Pencarian

Zaman Edan 1

Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry Bagian 1


Zaman Edan Penulis : RICHARD LLYOD PARRY
Sumber DJVU : Otoy Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
RICHARD LLYOD PARRY INDONESIA DI AMBANG KEKACAUAN
gambaran nyata tentang sebuah bangsa yang sedang
meluncur ke titik terendahnya Literasy Revtew (London)
MEMPERINGAT1100 tahun KEBANGKITAN
NASIONAL (1908-2008) I Pujian untuk Zaman Edan: "Richard Lloyd Parry selalu menghadirkan kisah-kisah
hebat. Dia menulis secara sensitif dan piawai, mencuplik
fragmen cerita dari sana-sini dan menyusunnya sehingga
pembaca mendapatkan gambaran nyata tentang sebuah
bangsa yang sedang meluncur ke titik terendahnya ...
Richard Lloyd Parry adalah wartawan pemberani dan tak
kenal lelah yang masuk jauh ke dalam borok kejahatan
manusia serta kembali dengan sebuah kisah yang nyaris
terlalu menggiriskan untuk dipercaya ... Reportase yang
indah dan berani." -Literary Review (London)
"Solidaritas terhadap orang-orang yang paling menderita
men-dorong lahimya kesaksian ini ... Zaman Edan - buku
Richard Lloyd Parry tentang pergulatan Indonesia antara
represi dan reformasi - mengambil tema yang memiliki
daya tarik luar biasa."
-The Independent (London)
"Zaman Edan ... [adalah] yang terbaik dari buku sejenis, muncul dari tengah
kekacauan menjelang kebangkrutan
pemerintahan Soeharto pada 1998 ... Mengingatkan pada
penulis-penulis besar terdahulu seperti Ryszard Kapuscinski
... Zaman Edan merupakan tambahan yang sangat
dibutuhkan bagi bibliografi tentang Indonesia kontemporer
yang hingga kini kebanyakan bersifat akademis pekat ...
Pengisahan yang jujur dan berani."
-Einancial Times Magazine (London)
"Perjalanan penuh risiko di Indonesia - tak jarang di
hadapan todongan pisau. Pembaca yang mendapatkan
pandangannya tentang Indonesia dari The Year o f Living
Dangerously tidak terlalu meleset jika pengisahan Lloyd
Parry mau dipercaya - dan, sebagai seorang koresponden
The Times, dia memiliki kejujuran yang dapat diandalkan
... buku berkesan yang akan membangkitkan diskusi."
-Kirkus Reviews "Richard Lloyd Parry adalah pencerita cemerlang yang
mendapati dirinya berada di sebuah negeri dongeng. Buku
ini adalah perkawinan sempuma antara negeri yang
memikat dan pencerita yang peka. Bacalah untuk
memahami apa yang membuat kepulauan besar ini
menggentarkan sekaligus memesona."
- Charles Glass, penulis Tribes with Fiags
"Lloyd Parry merekam konflik batin reportase lapangan
modem: Setelah bertemu orang kanibal, apakah Anda
pemah mencicipi sepotong paha manusia" Perjalanan
dahsyat dan tak mudah yang diterjemahkan ke dalam prosa
sensitif, anggun, dan memikat."
- Mike Sager, penulis Scary Monster and Super Freaks
"Jujur, reflektif, dan kritis terhadap diri sendiri ... kisah Lloyd Parry yang
tersekap dua hari di markas misi PBB di
Timor Timur saat pembantaian berlangsung di luar
menampilkan salah satu potret paling tajam tentang
kegagalan moral dari apa yang disebut 'komunitas
intemasional1 yang sempat terbaca oleh penulis ini."
-The Times (London) "Tidak mengejutkan bahwa begitu banyak lingkup
konflik dan pertarungan dalam sebuah wilayah dengan
bentangan setara London hingga Moskow, serta yang
memiliki ratusan bahasa, suku, keyakinan agama, dan
budaya berbeda ... Seperti yang beberapa kali disinggung
Lloyd Parry, sejarah perilaku politis dan preseden dalam
kepribadian politis dan aksi sosial para pemimpin di
Indonesia masih dipandang penting ... Kita hanya bisa
berharap bahwa, karena sejarah ditulis oleh para pemenang,
dalam kasus ini pemenangnya adalah orang-orang yang
diramalkan oleh mereka yang optimis, dan kisah Lloyd
Parry merekam saat-saat terakhir ketika kekerasan yang
merajalela memainkan peran dalam kehidupan politik
Indonesia." - Kerry Brown, The Asian Review o f Books (Hong
Kong) lAfIRI CGCRl menghadirkan kajian-kajian terbaik seputar
Keindonesiaan dalam berbagai aspeknya
RICHARD LLYOD PARRY AMAN Indonesia DI AMBANG KEKACAUAN S E " RAM M B I Certefied Management System DIN EN ISO 9001:2000
Cert No 01 100 075819 ? Richard Lloyd Parry, 2005
Ditejemahkan dari In the Time of Madness: Indonesia
on the Edge of Chaos karya Richard Lloyd Parry, terbitan
Grove Press, New York, 2005
Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang
mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun
sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun
tanpa iEin tertulis dari penerbit
Penerlemah: Yuliani Liputo Penyunting: Anton Kumia
Pewalah isi: Siti Qomariyah
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin.
Kemang Timur Raya No.?6, Jakarta 12730 www .serambi
.co .id; info ?serambi .co .id
Cetakan I: Mei 2008 ISBN: 978-979-024-058-2 Untuk Fiono Akan selalu ada yang melakukan
apa yang dikehendaki para dewa untuk kita lakukan.
Aku teringat tikus-tikus yang tiba-tiba bermunculan
Dari lubang-lubang tak dikenal, tepat menjelang pecah
perang. - G o e n a w a n M o h a rr i a d
MENJELANG AKHIR kunjungan pertama saya ke
Indonesia, saya tinggal di sebuah rumah di pinggir hutan
dan saya mendapatkan mimpi terburuk yang pemah saya
alami seumur hidup. Rumah itu adalah sebuah bungalo
kayu beratap jerami. Di satu sisinya ada jalan dan di sisi
lainnya ranjang kayu tempat saya tidur di udara terbuka.
Pohon kelapa dan pepohonan berbunga tumbuh lebat di
lereng yang menuju sungai di dasar lembah yang curam.
Pada malam hari, bunyi mobil dan motor reda, sementara
suara-suara dari hutan meramaikan seputar tempat tidur
saya: bunyi elektris serangga-serangga, kepakan sayap
burung-burung, gemericik air mengalir.
Saya melewatkan malam demi malam sendirian di kafe
dan bar turis di sepanjang jalan itu. Belakangan, setelah
saya tertidur diiringi riuh-rendah bunyi-bunyian rimba
belantara di telinga, saya bermimpi tentang pisau-pisau dan
wajah-wajah, serta makhluk alien raksasa setengah lobster
setengah tawon. Saya bermimpi tentang ponsel yang tak
mau berhenti berdering dan percakapan tanpa henti dengan
seseorang bemama Kolonel Mahmud.
Pulau Bali, tempat saya menginap, adalah tempat yang
damai. Kekerasan di Jakarta tidak menimbulkan riak apa-
apa di sini. Atau, begitulah kesan yang tampaknya dengan
susah payah ingin diberikan oleh masyarakat setempat:
perempuan yang menyerahkan kunci bungalo kepada saya
sambil tersenyum, anak lelaki bersarung yang datang pagi
untuk menyapu lantai dan mengganti seprai. Setiap hari dia
membawakan sesajian kelopak bunga dan nasi yang
diletakkannya di tempat yang tinggi untuk berterima kasih
kepada roh-roh penjaga, dan di tanah untuk menjinakkan
roh-roh jahat. Dia menunjukkan kepada saya bagaimana
cara memanggilnya dengan menggunakan gong kayu yang
tergantung dari bawah talang atap bungalo itu. Bagian
badan gong yang rumpang diukir menjadi bentuk hantu
menyeringai; tongkat penabuhnya adalah penis besar
menegang yang dijulurkan sang hantu di antara cakar-
cakamya. Tapi, entah sesajinya kurang banyak atau hantu
itu kurang menyeramkan, malam berikutnya mimpi buruk
itu datang lagi. Mimpi itu berawal dengan suara Kolonel Mahmud di
telepon. "Kau tak cukup kuat!" dia memekik. "Atau tak cukup pintar. Ya! Dan
selama ini kau orang yang terlalu
baik, pula!" Dalam mimpi itu saya mencoba mengenyahkan
telepon itu, membakamya, bahkan membenamkannya di
bak mandi, tetapi tetap saja ia mengapung berdering ke
permukaan, sementara sang kolonel dan orang-orangnya
semakin dekat. Persoalan di Jakarta sudah membuat saya letih,
barangkali lebih letih dibandingkan yang saya sadari.
Berawal dari sebulan lalu dengan kejadian yang tak
terduga: demonstrasi massa oleh anggota partai demokrat
oposisi. Siang malam ratusan orang memenuhi markas
partai, menyanyi, bercerita, dan menyampaikan pidato-
pidato mendukung demokrasi. Semuanya berhati-hati
jangan sampai menyebut nama sang presiden, tetapi setiap
orang tahu bahwa demonstrasi itu merupakan tantangan
langsung ke arahnya, kritikan paling kuat dan tajam yang
pemah dihadapinya dalam tiga puluh tahun. Ini tindakan
yang sungguh-sungguh berani; sepertinya di luar dugaan
bahwa demonstrasi itu bisa diperbolehkan. Tetapi, hari-hari
berlalu dan para demonstran dibiarkan tanpa gangguan.
Suatu malam saya mengunjungi mereka di markas besar.
Tempat itu sarat hiasan bendera-bendera dan potret
pemimpin oposisi seukuran poster. Pagi berikutnya, persis
setelah fajar, markas itu disergap oleh komando berpakaian
sipil. Barisan polisi membentengi para penonton saat
penyerang melemparkan batu ke arah bangunan itu;
setibanya di dalam mereka mengeluarkan pisau. Ratusan
demonstran ditahan dan orang-orang bilang banyak di
antara mereka ditusuk sampai mati dan tubuh mereka diam-
diam dibuang. Sore itu terjadi kerusuhan di berbagai tempat
di Jakarta, dan bangunan perkantoran bertingkat tinggi
terbakar dengan asap hitam. Untuk pertama kalinya seumur
hidup, saya melihat jalanan dipenuhi pecahan kaca, tank
baja maju perlahan ke arah kerumunan manusia, dan
perempuan-perempuan menjerit karena marah serta
terkejut. Adalah penting untuk tidak kehilangan ketakjuban pada
hal-hal semacam itu. Tapi, kini saya di Bali, pulau pelesir kecil di sebelah
timur Jawa, dan saya berada di sini untuk bersantai. Saya
memilih untuk menjauhkan diri dari pantai dan sebagai
gantinya menelusuri sisi pedalaman pulau itu. Rimba ini
menenangkan saya, tapi mencemari tidur saya dengan
mimpi-mimpi buruk. Saya bermimpi menaiki kapal besar karatan. Kapal itu
sesak dengan penumpang bisu berkulit gelap. Kapal
bergerak lamban memabukkan di atas air ketika saya naik.
Saya bermimpi sedang mengejar kupu-kupu besar di dalam
hutan. Binatang buas besar mengawasi saya dengan mata
hijaunya. Kemudian ponsel itu berdering, dan saya tahu
kalau saya menerimanya tentu saya akan mendengar suara
menyalak Kolonel Mahmud. Pada siang hari saya duduk membaca di depan bungalo,
atau berjalan melewati restoran-restoran itu dan turun ke
desa. Saya mengunjungi sebuah taman tempat monyet-
monyet menatap cemberut dari pepohonan dan kemudian,
di sebuah toko cendera mata, saya membeli satu set gong
lengkap dengan tongkat penabuhnya yang serupa penis.
Saya bertemu sepasang orang Jerman yang mengaku
mereka juga dapat mimpi buruk di Bali, yang laki-laki
tentang babi hitam raksasa, yang perempuan tentang "hantu dan tamu-tamu". Dan,
pada hah terakhir saya sendiri
berjumpa dengan cerita hantu.
Saya pergi bersepeda ke sebuah tempat di pinggir desa
tempat ribuan bangau putih berkumpul pada senja hari.
Burung-burung itu datang dari berbagai penjuru pulau,
semuanya bertungkai hitam dan berleher kurus, melipat
badan saat akan hinggap di puncak-puncak pohon. Seorang
lelaki Bali mengatakan kepada saya bahwa burung-burung
itu adalah roh orang-orang yang mati dalam pembantaian
besar tiga puluh tahun silam. Kebanyakan tidak pemah
dikuburkan; tak ada doa yang dibacakan buat mereka.
Mereka gentayangan di hutan-hutan dan sawah-sawah,
serta ribuan di antara mereka berdiam di sini dalam bentuk
burung-burung putih itu. Malam itu saya membuka buku sejarah yang saya beli di
Jakarta dan mulai membaca tentang pembantaian anti-
komunis pada 196S dan 1966, yang dengan standar apa pun
merupakan salah satu pembantaian massal terburuk
sepanjang abad kedua puluh.
Pembantaian itu dimulai setelah sebuah upaya misterius
menggulingkan presiden yang lama, dipimpin oleh perwira
tentara sayap kiri. Dalam beberapa pekan, sekelompok
milisi dan serdadu mengepung para pendukung komunis,
entah nyata entah khayalan. Ada daftar orang-orang
tertuduh dan daftar orang-orang yang harus dibunuh.
Seluruh keluarga, seisi desa, ditangkap. Orang-orang yang
dicurigai digiring ke parit-parit atau tempat terbuka di


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah hutan dan dieksekusi dengan arit, golok, serta
batang besi. Di seantero negeri barangkali setengah juta orang tewas,
seperlimanya di Bali yang kecil. "Banyak anggota partai
yang ditikam dengan pisau atau sangkur," kata buku itu.
"Tubuh-tubuh buntung dengan kepala terpenggal dibuang di sungai-sungai ... Di
pulau Bali, satu-satu provinsi di
Indonesia dengan penganut Hindu terbanyak, pembunuhan
meluas tak kalah garang. Para pendeta mengimbau
pengorbanan baru untuk memuaskan roh-roh yang
dendam." Di tengah teror dan kekacauan pada 1966 inilah
kekuasaan Presiden Soekamo beralih ke "Orde Baru",
pemerintahan Jenderal Soeharto. Dalam tiga dekade sejak
saat itu Soeharto telah membangun kembali negeri, membungkam demokrasi, dan
memberangus oposisi terhadap pemerintahannya. Dan, pada pertengahan 1996,
Orde Baru mulai ambruk. Tak seorang pun menyadarinya pada saat itu. Tetapi,
dalam kurun delapan belas bulan pemasungan demonstrasi
demokrasi, perubahan dahsyat akan menyebar ke seluruh
Indonesia. Uang menjadi tak berharga, rakyat kelaparan,
dan hutan-hutan terbakar oleh api yang tak terkendali.
Dalam kurun dua tahun, Soeharto sendiri - diktator yang
bertahan paling lama di Asia - akan dipaksa mundur dari
kekuasaannya melalui pemberontakan rakyat. Dalam kurun
tiga tahun, perang bersenjata antardaerah akan merebak di
berbagai pulau, dan mencapai klimaksnya dalam
penghancuran terencana serta penuh dendam atas Timor
Timur. Peristiwa itu merupakan yang terakhir dari kejadian
sejenis di abad kedua puluh - penggulingan dan keja-tuhan
kediktatoran militer di negara terbesar keempat dunia. Saya
sedang berada di Jakarta ketika peristiwa itu bermula, pada
awal dari akhir era Soeharto. Selama tiga tahun ke depan,
saya mengikutinya hingga selesai. Saya tinggal di Jepang
sebagai koresponden untuk surat kabar Inggris. Saya
ditugaskan ke Jakarta untuk pertemuan yang membosankan
dan tak penting dengan para pemimpin Asia. Kedatangan
saya bertepatan dengan pekan sebelum kerusuhan. Saya
tidak tahu banyak tentang Indonesia, saya tidak
menemukan banyak buku tentang subjek itu, dan gambaran
saya samar. Di tempat-tempat lain di dunia, saya selalu
bepergian dengan seperangkat kesan pendahuluan, untuk
diteguhkan atau dibenturkan dengan pengalaman; di
Indonesia, saya tiba bahkan tanpa prasangka. Tak ada
gambaran kasar sama sekali di dalam pikiran saya tentang
negeri ini. Saya tidak tahu harus mulai dari mana.
