Pencarian

Natasha 4

Natasha Karya Viktor Malarek Bagian 4


bicara lagi, tapi kamu bisa tebak apa yang mungkin terjadi."
Lamb menolak menyerah. Sepuluh hari kemudian dia mengirim email ke komandan
IPTF, menunjuk lima opsir polisi PBB yang "terkait tuduhan keterlibatan dalam
prostitusi dan trafiking perempuan." Di dalamnya, dia menunjukkan bahwa tiap
kali penyelidikan menunjukkan keterlibatan orang PBB, dukungan dari markas PBB
tahu-tahu lenyap. Tapi tidak hanya itu.
"Selama berjalannya penyelidikan oleh kantor saya terhadap keterlibatan personil
PBB dalam trafiking perempuan, saya dan para penyelidik saya menghadapi upaya
menutup-nutupi yang luar biasa, yang terkesan menyebar hingga tingkat tertinggi
di markas besar PBB."
Masa kerja Lamb di IPTF berakhir pada April 2001. Tak ada upaya untuk
memperpanjang kontraknya, dan Lamb pun terpaksa pulang ke Philadelphia. Tugas
penyelidikan dialihkan kepada Rosario Ioanna, anggota ITPF asal Kanada. Ioanna
meneruskan pekerjaan yang ditinggal Lamb, menyusun daftar sekitar selusin opsir
asal Romania yang dkatakan sering mengunjungi bordil. Tapi Ioanna juga mesti
berjuang keras: menurut suatu laporan rahasia yang disusun tim penyelidik Seksi
Urusan Internal PBB, opsir-opsir Romania berupaya menghambat penyelidikan Ioanna
dengan mencoba mengeluarkan empat perempuan korban trafiking dari tahanan polisi
dan mengintimidasi mereka ketika interogasi. Seperti Lamb, Ioanna pun jadi tahu
bahwa sebagian opsir tak hanya mengunjungi bordil. Misalnya, satu opsir polisi
Romania dihadiahi traktor untuk dipakai di pertanian keluarganya di kampung
halamannya. Sebagai balasannya, dia menggunakan informasi internal untuk memberi
tahu para pemilik bordil mengenai rencana razia.
Saat itu misi PBB telah mengerti bahwa sedang ada masalah besar.
Dalam delapan belas bulan, penyelidik-penyelidik IPTF telah menyoroti
keterlibatan polisi dalam prostitusi dan trafiking. Sebagian pejabat tinggi PBB
mulai mendesak agar diadakan penyelidikan independen, di antaranya Mary
Robinson, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia di Jenewa.
Menanggapi desakan Robinson, Kantor Pengawasan Internal PBB (UN Office of
Internal Oversight, OIO) mengirim dua penyelidik dari New York untuk melakukan
pengusutan awal. Para penyelidik tiba di BosniaHerzegovina pada 26 Juni 2001,
dan tak sampai dua minggu kemudian mereka sudah melaporkan hasil temuan mereka.
Fred Eckhard, juru bicara utama PBB, menyatakan, "Mereka tak menemukan bukti apa
pun mengenai keterlibatan sistematis atau terorganisasi dalam trafiking
manusia." Tapi Eckhard mengakui bahwa orang-orang OIO telah memberi sejumlah
rekomendasi mengenai "bagaimana polisi PBB bisa memperkuat perannya dalam
memerangi trafiking manusia."
Pengumuman itu mengejutkan sebagian besar pengamat hak asasi manusia yang berada
di Bosnia. Madeleine Rees gusar. Dia tak habis pikir bagaimana para penyelidik
OIO bisa menyimpulkan demikian dengan begitu cepat dan tegas, mengingat "mereka
keluar dari gedung PBB di Sarajevo saja tidak pernah ... Mereka bilang punya
akses penuh atas segala dokumen. Tapi dalam dokumen-dokumen itu tak ada apa
apa." Mereka tidak menghubungi para penyelidik IPTF yang telah menyerukan
keprihatinan - seperti Bolkovac dan Lamb. Mereka tidak mewawancarai seorang pun
perempuan korban trafiking yang sudah diselamatkan, yang pertama kali mengajukan
tuduhan. Mereka tidak berbicara dengan seorang pun opsir polisi internasional
yang telah dituduh terlibat trafiking perempuan, dan mereka bahkan tidak membaca
apa yang belakangan dijabarkan Rees sebagai laporan internal amat penting yang
telah disiapkan Seksi Urusan Internal kantor PBB di Sarajevo:
Saya pernah melihat laporan itu. Isinya tentang pelanggaran-pelanggaran serius
yang perlu diusut. Laporan itu menyatakan ketidakpercayaan serius terhadap delegasi PBB di sini dan
berisi tuduhan terhadap seorang polisi IPTF
asal Romania dan istrinya yang katanya membuka usaha bordil di sini.
Ketika laporan itu ditunjukkan kepada para penyelidik, mereka bilang wewenang
mereka adalah untuk menentukan apakah telah terjadi penganiayaan sistematis yang
tersebar luas, dan untuk melakukan itu, mereka sudah punya semua informasi yang
mereka perlukan untuk penyelidikan yang layak dan menyeluruh.
Jadi, mengapa laporan buatan PBB sendiri pun diabaikan" Barangkali jawabannya
terletak pada tujuan para penyelidik OIO. Ketika menyelidik, mereka berbicara
dengan Rees: "Mereka bilang mereka ada di sini untuk membuktikan kekeliruan
tuduhan Kathryn Bolkovac."
Bagi Jacques Klein, ketua misi PBB di Bosnia, kesimpulan OIO adalah dasar yang
jelas. Tapi kesimpulan tersebut kurang meyakinkan, dan kata
"menutup-nutupi" mulai bergema di seantero misi PBB. Klein menanggapi dengan
mengeluarkan siaran pers yang memamerkan kesuksesannya.
Pertama, dia membangga-banggakan penerapan "kebijakan tanpa toleransi terhadap
pelanggaran yang bersifat seksual atau pelanggaran serius lain".
Dia lantas mengakui bahwa pada beberapa kesempatan, petugaspetugas yang bersalah
telah dipulangkan: "Sanksi terberat terhadap pelanggar adalah pemecatan dan PBB
dan pemulangan ke negara asal .... Sudah 24
opsir polisi internasional yang mengalaminya, termasuk di antaranya delapan yang
berkebangsaan Amerika Serikat." Tapi pengakuan tersebut diperlemah dengan pujian
hangat kepada 10.000 opsir polisi yang sudah bekerja untuk IPTF semenjak 1996:
"Sebagian besar telah bekerja secara amat profesional serta menjadi kebanggaan
negara-negara asal mereka dan Amerika Serikat."
Namun, Klein tak banyak bicara mengenai permasalahan intinya:
"Saya jamin bahwa sepanjang masa jabatan saya di sini, tidak pernah terjadi
upaya menutup-nutupi." Dia menengaskan bahwa tuduhan terhadap DynCOrp dan opsir-
opsir IPTF dari Amerika tidak hanya telah diusut OIO, tapi juga telah diselidiki
Departemen Luar Negeri AS. "Semuanya mencapai kesimpulan yang sama,"
dinyatakannya, "yakni bahwa segala tuduhan tersebut tak berdasar."
Lalu tibalah kesimpulannya. Klein mengeluhkan bahwa pandangan negatif terhadap
pasukan penjaga perdamaian PBB mengganggu penuntasan masalah yang terpenting.
"Sorotan yang tak adil serta tak layak ter hadap pasukan penjaga perdamaian PBB
membuat perhatian teralih dari mereka yang benar-benar bertanggung jawab atas
trafiking. Sasaran upaya kita se harusnya adalah para pejabat pemerintah yang
korup serta anggota-anggota organisasi kejahatan yang melakukan dan menyuburkan
tindak kejahatan tersebut."
Tak diragukan lagi, cara berpikir semacam itulah yang berada di balik suatu
insiden yang terjadi hanya setahun sebelumnya, ketika suatu penggerebekan
terhadap tiga bordil di kota Prijedor di Bosnia utara berubah dari upaya
penyelamatan yang mulia menjadi kejadian yang mencoreng arang di muka PBB.
KARENA IPTF masih goncang akibat email sengit Bolkovac dan pasukannya dibayangi
awan hitam kecurigaan, PBB merasa perlu menunjukkan keseriusannya menangani
trafiking. Solusinya: penggerebekan besar-besaran. Pada 13 November 2000, IPTF
menggerebek tiga klub di Prijedor.
Bar-bar tersebut, yang diketahui menampung perempuan korban trafiking, bernama
Crazy Horse 1, Crazy Horse 2, dan Masquerade. Dua hari kemudian PBB mengumumkan
keberhasilannya dalam siaran pers: "Ini merupakan tindakan polisi paling
signifikan selama ini yang dilakukan kepolisian BosniaHerzegovina untuk
menangani masalah serius trafiking manusia dan pelacuran paksa." Tiga puluh tiga
perempuan yang diselamatkan dari klub-klub itu adalah "korban trafiking manusia
untuk dilacurkan secara paksa."
Perempuan-perempuan itu berasal dari Romania, Moldova, Rusia, dan Ukraina.
Beberapa dipercaya baru berumur empat belas tahun.
Seminggu kemudian, setelah segala ucapan selamat, penggerebekan tersebut jadi
berita lagi. Tapi kali ini pemeran utamanya bukan lagi IPTF, melainkan pemilik
ketiga bar itu, Miorad Milakovic, yang ditangkap pada saat penggerebekan dan
didakwa memaksa perempuan melacur. Milakovic memutuskan membuat konferensi pers
sendiri di pinggir kota Banjaluka, tak jauh dari Prijedor. Banjaluka punya
kantor pers, tapi Milakovic menggelar acaranya di pinggir jalan tanah.
Alasannya, katanya kepada para pemburu berita yang berkumpul di sana, polisi
setempat melarangnya masuk kota.
Konferensi pers itu sendiri sungguh janggal. Beberapa Laki-laki bertampang
preman dalam jaket kulit hitam mondar-mandir di jalan. Mereka membawa poster dan
spanduk buatan sendiri sehingga acara itu malah jadi kelihatan seperti unjuk
rasa. Satu poster ditujukan kepada polisi internasional - berisi pesan blakblakan
"IPTF PULANG SANA". Yang lain sampai menyebut nama seorang polisi: "DAVID BUKAN
PENJAGA PERDAMAIAN, TAPI BAJINGAN CABUL."
Milakovic, seorang mantan polisi, berdiri sok gagah di tengah semua itu, diapit
istri dan putranya, bersama dua "penari" dan klub-klubnya yang bernama Knstina
dan Lujz. Dengan gusar, ia mulai mengomel. Pertama-tama, Milakovic menyerang
IPTF, menyatakan bahwa enam opsir IPTF
adalah langganan di bar-barnya, dan sebagian di antara mereka termasuk dalam
satuan yang menggerebek pada minggu sebelumnya. Tapi tidak hanya itu. Menurut si
pengusaha, penggerebekan itu bukan "penyelamatan"
tapi malah pembalasan. Lantas Milakovic menjatuhkan bom. Dia mengaku telah diminta menyogok opsir-opsir
IPF tertentu senilai $ 10.000, dan ketika dia menolak membayar, bar-barnya
digerebek sebagai pembalasan. Dia menyebut nama satu opsir-"David" yang namanya
ada di poster unjuk rasa yang dibawa para preman. David tidak hanya meminta uang
keamanan bulanan, tapi juga seks gratis dari para penarinya. Milakovic mengaku
dia punya rekaman video dan saksi mata yang mendukung katakatanya.
Para pejabat PBB di Sarajevo menganggap Milakovic orang sinting yang ingin balas
dendam ... tapi tuduhan-tuduhannya, yang memang parah, tak pernah benar-benar
disangkal. Hari berikutnya, berita buruk makin banyak timbul ketika "berita baik"
mengenai penggerebekan disorot lagi. Walau siaran pers resmi PBB
menyatakan bahwa penggerebekan dilakukan kepolisian lokal Prijedor dengan
pengawasan anggota-anggota IPTF, seorang pejabat tinggi pemerintah Bosnia lantas
menunjukkan bahwa penggerebekan itu tak melibatkan polisi lokal sama sekali.
Siratannya jelas: bukannya mengawasi, IPTF malah mengatur dan melakukan sendiri
penggerebekan tersebut. Itu bertentangan langsung dengan wewenang IPTF - membantu
dan mengawasi - dan melanggar prosedur dan aturan PBB, yang menyatakan bahwa
segala penggerebekan harus dilakukan polisi setempat.
Para wartawan menduga ada sesuatu yang tidak beres dan langsung memburu Alun
Roberts, juru bicara resmi IPTF di Banjaluka. Selama dua hari Roberts raib.
Ketika dia akhirnya muncul, Roberts dicecar banyak pertanyaan yang semuanya
dijawab "No comment." Dia menolak membenarkan atau menyangkal keberadaan
"David". Tapi, para wartawan tidak perlu waktu lama untuk melacak siapa sebenarnya David.
Menurut sumber-sumber polisi PBB, David bukan komandan, hanya petugas polisi
IPTF biasa. Dia keturunan Irlandia dan berkebangsaan Inggris atau Amerika. Konon
dia suka perempuan cantik, minuman keras, dan berkelahi. Setelah skandal
tersiar, David menghilang dari Prijedor dan tak lama kemudian meninggalkan
Bosnia. Beberapa polisi IPTF lain yang terlibat penggerebekan juga buru-buru
pergi. Pada akhir November, Alun Roberts tampil lagi dan membaca pernyataan yang
disusun dengan hati-hati. Walau tak menyebut nama, Roberts menyatakan bahwa
sejumlah opsir telah dipulangkan. "Enam orang dipulangkan karena bertindak
melampaui wewenangnya sebagai polisi PBB dan ... perilaku tercela serta
pelanggaran terhadap tata tertib misi PBB."
