Pencarian

Si Jenius Dungu 2

Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes Bagian 2


ketika Frank membuka pintunya untuk menukar roti tawar di dalamnya.
Tiba-tiba aku jatuh... terpelintir... segalanya keluar dari bawah dan kepalaku
menghantam dinding. Itu aku, tapi bisa juga seseorang yang lain terbaring di sana seorang Charlie
yang lain. Ia kebingungan... menggosok-gosok kepalanya... menatap Frank, jangkung
dan kurus, kemudian Gimpy yang berdiri di dekatnya, besar, berbulu, berwajah
kelabu dengan alis lebat hingga hampir menutupi mata birunya.
"Jangan ganggu anak itu," kata Gimpy. "Ya ampun, Frank, mengapa kau selalu
mengganggunya?" "Aku tidak bermaksud apa-apa," jawab Frank sambil tertawa. "Tidak melukainya. Ia
tidak tahu apa-apa. Betul kan, Charlie?"
Charlie menggosok kepalanya dan meringis. Ia tidak tahu apa yang telah
dilakukannya sehingga mendapat hukuman seperti itu. Tetapi selalu ada
kemungkinan untuk muncul sesuatu yang lebih dari itu.
"Tetapi kautahu," kata Gimpy, sambil berjalan limbung dengan sepatu
ortopedisnya, "jadi mengapa kau selalu mengganggunya?" Kedua lelaki itu duduk di
depan meja panjang. Si jangkung Frank dan si besar Gimpy membentuk adonan untuk
roti gulung yang harus dibakar sebagai pesanan malam itu.
Sejenak mereka bekerja tanpa bicara. Tapi kemudian
Frank berhenti dan menyorong topi putihnya ke belakang. "Hei, Gimp, terpikirkah
Charlie bisa belajar membakar roti gulung?"
Gimpy menyandarkan satu sikunya di atas meja. "Tidak bisa, ya, tidak
mengganggunya?" "Bukan begitu, maksudku, Gimp, ini serius. Aku bertaruh ia dapat belajar sesuatu
yang mudah seperti membuat roti gulung."
Gagasan itu tampak menarik bagi Gimpy yang kemudian berpaling dan menatap
Charlie. "Mungkin kau benar. Hei, Charlie, kemarilah sebentar."
Seperti yang biasa dilakukannya ketika orang membicarakan dirinya, Charlie
menundukkan kepala, sambil menatap tali sepatunya. Ia bisa mengikat tali
sepatunya. Ia dapat membuat roti gulung. Ia dapat belajar menimbang, menggulung,
memilin, dan membentuk adonan menjadi bulatan-bulatan kecil.
Frank menatapnya ragu. "Mungkin seharusnya kita tidak melakukannya, Gimp.
Mungkin itu salah. Jika seorang bodoh tidak dapat belajar, mungkin kita tidak
perlu memulainya dengan Charlie."
"Kauserahkan saja padaku," kata Gimpy yang sekarang mengambil alih gagasan
Frank. "Kupikir mungkin saja ia dapat belajar. Sekarang dengarkan, Charlie. Kau
mau belajar sesuatu" Kau mau aku mengajarimu cara membuat roti gulung seperti
yang dilakukan oleh Frank dan aku?"
Charlie menatapnya, lalu senyum mengembang di wajahnya. Ia mengerti apa yang
diinginkan Gimpy, dan ia merasa tersudut. Ia ingin menyenangkan Gimpy, tapi ada
sesuatu di balik kata belajar dan mengajari, sesuatu yang mengingatkannya pada
hukuman berat, tetapi ia tidak ingat apa itu hanya sebuah tangan kecil putih
yang terangkat, memukulnya supaya ia belajar sesuatu yang tidak dapat dimengertinya.
Charlie mundur menjauh, tetapi Gimpy mencengkeram lengannya. "Hei, Nak, tenang
saja. Kami tidak akan melukaimu. Lihatlah anak ini gemetar seperti akan rontok.
Begini, Charlie, aku punya sebuah jimat keberuntungan yang berkilap untuk
mainanmu." Gimpy mengulurkan tangannya dan memperlihatkan sebuah rantai dan
cakram kuningan mengkilap bertulis POLES LOGAM AGAR TETAP BERKILAU. Ia memegangi
rantai itu pada ujungnya dan cakram keemasan yang berkilauan itu berputar
perlahan, menangkap sinar bola-bola lampu yang terang. Bandul itu adalah kilauan
yang diingat Charlie tapi ia tidak tahu mengapa atau apa itu.
Ia tidak meraihnya. Ia tahu kau akan dihukum jika menyentuh benda milik orang
lain. Jika seseorang meletakkannya di tanganmu, itu tidak apa-apa. Tetapi jika
tidak begitu, salah. Ketika ia melihat bahwa Gimpy menawarkan benda itu
kepadanya, ia mengangguk dan tersenyum lagi.
"Yang itu ia mengerti," kata Frank sambil tertawa. "Beri ia sesuatu yang
berkilau dan mengkilap." Frank, yang telah membiarkan Gimpy mengambil alih
percobaannya, mencondongkan tubuhnya dengan girang. "Mungkin jika ia sangat
menginginkan sampah itu dan kaukatakan ia akan mendapatkannya bila ia belajar
membentuk adonan menjadi gulungan, kau akan berhasil membujuknya."
Ketika para pembuat roti itu bersiap mengajari Charlie, orang-orang dari toko
mengelilingi mereka. Frank membersihkan area antara mereka dan meja, sedangkan
Gimpy menarik adonan berukuran sedang untuk dikerjakan Charlie. Ada suara-suara
bertaruh apakah Charlie bisa
atau tidak belajar membuat roti gulung.
"Perhatikan kami baik-baik," kata Gimpy sambil meletakkan bandul itu di
sampingnya di atas meja, di tempat yang dapat terlihat oleh Charlie. "Perhatikan
dan tirulah semua yang kami lakukan. Jika kau bisa belajar membuat roti gulung,
kau akan mendapatkan jimat berkilap ini."
Charlie membungkuk di atas bangkunya, sambil bersungguh-sungguh mengamati Gimpy
mengambil pisau dan memotong segumpal adonan. Ia mempelajari setiap gerakan
ketika Gimpy menggulung adonan menjadi gulungan panjang, membaginya dan
memilinnya menjadi sebuah lingkaran, lalu sesekali berhenti untuk menaburkan
tepung terigu. "Sekarang perhatikan aku," kata Frank, dan ia mengulangi langkah-langkah yang
dilakukan Gimpy. Charlie bingung. Berbeda. Gimpy mengangkat sikunya ke atas
ketika menggulung adonan, seperti sayap burung, tetapi Frank tetap merapatkan
lengannya pada tubuhnya. Gimpy tetap merapatkan ibu jarinya dengan jemarinya
yang lain ketika ia meremas adonan. Namun, Frank bekerja dengan telapak tangan
datarnya, menjauhkan ibu jarinya dari jemari lainnya dan mengerjakannya
mengambang di udara. Memikirkan hal-hal itu membuat Charlie sulit sekali bergerak ketika Gimpy
berkata, "Ayo, cobalah."
Charlie menggelengkan kepalanya. "Lihat, Charlie, aku akan melakukannya lagi
perlahanlahan. Sekarang kauperhatikan segala yang kulakukan, dan kerjakan setiap
bagian bersamaku. Mengerti" Tetapi kau harus mengingat semuanya sehingga
kemudian kau akan dapat mengerjakan sendiri segalanya. Ayolah, seperti ini."
Charlie mengerutkan keningnya ketika ia mengamati Gimpy menarik segumpal adonan
dan menggulungnya menjadi sebuah bola. Ia ragu-ragu, tapi kemudian ia mengambil
pisau, memotong sebongkah adonan, dan meletakkannya di tengah meja.
Perlahanlahan, dengan menjaga sikunya tetap terangkat persis seperti Gimpy, ia
menggulung adonan menjadi sebuah bola.
Ia melihat tangannya lalu melihat tangan Gimpy, dan ia dengan berhati-hati tetap
meletakkan jemarinya tepat seperti yang dilakukan Gimpy, ibu jari rapat dengan
jemari lainnya agak mengatup. Ia harus melakukannya dengan benar, seperti yang
diinginkan Gimpy. Ada gema di dalam dirinya yang mengatakan, kerjakan dengan
benar sehingga mereka akan menyukaimu. Ia juga ingin Gimpy dan Frank
menyukainya. Ketika Gimpy telah selesai mengolah adonannya menjadi bola, ia berdiri mundur,
lalu diikuti Charlie. "Hei, hebat itu. Lihat, Frank, ia berhasil membuatnya
menjadi bola." Frank mengangguk dan tersenyum. Charlie mendesah dan seluruh tubuhnya bergetar
ketika ketegangan muncul. Ia tidak terbiasa dengan saat-saat keberhasilan
seperti ini. "Baiklah," kata Gimpy. "Sekarang kita membuat roti gulung." Dengan canggung
tetapi hati-hati, Charlie mengikuti setiap gerakan Gimpy. Sesekali sentakan
kecil dari tangan atau lengannya menghalangi apa yang sedang dikerjakannya.
Tetapi tidak lama setelah itu ia dapat memilin sebagian adonan dan membuatnya
menjadi sebuah roti gulung. Di sebelah Gimpy, ia menghasilkan enam buah roti
gulung. Dan setelah menabuhnya dengan tepung terigu, ia lalu meletakkan
keenamnya dengan hati-hati di samping roti gulung Gimpy di sebuah nampan
besar yang tertutup taburan tepung terigu.
"Baiklah, Charlie," kata Gimpy dengan wajah bersungguh-sungguh. "Sekarang, ayo
kita lihat kau dapat melakukannya sendiri. Ingat semua yang kaulakukan dari
awal. Sekarang, mulailah."
Charlie menatap gumpalan besar adonan dan pisau yang disorongkan Gimpy ke
tangannya. Kemudian sekali lagi, kepanikan menyerangnya. Apa yang harus
dikerjakan pertama-tama" Bagaimana ia harus mengatur letak tangannya" Jemarinya"
Ke arah mana ia harus menggulung bola..." Seribu gagasan membingungkan menyerang
benaknya sekaligus ketika ia berdiri di sana sambil tersenyum. Ia ingin
melakukannya untuk menyenangkan Frank dan Gimpy serta membuat mereka
menyukainya, lalu mendapatkan jimat berkilau yang dijanjikan Gimpy kepadanya. Ia
memutar sepotong adonan yang berat dan lembut, lagi dan lagi di atas meja,
tetapi ia tidak dapat memulainya. Ia tidak dapat memotongnya karena ia tahu ia
akan gagal, karena itulah ia menjadi ketakutan.
"Ia sudah lupa," kata Frank. "Tidak menempel di otaknya."
Ia ingin menghafalnya. Ia mengerutkan keningnya dan mencoba mengingat-ingat:
pertama kau mulai dengan memotong sebagian. Lalu kau gulung menjadi sebuah bola.
Tetapi bagaimana bisa sampai menjadi sebuah gulungan seperti yang sudah berada
di atas nampan itu" Itu lain lagi. Beri ia waktu, ia akan ingat. Begitu
kebingungan itu mereda, ia akan ingat. Beri ia beberapa detik lagi, setelah itu
ia akan tahu. Ia ingin mengingat apa yang baru saja dipelajarinya sebentar lagi.
Ia sangat menginginkannya.
"Baik, Charlie," kata Gimpy mendesah, sambil mengambil pisau dari tangan
Charlie. "Tidak apa-apa. Jangan pikirkan itu. Itu memang bukan pekerjaanmu."
Semenit lagi, ia akan ingat. Kalau saja mereka tidak mendesaknya. Mengapa
segalanya harus begitu terburu-buru"
"Ayolah, Charlie. Duduklah, dan lihatlah buku komikmu. Kita harus kembali
bekerja." Charlie mengangguk dan tersenyum, lalu menarik keluar buku komiknya dari saku
belakangnya. Ia meratakannya, dan meletakkannya di atas kepalanya seakan buku
itu adalah sebuah topi. Frank tertawa dan Gimpy akhirnya tersenyum.
"Ayolah, kau bayi besar," dengus Gimpy, "duduklah hingga Pak Donner
memanggilmu." Charlie tersenyum kepadanya dan kembali ke karung-karung tepung terigu di sudut
dekat mesin pengaduk adonan. Ia suka bersandar pada karung-karung itu sambil
duduk di lantai dengan kaki terlipat dan melihat gambar-gambar dalam buku
komiknya. Ketika ia mulai membalik halamannya, ia merasa ingin menangis, tetapi
ia tidak tahu mengapa. Apa yang membuatnya bersedih. Awan kebingungan datang dan
pergi. Sekarang ia menatap ke depan ke arah gambar-gambar berwarna cerah dan
menyenangkan dalam buku komiknya yang telah dilihatnya sebanyak tiga puluh atau
empat puluh kali. Ia mengenal semua tokoh dalam komik itu ia telah menanyakan
nama-nama mereka berkali-kali (kepada hampir semua orang yang ditemuinya) dan ia
mengerti bahwa bentuk aneh huruf-huruf itu serta kata-kata dalam balon putih di
atas tokoh-tokoh itu artinya mereka sedang mengatakan sesuatu. Apakah ia pernah
belajar membaca apa yang ada di dalam balon-balon putih itu" Kalau saja mereka
memberinya cukup waktu jika mereka tidak mendesak-desaknya atau mendorongnya
terlalu cepat ia akan mengerti. Tetapi tidak seorang pun yang punya waktu.
Charlie menarik kedua tungkainya ke atas, lalu membuka buku komiknya pada
halaman pertama di bagian Batman dan Robin sedang berayun pada seutas tali di
samping sebuah gedung. Suatu hari nanti, ia memutuskan, ia akan mampu membaca.
Kemudian ia akan dapat membaca cerita ini. Ia merasa ada sebuah tangan menempel
di bahunya. Ia pun menoleh ke atas. Dilihatnya Gimpy sedang memegangi cakram dan
rantai kuningan, sehingga berayun, berputar, dan memantulkan cahaya.
"Ini," katanya dengan kasar sambil melemparkan cakram itu ke atas pangkuan
Charlie, lalu terpincang-pincang pergi....
Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya, tetapi itu adalah hal manis yang
dilakukannya. Mengapa ia melakukannya" Namun, itulah kenanganku, lebih jelas dan
lebih lengkap dibandingkan dengan yang pernah kualami sebelum ini. Seperti
melihat keluar melalui jendela dapur pada pagi hari ketika sinar pagi masih
kelabu. Sejak itu aku dapat mengingat. Aku berutang pada Dr Strauss dan Profesor
Nemur, juga kepada orang lain di sini di Beekman. Tetapi bagaimana perasaan
Frank dan Gimpy sekarang setelah mereka melihatku berubah"
22 April Orang-orang di pabrik roti berubah. Bukan hanya mereka mengabaikan aku,
tapi aku juga dapat merasakan permusuhan. Pak Donner sedang mengaturku
untuk bergabung dengan tim pembuat roti, dan aku mendapat kenaikan gaji lagi.
Yang menyebalkan adalah segala kesenangan itu hilang karena teman-teman yang
lain membenciku. Aku tidak dapat menyalahkan mereka. Mereka tidak mengerti apa
yang terjadi pada diriku, sedangkan aku tidak dapat mengatakan kepada mereka.
Ternyata orang-orang tidak merasa bangga akan diriku seperti yang kuharapkan
sama sekali tidak. Namun, aku tetap membutuhkan orang untuk diajak bicara. Aku akan mengajak Nona
Kinnian pergi nonton film besok malam untuk merayakan kenaikan gajiku. Jika aku
berani. 24 April Profesor Nemur akhirnya setuju dengan Dr Strauss dan aku bahwa aku
tidak mungkin menuliskan segalanya jika aku tahu bahwa laporanku akan langsung
dibaca orang lain di lab. Aku sudah mencoba benar-benar jujur tentang segalanya,
tidak peduli siapa yang sedang kubicarakan. Tetapi ada beberapa hal yang tidak
dapat kutuliskan kecuali jika aku dapat merahasiakannya paling tidak untuk
sementara. Sekarang, aku boleh menyimpan beberapa laporan yang bersifat lebih pribadi,
tetapi sebelum laporan terakhir ke Yayasan Welberg, Profesor Nemur akan membaca
seluruhnya untuk memutuskan bagian mana yang harus dipublikasikan.
