Pencarian

Si Jenius Dungu 3

Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes Bagian 3


berubah. Aku tidak bicara tentang IQ-mu. Tetapi sikapmu terhadap orang lain... kau
bukan orang yang sama...." "Oh, ayolah. Jangan...."
"Jangan menyelaku!" Kemarahan yang sesungguhnya dalam suaranya membuatku mundur.
"Aku bersungguh-sungguh. Dulu kau punya sesuatu. Aku tidak tahu... mungkin itu
kehangatan, keterbukaan, kebaikan
yang membuat semua orang menyukaimu dan senang berada di dekatmu. Sekarang,
dengan segala kecerdasanmu dan pengetahuanmu, ada juga perbedaan yang...."
Aku tidak tahan mendengarnya lagi. "Apa yang kauharapkan" Kaupikir aku akan
tetap menjadi anak anjing jinak yang menggoyang-goyangkan ekorku dan menjilati
kaki yang menendangku" Tentu saja, semuanya telah mengubahku, dan juga caraku
memandang diriku sendiri. Aku tidak lagi harus menerima begitu saja perlakuan
kasar orang lain sepanjang hidupku."
"Orang-orang itu tidak jahat padamu."
"Apa yang kau tahu tentang itu" Dengarkan, yang terbaik dari mereka telah
menjadi sombong dan sok mengatur... memakaiku untuk membuat diri mereka tampak
hebat dan aman dalam keterbatasan mereka sendiri. Semua orang akan merasa
dirinya pandai di samping orang bodoh."
Setelah berkata begitu, aku tahu, Alice akan salah menerimanya.
"Kau meletakkan aku pada kategori itu juga, kukira."
"Jangan keterlaluan. Kau tahu pasti aku...."
"Tentu saja, intinya, kukira kau benar. Berada di sampingmu aku tampak cukup
membosankan. Akhir-akhir ini setiap kali kita bertemu, setelah aku
meninggalkanmu, aku pulang dengan perasaan tidak menyenangkan karena aku merasa
lamban dan bodoh dalam segala hal. Aku mengingat-ingat segala yang kukatakan,
dan hasilnya aku menemukan hal-hal yang cemerlang serta pintar yang seharusnya
aku katakan. Aku merasa ingin menendang diriku sendiri karena aku tidak
mengatakannya ketika bersamamu."
"Itu pengalaman yang lumrah saja."
"Aku merasa ingin membuatmu terkesan, dengan cara yang belum pernah kulakukan
sebelumnya. Tetapi bersamamu, rasa percaya diriku pun runtuh. Kini aku
mempertanyakan motivasiku, tentang segala hal yang kulakukan."
Aku mencoba mengalihkan topik, tetapi dia terus kembali ke sana. "Begini, Alice.
Aku tidak datang ke sini untuk bertengkar denganmu," akhirnya aku berkata.
"Boleh aku mengantarmu pulang" Aku memerlukan seseorang untuk kuajak bicara."
"Aku juga. Tetapi hari-hari ini aku tidak bisa bicara denganmu. Yang dapat
kulakukan hanyalah menyimak dan menganggukkan kepala lalu berpura-pura mengerti
segalanya tentang perbedaan budaya, dan matematika neo Boulean, juga logika
pascasimbolis, kemudian aku merasa lebih bodoh. Lalu, ketika kau meninggalkan
apartemen, aku harus menatap cermin dan meneriaki diriku sendiri: 'Tidak, kau
tidak menjadi lebih bodoh setiap hari! Kau tidak kehilangan kecerdasanmu! Kau tidak menjadi
pikun dan bodoh. Ledakan kepandaian Charlie yang begitu cepatlah yang membuatku
tampak mundur.' Aku mengatakan begitu pada diriku sendiri, Charlie. Tetapi
ketika kita bertemu dan kau mengatakan padaku sesuatu sambil menatapku dengan
tidak sabar, aku tahu kau sedang menertawakan diriku.
"Dan saat kau menjelaskan sesuatu padaku, tapi aku tidak dapat mengingatnya,
kaupikir itu karena aku tidak tertarik dan tidak mau mengalami kesulitan.
Tetapi, kau tidak tahu bagaimana aku menyiksa diriku ketika kau pergi. Kau tidak
tahu buku-buku yang kuusahakan kubaca, kuliah-kuliah yang kuhadiri di Beekman.
Begitu aku bicara denganmu tentang sesuatu, aku melihat betapa tidak sabarnya dirimu,
seolah kami semua kekanak-kanakan. Aku menginginkan kau pandai. Aku ingin
membantumu dan berbagi denganmu... dan sekarang kau tidak membolehkan aku masuk
dalam kehidupanmu." Menyimak apa yang dikatakan Alice, kedalaman pikirannya menyadarkan aku. Aku
telah begitu asyik dengan diriku sendiri serta apa yang terjadi padaku. Yang
tidak pernah terpikirkan adalah apa yang terjadi pada diri Alice setelah itu.
Dia menangis lirih ketika kami meninggalkan sekolah, dan aku tidak bisa berkata
apa-apa. Di sepanjang perjalanan dengan bus, aku berpikir betapa situasinya
menjadi kacau. Alice takut padaku. Es itu telah mencair di antara kami, lalu
jarak di antara kami melebar ketika arus pikiranku membawaku ke lautan lepas.
Alice benar ketika dia menolak untuk menyiksa diri saat bersamaku. Kami tidak
lagi memiliki kesamaan. Percakapan ringan telah menjadi kaku. Dan yang ada di
antara kami adalah kesenyapan yang memalukan dan kerinduan yang tak terbebaskan
dalam sebuah ruangan gelap.
"Kau sangat serius," katanya berusaha mencerahkan suasana hatinya sendiri,
sambil menatapku. "Ya, tentang kita."
"Seharusnya tidak perlu serius begitu. Aku tidak mau membuatmu kesal. Kau sedang
mengalami cobaan besar." Alice mencoba tersenyum.
"Tetapi kau membuatku kesal. Hanya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan
untuk itu." Dalam perjalanan dari halte bus ke apartemennya, dia berkata, "Aku tidak ikut
bersamamu ke pertemuan. Aku
sudah menelepon Profesor Nemur tadi pagi dan mengatakan itu kepadanya. Kau pasti
akan sangat sibuk di sana. Bertemu dengan orang-orang yang menarik... ketegangan
yang menyenangkan karena menjadi pusat perhatian. Aku tidak mau menghalangi...."
"Alice...." "... dan tidak peduli apa yang akan kaukatakan tentang itu sekarang, aku tahu
itulah yang akan kurasakan. Maka, jika kau tidak keberatan, aku akan
mempertahankan egoku yang sedang tercabik-cabik ini, terima kasih."
"Tetapi kau membesar-besarkan persoalan. Aku yakin, jika kau akan hanya...."
"Kau tahu" Kau yakin?" Alice berpaling dan mendelik, di depan tangga gedung
apartemennya. "Oh, betapa kau keterlaluan. Bagaimana kau tahu apa yang
kurasakan" Kau dengan bebas mengulas pikiran orang lain. Kau tidak dapat
mengatakan bagaimana perasaanku atau apa yang kurasakan atau mengapa aku merasa
seperti itu." Alice beranjak masuk, kemudian dia menatapku lagi, suaranya bergetar, "Aku akan
di sini ketika kau kembali. Aku hanya kesal, itu saja. Dan aku ingin kita berdua
menggunakan kesempatan untuk berpikir sementara kita saling berjauhan."
Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, dia tidak mengundangku masuk.
Aku menatap pintu yang tertutup dengan kemarahan memuncak dalam diriku. Aku
ingin berbuat sesuatu, menggedor pintu itu, atau merobohkannya. Aku ingin
kemarahanku terlampiaskan pada gedung ini.
Tetapi, ketika aku beranjak menjauh, aku merasakan semacam perasaan yang
berangsur-angsur mereda, lalu
dingin dan akhirnya lega. Aku berjalan begitu cepat seolah aku hanyut di jalanan
itu, dan pipiku diterpa angin dingin sepoi-sepoi di malam musim panas. Tiba-tiba
aku merasa bebas. Aku sadar bahwa perasaanku terhadap Alice telah bergerak mundur melawan arus
pembelajaranku. Dari pemujaan terhadap Alice berubah menjadi cinta, kesukaan,
penghargaan, dan tanggung jawab. Perasaan bingungku terhadap dia telah
menahanku, dan aku telah bergantung padanya karena rasa takutku dipaksa bukan
menjadi diriku sendiri, dan membiarkan aku hanyut.
Tetapi, kebebasan itu mendatangkan kesedihan. Aku ingin mencintainya. Aku ingin
mengatasi ketakutan emosional dan seksualku kemudian menikah, mempunyai anak-
anak serta rumah. Sekarang itu tidak mungkin. Aku sekarang menjadi terlalu jauh dari Alice dengan
IQ 185, begitu juga ketika aku masih ber-IQ 70.
8 Juni Apa yang membuatku keluar dari apartemen untuk berkeliling kota" Aku
berjalan-jalan di kota sendirian bukan berjalan-jalan dengan santai di malam
musim panas, tetapi berjalan dengan terburu-buru entah ke mana" Di gang-gang,
aku menatapi pintu-pintu, mengintai ke jendela yang setengah tertutup tirai,
menginginkan seseorang bicara tapi takut bertemu dengan siapa pun. Memasuki satu
jalan dan keluar dari jalan yang lain, aku seperti melewati labirin tanpa akhir,
dengan menerjang kota yang seperti kandang lampu neon. Mencari... entah apa"
LAPORAN KEMAJUAN 13 10 Junikami berada di dalam Stratojet yang hampir mengudara menuju Chicago. Aku
masih berutang laporan kemajuan ini kepada Burt yang memiliki gagasan cemerlang.
Ia mengatakan, aku bisa saja mendiktekan laporanku pada sebuah perekam
transistor dan meminta ahli stenografi mengetiknya di Chicago. Nemur menyukai
gagasan itu. Kenyataannya, ia ingin aku menggunakan rekaman itu akhirnya. Ia
merasa hal itu dapat menambah laporannya jika memutar laporan yang paling baru
pada sesi terakhir konvensi.
Jadilah aku sekarang duduk sendirian di bagian pribadi di dalam jet yang menuju
ke Chicago, sambil membiasakan diri berpikir dengan suara keras dan mendengarkan
suaraku sendiri. Kukira pengetik itu dapat mengabaikan saja segala umm, eee, dan
ah, serta membuatnya sewajar mungkin di atas kertas (aku tidak dapat menghindari
kegugupan yang menyerangku ketika aku ingat bahwa ada ratusan orang yang akan
menyimak kata-kata yang kuucapkan sekarang).
Benakku kosong. Pada saat itu, perasaanku lebih penting daripada segalanya.
Gagasan terbang mengudara membuatku ketakutan.
Sejauh yang dapat kuingat, pada hari-hari sebelum operasi, aku tidak pernah
benar-benar mengerti apa itu pesawat terbang. Aku belum pernah melihat di TV
ataupun di film potret pesawat dari jarak dekat dengan benda-benda yang kulihat
meluncur di atas kepalaku. Sekarang sebentar lagi kami akan mengudara. Yang
dapat kupikirkan hanyalah apa yang mungkin terjadi jika kami jatuh. Sebuah
perasaan dingin muncul, lalu pikiran bahwa aku tidak mau mati. Keadaan itu
membuatku ingat pada diskusi tentang Tuhan.
Aku sering berpikir mengenai kematian dalam minggu-minggu terakhir ini, tetapi
tidak benar-benar tentang Tuhan. Ibuku membawaku ke gereja sesekali-tetapi aku
tidak ingat pernah benar-benar memikirkan Tuhan. Mama sangat sering menyebutNya,
dan aku harus berdoa kepadaNya pada malam hari, tetapi aku tidak pernah serius
memikirkannya. Aku mengingatNya sebagai paman jauh dengan jenggot panjang dan
duduk di atas singgasana (seperti Sinterklas di pusat perbelanjaan, duduk di
atas kursi besar, yang memangkuku dan bertanya apakah aku tidak nakal, serta
hadiah apa yang aku inginkan darinya") Mama takut kepadaNya, tetapi tetap
meminta pertolongan-Nya. Ayahku tidak pernah menyebut-nyebut-Nya seolah Tuhan
itu adalah saudara Rose yang ingin dihindarinya.
* "Kita siap mengudara, Pak. Boleh kubantu mengencangkan sabuk pengaman Anda?"
"Haruskah" Aku tidak suka diikat."
"Sampai kita berada di udara saja."
"Aku lebih baik tidak diikat, kecuali jika harus. Aku takut diikat. Itu mungkin
bisa membuatku sakit."
"Itu peraturan, Pak. Mari, saya bantu Anda
"Jangan. Akan kulakukan sendiri."
"Bukan begitu... yang satu itu masuk ke sini."
"Tunggu, ah... oke."
* Menggelikan. Tidak ada yang harus ditakutkan. Sabuk pengaman mengikat tidak
terlalu erat tidak menyakitkan. Mengapa mengenakan sabuk pengaman sialan saja
bisa membuatmu begitu ketakutan" Nah, lalu getaran ketika pesawat terbang itu
mengangkasa. Kecemasan yang berlebihan pada keadaan... jadi pasti ada sesuatu... apa" Terbang
memasuki dan menembus awan... eratkan sabuk pengaman... diikat... menegang ke depan...
aroma kulit berkeringat... getaran dan suara menderu di telinga.
Melalui jendela di dalam awan aku melihat Charlie. Usianya sulit diterka, kira-
kira lima tahun. Sebelum Norma....
"Kalian berdua sudah siap?" Ayahnya muncul di ambang pintu, terlihat berat,
terutama pada wajah dan lehernya yang sudah menggelambir. Tampangnya letih.
"Kutanya, kalian siap?"
"Sebentar lagi," jawab Rose. "Aku sedang mengenakan topiku. Pastikan kemejanya
sudah terkancing, dan ikat tali sepatunya."
"Ayolah, kita selesaikan."
"Ke mana?" tanya Charlie. "Ke mana... Charlie... pergi?"
Ayahnya menatapnya dan mengerutkan keningnya. Matt Gordon tidak pernah tahu
bagaimana menjawab pertanyaan anak lelakinya.
Rose muncul di ambang pintu kamarnya, sambil merapikan cadar pada topinya. Dia
perempuan berparas seperti burung, dengan kedua lengannya terangkat ke
kepalanya, sikunya keluar tampak seperti sayap. "Kita akan pergi ke dokter yang
akan membantumu menjadi anak pandai."
Cadar itu membuat ibunya tampak melongok ke bawah melalui jaring kawat. Charlie
selalu takut ketika mereka mengenakan pakaian bagus untuk pergi seperti ini.
Karena ia tahu ia akan bertemu dengan orang lain lalu
ibunya akan menjadi kesal dan marah.
Ia ingin berlari, tetapi tidak ada tempat untuk berlari.
"Mengapa kau harus mengatakan padanya hal itu?" tanya Matt.
"Karena itu yang sebenarnya. Dr Guarino dapat membantunya." Matt berjalan hilir
mudik seperti seorang lelaki yang putus asa tetapi masih ingin berusaha terakhir
kalinya untuk berunding. "Bagaimana kau tahu" Apa yang kau tahu tentang orang
itu" Jika ada apa pun yang dapat dilakukan, para dokter pastilah sudah
mengatakan kepada kita sejak dulu."
"Jangan katakan itu," jeritnya. "Jangan katakan tidak ada yang dapat mereka
lakukan." Dia menyambar Charlie dan menyurukkan kepala anak itu ke dadanya. "Ia
akan normal, apa pun yang harus kita lakukan, berapa pun harganya."
"Hal itu tidak bisa dibeli dengan uang."