Madeleine Rees tak ragu bahwa "perilaku tercela" tersebut adalah mendatangi
bordil. Rees sendiri telah mewawancarai tiga puluh tiga perempuan yang
diselamatkan dari klub-klub setelah penggerebekan.
Mereka mengaku "sering" berhubungan seks dengan polisi IPTF.
Dan, setelah enam opsir yang dipulangkan bisa lolos begitu saja, Milakovic juga
tidak dihukum. Beberapa minggu setelah penggerebekan, dia sudah menjalankan
bisnisnya lagi. KETIKA MISI PBB di Sarajevo bersusah payah mencoba menghilangkan noda, skandal
trafiking seks lain terungkap di Bosnia, kali ini melibatkan warga sipil dalam
upaya penjagaan perdamaian. Kontroversinya melibatkan para pekerja Amerika yang
disewa DynCorp untuk memperbaiki helikopter-helikopter Apache dan Black Hawk di
pangkalan militer AS dekat kota Tuzla di Bosnia utara. Skandal tersebut belum
terungkap sampai setahun sesudahnya, tepatnya Juni 2000, setelah DynCorp memecat
lagi satu stafnya. Dua bulan sesudahnya, di Fort Worth, Texas, montir pesawat
Benjamin Johnston memperkarakan DynCorp.
Johnston mengaku dipecat karena membeberkan kegiatan malam sebagian rekan-
rekannya yang sesama orang Amerika. Menurut dokumen tuntutan tersebut, Johnston
menyaksikan rekan-rekan kerja dan atasan-atasannya "berjual beli perempuan untuk
kepentingan mereka sendiri," dan beberapa di antara mereka malah saling
menyombongkan "umur dan keahlian budak-budak seks yang mereka beli." Alasan
utama pemecatannya, menurut Johnston, adalah "mempertahankan status guo DynCorp
di Bosnia" dan "melindungi jual-beli perempuan, anak perempuan di bawah umur, senjata api,
paspor palsu, dan kunjungan ke tempat pelacuran."
Selagi Johnston dan tim penasihat hukumnya bersiap memasuki ruang sidang pada
hari persidangan pertama, awal Agustus 2002, DynCorp diam-diam menyelesaikan
perkara tersebut dengan kompromi.
Saya sempat berbicara dengan Johnston di rumahnya di Lubbock, Texas sebelum
kompromi. Dia masih kaget dan risau akibat apa yang disaksikannya di Bosnia, dan
bercerita banyak mengenainya.
Dia tadinya bertugas di Ilhsheim, Jerman, sebagai tentara AS, ketika didekati
seorang perekrut DynCorp. Si perekrut menjelaskan kesempatan berkarier di
perusahaannya, termasuk juga peluang membantu misi penjaga perdamaian di luar
negeri. Tawarannya menggiurkan. Jadi, pada awal 1999
Johnston berhenti secara baik-baik dan pada hari yang sama langsung diterima
bekerja pada DynCorp di Bosnia. Dia dikirim ke Pangkalan Comanche di luar kota
Tuzla, bertugas di bagian perawatan wahana udara militer. Dalam beberapa bulan,
Johnston, orang Texas bertubuh bongsor dengan tinggi badan hampir dua meter,
menemukan tren yang meresahkan.
"Aku sering lihat gadis-gadis amat muda berjalan-jalan di kota bersama rekan-
rekan kerjaku yang lebih tua," kenang Johnston. "Rekan-rekanku menggerayangi
gadis-gadis itu .... Semua orang di hangar suka ngomong, "Aku punya gadis ini
dan itu." Pertamanya aku tak tahu bahwa gadis-gadis itu budak belian, tapi lama-
lama aku tahu." Suara Johnston berubah menjadi bernada marah selagi mengingat-
ingat satu peristiwa yang amat menggusarkan.
Kami menyelenggarakan pesta Natal dan ada budak-budak seks di sana. Satu orang
membawa tiga cewek ke pesta. Satu cewek menyuapinya, satu menuangkan minuman
untuknya, dan satu lagi menyalakan rokoknya. Dia minta semua orang memanggilnya
Pimp Daddy. Sebetulnya dia punya saham di suatu bordil bernama Atlantis, dan dia
sering membual akan pergi ke Serbia untuk mencari perempuan.
Mereka suka bilang, "Aku mau ke Serbia akhir minggu nanti untuk mengambil tiga
cewek." Mereka bicara seolah-olah itu keren, lalu menyombongkan mengenai berapa
yang mereka bayar untuk gadis-gadis itu - biasanya antara $600 dan $800. Makin
lama mereka makin parah. Mereka cerita bahwa mereka mengunci gadis-gadis di
apartemen kalau mereka sedang pergi kerja supaya gadis-gadis itu tak bisa kabur.
Lalu pada satu hari kudengar seorang pegawai DynCorp sesumbar bahwa gadisnya
baru berumur dua belas. Johnston mendekati orang-orang itu dan memberi tahu mereka bahwa yang mereka
perbuat itu "salah". Mereka mengabaikannya, jadi Johnston lantas menghadap
bosnya, manajer cabang DynCorp, John Hirtz. "Dia minta supaya aku jangan ambil
pusing. Katanya, 'Kamu enggak bisa mengontrol apa yang dilakukan orang-orang
Amerika di luar waktu kerja.' Dia menyuruhku jangan ikut campur urusan orang
lain .... Pada saat itu, aku belum tahu bahwa dia juga sudah banyak terlibat juga."
Dengan mencari tahu ke sana-sini, si mantan tentara mendapati bahwa gadis-gadis
itu diselundupkan ke Bosnia dan Eropa Timur oleh Mafia Serbia. Gadis-gadis itu
dibeli dan dijual, lengkap dengan paspor palsu, oleh sebagian rekan kerja dan
atasannya seharga $1.000 sampai $1.500. Para pegawai DynCorp mengurung
perempuan-perempuan yang mereka beli untuk dijadikan budak seks dalam apartemen
mereka. "Ada satu orang, yang berat tubuhnya kira-kira 180 kilogram, gembrot sekali
pokoknya," kata Johnston. "Dia punya gadis yang boleh dibilang masih bocah, dan
hancur hati ini rasanya melihat bocah lima belas tahun dengan laki-laki semacam
itu ... Bisa kelihatan di muka gadis itu - dia seperti ingin mati saja." Pada
satu kesempatan, Johnston dan istrinya mengundang seorang rekan kerja untuk
makan malam di rumahnya. "Umurnya sudah enam puluh, tapi dia datang membawa gadis ingusan berumur empat
belas. Istriku miris melihatnya."
Walaupun telah berkali-kali disuruh tidak ikut campur, Johnston tetap
menyuarakan keprihatinannya kepada manajemen. Tapi "semuanya adalah anggota Klub
Cowok Bosnia DynCorp," dan tak lama kemudian Johnston dikucilkan. "Orang-orang
tak mau lagi bicara padaku. Aku dikucilkan, dimusuhi. Aku satu dari segelintir
orang yang punya lisensi montir pesawat di sana, yang berpengalaman dan
terlatih. Tapi aku cuma ditugasi mencuci pesawat karena bukan anggota klub."
Gusar dan frustrasi karena tak bisa membuat mana jemen DynCorp menindak pegawai-
pegawainya yang melakukan perbuatan tercela, Johnston mengadu kepada Criminal
Investigation Division (CID), Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Johnston dan


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istrinya, Denisa, langsung diberi pengawalan untuk melindungi mereka dari
ancaman pembalasan Mafia Serbia dan pegawai DynCorp. Selama penyidikan, Johnston
bekerja sama dengan CID, walaupun tindakan itu berisiko bagi dirinya. "Saya
berkeliling bersama para penyelidik CID, menunjukkan rumah semua orang yang
membeli perempuan, dan memperlihatkan mobil-mobil van DynCorp yang diparkir di
luar pelacuran semalaman."
Pada awal 2000, CID dengan didukung polisi militer menggerebek hangar DynCorp.
Bukti yang disita mencakup satu video porno yang diserahkan kepada para
penyelidik oleh Kevin Werner, seorang pegawai DynCorp.
Di bawah sumpah, Werner mengakui membeli seorang perempuan Romania untuk
"menyelamatkannya" dari pelacuran. Werner juga menunjuk pegawai-pegawai DynCorp
lain yang telah membeli perempuan. Bukti paling memberatkan adalah video porno
tersebut, yang menampilkan penyelia cabang DynCorp, John Hirtz. Video amatir itu
merekam Hirtz yang sedang berasyik-masyuk dengan dua perempuan korban trafiking.
Salah seorang perempuan itu jelas-jelas menolak, tapi Hirtz tak mau ditolak.
Yang membuat video itu adalah Hirtz, tapi Werner diam-diam membuat salinannya
untuk jaminan. "Saya beri tahu Hirtz bahwa saya punya salinannya dan saya hanya
ingin diperlakukan adil. Kalau saya nantinya dipecat atau dikeluarkan, saya
harap itu karena prestasi kerja saya, bukan karena dia sebal terhadap saya."
Para penyeidik CID lantas menggarap Hirtz, yang pertama kali menyuruh Johnston
jangan ikut campur. Menurut transkrip interogasi, penyelidik menanyai Hirtz
apakah dia memang benar berhubungan seks dengan perempuan di video itu.
"Ya," jawab Hirtz.
"Apakah Anda berhubungan seks dengan perempuan itu setelah dia bilang tidak
kepada Anda?" "Saya tidak ingat dia bilang begitu. Rasanya bukan dia yang bilang tidak."
"Lalu menurut Anda siapa yang bilang tidak?"
"Saya tidak tahu."
Si penyelidik memutar kembali video itu.
"Menurut apa yang sedang Anda saksikan pada video yang diputar, di mana Anda
sedang berhubungan seks dengan perempuan itu, apakah Anda berhubungan seks
dengan perempuan itu setelah dia bilang tidak kepada Anda?" si penyelidik
bertanya lagi. "Ya," jawab si manajer DynCorp.
"Apakah Anda tahu sedang direkam dengan kamera video?"
"Ya. Saya sendiri yang menyiapkannya," Hirtz mengakui.
"Apakah Anda tahu bahwa memaksakan kehendak terhadap orang lain tanpa
persetujuan mereka itu salah?"
"Va," kata Hirtz.
Meskipun sudah ada pengakuan dan bukti yang memberatkannya, tak ada tindakan
yang dilakukan. Malah, tak satu pun orang yang membeli perempuan yang dijatuhi
sanksi hukum apa pun. Pada akhir Juni 2001, CID
menutup kasus tersebut begitu saja.
Akan tetapi, DynCorp memecat tiga pegawainya - Hirtz, Werner, dan anehnya
Johnston. Surat pemutusan hubungan kerja Johnston menyatakan bahwa dia
diberhentikan karena "mendiskreditkan perusahaan dan Angkatan Bersenjata AS."
Delapan bulan kemudian, dalam tanggapan atas tuntutan Johnston terhadap DynCorp,
Jonathan Lyons, penyelia DynCorp yang menandatangani surat pemutusan hubungan
kerja tersebut bersaksi bahwa Johnston dibebas tugaskan karena tuduhan-tuduhan
tak berdasar yang disampaikannya kepada CID mengenai rekan-rekan kerjanya.
Juru bicara Charlene A. Wheeless yang membela DynCorp menyatakan bahwa mencemari
reputasi perusahaan karena "perilaku tercela" beberapa pegawai itu tak adil.
Wheeless bersikeras menyangkal segala tuduhan, baik yang terkait dengan
aktivitas di Bosnia maupun pemecatan Johnston yang diduga bermasalah:
Pendapat bahwa perusahaan seperti DynCorp kiranya menutup mata terhadap perilaku
ilegal tidaklah terbayangkan. DynCorp berpegang kepada nilainilai yang telah
menjadi tulang punggung perusahaan kami selama lima puluh lima tahun terakhir,
yang telah membantu kami menjadi salah satu perusahaan jasa profesional dan
outsourcing paling besar dan paling terhormat di dunia. Kami menegaskan
bahwa ... kami menganggap serius masalah etika.
DynCorp tetap pada keputusannya memecat Ben Johnston, yang pemecatannya
beralasan. Dapat dimengerti kalau Johnston kaget saat melihat jadi seperti apa keadaannya.
Mereka terus mencemarkan namaku semenjak tahu aku membeberkan kebusukan. DynCorp
membuat seolah-olah yang berbuat jahat cuma satu dua oknum, tapi sebenarnya
bukan seperti itu kejadiannya. Di sana orang bercanda bahwa kami tidak bakal
bermasalah. Ada kekebalan diplomatis dan kami bebas melakukan apa saja, dan
memang itulah yang mereka lakukan.
Ada sekitar empat puluh pegawai di pangkalan itu dan kira-kira 75 persennya
terlibat ... Mereka tahu bahwa perempuan-perempuan itu adalah korban trafiking.
Mereka kok malah bangga bisa membeli korban trafiking. Aku tak tahu dan mana
DynCorp bisa menemukan sebegitu banyak manusia bejat. Orang-orang itu adalah
diplomat-diplomat terburuk yang bisa dikirim Amerika ke luar negeri.
