Pencarian

Kimya Sang Putri Rumi 3

Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy Bagian 3


menundukkan pandangannya seolah malu bila membiarkan istrinya terpaku menatapnya
begitu lama. Namun, dia tak kuasa menahan senyum, seperti angin sepoi-sepoi
musim semi yang mengecup bibirnya, pikir Kerra. Kerra memang memerhatikan
lingkaran hitam di bawah mata suaminya. Tanpa disadari, Kerra menundukkan
pandangannya. "Jadi, kau bahagia rupanya," senyumnya seakan berkata, "dan hatiku
mengembang bahagia karena kebahagiaanmu." Kemudian, dia menyadari bayangan besar
dari sosok berperawakan tinggi kurus di belakang suaminya.
Jalai agak bergeser ke samping. "Ini Syamsuddin, sahabat karib jiwaku," katanya
perlahan. Kerra masih terdiam. Tidak pernah suaminya serapuh ini. Dia seperti anak kecil,
diabaikan, dipenuhi rasa ingin tahu. Jalai terdiam selama beberapa saat, lalu
menambahkan, "Kau harus memperlakukannya sebagai hal paling berharga dari
diriku." Dia hampir berbisik saat mengatakan kata terakhir, seakan kalimat itu tidak bisa
menyampaikan seberapa dalam perasaannya. Lelaki itu melangkah ke muka ketika
Jalai sedang berbicara. Kerra memikirkan pohon yang sangat besar, kuat, megah,
dan melindungi. Dia memiliki mata yang pekat dengan sorot yang tajam, berkobar.
Kerra tak kuasa menatapnya sampai-sampai hatinya seakan hendak melompat
melarikan diri. Lelaki itu membiarkan mata Kerra berpaling dan dia menatapnya
begitu dalam. Jadi, lelaki ini Syams. Siapakah gerangan" Pertanyaan itu berkobar
di benaknya dan masih tak terjawab. Kerra masih menatap kedua lelaki yang berada
di hadapannya itu, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat, ketika kemudian
Syams berbalik dan melangkah pergi, diikuti Jalai. Pemandangan tadi setidaknya
memakan waktu beberapa menit dan dia bertanya-tanya apakah dia bermimpi saat
Kirnya da tang, terengah-engah.
"Maulana dan sahabatnya telah selesai ber-khalwat. Mereka ada di sini. Aku
melihat mereka memasuki ruang belajar."
Jadi, ini bukan mimpi sama sekali. Dia mengangguk. "Aku tahu. Setidaknya mereka
telah menampakkan diri dan aku bahagia. Tetapi, Kirnya Kerra ragu-ragu. "Aku
juga takut," dia kini menggigil.
Merasa khawatir, Kirnya melepaskan selendangnya dan melingkarkannya di bahu
Kerra. "Itukah Sya ms?"
Tetapi, Kerra sudah menguasai dirinya lagi. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku
tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Jangan dengarkan aku, Kirnya. Aku hanya
cemas. Sepertinya, mereka tidak memerhatikan kesehatan mereka," dia mendesah.
"Kaum lelaki yang pergi terlalu jauh akan kehilangan pijakannya di bumi ini.
Kemudian, semua akibatnya a-kan menimpa kaum wanita." Dia bisa merasakan
kejengkelannya meninggi, menggantikan ketakutan yang baru saja dia alami dan,
entah bagaimana, yang tersisa adalah kelegaan. Tetapi, dia tahu bahwa dia telah
membiarkan dirinya terjatuh ke dalam ka ta-kata klise, jauh dari perasaannya
yang sesungguhnya. Dalam diam, mereka menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan rutin pagi hari:
menambah kayu, lagi dan lagi memasukkan ke tungku, memasak air hingga mendidih,
memotong sayuran .... "Barangkali, sekarang mereka akan kembali makan seperti sediakala," kata Kerra.
Suaranya bernada sebal teringat pada semua masakannya yang dia kirimkan dan tak
disentuh sama sekali selama kurang lebih tujuh minggu. Kemudian, dia tertawa.
Mengapa harus marah" Makanan itu tidak terbuang percuma. Ada beberapa pengemis
yang melahapnya dan meskipun suaminya menjadi kurus, dia toh kelihatannya bahagia. "Kirnya, kau
mestinya jangan mendengarkan keluh kesahku," katanya lagi. "Anugerah Allah
kadang sangat sulit dihargai manusia. Namun, begitulah, anugerah adalah
anugerah." Sinar mentari menerobos jendela, memenuhi ruangan itu seakan menjawab bahwa
semua ketakutan ataupun amarah hanyalah sekadar arakan awan belaka yang akan
segera bersembunyi dari kemuliaan sinar matahari. Sesuatu yang baru, sesuatu
yang tidak diketahui tapi sangat kuat, telah memasuki rumah mereka. Dari bibir,
Kirnya melantunkan sebuah lagu. Lagu yang sama yang pernah disenandungkan
Faroukh pada malam di perapian ketika Pater Chrisostom mengunjungi desa mereka
untuk yang terakhir kalinya. Lagu yang liar, megah, sebuah hi-mne atas anugerah
hidup ini, sebuah lagu yang tidak dia kenal hingga saat ini, tetapi menyatu
dalam dirinya. Keasliannya telah hilang di suatu tempat di gurun Asia Tengah.
Tiba-tiba saja, Kerra menjatuhkan lobak yang sedang dia cuci. Entah bagaimana,
lagu itu seakan membawa kembali sorot pekat, mata tajam menusuk milik Syams. Dia
kembali menggigil. Cengkeraman hawa musim dingin makin melunak. Sekali lagi, pohon-pohon almond
dipenuhi kuncup-kuncup bunga berwarna merah muda. Kesunyian ini membisikkan
semangat hidup baru pada minggu-minggu mendatang. Maulana dan Syams sudah
mengakhiri periode khalwat dan shaumnya. Pada saat itulah, Sultan Walad maupun
beberapa teman Maulana bergabung dengan kedua orang itu. Hal ini melegakan hati
Kerra. Masakannya tentu akan kembali dilahap, tak akan sia-sia. Hanya Alauddin
yang tetap membisu dan menjaga jarak. Dia marah karena ayahnya telah
"mengabaikan mereka" dan dia membiarkan semua orang mengetahuinya. Saat berada
di rumah, dia akan membanting pintu, memberengut dan tak mau diajak bicara, dan
mudah terpancing emosinya dengan hal-hal sepele sebagai dalih amarah buta yang
meledak-ledak. Sepanjang waktu, dia berpacu di maidan bersama teman-teman nya.
Keingintahuan orang Konya belum menyurut. Orang-orang mengamati Maulana dan
Syams pergi ke masjid, ke pasar, maupun ke pemandian umum. Terkadang mereka
berdua terlibat percakapan yang seru, kadang hanyut dalam kesunyian. Dan, orang-
orang itu bertanya-tanya apa yang menjadi penghalang tak tampak yang membuat
kedua lelaki itu tak bisa didekati" Penghalang yang dijaga oleh tatapan
menyilaukan Syams.Sementara Maulana, perhatiannya semua tercurah untuk Syams.
Tampaknya, dia tidak memedulikan dunia di sekitarnya. Ora ng-orang menatap guru
besar mereka dengan pandangan tak percaya. Kurus, ke-kanakan. Dia menjadi
bayangan dirinya sendiri.
Murid Maulana tidak menyukai keadaan ini. Mereka berharap guru mereka itu
kembali mengajar di madrasah. Tetapi, kini mereka sadar bahwa Maulana tak lagi berhasrat
melakukannya. Maulana bukan lagi seorang alim yang mereka kenal. Ketenangannya
hilang. Karisma yang penuh harga diri pun lenyap sudah.Mereka melihatnya
tertawa-tawa tak terkendali. Saat lain, mereka melihatnya menangis. Kim ya
mendengar orang-orang saling berbisik, "Apakah Maulana sudah gila" Apa yang
telah dilakukan Sya ms terhadapnya?" Suatu saat mereka pernah melihat Maulana
berlari mengelilingi rumah dan di lain waktu, bahkan lebih parah, menari
berputar-putar di simpang jalan disoraki dua anak kecil yang bertepuk tangan
girang. Sedangkan, Syams berdiri dengan mata terpejam, sepertinya hanyut dalam
mimpinya sendiri. Kemudian, Kirnya bertanya kepada Maulana, "Mengapa kau
berputar-putar seperti itu"Apa yang terjadi padamu?"
"Menari mengantarkan kalbu lebih dekat kepada Allah," jawab Maulana. "Menari
merupakan adat kuno. Berasal dari hikmah suatu ilmu yang mengizinkan manusia
menemukan jalan kembali kepada Allah. Tahan itu diciptakan di Persia jauh hari
sebelum kemunculan Rasulullah Saw." Wajahnya melembut. "Syams mengajarkan tahan
itu kepadaku," katanya.
"Bolehkah aku ikut menari?" tanya Kirnya.
"Belum saatnya, Kirnya." Dia menggoyangkan kepalanya dan matanya teduh dipenuhi
kelembutan. "Jika belum saatnya, menari berputar-putar seperti itu hanya akan
melukai siapa pun yang belum siap melakukannya."
Kirnya menatapnya penuh tanya.
"Sederhana saja," kata Maulana. "Tahan itu menyentuh kalbu. Tahan ini mendidik
emosi dengan segenap kekuatan. Kadang membingungkan, makin naik maqam spiritual,
godaan pun makin menggila. Karenanya, hanya akan menghambat perkembangan
spiritual siapa pun yang masih memperturutkan kesenangan syahwat dan kepuasan
hawa nafsunya semata. Alasan inilah yang membuat tahan ini begitu rapat
dirahasiakan dalam waktu lama." Dia menghentikan kalimatnya dan hanyut ke dalam
pikirannya sendiri. "Sebelum menari, kalbu ini, hati ini, harus dibersihkan dari
semua keterikatan," katanya setelah beberapa saat. Kemudian, dengan berbisik,
dia menambahkan, "Tidak semua orang bersedia terbakar untuk sampai ke tingkatan
itu." Sesudah itu, Kirnya bertanya-tanya. Apa maksudnya" Apakah yang dia rasakan
terhadap Maulana, Kerra, adalah keterikatan" Bukankah itu cinta"
Waktu berjalan. Beberapa murid Maulana menemui Sultan Walad. "Katakan kepada
ayahmu, tanpa cahaya pengajarannya, hidup ini rasanya tak tertahankan membebani kami. Katakan kepadanya, tanpa
kebijakannya, kami bagaikan orang buta yang tersandung di kegelapan."
Sultan Walad mendengarkan keluhan mereka, tapi apa yang bisa dia lakukan" "Aku
jarang melihat Ayah belakangan ini,"katanya kepada mereka. "Dan, kalaupun aku
menemuinya, hanya sebentar, sekadar menengok apakah dia dan Syams baik-baik
saja." Bagaimana bisa dia jelaskan intensitas keheningan yang kadang dia
dapatkan dari pertemuannya
dengan ayahnya dan Syams" Bagaimana bisa dia ceritakan kepada murid-murid itu
bahwa, di balik dinding ruang belajar ayahnya itu, mereka berdua kerap
menghabiskan waktu sekian lama dalam sunyi yang bahkan lebih hidup daripada
hiruk pikuk Kota Konya ini" Murid-murid itu menatapnya dengan curiga. Apakah
Sultan Walad telah mengkhianati mereka seperti juga ayahnya" Dan, semua ini
terjadi karena sufi pengelana itu, kaum Qalandar, kaum bid1 ah yang bangan
spiritual siapa pun yang masih memperturutkan kesenangan syahwat dan kepuasan
hawa nafsunya semata. Alasan inilah yang membuat tahan ini begitu rapat
dirahasiakan dalam waktu lama." Dia menghentikan kalimatnya dan hanyut ke dalam
pikirannya sendiri. "Sebelum menari, kalbu ini, hati ini, harus dibersihkan dari
semua keterikatan," katanya setelah beberapa saat. Kemudian, dengan berbisik,
dia menambahkan,"Tidak semua orang bersedia terbakar untuk sampai ke tingkatan
itu." Sesudah itu, Kirnya bertanya-tanya. Apa maksudnya" Apakah yang dia rasakan
terhadap Maulana, Kerra, adalah keterikatan" Bukankah itu cinta"
Waktu berjalan. Beberapa murid Maulana menemui Sultan Walad. "Katakan kepada
ayahmu, tanpa cahaya pengajarannya, hidup ini rasanya tak tertahankan membebani
kami. Katakan kepadanya, tanpa kebijakannya, kami bagaikan orang buta yang
tersandung di kegelapan."
Sultan Walad mendengarkan keluhan mereka, tapi apa yang bisa dia lakukan" "Aku
jarang melihat Ayah belakangan ini," katanya kepada mereka.
"Dan, kalaupun aku menemuinya, hanya sebentar, sekadar menengok apakah dia dan
Syams baik-baik saja." Bagaimana bisa dia jelaskan intensitas keheningan yang
kadang dia dapatkan dari pertemuannya dengan ayahnya dan Syams" Bagaimana bisa
dia ceritakan kepada murid-murid itu bahwa, di balik dinding ruang belajar
ayahnya itu, mereka berdua kerap menghabiskan waktu sekian lama dalam sunyi yang
bahkan lebih hidup daripada hiruk pikuk Kota Konya ini" Murid-murid itu
menatapnya dengan curiga.Apakah Sultan Walad telah mengkhianati mereka seperti
juga ayahnya" Dan, semua ini terjadi karena sufi pengelana itu-kaum Qalandar,
kaum bid1 ah yang mengembara ke segala penjuru hanya untuk membawa penyakit dan
fitnah-telah mengambil akal sehat Maulana!
Keesokan hari, di pasar, Kirnya mendengar orang-orang menyebut Syams sebagai
iblis dan "Betapa mengerikan harus hidup bersamanya dalam satu atap!" Dia terus
berjalan, tak memedulikan omongan tersebut, tapi hatinya terasa sesak. Ingin
rasanya dia menangis keras-keras. "Semua sama sekali tidak benar. Syams bukan
iblis. Dia adalah angin yang sangat dahsyat yang mengobarkan api yang membakar
apa pun yang disentuhnya. Dia adalah sang pembawa berita rahasia, dia ..." dia
merasakan batinnya menangis. Dia menghentikan langkahnya. Dia masih terengah-
engah. Kedai-kedai di sekelilingnya
tampak bergoyang dan jantungnya berdetak sangat kencang.
Kemudian, dia merasa seseorang memegang tangannya dan terdengarlah suara Kerra
yang begitu lembut, begitu menenangkan. "Yuk, pulang ke rumah. Kita sudah
terlambat." "Apa yang telah terjadi?" tanya Kirnya setelah dia duduk di dapur bersama Kerra.
Tangannya memegang secangkir teh.
"Tubuhmu sudah tumbuh, begitu juga jiwamu," kata Kerra. "Kadang-kadang hal itu
bisa terasa membingungkan. Tetapi, itu adalah karunia yang agung, meskipun
terkadang sulit sekali me-mikulnya." Dia menghentikan kalimatnya kemudian
menambahkannya seolah untuk dirinya sendiri,"Pada saat-saat itu, segalanya
berubah sedemikian cepat."
Beberapa hari kemudian, selagi duduk-duduk di halaman sambil menyiapkan sayuran
untuk makan malam, Kirnya merenung. Semua benar adanya; segala sesuatu berubah.
