan malam, kami
meneleponnya dan berkata bahwa kami punya kejutan besar untuknya. Dia tampak
terkejut ketika melihat sebagian besar halaman belakang berpindah ke halaman
depan, tetapi dia memuji pekerjaan kami. "Tadi aku tak tahu bagaimana kau akan
melakukannya," katanya kepada Jem, "tetapi mulai sekarang, aku tak akan pernah
mengkhawatirkan kau akan jadi seperti apa kelak, Nak, kau selalu punya ide."
Telinga Jem memerah karena pujian Atticus, tetapi dia mendongak tajam ketika
dilihatnya Atticus melangkah mundur. Atticus memicingkan mata pada boneka salju
itu beberapa saat. Dia menyeringai, lalu tertawa. "Nak, aku tak tahu kelak kau
akan jadi apa insinyur, pengacara, atau pelukis potret. Kau hampir bisa dituduh
melakukan penghinaan terhadap seseorang di halaman depan kita. Kita harus menyamarkan teman kita
ini." Atticus menyarankan Jem mengurangi sedikit bagian depan ciptaannya itu, menukar
kayu bakar dengan sapu, dan memakaikan celemek.
Jem menjelaskan bahwa kalau saran Atticus itu dijalankan, boneka saljunya akan
berlumpur dan tak akan jadi boneka salju lagi.
"Aku tak peduli apa yang akan kaulakukan, asalkan kau berbuat sesuatu," kata
Atticus. "Kau tak boleh membuat karikatur para tetangga begitu saja."
"Ini bukan karaktertur," kata Jem. "Cuma mirip saja."
"Mr. Avery mungkin tak akan berpikir gitu." "Aku tahu!" kata Jem. Dia berlari
menyeberang jalan, menghilang ke halaman belakang Miss Maudie, dan kembali
dengan penuh kemenangan. Dia memasang sunhat Miss Maudie pada kepala boneka
salju itu dan menjejalkan gunting tanaman pada sikutnya. Kata Atticus, itu
cukup. Miss Maudie membuka pintu depannya dan keluar ke teras. Dia memandang kami dari
seberang. Mendadak dia menyeringai. "Jem Finch," panggilnya. "Kau anak nakal,
kembalikan topiku, Nak!"
Jem memandang Atticus, yang menggeleng. "Dia cuma cerewet," katanya. "Dia sangat
terkesan dengan prestasimu."
Atticus berjalan ke trotoar Miss Maudie, lalu mengobrol asyik sambil melambai-
lambaikan tangan. Satu-satunya frasa yang terdengar olehku adalah
"... mendirikan morfodit bagus di halaman! Atticus, kau tak akan bisa membesarkan
mereka dengan baik!"
Sorenya, hujan salju reda, suhu menukik turun, dan saat malam tiba, ramalan
terburuk Mr. Avery pun terwujud: Calpurnia menyalakan setiap perapian di dalam
rumah, tetapi kami masih saja kedinginan. Saat Atticus pulang malam itu, dia
berkata bahwa kami harus siap-siap menderita, dan bertanya kepada Calpurnia
apakah dia mau tinggal bersama kami malam itu. Calpurnia memandang langit-langit
tinggi dan jendela-jendela panjang di rumah kami lalu berkata bahwa sepertinya
dia akan merasa lebih hangat di rumahnya. Atticus mengantarkannya pulang dengan
mobil. Sebelum aku tidur, Atticus menambahkan batu bara dalam perapian di kamarku.
Katanya, termometer menunjukkan angka enam belas, bahwa ini malam terdingin
sepanjang ingatannya, dan bahwa boneka salju kami di luar padat membeku.
Rasanya baru beberapa menit, ketika seseorang membangunkanku dengan mengguncang
tubuhku. Baju hangat Atticus diselimutkan ke badanku. "Sudah pagi lagi?"
"Sayang, bangun."
Atticus menyodorkan mantel mandi dan jaketku. "Kenakan mantelmu dulu," katanya.
Jem berdiri di samping Atticus, tampak bingung dan kusut. Dia mencengkeram
bagian leher jaketnya dan memasukkan tangan lainnya ke saku. Dia tampak aneh,
sepertinya tiba-tiba badannya jadi ke -
gemukan. "Cepat, Sayang," kata Atticus. "Ini sepatu dan kaus kakimu."
Dengan bingung, aku mengenakannya. "Apa sekarang sudah pagi?"
"Belum, baru jam satu lewat. Cepatlah." Akhirnya, kusadari bahwa suatu hal buruk
telah terjadi. "Ada apa?"
Pada saat itu, Atticus sudah tak perlu memberitahuku lagi. Seperti burung yang
tahu kapan hujan akan turun, aku pun tahu jika suatu masalah telah terjadi di
lingkungan kami. Suara selembut kain taffeta dan bunyi berisik yang teredam
menjalanku dengan kengerian tanpa daya. "Rumah siapa?"
"Rumah Miss Maudie, Sayang," kata Atticus lembut.
Di pintu depan, kami melihat api menyeruak dari jendela ruang makan Miss Maudie.
Seolah-olah menegaskan apa yang kami lihat, sirene kebakaran meraung, dengan
nada meninggi lantang, menjerit.
"Rumah itu terbakar habis, ya?" Jem merintih.
"Sepertinya begitu," kata Atticus. "Sekarang dengarlah, kalian berdua. Pergilah
ke depan Radley Place dan berdiri di sana. Jangan menghalangi jalan, mengerti"
Kalian bisa melihat ke arah mana angin bertiup?"
"Oh," kata Jem. "Atticus, apa kita harus mulai memindahkan perabot keluar?"
"Belum, Nak. Turuti kataku. Larilah ke sana. Jaga Scout, ya. Jangan sampai dia
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lepas dari per - hatianmu." Atticus mendorong kami agar berjalan ke arah gerbang depan Radley. Kami berdiri
menyaksikan jalanan terisi orang dan mobil, sementara api melahap rumah Miss Maudie tanpa suara.
"Kenapa mereka tak cepat-cepat, kenapa mereka tak bergegas gumam Jem.
Kami melihat alasannya. Truk kebakaran yang sudah tua, rusak karena cuaca
dingin, sedang didorong dari kota oleh sekelompok orang. Ketika selang
disambungkan ke pipa air, selang itu meletus dan air menyemprot ke atas,
mengalir ke trotoar. "Ohh Tuhan, Jem ..."
Jem merangkulku, "Sst, Scout," katanya. "Belum waktunya kita khawatir. Akan
kuberi tahu kalau sudah waktunya."
Para lelaki Maycomb, berpakaian seadanya, mengangkuti perabot dari rumah Miss
Maudie ke halaman di seberang jalan. Aku melihat Atticus mengangkut kursi goyang
kayu ek yang berat milik Miss Maudie, dan berpikir betapa baiknya dia
menyelamatkan benda yang paling berharga bagi Miss Maudie itu.
Kadang, kami mendengar teriakan. Lalu, wajah Mr. Avery muncul di jendela atas.
Dia mendorong kasur keluar jendela menuju jalan dan melempar perabot sampai
orang-orang berseru, "Turunlah, Dick! Tangganya akan roboh! Keluarlah, Mr.
Avery!" Mr. Avery mulai memanjat keluar jendela. "Scout, dia terjepit ..." Jem
berbisik. "Oh Tuhan ii Mr. Avery terjepit ketat. Aku membenamkan kepala di bawah lengan Jem dan tidak
mampu melihat lagi sampai Jem berseru. "Dia bisa melepaskan diri, Scout! Dia
tidak apa-apa!" Aku mendongak dan melihat Mr. Avery melintasi teras atas. Dia menjulurkan
kakinya melompati pagar dan meluncur menuruni pilar, lalu jatuh tergelincir. Dia
jatuh, menjerit, dan menimpa semak di halaman Miss Maudie.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa orang-orang sedang menjauhi rumah Miss Maudie,
menyusuri jalan ke arah kami. Mereka tak lagi mengangkuti perabot. Api sudah
jauh memasuki lantai dua dan melahap rumah itu sampai ke atap: kerangka jendela
tampak hitam mengelilingi Jingganya api yang menyala-nyala.
"Jem, jadi mirip labu" "Scout, lihat!"
Asap berarak ke rumah kami dan rumah Miss Rachel layaknya kabut dari tepi
sungai, dan orang-orang menariki selang-selang ke arah itu. Di belakang kami,
truk pemadam kebakaran dari Abbottsville meraung mengitari tikungan dan berhenti
di depan rumah kami. "Bukunya kataku. "Apa?" kata Jem.
"Buku Tom Swift itu, itu bukan punyaku, itu punya Dili ...."
"Jangan khawatir, Scout, belum waktunya kita khawatir," kata Jem. Dia menunjuk.
"Lihat ke sana." Di antara kerumunan tetangga, Atticus berdiri
sambil membenamkan tangannya dalam saku jaket. Sikapnya sama seperti saat dia
sedang menonton pertandingan football. Miss Maudie berdiri di sampingnya.
"Lihat, Atticus juga belum khawatir," kata Jem.
"Kenapa dia tak naik ke salah satu rumah?"
"Dia terlalu tua, bisa-bisa lehernya patah."
"Apa sebaiknya kita memintanya mengeluarkan barang-barang kita?"
"Sebaiknya kita tidak mengganggu dia, dia pasti tahu kapan waktu yang tepat,"
kata Jem. Truk pemadam kebakaran Abbottsville mulai memompa air ke rumah kami; seorang
lelaki yang berdiri di atap menunjuk ke tempat-tempat yang paling
membutuhkannya. Aku menyaksikan Morfodit Bagus kami menghitam dan roboh; sunhat
Miss Maudie mendarat di atas onggokannya. Gunting tanamannya tak terlihat lagi.
