Pencarian

Kimya Sang Putri Rumi 2

Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy Bagian 2


rasanya seperti sebuah jawaban, tapi jawaban untuk pertanyaan apa, dia sendiri
tak tahu. Di sebelahnya, Aishel menggeliat dan menggumam dalam tidurnya. Cahaya
bulan menyelusup di antara celah sempit jendela dan membentuk pola satin putih
yang segera menjelma menjadi jalan yang mendaki menuju ketinggian langit malam.
Dia mulai menapaki jalan kecil yang putih bersih itu. Jalan itu
membawanya pergi jauh dari desa, melewati pegunungan. Di kejauhan sana, di
antara kelamnya malam,terpampang lengkungan-lengkungan kubah dan menara-menara.
Benda-benda itu mulai berputar-pu tar dan tiba-tiba berubah menjadi lengkungan
dan kurva-kurva seperti huruf Persia. "Doost," gumamnya, seiring perasaan bahwa
dirinya terjatuh dalam kelembutan yang paling dalam.
"Mengapa hari ini semua orang bangun kesiangan?" suara Evdokia di dinding
sebelah membangunkannya. "Aishel, tolong bawakan poci teh ke beranda atas. Oh
ya, di mana adikmu?"
Kirnya menggeliat. Dia merasakan kebahagiaan yang aneh. Sinar matahari menerobos
jendela dan kamarnya menjadi benderang penuh kehangatan. Barangkali, jika dia
menutup matanya lebih lama lagi, dia dapat mengingat mimpinya; dengan siapa
sebenarnya dia berjalan. "Kirnya, sudah bangun belum?" suara Aishel yang dongkol
membuyarkan lamunannya. "Doost," bisiknya pada diri sendiri. "Doost," dan dia melompat dari tempat
tidurnya.[] 8 Ceritakan tentang Maulana. Pernahkah Anda berca kap-cakap dengannya" Sambil
memegang lutut dengan gamis cokelat berjuntai menutupi kakinya, Kim ya berhadap-
hadapan dengan Ahmed yang duduk di atas batu ceper yang cukup lapang. Batu itu
senantiasa dia duduki. Warnanya kelabu dan berbagai unsur alam telah
menggosoknya menjadi halus. Su dut-sudutnya lembut sehingga nyaman diduduki. Ah
med menemukan batu itu pada suatu hari di pinggir hutan. Dia kemudian membawa
batu itu ke guanya. Sungguh perabot yang tepat bagi siapa pun yang ingin hidup
bersahaja, begitulah pikirnya.
Mereka belajar menulis di atas tanah, segera saja tanah berdebu itu dipenuhi
coretan huruf-huruf Yunani yang terlihat seperti jejak kaki burung. Kim ya
menanti jawaban Ahmed. Aku tidak pernah berbicara dengan Maulana jawab Ahmed. Kau kan tahu, aku baru
sekali saja bertemu dengannya. D.E
Tanya sekali" Tetapi, Anda pernah bilang bahwa dia berkata kepada Anda . ...D-E
Yang kukatakan adalah bahwa aku pernah mendengar perkataannya, ralat Ahmed. Saat
itu, dia berada di madrasah menghadapi kerumunan orang yang begitu banyak dan ...
jedanya, kemudian menambahkan, Sepertinya dia hanya berbicara kepadaku, itu yang
kurasakan. Kirnya mengangguk. Madrasah itu apa"oE
"Sebuah sekolah. Sebuah tempat yang digunakan seorang guru untuk mengajar orang-
orang." "Apakah dia memakai jubah berwarna biru dan memakai serban berwarna kelabu?"
Ahmad terhenyak. Gadis kecil ini tak henti-hentinya membuat dia takjub. Memang,
saat Ahmed mendatangi madrasah untuk mendengarkan wejangan Maulana, dia ingat
betul Maulana memakai jubah Arab biru dan kepalanya ditutupi serban berwarna
kelabu. "Dari mana kau tahu?"
"Saya melihatnya tadi malam. Dia memakai jubah biru dan serbannya berwarna
kelabu. Matanya hijau kebiruan. Dia tersenyum kepada saya dan menjabat tangan
saya." Mereka hanyut dalam keheningan.
"Kau sungguh beruntung," kata Ahmed setelah beberapa saat." Barangkali,suatu
hari kau akan bertemu dengannya. Siapa tahu?"
Dia menatap Ahmed dengan keseriusan yang sama seperti yang dia perlihatkan saat
Ahmed pertama kali tiba di mata air desa.
"Ya, tentu saja, saya akan bertemu dengannya."
Dia terhenyak oleh ketenangan Kirnya saat mengatakan hal itu kepadanya.
Pagi hari yang dingin. Saat membuka pintu, Evdokia merasakan hawa baru. Untuk
pertama kalinya, setelah berminggu-minggu lamanya, matahari belum juga mencapai
puncak tertinggi gunung paling timur.
Pater Chrisostom akan segera berkunjung, pikirnya. Musim gugur sudah di depan
mata. Dia mengambil beberapa ikat kayu kering dari samping rumah. Kemudian, dia masuk
lagi ke dalam untuk menyiapkan sarapan pagi hari ini. Setelah teringat akan
kunjungan Pater Chri - sos-tom, kekhawatirannya akan Kirnya pun bangkit kembali.
Pelajaran yang diberikan Ahmed memang sangat bermanfaat. Kirnya tidak pernah
lagi tersesat dan Faroukh pun menjadi lebih santai. Tetapi, anak itu masih
sering hanyut dalam ekstase dan hal itu sangat menakutkan Evdokia. Kadang hal
itu berlangsung hanya beberapa detik, tetapi di lain waktu anak itu seakan tidak
berada di antara mereka untuk waktu yang sedemikian lama. Bila diibaratkan,
tubuhnya hanyalah sebuah cangkang kosong.
Pernah suatu ketika, saat mereka duduk bersama mengupas bawang di beranda atas
yang bermandikan kehangatan cahaya emas kemerahan men tari sore hari, Evdokia
bertanya, "Ada apa" Apa yang terjadi" Ke mana saja kamu mengembara ketika kamu
sepertinya pergi jauh dari sisi kami?" Hampir seketika itu pula Evdokia menyesal
karena telah melontarkan pertanyaan itu. Dalam kedamaian suasana yang
menghanyutkan itu, pertanyaannya terdengar seperti gelombang yang mengganggu.
Tapi, Kirnya sepertinya tak keberatan. "Aku tidak tahu," katanya sambil
meletakkan pisau kecilnya dan matanya menatap pegunungan di kejauhan sana. "Aku
tak berada di mana pun saat itu. Maksudku, aku tidak berada di sini,tapi aku
juga tak berada di mana pun." Keningnya berkerut berusaha menceritakan
pengalaman uniknya tadi. "Rasanya aku sudah tiba dan aku ... kejadiannya sama
seperti mimpi yang kualami. Aku bahagia sekali. Segalanya terasa sempurna!"
"Mimpi!" Sama seperti kebanyakan temannya, Evdokia percaya bahwa Tuhan ada
kalanya mengirimkan petunjuk melalui mimpi sehingga manusia bisa tertuntun.
Barangkali, mimpi Kirnya merupakan sebuah petunjuk. "Mimpi apa" Katakan!"
"Aku bertemu Maulana."
Kirnya seakan menceritakan kenalan lamanya, tapi Maulana hanya berarti "Guru
Kami". "Siapakah dia?" tanya Evdokia ingin tahu.
"Ahmed pernah menemuinya di Konya." Mata Kirnya berpendar-pendar.
Di Konya! Evdokia kembali terhenyak. Kemudian, dia menjerit. "Lihat apa yang
terjadi gara-gara kamu! Jariku teriris. Mimpimu memang bermakna, tapi tak
memberikan makanan kepada kita."
Kirnya tidak menjawab. Evdokia sangat marah kepada dirinya sendiri. Dia
kehilangan kesempatan untuk menggali mimpi Kirnya lebih jauh lagi. Itu
kesalahannya sendiri. Anak itu sekarang kembali bersikap seperti biasanya: diam,
tak peduli, dan sukar dijangkau. Mereka mengakhiri percakapan dalam keheningan,
sambil mengusap mata mereka yang terasa pedih dan berair karena aroma bawang.
Hujan pertama datang dan, di dekat aliran sungai, pohon poplar mulai menguning.
Evdokia sedang duduk di bangku batu di luar rumahnya, mencuci sejumlah labu sisa
panen musim semi. Dari waktu ke waktu, dia mengusir ayam-ayam betina yang selalu
saja merecoki pekerjaannya dengan mematuki bahan makanan. Dia tetap merahasiakan
percakapannya dengan Kirnya. Tak ada untungnya membuat Faroukh bertambah
khawatir. Tetapi, dia penasaran dan bertanya-tanya tentang diri Maulana. Dan,
haruskah dia tetap membiarkan Kirnya mengunjungi Ahmed" Lelaki itu menuturkan
berbagai kisah yang tidak baik bagi anaknya, seolah dia memasok bahan impian ke
kepala anaknya. Pikiran Evdokia beralih kepada Pater Chrisostom. Dia seharusnya
sudah berada di desa ini. Apa yang menghalangi perjalanannya"
Setelah tiga hari berlalu, akhirnya kabar itu sampai juga di telinga mereka.
Tengah hari itu, Ev dokia baru saja kembali setelah memanen lobak cina bersama
Kirnya. Di tengah jalan, dia bertemu Kave. Anak lelaki itu tinggal di desa
sebelah yang berjarak dua jam perjalanan kaki. Dia adalah teman sepermainan
Tahir dan mereka kerap berburu bersama. Apa yang membawanya kemari" Kave
menghampirinya, dan setelah mengucapkan salam biasanya dia
langsung menemui Tahir dia menggosok-gosok gamisnya dengan gelisah. Pandangannya
tertunduk ke bawah kakinya.
Evdokia mendadak sangat gelisah dan mendesaknya. "Ada apa" Apakah kau datang
kemari untuk menyampaikan kabar buruk?"
Anak lelaki itu mengangguk. Pater yang sudah tua itu ditemukan tergeletak
pingsan beberapa hari lalu di desanya. Ibu dan saudara perempuannya yang pertama
kali menemukan Pater itu. "Kata ibu saya," Kave mulai bercerita, "saat dia
mendekatkan telinga ke dada Pater, jantung Pater terdengar berdegup sedemikian
cepat. Napasnya seakan berhenti. Tetapi, sewaktu Ibu memercikkan air ke
wajahnya, mata Pater mulai terbuka." Kave kemudian terdiam. Dia tidak yakin
apakah dia harus melanjutkan ceritanya.
"Lalu, apa yang terjadi kemudian?" tanya Evdokia.
"Saudari saya berlari ke arah desa dan meminta pertolongan.Saya kemudian datang
bersama Baham dan Hassan, tetangga kami. Mereka lebih tua dan lebih kuat
daripada saya." Kave kemudian berusaha mengingat kejadian selanjutnya. "Kami
menggotong Pater ke rumah saya."
Pater kemudian diberi ramuan dan ibu Kave menunggui sang Pater semalaman. "Pagi
harinya," kata Kave, "Pater Chrisostom mengembuskan napas terakhir."
Evdokia mendengarkan dengan saksama. Tenggorokannya seolah tersekat. Dia
memandangi tangannya. Lengannya pernah dipegang oleh Pater untuk kemudian
dipersatukan dengan lengan Faroukh. Kenangan itu terbayang kembali. Hari itu,
Faroukh menikahinya, dua puluh tahun yang lalu. Air mata membasahi pipinya.
Apakah Pater Chrisostom menderita" Dia bertanya-tanya.
Seakan menjawab pertanyaannya, anak lelaki itu menambahkan, "Pagi hari ketika
saya menengok Pater untuk yang terakhir kali ... saya lihat senyum mengembang
menghiasi wajahnya."
Dalam tas sang Pater, mereka menemukan beberapa iris roti keras, salib kayu tua,
piala perak yang selalu dia gunakan dalam misa, dua kemeja, "Dan juga ini," kata
Kave sambil merogoh saku gamisnya dan mengeluarkan selembar kertas yang salah
satu sudutnya koyak. Di kertas itu tertulis dua baris kalimat dalam bahasa
Yunani. "Malam itu, ketika Pater masih sadar, dia meminta ibu saya supaya mengambil
kertas ini dari tas nya sambil mewanti-wanti, 'Ini untuk Kirnya, hanya untuk
Kirnya.' Kemudian, kata ibu saya, setelah itu matanya terpejam dan tidak pernah
berkata lagi." Mereka berjalan perlahan sambil berbicara dan kini mereka sudah berada di depan
rumah. "Apakah ..." tanya Evdokia, "apakah kalian melakukan upacara penguburan?"
"Imam kami memimpin doa, kemudian kami menyanyikan lagu pujian Kristen. Kami
menguburkannya di halaman gereja."
Evdokia terisak. Kepalanya bergoyang. Bahkan, penguburannya tak dihadiri oleh
seorang pastor pun! Air matanya semakin deras. Tetapi, inilah yang terjadi. Takdir telah
berkehendak. Pater sudah tahu bahwa tak ada yang akan menggantikan tempatnya dan
suatu hari nanti gereja ini akan ditinggalkan jemaatnya. Bahkan, Evdokia sendiri
terkadang bingung harus memilih yang mana:Yesus ataukah Muhammad. Tentu saja,
dia tetap memanjatkan doa bagi Bunda Maria. Tapi, sebagaimana halnya kebanyakan
lelaki dan wanita di desanya, dia juga selalu menghadiri shalat Jumat di masjid
yang baru saja mereka dirikan. Ritual yang lama dan baru layaknya bena ng-benang
wol aneka warna yang dia tenun, pikir Evdokia. Apakah pada akhirnya akan muncul
sebuah pola yang teratur"
Evdokia kembali memikirkan dirinya. Di hadapannya, Kave tampak menggigit bibir,
tak tahu harus berbuat apa. Evdokia menghapus air matanya, membenahi letak
kerudung di kepalanya, dan mempersilakan Kave memasuki rumahnya. "Masuklah, kau
pasti lapar. Tentunya kau lelah sehabis berjalan sejauh itu."
Ruangan dipenuhi aroma susu dan asap sisa perapian tadi malam. Mereka melihat
Tahir duduk di salah satu sudut rumah. Dia tam-pak terkejut melihat kedatangan
Kave. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. Kave tidak segera menjawabnya
dan Tahir jadi cemas. "Apakah ada yang tidak beres?" dia bertanya, menatap wajah
ibunya. "Kita tak akan lagi berjumpa dengan Pater Chrisostom selamanya," kata Evdokia.
Kata-katanya terdengar begitu pahit.
Pada saat itu, Aishel datang membawa senampan teh dilengkapi enam cangkir kecil.
Evdokia menerimanya. Dia merasa senang karena punya alasan untuk menunda
menyampaikan kabar yang dibawa Kave. Tahir segera bertanya mengapa mereka tidak
akan lagi bisa menemui Pater" Bersamaan dengan itu, Faroukh memasuki rumah. Dia
sedari tadi memperbaiki atap kandang yang terletak di bawah teras dan di
gamisnya masih tampak menempel serpihan-serpihan kayu. Dia menatap ke sekeliling
saat Evdokia menuangkan teh. Tak seorang pun bicara.
"Ada apa?" tanya Faroukh sambil duduk. "Kalian semua tampak begitu muram."
Kemudian, dia menatap Kave. "Oh, kamu ke sini membawa kabar buruk ya?" Dia
sendiri meringis karena gurauannya.
"Pater Chrisostom telah pergi." Evdokia menengahi.
"Pergi" Pergi ke mana?" tanya Faroukh.