Dengan suara tercekat karena terbawa emosi, Johnston mengingat seperti apa
suasananya ketika orang-orang Amerika pertama kali datang di Bosnia. "Rakyat
Bosnia senang sekali melihat kami. Lalu rakyat Bosnia melihat kelakuan kami dan
bertanya padaku, "Apa semua orang Amerika seperti itu" Apa orang Amerika suka
membeli perempuan?" Mereka tak percaya bahwa di Amerika tidak semua kota punya
bordil. Kubilang bukan seperti itu keadaannya. "Mereka pikir akulah yang tidak
biasa." PADA 24 April 2002 David Lamb duduk di hadapan para anggota Komisi Hubungan
Internasional Kongres Amerika Serikat. Dengan nada terkendali dia memulai
kesaksiannya, menceritakan apa yang dia dapati sebagai penyelidik hak asasi
manusia di Bosnia. "Keterlibatan anggota-anggota pasukan penjaga perdamaian dalam perdagangan budak
seks di Bosnia merupakan masalah yang serius dan tersebar luas. Tepatnya,
perdagangan budak seks di Bosnia justru ada karena adanya operasi penjaga
perdamaian PBB. Tanpa keberadaan pasukan penjaga perdamaian, kiranya hanya ada
sedikit atau malah tak ada pelacuran paksa di Bosnia." Lamb juga menunjukkan
bahwa perempuan-perempuan dalam bisnis seks adalah warga asing, sebagian besar
dari Romania, Moldova, dan Ukraina, yang dibawa ke kawasan tersebut untuk
menyediakan jasa kepada klien-klien yang bersedia membayar, "yang sebagian
besarnya terdiri dari pekerja asing dan anggota pasukan penjaga perdamaian."
Di Bosnia, katanya, trafiking dan prostitusi paksa tak terpisah dari bisnis
prostitusi 'sah'; semuanya sama saja. Akibatnya, "siapa pun yang mendukung
prostitusi di Bosnia berarti mendukung perdagangan budak seks. Fakta tersebut
tak diakui atau diabaikan oleh banyak tentara penjaga perdamaian PBB yang
terlibat prostitusi di Bosnia. Yang lainnya terlibat langsung dalam perdagangan
budak seks, bermitra dengan kejahatan terorganisasi."
Dalam ruangan komisi yang hening itu Lamb menyatakan bahwa para bos kejahatan
terorganisasi yang mengendalikan bisnis prostitusi dan trafiking di Bosnia,
"sebagian besar mendapat posisinya karena telah menjadi komandan militer atau
milisi yang agresif dan zalim ketika perang."
Organisasi-organisasi tersebut, kata Lamb, merupakan "kekuatan utama di Bosnia,
mengendalikan dan menyusup dalam segala tingkat sistem politis dan peradilan."
Secara blak-blakan Lamb mengecam misi PBB: "Operasi penjaga perdamaian PBB tidak
mampu menghadapi masalah kejahatan terorganisasi di Bosnia, dan sistem peradilan
Bosnia masih belum berfungsi pada kadar yang diperlukan untuk mengatasi masalah
tersebut." Ditambahkannya bahwa PBB selama ini pasif dan lambat dalam
menggunakan wewenangnya. "PBB malah cenderung menerapkan kebijakan 'yang tidak terlihat, tidak
diperhatikan.'" Lalu Lamb beralih kepada tanggung jawab negara-negara yang menugaskan opsir-
opsir polisi untuk IPTF. Walau pemerintah negara-negara tersebut tak berperan
langsung dalam kerja misi PBB, mereka punya kekuasaan atas aktivitas
kontingennya, dan "berdasarkan alasan tersebut, Departemen Luar Negeri AS harus
ikut bertanggung jawab atas perilaku tercela personil dan AS." Namun departemen
tersebut "sengaja menjaga jarak dengan anggota IPTF asal AS dengan menunjuk
DynCorp sebagai perantara" dan "tak berupaya mencari tahu mengenai aktivitas
opsir-opsir IPTF asal AS yang bertindak sebagai perwakilan dan duta Amerika
Serikat." Lamp menyimpulkan bahwa "bagi misi PBB tak ada masalah yang lebih besar"
daripada masalah perdagangan seks di Bosnia, sambil menambahkan bahwa "kebijakan
menutup-nutupi" PBB "merusak citra PBB, terutama di mata rakyat Bosnia." Kata-
kata Lamb bergema dalam ruangan komisi, membebani benak mereka yang percaya PBB
bisa membuat perbedaan. "Aktivitas tercela personil PBB sudah bukan rahasia bagi rakyat Bosnia dan
banyak di antara rakyat Bosnia yang menganggap PBB munafik serta tak layak
memerintah mereka. Rakyat Bosnia menerima kehadiran PBB karena piihan lainnya
lebih buruk, namun PBB telah mengecewakan mereka."
SIKAP LEPAS tangan PBB sungguh menghebohkan. PBB perlu mengakui masalahnya dan
melakukan tindakan tegas tanpa pandang bulu. Orang-orang tersebut - para "penjaga
perdamaian" - membuat perempuan-perempuan yang sudah jadi korban makin tersiksa
dan merana. Ironinya belum berakhir di sana. Para pekerja sosial yang ditugaskan
membantu justru menggunakan uang gaji mereka untuk membeli manusia lain. Mereka
membeli dan menyekap perempuan di apartemen untuk kesenangan mereka sendiri. PBB
harus memperlakukan tindakan tersebut sebagaimana adanya: sebagai penyalahgunaan
wewenang. Kejahatan tersebut harus dihentikan.
TAMBAHAN Pada Januari 2003, satuan polisi Uni Eropa (UE) berkekuatan 500 orang
menggantikan satuan polisi multinasional PBB, International Police Task Force,
yang beranggotakan 1.800 orang. Salah satu tindakan hubungan masyarakat pertama
polisi Uni Eropa adalah mengumumkan dibentuknya tim antitrafiking. Polisi UE
langsung melaksanakan sejumlah penggerebekan terhadap klub-klub malam dan
bordil-bordil. Madeleine Rees menganggap operasi-operasi tersebut sebagai
kegagalan. "Penggerekan mereka hanya untuk pamer saja dan benar-benar dilakukan
secara amatir." Tapi, empat bulan kemudian, pada 8 Mei, satuan antitrafiking berhasil memperoleh
nama baik ketika menggerebek satu klub malam dan hotel di kota Prijedor yang
dimiliki Miorad Milakovic dan tiga temannya. Misi polisi UE
di Sarajevo dengan bangga mengumumkan bahwa mereka telah menggulung komplotan
trafiking besar dengan sampai 200 "korban yang telah mengalami trauma dan
teraniaya." Di Masquerade, klub malam merangkap bordil, polisi menemukan enam
gadis dari Romania dan Moldova yang disekap dalam kamar dengan jendela berjeruji
besi. Menurut juru bicara misi polisi UE Jon Oscar Solnes, "Bukti yang dikumpulkan
benar-benar menunjukkan bahwa kami telah menyaksikan pukulan terberat terhadap
tindakan kriminal paling meresahkan di Bosnia Herzegovina." Operasi tersebut,
katanya, "mungkin akan menjadi titik awal pemberantasan salah satu komplotan
trafiking manusia terbesar di Eropa."
9 siapkan pistolmu Karena diplomat-diplomat Departemen
Luar Negeri [AS] segan menunjukkan
kebenaran tanpa basabasi pada negara
negara asing, Badan Pemberantasan
Trafiking telah menjadi Badan
Penyembunyian Trafiking. - GARY HAUGEN, Presiden International Justice Mission SELAMA SATU dasawarsa lebih para pemimpin dunia telah berkoar-koar - bahkan sampai
bersumpah - akan melakukan tindakan tegas untuk menghentikan kejahatan seksual
yang dilakukan tiap hari terhadap kaum perempuan. Kejahatan-kejahatan tersebut
telah terus berlangsung tanpa ada tanda-tanda akan reda. Yang kelihatannya belum
ada adalah seorang sheriff tanpa kompromi, dengan tindakan nyata - individu, atau
sebaiknya suatu negara yang berpengaruh dan berkuasa - yang datang untuk
membereskan segala hal, dengan tegas dan tuntas.
Pada akhir 1990an, beberapa anggota Kongres AS yang gusar memutuskan bahwa
pemerintah Amerika Serikat harus berperan sebagai sheriff dunia dan menindak
negara-negara yang terlibat trafiking seks dan perbudakan paksa. Victims of
Trafficking and Violence Protection Act yang disahkan pada Oktober 2000,
dipelopori Anggota Kongres AS Christopher Smith, dielu-elukan sebagai pertanda
adanya harapan. AS akan menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mendesak
pemerintah negara-negara yang lalai atau terlibat. Undang-undang baru tersebut
akan menjadi alat pemukul yang digunakan untuk memaksakan munculnya kehendak
politis di negara-negara yang telah keluar jalur untuk menghentikan perdagangan
budak zaman modern. Di atas kertas, undang-undang tersebut sangatlah tegas. Dalam praktiknya undang-
undang tersebut cuma macan kertas.
Salah satu pemukul yang disediakan undang-undang tersebut adalah publikasi
laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS berupa rapor upaya tiap negara dalam
mengatasi permasalahan trafiking. Laporan tersebut dimaksudkan untuk
mempermalukan, membujuk, dan memicu tanggapan yang cepat dan tegas. Mengutip
kata-kata Departemen Luar Negeri AS, laporan tersebut berfungsi "sebagai sarana
diplomatis utama bagi pemerintah AS" untuk membantu pemerintah negara-negara
lain "memfokuskan upaya mereka dalam program dan kebijakan penegakan hukum,
perlindungan, dan pencegahan di masa depan."
Setelah undang-undang tersebut diberlakukan, sang sheriff segera mulai bekerja,
memerintahkan staf 186 kedutaan besar dan konsulat Amerika Serikat di seantero
dunia menyusun laporan mengenai kondisi trafiking di negara tempat mereka berada
dan upaya pemerintah negara-negara tersebut menanganinya. Selain penilaian per
negara, sang sheriff mengumpulkan data dari lembaga-lembaga pemerintah AS lain,
badan-badan PBB, kelompok-kelompok aktivis hak asasi manusia internasional,
media massa, akademia, dan pemerintah negara lain. Tapi sumber informasi paling
berharga adalah mereka yang berada paling dekat dengan masalahnya - organisasi
kemanusiaan lokal dan internasional yang bekerja di garis depan.
Langkah sang sheriff yang berikutnya sangatlah penting - menyusun peringkat tiap
negara dan menempatkan dalam beberapa "tingkat". Ada tiga tingkat. Tingkat Satu
berisi negara-negara yang memenuhi syarat-syarat
"standar minimal" penanganan masalah trafiking. Tingkat Dua adalah untuk negara-
negara yang belum memenuhi syarat-syarat standar minimal tapi
"berusaha keras" melakukannya. Lalu ada Tingkat Tiga, untuk negara-negara yang
tak memenuhi syarat-syarat standar minimal dan tak berusaha keras untuk
mencapainya. Standar minimal adalah pedoman mengenai apa yang seharusnya
dilakukan pemerintah suatu negara untuk memerangi trafiking, dan undang-undang
trafiking AS menetapkan syarat-syarat spesifik untuk menentukan apakah suatu negara telah
melakukan upaya serius dan berkelanjutan untuk melenyapkan trafiking. Syarat-
syaratnya mencakup pengadilan terhadap pelaku trafiking, perlindungan korban,
dan penyuluhan masyarakat mengenai trafiking manusia.
Menurut undang-undang trafiking, setelah terbitnya laporan 2003, sang sheriff
akan diberi wewenang untuk menindak para pelanggar hukum.
Dengan kata lain, negara-negara di Tingkat Tiga mesti bersiap-siap. Mereka akan
dikenai sanksi tegas, utamanya penghentian bantuan selain bantuan kemanusiaan
atau yang terkait perdagangan. AS juga akan menentang pemberian bantuan untuk
mereka dan lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama International
Monetary Fund (IMF) dan bank-bank pembangunan multilateral seperti Bank Dunia.
Tapi ada celah yang bisa dimanfaatkan. Selalu saja ada lubang.
Seluruh atau sebagian sanksi tersebut bisa dianulir oleh presiden AS untuk
"menghindari efek negatif terhadap populasi yang rentan," dan juga
"kepentingan nasional Amerika Serikat."
Rapor Trafficking In Persons (TIP) pertama kali terbit pada Juli 2001
dan langsung menimbulkan kehebohan di mana-mana. Laporan tersebut menempatkan
dua puluh tiga negara - termasuk Yunani, Israel, Rusia, Turki, Romania,
Yugoslavia, dan Korea Selatan - dalam Tingkat Tiga karena buruknya prestasi mereka
dalam penanganan trafiking. Sebagaimana bisa diperkirakan, pemeringkatan itu
memicu banjir protes diplomatis dari negara-negara yang bersangkutan. Yunani dan
Korea Selatan melayangkan surat protes. Tapi pengumuman yang benar-benar
mengagetkan dalam laporan pertama itu adalah dimasukkannya Israel dalam Tingkat
Tiga. Tak seorang pun menduga bahwa pemerintah AS akan mempermalukan sekutu
utamanya di Timur Tengah di depan umum seperti itu. Oleh karena itu, tindakan
tersebut dianggap sebagai tanda bahwa Departemen Luar Negeri AS menganggap
serius perkara trafiking.
Tapi meski upaya awalnya kelihatan layak dipuji, beberapa pengamat bisa menebak
bahwa pertimbangan diplomatis dan politis ikut terlibat.
