Pencarian

Zaman Edan 2

Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry Bagian 2


tertentu bergantung pada pemuda-pemuda seperti ini, dan
mereka bisa dijumpai di mana saja di seluruh dunia dan di
sepanjang sejarah, di Kamboja, Bosnia, Rwanda, dalam
setiap perang saudara dan perang suku. Orang muda yang
bangga pada anak-anak perempuan dan saudara perempuan
mereka yang memburu manusia-manusia lain untuk
kesenangan. Mereka mengerikan, tetapi tidak ada yang
misterius tentang mereka. Kami melaju kencang ke arah
Khatulistiwa, semakin tidak takut pada ilmu Dayak, tetapi
tetap sekaligus semakin takut. []
ORANG-ORANG TERBAIK '^fcfe SATU T V| Bela k a n g a n, o r a n g - o r a n g y a n g p e r n a h
^ mendengar tentang Dayak dan Madura di Kalimantan
akan berkata, dengan senyum bimbang di wa-jah mereka,
"Jadi, kamu benar-benar melihat-nya"n
"Saya melihat korban-korbannya," demikian saya
menjawab. "Saya melihat mayat-mayat mereka di hutan.
Saya bicara dengan orang-orang yang melihatnya, dan saya
melihat foto-foto." "Tapi, kamu tidak benar-benar melihatnya dengan
matamu sendiri, kan" Itu lho ... memakan."
Saya harus mengakui bahwa, tidak, saya tidak pemah
melihatnya langsung. Itu sulit dipercaya; ada saat-saat ketika saya pun m e r a g
u k a n n ya. S e o r a n g p r o f e s o r A m e ri k a p e r n a h
mempersembahkan satu buku khusus untuk menyatakan
bahwa kanibalisme adalah sebuah mitos yang disebarkan
oleh antropolog Barat sebagai cara lain untuk meninggikan
manusia "berperadaban" di atas makhluk "biadab" yang lebih rendah. Setelah
artikel koran saya tentang Kalimantan
Barat, datang surat-surat kecaman dari berbagai
organisasi hak asasi manusia yang bemiat baik, mereka
berkampanye atas nama penduduk asli dan pada dasamya
menolak untuk percaya bahwa hal-hal semacam itu benar-
benar terjadi. Dua tahun berlalu, dan perubahan datang dengan cepat
ke Indonesia. Soeharto dipaksa mundur, tetapi bersamaan
dengan kebebasan politik baru datanglah kekerasan. Di
berbagai tempat, orang-orang tewas dalam konflik-konflik
lokal yang tak saling terkait, dan pembunuhan di
Kalimantan mulai terlupakan. Kemudian, suatu hari, secara
tak terduga, saya kembali ke Kalimantan Barat dan nyaris
menjadi seorang kanibal pula.
Pada pertengahan Maret 1999, sebuah periode
kecemasan besar bagi Indonesia, ketika bangsa itu seolah
sedang menuju perpecahan dan pelan-pelan tenggelam,
berlangsung sebuah pertemuan luar biasa di pusat Jakarta.
Pertemuan itu diselenggarakan di Hotel Indonesia,
bangunan mewah tertua di negeri itu, yang sela-ma empat
puluh tahun telah menjadi tempat pertemuan bagi kalangan
elite Jakarta. Di dalam hotel itu ada dunia terhormat yang
berpendingin udara; di luar, di sekeliling air mancur besar di tengah bundaran
jalan berlalu lintas padat, berdiam
populasi anak jalanan, pengemis, pengamen, dan pelacur
yang datang silih berganti. Dan di jalanan yang diapit kedua
tempat itu, saat saya kebetulan melewatinya suatu sore,
berdiri k e ru m u n a n o r a n g - o r a n g y a n g m e n c e n g a n g k a
n. M e re k a bersorak dan berteriak sambil
menyeberangi jalan; sebagian dari mereka bergandengan
tangan dan menghentakkan kaki sambil menghindari
kendaraan yang lewat dengan langkah bak menari. Mobil-
mobil menurunkan jendela untuk melihat apa yang terjadi;
para pengamen dan anak jalanan menonton.
Setengah dari mereka bertelanjang kaki atau bertelanjang
dada, atau keduanya. Ada setidaknya satu tombak perang,
sepasang panah berburu, belasan mandau dan sejumlah
belati keramat yang disebut keris. Ada kemeja-kemeja batik
wama wami, sarung dengan pola kotak-kotak dan garis-
garis tradisional, serta cawat terbuat dari bahan jerami dan
katun. Serombongan orang Dayak membawa perisai perang
berbentuk belah ketupat; sekelompok dari Irian Jaya
mengenakan bulu-bulu burung cendrawasih pada hiasan
kepalanya. Hanya ada satu objek yang sama-sama mereka
bawa; berkibar-kibar di leher setiap orang, terbungkus
dalam plastik laminasi transparan, kartu identitas yang
memuat nama, foto dan kata-kata Kongres Masyarakat
Adat Nusantara. Kongres itu berlangsung hingga pekan
depan, Hotel Indonesia adalah tempat penyelenggaraannya,
dan mereka adalah para delegasi yang tiba untuk acara
pembukaan. Lobi hotel itu dipenuhi dengan stan-stan yang menjual
aneka produk dari berbagai pulau - keranjang, pipa
sumpitan, genderang, jimat, dan mangkuk-mangkuk. Ada
lebih dari lima ratus delegasi dan para pendukung mereka,
anggota puluhan kelompok etnis berbeda dari berbagai
pulau: orang Papua yang berambut kribo dari Irian, orang
Bugis yang bersemangat tinggi dari Sulawesi, orang Badui
yang pendek dari Jawa Barat. Agenda yang tercetak
memuat daftar seminar dan lokakarya yang akan
diselenggarakan sepanjang pekan depan. Akan ada diskusi
tentang hak atas tanah, hukum adat, dan pemberdayaan
politik; akan ada debat-debat dan resolusi, daftar sepuluh
tuntutan. Orang Indonesia sedang menikmati kebebasan
lebih besar dibandingkan yang pemah mereka miliki kapan
pun dalam masa tiga puluh tahun terakhir, tetapi
pemyataan resmi kongres terasa tegas dan berani. "Jika
negara tidak mengakui kami," simpul dokumen tersebut,
"maka kami tidak akan mengakui negara."
Ada juga orang asing di kongres itu. Mereka adalah para
anggota organisasi yang telah begitu berang lantaran tulisan
saya tentang Kalimantan Barat. Saya berjumpa salah
seorang dari mereka di lobi hotel, seorang perempuan
Inggris yang dua tahun lalu menuduh saya mengarang-
ngarang detail tentang pembantaian itu.
"Kita perlu bicara," katanya, setelah kami berkenalan.
"Saya perlu memunguti beberapa tulang denganmu."
Maksudnya, tentu saja, dia perlu sedikit penjelasan dari
saya. "Tulang?" sahut saya.
Kami sepakat untuk bertemu sore berikutnya.
Hari mulai gelap ketika saya kembali ke hotel. Saya
mengamati suvenir yang saya beli dari stan di lobi -
sekantong kayu yang pemah diperlihatkan Romo Andreas
kepada saya dua tahun lalu, yang bisa mengelakkan
pukulan mandau. Kemudian, saya menyalakan komputer
untuk memeriksa berita-berita terbaru.
Masa itu kekerasan tengah melanda seluruh Indonesia.
Dalam beberapa pekan terakhir, milisi rahasia membunuh
para aktivis pro-kemerdekaan di Timor Timur, tentara
membunuh aktivis kemerdekaan di Irian Jaya, gerilyawan
membunuh tentara di Aceh, sementara orang Kristen dan
M u s I i m saling bu n u h d i M a I u k u. Di J a k a r t a, b o m - b o m
misterius meledak di mana-mana, dan di Jawa
Timur, "ninja-ninja" bertopeng membantai serta
memotong-motong ratusan pria dan wanita yang dituduh
menyantet. Tetapi, berita yang menarik mata saya malam
ini adalah tentang Kalimantan Barat.
JAKARTA (AP) Dua hari pertempuran berdarah antara
kelompok-kelompok etnis yang bertikai dengan bersenjata
pisau dan pedang telah menewaskan sekurangnya 43 orang
di sebuah wilayah terpencil di pulau Kalimantan,
Indonesia, kata polisi. Lebih dari 500 rumah terbakar dan beberapa korbannya
dipotong-potong. Seorang pria dipenggal, kepalanya diarak
keliling desa oleh orang-orang yang riuh bersorak, kata
seorang saksi mata. Ada penerbangan ke Pontianak besok. Saya
membatalkan janji dengan perempuan yang ingin
memunguti tulang itu, dan menelepon bandara.
DUA HARI JUMAT sore mendarat di Pontianak, dan Budi
datang menemui saya di bandara. "Halo, Richard,"
katanya, saat kami bersalaman. "Saya pikir saya tahu
mengapa kamu datang ke sini."
Dia membawakan sebuah amplop berisi artikel-artikel
dari surat kabar lokal. Pembantaian berskala besar itu,
jelasnya, baru saja dimulai minggu itu, tetapi yang kecil-
kecil telah terjadi selama hampir sebulan. Pada Februari,
seorang Madura penumpang bus ke utara Pontianak
menolak untuk membayar tiketnya. Sopir bus itu, menurut
koran, "melotot" padanya, sehingga si Madura
mengeluarkan belatinya dan menikam perut orang tersebut.
Berita tentang kejadian itu menyebar dengan cepat ke
desa-desa di sekitamya; pada pekan berikutnya,
sejumlah rumah orang Madura dibakar dan selusin mayat
bergelimpangan, sebagian darinya tanpa kepala dan
terpotong-potong. "Persis dua tahun yang lalu," kata saya.
Tapi, Budi menggelengkan kepalanya.
Kali ini pengemudi bus dan orang-orang yang
membalaskan dendamnya bukan orang Dayak, tetapi orang
yang biasa disebut Melayu - penduduk Muslim pribumi
yang berdiam di wilayah pelabuhan dan desa-desa pantai
Kalimantan. Akan tetapi, empat hari yang lalu, persis
sebelum pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara,
seorang Dayak juga telah terbunuh di dekat permukiman
Madura di pedalaman. Situasinya sudah sangat buruk. Semua bersiap
melakukan pembantaian. Sepanjang jalan pantai, tiga jam
sebelah utara Pontianak, orang Melayu sedang bergerak,
memasang rintangan jalan, dan menyisir perkam-pungan
orang Madura. Di pedalaman, pasukan perang Dayak juga
berkumpul. Dan, terjebak di tengahnya adalah puluhan ribu
orang Madura. Banyak di antara mereka telah melarikan diri, dan hidup
dalam pengungsian di Pontianak. Tetapi, ribuan masih di
desa-desa mereka, dan titik-titik pemeriksaan Melayu
mencegah evakuasi lewat jalan darat. Orang Madura
berkumpul di pantai-pantai berharap bisa lari dengan
perahu, dan di sana pun musuh-musuh mereka b e r g e r a
k m e n dekat. "Mungkin ini akan lebih buruk, jauh lebuh buruk
daripada 1997," kata Budi, saat kami berhenti di hotel.
"Dua hari lalu empat puluh satu orang terbunuh. Kemarin
katanya enam puluh dua, dan barangkali jumlah sebenamya
jauh lebih tinggi." Pembunuhan itu terkonsentrasi sekitar 200 kilometer dari
sana, dekat kota Singkawang, Budi pergi keluar untuk
menyewa mobil dan pengemudi; pada saat-saat seperti ini,
jelasnya, dia tidak menghendaki tanggung jawab sebagai
pengemudi sekaligus sebagai pemandu saya. Kami
berjumpa lagi keesokan paginya dan berangkat ke utara dari
Pontianak. "JALANAN SANGAT sepi/' kata Budi, setelah kami
melaju selama setengah jam. "Biasanya banyak bus di sini, tapi sekarang semua
orang diam di rumah." Di sebelah kiri ada jalan-jalan yang menuju pantai dan
samudra, serta di sebelah kanan hamparan hijau hutan. Tebing-tebing kecil
batu gamping menjulang di tengahnya, terpisah satu sama
lain seperti pulau-pulau di laut, dan kemudian lenyap di
belakang kami. Kami melewati kelenteng Cina yang
berwama seperti permen, serta di sebelahnya rumah-rumah
tua terbengkalai dengan atap-atap jerami dan lentera merah
bergantungan dari talangnya.
Di Singkawang kami menyimpan tas-tas kami di hotel,
dan kemudian berangkat lagi ke utara. Sepuluh menit dari
kota ada pos militer. Tentara-tentaranya melambai
menyilakan kami lewat dengan malas. Tidak ada perubahan
atau kejutan yang tiba-tiba; atmosfer ketidaknormalan
berkumpul tanpa terasa. Jalan ke kota itu masih sepi, tetapi
setiap beberapa kilometer tampak anak-anak muda, berdiri
atau berjalan tanpa tujuan sepanjang tepi jalan. Beberapa di
antara mereka membawa mandau di sabuk mereka. Saya
capek setelah bangun pagi-pagi sekali, pemandangannya
hijau monoton dan seragam, saya pun mulai tertunduk
mengantuk di jok belakang jip. Dalam keadaan samar-
samar antara tidur dan jaga inilah saya mengetahui
datangnya dua pemuda bersepeda motor, yang mendekati
kami dari arah berlawanan.
Pemuda di depan mengenakan kaus putih dan
membungkuk ke depan memegang setang; penumpangnya
bertelanjang dada dan terdorong ke belakang seperti hampir
jatuh. Di tangan kanannya, dia membawa karung hitam
yang diputar-putar di atas kepalanya membuat motor itu
bergoyang-goyang. Isinya sesuatu yang berat. Kedua
pemuda itu mengenakan ikat kepala kuning. Mereka
bersorak dan memekik serta melaju dengan sangat kencang.
Dua mil kemudian kami berhenti di sebuah desa. Orang
ramai berlalu lalang di depan sebuah masjid.
Mereka membawa pisau, garpu rumput, dan tom-bak
berujung besi. Di sini lebih banyak lagi orang-orang yang
berikat kepala kuning dan merah, serta wajah-wajah bercat
merah dan putih. Kerumunan itu - kebanyakan terdiri atas
pemuda dan remaja pria, sedikit perempuan dan beberapa
orang tua - sedang mendorong apa yang tampak seperti
drum minyak bekas di tengah jalanj ketika jip kami
mendekat, mereka bergerombol di sekitar drum itu seolah-
olah hendak menyembunyikannya agar tak terlihat.
Beberapa orang berjalan ke arah jip, dan ada sorot mata
terbelalak serta orang-orang menggumam saat saya keluar
dari mobil. Seorang pria gemuk berbaju kaus dan ikat
kepala kuning melangkah maju, menggelengkan kepalanya
dan bicara menghardik. "Turunkan kameramu," bisik Budi. "Tinggalkan di dalam mobil. Mereka tak mau
difoto." Kerumunan itu menjauh dari drum minyak berdua-dua
dan bertiga-tiga, serta perlahan-lahan mengelilingi kami dan
jip. Saya bilang kepada Budi, "Katakan kepada mereka


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapa saya dan mengapa saya di sini."
Dia ragu, dan kemudian mulai bicara kepada pria gendut itu. Saya berpikir
sendiri, "Mengapa saya ada di
sini?" tapi kemudian Budi telah selesai bicara dan kerumunan itu mendelik ke
arah saya. Giliran saya untuk
bicara lagi. "Tanyai mereka apa yang sedang mereka lakukan di
sana," kata saya, memberi isyarat ke arah drum minyak.
"Bolehkah kita melihat?"
Pria gemuk itu mengemyitkan alisnya saat Budi
mengajukan pertanyaan itu. Di belakangnya, orang-orang
berbisik-bisik. Mereka tersenyum kepada saya dan terkikik
nakal. Saya mendengar kata-kata tertentu dalam bahasa
Indonesia diucapkan berulang-ulang. Belakangan saya
tanya Budi apa yang mereka katakan. Frasa itu adalah:
Tunjukkan padanya. Pria gemuk itu memimpin jalan menuju drum minyak,
dan kerumunan manusia membelah ke sisi. Benda itu
duduk di atasnya, terbungkus dalam kain hijau bagus yang
saya kira adalah sarung tenun seperti yang saya lihat di
Kongres dua hari berselang. Dengan perlahan, dia
membukanya, dan kerumunan orang itu mengeluarkan
suara tarikan napas tertahan.