Segalanya telah berubah. Suatu kekuatan dahsyat yang kasat mata dan keharuman
rahasia yang semerbak telah diterima dengan khidmat di rumah Maulana ini,
mengubah urat nadi kehidupan. Kirnya sedang memilah-milah bawang perai dari
keranjang yang terletak di samping kakinya.Ketika itulah dia mendengar langkah
kaki. Dia mendongak, heran melihat kedatangan Syams.
Syams berjalan ke arahnya, kemudian bertanya,
"Bolehkah aku duduk di sampingmu?" Suaranya begitu lembut, tanpa ada ke-
sombongan yang biasa Kirnya rasakan pada sosok di hadapannya ini, meskipun sorot
matanya menusuk seperti biasanya,membangkitkan konflik aliran emosi pada diri
Kirnya. Kirnya mengangguk setuju, heran juga mendengar permintaan seperti itu. Syams
duduk agak menjauh dan terdiam. Kepalanya menunduk. Kirnya kini menyadari suara
hiruk pikuk kota yang teredam oleh tembok-tembok di sekeliling rumah. Ketenangan
di halaman ini sekarang diselimuti suatu kekuatan. Tak sanggup melanjutkan tugas
hariannya dengan menunggu dan hening seperti itu, Kirnya akhirnya bertanya,
"Apakah Kota Tabriz seperti juga Konya?"
Dia mengangkat kepalanya. "Tabriz adalah kota dengan masjid-masjid yang membiru
dan lelangit yang cerah terang," katanya dengan termenung seolah bicara kepada
dirinya sendiri. "Sedangkan Konya adalah kota cahaya."
Kirnya menanti penjelasannya, tapi dia malah melanjutkan, "Mawar-mawar Kota
Tabriz kecil dan berwarna kuning pucat dan hatinya berdarah-darah . Belum ada
mawar seperti itu di Konya. Tetapi, suatu hari nanti, mawar seperti itu akan
tumbuh dan berkembang."
Kirnya gemetar. Dia membiarkan pisau di tangannya terjatuh. Kata-kata itu
membawa pesan yang belum bisa dia maknai.
Tanpa menghiraukan reaksinya, Syams meneruskan. "Ada banyak perempatan jalan
tempat jiwa - jiwa suci bangkit di malam hari. Mereka berkumpul dalam sebuah kelompok seperti
merpati-merpati me rah dan hijau, kemudian mereka terbang ke Makkah dan bertawaf
memutari Ka'bah." Kirnya menatapnya. Betapa anehnya perkataan itu! Sepengetahuannya, hanya ada
merpati yang berbulu kelabu atau putih seperti mutiara dan dia belum pernah
mendengar ada merpati berwarna merah apalagi hijau. Senyum tipis yang sekilas,
seperti awan yang berarak, tersungging di bibir Syams. Dia menatap jauh ke lubuk
hati Kirnya. Kirnya merenungkan apakah Syams itu merpati merah atau hijau"
Syams menjawab pertanyaan yang diucapkan Kirnya dalam hati itu. "Ada banyak
orang di Tabriz. Jika dibandingkan, aku bukanlah apa-apa," katanya.
Kemudian, dia bangkit. "Ingatlah mawar-mawar Tabriz," katanya. "Mereka dekat
dengan Allah. Hanya hati yang berdarah-darahlah yang bisa menemu kan-Nya." Dia
tampak merenung, kemudian melanjutkan, "Manusia tidak ingin mengetahui hal ini
dan mereka akan melupakannya dengan cepat. Ketika hatinya terpanggil dan
berdarah-darah, mereka malah mengeluh, bukannya bersyukur."Tatapannya semakin
tajam dan menusuknya. "Tetapi kau, Kirnya, kau tidak akan lupa." Dan, sebelum
Kirnya menanggapinya, Syams telah melangkah dan menghilang ke dalam rumah,
meninggalkannya dalam keadaan gemetar dan makin bingung saja.
Hari berganti, minggu berlalu. Kirnya semakin menyadari bahwa mata Syams tak
pernah berhenti mengikutinya, seremeh apa pun pekerjaannya. Pada saat seperti
itulah dia hanyut dalam keheningan yang aneh. Kualitas pekerjaannya kini
berbeda, menjadi sebuah zikir dan kebaktian yang nyata kepadaNya. Dia pun kini
mengetahui betapa waktu tak bisa bergulir ke belakang. Terkadang tindakan yang
paling sederhana sekalipun berlangsung selamanya. Misalnya, ketika dia menatap
bayangan di tembok, dia tahu beberapa menit telah berlalu. Lain waktu, semenit
rasanya seperti berjam-jam. Hidup ini bukanlah rangkaian kejadian yang tidak
bertalian. Hidup adalah sebuah melodi yang mengalun pasti, setiap nada
bersambung ke nada berikutnya dengan harmonis. Melodi yang sederhana dan indah
ini tidak pernah bisa diramalkan, tetapi setiap nadanya tidak pernah terlalu
cepat ataupun terlalu lambat.Bahkan, setiap nada selalu tepat. Namun, setiap
nada harus kita tangkap seperti seseorang menangkap burung yang sedang terbang
dalam kecepatan tinggi. Semua ini membuat Kirnya amat bersemangat. Apa yang akan
terjadi selanjutnya selalu di luar dugaan.
Kehidupan ini menjadi musik dan tentu saja para musisi pun ambil bagian. Suatu
malam, seorang lelaki, pemain ney, diundang ke rumah Maulana. Malam semakin
larut dan sebuah alunan suara dari rumah itu, selembut napas, memanggil,
meratap, kadang sayu, kadang bahagia. Di sisi jalan, orang-orang menghentikan
langkahnya. "Dari mana musik ini mengalun?" tanya mereka.
Kemudian, mereka saling berbisik. Benar, musik itu berasal dari rumah Maulana.
"Musik! Di rumah Maulana?" tanya mereka. Kemudian, mereka menggerutu. "Dulu, dia
mengatakan bahwa musik mengalihkan hati kita dari Allah!" Dan, sekali lagi,


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penduduk Konya menggelengkan kepalanya, heran bercampur cemas.
Di ruang belajar Maulana, Kirnya memasuki dunia tak dikenal yang nantinya cukup
akrab dia jelajahi. Bantal yang biasa menyangga kepalanya saat beristirahat kini
terasa kasar dan berbau asap. Di suatu tempat di kejauhan sana, suara Maulana
terdengar lamat-lamat. Dia masih bisa mendengar gemerencing gelas beradu di atas
nampan tembaga, Syams yang terbatuk-batuk dengan hebatnya, dilatari alunan ney
yang kadang melengking, kadang melebar. Lalu, sesaat alunan itu berhenti,
kemudian berubah menjadi nada panjang yang menusuk. Dari waktu ke waktu, Kirnya
membuka matanya, mengamati percikan bunga api yang melompat-lompat dari perapian
seakan mengikuti alunan musik itu. Malam makin larut dan rembulan menghiasi
kepekatan langit, sementara batas antara keterjagaan dan keterlelapan yang kini
menghinggapinya menjadi lebih tipis daripada selembar cadar.
Sebelum azan subuh berkumandang, senandung musik itu telah berakhir. Dia masih
bisa mendengar langkah kaki para musisi dan tetamu yang meninggalkan rumah.
Kicau burung menyambut fajar adalah suara terakhir yang dia dengar.
Beberapa hari kemudian, saat sedang berjalan, dia mendengar Syams berbicara
dengan Sultan Walad. Kedua orang itu baru saja keluar dari ruang belajar Maulana
dan tidak menyadari kehadirannya.
"Aku tak peduli omongan orang. Bukan itu masalahnya," kata Syams. Suaranya
lantang tapi tidak mengandung api marah. "Aku tak peduli jika mereka tidak
menyukaiku, kau tahu itu. Tetapi, jika kehadiranku menyebabkan perselisihan di
kota ini, aku akan pergi."
Kirnya menghentikan langkahnya, khawatir. Sya ms akan pergi! Memang benar,
kehadirannya menyebabkan permusuhan dan kemarahan, tapi tidak lantas dia harus
pergi dari sini! Syams tidak pernah asal bicara. Apa yang dia katakan, itulah
yang dia maksudkan. Tak ada kepura-puraan. Kirnya berlalu. Tiba-tiba, Kirnya
merasa sedih. Hatinya terasa berat, begitu sesak. Aku tak ingin dia pergi,
batinnya. Kirnya begitu terkejut mendengar jerit hatinya sendiri. []
15 "db Akbar baru saja berusia tujuh belas tahun dan dia tengah bingung. Dia seorang
pemuda dengan mata hitam, rambut gelap, dan raut wajah penuh percaya diri yang
membuat teman-temannya percaya bahwa pengetahuannya lebih dalam daripada yang
dia perlihatkan. Sejak kecil, dia telah mendengar tentang sosok Maulana
Jalaluddin sebagai seorang guru yang hebat yang mengajar mengenal Allah dan cara
menghampiriNya. Dia sering kali melihat Maulana melintasi jalan-jalan di Konya
bersama murid-murid nya dan dia termasuk salah seorang di antara anak-anak yang
mengikutinya, berharap suatu hari dia ju ga akan menjadi muridnya. Dan sekarang,
dia menjadi seorang murid Jalaluddin. Sudah dua tahun ini dia menghadiri kuliah-
kuliah yang diberikan Maulana sambil mempelajari ilmu hukum agama yang mengkaji
cara-cara manusia menyelesaikan dilema dan konflik yang terjadi di antara mereka
melalui penelaahan wahyu Ilahi dan interpretasi dari orang-orang bijak dan suci.
Dunia Akbar sangat biasa-biasa saja. Kehidupannya sederhana. Hidupnya hanya
berpegang pada kalimat syahadat, tiada tuhan selain Allah
dan Nabi Muhammad adalah rasul-Nya; shalat wajib lima kali dalam sehari;
mengeluarkan zakat dan terkadang bersedekah; shaum di bulan suci Rama-dhan; dan,
kalau memang Allah berkehendak, insya Allah dia ingin juga naik haji.
Tetapi, apa yang kini dia hadapi" Tuntunan yang sangat jelas mengarahkan
hidupnya kini menjadi tampak samar. Maulana, guru yang alim dan terhormat yang
selama ini menjadi figur teladannya, tidak bisa lagi diandalkan. Teman-teman
semadrasahnya menuduh Maulana sudah melupakan tugasnya dan lebih parah lagi,
sudah mencemooh agama. Akbar kini menghabiskan malam-malamnya dengan menangis.
Pikirannya mengembara, mencoba memahami apa yang tampaknya tidak masuk akal. Dia
merasa diabaikan, kehilangan pijakan, dan dikhianati. Kepada siapa dia mengadu"
Berbagi rasa dengan teman-temannya ternyata juga tidak banyak membantu. Mereka
juga sama seperti dirinya, bingung, marah, dan khawatir. Beberapa temannya telah
meminta pendapat sang Imam dan hanya disarankan supaya melupakan Maulana dan
kembali kepada Allah. Tetapi, entah bagaimana, saran itu juga tidak membuat
mereka lega. Jangan-jangan Allah pun mengabaikan mereka sebuah pikiran mengeri-
kan, hampir merupakan penghujatan-membuat Akbar semakin jatuh dalam keputusasaan
yang kelam. Suatu pagi, setelah tak tidur semalaman seperti juga malam-malam
sebelumnya,pikirannya mengarah kepada seseorang yang mungkin bisa menolongnya,
yakni Sadruddin Qanawi. Dia terhormat, reputasinya
tidak bercela sedikit pun. Beberapa tahun yang lalu, Sadruddin pernah bertemu
Syaikh Akbar, Ibn Arabi, dan tak lama berselang dia menikahi putrinya. Sudah
diketahui pula, setelah terjadi pertemuan yang menghebohkan dengan Maulana,
kedua orang itu menyadari bahwa mereka memiliki pemahaman yang sama mengenai
Allah dan ciptaan-Nya, dan mereka menjadi akrab. Sadruddin tinggal di pinggiran
Konya. Rumahnya berwarna putih, kecil, dan tersembunyi di antara kebun buah
sehingga Akbar agak kesusahan mencarinya. Sadruddin sendiri yang membukakan
pintu. Dia tampak terkejut melihat kedatangan Akbar.
"Ada apa, Anakku?"
Sadruddin lebih tua daripada yang Akbar kira. Punggungnya bungkuk dengan wajah
penuh keriput dan hampir setengahnya dipenuhi jenggot yang tercukur rapi.
"Silakan masuk. Mari sini," ajak Sadruddin. Akbar memasuki rumah itu. Dia tak
yakin benar mengapa dia menginjakkan kaki di sini. Wangi minyak dan lilin
terbakar memenuhi ruangan. Sadruddin mengantarkannya menuju ruangan kecil
beralaskan dua karpet yang sudah lusuh dan berhiaskan ban tal-bantal kecil.
"Silakan duduk," kata Sadruddin, menunggu sang tamu untuk mengutarakan maksud
kunjungannya. Sadruddin sendiri duduk di bantal itu, memejamkan mata, dan selama
beberapa menit Akbar menduga-duga apakah orang tua ini ketiduran.
"Saya ingin meminta saran," Akbar akhirnya berkata.
Sadruddin membuka matanya dan menatap Akbar dalam-dalam, tapi tidak berkata apa-
apa. "Saya, saya tak tahu apa yang harus saya lakukan," Akbar tergagap. Angannya
berkelebat melintas memenuhi kepalanya. Jantungnya berdegup kencang. "Maulana,"
dia berusaha menata kalimatnya. Namun, dia kemudian tak sanggup melanjutkannya.
"Ah suara Sadruddin bertambah dalam dan dia menarik napas panjang.
Keheningan yang tak biasanya,sangat berbeda. Bahkan, ruangan ini pun seakan
berdebar, menahan napas. Sadruddin bersandar ke dinding dan merapatkan mantelnya menutupi dada. "Dunia
ini tidak semata-mata hitam dan putih, Anakku," katanya. "Pernahkah kau sadari
ada gradasi warna di antara hitam dan putih, ada rupa-rupa warna kelabu, dan
..."dia tertawa membuat wajahnya berseri-seri penuh cahaya "banyak sekali warna
yang lainnya?" Akbar mengerutkan kening. Apa maksudnya" Teka-teki apa ini"
"Kau berpikir mengenai baik dan buruk, benar dan salah, pahala dan dosa,"
Sadruddin meneruskan kalimatnya. "Tetapi, yang kau lihat itu dunia anak-anak!"
Wajahnya bergelora dan tampak lebih muda. "Anak-anak lelaki bermain petak
umpet," katanya. "Mereka menunggangi kuda-kudaan dan bermain pe dang-pedangan.
Apakah kau juga seperti itu?" Nada suaranya meninggi, tapi mengandung kelakar.
Akbar merasakan pipinya memerah.
Sadruddin pura-pura tidak memerhatikannya. "Ada masanya ketika menghadapi hal-
hal yang tak bisa diterima akal, hati harus bisa menerimanya."Dia mengambil jeda
selama beberapa saat kemudian menambahkan, seolah mempertimbangkan masak-masak
sebelum mengutarakannya, "Semua ini adalah ujian, makanan jiwa dan hati. Semua
yang terjadi harus diterima tanpa memilah-milah. Hati merengkuh segalanya.
Apakah sekarang kau mengerti?"
Akbar gelisah. Dia datang untuk meminta saran dan orang tua itu memberikan
uraian yang tak dia mengerti. Dia tetap terdiam.
"Hati ingin menerima semuanya dengan lapang dada," ulang Sadruddin. Tangannya
menggenggam bidang yang kasatmata. "Tidak bisa hanya mengingini sisi kue yang
kita sukai," Sadruddin kembali tertawa, tawa yang sangat renyah. "Hati
menginginkan semuanya, apa yang dipandang baik atau buruk, apa yang dianggap
bahagia atau apa pun yang kita sangka sebagai penderitaan, dan hati tidak
mengenal imbalan maupun hukuman. Bisakah kau membayangkannya?"
