Pencarian

Kutukan Bangsa Titan 3

Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Bagian 3


"Yah ... cukup yakin. Sembilan puluh sembilan persen. Oke, delapan puluh lima
persen." "Dan kau melakukannya dengan biji pohon ek?" tanya Bianca, seolah dia tak bisa
memercayainya. Grover tampak tersinggung. "Itu adalah mantra penelusuran jejak yang sudah jadi
tradisi. Maksudku, aku cukup yakin aku melakukannya dengan benar."
"D.C. kan hampir seratus kilometer dari sini," ujar Bianca. "Nico dan aku ..."
Dia mengernyitkan dahi. "Kami dulu pernah tinggal di sana. Itu ... itu aneh. Aku
sudah lupa sama sekali." "Aku tak suka ini," ucap Zo?. "Kita seharusnya pergi lurus ke Barat. Ramalan
menyebutkan barat." "Oh, memangnya kemahiran memburu jejakmu lebih baik?" geram Thalia.
Zo? maju ke depan muka Thalia. "Kau menantang kemahiranku, dasar babu dapur"
Kau tak tahu sedikit pun bagaimana jadi Pemburu!"
"Oh, babu dapur" Kau menyebut aku babu dapur" Ejekan macam apa itu?"
"Woi, kalian berdua," Grover berkata gugup. "Ayolah. Jangan bertengkar lagi!"
"Grover benar," kata Bianca. "D.C. adalah perkiraan terbaik kita."
Zo? tidak tampak yakin, tapi dia mengangguk dengan enggan. "Baiklah jika
begitu. Mari kita berangkat."
"Kau akan membuat kita tertangkap, dengan gaya menyetirmu yang ugal-ugalan,"
gerutu Thalia. "Aku terlihat lebih enam belas daripada kamu."
"Mungkin," gertak Zo?. "Tapi aku sudah menyetir semenjak mobil diciptakan.
Mari kita pergi." Selagi Blackjack dan aku meneruskan perjalanan ke selatan, membuntuti van, aku
bertanya-tanya apakah Zo? hanya bercanda. Aku tak tahu kapan peristiwa mobil
diciptakan, tapi aku merasa itu bagai di zaman prasejarah - di zaman ketika
orangorang masih menonton TV layar hitam-putih dan berburu dinosaurus.
Seberapa tua sesungguhnya Zo?" Dan apa yang sempat dikatakan oleh Pak D"
Pengalaman buruk seperti apa yang pernah dia alami dengan para pahlawan"
Begitu kami mendekati Washington, Blackjack mulai memelan dan menurunkan
ketinggian. Dia bernapas dengan berat.
"Kau baik-baik saja?" aku bertanya padanya.
Baik-baik saja, Bos. Aku bisa ... aku bisa menaklukkan satu bala tentara.
"Kau tak terdengar baik-baik saja." Dan tiba-tiba aku merasa bersalah, karena
aku telah mengendarai pegasus seharian, nonstop, berusaha menyamai kecepatan arus
lalu lintas jalan bebas hambatan. Bahkan bagi seekor kuda terbang sekali pun,
itu pasti sangat berat. Jangan khawatirkan aku, Bos! Aku ini kuat.
Kupikir ia benar, tapi aku juga berpikir Blackjack akan terjerembap ke tanah
sebelum ia mau mengeluh, dan aku tak mau hal itu terjadi.
Untungnya, laju van mulai memelan. Van itu menyeberang Sungai Potomac
menuju pusat Washington. Aku mulai memikirkan tentang patroli udara dan
misilmisil dan hal-hal semacamnya. Aku tak tahu persisnya bagaimana cara alat-
alat pertahanan itu bekerja, dan tidak yakin jika pegasus akan muncul di radar
militer biasa, tapi aku tak ingin mencari tahu dengan ditembakkan dari udara.
"Turunkan aku di sana," kataku pada Blackjack. "Itu sudah cukup dekat."
Blackjack begitu letihnya hingga ia tidak mengeluh. Dia mendarat di Tugu
Washington dan menaruhku di atas rumput.
