Pencarian

Kimya Sang Putri Rumi 4

Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy Bagian 4


mendengar suara yang mengendap pelan seperti dedaunan yang jatuh tertiup angin,
membuatnya waspada untuk tetap menatap ke arah pintu di hadapannya itu, berharap
cemas.Selama beberapa detik, jantungnya berdegup cepat seakan hendak melompat
dari dadanya. Tetapi ternyata, Alauddin yang muncul dari balik pintu itu. Mata
Alauddin terpaku ke arahnya. Berapa lama dia berada di situ" Alauddin kelihatan
marah dan sedih. Dan seperti biasanya, Alauddin membuat Kirnya merasa tak
nyaman. Alauddin selalu terlihat seakan membawa beban yang sangat berat di
pundaknya.Kau ingin menolongnya,kau ingin membuatnya tersenyum, tapi sikap keras
kepala yang mengasihi diri sendiri itu tidak akan membiarkanmu mendekatinya.
Kirnya terpaksa tersenyum. "Aku tak mendengar kedatanganmu," katanya. Lantas,
karena Alauddin tidak juga menjawab, Kirnya menambahkan, "Syams tidak ada di
sini." Alauddin tetap tidak mengatakan apa-apa.
"Akankah kau menunggunya" Dia mungkin akan pulang. Kadang-kadang pagi begini dia
sudah pula-ng." "
"Oh, begitu." Alauddin tetap berdiri di sana, mengayun-ayunkan kakinya, masih
saja menatapnya. "Oh, begitu, ya." Kemudian, dia berbalik dan melangkah pergi.
Apa maksudnya" Kirnya pura-pura percaya bahwa Alauddin memang mencari Syams,
tapi dia juga tahu betul bahwa Alauddin tidak bermaksud demikian. Alauddin
sendiri mungkin saja tidak tahu mengapa dia datang ke sini, pikirnya. Alauddin
kadang bertindak atas dorongan sesaat, begitulah dia. Tetap saja, kunjungannya
meninggalkan perasaan tak nyaman. Haruskah dia mengatakannya kepada Syams"
Tetapi, apa bisa dia mengatakannya" Tak ada yang harus dibicarakan.
Tiga hari kemudian, ketika Kirnya membuka pintu menuju rumah utama, Alauddin
sudah ada di sana, menghalangi jalan masuk.
"Alauddin, biarkan aku masuk. Kerra sudah menungguku sedari tadi," katanya
marah. "Kau tidak begitu angkuh sebelumnya. Pernikahan sudah merasuki otakmu," katanya
agak ke pinggir sehingga Kirnya bisa masuk, tapi gamisnya sempat menempel ke
tubuh Alauddin ketika dia melewatinya.
Kirnya mengangkat bahunya. "Kau menjijikkan. Mengapa kau masih saja menggodaku"
Tinggalkan aku sendiri!" Kirnya kesal sekali. Alauddin memang selalu
menyusahkan, menggodanya, atau menegaskan kesalahannya ketika dia salah ucap
dalam bahasa Persia. Hanya di depan Kerra dan Sultan Walad saja Alauddin tidak
akan berani mencemoohnya. Kali ini, hanya ada mereka berdua dan Kirnya sangat
tidak suka karena Alauddin seakan merencanakan semua ini. Kirnya berjalan
bergegas menuju koridor yang akan mengantarkannya menuju dapur. Kerra
sudah menantinya. Kirnya menyadari bahwa Alauddin berada di belakangnya, tapi
sebelum dia sampai ke dapur, pemuda itu berjalan ke halaman utama. Kirnya
berhenti sebentar, menatap kepergian Alauddin yang menghilang di gerbang depan.
Kirnya kini sendirian, menelan rasa tak enak yang bersarang di mulutnya.
Malam ini sangat gemilang. Langit sangat biru, begitu gelap dan terasa padat.
Pohon ceri yang sekarang sedang putih berkembang, ranting-rantingnya menjulur ke
tembok sehingga meneduhi jalan. Kembang bakal buah itu begitu putih seakan
menggem bar-gemborkan kehebatan musim semi. Syams telah pergi sejak dini hari,
seperti biasanya. Tetapi, hari ini, dia telah pulang ke rumah sebelum malam,
hanya beberapa menit yang lalu.
"Aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu," katanya. Syams pergi ke kamarnya,
sementara Kirnya menyibukkan diri dengan membuat teh dan makan malam.
Pintu pondok mereka masih terbuka mengarah ke halaman, mempersilakan cahaya
keemasan menyentuh kakinya. Kirnya bersenandung, mengangankan nanti mereka akan
duduk di bangku batu itu di luar sana. Ketika itu, Kirnya mendengar pintu yang
menuju rumah utama berderit terbuka. Dia menengok ke arah pintu itu. Seperti
kemarin-kemarin, Alauddin sudah berdiri di depan pintu masuk. Pada saat
itu, Syams baru saja keluar dari kamarnya. Syams memerhatikan Kirnya sedang
terpaku kaget dan dia menangkap kehadiran Alauddin.
Kedua lelaki itu saling bertemu pandang. Masi ng-masing terkejut. Setelah
beberapa detik, Alauddin memperoleh ketenangannya kembali. Dia pun berjalan
menuju pintu yang mengarah ke jalan.
"Kau sebenarnya mau ke mana, Alauddin?"tanya Syams.
"Aku akan ke pasar," kata Alauddin menantang. "Ayah membutuhkan pena bulu dan
kertas. Aku baru saja mendengar ada kapal yang baru tiba dari Suriah."
Hening sejenak. Kirnya di samping Syams, diam tak bergerak.
"Dan, jalan terbaik menuju pasar tentunya lewat halaman pondokku!" kata Syams.
Nada sindiran tajam dalam ucapannya ternyata lebih buruk daripada sekadar
celaan. Pemuda itu tetap diam. Dia jelas sangat bingung. Dia secepatnya kabur dari
tatapan Syams yang sangat menusuk.
Tetapi, Syams belum selesai. "Ini wilayah pribadi sekarang," dia mengingatkan
Alauddin. "Dan kau pun tahu itu. Ini bukan tempat yang bisa kau masuki
seenaknya, kecuali kalau kau diundang."
Wajah Alauddin memerah. Rahangnya merapat. Tetapi, sorot menusuk di mata Syams
tetap membuatnya tertunduk. Dia tak bisa menahan diri lagi. "Tetapi ini kan
rumah ayahku." "Alauddin, jangan menyulut amarahku," suara
Syams menjadi menusuk. "Ayahmu, seperti yang kau kenal betul, tidak akan
menyetujui tindakanmu. Dan, kau juga tahu bahwa pintu yang menuju jalan itu
terkunci." Alauddin semakin menundukkan wajah. Kemudian, dia berbalik dan bergegas pergi
menuju pintu rumah utama dan menghilang.
Syams menggelengkan kepala. "Banyak betul amarah di dalam diri anak itu!" Dia
berpaling kepada Kirnya. "Sekarang, dia tidak akan membuat masalah lagi
denganmu," katanya menyiratkan bahwa dia tahu ini bukan yang pertama kalinya
Alauddin memasuki pondok mereka. "Anak beruang memang bergigi tajam," katanya
meneruskan. "Tetapi, dia tidak punya kekuatan dan dia tahu betul." Syams
tertawa. "Kadang kala, hal itu membuatnya marah." Kirnya bisa melihat bahwa
kerutan di antara alis Syams lenyap.
"Mari kita minum teh ini," katanya, seakan gangguan Alauddin sudah tidak menarik
perhatiannya lagi. "Lihat," dia memegang sehelai perkamen. "Inilah yang ingin
kuperlihatkan padamu."
Perkamen itu merupakan lukisan burung yang sedang ditatap oleh seorang gadis.
Bulu-bulu burung itu berwarna biru tua, sementara raut wajah sang gadis begitu
tenang, tampak merenung tetapi penuh perhatian. Wajah gadis itu dilukis dengan
go resan-goresan hitam. Di sana tergambar juga dua ikan yang sedang berenang di
laut biru yang serupa dengan birunya sang burung. Lukisan itu menggambarkan
keadaan ketika ruang dan waktu telah kehilangan batas. Lukisan aneh itu sangat
indah, seperti pintu masuk menuju dunia lain, yang terasa dekat namun sekaligus
tak mungkin tergapai. Mata Kirnya basah. Dia menangis. Dia menyerahkan kembali lukisan itu kepada
Syams, tak mampu berkata-kata.
"Ya, benar," kata Syams. "Ini memang indah sekali." Syams diam sejenak. "Seperti
dirimu," katanya menambahkan.
Dia menatap suaminya, tercengang. Apakah Syams sedang mengejeknya" Tetapi,
matanya tidak memancarkan tatap ironis maupun cemoohan, tapi justru kilat malu
yang berusaha dia sembunyikan dalam wajah yang kaku tegang. Hal ini mengingatkan
kejadian di hari pernikahannya. Dia merasa pipinya panas dan menyembunyikan rasa
malunya dengan cepat-cepat meminum tehnya.
Halaman pondoknya kini disergap kegelapan. Hanya ranting-ranting yang dipenuhi
kembang bakal buah berwarna putih yang masih bisa terlihat. Angan Kirnya
berkelebat dan sempat terlintas bahwa pohon ceri itu akan berubah menjadi hijau.
Syams memejamkan mata.Kirnya masih bertanya-tanya apakah dia menyadari
kehadirannya. Tanpa membuka matanya, Syams berkata, "Duduklah, Kirnya." Dia
menurut. Dia menyadari adanya kekuatan yang ti ba-tiba saja menyelimuti halaman
pondoknya. Begitu dia duduk di samping Syams, gelombang kebahagiaan melimpah
ruah di hatinya. Kemudian, dia mendengar Syams berkata, "Aku akan pergi
sekarang. Aku akan menemuimu kembali beberapa saat lagi
atau mungkin besok."
Syams kemudian berdiri di hadapannya. Wajahnya tak bisa ditebak dan Kirnya
mengangguk, tak bisa berkata maupun bergerak.
"Kau akan baik-baik saja," katanya. Kemudian, dia pergi.[]
22 Kirnya sedang berbaring di ranjang. Dia sepenuhnya terjaga. Syams telah pergi
seharian. Sekarang, malam semakin larut saja, tapi Syams belum juga pulang.
Apakah menikah itu hidup bersama layaknya ka kak-adik atau lebih seperti ayah
dan anak" Apakah menikah itu berarti jarang sekali bertatap muka dengan
pasangannya" Kalau Syams berada di dekatnya, rasanya dia begitu tenang dan puas
hati. Kehadirannya, entah bagaimana, mengatur ulang kenyataan dan
mempertajamnya. Kehadiran Syams memperluas dunianya, membuat kekhawatiran dan
ketertarikan terhadap rutinitas hidup menjadi hanya hal kecil layaknya riak air
di permukaan sebuah danau. Kirnya menjadi paham bahwa sang danaulah yang
berarti, bukan riak gelombangnya; dan dalam keberadaan luas inilah kehidupannya
memiliki tempat yang unik, yang tak diragukan lagi hanyalah kecil, tapi
bermakna. Dia sendiri heran. Perasaannya terhadap Syams telah berubah selama beberapa
bulan terakhir ini. Kekuatan dan otoritas Syams memang masih kentara, tapi rasa
takutnya telah berkurang. Dia kini tahu
sisi lain sang suami. Yang pertama kali dia ketahui di hari pernikahan mereka
adalah perpaduan rasa malu dan kelembutan yang tak bisa disembunyikan Syams saat
mereka bersama-sama. Menemukan secuil kerapuhan dari seorang lelaki sekuat itu
awalnya cukup mengherankan, tapi sekaligus menyadarkan Kirnya. Secara paradoks,
kerapuhan itu justru membuat Syams semakin terlihat agung.Syams memang bukan,
setidaknya bukan hanya seorang manusia super sehingga setiap orang segan
terhadapnya. Syams juga tetap manusia yang bisa saja terluka.
Kirnya memejamkan mata, berusaha menghalau kelebatan angan-angan. Kemudian,
tiba-tiba saja dia berdiri di atas gurun pasir maha luas yang penuh dengan
bukit-bukit batu. Dia sendirian di daratan bertanah cokelat kemerahan. Sinar
putih mentari menggantung di langit. Dan di sana, di persimpangan langit dan
bumi, sesuatu mulai bergerak, sebuah sosok, sosok binatang buas yang sepertinya
sedang berjalan ke arahnya. Yang dia lihat adalah seekor singa raksasa. Sang
singa berjalan begitu perlahan, dengan semacam kebulatan tekad. Sang singa
sangat jelas mengetahui kehadirannya.Kirnya bisa melihat surai sang singa yang
kusut dan tak terpelihara. Kirnya bisa melihat otot-otot sang singa menyembul
bergerak-gerak di bawah kulitnya. Dalam kepanikan, Kirnya mencoba melarikan
diri, tapi dia hanya bisa diam terpaku. Sang singa sekarang begitu dekat dan dia
bisa merasakan dengusannya. Kemudian, yang membuatnya takjub, singa itu duduk
mendekam di dekat kakinya dan menjilati lengannya.
Kirnya terbangun, dengan perasaan campur aduk antara kepanikan dan kesegaran
yang manis. Ternyata, dia masih berbaring di kamarnya. Dehem-an parau diikuti
suara langkah kaki Syams yang berat seakan menjadi angin dalam mimpinya, atau
mungkin dia masih bermimpi. Di bawah pintu kamarnya, tampak cahaya berpendaran
selama beberapa detik, kemudian lenyap, seakan tertelan oleh keheningan malam.
Kirnya kembali terhanyut ke dalam mimpi yang indah, semanis madu.
Malam berikutnya, Kirnya kembali merebahkan diri di ranjang setelah menghabiskan
waktu seharian dalam kesendirian yang hampir sama dengan hari-hari yang telah
lalu. Dia menjadi semakin peka terhadap bebunyian di dalam pondoknya. Rasanya,
dia mendengar bunyi kobaran api di perapian saat kayu terbakar hangus.Di bawah
pintu kamarnya,tampak seberkas cahaya berpendaran. Kirnya segera bangkit dan
menuju ke luar. Pintu kamar Syams terbuka dan dari sanalah sumber cahaya tadi.