"Pater Chrisostom meninggal dunia. Karena itulah dia pergi meninggalkan kita!"
Kalimat terakhir ini membuat Evdokia tercekik dan dia merasakan air mata mulai
deras membasahi pipinya. Mulut Faroukh ternganga lebar kemudian secara refleks
dia menggaruk kepalanya.Begitulah kebiasaannya bila berhadapan dengan sesuatu
yang tak terduga yang membuatnya gugup. Evdokia bisa mengira apa yang ada di
benaknya. Faroukh menyesali kata-kata terakhir yang dia ucapkan kepada teman
lamanya; penuh amarah, dan mungkin menyakitkan. Dan sekarang, sudah terlambat
untuk menariknya kembali. Evdokia menyuguhkan secangkir teh untuk suaminya. Dia
berusaha tersenyum menutupi tangisnya. "Kapan?" tanya Faroukh.
"Pater meninggal seminggu yang lalu," kata Evdokia. "Beliau dimakamkan di desa
Kave, di halaman gereja." Dia menyerahkan selembar kertas yang dibawa oleh Kave
dan menambahkan, "Beliau me ninggalkan ini untuk Kirnya." Dia berpaling kepada
Kave. "Ceritakan kepada suamiku apa yang telah menimpa Pater."
Faroukh mendengarkannya sambil membisu, kemudian menatap Kirnya yang berdiri di
depan pintu. Matanya terpaku menatap kertas itu. "Kirnya, sini duduk. Mungkin
kamu bisa mengatakan arti tulisan ini?"
Kirnya menggelengkan kepalanya. "Aku sudah melihatnya tadi," katanya. "Aku tidak
pernah melihat huruf-huruf yang seperti ini sebelumnya. Beberapa huruf diulang-
ulang. Aku tidak tahu apa artinya."
"Ya sudah, tak apa-apa!" kata Faroukh. Dia menatap istrinya, malu sekaligus
lega. Evdokia tahu apa yang dipikirkan suaminya, sama seperti dirinya: sekarang
Kirnya tidak akan pernai ke Koa.[]
9 Setiap tahun yang datang selalu membawa keajaiban yang sama. Buah apel di
perkebunan sudah tampak ranum. Setiap hari warnanya semakin merah.
"Besok kita akan pergi ke kebun buah memetik apel," kata Evdokia pada suatu
malam, beberapa hari setelah kunjungan Kave. Panen apel memang dilakukan di
penghujung musim panas. Inilah saat-saat yang paling dinantikan anak-
anak,termasuk juga Kirnya.
Sungai mengalir di sepanjang kebun buah itu menuju petak-petak kecil kebun
sayur-mayur milik penduduk desa. Sekeliling kebun buah maupun kebun sayur
dipagari dengan pohon-pohon poplar yang akan melindungi tanaman tersebut dari
terjangan angin. Pepohonan itu juga membatasi desa dengan hutan di belakangnya.
Kebun buah itu kebanyakan diisi pohon apel dan hanya sebagian kecil lahan yang
ditanami buah plum maupun aprikot. Jenis-jenis buah ini cukup tangguh menghadapi
iklim pegunungan yang ganas. "Pohon apel ini seperti kita," begitu kata Evdokia
suatu kali. "Pohon ini sangat kuat dan kukuh, juga tahu cara untuk tetap
bertahan hidup." Pada musim semi, kembang pohon apel akan berbunga dalam paduan warna merah muda
dan putih. Pagi itu, kain-kain katun yang sangat lebar dihamparkan di bawah pohon apel. Tak
lama kemudian, kebun itu menjadi ladang kain warna-warni yang cerah ceria. Anak-
anak segera memanjat, dan mulai memanen. Mereka menjatuhkan apel-apel itu ke
dalam keranjang yang dipanggul ibu-ibu yang siap menadahnya. Semua orang tertawa
dan bercakap-cakap, sementara anak-anak yang lebih kecil berlarian berusaha
menangkap apel yang tidak masuk ke dalam keranjang. Kirnya masih ragu untuk
memutuskan apakah akan memanjat pohon atau memungut apel yang jatuh ke tanah.
Sebenarnya itu tidak terlalu penting baginya. Yang dia sukai sebenarnya hanyalah
wanginya. Semerbak apel ranum itu akan menyelimuti desa selama beberapa hari
hingga akhirnya buah-buahan itu disimpan di gudang. Sebagian kecil sisanya akan
dimakan begitu saja atau direbus menjadi setup buah apel. Sebagian lainnya akan
diiris tipis-tipis untuk selanjutnya dikeringkan dan digantung dengan benang
menjadi pengharum ruangan.
"Kirnya, Aishel, besok tolong kirimkan keranjang apel ini ke tempat Ahmed," kata
Evdokia malam harinya. Mereka beramai-ramai duduk di beranda atas, beristirahat
melepas lelah. Malam itu langit sangat cerah dan masih hangat untuk musim
seperti ini. "Aku yakin di Konya dia belum pernah makan apel semanis ini,"
katanya menambahkan. "Aku akan memperlihatkan kertas dari Pater Chrisostom," kata Kirnya. "Ahmed akan
membacakannya untukku."
Faroukh menggeleng tak setuju. Tetapi, sebelum dia angkat bicara, Evdokia


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendahuluinya dengan mengerutkan kening. "Biarkan saja," matanya seolah
mengatakan, "toh hanya selembar kertas."
"Huruf-huruf itu pasti mengatakan hal yang penting," kata Kirnya. "Aku yakin
Pater Chrisostom akan membantu kita."
Evdokia tak suka mendengar hal itu. Barangkali, Pater tua itu belum pergi
terlalu jauh. Faroukh menatap bintang-bintang yang berkelip-kelip. Perempuan
memang selalu bicara omong kosong!
Kirnya berjalan perlahan, membiarkan Aishel mendahuluinya. Seperti biasa,
keranjangnya diberati keju dan sekantung roti. Tetapi, hari ini ditambah buah
apel, labu, dan bawang. Dia merapikan ujung-ujung rambut yang keluar dari
kerudungnya dan menyimak keadaan sekitarnya. Hiruk pikuk pedesaan telah hilang.
Di sekelilingnya justru kesunyian yang berbisik sayup kepadanya: senandung
ranting patah yang terinjak, serangga yang berdengung, langkah kaki Aishel yang
bergerak menjauh, dan seperti biasanya, kicau burung riang. Kesenyapan yang
ceria ini menari dalam cahaya mentari dan bayang-bayang pepohonan. Dia
memejamkan mata selama beberapa detik. Hatinya dilimpahi dengan kebahagiaan yang
membuncah dan nyaris tak tertanggungkan.
"Kirnya, Kirnya teriak Aishel di kejauhan,
terdengar sangat cemas. Dia membuka mata dan sekilas sempat melihat seekor tupai
mengubur buah kenari di tanah.
"Iya, aku datang," balasnya kencang dan mulai berjalan. Dia sendiri merasa juga
mengubur sesuatu yang sangat berharga di hutan itu. Tetapi, dia sendiri tak tahu
apa itu. "Aku tak menduga kalian akan datang secepat ini." Ahmed tampak terkejut melihat
kedua gadis kecil itu. Kirnya memerhatikan baju hijau tua yang dipakai Ahmed. Baru-baru ini mereka
memberinya gamis tersebut dan sekarang terlalu kecil untuk dipakai Ahmed.
"Sekarang musim apel," jelas Aishel. "Mama ingin Anda ikut mencicipinya."
Kirnya tak sabar lagi. "Aku ingin memperlihatkan sesuatu," katanya sambil
menyerahkan sehelai kertas pemberian Pater Chrisostom.
"Mari sini, duduk dulu," kata Ahmed sambil menyapu tanah dengan tangannya. Dia
memegang kertas itu dan melihatnya secara saksama selama beberapa saat. Dia
kemudian mengangkat kepalanya. "Kertas ini dari siapa?" dia terlihat heran atau
mungkin khawatir. Ekspresi wajahnya sukar ditebak.
"Ini peninggalan Pater Chrisostom untuk Kirnya," jelas Aishel. "Dia berkata
bahwa kertas ini untuk Kirnya," jedanya. "Dia hanya mengatakan hal itu sebelum akhirnya meninggal."
"Dan, kau tidak tahu apa artinya?"
Kirnya menggelengkan kepalanya. "Ini bukan seperti tulisan yang dulu harus
kusalin." "Tentu saja bukan. Ini sebuah pesan ... yang ditujukan kepadamu, Kirnya."
Dialamatkan kepadanya! Dia ingat sorot mata Pater Chrisostom manakala mereka
bercakap-ca kap. Dia juga ingat dengan jelas senyum lelah Pater pada saat-saat
terakhirnya berkunjung ke desanya.
Ahmed mengambil seiris roti dari keranjang. "Kirnya, apakah kau tahu apa yang
dikatakan Pater Chrisostom dalam pesannya ini?"
Dia kembali menggelengkan kepalanya. "Aku tak tahu. Kupikir Pater ingin agar aku
lebih giat belajar."
"Memang benar," kata Ahmed. "Pater ingin agar kau bisa sekolah. Karenanya, dia
ingin agar kau pergi ke Konya."
Kedua gadis kecil itu terpaku. Ahmed juga heran membaca pesan Pater tua itu.
"Hanya itu?" tanya Kirnya setelah beberapa saat.
Ahmed kembali menyimak pesan yang tertulis di kertas itu. "Tidak, tidak juga.
Dia berkata, Suster Andrea dari Biara Santo Peter akan membantumu."
Konya! Suster Andrea! Biara Santo Peter! Ka ta-kata itu berputar-putar di
kepalanya. "Tetapi, aku tak ingin pergi ke Konya!" serunya. Dia tak bisa
membayangkan bagaimana rasanya harus pergi jauh dari desa. Konya itu kota
seperti apa" Apakah di
sana juga ada hutan tempat seseorang bisa pergi atau sembunyi" Apakah suhunya
bisa dingin kala musim panas" Dan, bagaimana dengan Mama dan Baba" Bagaimana
bisa aku meninggalkan mereka" Ti ba-tiba saja napasnya memburu. Dia menatap
Ahmed dengan panik. "Tak inginkah kau pergi ke Konya?" tanya Ahmed.
Nada dalam suara Ahmed mengingatkannya akan sesuatu. Dia ingat kubah-kubah dan
menara-me nara dalam mimpinya. Dia terkenang akan seorang lelaki berjubah biru
yang menuntun tangannya. Seketika saja kekhawatirannya digantikan kegembiraan
dan perasaan rindu pada sosok itu, dan Konya tentunya.
"Tidakkah kau tahu?" tanya Ahmed perlahan. "Tidakkah kau tahu bahwa ada sesuatu
yang sedang menantimu di Konya sana" Sesuatu yang terkait dengan Maulana,"
jedanya selama beberapa saat. Wajahnya melunak. "Kau jangan takut," tambahnya
lembut."Segalanya akan berjalan sebagaimana mestinya, sesuai kehendakNya."
Kata-kata Ahmed menenangkannya. Tatapannya begitu dalam menembus mata Kirnya.
Ketakutan Kirnya lenyap, digantikan kedamaian yang dia rasakan mengalir di
antara ketiganya. Barangkali memang tak ada yang harus diputuskan. Kehidupan ini
akan membawamu mengalir dan kau hanya tinggal mengikuti, tanpa harus terbasahi,
seperti halnya bayi Musa.
"Kirnya, kau harus mengatakan hal ini kepada
orangtuamu." Kini, Ahmed tampak serius. Mereka tetap terdiam hingga akhirnya
Ahmed terjaga dari angannya sendiri. "Sini. Yuk, aku akan mengajarimu supaya
huruf-huruf yang tak kau mengerti ini akhirnya kau kuasai dan kau bisa
membacanya sendiri."
Pada saat itulah akhirnya Aishel sadar bahwa tanda-tanda aneh yang dilukis Ahmed
di atas tanah itu ternyata bisa mengatakan apa pun! Huruf-huruf itu bisa
mengirimkan pesan, bahkan setelah Pater wafat! Dia menatap adiknya yang sekarang
menirukan bunyi setiap huruf sebagaimana dicontohkan Ahmed. Ini mengingatkan
pada kebiasaan Kirnya di rumah yang sering mengesalkannya. Kini yang dia rasakan
adalah kesedihan. "Oh, Kirnya, kau tidak akan pergi ke Konya, kan?"
Ahmed menatapnya. Aishel menangis dan Ahmed menggenggam tangan Aishel. "Kadang
kala, AH ah berkehendak akan sesuatu yang tidak kita inginkan," katanya.
Dengan marah, Aishel merenggutkan tangannya.
Kirnya menatap tangannya. Apa yang Allah kehendaki" Apakah Dia memang
berkehendak supaya dirinya pergi ke Konya" Angin tiba-tiba berdesir membuat
bunyi gemeresik pada pohon-pohon cemara di sekeliling mereka.
"Mari kita panjatkan doa," kata Ahmed dan dia mulai melantunkan basmallah,
"Bismillahirrahmanir-rahim dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang." Kedua gadis kecil itu tentu saja
hafal akan doa itu. Kalimat ini menjadi pembuka yang diucapkan imam ketika
mengawali shalat Jumat. Mereka menengadahkan kedua tangannya, seakan hendak
menerima berkah. Kemudian, mereka berusaha berserah diri dengan segenap jiwa
mengucapkan, "La ilaha Ma Allah, tiada tuhan selain Allah." Sesudah itu,mereka
mengusapkan tangan pada wajah,berterima kasih atas pemberian berkah-Nya.Doa
sudah usai dan Ahmed segera memindahkan isi keranjang ke tempat miliknya.
"Kalian harus pulang dan ceritakan kepada orangtua kalian mengenai isi pesan
ini," katanya sekali lagi.
Aishel menatapnya dengan tegang. "Baba tidak akan mengizinkan," katanya. "Dia
tidak akan membiarkan Kirnya pergi." Nada takutnya diimbangi dengan sifat keras
kepalanya. "Barangkali, suatu saat ayahmu akan mengizinkan," kata Ahmed. "Allah tahu yang
terbaik bagi kita. Tak ada satu pun yang terjadi tanpa peranan-Nya."
% "Kirnya tidak akan pergi ke Konya! Tak akan kuizin-kan." Faroukh mondar-mandir.
Wajahnya memerah penuh amarah. Tangannya mengepal seakan siap meninju.
Mereka berkumpul untuk makan malam. Mereka makan dalam diam, sementara kegelapan
perlahan menyelimuti ruangan ketika sinar matahari menghilang di balik gunung.
Evdokia memecahkan keheningan itu. "Kita akan berkonsultasi dengan Imam. Dia
teman Pater dan ii "Aku tak akan menerima saran siapa pun," sela Faroukh. "Tak akan pernah." Semua
isyarat tubuhnya seakan mengatakan TIDAK!
Evdokia menatap suaminya sambil menarik napas panjang. "Duduklah Faroukh. Kau
membuatku pusing tujuh keliling."
Faroukh berhenti mondar-mandir dan menatap istrinya. Dia menimbang-nimbang dalam
benaknya apakah duduk adalah langkah yang berbahaya. Dia memutuskan tidak akan
berbahaya dan dia pun akhirnya duduk di antara istri dan anaknya.
"Bagaimana bisa dia melakukan itu?" tanyanya. Dia tampaknya sedang berbicara
kepada dirinya sen diri sehingga tak membutuhkan jawaban. "Ini namanya
pengkhianatan," lanjutnya, kali ini ditujukan kepada istrinya.