Yang terjadi hari ini di lab sangat menjengkelkan. Aku tiba di kantor lebih awal
malam ini untuk bertanya kepada Dr Strauss atau Profesor Nemur, apakah menurut
mereka aku boleh mengajak Alice Kinnian pergi nonton film. Tetapi sebelum aku
mengetuk pintu, aku mendengar mereka sedang berdebat. Aku seharusnya tidak boleh
terus berada di situ. Tetapi sulit menghilangkan kebiasaan mendengarkan karena
selama ini orang-orang selalu bicara dan bersikap seolah aku tidak ada di
sekitar mereka, seakan mereka tidak peduli pada apa yang kudengar.
Aku dengar seseorang memukul meja, kemudian Profesor Nemur berteriak: "Aku sudah
memberitahukan sidang komite bahwa kita akan memperlihatkan laporan itu di
Chicago." Lalu aku mendengar suara Dr Strauss: "Tetapi kau salah, Harold. Enam minggu dari
sekarang itu masih terlalu dini. Ia masih berubah."
Kemudian suara Nemur lagi: "Sejauh ini kita telah memperkirakan pola itu dengan
benar. Kita dibenarkan untuk membuat sebuah laporan interim. Begini, Jay, tidak
ada yang harus dikhawatirkan. Kita telah berhasil. Semuanya positif. Tidak ada
yang bisa salah lagi sekarang.
ii Strauss: "Riskan mengumumkan hal ini terlalu dini. Kau tak bisa memutuskannya
sendiri...." Nemur: "Kau lupa bahwa aku adalah anggota senior proyek ini."
Strauss: "Dan kau juga lupa bahwa kau bukanlah satu-satunya anggota yang berhak
memutuskan hal ini. Jika kita mengklaim terlalu banyak sekarang, segala
hipotesis kita akan hangus."
Nemur: "Aku tidak takut soal kemunduran lagi. Aku sudah memeriksa dan memeriksa
ulang semuanya. Sebuah laporan interim tidak akan membahayakan. Aku yakin
sekarang tidak akan ada lagi yang salah."
Perdebatan itu terus berlangsung dengan tuduhan Strauss bahwa Nemur mengincar
jabatan Ketua Jurusan Psikologi di Hallston. Sementara itu, Nemur mengatakan bahwa Strauss hanya
membonceng pada penelitian psikologis yang sedang dilakukannya. Lalu Strauss
berkata bahwa proyek ini banyak berhubungan dengan tekniknya dalam bedah
kejiwaan serta pola-pola penyuntikan enzim, seperti dalam teori Nemur, dan bahwa
suatu hari kelak ribuan ahli bedah saraf di seluruh dunia akan menggunakan
metode-nya. Namun, pada bagian itu Nemur mengingatkan Strauss bahwa teknik baru
ini tidak akan berhasil kalau tidak karena teori awal darinya.
Mereka saling menuduh dengan menggunakan sebutan-sebutan oportunis, pesimis dan
aku jadi ketakutan. Tiba-tiba aku sadar aku tidak lagi berhak untuk terus
berdiri di luar kantor dan menguping percakapan mereka. Mungkin saja mereka
tidak peduli jika aku masih lemah otak mengetahui apa yang sedang terjadi.
Tetapi sekarang aku sudah dapat mengerti dan aku tahu mereka tidak ingin aku
mendengarkan. Aku pergi tanpa menunggu hasil perdebatan mereka.
Gelap di luar, ketika aku berjalan-jalan lama, sambil mencoba mengerti mengapa
aku menjadi ketakutan. Untuk pertama kalinya, aku melihat dengan jelas mereka
bukan para dewa atau bahkan para pahlawan. Mereka hanya dua orang yang khawatir
akan perolehan hasil pekerjaan mereka. Namun, Nemur benar dan percobaannya
berhasil, apa lagi" Banyak hal yang harus dikerjakan, begitu banyak pula rencana
yang harus dibuat. Aku akan menunggu hingga esok untuk bertanya kepada mereka soal mengajak Nona
Kinnian menonton film untuk merayakan kenaikan gajiku.
26 April Aku tahu, seharusnya aku tidak berada di universitas itu seusai
kegiatan di lab. Tetapi, melihat para
pemuda lelaki dan perempuan berlalu-lalang sambil membawa buku dan mendengarkan
mereka bicara tentang segala hal yang mereka pelajari di kelas membuatku
gembira. Kuharap aku dapat duduk dan bicara dengan mereka sambil minum kopi di


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kantin kampus Bowl, berdebat tentang buku-buku, politik, serta berbagai gagasan.
Seru sekali mendengarkan mereka bicara tentang puisi, ilmu pengetahuan, serta
filosofi tentang Shakespeare dan Milton; Newton, Einstein, dan Freud; tentang
Plato, Hegel, dan Kant, serta nama-nama lainnya yang menggema seperti lonceng
besar gereja dalam benakku.
Kadang-kadang aku menyimak percakapan mereka di meja-meja di sekitarku, dan aku
berpura-pura jadi mahasiswa, walau aku jauh lebih tua ketimbang mereka. Aku
membawa-bawa buku ke mana-mana dan sudah mulai mengisap pipa. Konyol, tapi sejak
aku jadi aktif di lab dan merasa menjadi bagian dari universitas ini, aku benci
pulang ke kamar yang sunyi.
27 April Aku berteman dengan beberapa anak lelaki di kampus Bowl. Mereka sedang
berdebat tentang benar-tidaknya Shakespeare menulis sendiri drama-dramanya.
Salah satu dari anak-anak lelaki itu yang gemuk dengan wajah berkeringat berkata
bahwa Marlowelah yang menulis semua drama Shakespeare. Tetapi Lenny, yang pendek
dan berkacamata hitam, tidak percaya apa pun tentang Marlowe. Ia bilang, semua
orang tahu bahwa Sir Francis Baconlah yang menulis drama-drama itu karena
Shakespeare tidak pernah kuliah di universitas dan tidak pernah mendapat
pendidikan seperti yang tampak pada drama-dramanya. Lalu
seseorang dengan semangat mahasiswa baru berkata, ia pernah mendengar beberapa
orang berbicara di kamar mandi lelaki bahwa sebenarnya drama-drama Shakespeare
ditulis oleh seorang putri bangsawan.
Kemudian mereka bicara tentang politik, kesenian, dan uhan. Aku belum pernah
mendengar seorang pun berkata bahwa mungkin saja Tuhan itu tidak ada. Itu
membuatku takut karena untuk pertama kalinya aku mulai berpikir tentang apa arti
Tuhan. Sekarang aku mengerti salah satu alasan penting pergi ke kampus dan mendapat
pendidikan adalah untuk mempelajari bahwa hal-hal yang telah kaupercaya
sepanjang hidupmu itu tidak benar, dan tampaknya tidak ada yang benar.
Mereka selalu bicara dan berdebat. Aku merasa kegembiraan meluap dalam diriku.
Inilah yang ingin kulakukan kuliah di universitas dan mendengarkan orang-orang
bicara tentang hal-hal penting.
Kini aku menghabiskan hampir seluruh waktu luangku di perpustakaan; membaca dan
menyerap apa pun dari buku-buku. Aku tidak berkonsentrasi pada satu hal
tertentu. Aku hanya membaca banyak fiksi sekarang Dostoevski, Flaubert, Dickens,
Hemingway, dan Faulkenersegala yang dapat kuraih memberi makan seorang yang
lapar tidak akan pernah ada habisnya.
28 April Dalam mimpiku tadi malam aku mendengar Mama berteriak kepada Ayah dan
guru di sekolah dasar PS 13 (sekolah pertamaku sebelum aku dipindahkan ke PS
222).... "Ia normal! Ia normal! Ia akan tumbuh berkembang seperti orang lain. Bahkan
lebih baik daripada yang lainnya." Mama mencoba mencakar guru itu, tetapi Ayah menahannya. "Ia akan
kuliah di universitas suatu hari kelak. Ia akan menjadi seseorang." Mama terus
berteriak-teriak, sambil mencakar-cakar Ayah supaya dilepaskan. "Ia akan kuliah
di universitas suatu hari kelak. Ia akan menjadi seseorang."
Kami sedang berada di kantor kepala sekolah dan banyak orang yang tampak malu.
Tapi asisten kepala sekolah tersenyum dan memalingkan mukanya sehingga tidak ada
yang melihatnya. Kepala sekolah yang ada dalam mimpiku berjenggot panjang, dan melayang-layang di
ruangan itu sambil menunjuk-nunjuk padaku. "Ia harus didik di sekolah khusus.
Masukkan ia ke Sekolah Pendidikan dan Panti Warren. Kita tidak bisa mengajarnya
di sini." Ayah menarik Mama keluar dari kantor kepala sekolah, sedangkan Mama berteriak-
teriak dan menangis. Aku tidak melihat wajah Mama, tetapi air matanya terus
menetes memerciki aku....
Pagi ini aku ingat mimpi itu. Tetapi sekarang ada yang lebih dari itu aku dapat
mengingat dari gambaran yang kabur itu, kembali ke masa ketika aku berusia enam
tahun dan semua itu terjadi. Tidak lama sebelum Norma dilahirkan. Aku melihat
Mama, seorang perempuan kurus berambut gelap yang berbicara terlalu cepat dan
menggerak-gerakkan tangannya terlalu sering. Seperti biasanya, wajahnya tidak
terlalu jelas. Rambutnya disanggul di atas, dan tangannya terangkat ke atas
untuk menyentuhnya, menepuk-nepuknya, seolah meyakinkan bahwa sanggulnya masih
ada di sana. Aku ingat Mama selalu gugup seperti burung putih besar di dekat
Ayah dan Ayah juga tampak berat serta letih untuk menghindar
dari patukan Mama. Aku melihat Charlie sedang berdiri di dapur, bermain-main dengan putarannya
berupa manik-manik merah terang dan cincin yang diikat dengan tali. Ia memegangi
tali itu tinggi-tinggi dengan satu tangannya, memutar cincin-cincin itu sehingga
benda-benda kecil tersebut berputar-putar menimbulkan pusaran yang berkilap. Ia
menghabiskan waktu lama hanya untuk menatapi putaran itu. Aku tidak tahu siapa
yang membuatkan mainan itu untuknya, atau dari apa, tetapi aku melihatnya
berdiri di sana terpesona ketika tali itu terpilin dan membuat cincin-cincin itu
berputar.... Perempuan itu berteriak kepadanya tidak, ibunya berteriak kepada ayahnya. "Aku
tidak akan membawanya. Tidak ada yang salah padanya!"
"Rose, tidak ada gunanya berpura-pura terus bahwa tidak ada yang salah pada
dirinya. Coba lihat dia, Rose. Usianya enam tahun, dan...."
Pria itu melihat anak lelakinya yang sedang bermain putaran dengan sedih.
Charlie tersenyum seraya mengangkat tangannya untuk memperlihatkan kepada
ayahnya betapa indahnya mainan itu ketika berputar-putar.
"Buang benda itu!" Mama menjerit dan tiba-tiba mengempaskan mainan putaran itu
dari tangan Charlie hingga jatuh terbanting di atas lantai dapur. "Pergi
bermainlah dengan balok-balok alfabetmu."
Charlie masih berdiri di sana, ketakutan karena teriakan yang tiba-tiba itu. Ia
gemetar takut, tidak tahu apa lagi yang akan dilakukan ibunya. Tubuh anak lelaki
itu mulai bergetar. Kedua orang tuanya berdebat dan suara mereka memantul-mantul
sehingga menimbulkan tekanan
mendesak-desak dan kepanikan dalam diri anak itu.
"Charlie, pergilah ke kamar mandi. Jangan kau berani-berani melakukan itu di
celanamu." Ia ingin mematuhinya, tetapi tungkainya terlalu lemas untuk digerakkan. Kedua
lengannya secara otomatis terangkat ke arah pukulan itu.
"Demi Tuhan, Rose. Jangan sakiti dia. Kau pastilah telah membuatnya ketakutan.
Kau selalu melakukan itu, dan anak malang itu...."
"Kalau begitu mengapa kau tidak membantuku" Aku harus melakukan semuanya
sendirian. Setiap hari harus aku ajari ia untuk mengejar ketertinggalannya dari
teman-temannya. Ia hanya lamban, itu saja. Tetapi ia dapat belajar seperti anak-
anak lainnya." "Kau menipu dirimu sendiri, Rose. Itu tidak adil bagi kita dan bagi dirinya.
Berpura-pura ia normal. Menyeret-nyeretnya seolah ia seekor hewan yang dapat
belajar ketangkasan. Mengapa tidak kaubiarkan saja ia?"
"Karena aku ingin ia menjadi seperti anak-anak lainnya."
Ketika mereka berdebat, perasaan yang menekan Charlie di dalam menjadi semakin
kuat. Rasa ingin buang air besarnya seperti akan meledak dan ia tahu ia harus
pergi ke kamar mandi sebagaimana sering dikatakan ibunya. Tetapi ia tidak dapat
berjalan. Ia merasa ingin segera duduk saja di tengah-tengah dapur itu, tetapi
itu salah dan ibunya akan menamparnya.
Ia menginginkan mainan putarannya. Jika ia meme-megang putarannya dan
mengamatinya berputar-putar, ia akan bisa mengendalikan diri dan tidak melakukan
itu di celananya. Tetapi mainan putarannya itu sudah tercerai-berai sekarang.
Beberapa cincinnya ada di bawah
meja dan sebagian ada di bawah tempat cuci piring, sedangkan talinya ada di
dekat kompor. Aneh sekali. Walau aku dapat mengingat suara-suara itu dengan jelas, wajah-wajah
mereka masih buram, dan aku hanya dapat melihat garis luarnya. Ayah besar dan
loyo. Mama kurus dan lincah. Mendengar suara mereka sekarang, ketika saling
debat beberapa tahun yang lalu, aku merasa terpicu untuk berteriak juga kepada
mereka: "Lihatlah padanya. Di sana, di bawah sana! Lihat Charlie. Ia harus ke
kamar mandi!" Charlie berdiri sambil memegangi dan menarik-narik kemeja kotak-kotak merahnya
ketika mereka mempertengkarkan soal dirinya. Kata-kata mereka memancarkan
kemarahan di antara mereka kemarahan dan rasa bersalah yang tidak dapat
dibedakannya. "September yang akan datang ia akan kembali ke PS 13 dan mengulangi pelajaran
sekali lagi." "Mengapa kau tidak bisa melihat kenyataan" Gurunya mengatakan bahwa ia tidak
mampu mengerjakan tugas kelas biasa."
"Guru jalang itu" Oh, aku punya nama yang lebih tepat untuk perempuan itu.
Biarkan dia mulai lagi dengan aku, dan aku akan melakukan lebih dari sekadar
menulis surat kepada yayasan. Aku akan mencungkil mata perempuan jalang itu
hingga keluar. Charlie, mengapa kau melintir-melintir seperti itu" Pergilah ke
kamar mandi. Pergilah sendiri. Kautahu bagaimana caranya."
"Tidakkah kaulihat ia ingin kau mengantarnya ke sana " Ia ketakutan."
"Jangan ikut campur. Ia sangat mampu pergi ke kamar mandi sendiri. Buku itu
mengatakan kemampuannya itu akan memberikan rasa percaya diri dan perasaan
keberhasilan." Teror yang menunggunya di ruangan dingin berdinding keramik membuatnya semakin
ketakutan. Ia takut pergi ke sana sendirian. Ia meraih tangan ibunya dan
menangis. "Tol... toil...," dan ibunya menepiskan tangannya.
"Tidak lagi," katanya tegas. "Kau sudah besar sekarang. Kau bisa pergi sendiri.