Di antara rumah kami, rumah Miss Rachel, dan rumah Miss Maudie yang panas
membara, para lelaki sudah lama menanggalkan jaket dan mantel mandi. Mereka
bekerja dengan mengenakan kemeja piama dan kaus yang diselipkan pada celana,
tetapi aku mulai menyadari bahwa aku perlahan-lahan membeku di tempatku berdiri.
Jem mencoba membuatku tetap hangat, tetapi lengannya saja tidak cukup. Aku
melepaskan diri darinya dan mencengkeram bahuku. Dengan melompat-lompat kecil,
aku dapat merasakan kakiku.
Satu lagi truk pemadam kebakaran muncul dan berhenti di depan rumah Miss
Stephanie Crawford. Tak ada pipa air untuk satu selang lagi, dan orang-orang
mencoba membasahi rumah itu dengan tabung pemadam kebakaran kecil.
Atap aluminium Miss Maudie memadamkan api. Dengan bergemuruh, rumah itu runtuh;
api memancar ke mana-mana, diikuti dengan tebaran selimut dari orang-orang yang
berada di atap rumah tetangga, memukuli bunga api dan bongkahan kayu yang
membara hingga padam. Subuh menjelang ketika orang-orang mulai beranjak, mula-mula satu per satu, lalu
berkelompok. Mereka mendorong truk kebakaran Maycomb kembali ke kota; truk
Abbottsville kembali ke pangkalannya, truk ketiga tetap tinggal. Kami mengetahui
keesokan harinya bahwa truk itu berasal dari Clark's Ferry, enam puluh mil dari
sini. Aku dan Jem menyelinap ke seberang jalan. Miss Maudie sedang menatap lubang
hitam berasap di halamannya, dan Atticus menggeleng untuk memberi tahu kami
bahwa Miss Maudie sedang tidak ingin diajak bicara. Atticus membimbing kami
pulang, merangkul bahu kami untuk menyeberangi jalan yang penuh es. Katanya,
Miss Maudie akan menginap di rumah Miss Stephanie untuk sementara.
"Ada yang mau cokelat panas?" tanyanya. Badanku gemetar ketika Atticus
menyalakan kompor. Selagi kami minum cokelat panas, aku melihat Atticus memandangiku, pertama
dengan rasa ingin tahu, lalu dengan ketegasan. "Bukankah aku menyuruh kau dan
Jem tetap berdiri di tempat itu?" katanya.
"Kami di sana, kok. Kami tetap"
"Lalu, selimut siapa itu?" "Selimut?"
"Ya, Nak, selimut. Itu bukan milik kita." Aku melihat ke bawah dan ternyata aku
menggenggam selimut wol cokelat yang tersampir di bahuku, seperti perempuan
Indian. "Atticus, aku tak tahu, Sir... aku" Aku menoleh kepada Jem untuk meminta jawaban,
tetapi Jem malah lebih bingung daripadaku. Katanya, dia tak tahu bagaimana tiba-
tiba bisa ada selimut, kami benar-benar menuruti perintah Atticus, kami berdiri
di samping gerbang Radley, jauh dari semua orang, kami tidak bergerak seinci pun
Jem berhenti. "Mr. Nathan ada di tempat kebakaran," dia meracau. "Aku melihat dia, aku lihat,
dia sedang menarik-narik kasur Atticus, aku sumpah ..."
"Tak apa-apa, Nak." Atticus menyeringai perlahan. "Sepertinya malam ini seluruh
penduduk Maycomb keluar rumah. Jem, rasanya ada kertas pembungkus di lemari.
Ambillah dan kita akan"
"Atticus, jangan, Sir!" Jem sepertinya sudah kehilangan akal. Dia mulai
menyemburkan seluruh rahasia kami, sama sekali tidak memedulikan keamanan
posisiku, apa lagi keamanannya, dia tak meninggalkan satu hal pun, ceruk,
celana, semuanya. "... Mr. Nathan menutup pohon itu dengan semen, Atticus, dan itu dilakukannya agar
kami tak menemukan barang-barang sepertinya dia memang gila, seperti orang
bilang, tapi Atticus, aku bersumpah demi Tuhan, dia belum pernah menyakiti kami,
dia belum pernah mencederai kami, dia bisa saja menggorok leherku dari telinga
ke telinga malam itu, tetapi dia malah berusaha menjahitkan celanaku ... dia tak
pernah menyakiti kami, Atticus"
Atticus berkata, "Tunggu, Nak," begitu lembut sehingga aku merasa sangat lega.
Kelihatannya dia tak mengerti satu kata pun yang diucapkan Jem karena yang
dikatakan Atticus hanyalah, "Kau benar. Lebih baik kita rahasiakan cerita dan
selimut ini di antara kita saja. Suatu hari nanti, mungkin, Scout bisa
mengucapkan terima kasih padanya untuk menyelimutinya."
"Berterima kasih pada siapa?" tanyaku.
"Boo Radley. Kau begitu sibuk menonton kebakaran sehingga kau tak tahu waktu dia
menyelimuti tubuhmu."
Perutku rasanya mencair dan aku hampir muntah ketika Jem menyodorkan selimut itu
dan beringsut mendekatiku. "Dia menyelinap keluar dari rumah berbalik menyelinap
masuk lagi ke rumah, dia yang melakukannya!"
Atticus berkata datar, "Jangan sampai kejadian ini mengilhamimu untuk bertingkah
lagi, Jeremy." Jem merengut, "Aku tak melakukan apa-apa padanya," tetapi aku melihat percik
petualangan baru memadam di matanya. "Coba pikir, Scout," katanya, "andai kau
berbalik, kau pasti bisa melihat dia."
Calpurnia membangunkan kami pada tengah hari. Atticus sudah memberitahunya bahwa
kami tidak perlu bersekolah hari itu, kami tak bisa belajar apa-apa kalau tidak
tidur. Calpurnia menyuruh kami mencoba membersihkan halaman depan.
Sunhat Miss Maudie tergeletak dilapisi es tipis, seperti lalat yang terfosil
dalam batu ambar, dan kami harus menggali tanah untuk mendapatkan gunting
tanaman. Kami menemukan Miss Maudie di halaman belakangnya, memandangi rumpun
azalea yang gosong dan beku.
"Kami mengembalikan barang-barangmu, Miss Maudie," kata Jem. "Kami ikut
menyesal." Miss Maudie memandang sekeliling, dan bayangan seringai khasnya melintasi
wajahnya. "Memang sejak dulu aku ingin rumah yang lebih kecil, Jem Finch.
Halamannya jadi lebih luas. Bayangkan, aku akan punya lebih banyak tempat untuk
azaleaku sekarang!" "Anda tidak sedih, Miss Maudie?" tanyaku, kaget. Kata Atticus, hanya rumah
itulah harta miliknya. "Sedih, Nak" Mengapa harus sedih" Aku membenci kandang sapi tua itu. Sudah
ratusan kali aku terpikir untuk membakarnya sendiri, tapi aku bisa-bisa
dipenjara." "Tapi" "Tak usah mencemaskan aku, Jean Louise Finch. Ada banyak cara yang belum
kauketahui untuk melakukan sesuatu. Aku bisa membangun rumah kecil dan menerima
dua pengontrak kamar dan wah, aku akan memiliki halaman tercantik di Alabama.
Halaman keluarga Bellingrath akan kelihatan menge-naskan kalau aku sudah mulai!"
Aku dan Jem saling memandang. "Kenapa bisa sampai terjadi kebakaran, Miss
Maudie?" tanyanya. "Tak tahu, Jem. Mungkin cerobong asap di dapur. Tadi malam aku menyalakan api di
sana untuk menghangatkan tanamanku yang ada dalam pot. Kudengar kau bertemu
teman tak terduga tadi malam, Miss Jean Louise."
"Dari mana Anda tahu?"
"Atticus memberitahuku ketika dia akan berangkat ke kota tadi pagi. Jujur saja,
aku juga ingin berada bersamamu waktu itu. Dan tentunya aku akan cukup pintar
untuk berbalik." Miss Maudie membuatku bingung. Meskipun hampir seluruh benda miliknya habis
terbakar dan halaman kesayangannya kacau-balau, dia masih menaruh perhatian
besar pada urusanku dan Jem.
Rupanya dia melihat kebingunganku. Katanya, "Satu-satunya yang membuatku cemas
tadi malam adalah bahaya dan kehebohan yang diakibatkannya. Seluruh lingkungan
ini bisa saja terbakar. Mr. Avery harus istirahat di tempat tidur selama
seminggu dia benar-benar terbakar. Dia terlalu tua untuk melakukan hal-hal
seperti itu dan aku sudah bilang padanya. Kalau urusanku sudah beres dan kalau
Stephanie Crawford sedang lengah, aku akan segera membuatkan kue Lane untuk Mr.
Avery. Si Stephanie sudah tiga puluh tahun mengincar resepku, dan kalau dia
pikir resep itu akan kuberikan kepadanya hanya karena aku menginap di rumahnya,
dia harus berpikir lagi."
Kupikir jika Miss Maudie menyerah dan memberikan resep itu, Miss Stephanie tetap
saja tak akan bisa mengerjakannya. Miss Maudie pernah menunjukkan resep itu
padaku: di antaranya, resep itu membutuhkan secangkir besar gula.
Hari masih siang. Udaranya sangat dingin dan cerah, dan kami mendengar jam di
gedung pengadilan berdentang, lalu menimbulkan serangkaian bunyi bising sebelum
menunjukkan waktu. Warna hidung Miss Maudie belum pernah kulihat sebelumnya, dan
aku menanyakannya. "Aku sudah di luar sini sejak jam enam," katanya. "Mestinya sudah membeku
sekarang." Dia mengangkat tangan. Jaringan kecil yang keriput malang melintang
di telapaknya, cokelat karena tanah dan darah kering.
