Pencarian

Natasha 3

Natasha Karya Viktor Malarek Bagian 3


yang miskin dan putus asa.
Empat tahun kemudian puluhan ribu tentara penjaga perdamaian PBB
tiba di Kosovo dan Bosnia Herzegovina dan pengungsian massal pun mereda. Tapi
sang pastor melihat perubahan yang meresahkan pada jenis kargo manusia yang
diselundupkan ke pantai-pantai Italia - ribuan perempuan muda yang cantik dari
Moldova, Romania, Rusia, dan Ukraina.
Don Cesare terguncang ketika mengetahui nasib mereka dan langsung memutuskan
bahwa dia akan membantu. Setelah membentengi satu bagian kompleks, dia pun mulai
berusaha untuk memberi kesempatan kedua bagi perempuan-perempuan tersebut.
Berdasarkan perhitungannya sendiri, Don Cesare sudah menyelamatkan lebih dari
1.000 perempuan dari tangan para begundal pedagang tubuh manusia Albania dalam
sepuluh tahun terakhir. Sebagian besar perempuan tersebut menyeberangi Laut Adriatik setelah dipaksa
melintasi kawasan Balkan, dan melalui penggojlokan di Serbia sebelum perjalanan
terakhir ke Barat. Pada saat mereka diangkut dengan perahu, mereka sudah bukan
gadis polos lagi. Mereka telah dibiasakan dengan kerasnya jalanan.
Kalau Anda menemui mereka, yang kini telah aman di Regina Pacis, sebagian besar
di antara mereka kelihatan seperti anak-anak yang rapuh dan ketakutan. Bagi
mereka, kebahagiaan tinggal kenangan yang terus memudar. Kesucian mereka telah
terenggut, wajah pucat dan kurus mereka penuh penderitaan dan rasa malu. Tapi
ketika mereka melihat Don Cesare, mereka selalu dapat tersenyum. Bagi mereka,
Don Cesare adalah sang juru selamat. Bagi sang pastor, mereka adalah pahlawan.
Merekalah yang sudah mengalami pergulatan dan menemukan keberanian untuk kabur,
melepaskan diri dari para durjana yang mengekangnya. Merekalah yang bertahan
hidup dari perjalanan melalui neraka dan kini mencoba membangun kembali
kehidupan. Sang pastor lebih menyayangi satu kelompok khusus: mereka yang berani
melahirkan bayi-bayi buah pelacuran dan pemerkosaan. Lebih daripada tiga lusin
bayi telah lahir di Regina Pacis.
Beberapa bayi Laki-laki telah diberi nama Cesare, dan satu bayi perempuan
Moldova dinamai Cesaria. Don Cesare telah mendengar kisah sedih tiap perempuan yang melalui gerbang
Regina Pacis. Dia tahu dan mengerti keadaan mereka dan menolak anggapan bahwa
mungkin ada beberapa yang sengaja menjual diri di jalan.
"Sebagian besar meninggalkan rumah tanpa tahu menahu," katanya,
"memang sebagian tahu, tetapi tahu belum berarti mau."
DON CESARE mengajak saya berjalan-jalan menelusuri kompleks. Selagi kami
memasuki daerah tempat tinggal para perempuan, sang pastor disambut kehangatan
dan puja puji. Dia memberi nasihat dengan lembut pada tiap perempuan dan
mendengarkan mereka dengan simpatik. Dia tak terburu buru dan kesabarannya
seolah tak ada habisnya. Seorang perempuan berdiri di depan pintu sambil menangis. Perlahan sang pastor
mendekatinya dan menanyakan ada masalah apa. Si perempuan berkata dia rindu
rumahnya, tapi malu pulang karena dia merasa
keluarga dan teman-temannya akan menolaknya dan menganggapnya pelacur. Sambil menggenggam tangan si perempuan, Don Cesare
memberitahunya bahwa dia butuh waktu untuk memulihkan diri, dan sampai dia siap
untuk pulang ke rumahnya sendiri, Regina Pacis akan menjadi rumahnya.
Tiap perempuan di Regina Pacis telah melalui ratusan mimpi buruk.
Mereka selalu berjalan beriringan, saling berpegangan untuk saling mendukung.
Mereka berbicara berbisik-bisik. Mereka tersentak apabila ada bunyi keras
mendadak dan menatap orang asing dengan ketakutan. Tapi biasanya mereka hanya
duduk diam, terbenam dalam renungan.
Don Cesare memperkenalkan saya kepada Irina, seorang gadis Romania berumur dua
puluh dan berambut hitam. Irina sudah berada di Regina Pacis selama setahun dan
akan segera pulang ke keluarganya di Bucuresti. Dia fasih berbicara bahasa
Italia, Moldova, dan Ukraina.
Rambutnya sebahu dan kulitnya pucat. Mata hijaunya tak menampakkan emosi.
Ekspresinya keras dan menunjukkan ketidakpercayaan. Namun, Irina bersikap sopan
dan suka membantu, dan meminta saya menunggu di luar bungalow tempat tinggal dia
dan lima perempuan lain sambil menunggu mereka membuat seteko kopi.
Sambil duduk menghadapi meja bersama dua perempuan lain - Stefa, gadis Moldova
berumur tujuh belas dan berambut hitam, serta Lesia, gadis Ukraina berumur
sembilan belas yang menawan - Irina menuangkan kopi ke cangkir semua orang. Lesia
mulai menceritakan kisahnya tapi langsung terbawa emosi. Dia langsung mengambil
rokok dan menggeleng-gelengkan kepala, sambil berkata bahwa dia tak sanggup
melanjutkan. Irina lalu menoleh kepada Stefa.
Sambil menggenggam tangan Stefa, Irina menanyakan apa yang telah dialaminya.
Stefa menyeruput kopi dan memandangi meja. Ada kesedihan mendalam di matanya dan
getar pada suaranya. Dia pun jelas-jelas merasa tak nyaman dan kenangannya,
walaupun masih baru, sukar diingat. Dengan bisikan lirih yang nyaris tak
terdengar, Stefa memulai kisahnya.
Mimpi buruk Stefa dimulai delapan bulan lalu di Chisinau, ibu kota Moldova,
negara paling miskin di Eropa. Stefa saat itu baru berumur enam belas, dan baru
lulus sekolah menengah atas. Dia ingin bekerja sebagai pelayan atau pembantu
agar bisa menghidupi keluarganya.
"Aku waktu itu bersama temanku Katrina. Kami pergi ke Romania dengan pacar
Katrina untuk mencari pekerjaan. Pacarnya Katrina bilang dia kenal orang yang
bisa memberi kami pekerjaan sebagai pembersih kamar hotel."
Gadis-gadis itu malah dijual kepada pelaku trafiking.
Kami dibawa ke suatu apartemen dekat Beograd. Ada banyak sekali gadis di sana,
Barangkali sampai enam puluh, dari Ukraina, Rusia, Romania, Moldova, dan
Bulgaria. Aku tak sanggup menceritakan kengerian yang terjadi di sana.
Beberapa kali tiap hari, si pemilik datang dan berteriak-teriak kepada kami
supaya bersiap-siap, karena para pembeli datang. Pada jam berapa saja, orang-
orang itu datang dan kami mesti membuka pakaian dan berdiri di hadapan mereka.
Mereka ingin tahu seperti apa penampilan kami ketika telanjang. Mereka menyentuh
dan memeriksa kami seolah-olah kami ini hewan ternak. Sekali-sekali mereka
membawa kami ke kamar untuk melihat bagaimana kemampuan seks kami.
Mata Stefa mulai basah Temanku Katrina dibeli setelah dua minggu. Aku menangis tak henti-henti ketika
mereka membawa Katrina pergi. Yang bisa kuingat hanyalah matanya yang ketakutan
dan air matanya yang membasahi mukanya. Dia gemetaran. Aku tetap berada di
apartemen itu selama tiga minggu lagi sebelum akhirnya dibeli. Selama itu,
banyak gadis baru yang datang untuk menggantikan mereka yang telah dijual.
Aku tidak tahu dengan harga berapa aku terjual. Seorang Albania bernama Geko
membeliku dan seorang gadis lain dari Ukraina, dan Geko menyelundupkan kami ke
Italia dengan perahu karet. Ketika kami naik perahu karet, cuacanya buruk
sekali. Hujan dan gelombang besar. Aku memegangi sisi perahu, dan berpikir bahwa
kami akan terbalik dan tenggelam. Ketika kami sampai di pantai, ada mobil yang
menjemput dan kami pun dibawa ke Mestra, di luar Venesia. Kami dibawa ke satu
apartemen kecil. Empat gadis ada di sana. Geko menyuruhku mandi, dan sesudahnya,
dia langsung mendorongku ke ranjang dan memerkosaku.
Tangan Stefa mulai bergetar tak terkendali sementara dia menggambarkan Geko.
"Dia Laki-laki pendek jelek dengan muka merah, gigi busuk, dan napas bau." Stefa
berhenti sejenak untuk menyeruput kopi lagi dan mengisap rokok dalam-dalam.
Ruangan itu menjadi sepi. Para perempuan yang tinggal di sana menangis dalam
hati, mengenang neraka yang pernah mereka alami dalam benak.
Seusai memerkosa Stefa, si mucikari melemparkan selembar kertas bertuliskan
kata-kata dan kalimat-kalimat bahasa Italia untuk tindakan-tindakan seksual yang
harus dia lakukan berikut harga masing-masing. Geko menyuruh Stefa menghafal
semuanya. Geko juga memberi tahu bahwa Stefa harus ada di jalan pada pukul tujuh
tiap hari dalam seminggu, tanpa peduli cuacanya hujan, bersalju, ataupun panas,
dan dia tak boleh pulang kalau belum mendapatkan $500 dalam semalam.
Aku harus mengenakan rok mini, blus tipis tanpa pakaian dalam di bawahnya, dan
make-up norak. Mobil-mobil sering melambat dan orang di dalamnya berteriak,
"Dasar pelacur! Pekerjaan seperti itu tak pantas buatmu!" Tapi mereka tak pernah
berhenti untuk menanyakan apakah mereka bisa membantuku. Mereka pergi begitu
saja, dengan sombong dan sok suci. Di mata mereka aku memang pelacur. Mereka
percaya aku ingin berada di jalan untuk menjual diri dan karenanya layak
bernasib seperti itu. Padahal itu jauh sekali dari kenyataan.
Tiba-tiba Stefa berhenti, bangun, dan meninggalkan meja. Dia meminta permisi dan
menyalakan rokok lagi. Di perlu sesaat untuk memulihkan diri. Empat teman
sekamarnya mengelilinginya dan mereka semua saling berangkulan. Stefa kembali
dan menuangkan espresso untuk dirinya sendiri, duduk kembali di depan meja, dan
meneruskan kisahnya. "Aku ingin kabur tetapi takut. Geko jahat sekali dan dia memberitahuku dia akan
menemukanku dan membunuhku kalau aku coba-coba kabur. Aku tak bisa minta tolong
siapa-siapa. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Aku tak bisa bahasanya.
Kehidupanku sudah menjadi keberadaan yang kelam."
Tiap hari adalah hari naas untuk Stefa, tapi terkadang ada hari-hari yang benar-
benar naas. Yang terburuk yang pernah terjadi padaku itu ketika dua Laki-laki mendatangiku
dan kami pergi ke tempat parkir di dekat sana.
Salah seorang di antara mereka lalu mencengkeram leherku. Kupikir dia bakal
membunuhku. Aku memohon kepada mereka supaya tidak membunuhku. Mereka merampokku
dan memaksaku berhubungan seks. Ketika mereka selesai, mereka mencampakkanku di
pinggir jalan seperti sampah dan pergi dengan mobil. Sewaktu mereka pergi, salah
seorang berteriak dan jendela mobil, "Titip salam buat Geko."
Tiap malam Stefa menangis saat berdiri di pojok jalanan, berdoa supaya
diselamatkan, tapi doanya tak kunjung terkabul. "Pernah ada orang yang melihatku
menangis dan menyuruhku lapor polisi saja. Dia pikir urusannya gampang. Tapi aku
justru takut kepada polisi. Aku takut segala hal. Geko memberi tahu semua gadis
bahwa polisi akan melakukan macam-macam kepada kami di penjara kalau kami
ditangkap. Dia bilang bahwa polisi sudah korup. Bahwa dia sudah menyogok polisi. Jadi kalau
aku melihat polisi, aku kabur."
Lalu pada satu hari, Stefa memutuskan bahwa dia tak mau hidup seperti itu lagi.
Dia memutuskan bahwa apa pun lebih baik daripada kehidupannya saat itu, penjara
sekalipun. Dikumpulkannyalah segala keberanian yang masih tersisa dan
didatanginya kantor polisi setempat.
Ketika berdiri di depan meja kayu panjang, dia bisa melihat ketidakacuhan dan
sikap meremehkan di mata petugas polisi yang dihadapinya.
"Aku diberi tahu polisi yang kutemui bahwa dia tak bisa membantuku.
Katanya, Kamu tidak bisa datang ke sini dan melaporkan itu. Aku tak tahu harus
ke mana, harus mengadu kepada siapa, dan aku pun mulai menangis.
Polisi itu lalu menyuruhku pergi ke Milan, ke konsulat Moldova di sana.
Kutinggalkan kantor polisi itu. Karena tak punya uang, aku menumpang sampai ke
Milan." Ketika akhirnya Stefa tiba di konsulat, petugas konseling setempat tak
memedulikan penderitaannya dan tanpa banyak basa-basi memberi tahu Stefa bahwa
tak ada biaya untuk memulangkannya. Stefa panik. Si birokrat buru-buru mengaduk-
aduk arsipnya, mengangkat telepon, dan menelepon Regina Pacis. Beberapa jam
kemudian Stefa berada dalam bus yang menuju Lecce. Akhirnya dia bisa lolos.
