Pencarian

Thousand Splendid Suns 4

A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein Bagian 4


Tariq mulai mengatakan berbagai macam hal, tentang pergi ke masjid, mencari
seorang mullah, sepasang saksi, menikah secepatnya ....
Tetapi, Laila justru merasa tercekik dengan kemarahan dan keputusasaan karena
ketika itu dia memikirkan Mammy, yang sekeras kepala Mujahidin, dan juga Babi,
yang telah lama menyerah, lawan menyedihkan bagi Mammy.
Kadang-kadang ... kupikir hanya kaulah yang kumiliki, Laila.
Inilah kehidupannya, kebenaran yang tak terhindarkan dari kehidupannya.
"Aku akan meminta restu Kaka Hakim untuk mempersuntingmu. Dia akan merestui
kita, Laila, aku tahu."
Tariq benar. Babi akan merestui mereka. Namun,
Laila juga tahu bahwa hati Babi akan hancur.
Tariq masih berbicara, suaranya merendah, lalu meninggi, mengkhayal, lalu
menyadari; wajahnya penuh harapan, lalu mati.
"Aku tak bisa," kata Laila.
"Jangan bilang begitu. Aku mencintaimu."
"Maafkan aku-" "Aku mencintaimu."
Sejak berapa lamakah Laila telah menantikan kata-kata itu meluncur dari mulut
Tariq" Telah berapa kalikah dia memimpikannya" Sekarang kata-kata itu terdengar,
akhirnya terucapkan, dan keironisannya menghancurkan Laila.
"Aku tak mungkin meninggalkan ayahku," kata Laila. "Hanya akulah yang
dimilikinya. Jantungnya tidak akan bisa menahannya."
Tariq tahu tentang hal ini. Dia tahu bahwa Laila tidak dapat menyingkirkan
begitu saja kewajibannya, sama seperti dirinya sendiri, namun tetap saja, Tariq
memohon dan Laila menolak, lamaran dan permohonan maaf, air mata dan air mata.
Hingga akhirnya, Laila harus menyuruh Tariq pergi.
Di pintu, Laila meminta Tariq berjanji untuk pergi tanpa mengucapkan selamat
tinggal. Dia menutup pintu di depan mata Tariq. Laila menyandarkan punggung,
tubuhnya gemetar merasakan hantaman kepalan Tariq di sisi lain pintu, satu
tangannya mencengkeram perut dan satu lagi membungkam mulut, mendengarkan janji
Tariq bahwa dia akan kembali, demi Laila. Akhirnya Tariq letih, menyerah,
dan Laila, yang masih bersandar ke pintu, mendengar langkah kaki Tariq yang
semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang. Dan, yang terdengar hanyalah
ledakan senapan di perbukitan dan gejolak di dadanya, di perutnya, di matanya,
di tulang belulangnya.[] BAB 26 Hari itu bisa dikatakan sebagai hari terpanas sepanjang tahun. Pegunungan
memerangkap panas yang menyayat tulang, melingkupi seluruh kota bagaikan
gumpalan asap. Listrik telah padam selama berhari-hari. Di seluruh penjuru
Kabul, kipas-kipas angin listrik berdiri tanpa bisa bekerja, seolah-olah
mencemooh pemiliknya. Laila berbaring di sofa ruang tamunya, keringat membasahi
blusnya. Setiap kali dia mengembuskan napas, ujung hidungnya terasa terbakar.
Dia tahu bahwa kedua orangtuanya berbicara di kamar Mammy. Dua malam yang lalu,
dan juga semalam, dia terbangun dan dapat mendengar suara mereka di bawah.
Sekarang mereka berbicara setiap hari, sejak peristiwa peluru, sejak adanya
lubang menganga di gerbang rumah mereka.
Di luar, ledakan artileri terdengar sayup-sayup, lalu, lebih dekat lagi,
rentetan tembakan. Di dalam diri Laila juga terdapat pertempuran yang sedang berkecamuk: rasa
bersalah di satu sisi, ditemani oleh rasa malu, dan, di sisi yang lain,
keyakinan bahwa dia dan Tariq tidak berdosa;
bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal alami, baik, indah, bahkan tak
terhindarkan, yang dipicu oleh fakta bahwa mereka mungkin tidak akan pernah
saling berjumpa lagi. Sekarang Laila berguling di sofa dan berusaha mengingat-ingat sesuatu: Ketika
mereka berbaring di lantai, Tariq menunduk dan membisikkan sesuatu, entah Apakah
aku menyakitimu" atau Apakah ini menyakitimu "
Laila tidak bisa memutuskan apakah yang sebenarnya dikatakan oleh Tariq.
Apakah aku menyakitimu"
Apakah ini menyakitimu "
Hanya dua minggu setelah kepergian Tariq, dan ketakutan Laila telah terwujud.
Waktu menumpulkan ujung-ujung ingatan yang tajam. Secara mental, Laila telah
letih. Apakah yang dikatakannya" Hal itu tiba-tiba terasa penting. Laila
memejamkan mata. Berkonsentrasi.
Seiring berlalunya waktu, Laila perlahan-lahan mulai lelah melakukan hal ini.
Membangkitkan ingatan, memilah-milahnya, menghidupkan kembali apa yang telah
lama mati, semua itu semakin lama semakin meletihkan. Akan tiba suatu hari,
bahkan, bertahun-tahun kemudian, ketika Laila tak akan mampu lagi meratapi
kepergian Tariq. Dia tidak dapat mengingat perasaannya kepada Tariq; sedikit
pun. Akan tiba hari ketika detail-detail wajah Tariq terlepas dari cengkeraman
kenangannya, ketika dia mendengar seorang ibu di jalanan memanggil anaknya
dengan nama Tariq dan hatinya tidak
berdesir sedikit pun. Laila tidak akan merindukan Tariq seperti sekarang, ketika
kepedihan akibat kehilangan dirinya senantiasa mendera bagaikan rasa sakit maya?seorang korban amputasi.
Hanya sesekali setelah begitu lama waktu berlalu, ketika Laila telah dewasa,
ketika dia menyetrika baju atau mendoroang anak-anaknya di ayunan, sesuatu yang
samar-samar, mungkin kehangatan permadani di bawah kakinya pada suatu hari yang
panas atau lekukan di kening seorang asing, akan mengembalikan kenangannya
tentang siang itu. Semuanya akan menyerbunya. Kespontanan tindakan mereka.
Kenekatan tak terduga mereka. Kecanggungan mereka. Kepedihan yang timbul,
kenikmatan, dan juga kesedihan. Panas dari tubuh mereka yang bertaut.
Semua itu akan membanjiri Laila, menyesakkan dadanya.
Tetapi, itu pun akan berlalu. Momen itu akan berlalu. Menjadikan Laila kelu,
tidak merasakan apa pun kecuali kegelisahan tersamar.
Laila memutuskan bahwa Tariq mengatakan Apakah aku menyakitimu" Ya. Memang itu.
Laila senang karena dapat mengingatnya.
Lalu, Babi telah berada di ujung koridor, memanggil Laila dari puncak tangga,
menyuruhnya untuk segera naik.
"Ibumu setuju!" katanya, suaranya bergetar dengan rasa senang yang tertahan.
"Kita akan pergi, Laila. Kita bertiga. Kita akan meninggalkan Kabul."
O Di kamar mammy, ketiganya duduk di ranjang. Di luar, roket-roket melesat di
langit, menandakan perang yang tak kunjung usai antara kubu Hekmatyar dan
Massoud. Laila tahu bahwa di suatu tempat di kota ini, seseorang baru saja tewas
dan asap hitam mengepul di atas beberapa bangunan yang tiba-tiba ambruk rata
dengan tanah. Pada pagi harinya, potongan tubuh akan ditemukan berserakan.
Beberapa di antaranya akan dikumpulkan, beberapa yang lain dibiarkan begitu
saja. Lalu, anjing-anjing Kabul, yang telah mengembangkan selera pada daging
manusia, akan mulai berpesta.
Tetap saja, Laila mendapatkan dorongan luar biasa untuk berlari ke jalan. Dia
tak mampu menekan kebahagiaannya. Sungguh sulit baginya untuk tetap duduk
tenang, untuk menahan pekikan senangnya. Kata Babi, pertama-tama, mereka akan
pergi ke Pakistan, mengajukan permohonan visa. Pakistan, tempat Tariq berada!
Tariq baru berangkat tujuh belas hari yang lalu, Laila menghitung-hitung dengan
kesal. Seandainya saja Mammy berubah pikiran tujuh belas hari yang lalu, mereka
mungkin dapat berangkat bersama. Dia akan berada bersama Tariq sekarang! Tapi,
tidak masalah lagi. Mereka akan pergi ke Peshawar dia, Mammy, dan Babi dan
? ?mereka akan menemukan Tariq dan kedua orangtuanya di sana. Tentu saja begitu.
Mereka akan bersama-sama memproses surat-surat. Setelah itu, siapa tahu" Siapa
tahu" Eropa" Amerika" Mungkin, seperti yang selalu
dikatakan Babi, suatu tempat di dekat laut ....
Mammy setengah berbaring, setengah duduk, bersandar ke kepala ranjangnya.
Matanya sembap. Dia mencabuti rambutnya.
Tiga hari sebelumnya, Laila keluar untuk menghirup udara segar. Dia berdiri di
dekat gerbang depan, bersandar di sana, ketika mendengar derakan nyaring,
disusul oleh sesuatu yang melesat di dekat telinga kanannya. Sejak kematian
Giti, juga ribuan tembakan dan roket yang berjatuhan di seluruh penjuru Kabul,
sebuah lubang bulat kecil di gerbang, berjarak kurang dari tiga jari dengan
kepala Laila, akhirnya mampu membangunkan Mammy. Lubang itulah yang membuat
Mammy melihat perang yang telah merenggut nyawa kedua anak laki-lakinya; dia
tidak akan membiarkan perang juga merenggut nyawa satu-satunya anak
perempuannya. Dari dinding kamar Mammy, Ahmad dan Noor menyunggingkan senyum. Laila melihat
mata Mammy melirik dengan penuh rasa bersalah sari satu foto ke foto yang lain.
Dia sepertinya sedang menantikan izin mereka. Restu mereka. Ampunan mereka.
"Tidak ada yang tersisa bagi kita di sini," kata Babi. "Ahmad dan Noor telah
tiada, namun kita masih memiliki Laila. Kita masih saling memiliki, Fariba. Kita
bisa mendapatkan kehidupan baru."
Babi mengulurkan tangannya ke seberang ranjang. Mammy membiarkan Babi meraih
tangannya. Ekspresi lelah tampak di wajah Mammy. Dia telah
menyerah. Mereka saling menggenggam tangan, lalu berpelukan dan berayun lambat.
Mammy membenamkan wajah di leher Babi. Tangannya menggenggam kemeja Babi.
Selama berjam-jam pada malam itu, buncahan kebahagiaan mencegah Laila dari jatuh
tertidur. Dia berbaring di ranjang dan menatap cakrawala yang bersemburat oranye
dan kuning. Hingga akhirnya, meskipun hatinya masih bergejolak dan senjata masih
meledak di segala penjuru, dia tertidur.
Dan bermimpi. Mereka berada di tepi pantai, duduk di atas hamparan selimut. Udara pada hari
itu dingin menusuk tulang, namun berada di dekat Tariq, dengan selimut menutupi
bahu mereka, membuat Laila merasa hangat. Dia dapat melihat mobil-mobil diparkir
di balik pagar pendek bercat putih di bawah deretan pohon palem yang bergoyang-
goyang ditiup angin. Angin menjadikan matanya berair dan meniup pasir hingga
mengubur kaki mereka, mempermainkan bilah-bilah rumput mati dari satu gundukan
semak ke gundukan semak lainnya. Mereka melihat kapal layar di kejauhan. Di
sekeliling mereka, burung-burung camar berkicau dan menggigil diterpa angin.
Pasir tertiup ke sana kemari. Laila mendengar suara, seolah-olah seseorang
sedang menyanyikan sebuah lagu, dan dia pun mengatakan kepada Tariq bahwa
bertahun-tahun sebelumnya, Babi pernah menceritakan kepadanya tentang nyanyian
pasir. Tariq membelai kening Laila, menyingkirkan pasir
yang menempel di sana. Laila melihat kilauan dari cincin yang tersemat di jari
Tariq. Cincin yang sama dengan miliknya emas, dengan pola labirin berliku.?Memang benar, kata Laila. Nyanyian itu muncul karena gesekan antara butiran-
butiran pasir. Dengarlah. Tariq menurutinya. Dia mengerutkan kening. Mereka
menanti. Lalu, mereka mendengarnya lagi. Nada rendah yang mengalun ketika angin
bertiup sepoi-sepoi dan lengkingan nyaring dan menyayat yang muncul ketika angin
bertiup kencang. Kata babi, mereka sebaiknya hanya membawa benda-benda yang mutlak dibutuhkan.
Mereka akan menjual sisanya.
"Kita akan membutuhkannya untuk bertahan di Peshawar hingga aku mendapatkan
pekerjaan." Selama dua hari kemudian, mereka pun mengumpulkan berbagai barang yang dapat
dijual. Mereka menyatukannya dalam tumpukan-tumpukan besar.
Di kamarnya, Laila mengumpulkan berbagai blus, sepatu, buku, dan mainan tua.
Ketika melongok ke bawah ranjang, dia menemukan sebuah sapi beling mungil
berwarna kuning yang diberikan oleh Hasina kepadanya pada suatu jam istirahat di
kelas lima. Sebuah gantungan kunci berbentuk bola sepak kecil, hadiah dari Giti.
Sebuah patung zebra kayu. Sebuah figur astronot keramik yang ditemukan
olehnya dan Tariq di selokan. Ketika itu, dia berumur enam tahun dan Tariq
delapan tahun. Laila masih ingat bahwa mereka bertengkar untuk memperebutkan
mainan itu. Mammy juga mengumpulkan barang-barangnya. Gerakannya penuh keraguan dan
tatapannya menerawang jauh. Dia memutuskan untuk menyingkirkan piring-piring dan
serbet-serbet indahnya, semua perhiasannya kecuali cincin kawinnya dan ? ?sebagian besar bajunya.
"Mammy tidak akan menjual ini, bukan?" kata Laila, mengangkat gaun pengantin
Mammy. Gaun itu terbuka di pangkuan Laila. Dia menyentuh renda dan pita di
sepanjang garis lehernya, butiran-butiran mutiara yang terpasang di kedua bagian
lengannya. Mammy mengangkat bahu dan merebut gaun itu dari Laila. Dia
melemparkannya dengan kasar ke tumpukan pakaiannya. Bagaikan melepas plester
dalam satu tarikan, pikir Laila.
Babilah yang harus melakukan tugas paling menyedihkan.
Laila mendapati Babi berdiri di ruang kerjanya, mendung menggelayuti wajahnya
ketika dia memeriksa rak bukunya. Babi mengenakan kaus pantas pakai bergambar
jembatan merah San Francisco. Kabut tebal membubung dari air yang putih dan
menyelimuti menara-menara jembatan.
"Kau tahu ungkapan tua itu," kata Babi. "Kau terdampar di sebuah pulau
terpencil. Kau hanya boleh membawa lima buku. Apa saja yang akan kaupilih" Aku
tak pernah menyangka hal ini akan
terjadi padaku." "Nanti kita bisa memulai koleksi baru, Babi."