Peta yang saya bawa dari Tokyo tidak banyak
membantu. Indonesia membentang sepanjang lipatan peta
itu, kumpulan pulau-pulau yang semakin mengecil dan
semakin sedikit dari barat ke timur: Sumatra yang tambun,
Jawa yang ringkas, kemudian jejak-jejak serakan kepulauan
Sunda Kecil dan Maluku. Saya mengenali bentuk pulau
Sulawesi yang khas sebagai keanehan geografis: sebuah
pulau semenanjung, dengan tangan-tangan melambai bak
akrobat. Dan kemudian ada pu-lau Kalimantan yang besar,
terbelah antara Indonesia dan Malaysia oleh tapal batas
bergerigi; Papua Nugini, terbelah oleh sebuah garis yang
nyaris lurus. Di atas bentangan bentuk tak beraturan ini,
garis Khatulistiwa memintas dengan kekejaman ilmiah.
Saya merunut nama-nama di sepanjang garis itu dari arah
timur ke barat: Waigeo, Kayoa, Muarakaman, Longiram,
Pontianak, Lubuksikaping Tataplah peta asing itu untuk waktu cukup lama dan kita
bisa mengonstruksi sebuah cerita fantasi lewat nama-nama
tempatnya. Tapi, Indonesia menyimpan ter-lalu banyak
rahasia. Dan keanekaragamannya pun amat kelewatan;
terlalu banyak asosiasi yang berbeda-beda muncul dalam
pikiran sehingga kesan yang timbul jadi tidak konsisten.
Ada yang berkesan brutal (Fakfak) hingga penuh keagungan
(Jayapura). Sebagian lebih mirip Afrika daripada Asia
(Kwatisore); lainnya terdengar nyaris seperti nama Eropa
(Flores dan Tanimbar). Terkadang ada kesan penjelajahan
dan penjajahan (Hollandia, Selat Dampier), tetapi tak pelak
satu tempat - Krakatau - mencuat sebagai tempat
historis. Nama-nama di atas peta itu bergema dan
bergumam. Dengan sedikit kreativitas, nama-nama itu
tersusun sendiri ke dalam lirik dan syair:
Buru, Fakfak, Manokwari, Ujungpandang, Probolinggo,
Nikiniki, Balikpapan, Halmahera, Berebere. Gorontalo,
Samarinda, Gumzai, Bangka, Pekalongan, Watolari, Krakatau,
Wetar, Kisar, Har, Viguegue!
Semua yang saya ketahui tentang Indonesia menambah
kegairahan dan kebingungan saya. Negeri itu terdiri atas
sekitar 17.500 pulau, dari batu karang berlapis rumput laut
hingga yang terbesar di atas bumi. Jarak dari satu ujung ke
ujung lainnya lebih lebar daripada bentangan Samudra
Atlantik atau sebesar jarak antara Inggris dan Irak.
Penduduknya yang 235 juta jiwa itu terdiri atas 300
kelompok etnis dan bicara dengan 365 bahasa. Sebagai
republik yang merdeka, Indonesia berusia lima puluh tahun,
tetapi kedengaran lebih mirip sebuah kekaisaran tak
terkendali daripada sebuah negara bangsa modem. Saya
sudah cukup banyak bepergian, tetapi tidak pemah ke
sebuah negara yang sangat sedikit saya ketahui seperti ini.
Seluruh ketidaktahuan saya tentang dunia, seluruh
pengalaman yang pemah saya miliki, seolah tersimpan di
dalam bentuk-bentuk pulau itu, dan di dalam nama-
namanya. BUKU INI membahas tentang kekerasan dan tentang
rasa takut. Setelah pembungkaman para demonstran
prodemokrasi, saya berkali-kali kembali ke Indonesia.
Kadang saya tinggal selama sepekan, biasanya pada saat-saat krisis dan
pergolakan. Saya muda dan
bersemangat, dengan keluguan tanpa ampun yang jamak di
kalangan anak muda. Meski saya menyebut diri anti-
kekerasan, tapi jika - tragisnya - itu harus terjadi, saya ingin
menyaksikannya sendiri. Di Kalimantan, saya melihat
kepala-kepala ditebas dari tubuh dan manusia memakan
daging manusia. Di Jakarta, saya melihat mayat-mayat
terpanggang di jalanan, dan peluru ditembakkan ke sekitar
saya serta ke arah saya. Saya berhadapan dengan maut, tapi
masih belum tersentuh; pengalaman-pengalaman seperti ini
terasa penting. Diam-diam, saya membayangkan bahwa semua itu telah
menanamkan sesuatu ke dalam pribadi saya, sebuah
cangkang tak terlihat yang akan menjaga saya kali
berikutnya saya berada di tengah situasi penuh kekeras-an
dan tak terduga. Tapi kemudian saya pergi ke Timor Timur.
Di sana saya mendapati bahwa pengalaman seperti itu tak
pemah teruraikan, hanya terserap, dan menyebar di dalam
diri, seperti racun. Di Timor Timur, saya menjadi takut,
dan tidak bisa mengontrol ketakutan saya. Saya lari
menjauh, dan setelah itu saya malu.
Saya menolak gagasan pendefinisian pengalaman, ketika
pengalaman adalah keseluruhan hidup itu sendiri. Tetapi,
saya terhantui oleh kurun tersebut. Untuk waktu yang lama
saya percaya bahwa saya telah kehilangan sesuatu yang
baik tentang diri saya sendiri di Timor Timur: kekuatan dan
kehendak saya; keberanian. Kurun tiga tahun berkeliling
Indonesia ini saya mendapati diri saya berada di pusat
peristiwa. Saya bisa pergi ke mana saja dan, seolah-olah,
dalam beberapa jam drama negara besar ini akan mewujud
sendiri di sekitar saya. Mobil-mobil dan pemandu akan
datang sendiri, para korban dan pelaku akan
bermunculan, serta adegan-adegan menakjubkan dan
mengerikan akan dipertunjukkan di hadapan saya. Saya
suka perasaan memabukkan saat meninggalkan kota dan
menjelajah ke dalam hutan melalui jalan darat, perahu, atau
berjalan kaki. Dan saya suka tidur di pinggir hutan,
terbangun keesokan paginya dengan rasa yang tersisa dari
mimpi aneh semalam. Tetapi setelah Timor Timur,
kemewahan itu tidak ada lagi.
PADA MALAM terakhir di Bali, saya begadang
membaca buku sejarah Indonesia; seperti saya duga, ketika
akhimya saya jatuh tertidur, Kolonel Mahmud tengah
menunggu. Dia sepertinya tahu apa yang tadi saya baca dan
tak senang dengan itu. "Ya!" lengkingnya. "Aneh sekali peristiwa-peristiwa
mengerikan ini." Tapi, ada getar
kecemasan dalam suaranya dan saya bisa menebak dia
sedang kehilangan semangat.
"Pergilah, Kolonel," kata saya, karena pengetahuan baru saya telah membuat saya
kuat. "Kau tak bisa terus menutup mata!" sergahnya, tetapi suaranya menjadi lebih
lemah. "Tak baik bagimu
menyadari bahwa kau temyata tak bisa mewujudkan
mimpimu." "Selamat tinggal, Kolonel Mahmud," kata saya.
"Kepada unsur pengacau ..." lolong sang kolonel, tetapi suaranya sudah menjauh
dan sayup-sayup "... serahkan
diri!" Saya menutup telepon dan mendapati diri saya
terbaring di ranjang luar ruangan dengan mata terbuka,
terjaga di mulut rimba belantara.
Saya meninggalkan Bali beberapa jam kemudian. Di
Jakarta, pecahan-pecahan kaca itu sudah dibersihkan,
markas oposisi telah diberangus dan disegel, tetapi tentara masih bertebaran di
jalanan dan suasana masih
panas serta tegang seperti sebelumnya. Saya terbang
meninggalkan Indonesia beberapa hari kemudian, saat
pemerintah mulai menahan orang -orang yang dituduh
mendalangi kerusuhan itu. Aktivis serikat buruh dan aktivis
politik muda diciduk dari rumah-rumah mereka di Jakarta
dan Yogyakarta. Dua puluh delapan orang, lapor surat
kabar, telah ditangkap karena aktivitas politik di Bali.
MUSIBAH YANG MENDEKATI AIB
KALIMANTAN 1997-1999 PERBUATAN ANAK-ANAK MUDA SATU KAWAN SAYA di Jakarta, reporter untuk sebuah
^jaringan intemasional besar, kembali dari Kalimantan
membawa foto kepala terpenggal. Tepatnya, yang dia miliki
adalah video dari sebuah foto; pemilik aslinya, seorang
wartawan lokal, menolak untuk menyerahkan hasil
cetakannya karena semua studio foto berada di bawah
pengawasan. Maka juru kameranya merekam foto itu
dengan perbesaran, dan menahan kamera agar tetap diam.
Surat kabar takkan mungkin mereproduksi gambar
semacam itu, dan dalam film kawan saya itu gambar
tersebut muncul di layar hanya selama satu atau dua detik.
Kepala itu tergeletak di tanah, tampaknya adalah kepala
seorang pria, dan agak tak utuh. Lebih terasa absurd
daripada kejam, dengan kerling boneka Mr. Punch dan
lubang hitam di matanya. Kelihatan seperti topeng dan
badut kamaval, tapi dalam seketika menghilang dan film itu
berganti dengan gambar rumah-rumah terbakar, serta
tentara-tentara yang menghentikan mobil dan menyita
kaset-kaset. Gambar itu berkelebatan begitu cepat di
mata saya sehingga pada awalnya saya tidak menyadari apa
yang telah saya lihat. Saat kedua kalinya, saya berpikir: jadi seperti itulah
kelihatannya kepala yang terpenggal - ya,
tentu ada yang lebih me-ngerikan.
Saat itu Mei 1997, sepuluh bulan sejak kunjungan saya
ke Bali, dan saya kembali di Indonesia untuk melaporkan
pemilu. Waktu itu adalah beberapa hari terakhir periode
kampanye resmi. Ribuan pria remaja memenuhi jalanan
Jakarta dalam parade panjang tak bertujuan sambil
menyanyi dan melambaikan bendera. Ada tiga partai resmi,
dan masing-masing memiliki wama, lambang, dan
nomomya sendiri. Banteng Merah Nomor Dua (partai
demokrasi) dan Bintang Hijau Nomor Satu (partai Islam)
akur-akur saja, tapi jika salah satu dari mereka berpapasan
dengan Beringin Kuning Nomor Tiga, partai yang tengah
berkuasa, terjadilah saling ejek dan perkelahian yang
biasanya berakhir dengan pembakaran mobil-mobil,
pelemparan batu, serangan bom air dan gas air mata oleh
polisi. Presiden menyebut pemilu sebagai Pesta Demokrasi,
dan suasana di jalanan lebih mirip keriuhan sepak bola
daripada kampanye politik. Ada kaus oblong dan bandana
partai, panggung lagu-lagu pop, langit di atas jalan layang
penuh dengan layang-layang.
Kawan saya, Jonathan, membuat film-film yang sangat
bagus tentang kampanye-kampanye itu. Wama-wama
dominan - merah, kuning, atau hijau - menimbulkan kesan
abad pertengahan, seperti adegan pertempuran dari film-
film Kurosawa. Di Jakarta, koran-koran mencatat jumlah
kematian yang terkait dengan kampanye yang, menurut
pengakuan pemerintah, selalu diaki-batkan oleh kecelakaan
lalu lintas bukannya kerusuhan politik. Tetapi setiap
beberapa hari, berdatangan cerita-cerita tentang persoalan
yang lebih parah di kota-kota dan provinsi lain - Jawa
Timur, Sulawesi, kepulauan Madura. Pagi setelah hari
terakhir kampanye pemilu yang penuh gejolak, saya terbang
ke salah satu kota itu, Banjarmasin di Kalimantan Selatan,
tempat terjadinya berita-berita suram yang dilaporkan
sehari sebelumnya. Sopir-sopir taksi di bandara enggan untuk pergi ke kota
itu. Bahkan dari pinggir kota saya dapat mencium bau asap,
dan sebuah gereja Protestan di tengah kota masih terbakar
setelah dua puluh jam. Satu blok permukiman kumuh telah
diratakan, dan para perusuh telah m e m b a k a r k a n t o r-k a n t o r partai
y a n g b e r k u a s a, belasan toko dan
bioskop, serta hotel terbaik di kota itu. Di dalam sebuah
pusat perbelanjaan ditemukan 132 mayat. Seorang kolonel
polisi dari Jakarta mengatakan kepada saya bahwa mereka
adalah para penjarah, yang terjebak dalam api yang mereka
sulut sendiri, meski yang lain mengatakan bahwa mereka
adalah korban-korban militer yang telah dibunuh di tempat
lain dan diam-diam dibuang ke dalam bangunan yang


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang terbakar itu. Saya melihat dua di antara mayat-
mayat itu di kamar mayat rumah sakit. Mereka hangus
tanpa dapat dikenali lagi, tengkorak mereka retak oleh
panas. Sambil bersiap meninggalkan Banjarmasin, saya melihat-
lihat peta Kalimantan dan memerhatikan sebuah nama di
provinsi Kalimantan Barat: Pontianak - tempat Jonathan
memfilmkan foto kepala terpenggal itu. Kalimantan itu
luas, dan kedua kota itu terpisah ratusan kilometer jauhnya.
Tapi, agen perjalanan keturunan Tionghoa itu
menyemangati: Pontianak kota yang indah, katanya,
dengan populasi keturunan Tionghoa yang besar. Dia
segera menetapkan jadwal penerbangan, dan memberi saya
nomor telepon seorang temannya yang bisa menjadi
pemandu di sana. Dari pesawat, Kalimantan Barat tampak datar dan
teratur, namun terbelah oleh sungai-sungai cokelat
berkelok-kelok. Ada petak-petak tanah gundul di hutan, dan
garis asap tipis membubung dari api yang tak terlihat.
Melalui jendela pesawat saya melihat atap-atap logam dan
perahu-perahu, serta sungai berair cokelat lagi. Kemudian
pesawat melereng dan saya melihat hutan lagi, lalu di
bandara di tengah hutan. Kota di bawah sana adalah Pontianak (kata itu berarti
"roh jahat"); terletak di atas Khatulistiwa (tepat di atasnya, menurut peta
saya). Hal-hal yang pemah saya pelajari
tentang garis Khatulistiwa waktu masih kecil teringat
kembali, seperti bagaimana arah air yang mengalir ke
lubang di dasar tampak terbalik ketika kita melintasinya.
Saya terpikir untuk menguji ini - barang-kali di hotel-hotel
yang berbeda, satu di utaranya, satu di selatannya.
Kemudian, pesawat miring ke bawah dan mulai mendarat.
DUA PENGETAHUAN SAYA tentang Kalimantan amta
samar. Saya rasanya ingat bahwa pulau itu adalah pulau
terbesar kedua di dunia. Saya teringat hutan-hutannya,
tentu saja, dan tentang gesekan perjumpaan antara
penjelajah Eropa berperahu kano dan kepala-kepala suku
kanibal. Saya teringat poster yang pemah saya lihat ketika
kecil, pegulat yang dijuluki Manusia Rimba dari Bomeo.
Saya juga mencoba mengingat-ingat apakah petualangan
Tintin pemah membawanya hingga ke sini. Di bandara,
saya membeli buku panduan mahal dan mengingat kembali
apa yang pemah saya dengar di Jakarta.
Pada Februari beredar rumor tentang pertempuran
antara dua kelompok etnis, Dayak dan Madura. Suku
Dayak adalah penduduk asli Kalimantan, terkenal sela-ma
abad kesembilan belas sebagai arketip "kebuasan" Victorian.