"Aku berada di jalan selama empat bulan," kata Stefa. Sepanjang empat bulan itu,
dia sudah dipakai oleh ratusan Laki-laki dan tubuhnya mungkin sudah menghasilkan
setidaknya $60.000 untuk Geko.
Setelah Stefa tinggal di Regina Pacis, ketakutan terbesarnya bukanlah dikejar
mucikarinya, melainkan menelepon rumahnya.
Orangtuaku tak tahu apa yang terjadi denganku. Aku berbicara dengan ibuku dan
dia bilang dia sudah tahu. Dia habis mendatangi orang yang bisa meramal dengan
kartu dan diberi tahu demikian.
Ibuku berdoa supaya aku diselamatkan dan doanya telah terkabul.
Sekarang dia ingin aku pulang. Aku belum tahu kapan bisa pulang.
Yang kutahu aku mau tinggal di sini dulu untuk menenangkan pikiran.
Aku ingin sendiri dulu. Aku perlu kedamaian hati. Aku perlu merasa aman dan
selamat. Don Cesare bilang dia akan membantuku memperoleh pekerjaan di hotel
pada musim panas supaya aku bisa mendapat uang sedikit sebelum pulang.
Ada satu lagi yang masih mengusik Stefa.
Berkali-kali aku teringat Katrina. Waktu tiba di Regina Pacis, aku menelepon
rumahnya. Orangtua Katrina kalang-kabut. Mereka belum pernah mendengar kabarnya
semenjak dia pergi. Mereka menanyakan apakah aku tahu kabarnya. Aku terpaku. Aku
tak tahu mesti bilang apa. Jadi, kubuat saja seolah sambungan teleponnya
mendadak terputus. Aku takut memberi tahu orangtua Katrina tentang apa yang
terjadi pada anak mereka.
Tiap malam, sebelum tidur, aku berdoa. Aku berdoa supaya orangtuaku percaya aku
telah dipaksa, bahwa aku bukan gadis nakal, bahwa aku bukan pelacur. Aku takut
memejamkan mata untuk tidur karena tiap kali memejamkan mata, yang kulihat cuma
rasa sakit. Kulihat wajah semua Laki-laki itu dari Geko. Aku cuma ingin melupakan semua ...
tapi tak bisa. Stefa bangkit kembali, pipinya basah dengan air mata. Dia masuk ke kamarnya,
ambruk ke tempat tidurnya, dan terisak.
PADA SUATU malam yang diterangi bintang, sementara para penyelundup menyiapkan
perahu-perahu karet mereka di Albania di seberang Laut Adriatik, Don Cesare
membuka lebar-lebar gerbang Regina Pacis dan memimpin serombongan kecil
perempuan melewati jalan sempit menuju tebing pantai yang berbatu. Mereka
berdiri di sana, dalam diam, menghadapi laut yang telah mereka seberangi. Sang
pastor mengangkat lengannya, memberkati gelombang yang bergulung-gulung, dan
mulai berdoa. Para perempuan menatap laut, bibir mereka menggumamkan doa bagi
korban-korban yang belum terselamatkan.
Beberapa malam sesudahnya, saat saya menyetir lewat Via Solana di luar Roma,
para "kupu-kupu malam", sebutan bagi mereka di Italia, hadir berbondong-bondong.
Di pinggir jalan yang ramai itu, di tempat-tempat gelap dan sepi, mucikari-
mucikari mengawasi barang dagangan mereka dari dalam mobil-mobil bekas
berjendela gelap. Melarikan diri bukanlah hal yang mudah bagi gadis-gadis
tersebut. 6 masalah ketidakacuhan Percabulan adalah suatu hal yang orang
orang ingin abaikan, tapi saya tak bisa
mengerti bagaimana kita selaku masyarakat
yang dewasa bisa tak mengacuhkan
orang. -chief Superintendent SIMON HUMPHREY dari Scotland Yard
BIASANYA TIAP kali ada penggerebekan bordil atau razia di jalan-jalan kota-kota
kosmopolitan di seantero dunia, pelacur-pelacur asing terjaring dan tertangkap.
Umumnya aparat tak memperlakukan perempuan-perempuan asing tersebut sebagai
korban kejahatan; perempuan-perempuan itu justru hanya dianggap imigran gelap.
Tak ada upaya untuk mencari tahu apakah perempuan-perempuan itu merupakan korban
trafiking. Perempuan-perempuan itu dipenjara, didakwa atas pelanggaran aturan
imigrasi atau ketenaga-kerjaan, dan dideportasi secepat mungkin. Dengan kata
lain, perempuan-perempuan yang tak bersalah dicap buruk dan dijadikan korban
berkali-kali. Sudah ada banyak bukti kelalaian pemerintah berbagai negara.
Penelitian-penelitian dan laporan-laporan internasional dipenuhi contoh-contoh
ketidakpekaan secara sengaja dan berlebihan. Namun, walaupun sudah banyak
laporan yang mengecam apa yang telah terjadi tanpa ditutup-tutupi di seantero
dunia Barat tiap tahun, dan walaupun sudah ada kesaksian tragis ribuan korban,
sikap umum orang-orang yang semestinya peduli sudah menjurus kepada kelalaian
yang bisa dianggap tindak kejahatan.
Kalau sudah berada dalam cengkeraman pelaku trafiking dan mucikari, perempuan
tak banyak mendapat simpati dari pejabat pemerintah ataupun masyarakat secara
umum. Biasanya perempuan-perempuan itu justru menghadapi apati atau cemoohan.
Bagaimanapun juga, mereka bekerja di jalanan. Dan, di jalananlah mereka pertama
kali menemui rintangan ketidakacuhan pertama - polisi. Perempuan-perempuan itu
cepat belajar bahwa polisi tak peduli kepada mereka dan tidak ada untungnya
minta perlindungan polisi. Kelalaian seperti itulah yang memuluskan jalan
kejahatan terorganisasi dan membuat penjahat-penjahat kelas teri gampang
terlibat usaha perdagangan perempuan.
Komentar-komentar dari para pejabat seperti Gennadi Lepenko, kepala Interpol
cabang Kyiv, Ukraina-"Kelompok-kelompok aktivis hak perempuan membesar-besarkan
masalah ini" - hanya membuat situasi jadi tambah runyam. Begitu pula penjelasan-


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjelasan seperti yang berikut ini, yang diberikan kepada para pengamat
International Helsinki Federation for Human Rights pada Juni 2DDD. Menurut K.
Goryainov, seorang birokrat tingkat tinggi dalam Departemen Dalam Negeri Rusia.
Masalah ini tak benar-benar merisaukan Departemen Dalam Negeri Rusia. Tidak ada
tindak kejahatan di dalamnya. Segala pelanggaran hukum terhadap perempuan-
perempuan tersebut terjadi di wilayah negara-negara tujuan mereka. Karenanya,
masalah ini adalah masalah negara-negara tujuan tersebut. Ujung-ujungnya,
polemik mengenai trafiking perempuan bermula dari Barat. Segala keributan
mengenai perkara ini didalangi petualang-petualang berupa organisasi feminis
yang menjanjikan bantuan, tetapi pada kenyataannya tak berbuat apa-apa bagi para
korban. Organisasi-organisasi ini menerima hibah dan sebagai kompensasinya mereka
menyebarkan informasi yang bertentangan dengan kenyataan.
Cara berpikir semacam itulah yang menyuburkan apati terhadap korban-korban
trafiking. Dan, di negara-negara yang tidak sekadar berbasa-basi memberantas
trafiking pun, ketidakacuhan masih tersebar luas.
Di Swedia, yang pemerintahnya telah melangsungkan serangan gencar terhadap
pelaku trafiking, polisi di provinsi paling utaranya, Norrbotten, dicela habis
habisan oleh Komando Polisi Pusat Swedia pada Februari 2003
karena malas menyelidiki perdagangan manusia demi seks. Polisi Norrbotten punya
informasi mengenali lusinan perempuan Rusia yang diyakini telah diimpor ke
provinsi tersebut untuk dipekerjakan sebagai pelacur, nama-nama beberapa orang
yang dicurigai sebagai pelaku penyelundupan perempuan-perempuan Rusia itu ke
Swedia, dan banyak laporan dugaan trafiking di daerah tersebut. Namun, pada
tahun sebelumnya hanya dilakukan satu penyelidikan awal.
Human Rights Watch menemukan satu contoh ketidakacuhan yang amat menggelisahkan
dalam penyeidikan trafiking di Yunani pada 2001.
HRW mendapati bahwa polisi Romania pernah menerima telepon minta pertolongan
dari seorang ibu yang ketakutan pada Oktober 2000. Putrinya baru saja menelepon
untuk minta diselamatkan dari bar Tutti Frutti di pulau Kos, Yunani, tempat ia
disekap sebagai budak seks. Polisi Romania segera menghubungi kantor
International Organization for Migration di Bucuresti.
Staf IOM Bucuresti mengirim faksimile urgen kepada Daniel Esdras, staf IOM
di Athena. Berita yang disampaikan tidak kurang jelas - karena sudah mencakup nama
pulau, kota, bar tempat si gadis disekap, nama pelaku, nomor telepon rumah dan
seluler si pelaku, dan juga nama korban, ciri-ciri, dan alamat rumahnya di
Romania. Faks tersebut juga mencantumkan nama dan nomor telepon seorang pejabat
tinggi Departemen Kesejahteraan Rakyat Yunani yang telah mewakili Yunani dalam
suatu konferensi mengenai trafiking manusia yang diselenggarakan PBB tak lama
sebelumnya. Dengan kontak seperti itu, seharusnya pasti akan ada tindakan.
Esdras menyampaikan faks tersebut - berjudul "Police Action to Rescue a Romanian
Victim of Trafficking" - kepada pejabat yang bersangkutan.
Esdras juga meminta pemerintah Yunani tak mendeportasi si korban. "Saya beri
tahu bahwa IOM akan menangani dan membiayai pemulangannya,"
kata Esdras. Lalu Esdras menunggu ... dan tak pernah menerima jawaban.
Sebulan kemudian, ketika Human Rights Watch sedang menyelidik, Esdras
menceritakan kasus perempuan Romania tersebut. Para penyelidik HRW menelepon
Departemen Kesejahteraan Rakyat Yunani untuk mencari tahu perkembangan kasusnya
dan terkejut dengan apa yang mereka temukan. Hanya sedikit yang telah dilakukan.
Polisi cuma menemui saja orang yang dikatakan sebagai pelakunya, yang berkata
bahwa dia sudah memulangkan si gadis ke Romania. Polisi menerima saja pernyataan
si pemilik bar dan pergi. Cuma seperti itulah penyelidikannya.
Jadi, bagaimana sebenarnya nasib si gadis Romania" Apakah dia benar-benar bisa
pulang" Menanggapi suatu email yang dikirim pada 18
April 2002, Cristian Ionescu, staf bagian informasi kantor IOM Bucuresti
menulis: "Dengan sangat menyesal saya harus memberi tahu Anda bahwa kami tak
dapat melacak keberadaan korban trafiking tersebut semenjak saat itu."
Sebagaimana digambarkan dengan begitu tragis oleh kasus tersebut, perempuan
korban trafiking tak bisa mengandalkan aparat Yunani untuk perlindungan yang
efektif ataupun bantuan pemulangan ke tanah air dengan selamat.
Di tempat-tempat yang memnki undang-undang yang baik pun trafiking manusia
dianggap kejahatan yang kalah serius ketimbang penyelundupan senjata atau obat-
obatan, sehingga tetap tak menjadi prioritas untuk diberantas pada sebagian
besar negara pengirim dan penerima. Pejabatpejabat di negara-negara penerima
cepat menyalahkan negara-negara bekas Uni Soviet seperti Rusia, Ukraina,
Moldova, Romania, dan Bulgaria karena membiarkan kaum perempuannya rentan
menjadi korban trafiking. Tapi kenyataannya adalah bahwa sebagian besar korban
trafiking akhirnya berada dalam bordil-bordil di Uni Eropa, Amerika Utara, Timur
Tengah, dan Timur Jauh. Permintaan akan seks yang murah dan selalu tersedialah
yang memicu maraknya trafiking menuju negara-negara penerima, dan negara-negara
tersebut belum berbuat banyak untuk menghentikannya.
Ketidakacuhan bermula dan kantor-kantor pemerintah yang megah sampai ke selokan.
Jika para politikus dan birokrat senior tak menganggap serius trafiking
perempuan, maka sikap tersebut akhirnya akan menular ke tiap tingkat sistem
hukum - dan ruang sidang sampai polisi yang bertugas.
Dan itulah yang benar-benar terjadi di seantero dunia.
Dalam suatu persidangan terkenal yang terjadi di Linz, Austria, pada Oktober
2001, Helmuth Suessenbacher, yang dikenal sebagai Raja Porno Kaernten, didakwa
atas tuduhan melakukan trafiking terhadap lima puluh perempuan Romania untuk
industri seks setempat. Awalnya perempuan-perempuan Romania itu ditawan
pekerjaan sebagai penari, lalu dipaksa melacur. Tetapi Suessenbacher cuma
dihukum dua setengah tahun penjara.
Si gangster terhukum lantas naik banding, dan setahun kemudian Pengadilan
Banding Austria mengurangi hukumannya menjadi dua tahun penjara.