"Hmm." Babi tersenyum sendu. "Aku tak percaya kita akan meninggalkan Kabul. Aku
bersekolah di sini, mendapatkan pekerjaan pertamaku di sini, menjadi ayah di
kota ini. Sungguh aneh memikirkan bahwa tak lama lagi, aku akan tidur di bawah
langit kota lain." "Aku juga merasa aneh, Babi."
"Seharian ini, ada puisi tentang Kabul yang terus terngiang di kepalaku. Saib-e-
Tabrizi menulisnya pada abad ketujuh belas, kalau tidak salah. Aku pernah hafal
seluruh puisi itu, tapi yang bisa kuingat sekarang hanya dua baris saja:
"Siapa pun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya,
Ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya."
Laila mengangkat wajah, melihat Babi terisak. Dia mengalungkan lengannya ke
pinggang ayahnya. "Oh, Babi. Kita akan kembali. Ketika perang ini berakhir. Kita
akan pulang ke Kabul, insya Allah. Kita akan pulang."
Pada pagi ketiga, Laila mulai memindahkan tumpukan barang-barang mereka ke
halaman dan menimbunnya di depan pintu. Mereka akan
memanggil taksi dan membawa semua barang itu ke sebuah toko barang bekas.
Laila tak henti-hentinya mondar-mandir di antara rumah dan halaman, ke depan dan
ke belakang, mengangkat tumpukan pakaian dan peralatan makan, juga berkardus-
kardus buku Babi. Menjelang siang, ketika tumpukan barang di depan pintu telah
setinggi pinggang, dia mulai kelelahan. Tetapi, bersama setiap langkahnya, Laila
tahu bahwa dia semakin mendekati Tariq, dan, bersama setiap langkahnya, kakinya
bergerak dengan lebih bersemangat, tangannya berayun dengan lebih ceria.
"Kita akan membutuhkan taksi yang besar."
Laila mengangkat kepala. Mammy memanggil dari kamarnya di lantai atas. Dia
melongokkan kepala di jendela, bertumpu pada kedua sikunya di birai jendela.
Sinar matahari, yang cerah dan hangat, menimpa rambut kelabunya, menerangi wajah
tirusnya yang letih. Mammy mengenakan gaun biru tua yang dikenakannya pada pesta
makan siang beberapa bulan sebelumnya, gaun bergaya muda yang dibuat untuk
wanita muda, namun, pada saat itu, Mammy menatap Laila seperti seorang wanita
tua. Seorang wanita tua berlengan kurus kering dan kening penuh kerutan dan mata
dikelilingi oleh lingkaran hitam keletihan. Mammy tampak seperti makhluk yang
berbeda dengan wanita gemuk berwajah bulat yang tersenyum ceria di foto
pernikahan hitam putihnya.
"Dua taksi besar," kata Laila.
Dia juga bisa melihat Babi, di ruang tamu, menumpuk-numpuk kardus-kardus berisi
buku. "Naiklah bila pekerjaan kalian telah selesai," kata Mammy. "Kita akan makan
siang bersama. Telur rebus dan sisa biji-bijian."
"Kesukaanku," kata Laila.
Tiba-tiba, Laila memikirkan mimpinya. Dia dan Tariq duduk di atas hamparan
selimut. Lautan. Angin. Gundukan semak-semak.
Seperti apakah bunyinya, sekarang Laila mengingat-ingat, nyanyian pasir itu"
Laila terdiam. Dia melihat seekor kadal kelabu merayap dari dalam liang di
tanah. Binatang itu menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Mengedipkan mata.
Bersembunyi di bawah batu. Laila kembali membayangkan pantai itu. Hanya saja,
sekarang nyanyian itu terdengar di sekelilingnya. Semakin nyata. Semakin nyaring
dan nyaring, nadanya bertambah tinggi dan tinggi. Nyanyian itu membanjiri
telinganya. Menenggelamkan segala sesuatu di dekatnya. Burung-burung camar mulai
mengepak-ngepakkan sayap, saling bersahutan dengan ribut, dan ombak membuncah di
pantai, melontarkan buih dan percikan tanpa gemuruh. Hanya ada nyanyian pasir.
Nyanyian yang sekarang berubah menjadi jeritan. Bunyi yang mirip ... dentingan"
Bukan dentingan. Bukan. Siulan.
Laila menjatuhkan buku yang sedang dia pegang. Dia menatap ke langit. Melindungi
matanya dengan salah satu tangannya.
Lalu, dia mendengar raungan nyaring.
Seberkas cahaya putih menerpanya.
Tanah di bawah kakinya terasa goyah.
Sesuatu yang kuat dan panas menghantam punggung Laila. Membuat sandalnya
terlepas. Melontarkan tubuhnya. Dan sekarang, Laila terbang, berjungkir balik,
dan berputar di udara, melihat langit, lalu tanah, lalu langit, lalu tanah.
Sebongkah kayu terbakar berpapasan dengannya. Begitu pula ribuan pecahan kaca,


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Laila merasa dirinya dapat melihat setiap serpihan itu beterbangan di
dekatnya, perlahan-lahan saling berpapasan dan bertumbukan, masing-masing
memantulkan sinar matahari. Pelangi-pelangi mungil dan indah.
Lalu, Laila menghantam tembok. Dia meluncur jatuh ke tanah. Debu, kerikil, dan
pecahan kaca menghujani wajahnya. Hal terakhir yang dilihatnya adalah seseorang
lain yang jatuh di tanah di dekatnya. Sebuah gundukan berdarah. Di atasnya,
ujung jembatan merah menyembul keluar dari balik kabut tebal.
Sosok-sosok bergerak lalu lalang. Lampu fluoresens menyorot dari langit-langit
di atasnya. Tampaklah wajah seorang wanita, mengambang di atasnya.
Kegelapan menghampiri Laila.
Sebentuk wajah lain. Kali ini pria. Sosoknya tampak besar dan berat. Bibirnya
bergerak-gerak, namun tak ada suara yang keluar dari sana. Yang ada di telinga
Laila hanyalah dengungan.
Pria itu melambai pada Laila. Mengerutkan kening. Bibirnya kembali bergerak-
gerak. Sakit sekali. Bernapas membuatnya kesakitan. Sekujur tubuhnya terasa nyeri.
Segelas air. Sebutir pil merah jambu.
Kegelapan kembali datang.
Lagi-lagi wajah wanita itu. Panjang, bermata sipit. Dia mengatakan sesuatu.
Laila tidak dapat mendengarnya. Hanya ada dengungan di telinganya. Tapi, Laila
dapat melihat kata-kata itu, bagaikan sirup kental berwarna gelap yang meluncur
keluar dari mulut wanita itu.
Dada Laila terasa nyeri. Kepedihan melanda lengan dan kakinya.
Di sekelilingnya, sosok-sosok bergerak-gerak.
Di manakah Tariq" Mengapa dia tidak ada di sini"
Kegelapan. Sekumpulan bintang.
Laila dan babi, terbang tinggi. Babi menunjuk hamparan lahan luas yang ditanami
barley. Suara generator terdengar.
Wanita berwajah panjang itu berdiri di dekat
Laila, menunduk. Bernapas pun terasa menyakitkan.
Dari suatu tempat, bunyi akordeon terdengar.
Pil merah jambu lagi, dan Laila bersyukur. Lalu, kesunyian yang dalam. Kesunyian
dalam yang melingkupi segalanya.[]
Bagian Ketiga BAB 27 ... : Mari a m ffl^au tahu siapa aku?"
JlV.Mata gadis itu bergerak-gerak.
"Kau tahu apa yang telah terjadi?"
Bibir gadis itu gemetar. Dia memejamkan mata. Menelan ludah. Tangannya menggaruk
pipi kanannya. Dia membisikkan sesuatu.
Mariam mendekatkan diri. "Telingaku," bisik gadis itu lirih. "Aku tak bisa mendengar."
O SELAMA SEMINGGU PERTAMA, gadis itu nyaris tidak melakukan apa pun selain tidur,
berkat pertolongan pil-pil merah jambu yang dibeli Rasheed di rumah sakit. Dia
menggumam-gumam dalam tidurnya. Kadang-kadang dia mengigau, menangis, memanggil-
manggil nama yang tidak dikenali oleh Mariam. Dia terisak-isak dalam tidurnya,
tampak gelisah, menjejak-jejak selimut, dan Mariam pun harus memeganginya.
Kadang-kadang dia muntah sebanyak mungkin, mengeluarkan segala makanan
yang disuapkan oleh Mariam ke dalam mulutnya.
Ketika tidak sedang dicekam kegelisahan, kedua mata sendu gadis itu menyembul
dari balik selimut, bibirnya membisikkan jawaban-jawaban pendek untuk berbagai
pertanyaan yang dilontarkan oleh Mariam dan Rasheed. Beberapa kali, dia bersikap
kekanak-kanakan, menggeleng-geleng ketika Mariam, lalu Rasheed, berusaha
menyuapinya. Tubuhnya menjadi kaku ketika Mariam menghampirinya dengan membawa
sebuah sendok. Tapi, dia lekas kelelahan dan akhirnya menyerah pada ketegasan
pasangan itu. Isakan yang panjang mengikuti setiap kekalahannya.
Rasheed menyuruh Mariam mengoleskan salep antibiotok antibiotik ke luka-luka di
wajah dan leher gadis itu, dan juga pada luka menganga di bahunya, di atas
keningnya, dan di kakinya. Mariam membalut luka-luka itu dengan perban, yang
berulang kali dicuci dan dia pakaikannya kembali. Dia mengikat rambut gadis itu,
menahannya dari wajah, ketika gadis itu membungkuk untuk muntah.
"Sampai kapan dia akan tinggal di sini?" tanyanya kepada Rasheed.
"Sampai keadaannya lebih baik. Lihatlah dia. Dia tak akan bisa ke mana-mana
dalam kondisi seperti ini. Malang sekali nasibnya."
<" Rasheedlah yang menemukan gadis itu, yang menggali reruntuhan bangunan untuk
menyelamatkan tubuhnya. "Untung saja aku ada di rumah," katanya kepada gadis itu. Rasheed duduk di
sebuah kursi lipat di samping ranjang Mariam, tempat gadis itu terbaring.
"Untung bagimu, maksudku. Aku menggalimu keluar dengan tanganku sendiri. Ada
potongan logam sebesar ini-" Rasheed membentangkan telunjuk dan ibu jarinya
untuk menunjukkan besar logam itu setidaknya menggandakan, pikir Mariam, ukuran?yang sebenarnya. "Sebesar ini. Menembus bahumu. Logam itu benar-benar menempel
di sana. Kupikir aku harus mencari tang untuk mencabutnya. Tapi, kau tidak apa-
apa. Tak lama lagi, kau akan menjadi nau socha. Sebagus yang baru."
Rasheed pulalah yang menyelamatkan sebagian kecil buku-buku Hakim.
"Sebagian besarnya sudah menjadi abu. Rasanya tak ada lagi yang utuh."
Rasheed membantu Mariam menjaga gadis itu pada minggu pertama. Pada suatu hari,
dia pulang dari toko membawa sebuah bantal dan sehelai selimut baru. Pada hari
lain, dia membawa sebotol pil.
"Vitamin," katanya.
Rasheed pulalah yang memberikan kabar kepada Laila bahwa rumah temannya, Tariq,
telah ditempati oleh orang lain.
"Dijadikan hadiah," katanya. "Dari salah seorang komandan Sayyaf untuk tiga
orang anggota pasukannya. Hadiah. Ha!"
Ketiga anggota pasukan itu hanyalah
pemuda-pemuda dengan wajah kekanak-kanakan yang kecokelatan lantaran terbakar
matahari. Mariam pernah melihat mereka ketika dia lewat di depan rumah Tariq,
selalu tampak letih, berjongkok di depan pintu, bermain kartu dan merokok,
Kalashnikov mereka tersandar di dinding. Pemuda terkekar, yang bersikap sombong
dan berwajah mencemooh, menjadi pemimpin mereka. Anggota termuda dari kelompok
itu, yang juga paling pendiam, tampaknya enggan mengikuti sikap tak tertaklukkan
yang ditunjukkan oleh teman-temannya. Dia masih tersenyum dan mengangguk memberi
salam ketika Mariam melewatinya. Saat itulah kesombongan yang ada di permukaan
dirinya meluruh, dan Mariam dapat melihat sekilas sirat kemanusiaan yang belum
tersentuh. Lalu, pada suatu hari, roket menghantam rumah itu. Desas-desus mengatakan bahwa
roket itu ditembakkan oleh pasukan Hazara dari Wahdat. Selama beberapa waktu,
para tetangga masih menemukan potongan-potongan tubuh para pemuda itu.
"Mereka sudah tahu akan begini jadinya," kata Rasheed.
Gadis itu sungguh beruntung, pikir Mariam, dapat selamat hanya dengan menderita
luka-luka yang relatif kecil, mengingat roket telah meratakan rumahnya dengan
tanah. Dan, perlahan-lahan,
keadaan gadis itu pun membaik. Dia mulai makan lebih banyak dan menyisir sendiri
rambutnya. Dia mampu mandi sendiri. Dia mau turun untuk makan bersama Mariam dan
Rasheed. Tetapi, seiring waktu, sebagian ingatannya kembali, terlepas begitu saja, dan
gadis itu pun akan diam seribu bahasa atau bersikap kasar. Dia akan menarik diri
atau pingsan begitu saja. Wajahnya menjadi pucat pasi. Mimpi buruk dan duka
melandanya. Dia memuntahkan isi perutnya. Dan, kadang-kadang dia mengungkapkan
penyesalannya. "Seharusnya aku tidak berada di sini," katanya pada suatu hari.
Mariam sedang mengganti seprai. Gadis itu menatapnya dari tempat duduknya di
lantai, merapatkan lututnya yang memar ke dada.
"Ayahku ingin mengeluarkan kardus-kardus itu. Buku-bukunya. Katanya, aku tidak
akan kuat mengangkatnya. Tapi, aku tidak mau diam. Aku sangat bersemangat.
Seharusnya akulah yang berada di rumah ketika roket itu jatuh."
Mariam membentangkan seprai bersih dan merapikannya di kasur. Dia menatap gadis
itu, rambut keriting pirangnya, leher jenjang dan mata hijaunya, tulang pipi
tinggi dan bibir ranumnya. Mariam ingat sering melihat gadis itu di jalan,
ketika dia masih lebih kecil, membuntuti ibunya ke tandoor, duduk di bahu
abangnya, yang lebih muda, yang memiliki rambut di telinga. Mariam juga pernah
melihat dianya bermain kelereng bersama anak laki-laki si tukang kayu.
Sekarang, gadis itu menatap Mariam, seolah-olah menantinya mengucapkan kata-kata
petuah, untuk menyemangatinya. Tapi, petuah apakah yang bisa diberikan oleh
Mariam" Kata-kata pemberi semangat macam apa" Mariam teringat pada hari ketika
mereka mengubur Nana, dan betapa kalimat yang dikutip oleh Mullah Faizullah dari
Al -Quran tak mampu mengangkat dukanya. Maha Ssuci Allah yang di tanganNya-lah
segala kerajaan, dan Dia Maha Kkuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati
dan hidup, supaya Dia menguji kamu. Atau petuah Mullah Faizullah tentang rasa
bersalahnya. Pikiran seperti itu buruk bagimu, Mariam jo. Pikiran seperti itu
akan menghancurkanmu. Ini bukan salahmu. Ini bukan salahmu. Bukan salahmu.
Ucapan seperti apakah yang mungkin dapat meringankan beban gadis ini"
Dan ternyata, Mariam tidak perlu mengatakan apa pun. Karena gadis itu
mengernyitkan wajah, dan dia merangkak sembari mengatakan bahwa perutnya mual.