"Ini Charlie yang kubicarakan. Anakmu... putra tunggalmu." Dia mengayun-ayunnya ke
kiri ke kanan, hampir histeris sekarang. "Aku tidak mau mendengarkan pembicaraan
itu. Mereka tidak tahu, karena itu mereka mengatakan tidak ada yang bisa
dilakukan. Dr Guarino menjelaskan semuanya padaku. Mereka tidak mau mensponsori
penemuan itu, katanya, karena hal itu akan membuktikan bahwa mereka salah.
Seperti yang terjadi pada ilmuwan-ilmuwan lainnya. Pasteur, juga Jennings, dan
yang lainnya. Ia mengatakan segalanya tentang dokter-dokter jagoanmu itu, mereka
taut pada kemajuan ." Dengan berbicara kepada Matt seperti itu, Rose menjadi
tenang dan yakin terhadap dirinya sendiri. Ketika dia melepaskan Charlie, anak
itu berjalan ke sudut dan berdiri di dekat dinding ketakutan dan gemetar.
"Lihatlah," kata Rose, "kau membuatnya marah lagi." "Aku?"
"Kau selalu menyulut kemarahanku di depannya."
"Ya, Tuhan! Ayolah, selesaikan saja ini semua."
Dalam perjalanan menuju tempat praktek Dr Guarino, mereka tidak mau saling
bicara. Sunyi di bus, dan sunyi pula ketika berjalan melewati tiga blok dari bus
ke gedung perkantoran di kota. Setelah lima belas menit, Dr Guarino keluar ke
ruang tunggu menyambut mereka. Ia gemuk dan botak, serta tampak seperti akan
meledak dari jas lab putihnya. Charlie kagum dengan alis putih tebalnya dan
kumis putihnya yang bergerak-gerak. Kadang-kadang kumisnya bergerak dulu, lalu
diikuti oleh alis yang terangkat, tetapi kadang-kadang alis terangkat dulu
kemudian kumis bergerak mengikuti.
Mereka digiring Dr Guarino memasuki ruang putih besar beraroma cat baru, dan
hampir tidak berperabotan hanya ada dua meja pada satu sisi ruangan, dan pada
sisi lainnya, sebuah mesin besar dengan deretan pemutar serta empat lengan
panjang seperti alat pengebor gigi di ruang dokter gigi. Di dekatnya ada sebuah
meja pemeriksaan berlapis kulit hitam dengan pengikat tebal dan berjaring.
"Wah, wah, wah," kata Guarino, sambil menaikkan alisnya,"jadi inilah si
Charlie." Ia mencengkeram bahu anak lelaki itu dengan kuat. "Kita akan
berteman." "Anda benar-benar dapat melakukan sesuatu padanya, Dr Guarino?" tanya Matt.
"Anda pernah melakukan hal ini sebelumnya" Kami tidak punya banyak uang."
Alis itu turun seperti jendela ketika Dr Guarino mengerutkan keningnya. "Pak
Gordon, apakah aku belum mengatakan apa yang dapat kulakukan" Apakah aku tidak
memeriksanya dulu" Mungkin ada yang bisa dilakukan, mungkin juga tidak. Pertama
harus ada pengujian jasmani dan mental untuk menentukan sebab-sebab
patologisnya. Banyak waktu kemudian untuk bicara tentang prognosis. Sebenarnya,
aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Aku hanya setuju untuk memeriksa ini karena
aku sedang mempelajari kasus keterbelakangan neural jenis ini. Tentu saja, jika
Anda memiliki rasa cemas, mungkin...."
Suaranya terdengar lirih dan sedih, lalu ia berpaling. Tetapi Rose Gordon
menyikut Matt dengan sikunya. "Suamiku sama sekali tidak bermaksud begitu, Dr
Guarino. Ia terlalu banyak bicara." Lalu Rose mendelik, memperingatkan Matt agar
meminta maaf. Matt mendesah. "Jika Anda mempunyai cara apa saja untuk menolong Charlie, kami
akan melakukan apa pun yang kauminta. Segalanya berjalan lambat akhir-akhir ini.
Aku menjual perlengkapan cukur rambut, tetapi apa pun yang kumiliki aku akan
dengan senang hati...."
"Hanya satu hal yang harus kutekankan," kata Guarino, sambil menekan bibirnya
seolah sedang membuat keputusan. "Begitu kita mulai, perawatan itu harus
berlanjut hingga selesai. Karena jenis ini, hasilnya sering terlihat tiba-tiba
setelah berbulan-bulan tanpa ada tanda-tanda kemajuan sebelumnya. Aku tidak
menjanjikan keberhasilan pada kalian, aku ingatkan itu. Tidak ada yang terjamin.
Tetapi, kalian harus memberi kesempatan untuk perawatan itu. Kalau tidak ingin,
sebaiknya tidak perlu dilakukan sama sekali."


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengerutkan keningnya untuk menekankan peringatannya, sehingga alis putihnya
membentuk bayangan putih di atas mata biru terangnya yang menatap. "Sekarang,
kalau saja Anda mau keluar dan
membiarkan aku memeriksa anak lelaki ini."
Matt ragu-ragu ketika akan meninggalkan Charlie berdua saja dengan dokter itu,
tetapi Guarino mengangguk. "Ini cara terbaik," katanya sambil mendorong mereka
berdua keluar dan menunggu di ruang tunggu. "Hasilnya selalu lebih berarti jika
hanya ada pasien dan aku saat tes psikosubstansi dilakukan. Gangguan dari luar
akan berpengaruh terhadap hasil yang beragam."
Rose tersenyum penuh kemenangan kepada suaminya, sedangkan Matt mengikutinya
keluar dengan cemberut. Berdua saja dengan Charlie, Dr Guarino menepuk-nepuk kepala Charlie. Ia memiliki
senyuman yang ramah. "Baiklah, Nak. Naik ke meja."
Ketika Charlie tidak bereaksi, dengan lembut Dr Guarino mengangkatnya ke atas
meja berlapis kulit dan mengikatnya supaya aman dengan pengikat yang berat. Meja
itu beraroma keringat yang sudah melekat lama dan bercampur aroma kulit.
"Mamaaa!" "Dia ada di luar. Jangan khawatir, Charlie. Ini tidak akan sakit sedikit pun."
"Mau Mama!" Charlie bingung karena diikat seperti ini. Ia tidak tahu apa yang
dilakukan pada dirinya, tetapi ada dokter-dokter lain yang bersikap tidak
terlalu lembut setelah orang tuanya meninggalkan ruangan.
Guarino mencoba menenangkannya. "Tenanglah, Nak. Tidak ada yang perlu
ditakutkan. Kau lihat mesin besar ini di sini" Tahu apa yang akan kulakukan
dengan mesin ini?" Charlie meringis, lalu ia ingat kata-kata ibunya. "Membuatku pandai."
"Benar. Setidaknya kau tahu untuk apa kau ke sini. Sekarang, tutup saja matamu
dan santai sementara aku memutar tombol-tombol ini. Mesin ini akan mengeluarkan
suara keras, seperti pesawat udara, tetapi tidak akan menyakitimu. Dan kita akan
melihat apakah kami bisa membuatmu lebih pandai daripada kau yang sekarang."
Guarino memutar tombol sehingga mesin itu mengeluarkan bunyi mendengung, lampu-
lampu merah dan biru berkerdip menyala serta mati bergantian. Charlie ketakutan.
Ia meringis dan gemetar, meronta melawan ikatan yang menahannya dengan kuat di
atas meja. Ia mulai berteriak, tetapi dengan cepat Guarino menjejalkan kain ke dalam
mulutnya. "Tenanglah, Charlie. Jangan berteriak-teriak. Kau akan menjadi pria
kecil yang baik. Aku sudah katakan mesin itu tidak akan menyakitimu."
Charlie berusaha berteriak lagi, tetapi yang keluar hanyalah suara tertahan dan
tercekik yang membuatnya ingin muntah. Ia merasakan ada yang basah dan lengket
di sekitar tungkainya, lalu bau yang tercium mengatakan padanya bahwa ibunya
akan menghukumnya dengan pukulan di bokongnya dan berdiri di sudut karena ia
ngompol. Ia tidak dapat menahannya. Setiap kali ia merasa terperangkap dan
panik, ia akan kehilangan kendali sehingga mengotori dirinya. Tercekik... sakit...
mual... lalu segalanya menjadi hitam.
Tidak bisa diketahui berapa lama waktu yang mereka lewatkan, tetapi ketika
Charlie membuka matanya, gumpalan kain telah terlepas dari mulutnya serta
pengikat sudah dibuka. Dr Guarino berpura-pura tidak mencium aroma tidak sedap
itu. "Nah, tidak sakit sama sekali, bukan?"
"Ti... tidak...."
"Ya, mengapa kau begitu gemetar" Yang kulakukan hanyalah menggunakan mesin itu
untuk membuatmu lebih pandai. Bagaimana rasanya menjadi lebih pandai dibanding
tadi?" Seraya melupakan ketakutannya, Charlie menatap mesin itu dengan mata terbelalak.
"Aku sudah menjadi pandai?"
"Tentu saja. Mmm, coba berdiri di sana. Bagaimana rasanya?"
"Terasa basah. Aku sendiri yang salah."
"Ya, nah... mmm... kau tidak akan ngompol lain kali, ya" Kau tidak akan takut lagi
karena kau sekarang sudah tahu mesin itu tidak menyakitkan. Sekarang aku ingin
kau mengatakan kepada ibumu betapa sekarang kau merasa pandai. Lalu minta ibumu
membawamu ke sini dua kali seminggu untuk mendapatkan aliran arus pendek
encephah reconditioning, hingga kau menjadi lebih pandai, lebih pandai, dan
lebih pandai lagi." Charlie tersenyum. "Aku bisa berjalan mundur." "Kau bisa" Coba lihat," kata
Guarino seraya menutup mapnya sambil berpura-pura gembira. "Aku mau lihat."
Perlahan, dan dengan susah payah, Charlie melakukan beberapa langkah mundur,
lalu tersandung meja pemeriksaan ketika melakukannya. Guarino tersenyum dan
mengangguk. "Nah, itu yang kusebut hasil. Oh, kau tunggulah. Kau akan menjadi
anak lelaki terpandai di blokmu sebelum perawatanmu benar-benar selesai."
Charlie malu karena pujian dan perhatian itu. Orang tidak terlalu sering
tersenyum kepadanya dan mengatakan, ia telah melakukan sesuatu dengan baik.
Bahkan rasa takutnya pada mesin dan kengeriannya diikat
mulai memudar. "Di seluruh blok?" pikiran itu memenuhi benaknya seolah ia tidak dapat mengisi
udara dengan cukup ke dalam paru-parunya, walau ia telah berusaha keras. "Bahkan
lebih pandai dari pada Hymie?"
Guarino tersenyum lagi dan mengangguk. "Lebih pandai daripada Hymie."
Charlie menatap mesin itu dengan minat dan ketak-juban yang baru. Mesin itu akan
membuatnya lebih pandai daripada Hymie yang tinggal dua rumah dari rumahnya dan
bisa membaca, menulis, serta menjadi anggota pramuka. "Ini mesinmu?"
"Belum. Itu milik bank. Tetapi, tidak lama lagi mesin itu akan menjadi milikku,
kemudian aku akan dapat membuat banyak anak lelaki sepertimu menjadi pandai." Ia
menepuk-nepuk kepala Charlie dan berkata, "Kau jauh lebih ramah ketimbang anak-
anak normal yang dibawa ibunya ke sini dengan harapan aku dapat membuat mereka
menjadi jenius dengan cara meningkatkan IQ mereka."
"Apakah mereka menjadi dungu jika kau membelakkan mata mereka?" Ia menempelkan
kedua tangannya di wajahnya untuk melihat apakah mesin itu telah melakukan
sesuatu untuk membelalakkan matanya. "Kau akan menjadikan aku dungu?"
Tawa Guarino adalah tawa yang ramah ketika ia meremas bahu Charlie. "Tidak,
Charlie. Kau tidak perlu mencemaskan apa-apa. Hanya keledai-keledai kecil yang
nakal yang menjadi dungu. Kau akan tetap menjadi seperti dirimu, anak yang
baik." Kemudian, setelah berpikir lebih baik, ia menambahkan, "Tentu saja, agak
lebih pandai daripada dirimu yang sekarang."
Dr Guarino membuka kunci pintu dan membawa Charlie menemui orang tuanya. "Ini
dia, Kawan. Tidak ada yang lebih buruk bagi pengalamannya tadi. Ia seorang anak
lelaki yang baik. Kukira, kami akan menjadi sahabat, ya kan, Charlie?"
Charlie mengangguk. Ia ingin Dr Guarino menyukainya, tetapi ia takut ketika ia
melihat ekspresi wajah ibunya. "Charlie, apa yang kaulakukan tadi?"
"Hanya kecelakaan, Bu Gordon. Ia sangat ketakutan pada awalnya. Tetapi jangan
salahkan ia atau menghukumnya. Aku tidak mau ia menghubungkan hukuman dengan
kedatangannya ke sini."
Tetapi Rose Gordon sangat malu. "Ini menjijikkan. Aku tidak tahu harus
bagaimana, Dr Guarino. Bahkan di rumah pun ia lupa... dan kadang-kadang ketika
kami punya tamu di rumah. Aku sangat malu kalau ia ngompol."
Tarikan wajah jijik di wajah ibunya membuat Charlie gemetar. Untuk sementara
tadi, ia lupa betapa nakalnya dirinya, betapa ia membuat orang tuanya menderita.
Ia tidak tahu bagaimana, tetapi ketika ibunya mengatakan bahwa ia telah
membuatnya menderita, ia merasa ketakutan. Ketika ibunya menangis dan menjerit-
jerit, ia memalingkan wajahnya ke arah dinding dan mengerang lirih pada dirinya
sendiri. "Sekarang, jangan membuatnya kesal, Bu Gordon. Jangan khawatir. Bawa Charlie
lagi kepadaku hari Selasa dan Kamis setiap minggu pada waktu yang sama."
"Tetapi apakah ini bisa berhasil?" tanya Matt. "Sepuluh dolar itu mahal...."
"Matt!" Rosa memegangi lengan baju suaminya. "Apakah itu hal yang harus
dibicarakan pada saat seperti ini" Ia darah dagingmu sendiri, dan mungkin Dr
Guarino dapat membuatnya menjadi seperti anak-anak lainnya, dengan bantuan Tuhan, sedangkan
kau meributkan soal uang!"
Matt Gordon mulanya ingin membela diri, tapi kemudian ia memutuskan tidak
melakukannya. Ia lalu mengeluarkan dompetnya.
"Kumohon...," desah Dr Guarino, seolah ia malu melihat uang. "Asistenku di meja
depan akan mengurus soal keuangan. Terima kasih." Ia setengah membungkuk kepada
Rose, menjabat tangan Matt, dan menepuk punggung Charlie. "Anak baik. Sangat
baik." Lalu sambil tersenyum lagi, ia menghilang di balik pintu ke dalam
kantornya. Mereka bertengkar dalam perjalanan pulang. Matt mengeluhkan pasokan peralatan
pangkas rambut yang sedang merosot dan tabungan mereka yang tidak banyak. Rose
balas memekik dan mengatakan bahwa membuat Charlie normal adalah hal yang lebih
penting daripada apa pun.
Karena takut akan pertengkaran kedua orang tuanya, Charlie merengek. Gelegar
kemarahan dalam suara mereka sangat menyakitkan baginya. Begitu mereka memasuki
apartemen, ia memisahkan diri dan menuju ke sudut dapur. Di belakang pintu ia
berdiri dengan keningnya ditekan ke dinding keramik, sambil gemetar dan
mengerang. Mereka tidak memperhatikannya. Mereka telah lupa bahwa Charlie harus dibersihkan
dan diganti celananya. "Aku tidak histeris. Aku hanya muak dengan keluhanmu setiap kali aku berusaha
melakukan sesuatu untuk anak lelakimu. Kau tidak peduli. Kau hanya tidak
peduli." "Itu tidak benar! Tetapi aku sadar, tidak ada yang dapat kita lakukan. Jika kau
mempunyai anak seperti Charlie, itu hanya kesialan. Dan kau melahirkannya, kau harus mencintainya. Nah,
aku bisa tahan, tapi aku tidak tahan pada cara-cara tololmu. Kau menggunakan
hampir seluruh tabungan kita untuk hal-hal yang tidak masuk akal... uang yang
seharusnya dapat kugunakan untuk memulai usahaku yang wajar. Ya. Jangan tatap
aku seperti itu. Dengan semua uang yang telah kaubuang ke selokan untuk membayar
pekerjaan yang tidak akan ada hasilnya itu, seharusnya aku dapat mendirikan
tempat pangkas rambutku sendiri daripada aku menggantungkan diri pada pekerjaan
menjual peralatannya selama sepuluh jam sehari. Tempat bercukurku sendiri dengan
orang-orang yang bekerja untukku!"