Selama ribuan tahun, sebelum kedatangan orang Belanda
dan Inggris, mereka telah mendominasi pula u yang luas
itu. M e r e k a m e ru p a k a n k e I o m p o k s u k u yang hidup menyebar
dalam rumah-rumah komunal yang
panjang, menganut semacam aliran animisme, dan
bertahan hidup dengan berburu serta pertanian tebang-dan-
bakar. Yang lebih menggelitik lagi bagi pikiran Victorian adalah
kebiasaan gonta-ganti pasangan yang konon lumrah di
rumah panjang, dan p rak tik peningkatan kejantanan
dengan menindik penis. Prajurit Dayak meningkatkan
wibawa dan keberuntungan bagi desa mereka dengan
mengumpulkan kepala warga desa musuh dalam serangan-
serangan formal yang direncanakan. Beberapa organ
korbannya, termasuk jantung, otak, dan darah, diyakini
akan menambahkan kekuatan kepada mereka yang
memakannya, dan kepala-kepala diawetkan serta disembah
dalam ritual-ritual yang rumit. "Gadis-gadis muda yang
cantik" - kata buku panduan saya, "akan menggondol
kepala-kepala itu dan menggunakan trofi m e n y e ram k a
n itu sebagai hiasan dalam pertunjuk-an humor erotik dan
liar." Tradisi biadab Dayak secara hukum dilarang oleh
penjajah Kristen; sejak 1945 mereka menjadi warga penuh
Republik Indonesia. Buku panduan saya memuat foto-foto
orang tua dengan hiasan rambut bermanik-manik dan lelaki bercawat memegang pipa
sumpitan, tetapi penampilan mereka tampaknya sengaja dipersiapkan untuk
hiburan wisata. "Orang Dayak zaman sekarang
menyembunyikan tindik penis dan tato mereka di balik
celana jeans dan baju kaus mereka/1 begitu yang saya baca.
"Kecuali di beberapa desa di pedalaman, rum a h-rum a h
panjang telah digantikan oleh rumah-rumah sederhana dari
kayu dan semen." Suku Madura, sering saya dengar, merupakan "Sisilia
Indonesia"; kalangan terdidik Jakarta tersenyum malas dan menggeleng-gelengkan
kepala saat berbicara tentang
mereka. Madura adalah pulau tandus di lepas pantai timur
Jawa. Mereka adalah yang paling sering mengikuti program
"transmigrasi" yang disubsidi pemerintah ke wilayah-wilayah yang lebih subur di
luar Jawa. Penduduknya terkenal kasar, cenderung melakukan kekerasan bersenjata,
dan menganut Islam secara sangat ketat. Saya dengar
mereka dituduh membakar gereja-gereja, menyerang orang
Kristen, dan beberapa kerusuhan selama kampanye pemilu.
Di mana pun mereka bermukim, orang Madura menjadi
tetangga yang tak diinginkan siapa pun.
Sebagai transmigran, mereka dituduh maling dan
rampok, tetapi perbedaan mereka dengan orang Dayak
lebih mendalam daripada itu. Suku Madura suka membawa
arit; tradisi Dayak membenci penunjukan senjata tajam
secara t e r b u k a. O ra n g D a y a k m e m b u ru d a n m e m e I i h a r a
babi; orang Madura adalah Muslim yang taat.
Kekerasan merebak di antara kedua kelompok semenjak
orang Madura pertama tiba di Kalimantan Barat seabad
silam. Tetapi, tak pemah seperti yang terjadi pada bulan-
bulan yang lalu. Saya menyimpan kliping dari Asia Times 29 Februari
1997. Judulnya Fight to the Death for Tribal Rights,
berjuang hingga mati untuk hak-hak kesukuan.
Dua generasi telah berlalu sejak pemberitaan terakhir
tentang perburuan kepala oleh suku Dayak, salah satu suku
yang paling ditakuti di Asia Tenggara. Kini salah satu
masyarakat tertua Indonesia itu mengamuk dan kembali ke
tradisi brutalnya. Orang Madura, kelompok etnis pendatang dari pulau
Madura, sebelah timur Jawa, menjadi sasaran utama
kemarahan orang Dayak, yang dipicu bukan hanya oleh
konflik budaya, melainkan juga ketidakpuasan politik dan
ekonomi. Menyusul beberapa pertempuran antara kedua
kelompok, orang Madura menyaksikan sejumlah
permukiman mereka di timur laut Pontianak, ibukota
Kalimantan Selatan, telah dibumihanguskan.
P e m b a k a ra n d a n p e m b a n t a i a n b e r I a n j u t. M e s k i
pemerintah beberapa kali mengumum k a n
wilayah itu aman, rintangan jalan yang dibuat oleh orang
Dayak dan tentara Indonesia masih berdiri. Ada ketakutan
yang menyebar luas bahwa kekerasan bisa pecah sewaktu-
waktu, bahkan di Pontianak.
"Ini sebuah bom waktu. Bisa meledak kapan saja," ujar seorang Dayak.
Perkiraan pemerintah menyebutkan jumlah yang tewas
ada beberapa ratus orang. "Pemimpin gereja Kristen
setempat" memperkirakan mereka berjumlah "ribuan".
Pengarang artikel itu, seorang perempuan dari Sumatra,
adalah teman Jonathan. Kunjungannya ke Kalimantan
Barat, kata Jonathan, telah membuatnya sangat
ketakutan. "Pada sebuah rintangan jalan keesokan
harinya - dalam perjalanan sejauh 300 km, kami berjumpa
32 rintangan-" tulisnya, "seorang lelaki tua suku Dayak bersenapan bertanya,
'Anda orang Madura" Saya ingin
minum darah orang Madura.1"
Tetapi, artikelnya tidak jelas-jelas menyebutkan
kenyataan paling mengejutkan tentang perang di
Kalimantan Barat. Karena, orang Dayak tidak sekadar
mem-buru dan membunuh tetangga Madura mereka.
Mereka secara ritual memenggal kepala orang Madura,
membawa kepala-kepala itu sebagai trofi, lalu memakan
jantung dan hati mereka. Berbulan-bulan kemudian, ketika hutan-hutan terbakar
dan uang tak bemilai, pembantaian di Kalimantan tampak
seperti sebuah pertanda buruk, gemuruh lemah pertama
tentang malapetaka yang akan melanda seluruh negeri.
Meski waktu itu peristiwa tersebut nyaris tidak diberitakan.
Jonathan samar-samar mendengar tentang kerusuhan itu
pada Februari; beberapa hari kemudian, dia terbang ke
Pontianak bersama sekelompok kecil wartawan asing yang
berbasis di Jakarta. Mereka menginap di satu hotel yang
baik di kota itu, hotel yang saat ini sedang saya tuju. Lobi, restoran, dan bar
karaokenya penuh dengan mata-mata
militer - orang-orang yang dikenal dengan sebutan Intel -
dalam penya-maran yang buruk. Hari berikutnya mereka
menyewa jip dan seorang sopir, pergi ke arah utara luar
kota Pontianak. Ada banyak tentara di jalanan, dan titik
pemeriksaan setiap beberapa kilometer dengan tombak dan
ranjau menyebar sepanjang jalan. Mereka berhasil melewati
beberapa titik pemeriksaan awal dengan memperlihatkan
kartu pers, atau berpura-pura sebagai turis. Pada sebuah
desa bemama Salatiga, mereka melihat tanda-tanda
kerusakan pertama: beberapa kerangka rumah yang
terbakar. Mereka menepi, tetapi setelah seorang juru
kamera mulai merekam, sekelompok tentara muncul,
marah dan cemas. Mereka menelepon ke markas, dan kaset
juru kamera itu disita (meski beberapa buru-buru
disembunyikan di dalam jip). Kembali di Pontianak,
mereka sempat ditahan beberapa jam dan kemudian
dibebaskan, dengan perintah agar tidak bepergian ke luar
kota itu. Mereka melewatkan malam di bar hotel, memerhatikan
para Intel mabuk-mabukan dan menyanyi karaoke.
Keesokan harinya mereka bicara pada orang-orang di
Pontianak, dan menyadari untuk pertama kali betapa
sedikitnya cerita utuh yang sampai ke Jakarta. Ada
pembantaian, kata orang-orang itu, di sebagian besar desa
pedalaman. Awalnya, orang Madura menyerang orang
Dayak, kemudian orang Dayak membalas dendam. Mereka
berdatangan dari seluruh Kalimantan, secara ritual
dipanggil dengan artefak yang disebut Mangkuk Merah.
Kemudian mereka secara sistematis menghabisi desa-desa
pemukim Madura, membakar rumah-rumah mereka, dan m
e m b u ru o r a n g - o r a n g n y a.
Ilmu kebal Dayak membuat mereka tak tembus peluru,
kata orang-orang. Mereka dapat mencirikan orang Madura
melalui bau badannya. Seorang ibu dari Salatiga mengaku
pemah melihat dari jendelanya seorang laki-laki berjalan
dengan membawa kepala manusia ditusukkan di ujung
tongkat. Seorang wartawan majalah setempat memiliki foto
sebuah kepala terpenggal - foto yang direkam Jonathan
dalam filmnya. Orang Dayak mencoba untuk masuk ke Pontianak
tempat ribuan orang Madura tinggal sebagai pengungsi.
Tentara melindungi orang Madura dan, konon, membunuh
orang Dayak. Menurut hitungan resmi, tiga ratus orang
telah tewas. Tentu saja angka yang sesungguhnya jauh lebih
tinggi. Setiap orang takut sesuatu: orang Maluku takut orang
Dayak, orang Dayak takut tentara, dan pemerintah
setempat takut masalah genting ini akan berdampak ke
Jakarta. Dukungan militer telah diterbangkan dari Jawa,
dan rumah sakit siaga penuh.
Intel-intel membuntuti Jonathan dan teman-temannya ke
mana pun mereka pergi, dan orang-orang takut bicara
kepada mereka. Setelah beberapa malam lagi berkaraoke,
mereka kembali terbang ke Jakarta.
Itu tiga bulan yang lalu. Semenjak itu, tidak ada lagi
laporan tentang masalah yang cukup penting, dan pada
masa itu setiap orang di Jakarta disibukkan oleh pemilu.
Sesuatu yang luar biasa telah terjadi, dan berlalu tanpa
banyak sorotan dari dunia luar: sebuah perang suku dengan
kebiadaban yang sulit terbayangkan, yang dijalankan
menurut prinsip-prinsip ilmu hitam, hanya sejarak beberapa
jam berkendaraan dari kota modem dengan bank, hotel,
dan bandara. TIGA PAGI SETELAH tiba di Pontianak saya pergi ke luar
kota itu bersama pemandu saya, seorang pria keturunan
Tionghoa bemama Budi yang selalu bersepatu hitam,
bercelana hitam, dan berkaus putih.
Kami menyeberangi dua sungai Pontianak tempat
berlabuhnya kapal-kapal dengan layar berkilau dan
melengkung seperti sendokan es krim putih besar dan
tempat perahu-perahu sungai mengawali perjalanan
panjang ke pedalaman. Daerah pinggiran kota itu
didominasi oleh perairan, dan parit-parit besar memisahkan
rumah-rumah dari jalan serta dari rumah-rumah yang lain.
Batang-batang kayu terapung melambung-lambung
dipasang di atasnya; sebagian keluarga bahkan menyimpan
perahu berbentuk bak mandi kecil tertambat di pintu depan
rumah mereka. Kami melintasi monumen Khatulistiwa,
patung hitam lingkaran-lingkaran berlapis yang aneh,
kemudian melaju ke utara melalui jalan baru yang
membentang seperti karpet menutupi tanah merah berdebu.
Dengan sekilas pandang Budi bisa membedakan mana
rumah orang Dayak dan mana rumah orang Madura,
dengan menilik cara pemasangan pasaknya, arah jendela,
dan ada atau tidak adanya hiasan batik di atas pintu.
Bahasa Inggris Budi seapik pakaiannya; dia bisa
menyebutkan tanggal atau angka untuk segala sesuatu. Saat
kami dalam perjalanan ke utara, dia menceritakan kepada
saya apa yang diketahuinya tentang pertempuran antara
Dayak dan Madura. Dia tidak ragu sama sekali untuk
menyebutnya perang. Perang itu dimulai pada hari terakhir tahun yang lalu di


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah kota bemama Sanggauledo, dekat perbatasan
dengan Sarawak Malaysia. Sebuah panggung telah secara
khusus dibangun untuk pertunjukan dangdut, musik pop
penuh goyang pengaruh dari India yang digemari di seluruh
Indonesia. Pada suatu ketika saat acara malam itu sedang
berlangsung, dua gadis Dayak diganggu oleh pemuda
Madura. Perkelahian pun pecah, dan seorang pemuda
Dayak, putra kepala desa setempat, tertikam. Lantaran
takut dan kalah banyak, orang Madura pergi berlindung di
pos penjagaan militer setempat. Sekelompok orang Dayak
segera datang ke sana, menuntut agar kedua orang itu
diserahkan. Tentara me-nolak, maka mereka berjalan ke
permukiman Madura terdekat dan m e m b a k a r n y a. " S
e m b i I a n ratus s e m bila n p u I u h d e I a p a n rumah terbakar/1 ujar
Budi. "Sebagian di antaranya hancur ludes."
Ketegangan di antara kedua ras telah terbangun selama
betahun-tahun; satu dekade lalu pemah terjadi rangkaian
kekerasan serupa. Tetapi kali ini, begitu berita penikaman
terakhir itu menyebar dari Sanggauledo, terjadi serangan-
serangan balas dendam terhadap orang Madura yang
tinggal di pedalaman. Dalam beberapa hari kemudian p e m
e r i n t a h k o t a P o n t i a n a k m e m p e rt e m u k a n s e k e I o m p
o k pemimpin Dayak dan Madura, serta
membentuk k e s e p a k a t a n u n t u k m e n g a k h i ri p e rt e m p u r a
n. Selama bertahun-tahun orang Madura bukan satu-
satunya sasaran kemarahan orang Dayak. Selama Perang
Dunia II, mereka telah direkrut oleh pihak Jepang maupun
sekutu untuk bertempur. Dua puluh tahun kemudian,
selama pertumpahan darah besar pada pertengahan 1960-
an, mereka beralih menyerang keturunan Tionghoa di
Kalimantan. Budi sudah cukup besar untuk mengingatnya,
tapi dia bicara dengan suara ramah tentang orang Dayak.
"Di dalam hati, saya pro-Dayak," katanya. "Mereka orang baik, sangat lembut,
mereka tidak menimbulkan masalah bagi siapa pun. Mereka hanya tidak ingin
diganggu. Tapi mereka pemalas. Saudara saya bekerja
dengan orang Dayak di kantomya, kalau ditinggal sendiri
mereka akan duduk-duduk saja seharian, mengobrol dan
senyum senyum. IQ mereka sangat rendah, sayangnya."
Dari perkenalan kami yang singkat, saya tahu bahwa
Budi bekerja dari pukul tujuh pagi hingga tengah malam
setiap hari. Jangan-jangan, di matanya, semua orang di
seluruh dunia ini sangat pemalas.
SELAMA SATU jam hutan di kiri kanan sangat rapat,
diselingi sesekali oleh satu pondok terkucil dan warung-
warung kayu yang menjual rokok dan minuman.Sekarang
ada rumah-rumah di kedua sisi, dan sekonyongkonyong
kami berada di dalam sebuah kota kecil denganbangunan
kantor dari bata dan papan nama toko yangberdebu. Persis
di tengah kota itu ada sebuah rumahhangus terbakar diapit
oleh bangunan-bangunan yangmasuh utuh. Budi tidak
yakin apa artinya ini. "Di k o t a k e c i I i n i r u m a h - r u m ah sering t
e r b a k a r," k a t a n y a. " T a n p a s e n g aj a. M u n g k i n m e re k
a c e r o b o h d e n g a n k o re k api.
"Saya mencari pendeta kota itu, sahabat
seorangantropolog di Pontianak, dan saksi bagi banyak
kekerasan terburuk, demikian saya diberi tahu. Di
pinggirkota, kami mengikuti rombongan anak sekolah ke
sebuah gereja beratap seng dan sebuah sekolah, bangunan
kayu berloteng rendah yang agak jauh dari pinggir jalan.