"Tunggu! Tahan sebentar. Aku akan mengambilkan panci untukmu. Jangan di lantai.
Aku baru saja mengepel .... Oh. Oh. Khodaya. Tuhan."
Lalu, pada suatu hari, sekitar sebulan setelah ledakan yang menewaskan kedua
orangtua gadis itu, seorang pria mengetuk pintu rumah Rasheed.
Mariam membuka pintu. Pria itu menyatakan urusannya.
"Ada seorang pria yang mencarimu," kata Mariam. Gadis itu mengangkat kepalanya
dari bantal. "Katanya, namanya Abdul Sharif." "Aku tak kenal seorang pun yang
bernama Abdul Sharif."
"Tapi, dia ada di sini dan menanyakanmu. Sebaiknya kau turun dan berbicara
dengannya."[] BAB 28 Laila Laila duduk berhadapan dengan Abdul Sharif, seorang pria kurus dengan kepala
mungil dan hidung bulat yang dipenuhi bopeng, sama seperti pipinya. Rambutnya,
pendek dan cokelat, berdiri di kaku di kulit kepalanya, bagaikan jarum pada
bantalannya. "Saya harap Anda memaafkan saya, Hamshira," katanya seraya merapikan kerah dan
menyeka keringat di dahinya dengan saputangan. "Saya masih belum sepenuhnya
pulih, saya rasa. Masih lima hari lagi, saya harus meminum apa yang mereka
namakan ... pil sulfa."
Laila mengatur posisinya di kursi supaya telinga kanannya, telinganya yang
sehat, berada lebih dekat dengan pria itu. "Apakah Kaka teman orangtua saya?"
"Bukan, bukan," jawab Abdul Sharif cepat-cepat. "Maafkan saya." Dia mengacungkan
telunjuk dan meneguk air putih yang disajikan oleh Mariam di depannya.
"Saya harus mulai dari awal, sepertinya." Dia menyeka bibirnya, dan sekali lagi
menyeka keningnya. "Saya seorang pedagang. Saya punya toko pakaian, sebagian besar
menjual pakaian pria. Chapan, topi, tumban, setelan, dasi apa pun. Saya punya ?dua toko di Kabul ini, di Taimani dan Shar-e-Nau, meskipun saya baru saja
menjual keduanya. Lalu, saya punya dua lagi di Pakistan, di Peshawar. Di sana
pulalah gudang saya berada. Jadi, saya banyak melakukan perjalanan dari sini ke
sana. Yang, akhir-akhir ini " dia menggeleng dan terkekeh letih "katakan saja,
? ?sama dengan petualangan."
"Saya sedang berada di Peshawar baru-baru ini, mengurus bisnis, mengambil
pesanan, memeriksa persediaan, hal-hal semacam itu. Saya juga mengunjungi
keluarga saya di sana. Saya punya tiga anak perempuan, alhamdulillah. Saya
memindahkan mereka dan istri saya ke Peshawar setelah Mujahidin mulai saling
menggorok. Menurut saya, orang-orang itu tidak pantas dikatakan mati syahid.
Saya sendiri juga tidak pantas, sejujurnya. Insya Allah, saya akan menyusul
istri dan anak-anak saya dalam waktu dekat ini.
"Seharusnya saya telah tiba kembali di Kabul Rabu yang lalu. Tapi, sungguh
malang, saya jatuh sakit. Saya tidak akan menceritakan pada Anda tentang
penyakit saya, Hamshira, yang jelas, saat saya mengerjakan urusan paling pribadi
saya, yang termudah di antara keduanya, rasanya seperti mengeluarkan pecahan
beling. Saya bahkan berharap Hekmatyar pun tidak akan merasakannya. Istri saya,
Nadia jan, semoga Allah memberkatinya,
memohon supaya saya menjumpai dokter. Tapi, saya pikir, saya akan bisa menahan
penyakit saya hanya dengan aspirin dan banyak minum. Nadia jan terus memaksa
saya, dan saya bilang tidak, begitu terus berulang-ulang. Anda tahu pepatah yang
mengatakan Keledai keras kepala butuh kusir keras kepala" Kali ini, sayangnya,
keledai yang menang. Sayalah keledainya."
Dia meminum seluruh airnya dan mengembalikan gelasnya pada Mariam. "Jika boleh."
Mariam mengambil gelas itu dan memenuhinya
lagi. "Tak perlu dikatakan, seharusnya saya mendengarkan istri saya. Dari dulu,
pikirannya selalu masuk akal, semoga Tuhan memberinya umur panjang. Ketika saya
masuk rumah sakit, tubuh saya didera demam tinggi, dan saya gemetaran seperti
pohon beid di tengah badai. Saya bahkan tak mampu berdiri lagi. Kata dokter,
darah saya keracunan. Katanya, dua atau tiga hari lagi saya tidak mencari
pertolongan, istri saya mungkin akan menjadi janda.
"Mereka menempatkan saya di bangsal khusus yang dihuni oleh orang-orang
berpenyakit parah, sepertinya. Oh, tashakor." Dia mengambil gelas yang diulurkan
oleh Mariam dan mengeluarkan sebutir pil putih besar dari sakunya. "Lihatlah
ukuran obat ini." Laila menyaksikan pria itu menelan pilnya. Dia merasakan napasnya sendiri
terpacu. Kakinya terasa berat, seolah-olah seluruh berat badannya
berpindah ke sana. Laila mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa cerita pria itu
belum selesai, bahwa dia belum mengungkapkan segalanya. Tapi, dia akan segera
mengatakannya, dan Laila menahan diri untuk tidak bangkit dan meninggalkannya,
pergi sebelum pria itu mengucapkan sesuatu yang tak ingin didengarnya.
Abdul Sharif meletakkan gelasnya di meja.
"Di sanalah saya bertemu dengan teman Anda, Mohammad Tariq Walizai."
Jantung Laila berdegup. Tariq ada di rumah sakit" Di bangsal khusus" Untuk
orang-orang yang berpenyakit parah "
Laila berusaha menelan ludah namun hanya merasakan tenggorokannya yang kering.
Dia bergerak-gerak di kursinya. Dia harus menguatkan diri. Jika tidak, dia
khawatir dirinya akan lepas kendali. Dia mengalihkan pikirannya dari rumah sakit
dan bangsal khusus, dan mengingat fakta bahwa dia tidak pernah mendengar
seseorang menyebutkan nama lengkap Tariq sejak mereka berdua mengikuti kursus
bahasa Farsi pada musim dingin bertahun-tahun yang lalu. Guru kursus itu akan
mengabsen para murid setelah bel berbunyi dan menyebut nama Tariq seperti
itu Mohammad Tariq Walizai. Ketika itu dia ingin tertawa, mendengar penyebutan ?nama lengkap Tariq.
"Saya mendengar tentang kejadian yang menimpanya dari para perawat," lanjut
Abdul Sharif, memukul-mukul dadanya pelan-pelan, seolah-olah untuk memperlancar
jalan pilnya. "Setelah lama
berada di Peshawar, saya mulai cukup fasih berbahasa Urdu. Oh ya, yang saya
dengar tentang teman Anda adalah bahwa dia berada di dalam sebuah lori yang
dijejali oleh pengungsi, dua puluh tiga orang, semuanya menuju Peshawar. Di
dekat perbatasan, mereka terperangkap dalam adu senjata. Sebuah roket menghantam
lori itu. Mungkin cuma pecahannya, tapi kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya
terjadi, tak pernah tahu. Hanya ada enam orang yang selamat, dan semuanya
dirawat di bangsal yang sama. Tiga orang di antaranya tewas dalam dua puluh
empat jam. Dua orang lagi, perempuan, masih hidup kakak beradik, kata
?mereka dan diperbolehkan keluar. Teman Anda, Tariq Walizai, adalah pasien
?terakhir. Dia telah ada di tempat itu selama hampir tiga minggu saat saya
masuk." Jadi, Tariq masih hidup. Tetapi, separah apakah lukanya" Laila membayangkan
dengan panik. Separah apa" Cukup parah sehingga dia ditempatkan di bangsal
khusus, setidaknya. Laila merasakan keringat mulai membasahi tubuhnya dan
wajahnya terasa panas. Dia berusaha memikirkan hal lain, sesuatu yang
menyenangkan, seperti perjalanan ke Bamiyan untuk melihat patung Buddha bersama
Tariq dan Babi. Tetapi, alih-alih, bayangan orangtua Tariq justru muncul: ibu
Tariq terperangkap di dalam lori yang terbalik, menjerit-jerit memanggil Tariq
di tengah asap tebal, lengan dan dadanya terbakar, rambut palsunya meleleh di
kulit kepalanya .... Laila harus berulang kali menarik napas.
"Dia dirawat di ranjang di samping saya. Tidak ada dinding yang memisahkan kami,
hanya sehelai tirai. Jadi, saya dapat melihatnya dengan cukup jelas."
Abdul Sharif tiba-tiba giat memutar-mutar cincin kawinnya. Sekarang, dia
berbicara lebih pelan. "Teman Anda, dia terluka sangat amat sangat parah, Anda harus tahu. Selang-? ?selang terpasang di sekujur tubuhnya. Awalnya-" Abdul Sharif berdeham. "Awalnya,
saya pikir dia kehilangan kedua kakinya dalam serangan itu, namun seorang
perawat menyanggahnya, hanya yang kiri, yang kanan telah hilang lama sebelumnya.


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia juga menderita luka di bagian dalam tubuhnya. Mereka telah mengoperasinya
tiga kali. Memotong beberapa bagian ususnya, saya tidak ingat lagi yang lainnya.
Dan kulitnya terbakar. Cukup parah. Hanya itulah yang bisa saya katakan. Saya
yakin Anda sudah sering mendapatkan mimpi buruk, Hamshira. Saya tidak ingin
masuk ke dalam mimpi Anda."
Tariq tidak berkaki sekarang. Dia hanyalah tubuh berpangkal dua. Tanpa kaki.
Laila merasa ingin pingsan. Dengan sebesar mungkin upaya dan tekad, dia mengirim
pikirannya keluar dari ruangan ini, keluar dari jendela, menjauhi Abdul Sharif,
melayang di jalanan, di atas kota, di atas rumah-rumah beratap datar dan pasar-
pasar, di atas labirin jalan-jalan sempit, hingga tiba di padang pasir.
"Dia berada di bawah pengaruh obat hampir
sepanjang waktu. Untuk menahan rasa sakitnya, Anda tahu. Tapi, ada kalanya
pengaruh obatnya memudar dan dia dapat berpikir dengan jernih. Dia kesakitan,
namun pikirannya bekerja. Dalam saat seperti itu, saya mengajaknya berbicara
dari ranjang saya. Saya memberitahu dianya tentang diri saya, asal saya. Dia
senang, sepertinya, mengetahui bahwa seorang hamwatan ada di sebelahnya.
"Saya yang lebih banyak bicara. Dia sendiri sulit berbicara. Suaranya serak, dan
saya pikir, menggerakkan bibir membuatnya kesakitan. Jadi, saya bercerita
kepadanya tentang anak-anak saya dan juga tentang rumah kami di Peshawar,
tentang beranda yang dibangun oleh abang ipar saya di belakang rumah. Saya
mengatakan kepadanya bahwa saya telah menjual kedua toko saya di Kabul dan akan
menyelesaikan surat-suratnya. Tidak banyak. Tapi, dia mengingatnya. Setidaknya,
saya pikir begitu. "Kadang-kadang, dia juga bicara. Saya tidak bisa memahami setengah yang
dikatakannya, tapi saya bisa cukup menangkapnya. Dia menceritakan tentang tempat
tinggalnya. Dia menceritakan tentang pamannya di Ghazni. Juga tentang masakan
ibunya dan kerajinan kayu atau permainan akordeon ayahnya.
"Tapi, yang paling sering, dia membicarakan tentang Anda, Hamshira. Katanya,
Anda adalah bagaimana dia mengatakannya kenangan terawal-nya. Saya pikir
? ?rasa, itu yang dikatakannya, benar.
Saya bisa melihat bahwa dia sangat menyayangi Anda. Balay, itu sangat jelas
terlihat. Tapi, katanya, dia bersyukur karena Anda tidak ada di sana. Katanya,
dia tidak ingin Anda melihatnya seperti itu."
Kaki Laila kembali terasa berat, terpaku di lantai, seolah-olah seluruh darahnya
tiba-tiba tumpah ke lantai. Tetapi, pikirannya melayang begitu jauh, terbang
bebas, melesat bagaikan peluru kendali di atas langit Kabul, melewati bukit-
bukit cokelat berbatu dan melintasi gurun-gurun pasir dengan gumpalan semak-
semak di sana-sini, melewati ngarai batu merah tajam dan gunung-gunung dengan
puncak bersalju .... "Ketika saya memberitahunya bahwa saya akan kembali ke Kabul, dia meminta saya
menemui Anda. Untuk mengatakan bahwa dia selalu memikirkan Anda. Bahwa dia
merindukan Anda. Saya berjanji padanya akan mencari Anda. Saya menyukai dia,
Anda tahu. Dia pemuda yang baik dan sopan, saya bisa melihatnya."
Abdul Sharif mengusap keningnya dengan saputangan.
"Saya terbangun pada suatu malam," lanjutnya, kembali giat memainkan cincin
kawinnya. "Setidaknya, saya pikir ketika itu malam, sulit mengatakannya di
tempat seperti itu. Tidak ada jendela di sana. Matahari terbit, tenggelam, tidak
ada yang tahu. Tapi, saya terbangun, dan ada kesibukan di ranjang samping saya.
Pahamilah bahwa saya sendiri berada di bawah pengaruh
obat, kesadaran saya datang dan pergi, hingga saya sulit mengatakan apakah yang
saya lihat tersebut benar-benar terjadi ataukah hanya ada dalam mimpi saya. Yang
saya ingat hanyalah, para dokter mengerumuni ranjang, meneriakkan ini dan itu,
alarm berbunyi, jarum suntik berserakan.
"Pagi harinya, ranjang di samping saya telah kosong. Saya bertanya kepada
perawat. Katanya, teman Anda berjuang dengan keras."
Laila samar-samar merasakan kepalanya mengangguk. Dia tahu. Tentu saja dia tahu.
Dia tahu tentang kabar yang akan dia dengarnya sejak awal pria ini duduk di
depannya. "Awalnya, Anda tahu, awalnya saya tidak yakin bahwa Anda memang ada," kata pria
itu sekarang. "Saya pikir, Anda hanya ada dalam khayalan akibat morfinnya.
Mungkin saya bahkan berharap Anda tidak ada; ini adalah hal yang paling saya
takuti, menjadi pembawa kabar buruk. Tapi, saya telah berjanji padanya. Dan,
seperti yang sudah saya kayakan, saya menyukai dia. Jadi, ketika saya tiba di
sini beberapa hari yang lalu, saya bertanya ke sana kemari tentang keberadaan
Anda, berbicara dengan beberapa orang tetangga Anda. Mereka menyuruh saya ke
rumah ini. Mereka juga mengatakan kepada saya apa yang terjadi pada orangtua
Anda. Ketika mendengarnya, yah, saya memutuskan untuk pergi. Saya tidak mau
menyampaikan kabar buruk lain untuk Anda. Saya rasa, ini akan terlalu berat bagi
Anda. Bagi siapa pun."
Abdul Sharif menggapai ke seberang meja dan meletakkan tangan di lutut Laila.