Ketidakacuhan terhadap perempuan korban trafiking tampaknya seperti itu juga di
kantor kejaksaan agung Israel. Kejaksaan agung Israel telah mengeluarkan juklak
yang menyuruh polisi tidak mengusik bordil, kecuali kalau ada perempuan yang
mengadu bahwa dia disekap dalam bordil tanpa persetujuannya, atau ada anggota
masyarakat yang mengadukan bordil tersebut karena menimbulkan keresahan.
Ironisnya, juklak tersebut bertentangan dengan hukum pidana Israel. Walau
prostitusi tidak ilegal, tapi membuka bordil dan menjadi mucikari merupakan
tindak pidana di sana. Nomi Levenkron, seorang pengacara hak asasi manusia Israel yang vokal,
menyatakan bahwa juklak tersebut "sangat mengabaikan kenyataan yang diketahui
semua pihak: bahwa sebagian besar perempuan yang bekerja di bordil memang
disekap di sana tanpa mereka kehendaki, dan mereka tak mungkin mengajukan
pengaduan ke kantor polisi."
Dalam suatu wawancara di kantor kecilnya di Hotline for Migrant Workers di Tel
Aviv, Levenkron menuduh bahwa "sikap masyarakat Israel umumnya, dan pemerintah
Israel khususnya, terhadap perkara trafiking perempuan tercemar oleh
ketidakacuhan, prasangka, dan ketidaktahuan.
Semua itu timbul dan kenyataan bahwa hari ini pun kami masih hidup dalam
masyarakat yang didominasi kaum Laki-laki, yang sibuk dengan urusan keamanan,
bukan kemanusiaan." Karena para korban trafiking adalah perempuan, orang asing, dan pelacur, maka
kejahatan terhadap korban seperti itu tak dianggap serius.
Artinya polisi enggan menyelidiki kejahatan terhadap pelacur, dan jaksa agung
tak berkeinginan menambah perkara tersebut ke dalam pekerjaannya yang sudah
menumpuk. Sikap aparat Israel yang seperti itulah yang menjadikan trafiking
suatu usaha yang menguntungkan dan tak berisiko.
Tidak heranlah kalau industri trafiking terus tumbuh.
Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab atas keadaan demikian adalah
lembaga yudikatif, kata Levenkron. "Karena kesibukan yang berlebihan dan sering
kali ketidaktahuan dan ketidakacuhan, pengadilan sering hanya menjatuhkan
hukuman ringan bagi mucikari dan pelaku trafiking."
Para pembela hak asasi manusia menunjukkan bahwa walaupun hukuman terberat untuk
memperdagangkan manusia di Israel adalah enam belas tahun, hukuman yang benar-
benar dijatuhkan pengadilan sering kali bak main-main. Kasus-kasus demikian juga
sudah biasa dibekukan setelah tawar-menawar. Beberapa putusan pengadilan sukar
dimengerti dan benar-benar menghina martabat dan penderitaan para perempuan
korban trafiking. Misalnya,pada Maret 2002 seorang opsir polisi Israel didakwa
membeli perempuan korban trafiking dan membocorkan informasi faxs polisi kepada
pemilik-pemilik bordil. Hukuman yang dijatuhkan kepadanya: kerja sosial enam
bulan. Walau hakim menyatakan tawaran mengaku bersalah (plea bargain) oleh si
terdakwa "terlalu ringan" mengingat perkaranya melibatkan petugas polisi yang
korup, dia menerimanya tanpa mempermasalahkan.
Dalam tawar-menawar lain yang melibatkan dua mucikari, Hakim Natan Amit
melancarkan omelan pedas terhadap aparat Israel: Seperti inilah gambaran Israel
yang Buruk Rupa, yang tak bisa diubah oleh para aparat penegak hukum. Seorang
gadis muda, yang baru saja mencapai kedewasaan, dibawa ke sini secara ilegal
dari tanah airnya. Setibanya di sini, dia diberi identitas palsu dan langsung
dijadikan budak seks dalam tempat yang disebut sebagai "panti pijat".
Ketika para penegak hukum ditanya mengapa mereka tak menindak usaha jasa
pendamping ilegal semacam itu, jawaban mereka adalah bahwa kebijakannya adalah
mengabaikan saja kecuali kalau mengganggu tetangga.
Tapi Hakim Amit masih juga menerima tawaran mengaku bersalah itu, menjatuhkan
hukuman kerja sosial pada satu mucikari dan penjara tiga tahun bagi mucikari
yang satunya lagi. Bagi para jaksa penuntut, tawaran mengaku bersalah adalah cara menghindari
persidangan yang berlarut-larut dan makan biaya banyak.
Tidak masalah kalau hukuman yang dijatuhkan sangat ringan; terdakwa tetap
dihukum dan kelihatan bahwa ada yang sudah dilakukan. Dalam prosesnya, para
perempuan korbannya terabaikan, dan karena tidak diacuhkan dalam persidangan,
mereka telah dijadikan korban lagi. Polisi dan jaksa menyatakan bahwa tawaran
mengaku bersalah itu sesuatu yang buruk, namun diperlukan karena kasus-kasus
trafiking sering kali lemah dan kemungkinan terdakwa dinyatakan bersalah sangat
kecil. Mereka bilang perempuan-perempuan korbannya sering menolak menjadi saksi
sehingga nyaris mustahil mengumpulkan bukti yang memberatkan para mucikari,
pemilik bordil, dan pelaku trafiking.
Ketika saya tanyai Levenkron mengenainya, dia bilang sebenarnya kenyataannya
tidak begitu. Nomi Levenkron sudah menemukan banyak kasus di mana "para
perempuan korbannya tak diberi tahu polisi mengenai hak mereka bersaksi melawan
para pelaku. Selain itu, tak sukar memahami ketakutan perempuan-perempuan
tersebut." Mereka sangat paham apa yang akan mereka hadapi sesudah
sidang-"deportasi ke negara asal mereka, di mana para perantara yang dulunya
mengirim mereka menunggu "dengan tangan terbuka." Ketakutan mereka yang menolak
bersaksi mudah dipahami, sementara yang bersedia bersaksi malah menghadapi
polisi yang tak bersedia menyelidiki."
Itulah realitas keji yang dihadapi perempuan korban trafiking, tak hanya di
Israel tapi juga di sebagian besar negara. Mereka diberi tahu polisi dan jaksa
bahwa orang-orang yang telah menyengsarakan mereka bisa didakwa kalau perempuan-
perempuan itu mau menjadi saksi yang memberatkan. Perempuan-perempuan tersebut
telah dianiaya dan diteror oleh para mucikari. Mereka khawatir akan keselamatan
jiwanya sendiri. Tapi pada sebagian besar kasus mereka tak ditawan perlindungan
saksi. Tak heran lebih banyak yang memiih dideportasi. Mereka yang memberanikan
diri bersaksi lantas hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan pembalasan setelah
dideportasi, dan itu bukannya tak beralasan. Banyak perempuan yang bersaksi
lantas dibunuh setelah pulang ke rumah. Levenkron mengetahui
kasus pembunuhan dua perempuan yang bersaksi memberatkan mucikarinya pada 1995. "Saya belum lihat dokumen-dokumennya. Saya
baru mendengarnya dari polisi. Mereka bilang dua perempuan itu dipulangkan.
Beberapa hari kemudian datanglah telegram dari Kedutaan Besar Rusia yang
menyatakan keduanya telah dibunuh."
Amnesty International mendokumentasikan satu kasus lagi di mana seorang
perempuan yang bersaksi memberatkan pelaku trafiking lenyap setelah dideportasi.
Perempuan tersebut, yang bernama Tatiana, datang ke Israel dari Belarus pada
April 1998 menggunakan visa turis. Dia telah ditawari pekerjaan sebagai petugas
kebersihan di resor pinggir laut Eilat.
Yang diinginkan Tatiana hanyalah pekerjaan yang layak untuk menghidupi ibunya
dan anak Laki-lakinya yang berumur enam tahun di kampung halamannya. Ketika dia
mendarat, seorang Laki-laki yang mengaku dari hotel yang menawarinya pekerjaan
menjemputnya di bandara. Laki-laki itu membawa Tatiana ke suatu bordil, dan
kemudian Tatiana disekap di sana serta dipaksa bekerja di sana. Tatiana mencoba
kabur beberapa kali tapi selalu tertangkap kembali.
Kebebasan bagi Tatiana tiba beberapa bulan kemudian setelah polisi menggerebek
bordil tempat dia disekap. Sebagai imigran gelap, Tatiana ditahan di penjara
Neveh Tirza untuk menunggu dideportasi. Tiga hari setelah ditahan dia menemukan
surat tanpa nama pengirim di selnya.
Penulis surat itu mengancam akan membunuh Tatiana dan keluarganya kalau dia
berani bicara mengenai kasusnya. Tatiana bersikeras ingin bersaksi, tapi juga
ketakutan karena kalau dia melakukannya, orang-orang yang menyekapnya akan
membalas dendam terhadapnya setelah dia pulang. Pengacara-pengacara Tatiana
mengajukan petisi kepada pemerintah Israel yang menjelaskan bahwa jika Tatiana
tak diberi perlindungan saksi, akan terlalu berbahaya baginya untuk bersaksi di
pengadilan. Jawaban tegasnya: Polisi Israel tak bisa menjamin keselamatan siapa
pun di luar negara tersebut.
Tapi Tatiana tetap memutuskan untuk bersaksi dan pada Juni 1999 dia dideportasi.
Sebelum dibawa ke bandara Tatiana mengajukan satu permohonan terakhir - supaya
dia diterbangkan ke Polandia atau Lithuania dan diperbolehkan memasuki Belarus
dengan mobil. Permintaannya ditolak dan dia diterbangkan langsung ke Belarus.
Dilaporkan bahwa di bandara Minsk Tatiana bertemu seorang Laki-laki yang
langsung membawanya dengan mobil. Nasib Tatiana sesudahnya tak diketahui.
WALAU SUKAR memahami dinding ketidakacuhan yang dihadapi para perempuan korban
trafiking tiap hari, terdapat suatu realitas buruk di baliknya - rasisme. Sebagian
besar aktivis hak asasi manusia yang berjuang untuk menghentikan trafiking tak
suka mengakuinya di muka umum.
Rasisme adalah salah satu perkara sensitif yang merembes sampai dekat permukaan
tapi lebih baik dibahas secara tertutup. Yang dihadapi adalah rasisme yang
didasari pada rasa takut masyarakat bahwa kaum Laki-laki mereka berkeliaran
mencari mangsa dan gadis-gadis polos lokal akan dilecehkan dan diperkosa.
Artinya: lebih baik mereka daripada gadis-gadis kami.
Dalam apartemen yang nyaman di suatu kawasan kota Tel Aviv, Leah GruenpeterGold
dan Nissan Ben-Ami, dua direktur Awareness center - lembaga nonpemerintah yang
mengkhususkan diri pada penelitian trafiking perempuan dan pelacuran di Israel -
mengingat-ingat suatu hari pada Juni 2001 ketika "para mucikari datang ke
Knesset (parlemen Israel)." Para mucikari berkumpul untuk berbicara di hadapan
komite parlemen yang menyelidiki masalah trafiking di Israel. Pendapat yang
mereka ajukan kadang-kadang sungguh tidak masuk akal.
BenAmi menceritakan tentang seorang pengacara Israel keturunan Arab yang
mengatakan bahwa bordil itu perlu:
Dia bilang lebih baik membuka bordil-bordil legal di Yerusalem Timur daripada
terus-menerus berusaha mengatasi fenomena kejahatan seksual terhadap anggota
keluarga di sana, yang disebabkan fakta bahwa di sana banyak antena parabola
yang memungkinkan tersiarnya segala macam film porno yang membangkitkan nafsu
laki-laki. Yang dikatakan si pengacara, karena adanya frustrasi seksual di kalangan Laki-
laki Palestina, perlu diatur trafiking perempuan ke Israel dan Palestina, atau
nanti putri-putri kami akan diperkosa. Demi melindungi gadis-gadis Arab dari
pemerkosaan, dia menyarankan agar mendatangkan perempuan dari Rusia saja.
GruenpeterGold menjabarkan kesaksian seorang laki-laki yang disebutnya
"pengacara para mucikari."
Dia memberi tahu komite bahwa seks itu seperti makanan dan klien-kliennya
memutuskan untuk meningkatkan kualitas prostitusi Israel sehingga laki-laki bisa
"makan enak" ... supaya mereka punya pilihan yang lebih baik karena pelacur
Rusia lebih baik daripada pelacur Israel. Dengan kata lain, pelacur Israel itu
payah sehingga kami harus mendatangkan pelacur Rusia yang sudah jago demi
memuaskan selera tinggi laki-laki Israel.
Pesan di baliknya, kata BenAmi dengan jijik, jelas: "Jangan sampai gadis-gadis
dan keluargamu atau lingkunganmu sendiri jadi pelacur. Lebih baik gadis-gadis
dari luar negeri saja."
Yossi Sedbon, komandan polisi distrik Tel Aviv, membuat terkejut para peserta
konferensi mengenai prostitusi dan trafiking di Beit Berl College pada Februari
2001. Dia memulai dengan mengeluh bahwa siapa pun "yang berpikir fenomena itu
bisa dilenyapkan berarti tidak tahu apa yang diomongkannya" dan bersikeras
menyatakan dirinya dan anakbuahnya berusaha keras memerangi industri seks yang


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin marak. Nada bicaranya tak menunjukkan semangat, tapi malah kepasrahan. Dia
lantas menyalahkan mereka yang dianggapnya bertanggung jawab langsung atas
krisis tersebut: "Sekarang ada sekitar 200.000 pekerja asing dan puluhan ribu
orang Palestina yang hidup di daerah Tel Aviv. Mau apa lagi" Mereka semua butuh
seks." Levenkron menggeleng-gelengkan kepala karena tak percaya.