"Jangan berteriak lagi. Lihatlah Charlie, ia ketakutan."
"Persetan denganmu. Sekarang aku tahu siapa yang
tolol di sini. Aku! Karena aku mau hidup bersamamu." Ia
berjalan keluar, kemudian membanting pintu.
* "Maaf mengganggu, Pak, tetapi kita akan mendarat dalam beberapa menit lagi. Anda
harus memasang sabuk pengaman lagi.... Oh, Anda telah memasangnya, Pak. Anda masih
terus memakainya di sepanjang perjalanan dari New York. Hampir dua jam...."
"Aku lupa melepasnya. Aku akan terus mengenakannya hingga mendarat nanti. Ini
tidak menggangguku lagi." *
Sekarang aku dapat melihat dari mana aku mendapat motivasi yang tidak biasa
untuk menjadi pandai sehingga membuat orang lain terheran-heran. Sesuatu yang
melekat pada Rose Gordon siang malam itulah. Ketakutannya, rasa bersalahnya,
rasa malunya karena Charlie bodoh. Mimpinya adalah ada yang bisa dilakukan
untuk itu. Pertanyaan yang mendesaknya adalah ini kesalahan siapa, dirinya atau
Matt" Hanya setelah kelahiran Norma yang membuktikannya mampu melahirkan anak
normal, walau aku tolol, Rose menghentikan usahanya untuk membuatku pandai.
Tetapi, kukira aku tidak pernah berhenti dari keinginan menjadi anak lelaki
pandai seperti yang diinginkan Rose, karena aku ingin Mama menyayangiku.
Sesuatu yang lucu pada Guarino. Seharusnya aku membencinya atas apa yang telah
dilakukannya padaku, dan ia pun telah mengambil keuntungan dari Rose dan Matt,
tetapi aku tidak bisa. Setelah hari pertama perawatan, ia selalu menyenangkan
bagiku. Selalu ada tepukan di bahuku, senyumannya, kata-kata penyemangat yang
jarang diucapkan orang lain padaku.
Ia memperlakukan aku walau ketika itu aku masih bodoh sebagai manusia.
Mungkin akan terdengar seperti tidak berterima kasih, tetapi inilah satu hal
yang kubenci di sini sikapnya yang menyadarkan bahwa akulah si kelinci
percobaan. Kata-kata Nemur yang selalu menyebut-nyebut membuatku seperti
sekarang ini, atau suatu hari kelak akan ada orang lain seperti diriku yang akan
menjadi manusia sesungguhnya.
Bagaimana aku bisa membuatnya mengerti bahwa ia tidak menciptakanku"
Ia membuat kesalahan yang sama sebagaimana yang lainnya, seperti ketika mereka
menganggapku seorang yang berotak lemah dan tertawa karena mereka tidak mengerti
bahwa ada perasaan manusia yang terlibat di sini. Guarino tidak sadar bahwa aku
juga seorang manusia sebelum aku datang ke sini.
Aku belajar mengendalikan rasa tidak sukaku, lalu berusaha menahan ketidak
sabaran, untuk menunggu hal-hal lainnya. Kukira aku bertumbuh. Setiap hari aku
belajar lebih banyak dan lebih banyak lagi tentang diriku sendiri. Lalu
kenangan-kenangan yang semula datang sebagai riak-riak kecil, sekarang berubah
menjadi gelombang-gelombang tinggi....
22 Juni Kebingungan dimulai ketika kami tiba di Hotel Chalmers di Chicago.
Ketika itu terjadi kesalahan pengaturan, kamar kami belum kosong hingga malam
berikutnya sehingga kami harus menginap di Hotel Independence, tak jauh dari
Hotel Chalmers. Nemur sangat marah. Ia menganggapnya sebagai penghinaan pribadi
sehingga ia bertengkar dengan semua petugas hotel tersebut, dari petugas pembawa
koper hingga manajernya. Kami menunggu di lobi ketika setiap petugas hotel pergi
mencari atasannya untuk melihat apa yang dapat mereka lakukan.
Di tengah-tengah kebingungan itu koper-koper keluar masuk bertumpuk di seluruh
lobi, petugas pengangkut koper bergegas hilir mudik dengan kereta dorong
kecilnya, keluarga yang sudah lama tidak bertemu dan saling menyapa kami berdiri
di sana dengan perasaan malu yang semakin menjadi-jadi ketika Nemur mencoba
menyerang seorang petugas yang berkaitan dengan Asosiasi Psikologi
Internasional. Akhirnya, ketika tampaknya sudah tidak ada lagi yang dapat dilakukan, ia
menerima kenyataan bahwa malam pertama kami di Chicago harus kami lewatkan di
Hotel Independence. Ternyata, kebanyakan psikolog yang lebih muda
menginap di Hotel Independence, sehingga di sini jugalah pesta besar pertama
berlangsung. Di sini orang-orang telah mendengar soal eksperimen itu, maka
kebanyakan orang tahu siapa aku. Ke mana pun aku pergi, seseorang akan
mendatangiku dan menanyakan pendapatku tentang segala hal, dari pengaruh pajak
baru hingga penemuan arkeologi terbaru di Finlandia. Keadaan itu menantang
bagiku, sedangkan gudang pengetahuan umumku membuatku mampu berbicara tentang
hampir segala hal. Sementara itu, aku melihat Nemur tampak kesal atas segala
perhatian yang kudapat. Ketika seorang psikolog klinis yang menarik dari Falmouth College bertanya
padaku apakah aku dapat menjelaskan beberapa penyebab keterbelakanganku sendiri,
aku katakan padanya bahwa Profesor Nemur adalah orang yang mampu menjawabnya.
Itulah kesempatan yang sudah ditunggu Profesor Nemur untuk memperlihatkan
otoritasnya. Dan untuk pertama kalinya sejak kami saling mengenal, ia meletakkan
tangannya di atas bahuku. "Kami tidak tahu tepatnya apa penyebab tipe
phenylketonuria yang diidap oleh Charlie sejak kecil beberapa biokimia yang
tidak biasa atau keadaan genetika, mungkin radiasi ion, radiasi alami, atau
bahkan semacam virus yang menyerang janin apa pun itu yang mengakibatkan gen
tidak sempurna sehingga menghasilkan sesuatu, yang bisa kita sebut 'enzim
maverick', yang menciptakan reaksi biokimia. Dan tentu, asam amino yang baru
saja diproduksi bersaing dengan enzim normal sehingga mengakibatkan kerusakan
otak." Gadis itu mengerutkan keningnya. Dia tidak menduga akan mendengar sebuah kuliah.
Tetapi Nemur telah menguasai pendengar yang mengelilinginya, maka ia
melanjutkan dengan nada yang sama. "Aku menyebutnya enzim yang sifatnya
bersaing. Aku akan memberikan contoh bagaimana hal itu berlangsung. Pikirkan
enzim yang dihasilkan oleh gen yang tidak sempurna sebagai kunci yang salah tapi
cocok memasuki lubang kunci kimia sistem saraf pusat tetapi kunci tersebut tidak
mau berputar. Karena ada kunci yang sesungguhnya yaitu enzim yang tepat tapi
tidak dapat memasuki lubang kunci tersebut. Lubang itu terblokir. Akibatnya"
Kerusakan yang tidak dapat terhindari dari protein di jaringan otak."
"Tetapi, jika hal itu tidak dapat diubah," sela seorang psikolog muda yang juga
bergabung dalam kelompok kecil pendengar, "bagaimana mungkin Gordon bisa menjadi
normal seperti ini?"
"Ah!" sergah Nemur, "sudah kukatakan kerusakan jaringan tidak bisa diubah,
tetapi tidak pada proses itu sendiri. Banyak peneliti dapat mengubah proses
tersebut melalui injeksi kimia yang digabung dengan enzim yang rusak, sehingga
mengubah bentuk molekul dari kunci yang masuk tadi. Ini adalah inti dari teknik
kami juga. Tetapi pertama-tama, kami memindahkan bagian otak yang rusak sehingga
memungkinkan penanaman jaringan otak yang telah secara kimiawi direvitalisasi
untuk menghasilkan protein otak dengan keadaan yang supernormal...."
"Tunggu sebentar, Profesor Nemur," kataku menyela pidato panjangnya. "Bagaimana
dengan karya Rahajamati dalam bidang ini?"
Ia menatapku kosong. "Siapa?"
"Rahajamati. Artikelnya menyerang teori Tanida tentang campuran enzim konsep
perubahan susunan kimia enzim yang menghalangi gerakan dalam jalur metabolis."


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Profesor Nemur mengerutkan keningnya. "Di mana
artikel tersebut diterjemahkan?"
"Belum diterjemahkan. Aku membacanya di Jurnal Psikopatologi Hindu, beberapa
hari yang lalu." Ia menatap pendengarnya, lalu mengangkat bahu, tidak peduli. "Ya, kurasa tidak
ada yang perlu kita khawatirkan. Hasil kerja kami sudah membuktikannya."
"Tetapi, Tanida sendiri pertama-tama mengemukakan teori pemblokiran enzim
maverick melalui kombinasi, dan sekarang ia menjelaskan bahwa...."
"Oh, ayolah, Charlie. Hanya karena orang pertama mengajukan sebuah teori tidak
serta merta membuatnya menjadi kata akhir dari perkembangan eksperimentalnya.
Kukira semua orang di sini setuju bahwa penelitian yang diakukan di Amerika
Serikat dan Inggris jauh lebih baik dibanding yang dilakukan di India atau
Jepang. Kita memiliki laboratorium terbaik dan perlengkapan terbaik pula di
dunia." "Tetapi itu tidak menjawab artikel Rahajamati yang
"Ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk membahas hal itu. Aku yakin topik-
topik ini cukup dibicarakan dalam sesi besok." Ia lalu memutar tubuhnya dan
berbicara dengan orang lain tentang seorang teman kuliah lamanya. Ia betul-betul
mengabaikan aku, sementara aku masih berdiri di sana terlongong.
Aku berhasil mengajak Straus meminggir, kemudian aku mulai mengajukan pertanyaan
kepadanya. "Sekarang, baiklah. Kau telah mengatakan padaku aku terlalu mudah
tersinggung olehnya. Apa yang baru saja kukatakan sehingga membuatnya marah
seperti itu?" "Kau membuatnya merasa lebih bodoh darimu, dan ia tidak dapat menerima hal itu."
"Aku serius, demi Tuhan. Katakan yang sesungguhnya padaku."
"Charlie, kau harus berhenti berpikir bahwa semua orang menertawakanmu. Nemur
tidak dapat mendiskusikan artikel tersebut karena ia belum membacanya. Ia tidak
menguasai bahasa itu."
"Tidak menguasai bahasa Hindi dan Jepang" Oh, yang benar saja."
"Charlie, tidak semua orang punya bakat bahasa yang kaumiliki."
"Tetapi, bagaimana ia dapat menangkal serangan Rahajamati dalam metode ini, dan
tantangan Tanida pada kebenaran pengendalian jenis itu" Ia seharusnya tahu soal
itu...." "Tidak...," sela Strauss berhati-hati. "Tulisan itu pastilah baru saja terbit.
Belum sempat diterjemahkan." "Maksudmu kau juga belum membacanya?" Strauss
menggerakkan bahunya. "Penguasaan bahasaku bahkan lebih buruk darinya. Tetapi,
aku yakin sebelum laporan terakhir diberikan, semua jurnal akan ditelisik
sebagai tambahan data."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Mendengar pengakuan Strauss bahwa
keduanya tidak memperhatikan keseluruhan bidang di lapangannya sendiri bagiku
sangat mengerikan. "Bahasa apa yang kaukuasai?" aku bertanya kepadanya.
"Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, dan sedikit Swedia untuk bercakap-cakap."
"Tidak bahasa Rusia, Cina, dan Portugis?" Ia mengingatkan aku bahwa sebagai
seorang psikiater dan ahli bedah saraf, sangat sedikit waktu yang ia punya untuk
mempelajari bahasa. Dan satu-satunya bahasa
kuno yang dikuasainya hanyalah bahasa Latin dan Yunani. Tidak untuk bahasa Asia
kuno. Aku dapat melihat bahwa ia ingin mengakhiri diskusi ini sekarang, tetapi aku
tidak bisa melakukannya. Aku harus mengetahui seberapa banyak yang ia tahu.
Aku tahu. Ahli fisika: tidak tahu apa-apa selain teori kuantum dalam bidangnya. Ahli
geologi: tidak tahu apa-apa tentang geomorfologi atau stratigrafi atau bahkan
petrologi. Tidak tahu apa-apa tentang teori makro atau mikro ekonomi. Hanya
menguasai sedikit matematika di luar tingkat dasar variasi kalkulus, dan tidak
tahu apa-apa tentang aljabar Banach atau bermacam-macam Riemannian. Itu
merupakan firasat pertama dari pembukaan rahasia yang ada dalam benakku akhir
minggu ini. Aku tidak dapat berlama-lama dalam pesta itu. Aku menyelinap pergi untuk
berjalan-jalan dan memikirkan itu. Mereka berdua penipu Nemur dan Strauss.
Mereka telah berpura-pura jenius. Tetapi, mereka sebenarnya hanyalah orang-orang
biasa yang bekerja secara membabi-buta, berpura-pura mampu membawa pencerahan
bagi kegelapan. Mengapa semua orang berbohong" Tidak seorang pun yang kukenal
menampilkan diri mereka sendiri. Ketika aku membelok di sudut jalan, aku
menangkap sekilas, Burt mengikutiku.
"Ada apa?" aku bertanya ketika ia akhirnya menjajahku. "Kau mengikuti aku?"
Ia menggerakkan bahunya dan tertawa gelisah. "Pameran A, bintang dari
pertunjukan itu. Aku hanya khawatir mungkin kau telah dilindas oleh koboi-koboi
Chicago bermotor atau dirampok dan dilibas di State
street?" "Aku tidak suka dikurung."
Burt menghindari tatapanku ketika ia berjalan di sampingku, dengan kedua
tangannya di dalam sakunya. "Tenanglah, Charlie. Orang tua itu se-dang tegang.
Pertemuan ini sangat penting baginya. Reputasinya dipertaruhkan."
"Aku tidak tahu kau akrab dengannya," aku mengejeknya, karena selama ini Burt
telah mengeluhkan kesempitan pandangan dan sifat sang profesor yang suka
mendesak-desak. "Aku tidak akrab dengannya." Burt menatapku menantang. "Tetapi, ia telah
mempertaruhkan hidupnya untuk semua ini. Ia bukan Freud, Jung, Pavlov, atau
Watson, tetapi ia sedang mengerjakan sesuatu yang penting dan aku menghormati
dedikasinya-bahkan mungkin lebih karena ia hanyalah manusia biasa yang mencoba
melakukan pekerjaan besar manusia, sementara orang-orang besar lainnya sibuk
membuat bom." "Aku ingin kau mengatakan padanya bahwa ia orang biasa di depan wajahnya."
"Tidak penting ia menganggap dirinya apa. Jelas, ia seorang yang egoistis, lalu
kenapa" Ego seperti itu diperlukan untuk membuat seseorang melakukan hal besar
seperti ini. Aku sudah cukup sering melihat orang seperti dirinya sehingga aku
tahu bahwa gabungan antara kecongkakan dan puas diri adalah ukuran yang sangat
baik dari ketidakpastian dan ketakutan."
