Pencarian

Dragon Keeper 4

Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson Bagian 4


dari kamar dengan berjingkat-jingkat, tanpa alas kaki dan hanya mengenakan baju
tipis berlukisan naga hijau yang disimpannya sebagai baju tidur.
Di pekarangan udara masih berkabut oleh asap dan berbau busuk, tapi langit mulai
terang, Sebentar lagi pagi dan mereka bisa meninggalkan Wucheng.
Ping setengah berharap mereka menemukan batu naga itu. Dia marah pada Danzi
karena telah membangkitkan harapannya, tapi lalu membuatnya kecewa. Kenapa Danzi
memercayakan dirinya untuk mencari dan menemukan batu naga itu" Kenapa Danzi
tidak bertindak sendiri" Dia naga, bukan" Dialah yang mempunyai kekuatan mistis.
Pencarian ini sia-sia saja. Padahal mereka sebenarnya bisa tetap di perahu
bersama Jiang Bing. Pekarangan penginapan itu tampak biasa saja. Ada tungku batu bata yang masih
hangat waktu disentuh. Ada sumur juga. Mangkuk tanah liat dan piring-sendok
bekas makan mereka sudah dicuci dan digantung terbalik agar kering. Ping
mengambil seember air dari sumur dan sebuah ciduk bergagang ukir yang tergantung
di cantelan, mencelupkannya ke air, dan minum dengan rakus. Tapi tetap saja dia
tak bisa merasa rileks. Jauh di dalam benaknya dia mendengar suara yang terus
mendesaknya. Bukan suara sang naga, melainkan suara nuraninya. Selama ini dia
tidak jujur pada Danzi. Dia teringat perasaan lain yang dialaminya ketika di
Chang'an. Pengalaman yang tidak diceritakannya. Ketika anak lelaki bertopi bulu
itu mencuri keping uang mereka, Ping marah sekali. Entah bagaimana, kemarahannya
memberinya kemampuan untuk "melihat". Dia bisa mengetahui keberadaan anak itu di
tengah ribuan orang di ibukota. Ada sesuatu dalam dirinya yang menariknya ke
arah anak itu. Dia juga tidak bercerita kepada Danzi tentang suara melengking
samar yang dari tadi didengarnya.
Ping membayangkan batu naga tersebut, warnanya yang ungu indah, guratannya yang
seputih susu. Dia mengingat bentuknya yang bulat dan ha lus, dan betapa
senangnya dia merasakan batu itu terantuk-antuk pada pinggangnya saat dia
berjalan. Ingatan akan batu itu membuatnya sedih. Dia merindukan batu itu. Dia
teringat sorot mata Diao yang memancarkan rasa senang sekaligus serakah ketika
pertama kali melihat batu itu di Huangling. Dibayangkannya tangan kotor pemburu
itu mengelus permukaannya yang sejuk, pakaian kulit binatangnya yang berminyak
itu mengotori batu tersebut. Setitik kemarahan mulai terbentuk di hatinya, kecil
saja mulanya, tapi makin lama makin besar. Dia marah pada Diao karena telah
mencuri batunya, mengotori keindahannya. Tapi dia lebih marah pada dirinya
sendiri. Dirinya yang melepaskan batu itu. Dia tidak melawan ketika para penjaga
di Fengjing mengambil batu itu darinya. Batu naga itu tidak selayaknya berada di
tangan si pemburu naga atau orang jahat mana pun yang tinggal di Wucheng. Sejauh
ini Ping tidak berbuat apa-apa untuk mencoba mengambil kembali batu itu. Dia
membiarkan saja dirinya dibuai oleh irama arus sungai dan hangatnya
persahabatan. Kemarahannya sekarang sudah sebesar akar taro. Dia tidak berusaha menghentikan,
kemarahan itu terus tumbuh hingga memenuhi dirinya. Ping gemetar. Dia
mengerahkan pikiran, mencari-cari batu naga itu seperti waktu dia mencari si
topi bulu. Dia tidak berharap merasakan apa pun. Batu
naga itu bisa berada di mana saja. Tapi setidaknya dia berharap mendapat sedikit
"bisikan", petunjuk samar untuk mengarahkannya ke mana harus mencari. Namun apa
yang dirasakannya begitu nyata, sampaisampai dia jatuh tersungkur. Berupa
gelombang emosi yang sangat kuat kemarahan, rasa takut, dan kesepian bercampur
jadi satu. Batu naga itu ada di dekat sini, sangat dekat. Suara yang didengarnya
sepanjang hari semakin keras, semakin nyaring. Memenuhi pikirannya. Sepertinya
sulit dipercaya, tapi sekarang dia yakin. Batu naga itulah yang memanggilnya.
Dia bangkit, memejamkan mata, dan berputar-putar sampai merasakan sebuah
kekuatan menariknya ke depan. Dia membuka satu mata, sekadar untuk memastikan
bukan sang naga yang menariknya kembali ke dalam ruangan dengan mencengkeram
bajunya. Tidak ada siapa-siapa di situ, Dia merasa seakan ada tali kuat yang
mengarahkannya ke suatu tempat. Dia bertahan pada kemarahannya. Emosi ini
menuntunnya keluar dari tempat penginapan, ke jalanan yang sepi. Ke mana pun
kekuatan ini membawanya, dia akan ikut.
Ping membuka mata. Sebuah pintu membuat langkahnya terhenti. Dia berada di luar
salah satu rumah yang dibangun dari bebatuan gunung berapi. Jeritan batu naga
itu semakin keras terdengar. Pintu itu tak terkunci. Engsel-engselnya berderit-
derit ketika Ping membukanya dengan perlahan. Dia menahan napas ketika memasuki
rumah itu, setengah menduga akan me nemukan Diao di dalam
sana. Satu sosok yang se dang tidur meringkuk di atas kasur. Sosok itu bukan
Diao; melainkan lakilaki yang dilihat Ping mengawasinya tadi dari balik
bayangbayang. 16 Yang Hilang dan Ditemukan
T*\i dalam ruangan itu Ping melihat berbagai "^-^ benda mengerikan bertebaran
ada ekor harimau, tengkorak anjing atau serigala, hati yang dikeringkan. Ada
pula tanaman yang dicabut dengan kasar, tumpukan tulang yang memutih. Bangkai
anak kambing yang digeletakkan di lantai, ususnya terburai ke luar. Satu gerakan
membuatnya terkejut. Di dalam kandang ada seekor burung besar yang telah
kehilangan sebagian besar bulunya. Bau busuk memuakkan tercium dari belanga di
perapian. Di tembok ada peta rasi bintang dan sebuah cermin pe runggu bundar.
Ping merasa melihat wajah keriput seorang perempuan tua di dalamnya, kemudian
menya dari bahwa yang dilihatnya itu pantulan wajah nya sendiri.
Lakilaki itu tertidur nyenyak, segurat senyum tipis tampak di bibirnya. Ping
baru melihat bahwa yang semula dikiranya tanda lahir pada pipi orang itu,
sebenarnya merupakan tato berbentuk makhluk dengan ekor bergaris-garis, surai
dari bunga, dan mulut menganga yang dipenuhi gigi tajam. Satu
mata orang itu ditutupi kain dan kepalanya plontos. Jenggot tebalnya bukan
berwarna hitam, melainkan agak Jingga. Tidak seperti jenggot Master Lan, yang
berupa sejumput tipis rambut hitam panjang, jenggot lakilaki ini pendek kaku.
Hiasan yang terjuntai dari telinganya adalah burung-burungan dari batu biru
baiduri. Sebatang tongkat kayu tergeletak di samping kasur, berjejer dengan
sehelai mantel lusuh. Orang itu mengenakan tunik dari bahan berkilauan, meski
hanya sedikit sekali cahaya di dalam ruangan itu. Di pinggangnya melilit tali
dari benang lima warna yang dijalin menjadi satu. Dalam tidurnya dia tidak
terlihat jahat. Tiba-tiba eritan batu naga memenuhi pikiran Ping. Jeritan putus
asa oleh rasa takut dan pen deritaan.
Sebuah piala tergeletak miring di dekat kasur. Tampak sebercak noda berwarna
gelap tumpah dari sana. Ping pasti akan berbalik dan berjingkat-jingkat keluar
itu andai dia hanya mengandalkan mata, tapi itu tidak terjadi. Mata batinnya
yang telah membawanya ke tempat mengerikan ini menyuruhnya tetap tinggal.
Jeritan yang didengarnya makin nyaring. Ping mencoba menajamkan mata, Dalam keremangan itu dia melihat si lakilaki mencengkeram sesuatu di dadanya. Kuku
jarinya panjang dan hitam. Ping tahu persis, apa isi bungkusan yang dipegangi
orang itu, meski dia tak melihatnya dengan jelas.
Ping telah menemukan batu itu. Yang harus dilakukannya kini hanyalah mengambil
batu itu. Tapi bagaimana" Sekonyong-konyong kekuatannya
meninggalkannya, seperti kuning telur meninggalkan cangkang telur yang pecah.
Jeritan itu memudar menjadi isakan samar. Dia pun berjongkok dengan perasaan
lelah dan bodoh. Visi dalam benaknya sudah lenyap dan dia tidak mempunyai
gagasan. Dia sudah kembali menjadi gadis budak yang bodoh.
Bau anggur yang tumpah itu melayang ke arahnya. Bau itu sudah sangat dikenalnya,
dan mengingatkannya pada Master Lan. Tiba-tiba saja Ping menyadari bahwa dia
punya banyak pengalaman dengan situasi semacam ini. Master Lan dulu sering
tertidur karena mabuk, dengan memegangi sesuatu yang hendak diambil Ping,
Ping mendapat gagasan. Ciduk dari sumur itu masih dibawanya. Maka dia
menghampiri kandang burung dan memungut sehelai bulu yang jatuh di bawahnya. Si
burung mengepakkan beberapa bulunya yang tersisa, tapi tidak bersuara. Sekarang
Ping sudah mempunyai semua peralatan yang dibutuhkannya.
Tadi, ketika mendapatkan visi itu, dia tidak takut sedikit pun. Tapi kini dia
takut. Dia berlutut di tepi kasur penyihir itu, dengan gemetar mengulurkan
tangannya yang memegang bulu. Digelitiknya ujung hidung lakilaki itu. Seperti
yang diharapkan, si penyihir yang masih tertidur, mengangkat tangan untuk
mengusir apa pun yang telah mengganggu tidur nya. Lalu tangannya terkulai di
samping kepala. Sekarang dia hanya memegangi batu naga itu dengan satu tangan.
Ping menunggu sebentar sampai orang itu tertidur lagi. Dari dekat,
tatonya kelihatan lebih seram. Surai makhluk pada tato itu ternyata bu kan
terbuat dari bunga, melainkan tengkorak. Ping mengambil ciduk dan memegang
ujungnya. Diulurkannya alat itu ke arah batu naga. Gagangnya yang berlekuk
dikaitkan ke bagian yang longgar pada kain pembungkus batu. Dengan gerakan
sangat halus ditariknya kain itu ke arahnya. Jemari si lakilaki, yang tidak
mencengkeram erat dalam tidurnya, membiarkan batu itu ditarik lepas darinya.
Ketika batu itu hampir lepas dari tangannya, burung di dalam sangkar berkoak
nyaring. Kuku-kuku panjang dan hitam orang itu seketika menancap ke kain
pembungkus batu. Matanya yang hanya satu membuka dan menatap tepat ke arah Ping.
Ping tidak bergerak. Mata orang itu warnanya tidak wajar, kuning kusam seperti
air kencing, tapi berkaca-kaca dan tidak fokus. Ping begitu dekat dengannya,
sampaisampai bisa mencium bau busuk napasnya. Dia juga melihat jenggot kuning
kaku lelaki itu, dan lubang-lubang tindik di kedua telinganya. Baru disadarinya
bahwa hiasan yang menjuntai dari telinga orang itu bukanlah burung, melainkan
kelelawar. Cahaya fajar yang pucat rupanya terlalu terang bagi orang itu. Dia
memperdengarkan geraman seperti kambing yang marah, dan mengayunkan lengan ke
wajahnya. Ping menunggu, tidak berani bergerak sedikit pun, sampai napas
penyihir itu kembali teratur, dengan dengkuran sama setiap kali dia menarik
napas. Kemudian sekali lagi Ping menarik batu naga itu pelan-pelan. Jemari
lakilaki itu membuka. Kain pembungkus batu lepas dari genggamannya. Ping menariknya, sampai
sudah cukup dekat untuk diambilnya. Sejenak dipeluknya batu itu. Hatinya
bernyanyi oleh rasa bahagia.
Keletihan Ping lenyap. Dia merasa kuat dan sanggup berlari sampai ke Samudra,
tapi dia me maksakan diri mengendap-endap ke luar. Lalu dia lari sam pai ke
tempat penginapan dan kembali ke kamar tempat sang naga masih tidur. Dia hampir
tak bisa menahan diri untuk tidak berteriak keras-keras. Tak bisakah Danzi
merasakan kehadiran batu itu" Tak bisakah dia mendengar batu itu bernyanyi,
seperti yang didengar Ping sendiri"
"Danzi," panggil Ping. "Aku mendapatkannya! Aku sudah menemukan batu naga itu."
Dibukanya kain pembungkus batu itu dan senyumnya memudar. Batu naga itu tampak
gelap dan kusam, dan tertutup bercak-bercak cokelat. Guratannya tidak lagi
berwarna seputih susu, melainkan kelabu dan saling-silang oleh garis halus
berwarna merah darah. Baru beberapa saat kemudian Danzi terjaga. Dia se perti
tidak menyadari di mana dirinya berada. Kemudian dilihatnya batu itu.
"Siapa yang simpan batu?" tanyanya.
Ping menggambarkan wajah bertato si penyihir.
"Necromancer," kata sang naga,
"Kita harus menjauhkan batu itu dari tempat ini."
"Batu harus secepatnya dibawa ke Samudra."