Benda itu adalah kepala seorang pria berusia empat
puluh atau lima puluhan. Matanya setengah terbuka, dan
kulit gelapnya berubah kelabu. Ada lubang menga-nga di
pipinya, dan satu lagi yang lebih dalam di ba-wah bibir.
Seseorang telah memasangkan kail logam tajam di
hidungnya. Orang-orang terbahak saat seba-tang rokok
menyala didorongkan di sela bibimya. Anak-anak lelaki
memain-mainkan wajahnya, dan menepuk kepalanya;
p e r e m p u a n - p e r e m puan data n g u n t u k m e n
a -1 a p n y a dengan ekspresi ingin tahu. Belakangan, saya
melihat seorang pria dengan belati mengerat kepala itu
seperti sepotong daging, dan membagi-bagikan potongan
kulit kepalanya sebagai cendera mata.
Lukanya bersih dan tanpa darah. Seorang pria yang
memperkenalkan dirinya dalam bahasa Inggris sebagai
kepala sekolah setempat menjelaskan bahwa orang itu
dibunuh pagi tadi. Namanya Ali Wafa, dan dia adalah
seorang kiai, atau penceramah Muslim lokal dari desa
Semparu yang tak jauh dari sana.
"Ada kepala lelaki lain dari desa yang sama yang
dibunuh pagi ini," kata Budi. "Ingat pemuda-pemuda
bersepeda motor di sana tadi" Mereka membawanya di
dalam karung. Mereka membawa kepala itu berkeliling
untuk menunjukkannya keliling desa."
"Siapa orang-orang ini," saya bertanya.
"Mereka sebagian besar orang Melayu, warga desa ini.
Yang berikat kepala kuning adalah Melayu, yang merah
Dayak." "Mengapa mereka membunuh orang ini?"
Kepala sekolah itu menjawab dalam bahasa Inggris,
"Karena dia seorang bajingan. Dia bajingan jahat. Dia p e m i m p i n o r a n g
M a d u r a." Seluruh warga desa itu telah melarikan diri ke sebuah
pulau kecil di lepas pantai. Di sana mereka menanti perahu-
perahu yang akan membawa mereka ke tempat aman.
Hanya tersisa di satu tempat lagi orang Madura yang masih
bertahan, dan ketika kepala sekolah itu menyebutkan
namanya para serdadu muda itu mengulanginya, dan
mengacung-acungkan senjata mereka di udara.
"Sambas!" mereka bersorak, tertawa. "Sambas! Sambas!"
"Sambas lebih utara lagi dari sini," kata kepala sekolah itu. "Mungkin di Sambas
juga akan ada perang besok."
Saya berkata kepada kepala sekolah, "Apakah tentara
tidak mencoba menghentikan mereka?"
"Tentara terlalu sedikit," jawabnya. "Dan mereka takut."
Tiga pemuda mendesak ke depan untuk melihat kami.
Mereka tersenyum angkuh; dari dekat, saya bisa melihat
bahwa wama merah di wajah mereka sebagian cat dan
sebagian darah kering. Salah seorang dari mereka
membawa plastik hitam terikat di sabuknya, yang
menggelembung seakan-akan penuh berisi cairan.
"Apa di dalamnya?" tanya saya.
"Roti," jawab anak muda itu, orang-orang terge-lak.
Kelelahan memusingkan yang sudah saya rasakan sejak
di dalam mobil kembali menguasai. Saya bertanya kepada
kepala sekolah, "Siapa pemimpinnya" Siapa panglimanya?"
"Tidak ada," jawabnya, tersenyum lebar. "Itu orang Dayak. Kami Melayu, dan kami
tidak punya panglima. Kami Muslim." Dia mengangguk ke arah masjid.
Saya dan Budi berdiri berdampingan melihat kepala itu.
Saat itu siang dan matahari persis di atas kepala. Saya,
kepala itu, maupun orang-orang yang sedang ramai
berkumpul tak satu pun yang berbayang-bayang. Hening
sejenak. Kepala sekolah tersenyum bertanya-tanya, seakan-
akan menanti kata-kata lagi dari saya. Kemudian, ketiga
pemuda congkak tadi berjalan ke arah drum minyak dan
membungkus kepala Ali Wafa dalam kain hijau. Sebuah
sepeda motor didatangkan, dan mereka bertiga b e r b o n c
e n g a n, m e n y a I a k a n m e s i n, s e rt a m e I u n c u r k e jalanan.
"Ada pertanyaan lagi?" tanya kepala sekolah. Saya tidak bisa memikirkan
pertanyaan lain. Kami kembali naik jip. Si sopir tampak pucat. Melalui
kaca jendela yang diturunkan, kepala sekolah menjabat
tangan kami dan berkata, "Bagi saya sendiri, saya tidak
setuju dengan pembunuhan, tetapi harus ada solusi bagi
orang-orang Madura ini karena mereka tidak bisa hidup
rukun dengan orang lain. Kalau ini tidak dilakukan, maka
persoalannya akan makin buruk. Orang Madura akan
menjadi lebih kuat, dan kemudian tidak ada kendali. Lebih
baik mereka kembali ke pulau mereka sendiri. Akan ada
perdamaian kalau mereka pergi."
Dalam perjalanan kembali ke Singkawang kami bertemu
sekelompok pemuda yang sedang bermain dengan trofi lain
dari desa Ali Wafa. Bagian belakang kepala itu terbelah dan
otaknya bisa terlihat. Tak jauh dari sana, sekelompok lelaki
sedang menyembelih sapi dengan golok, menebas lehemya
dengan sangat cepat. Sapi itu tidak mengeluarkan suara dan
tidak melawan. Ia terjerembab keras di lututnya dan
kemudian terjatuh ke samping, darahnya mengalir ke tanah.
SAMBAS BERJARAK delapan puluh kilometer dari
Singkawang, tetapi bahkan dari jarak sejauh itu terasa jelas
bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi di sana. Sopir
kami mendengar rumomya tadi pagi; saat saya sedang
sarapan, dia dengan hati-hati menyatakan bahwa dia tidak
akan bisa mengantar kami hari itu. Kami baru
mendapatkan jip lain setelah pukul sembilan, tetapi tak satu
toko atau bisnis pun buka di Singkawang. "Sambas?" tanya petugas di titik
pemeriksaan tentara, dan ketika kami
mengangguk dia menggelengkan kepalanya tak percaya saat
mengangkat portal bambu. Saat itu 21 Maret 1999. Hari
minggu. Lalu lintas tidak seperti biasanya. Kendaraan yang lewat
hanyalah sepeda motor, membawa dua atau bahkan tiga
penumpang, serta bus dan truk-truk besar dengan bak kayu.
Setiap truk dipadati oleh orang Melayu berpakaian kusam
siap untuk berperang. Mereka bergantungan ke atap-atap
bus dan papan injakan truk. M e re k a saling b e r k ej a r a n d e n g a n k e
c e p a t a n m e n g g i I a. Para prajurit itu mengayunkan badan dan
melambaikan tangan saat mendahului kami, sambil berteriak, "Sambas! Sambas!" dan menunjuk-nunjuk ke
jalan di depan. Orang-orang tergolong ke dalam dua kategori pada
waktu itu: mereka yang tidak bisa dibujuk untuk pergi ke
dekat-dekat Sambas, dan mereka yang ingin buru-buru tiba
di sana. Di sebuah kota bemama Pemangkat, kami berhenti dan
m e m o t r e t s e k e I o m p o k p r a j u ri t. S e d i h rasa n y a m e I i
h a t betapa m e r e k a m asih begitu m u d a. A t m o s f e r n ya I e b i h
mirip wisata sekolah daripada pesta perang, perjalanan wisata yang dibajak oleh
geng anak berandal yang terlalu bersemangat. Ketika melihat ada yang
mau memotret, mereka bergaya dan berpose dengan ribut.
Sebagian besar membawa clurit kecil, sebagian lagi mem-
bawa mandau, beberapa orang memegang tombak atau
tombak pedang yang lebih panjang, dan seorang membawa
senapan berburu. Dengan cermat dan khas mereka
merancang seragam sendiri dengan pita-pita dan bandana,
syal dan kerpus. Seorang anak lelaki mengenakan
potongan kain merah sebagai penutup m u k a n ya d e
n g a n dua I u b a n g u n t u k m a t a. D e n g a n k aus dan celana
pendeknya, dengan giginya yang rusak dan seringai
ke k a n a k - k a n a k a n n y a, dia t a m p a k seperti a n a k nakal yang
mengenakan kostum untuk pesta Halloween.
Selepas Pemangkat, kami melewati barisan rumah-
rumah hangus terbakar sepanjang sisi jalan. Di kejauhan t a
m pak asa p m e m b u b u n g dari h u t a n, m a s i n g - m asing n y a
mewakili desa orang Madura lainnya.
Pengemudi yang baru ini tahu semua nama desa itu dan
menyebutkannya saat kami melintasinya: Selekau,
Setimbuk dan, jauh ke arah laut, Segaru, pulau tempat para
pengungsi Madura menunggu Dunkirki mereka. Apakah
perahu-perahu datang untuk menyelamatkan mereka tepat
pada waktunya" Atau, apakah orang Melayu telah menero
bos masuk, dan "menghabisi", seperti yang telah mereka janjikan"
Sepuluh menit sebelum Sambas, kepulan asap tebal
tampak mengambang dari sebuah titik yang tidak jauh dari
kota tapi masih di luamya. Kami melewati sebuah pos
pemeriksaan militer; tentara-tentara tidak melakukan apa-
apa untuk menghentikan truk prajurit yang berdatangan.
Budi menanyakan nama tempat asal asap yang mengepul
itu, dan perwira tentara menyebutkan bahwa itu adalah
sebuah desa Madura bemama Suka Ramai. "Nama yang
aneh," kata Budi. "Suka Ramai itu berarti 'Aku suka ribut'
atau 'Aku suka masalah.'"
Sambas adalah kota pasar kecil, kelompok rumah-rumah
kayu dan bangunan toko kecil persegi. Pintu teralis pada
toko-toko lantai satu semuanya diturunkan dan digembok.
Tak seorang pun tampak di luar. Di sebuah
lPelabuhan di bagian utara Prancis, tempat 330 ribu
pasukan sekutu dalam Perang Dunia II dievakuasi dari kota
melalui laut, di bawah tembakan gencar pasukan musuh.
simpang tiga di pinggir kota, segerombolan orang telah
berkumpul: mereka lebih tua daripada setan-setan kecil di
Pemangkat, bapak-bapak bertubuh besar dan kekar dengan
pisau panjang serta selusin senapan di antara mereka. Di
kanan, sebuah jalan sempit menuju Suka Ramai.
Sekitar enam reporter dan juru kamera sedang berdiri
menunggu di persimpangan itu. Kami berhentikan jip dan
dengan hati-hati berjalan ke arah mereka. Seorang pria
bersepeda motor muncul dari arah asap itu, dan berhenti
dengan tiba-tiba. Dia memegang pedang lengkung di satu
tangannya, dan di tangan yang lain dia menunjukkan
sebuah benda yang terikat pada tali pendek. Wamanya
merah muda dan lunak, bentuknya tak jelas. Perlu beberapa
detik untuk menyatukan seluruh informasi visual itu dan
menebak bahwa itu adalah telinga manusia.
Pria tersebut turun, dan menendang penyangga
motomya, dia duduk di atasnya menghadap kepada kami.
Seorang juru kamera dan dua fotografer mengambil posisi
di depannya; dia memamerkan telinga itu seperti sebuah
medali, dan memegangnya dengan tenang agar mereka
dapat m e m f o k u s k a n I e n s a m e r e k a. Pria itu m e n g e n a k a n
ikat kepala kuning celupan cat, serta ada
darah di lengan jaketnya dan pada bilah pedangnya. Ada
butir-butir keringat halus di bibimya, dan dia berteriak ke
arah kamera dalam cara yang mirip menyalak, terpatah-
patah. Apakah ini keadaan kesurupan, gila perang yang
telah begitu sering saya dengar" Dia seorang yang tampan,
dengan otot alis berkerut dan bentuk bibir yang bagus. Saat
dia bicara saya perhatikan gigi-giginya yang sangat putih
dan berjarak rata. Saya mena-tap telinga kecil itu dan mulai
merasa seolah-olah saya sendiri akan jatuh kesurupan.
"Apa dia bilang?" bisik saya pada Budi.
"Dia bilang, 'Kami tidak peduli ras kalian. Kami tidak
peduli agama kalian. Kristen, Muslim, Buddha, Dayak,
Melayu, Tionghoa, atau Bugis - semuanya diterima di sini.
Kami hanya tidak ingin orang Madura. Semua orang
Madura harus pergi."
"Tanyai dia apa yang terjadi di atas sana."
Budi bertanya. "Dia bilang pergi dan lihat sendiri."
"Silakan, silakan," kata pria yang memegang telinga itu, sambil menunjuk ke
jalan, ke arah asap. Pergilah. Jangan
malu-malu. Jalan membentang beberapa kilometer di antara Suka
Ramai dan tempat kami kini berdiri. Jalan yang
menghubunginya benar-benar lurus. Juru kamera dan para
reporter saling melempar tatapan ragu. Tak pemah
sebelumnya saya merasakan keinginan yang sangat kuat
sekaligus keengganan secara serempak. Tubuh saya terasa
ringan. Seolah-olah saya bisa melayang di udara. Itu bukan
rasa takut, karena tidak ada ancaman pribadi di sana. Itu
bukan ketegangan, karena apa yang sedang terjadi di sana
sudah jelas. Tapi sekarang sudah terlambat untuk berbalik.
Sopir menolak untuk membawa jip lebih jauh lagi. Saat
kami berjalan membisu ke arah Aku Suka Masalah, truk
lain mendahului kami dan para prajurit yang berjejalan di
bak belakangnya bersorak serta mengacungkan parang
mereka. Seorang lelaki kurus bersepeda melewati kami
dalam arah berlawanan, dengan anak perempuan duduk di
setangnya; mereka berdua melambai dan tersenyum.
Kondisi permukaan jalan bagus; kami melewati sepetak
jalan yang lengket karena darah.
Sekelompok prajurit terserak muncul dari arah desa,
berlarian menuju kami dari arah asap, mengacungkan
senjata mereka. Seorang pria membawa tombak lari ke arah
saya, menyeringai senang, dan menjabat tangan saya.
nAnti-Madura!" teriaknya. "Madura, no! No Madura!"


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang ada ratusan pemuda berlarian menuruni jalan
melewati kami. Mereka semua tersenyum dan tersengal-
sengal capek dan senang. Banyak di antara mereka berhenti
untuk bicara. "Tanyai mereka dari mana mereka datang," kata saya
kepada Budi "Pemangkat," kata salah seorang anak yang me-n gena k a n k aus b e r g a m bar
peta Lo n d o n U n d e r g r o u n d. "Tapi, sudah seminggu kami belum pulang."
"Apa saja yang kalian lakukan?"
"Kami berburu orang Madura."
"Apa yang kalian lakukan kalau menemukan mereka?"
"Kami langsung membunuhnya dan mengambil
kepalanya serta mencincangnya."
"Mengapa kalian mencincang kepalanya?" "Itu tradisi kami."
Kemudian seorang anak berompi putih berjalan ke arah
saya, memegang lengan manusia, yang terluka di bawah
siku. Seluruh jari dan banyak bagian kulitnya telah terlepas
dari lengan itu. Tulang dan otot mencuat dari ujung
lainnya. Ketika para prajurit itu sudah pergi, Budi berkata, "Itu bukan tradisi mereka.
Itu tradisi Dayak, tapi mereka orang
Melayu." Tak lama kemudian saya bisa mencium bau rumah
terbakar. Mungkin ada puluhan rumah di Suka Ramai, dan
seluruhnya terpanggang api. Dulu ada seratus orang
Madura yang tinggal di sini, dan ada setidaknya seribu
orang Melayu yang datang menyerbu. Beberapa orang
Madura tinggal untuk melawan, setelah dua di antara
mereka tertembak, yang lainnya lari ke dalam hutan.