"Dan kepalsuan serta kepicikan," aku menambahkan. " Aku sekarang menganggap
mereka orang-orang yang sangat palsu. Aku sudah menduga Nemur begitu. Ia selalu
tampak takut akan sesuatu. Tetapi Strauss, aku tidak
pernah menduganya ia seperti itu."
Burt diam sejenak dan mendesah panjang. Kami membelok ke sebuah kafetaria untuk
minum kopi. Aku tidak melihat wajahnya ketika itu, tetapi suaranya mengungkapkan
kejengkelan. "Menurutmu aku salah?"
"Hanya karena kau menjadi begitu pandai dengan sangat cepat," katanya. "Kau
telah memiliki otak yang hebat, kecerdasan yang tidak terukur, kemampuan
menyerap pengetahuan yang lebih cepat padahal orang lain akan membutuhkan
sepanjang hidupnya untuk itu. Tetapi kau berat sebelah. Kau tahu tentang banyak
hal. Kau melihat berbagai hal. Tapi kau belum mengembangkan pengertian, atau aku
harus menggunakan kata itu bertoleransi. Kau menyebut mereka penipu, tetapi
kapan mereka pernah menganggap diri mereka sempurna atau manusia super" Mereka
adalah orang-orang biasa. Sementara itu, kau jenius."
Ia berhenti dengan kaku, karena tiba-tiba ia sadar telah berkhotbah di depanku.
"Lanjutkan." "Pernah bertemu dengan istri Nemur?" "Belum."
"Jika kau ingin mengerti mengapa Nemur selalu begitu tegang, bahkan ketika
semuanya berjalan dengan baik di lab dan pada kuliah-kuliahnya. Kau harus
mengenal Bertha Nemur. Tahukah kau bahwa dialah yang memberikan gelar profesor
untuk suaminya" Kau tahu bahwa Bertha menggunakan pengaruh ayahnya untuk
mendapatkan penghargaan dari Welberg Foundation bagi suaminya" Nah, sekarang
Bertha mendorongnya untuk melakukan presentasi lebih awal pada konvensi ini.
Jika kau belum pernah mendapatkan perempuan seperti Bertha yang mengendalikan dirimu, jangan
berpikir kau dapat mengerti lelaki yang memiliki istri seperti itu."
Aku tidak mengatakan apa-apa, dan aku tahu Burt ingin kembali ke hotel. Di
sepanjang perjalan kami tidak berbicara.
Apakah aku jenius" Kukira tidak. Belum, kurasa. Seperti yang mungkin akan
dilakukan Burt, mengejek penghalusan istilah dalam jargon pendidikan, aku luar
biasa sebuah istilah demokratis yang digunakan untuk menghindari julukan
berbakat dan buangan (yang digunakan dengan arti cemerlang dan terbelakang). Dan
begitu kata luar biasa mulai berarti segalanya bagi semua orang, mereka akan
mengubahnya lagi. Gagasan itu tampaknya: menggunakan istilah tersebut selama hal
itu tidak bearti apa-apa bagi siapa pun. Kata luar biasa mengacu pada dua sisi
pandangan, sehingga sepanjang hidupku, akulah si luar biasa itu.
Yang aneh: semakin jauh aku belajar, semakin aku mengerti bahwa diriku tidak
pernah tahu bahkan tidak pernah ada. Baru beberapa waktu yang lalu, aku dengan
bodoh mengira aku mampu mempelajari apa saja segala pengetahuan di dunia ini.
Sekarang aku hanya berharap mampu mengetahui keberadaannya, dan mengerti satu
butir saja pengetahuan itu.
Apakah masih ada waktu" Burt merasa tidak nyaman bersamaku. Menurut dia, aku
tidak sabaran dan orang lain pastilah merasakan hal yang sama. Tetapi, mereka
menahanku dan berusaha menempatkan diriku pada tempatku. Di mana tempatku" Siapa
dan apa aku sekarang" Apakah aku ini gambaran dari keseluruhan hidupku ataukah
hanya beberapa bulan yang lalu" Oh, betapa mereka menjadi begitu tidak sabar ketika aku mencoba
mendiskusikannya dengan mereka. Mereka tidak suka mengakui bahwa mereka tidak
tahu. Itu suatu paradoks karena seorang biasa seperti Nemur mengira telah
mengabdikan dirinya dalam usaha membuat orang lain menjadi jenius. Ia senang
dianggap sebagai penemu hukum-hukum baru pengetahuan seorang Einstein psikologi.
Dan ia memiliki ketakutan seorang guru yang akan diungguli oleh muridnya,
ketakutan seorang pakar akan memiliki murid yang menghina karyanya. (Aku sama
sekali bukan mahasiswa Nemur atau murid seperti Burt.)
Kukira ketakutan Nemur akan keterungkapan siapa sesungguhnya dirinya, yang
seperti seorang lelaki yang berjalan di atas egrang di antara raksasa-raksasa,
dapat dimengerti. Kegagalan dalam hal ini, akan menghancurkannya. Ia terlalu tua
untuk memulainya dari awal lagi.
Aku begitu terkejut setelah menemukan kebenaran tentang manusia yang kuhormati
dan kuhargai. Menurut aku, Burt benar. Aku harus lebih bersabar terhadap mereka.
Gagasan-gagasan dan karya cemerlang mereka membuat eksperimen itu mungkin
dilakukan. Aku harus menjaga diriku dari keinginan meremehkan mereka walaupun
sekarang aku mengungguli mereka.
Aku harus menyadari bahwa ketika mereka terus-menerus mengingatkan aku untuk
menulis dengan sederhana sehingga orang yang membaca laporan tersebut akan
mengerti aku, sebenarnya mereka membicarakan diri mereka sendiri juga. Tetapi
masih menakutkan ketika menyadari bahwa nasibku berada di tangan orang-orang
yang bukan raksasa seperti yang pernah kubayangkan dulu. Mereka hanyalah orang-
orang yang tidak tahu semua jawaban.
13 Juni Aku mendiktekan ini dengan perasaan yang sangat tegang. Aku telah
mengalami semua hal. Sekarang aku berada di dalam pesawat menuju kembali ke New
York sendirian. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan ketika aku tiba di sana.
Pertama-tama, kuakui, aku terpesona pada gambaran sebuah pertemuan internasional
para ilmuwan dan sarjana yang berkumpul untuk bertukar gagasan. Di sini, kukira,
adalah tempat segala hal benar-benar terjadi. Di sini akan berbeda dengan
diskusi-diskusi steril di universitas, karena mereka adalah orang-orang dari
tingkat tertinggi dalam penelitian dan pendidikan psikologi. Mereka adalah para
ilmuwan yang menulis buku-buku dan memberikan kuliah, yang ucapannya dikutip
orang. Jika Nemur dan Strauss adalah orang-orang biasa yang bekerja melampaui
kemampuan mereka, aku yakin tidak demikian dengan yang lainnya.
Ketika tiba waktunya untuk pertemuan itu, Nemur menggiring kami melalui sebuah
ruang lobi yang sangat besar dengan perabotan bergaya zaman barok dan tangga
pualam berukir. Lalu kami bergerak melalui jabatan-jabatan tangan yang kuat,
orang-orang yang menganggukkan kepala, dan tersenyum. Profesor-profesor dari
Beekman lainnya yang baru tiba di Chicago pagi ini bergabung dengan kami.
Profesor White dan dinger berjalan agak ke kanan dan berdiri satu atau dua
langkah di belakang Nemur dan Strauss, sedangkan Burt dan aku di belakang.
Orang-orang yang berdiri terbelah memberi kami jalan menuju Grand Ballroom.
Nemur melambai ke arah para
wartawan dan juru foto yang telah datang karena ingin langsung mendengar hal-hal
mengagumkan yang telah dilakukan terhadap seorang dewasa terbelakang dalam waktu
tiga bulan lebih sedikit.
Nemur jelas telah mengirimkan pengumuman kepada mereka sebelumnya.
Beberapa tulisan soal psikologi yang dibagikan pada rapat tersebut mengesankan.
Sebuah kelompok dari Alaska memperlihatkan betapa rangsangan pada bagian-bagian
yang bervariasi pada otak mengakibatkan sebuah perkembangan penting dalam
kemampuan belajar. Adapun kelompok dari Selandia Baru telah memetakan bagian-
bagian otak yang mengendalikan persepsi dan penyimpanan rangsangan.
Namun, ada tulisan yang lain juga penelitian P.T. Zellerman terhadap adanya
perbedaan lamanya waktu yang digunakan tikus putih guna mempelajari sebuah
labirin ketika sudut-sudutnya berbelok. Kemudian tulisan Worfel tentang efek
tingkat kecerdasan pada reaksi waktu untuk jenis kera. Tulisan-tulisan seperti
ini membuatku marah. Uang, waktu, dan tenaga dihamburkan untuk membuat analisis
terperinci terhadap hal-hal yang sudah jelas. Burt benar ketika ia memuji Nemur
dan Strauss karena mereka telah mengabdikan diri untuk sesuatu yang penting dan
tidak pasti, bukan sesuatu yang tidak penting dan sudah pasti.
Kalau saja Nemur mau menganggapku sebagai manusia.
Setelah pemimpin rapat mengumumkan presentasi dari Universitas Beekman, kami
duduk di platform di belakang meja panjang Algernon berada di kandangnya di
antara Burt dan aku. Kami menjadi penarik perhatian utama
malam ini. Setelah kami duduk, pemimpin rapat mulai memperkenalkan kami. Aku
setengah berharap ia akan berkata dengan gaya meledak-ledak: Saudara-saudara
sekalian... Bergegaslah dan saksikan pertunjukan ini! Sebuah karya ilmiah yang
belum pernah ada dalam dunia ilmu pengetahuan! Seekor tikus dan seorang dungu
berubah menjadi jenius di depan mata kepala Anda sekalian!
Kuakui, aku datang ke sini dalam keadaan cepat tersinggung.
Yang dikatakannya hanyalah: "Presentasi berikutnya betul-betul tidak perlu
diperkenalkan lagi. Kita telah mendengar semuanya karya mengagumkan dari
Universitas Beekman, dan disponsori oleh dana bantuan dari Welberg Foundation,
di bawah arahan Ketua Jurusan Fakultas Psikologi, Profesor Nemur, yang bekerja
sama dengan Dr Strauss dari Pusat Neuropsikiatri Universitas Beekman. Tidak
perlu diulas lagi, ini merupakan sebuah laporan yang telah kita tunggu-tunggu
dengan penuh minat. Saya serahkan sesi ini kepada Profesor Nemur dan Dr
Strauss." Nemur mengangguk dengan anggun pada pujian perkenalan dari ketua rapat dan
mengedip ke arah Strauss untuk momen penuh kemenangan ini. Pembicara pertama
dari Beekman adalah Profesor dinger. Aku jadi jengkel, dan aku juga melihat
Algernon, yang resah karena asap, suara mendengung, dan lingkungan yang asing
itu, mulai bergerak gugup dalam kandangnya. Aku punya dorongan aneh untuk
membuka kandangnya dan membiarkannya keluar. Itu merupakan pikiran aneh lebih
merupakan godaan daripada pikiran lalu aku mencoba mengabaikannya. Tetapi,
ketika aku menyimak tulisan khas Profesor dinger tentang "pengaruh kotak-kotak gawang yang
menggunakan tangan kiri versus kotak-kotak gawang dengan tangan kanan dalam
labirin T", kurasa tanganku mempermainkan kunci mekanis pembuka kandang
Algernon. Tidak lama (sebelum Strauss dan Nemur mengungkap keberhasilan emas mereka) Burt
akan membacakan sebuah tulisan yang menjelaskan prosedur dan hasil pemberian
tes-tes kecerdasan dan pembelajaran yang telah dirancangnya untuk Algernon.
Kemudian akan dilanjutkan dengan sebuah demonstrasi bagaimana langkah-langkah
Algernon memecahkan masalah untuk mendapatkan makanannya (hal yang selalu
kubenci!). Bukannya aku tidak setuju dengan Burt. Ia selalu berterus terang padaku lebih
dari yang dilakukan oleh yang lain tetapi ketika ia menggambarkan tikus putih
yang telah diberi kecerdasan itu, ia menjadi begitu congkak dan palsu seperti
yang lainnya. Seolah ia berusaha menjadi seperti guru-gurunya. Aku menahan diri
untuk itu lebih karena Burt adalah temanku daripada hal lainnya. Membiarkan
Algernon keluar dari kandangnya akan mengubah pertemuan itu menjadi kericuhan.
Dan bagaimanapun, inilah penampilan pertama Burt yang akan menjadikan tikus
berlomba demi kenaikan jabatan.
Jemariku sudah berada pada kunci pintu kandang. Ketika Algernon menatap gerakan
tanganku dengan mata permen merah mudanya, aku yakin ia tahu apa yang ada dalam
pikiranku. Pada saat itu, Burt mengambil kandang itu untuk kepentingan
demonstrasinya. Ia menjelaskan kerumitan kunci-kunci geser, dan kemampuan
pemecahan masalah yang dibutuhkan setiap kali kunci itu akan dibuka. (Gerendel
tipis dari plastik akan jatuh masuk ke
tempat dalam pola bervariasi dan harus dikendalikan oleh tikus tersebut, yang
harus menekan serangkaian pengungkit dalam urutan yang sama.) Ketika kecerdasan
Algernon meningkat, kecepatan kemampuan memecahkan masalahnya meningkat juga


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga di situ jelas. Tetapi kemudian Burt mengungkap satu hal yang belum
kuketahui. Pada puncak kecerdasannya, keterampilan Algernon telah menjadi bervariasi. Ada
beberapa waktu, menurut laporan Burt, ketika Algernon sama sekali menolak untuk
bekerja walau tampaknya ia kelaparan dan pada waktu yang lain ketika ia
memecahkan masalahnya, ia tidak mengambil makanannya melainkan menerjangkan
tubuhnya ke dinding kandangnya.
Ketika seseorang dari hadirin bertanya kepada Burt apakah ia memperkirakan sikap
tidak menentu Algernon itu disebabkan oleh peningkatan kecerdasan, Burt
menghindari pertanyaan itu. "Sejauh yang saya tahu," katanya, "tidak ada cukup
bukti untuk memastikan kesimpulan tersebut. Ada kemungkinan-kemungkinan lain.
Mungkin saja peningkatan kecerdasan ataupun perilaku tidak menentu pada tingkat
ini disebabkan oleh hasil operasi pertama, bukan salah satu memicu yang lainnya.
Juga mungkin perilaku tidak menentu ini hanya terjadi pada Algernon. Kami tidak
menemukan hal itu pada tikus-tikus lain, tetapi tikus-tikus tersebut tidak dapat
mencapai tingkat kecerdasan yang dicapai Algernon sekarang."
Tiba-tiba aku menyadari bahwa informasi itu telah disembunyikan dariku. Aku
mencurigai alasannya, karena itu aku merasa jengkel. Tetapi kemarahanku muncul
ketika mereka mengeluarkan film-film.
Aku tidak pernah tahu bahwa kedatanganku dan tes pertamaku di lab telah
difilmkan. Aku tampak di sana, di depan meja di samping Burt, bingung dengan
mulut terbuka ketika aku mencoba memainkan labirin dengan menggunakan pena
listrik. Setiap kali aku mendapatkan sengatan listrik, ekspresiku berubah
menjadi wajah aneh dengan mata terbelalak, lalu tersenyum pandir lagi. Setiap
kali itu terjadi, para penonton bergemuruh. Perlombaan yang satu disusul dengan
perlombaan lainnya, hal itu berulang, dan mereka selalu menganggap hal yang satu
lebih lucu ketimbang yang sebelumnya.