Ping tak peduli ke mana mereka akan pergi, asalkan jauh dari Wucheng ini. Dia
sudah setengah jalan ke pintu.
"Ping harus berpakaian." Terdengar suara sang naga yang tenang dalam kepalanya.
Ping memandangi dirinya sendiri. Dia masih bertelanjang kaki dan hanya
mengenakan baju pengorbanan itu. Cepat-cepat dikenakannya pakaian, kaus kaki dan
sepatu, lalu dia mengemasi barang mereka yang hanya sedikit, batu naga
dimasukkan ke dalam keranjang anyaman. Sang naga bangkit dengan limbung. Ping
tidak menunggunya. Di luar, jalanan kosong. Para penduduk Wucheng sudah menghilang bersama
kegelapan. Ping lari ke arah gerbang. Tapi enam orang berdiri di seberang jalan,
menghadangnya. Orang-orang itu tampak aneh, kurus, dengan jubah kelabu
mengepakngepak dan rambut panjang kusut yang berkibar-kibar padahal tidak ada
angin. Wajah mereka kosong dan mata mereka melotot. Ada lagi yang aneh pada diri
mereka. Orang-orang itu melayang sedikit di atas tanah.
"Roh penjaga," kata sang naga. "Mereka akan memperingatkan si necromancer."
Ping merasa bulu kuduknya meremang. Ternyata si necromancer berada di
belakangnya, wajahnya seperti awan petir. Dia memegang sebatang tongkat. Ping
memegang batu naga itu erat-erat, memejamkan mata, dan lari. Terasa olehnya
embusan angin dingin, namun dia terus berlari menembus orang-orang yang
menakutkan itu menembus mereka seakan tubuh mereka terbuat dari asap.
Sesampainya di gerbang, ternyata gerbangnya tertutup. Dan tampaknya berat
sekali. Dia tak mungkin bisa membukanya. Sesuatu yang tajam dan berkilauan melesat lewat di
dekat telinganya dan menancap pada kayu gelap gerbang itu. Sebuah pi ringan dari
logam terang dengan tiga kawat duri pada tepinya, berlekuk dan tajam seperti
cakar kucing. Ping membalikkan badan. Si necromancer berdiri di tengah jalan,
melontarkan lebih banyak piringan ke arahnya. Ping menunduk menghindari piringan
per tama dan kedua, namun piringan ketiga melesat tepat ke arahnya. Nyaris saja
mengenai tubuhnya, namun hanya berhasil menancapkan pakaiannya ke kayu gerbang.
Si necromancer mengacungkan tong kat ke arah Danzi. Danzi pun terlempar ke
tembok oleh kekuatan yang memancar dari tongkat itu, dan membuatnya kehilangan
napas. "Ping mesti menghentikan dia," sang naga berkata dengan tersengal-sengal.
"Aku tidak cukup kuat," sahut Ping.
"Tak ada yang lebih lembut di bawah Langit ini selain air," kata Danzi. "Tapi
air bisa mengalahkan yang keras dan kuat."
Si necromancer melangkah ke arah Ping, mata nya tertuju pada batu naga. Dengan
satu tangan Ping memeluk batu itu erat-erat. Batu itu menjerit lagi. Ping
mengangkat tangannya yang bebas, seakan hendak menghentikan. Si penyihir
menertawai, sinis dan penuh cemooh. Dia yakin bisa mengambil batu naga itu,
semudah merebut mainan dari bayi. Dia mengangkat tongkat. Ping kembali merasakan
kemarahan itu di dalam dirinya.
Tubuhnya menggeletar dari kepala sampai kaki. Dia merasakan c/w'-nya terfokus da
lam suatu semburan yang memenuhi dirinya. Chi itu mengaliri lengannya dan
menyerbu keluar melalui ujung jemarinya. Si necromancer terlempar ke tanah oleh
kekuatan tak terlihat itu. Dengan susah payah dia berlutut dan mengacungkan
tongkatnya. Ping masih terpojok di gerbang. Sebelum si necromancer sem pat
mengumpulkan kekuatan, Danzi muncul di samping Ping dan menyapukan cakarnya pada
penyihir itu. Si penyihir ambruk ketika darah keluar menembus tuniknya yang
gemerlapan. "Bisakah kau terbang melewati tembok?" Tanya Ping.
"Tidak bisa," sahut Danzi. "Perlu ketinggian buat lepas landas. Mesti memanjat."
Ping menatap karangkarang tajam yang membentuk tembok itu. "Karang itu bisa
membuatku terpotong-potong."
"Memotong daging manusia," kata sang naga. "Tidak mempan bagi sisik-sisik naga."
Si necromancer sudah berdiri kembali. Kali ini daya yang memancar dari ujung
jemari Ping hanya membuatnya limbung. Ping menyandang keran jang anyaman itu di
bahu dan melompat ke punggung Danzi, berpegangan erat pada tanduk dan men-
jepitkan lututnya seputar leher sang naga. Karangkarang tajam itu bisa berfungsi
sebagai pijakan dan sang naga dengan susah payah memanjat tembok, menarik
dirinya dan Ping melewati karang berbahaya itu. Akhirnya mereka sampai di puncak
tembok. Sungai di seberang sana tak lebih dari satu // jauhnya. Di belakang Ping, si
necromancer memegangi dada, memanggil kekuatan untuk menghancurkan gembok.
Ping merasakan gerakan mengepak di seputar kepalanya. Kedua burung gagak yang
mereka lihat ketika mereka baru tiba di Wucheng mencoba mematukinya. Ping
mengangkat kedua lengannya untuk melindungi mata dari paruh hitam yang mematuk-
matuk itu. Salah seekor burung gagak berhasil mematuk lengannya, menusuk dalam-
dalam ke dagingnya. Ping menjerit kesakitan, namun gemuruh marah sang naga
meneggelamkan teriakannya. Burung-burung itu menjauh dan Danzi merentangkan
kedua sayapnya. Jahitan Ping yang memakai benang merah masih menahan serpih-
serpih sayap sebelah kiri yang luka. Burung-burung gagak itu kembali, kali ini
tidak mengacuhkan geraman menggemuruh sang naga. Danzi mengayunkan satu kaki
depannya ke arah burung-burung itu. Darah menetes dari luka terbuka di dada
salah seekor burung yang terkena sapuan cakarnya. Burung itu jatuh. Burung
satunya mematuki benang merah yang berada di luar jangkauan cakar Danzi. Tergiur
oleh bau darah, Hua muncul dari dalam baju Ping dan lari sepanjang sayap Danzi
yang terentang, ke tempat burung gagak itu mematuki jahitan Ping hingga lepas.
Melihat kedatangan Hua, burung terbang. Hua melompat ke arah burung gagak itu
dan menancapkan giginya pada kaki si burung yang hendak naik ke udara. Burung
gagak itu terus terbang dengan Hua masih bergelantungan di satu kakinya. Ping tak bisa
melihat Hua lagi ketika Danzi melompat meninggalkan tembok. Tanah menyambut
mereka dengan cepat ketika Danzi meluncur turun di sisi seberang tembok. Naga
itu mendarat dengan canggung namun aman. Ping menengadah dan melihat burung
gagak itu terbang semakin tinggi, dengan Hua masih bergelantungan di bawahnya.
Si gagak menjerit kesakitan dan sekonyong-konyong Hua meluncur jatuh ke tanah.
Ping berlari untuk menangkap. Dia tersandung tepi bajunya. Hua masih terus
meluncur dan Ping tak bisa berdiri. Sebuah kaki naga terulur dan menangkap Hua
tidak lebih dari lima senti dari tanah. Ping dan sang naga berlari ke arah


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungai. Setibanya di dermaga, Ping senang melihat perahu Jiang Bing masih tertambat di
sana. Tukang perahu itu mengangkat wajah dan terkejut melihat Ping berlari ke
arahnya dengan seekor naga di sampingnya.
"Kita harus pergi sekarang juga," kata Ping sambil tergopoh-gopoh naik ke
perahu. "Ada penyihir mengejar kami. Akan kujelaskan nanti."
Dengan susah payah sang naga menuruni tangga dan roboh kelelahan di geladak.
Ping memandang ke arah tembok kota, tapi tidak melihat tandatanda keberadaan si
necromancer. "Aku memang sudah akan berangkat," Jiang Bing berkata dengan tenang.
Dia melayangkan pandang ke seputar dermaga. Dia tak memanggil ataupun bersiul,
namun si kucing muncul dari belakang beberapa karung gandum dan melompat ke atas perahu.
Jiang Bing melepaskan tambatan perahu. Ping membantu mendorongnya menjauhi
dermaga. Si tukang perahu menjalankan perahu itu dengan galah sampai arus air
menyambut, menarik mereka ke tengah sungai. Wucheng mulai tampak kecil dan Ping
dengan lega menghirup udara yang berhembus. Hua, yang masih menggigit kaki
burung gagak di mulut merontaronta melepaskan diri dari cengkeraman Danzi. Si
kucing berada di antara dia dan baju Ping yang aman. Hua berlari merambati kaki
sang naga dan menghilang di balik salah satu sisik yang tumbuh terbalik di bawah
dagu Danzi. "Senang sekali kembali ke sungai lagi," kata Ping. Dia masih memegangi keranjang
anyaman. Dengan tersenyum Ping menoleh pada Jiang Bing.
Wajah tukang perahu itu tampak muram. Dia sedang mamandangi Danzi.
"Kau akan kuberi emas kalau kau tidak menceritakan ini kepada siapa pun," kata
Ping. "Aku tidak menginginkan emas," tukang perahu itu berkata dengan nada kasar yang
membuat Ping kaget. "Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Ping. "Aku menginginkan batu naga itu. Batu
itu milik tuanku." Ping tak percaya dengan apa yang didengarnya. Kucing kuning melangkah
menghampiri Jiang Bing. Ping memerhatikan ada darah menetes dari luka di
perutnya. Udara di sekitar si kucing berkemendang dan berkeredap. Binatang itu
menggeliat. Bulunya berubah menjadi daging dan pakaian. Ping terpukau melihat
transformasi mengerikan itu, meskipun pemandangan itu membuatnya mual. Di depan
matanya si kucing berubah menjadi seorang lakilaki berjubah. Satu matanya
ditutup kain, satu pipinya dihiasi tato, dan jenggotnya berwarna kuning. Dialah
si necromancer. Jiang Bing pindah dan berdiri di sampingnya. Tukang perahu itu
menatap si necromancer dengan penuh kekaguman, kemudian beralih menatap Ping
dengan mencemooh. Ping terhuyung-huyung beranjak ke pinggir perahu dan muntah ke
air. "Serahkan batu naga itu," si necromancer berkata seraya bergerak mendekati Ping.
"Danzi!" Ping berseru sambil tetap memegangi batu itu erat-erat. "Tolong aku!"
Danzi tertatih-tatih berdiri. Dicobanya mengerahkan kekuatan chi, tapi gagal.
Dia terlalu lemah. Jemari si necromancer terulur hendak mengambil batu naga itu. Kukunya yang
panjang menancap pada jalinan anyaman keranjang, lalu menariknya. Ping
membiarkan keranjangnya diambil, tapi tetap memegangi batu naga itu. Kedua
tangan si necromancer ter ulur untuk meraih batu itu. Kuku-kuku hitamnya
mencakar permukaan batu naga dengan suara yang membuat gigi Ping ngilu. Batu itu
menjerit. Ping tahu bahwa dia tak boleh membiarkan lakilaki ini merampas
batunya. Ping melompat dari perahu dan jatuh ke dalam air kuning yang berbuih.
Si necromancer menjerit marah dan
tertahan. "Jangan sampai dia kabur," perintahnya pada Jiang Bing.
Si tukang perahu tidak ragu sedikit pun. Dia terjun ke dalam air, mengejar Ping.
Ping tak bisa berenang. Dia merasakan air yang dahsyat itu mengepungnya, tak
sabar ingin mengisi hidung serta mulutnya. Arus air yang deras menarik kakinya,
menghanyutkannya dengan mudah, seakan ia sehelai daun. Ping tahu dia akan
tenggelam. Tapi dia tak peduli. Dia lebih baik mati daripada membiarkan si
necromancer memiliki batu naga ini. Ping tidak takut mati. Dia merasakan emosi
yang jernih dan kuat, entah apa. Bukannya merasa dingin, perasaan ini justru
memenuhi dirinya dengan kehangatan. Dia tersenyum.
Si tukang perahu berenang ke arahnya, berjuang mengarungi air. Senyum Ping
lenyap. Tak boleh ada yang memiliki batu ini selain dirinya. Maka dia mengangkat
kaki kiri lalu menendang sekuat mungkin. Kakinya menghantam hidung si tukang
perahu. Jiang Bing menjerit kesakitan ketika darah muncrat dan bercampur dengan
air sungai yang kuning. Kedua lengannya seperti lupa cara berenang. Tukang
perahu itu menghilang di bawah arus air yang deras.
Masih sambil memegangi batu itu, Ping menunggu berat batu itu menariknya ke
bawah air yang seperti hendak mengisapnya. Tapi dia tidak tenggelam. Batu itu
mengapung, bergerak terangguk-angguk di air seperti sebutir apel, membawa Ping
bersamanya. Ping berusaha agar kepalanya tetap berada di atas air. Dia mendapati
kalau dia tidak banyak meronta, proses ini jadi semakin mudah. Dia merasakan
kesejukan batu itu dan dibiarkannya tubuhnya rileks, Dia benarbenar menjadi
daun. Akan dibiarkannya sungai ini membawanya ke mana pun.