Dengan tenang Evdokia memotong-motong roti, melipatnya, dan membersihkan sisa-
sisa buncis di dasar nampan makanan. Dia memberi isyarat dengan anggukan kepala
ke arah nampan makan. "Kim ya, Aishel, bereskan perkakas makan dan bersiaplah
untuk memerah susu," perintahnya kepada kedua anak gadisnya. "Dan kau,
Tahir,pergilah mencari pakan untuk kambing kita." Evdokia menunggu hingga ketiga
anaknya pergi. "Sekarang kita bisa bicara dengan leluasa, apa yang kau maksud dengan
pengkhianatan?" tanya
Evdokia kepada suaminya. Faroukh sedang menyeruput tehnya. Nada penolakan tergambar jelas di wajahnya.
"Meninggalkan pesan dengan cara seperti itu! Wasiat terakhirnya!"
Faroukh mengumpat seolah sedang melihat sesuatu yang menjijikkan. "Pater
sekarang sudah meninggal," katanya lagi dengan marah, "bagaimana mungkin kita
berdebat dengannya" Berapa banyak lagi kecurangan yang bisa dilaku-kannya" Dan
sekarang, Kirnya sudah tahu apa yang dikatakan Pater dalam suratnya, dan dia
akan memikirkannya ...."
"Ssst, bagaimanapun hal itu harus dibicarakan secara terbuka," potong Evdokia.
"Karena Pater sudah mengatakannya kepadamu pada musim panas yang lalu, kita
berdua sudah memikirkannya. Sekarang, masalah ini telah diketahui oleh kita
semua. Mungkin jalan keluarnya akan jadi lebih mudah."
Faroukh menggaruk-garuk kepalanya. Ya, masalah Kirnya sekarang memang telah
menjadi pembicaraan masyarakat desa. Ibu-ibu akan mengatakan kepada para
suaminya siapa di antara mereka yang mendukung atau menentang keberangkatan
Kirnya, dan masing-masing merasa berhak untuk memberikan nasihat. Faroukh
menarik napas panjang; beban yang dipikulnya terasa semakin berat.
Evdokia meletakkan tangannya di atas tangan suaminya. "Kirnya mengatakan bahwa
Pater Chrisostom menyebut seorang biarawati bernama Suster Andrea yang akan
mengurus Kirnya di Konya."
Faroukh tampaknya tidak mendengarkan ucapan istrinya. Tiba-tiba dia menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya dan bahunya mulai berguncang-guncang secara tak terkendali. "Aku
tidak bisa mengizinkan Kirnya pergi, tidak bisa," katanya sambil memberengut.
"Kirnya adalah pelita hidupku katanya lagi yang mulai terdengar seperti erangan.
Seluruh anggota tubuhnya berkelojotan seolah-olah baru tersambar petir.
Evdokia belum pernah melihat suaminya dalam keadaan seperti itu. Bahkan pada
waktu hujan merusak semua tanaman pangannya pun, suaminya masih bisa menguasai
diri. Evdokia terpaku dan hanya bisa menunggu. Suara keledai di kejauhan
menyadarkan mereka kembali. Faroukh masih sesenggukan, namun perlahan mereda.
Dia sudah tidak menutupi lagi wajahnya dan menatap Evdokia dengan pandangan
putus asa. Air matanya masih berlinangan di pipinya. Evdokia pun mulai menangis.
Faroukh pasti belum menyadarinya, pikirnya. Tetapi, sebenarnya dalam hatinya,
Faroukh sudah sampai pada satu keputusan: Kirnya diizinkan berangkat dan belajar
di Konya! "Faroukh" Evdokia mengguncang-guncang tangan suaminya"kau tahu bahwa Kirnya bisa
pulang setiap saat."
Faroukh menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya tertuju pada karpet di
bawahnya. "Kirnya tidak akan kembali jika diizinkan berangkat. Dia bukan milik
kita lagi." Jadi, Faroukh akhirnya mengatakan apa yang mereka ketahui maupun khawatirkan,
tanpa perlu membicarakannya satu sama lain. Ruangan tempat
mereka bicara sekarang menjadi gelap, hanya ada sebersit cahaya kemerahan yang
memancar dari bara diperapian. "Sebenarnya kita sudah mengetahuinya sejak dulu,
bukan?" kata Evdokia lembut.
Faroukh mengangguk, tak mampu lagi berkata-kata. Air mata masih membekas di
pipinya. Sepasang suami istri itu masih larut dalam pikirannya ma sing-masing
sampai Evdokia mendengar suara yang datang dari arah pintu depan. "Di luar
sangat dingin." Itu suara Aishel yang datang dengan seikat ranting kering.
Kemudian dia meletakkannya di dekat perapian. Aishel menggosok-gosokkan kedua
telapak tangannya untuk mendapatkan sedikit kehangatan. Sambil membungkukkan
badan, dia mulai menyalakan api.
"Musim dingin sebentar lagi tiba," kata Evdokia lirih.Dan setiap kali musim
dingin menjelang, pikirannya selalu teringat pada seorang pengembara delapan
tahun yang lalu. Apa yang dikatakannya waktu itu benar adanya: jabang bayi yang
dikandungnya memang seorang perempuan, dan diberi nama Kirnya seperti yang
disarankan pengembara itu. Bagaimana keadaan pengembara itu sekarang" Evdokia
berta nyatanya dalam hati. Jilatan api dari perapian meninggalkan bekas-bekasnya
di tembok. Evdokia menghampiri Faroukh. "Kirnya mungkin sudah bisa berangkat
pada musim semi," kata Evdokia. Faroukh tidak menanggapinya.
Kabar itu dengan cepat tersiar ke penjuru desa. Sejak kedatangan Ahmed enam
bulan yang lalu, tak ada satu pun peristiwa menarik terjadi, dan Kim ya akan
bersekolah di Konya atas saran Pater Chri sostom yang menuliskan pesannya di
secarik kertas ini baru berita. Aishel telah menceritakan semuanya kepada
sahabatnya, Muesser, yang kemudian mengatakan cerita itu kepada ibunya, yang
mengabarkan hal itu kepada suaminya. Sedangkan, Evdokia memercayakan rahasianya
kepada Maria, sahabatnya sejak kanak-kanak yang kini telah dikaruniai lima anak.
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Evdokia. Kedua wanita itu sedang mencuci
baju, agak menjauh dari mata air yang, seperti biasanya, diselimuti kabut
dingin. "Kau tahu, Kirnya memiliki takdirnya sendiri," lanjutnya. "Tetapi, sejak
Ahmed mengajarinya, dia tidak seperti biasanya. Dia bukanlah Kirnya yang dulu."
Evdokia seolah hanya berbicara dengan dirinya sendiri. "Dia sangat suka belajar,
giat sekali, tak bisa diragukan lagi. Tetapi, Faroukh demikian jengkel
Maria angkat bicara sambil mengelap tangan dengan gamisnya. "Pater Chrisostom
adalah orang bijak," katanya. "Sudah sepatutnya kau memercayai dia ... dan
percayalah kepada Tuhan," katanya menambahkan.
Evdokia menyibakkan rambut yang menutupi matanya dan mulai memukuli tumpukan
baju yang ada di depannya, barangkali untuk melampiaskan a-marah. Maria memang
baik hati, tetapi dia tak akan
mengizinkan anaknya pergi jauh
Tak semua orang setuju Kirnya pergi ke Konya.
"Aku tak akan membiarkannya pergi sejauh itu, seandainya dia anak kandungku,"
kata Safia kepada ibunya. Dia sedang menuangkan sup sembari menyusui anak
bungsunya, sedangkan si anak enggan dan hanya bisa menangis keras-keras. "Apa
yang akan kulakukan pada masa tuaku nanti?" lanjutnya. "Kita pasti membutuhkan
pertolongan anak perempuan kita saat kita semakin tua dan pikun."
"Benar sekali," kata Usha, ibunya. "Untuk apa Kirnya sekolah" Apa hasilnya?"
Perempuan tua itu mendengus tak senang. "Tak akan ada seorang lelaki pun yang
mau menikahi dia. Perempuan itu tidak usah terlalu pintar. Terlalu banyak
berpikir tidak baik untuk seorang perempuan."
"Apa yang dikatakan oleh imam kita?" suami Safia memasuki ruangan dan ikut
nimbrung dalam obrolan itu.
"Dia berkata bahwa Pater Chrisostom bisa jadi benar dan kita dilarang
menggunjingkannya. Kita diharapkan banyak berdoa," jawab Safia.
"Seharusnya Imam tahu bahwa diam adalah hal yang paling sukar bagi kalian, kaum
perempuan." Safia tertawa dan menyerahkan bayinya kepada suaminya. Anak lelaki itu masih
saja menangis. "Kim ya itu anak yang sangat aneh, hanya itu yang bisa kukatakan.
Aku bersyukur anak-anak kita tumbuh
10 3fr "db Musim dingin datang tiba-tiba. Malam kemarin, mereka masih bisa menikmati makan
malam dan minum teh hangat sambil duduk mengitari perapian di beranda atas.
Tetapi, pagi ini, lapisan salju mulai menutupi desa dan lereng-lereng di
sekelilingnya. "Ini kan masih bulan November," keluh Evdokia. "Bagaimana jadinya tanaman kacang
dan lobakku?" Faroukh juga mengkhawatirkan turunnya hujan salju. "Aku harus pergi untuk
memeriksa kebun anggur. Aku belum selesai memangkas dahannya." Aku seharusnya
mengerjakannya lebih awal, gerutunya kepada diri sendiri. Aku menunda pekerjaan
terlalu lama tahun ini. Dia menyeruput air teh dan bergegas membuka pintu.
"Tahir, ke sini cepat! Kita punya banyak pekerjaan yang harus segera
diselesaikan." "Kau tak mungkin pergi tanpa memakai mantel tebalmu, iya kan?" teriak Evdokia
mengingatkan.

Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Faroukh segera menghentikan langkahnya padahal dia berjalan sudah agak jauh.
Evdokia membawakan mantel bulu tebalnya. Dia berdiri di pintu menyaksikan anak
lelaki dan suaminya menghilang di
tengah hamparan salju. Sosok mereka semakin tak jelas ditelan kabut musim
dingin. "Dia pikir dirinya masih muda," gumamnya kepada diri sendiri dan dia pun masuk
rumah. Dia menggantungkan mantel yang tadi dia kenakan dan menyampirkan
selendang ke bahunya. "Dingin sekali," katanya keras, seolah tidak
memercayainya.Angannya melayang kepada petak kebun sayur.
"Aishel, Kirnya, mari kita pergi ke kebun. Hari ini kita akan memanen labu dan
kacang sebelum tanaman itu terbuang percuma."
Hari menjelang sore saat Faroukh dan Tahir pulang ke rumah.
"Kau tidak makan sejak kemarin malam," kata Evdokia menyambut suaminya. "Itu
tidak baik untuk kesehatanmu." Faroukh terlihat letih. Evdokia melihat wajah
suaminya pucat. Faroukh merebahkan diri di atas bantal dan mengusap keringat dingin dari
keningnya."Untunglah kami masih sempat menyelamatkan anggur kita," katanya.
Anggur merupakan satu-satunya sumber penghasilan dan mereka tidak bisa
membayangkan apa jadinya jika panen kali ini gagal. Setiap tahun, pada akhir
musim panas, setiap pemuda di desa itu akan membawa keranjang-keranjang penuh
anggur ke kota terdekat. Mereka biasanya memanen anggur sejak fajar dan
meninggalkan desa dengan gerobak
dipenuhi keranjang anggur yang diangkut oleh bagal maupun keledai. Dan, setiap
tahun selalu saja Aishel mengajukan pertanyaan yang sama ke-pada kakaknya,
"Tahir, kau akan membawa oleh-oleh apa untukku?"
"Untukku apa?" rajuk Kirnya. "Bawakan gelang
ya?" "Jangan lupa beli pisau," kata Evdokia. "Punya kita sudah tumpul; dan jika kau
menemukan gayung yang bagus, kuat,
"Iya, cukup. Aku mengerti," seru Tahir keras. "Kalau aku tak bisa menjual anggur
ini bagaimana?" "Jika anggur ini tak laku," Faroukh berkata dengan meringis, "kau sebaiknya
tidak usah pulang." Mereka tahu bahwa Tahir pasti bisa menjual semua anggurnya.
Memang, sebagian besar penduduk kota menanam buah-buahan dan sayuran sendiri,
tetapi banyak juga para pengelana dan pendatang baru yang tidak punya lahan.
Anggur yang tumbuh di lereng gunung mereka merupakan buah yang paling laris.
Hari ini, Evdokia tak sempat memikirkan anggur dan hal sepele lainnya. Dia
menatap Faroukh yang terbaring tak berdaya. Badannya menggigil.
"Kau memang tua bangka keras kepala lagi bodoh," katanya. Nada jengkelnya
berubah menjadi cemas. Dia keluar dari kamar dan kembali lagi sambil membawa
selimut di tangan kiri dan tangan yang satunya membawa semangkuk sup hangat.
"Mendekatlah ke perapian," katanya sambil menyampirkan selimut di pundak
suaminya, "dan makanlah sup ini,"
tambahnya sambil menyerahkan mangkuk sup itu ke tangan suaminya. "Tahir, urus-
lah dirimu sendiri."
Evdokia duduk di samping Faroukh yang sedang memakan supnya dengan membisu. "Kau
tak akan jatuh sakit, kan?" tanyanya, meyakinkan diri sendiri.
Faroukh segera menyerahkan mangkuk yang kini kosong kepada istrinya. Dia pun
lantas memejamkan mata. "Aku sehat walafiat. Kau jangan cemas. Aku baik-baik
saja," ulangnya.Kemudian, dia menambahkan, "Aku sangat lelah." Beberapa menit
kemudian, Faroukh pun tertidur.
Keesokan paginya, badan Faroukh panas dan mulai mengigau. Dia tetap berbaring di
tempat tidur. Evdokia dan Aishel duduk di tepi ranjang dan secara bergantian
mengganti kompres di kening Faroukh. Menjelang sore hari, dia kembali mengigau
dan menggumamkan kata-kata yang tak dimengerti Evdokia. Keesokan paginya,
Evdokia memutuskan untuk meminta bantuan Serena, si dukun tua.
Serena hidup sendirian di pinggir desa. Dialah satu-satunya yang selamat dari
serangan pasukan tentara yang melintas di desanya. Beberapa tahun sebelumnya,
beratus pasukan membantai semua penduduk desa tempat dia lahir dan menikah. Saat
itu, semua orang tewas, tak terkecuali anak dan suaminya. Pada saat kedatangan
pasukan itu, Serena sedang menjelajahi bukit mencari tumbuhan untuk ramuan obat.
Dia sempat mendengar jerit ketakutan
menyayat hati dan melihat kepulan asap tebal dari tempatnya berdiri. Tetapi,
ketika kembali ke desa, dia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan. Suasana
hening mencekam dan ceceran darah tampak di mana-mana. Serena kemudian melarikan
diri ke desa Evdokia yang, karena keterpencilannya, selamat dari serangan
pasukan asing dan tetap bertahan bertahun-tahun lamanya. Dia kemudian diberi
sebuah rumah, sebenarnya sebuah gubuk satu kamar, dan penghuni desa kerap
berbagi makanan dengannya hingga dia mampu mandiri dan memiliki beberapa
ayam.Dia menghabiskan waktu dengan mencari tumbuhan di pegunungan guna membuat
ramuan pahit yang mampu mengobati berbagai macam penyakit. Dia tidak pernah
membicarakan masa lalunya dan mereka pun tidak mau mengungkit-ungkit nya. Dia
selalu membisikkan jampi-jampi pada ramuannya sehingga penduduk menjadi takut
kepadanya. Inilah sebabnya mereka hanya akan berkunjung jika mereka membutuhkan
pertolongannya. Sang Imam kadang mencela orang-orang yang kerap meminta bantuan
Serena. Menurutnya, doa lebih mujarab daripada jampi-jampi nenek tua.