Dia mendekat, terkesima lantas melihat pemandangan yang tak ma suk akal. Di
dalam kamar itu, Syams duduk tak acuh dengan mata terpejam. Padahal, api telah
berkobar mengitarinya. Wajahnya yang pias tak berwarna lebih menyerupai pahatan
batu. Yang pertama kali terlintas di pikiran Kirnya adalah segera berlari
menghampiri suaminya dan mengeluarkannya dari kamar itu. Tetapi, ada sesuatu
yang menahannya. Kobaran api itu naik dan jatuh tanpa menyentuh tubuhnya sama
sekali. Kobaran api itu lebih menyerupai perlindungan daripada sebuah ancaman.
Terperanjat, Kirnya tetap terpaku menatap suaminya yang dikelilingi api hingga
akhirnya dia menggigil dan kembali masuk ke kamarnya sendiri. Barulah Kirnya
menyadari bahwa kobaran api tersebut sama sekali tidak panas. Dia lantas
berbaring dan tetap terjaga beberapa waktu lamanya.Perasaannya kacau balau.
Suara azan subuh membangunkannya. Rupanya dia tertidur beberapa menit saja.
Kejadian tadi malam tergambar kembali di benaknya. Lingkaran kobaran api di
sekitar tubuh Syams, wajahnya yang kelabu. Mimpikah itu" Dengan cepat Kirnya
berganti baju dan membuka pintu kamarnya. Syams baru saja keluar dari kamarnya
dengan memegang lampu minyak di tangan kanannya. Syams tampak terkejut melihat
kehadiran istrinya, seakan lupa bahwa mereka tinggal dalam satu atap. Kirnya
memerhatikan lingkaran hitam di bawah mata suaminya, tapi binar matanya lebih
kemilau daripada biasanya. Syams terdiam selama beberapa detik, kemudian
berkata, "Jangan takut, api-Nya terasa seperti air yang menyejukkan bagi sang
kebun." Kata-kata tersebut menjadi semacam obat bagi luka yang tak terlihat. Jadi, yang
semalam itu ternyata bukan mimpi!
"Itulah api yang harus kau cari," katanya menambahkan, sebelum memasuki halaman
untuk selanjutnya pergi ke pancuran air untuk berwudhu. Kirnya tetap berdiri di depan
pintu, menatap kepergian suaminya.Syams mengeringkan tangannya, kemudian menuju
pintu rumah utama dan berpaling, "Yang kau lihat tadi malam adalah anugerah
dariNya. Simpan saja, jangan dibicarakan."
Kirnya mengangguk, kecewa karena suaminya merasa perlu untuk mengingatkannya.
Tidakkah Sya ms tahu bahwa bibirnya terkunci menjaga rahasia rumah tangganya,
kesepiannya, dan waktu-waktu berharga seperti tadi malam" Tetapi, Syams sudah
menghilang dan dia kini sendirian lagi. Dalam suasana fajar yang cukup menggigit
itu, perlahan pekat malam memudar sehingga bentuk pancuran air makin jelas saja.
% Sinar matahari memanggang tembok-tembok di sekeliling halaman dan kembang-
kembang pohon ceri yang akhirnya berubah menjadi buah yang hijau dan mungil.
Musim panas sudah di depan mata. Kirnya duduk-duduk di bangku batu dan tangannya
tampak sibuk menyulam dengan segulung benang berwarna putih. Geli juga, betapa
ternyata sekarang dia kehilangan minat baca yang tadinya menggebu-gebu, haus
pengetahuan. Dia sekarang lebih menikmati pekerjaan harian seperti merajut renda
yang mengingatkannya kembali akan kehidupan di desanya, kenangan akan kakak
perempuannya. Kenangan ini memang tampak buram di matanya, tapi keterikatan
emosi masih tetap kuat: kegembiraannya saat Pater Chrisostom datang dan
mengajarinya baca tulis huruf Yunani; gelora keingintahuannya, saat pertama kali
melihat huruf Persia, mengeja doost yang ditulis Ahmed di atas tanah berdebu.
Betapa menakjubkannya tahun-tahun itu, baru dia sadari sekarang, meskipun
sebenarnya dia tidak tahu, jalan itu sudah terpetakan, menuntunnya ke sini.
Kirnya menghalau angannya dan kembali pada kenyataan yang dia hadapi sekarang
ini. Udara terasa panas dan dia jadi mengantuk. Dia membungkuk ke arah kakinya,
mengambil jarum yang sempat terjatuh dan angannya kembali memikirkan Syams.
Suaminya pulang lebih awal, tapi kemudian pergi lagi. Begitu sering Syams
menolak makanan yang telah dia sediakan, padahal sepengetahuannya Syams belum
makan sejak tadi malam. Syams berencana menghadiri syukuran di rumah Sadruddin
Qanawi. Tetapi, akankah Syams makan malam" Kirnya meragukannya. Dia merenung,
menjalani kehidupan bersama Syams adalah menghadapi ketidakpastian.Tak ada acuan
yang jelas maupun ritme yang nyata.Ada kalanya, Syams seperti tak mengacuhkan
suara azan, tapi di malam yang sangat larut, dia mendengar Syams
berzikir,menyebut namaNya berulang-ulang. Bagaimana dengan doa-doanya sendiri"
Bagaimana sebenarnya hidup yang sedang dia jalani kini" Kunjungan Nuran baru-
baru ini tidak memberi manfaat apa pun.
"Orang-orang percaya, Syams membuatmu sangat tidak bahagia," kata Nuran mengaku.
"Kau tidak pernah lagi bepergian sebab dia begitu cemburuan dan melarangmu
keluar rumah." Kirnya menggelengkan kepala tak percaya. Bagaimana bisa orang-orang itu begitu
bodoh! Dia sangat terkesima.
Tetapi, Nuran terus saja bicara. "Dan, apa pula Syams itu! Suamimu itu tidak
pernah pergi ke masjid dan orang juga tahu bahwa dia pernah minum anggur."
Kirnya tidak tinggal diam. "Itu hanya gosip. Orang-orang tidak pernah tahu
bagaimana sosok Syams seutuhnya. Dan, Nuran, kau harus ingat ini, meskipun aku
temanmu, Syams adalah suamiku."
Nuran tampak malu, tapi sekaligus marah.
Orang-orang meyakini apa yang mereka ingin yakini, renung Kirnya. Syams tahu apa
yang dia lakukan dan mengapa dia melakukan hal itu. Syams tidak pernah bertindak
serampangan dan bertingkah semaunya.Kirnya sangat meyakininya.Malahan, Syams
sekadar mengikuti perintah batinnya sedemikian alami seperti halnya bernapas,
berjalan, atau berbaring tidur. Hal ini tentunya tidak selalu sesuai dengan
kebiasaan masyarakat umum. Tetapi, tentu saja, semua itu kebebasannya! Kirnya
sendiri telah merasakan nikmatnya kebebasan saat dia setuju untuk menikah dengan
Syams. Dia tidak dibujuk at-Maupun terdesak oleh tekanan pihak luar. Dia hanya
mengikuti alur yang sudah ditetapkan. Dia hanya diizinkan Allah untuk melihat


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa yang telah ditulis. Sudah ada catatannya bahwa dia harus menikah dengan
Syams. Betapa anehnya! Kebebasan
hanyalah untuk mengikuti apa yang sudah ditetapkan. Tetapi, untuk bertindak
sebebas Syams, dia sendiri tak punya kekuatan untuk memikul beban semacam itu,
pikirnya. Derit pintu terbuka, mengalihkan perhatiannya. Dia melihat Kerra menggendong
Alim. Kerra tersenyum dan terlihat lebih muda daripada biasanya.
"Iya Alim, Kirnya ada di sini. Bolehkah kami masuk?"
"Tentu saja, silakan dan duduklah bersamaku." Anak itu berlari menghampiri dan
menyembunyikan kepalanya pada baju gamis Kirnya.Kirnya membelai Alim. Senang
sekali bisa terbebas sebentar dari lamunan panjangnya.
"Dia kangen padamu. Bagaimana bisa aku melawan keinginannya?"
"Kau takkan bisa," kata Kirnya tertawa. "Tak seorang pun bisa menentang kehendak
Alim, iya kan?" Dia mengelus-elus rambut Alim dan anak itu menatapnya dengan
binar bahagia di matanya. Alim memperlihatkan segenggam kenari.
"Oh, kau membawa kenari rupanya.Pergilah main dengan kenari itu."
Alim merasa puas. Dia duduk di atas tanah dan menyibukkan diri dengan mencoba
membuat kenari itu berputar-putar. Ini memang permainan yang cukup diakrabi
anak-anak seusianya. Hal ini mengingatkan Kirnya pada masa kecilnya. Saat itu,
Kirnya sering juga mencoba membuat kenari berputar, tapi putarannya tak pernah
bertahan lama. Kerra duduk di sampingnya. Mereka berdua asyik mendengarkan kicau burung yang
berceloteh riang. "Burung-burung itu begitu sibuk membuat sarang," kata Kerra.
Kirnya mengangguk. "Iya, burung-burung itu begitu beruntung. Mereka selalu tahu
pasti apa yang harus dikerjakan, iya kan?"
"Maksudmu, kau selalu tidak tahu apa yang harus kau lakukan!" Kerra tertawa,
jelas-jelas mengejeknya. "Tetapi, Kirnya, inilah keistimewaan kita sebagai
manusia." Keistimewaan! Apa istimewanya menjalani hidup tanpa tahu apa yang harus
dilakukan" Kerra menatapnya, geli. "Menjadi manusia adalah seperti berjalan pada seutas
tali yang tegang membentang.Inilah istimewanya. Aku setuju, hal itu memang
sulit, tapi dengan beginilah kita jadi belajar."
"Tetapi, bagaimana?" seru Kirnya. "Kadang, aku tahu harus berbuat apa dan kadang
aku tak tahu apa yang harus kulakukan."
"Itulah maksudku. Kita ini melebihi burung, tapi kita juga bukan malaikat
setidaknya belum setingkat dengan malaikat." Tatap penghiburan masih terlihat
jelas di mata Kerra. "Ini memang tidak membuat kita nyaman, harus kuakui itu.
Tetapi iya, inilah keistimewaan kita sebagai manusia," ulangnya. Kerra jadi
serius. "Lihatlah Alim," katanya sembari menunjuk anaknya yang sedang bermain-
main dengan kenari. "Dia begitu yakin dan mudah percaya." Dia terdiam sebentar
dan sekilas senyum menghiasi wajahnya. "Kita harus menjadi lebih terbuka,"
begitu akhirnya dia berkata. "Dengan demikian, kita bisa mendengar bisikan-Nya. Inilah
keyakinan." "Dengan cara seperti inikah Syams dan Maulana menjalani kehidupan?" gumam
Kirnya, "benarkah demikian?"
Kerra mengangguk. "Tak ada jalan lain. Rasa takut, rasa suka atau tidak suka,
rasa ragu itu akan musnah, dan tak ada lagi emosi yang akan ikut campur dan kita
akan bisa mendengar Dia."
Ketenangan yang agung keluar dari diri Kerra, begitu mencerahkan, begitu hangat,
sangat menyejukkan! pikir Kirnya.
Kerra menggelengkan kepalanya. "Kadang kala, begitu mudah kita tak sabaran, dan
hari ini,"senyum dalam kilas matanya kembali berbinar" hari ini kita berdua
terlalu serius." Seakan menjawab pertanyaannya, seekor burung hinggap di dahan
pohon ceri dan dengan lantang berkicau riang. Mereka saling bertatapan dan mulai
tertawa. "Ya," kata Kerra, "seekor burung tidak pernah lupa berterima kasih,
berzikir dengan merentangkan kedua sayapnya."
Pada saat itu, Alim bertepuk tangan. "Lihat, lihat. Kenarinya berputar seperti
gasing." Salah satu kenari berputar seperti tornado.
"Oh, Alim! Kau memang pintar sekali!" kata Kirnya girang.
Anak itu duduk tegak, berseri-seri bangga. "Ini kenari-kenari yang sangat
bagus,"katanya."Ini pemberian dari Sultan Walad. Sultan Walad menghadiahkan
kenari-kenari ini kepadaku."
"Hmm, kalau memang ini pemberian Sultan Wa -
kata Kerra, "pastilah yang terbaik."[]
23 Kirnya tiba-tiba terbangun. Tubuhnya berkeringat. Selama beberapa detik dia
berpikir hari telah beranjak malam. Tetapi, cahaya matahari yang menerpa seprai
kasurnya segera mengingatkannya bahwa hari masih sore. Musim panas ini hawanya
menyengat bukan main membuat kita ingin berbaring tidur. Kesunyian ini begitu
pekat sehingga tidak ada satu pun burung yang berkicau. Dia ingat Syams telah
pergi beberapa jam yang lalu, pagi-pagi sekali. Setelah membersihkan kamar
suaminya, sekaligus menyapu halaman dan tak ketinggalan kamarnya sendiri, dia
makan beberapa kerat keju dan roti sisa beberapa hari yang telah lewat. Dia
menyempatkan diri membaca buku puisi karangan Sanai hingga akhirnya jatuh
tertidur. Dia masih saja mengantuk sehingga memutuskan untuk berjalan-jalan ke
halaman. Setidaknya, dia bisa menghirup udara segar dengan sebisa mungkin
menghindari sengatan matahari.
Cahaya mentari sempat menyilaukan matanya saat dia berjalan menuju udara
terbuka. Matahari masih tinggi dan teriknya terasa semakin panas saja
daripada di dalam rumah. Suara cucuran air mancur, entah bagaimana, cukup
mengurangi sengatan matahari. Dia mencelupkan tangannya dengan lega. Kesejukan
suasana malam akan datang beberapa jam lagi dan dia bertanya-tanya akankah nanti
malam ada musik yang dimainkan di beranda atas" Atau, seperti malam sebelumnya,
hanya ada mereka berdua saja, Maulana dan Syams" Dia merindukan malam-malam itu,
bukan hanya sekadar kesejukannya, melainkan juga nuansa spi-ritualnya.