Kepala sekolahnya sedang mengunci pintu sore itu, dan dia
memandu kami berkeliling ke rumah Romo Anselmus dan
Romo Andreas. Kedua pendeta muda ini adalah orang Dayak berusia
akhir dua puluhan. Mereka pemah belajar di sebuah
seminari Katolik di Jawa. Tetapi selain tanda salib yang
digantungkan di satu dinding, tak ada sedikit pun tanda
kependetaan di bungalo itu. Di ruang utama ada rak buku
berisi novel-novel, sebuah meja dengan asbak dan sisa kulit
buah-buahan, serta TV berlayar lebar yang terhubung
dengan parabola di atap. Di dinding ada lukisan gunung
api, perisai dan sarung belati Dayak, serta papan tulis mika
dengan coretan daftar tanggal dan janji dalam bahasa
Indonesia serta kata-kata berikut dalam bahasa Inggris yang
salah: Don't forget to show the ch a m pion's final on Thursday,
May 28 (dawn) Borussia Dortmund vs Juventus!
Di samping papan itu berdiri patung kertas Santa Klaus
setinggi satu setengah meter.
Andreas berjenggot dan bermata sayu, dengan senyum
tipis. Dia banyak mengisap rokok kretek yang dipegangnya
di antara tiga jari, seolah-olah dia tidak tahu harus diapakan batang rokok
tersebut. Anselmus lebih jangkung dan banyak
bicara. Dia berkesan agak terlalu kekar dan tampan untuk
jenis kehidupan seperti ini.
Mereka adalah orang-orang Dayak pertama yang saya j u
m pai. P e r j u m p a a n y a n g s a y a n anti k a n d e n g a n c e m a s
dan tegang - di mobil, saya dan Budi
mempersiapkan p e r c a k apa n p e m b u k a y a n g m e y
a k i n k a n, menekankan keseriusan niat saya dan
kerahasiaan setiap informasi yang akan mereka sampaikan.
Temyata itu tidak perlu dengan kedua orang ini. Mereka
malah mengingatkan saya pada beberapa kawan di London,
bujangan-bujangan tak berbahaya, tak punya tujuan, yang
menghabiskan waktu dengan bersantai, menonton teve dan
merokok. Mereka menyambut kami dengan segera; kopi
dan buah-buahan selalu tersedia di meja, serta setelah
beberapa hari kami menjadi terbiasa mampir di rumah
Anselmus dan Andreas untuk makan durian dan rambutan,
serta bercakap-cakap tentang perburuan kepala dan
kanibalisme. MEREKA MENYAMBUNG apa yang telah diceritakan
Budi. "Perjanjian damai" telah ditandatangani oleh para
pemimpin Dayak dan Madura pada pertengahan Januari.
Akan tetapi, bahkan sebelum bulan itu berakhir kekerasan
telah dimulai lagi. Pada 29 Januari beredar kabar tentang
dua pria Madura mendobrak masuk ke tempat dua gadis
Dayak, bekas murid di sekolah Anselmus dan Andreas,
yang sedang berbaring di tempat tidur di ping-giran kota
Pontianak. Kedua gadis itu dianiaya; pakaian tidur mereka
dikoyak dengan arit. Untuk mengantisipasi serangan balas
dendam, segerombolan orang Madura berkumpul di jalan
dari Pontianak menuju pedalaman Dayak.
Pada pukul empat sore itu, seribuan orang bersenjata arit
telah berkumpul, di antara mereka ada orang tua dan anak-
anak. Tetapi, tak seorang Dayak pun muncul. Gerombolan
itu menjadi tidak sabar dan membakar satu rumah Dayak.
Kemudian, mereka mulai menghentikan mobil-mobil dan
menuntut para penumpang untuk memperlihatkan tanda
pengenal. Mereka mendirikan rintangan jalan di kota P e n i ram a
n. Sebuah keluarga dalam perjalanan pulang dari
menghadiri upacara wisuda universitas anak perempuan
mereka. Jip mereka dihentikan dan lima penumpang diseret
keluar. Semua kecuali seorang anak dan perempuan muda
dibantai di tempat. Andreas menyelenggarakan pemakaman
seorang pemuda bemama Alun, yang kepalanya nyaris
putus oleh arit. Tubuh seorang tua, sesepuh desa bemama
Nyuncat, belakangan ditemukan di dalam hutan.
Kabar tentang kebiadaban itu sampai ke desa-desa
Dayak. Semakin banyak mereka membunuh, semakin yakin
orang Madura bahwa pembalasan dendam akan tiba, dan m
a k i n t e r d o r o n g m e r e k a u n t u k m e n d a h u I u i
- n ya d e n g a n tindak kekerasan mereka sendiri. Pada 29
Januari setengah lusin rumah Dayak dibakar di desa
Senakin. Pada pagi berikutnya, orang Madura di Paci
Karangan diserang oleh orang Dayak. Sore itu, orang
Madura melemparkan batu ke arah sebuah bus Dayak di
Seke. Hari berikutnya, Andreas melihat orang Dayak
membakar rum a h-rumah kosong milik orang Madura di
Seke. "Sore hari di Paci saya melihat mayat-mayat
bergelimpangan di jalanan tanpa kepala dan jantung," kata Andreas. Ada senyum
tipis di wajah kedua pendeta itu, dan
semakin banyak detail yang saya pancing keluar, semakin
lebar senyum mereka. "Apa yang terjadi pada mereka?" tanya saya, melalui Budi.
"Beberapa orang Dayak membunuh mereka dan
memotori g kepala mereka." Senyum.
"Apa yang mereka lakukan dengan kepala-kepala itu?"
"Mereka bawa pergi." Nyengir. "Jeroan tubuh-tubuh itu sudah tak ada. Di dekat
mayat-mayat itu bergelimpangan isi
perut dan usus. Semuanya dibiarkan di situ untuk waktu
lama. Tak seorang pastor pun cukup berani untuk
menyelenggarakan penguburannya selama satu bulan."
"Mengerikan tentunya melihat mayat-mayat itu di sana."
"Ini pengalaman pertama saya melihat mayat tanpa
kepala, dan sebagai seorang pastor, memang mengerikan.
Rasanya seolah-olah semua yang pemah saya pe-lajari tidak
berefek sama sekali." Anselmus mengangguk setuju, dan
mereka saling memandang kemudian tersenyum lagi.
Mereka tersenyum lebar, kumis mereka yang tak rapi
terangkat dan mengerut, serta tertawa keras karena bingung
dan kaget. JAM MENUNJUKKAN pukul empat ketika kami
meninggalkan pastor-pastor itu; bayangan semakin gelap
saat kami melewati barak-barak militer dengan papan nama
yang menunjukkan tanda divisi.
Ketika masalah itu diawali pada akhir Januari, pos
militer kecil di luar sini dengan segera kehilangan kendali.
Dan orang Dayak, setelah menyapu bersih desa-desa di
pedalaman, bergerak ke arah Pontianak. Tetapi, tentara
telah mengerahkan kembali kekuatan mereka; pasukan-
pasukan didatangkan dari bagian lain Indonesia. Di sebuah
kota bemama Anjungan, orang Dayak dihentikan oleh
mereka. Ada cerita bahwa satu bus orang Dayak habis
dibantai oleh tentara. Gerbang barak-barak militer itu bertuliskan angka-angka
17.8.45 - Hari Kemerdekaan - dan burung garuda emas
lambang negara Republik Indonesia, merunduk serta
bergaya seperti elang Roma. Mudah untuk membayangkan
tentara-tentara ini sebagai legiun Romawi, yang
dikumpulkan dari Jawa, dari Sulawesi atau Bali, dan
dipaksa untuk melewatkan waktu mereka di pos-pos militer
imperium ini, terpencil di antara orang-orang ras Pict dan
Hun, orang-orang aneh yang tak mengha-rapkan kebaikan
bagi mereka. Saya tegang ketika seorang tentara yang sedang berdiri di
sebuah sudut melambai ke arah kami, dan Budi melirik saya
dengan cemas saat kami melambat untuk berhenti. Tetapi
dia rupanya hanya ingin menumpang, dan kami tersesat
jalan. Jantung saya berdegup kencang sambil kami terus
melaju, tetapi saya dikecewakan seperti anak-anak. Dulu
ketika teman-teman saya dari Jakarta datang di sini ada
rintangan jalan dan ran-jau darat, serta tentara-tentara
bermunculan dari balik hutan. Tapi, malam ini hanya ada
anjing-anjing mendengking di sudut jalan; warung-warung
di pinggir jalan, dengan stoples berisi rokok dan permen
karet, berkelip-kelip dengan lampu listrik lemahnya. Kami
melewat danau berawa. Bukit-bukit rendah tampak di
kejauhan. Perempuan-perempuan dapat terlihat sedang
mandi di sungai di bawah jembatan. Dahan-dahan pohon
berjalin di atas kepala kami membentuk terowongan ketika
jalan menyempit. Matahari tergelincir di sebelah kiri kami
membentuk bayangan bergaris-garis.
Kemudian, pada sebuah titik yang sulit didefinisikan,
kami menyeberangi batas perkampungan Dayak.
Tanda pertama adalah sebuah rumah yang terbakar.
Kemudian ada satu lagi, beberapa meter dari pinggir jalan,
hanya tiang hitam dan besi-besi bengkok berkarat. Puing
ketiga hanya menyisakan tiga tiangnya, sehingga tampak
nyaris klasik; di sebelahnya sebuah rumah dengan setengah
dinding depannya utuh. Budi melambatkan mobil dan
membaca kata-kata yang tertulis dengan arang di atas
dinding itu: ORANG MADURA KETURUNAN
ANJING. Empat, lima, enam rumah terbakar sejauh ini, dalam
jarak beberapa ratus meter. Kemudian dua belas, tiga belas,
dan barangkali lebih banyak lagi di belakang, tersembunyi
oleh senja dan rimba. Saya menghitung lima belas dalam
perjalanan satusetengah kilometer, dan kemudian tiba-tiba
kami kembali di dalam sebuah desa lagi. Ada gereja kayu
dan toko menjual keranjang dan j erik e n.
Orang-orang bercelana pendek, sebagian besar lelaki,
berlalu lalang di jalanan, atau duduk-duduk sambil
merokok di pagar. Rumah-rumahnya dari batu dan
beberapa di antaranya memasang parabola di atasnya. Ada
sebuah gereja tetapi tak ada masjid, dan pertandingan bola
sedang berlangsung di sebuah tanah kosong. Puing-puing
hitam dengan tulisan yang kasar tadi seolah hanya
halusinasi. Budi tidak melambat. Sebagaimana ketika memasukinya
secara tiba-tiba, dalam seketika kami pun telah berada di
luar desa dan melaju menembus hutan lagi.
Kami terus melanjutkan perjalanan saat gelap telah
turun. Sorot lampu mobil menangkap bayangan jaket
seorang pria, terentang lebar di atas jalan di depan.
"Sepertinya ada kecelakaan," kata Budi dan, temyata benar, di balik tikungan
sebuah minibus terguling ke samping
dengan roda-rodanya di atas selokan pinggir jalan. Sulit
untuk memperkirakan kapan kecelakaan itu terjadi. Bisa
saja berjam-jam yang lalu. Ada sekitar dua belas orang di
sekitar bus itu, sepertinya para penumpangnya, walaupun
mereka tampak tak terluka dan tak terkejut. Yang lelaki
berdiri dengan rokok di tangannya. Yang perempuan
tertawa-tawa dan mengobrol, duduk di atas tumpukan peti
besar dan koperkoper yang disusun di atas bus, yang
tentunya telah ikut menyebabkan olengnya bus itu.


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengemudi di sini harus hati-hati," kata Budi.
"Binatang suka tiba-tiba muncul dari dalam hutan. Orang
Dayak langsung saja melintas ke jalan. Mereka orang baik,
tapi tidak jelas. Terkadang kalau kita bertanya jalan, mereka bilang, 'Oh, itu
tidak jauh,1 tapi kemudian setelah kita
berkendaraan jauh tetap saja belum sampai di sana. Dan
orang-orang ini menempuhnya dengan berjalan kaki.
Mereka berjalan beberapa kilometer, tapi kalau kita tanya
mereka selalu bilang, 'Tidak jauh.1"
Belakangan Budi mengatakan, "Kita tidak bisa
melihatnya dari jalan, tetapi banyak orang yang tinggal di
sana. Cukup sering orang mati di sini, tak tercatat dalam
data statistik. Mereka mati begitu saja dan tak seorang pun
mengetahuinya." Ketika kami kembali melewati jalan yang
sama, empat jam kemudian, bus tadi masih ada di sana,
bersama para penumpangnya yang sedang tersenyum dan
merokok dalam kegelapan. EMPAT SAAT ITU belum pukul enam, tapi rasanya sudah
sangat larut saat kami tiba di Menjalin, desa lain rumah
batu berantena parabola tempat-anak-anak remaja duduk di
pintu-pintu terbuka di bawah lampu temaram. Mereka
tersenyum pada Budi dan berebut menawarkan bantuan
ketika dia berhenti untuk menanyakan arah. Di tengah desa
itu ada sebuah bangunan kayu besar tempat sekelompok
sosok tanpa sadar berbaris dalam komposisi yang indah.
Belasan anak lelaki Dayak sedang berbaring atau duduk-
duduk di beranda, serta di tengah mereka ada seorang lelaki
tua berkaca mata dan berjenggot putih, lelaki tua kulit putih bertubuh besar
dengan sekaleng tembakau lintingan di
lututnya, sedang berbicara dan menggerak-gerakkan
tangannya sedangkan anak-anak itu mendongak
memerhatikannya. Namanya Pomo Kristof, dia adalah seorang Belanda
pengikut ordo Capuchin. Sudah tiga puluh satu tahun dia
tinggal di Indonesia, dan di Menjalin enam belas tahun.
Ada seorang pendeta Swiss di Ngarak, dan orang Belanda
lainnya di Singkawang, tetapi orang asing di sini sedikit dan
dia berkata tanpa nada sesal bahwa dia tidak mendapat
banyak tamu. Dia mengenakan kaus Calvin Klein palsu,
tetapi ruangan tempat kami dipersilakannya masuk gelap
dan tak berjejak waktu, berlantai batu, meja makan dari
kayu dan rak dengan punggung kulit retak. Dia mengerti
bahasa Inggris dan mengucapkannya dengan aksen yang
kental, tetapi upayanya membuatnya berkerut dan, setelah
menganggukkan kepala sehabis mendengarkan pertanyaan
saya, dia mengarahkan jawaban kepada Budi dalam bahasa
Indonesia, dan menujukan jawabannya kepada Budi dalam
bahasa Indonesia, lalu mengoreksi terjemahannya saat
disampaikan kembali kepada saya.
Menjalin telah tegang sejak tahun baru. Ketika datang
berita tentang orang Madura menyerang murid perempuan
dan para pengendara sepeda motor, reaksi-reaksi sudah tak
terbendung. "Itu bukannya tak terduga," kata Romo Kristof, "tetapi terlalu tiba-tiba. Orang
dari seluruh lapisan masyarakat,
bahkan anak-anak, berkumpul di luar. Mereka sepakat,
mereka memutuskan untuk memperjuangkan hak-hak
mereka sebagai sebuah komunitas. Setiap orang ingin ikut
bera n g k a t, bah k a n t e m a n -1 e m a n saya, a n a k - a n a k I e I a k
i yang di luar itu. Mereka membuat tombak
bambu, mereka membawa pisau. Mereka berjalan kaki ke
Seke dan Salatiga. Mereka bilang mereka harus membela
diri sendiri. Mereka bilang orang Madura telah amat, amat
sering membunuhi orang Dayak, tapi kali ini cukup sudah.
Semua orang Madura harus angkat kaki dari Kalimantan."
Itu adalah keputusan kolektif, berkali-kali dia
menekankan ituj tanpa ada pemimpin. Seluruhnya bersifat
spontan, tetapi semua partisipan secara ketat patuh pada
tiga aturan: Pertama, tidak merusak masjid. Kedua, t i d a k
m e m b a k a r k a n t o r- k a n t o r m i I i k p e m e r i n t a
h. "Ini sangat bijaksana karena jika mereka membakar
masjid, maka itu menjadi Kristen lawan Muslim?" Dia
menatap mata saya lekat-lekat dan menggelengkan
kepalanya, seakan-akan ingin menekankan apa konsekuensi
dari hal tersebut nantinya, betapa mereka telah mendekati
perang agama. "Jika mereka merusak kantor pemerintah,
mereka melawan pemerintah, dan tak seorang pun bisa
mengalahkan pemerintah." Aturan ketiga adalah tidak
boleh menjarah. "Mereka bukan orang kaya, tetapi kalau
mereka menemukan mobil atau perabotan bagus, mereka
membakamya." Semenjak pertikaian di panggung musik itu, orang
Dayak di seluruh Kalimantan Barat telah bersiap. Ketika
pertempuran pecah pada Desember mereka hanya memiliki
bambu runcing dan beberapa senapan berburu. Satu bulan
kemudian mereka memasang besi runcing di ujung tombak
itu, dan mandau - golok tradisional - yang baru ditempa.