"Hanya kepada Allah selayaknya kita memohon," katanya marah menyaksikan orang-
orang kembali ke zaman jahiliah dan mempraktikkan kebiasaan kaum pagan tempo
dulu. Evdokia pun pernah mendengar Pater Chrisostom mengatakan bahwa memanggil
ruh untuk menyembuhkan penyakit, termasuk juga menyuburkan perempuan yang
mandul, adalah takhayul belaka. "Memercayai keyakinan kuno kaum pagan sama saja
dengan membuka pintu-pintu bagi masuknya setan," begitu yang sering dia katakan.
Serena memang tidak pernah mengunjungi gereja, apalagi masjid. Dia hanyalah
orang luar yang hidup di pinggir desa selama beberapa tahun ini. Dengan
menafikan ketakutannya, Evdokia dan kebanyakan temannya berprinsip bahwa semakin
banyak pertolongan yang diterima seseorang adalah semakin bagus. Jika memang
Allah Maha Pengasih dan Maha Pengampun, seperti yang dikatakan sang Imam maupun
Pater tentu saja Dia pun tidak berkeberatan jika umat-Nya meminta bantuan dari
para ruh yang baik, tak peduli apa atau siapa mereka.
Di luar, butir-butir salju yang dingin membuat langkahnya semakin dipercepat.
Selendang hangat yang erat membalut tubuhnya tak mampu menepis hawa dingin itu.
Ketika dia membuka pintu rumah perempuan tua itu, Serena tampak sedang memegang
lesung. Dia sibuk menumbuk biji-bijian. Ruang di sekelilingnya dipenuhi berbagai pot dan kendi berbagai ukuran dalam aneka bentuk. Di atas api terdapat
periuk yang sedang merebus ramuan herbal yang terlihat berwarna gelap. Bau tajam
segera saja memenuhi ruangan.
"Sebentar, aku selesaikan dulu pekerjaan ini," kata Serena tanpa menoleh untuk
memastikan siapa tamunya kali ini.
Dia memakai gamis yang warnanya sudah sangat pudar, setengah cokelat,setengah
kelabu, dan kelimannya sudah banyak yang lepas. Kerudungnya sedikit menyingkap
memperlihatkan rambut keriting
yang sudah memutih dan menipis. Evdokia duduk di atas bangku kecil dan dengan
sabar menunggu. Dia tak bisa lagi menghindari perasaan takut dan gelisahnya.
"Serena bukanlah wanita jahat. Dia sering menolong orang," hiburnya
menenteramkan hatinya sendiri.
"Selesai sudah," kata Serena. Dia meletakkan lesung kecilnya dan mengelap tangan
kotornya dengan potongan kain perca, kemudian dia menatap Evdokia. "Oh, kau
rupanya!" serunya. "Bagaimana keluargamu" Bagaimana dengan kedua anak gadismu
dan juga anak lelakimu yang tampan itu" Mereka tidak sakit, kan?" Tak biasanya
dia begitu ramah menyambut tamu.
"Tidak, tidak," jawab Evdokia. "Faroukh. Aku sangat mencemaskannya."
Mata Serena menyipit. "Ada apa" Suamimu jatuh?"
"Bukan jatuh," kata Evdokia. "Dia pulang ke rumah setelah dua hari bekerja di
kebun anggur. Dia tidak memakai mantel bulu tebalnya. Tadi malam, tidurnya
sangat gelisah dan sekarang badannya sangat panas. Dia juga sering mengigau dan
...." Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.Dia malah meremas-remas tangannya.
"Hmm, demam," gumam Serena pada dirinya sendiri. Matanya menatap tajam ke arah
Evdokia. "Kau belum menceritakan semuanya. Dia mengkhawatirkan sesuatu. Apa yang
dia cemaskan?" "Itu ... dahan anggur belum sempat dipangkas dan musim dingin datang terlalu
cepat." Serena tak menghiraukan kata-kata Evdokia. Dia menunjukkan hal itu dengan
menggoyangkan tangannya. "Bukan, bukan yang itu," katanya. "Yang kumaksud, dia
mengkhawatirkan sesuatu dalam keluarganya, begitu kan?" Dia menunggu. Matanya
setengah terpejam. Evdokia kian susah hati. Barangkali, Pater dan sang Imam memang benar.
Barangkali, Serena seorang penyihir tua yang bersekutu dengan iblis dan tak bisa
dipercaya. Seharusnya aku tak usah datang, pikirnya.
"Dengar, Evdokia," kata Serena. "Jika kau ingin agar aku menolongmu, aku harus
tahu keseluruhan cerita. Tak ada untungnya bercerita setengah-sete ngah
kepadaku." Evdokia merasa seperti anak kecil yang diomeli ibunya. "Begini," katanya.
"Faroukh mengkhawatirkan Kirnya ...." Dia berhenti sejenak. Kemudian, dia
menambahkan, "Tetapi, ini tak ada hubungannya dengan flu dan suhu tubuhnya yang
makin panas ii "Hmm, mungkin saja, bisa jadi," kata Serena. "Tetapi, banyak hal yang harus
dilakukan supaya dia bisa sembuh."
Evdokia duduk kembali, mengakui bahwa perkataan Serena ada benarnya juga. Memang
benar, sejak mereka memutuskan untuk mengirimkan Kirnya ke Konya, Faroukh selalu
bangun kesiangan. Jalannya tidak setegap dulu. Dia juga sering lepas kontrol,
terutama jika mendengar cerita Kirnya tentang pelajaran bersama Ahmed.
"Semua itu omong kosong! Akankah pelajaranmu itu bisa membuatmu mahir memasak
atau memerah susu kambing?" Suatu malam, dia marah-marah dan keluar rumah.
Beberapa jam kemudian barulah dia kembali.
"Kudengar, Kirnya sebentar lagi akan ke Konya," Serena berkata. "Itu bagus, tahu
tidak?" dia menambahkan, membuat Evdokia keheranan. "Tetapi," lanjut Serena,
"Faroukh tidak bisa menerima kepergiannya. Dia tidak rela." Matanya menatap
tajam pada Evdokia. "Malangnya, hal itu bisa membunuh dia."
Evdokia menggigil. Kata-kata Serena begitu dingin dan menusuk. Seperti bilah
pisau yang sangat tajam, pikirnya. Mereka kemudian membahas inti masalah yang
menggelisahkan Faroukh dan Kirnya.
Serena mengambil sebuah kendi dari rak dan menuangkan cairan cokelat ke dalam
botol kecil dan kemudian memberikan-nya kepada Evdokia. "Berikan obat ini
kepadanya dua kali sehari. Obat ini akan membantu menyembuhkannya." Dia berhenti
beberapa saat kemudian melanjutkan, "Tetapi, dia harus merelakan Kirnya. Kau kan
mengerti bahwa cinta itu bukan berarti kau harus menjaga kecintaanmu senantiasa
di sisimu." Bibirnya menipis dan matanya memicing menatap sesuatu di kejauhan
sana. Evdokia bangkit. Dia tak bisa mengatakan apa-apa.
"Cinta," lanjut Serena, "adalah mata rantai di antara manusia yang membuat kita
bermekaran. Tetapi, agar kita mekar sempurna, mata rantai itu
harus diputuskan. Selalu demikian." Wajahnya berubah kaku dan tegas. "Tugas
cinta adalah membawa kita melampaui dunia keterpisahan. Hal itu tidak ada
kaitannya dengan kebahagiaan di dunia ini."
Kata-katanya penuh keyakinan dan agak terasa mengancam. Yang ingin Evdokia
lakukan sekarang juga hanyalah segera pergi jauh dari hadapannya. Dia meletakkan
beberapa buah apel dan madu di rak milik Serena. "Terima kasih," katanya, sambil
membuka pintu. "Semoga Tuhan menolong kita."
Tetapi, Serena seolah tidak mendengarnya.
Udara segar yang dia hirup membuatnya lega setelah menghirup hawa tak sedap
berbau asam di kediaman Serena. Dia melangkah bergegas menuju rumahnya,
menenteng botol kecil di tangannya. Apa yang telah dikatakan Serena" Sesuatu
mengenai cinta dan mata rantai yang harus diputuskan. Jalannya bertambah cepat,
berusaha menghapus ka ta-kata Serena dari benaknya. Obat ini akan menolong
Faroukh, begitu yang Serena katakan. Dia memilih untuk melupakan kata-kata
Serena selanjutnya. [] 11 "Baba, ini secangkir teh untukmu," kata Kirnya dengan lembut sambil berlutut di
pinggir tempat tidur. Kamar itu gelap. Jendelanya ditutupi selembar kain. Bau khas orang sakit meruap
memenuhi udara dalam kamar. Faroukh berbaring ditutupi selimut tebal berwarna
cokelat. Kepalanya disangga beberapa bantal. Faroukh tampak tertidur, meskipun
Kirnya mendengar ayahnya batuk beberapa menit tadi. "Maukah kubantu untuk
meminum teh ini?" tanyanya sambil mendekatkan cangkir teh ke bibir ayahnya.
Dia membuka matanya dan selama beberapa detik dia tampaknya tidak mengenali anak
kesayangannya. "Ah, kau Kirnya," gumamnya. "Kau belum juga pergi." Dia mendorong
cangkir itu. Dia tampak terkejut sekaligus lega.
"Aku tak akan pergi sebelum Baba sehat," katanya tabah.
Dia mulai batuk-batuk lagi dan Kirnya menunggu.
"Kau tahu," dia berkata setelah batuknya mereda, "kau tahu kan, aku tak akan
mencegahmu untuk pergi?"
"Aku tahu Baba, tapi Baba harus sehat dulu."
Faroukh mengangkat kepalanya. "Sungguh hancur hatiku membiarkanmu pergi,"
katanya. Matanya berkaca-kaca.
Kirnya berdiri. Hatinya gelisah. "Baba, jika engkau patah hati, hatiku pun akan
hancur berkeping-keping sehingga aku tidak akan pergi, tapi Dia mencoba mencari
kata-kata yang tepat. "Tetapi, kita tidak boleh membiarkan hati kita hancur,"
katanya berapi-api. "Itu tidak boleh."
Faroukh menyandarkan kepalanya ke bantal. "Kirnya," gumamnya. Air mata kini
deras mengalir di pipinya. "Kirnya, mengapa" Mengapa?"
Kirnya kembali berlutut dan mendekatkan cangkir kecil teh itu ke bibir ayahnya.
"Baba, jangan menangis," katanya sambil mengusap air mata ayahnya dengan
selembar kain. "Aku juga sedih. Tetapi, kita tidak boleh membiarkan hati kita
hancur, meskipun sukar. Itu tidak boleh."
Faroukh berusaha menggenggam tangan putrinya dan menatapnya. Dia begitu cantik,
begitu sempurna. Kekuatan yang menyembuhkan penuh kedamaian terpancar dari
wajahnya. Selama beberapa saat, dia merasakan putrinya ini lebih dewasa
dibandingkan dirinya.Faroukh memejamkan mata kembali dan mengulang kata-kata
terakhir Kirnya. "Tidak boleh. Benar," katanya, "kau benar ... tapi rasanya begitu
sukar." Kenangan masa lalu tergambar di benaknya: badai salju di musim dingin
yang kemudian beralih pada hari-hari cerah bermandikan cahaya matahari keemasan,
ayah Evdokia yang tersenyum kepadanya, dan cahaya lilin di wajah anak lelakinya
yang baru saja lahir. "Kehidupan ini," gumamnya. "Hidup ini." Telapak tangan
yang dingin di keningnya seolah mengiyakan,benar,kehidupan ini dipenuhi war na-
warni. Tangan itu kemudian menjauhi keningnya. Dia mendengar suara langkah kaki
diikuti pintu yang berderit dan semua kembali hening. Kesunyian itu
menghampirinya. Betapapun pahit, dia akan bertahan walau Kirnya tak ada di
sisinya. Rasa tenteram yang tak dirasakannya selama beberapa bulan kini
membanjiri dirinya. Dia membiarkan dirinya hanyut dalam arus kedamaian yang
tidak mengenal kebahagiaan maupun kesedihan, tapi seperti obat yang ditaruh di
atas luka yang pedih. Butuh berhari-hari hingga demamnya reda dan batuknya mulai berhenti. Ketika dia
keluar dari rumah, seminggu kemudian, kakinya masih terasa lunglai. Faroukh
menjadi lebih kurus, tapi kilau di matanya telah kembali seperti dulu dan dia
berjalan dengan tekad yang bulat. Bagaimanapun, bukan ide yang buruk untuk pergi
dan meminta tolong kepada Serena, pikir Evdokia. Faroukh tidak pernah
membicarakan tentang Kirnya dan kepergiannya ke Konya hingga, pada suatu pagi,
Evdokia mendapati Faroukh di depan rumah sedang memeriksa kuku keledai.
"Aku yakin kuku ini kuat untuk menempuh perjalanan ke Konya," katanya sebelum
sang istri sempat mengajukan pertanyaan. Dia menatap keheranan kepada suaminya
itu. Faroukh kemudian menambahkan, "Untuk perjalanan Kirnya."
"Maksudmu, dia boleh pergi sekarang?"
Faroukh yang sedang membungkuk ke arah kuku keledai menengadah, menatap matanya.
"Mengapa harus lama-lama menunggu" Begitu keputusan diambil, segera bertindak
adalah lebih baik." Tak sabar, keledai itu menendang dan Faroukh membiarkan binatang itu bergerak
mendekati tanaman berduri yang berjarak beberapa meter dari Faroukh. Dia bangkit
dan menatap wajah istrinya."Aku akan menemaninya. Aku ingin memastikan agar dia
berada di tangan yang tepat," katanya.
Peringatan dari Serena masih terngiang di telinganya: "Faroukh harus membiarkan
Kirnya pergi. Kalau tidak, dia akan mati." Memang, Faroukh telah menerima
kenyataan itu. Dan sekarang, dia telah pulih, dan Kirnya akan segera berangkat.
Selalu ada harga yang harus dibayar, pikir Evdokia. Tak ada lagi yang harus
kukatakan. Malam itu, setelah mempersiapkan makan, Evdokia pergi ke gereja. Ruangannya
sangat gelap, kecuali sedikit penerangan cahaya lilin di altar yang dia kenal
baik, altar yang diperuntukkan bagi sang Perawan Suci. Siapa yang telah
menyalakan lilin ini" Dia bertanya-tanya. Hari ini begitu sedikit orang yang
mengunjungi gereja! Dia berlutut di depan sang Perawan Suci. "Kumohon, berilah
aku kekuatan," doanya. Ketika dia berdiri, dia bersumpah melihat lukisan di


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinding itu tersenyum kepadanya.
Mereka pergi pagi-pagi sekali di penghujung November. Kirnya duduk mengendarai
keledai, di anta-ra buntalan berisi makanan dan pakaian yang telah dipersiapkan
Evdokia malam sebelumnya. Evdokia berdiri di depan pintu. Air mata mengalir
membasahi pipinya. Dia tiba-tiba berbalik. "Tunggu! Aku ingin memberimu
sesuatu." Dia menghilang ke dalam ru-mah dan kembali ke halaman beberapa detik
kemudian sambil membawa sesuatu seperti kayu berukir. Dia menyerahkannya kepada
Kirnya. "Ini untukmu. Semoga Bunda Maria melindungimu."