Akbar kehilangan pijakan. Dunianya terasa diguncangkan, dijungkirbalikkan.
Sadruddin kasihan kepadanya. "Jangan memaksakan diri untuk mengerti," tatapannya
melembut. "Pemahaman akan datang kemudian. Kau datang ke sini meminta saranku
dan inilah yang bisa kuberikan: Mundur, jaga jarakmu, dan terimalah," suara
Sadruddin menggelegar. "Terima bahwa kau tidak mengerti apa pun, tidak memahami
apa yang sedang terjadi di sekelilingmu." Dia menekankan kata-katanya dengan
isyarat tangannya. "Terima saja bahwa kau tak tahu jalan keluarnya, bahkan tak
bisa membayangkannya sekalipun, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Dan,
terimalah kesakitanmu." Kembali dia menjeda. "Dan, bersyukurlah kepada Allah
atas semua itu." Dia kemudian terdiam selama beberapa saat, membiarkan Akbar
bisa menyerap inti sari perkataannya.
"Tahukah kau bahwa pembelajaran itu ada berbagai bentuk, bahkan ada yang tidak
berbentuk sama sekali?" tanya Sadruddin selintas lalu.
Akbar menatap sang tuan rumah, ketakutan. Setiap pertanyaan yang dilontarkan
Sadruddin memaksanya untuk mencerabut semua hal yang dia ketahui, yang dia
yakini. "Maulana telah memasuki dunia tanpa dimensi," kata Sadruddin melanjutkan. "Dan,
bila dikehendaki Allah, siapa pun yang mencintainya akan turut memasukinya."
Tangan Sadruddin merangkul Akbar. "Dunia yang tak kau kenal, Anakku. Harta karun
terpendam di jalan itu dan bila Allah berkehendak, suatu hari harta itu akan
menghampirimu. Tetapi ingat, kepedihan harus dijalin dengan benang-bena ng cinta
dan kesabaran. Jangan biarkan kepedihan itu meracunimu. Sebuah karpet yang indah
tidak terjalin dalam waktu sehari. Kau baru berada di permulaan."
Akbar terhenyak. Binar mata Sadruddin menyalakan kembali api yang pernah
dinyalakan Maulana. Rasanya dia tiba-tiba ingin menangis. "Hatiku dahaga,"
katanya, melepaskan semua kepura-pura an.
Sadruddin mengangguk. "Pernahkah kau merenungkan bahwa dahaga yang teramat
sangat ini adalah hidayah yang akan mengantarkanmu menuju Allah?"
Akbar memejamkan matanya. Kata-kata itu, tak terduga dan mengejutkan, rasanya
bagai pelipur lara bagi hatinya.
"Pemuas dahagamu adalah Allah, bukan Maulana, ataupun kata-kataku. Dan, tangan
Allah," tambahnya, "akan menyentuh segalanya."
Ketukan pintu memotong kata-kata Sadruddin.
Dia meletakkan tangannya di pundak Akbar. "Jagalah kemurnian cintamu kepada
Maulana dan kau akan lihat segalanya akan baik-baik saja. Waktu yang akan
membuktikannya. Dan, ingatlah selalu, bersabarlah." Dia melafalkan kata terakhir
dengan perlahan, seolah sedang mengajarkan sebuah kosakata baru kepada anak
kecil. Kembali, dia tertawa dan bangkit. "Sabar adalah sebuah kata, ya aku tahu
itu, yang tidak memikat anak muda." Pembicaraan itu telah usai. Diikuti Akbar,
dia membuka pintu. Seorang gadis berdiri di depan pintu. Dia menjinjing sesuatu yang terbungkus
selembar kain biru. "Ah, kau rupanya, Kirnya," seru Sadruddin.
"Ini tarbanas. Silakan dicicipi," kata Kirnya sambil menyerahkan bungkusan kecil
kue gandum khas Turki. Sadruddin berpaling ke arah Akbar. "Pernah bertemu Kirnya, kan?" selidik
Sadruddin. Akbar ragu-ragu. Dia sering melihat Kirnya, tapi belum pernah berbicara
dengannya. Para pemuda tidak pernah berbaur dengan gadis-gadis. Dia
menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa dia belum pernah bertemu dengan
Kirnya. Tetapi, dia tahu bahwa Kirnya adik Alauddin dan dia merupakan bagian
dari rumah tangga Maulana. Dia menatap gadis itu dengan rasa ingin tahu. Cahaya
dalam sorot mata sang gadis mengingatkannya pada mata Maulana. Sorot mata yang
sama. "Bagaimana kabar Maulana?" tanya Sadruddin. Wajah Kirnya berseri-seri. "Maulana
sehat walafiat," katanya, kemudian menunduk menatap ujung-ujung kakinya. Kirnya
menambahkan dengan suara yang melembut. "Dia bahagia."
Pada saat itu, Akbar memerhatikan bulu mata sang gadis yang panjang dan lentik.
Betapa anehnya! Intensitas pertemuannya dengan Sadruddin tampaknya mewujud ke
dalam sosok gadis muda ini.
"Saya harus segera pergi," kata Akbar mendadak dan, setelah mengangguk hormat
pada Sadruddin, dia bergegas pergi.
Dia tidak yakin apakah dia sedang melarikan diri atau menari. Awalnya, dia
bermaksud meminta saran, tapi sedikit yang dia ketahui-atau yang dia sangka
ketahui direnggut darinya. Dia merasa hampa, anehnya dia bahagia. Oh, dia masih
berada dalam kegelapan; lebih gelap daripada yang kemarin, tapi di ujung
terowongan itu, jauh entah di mana, ada seberkas cahaya. Dan, cahaya itu adalah
sinar yang sama yang pernah dia rasakan saat bersama-sama Maulana, cahaya yang
sama yang dia lihat hari ini dalam sorot mata Sadruddin maupun Kirnya.
Begitu dia sampai di alun-alun utama yang memiliki air mancur dan pepohonan yang
baru saja menghijau, dia melihat sekelompok temannya duduk-duduk di tangga masuk
masjid. Mereka terlihat sedang sengit berdiskusi. Segera saja dia berbalik dan
memilih jalan sempit yang dia lalui saat berangkat. Kata-kata Sadruddin masih
terngiang di telinganya. "Jangan biarkan kepedihan itu meracunimu."
"Tak akan kubiarkan," bisiknya kepada dirinya sendiri. "Tak akan."[]
16 Sudah lebih dari setahun. Waktu pun berlalu tak terasa. Sepertinya, sudah lama
sekali sejak Alim tersandung di sana-sini, dengan cepat belajar berjalan.Dia
kini berlarian di samping Kerra dan Kirnya dan mengikuti mereka berdua ke mana
pun mereka melangkah. Sekali lagi, musim semi beralih ke musim panas. Segera
saja hari-hari yang panas menyengat kembali, menyergap diikuti malam-malam
panjang yang sejuk dan menyegarkan. Taman-taman mulai semarak dengan warna-
warni. Kirnya biasa duduk-duduk di bawah bayangan pohon poplar bersama Hatije,
menikmati keindahan senja di Taman Qamar Al-Din. Mereka berjalan dalam hening
menyusuri jalan setapak berhiaskan mawar-mawar yang semerbak di kedua sisinya.
Saat itu, matahari belum tenggelam dan azan pun belum berkumandang. Hiruk pikuk
kota perlahan surut, menyambut waktu istirahat. Matahari meredup dan burung-
burung bersenandung menyambut malam yang akan menjelang.
Kirnya menikmati suasana itu. Siang tadi terasa panjang dan begitu lama. Seperti
biasa, dia berbelanja ke pasar, kemudian menyuapi Alim dan meni -
tipkannya kepada tetangga sebelah. Dia dan Kerra pergi ke sisi lain kota
mengunjungi seorang perempuan yang sudah lama tergeletak tak berdaya di
ranjangnya. Mereka berdua membersihkan rumah, membuatkan sup, dan duduk-duduk di
samping si sakit. Perempuan itu sudah sangat tua. Suaminya tewas dalam sebuah
kecelakaan, sedangkan anak-anaknya telah meninggal jauh hari sebelumnya. Dia
tidak punya sanak kerabat. Yang merawat dia selama ini hanya Kerra dan tetangga
yang masih berba-ik hati padanya. Dan sekarang, dia sakit. "Terlalu letih untuk
hidup," katanya. Matanya mencari-cari, ingin sekali menatap Kerra. Dia bertanya,
n"Akankah aku berkumpul kembali dengan suami dan anak-anak ku" Ceritakan, apa
kata Maulana?" Kerra memegang tangan si sakit. "Tentu saja Ibu akan bersama-sama lagi dengan
keluarga." Maulana sering menegaskan bahwa cinta adalah sungai kehidupan yang
abadi. "Cinta Ibu pada suami dan anak-anak dan cinta mereka pada Ibu adalah
sebuah sungai," katanya. "Sungai itu akan membawa kita semua menuju lautan yang
sama." Perempuan itu memejamkan mata. Dua bulir air mata mengalir ke pipinya. Kedamaian
yang agung. Sepertinya, sayap burung raksasa atau lipatan mantel Syams telah
menyelimuti ruangan itu. Perempuan itu tertidur. Keheningan di sekeliling mereka
dilingkupi oleh kehangatan yang membuncah. Mereka berdiam diri menjaga
keheningan itu. Kemudian, Kerra meraih tangan Kirnya dan pelan-pelan keduanya
meninggalkan si sakit. Mereka berjalan pulang
ke rumah dalam diam, masih larut dalam kedamaian itu.
"Tadi indah sekali," kata Kirnya begitu mereka tiba.
Dia mendorong pintu dan melangkah masuk. Kemudian, Kerra berpaling kepadanya.
"Cinta membuatmu terhenyak, iya kan?"
Cinta! Apakah kedamaian itu cinta, keheningan yang baru saja dia temukan di
rumah si sakit" Kirnya masih merenung saat dia mengerjakan tugas-tugas rutinnya
di rumah: mengangkut air, membuat kue apel untuk makan malam nanti,dan
mengangkat baju yang telah kering setelah seharian digarang mentari yang terik.
Kedamaian itu begitu meluap; membuatnya merasa segar dan dia sangat bersyukur.
Rasanya serupa dengan pengalaman sewaktu dia duduk menunggu di depan pintu saat
mengantarkan makanan bagi Maulana dan Syams yang tengah ber-khalwat. Perasaan
yang sama membuat dia bersenandung gembira atau pada saat yang lain membuatnya
rindu hingga menjerit putus asa. Cinta! Inikah yang dia alami"
Kirnya masih memikirkan hal itu saat dia dan Hatije menyusuri jalan setapak di
Taman Qamar Al-Din. Mereka berjalan hingga ke lorong. Dan, selama beberapa saat,
mereka duduk di pinggir kolam kecil di tengah-tengah taman. Daun-daun pohon
poplar berkilauan diterpa angin sepoi-sepoi. Air kolam berpendaran memantulkan
cahaya matahari, sedangkan ikan-ikan mengirimkan pesan tak terbaca membelah riak
dengan kilau sisik yang merah dan keemasan. Kirnya tertegun, menikmati suasana
itu dan menyibakkan permukaan air itu dengan kedua tangannya, bermain-main
ceria. Dengan penasaran Hatije menatap sahabat kesayangannya itu."Benarkah Maulana


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berencana menyelenggarakan konser di Taman Ana Khatun?" tanyanya. "Ibuku
mendengar kabar ini di pasar. Tetapi, kan di pasar banyak sekali kabar burung,"
tambahnya, hampir tertawa.
"Oh, itu memang benar." Kirnya mengangkat tangannya dan membiarkan percikan air
dari tangannya jatuh kembali ke dalam kolam. "Ana telah mendengar Maulana punya
kesukaan baru, yaitu musik. Dia kemudian menawarkan tamannya sebagai tempat
konser. Tahukah kau, bahkan temannya, Ta ous, akan memetik harpa dan menyanyi?"
"Taous!" seru Hatije. "Tetapi, dulu dia kan seorang pelacur!" kata Hatije gusar.
"Aku tahu betul. Setahun yang lalu, dia bersujud di kaki Maulana dan katanya dia
telah mengubah jalan hidupnya. Tetapi, ternyata dia masih seperti dulu!"
Kirnya mengangkat bahu. "Katanya! Kata orang! Mereka juga berkata lagu yang dia
nyanyikan membuat mereka menangis dan tetap terjaga semalaman. Sesungguhnya, Ana
dan Taous adalah wanita salihah. Kata Maulana, konser itu tak akan terlupakan
dan akan menjadi malam yang sangat indah. Akankah kau datang juga?"
Hatije tidak menjawab. Tiba-tiba, dia menjadi sangat serius: "Tetapi, memang
benar. Orang-orang membicarakan Maulana," katanya. "Mereka terguncang dengan
tindak-tanduk Maulana akhir-akhir ini. Kata mereka, Syams menyeretnya menjauhi
Allah." Dia ragu-ragu. "Dan sekarang, menyelenggarakan konser yang menampilkan
perempuan, terlebih Tao us, apa yang akan mereka gunjingkan kali ini?"
Kirnya memejamkan mata selama beberapa detik. Jadi, gosip itu kembali menyeruak;
ketidakpahaman yang menyebabkan permusuhan. Dia merasakan amarahnya hendak
menyembur, tetapi dia menahannya. "Memang, orang-orang akan tetap berkeluh kesah
dan menggerutu, tentu saja," katanya tanpa bertele-tele. "Mereka tidak memiliki
cinta di hatinya, karena itulah mereka mengeluh."
"Begitukah menurutmu?" tanya Hatije penasaran. "Kau tinggal bersama Maulana. Kau
adalah bagian dari keluarganya. Katakan kepadaku, sekarang ada Syams yang
tinggal bersamamu juga, bagaimana keadaan di sana" Tentunya tidak mudah."
Kirnya menatap teman karibnya, senang sekali ditanya demikian. "Memang sulit,"
dia mengakui."Aku merindukan Maulana. Dulu, biasanya dia lebih sering bersama
kami; dulu dia sering bercerita, menyuruhku mengaji Al-Quran, dan dia juga
mengajariku berbahasa Persia. Sekarang, kami jarang melihatnya; dia menghabiskan
sebagian besar waktunya bersama Syams. Kemudian, kau pun tahu, di luar sana
muncul gunjingan, belum lagi keluh kesah!" Dia menarik napas panjang. "Orang-
orang tidak memahami apa yang terjadi.Bagaimana mungkin bisa, tapi toh mereka
menghakimi?" Seekor burung terbang di atas kolam, mengalihkan perhatian mereka
sejenak. "Kau tahu," kata Kirnya meneruskan, "Syams bukanlah monster seperti yang orang
bayangkan. Kami merasa hangat dan nyaman bersama Maulana dan memang benar
sekarang ini tidak begitu nyaman lagi. Tetapi, sesuatu yang baru sedang terjadi.
Sesuatu ...," Kirnya ragu-ragu. Kemudian, dia memejamkan mata, berusaha menangkap
inti sari persoalan. "Sesuatu sedang mengalami perubahan," akhirnya Kirnya
berkata. "Syams sedang mengubah kita. Caranya seperti apa, aku belum tahu ...."
Kirnya masih berbicara ketika mendadak dia mendengar suara melengking tinggi.