Dia mau bilang pelacur asing ada sebagai tempat pelampiasan kebutuhan seksual
komunitas imigran. Enak benar dia menyalahkan
"mereka" atas kebobrokan masyarakat Israel. Klaim itu konyol, karena para
pelacur sendiri mengaku sebagian besar klien mereka adalah orang Israel.
Faktanya, yang paling banyak menggunakan jasa mereka adalah laki-laki Israel,
lalu Laki-laki Arab, dan baru pekerja asing.
Kalau kami berbicara kepada mereka mengenai klien, mereka bilang,
"Memangnya pekerja asing punya cukup uang?"
Di bagian utara Tel Aviv, kelompok terbesar orang Israel yang mendatangi bordil -
dan perempuan-perempuan itu tahu cara mengenali mereka - adalah kaum beragama.
Orang-orang ini adalah sepertiga dari semua klien mereka. Perempuan-perempuan
itu memberi tahu kami bagaimana mereka membuka kippa (peci kecil) dan
menyibakkan payess (cambang yang dikepang) ke belakang telinga.
Fakta bahwa rasisme - lebih baik mereka daripada gadis-gadis kami - adalah realitas
di begitu banyak negara bisa menjelaskan ketidakacuhan terhadap perempuan korban
trafiking dari segala tingkat pemerintahan.
Dalam suatu wawancara dengan acara berita TV BBC Assignment pada 17 Agustus
2002, Chief Superintendent Simon Humphrey dan Scotland Yard, kepala satuan
susila polisi London, menyatakan bahwa penanganan trafiking belum jadi prioritas
karena korban-korbannya bukan warga negara Britania: Saya yakin bahwa pendapat
itu bisa dibantah, tapi saya tak paham mengapa [trafiking] tak diperhatikan
dengan lebih serius dalam tataran politis saat ini. Seharusnya kita tak bisa
menjadikan kenyataan bahwa sebagian besar perempuan dalam industri tersebut
berasal dari Eropa Timur sebagai alasan untuk tidak serius menanganinya, karena
yang kita hadapi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Percabulan adalah suatu
hal yang orang-orang ingin abaikan, tapi saya tak bisa mengerti bagaimana kita
selaku masyarakat yang dewasa bisa tak mengacuhkan orang.
Nuansa rasisme sungguh kentara dalam suatu presentasi formal di hadapan para
birokrat pemerintah Korea Selatan pada 1996. Tanpa tedeng aling-aling Kim Kyoung
Sa, ketua Asosiasi Turisme Istimewa Korea, mendesak komite pemerintah tersebut
mendatangkan "penghibur asing"
untuk bar-bar dan klub-klub tari telanjang yang hanya melayani para prajurit dan
pangkalan-pangkalan militer AS di Korea Selatan. Kim, seorang pemilik bar,
mengeluh bahwa gadis-gadis Korea tak lagi mau bekerja seperti itu; dan menurut
dia itu bagus. Ekonomi negara tersebut telah membaik dan gadis-gadis Korea tak
lagi kepepet. Sekarang mereka bisa bekerja di pabrik dan kantor, dan tak perlu
membuka baju untuk mencari nafkah. Tapi para pemilik bar jadi kerepotan
karenanya. Dijelaskannya bahwa mereka perlu orang-orang baru. Untuk mendukung
pendapatnya, si pemilik klub menegaskan bahwa impor perempuan asing itu
diperlukan supaya para prajurit Amerika tak mengganggu gadis-gadis Korea yang
polos. Menurut Kim dan kawan-kawannya, asosiasi mereka sedang membantu
pemerintah memperbaiki hubungan AS - Korea.
Terkadang sikap rasis sampai masuk ke pengadilan. Oleksander Mazur sudah
melihatnya sendiri. Pada Oktober 2001 saya sedang duduk di luar suatu ruang
sidang di pusat kota Pristina, Kosovo, menunggu Mazur, ketika tiba-tiba Mazur
membuka pintu dan berjalan keluar dengan marah.
Sang opsir polisi Ukraina, yang ditugaskan PBB sebagai polisi internasional,
layak murka. Mazur baru saja terlibat penyelamatan enam perempuan muda dari
Moldova dan Romania. Gadis-gadis itu, yang baru beranjak remaja, tadinya disekap
dan dijadikan budak seks dalam suatu bordil mesum di Ferrazaj. Sang opsir perlu
waktu berhari-hari dan kesabaran luar biasa untuk dapat meyakinkan mereka agar
bersaksi memberatkan para pemilik bordil yang menyekap mereka.
"Saya diberi tahu jaksa bahwa hakim tak mau percaya gadis-gadis itu dipaksa
bekerja sebagai pelacur. Hakim pikir gadis-gadis itu berbohong. Dia bilang,
"Mengapa saya harus lebih percaya mereka daripada pemilik bar?"
Orang itu sudah korup. Dia tak mau mendengar kebenaran," kata Mazur, sambil
menonjok tembok. "Sekarang apa yang mau kaulakukan?" tanya saya.
"Saya masih mau mencoba mencari tahu kalau-kalau hakim mau mempertimbangkan
kasusnya pagi ini. Kami tak bisa lama-lama membiarkan gadis-gadis itu berada di
Kosovo. Mereka harus dipulangkan, dan kalau mereka sudah pulang, kami tak bisa
menuntut para mucikari."
Selama beberapa menit Mazur mengomel, mengeluh bahwa walau sudah dilakukan
banyak penggerebekan dan penyelamatan perempuan-perempuan muda yang diperbudak,
dalam bagian dunia yang kacau balau itu pengadilan nyaris tak berarti dan
hukuman bagi pelaku kejahatan tak pernah dijatuhkan.
"Ini gara-gara korupsi yang sudah menjalar ke mana mana. Hakim bisa mendadak
membekukan kasus tanpa ada yang tahu kenapa. Tapi saya tahu. Ada hakim, orang
Albania (etnis mayoritas di Kosovo- Penerj.], yang menyidangkan seorang Laki-
laki Albania yang dituntut oleh perempuan Moldova yang tidak bisa bahasa
Albania." Mazur menjelaskan bahwa sang hakim Albania menghadapi kasus yang menghadapkan
agamanya, orang sebangsanya, dan kebudayaannya dengan seorang perempuan yang
cuma dianggap pelacur. "Selain itu si mucikari, si pemilik bar, dianggap orang
baik, tokoh masyarakat yang terkemuka. Dia kaya dan membantu membiayai Tentara
Kemerdekaan Kosovo. Jadi dia dianggap pahlawan. Semuanya ada hubungannya."
DALAM DUNIA kelam perdagangan ilegal tubuh manusia, perempuan korban trafiking
berkali-kali menabrak dinding tebal kelalaian, rasisme, dan ketidakacuhan. Semua
itu merupakan rintangan-rintangan amat besar. Tapi kalau ada satu faktor yang
benar-benar menjerumuskan nasib mereka, faktor itu adalah korupsi.
7 untuk segenggam dolar Ada harga untuk menyentuh tiap bagian
tubuh. Seperti gambar pedoman memotong
daging saja. Harga untuk menyentuh
payudara $2, bokong $3, dan kemaluan $5. - MICHAEL BAYER, Agen Istimewa
Biro Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri A.S.
KORUPSI ADALAH tempat bergantungnya perdagangan perempuan yang merajalela dan
brutal. Trafiking tumbuh subur karena korupsi, dan tak bisa sampai sebesar
sekarang tanpa korupsi. Uang dan seks bebas adalah kekuatan pendorongnya.
Sepanjang masih ada pejabat pemerintah dengan tangan terjulur atau polisi dengan
celana terbuka, perdagangan perempuan akan terus berjalan.
Untuk memperoleh uang, pemilik bordil dan mucikari harus mengatur supaya korban-
korban mereka selalu tersedia bagi klien, tiap malam. Oleh karena itu, nyaris
mustahil menjalankan bisnis seks secara tertutup. Laki-laki hidung belang mesti
tahu di mana bisa menemukan perempuan kalau mereka sedang ingin. Upaya mereka
harus dimudahkan. Mereka tidak boleh sampai mesti kucing-kucingan dengan hukum.
Jadi, pertimbangannya, kalau Laki-laki hidung belang saja bisa menemukan
perempuan korban trafiking, maka polisi dengan kemampuan menyelidik dan
peralatan canggihnya seharusnya bisa menyetop usaha perdagangan perempuan. Tapi
polisi tak melakukannya. Mengapa"
Gary Haugen tahu jawabannya. Sebagai ketua International Justice Mission,
organisasi hak asasi manusia berlatar belakang Kristen di Washington, D.C, dia
sudah pernah menggerebek banyak bordil di Dunia Ketiga untuk menyelamatkan
gadis-gadis dari perbudakan seksual.
Pengalaman lapangan Haugen telah memberinya satu pelajaran penting: Bagi [para
pelaku trafiking, mucikari, dan pemilik bordil ketetapan-ketetapan, perjanjian-
perjanjian, dan protokol-protokol masyarakat internasional tak berlaku - kecuali
yang memengaruhi tindakan petugas polisi di jalan. Pemilik bordil akan terus
menjalankan usahanya kalau belum bermasalah serius dengan aparat. Uang yang bisa
didapat terlalu banyak. Martina Vandenberg, seorang peneliti ahli dan pemberani yang telah menyelidiki
perdagangan perempuan untuk Human Rights Watch di titik-titik penting trafiking,
seperti Bosnia, Israel, dan Yunani, berpendapat serupa:
"Pelanggaran hak asasi manusia berupa trafiking manusia tak dapat bertahan hidup
tanpa keterlibatan para pejabat pemerintah yang tak acuh dan korup." Vandenberg
sudah berbicara dengan ratusan korban trafiking dan aktivis hak asasi manusia
yang menangani mereka. Dia sudah mendengar banyak sekali kisah merisaukan
mengenai keterlibatan dan korupsi polisi serta aparat pemerintah:
Para pelaku trafiking sering memberi sogokan - terkadang berbentuk uang, atau seks
gratis - untuk membuat polisi dan pejabat tak mengganggu mereka, mendapat
perlindungan, dan mengakali batas-batas yang semestinya tak bisa ditembus.
Keterlibatan aparat tidak hanya menjamin keamanan para pelaku trafiking, namun
juga menunjukkan kepada perempuan korban trafiking bahwa para pelaku trafiking
tak tersentuh hukum dan perempuan-perempuan itu tak mungkin kabur.
Sentimen Vandenberg bergema pada Februari 2002 di suatu konferensi tentang
trafiking yang diselenggarakan International Helsinki Federation for Human
Rights di Wina, Austria. Selama dua hari yang penuh rapat intensif, para aktivis
hak asasi manusia berkali-kali menyuarakan keprihatinan mengenai peran pejabat
pemerintah, polisi, penjaga perbatasan, dan penegak hukum di banyak negara asal,
perantara, dan tujuan. Kisah-kisah merisaukan itu juga ada yang melibatkan
pasukan penjaga perdamaian PBB dan staf banyak organisasi derma internasional.
Dalam satu insiden meresahkan yang disebut-sebut dalam konferensi Wina, penjaga
perbatasan Polandia terlibat penculikan dua perempuan Ukraina. Para penjaga
memaksa kedua perempuan itu turun dari bus dan menyerahkan mereka kepada pelaku
trafiking yang menunggu dengan mobil. Perempuan-perempuan tersebut dibawa ke
suatu hotel dekat Warsawa, tempat mereka dijual dalam acara lelang yang
diindungi kantor polisi setempat.
Seorang aktivis hak asasi manusia lain yang hadir di konferensi Wina
menceritakan suatu pertemuan informal dengan pejabat-pejabat kepolisian Moldova.
Di Moldova, korupsi yang terkait dengan trafiking merajalela hingga tingkat
pemerintahan tertinggi. Si aktivis diperingatkan "dengan halus dan diplomatis"
oleh polisi Moldova supaya tak terlalu banyak berharap
atau berusaha dalam kegiatan antitrafiking. Kegiatan antitrafikingnya akan gagal, kata mereka, "karena orang-orang penting dan
berkuasa ikut terlibat."
Korupsi dan trafiking terjalin begitu erat sampai-sampai bisa mengimpit upaya
mereka yang menangani perempuan korban trafiking yang telah diselamatkan. Hal
tersebut dijelaskan pada suatu seminar mengenai trafiking pada Juni 2002 di
Portoroz, Solvenia. Pada penutupannya, delegasi-delegasi peserta mengirim surat
urgen kepada Dewan Eropa, yang mensponsori seminar tersebut:
Selama berlangsungnya seminar Portoroz, perwakilan organisasiorganisasi
antitrafiking telah menyatakan bahwa sebagian di antara mereka telah ditekan
pejabat pemerintah agar tak menyebarkan informasi mengenai masalah korupsi.
Beberapa LSM diberi teguran langsung oleh wakil-wakil pemerintah negara-negara
tempat mereka [bekerja] sebelum dan selama konferensi. Mereka telah diberi
pedoman mengenai bagaimana melaporkan situasi yang menyangkut topik trafiking
dan korupsi. Ada kesan bahwa sebagian LSM enggan berbicara secara terbuka
mengenai kasus-kasus korupsi apabila berhadapan dengan wakil-wakil pemerintah.
Bisa diduga bahwa alasan mereka bertindak demikian adalah karena takut
menghadapi wakil-wakil pemerintah yang harus mereka ajak kerja sama di negara-
negara tempat berlangsungnya kegiatan antitrafiking.