Sebagian dari penyerang tinggal di desa untuk mencin-cang
dan membagi-bagi kedua tubuh itu; yang lainnya turun ke
lapangan untuk memburu buronan di dalam hutan. Tetapi
mereka berhasil lolos, dan Melayu yang lelah serta
kehausan kembali ke desa yang terbakar. Kami tiba di akhir
perburuan itu, keasyikan hari itu telah berakhir. Sebuah
pikap lusuh berhenti di samping kami, dan seorang
Tionghoa mulai mengeluarkan kotak-kotak minuman botol
serta mengulurkarmya kepada para prajurit.
Tak ada lagi yang perlu dilakukan, maka kami kembali
menyusuri jalan. Entah kenapa saya merasa agak kecewa,
seakan-akan telah melewatkan sesuatu yang penting sore
itu. Kami masuk ke dalam jip dan kembali ke Sambas untuk
mencari minum buat kami sendiri.
Di pasar beberapa prajurit muda sedang berdiri, dan
hanya ada satu toko yang buka. Ada sebuah warung
menjual sate, di dekatnya ada arang yang sedang membara.
Di tengah-tengahnya sebatang tulang paha manusia
terpanggang. Budi memerhatikarinya pada saat yang sama
dengan saya, dan dia tiba-tiba tampak kecut. Bibimya
gemetaran dan nyaris mengeluarkan air mata.
"Ayo pergi, Richard," katanya dalam nada rendah
tertahan. Saya berjalan cepat-cepat ke toko untuk membeli air dan
rokok. Ketika sedang merogoh kantong, seorang pria jangkung
berikat kepala kuning berjalan dari gerobak sate.
Pada pinggangnya tergantung sebuah pistol karatan, dan
dua kantong plastik menggelembung seperti yang pemah
saya lihat sehari sebelumnya. Dengan jari-jarinya yang
berminyak dia memegang sepotong daging kelabu berserat
setengah matang yang ditusuk pada sebuah batang kayu.
Dia menarik sekerat dengan giginya dan mengunyahnya.
Wajahnya sejarak tiga puluh senti dari wajah saya.
Dia menyodorkan daging sate itu kepada saya, dan
tersenyum, "Silakan." Silakan makan.
Anak-anak lain di pojokan itu berkerumun dan tertawa.
"Silakan! Silakan!"
"Tidak, terima kasih."
Budi mendekat, tampak gusar. "Ayo, Richard, kita
pergi." Pria itu terus menyodorkan daging itu kepada saya, dia
bicara dengan bersemangat.
"Katakan kepadanya tidak, saya tidak mau itu."
Tapi, orang itu tidak mau mendapat jawaban tidak, dia
terus mengayun-ayunkan tusukan daging itu di hadapan
wajah saya. Sekali lagi saya mengalami sensasi kesurupan
itu dan seolah gravitasi lenyap di sekitar saya. Saya pikir
betapa mudahnya kalau saya ambil saja daging itu, dan
memakannya. Saya berpikir tentang hewan-hewan yang
telah saya makan seumur hidup saya sampai sekarang,
anjing, monyet, ular, siput, keong. Saya teringat khususnya
monyet yang dipanggang di atas api di sebuah desa di
dalam hutan. Dagingnya keras dan kenyal, tetapi setelah itu
saya melihat sisa-sisanya: lengan kanan, tangan dan
sebagian rusuk monyet. Kulitnya hangus tetapi bulu-bulu
kelabu masih tampak di sana sini dan tangan dengan
sepuluh jari kuku halus seperti kuku bayi yang baru lahir.
Seberapa jauhkah seekor monyet dari manusia" Seberapa
dekatkah saya dengan seorang kanibal" Lamunan saya
semakin mendalam saat saya merenungkan konsekuensi
tindakan saya dalam dua atau tiga detik berikutnya: Saya,
seorang kanibal ... Tetapi, potongan daging itu tampak
dingin dan tak menggugah selera. Saya perlu minum
sebelum berpikir tentang makan.
"Ha!" kata tukang sate itu tergelak. Dia tarik daging itu dari tusuknya serta
dijejalkannya ke dalam mulutnya, dan
saya merasa lutut saya mendingin karena lega.
Begitu banyak yang ingin saya tanyakan. Saya sebutkan
saja yang pertama melintas di kepala saya.
"Enak," katanya, ketika Budi telah menerjemahkan itu.
"Seperti ayam."
Kami berjalan kembali ke jip, dan tukang sate tadi m e n
g i k u t i k a m i, b e r s a m a s e k e I o m p o k o r a n g M
e I a y u, semua mereka tertawa, mengoceh, dan
mengacurig-acung di belakang.
"Oh, tidak, " bisik Budi.
"Ada apa?" "Mereka masih punya banyak ... daging. Mereka ingin
memperlihatkannya kepada kita. Mereka ingin kita makan."
"Ayo pergi saja." Tetapi, tangan tukang sate Melayu itu mencengkeram di baju
saya dan dia menarik saya dari pintu
jip yang terbuka. "Tidak, terima kasih," kata saya, mencoba untuk tetap
tersenyum sambil melepaskan cengkeraman
jarinya. "Tidak, terima kasih. Lepaskan."
Sopir kami mengemyitkan alis dan berkeringat, saat kami
berjuang menutup pintu. Kemudian, mesin mobil tidak mau
menyala. Dua kali menggeram dan menggerung, kemudian
mati. Budi mengucapkan sesuatu, ba-rangkali doa. Di
luar tukang sate dan teman-temannya mengetuk-
ngetuk jendela, dan melompat-lompat dengan girangnya.
Kemudian mesin menyala, dan kami mulai berbalik pelan
ke jalan. Orang-orang di luar memeragakan gerak sepasang
sumpit di atas semangkuk nasi. Mereka m e n e r i a k k a n
k a t a - k a t a yang s a y a m e n g e rt i. " M a k a n!
Makan!" dan "Silakan!" Mereka mengejar mobil saat kami mulai melaju.
Makan. Silakan. Waktunya makan malam! Jangan malu-malu!
TIGA SAYA MELIHAT kepala keenam dan ketujuh pada
Selasa sore di sebuah desa Dayak satu jam perjalanan dari
kota. Kepala-kepala itu terlihat dari jarak beberapa ratus
meter, terletak di atas drum-drum minyak di kedua sisi
jalan, dengan kerumunan sekitar dua ratus orang di
sekelilingnya. Sebagian besar penonton itu adalah pria,
tetapi ada juga perempuan muda dan anak-anak di sana.
"Apa yang ingin Anda lakukan?" tanya pria yang menemani kami, seorang pemimpin
Dayak berusia lima puluhan. Saya
bilang saya ingin melihat.
Kami berjalan ke arah mereka, melewati para prajurit
dengan tombak-tombak dan ikat kepala merah mereka serta
senapan-senapan berburu. Bahkan di kota-kota besar
Indonesia, orang meneriakkan salam ketika seorang asing
lewat, tetapi orang-orang ini melihat saya tanpa peduli.
Kepala-kepala itu baru ditebas beberapa jam yang lalu, dan
m e re k a t a m pak ... m e re k a t a m p a k s e p e rt i
kepala-kepala lain yang pemah saya lihat.
Pasangan itu berusia tengah baya, beberapa tahun lebih
muda daripada orang tua saya sendiri. Telinga dan bibir
mereka telah dikerat dengan golok, membuat mereka
bertampang setengah manusia sedang menggertak. Hidung
istrinya juga sudah dipotong, dan sebatang rokok diselipkan
ke dalam lubangnya. Matanya terpicing erat, dan di atasnya
sebuah luka keji menyayat dalam hingga keningnya.
Mengapa saya memotret kepala itu, padahal saya tahu
persis tak ada surat kabar yang mau mencetaknya" Apakah
semata karena saya ingin meridokumeritasikari kejadian
itu" Ataukah motif-motif yang lebih buas dan hewani"
Saya tak pemah bekerja dalam kondisi seperti ini
sebelumnya, dan tidak pula seorang pun yang pemah saya
kenal. Pengalaman itu memunculkan dua reaksi
bertentangan. Pertama adalah kelegaan yang bercampur
kebanggaan bemoda, mendapati diri saya mampu
menghadapi horor tanpa tertaklukkan oleh rasa muak atau
takut. Reaksi kedua mengambil bentuk pertanyaan yang
mengusik, yang menggelitik saya pada saat-saat yang tidak
biasa. Mengapa saya tidak marah menyaksikan ini" Apa
yang salah dengan saya" Saya tidak tahu apa nama emosi
seperti itu, tapi itu sesuatu yang menyeru-pai aib.
Dua tahun silam, ketika baru sedikit orang yang
memahami cakupan dari apa yang sedang terjadi antara
orang Dayak dan Madura, saya pemah mampir semalam di
Kalimantan untuk mencari kanibalisme dan perburuan
kepala. Saya menemukan beberapa saksi mata, foto, dan
kerangka di hutan, tetapi bukan sesuatu yang diam-diam
saya cari. Setelah itu, saya menulis artikel-artikel panjang
untuk koran dan majalah - puluhan ribu kata, semua
tentang kegagalan menemukan potongan kepala. Pada
Maret 1999, dalam kurun empat hari, saya melihat tujuh
kepala, beserta potongan telinga, lengan, tangan, sejumlah
potongan jantung dan hati, serta torso tanpa tungkai
sedang dipanggang di atas api di pinggir jalan - dan saya merasa tak tahu harus
berkata apa. Yang paling merusak dari ilmu hitam bukanlah darah dan
kerahasiaannya, tetapi kedangkalannya yang luar biasa.
PADA SAAT serangan atas Aku Suka Masalah
dilancarkan, ratusan orang Madura telah dipenggal dan
dimakan, 10.000 melarikan diri ke Pontianak, dan nyaris
tak ada yang tersisa di permukiman sepanjang pantai.
Tetapi, ada jalan lain ke arah barat dari Singkawang dan ke
dalam hutan-hutan di pedalaman Dayak. Di sinilah, kata
semua orang, pembantaian sekarang sedang terjadi.
Para pemimpin Dayak di Singkawang bersikeras bahwa
ini adalah konflik antara orang Melayu dan orang Madura;
orang Dayak, tegas mereka, tidak ikut di dalamnya. Tetapi
pengemudi jip kami, yang bemama Petrus, menyusuri jalan
sepanjang hutan itu suatu sore untuk mengunjungi saudara
lelaki dan kakak ipamya yang orang Dayak. "Kamu harus
melihatnya sendiri," katanya ketika dia kembali. "Aku tak pemah melihat yang
seperti itu sebelumnya." Petrus, pria gemuk berwajah ramah, adalah seorang
Kristen dari kepulauan Flores di sebelah timur. Dia punya banyak
teman di kalangan orang Dayak, katanya, dan bisa
memberikan beberapa kenalan yang berguna. Saat kami
bersiap berangkat ke pedalaman pada selasa Pagi, dia
tersenyum lagi pada saya dan berkata, "Apa yang sedang
terjadi di sana sulit untuk dipercaya. Apa kalian punya
nyali?" Pemandangannya agak berbeda dari jalanan pantai: alih-
alih semak-semak gundul, pepohonan rimbun menjulang
di kiri kanan jalan, bukit-bukit kapur di kejauhan tampak tinggi dan kasar.
Dalam lima belas menit setelah
meninggalkan Singkawang, kami masuk ke dalam hutan
lebat. Kami melewati sebuah barak militer dengan pilar-
pilar terukir berbentuk perisai Dayak; beberapa ratus meter
dari sana ada pekuburan Kristen membelah hutan, dengan
salib-salib kayu dan baru nisan putih luntur. "Sekarang kita di wilayah orang
Dayak," Petrus memberi tahu. Di
Kalimantan, saya selalu sadar tentang melintasi perbatasan,
pintu-pintu zahir dan gaib yang akan membuka dengan
diam-diam dan kemudian menutup di belakang saya
dengan bunyi klik. Dua tong kayu mengapit jalan sebagai tanda masuk ke
sebuah desa. Ada toko daging dengan potongan sapi
tergantung di pengait, dan warung makan dengan lukisan
kasar Union Jack di sisinya. Kemudian jalan menikung,
dan seketika di depan kami muncul tiga ratus prajurit
Dayak bersenapan dan berikat kepala.
Petrus melambatkan jip sampai berhenti, dan me-n y a n
d a r ke jendela. S e o r a n g D a y a k m e m e g a n g t o m b a k mendekat
dengan ragu, kemudian tersenyum saat dia
mengenali Petrus. Mereka berjabat tangan, dan Petrus
memberi tanda ke arah saya sambil memberi penjelasan.
Kaus lelaki itu juga bergambar Union Jack.
"Itu karena mereka suka sepak bola Inggris," kata Petrus.
"Orang Dayak suka sepak bola - Manchester United,
Tottenham Hotspur." Tiga kilometer ke depan, ada rintangan jalan dari batang
bambu bertumpu pada dua meja. Pada setiap meja ada
kepala ceking. Salah satunya rusak sampai tak bisa dikenali
dan berwama kelabu kenyal. Yang lain kepala anak lelaki,
belum lagi belasan tahun, matanya terbuka dan kulitnya
bemoda darah. Ada lagi senyuman dan salaman untuk Petrus, serta
anggukan sopan lagi untuk Budi dan saya di belakang.
Beberapa kilometer lebih jauh lagi, ada titik pemeriksaan
lain, dan kepala lain lagi. Tidak ada prajurit di sini, maka
Petrus bermanuver saja mengitari rintangan itu dan
menerobos gang sempit. Pada satu titik, sisi jip menyenggol
meja tempat kepala itu terletak dengan keras. Itu kepala
seorang pemuda. Kepala itu bergoyang lunglai di atas


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

potongan lehemya; dan dalam waktu sejenak yang
menegangkan, saya merasa yakin ia akan jatuh dan
terguling di tanah. Mengapa bayangan tentang potongan
kepala yang jatuh harus lebih buruk daripada kenyataan
tentang kepala itu sendiri" Tapi, kemudian kepala itu
berhenti bergoyang dan kami sampai dengan selamat ke sisi
seberang. DI KOTA Semelantan kami mengunjungi kantor
pemerintah setempat dan mendengar kisah tentang
Martinus Amat, orang Dayak yang kematiannya
memprovokasi pembunuhan di pedalaman. Kepala desa itu
adalah seorang Dayak, di sampingnya duduk kepala tentara
setempat, seorang mayor bersuku Melayu. Mereka ramah
dan terbuka, sesekali mengelak dan malu. Mereka sangat
sadar bahwa mereka telah kehilangan seluruh kendali atas
komunitas mereka. "Ada dua versi tentang apa yang terjadi pada Martinus
Amat," kata kepala desa itu setelah kami memperkenalkan
diri. "Inilah yang pertama."
Martinus adalah pemuda delapan belas tahun dari
Semelantan. Dia anggota salah satu kelompok orang
Dayak di belakang truk bak terbuka menuju Singkawang
sepekan silam. Di dekat desa Jirak, menurut penumpang
lain, sekelompok orang menghentikan truk itu dan
menghardik penumpangnya. "Mereka terus bertanya, 'Mana Melayu gendut itu"1"
ujar kepala kampung. Orang Dayak di belakang pika p melompat keluar dan
melarikan diri, tetapi ketika Martinus melompat kakinya
sakit dan tidak bisa lari. Dia ditangkap dan dipukuli, serta
pemukulan itulah yang menewaskannya. "Itu terjadi pada
pukul 2 siang tanggal 16 Maret," kata kepala kampung.
"Baru tengah malam saya mendengamya dan pada saat itu
dia sudah meninggal."
Di dalam Semelantan dan desa-desa sekitamya,
setidaknya, tak seorang pun ragu tentang apa yang telah
terjadi: sekali lagi, seorang pemuda tak bersalah telah
terbunuh tanpa hasutan oleh sekelompok orang Madura.
Bahkan, orang Madura sendiri punya asumsi yang sama
tentang identitas para pembunuh. Kepala kampung
menjemput mayat Martinus dari rumah sakit tentara pada
pukul 9.30 pagi setelah dia tewas. Sepanjang jalan,
keluarga-keluarga Madura mengemas barang-barang
mereka dan menumpang bus-bus, karena yakin akan
tibanya pembalasan dendam.
"Saya pergi ke rumah keluarga Martinus," kata kepala kampung. "Saya serahkan
mayatnya, dan mencoba menenangkan mereka. Saya pergi hampir satu jam. Tapi
ketika saya kembali, rumah-rumah orang Madura di Jirak
telah dibakar habis oleh segerombolan orang."