Kirnya kesepian hari ini. Dia merasa diabaikan lagi. Meskipun hatinya selalu
terpaut pada Syams, itu tak cukup untuk mengusir kesendiriannya. Dan, kesepian
itu bahkan lebih berat untuk dipikul sebab dia mengalami beberapa peristiwa
aneh. Tiba-tiba saja, dia berada di ruang belajar Maulana bersama Syams.
Padahal, sebelumnya dia sadar betul bahwa dia tengah berbaring di kamarnya atau
bahkan sedang memasak. Maulana dan Syams hanya menatap ke arahnya sambil
tersenyum. Kirnya, yang masih terkaget-kaget, menatap tangannya yang berada di
pangkuan,tapi dia tidak melihat apa pun selain bantal bersulam yang biasa dia
duduki. Tubuhnya ternyata tak berada di sana! Karena penasaran, dia bangkit dan
mengaca pada cermin kecil yang tergantung di dinding.Ternyata, tak ada bayangan
apa pun yang terpantul di sana! Ternyata, sang jiwa yang berkelana. Tubuhnya
masih ada di pondok mereka.
"Ke mana tubuhku?" serunya.
"Tak ada gunanya sebatang lilin jika kau berada di hadapan sang matahari, iya
kan?" jawab Maulana. "Kau mestinya tidak usah kaget."
Syams yang duduk di hadapan mereka, hanya mengangguk. Meskipun kata-kata itu
tidak masuk akal, jantungnya terlonjak membenarkan.
Sejak saat itu, perjumpaan serupa senantiasa terjadi. Setelah usai, sang jiwa
kembali ke tubuhnya, kemudian melanjutkan pekerjaan rutinnya seperti memasak,
menyapu lantai, seolah tak ada hal istimewa yang terjadi. Kata-kata mencerahkan
itu tetap melekat, kata-kata layaknya pecahan kaca yang memantulkan cahaya.
"Keharuman yang bertiup ke arah kita adalah rahasia Allah."
"Itulah cahaya cinta yang mengubah pribadi tembagamu menjadi emas."
Dari bayangan pepohonan di halaman,Kirnya bisa memperkirakan berapa jam telah
berlalu hanya untuk meresapi kata-kata itu dan limpahan kebahagiaan atas
perjumpaan itu tak bisa dia tuangkan dengan kata-kata. Bagaimana bisa jiwaku
duduk bersama mereka sementara tubuhku berada di tempat yang lain"
Tetapi,akhirnya Kirnya berhenti mempertanyakannya. Dia tetap merindukan
perjumpaan dan kebersamaan dengan mereka di ruang belajar yang sempit itu. Dia
juga menyadari bahwa hasratnya itu justru menjadi penghalang. Supaya perjumpaan
itu terwujud, pertama-tama dia harus membebaskan diri dari hasrat spiritual,
keterikatan duniawi, dan belenggu hawa nafsu. Maka, dia akan bebas, seperti
selembar bulu halus yang diterbangkan angin. Tetapi, jika kondisinya tetap
seperti hari ini, begitu tercekam kesepian dan hatinya menginginkan makanan
batin itu dengan begitu menggebu, perjumpaan itu, bagaimanapun, tak akan
terwujud dan kebersamaan itu tinggallah angan-angan.
Suara ketukan pintu yang nyaring di telinga kanan membuyarkan lamunannya. Hatije
mengunjunginya. Pada kunjungannya yang lalu, mereka sama sekali tidak bisa
berbagi cerita dan Hatije meninggalkannya dengan sedih.Dunia kita sangat jauh
berbeda, kita tidak lagi hidup di dunia yang sama, begitulah pikir Kirnya.
Seluruh hidupnya kini menjadi milik Syams dan Maulana. Dia tidak dapat
mengatakan hal ini kepada Hatije. Betapa banyak jalan yang bisa kita tempuh,
tidak melulu harus melalui jalan yang ditempuh orang banyak. Baginya, percakapan
dalam hening lebih intim dibandingkan perbincangan dan pertemuan yang bersifat
fisik. Bagi Hatije, keheningan itu harus segera dipecahkan secepat mungkin.
Hari ini, Kirnya begitu bahagia atas kunjungan temannya. "Sini, kemarilah,"
katanya sambil menggeser, menyisakan tempat di samping air mancur.
Wajah Hatije berbinar bahagia.
"Panas sekali hari ini," kata Kirnya. Dia kembali mencelupkan tangannya ke air
dan menciduknya sedikit, kemudian membilas wajahnya. Segar sekali.
Hatije menatapnya dengan sedikit bingung bercampur penasaran. "Aku ingin
mengajakmu suaranya terdengar ragu. "Kami akan pergi ke Me-ram, ke tempat
bibiku, Safia. Kami akan memanen
anggur pertama di musim ini. Maukah kau ikut bersamaku?" dia menatap Kirnya
penuh harap. "Nuran juga ikut," tambahnya bersemangat.
Meram dipenuhi taman-taman dan kebun anggur, sungai-sungai, dan selokan kecil
yang mengalir dari atas bukit. Meram menyerupai sebuah oasis, sebuah tempat
bernaung dari terik matahari. Kirnya pernah ke sana, bahkan sudah tiga kali. Dia
teringat, beberapa tahun yang lalu. Saat itu, dia masih kecil dan duduk di atas
gerobak bersama Maulana dan muridnya, Husamuddin. Duduk di hadapan mereka Sultan
Walad dan Alauddin yang saling berkelakar dan mereka tertawa gembira. Sepanjang
jalan, angin menderu kencang. Lain waktu, dia duduk di pinggir selokan dan
mendengarkan kisah-kisah Maulana sembari memakan halwa buatan Kerra. Kirnya
hampir bisa merasakan kembali kesejukan air di Meram yang dingin membekukan itu.
Dia seakan mendengar Maulana kembali mendeklamasikan puisi. Suaranya kadang
tersaingi suara kincir air.
Dia ragu-ragu. Apa yang akan dikatakan Syams jika dia tidak berada di rumah saat
suaminya itu pulang ke pondok mereka"
Keraguannya itu ditanggapi Hatije dengan cara yang unik. Hidungnya kembang
kempis menandakan kekesalannya. "Tak baik mengurung diri di rumah, sendirian
terus-menerus. Kau harus bergaul."
Kirnya tertawa. Hatije sekarang tambah menyerupai ibunya. Nada suaranya teratur
dan kalimatnya singkat tapi padat.
"Jadi, kau akan datang!" kata Hatije. Wajahnya
berseri-seri. "Tidak. Aku tak akan ikut ke sana. Aku takut terlambat pulang dan kupikir
semestinya aku tidak ikut."
"Oh, Kirnya!" Hatije hampir menangis. "Kau sama sekali tidak pernah bepergian.
Ini akan menyenangkan. Hawa di Meram sangat sejuk. Dan, lagi pula, kita akan
pulang sebelum hari gelap," tambahnya meyakinkan.
"Aku tak tahu. Kedengarannya sih menarik," kata Kirnya mengakui.
"Makanya, ikut saja," Hatije jadi tak sabar. "Kereta sudah siap dan aku janji
kita tidak akan terlambat pulang."
Kirnya memejamkan mata. Dia membayangkan kesegaran udara di Meram. Dia
membayangkan te man-temannya dan mereka akan bercengkerama seperti dulu. "Kita
akan pulang sebelum gelap, iya kan?" tanya Kirnya,menekan ketakutan yang samar-
samar menyergapnya. "Iya. Aku kan sudah janji. Iya kan?" "Baiklah dia masih saja ragu. "Kupikir, aku
akan ikut ... Tunggulah sebentar, aku mau cuci muka dulu." Dia menciduk air dari
pancuran itu, membasuh wajahnya sekali lagi kemudian sedikit memercikkan air ke
rambut di bawah kerudungnya. Hatije sudah menunggunya.
Keranjangnya sudah penuh dimuati anggur. Dia meletakkan keranjangnya sembari
menyeka keringat dari dahinya. Kebun anggur yang kecil itu bermandikan cahaya
merah keemasan. Di bawah bukit, setengah tersembunyi dari barisan pohon poplar,
kincir air memantulkan cahaya berkilauan. "Lihat, Hatije, Nuran. Ada pelangi di
dekat kincir air."Kedua temannya mendongakkan kepala mereka.
"Mana" Aku tak melihatnya," kata Nuran. "Oh iya, itu di sana. Aku sudah
melihatnya." Di sekitar jari-jari kincir air tersebut, pelangi tampak menari di
atas permukaan air. Setangkai anggur yang seakan berkilau diterpa sinar matahari memukau mata
Kirnya. Ini anggur terakhir, pikirnya. Aku harus pulang sekarang. Dia memotong
batang anggur tersebut dengan pisau yang dipinjamkan Bibi Safia dan dia mulai
bersenandung pelan. Lagu itu adalah lagu masa kanak-kanaknya yang sudah sekian
lama terkubur. "Kau terlihat lebih segar daripada tadi sewaktu kau tiba di sini, Kirnya," kata
Bibi Safia. Badannya tinggi dan dia orangnya ceria."Wajahmu tidak pucat lagi.
Ada rona warnanya sekarang," katanya. "Dan, suaramu terdengar lagi." Dia
berdiri, menatap Kirnya sambil tersenyum. "Seekor burung tidak akan berkicau
jika terperangkap dalam kegelapan,"tambahnya.
Wajah Kirnya memerah. Begitukah orang-orang memandang dia dan kehidupannya
dengan Syams" Seekor burung yang terpenjara dalam sangkar"
"Ada berbagai jenis burung dan memiliki kicauan yang berbeda pula," suara itu
begitu dalam dan parau. Serentak, keempat wanita tersebut menengokkan wajah ke
sumber suara. Sosok Syams yang tinggi kini berdiri di tikungan jalan. Dia tampak
tak senang. Dengan mengabaikan teman-teman Kirnya, dia berkata, "Aku telah
mencarimu ke mana-mana."
Dengan tergesa-gesa, Kirnya merapikan kerudungnya. Dia bisa menangkap nada
celaan dalam ka ta-kata suaminya. Di bawah kakinya, tergeletak pisau kecil yang
sedari tadi dia genggam dan terjatuh begitu mendengar suara Syams.
Syams kemudian berbalik, pergi menjauh. Perasaan menyesal bercampur putus asa
tumpah ruah memenuhi benak Kirnya.Dia bergegas melangkah mengikuti suaminya,
melupakan keranjang anggurnya. Ketika menengok ke belakang, dia sempat menatap
mata Nuran yang pekat karena marah sekaligus frustrasi. Di sana, pikirnya,
adalah kehidupan sederhana yang dulu begitu dia akrabi, dengan segala
keindahannya, dan di sinilah dia, mengikuti langkah seorang lelaki yang sudah
dia terima dengan seutuhnya sebagai suaminya. Lelaki yang tak peduli bagaimana
penilaian orang terhadapnya menawarkan hasrat sejati sang kalbu. Namun, tak bisa
dimungkiri, dia merasa sedih. Apakah yang sedang ku ikuti ini" Dia bertanya-
tanya. Duduk di atas kereta, dia hanya bisa melihat punggung Syams. Samar-samar langit
bernuansa Jingga melembut dan perlahan langit mulai gelap. Sya ms duduk di
samping sang kusir, membiarkan Kirnya duduk sendirian di bangku belakang. Kirnya
meresapi malam yang mulai merangkulnya, membisikkan perjalanan ke Konya tak akan
segera berakhir. Sebenarnya, perjalanan ini tidak panjang. Derap kaki kuda yang
menyentuh jalan berbatu yang rata memberitahunya bahwa mereka sudah memasuki
gerbang kota. Kirnya menatap benteng kayu raksasa kemudian kelap-kelip lampu
minyak di rumah penduduk yang pintu-pintunya dibiarkan terbuka supaya udara di
dalam rumah tetap sejuk. Tak lama kemudian, kereta sudah mengantarkan mereka di
depan rumah Maulana. Mereka memasuki pondok tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan Syams langsung
menuju kamar pribadinya. Kirnya berdiri di depan pintu masuk, merasa agak muak,
hatinya berat sekali. Barangkali, Syams ingin makan. Dia menyibukkan diri. Dia
sedikit lega dengan pekerjaannya itu. Tangannya gemetar saat dia mengetuk pintu
kamar suaminya. Dia membawa baki berisi semangkuk sup dan beberapa lapis roti.
Tanpa menunggu jawaban, dia membuka pintu. Syams duduk di dekat jendela. Dia
larut dalam pikirannya dan mengabaikan Kirnya yang meletakkan baki di atas meja
kecil di samping ranjang. Kirnya mengharapkan kata-kata terima kasih yang
biasanya terlontar dari mulut suaminya. Tetapi, begitu menutup pintu, dia tak
mendengar apa pun selain kesunyian yang bergemerencing di telinganya, seperti
bunyi lonceng di kejauhan. Dia tak bisa makan, mual. Dia kembali ke kamarnya dan
berlutut, tak kuasa menahan tangis.
Dia bersujud hingga keningnya begitu lama menyentuh lantai. Dia larut dalam
tangis berkepanjangan. Beberapa jam telah berlalu saat dia bangun
dari sujudnya. Di pintu, ada bayangan yang sangat besar. Bayangan itu sedang
membawa sebatang lilin. Tubuhnya kembali bergetar tak terkendali. Sya ms masuk
ke kamarnya dan berlutut di sampingnya.
"Kirnya," bisiknya, "Kirnya, tataplah aku."
Tangan Syams menyentuh lembut bahunya.Tak ada tanda amarah atau celaan dalam
nada suaranya. Kirnya masih ketakutan.Perlahan, dia membuka matanya. Hanya ada
temaram cahaya yang cukup bagi mereka berdua untuk saling bertatapan dan dia
melihat hal tak terduga yang membuatnya ingin kembali menangis. Kelembutan dan
kesetiaan dalam tatapan suaminya itu begitu kuat sekali, sangat jelas
terpancarkan sehingga dia tak dapat menahan sedu sedannya, seperti sebuah


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bendungan yang jebol. Semua kepedihan, penantian, kesepian selama berbulan-bulan
itu memuncak dan menghambur dalam aliran deras yang dahsyat. Syams memeluknya
dan membiarkannya menangis selama beberapa saat.