"Tapi, saya kembali. Karena, pada akhirnya, saya pikir dia ingin Anda tahu. Saya
percaya itu. Maafkan saya. Saya berharap
Laila tidak lagi mendengarkan. Dia teringat pada hari ketika seorang pria dari
Panjshir datang untuk mengabarkan tentang kematian Ahmad dan Noor. Dia teringat
pada Babi, pucat pasi, terkulai lemas di sofa, dan Mammy, membungkam mulut
dengan kedua tangannya sembari mendengarkan. Laila menyaksikan Mammy hancur pada
hari itu, yang membuatnya ketakutan, namun tidak ada kesedihan sejati yang dia
rasakannya. Dia tidak memahami betapa buruknya rasa kehilangan ibunya. Sekarang,
orang asing lain datang membawa kabar tentang kematian lain. Sekarang,
dirinyalah yang duduk di kursi Mammy. Apakah ini hukuman baginya karena dia
tidak menenggelamkan diri bersama penderitaan ibunya"
Laila teringat bagaimana Mammy tumbang ke lantai, bagaimana dia menjerit-jerit
dan menjambaki rambutnya sendiri. Tetapi, Laila tidak bisa melakukan hal serupa.
Dia bahkan tak mampu bergerak. Dia tak mampu sedikit pun menggerakkan ototnya.
Alih-alih, Laila duduk di kursi, tangannya kaku di atas pangkuannya, matanya
menatap kosong ke depan, dan pikirannya terbang entah ke mana. Laila membiarkan
pikirannya melayang hingga tiba di tempat yang tepat, tempat yang aman dan
nyaman, dengan lahan barley yang membentang hijau dan air jernih mengalir dan
ribuan serbuk kapuk menari-nari di udara. Di tempat itu, Babi membaca buku di
bawah pohon akasia dan Tariq tertidur dengan tangan terlipat di dada, dan Laila
sendiri mencelupkan kaki di sungai dan bermimpi indah di bawah tatapan dewa-dewa
batu masa lalu yang bermandikan sinar matahari.[]
BAB 29 Mariam ff A ku ikut berbela sungkawa," kata Rasheed XJLpada gadis itu, mengambil
mangkuk berisi mastawa dan bola-bola daging dari Mariam tanpa menatapnya. "Aku
tahu bahwa kalian ... berteman dekat ... kalian berdua. Selalu bersama-sama, sejak
kalian masih kanak-kanak. Sungguh buruk, kejadian ini. Terlalu banyak pemuda
Afghan tewas dengan cara ini."
Rasheed mengibaskan tangannya tanpa sabar, meminta serbet, masih sambil menatap
gadis itu, dan Mariam memberikan serbet yang dimintanya.
Selama bertahun-tahun, Mariam menatap Rasheed ketika dia makan, melihat urat-
urat di keningnya bekerja, satu tangannya mengepal-ngepalkan nasi, tangan yang
lain menyeka serbuk-serbuk gandum yang menempel di kedua sudut mulutnya. Selama
bertahun-tahun, Rasheed makan tanpa mengangkat wajah, tanpa berbicara, hanya
menyisakan kesunyian yang mengancam, seolah-olah dia sedang menilai, dan setelah
beberapa saat dia akan menggeram penuh tuduhan, mendecakkan lidah dengan sengit,
meluncurkan perintah satu kata untuk meminta tambahan roti atau air minum.
Sekarang, Rasheed makan menggunakan sendok. Juga serbet. Mengatakan loftan
ketika meminta air minum. Dan berbicara. Tanpa henti dan dengan penuh semangat.
"Kalau kau menanyakan pendapatku, menurutku Amerika salah karena telah
mempersenjatai Hekmatyar. Ini semua gara-gara senjata yang diserahkan CIA
kepadanya pada tahun delapan puluhan untuk memerangi Soviet itu. Sekarang Soviet
telah pergi, tapi orang-orang Hekmatyar masih memegang senjata, dan sekarang
mereka mengacungkannya pada penduduk yang tak tahu apa-apa seperti orangtuamu.
Dan dia menyebutnya jihad. Omong kosong! Mana ada jihad dengan membunuh
perempuan dan anak-anak" Seharusnya CIA mempersenjatai Komandan Massoud saja."
Alis Mariam terangkat dengan sendirinya. Komandan Massoud" Di dalam kepalanya,
dia dapat mendengar Rasheed mencemooh Massoud, menyebutnya pengkhianat dan
komunis. Tapi, tentu saja, Massoud adalah seorang Tajik. Seperti Laila.
"Nah, dia adalah orang yang lebih masuk akal. Seorang Afghan terhormat. Seorang
pria yang benar-benar tertarik pada resolusi damai."
Rasheed mengangkat bahu dan menghela napas.
"Orang Amerika sendiri sebenarnya tidak peduli, kau tahu. Apa urusan mereka
dengan orang-orang Pashtun dan Hazara dan Tajik dan Uzbek yang saling membunuh"
Berapa banyak orang Amerika
yang bisa membedakan mereka" Menurutku, sebaiknya kita tidak mengharapkan
pertolongan dari mereka. Sekarang, setelah Soviet ambruk, kita tidak berguna
lagi bagi mereka. Peran kita telah selesai. Bagi mereka, Afghanistan adalah
kenarab, lubang jamban. Maafkan bahasaku, tapi memang benar begitu. Bagaimana
menurutmu, Laila jan?"
Gadis itu menggumamkan sesuatu yang sulit dipahami dan mempermainkan sebutir
bola daging di mangkuknya.
Rasheed mengangguk penuh pengertian, seolah-olah gadis itu barus saja
melontarkan komentar tercerdas yang pernah dia dengarnya. Mariam mengalihkan
tatapan. "Kau tahu, ayahmu, semoga Tuhan menerimanya, aku dan ayahmu sering berdiskusi
seperti ini. Tentu saja sebelum kau lahir. Kami tak henti-hentinya membicarakan
politik. Juga tentang buku. Benar begitu bukan, Mariam" Kau pasti ingat."
Mariam menyibukkan diri dengan meneguk air minum.
"Baiklah, kuharap kau tidak bosan mendengarku membicarakan politik."
Selanjutnya, ketika sedang mencuci piring di dapur, Mariam merasakan perutnya
mengencang. Bukan apa yang dikatakan Rasheed yang mengganggunya, kebohongan-kebohongan itu,
belas kasihan yang berlebihan itu, atau bahkan fakta bahwa dia tidak pernah
mengasari Mariam sejak menggali gadis itu dari bawah reruntuhan.
Itu semua hanyalah tipu daya. Seperti drama di
atas panggung. Upaya Rasheed, yang licik sekaligus mengenaskan, untuk membuat
Laila terkesan. Memikatnya.
Dan, tiba-tiba, Mariam tahu bahwa kecurigaannya benar. Bagaikan mendapatkan
pukulan telak yang membutakan di pelipisnya, dia memahami bahwa yang sedang dia
saksikannya adalah pendekatan yang dilakukan oleh suaminya terhadap wanita lain.
<" Ketika akhirnya berhasil mengumpulkan keberaniannya, Mariam mendatangi kamar
suaminya. Rasheed menyalakan rokok dan berkata, "Kenapa tidak?"
Mariam tahu pada saat itu juga bahwa dirinya telah kalah. Dia setengah
menyangka, setengah berharap, bahwa Rasheed akan menyangkal segalanya, berpura-
pura terkejut, mungkin bahkan marah besar, ketika mendengar apa yang dia
katakannya. Mungkin dialah yang bersalah. Dialah yang telah mempermalukan
suaminya. Tetapi, tetap saja, sikap Rasheed yang tenang, nada bicaranya yang
datar, semua itu menghancurkan dirinya.
"Duduklah," kata Rasheed. Dia berbaring di ranjangnya, memunggungi dinding,
sementara kedua kakinya yang panjang dan besar terselonjor di kasur. "Duduklah
sebelum kau pingsan dan kepalamu membentur lantai."
Mariam merasakan dirinya terduduk di kursi lipat
di dekat ranjang Rasheed.
"Tolong ambilkan asbak itu," kata Rasheed.
Dengan patuh, Mariam mengulurkan benda itu.
Sekarang ini tentunya umur Rasheed sudah enam puluh tahun lebih pikir Mariam, ?dan bahkan Rasheed sendiri tidak tahu berapa usianya yang pasti. Rambutnya telah
memutih, meskipun tetap lebat dan tebal. Matanya berkantung dan kulit di
lehernya bergelambir, berkerut-merut kasar. Pipinya merosot ke bawah. Jalannya
agak membungkuk. Tetapi, bahunya masih bidang, dadanya masih tebal, tangannya
masih kukuh, dan perutnya bagian tubuhnya yang pertama kali terlihat masih
? ?membuncit. Secara keseluruhan, Mariam berpikir Rasheed menua lebih lambat, dengan cara yang
lebih baik, daripada dirinya sendiri.
"Kita harus melegalkan situasi ini," kata Rasheed sekarang, menyeimbangkan asbak
di atas perutnya. Bibirnya berkerut-kerut saat dia mengisap rokok. "Orang-orang akan bergosip. Ini
bukan hal yang baik, seorang gadis muda yang tidak bersuami tinggal di sini. Ini
buruk bagi reputasiku. Dan juga untuknya. Dan untukmu juga, kalau aku boleh
menambahkan." "Delapan belas tahun," kata Mariam. "Dan aku tak pernah meminta apa pun padamu.
Tidak satu pun." Rasheed mengisap rokok dan mengembuskannya perlahan. "Dia tidak
bisa tinggal begitu saja di sini, kalau itu maksudmu. Aku tidak bisa terus-
menerus memberinya makanan, pakaian, dan tempat
berteduh. Aku bukan Palang Merah, Mariam." "Tapi, ini?"
"Apa memangnya" Apa" Kaupikir dia masih terlalu muda" Umurnya empat belas. Dia
sudah bukan anak-anak lagi. Waktu itu umurmu lima belas, ingat" Ibuku empat
belas tahun ketika melahirkanku. Tiga belas ketika menikah."
"Aku ... aku tidak menginginkan ini," kata Mariam, merasa mati rasa dengan
perasaan tak berharga dan tak berdayanya.
"Ini bukan keputusanmu. Ini antara aku dan dia."
"Aku terlalu tua."
"Dia terlalu muda, kau terlalu tua. Semua ini omong kosong."
"Aku memang terlalu tua. Terlalu tua untuk mendapatkan perlakuan seperti ini
darimu," kata Mariam, menggenggam pakaiannya begitu ketat sehingga tangannya
gemetar. "Kau, setelah bertahun-tahun ini, menjadikanku ambagh."
"Jangan bertingkah sok dramatis. Ini hal yang umum, dan kau sudah tahu. Aku
punya banyak teman yang beristri dua, tiga, bahkan empat. Ayahmu sendiri
beristri tiga. Lagi pula, kebanyakan pria yang kukenal akan melakukan hal ini
sejak lama. Kau tahu bahwa aku benar."
"Aku tidak akan mengizinkannya."
Mendengar hal ini, Rasheed tersenyum suram.
"Ada pilihan lain," katanya, menggaruk telapak kaki dengan tumitnya yang
berkulit tebal. "Dia boleh pergi. Aku tak akan menghalanginya. Tapi, aku berani
mengatakan bahwa dia tidak akan pergi jauh.
Dia tidak punya makanan, air, ataupun uang di sakunya, sementara peluru dan
roket berdesingan di mana-mana. Berapa hari menurutmu dia akan bisa bertahan
sebelum berakhir dengan diculik, diperkosa, atau dilemparkan di selokan pinggir
jalan dengan leher tergorok" Atau ketiganya?"
Rasheed terbatuk dan menata bantal di belakang punggungnya.
"Jalanan di luar sana tak kenal ampun, Mariam, percayalah padaku. Ada banyak
bandit dan orang-orang haus darah menanti di setiap belokan. Aku yakin, nasib
buruk akan mengadangnya, benar-benar buruk. Tapi, misalkan saja, entah dengan
mukjizat apa, dia bisa sampai di Peshawar. Setelah itu apa" Kau tahu seperti apa
kamp-kamp pengungsian di sana?"
Rasheed menatap Mariam dari balik gumpalan asap.
"Orang-orang di sana hidup di rumah kardus. Mereka sakit TBC, disentri, juga
didera kelaparan dan kejahatan. Itu pun sebelum musim dingin datang. Bayangkan
saja saat musim dingin tiba. Tubuh mereka mati rasa dan membusuk. Radang paru-
paru mewabah. Manusia berubah menjadi es. Kamp-kamp itu menjadi kuburan beku."
"Tentu saja," Rasheed memutar-mutar jarinya, "dia bisa menghangatkan diri di
salah satu rumah bordil yang tersebar di Peshawar. Dari yang kudengar, bisnis
seperti ini sedang meledak di sana. Gadis secantik dia tidak akan sulit mencari
uang, benar begitu?"
Rasheed meletakkan asbak di meja dan mengayunkan kakinya ke samping ranjang.
"Dengar," katanya, sekarang dengan suara lebih tenang, seperti layaknya seorang
jawara. "Aku tahu bahwa kau tidak akan menerimanya dengan lapang dada. Aku tidak
menyalahkanmu. Tapi, ini untuk yang terbaik. Kau akan melihatnya sendiri.
Pikirkanlah hal ini dengan cara yang berbeda, Mariam. Aku memberi kamu bantuan
untuk mengurus rumah tangga dan memberi dia tempat berteduh. Sebuah rumah dan
seorang suami. Sekarang ini, dalam waktu seperti ini, perempuan membutuhkan
suami. Apa kau belum pernah melihat janda-janda yang tidur di jalanan itu"
Mereka akan rela membunuh demi mendapatkan kesempatan seperti ini. Bahkan, ini
.... Vah, katakan saja, aku beramal dengan melakukan hal ini."
Rasheed memamerkan senyumnya.
"Kalau dilihat dari sudut pandang ini, aku pantas mendapatkan tanda jasa."
O Selanjutnya, dalam kegelapan, Mariam memberi tahu gadis itu.
Gadis itu lama terdiam, tak kunjung memberikan jawaban.
"Dia menginginkan jawaban pagi ini," kata Mariam. "Dia boleh mendapatkan
jawabannya sekarang," kata gadis itu. "Jawabanku adalah ya."[]
BAB 30 La i ia Keesokan harinya, Laila tetap tinggal di ranjangnya. Dia bersembunyi di balik
selimut pada pagi hari ketika Rasheed melongok ke dalam kamarnya dan mengatakan
bahwa dia akan pergi ke tukang cukur. Laila masih tinggal di rtanjang pada siang


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari, ketika Rasheed memamerkan potongan rambut barunya, setelan bekas biru ?dengan garis-garis krem, dan juga cincin kawin yang baru saja dia belinya.
Rasheed duduk di ranjang di samping Laila, berlama-lama menguraikan ikatan pita,
lalu membuka kemasan dan mengeluarkan cincin itu dengan hati-hati. Dia
mengatakan bahwa untuk membeli cincin itu, dia telah menggadaikan cincin kawin
tua milik Mariam. "Dia tak peduli. Percayalah padaku. Dia bahkan tak akan melihatnya."
Laila menjauhkan diri ke ujung ranjang. Dia dapat mendengar gerakan Mariam di
lantai bawah, desisan setrikanya.
"Lagi pula, dia tak pernah memakainya," kata Rasheed.