"Tanganmu jadi rusak," kata Jem. "Mengapa tidak mencari orang Negro saja?" Tak
ada nada ingin menolong dalam suaranya ketika dia menambahkan, "Atau aku dan
Scout, kami bisa bantu."
Kata Miss Maudie, "Terima kasih, Nak, tetapi kau juga punya pekerjaan di sana."
Dia menunjuk halaman kami.
"Maksud Anda, Morfodit itu?" tanyaku. "Ah, itu bisa kami rapikan dengan cepat."
Miss Maudie menatapku, bibirnya bergerak tanpa suara. Tiba-tiba dia meletakkan
tangannya di kepala dan berseru dengan semangat. Ketika kami meninggalkannya,
dia masih tergelak. Kata Jem, dia tak tahu apa yang salah dengan Miss Maudie memang seperti itulah
Miss Maudie. ^ Sembilan Hei, tarik kembali kata-katamu!" Perintah yang kuberikan kepada Cecil Jacobs
ini, adalah awal masa sulit bagiku dan Jem. Tanganku terkepal dan aku siap
mengayunkannya. Atticus pernah berjanji bahwa dia akan memukulku kalau mendengar
aku berkelahi lagi; aku sudah terlalu tua dan terlalu besar untuk hal kekanak-
kanakan seperti itu, dan lebih cepat aku belajar menahan diri, keadaan akan
lebih baik bagi semua orang. Aku langsung melupakannya.
Cecil Jacobs membuatku lupa. Sehari sebelumnya, dia mengumumkan di halaman
sekolah bahwa ayah Scout Finch membela orang nigger. Aku menyangkalnya, tetapi
memberi tahu Jem. "Apa maksudnya, berkata seperti itu?" tanyaku. "Bukan apa-apa," kata Jem. "Tanya
saja Atticus, dia akan memberitahumu."
"Apakah kau membela nigger, Atticus?" tanyaku padanya malam itu.
"Tentu saja iya. Jangan bilang nigger, Scout. Tidak sopan."
"Itu yang dibilang semua orang di sekolah." "Mulai saat ini, semua orang kecuali
satu" "Kalau kau tak mau aku berbicara seperti itu, kenapa aku disuruh
bersekolah?" Ayahku memandangku lembut, rasa geli tersirat di matanya. Meskipun kami sudah
berkompromi, aksiku untuk menghindari sekolah berlangsung dalam berbagai bentuk
sejak mengecap hari pertama sekolah: pada awal September aku menyampaikan
berbagai keluhan tentang pingsan, pusing, dan sakit perut. Aku bahkan membayar
lima sen pada anak lelaki kepala koki Miss Rachel, yang terjangkit cacingan,
supaya mengizinkanku menggosokkan kepalaku pada kepalanya. Aku tidak tertular.
Tetapi, aku mencemaskan hal lain. "Apakah semua pengacara membela n-orang Negro,
Atticus?" "Tentu saja, Scout."
"Lalu, kenapa Cecil bilang kau membela nigger" Cara bicaranya seolah-olah kau
punya pabrik alkohol ilegal."
Atticus menghela napas. "Aku hanya membela seorang Negro namanya Tom Robinson.
Dia tinggal di permukiman kecil di seberang tempat pembuangan sampah kota kita.
Dia anggota gereja yang sama dengan Calpurnia, dan Cal kenal baik dengan
keluarganya. Katanya, mereka hidup bersih. Scout, kau belum cukup besar untuk
memahami beberapa hal, tetapi warga kota berpendapat bahwa aku sebaiknya jangan
berbuat banyak untuk membela orang ini. Kasusnya memang unik baru akan
disidangkan musim panas nanti. John Taylor sudah cukup baik memberi kami
penundaan "Kalau sebaiknya kau tidak membelanya, lalu kenapa kaubela?"
"Ada beberapa alasan," kata Atticus. "Alasan utamanya, kalau aku tidak
membelanya, aku tak akan bisa menegakkan kepalaku di kota ini, aku tak akan bisa mewakili county ini
dalam badan legislatif, aku bahkan tak bisa melarangmu atau Jem melakukan
sesuatu." "Maksudmu, kalau kau tidak membela orang itu, aku dan Jem tak perlu mematuhimu
lagi?" "Kira-kira begitu."
"Kenapa?" "Karena aku tak bisa lagi meminta kalian mematuhiku. Scout, karena memang
begitulah pekerjaannya, setiap pengacara sepanjang hidupnya setidaknya
mendapatkan satu kasus yang akan memengaruhinya secara pribadi. Sepertinya,
kasus inilah kasusku. Kau mungkin akan mendengar omongan buruk tentang hal ini
di sekolah, tetapi aku minta satu hal, kalau kau mau: tegakkan kepalamu tinggi-
tinggi dan tahan keinginanmu untuk memukul. Apa pun yang dikatakan orang
kepadamu, jangan dimasukkan ke hati. Cobalah untuk melawan mereka dengan
pemikiranmu ... sebaiknya begitu, meskipun mereka akan terus melawan."
"Atticus, apakah kita akan menang?"
"Tidak, Sayang."
"Lalu, kenapa" "Hanya karena kita telah tertindas selama seratus tahun sebelum kita mulai
melawan, bukanlah alasan bagi kita untuk tidak berusaha menang."
"Bicaramu mirip Sepupu Ike Finch," kataku. Sepupu Ike Finch adalah satu-satunya
veteran Konfederasi yang masih hidup di Maycomb County. Janggutnya menyerupai
janggut Jenderal Hood, yang
sering dibanggakannya secara berlebihan. Paling sedikit sekali setahun, Atticus,
Jem, dan aku mengunjunginya dan aku harus mengecupnya. Sungguh tidak
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyenangkan. Aku dan Jem biasanya dengan sopan mendengarkan percakapan Atticus
dan Sepupu Ike yang mengulang-ulang cerita tentang pengalaman perangnya. "Kuberi
tahu ya, Atticus," Sepupu Ike biasa berkata, "Kompromi Missou-rilah yang
merugikan kita, tetapi andai aku harus mengalaminya lagi, aku akan tetap
menapakkan setiap langkahku ke sana lalu kembali lagi seperti yang pernah
kulakukan, lebih dari itu, kita akan mengalahkan mereka kali ini ... nah, pada
tahun 1864, ketika Stonewall Jackson mampir maaf, aku salah anak-anak. Si Cahaya
Biru sudah di surga waktu itu, semoga Tuhan memberkati alis kudusnya ..."
"Kemarilah, Scout," kata Atticus. Aku merangkak ke dalam pangkuannya dan
meletakkan kepalaku di bawah dagunya. Dia memelukku dan membuaiku lembut. "Kali
ini berbeda," katanya. "Kali ini kita tidak melawan kaum Yankee, kita melawan
teman-teman kita. Tapi ingat ini, sepahit apa pun situasinya nanti, mereka masih
teman kita dan tempat ini tetap rumah kita."
Dengan mengingat perkataan Atticus, aku menghadapi Cecil Jacobs di halaman
sekolah keesokan harinya: "Hei, tarik kembali kata-katamu!"
"Coba saja paksa aku!" bentaknya. "Kata orang tuaku, ayahmu itu bikin malu dan
nigger itu seharusnya digantung di tangki air!"
Aku bersiap memukulnya, teringat perkataan
Atticus, lalu menurunkan kepalanku, dan pergi meninggalkannya. Teriakan "Scout
pengecut!" terngiang-ngiang di telingaku. Itulah pertama kalinya aku
meninggalkan perkelahian.
Entah mengapa, aku merasa, kalau aku berkelahi dengan Cecil, aku akan
mengecewakan Atticus. Atticus sangat jarang meminta aku dan Jem melakukan
sesuatu untuknya, jadi aku bisa menerima sebutan pengecut demi dia. Aku merasa
sangat mulia karena aku mengingat nasihatnya, dan tetap merasa mulia selama tiga
minggu. Lalu, Natal tiba dan bencana menghantam.
Aku dan Jem menantikan Natal dengan perasaan campur aduk. Sisi baiknya adalah
pohon Natal dan Paman Jack Finch. Setiap Malam Natal, kami menjemput Paman Jack
di Persimpangan Maycomb, dan dia melewatkan seminggu bersama kami.
Sisi buruknya menyangkut raut wajah Bibi Alexandra dan Francis yang kaku.
Kukira aku harus menyertakan Paman Jimmy, suami Bibi Alexandra, tetapi dia tak
pernah mengucapkan sepatah kata pun padaku sepanjang hidupku, kecuali mengatakan
"Turun dari pagar" satu kali; aku tak pernah melihat alasan untuk
memerhatikannya. Begitu pula Bibi Alexandra. Dahulu sekali, saat mereka masih
akrab, Bibi dan Paman Jimmy menghasilkan seorang putra bernama Henry,
yang meninggalkan rumah secepat dia bisa, menikah, dan menghasilkan Francis.
Henry dan istrinya menitipkan Francis di rumah orangtuanya setiap Natal, lalu
mencari kesenangan sendiri.
Meskipun telah menghela napas sebanyak yang kami mampu, kami tak bisa membujuk
Atticus untuk mengizinkan kami melewatkan hari Natal di rumah. Kami pergi ke
Finch's Landing setiap Natal sepanjang ingatanku. Keahlian memasak Bibi
Alexandra adalah kompensasi atas pemaksaan melewatkan hari raya agama bersama
Francis Hancock. Dia setahun lebih tua dariku, dan aku menghindarinya
berdasarkan prinsip: dia menikmati segala sesuatu yang tak kusukai, dan dia
terang-terangan tidak menyukai hobiku.