Sekarang cepat pergi ke kamar mandi dan turunkan celanamu seperti yang kuajarkan
padamu. Aku peringatkan kau, jika kau melakukannya di celana, akan kupukul
bokongmu." Aku seperti hampir dapat merasakannya sekarang. Rasa meregang dan menegang dalam
ususnya ketika kedua orang tuanya berdiri di depannya, menunggunya untuk melihat
apa yang akan dilakukannya. Rengekannya berubah menjadi isak tangis yang lembut
ketika tiba-tiba ia tidak dapat lagi mengendalikannya. Kemudian ia terisak dan
menutupi wajahnya dengan kedua tangannya ketika ia akhirnya mengotori dirinya
sendiri. Lembut dan hangat, lalu ia merasakan campuran perasaan lega serta takut. Kotoran
itu miliknya tetapi ibunya akan membersihkan untuknya seperti yang selalu
dilakukannya. Ibunya akan membersihkannya sendiri. Lalu dia akan memukul
bokongnya. Dia akan datang ke arahnya, meneriakkan betapa nakalnya ia, dan
Charlie berlari kepada ayahnya untuk mencari pertolongan.
Tiba-tiba aku ingat bahwa nama perempuan itu adalah Rose dan nama lelaki itu
adalah Matt. Aneh jika kau melupakan nama orang tuamu. Lalu bagaimana dengan
Norma" Anehnya, aku tidak pernah memikirkan mereka selama ini. Kuharap aku dapat
melihat wajah Matt sekarang untuk mengetahui apa yang dipikirkannya saat itu. Yang kuingat hanyalah
ketika ibuku mulai memukuliku, Matt Gordon berpaling dan berjalan keluar
apartemen. Kuharap aku dapat melihat wajah mereka lebih jelas.
LAPORAN KEMAJUAN 11 1 Mei Mengapa aku belum pernah memperhatikan betapa cantiknya Alice Kinnian"
Matanya lembut seperti mata burung dara dan rambut cokelatnya yang lembut
sepanjang lekuk lehernya. Ketika dia tersenyum, bibir penuhnya tampak seperti
sedang memainkan bibirnya.
Kami pergi nonton film, kemudian makan malam. Aku tidak terlalu memperhatikan
bagian pertama film itu. Aku begitu gugup karena Alice duduk di sampingku.
Lengan telanjangnya dua kali menyentuh lenganku di sandaran tangan kursi. Dua
kali juga aku menarik lenganku karena aku takut dia merasa terganggu. Yang dapat
kupikirkan adalah betapa kulit lembutnya hanya beberapa inci jaraknya dariku.
Lalu aku melihat, dua deret di depan kami, seorang lelaki muda dengan lengan
melingkar di bahu kekasihnya. Ketika itu juga aku ingin melingkarkan lenganku di
bahu Nona Kinnian. Menegangkan. Tetapi kalau aku melakukannya perlahanlahan...
pertama sandarkan lenganku di punggung kursinya... lalu bergerak ke atas... inci
demi inci... berhenti di dekat bahunya dan di belakang lehernya... dengan santai....
Aku tidak berani. Aku hanya berani meletakkan sikuku di bagian punggung kursinya, tetapi saat itu
pula aku harus berganti posisi untuk mengusap keringat dari wajah dan leherku.
Pernah tungkainya secara tidak sengaja menggesek tungkaiku.
Itu menjadi seperti siksaan bagiku begitu menyakitkan sehingga aku memaksakan
diriku untuk mengalihkan pikiranku darinya. Pertunjukan pertama adalah sebuah
film perang yang akhir ceritanya tentang seorang prajurit Amerika kembali ke
Eropa untuk menikahi perempuan yang telah menyelamatkannya. Film kedua menarik
perhatianku. Sebuah film psikologi tentang seorang perempuan dan lelaki yang
tampaknya sedang jatuh cinta tetapi sebenarnya mereka saling menghancurkan.
Segalanya menggambarkan bahwa lelaki itu ingin membunuh istrinya tetapi pada
akhirnya sesuatu yang diteriakkan istrinya ketika bermimpi buruk telah
mengingatkan lelaki itu pada sebuah kejadian ketika ia masih kecil. Kenangan
yang tiba-tiba hadir itu memperlihatkan kepadanya bahwa kebenciannya itu
sebenarnya ditujukan kepada seorang guru pribadinya yang bejat, yang telah
menakutnakutinya dengan kisah-kisah mengerikan sehingga mengakibatkan dirinya
berkepribadian cacat. Ia merasa sangat gembira dengan penemuannya itu. Ia
menangis keras karena gembira sehingga istrinya terbangun. Ia memeluk istrinya
kemudian tersimpul bahwa masalahnya terselesaikan. Film itu terlalu sederhana
dan murahan. Aku pastilah telah memperlihatkan kemarahanku sehingga Alice ingin
tahu apa yang salah. "Itu sebuah kebohongan," aku menjelaskan, ketika kami berjalan keluar dari
bioskop dan menuju lobi. "Tidak ada masalah yang selesai dengan cara seperti
itu." "Tentu saja tidak." Alice tertawa. "Itu kan hanya khayalan."
"Oh, jangan begitu! Itu bukan jawaban yang tepat." Aku mendesak. "Walau di dunia
khayalan, harus ada aturannya. Bagian-bagiannya harus konsisten dan saling
berkaitan. Film seperti ini bohong. Segalanya dipaksa untuk saling cocok karena
penulis atau sutradaranya atau seseorang menginginkan sesuatu yang sebenarnya
tidak tepat. Rasanya hal itu tidak benar."
Alice menatapku serius ketika kami berjalan keluar menuju Times Square yang
terang-benderang oleh sinar lampu. "Kau dapat mengikuti cerita itu dengan
cepat." "Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang kuketahui lagi."
"Tidak apa-apa," ujar Alice ragu-ragu. "Kau mulai memperhatikan dan mengerti
berbagai hal." Dia mengibaskan tangannya untuk menghalangi sinar neon dan kilap
menyilaukan di sekitar kami ketika menyeberangi Seventh Avenue. "Kau mulai bisa
melihat apa yang ada di balik permukaan. Apa yang kaukatakan tentang bagian-
bagian yang saling terkait itu merupakan wawasan yang bagus."
"Oh, ayolah. Aku tidak merasa sedang berlagak pandai. Aku tidak mengerti diriku
sendiri atau masa laluku. Aku bahkan tidak tahu di mana orang tuaku atau seperti
apa wajah mereka. Kau tahu ketika aku melihat mereka dalam kilasan kenangan atau
mimpi, wajah-wajah mereka tampak kabur. Aku ingin melihat ekspresi mereka. Aku
tidak dapat mengerti apa yang terjadi kecuali aku dapat melihat wajah mereka...."
"Charlie, tenanglah." Orang-orang berpaling memandang mereka. Dia menyelipkan
lengannya di lenganku, kemudian menarikku ke dekatnya untuk menahan emosiku.
"Sabarlah. Jangan lupa, kau bertambah pandai dalam seminggu, sedangkan orang
lain memerlukan waktu seumur hidup mereka. Kau adalah spons raksasa yang
menyerap pengetahuan. Tidak lama lagi kau akan mulai
menghubung-hubungkan berbagai hal, dan kau akan melihat bagaimana dunia belajar
yang berbeda saling berhubungan. Segala tingkatan, Charlie, seperti anak-anak
tangga pada tangga raksasa. Kau akan memanjat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi
untuk melihat lebih banyak dan semakin banyak lagi dari dunia di sekitarmu."
Ketika kami memasuki kafetaria di Jalan Forty fifth dan mengambil nampan kami,
dia berbicara dengan bersungguh-sungguh. "Orang biasa," katanya, "hanya dapat
melihat sedikit. Mereka tidak dapat berubah banyak atau mendaki lebih tinggi
daripada keberadaan mereka yang sekarang, tetapi kau seorang jenius. Kau akan
terus naik dan naik, serta melihat lebih banyak dan lebih banyak lagi. Dan
setiap langkah akan mengungkap dunia-dunia yang bahkan tidak kau tahu kalau itu
ada." Orang-orang dalam antrian yang mendengarnya berpaling dan menatapku. Hanya
karena aku menyodoknya untuk menghentikan bicaranya, dia merendahkan suaranya.
"Aku hanya berharap pada Tuhan," bisiknya, "supaya kau tidak terluka."
Sesaat setelah itu aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kami memesan makanan
di meja kasir dan membawanya ke meja kami, lalu menyantapnya tanpa bicara.
Kesunyian itu membuatku gugup. Aku tahu apa maksud ketakutannya, maka aku
bergurau tentang hal itu.
"Mengapa aku harus terluka" Aku tidak bisa menjadi lebih buruk daripada sebelum
ini. Bahkan Algernon masih tetap pandai, bukan" Selama Algernon masih ada di
sana, aku juga akan sehat-sehat saja."
Alice mempermainkan pisaunya dengan membuat lingkaran-lingkaran muram dalam
mentega dan gerakannya menghipnotisku.

Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lagi pula," kataku pada Alice, "aku mendengar sesuatu, ketika Profesor Nemur
dan Dr Strauss berdebat, lalu Nemur berkata ia yakin tidak mungkin ada yang
salah." "Kuharap begitu," ujarnya. "Kau tidak tahu betapa takutnya aku kalau-kalau ada
yang salah. Aku merasa ikut bertanggung jawab." Dia melihatku sedang menatap
pisaunya. Maka dia meletakkannya dengan hati-hati di samping piringnya.
"Aku tidak akan pernah mau melakukannya kalau tidak untukmu," kataku.
Dia tertawa dan itu membuatku gemetar. Saat itulah aku melihat matanya yang
berwarna cokelat lembut. Dia buru-buru menatap taplak meja dan pipinya memerah.
"Terima kasih, Charlie," katanya sambil meraih tanganku.
Alice adalah orang pertama yang melakukan itu padaku, dan itu membuatku merasa
berani. Aku mencondongkan tubuhku ke depan, sambil masih memegangi tangannya,
lalu kata-kata itu meluncur keluar. "Aku sangat menyukaimu." Setelah kuucapkan
itu, aku khawatir dia akan tertawa, tetapi dia mengangguk dan tersenyum.
"Aku juga menyukaimu, Charlie."
"Tetapi ini lebih dari sekadar suka. Maksudku adalah... oh, ya ampun! Aku tidak
tahu maksudku." Aku tahu, wajahku memerah dan aku tidak tahu ke mana harus
berpaling atau apa yang harus kulakukan dengan tanganku. Aku menjatuhkan sebuah
garpu, dan ketika kucoba mengambilnya, aku menyenggol sebuah gelas air putih
sehingga menumpahi gaunnya. Tiba-tiba aku menjadi begitu ceroboh dan canggung
lagi. Lalu, ketika aku mencoba meminta maaf, aku merasa lidahku menjadi terlalu besar sehingga
memadati mulutku. "Tidak apa-apa, Charlie," kata Alice, mencoba meyakinkanku. "Itu hanya air.
Jangan sampai hal itu membuatmu kesal seperti ini."
Kami pulang dengan mengendarai taksi. Kami tidak berbicara lama. Lalu dia
meletakkan dompetnya seraya meluruskan dasiku dan merapikan saputangan di saku
dadaku. "Kau kesal sekali malam ini, Charlie."
"Aku merasa konyol."
"Aku membuatmu kesal karena aku membicarakannya. Aku telah membuatmu sadar akan
keadaanmu." "Bukan itu. Yang menggangguku adalah aku tidak dapat mengungkapkan perasaanku
dalam kata-kata." "Perasaan itu baru bagimu. Tidak semuanya harus... diungkapkan dengan kata-kata."
Aku mendekat padanya lalu mencoba memegang tangannya lagi, tetapi dia mengelak.
"Jangan, Charlie. Kukira ini tidak baik untukmu. Aku telah membuatmu kesal, dan
itu mungkin saja menimbulkan sesuatu yang negatif."
Ketika dia menolakku, aku merasa canggung sekaligus konyol. Itu membuatku marah
kepada diri sendiri. Aku pun kembali ke tempat dudukku semula dan menatap keluar
jendela. Belum pernah aku membenci seseorang seperti aku membencinya saat itu
karena dia memberiku jawaban yang begitu sederhana dan keibuan yang
membingungkan. Aku ingin menampar wajahnya sehingga dia merangkak, kemudian
memeluknya dan menciumnya.
"Charlie, maafkan aku. Aku telah membuatmu kesal."
"Lupakan." "Tetapi kau harus mengerti apa yang sedang terjadi."
"Aku mengerti," jawabku, "dan aku lebih senang kalau tidak membicarakannya."
Ketika taksi telah tiba di apartemennya di Jalan Seventy seventh, aku benar-
benar merasa tidak senang.
"Begini," kata Alice, "ini salahku. Aku seharusnya tidak pergi bersamamu malam
ini." "Ya, aku rasa juga begitu sekarang."
"Maksudku, kita tidak punya hak untuk mengaitkan hal ini dengan pribadi... ke
tingkat perasaan pribadi. Banyak sekali yang harus kaulakukan. Aku tidak punya
hak untuk mencampurinya saat ini."
"Itu urusanku, kan?"
"Begitukah" Ini bukan urusan pribadimu lagi, Charlie. Kau punya tanggung jawab
sekarang, tidak saja kepada Profesor Nemur dan Dr Strauss, tetapi juga pada
jutaan orang yang mungkin mengikuti jejakmu."
Semakin banyak Alice mengatakannya dengan cara seperti itu, semakin tidak enak
kurasakan. Dia telah memperjelas kecanggunganku, kekuranganku dalam pengetahuan tentang kata-kata dan sikap yang tepat. Aku adalah orang
dewasa yang tolol di matanya, dan dia mencoba menyadarkan aku akan hal itu.
Ketika kami berdiri di depan pintu apartemennya, dia berpaling padaku dan
tersenyum, sehingga saat itu aku mengira dia akan mengundangku masuk. Tetapi dia
hanya berbisik. "Selamat malam, Charlie. Terima kasih untuk malam yang luar
biasa ini." Aku ingin memberinya ciuman selamat malam. Aku telah menunggu-nunggunya sejak
tadi. Bukankah perempuan berharap kau menciumnya" Dalam novel-novel yang telah
kubaca dan film-film yang telah kutonton, lelakilah yang memulainya. Aku telah
memutuskannya kemarin malam bahwa aku akan menciumnya. Tetapi aku terus berpikir, bagaimana
kalau dia mengecewakanku"
Aku bergerak mendekat dan meraih bahunya, tetapi dia terlalu cepat bagiku. Dia
menghentikan gerakanku dan menggenggam tanganku. "Sebaiknya kita mengucapkan
selamat tinggal begini saja, Charlie. Kita tidak boleh menjadikan ini hal
pribadi. Belum boleh."
Dan sebelum aku dapat memprotes, atau bertanya apa yang dimaksud dengan kata
belum, dia sudah masuk ke apartemennya. "Selamat malam, Charlie, dan terima
kasih lagi untuk kesempatan yang sangat... sangat menyenangkan ini." Lalu dia
menutup pintunya. Aku sangat marah padanya, pada diriku sendiri, dan dunia. Tetapi ketika aku tiba
di rumah, aku sadar, Alice benar. Sekarang, aku tidak tahu apakah dia peduli
atau sekadar baik padaku. Apa yang mungkin dilihat Alice dalam diriku" Yang
membuat segalanya menjadi begitu canggung adalah karena aku belum pernah
mengalaminya. Bagaimana seseorang belajar menghadapi orang lain" Bagaimana
seorang lelaki belajar menghadapi seorang perempuan"
Buku-buku itu tidak terlalu membantuku.
Tetapi lain kali, aku akan memberinya ciuman selamat malam.
3 Mei Salah satu hal yang membingungkanku adalah aku tidak pernah benar-benar
tahu ketika sesuatu muncul dari masa laluku. Apakah memang terjadi seperti itu,
atau sepertinya terjadi begitu saja waktu itu, ataukah aku hanya membuat-buat.
Aku seperti seseorang yang setengah tidur sepanjang hidupku, dan mencoba
menemukan apa yang sesungguhnya terjadi sebelum ia
benar-benar terjaga. Segalanya tampak seperti gerak lambat dan buram, anehnya.