Versi kedua dari kisah itu nyaris sama dengan yang
pertama - penghentian pikap, pencarian "Melayu gendut", kematian pemuda itu.
Perbedaannya adalah tentang
identitas orang yang membunuhnya. Ada satu teman
Martinus yang masih berada di truk dan ada di sana ketika
dia tewas; setelah terlalu terlambat, ketika pembakaran dan
pembunuhan sudah berlangsung, kepala kampung bicara
dengannya panjang lebar. Anak itu berkata bahwa para
penyerang itu terkejut ketika mereka tersadar bahwa
Martinus mati akibat pemukulan itu. Mereka bertanya
kepadanya di mana Martinus tinggal, dan ketika dia
mengatakan kepada mereka bahwa dia berasal dari
Semelantan, pria itu tampak sedih. Mereka minta maaf atas
apa yang telah mereka lakukan. Mereka memberi rokok
kepada anak itu, dan kemudian mereka lari.
"Saya tidak terlalu yakin karena saya tidak berada di
sana," ujar kepala kampung. "Tetapi, dari apa yang saya dengar dari anak itu,
orang Dayaklah yang membunuh
Martinus." Dia berhenti bicara sejenak, sementara kami menyerap
informasi ini. " M e r e k a o r a n g D a y a k," k a t a sang m a y o r. "
M e r e k a mencari seorang pria Melayu - barangkali dia
berutang uang pada mereka. Mereka pikir Martinus adalah
orang Melayu itu, dan mereka memukulinya untuk
menakutinya. Tetapi secara tidak disengaja dia tewas."
Kepala kampung berkata, "Itu adalah pembunuhan
orang Dayak oleh orang Dayak. Tapi tak seorang pun ingin
mendengar ini sekarang."
Dia menggelengkan kepala dan tersenyum. Sang mayor
menatap lantai dengan tangan terlipat. Tak seorang pun
bicara untuk beberapa saat.
"Berapa banyak dari orang Madura ini yang berhasil
menyelamatkan diri menurut perkiraan Anda?" tanya saya.
Kepala kampung menoleh kepada sang mayor, tapi tak
mendapat balasan. "Sebagian," dia berkata akhimya.
"Berapa banyak yang masih bersembunyi di hutan?"
"Ratusan. Ratusan dan ratusan. Orang Dayak sedang m e m
b u ru m e re k a s e k a r a n g."
"Dan berapa banyak yang mati?"
Jeda. "Ada yang terbunuh/1 jawabnya, tertahan.
"Tetapi, saya tidak merasa berwenang untuk menyebutkan
berapa banyak kepada Anda."
"Sangat sulit untuk mengetahui jumlah persisnya," kata sang mayor. "Terkadang,
seseorang membawa sepotong
tangan dan dia akan berkata, 'Saya membunuh satu.' Yang
lain membawa sepotong kaki dan akan berkata, 'Saya juga
membunuh satu.' Tetapi tangan dan kaki itu mungkin
berasal dari tubuh yang sama. Jadi, kami menghitung
jumlah kepala." ORANG-ORANG di desa itu mengakui bahwa lebih
dari dua ratus orang Madura telah terbunuh sejauh ini di
kabupaten Semelantan, dan masih ada yang terbunuh,
dengan pertambahan sekitar tiga puluh dalam sehari.
Sepanjang jalan, setiap beberapa meter, kami berjumpa
sekelompok pemuda Dayak, keluar-masuk hutan,
bersenjata dan kegirangan. Ini adalah kelompok-kelompok
perburuan, dan perburuan terus berlanjut. Bahkan ketika
kami tidak bisa melihat mereka, kami bisa mendengar suara
teriakan mereka dari balik pepohonan, pekik k e k a n a k - k a n a k a n Wu
-wu- wu - wu - wu! yang bikin merinding.
Sebelum kami meninggalkan Semelantan, Petrus berhenti di
sebuah warung dan membeli empat puluh kotak rokok
kretek untuk dibagikan di titik-titik pemeriksaan. Dalam
satu setengah jam, rokok-rokok itu sudah habis.
Semakin jauh masuk ke dalam hutan, desa-desa Dayak
semakin miskin. Jelaslah kami telah melintasi perbatasan
lain di sini, ke dalam wilayah yang lebih keras dan lebih
tidak teramalkan. Seorang pria bemama Tomas, pemimpin
organisasi masyarakat Dayak, menemani kami untuk
melicinkan urusan dengan para pemburu, meskipun sering
kali justru dia yang kelihatan paling gugup di dalam jip.
Saya menghitung jumlah kepala yang telah saya lihat
semenjak tiba di Kalimantan Sabtu lalu. Ada lima.
Mengapa saya masuk ke dalam hutan dan apa yang saya
harap akan saya temukan di sana" Saya tidak tahu lagi.
Di sebuah desa bemama Montrado saya melihat kepala
yang keenam dan ketujuh, suami-istri berusia setengah
baya, saling berhadapan dari kedua sisi jalan masing-masing
di atas drum minyak tersendiri.
Setelah saya melihatnya untuk sesaat, Tomas bersuara,
"Anda ingin berjumpa orang Madura?"
Saya menggelengkan kepala.
"Tetapi, ini orang yang hidup," kata Tomas. "Mereka adalah orang Madura terakhir
yang tinggal di Montrado."
Mereka berlindung di rumah kepala suku Dayak - dua
keluarga yang semuanya berjumlah delapan orang,
termasuk empat anak. Saya melihat mereka sekilas saat
kami dibawa masuk - wajah-wajah berkulit gelap dengan
sorot mata hampa mengintip di balik pintu belakang.
Kepala suku yang bemama Elias Ubek itu mengisahkan
kepada kami bagaimana dia menyelamatkan mereka malam
sebelumnya. "Saya pemimpin orang-orang ini," katanya,
"dan saya tidak bisa menenangkan mereka. Kemarin malam
saya sendiri nyaris menjadi mayat."
Pembunuhan di Montrado telah berlangsung selama tiga
hari. Elias Ubek memperkirakan dulu ada sekitar 170 orang
Madura, dan tujuh puluh orang - sekitar satu
persepuluh penduduknya - telah dibantai sejauh ini. Tetapi
itu hanya yang dia ketahui.
Elias adalah seorang lelaki bertubuh kurus dengan
rambut hitam tipis, dan kulit agak kuning. Rumah batanya
yang kecil adalah rumah terbesar di desa itu. Ruangan sesak
tempat kami duduk berisi perabotan dari bambu dan
pemak-pemik peribadatan; satu dinding digantungi dengan
sulaman meriah Hati Suci. "Sebagian ditembak, sebagian
dibacok," ujar Elias. "Mereka tidak peduli apakah itu p e r e m p u a n atau a n
a k - a n a k. M e r e k a m e m b u n u h para istri, suami, mereka membunuh
anak-anak. Terkadang mereka menuangkan minyak tanah dan membakar mereka
hidup-hidup. Saya pemah melihat sendiri enam atau tujuh
anak. Dua di antara mereka adalah bayi. Usia tiga atau
empat bulan. Mereka juga memenggal kepala bayi-bayi itu."
Orang-orang yang Elias selamatkan ditangkap sehari
sebelumnya. "Salah satunya adalah keluarga Jawa -
perempuannya janda, dan dia kawin lagi dengan orang
Madura. Keluarga lainnya keturunan Tionghoa. Jadi, m e r
e k a b u k a n m u m i M a d u r a. Tapi tetap s a j a m e r e k a diikat, dan
hampir saja digarap, ketika sebagian dari
orang-orang kami mengenali mereka dan mengatakan
jangan. Tetapi orang y a n g i n g i n m e m b u n u h m e r e k a, pemimpinnya,
bukanlah orang dari kampung sini. Dia
datang dari Darit. Orang-orang Dayak itu sangat kejam -
terkadang penduduk setempat mencoba menghentikan
mereka, tetapi mereka tidak bisa dikendalikan. Mereka
tidak sadar, mereka dikuasai roh halus. Mereka memakan
banyak korban." Elias menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir
bergambar Yesus. "Saya pergi keluar dan melepaskan
orang-orang yang akan mereka bunuh dan cepat-cepat
membawa mereka ke sini. Kerumunan massa sangat
berang. Saya katakan kepada mereka bahwa kalau kalian
mau membunuh orang-orang itu, kalian harus membunuh
saya dahulu." Tentara yang berkomando di Singkawang telah diberi
tahu tentang orang-orang Madura ini, dan telah berjanji
akan mengirimkan truk untuk menjemput mereka. Sebuah
iring-iringan bahkan dikabarkan sedang menuju ke sini
sekarang, tetapi di tengah jalan mereka dihalau oleh para
prajurit Dayak. "Saya menghadapi kesulitan besar di sini, sampai orang-orang ini
dievakuasi," ujar Elias. "Saya belum beristirahat selama tiga hari dua malam.
Saya pikir orang-orang Dayak itu membenci saya sekarang. Mereka
membenci saya karena saya menentang pembantaian itu.
Tetapi, itulah risikonya. Saya harus menanggung k e m a r a
h a n m e re k a." DI LUAR MONTRADO, lalu lintas di jalanan ramai.
Beberapa ratus meter sepanjang jalan, kami menyaksikan
kelompok-kelompok perburuan menghilang ke dalam hutan
di sisi kanan, dan beberapa saat kemudian dua anak lelaki
bersepeda melintasi jalan, dengan potongan kepala
tergantung dari setang berayun-ayun di ujung sebuah tali.
Pada tikungan selanjutnya, saya terpaksa berpisah dengan
selembar uang 10.000-" pinjaman", begitu istilahnya, untuk seorang pemuda
jangkung dengan kantong plastik tembus
pandang berisi hati di pinggangnya. Orang Dayak yang
menghentikan kendaraan kami di sini semuanya punya
pertanyaan, tentang saya, tentang penumpang lain di dalam
jip, dan tentang alasan perjalanan kami. Tersiar kabar
tentang orang-orang Dayak pengkhianat yang bekerja sama dengan musuh
untuk menyusahkan para pemburu; penting untuk
meyakinkan mereka bahwa tidak ada orang Madura yang
melarikan diri di dalam jip ini.
Selama tiga mil ke depan jalanan lengang. Kemudian
pada sebuah pertigaan terlihat api unggun kecil di sisi jalan.
Belasan orang Dayak sedang sibuk menjaga nyalanya.
Pisau-pisau dan mandau dapat terlihat; di atas nyala api itu, mereka sedang
memasang bingkai alas untuk memasak. Di
belakang mereka beberapa benda berwama merah muda
tergeletak di atas sebuah tembok rendah. Saat kami lewat
saya melihat dua batang kaki, badan tanpa tungkai. Sesuatu
yang lain, barangkali lengan, sedang diletakkan di atas api.
Orang Dayak itu sedang asyik melakukan persiapan
barbecue, d a n m e r e k a m e n g a b a i k a n j i p k a m i.
"Jangan berhenti, Petrus," kata saya.
Lima menit kemudian, kami dihentikan lagi dan saat jip
melambat, seorang prajurit muda membuka pintu,
tersenyum minta permakluman, dan menyelinap ke jok
belakang. Hebat ini, pikir saya. Pertama, saya memberi
uang tip kepada seorang kanibal - sekarang saya memberi
m e r e k a t u m p a n g a n.
Kanibal kami ini anak belasan tahun. Dia tak berkaus,
hanya mengenakan celana jeans yang rapi dan sepatu
olahraga I u s u h. Di t a n g a n n ya dia m e m bawa
mandau tersarung, dengan gagang bercat merah yang
dipahat berbentuk kuda. Tampak masih baru, jenis yang
biasanya dibeli dari toko kerajinan untuk turis. Saya
membayangkan pekik Wu - wu-wu-wu-wu! orang Dayak
saat mengejar korban yang kelelahan, seperti suku Apache
dalam film koboi. Teman baru saya ini sama sekali tidak
kelihatan seperti partisipan dalam permainan para koboi
dan Indian. Dia bicara penuh semangat tentang hal-hal yang telah
dia lihat dan perbuat. Dia ceritakan kepada kami bahwa
orang yang sedang mereka masak di jalan itu baru
tertangkap pagi tadi. "Kami membunuhnya dan kami
memakannya/' dia bilang, "karena kami benci orang
Madura." Dia sendiri telah ikut dalam empat pembunuhan.
"Seringnya kami menembak mereka dulu, dan kemudian


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami cincang tubuhnya. Rasanya mirip ayam. Terutama
hatinya - persis sama seperti ayam."
Saya tanya dia tentang kepala-kepala anak-anak dan bayi
yang telah dilihat Elias Ubek di Montrado, tetapi dia
menggelengkan kepalanya dan tertawa. "Kami tidak
membunuh bayi! Kalau kami bertemu bayi, kami memberi
k a n n y a kepada orang lain. Malah kami menemukan
seorang anak dan seorang bayi, terus kami m e n y e I a m a
t k a n m e re k a."
"Sampai batas umur berapa seseorang baru boleh kalian
bunuh?" tanya saya. "Sekitar tiga belas atau lima belas," katanya.
" M e n g a p a k a I i a n m e m b u n u h m e re k a " M e n g a p a t i d a k
kalian usir saja mereka semua?"
"Karena kami benci mereka."
Dua puluh menit kemudian dia turun di desanya. Dia
sangat berterima kasih. Kami telah menghindarkannya dari
keharusan berjalan kaki yang melelahkan di pengujung
sebuah hari yang panjang menggairahkan. Beberapa saat
kemudian, Petrus angkat bicara. "Kamu tahu, saya sudah ke berbagai penjuru
negeri ini - ke Sumatra, ke Jawa, seluruh
Indonesia Timur," katanya, "dan orang-orang ini -
merekalah yang paling ramah, yang paling bersahabat,
yang paling baik. Tak ada yang seperti mereka."
Dia benar-benar serius, dan apa yang dia katakan itu
benar. Tidak ada keraguan bahwa ini adalah kejahatan
dalam bentuknya yang paling biadab. Tetapi orang-orang
ini bukan orang jahat, dan ini bukanlah tempat yang jahat.
^p^g, EMPAT 'r^S SEBAGIAN BESAR foto yang saya ambil di
^Kalimantan tidak pemah bisa dipublikasikan, tetapi pada
satu titik pemeriksaan antara Pemangkat dan Singkawang,
saya berupaya untuk memotret sesuatu yang bisa dipigura.
Sekelompok anak Melayu sedang bermain dengan sebuah
kepala di atas drum minyak. Seperti biasa: ditepuk dan
dicolek, rokok dipasangkan ke hidung, serta potongan kulit
dan kulit kepala untuk suvenir. Dua kakak beradik
bertanggung jawab atas kepala itu, dan mereka dengan
bangga memamerkannya. Selama lima menit saya
memotret mereka sembari mereka memuaskan diri dengan
kekejaman mereka. Kemudian mereka mulai bosan dan
meminta rokok dari pengemudi. Saya tinggalkan mereka di
dekat jip bersama Budi dan berjalan mundur beberapa
langkah. Saya bermaksud akan memotret dari belakang. Sudah
jelas apa yang akan tergambar - kepala seseorang di atas
drum minyak - tetapi tanpa mulut yang tersayat dan mata
tanpa kelopak, dan urat-urat yang menggantung dari leher.
Ketika saya sudah berlutut dan mengangkat kamera, si adik
mengetahui apa yang sedang saya lakukan. Dia lantas
mengangkat tangannya, berlari ke depan, kemudian
mengambil kepala itu dan memutamya 180 derajat ke
hadapan saya. Saya berjalan ke sisi yang lain, dan mencoba
lagi. Hal yang sama terjadi. Anak itu bemiat membantu.
Dia tidak mengerti mengapa saya harus menghindari wajah
orang mati itu. Dia ingin memberi saya pemandangan
terbaik dari objek magis yang memberi begitu banyak
kegembiraan dan kesenangan kepada dia dan kakaknya.
Ada saat-saat ketika perburuan sedang berlangsung dan
segera setelah sebuah pembunuhan, ketika yang paling
kejam di antara para prajurit menjadi baur dan mundur;
pada momen-momen seperti itu, mudah untuk percaya
pada roh halus, atau setidaknya pada nafsu penumpahan
darah. Tetapi, di tengah sebagian besar mereka suasana hati
yang paling menguasai adalah kegembiraan. Berjejalan di
dalam bus, dengan pakaian wama-wami dan sorak-sorai
riuh, mereka lebih seperti fans tim sepak bola yang kembali
menang setelah tahun-tahun kekalahan yang tak pantas,
yang secara tiba-tiba, melalui semangat dan keteguhan,
meraih kemenangan yang masyhur.