Sesuatu yang aneh yang datang dari dalam dirinya, sangat jelas ditujukan bagi
dirinya sendiri. Sebuah peringatan yang tegas. "Hentikan! Cukup sampai di sini,"
suara itu memerintahnya demikian. "Ada banyak hal yang tidak boleh ternoda oleh
kata-kata." Mereka terdiam selama beberapa saat. Di kejauhan sana, mereka bisa mendengar
suara anak-an ak bermain, juga suara derap kuda menjauh. Seekor keledai tiba-
tiba meringkik. Kirnya menatap Hatije yang duduk di sampingnya. Hatije tidak
menyadari akan apa yang telah terjadi dan bahwa hal itu ternyata sedemikian
banyak mengandung kebaikan. Hatije selalu setia. Dia meremas tangan Hatije yang
tersenyum atas kebahagiaan temannya dan Kirnya pun membalas senyumnya. Matahari
sekarang makin rendah, bersembunyi di balik pepohonan, memulas suasana taman ke
dalam nuansa keemasan. Kirnya berdiri. Suara di telinganya tiba-tiba berhenti
secepat kemunculannya. "Kau akan datang ke konser
nanti malam, kan?" tanya Kirnya sekali lagi. "Orang tuamu akan datang juga,
kan?" Hatije bimbang. "Aku tak tahu. Aku tak yakin."
Mereka berjalan perlahan meninggalkan taman. Nyala lampu minyak di pertokoan
membuat jalanan meriah.Azan magrib berkumandang ke segenap penjuru kota. Begitu
mereka melewati sekelompok pemuda, salah seorang dari mereka memanggil.
"Kirnya, Hatije, tunggu dulu. Aku akan pulang bersama kalian."
Dia Alauddin. Kedua gadis itu menghentikan langkah mereka dan menunggu. Kirnya
memerhatikan Akbar, yang dulu pernah berjumpa dengannya di depan pintu kediaman
Sadruddin, ada di antara mereka. Dia kelihatan gelisah. Begitu mereka berdiri di
hadapannya, mereka berdua mendengar salah seorang berteriak marah, "Katakan
kepadanya, Sya ms harus pergi dari sini atau kami akan kehilangan guru kami
selamanya!" Itu suara Hassan, teman dekat Alauddin. Kedua gadis itu saling
bertatapan. Kata-kata Hassan seperti menggemakan percakapan para pemuda itu.
"Ayo, kita pergi!" desak Kirnya. Mereka berdua bergegas melangkah pergi dan
segera saja disusul Alauddin.
"Mengapa kau tak menungguku?" tanya Alaud
din. "Sudah terlalu sore," kata Kirnya, "dan aku tak menyukai teman-temanmu."
"Maksudmu, kau tidak menyukai apa yang mereka katakan. Tetapi, kata-kata mereka
ada benar - Kirnya menyela pembicaraannya. "Alauddin, aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku
tahu pendapat te man-temanmu, dan aku tak ingin mendengarkan itu semua." Kirnya
cukup terkejut akan perkataannya tadi. Sebelumnya, dia tidak pernah bicara dan
bersikap demikian pada Alauddin.
Alauddin juga sama-sama terhenyak. Dia berdiri di tengah jalan, terkesiap.
Kirnya dan Hatije sudah berjalan beberapa langkah.
"Kau pikir, kau ini siapa?" katanya berteriak. Lengkingannya mengganggu tidur
sang anjing yang segera saja menyalak marah. "Dasar gadis bodoh!" serunya sekali
lagi, sambil menendang batu ke jalan.
% Rencana konser di taman milik Ana ternyata tidak begitu saja berjalan mulus.
Mulanya Sultan Walad yang menanyakan ide keseluruhan penyelenggaraan ini.
"Tidakkah Ayah tahu bahwa ini akan menyulut kemarahan musuh-musuhmu?"
"Tentu saja," jawab Maulana. "Tetapi, apa pun yang kulakukan tetap saja akan
menyulut kemarahan mereka. Yang mereka hadapi sekarang ini adalah kebajikan
mereka sendiri. Contohnya musik. Aku sendiri dulu begitu tuli dan menafikan
musik. Kemudian, jiwaku bangkit berkat cahaya dari Syams, sahabat terkasih.Aku
bisa mendengar apa yang sebelumnya tidak terdengar sama sekali. Barangkali,
musik bisa mengeluarkan penyumbat yang menutupi telinga mereka, setidaknya
sebagian dari mereka."
Kemudian, Taous menolak bernyanyi maupun bermain harpa di depan umum.
"Nyanyianku hanya untukNya," begitu katanya. "Tidak diperuntukkan bagi siapa
pun." Tetapi, Maulana menjawab bahwa cinta Tuhan menyebar kepada siapa saja. Bukan
hanya kata,tetapi musik dan nyanyian yang ditujukan untuk me-muja-Nya, juga akan
menghangatkan bahkan membakar hati, dan Taous pun melunak.Dia bersedia dengan
satu syarat, yakni tak seorang pun yang akan melihatnya manakala dia bernyanyi.
Maulana setuju. Begitulah, rintangan bisa dienyahkan dan malam harinya konser musik itu akhirnya
berlangsung. Malam itu, udara terasa hangat dan semerbak oleh wangi bunga melati. Langit yang
gelap berhiaskan bulan yang makin bulat saja. Panggung telah didirikan dan
karpet telah dihamparkan. Di sekitarnya, bantal-bantal telah ditata sebagai alas
duduk para pengunjung, tersebar di tiap sudut taman. Cahaya lampu minyak
berpendaran di mana-mana menerpa wajah, menyorot ke gamis, dan menerangi
rerumputan. Perlahan, sekelompok kecil orang berkumpul di sana. Mereka sahabat-sahabat
Maulana, seperti Sadruddin Qanawi, Najm Al-Raji, Salahuddin Zarkob,
si pandai emas, beberapa anak muda yang merupakan teman-teman Sultan Walad,
Kirnya sangat berterima kasih atas kedatangan mereka dan beberapa gelintir murid
Maulana yang tidak menyalahkannya karena tidak lagi mengajari mereka. Di antara
mereka ada Akbar yang memalingkan pandangan begitu menyadari dirinya sedang
diperhatikan Kirnya. Aneh juga, pikirnya, tempat ini begitu bising, tapi tak
seorang pun asyik mengobrol suara mereka teredam seolah mereka takut berbicara
terlalu keras sepertinya mereka tegang menanti. Kirnya bisa merasakan ketegangan
mengalir di udara, paduan antara sikap waspada dan harapan. Dia masih bisa
menangkap sosok Hatije yang duduk di barisan depan bersama ibunya. Dia juga
tampak begitu diam. Jadi, mereka semua akhirnya datang juga! Kirnya senang.
Tidak jauh dari mereka, duduk Ana Khatun, pemilik taman, yang memejamkan
mata,mengasingkan diri ke dalam dunianya sendiri. Dekat Ana, ada Kerra yang
melambaikan tangannya, menawarkan tempat yang masih kosong di sebelahnya. Kirnya
berjalan ke arah kerumunan itu. Dia duduk di antara Kerra dan air mancur kecil
yang memercikkan tetesan lembut air dingin ke tangannya.
Dia baru saja duduk ketika Maulana ditemani Syams memasuki pelataran taman.
Kedua lelaki itu mengambil tempat di depan panggung dan hadirin pun terdiam.
Kemudian, terdengar langkah kaki dari belakang semak dan muncullah para musisi:
seorang lelaki membawa beberapa ney dengan ukuran yang berbeda, seorang lagi
membawa dua tanbur, dan lelaki ketiga membawa sebuah rebab.Mereka semua memakai gamis biru tua dan
celana hitam. Mereka duduk di atas panggung. Tanpa menghiraukan penonton, mereka
mulai memainkan instrumen musik.
Tetapi, di mana Taous" Orang-orang mulai berbi sik-bisik. Apakah dia menolak
untuk hadir di sini" Apakah ide menampilkan perempuan di depan umum akhirnya
ditolak" Para musisi mulai memainkan alat musik dan perlahan suara gumaman dan
bisikan itu berangsur lenyap. Kirnya memerhatikan mata Maulana yang mulai
terpejam seakan musik telah memenuhi permukaan malam. Kirnya merasa area taman
makin meluas dan segera saja dia kehilangan jejak waktu. Dia membiarkan dirinya
hanyut dalam alunan musik. Namun kemudian, harmoni nada-nada itu ti ba-tiba saja
berhenti dan orang-orang mulai berbi sik-bisik kembali. Dia mendengar seorang
perempuan bertanya, "Apakah Taous tidak akan tampil sama sekali?" Para musisi
itu meletakkan alat musiknya dan tampaknya akan beristirahat sebentar. Orang-
orang menatap Maulana; dia duduk mematung, matanya masih terpejam. Di
sebelahnya, Syams menge lus-elus dagunya, seperti tenggelam dalam angannya
sendiri. Kemudian, entah muncul dari mana, nada-nada seperti tetesan air jatuh dan
mengalir menembus kepekatan malam. Suara itu munculnya dari belakang para
musisi, sejuk, jernih, kemudian berdenting-lah petikan harpa sebening air dari
mata air pegunungan.Paduan suara sang biduan dan petikan harpanya laksana kilau
cahaya menembus kegelapan
malam; seperti keharuman yang dihirup; begitu lembut dan memesona. Suara itu
menghanyutkan Kirnya, membuat tubuhnya bergetar. Kemudian, suara itu menjadi
pisau yang teramat tajam dan dia terhenyak hingga terengah-engah. Kirnya merasa
dirinyalah sang suara; dialah setiap nada yang bertambah keras di udara malam
itu. Dia mendaki kemudian membungkuk, memohon, meratap, kembali bangkit, dan
sekarang dia dipenuhi kegembiraan yang hening, dan tak lama kemudian dihancurkan
oleh kepedihan tiada kira. Dialah arus sang air bening, dialah senar sang harpa,
dia dicabik sekaligus dijadikan utuh. Kemudian, segalanya tiba-tiba saja
menghilang. Keringat dingin membasahi kening Kirnya. Punggungnya pun ikut basah. Nada dalam
suara Kerra terdengar cemas. "Kirnya, apakah kau tidak apa-apa?" Kirnya membuka
mata. Malam telah kehilangan kilaunya dan Kerra sedang menempelkan kompres
dingin ke atas kening Kirnya. Matanya seakan berkata, "Ya, aku tahu. Kadang kala
beban terasa berat untuk dipikul sendirian."
Kirnya teringat akan hari saat dia menangis di lubang sebuah pohon, tak mampu
menjelaskan pengalaman yang baru saja dia alami. Kali ini, dia tak perlu
menjelaskan apa-apa.Kerra memahaminya. Dia mendengar seseorang berbisik di
dekatnya, "Suara Taous memang dahsyat. Tak seorang pun dapat bernyanyi seperti
itu!" Maulana bangkit berdiri, "Segala Puji bagi AH ah," katanya. "Cinta Tuhan beragam
bunyinya. Malam ini kita telah mendapat kesempatan istimewa
untuk mendengar salah satu suaraNya."
Di sebelahnya, Syams, sang gunung keheningan yang tak tertaklukkan, masih tetap
duduk. Kepalanya tertunduk dalam sekali. Orang-orang saling bertatapan. Tak
mudah memang, tapi wajah mereka melembut, tersiram alunan musik, pikir Kirnya.
"Perempuan, musik! Maulana sudah kehilangan akal-nnya!" Seorang lelaki tampak
naik darah. "Dan, semua itu terjadi karena pengemis dari Tabriz itu!"
Kirnya sedang berdiri di depan kios buah di pinggir pasar. Hari masih sangat
pagi dan hanya beberapa orang di sekitarnya. Dia menolehkan kepalanya ke arah
suara tadi dan melihat dua lelaki duduk di atas gerobak tak jauh dari tempatnya
berdiri. Dia tertarik untuk menguping pembicaraan itu.
"Kau mungkin saja benar. Lagi pula jawab
salah seorang dari mereka. Nada suaranya, entah kenapa, lebih terkendali."Sampai
sekarang, aku masih percaya Maulana akan kembali lagi seperti dulu. Tetapi,
tampaknya, dia semakin jauh saja dari Allah." Lelaki itu menggelengkan
kepalanya, mencela. "Pengemis itu demikian menguasai guru kita."
Tanpa menghiraukan keberadaan Kirnya, kedua orang itu melanjutkan. "Tahukah kau
apa yang Maulana katakan di konsernya semalam" Dia berkata bahwa suara wanita
adalah suara Tuhan. Omong kosong macam apa pula ini?"
"Itukah yang dia katakan?" Lelaki yang satu lagi
berseru kaget. "Wah, itu penghujatan namanya!"
Kirnya segera menjauh. Dia merasa sedih. Selalu saja begitu. Orang-orang ramai
memperbincangkan dan menghakimi tentang apa pun yang pada dasarnya tidak mereka
ketahui. Kedua orang itu tentu saja tidak hadir di konser tadi malam. Dia
tenggelam dalam angannya saat melihat ibu Hatije menghampirinya. Ibu Hatije
adalah seorang perempuan berbadan mungil dan padat dengan sorot mata hitam yang
hangat dan selalu tanggap memberikan pendapatnya, biarpun tidak diminta.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?"tanyanya. "Tahu tidak, kau tadi malam pingsan!"
Suaranya mengisyaratkan kecurigaan atau mungkin sindiran yang halus. "Apakah kau
punya cukup waktu untuk memerhatikan diri sendiri?"
Kirnya tak dapat menahan tawanya. "Aku mengurus diriku sendiri," katanya. "Aku
pikir tadi malam memang aku agak panas, hanya itu."
Ibu Hatije menatap Kirnya, mempertimbangkan jawabannya. Dia tidak yakin. "Kau
tak lama lagi akan menjadi seorang perempuan dewasa," dia melanjutkan. "Tubuhmu
berkembang dan berubah. Kau harus cukup makan dan istirahat." Tangan dan
bibirnya membuat dia terlihat seperti dewi zaman purba, melindungi sekaligus
mengancam. "Kau tahu, Kirnya, baru-baru ini aku memikirkan satu hal. Tuhan
ternyata lebih sederhana dipahami daripada penjelasan yang dibuat manusia
mengenai-Nya. Apa yang Dia inginkan dari kita hanyalah supaya hidup tanpa
menyakiti satu sama lain, cuma itu." Matanya
berbinar dengan kepastian yang teguh.
Tak tahu harus berkata apa, Kirnya mengangguk setuju, sesuai dengan harapan ibu
Hatije. "Aku harus segera pergi," kata Kirnya. "Aku belum belanja apa-apa."
"Tentu saja, tentu saja," kata ibu Hatije. Tetapi, dia belum puas mengutarakan
isi pikirannya. "Musik ternyata sangat baik," katanya, "tetapi kehidupan harus
terus berjalan, dan kami kaum perempuan harus mengurusi suami, saleh atau
bejat." Sorot matanya menyebarkan hasutan dan Kirnya bertanya-tanya, sebenarnya apa
maksud perkataannya itu" Apakah dia menyembunyikan kritikan ya-mng sebenarnya
ditujukan kepada reputasi Syams dan mempertanyakan kesucian lelaki itu"
Kirnya meneruskan langkahnya, khawatir dan merasa tak berdaya. Dia berjalan dari
satu kios ke kios lainnya. Di satu kios dia membeli sebungkus buah persik dan di
kios lain dia membeli bawang dan lobak cina, tapi hatinya begitu berat dan
terasa sesak oleh keprihatinan. Arakan awan berkumpul di atas kepala Maulana dan
Syams. Setiap hari awan-awan itu bertambah hitam saja. Akankah semua ini
berakhir"[] 17 Fajar baru saja merekah, perlahan membawa kembali kehidupan pada berbagai benda
di kamarnya. Ada setangkai mawar dalam vas di pinggir jendela, kain sutra
bersulam yang dipajang di dinding, dan di sebelah tempat tidurnya, di atas
bangku, terpajang figura kayu yang sangat kecil berhiaskan lukisan sang Perawan
Maria yang diberikan Evdokia kepadanya enam tahun yang lalu. Di luar sana, di
ranting pohon akasia, burung-burung berkicau riang menyambut pagi, yang justru
membuat suasana sepi di rumah makin terasa saja. Dia menarik napas da lam-dalam
dan akan segera bangkit dari tempat tidur saat mendengar langkah kaki di luar
kamarnya, diikuti suara Sultan Walad.