Aku bermimpi buruk tadi malam, dan ketika terbangun aku ingat sesuatu.
Pertama-tama dalam mimpi itu, aku berlari di sepanjang gang, setengah buta
karena debu yang beterbangan. Suatu ketika aku berlari ke depan kemudian
melayang-layang, lalu berlari ke belakang lagi. Aku merasa takut karena aku
menyembunyikan sesuatu di dalam sakuku. Aku tidak tahu apa itu atau di mana aku
mendapatkannya. Tetapi aku tahu mereka ingin mengambilnya serta membawanya pergi
dariku. Itu membuatku ketakutan.
Dinding runtuh dan tiba-tiba ada seorang gadis berambut merah dengan kedua
lengannya terulur padaku wajahnya seperti topeng kosong. Dia mendekapku,
menciumi, dan membelaiku. Aku ingin memeluknya erat tetapi aku takut. Semakin
dia merengkuhku, aku menjadi semakin takut karena aku tahu, aku sebenarnya tidak
boleh menyentuh gadis itu. Kemudian ketika tubuhnya menggesek-gesek tubuhku, aku
merasakan gelembung-gelembung dan denyut aneh di dalam diriku sehingga membuatku
merasa hangat. Tetapi ketika aku mendongak, aku melihat sebilah pisau berdarah
di tangannya. Aku mencoba berteriak sambil berlari, tetapi tidak ada suara yang keluar dari
mulutku, dan sakuku sudah kosong. Aku mencari-cari di dalam sakuku tetapi aku
tidak tahu apa yang sudah hi-lang, atau mengapa aku menyembunyikannya. Aku hanya
tahu benda itu sudah hilang, dan ada darah pula di tanganku.
Ketika aku terbangun, aku ingat Alice, dan aku merasakan kepanikan yang sama
dengan yang kualami dalam mimpi. Apa yang kutakutkan" Ada hubungannya dengan pisau itu.
Aku membuat secangkir kopi dan mengisap rokok. Aku belum pernah bermimpi seperti
itu, dan aku tahu hal itu ada hubungannya dengan kebersamaanku dengan Alice
kemarin malam. Aku sudah mulai memikirkannya dengan cara yang berbeda.
Berasosiasi bebas masih sulit bagiku karena sukar untuk tidak mengendalikan arah
pikiran... biarkan pikiranmu terbuka dan biarkan segalanya mengalir ke dalamnya...
gelembung-gelembung gagasan mengemuka seperti gelembung sabun... seorang perempuan
sedang mandi... seorang gadis... Norma sedang mandi... aku mengamatinya melalui lubang
kunci... dan ketika dia keluar dari bak mandi untuk mengeringkan diri, aku melihat
tubuhnya berbeda dengan tubuhku. Ada yang hilang.
Aku berlari ke serambi... seseorang mengejarku... bukan manusia... hanya sebilah pisau
dapur besar berkilat... dan aku ketakutan serta menangis tetapi tidak ada suara
yang keluar dari mulutku karena leherku terpotong dan aku berdarah....
"Mama, Charlie mengintipku dari lubang kunci...."
Mengapa Norma berbeda" Apa yang terjadi padaanya ... darah... berdarah... sebuah
lubang sempit yang gelap....
Tiga tikus buta... tiga tikus buta, Lihat bagaimana mereka berlari! Lihat
bagaimana mereka berlari!
Mereka semua berlari mengejar istri petani, Dia memotong ekor mereka dengan
sebilah pisau pengerat, Kau pernah melihat pemandangan seperti itu dalam hidupmu"
Seperti tiga... tikus... buta"
Charlie sendirian di dapur, pagi-pagi sekali. Semua orang masih tidur, dan ia
menghibur diri dengan bermain-main dengan putarannya. Salah satu kancingnya
terlepas dari kemejanya ketika ia membungkuk. Kancing itu menggelinding
melintasi garis gambar yang rumit dari linoleum dapur. Kancing itu terus
menggelinding ke kamar mandi dan Charlie mengikutinya, tapi kemudian kancing itu
menghilang. Ke mana kancing itu" Ia masuk ke kamar mandi untuk mencarinya. Ada
sebuah lemari di dalam kamar mandi tempat menyimpan keranjang cucian. Charlie
ingin mengeluarkan semua pakaian di sana dan mengamatinya. Pakaian-pakaian ayah
dan ibunya... dan gaun-gaun Norma. Ia ingin mencoba mengenakannya dan berpura-pura
dirinya adalah Norma. Tetapi begitu ia melakukannya, ibunya memukuli pantatnya.
Di dalam keranjang baju ia menemukan pakaian dalam Norma dengan darah mengering.
Kesalahan apa yang telah dilakukan Norma" Ia ketakutan. Siapa pun yang
melakukannya, orang itu mungkin saja akan mencarinya....
Mengapa kenangan masa kecil seperti itu tetap teringat dengan kuat, dan mengapa
hal itu membuatku ketakutan sekarang" Apakah itu karena perasaanku pada Alice"
Memikirkan hal itu sekarang, aku jadi mengerti mengapa aku selalu diajari untuk
menjauhi perempuan. Aku salah jika aku mengungkapkan perasaanku terhadap Alice.
Aku tidak berhak memikirkan perempuan dengan cara seperti
itu belum boleh. Namun, ketika aku menuliskan kata-kata ini, bahkan sesuatu di dalam diriku
meneriakkan bahwa masih ada yang lainnya. Aku seorang manusia. Aku adalah
seseorang sebelum aku dioperasi. Dan aku harus mencintai seseorang.
8 Mei Walau kini aku sudah belajar apa yang sedang terjadi di balik punggung Pak
Donner, aku menganggapnya sebagai sesuatu yang sulit dipercaya. Pertama kali aku
mengetahui ada yang salah, yaitu ketika jam-jam sibuk dua hari yang lalu. Gimpy
ada di balik meja kasir sedang membungkus sebuah kue ulang tahun untuk salah
satu pelanggan kami kue seharga 3,95 dolar. Tetapi ketika Gimpy memasukkan harga
itu ke dalam mesin hitung, angka yang muncul hanya 2,95 dolar. Aku hampir saja
mengatakan kepadanya bahwa ia melakukan kekeliruan. Tetapi pada cermin di balik
meja kasir itu aku melihat sebuah kedipan mata dan senyuman dari pelanggan untuk
Gimpy, yang disambut dengan senyuman di wajah Gimpy. Ketika pelanggan itu
mengambil uang kembalian, aku melihat sekeping koin perak besar di tangan kiri
Gimpy, sebelum jemarinya menggenggamnya, juga gerakan cepat ketika ia memasukkan
uang setengah dolar itu ke dalam sakunya.
"Charlie," kata seorang perempuan dari belakangku, "masih ada kue eclair berisi
krim seperti itu?" "Aku akan ke belakang mencarinya."
Aku senang dengan selaan itu karena hal itu memberiku waktu untuk memikirkan apa
yang baru saja kulihat. Jelas, Gimpy tidak melakukan kekeliruan. Gimpy telah
dengan sengaja menuliskan harga yang lebih murah
untuk pelanggannya, dan keduanya ternyata saling mengerti akan hal itu.
Aku bersandar lunglai pada dinding, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Gimpy
telah bekerja pada Pak Donner selama lebih dari lima belas tahun. Pak Donner
yang selalu memperlakukan para pegawainya seperti teman-teman dekatnya, seperti
saudara telah mengundang keluarga Gimpy ke rumahnya untuk makan malam lebih dari
sekali. Ia sering menyerahkan toko itu ke tangan Gimpy ketika ia harus keluar.
Aku pun pernah mendengar cerita-cerita bahwa Pak Donner pernah memberi Gimpy
uang untuk membayar biaya rumah sakit istrinya.
Mengerikan sekali jika seseorang mencuri dari orang seperti Pak Donner. Harus
ada penjelasan yang lain. Gimpy benar-benar salah karena telah mencatat
penjualan dengan setengah dolar sebagai uang rokoknya. Atau mungkin Pak Donner
telah memberlakukan pelayanan istimewa terhadap pelanggan yang sering membeli
kue-kue krim. Alasan apa saja yang lebih baik daripada mempercayai bahwa Gimpy
mencuri. Gimpy selalu baik padaku.
Aku tidak mau tahu lagi. Aku terus mengalihkan tatapan mataku dari alat hitung
itu ketika aku membawa nampan berisi kue eclair dan memilihi kue-kue, roti, dan
kue kecil. Tetapi, ketika seorang perempuan mungil berambut merah masuk perempuan yang
selalu mencubit pipiku dan bergurau tentang mencarikan pacar untukku aku ingat
dia paling sering datang ketika Pak Donner keluar makan siang dan Gimpy bertugas
di balik meja kasir. Gimpy sering menyuruhku mengirimkan sesuatu ke rumah
perempuan itu. Tanpa kuinginkan, otakku menghitung jumlah pembelian perempuan
itu 4,53 dolar. Tetapi aku memalingkan wajahku sehingga aku tidak akan dapat
melihat berapa yang dicatatkan Gimpy pada mesin hitung. Aku ingin tahu yang
sebenarnya, tapi aku takut pada apa yang mungkin kuketahui.
"Dua dolar empat puluh lima, Nyonya Wheeler," kata Gimpy.
Lalu terdengar dering mesin hitung. Penghitungan uang kembalian. Suara laci
tertutup. "Teri-ma kasih, Nyonya Wheeler." Aku memutar tubuhku tepat ketika
Gimpy memasukkan tangannya ke dalam sakunya, dan aku mendengar suara keping uang
logam berdenting lirih. Berapa kali Gimpy memanfaatkanku sebagai perantara untuk mengirimkan bungkusan
buat Nyonya Wheeler, memberinya harga lebih murah sehingga mereka bisa berbagi
sisa harga kue itu" Apakah Gimpy selalu memanfaatkanku untuk membantunya mencuri
selama bertahun-tahun ini"
Aku tidak dapat mengalihkan mataku dari Gimpy ketika ia terpincang-pincang
berjalan di belakang meja kasir, dengan keringat mengalir turun dari topi
kertasnya. Ia tampak ceria dan ramah, tetapi ketika ia mendongak dan matanya
bertemu dengan mataku, ia mengerutkan kening dan memalingkan wajahnya.
Aku ingin memukulnya. Aku ingin ke belakang meja kasir itu dan memukul wajahnya.
Aku tidak ingat pernah membenci orang seperti ini sebelumnya tetapi pagi ini aku
membenci Gimpy sepenuh hati.
Menumpahkan semua ini ke atas secarik kertas di kamarku yang tenang sama sekali
tidak membantuku. Setiap kali aku ingat Gimpy mencuri milik Pak Donner, aku
ingin memukul sesuatu. Untunglah, kurasa aku tidak
mampu melakukan tindak kekejaman. Kupikir aku belum pernah memukul seorang pun
sepanjang hidupku. Namun, aku masih harus memutuskan apa yang harus kulakukan. Mengatakan kepada
Donner bahwa pegawai kepercayaannya telah mencuri uangnya selama ini" Gimpy akan
menyangkalnya, sedangkan aku tidak akan bisa membuktikan hal itu. Dan apa
gunanya hal itu bagi Pak Donner" Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
9 Mei Aku tidak bisa tidur. Ini telah mempengaruhiku. Aku berutang terlalu
banyak kepada Pak Donner untuk tidak melakukan apa-apa dan hanya menyaksikan
ketika ia dirampok begitu saja. Aku bisa saja berdosa seperti Gimpy karena aku
hanya diam. Lagi pula, apakah memang kewajibanku untuk melaporkan kejadian itu"
Yang paling menggangguku adalah ketika ia menyuruhku mengirim kue, ia
memanfaatkan aku untuk mencuri milik Pak Donner. Karena aku tidak tahu-menahu
soal itu, aku ada di luar masalah itu tidak bisa dipersalahkan. Tetapi sekarang
aku tahu kejadian itu, dan karena kebungkamanku, aku juga bersalah seperti
Gimpy. Namun, Gimpy adalah seorang rekan kerja. Punya tiga orang anak. Apa yang akan
dilakukannya jika Donner memecatnya" Mungkin ia tidak akan bisa mendapatkan
pekerjaan lain terutama karena kakinya yang cacat.
Itukah yang membuatku khawatir"
Mana yang benar" Ironisnya segala kecerdasanku tidak membantuku memecahkan
masalah semacam ini. 10 Mei Aku bertanya kepada Profesor Nemur tentang hal itu, lalu ia menekankan
bahwa aku hanyalah penonton
kejadian, yang tidak bersalah. Maka tidak ada alasan bagiku untuk dikatakan
terlibat dalam situasi yang tidak menyenangkan itu. Kenyataan bahwa aku telah
dimanfaatkan sebagai perantara tampaknya sama sekali tidak mengganggunya. Jika
aku tidak mengerti apa yang terjadi saat itu, kata dia, tidak apa-apa. Aku sama
tidak bersalahnya dengan sebilah pisau yang digunakan seseorang untuk menusuk
korbannya, atau sebuah mobil dalam sebuah tabrakan.


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi aku bukan benda tak bernyawa," aku mendebatnya. "Aku seorang manusia."
Ia tampak bingung sejenak, kemudian tertawa. "Tentu saja, Charlie. Tetapi, aku
tidak bicara tentang dirimu yang sekarang. Maksudku adalah kau sebelum
dioperasi." Sombong, angkuh rasanya aku ingin memukulnya juga. "Aku juga seorang manusia
sebelum operasi itu. Mungkin kau lupa...."
"Ya, tentu saja, Charlie. Jangan salah mengerti. Tetapi dulu kan berbeda...."
Kemudian ia ingat bahwa ia harus memeriksa beberapa grafik di lab.
Dr Strauss tidak banyak bicara selama sesi psikoterapi kami. Tetapi hari ini,
ketika aku membicarakan hal itu, ia berkata bahwa secara moral aku berkewajiban
untuk mengatakan hal itu kepada Pak Donner. Semakin kupikirkan semakin rumit
masalahnya. Aku harus mempunyai seseorang untuk memutuskan kerumitan itu. Satu-
satunya orang yang dapat kuingat hanyalah Alice. Akhirnya, pada pukul setengah
sebelas, aku tidak dapat menahannya lagi. Aku memutar nomor telepon tiga kali,
lalu berhenti di tengah jalan, setiap kali. Tetapi pada usahaku yang keempat,
aku berhasil menunggu hingga aku mendengar suaranya.
Pada awalnya, Alice berpendapat, dia seharusnya tidak boleh menemuiku di
kafetaria tempat kami pernah makan malam bersama. "Aku menghormatimu. Kau selalu
memberiku nasihat yang bagus." Dan ketika dia masih ragu-ragu, aku mendesaknya.
"Kau harus menolongku. Kau juga harus ikut bertanggung jawab. Kau sendiri yang
mengatakan begitu. Lagi pula, jika bukan demi kau, aku tidak akan pernah menjadi
seperti ini. Kau tidak bisa hanya membiarkan aku begitu saja sekarang."
Pastilah Alice merasakan keterdesakanku karena akhirnya ia mau menemuiku. Aku
meletakkan telepon dan menatap pesawat telepon itu. Mengapa mengetahui pendapat
dia, bagaimana perasaan dia, menjadi begitu penting bagiku" Selama lebih dari
setahun di Pusat Orang Dewasa Terbelakang, satu-satunya hal terpenting adalah
menyenangkan hatinya. Apakah karena itu juga aku setuju menjalani operasi itu"
Aku berjalan hilir mudik di depan kafetaria hingga seorang polisi mulai
mengawasiku dengan curiga. Kemudian aku masuk dan membeli secangkir kopi.
Untunglah, meja yang kami pilih ketika itu masih kosong.
Alice tentunya akan mencariku ke arah meja tersebut. Alice melihatku dan
melambai padaku, tetapi berhenti di kasir untuk mengambil kopi sebelum berjalan
ke mejaku. Dia tersenyum, aku tahu itu karena aku telah memilih meja yang sama.
Sebuah sikap romantis yang konyol.