"Aku tidak menginginkannya," kata Laila, letih. "Tidak seperti ini. Kamu harus
mengembalikannya." "Mengembalikannya?" Ketidaksabaran melintasi wajah Rasheed dan menghilang
kembali. Dia tersenyum. "Aku juga harus menambahkan uang tunai untuk
membelinya cukup banyak, bahkan. Cincin ini lebih bagus, emas dua puluh dua
?karat. Kau mau merasakan beratnya" Cobalah, rasakanlah. Tidak mau?" Rasheed
menutup kotak cincin itu. "Bagaimana dengan bunga" Tentunya kau suka. Kau suka
bunga" Kau punya bunga kesukaan" DaisyAster" Tulip" Lili" Tidak suka bunga"
Bagus! Aku sendiri tak mengerti kenapa ada orang yang suka bunga. Kupikir ....
Nah, aku mengenal seorang penjahit di Deh-Mazang ini. Kupikir kita bisa pergi ke
sana besok, supaya dia bisa mengukurmu untuk membuatkanmu gaun yang indah."
Laila menggeleng. Rasheed menaikkan kedua alisnya.
"Kupikir lebih cepat " Laila memulai.?Rasheed menyentuh tengkuk Laila. Laila tak kuasa menahan kernyitan di keningnya.Sentuhan Rasheed terasa seperti mengenakan sweter wol basah tanpa memakai
pakaian dalam. "Ya?" "Kupikir, lebih cepat lebih baik."
Mulut Rasheed ternganga, lalu dia menyeringai memamerkan deretan gigi kuningnya.
"Tak sabar lagi, ya," katanya.
<" Sebelum kunjungan abdul sharif, Laila telah memutuskan bahwa dia akan pergi ke
Pakistan. Bahkan setelah Abdul Sharif datang membawa kabar buruk, Laila tetap
berpikir bahwa dia sebaiknya pergi. Sejauh mungkin dari Kabul. Menyingkirkan
dirinya dari kota tempat setiap sudut jalan merupakan jebakan, setiap gang
menyembunyikan hantu yang akan melompat mengadangnya. Akan lebih baik baginya
jika mengambil risiko. Tetapi, tiba-tiba, pergi tidak ada lagi dalam pilihannya.
Tidak dengan keinginan untuk muntahnya yang muncul setiap hari.
Tidak dengan payudaranya yang sekarang membesar.
Dan juga, tidak dengan kesadarannya bahwa, entah bagaimana, di tengah segala
kekacauan yang menderanya, siklus datang bulannya terlambat.
Laila membayangkan dirinya berada di kamp pengungsian, sebuah lapangan
mengenaskan yang dijejali ribuan tenda plastik darurat untuk menahan diri dari
dinginnya udara dan sengatan angin. Di bawah salah satu tenda darurat itu, Laila
melihat bayinya, bayi Tariq, dengan pelipis sempitnya, rahang mungilnya, dan
kulit pucatnya yang beruam-ruam. Dia membayangkan tubuh mungil itu dimandikan
oleh orang-orang asing, dibungkus dengan kain kumal, diturunkan ke dalam liang
lahat di tengah embusan angin, di bawah tatapan penuh nafsu berekor-ekor burung
pemakan bangkai. Bagaimana mungkin dia bisa lari sekarang"
Dengan muram, Laila mendaftar orang-orang dalam kehidupannya. Ahmad dan Noor,
tewas. Hasina, pergi. Giti, tewas. Mammy, tewas. Babi, tewas. Sekarang Tariq ....
Tetapi, bagaikan keajaiban, sepenggal kehidupan lamanya tetap bertahan, sesuatu
yang menjadi penghubung terakhirnya terhadap dirinya yang dahulu, sebelum dia
menjadi sebatang kara. Sebagian dari diri Tariq masih hidup di dalam dirinya,
membentangkan lengan-lengan mungilnya, menumbuhkan tangan-tangan transparannya.
Bagaimana bisa dia membahayakan satu-satunya hal yang masih tersisa dari Tariq,
dari kehidupan lamanya"
Laila mengambil keputusan dengan cepat. Enam minggu telah berlalu sejak dia
bersama Tariq. Jika dia membuang waktu lebih lama, Rasheed akan curiga. Laila
tahu bahwa apa yang dia lakukannya sangat tidak terhormat. Hina, licik, dan
memalukan. Dan sungguh tidak adil bagi Mariam. Tetapi, meskipun bayi di dalam
tubuhnya tidak lebih besar daripada sebutir murbei, Laila telah mampu melihat
pengorbanan yang harus dilakukan oleh seorang ibu. Perilaku hanyalah sebagian
kecilnya. Laila meletakkan tangannya di perut. Memejamkan mata.
Laila akan mengingat upacara pernikahannya
dalam potongan-potongan gambar tanpa suara. Garis-garis krem di setelan Rasheed.
Aroma tajam hair spray yang dikenakan Rasheed. Luka kecil bekas pisau cukur di
atas jakun Rasheed. Permukaan kasar jari-jari yang bernoda tembakau ketika
Rasheed menyelipkan cincin ke jarinya. Pena yang tak mau mengeluarkan tinta.
Pencarian pena lain. Surat nikah. Penandatanganannya, gerakan yakin tangan
Rasheed, tangannya sendiri yang gemetar. Doa-doa. Lalu, dia melihat, di cermin,
bahwa Rasheed telah merapikan alisnya.
Dan, di suatu tempat di ruangan itu, Mariam menyaksikan semuanya. Udara terasa
sesak dengan keberatannya.
Laila tidak mampu membalas tatapan Mariam.
O Malam itu, berbaring di atas seprai ranjang Rasheed yang dingin, Laila melihat
pria itu menutup tirai. Tubuh Laila gemetar, bahkan sebelum jari-jari Rasheed
bergerak membuka kancing-kancing bajunya dan tali di pinggang celana panjangnya.
Rasheed sendiri tampak canggung. Jari-jarinya berjuang tanpa henti membuka
kemejanya sendiri, juga ikat pinggangnya. Laila dapat melihat dengan jelas
gelambir-gelambir di dada Rasheed, perutnya yang buncit, urat biru kecil di
tengah perutnya, rambut-rambut putih yang tumbuh lebat di dada, bahu, dan
lengannya. Laila merasakan tatapan Rasheed menempel pada tubuhnya.
"Demi Tuhan, rasanya aku mencintaimu," kata Rasheed.
Melalui gemeletuk giginya, Laila meminta Rasheed mematikan lampu.
Selanjutnya, dalam keheningan, setelah merasa yakin bahwa Rasheed telah
terlelap, Laila mengulurkan tangan ke bawah ranjang dan mengeluarkan sebilah
pisau yang telah disembunyikannya di sana. Dengan pisau itu, dia melukai ujung
jari telunjuknya. Setelah itu, dia mengangkat selimut dan membiarkan darahnya
menetes di atas seprai yang mereka tiduri bersama. []
BAB 31 ... : Mariam Pada siang hari, gadis itu tak lebih dari sekadar keriutan di ranjang atau
langkah kaki di lantai atas. Dia hanyalah percikan air di kamar mandi atau
dentingan sendok teh di kamar atas. Kadang-kadang, Mariam melihatnya: kilasan
gaun gadis itu melintasi tatapannya, menaiki tangga, dengan lengan terlipat di
dada dan sandal mengetuk-ngetuk lantai.
Tetapi, kemungkinan berpapasan sungguh tidak terhindarkan bagi mereka. Mariam
berselisih jalan dengan gadis itu di tangga, di koridor yang sempit, di dapur,
atau di dekat pintu, ketika gadis itu baru masuk dari halaman. Waktu mereka
berpapasan seperti ini, perasaan canggung dan tegang segera memenuhi udara di
antara mereka. Gadis itu akan mencengkeram roknya dan membisikkan satu atau dua
kata permintaan maaf, dan, ketika dia buru-buru berlalu, Mariam akan
berkesempatan menatapnya dan melihat pipinya yang merona. Kadang-kadang, Mariam
juga dapat mencium aroma Rasheed di tubuh gadis itu. Aroma keringat Rasheed
menguar dari kulit gadis itu, juga tembakau dan
nafsunya. Hubungan intim suami-istri, untungnya, sudah menjadi bab yang telah
tamat dalam kehidupan Mariam. Hal ini telah berlangsung cukup lama, dan
sekarang, bahkan hanya dengan memikirkan tidur di ranjang yang sama dengan
Rasheed membuat perut Mariam terasa sakit.
Pada malam hari, bagaimanapun, lika-liku saling menghindar di antara keduanya
tak mungkin terjadi. Kata Rasheed, mereka adalah sebuah keluarga. Rasheed
bersikeras tentang hal ini, dan dia menegaskan bahwa sebagai keluarga, mereka
harus makan bersama. "Apa ini?" tanya Rasheed, jarinya mengelupas daging dari sepotong
tulang pameran makan dengan sendok dan garpu berhenti setelah usia seminggu ?pernikahannya dengan gadis itu. "Rupanya aku menikahi sepasang patung, ya" Ayo,
Mariam, gap bezan, katakan sesuatu padanya. Di mana sopan santunmu?"
Sembari mengisap sumsum, Rasheed berkata kepada gadis itu, "Tapi, kau tidak
boleh menyalahkan dia. Dia memang pendiam. Sungguh pas, benar sekali, karena,
wallah, kalau orang seperti dia pintar bicara, pasti lidahnya sangat tajam. Kita
orang kota, kau dan aku, tapi dia dehati. Perempuan kampung. Dikatakan dari
kampung sebenarnya juga kurang tepat. Salah. Dia dibesarkan di sebuah kolba
berdinding lumpur di luar kampung. Ayahnya sengaja menempatkan dia di sana. Apa
kau pernah memberitahunya, Mariam, bahwa kau seorang harami" Yah, itu memang
benar. Tapi, dia bukannya tak berharga, kalau kita mau memperhitungkan
segalanya. Kau akan melihatnya sendiri, Laila jan. Dia orang yang kuat,
misalnya, pekerja keras, dan tak pernah bersikap sok penting. Bisa dikatakan
begini: Seandainya dia mobil, dia adalah sebuah Volga."
Sekarang Mariam telah berumur tiga puluh tiga tahun, namun kata itu, harami,
masih menyengatnya. Mendengarnya masih membuatnya merasa seperti hama, seekor
kecoak. Dia teringat akan Nana yang menarik pergelangan tangannya. Dasar harami
kecil ceroboh. Inilah ganjaran yang kudapatkan setelah hidup sengsara. Harami
ceroboh kecil yang menghancurkan warisanku.
"Kamu," kata Rasheed kepada gadis itu, "kamu, sebaliknya, adalah sebuah Benz.
Sebuah Benz baru berkelas unggul. Wah wah. Tapi, tapi Rasheed mengacungkan
telunjuknya yang berminyak. "Benz harus dijaga dengan penuh ... kasih sayang.
Sebagai penghormatan terhadap kecantikan dan keindahannya, kau tahu. Oh, pasti
kaupikir aku gila, diwana, karena mengocehkan mobil seperti ini. Aku tidak
menganggap kalian mobil. Aku cuma mengumpamakan."
Selanjutnya, Rasheed meletakkan lagi kepalan nasinya di piring. Tangannya
menggantung di atas makanannya, sementara dia menampilkan ekspresi sadar dan
bijaksana. "Kita tidak boleh mengatakan yang buruk-buruk tentang orang yang sudah
meninggal. Dan aku sama sekali tidak berniat menghina karena
mengatakan ini. Aku ingin kau tahu, bahwa aku memiliki ... keraguan ... tentang cara
orangtuamu Allah, ampunilah mereka dan berikanlah mereka tempat yang indah di
?surga-Mu tentang cara mereka, yah, mendidikmu. Maaf."
?Tatapan dingin dan penuh kebencian yang dilontarkan oleh gadis itu tidak luput
dari perhatian Mariam, namun Rasheed justru menunduk dan tidak memerhatikannya.
"Tidak penting. Intinya, sekarang aku adalah suamimu, dan tanggung jawabku
adalah menjaga tidak hanya kehormatanmu, tetapi juga kehormatan kita, ya, riang
dan namoos kita. Ini adalah beban seorang suami. Biarkan saja aku
mengkhawatirkan hal ini. Kau tak perlu risau. Kau adalah ratu, maiika, dan rumah
ini adalah istanamu. Kalau kau harus melakukan sesuatu, apa pun itu, suruh saja
Mariam, dan dia akan melayanimu. Benar begitu, Mariam" Dan, kalau kau
menginginkan sesuatu, aku akan membelikannya untukmu. Kaulihat, suami macam
itulah diriku. "Yang kuinginkan sebagai balasan, yah, hanya sebuah hal sederhana. Aku memintamu
untuk tidak meninggalkan rumah ini tanpa kutemani. Itu saja. Sederhana, bukan"
Jika aku tidak ada di rumah dan kau membutuhkan sesuatu yang sangat penting,
maksudku, kau benar-benar sangat membutuhkannya dan tidak bisa menunggu sampai
aku pulang, kau boleh menyuruh Mariam, dan dia akan keluar untuk mencarikan apa
yang kaubutuhkan. Kau tentu melihat perbedaannya, bukan" Yah, kita tidak bisa
memperlakukan Volga dan Benz dengan cara yang sama. Itu bodoh sekali, benar
begitu" Oh, aku juga memintamu, jika kita pergi bersama nanti, untuk mengenakan
burqa. Sebenarnya ini untuk perlindunganmu sendiri. Inilah yang terbaik. Ada
banyak pria gila di kota ini sekarang. Laki-laki berotak mesum yang tak akan
segan-segan melecehkan istri orang. Jadi, yah, itu saja."
Rasheed terbatuk. "Aku sebaiknya mengatakan bahwa Mariam akan menjadi mata dan telingaku saat aku
tidak ada di rumah." Sekarang, Rasheed memberikan tatapan sekeras moncong baja
sepatu militer pada Mariam. "Bukannya aku tidak memercayaimu. Bisa dibilang
justru kebalikannya. Sejujurnya, aku mengagumi kebijaksanaanmu yang jauh
melebihi umurmu. Tapi, kau masih muda, Laila jan, seorang dokhtar e jawan, dan
wanita muda sering mengambil keputusan yang salah. Kau bisa saja berbuat salah
tanpa menyadarinya. Nah, Mariam akan bertanggung jawab dalam hal ini. Dan, kalau
ada keluputan Kata-kata Rasheed terus mengalir dari mulutnya. Mariam duduk, menatap gadis itu
dari sudut matanya, sementara tuntutan dan pendapat Rasheed berlontaran bagaikan
roket-roket di langit Kabul.
O Pada suatu hari, Mariam sedang duduk di ruang tamu, melipat beberapa kemeja
Rasheed yang baru saja diangkatnya dari jemuran di halaman. Mariam tidak tahu
berapa lama gadis itu telah berdiri memandangnya, namun, ketika mengangkat baju
dan berpaling, Mariam mendapati gadis itu berdiri di ambang pintu, menggenggam
secangkir teh. "Aku tidak bermaksud mengagetkanmu," kata gadis itu. "Maaf."
Mariam menatapnya tanpa berkata-kata.
Sinar matahari menimpa wajah gadis itu, mata hijau besarnya dan kening mulusnya,
tulang pipi tingginya dan alis tebalnya yang menawan. Alis Mariam yang tipis
tanpa bentuk sama sekali tidak sebanding dengannya. Rambut pirangnya, yang pagi
ini belum disisir, dibelah di bagian tengah. Mariam dapat melihat dari kekakuan
gadis itu dalam memegang cangkirnya, juga dari ketegangan bahunya, bahwa dia
gugup. Dia membayangkan gadis itu telah lama duduk di ranjangnya untuk
mengumpulkan keberanian. "Daun-daun sudah berubah warna," kata gadis itu dengan nada ceria. "Apa kau
melihatnya" Musim gugur adalah musim kesukaanku. Aku suka aroma yang muncul
ketika orang-orang membakar daun-daun yang gugur di kebun mereka. Ibuku, dia
paling menyukai musim semi. Kau kenal ibuku?" "Tidak juga."