Bibi Alexandra adalah adik Atticus, tetapi ketika Jem bercerita tentang
persaudaraan dan bayi yang tertukar, aku menjadi yakin bahwa Bibi Alexandra
tertukar sejak lahir, bahwa kakek-nenekku mungkin mendapatkan seorang Crawford,
bukan seorang Finch. Seandainya aku pernah mengkhayalkan gunung-gunung, yang
tampaknya membuat para pengacara dan hakim terobsesi, Bibi Alexandra mungkin
bisa disamakan dengan Gunung Everest: sepanjang hidupku, dia dingin dan dia ada.
Ketika Paman Jack melompat turun dari kereta pada hari Malam Natal, kami harus
menunggu portir menyerahkan dua paket panjang kepadanya. Sejak dulu, aku dan Jem
merasa lucu kalau melihat Paman Jack mencium pipi Atticus; hanya mereka
berdualah lelaki yang pernah kami lihat saling mencium. Paman
Jack berjabatan tangan dengan Jem dan mengayunku ke atas, tetapi tidak cukup
tinggi: Paman Jack sekepala lebih pendek daripada Atticus; si bayi dalam
keluarga Finch, dia lebih muda daripada Bibi Alexandra. Dia dan Bibi Alexandra
berwajah mirip, tetapi kesan yang ditimbulkan wajahnya lebih baik: kami tak
pernah curiga pada hidung dan dagunya yang tajam.
Dia salah seorang dari sedikit ilmuwan yang tak pernah membuatku takut, mungkin
karena dia tak pernah bersikap seperti dokter. Ketika dia melakukan pemeriksaan
kecil padaku dan Jem, misalnya mengeluarkan serpih kayu di kaki, dia memberi
tahu kami apa persisnya yang akan dia lakukan, memberi kami perkiraan seberapa
besar rasa sakit yang akan timbul, dan menjelaskan kegunaan setiap alat yang
dipakainya. Pada suatu hari Natal, aku bersembunyi di pojok, mengusap-usap
kakiku yang kemasukan serpih kayu bengkok, tak mengizinkan siapa pun
mendekatiku. Ketika Paman Jack berhasil menangkapku, dia membuatku tertawa-tawa
dengan menceritakan lelucon tentang seorang pendeta yang begitu membenci pergi
ke gereja sehingga setiap hari dia berdiri di depan gerbang gereja dengan
mengenakan jubahnya, mengisap pipa rokok, dan menyampaikan khotbah sepanjang
lima menit kepada siapa pun yang menginginkan penghiburan spiritual, yang
kebetulan melewatinya. Aku menyela agar Paman Jack memberi tahu kapan dia akan
mengeluarkan serpih itu, tetapi dia menunjukkan serpih berdarah yang telah
dicabutnya dengan pinset itu dan
berkata bahwa dia mencabutnya saat aku tertawa; itulah yang namanya relativitas.
"Apa isi paketnya?" tanyaku padanya, menunjuk parsel panjang tipis yang
diserahkan portir. "Bukan urusanmu," katanya. Kata Jem, "Apa kabar Rose Aylmer?" Rose Aylmer adalah
kucing Paman Jack, betina berwarna kuning yang cantik. Kata Paman Jack, dia
adalah salah satu dari sedikit perempuan yang dia bisa tahan berdekatan dalam
waktu lama. Dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto.
Kami mengaguminya. "Dia makin gemuk," kataku.
"Memang semestinya. Dia makan semua sisa-sisa jari dan kuping yang kudapatkan
dari rumah sakit." "Ah, itu pasti kebohongan brengsek," kataku. "Maaf?"
Kata Atticus, "Tak usah dipedulikan, Jack. Dia sedang mengujimu. Kata Cal, sudah
seminggu ini dia fasih menyumpah-nyumpah."
Paman Jack mengangkat alis dan tak mengatakan apa-apa. Aku berbuat begini
berdasarkan suatu teori samar, selain adanya daya pikat dalam sumpah serapah
seperti itu, jika Atticus tahu bahwa aku mempelajari kata-kata itu di sekolah,
dia tak akan memaksaku bersekolah lagi.
Namun, pada acara makan malam itu, ketika aku meminta tolong padanya untuk
mengambilkan daging sialan, Paman Jack menudingku. "Temui aku setelah ini, gadis
muda," katanya. Seusai makan malam, Paman Jack masuk ke ruang tamu dan duduk. Dia menepuk
pahanya agar aku duduk di pangkuannya. Aku menyukai bau tubuhnya: aromanya
seperti botol alkohol dan sesuatu yang manis menyenangkan. Dia mengusap poniku
dan memandangku. "Kau lebih mirip Atticus daripada ibumu," katanya. "Kau juga
sudah sedikit lebih besar dari celanamu."
"Rasanya celanaku pas-pas saja."
"Kau suka mengucapkan kata-kata seperti sialan dan brengsek sekarang, ya?"
Kataku, sepertinya begitu.
"Yah, aku tak suka itu," kata Paman Jack, "kecuali ada yang memancing-mancingmu
untuk menggunakan kata-kata itu. Aku akan tinggal di sini selama seminggu, dan
aku tak ingin mendengar kata-kata seperti itu selagi aku di sini. Scout, kau
akan mendapat masalah kalau terus-terusan mengucapkan kata-kata itu. Kau ingin
tumbuh menjadi wanita terhormat, kan?"
Aku bilang, tidak juga. "Pasti kau mau. Nah, ayo menghias pohon kita." Kami menghiasi pohon sampai waktu
tidur tiba, dan malam itu aku memimpikan dua paket panjang untukku dan Jem.
Keesokan paginya, aku dan Jem terjun menyambarnya: hadiah itu dari Atticus, yang
menyurati Paman Jack agar membelikannya untuk kami, dan isinya memang apa yang
kami minta. "Jangan memainkannya di dalam rumah," kata Atticus, ketika Jem membidik sebuah
gambar di dinding. "Kau harus mengajari mereka cara menembak," kata Paman Jack.
"Itu tugasmu," kata Atticus. "Aku lebih baik tidak ikut campur."
Atticus harus menggunakan suara ruang sidangnya untuk mengalihkan kami dari
pohon Natal. Dia tak mengizinkan kami membawa senapan angin kami ke Landing (aku
sudah mulai membayangkan menembak Francis) dan berkata bahwa jika kami melakukan
hal buruk sekali saja, senapan itu akan disita selamanya.
Finch's Landing terdiri atas 366 anak tangga yang menuruni tebing dan berujung
di dermaga. Lebih hilir lagi, melewati tebing, terdapat sisa-sisa kebun kapas
tua, dahulu tempat orang-orang Negro yang bekerja untuk keluarga Finch
mengangkuti karung dan hasil panen, menurunkan berblok-blok es, terigu dan gula,
peralatan pertanian, dan pakaian-pakaian wanita. Jalan dua arah merentang dari
tepi sungai dan menghilang di antara pepohonan gelap. Pada ujung jalan terdapat
rumah putih berlantai dua, dengan beranda yang mengitari kedua lantainya. Pada
usia senja, leluhur kami, Simon Finch, membangunnya untuk menyenangkan istrinya
yang suka menuntut; tetapi dengan adanya beranda-beranda, rumah itu tak lagi
memiliki kemiripan dengan rumah biasa pada zaman itu. Pengaturan di dalam rumah
Finch menandakan ketulusan dan kepercayaan mutlak Simon pada anak-anaknya.
Di lantai atas ada enam kamar tidur: empat untuk delapan anak perempuan, satu
untuk Welcome Finch, satu-satunya anak lelaki, dan satu untuk kerabat yang
bertamu. Cukup sederhana; tetapi kamar para gadis hanya dapat dicapai dengan
satu tangga, kamar Welcome dan kamar tamu hanya dengan tangga yang lain. Tangga
Para Gadis terletak di kamar orangtua mereka di lantai dasar. Jadi, Simon selalu
tahu pukul berapa putri-putrinya pulang dan pergi pada malam hari.
Ada dapur yang terpisah dengan bagian rumah yang lain, yang menyatu dengan rumah
itu melalui jalan kayu yang sempit; di halaman belakang terdapat lonceng
berkarat yang tergantung di tiang, digunakan untuk memanggil pekerja ladang atau
mengirim sinyal bahaya; di atap rumah itu terdapat bagian datar yang disebut
Widow's Walk Jalan Janda meskipun tak ada janda yang pernah berjalan di situ
dari situ, Simon mengawasi mandornya, mengamati kapal sungai, dan mengintip
kehidupan para pemilik tanah di sekitarnya.
Rumah itu menyimpan legenda umum tentang kaum Yankee penduduk Amerika Serikat
bagian utara: seorang anggota keluarga perempuan Finch, yang baru bertunangan,
menyembunyikan barang-barang simpanan untuk pernikahannya agar tak dijarah
perampok setempat; dia terjepit di pintu menuju Tangga Para Gadis, lalu disiram
air dan akhirnya didorong hingga lepas. Ketika kami tiba di Landing, Bibi
Alexandra mencium Paman Jack, Francis mencium Paman Jack, Paman Jimmy berjabatan
tangan tanpa berkata-kata dengan Paman Jack, aku dan Jem memberikan hadiah
kepada Francis, yang juga memberi kami hadiah. Jem yang bertingkah sok tua mendekati para orang
dewasa, meninggalkanku mengobrol dengan sepupu kami. Francis berusia delapan
tahun dan rambutnya tersisir rapi.
"Dapat hadiah Natal apa?" tanyaku sopan.
"Apa yang kuminta," katanya. Francis meminta celana selutut, tas kulit warna
merah, lima kemeja, dan dasi kupu-kupu yang belum diikat.