Mereka punya senapan yang dibeli secara ilegal dari tentara
Indonesia, diselundupkan dari perbatasan Malaysia, atau
dibuat dari tabung logam oleh pandai besi setempat. Pomo
Kristof mengeluarkan sebuah album foto y a n g m e m p e r
I i h a t k a n o r a n g D a y a k M e nj a I i n bersiap-siap perang. Mereka
mengikatkan bulu-bulu ke kepala mereka
dengan pita merah, dan pita di tombak mereka. Bibir-bibir
m e r e k a a n e h n ya s e r e m p a k m e n u t u p atau s a m a - s a m a
terbuka membentuk huruf o. "Anda bisa lihat dari wajah-wajah mereka bahwa mereka
sedang dalam keadaan kesurupan/1 ujar Pomo Kristof. "Tanggung
jawab pribadi sangat kecil."
Saya bertanya tentang ilmu hitam, dan cerita-cerita yang
pemah saya dengar tentang orang Dayak yang kebal peluru.
"Itu banyak benamya/1 kata pastor itu. "Kalau mereka percaya bahwa mereka kebal
peluru, mereka menjadi kebal
peluru. Kekuatannya beragam." Pendeta itu pemah melihat
sendiri seorang pria ditembak oleh senapan orang Madura.
Peluru masuk ke telinganya, katanya, dan kemudian
berhenti. "Dia mengorek kedalam" - Romo Kristof m e m e r a g a k a n perbuatan i
t u - " d a n m e n a r i k n y a k e I u a r." Dalam keadaan kesurupan,
seseorang bisa berjalan di hutan berjam-jam, tanpa makan atau minum, dan tanpa
kelelahan. "Mereka berjalan dua puluh lima atau tiga puluh kilometer, ke
Salatiga dan kemudian kembali lagi. Enam
puluh kilometer berjalan kaki, mereka berlari ke sana dan
kembali, tanpa minum air. Ketika kamang tahu ada di
dalam orang Dayak, mereka menjerit dan meraung. Ketika
mereka kembali, suara mereka telah nyaris hilang. Tetapi,
mereka bisa melakukan segala macam itu karena mereka
bukan diri mereka sendiri, karena mereka sedang
kerasukan." Kamang tahu adalah roh yang merasuki orang Dayak
pada masa perang. Ketika roh itu ada, ia memberikan
perlindungan fisik dan kekebalan dari rasa haus dan lelah,
tetapi ia punya seleranya sendiri. "Kamang tahu minum
darah, ia harus diberi makan dengan darah," kata pastor itu.
"Ada orang-orang Dayak di Pontianak yang tidak bisa ikut berperang, tapi mereka
kerasukan. Teman-teman mereka
harus memotori g leher ayam dan memberikannya kepada
mereka, untuk mem-beri makan roh itu."
Saya bertanya apa yang terjadi ketika orang Dayak
kembali setelah menyerang sebuah desa.
" M e r e k a m e m bawa pulang k a n t o n g - k a n tong berisi kepala.
Jantungnya mereka makan langsung, karena
harus masih segar. Jantung yang segar punya kekuatan
berbeda dari paru-paru, dan paru-paru berbeda dengan
perut. Bahkan darahnya. Dari anak-anak hingga orang
lanjut usia dan bayi-bayi, tak ada pengecualian. Empat ribu
orang, semuanya dipenggal dengan mandau. Ya, itu luar
biasa." SUASANA DARURAT berlangsung selama dua pekan.
Setelah menghabisi desa-desa di pedalaman, orang Dayak
ingin melakukan hal yang sama di Pontianak. Hukuman y a
n g m e r e k a g a n j a r k a n k e p a d a m u s u h - m u s u h m e r e k a
sungguh luar biasa, tetapi mereka merasa diri
mereka sen-dirilah yang berada dalam ancaman serius.
"Keadaan sangat berbahaya," kata Romo Kristof. "Banyak orang Madura yang
bersembunyi di hutan, dan orang-orang
takut mereka akan kembali serta membalas dendam." Di
luar Anjungan, pos militer kecil terpisah dari yang lain
sejauh satu jam perjalanan dan berkilometer-kilometer dari
hutan. Pusat kendali telah diluluhlantakkan.
Pada akhimya, kekuatan militer didatangkan, dan jalan-
jalan dirintangi dengan tumpukan ban serta ranjau. Para
serdadu masuk ke dalam hutan dan memasang jebakan
sepanjang jejak mereka, terdiri atas granat tangan dan
kawat. Tak lama kemudian banyak orang Dayak terbunuh.
"Saya bisa bilang bahwa kurang lebih dua ratus orang
Dayak tewas, dan kira-kira empat ribuan orang Madura,"
kata Romo Kristof. "Dua ribu sudah pasti. Ini informasi
yang saya punya hari ini."
Setelah pembunuhan berhenti, pemerintah kota
Pontianak melakukan apa yang senantiasa dilakukan
setelah persoalan semacam ini: mengadakan upacara
perdamaian. Pihak berwenang cukup berpengalaman untuk tahu
bahwa mengakhiri kekerasan tidak cukup untuk
mendatangkan perdamaian. Mereka tahu aspek magis dari
konflik, dan mereka tahu bahwa untuk mengontrol situasi
di lapangan m e r e k a h arus m e n g o n t r o I r o h - r o h.
M e r e k a tahu tentang kedua jenis roh, kamang, pelindung
para p e m b u r u k e p a I a, dan sumanga t, ro h k e h i d u pan. Pada masa
perang, sumanga t pergi meninggalkan hati
manusia untuk membukakan jalan bagi kamang. Maka,
mereka mengumpulkan sekelompok sesepuh Dayak yang
bersedia untuk memanggil roh-roh kedamaian itu kembali.
"Selama upacara yang diselenggarakan pemerintah
mereka memanggil kembali seluruh sumanga t yang terdiri
atas kerukunan, kedamaian, semangat kehidupan," kata
Romo Kristof. "Tetapi kamang tahu belum pergi. Mereka
memanggil roh kehidupan tanpa mengusir roh perang
kembali ke gunung." Ini mustahil secara teologis, seperti yang tentunya
diketahui para sesepuh yang melaksanakan
upacara itu. Hanya para pegawai negeri di Pontianak yang
percaya roh pembunuhan itu telah pergi. " U p a c a r a p e m e r i n t a h itu
t a k ada arti n y a," k a t a Ro m o Kristof.
Tiba-tiba listrik padam di ruangan berlantai batu itu.
Suara-suara hutan terdengar dari belakang rumah: cicit
lemah burung-burung dan krik-krik suara serangga yang tak
terlihat, gemerisik pepohonan. Selama dua detik, kami diam
dalam kegelapan. Kemudian gemuruh generator kembali
terdengar. Saya mengedip dan berkata, "Romo, sebagai pendeta,
bagaimana Anda melihat semua ini?"
"Sulit untuk mengatakannya dalam dua atau tiga patah
kata, tapi untuk memahaminya kita perlu kembali ke enam
belas tahun silam ketika saya pertama tiba di sini.
Dibandingkan waktu itu, seluruh orang Dayak sekarang
penganut Kristen. Mereka pergi berperang membawa salib.
Mereka semua membeli rosario. Mereka bukan pembunuh."
Dan kemudian, dalam bahasa Inggris, "Sangat sulit
dijelaskan ... Mereka yang terlibat dalam perang sama sekali
tidak menghendakinya. Mereka melakukan itu melawan
kehendak mereka sendiri. Mereka tidak bermaksud
melakukan sesuatu yang salah. Mereka melakukan semua
itu tanpa sadar. Meskipun mereka membunuh empat ribu
orang, mereka bukanlah pembunuh orang-orang Madura.
"Orang Dayak punya dua kelompok aturan dan ajaran -
yang ditetapkan oleh leluhur mereka, yang ditetapkan oleh
pemerintah. Tetapi, ketika mereka di bawah tekanan dan
perlu mengungkapkan apa yang mereka rasakan di bawah
tekanan itu, mereka tak punya pilihan. Mereka bertindak
berdasarkan aturan leluhur."
Saya bertanya bagaimana Alkitab ditempatkan di sini.
"Sulit u n t u k m e n g a t a k a n n y a. Barang k a I i m e r e k a y a n g
terlibat dalam situasi ini, yang tenggelam dalam
k e s u ru pan b e r d a s a r k a n a j a r a n I e I u h u r m e r e k a, t i
d a k terlalu berpendidikan ..." Romo
menggelengkan kepala, dan memulai alur pemikiran yang
lain. "Orang yang berpendidikan tidak terlibat - mereka
menolak kepercayaan seperti itu ..."
Saya bertanya, "Berdosakah memenggal kepala orang
Madura?" "Saya tidak bisa mengintip ke dalam jiwa manusia," kata pendeta itu. "Saya hanya
bisa melihat perbuatan mereka
dan di sini saya bisa melihat bahwa mereka berbuat
bersama-sama, bukan sendiri-sendiri, bahwa mereka
berbuat karena mereka yakin itu hal yang baik. Di gereja
saya katakan bahwa membunuh itu salah, kalian harus
menyelamatkan nyawa setiap orang yang hidup di bumi
dan mereka mengerti itu, tetapi ketika berperang ... ada hal-
hal lain." "Apakah Anda mencoba mengajak mereka untuk tidak
melakukan itu?" "Oh, ya, tapi itu tidak mungkin. Mereka
menertawakannya." Jeda lama, dan hutan sepertinya
semakin riuh. Sekarang saya bisa mendengar suara kendang
serangga mengalahkan bunyi generator.
Akhimya, Romo Kristof berkata, "Ketika kita mencintai
orang-orang ..." lalu berhenti, kemudian mulai lagi. "Jika seorang a n a k m e I
a k u k a n p e m b u n u h a n d a n d i p e nj a ra, ibunya tetap
mencintainya. Dia bilang, putraku
tetap anak yang baik. Saya tidak mengatakan bahwa yang
terjadi di sini baik. Anda harus mencoba untuk mengerti
posisi orang Dayak sekarang. Mereka diabaikan oleh
pemerintah. Mereka tidak punya peran politik. Tak seorang
pun di posisi kunci, tak ada orang yang berpengaruh di
militer. Mereka di bawah tekanan dan mereka tidak punya
kekuatan ekonomi. Yang mereka punyai hanya tanah,
tanah yang telah jadi milik mereka selama ribuan tahun.
Kini pemerintah mengambil tanah itu untuk transmigrasi.
Perusahaan perkayuan datang, juga kepentingan komersial


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lainnya. Orang Dayak jadi marah, terasing dari masyarakat.
Itulah yang membuat mereka tegak demi membela hak-hak
mereka. Mereka ..." mencari kata-kata yang tepat,
kembali dalam bahasa Inggris sekarang~"orang~orang
yang alamiah. Mereka bertikai dengan suku yang memiliki
tradisi sangat berbeda. "Satu hal yang mengilhami semuanya: ketidak-b e r d a y a a n. M e r e k a
diabai k a n o I e h p e m e ri n t a h, tetapi ditekan dan dihukum pada saat
yang sama. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan melakukan apa yang
mereka lakukan." "Kepala-kepala itu, Romo, yang mereka bawa dari
Salatiga. Di mana sekarang?"
"Ada di desa-desa. Mereka membawanya ke rumah-
rumah mereka, dan biasanya mereka melakukan s e m a c a
m doa atau m a n t r a. D u I u m e r e k a m e n y i m p a n kepala-kepala itu
di tempat khusus di rumah panjang, tetapi
sekarang mereka menyimpannya di tempat t e r- s e m b u n
y i, t e m p a t r a h a s i a y a n g m e re k a g u n a k a n u n t u k s e m
b a h y a n g." "Maukah mereka menunjukkannya kepada Anda"
"Mereka bersedia kalau saya minta."
"Maukah mereka menunjukkannya kepada saya?"
Dia tidak tersenyum, tetapi menelengkan kepalanya dan
melihat kepada saya. "Tidak. Tidak dalam situasi ini. Itu mustahil karena banyak
alasan. Karena ... protokol, dan
karena mereka yakin kekuatan magisnya akan hilang."
Belakangan, saat kami hendak pergi, Pak Kristof
mengajak kami ke belakang rumah menuju gubuk kayu di
pinggir hutan. Di dalamnya ada meja-meja dan papan-
papan tegak yang ditempeli puluhan foto hitam putih,
gambar orang Dayak sebelum perang bersama para pendeta
Belanda, sedang berdoa bersama, berdiri kaku pada sebuah
upacara panen di antara karung-karung beras dan sisa-sisa
babi. Salah satu gambar diam-bil pada 1935. Di gambar
tersebut seorang pendeta, bertubuh besar dan berjanggut
seperti Kristof, duduk di atas kursi kayu di bawah
gantungan sembilan kepala musuh. Ekspresi wajahnya tidak
menunjukkan apa-apa. Tato-tato masih kelihatan di pipi
para prajurit yang terpenggal itu.
LIMA rHA "KETIKA KITA terbiasa menggunakan sarana ^
penyelidikan ilmiah, pikiran kita mengelak dari hal-hal
semacam ini," ujar seorang antropolog Dayak kepada saya
di Pontianak. "Tapi saya percaya adanya dunia
supranatural. S a y a h arus m e m e r c a y a i n y a k arena s a y a pemah
mendengar mengenainya dari para prajurit,
polisi, sesepuh Dayak, Tionghoa, Melayu. Sulit untuk tidak
memercayai orang-orang ini, tetapi sulit juga untuk
memercayai mereka." Setiap orang yang saya jumpai di Kalimantan Barat
punya cerita tentang ilmu hitam Dayak.
Sebelumnya saya pemah dengar tentang panglima, sang
jenderal, atau penyihir perang, yang memimpin Dayak pada
masa darurat. Saya diceritai bagaimana seorang panglima
memanggil lebah untuk menyerang para serdadu Indonesia,
dan bagaimana dia bisa terbang, atau mengubah dirinya
menjadi bentuk seekor anjing, serta memenggal kepala
musuhnya dengan sabetan sehelai daun dari pohon tertentu.
Bagaimana dua tentara di utara mati muntah darah setelah
sebuah kutukan diarahkan kepada mereka, dan bagaimana
sebuah bangsal psikiatri dipenuhi oleh tentara yang jadi gila lantaran apa yang
telah mereka lihat. "Kami bicara dengan tentara-tentara yang pemah bertugas di
Timor Timur dan Aceh," kata Ro m o Andreas. " M e r e k a o r a n g - o r a n g y a n g k u a t.
M e r e k a pemah membunuh dan
ditembak sebelumnya, tapi mengakui bahwa mereka
belum pemah menjadi sebegitu ketakutan seperti ketika
menghadapi orang Dayak."
Di Sanggau, sebuah kota sungai jauh di pedalaman,
sekelompok kecil orang Dayak menuntut darah enam orang
Madura yang dijaga di sebuah pos militer kecil. Tentara
berhasil menahan mereka hingga panglima yang memimpin
ribuan prajurit tiba. Tentara-tentara itu bukan orang bodoh;
beberapa di antara mereka juga orang Dayak. Mereka
menyerahkan orang-orang Madura malang itu dan
menyerah. Tetapi, panglima itu sendirian; tidak ada tentara Dayak.
Prajurit di sisinya adalah kamang, roh perang dan
pembunuhan, yang dibuat terlihat dalam pikiran para
tentara itu melalui mantra sang jenderal.
DI RUMAH pendeta-pendeta muda itu, Romo
Anselmus memperlihatkan koleksi objek ilmu hitam yang
diberikan kepadanya oleh jemaat gerejanya.
Ada botol plastik retak berisi beberapa senti cairan hitam
berminyak "Racun," katanya sambil menyeringai. "Mereka oleskan di ujung sebilah
mandau, atau panah sumpitan.