Pada banyak sekali laporan yang disusun sejak 2000, Departemen Luar Negeri AS
telah mengidentifikasi sejumlah negara eks Soviet dan Blok Timur tempat korupsi
sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Dalam Laporan Hak Asasi Manusia
berbagai negara yang dikeluarkan pada Maret 2002, didapati bahwa di Belarus "ada
data yang menunjukkan keterlibatan anggota-anggota milisi yang korup" dalam
trafiking perempuan. Laporan mengenai Bulgaria menyebutkan, "Kaum perempuan tak
percaya polisi apabila mereka perlu melaporkan kasus-kasus pelacuran paksa dan
trafiking. Keuntungan dari kejahatan tersebut begitu besar sehingga polisi
mungkin telah disuap." Laporan tersebut menyatakan bahwa korupsi telah
"meluas ke mana-mana" di Bulgaria. Laporan mengenai Georgia menunjukkan bahwa
"rakyat tak percaya polisi karena tingkat korupsi polisi amat tinggi. Misalnya,
polisi tahu-menahu mengenai kawasan-kawasan pelacuran dan pelacuran anak di
bawah umur, tapi tak berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Polisi berkolaborasi
[dengan para mucikari] dan mendapat keuntungan dari bisnis tersebut." Laporan
Moldova menyebut-nyebut "korupsi yang tersebar luas serta koneksi pejabat
pemerintah dan polisi dengan kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi" dalam rantai trafiking.
Korupsi di Rusia telah berkali-kali disebutkan di berbagai laporan sebagai
faktor kunci di balik perdagangan perempuan. Laporan-laporan itu menyatakan
bahwa kaum perempuan Rusia "tak berani melaporkan agen-agen yang pernah merekrut
mereka kepada polisi apabila mereka telah kembali ke Rusia. Alasan
ketidakberanian mereka jelas karena takut terhadap kejahatan terorganisasi dan
ketidakpercayaan umum terhadap lembaga-lembaga penegak hukum Rusia." Begitu pula
keadaannya di Ukraina, di mana "milisi lokal dan penjaga perbatasan menerima
imbalan untuk mengabaikan trafiking." Beberapa laporan menuduh bahwa "pejabat
publik setempat bersekongkol dengan kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi
dan membantu kegiatan trafiking perempuan ke luar negeri."
Dan bukan hanya negara-negara bekas Uni Soviet dan Blok Timur yang bergelimang
korupsi. Uang, kekuasaan, dan pengaruh yang didapat kejahatan terorganisasi dari
industri seks membuat para durjana gampang mengincar pejabat pemerintah dan
kepolisian yang tamak di mana pun di dunia. Berbagai laporan internasional dan
penelitian berisi kasus-kasus semacam itu di mana saja perempuan korban
trafiking menuju. Tak diragukan lagi bahwa korupsi terburuk adalah yang
melibatkan polisi, yang bertugas melayani dan melindungi masyarakat, dan mata
rantai terlemahnya adalah petugas polisi di lapangan. Bentuk kelalaian berkisar
dari ketidakpedulian - mengabaikan, membiarkan, tidak bertindak - sampai sengaja
menghalang-halangi penyelidikan, termasuk membocorkan informasi razia dan menerima sogokan berupa uang atau seks. Dan dua negara yang
semestinya sudah tahu banyak mengenai hak asasi manusia dan telah mendapat
kecaman keras internasional akibat korupsi polisi dalam hal trafiking adalah
Yunani dan Israel. Yunani sudah berkali-kali digoyang tuduhan bahwa korupsi merajalela dalam
kepolisiannya. Bagi para penyedia jasa sekitar 20.000 perempuan asing - sebagian
besar dari Ukraina, Rusia, Moldova, Bulgaria, Romania, dan Albania - membayar
uang perlindungan kepada polisi sudah jadi transaksi bisnis normal. Perempuan-
perempuan tersebut diselundupkan di depan mata penjaga perbatasan dan polisi
Yunani untuk dipekerjakan sebagai pelacur tak berizin di bordil-bordil, bar-bar,
dan panti-panti pijat. Hasilnya: Yunani telah menjadi tujuan utama wisata seks.
Sebelum robohnya Tirai Besi, di Yunani hanya ada tak lebih daripada 2.000
pelacur ilegal, sebagian besar adalah warga lokal. Sekarang, jumlah perempuan
yang menjual diri dijalan di sana sangat mengagetkan.
Gregons Lazos, profesor Universitas Panteion di Athena yang telah meneliti tren
prostitusi selama sepuluh tahun, menyimpulkan bahwa Yunani telah menjadi "pusat
pemrosesan" utama global bagi pelacur-pelacur Eropa Timur. Lazos telah menemukan
bahwa banyak perempuan yang diselundupkan ke Yunani lantas dijual kembali di
pasar-pasar manusia kepada para mucikari di Turki, Timur Tengah, dan seantero
Eropa. Dan faktor utama di balik keberhasilan usaha tersebut yang mencengangkan
"adalah korupsi. Usaha ilegal sebesar dan serumit ini tidak akan mungkin ada
tanpa pejabat-pejabat yang korup."
Dimitris Kynazidis, presiden Konfederasi Opsir Polisi Se-Yunani, mengagetkan
negaranya pada April 2001 ketika dia di depan umum mengakui keterlibatan polisi
"dalam jejaring yang melakukan trafiking ilegal perempuan" di Yunani.
Sesudahnya, terungkaplah makin banyak aib internasional.
Pada Juli 2001, ketika pemerintah AS mulai menerjunkan diri dalam urusan
trafiking manusia dengan menerbitkan "rapor negara-negara di dunia" untuk
pertama kali, dua puluh tiga negara, termasuk Yunani, berada di urutan bawah.
Departemen Luar Negeri AS menunjukkan bahwa Yunani tak banyak berusaha memerangi
trafiking, tak mengakui secara umum bahwa trafiking adalah masalah, gagal
membuat dan melaksanakan undang-undang antitrafiking yang menyeluruh, jarang
mengadu pelaku trafiking, dan hanya menjatuhi hukuman ringan kepada pelaku
trafiking yang diadu. Laporan tersebut juga menyebut-nyebut korupsi pada kepolisian dan penjaga
perbatasan sebagai "masalah besar."
Tak lama setelah laporan Departemen Luar Negeri AS tersebut diumumkan, Human


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rights Watch menerbitkan suatu Memorandum Keprihatinan setebal empat puluh satu
halaman mengenai trafiking perempuan di Yunani, yang menyatakan bahwa usaha
tersebut "sering kali melibatkan polisi dan petugas keimigrasian yang korup.
Bahkan, banyak yang percaya bahwa fenomena internasional trafiking perempuan
menuju prostitusi paksa tak mungkin ada tanpa keterlibatan pihak berwenang."
Koran-koran Yunani sudah memberitakan banyak insiden yang mengungkap
keterlibatan polisi, termasuk dikeluarkannya izin tinggal dan izin kerja palsu
bagi perempuan-perempuan yang bekerja secara ilegal dalam kondisi memprihatinkan
sebagai budak seks untuk geng-geng Yunani dan Albania di seantero negeri
tersebut. Dalam satu insiden memalukan pada akhir Oktober 2000, polisi kota
Thessaloniki di Yunani utara menggerebek klub tari telanjang yang dicurigai
menyekap perempuan korban trafiking. Polisi menyelamatkan enam gadis. Beberapa
jam kemudian polisi mendapati bahwa klub Tutti Frutti yang baru saja di gerebek
itu beriklan di majalah dwi bulanan organisasi jawatan polisi.
Dua bulan sesudahnya muncullah judul berita menghebohkan di harian
Eleftherotypia: seksi Urusan Internal kepolisian telah mengungkap sindikat
pemasok perempuan untuk prostitusi yang katanya dijalankan opsir-opsir polisi di
daerah Thessalia, Yunani tengah. Menurut laporan rahasia yang bocor, operasi
tersebut - yang di sana dikenal sebagai "mesin daging" - telah menyelundupkan
sekitar 1.200 perempuan Eropa Timur ke Yunani untuk dipekerjakan sebagai pelacur
dan sudah meraup untung lebih daripada $100
juta dari kegiatan kriminal selama sepuluh tahun. Yang terlibat di dalamnya
adalah petugas polisi dengan berbagai pangkat di kota-kota Karditsa dan Trikala,
dan juga pengusaha-pengusaha terkemuka, pegawai kantor jaksa yang diduga
berusaha meminta uang dari sindikat tersebut, dan dua pengawal pribadi seorang
anggota parlemen Yunani yang berpengaruh. Satu perempuan yang dibeli dan
dimanfaatkan sindikat itu memberi tahu hakim bahwa opsir-opsir polisi sering
mengunjungi klub tempat dia bekerja. Pada siang hari mereka datang berseragam
untuk memeriksa kelengkapan surat-surat klub tersebut. Lalu malamnya mereka akan
datang lagi berpakaian preman untuk dilayani "gratis".
Dalam satu insiden yang amat memalukan pada 199S, seorang opsir polisi dan
seorang pensiunan polisi ditahan dalam penggerebekan suatu apartemen di Athena
tempat dua perempuan Ukraina disekap dan dipaksa melacur. Tetangga memberi tahu
polisi dan Biro Warga Asing yang melakukan operasi rahasia bahwa perempuan-
perempuan tersebut sering kali dipukuli supaya tunduk. Walau tetangga-tetangga
sudah berkali-kali melaporkan jeritan-jeritan yang berasal dari apartemen
tersebut kepada kantor polisi setempat, polisi tak pernah bertindak. Opsir yang
diciduk dalam penggerebekan bekerja di kantor tersebut, dan para penyelidik
menemukan album yang berisi foto-foto si opsir, sering kali hanya mengenakan
sebagian seragamnya, di atas ranjang bersama beberapa gadis muda.
Dalam kasus gantung diri Irini Penkina pada 1998 yang sudah disebutsebut, polisi
juga menerima beberapa laporan dari para penghuni gedung apartemen tempat Irini
dan tiga perempuan lain disekap. Semuanya tak ditindak-lanjuti. Bahkan, ada yang
menelepon ke kantor polisi Thessaloniki sehari sebelum Irini gantung diri. Lagi-
lagi polisi tak menanggapinya.
Beberapa bulan sebelumnya, tiga petugas dari kantor tersebut ditahan karena
tuduhan melindungi sindikat prostitusi di kota Thessaloniki.
Tiap kali muncul skandal memalukan, para politikus Yunani berjanji akan
memberantas polisi-polisi dan birokrat-birokrat korup dan melenyapkan
perdagangan gelap tubuh manusia. Demi membendung kemarahan masyarakat, mereka
menjanjikan tindakan yang cepat dan perubahan betulan. Sejumlah penggerebekan
yang sudah diatur pun dilakukan terhadap bordil-bordil terkenal. Perempuan-
perempuan korban trafiking diciduk lalu dideportasi. Para mucikari dan polisi
korup ditangkap dan disidang, lalu semuanya jadi sepi kembali seraya kasus-kasus
mereka terbenam dalam proses persidangan, yang oleh Departemen Luar Negeri AS
digambarkan "lambat dan tak efisien". Di Yunani, kasus-kasus kejahatan biasanya
disidangkan setelah pelakunya ditahan selama hampir delapan belas bulan,
mendekati habisnya masa penahanan maksimum sebelum sidang. Rata-rata kasus
memerlukan waktu delapan tahun untuk mencapai putusan. Karena situasinya seperti
itu, tak heran trafiking selalu kembali marak kalau sudah tak lagi disorot
perhatian masyarakat. KORUPSI POLISI juga berada di inti usaha trafiking di Israel. Tetapi walaupun
telah banyak sekali tuduhan terhadap petugas-petugas polisi, baik yang masih
aktif maupun yang sudah pensiun, situasi suram tersebut sama sekali tak mengusik
kalangan politikus dan pemerintah. Dalam kantor kecilnya di Tel Aviv, Nomi
Levenkron membeberkan banyak sekali kasus keterlibatan polisi yang telah ia
usut. Fenomena penyogokan polisi Israel sudah sangat jelas; malah banyak di antara
mereka yang bebas bekerja sama dengan para mucikari dan pelaku trafiking.
Lagipula, banyak polisi yang merupakan pelanggan bordil. Akibatnya, banyak
korban trafiking yang tak mampu memperkarakan orang-orang yang menjerumuskan
mereka, karena mereka melihat adanya kerja sama antara para penjahat dan aparat,
dan mereka pun tak punya jalan keluar karenanya.
Sigal Rozen, ketua Hotline for Migrant Workers di Tel Aviv, berkata bahwa pada
beberapa kasus, polisi "mendapat potongan harga karena hubungan baik mereka
dengan pemilik bordil." Rozen menambahkan bahwa
"kasus terparah yang kami ketahui adalah polisi yang aktif berjual beli
perempuan atau mengembalikan perempuan yang ditangkap kepada mucikari untuk
imbalan uang." Sambil duduk menghadapi meja yang penuh tumpukan dokumen mengenai korban-korban
trafiking yang terselamatkan, Rozen menceritakan kisah seorang perempuan muda
Rusia bernama Larissa yang ditemuinya pada musim semi 2001 ketika mengunjungi
penjara perempuan Neveh Tirza di luar Tel Aviv. Yang menarik perhatian Rozen,
aparat berusaha mempercepat deportasi Larissa.
Kisah Larissa sama dengan kisah banyak Natasha lainnya di Israel.