Sebagian negara yang terkenal buruk catatan prestasinya dalam penanganan
trafiking - di antaranya Moldova, Bulgaria, Republik Ceko, Georgia, Polandia, dan
Jepang - entah bagaimana caranya bisa dimasukkan dalam Tingkat Dua, sehingga
terbebas dari ancaman sanksi ekonomi.


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi, organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional masih menahan
diri untuk tidak buru-buru mengecam keras. Bagaimanapun juga, laporan tersebut
baru merupakan upaya pertama Departemen Luar Negeri AS untuk menilai situasi
pada skala global. Tentu saja akan ada sejumlah salah perhitungan dan salah
terka. Para pengkritik membayangkan bahwa dengan sedikit penyesuaian, pada rapor
2002 segala keanehan dan inkonsistensi akan diperbaiki dan beberapa negara yang
seharusnya masuk ke Tingkat Tiga akan benar-benar ditempatkan di sana - dan akan
dimulailah proses mendesak pemerintah negara-negara di dunia untuk bertindak
membebaskan ratusan ribu perempuan dan perbudakan seksual dalam batas-batas
negara masing-masing. Human Rights Watch dan banyak lembaga non-pemenntah lain mendesak Departemen
Luar Negeri AS agar laporan keduanya mencakup peran keterlibatan dan korupsi
pemerintah negara-negara lain dalam membantu trafiking, serta upaya pemerintah
untuk mengidentifikasi, menyelidik, dan mengadu aparat yang terlibat trafiking.
Human Rights Watch juga meminta laporan mengenai perlindungan hak asasi manusia
korban trafiking. Yang lebih penting, HRW dan yang lain ingin Departemen Luar
Negeri AS mencatat rincian upaya nyata tiap pemerintah untuk mengadu pelaku
trafiking. Ketika laporan kedua terbit pada 2002, kata-kata di dalamnya memang kuat dan
bersemangat, tapi kosong. Menteri Luar Negeri AS saat itu, Collin Powell,
berdiri di podium dalam ruang pers Departemen Luar Negeri AS dan membacakan
pernyataan yang sudah disiapkan, yang menyanjung Laporan TIP 2002 - dokumen
setebal 110 halaman yang menilai prestasi delapan puluh negara pada tahun
sebelumnya. Setelah menyatakan bahwa laporan terbaru tersebut "menggambarkan
sikap pemerintah AS untuk menghentikan penistaan atas martabat laki - laki, perempuan, dan anak,"
Powell berkata bahwa laporan itu "menyediakan penjelasan yang diperlukan atas
masalah global tersebut. Kami menggunakan informasi yang kami kumpulkan demi
menggalang upaya masyarakat internasional untuk memerangi kejahatan trafiking."
Powell mengakhiri pernyataannya dengan harapan bahwa temuan tersebut akan
"memicu tindakan di seantero dunia.
Jika masyarakat dunia dapat bekerja sama, ribuan calon korban dapat diselamatkan
dan penyiksaan dan keputusasaan, dan mereka yang telah menjadi korban dapat
dibantu untuk memperoleh kembali kehidupan yang bermartabat dan merdeka."
Tapi kalau dibaca saksama, rapor itu mengungkap bahwa hanya sedikit negara yang
mesti khawatir, walaupun mereka tak berbuat banyak untuk menyetop trafiking.
Laporan 2002 tak mengoreksi kesalahan-kesalahan laporan tahun sebelumnya dan tak
mencakup saran-saran yang diajukan kelompok-kelompok aktivis hak asasi manusia.
Malah Departemen Luar Negeri AS justru menaikkan peringkat beberapa negara yang
masuk daftar hitam pada tahun sebelumnya: Albania, Yugoslavia, Romania, dan
Israel naik ke Tingkat Dua, dan Korea Selatan melambung ke Tingkat Satu.
Yang langsung menjadi kentara bagi banyak pembela hak asasi manusia yang
mendukung diberlakukannya tindakan lebih tegas adalah bahwa pertimbangan
geopolitik dan diplomasi telah mengalahkan pemerkosaan ratusan ribu perempuan.
Pentungan sang sheriff ternyata loyo.
Entah bagaimana caranya para pejabat Departemen Luar Negeri AS
bisa sampai ke kesimpulan-kesimpulan itu. Tapi ada satu hal yang jelas - mereka
pasti tak membaca Country Reports on Human Rights Practices yang dikeluarkan
rekan-rekan mereka di Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Ketenagakerjaan
tiga bulan sebelumnya. Sebagian isi Country Reports mengulas situasi trafiking
di tiap negara. Misalnya, Country Report tentang Albania - negara yang terkenal sebagai sumber dan
tempat transit banyak perempuan Eropa Timur yang diselundupkan ke Italia,
Yunani, Belanda, Belgia, Jerman, dan Inggris - menyebutkan bahwa di sana trafiking
"tetap menjadi masalah serius," dan menambahkan
bahwa upaya pemerintah menanganinya "belum menunjukkan hasil nyata." Laporan tersebut melanjutkan dengan menyatakan bahwa
polisi Albania "sering kali terlibat baik langsung maupun tak langsung" dalam
trafiking, dan akibat korupsi, upaya antitrafiking Departemen Ketertiban Rakyat
Albania tak manjur. Disebutkan juga bahwa departemen tersebut gagal menindak
lanjuti hasil penyelidikan trafiking dan korupsi serta tak mengadu satu pun
petugas polisi dalam kasus korupsi, dan menambahkan bahwa "polisi setempat
sering membocorkan jadwal penggerebekan kepada pelaku trafiking." Akhirnya,
perlakuan polisi terhadap perempuan korban trafiking "masih bermasalah", dan ada
korban-korban yang diperkosa ketika berada dalam tahanan polisi.
Sementara itu, laporan TIP 2002 tentang Albania menggembar-gemborkan bahwa
antara Desember 2000 dan Oktober 2001 setidaknya telah ada dua belas pelaku
trafiking yang dijatuhi hukuman. Padahal sembilan di antara mereka hanya
menerima hukuman ringan, dan tiga lainnya - yang kabur dari negara itu - dijatuhi
hukuman in absentia. Selain itu, segala putusan tersebut belakangan diperingan
menjadi sekadar tuduhan misalnya mempromosikan pelacuran. Laporan TIP juga
menyatakan bahwa "korupsi polisi menghambat upaya antitrafiking" dan "10 persen
warga asing korban trafiking yang melalui Albania melaporkan bahwa polisi
terlibat langsung. Terakhir, laporan TIP menyatakan bahwa pemerintah Albania tak
punya "program perlindungan saksi yang menyeluruh" dan tak ada upaya pencegahan
yang disponsori pemerintah. Namun, entah karena alasan apa, para birokrat
Departemen Luar Negeri AS merasa Albania layak dinaikkan peringkatnya ke Tingkat
Dua. Satu-satunya alasan peningkatan peringkat:
meskipun Albania belum memenuhi syarat minimal pemberantasan trafiking, "negara tersebut sedang berusaha mencapainya."
Satu lagi negara yang dinaikkan ke Tingkat Dua dengan alasan yang sukar
dipercaya adalah Yugoslavia. Kenaikan negara korup yang menjadi surga trafiking
itu hanya bisa dianggap sebagai hal yang tak pantas atau kebodohan diplomatis.
Opsir-opsir polisi PBB dan pekerja sosial di negara-negara tetangganya, Bosnia
Herzegovina dan Kosovo, serta satuan polisi susila di kepolisian negara-negara
Uni Eropa telah mengumpulkan bertumpuk-tumpuk laporan yang menunjukkan bahwa
ribuan korban trafiking dari Ukraina, Moldova, Rusia, Romania, dan Republik Ceko
dibawa ke Beograd dan kota-kota lain di Yugoslavia tempat mereka digojlok secara
sistematis dan sesudahnya dijual kepada mucikari-mucikari dan pemiik-pemiik
bordil di seluruh dunia. Para gangster Serbia terkenal brutal, dan korupsi
melanda tiap tingkat pemerintahan. Selain itu, Laporan Departemen Luar Negeri AS
2002 atas Yugoslavia menunjukkan bahwa para pelaku trafiking di Yugoslavia
jarang diadu, tapi perempuan-perempuan yang diciduk razia polisi justru diadu
atas tuduhan prostitusi dan dideportasi setelah masa hukuman mereka selesai.
Naiknya Israel dari tingkat terbawah tak mengherankan bagi para pengamat hak
asasi manusia di seluruh dunia. Untuk memahami keputusan Departemen Luar Negeri
AS, ingatlah kembali saat terbitnya laporan TIP
pertama. Ketika diketahui bahwa Israel ditempatkan di Tingkat Tiga, telepon
korps diplomatik Washington tak henti-hentinya berdering, dan pada bulan-bulan
selanjutnya dilakukan manuver-manuver diplomatis intensif.
Laporan TIP 2001 menuduh pemerintah Israel tak melakukan "usaha signifikan"
untuk memerangi trafiking. Laporan tersebut mengecam keras negara itu karena
"gagal dalam upaya menangani trafiking, apa lagi kalau mempertimbangkan cara-
cara kekerasan yang digunakan para pelaku trafiking dan banyaknya jumlah
perempuan yang diselundupkan ke negara yang bersangkutan." Pemerintah Israel
juga dicela karena tak bekerja sama dengan pemerintah negara-negara lain dalam
kasus-kasus trafiking, tak melakukan kampanye antitrafiking atau usaha
pencegahan lain, tak aktif mendukung korban-korban trafiking untuk menuntut para
pelaku trafiking, dan tak menyediakan pendanaan mencukupi bagi
organisasiorganisasi nonpemerintah Israel yang membantu para korban trafiking.
Bagi Israel, dampak pemeringkatan itu bisa berbahaya. Negara tersebut menerima
bantuan senilai hampir $3 miliar dan AS tiap tahun. Jelas bakal ada masalah,
karena menurut Victims of Trafficking and Violence Protection Act yang disahkan
presiden AS saat itu, Bill Clinton, pada Oktober 2000, tiap negara yang masih
ada di Tingkat Tiga dalam laporan TIP 2003
akan dikenai sanksi ekonomi.
Pemeringkatan itu tidak hanya mendatangkan ancaman dampak ekonomi di masa
mendatang, tapi juga merupakan hal yang amat memalukan dalam diplomasi. Semua
orang tak menghendaki persoalan pelacur di Tanah Suci menjadi isu penting di
kawasan yang terus-menerus bergolak itu. Tibatiba saja mata masyarakat
internasional tertuju kepada Israel untuk berusaha memahami apa yang terjadi,
dan sebagaimana yang akan kita lihat, yang terjadi benar-benar mengejutkan.
KITA SUDAH bertemu Sigal Rozen dan Nomi Levenkron, dua aktivis hak asasi manusia
Israel yang vokal. Kantor mereka yang sempit dan sederhana tak jauh dan kawasan
bordil paling sibuk di Tel Aviv. Kedua perempuan tersebut telah berjuang selama
hampir sepuluh tahun untuk membuat pemerintah mereka bertindak tegas menangani
maraknya trafiking. Mereka sudah pernah diancam dan bahkan dituduh melakukan
pengkhianatan karena mengadukan perkara trafiking di Israel kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan komisi Kongres AS.
Dalam suatu wawancara panjang, Rozen, direktur Hotline for Migrant Workers -
lembaga nonpemerintah yang mengurusi kesusahan para pekerja asing ilegal - dan
Levenkron, pengacara Hotline yang pemberani, merinci kerasnya kenyataan mengenai
prostitusi di Israel masa kini. Menurut Rozen, Trafiking perempuan telah
berlangsung di Israel nyaris tanpa gangguan selama dasawarsa kemarin. Tak ada
yang tahu angka-angka pastinya, tapi menurut perkiraan, tiap tahun ada sekitar
2.000 sampai 3.000 perempuan dimasukkan ke Israel dan negara-negara bekas Uni Soviet
untuk eksploitasi seks komersial. Tindak kejahatan tersebut mengalirkan jutaan
dolar tiap tahun ke dalam kantong para mucikari. Situasi yang masih berlangsung
ini tak bisa dianggap imigrasi normal, tapi justru merupakan perbudakan pada
zaman modern. Selama bertahun-tahun, kelompok-kelompok aktivis hak asasi manusia dan perempuan
di Israel telah melobi pemerintah agar mengatasi persoalan trafiking. Tapi
permintaan mereka berkali-kali ditolak, karena para pejabat lebih suka menutup
mata terhadap berbagai penganiayaan yang diderita perempuan-perempuan korban
trafiking tiap hari. Hanya segelintir di antara mereka yang berkuasa yang
berminat membantu para korban.
Bagaimanapun, para menteri berpendapat, masih banyak persoalan lebih penting
dalam agenda mereka. Laporan TIP 2001 bukanlah penghinaan publik pertama yang berkaitan dengan
persoalan trafiking bagi Israel. Pada 13 Mei 2000, Amnesty International
mengeluarkan laporan tajam setebal dua puluh tiga halaman berjudul "Human Rights
Abuses of Women Trafficked from the Commonwealth of Independent States into
Israel's Sex Industry." Laporan tersebut menuduh pemerintah Israel tak bertindak
sedikit pun untuk melindungi
perempuan-perempuan korban trafiking, dan malah memperlakukan mereka sebagai penjahat: "Perempuan korban trafiking diperlakukan
sebagai pelanggar hukum, walaupun banyak di antara mereka yang telah mengalami
pelanggaran hak asasi manusia berupa perbudakan atau penyiksaan, termasuk
pemerkosaan dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya, yang dilakukan oleh
para pelaku trafiking, mucikari, dan orang-orang lain yang terlibat dalam
industri seks Israel."