"Kau tak usah takut, Sayang. Tak ada yang perlu kau takutkan." Kirnya merapatkan
tubuhnya er at-erat seakan takut kehilangan sesuatu yang telah dia temukan.
"Cinta tiada berakhir. Cinta adalah lautan tak bertepi," kata Syams. "Kau harus
belajar menanggung penderitaannya."
Kembali, Kirnya menatapnya dan ketika keduanya beradu pandang, embusan angin
yang dahsyat seakan memenuhi ruangan, menyapu semua ketakutan, keraguan, dan
kegelisahan. Penuh kerinduan,
tangan mereka saling bersentuhan, mereka berciuman. Inikah angin atau api yang
menelan mereka" "Jangan," dia mendengar Syams berkata, "jangan pernah mencoba untuk mengerti."
Gelombang demi gelombang datang berdeburan membuat mereka semakin mendekat,
kemudian menahan mereka agar tetap menjaga jarak seakan menangguhkan gelora itu,
lantas mempersatukan mereka kembali. Ritme kehidupan yang agung, denyut sang
bumi dan debur sang lautan telah sontak memenuhi mereka berdua dan menyatukan
mereka pada Yang Satu. Dengan berbisik, Syams berkata, "Inilah sebuah anugerah,
sebuah anugerah! Tubuh telah mengenal sang jiwa, jiwa telah mengenal sang
tubuh." Ya, begitulah anugerah, pikir Kirnya, heran dengan penemuannya ini. Seorang
lelaki dan perempuan, seutuhnya. Sebuah kegembiraan. Keutuhan itu mengalir di
sekujur tubuhnya. "Untuk selama-lamanya," katanya dan suara suaminya seakan dari
kejauhan, kini begitu dekat, seperti sebuah gema, mengulangi kata-katanya,
"Selama-lamanya dalam keabadian."
Mereka berbaring saling berpelukan. Kepala Kirnya rebah di dada suaminya.
"Ini adalah sebuah zikir juga, sebuah doa," kata Syams dengan diam-diam.
Gelombang rasa syukur melimpahi Kirnya. Kepalanya segera terangkat dan dia
meraih punggung tangan suaminya. Dia menempelkan tangan itu ke pipinya.
Kenangannya kembali tergambar jelas. Aliran sungai deras di lereng pegunungan,
sorot matahari keemasan di belakang baris pegunungan, suara ibunya bergema
memanggilnya, wajah Pater Chrisostom yang dengan tiba-tiba beralih rupa menjadi
sosok Maulana. "Sudah waktunya untuk beristirahat, Kirnya," bisik Syams. Kirnya membuka kelopak
matanya. Sya ms sekarang berdiri sambil memegang sebatang lilin. Dia menangkap
sorot kesedihan di mata Kirnya.
"Waktunya tinggal sedikit lagi," dia bergumam, "sangat singkat
Apa maksudnya" Kirnya bertanya-tanya. Tetapi, Syams segera berpaling dan pergi
ke kamarnya. Yang bisa dia lihat hanyalah bayangan dalam temaram cahaya.
Kemudian, bayangan itu lenyap.Selama beberapa saat, dia berbaring diselimuti
kebahagiaan yang tak terbayangkan dan perlahan dia tertidur de ngan senyum
mengembang. Sesosok malaikat membuai Kirnya dengan sayapnya dan Kirnya mendekap cahayanya.
"Waktumu tinggal sedikit lagi, hanya tinggal sebentar lagi," kata sang malaikat
tanpa berbelit-belit. Dia terbangun dengan gemetar. Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinganya.
Kata-kata yang sama persis dengan kata-kata Syams beberapa jam yang lalu. Udara
yang sangat dingin ini membuatnya menggigil. Namun, suara azan subuh segera saja
menenteramkannya.Burung-burung berkicau nyaring menyambut fajar pertama. "Ya
Allah," dia mendesah, "mengapa hatiku begitu berkecamuk dengan kegembiraan
sekaligus kepedihan yang terus saja
saling menjalin berganti-ganti" Ada apa dengan diriku ini" Apa yang sedang
terjadi padaku?"[] 24 Sejak "malam pertama" itu, hidupnya mengecap cita rasa yang baru. Tampak dari
luar, Kirnya sepertinya tidak berubah. Dia masih menemani Kerra belanja ke pasar
hampir setiap hari. Dia juga menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan rumah
dan masih sempat menghabiskan waktunya selama berjam-jam untuk berdoa, membaca
puisi, atau bahkan duduk-du duk tanpa melakukan apa-apa. Kesepian itu telah
pergi dari sisinya. Seakan-akan berbagai peristiwa selama bertahun-tahun ini
hanya sekejap. Cengkeraman dunia sekitarnya telah terlepas. Diri seutuhnya
diliputi oleh kebahagiaan yang paling dalam dan sekarang bergabung menjadi
kegembiraan tanpa akhir. Secercah cahaya membimbing dia dalam setiap langkahnya.
Cahaya itu adalah kehadiran Syams yang sekarang selalu mendampingi, baik sosok
Syams hadir atau tidak di sisinya.
"Hatimu bersenandung merdu," kata Kerra suatu pagi. "Aku hampir bisa
mendengarnya." Kirnya tersipu. Memang benar. Hatinya sedang berdendang, meskipun juga terasa
sakit, begitu pilu. Tetapi, dia tidak menceritakannya. "Hatiku sangat sempit,"
gumam Kirnya sambil meletakkan keranjang berisi buah-buahan dan sayuran.
"Rasanya seakan ingin bernapas lega, tapi tidak tahu caranya."
"Hatimu akan menemukan caranya," kata Kerra tanpa bertele-tele.Dia juga
menjatuhkan keranjangnya, kemudian mereka beradu pandang. Sorot mata Kerra
menariknya tiba-tiba, tajam. "Hati kita luas tak berbatas," kata Kerra.
"Kepiluan itu adalah hati yang sedang melebarkan sayapnya."
Seperti biasanya, Kerra tidak perlu diberi tahu dan dia juga tidak mengharapkan
tanggapan. Mereka mengangkat keranjangnya dan berjalan dalam hening menuju
rumah. Hari telah petang saat Syams pulang ke pondok. Dia langsung menuju kamarnya dan
membiarkan pintu kamarnya terbuka. Kirnya segera menyiapkan sepoci teh. Saat
memasuki kamar suaminya, dia melihat Syams memejamkan mata dan mulutnya terkatup
rapat. Dia seperti sebongkah batu kukuh di pegunungan, tegar tak terkalahkan.
"Tinggallah di sini," kata Syams. Matanya setengah terbuka selama beberapa
detik. Dari nada suaranya, Kirnya bisa tahu suaminya itu tidak menyuruh, tapi
mengundang atau mungkin juga memohon. Syams duduk. Punggungnya membelakangi
dinding. Dia mulai berzikir, menyebut namaNya. Kim ya juga memejamkan mata,
meresapi alunan suara nan kudus yang bergetar hingga ke sekujur tubuhnya. Ketika Kirnya membuka
kembali matanya, hari telah sedemikian larut dan Syams sudah berdiri sambil
memegang sebatang lilin. "Ini adalah sebuah jalan untuk menyentuh batas-batas surga," katanya sambil
mengulurkan tangan, menolong sang istri untuk segera bangkit dari duduknya.
"Tetapi, kita tidak diizinkan untuk tetap berada di sana atau, setidaknya, kita
belum diizinkan," suaranya begitu rendah, seolah bayangan di dinding itulah yang
sedang berbicara kepadanya.
Malam itu, Syams mendatangi kamar Kirnya dan yang hadir di antara mereka kini
bukan lagi badai, melainkan angin sepoi-sepoi. Pelan-pelan dan penuh kelembutan,
dia melepaskan baju yang dipakai Kim ya dan Kirnya berbaring di sana, tenggelam
dalam ketiadaan yang cukup dia akrabi sejak dia masih kanak-kanak. Tetapi, kali
ini dia memasuki wilayah ketiadaan dengan segenap kesadaran.Seluruh sel di
tubuhnya menelan pengetahuan yang melampaui ka ta-kata. Mereka saling
bersentuhan, saling terpesona terhadap sesuatu yang sangat berharga dalam diri
masing-masing, yang tak terhingga rapuhnya, dan sekarang terbentang di hadapan
mereka berdua. Ujung-ujung jari Kirnya menjadi antena yang menjelajahi jalan
baru untuk membuka realitas.Sang tubuh menuntun dia kepada sebuah penemuan yang
dulu tak terjangkau. Dan kini, secara tiba-tiba, dia mengetahui betapa
berharganya pengalaman ini. "Aku lenyap ke dalam Wujud." Ini bukanlah buah
pemikiran, melainkan pengetahuan yang tiba-tiba saja dia terima.Kirnya
menangis,kemudian semuanya lenyap. Ketika dia sadar kembali, Syams sedang
menatapnya. Sorot matanya memantulkan cahaya sebatang lilin yang berada di tepi
ranjang. "Cara Tuhan mengajari kita untuk mengenal-Nya memang tak terbatas," katanya
seperti mengigau. Gelombang rasa syukur terpancar di wajah Kirnya, membuatnya terharu dan matanya
berkaca-kaca. "Hanya Dia," lanjutnya, "cinta yang kau rasakan hanya untukNya," katanya
sungguh-sungguh seakan mengingatkan Kirnya. "Aku hanyalah pelayan-Nya. Jangan
pernah lupakan hal ini, Kirnya."
Angin kepanikan menghantam Kirnya. Apakah perkataan itu ditujukan untuk
menyindir bahwa dia begitu mencintainya, cintanya kepada sang suami adalah
semacam penghinaan terhadap Tuhan"
"Kau harus hati-hati, Sayang," katanya penuh kelembutan. "Kau harus hati-hati
dan tidak keliru dengan membaurkan cintamu untukku dan cintamu kepada Tuhan."
Tangan Syams mencengkeram bahunya dan Kim ya mulai menangis. Mengapa Syams bisa
begitu kejam" Bagaimana bisa dia begitu saja menyentuh jati diri keberadaannya"
Dia telah menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk Syams seorang. Tubuh dan
jiwanya adalah milik Syams, walaupun suatu saat
nanti dia menyadari bahwa sejujurnya dia tidak bisa mengatakan siapa sebenarnya
yang begitu dia cintai. "
Dengan lembut, Syams menghapus air mata yang membasahi wajahnya, membiarkan sang
istri mencerna kata-katanya. Kirnya sedang tersesat. Ke mana pun tempat yang dia
capai, pada akhirnya, ketika dia merasa aman, Syams tiba-tiba saja merenggutnya,
meninggalkannya dalam kebingungan yang tiada berujung. Aku bahkan tak tahu
apakah cinta itu, batinnya. Kegembiraan dan kepedihan yang campur aduk ini,
apakah ini cinta" Dan, karena cintakah hingga kau rela melepaskan apa pun yang
melekat padamu selain rasa sakit yang pilu di hatimu itu" Kirnya tertidur seakan
melarikan diri dari kebakaran.
Ketika Kirnya terbangun, Syams telah pergi.Dari berkas cahaya dari jendelanya,
dia bisa tahu bahwa dia telah kesiangan. Dia meregangkan otot-otot tubuhnya
kemudian segera bangkit dan mulai mandi. Dia akan memakai gamis berwarna merah
tua. Baju yang akan membuat matanya bersinar lebih gelap, begitulah Hatije
pernah mengomentarinya. Dia menertawakan diri sendiri. Apakah dia ingin Syams
terpesona memandangnya seperti tatapan mata Sya ms pada hari pernikahan mereka"
Kepedihan menikamnya tiba-tiba saat teringat kata-kata Syams supaya tidak
melupakan Tuhan hanya karena cintanya tumpah ruah kepada sang suami. Tetapi
tentunya, Tuhan akan senang jika dia terlihat cantik. Jadi, kau ingin terlihat
cantik, tapi cantik untuk siapa"
Pertanyaan itu membuatnya dongkol. Dia melepaskan baju merahnya, mengikuti
nuraninya yang kini mulai tercerahkan.
Sambil menyapu halaman, Kirnya membiarkan angannya mengembara, mengingat kembali
malam tadi yang begitu terasa manis saat dia dan Syams sa ma-sama memeluk
kepekatan yang indah itu. Rasanya memang lebih manis daripada madu, pikirnya.
Dia telah mengerti mengenai sesuatu yang penting sekarang, sesuatu yang tak
terelakkan lagi darinya. Apakah itu" Dia menghentikan pekerjaannya. Hal itu
seperti pencerahan, pemahaman yang tiba-tiba saja menghampiri benaknya. Tetapi,
apakah itu" Hal itu seakan terungkapkan dalam kata-kata, tapi sekejap kemudian
menghilang. Kini, hal itu melintas lagi, "Sekarang aku melebur ke dalam Wujud."
Itulah dia! Dia pejamkan matanya, mencoba menangkap kebenaran tersebut,
pengetahuan yang disampaikan kata-kata itu. Tetapi, sinar kepastian yang
menyiramnya sekarang ini tak lebih dari cita rasa yang menguap begitu cepatnya,
seperti mimpi yang melintas dengan sangat cepat untuk kemudian terlupakan. Dia
menduduki bangku itu. Mengapa dia tak bisa merengkuh pengetahuan itu" Kemudian,
dari kedalaman benaknya, ada suara yang memerintah dia, "Berhentilah meratap!"
Kata-kata itu penuh otoritas. Tentu saja! Malam itu, ketika menyadari apa yang
tengah terjadi, dia mengabaikannya dan tidak
berusaha memahami apa pun. Itulah rahasianya! Kirnya mulai tertawa. Di sinilah
dia menangkap potongan pengetahuan. Dan, seperti yang sudah-sudah, kesimpulan
itu melintas secara tak terduga.