Baru terhanyut beberapa //, dia dan batu itu terdorong ke sungai kecil bersama
benda lainnya yang mengapung. Ping merangkak melewati buih kuning kotor di tepi
sungai, lalu naik ke tebingnya. Dibersihkannya batu itu dari sampah. Guratan
merah di antara lekukan halusnya yang kelabu tidak lagi setebal sebelumnya. Batu
ini akan baikbaik saja. Ping akan mencari arsenik dan tanaman awan merah untuk
menyembuhkannya. Ping berbaring di tebing sungai, memegangi batu naga itu erat-erat. Dia masih
hidup dan batu ini ada padanya. Dia telah mengalahkan si necromancer dan
pembantunya. Matahari berada di atas cakrawala, mengirimkan galur-galur cahaya
Jingga ke arahnya. Dunia ini sungguh tempat yang indah. Ping duduk dan
memandangi langit yang berubah warna dari Jingga menjadi merah muda. Kemudian
disadarinya bahwa dia telah melupakan sesuatu. Sesuatu yang pen ting. Danzi
masih berada di perahu itu bersama si necromancer. Begitu juga Hua.
17 Kekuatan dan Kelemahan Kepala Ping serasa berputar. Danzi dan Hua lebih penting dari batu ini. Mereka
sahabatnya. Tanpa Danzi, saat ini dia tentunya masih di Huangling. Tanpa Hua,
barangkali dia sudah mati kesepian bertahun-tahun yang lalu. Namun instingnya
mengatakan bahwa batu naga ini lebih penting. Kalau dia kembali untuk
menyelamatkan sahabatnya, batu naga ini akan berada dalam jangkauan si
necromancer lagi. Dipandanginya kedalaman batu itu lekatlekat. Ditempelkannya ke
pipi. Dia tidak mau kehilangan batu ini. Tapi dia juga tak bisa meninggalkan
kedua sahabatnya begitu saja. Dia harus mencari jalan untuk menyelamatkan mereka
semua. Tapi sebelum dia sempat membuat rencana apa pun, perahu si necromancer sudah
kelihatan. Lakilaki itu berdiri di haluan, berpegangan pada layar seraya
melayangkan pandang ke tebing sungai. Tampak jelas sang naga telentang di
dermaga. Masingmasing kakinya diikat di sisi perahu, seperti sapi yang siap
disembelih. Barangkali si necromancer mengira Ping sudah tenggelam seperti Jiang
Bing. Dia mencari-cari batu naga itu. Ping melompat bangkit.
"Di sebelah sini," serunya sambil mengangkat batu naga itu. "Inikah yang kau
cari?" Si necromancer memandang dengan terperanjat. Gadis itu bukan hanya masih hidup,
tapi juga menawarkan batu naga itu kepadanya. Dia mengarahkan perahu ke tebing
sungai. Selat tempat Ping mengapung bersama sampah terlalu sempit untuk
menambatkan perahu. Si necromancer melempar jangkar. Perahu itu langsung
tertahan. Arus air menariknya, tapi jangkar di bawah sana menahannya dengan
mantap. Si necromancer mengambil papan panjang dari geladak dan memasangnya di
pinggiran perahu. Papan itu terlalu pendek dan tidak mencapai tebing, tapi cukup
hingga ke perairan yang dangkal. Begitu papan itu tersandar di antara kepala
ikan dan kulit melon, si necromancer langsung melangkah cepat ke tebing sungai.
Ping tidak tahu mesti berbuat apa. Dia berhasil menyerang si necromancer di
Wucheng, dan amarah telah membantunya memfokuskan chi. Sekarang dia tidak marah,
dia ketakutan. Dia tak punya keahlian untuk mengalahkan penyihir yang begitu
dahsyat, dia hanya memiliki pisau perunggu. Dikempitnya batu itu di bawah lengan
kanan, lalu dikeluarkannya pisau dan dipegangnya erat-erat dengan tangan
kirinya. Si necromancer berdiri di hadapan Ping. Dia tertawa melihat pisau gadis itu,
yang panjangnya tak lebih dari sepuluh senti dan dibuat untuk memotong sayuran. Dia pun
menghunus sebilah pedang panjang berlekuk. Mata pedang itu berkilau penuh
ancaman dalam cahaya matahari. Si necromancer mengayunkan pedang ke arah Ping.
Dia lemah, Ping bisa melihatnya. Tuniknya basah oleh darah. Lima hari dia
merubah wujud menjadi kucing selama di perahu itu. Ping tahu bahwa berubah wujud
juga telah menguras te naga Danzi. Sudah pasti membangkitkan roh-roh penjaga itu
juga telah menyerap energinya. Ping memang tidak memiliki kecakapan seperti si
penyihir, tapi dia gesit. Dia menunduk menghindar. Pedang itu menancap di tebing
sungai yang berlumpur. Si necromancer menarik gagang pedang dengan dua tangan
untuk mencabutnya. Sesuatu yang kecil dan kelabu berlari cepat di papan.
Ternyata Hua. Setibanya di ujung papan, tikus itu melompat, mencoba menyeberangi
perairan dangkal dan lumpur dalam satu lompatan. Tapi rupanya jaraknya terlalu
jauh. Ketika dia mulai jatuh ke arah tebing yang berlumpur, tikus itu
merentangkan kakinya lebar-lebar dan meloncur miring seraya menancapkan cakarnya
pada benda terdekat. Yaitu bagian belakang tunik si necromancer. Penyihir itu
berbalik dan melihat tikus yang merambati kakinya. Dia melepaskan pedang dan
mengibaskan tangannya ke belakang, mencoba mengusir Hua. Hua melihat jemari yang
bergerak itu lalu dia menempel pada salah satunya. Gerakan si necromancer malah
membuat dia makin terperosok di lumpur. Kakinya
terbenam sampai ke mata kaki. Dicobanya mengguncang-guncang untuk melepas tikus
di jarinya. Hua tidak mau melepaskan. Dia menggigit si necromancer lebih dalam
sampai darah mengalir keluar dari lukanya.
Ping teringat ucapan Danzi sewaktu masih di Chang'an. Waktu itu kedengarannya
tidak berarti apa-apa, tapi kini dia memahami sepenuhnya.
"Mengenali keterbatasan diri adalah pengetahuan berharga," kata Danzi waktu itu.
Ping melihat keterbatasanya sejernih melihat mata air pegunungan. Dia tak
mungkin menghadapi si necromancer yang hebat itu. Penyihir itu mungkin dalam
keadaan lemah, tapi dia masih jauh dari tak ber daya. Kini dia kembali
memfokuskan energinya, dan sebentar lagi dia pasti bisa membebaskan diri dari
lumpur dan mengalahkan Ping. Batu naga akan jatuh ke tangannya. Ping harus
melarikan diri. Ping lari ke jembatan papan.
"Ayo, Hua!" teriaknya sambil lari ke perahu.
Si necromancer telah menarik satu kakinya dan pedangnya dari lumpur. Dia kembali
mencoba melepaskan jarinya dari tikus itu. Kali ini berhasil. Hua melayang dalam
lengkungan tinggi, kaki-kakinya mencakar-cakar udara. Kali ini tidak ada yang
bisa dijadikan pegangan. Tikus itu mendarat di air. Si necromancer telah
berhasil membebaskan kedua kakinya dan tinggal tiga langkah lagi dia akan
mencapai jembatan papan itu. Perlahan Ping menaruh batu naga itu di dalam
gulungan tambang. Dia memerlukan kedua tangannya. Diangkatnya bagian papan yang tersandar di
perahu dan dilemparnya ke sungai. Sejenak si necromancer ragu di tepi sungai,
karena tak ingin masuk ke air. Ping masih memegang pisau perunggu itu.
Diputusnya tali jangkar. Hua sedang berenang ke arah perahu, kaki-kakinya yang
kecil mengayuh begitu cepat hingga terlihat samar-samar. Ping selalu rajin
mengasah pisaunya. Dengan tiga kali sabetan dia berhasil memutus tali itu. Hua
masih sepenggalan lengan jauhnya dari buritan. Ping mencondongkan badan ke tepi
perahu, tapi tak bisa menggapainya. Si necromancer terjun ke air, mencoba
menyambar ujung tali yang putus. Perahu yang sudah lepas dari jangkar yang
menahannya bergerak cepat ke tengah arus. Tali yang licin oleh lumut terlepas
dari cengkeraman si necromancer, Hua timbul-tenggelam tak berdaya ketika perahu
itu melewatinya. Perahu itu terus meluncur ke hulu sungai. Ping lari ke haluan,
tak bisa berbuat apa-apa terhadap Hua yang terdorong oleh arus gerakan perahu.
Kemudian sesuatu yang panjang dan hijau melompat dari haluan perahu dan masuk ke
air. Rupanya ekor sang naga, Ujungnya mendarat dekat tempat tikus yang
megapmegap itu muncul di permukaan. Hua menancapkan cakarnya di bawah sisik-
sisik hijau itu. Sang naga menarik ekornya ke atas perahu dan ekor itu jatuh
berdebuk di geladak. Hua berbaring di sampingnya, basah dan ke lelahan. Arus air
mendorong perahu itu menjauhi si necromancer yang sangat murka
dan masih berkecipak di perairan dangkal.
"Kau baikbaik saja, Danzi?" Ping berseru sambil mendekati sang naga. Perahu
bergoyang-goyang dan terombang-ambing. Sang naga menolehkan kepala. "Lari."
Ping merangkak ke haluan dan menyambar layar. Dia harus mengerahkan seluruh
kekuatan untuk mengarahkan perahu menjauhi arus tengah yang meng gelegak, menuju
bagian sungai yang airnya lebih tenang dan lebih dekat ke tebing selatan. Hua
tidak terlalu menyukai air, juga tidak suka dilempar-lempar di udara. Begitu
berhasil menyeimbangkan badan dan mengibas-ngibaskan air sungai dari tubuhnya
sebanyak mungkin, dia memanjat pakaian Ping dan me nyusup masuk ke antara
lipatannya. Ping harus memegangi layar erat-erat. Kedua lengannya sakit, tapi dia tidak
berani melepasnya un tuk beristirahat. Dia menoleh pada naga yang masih terikat
di geladak, telentang. Dengan cemas dia memandang batu naga yang tergeletak
dalam gulungan tambang. "Aku tidak bisa berhenti, Danzi," teriaknya. "Kita harus pergi sejauh mungkin
dari penyihir itu." Sang naga memperdengarkan suara denting amat samar, seperti genta angin yang
tersentuh sapuan angin sepoi-sepoi yang paling lembut.
"Pohonnya masih kecil, tapi tak ada yang bisa mengalahkannya," bisiknya.
Memang tidak menggembirakan, tapi Ping tahu bahwa sang naga baikbaik saja,
meskipun lemah. Hari itu hari terpanjang dalam hidup Ping. Kuatnya arus sungai membuatnya tak
berani melepaskan layar. Malah sebenarnya perahu itu lebih banyak dikendalikan
arus sungai daripada oleh dirinya. Betapapun kerasnya dia berusaha
mempertahankan agar dekat ke tebing sungai, perahu itu tetap hanyut ke tengah
arus. Akhirnya Ping membiarkan perahu mengikuti jalannya sendiri, walaupun dia
tetap berusaha perahu itu melaju sepanjang arus tengah. Memang berbahaya, tapi
Ping senang dengan kece patan tambahan itu. Semakin cepat mereka me laju,
semakin kecil kemungkinannya si necromancer bisa menyusul mereka.
Ping harus memfokuskan matanya ke depan. Sebenarnya dia ingin sekali menikmati
pemandangan gerumbulan bambu dan desa-desa di pantai nun jauh di sana, tapi dia
harus waspada terhadap batu karang dan perahu lain. Dia tak bisa beristirahat.
Dia kepanasan dan kehausan. Dia lapar dan lelah. Tapi dia tak bisa berhenti
untuk makan maupun minum. Kedua lengannya pegal karena memegangi layar agar
perahu tetap pada arahnya. Sekilas ditatapnya naga yang masih terikat itu. Danzi
tidak bergerak-gerak. Dia tak bisa berhenti untuk membebaskan Danzi.
Hari semakin siang, matahari bersinar di langit tak berawan. Semakin sulit bagi
Ping untuk berkonsentrasi. Dia tertidur di tempat duduknya di dekat layar, dan
terbangun oleh teriakan beberapa lakilaki. Dia mengangkat wajah dan mendapati
mereka ternyata mengarah ke sebuah perahu lain yang sedang berusaha mati-matian
mengarah ke hulu dengan bantuan empat lakilaki yang membawa galah, dua ekor sapi
jantan di tebing sungai yang diikatkan ke perahu, dan sebuah layar tinggi yang
dipasang miring untuk menangkap angin. Ping menyambar layar perahu dan
mengarahkannya menjauh dari perahu satunya itu serta para awaknya yang panik.
Dia harus tetap terjaga. Dia berlatih menghitung sampai seribu. Dia menyanyikan
dua lagu dengan kencang lagu anakanak yang pernah dipelajarinya dari Lao Ma dan
lagu minum-minum yang suka dinyanyikan Master Lan.
Akhirnya matahari tampak rendah di langit di belakang mereka. Ping membiarkan
dirinya percaya bahwa mereka telah meninggalkan si necromancer jauh di belakang.
"Kurasa sudah aman untuk berhenti sekarang," serunya kepada sang naga, meski dia
tidak mendengar apa pun dari naga itu.
Memutuskan untuk berhenti tidaklah sulit, tapi menghentikan perahu itu amatlah
sulit. Jangkar tertinggal di dasar sungai tempat Ping bertarung dengan si
necromancer. Dengan mengerahkan kekuatannya hingga shu terakhir, Ping
mengarahkan perahu ke tebing selatan sungai. Arus di sana lebih
tenang. Batang-batang bambu yang tinggi melengkung menaungi tepian sungai
bergoyang tertiup angin. Kedua tangan Ping gemetar karena memegangi layar. Rasa
sakit yang tajam merambati kedua lengannya. Dia memaksakan diri untuk jalan
terus. Dia mengemudi dengan satu tangan. Sementara tangan satunya lagi ber hasil
meraih sejumput tali rami yang tergulung rapi di geladak. Dengan memegangi layar
di bawah lengan, dia membuat laso pada salah satu ujung tali dan mengikat ujung
satunya ke haluan. Dicobanya melemparkan laso itu ke batang bambu yang lebih
kecil, tapi tali itu tergelincir lepas. Dicobanya lagi dan lagi, tapi hasilnya
sama. Dia menunggu sampai ada benda yang lebih mudah untuk disangkutkan ke
talinya pohon yang rimbun, perahu yang diting galkan, atau pun tonjolan karang.