Meskipun kulitnya hanya kena gores, orang bisa mati dalam
lima menit." Botol plastik itu bertulis-kan Metro Face
Tonic. Ada sekantong akar kering dan umbi untuk melawan
racun yang sama, serta batu hitam untuk menawar sengatan
dan gigitan. Ada sekotak korek api yang dipenuhi potongan
daun kering, yang sedikit seja serbuknya bisa menjamin
perlindungan dari serangan mandau. "Daun ini sangat
langka," ujar Anselmus. "Mereka menemukan tempat
tumbuhnya melalui mimpi. Jika seseorang memakan
ini, satu-satunya yang bisa membunuh mereka adalah
ini." Dia menunjukkan sebuah tombak taj a m dari kayu
pucat lurus. "Sejak perang ini dimulai, ketertarikan pada ilmu hitam meningkat."
A n d r e a s m e n g a n g g u k k a n kepala n ya dan t e r s e n y u m.
"Seorang pemah datang pada saya dan berkata,
'Romo, mengapa Anda begitu rajin berdoa untuk hal-hal
yang tak pemah terwujud" Ketika kami berdoa kepada roh-
roh jahat ini, kehendak kami terkabul.1"
SEORANG SOPIR taksi bercerita kepada kami tentang
seorang Dayak di tengah teman-teman sero m b o n g a n n
y a yang berhasil sampai di kota tanpa ditembak, ditangkap,
atau terbunuh oleh perangkap di hutan. Pada akhimya dia
jatuh ke tangan sekelompok orang Madura yang
memitingnya, dan menikamnya berkali-kali. Tapi, serangan
itu tidak menimbulkan efek apa-apa. Mereka menendang
kepalanya hingga hidungnya patah dan bibimya pecah,
tetapi dia masih menatap mata mereka. Baru setelah
mereka membenam k a n wajahnya di dalam air dia
berhenti bergerak. Tidak mudah menemukan orang yang telah
menyaksikan langsung hal-hal semacam itu.
Satu orang, kepala sekolah Dayak di sebuah desa yang
mengalami salah satu pertempuran sengit, menggambarkan
kepada saya apa yang secara luas dikenal sebagai
manifestasi ilmu hitam Dayak, kekebalan terhadap peluru.
"Di kota saya, hanya ada tiga tentara," katanya. "Dan ketika orang Dayak pertama
kali tiba, mereka menembak ke
udara. Tapi jumlah mereka terlalu sedikit dibandingkan
orang Dayak, dan segera mereka mulai menembak
langsung ke arah orang Dayak. Ada satu orang Dayak,
jaraknya sekitar tiga puluh meteran.
Tentara membidikkan senapan, bunyinya dor! dor! tapi
dia tidak terluka. Mereka menembak untuk membunuh
tetapi tak seorang Dayak pun kena tembak. Saya pemah
mendengamya, tapi baru saat itu saya memercayainya.
Ketika mereka dalam keadaan itu, ketika mereka terisi roh
halus, tak ada yang bisa melukai mereka."
SAYA PERGI menemui seorang pria bemama Miden,
seorang timanggong atau tetua suku, di desa kecil bemama
Aur Sampuh. Dia lelaki bertubuh kecil tetapi tegap, tampil
terhormat mengenakan kemeja yang bersetrika rapi dan
celana panjang. Rumahnya yang apik menjadi pusat seluruh
aktivitas desa. Di dindingnya ada dua perisai Dayak
berukir, dan sebuah kalender berwama kuning dari partai
yang berkuasa di Indonesia.
Tato ular menjalari lengan Miden, dari pundak bahunya
hingga belakang telapak tangannya. Dia memulai dengan
menjelaskan prinsip animisme agama Dayak. Ada roh yang
bersemayam di dalam segala sesuatu, dan adalah tugas
orang Dayak untuk bersyukur dan mengambil hati roh-roh
ini pada setiap musim tanam. "Ketika kami menebang
sebuah pohon kami harus m e n unjukkan kepada roh
pohon itu bahwa kami melakukan itu hanya untuk
menafkahi hidup. Ketika kami menanam padi, kami
menyanyikan lagu. Ketika padi tumbuh setinggi tertentu
ada upacara; ada upacara lain lagi untuk berterima kasih
kepada dewa-dewa pada masa panen."
Sebagai timanggong, Miden m e n y e I e n g g a r a k a n perkawinan,
pembaptisan, dan pemakaman.
Ada ritual-ritual untuk menyucikan padi dan mengusir
burung-burung. "Tapi saya petani sekaligus pendeta - saya
juga menggunakan pestisida." Saya tanya bagaimana dia
bisa menjadi pendeta Dayak. "Ketika kecil, saya ikut timang -gong desa, dan saya ban
y a k b e I a j a r."
Selain menganut agama mereka sendiri, orang Dayak di
desa ini semuanya Kristen, sebagian besar dari mereka
Katolik. Saya bertanya tentang masalah pada Januari dan
Februari. Dia mengatakan tidak terjadi apa-apa di Aur
Sampuh, karena tidak ada orang Madura di sini, dan
karenanya tidak ada kemarahan. Percakapan itu sungguh
menyebalkan, dan saya merasa seolah-olah ada dua sisi
Miden: timanggong dengan pengetahuan ritualnya, dan
politikus lokal dengan kalender partai yang berkuasa di
dindingnya. Setiap kali yang pertama hendak mengatakan
sesuatu yang menarik, yang belakangan selalu menghalangi
dengan kesopanan yang samar dan kompromistis. Dia
bicara dengan otoritas tentang ritual perang Dayak, tetapi
selalu secara abstrak, seolah-olah itu merupakan sesuatu
yang tidak lagi menjadi bagian dirinya. Pertempuran itu
telah membuat dia terkepung di desanya - selama dua
bulan dia tak bisa meninggalkan Aur Sampuh, katanya,
dalam cara yang seakan-akan membuat tempat itu terasa
seperti sebuah pulau terpencil daripada sebuah desa yang
berjarak kurang dari satu jam dari pembantaian yang
mengerikan. "Mangkuk Merah itu apa?" tanya saya.
"Mangkuk Merah digunakan untuk memanggil orang-
orang. Itu adalah simbol komunikasi yang digunakan
selama masa darurat. Ketika seorang utusan membawanya
dari satu suku ke suku lain itu berarti, 'Datang dan bantu
kami.'" Setiap suku memiliki mangkuk yang menjadi merah
karena darah dan dihiasi bulu-bulu ayam. Jika seorang
timanggong menerima Mangkuk Merah maka dia
b e r k e w a j i b a n u n t u k m e n g i ri m s e k u r a n g n y a t u j u h
p r a j u ri t dari desa ke desa - selama masa
pendudukan Jepang, dan pada 1967 ketika pemerintah
sedang memerangi komunis Cina - setiap desa menerima
Mangkuk Merah. "Dibandingkan saat itu, ini bukanlah
perang besar," ujar Miden dengan mantap. "Saya lega sekali desa ini tidak m e n
d a p a t k a n M a n g k u k M e r a h."
Salah satu misteri pembantaian pada Januari dan
Februari itu adalah begitu cepatnya orang Dayak
dimobilisasi, dan koordinasi yang mereka perlihatkan
dalam cakupan wilayah yang luas dengan kondisi jalan
yang buruk tanpa banyak telepon. Jika memang ada
gembong di tengah pihak-pihak yang bertikai, mereka tidak
teridentifikasi secara terbuka, dan Miden menegaskan
bahwa upacara-upacara itu dilakukan secara spontan, tapi
dia sendiri takkan pemah terlibat dalam upacara
pemanggilan roh perang. "Jika seorang timanggong tahu bahwa mereka akan
mengadakan ritual ini, dia tentu akan melarangnya." Dia
menduga ada seseorang yang "mengoordinasi" upacara itu.
Dia tidak tahu siapa. Saya bertanya tentang hakikat panglima, "jenderal-
jenderal" misterius itu. Saya mendapat kesan bahwa tak
seorang pun tahu siapa mereka, bahwa mereka hidup di
pegunungan sebagai pertapa, diri mereka sendiri sudah
setengah lelembut, dan bahwa mereka muncul secara
misterius di desa-desa persis pada saat yang tepat. Miden
membenarkan bahwa panglima bisa terbunuh, dan bahwa
mereka bisa mencium bau orang Madura
serta membedakan mereka dari orang Melayu dan Jawa.
Tetapi panglima adalah seorang manusia, dan bisa jadi
siapa saja; sebelum upacara pemanggilan dimulai tak
seorang pun bisa mengatakan siapa yang akan dipilih oleh
roh halus itu. "Panglima bisa orang yang berbeda setiap
kalinya/' katanya. "Dia adalah siapa pun yang terkuat di kalangan orang Dayak."
Dengan kata lain, tidak ada gembong, tak ada proses
pengambilan keputusan, dan tak ada tanggung jawab.
Orang Dayak terhasut, dan berkumpul bersama untuk
mengadakan sebuah upacara. Dengan keputusan itu mereka
telah menundukkan kehendak bebas mereka kepada roh-roh
tersebut. Belakangan, saya membaca artikel tentang ini ditulis
oleh Stephanus Djuweng, seorang Dayak yang menjadi
direktur Institut Riset dan Pengembangan Daya-kologi di
Pontianak. Artikel itu mengambil titik berangkat dari
arsitektur rumah panjang tradisional Dayak yang kini
tinggal beberapa saja yang masih bertahan digunakan.
Rumah panjang dulu biasanya memiliki ruang keluarga
yang disebut bilek, tersambung ke tempat berkumpul yang
disebut soak. "Setiap bilek dimiliki oleh seorang individu,"
tulisnya. "Sedangkan setiap soak merupakan bagian rumah
panjang yang dimiliki bersama. Pola arsitektur semacam ini
melambangkan keseimbangan antara hak-hak individu dan
kolektif." Itu analogi menarik dan berguna, seperti dikemukakan
Djuweng, terutama untuk negeri seperti Indonesia yang
merupakan negara kepulauan dengan ratusan ras dan
bahasa berbeda. "Orang Dayak adalah manusia biasa.


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka akan melindungi diri mereka sendiri jika tanah atau
hak milik leluhur mereka dilanggar, atau jika anggota
masyarakat mereka diperlakukan di luar batas toleransi,"
kata Djuweng. Tetapi, di bagian awal pada artikel yang s a
m a dia m e n g e m u k a k a n n y a s e c a ra berbeda. " Le b a h m adu m a n
a," dia b e r t a n y a, " y a n g t a k k a n m e m bela d i ri sendiri ketika
madu, sarang, dan anggota
komunitas mereka terancam?"
ENAM 'r ^ji SETIAP HARI selama sepekan, saya dan Budi
^berkendara meyusuri jalan menuju pedalaman, melewati
rumah-rumah hangus terbakar dengan re-r u m p u t a n h u
t a n t u m b u h m e n e m b u s p u i n g - p u i n g a b u n y a. Tiga bulan
telah berlalu semenjak rumah-rumah itu
dirusak, tetapi sebagian besar reruntuhan masih tak
tersentuh, dan kerangka setiap ruangan masih bisa
terbedakan di bawah jalinan besi-besi melengkung - sebuah
bak mandi kecil di sini, di sana sebuah wadah sendok dan
garpu, terkumpul dalam ruangan yang tadinya pastilah
sebuah dapur. Orang-orang yang kami ajak bicara di jalan tahu persis
apa yang telah terjadi dan senang untuk bicara
mengenainya. Di Pahauman, lelaki yang menjual Coca-Cola kepada
kami menggambarkan altar-altar yang dibangun orang
sepanjang jalan di depan rumah mereka. Mereka
menghiasinya dengan kepala terpenggal. "Kurang dari
sepuluh," katanya, ketika saya tanya berapa banyak kepala yang telah dilihatnya.
"Tak seorang pun yang saya kenali dengan baik."
Istrinya mengatakan dulu ada ratusan orang Madura
yang tinggal di sini, dan bahwa dia tidak pemah punya
masalah dengan mereka. "Sebagian dari mereka lari ke
Pontianak, saya kira, tapi barangkali tidak terlalu banyak,"
katanya. Bagaimana perasaannya tentang apa yang telah
terjadi, kami bertanya. "Oh, mengerikan," ujamya, dengan agak ceria. "Saya
ketakutan." Di Salatiga, seorang lelaki mengenakan kaus berlogo
persatuan guru-guru negeri mendekati kami sambil
cekikikan. 7 speek Indonesia!" celotehnya. 7 do not speek Inggris!" Dia adalah
orang Melayu setempat dengan kulit
gelap, dan dengan bersemangat dia menceritakan kisah
tentang bagaimana para praj urit Dayak masuk ke
rumahnya dan menempelkan pisau ke lehemya. '"Kau
orang Madura, kau orang Madura!1 mereka bilang" -
dengan telapak tangannya dia menirukan bilah mandau di
lehemya. "Saya bilang, 'Bukan, bukan, saya Melayu, saya
Melayu!' Terus mereka tanyai seseorang di desa yang
mengenal saya, dan mereka bilang" - m e n g a m b i I jeda untuk m e n a m b a h e
f e k dramatis-"'Tenang saja! Dia bukan orang Madura!' Ha ha ha ha ha!"
Pada hari ketiga, Romo Anselmus setuju untuk
menemani kami pergi ke pedalaman. Dia akan
memperkenalkan kami kepada "orang kunci", katanya,
yang tahu banyak tentang apa yang telah terjadi. Sebelum
kami berangkat, Andreas - yang kelihatannya telah
memikirkan semuanya terlebih dahulu - bicara tentang apa
yang telah dilihatnya sejak pembantaian pertama pada
tahun baru. Rumah keluarganya berada di utara Pontianak, dan dia
sedang berada di dekat Sanggauledo ketika masalah
pertama muncul di sana. Pada 31 Desember, dia meli-hat
orang-orang Dayak tiba dari pedalaman dan mem-bakari
rum a h-rum a h orang Melayu. Pada hari Tahun Baru, dia
sedang berada di pusat pertokoan kota itu ketika
segerombolan orang Dayak kembali dari salah satu
ekspedisi mereka. "Mereka memekik seperti orang Indian
dalam film koboi, 'Wu-wu-wu-wu.1 Salah seorang dari
mereka membawa sebuah kepala, dan seorang lainnya
datang kepada saya sambil memegang sesuatu yang tampak
seperti sepotong lidah. Dia bilang, "Ini hati,1 kemudian mengangkat benda itu ke
mulutnya dan mulai memakannya
di hadapan saya." Andreas menirukan gerak seseorang yang sedang mencabik sekerat
dari potongan daging. "Wamanya
merah tua, tapi tak banyak darah. Kelihatannya tidak
segar." Seringainya yang melengkung ke bawah menjadi
lebih lebar daripada biasanya.
TOKOH KUNCI Anselmus yang pertama adalah
seorang Dayak terkemuka dari Salatiga, kota yang dulunya
memiliki penduduk Madura terbesar. Kami menemuinya di
tambang emasnya, padang pasir putih tandus yang tiba-tiba
membentang di tengah hutan di ujung sebuah jalan yang
berdebu. Pemandangannya seperti lukisan gurun arketipal
karya seorang kartunis: bukit-bukit pasir dengan beberapa
kerangka binatang yang berserakan. Tambang itu terdiri
atas lubang besar terbuka yang ke dalamnya air menetes
melalui tabung karet biru. Lima anak lelaki berikat kepala
terendam sampai setinggi leher mereka, memecah sisi
kolam yang berpasir untuk m e m e k a t k a n I u m p u r n
y a. Lu m p u r itu disedot oleh p o m p a melalui konstruksi Heath Robinson
dari pipa-pipa bambu. Pada ujung pipa itu,
lumpur tersebut mengalir di atas anak tangga kayu berlapis
karung tebal yang disusun berzigzag. Di dalam lapisan
karung inilah, jika dia beruntung, Sabdi, nama penambang
kita ini, akan menemukan butir-butir emas.
Sudah seminggu ini dia tidak menemukan apa-apa.
Kami duduk di bawah tenda asal jadi, tempat beberapa
anak muda mengutak-atik potongan mesin yang berminyak.