Aku katakan pada diriku sendiri mereka bukan pencari barang aneh yang
mencengangkan, tetapi para ilmuwan berada di sini untuk meneliti ilmu
pengetahuan. Mereka dapat menahan diri tertawa ketika melihat film itu tetapi
ketika Burt terpengaruh oleh suasana tersebut, ia pun memberi komentar-komentar
lucu pada film tersebut. Rasa isengku timbul. Mungkin akan lebih lucu lagi jika
mereka melihat Algernon lepas dari kandangnya, apalagi melihat semua orang yang
hadir itu berpencaran dan merangkak mencoba menemukan seekor makhluk kecil putih
jenius yang berlarian. Namun, aku mengendalikan diriku, dan ketika Strauss maju ke podium, dorongan
isengku lenyap. Strauss banyak mengungkap teori dan teknik bedah saraf,
menggambarkan secara terperinci bagaimana penelitian awal pada pemetaan hormon
mengendalikan pusat yang memungkinkan dirinya memisahkan dan merangsang pusat-
pusat itu, sementara pada waktu yang bersamaan mengambil hormon inhibitor yang
menghasilkan porsi korteks. Ia menjelaskan teori enzim blok, kemudian
melanjutkan dengan penggambaran keadaan jasmaniku
sebelum dan sesudah operasi. Foto-foto (aku tidak tahu ketika mereka
mengambilnya) diperlihatkan dengan cara dibagikan dan dipindah tangankan serta
dikomentari. Aku dapat melihat dari anggukan dan senyuman kebanyakan orang di
sana bahwa mereka setuju dengan Dr Strauss. Ekspresi wajah yang "tumpul, kosong"
telah berubah menjadi "waspada dan cerdas". Ia juga mendiskusikan secara
terperinci aspek-aspek ketepatan sesi-sesi terapi kami terutama perubahan
sikapku terhadap asosiasi bebas ketika berbaring di atas sofa.
Aku telah datang ke sana sebagai bagian dari sebuah presentasi ilmiah, dan aku
telah menduga akan dipamerkan seperti itu. Tetapi semua orang terus-menerus
berbicara tentang aku seolah aku adalah semacam benda yang baru saja diciptakan,
yang mereka persembahkan bagi dunia ilmu pengetahuan. Tidak seorang pun di dalam
ruangan ini yang menganggapku sebagai seorang pribadi seorang manusia.
Penyejajaran yang berkesinambungan " antara Algernon dan Charlie", lalu "Charlie
dan Algernon," memperjelas bahwa mereka menganggap kami sebagai hewan percobaan
yang tidak bearti di luar lab. Tetapi, terlepas dari kemarahanku, aku tidak
dapat menemukan ada yang salah di sana.
Akhirnya giliran Nemur bicara merangkum semuanya sebagai seorang pemimpin proyek
untuk mendapatkan sorotan sebagai pencipta eksperimen cemerlang itu. Ini adalah
hari yang telah ditunggu-tunggunya.
Ia tampil mengesankan ketika berdiri di sana di atas panggung. Ketika ia bicara,
aku merasa diriku mengangguk karena kata-katanya, menyetujui hal-hal yang kutahu
itu benar. Berbagai tes, eksperimen, operasi, dan perkembangan mentalku kemudian
dijelaskan panjang-lebar.
Pidatonya dihidupkan dengan cuplikan-cuplikan laporan kemajuanku. Lebih dari
sekali aku mendengar sesuatu yang bersifat pribadi atau bodoh disampaikan kepada
hadirin. Terima kasih, Tuhan, aku telah berhati-hati menyembunyikan sebagian
besar cerita terperinci tentang Alice dan diriku sendiri dalam arsip pribadi.
Lalu, dalam ikhtisarnya, ia berkata: "Kami yang menggarap proyek ini di
Universitas Beekman merasa puas mengetahui bahwa kami telah memperbaiki salah
satu kesalahan alam, dan dengan teknik baru kami terciptalah seorang manusia
hebat. Ketika Charlie datang kepada kami, ia bukan seorang anggota masyarakat,
ia sendirian dalam kota besar tanpa teman atau saudara yang mengurusinya, tanpa
kelengkapan mental untuk hidup secara normal. Ia tidak punya masa lalu, tidak
ada hubungan dengan masa kini, tidak punya harapan di masa depan. Dapat
dikatakan bahwa Charlie Gordon tidak benar-benar ada ketika itu, sebelum
eksperimen ini...." Aku tidak tahu mengapa aku begitu membenci mereka yang telah menganggapku
sebagai sesuatu yang baru dibentuk dalam perbendaharaan mereka. Tetapi ketika
itu aku yakin gema dari gagasan tersebut telah terdengar di ruang-ruang benakku
sejak kami tiba di Chicago. Aku ingin berdiri dan memperlihatkan kepada mereka
betapa bodohnya Nemur, lalu meneriakinya: Aku manusia, seorang pribadi dengan
orang tua dan kenangan serta sejarah dan aku sudah begitu sebeium kau dorong aku
ke ruang operasi! Pada saat yang sama, manakala amarahku berkobar, ditempa wawasan yang luar
biasa, menjadi hal yang menggangguku ketika Strauss bicara dan Nemur mengumumkan
datanya. Mereka telah membuat kesalahan
tentu saja! Evaluasi statistik pada masa tunggu, yang penting untuk membuktikan
kekekalan perubahan, telah menjadi dasar sejak eksperimen terdahulu dalam medan
perkembangan mental dan pembelajaran, pada masa tunggu hewan bodoh ataupun hewan
cerdas yang normal. Tetapi jelas bahwa masa tunggu akan diperpanjang dalam
kasus-kasus itu jika kecerdasan hewan tersebut telah meningkat dua atau tiga
kali. Kesimpulan Nemur terlalu awal. Baik pada Algernon maupun aku, akan dibutuhkan
waktu lebih lama untuk melihat apakah perubahan ini akan bertahan lama. Para
profesor telah membuat kesalahan, dan tidak ada yang mengetahuinya. Aku ingin
melompat bangun dan mengatakan kepada mereka, tetapi aku tidak dapat bergerak.
Seperti Algernon, aku berada di balik penjara kandang yang mereka buat di
sekitarku. Sekarang waktunya sesi pertanyaan, dan sebelum aku boleh menyantap makan
malamku, aku akan diminta untuk tampil di depan perkumpulan penting ini. Tidak,
aku harus keluar dari sana.
"... Dalam satu pengertian, ia merupakan hasil percobaan psikologis modern.
Sebagai pengganti batok pikiran yang lemah, serta sebuah beban bagi masyarakat
yang tentunya khawatir atas perilaku tak bertanggung jawabnya, kami sekarang
mempunyai seorang yang punya harga diri dan kepekaan, yang siap mengambil tempat
ini sebagai sumbangan dari anggota masyarakat. Aku ingin Anda semua mendengarkan
beberapa patah kata dari Charlie Gordon...."
Terkutuklah ia. Ia tidak tahu apa yang sedang dikatakannya. Pada saat itu aku
tak dapat menahan dorongan dalam diriku. Aku melihat dengan terpesona
ketika tanganku bergerak, terbebas dari kendaliku. Tangan itu menarik turun
palang pintu kandang Algernon. Ketika aku membukanya, ia menatapku dan diam
sejenak. Lalu ia berpaling, berlari keluar kandangnya, kemudian begegas
menyeberangi meja panjang itu.
Mulanya ia kebingungan di atas taplak kain damas itu, kabur karena warnanya yang
putih di atas putih, sehingga seorang perempuan di meja itu menjerit, dan
menjatuhkan kursinya ke belakang ketika ia terlonjak berdiri. Di depannya,
sebuah kendi air terguling, lalu Burt berteriak. "Algernon lepas!" Algernon
meloncat turun dari meja, lalu ke panggung, kemudian ke lantai.
"Tangkap! Tangkap tikus itu!" Nemur memekik ketika hadirin, yang terbagi atas
beberapa pendapat, menjadi kalang-kabut. Beberapa perempuan (yang bukan pelaku
percobaan") mencoba berdiri di atas kursi lipat yang tidak stabil, sedangkan
yang lainnya, yang mencoba mencari Algernon, menyenggol mereka hingga jatuhlah
kursi-kursi tersebut. "Tutup pintu belakang itu!" teriak Burt, yang sadar bahwa Algernon cukup cerdas
untuk langsung menuju ke arah itu.
"Lari," aku mendengar diriku sendiri berteriak. " Ke pintu samping!"
"Ia akan lari ke pintu samping," seseorang membeo.
"Tangkap tikus itu! Tangkap!" Nemur memohon.
Orang-orang berduyun-duyun keluar dari Grand Ballroom menuju lorong, ketika
Algernon berlari di sepanjang gang berlapis permadani merah, dan memimpin
pengejaran yang seru. Di bawah meja Louis XIV, di sekitar pot-pot berisi pohon
palem, naik ke tangga, di sekitar sudut-sudut, menuruni tangga, masuk ke lobi
utama, lalu menyenggol orang lain seraya kami pergi. Melihat mereka semua berlari lintang-
pukang di lobi, mengejar seekor tikus putih yang lebih cerdas daripada
kebanyakan mereka, merupakan hal yang paling lucu yang pernah terjadi selama
ini. "Ayo, tertawalah!" dengus Nemur, yang hampir menabrakku, "tetapi jika kita tidak
menemukannya, seluruh eksperimen itu dalam bahaya."
Aku berpura-pura mencari Algernon di bawah tempat sampah. "Kau tahu?" kataku,
"kau telah membuat satu kesalahan. Dan setelah kejadian hari ini, mungkin
kesalahan itu tidak akan penting lagi."
Beberapa detik kemudian, setengah lusin perempuan berlarian sambil menjerit-
jerit ketakutan keluar dari ruang rias dengan mengangkat rok mereka di sekitar
tungkai. "Ia di sana," seseorang berseru. Tetapi untuk sesaat, gerombolan pencari itu
terhenti karena tulisan tangan di dinding Wanita. Akulah yang pertama menembus
rintangan yang tak terlihat itu, lalu memasuki gerbang keramat tersebut.
Algernon bertengger di atas salah satu wastafel, memelototi pantulan dirinya
pada cermin. "Ayo," kataku. "Kita akan keluar dari sini bersama-sama."
Ia membiarkan aku mengambilnya dan memasukkannya ke dalam saku jasku. "Tetap di
dalam saja hingga aku beri tahu lagi."
Yang lainnya datang menyerbu melalui pintu ayun tampak kecewa karena mereka
berharap akan melihat perempuan-perempuan telanjang yang menjerit-jerit. Aku
berjalan keluar ketika mereka mencari-cari di kamar mandi, dan aku mendengar
suara Burt. "Ada celah di
lubang angin itu. Mungkin ia berlari ke sana."
"Cari ke mana ia pergi," kata Strauss.
"Kau cari di lantai dua," kata Nemur sambil melambai pada Strauss. "Aku akan ke
lantai dasar." Saat itu mereka bergerombol keluar dari kamar mandi wanita kemudian pasukan itu
berpencar. Aku mengikuti di belakang rombongan Strauss, naik ke lantai dua
ketika yang lainnya berusaha mengetahui ke mana ventilasi itu menjalar. Ketika
Strauss dan White serta setengah lusin pengikut berbelok ke kanan masuk ke
Koridor B, aku masuk ke Koridor C kemudian naik lift ke kamarku.
Aku menutup pintu setelah masuk, lalu menepuk-nepuk sakuku. Moncong merah muda
dan bulu halus putih muncul dan melihat ke sekelilingnya. "Aku akan membereskan
barang-barangku," kataku, "lalu kita akan berangkat kau dan aku saja sepasang
jenius buatan kabur. Aku memanggil pelayan hotel untuk membawakan tas-tas dan alat perekam ke dalam
taksi yang sudah menunggu. Aku kemudian membayar tagihan hotel, lalu berjalan
keluar melalui pintu putar dengan benda yang sedang dalam pencarian dalam saku
jaketku. Aku menggunakan tiket kembali ke New York.
Aku tidak kembali ke tempat tinggalku, tetapi berencana tinggal di sebuah hotel
di kota selama satu atau dua malam. Kami akan menggunakan tempat itu sebagai
basis operasi sementara aku mencari apartemen dengan perabotan di tengah kota.
Aku ingin tinggal di dekat Times Square.
Membicarakan ini semua membuatku merasa jauh lebih baik walau agak konyol. Aku
tidak benar-benar tahu mengapa aku menjadi begini marah, atau apa yang
kulakukan dengan menumpang jet kembali ke New York bersama Algernon yang
kuletakkan di dalam kotak sepatu di bawah tempat dudukku. Aku tidak boleh panik.
Kesalahan ini tidak terlalu berarti. Hanya segalanya tidak berjalan tepat
seperti yang dipercaya Nemur. Tetapi, aku mau ke mana setelah ini"
Pertama-tama, aku harus bertemu dengan kedua orang tuaku. Secepat mungkin.
Mungkin aku tidak akan mempunyai kesempatan yang kukira aku miliki....
LAPORAN KEMAJUAN 24 25 Juni Pelarian kami menjadi berita besar di koran-koran kemarin, sedangkan
tabloid-tabloid menggelar wawancara di luar ruangan. Pada halaman kedua Daily
Press ada foto kunoku dan sketsa tikus putih. Judulnya berbunyi: 3enius Dungu
dan Tikus Ngamuk. Nemur dan Strauss dilaporkan menyatakan aku sedang berada
dalam ketegangan yang luar biasa dan bahwa aku pasti akan kembali. Mereka
menawarkan hadiah lima ratus dolar bagi penemu Algernon. Mereka tidak sadar
bahwa kami bersama-sama. Ketika aku membalik lembaran koran pada kisah terbaru di halaman lima, aku
terpaku melihat foto ibu dan adik perempuanku. Beberapa wartawan ternyata benar-
benar telah menjalankan tugas mereka dengan baik.
SANG ADIK PEREMPUAN TIDAK TAHU KEBERADAAN SI JENIUS DUNGU (Khusus kepada Daily
Press^ Brooklyn, NY, 14 Juni N ona Norma Gordon, yang tinggal bersama ibunya, Rose
Gordon, di Jalan Marks 4136, Brooklyn, NY, menyangkal bahwa dirinya mengetahui
keberadaan kakak lelakinya. Nona Gordon berkata, "Kami sudah tidak pernah
bertemu lagi ata mendengar soal dirinya selama lebih dari tujuh belas tahun."
Nona Gordon mengatakan , dia percaya kakak lelakinya sudah meninggal pada Maret
yang lalu, ketika Ketua Jurusan Fakultas Psikologi Universitas Beekman
mengunjunginya untuk meminta izin menggunakan Charlie dalam sebuah eksperimen.
"Ibuku mengatakan padaku bahwa ia telah dikirim ke Panti Warren (Sekolah
Pendidikan dan Panti Negeri Warren, di Long Island)," kata Nona Gordon, "lalu
dia meninggal di sana beberapa tahun kemudian. Aku tidak tahu kalau ia masih
hidup." Nona Gordon meminta kepada siapa pun yang mengetahui keberadaan kakaknya agar
menghubungi keluarganya di alamat mereka.
Ayahnya, Matthew Gordon, yang sudah tidak tinggal bersama istri dan anak
perempuannya, sekarang menjalankan usaha pangkas rambut di Bronx.
Aku menatap berita itu sejenak, kemudian aku membalik halaman dan melihat
fotonya lagi. Bagaimana aku dapat menggambarkan mereka"
Aku tidak dapat mengatakan bahwa aku ingat wajah Rose. Walau foto terbarunya
jelas, aku masih melihatnya seperti ketika aku masih kanak-kanak. Aku
mengenalnya dulu, dan kini aku tidak mengenalinya lagi. Jika kami berpapasan di
jalan, aku tidak akan mengenalinya. Tetapi sekarang, setelah tahu dia ibuku, aku
dapat mengingat-ingat perincian yang samar-samar sekalipunya!