Knesset (parlemen Israel) bereaksi dengan mengubah hukum pidana, sehingga jual
beli manusia untuk prostitusi menjadi ilegal, tapi bagi para perempuan korban
trafiking di Tanah Suci, tak terjadi banyak perubahan.
Hukum baru itu juga tak membuat kapok para begundal yang terus saja mengimpor
ratusan perempuan dari Ukraina, Rusia, Moldova, dan Romania untuk dipekerjakan
secara paksa dalam industri seks.
Human Rights Watch menerjunkan diri ke dalam perdebatan pada awal 2002, dengan
tuduhan bahwa Israel gagal memberi perlindungan hak asasi perempuan korban
trafiking. "Para korban trafiking takut bekerja sama dengan aparat penegak hukum
dan tak didukung untuk melakukannya,"
gugat HRW, sambil menambahkan bahwa "keterlibatan dan korupsi pemerintah juga
berperan dalam trafiking ke Israel."
Lalu, pada 18 Maret 2002 - tiga bulan sebelum diterbitkannya laporan tahunan TIP
yang kedua - Hotline for Migrant Workers dan Israeli Awareness Center mengajukan
laporan bersama kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB, berjudul "Activities and
Actual Facts on the Trafficking in Persons for the Purpose of Prostitution in
Israel." Kedua organisasi itu mengungkap bahwa ketika mereka bertemu dengan
komisi penyelidik trafiking perempuan untuk parlemen Israel dua minggu
sebelumnya, Menteri Kehakiman Israel Meir Shitrit telah mengecam mereka karena
memberi informasi mengenai situasi trafiking di Israel kepada AS dan PBB.
"Biasanya PBB bersikap anti Israel," dengan marah Shitrit berseru, "Ini bisa
dibilang bekerja sama dengan musuh - kasih saja [laporan itu] ke orang-orang
Palestina sekalian."
Dalam paparannya yang panjang dan mengagetkan kepada PBB, kedua organisasi
menegaskan bahwa kolaborasi mucikari dan polisi terus berlanjut, "baik secara
pasif dengan mengunjungi bordil sebagai klien, atau secara aktif dengan terlibat
langsung atau membocorkan informasi rencana penggerebekan. Sebagian besar
perempuan korban trafiking takut menggugat polisi."
Sekali lagi Israel dipermalukan akibat masalah hak asasi manusia. Tapi
sesudahnya mulai terdengar desas-desus bahwa Departemen Luar Negeri AS
akan menaikkan Israel ke status Tingkat Dua di laporan TIP berikutnya.
Desas-desus tersebut jadi makin kuat ketika Duta Besar Nancy ElyRaphel - direktur
Badan Pengawasan dan Pemberantasan Trafiking, Departemen Luar Negeri AS - tampil
di hadapan Komisi Hubungan Internasional Kongres AS
pada 24 April 2002. Topik yang dibahas-"The UN and the Sex Slave Trade in Bosnia: Isolated Case or
Larger Problem in the UN System?" - tak ada hubungannya dengan Israel. Tapi dalam
pernyataan penutupnya, Ely Raphel tiba-tiba menambahkan: "Sesi ini membahas
trafiking dan PBB, tetapi ... saya ingin menyampaikan bahwa pemerintah Israel
telah melakukan berbagai insiatif untuk membasmi trafiking."
Saat itu semua orang tahu bahwa segalanya sudah diatur. Pada 5 Juni 2002 Israel
dinaikkan ke Tingkat Dua. Dalam konferensi pers, Ely Raphel berkoar bahwa Israel
adalah "contoh keberhasilan," dan negara itu telah giat melakukan inisiatif-
inisiatif antitrafiking sejak dikeluarkannya laporan pertama pada 2001,
"berkoordinasi secara luas dengan kami dalam hal tindakan praktis dan strategi
kebijakan." Terjadilah keheningan yang meresahkan dalam ruang konferensi pers.
Jelas, karena Israel mendapat kenaikan tingkat, hak asasi manusia telah
dkorbankan demi diplomasi politis. Memang benar bahwa Israel telah mengubah
hukum pidananya, tapi berdasarkan prestasi keseluruhannya, Israel belum
menangani persoalan trafiking secara efektif. Israel tidak layak mendapat
kenaikan tingkat. Seminggu kemudian Rozen dan Levenkron menanggapi pemeringkatan Departemen Luar
Negeri AS dengan suatu siaran pers yang saksama.
"Perubahan peringkat tersebut utamanya adalah hasil lobi intensif Israel dan
masyarakat Yahudi Amerika di Washington. Kebijakan penegakan hukum tetap
difokuskan kepada deportasi perempuan korban trafiking, memperlakukan mereka
sebagai pelanggar hukum, bukan sebagai korban."
Rozen dan Levenkron menyimpulkan bahwa selama sistem penegakan hukum di Israel
"tak bertindak tegas terhadap kejahatan trafiking, dam selama Negara Israel
lebih sibuk melobi Amerika Serikat daripada berusaha membuat perubahan di
lapangan, fenomena buruk ini akan terus tumbuh subur tanpa terganggu di Israel."
Mereka menambahkan, para mucikari "biasanya akan terus membeli perempuan-
perempuan baru dan terus melakukan kegiatannya tanpa hambatan."
KENAIKAN PERINGKAT Israel, Albania, dan Yugoslavia ke Tingkat Dua, loncatan
Korea Selatan dari Tingkat Tiga ke Tingkat Satu, serta dipertahankannya beberapa
negara yang situasi trafikingnya layak dipermasalahkan di Tingkat Dua, berarti
bahwa kini tiada ampun lagi. Kritik pedas terus-menerus menerpa Departemen Luar
Negeri AS. Para aktivis hak asasi manusia meributkan mengapa begitu banyak
negara yang prestasinya parah bisa lolos dari status Tingkat Tiga berikut sanksi
AS dan kecaman dunia yang menyertainya. Secara keseluruhan, delapan belas negara
berada di Tingkat Satu; lima puluh dua selamat di Tingkat Dua, dan hanya
sembilan belas yang terperosok di Tingkat Tiga - selain Rusia dan Yunani, sebagian
besar di antara mereka tak berpengaruh bagi kepentingan nasional AS.
Sementara itu, trafiking di seantero dunia terus tumbuh subur.


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang memimpin serangan gencar terhadap laporan TIP 2002 adalah Gary Haugen,
presiden International Justice Mission, suatu organisasi nonpemerintah yang
aktif menyelidiki kasus-kasus trafiking anak-anak di negara-negara berkembang.
Dia menuduh bahwa Victims of Trafficking and Violence Protection Act "telah
menjadi sarana cuci tangan sebagaimana ditakutkan banyak pihak":
[Laporan tersebut] dibuat jadi tak berguna karena Departemen Luar Negeri AS
meluluskan negara-negara pelanggar terparah. Karena diplomat-diplomat Departemen
Luar Negeri segan menunjukkan kebenaran tanpa basa-basi pada negara-negara
asing, Badan Pemberantasan Trafiking telah menjadi Badan Penyembunyian
Trafiking. Itu berita buruk bagi kaum perempuan yang rentan ... dan telah
lepaslah satu kesempatan kepemimpinan historis.
Haugen juga menunjukkan bahwa pada tahun keduanya, struktur laporan itu sendiri
terus menutup-nutupi data objektif yang bisa menjadi bahan untuk melakukan
penilaian akurat terhadap prestasi tiap negara.
"Hasil akhirnya," katanya, "adalah lulusnya negara-negara dengan prestasi
terburuk dan karenanya negara-negara itu tak diberi insentif sama sekali untuk
berubah." LaShawn Jefferson dari Human Rights Watch setuju: "Sungguh memalukan jika orang
membaca laporan itu dan tetap tidak tahu kenyataannya. Supaya laporan tersebut
bisa jadi relevan, rincian amatlah penting. Hanya sedikit informasi yang bisa
dievaluasi dalam laporan itu."
Karena hanya tujuh negara yang laporannya disertai angka-angka, boleh dibilang
laporan 2002 nyaris tak mencantumkan data keras. Lalu bagaimana bisa Departemen
Luar Negeri AS menilai upaya suatu negara kalau tidak ada rujukan kepada data
berupa angka-angka" Faktor-faktor penting untuk menentukan prestasi suatu negara
adalah sebagai berikut: jumlah perempuan dan anak yang telah menjadi korban;
jumlah penangkapan, pengadilan, dan putusan hukuman atas kejahatan trafiking;
serta jumlah petugas polisi dan pegawai pemerintah yang ditindak akibat
keterlibatan dalam trafiking seks.
Tanpa kriteria tersebut, tuduh Haugen, laporan itu "sangat tidak membantu kami
yang berusaha bekerja sama dengan pemerintah negara-negara untuk membasmi
trafiking seks. Laporan tersebut mengecilkan pentingnya pemberian hukuman kepada
para pelaku kejahatan tersebut karena tak menyajikan data objektif bagi negara-
negara pelanggar terparah." Akibat pengabaian terang-terangan itu, "negara-
negara lain tak akan percaya bahwa Amerika Serikat serius dalam menyajikan
laporannya, atau dalam menangani trafiking."
Para pengkritik laporan itu juga mulai mempertanyakan keberadaan Tingkat Dua,
yang dicap sebagian pihak sebagai "tempat pelarian" begitu banyak negara
pelanggar. Negara-negara di Tingkat Dua sebenarnya gagal memenuhi syarat
"standar minimal" pemberantasan trafiking seks, tapi tetap saja dianggap sudah
berusaha mengatasi masalah tersebut oleh Departemen Luar Negeri AS. Dengan kata
lain, boleh jadi negara-negara itu hanya mengesahkan satu undang-undang baru
atau menjebloskan satu dua orang pelaku trafiking ke dalam penjara. Mungkin
negara-negara itu pernah menyelenggarakan konferensi tentang trafiking dan
menjalankan segelintir program penyuluhan dan perawatan korban. Peringkat
Tingkat Dua boleh dianggap melenyapkan insentif apa pun bagi negara-negara di
dalamnya untuk berbuat lebih baik. Tidak ada hukumannya, tidak ada
konsekuensinya, dan tidak ada penghinaan karena ditempatkan di sana. Jadi, buat
apa berusaha lebih keras"
Tak sampai dua minggu setelah terbitnya laporan TIP 2002, Donna Hughes, profesor
studi perempuan di University of Rhode Island, menghadap Komisi Hubungan
Internasional Kongres AS. Dia tak berbasa-basi. Hughes, salah satu tokoh utama
kampanye antitrafiking, memberi tahu anggota-anggota komisi bahwa dia belum
pernah sekalipun mendengar pujian bagi laporan tersebut.
[Laporan itu] sudah disebut "hinaan terhadap perempuan dan anak" ... "sangat
mengecewakan" ... "cuci tangan" ... dan "upaya menghindari tanggung jawab yang
layak dicela." Sebagai alat memerangi trafiking, laporan itu "kurang layak" ...
"malah mendukung ketidakacuhan negara-negara pelanggar terparah" ... dan gagal
total karena "merusak manfaat undang-undang baru."
Saya percaya bahwa kritik dari mana-mana itu adalah akibat dua kelemahan utama
dalam laporan TIP. Pertama, syarat upaya memerangi trafiking yang harus
dilakukan suatu negara terlalu sedikit.
[Kedua, laporan tersebut] gagal karena tak mempertimbangkan faktor permintaan
yang menciptakan usaha trafiking untuk seks.
Hughes menunjukkan bahwa pada suatu sesi taklimat bagi organisasiorganisasi
nonpemerintah seminggu setelah terbitnya laporan TIP 2DD2, Duta Besar Nancy
ElyRaphel mengatakan bahwa faktor yang paling menentukan dalam pemeringkatan
adalah pengadilan terhadap pelaku trafiking. Tapi ada negara-negara di Tingkat
Dua, dan bahkan Tingkat Satu, yang baru memenjarakan segelintir pelaku
trafiking, kalaupun memang pernah. Dan "di negara-negara yang sudah lebih banyak
mengadili pelaku trafiking pun, hanya sedikit bukti menunjukkan bahwa upaya
tersebut sudah memadai untuk membendung gelombang trafiking ribuan korban,"
Hughes menunjukkan. ElyRaphel juga telah memberi tahu para delegasi NGO bahwa dalam evaluasi upaya
negara-negara untuk mencegah dan memberantas trafiking, tim penilai Departemen
Luar Negeri AS tak mempertimbangkan prostitusi itu sendiri ataupun permintaan
akan korban trafiking. Hughes yang marah besar mengingatkan komisi Kongres bahwa pada abad kedelapan
belas dan kesembilan belas, dalam ekonomi agrikultural AS
selatan, budak diperlukan untuk memanen kapas. "Tak memahami hubungan antara
prostitusi dan trafiking berarti sama dengan tak memahami hubungan antara
perbudakan di Selatan dulu dan penculikan korban-korban di Afrika dan pengapalan
mereka melintas Samudra Atlantik ke pesisir Amerika."
Yang terutama diperhatikan para pengkritik adalah kaitan antara prostitusi legal
di negara-negara seperti Jerman, Belanda, dan Australia, serta trafiking
perempuan untuk industri seks. Tapi ElyRaphel meremehkan hubungan tersebut,
dengan menyatakan pada taklimat itu bahwa dia percaya trafiking budak seks ke
negara-negara tersebut "belum tentu benar adanya". Komentarnya menimbulkan rasa
tidak percaya. Hughes memberi tahu anggota-anggota komisi Kongres bahwa dia percaya "pandangan
tersebut terlalu naif atau menunjukkan tiadanya kehendak politik untuk melihat
seperti apa sebenarnya situasi trafiking perempuan dan anak."