Di Montrado, seorang perempuan mendekati saya saat
saya sedang melihat kepala-kepala itu, dan mengulang kata-
kata, "Akhimya, akhimya, akhimya ..." Bukannya perasaan bangga atas sebuah
kemenangan, ada kelegaan bahwa yang
salah akhimya telah dilurus-kan, dan sebuah ancaman yang
telah menggantung di atas seluruh warga selama bertahun-
tahun kini telah dilenyapkan. Inilah yang paling aneh, dan
paling disayangkan, berada di tengah para kanibal di
Kalimantan bukan betapa marahnya mereka, tetapi betapa
bahagianya mereka. Saya berhenti mencoba mengambil foto dan melihat
pada anak lelaki yang memegang kepala itu. Dia sekitar dua
belas tahun, kakaknya lima belas. Dalam perjalanan hidup
mereka, pembersihan etnis Madura dan datang ke desa
mereka dengan trofi ini merupakan peristiwa terbesar,
teragung, termeriah yang pemah mereka ketahui. Sesuatu
telah berubah; keadilan telah diraih. Betapa malangnya
keberadaan yang dimiliki orang-orang ini, sehingga
gundukan berambut di atas drum minyak ini mesti menjadi
perlambang moralitas dan harapan.
DI SAMPING sebuah rumah hangus di jalan ke Sambas,
seorang anak lelaki berikat kepala kuning berkata, "Ini
semua dulunya adalah ladang-ladang orang Melayu, tetapi
orang Madura mencaploknya. Mereka menggunakan
kekerasan, dan sampai sekarang kami belum pemah balas
menggunakan kekerasan. Ketika mereka menggunakan
kekerasan terhadap kami, harga diri kami tersinggung.
Kami membalaskan dendam hati kami, dan kami tidak
ingin mereka kembali."
Seorang pria Melayu yang sedang memegang kepala s e
o r a n g M a d u r a pada r a m b u t n y a b e rk a t a, "O r a n g - o ra n g
sudah lama ingin melakukan ini, begitu lama.
Orang Madura memiliki masyarakat yang berbeda dari
kami. Mereka sangat berbeda dari orang Tionghoa, Melayu,
Bugis. Sudah amat sangat sering kami menyampaikan ke
polisi tentang ini, tentang masalah yang kami hadapi
dengan orang-orang ini. Tetapi tak seorang pun mendengar.
Jadi tidak ada pilihan lain. Orang Madura harus pergi."
Saya tak pemah sampai berkenalan dengan seorang
Madura - karena alasan jelas bahwa itu mustahil di
Kalimantan Barat pada saat itu. Yang paling dekat bagi
saya h a n y a I a h k e r u m u n a n w a j a h - w a j a h y a n g m e n g i n
t i p dari balik pintu Elias Ubek dan
belakangan ribuan orang Madura di tenda
penampungan di Pontianak - tidak tersenyum dan tidak
mengeluh, mencukupkan diri dengan kotak-kotak kecil mie
serta kantong-kantong terigu, sama tak berdaya dan
kebingungannya dengan pengungsi di tempat mana pun di
dunia. Tetapi, setiap orang lain yang saya ajak bicara di
Kalimantan setuju bahwa, sebagai sebuah komunitas,
mustahil untuk hidup rukun bersama mereka.
Mereka bersikap kesukuan, agresif, dan suka menyerang.
Mereka menggunakan kekerasan terhadap provokasi sekecil
apa pun. Mereka miskin, tentu saja - tapi setiap orang di
Kalimantan miskin. "Mereka tidak bisa hidup rukun
bersama orang lain," kata Budi. " T i o n g h o a, M e I a y u, D a y a k - k a m
i bisa k u m pul b e r s a m a. Tetapi,
orang Madura suka berkelahi dan mencuri." Kalau
mendengar ini cukup sering, Anda bisa mulai percaya.
Tetapi, itu juga terdengar tidak menyenangkan seperti
semacam konsensus yang terbangun pada berbagai masa
tentang orang Gipsi Rumania, atau tentang orang Yahudi.
Namun demikian, di dalam perang terhadap orang
Madura ini, tidak ada jejak keyakinan yang mengilhami
konflik kesukuan yang lain - tidak ada doktrin superioritas,
tidak ada ajakan ekspansionisme atau kenangan tentang
ketidakadilan sejarah. Pemyataan bahwa Melayu itu
nasionalis atau Dayak itu suka menguasai adalah
pemyataan yang menggelikan. Tidak ada juru propaganda
atau ideolog; nyaris pula tidak ada pemimpin. Bahkan
tribalisme tidak bisa menjelaskannya, karena tidak ada sifat
kesukuan yang menyatukan orang Melayu dengan orang
Dayak dan orang Bugis. Kata bahasa Indonesia yang saya dengar berkali-kali
adalah adat, yang biasanya diterjemahkan sebagai "hukum
tradisional". Adatlah yang dilanggar ketika seseorang mencuri durian dari pohon
yang sejak dulu merupakan
milik leluhur orang lain, dan mengayun k a n golok ke arah
seseorang ketika Anda berselisih paham dengannya. "Di
mata orang Dayak/1 ujar seorang guru Dayak, "ketika
orang tidak menghormati adat kami, mereka menjadi
musuh, dan kami tidak memandang musuh kami sebagai
manusia lagi. Mereka menjadi binatang di mata kami. Dan
orang Dayak memakan binatang."
IRING-IRINGAN tentara tiba di Montrado malam itu.
Salah satu truk langsung parkir di depan rumah Elias Ubek,
dan menurunkan pagar pembatas di bak belakangnya. Para
prajurit D a rak telah menanti sepanjang hari. Mereka
berkerumun di sekitar truk, tiga atau empat ratus orang,
memekik dan bersorak. Tentara di truk berteriak ke arah
mereka dan mengacungkan senapan. Tapi, justru para
tentara itulah yang takut, bukannya orang Dayak.
Satu demi satu, kedelapan orang Madura itu lari ke luar
rumah Elias dan melompat menjangkau tangan tentara
yang menarik mereka naik ke dalam truk. Setiap kali pula
kerumunan orang ramai bersorak dan meludah.
Ketika mereka semua sudah masuk, meringkuk di balik
selimut di lantai truk, iring-iringan itu berputar balik dan
berangkat kembali ke Singkawang. Matahari telah
terbenam. Ada dua belas truk, masing-masing berisi belasan
tentara - ISO orang untuk melindungi kurang dari sepuluh
orang Madura. Di dekat Jirak, iring-iringan itu diserang. Sekelompok
orang Dayak mulai menembak dari kedua sisi jalan, dan
tentara balas menembak. Prajurit Dayak bersenjatakan
senapan berburu, senapan rakitan, ketapel, serta busur dan
anak panah. Tentara membawa senapan militer otomatis. "Orang Dayak tidak punya
peluang/1 kata seorang fotografer yang ikut dalam salah satu truk tentara
itu. "Mereka berdiri sejarak beberapa meter untuk
mengarahkan senapan mainan mereka. Tentara dilindungi
truk, mereka bisa mengambil waktu untuk membidik
langsung ke arah orang Dayak." Saat itu larut malam pada hari yang sama, dan
fotografer itu sedang duduk bersama
saya di hotel di Singkawang. Itulah malam terakhir saya di
Kalimantan. Fotografer itu berkata, "Salah seorang Dayak memakai
topeng burung besar. Kelihatan seperti kepala seekor elang,
dengan hiasan bulu bagus di kepalanya. Saya melihatnya
berdiri di pinggir jalan, berjalan mondar-mandir selama
penembakan. Kemudian dia berlari masuk ke dalam hutan."
Pada saat orang Dayak telah mundur, empat di antara
mereka tergeletak mati di jalan. Tak satu pun tentara dan
orang Madura yang terluka. []
I DI YOGYAKARTA, pada awal 1998, mahasis-wa
sebuah universitas memberi saya kitab Perlambang
Jayabaya, ramalan terhebat dan termasyhur dari Jawa
Kuno. Raja Jayabaya - atau Joyoboyo, atau Djajabaja, atau
Jaya Abhaya - hidup pada abad kedua belas. Syair-syair
yang dinisbahkan kepada namanya mulai beredar sekitar
enam ratus tahun kemudian. "Nostradamus Jawa," kata kawan mahasiswa saya yang
bemama Nuri itu. Dan sudah
pasti, ramalan-ramalan Jayabaya memiliki daya duga yang
samar namun mengusik, sehingga memungkinkan orang
pada setiap zaman untuk meyakini apa yang tengah mereka
saksikan sebagai pemenuhan ramalan itu.
Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda, Tanah Jawa
berkalung besi, Perahu berlayar di ruang angkasa, Sungai
kehilangan lubuk: Itulah pertanda bahwa zaman Jayabaya
telah mendekat. Mobil, rel kereta, pesawat terbang, bendungan ... Bagi
penyair Jayabaya itu semua bukannya k e m a j u a n - k e m
a j u a n yang d i s a m b u t b a i k, m e I a i n k a n merupakan pertanda
bencana. Syair-syair ini mengandung tema yang berkali-kali muncul dalam
pemikiran Jawa, keyakinan bahwa kedamaian dan
kemakmuran, sudah pada tabiatnya, tidak akan pemah
abadi. Jika orang Eropa memandang sejarah sebagai gerak
maju, bagi orang Jawa sejarah senantiasa merupakan proses
pengulangan daur. Zaman Keemasan disusul oleh Zaman
Kegelapan, dan kemudian oleh Zaman Keemasan lainnya.
Pergantian itu tidak dapat dielakkan, sebuah prinsip
semesta yang lebih kuat daripada manusia mana pun.
Syair itu m e n g g a m b a r k a n b e n c a n a - b e n c a n a y a n g
melanda negeri pada Zaman Kegelapan. Panen
gagal, m e n i m b u I k a n k e I a p a r a n dan w a b a h p e
n y a k i t. P e m b a j a k dan perampok merajalela.
Kekerasan dan kesusahan memaksa seluruh penduduk
keluar dari desa-desa mereka dan turun ke jalan. Perilaku
tidak wajar dan bejat menyebar, di antara orang tua dan
anak-anak, pria dan wanita, penguasa dan yang dikuasai,
bahkan di tengah dunia hewan.
Bumi semakin lama semakin mengerut dan setiap
jengkal tanah dikenai pajak,
Kuda suka makan sambal, Perempuan berpakaian lelaki,
Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik.
Sering terjadi hujan salah musim, Orang yang
melakukan kesalahan berpesta pora, Raja yang mengingkari
janjinya akan kehilangan kuasa. Kuil suci akan dicela
dengan kebencian, dan hukuman ditimpakan pada yang tak
bersalah. Yang berhati bersih akan mendapat kemalangan.
Para menteri akan menjadi orang biasa,
Rakyat kecil akan naik menjadi tuan.
SAYA BERJUMPA Nuri di Universitas Gajah Mada,
kampus paling terkenal di Yogyakarta. Saat kami bicara, di
bawah teduh pohon pisang di depan kantor universitas itu,
massa mahasiswa sedang berkumpul untuk demonstrasi
terbesar dalam tiga puluh tahun terakhir di kota itu. Para
mahasiswinya mengenakan jeans ketat dan blus, tapi kepala


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka ditutupi jilbab. Yang lelaki mengenakan kaus dan
jaket universitas dalam wama-wama terang. Sebagian besar
duduk mengobrol di rumput, atau berdiri sambil merokok di
bawah pepohonan. Kelompok-kelompok mahasiswa
memberi sentuhan akhir pada spanduk-spanduk besar yang
dibentangkan di atas rumput dengan spidol dan cat.
Ada sedikitnya 10.000 demonstran hari itu. Mereka
mulai berkumpul dini hari tadi, pidato-pidato dan lagu-lagu
terus berlangsung hingga sore. Amien Rais, tokoh nasional
yang paling dekat dengan pergerakan itu, adalah seorang
profesor di Universitas Gajah Mada. "Mahasiswa adalah
kekuatan politik yang objektif di negeri ini," katanya suatu kali. "Apa yang
terjadi di Filipina dan di Iran telah
mengilhami kami untuk memobilisasi Kekuatan Rakyat."
Pada pukul sembilan, ketika para mahasiswa mulai m e I
a m b a t k a n prosesi m e r e k a, n y a n y i a n m e r e k a m e n j a d i
lumayan jelas: tolak Soeharto dan turunkan
harga. Satu jam kemudian, mereka memelesetkan nama
presiden itu menjadi "asuharto" (asu artinya anjing dalam bahasa Jawa), dan
menjelang sore mereka meneriakkan,
"Gantung Presiden." Lantaran terbatas pada jalanan sempit di dalam kampus,
mereka kelihatan sangat banyak. Saat
mereka m e n g a k h i ri b a r i s a n, p a ra d e m o n s t r a n m e n g e I
u a r k a n patung tiruan Soeharto,
dengan tungkai-tungkai dari stoking yang dijejali dan wajah
yang digambar secara kasar. Mereka membakamya di atas
rumput, dan bersorak serta memekik saat asap mengepul.
Kemudian, setelah satu putaran terakhir teriakan slogan
dan lagu-lagu, mereka mulai bubar dengan tenang.
DI JAWA KUNO, segala sesuatu mempunyai makna
dan bisa ditafsirkan. Jembatan ambruk, menewaskan
pembantu seorang menteri: hari-harinya di istana tidak
lama lagi. Binatang liar hutan terlihat berkeliaran di kota:
kota itu akan jatuh ke tangan musuhnya. Gempa bumi,
ledakan gunung api, gerhana dan komet-komet direkam
dalam catatan sejarah, bersamaan dengan bencana-bencana
yang mereka tandai - dan, tak pelak, dalam penyampaian
kisah-kisah mereka para sejarawan membuktikan bahwa
diri mereka benar. Tapi, apa yang akan terekam di dalam
catatan Jawa pada tahun-tahun terakhir abad kedua puluh"
Pada 1996 - tahun ketiga puluh satu Orde Baru
Soeharto - Megawati Soekamoputri, putri presiden yang
lama, Soekamo, dipaksa turun dari kepemimpinan partai d
e m o k rasi o p o s a n o I e h p e m e r i n t a h. Para p e n d u k u n g n y
a berang, dan melancarkan protes damai,
protes yang telah saya saksikan di markas besar partai itu
pada kunjungan pertama saya ke Indonesia. Markas itu
diberangus oleh komando terselubung. Ibu kota rusuh.
Pada tahun ketiga puluh dua Orde Baru, 1997, ribuan
orang Madura dibantai dan dikanibalisasi oleh orang Dayak
di pulau Kalimantan. Selama kampanye untuk pemilu
tahun itu, ada kerusuhan besar melanda negeri. Partai
Soeharto menang, tetapi orang mencibir kemenangannya.
Pada musim hujan, hujan tak turun. Panen gagal, serta
hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatra terbakar tanpa bisa
dikendalikan. Asap dari api kebakaran hutan Indonesia menyesakkan
orang-orang di Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei.
Mobil-mobil bertabrakan di jalanan yang tertutup asap, dan
kapal-kapal berbenturan di jalur-jalur laut. Pesawat
penumpang terbang ke dalam pegunungan tersaput asap
saat turun ke bandara. Beberapa pekan kemudian tabrakan
pesawat lainnya terjadi saat turun vertikal ke dalam rawa-
rawa di hutan. Rupiah Indonesia mulai kehilangan nilainya. Bank-bank
ditutup. Pasar s a h a m a m b r u k m e n y usul r u m o r, y a n g belakangan
terbukti palsu, bahwa Presiden Soeharto
meninggal. Tahun 1998 berawal dengan kerusuhan
makanan di Jawa Timur. Sembilan dari sepuluh perusaha-
an di Bursa Saham Jakarta temyata secara teknis telah
bangkrut. Aktivis politik muda menghilang; belakangan
diketahui bahwa mereka diculik dan disiksa oleh tentara.