Kurus, kerut merut wajahnya. Hidung dan dagu tajam. Dan aku nyaris masih dapat
mendengar ocehannya dan jeritannya yang seperti burung. Rambutnya digelung ke
atas, erat-erat. Menusukiku dengan tatapan matanya yang hitam. Aku ingin dia
memelukku dan mendengarnya mengatakan bahwa aku anak yang baik. Lalu pada saat
bersamaan, aku ingin berpaling untuk menghindari tamparannya. Fotonya membuatku
gemetar. Dan Norma juga berwajah pipih. Tidak terlalu tajam romannya, cantik, tetapi
sangat mirip ibuku. Rambutnya yang tergerai hingga ke bahunya membuatnya tampak
lebih lembut. Keduanya tampak duduk di sofa ruang tamu.
Wajah Roselah yang mengingatkanku pada kenangan yang mengerikan. Dia seperti dua
pribadi bagiku, dan aku tidak pernah tahu akan jadi yang mana ibuku. Mungkin dia
akan menampakkan ibuku yang lain dengan menggerakkan tangannya, menaikkan
alisnya, mengerutkan keningnya adikku tahu tanda-tanda badai itu, sehingga dia
dapat segera menghindar setiap kali emosi ibuku menyala tetapi aku tidak pernah
tahu itu. Aku akan datang padanya minta pelukan, dan kemarahannya akan
terlampiaskan padaku. Lalu pada saat yang lain akan ada kelembutan dan pelukan erat seperti mandi air
hangat, dan tangan-tangan yang membelai-belai rambut dan kening. Lalu kata-kata
yang terukir di atas katedral masa kanak-kanakku:
Ia seperti anak-anak lainnya. Ia anak yang baik.
Aku melihat kembali ke masa lalu melalui foto yang
buram, gambar diriku dan ayahku bersandar pada keranjang bayi. Ia menggenggam
tanganku dan berkata, "Itu dia. Jangan menyentuhnya dulu karena dia masih sangat
kecil, tetapi kalau sudah bertambah besar, kau akan mempunyai seorang adik
perempuan yang bisa kauajak bermain."
Aku melihat ibuku di tempat tidur besar di dekatnya, pucat dan lemah, kedua


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengannya seperti lumpuh di atas bantal bergambar anggrek. Dia mengangkat
kepalanya dengan cemas. "Awasi Charlie, Matt...."
Itu sebelum Mama berubah sikap terhadapku. Dan sekarang aku baru menyadari, itu
karena Mama belum tahu apakah Norma akan seperti aku atau tidak. Kemudian
setelah itu, ketika Mama yakin bahwa doanya terjawab, dan Norma menampakkan
tanda-tanda kecerdasan normal, suara ibuku menjadi terdengar berbeda. Tidak saja
suaranya, tetapi sentuhannya juga, tatapannya, penampilannya semuanya berubah.
Seolah kutub magnetnya telah berputar balik. Yang tadinya tertarik, sekarang
menolak. Aku sekarang tahu ketika Norma adalah bunga di dalam taman kami, aku
adalah rumput liar, boleh ada hanya di tempat-tempat yang tidak terlihat, di
sudut, dan di tempat-tempat gelap saja.
Melihat fotonya di koran, tiba-tiba aku membencinya. Sebenarnya akan lebih baik
jika dia mengabaikan para dokter dan guru itu serta yang lainnya. Mereka begitu
tergesa meyakinkannya bahwa aku bodoh, sehingga Mama memalingkan dirinya dariku
dan memberiku sedikit cinta saja ketika aku membutuhkan lebih dari itu.
Apa gunanya jika aku menemuinya sekarang" Apa yang dapat dikatakannya kepadaku
kini" Namun, aku sangat ingin tahu. Bagaimana ibuku akan bereaksi"
Menemuinya dan mengenang kembali siapa diriku dulu" Atau melupakannya" Apakah
masa lalu pantas untuk diketahui" Mengapa jadi begitu penting bagiku untuk
mengatakan kepadanya: "Mama, lihatlah aku. Aku tidak terbelakang lagi. Aku
normal. Lebih baik daripada normal. Aku seorang jenius?"
Bahkan ketika aku mencoba mengenyahkan ibuku dari pikiranku, kenangan itu
merembes kembali dari masa lalu untuk mengotori masa kiniku. Kenangan yang
lainnya ketika aku sudah jauh lebih tua.
Sebuah pertengkaran. Charlie berbaring di atas tempat tidur, dengan selimut menutupi tubuhnya. Kamar
itu gelap, hanya ada sinar pipih berwarna kuning dari pintu yang terbuka, yang
menerobos kegelapan untuk menghubungkan dunia yang gelap dengan yang terang.
Lalu ia mendengar sesuatu. Ia tidak mengerti tetapi merasa, karena suara parau
mereka berhubungan dengan percakapan mereka tentang dirinya. Lebih banyak dan
banyak lagi, setiap hari, ia kemudian menghubungkan nada suara itu dengan
kerutan dahi setiap kali mereka berbicara mengenai dirinya.
Ia hampir tertidur ketika mendengar suara lirih melalui celah bercahaya. Suara
itu meninggi menjadi lengkingan pertengkaran suara ibunya yang tajam dengan
tanda-tanda ancaman akan adanya kehisterisan. "Ia harus dikirim keluar. Aku
tidak mau ia ada di rumah ini lagi. Telepon Dr Portman dan katakan kepadanya
kita ingin mengirim Charlie ke Panti Warren."
Suara ayahku terdengar tegas, menenangkan. "Tetapi kau tahu Charlie tidak akan
melukai bayi itu. Norma tidak akan merasakan apa-apa pada usianya yang sekarang
ini." "Bagaimana kita tahu" Mungkin hal itu memberi pengaruh buruk pada seorang anak
yang tumbuh bersama... seseorang seerti Charlie di rumah ini."
"Dr Portman bilang...."
"Portman bilang! Portman bilang! Aku tidak peduli apa yang dikatakannya!
Pikirkan akan seperti apa Norma jika dia memiliki kakak seperti itu. Selama
bertahun-tahun ini aku memang salah, karena berusaha percaya ia akan tumbuh
seperti anak-anak lainnya. Aku mengakuinya sekarang. Akan lebih baik baginya
jika ia dikirim keluar dari sini."
"Sekarang setelah kau punya Norma, kau memutuskan tidak menginginkan Charlie
lagi...." "Kau pikir ini mudah" Mengapa kau membuatku menjadi lebih sulit" Sepanjang tahun
itu semua orang mengatakan padaku ia harus dipindahkan. Nah, ternyata mereka
benar. Pindahkan Charlie. Mungkin di panti itu, bersama anak-anak sejenisnya, ia
akan mendapatkan sesuatu. Aku tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang
salah. Yang kutahu, aku tidak akan mengorbankan anak perempuanku untuknya lagi."
Walau Charlie tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, ia takut lalu
menenggelamkan diri di bawah selimut, dan dengan mata terbuka mencoba menembus
kegelapan di sekitarnya. Ketika aku melihatnya sekarang, ia tidak lagi takut, hanya menarik diri, seperti
seekor burung atau tupai menarik diri dari gerakan kasar pemberi makannya secara
begitu saja, naluriah. Cahaya yang menerobos masuk dari celah pintu yang terkuak
menerpaku lagi dalam pandangan yang berkilauan. Melihat Charlie bergulung di
bawah selimut aku berharap dapat menghiburnya,
menjelaskan kepadanya bahwa ia tidak melakukan kesalahan apa-apa, bahwa ia tidak
dapat mengubah sikap ibunya menjadi seperti ketika adik perempuannya lahir. Di
atas tempat tidur itu, Charlie tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tetapi
sekarang menyakitkan baginya. Seandainya aku dapat menjangkau kenangan masa
laluku, aku akan membuat Mama melihat betapa dia telah menyakitiku.
Tidak ada waktu untuk menemuinya. Tidak, hingga aku punya waktu untuk
menyelesaikannya untuk diriku sendiri.
Untungnya, sebagai tindakan pencegahan, aku menarik semua uang tabunganku di
bank begitu aku tiba di New York. Delapan ratus delapan puluh dolar tidak akan
bertahan lama, tetapi akan memberiku waktu untuk menentukan sikapku.
Aku memesan kamar di Hotel Camden di Jalan 41st, satu blok jauhnya dari Times
Square. New York! Segalanya seperti yang pernah kubaca! Gotham... pot meleleh...
Bagdad on the Hudson. Kota cahaya dan warna. Luar biasa, aku sudah tinggal dan
bekerja sepanjang hidupku di tempat yang berjarak hanya beberapa pemberhentian
kereta bawah tanah dari Times Square, tapi baru ke sana sekali bersama Alice.
Sulit untuk tidak meneleponnya. Aku sudah mulai memutar nomornya tapi berhenti
beberapa kali. Aku harus menjauh darinya.
Begitu banyak pikiran yang harus kucerna. Aku mengatakan pada diriku sendiri
bahwa selama aku terus merekam laporan kemajuanku, tidak ada yang akan hilang;
rekaman itu akan menjadi lengkap. Biarkan mereka
kebingungan dalam gelap sementara ini; aku sendiri sudah berada dalam kegelapan
selama lebih dari tiga puluh tahun. Tetapi aku sekarang letih. Aku tidak bisa
tidur di pesawat kemarin, tapi aku juga tidak dapat lagi tetap membuka mata. Aku
akan melanjutkan dari sini besok.
16 Juni Menelepon Alice, tetapi kututup sebelum dia menjawab. Hari ini aku
menemukan apartemen lengkap dengan perabotan. Pengeluaran sembilan puluh dolar sebulan
itu lebih dari yang kurencanakan. Tetapi apartemen itu terletak di Fortythird
dan Tenth Avenue dan aku dapat pergi ke perpustakaan dalam sepuluh menit untuk
mengejar ketinggalan bacaan dan pelajaranku. Apartemen itu terletak di lantai
empat, memiliki empat ruangan, dan ada piano sewaan juga di dalamnya. Induk
semangnya mengatakan bahwa dalam waktu dekat, pemilik piano itu akan
mengambilnya kembali. Mungkin sebelum diambil aku dapat belajar memainkannya.
Algernon adalah kawan yang menyenangkan. Pada waktu makan ia menempati tempatnya
di meja kecil yang dapat dilipat. Ia suka kue-kue kering asin, dan hari ini ia
menyesap bir ketika kami menonton pertandingan bola di TV. Kukira ia penggemar
klub Yankees. Aku akan memindahkan sebagian besar perabotan dari kamar tidur kedua dan
menggunakan ruangan itu untuk Algernon. Aku berencana membuatkannya sebuah
labirin tiga dimensi dari plastik bekas yang dapat kubeli dengan harga murah di
kota. Aku ingin Algernon mempelajari beberapa variasi labirin yang rumit, karena
aku ingin ia tetap bugar. Tetapi aku ingin melihat apakah aku dapat menemukan
beberapa motivasi selain makanan. Pastilah ada hadiah lain yang akan membujuknya
hingga mau memecahkan masalah. Kesendirian memberiku kesempatan untuk membaca dan berpikir. Dan sekarang
kenangan-kenangan itu datang lagi untuk menguak kembali masa silamku, guna
mengetahui siapa dan apa aku sebenarnya. Jika sampai ada yang salah pada diriku,
setidaknya aku telah memiliki masa laluku.
19 Juni Berkenalan dengan Fay Lillman, tetanggaku di seberang gang. Ketika aku
pulang dengan membawa banyak belanjaan, ternyata aku terkunci di luar
apartemenku. Lalu aku ingat bagian depan tangga darurat menghubungkan jendela
ruang tamuku dengan apartemen yang tepat di seberang gang.
Radionya sedang menyala dengan suara keras dan mengumandangkan musik tiup. Aku
mengetuk mula-mula perlahan, lalu lebih keras.
"Masuklah! Pintunya terbuka!"
Aku mendorong pintunya, dan terpana. Seorang gadis langsing berambut pirang
berdiri di depan tiang penyangga
lukisan, sedang melukis, dengan hanya mengenakan kutang dan celana dalam merah
muda. "Maaf!" aku tergagap, dan menutup pintu itu lagi. Dari luar aku berteriak. "Aku
tetanggamu dari seberang gang. Aku terkunci di luar dan aku ingin menggunakan
tangga darurat untuk sampai di jendela apartemenku."
Pintu itu terbuka lebar dan gadis itu menghadap ke arahku, masih hanya
mengenakan pakaian dalamnya, dengan sebuah kuas pada masing-masing tangannya
yang menempel di pinggulnya.
"Kau tidak dengar aku bilang masuk?" Lalu dia
mempersilakan aku masuk ke apartemennya, sambil menyingkirkan sebuah kardus yang
penuh dengan sampah. "Langkahi saja tumpukan sampah di sana."
Kupikir dia pastilah lupa-atau tidak sadar bahwa dia tidak berpakaian, dan aku
tidak tahu harus menatap ke mana. Aku terus menghindari menatapnya, dengan
melihat pada dinding, langit-langit, ke mana saja, selain dirinya.
Tempat itu kacau-balau. Ada belasan meja kecil, semuanya penuh dengan tube cat
yang sudah terpelintir, yang kebanyakan telah mengering seperti ular-ular yang
mengerut, tapi beberapa di antaranya masih hidup dan mengeluarkan pita-pita
warna. Tube, kuas, kaleng, gombal, dan bagian dari bingkai serta kanvas tersebar
di mana-mana. Di tempat itu tercium bau menyengat campuran cat, minyak biji
rami, dan terpentin dan setelah beberapa saat aku dapat membaui aroma bir lama.
Tiga kursi yang penuh dan sofa berwarna hijau kotor ditumpuki baju-baju tidak
terpakai. Dan di lantai tergeletak sepatu-sepatu, stoking, dan pakaian dalam,
seolah dia mempunyai kebiasaan melepas pakaian sambil berjalan dan melemparkan
bajunya sambil lewat. Debu tipis melapisi segalanya di ruangan ini.
"Ya, kau Pak Gordon," katanya sambil mengawasiku. "Aku sudah berusaha keras
untuk mengintipmu sejak kau pindah. Duduklah." Dia mengeduk setumpuk baju dari
salah satu kursi dan melemparkannya ke atas sofa yang sudah penuh sesak. "Jadi
akhirnya kau memutuskan untuk mengunjungi tetanggamu. Mau minum?"
"Kau seorang pelukis," aku tergagap, ingin mengatakan sesuatu. Aku bingung
karena pikiran perempuan ini bisa saja tiba-tiba sadar bahwa dirinya telanjang
dan akan berteriak lalu berlari ke kamar mandi. Aku berusaha menggerakkan mataku,
melihat ke mana saja selain dirinya.
"Bir atau ale" Aku tidak punya apa-apa sekarang di sini kecuali sherry untuk
memasak. Kau tidak mau sherry untuk memasak, kan?"
"Aku tidak bisa tinggal," kataku, berusaha tenang dan menatap lekat tanda cantik
pada dagu kirinya. "Aku terkunci di luar apartemenku. Aku ingin menyeberangi
tangga darurat itu. Tangga itu menghubungkan jendela-jendela kita."
"Silakan saja," dia meyakinkan aku. "kunci-kunci paten yang jelek itu
menyebalkan. Aku pernah terkunci di luar tempat ini tiga kali pada minggu
pertamaku tinggal di sini. Dan pernah aku di luar di gang telanjang bulat selama
setengah jam. Aku hanya melangkah keluar untuk mengambil susu, dan pintu sialan
itu terbanting menutupku di belakangku. Aku membuang kunci sialan itu. Karena
itu aku tidak memiliki satu pun sejak itu."