Ironisnya, hanya dua bulan sebelum dikeluarkannya laporan 2002, lebih daripada
seratus organisasi yang mewakil ratusan ribu rakyat Amerika Serikat serta
aktivis hak asasi perempuan dan anak dari seluruh dunia mengirim surat kepada
Menteri Luar Negeri AS Collin Powell untuk memintanya menggusur Belanda dan
Jerman dari Tingkat Satu ke tingkat lebih rendah yang layak ditempati negara-
negara itu. Organisasi-organisasi tersebut menunjukkan bahwa pada dua tahun
sebelumnya, kedua negara itu telah melegalkan prostitusi, usaha mucikari, dan
bordil -"kebijakan-kebijakan yang tak diragukan lagi akan meningkatkan trafiking
perempuan ke negara-negara tersebut." Powell diingatkan bahwa sebagai standar
minimal berdasarkan undang-undang AS, pemerintah negara-negara wajib melakukan
usaha serius dan berkesinambungan untuk memberantas trafiking, dan salah satu
syaratnya adalah suatu negara harus melakukan usaha pencegahan trafiking.
"Legalisasi prostitusi, mucikari, dan bordil jelas-jelas melanggar syarat
tersebut," tertulis dalam surat itu. "Kami mafhum bahwa legalisasi prostitusi,
mucikari, dan bordil meningkatkan prostitusi dan memperbanyak permintaan akan
perempuan dalam industri seks."
Walau prostitusi sudah ditoleransi di Belanda selama puluhan tahun, pemerintah
Belanda secara resmi melegalkannya pada Oktober 2002. Hari ini, industri seks
Belanda beromzet $1 miliar setahun, 5 persen dari keseluruhan ekonomi negara
tersebut. Selain itu, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setahun setelah
legalisasi, para pelaku trafiking di Belanda mengendalikan lebih daripada
separuh di antara semua perempuan dalam prostitusi, dan hanya sedikit perempuan
Belanda yang bekerja di bordil. Bordil-bordil diisi perempuan dari tiga puluh
dua negara, sebagian besar dibawa dari Eropa Tengah dan Timur.
Situasi di Jerman tidak berbeda, walau jumlah perempuan yang diselundupkan ke
sana jauh lebih besar. Jerman melegalkan prostitusi pada Desember 2001,
menyatakan secara resmi bahwa praktik prostitusi tak lagi dianggap amoral. Dari
400.000 perempuan yang dianggap terlibat prostitusi di Jerman, 75 persen adalah
orang asing, dan 80 persen pelacur asing berasal dari negara-negara Eropa Tengah
dan Timur. Pendapatan bar, klub, dan bordil diperkirakan mencapai $4,5 miliar
per tahun. Para aktivis hak asasi manusia berpendapat bahwa legalisasi prostitusi
menyulitkan upaya membuat pelaku trafiking dan mucikari bertanggung jawab atas
perbuatan mereka. Para pelanggar hukum tersebut dapat menghindari pengadilan
dengan menyatakan bahwa perempuan-perempuan korbannya bersedia bekerja sebagai
pelacur. Akibatnya, para jaksa mengeluh bahwa mereka kerepotan menentukan batas
antara prostitusi sukarela dan paksa. Tapi masalah yang lebih serius ada pada
polisi, yang sekarang jadi bisa mengabaikan saja industri bordil yang bertambah
besar. Legalisasi prostitusi juga menyiarkan kabar negatif kepada negara-negara lain.
Kelompok-kelompok aktivis hak asasi manusia berpendapat bahwa bercokolnya Jerman
dan Belanda di Tingkat Satu bisa ditafsirkan sebagai persetujuan tersirat
Departemen Luar Negeri AS atas legalisasi prostitusi. Yang lebih mengkhawatirkan
adalah cara memenuhi peningkatan permintaan akan perempuan. Jelas sebagian besar
akan didatangkan dari negara lain, dan tak diragukan lagi bahwa makin banyak
perempuan yang akan menjadi korban trafiking.
Dan memang, perekrutan perempuan untuk industri seks di Jerman dan Belanda sudah
dimulai dengan sungguh-sungguh. Dalam suatu konferensi mengenai trafiking
perempuan di Kyiv, Ukraina, pada Juni 2000, seorang perwakilan kedutaan besar
Belanda di Ukraina menjelaskan bahwa kaum perempuan di luar Uni Eropa punya
"keahlian kerja yang bisa dimanfaatkan Belanda," dan menambahkan bahwa industri
seks Belanda bisa dibantu dengan diciptakannya izin kerja khusus bagi semua
"warga asing yang bekerja di bidang prostitusi." Betapa baiknya pemerintah
Belanda, menawarkan jalan keluar dari kemiskinan bagi gadis-gadis Ukraina!
Dalam surat kepada Powell, orang-orang yang berusaha keras mengakhiri trafiking
perempuan dan anak mendesak pemerintah AS supaya menggunakan laporan TIP "untuk
mengumumkan dengan jelas kepada Belanda, Jerman, dan seluruh dunia bahwa kita
akan teguh menentang trafiking perempuan untuk prostitusi." Powell dan anak
buahnya di Departemen Luar Negeri jelas memutuskan untuk mengabaikan permintaan
itu, dan mempertahankan Belanda dan Jerman di tempat terhormat di Tingkat Satu.
Tapi coba kita lihat lagi Tingkat Satu. Di dalamnya terdapat semua anggota Uni
Eropa, kecuali Yunani yang memang layak ditaruh di bawah.
Ada yang tidak beres pada gambaran tersebut. Sebagian besar negara tersebut -
termasuk Amerika Serikat, yang tak menilai diri sendiri - tak layak menyombongkan
apa pun. Departemen Luar Negeri tampaknya tak mempertimbangkan bahwa negara-
negara tersebut penuh perempuan korban trafiking dan kejahatan terorganisasi
jelas-jelas menjadi dalangnya.
Juga tidak dipertimbangkan kenyataan bahwa sebagian besar Laki-laki pengguna
perempuan korban trafiking di dalam ataupun luar negerinya sendiri berasal dari
negara-negara yang duduk dengan angkuhnya di Tingkat Satu.
Kesimpulannya, tentu saja, diplomasi tertutup berperan penting dalam
pemeringkatan. Lisa Thompson dari Initiative Against Sexual Trafficking, koalisi
luas yang dipimpin Bala Keselamatan/ Salvation Army, menyatakan bahwa bila
pertimbangan politis masuk hitungan, "maka prosesnya sendiri cacat. Ini tidak
berkaitan dengan situasi Kashmir atau ketegangan antara Palestina dan Israel
atau segala macam isu penting lain. [Laporan TIP]
seharusnya tak digunakan untuk memanipulasi perdebatan politik lain-lain atau
hubungan internasional. Kalau tidak, prosesnya bisa dianggap korup, dan buat apa
mengurusnya kalau sudah begitu."
KETIKA PERDEBATAN berkecamuk, staf Badan Pemberantasan Trafiking mulai menyusun
laporan TIP 2003 yang "menentukan" - di mana negara-negara yang masih juga berada
di Tingkat Tiga akan menghadapi sanksi ekonomi keras dan AS.
Di konferensi pers TIP 2002, Nancy ElyRaphel tampil untuk memberikan gambaran
mengenai apa yang bisa diharapkan ada dalam laporan itu. Makin banyak manuver
diplomatis! Saat itu, tampaknya telah ada persiapan untuk menaikkan peringkat
Rusia. Selama dua tahun berturut-turut Rusia dimasukkan ke dalam Tingkat Tiga,
dan memang sepantasnya demikian. Masalah trafiking di Rusia sudah tak
terbayangkan besarnya; tingkat korupsi, keterlibatan, dan ketidak-acuhan
pemerintah serta polisi di sana sungguh memprihatinkan. Kejahatan terorganisasi
bebas bergerak tanpa tersentuh hukum. Pemerintah Rusia menutup mata terhadap
pelacuran paksa gadis-gadis muda, bahkan yang baru berumur empat belas!
Meskipun demikian, ElyRaphel memuji Moskwa karena telah mulai bertindak pada
beberapa front: Rusia sedang berusaha. Rusia telah mengakui memiliki masalah trafiking. Negara
yang bersangkutan menyediakan pendanaan untuk bantuan dan kompensasi bagi para
korban, serta melindungi hak-hak mereka. Rusia lebih memerhatikan korban
trafiking sekarang; mereka tak lagi dipenjara atau didakwa atas tuduhan
prostitusi seperti dulu. Dan Duma [parlemen Rusia] telah meminta saran dan informasi dari kami untuk
membantu mereka membuat undang-undang antitrafiking.
Jadi, semua itu adalah berita baik. Tapi Rusia masih belum punya undang-undang
antitrafiking. Dan penyelidikan kasus trafiking di sana masih jarang. Itulah
alasannya Rusia masih berada di Tingkat Tiga.
Tapi negara tersebut sedang berusaha.
Mengingat parahnya situasi yang dihadapi para perempuan korban trafiking di
Rusia, peningkatan peringkat negara tersebut ke Tingkat Dua kiranya adalah suatu
pelecehan terhadap Victims of Trafficking and Violence Protection Act.
Walau diterpa banjir kritikan, para pejabat Departemen Luar Negeri tetap
bersikeras bahwa apa yang mereka lakukan sudah benar. Pada 19 Juni 2002, Ajudan
Menteri Luar Negeri AS Paula Dobnansky tampil di hadapan Komisi Hubungan
Internasional Kongres AS untuk menanggapi serangan-serangan terhadap
departemennya. Dobnansky menyatakan bahwa pertimbangan politis tak menjadi
faktor untuk menilai apakah suatu pemerintah negara asing memenuhi syarat
standar minimal pemberantasan trafiking manusia atau tidak. "Banyak sahabat dan
sekutu kita yang berada di Tingkat Dua dan Tiga," desaknya, "Mereka belum
memenuhi syarat standar minimal."
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan mengenai dasar rasional yang digunakan untuk
pemeringkatan negara, Dobnansky menerangkan: Pertama, saya telah mendengar
orang-orang berkata bahwa penempatan negara-negara tertentu di Tingkat Dua
berarti mereka telah "lulus." Sudah jelas bahwa Tingkat Tiga adalah tempat bagi
para pelanggar terparah, tapi penempatan di Tingkat Dua berarti bahwa negara-
negara tersebut tak memenuhi semua persyaratan. Menempati Tingkat Dua belum
berarti lulus. Negara-negara lain tak suka apabila ditempatkan di Tingkat Dua
atau Tingkat Tiga dan beberapa telah mempertanyakan temuan-temuan kami. Selain
itu, negara-negara di Tingkat Dua tak mau mengambil risiko jatuh ke Tingkat Tiga
tahun depan dan menghadapi sanksi, termasuk kemungkinan penghentian bantuan non
kemanusiaan. Kedua, dan masih berhubungan, terdapat kenyataan bahwa berbagai pihak yang tak
mewakili kepentingan apa pun juga bisa tidak sepakat dengan pemeringkatan
negara-negara tertentu. Kongres meminta kami melihat "upaya signifikan" yang
dilakukan negara-negara. Yang dianggap upaya signifikan sebagaimana didefiniskan
dalam undang-undang adalah suatu hal yang bisa dibahas dan dianalisis dengan
berbagai cara oleh berbagai pihak. Tak ada negara - termasuk negara kita sendiri -
yang sudah cukup banyak berusaha apa-bila trafiking masih terus ada. Walau
demikian, kemajuan di satu negara akan terlihat amat berbeda dengan kemajuan di
negara lain, karena keadaan di berbagai negara berbeda-beda dan apa yang bisa
berdampak pada keadaan di tiap negara pun berbeda-beda.
Tak seorang pun percaya bahwa hukum satu negara saja bisa menghentikan
perdagangan perempuan besar-besaran yang amat menguntungkan, yang bila dihitung
dengan jumlah dolar yang dihasilkan hanya dikalahkan oleh penyelundupan obat-
obatan dan penjualan senjata di pasar gelap. Hukum Amerika Serikat berikut
sanksi ekonomi kerasnya bisa saja berpengaruh besar untuk membuat ribuan gadis
terhindar dari kehidupan sebagai budak seks. Tapi kenyataannya situasi trafiking
menjadi makin parah - jauh lebih parah. Dan sementara mereka yang berkuasa asyik
melakukan diplomasi jungkir balik, puluhan ribu perempuan yang tak berdosa
terjerumus menjadi budak seks.
Pemerintah Amerika Serikat telah memutuskan untuk menjadi sheriff dunia. Tak ada
yang memaksanya berperan seperti itu. Namun, semenjak sang sheriff menyiapkan
pistolnya, tindakan anak buahnya justru membuat pekerjaannya jadi tak berguna
karena mereka justru membiarkan saja para pelanggar hukum. Victims of Traffickmg
and Violence Protection Act merupakan kesempatan luar biasa untuk mendorong
tindakan-tindakan yang bisa menyelamatkan jiwa dan kesejahteraan banyak
perempuan. Kesempatan itu telah terbuang percuma.