Matahari sudah tenggelam, cahaya senja memudar. Akhirnya sebuah dermaga bobrok


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samar-samar tampak dalam cahaya senja. Papan di ujungnya sudah busuk dan ujung
lainnya mencuat dari dalam air. Ping melemparkan lingkaran talinya dan meleset
dari ujung papan pertama. Dia tahu ini kesempatan terakhirnya untuk menambatkan
perahu sebelum malam. Dilepaskannya layar. Arus air mulai menarik perahu itu
menjauhi tebing dan mengarah ke tengah yang arusnya lebih deras. Ping berdiri di
haluan dengan tali laso itu di tangannya. Ketika mereka melewati ujung papan
kedua, dilemparkannya tali itu. Tali itu melayang sesaat di udara, kemudian
jatuh melingkari tonggak kayu.
Perahu terus melaju, tapi kemudian tersentak. Tonggak kayu agak miring karena
tertarik oleh perahu yang seperti hendak mencabutnya. Cepat-cepat Ping
mengikatkan tali lain ke buritan dan melompat ke dermaga bobrok, itu lalu
menambatkan perahu. Setelah yakin perahunya tertambat erat, dia bergegas menghampiri Danzi. Naga itu
tak bergerak. Ping melepaskan tali yang menahan kaki Danzi yang terentang. Dia
mengambil air sungai dengan ember dan menyiramkannya ke kepala naga yang tidak
sadarkan diri itu. Kedua lengannya gemetar karena me megangi layar seharian.
Dipaksanya membuka mulut Danzi yang sangat besar dan diteteskannya air ke
dalamnya. Lidah Danzi yang panjang itu kering. Ping juga ikut meminum air itu
sedikit. Ping terus meneteskan air ke mulut Danzi dan dengan lembut menggaruk-garuk
dagunya. Perlahan kesadaran Danzi pulih. Ping mendengar suara yang su dah akrab
itu untuk pertama kali, setelah sekian lama.
"Apakah batu baikbaik saja?" Ping meraba-raba ke arah gulungan tali tempat dia
meninggalkan batu naga itu. Diambilnya batu itu. Langit gelap gulita. Bulan
sabit tampak tipis. "Aku tidak tahu," sahutnya. "Terlalu gelap untuk melihat."
Ping membuat api kecil. Rasanya lama sekali menunggu api itu menyala. Kemudian
dia menyalakan lampu. Dipegangnya batu itu dalam lingkaran cahaya lampu.
Permukaan batu berwarna ungu
gelap. Guratan berwarna krem di kedalamannya seperti terbuat dari bagian bulan
yang hilang. Urat-urat merah yang berlikuliku di seluruh bagiannya telah berubah
menjadi warna merah gelap. Membuat batu itu semakin indah. Sang naga berusaha
duduk tegak dengan susah payah. Didekatkannya kepalanya yang besar itu ke batu,
memandangi batu tersebut lekatlekat, seperti berusaha melihat intinya.
"Batu tidak apa-apa," hanya itu yang Danzi ucapkan.
Mereka duduk memandangi batu itu, kemudian Ping mengalihkan pikirannya pada
makanan. Di kapal ada banyak persediaan makanan gandum, ikan kering, bawang. Dia
mulai membuat sup ikan. Ketika dia hendak menaburkan sedikit daun kering yang
biasa ditambahkan si tukang perahu ke masakannya, Danzi mencegahnya.
"Apa ini?" "Tanaman obat."
Danzi mengambil stoples berisi dedaunan itu dan mengendusnya. Kemudian
dilemparnya stoples berikut isinya ke sungai.
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Daun chinaberry," kata naga itu. "Beracun untuk naga. Melemahkan jantung,
membuat lemas dan melankolis."
Ping mengerang. Satu lagi siasat licik perempuan tu kang perahu itu. Ping
benarbenar terkecoh oleh per sahabatan Jiang Bing yang palsu.
"Dia menambahkan daun itu dalam semua makanan kita," kata Ping. "Dalam makanan
di Wucheng juga ada. Penyihir itu pasti sudah membayar si pemilik penginapan
untuk melakukannya."
Ping teringat betapa lamban dan linglungnya Danzi waktu itu. Betapa mudahnya dia
menyerah dalam pencarian batu naga di Wucheng. Bagaimana dia tidak terlalu
berusaha melawan si necromancer di pe rahu.
"Kenapa daun itu tidak menimbulkan efek yang sama padaku?" tanyanya.
"Sejumlah kecil daun itu hanya membuat mual pada manusia." Ping teringat
perasaan mual dan sakit perut yang dialaminya malam itu di Wucheng.
Ping dan Danzi makan dalam diam. Hua makan sedikit sup itu, meskipun dia tidak
menyukai ikan. Sang naga meringkuk dan langsung tertidur. Hua menjadikan
gulungan ekor Danzi sebagai tempat tidur. Ping berharap rasa kantuk juga segera
mendatanginya. Dia bisa saja tidur di dalam kabin, tapi dia memilih berbaring di
geladak. Meski siang tadi matahari bersinar cerah, begitu matahari terbenam
udara kembali dingin. Ping membungkus tubuhnya dalam selimut si tukang perahu
dan menatap langit malam yang jernih. Bulan bergerak ke arah bintang api yang
merupakan jantung sang naga langit. Ping teringat betapa bahagianya dia di
perahu itu sebelum mereka tiba di Wucheng beberapa hari lalu. Sebelum dia tahu
siapa sebenarnya si tukang perahu itu.
Meski dia mencoba memikirkan hal lain, pikiran Ping terus saja kembali kepada
Jiang Bing dan betapa mudahnya dia memercayai perempuan itu. Kelak dia akan jauh lebih
berhatihati. Dia tetap akan bersikap sopan pada orang yang dijumpainya, tapi dia
tidak akan mudah percaya begitu saja.
18 Pertemuan Kebetulan Sang naga berhasil memulihkan tenaga lebih cepat daripada yang diharapkan Ping.
Tapi dia tidak mau makan sebelum daun chinaberry itu keluar dari tubuhnya, namun
keesokan harinya dia sudah cukup kuat untuk menghabiskan waktu di dekat layar
dalam wujudnya sebagai lakilaki tua. Ping jadi punya kesempatan untuk
menjelajahi perahu itu. Dia menemukan keranjang anyamannya yang berisi sisa-sisa
salep tanaman awan merah dan dia menggosokkannya pada batu naga. Danzi ingin
Ping mengoleskan salep itu pada luka-luka berwarna gelap di lengannya yang waktu
itu dipatuk burung gagak, tapi Ping tidak mau membuang-buang salep itu untuk
dirinya sendiri. Dia menemukan jangkar cadangan dan perlengkapan memancing di
dalam laci. Di antara barang-barang Jiang Bing juga ada beberapa pa kaian
cadangan dan topi bambu. Si necromancer telah meninggalkan barang-barang yang
lebih menarik buku dari bambu, sebundel kayu pohon yarrow, dan sewadah penuh
darah. Sementara mereka meneruskan berlayar ke timur, Ping dan Danzi bergantian
mengemudikan perahu. Banyak sekali yang ingin ditanyakan pada naga itu.
"Kenapa kau tidak bilang kalau penyihir juga bisa berubah wujud seperti naga?"
"Kau tidak tanya."
Ping tersenyum. Senang rasanya melihat Danzi sudah kembali pada sifatnya yang
menjengkelkan. Hua berbaring telentang di geladak, di bawah matahari. Tanpa
kehadiran si kucing kuning, tikus itu tampaknya menikmati pelayaran mereka.
"Kenapa penyihir itu menginginkan batu naga?" Ping telah meletakkan batu itu di
pangkuannya. "Berguna untuk merapal mantra sihir," sahut sang naga.
"Mantra macam apa?"
"Pokoknya tidak menarik buat Ping."
Ping tidak percaya padanya. Batu itu mulai berubah. Bukan hanya warnanya yang
berubah, ukurannya juga lebih besar. Sekarang batu itu muat pas sekali di dalam
keranjang. Juga ada suara yang bisa di dengar Ping dalam benaknya, selain suara
naga itu sendiri. Bukan suara penuh penderitaan seperti yang didengarnya di
Wucheng, melainkan suara seperti kucing yang mendengkur. Apa pun kekuatan magis
yang dimiliki batu itu, Ping yakin batu itu mempunyai kaitan entah apa
dengannya. "Sewaktu di Wucheng, aku punya... kekuatan," Ping berkata, masih sulit memercayai
apa yang terjadi waktu itu. "Aku tidak tahu dari mana
datangnya." Danzi mengangguk. "Ping berkonsentrasi pada chi. Menggunakan kekuatannya."
"Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi."
"Amarah." "Jadi, aku hanya bisa berkonsentrasi pada chi kalau aku sedang marah?"
"Tidak. Ping mesti belajar mengendalikan chi, sedang marah ataupun tidak."
"Bagaimana caranya?"
Bunyi denting dan kelinting naga yang bahagia melayang ke arah Ping. "Mesti
belajar mengendalikan pernapasan, memfokuskan pikiran, dan melatih tubuh untuk
menguatkan chi. Danzi akan mengajari."
Mereka berada di bagian sungai yang sunyi kala itu. Danzi bisa tetap
mempertahankan wujudnya sebagai naga, hampir sepanjang waktu. Dia
mendemonstrasikan latihan pernapasan yang harus dipelajari dan dilatih Ping
setiap pagi. "Paling bagus berlatih saat matahari terbit," Danzi menjelaskan. "Pada waktu itu
udaranya banyak mengan dung chi. Wajah menghadap ke timur dan tarik napas dalam-
dalam. Penuhi badan dengan chi emas dari matahari terbit."
Selama beberapa hari berikutnya Danzi mengajari Ping melakukan gerakan pelan
dengan kedua tangannya, yang akan membuatnya bisa berkonsentrasi pada chi. Ada
latihan lain juga berupa meliukliukkan tubuh perlahan dan melengkungkan kedua
lengannya. "Mesti belajar memfokuskan pikiran," kata Danzi. "Tutup rapat-rapat pikiran
lainnya." Tapi sekeras apa pun Ping berusaha untuk memusatkan chi, dia tak bisa
menghentikan pikiran lain yang merayap masuk ke dalam pikirannya apa menu makan
siang, berapa banyak ulat sutra yang dibutuhkan untuk membuat gaun sutra, kenapa
perahu tidak tenggelam. "Ping mesti ragu seperti sedang menyeberangi es yang tipis, mengalah seperti es
yang mencair, kosong seperti kayu yang belum diukir."
Semua instruksi Danzi itu tak dia dipahami.
"Aku tidak bisa," kata Ping.
"Mesti juga melatih pikiran," kata Danzi. Disuruhnya Ping membayangkan taman
yang penuh ditumbuhi bunga peoni, lalu menghitungnya. Ping ingat pernah melihat
peoni di taman kekaisaran di Huangling. Bunga-bunga itu mati ketika tukang kebun
lupa menyirami pada suatu musim panas yang terik.
"Apa warna bunga peoni itu?" tanya Ping. Dia mengerutkan kening ketika mencoba
mengenyahkan gambaran di dalam kepalanya, tentang beberapa kuntum peoni yang
layu di Huangling, dan menggantikannya dengan bayangan tentang taman yang penuh
bunga-bunga bermekaran. Ada latihan lain yang harus dilakukannya, termasuk di antaranya menghitung dari
belakang, mulai dari lima ratus, dan membayangkan dirinya mengikuti jalur yang
ditempuh seekor kumbang di bukit yang jauh.
"Harusnya merasakan geletar di sekujur tubuh," naga itu berkata.
Ping ingat pernah mengalami perasaan itu ketika dia menyerang si necromancer.
Perasaan menggeletar itu merayapinya tanpa melakukan latihan apa pun.
"Tidak bisakah kau melakukan sesuatu untuk membuatku marah?" tanyanya.
Sang naga menggeleng. "Chi yang terkonsen-trasi dari amarah sangat berbahaya dan
sukar dikendalikan."
Sementara mereka terus melaju di sungai itu, Ping melakukan latihan pernapasan
dan gerakan badan setiap harinya. Dia berkonsentrasi pada gambaran tentang
hamparan bunga peoni imajiner, kumbang-kumbang di kejauhan, dan angka-angka yang
dihitung dari belakang, tapi sejauh ini dia hanya bisa me rasakan geletar samar
di ibu jari kirinya. "Perlu banyak latihan," kata Danzi. Dia sedang duduk tenang di bawah matahari,
sementara Hua memeriksa kedua telinga naga itu, mencari kaki seribu. Setelah
beberapa petualangan mereka akhir-akhir ini, tikus itu tidak lagi tidur di dalam
pakaian Ping. Dia memilih untuk beristirahat di belakang salah satu sisik Danzi
yang tumbuh terbalik. Ping sudah tak lagi khawatir diikuti si necromancer. Setiap malam dia
menambatkan perahu jauh dari desa dan pelabuhan. Dia memotong bambu yang masih
muda untuk ditambahkan pada
makanan. Danzi mencari akar ginseng, daun mester, dan bunga kacang kuning.
Katanya tanaman itu bisa membantu menguatkan chi Ping. Dia juga menangkap
burung-burung untuk dipanggang.
"Apakah burung-burung itu bisa menguatkan chi?" Ping bertanya sembari menggigiti
daging dari tulang-belulang burung.
"Tidak," sahut Danzi. "Tapi rasanya enak."
Setelah seminggu, Ping sanggup memfokuskan cukup banyak chi untuk menghasilkan
geletar di kedua tangannya. Kemudian dia memusatkan kekuatan itu dan
menggunakannya untuk menggerakkan sebatang sumpit sejauh tiga puluh senti dari
geladak perahu. Danzi kelihatannya terkesan, tapi Ping menganggap masih sangat
lama sebelum dia bisa mengendalikan cukup banyak chi untuk melakukan apa pun
yang berguna. Arus air Sungai Kuning mulai melambat. Mengendalikan perahu itu tidak terasa
terlalu berat lagi. Sungai itu membawa perahu kecil itu semakin dekat ke
Samudra. "Kenapa tidak semua orang belajar memfokuskan chi mereka?" Ping bertanya.