Vannya hanya berjarak beberapa blok dari situ. Zo? parkir di pinggir jalan.
Aku memandangi Blackjack. "Aku ingin kau kembali ke perkemahan.
Beristirahatlah. Merumputlah. Aku akan baik-baik saja."
Blackjack menelengkan kepalanya skeptis. Kau yakin, Bos"
"Kau sudah banyak membantu," kataku. "Aku akan baik-baik saja. Dan berton-ton
terima kasih." Berton-ton jerami, barangkali, renung Blackjack. Kedengarannya enak tuh.
Baiklah, tapi berthati-hatilah, Bos. Aku mendapat firasat mereka tidak datang ke
sini untuk bertemu dengan makhluk-makhluk yang ramah dan ganteng sepertiku.
Aku berjanji untuk berhati-hati. Kemudian Blackjack melesat pergi, mengitari
tugu dua kali sebelum menghilang di balik arakan awan.
Kupandangi van putih. Semua keluar dari mobil. Grover menunjuk pada salah satu
dari gedung-gedung besar yang menjajari kompleks museum. Thalia mengangguk,
dan mereka berempat berjalan pelan di tengah sebuan angin dingin.
Aku mulai mengikuti. Tapi kemudian segera mematung.
Satu blok di depan, pintu sebuah sedan hitam membuka. Seorang pria dengan
rambut beruban potongan militer keluar sedan. Dia mengenakan kacamata hitam
dan mantel hitam. Nah, barangkali kalau di Washington, kau akan menganggap
orang-orang potongan begitu akan berada di mana-mana. Tapi segera terpikir
olehku bahwa aku sudah pernah melihat mobil yang sama ini beberapa kali di jalan
bebas hambatan, melaju ke selatan. Ia membuntuti van.
Pria itu mengeluarkan ponselnya dan berbicara melaluinya. Kemudan dia
mengedarkan pandangan ke sekitar, seolah dia sedang memastikan keadaan aman,
dan mulai berjalan memasuki kompleks mengikuti arah teman-temanku.
Yang terburuk dari hal ini: saat dia berpaling menghadapku, aku mengenali
wajahnya. Itu adalah Dr. Thorn, sang manticore dari Asrama Westover.
LDengan topi tak kasat mata, kuikuti Thorn dari kejauhan. Jantungku
berdebardebar. Jika dia bisa selamat setelah terjatuh dari tebing, maka Annabeth
pasti juga selamat. Mimpiku benar. Annabeth masih hidup dan sedang ditawan.
Thorn menjaga jarak dari teman-temanku, menjaga agar tak terlibat.
Akhirnya, Grover berhenti di depan gedung besar bertulisan MUSEUM LANGIT
DAN ANTARIKSA NASIONAL. Gedung milik Institut Smithsonian! Aku sudah
pernah ke sini jutaan kali sebelumnya bersama ibuku, tapi segalanya tampak serba
lebih besar di kala itu. Thalia memeriksa pintunya. Pintu itu terbuka, tapi tak ada banyak orang yang
masuk. Terlalu dingin, dan sekolah sedang libur. Mereka menyelip masuk.
Dr. Thorn terlihat ragu. Aku tak tahu kenapa, tapi dia tidak masuk ke dalam
museum. Dia berbalik dan mengarah kembali ke kompleks. Aku membuat
keputusan kilat dan segera mengikutinya.
Thorn menyeberang jalan dan menaiki anak tangga Museum Sejarah Nasional.
Ada plang besar pada pintu. Awalnya kukira tulisannya CLOSED FOR PIRATE
EVENT. Tapi lantas kusadari kata PIRATE - PEROMPAK - itu pasti mestinya
terbaca PRIVATE. Kuikuti Dr. Thorn ke dalam, melewati ruangan besar penuh dengan mastodon dan
tulang rangka dinosaurus. Ada suara-suara di depan, berasal dari balik pintu
ganda tertutup. Dua penjaga berdiri di luar. Mereka membuka pintu untuk Thorn, dan aku harus
berlari menyusulnya untuk menyelip ke dalam sebelum mereka menutupnya
kembali. Di dalam, yang kulihat begitu mengerikan hingga aku nyaris memekik keras, yang
mungkin sudah akan membuatku terbunuh.