"Bagus," aku berbohong. "Aku dan Jem mendapat senapan angin, dan Jem mendapat
satu set perlengkapan kimia"
"Mainan, ya?" "Bukan, set betulan. Dia mau membuatkanku tinta tak terlihat, dan aku akan
menyurati Dili dengan tinta itu."
Francis bertanya buat apa aku berbuat begitu.
"Apa kau tak bisa membayangkan wajahnya waktu dia mendapat surat dariku yang tak
berisi apa-apa" Dia pasti penasaran."
Mengobrol dengan Francis memberiku perasaan tenggelam perlahan-lahan ke dasar
samudra. Dia anak paling membosankan yang pernah kutemui. Karena tinggal di
Mobile, dia tak dapat mengadu-kanku ke pihak berwenang sekolah, tetapi dia
berhasil menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya kepada Bibi Alexandra,
yang kemudian menumpahkan kecemasannya kepada Atticus, yang kemudian
melupakannya atau memarahiku, yang mana pun yang sedang ingin dilakukannya.
Tetapi, sekali-kalinya aku pernah mendengar Atticus berbicara tajam kepada orang
lain adalah ketika aku mendengarnya berkata, "Tenanglah, aku berusaha semampuku
dengan mereka!" Kalimat itu muncul karena aku suka mengenakan overall.
Bibi Alexandra sangat gemar membahas pakaianku. Katanya, aku tak mungkin bisa
menjadi wanita terhormat kalau aku selalu memakai celana: ketika kubilang aku
tak bisa melakukan apa-apa kalau memakai rok, dia berkata, aku memang semestinya
tidak melakukan hal-hal yang mengharuskanku mengenakan celana. Bayangan Bibi
Alexandra mengenai kegiatanku mencakup bermain dengan masak-masakan dan
mengenakan kalung Add-A-Pearl yang dihadiahkannya ketika aku lahir; lebih dari
itu, aku semestinya menjadi cahaya mentari dalam kehidupan ayahku yang sunyi.
Aku mengatakan, orang bisa saja menjadi cahaya mentari sambil bercelana, tetapi
Bibi Alexandra berkata bahwa seseorang harus berperilaku seperti berkas cahaya,
bahwa aku dilahirkan baik-baik, tetapi tumbuh semakin buruk setiap tahun. Dia
menyakiti perasaanku dan membuatku selalu sebal, tetapi ketika aku menanyakan
hal ini kepada Atticus, dia berkata bahwa sudah ada cukup banyak cahaya matahari
dalam keluarga kami dan aku boleh melanjutkan kegiatanku, dia tidak berkeberatan
denganku yang seperti ini.
Pada makan malam Natal, aku duduk di meja kecil di ruang makan; Jem dan Francis
duduk bersama orang-orang dewasa di meja makan. Bibi Alexandra terus
mengisolasiku, lama setelah Jem dan Francis lolos untuk duduk di meja besar. Aku
sering bertanya-tanya, memangnya menurutnya apa yang akan kulakukan, bangkit dan
melemparkan sesuatu" Aku kadang terpikir untuk bertanya padanya, jika dia
mengizinkanku duduk di meja besar bersama mereka semua sekali saja, aku akan
membuktikan bahwa aku bisa bersikap beradab; bukankah setiap hari aku makan di
rumah tanpa ada kecelakaan besar" Waktu aku memohon Atticus untuk memanfaatkan
pengaruhnya, katanya dia tak punya pengaruh kami tamu, dan kami duduk menurut
petunjuk tuan rumah. Dia juga berkata bahwa Bibi Alexandra tak banyak mengerti
anak perempuan karena dia tak pernah punya.
Tetapi, masakannya sebanding dengan semuanya: tiga jenis masakan daging, sayuran
khas musim panas dari rak makanan, acar pir, dua jenis kue, dan ambrosia
merupakan makan malam Natal sederhana. Setelahnya, orang-orang dewasa pindah ke
ruang tamu dan duduk-duduk kekenyangan. Jem berbaring di lantai, dan aku ke
halaman belakang. "Pakai jaketmu," kata Atticus lirih, jadi aku tak
mendengarnya. Francis duduk di sampingku di tangga belakang. "Itu yang terbaik sampai
sekarang," kataku. "Nenek pintar memasak," kata Francis. "Dia akan mengajariku."
"Anak lelaki tak boleh memasak." Aku cekikikan membayangkan Jem mengenakan
celemek. "Kata Nenek, semua lelaki harus belajar memasak. Lelaki juga harus berhati-hati
menghadapi istri dan harus melayaninya kalau sedang sakit," kata
sepupuku. "Aku tak ingin Dili melayaniku," kataku. "Aku lebih suka melayaninya." "Dili?"
"Ya. Jangan bilang apa-apa dulu, tetapi kami akan menikah kalau kami sudah cukup
besar. Dia melamarku musim panas lalu."
Francis tertawa mengejek.
"Memangnya kenapa?" tanyaku. "Dia kan tak apa-apa."
"Maksudmu, si cebol yang kata Nenek menginap di rumah Miss Rachel setiap musim
panas?" "Memang dia yang kumaksud."
"Aku tahu banyak tentang dia," kata Francis.
"Memangnya dia kenapa?"
"Kata Nenek, dia tak punya rumah"
"Punya, dia tinggal di Meridian." "dia selalu berpindah-pindah dari saudara ke
saudara, dan Miss Rachel mendapat giliran menampungnya setiap musim panas."
"Francis, kau bohong!"
Francis menyeringai. "Kau memang kadang-kadang bodoh sekali, Jean Louise.
Rupanya kau tak tahu, ya?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau Paman Atticus mengizinkanmu bermain dengan anjing liar, itu urusannya,
seperti kata Nenek, jadi bukan salahmu. Kurasa bukan salahmu kalau Paman Atticus
juga pencinta nigger, tetapi biar kuberi tahu, ini benar-benar membuat malu
seluruh keluarga" "Francis, sialan, apa maksudmu?"
"Ya, yang kubilang tadi. Kata Nenek, sudah cukup buruk ayahmu membiarkanmu
tumbuh liar, tetapi sekarang ternyata dia jadi pencinta nigger, kami tak bisa
lagi berjalan dengan tegak di jalanan Maycomb. Dia menghancurkan keluarga kita,
itulah yang dilakukannya."
Francis berdiri dan berlari menyusuri jalan kayu ke dapur tua. Pada jarak yang
aman, dia berseru, "Ayahmu itu cuma pencinta nigger1."
"Bukan!" seruku. "Aku tak tahu maksudmu, tetapi hentikan sekarang juga!"
Aku melompat turun dari tangga dan berlari menyusuri jalan kayu. Mudah saja
menangkap kerah Francis. Aku menyuruhnya agar cepat menarik kembali kata-
katanya.
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Francis meronta lepas dan berlari masuk dapur. "Pencinta nigger1." teriaknya.
Ketika mengintai mangsa, jangan terburu-buru. Jangan berkata apa-apa, dan bisa
dipastikan dia akan penasaran dan muncul. Francis muncul di pintu dapur. "Kau
masih marah, Jean Louise?" tanyanya dengan hati-hati.
"Aku tak bisa bilang apa-apa lagi," kataku. Francis keluar ke jalan kayu.
"Tarik kata-katamu, Francis?" Tetapi, aku terlalu cepat bergerak. Francis
melesat kembali ke dapur, jadi aku duduk di tangga. Aku bisa menunggu dengan
sabar. Mungkin aku sudah duduk di situ selama lima menit ketika kudengar Bibi
Alexandra berbicara, "Mana Francis?"
"Dia di dapur."
"Dia tahu dia tidak boleh bermain di sana."
Francis muncul di pintu dan berseru, "Nenek, dia memasukkanku ke sini dan tak
membolehkanku keluar!"
"Ada apa ini, Jean Louise?"
Aku memandang Bibi Alexandra, "Aku tidak memasukkan dia ke sana, Bibi, aku tidak
mengurungnya." "Bohong," seru Francis, "dia tidak membolehkanku keluar!"
"Kalian bertengkar?"
"Jean Louise marah padaku, Nenek," seru Francis.
"Francis, keluar sini! Jean Louise, kalau kudengar sepatah kata lagi darimu,
akan kuadukan pada ayahmu. Apakah tadi aku mendengarmu mengatakan sialan?"
"Tidak, Ma'am."
"Rasanya iya. Jangan sampai kudengar lagi."
Bibi Alexandra suka menguping di halaman belakang. Begitu dia tak terlihat,
Francis keluar dengan mengangkat dagu dan menyeringai. "Jangan main-main
denganku," katanya. Dia melompat ke halaman dan menjaga jarak, menendangi rumput, sesekali berbalik
dan tersenyum kepadaku. Jem muncul di teras, memandang kami, lalu pergi. Francis
memanjat pohon akasia, turun, mengantongi tangannya, dan berjalan-jalan
mengelilingi halaman. "Hah!" katanya. Aku bertanya, dia pikir dia siapa, Paman
Jack" Kata Francis, bukankah aku disuruh duduk dan jangan mengganggunya"
"Aku kan tidak mengganggumu," kataku. Francis memandangku dengan berhati-hati,
menyimpulkan bahwa aku sudah cukup jinak, dan menyanyi lirih, "Pencinta nigger..."
Kali ini buku jariku robek sampai ke tulang karena gigi depannya. Karena tangan
kiriku cedera, aku menyerang dengan tangan kanan, tetapi tak lama. Paman Jack
menahan tanganku ke badan dan berkata, "Jangan bergerak!"