"Tidak setiap orang bisa melakukannya."
Ping memikirkan itu sejenak. Dia memandangi bambu yang bergerumbul di tepi
sungai, seperti para penonton yang berdesakan dan penuh semangat menonton lomba
perahu. "Tapi aku bisa," kata Ping, bangga akan keahliannya yang belum seberapa itu.
"Cuma sedikit."
Sang naga mengangguk. "Dengan berlatih, kau
bisa mengendalikannya."
"Kenapa aku bisa melakukannya sedangkan orang lain tidak?"
Bibir Danzi yang merah menjadi lembut ketika dia memperdengarkan suara kelinting
genta angin. "Ping sangat istimewa," sahutnya. "Istimewa, tapi lamban memahami."
"Memahami apa?"
"Kenapa Danzi memilih Ping sebagai teman perjalanan."
"Kau tidak memilihku. Waktu itu kan tak ada orang lain... Lao Ma terlalu tua, dan
kau sudah pasti tidak bakal memilih Master Lan untuk diajak bepergian."
"Memilih Ping karena Ping Pengurus Naga."
"Aku" Pengurus Naga" Yang benar saja."
"Ingat Danzi pernah bilang Pengurus Naga punya ciri-ciri khusus?"
"Aku ingat." "Para Pengurus Naga semuanya kidal. Bisa dengar ucapan naga, bisa mengendalikan
chi, dan punya mata batin."
"Apa itu mata batin?"
"Kemampuan untuk merasakan kehadiran orang tertentu, teman dan musuh, membaca
hati manusia, terkadang meramalkan kejadian yang akan datang." Ping teringat
bagaimana dia tahu ketika Diao berada di dekat mereka, dan betapa dia sudah tahu
bakal ada kejadian buruk di Chang'an.
"Tapi aku tidak bisa membaca hati Jiang Bing. Aku tidak tahu apa yang akan
terjadi besok." "Ada keahlian yang perlu terus dipelajari."
"Pokoknya kau bilang para Pengurus Naga semuanya berasal dari keluarga Huan atau
Vu." Danzi mengangguk. "Tapi namaku..."
"Ping tidak tahu nama keluarga."
"Apa kau tahu, Danzi" Apa kau tahu bahwa aku berasal dari salah satu keluarga
Pengurus Naga?" Naga itu menggeleng, "Tidak tahu. Kebetulan saja yang mempertemukan Ping dengan
Danzi." "Tapi kau melihat tandatanda itu dalam diriku."
Sang naga lagi-lagi menggelengkan kepala. "Danzi juga lamban memahami. Tidak
percaya Pengurus Naga ternyata anak perempuan."
Ping mencoba memahami makna ucapan Danzi. Kedengarannya tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin dia orang yang istimewa, orang yang memiliki keahlian yang
tidak dimiliki orang lain" Mereka kini melewati sebuah desa dan Danzi tampil
dalam wujudnya sebagai lelaki tua. Orang-orang sudah pasti tidak selalu seperti
yang kelihatan dari luar. Tapi kalau memang orang yang istimewa, tentunya dia
sudah mengetahuinya. "Aku kan gadis budak," kata Ping. "Tak mungkin aku Pengurus Naga."
"Keberhasilan selalu menjadi hal yang mengejutkan bagi orang yang rendah hati."
"Tapi katamu biasanya Pengurus Naga selalu anak lakilaki."
"Benar. Belum pernah ada yang perempuan."
Ping menggelengkan kepala. "Kau pasti salah."
"Ping punya semua tanda-tandanya. Mulanya tidak percaya tandatanda itu, tapi
Ping sudah membuktikan. Menyelamatkan Danzi dari penyihir."
Sang naga meraih ke balik salah satu sisiknya yang tumbuh terbalik, dengan kaki
depannya yang kanan. Dia mengeluarkan sesuatu. Sebuah piringan perunggu yang
garis tengahnya seukuran setengah buah persik. Pada salah satu sisinya ada
gambar. Sisi satunya polos, tapi dipoles sangat mengilap sampaisampai
memantulkan sosok Danzi di permukaannya.
"Semua Pengurus Naga yang mengurus Danzi membawa cermin ini."
"Sudah berapa banyak pengurusmu selama ini?"
"Banyak. Hidup manusia singkat dibandingkan hidup naga."
"Master Lan tidak punya cermin itu," kata Ping.
"Lan Pengurus Naga palsu. Bahkan Wang Cao juga bukan Pengurus Naga sejati."


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi dia kidal dan bisa memahami ucapanmu."
"Tapi tidak punya mata batin."
Danzi mengulurkan cermin itu, Gambar di ba gian belakangnya berupa naga
bergelung seputar sebuah tombol di bagian tengah punggung cermin. Satu kaki naga
itu terulur untuk meraih tombol tersebut. Ping hendak mengambil cermin itu. Sang
naga menariknya lagi. "Kalau Ping menerima pemberian ini, dia akan terikat pada Danzi... dan semua
keturunan Danzi." "Tentu saja aku akan..."
"Keputusan sebaiknya tidak diambil tergesa-gesa," kata sang naga, "Mengikat
seumur hidup." Danzi memiringkan cermin itu dan cahaya matahari terpantul miring darinya,
mengenai kedua mata Ping. Terlalu terang untuk dilihat.
"Cermin bisa digunakan sebagai sinyal. Naga pendengarannya tidak bagus, tapi
kalau Pengurus Naga menggerakkan cermin, naga bisa melihat dari jarak banyak
//jauhnya." Danzi kembali mengulurkan cermin itu pada Ping, bagian yang mengilap menghadap
ke atas. Ping dapat melihat pantulan dirinya sendiri di sana. Tidak ada yang
luar biasa pada wajahnya. Tidak ada yang membuat dia tampak beda dari gadis lain
mana pun di kekaisaran itu. Tapi di hatinya dia tahu sang naga benar. Rasanya
seakan ada suatu tempat rahasia di dalam dirinya, yang selama ini terkunci, kini
telah terbuka. Rasa bangga memenuhi dadanya. Beberapa bulan lalu dia hanyalah
seorang budak tak bernama, tapi sekarang dia mendapati dirinya ternyata orang
yang istimewa. Akan diterimanya pemberian ini. Inilah takdirnya.
Baru saja dia hendak berkata begitu pada sang naga, terdengar suara kayu pecah
yang sangat keras, dan Ping terlempar ke depan. Dia meluncur sepanjang geladak
sampai membentur kabin. Danzi terlempar ke air. Ping kehabisan napas. Dia
bangkit berdiri sambil memegangi rusuknya yang lebam. Perahu yang sangat besar
menjulang di atasnya. Perahu paling besar yang pernah dilihat Ping. Mereka
menabrak perahu itu. Ping hampir terjatuh lagi, karena geladak itu miring tajam. Perahu mulai
tenggelam. Dia menengadah menatap perahu satunya. Perahu itu sepuluh kali lebih
panjang dari perahu mereka yang kecil, dan tingginya seperti dua rumah. Catnya
masih baru, hitam mengilap dan dihiasi bendera aneka warna serta umbul-umbul
sutra. Sepertinya perahu itu tidak rusak sedikit pun. Ping tak sempat mengagumi
perahu yang luar biasa itu. Geladak sudah semakin miring. Haluan perahu sudah
menghilang di bawah air. Cepat-cepat Ping menyambar keranjang berisi batu naga dan barang apa pun yang
bisa dibawanya panci masak yang masih bagus, topi pelindung dari matahari,
sekantong lentil. Air sudah menjilati kedua kakinya. Danzi sudah kembali ke
bentuk naganya, dan dia berjalan bercipak-cipak ke arah tebing sungai. Ping
melompat ke air. Air itu ternyata lebih dalam dari dugaannya. Gaunnya mengembang
seperti balon di sekitarnya. Kakinya tak bisa menemukan dasar sungai. Panci
masak yang berat itu menyeretnya ke bawah. Tapi dia tak mau melepas panci itu.
Air naik sampai ke atas kepalanya. Kemudian dia merasakan tangan-tangan di bawah
kedua lengannya, dan dia pun diangkat dari air dan digeletakkan di tebing
sungai. Dia terbatuk-batuk memuntahkan air sungai.
"Terima kasih," katanya, meski matanya ke masukan air berpasir dan dia tak bisa
melihat penyela matnya. "Baik sekali Anda menarikku keluar dari sungai, tapi aku
sudah aman sekarang. Anda bisa melepasku." Disekanya air di mata, dan dia
mendapati dirinya diapit para pengawal berseragam merah dengan topi dan rompi
dari kulit. Mereka tidak tersenyum dan tak berniat melepaskannya. Semakin banyak
pengawal berdiri di hadapannya. Semuanya mengacungkan pedang atau tombak ke
arahnya. Dengan pedang terhunus, pengawal lainnya mengepung naga yang basah.
Mereka terpaku menatap makhluk ini, yang sosoknya seperti makhluk dalam cerita.
Danzi meraung pada mereka, memperdengarkan suara meng gemuruh berat seperti
logam yang dipukul. Dicoba nya menghantam senjata di tangan mereka agar jatuh,
tapi dia tak bisa mengumpulkan tenaga. Semua senjata itu terbuat dari besi.
Ping mencoba memfokuskan chi supaya dapat di gunakan untuk menyingkirkan para
pengawal. Dia memejam matanya untuk membayangkan padang yang penuh bunga peoni,
tapi dia hanya berhasil membayangkan beberapa tanaman layu di Huangling.
Dicobanya menghitung mundur dari lima ratus, tapi dia selalu salah hitung dan
mesti mulai lagi dari awal. Suara menggelegak mengalihkan perhatiannya. Perahu
yang telah membawa mereka sepanjang Sungai Ku ning haluannya sudah masuk ke air.
Di depan mata Ping, gelembung udara muncul di sekeliling perahu itu, dan perahu
itu pun lenyap di bawah permukaan.
"Ini dia si penyihir dari Huangling!" sang kapten ber seru. "Dia telah mencuri
naga Kaisar. Telah dikeluar kan surat untuk memenggalnya."
Para pengawal yang memegangi Ping dengan
erat. Mereka mengambil keranjang yang disandangnya. Ping mencoba melawan, tapi
mereka terlalu banyak. "Kita harus tangkap naga itu juga," sang kapten memerintahkan semua anak
buahnya. Para pengawal yang mengepung Danzi maju dengan hatihati.
Salah satunya memegang gulungan tali. Danzi memamerkan giginya yang besar,
mendongak, lalu meraung dengan suara gemuruh berat seperti suara guntur saat
badai. Diayunkannya cakar-cakarnya. Para pengawal itu melompat mundur. Salah
satunya memegangi lengannya. Darah merembes di antara jarinya ketika dia mencoba
menghentikan perdarahan akibat luka yang dalam, Semakin banyak pengawal yang
muncul. Mereka membawa crossbow dan membentuk lingkaran di seputar sang naga.
"Tunggu," kata Ping. "Jangan sakiti dia."
Para pengawal itu tidak mengacuhkannya.
"Bidik," perintah sang kapten.
Para pengawal membidikkan crossbow pada sang naga.
"Jangan!" teriak Ping. "Naga itu milik Kaisar.
Membunuh satu-satunya naga Kaisar yang tersisa bisa dijatuhi hukuman mati."
Para pengawal menoleh ke arah kapten mereka.
Sebuah gagasan muncul di benak Ping. "Aku hendak memulangkan naga itu kepada
Kaisar." Para pengawal menatap gadis yang rambutnya meneteskan air itu.
"Aku bukan penyihir," kata Ping. "Aku Pengurus
Naga Kaisar. Kalau kalian mau menyingkir, aku akan mengendalikan naga ini."
Sang komandan mengangguk kepada para pengawal yang kemudian melepaskan Ping.
Ping mengambil gulungan tali dari pengawal yang lengannya terluka dan melangkah
ke arah sang naga. Suara gemuruh berat terdengar dari kerongkongan naga itu. "Ping mau berbuat
apa?" "Ikuti saja permainanku," bisik Ping. "Aku ingin mereka yakin bahwa aku
bermaksud mengembalikanmu kepada Kaisar."
Gemuruh marah naga itu berubah menjadi geraman berat. Ping membuat laso dari
tali itu. "Tundukkan kepalamu, naga," katanya tegas.
Danzi menurunkan kepala. Ping lalu mengalungkan tali itu ke lehernya.
"Sangat mengesankan," kata suara di belakangnya.
Begitu Ping menoleh untuk melihat siapa yang bicara, pengawal di sampingnya
terpeleset dan jatuh tersungkur.
Seorang pemuda melangkah menuju tepi sungai. Seorang pengawal lain juga
terpeleset dan terjatuh. Ping memandang jalan setapak dari batu itu. Jalan itu
sangat mulus dan bagus buatannya. Dia tak mengerti kenapa kedua pengawal itu
terpeleset. Si pemuda berdiri di hadapan Ping dan Danzi dan memandangi me reka
dengan cara yang menurut Ping agak tidak sopan. Pemuda itu umurnya sekitar
sepuluh tambah lima tahun, dan mestinya dia sudah belajar sopan santun yang
lebih baik. "Membungkuklah di hadapan Kaisar," desis pengawal yang masih berlutut di jalan
setapak itu. Ping memandang sekitarnya. "Aku tidak meli hat ada Kaisar." Dia mulai kesal.
"Aku basah dan kedinginan," katanya, "dan aku tidak berminat ber debat dengan
bocah yang menjengkelkan."
"Aku juga sedang tak berminat berdebat, anak perempuan," sahut pemuda itu. "Aku
Kaisar." "Kau bisa dapat masalah serius kalau bicaramu seperti itu," sahut Ping. "Kalau
Kaisar yang sesungguhnya sampai mendengar ucapanmu."