"Hikmah dari Allah datang sebebas burung dan begitu juga jiwamu," suara Maulana
kembali terngiang. Kirnya melihat seekor kutilang menukik ke air mancur.Burung
itu menyentuh permukaan air, membubung tinggi, dan lenyap dari pandangan secepat
kedatangannya. Sambil menatap air, Kirnya bertan yatanya: Tetesannya berkilauan
diterpa cahaya. Kilauan itu tentunya berasal dari cahaya matahari, bukan tetesan
air dari bulu sang burung, bukan"
Sudah berminggu-minggu waktu berlalu sejak Sya ms mendatangi kamarnya. Gosip-
gosip bermunculan lebih seru dan tersebar luas. Suasana cair sejak kembalinya
Syams ke Konya ternyata tidak bertahan lama, pikirnya. Janji-janji mereka untuk
menerima Syams apa adanya dan sikap hormat mereka terhadap Syams mulai luntur
dan murid-murid Maulana kembali mengeluh ini itu tentang Syams. Mereka tadinya
berharap Syams, yang sekarang sudah menikah, akan menghabiskan waktunya dengan
Maulana sesedikit mungkin sehingga Maulana akan kembali ke madrasah untuk
mengajar mereka. Tetapi, harapan mereka tinggallah harapan, remuk sudah. Syams
dan Maulana tidak bisa dipisahkan. Dan, Maulana jelas-jelas tak menunjukkan
minat untuk kembali mengajar. Di pasar, orang-orang mulai berbisik-bisik di
belakangnya. "Gadis malang," dia mendengar seorang perempuan berkata demikian, "dia tidak
punya teman lagi, tidak bisa pergi ke mana-mana lagi."
"Memang, dia kelihatan bingung dan cemas. Jika hidup seperti dia, pastinya
demikian," jawab seorang lagi.
Tak diragukan lagi bahwa kemunculan Syams di Meram untuk menjemputnya telah
dibesar-besarkan dan menyimpang dari kejadian sesungguhnya. Kirnya berkeliling,
tak memedulikan tatapan orang-orang saat dia mulai memilih sayuran yang akan dia
beli. Dua petani perempuan berdiri di depannya. Mereka berpakaian tradisional
dengan memakai celana model longgar seperti yang dipakai orang-orang desa.
Selendang bercorak warna-warni yang melingkar di pundak mereka mengingatkannya
pada sang ibu yang tiba-tiba saja dia bayangkan berdiri di hadapannya, asyik
mengobrol dengan tetangga. Kedua wanita itu menatapnya,dan bayangannya tentang
ibunya segera saja lenyap. Mereka tampak penasaran. Kirnya meninggalkan tempat
itu, marah. Kapan ora ng-orang ini akan berhenti membicarakan sesuatu yang tidak
mereka ketahui dengan pasti"
Hari-hari berganti, minggu-minggu berlalu. Pohon ceri terlihat lelah dan daun-
daunnya menjadi cokelat tertutup debu. Pada pagi hari, udara dingin mengingatkan
bahwa musim panas akan segera berakhir dan pada malam hari Kirnya membungkus
dirinya dengan selimut tebal. Syams tidak pernah lagi mendatangi kamarnya sejak
malam semanis madu yang mereka reguk berdua itu berlalu. Dia mulai memahami
bahwa seseorang bisa saja mengetahui sesuatu tapi sekaligus tidak memahaminya dengan utuh. "A da pengetahuan yang tidak
diketahui sama sekali oleh akal," Syams pernah mengatakannya. Saat itu, dia
bertanya-tanya apa maksud Syams sebenarnya. Tetapi, pengalaman malam pertamanya
itu sedemikian jelas menguraikan bahwa dia telah dilimpahi pengetahuan, tapi
akalnya tidak bisa mencerna dengan baik. Namun, sekarang rasanya hal itu sudah
terjadi dulu sekali. Hari-hari ini, Syams begitu menjaga jarak darinya. Saat
pulang ke pondok mereka, Syams hanya akan mengangguk, bertampang kaku, dan
seperti orang asing. Apakah dia marah kepadanya karena alasan yang tidak dia
ketahui" Suatu sore, dia membawakan baki makanan ke kamar Sya ms, tapi Syams
menghentikan langkahnya. "Kau bisa meninggalkan baki itu di depan pintu, tak perlu masuk ke kamarku."
Rasanya seperti ditikam. Dia melangkah mundur, takut kalau-kalau Syams melihat
air mata yang mulai menetes di pipinya. Tentu saja Syams tidak melihatnya. Dia
bahkan tidak menatapnya. Syams jarang sekali mengajaknya bercakap-cakap.
Kalaupun iya, dia hanya akan menanyakan hal sepele: mengingatkan bahwa gerendel
pintu harus diminyaki atau menyuruh Kirnya meminta lilin kepada Kerra.
Dia mencari penyebab perubahan sikap suaminya. Apakah ini karena Syams tidak
lagi mencintainya dan selama ini dia hanya pura-pura" Hal ini tidak bisa
dipercaya. Atau apakah karena Syams berusaha mengingatkan agar tidak melupakan
Tuhan, bahwa Kirnya berisiko untuk melupakan Tuhan" Pertanyaan itu tetap
menggantung di benaknya. Mengecap lautan cinta begitu utuh, begitu total, dan
kemudian kehilangan cinta, rasanya seperti pisau tajam yang mencincang
jantungnya. Tak pernah dia membayangkan sakit sedemikian perih itu. Perasaannya
remuk redam. Dia berkaca dan terkejut melihat tubuhnya. Jadi, inilah aku,
pikirnya. Tak masuk akal. Tubuh ini tidak bisa kukenali sebagai diriku
seutuhnya. Dia teringat rasa sakit nan pedih itu, biasanya dia akan meminta
pertolongan lewat doa-doanya. Tetapi, sekarang ini, dia sendiri tak mampu
mengucapkan sepenggal doa pun. Yang bisa dia lakukan hanyalah bepergian
sepanjang hari atau menenggelamkan diri dalam pekerjaan hariannya, tapi diri
yang terdalamnya merasa dingin, hampa, dan kaku. Kebersamaannya yang paling
berharga saat dia dan Syams melewatkan malam pertama mereka terkubur sudah
bersama pemikiran, ide-ide, dan kenangannya. Lebih dari sekadar keintiman fisik,
peristiwa itu sebenarnya merupakan hidangan batin bagi kalbunya. Sekarang,
peristiwa itu tidak lagi berbekas dan hatinya merasa ditinggalkan, sangat
gersang. "Kau terlihat pucat," kata Kerra suatu hari. "Kau tidak memerhatikan kesehatan
dirimu." Kerra perhatian.Kirnya merasakan nada celaan dalam suaranya. Mereka
sedang duduk berdua di dapur, sibuk mengupas kacang polong. Mereka kemudian
terdiam, tenggelam dalam pekerjaannya.Ada sesuatu yang menyejukkan dalam ritme
pekerjaan mereka yang tenang itu. Menekan kulit kacang memakai ibu jari sehingga
kacangnya keluar, kemudian memasukkan kacang itu ke mangkuk besar di hadapan
mereka,lalu membuang kulit kacang ke keranjang yang terletak di bawah kaki
mereka. Pekerjaan ini cukup menyita perhatiannya sehingga dia tak sempat
memikirkan apa-apa. Kerra berhenti, meletakkan tangan ke pangkuannya.
"Ada saatnya," katanya seolah berkata pada diri sendiri, "manakala doa yang


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat kering sekalipun justru yang paling didengar Tuhan. Lantas Dia, dengan
sifat rahman-Nya, membuat hatimu meronta betapa kau kehilangan-Nya, merindukan-
Nya." Dia meraih tangan Kirnya,dengan tatapan perhatian yang penuh kelembutan.
Tenggorokan Kirnya rasanya tersekat dan dia menangis. "Aku tak bisa berdoa,"
tangisnya. "Hatiku terluka sedemikian dalam." Memang melegakan, setidaknya dia
bisa mengungkapkan rahasianya kepada Kerra. Kirnya menggelengkan kepalanya. "Aku
tak tahu bagaimana menghentikan kepedihan ini," gu-mam-nya. Air mata segera saja
membasahi pipinya. "Kau memang tidak bisa menghentikannya," kata Kerra lembut. "Ketika hatimu
terluka parah, hanya ada tiga aturan main: jangan mengenyahkan kepedihan itu, jangan pernah mencoba
untuk mengerti, dan jangan tenggelam dalam kepedihan itu," suara Kerra
menenteramkannya. "Buatlah dirimu berserah diri seperti sebatang pohon muda yang
terperangkap dalam badai. Biarkan badai itu menghantammu. Jangan pernah
menentangnya dan jangan pula membantah keberadaannya, bagaimana mungkin kita
bisa menafikan angin dan hujan"dan jangan pernah menyesalinya."
Saat malam, Kirnya membiarkan lilin tetap menyala di kamarnya. "Ya Allah, jangan
abaikan hamba-Mu ini," Kirnya menangis tersedu.Tetapi, tak ada jawaban atas
permohonannya itu.Dia menangis dalam kehampaan. Dia teringat kata-kata Maulana
padanya, jangan pernah meratap. Saran dari Kerra ternyata sama. Dan sungguh, apa
yang bisa dia lakukan selain berserah diri" Jalan yang ditempuh Sya ms melampaui
pemahamannya, dan kepedihan yang menimpanya terlalu menyakitkan untuk
dipikirkan. Sebatang pohon yang terperangkap badai, ya, itulah dia. Pohon itu
akan membiarkan badai berlalu. Pohon tidak pernah mengeluh. Mereka memikul
penderitaannya. Bayangan itu begitu nyata. Meskipun duduk di tepi ranjang, dia
merasa sedang berdiri tegak, kukuh dengan akar menghunjam ke dalam tanah.
Baru beberapa hari kemudian dia menyadari bahwa
di suatu tempat di pusat badai itu, ada keheningan yang merupakan sarang
kebahagiaan.Kapan pun dia mengolah pikirannya, kepedihannya itu akan menjadi
magnet, menyatukan semua bagian yang tercecer dalam dirinya, dan meng-izinkannya
untuk menggapai suatu wilayah yang melampaui masa kini. Kebahagiaan yang hening
itu merupakan kedamaian dan kekuatan tanpa batas. Anehnya, kepedihan itu masih
tetap membekas, berdebaran, dan Kirnya ham pir-hampir tidak dapat mengakuinya-
penting. Tetapi, dia masih berpegangan kuat pada sebongkah batu. Dan, selama
masih teguh berpegang, dia tak akan diempaskan meskipun kesunyian itu makin
meredup, seperti sebuah bayangan di permukaan danau yang hanya terjadi karena
embusan angin yang sayup bermurah hati.
"Sebongkah batu itu adalah titik pusatmu," kali ini bukan bisikan suara,tapi
pesan tertulis yang terbaca oleh benaknya, pesan hening berupa huruf-huruf
bercahaya yang melintas di benaknya. "Pusat keheningan adalah perjumpaan. Kau
bisa saja merasa kehilangan, tapi dia tidak akan meninggalkanmu."
Lilin masih menyala. Kirnya turun dari ranjangnya dan tidur di lantai, nyenyak
sekali.[] 25 Kirnya sedang berdiri di dekat pintu ketika Syams pulang malam itu. Kirnya tak
sempat melarikan diri ke kamar seperti yang biasa dia lakukan baru-baru ini. Dia
bahkan belum menyalakan lampu minyak sehingga pondok mereka diselubungi
kegelapan. Sya ms menatapnya sekilas, membuatnya menggigil. Apakah dia telah
berbuat kesalahan" Dia sempat melihat tatapan sayang di mata Syams. Tetapi,
Syams segera memasuki kamar dan menutup pintunya ra pat-rapat. Padahal, beberapa
minggu terakhir ini, Syams selalu membiarkan pintu kamarnya terbuka le bar-
lebar. Saat itu, dia bisa melihat Syams berlutut dan bersujud. Kirnya masih
berdiri di ruang tengah, mencoba menangkap suara kesunyian yang bergemerencing
di telinganya. Dia pastilah tanpa sadar melangkah mundur. Dinding di belakang
punggungnya terasa sangat kasar. Dia tak bisa bergerak, lantas membiarkan
dirinya meluncur ke bawah. Selama beberapa saat, dia seolah tenggelam dalam
kegelapan yang halus. Pada saat yang sama, dia merasa terempas. Yang bisa dia
lakukan hanyalah memejamkan mata. Jantungnya seakan berdegup tak beratur, bahkan tak berdenyut
sama sekali. Dia kehilangan jejak ruang dan waktu hingga akhirnya menyadari
kehadiran Syams. Saat membuka matanya, dia melihat sosok tinggi yang secara
perlahan berputar,berputar-putar,dengan kedua tangan merentang. Wajahnya tak
berekspresi. Kirnya mestinya menyambutnya dengan gerakan spontan. Setengah
terpejam, Syams membungkukkan badan ke arah Kirnya, memegang tangannya, dan
membantunya berdiri. "Biarkanlah Dia yang mengambil alih," gumam Syams. "Biarkanlah Dia yang
merengkuh kalbumu." Awalnya, Kirnya tersentak. Lantas, dengan sendirinya, dia meniru Syams. Dia
merentangkan tangan, sedangkan kakinya menuntun dia berputar-putar. Begitu dia
berputar, dia merasakan hatinya berdebar dan sakit yang ngilu itu menjadi lebih
pedih. Tetapi, dia mampu memikul semua kepedihan di dunia ini hanya untuk menari
berputar-putar dalam genggaman Tuhan. Matanya terpejam. Kirnya berputar
mengikuti kobaran api yang memancarkan cahaya putih. Kobaran ini adalah hatinya
yang melenting, merangkul, dan melimpahinya dengan kegembiraan yang tak
tertanggungkan. "Cukup!" kata Syams lembut. "Pada permulaan, sang kalbu hanya mampu menari satu
putaran." Dengan enggan,dia mengikuti kata-kata Syams. Mengapa Syams tidak membiarkannya
melebur dalam buaian kobaran cinta ini untuk selamanya" Mereka berdua berdiri di
ruang tengah, diselimuti kegelapan. Kekuatan di sekitar mereka benar-benar
nyata. Jantungnya berdegup kencang seperti binatang buas yang terperangkap di
sebuah sangkar. Mereka terdiam. Kirnya menggigil dan Syams memegang bahunya
untuk menenangkan. "Menghilangkan ego diri adalah sebuah jalan," katanya. "Tetapi, bukan sebuah
tujuan. Betapa agung cintaNya. Dia ingin kau mengenal-Nya dengan segenap
kesadaran." Apakah maksud perkataannya itu bahwa dia tidak boleh melebur dan lenyap" Apakah
itu berarti dia tidak boleh membiarkan dirinya melebur sama sekali, meskipun hal
itu adalah hasrat terbesarnya"
"Beristirahatlah," katanya. "Allah telah mendengar doamu."