"Tidak, Ayah. Aku tidak melihatnya," dari suaranya terdengar nada khawatir yang
tidak biasanya. Kemudian, dia mendengar Kerra berkata, "Mungkin dia pergi jalan-jalan menikmati
segarnya pa-gi." "Ya, mungkin saja, tentu ..." suara Maulana terdengar ragu dan lelah.
Kirnya cepat-cepat mengganti baju, kemudian
bergegas menuju dapur dan dia melihat Kerra berjongkok di depan perapian,
menyalakan api.

Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau sudah dengar," kata Kerra sambil menoleh menatap Kirnya. Dia tidak berkata
apa-apa lagi. "Syams telah pergi," kata Kirnya. Dia tak ragu lagi. Syams tidak akan ditemukan.
"Bagaimana keadaan Maulana?" tanyanya "Dia pergi ke luar bersama Sultan Walad,
mencari berita," kata Kerra mengelak.
Di sampingnya, Alim sedang bermain-main dengan bulu ayam. Malam sebelumnya
mereka makan ayam panggang. "Aku seekor burung. Aku bisa terbang," katanya
sambil merentangkan kedua tangannya yang masing-masing memegang bulu-bulu ayam.
Kirnya tertawa. "Kau yakin, Alim" Tahukah kau, ayam itu tidak bisa terbang
sedemikian tinggi?" "Aku bukan ayam!" teriak Alim marah. "Aku seekor elang dan elang terbang sangat
tinggi." "Betul," kata Kirnya dan selama beberapa detik sosok Syams terbang di atas
Konya,kemudian mendarat di benaknya begitu dia teringat perbincangan mereka,
beberapa minggu yang lalu, kala dia bercerita mengenai merpati hijau dan merah.
Dan sekarang,dia bertanya-tanya apakah Syams terbang kembali ke asalnya, ke
Tabriz" Syams memang bukanlah seekor merpati. Dia adalah sayap raksasa yang
dapat menyelimuti dan melindungimu. Sayap-sayap yang bisa saja, jika dia
berkehendak, membawanya pergi ke sisi lain dunia ini. Kenangan akan perbincangan itu masih sedemikian
hidup, selama beberapa detik seakan Syams duduk di sini, di sampingnya.
Angannya segera beralih saat Alim, yang masih memegang bulu-bulu ayam,
menghampirinya. "Kau lihat kan, aku bisa terbang," katanya.
Pada saat itu, Maulana masuk ke dapur diikuti Sultan Walad.
"Sudah dapat kabar?" selidik Kerra ingin tahu.
Suaminya menggelengkan kepala. Dia tampak terguncang dan sangat pucat.
"Tidak banyak," kata Sultan Walad."Tak seorang pun mengaku telah melihat Syams.
Seorang biarawan Kristen berkata, dia melihat seorang lelaki tinggi berjalan
menuju gerbang utama dini hari sebelum fajar. Tetapi, dia tidak melihat raut
wajah lelaki itu. Masih terlalu gelap."
Dengan berat hati, Maulana duduk. Dua bulir air mata membasahi pipinya. "Dia
telah pergi," gumamnya. "Sang matahari telah pergi." Dan, memang benar. Rumah
itu terpuruk dalam kegelapan, terkubur di bawah tirai perkabungan.
Hari-hari berlalu. Setiap orang di Konya telah mengetahui bahwa Syams telah
meninggalkan kota ini. "Akhirnya, dia pergi," kata seorang murid Maulana dengan girang. "Sekarang,
segalanya akan kembali seperti sediakala. Sekarang, Maulana akan kembali
mengajar kita. Dia akan segera melupakan
Syams dan semua tindakan gila-gilaan itu."
Kirnya mendengarkan dan kembali rasanya dia ingin menangis. "Tidak seperti itu.
Maulana berduka. Dia tidak akan kembali ke madrasah. Dia tidak akan pernah
mengajar lagi. Tidakkah kalian lihat, tidakkah kalian rasakan kesedihannya?"
Maulana menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang belajar, menulis surat dan
puisi-puisi teruntuk Syams. Beberapa jam kemudian, semangat hidup Maulana
menyala kembali hingga akhirnya kepedihan itu menghampiri dan menenggelamkannya.
Di saat-saat itulah Kirnya akan datang dan duduk di sampingnya. Kadang kala, dia
meraih tangannya dan menempelkan telapak tangan Maulana itu ke pipinya.
Kemudian, Maulana akan tersenyum dan berkata, "Kirnya, oh Kirnya. Mengapa dia
harus pergi?" Dan angan Kirnya akan melayang pada mawar-ma war Tabriz dan hati
mereka yang berdarah-darah.
Beberapa murid senior berkunjung dan duduk di lantai, sementara Maulana tetap
duduk di bangkunya. Dia menatap kosong ke arah mereka. Kehidupan tampaknya
terenggut dari dirinya. "Rumah Maulana berubah menjadi rumah duka," murid-murid itu melaporkan kepada
teman-teman nya. "Sorot mata Maulana telah kehilangan kemilaunya."
Dan, memang betul. Kebahagiaan telah meninggalkan rumah itu. Bahkan, si kecil
Alim tidak pernah berceloteh lagi seakan mulutnya terbungkam. Dia pun tidak lagi
berlarian ke sana-kemari seakan takut beban berat di pundak ayahnya itu akan
meroboh - kan dinding rumah. Sedangkan Kerra mencemaskan Maulana yang tidak menyentuh
makanannya sedikit pun. Minggu berlalu dan bulan berlalu. Kehidupan seakan menangguhkan kehadirannya.
Musim semi datang disusul musim dingin. Suatu pagi Kirnya terbangun oleh seekor
burung yang berkicau riang di belakang jendelanya. Sebuah firasat
menghampirinya: Syams akan segera kembali ke sini.
Tak lama kemudian, dia berkata pada Kerra, "Syams akan datang. Tak lama lagi."
Kerra tidak mempertanyakan pernyataannya itu. "Maulana tentunya akan bahagia,"
katanya singkat dan mereka saling bertatapan. Memang, kaum perempuan punya
perasaan yang peka untuk mengetahui sesuatu tanpa berpayah-payah.
Pada hari yang sama, seorang pengelana dari Suriah mengetuk pintu membawakan
kabar bahwa Syams terlihat di Damaskus beberapa minggu yang lalu. "Dia sedang
bermain catur dengan seorang rahib Frank di dekat Masjid Agung." Segera saja
Maulana mengirimkan sepucuk surat dan mendapat balasan dari Damaskus berupa
pesan singkat. "Sinar matahari bisa saja disamarkan oleh gumpalan awan, tapi
cahaya sang surya tetap menyinari permukaan bumi," kata pesan itu. "Sang mawar
bisa saja bersembunyi dari pandangan mata, tapi sang angin akan menyebarkan
keharumannya. Tidak tahukah kau, hati bisa saja merasakan apa pun, tapi sang
jiwa tidak pernah berhenti bercakap-cakap."
Seminggu berlalu sejak Sultan Walad berangkat pa gi-pagi benar menuju Suriah.
Dia ditemani rombongan kecil. Suasana kota masih diselimuti lapisan salju, tapi
sudah terjaga. Segelintir orang berkerumun di depan rumah Maulana. Kuda-kuda itu
meringkik pelan dan menendang-nendang tak sabar sambil mendengus mengembuskan
embun hangat dari lubang hidungnya, tak sabar ingin segera pergi. Maulana
berdiri di depan pintu. Tangannya menggandeng lengan Kirnya. Dia berkata kepada
putranya, setengah memohon, "Katakan kepadanya bahwa sang bumi membutuhkan
kehangatan cahaya sang matahari."
Sultan Walad mengangguk. "Akan kukatakan kepadanya," katanya. Tangan kirinya
mendekap dada sementara tangan kanannya meraih punggung tangan ayahnya,
menciumnya takzim, kemudian segera menaiki kudanya. Segera saja rombongan kecil
itu, diikuti segelintir penonton, menghilang menyisakan gumpalan debu di
kejauhan. "Akankah dia segera kembali?" tanya Maulana dengan volume suara agak keras.
Kirnya menatapnya. "Oh, tentu saja. Dia akan kembali ke sini," katanya begitu
mereka memasuki rumah. Bagaimana bisa Maulana meragukan hal itu"
Maulana memandangi Kirnya seakan-akan sudah sekian lama tak pernah jumpa. "Cepat
sekali kau tumbuh," katanya, terkejut.
Maulana kembali ke ruang belajarnya, meninggalkan Kirnya sendirian di keremangan
koridor. Ya, Kirnya yakin Syams akan kembali. Tetapi, jika ditanya apakah hal
itu membahagiakan atau tidak, Kirnya tidak bisa menjawabnya dengan segera.
Perasaannya campur aduk. Dia berlari ke kamar dan mengempaskan diri di ranjang.
Kemudian, dia terisak-isak. Apakah hal itu melegakannya" Apakah hal itu
menakutkan baginya" Dia sama sekali tak bisa mengatakan apa-apa.
Musim semi menyentuh kuncup-kuncup yang menjadi semarak bermekaran. Siang hari
mulai terasa lebih panjang, sedangkan malam seakan menyusut, semakin pendek
saja. Pohon aprikot dapat segera dipanen, sedangkan buah persik warnanya berubah
menjadi merah keunguan. Suatu pagi, kabar mulai tersiar: Sultan Walad sudah
hampir tiba, bersama Syams pula. Mereka akan tiba di rumah dalam beberapa jam
lagi. Sudah lebih dari tiga bulan berlalu sejak Sultan Walad dan rombongan
kecilnya berpamitan menuju Suriah, menjemput Syams.
Pagi itu, Alim kembali berlarian di dalam rumah. Di luar sana, tampak kerumunan
orang di dekat gerbang kota dan segera saja menyebar di sekitar benteng. Di
dapur, Kerra dan Kirnya menuangkan madu dari kendi, lalu mencampurnya dengan
kacang almond. Mereka berdua sedang membuat halwa untuk menyambut rombongan
Sultan Walad. Tak lama kemudian, mereka bergabung dengan kerumunan itu, bersama-
sama menanti kedatangan sang pengelana. Kirnya menatap mereka dan mempertanyakan
perubahan sikap mereka. Bukankah ini luar biasa" Yang berada di sini tidak saja
orang-orang yang memang setia pada sang guru, tapi ada juga yang selalu
mengeluhkan Syams dan pengaruh jahatnya pada Maulana. Mereka ini bahkan
menghujat Syams dan memaksanya untuk pergi dari kota ini. Sekarang, mereka
bersukaria menyambut kedatangannya! Apakah mereka telah lupa"
Kirnya merenung. Hampir setahun Syams menghilang. Saat itu, Kirnya masih kecil.
Sekarang, dia sudah dewasa.Beberapa bulan yang lalu, untuk pertama kalinya dia
mendapatkan menstruasi dan Kerra menyambut suka cita terhadap tanda-tanda
kematangan tubuh Kirnya. Aku telah berubah, pikir Kim ya. Barangkali, orang-
orang ini juga berubah. Sekali lagi, dia menatap ke sekeliling. Ada penjaga
toko, tampak juga juru tulis dan para qadi, para seniman dan ahli bangunan, dan
tentu saja para murid Maulana. Sebagian dari mereka menyatakan penyesalan dan
berjanji tidak akan pernah lagi mengusir syams sehingga membuat Maulana
bersedih. "Kami tidak tahu kalau akhirnya jadi begini," kata mereka. "Kami
sangat menyesal." Sekelompok musisi ikut juga bergabung. Mereka sangat sibuk menata instrumen
musik. Paling depan, Maulana berdiri di pinggir lereng curam, mengarahkan
pandangannya ke jalan yang mungkin akan dilalui Sultan Walad dan rombongannya.
Di dekatnya berdiri sahabat-sahabat paling akrabnya: Salahud din Zarkob, si pandai emas;
Sadruddin Qanawi, yang memiliki reputasi setara dengan Maulana di bidang
pengetahuan keagamaan; dan di belakang mereka berdiri murid paling setia,
Husamuddin. Tiba-tiba, kerumunan itu menyeruak, memberi jalan bagi Sultan
Alauddin Kaykobad dan pengiringnya yang menunggangi kuda. Sebuah tandu yang
membawa istri sang Sultan menyusul di belakangnya. Keempat orang yang menggotong
tandu itu dengan hati-hati menurunkannya di samping barisan kaum perempuan yang
berpakaian warna-warni. Di atas bukit di sekitar kerumunan, rumput yang baru
tumbuh pada awal musim semi itu tampak berombak diterpa angin se poi-sepoi,
sementara awan putih berarak pelan seakan turut serta dalam penantian itu. Tiba-
tiba, seseorang berteriak kencang. "Itu Syams datang. Sang Matahari telah
kembali!" Di tikungan jalan itu, kepulan debu sudah semakin jelas dan kuda-kuda mulai
terlihat. Di belakang kuda-kuda tersebut, ada sekelompok orang yang berjalan
kaki. Rasanya jantung Kirnya hendak melompat.Hatinya dipenuhi kegembiraan
membingungkan yang berbaur dengan ketakutan. Itulah perasaan yang sering dia
alami sejak kedatangan Syams untuk pertama kali di Konya ini.
Lelaki yang berjalan paling depan adalah Sultan Walad. Dia memegang tali kekang
kuda yang ditunggangi Syams. Dia berhenti dan Syams segera turun dari kuda.
Selama beberapa detik, Syams berdiri di tengah-tengah cahaya mentari pagi. Dia
menatap Maulana yang laksana disorot oleh cahaya yang kasat mata. Kerumunan itu
terdiam. Setiap orang menatap Maulana dan Syams yang sekarang saling mendekat
kemudian berpelukan haru. Keharuan itu menjalar pada orang-orang dan mereka pun
menangis, sementara para musisi mulai memainkan alat musiknya.
"Kita harus pergi," kata Kerra dan Kirnya merasakan matanya basah. "Yuk, kita
pulang. Kita harus membereskan rumah."
Ketika mereka tiba, Alauddin sedang duduk di tangga pintu masuk.
"Jadi, dia sudah kembali," dia berkata, tersenyum. "Barangkali, sekarang Ayah
tidak akan melupakan kita."
"Ayahmu tidak pernah melupakanmu," kata Kerra sungguh-sungguh. "Kau harus tahu
itu. Tetapi, mungkin kali ini kau yang akan mencoba untuk memahaminya."
Alauddin tidak menjawab. Dia malah menatap Kirnya. "Dan kau, Adik Kecil,"
katanya, "apa yang akan kau lakukan dengan semua ini" Kau kelihatannya tidak
begitu gembira, kalau aku tak salah."
"Oh, Alauddin," Kerra menarik napas panjang. "Haruskah kau selalu saja menggoda,
membantah, atau mengeluh?"
Tiba-tiba saja nada suaranya seperti kelelahan dan Alauddin memerah wajahnya.