"Aku tahu, ini sudah terlalu malam," kataku meminta maaf, "tetapi aku bersumpah,
aku sudah hampir gila. Aku harus bicara denganmu."
Dia mereguk kopinya dan menyimakku dengan tenang ketika aku menjelaskan
bagaimana aku melihat Gimpy berbuat curang, reaksi pribadiku, dan nasihat
bertentangan yang kudapat di lab. Ketika aku selesai, dia menyandarkan
punggungnya dan menggelengkan kepalanya.
"Charlie, kau membuatku kagum. Dalam beberapa hal, kau begitu pandai. Tapi
ketika kau harus membuat keputusan, kau masih seperti anak-anak. Aku tidak bisa
memutuskan untukmu, Charlie. Jawabannya tidak dapat ditemukan dalam buku-buku
atau terselesaikan dengan cara membicarakannya dengan orang lain. Kecuali kalau
kau tetap ingin menjadi seorang anak-anak seumur hidupmu. Kau harus mencari
jawabannya dari dalam dirimu sendiri... rasakan apa yang sebaiknya dilakukan.
Charlie, kau harus belajar mempercayai dirimu sendiri."
Pertama-tama, aku merasa terganggu karena kuliahnya, tetapi kemudian tiba-tiba
hal itu mulai masuk akal. "Maksudmu, aku harus memutuskan?"
Alice mengangguk. "Kenyataannya," kataku, "sekarang karena aku sudah memikirkannya, aku yakin aku
sudah memutuskan beberapa hal! Kukira Nemur dan Strauss salah!"
Alice mengamatiku dengan saksama, sekaligus penuh semangat. "Ada yang terjadi
pada dirimu, Charlie. Kalau saja kau dapat melihat wajahmu."
"Kau benar sekali, sesuatu memang sedang terjadi! Segumpalan asap tadi
bergantungan di depan mataku, dan dengan sekali embusan napasmu kau telah
meniupnya pergi. Sebuah gagasan sederhana. Percayai dirimu. Itu belum pernah
terjadi pada diriku." "Charlie, kau mengagumkan."
Aku meraih tangannya dan memeganginya. "Tidak, tapi kau. Kau menyentuh mataku
dan membuatku melihat." Pipinya memerah dan dia menarik tangannya.
"Terakhir kali kita di sini," kataku, "aku bilang padamu, aku menyukaimu.
Seharusnya aku percaya pada diriku sendiri untuk mengatakan aku mencintaimu."
"Jangan, Charlie. Belum boleh."
"Belum boleh?" aku berteriak. "Itu yang kau katakan ketika itu. Mengapa belum
boleh?" "Ssst.... Tunggu sajalah, Charlie. Selesaikan belajarmu. Lihat ke mana mereka
mengarahkanmu. Kau berubah terlalu cepat."
"Apa hubungannya dengan itu" Perasaanku padamu tidak akan berubah karena aku
menjadi pandai. Aku hanya akan lebih mencintaimu."
"Tetapi, secara emosional kau juga berubah. Karena suatu hal khusus, aku adalah
perempuan pertama yang pernah kausadari keberadaannya, seperti sekarang ini.
Hingga kini aku adalah gurumu. Seseorang yang kaucari untuk dimintai pertolongan
dan nasihat. Kau mulai berpikir kau jatuh cinta padaku. Bertemanlah dengan
perempuan lain. Beri waktu lebih banyak pada dirimu."
"Maksudmu bahwa anak-anak lelaki selalu jatuh cinta kepada gurunya, karena itu
secara emosional aku hanyalah seorang bocah lelaki?"
"Kau memutar balik kata-kataku. Bukan, aku tidak menganggapmu sebagai anak
kecil." "Kalau begitu terbelakang secara emosional?"
"Bukan." ' "Kalau begitu apa?" "Charlie, jangan mendesakku. Aku tidak tahu. Kecerdasanmu
telah melampuai kecerdasanku. Dalam beberapa bulan atau bahkan minggu saja, kau
akan menjadi seseorang yang berbeda. Ketika kecerdasanmu sudah matang, mungkin
kita tidak dapat lagi berkomunikasi. Ketika emosimu telah matang, mungkin kau bahkan tidak
menginginkanku lagi. Aku juga harus memikirkan diriku sendiri, Charlie. Kita
tunggu dan kita lihat saja. Bersabarlah."
Uraian Alice masuk akal, tetapi aku tidak mau menyimaknya. "Malam itu...," aku
tersedak, "kau tidak tahu betapa aku menunggu-nunggu kencan itu. Aku hampir gila
memikirkan bagaimana aku harus bersikap, apa yang harus kukatakan agar dirimu
terkesan, dan aku sangat ketakutan kalau-kalau aku akan mengatakan sesuatu yang
akan membuatmu marah."
"Kau tidak membuatku marah, Charlie. Aku merasa tersanjung."
"Kalau begitu, kapan aku boleh bertemu lagi denganmu?"
"Aku tidak berhak untuk membiarkanmu berhubungan."
"Tetapi, aku sudah berhubungan!" Aku berteriak lagi, sehingga beberapa orang
tampak menoleh. Lalu aku merendahkan suaraku hingga bergetar karena marah. "Aku
seorang manusia seorang lelaki dan aku tidak dapat hidup hanya dengan buku-buku
dan kaset-kaset serta alat-alat elektronik yang rumit. Kau tadi bilang,
"berteman dengan perempuan lain". Bagaimana bisa, sedangkan aku tidak mau
perempuan lain" Sesuatu di dalam seperti membakarku, dan yang kutahu hal itu
membuatku memikirkanmu. Aku sedang membaca hingga di tengah-tengah halaman dan
yang kulihat adalah wajahmu... tidak buram seperti gambaran masa laluku, tetapi
jelas dan hidup. Kusentuh kertas itu dan wajahmu menghilang sehingga aku ingin
merobek buku tersebut dan membuangnya."
"Kumohon, Charlie...."
"Izinkan aku untuk bertemu lagi denganmu." "Besok, di lab."
"Kautahu, bukan itu maksudku. Jauh dari lab. Jauh dari universitas. Berdua
saja." Aku yakin dia hampir mengatakan ya. Dia terkejut karena kegigihanku. Aku sendiri
pun terkejut. Aku hanya tahu aku tidak dapat berhenti mendesaknya. Tapi, ada
ketakutan luar biasa yang tersekat di tenggorakanku ketika aku memohon padanya.
Telapak tanganku lembab. Apakah aku takut dia akan mengatakan tidak, atau takut
kalau dia mengatakan ya" Jika dia tidak mengakhiri ketegangan ini dengan
menjawab pertanyaanku, kupikir aku akan pingsan.
"Baiklah, Charlie. Jauh dari lab, dan universitas, tetapi tidak berdua saja.
Kukira kita tidak boleh berdua saja."
"Di mana pun yang kau mau," kataku tergagap. "Yang penting aku bisa bersamamu
dan tidak memikirkan tes... statistik... pertanyaan-pertanyaan... jawaban...."
Alice mengerutkan kening sejenak. "Baiklah. Akan diadakan konser musim semi
gratis di Central Park. Minggu depan kau bisa mengajakku menonton salah satu
konsernya." Ketika kami tiba di depan pintu apartemennya, dia memutar tubuhnya dengan cepat
dan mencium pipiku. "Selamat malam, Charlie. Aku senang kau meneleponku. Sampai
jumpa di lab." Lalu dia menutup pintunya dan aku berdiri di luar gedung sambil
menatap lampu dari jendela kamarnya hingga akhirnya lampu itu padam.
Tidak ada pertanyaan lagi tentang hal itu. Aku jatuh cinta.
11 Mei Setelah segala pemikiran dan kecemasan ini, aku sadar Alice benar. Aku
harus mempercayai intuisiku. Di pabrik roti, aku mengamati Gimpy lebih saksama.
Hari ini tiga kali aku melihatnya mencatat harga penjualan lebih rendah di mesin
hitung dan mengantongi kelebihannya ke-tika pelanggan-pelanggan itu memberikan
uang kepadanya. Gimpy hanya melakukan hal itu terhadap pelanggan-pelanggan
tertentu, dan aku tahu pelanggan-pelanggan tersebut sama bersalahnya dengan
Gimpy. Tanpa persetujuan mereka, kejadian itu tidak akan pernah terjadi. Mengapa
hanya Gimpy yang harus menjadi kambing hitam"
Ketika itulah aku memutuskan untuk kompromi. Mungkin ini bukanlah keputusan
sempurna, tetapi ini adalah keputusanku, lagi pula tampaknya merupakan jawaban
terbaik dalam keadaan ini. Aku akan mengatakan kepada Gimpy apa yang kuketahui
dan aku peringatkan dirinya agar menghentikannya.
Aku bertemu dengannya sendirian di kamar mandi, dan ketika aku mendekatinya,
Gimpy menghindar. "Ada hal penting yang harus kukatakan padamu," kataku. "Aku
minta nasihatmu untuk seorang teman yang punya masalah. Ia tahu bahwa salah satu
dari rekan sesama pegawainya mencurangi bosnya, tetapi ia tidak tahu harus
bagaimana. Ia tidak suka mengadukan hal itu sehingga membuat temannya itu
mendapat masalah. Tetapi ia tidak mau berdiam diri dan membiarkan bosnya, yang
telah berbaik hati kepada mereka berdua, dicurangi."
Gimpy menatapku tajam. "Temanmu itu punya rencana apa tentang hal itu?"
"Itulah sulitnya. Ia tidak mau melakukan apa pun. Ia merasa, jika pencurian itu
dihentikan, tidak akan ada
gunanya lagi jika ia melakukan apa pun. Ia akan melupakannya saja."
"Temanmu itu harus mengurusi urusannya sendiri," kata Gimpy, sambil menggeser
sepatu ortopedinya. "Ia harus berpura-pura tidak melihat hal-hal seperti itu dan
tahu siapa temannya itu. Seorang bos tetap seorang bos, dan pegawai-pegawai
harus kompak satu sama lain."
"Temanku itu tidak berpendapat seperti itu."
"Itu bukan urusannya."
"Ia merasa, jika ia tahu soal itu, ia ikut bertanggung jawab. Jadi, ia
memutuskan jika pencurian itu dihentikan, ia tidak punya apa-apa lagi untuk
dilaporkan. Kalau tidak, ia akan menceritakan semuanya. Aku ingin meminta
pendapatmu. Kaupikir, dalam keadaan seperti itu, pencurian itu akan dihentikan?"
Gimpy berusaha menyembunyikan kemarahannya. Aku dapat melihat betapa ia sangat
ingin memukulku, tetapi ia hanya terus menggosok-gosok kepalan tangannya.
"Katakan pada temanmu kelihatannya orang itu tidak punya pilihan."
"Baiklah," jawabku. "Itu akan membuat temanku sangat senang."
Gimpy beranjak pergi, lalu berhenti dan menatapku lagi. "Temanmu itu... mungkinkah
ia ingin dapat bagian" Itukah alasannya?"
"Tidak, ia hanya ingin semuanya itu dihentikan."
Gimpy mendelik padaku. "Begini, Charlie, kau akan menyesal telah ikut campur
urusanku. Padahal aku selalu baik padamu. Aku seharusnya memeriksakan kepalaku."
Kemudian ia terpincang-pincang pergi.
Mungkin aku memang harus mengatakan seluruh cerita itu kepada Donner sehingga
Gimpy dipecat aku tidak tahu. Aku terpaksa melakukannya. Selesai dan beres. Tetapi berapa banyak orang
seperti Gimpy yang memperalat orang lain seperti itu"
15 Mei Kuliahku berjalan lancar. Perpustakaan universitas menjadi rumah keduaku
sekarang. Mereka seharusnya membuatkanku ruangan pribadi karena aku hanya
membutuhkan sedetik untuk menyerap satu halaman buku. Karena itu, mahasiswa-
mahasiswa yang ingin tahu tanpa kecuali mengelilingiku ketika aku membalik-balik
halaman buku. Minatku yang paling dalam saat ini adalah etimologi bahasa-bahasa kuno, metode
mutakhir dalam variasi kalkulus, dan sejarah Hindu. Aku sangat kagum pada hal-
hal yang kelihatannya tidak ada hubungannya, ternyata saling berhubungan. Aku
sudah bergerak ke lapisan lainnya. Dan sekarang aliran-aliran dari berbagai
disiplin ilmu tampak menjadi saling berhubungan seolah mereka berasal dari
sumber yang sama. Anehnya, ketika aku berada di kafetaria dan mendengar para mahasiswa itu
berdebat tentang sejarah, politik, atau agama, semuanya terdengar begitu
kekanak-kanakan. Aku tidak suka mendiskusikan gagasan-gagasan pada tingkat dasar seperti itu
lagi. Orang akan marah jika diperlihatkan bahwa mereka tidak membicarakan
masalah mereka tidak tahu apa yang ada di balik riak-riak permukaan itu. Sama
buruknya keadaan tersebut pada tingkat yang lebih tinggi. Aku sudah tidak
berminat lagi mendiskusikan hal-hal itu dengan para profesor di Beekman.
Burt mengenalkan aku kepada seorang profesor
ekonomi di kafetaria fakultas, yang terkenal karena karyanya tentang faktor-
faktor ekonomi yang mempengaruhi suku bunga. Aku sudah lama ingin berbicara
dengan seorang ahli ekonomi tentang gagasan yang sama yang kudapat dari
bacaanku. Aspek moral dari blokade militer sebagai senjata pada masa damai telah
menggangguku. Aku bertanya kepadanya apa pendapatnya tentang usul para senator
bahwa kita mulai menggunakan taktik semacam "daftar hitam" dan memperkuat
pengendalian pakta maritim yang telah digunakan pada masa Perang Dunia I dan II,
melawan beberapa negara kecil yang sekarang melawan kita.
Ia terdiam menyimak, sambil menatap ke langit, dan aku memperkirakan ia sedang
mengumpulkan pikirannya untuk menjawab pertanyaanku. Tetapi beberapa menit
kemudian ia berdeham lalu menggelengkan kepalanya. Itu, kata dia, sambil
menjelaskan dengan penuh permohonan maaf, adalah topik di luar spesialisasinya.
Minatnya pada suku bunga, dan ia tidak terlalu memikirkan ekonomi militer. Ia
mengusulkan agar aku menemui Dr Wessey, yang pernah menulis Perjanjian
Perdagangan daiam Perang Selama Perang Dunia II. Mungkin ia dapat membantuku.
Sebelum aku sempat berkata-kata lagi, ia meraih tanganku dan menjabatnya. Ia
bilang senang berkenalan denganku, tetapi ada beberapa catatan yang harus
disusunnya untuk bahan kuliah. Lalu ia pergi.
Hal yang sama terjadi ketika aku mencoba berdiskusi tentang Chaucer dengan
seorang sastrawan Amerika; bertanya kepada pakar kebudayaan Asia mengenai
penghuni Pulau Trobriand; atau mencoba memusatkan perhatian pada masalah-masalah
pengangguran akibat otomatisasi dengan seorang psikolog sosial yang ahli dalam pengumpulan pendapat
publik tentang perilaku orang dewasa. Mereka selalu menemukan alasan untuk pergi
menghindar, takut menampakkan keterbatasan pengetahuan mereka.
Sekarang mereka tampak begitu berbeda. Betapa bodohnya aku dulu karena sempat
berpikir bahwa para profesor itu adalah raksasa-raksasa cerdas. Mereka adalah
orang-orang biasa dan takut kalau-kalau dunia mengetahui keadaan mereka. Alice
juga manusia seorang wanita, bukan seorang dewi dan aku akan membawanya menonton
konser besok malam. 27 Mei Pagi hampir menjelang dan aku belum bisa tidur. Aku harus memahami apa
yang terjadi pada diriku tadi malam di konser itu.
Malam itu berawal cukup baik. Mal di Central Park telah penuh dengan cepat.
Alice dan aku harus berdesakan di antara pasangan-pasangan yang betebaran di
atas rumput. Akhirnya, jauh dari jalan kecil, kami menemukan sebatang pohon yang
tak diduduki. Tempat itu jauh dari jangkauan sinar lampu dan satu-satunya bukti
keberadaan pasangan lain hanyalah suara tawa protes dari seorang perempuan dan
kilau rokok yang menyala.