Gadis itu mencorongkan tangannya di telinga. "Maaf?"
Mariam menaikkan nada bicaranya. "Aku bilang
tidak. Aku tidak mengenal ibumu." "Oh."
"Apa kau menginginkan sesuatu?"
"Mariam jan, aku ingin .... Tentang hal-hal yang dikatakan oleh Rasheed malam
itu-" "Aku juga bermaksud membicarakan hal ini denganmu," sela Mariam.
"Ya, silakan," kata gadis itu dengan tulus, nyaris tampak sangat bersemangat.
Dia melangkah maju, tampak lega.
Di luar, seekor burung murai berkicau. Seseorang menarik sebuah gerobak; Mariam
dapat mendengar derak-derak engselnya, juga gemertak dan putaran roda-roda
besinya. Ledakan senjata terdengar di tempat yang tidak terlalu jauh, satu
ledakan diikuti oleh tiga ledakan lagi, lalu keheningan.
"Aku tidak mau menjadi pelayanmu," kata Mariam. "Tidak mau."
Gadis itu tampak kaget. "Tidak. Tentu saja tidak!"
"Kau mungkin menjadi malika dan aku dehati di istana ini, tapi aku tak akan
pernah menuruti perintahmu. Kau boleh mengeluhkan apa pun kepadanya dan dia
boleh menggorok leherku, tapi aku tak mau menjadi pelayanmu. Kaudengar aku" Aku
tidak mau menjadi pelayanmu." "Tidak! Aku tidak berharap-" "Dan, kalau kaupikir
kau bisa menggunakan kecantikanmu untuk menyingkirkanku, kau salah. Akulah yang
pertama ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu mengusirku."
"Bukan itu yang kuinginkan," ujar gadis itu lirih.
"Kulihat luka-lukamu sudah sembuh sekarang. Jadi, kau bisa mulai mengerjakan
bagian tugasmu di rumah ini-"
Gadis itu cepat-cepat mengangguk. Sebagian teh di cangkirnya tumpah ke lantai,
namun dia tidak memerhatikannya. "Ya, itulah hal lain yang ingin kubicarakan
denganmu. Aku ingin berterima kasih karena kau telah merawatku-"
"Kalau tahu apa yang akan terjadi, aku tidak akan melakukannya," tukas Mariam.
"Aku tidak akan menyuapimu, menyeka tubuhmu, dan merawat luka-lukamu seandainya
aku tahu bahwa kau akan main mata dan mencuri suamiku."
"Mencuri-" "Aku masih akan memasak dan mencuci piring. Tugasmu adalah mencuci baju dan
menyapu lantai. Pekerjaan lainnya akan kita gilir setiap hari. Dan, satu lagi.
Aku tidak membutuhkan pertemanan darimu. Aku tidak menginginkannya. Aku ingin
sendiri saja. Kau lebih baik membiarkanku sendiri, dan aku akan membalasnya
kelak. Itulah cara kita berhubungan. Itulah aturannya."
Ketika selesai berbicara, Mariam merasakan jantungnya bergejolak dan mulutnya
kering. Mariam tidak pernah berbicara dengan sikap seperti ini, tidak pernah
mengungkapkan kemauannya setegas ini. Seharusnya ini terasa melegakan, namun,
melihat gadis itu meneteskan air mata dan menampilkan ekspresi kecewa, kepuasan
yang didapatkan oleh Mariam dari ledakan perasaannya ini terasa menyusut, bahkan
salah. Dia mengulurkan baju-baju di tangannya kepada gadis itu.
"Masukkan baju-baju ini di laci, bukan di lemari. Letakkan baju-baju putih di
laci teratas, lainnya di tengah, bersama kaus kaki."
Gadis itu meletakkan cangkirnya di lantai dan mengambil tumpukan baju yang
disodorkan Mariam. "Maafkan aku untuk semua ini," ucapnya parau.
"Memang begitu seharusnya," kata Mariam. "Kau harus meminta maaf."[]


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB 32 Laila Laila teringat akan sebuah acara, bertahun-tahun sebelumnya di rumahnya, pada
salah satu hari baik Mammy. Para wanita duduk di taman, menyantap sebaki buah
murbei segar yang dipetik Wajma langsung dari pohon-pohon di halaman rumahnya.
Buah-buah murbei ranum itu berwarna putih dan merah jambu, dan beberapa di
antaranya ungu gelap, sewarna dengan urat-urat tipis di cuping hidung Wajma.
"Kalian sudah mendengar bagaimana anaknya tewas?" tanya Wajma, dengan penuh
semangat menjejalkan segenggam murbei ke dalam mulutnya.
"Anak itu tenggelam, bukan?" kata Nila, ibu Giti. "Di Danau Gargha, bukan?"
"Tapi, apa tahukah kalian tahu, apakah kalian tahu bahwa Rasheed ...," Wajma
mengacungkan telunjuk, berlama-lama mengangguk-angguk dan mengunyah, sementara
para wanita lain menantinya menelan. "Apakah kalian tahu bahwa dia dulu suka
minum sharab, bahwa dia mabuk berat pada hari itu" Ini benar. Mabuk berat,
itulah yang kudengar. Dan, waktu itu masih pagi. Siangnya, dia pingsan di
kursi. Kau bisa saja menembakkan meriam di sebelahnya, dan dia tidak akan
berkedip sedikit pun."
Laila teringat bagaimana Wajma menutupi mulutnya, bersendawa; bagaimana lidahnya
berkelana membersihkan sisa-sisa murbei yang tertinggal di sela-sela giginya.
"Bayangkan saja kelanjutannya. Anak itu masuk ke danau tanpa ada yang
memerhatikan. Orang-orang melihatnya beberapa waktu kemudian, mengambang dengan
wajah menelungkup. Banyak orang menceburkan diri ke danau untuk menolongnya,
berusaha menyadarkan anak itu, dan setengah dari mereka berusaha menyadarkan
ayahnya. Seseorang membungkuk di dekat anak itu, melakukan ... cara mulut-ke-
mulut, seperti semestinya. Semua orang menonton. Anak itu sudah tewas."
Laila ingat, Wajma mengacungkan jari dan berbicara dengan suara yang bergetar
takzim. "Karena itulah Al -Quran melarang sharab. Karena mereka yang waras harus
membayar dosa-dosa pemabuk. Begitulah."
Kisah inilah yang terngiang-ngiang di kepala Laila setelah dia mengabarkan
kepada Rasheed tentang kehamilannya. Rasheed segera melompat ke sepedanya,
mengayuh ke masjid, dan berdoa supaya mendapatkan anak laki-laki.
Malam itu, selama makan malam, Laila menatap Mariam mempermainkan potongan
daging di piringnya. Laila ada ketika Rasheed menyampaikan
kabar ini kepada Mariam dengan nada dramatis berlebihan Laila tidak pernah ?melihat kekejaman yang berbalut keceriaan seperti ini sebelumnya. Mariam tampak
terguncang. Rona merah menyebar di seluruh wajahnya. Dia duduk dengan ekspresi
wajah suram, tampak putus asa.
Sesudahnya, Rasheed naik ke kamarnya untuk mendengarkan radio, dan Laila
membantu Mariam membersihkan sofrah.
"Aku tak bisa lagi membayangkan apa jadinya dirimu sekarang," kata Mariam
sembari memunguti butiran nasi dan remah-remah roti yang berserakan, "kalau
sebelumnya saja kau sudah dianggapnya sebagai Benz."
Laila berusaha mencairkan suasana. "Mungkin kereta api" Atau pesawat jet jumbo?"
Mariam menegakkan tubuh. "Kuharap ini tidak kaujadikan alasan untuk mangkir dari
pekerjaanmu." Laila membuka mulut, namun berubah pikiran. Dia mengingatkan dirinya bahwa
Mariam adalah pihak yang tidak bersalah dalam muslihat ini. Mariam dan bayinya.
Kemudian, di ranjang, Laila tak mampu menahan tangis.
Ada apa" Rasheed mengangkat dagu Laila, mencari tahu.
Apakah kamu sakit" Apakah karena bayi kita, adakah yang salah dengan bayi kita"
Tidak" Apakah Mariam mengganggumu"
"Ini gara-gara dia, bukan?"
"Tidak." "Wallah o billah, aku akan turun dan menghajarnya. Memangnya dia pikir dirinya
itu siapa, dasar harami, memperlakukanmu-"
"Tidak!" Rasheed telah bangkit, dan Laila mencengkeram lengannya, menariknya. "Jangan!
Tidak! Mariam memperlakukanku dengan baik. Aku cuma butuh waktu sebentar, itu
saja. Aku akan baik-baik saja."
Rasheed duduk di samping Laila, memijat tengkuknya, menggumam. Tangannya
perlahan-lahan memijat ke bawah, lalu naik kembali. Dia bersandar, menyeringai
memamerkan gigi-giginya yang berjejalan.
"Kita lihat saja," bisiknya, "mungkin aku bisa membuatmu merasa lebih baik."
<" Pertama-tama, daun-daun di pepohonan yang belum ditebang untuk dijadikan kayu ?bakar berubah warna menjadi kuning dan oranye bertotol-totol. Lalu, datanglah
?angin, yang dingin dan kencang, menembus belantara kota. Angin menggugurkan
daun-daun yang masih bertahan, menjadikan pepohonan bagaikan hantu-hantu di
tanah cokelat perbukitan. Hujan salju pertama yang mengawali musim dingin pun
turun, dengan kepingan-kepingan salju mungil yang segera mencair setibanya di
tanah. Setelah itu, jalan-jalan membeku, dan salju pun menggunduk di atap,
menutupi setengah jendela. Bersama dengan salju,
datanglah layang-layang, yang dahulu merajai langit musim dingin Kabul, namun
sekarang menjadi penyusup dalam wilayah yang dikuasai oleh desingan roket-roket
dan pesawat-pesawat tempur.
Rasheed tak henti-hentinya membawa pulang kabar tentang perang, dan Laila merasa
sesak mendengarkan penjelasan Rasheed kepadanya. Sayyaf sedang berseteru dengan
Hazara, katanya. Hazara sedang memerangi Massoud. "Dan Massoud sedang melawan
Hekmatyar, tentu saja, yang mendapatkan dukungan dari orang Pakistan. Musuh
bebuyutan, mereka berdua, Massoud dan Hekmatyar. Sedangkan Sayyaf, dia memihak
Massoud. Dan sekarang ini, Hekmatyar memberikan dukungan pada Hazara."
Sementara itu, kata Rasheed, tidak seorang pun mengetahui ke mana Dostum,
komandan Uzbek yang tak terduga, akan berpihak. Pada 1980-an, Dostum memerangi
Soviet bersama Mujahidin, namun berpaling pada pihak boneka rezim komunis
Najibullah setelah Soviet pergi. Dia bahkan mendapatkan bintang penghargaan,
yang diserahkan oleh Najibullah sendiri, sebelum kembali berpaling pada pihak
Mujahidin. Untuk saat ini, kata Rasheed, Dostum memberikan dukungan kepada
Massoud. Di Kabul, terutama di wilayah barat, baku tembak dan gumpalan asap hitam
menjamur di antara bangunan-bangunan berselimut salju. Kantor-kantor kedutaan
telah ditutup. Sekolah-sekolah rata dengan tanah. Di ruang
tunggu rumah sakit, kata Rasheed, orang-orang yang terluka dibiarkan kehabisan
darah hingga tewas. Di ruang-ruang operasi, bagian-bagian tubuh terpaksa
diamputasi tanpa pembiusan.
"Tapi, jangan cemas," katanya. "Kau akan selamat bersamaku, Bungaku, Gul-ku.
Siapa pun yang berani-berani membahayakanmu, aku tidak akan segan-segan mencabut
hati mereka dan menyuruh mereka memakannya."
Pada musim dingin itu, ke mana pun Laila berpaling, tembok-tembok menghalangi
pandangannya. Dia mendambakan langit masa kecilnya yang membentang luas hingga
ke cakrawala, hari-harinya menonton turnamen buzkashi bersama Babi dan
berbelanja di Mandaii bersama Mammy, juga hari-harinya berlarian bebas di
jalanan dan bergosip tentang laki-laki bersama Giti dan Hasina. Hari-harinya
duduk di atas hamparan rumput di tepi sungai, saling bertukar permen dan bermain
tebak-tebakan, menatap matahari terbenam di kejauhan.
Tetapi, memikirkan Tariq adalah hal yang berbahaya karena, sebelum Laila dapat
menghentikan pikirannya, dia akan melihat Tariq berbaring di suatu ranjang, jauh
dari kampung halamannya, dengan selang-selang menembus tubuhnya. Seperti
gumpalan pahit yang senantiasa membakar tenggorokannya pada saat itu, duka yang
dalam dan melumpuhkan akan membuncah di dalam dada Laila. Kakinya seolah-olah
mencair. Dia harus berpegangan pada sesuatu supaya tidak terjatuh.
Laila melewati musim dingin 1992 itu dengan menyapu seluruh rumah, memoles
dinding bercat oranye kamar yang dia tempatinya bersama Rasheed, dan mencuci
baju di luar, menggunakan sebuah lagaan tembaga besar. Kadang-kadang, dia merasa
seolah-olah melayang keluar dari tubuhnya, melihat dirinya sendiri berjongkok di
samping lagaan, dengan lengan baju tergulung hingga ke siku, sementara kedua
tangan merah jambunya memeras air bersabun dari pakaian dalam Rasheed. Pada saat
seperti itu, dia merasa tersesat, terombang-ambing, bagaikan korban selamat dari
sebuah kecelakaan kapal, tanpa daratan terlihat, hanya air dan air sejauh mata
memandang. Jika udara terlalu dingin, Laila menghabiskan waktunya di dalam rumah. Dia
berjalan-jalan, menyeretkan kukunya di dinding, turun ke ruang tamu, lalu
kembali ke kamar, menuruni tangga, menaikinya lagi, wajahnya tak terseka,
rambutnya tak tersisir. Dia terus berjalan hingga berpapasan dengan Mariam, yang
menatapnya dengan suram dan melanjutkan merajang paprika dan membersihkan
lapisan lemak dari daging. Kesunyian yang memedihkan akan memenuhi ruangan, dan
Laila nyaris dapat melihat kemarahan tanpa kaya yang memancar dari tubuh Mariam
bagaikan gelombang panas yang muncul dari aspal. Laila pun akan bersembunyi di
dalam kamar, duduk di ranjang, menatap salju berjatuhan dari langit.
Pada suatu hari, Rasheed membawa Laila ke tokonya.
Ketika mereka keluar bersama, Rasheed berjalan di sisi Laila, menggamit sikunya.
Bagi Laila, berada di jalanan menjadi ajang menghindarkan diri dari kecelakaan.
Matanya masih membiasakan diri dengan sudut pandang terbatas dan terpetak-petak
dari balik burqa, dan kakinya masih berjuang untuk tidak terus-menerus menginjak
pinggiran jubah panjangnya. Sambil berjalan, dia merasa takut akan tersandung
dan terjatuh, atau mematahkan pergelangan kakinya akibat terperosok di lubang
jalanan. Tetap saja, dia mendapatkan kenyamanan dalam selubung burqa. Tidak akan
ada orang dari masa lalunya yang akan mengenalinya. Dia tidak harus menyaksikan
tatapan terkejut dari mata mereka, begitu pula belas kasihan atau cemoohan
karena mereka melihat betapa dalamnya dia telah terjerumus, betapa impiannya
telah luluh lantak. Toko Rasheed lebih besar dan terang daripada yang ada dalam bayangan Laila.