Kirnya teringat hanya sehari yang lalu dia memohon agar Allah tidak
mengabaikannya dan Kim ya sempat berpikir bahwa Dia tidak mendengar pintanya.
"Allah Maha Mendengar," katanya, memergoki lintasan pikiran sang istri. Dia
tidak bisa melihat raut wajah suaminya, tapi ada seulas senyum dalam nada
bicaranya. Untuk pertama kalinya dalam minggu ini, dia bisa bernapas dengan
begitu leganya. Keesokan harinya, Kirnya terbangun. Kepedihan itu telah lenyap, terangkat. Tak
ada yang berubah, segala sesuatu terjadi mengikuti rencanaNya. Cintanya kepada
Syams, perlakuannya, kadang bertindak
sebagai guru, kadang sebagai suami, kadang siapa tahu" Mustahil untuk
dijabarkan. Rasa syukur kembali menyinarinya, bersama dengan kelegaan. Dia
terkenang saat Maulana menari berputar-putar di simpang jalan. Saat itu, dia
merasa aneh dan malu menyaksikan Maulana seperti itu. Kemudian, Maulana berkata
bahwa kebanyakan orang tidak siap untuk menari dalam genggaman Tuhan karena
mereka tidak siap dan tidak bersedia untuk terbakar. Sekarang, dia mengerti.
Mengecap rasa cinta begitu utuh, kemudian tiba-tiba diabaikan, ternyata lebih
buruk daripada kematian. Nyala api itu telah membakar hatinya.
Dia terkenang akan mawar-mawar Tabriz yang pernah dikatakan Syams dulu jauh hari
sebelum pernikahan mereka mawar-mawar kuning dengan tetesan darah yang tertabur
di pintu masuk pondok di hari pernikahan mereka. "Mawar-mawar ini begitu dekat
dengan Tuhan," begitu katanya. "Hanya hati yang berdarah-darah yang dapat
menemukan-Nya." Kalimat itu dulu begitu menakutkan, tapi sekarang dia baru
memahami maksudnya. Dia pernah merasa diabaikan Tuhan dan juga oleh Syams. Di
tengah kegersangan yang total itu, dia jadi memahami bahwa alih-alih melabuhkan
hatinya hanya untuk Tuhan, dia begitu bergantung pada Syams sehingga kondisi
hatinya berubah-ubah, dan kehilangan pijakan. Sekarang, dia mengerti! Tanpa
pijakan itu, yang tersisa hanya kepedihan. Itulah perbedaannya! Cinta, cinta
sejati, adalah sama seperti seseorang yang melihat melalui jendela Tuhan. Selain
itu hanyalah keterikatan, dan keterikatan itu seperti kita terjatuh dari jendela
itu. Dia diliputi kelegaan. Seseorang bisa saja mencintai tanpa menginginkan
balasan apa pun dari orang yang dia cintai!
"Cinta tak lain adalah aliran napas Tuhan yang selalu menyertai napasmu."
Dia bangkit. Syams berdiri di pintu, menatapnya. Sudah berapa lama dia ada di
sana" Betapa memalukan, masih berbaring di tempat tidur padahal sudah
pagi.Tetapi, Syams sama sekali tidak mencela. Sebaliknya, dia terlihat sedang
gembira. "Pintu-pintu begitu lebar terbuka untukmu," katanya. "Kau tak mungkin tahu
betapa teberkahi-nya engkau, Kirnya."
Kirnya tertawa. Apakah dia diberkahi karena Syams membukakan pintu kamarnya"
Syams menggelengkan kepalanya, agak geli. Dia ikut terbawa tawa istrinya. "Kau
memang benar," katanya, sepintas lalu. "Aku terlalu serius." Kemudian, dia
pergi. Kirnya masih tersenyum pada diri sendiri ketika mendengar suara Hatije.
"Kirnya, kau ada di dalam" Aku membawa bingkisan yang pasti kau sukai."
Dia tidak pernah bertemu Hatije sejak pertemuan terakhir mereka di Meram, lebih
dari dua bulan yang lalu. Dia bisa melihat dengan jelas, Hatije dulu masih
kanak-kanak. Sekarang, dia perempuan dewasa. Dia segera memakai gamisnya dan
bergegas menuju ruang tengah. Hatije terlihat berdiri membawa sekeranjang buah
ara. Mereka berpelukan. "Hatije, senang sekali bisa
bertemu lagi," katanya.
Mereka berjalan menuju bangku di sebelah air mancur. Kirnya membawa sekendi air
segar dan dua cawan. Buah ara kiriman Hatije semanis madu dan air yang dia minum
terasa dingin menyegarkan.
"Kami sangat mengkhawatirkanmu," kata Hatije. "Tetapi,tampaknya kau baik-baik
saja," katanya heran. "Meskipun agak kurus."
Hatije mengharapkan komentar, tapi Kirnya tidak mengatakan apa-apa. Aneh! Rasa
ingin tahu orang, gosip-gosip itu, sekarang dia tak memedulikannya. Dia menatap
Hatije,terkenang masa-masa saat mereka bercengkerama, bersenda gurau bersama-sa
ma. Mereka sering jalan-jalan di Taman Qamar Al-Din. Mereka punya kelakar
rahasia-tapi semua itu milik masa lalu, milik sebuah dunia yang telah dia
tinggalkan jauh di belakang. Kirnya bahkan mengetahui kapan itu terjadi: hari
itu, di Meram, saat Sya ms menjemputnya. Tanpa diketahui oleh umum, Kim ya telah
melangkah ke sebuah dunia yang damai, bebas dari kekacauan yang biasanya
disebabkan campur tangan manusia.
"Kirnya, aku rindu kamu," kata Hatije. "Susah sekali bisa berbicara denganmu
sekarang ini. Mengapa" Apa ada masalah?" Matanya menjelajah, mencari jawaban.
"Tidak ada apa-apa, tapi memang ada yang telah berubah, Hatije. Apa yang dulu
begitu kunikmati, sekarang tidak lagi menarik minatku."
"Apakah kau sakit" Apa kau tak bahagia?" Hatije menatapnya, terlihat cemas.
"Bahagia?" kata itu seakan kehilangan maknanya. Hanya ada yang nyata dan tak
nyata. Dan, kebahagiaan maupun ketidakbahagiaan versi orang banyak biasanya
mengarah pada yang tidak nyata. Hatije menunggu jawabannya.
"Aku tidak bahagia," kata Kirnya. "Aku" dia mencari kata-kata yang tepat-"Aku
merasa hidup. Hidupku lebih hidup daripada yang pernah kurasakan sebelumnya.
Pada saat-saat tertentu memang menyakitkan,tapi rasanya ... begitu agung." Kirnya
memejamkan mata selama beberapa waktu. Memang tak ada satu kata pun yang sepadan
dengan apa yang telah dia alami baru-baru ini. Sebuah keabadian. Setiap embusan
napas adalah sebuah kehidupan seutuhnya: air mancur itu, kesegaran angin yang
menerpa kulitnya, gemeresik dedaunan yang tertiup angin, semua ini adalah berkah
yang dapat dinikmati semua orang. "Hanya jika kita mengetahuinya," gumamnya,
sebagian kepada dirinya sendiri, sebagian kepada Hatije. Mata Hatije semakin
lebar saja karena tidak mengerti, seperti ketakutan. Kirnya terpaksa tersenyum.
Tak perlu menakuti Hatije.
"Kau tidak usah khawatir, Hatije. Kerra pernah mewanti-wanti bahwa menikah
dengan Syams tidak akan mudah. Tetapi, kalaupun memang berjalan tidak lancar,
kau harus percaya aku, Hatije. Kumohon percayalah kepadaku. Aku tak akan pernah
meminta berkah yang lebih besar daripada ini."
"Matamu begitu bercahaya!" seru Hatije. Dia menatap Kirnya dengan putus asa.
"Mengapa ya, aku tak pernah memahamimu?"
"Hatije, tak apa. Kita memang berbeda. Itu saja. Semua itu karena segalanya
berjalan sesuai dengan kehendakNya, dan begitulah adanya." Dia terdiam.
"Bagaimana aku meyakinkanmu bahwa Sya ms bukanlah iblis. Bahkan sebaliknya,
Syams adalah wali Allah?"
Hatije terlihat sedih. "Tahukah kau bahwa orang-orang sekarang lebih marah
kepadanya daripada sebelum dia pergi dari Konya?" dia akhirnya mengaku. "Mereka
berkata bahwa Syams telah menenung Maulana dan dia menjerumuskanmu dalam
penderitaan." "Oh, Hatije, mengapa kau mendengarkan omong kosong seperti itu" Aku memang telah
mendengar hal ini dari Nuran, tapi tak tahukah kau bahwa tak satu pun kabar itu
yang benar?" Hatije tersipu. Jadi, dia agak memercayai kabar burung itu. Barangkali,
kunjungannya tidak setulus yang terlihat. Dia mungkin datang untuk mengetahui
apakah kehidupan Kirnya berjalan baik, tapi Hatije juga bermaksud mewanti-wanti
adanya makar terhadap Syams. Mereka berdua terdiam selama beberapa saat. Hanya
ada gemercik air mancur yang bergema di sekitar mereka.
"Syams berada dalam bahaya," gumam Hatije. Dia menatap tangannya, menghindari
tatapan Kim ya. Jantung Kirnya berdebar keras. Hatije seakan mengingatkan kembali ketakutan yang
sering dia sangkal, tetapi ....
"Syams adalah tuan dari takdirnya sendiri," kata Kirnya. Kata-kata itu
sebenarnya cukup mengejutkan dia walau tidak bisa begitu saja menghalau perasaan
tertekannya. Syams hidup dinaungi sang api. Dia senantiasa terbakar, tapi dia
juga menolak semua hal selain api suci. Dia merangkul kebahagiaan seerat
pelukannya pada penderitaan, dan tak seorang pun yang dapat membuatnya
menyimpang dari jalan kebenaran yang dia tempuh itu. Jalannya adalah jalan
sempit, seperti jalan setapak di tepi lereng yang sering dia tempuh saat masih
di desa dulu, setiap tikungannya mengandung tantangan tersendiri, berbahaya,
berisiko kematian, tapi kematian itu merupakan bagian dari kesepakatan. Kapan
pun sang maut datang, Syams sudah siap. Kirnya menggigil. Mengapa dia harus
memikirkan hal sekelam itu"
"Tak akan ada yang terjadi padanya kecuali memang sudah Dia kehendaki," katanya.
Inilah kebenaran, dan hal ini menenteramkan walaupun menakutkan juga.
"Syams itu sebebas angin berembus, ya?" gumam Hatije, sepertinya dia mulai
mengerti. Kirnya mengangguk, merasa lega. Mereka saling beradu pandang dan sama-sama
tersenyum. Perasaan yang masih mengganjal itu belum pergi, tapi Hatije sekarang
menggenggam erat tangan Kirnya. Agaknya persahabatan mereka telah berhasil
melalui ujian berat. Dia memeluk Hatije sekali lagi dan memejamkan mata penuh rasa syukur. []
26 Beberapa hari setelah kedatangan Hatije, Kirnya berpapasan dengan Alauddin. Saat
itu, dia sedang melintasi halaman utama dan hampir bersamaan, Alauddin datang
dari pintu kecil di depan gerbang. Alauddin baru saja kembali dari maidan
setelah berpacu kuda dengan teman-temannya. Anak rambut di keningnya basah oleh
keringat. "Apa yang bisa kulakukan selain berkuda?" teriaknya suatu hari saat Kerra
menegurnya karena jarang berada di rumah. "Ayah tak pernah meluangkan waktu bagi
murid-muridnya apalagi bagi keluar-mga," jawabnya merajuk.
"Dan, kau memilih untuk menemani mereka yang selalu menggunjingkan ayahmu dan
Syams, mengeluhkan ini itu," jawab Kerra pedas. "Dengan cara begitu, kau
mengobati ketidakbahagiaanmu?" Kerra begitu marah. Begitu juga Alauddin. Mereka
direcoki oleh Alim yang tiba-tiba saja bergulingan di lantai, menangis keras-
keras. Merasa terselamatkan, Alauddin meninggalkan ruangan itu.
Sekarang, di halaman ini, Kirnya dan Alauddin
saling berhadapan untuk pertama kali sejak penghinaan yang didapatkan Alauddin
dari Syams. Selama beberapa detik, Alauddin ragu-ragu. Kemudian, dia bergegas
melangkah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Alauddin memalingkan wajahnya yang
mengekspresikan penolakan yang keras. Kirnya bisa melihat dengan jelas kilat
kemarahan penuh dukacita di matanya. Dia seperti binatang terluka parah yang
siap menerkam siapa pun yang mendekatinya. Pertemuan itu menyisakan rasa pahit
di mulutnya dan hatinya terasa sesak. Aku jangan sampai larut. Tak sepatutnya
Alauddin dan orang-orang sepertinya mengotori hatiku. Semua akan baik-baik saja,
dia membesarkan hati. Pada akhirnya, apa pun yang terjadi pastinya kehendak
Allah. Dia pernah mendengar Maulana berkata bahwa manusia tidak lebih dari noda
debu yang saling bergesekan. "Tentu saja ada saatnya hal itu membuat kita tak
nyaman," tambahnya sambil tertawa dan Kirnya ikut tertawa juga. Hari ini gesekan
itu benar-benar membuatnya tidak nyaman, tetapi itu bukan sebuah alasan sehingga
dia menjadi muram dan membenci Alauddin.


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika dia memasuki jalan setapak itu, mata Alauddin yang memancarkan kepedihan
dan amarah meluap masih saja terbayang olehnya. Tenggelam dalam angannya, Kirnya
hampir melupakan tujuannya semula. Dia hendak mengantarkan mantel kecil bersulam
sebagai kado atas kelahiran bayi sepupu Kerra yang tinggal di pinggiran kota.