Ping memandang sekelilingnya. Semua pengawal sudah berlutut dengan dahi menempel
di tanah. Hanya dia dan pemuda itu yang masih tetap berdiri.
"Akulah Kaisar yang sesungguhnya," kata pemuda itu.
Ping melongo memandangnya. Wajah pemuda itu bersih, tanpa kumis, seperti umumnya
pemuda seusianya. Sebuah bekas luka kecil melintang di alis kanannya. Bibirnya
menguncup seperti habis meng isap jeruk. Ping baru saja hendak mengatakan se
suatu ketika seorang pengawal menarik bajunya yang basah kuyup dan menyeretnya
agar berlutut. Ping mencoba mengangkat wajah, tapi tangan si penga wal yang
besar menekan kepalanya. Yang bisa di lihatnya hanyalah pinggiran jubah pemuda
itu dan alas kakinya. Pinggiran jubah itu dijahitkan pada sehelai jubah satin
hitam dan dihiasi sulaman naga dari benang emas. Sulaman itu dibuat sedemikian
rupa hingga tampak menonjol dari permukaan kain. Kelihatannya begitu nyata,
seakan naga-naga itu hen dak melompat dari jubah tersebut. Alas kaki si pemuda dihiasi
sulaman dalam pola spiral yang menyerupai galur awan tipis. Ping pernah melihat
pinggiran jubah yang seperti itu dan alas kaki yang mirip dengan itu. Keduanya
milik sang Kaisar. 19 Beberapa menteri tergopoh-gopoh datang lewat jalan setapak itu, pita jabatan di
pinggang mereka berkibar-kibar.
"Siapa yang berani menyinggung Kaisar dengan sikap kasar seperti itu?" salah
seorang menteri berkata dengan terengah-engah.
"Maafkan saya," kata Ping, meski sulit baginya untuk bicara, karena wajahnya
ditekan ke tanah. "Saya tidak menyadari beliau adalah Kaisar. Saya piker semua
Kaisar sudah tua dan gemuk."
Mulut si pemuda yang terkatup rapat mau tak mau melebar menjadi senyuman
setengah hati. "Suatu pelanggaran berat, bicara kepada Yang Mulia dengan nada seperti itu!"
kata menteri yang di pinggangnya paling banyak bergantungan pita warna-warni
serta stempel emas. Ping mengenali suara itu.
"Aku ingin lihat wajah gadis itu," katanya.
Si pengawal menyentakkan rambut Ping ke belakang. Ping menatap sang menteri. Dia
mengenali orang itu. Orang itu juga mengenalinya.
Perjamuan Kekaisaran Lagi
"Saya pernah melihat gadis kurang ajar ini, Yang Mulia." Ternyata orang itu
adalah Tian Fen, Pena sihat Agung Kaisar.
Kaisar tidak mendengarkan Penasihat Agungnya. Dia sedang memandangi naga itu.
"Gadis ini penyihir dari Huangling," Penasihat Agung Tian meneruskan. "Dia
mencuri naga milik ayahanda..."
"Yang Mulia," kata Ping, "hamba tidak mencuri naga itu, dan hamba juga tidak
bermaksud menabrak perahu Yang Mulia."
"Kau tidak boleh bicara langsung pada Kaisar!" teriak Penasihat Agung.
Tapi Kaisar yang masih muda itu mengangkat tangan. "Tidak apa-apa, Penasihat
Tian. Aku akan menanyai tawanan kita ini."
Kaisar muda itu mengalihkan tatapannya dari Danzi ke Ping.
"Berdirilah." Ping berdiri. Air yang menetes dari bajunya yang basah telah membentuk kolam
kecil di bawahnya. "Dia mengaku sebagai Pengurus Naga Kaisar, Yang Mulia," kata
kapten pengawal. Kaisar memandangi Ping dari atas ke bawah.
"Kalau kau menganggap aku tidak tampak seperti Kaisar, aku juga menganggapmu
tidak seperti Pengurus Naga," kata Kaisar.
Ping tak bisa mendebat pernyataan itu.
"Meski makhluk ini tampak jinak di tanganmu." Kaisar memandangi Danzi
lekatlekat. "Katamu dia naga Kaisar?"
"Benar, Yang Mulia," sahut Ping. "Naga Kaisar yang terakhir."
"Saya sedang mendampingi ayah Yang Mulia waktu penyihir ini kabur dengan membawa
naga itu, Yang Mulia," kata Penasihat Agung Tian.
"Hamba bukanlah penyihir. Hamba seorang budak," sergah Ping. "Dulu hamba
melayani Master Lan, Peng urus Naga Kaisar. Dia bukan orang baik. Dia hendak
menjual naga itu pada pemburu naga untuk keuntungannya sendiri. Hamba hanya
berniat men cegah dia membunuh naga itu... naga Yang Mulia Kaisar."
"Kenapa ayahku tak pernah menceritakan tentang naga ini?" tanya si pemuda.
"Ayah Yang Mulia tidak menyukai naga, Paduka Kaisar," sahut Penasihat Agung
Tian. "Dan beliau sedang banyak pikiran sebelum sakit fatal itu."
Ping bergerak gelisah, berharap Kaisar tidak akan menanyainya tentang kematian
ayahnya. "Gadis ini penyihir dan tidak bisa dipercaya, Yang Mulia," sang Penasihat Agung
melanjutkan. "Tapi dia telah membawa naga ini padaku," sahut sang Kaisar. "Jauh-jauh dari
Gunung Huangling." Ping mengangguk.
"Siapa namamu?" tanya Kaisar.
"Ping, Yang Mulia."
"Kalau kau seorang budak, Ping," kata Kaisar, "berarti kau milikku, seperti
halnya naga itu." Ping membuka mulut untuk menjawab, tapi dia berubah pikiran.
"Ayah Yang Mulia memutuskan gadis ini mesti di
pancung atas kejahatannya, Yang Mulia," kata Pena sihat Agung Tian.
Kaisar menghampiri sang naga. Danzi meng geram, tapi pemuda itu tidak gentar.
Dia mengelilingi naga itu, memeriksanya dari kepala sampai ke kaki.
"Binatang yang gagah," komentarnya. "Apakah dia punya nama?"
"Namanya Long Danzi, Yang Mulia," sahut Ping.
"Hukuman mati tampaknya bukan ganjaran yang tepat untuk orang yang telah
mengembalikan satu-satunya nagaku yang masih hidup, Penasihat Agung," kata
Kaisar. "Kurasa aku akan membatalkan ke putusan ayahku."
Penasihat Agung Tian membungkuk. Geraman Danzi berubah menjadi bunyi denting dan
kelinting. "Sekarang dia memperdengarkan bunyi yang berbeda," kata Kaisar.
"Itu berarti dia bahagia, Yang Mulia," kata Ping.
"Apakah dia memahami percakapan kita?"
"Sedikit." Ping melirik sang naga sekilas.
Kaisar menyelesaikan mengitari sang naga.
"Selamat datang di Pondok Ming Yang, Ping." Lalu dia beralih kepada pengawal.
"Kembalikan keranjang gadis itu dan beri dia pakaian kering," perintah Kaisar
muda itu. "Kalau sudah cukup beristirahat, dia bisa bergabung denganku di
Balairung Keharuman yang Sejuk untuk makan malam."
Seorang pengawal menyerahkan keranjang Ping. Ping memeganginya erat-erat.
"Naga itu mesti diikat di lumbung," kata Penasihat Agung.
Danzi menggeram lagi. "Tidak bisakah dia ikut dengan hamba?" Tanya Ping. "Dia sangat sopan."
Ditatapnya pengawal yang lengannya berdarah. "Hampir sepanjang waktu."
Penasihat Agung menggeleng. "Tidak, makhluk itu berbahaya. Dia mesti dikurung di
tempat aman." Kaisar muda membalikkan badan dan kembali ke jalan setapak. Para menterinya
tergopoh-gopoh mengikuti. Para pengawal istana, yang masih memegangi kedua
lengan Ping, menuntunnya ke jalan setapak itu. Danzi berjalan di belakang Ping,
di ujung tali lehernya. Ping berkesempatan mengamati lanskap sekitarnya untuk
pertama kali. Tanah di situ menanjak lembut dari tebing sungai. Tak ada padang,
tak ada hutan. Lerengnya telah diubah menjadi kebun yang indah, yang membentang
sejauh yang terlihat Ping di sepanjang tepian sungai. Sebuah jalan setapak
berbatu menanjak ke bukit, berlikuliku melewati petak-petak kebun dan deretan
pohon cypress; bunga-bunga tumbuh berdesakan di kedua sisi jalan setapak itu.
Kolam dan anak sungai dialirkan ke lereng bukit supaya tidak meluap. Pohon ceri
yang sedang berbunga tersebar di kebun itu. Sesekali jalan setapak itu meliuk
melewati gua-gua karang yang dipahat berbentuk singa atau naga atau monyet. Juga
ada beberapa paviliun yang cantik. Ping ingin sekali berhenti dan duduk di dalam
salah satu paviliun itu, namun para pengawal mendorongnya melewati semua itu,
sama sekali tidak mengacuhkan keindahan kebun tersebut. Di puncak bukit ada
rumah indah yang lebih besar dari rumah mana pun yang pernah dilihat Ping di
Chang'an. Atapnya dari terakota hitam, seperti Istana Huangling. Rumah itu
bertingkat dua dan memiliki balkon lebar yang ditopang pilar-pilar tebal kokoh.
Ping ikut dengan Danzi ke kandang, Para pengurus kandang menatap takut-takut
pada sang naga sem bah menyapu salah satu kandang dan menaruh jerami bersih di
tanah. Ping memberi instruksi pada mereka, bahwa naga hanya boleh diberi makan
burung layang-layang panggang dan susu, dan tidak boleh ada besi dalam jarak
sepuluh langkah darinya. Ping juga bersikeras mereka mencari arsenik supaya sang
naga bisa minum minuman yang memulihkan tenaganya. Begitu para pengurus kandang


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi untuk mencari kan keperluan aneh sang naga, Ping mengeluarkan batu naga
dan menyembunyikannya di bawah jerami di bagian belakang kandang. Untunglah
Kaisar dan para pengawal itu tadi begitu menaruh minat pada sang naga, sehingga
tidak menggeledah isi keranjangnya.
"Ping punya rencana?" tanya sang naga.
"Tidak juga," sahut Ping. "Jangan khawatir. Aku akan cari jalan."
Dia meraih ke balik salah satu sisik Danzi yang tumbuh terbalik dan menarik Hua
keluar. Tikus itu mengerjap-ngerjap seperti baru terbangun.
"Kau baikbaik saja, Hua?" tanya Ping sambil menggaruk belakang telinga tikus
itu. "Kau di sini bersama Danzi. Aku harus pergi makan bersama Kaisar. Kami
tidak mau kau membuat masalah lagi di
perjamuan kekaisaran."
Ping mengikuti para pengawal ke bangsal yang luas. Bangsal itu berisi meja-meja
berukiran halus yang di atasnya ada sebuah vas bunga. Tidak seperti bangsal
masuk di Huangling, meja-mejanya mengi lap, lenteranya tidak dikotori jaring
labalaba, dan tidak ada setitik pun debu di lantai batunya. Para pengawal
membawanya melewati bangsal itu, menyusuri sebuah koridor yang menuju ruangan
yang indah. Di ruangan itu ada tempat tidur berkelambu sutra halus. Dindingnya
dilukisi pemandangan gunung bersaput awan. Ada jendela-jendela berteralis
berbentuk bunga teratai yang menghadap ke Sungai Kuning yang meliukliuk. Pelayan
membawa masuk bak mandi dan mulai mengisinya dengan air panas dari guci-guci.
"Aku tidak mau mandi," Ping berusaha memberitahu mereka. "Belum dua bulan sejak
aku terakhir kali mandi."
Para pelayan tidak mengacuhkan dan terus mengisi bak mandi. Waktu itu sudah
lewat tengah hari dan Ping kedinginan karena memakai pakaian basah.
"Kurasa mandi air panas bisa membuatku hangat," katanya.
Master Lan mempunyai bak mandi yang mirip bak ini, bak dari kayu, seperti bak
untuk membuat anggur, tapi lebih pendek dan lebih lebar. Ping belum pernah mandi
di bak. Dilepasnya pakaian lalu masuk ke dalam bak itu. Airnya hangat seperti
air dari sumber mata air panas waktu itu. Pelayan
sudah menaburkan bunga mawar kering di dalam air sehingga airnya harum. Ping
berbaring di dalam bak dan merasa rileks. Kalau dia mempunyai pelayan untuk
mengisi bak mandi, mungkin dia bisa membiasakan diri mandi secara teratur bahkan
mungkin dua kali sebulan.
Ketika dia keluar dari bak, ternyata pakaiannya yang basah sudah diambil dan
sebagai gantinya ada pakaian kering yang dilipat rapi. Pakaian ini bukan untuk
jalan-jalan. Bahannya dari sutra biru halus bersulam bunga-bunga putih. Ping
mengenakan gaun itu. Rasanya sejuk dan ringan pada kulitnya. Lengannya lebar dan
terjuntai hingga ke lantai. Selain itu ada juga sepasang kaus kaki bersih dan
selop sutra. Seorang pengawal kaisar datang untuk mengantarnya ke Balairung Keharuman yang
sejuk, yang berada di tingkat atas bangunan itu dan bisa dicapai dengan naik
serangkaian anak tangga batu yang lebar. Ping yang paling dulu tiba di sana.
Ruangan itu mirip ruang makan di Huangling, hanya saja di lantainya ditebarkan
berbagai macam kulit binatang sebagai pengganti karpet. Ping mengenali kulit
beruang dan kulit rusa yang sudah disamak. Kulit yang paling indah bergaris
hitam-kuning. Ini, tebak Ping, pasti kulit harimau, Dia pernah melihat lukisan
binatang ini di Istana Huangling.