Benda itu berupa satu set bingkai kayu kecil yang terdiri dari tiga bagian. Dua
bagian yang lebih kecil adalah semacam pintu, dan bila dibuka, tampaklah lukisan
Bunda Maria dengan bayinya dengan latar cahaya keemasan. Di sisi kiri dan
kanannya berdiri dua malaikat. Baik Perawan Suci Maria maupun Evdokia
menunjukkan kekuatan hati yang dilimpahi kelembutan. Hanya saja sang Perawan
Suci tidak menangis. Dia sedang tersenyum.
"Kita akan baik-baik saja," kata Kirnya. Evdokia mengerti maksudnya. "Kau dan
aku akan baik-baik saja."
Dia mengangguk mengerti, kemudian menatap Faroukh. Dengan marah, Evdokia
berkata, "Apa lagi yang kau tunggu" Ayo berangkat."
Keledai itu pun bergerak. Faroukh berjalan di depan menuntun tali kekang. Kirnya
menengok ke belakang untuk terakhir kalinya. Evdokia sama sekali tidak terlihat
marah; dia sedang menghapus derai air mata dari pipinya.
Kenangan Kirnya akan perjalanan itu adalah suara bebatuan yang terinjak ladam
sang keledai, suara kepak burung yang berangkat terbang, pemandangan menghampar
yang begitu indah, baris pegunungan demi pegunungan, cahaya yang menerobos
pepohonan, begitulah yang dia temui. Hari demi hari, pemandangan yang dia lihat
selama perjalanan tak pernah sama.
Pada malam-malam pertama, mereka menginap di rumah keluarga-keluarga di berbagai
desa yang mereka temui sepanjang perjalanan. Di suatu tempat, Kirnya melihat
seorang ibu sedang menggendong anaknya. Selama beberapa saat, dia menatap wajah
mungil sang bayi dan bertanya-tanya: Apakah bayi itu sedang memimpikan gilangnya
bintang atau bermain dengan malaikat, atau mungkin sederhana saja: memimpikan
dada ibunya yang penuh manis air susu" Hari yang lain, jalan setapak itu semakin
melebar menjadi jalan besar; mereka meninggalkan pegunungan di belakang dan
memasuki darat an yang luas yang sebagian besar berupa petak-pe tak luas kebun
sayur dan kebun-kebun buah.Di sini, mereka berpapasan dengan banyak orang lain
yang bepergian dengan keledai. Di samping mereka, ba gal-bagal dan beberapa ekor
kuda bergerak lebih kencang. Banyak juga orang yang berjalan kaki. Tak lama
kemudian, mereka melihat rumah-rumah kayu berderet di sisi jalan.
Hari menjelang malam ketika akhirnya mereka sekilas bisa melihat menara-menara
dan kubah-ku bah dari kejauhan. "Baba, lihat. Kita hampir sampai."
Kirnya tidak dapat memercayai penglihatannya. Inilah pemandangan yang sama
dengan yang dia lihat dalam mimpinya. Dan, kegembiraan yang dia rasakan dalam
mimpinya itu kini tumpah ruah dalam hatinya. Inilah rumahku, katanya pelan
kepada dirinya sendiri. Betapa anehnya! Tetapi, itulah kenyataannya.
Sepanjang jalan dihiasi taman-taman. Tak bosan-bosannya mereka menatap tembok
kota dengan lapangan luas yang setengahnya dipenuhi ke mah-kemah berwarna
cokelat. Pintu masuk tenda-tenda itu tak pernah lelah tersibak, dilalui orang
yang masuk maupun keluar: lelaki, perempuan, dan an ak-anak. Di lahan yang
kosong, terlihat para pemuda yang sedang menaiki kuda berlomba adu cepat,
berteriak gila-gilaan, memacu kuda mereka.
Bersama ratusan orang lainnya, mereka memasuki kota melewati gerbang batu
raksasa berpahat dan di atasnya berdiri menara kukuh yang sangat besar. Suara-
suara bising itu memekakkan telinga. Udara berdebu yang mengitari mereka berasal
dari langkah kaki orang-orang dan binatang tunggangan yang berjalan hilir mudik,
keluar masuk gerbang. Di tengah-tengah kerumunan, Kirnya sempat memerhatikan
seorang anak lelaki yang lebih tua dari dirinya tengah menjajakan kue kering
bertabur biji wijen. Telah bertahun-tahun Faroukh tidak menginjakkan
kaki di Konya, tapi suasananya ternyata tak banyak berubah. Memang di sisi barat
kota sekarang berdiri pasar yang cukup berkembang pesat, tapi gang-ga ng sempit
dan deretan tokonya tetap sama seperti dulu. Penjaga toko pun tetap duduk di
sebelah pintu masuk, siap melayani pembeli. Mereka berdua berjalan ke arah
barisan toko itu. Tercium bau kulit yang berasal dari sepatu dan tas-tas yang
berjejer rapi dalam berbagai ukuran dan aneka warna di sebuah toko. Di sudut
lainnya, mereka mendengar bunyi dentang palu perajin emas dan perak. Faroukh
terus berjalan tenang. Mereka kini melintasi toko perhiasan dan Kirnya terpukau
melihat kemilau berlian dan gelang-gelang emas yang berkilat. Tetapi, Faroukh
tidak menghentikan langkahnya. Di sepanjang jalan yang kini mereka susuri,
berderet toko kain dan pakaian jadi yang tampak menarik hati dan penuh warna.
Akhirnya, mereka memasuki alun-alun yang berhiaskan air mancur di tengah-
tengahnya. Alun-alun itu dikitari dengan pertokoan yang dipenuhi tas-tas berisi
bubuk berwarna kuning,hijau,dan merah. Bahkan, tergantung juga potongan daging
besar-besar. "Mari kita mengunjungi Hakan. Siapa tahu dia ada di sini," kata Faroukh sambil
melangkah ke sebuah toko.
Hakan sedang duduk di samping pintu masuk. Dia dikelilingi berkarung-karung
gabah. Kepalanya memakai topi kecil berwarna merah, seperti yang dipakai oleh
kebanyakan penduduk Konya. Rambutnya terkepang dua. "Sebuah kejutan yang
menyenangkan!" katanya dengan senyum lebar saat menyambut teman lamanya itu.
"Kabar apa yang membawamu kemari dan siapa gadis kecil ini?"
"Ini Kirnya, anak bungsuku," kata Faroukh dengan bangga menatap Kirnya yang
berada di depannya. Mereka duduk dan gelas-gelas berisi minuman chai disajikan. Mereka bertukar
kabar mengenai keadaan keluarga masing-masing, kondisi cuaca, dan perang terkini
yang terjadi di wilayahnya. Kaum Mongol semakin mendekat dan orang-orang sudah
ketakutan. "Hampir setiap hari ratusan pengungsi membanjiri kota," kata Hakan. "Kau lihat
kan tenda-tenda mereka di pinggir kota"Mereka berkata seluruh penjuru kota akan
dibakar oleh pasukan Mongol dan semua penduduk akan dibantai." Hakan menatap
senyum letih Faroukh. "Zaman sekarang akan dihiasi hu ru-hara yang
merajalela,"katanya sambil mendesah. "Tetapi, katakan padaku, apa yang membuatmu
datang kemari bersama putrimu ini?"
Faroukh menyeruput tehnya dan mendehem. Hakan menunggu.
"Aku akan membawa Kirnya ke Biara Santo Peter," jawab Faroukh akhirnya. "Tahukah
kau di mana letaknya?"
Hakan terkejut mendengar berita ini, tapi tidak berkomentar sedikit pun. Dan,
tentu saja, dia tahu letak biara terdekat tempat anak-anak muda dididik oleh
biarawati. "Aku tidak begitu yakin nama biara itu," katanya.
Mereka menginap di rumah Hakan dan pagi harinya mereka mencari biara yang
dimaksud. Mereka menuju biara yang menurut Hakan bisa jadi Biara Santo Peter.
Mereka akhirnya berdiri di depan sebuah pintu yang sangat besar. Pintu kayu itu
berukir dan bertombolkan tembaga yang berkilat. Faroukh ragu, di sinikah dia
akan meninggalkan Kirnya" Dia menatap Kirnya yang tak beranjak dari sisinya.
Kirnya tampak diam dan,seperti dirinya, tampak tak yakin. Faroukh mengetuk pintu
dan jendela kecil yang berada di tengah pintu pun terbuka, menampilkan sekilas
wajah seorang perempuan. "Ada perlu apa?" wajah itu bertanya.
"Saya ingin menemui Suster Andrea." Nama yang tak dia kenal itu terdengar asing,
tak pantas keluar dari bibirnya.
"Suster Andrea tidak ada di sini," kata wajah itu. "Dia sudah kembali ke
Konstantinopel. Ada keperluan apa?"
Faroukh merasa lega. Jika Suster Andrea tidak lagi berada di sini, Kirnya tentu
tidak harus masuk biara, iya kan" Wajah itu menunggu jawaban.
"Tidak ada," akhirnya dia berkata, "tidak ada." Dia melangkah pulang dan ketika
menggenggam tangan Kirnya, dia mendengar jendela kecil itu bergeser ke posisi
semula. Mereka berjalan-jalan beberapa saat. Faroukh merasa sia-sia. Apa yang
seharusnya dia lakukan" Haruskah dia kembali ke biara" Tetapi, saat dia teringat
percakapannya dengan perempuan di balik jendela tadi, hatinya kecut.
Mereka tiba di lapangan kecil yang cukup teduh
dinaungi pepohonan. Dari sebuah celah di tembok, gemercik ceria air mancur
menyambut kedatangan mereka. Faroukh berjongkok dan menciduk air dengan
tangannya. Air yang dia minum terasa sejuk dan menyegarkan.Dia menatap
Kirnya.Kirnya sedang mempermainkan air, mencoba menangkap cucuran air. Sambil
bernyanyi perlahan, dia bermain-main dengan ceria seolah melupakan perjalanan
melelahkan yang telah dia tempuh, seolah pencarian biara dan kegagalan untuk
menemui Suster Andrea tidak ada kaitannya dengan dunianya.
Bukankah semua ini sebuah kesalahan" Faroukh bertanya-tanya. Haruskah mereka
kembali ke desa dan melupakan rencana awal untuk menyekolahkan Kirnya di sini"
Keributan yang terjadi di sudut lapangan mengalihkan perhatiannya. Kerumunan
kecil itu memasuki lapangan, mengelilingi seorang lelaki yang menunggangi seekor
bagal. Lelaki itu memakai jubah biru dan kepalanya dihiasi serban kelabu. Sosok
keseluruhannya menebarkan kehangatan dan kebaikan, meskipun tatapan matanya
tajam dan waspada. Tak ada yang bisa lolos dari tatapan lelaki itu, demikian pikir Faroukh. Dia
bisa melihat betapa ora ng-orang di kerumunan itu menatap sosok lelaki itu
dengan takzim. Dari sudut-sudut jalanan, orang-orang bermunculan, setengah berlari, sebagian
lagi bertepuk tangan. Anak-anak menjerit memanggilnya, "Maulana, Maulana."
Pada saat itu, Faroukh menatap Kirnya. Dia
sekarang berdiri di depan air mancur, pucat dan bergeming. Matanya terpaku pada
sosok lelaki yang menunggangi bagal itu.
Kejadian berikutnya tidak akan pernah dilupakan oleh Faroukh. Lelaki itu memacu
bagalnya mendekati air mancur. Kemudian, tepat di hadapan Faroukh dan anak
kesayangannya, dia berhenti. Matanya biru kehijauan dan cemerlang,bertatapan
dengan mata Faroukh. "Inikah putrimu?" tanyanya menunjuk Kirnya. Faroukh merasa seperti diinterogasi
daripada sekadar ditanya.
"Dia memang putri saya," kata Faroukh. "Namanya Kirnya."
"Dan, kau mencari sekolah yang tepat untuknya?"
Faroukh tergagap. Bagaimana mungkin lelaki itu bisa tahu" Dia mengangguk, tak
mampu bicara. "Bagaimana kalau dia tinggal bersama keluargaku?" Lelaki itu bertanya seolah-
olah sudah sewajarnya dia menawarkan saran. "Kedua anak lelakiku pasti akan
senang memiliki adik perempuan dan istriku pasti bahagia punya anak perempuan
secantik putrimu ini."
Ketetapan hati lelaki itu seakan menjalar kepada dirinya dan Faroukh merasakan
ketakutannya, keraguannya, kepedihannya lenyap dihanyutkan kehangatan lelaki
itu. "Anak ini benar-benar permata yang berharga," lelaki itu melanjutkan, "dan
cintamu untuknya" matanya kini menggali hati Faroukh lebih dalam lagi"
cintamu bersinar secemerlang permata."
Tak pernah Faroukh begitu merasa diberkahi. I-ngin rasanya dia bersujud di depan
lelaki itu. Dia ingin mencium lengannya.Tetapi, yang dia lakukan hanya berdiri
terpaku, menggaruk kepalanya, dan berusaha menghentikan tetesan air mata yang
membasahi pipinya.Di hadapannya,sosok Maulana membayang tidak jelas karena
terhalang air mata yang ingin segera jatuh. Di sekitar mereka, kerumunan itu
mendadak hening. Maulana meletakkan tangannya ke dada Faroukh. "Dengan menerima takdir anakmu,"
katanya, "kau akan mendapat berkah Allah yang tercurah atasmu dan keluargamu."
Dia mengangkat tangannya kemudian berpaling kepada Kirnya. "Maukah kau tinggal
bersamaku?" Kirnya tampaknya tidak terkejut. Ini mengagetkan Faroukh, terlebih Kirnya
bertanya,"Jika kita berjalan bersama-sama, apakah Anda akan membawa saya ke
rumah Anda?" Maulana tersenyum kemudian mengangguk, "Iya, kau benar. Kita kan pernah
menyusuri jalan ini berdua." Kemudian, kepada Faroukh dia berkata, "I-kutlah
bersamaku, kau bisa beristirahat selama kau mau. Selanjutnya, kau bisa kembali
ke desamu." Seolah semua pertanyaan sekarang sudah terjawab, dia kembali menunggangi
bagalnya. "Kirnya akan bahagia di sini," tambahnya seakan berbicara kepada diri
sendiri. Begitu bergabung dengan kerumunan kecil pengikut Maulana, Faroukh mendengar
seseorang berseru, "Bersyukurlah kepada Allah." Dia merasa ter-berkahi cahaya
dan gembira. "Bersyukurlah kepada Allah," ulangnya. Di sampingnya, Kirnya
tertawa-ta wa.[j 12 Dia berdiri di depan pintu menyaksikan Faroukh dan keledai tua itu melangkah
pergi. Pagi kelabu itu hanyut dalam gerimis yang mengaburkan pandangan. Dua hari
berlalu begitu cepat. Pada malam pertama, istri Maulana yang bernama Kerra
mempersiapkan makan malam istimewa untuk menyambut kedatangan Kirnya dan mereka
semua duduk mengitari perapian di dapur yang luas, makan daging domba dan
sayuran. Di pojok ruangan, terlihat seorang bayi dalam buaian tengah tertidur
lelap. "Dia anakku yang terkecil, Alim," Maulana menjelaskan. Kemudian, dia
memperkenalkan anak muda yang baru saja memasuki ruangan sebagai Sultan Walad,
putra Maulana yang tertua. "Alauddin masih di rumah Hassan dan Akbar, temannya,"
kata Sultan Walad. "Dia akan ke sini sebentar lagi."
Siapa Alauddin" Kirnya bertanya-tanya. Dia samar-samar mendengar Maulana
berbisik bahwa a-da banyak teman yang lebih baik ketimbang Hassan dan Akbar.