Larissa menanggapi iklan koran Rusia yang menawarkan pekerjaan pada gadis-gadis
muda sebagai au pair (pengasuh anak/pembantu rumah tangga). Dia mengontak si
pemberi kerja, yang lantas menjelaskan bahwa hukum Israel melarangnya bekerja
secara legal di Israel dan agen harus menyiapkan dokumen-dokumen palsu untuknya
serta menyelundupkannya masuk Israel lewat Mesir. Karena sangat membutuhkan
pekerjaan, Larissa menyetujuinya. Dia diterbangkan ke Kairo dan dibawa lewat
jalan darat melintas Gurun Sinai ke daerah terpencil dekat perbatasan Israel.
Dari sana, Larissa - bersama beberapa perempuan lain - dibawa berjalan kaki oleh
para penyelundup Badui ke suatu kota perbatasan Israel, di mana dia dijemput
seorang Yahudi Rusia yang membawanya dengan mobil ke Tel Aviv. Setelah sampai di
Tel Aviv, Larissa pun menyadari nasibnya. Dia dijual ke seorang mucikari Israel
yang menyuruhnya bekerja sebagai pelacur. Menurut Rozen, Ketika dia sadar akan
nasibnya, dia menolak untuk tunduk. Dia begitu cantik. Dia masih muda dan sangat
populer. Dia tak pernah pasrah akan keadaannya dan sampai berkata, "Oke, aku ke
sini sebenarnya untuk menjadi au pair, tapi aku perlu cari uang untuk bisa pergi
dari sini." Dia menolak bekerja dan berkali-kali diperkosa karenanya. Dia terus-
menerus menangis. Setelah satu minggu, polisi menggerebek bordil tempat dia
disekap. Ketika dia diciduk, dia memberi tahu saya bahwa dia senang sekali.
Larissa menceritakan bahwa petugas polisi yang menangkapnya lantas menggiringnya
keluar kantor polisi, menyuruhnya masuk mobil polisi, dan membawanya ke
Yerusalem, di mana, kata Rozen, "Polisi itu menjual Larissa ke mucikari lain
untuk segenggam dolar."
Dia sudah bersiap-siap bersaksi mengenai apa yang telah terjadi di pengadilan,
tapi tentu saja polisi tak berniat mendengar kesaksiannya ataupun melakukan
penyelidikan berskala besar. Bahkan polisi tak menyelidiki sama sekali. Katanya,
karena Larissa meminta agar diperbolehkan tinggal di Israel apabila dia bersaksi
maka gadis Rusia itu pasti berbohong. Kok mereka bisa sampai berkesimpulan
seperti itu?" Tak tahulah saya. Tapi saya baru mendengar cerita satu pihak, dan
saya belum pernah mendengar versi polisinya karena mereka tak mau bercerita.
Akhirnya, Larissa dideportasi dan polisi yang dia tuduh telah menjualnya
Barangkali masih bekerja di kepolisian Israel.
Nomi Levenkron yang tak kenal menyerah berupaya menghentikan trafiking di tanah
airnya menjadi terkenal pada Mei 2001 ketika dia mengajukan petisi yang tak
lumrah kepada Mahkamah Agung Israel. Dia meminta agar polisi diperintahkan
mendengar kesaksian empat kliennya dan menyelidiki tuduhan mereka terhadap
mucikari mereka. "Kami menyatakan bahwa polisi kelihatannya secara sistematis mengabaikan
permintaan para perempuan asing tahanan yang ingin memberi informasi yang bisa
memberatkan mucikari mereka di Israel,"
katanya. Petisi tersebut juga menuntut polisi menjelaskan caranya menangani perempuan
korban trafiking, dan tanpa basa basi menuduh bahwa polisi tidak bertindak
karena "mungkin para pemilik bordil yang mempekerjakan perempuan-perempuan
tersebut berhubungan baik dengan opsir-opsir polisi, dan juga kenyataan bahwa
polisi termasuk pelanggan bordil. Sebagian petugas bahkan mengunjungi bordil
ketika masih berseragam."
Levenkron menyoroti kasus salah seorang kliennya, perempuan Ukraina berumur dua
puluh empat yang diselundupkan ke Israel pada Desember 2000 dan Mesir dengan
melewati Gurun Sinai. Dia telah diiming-imingi pekerjaan sebagai pelayan, tetapi
dia lantas dipaksa bekerja untuk usaha jasa pendamping di Tel Aviv sampai
akhirnya diciduk pada Maret 2001. Petisi Levenkron menyatakan:
Dia dijual ke seorang mucikari seharga $5.000. Si mucikari menyuruh dia bekerja
di suatu apartemen di 40 Pinsker Street di Tel Aviv tujuh hari dalam seminggu
dan pukul 10 pagi sampai pukul 5 pagi esoknya, dengan bayaran harian lima belas
shekel untuk rokok dan dua puluh shekel untuk makan. Perempuan-perempuan yang
bekerja di apartemen tersebut tak diperbolehkan bepergian kalau tak ditemani
[rnucikari], dan kalau para pemilik mereka meninggalkan apartemen, mereka
dikunci di dalam. Para pemilik mereka diidentifikasi sebagai dua laki-laki bersaudara, David dan
Meir. Para korban tak tahu nama keluarga David dan Meir. Petisi Levenkron lantas
menyatakan bahwa pada saat perempuan Ukraina itu bekerja di bordil "polisi
berseragam sering datang ke bordil, dan tampak bersahabat dengan para
pemiliknya. David bahkan berkali-kali sesumbar kepada para perempuan bahwa
mereka tak usah takut diciduk, karena ia punya hubungan baik dengan polisi
sebagai 'asuransi' pencegah penangkapan." Asuransi tersebut berfungsi pada Maret
2001, menurut petisi Levenkron, ketika tiga perempuan yang bekerja di bordil itu
terjaring razia, namun pada hari yang sama dikembalikan kepada si mucikari.
Sang pengacara juga menceritakan pengalaman mengerikan tiga perempuan lain - dua
gadis Moldova, satu berumur delapan belas dan satu berumur dua puluh dua; dan
satu gadis Ukraina berumur dua puluh satu.
Mereka semua diselundupkan ke Israel lewat jalan darat dari Mesir dan
dipekerjakan di bordil di kota Be'er Sheua. Selama beberapa bulan, perempuan-
perempuan itu "dipaksa melayani rata-rata delapan belas klien sehari. Kalau
sedang tak bekerja, mereka dikunci dalam apartemen. Di antara pelanggan mereka
ada beberapa polisi, yang menunjukkan kartu tanda pengenal mereka kepada para
perempuan itu." Selain itu, perempuan-perempuan tersebut "mengenali polisi yang
datang untuk menangkap mereka sebagai klien yang mengunjungi bordil dua atau
tiga hari sebelumnya. Polisi yang menginterogasi mereka di kantor polisi dan
mengambil sidik jari mereka mengunjungi bordil, sebagai klien, pada pagi sebelum
penangkapan." Semua kasus yang disebutkan dalam petisi menjadi batal karena perempuan-
perempuan tersebut dideportasi.
Pada beberapa kesempatan, Levenkron mengadukan isu polisi yang mengunjungi
bordil sebagai klien kepada kepala polisi, dan juga kepala bagian pengawasan
kepolisian dalam Departemen Kehakiman. "Jawabannya selalu sama: tak bisa
dilakukan apaapa. Walau boleh jadi tak pantas dilakukan polisi, tapi perbuatan
itu bukan kejahatan."
TINDAKAN TINDAKAN TERCELA birokrat berkedudukan paling rendah pun bisa punya
akibat dramatis. Itulah yang terjadi pada kasus satu jejaring trafiking kejam
yang bermula di Praha, ibukota Republik Ceko, dan mencapai Amerika Serikat.
Pada satu pagi berkabut, Agustus 1996, Michael Bayer, seorang agen istimewa
bertubuh jangkung dan tegap yang bekerja dalam seksi antipenipuan visa Biro
Keamanan Diplomatis Departemen Luar Negeri AS di Washington, duduk menghadapi
mejanya, menyalakan komputer, dan melihat ada email untuknya. Email tersebut
berupa kabar penting dari petugas keamanan Kedutaan Besar Amerika Serikat di
Praha: seorang opsir polisi Ceko telah mendatangi kedutaan besar pada hari
sebelumnya dengan membawa informasi mengenai satu geng yang menyelundupkan
perempuan-perempuan muda ke Amerika Serikat.
Bayer langsung membalasnya dengan menyatakan ia akan berusaha mencari tahu lebih
banyak di tempatnya. Tapi sebelum dia bisa mulai menyelidik, pada hari
berikutnya datang lagi email lain dari seksi anti penipuan urusan konsuler
Washington. Tugas lembaga tersebut adalah mengamati tren penipuan imigrasi
terhadap AS. Email tersebut memberi tahu Bayer bahwa sejumlah perempuan muda dan
lajang dari Ceko baru saja tiba di Bandara John F. Kennedy, New York. Mereka
semua punya visa masuk AS yang sah, tapi ada yang mencurigakan pada dokumen-
dokumen perjalanannya. Semuanya diisi dengan cara yang sama - tanda tanda
penipuan. "Karena ada informasi itu, bersama yang satunya lagi, dan saya pun sadar sedang
ada sesuatu yang terjadi," sang agen bercerita.
Penyelidikan Bayer jadi makin intensif. Seksi konsuler di Praha mulai melacak
semua formulir permohonan visa untuk mencari pola. Tak lama kemudian mereka
menemukannya. "Semua formulir tersebut mencantumkan tujuan yang sama di New York City, suatu
hotel di sekitar 10th Avenue dan 49th Street, daerah mesum sebelah Times
Square," kata Bayer. "Daerah situ terkenal sebagai daerah pelacuran. Jadi, cukup
jelaslah bahwa ada sindikat prostitusi yang masuk ke New York City."
Daerah tersebut diintai oleh sekelompok polisi yang menyamar, tapi tak ditemukan
petunjuk apa pun. "Ramai sekali di sana dan kita tak tahu siapa yang sedang berbuat apa. Ada
banyak sekali orang di sana. Jadinya pengintaian itu kurang ampuh. Tapi kami
tahu bahwa ada perempuan-perempuan muda dari Ceko yang datang ke AS dan ke mana
tujuan mereka setelah sampai di sini."
Informasi intelijen yang dikumpulkan polisi Ceko menunjukkan bahwa perempuan-
perempuan tersebut meninggalkan Praha secara berkelompok, bertiga atau berempat,
dan bahwa selama empat tahun sudah sampai 200
perempuan yang diselundupkan secara ilegal ke New York.
"Kami menyaksikan sendiri beberapa kelompok tersebut datang dan tak lama
kemudian jelaslah siapa yang terlibat dan apa yang terjadi," kata Bayer.
Dua ekspatriat Ceko bernama Ladislav Ruc dan Milan Lejhanec menjemput perempuan-
perempuan itu di Bandara Kennedy. Ruc, saat itu berumur tiga puluh delapan,
adalah dalangnya. Dia adalah Laki-laki bertubuh besar yang suka berperan sebagai
don Mafia. Penampilannya memang membuat gentar. Ruc yang gemar binaraga itu
berambut panjang, yang diminyaki dan dikuncir. Dia biasa mengenakan kaos ketat,
sepatu but koboi, jas kulit hiu yang norak, dan perhiasan mencolok. Pada satu
kesempatan, dia menghadiri suatu pernikahan Ceko di Queens naik Rolls Royce yang
disopiri Lejhanec, tangan kanannya. Lejhanec adalah antek Ruc.
Pada umur dua puluh tujuh, dia sudah terkenal sebagai penjahat dengan catatan
kriminal penyelundupan mobil curian di Ceko. Lejhanec juga pernah didakwa karena
berusaha menjual bom plastik yang dicuri dari depo tentara.
Ada sejumlah warga Ceko lain dalam geng tersebut, tapi pemimpinnya adalah Ruc.
Setelah tokoh-tokoh pentingnya teridentifikasi dan polanya diketahui, Bayer
memutuskan untuk beraksi dan meminta bantuan kepolisian New York.
"Mereka menugaskan sejumlah petugas polisi satuan susila yang merangkap anggota
satuan anti kejahatan terorganisasi di Lower Manhattan untuk membantu saya.
Orang-orang ini adalah yang terhebat. Saya mulai memberi tahu latar belakang
kasusnya ketika seorang detektif memotong dan berkata, 'Tahu enggak, aku baru
menangkap pelacur yang rasanya kabur dari geng yang sama.'"
Sang agen mencatat rinciannya dan menemui perempuan itu.
Dia amat benci kepada orang-orang itu dan ingin sekali berbicara tentang
segalanya dan merinci siapa melakukan apa. Dia benar-benar memberi begitu banyak
informasi. Satu-satunya masalah adalah dia takut orang-orang itu karena mereka
besar-besar, sangar, dan kejam. Dia betul-betul percaya bahwa mereka tak segan-
segan membunuh orang hanya dengan bayaran $500. Jadi, saya perlu bekerja sama
dengan dia dan meminta dia menghubungkan saya dengan gadis-gadis lainnya, karena
saya sekarang punya satu saksi tapi itu belum cukup.
Dari si saksi, Bayer mengetahui cara kerja geng penjahat tersebut. Si saksi
menjabarkan bagaimana perempuan-perempuan direkrut melalui iklan-iklan lowongan
pekerjaan sebagai penari, pelayan, dan model yang ditempatkan di koran-koran
lokal Ceko. Mereka ditemui para perekrut di stasiun kereta api utama di Alun-
alun Vaclauske di Praha. Perempuan-perempuan itu tak perlu datang sendiri dengan
cerita karangan ke kedutaan besar AS - anggota-anggota geng membawa mereka ke
seorang petugas bagian visa yang mengesahkan formulir mereka. Dalam beberapa
hari mereka langsung berangkat ke New York. Ruc dan Lejhanec menjemput mereka di
bandara dan membawa mereka ke satu di antara tiga apartemen penuh kecoa dan
tikus di Queens, tempat perempuan-perempuan itu hidup seadanya dan tidur di


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasur yang digelar di lantai.