Berbagai demonstrasi merebak di universitas-universitas di
belasan kota di Jawa. Mata uang nyaris tidak bemilai. Indonesia menjadi
bahari tertawaan di seluruh dunia. Dan sua t u hari
pemerintah Indonesia yang melemah, dengan gagah m e n g
u m u m k a n re f o r m asi e k o n o m i, lalu m e m batal k a n n y a
keesokan paginya. Untuk pertama kali dalam tiga puluh tahun, rakyat
secara terbuka menyerukan perlunya menteri-menteri baru
dan presiden baru. Tetapi, pada pertengahan Maret 1998,
dalam pergolakan terburuk di negara itu selama tiga puluh
tahun, Soeharto diangkat kembali sebagai presiden untuk
ketujuh kalinya oleh kumpulan seribuan pendukung yang
dipilih secara hati-hati. Pengangkatan kembali inilah -
penolakan yang sinis untuk menghadapi kenyataan - yang
membuat berang para mahasiswa Yogyakarta. Saat
parlemen yang telah dijinakkan presiden bertepuk tangan
usai pidato pengukuhannya di Jakarta, di Yogya dia dibakar
dalam bentuk patung. Sejarah Jawa penuh dengan momen-momen yang
ditandai sebagai awal dari Zaman Jayabaya - berkuasanya
raja yang jahat, hari-hari terakhir penguasa kolonial
Belanda, dan yang paling baru adalah peristiwa
pembantaian anti-komunis pada 196S dan 1966 yang meng-
akhiri Orde Lama dan mengawali yang Baru. Nuri
mengunduh terjemahan Inggris Perlambang Jayabaya dari
Intemet; dia tersenyum minta maaf saat m e n y era h k a n
n y a k e p a d a saya. Tapi, bagi b a n y a k o ra n g pada
awal 1998, tidak ada yang aneh dalam pemyataan bahwa
zaman edan sudah menjelang.
SAYA KEMBALI terbang ke Jakarta sepuluh hari silam.
Di Tokyo, tempat saya naik pesawat, tanah tertutup salju.
Mendarat di Jakarta tak berbeda dari kedatangan untuk
pertama kalinya: gerah lembap yang bahkan menembus
pendingin udara yang paling kuat, aroma cengkeh kretek
yang memenuhi udara. Tetapi, satu hal telah ber-ubah, dan
bersamanya berubah pula segala sesuatu yang lain: uang.
Semenjak pertengahan tahun lalu, setelah bencana yang
serupa di Thailand, mata uang rupiah Indonesia telah
ambruk. Dulunya satu pound bemilai sekitar 4.000 rupiah;
sekarang 18.000. Sebagai pengunjung asing, dengan kata
lain, saya jadi empat kali lebih kaya. Secara intemasional,
Indonesia telah menjadi empat kali lebih miskin. Harga
makanan impor, nilai tagihan dari pemasok barang impor,
dan lebih-lebih lagi, nilai pinjaman dari bank asing yang
kepadanya begitu banyak perusahaan Indonesia berutang -
semuanya empat kali lipat lebih mahal, dan seiring
merosotnya nilai rupiah setiap hari, harga-harga melonjak
naik. Kebanyakan perusahaan besar Indonesia sudah
hancur, dan kian banyak orang yang kehilangan pekerjaan
mereka. Inilah yang disebut krisis moneter - krismon - dan
pemerintah tak berdaya menghentikannya.
Di lampu-lampu merah Jakarta, pedagang asongan y a n
g m e n a w a r k a n m o b i I - m o b i I m a i n a n m a k i n m e n j a m u
r dengan banyaknya penganggur dan
pendatang baru dari luar kota. Selain koran dan rokok yang
biasa, mereka menyodorkan jenis barang baru: poster
mengilap yang memuat nama dan foto setiap anggota
kabinet baru Soeharto. Di antara para menteri baru itu ada
putri sang presiden; kawan Soeharto memancing dan
bermain golf diangkat menjadi menteri perdagangan.
"Tetapi di sini - di sini bukan yang terburuk," kata teman-teman di Jakarta kepada
saya. "Di pedesaan Jawa Timur -
ke sanalah kamu mesti pergi untuk melihat orang-orang
yang benar-benar menderita."
Bepergian pada masa seperti itu berarti mengalami apa
yang mungkin dialami menjadi turis setelah ambruknya
mark di Jerman Weimar. Harga bahan bakar pesawat telah
melambungkan biaya perjalanan udara di luar jangkauan
siapa pun kecuali orang kaya, dan penerbangan domestik
yang saya ambil ke luar Jakarta terisi kurang dari
seperempat kapasitas penumpangnya. Lebih mengejutkan
lagi, suku cadang pesawat juga menjadi tak terjangkau;
penerbangan satu jam terlambat untuk tinggal landas,
karena para teknisi melakukan perbaikan mesin dengan
menggunakan sekadar apa yang tersedia. Malam itu saya
tiba di kota Malang di Jawa Timur dan menginap di hotel
terbaiknya. Ruangan saya yang berperabotan antik
berseberangan dengan kolam renang yang diteduhi pohon
palem. Tarifnya setara dengan lima belas poundsterling.
Belakangan, ketika saya memeriksa nilai tukar terakhir,
saya m e n e muk a n bahwa rupiah masih terus merosot: y
a n g s a y a b a y a r k a n n anti s e b e n a r n y a k e m u n g k i n a n
bemilai dua belas pound. Ketika saya
menyelesaikan tagihan-tagihan saya, nilai tukar sudah lebih
rendah lagi Saya membayar tunai, dengan tumpukan lembaran
50.000,00 semuanya baru dicetak oleh bank sentral yang
sedang panik. Masing-masing bergambar wajah Soeharto
sedang tersenyum dan bertuliskan julukan yang dilekatkan k
e p a d a n y a: Bapak Pembangunan.
SEPANJANG TAHUN, seiring melejitnya harga
berbagai kebutuhan dasar rumah tangga, kerusuhan
merebak di kota-kota kecil dan desa-desa di Jawa Timur.
Selama sepekan, saya mengunjungi mereka ditemani
seorang pemandu muda dari Malang bemama Vinny. Jawa
Timur adalah provinsi yang luas; berjam-jam berkendara
dengan sekali perhentian dari yang berikutnya. Terkadang
kami menghabiskan sehari penuh di dalam jip Vinny, dan
selama perjalanan panjang inilah, sambil setengah
mengantuk, dengan jendela terbuka dan angin menampar
wajah, saya jatuh cinta pada keindahan Jawa. Di
pegunungan, udara menjadi sejuk dan jalan berkelok-kelok
di sisi tebing hutan yang terjal. Tapi, sering kali jalannya
datar dan lurus, dengan barisan orang-orang dan binatang
yang tak hentinya berpapasan. Pada saat-saat ini, Jawa
terasa seperti sebuah desa panjang yang membentang
sepanjang ratusan kilometer.
Rumah-rumah yang lebih besar biasanya berdinding
putih dan beratap genteng merah. Pohon-pohon kelapa tak
beraturan berjajar sepanjang jalan di depan rumah. Bagian
bawah pohon-pohon itu dicat putih melingkari batang, dan
bayangannya jatuh berirama menerpa mobil yang sedang
bergerak. Setiap beberapa kilometer ada sebuah masjid kecil
dengan kubah mengilap, dan monumen publik seorang
tokoh yang menginspirasi: sekelompok keluarga, berdiri
kaku dan tegap dengan wajah-wajah bercat serampangan;
seorang tentara sedang menghunus bayonet. Di belakang
dan di sela rumah-rumah ini dapat terlihat sawah-sawah
hijau dan kuning, dan di belakang semuanya hamparan
hutan hijau lebat. Sungai-sungai yang ditata baik mengalir sepanjang
pinggir jalan, mengairi kanal-kanal irigasi di antara sawah-
sawah. Seorang perempuan berjalan di sisinya, membawa
botol air plastik di satu tangan dan di tangan lainnya
menggandeng seorang anak laki-laki. Sebuah sepeda
bergerak lambat membawa daun pintu besar belum dipemis
yang ditumpangkan di atasnya dengan hati-hati, dan
seorang lelaki berjalan dari arah berlawanan sambil menarik
kerbau bermata basah di ujung tambang yang berat. Di
pinggir sebuah desa, sebaris mobil melaju pelan di belakang
sebuah prosesi. Vinny ikut memelankan laju mobil dan
mengerem mendadak. Di depan mobil-mobil itu enam orang bercelana pendek
dan berkaus mengangkut keranda mayat. Seorang lelaki
memegangkan payung hijau di atasnya. Keranda itu ditutup
dengan kain mengkilap dan rangkaian bunga-bunga putih.
Lelaki yang memegang payung memberi tanda agar
Vinny maju duluan. Vinny, seorang lelaki, bekerja pada agen wisata di M
alang y a n g m e n d a p a t k a n p e m a s u k a n dari m e n g e I o I a
pendakian gunung-gunung api besar di Jawa
Timur. Dalam beberapa bulan terakhir, katanya, pekerjaan
itu mulai kering. Orang Indonesia yang makmur, yang
merupakan pengunjung terbesar, sudah tidak mampu
membiayainya, dan orang-orang asing, yang bagi mereka
perjalanan semacam itu menjadi sangat murah, menjadi
takut oleh laporan-laporan tentang berbagai kerusuhan.
Vinny memiliki pendidikan sekolah biasa. Bahasa
Inggrisnya, yang fasih dan cerdas, adalah hasil belajar
sendiri. Dia membenci Soeharto dengan rasa tidak suka
yang biasa saja, dan dia hidup dalam dunia di mana setiap
orang lain juga bersikap sinis terhadap Soeharto.
Pemilu itu, katanya, curang: banyak orang memberikan
suara kepada partai yang berkuasa, tetapi hanya karena
mereka telah diintimidasi oleh kepala desa mereka atau
komandan tentara setempat. Sebagian besar mereka bosan
dengan Soeharto, tetapi mereka lebih membenci "kroni-
kroninya", terutama putra dan putrinya. "Indonesia adalah sebuah republik," kata
Vinny, "tetapi sungguh lebih mirip kerajaan, dengan Soeharto sebagai raja, serta
anak-anaknya sebagai tuan putri dan pangeran. Kalau Anda teman
Soeharto, Anda bisa mendapat posisi apa pun di dalam
pemerintahan. Kalau Anda anaknya, Anda bisa mendapat
kontrak bisnis apa pun yang Anda suka. Korupsi
merajalela. Tetapi, di pinggiran kota ini, orang-orang masih
miskin." "Lantas, mengapa mereka menoleransi Soeharto begitu
lama?" tanya saya. "Karena mereka takut/' kata Vinny. "Tapi apa yang
mereka takutkan?" "Mereka takut pada masa lalu."
"Tentang apa pada masa lalu?"
Vinny menoleh ke arah saya dan tersenyum. "Anda
harus tanyakan itu pada orang yang lebih tua/1 katanya.
"Tetapi, masa lalu adalah masa lalu. Kami harus
melakukannya dengan benar sekarang, untuk masa kini.
Kami harus melangkah ke masa depan."
Mobil melambat lagi. Di tengah jalan ada sebuah drum


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minyak dan di sekelilingnya anak-anak muda memegang
kaleng-kaleng reot yang mereka sorongkan ke jendela-
jendela terbuka mobil yang lewat. "Mereka m e n g u m p u I k a n u a n g u n t
u k s e b u a h m a s j i d baru," kata Vinny. "Tapi, saya tidak suka memberi
karena Anda tahu uang itu tidak benar-benar sampai ke masjid, tetapi ke anak-
anak ini." Yang tertua di antara mereka mendekat dengan
membawa kalengnya, seorang pemuda jangkung kurus
dengan lingkaran gelap di bawah matanya. Vinny m e n g g
e I e n g k a n kepala n ya, d a n m e n g e m u d i k a n m o b i I perlahan
mengitari drum minyak itu. Dan tiba-tiba, di
jalanan sepi di antara pepohonan ini, kemarahan menguasai
para penagih muda itu. Yang lebih kecil meneriakkan
makian dengan suara tinggi. Yang paling tua meletakkan
tangan kurusnya pada lengan saya yang sedang menyandar
di jendela yang terbuka dan mencengkeramnya begitu kuat
sehingga meninggalkan bekas di kulit. Vinny balas berteriak
kepada mereka, menambah laju dengan cepat sehingga
mengeluarkan bunyi berdecit, dan berhenti satu kilometer
kemudian di bawah bayang-bayang sebuah pohon beringin
besar. "Dasar!" kata Vinny saat saya mengusap tangan saya,
"Anda baik-baik saja?"
"Mengapa mereka sangat marah" Hanya karena kita
tidak memberi mereka uang?" Seekor kupu-kupu hijau dan
merah masuk ke dalam jip serta hinggap di atas setir.
"Karena sesuatu," kata Vinny, mengelak. "Sesuatu. Saya tidak tahu apa,"
DAERAH PEDESAAN Trenggalek, sebuah kota kecil di
ujung barat Jawa Timur, sudah cukup miskin sebelum
Krismon, tetapi tahun ini musim tanam terpaksa ditunda
karena kekeringan. Beras impor tak terbeli karena rupiah
yang merosot, dan segala sesuatu di toko-toko mahal karena
naiknya harga solar yang dibutuhkan untuk mengantarkannya ke desa-desa yang
jauh. Orang-orang yang kehilangan pekerjaannya pulang dari kota dan menambahi beban di desa.
Kantong-kantong di wilayah ini
disebut sebagai yang termiskin di Indonesia, dan
orang-orang terpaksa mengganti beras dengan jagung dan
singkong. "Singkong mencegah mereka sakit dan kelaparan," kata seseorang bemama Hardjiyo.
"Tapi, dibandingkan kalau mereka makan nasi, mereka tak punya tenaga, tak
punya kekuatan." Hardjiyo bekerja untuk Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) cabang Trenggalek, tetapi dia berbeda dari aktivis
yang saya kenal di Jakarta. Di sana partai dijalankan oleh
orang yang mampu berbicara bahasa Inggris secara cerdas
dengan gelar sarj ana dan kacamata mahal. Hardjiyo
mengenakan jeans dan kaus, serta hanya punya ambisi
politik sederhana: setiap lima tahun dia berusaha keras
membujuk agar lebih banyak orang tidak memilih partai
yang sedang berkuasa. Kami menjemputnya di depan kantor kecil partainya,
dan dia memandu Vinny ke luar kota. Di jalan kami
melewati sebuah bank dengan poster slogan terakhir
pemerintah: Aku cinta rupiah. "Kami memang mencintai
rupiah," kata Hardjiyo. "Masalahnya, rupiah yang tidak mencintai kami."
Kami berkendara sepanjang jalan-jalan sempit
menembus desa dengan rumah-rumah batu dan bambu.
"Anda lihat ayam-ayam itu?" tanya Hardjiyo, "Sekarang ini tidak terlalu banyak
jumlahnya." Dulu ada petemakan
ayam besar di dekat sini, katanya. Tetapi bahan-bahan
pakan ayam itu diimpor, dan dalam semalam harganya
melambung tak terjangkau. Setelah beberapa pekan
kegalauan, dan di luar pikiran warasnya, pemilik
petemakan itu membakar habis kandang-kandang beserta
ayam-ayam di dalamnya. Puluhan ribu ayam terpanggang
sekaligus. Dan harga telur berlipat ganda.
Hardjiyo menunjuk ke arah ladang-ladang singkong yang
beranting merah dan berdaun seperti baling-baling. "Jika seorang perempuan hanya
memakan singkong, dia kadang
tidak bisa menghasilkan ASI untuk bayinya," kata Hadjiyo.
"Tetapi, susu bubuk terlalu mahal sekarang. Banyak bayi
yang sakit. Pekan lalu, seorang teman saya m e n g u b u r k
a n b a y i n y a." "Bagaimana perasaan orang-orang," tanya saya. "Apakah mereka marah?"
" M e re k a sangat m arah, tapi t a k ada k e ru s u h a n.
Mereka sangat-sangat marah, tetapi di sini kerusuhan tidak
akan terjadi seperti di tempat-tempat lain. Karena mereka
tidak punya apa-apa. Kalau orang kelaparan, sulit untuk
bikin kerusuhan. Dan mereka takut."
"Apa yang mereka takutkan?" Hardjiyo tersenyum.
Kami tiba di sebuah desa bemama Sumurup dan pergi ke
rumah teman Hardjiyo, Jamah. Dia seorang tukang kayu
yang memiliki sawah kecil. Istrinya dan dua anak lelakinya
kelihatan cukup ceria, tetapi tampak jelas bahwa kehidupan
mereka sedang berubah dalam beberapa bulan terakhir.