Beberapa saat kemudian, Maulana mulai bercerita. Setelah itu, Kirnya pastilah
tertidur. Keesokan hari, dia terbangun di atas tumpukan bantal dalam kamar yang
sempit dan tubuhnya ditutup selimut bulu domba. Dia tak ingat sedikit pun cerita
Maulana.Dia mendengar tangis bayi. Dia bangun dan mencari asal suara itu di
dapur. Di sanalah dia melihat Kerra mendekap sang bayi ke dadanya dan perlahan
menimang-nimangnya agar dia berhenti menangis.
Kerra menyambutnya dan berkata, "Alim baru berumur enam bulan, tapi kau akan
melihat betapa keras kepalanya dia." Bayi itu tersenyum dan, entah bagaimana,
hal itu membuat Kirnya merasa betah.
Tak lama kemudian, Faroukh dan Kirnya pergi ke pasar membeli syal rajut dari
benang wol yang akan diberikan kepada Evdokia. Mereka juga berkunjung ke
beberapa kenalan Faroukh. Kirnya melihat kebisi-ngan dan hiruk pikuk perkotaan.
Begitu banyak gedung, rumah, dan tentu saja manusia! Kota ini dia rasakan
terlalu besar dan padat. Dan tiba-tiba, pada malam harinya, saat mereka
berkumpul di depan perapian, Faroukh mengumumkan keberangkatannya esok pagi.
Dan sekarang, bayangannya berangsur hilang tertelan kabut musim gugur. Dia ingin
sekali berteriak, "Baba, Baba, jangan tinggalkan aku."Tetapi, tenggorokannya
tercekat dan dia tidak kuasa mengatakan apa-apa. Dia merasa kehilangan. Dia
menatap tak mengerti pada dua helai daun yang jatuh diterpa hujan ke atas
kakinya yang kini basah. Kemudian, dia mendengar seseorang memanggil namanya.
Dia berbalik dan mendapati Kerra dan bayinya, berusaha menghiburnya.
"Kau akan baik-baik saja, kau akan lihat sendiri.
Yuk, kita keliling rumah," Kerra menuntun tangannya dan mereka memasuki ruangan
demi ruangan. Hatinya menjadi ringan. Salah satu kamar menghadap ke sebuah
halaman sempit. "Di sinilah kau akan tidur," kata Kerra. Kirnya tidak tahu bahwa
rumah ini punya begitu banyak kamar dan setiap penghuni rumah memiliki kamar
masing-masing. Ketika mereka melewati sebuah kamar yang terkunci, Kerra
memelankan suaranya, "Di sini ruang belajar Maulana," katanya.
Apa yang dikerjakan Maulana" Kirnya tidak berani menanyakannya. Tetapi, Kerra
segera menjelaskan bahwa setiap hari Maulana mengajar di sekolah induk, biasanya
pagi hari. "Dan," katanya, "kadang sore hari juga. Orang-orang datang dan
bertanya mengenai persoalan keluarga, bisnis Suara Kerra bertambah lemah dan
tampaknya dia lelah. "Maulana hanya punya waktu sedikit untuk diri dan
keluarganya,"tambahnya ketika mereka memasuki dapur. Kirnya bertanya-tanya
apakah Maulana masih punya waktu untuk mengajarinya bila dia begitu sibuk.
Ada sesuatu yang menenteramkan hati ketika dia kembali ke depan perapian dengan
kuali-kuali hitam tergantung di kaitan-kaitan di atasnya. Dia menatap ke
sekelilingnya. Ada cerobong asap di pojok ruangan. Tumpukan piring keramik bekas
hidangan makan malam masih berserakan di atas meja. Begitu juga bantal bersulam
tergeletak di ceruk dinding dekat jendela. Pada saat itu, seorang anak lelaki
berumur tiga belas tahun menyerbu ke dalam
ruangan. Rambutnya ikal cokelat, sedangkan matanya hitam pekat. Dia meminta
segelas air dan tanpa malu-malu menatap Kirnya.
"Ini Alauddin," kata Kerra. "Alauddin, ini Kirnya. Dia akan tinggal bersama
kita." Jadi, ini rupanya anak tengah Maulana. Kirnya bertanya-tanya apa yang membuatnya
begitu sibuk sehingga jarang berada di rumah.
Alauddin membuka mulutnya seakan ingin mengucapkan sesuatu, tapi dia berubah
pikiran dan dia mengangguk kemudian berlari keluar.
"Jangan diambil hati," kata Kerra. "Dia berbuat sekehendak hatinya, tapi
maksudnya baik." Kemudian, Sultan Walad masuk. Tadi malam, Kirnya begitu lelah sehingga tidak


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu memerhatikan Sultan Walad. Dia berumur tujuh belas tahun. Wajahnya mirip
dengan adiknya, hanya lebih tua, pikirnya, lebih pendiam. Kulitnya putih sepucat
kulit Kerra dan gerak tubuhnya pun setenang Kerra, padahal dia hanyalah ibu
tirinya. Matanya tidaklah hitam, tapi sama dengan ayahnya, biru kehijauan dan
tajam. Kehadirannya cukup menenteramkan. Beberapa hari kemudian, Kerra bercerita
bahwa saat usia Sultan Walad menginjak lima tahun, Maulana membawanya ke
madrasah. Di hadapan majelis itu dia ditanyai beberapa buah pertanyaan dan
jawabannya begitu memukau setiap orang. "Sejak saat itu," kata Kerra, "dia
selalu menghadiri ceramah ayah-Hari-hari bergulir demikian cepat. Kenangan akan
desa dan keluarganya mulai memudar, terhapus oleh kehidupan nyata yang dia
jalani. Konya adalah kota sibuk yang kaya. Orang-orang datang dari berbagai
penjuru dunia untuk mencari keberuntungan,menimba ilmu pengetahuan,ada juga yang
mencari hikmah, dan Kirnya mulai menghargai segala kesibukan itu. Banyak
pengungsi yang pada mulanya menetap di pinggir kota, di maidan daratan luas yang
hijau yang mengelilingi kota tempat kaum muda berpacu kuda dan bermain polo,
kini telah memiliki rumah sendiri. Banyak di antara mereka yang mencari
penghidupan dengan bekerja sebagai tukang batu, tukang kayu, dan tukang tembok.
Kehadiran mereka di kota menimbulkan nuansa tersendiri. Ketika sedang menuju
pasar, Kirnya melihat sekelompok lelaki, tidak jauh dari rumah Maulana, sedang
menghias gerbang madrasah yang baru saja berdiri dengan pahatan indah dan
melukis tiang-tiang keramik dengan pola-pola geometris yang serasi. Sementara
itu, di sebelah istana Sultan, dinding masjid yang tengah didirikan itu setiap
harinya semakin tinggi. Dia suka sekali mengunjungi pasar yang menjual berbagai macam buah-buahan dan
sayuran dan hiruk pikuknya orang memakai jubah khas Arab yang panjang. Ada pula
yang memakai gamis aneka warna dan ada juga yang memakai kain compang-campi ng.
Suatu hari, dia melihat seorang lelaki berpakaian aneh, lengan bajunya berjuntai
dan celana beludrunya mengilat seorang pedagang dari Venesia, begitu dia diberi
tahu. Kapal-kapal mereka berlabuh di Attaleia, kota tempat Sultan menghabiskan
musim dinginnya. Lorong-lorong pasar berbau tajam. Asap dan rempah-rempah
membaur dengan misteri yang tak dapat dipecahkan. Menyenangkan sekali
mendengarkan cerita Maulana saat mereka berjalan menyusuri gang-gang sempit yang
di kanan kirinya ber deret pertokoan. Dia sempat melihat anak kecil sedang
meminum teh, tumpukan kain sutra yang berkilau halus, dan karpet-karpet beraneka
corak dan warna. Dia juga sangat suka mendengarkan dentuman palu di bengkel
pandai besi. Kadang dia duduk di tangga toko menanti Kerra selesai belanja. Dia
begitu hanyut mendengarkan irama palu itu. Di sana juga ada gang khusus pembuat
parfum. Dia takjub melihat botol-botol kecil berisi minyak beraroma segar
tersebut. Maulana pernah bercerita tentang jin yang terperangkap di salah satu
botol itu. Botol yang mana ya, dia bertanya-tanya. Suatu hari, seorang pedagang
memercikkan minyak wangi ke pergelangan tangannya dan aroma segar nan harum itu
bertahan hingga keesokan paginya. Tetapi, yang paling menyenangkannya adalah
ketika dia menceritakan pengalamannya kepada Maulana sekeluarga saat mereka
bersantai sejenak setelah makan malam.
"Apa yang kau kerjakan hari ini?" demikian Maulana akan bertanya dan Kirnya akan
menceritakan 1.001 hal yang dia temui hari itu. Maulana akan mendengarkan dan
tersenyum-senyum. Kemudian, Maulana akan menceritakan kisah-kisah tentang
kafilah, putri, wazir, dan pangeran. Ceritanya bahkan
lebih hidup daripada kesibukan di pasar, seakan dia menjelma menjadi putri raja
yang terbaring sakit di tempat tidur dan mencari obat dukacita yang tak terduga;
dia adalah anak penebang kayu yang tersesat di hutan karena mencari jati diri;
dia adalah putri seorang raja yang dibuang ke hutan belantara karena menolak
mematuhi perintah ayahnya.
Sore hari, ketika Maulana menerima tamu, Kirnya akan menyajikan secangkir teh
atau air dingin bercampur sari air mawar. Kadang kala, Maulana meminta Kirnya
untuk tetap di ruang tamu.Kemudian, Kim ya akan duduk bersila dengan tenangnya.
Maulana dan tamunya biasanya berbicara dalam bahasa Persia, bahasa yang pernah
diajarkan Ahmed. Sekarang, dia mengerti beberapa kata. Bahkan, dia sudah bisa
memahami sebuah kalimat utuh. Kadang, saat dia akan membawakan nampan berisi
minuman, dia mendapati Maulana dan teman lamanya tepekur dalam diam, dengan mata
terpejam. Keheningan di ruang itu bersenandung di telinganya. Dia merasakan
kulitnya memucat dan dia cepat-cepat menyajikan minuman itu,kemudian menyelinap
meninggalkan ruang tamu. Seiring dengan tibanya musim dingin dan merebaknya penyakit flu, keluarga itu
lebih banyak menghabiskan waktu di depan perapian. Bahkan, Alauddin mengabaikan
ajakan teman-temannya dan lebih betah di rumah. Dia sering menggoda Kirnya,
mengejek cara bicara Kirnya yang kadang gelagapan mencari padanan kata yang tepat dalam
bahasa Persia yang belum dia kuasai. Dia dengan mudah mengatasi sikap
menjengkelkan Alauddin dengan menatap lurus-lurus kepadanya dengan serius.
Alauddin akan bergegas meninggalkan ruangan dengan gerutuan panjang: betapa
bodohnya perempuan. Sultan Walad yang menyaksikan kejengahan Alauddin, tertawa. "Tidak begitu bodoh,
kok!" Dan sekarang, giliran Kirnya yang tersipu malu.
"Apakah anak lelaki itu menggodamu lagi?" tanya Maulana suatu ketika. Kirnya
mengangguk, lalu tersenyum. Sebenarnya tak masalah, dan mereka berdua tahu itu.
Dalam doa-doanya, Kirnya berterima kasih kepada Tuhan: "Betapa banyak pemberian-
Mu padaku! Kau memberiku dua keluarga dan Maulana mengantarkanku kepadaMu." Dan
sekarang, dia baru menyadari betapa dalam makna sebuah kata yang pernah
diajarkan Ahmed kepadanya, "Doost1." Kekasih, satu-satunya Yang Dirindukan!
Sebuah pertanyaan melintas di benaknya. Ke mana Kau akan membawaku" Kenikmatan
yang manis dia resapi dalam keheningan dan tak dapat diragukan lagi: itulah
jawabannya. Di kebun buah, arakan awan berwarna merah muda tiba-tiba menaungi. Musim dingin
akan berakhir. Kim ya gelisah.
Aku tak pernah belajar sekali pun. Benar, kehidupan barunya di Konya penuh warna
dan kaya akan pengalaman, tapi dia tidak pernah menghabiskan waktunya untuk
menulis dan membaca seperti yang dia lakukan dengan Ahmed, dulu sewaktu di desa.
Tentu saja sekarang dia lebih paham akan kata-kata Maulana, bahkan kini dia
merasa lebih pandai. Tetapi, tetap saja ini bukanlah cara belajar yang dia
harapkan. Malamnya, dia bertanya kepada Maulana, "Kapan aku bisa mulai belajar?"
Maulana menatapnya, geli, kemudian tertawa. "Menurutmu, belajar itu seperti apa,
Gadis Kecil?" tanyanya.
Kirnya menatapnya, bingung. "Kamu sekarang sedang belajar, Kirnya," katanya.
"Aku bahkan bisa bertaruh, kaulah murid terbaikku." Dia kemudian terdiam selama
beberapa saat dan Kirnya semakin bingung. "Banyak cara untuk meraup ilmu
pengetahuan." Dia melanjutkan. "Beberapa jalan tak kasat mata." Kelembutan di
matanya bagaikan madu. "Jangan khawatir," katanya sambil menggelengkan
kepalanya, "Meskipun jalan itu tak dapat kau lihat, bukan berarti kau tidak
menapaki jalan itu, justru sebaliknya."
Musim dingin ketiga pun tiba. Tahir telah beberapa kali mengunjunginya, membawa
kabar mengenai ora ngtua dan keadaan desa mereka. Semua orang sehat walafiat.
Safia telah melahirkan seorang bayi lelaki. Panen anggur tahun ini, insya
Allah,melimpah. Itulah bagian kehidupannya dulu, pikir Kirnya. Sekarang, semua
itu sepertinya terlalu jauh dari dirinya. Saat Tahir mengunjunginya lagi, dia
telah berubah. Sekarang, dia telah menjadi lelaki dewasa.
"Aku akan segera menikah," katanya, "dengan Muesser, sahabat Aishel."
Sang Imam yang akan menikahkan mereka. Mereka akan menyelenggarakan walimahan
dengan memotong seekor kambing. Kirnya mengenang masa lalunya dengan sedih. Dia
seakan melihat kembali Ai shel menggerutu ketus melihatnya mencoreti tanah
berdebu dengan huruf-huruf yang diajarkan Pater Chrisostom, Evdokia ibunya
menjemur pakaian yang baru saja dia cuci di beranda atas, dan Baba meng goyang-
goyangkan telunjuknya dan menyebutnya bidadari kecil. Kenangan itu buyar dan dia
bertanya, "Bagaimana keadaan Baba?" tanyanya.
"Baik-baik saja. Dia selalu menyibukkan diri. Kami sedang membangun sebuah rumah
yang akan ditempati Muesser dan aku."
Tahir terdengar bangga dan bahagia. Dia bahkan tidak menanyakan kehidupan
barunya dan Kim ya mengerti. Kehidupannya di sini sangat berbeda dengan di desa.
Bagaimana dia bisa menceritakannya"
Mereka berdiri berhadapan hingga akhirnya Tahir berkata, "Kau begitu berubah,
Kirnya." Sebenarnya yang dia maksudkan adalah, "Aku tak mengenalimu lagi
sekarang." Ketika Tahir pulang, Kirnya mendapatkan penglihatan mengenai sebuah persimpangan
jalan yang akhirnya memisahkan mereka berdua. Tahir melangkah di sebuah jalan
dan dia sendiri melangkah pelan di jalan yang satunya.
"Memang benar, jalan yang kau tempuh berbeda denganku, tapi bukan kita yang
memilih dan memutuskannya."