Rasheed menyuruhnya duduk di balik meja kerjanya yang penuh sesak oleh sol-sol
sepatu lama dan sisa-sisa kulit. Rasheed menunjukkan palu-palunya kepada Laila,
mendemonstrasikan cara kerja mesin bubut dengan suara nyaring dan bangga.
Rasheed meraba perut Laila, tidak di atas baju tetapi di bawahnya, dengan jari-
jarinya yang dingin dan kasar bagaikan kulit pohon yang menggesek kulit perut
Laila yang teregang. Laila teringat akan
tangan Tariq, yang lembut namun kuat, dengan urat-urat biru di punggungnya,
selalu tampak maskulin di matanya.
"Cepat sekali besarnya," kata Rasheed. "Dia anak laki-laki yang besar. Anakku
akan menjadi pahlawan! Seperti ayahnya."
Laila menarik turun bajunya. Dia selalu merasa ketakutan jika Rasheed berbicara
dengan cara seperti ini. "Bagaimana Mariam?"
Laila mengatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja.
"Bagus. Bagus."
Dia tidak mengatakan kepada Rasheed bahwa mereka bertengkar hebat untuk pertama
kalinya. Beberapa hari sebelumnya, Laila memasuki dapur dan mendapati Mariam sedang
menariki laci dan membantinginya. Kata Mariam, dia sedang mencari sendok kayu
panjang yang digunakannya untuk mengaduk nasi.
"Di mana kau meletakkannya?" kata Mariam sambil berpaling menghadapi Laila.
"Aku?" kata Laila. "Aku tak pernah memegangnya. Mana pernah aku masuk ke sini."
"Oh, tentu saja."
"Apa kau menuduhku" Bukankah ini kemauanmu sendiri, ingat" Katamu, kaulah yang
akan memasak. Tapi, kalau kau mau bertukar tugas-"
"Jadi, kau mau bilang kalau sendok kayuku punya kaki dan pergi keluar begitu
saja. Tep, tep, tep, tep. Begitu ya, degehl"
"Aku bilang ...," kata Laila, berusaha menahan diri. Biasanya, dia dapat menulikan
telinganya dari cecaran dan tuduhan Mariam. Tetapi, dia merasakan kakinya
membengkak, kepalanya pusing, dan dadanya nyeri pada hari itu. "Aku bilang,
mungkin kau salah meletakkannya."
"Salah meletakkannya?" Mariam menarik sebuah laci. Sejumlah spatula dan pisau di
dalamnya berdentangan. "Memangnya sudah berapa lama kau ada di sini, berapa
bulan" Aku sudah sembilan belas tahun tinggal di rumah ini, dokhtar jo. Aku
sudah menyimpan sendok itu di laci ini waktu kau masih berpopok."
"Tetap saja," sanggah Laila, mulai kehilangan kesebaran, giginya terkatup,
"mungkin saja kau meletakkannya sembarangan dan lupa."
"Dan mungkin saja kau menyembunyikannya, untuk membuatku marah."
"Dasar perempuan menyedihkan," tukas Laila.
Mariam mengernyitkan kening, lalu pulih kembali, mengatupkan bibirnya. "Dan kau
pelacur! Pelacur dan dozd. Pelacur maling, itulah dirimu!"
Lalu, mereka saling mengumpat. Panci-panci terangkat meskipun tidak mereka
lemparkan. Mereka saling mencemooh, menyebutkan nama-nama yang membuat pipi
Laila memerah sekarang. Sejak saat itu, mereka tidak saling berbicara. Laila
masih terguncang melihat betapa mudahnya dirinya kehilangan kendali, namun,
sesungguhnya, sebagian dari dirinya menyukainya. Laila menyukai perasaan yang
timbul saat dia membentak Mariam, mengumpatnya, melampiaskan kemarahan dan dukanya yang telah
menggunung. Laila berpikir, seolah-olah mendapatkan pencerahan, bahwa bisa jadi Mariam juga
merasakan hal yang sama. Setelah pertengkaran itu, Laila berlari ke atas dan mengempaskan diri ke ranjang
Rasheed. Di bawah, Mariam masih berseru, "Otakmu kotor! Otakmu kotor!" Laila
berbaring di ranjang, memekik dengan mulut terbungkam bantal, tiba-tiba
merindukan orangtuanya setengah mati, untuk pertama kalinya sejak serangan itu.
Dia berbaring, mencengkeram seprai, hingga, tiba-tiba, dia tersentak. Laila
duduk dan meraba perutnya.
Bayinya baru saja menendang untuk pertama kalinya. []
BAB 33 ... : Mariam Pada suatu pagi buta musim semi berikutnya, 1993, Mariam berdiri di dekat
jendela ruang tamu dan menyaksikan Rasheed menggandeng gadis itu keluar dari
rumah. Gadis itu berjalan tertatih-tatih, pinggang menekuk, satu lengannya
memeluk perutnya dengan penuh perlindungan, tonjolannya tampak dari balik burqa
yang diikenakannya. Rasheed, gelisah dan menunjukkan perhatian berlebihan,
memegangi siku gadis itu, membimbingnya melintasi halaman bagaikan seorang
polisi lalu lintas. Dia mengisyaratkan "tunggu di sini", berlari ke gerbang
depan, lalu melambai pada gadis itu dengan satu kakinya menahan pintu supaya
tetap terbuka. Ketika gadis itu tiba di dekatnya, Rasheed segera menggandengnya
melewati gerbang. Mariam nyaris dapat mendengarnya mengatakan, "'Ayo, hati-hati,
Bungaku, Gu-ku." Mereka pulang pada senja hari berikutnya. Pertama-tama, Mariam
melihat Rasheed memasuki halaman. Dia menutup pintu gerbang terlalu cepat
sehingga nyaris membentur wajah gadis itu. Dia melintasi halaman hanya dalam
beberapa langkah cepat. Mariam melihat mendung di wajahnyawajah sang suami, kegelapan
yang terselubung oleh cahaya temaram matahari yang sedang tenggelam. Di dalam
rumah, Rasheed mencopot mantelnya dan melemparnya di ke sofa. Ketika melewati
Mariam, dia memerintah dengan gusar, "Aku lapar. Siapkan makanan."
Pintu rumah terbuka. Dari ruang tamu, Mariam melihat gadis itu, menggendong
buntalan dengan lengan kirinya. Satu kakinya masih berada di luar, sementara
kakinya yang lain di dalam, menahan pintu supaya tetap terbuka. Gadis itu
membungkuk dan mengerang, berusaha meraih kantung kertas berisi barang-barangnya
yang telah dia letakkannya supaya dapat membuka pintu. Gadis itu mengernyitkan
wajah, mengerahkan seluruh tenaganya. Dia mendongak dan melihat Mariam.
Mariam berpaling dan bergegas ke dapur untuk menghangatkan makan malam Rasheed.
"SEPERTI ADA ORANG yang memutar sekrup di telingaku saja," kata Rasheed,
menggosok matanya. Dia berdiri di ambang pintu kamar Mariam, menatap dengan matanya yang
berkantung, hanya mengenakan tumban yang terikat longgar. Rambut putihnya acak-
acakan, mencuat ke segala arah. "Tangisannya, aku tak tahan lagi." Di bawah,
gadis itu sedang mondar-mandir menggendong bayinya, berusaha menenangkannya
dengan nyanyian. "Sudah dua bulan ini aku tak bisa tidur nyenyak," kata Rasheed. "Kamarku berbau
seperti got. Popok kotor berserakan di mana-mana. Aku menginjaknya semalam."
Mariam menyembunyikan cibiran senangnya.
"Bawa dia keluar!" seru Rasheed. "Apa kau tak bisa membawanya ke luar?"
Nyanyian gadis itu serta merta berhenti. "Bisa-bisa dia kena radang paru-paru!"
"Sekarang ini musim panas!"
"Apa?" Rasheed menggertakkan gigi dan melantangkan suaranya, "Kubilang, di luar
hangat!" "Aku tak mau membawanya ke luar!"
Gadis itu melanjutkan nyanyiannya.
"Kadang-kadang, aku bersumpah, kadang-kadang aku ingin memasukkan makhluk kecil
itu ke dalam peti dan menghanyutkannya di Sungai Kabul. Seperti bayi Musa."
Mariam tak pernah mendengar Rasheed menyebut putrinya dengan nama yang diberikan
oleh gadis itu, Aziza, yang Tersayang. Rasheed selalu menyebutnya hanya dengan
bayi itu, atau, ketika dia sedang sangat jengkel, makhluk itu.
Beberapa kali, Mariam mendengar mereka berdua bertengkar. Dia berjingkat-jingkat
ke pintu kamar mereka, mendengarkan Rasheed mengeluh tentang bayi itu selalu ?tentang bayi itu tentang tangisan nyaringnya, baunya, mainan-mainannya yang


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?membuatnya tersandung, bagaimana bayi itu telah merenggut seluruh perhatian
Laila karena harus diberi makan, disendawakan, diganti pakaiannya, diajak berjalan-jalan,
digendong. Gadis itu, tak mau kalah, mencecar Rasheed karena merokok di dalam
kamar, juga karena tidak memperbolehkan bayi itu tidur seranjang dengan mereka.
Ada pula pertengkaran-pertengkaran lain yang berlangsung dalam nada lebih
rendah. "Kata dokter enam minggu."
"Belum, Rasheed. Jangan. Lepaskan aku. Ayolah. Jangan lakukan ini."
"Sekarang sudah dua bulan."
"Ssst. Nah. Kau membangunkan dia." Lalu, dengan nada lebih tajam, "Khosh shodi"
Puas?" Mariam pun menyelinap kembali ke dalam kamarnya sendiri.
"Apa kau tak bisa menolong?" kata Rasheed sekarang. "Tentunya ada yang bisa
kaulakukan." "Tahu apa aku soal bayi?" kata Mariam.
"Rasheed! Bisakah kau membawakan botolnya ke sini" Ada di atas bufet. Dia tak
mau minum ASI. Aku mau mencoba memberinya susu botol lagi."
Lengkingan nyaring bayi itu terdengar bagaikan pisau yang menyayat daging.
Rasheed memejamkan mata. "Makhluk itu sama saja dengan panglima perang.
Hekmatyar. Ya, benar, Laila melahirkan Gulbuddin Hekmatyar."
Mariam melihat gadis itu menghabiskan
hari-harinya dengan memberi makan, menggendong, menenangkan, dan mengajak
bayinya berjalan-jalan. Bahkan ketika bayinya tertidur, gadis itu masih harus
mencuci popok dan merendam seember baju dalam air bercampur cairan disinfektan
yang dibeli Rasheed dengan terpaksa. Dia harus selalu mengikir kukunya supaya
tetap tumpul, menjemur dan menyetrika baju-baju bayinya. Baju-baju bayi itu,
seperti berbagai macam hal lainnya, menjadi bahan pertengkaran.
"Memangnya kenapa baju-baju itu?" tanya Rasheed.
"Ini baju anak laki-laki. Untuk bacha."
"Kaupikir anak itu tahu perbedaannya" Aku sudah membayar mahal untuk membeli
baju-baju itu. Dan, satu lagi, aku tak mau mendengarmu bicara dengan nada
seperti itu lagi. Anggap saja ini peringatan."
Setiap minggu, tanpa pernah terlewat, gadis itu memanaskan tungku logam hitam di
atas api, melemparkan sejumput biji rue ke dalamnya, dan mengipasi asap yang
muncul ke arah bayinya untuk menolak bala.
Hanya dengan melihat gadis itu bergerak dengan penuh semangat membuat Mariam
merasa lelah dan, meskipun hanya di dalam hati, dia harus mengakui bahwa rasa ?kagumnya mulai tumbuh. Mariam terpukau saat melihat mata gadis itu berseri-seri,
bahkan pada pagi hari ketika wajahnya tampak suram dan lesu akibat terjaga
semalaman untuk mengurus bayinya. Gadis itu tertawa
terpingkal-pingkal ketika bayinya bersendawa. Perubahan-perubahan terkecil pada
bayinya mampu memesonanya, dan segalanya dia umumkannya dengan penuh kebanggaan.
"Lihat! Dia bisa mengambil sendiri mainannya. Pintar sekali dia."
"Aku akan memanggil wartawan," kata Rasheed.
Setiap malam, gadis itu selalu mempertontonkan sesuatu dengan bayinya. Ketika
dia bersikeras meminta Rasheed menyaksikan sesuatu, Rasheed akan mengangkat
wajahnya dan menatap tanpa sabar, sementara hidung berurat birunya kembang
kempis. "Lihatlah. Dia akan tertawa kalau aku bertepuk tangan. Itu. Lihat" Lihat, kan?"
Rasheed akan menggeram dan kembali menekuni piringnya. Mariam masih ingat
dahulu, ketika Rasheed merasa puas hanya dengan melihat gadis itu. Semua yang
diucapkan gadis itu membuatnya sang suami senang, tertarik, memancingnya untuk
mengangkat wajah dari piring dan menganggukkan persetujuan.
Anehnya, keruntuhan kejayaan gadis itu seharusnya membuat Mariam gembira,
membuatnya puas. Tetapi, ternyata tidak. Ternyata tidak. Mariam terkejut
mendapati dirinya mengasihani gadis itu.
Masih dalam waktu makan malam, gadis itu melontarkan kekhawatirannya. Yang
berada di urutan teratas dari daftarnya adalah radang paru-paru. Dia selalu
cemas setiap kali bayinya
menderita batuk-batuk kecil. Lalu, dia juga cemas akan penyakit disentri setiap
kali kotoran bayinya sedikit encer. Setiap ruam di kulit bayinya dia curigainya
sebagai penyakit cacar air atau campak.
"Kau seharusnya tidak usah terlalu lengket dengannya," kata Rasheed pada suatu
malam. "Apa maksudmu?"
"Aku mendengarkan siaran radio semalam. Voice of America. Ada statistik menarik
yang disebutkan penyiarnya. Katanya, satu dari empat anak di Afghanistan akan
meninggal sebelum berumur lima tahun. Itulah yang mereka katakan. Nah,
mereka Apa" Apa" Kau mau ke mana" Kembali ke sini. Kembali ke sini sekarang
?juga!" Rasheed menatap Mariam dengan ekspresi kebingungan. "Kenapa dia itu?"
Malam itu, Mariam sedang berbaring di ranjangnya ketika pertengkaran dimulai
lagi. Udara musim panas terasa kering dan menyengat, khas bulan Saratan di
Kabul. Mariam membuka jendelanya, lalu menutupnya kembali karena alih-alih angin
yang bisa sedikit menyegarkan, hanya nyamuk-nyamuklah yang menyerbu masuk. Dia
dapat merasakan udara panas menguar dari tanah di luar, melewati dinding kayu
cokelat bangunan tambahan di halaman, dan merayapi tembok menuju kamarnya.
Biasanya, pertengkaran mereka akan berhenti dengan sendirinya setelah beberapa
menit, namun setengah jam telah berlalu ketika itu, dan alih-alih berhenti,
pertengkaran justru semakin memanas. Sekarang Mariam dapat mendengar bentakan
Rasheed. Nada gadis itu, yang kalah nyaring, terdengar teguh dan tak mau kalah.
Tak lama kemudian, pekikan bayi pun terdengar. Lalu, Mariam mendengar pintu
kamar mereka dibuka dengan kasar. Pada pagi harinya, dia akan mendapati bekas
pegangan pintu berbentuk bulat di tembok koridor. Mariam sedang duduk di
ranjangnya ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan Rasheed menghambur masuk.