Aku berada di dalam ruangan bundar luas dengan balkon memagari tingkat dua.
Setidaknya selusin pengawal manusia berdiri di balkon, ditambah dua monster -
wanita reptil dengan dua tubuh ular menggantukan dua tungkai kaki. Aku sudah
pernah melihat mereka sebelumnya. Annabeth menyebut mereka Drakaina
Skythia. Tapi bukan itu hal terburuknya. Berdiri diapit wanita ular - aku berani bersumpah
dia sedang menatap lurus padaku - adalah seorang musuh lama, Luke. Dia tampak
menyedikan. Kulitnya pucat dan rambut pirangnya terlihat hampir kelabu, seolah
dia telah bertambah sepuluh tahun hanya dalam waktu beberapa bulan. Pijar
amarah matanya masih nampak di sana, dan begitu pula dengan codet melintangi
sisi wajahnya, tempat dulu seekor naga pernah melukainya. Tapi codet itu
sekarang berwarna merah mengerikan, seolah baru-baru ini lukanya dibuka kembali.
Di sebelahnya, duduk sehingga bayang-bayang menyelubunginya, adalah seorang
pria lain. Yang bisa kulihat dari pria itu hanyalah buku-buku jarinya pada
lengan kursi bersepuh emas, yang menyerupai singgasana.
"Bagaimana?" tanya pria yang duduk di kursi. Suaranya sama seperti yang
kudengar dalam mimpiku - tak seseram Kronos, namun lebih berat dan kuat,
seolah-olah bumi sendiri yang sedang bicara. Suaranya memenuhi seluruh ruangan
meskipun dia tidak berteriak.
Dr. Thorn mencopot kacamatanya. Mata dua warnanya, cokelat dan biru, berbinar
dengan semangat. Dia membungkuk kaku, lantas bicara dengan aksen Prancis
anehnya: "Mereka sudah di sini, Jenderal."
"Aku sudah tahu itu, bodoh," suara sang pria membahana. "Tapi di mana?"
"Di museum roket."
"Museum Langit dan Antariksa," Luke mengoreksi jengkel.
Dr. Thorn membelalak ke arah Luke. "Seperti yang kaukatakan, Tuan."
Aku merasa Thorn akan segera menusuk Luke dengan salah satu duri-durinya
bersamaan dengan saat dia menyebutnya tuan.
"Berapa banyak?" tanya Luke.
Thorn berpura-pura tak mendengarkan.
"Berapa banyak?" sang Jenderal mendesak.
"Empat, Jenderal," ucap Thorn. "Satir, Grover Underwood. Dan gadis dengan
rambut hitam berpaku dan dengan - bagaimana kau menyebutnya - pakaian punk
dan perisai yang buruk."
"Thalia," ucap Luke.
"Dan dua gadis lain - para Pemburu. Satunya mengenakan hiasan kepala perak."
"Yang itu aku tahu," geram Jenderal.
Semua di ruangan bergerak gelisah.
"Biar kutangkap mereka," ujar Luke pada sang Jenderal. "Kita punya lebih dari
cukup - " "Sabar," kata Jenderal. "Mereka tentu akan cukup kewalahan saat ini. Aku sudah
mengirimkan teman main kecil untuk menyibukkan mereka."
"Tapi - " "Kita tak bisa berisiko kehilanganmu, Nak."
"Betul, Nak," ujar Dr. Thorn dengan senyum keji. "Kau terlalu rentan. Biarkan
aku yang menghabisi mereka."