Jalan terdekat menuju rumah itu adalah dengan melewati pasar. Kirnya memasuki
keramaian itu, berjalan perlahan
sebab tertahan kerumunan di sekitar jalan kecil itu. Udara sesak dipenuhi
berbagai macam aroma, asap, dan keringat, jerit tangis anak-anak ditimpali
hardikan ibunya. Kirnya seakan terjebak oleh kekisruhan ini dan berhenti
sebentar di dekat kios sayuran untuk mengambil napas. Jantungnya terasa lebih
sakit daripada biasanya. Kirnya melihat ibu Hatije berdiri tak berapa jauh dari
tempatnya berdiri, asyik berca kap-cakap dengan temannya. Untungnya, mereka
tidak melihatnya dan Kirnya cepat-cepat melangkah ke arah lain. Dia pun
beristirahat sebentar hingga merasa tidak begitu sesak lagi, kemudian meneruskan
langkahnya. Tak lama kemudian, Kirnya sampai ke gang yang dipenuhi toko-toko
perhiasan. Dia bisa mendengar bunyi palu bertalu-talu seakan bergemerencing di
telinganya. Asal suara itu tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Sebuah irama teratur jelas tertangkap telinganya. Hatinya melonjak begitu
mengenali suara itu. Nadanya seperti senandung lagu mengatasi hiruk pikuk di
sekitarnya, padahal bunyinya hanya nada berulang yang sangat sederhana. Bunyi
itu berhenti kemudian terdengar lagi, ada kalanya bertambah pelan, di lain waktu
bertambah cepat. Tak tahu harus berbuat apa, Kirnya malah mengikuti sumber
suara. Suara itu menuntunnya ke arah gang kecil yang berujung di sebuah toko
kecil yang agak gelap, yang lebih mirip sebuah gua daripada tempat kediaman
manusia. Di depannya, Kirnya melihat seorang lelaki sedang menempa batangan
logam. Dia melihat ke sekitarnya, tapi dia tidak bisa menangkap bunyi
dentaman sejelas di luar sana. Dia kehilangan sumber bunyi yang dia cari sebab
terjebak oleh bebunyian para pandai besi di sekelilingnya.
Kirnya berjalan lebih jauh lagi menuju gang lainnya. Gang ini, entah kenapa,
seakan telah dia kenal. Dan sekarang, nada itu memanggilnya kembali. Aku pernah
ke sini, tapi kapan" Hatinya mencoba mengikuti irama dentuman palu, yang
berhenti kemudian mulai bertalu kembali, lalu nadanya berubah menjadi pelan,
lantas bertambah cepat. Kepalanya mulai berputar-putar. Tubuhnya terasa begitu
ringan seakan melebur. Dia bersandar ke sebuah dinding di sampingnya. Seorang
lelaki sedang duduk berjongkok menempa sebuah mangkuk tembaga menggunakan palu
perak kecil. Lelaki itu mengangkat wajah dan Kirnya segera bisa mengenalinya.
Dia adalah Salahuddin Zarkob, salah seorang sahabat Maulana. Kirnya pernah ke
sini dua kali untuk mengantarkan hadiah atau mungkin surat kepadanya. Inilah
rupanya mengapa gang ini terasa tak asing lagi.Salahuddin tampak terkejut
melihat Kirnya. "Oh, kau rupanya, Kirnya!" Dia tersenyum, tapi dahinya berkerut. "Apakah kau
sakit?" katanya penuh perhatian. "Mari, silakan duduk. Kau pucat sekali."
Kirnya menurut. Rasanya seperti mimpi. Jantungnya berdegup tak beraturan.
Salahuddin menunjuk ke bangku kayu di keremangan tokonya. Di sekelilingnya ada
beraneka barang:mangkuk-mangkuk, nampan, poci, dan tempat lilin yang tampak
berkilauan diterpa cahaya lampu minyak.
Dia mendengar Salahuddin berkata, "Mari, kita minum teh dulu." Dia berjalan ke
luar dan memanggil seseorang, "Ahmed, Ahmed, di mana kau?" Seorang anak kecil
muncul dari suatu tempat. "Bawakan dua gelas teh! Cepat sana, nyonya muda ini
membutuhkannya." "Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku," kata Kirnya, tersipu. "Tiba-
tiba saja aku pusing sekali."
Salahuddin menatapnya dengan segenap perhatian. "Hati memang penuntun yang
aneh," kata Salahuddin, seolah sedang berkata pada diri sendiri. "Pada akhirnya,
sang pemompa hidup ini akan menuntun kita menuju kehancuran."
Kata-kata itu membuat Kirnya bergidik. Kalimat itu ada benarnya juga dan memang
kebenaran tersebut membawa keniscayaan yang menakutkan.
Ahmed kembali dengan baki kuningan berisi dua gelas teh yang dengan hati-hati
dia sajikan ke meja rendah di samping Kirnya. Ahmed kemudian segera menghilang
ke dalam bersama baki kosong. Mereka terdiam selama beberapa saat, dikelilingi
bunyi palu yang bertalu-talu.Kedamaian di dalam ruang toko itu sangat
menenangkan.Kirnya mereguk teh itu sedikit demi sedikit. Tehnya beraroma lemon
dan bunga jeruk. Salahuddin duduk di sampingnya. Dia lelaki berperawakan pendek
gemuk, tegap dengan tangan berotot yang kekar.
"Ini tangan seorang pandai emas," katanya menangkap sorot mata Kirnya yang
terpaku pada lengannya. "Bokor ini bentuknya bagus dan ukiran -
nya pun bermutu tinggi. Karenanya sedap dipandang mata." Dia menarik napas
panjang seolah menyesalkan ukurannya. "Ini memang pekerjaan yang mudah.Ada
banyak pekerjaan lainnya yang lebih hebat daripada ini, tapi tangan ini tak
mampu melakukannya."
Matanya berkilat, cukup mengejutkan Kirnya. Sebelumnya, dia tidak pernah melihat
sorot mata yang menyala-nyala seperti itu pada diri lelaki yang pendiam dan
penyendiri itu. "Pernahkah kau mendengar cerita tentang batu bertuah?" Dia tampaknya sedang
berpikir sendirian. "Memang bukan batu yang sebenarnya-tapi tahukah kau benda
apakah itu sebenarnya?" Salahuddin merendahkan nada suaranya, seolah takut
pembicaraannya ini didengar orang lain dan rahasia ini bocor. "Benda itu bisa
mengubah tembaga menjadi emas. Itulah batu bertuah." Tampaknya, dia terpesona
oleh kata-katanya sendiri. Nyala api lampu minyak itu berpendaran, bergoyang
menyebarkan riak cahaya di sekeliling mereka. Salahuddin mengambil peralatan
lainnya dari kegelapan dan dia kembali duduk, menatap Kirnya.
"Aku sering bertanya-tanya," dia ragu-ragu."Aku sering bertanya-tanya bagaimana
perasaan sang tembaga ketika berubah menjadi emas. Apakah takut atau gembira?"
Lagi-lagi dia ragu. "Barangkali ... kau bisa menceritakannya kepadaku."
Kirnya terhenyak, tak bisa mengikuti pembicaraannya, hingga punggungnya
tersandar ke dinding yang ada di belakangnya. Gerakannya tertangkap oleh mata
Salahuddin dan dia cepat-cepat berdiri.
"Maafkan saya, Kirnya Khatun. Saya tak berhak untuk bertanya demikian kepada
Anda. Tolong, maafkan saya. Saya memang bodoh."
Salahuddin tak pernah bersikap formal begini padanya. Dia tiba-tiba tampak lemah
dan rapuh. Rasanya, Kirnya menyesal telah menyebabkan Salahuddin jadi begitu.
"Tak perlu minta maaf begitu," katanya. Tetapi, dia juga ikut berdiri.
Mereka saling bertatapan, malu.
"Saya akan menyuruh Ahmed untuk mengantarkan Anda pulang."
"Jangan, tidak usah. Saya baik-baik saja." Dia memperlihatkan bingkisan kecil
yang dijinjing tangannya seraya menjelaskan, "Saya harus mengirimkan bingkisan
ini kepada seseorang yang rumahnya tak jauh dari sini. Saya akan baik-baik
saja," ulangnya. "Apakah kau yakin?" Salahuddin tampaknya tidak yakin. "Kau harus memerhatikan
kesehatan." Dia mengangguk. "Iya. Saya akan ingat itu. Terima kasih tehnya."
Salahuddin mengangguk. "Sama-sama," katanya bahagia karena bisa kembali
mengikuti tata kesopanan yang lazim.
Kirnya berjalan beberapa langkah dan kembali menengok ke belakang. Dia melihat
lelaki itu sudah tenggelam dalam pekerjaannya, lengannya menggenggam palu perak.
Ketika kembali berjalan, dia memerhatikan tempo dentuman palunya kini pelan dan
stabil. Dia tersenyum. Kau memang seorang perajin yang berhati mulia,
Salahuddin! Kirnya tak pernah menyangkanya. Dia menarik napas panjang dengan
kepuasan yang aneh dan menyadari bahwa jantungnya tak terasa sakit lagi.
"Alhamdulillah bisa bernapas lagi," katanya keheranan. "Lega rasanya."
Beberapa menit kemudian, dia tiba di rumah tujuannya. Ingin sekali dia
bernyanyi, dia bahagia dan penuh rasa syukur.
"Oh, Kirnya, mantel mungil ini indah sekali!" kata ibu sang bayi, kagum pada
sulaman Kirnya yang memang indah. "Dan, kelihatannya pas betul dipakai Malika.
Dia sedang tidur," serunya. "Aku tak tega membangunkannya."
Ibu itu mengambil beberapa potong kue kecil dan meletakkannya di sebuah piring.
"Dan kau, bagaimana kabarmu" Bagaimana keadaan Kerra?" tanya si ibu. Dia sengaja
tidak menanyakan kabar Maulana sebab pada ujungnya akan mengarah kepada Syams.
"Kau mau segelas teh?" tanyanya sambil menuangkan air panas pada poci teh.
Kirnya menerima suguhan itu. "Ya, semua orang, alhamdulillah, sehat walafiat,"
katanya. "Dan, bagaimana keadaan suamimu?" Dia tahu pekerjaan suaminya adalah
tukang kayu. "Oh, saat ini dia jauh lebih giat bekerja daripada biasanya," jawab si ibu.
"Sibuk sekali, ya," kata Kirnya. "Konya sedang pesat sekali berkembang."
Kedua perempuan itu asyik ngobrol ke sana
kemari. Ketika Kirnya meninggalkan rumah itu, langit tampak lembut bernuansa merah muda
keemasan selembut bisikan Tuhan. Kali ini, Kirnya mengambil jalan yang lebih
jauh dan menghindari keramaian pasar, yakni jalan di samping Taman Qamar Al-Din.
Rumah tampak sepi ketika Kirnya masuk, kecuali ada suara-suara dari dapur. Dia
berjalan menuju pondok dan langsung menuju kamarnya. Dia berbaring dengan mata
terpejam, kegelapan mulai menyelimuti kota itu. Burung-burung sudah berhenti
menyenandungkan sambutan kepada malam yang telah menjelang. Di kejauhan, dia
mendengar suara seorang perempuan, "Fahik, apakah kau sudah pulang?" Gonggongan
anjing seakan menjawab pertanyaan si ibu.
Angannya melayang kepada kejadian seharian tadi: kepedihan dan kemarahan yang
berkobar di mata Alauddin, Salahuddin, dan pertanyaan yang membuat dia
penasaran, "Pernahkah kau mendengar cerita tentang batu bertuah?" Dia bisa
melihat kata-kata itu menari-nari di atas tumpukan barang yang berkilat
menyilaukan matanya. "Tidakkah kau tahu?" kehadiran Maulana mengisi ruang kosong di kamarnya dan
memang tidak diragukan lagi itu suaranya, meskipun Kirnya tahu, jika dia membuka
matanya, Maulana tak akan berada di sisinya.
"Batu bertuah itu tak lain adalah bagian termurni dari dirimu, sang kalbu,"
suara Maulana kembali terngiang. Kemudian, Maulana menambahkan, "Pekerjaan ini
hampir selesai." Hatinya melonjak setelah menerima jawaban atas pertanyaan yang menggantung itu,
yang tadi tidak dia ketahui sama sekali. Dia selalu berpikir bahwa batu bertuah
itu seperti yang dikatakan Salahuddin, mengubah tembaga menjadi emas. Tetapi,
jawaban Maulana justru berbeda. Dia menarik napas panjang. Apa pekerjaan yang
telah hampir dirampungkan itu, yang terkait dengan dirinya" Dan, apakah hatinya
mengetahui, sedangkan akalnya sama sekali tidak memahaminya"
Dari balik tembok, dia bisa mendengar tangisan Alim.Dia meregangkan otot-
ototnya,melepaskan rasa lelah dari tubuhnya. Sudah saatnya pergi ke rumah utama
untuk membantu Kerra. Hari-hari berlalu dan kenangan akan sore yang dia habiskan di toko Salahuddin
bercerai-berai seperti pecahan kaca yang tersebar di sekelilingnya dan mustahil
direkatkan ke bentuk semula. Kirnya masih bisa mendengar Salahuddin dan Maulana
bergumam mengenai batu bertuah dan dia tidak mengerti. Dia tak bisa menangkap
kata-kata mereka. Dia teringat hatinya begitu terlonjak gembira mendengar
jawaban Maulana atas pertanyaan tentang batu bertuah itu, tapi dia tak mampu
mengingatnya secara utuh. Memang bukan pertama kalinya dia mampu mendengar, tapi
sama sekali tidak bisa memahami. Selama beberapa hari, rasa sakit di dadanya
telah berkurang. Tetapi, hari ini, rasa sakit itu kembali menyergap dan dia
makin lama makin bertambah lelah.
"Kau kurus sekali," kata Kerra suatu sore ketika mereka sedang di dapur. "Dan
kau sangat pucat." Kirnya terdiam, tak tahu harus berkata apa. "Kau cukup makan,
bukan?" tanya Kerra. Kemudian, dia menggelengkan kepalanya seakan berkata,
"Jangan dengarkan aku. Aku tahu pertanyaan itu absurd sekali." Biasanya Kerra
selalu tenang. Namun, kini dia menunduk dan tiba-tiba terlihat malu. Kirnya tak
pernah melihatnya demikian.