Keluhan utama Jamari adalah pada peningkatan sampai
empat kali lipat harga baterai untuk lampu listrik yang
menerangi bengkelnya setelah hari gelap. Tetapi, tak
seorang pun yang membeli kursi dan m e j a y a n g d i b i k
i n n y a. Keluarga i t u m a k a n c a m p u ra n seperempat nasi dan tiga
perempat singkong. Wamanya kelabu dan
bergumpal-gumpal, rasanya sedikit mirip lumpur.
Memakannya membuat mereka mengantuk dan malas
bergerak. "Membuat kami merasa bosan," kata istri Jamari.
Dulu orang-orang Sumurup mendapat keuntungan dari
penanaman pohon cengkeh, bahan penting dalam
campuran rokok kretek. Tetapi, usaha itu hancur enam
tahun lalu ketika putra Soeharto yang paling dibenci r a k y
a t, T o m m y, d i I i m p a h i h a k m o n o poli u n t u k m e m beli
cengkeh dari petani. Dalam kurun dua tahun,
akibat ketamakan dan kecerobohan Tommy, pasar cengkeh
hancur. Sekarang harga cengkeh mulai naik lagi, tetapi
seluruh penduduk desa telah menjual pohon-pohon mereka
sejak lama. "Yang diharapkan para warga adalah semoga
presidennya berganti," kata Jamari. "Tetapi, mereka tidak akan mengungkapkan apa
yang mereka rasakan karena
mereka takut." Untuk ketiga kalinya hari itu, dengan dengan harapan
kecil akan sebuah jawaban langsung, saya bertanya,
"Apa yang kalian takutkan?"
"Kami takut peristiwa 196S itu terjadi lagi," kata Jamah tanpa ragu. "Kami takut
jika kami bicara, seseorang akan datang dan menciduk kami di tengah malam, dan
barangkali mereka akan membunuh kami."
Dia membawa kami melalui jalan setapak menuju
pemakaman di desa itu. Di sinilah anggota Partai Komunis
Indonesia, PKI, dulu bersembunyi ketika tentara dan
anggota milisi datang ke desa, dan di sini banyak di antara
mereka diseret ke tempat terbuka serta di-bunuh.
Bermula pada November 196S, beberapa pekan setelah
upaya kup yang misterius dan naiknya Soeharto ke tampuk
kekuasaan. Di desa-desa sekitar Sumurup, 150 orang telah
dibunuh, setara satu dari setiap empat puluh warga.
Beberapa di antaranya tewas di Sumurup sendiri; bahkan
tiga puluh tiga tahun kemudian, Jamah masih bisa m e n g i
n g a t n a m a m e r e k a m a s i n g - m asing. Dia m e n g a m b i I pensil
dari saku bajunya dan dengan perlahan
menuliskan nama-nama itu di dalam buku catatan saya:
Paiti, Musati, Sutomo, Kami ... Seluruhnya ada sembilan
nama. "Kami saya lihat sendiri," katanya. Dia menunjukkan ke arah batu datar kusam di
antara pemakaman dan jalan
setapak. "Di sana. Saya melihatnya dengan mata saya
sendiri." Pembunuhnya bekerja dengan dua cara. Sebagian orang
ditangkap secara resmi oleh para tentara yang mendatangi
rum a h-rumah mereka dan membawa mereka pergi ke
barak-barak tanpa ditanyai. Setelah beberapa hari, tawanan
diserahkan kepada pendukung anti-komunis, dan dibawa
pergi ke tempat sepi untuk dibantai. Tetapi, banyak
pembunuhan terjadi di dekat rumah-rumah korban sendiri.
Di Sumurup, sebuah geng yang terdiri dari seratusan
pemuda tiba pada malam hari, anggota organisasi pemuda
Islam, Anshor. Mereka datang dengan truk tentara dan ada
tentara di tengah mereka. Tetapi, tentara tidak ambil bagian
dalam apa yang kemudian terjadi.
"Mereka datang mencari Sutomo dan Kami, tapi mereka
tak bisa menemukan keduanya," kata Jamari. "Mereka
datang lagi keesokan pagi, tapi Sutomo dan Kami tidak ada
di rumah. Sutomo mereka temukan di sawah, dan mereka
membunuhnya di sana. Kami sedang bersembunyi di
pemakaman ini. Dia tak terlihat. Tetapi, warga desa yang
tak senang dengannya memberi tahu Anshor bahwa dia di
sini." "Mereka berteriak bahwa mereka tidak akan
melukainya," kata Jamari. "Maka keluarlah Kami dari tempat persembunyiannya.
Tetapi, mereka membawanya
ke sini, d a n m e m u k u I n ya d e n g a n t o n g k a t. M e r e k a m e n o
p a n g n y a berdiri" - sekarang dia
menirukan gerakan seseorang diangkat dengan ditopang di
ketiaknya - "dan menyembelih lehemya dengan belati.
Mereka membawa tubuhnya ke pemakaman ini dan
menggali lubang lalu m e n g u b u r k a n n ya." Dia m e n o I e h kepada H a
rdj i y o, "Pemimpin mereka adalah Y_"
Hardjiyo mengangguk, "Pak Y_ masih tinggal di
sini," katanya. "Dia seorang ulama. Dia menjadi anggota DPRD dari partai yang
berkuasa." Kami berdiri menunduk ke arah batu kusam di pinggir
jalan itu. Saya tanya orang seperti apakah Kami itu.
"Dia orang yang sangat baik," kata Jamari. "Semua yang mereka bunuh adalah orang
baik-baik. Kami adalah sekretaris desa. Musati, juga - dia seorang guru. Andaipun
mereka PKI, mereka tampaknya tak pemah menjadi
ancaman bagi siapa pun. Semua orang tahu apa yang
mereka yakini, itu bukan rahasia."
"Apa yang terjadi pada keluarga-keluarga mereka?"
"Keluarga-keluarga mereka sangat ketakutan. Mereka
selalu yakin bahwa tentara akan menduga mereka juga
terlibat. Sebagian besar dari mereka pindah ke desa yang
lain. Istri Kami tetap di sini, tetapi dia kehilangan
kewarasannya, dan kemudian kerabatnya datang
membawanya pergi." Hardjiyo lebih muda daripada Jamah, dan tentunya
masih anak-anak pada masa pembunuhan itu. Tetapi, dia
menganggukkan kepalanya. "Setiap orang harus mengikuti
orang banyak," katanya. "Kalau tidak, dia akan dicurigai.
Tak seorang pun mencoba untuk menghentikan
pembunuhan itu, mereka terlalu takut. Bahkan sampai
sekarang orang masih takut."
Namun, kondisinya sangat berbeda sekarang, kata saya.
Komunisme telah berakhir di seluruh dunia, dan tidak ada
lagi orator pembujuk massa seperti Soekamo saat ini.
Tentunya sangat banyak yang telah berubah di Indonesia
sehingga hal semacam itu tidak mungkin terjadi lagi" Vinny
mulai menerjemahkan ini, dan Jamah menyelanya. "Apa
pun bisa terjadi di negeri ini," katanya. "Rakyat menderita, dan selama mereka
menderita seperti ini, tak ada yang pasti.
Krisis ini membuat setiap orang amat pusing." []
i ZAMAN EDAN JIKA KEKUASAAN seorang pemimpin nasional
tumbang, sering dikatakan bahwa dia telah "kehilangan
kekuatan magisnya". Dalam kasus Indonesia, atau
setidaknya di pulau Jawa, ini benar secara harfiah.
Dalam tradisi Jawa, politik merupakan salah satu aspek
dari dunia gaib; siapa pun yang ingin menguasai wilayah
duniawi juga harus mengendalikan kekuatan-kekuatan
tersembunyi yang ada di balik itu. Saya telah melihat di
Kalimantan bahwa jika orang percaya pada kekuatan
magis, kekuatan itu menjadi nyata. Tetapi, mantra perang
suku Dayak lebih kasar dibandingkan kultus mistis raja-raja
Jawa. Selama berabad-abad orang-orang Jawa telah menjadi
Buddha, Hindu, dan akhimya Muslim, tetapi beberapa
keyakinan tetap bertahan dari setiap era agama itu. Raja-
raja Jawa bukan sekadar perwakilan ilahi, melainkan satu-
satunya penghubung antara manusia dan para dewa. Kedua
dunia itu saling mencerminkan satu sama lain, kekacauan
di salah satunya menimbulkan gangguan pada yang
lain. Kemampuan untuk mempertahankan harmoni
antara yang gaib dan yang kasat mata - inilah esensi
menjadi raja. Legitimasi kerajaan mengambil bentuk terlihat yang
nyata: cahaya ilahi yang disebut wahyu. Dalam babad dan
wayang Jawa, wahyu digambarkan dalam beragam cara.
Terkadang ia datang dalam bentuk penampakan (mimpi
tentang langit berbulan tujuh) atau makhluk ilahiah
(seorang anak sebesar gagang belati, bersinar bak matahari).
Tetapi, yang paling sering ia muncul se-bagai cahaya:
bintang, nyala terang, kilat - terkadang diiringi oleh
gemuruh - atau bola bersinar putih, biru, atau hijau
menyilaukan, melesat di langit.
Wahyu adalah pertanda keagungan dan karisma yang
tampak. Wahyu mengubah sosok pemegangnya, yang
bersinar terang, penuh wibawa dan kuasa. Wahyu bisa
hadir sejak lahir: seorang raja menyerapnya sejak di d a I a
m k a n d u n g a n, k e t i k a c a h a y a y a n g m e n g a m b a n g
menyentuh kening ibunya yang sedang hamil. Yang
lain, Pangeran Puger, memperolehnya dari saudaranya
yang telah mati, Amangkurat II. "Dikisahkan bahwa
kejantanan sang raja [yang mangkat] berdiri tegak dan pada
puncaknya ada kilau cahaya, hanya seukuran butir lada,"
catat sang penulis babad. "Tapi tak seorang pun yang
mengetahuinya. Hanya Pangeran Puger yang melihatnya.
Pangeran Puger cepat-cepat menyesap cahaya itu. Segera
setelah cahaya itu diserap, kejantanan itu tak lagi berdiri.
Sudah kehendak Allah Pangeran Puger yang akan menjadi
penerus takhta."

Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kekuasaan juga terpusat pada garis keturunan yang
sakral dan pemak-pemik kerajaan: lembing suci, mahkota,
meriam, kereta kuda, gong dalam orkestra gamelan, dan
keris. Ditopang oleh jimat-jimat semacam itu, dan dengan
upaya spiritual tanpa henti, raja mempertahankan bukan
hanya posisinya sendiri, melainkan juga kestabilan dan
kesejahteraan jagat raya. Gelar-gelar yang dilekatkan
kepada para penguasa Jawa mengindikasikan tanggung
jawab yang mereka pikul dalam mengendalikan eksistensi
manusia: Paku Alam - Penopang Jagat Raya, Hamengku
Buwono - Pemangku Alam Semesta.
"Ke k u a s a a n adalah k e m a m p u a n u n t u k m e m beri k a n
kehidupan," tulis peneliti Indonesia Benedict Anderson dalam sebuah esai
terkenal tentang raja-raja
Jawa. "Kekuasaan juga merupakan kemampuan untuk
bertindak seperti magnet yang menyatukan serbuk-serbuk
besi terserak dalam sebuah medan daya yang berpola."
Tetapi, legitimasi kerajaan bisa datang dan pergi.
Ancaman terbesar bagi kekuasaan raja adalah kelemahan
yang disebut sebagai pamrih. Kata itu menyiratkan
gabungan antara mementingkan diri sendiri, keangkuhan,
ketundukan pada hawa nafsu, dan korupsi. Pamrih dapat
menampakkan dirinya dalam kesenangan berlebihan pada
wanita atau harta melampaui apa yang dibutuhkan bagi
kejayaan negara. Seorang raja yang menunjukkan
kecenderungannya kepada faksi tertentu atau kepada
anggota keluarganya sendiri juga memperlihatkan pamrih.
Sekali tercemari oleh cacing korupsi, bencana hanya
tinggal soal waktu. Tidak akan ada perebutan kekuasaan:
otoritas dan legitimasi raja, sekali goyah, akan hilang untuk selamanya. Kaum
cerdik cendekia mengetahui datangnya
bencana itu, dan memperingatkan raja akan hal itu.
Biasanya, dia akan bereaksi keras dan kejam: penahanan
para kritikus, penyiksaan, penistaan dan kematian mereka.
Dan kebrutalan ini, pembinasaan orang bijak dan tak
bersalah, merupakan tanda lain dari pamrih, bukti lain
bahwa sang raja telah meninggalkan kebajikan seorang raja
dan bahwa wahyu telah meninggalkannya.
TAK ADA yang lebih piawai dalam memahami alur
naik turunnya sejarah Jawa ini daripada Soeharto.
Kebatinan dan kekerasan telah mewamai penggal pertama
kehidupannya. Dia lahir pada 1921 di sebuah desa beberapa kilometer di
luar Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa. Sebelah utara
Yogyakarta ada gunung keramat Merapi yang berbentuk
asap, gunung api yang paling aktif di Jawa. Sebelah selatan
adalah Samudra Hindia, tempat bersemayamnya Nyi Roro
Kidul, dewi penguasa Laut Selatan dan pelindung para
sultan Yogyakarta. Istana raja itu sendiri serta penataan
ruang dan paviliun di dalamnya, merupakan diagram
simbolis jagat Jawa, dipenuhi dengan musik, tari, dan
wayang. Setelah kenaikan takhtanya, ada rumor bahwa Soeharto
sendiri merupakan anak haram istana yang diserahkan
kepada sebuah keluarga petani tak lama setelah lahir.
Terlepas dari siapa pun ayahnya yang sebenamya, masa
kecil Soeharto sangat menderita dan tidak bahagia.
Segera setelah kelahirannya, ibunya menghilang.
Beberapa hari kemudian dia ditemukan di dalam ruangan
gelap sebuah rumah kosong dalam keadaan mirip
kesurupan. Ketika bayi itu berusia beberapa minggu
orangtuanya bercerai dan, selama masa kecilnya, Soeharto
dititipkan secara bergilir di antara para bibi, paman, dan
sahabat keluarganya. Tiga kali dia diculik oleh salah satu
orangtuanya. Dia pindah rumah sembilan kali s e b e I u m
m e n a m a t k a n s e k o I a h n y a.
Saat paling bahagia pada masa kecilnya adalah ketika dia
magang pada seseorang bemama Daryatmo yang sering
menjadi tempat Soeharto meminta nasihat kelak. Daryatmo
adalah seorang penceramah Muslim, tetapi dia juga seorang
dukun terkenal. Dukun bisa mengeluarkan hantu yang
menghuni rumah-rumah dan mengusir roh halus dari
orang-orang yang kerasukan. Orang mendatanginya untuk
meminta nasihat soal perkawinan, usaha, petemakan, dan
untuk ramuan obat-obatan yang dibuatnya dari akar-
akaran, daun, serta tumbuhan obat dengan bantuan
Soeharto. Soeharto bersekolah hingga usia tujuh belas, tetapi dia
tidak terlalu tertarik untuk belajar dari buku. Pelajaran yang tetap diingatnya
adalah yang diserapnya dari dunia di
sekitamya: kebatinan dari Daryatmo, dan aturan moral dari
pertunjukan wayang kulit. Cerita-cerita wayang berasal dari
kisah epik India, Mahabharata dan Ramayana, tetapi
selama berabad-abad telah diubah oleh tradisi pribumi
Jawa. Pahlawan-pahlawan mereka mengejawantahkan
nilai-nilai ideal Jawa tentang kekesatriaan, kesetiaan, dan
tanggung jawab. Sepanjang hidupnya Soeharto
mengungkapkan dirinya melalui ajaran-ajaran aforistis
wayang. Aja kagetan. Aja gumun. Aja dumeh.
Jangan gampang kaget. Jangan gampang heran. Jangan
mentang-mentang. Sugih tanpa tanda, Nglurug tanpa tala, Digdaya tanpa
aji-aji, Menang tanpa ngasorake.
Kaya tanpa harta, Menyerbu tanpa pasukan, Perkasa
tanpa mantra, Menang tanpa merendahkan.