"Di sini enak juga," kata Alice. "Tidak perlu harus di atas panggung orkestra."
"Apa yang sedang mereka mainkan sekarang?" tanyaku.
"Karya Debussy, La Mer. Kau suka?" Aku duduk di sebelahnya. "Aku tidak tahu
terlalu banyak soal musik jenis ini. Aku harus memikirkannya."
"Jangan dipikirkan," bisik Alice. "Rasakan saja. Biarkan musik itu membelaimu
seperti laut, jangan mencoba untuk mengerti." Dia berbaring di atas rumput dan
memalingkan wajahnya ke arah musik itu berasal.
Aku tidak punya cara untuk mengetahui apa yang diharapkannya dariku. Ini jauh
dari tanda-tanda akan adanya pemecahan masalah dan kemahiran sistematis akan
pengetahuan. Aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa telapak tangan yang
berkeringat, kesesakan di dadaku, keinginan untuk meletakkan lenganku di
sekelilingnya hanyalah reaksi biokimia. Aku bahkan telah menelusuri pola
stimulasi dan reaksi yang menyebabkan kegugupan dan keteganganku. Namun,
segalanya tidak pasti dan kabur. Haruskah aku melingkarkan lenganku di tubuhnya
atau jangan" Apakah dia menungguku melakukannya" Apakah dia akan marah" Aku bisa
mengatakan, aku masih bersikap seperti seorang remaja, dan itu membuatku marah.
"Sini," kataku seperti tercekik, "mengapa kau tidak duduk dengan lebih nyaman"
Bersandarlah di bahuku." Dia membiarkan aku melingkarkan lenganku di tubuhnya,


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi dia tidak menatapku. Alice tampak terlalu tenggelam dalam musik sehingga
tidak menyadari apa yang sedang kulakukan. Apakah dia mau aku memeluknya seperti
itu, atau dia hanya bertoleransi" Ketika aku menyelinapkan lenganku turun ke
pinggangnya, aku merasa Alice gemetar, tetapi dia masih terus menatap ke arah
orkestra itu. Dia berpura-pura memusatkan perhatiannya pada musik sehingga dia
tidak perlu meresponku. Dia tidak mau tahu apa yang sedang terjadi. Selama dia
tidak menatapku, dan terus menyimak, dia dapat berpura-pura bahwa kedekatanku,
lenganku yang melingkarinya, ada di sana tanpa sepengetahuannya atau tanpa disadarinya. Alice
ingin aku membelai tubuhnya sementara pikirannya terus terpusat pada hal yang
lebih tinggi. Aku memegang dagunya dan dengan kasar memutar wajahnya. "Mengapa
kau tidak mau menatapku" Kau berpura-pura aku tidak ada?"
"Tidak, Charlie," bisiknya. "Aku berpura-pura aku tidak ada."
Ketika aku menyentuh bahunya, ia menjadi kaku dan gemetar, tetapi aku menariknya
ke arahku. Lalu terjadilah. Dimulai dengan suara mendengung di dalam telingaku...
suara gergaji listrik... jauh sekali. Lalu dingin: lengan dan tungkai terasa
tertusuk-tusuk, dan jemari mati rasa. Tiba-tiba aku merasa aku sedang ditonton.
Sebuah perubahan tajam dalam persepsi. Aku melihat, dari suatu titik di
kegelapan di balik sebuah pohon, kami berdua berbaring saling berpelukan.
Aku mendongak dan melihat seorang anak lelaki berusia lima belas atau enam belas
tahun, berjongkok di dekat kami. "Hei!" aku berteriak. Ketika ia berdiri, aku
melihat celananya terbuka dan ia terlihat.
"Ada apa?" tanya Alice tergagap.
Aku meloncat berdiri, tapi anak lelaki itu menghilang dalam kegelapan. "Kau
lihat anak lelaki itu?"
"Tidak," sahutnya, sambil merapikan roknya dengan gugup. "Aku tidak melihat
siapa-siapa." "Ia berdiri tepat di sana. Menonton kita. Cukup dekat untuk menyentuhmu."
"Charlie, mau ke mana?"
"Ia pasti belum terlalu jauh."
"Biarkan sajalah, Charlie. Tidak apa-apa."
Tetapi itu penting bagiku. Aku berlari memasuki kegelapan, tersandung-sandung
pasangan-pasangan yang terkejut, tetapi aku tidak tahu ke mana perginya anak
lelaki itu. Semakin aku memikirkannya, perasaan mualku semakin parah yang muncul sebelum
pingsan. Tersesat dan sendirian di tengah alam raya yang liar. Kemudian aku
menenangkan diri dan menemukan jalanku kembali kepada Alice yang sedang duduk.
"Kau menemukannya?"
"Tidak, tetapi ia tadi di sana. Aku melihatnya."
Alice menatapku dengan aneh. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku akan tenang kembali... sebentar... aku masih mendengar suara mendengung sialan
di dalam telingaku."
"Mungkin sebaiknya kita pulang saja."
Di sepanjang perjalanan kembali ke apartemennya, aku memikirkan anak lelaki yang
berjongkok di sana dalam kegelapan, dan dalam sedetik aku telah melihat sekilas
apa yang dilihatnya kami berdua sedang berbaring saling berpelukan.
"Kau mau masuk" Aku bisa membuatkanmu kopi."
Aku ingin, tetapi sesuatu memperingatkan aku untuk tidak masuk. "Lebih baik
tidak. Aku punya banyak pekerjaan malam ini."
"Charlie, apakah aku salah bicara atau salah bersikap?"
"Tentu saja tidak. Hanya anak yang menonton tadi yang membuatku kesal."
Alice berdiri di dekatku, menungguku menciumnya. Aku merengkuhnya, tetapi hal
itu terjadi lagi. Jika aku tidak cepat pergi, aku akan pingsan.
"Charlie, kau sepertinya sakit."
"Kau melihatnya tadi, Alice" Yang benar...."
Alice menggelengkan kepalanya. "Tidak, terlalu gelap. Tetapi aku yakin...."
"Aku harus pergi. Aku akan meneleponmu." Dan sebelum dia bisa menghentikanku,
aku melepaskan diri. Aku harus keluar dari gedung itu sebelum segalanya ambruk.
Memikirkannya sekarang, aku yakin bahwa itu hanyalah halusinasi. Dr Strauss
merasa bahwa secara emosional aku masih setingkat dengan anak remaja yang begitu
berada dekat dengan wanita, atau memikirkan seks, menjadi cemas, panik, bahkan
berhalusinasi. Ia merasa perkembangan intelektualku yang cepat itu telah
membuatku berpikir bahwa aku bisa hidup dengan emosi normal. Tetapi aku harus
menerima kenyataan bahwa ketakutan dan rintangan yang muncul dalam keadaan
berahi mengungkapkan bahwa sebenarnya secara emosional aku masih remaja
keterbelakangan seksual. Kukira maksudnya adalah aku belum siap untuk sebuah
hubungan dengan seorang wanita seperti Alice Kinnian. Belum saatnya.
20 Mei Aku dipecat dari pekerjaanku di pabrik roti. Aku tahu ini kebodohanku
jika aku tetap bergantung pada masa laluku. Tetapi, ada sesuatu pada tempat
berdinding bata putih yang menjadi cokelat karena panasnya oven.... Ini rumah
bagiku. Apa yang telah kulakukan sehingga mereka begitu membenciku"
Aku tidak dapat menyalahkan Donner. Ia harus memikirkan usahanya dan pegawai-
pegawai lainnya, walau ia sudah begitu dekat denganku seperti seorang ayah.
Pak Donner memanggilku ke kantornya, menjelaskan pernyataannya dan menduduki
kursi satu-satunya yang ada di samping meja tulis. Kemudian tanpa melihat padaku, ia berkata, "Aku
memang sudah ingin bicara denganmu. Sekaranglah waktu yang paling tepat."
Tampak konyol sekarang, tetapi ketika aku duduk di sana menatapnya pendek,
gemuk, dengan kumis cokelat muda yang tidak rapi, yang tampak jatuh lucu di atas
bibir atasnya seolah kedua diriku, Charlie yang lama dan yang baru, duduk di
atas kursi itu, ketakutan dengan apa yang akan dikatakan oleh Pak Donner.
"Charlie, Paman Hermanmu adalah teman baikku. Aku memenuhi janjiku padanya
dengan tetap memberimu pekerjaan, dalam keadaan baik ataupun buruk, sehingga kau
bahkan tidak menginginkan satu dolar pun dalam sakumu. Aku juga memberimu tempat
istirahat sehingga kau tidak perlu tinggal di tempat perawatan."
"Pabrik roti ini rumahku...."
"Dan aku memperlakukanmu seperti anakku sendiri yang gugur demi negaranya. Dan
ketika Herman meninggal dunia... berapa umurmu" Tujuh belas" Kau lebih seperti
anak lelaki berumur enam tahun... aku bersumpah pada diriku sendiri.... Aku berkata,
Arthur Donner, selama kau memiliki pabrik roti dan usahamu, kau akan merawat
Charlie sebaik-baiknya. Ia harus memiliki tempat bekerja, pembaringan untuk
tidurnya, dan roti di mulutnya. Ketika mereka ingin memasukkanmu ke tempat
penampungan Warren, aku katakan kepada mereka bagaimana kau mau bekerja untukku,
dan aku akan merawatmu. Kau tidak sempat tidur di sana satu malam pun. Aku
memberimu sebuah kamar dan aku merawatmu. Sekarang, apakah aku tetap memenuhi
janjiku?" Aku mengangguk, tetapi aku dapat melihat dari caranya melipat dan membuka
lipatan kertas-kertas itu,
ia sesungguhnya punya masalah. Dan ketika seharusnya aku tidak mau tahu, aku
paham. "Aku sudah berusaha bekerja sebaik mungkin. Aku telah bekerja keras...."
"Aku tahu, Charlie. Tidak ada yang salah dengan pekerjaanmu. Tetapi sesuatu
telah terjadi pada dirimu, dan aku tidak mengerti apa artinya itu. Tidak hanya
aku, tetapi semua orang telah membicarakannya. Aku telah sering kali menerima
surat keluhan dalam beberapa minggu terakhir ini. Mereka semua kesal padamu,
Charlie. Aku harus melepasmu."
Aku mencoba mengubah keputusannya, tetapi ia tetap menggelengkan kepalanya.
"Ada perwakilan karyawan yang mengunjungiku tadi malam. Charlie, aku harus
mempertahankan usahaku."
Ia menatap kedua tangannya, sambil membalik-balik kertas itu berkali-kali seolah
ia berharap menemukan sesuatu yang tidak ada di sana. "Maafkan aku, Charlie."
"Tetapi, ke mana aku harus pergi?" Ia menatapku tajam untuk pertama kalinya
sejak kami berjalan memasuki kantor kecilnya. "Seperti juga aku, kau tentu tahu
bahwa kau tidak perlu bekerja di sini lagi."
"Pak Donner, aku belum pernah bekerja di tempat
lain." "Mari kita hadapi. Kau bukanlah Charlie yang dulu datang ke sini tujuh belas
tahun yang lalu. Bahkan bukan Charlie yang sama dengan Charlie empat bulan yang
lalu. Kau belum membicarakan perubahan itu. Itu urusan pribadimu. Mungkin ada
suatu keajaiban yang telah terjadi pada dirimu, siapa tahu" Tetapi kenyataannya
kau telah berubah menjadi seorang pemuda yang pandai. Lagi pula, menjalankan
mesin pengaduk adonan serta mengirimkan paket-paket bukanlah pekerjaan seorang
pemuda sepandai dirimu sekarang."
Ia benar, tentu saja, tetapi ada sesuatu di dalam diriku yang menginginkannya
berubah pikiran. "Kau harus membiarkanku tetap bekerja di sini, Pak Donner. Beri aku kesempatan
lagi. Kau sendiri yang mengatakan bahwa kau berjanji kepada Paman Herman, aku
akan mempunyai pekerjaan di sini selama aku membutuhkannya. Nah, aku masih
membutuhkan pekerjaan itu, Pak Donner."
"Tidak, Charlie, kau tidak membutuhkannya lagi. Jika kau memang masih
membutuhkannya, aku akan mengatakan kepada mereka bahwa aku tidak peduli pada
perwakilan dan petisi mereka karena aku akan tetap bersamamu melawan mereka
semua. Tetapi sekarang ini, mereka sangat takut padamu. Aku juga harus
memikirkan keluargaku."
"Bagaimana jika mereka berubah pikiran" Biarkan aku meyakinkan mereka." Aku
membuat masalah ini menjadi lebih berat daripada yang ia kira. Aku tahu
seharusnya aku menyudahi saja, tetapi aku tidak dapat mengendalikan diriku. "Aku
akan membuat mereka mengerti," pintaku.
"Baiklah," Pak Donner mendesah. "Cobalah. Tetapi, kau hanya akan melukai dirimu
sendiri." Ketika aku keluar dari kantor, Frank Reilly dan Joe Carp berjalan melewatiku.
Maka tahulah aku, apa yang dikatakan Pak Donner tadi benar. Mereka tidak tahan
melihatku berkeliaran di pabrik itu. Aku telah membuat mereka merasa tidak
nyaman. Frank baru saja mengambil sebuah nampan berisi roti gulung. Ketika kupanggil,
ia, juga Joe, berpaling padaku. "Begini, Charlie, aku sedang sibuk. Mungkin
nanti...." "Tidak," aku mendesak. "Sekarang... sekarang juga.
Kalian berdua telah menghindariku. Mengapa?"
Frank, yang bicaranya cepat, lelaki yang disukai perempuan, dan si tukang atur,
menatapku sesaat menyelidik, lalu meletakkan nampannya di atas meja. "Mengapa"
Akan kukatakan mengapa. Karena tiba-tiba kau menjadi seorang jagoan, serba tahu
segalanya, si cerdas! Sekarang kau hanyalah pemuda biasa, seorang cendekia.
Selalu membawa buku, selalu memiliki jawaban. Ya, begitulah. Kaupikir kau telah
menjadi lebih baik daripada kami semua" Oke, kalau begitu pergilah ke tempat
lain." "Tetapi, apa yang telah kulakukan padamu?"
"Apa yang ia lakukan" Kaudengar itu, Joe" Aku beri tahu apa yang kaulakukan, Pak
Gordon. Kau kini memaksakan gagasan-gagasanmu serta usul-usulmu di sini sehingga
membuat kami semua menjadi tampak seperti kumpulan orang tolol. Tapi akan
kukatakan padamu, bagiku kau tetap seorang dungu. Mungkin aku tidak mengerti
beberapa kata sukar atau judul-judul buku, tetapi aku seandal dirimu, bahkan
lebih baik." "Ya, kau benar." Joe mengangguk, sambil menoleh pada Gimpy yang baru tiba di
belakangnya, untuk memberi tekanan maksudnya.
"Aku tidak meminta kalian menjadi temanku, " kataku," atau berhubungan denganku.
Aku hanya minta kalian membiarkan aku tetap bekerja di sini. Kata Pak Donner,
itu terserah pada kalian."
Gimpy mendelik lalu menggelengkan kepalanya dengan jijik. "Kau berani sekali,"
teriaknya. "Kau pergi sajalah ke neraka!" Ia pun memutar tubuhnya kemudian
berjalan terpincang-pincang dan berat, pergi.
Begitulah. Kebanyakan dari mereka merasa seperti Joe
dan Frank serta Gimpy. Mereka tadinya merasa senang bisa menertawakan aku karena
mereka tampak pandai di hadapanku. Tetapi, sekarang mereka merasa rendah diri di
hadapan seorang bodoh. Aku mulai mengerti, perkembanganku yang sangat cepat itu
telah membuat mereka tampak mengerut sehingga memperjelas kekurangan mereka. Aku
telah mengkhianati mereka, dan mereka sekarang membenciku karena itu.
Fanny Birden adalah satu-satunya orang yang tidak berpikir bahwa aku harus
dipaksa untuk pergi, walaupun mereka mendesak dan mengancam. Dialah satu-satunya
pegawai yang tidak menandatangani petisi itu.