Dia kemudian bangkit dan meraih punggung tangan Kerra, kemudian menciumnya. "Ibu
benar," katanya. "Aku tidak nyaman dengan kehidupanku sendiri." Kemudian, dia
pergi menjauh. Kerra menggelengkan kepala. "Anak itu benar-benar tidak bahagia dan kita tak
bisa berbuat apa-apa."[]
18 Penantian itu telah berakhir. Beban berat yang memenuhi rumah itu sejak
kepergian Syams kini telah terangkat.Kegembiraan kembali bersemi di rumah itu
bersama kedatangannya. Tentu saja, Maulana dan Syams kembali mengulang ritual
yang dulu. Meskipun Kirnya masih tetap merindukan Maulana yang sering bercerita
dan membacakan beberapa bait puisi, kini dia belajar bersandar pada dirinya
sendiri. Seperti kesedihannya beberapa bulan yang lalu, kegembiraan Maulana pun
kini mulai menjalar di setiap sudut rumah.
Kirnya berada di dapur tengah memotong sayuran yang akan direbus di atas api.
Dia memikirkan Syams. Syams adalah sebuah pintu, begitu pikirnya tiba-tiba.
Sebuah pintu yang sangat besar yang menggiring mereka semua untuk memasuki
"sesuatu" yang belum bisa kusebut sebagai apa, meskipun aku bisa merasakannya.
Setiap kali dia mendapatkan penglihatan akan "sesuatu" itu, kehidupannya tiba-
tiba tersapu oleh kejernihan dan kejelasan yang memelihara dan membuat dia
merasa utuh. Sesuatu itu memenuhi hatinya dengan perasaan bahagia dan penuh
syukur. Sesuatu itulah yang dia temukan di desa dan juga yang menantinya di
sini, di Konya, seperti sore hari itu saat dia bermain-main di salju bersama
Hatije atau saat dia mendengarkan nyanyian Taous di taman milik Ana. Sewaktu
tinggal di desa, pengalaman itu tumpah ruah sehingga dia sering kali disangka
hilang atau tersesat. Barangkali, inilah yang membuat dia ketakutan saat Syams
menatapnya dalam-dalam untuk pertama kalinya, mengempaskannya ke dalam
kebimbangan. Sekarang, dia menyadari bahwa "sesuatu" itu adalah sebuah berkah. Kadang kala,
sesuatu itu seperti gempa kecil di dalam dirinya yang membuat dia terengah-
engah. Lebih sering lagi sesuatu itu berupa pintu yang tiba-tiba terbuka menuju
dunia yang hening dan bergelora. Tetapi, hingga hari ini, sesuatu itu selalu
datang tak terduga dan begitu tiba-ti ba. Dengan kembalinya Syams, semua
pengalaman itu menyatu dan kehadirannya selalu mengizinkan Kirnya untuk memasuki
sebuah wilayah yang membahagiakan hatinya. Namun, ada satu hal yang tidak
berubah: masih ada rasa haus untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Dahaga ini
lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Apakah aku menjadi orang yang tak
bersyukur" Sekilas dia melihat Maulana tersenyum, menenteramkan hatinya. Bukan,
kau tidak demikian,begitulah jawabnya. Dia menatap sendok kayu yang dia pakai
untuk mengaduk-aduk sayuran. Bukankah Syams membuat Konya dan rumah tangga ini
menjadi lebih semarak" Lintasan pikiran itu membuatnya tersenyum.
"Kirnya, apakah kau melamun?"
Dia menoleh dan terkejut melihat Kerra sudah berdiri di depannya. Sambil
menggendong Alim, matanya mengedip riang. Alim minta diturunkan. Kemudian, Kerra
duduk di bangku yang terletak di dekat jendela.
"Maulana memintaku supaya membicarakan hal ini denganmu," kata Kerra.
Segera saja kepanikan berembus ke dadanya. Mengapa aku begitu ketakutan"
tanyanya. Apakah karena Kerra, tak seperti biasanya, kali ini begitu serius" Aku
tak perlu takut, pikirnya cepat. Tak ada yang harus ditakutkan.
Kata Kerra, sejak kembalinya Syams, Maulana memikirkan bahwa sahabatnya itu
telah menjadi bagian dari kehidupan kita dan betapa dia ingin perasaannya ini
diperkuat oleh semacam pengikat yang akan diakui semua orang. Kirnya
mendengarkan untaian kalimat tersebut tanpa memahami maksudnya. Apa maksud
Kerra" Kata "pernikahan" menggantung di udara.
"Menurutmu bagaimana, Kirnya?"
Dia menatap Kerra, penuh tanda tanya. Apa yang harus dia pikirkan" Pernikahan"
"Pernikahan siapa?" tanyanya.
Kerra meraih tangannya. "Maulana telah mempertimbangkan bahwa kau dan Syams akan
menjadi pasangan suami istri," katanya. "Apakah kau menyetujuinya?"
Kirnya merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Dia tak dapat berpikir.
"Hal itu merupakan kehormatan besar, tapi memang tidak gampang," kata Kerra. Dia
masih terdiam selama beberapa saat. Kemudian, setelah agak lama memikirkannya,
dia menambahkan, "Pernikahan adalah sebuah kerja keras. Semakin mulia lelaki,
semakin bergantung pula dia kepadamu."
Kirnya menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya. Dia dibanjiri aliran
emosi: awalnya teror, kemudian kegemparan, lantas keraguan. Bagaimana mungkin
dia bisa menjadi seorang istri bagi lelaki setangguh dan sekuat Syams"! Dia
menyembulkan wajah dan menatap Kerra, memohon bantuannya.
"Kirnya," kata Kerra, "kau telah dewasa dan dibesarkan di sini bersama kami dan
...." Rengekan keras memotong perkataannya. Alim, yang sedang memegang sendok kayu,
memukul-mu kul cerek tembaga yang disimpan di pojok ruangan. "Lihat, Mama. Aku
ini tentara garis depan yang sedang bertempur."
Kirnya, yang hatinya berdebar-debar kencang, diam-diam berterima kasih atas
gangguan Alim. Kirnya bahkan agak kesusahan menarik napas.
"Baiklah Alim, kau pintar sekali," kata Kerra. "Tetapi, sekarang ini, tentara
harus beristirahat."
Alim mengerutkan kening. Bibirnya lantas cemberut. Dia tidak setuju. Dia
memukulkan sendok kayu itu beberapa kali. Kemudian, sambil mendesah panjang, dia
akhirnya mengangguk setuju. "Tentara sudah kelelahan. Mereka pergi istirahat."


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus. Dan,sekarang mereka harus membongkar perbekalan dan mendirikan tenda,"
kata Kerra. Dia kembali lagi ke inti masalah dan melanjutkan. "Kau tahu, Kirnya, kau tidak harus
menjawabnya sekarang juga. Biarkan persoalan ini mengendap beberapa lama.
Seperti para tentara itu," tambahnya sambil tertawa.
Kirnya ikut tertawa, merasa bebannya terlepaskan. Kehidupan ini mempunyai jalan
untuk menyisipkan berbagai benang aneka warna pada saat bersamaan, seakan ingin
membuatmu bimbang, pikirnya. Tetapi, kehidupan juga menyediakan tempat
peristirahatan saat kau membutuhkannya.
"Kau bahkan tak harus memutuskan apa-apa," tambah Kerra. "Ketika waktunya memang
sudah tiba, kau pun akan mengetahuinya." Mata Kerra ber binar-binar, sorotnya
begitu hangat dan menenteramkan hati.
Gelombang emosi tadi menyurut dan Kirnya merasa bisa bernapas lega lagi.
Keraguan itu, ketakutan itu, dan bahkan kegirangannya telah lenyap. Perasaan
yang tersisa hanyalah ketenangan. Dia memejamkan mata.Kerra memang betul.Tak ada
yang harus diputuskan, tak ada yang harus dicemaskan. Yang harus dia lakukan
hanyalah mendengarkan nuraninya.
Mereka duduk dalam hening. Kerra kemudian berdiri dan menatap Alim yang masih
duduk di lantai pojok ruangan. "Anak ini pasti lapar. Mari kita suapi."
Kembali ke masakannya, Kirnya mengambil sebatang wortel. Rasa wortel itu manis.
Dia juga telah lapar. "Sup ini sudah siap," katanya. Dan, ketika dia
mengutarakan kata-kata itu, matanya bertemu pandang dengan mata Kerra dan mereka
berdua tertawa. Pikiran yang sama melintas di benak mereka. Sesuatu telah
direbus sekian lama dan sekarang "sudah siap".
"Kerra, tahukah kau," kata Kirnya, "aku akan menikah dengan Syams." Aneh juga.
Dia sekarang merasa begitu tenang.
"Aku tahu,"jawab Kerra. "Entah bagaimana. Yang pasti, jawabannya tidak mungkin
sebaliknya." Tak ada lagi yang harus dikatakan. Dan, seolah-olah tak terjadi apa-apa, kedua
perempuan itu melanjutkan pekerjaan rutin mereka.
"Tentara harus makan," kata Alim mengumumkan. Kirnya segera menciduk panci
dengan sendoknya. Dia menjatuhkan sendoknya, kemudian menggendong Alim dan mencium pipinya.
Sedangkan,Alim menjerit girang. "Ya," katanya, "tentara sekarang kelaparan dan
mereka harus segera makan."
Kerra menertawakan dan bertanya, "Bolehkah aku mengatakannya kepada Maulana?"
Kirnya menurunkan Alim. "Aku lapar. Aku sudah lapar," protes Alim.
Kerra menanti jawabannya.
Selama beberapa detik, Kirnya ragu. Dia bisa saja tetap berpura-pura bahwa tak
ada yang terjadi. Dia masih bisa bebas dan tetap kekanak-kanakan. Dia menahan
napas, seakan bersiap menerjunkan diri ke aliran air terjun di pegunungan.
"Ya, boleh." Dia menata kalimatnya. "Tentu, kau
boleh memberitahukan keputusanku kepadanya." Di sini, batinnya, sebuah lembaran
baru akan segera terbuka. Betapa anehnya! Buku kehidupannya telah ditulisi dan
dibaca pada saat yang bersamaan. Bukankah ini yang dimaksudkan Kerra saat
berkata, "Kau bahkan tak usah memutuskan apa-apa?" Memang ada saat-saat seperti
saat ini, ketika sang pembaca dan sang penulis adalah orang yang sama. Dia baru
saja membaca beberapa baris dalam bukunya itu, dan dia sendirilah yang
menulisnya. Tak lama kemudian,sendirian di kamarnya, Kirnya menyadari bahwa Kerra dan
dirinya sebelumnya tak pernah memperbincangkan Syams. Itu serasa bersekongkol
dengan kabar angin yang bertiup di Konya. Mereka hanya menerima kehadiran Syams
seperti manusia menerima pergantian cuaca. Syams adalah sang angin yang kencang
dan telah berembus ke segala penjuru dunia. Sang angin telah datang, kemudian
berlalu, kemudian kembali berembus kencang. Sang angin mudah beralih, kadang
menjadi embusan sepoi-sepoi atau bahkan badai yang hebat. Manusia tidak dapat
meminta kehadiran sang angin sebagai alasan maupun pembenaran. Manusia hanya
bisa membiarkan dirinya tergiring angin atau mungkin terempaskan. Ke manakah
sang angin akan membawanya" Kirnya masih bertanya-tanya hingga akhirnya jatuh
tertidur. [] ganti warna, mempersiapkan diri untuk beralih pada babak kehidupan selanjutnya*
Berbagai komentar mengenai rencana perkawinannya perlahan lenyap ?"ffe"berapa
orang mengatakan perkawinan adalah GpKyang sangat baik yang akan membuat sosok
S^.tfms'J lebih mudah dipahami dan didekati seperti orang 'l^in. Tetapi, ?beberapa perempuan mempertanyakan suami macam apa nantinya Syams. "Lelaki
seperti Syams tidak bisa diji-satekartiJ &$sj&h
ataloieryarei'^angainligltimee^etepgt kerek&Balaeiasrjte&tig.
rVtetetfdiaDarrapeatoattfifaHh rpertia tte&k fcarri) j^titoirrnfeeteiihbLaajjoi.
s&piafti ^^-^"3 Sk-90ridip^h^a>in^i^a^^kpee^tmterti^Qbar" Berbakti yah ?"tD cap
kata wiis dUfifs&ngfteS&Bfoagfcsatrg (aigaralimerfifl-asMan jamuan pestanya"
"rae^a^gH^yekletiilfiiate^rT^ajfia^Batiimal^h ^naagangTada^feabnl<^a^a|
(iti?rsfiiegitHliat^a Op&m&b b?e5ss5rs hm f'anya s^e^ssgbsieye^irsai
rrbJJT^fttfiOBga jetesbsryaj^DatnfiKgflp tdrfepj^atalifaii Idi/aHra/arajn^isH
ftfg.kttemsiyaB^sBfCfettiflpgel^feut, tapi dia tidak ragu
akarste^kiiuiraAsri'gangpiaiftmbdnnya tersebar, musim
pana^kbe>Bi1htsteie Baap tiy ab gto di aa 53^ h pists"tg aitia eii (aoj(ttiJDia^pya;ebHdfri
i t&e rsf&egra r tfvyst ihirs nrrtepaS sa setiffip)/bk3rt?nyatuk tetap berada di
dalam rumah, dan (&erj^ a noej ejan/ ate rtaaiii \ac& jT"a(wanssj]iatoy3vl-Dia
setejahnj*fjj^hs^9pg^Bri65fatrti6a6Qy6s^^*Q fo^nafe&r; 8" g"Be g s dja aid b Ha
s "tretiraji r i'rKfeiBan ke stejuk ang an dt"^
yiiag^ita. B eTcpta pj u gaa fe" hftal p 9 anga ,p aa& tiahya. Itertoii^a t gfeoaagi
ab&hkii a 13osi a3"e ftsto&ri |s bflir-tuk kita atau tidak. Kau pun tahu, lebih
baik menerima dan membiarkan kehidupan ini mengambil alih. Segalanya bisa saja
terlihat sama, tapi rasanya sangat jauh berbeda."
"Apakah kau bahagia?" tanya Hatije. Pertanyaan itu mengejutkan Kirnya. Dia tak
pernah menanyakan hal itu kepada dirinya sendiri. "Aku tak tahu." Apakah
kebahagiaan adalah satu-satunya alat pengukur kehidupan seseorang" Dia tidak
begitu yakin. "Memang ada saatnya aku bersedih," Kirnya mengakui."Kehidupan
terus berubah dan kita tak bisa menengok ke belakang."
Kirnya teringat pada peringatan Maulana beberapa tahun yang lalu. Saat itu,
mereka sedang duduk di ruang belajar, mengulas sebuah buku puisi. Puisi yang
mereka baca menuturkan aliran sungai deras di sebuah gunung. Hal itu
mengingatkannya kepada kenangan saat tinggal di desa. Dia merasa kesedihan
menghampirinya dan betapa dia merindukan masa-masa itu bersama Baba. Maulana
mengangkat dagunya dan menatap tajam ke matanya.
"Aku tahu, Kirnya. Kenangan masa lalu adalah tukang sihir licik yang sangat
tangguh. Jika kau tidak hati-hati, dia akan membujukmu untuk kembali ke masa
lalu dan dia akan mereguk air murni kehidupanmu sendiri. Lantas, kau akan
mendapati dirimu begitu hampa ditemani kabut mimpi yang melenakan."
Kirnya menggigil membayangkan sang penyihir yang mencoba merenggut sari pati
kehidupannya dengan cakar-cakar yang tajam.