Perempuan-perempuan tersebut langsung disuruh bekerja selama sepuluh jam per
hari di tempat-tempat pertunjukan intip dekat Times Square. Dua yang utama
adalah Playpen - bar remang-remang sempit dengan jendela-jendela yang digelapkan
di pinggir jalan - dan Playground, di lantai kedua di atas toko pornografi di
Eighth Avenue, yang penuh dengan tempat menonton pertunjukan intip.
"Saya diberi tahu para polisi susila bahwa Playpen dan Playground dulunya sarang
pecandu obat, manusia-manusia rendah," kenang Bayer.
"Lalu mereka bilang tahu-tahu kedua tempat itu mulai mendapat cewek-cewek cantik
dari Ceko dan negara-negara lain, dan mereka pun jadi untung besar karenanya."
Di tempat pertunjukan intip, konsumen memasuki ruangan mirip lemari dinding dan
memasukkan koin ke lubang. Layar logam bermotor akan terbuka selama satu menit
dan kemudian tertutup lagi. Dalam ruangan di sisi lainnya terdapat perempuan-
perempuan telanjang. Para pengintip bisa memegang-megang mereka, asalkan
membayar. Tapi sebelum menyentuh, gadis-gadis itu harus meminta persenan.
"Kata-kata itu yang digunakan untuk transaksi," Bayer menjelaskan.
"Ada harga untuk menyentuh tiap bagian tubuh. Seperti gambar pedoman memotong
daging saja. Harga untuk menyentuh payudara $2, bokong $3, dan kemaluan $5.
Jadi, konsumen menjulurkan tangannya melalui lubang di tempat menonton dan
menyentuh lewat sana."
Berdasarkan hukum New York, perbuatan seperti itu melanggar hukum dan termasuk
tindak pidana prostitusi. Tapi para pemilik klub menganggap mereka bisa
mengakalinya dengan menyuruh perempuan-perempuan itu tidak meminta bayaran, tapi
hanya persenan. Persenan yang didapat gadis-gadis itu harus disetor ke Milan dan Larry
[Ruc]. Dan masing-masing harus menyetor $100 per hari, enam hari seminggu.
Bayangkan saja kalau imbalan untuk menggerayangi hanya $2
atau $3, harus berapa lama sampai bisa mendapat $100 sehari. Jadi, antara ada
aktivitas lain yang terjadi di sana, atau pertunjukan intip itu memang ramai
sekali. Sementara Bayer mengusut kasus Ruc dan Lejhanec, penyelidikan di Republik Ceko
mengincar petugas kedutaan besar yang korup itu - seorang perempuan warga negara
Ceko. Para penyelidik Amerika, dengan dibantu polisi Ceko, menyiapkan jebakan
untuk menangkap dia. "Kami suruh seorang polisi wanita muda Ceko berpura-pura menjadi klien orang-
orang itu dan segalanya berjalan lancar," kata Bayer. "Si petugas kedutaan
langsung mengaku waktu diinterogasi dan bersedia membantu penyelidikan. Dia
memberi tahu kami bahwa dia sudah mengeluarkan lebih daripada seratus visa,
dengan bayaran $100 per visa.
Dia ingin mengumpulkan uang untuk membeli sebuah bar di Praha."
Informasi dari si petugas kedutaan membantu penangkapan sejumlah pelaku penting
di Republik Ceko, termasuk ibu dan saudara laki-laki Lejhanec serta seorang
"pengusaha" yang beroperasi di kota Partibitsa yang berjarak sejam perjalanan
dari Praha. "Di sanalah pusat kegiatan mereka merekrut perempuan," Bayer menjelaskan.
"Mereka memasang iklan lowongan pekerjaan sebagai pelayan, model, dan pengasuh
anak di salah satu koran nasional Ceko."
Di New York, agen Michael Bayer melanjutkan pengusutan kasus.
"Selagi waktu berlalu - dan sudah berbulan-bulan - saya meminta kontak awal saya
mempertemukan saya dengan gadis-gadis lain yang kabur. Selama setahun dia
berhasil mempertemukan saya dengan tiga gadis lain. Jadi, sekarang ada empat
perempuan yang punya cerita serupa."
Penggerebekan dilakukan pada 12 Maret 1997. Satu tim petugas NVPD, satuan
keamanan diplomatis Departemen Luar Negeri AS, dan Immigration and
Naturalization Services (INS) mendatangi Playpen dan Playground.
"Kami mengerahkan 150 polisi dan agen. Kami tahu kapan saat terbaik untuk
menggerebek - percaya atau tidak, sekitar pukul lima sore, jam sibuk ketika semua
pekerja pulang kantor. Banyak di antara mereka yang mampir dulu ke tempat-tempat
itu sebelum pulang ke rumah."
Penggerebekan berhasil menyelamatkan tiga puluh sembilan perempuan dan Republik
Ceko dan Hungaria. Rupanya ada geng lain, yang dipimpin seorang begundal bernama
Zoltan, yang menangani gadis-gadis Hungaria. Di kantor kedua klub, polisi
menemukan uang tunai senilai $250.000, serta obat-obatan terlarang, dan beberapa
senjata api. Kami juga menemukan kontrak perempuan-perempuan tersebut, yang mencantumkan foto
dan visa mereka. Sungguh temuan yang bagus, lagi pula di ruang ganti perempuan
juga ada tanda besar yang menunjukkan harga untuk menyentuh berbagai bagian
tubuh. Bukti langsung. Kami sekarang sudah punya daftar harga dari ruang ganti
dan enam belas saksi penting dari penggerebekan itu, dan kami sudah banyak tahu
mengenai apa yang terjadi.
Para petugas juga memburu dua tersangka utama di Queens. Mereka membekuk
Lejhanec di rumahnya dan menemukan simpanan senjata api di sana - pistol-pistol
otomatis buatan Rusia dan Israel - serta paspor, visa, tiket pesawat, dan catatan
mengenai uang yang diperoleh dari tiap perempuan. Ruc tak ada di rumah ketika
hendak ditangkap, tetapi polisi yang memeriksa rumahnya menemukan setumpuk bukti
memberatkan. Beberapa hari kemudian, si pemimpin geng menyerahkan diri.
Dari mulai saat itu sampai Juni 1998, kami mengumpulkan dan menelaah semua
bukti. Kami mewawancarai semua saksi dan menetapkan tujuh orang sebagai saksi
kunci. Tidak hanya itu; kami juga punya kontrak-kontrak kerja, tiket pesawat,
data INS mengenai kapan mereka memasuki negara ini, dan visa mereka semua. Jadi,
saya punya rangkaian dokumen hebat yang jelas-jelas menunjukkan keterlibatan
geng tersebut di Republik Ceko dan AS. Mereka sudah dalam genggaman saya. Mereka
kena batunya sekarang. Dalam persidangan pada Juni 1999, Ruc dan Lejhanec mengaku bersalah dan masing-
masing dihukum enam puluh bulan penjara dan deportasi setelah mereka melalui
masa tahanan. Tapi lima tahun penjara untuk trafiking dan penganiayaan terhadap
begitu banyak perempuan tak berdosa jelas belum cukup sebagai penjera.
Pengadilan bisa saja menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat, yang akan
membuat para pelaku trafiking pikirpikir sebelum melakukan kegiatannya.
Sementara itu, korban-korban mereka sebagian besar dideportasi atau pulang,
membawa aib, ke rumah mereka di Republik Ceko.
KISAH-KISAH KETERLIBATAN sistematis, ketidakpedulian, dan korupsi bertebaran di
sekitar kegiatan trafiking di seantero dunia. Mungkin bisa dianggap keajaiban
kalau kadang-kadang ada perempuan yang bisa diselamatkan dari trafiking. Dan
yang terselamatkan pun sebagian besar diperlakukan seperti pelacur. Alasannya
sederhana saja: kalau ada polisi mengaku dia pernah memakai perempuan-perempuan
terebut, maka dia juga harus menghadapi dakwaan pemerkosaan.
Bagi kebanyakan perempuan korban trafiking, "musuh" mencakup polisi, penjaga
perbatasan, dan petugas imigrasi. Tapi ada satu lagi musuh berseragam yang
tangguh: orang militer. Di daerah-daerah medan perang yang dikendalikan pasukan
penjaga perdamaian PBB dan tentara AS, katakata "demokrasi" dan "perdamaian" tak
ada artinya bagi ribuan perempuan korban trafiking yang disekap di bar-bar dan
bordil-bordil yang bersebelahan dengan pangkalan militer. Di tempat-tempat jauh
itu, gadis-gadis lima belas tahun pun jadi sasaran ... dan pemerkosaan hanyalah
kata ganti untuk istirahat dan rekreasi.
8 malam-malam bosnia Kami menyelenggarakan pesta Natal dan
ada budak-budak seks di sana. Satu orang
membawa tiga cewek ke pesta.
- BENJAMIN JOHNSTON, mantan
pekerja DynCorp yang disewa untuk
memperbaiki helikopter di pangkalan
militer AS PADA DESEMBER 1995, tak lama setelah perang brutal selama empat puluh dua bulan
melawan pasukan yang dipimpin Serbia, lebih dari 50.000 tentara penjaga
perdamaian PBB didatangkan ke BosniaHerzegovina untuk menegakkan hukum dan
keteraturan. Sejumlah serdadu Serbia diringkus, didakwa melakukan pemerkosaan,
dan dikirim ke Den Haag untuk diadii atas kejahatan perang. Tapi dalam masa
damai sesudah perang, ribuan perempuan - yang diculik dari Eropa Timur dan dipaksa
bekerja sebagai budak seks di bar-bar dan bordil-bordil yang bertebaran di
pedesaan Bosnia yang bergunung-gunung - menjadi mangsa puluhan ribu tentara
penjaga perdamaian PBB dan pekerja sosial internasional yang berduyun-duyun
memasuki daerah itu. Ironi yang sungguh buruk. Ketika perang, pemerkosaan
perempuan dan anak-anak yang tak berdosa oleh serdadu dianggap kejahatan perang
serius. Ketika damai, lain lagi ceritanya.
OLENKA SEORANG gadis Ukraina berumur sembilan belas, duduk di hadapan saya dalam
suatu kedai kopi sambil merokok. Olenka jangkung dan langsing, kulitnya pucat,
dan rambut pendeknya dicat pirang. Dia menatap kuku-kukunya yang bercat merah
delima dengan gelisah sambil menceritakan enam bulan dalam neraka sebagai budak
seks di suatu bar di kota Tuzla di Bosnia utara. Olenka baru berumur tujuh belas
saat itu, dan mimpi-mimpi buruk tentang masa itu masih menghantuinya. Dia
mengisap rokoknya dalam-dalam dan memulai ceritanya.
"Saya melayani delapan sampai lima belas Laki-laki semalam. Saya tak mau tidur
dengan satu pun dan mereka. Tapi kalau tidak menuruti perintah, si pemilik
bilang saya akan dipukuli sampai mati. Dia kejam dan jahat. Kamu enggak akan mau
membuat dia marah." Pada saat dia disekap, Olenka memperkirakan bahwa dia telah
diperkosa lebih dari 1.800 kali. Tiap laki-laki yang memakainya membayar $50
kepada si pemilik. Tak sepeser pun uang yang didapat Olenka.
Pada satu malam yang benar-benar parah, dia digilir selusin prajurit.
Mereka sedang bersenang-senang, merayakan ulang tahun di bar. Salah seorang di
antara mereka berulang tahun kedua puluh dua. Olenka menjadi hadiah ulang
tahun ... untuk satu peleton. Apa pun yang diinginkan para penjaga perdamaian,
dia terpaksa berikan. "Semalaman, saya mesti tersenyum dan membuat mereka percaya saya menikmati
dipermalukan begitu," Olenka berbisik lirih. "Mereka semua binatang. Mereka tak
peduli aku sebenarnya tahanan di sana. Mereka cuma mau seks."
Dia tak mengenal nama-nama para laki-laki yang telah memakainya sepanjang masa
itu, tapi dia ingat seragam mereka dan lambang-lambang negara yang dijahit di
bahu seragam mereka - Amerika, Kanada, Inggris, Rusia, Prancis. Banyak di
antaranya yang tentara. Beberapa lainnya adalah polisi PBB. Yang lainnya lagi
adalah pekerja sosial - baik dari berbagai lembaga internasional maupun PBB - yang
berbondong-bondong ke daerah tersebut sesudah konflik. Berkali-kali Olenka
meminta pertolongan. Sebagian "pelanggan" internasionalnya membawa telepon seluler. Dia meminta
pinjam telepon untuk menelepon sekali saja kepada mereka.
"Semuanya menolak. Yang mereka pikirkan hanya bahwa mereka sudah membeliku untuk
sejam dan aku di sana untuk mereka nikmati. Salah seorang memberi tahu pemilik
bahwa aku minta pinjam telepon. Akibatnya aku dipukuli dan dikurung tiga hari
dalam gudang tanpa diberi makan."
Ketika Olenka akhirnya diciduk dalam penggerebekan bar, dia mengenali delapan
"pelanggan" di antara para polisi yang menggerebek.
Sebagian adalah anggota International Police Task Force (IPTF) PBB; yang lainnya
polisi setempat. Setelah diciduk Olenka diwawancarai seorang aktivis hak asasi
manusia internasional. "Saya beri tahu dia tentang tentara, polisi, dan orang-
orang asing yang datang ke sini, tapi tidak ada kelanjutannya."