Sebelum dia sempat melihat-lihat lukisan di tembok, Penasihat Agung masuk
diikuti Kaisar, dua pelayan, dan enam menteri. Menteri-menteri itu menatap Ping
dengan curiga sambil mengambil
tempat masing-masing. Para menteri dan pelayan berlutut dengan dahi menyentuh
lantai. Ping cepat-cepat ikut berlutut dan menyentuhkan dahi ke lantai juga.
"Duduklah di sampingku, Ping," Kaisar berkata seraya duduk di bantalan besar
sembari menyuruh pergi pelayan yang hendak membantu nya. Ping berdiri, dan
tersandung lengan gaunnya yang panjang, Dia terseok-seok berjalan untuk duduk di
samping Kaisar. Para menteri melotot ke arahnya.
Begitu Kaisar sudah duduk, para pelayan membawakan meja lengkap dengan mangkuk
indah berwarna merah dan hitam mengilap, serta sumpit kayu eboni yang ujung-
ujungnya bertatahkan batu mulia. Juga ada cangkir anggur yang di mata Ping
seperti terbuat dari emas. Kaisar mempunyai meja sendiri, seperti Kaisar tua di
Huangling. Para menteri mesti berbagi beberapa meja. Seorang pelayan meletakkan
meja khusus untuk Ping. "Aku tidak lapar," kata Kaisar. "Jadi, malam ini aku minta hidangan ringan saja.
Mudah-mudahan cukup untukmu."
Ping agak lapar sebenarnya. Dengan berbagai peristiwa yang terjadi hari itu, dia
belum makan sejak pagi. Para pelayan menuangkan anggur ke cangkir-cangkir emas, lalu menghidangkan menu
pertama. Ping melongo menatap hidangan yang ditaruh pelayan di depannya.
Kelihatannya seperti cangkang penyu. Ping belum pernah mendengar ada orang
memakan cangkang penyu. Malah dia cukup
yakin rasanya akan seperti menggerogoti tulang tua. Si pelayan mengulurkan
tangan ke cangkang itu, seakan bisa membaca pikiran Ping dan hendak mengambil
cangkang tersebut. Tapi ketika diangkat, cangkang itu terlepas dan di bawahnya
ternyata ada masakan kukus yang mengepul-ngepul.
"Kurakura kukus," kata Kaisar ketika melihat Ping yang melongo. "Enak sekali."
Meski tidak lapar, Kaisar mulai makan dengan antusias. Ping teringat bahwa di
Huangling semua orang menunggu sampai Kaisar selesai menyantap hidangan pertama,
sebelum mereka mulai makan. Perut Ping berkeruyuk tak sabar mencium harumnya
masakan itu, tapi dia menunggu,
"Apa kau tidak lapar?" tanya Kaisar.
"Ya, Yang Mulia," sahut Ping, "tapi..."
"Makanlah kalau begitu."
Itu kedengarannya seperti perintah, maka Ping tidak mengacuhkan para menteri
yang cemberut dan dia pun mulai makan. Kaisar berkonsentrasi pada mangkuknya
sendiri, sampai cangkang kura-kuranya kosong. Ping senang melihat Kaisar yang
masih muda ini memiliki tata krama lebih baik daripada ayahnya. Maka dia
mengikuti contoh sang Kaisar. Kurakura kukus itu lezat sekali.
Hidangan berikutnya adalah daging panggang. Rasanya tidak seperti daging mana
pun yang pernah dimakan Ping.
"Itu dada harimau kumbang," sang Kaisar memberitahu.
Daging itu dihidangkan dengan akar teratai dan
kecambah. Ping makan dengan takzim.
"Kau boleh bicara, Ping," kata Kaisar. "Tidak perlu takut."
Ping mencari bahan untuk dikatakan.
"Kenapa Yang Mulia berada di pedesaan ini?" tanya Ping. "Bukannya di Chang'an."
"Aku hendak ke Tai Shan," sahut Kai sar.
Belum pernah Ping mendengar tempat itu.
"Itu gunung paling keramat," Kaisar menjelaskan. "Aku hendak ke sana untuk
memohon Langit memberkati pemerintahanku."
"Hamba yakin Yang Mulia akan menjadi Kaisar yang sangat baik," kata Ping.
Para pelayan mengeluarkan hidangan ketiga.
"Aku baru sebulan menjadi Kaisar," kata Kaisar seraya mendesah lelah, "tapi
belum apa-apa aku sudah bosan."
Perut Ping sudah penuh sekali, dan dia menyesal kenapa makan kurakura kukus
sebanyak itu. Wajah Kaisar menjadi cerah ketika melihat hidangan paling baru
itu. "Burung hantu panggang dengan saus peoni," katanya. "Itu salah satu makanan
kesukaanku." Ping merasa tidak sopan kalau dia menolak makan hidangan kesukaan Kaisar, maka
dibiarkannya pelayan menyendokkan sedikit makanan itu ke mangkuknya.
Para pelayan sudah mengeluarkan hidangan lain lagi. Ping mengenali yang satu
ini. Bubur gandum dengan kacang polong dan daun bawang. Dia Cuma bisa menelan
sesuap, Akhirnya pelayan mengeluarkan buah-buahan pir, plum, persik. Lalu acara
makan itu pun selesai. Ping kenyang sekali, hingga rasanya dia tak akan sanggup
berdiri. Untunglah Kaisar sedang ingin bercakap-cakap. Dia menceritakan tentang
kehidupan di istana Chang'an dan menanyakan banyak hal tentang kehidupan Ping di
Huangling. "Senang sekali mengobrol denganmu, Ping," kata Kaisar. "Selama ini yang ada cuma
lakilaki tua." Ping menyadari bahwa meskipun Kaisar selalu dikelilingi banyak orang, siang dan
malam, tak satu pun yang bisa diajaknya mengobrol. Ping tersenyum. Ini
pengalaman baru baginya, mengobrol dengan orang yang sebaya dengannya. Para
menteri tetap di tempat masing-masing, sebab mereka tidak boleh pergi selama
Kaisar masih berada di situ.
"Menurut para peramal, kami mesti menunggu di Ming Yang ini. Menginap sampai
menemukan hari yang tepat untuk mendaki Tai Shan." Kaisar muda itu mencondongkan
badan ke arah Ping. "Aku sudah me mutuskan untuk menghabiskan waktu di sini. Aku
sudah memanggil para cendekiawan dari seluruh kekaisaran para ahli alkimia, ahli
tanaman obat, ahli feng shui," katanya. "Tapi aku belum mengatakan alasanku pada
menteri. Itu sebabnya mereka kesal."
Kaisar nyengir lebar, wajahnya lebih mirip anak nakal daripada Kaisar. Ping
menoleh sekilas kepada para menteri. Kelihatannya mereka kesal sekali karena tak
bisa mendengar apa pun yang diucapkan
Kaisar. "Aku tidak ingin menjadi tua, gemuk, dan serakah seperti ayahku," bisik Kaisar.
"Aku ingin menjadi Kaisar yang lebih baik. Itu sebabnya aku mengundang para
cendekiawan ke sini. Aku ingin mereka menciptakan ramuan yang bisa membuatku
tetap muda." "Hamba yakin Yang Mulia akan menjadi Kaisar yang sangat baik," sahut Ping. Dia
baru sebentar sekali mengenal pemuda ini, tapi hatinya mengatakan pemuda ini
akan memerintah kekaisaran dengan baik dan adil bijaksana. "Kapan para
cendekiawan akan tiba?" tanyanya.
"Mereka akan datang besok."
Meski Ping tidak yakin membuat ramuan awet muda itu adalah gagasan bagus, dia
merasa sangat beruntung telah diberitahu rencana rahasia Kaisar.
"Kurasa sebaiknya aku menyudahi acara malam ini," kata Kaisar dengan enggan.
"Aku mesti bangun pagi sekali besok. Aku harus memulai ritual penyucian supaya
aku terlihat patut di hadapan Langit. Aku harus melempar kayu yarrow yang akan
dibaca para peramal untuk menghitung waktu yang paling tepat untuk mendaki Tai
Shan." "Hamba harus melihat keadaan Danzi," kata Ping.
Kaisar bangkit berdiri. Begitu pula para menteri. Ping lega karena, meski
perutnya sangat penuh, ternyata dia masih bisa berdiri.
"Selamat malam, Ping," kata Kaisar. "Aku sangat senang mengobrol denganmu."
Ping ke kandang. Para pengurus kandang me -
laporkan bahwa mereka belum berhasil menangkap burung layang-layang, tapi mereka
telah memberikan sedikit ikan panggang dari makanan mereka sendiri untuk sang
naga. Danzi meringkuk di kandang kuda. Tali di lehernya dikaitkan ke tembok kandang.
Ping bisa melihat naga itu memandangi gaun barunya. Dengan rasa ber salah Ping
melihat sekilas mangkuk kayu berisi makanan sang naga yang hanya setengah
dimakan. Porsi makan malam yang luar biasa tadi masih terasa berat di perutnya.
"Ini." Dia mengulurkan sebutir buah plum yang disimpannya.
Danzi tidak mengacuhkan. Hua muncul dari belakang salah satu sisik Danzi yang tumbuh terbalik. Dia cepat-
cepat menghampiri Ping. Kumisnya bergetar ketika dia mengendus udara. Ping yakin
tikus itu bisa mencium makanan yang baru saja dimakannya.
"Aku tidak bisa membawakan apa-apa untukmu, Hua," kata Ping, meski sebenarnya
dia sama sekali tak ingat pada tikus itu sepanjang acara jamuan makan tadi.
"Nanti kusisakan makanan sarapanku. Maaf ya. Malam ini kau mesti cari makan
sendiri." Sang naga menggeram pelan. "Terlalu banyak warna membuat bingung mata," katanya.
Suasana hati Danzi sedang tidak bagus rupanya.
"Kau mesti sabar, Danzi. Kaisar akan menemui sekelompok cendekiawan besok," kata
Ping. "Kita akan punya kesempatan untuk kabur."
Sang naga hanya menggeram.
Ping belum pernah tidur di atas tempat tidur. Ranjangnya di Pondok Ming Yang
sepertinya cukup lebar untuk ditempati sepasukan pengawal. Ranjang itu dinaikkansekitar dua kaki dari lantai dan ditutupi kanopi berukir. Ping mengelus-elus
seprainya yang terbuat dari sutra. Baru beberapa waktu kemudian dia mengerti
kenapa ada dua seprai satu untuk ditiduri, satu lagi untuk selimut. Ping
mengenakan baju rami, lalu berbaring di bawah selimut. Rasanya licin dan halus.
Sepreinya juga hangat. Tidak ada perapian di ka mar Ping, tapi hawa panas dari
api entah di mana di dalam istana itu pasti dialirkan lewat pipa ke tempat
tidur. Malam itu dingin tapi belum pernah dia merasa begitu hangat dan nyaman
dalam hidupnya. 20 Taman Keselarasan Tersembunyi
Keesokan pagi Ping sarapan seorang diri. Hanya ada tiga tahap hidangan. Ping
mengambil setiap jenis hidangan banyak-banyak. Tapi dia hanya makan sedikit.
Sisanya dia masukkan ke mangkuk bambu yang telah disembunyi kannya di bawah
gaunnya. Kemudian dia membawa makanan itu ke kandang.
"Lihat," kata Ping sembari menaruh mangkuk di depan sang naga. "Aku membawakanmu
sedikit..." Hua melesat keluar dari tempat persembunyiannya, dan belum apa-apa sudah
membenamkan wajah di dalam makanan itu sebelum Ping menyelesaikan ucapannya.
"Apa kau tak mau makan sedikit, Danzi?" Ping bertanya.
Sang naga mengulurkan satu kakinya dan mengambil sepotong daging dengan cakar.
Dia mengendus-endusnya, kemudian memasukkan daging itu ke mulut. Dan
mengunyahnya perlahan-lahan.
"Makan yang banyak, Danzi," Ping memohon.
Sang naga menggeleng. Dia hampir tidak makan sejak tiba di Wucheng. Badannya
tampak lebih kurus. Dia seperti tidak lagi memercayai makanan yang disediakan.
"Di sini kau rupanya, Ping," kata sebuah suara dari pintu kandang.
Ternyata Kaisar. Ping cepat-cepat memasukkan Hua ke balik salah satu sisik sang
naga yang tumbuh terbalik, lalu dia membungkuk di hadapan Kaisar.
"Hamba cuma ingin memastikan naga ini mendapat cukup makan," kata Ping.
"Sepanjang pagi ini kuhabiskan bersama para peramal dan menteri," kata Kaisar.
"Aku perlu bicara. Kemarilah mengobrol denganku, Ping. Aku ada waktu senggang,
sebelum para cendekiawan berdatangan."
Ping menatap sang naga. Dia tak ingin meninggalkan Danzi sendirian lagi.
Dicobanya memikirkan alasan yang tepat. "Hamba hendak mengajak Danzi jalan-
jalan, Yang Mulia," katanya.
"Bagus," kata Kaisar. "Aku ikut denganmu."
Ping melepaskan ikatan tali Danzi dan menuntun naga yang menggemuruh itu keluar
kandang. "Kata ibuku, Taman Keselarasan Tersembunyi sangat indah pada bulan-bulan ini,"
kata Kaisar. "Aku sudah berjanji akan melihat-lihat taman itu."
Ping teringat perempuan kurus dan tampak menderita yang dulu dilihatnya di
Huangling. "Apakah Ratu dalam keadaan baik?" tanyanya sopan.
"Dia masih berkabung di Chang'an."
Ping lega karena Ratu tidak bermaksud mengunjungi putranya di sini.
Ping dan Kaisar keluar ke udara pagi yang dingin menyegarkan. Ping gemetar dalam
balutan gaun sutranya yang tipis serta selopnya.