Bibi Alexandra mengobati Francis, menyeka air matanya dengan sapu tangan,
membelai rambutnya, menepuk-nepuk pipinya dengan lembut. Atticus, Jem, dan Paman
Jimmy segera menuju teras belakang begitu Francis mulai menjerit-jerit. "Siapa
yang memulai?" tanya Paman Jack. Aku dan Francis saling menuding. "Nenek,"
tangisnya, "dia memanggilku perempuan jalang dan menyerangku!"
"Benarkah itu, Scout?" kata Paman Jack. "Sepertinya iya." Ketika Paman Jack
memandangku, raut wajahnya seperti Bibi Alexandra. "Kau tahu, aku sudah bilang,
aku akan menghukum dirimu kalau kau menggunakan kata-kata seperti itu" Aku sudah
bilang, kan?" "Ya, Paman, tapi"
"Sekarang, kau akan kuhukum. Diam di situ." Aku sedang mempertimbangkan apakah
lebih baik berdiri di situ atau lari, dan aku terlalu lambat
memutuskan: Aku berbalik untuk kabur, tetapi Paman Jack lebih cepat. Tahu-tahu
aku sudah berhadapan langsung dengan seekor semut kecil yang berjuang mengangkut
remah roti di rumput. "Aku tak mau lagi bicara denganmu sepanjang hidupku! Aku benci kau dan kuharap
kaumati besok!" Pernyataanku ini tampaknya membuat Paman Jack makin meradang.
Aku berlari ke arah Atticus untuk mencari perlindungan, tetapi dia berkata aku
pantas dihukum dan sudah saatnya kami pulang. Aku naik ke kursi belakang mobil
tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada siapa pun, lalu setibanya di rumah aku
berlari ke kamarku dan membanting pintunya. Jem mencoba menghiburku, tetapi aku
tak ingin dihibur. Aku memeriksa luka-luka pada tubuhku; hanya ada tujuh atau delapan bekas merah,
dan aku sedang merenungkan relativitas ketika seseorang mengetuk pintu. Kutanya
siapa; Paman Jack menjawab. "Pergi!"
Paman Jack berkata, kalau aku berbicara seperti itu lagi, dia akan menghukumku
lagi, jadi aku diam. Ketika dia masuk ke kamar, aku mundur ke pojok dan
memunggunginya. "Scout," katanya, "kau masih membenciku?"
"Tolong pergi saja, Sir."
"Wah, aku tak menyangka kau akan menya-lahkanku," katanya. "Aku kecewa padamu
kau pantas dihukum dan kau tahu itu."
"Aku tidak tahu."
"Sayang, kau tidak bisa seenaknya menyebut
orang" "Paman tak adil," kataku, "Paman tak adil." Alis Paman Jack naik. "Tak adil"
Kenapa?" "Kau baik sekali, Paman Jack, dan kukira aku akan tetap menyayangimu setelah
perbuatanmu ini, tetapi kau memang tidak terlalu paham anak-anak." Paman Jack
berkacak pinggang dan memandangku. "Dan kenapa aku tidak paham anak-anak, Miss
Jean Louise" Perbuatanmu itu tidak susah untuk dipahami. Perbuatan itu lancang,
liar, dan kasar" "Paman mau memberiku kesempatan untuk memberi tahu atau tidak" Aku tak bermaksud
tidak sopan padamu, aku cuma mencoba memberi tahu." Paman Jack duduk di tempat
tidur. Alisnya bertaut, dan dia memandangku. "Baiklah," katanya.
Aku menghela napas panjang. "Yah pertama-tama, Paman tak pernah meluangkan
waktumu sejenak saja untuk memberiku kesempatan bercerita dari sisiku Paman
langsung saja menyerangku. Kalau aku dan Jem bertengkar, Atticus tak pernah
hanya mendengar cerita Jem, dia mendengar ceritaku juga, dan kedua, Paman
melarangku menggunakan kata-kata seperti itu kecuali dipancing-pancing, dan
Francis memancingku untuk memukul kepalanya" Paman Jack menggaruk kepalanya.
"Apa cerita dari sisimu, Scout?"
"Francis menyebut Atticus sesuatu, dan aku tak rela mendengarnya."
"Francis menyebutnya apa?"
"Pencinta nigger. Aku tak yakin apa artinya, tetapi cara Francis mengucapkannya
kuberi tahu satu hal sekarang, Paman Jack, aku yakin aku bersumpah demi Tuhan, aku tak bisa
cuma duduk diam dan membiarkan dia berkata begitu tentang Atticus." "Dia
menyebut Atticus begitu?"
"Ya, Sir, dan banyak lagi. Katanya, Atticus bisa menghancurkan keluarga besar
kita dan dia membiarkan aku dan Jem tumbuh liar..."
Dari wajah Paman Jack, kusangka aku akan dihukum lagi. Tapi ketika dia berkata,
"Akan kita lihat lagi masalahnya," aku tahu Francis yang akan dihukum. "Aku akan
ke sana lagi malam ini."
"Tolong, Paman, biarkan saja. Tolong."
"Aku tak ingin membiarkannya," katanya. "Alexandra harus tahu soal ini.
Memikirkan bahwa tunggu saja sampai aku menemui anak itu ..."
"Paman Jack, tolong berjanjilah satu hal padaku, kumohon, Paman. Janjilah Paman
tak akan mengatakan pada Atticus tentang ini. Dia dia pernah memintaku untuk
tidak membiarkan apa pun yang kudengar tentang dia membuatku marah, dan aku
lebih suka dia berpikir kami berkelahi tentang hal lain. Tolong, janjilah ..."
"Tapi aku tak suka Francis dibiarkan berbuat begitu"
"Biarkan saja. Paman mau membalut tanganku" Masih berdarah sedikit."
"Tentu mau, Manis. Tak ada tangan lain yang lebih membuatku senang saat
membalutnya. Kemarilah."
Paman Jack dengan sopan membungkuk untuk mempersilakanku ke kamar mandi.
Sementara dia membersihkan dan membalut jemariku, dia menghiburku dengan kisah tentang lelaki
tua penderita rabun jauh yang lucu, yang memiliki seekor kucing bernama Hodge,
dan yang menghitung semua celah di trotoar kalau pergi ke kota. "Nah, sudah,"
katanya. "Kau akan punya bekas luka yang sangat tidak cantik di jari manismu."
"Terima kasih, Sir. Paman Jack"
"Ya, Nak?" "Perempuan jalang itu apa?" Paman Jack malah menceritakan kisah panjang lain
tentang Perdana Menteri tua anggota badan legislatif yang suka meniup bulu-bulu
di udara dan mencoba menjaganya di udara ketika di sekelilingnya semua orang
telah kehilangan akal. Kurasa dia mencoba menjawab pertanyaanku, tetapi
penjelasannya sama sekali tak masuk akal.
Malam itu, ketika aku semestinya sudah tidur, aku turun ke ruang keluarga untuk
mengambil minum dan mendengar Atticus dan Paman Jack sedang berbicara di ruang
tamu: "Aku tak akan menikah, Atticus."
"Mengapa?" "Bisa-bisa aku punya anak." Kata Atticus, "Kau masih harus belajar banyak,
Jack." "Aku tahu. Putrimu memberiku pelajaran pertama sore ini. Katanya, aku tak banyak
mengerti tentang anak-anak dan memberitahukan alasannya. Dia benar juga.
Atticus, dia memberitahuku bagaimana aku semestinya memperlakukannya duh, aku
sangat menyesal telah memarahinya."
Atticus tergelak. "Dia pantas dimarahi, jadi jangan terlalu menyesal."
Dengan tegang, aku menunggu Paman Jack memberi tahu Atticus tentang sisi
ceritaku. Tetapi ternyata tidak. Dia hanya bergumam, "Kata-kata makian yang
digunakannya sungguh tak terbayang-kan. Tapi dia tak tahu makna sebagian besar
kata-kata yang diucapkannya dia bertanya wanita jalang itu apa
"Apa kau memberitahunya?"
"Tidak, aku bercerita tentang Lord Melbourne."
"Jack! Kalau seorang anak bertanya sesuatu, jawablah, demi Tuhan. Jangan
berlebihan. Anak-anak adalah anak-anak, tetapi mereka tahu kalau kau menghindar,
mereka tahu lebih cepat daripada orang dewasa, dan menghindar hanya akan
membingungkan mereka. Tidak," renung ayahku, "kau mendapatkan pengetahuan yang
benar sore ini, tetapi dengan alasan yang salah. Bahasa yang buruk adalah tahap
yang dilalui semua anak, dan akan berakhir dengan sendirinya, ketika mereka
mengerti bahwa mereka tak akan mendapat perhatian dengan cara itu. Sifat Scout
yang gampang marah tidak akan hilang. Dia harus belajar menjaga perilakunya dan
harus segera, dengan apa yang akan terjadi padanya beberapa bulan ke depan. Tapi
dia sudah lebih baik. Jem semakin dewasa dan Scout banyak meneladaninya. Yang
dia butuhkan hanyalah bantuan, sekali-sekali."
"Atticus, kau belum pernah memukulnya."
"Aku mengakui itu. Sejauh ini aku berhasil hanya dengan mengancamnya. Jack, dia
mematuhiku sebaik yang dia bisa. Kadang-kadang dia memang bandel, tetapi dia
mencoba." "Itu bukan jawabannya," kata Paman Jack. "Tidak, jawabannya adalah dia tahu aku
tahu dia mencoba. Itulah yang membedakan. Yang menggangguku adalah dia dan Jem
akan harus menyerap hal-hal buruk tak lama lagi. Aku tidak mengkhawatirkan Jem
soal menjaga kelakuan, tetapi Scout lebih suka menyerang seseorang daripada
menghadapinya kalau harga dirinya dipertaruhkan ii
Aku menunggu Paman Jack melanggar janjinya. Dia tetap tidak melakukannya.