Aku pastilah telah mengerutkan keningku karena dia tertawa. "Nah, kau tahu apa
gunanya kunci. Mereka menguncimu di luar, dan mereka tidak begitu melindungi,
bukan" Lima belas perampokan terjadi di gedung sialan ini tahun lalu dan semua
kejadian itu terjadi di gedung berkunci. Tidak ada yang pernah masuk ke sini,
walau pintuku selalu terbuka. Mereka sia-sia saja mencari barang berharga di
sini." Ketika dia mendesakku untuk minum bir bersamanya, aku menerimanya. Sementara dia
mengambilnya di dapur, aku melihat ke sekeliling ruangan ini lagi. Yang tadi
tidak terlihat olehku adalah sebagian dinding di belakangku dikosongkan semua
perabotan di dorong ke satu sisi ruangan atau ke tengah, sehingga dinding itu
(lapisan semennya juga dikupas sehingga menampakkan batu batanya) berfungsi
sebagai galeri seni. Berbagai lukisan memenuhi langit-langit dan yang lainnya
tertumpuk menyandar di lantai. Beberapa lukisan merupakan potret diri, termasuk
yang telanjang. Lukisan yang sedang dikerjakannya ketika aku masuk, yang masih
di atas tiang penyangga, adalah lukisan setengah badannya yang telanjang,
menampakkan rambut panjangnya tidak seperti sekarang, dikepang dan disanggulkan
ke atas kepalanya seperti mahkota) melampaui bahunya, sebagian terpilin di
sekitar depan dan terkulai di antara payudaranya. Dia melukis payudaranya
sendiri tegak dan keras dengan puting berwarna tidak realistis, seperti permen
loli merah. Ketika aku mendengar dia datang dengan membawa bir, aku memutar
tubuhku menjauh dari tiang penyangga itu dengan cepat, tersandung tumpukan buku,
dan berpura-pura tertarik pada lukisan kecil musim gugur di dinding.
Aku lega ketika melihat dia telah mengenakan daster tipis lusuh walau begitu
berlubang-lubang pada tempat yang tidak semestinya dan aku dapat menatapnya
langsung untuk pertama kalinya. Tidak benar-benar cantik, tetapi mata birunya
dan hidungnya yang pendek mancung membuatnya seperti memiliki sifat kucing,
berlawanan dengan gerakannya yang atletis. Dia berusia kira-kira tiga puluh lima
tahun, ramping dan seimbang. Dia meletakkan bir-bir itu di atas lantai kayu,
bersimpuh di sampingnya di depan sofa, dan mempersilakan aku duduk juga.
"Menurutku, lantai lebih nyaman dibandingkan dengan kursi," katanya sambil
menyesap bir dari kalengnya. "Ya,
kan?" Aku katakan kepadanya, aku tidak memikirkan hal itu. Dia tertawa lalu
mengatakan, aku mempunyai wajah yang jujur. Dia sedang senang bicara tentang
dirinya. Dia menghindari Greenwich Village, katanya, karena di sana, ia tidak
dapat melukis, hanya menghabiskan waktunya di bar-bar dan kedai-kedai kopi.
"Lebih baik di sini jauh dari kepalsuan dan pemuja seni asal saja. Di sini aku
dapat melakukan yang aku mau dan tidak ada orang yang datang untuk mengejekku.
Kau bukan orang yang suka mencemooh, kan?"
Aku menggerakkan bahuku, sambil berusaha tidak merasakan debu kasar pada celana
dan tanganku. "Kukira kita semua mencemooh sesuatu. Kau mencemooh orang-orang
yang palsu dan pencinta seni yang tidak mengerti banyak tentang seni, kan?"
Sejenak kemudian, aku berkata sebaiknya aku kembali ke apartemenku. Dia
mendorong setumpuk buku menjauh dari jendela lalu aku memanjat melewati tumpukan
koran dan kantong kertas yang berisi kaleng-kaleng bir kosong. "Tidak lama
lagi," katanya sambil mendesah, "aku akan menjualnya."
Aku memanjat bingkai jendela lalu keluar ke tangga darurat. Ketika aku membuka
jendelaku, aku kembali untuk mengambil belanjaanku. Tetapi sebelum aku dapat
mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal, dia mengikutiku ke tangga darurat.
"Aku ingin melihat tempatmu. Aku belum pernah ke sana. Sebelum kau pindah, dua
orang tua bersaudara Wagner bahkan tidak mau mengucapkan selamat pagi padaku."
Dia merangkak melalui jendelaku di belakangku lalu duduk di bingkainya.
"Masuklah," kataku, sambil meletakkan belanjaanku di
atas meja. "Aku tidak punya bir, tetapi aku dapat membuatkanmu secangkir kopi." Tetapi dia
masih melihat-lihat ke belakangku dengan matanya yang terbelalak karena tidak
percaya. "Ya, Tuhan! Aku tidak pernah melihat tempat begini rapi. Siapa yang bermimpi ada
seorang lelaki yang tinggal sendirian dapat menjaga kerapian seperti ini?"
"Aku tidak selalu seperti ini," sahutku minta maaf. "Ruangan ini sudah begini
sejak aku pindah, dan aku terpaksa harus menjaga keadaan seperti ini. Sekarang
aku jadi tidak suka jika segalanya tidak pada tempatnya."
Dia turun dari birai jendela untuk menjelajahi apartemenku.
"Hei," katanya tiba-tiba, "kau suka berdansa" Kau tahu...." Dia mengulurkan
tangannya dan melakukan langkah-langkah sulit sambil menyenandungkan irama
Latin. "Katakan kau bisa berdansa, dan aku akan senang sekali."
"Hanya dansa fox trot," sahutku, "dan tidak terlalu pandai juga."
Dia menggerakkan bahunya. "Aku pastilah gila dansa, tetapi tidak seorang pun
yang kukenal yang kusukai pedansa yang baik. Aku harus pergi sendiri, berdandan
sesekali, dan pergi ke kota ke Stardust Ballroom. Kebanyakan lelaki yang berada
di sana agak menakutkan, tetapi mereka dapat berdansa."
Dia mendesah ketika melihat ke sekelilingnya."Tahukah kau, aku tidak suka tempat
yang sangat rapi seperti ini. Sebagai seorang seniman... garis-garis itulah yang
membuatku kesal. Semua serba garis lurus pada dinding, di lantai, dan di sudut
yang menjadi kotak-kotak seperti
peti mati. Satu-satunya jalan agar aku bisa menghindari ko-tak-kotak adalah
dengan minum sedikit. Maka segala garis lurus itu menjadi bergelombang dan
bergerak-gerak, sehingga aku merasa jauh lebih baik perihal segala yang ada di
dunia ini. Ketika segalanya lurus dan berbaris seperti ini, aku menjadi gila.
Uh! Jika aku tinggal di sini, aku akan terus mabuk."
Tiba-tiba dia berputar dan menatapku. "Begini, kau bisa memberiku lima dolar
yang akan kubayar pada tanggal dua puluh" Pada tanggal itulah cek tunjangan
perceraianku datang. Aku biasanya tidak pernah kekurangan begini, tetapi aku
punya masalah minggu lalu."
Sebelum aku dapat menjawabnya, dia menjerit dan menatap piano di sudut ruangan.
"Aku pernah main piano. Aku dengar kau sering juga memainkannya beberapa kali,


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu aku bilang pada diriku, orang itu bermain dengan sangat baik. Karena
itulah, aku tahu, aku ingin bertemu denganmu sebelum aku pernah melihatmu. Aku
sudah tidak bermain piano lama sekali." Dia mencoba-coba bilah-bilah piano itu
ketika aku beranjak ke dapur untuk membuat kopi.
"Kau boleh datang ke sini untuk berlatih kapan saja," kataku. Aku tidak tahu
mengapa tiba-tiba aku menjadi begitu bebas dengan tempatku, tetapi ada sesuatu
pada perempuan itu yang menuntutku bersikap benar-benar tidak egois. "Aku tidak
membuka pintu depan, tetapi jendelaku tidak terkunci, dan jika aku tidak ada di
rumah, kau bisa memanjat melalui tangga darurat itu. Krim dan gula untuk
kopimu?" Ketika dia tidak menjawab, aku melongok ke ruang tamu. Dia tidak ada di sana.
Ketika aku melihat ke arah jendela, aku mendengar suaranya dari kamar Algernon.
"Hei, apa ini?" Dia memeriksa labirin plastik tiga dimensi yang telah kubuat.
Dia mempelajarinya dan kemudian memekik lagi. "Patung modern! Segala kotak dan
garis lurus!" "Ini labirin khusus," aku menjelaskan. "Sebuah alat pembelajaran yang rumit buat
Algernon." Dia mengelilingi labirin itu, dengan gembira. "Orang-orang di Museum Seni Modern
akan menjadi gila melihat ini."
"Ini bukan patung," aku menegaskan. Aku lalu membuka pintu ke kandang tempat
tinggal Algernon yang berhubungan dengan labirin itu, dan membiarkan Algernon
berjalan ke pintu masuk labirin itu.
"Ya, Tuhan!" bisiknya. "Patung dengan sebuah elemen hidup. Charlie, ini hal
terbagus setelah sampah mobil dan tincannia."
Aku mencoba menjelaskan, tetapi dia menegaskan bahwa bagian yang hidup itu akan
membuat patung ini masuk dalam catatan sejarah. Hanya ketika aku melihat tawa
dalam mata liarnya, aku baru menyadari dia sedang menggodaku. "Ini bisa menjadi
seni mengekalkan diri," dia melanjutkan, "sebuah pengalaman kreatif bagi
pencinta seni. Jika kau punya tikus lainnya lalu mereka punya anak-anak, kau
selalu punya satu untuk menghasilkan lagi elemen hidup itu. Karya senimu bisa
mencapai kekekalan, dan semua orang yang mengikuti mode akan membeli tiruannya
untuk bahan pembicaraan. Akan kau beri nama apa?"
"Baiklah," aku mendesah. "Aku menyerah...."
"Jangan," dia mendengus, sambil menepuk kubah plastik tempat Algernon berhasil
menemukan kotak gawangnya. "Aku menyerah terlalu klise. Bagaimana
dengan: Hidup hanyalah sebuah kotak labirin?" "Kau gila!" kataku.
"Tentu saja!" Dia memutar tubuhnya dan membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Aku sedang bertanya-tanya kapan kau akan tahu kalau aku gila."
Kopi telah mendidih. Saat minum kopi, dia terkesiap, lalu berkata, dia harus bergegas karena dia
punya janji setengah jam yang lalu dengan seseorang yang ditemuinya di pameran
seni. "Kau perlu uang?" tanyaku.
Dia merogoh dompetku yang setengah terbuka dan menarik selembar lima dolar.
"Sampai minggu depan," katanya. "Saat cek itu tiba. Terima kasih banyak." Dia
lalu meremas uang itu, melayangkan ciuman pada Algernon, dan sebelum aku dapat
mengatakan apa-apa, dia sudah keluar melalui jendela, lalu ke tangga darurat,
dan menghilang. Aku berdiri di sana dengan perasaan konyol.
Begitu menarik. Begitu penuh semangat hidup. Suaranya, matanya segala tentang
dirinya mengundang. Dia tinggal di samping jendela itu dan hanya terpisah oleh
tangga darurat. 20 Juni Mungkin aku harus menunggu sebelum pergi menemui Matt; atau tidak pergi
menemuinya sama sekali. Aku tidak tahu. Tidak ada yang berjalan sesuai dengan
harapanku. Dengan petunjuk bahwa Matt telah membuka sebuah tempat cukur rambut
di Bronx, mudah saja menemukannya. Aku ingat ia menjual perlengkapan untuk usaha
pangkas rambut di New York. Hal itu membawaku ke Perlengkapan Pangkas Rambut
Metro yang memiliki sebuah tempat cukur rambut dengan nama Pangkas Rambut Gordon
di Jalan Went worth di Bronx.
Matt telah sering berbicara tentang sebuah tempat cukur rambut miliknya sendiri.
Betapa ia benci berjualan! Betapa mereka sering mempertengkarkan hal itu! Rose
berteriak bahwa seorang wiraniaga adalah pekerjaan yang paling tidak terhormat,
tetapi dia tidak mau punya suami seorang tukang cukur. Dan, oh, Margareth
Phinney akan tertawa tergelak pada "istri si tukang cukur". Lalu, bagaimana
dengan Lois Meiner yang suaminya adalah penguji klaim pada Perusahaan Kasualitas
Alarm" Tidakkah dia akan mengangkat hidungnya ke udara!
Selama tahun-tahun Matt bekerja sebagai wiraniaga, dengan membencinya setiap
hari (terutama setelah ia melihat film versi Death of a Salesman). Ia bermimpi
suatu hari kelak ia akan menjadi bos bagi dirinya sendiri. Hal itu pastilah
telah ada dalam benaknya pada hari-hari ketika ia berbicara tentang menabung dan
saat memotong rambutku sendiri di ruang bawah tanah. Cukurannya bagus, ia
menyombong, jauh lebih baik daripada yang dilakukan di tukang cukur murahan di
Scales Avenue. Ketika pergi dari rumah meninggalkan Rose, ia juga meninggalkan
pekerjaannya sebagai wiraniaga. Aku mengaguminya karena itu.
Aku sangat girang karena akan bertemu dengan ayahku. Kenangan akan dirinya
adalah kenangan hangat. Matt mau menerimaku apa adanya. Sebelum Norma lahir:
pertengkaran mereka bukan tentang uang atau kesan para tetangga, tetapi tentang
aku bahwa aku seharusnya dibiarkan saja, bukan didorong-dorong untuk mengerjakan
apa yang dikerjakan anak-anak lainnya. Setelah Norma lahir: aku punya hak hidup
sesuai dengan diriku sendiri walau aku tidak seperti anak-anak lainnya. Aku
tidak dapat menunggu untuk melihat ekspresi wajahnya. Ia
adalah seseorang yang dapat diajak berbagi dalam hal ini.
Jalan Wentworth merupakan bagian yang mati di Bronx. Pada umumnya, toko-toko di
jalan itu dipasangi tanda "Disewakan" di jendelanya, sedangkan yang lainnya
tutup hari itu. Tetapi, di tengah jalan blok tersebut, dari halte bus terlihat
ada tanda toko pangkas rambut yang menyerupai permen tongkat bercahaya dari
jendelanya. Toko itu kosong, yang terlihat hanyalah seorang pemangkas rambut yang sedang
membaca majalah di kursi yang terdekat dengan jendelanya. Ketika ia melihat
padaku, aku mengenalinya, Matt pendek gemuk, berkemeja merah kotak-kotak, jauh
lebih tua, dan hampir botak dengan uban di tepi kepalanya tetapi lelaki itu
masih Matt. Ketika melihatku berdiri di pintu, ia melempar majalahnya.
"Tidak perlu menunggu. Kau berikutnya."
Aku ragu-ragu, karena ia salah mengerti. "Biasanya kami tidak buka pada jam-jam
seperti ini, Pak. Punya janji dengan salah seorang pelangganku, tetapi ia tidak
datang. Baru saja akan tutup. Kau beruntung, aku duduk untuk mengistirahatkan
kakiku. Kami pemangkas rambut terbaik dan pencukur jenggot di Bronx."
Ketika aku membiarkan diriku dibawa masuk ke tokonya, ia menyibukkan dirinya di
sekitarku, menarik gunting dan sisir serta penutup leher yang segar.
"Segalanya bersih, seperti yang bisa kaulihat. Itulah kelebihanku di seluruh
tempat cukur di sekitar sini. Pangkas rambut dan cukur jenggot?"
Aku duduk dengan nyaman di atas kursi. Hebat sekali, ia tidak mengenaliku
padahal aku mengenalinya begitu saja. Aku harus mengingatkan diriku sendiri
bahwa ia sudah tidak melihatku selama lebih dari lima belas tahun.
Lagi pula mungkin penampilanku telah berubah, bahkan dalam beberapa bulan ini.
Ia mengamatiku dari cermin sekarang setelah menutupiku dengan kain leher
bergaris. Lalu aku melihat kerutan kening yang mungkin pertanda ia mulai ingat,
samar-samar. "Perawatan," kataku, sambil mengangguk ke arah daftar harga, "pangkas rambut,
cukur jenggot, sampo, krim suntan...."
Alisnya terangkat. "Aku harus bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak kujumpai," aku
meyakinkannya, "dan aku ingin berpenampilan terbaik."