Sabdi tinggal di jalan utama Salatiga. Rumah-rumah di
seberangnya adalah milik orang Madura. Pada 30 Januari,
mereka menanggapi rumor tentang masalah di Pontianak
dengan mengangkat senjata mereka dan mengganggu
pengendara motor Dayak. Sabdi m e m bawa keluarga n y a
m e n g i n a p b e r s a m a t e m a n -1 e m a n di kota
sebelah, dan kemudian kembali ke Salatiga. Pada 1
Februari, lima rumah orang Dayak dibakar pada dini hari.
"Saya melihat dengan jelas apa yang terjadi," katanya.
Dalam beberapa jam, orang Dayak mulai berdatangan
dari luar kota. Orang Madura segera kalah banyak, dan
mulai melarikan diri ke dalam hutan, sekitar lima puluh
dari mereka tetap tinggal dan mendapati diri mereka
berhadapan dengan seribuan orang Dayak. "Tiga dari
mereka tertembak," kata Sabdi. "Sinem, Haji Marsuli, dan orang lain yang tidak
saya kenal baik. Orang Dayak
mengambil mayat-mayat mereka dan memutus kepala-
kepala mereka dengan mandau. Kemudian mereka
membelah bagian punggung mayat-mayat itu untuk
mengambil jantung, dan mereka makan jantung itu serta
minum darahnya." Orang Madura yang tersisa melarikan diri. Rumah-
rumah mereka dibakar dan sebagian dari penghuninya mati
terpanggang di dalamnya. Orang Dayak mengejar b u r o n
a n n ya ke d a I a m h u t a n. " D a I a m s e p e k a n m e r e k a telah
membunuh semua orang yang bersembunyi di
hutan," kata Sabdi. "Dua hari kemudian, saya melihat sekitar dua puluh mayat
orang Madura di pinggir jalan.
Mereka tidak berkepala dan tidak berjantung." Sekitar lima dari mereka anak-
anak. Dari semua orang Dayak yang saya temui, Sabdi
tampaknya paling terusik oleh apa yang telah
disaksikannya, yang paling tidak menampakkan seringai
senang yang menebar begitu pasti pada wajah-wajah
mereka yang berbicara tentang kepala-kepala terputus dan
anak-anak yang terpenggal. "Ya, saya lega bahwa orang-
orang Madura telah pergi," katanya, "karena selama mereka masih ada di sini
pertikaian takkan pemah usai. Ketika saya
melihat mayat-mayat itu, sejujumya saya tidak merasakan
apa-apa selama mereka bukan orang yang saya kenali.
Tetapi, Sinem adalah tetangga saya dan sahabat saya yang
sangat baik. Saya sedih melihat dia tertembak, melihat
jantungnya dipotong dari belakang."
Jawaban aneh dan membingungkan ini memuaskan saya
pada saat itu. Tetapi ketika kami dalam perjalanan pulang,
Anselmus tersenyum pada saya, dan bertanya apa kesan
saya tentang Sabdi. Saya bilang dia pintar dan cermat,
seorang saksi yang baik, dan Anselmus tersenyum lagi. Dia
pemah berpapasan langsung dengan Sabdi, jelasnya, persis
setelah insiden yang barusan diceritakannya kepada kami.
Sabdi meninggalkan Salatiga untuk berkumpul kembali
dengan keluarganya di kota tetangga tempat Anselmus juga
kebetulan sedang berada. Pendeta itu bertemu dengannya
saat dia baru datang, dan mulut dan wajah Sabdi basah
dengan darah segar. "Dia memakan jantung seseorang,"
Anselmus t e r s e n y u m. " M u n g k i n dia terpa k s a m elak u k a n n ya,
agar mereka membiarkannya pergi
meninggalkan Salatiga. Tapi kelihatannya dia juga dalam
keadaan kerasukan. Dia tidak tahu apa yang sudah
dilakukannya." Tak seorang pun di antara mereka yang kami ajak bicara
pemah mengungkapkan andil pribadi di dalam
pembantaian-pembantaian itu.
SETIAP PAGI saya pergi dengan Budi melalui
monumen hitam yang menandai garis tengah bumi. Siang
kami lewatkan di belahan utara, mengobrol dengan orang-
orang di desa-desa Dayak; malam harinya kami melintasi
khatulistiwa untuk kembali ke hotel di sebelah selatan.
Suatu hari di Salatiga seseorang berkata, "Apakah kalian ingin melihat orang
Madura di hutan?" Kami sedang duduk di sebuah restoran kecil, sebuah
ruangan berdinding semen beratap seng karatan, melahap
semangkuk besar sup mie babi. Supnya sangat panas dan
membuat kami berkeringat. Orang yang berbicara dengan
kami adalah seorang pemimpin Dayak yang lain. Dia
membumbui supnya dengan beberapa jenis rempah pedas.
Dia menyuruh orang untuk memanggil anak lelakinya yang
berusia belasan tahun. Anak itu datang dengan vespa dan
ikut naik ke dalam jip bersama Budi dan saya.
Kami berhenti di depan belasan rumah hangus di pinggir
desa. Di depan rumah-rumah itu ada halte bus dengan
coretan grafiti yang berbunyi Terima kasih sudah kembali
ke Pulau Madura. Kami berjalan ke arah hutan, melewati
sebuah masjid. Tak ada siapa-siapa di sana. Di halamannya
yang tertutup ada sampah dedaunan yang berserakan dan
kelapa-kelapa pecah, selebihnya utuh. Hutan menjulang
seperti sebuah dinding di ujung lahan terbuka itu dan, pada
sisi terjauh dari dinding itu, riuh suara serangga-serangga
tiba-tiba memekakkan telinga. Rasanya seperti berada di
dalam mesin listrik besar yang ribut.
Kami sedang berjalan di atas jalan setapak yang dipenuhi
tanaman pakis dan ilalang. Setiap beberapa meter ada
pohon karet dengan alur getah putih menetes sepanjang
batang ke dalam wadah yang terbuat dari daun. Pemandu
kami yang muda sesekali berhenti untuk memeriksa salah
satunya. Di belakangnya berjalan Budi dan kemudian saya.
Saya memikirkan tentang kawat jebakan dan granat
tangan. Tiba-tiba, kami berbelok dari jalan setapak itu menuju
semak-semak. Anak itu merambah jalan untuk kami dengan
parangnya. Bagaimana dia tahu bahwa ini adalah tempat
untuk berbelok" Kami sudah lima menit meninggalkan
jalan, tapi saya tidak tahu lagi di arah mana jalan itu
terletak, dan ketika Budi bicara kepadanya anak itu hanya
tersenyum basa-basi kepada kami dan terus saja merambah.
Saya mulai membuat perhitungan, misalnya: apakah ada
ranjau terpasang sehingga akan membunuh orang yang
menginjaknya, orang yang berada di depankah" Atau
apakah ada granat tangan beberapa meter di belakang
kawat jebakan, misalnya di tempat saya sekarang
melangkah" Dan, apakah saya dan Budi akan mampu
mengalahkan anak ini kalau dia menyerang kami" Dia
setengah meter lebih pendek dari pada saya dan bertubuh
ceking, tetapi dia punya mandau. Pepohonan menjulang
satu meter lebih di atas saya. Saya bisa merasakan sup babi
tadi di mulut saya. Seseorang memanggil dari dalam hutan, dan pemandu
kami menanggapi dengan tertawa. Sekonyong-konyong,
dari kedalaman rimba, muncul seorang anak lain, dan
kedua teman itu saling bersalaman. Anak pertama m e n u n
j u k k e a ra h k a m i, s e a k a n - a k a n m e m p e r k e n a
I k a n, dan pendatang baru itu tersenyum. Dia muda,
kumal, dan ramah, seorang Dayak kurus dengan sebilah
golok. Tapi, saya sudah kehilangan keyakinan pada
kemampuan saya untuk membaca senyuman orang. Saya
balas mengangguk, dan bertanya pada Budi apa yang
mereka katakan. "Saya tidak tahu," katanya. "Mereka bicara dalam bahasa Dayak."
Sepuluh meter kemudian kedua anak itu berhenti dan
menunjuk dengan mandau mereka. Di sana, mencuat dari
tanah hutan yang berlumpur, ada sebuah kerangka.
Kerangka itu setengah terkubur dalam tumpukan
dedaunan dan pakaian lembap, tapi segera tampak dengan
jelas bahwa itu adalah kerangka manusia. Tulang-tulangnya
yang putih terang membuat saya teringat spesimen di
laboratorium biologi sekolah.
Dua ratus meter dari sana ada lima kerangka lagi.
Semuanya perempuan. Itu dapat diketahui dari pakaian
mereka, serat buatan murah a n dengan wama terang yang
tak bisa diurai bahkan oleh hutan. Dalam tiga bulan, gerak
alamiah serangga dan tetumbuhan akan melahap habis
setiap potong daging dari tulang-tulang mereka. Di sini
barisan tulang belakang yang lunak, di sini bahu, di sini
lengkungan tulang rusuk. Tak ada bau, selain bau tanah dan
dedaunan. Tak satu pun dari kerangka itu yang
bertengkorak. Ada sebuah dompet anak-anak, kosong, bergambar anak-
anak kucing kuning. Ada celana pendek nilon berpola, dan
celana dalam, masih melekat di tubuh. Tiba-tiba pemandu
kami tidak lagi tampak seperti penjahat potensial yang
mampu membunuh dan merampok kamij mereka kelihatan
seperti sejatinya mereka, remaja kurang terurus yang
sedang membantu kami. Kami bertanya apa yang telah
terjadi pada kepala keenam perempuan itu.
"Sejak pertama kami melihatnya di sini, mereka sudah


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berkepala dan tidak berjantung."
Sejarak beberapa meter dari sana, di tengah serakan
pakaian lembap berlumpur, ada dua tengkorak. Tengkorak
orang dewasa, tetapi tak jauh dari sana ada sepasang sepatu
bayi yang sudah meleleh. Cerita anak-anak itu, dua minggu
setelah pembantaian, tentara-tentara datang ke sini dan
menuangkan minyak tanah pada tengkorak-tengkorak itu
serta membakar daging yang masih melekat pada mereka.
Saya mencoba membayangkan kengerian yang
mengiringi kematian para wanita ini.
Mereka lari ke dalam hutan bersama anak-anak mereka,
sebagai tindakan berjaga-jaga barangkali, sampai kaum
prianya dapat menyelesaikan masalah di kota. Dari sini
mereka bisa mendengar bunyi tembakan dan mencium bau
asap dari rumah-rumah mereka yang terbakar. Apakah
mereka mengerti apa yang telah terjadi ketika bantuan tak
kunjung datang" Barangkali yang lebih berani di antara
mereka berjalan pulang ke Salatiga untuk memeriksa, dan
tak pemah kembali. Berapa malam yang telah mereka
lewatkan menanti di hutan" Apakah mereka mendengar
pekik Wu-wu-wu-wu itu dan tahu mereka sedang diburu" Apakah mereka kenal
orang Dayak yang membunuh mereka" Apakah mereka
berpikir (seperti yang saya pikirkan): Ini hanya lelucon.
Orang-orang tidak iagi memotong kepaia orang di zaman
sekarang. Atau mungkin mereka sudah tahu betul itu.
Lima dari mereka tewas bersama-sama di tempat ini;
yang keenam tewas sendirian. Apakah dia melarikan diri,
atau jatuh secara terpisah pada perjumpaan yang lebih
awal" Mereka dibunuh oleh lelaki, tidak diragukan lagi,
yang memenggal kepala mereka dan memakan jantung
mereka, tetapi mereka tidak dinodai sebagaimana halnya
masjid-masjid tempat kaum pria mereka bersembahyang.
Sekarang mereka sama seperti rumah-rumah mereka di
pinggir jalan, dihancurkan tapi tidak diganggu, diabaikan
kecuali oleh para pengunjung yang ingin tahu, sementara
rerumputan tumbuh di sela-sela rusuk mereka dan m e n y e
m b u n y i k a n t u I a n g -1 u I a n g m e r e k a.
Budi ingin mengambil sepotong tulang punggung sebagai
suvenir, tetapi saya memintanya untuk meletakkannya
kembali. Kami kembali ke jalan.
Kami berjabat tangan dengan para penyadap getah karet
itu. Saya merasa bersalah dan bodoh sudah mencurigai
mereka akan menjebak kami ke dalam p e r a n g k a p. K a
m i m e n a w a r k a n u n t u k m e n g a n tar m e re k a
kembali ke kota, tetapi mereka lebih suka berjalan kaki.
Saya mencoba memberi mereka uang, tetapi mereka
menolak untuk mengambilnya.
DALAM PERJALANAN kembali ke Pontianak kami
singgah di rumah Andreas dan Anselmus. Di sana
seseorang telah menunggu kami. Dia adalah orang paling
menakutkan dari semua yang saya jumpai di Kalimantan.
Selama beberapa hari, kedua pendeta itu telah berusaha
membujuknya untuk menemui saya, tetapi sejak saat kami
berjalan masuk ke pintu dia tampak menyesali
keputusannya. Dia duduk di sisi terjauh dari meja yang
diseraki oleh kulit buah-buahan dan mengangguk dengan
gugup saat Anselmus menjelaskan kepada Budi persyaratan
ketat yang dituntutnya untuk bicara kepada saya. Dalam
setiap tulisan saya, identitasnya mesti disembunyikan
sepenuhnya. Saya berjanji bahwa saya akan menyamarkan
bukan hanya nama aslinya, melainkan juga pekerjaan, usia,
suku asal, dan bahkan penampilannya. Kelak, ketika kami
telah sedikit rileks, saya coba menggodanya untuk tawar-
menawar soal ini, dan memenangi hak atas beberapa detail
berikut. Dia orang Indonesia (tetapi bukan Dayak), berusia
akhir dua puluhan, dan dia punya kumis tipis serta jam
digital. Sehari sebelum saya meninggalkan Pontianak,
orang itu menelepon Budi untuk memberi tahu kami nama
samaran yang dia inginkan: Bemard.
Bemard tinggal di desa setempat, dan dia punya sesuatu
untuk diperlihatkan kepada kami, dalam amplop cokelat
yang disorongkannya ke seberang meja.
Amplop itu berisi foto-foto.
Beberapa foto pertama memperlihatkan rumah-rumah
terbakar, beberapa dengan asap masih membubung dari
rumah-rumah itu. Pada 7 Februari, sepekan setelah
pertikaian merebak, Bemard pergi bermobil ke daerah
pedalaman sebelah timur, menghabiskan dua rol film
sepanjang jalan. Foto-foto itu memperlihatkan rintangan jalan yang
dibuat dari meja-meja terbalik, dengan slogan-slogan dalam
tinta merah tertulis di atas lembaran-lembaran triplek:
Orang Madura Adalah Para Kriminal Kaiiman-tan Barat;
Salatiga Tidak Mau Menerima Orang Madura Lagi; Pulang
Saja ke Madura. Di Senakin, Bemard tiba di tengah sergapan orang
Dayak. Foto-foto itu memperlihatkan kerumunan beberapa
ratus orang. Mereka mengenakan kaus oblong dan celana
jeans. Mereka membawa senapan dan mandau, serta ada
bulu yang diikatkan ke kepala mereka dengan pita
merah, dan pita-pita di tombak mereka. Mereka membawa
spanduk bertuliskan slogan-slogan anti-Madura. Pada salah
satu foto, orang-orang itu mengacung-acungkan senjata
mereka, seolah-olah sedang menusuk udara. Di foto
lainnya, mulut orang-orang Dayak itu terbuka, seperti
sedang bersorak keras. Di belakang mereka dapat terlihat
perbukitan hijau. Sekelompok orang berdiri di atas atap
sebuah bus putih. "Saat itulah pertama kalinya saya merasa ketakutan,"
kata Bemard. M e re k a adalah o r a n g - o r a n g D a y a k dari p e d
a I a m a n. Yang di atas bus itu adalah anggota dewan
regional yang diutus untuk menenangkan mereka. Dapat
dilihat bahwa mereka gagal mencapai itu. "Semua orang
Dayak itu siap untuk berperang, dan mereka kerasukan,
mere-ka tidak bertindak secara normal," kata Bemard.
"Mereka semua sedang diam membisu, dan kemudian
seseorang memekik, dan mereka semua memekik
bersama - 'Wu-wu-wu-wu!'" Sekelompok orang di bawah
payung merah berdiri terpisah dari para politikus lokal itu.