"Atticus, akan seburuk apa keadaannya nanti" Kau belum sempat membahasnya."
"Tak akan lebih buruk dari sekarang, Jack. Satu-satunya yang kita miliki adalah
perkataan seorang kulit hitam untuk melawan perkataan seorang Ewell. Pada
intinya, bukti menunjukkan, kau melakukannya, aku tidak melakukannya. Kita tak
mungkin mengharapkan Juri lebih memercayai kata-kata Tom Robinson daripada kata-
kata keluarga Ewell kau kenal dengan mereka?"
Paman Jack berkata ya, dia ingat. Dia menggambarkan ciri-ciri keluarga itu
kepada Atticus, tetapi Atticus berkata, "Kau terlewat satu generasi. Tetapi,
generasi yang sekarang sama saja." "Jadi, apa yang akan kauperbuat?"
"Sebelum aku menyelesaikan kasus ini, aku
berniat sedikit mengguncang juri tetapi kupikir kita akan punya peluang baik
untuk naik banding. Aku benar-benar tak bisa menduga apa yang akan terjadi pada
tahap ini, Jack. Kau tahu, aku pernah berharap bisa melewatkan hidup tanpa kasus
sejenis ini, tetapi John Taylor menunjukku dan berkata, 'Kau akan menangani
kasus ini.'" "Tapi bukankah kau bisa menolaknya?"
"Benar. Tapi bagaimana aku bisa menghadapi anak-anakku, kalau aku tidak
melakukannya" Kau tahu apa yang akan terjadi, Jack, dan aku berharap dan berdoa
aku bisa membawa Jem dan Scout melewati semua ini tanpa kepahitan, dan terutama,
tanpa terjangkiti penyakit Maycomb. Kenapa orang-orang yang pandai mudah naik
pitam jika ada kejadian yang melibatkan seorang Negro, adalah sesuatu yang tak
akan pernah kupahami ... aku hanya berharap, Jem dan Scout akan mencari jawaban
pada diriku, alih-alih mendengarkan warga kota. Kuharap mereka cukup
memercayaiku ... Jean Louise?"
Kulit kepalaku seperti terlompat. Aku menjulurkan kepalaku. "Sir?" "Tidurlah."
Aku berlari ke kamarku dan tidur. Paman Jack adalah pangeran yang tidak pernah
mengecewa-kanku. Tetapi, aku tak pernah mengerti bagaimana Atticus tahu aku
sedang menguping, dan baru bertahun-tahun kemudian aku menyadari bahwa dia ingin
aku mendengar setiap kata yang diucapkannya.
Sepuluh Atticus sudah uzur; usianya hampir lima puluh. Waktu aku dan Jem bertanya
mengapa dia begitu tua, katanya dia terlambat memulai, yang kami kira
memengaruhi kemampuan dan kejantanannya. Dia jauh lebih tua daripada para
orangtua teman sekolah kami, dan tak ada yang dapat aku atau Jem katakan tentang
dia ketika teman-teman kami berkata, "Kalau ayah-ku..."
Jem gila football. Atticus tak pernah terlalu lelah untuk menemani berlatih,
tetapi kalau Jem ingin men-tackle dia, Atticus berkata, "Aku sudah terlalu tua
untuk itu, Nak." Ayah kami tidak punya keistimewaan apa-apa. Dia bekerja di kantor, bukan di
toko. Atticus tidak mengendarai truk sampah untuk pemerintah county, dia bukan
sheriff, dia tidak berkebun, bekerja di bengkel, atau melakukan apa pun yang
bisa menimbulkan kekaguman orang.
Selain itu, dia berkacamata. Mata kirinya hampir buta, dan mata kiri yang
bermasalah adalah kutukan keluarga Finch. Kalau ingin melihat sesuatu dengan
lebih jelas, dia menoleh dan melihat dengan mata kanannya.
Dia tak melakukan hal-hal yang dilakukan ayah
teman-teman sekolah kami: dia tak pernah berburu, dia tak pernah bermain poker
atau memancing atau minum alkohol atau merokok. Dia duduk di rumah dan membaca.
Bagaimanapun, dengan sifat-sifat ini, ternyata dia tidak terus menjadi seseorang
yang tidak menonjol seperti yang kami inginkan: tahun itu, seluruh sekolah
membicarakan dirinya yang membela Tom Robinson, dan tak satu pun memujinya.
Setelah perkelahianku dengan Cecil Jacobs, aku menetapkan kebijakan pengecut.
Kabar yang tersebar adalah Scout Finch tak mau berkelahi lagi karena ayahnya tak
mengizinkan. Ini tidak sepenuhnya benar: demi Atticus, aku tak akan berkelahi di
depan umum, tetapi keluarga adalah lahan pribadiku. Aku akan berkelahi mati-
matian dengan orang dalam lingkup sepupu jauh. Francis Hancock, misalnya, tahu
itu. Ketika menghadiahi kami senapan angin, Atticus tak mau mengajari kami cara
menembak. Paman Jack yang mengajari kami dasar-dasarnya; katanya, Atticus tidak
tertarik pada senapan. Kata Atticus kepada Jem suatu hari, "Aku lebih suka kau
menembaki kaleng timah di halaman belakang, tetapi aku tahu kau akan memburu
burung. Kau boleh menembak burung biuejay sebanyak yang kau mau, kalau bisa
kena, tetapi ingat, membunuh mockingbird sejenis murai bersuara merdu itu dosa."
Itulah sekali-kalinya aku pernah mendengar Atticus berkata tentang sesuatu yang
menyebabkan dosa, dan aku menanyakannya kepada Miss
Maudie. "Ayahmu benar," katanya. "Mockingbird menyanyikan musik untuk kita nikmati,
hanya itulah yang mereka lakukan. Mereka tidak memakan tanaman di kebun orang,
tidak bersarang di gudang jagung, mereka tidak melakukan apa pun, kecuali
menyanyi dengan tulus untuk kita. Karena itulah, membunuh mockingbird itu dosa."
"Miss Maudie, lingkungan ini sudah tua, ya?"
"Sudah ada sebelum kota ini ada."
"Bukan, Ma'am, maksudku, orang-orang di jalan kita semuanya sudah tua. Anak-anak
yang tinggal di sekitar sini hanya aku dan Jem. Mrs. Dubose hampir berumur
seratus tahun dan Miss Rachel sudah tua, kau dan Atticus juga."
"Lima puluh tahun belum terlalu tua," kata Miss Maudie pendek. "Aku belum
didorong-dorong pakai kursi roda, bukan" Ayahmu juga belum. Tetapi aku harus
katakan, Yang Kuasa cukup baik hati membakar mausoleum tua milikku itu, aku
sudah terlalu tua untuk merawatnya mungkin kau benar, Jean Louise, lingkungan
ini cukup mapan. Kau tidak banyak bergaul dengan anak sebayamu, ya?"
"Hanya di sekolah."
"Maksudku, orang dewasa yang masih muda. Kau beruntung, Nak. Kau dan Jem
beruntung karena usia ayahmu. Andai ayahmu baru tiga puluh tahun, hidupmu pasti
berbeda." "Tentu saja. Atticus tak bisa berbuat apa-apa
ii "Kau pasti terkejut kalau tahu," kata Miss
Maudie. "Dalam tubuhnya masih ada semangat yang membara."
To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang bisa dia lakukan"
"Dia bisa membuat seseorang begitu terlindung sehingga orang lain tak bisa
mengganggunya." "Yang benar saja ...."
"Eh, apa kau tidak tahu, dia adalah pemain checker terbaik di kota ini. Waktu
masih tinggal di Landing, Atticus Finch bisa mengalahkan siapa pun di kedua sisi
sungai." "Ya Tuhan, Miss Maudie, aku dan Jem selalu mengalahkannya."
"Sudah waktunya kau tahu, itu karena dia sengaja mengalah. Tahukah kau, dia bisa
memainkan Jew's harp?"
Prestasi kecil Atticus ini malah membuatku semakin malu.
"Tapikata Miss Maudie.
"Tapi apa, Miss Maudie?"
"Bukan apa-apa. Bukan apa-apa kusangka dengan semua itu kau akan bangga padanya.
Tak semua orang bisa memainkan Jew's harp. Nah, jangan ganggu para tukang kayu
yang sedang bekerja. Sebaiknya kau pulang. Aku akan mengurus azaleaku dan tak
bisa mengawasimu. Bisa-bisa kau tertimpa papan."
Aku ke halaman belakang dan menemukan Jem sedang mencoba menembak sebuah kaleng
timah dengan gigih. Usaha yang tampak bodoh karena banyak burung biuejay di
sekitarnya. Aku kembali ke halaman depan dan selama dua jam menyibukkan
diri mendirikan benteng rumit di sisi teras, yang terdiri atas roda, kerat
jeruk, keranjang cucian, kursi-kursi teras, dan bendera AS kecil hadiah dari
sekotak popcorn pemberian Jem.
Ketika pulang untuk makan malam, Atticus mendapatiku membungkuk, membidik ke
seberang jalan. "Kau sedang menembak apa?" "Pantat Miss Maudie." Atticus
berbalik dan melihat targetku yang besar sedang membungkuk di atas semaknya. Dia
mendorong topinya ke belakang kepala dan menyeberangi jalan. "Maudie,"
panggilnya, "kupikir sebaiknya aku memperingatkanmu. Kau terancam bahaya besar."
Miss Maudie menegakkan tubuh dan melihat ke arahku. Katanya, "Atticus, kau iblis
dari neraka." Ketika kembali, Atticus menyuruhku membongkar benteng. "Jangan
sampai aku memergokimu lagi sedang mengarahkan senapan itu pada orang," katanya.