"Kami butuh mantel," kata Kaisar. Para pelayan, yang tidak pernah jauh-jauh dari
Kaisar, langsung maju menghampiri. "Dan Ping membutuhkan sepatu yang lebih
kuat." Seorang pelayan membungkuk, lalu pergi melaksanakan perintah Kaisar. Tidak lama
kemudian dia sudah kembali dengan terengah-engah, membawa mantel-mantel dan
sepatu-sepatu. Entah bagaimana, dia bisa membantu Kaisar memakai mantel sambil
tetap berlutut. "Kalian tidak perlu menemaniku jalan-jalan," kata Kaisar kepada para pelayannya.
Sebenarnya sudah menjadi tugas mereka untuk mendampingi Kaisar sepanjang waktu,
tapi mereka juga harus mematuhi perintahnya. Dengan tidak rela mereka memandangi
Kaisar melangkah di jalan setapak itu meninggalkan mereka.
Jalan setapak itu mengarah ke belakang rumah, dan menanjak ke lereng bukit.
Kabut pagi belum lenyap. Sungai Kuning tersembunyi dari pandangan. Malah mereka
hanya bisa melihat beberapa meter taman di sekeliling mereka. Bunga-bunganya
masih menguncup, pohon-pohonnya gelap oleh embun, guagua yang dibuat dari karang
tak beraturan tampak lebih mirip makhluk aneh yang menjulang ke
luar dari balik kabut. Mereka mendaki menembus kabut, dan puncak bukit itu
tampak di hadapan mereka, bermandikan cahaya matahari. Jalan setapak itu berliku
naik ke atas bukit dengan sangat tak kentara, sampaisampai Ping tidak menyadari
pendakian itu. Di puncak bukit tanahnya datar.
"Inilah Taman Keselarasan Tersembunyi," kata Kaisar.
Taman itu dibuat mengitari sebuah danau kecil yang bentuknya tak beraturan.
Bunga azalea ungu pucat menjadi pembatas di jalan setapak itu. Di atas mereka,
kuncup bunga ceri bergemeresik tertiup angin sepoi-sepoi. Sebuah jembatan


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbentuk zigzag membawa mereka dari satu sisi danau ke sisi seberangnya. Pada
teralis di atas kepala, sulur-sulur tanaman wisteria tumbuh merambati jembatan,
sarat oleh bunga berwarna ungu. Cabang-cabang yang tumbuh liar menjulur ke luar
dan masuk ke dalam air. Ikan-ikan besar berwarna Jingga berenang berputar-putar dengan malasnya di bawah
permukaan. Bebek berenang dan menyelam mencari makanan. Kaisar menatap
lekatlekat ke dalam air. "Apa yang Tuanku cari?" tanya Ping.
"Bagaimana kalau kau memanggil namaku saja" Namaku Liu Che."
"Rasanya hamba tidak pantas berbuat begitu, Yang Mulia," sahut Ping.
"Aku perintahkan kau memanggilku Liu Che," Kaisar berkata dengan tersenyum.
Ping menarik napas dalam-dalam, merasa senang bahwa Penasihat Tian tidak ada di
dekat situ. "Kenapa kau melihat ke dalam danau, Liu Che?"
"Ada kurakura di dalam danau," sahut Kaisar. "Begitulah kata ibuku."
Di seberang jembatan, bunga musim semi bunga crocus berwarna biru langit,
dafodil, bunga popi salju yang mungil tumbuh berdesakan dari tanah yang gelap.
"Belum pernah hamba melihat tempat seindah ini," kata Ping.
Ini tidak sepenuhnya benar. Dia pernah melihat taman seperti ini dalam lukisan
di Istana Huangling, tapi dia tak ingin Kaisar tahu bahwa dia pernah masuk diam-
diam ke salah satu istananya. Di belakangnya Ping bisa mendengar suara samar
bernada sumbang, seakan ada yang memukul gong dengan tak sabar. Sang naga
rupanya tidak menikmati acara jalan-jalan ini seperti dirinya.
Mereka berhenti dan beristirahat di sebuah paviliun, sebuah bangunan kecil yang
indah, seperti istana mini. Bangunan itu bersisi enam, dan atapnya yang mungil
memiliki enam sudut yang menjungkit ke atas, ditopang oleh enam pilar. Para
penjaga keempat penjuru angin dilukis di bawah masing-masing pinggiran atap:
naga biru untuk sebe lah timur, harimau putih untuk sebelah barat, kurakura
hitam untuk sebelah utara, dan burung merah untuk sebelah selatan. Tidak ada
tembok. Paviliun itu dibangun semata-mata sebagai tempat untuk me ngagumi
sebatang pohon istimewa. "Pohon apa itu, Liu Che?" Ping bertanya.
Cabang-cabang ramping pohon itu berwarna cokelat gelap dan lembap. Pohon itu
tidak berdaun, tapi memiliki kuncup paling besar yang pernah dilihat Ping. Putik
bunganya seperti tangan-tangan pucat yang dikepalkan. Beberapa telah membuka,
menampakkan bunga putih bersih yang cantik, sebesar piala.
"Itu pohon magnolia. Indah, kan?" Kaisar berkata. "Paviliun ini namanya Paviliun
Mengamati Kuncup Magnolia Bermekaran."
Ping tersenyum. Nama yang tepat sekali untuk bangunan kecil ini. Liu Che
beranjak untuk memetik sekuntum bunga itu. Diberikannya bunga itu pada Ping.
Kabut di bawah sana menguap dalam matahari pagi dan menampakkan pedesaan yang
membentang hingga nun jauh di sana. Sungai Kuning berkelokkelok di sebelah
timur, seperti segulung kain ber warna kuning-cokelat yang ditebarkan begitu
saja di atas lanskap tersebut. Di seberang sungai, dataran yang rata itu terbagi
menjadi ladang ada yang hijau, ada yang kuning, ada pula yang cokelat. Di
sebelah selatan yang ada hanyalah dedaunan berwarna gelap. Taman itu dirancang
begitu rupa sehingga lereng bukit tidak terlihat, dan hanya pemandangan
sekitarnya yang tampak. Taman itu seakan mengambang di udara.
Liu Che mengisahkan tentang masa kecilnya di Chang'an.
"Kita memiliki kesamaan, Ping," katanya. "Kita
sama-sama tak punya teman bermain waktu masih kecil."
"Apa Paduka tidak punya saudara lakilaki dan perempuan?" tanya Ping.
"Punya, tapi saudara-saudara lelakiku dikirim ke tempat jauh untuk memerintah di
provinsi. Sau-dariku masih sangat muda waktu dia menikah dan pergi bersama
suaminya. Sebagian besar masa kecil kuhabiskan bersama pelayan yang menjadi
teman bermainku satu-satunya."
"Bagaimana dengan orangtua Paduka?" Tanya Ping.
"Ayahku selalu sibuk dengan urusan kekaisaran. Kesehatan ibuku kurang bagus, dan
dia menganggap permainan yang kulakukan terlalu berisik."
Ping sulit memercayai hal itu. Dari satu segi, sang Kaisar boleh dikatakan telah
ditelantarkan oleh keluarganya, seperti Ping. Meski menyentuh Kai sar bisa
dianggap kejahatan serius, Ping tetap saja menyelipkan lengannya ke lengan
Kaisar. Liu Che tak keberatan. Mereka mengitari danau, mencari kurakura.
"Aku punya sesuatu untukmu," kata Kaisar. Dia menarik sesuatu dari lengan
bajunya. Ping tak sanggup berkata-kata.
"Ini bukan hadiah, Ping," kata Liu Che. "Ini sudah menjadi hakmu."
Ping mengulurkan tangan, kemudian menariknya lagi. Dia mengenali benda yang
disodorkan Kaisar. "Ini stempel jabatanmu, Ping," Kaisar melanjutkan.
Benda itu adalah stempel batu zamrud putih yang dulu milik Master Lan. Stempel
itu dulu terjuntai dari pinggangnya pada seutas pita kotor. Lebih dari sekali
Master Lan telah melempar stempel itu pada Ping. Ping mengambil stempel itu dari
Kaisar dan membolak-baliknya. Dia belum pernah berkesempatan memeriksa benda itu
dengan saksama. Stempel itu berbentuk persegi panjang tipis, lebarnya tidak
lebih dari dua setengah senti. Satu ujungnya pipih dan diukiri huruf-huruf.
Ujung satunya ada ukiran naga. Ukiran itu begitu hidup, sehingga Ping tak bisa
membayangkan bagaimana sang seniman bisa mengukir kaki, gigi, dan sisik naga
dengan begitu persis. Pita kotor Master Lan sudah digantikan dengan pita sutra
ungu yang baru. Liu Che juga memberi Ping sewadah kecil tinta stempel. Dia
menunjukkan cara mencelupkan stempel itu ke dalam tinta merah yang tebal. Dia
memandang sekelilingnya, mencari-cari sesuatu untuk distempel. Diambilnya bunga
magnolia di tangan Ping dan ditekankannya stempel itu ke salah satu kelopak
bunganya. Ping melihat kulit di sekitar kuku-kuku ibu jari Kaisar yang terawat
itu seperti bekas digigiti. Stempel itu meninggalkan gambar dua huruf merah
darah dengan seekor naga kecil mungil bergelung di sekelilingnya.
"Hamba tidak bisa membaca," Ping berkata sedih.
"Apa arti tulisan itu?"
"Artinya Pengurus Naga Kaisar."
"Tapi hamba bukan Pengurus Naga Kaisar."
"Kau Pengurus Naga Kaisar. Aku telah mengang -
katmu." Kaisar menyerahkan stempel itu kembali pada Ping.
"Terima kasih, Liu Che." Ping mengikatkan stempel itu ke sabuknya.
Mereka terus berjalan melintasi taman. Angin sepoi-sepoi mengusik udara dan
bunga-bunga merah muda berguguran dari pohon ceri. Kaisar memandangi kelopak-
kelopak merah muda yang menempel pada lengan bajunya dan mengibas-kannya.
"Andai aku tidak perlu memakai jubah hitam ini sepanjang waktu," Liu Che
mengeluh. "Warnanya membosankan sekali."
Jubah Kaisar dibuat dari sutra hitam mengilap bersulam benang emas. Menurut
Ping, jubah itu indah sekali.
"Tidak bisakah Paduka memakai apa pun yang Paduka inginkan?" tanya Ping.
"Tidak." Liu Che menghela napas. "Aku harus selalu memakai jubah kekaisaran, dan
hitam adalah warna resmi kekaisaran."
"Itukah sebabnya puncak atap istana selalu hitam warnanya?"
Liu Che mengangguk. "Kenapa tidak ganti saja warna resmi kekaisaran?" kata Ping.
"Tidak bisa. Selama seratus tahun, warna resmi kekaisaran selalu hitam."
"Tapi Paduka adalah Kaisar, Liu Che," sahut Ping.
"Tidak bisakah Paduka melakukan apa pun yang
Paduka inginkan?" Liu Che berhenti melangkah. "Bisa," katanya. "Kau benar, Ping. Akulah sang
Kaisar." Dia mengamati lanskap yang menjadi wilayah ke kaisarannya. "Warna apa yang akan
menjadi warna resmi kekaisaran" Harus warna yang ceria."
Ping melayangkan pandang sekitar taman itu. Bunga dafodil bertebaran di mana-
mana di petak-petak taman, di antara karang bebatuan.
"Bagaimana kalau kuning?" sahutnya. "Itu warna yang bagus dan ceria."
Wajah serius Liu Che merekah menjadi senyuman. "Bunga dafodil bermunculan di
musim semi, cerah dan ceria setelah musim dingin yang gelap dan mati. Warnanya
adalah warna matahari yang menyinari seluruh wilayah kekaisaran. Juga warna
emas, logam yang kecemerlangannya tak pernah pudar. Kuning adalah warna yang
sangat tepat untuk melambangkan pemerintahanku."
Mereka meneruskan jalan-jalan, hingga tiba di Paviliun Burung Bulbul Pembawa
Keberuntungan. Pemandangan dari paviliun ini beda. Paviliun itu menghadap ke
selatan, tempat tumbuhnya pepohonan lebat yang terbentang dari tepi-tepi taman
sejauh mata memandang. "Pondok Ming Vang adalah pondok berburu kekaisaran," Liu Che menjelaskan.
"Ayahku membangunnya supaya dia bisa berburu di hutan itu."
"Binatang apa saja yang diburunya?"
"Rusa, beruang, harimau."
"Di sini ada harimau?" tanya Ping seraya memandang cemas ke tengah pepohonan.
Kaisar tertawa. "Di taman ini tidak ada, tapi di hutan ada."
"Paduka pernah melihat harimau?"
"Belum pernah," sahut Kaisar. "Kurasa tak banyak lagi harimau yang tersisa."
"Sayang sekali," kata Ping, meski dalam hati dia senang mereka takkan berpapasan
dengan harimau. "Tapi kau bisa mendengar suara monyet."
Ping memasang telinga. Dia mendengar suara celotehan samar.
"Aku tidak suka berburu," Kaisar melanjutkan. "Aku sedang menimbang-nimbang
untuk mengubah Hutan Harimau menjadi taman, dan di sana dilarang berburu. Aku
ingin membawa hewan lain kemari hewan-hewan aneh dari negeri-negeri barbar."
"Sepertinya itu gagasan bagus," kata Ping.
Kaisar menoleh pada Danzi yang sedang berjongkok tak senang di jalan setapak,
kepalanya yang besar dan hijau bertaburan kuncup ceri.
"Nagaku akan menjadi penghuni pertama di taman itu," kata Liu Che. "Akan
kubuatkan tempat tinggal khusus untuknya, berikut danau, Naga suka berenang,
kan?" "Ya," kata Ping, yang berusaha tidak mendengarkan suara cemas yang
diperdengarkan sang naga.
"Kau juga akan tinggal di sini, Ping," kata Liu Che.
"Oh," kata Ping. "Terima kasih, Liu Che. Hamba senang sekali." Itu tidak bohong.
Ping memang ingin tinggal di Pondok Ming Yang. Tapi hal itu tak mungkin. Penasihat Tian muncul
Biang Ilmu Hitam 2 Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar Badai Laut Selatan 4
^