"Tidak." Sang Jenderal bangkit dari kursinya, dan aku dapat melihat sosoknya
untuk pertama kali. Sosoknya tinggi dan kekar, dengan kulit cokelat muda dan rambut hitam licin. Dia
mengenakan setelan jas sutra cokelat mahal seperti yang dikenakan para pria di
bursa saham Wall Street, tapi kau tak akan menganggap pria ini sebagai pemain
saham. Dia memiliki wahah brutal, bahu bidang, dan tangan yang dapat
mematahkan sebuah tiang bendera. Matanya seperti batu. Aku merasa seperti
sedang melihat sebuah patung hidup. Rasanya merupakan hal yang ajaib dia bisa
bergerak. "Kau sudah pernah mengecewakanku, Thorn," katanya.
"Tapi, Jenderal - "
"Tak ada alasan!"
Thorn berjengit. Kukira Thorn adalah sosok menakut-kan saat pertama kali aku
melihatnya dengan seragam hitamnya di akademi militer. Tapi kini, berdiri di
hadapan sang Jenderal, Thorn terlihat seperti prajurit konyol jadi-jadian. Sang
Jenderal adalah sosok jenderal sesungguhnya. Dia tak membutuhkan seragam. Dia
adalah orang yang ditakdirkan memimpin.
"Aku seharusnya melemparkanmu ke dalam lubang Tartarus atas
ketidakbecusanmu," ujar sang Jenderal. "Kukirim kau untuk menangkap anak dari
tiga dewa besar, dan kau membawakanku putri kurus kering Athena."
"Tapi kau menjanjikanku pembalasan dendam!" protes Thorn. "Sebuah komando
khusus untukku!" "Aku adalah komandan senior Raja Kronos," ujar sang Jenderal. "Dan aku akan
memilih letnan-letnan yang akan membawakanku hasil! Hanya berkat Lukelah kita
masih bisa menyelamatkan rencana kita. Sekarang enyahlah dari hadapanku,
Thorn, sampai aku menemukan tugas kasar lain buatmu."
Wajah Thorn berubah ungu oleh amarah. Kukira mulutnya akan segera berbusa
atau menembakkan duru-duri, tapi dia hanya membungkuk kiku dan segera
meninggalkan ruangan. "Sekarang, Nak." Sang Jenderal berpaling pada Luke. "Hal pertama yang mesti
kita lakukan adalah mengisolasi anak blasteran Thalia. Monster yang kita cari
dengan demikian akan mendatanginya."
"Para Pemburu akan sulit kita enyahkan," kata Luke. "Zo? Nightshade - "
"Jangan sebutkan namanya!"
Luke menelan ludah. "M-maaf, Jenderal. Aku hanya - "
Sang Jenderal membungkamnya dengan kibasan tangannya. "Biar kutunjukkan
padamu, Nak, bagaimana kita akan menaklukkan para Pemburu."
Dia menunjuk pengawal di lantai dasar. "Apa kau punya gigi itu?"
Pengawal itu terhuyung ke depan dengan sebuah pot keramik. "Ya, Jenderal!"
"Tanam mereka," perintahnya.
Di tengah ruangan ada sebuah lingkaran besar tanah, yang kurasa mestinya
ditempati sebuah pameran dinosaurus. Aku memandang gugup saat si pengawal
mengambil gigi-gigi taring putih dari dalam pot dan menanamnya dalam tanah.
Dia meratakan tanahnya sementara sang Jenderal tersenyum dingin.
Si pengawal melangkah mundul dari gundukan tanah dan mengelap kedua
tangannya. "Siap, Jenderal!"
"Bagus! Sirami mereka, dan kita akan biarkan mereka mengendus mangsa
mereka." Si pengawal memungut sebuah kaleng siram kecil dengan lukisan bunga aster pada
badan kaleng, yang kurasa agak aneh, karena apa yang dia tuangkan bukanlah air.
Itu adalah cairan merah gelap, dan aku merasa itu bukanlah minuman sari buah
Hawaii. Tanah itu mulai berbuih. "Segera," kata sang Jenderal. "Akan aku tunjukkan padamu, Luke, betapa prajurit
yang akan menjadi bala tentaramu dari kapal kecil itu tampak tak berarti."