Dua minggu kemudian Olenka dipulangkan - tanpa uang, remuk redam, dan membawa aib.
Tapi, bagi UN Mission in BosniaHerzegouina (UNMIBH), dia hanya termasuk satu
lagi perempuan korban trafiking yang
"diselamatkan" IPTF.
PROSTITUSI ADALAH ilegal di Bosnia, tapi semenjak perang usai prostitusi justru
membludak. Di seantero negeri kecil itu, yang berpenduduk 3,5 juta jiwa,
sekarang ada lebih dan 260 bar. Bar-bar tersebut sebenarnya adalah bordil, yang
menampung hingga 5.000 perempuan Eropa Timur yang menjadi bulan-bulanan para
prajurit dan pekerja internasional. Banyak orang yang diberi kepercayaan untuk
mendatangkan stabilitas di kawasan tersebut telah melakukan hal-hal yang kalau
di negaranya sendiri merupakan tindak pidana keterlibatan dalam kejahatan,
korupsi, trafiking, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Segala aktivitas kelam
itu bukannya tidak terdengar oleh para pemimpin PBB; mereka justru berusaha
keras menutup-nutupinya. Tutup tersebut dibuka lebar-lebar pada 9 Oktober 2000
oleh seorang ibu tiga anak berumur tiga puluh sembilan dari Nebraska, AS.
Kathryn Bolkovac adalah satu dari 2.100 opsir polisi yang bertugas dalam IPTF di
BosniaHerzegovina. Satuan tersebut dibuat untuk membantu memulihkan hukum dan
keteraturan sesudah perang dan melatih angkatan baru polisi untuk melindungi
daerah tersebut. Bolkovac menandatangani kontrak tiga tahun dengan IPTF pada
1993. Baginya pekerjaan tersebut adalah kesempatan yang datang sekali seumur
hidup - kesempatan untuk bepergian ke luar negeri dan melakukan sesuatu yang
berarti. Penempatannya diurus DynCorp Inc., yang menyalurkan opsir-opsir polisi Amerika
atas nama Departemen Luar Negeri AS untuk misi-misi PBB di seantero dunia.
DynCorp, yang bermarkas di Reston, Virginia, dikontrak untuk menyediakan hingga
300 opsir IPTF di BosniaHerzegovina.
Tak lama setelah tiba di Sarajevo, Bolkovac diminta mengurus Kantor Jender IPTF -
satuan yang menangani bermacam-macam kejahatan dan penyelidikan, termasuk
trafiking, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga. Langsung saja
Bolkovac kebanjiran kasus trafiking. Salah satu tugasnya adalah mewawancarai
perempuan korban trafiking yang diselamatkan, dan dalam sesisesi wawancara
itulah dia mulai memerhatikan kecenderungan yang menggelisahkan. Berkali-kali
para perempuan itu mengungkapkan bahwa tentara penjaga perdamaian, pekerja PBB,
dan anggota polisi internasional mendatangi bordil-bordil tempat mereka dipaksa
bekerja. Namun, anehnya tiap kali Bolkovac mengajukan laporan mengenai kasus
semacam itu, laporannya lantas lenyap tak tentu rimbanya.
Bolkovac memutuskan menanganinya sendiri. Pada 9 Oktober 2000, dia memutuskan
untuk melangkahi jalur komando dan mengirim email sengit kepada lebih daripada
lima puluh pejabat senior - termasuk Jacques Klein, wakil istimewa sekretaris
jenderal PBB di Bosnia. Suratnya, yang berjudul "Bagi yang tidak kuat atau
merasa bersalah, harap jangan membaca", menuduh bahwa para tentara NATO, pekerja
kemanusiaan, dan polisi PBB adalah pelanggan bar-bar tempat perempuan-perempuan
Eropa Timur - yang beberapa di antaranya bahkan baru berumur lima belas - disekap.
Berdasarkan wawancara dengan delapan puluh lebih perempuan, Bolkovac menjabarkan
pemerkosaan, penyiksaan, dan penghinaan yang dialami mereka tiap hari. "Jika
menolak berhubungan seks dengan pelanggan, mereka dipukul dan diperkosa oleh
pemilik bar dan antek-anteknya." Bolkovac tak memperhalus kata-katanya.
Mendatangi bordil-bordil itu sama saja dengan membantu dan mendukung "perbudakan
seks", tulisnya. Tapi yang paling gawat bukan itu. Opsir-opsir IPTF membantu
trafiking, dalam berbagai cara - memalsukan dokumen bagi perempuan korban
trafiking, membantu mereka masuk secara ilegal ke Bosnia, dan membocorkan
rencana penggerebekan kepada pemiik bar. Supaya tuduhantuduhannya tak
dikesampingkan sebagai sekadar generalisasi, Bolkovac memberi beberapa rincian
kasus. Seorang opsir polisi Amerika telah membeli satu perempuan seharga $ 1.000
dan menyekap perempuan itu di apartemennya, dan melampiaskan nafsu seksnya pada
si perempuan. Pada kasus lain, seorang prajurit penjaga perdamaian NATO dicegat polisi
setempat ketika berusaha masuk ke daerah itu dengan membawa empat perempuan
Moldova dalam mobilnya. Ketika perempuan-perempuan itu diinterogasi IPTF, mereka
bilang mereka "dibawa menyeberang perbatasan secara ilegal, dijual, dan dipaksa
melacur." Beberapa hari kemudian, Bolkovac dicopot dari posisi garis depan dan dipindahkan
ke ruang teleks di suatu daerah di Sarajevo, jauh dari perempuan-perempuan
korban trafiking dan kerja sebagai penyelidik.
Atasannya, Mike Stiers, yang saat itu adalah wakil komisaris IPTF, menyatakan
bahwa Bolkovac dipindahkan karena tindakan tak profesionalnya dalam upaya membantu perempuan-perempuan korban trafiking. Selain
itu, menurut Stiers, Bolkovac telah lupa dengan tujuan utama IPTF - mengakhiri
kekerasan antar etnis yang mengancam perdamaian yang rapuh di negeri itu.
Stiers langsung berhadapan dengan Madeleine Rees, kepala kantor Komisi Tinggi
Hak Asasi Manusia PBB di Sarajevo. Rees, seorang pengacara dan aktivis hak asasi
manusia, menganggap bahwa tindakan terhadap Bolkovac itu keliru. "[Stiers]
bilang, 'Dia [Bolkovac] sudah kelewatan. Dia terlalu dekat dengan persoalannya.
Kami perlu pandangan yang lebih objektif.'" Rees membalas dengan menyatakan
bahwa Bolkovac adalah penyelidik jempolan yang hanya ingin menuntaskan sesuatu.
"Ketika dia mencoba menyampaikan isu tersebut kepada para atasan, dia tak
mendapat dukungan," kenang Rees. "Sikap yang berkembang adalah, Buat apa kamu
buang-buang waktu mengurusi pelacur?"


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak sampai setahun kemudian, Bolkovac dipecat karena tuduhan memalsukan absensi.
Kata sang opsir, tuduhan itu jelas-jelas tak benar; dia dihukum karena
melangkahi rantai komando. "Saya disingkirkan," Bolkovac bilang, "karena saya
berani bicara mengenai masalah itu."
Setelah meninggalkan Sarajevo, Bolkovac mencari bantuan hukum dan mengajukan
tuntutan terhadap DynCorp kepada suatu pengadilan ketenaga-kerjaan di
Southampton, Inggris. Bukti yang dibeberkan di sidang menyajikan gambaran buruk
atas orang-orang yang menurut Bolkovac dikirim ke Bosnia untuk menolong.
Bolkovac bersaksi bahwa "para korban trafiking melaporkan penggunaan bordil
secara ekstensif dan tindakan-tindakan kriminal lain oleh masyarakat
internasional dan satuan-satuan polisi internasional." Menurut pandangan
Bolkovac, alasan di balik pemecatannya jelas berhubungan dengan itu.
DynCorp bersikeras bahwa pemecatan Bolkovac tak berhubungan dengan emailnya.
Perusahaan tersebut juga menolak tuduhan menutup mata terhadap perilaku tercela
pegawainya. Malah DynCorp mengaku selalu
"bertindak cepat" apabila mengetahui adanya "kekeliruan moral yang dilakukan
opsir polisi AS." Dinyatakan bahwa pada November dan Desember 2000, setelah
tuduhan Bolkovac pertama kali tersiar, DynCorp telah memecat dua opsir karena
"terlibat prostitusi" dan satu opsir lain karena membeli korban trafiking dan
memaksa si korban hidup bersamanya untuk melayani kebutuhan seksualnya selama
enam bulan. Barangkali kesaksian paling memberatkan di sidang tersebut adalah penjabaran
mengenai bagaimana polisi internasional memandang perempuan korban trafiking.
Bolkovac mengatakan bahwa atasannya, Mike Stiers, seenaknya mengesampingkan
perempuan korban trafiking sebagai
"cuma pelacur", sehingga banyak petugas lain dalam misi yang percaya bahwa
mengunjungi bordil tempat perempuan-perempuan tersebut disekap itu
diperbolehkan. Bukti Bolkovac didukung oleh Madeleine Rees, yang menjelaskan
bagaimana para petugas yang bekerja di Bosnia menganggap penyidikan mengenai
penggunaan pelacur "membatasi kebebasan mereka".
Menurut Rees, "Mereka selalu menganggap perempuan korban trafiking sebagai
"pelacur yang ingin pulang kampung tanpa bayar" ... Saya mengetahui langsung
mengenai pendapat semacam itu karena mereka yang berjabatan tinggi pun bersikap
demikian." Rees menggemparkan pengadilan tersebut ketika bersaksi bahwa seorang pejabat
tinggi PBB pernah terlihat berada di bar salah satu bordil paling terkenal di
Bosnia. Dikatakannya bahwa salah seorang perempuan yang disekap di bordil itu
mengenali Dennis Laducer, seorang wakil komisaris IPTF yang berkebangsaan
Amerika Serikat, sebagai tamu di sana.
(Laducer kini tak lagi bekerja untuk organisasi tersebut; catatan pekerjaannya
menyatakan bahwa dia tak diperkenankan bekerja untuk Perserikatan Bangsa-bangsa
lagi.) Dengan berani Rees menuduh PBB gagal menindak stafnya yang melecehkan
perempuan. Bolkovac, yang dia katakan memiliki "integritas mutlak", adalah satu-
satunya orang yang berani menghadapi masalah itu. "Saya tak ragu bahwa Kathy
[Bolkovac] disingkirkan dari misi karena dia berusaha menangani masalah trafiking,"
kata Rees di hadapan pengadilan.
Pengadilan sepakat. Dalam putusan dua puluh satu halaman yang telak,
dinyatakanlah bahwa Bolkovac dipecat secara tidak adil. Ketua majelis hakim
Charles Twiss menyimpulkan bahwa "tak diragukan sama sekali bahwa alasan
pemecatan Bolkovac adalah karena dia telah membuka rahasia yang ditutup-tutupi"
ketika dia mengirim emailnya.
Bolkovac bukan satusatunya orang yang pernah menabrak "dinding biru", dan di
Bosnia pun tak hanya dia yang menemukan hambatan ketika menyelidiki perilaku
polisi internasional. David Lamb, mantan opsir polisi dari Philadelphia, juga
pernah bekerja untuk DynCorp, kontrak tiga tahun di IPTF di BosniaHerzegovina.
Pada Februari 2001 dia menjadi penyelidik kasus terkait hak asasi manusia di
Bosnia tengah. Dalam satu penyelidikan, Lamb bertemu sekelompok perempuan korban
trafiking yang diselamatkan dalam suatu razia. Mereka menceritakan bagaimana
seorang opsir IPTF dari Romania dan istrinya terlibat langsung perekrutan dan
penjualan perempuan ke satu bordil di kota Zvornik, Bosnia. Seperti Bolkovac,
Lamb mencari tahu lebih banyak, dan seperti Bolkovac, Lamb juga kaget dengan apa
yang dia temukan. Dalam beberapa minggu, penyelidikan Lamb telah mengumpulkan bukti yang lebih
daripada cukup untuk mendukung penyelidikan kriminal serius. Dia menemukan bahwa
anggota-anggota IPTF terlibat langsung memaksa gadis-gadis melacur. Dalam satu
kasus, dua polisi IPTF dari Romania katanya merekrut perempuan-perempuan
Romania. Kedua polisi membeli dokumen-dokumen palsu, menyelundupkan perempuan-
perempuan itu ke Bosnia, dan menjual mereka ke para pemilik bar setempat untuk
dijadikan pelacur. Jalan ceritanya - yang awalnya mirip dengan kisah Bolkovac - sepertinya akan
berulang, tapi kali itu tim Lamb terang-terangan diperingatkan supaya tak
mengorek terlalu dalam. Bahkan seorang petugas senior IPTF pernah memerintahkan
mereka menghentikan seluruh penyelidikan mereka. Pada kesempatan lain, mereka
didatangi rekan-rekannya dan diancam dengan kekerasan fisik kalau masih berani
melanjutkan. Pablo Bradie, opsir polisi dan Argentina yang ditugaskan dalam tim
penyelidik Lamb, menjabarkan suatu memo internal bertanggal 15 Maret 2001
mengenai bagaimana seorang opsir IPTF dari Romania mengaku membeli dokumen
perjalanan untuk dua perempuan. Pada saat itu juga, opsir tersebut mengancam
Bradie: "Segera hentikan segala perbuatan kalian terhadap opsir-opsir Romania.
Jangan cari gara-gara denganku, atau dengan rekan-rekanku ... Aku tak akan
Dedemit Bukit Iblis 1 Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti Pendekar Jembel 8
^