Salah seorang dari mereka memakai ikat kepala merah, dan
sedang bicara di mikrofon. Ini adalah sang panglima. "Saya pemah melihat
politikus bicara dalam kampanye pemilu,"
kata Bemard," mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan
panglima ini. Orang-orang ini bersedia melakukan apa pun
yang dia katakan." Foto-foto berikutnya adalah rumah-rumah yang habis
dilalap api di Pahauman. Di dalam rumah-rumah itu ada
kerangka tubuh - satu utuh, lainnya hanya tulang punggung
yang melengkung, mirip lipan putih raksasa. Kemudian,
ada mayat tak berkepala tergeletak di jalan berpakaian
pendek biru terang dan celana pendek merah. Buah zakar
mayat itu menggelembung di selangkangan celana
pendeknya. Dalam salah satu foto itu, mayatnya tampak
seperti berkepala, tapi itu temyata isi perutnya yang
ditumpuk di atas dadanya yang sudah bolong untuk
mengambil jantungnya. Kemudian, ada hasil bidikan ke arah sebuah selokan di
pinggir jalan. Di sana tergeletak dua kepala berdampingan.
Wamanya oranye kemerahan, seperti terpanggang
matahari, wama kulit orang yang baru pulang dari liburan
di pantai, dan sisinya yang terlihat telah dirusak oleh
pembusukan. Sepasang lubang mata yang menghitam.
Telinga seperti karet, di bawah sisi yang lembek karena
terbakar. Mereka tampak seperti labu yang dipersiapkan
untuk Halloween, dan ditinggalkan terlalu lama di kebun.
Saya bertanya apakah saya boleh mencetak ulang foto-
foto itu, tapi dia takut. Foto-foto itu dicetak dengan cepat, sebelum pihak
berwenang berhasil menguasai situasi, tapi
sekarang banyak mata-mata di studio-studio foto, katanya.
Seorang temannya mencoba datang kembali untuk
mencetak, tapi kemudian film negatif miliknya disita dan
dia disambangi oleh pihak militer. Kalau saya hendak
menggunakan foto-foto tersebut, saya harus mengambil
yang sudah tercetak itu. Bemard seorang yang miskin, dengan istri sakit-sakitan.
Dia segan meminta uang, tetapi dia amat
membutuhkannya. Pada akhimya saya membayamya lima
ratus pound, dan kami berjabat tangan atas kesepakat-an itu
dengan nyengir lebar di wajah kami.
Di dalam mobil, saya tertawa sendiri, jenis tawa yang
terasa aneh dan dingin, sembari jari saya memainkan
amplop berisi foto-foto itu.
SAYA DAN BUDI pulang, serta dia bercerita kepada
saya tentang istri dan anak-anaknya yang masih kecil, serta
kecemasan pada bulan Februari ketika Pontianak penuh
dengan rumor tentang perang etnis dan serangan orang
Dayak yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Ibunya yang sudah tua tinggal sendirian tak berapa jauh
dari rumah Budi. Pembantu istrinya, seorang Dayak, telah
meninggalkan kota dan pulang kembali ke desanya di
pedalaman tak lama setelah masalah itu merebak. Ada
populasi orang Tionghoa yang besar di Pontianak, lebih
aman di sana daripada di Jawa, tempat toko-toko dan bisnis
orang Tionghoa suka dibakari atau dilempari batu. Tetapi,
ada diskriminasi terlembaga yang membuat Budi terdepak
keluar dari universitas negeri (catatan akademisnya bagus
tetapi dia tak bisa membayar uang sogo k a n), d a n m e m
buat n ya t e r p a k s a m e n g a m b i I n a m a Melayu.
Nama Budi sama seperti kaus putih dan celana hitam yang
dia kenakan setiap hari, jam kerjanya yang panjang, serta
keakuratan matematis ingatannya tentang berbagai fakta
dan peristiwa - dia harus melakukan upaya adaptasi yang
keras agar bisa bersaing dengan yang lain, untuk bisa naik
ke posisi yang telah ditempati oleh para pesaing berkulit
lebih gelapnya sejak awal.
Kami melewati sebuah poster yang, meski tak bisa saya
baca, dengan gamblang memperingatkan tentang bahaya
AIDS: sebuah gurita raksasa melilitkan tentakelnya di
sekeliling bola bumi, di atas ilustrasi bergaya sebuah
kondom. Budi mengetahui sudah ada dua kasus AIDS di
Pontianak, keduanya adalah perempuan pelacur yang kini
jumlahnya lebih sedikit daripada pada masa-masa yang
lalu. Dulu ada wilayah lampu merah yang besar: empat
ratus perempuan bekerja di sana. "Harganya murah sekali/'
kata Budi, sedikit mengejutkan saya. "Lima dolar atau
kurang - empat dolar. Empat dolar." Bayangkan! Tetapi itu
tempat kelas bawah. Banyak pertengkaran di sana untuk
memperebutkan perempuan, karena tamu-tamunya mabuk .
Tetapi sekarang tempat itu tidak ada lagi. Banyak orang
Muslim Madura di daerah ini, dan mereka membakar
tempat itu persis tahun lalu."
Maka bisnis itu pindah ke tempat-tempat berkelas atas
termasuk, rupanya, hotel saya. Untuk menginap di sana
saya harus membayar tujuh puluh lima dolar; di Hotel
Flamboyan t yang lebih murah, dua puluh lima. Karena
alasan tertentu, pengetahuan Budi tentang tempat-tempat
ini sedikit mengusik saya. Ada hening sejenak.
"Anda tentu punya banyak cewek Asia, bukan?" tanya
Budi. Saya menggumam tak jelas.
"Anda tahu, cewek-cewek Jawa jauh lebih ... romantis
daripada cewek-cewek Cina. Mereka tahu apa yang kita
inginkan, mereka tidak canggung, mereka tahu cara
bercinta. Cewek Cina, mereka pemalu, sung-kan. Mereka
tidak tahu apa yang harus diucapkan."
Saya mengajukan teori tidak meyakinkan bahwa ini ada
hubungannya dengan peran-peran tradisional perempuan di
dalam setiap budaya: Orang Cina duduk di rumah dengan
kaki mereka terikat gelang, orang Jawa menari erotis di
depan Sultan-Sultan mereka.
"Mungkin Anda benar," ujar Budi, "tapi tahu tidak"
Anda boleh saja punya pendapat sendiri tentang orang
Madura, tapi cewek-cewek Madura?" dia menarik napas k a
g u m -"Anda h arus m e n c o b a n y a. Mereka ahli he tuf.
Mengagumkan. Dulu saya tak pemah percaya - teman saya
menceritakan tentang itu, tapi saya pikir, 1P e r e m p u a n y a p e r e m p u
a n - s e m u a n y a p u n y a I u - b a n g yang sama.1 Tapi dia benar. Tidak
terlalu mudah mendapatkannya di sini, khususnya pada saat ini, tetapi di
Jakarta ada tempat-tempat yang bisa Anda kunjungi, salon
pijat. Saya sendiri tidak pemah percaya. Tapi, itu benar."
Belakangan saya mengetahui bahwa ini merupakan k e p
e r c a y a a n y a n g I u m r a h d i k a I a n g a n o r a n g Indonesia:
perempuan Madura, konon, telah menguasai
teknik mengencangkan otot-otot vagina yang mereka
lenturkan secara dramatis pada saat bersanggama. Rahasia
ini diwariskan turun-temurun dari nenek kepada ibu kepada
kakak perempuan. "Rasanya sepertinya mereka menyedot dari sebelah
dalam," ujar Budi, melepaskan pandangannya dari jalan.
"Bagaimana mereka melakukan itu" Kita di dalamnya, tapi
mereka menyedot kita."
SAAT ITU sedang musim durian, dan desa-desa dengan
penuh dengan truk-truk serta meja-meja yang sarat berisi
buah hijau yang bau itu. Bahkan dengan jendela tertutup
dan pendingin udara menyala, baunya tetap menembus ke
dalam jip. Saya tak pemah memakannya sebelumnya,
perjalanan dan percakapan yang panjang itu diselingi oleh
rasa sendawa durian saya yang berulang-ulang.
Suatu malam saat kami kembali agak larut melewati
permukiman yang hangus terbakar di pinggiran Salatiga,
kami melihat cahaya di sisi jalan. Budi melam-bat dan
menghentikan mobil di depan sebuah rumah yang tidak
terbakar, satu-satunya yang utuh sepanjang hampir satu
kilometer ini. Saya pun bisa membaca kata-kata berbahasa
Indonesia yang dicoretkan dengan arang di dinding:
ORANG JAWA, Kami dari JAWA, begitu bunyinya,
TIDAK ADA ORANG HAD URA DI SINI. Kami turun


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menemukan sebuah keluarga sedang duduk di
sekeliling meja kayu mengitari sebatang lilin yang
dikerubungi ngengat. Mereka adalah orang termiskin yang pemah saya lihat di
Kalimantan. Prianya berdada tipis, keriput dan kurus
seperti sakit. Dia dan istrinya tidak tua, tetapi mereka lebih mirip kakek-nenek
daripada ibu dan ayah dari anak yang
sedang duduk di tanah dengan kaus kusam. Rumah mereka
tak berisi apa-apa kecuali beberapa kain kotor di lantai.
Mereka menyuguhi kami teh dan menceritakan kepada
kami apa yang telah terjadi di sini, serta tidak tersenyum
atau tertawa sekali pun. Saya ingin tahu tentang kehidupan yang pemah mereka
alami di Jawa, sehingga mau bertahan di sini.
Seperti kebanyakan orang, mereka telah mencium
masalah yang akan tiba, dan keluar dari kota selama
beberapa hari. Tetapi, mereka lupa menandai rumah
mereka dengan slogan-slogan di dinding, dan orang Dayak
mengasumsikan bahwa setiap rumah yang dikosongkan
berarti rumah orang Madura. Ketika lelaki itu kembali, dia
menemukan rumahnya telah terbakar seperti lainnya di
sekitar sana - tempat yang mereka tinggali sekarang bukan
rumah mereka yang dulu. Seluruh orang Madura yang tidak pergi telah dibunuh.
Bahkan sapi-sapi mereka pun dibantai, dan ada ratusan
kepala bergelimpangan. Enam keluarga tetangga tergeletak
di jalanan, tanpa kepala atau jantung, termasuk
perempuan berusia delapan puluh tahun.
"Bagaimana Anda bisa tahu siapa mereka, kalau mereka
tak berkepala?" tanya saya.
"Mereka tetangga saya," kata lelaki itu. "Saya melihat mereka setiap hari."
"Apakah Anda marah?"
"Tidak," jawabnya. "Saya hanya ngeri."
Beberapa anak dan teman lagi datang dan bergabung
dengan kami di seputar lilin, semua mereka ber-wajah
tercengang khas orang-orang yang sangat miskin. Mereka
semua berebutan bicara, dalam suara lirih, dan Budi jadi
kesulitan untuk mengikuti.
"Saya melihat empat atau lima anak. Tak ada kepala
anak-anak, hanya mayat tanpa kepala."
" K e t i k a o r a n g D a y a k m e m b u n u h, m e re k a m e I e t a k k a
n kepala orang-orang itu di jalan, dan
kemudian mengumpulkannya semua di satu tempat."
"Mereka membawanya di dalam karung ..."
"... rumah pemimpin Dayak."
Kemudian, salah seorang anak perempuan berlari ke
arah ayahnya dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
Semua orang terdiam, dan ibunya mulai menepukkan
telapak tangannya ke buku catatan saya serta mengerutkan
alisnya ke arah saya. Saya menyelipkan buku saya ke dalam
tas, saat sorot senter jatuh di atas dinding-dinding rumah
itu. Dua sosok melangkah mendekat dari belakang kami.
Senter itu menyorot langsung ke arah Budi dan
kemudian ke arah saya. Kedua pendatang baru itu saling
memandang serta tertawa, dan saya bisa melihat wajah
mereka. Mereka anak muda berambut hitam panjang s e b a
h u. M e r e k a m e n g e n a k a n cela n a p e n d e k dan t o p i bisbol,
tetapi bertelanjang dada; di sisi kiri, masing-masing membawa sarung pedang
berisi mandau. Salah seorang membawa senapan berburu,
lainnya lembing bambu. Mereka tertawa lagi dan duduk di
samping kami. Yang bersenapan duduk di pinggir dengan topinya
ditarik ke atas wajahnya, tetapi temannya suka mengobrol
dan bergurau dengan anak-anak perempuan saat mereka
membawakan teh untuknya. Dia menanyakan pertanyaan
yang, untuk alasan tertentu, Budi enggan
menerjemahkannya untuk saya. Ada penjelasan tentang
siapa kami dan dari mana kami datang. Saya mendengar
kata-kata "Inggris" dan "turis". Akhimya saya berhasil menyela bicara.
"Apa yang kalian lakukan di luar selarut ini?" "Berburu."
"Apa yang kalian buru?"
"Binatang." "Sudah ada yang ketemu?" "Belum malam ini."
Wajahnya tampan dan matanya berbinar. Dia dan
temannya adalah orang Dayak, katanya, yang menyadap
karet di hutan tak jauh dari sini. Dia berasal dari Menjalin; dia kenal Romo
Kristof. Keluarganya tinggal kira-kira satu
setengah kilometer di jalan ke arah Salatiga, seorang istri
dan tujuh anak. Dia sangat bangga dengan anak-anaknya
dan mengatakan kepada kami umur persis masing-
masingnya, dari empat belas hingga satu tahun empat
bulan. Dia suka orang Tionghoa, katanya kepada Budi.
Saudara perempuannya kawin dengan orang Tionghoa.
"Bagaimana dengan orang Madura?" tanya saya.
Budi tertawa gugup saat dia menerjemahkan pertanyaan
itu, dan tertawa lebih tidak meyakinkan lagi atas
jawabannya. "Dia tidak suka orang Madura/1 kata Budi. "Dia bilang orang Madura itu maling-
maling di sini, dan jika mereka
dibiarkan lari ke Pontianak, mereka akan menjadi pencopet
di sana. Semua orang Madura harus m e n i n g g a I k a n
Kali m antan." "Di mana orang Madura yang dulu tinggal di sekitar
sini?" "Sebagian mayat mereka dibawa pergi oleh polisi, tetapi
di sekitar sini masih banyak mayat di dalam hutan. Tak
seorang pun berani membawanya keluar dari hutan." Saya
berkata, "Saya mohon maaf jika ini pertanyaan yang kasar, tetapi haruskah kalian
membunuh begitu banyak orang
Madura?" "Dia bilang dia sendiri tidak pemah membunuh mereka."
Saya tanya apakah benar orang Dayak kebal peluru, dan
dia tertawa. Dia terus bicara tentang saudara perempuannya dan ipar
keturunan Tionghoanya, yang pengusaha. Setelah setengah
jam, kami menjadi teman yang begitu baik sehingga mereka
menjabat tangan kami, dan bahkan membolehkan kami
berpose di sampingnya dalam sebuah foto. (Saat melihat
kamera temannya surut lebih jauh ke tempat gelap, dengan
topinya ditarik lebih ke jauh ke bawah matanya.)
Tangan Budi gemetar saat kami kembali masuk ke mobil.
Banyak dari yang telah dikatakan tetap tak diterjemahkan,
tetapi dia menegaskan sesuatu yang sudah jelas: bahwa
kedua pria itu sedang berburu orang Madura yang dengan
suatu cara berhasil lolos dan diam-diam kembali ke lokasi
rumah lama mereka. Mereka melihat mobil kami di pinggir
jalan, dan curiga. "Itulah sebabnya mereka begitu kaget
melihat kita," kata Budi. "Mereka bilang, 'Kami pikir kalian orang negro.'"
Budi menanyai mereka apa yang akan mereka lakukan
andai temyata kami negro.
'"Kami akan membunuh kalian"' kata mereka. 'Orang
Dayak tak suka orang Negro. Semua Negro harus m e n i n
g g a I k a n Kali m antan.1"
"Dia bilang dia sendiri tidak membunuh," kata Budi.
"Tapi mungkin dia berbohong pada kita."
Saya pikir dia bohong. Mereka pembunuh. Saya tidak
pemah melihat perang, tetapi saya pikir perang jenis
Teror Di Ruang Bawah Tanah 2 Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar Pendekar Cacad 4
^