Dia mengenakan celana dalam dan kaus dalam putih yang bernoda kuning akibat
keringat di bagian ketiaknya. Sepasang sandal jepit tersemat di kedua kakinya.
Dia menggenggam ikat pinggang kulit cokelat yang dibelinya untuk upacara
pernikahannya dengan gadis itu, membelitkan ujungnya yang berlubang-lubang di
tangannya. "Ini gara-gara kamu. Aku tahu," desisnya seraya melangkah mendekati Mariam.
Mariam beringsut di ranjangnya, sebisa mungkin menjauhkan diri. Tanpa
disadarinya, kedua lengannya telah terlipat melindungi dadanya, tempat yang
biasa menjadi sasaran pertama serangan Rasheed.
"Kau ini bicara apa?" tanya Mariam dengan suara gemetar.
"Dia membangkang dariku. Pasti kau yang mengajarinya."
Selama bertahun-tahun, Mariam telah belajar menguatkan diri untuk menahan
penindasan dan penghinaan Rasheed, cemoohan dan kemarahannya. Tapi, rasa takut
ini tidak bisa dikendalikannya. Meskipun telah bertahun-tahun hidup bersama Rasheed, Mariam
tetap gemetar ketakutan ketika suaminya seperti ini, menyeringai, menggenggam
sabuk di kepalan tangannya, menatapnya dengan mata merah nyalang. Mariam
ketakutan bagaikan seekor kambing yang dimasukkan ke dalam kerangkeng harimau,
ketika sang harimau mengangkat cakarnya dan mulai menggeram.
Sekarang, gadis itu juga ada di kamar Mariam, memandang dengan mata terbelalak
lebar dan wajah tersiksa.
"Aku seharusnya tahu bahwa kau akan memengaruhinya," Rasheed meludahi Mariam.
Dia mulai melecut-lecutkan sabutknya, mengujinya di pahanya sendiri. Gesper
sabuk itu berkeletak nyaring.
"Hentikan, bas" cegah gadis itu. "Rasheed, kau tak boleh berbuat seperti ini."
"Masuklah ke kamarmu!" Mariam kembali beringsut di ranjangnya. "Tidak! Jangan
lakukan ini!" "Sekarang!"
Rasheed kembali mengacungkan sabuknya, dan kali ini benar-benar menghampiri
Mariam. Lalu, sebuah hal yang tak terduga terjadi: Gadis itu menubruknya. Dia
mencengkeram lengan Rasheed dengan kedua tangannya dan berusaha menjatuhkannya,
namun gagal. Meskipun begitu, tindakannya berhasil memperlambat gerakan Rasheed
mendekati Mariam. "Lepaskan aku!" seru Rasheed.
"Aku menyerah. Aku menyerah. Jangan lakukan ini. Kumohon, Rasheed, jangan pukuli
dia! Kumohon, jangan lakukan ini."
Selama beberapa saat, gadis itu bergelantungan memegangi lengan Rasheed,
memohon. Rasheed berusaha menepiskannya, tetap memelototi Mariam, yang terlalu
terpana sehingga tidak bisa melakukan apa pun.
Pada akhirnya, Mariam sadar bahwa dia tidak akan dipukuli, tidak akan ada
pemukulan pada malam itu. Rasheed sudah menyampaikan apa yang ingin
disampaikannya. Dia tetap berdiri seperti itu selama beberapa waktu lagi,
lengannya teracung, dadanya kembang kempis, keringat membasahi keningnya.
Perlahan-lahan, Rasheed menurunkan lengannya. Kaki gadis itu menyentuh tanah,
namun dia tetap tidak mau melepaskan pegangannya, seolah-olah dia tidak bisa
lagi memercayai Rasheed. Akhirnya, Rasheed melepaskan pegangan gadis itu dengan
tangannya yang lain. "Aku tidak akan mendiamkan kalian," katanya sembari menyampirkan ikat
pinggangnya di bahu. "Kalian berdua jangan main-main padaku. Aku tidak akan
menjadi ahmaq, orang pandir, di rumahku sendiri."
Akhirnya, Rasheed melontarkan tatapan dendam kepada Mariam dan mendorong
punggung gadis itu sembari berjalan keluar.
Ketika mendengar bunyi pintu ditutup, Mariam merangkak kembali ke ranjang,
membenamkan wajahnya di bantal, dan menantikan gemetar tubuhnya mereda.
O Untuk ketiga kalinya pada malam itu, Mariam terbangun dari tidurnya. Pertama,
dia terbangun karena ledakan roket di arah barat, di daerah Karteh-Char. Kedua,
tangisan bayi di bawah, suara menenangkan gadis itu, dan dentingan sendok pada
botol susu. Akhirnya, rasa dahaga mendorongnya turun dari ranjang.
Di bawah, ruang tamu sangat gelap, hanya diterangi oleh seberkas cahaya bulan
yang masuk melalui jendela. Mariam dapat mendengar dengungan lalat di suatu
tempat, mengenali bentuk tungku pemanas besi tempa di sudut ruangan, dengan
pipanya yang mencuat ke atas dan berbelok tajam sebelum menyentuh langit-langit.
Ketika berjalan ke dapur, Mariam nyaris jatuh tersandung. Sesuatu tergeletak di
dekat kakinya. Ketika matanya telah menyesuaikan diri dengan kegelapan, dia
melihat gadis itu dan bayinya berbaring di lantai, di atas sehelai selimut.
Gadis itu tidur memeluk bayinya, mendengkur. Bayinya terjaga. Mariam menyalakan
lampu minyak di atas meja dan berjongkok. Di bawah cahaya, untuk pertama
kalinya, dia menatap bayi itu dari jarak dekat. Sejumput rambut gelapnya, mata
hijau kecokelatannya yang terlindung bulu mata tebal, pipi merah jambunya, dan
bibirnya yang semerah delima ranum. Mariam mendapatkan kesan bahwa bayi itu juga sedang mengamatinya. Bayi itu
berbaring telentang dengan kepala meneleng, menatap Mariam lekat-lekat dengan
campuran rasa penasaran, kebingungan, dan kecurigaan. Mariam berpikir,
mungkinkah wajahnya membuat bayi mungil itu ketakutan, namun tiba-tiba bayi itu
mengeluarkan pekikan senangm dan Mariam tahu bahwa bayi itu menyukainya.
"Sstt," bisik Mariam. "Kau akan membangunkan ibumu, meskipun dia setengah tuli."
Bayi itu mengepalkan tangannya, mengacungkannya, menurunkannya kembali, hingga
akhirnya menemukan jalan menuju mulutnya. Sambil mengulum tangannya sendiri,
bayi itu tersenyum pada Mariam dengan mulut yang basah oleh air liur.
"Lihatlah dirimu. Kasihan sekali kamu, berpakaian seperti anak laki-laki begini.
Dibungkus selimut dalam udara sepanas ini. Pantas saja kau tak bisa tidur."
Mariam melepaskan selimut yang membelit bayi itu, kaget karena menemukan
selembar selimut lagi di bawahnya, berdecak, dan melepaskan juga lapisan selimut
itu. Bayi itu tergelak lega. Dia mengepak-ngepakkan kedua lengannya seperti
burung. "Lebih baik, nay?"
Ketika Mariam hendak bangkit, bayi itu menyambar jari kelingkingnya. Tangan
berjemari mungil itu menggenggam erat-erat jari Mariam. Rasanya
hangat dan lembut, lembap oleh ludah. "Gunuh," oceh bayi itu. "Baiklah, bas,
lepaskan." Bayi itu tetap menggenggam dan menjejak-jejakkan kaki.
Mariam menarik jarinya hingga bebas. Bayi itu tersenyum dan mengoceh panjang.
Kepalan tangannya kembali mengisi mulutnya.
"Apa yang membuatmu senang" Hah" Apa yang kausenyumi" Kau tidak sepintar gembar-
gembor ibumu. Ayahmu brutal dan ibumu tolol. Kau tak akan tersenyum sebanyak ini
kalau tahu kenyataannya. Tentu saja tidak. Sudah, tidurlah sekarang. Ayo."
Mariam bangkit dan berjalan beberapa langkah sebelum bayi itu mulai mengeluarkan
suara eh, eh, eh, yang diketahui Mariam merupakan tanda-tanda sebuah tangisan
nyaring. Mariam kembali menghampirinya.
"Kenapa" Apa maumu dariku?"
Bayi itu menyeringai, memamerkan gusi tanpa giginya.
Mariam menghela napas. Dia duduk dan membiarkan jarinya digenggam, menyaksikan
bayi itu memekik-mekik senang dan mengangkat-angkat serta menjejak-jejakkan
kedua kaki gemuknya di udara. Mariam duduk diam, menonton, hingga akhirnya bayi
itu berhenti bergerak dan mulai mendengkur lembut.
Di luar, burung-burung murai berkicau merdu, dan, sesekali, ketika kicauan
mereka terdengar menjauh, Mariam dapat melihat sayap mereka
mengepak, mengejar cahaya perak bulan yang menembus awan. Dan, meskipun
kerongkongannya terasa pedih karena dahaga dan kakinya terasa bagaikan ditusuki
oleh peniti dan jarum, Mariam tetap duduk, lama, hingga akhirnya dia melepaskan
jarinya dari genggaman si bayi dengan lembut dan bangkit berdiri.[]
BAB 34 Laila Dari segala kenikmatan di muka bumi ini, yang paling disukai oleh Laila adalah
berbaring di samping Aziza, dengan wajah bayinya berada di dekat wajahnya,
sehingga dia dapat melihat pupil besarnya mengembang dan menyusut. Laila suka
menyapukan jarinya di kulit Aziza yang mulus dan lembut, di buku-buku jarinya
yang gemuk, juga di lekukan sikunya yang empuk. Kadang-kadang, Laila
membaringkan Aziza di dadanya dan berbisik dengan lembut ke telinga bayinya
tentang Tariq, ayah yang akan selalu menjadi orang asing bagi Aziza, yang
wajahnya tak akan pernah dilihat oleh Aziza. Laila menceritakan kepada Aziza
tentang kegigihan ayahnya dalam memecahkan teka-teki, kenakalan dan
kejahilannya, dan juga tawa lepasnya.
"Bulu matanya indah sekali, tebal seperti punyamu. Dagunya juga bagus, begitu
pula hidungnya dan kening bulatnya. Oh, ayahmu orang yang tampan, Aziza. Dia
sempurna. Sempurna, sepertimu."
Tapi, Laila tak pernah sekali pun menyebutkan nama Tariq.
Terkadang, dia menangkap basah Rasheed
menatap Aziza dengan cara yang sangat aneh. Malam sebelumnya, sambil duduk di
lantai kamar dan mengikis kapal di kakinya, Rasheed berkata dengan nada santai,
"Jadi, apa yang terjadi di antara kalian berdua?"
Laila menatap Rasheed dengan bingung, seolah-olah tidak memahami ucapannya.
"Laila dan Majnoon. Kau dan yaklenga, si pincang itu. Apa yang terjadi di antara
kalian, kau dan dia?"
"Dia temanku," kata Laila, berhati-hati menjaga supaya nada suaranya tidak
berganti. Dia menyibukkan diri dengan menyiapkan botol untuk Aziza. "Kau tahu
itu." "Aku tidak tahu apa yang kuketahui." Rasheed meletakkan pisau cukurnya di birai
jendela dan menjatuhkan diri di ranjang. Per-per kasur berkeriut nyaring
menyambut tubuhnya. Dia mengangkangkan kedua kakinya dan menggaruk
selangkangannya. "Dan sebagai ... teman, apa kalian pernah melakukan sesuatu yang
tidak semestinya?" "Sesuatu yang tidak semestinya?"
Rasheed tersenyum lebar, namun Laila dapat merasakan tatapannya yang dingin dan
tajam. "Nah, begini saja. Apa dia pernah menciummu" Mungkin meletakkan tangannya
di tempat yang tidak semestinya?"
Laila mengernyitkan kening, berlagak tersinggung. Dia dapat merasakan jantungnya
berdegup hingga ke tenggorokannya. "Dia kuanggap sebagai abang,"
"Jadi, dia temanmu atau abangmu?"
"Dua-duanya. Dia-" "Yang mana?" "Dua-duanya."
"Tapi, abang dan adik biasanya dipenuhi kepenasaranan. Ya. Kadang-kadang,
seorang abang menyuruh adiknya melihat barangnya, dan adiknya akan-"
"Kau benar-benar memuakkan," tukas Laila. "Jadi, tidak ada apa-apa."
"Aku tak mau lagi membicarakan tentang hal ini." Rasheed menelengkan kepala,
mengatupkan bibir, dan mengangguk. "Orang-orang bergosip, kau tahu. Aku masih
ingat. Mereka menggunjingkan banyak hal tentang kalian berdua. Tapi, kalau
katamu tidak terjadi apa-apa
Laila memelototi Rasheed.
Rasheed menatap Laila dalam waktu yang lama, tanpa berkedip, membuat Laila
mengencangkan cengkeramannya pada botol susu hingga buku-buku jarinya memucat.
Laila harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan tatapan Rasheed.
Laila bergidik memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Rasheed jika dia
mengetahui bahwa selama ini Laila telah mencuri darinya. Setiap minggu, sejak


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelahiran Aziza, Laila menggeledah dompet Rasheed ketika dia sedang tidur atau
sibuk di luar. Beberapa kali, jika dompet itu terasa ringan, Laila hanya
mengambil pecahan lima afghani, atau tidak sama sekali, khawatir Rasheed akan
curiga. Ketika dompet itu tebal, Laila mengambil pecahan sepuluh atau dua puluh,
bahkan sekali waktu, dia pernah memberanikan diri mengambil dua lembar pecahan dua puluh afghani. Dia
menyembunyikan uang curiannya di kantung yang dia jahitnya di pinggiran mantel
musim dingin bermotif kotak-kotaknya.
Laila memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Rasheed jika dia mengetahui
rencananya untuk kabur pada musim semi berikutnya. Atau, selambat-lambatnya,
musim panas berikutnya. Laila berharap telah dapat mengumpulkan seribu afghani
atau lebih supaya dapat menggunakan setengahnya untuk membayar ongkos bus dari
Kabul ke Peshawar. Dia akan menggadaikan cincin kawinnya jika keadaan telah
mendesak, bersama dengan perhiasan lain yang diberikan oleh Rasheed selama dia
masih menjadi malika di istananya.
"Omong-omong," akhirnya Rasheed berkata sembari mengetuk-ngetukkan jari di
perutnya, "aku tak bisa disalahkan. Aku suamimu. Hal-hal seperti ini wajar
dipikirkan oleh seorang suami. Tapi, dia beruntung karena mati dengan cara
seperti itu. Karena kalau dia ada di sini sekarang, kalau dia ada dalam
jangkauanku Rasheed mengisap giginya dan menggeleng.
"Apa kau tak pernah dengar, jangan pernah bicara buruk tentang orang yang sudah
meninggal." "Kupikir beberapa orang tidak bisa benar-benar mati," sahut Rasheed.
O Dua hari kemudian, Laila terbangun pada pagi hari dan mendapati setumpuk pakaian
bayi yang telah terlipat rapi di luar pintu kamarnya. Di dalam tumpukan itu
terdapat sehelai gaun mungil berenda dengan ikan-ikan merah jambu yang tersulam
di bagian pinggang, sehelai gaun wol biru bermotif bunga dengan kaus kaki dan
kaus tangan senada, sepasang piyama kuning dengan motif polka dot sewarna
Makam Asmara 1 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Guntur 9
^