Maulana melanjutkan. "Kau tahu, Kirnya, Sang Maha Pemelihara Agung ada di sini,
saat ini. Jika kau terlalu sibuk melihat masa lalumu, atau bahkan cemas terhadap
kehidupan mendatang, kau tidak akan meli hat-Nya. Kau akan melupakanNya. Dan,
jika kau melupakanNya" Maulana menggelengkan kepalanya " hidup ini tidak layak
kau jalani." Hal itu tampak sederhana, tetapi nyatanya sulit sekali menghalau keinginan untuk
mengontrol jalannya kehidupan. Kirnya tak membiarkan dirinya terhanyut. Hatije
menatapnya.Rasa ingin tahunya bercampur dengan kekhawatiran.
Kirnya segera bangkit. "Hatije, kau jangan cemas. Kau bertanya apakah aku takut.
Tapi, dilanda perasaan takut atau sedih bukan berarti menandakan seseorang sudah
membuat kesalahan. Perasaan itu hinggap karena seseorang tidak benar-benar
menyimak dan mendengarkan nuraninya."
"Oh, Kirnya, kau membuatku sedih," Hatije mulai menangis. "Aku tidak mengerti
satu pun kata-kata yang tadi kau ucapkan. Kadang, aku berpikir bahwa kau tidak
tahu apa pun akan asam garam kehidupan ini." Dia mengepalkan tangannya, putus
asa. "Tetapi, kadang aku berpikir, mungkin aku yang tidak tahu apa-apa."
Kirnya tertawa. "Kita berdua memang belum tahu apa-apa. Terlalu banyak hal yang
harus kita pelajari! Tetapi, yang sekarang kutahu bahwa kau ini membuatku
tertawa dan karenanya aku menyayangimu."Kirnya kemudian menggendong Alim. Anak
itu memekik gembira.[] 20 Sadruddin Qanawi ada di hadapannya. Begitu sering, dalam berbagai kesempatan,
teman lama Maulana itu bertindak sebagai imam dalam shalat. Dan, hari ini, dia
bertindak sebagai naib, wali hakim, yang akan menikahkan Kirnya. Di sebelah
Kirnya, seperti gunung tinggi yang membisu, duduk lelaki yang sorot matanya
menggetarkan jiwa. Seorang lelaki yang kepadanya Maulana memberikan hatinya.
Seorang lelaki bernama Syams yang akan segera menjadi suaminya.
Kirnya memakai gamis berwarna oranye keemasan, bersulam corak bunga dari benang
emas pada kerah dan pergelangan tangannya. Rambutnya ter-selubung kerudung dari
kain muslin bertatahkan hiasan keperakan dan taburan mutiara hadiah dari Ker ra.
Cadar yang menutupi wajahnya dijahit secara tradisional dengan memakai tujuh
warna benang, menyembunyikan kecantikannya sedemikian rupa sehingga dia bisa
melihat apa pun tanpa merasa dijadikan pajangan. Dia aman dari rasa ingin tahu
para undangan yang telah hadir. Dia samar-samar bisa mencium kelembutan minyak
wangi yang telah di-KM percikkan Kerra di leher dan pergelangan tangannya. Betapa anehnya. Dia bisa
begitu tenang setelah seminggu yang lalu sempat terhasut, begitu sibuk
mempersiapkan pernikahan ini: hidangan, baju, dan daftar tamu undangan. Hanya
sedikit orang yang diundang, yaitu teman-teman terdekat Maulana dan, tentunya,
teman-teman Kirnya sendiri, seperti Hatije dan Nuran beserta keluarganya.
Ruangan itu benderang dengan nyala lilin, semerbak dengan wewangian melati dan
mawar yang menghiasi dinding. Di atas bunga api yang berpendaran itu, udara
terasa bergetar seolah hendak berubah menjadi cairan. Dari balik cadarnya, seluruh pemandangan ini seperti tak nyata. Anehnya, Kirnya
lebih merasa sebagai seorang tamu yang sedang menghadiri pernikahan daripada
sebagai pengantin yang akan dinikahkan.
Maulana duduk tak berapa jauh dari Sadruddin. Sorot matanya yang biru kehijauan
itu berbinar lebih terang daripada biasanya. Duduk di antara Sad ruddin dan
Maulana adalah Sultan Walad, Alauddin, dan beberapa teman mereka. Mereka semua
terlihat khidmat. Ada lagi beberapa orang yang agak tua yang sering dia lihat di
ruang belajar Maulana. Di sisi lain ruangan, yang agak terpisah, para istri dan
gadis muda duduk di bantal masing-masing. Yang tmpak kontras dengan keceriaan di
wajah mereka adalah raut wajah Kerra. Dia duduk agak tegang. Apa yang dia
pikirkan" Mungkinkah Kerra menyesalkan mengapa adat yang memisahkan calon
pengantin pria dan wanita tidak dijalankan" Atau mungkin
dia menyesal karena sang pengantin tidak akan pergi dan hidup bersama keluarga
sang suami sebab Syams tidak punya rumah sendiri dan juga tidak bersanak
keluarga" Kirnya menghalau pemikiran ini. Dia mendengar suara Sadruddin
ditujukan kepada Syams. "Saya nikahkan anak wali saya, Kirnya, putri Maulana, guru kami, Jalaluddin
Rumi, kepada Anda, Syamsuddin Tabriz,dengan maskawin sekuntum mawar beserta
perhiasan emas." Suara Syams mengalun, serak memecah keheningan."Saya terima menikah dengan
Kirnya, putri Maulana, Jalaluddin Rumi, dengan maskawin sebagaimana tersebut."
Kirnya menyingkapkan cadarnya. Yang mengherankan, Syams justru meraih tangannya.
Keheningan di ruangan itu menjadi semakin nyata. Apakah Syams tidak tahu bahwa
pasangan suami istri tidak boleh bercengkerama dan bersentuhan di muka umum"
Mata mereka beradu pandang. Tetapi, yang dia lihat begitu jauh dari sangkaannya
selama ini. Di hadapannya, pria tinggi ini, yang biasanya terlihat tangguh,
tegar, dan begitu kuat, ternyata memerah, malu, dan sekaligus kekaguman
terpancar dalam binar matanya. Dan kini, Syams meraih tangan Kirnya dan mencium
punggung tangan itu dengan bibirnya. Keheningan mencekam ruangan itu. Kirnya
merasa malu. Pipinya panas, sedangkan Syams yang berada di hadapannya seakan
menjadi sosok yang rapuh, begitu terbuka. Beginikah rasanya menjadi wanita
dewasa! Kirnya tersenyum, senyum sekilas yang dilihat hadirin. Hanya dia sendiri
yang tidak tahu kalau dia sedang tersenyum.
Hari tampaknya enggan untuk segera berakhir. Kaum lelaki meninggalkan ruangan
untuk bergabung bersama Maulana di ruang belajar. Sementara itu, para musisi
yang sengaja disewa khusus untuk acara ini, diam di tempat untuk menghibur
tetamu lainnya. Orang-orang masih bisa mendengar mereka bicara dan tertawa
ditimpali bunyi syahdu ney dan rebab. Kirnya duduk bersama Kerra dan kenalan Ker
ra. Di sampingnya ada Hatije. Di ruang ini pun ora ng-orang bersenda gurau dan
tertawa. Kirnya duduk di atas bantal bersulam agak menjauh dari hadirin undangan
sehingga dia tak akan lupa bahwa dia adalah pengantin putri dan harus tetap diam
di tempat hingga acara selesai. Di hadapannya, terbentang kain putih. Di atasnya
terpasang cermin pembawa kebahagiaan menghadap Makkah. Di tiap sisi cermin ada
lilin yang menyala. Lilin yang satu diperuntukkan bagi Syams, sedangkan yang
satunya lagi ditujukan untuk dirinya. Itu hadiah dari Syams yang mencerminkan
kebahagiaan. "Api dan bayangan sang api!" kata Sadruddin saat Maulana menyalakan lilin di
awal akad nikah. "Lihat, api itu mulai bergoyang," seru seorang perempuan. "Bagaimana mungkin" Di
sini tak ada a-ngin yang bertiup."
"Itu pasti karena cermin Syams!" komentar wanita yang satunya. "Apa yang kau
harapkan dari diri Syams selain hal yang tak diharapkan?" Dan mereka berdua kini
menatap Kirnya dengan wajah simpati.
Akankah hari ini tidak akan berakhir" Banyak sekali hidangan yang disajikan.
Lilin mulai menetes-netes.
"Kau tidak makan, Kirnya. Cobalah. Makanan ini enak sekali." Salah seorang
perempuan menawarkan halwa kepadanya. "Kau sudah menikah sekarang. Sudah jadi
seorang istri," katanya. "Dan tak lama lagi kau akan punya anak."
Kirnya mengambil halwa itu. Dia tak tahu harus berkata apa. Dia melihat ibu
Hatije menghampirinya. "Pernikahan pada awalnya akan terasa aneh," begitu kata ibu Hatije sembari duduk
dan mencari posisi yang nyaman. "Tetapi, kau akan terbiasa. Tentu saja, pria
kadang kala sangat sulit untuk dilayani, sukar untuk dibuat senang hatinya ...."
"Mama, hari ini pernikahan Kirnya. Waktunya untuk bergembira!"
"Iya, aku tahu. Aku juga tahu, Hatije. Tetapi, kan tidak ada salahnya
memberitahukan secuil pengalaman dan penghayatan yang kurasakan dalam
pernikahanku sendiri."
Kirnya mendengarkan kata-kata itu. Dia bahkan mengerti betul setiap suku
katanya, tapi kalau disatukan menjadi kalimat, tak ada artinya bagi dirinya. Dia
menatap ibu Hatije. Tubuhnya gempal, pipinya bersemangat, dan Kirnya rasanya
ingin berkata, "Hei, tak masalah seperti apakah pria yang kunikahi itu. Hari
ini, aku menikahi angin yang mengamuk dahsyat sekaligus berembus sepoi-sepoi.
Hari ini, aku menikahi singa yang mengaum galak sekaligus anak kuda yang
meringkik lembut." Keheningan menyelimuti ruangan itu, menelan suara-suara kaum
perempuan. Di hadapannya, nyala lilin berhenti bergerak. Dia ingin menangis
saja. "Hari ini, aku memasuki kobaran api dan rasanya dingin seperti salju yang
beku." Tetapi, kata-kata itu tersekat di tenggorokannya, seperti menyetujui
perjanjian rahasia yang baru saja dia ikrarkan. Dia memejamkan mata dan tiba-
tiba saja semua suara itu menghilang tak berbekas, sepi. Cekikikan tawa kaum
hawa itu kembali terdengar dilatari suara rendah kaum pria dan alunan musik yang
tak putus-putus. Nyala kedua lilin itu kembali menari-nari di hadapannya dan dia
menjilat rasa asin yang aneh di bibirnya. Dia mengusap bibirnya dengan sehelai
saputangan dan dia melihat tetesan darah. Dia ternyata telah menggigit bibirnya
sendiri, terlalu keras. "Kirnya, kau menggigil. Sini, lingkarkan selendang ini di bahumu dan minumlah
teh ini." Kerra sudah ada di hadapannya. Matanya seakan berkata, "Tenanglah. Aku di sini.
Segalanya baik-baik saja."
Kirnya meneguk teh itu sedikit dan kembali memejamkan mata. Dia sangat berterima
kasih kepada Kerra, bersyukur kepadaNya. "Ya Allah, sekali lagi Kau melimpahi
kehidupanku dengan begitu banyak karunia!" Kemudian, legalah hati Kerra; Kirnya
tertawa, sebab dia tak tahu mengapa dia begitu berterima kasih. Tetapi, rasa
syukur itu membuat hatinya
bernyanyi riang. Rasa syukur adalah anugerah juga, pikirnya. Perasaan ini
membuat keinginan untuk berterima kasih berlipat ratusan kali. Bersyukur adalah
seperti menyadari angin menyejukkan yang berembus di tengah musim panas yang
terik atau seperti menyadari kehangatan dari kayu yang terbakar api di tengah
musim dingin. Hal itu membuat setiap sel di tubuhnya ingin bersenandung,
berterima kasih atas segalanya.
% Mereka berjalan pelan menuju sayap rumah sebelah tenggara tempat Syams tinggal.
Bagian itu terdiri dari tiga kamar dan dihubungkan dengan rumah utama oleh
sebuah pintu yang mengarah ke halaman yang tidak begitu luas. Di seberang pintu
itu terdapat pintu lain yang mengarah ke jalan. Selama beberapa minggu, tempat
itu direnovasi sehingga cukup layak untuk ditempati mereka berdua. Ketika tetamu
undur diri dan musik akhirnya berhenti berbunyi, Maulana mencium kening Kirnya


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum dia beristirahat. Kerra juga mencium dahinya dan mencubit pipinya.
Sekarang ini, keheningan antara dia dan Syams seperti cadar yang dia pakai
beberapa jam lalu. Cadar itu tidak hanya me-lindunginya, tapi juga menaungi
mereka berdua. Dan sekarang, cadar itu berkata dalam sunyi, "Tunggulah sebentar
lagi. Pelan-pe lan saja. Jangan biarkan waktu ini berlalu begitu cepat."
Di depan pintu, selusin mawar kuning yang mungil telah ditaburkan untuk
menyambut kedatangan pengantin. Begitu mereka berjalan menuju rumah, semerbak
wangi bunga tersebut tersebar dan dapat mereka hirup dengan senyuman. Lintasan
pikiran berkelebat di benaknya. Dirinya kini melintasi ambang pintu yang baru,
memasuki wilayah tak dikenal dalam kehidupannya yang baru. Mereka kini berdiri
berhadapan di pintu masuk. Kirnya tersipu malu. Kemudian, sekali lagi, Syams
meraih tangannya dan menciumnya. Kali ini rasanya seperti sebuah segel, pertanda
hidup bersama yang akan mereka jalani. Agaknya ini telah direncanakan di suatu
tempat yang tak beruang, sebuah wilayah tempat waktu berhenti, dan dia bukanlah
dirinya sendiri. Syams menatapnya seakan menunggu kata-katanya. Tetapi, apa yang
akan Kirnya katakan" Syams mengangguk seakan mengerti dan menunjuk ke pintu di
sebelah kirinya. "Kau tentunya lelah. Ini kamar tidurmu. Tidurlah dalam damai
dan ingat bahwa Dia di sini bersamamu, selamanya." Syams menyerahkan lilin yang
sedari tadi dia pegang. Kemudian, dia bergegas menuju kamarnya sendiri.
Kirnya sendirian di sana. Bayangannya menempel ke dinding. Perlahan, dia
memasuki kamarnya. Ruangan ini tampak sempit, hampir sama dengan yang pernah dia
tempati di rumah utama. Berkedi-pan di kegelapan, nyala lampu minyak di ceruk di
atas tempat tidurnya memberi riak cahaya pada pola geometris permadani yang
ditenun dengan war na-warni kuning, Jingga, dan merah tua. Di atas
tempat tidurnya, tampak manis tergeletak sekuntum mawar kuning yang mungil
seperti yang tadi dia lihat di depan pintu. Dia mengambil mawar itu. Di antara
daun bunganya yang hijau segar, tak sengaja dia menyentuh tetesan darah segar,
seperti yang dia dapati di saputangannya. Setangkai mawar ternoda oleh darah!