Perang Dunia Kedua, dan revolusi Indonesia yang
menyusulnya, mengubah kehidupan Soeharto. Berturut-
turut dia bertugas sebagai pegawai pemerintah pada zaman
kolonial, polisi pada masa pendudukan Jepang, dan
anggota pasukan gerilya dalam gerakan kemerdekaan
Indonesia. Pada 1950, dalam usia dua puluh sembilan, dia
menjadi letnan kolonel dalam tentara Republik Indonesia
merdeka yang baru dibentuk. Selama tahun-tahun tersebut
dia meraih reputasi sebagai tentara yang tangguh, waspada,
dapat dipercaya, dan agak tidak menarik - bawahan yang
biasa, tetapi secara temperamen b e r t e n t a n g a n d e n g a n para p e m i
m p i n k e m e r d e k a a n y a n g berapi-api dari generasi yang lebih tua.
Setelah kemerdekaan, Soeharto dengan tenang menaiki jenjang komando, di
tengah Indonesia yang galau pada era 1950-an dan awal
1960-an. Satu orang mendominasi politik Indonesia selama waktu
itu: Soekamo, presiden pertama, proklamator kemerdekaan
Indonesia. Bung Kamo, demikian dia biasa disebut, adalah
seorang yang menyenangi berkah Kekuasaan. Dalam
pidato-pidatonya yang panjang berapi-api, dalam celaannya
yang merindingkan bulu roma terhadap k o I o n i a I i s m e
, d a I a m b a n y a k p e r k a w i n a n d a n hubungan
cintanya, pada pengerahan massa dan konferensi pers serta
fungsi-fungsi diplomatisnya, Soekamo bersinar cerah. Dia
tampil seperti bintang film yang diputar siang hari, dengan
kemeja krem dan limusinnya. Dia hidup dalam kontradiksi,
konfrontasi, dan pergolakan. Sementara itu harga-harga
naik, utang bertambah, produktivitas merosot, dan rakyat
kelaparan. Ada kerusuhan dan rumor tentang
penumbangan kekuasaan. Jelas bahwa negeri itu sedang
bercerai-berai dan di balik kekacauan politik itu -
demonstrasi, persaingan partai-partai politik - ada perasaan
menanti datangnya bencana.
Pada 30 September 196S, sekelompok tentara, termasuk
para pengawal istana Soekamo, menculik dan membunuh
enam jenderal paling senior serta membuang mayat mereka
ke dalam sebuah lubang. Mereka mengklaim bertindak
demikian demi mencegah ancaman upaya kup dari sayap-
kanan terhadap Soekamo, tetapi dalam beberapa jam
pergerakan mereka telah bubar. Dengan matinya jenderal-
jenderal itu, Soeharto yang tak dikenal, yang tak dinyana,
mendapati dirinya terlontar ke dalam posisi kepemimpinan.
Dengan ketenangan yang tak terusik, dia menggalang
tentara, menaklukkan para p e m b e r o n t a k, dan m e n a
h a n p e m i m p i n - p e m i m p i n m e r e k a nyaris tanpa menembakkan
peluru. Kebenaran tentang apa yang terjadi pada malam 30
September dan 1 Oktober tak pemah benar-benar
terungkap. Kup itu merupakan kerja Partai Komunis yang b
e r m a k s u d m e m p e r b u d a k orang Indonesia,
sebagai m a n a yang telah dilakukannya terhadap orang
Rusia, Cina, dan Eropa Timur. Di seluruh Indonesia,
kampanye pembunuhan dilancarkan melawan anggota PKI
yang nyata atau diduga. Itu merupakan salah satu
pembantaian terbesar dalam sejarah; dalam kurun beberapa
bulan, ratusan ribu orang mati. "Tak ada yang dilakukan
oleh penjajah Belanda selama 350 tahun menjarahi
Nusantara," tulis Benedict Anderson, "yang menyamai skala kecepat-an dan
kekejaman dari apa yang dilakukan
Soeharto terhadap rakyatnya sendiri."
Yang terburuk adalah bahwa rakyat sendirilah yang
melakukan itu terhadap diri mereka sendiri. Pembantaian
itu bukanlah rencana yang ditetapkan dari atas oleh pihak
yang kuat terhadap pihak yang lemah. Tentara
menyediakan daftar nama, truk, beberapa senjata, dan
terkadang bantuan dalam eksekusi. Tapi sebagian besar
pembunuhan dilakukan oleh para petani, nelayan,
pengrajin, guru, ulama, pegawai pemerintah, dan pelajar
Jawa biasa - dengan tangan.
SETELAH GESTAPU - SINGKATAN bahasa
Indonesia untuk m e n y e b u t k u p yang d i p a t a h k a n i t u - S o e k a r
n o m e I e m a h. Dia secara terbuka
mencoba mengabaikan arti pentingnya, sehingga
mengundang kecurigaan bahwa pembunuhan para jenderal
itu tidak benar-benar sesuatu yang mengejutkan baginya.
Sementara itu Soeharto bergerak dengan keyakinan
seseorang yang telah tiba masanya. Ribuan komunis
dikumpulkan di Jakarta, dan foto-foto mayat jenderal yang
terbunuh dikirim ke markas militer di daerah. Musuh-
musuh PKI di dalam tentara dan masjid-masjid telah
menunggu kesempatan mereka begitu lama sehingga tak
diperlukan lagi perintah langsung.
Di mana pun terjadinya, pembantaian itu mengambil ciri
khas setempat; lepas dari dorongan untuk menumpas
komunis, pembantaian itu kini menjadi sarana menyalurkan
permusuhan politik, agama, dan etnis yang lama di
kepulauan sebelah timur dengan populasi Katolik dan
Protestannya yang besar, orang Muslim membunuh orang
Kristen. Di Bali pembunuhnya adalah orang Hindu, dan di
Kalimantan Barat orang Dayak yang memburu kepala
orang Tionghoa. Tak ada yang tahu berapa banyak orang
yang tewas - perkiraan yang dapat dipercaya menyebutkan
rentang dari beberapa ratus ribu hingga sejuta, sebagiannya
mati selama dua belas pekan terakhir 1965.
Melihat luasnya pembantaian itu, mengherankan betapa
sedikitnya informasi terandalkan yang dapat diperoleh
mengenainya. Orang-orang asing yang tidak keluar dari
negara itu terkurung di Jakarta; di kalangan orang
Indonesia soal itu menjadi terlalu tabu, dan bahkan
sekarang sulit untuk menemukan orang-orang seterbuka
Jamah. Tetapi, masih tersisa beberapa kisah tentang zaman
itu. P e m b u n u h a n seri n g n y a d i I a k u k a n pada m a I a m h a ri,
dengan cahaya lampu parafin. Korban biasanya
dibunuh di tempat terbuka, di tempat-tempat tersembunyi
di pinggiran desa: sawah, kebun karet, kebun pisang dan
kelapa. Terkadang mereka diikatkan ke pohon atau tempat
lain, atau dijejerkan di samping liang kubur yang sengaja
digali atau tepi sungai, nanti mayat-mayat mereka di buang
ke dalamnya. Sering mereka disiksa. Perkosaan dan
penyayatan bukannya tak lazim dan penggalan tubuh-tubuh
itu terkadang dibiarkan tergeletak di tempat terbuka.
Senapan jarang digunakan; pada kebanyakan kasus, korban
dibunuh dengan tangan. Mereka dicekik dengan tali,
dipukul dengan tongkat dan batang besi, kepala mereka
ditimpa batu, diguyur minyak tanah dan dibakar hidup-
hidup, atau disayat sampai mati dengan golok, pedang
atau belati. Di Cirebon, pantai utara Jawa, milisi anti-
komunis setempat membangun guillotine kota.
Ada unsur simbolis, bahkan ritual, dalam banyak
pembunuhan ini. Pemimpin komunis di Bali bemama I
Gede Puger. Dia terkenal sebagai orang jahat, masyhur
karena kerakusan dan kegendutannya, maka, sebelum
menembak kepalanya, si pembunuh memotong lemak dari
tubuh korbannya. Di tempat lain, mutilasi korban
dijelaskan secara mistis, sebagai cara untuk membuat
kematiannya tidak sempuma sehingga mencegah mereka
meraih keselarasan dengan semesta.
S e b e I u m m e m u I a i p e k e rj a a n m e r e k a, k e I o m p o k -
kelompok penyerang itu seringkali menjadi
kesurupan. Di Bali mereka dirasuki oleh roh Syiwa, dewa
kehancuran dalam agama Hindu. Tawanan komunis di
sana terkadang diberi pilihan eksekusi atau sesuatu yang
disebut nyupat. "Orang tidak boleh bicara tentang
pembunuhan tetapi nyupat/jelas seorang pegawai di Bali,
"yaitu pemendekan hidup seseorang demi membebaskannya
dari penderitaan, dan untuk memberinya kesempatan lahir
kembali sebagai seseorang yang lebih baik." Para saksi
menggambarkan pemandangan mengerikan para tawanan
berjalan tenang menuju kematian mereka, sudah berpakaian
jubah p e m a k a m a n p u t i h - p u t i h.
PKI di Jawa mengambil kekuatannya dari penduduk
miskin desa yang pelaksanaan Islamnya bercampur dengan
ritual dan kebatinan kuno. Di banyak tempat, kecurigaan
pada komunisme berbaur dengan ketakutan pada ilmu
hitam. Orang komunis dianggap setan, tidak sepenuhnya
manusia, dan karenanya mereka dibunuh.
Dari sebuah kisah tentang pembunuhan masa itu di Jawa
Timur: Seorang anak lelaki ... putra Pak Tjokrohidardjo, yang
adalah anggota komite PKI cabang Kecamatan Singosari,
ditangkap oleh pemuda Anshor. Dia kemudian diikatkan ke
jip dan diseret di belakangnya hingga mati. Kedua orang


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuanya kemudian bunuh diri.
Oerip Kalsum adalah anggota PKI. Sebelum dibunuh,
perempuan itu diminta menanggalkan semua pakaiannya.
Tubuh dan kemaluannya kemudian dibakar. Dia kemudian
diikat, dibawa ke desa Sentong di Lawang. Di sana seutas
tali diikatkan ke lehemya dan dia dijerat sampai mati.
Suranto, kepala sekolah di Pare ... pergi untuk menemui
istrinya yang sedang hamil sembilan bulan ... Mereka
dipukuli sampai pingsan dan kemudian dibunuh. Kepala
yang laki-laki dipenggal, dan perut istrinya dibelah terbuka, bayinya diambil
dan dicincang-cincang. Kedua mayat itu
dibuang ke dalam jurang sebelah timur pasar di Pare.
Selama sepekan setelah itu, tak ada yang berani menolong
kelima anak mereka yang masih kecil-kecil (yang tertua
sebelas tahun) karena para tetangga diperingatkan oleh
Anshor bahwa siapa pun yang menolong mereka akan
menghadapi risiko. Anak-anak tak jarang ikut mati bersama orangtua
mereka, tetapi di berbagai bagian di Jawa Timur sekelompok anak yatim
berkeliaran di pinggir desa,
mengais-ngais mencari makan seperti anjing. Sungai
Brantas yang mengalir membelah Jawa Timur, menjadi
mampet akibat mayat-mayat - petani-petani sepanjang p i n
g g i r n y a m e m b a n g u n pagar b a m b u u n t u k m e n c e g a h mayat-
mayat itu masuk ke saluran irigasi. Di kota
pelabuhan Surabaya, konsulat Inggris suatu pagi
menemukan mayat-mayat terhanyut di dasar tamannya.
Beberapa orang asing yang tetap tinggal melihat hal-hal
luar biasa: misalnya, di kalangan orang Indonesia, tak
seorang pun tampak kaget dengan pembantaian itu. "Salah
satu pengalaman paling mengejutkan bagi para pengunjung
ke Jakarta pada puncak pembunuhan massal itu adalah
sikap tidak peduli yang ditampakkan, bahkan oleh orang-
orang yang paling halus perasaannya," tulis seorang
jumalis. "Dengan bersemangat mereka menyebarkan rumor
terbaru, hangat dari tungku, tentang tubuh tanpa kepala
yang merintangi sungai-sungai di Semarang, tentang kepala-
kepala manusia yang berjejer di atas pagar kayu sepanjang
jalan di Solo, tentang seisi desa dicukur habis dengan sekali sapu oleh milisi
anti-komunis. Tetapi, meski ada
keprihatinan dan simpati bagi keluarga orang-orang yang
dibantai, seper-tinya hanya sedikit kengerian atau
sentimentalitas ... Perasaan bahwa ini tak terelakkan
merupakan sikap yang terpatri dalam-dalam dan ciri yang
lazim di kalangan orang Jawa."
PADA SUATU hari di bulan Maret 1998, saya dan
Vinny mampir di kota Blitar, kampung halaman mantan
Presiden Soekamo, dan tempat dia dimakamkan. Soekamo
kehilangan kekuasaannya segera setelah pembunuhan
jenderal-jenderal itu. Pada Maret 1966, dia menyerahkan
wewenang kepada Soeharto yang diangkat sebagai
pelaksana presiden pada tahun berikutnya, dan presiden
penuh pada 1968. Soekamo tinggal sebagai tahanan rumah
di Bogor, jarak yang aman dari Jakarta, dan wafat di sana
pada 1970, tidak bahagia dan terlupakan.
Tapi kini, pada 1998, dia menikmati kebangkitan
kembali. Kekacauan dan korupsi pada tahun-tahun
terakhimya dilupakan; orang mengingatnya sebagai
proklamator kemerdekaan dan pendiri bangsa. Sejak
dijatuhkan dari kepemimpinan partai demokrasi, putrinya,
Megawati Soekamoputri, telah menjadi pahlawan nasional,
dan kekuasaan yang terkumpul di seputar dirinya banyak
bersumber dari kenangan terhadap ayahnya. Ribuan orang
datang setiap hari untuk berfoto di samping makamnya,
serta kios-kios menjual poster dan kaus Soekamo. Di antara
benda-benda yang dipajang itu ada gambar makam itu
sendiri, potongan batu hitam mengilap. Terlihat dengan
jelas di dalam pola-pola cahaya batu tersebut wajah, mata,
dan rambut singa jantan besar. Bapak penjual gambar itu
mengatakan kepada kami bahwa singa itu merupakan
wahyu Soekamo, yang datang kembali sebagai pertanda
kepada bangsa Indonesia selama masa bergolak itu. Tetapi,
salah satu kios yang menjual kaus mengatakan itu cuma
kebetulan yang muncul dari kilauan batu yang berkilat.
Kami mengunjungi rumah masa kecil Soekamo, rumah
sederhana yang kini dijadikan museum. Di dinding ada
foto-foto tua: Soekamo sang orator dengan mulut
menganga, mengacungkan jarinya ke udara; Soekamo si
bintang film, bersama istri-istrinya yang cantik dan senyum
seksinya; Soekamo sang negarawan, tersenyum dan
berjabat tangan dengan para pemimpin dunia.
Pajangan itu sama sekali tidak memperlihatkan tentang
masa-masa akhimya yang sepi dan kengerian yang
mendahuluinya. Di belakang rumah itu tergantung sangkar burung
dengan seekor burung hijau di dalamnya, dan sebuah
bingkai besar berisikan selembar kertas yang menguning
bertuliskan huruf jawa yang ditulis dengan tangan. Kacanya
buram dan ada sarang laba-laba tua terperangkap di
dalamnya. Ada tanggal tercantum di bawahnya: 1964,
setahun sebelum penggulingan kekuasaan dan pembantaian
yang mengakhiri Soekamo. Saya dan Vinny berdiri bersebelahan mencermati
dokumen itu. "Apa itu?" tanya saya.
"Sebuah puisi. Bukan karya Soekamo, tapi saya kira ini
tulisan tangannya sendiri." "Apa isinya?"
Itu merupakan rangkuman dari tembang terkenal yang
ditulis seorang penyair akhir abad kesembilan be-las Raden
Ngabehi Ranggawarsita. Judulnya adalah "Syair di Zaman
Edan". Keadaan negara zaman sekarang, sudah semakin
merosot. Situasi telah rusak, karena sudah tak ada yang
dapat diikuti lagi. Hati nurani orang cerdik cendekiawan, terhanyut arus
zaman yang penuh keraguan.
Suasana mencekam. Karena dunia penuh dengan
hambatan. Sebenamya rajanya termasuk raja yang baik,
patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka
masyarakat baik, namun segalanya itu tidak menciptakan
Bendera Darah 2 Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang Misteri Kain Kafan Jesus 3
^