"Tetapi itu bukan berarti," kata dia, " aku tidak mengakui adanya hal yang luar
biasa aneh, yang telah terjadi pada dirimu, Charlie. Caranya kau berubah! Aku
tidak tahu. Kau dulu adalah seorang yang baik dan dapat diandalkan. Lelaki
biasa, tidak terlalu cerdas mungkin, tetapi jujur. Dan siapa yang tahu apa yang
telah kaulakukan pada dirimu sendiri sehingga tiba-tiba menjadi begitu pandai.
Seperti yang dikatakan semua orang, ini tidaklah wajar."
"Tetapi apa yang salah dengan seseorang yang ingin menjadi lebih pandai,
memperoleh ilmu pengetahuan, dan mengerti akan dirinya sendiri dan dunia?"
"Jika kau membaca Alkitabmu, Charlie, kau akan tahu bahwa tidak seharusnya orang
mengetahui sesuatu lebih dari yang diberikan kepadanya oleh Tuhan. Buah itu
terlarang bagi manusia. Charlie, jika kau melakukan sesuatu yang tidak
seharusnya kaulakukan kautahu, seperti perbuatan setan mungkin belum terlambat
untuk segera keluar dari pengaruhnya. Mungkin kau bisa kembali menjadi lelaki
sederhana seperti dulu."
"Aku tidak akan kembali, Fanny. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku hanya
seperti seorang lelaki yang terlahir buta tapi kemudian diberi kesempatan untuk
melihat cahaya. Itu bukan dosa. Tidak lama lagi akan ada jutaan orang seperti
diriku di seluruh dunia. Ilmu pengetahuan dapat mewujudkan itu, Fanny."
Fanny mulai menatap hiasan pengantin pria dan wanita di atas kue pernikahan yang
sedang dihiasnya. Aku hampir tidak dapat melihat gerak bibirnya ketika dia
berbisik, "Mengerikan sekali ketika Adam dan Hawa memakan buah dari pohon
pengetahuan. Mengerikan sekali ketika mereka melihat diri mereka telanjang, lalu
belajar tentang berahi dan malu. Kemudian mereka diusir dari surga, lalu pintu
gerbang itu tertutup bagi mereka. Jika tidak karena itu, tidak seorang pun dari
kita yang menjadi tua, sakit, kemudian mati."
Aku tidak punya kata-kata lagi untuk Fanny, atau yang lainnya. Tidak seorang pun
dari mereka mau menatap mataku. Aku masih merasakan ancaman itu. Sebelum ini,
mereka bisa menertawai aku, merendahkan aku karena ketidaktahuan dan
kebodohanku. Sekarang, mereka membenciku karena pengetahuan dan pengertianku.
Mengapa" Demi Tuhan, apa yang mereka inginkan dariku"
Kecerdasan ini telah menimbulkan batas antara aku dan semua orang yang kukenal
dan kucintai, membuatku terusir keluar dari pabrik roti ini. Sekarang, aku
merasa jauh lebih kesepian daripada yang pernah kualami. Aku bertanya-tanya apa
yang akan terjadi jika mereka menempatkan Algernon kembali ke kandang besar
dengan beberapa ekor tikus biasa lainnya. Apakah tikus-tikus itu akan
melawannya" 25 Mei Jadi beginilah caranya seseorang bisa membenci dirinya sendiri karena
tahu ia telah melakukan kesalahan tapi tidak mampu menghentikannya. Bertentangan
dengan keinginanku, tanpa kusadari aku pergi ke apartemen Alice. Dia terkejut
tetapi membiarkan aku masuk.
"Kau basah kuyup, Charlie. Air mengucur dari wajahmu."
"Hujan. Baik untuk bunga-bunga."
"Masuklah. Akan kuambilkan kau handuk. Kau bisa kena radang paru-paru."
"Kau satu-satunya yang bisa kuajak bicara," kataku. "Biarkan aku di sini."
"Aku punya kopi yang baru kujerang di atas kompor. Duduklah dan keringkan
tubuhmu lalu kita bicara." Aku melihat ke sekeliling ketika Alice mengambil
kopi. Ini untuk pertama kalinya aku berada di dalam apartemennya. Ada perasaan
yang menyenangkan, tetapi ada sesuatu yang mengganggu di ruangan ini.
Segalanya rapi. Patung-patung kecil dari porselin tertata apik di tepian
jendela, semua menghadap ke satu arah. Dan bantal-bantal kecil yang bisa
dilempar-lemparkan di sofa bahkan masih rapi terbungkus plastik yang melindungi
kain pelapisnya. Di atas dua meja terletak majalah-majalah, tertumpuk rapi
sehingga judulnya terlihat dengan jelas. Pada satu meja tertumpuk The Report,
The Saturday Review, dan The New Yorker, sedangkan di meja lainnya ada
Mademoiselle, House Beautiful, serta Readers Digest.
Pada dinding yang jauh di sana, di seberang sofa, tergantung sebuah lukisan
reproduksi karya Piccaso, Mother and Child, yang berbingkai indah. Lalu tepat di
seberangnya, di atas sofa, ada sebuah lukisan bangsawan zaman Renaisans,
bertopeng, dengan sebilah pedang di tangan, sedang melindungi seorang gadis
berpipi kemerahan yang ketakutan. Melihat semuanya itu, aku menilai ruangan ini
salah atur. Seolah Alice tidak dapat menentukan siapa dirinya dan di dunia mana
dia ingin hidup. "Kau tidak pergi ke lab beberapa hari ini," seru Alice dari dapur. "Profesor
Nemur mencemaskanmu."
"Aku tidak dapat menghadapi mereka," sahutku. "Aku tahu tidak ada alasan bagiku
untuk merasa malu, tetapi aku merasa kosong jika tidak pergi bekerja setiap
hari, tidak melihat toko kue itu, oven-ovennya, dan orang-orang di sana. Itu
terlalu berat bagiku. Kemarin malam, dan malam sebelumnya, aku mimpi buruk, aku
tenggelam."

Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia meletakkan nampan di tengah-tengah meja kopi serbetnya terlipat segi tiga,
dan kue-kue kecilnya ditempatkan di piring bulat bergambar. "Kau tidak perlu
begitu serius menanggapinya, Charlie. Mimpimu itu tidak ada hubungannya
denganmu." "Sudah kukatakan begitu pada diriku sendiri tetapi tidak ada gunanya. Orang-
orang itu s elama bertahun-tahun adalah keluargaku. Aku merasa seperti dibuang
keluar dari rumahku sendiri."
"Nah, itu dia," katanya. "Itu menjadi sebuah pengulangan simbolis dari
pengalaman masa kanak-kanakmu. Kau ditolak oleh orang tuamu sendiri...
disingkirkan...." "Ya, Tuhan! Jangan repot-repot memberi nama-nama manis untuk kejadian-kejadian
itu. Masalahnya adalah, sebelum aku terlibat dalam proyek percobaan ini, aku
mempunyai beberapa orang teman, orang-orang yang peduli padaku. Sekarang aku
takut...." "Kau masih mempunyai teman-teman."
"Tidak sama lagi."
"Takut adalah reaksi yang wajar."
"Takutku ini lebih daripada reaksi normal. Aku sudah pernah merasa takut sebelum
ini. Takut diikat karena tidak mengalah pada Norma, takut melewati Jalan Howells
tempat sekelompok remaja pernah menggodaku dan mendorong-dorongku. Aku juga
takut pada guru sekolahku, Bu Libby, yang mengikat kedua tanganku sehingga aku
tidak akan berbuat iseng dengan barang-barang di atas mejaku. Tetapi semua hal
itu nyata sesuatu yang wajar jika aku takut karenanya. Tetapi teror karena takut
ditendang keluar dari pabrik roti itu tidak nyata, sebuah ketakutan yang tidak
kumengerti." "Tenangkan dirimu."
"Kau tidak merasakan kepanikan itu."
"Tetapi, Charlie, hal itu sudah diduga akan terjadi. Kau adalah perenang baru
yang dipaksa menumpangi rakit yang akan tenggelam, lalu kau takut kehilangan
pijakan kayu di bawah kakimu. Pak Donner baik padamu, dan kau terlindungi
olehnya sepanjang tahun-tahun itu. Terusir dari pabrik roti dengan cara seperti
itu ternyata merupakan guncangan yang lebih besar daripada yang kaukira."
"Mengerti hal itu secara intelektual tidak membantuku. Aku sekarang tidak bisa
duduk sendirian di dalam kamarku. Aku berkeliaran ke jalan-jalan di sembarang
waktu, siang atau malam, tidak tahu apa yang kucari.... Aku berjalan hingga aku
tersesat... lalu aku tiba di luar pabrik roti itu. Kemarin malam aku berjalan dari
Washington Square ke Central Park, dan aku tidur di taman. Apa sih yang kucari?"
Semakin banyak aku bicara, Alice semakin kesal. "Apa yang dapat kulakukan untuk
membantumu, Charlie?"
"Aku tidak tahu. Aku seperti seekor hewan yang terkunci di luar kurungannya yang
nyaman, kurungan yang aman."
Alice duduk di sampingku di sofa. "Mereka mendorongmu terlalu cepat. Kau menjadi
bingung. Kau ingin menjadi sosok dewasa, tetapi ternyata masih ada seorang bocah
kecil di dalam dirimu. Sendirian dan ketakutan." Dia meletakkan kepalaku di
bahunya, mencoba menenangkan diriku. Ketika dia membelai-belai rambutku, aku
tahu bahwa dia juga membutuhkan aku seperti aku membutuhkan dirinya.
"Charlie," bisik Alice. "Apa pun yang kau inginkan... jangan takut padaku...."
Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa aku sedang menunggu datangnya kepanikan
itu. Pernah pada waktu pengiriman kue Charlie hampir pingsan ketika seorang perempuan
paruh baya, yang baru saja keluar dari kamar mandi, mencoba menyenangkan diri
dengan membuka jubah mandinya dan mempertontonkan tubuhnya. Pernahkah Charlie
melihat seorang perempuan tanpa busana" Tahukah ia bagaimana caranya bercinta"
Rasa takutnya yang luar biasa rengekannya tentunya menakutkan perempuan paruh
baya itu sehingga dia memegangi erat-erat jubahnya lalu memberinya uang dua
puluh lima sen untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Perempuan itu hanya
mengujinya, dia memperingatkannya. Dia hanya ingin tahu apakah Charlie
anak yang baik. Ia berusaha menjadi anak yang baik, katanya kepada perempuan tersebut tanpa
menatapnya, karena ibunya biasa memukulinya setiap kali ia ngompol....
Sekarang ia mendapat gambaran yang jelas tentang ibu Charlie, yang meneriakinya,
sambil menggenggam ikat pinggang kulit di tangannya, sedangkan ayahnya mencoba
menahannya. "Cukup, Rose! Kau bisa membunuhnya! Biarkan ia sendirian!" Ibunya
membungkuk ke arahnya untuk mencambuknya, hanya meleset. Maka ikat pinggang itu
melecut melewati bahunya ketika ia menggeliat dan meliuk menjauh dari lecutan di
lantai. "Lihat ia!" jerit Rose. "Ia tidak bisa belajar membaca dan menulis, tetapi bisa-
bisanya ia memperhatikan seorang gadis seperti itu. Aku akan mengenyahkan
kotoran itu dari otaknya."
"Ia tidak dapat menahannya jika ia mengalami ereksi. Itu wajar. Ia tidak
melakukan apa-apa." "Ia seharusnya tidak punya pikiran seperti itu terhadap gadis-gadis. Seorang
teman adik perempuannya datang berkunjung dan ia mulai berpikir kotor seperti
itu! Aku akan mengajarnya sehingga ia tidak akan pernah melupakannya. Kaudengar"
Jika kau sampai menyentuh seorang gadis, aku akan mengurungmu, seperti seekor
binatang, sepanjang hidupmu. Kaudengar aku...?"
Aku masih dapat mendengar suara Rose. Tetapi mungkin aku telah dibebaskan kini.
Mungkin ketakutan dan rasa mual itu bukan lagi lautan tempat aku tenggelam di
dalamnya, tetapi hanya sebuah kolam air yang mencerminkan masa lalu di sisi masa
kiniku. Apakah aku sudah bebas" Jika aku dapat meraih Alice tepat pada waktunya tanpa memikirkannya, sebelum
perasaan panik itu menguasaiku mungkin kepanikan itu tidak akan terjadi.
Seandainya saja aku dapat membuat pikiranku kosong. Aku berhasil menahannya:
"Kau... kaulakukan itu, Alice! Peluk aku!" Dan sebelum aku tahu apa yang dilakukan
Alice, dia telah menciumku, memelukku lebih erat dari pada yang pernah kurasakan
sebelumnya. Tetapi pada saat itu aku seharusnya berhasil, tetapi tanda-tanda itu
mulai datang: suara dengung itu, rasa dingin, dan mual. Aku berpaling darinya.
Alice mencoba menenangkan aku, dan mengatakan itu tidak apa-apa, dan tidak ada
alasan untuk menyalahkan diriku sendiri. Tetapi aku merasa malu dan tidak mampu
lagi mengendalikan tekanan batinku, kemudian aku mulai menangis. Dalam
dekapannya, aku menangis hingga tertidur. Ketika itu, aku ingat lukisan
bangsawan dengan gadis berwajah merah muda. Tetapi, dalam mimpiku, gadis itulah
yang memegang sebilah pedang.
LAPORAN KEMAJUAN 12 5 Juni Nemur kesal karena aku tidak menyerahkan satu pun laporan kemajuan dalam
dua minggu ini (dan ia juga punya alasan untuk kesal karena Yayasan Welberg
telah mulai membayar gajiku sebagai tunjangan sehingga aku tidak perlu mencari
pekerjaan lagi). Konvensi Psikologi Internasional di Chicago akan berlangsung
seminggu lagi. Ia menginginkan laporan persiapannya selengkap mungkin karena
Algernon dan aku merupakan obyek pameran utamanya dalam presentasinya.
Hubungan kami jadi semakin kaku. Aku membenci Nemur karena ia terus-menerus
menganggapku sebagai bahan percobaan laboratoriumnya. Ia membuatku merasa bahwa
sebelum eksperimen itu, aku bukanlah manusia yang sesungguhnya.
Aku mengatakan kepada Strauss bahwa aku terlalu sibuk berpikir, membaca, dan
mencoba menggali diriku sendiri, serta mencoba mengerti siapa dan apa aku ini.
Aku juga bilang bahwa menulis merupakan pekerjaan lamban yang membuatku tidak
sabar dalam mengungkapkan gagasan-gagasanku. Aku mengikuti usulnya supaya aku
belajar mengetik, dan sekarang aku dapat mengetik dengan kecepatan hampir tujuh
puluh lima huruf dalam semenit. Hal itu mempermudah aku mengungkapkan segala
gagasanku di atas kertas.
Strauss kembali mengingatkan agar aku berbicara dan menulis dengan sederhana
serta langsung sehingga orang-orang akan mengerti maksudku. Ia mengingatkan aku
bahwa bahasa kadang-kadang bisa menjadi penghalang, bukannya jalan keluar.
Ironis memang mendapati aku berada di sisi lain golongan intelektual.
Kadang-kadang aku bertemu dengan Alice, tetapi kami tidak membicarakan apa yang
telah terjadi ketika itu. Hubungan kami tetap datar saja. Tetapi selama tiga
malam setelah aku meninggalkan pabrik roti itu, aku bermimpi buruk. Sulit
dipercaya, hal itu sudah berlangsung dua minggu yang lalu.
Aku dikejar-kejar hantu di jalan yang lengang pada malam hari. Walau aku selalu
berlari ke arah pabrik itu, pintunya terkunci, dan orang-orang di dalamnya tidak
pernah menoleh untuk melihatku. Dari jendela, boneka penghias kue pengantin
menunjuk padaku sambil tertawa
udara menjadi penuh gelak tawa hingga aku tidak tahan lagi dan dua malaikat
cinta mengibas-ngibaskan panah berapinya. Aku menjerit. Aku menggedor pintu itu
tetapi tidak ada suara. Aku melihat Charlie balas menatapku dari dalam. Apakah
itu hanya merupakan cerminan" Ada sesuatu yang menempel pada tungkaiku dan
menarikku menjauh dari pabrik ke arah kegelapan gang. Ketika tempelan-tempelan
itu mulai mengalir ke seluruh tubuhku, aku terjaga.