10 tempat bermain sang sheriff
Inilah kami, pasukan penjaga perdamaian
PBB yang mencoba menegakkan hukum


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan keteraturan, dan anggota-anggota
kami ada di luar sana mendapat seks
gratis dari gadis-gadis yang dipaksa
menjadi budak. seks. - JOHN RANDOLPH, polisi PBB
anggota trafficking in Prostitution
Investigation Unit di Kosovo
SAAT BERUPAYA menilai kondisi trafiking dunia untuk memberantasnya, tentu saja
pemerintah Amerika Serikat tak memberi peringkat kepada dirinya sendiri; bisa
ada konflik kepentingan kalau itu dilakukan. Tapi pemerintah AS juga harus
diberi peringkat. AS menghadapi persoalan serius: tiap tahun kirakira 20.000
orang diselundupkan ke negara tersebut, masuk lewat udara menggunakan dokumen
perjalanan palsu atau diboyong lewat jalan darat melalui Kanada atau Meksiko.
Tapi, dalam wilayah kekuasaannya, AS telah melakukan upaya signifikan untuk
mengejar pelaku trafiking secara agresif, menjatuhkan hukuman penjara yang berat
kepada mereka, dan membantu korban-korban trafiking dengan berbagai program.
Jadi, berdasarkan upayanya di dalam negeri, Amerika Serikat layak menjadi negara
Tingkat Satu. Tapi dalam satu kasus kriminal tertentu, Amerika Serikat tersandung - suatu
kelalaian yang berakibat pemerkosaan berkali-kali terhadap beberapa perempuan
muda Ukraina yang diselundupkan ke industri seks Los Angeles.
KONFERENSI PERS semacam inilah yang diharapkan kepolisian, konferensi yang akan
menghasilkan judul berita besar di koran-koran seantero negeri dan banyak ucapan
selamat. Pada 3 Mei 2001, sejumlah aparat penegak hukum federal berwajah serius
berkumpul di kantor cabang FBI di Los Angeles untuk mengumumkan hasil suatu
penggerebekan besar terhadap sindikat penyelundupan manusia. Di podium, para
agen FBI yang didampingi rekan-rekan mereka dari Patroli Perbatasan AS, Badan
Imigrasi dan Naturalisasi (Immigration and Naturalization Service, INS), dan
Departemen Kehakiman AS mengumumkan bahwa mereka telah melibas suatu sindikat
internasional canggih yang telah memasukkan ratusan "pendatang haram"
dari Ukraina ke Amerika Serikat melalui perbatasan dengan Meksiko. Tapi
ceritanya tak cuma itu. Ada sesuatu yang tak dibicarakan oleh para agen; sesuatu
yang pasti mereka harap, mungkin sampai mereka doakan, jangan sampai ketahuan
para wartawan yang hadir di konferensi pers itu. Memang saat itu para wartawan
tak mengetahuinya. Ceritanya bak film Hollywood. Awalnya adalah penemuan tak disangka di suatu
jalan kecil yang terpencil dan berdebu dari Tijuana, Meksiko, ke San Diego,
California. Pada akhir 1999, seorang petugas Patroli Perbatasan AS
yang melakukan inspeksi rutin menemukan satu kamera video di sana.
Ketika dia menonton video dalam kamera itu, dia tak mengerti satu pun kata yang
dibicarakan orang-orang dalam video itu. Jelas mereka bukan berbicara dalam
bahasa Spanyol. Video itu diserahkan ke markas untuk diterjemahkan, dan ketika
terjemahannya datang, para penjaga perbatasan tertawa terbahak-bahak. Rupanya
video tersebut dibuat oleh sepasang orang Ukraina yang mendokumentasikan
perjalanan ilegal mereka memasuki Amerika Serikat. Jalan kecil itu segera
diawasi dan tak lama kemudian Patroli Perbatasan mencokok seorang pemandu
Meksiko yang menyelundupkan lima orang Ukraina ke Amerika Serikat. Para
"pendatang haram" diinterogasi, dan berdasarkan informasi yang mereka beri,
dilaksanakanlah operasi penggerebekan yang terencana baik pada Hari Valentine
2000. Pada Mei tahun berikutnya, para dalang penyelundupan berikut koncokonconya
diciduk dalam sejumlah penggerebekan yang dilakukan sebelum subuh di berbagai
bagian Los Angeles. Penggerebekan itu adalah bahan berita besar. Para agen
menikmati ketenaran dan publikasi yang mereka dapat. Tidak setiap hari mereka
bisa menyombongkan keberhasilan seperti itu. Secara keseluruhan, delapan belas
orang telah didakwa, termasuk seorang perempuan yang menjadi dalangnya, orang
kepercayaan si dalang, dan empat anggota keluarga si dalang.
"Penyelidikan ini makin menegaskan sifat global kejahatan demikian ...
beserta ancaman yang kini kita ketahui dan luar negeri," kata asisten direktur
FBI James DeSarno pada konferensi pers.
Asisten Jaksa Agung AS Dan Saunders lalu menyatakan bahwa
"sebagian pendatang yang diselundupkan adalah perempuan-perempuan muda yang
sesampainya di AS langsung dijual kepada usaha prostitusi."
Nah, secuil informasi itu tentu saja langsung disambar media.
Bagaimanapun juga, penyelundupan orang lewat perbatasan Meksiko ke AS
bukan berita baru. Tapi yang ini punya sisi baru yang menggoda. Seks bikin
laris, dan penyelundupan gadis-gadis muda dari Kyiv ke LA untuk dijadikan
pelacur jelas bakal jadi judul berita yang panas.
Tapi ketika menceritakan rincian operasi penggerebekan, para penyelidik sengaja
melewatkan beberapa fakta penting. Pertama - satu pembunuhan. Dan bukan sembarang
pembunuhan. Korbannya adalah Lyuda Petushenko, seorang pelacur dan germo yang
menjalankan jasa pendamping kelas atas di apartemennya di Lembah San Fernando.
Kedua - enam perempuan Ukraina yang diselundupkan sindikat itu telah dipaksa
melacur. Empat dari enam perempuan itu telah dibeli oleh Petushenko, dan salah satunya,
gadis cantik pirang berumur dua puluh dua bernama Oksana Meshkova, telah dituduh
sebagai pelaku pembunuhan Petushenko.
Yang juga tak diceritakan para agen - terutama karena para wartawan memang tidak
menanyakannya - adalah mengapa FBI, INS, dan Patroli Perbatasan AS menunda
penyelamatan perempuan-perempuan itu sampai mereka telah dijual untuk dijadikan
pelacur dan budak seks. Selama operasi, antara Mei dan September 2000, para penyelidik menyadap telepon,
telepon seluler, dan faksimile para saksi kunci yang terlibat. Berdasarkan
rekaman hasil sadapan, dan beberapa email penting, mereka mengetahui terjadinya
enam "peristiwa", yang masing-masing mencakup penyelundupan sekelompok orang
Ukraina ke AS. Mereka juga mengetahui bahwa salah satu kelompok itu berbeda
dengan yang lainnya: kelompok yang satu itu hendak diboyong ke pasar seks LA.
Yang amat merisaukan adalah karena hasil sadapan mengungkap bahwa para gadis
dalam kelompok tersebut tak tahu apa yang akan mereka hadapi. Tapi, para
pendengarnya - FBI - pasti tahu. FBI menguping pembicaraan para penyelundup untuk
membahas keseluruhan rencana. Mereka mendengar bahwa perempuan-perempuan itu
amat kecewa ketika diberitahu mengenai tujuan mereka. Dan, mereka juga
mendengarkan ketika para penyelundup berdiskusi mengenai cara mencegah
perempuan-perempuan itu kabur.
Tapi, meskipun lima kelompok pendatang lain yang diselundupkan langsung diciduk
oleh para agen, sebagian di antaranya hanya dalam hitungan menit setelah
menginjakkan kaki di wilayah AS, kelompok keenam - para perempuan - tidak diamankan
hingga si germo LA ditemukan tewas ... enam minggu kemudian. Jeda waktu yang
begitu lama - yang tak logis dan melanggar batas-batas moral dan etis. Bagi para
korbannya, penundaan itu berarti hari-hari dan minggu-minggu penuh perbudakan
seksual. Dan selama masa tersebut aparat cuma mendengarkan dan menyaksikan ...
dan hanya berdiam menunggu.
Pertanyaannya, Menunggu apa mereka" Aparat tahu kapan pastinya perempuan-
perempuan itu masuk AS secara ilegal. Bisa saja mereka langsung diamankan saat
itu juga. Yang lebih gawat, aparat tahu persis apa yang bakal terjadi kepada
perempuan-perempuan itu. Aparat tahu perempuan-perempuan itu tak mau dipaksa
menjadi pelacur. Setibanya perempuan-perempuan itu, FBI tahu di mana mereka
disekap. Bahkan FBI mendengar pembicaraan yang menunjukkan bahwa salah seorang
perempuan itu diperkosa. Tapi FBI masih juga belum bergerak.
Apakah FBI menunggu terjadinya sesuatu yang lebih layak diberitakan" Karena
kalau memang itu yang ditunggu, memang seperti demikianlah yang terjadi.
Petushenko telah dipukuli secara brutal lalu ditembak dari jarak dekat di dada
hingga tewas; pembunuhannya berkaitan langsung dengan sindikat penyelundup
manusia. Setelah si germo tewas, barulah FBI pontang-panting beraksi. Tapi, pada
akhirnya, FBI tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Perempuan-perempuan korban
tafiking cuma sampingan operasi utamanya - pemberantasan geng internasional yang
terlibat penyelundupan orang.
Seorang tokoh penting dalam persekongkolan itu adalah Tetyana Komisaruk, yang
digambarkan dalam dokumen FBI sebagai seorang jenderal lapangan bersifat keras
dan keji, yang suka melontarkan sumpah-serapah dan ancaman. Karena terlalu sibuk
dengan rincian, dia cuma menyebut orang-orang yang dia selundupkan sebagai
"orang-orang goblok" atau
"barang dagangan." Tetyana menjaga agar keuntungan yang diperoleh tidak pergi
dari keluarganya. Operasi penyelundupannya di Amerika melibatkan suaminya,
Valeriy, dua putri mereka, dan seorang menantu.
Sementara Tetyana tak punya keluwesan sosial, pembantu utamanya menebar karisma
dan kepercayaan diri. Serge Mezheritsky, putra emigran Yahudi, dulu pernah
mencalonkan diri menjadi anggota dewan kota West Hollywood yang banyak dihuni
emigran Ukraina dan Rusia, tapi gagal. Dia sungguh licin. Dia menggunakan
sejumlah alias, di antaranya Sergei Parfenov, Serge Merritt, dan Seryozha.
Geng itu juga punya beberapa sekutu penting di ibukota Ukraina, Kyiv, termasuk
direktur dan beberapa pegawai perusahaan agen perjalanan bernama Svit Tours.
Menurut berita acara pemeriksaan setebal 113 halaman yang dibacakan di
Pengadilan Distrik Los Angeles, rencana penyelundupan itu berawal dan Svit
Tours. Memang cocok sekali. Para agen perjalanan merekrut Laki-laki dan
perempuan di Kyiv, memberi mereka visa turis Meksiko yang sah dan menerbangkan
mereka ke Meksiko lewat Amsterdam.
Dari Mexico City, para "turis" lantas dibawa ke suatu hotel di Tijuana atau
villa di Rosanta, tak jauh dan sana. Lalu mereka diselundupkan ke AS
dengan berjalan kaki, naik mobil, atau naik perahu. Setelah menyeberangi
perbatasan, mereka naik bus atau kereta menuju bandara Los Angeles dan kemudian
terbang ke New York, Cleveland, Chicago, dan Detroit. Aparat AS
menangkap 200 pendatang haram semacam ini, tapi selama dua tahun jumlah orang
Ukraina yang masuk dengan cara demikian boleh jadi mencapai 2.000. Dan karena
tiap "turis" membayar mahal untuk "Paket Tur Meksiko", usaha itu pastilah
menguntungkan. Meski sebagian besar pendatang haram dideportasi, beberapa ditahan di AS sebagai
saksi. Setelah seorang pendatang bernama Nina Rogozhyna ditangkap karena
memasuki AS secara ilegal, dia menjelaskan cara kerja operasi penyelundupan itu
kepada agen-agen FBI. Menurut iklannya, paket itu mencakup visa turis Meksiko,
tiket pesawat pulang pergi, dan akomodasi di hotel. Biayanya: $3.150. Yang lebih
penting, informasi tersebut menyediakan hubungan langsung dengan para
penyelundup. Pada 7 Agustus 2000, Nina Rogozhyna dan tiga orang Ukraina lain
meninggalkan Kyiv menuju Mexico City. Dan sana mereka naik bus ke Tijuana, dan
menginap di hotel Plazas Las Glonas. Tiga hari kemudian seorang laki-laki yang
mengaku bernama Seryozha (Mezhentsky) menemui mereka untuk menjelaskan rencana
penyelundupan. Biayanya: $2.500, tunai. Minggu berikutnya, para penyelundup
menjemput dua orang pertama dalam kelompok itu, dan Seryozha memberi tahu
Rogozhyna bahwa mereka telah berhasil. Empat hari kemudian Rogozhyna dan kawan
seperjalanannya dimasukkan ke bagasi mobil. Mobil mereka dihentikan untuk
pemeriksaan di pos perbatasan San Vsidro, selepas melewati perbatasan AS, dan
kelompok itu pun ditangkap.