Maulana berdiri di sampingnya. Senyum Maulana mengisyaratkan kesedihan. Kirnya
tidak mendengar langkah kedatangannya. Mereka melihat Tahir menghilang di ujung
sebuah jalan, kemudian Maulana menggandeng tangan Kirnya dan mereka pun masuk
rumah. Beberapa minggu kemudian, sebuah kabar tak sedap mulai menyebar. Desas-desus itu
mengatakan bahwa ada peperangan mengerikan di suatu tempat di timur, sebuah
wilayah yang disebut Kbse Dagh. Pasukan Sultan berhadapan dengan pasukan Mongol
dan terjadilah pertempuran sengit.
Ketakutan melanda penduduk kota. Apa yang akan terjadi nanti" Apakah Konya akan
terkepung" Apakah mereka akan merampok dan membantai semua orang Konya"
Gelombang pengungsi segera saja membanjiri maidan di pinggiran kota. Tak ada
seorang pun yang menyaksikan pertempuran di Kbse Dagh, tapi desas-desus itu
telah membuat mereka panik dan mereka hidup dalam teror mencekam. Maulana
berkata, tak ada yang perlu ditakutkan. Konya berada dalam lindungan Tuhan,
namun dia menambahkan, "Kekuasaan sedang berpindah tangan." Kemudian, desas-
desus itu menguap. Lagi pula, Ko-se Dagh sangat jauh dari Konya. Para pengungsi
membongkar tenda mereka, dan pindah ke dalam kota. Konya kembali menggeliat
dengan kegiatan penghuninya. Tahun itu menginjak 1243 berdasarkan kalender
Masehi atau tahun 641 Hijriah. Kirnya sekarang berusia sebelas tahun.[]
13 "Pernahkah kau mendengar kisah seekor kunang-ku nang yang jatuh cinta kepada
cahaya?" Sore menjelang malam. Bercak-bercak keemasan berkedip-kedip di dinding ruang
belajar yang kecil, mengikuti goyangan pohon kastanye yang diterpa angin sepoi-
sepoi di luar sana. Kirnya sedang membaca karya Attar sufi agung yang pernah
bertemu dengan Maulana bertahun-tahun yang lalu. Ti ba-tiba Maulana mengusiknya.
"Kunang-kunang itu," katanya, "begitu terpukau akan nyala api yang berkobaran
indah. Dia terbang mendekat dan semakin mendekat hingga akhirnya kunang-kunang
itu jadi abu dilahap sang api."
Kirnya tidak tahu kisah itu dan dia tidak pernah berpikir bahwa dirinyalah
kunang-kunang itu. Kirnya adalah api. Lidah api yang menerima cinta sang a-
ngin,dan di rumah Maulana inilah nyalanya kian berkobar.
Maulana membaca pikirannya. "Sang angin akan menerjang lebih kuat lagi,"
katanya, "dan kobaran api itu akan membesar, dan di tengah kobaran apilah, sang
angin dan sang kunang-kunang akan menjadi satu."
Bersamaan dengan jawaban itu, sebuah getaran menembus pohon tua. Sang pohon
menggigil, menyebarkan percikan keemasan di dinding. Cinta di ma ta Maulana
begitu tak tertanggungkan sehingga Kim ya mengalihkan pandangan.
Beberapa hari kemudian, suatu pagi di musim semi ketika segala sesuatu
bermandikan kesegaran dan nyala cahaya sedemikian berkilau, Maulana berkata,
"Aku akan mengunjungi temanku, kepala biara Santo Chariton. Maukah kau
menemaniku?" Kirnya tidak membutuhkan waktu lama untuk mengenakan kerudung dan sepatu. Dia
tahu letak biara itu. Dia juga tahu persahabatan Maulana dengan kepala biara
itu. Tetapi, dia belum pernah diajak ke sana sebelumnya.
Udara masih dingin ketika keduanya pergi beberapa menit kemudian. Kirnya
menenteng kendi berisi madu untuk kepala biara itu. Ini waktu yang tepat untuk
berjalan-jalan. Mereka berjalan dengan santai melewati taman-taman dan kebun
buah-bu ahan. Tempat itu dipenuhi kelopak bunga berwarna putih dan merah muda
yang berserakan seperti kepingan salju yang terabaikan.Kemudian, mereka
mengikuti sebuah jalan kecil yang teduh dengan barisan pohon cemara di kanan
kirinya. Ketika mereka tiba, matahari telah mencapai puncak pohon tertinggi dan
sinarnya sangat terik. Seorang biarawan tua berjubah cokelat membuka gerbang
kayu dan menuntun mereka melewati koridor gelap menuju taman di bagian dalam
yang dikelilingi kloster yang memiliki tiang-tiang berukir indah. Di samping
taman itu, masih dalam lingkungan biara, setiap orang dapat melihat kubah kecil
sebuah masjid. Menaranya bersaing dengan bentuk meruncing dari dua pohon poplar
yang tumbuh di depannya. Kepala biara itu segera datang dengan tergopoh-gopoh
dari ruangan terdekat. Dia juga mengenakan jubah cokelat, dengan kalung salib
dari kayu berjuntai di dadanya. "Kejutan menyenangkan!" katanya. Matanya
berbinar. "Dan, siapa nona muda ini?" Wajahnya mengingatkan Kirnya pada Pater
Chrisostom. "Ini Kirnya," kata Maulana. "Kirnya sudah agak lama tinggal di rumahku."
Kirnya menyerahkan kendi madu itu kepada kepala biara yang menerimanya dengan
senyum hangat. "Bisakah kau jalan-jalan di taman, sementara kami berbincang-bincang?" saran
kepala biara itu. "Anak gadis lebih bisa menjaga diri dibandingkan an ak
lelaki," tambahnya. Senyumnya melebar dan Maulana tertawa mengingat kejadian
beberapa tahun yang lalu, saat Alauddin jatuh ke jurang dekat biara dan
diselamatkan para biarawan. Tubuhnya memar-memar.
"Santo Chariton melindungi putraku," katanya. "Aku yakin dia juga akan
melindungi Kirnya. Tetapi, kau memang benar. Anak gadis lebih bisa mengurus diri
sendiri daripada anak lelaki dan," dia menambahkan, "satu masjid sudah cukup
untuk berdiri di bia - ramu." Kepala biara itu mulai tertawa. Masjid kecil didirikan sebagai ungkapan terima
kasih kepada Santo Chariton yang telah menyelamatkan Alauddin. Sebuah keputusan
yang saat itu cukup menyulut kemarahan, baik di kalangan kaum Muslim maupun
Kristen. Maulana dan kepala biara itu mengabaikan komentar tak sedap itu dan
tetap bersahabat hingga kini.
Keduanya segera menghilang, meninggalkan Kirnya sendirian. Dia duduk di sebuah
bangku di bawah pohon willow yang kecil. Kedamaian menyelimuti taman itu.
Keheningan itu pecah oleh dekut merpati atau kepakan sayap burung pipit di
kejauhan. Dia terhanyut dalam suasana yang hening itu dan memejamkan matanya.
Doost. Kata itu bangkit dari benaknya, selembut dekut burung-burung. "Apakah kau
ingin minum air segar ini?"
Dia membuka matanya. Seorang biarawan telah berdiri di hadapannya, membawa
nampan dengan se cawan air putih. Dia mengucapkan terima kasih dan menerima
cawan itu. Airnya sangat dingin dan menyegarkan. Dia tidak begitu menyadari
betapa hausnya dia. Biarawan itu menunggu hingga dia menghabiskannya. Kemudian,
sebelum pergi, biarawan itu bertanya.
"Apakah kau putri Maulana?"
Putri Maulana! Dia tidak pernah memikirkan hubungannya dengan Maulana. Dia
tepekur sebentar. Maulana lebih dari seorang ayah. Dia lebih mirip se-nperti
Ahmed, sahabatnya yang pertapa itu. Dia
juga seperti Pater Chrisostom. "Maulana bukan hanya seorang ayah bagiku,"
katanya. "Dia" Dia mendengar bunyi langkah kaki dari arah koridor.Ketika
menolehkan kepalanya, dia melihat kepala biara dan Maulana berjalan ke
arahnya.Ketika dia hendak menyelesaikan kalimatnya, biarawan itu sudah
menghilang. Saat mereka kembali pulang, Kirnya dan Maula na sama-sama terdiam. Mereka berdua
larut dalam pikiran masing-masing. Betapa anehnya. Kirnya merasa telah bertambah
dewasa dengan cara yang, entah, dia pun tak mengerti.
Musim panas sekali lagi tiba. Matahari membakar kulit siapa pun yang berani
menantangnya. Orang-orang memilih tetap berada di dalam ruangan atau berlindung
di bawah naungan bayangan, mencari suasana yang lebih sejuk. Di alun-alun, di
bawah rindangnya pepohonan, lelaki tua yang sedang ti dur-tiduran setiap saat
menghalau lalat-lalat yang berusaha menghinggapinya. Pada malam harinya,
kehidupan kembali normal, lebih bersemangat sebab di siang hari mereka seakan
beristirahat panjang. Bantal-bantal dan permadani sengaja dibawa ke beranda,
gelas-gelas teh dan kudapan yang manis-manis disajikan, dan di bawah kubah
langit yang gemerlap dengan kerlip cahaya bintang, obrolan mengasyikkan menyita
waktu mereka. Kadang hingga fajar mengetuk hari.
Di beranda rumah kediaman Maulana, seperti di tempat lainnya, tamu-tamu dan
pengunjung berkumpul dengan keluarga dan berbincang-bincang. Diskusi berlanjut
hingga akhirnya anak-anak jatuh tertidur.Satu per satu tetamu dan pengunjung itu
berpamitan. Suatu malam, ketika Sultan Walad dan Alauddin tengah beristirahat dan tamu
terakhir telah lama pulang, Maulana dan Kerra dengan Kirnya yang tertidur di
pangkuannya tenggelam dalam keheningan. Kedua orang itu tampaknya masih terjaga
di tengah keheningan suasana kota yang tengah terlelap. Inilah malam sebagaimana
dikatakan Maulana, "Allah mendekat dan doa-doa akan sampai ke tanganNya tanpa


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halangan." Dalam kesunyian itu, suara Maulana mengalun, ditujukan kepada kehadiran yang
kasat mata. "Ketika hati sungguh-sungguh tulus," katanya, "pertolongan akan
sampai ke tanganmu, tak pandang siapa engkau." Kejadian berikutnya membuat Kerra
terperanjat. Suaminya meninggalkan beranda, melayang di udara malam yang dingin,
kemudian menghilang. Berjam-jam kemudian, saat muazin melantunkan seruan kepada umat agar segera
mendirikan shalat subuh, Maulana kembali ke beranda. Tanpa mengucapkan kata apa
pun, dia berdiri menghadapkan wajahnya ke timur, berserah diri kepadaNya dalam
shalat dan doa. "Allah Maha besar," bisiknya. Kirnya telah bangun. Dia dan Kerra pun menjadi
makmum. Mereka menuruni tangga menuju halaman dan Kerra menyadari adanya butiran pasir
putih pada sepatu Maulana.
"Pasir ini berasal dari Hedjaz," kata Maulana. "Seorang pengelana telah tersesat
di sana dan aku menuntunnya kembali ke arah yang ingin dia tuju."
% Kirnya menatap ke luar jendela memandang langit yang kelabu. Malam tampaknya
akan datang lebih cepat.Musim gugur ini seolah berlangsung untuk selamanya.Dia
mendesah.Masih akan ada sebulan yang harus dia lewati sebelum siang berjalan
lebih panjang. Tetapi, Allah telah mempunyai rencana. Benar, cahaya memang
langka di musim dingin, tapi salju kemudian turun dan menyelimuti segala sesuatu
dan semua memutih. Pikiran itu menyegarkannya dan dia mulai memotong adonan kue
menjadi kotak-kotak kecil, meletakkannya satu demi satu, dan dengan hati-hati
melipatnya menjadi bentuk segitiga. Dia menyukai pekerjaan yang menuntut segenap
perhatian dan ketelitian. Dia begitu berkonsentrasi pada pekerjaannya sehingga
tidak mendengar kedatangan Kerra.
"Aku heran mengapa Maulana belum juga kembali dari madrasah." Suara Kerra
mengesankan nada cemas. "Dia seharusnya sudah pulang sekarang." Dia duduk,
setelah berpikir sejenak, dia melanjutkan kata-katanya, "Sariduddin, temannya,
sedang menunggu kedatangannya di ruang belajar."
Saat itu, Sultan Walad memasuki dapur. Dia masih mengenakan mantel tebalnya dan
seolah kehabisan napas. "Aku sudah mengatakan pada Sariduddin agar tak menunggu
Ayah lebih lama lagi. Menurutku, Ayah tak akan pulang sekarang."
Kerra menatapnya, gusar. "Apa yang membuatmu mengatakan hal itu kepadanya?"
Sultan Walad melepaskan mantel tebalnya dan duduk di samping Kerra. Kemudian,
Kirnya membuatkan teh. "Pagi tadi," Sultan Walad mulai bercerita, "ketika Ayah sedang menuju pemandian
umum, sesuatu yang sangat aneh terjadi. Ayah seperti biasanya dikerumuni
beberapa orang murid dan pengikutnya, dan seperti hari-hari yang lalu, mereka
melewati kafilah pengangkut gula. Tiba-tiba, seorang lelaki berjubah hitam
meloncat ke hadapannya dan merampas tali kekangnya." Sultan Walad menghentikan
kisahnya, seakan memperjelas ingatannya. Kerra menunggu hingga dia kembali
berkisah. "Lelaki itu dan Ayah saling berbalas kata. Ayah pingsan dan terjatuh
dari bagalnya." Kerra menutup mulut dengan tangannya. "Apakah dia terluka" Karena itukah dia
belum juga pulang ke rumah?"
Sultan Walad menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan karena itu. Ayah baik-baik
saja. Dia segera sadar. Kejadian berikutnyalah yang mengkhawatirkanku."
Kerra menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Aku sebenarnya tidak mengerti. Setelah Ayah
sadarkan diri, dia membawa lelaki itu dengan berjalan kaki ke tempat Salahuddin
Zarkob." Sultan Walad mengerutkan keningnya. "Dan, mereka tetap berada di sana.
Itu sangat aneh. Seharusnya Ayah mengajar di madrasah. Aku sempat pergi ke
madrasah sebelum pulang ke rumah. Di sana sudah berkumpul kerumunan yang sangat
besar. Orang-orang sudah tahu tentang kejadian itu dan setiap orang membahasnya.
Mereka masih berpikir bahwa Ayah akan kembali ke madrasah. Tetapi, dia tidak
pernah muncul!" Sultan Walad berkata dengan tidak percaya. "Orang-orang mulai
mengeluh dan, pada akhirnya, mereka bubar. Murid-murid Ayah tidak mengerti
mengapa Ayah berbuat seperti itu." Dia menyeka keringat dari keningnya. Aku tak
tahu apa yang harus kupikirkan atau kulakukan."
Kerra tetap terdiam selama beberapa saat. "Dia akan pulang malam ini," akhirnya
dia berkata. "Mungkin lelaki itu membawa kabar yang sangat penting."
Sultan Walad kembali menggelengkan kepalanya. Dia tidak yakin. "Untuk
menyampaikan berita, tidak perlu memakan waktu selama itu. Ada hal lain, aku
tahu. Sesuatu Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia masih mencari kata-kata yang tepat saat
Alauddin menghambur ke dalam. "Lelaki itu bernama Syams," katanya penuh
kemenangan, "dia berasal dari Tabriz." Dia berdiri dengan kaki mengangkang.
Rambutnya hampir menutupi kening.