Seperti mawar-mawar Tabriz yang pernah dikatakan Syams. Dia berbaring selama
beberapa saat. Kemudian, dia akhirnya mengantuk, tertidur. Dia seolah mendengar,
"Aku di sini bersamamu, selalu." Siapa yang mengatakannya" Dia tidak begitu
yakin, dia tidak tahu. Kirnya terbangun mendengar suara azan subuh. Di hadapannya tembok, tapi dia
tidak ingat di mana sebenarnya dia berada. Kemudian, ingatannya kembali
melintas: sebuah pernikahan, pernikahan dirinya, Syams mencium punggung
tangannya dan dia sendirian di depan pintu sambil memegang lilin yang
berpendaran. Dia telah tidur dengan nyenyaknya. Aku menikah, katanya kepada diri
sendiri. Dia ber tanya-tanya akan status barunya tersebut. Kemudian, dia
mendengar langkah kaki Syams yang berat di luar sana, diiringi suara derit
pintu. Dia membayangkan halaman depan dengan air mancurnya yang kecil. Sekarang,
itu menjadi bagian dari wilayah pribadi mereka. Dia dulu sering datang ke sini,
kadang saat pagi buta, ada kalanya saat sore hari, mempersiapkan masakan,
menggunakan dapur, dan mempersiapkan sepoci teh setiap paginya. Seseorang Syamskah" telah meletakkan
bara di perapian. Dia merenungkan ternyata hidup tampaknya tidak berubah banyak
sejak beberapa hari ini. Apakah dia terbebas ataukah kecewa" Dia bersenandung
pelan seperti yang biasa dia nyanyikan jika tidak merasa yakin akan perasaannya
sendiri. "Kau cukup bijak untuk menggantungkan pertanyaanmu, Kirnya."
Suaranya cukup mengejutkan. Syams berdiri di depan pintu, menatapnya setengah
serius, setengah geli. Kirnya merasa agak jengkel. Bagaimana bisa hidup dengan
seseorang yang selalu bisa membaca pikiran kita"
Syams mengabaikan pikiran yang baru saja terlintas di benak istrinya. "Perubahan
datang dari dalam, bukan karena pengaruh dari luar. Tidakkah kau sadari itu?"
Kirnya mengangguk, senang tidak ada nada celaan dalam suara suaminya. Dia
menatap Syams, tapi tak bisa membaca raut wajah suaminya itu.
"Haruskah kubawakan secangkir teh ke kamarmu?" tanya Kirnya.
"Aku akan senang sekali," katanya. Kemudian, dia menambahkan, "Jangan biarkan
pengharapan menyimpangkan kenyataan. Kau hanya akan men yia-nyiakan waktu yang
sangat berharga ini."
Kali ini, Syams tersenyum tipis, tapi sorot matanya tetap tajam dan setiap
katanya laksana panah yang berhasil menembus sasaran tembak. Kirnya bisa
merasakan kata-kata itu, panah-panah
itu, tanpa tahu pasti apa penyebabnya.
"Nyanyianmu adalah jawabannya," kata Syams, seakan menjawab pertanyaan yang tak
terucapkan. "Menyanyi adalah salah satu jalan untuk membuat sang jiwa bisa
mendengar." Syams kembali ke kamarnya, seakan sudah terlalu banyak menghujani istrinya
dengan kata-kata. Kirnya cepat-cepat menyiapkan sebuah nampan lengkap dengan semangkuk buah zaitun
hitam, beberapa kerat keju, dan sekendi teh.Kemudian, dia mengambil mawar kuning
dari kamarnya dan meletakkannya di sebelah kendi teh. Kirnya menertawai dirinya
sendiri. Kegembiraan, pikirnya, adalah salah satu jalan sang jiwa untuk
bercakap-cakap dengan kita.[]
21 Musim dingin telah berlalu. Musim semi pun menjelang. Kirnya senang sekali bisa
duduk di halaman pondoknya sambil menikmati matahari petang, walaupun udara
sebenarnya tidak cukup hangat. Tiga bulan lebih berlalu sejak hari
pernikahannya. Selama itu pula, begitu selesai shalat subuh dan menyampaikan
doa-doanya, dia akan menyiapkan sarapan pagi untuk Syams: semangkuk zaitun
hitam, potongan keju putih, dan sepoci teh. Biasanya, Syams sudah siap berangkat
ketika dia baru saja terjaga, terbangun mendengar langkah kaki Syams yang berat.
Ada kalanya, Syams baru saja pulang dan minta disediakan sarapan. Dia merenung.
Sebenarnya, kehidupan dia tidak berubah banyak selain mengerjakan tugas rutin di
pagi hari. Dia masih pergi belanja ke pasar menemani Kerra. Dia masih juga
membantu pekerjaan harian di rumah Maulana. Dia juga masih saja mengasuh si
kecil Alim, sekaligus mengantarkan nampan makanan ke ruang belajar Maulana
tempat dia dan Syams tenggelam dalam hening selama seharian.
Hanya dalam pandangan orang-orang saja dia
telah berubah. Seakan tabir pernikahannya belum tersingkap dari wajahnya. Bagi
mereka, dia bukanlah Kirnya yang dulu, melainkan seorang istri yang telah
bersuami, yang tentu saja dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan status
barunya tersebut. Dia teringat ibu Hatije pernah berkata, "Pernikahan pada
awalnya memang sesuatu yang aneh, tapi kau akan terbiasa juga." Terbiasa untuk
tidak berlari-lari! Terbiasa untuk tidak lagi tertawa terba hak-bahak di depan
umum! "Seorang istri harus menampilkan ketenangan dan pengendalian diri," dia
juga diberi tahu. "Dan, kita harus menyenangkan sekaligus melayani suami."
Tetapi, bagaimana cara menyenangkan dan melayani suami bila Kirnya jarang sekali
berjumpa dengannya" Dan,akankah Syams senang jika dia berubah, tidak lagi
menjadi dirinya sendiri" Sering dia renungkan apakah dia merasa bahagia saat
menyiapkan sarapan pagi untuk Sya ms. Dia menarik napas panjang. Begitu banyak
pertanyaan dan dia tak menemukan jawabannya! Sebelumnya, dia berencana men-
diskusikan hal ini dengan Hatije atau mungkin Nuran yang punya pendirian teguh
mengenai dunia ini dan kehidupan yang seharusnya berjalan. Tetapi, sekarang ini,
ada penghalang yang menjaga jarak dia dengan teman-te mannya. Bagaimana bisa dia
ceritakan keintiman ganjil yang terjalin antara dia dan Syams" Bagaimana mungkin
bisa dia bicarakan kehidupan pernikahan semu ini yang walaupun terkadang membuat
dia kesepian, ternyata hatinya tumpah ruah dengan kegembiraan" Dan, setiap orang
pun tahu bahwa kegembiraan itu terlalu rapuh. Sebuah rasa yang akan segera
menghilang secepat terhapusnya jejak kaki di pasir yang tersapu tiupan angin
kencang. Bangku yang dia duduki tiba-tiba terasa dingin. Di atas tembok, ranting-ranting
pohon ceri tetap menjulur ke atas seakan memohon kebaikan langit supaya
memberikan kehangatan. Dia membiarkan angannya mengembara ke masa lalu, ke
beberapa bulan yang lalu. Dia bisa melihat Hatije yang hampir menangis saat
mengeluh, "Kita tak bisa lagi ber cakap-cakap." Dia mengangguk setuju. Sedih
juga menyadari percakapan mereka hanya sekadar basa-basi. Sejak saat itu,
kunjungan Hatije menjadi semakin singkat, kemudian bertambah jarang.
Hubungannya dengan Kerra pun berubah, mungkin caranya saja yang berbeda. Kerra
tidak pernah mengajukan pertanyaan. Dia memang tidak perlu itu. Dia bisa membaca
sikap Kirnya. Kirnya sekarang punya kehidupan sendiri. Dia tidak perlu lagi
menjadi pelindung dan penenteram hati Kirnya. Sudah saatnya Kirnya menemukan
cara lain untuk mendapatkan penenteram dan pelindung yang dia butuhkan. Kerra
tidak akan ikut campur dalam kehidupan Kirnya yang baru.Begitulah sikap dia
terhadap suaminya sendiri, Maulana. Dia tidak pernah mencampuri hubungan
suaminya dengan Syams. Kirnya ingat "malam pertama" ketika dia dan Syams
menghentikan langkah mereka di pintu masuk pondok kecil milik mereka. Dia telah
memasuki wilayah baru. Di wilayah baru inilah tidak ada lagi orang selain Sya ms
dan dirinya sendiri. Bunyi keletak-keletuk gerobak dan derap kaki kuda di balik tembok sesaat
mengalihkan perhatiannya. Betapa anehnya dunia di luar sana. Rasanya, dari waktu
ke waktu bertambah jauh saja! Ada hari-hari, seperti hari ini, saat dia merasa
terabaikan. Tetapi, tak lama kemudian, kegembiraan itu muncul lagMBa-gaimana
bisa dia merasakan bahagia dan hampir berbarengan dengan itu dia merasa
tersesat, tak memiliki pijakan di mana pun" Ketika dia tinggal di desa, tak ada
seorang pun yang bisa menjadi tempat curahan hatinya. Dia selalu menikmati
waktu-waktu yang membahagiakan ketika kehilangan orientasi ruang dan waktu. Dia
hanya terhanyut dalam tangis sebab kegembiraan itu menghilang, tiba-tiba
tercerabut darinya. Di sini, di rumah Maulana, kesepian itu berkurang.Dia merasa
tinggal di rumah sendiri bersama keluarga angkatnya Dia merasa begitu diterima
daripada di rumahnya di desa. Dia sendiri tak mampu menjelaskan mengapa
demikian. Tetapi sekarang, kesepian itu menghinggapinya lagi. Akankah kesepian
ini akan selalu menyertai hidupnya" Selama beberapa minggu ini, dia mencoba
menyibukkan diri dengan berulang-ulang pergi ke pasar. Tetapi, di depan kios-
kios itu, dia tidak bisa mengingat apa yang akan dibeli, apa yang sebenarnya dia
butuhkan. Dia merasa hampa dan sedih. Dia mencoba lagi bercengkerama dengan
Hatije, tapi toh rencananya itu batal. Aku seperti bola yang digelindingkan ke
dinding dan terpantul lagi. Rasanya aku seperti dioper-oper, pikirnya, sambil
memandang tembok di hadapannya. Di tembok itu kini tumbuh tanaman yang sangat
mungil sebab tak cukup tanah untuk menancapkan akarnya.
Dia menggigil dan melingkarkan selendang di bahunya. Seorang istri menghabiskan
waktu dengan suaminya, pikirnya. Tetapi, Syams jarang sekali berada di dekatnya.
Selalu saja ada saat-saat seperti pagi ini, ketika azan subuh berkumandang, dia
mendengar langkah kaki berat diikuti derit pintu. Kemudian, waktu pun berlalu
serasa tak berakhir hingga dia mendengar langkah kaki lagi pada larut malamnya.
Pernah dia menghampiri pintu untuk menyambut kedatangan suaminya, tetapi
suaminya tak mengacuhkan dia dan berlalu menuju kamarnya sendiri sambil
menggerutu, "Jangan mengganggu. Pergilah tidur. Ini sudah larut malam."
Dia kebingungan menyaksikan sang suami menghilang masuk ke kamar pribadinya. Apa
yang seharusnya dia lakukan" Apa yang harus dilakukan wanita yang sudah menikah"
Malam itu, dia tak bisa tidur. Dia mendengar suaminya berjalan mondar-mandir di
kamar sebelah sambil menggerutu pelan dengan kata-kata yang tak terdengar
olehnya. Kemudian, setelah dia tertidur beberapa jam dan terbangun, suaminya
telah pergi. Dia menatap ke sekitarnya. Kuncup-kuncup pohon ceri telah tumbuh. Lucu sekali,
baru kali ini dia menyadarinya. Apakah bunga-bunganya akan berwarna merah jambu
ataukah putih" Angannya kembali memikirkan Syams. Akankah Syams pulang lebih
awal" Dia tidak pernah tahu. Ada saja saat-saat Syams kembali ke pondok pada
waktu yang tak terduga, kadang tengah hari atau bahkan sore hari, minta disediakan sekerat
keju atau segelas teh dan selanjutnya beristirahat di kamarnya sendiri.
Saat itulah dia mendengar derit pintu terbuka dari rumah utama. Itulah suaminya,
menatapnya. Dia berdiri, seakan tertangkap basah. Hari masih sangat pagi dan
Syams tidak pernah pulang secepat ini. Sekilas senyum mengembang di bibir Syams.
Dia berjalan perlahan ke bangku itu dan duduk. Dia mengabaikan istrinya yang
tampak tersipu. "Mengapa kau tidak menyiapkan sepoci teh untuk kita?"
Kirnya tidak pernah mendengar kata "kita" terlontar dari bibir Syams sebelumnya.
Ini hal baru dan menyejukkan, pelipur lara bagi kesepiannya. Dia segera
menyiapkan teh dan kembali lagi ke halaman membawakan nampan. Dia segera
menuangkan teh ke gelas suaminya saat Syams menatap dalam-da lam matanya.
Seperti biasanya, wajah sang suami tampak kaku. Dia kadang berpikir tatapan
suaminya tidak seperti tatapan seorang lelaki kala menatap seorang wanita, atau
bahkan tatapan seorang kawan kepada teman karibnya. Tidak, Syams melihat ke
suatu tempat antah-berantah, ke sebuah tempat yang hening di mana kegembiraan
sedang menanti, tempat kosakata yang tidak dia kenal begitu saja meluncur dari
bibirnya. Tangan Kirnya gemetar dan teh yang dia tuangkan tumpah. Tatap mata
Syams makin lembut. Lantas, yang membuat dia terkejut, Syams tiba-tiba tertawa,
tawa yang sangat dalam seperti guntur yang bergemuruh.
"Kirnya, mengapa kau cemas" Mengapa kau takut" Aku tahu begitu berat menjejakkan
kaki di atas tanah ini sementara hatimu menatap ke surga. Tetapi, ini rahasia"
dia menghentikan kalimatnya, sekarang hampir tersenyum"rahasianya adalah bumi
ini dan surga tidaklah terpisah, dia meminum tehnya. Lama sekali tidak terpisah,
ulangnya. Wajahnya kembali serius.
Kirnya tetap berdiri di hadapan Syams, mencoba menangkap kata-katanya. Tetapi,
kata-kata suaminya itu tiba-tiba saja lenyap dari benaknya dan yang bisa dia
ingat hanyalah pertanyaan: "Mengapa kau cemas?" Mengapa" Syams memejamkan mata,
seolah berkata, "Biarkanlah persoalan ini mengendap. Istirahatlah. Aku tak akan
menahanmu.Kau bebas sekarang." Dia tetap berdiri di hadapan suaminya hingga
matanya kembali terbuka. "Aku harus pergi sekarang," katanya. Tak lama kemudian, dia menghilang menuju
pintu yang sama saat dia datang tadi.
Apa yang membuatnya datang ke sini" Kirnya tak punya jawaban.
Beberapa hari kemudian, Kirnya kembali duduk-duduk di halaman pondok, menatap ke
arah pintu rumah utama, dan setengah berharap melihat Syams muncul dari sana.
Tetapi, tentu saja, Syams tak muncul-muncul juga. Tak ada yang akan terulang
sedemikian persis.Tetapi, setidaknya cuaca tidak berubah. Sebenarnya tidak
terlalu hangat untuk duduk di luar dalam jangka waktu yang lama. Angannya
kembali melayang pada masa kebersamaannya
dengan Syams, begitu singkat, begitu sedikit, tapi tetap saja seperti gemerlap
bintang yang bertaburan di langit malam.Dia menarik napas panjang, mendesah
pelan. Tak ada seorang pun yang dapat dia ajak bicara tentang hal ini. Dia
Carry Me Down 2 Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen Perempuan Berbisa 2
^