"Kau tak usah mengkhawatirkanku!"seru Kirnya. Kerra menatapnya. "Aku tahu. Aku
seharusnya tidak usah cemas. Yang terjadi memang sudah ke hendakNya, tapi dia
tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia segera memegang tangan Kirnya dan kemudian
berdiri. "Akulah yang mengatakan kepadamu bahwa menikah dengan Syams memang
tidak akan mudah, dan sekarang pandanglah aku." Kerra tersenyum, senyum yang
berani, hampir seperti permintaan maaf. "Sekarang aku ingin kau menemukan jalan
keluar." Kerra tampak marah kepada dirinya sendiri.
Sekali lagi Kirnya tidak bisa berkata apa-apa.[]
27 Kirnya sedang berada di dapur. Dia memikirkan percakapan terakhirnya dengan
Kerra. Seminggu telah berlalu dan kesehatannya menurun drastis. Dia menatap ke
luar jendela. Saat itu sore kelabu di bulan November. Arakan awan sangat pelan
sebab memikul begitu banyak air. Dan, langit begitu dekat, seakan bisa digapai
dengan tangan yang terjulur ke atas. Dia baru saja mengisi mangkuk dengan
sekendi air. Besok sang kendi bisa kembali diisi. Tak banyak tugasnya hari itu.
Kerra sedang mengunjungi seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya.
Alim sudah tertidur di kamar. Kepalanya terkulai damai di bantal empuk. Rumah
ini diselimuti kesunyian, seakan ditinggalkan penghuninya. Maulana dan Syams
seperti biasanya mengurung diri di ruang belajar. Hari ini seakan tak berujung
dan Kirnya lelah sekali.Barangkali, dia bisa beristirahat sejenak. Bantal
bersulam yang lembut itu seakan menantinya. Kirnya duduk dan matanya mulai
terpejam. Telinganya berdengung. Dia merasa sulit sekali bernapas. Seperti ada
tangan yang tak terlihat menekan jantungnya dan dia berusaha sekuat tenaga untuk
setiap hela napas. Seolah-olah arus di sungai yang bertambah deras karena hujan
menariknya ke dalam pusaran arus yang tak terduga. Kemudian, Kirnya merasakan
kegembiraan yang asing karena membiarkan dirinya terseret, pasrah.Yang pertama
kali dia lihat adalah Kerra yang tampak khawatir menatapnya. Ternyata, dia
sedang berbaring di kasur. Dia menangkap suara berbisik di suatu tempat di
belakang Kerra. "Bagaimana keadaannya" Apa yang terjadi?" Dia mengenalinya
sebagai suara Maulana. Dia juga bertanya-tanya apa gerangan yang telah terjadi. Dia menatap Kerra.
"Mengapa aku terbaring di sini?"
"Sultan Walad menemukanmu sudah tergeletak pingsan di dapur. Saat itu, aku baru
saja pulang. Kami menggotongmu ke kamar. Tetapi, ssst! Kau jangan bicara dulu.
Kau harus beristirahat."
"Aku sangat lemah," gumam Kirnya. Yang dia inginkan adalah segera tidur. Bahkan,
untuk membuka mata pun rasanya membutuhkan usaha yang keras. Dia bisa merasakan
genggaman erat tangan Kerra.
"Minumlah obat ini supaya kau cepat sembuh." Kerra membawakan secawan obat ke
bibirnya. Cairan itu rasanya pahit sekali. Dia menelannya hingga habis, kemudian
tertidur. Ketika membuka mata, Kirnya sendirian. Di suatu
tempat di rumah ini, Alim berteriak sekuat tenaga, dekat sekali dengan kamarnya,
di belakang dinding ini. Dia bisa mendengar gemerencing panci dan periuk yang
terbuat dari tembaga saling beradu. Ada sesuatu yang menenteramkan dalam
bebunyian itu. Kehidupan ada di luar sana, tak terusik, berjalan sebagaimana
mestinya. Anehnya, dia sama sekali tidak tertarik lagi pada kehidupan ini. Dia
kehausan dan matanya tertuju kepada cawan di sisinya. Dia mencoba mengambil,
tapi cawan itu cukup jauh dari pembaringannya. Dia tidak pernah selemah ini.
Sebuah pikiran menyelinap dalam benaknya.Sudah berapa lama dia berbaring di
sini" Pada saat itulah Ker ra masuk ke kamarnya.
"Kau sudah sadar rupanya. Kupikir kau tak akan pernah membuka matamu kembali,"
katanya sambil tersenyum, seperti sedang bercanda. Tetapi, dia tidak bisa
menyembunyikan kekhawatiran itu dalam suaranya. "Bagaimana perasaanmu hari ini?"
tanyanya. "Aku baik-baik saja, hanya agak lelah, dan" jeda Kirnya. Dia menghela napasnya"
Aku juga agak haus."
"Tentu saja! Ini minum airnya." Kerra membantunya supaya kepalanya bisa
bersandar tegak dan mengantarkan cawan itu ke bibirnya.
Dia minum pelan-pelan, seteguk demi seteguk. Airnya dingin dan menyegarkan.
"Sudah berapa lama aku terbaring sakit?"
"Hampir dua minggu," kata Kerra. "Tabib sudah ke sini. Katanya jantungmu
bermasalah dan kau butuh banyak istirahat."
Dua minggu! Dia kesulitan mengingat hari-hari itu: kehadiran Kerra, sup yang
disuapkan ke bibirnya, nyala lilin yang menari-nari dalam kegelapan, dan pernah
Syams berkata bahwa kehendak Tuhan itu untuk dijalankan, bukan untuk
dipertanyakan dan, ya, dia bisa mengingatnya.Kata-kata itu membawa gelombang
kelembutan yang segera saja menyiram hatinya, teduh. Dia dapat mengingat kata-
katanya, "Aku bukanlah apa-apa, hanyalah kelembutan ini semata." Perasaan itu
masih bersemai, tapi meredup. Kirnya mengembalikan kepalanya ke posisi semula,
terkulai di bantal dan bertanya-tanya bisakah mencintai dan dicintai secara
bersamaan" Apakah keduanya memang hal yang sama" Dia membiarkan pertanyaannya
itu berlalu dari benaknya. Yang dia inginkan saat ini adalah kedamaian. Di
dekatnya seakan ada daun yang jatuh tertiup angin, bergerak lembut, atau
sayapkah itu" Siapa yang tengah berbisik ke telinganya" "Ada masanya saat
kedamaian dan kehidupan seperti dua aliran sungai yang mengalir berdampingan
menuju lautan yang sama." Dia memejamkan mata dan kembali tertidur.
Dia berdiri di suatu wilayah kesunyian. Aneh sekali! Rasanya seperti masuk ke
lain dunia yang sangat berbeda dan dia tidak pernah merasa begitu mencintai


Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang berjuang hidup di sini, hingga hari ini. Dan, rasanya dia masih
berumur enam tahun dan teman-temannya merenggut gamisnya sambil mengeluhkannya sebab dia
tidak memedulikan permainan yang sedang dia ikuti. Kirnya bisa mendengar suara
ibunya, Evdokia, yang berkata, "Anak ini membuatku khawatir. Apa yang akan
terjadi kelak padanya?"
"Lihat, Mama. Aku tak apa-apa. Aku akan pergi ke tempat yang kuinginkan. Dan,
aku akan mengabarkan kebahagiaanku, kegembiraan seperti yang mengalir dalam
udara pegunungan ini, musim semi ini, bisikan dedaunan yang tertiup angin ini,
dan cahaya fajar ini." Sekarang, dia sedang berlari menuruni jalan kecil berbatu
yang menuntunnya ke rumah tua yang hampir ambruk itu. Kirnya bisa melihat
Faroukh sedang duduk di bangku dekat pintu. Dia mengamati rambut ayahnya telah
putih penuh uban dan wajahnya berkeriput. Faroukh menatapnya, heran. Faroukh tak
bisa berkata apa-apa. Air mata mengalir membasahi pipinya. "Baba!" jeritnya.
Cahaya di sekitar ayahnya dan di sekeliling rumahnya begitu menyilaukan sehingga
dia memejamkan mata. Bibirnya tiba-tiba kering. Sebuah suara mengalun seakan
dari suatu tempat yang jauh, "Minumlah sedikit, kau akan segera sembuh." Tetesan
air jatuh ke bibirnya, dingin menyegarkan seperti air pada musim semi di
pegunungan. Dia membuka mata dan Kerra sudah berada di sisinya.
"Di mana aku" Di mana Baba?"
"Kau sekarang ada di rumah. Kau belum sembuh benar." Wajah Kerra tegang.
Suaranya serak. "Aku sudah sembuh," katanya seakan meyakinkan ibunya. "Tidakkah kau lihat" Aku
akan pergi ke mana pun yang kuinginkan." Dia bisa melihat mata Kerra berkaca-
kaca. Kemudian, dia mendengar suara di belakang Kerra. Syams berdiri di samping
pintu. Wajahnya tampak kaku, seperti biasanya. Tetapi, kali ini, dia bisa
melihat ekspresinya agak lain. Syams seperti sedang menanggung beban berat
seakan mempertahankan hidup seseorang yang dia cintai di tengah amukan badai,
pikirnya, pantang mundur, tetapi juga rapuh. Dia kembali memejamkan mata, penuh
cinta terhadap suaminya. Dia sekarang berdiri di tengah taman penuh cahaya lilin yang merentang sejauh
cakrawala ini. Lilin itu beraneka ragam ukurannya; ada yang kurus dan panjang,
ada juga yang pendek dan tebal. Cahayanya menari-nari tertiup angin sepoi-sepoi.
"Lilin-lilin ini tidak ada yang serupa, berbeda-beda," angin itu berbisik di
telinganya, "tetapi nyalanya sama." Ya, pikirnya, dia adalah bagian dari semua
ini. Dadanya terangkat dan terjatuh bagai api berkobar, kemudian surut, lalu
terangkat lagi. Dia sekarang benar-benar menyimak. Kobaran itu kini bersenandung
dalam nada musikal yang indah, begitu nyata. Musiknya serasa mengalun seperti
tetesan air mancur dan mencoba mengatakan sesuatu padanya. Perlahan, nada-nada
itu berubah menjadi bisikan, "Pekerjaan ini hampir rampung." Dia diliputi
kebahagiaan. Aku tidak menyelesaikan apa-apa, pikirnya, dan pikiran itu seperti
musik yang sejuk dan menyegarkan yang sedang dia dengarkan:tapi tugasku sudah
selesai. Kobaran itu bangkit, mengirimkan musik ke
puncak nada yang lebih tinggi yang mengubah lautan api keemasan menjadi samudra
cahaya menyilaukan. "Kaulah setiap nada dan kau jualah sang musik," hatinya
berkata, tapi hati ini bukan miliknya lagi, melainkan milik Maulana, Syams,
Faroukh, maupun Evdokia. Hatinya adalah hati mereka yang pernah dia temui maupun
mereka yang tidak dia kenal sama sekali. Dia direngkuh, menjauh dan semakin
cepat saja. "Kaulah sang lilin. Kaulah nyala lilin itu, dan kau sang api. Kaulah
kegembiraan dan kau jualah pancaran cahaya. Kaulah cinta. Kau pun bukan APA-
APA." Kelembutan dalam nada suara itu menjadi nuansa warna-warni dalam arakan
awan di musim gugur yang menaungi Taman Qamar Al-Din. "Ini hanyalah permulaan."
Rasa syukur melimpah ruah membanjiri seluruh jiwa raganya. "Hatiku berkembang,
mekar sudah!" teriaknya. Tak ada apa pun selain cahaya yang menerangi semesta,
menyilaukan.[] Epilog "di Menurut catatan, setelah kematian Kirnya, Syams kembali menghilang. Kali ini dia
menghilang untuk selamanya. Ada banyak penjelasan mengenai lenyapnya Syams dari
muka bumi ini. Penjelasan yang paling populer, barangkali karena sangat
dramatis, adalah Syams dibunuh oleh persekongkolan yang dirancang oleh Alauddin.
Tak ada bukti kuat yang mendukung versi kisah ini. Sultan Walad, dalam puisi
mengenai biografi ayahnya, sama sekali tidak menyinggung perihal pembunuhan
Syams. Dia tampaknya menolak ide pembunuhan tersebut. Beberapa catatan sejarah
mengatakan Syams kembali ke Tabriz, sementara sebuah sumber menyebutkan Kota
Khuy, sebuah kota tempat Syams meninggal saat hendak melanjutkan perjalanannya
menuju Tabriz. Satu hal yang pasti bahwa, pada suatu malam yang dingin di bulan
Desember 1247 di Konya, Syams menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.
Bisa jadi, kematian Kirnya merupakan salah satu faktor yang memicu kepergian
Syams. Tetapi, bagaimanapun, hatinya hancur karena kematian Kim ya. Mungkin saja
ini penyebab utamanya. Bisa dikatakan bahwa kematian Kirnya adalah sebuah tanda,
sebuah isyarat berakhirnya sebuah hubungan lainnya, seperti halnya hubungan
antara Syams dan Maulana, yang di Barat lebih dikenal sebagai Jalaluddin Rumi.
Transformasi Kirnya telah terjadi; tugasnya di dunia ini telah usai. Dengan cara
yang hampir sama, transformasi Rumi pun terjadi, tapi tugasnya baru saja akan
dimulai. Supaya Rumi menjalankan tugas itu dengan baik, Syams harus pergi sebab
kebersamaannya itu hanya akan merintangi Rumi. Tugas Syams pun sudah selesai dan
takdir pun mengalir seperti kehendakNya.[]
......dan sang api maupun mawar
adalah satu." T.S. Eliot, The Four Quartets
"Semua bunga mawar, meski sisi luarnya kelihatan seperti duri; Itulah cahaya
dari Belukar Terbakar, meski kelihatannya seperti api,'"
Jalaluddin Rumi Beberapa lukisan diri Maulana Jalaluddin Rumi
Pemandangan Kota Konya modern dan mausoleum Rumi
Pementasan sema oleh para darwis
Teror Manusia Bangkai 1 Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara Perintah Kesebelas 3
^