"Dan, bagaimana kau mengetahuinya?" tanya
Kerra, prihatin akan sikap anak lelakinya yang besar mulut itu. Penduduk Konya
menggemari desas-de sus. Mereka semua tahu itu. Kerra juga tahu bahwa gosip
tidak hanya menyimpangkan kebenaran, tetapi juga mencemari orang yang
menyebarkannya. Dia tidak memberi kesempatan kepada Alauddin untuk menjawab
pertanyaannya."CukupiAyahmu tahu apa yang dia lakukan." Kerra bangkit menuju
perapian dan menyalakan kembali api dengan marah, sementara Sultan Walad dan
Alauddin meninggalkan dapur.
Kirnya kembali ke pekerjaannya, membuat adonan. Dia menyebut lagi nama yang baru
saja dia dengar, "Syams." Dalam bahasa Persia berarti matahari. Tetapi, mengapa
dia menggigil saat mendengar kata itu" Di luar, embusan angin seakan menjawab
pertanyaannya. Dia agak ngeri. "Musim dingin akan segera tiba, tak lama lagi."
Masih membungkuk di depan perapian, Kerra tidak menanggapi.
Hari serasa berlarut-larut hingga akhirnya malam pun tiba. Maulana belum juga
pulang. Bulan sabit tampak di atas rumah dan hiruk pikuk kota sepertinya
terhenti sebentar. Mereka semua duduk di dapur saat Kerra menyuruh Kirnya dan
Sultan Walad pergi ke rumah Salahuddin Zarkob untuk membawakan makanan bagi
Maulana. Salahuddin adalah seorang pandai emas. Dia sudah lama berteman dengan Maulana.
Dia tinggal sendirian di rumah yang jaraknya hanya beberapa menit berjalan kaki
dari rumah Maulana. Sejak kematian sang istri, dia merasa rumah itu terlalu luas
baginya. Setiap hari dia bekerja di pasar, di bengkelnya yang sangat kecil.
Sultan Walad berjalan di depan Kirnya. Tangannya menenteng lampu minyak. Selain
seekor kucing yang berlari menjauh saat melihat kedatangan mereka berdua,
jalanan itu sangat lengang. Mereka mengetuk pintu dan Salahuddin segera
membukanya. "Ah, kau rupanya," katanya. Dia tampaknya tidak terkejut melihat
kedatangan mereka berdua. Salahuddin adalah lelaki kecil yang sangat kekar.
Kirnya pernah melihatnya beberapa kali di antara para pengunjung Maulana.
Salahuddin selalu diam. Dia juga tetap diam menyimak baik-baik selama diskusi
kaum terpelajar berlangsung. Tak seorang pun yang tahu banyak tentangnya, selain
bahwa dia orang baik yang bisa dipercaya.
"Mereka berdua ada di kamar yang paling ujung," katanya sambil menunjuk ke arah
koridor yang memiliki tiga kamar dengan pintu-pintu tertutup rapat. "Kupikir
sebaiknya kita tidak mengganggu mereka," katanya ragu.
"Apakah mereka sudah makan" Kami heran. Sudah sejak pagi mereka di sana.
Tentunya mereka lapar."
Salahuddin diam-diam menyetujuinya, tapi tetap tidak yakin.
Kirnya dan Sultan Walad melangkah menuju pintu yang paling jauh. Secercah cahaya
berpendaran dari bawah pintu itu. Sultan Walad meletakkan lampu di
sampingnya.Bayangan mereka memantul ke pintu itu seakan mencoba menerobosnya.Tak
ada suara yang terdengar dari dalam sana. Mereka berdiri selama beberapa menit,
sebelum kemudian Sultan Walad mengetuk pintu dengan ragu-ragu. Ide mengirimkan
makanan sekarang tampak tidak pantas. Kesunyian itu semakin hening. Kirnya
menatap Sultan Walad. Wajahnya tetap bergeming. Sultan Walad meletakkan tangan
ke dadanya, kemudian membungkuk ke arah pintu itu. Desir angin yang sangat
kencang di dalam dirinya membuat Kirnya memejamkan mata. Kemudian, segala
sesuatu kembali seperti semula dan ketika Kirnya membuka mata, dia melihat
Sultan Walad pucat dan berkeringat. Sultan Walad memegang lampu minyaknya dan
bersiap meninggalkan koridor itu. Di bawah pintu itu, cahaya masih saja
berkelap-kelip. Tanpa sepatah kata, mereka pergi menjauhi rumah itu. Ketika
itulah Kirnya teringat saat Maulana memperlihatkan magnet yang ditempeli logam-
logam kecil. Malam itu, sang magnet ada di balik pintu, pikirnya. Dan, aku
hanyalah serpihan besi yang senantiasa tertarik, ingin mendekati magnet itu.
Sudah seminggu berlalu sejak kemunculan sang pengelana aneh. Rumah Maulana dan
Salahuddin masih diselimuti keheningan. Kehidupan seakan nyaris
berhenti, kecuali pada malam hari saat Kirnya berjalan ke rumah Salahuddin,
mengantarkan makanan yang dimasak olehnya dan Kerra. Kegiatan itu hampir menjadi
ritual. Dia akan meletakkan baki itu di depan pintu. Cahaya dari bawah pintu
masih bersiaga menghalau kegelapan. Kemudian, dia akan duduk dan menahan napas
supaya seirama dengan keheningan. Ada kalanya Sultan Walad menemani, kadang
Kerra ikut juga. Makanan itu tak tersentuh. Di rumah,sepertinya sudah ada
persetujuan diam-diam untuk tidak membicarakan Maulana dan "sahabatnya" itu.
"Apa yang harus kita katakan?" Kerra akan menjawab. "Kita tak boleh
membicarakannya." Kata-ka tanya yang keras itu mengungkapkan kebulatan hati
untuk tetap menghormati keputusan suaminya.
Tetapi, Alauddin tidak dapat menahan diri. "Mu rid-murid Ayah sangat marah,"
katanya suatu hari, sepulangnya bermain.
Sultan Walad terlihat sedih, tapi tidak berkomentar apa pun.
"Kata mereka," Alauddin meneruskan, "lelaki itu, Syams, hanyalah seorang dukun
yang datang dari timur untuk menimbulkan kegemparan. Mereka berkata, Ayah telah
mengabaikan mereka." Dia berhenti sebentar dan menambahkan kalimatnya dengan
suara bergetar, "Menurutku, dia telah mengabaikan kita juga."
"Alauddin, jaga lidahmu," suara Kerra terdengar tajam. "Tidak sepatutnya kau
membicarakan ayahmu seperti itu."
Anak muda itu menundukkan kepalanya, kemudian pergi meninggalkan kemarahan di
belakangnya. Hari-hari berlalu, seolah tak berkesudahan. Penantian itu setegang tali busur
yang meregang sekuatnya. Suatu pagi, Kirnya secara tak sengaja memecahkan guci
yang dia bawa.Guci itu jatuh ke lantai berkeping-keping.
"Bisa hati-hati tidak?" Suara Kerra terdengar penuh amarah. Sebelumnya Kerra tak
pernah lepas kendali. "Tak apa-apa Kirnya," kata Kerra cepat-ce pat sambil
tersenyum. "Sebenarnya bukan guci ini yang kukhawatirkan."
Mereka kemudian bersama-sama membersihkan pecahan guci itu. Kepingan itu seperti
pecahan hati kita, pikir Kirnya. Kita bisa mengumpulkannya dan mencoba
menyatukannya kembali, tapi guci itu tak akan pernah sama seperti sediakala.
Bulan kembali berpendar, bentuknya semakin bulat. Hawa dingin mulai menggigit
dan salju pertama mulai menghiasi seluruh permukaan kota, meredam hiruk pikuk
menjadi sebuah bisikan.Maulana dan sahabatnya masih saja ber-khalwat.
Pada awalnya, ketiadaan Maulana dirasakan seolah dia sedang menempuh perjalanan.
Tawanya, cerita-cerita yang dia kisahkan, kedatangan dan kepergian teman-teman
dan murid-muridnya semua itu pergi, tak berbekas. Tetapi, itu semua hampir tak
tertahankan; mungkin suatu hari, mudah-mudah an segera, dia akan kembali. Hari-
hari dan minggu-minggu berlalu tanpa keberadaan Maulana di sisi mereka, tapi
kehadirannya terasa semakin dekat.
Sepertinya, waktu berjalan dan dia masih ada di balik pintu, hendak memasuki
ruangan, seperti musim gugur ketika pohon kastanye merekah, atau di musim semi
saat kuncup mawar-mawar bermekaran. Kerra semakin pucat, tapi matanya
menyinarkan kebahagiaan. Menatapnya seperti melihat wanita hamil yang tanpa
tergesa-gesa membiarkan dunia ini bergulat, terlalu sibuk dengan tugas kodrati
untuk menjadi ibu. Dia tetap menyiapkan makanan, tenang, dan tegar kendati kedua
lelaki yang mengurung diri di kamar itu tidak juga menyentuh masakannya. Dia
tetap menyediakan pakaian bersih yang akan di letakkan di depan pintu kamar itu.
Dia tetap menanti. Bagi Kirnya, kekagetan dan kesedihan di hari pertama kini berangsur hilang
digantikan kedamaian, kedamaian pada malam hari yang kian hening saat dia
berjaga-jaga di depan pintu kamar di rumah Salahuddin. Malam-malam yang dia
lalui menjadi makanan batinnya. Gemanya terasa seharian, perasaannya semakin
terlatih, dan dia merasa menemukan sebuah tujuan. Bentuknya seperti apa, dia
tidak tahu.Kemudian,suatu malam ketika dia duduk di tempat biasa, seorang lelaki
tak diragukan lagi pasti Sy ams.Tiba-tiba keluar dari kamar.Hampir di luar
kehendaknya, dia menatap wajah itu. Matanya yang hitam itu menyala seakan
menusuk dia dengan dahsyat, menyentuh seluruh isi hatinya, dan Kirnya pun
menjerit. Selama beberapa detik, badai mulai mengamuk diikuti ketenangan yang
tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ketika dia membuka mata, tak
ada yang terjadi. Di hadapannya, seperti biasanya, pintu itu masih tetap
terkunci dan di bawah pintu, pendaran cahaya masih terlihat. Rumah itu masih
tenggelam dalam kesenyapan yang syahdu.
Malam itu, malaikat penjaga api mendatangi mimpinya. "Syams berada di sini
untukmu,"kata malaikat itu. "Hari ini, dia telah menyingkapkan tabirnya.
Perjalanan menuju asal telah dimulai."
Dia bangun, terhenyak. Apakah artinya" Dia bertanya-tanya. Dia menyimpan mimpi
itu bagi dirinya sendiri.
"Kirnya, kau jangan sedih," kata Hatije temannya ketika mereka berjalan
melintasi Taman Qamar Al-Din, yang sekarang diselimuti salju. Hatije seusia de
ngannya, dua belas tahun. Dia satu-satunya teman dekat yang pernah dia miliki.
Bahkan Nuran, temannya yang lain, rasanya tidak sedekat ini. Wajah bulat Hatije
dihiasi matanya yang hitam pekat. Tubuhnya gempal. "Terlalu suka yang manis-
manis," begitu Kirnya menggodanya. Ayahnya yang tukang daging adalah pengikut
Maulana yang paling rajin.
"Aku tidak sedih," kata Kirnya. "Tidak seperti
itu." "Lantas, mengapa kau jarang bercerita lagi" Mengapa kau selalu termenung
begitu?" "Aku mencoba menangkap sesuatu," kata Kirnya. Sebuah imaji melintasi benaknya.
"Seperti mencoba menarik sehelai benang supaya melewati lubang jarum yang sangat
kecil, kau harus penuh perhatian, bergeming, dan berkonsentrasi penuh." Dia
menjadi bersemangat. "Benar," katanya, "saat kita hendak menarik benang agar
melewati lubang jarum, pikiran kita tak boleh teralihkan,kau tak ingin pikiranmu
teralihkan." Hatije mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Mungkin aku mengerti," katanya. Dia
tertawa lebar, tawa yang bahagia. "Tetapi, aku suka kalau pikiranku teralihkan."
Kirnya tertawa juga. Hatije sangat jujur, selalu menjadi dirinya sendiri, tidak
pernah berpura-pura! Dia merangkul bahu temannya itu. "Aku sayang kamu, Hatije."
Mereka berjalan perlahan, terdiam selama beberapa saat. "Tetapi, kau tahu," kata
Kirnya, "aku tak tahan bila pikiranku teralihkan. Hal itu dia menjeda, "itu
begitu kuat. Itulah yang telah lama kunantikan."
"Tetapi, apa sih yang terlalu kuat itu, yang begitu kau nantikan itu?"
"Sesuatu yang ada dalam diriku," Kirnya mendadak menghentikan langkahnya. "Aku
tak tahu bagaimana cara menjelaskannya kepadamu. Rasanya seperti sesuatu
memanggilku sekaligus menjawabku pada saat yang bersamaan."Dia menggelengkan
kepalanya. "Aku tak mengerti."Dia mengenyahkan pikiran itu dari benaknya seperti
hendak memaksanya terbang. Udara bertambah dingin. "Ayo, kita pulang," katanya.
Kedua gadis kecil itu mempercepat langkah mereka. Layaknya permainan, mereka
menapaki kembali jejak kaki mereka sendiri di atas salju. Langkah mereka semakin
pelan, Hatije terperosok.Kirnya menarik mantel temannya dan mereka berdua
terjatuh di salju. Kemudian, mereka tertawa-tawa, tak bisa berdiri.
"Kau tahu maksudku, kan?" Kirnya mencoba menjelaskan lagi. "Kita harus penuh
perhatian. Jika salah satu dari kita terperosok, yang lain juga ikut
terperosok." Mereka mencoba berdiri dan membersihkan butiran salju yang melekat di gamis.
Mereka bertatapan dan kembali terpingkal-pingkal. Tiba-tiba, sesuatu
bergemerencing di telinga Kirnya dan segala sesuatu di sekelilingnya menjadi
lebih jelas, tampak lebih hidup. Dia tetap terpaku. Tawanya berhenti. Segalanya
bertambah nyata: waktu ini sedemikian berharga, sama sempurnanya seperti waktu
yang lalu saat dia berada di rumah Salahuddin, larut malam itu. Hidup ini adalah
satu kesatuan, segala sesuatu berhubungan, jutaan kepingan salju ini hanya
terbuat dari satu lapisan salju. Sebagai rasa syukur, dia membiarkan dirinya
terjatuh ke dalam salju. Hatije juga menghentikan tawanya. Dengan khawatir, dia
membungkuk di sebelah Kirnya dan memerhatikannya. Tiba-tiba saja Kirnya mencium
pipinya. Tak ada yang harus dikhawatirkan. Mereka saling bertatapan dan mulai
terkekeh-kekeh. "Kau terlihat acak-acakan seperti barang kotor, kalian berdua, dan harus kuakui,
kalian tampak bahagia!" seru Kerra ketika melihat kedua anak gadis itu masuk ke
dapur, masih tertawa-tawa. "Aku sudah lama tidak melihat pipi semerah kalian.
Mau susu hangat?" Hari berikutnya, Maulana dan sahabatnya muncul dari tempat pengasingan mereka.[]
14 "/- A 'K Saat itu, hari masih terlalu pagi. Langit baru saja berubah menjadi arakan awan
putih semu kelabu yang menandakan kedatangan mentari takkan lama lagi. Sendirian


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di dapur, Kerra menyalakan api saat dia mendengar langkah kaki di belakangnya.
Dia menengokkan kepala ke belakang pundaknya dan di sanalah suaminya berdiri, di
depan pintu. Dia pucat dan begitu kurus. Tubuhnya seakan tenggelam dalam
jubahnya, tapi pancaran matanya bersinar bahagia, tak salah lagi. Selama
beberapa detik, Jalai, sang suami yang biasa disebut orang sebagai Maulana,
Bangau Sakti 41 Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua Pendekar Pedang Sakti 1
^