Pada mimpi yang lain, jendela pabrik itu terbuka ke masa lalu sehingga aku dapat
melongok ke dalamnya dan melihat hal-hal serta orang-orang lain di sana.
Mengherankan juga betapa kekuatan mengingatku berkembang. Aku belum mampu
mengendalikannya dengan sempurna. Tetapi, kadang-kadang ketika aku sibuk membaca
atau menyelesaikan satu masalah, aku dapat merasakan kejernihan yang tajam.
Aku tahu itu merupakan semacam tanda peringatan bawah sadar. Sekarang aku tidak
perlu menunggu kenangan itu datang padaku. Aku dapat meraih kenangan itu hanya
dengan memejamkan mataku. Akhirnya, aku akan mampu benar-benar mengendalikan
kenangan itu, untuk menyelidiki tidak hanya sejumlah pengalaman masa lalu,
tetapi juga semua bagian yang belum terbuka dari pikiranku.
Bahkan sekarang, ketika aku memikirkannya, aku merasakan keheningan yang tajam.
Aku melihat jendela pabrik roti itu... mengulurkan tangan dan dapat menyentuhnya...
dingin dan bergetar, lalu kacanya pun menjadi hangat... lebih panas... jemariku
terbakar. Kaca jendela memantulkan wajahku yang menjadi semakin jelas. Lalu
ketika kaca itu berubah menjadi cermin, aku
melihat Charlie Gordon kecil berusia empat belas atau lima belas tahun menatapku
melalui jendela rumah itu. Tapi sangat aneh, ketika aku sadar betapa berbedanya
ia.... Ia sedang menunggu adik perempuannya pulang sekolah. Ketika ia melihatnya
berbelok di sudut jalan ke Jalan Marks, ia melambaikan tangan dan memanggil
namanya. Setelah itu, ia berlari ke beranda untuk menyambut adiknya.
Norma melambaikan selembar kertas. "Aku mendapat nilai /luntuk tes sejarahku.
Aku tahu semua jawaban, Bu Baffin mengatakan, nilaiku yang terbaik di kelas."
Norma seorang gadis cantik dengan rambut cokelat muda, yang dijalin rapi dan
digulung ke atas kepalanya seperti sebuah mahkota. Ketika dia mendongak untuk
melihat kakak lelakinya, senyumannya berganti menjadi kerutan di kening. Lalu
dia menghindar, dan meninggalkannya seraya berlari menaiki tangga memasuki
rumah. Sambil tersenyum anak lelaki itu mengikutinya.
Ibu dan ayahnya sedang berada di dapur ketika Charlie menyerbu masuk dengan
girang karena berita bagus Norma. Ia meneriakkannya sebelum Norma mendapat
kesempatan bicara. "Dia dapat Al Dia dapat Al"
"Jangan!" Norma berteriak. "Jangan kau. Kau tidak boleh mengatakannya. Itu
nilaiku, jadi akulah yang akan mengatakannya."
"Tunggu sebentar, Nona Muda," kata Matt sambil meletakkan korannya. Kemudian ia
berkata dengan tegas kepada anak perempuannya, "Bukan begitu caranya bicara
dengan kakakmu." "Charlie tidak punya hak untuk mengatakannya!"
"Tidak apa-apa." Matt mendelik serta jarinya bergerak memperingatkannya. "Ia
tidak bermaksud buruk dengan mengatakannya. Tidak perlu meneriakinya seperti
itu." Norma menoleh kepada ibunya meminta dukungan. "Aku mendapat nilai A, nilai
terbaik di kelas. Sekarang, boleh aku punya seekor anjing" Mama sudah berjanji.
Mama bilang, kalau nilai ujianku bagus. Dan aku mendapat nilai A. Seekor anjing
cokelat dengan bercak-bercak putih. Aku akan memanggilnya Napoleon karena itu
adalah jawaban terbaik dalam tesku. Napoleon kalah dalam peperangan di
Waterloo." Rose mengangguk. "Pergilah keluar ke beranda dan bermain dengan Charlie. Ia
sudah menunggumu pulang sekolah selama satu jam."
"Aku tidak mau bermain dengannya."
"Pergilah ke beranda," kata Matt.
Norma menatap ayahnya, kemudian Charlie. "Kata Mama, aku tidak harus bermain
bersamanya jika aku tidak mau."
"Nah, Nona Muda," Matt berdiri dari kursinya dan mendekati Norma, "kau harus
minta maaf kepada kakakmu untuk itu."
"Tidak harus," jeritnya, sambil berlari ke belakang kursi ibunya. "Charlie
seperti bayi. Ia tidak bisa bermain Monopoli atau halma atau yang lainnya... ia
selalu mengacaukan segalanya. Aku tidak mau bermain dengannya lagi."
"Kalau begitu, masuk ke kamarmu!"
"Aku boleh punya anjing sekarang, Mama?"
Matt menghantam meja dengan kepalan tangannya. "Tidak akan ada anjing di rumah
ini selama kau bersikap seperti itu, Nona Muda."
"Aku sudah menjanjikan seekor anjing padanya jika dia berprestasi di sekolah...."
"Yang cokelat dengan bercak putih!" Norma menambahkan.
Matt menunjuk ke arah Charlie yang berdiri dekat dinding. "Kau lupa kau telah
mengatakan kepada anak lelakimu ia tidak boleh punya anjing karena kita tidak
punya ruangan untuknya, dan tidak ada yang akan mengurusnya. Ingat" Ketika ia
minta seekor anjing" Kau ingin mengingkari apa yang kaukatakan padanya?"
"Tetapi, aku bisa mengurus anjingku sendiri," Norma mendesak. "Aku akan
memberinya makan, memandikannya, dan membawanya keluar...."
Charlie yang sekarang sudah berdiri di dekat meja sambil bermain-main dengan
kancing baju merah besar di ujung seutas tali itu tiba-tiba berbicara.
"Aku akan membantunya mengurus anjing itu! Aku akan membantunya memberi makan,
menyikatnya, dan aku tidak akan membiarkan anjing lain menggigitnya!"
Tetapi, sebelum Matt ataupun Rose menyahut, Norma menjerit, "Jangan! Itu
anjingku. Anjingku saja!"
Matt mengangguk. "Kaulihat?"
Rose duduk di sebelah Norma dan membelai-belai kepang rambutnya untuk
menenangkan anak perempuannya. "Tetapi kita harus saling berbagi, Sayang.
Charlie dapat membantumu mengurus anjingmu."
"Tidak! Aku saja...! Akulah yang mendapat nilai A dalam pelajaran sejarah, bukan
Charlie! Ia tidak pernah mendapat nilai bagus seperti aku. Mengapa ia harus
membantuku mengurus anjing" Lalu anjing itu akan lebih menyukainya daripada aku,
dan akan menjadi anjingnya,
bukan anjingku lagi. Tidak! Jika aku tidak boleh punya anjing sendiri, lebih
baik aku tidak punya anjing sama sekali."
"Baik kalau begitu," kata Matt sambil mengambil korannya dan duduk di kursinya
lagi. "Tidak ada anjing sama sekali."
Tiba-tiba, Norma melompat dari sofa dan menyambar kertas tes sejarah yang
dibawanya dari sekolah dengan sangat bersemangat beberapa menit yang lalu.
Dirobek-robeknya kertas itu dan dilemparkannya ke wajah Charlie yang terlongong.
"Aku benci kau! Aku benci kau!"
"Norma, hentikan sekarang juga!" Rose meraihnya tapi Norma mengelak dan pergi.
"Dan aku benci sekolah! Aku benci! Aku akan berhenti belajar, dan aku akan
menjadi bodoh seperti Charlie. Aku akan melupakan semua yang kupelajari. Aku
akan menjadi seperti Charlie saja." Kemudian Norma berlari keluar ruangan sambil
menjerit-jerit. "Sudah terjadi padaku. Aku sudah melupakan semuanya.... Aku
melupakan semuanya.... Aku tidak ingat lagi segala yang telah kupelajari!"
Rose, dengan ketakutan, berlari mengejarnya. Matt duduk di sana sambil menatap
koran di atas pangkuannya. Charlie yang ketakutan karena teriakan histeris dan
jeritan, duduk mengerut di atas kursi dan menangis lirih. Apa yang menjadi
kesalahannya" Lalu ia merasakan basah di celananya yang disusul dengan tetesan
merayap menuruni tungkainya. Ia duduk di sana, menunggu pukulan yang ia tahu
akan didapatnya begitu ibunya kembali.
Gambaran itu memudar, tetapi sejak itu Norma menghabiskan waktu bebasnya bersama
teman-temannya, atau bermain sendirian dalam kamarnya. Dia terus menutup pintu
kamarnya, dan aku dilarang masuk tanpa izin darinya.
Aku ingat pernah mendengar Norma berteriak ketika bermain dengan salah seorang
teman perempuannya di kamarnya: "Ia bukan kakakku yang sesungguhnya! Ia hanya
seorang anak lelaki yang kami pungut karena kami merasa kasihan kepadanya.
Mamaku mengatakan begitu padaku, dan dia bilang aku boleh mengatakan kepada
siapa saja sekarang bahwa ia bukan kakak kandungku."
Kuharap kenangan ini adalah selembar foto sehingga aku dapat merobek-robeknya
dan melemparnya ke wajah Norma. Aku ingin mengenang lagi peristiwa yang sudah
lewat bertahun-tahun lalu dan mengatakan padanya aku tidak pernah menghalanginya
untuk memiliki seekor anjing. Dia boleh saja memiliki anjing untuk dirinya
sendiri, dan aku tidak akan memberinya makan, menyikatnya, atau bermain
bersamanya dan aku tidak akan membiarkannya lebih menyukai aku daripada menyukai
Norma. Aku hanya ingin Norma bermain bersamaku seperti dulu. Aku tidak pernah


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berniat melakukan apa pun yang akan melukainya.
6 Juni Pertengkaran pertamaku yang sesungguhnya dengan Alice terjadi hari ini.
Salahku memang. Aku ingin bertemu dengannya. Sering kali, setelah sebuah
kenangan atau mimpi buruk menggangguku, bicara dengannya atau hanya berdua
dengannya membuatku merasa lebih baik. Tetapi ternyata menjemputnya di Sekolah
Luar Biasa merupakan kesalahan.
Aku tidak kembali lagi ke Sekolah Luar Biasa Orang Dewasa sejak aku menjalani
operasi. Karena itu, gagasan untuk mengunjungi tempat tersebut membuatku
bersemangat sekali. Gedung itu terletak di Jalan Twenty-third, sebelah timur
Jalan Fifth Avenue, di sebuah sekolah tua yang telah digunakan oleh Klinik
Universitas Beekman selama lima tahun terakhir ini sebagai pusat pendidikan
eksperimental kelas-kelas khusus bagi mereka yang cacat. Papan nama terpasang di
ambang pintu, yang dibingkai dengan pintu pagar berduri, dan terbuat dari
kuningan berkilau bertulisan "SLB Orang Dewasa Ekstensi Beekman".
Kelas Alice berakhir pada pukul delapan. Tetapi aku ingin melihat ruangan,
tempat aku yang belum lama berselang berjuang mengeja bacaan sederhana dan
menulis serta belajar menghitung uang kembalian dari satu dolar.
Aku masuk ke dalam, menyelinap melalui pintu, dan tetap tidak terlihat mencolok.
Aku melihat dari jendela. Alice sedang duduk di mejanya, dan di kursi sebelahnya
duduk seorang perempuan berwajah pipih yang tidak kukenal. Dia mengerutkan
kening pertanda kebingungan. Aku bertanya-tanya, apa yang sedang dijelaskan
Alice kepadanya. Di dekat papan tulis ada Mike Dorni duduk di kursi rodanya. Lester Braun, yang
menurut Alice adalah muridnya yang terpandai, duduk di tempat biasanya, di
deretan pertama. Lester telah belajar dengan mudah, yang dulu aku setengah mati
mempelajarinya, tetapi ia datang hanya kalau ia mau, atau ia tidak masuk karena
ingin mendapatkan uang dari pekerjaannya menggosok lantai. Kukira, jika ia
memang peduli jika itu penting bagi nya seperti juga bagiku mereka mungkin saja
menggunakan ia untuk eksperimen yang sama. Ada wajah-wajah baru juga, orang-
orang yang tidak kukenal.
Akhirnya, aku punya keberanian untuk masuk.
"Itu Charlie!" seru Mike, sambil memutar kursi rodanya.
Aku melambai padanya. Bernice, perempuan cantik berambut pirang bermata kosong, mendongak dan
tersenyum bosan. "Ke mana saja kau, Charlie" Bajumu bagus sekali."
Yang lainnya yang ingat padaku, melambaikan tangan kepadaku dan aku membalasnya.
Tiba-tiba aku dapat melihat ekspresi wajah Alice yang tampak jengkel.
"Hampir pukul delapan," katanya. "Waktunya untuk beres-beres."
Setiap orang memiliki tugas. Ada yang membereskan kapur tulis, penghapus,
kertas-kertas, buku-buku, pensil, kertas catatan, cat, dan alat-alat peraga.
Setiap orang tahu tugasnya dan merasa bangga dengan melakukannya sebaik-baiknya.
Mereka mulai mengerjakan tugas masing-masing kecuali Bernice. Perempuan itu
menatapku. "Mengapa Charlie tidak datang ke sekolah lagi?" tanya Bernice. "Ada apa,
Charlie" Tetapi kau sekarang datang lagi?"
Yang lainnya juga menatapku. Aku melihat Alice, sambil menunggu dia menjawabnya
untukku. Sunyi beberapa saat. Apa yang dapat kukatakan kepada mereka supaya
tidak melukai perasaan mereka"
"Aku hanya berkunjung," sahutku.
Salah satu dari gadis-gadis itu mulai tertawa cekikikan Francine, yang selalu
dikhawatirkan Alice. Dia telah melahirkan tiga orang anak ketika baru berusia
delapan belas tahun, sebelum orang tua mereka memutuskan untuk membiarkannya
menjalani operasi histerektomi. Dia tidak cantik tidak semenarik Bernice tetapi
dia sangat mudah menarik hati lelaki yang membelikannya sesuatu
yang indah, atau membayarinya nonton. Dia tinggal di sebuah asrama yang
diperuntukkan bagi orang-orang yang ikut pelatihan pekerjaan di lapangan oleh
Panti Warren, dan boleh keluar malam untuk datang ke Sekolah Luar Biasa. Dia
tidak muncul dua kali karena dijemput oleh lelaki saat dalam perjalanan ke
sekolah dan sekarang dia hanya boleh keluar dengan pengawalan.
"Charlie bicara seperti orang penting sekarang," katanya sambil cekikikan.
"Baiklah," kata Alice, menyela dengan tegas. "Kelas bubar. Aku akan bertemu lagi
dengan kalian besok malam pukul enam."
Ketika mereka sudah pergi, aku dapat melihat dari caranya mengempaskan barang-
barangnya ke dalam lemari dengan kasar, Alice marah.
"Maafkan aku," kataku. "Tadinya aku ingin menunggumu di bawah, tetapi aku ingin
tahu kelas lamaku. Almamaterku. Aku hanya ingin melihat melalui jendela. Tapi
tanpa sadar aku masuk ke kelas. Apa ada yang mengganggumu?"
"Tidak ada... tidak ada yang menggangguku." "Ayolah. Kemarahanmu berlebihan untuk
hal yang baru saja terjadi. Ada sesuatu yang kaupikirkan."
Dia membanting buku yang dipegangnya. "Baik. Kau ingin tahu" Kau berbeda. Kau
Rahasia Gelang Pusaka 7 Si Tolol 5 Duka Lara Dewi Tatoo Jala Pedang Jaring Sutra 4
^