Andai saja ayahku memang iblis dari neraka. Aku mengajak Calpurnia membicarakan
topik itu. "Mr. Finch" Wah, banyak sekali yang bisa dia lakukan."
"Apa misalnya?" tanyaku. Calpurnia menggaruk kepala. "Yah, aku tak tahu juga,"
katanya. Jem menegaskan prasangkaku atas ketidak mampuan Atticus ketika dia bertanya
kepadanya mengenai kemungkinan dia bergabung dengan kelompok jemaat Metodis.
Kata Atticus, lehernya bisa
patah kalau dia bergabung, dia sudah terlalu tua untuk hal-hal seperti itu.
Jemaat Metodis ingin melunasi pinjaman gerejanya, dan menantang jemaat Baptis
untuk bermain touch football. Sepertinya semua Ayah di kota kami ikut bermain,
kecuali Atticus. Jem sebenarnya tak mau menonton pertandingan itu, tetapi karena
dia tak mampu menolak football dalam bentuk apa pun, dia pun berdiri murung di
tepi lapangan bersamaku dan Atticus, menonton ayah Cecil Jacobs membuat
touchdown untuk regu Baptis.
Pada suatu Sabtu, aku dan Jem memutuskan untuk menjelajah sambil membawa senapan
angin kami, kalau-kalau kami menemukan kelinci atau tupai. Kami sudah berjalan
sekitar lima ratus meter melewati Radley Place ketika kulihat Jem memicingkan
mata menatap sesuatu di ujung jalan. Dia memutar kepalanya ke satu sisi dan
melihat dari sudut matanya.
"Kau lihat apa?"
"Anjing tua di sana itu," katanya. "Itu Tim Johnson tua, kan?" "Ya."
Tim Johnson adalah anjing milik Mr. Harry Johnson yang mengemudikan bus Mobile
dan tinggal di tepi selatan kota. Tim adalah anjing pemburu burung berwarna
merah hati; binatang kesayangan Maycomb.
"Sedang apa dia?"
"Aku tak tahu, Scout. Sebaiknya kita pulang." "Yah, Jem, ini kan Februari."
"Aku tak peduli. Aku mau beri tahu Cal." Kami berlomba pulang dan berlari ke
dapur. "Cal," kata Jem, "ikutlah dengan kami ke trotoar sebentar."
"Buat apa, Jem" Aku tidak bisa ikut ke trotoar setiap kali kau minta."
"Anjing tua di ujung jalan itu agak aneh." Calpurnia menghela napas. "Aku tak
bisa membalut kaki sembarang anjing. Ada perban di kamar mandi, ambillah,
kerjakan sendiri." Jem menggeleng. "Dia sakit, Cal. Ada yang aneh."
"Memangnya apa yang dia lakukan, mau menangkap ekornya sendiri?"
"Tidak, dia seperti ini." Jem megap-megap seperti ikan koki, membungkukkan bahu,
dan menggeleparkan tubuh. "Dia seperti itu, hanya sepertinya dia tak ingin
berbuat begitu." "Apakah kau sedang berbohong, Jem Finch?" nada suara Calpurnia meninggi.
"Tidak, Cal, sumpah, aku tidak bohong." "Apa anjing itu berlari?"
"Tidak, dia hanya jalan biasa, lambat sekali, sampai hampir tak kelihatan. Dia
berjalan ke arah sini."
Calpurnia membasuh tangannya dan mengikuti Jem ke halaman. "Aku tidak melihat
ada anjing," katanya.
Dia mengikuti kami melewati Radley Place dan melihat ke arah yang ditunjuk Jem.
Tim Johnson tak lebih dari titik di kejauhan, tetapi sudah lebih dekat. Dia berjalan terseok-
seok, seolah-olah kaki kanannya lebih pendek daripada kaki kirinya. Dia
mengingatkanku akan mobil yang terperangkap di kolam pasir.
"Dia timpang," kata Jem. Calpurnia menatap, lalu mencengkeram bahu kami, dan
membawa kami berlari pulang. Dia menutup pintu kayu di belakang kami, mengangkat
telepon, dan berseru, "Sambungkan dengan kantor Mr. Finch!"
"Mr. Finch!" teriaknya. "Ini Cal. Saya bersumpah demi Tuhan, ada anjing gila di
jalanan dia datang ke arah sini, ya Sir, dia Mr. Finch, saya berani bersumpah
Tim Johnson tua, ya Sir... ya Sir... ya"
Dia menutup telepon dan menggeleng ketika kami mencoba bertanya apa yang
dikatakan Atticus. Dia mengetuk-ngetuk kait telepon dan berkata, "Miss Eula May
tidak, Ma'am, saya sudah selesai bicara dengan Mr. Finch, jangan disambungkan
lagi dengar, Miss Eula May, bisakah Anda menelepon Miss Rachel dan Miss
Stephanie Crawford dan orang-orang yang tinggal di jalan ini dan memberi tahu
mereka ada anjing gila datang" Tolong, Ma'am!"
Calpurnia mendengarkan. "Saya tahu sekarang Februari, Miss Eula May, tetapi saya
bisa mengenali anjing gila hanya dengan melihatnya. Tolong, M a' am, cepatlah!"
Calpurnia bertanya kepada Jem. "Apa keluarga Radley punya telepon?"
Jem mencari di buku telepon dan berkata
tidak. "Mereka toh tak akan keluar, Cal."
"Aku tak peduli, aku akan memberi tahu mereka."
Dia berlari ke teras depan, aku dan Jem di belakangnya. "Kalian tinggal di dalam
rumah!" serunya. Pesan Calpurnia telah diterima oleh para tetangga. Setiap pintu
yang bisa kami lihat tertutup rapat. Sosok Tim Johnson belum terlihat. Kami
menyaksikan Calpurnia berlari ke arah Radley Place, mengangkat rok dan celemek
di atas lutut. Dia menaiki pintu depan dan menggedor pintu. Karena tak mendapat
jawaban, dia berseru, "Mr. Nathan, Mr. Arthur, ada anjing gila! Ada anjing
gila!" "Seharusnya dia memutar ke belakang," kataku. Jem menggeleng. "Tak ada bedanya
sekarang," katanya. Sia-sia saja Calpurnia menggedor pintu. Tak ada yang memedulikan peringatannya;
sepertinya tak ada yang mendengarnya.
Ketika Calpurnia berlari ke teras belakang, sebuah mobil Ford hitam masuk ke
garasi. Atticus dan Mr. Heck Tate keluar dari mobil itu.
Mr. Heck Tate adalah sheriff di Maycomb County. Tinggi badannya sama dengan
Atticus, tetapi tubuhnya lebih kurus. Pria berhidung panjang itu mengenakan
sepatu bot berlubang logam mengilap, celana berpipa melebar, dan jaket penebang
kayu. Di sabuknya terpasang sebaris peluru. Dia membawa senapan berat. Ketika
dia dan Atticus tiba di teras, Jem membuka pintu.
"Tetaplah tinggal di dalam, Nak," kata Atticus.
"Di mana anjing itu, Cal"
"Mestinya sudah sampai di sini," kata Calpurnia, menunjuk ke jalan.
"Dia tidak berlari?" tanya Mr. Tate.
"Tidak, Sir, dia masih pada tahap menggelepar, Mr. Heck."
"Apakah sebaiknya kita kejar dia, Heck?" tanya Atticus.
"Sebaiknya kita tunggu, Mr. Finch. Anjing gila biasanya berjalan lurus, tetapi
tidak pasti juga. Dia mungkin saja mengikuti jalan yang berbelok mudah-mudahan
begitu, atau dia akan masuk ke halaman belakang Radley. Kita tunggu saja
sebentar." "Sepertinya anjing itu tidak akan masuk ke halaman Radley," kata Atticus. "Dia
pasti terhalang oleh pagar. Dia mungkin mengikuti jalan
Kusangka mulut anjing gila akan tampak berbuih, dia akan berlari, melompat, dan
menyambar leher, dan kusangka penyakit anjing gila hanya muncul pada bulan
Agustus. Andai Tim Johnson bertingkah seperti itu, aku tentu tidak setakut ini.
Tak ada yang lebih mencekam daripada jalan yang sepi menanti. Pepohonan diam,
mockingbird tidak bernyanyi, tukang kayu yang bekerja di rumah Miss Maudie tidak
terlihat. Aku mendengar Mr. Tate mengendus, lalu membersihkan hidungnya. Kulihat
dia memindahkan senapannya ke dalam siku. Kulihat wajah Miss Stephanie Crawford
terbingkai dalam jendela kaca di pintu depannya. Miss Maudie muncul dan berdiri
di sampingnya. Atticus meletakkan kakinya pada kursi dan menggosokkan tangannya
perlahan di sisi paha. "Itu dia," katanya lirih. Tim Johnson muncul, berjalan sempoyongan di tepi dalam
tikungan yang berdekatan dengan rumah Radley.
"Lihat dia," bisik Jem. "Kata Mr. Heck, jalannya lurus. Dia bahkan tak bisa
tetap berada dijalan." "Dia lebih mirip anjing sakit," kataku.
"Andai ada sesuatu di hadapannya, pasti dia akan langsung menyerangnya."
Mr. Tate meletakkan tangan di kening dan mencondongkan tubuh ke depan. "Anjing
itu memang gila, Mr. Finch."
Tim Johnson maju selambat siput, tetapi dia tidak bermain atau mengendus
dedaunan: dia berjalan lurus menuju satu arah tertentu dan sepertinya
termotivasi oleh kekuatan tak terlihat yang mendorongnya mendekati kami. Kami
melihat dia gemetar seperti kuda mengusir lalat; rahangnya membuka dan menutup;
Asmara Pedang Dan Golok 1 Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara Sepasang Pendekar Dari Selatan 1