Secara keseluruhan, penyadapan dan pengintaian FBI mengungkap terjadinya lima
operasi penyelundupan seperti itu. Tapi yang keenam berbeda. Menurut dokumen-
dokumen FBI, enam perempuan muda dari Ukraina datang ke Meksiko pada awal Juni
2000. Sadapan percakapan antara Tetyana dan anak buahnya jelas-jelas menunjukkan
bahwa perempuan-perempuan itu akan dijadikan pelacur. Sadapan juga mengungkap
bahwa Mezhentsky sudah membuat rencana besar untuk membentuk sindikat prostitusi
yang kiranya akan menghasilkan $10.000 per hari untuknya. Untuk menambah
keuntungan dari kejahatan itu, Mezhentsky berencana memeras klien-klien kayaraya
dari Hollywood dengan video adegan seks terlarang mereka bersama perempuan-
perempuannya. Tapi ada satu masalah kecil - perempuan-perempuan yang diselundupkan
itu tak tahu mereka telah menjadi korban trafiking menuju prostitusi.
Dalam satu percakapan di telepon yang disadap pada 2 Juli 2000, Valeny Komisaruk
memberi tahu istrinya bahwa dia baru bertemu perempuan-perempuan itu di Tijuana
dan mereka kaget setelah mendengar mereka nantinya akan melakukan apa. Pasangan
Komisaruk membahas kemungkinan gadis-gadis itu kabur. Dengan dingin Tetyana
mengusulkan bahwa sebaiknya Valery "merantai mereka". Dalam sadapan lain,
Tetyana memperingatkan salah seorang pembeli, Gank Vinitsky, warga West
Hollywood berumur empat puluh satu, bahwa "barang yang dia beli bisa kabur."
Tetyana menegaskan bahwa dia tak bertanggung jawab kalau gadis-gadis itu kabur.
"Kalau aku jadi mereka, tak sampai lima menit pun aku akan langsung kabur," kata
Tetyana. Pada 4 Juli, tujuh belas orang Ukraina dibawa dengan perahu Mezhentsky yang
panjangnya sepuluh meter. Tak lama kemudian perahu tersebut bersandar di marina
San Diego. Sebagian besar penumpangnya dibawa ke stasiun kereta api untuk
meneruskan perjalanan ke LA. Tapi keenam perempuan digiring ke Travel Lodge
dekat pelabuhan. Vinitsky menunggu di sana. Dia memilih dua gadis - Helena dan
Vika. Petushenko mengambil sisanya. Tetyana dibayar $2.500 tunai untuk tiap
perempuan selundupan. Dalam beberapa minggu berikutnya, pengintaian FBI mengungkap bahwa rencana
Mezhentsky tengah berjalan dan dia telah meraup untung.
Pada berbagai kesempatan Mezhentsky menceritakan usahanya kepada rekan-rekan dan
kawan-kawannya, sambil menyombongkan betapa banyak uang yang dihasilkan gadis-
gadisnya, betapa giatnya mereka bekerja, dan keahlian seksual mereka.
Mereka bahkan membicarakan tempat gadis-gadis itu disekap. FBI mendengar, tapi
tak berbuat apa-apa. Pada kesempatan-kesempatan lain, Mezhentsky, si germo, memberi tahu rekan-
rekannya di mana harus menjemput dan mengantarkan perempuan. Masih juga belum
ada tanggapan dan polisi. Dalam satu percakapan yang disadap, terdengar
Mezheritsky berbicara akan menggunakan salah satu perempuan untuk memeras
seperempat juta dolar dari klien yang tak tahu apa-apa. Pada kesempatan lain,
Mezheritsky menelepon pengacaranya, Alex Vankovn, untuk meminta agar Vankovn
membuatkan kartu identitas palsu bagi seorang gadisnya.
Vankovn menjawab, "Umurnya belum dua puluh satu. Harus ada orang yang mengurus
surat-suratnya ... Aku mesti minta dibuatkan itu dulu." Si pengacara belakangan
memberi tahu Mezheritsky bahwa "orang-orang itu sedang membuatkan SIM untuk
dia ... Palsu tapi kelihatan seperti asli."
Setelah satu bulan, sadapan mulai menunjukkan bahwa situasinya jadi berantakan.
Perempuan-perempuan Ukraina itu mulai rewel dan tak mau menurut. Tapi
Mezheritsky tak mau membiarkan mereka pergi; menurutnya, mereka masih berutang
kepadanya. Lalu terjadilah sesuatu yang tak disangka. Ada yang terbunuh.
Pada 18 Agustus, pukul 1:26 siang, Mezheritsky mendapat telepon panik dari
pengacaranya, semuanya tersadap.
"Dia membunuh pacarmu ... Dia menghancurkan bisnismu!" seru Vankovn.
"Benar, bung, dia benar-benar merusak bisnisku," jawab Mezheritsky.
"Dia" yang mereka sebutsebut adalah Alex Gabay, alias "Boxer", seorang arsitek
berumur tiga puluh enam yang keluarganya beremigrasi dari Rusia ketika dia masih
remaja. Gabay adalah teman sekolah Mezheritsky dan Vankovn.
Ketika para detektif penyelidik kasus pembunuhan LA tiba di apartemen Lyuda
Petushenko, mereka menemukan mayat Petushenko yang bersimbah darah tergeletak di
lantai kamar tidurnya. Para detektif tak punya petunjuk apa-apa. Penggeledahan
mereka tak menghasilkan petunjuk yang bermakna, cuma ada seleman penuh pakaian
dalam mahal serta meja samping tempat tidur yang lacinya penuh kondom. Lalu,
mereka mendapat penemuan penting: ketika mereka mulai melacak telepon, mereka
menemukan alat penyadap FBI di pesawat telepon Petushenko. Sesudahnya, para
polisi tak perlu waktu lama untuk mengetahui apa yang terjadi.
Masalahnya kini tinggal memisahkan kebenaran dengan kepentingan pribadi.
Para detektif LA menginterogasi Mezheritsky yang meringkuk ketakutan pada 6
September. Mezheritsky mengaku terlibat penyelundupan orang asing melintas
perbatasan dan Meksiko, menunjuk Tetyana sebagai pemimpinnya, dan menyatakan
bahwa Tetyanalah yang menyusun rencana perjalanan dengan para pelaku trafiking
di Kyiv. Lalu Mezheritsky memberi tahu para detektif tentang perjalanannya ke
Meksiko pada awal Juni untuk menemui enam gadis yang akan dibawa melintas
perbatasan. Kata Mezheritsky, Tetyana bilang gadis-gadis itu "pelacur". Tapi
setelah berbicara dengan mereka, Mezheritsky mengaku, dia segera tahu bahwa
gadis-gadis itu bukan pelacur dan mereka telah ditipu sehingga datang ke AS
untuk dijadikan pelacur. Ketika Mezheritsky mengontak Tetyana dan menyatakan
kekhawatirannya, Mezheritsky bilang Tetyana memberi tahu bahwa dua orang sudah
membayar biaya penyelundupan gadis-gadis itu dan akan menjemput gadis-gadis itu
setibanya di San Diego. Mezheritsky menyatakan bahwa dia segan membawa gadis-gadis yang tak bersedia
dipekerjakan sebagai pelacur melintas perbatasan dan bersikeras menyangkal
keterlibatan dalam usaha trafiking. Usaha semacam itu tidak sesuai dengan nilai-
nilai moral yang dipegangnya, imbuh Mezheritsky, sambil menambahkan bahwa
insiden penyelundupan gadis-gadis itu sebenarnya adalah permulaan keretakan
hubungannya dengan Tetyana. Dikatakannya bahwa dia sendiri memutuskan perjanjian
bisnis dengan Tetyana karena Tetyana memaksa gadis-gadis menjadi pelacur.
Mezheritsky tak menganggap bahwa penyelundupan orang-orang yang putus asa ke
negeri yang penuh kesempatan itu salah, tapi perbudakan seksual menurutnya sudah


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelewatan. Ketika Tetyana diinterogasi pada 25 September, dia memberi kisah yang berbeda.
Tetyana juga mengaku terlibat penyelundupan, tapi sama sekali menyangkal
keterlibatan dalam prostitusi atau perbudakan seksual jenis apa pun. Seperti
yang bisa diduga, Tetyana menuduh Mezheritsky sebagai dalang segala kejahatan
itu. Kepada para detektif, Tetyana juga memberi tahu rencana Mezheritsky untuk
memasang kamera video tersembunyi di beberapa apartemen supaya bisa memeras
klien-klien yang tidur dengan pelacur-pelacurnya.
Walau cerita keduanya tidak cocok satu sama lain, satu fakta telah jelas bagi
polisi LA: gadis-gadis itu telah menjadi korban trafiking dan dipaksa melacur.
Olena G. - satu di antara keenam gadis - memberi tahu para detektif bagaimana
Mezheritsky menipunya dengan mengiming-imingi pekerjaan sebagai model sampai dia
memutuskan meninggalkan Ukraina.
Olena mengaku diselundupkan ke AS sebagai bagian kelompok yang terdiri dari
tujuh belas orang, dengan perahu yang dikemudikan suami Tetyana, Valeriy. Begitu
merapat, Lyuda Petushenko langsung memberitahunya bahwa dia harus bekerja untuk
membayar utang $3.000. Olena bersumpah dia sama sekali tak tahu dia akan disuruh
bekerja sebagai pelacur. Andaikata dia tahu, kiranya dia tidak bakal meninggalkan Ukraina. Yang
diceritakan lima perempuan lainnya juga mirip.
Sementara itu, Gank Vinitsky mengaku membeli dua perempuan tapi lantas mengeluh
tidak puas dengan pembeliannya karena "mereka kurang mahir." Katanya, jelas
gadis-gadis itu tak tahu menahu apa yang akan mereka lakukan setibanya di AS dan
mereka kaget ketika disuruh bekerja sebagai pelacur. Dinyatakannya bahwa ketika
dia pertama kali bertemu gadis-gadis itu di motel Travel Lodge di San Diego,
mereka kelihatan tidak beres. Sikap mereka tak sesuai dengan pekerjaan yang akan
mereka lakukan dan mereka amat sedih.
Berikutnya, para detektif pengusut kasus pembunuhan mengincar
"Boxer". Para detektif mendapati bahwa beberapa minggu sebelum pembunuhan,
Mezheritsky mengadakan pesta bagi empat perempuan Ukraina yang baru bergabung
dengannya. Gabay hadir sebagai tamu dan langsung kepincut salah seorang
perempuan itu - Oksana Meshkova. Gabay meminta Oksana tinggal bersamanya di
apartemen lotengnya di LA. Oksana tak menyianyiakan kesempatan untuk lepas dari
si mucikari yang banyak menuntut.
Dalam persidangan kasus pembunuhan Petushenko pada Januari 2002, Ronald D.
Hedding, pengacara Gabay, menjabarkan kliennya sebagai kesatria penyelamat
seorang putri yang dilanda kesusahan. Dikatakan bahwa Gabay melihat seorang
gadis yang ketakutan karena sendirian di negara asing, tak bisa bahasa setempat,
dan jelas tak mau bekerja sebagai pelacur. "Alex mencoba membantunya. Mereka
bertemu, saling jatuh cinta, dan si gadis pun tinggal bersamanya," kata Hedding.
"Di sini ada seorang laki-laki yang mencoba membantu seorang perempuan. Sama
sekali tak ada alasan bagi klien saya untuk membunuh demi gadis itu."
Menurut bukti, pada 17 Agustus, Gabay dan Oksana pergi ke apartemen Petushenko
untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Vika, salah seorang gadis yang
didatangkan dari Ukraina. Si mucikari tak berniat mengobrol. Bagaimanapun juga,
dia rugi $3.000 karena Oksana tak lagi mau bekerja untuk melunasi utang.
Selanjutnya terjadilah pertengkaran dan kedua perempuan itu berbaku hantam.
Beberapa menit kemudian, Petushenko tergeletak tewas di lantai akibat satu
tembakan di dada. Gabay terus mengaku tak bersalah sepanjang sidang, mengatakan
bahwa Oksanalah yang menembak Petushenko dengan pistol miliknya. Oksana juga
didakwa atas tuduhan pembunuhan, tapi belakangan jaksa membatalkan dakwaan
setelah Oksana setuju untuk bersaksi melawan mantan kekasihnya. Dewan juri
memutuskan bahwa Alex Gabay bersalah melakukan pembunuhan tingkat dua
(pembunuhan sengaja yang tak direncanakan-
Penerj.), dan pada 9 Maret 2002 Gabay dijatuhi hukuman penjara dua puluh lima
tahun hingga seumur hidup.
Pengadilan atas sindikat penyelundupan Komisaruk Mezhentsky dimulai pada 6 Mei
2002. Dalam pernyataan pembukaan, Asisten Jaksa Agung AS Mark Aveis menjabarkan
usaha sindikat yang selalu dibayar tunai itu sebagai operasi "servis lengkap".
Aveis menggambarkannya sebagai suatu usaha keluarga ilegal di mana tiap anggota
keluarga punya tugas tertentu, dari mengajari para calon imigran harus
berperilaku seperti apa dan berpakaian seperti orang Amerika, sampai memberi
tahu mereka harus bilang apa kepada petugas Patroli Perbatasan kalau mereka
tertangkap. Aveis menyatakan Tetyana sebagai pemimpinnya, yang bertanggung jawab atas
"datang dan perginya" orang-orang Ukraina yang diselundupkan.
Suaminya, Valeriy, "membantu menjalankan tempat-tempat persiapan di Meksiko."
Mezheritsky menyediakan kapal-kapal dan mobil-mobil untuk menyelundupkan
pendatang haram dan "bekerja sama dengan pemandu-pemandu Meksiko untuk membawa
pendatang ilegal ke Amerika Serikat."
Aveis juga menyebut-nyebut hasil penyadapan percakapan telepon seluler, yang dia
umpamakan sebagai "komentar para terdakwa atas segala kegiatan mereka sendiri."
Hantu Rimba Larangan 2 Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul Maya Misteri Dunia 1
^