Itu merupakan sensasi yang paling menakutkan, membiarkan dirinya memangkas
rambutku lagi. Setelah itu, ketika ia mengasah silet itu pada lembar kulit,
suara mendesir membuatku meringis. Aku menundukkan kepalaku karena ditekan
dengan halus oleh tangannya dan merasakan bilah silet itu menggoresi leherku.
Aku memejamkan mata dan menunggu. Rasanya seperti berada di atas meja operasi
lagi. Otot leherku menegang, dan tanpa peringatan otot itu berdenyut. Silet itu
mengirisku tepat di atas jakunku.
"Hei!" ia berteriak. "Tuhan... tenanglah. Kau bergerak. Hei, mohon maaf."
Ia bergegas membasahi handuk di wastafel. Dari cermin aku melihat warna merah
terang menggelembung, kemudian ada garis tipis menuruni tenggorokanku. Dengan
tegang dan minta maaf, ia mengelapnya sebelum darah itu mencapai kain leher.
Sambil mengamatinya bergerak, cukup tangkas bagi seorang yang pendek, gemuk, aku
merasa bersalah karena tidak segera mengatakan siapa aku. Aku ingin
mengatakan kepadanya siapa aku dan membiarkannya meletakkan lengannya di bahuku,
sehingga kami dapat berbicara tentang masa lalu. Tetapi, aku menunggu sementara
ia menahan luka itu dengan bubuk penahan darah.
Ia menyelesaikan pencukuran jenggotku dengan diam. Setelah itu, ia membawa lampu
suntan mendekati ke kursiku, lalu meletakkan kapas lembab dengan bedak cair
menutupi mataku. Dalam keadaan terpejam, aku merasakan sinar merah terang masuk
ke dalam mataku yang gelap. Aku melihat apa yang terjadi malam itu ketika Matt
membawaku pergi dari rumah untuk terakhir kalinya....
Charlie tidur di kamar yang lain, tetapi ia terbangun karena suara jeritan
ibunya. Ia sudah terbiasa tidur dengan suara pertengkaran pertengkaran merupakan
kejadian sehari-hari di rumahnya. Tetapi, malam ini ada yang sangat salah dalam
kehisterisan ibunya. Charlie mengerut kembali ke dalam bantalnya dan
mendengarkan. "Aku tidak tahan lagi! Ia harus keluar dari rumah ini! Kita harus memikirkan
Norma. Aku tidak mau dia pulang sekolah dengan menangis setiap hari karena anak-
anak mengejeknya. Kita tidak dapat merusak kesempatannya untuk hidup normal
karena Charlie." "Menurutmu, apa yang harus kulakukan" Membuangnya di jalan?"
"Singkirkan Charlie. Kirim ia ke Panti Warren."
"Kita bicarakan itu besok pagi."
"Tidak. Yang kaulakukan hanya bicara, tanpa tindakan sama sekali. Aku tidak mau
Charlie ada di sini besok. Sekarang-malam ini."
"Jangan bodoh, Rose. Ini sudah terlalu malam untuk melakukan apa pun.... Kau
berteriak terlalu keras sehingga semua orang bisa mendengarmu."
"Aku tidak peduli. Ia harus pergi malam ini juga. Aku tidak tahan menatapnya
lagi." "Kau menjadi keterlaluan, Rose. Apa yang kaulakukan?"
"Aku peringatkan kau. Bawa ia pergi dari rumah ini."
"Letakkan pisau itu."
"Aku tidak akan merusak kehidupan Norma." "Kau gila. Singkirkan pisau itu."
"Ia lebih baik mati. Ia tidak akan hidup secara normal. Ia lebih baik mati...."
"Kau sinting. Demi Tuhan, kendalikan dirimu!"
"Kalau begitu, bawa ia pergi dari sini. Sekarang... malam ini juga."
"Baiklah. Aku akan membawanya ke rumah Herman malam ini dan mungkin besok kita
akan tahu apakah kita akan membawanya ke Panti Warren."
Sunyi. Dari kegelapan itu, aku gemetar melewati rumah kami, kemudian terdengar
suara Matt, tidak terlalu panik dibandingkan dengan suara Rose, "Aku tahu apa
yang telah kaualami bersama Charlie, karena itu aku tidak dapat menyalahkanmu
jika kau takut. Tetapi kau harus mengendalikan dirimu sendiri. Aku akan
membawanya ke rumah Herman. Puas?"
"Hanya itu yang kuminta. Anak perempuanmu berhak hidup juga."
Matt masuk ke kamar Charlie, lalu mengganti pakaian anak lelakinya. Walau anak
lelakinya itu tidak tahu apa-apa, ia ketakutan. Ketika mereka keluar dari pintu,
Rose memalingkan wajahnya. Mungkin ia mencoba
meyakinkan dirinya sendiri bahwa Charlie sudah pergi dari kehidupannya bahwa
Charlie tidak ada lagi. Ketika berjalan keluar, Charlie melihat di atas meja
dapur tergeletak sebilah pisau dapur panjang yang biasa digunakan ibunya untuk
memotong daging panggang. Samar-samar ia merasa bahwa ibunya berniat melukainya.
Dia ingin mengambil sesuatu dari dirinya, lalu memberikannya kepada Norma.
Tatkala ia menatap ibunya, dia telah mengambil lap dapur untuk membersihkan
tempat cuci piring.... Ketika pencukuran rambut, jenggot, perawatan suntan, dan yang lainnya selesai,
aku duduk di atas kursi itu dengan lemas, merasa ringan, dan rapi serta bersih.
Matt melepas kain leherku, lalu menawariku cermin kedua untuk melihat pantulan
bagian belakang kapalaku. Melihat diriku sendiri di dalam cermin dan menatap
bagian belakangku dari cermin kedua, yang dipegang Matt untukku, saat itu juga
satu sisinya menghasilkan ilusi kedalaman; lorong kehidupanku yang tanpa batas...
melihat diriku sendiri ... melihat diriku sendiri... melihat diriku sendiri... melihat
diriku sendiri... melihat.... Yang mana" Siapa aku dulu"
Aku berpikir untuk tidak memberi tahu Matt siapa aku. Apa gunanya bagi Matt
mengetahui hal itu" Pergi sajalah tanpa memberi tahu siapa aku sesungguhnya.
Lalu aku ingat bahwa aku ingin Matt tahu. Ia harus mengakui bahwa aku masih
hidup, bahwa aku adalah seseorang. Aku ingin ia membanggakan aku kepada
pelanggannya besok ketika ia memangkas rambut dan mencukur jenggotnya. Itu akan
membuat segalanya menjadi nyata. Jika ia tahu aku adalah putranya, aku akan
menjadi seseorang. "Nah, sekarang setelah rambutku rapi, mungkin kau akan mengenaliku," kataku
sambil berdiri, dan menunggu sebuah tanda pengenalannya akan diriku.
Ia mengerutkan keningnya. "Apa ini" Sebuah lelucon?"
Aku yakinkan Matt bahwa ini bukan sebuah lelucon, dan jika ia melihat dan
berpikir cukup keras ia akan mengenaliku. Ia menggerakkan bahunya dan berpaling
untuk menyimpan sisir dan guntingnya. "Aku tidak punya waktu untuk menebak-nebak
nama. Harus tutup. Semuanya tiga setengah dolar."
Bagaimana jika ia tidak ingat padaku" Bagaimana jika ini ternyata hanya
merupakan khayalan aneh" Tangannya menadah meminta uang, tetapi aku tidak
bergerak merogoh dompetku. Ia harus ingat padaku. Ia harus mengenaliku.
Namun, tidak tentu saja tidak dan ketika aku merasakan rasa asam pada mulutku,
dan keringat pada telapak tanganku, aku tahu, sebentar lagi aku akan sakit.
Tetapi, aku tidak mau hal itu terjadi di depannya.
"Hei, kau tidak apa-apa?"
"Ya... hanya... tunggu...." Aku terhuyung dan terduduk di salah satu kursi kromnya
lalu menunduk ke depan terengah-engah mengumpulkan udara, sambil menunggu darah
kembali mengalir dalam kepalaku. Perutku bergolak. Oh, Tuhan, jangan biarkan aku
pingsan sekarang. Jangan biarkan aku tampak menggelikan di depannya.
"Air... minta air... kumohon...." Aku sesungguhnya tidak terlalu memerlukan air, hanya
untuk mengusirnya pergi. Aku tidak mau ia melihatku seperti ini setelah
bertahun-tahun berselang. Ketika ia kembali dengan membawa segelas air, aku
merasa agak lebih baik. "Ini, minumlah. Istirahatlah sebentar. Kau akan baik kembali." Ia menatapku
ketika aku menyesap air dingin itu. Aku dapat melihat ia berusaha keras
mengingat-ingat kenangan yang setengahnya sudah terlupakan, "Apakah aku benar-
benar mengenalmu, di suatu tempat?"
"Tidak... aku tidak apa-apa. Aku akan pergi sebentar lagi."
Bagaimana aku bisa mengatakan kepadanya" Apa yang harus kukatakan" Nah, lihatlah
padaku, aku Charlie, putramu yang kaubuang" Aku bukannya menyalahkan dirimu
dalam hal itu, tetapi inilah aku, segalanya telah diperbaiki, lebih baik
daripada sebelumnya. Ujilah aku. Beri aku pertanyaan. Aku bisa berbicara dalam
dua puluh bahasa, yang masih digunakan dan yang sudah tidak digunakan. Aku
seorang jagoan matematika, dan aku menulis sebuah konserto piano yang akan
membuat mereka mengingatku walau aku sudah lama mati.
Bagaimana aku mengatakan padanya"
Betapa aneh, karena aku duduk di tokonya, menunggunya menepuk kepalaku dan
berkata, "Anak baik." Aku ingin pengakuannya, tatapan bercahaya yang pernah ada
yang terbit pada wajahnya ketika aku belajar menalikan sepatuku dan
mengancingkan baju hangatku. Aku telah datang ke sini demi tatapan bercahaya itu
dari wajahya, tetapi aku tahu, aku tidak akan mendapatkannya.
"Kau ingin aku memanggil seorang dokter untukmu?"
Aku bukan putranya. Itu adalah Charlie yang lain. Cerdas, dan ilmu pengetahuan
telah mengubahku, dan ia akan membenciku seperti teman-teman di pabrik roti yang
membenciku karena pertumbuhanku mengecilkan dirinya. Aku tidak mau itu.
"Aku tidak apa-apa," kataku. "Maaf karena aku merasa mual." Aku berdiri dan
mencoba menjejakkan kakiku. "Aku makan sesuatu yang tidak baik untuk perutku.
Silakan tutup tokomu sekarang."
Ketika aku beranjak ke pintu, suara Matt memanggilku dengan tajam. "Hei, tunggu
sebentar!" Matanya menatapku dengan curiga. "Kau mau main-main, ya?"
"Aku tidak mengerti."
Tangannya terulur, dan telunjuk serta ibu jarinya saling menggesek. "Kau
berutang padaku tiga setengah." Aku minta maaf sambil membayarnya, tetapi aku
dapat melihat bahwa ia tidak mempercayainya. Aku memberinya lima dolar, dan
memintanya menyimpan sisanya. Lalu aku bergegas keluar dari tokonya tanpa
menoleh ke belakang lagi.
21 Juni Aku telah menambahkan rangkaian waktu dari peningkatan kerumitan pada
labirin tiga dimensi. Tapi Algernon mampu mempelajarinya dengan mudah. Tampaknya


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia belajar demi pemecahan masalah saja keberhasilan merupakan hadiah itu sendiri
baginya. Namun, seperti yang dikatakan Burt dalam seminar yang lalu itu,
perilakunya menjadi tidak menentu. Kadang-kadang setelah, atau bahkan ketika
berlari, ia akan menjadi marah, melemparkan dirinya pada dinding labirin, atau
bergulung ke atas dan menolak berkerja sama sekali. Frustrasi" Atau sesuatu yang
lebih dalam lagi" 5.30 sore Si gila Fay masuk melalui tangga darurat
sore itu dengan membawa seekor tikus putih betina berukuran kira-kira separuh
dari Algernon untuk menemaninya di malam-malam musim panas yang sepi ini,
katanya. Ia dengan cepat menampik segala keberatanku, lalu meyakinkan aku bahwa
tikus betina itu akan berguna bagi Algernon. Setelah aku meyakinkan diriku
sendiri bahwa si kecil "Minnie" terlihat sangat sehat dan bersifat baik, aku
setuju. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Algernon jika dihadapkan dengan seekor
tikus betina. Tetapi begitu kami meletakkan Minnie di dalam kandang Algernon,
Fay mencengkeram lenganku dan menarikku keluar kamar.
"Di mana perasaan romantismu?" desaknya. Dia menyalakan radio, lalu melangkah
maju ke arahku dengan gerakan mengancam. "Aku akan mengajarimu langkah-langkah
terbaru." Kau tidak mungkin merasa terganggu dengan kehadiran seorang gadis seperti Fay.
Pada dasarnya, aku senang Algernon tidak lagi sendirian.
23 Juni Kemarin malam, ketika sudah larut malam, aku mendengar suara tawa dan
ketukan di pintu apartemenku. Ternyata Fay dan seorang lelaki.
"Hai Charlie," sapa Fay sambil terkekeh ketika melihatku. "Leroy, kenalkan, ini
Charlie. Ia adalah tetanggaku di seberang gang. Seorang seniman hebat. Ia
membuat patung dengan elemen hidup."
Leroy menangkap Fay dan terus memeluknya supaya dia tidak menabrak dinding. Ia
melihat padaku dengan gugup kemudian menggumamkan salam.
"Bertemu dengan Leroy di Stardust Ballroom," Fay menjelaskan. "Ia pedansa yang
menawan." Fay beranjak
ke apartemennya dan menarik kawannya. "Hei," katanya sambil tertawa-tawa,
"mengapa kita tidak mengundang Charlie untuk minum dan pesta?"
Menurut Leroy, itu bukan gagasan yang bagus.
Aku minta maaf dan mundur. Di belakang pintu yang sudah kututup, aku mendengar
mereka tertawa-tawa sambil memasuki apartemen Fay. Walau aku mencoba terus
membaca, gambaran itu terus mendesak masuk ke dalam benakku: sebuah tempat tidur
putih... seprai putih yang sejuk, dan mereka berdua saling berpelukan.
Aku ingin menelepon Alice, tetapi tidak kulakukan. Mengapa menyiksa diriku
sendiri" Aku bahkan tidak dapat lagi membayangkan wajah Alice. Aku dapat
menggambarkan Fay, berpakaian atau telanjang, atas kemauannya sendiri, dengan
mata biru segarnya dan rambut pirang dikepang serta digelung di atas kepalanya
seperti mahkota. Fay jelas, tetapi Alice terbungkus kabut.
Kira-kira satu jam kemudian, aku mendengar teriakan dari apartemen Fay, lalu
jeritannya dan suara barang-barang dilempar. Tetapi ketika aku mulai turun dari
tempat tidurku untuk melihat apakah Fay memerlukan bantuan, aku mendengar
pintunya terbanting Leroy menyumpah-nyumpah sambil pergi. Lalu beberapa menit
setelah itu, aku mendengar suara ketukan di jendela ruang tamuku. Jendela itu
terbuka, dan Fay menyelinap masuk, lalu duduk di birainya. Selembar kimono hitam
memperlihatkan tungkai-tungkai indahnya. "Hai," ia berbisik, "punya rokok?"
Aku memberinya satu, lalu ia melorot turun dari jendela dan menuju ke sofa.
"Fyuh!" ia mendesah. "Biasanya aku bisa menjaga diriku sendiri, tetapi ada satu
jenis lelaki yang begitu kelaparan sehingga kau harus
menjauhkan diri darinya."
"Oh," sahutku, " kau membawanya ke sini hanya untuk kauhindari."
Bayar Nyawa 1 Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan Pendekar Sakti Im Yang 2
^