Like menegangkan kepalannya. "Aku menghabiskan satu tahun melatih bala
tentaraku! Saat Putri Andromeda tiba di gunung, mereka akan menjadi yang
terhebat - " "Bah!" ujar Jenderal. "Aku tak menyangkal bahwa pasukanmu akan menjadi
pasukan kehormatan yang baik bagi Raja Kronos. Dan kau, tentu saja, akan
memiliki peranan untuk dimainkan - "
Kukira Luke berubah makin pucat saat sang Jenderal mengucapkan itu.
" - tapi di bawah kepemimpinanku, kekuatan Raja Kronos akan meningkat hingga
ratusan kali lipat. Kekuatan kami tak akan terhentikan. Perhatikanlah, mesin-
mesin pembunuh utamaku." Tanah itu memecah. Aku melangkah mundur tegang.
Di tiap tempat sebuah gigi ditanam, sesosok makhluk berjuang keluar dari tanah.
Makhluk pertama berkata:"Meong?"
Itu adalah anak kucing. Seekor kucing betina kecil jingga dengan garis-garis
serupa macan. Kemudian satu lagi muncul, hingga mereka berjumlah dua belas
berguling-guling dan bermain-main di tanah.
Semua menatap mereka tak percaya. Sang Jnederal meraung, "Apa ini" Anak-anak
kucing menggemaskan" Dari mana kautemukan gigi-gigi itu?"
Sang pengawal yang membawa gigi-gigi tadi merengket ketakutan. "Dari pameran,
Tuan! Seperti yang kausuruh. Macan bergigi-pedang - "
"Bukan, idiot! Kubilang tyrannosaurus! Kumpulkan ... makhluk-makhluk kecil
berbulu sialan itu dan bawa mereka keluar. Dan jangan pernah munculkan
mukamu di hadapanku lagi."
Sang pengawal yang ketakutan menjatuhkan kaleng siramnya. Dia kumpulkan
anak-anak kucing itu dan mengambil langkah seribu keluar ruangan.
"Kau!" Sang Jenderal menunjuk pada pengawal lain. "Ambilkan aku gigi yang
benar. SEKARANG JUGA!"
Pengawal baru segera berlari untuk melaksanakan perintah.
"Idiot," gerutu Jenderal.
"Inilah mengapa aku tak menggunakan manusia," ujar Luke. "Mereka tak bisa
dipercaya." "Mereka berotak-lemah, gampang dibeli, dan menyukai kekerasan," kata Jenderal.
"Aku suka mereka."
Semenit kemudian, si pengawal bergegas masuk ruangan sambil membawa
serangkup penuh gigi-gigi taring besar di tangannya.
"Bagus," kata sang Jenderal. Dia memanjat ke langkan balkon dan melompat


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turun, enam meter. Pada tempatnya mendarat, lantai marmernya retaj di bawah sepatu kulitnya. Dia
berdiri mematung sejenak, mengernyit, dan meremas bahunya. "Terkutuklah leher
tegangku." "Perlu koyo panas lagi, Tuan?" tanga sang pengawal. "Atau perlu tambahan obat
Tylenol?" "Tidak! Ia akan reda sendiri." Sang Jenderal mengibas jas sutranya denga isyarat
mengusir, lantas merenggut gigi-gigi itu. "Akan kulakukan ini sendiri."
Dia mengangkat satu giginya dan tersenyum. "Gigi dinosaurus - ha! Manusiamanusia
bodoh itu bahkan tak tahu ketika mereka memiliki gigi naga dalam
museum mereka. Dan bukan gigi naga sembarangan pula. Gigi ini berasal dari
Sybaris purba sendiri! Ini akan sangat berguna."
Pria itu menanamnya dalam tanah, kedua belas gigi itu. Kemudian dia memungut
kaleng siramnya. Dia sirami tanah dengan cairan merah, membuangkjaleng itu
setelah selesai menggunakannya, dan merentangkan tangannya lebar-lebar.
"Bangkitlah!" Tanah itu berguncang. Sebuah tangan rangka menye-ruak dari tanah, menggapaigapai
udara. Sang Jenderal mendongak ke arah balkon. "Cepatlah, apa kau punya baunya?"
"Ya, Tuansss," kata salah satu wanita ular. Dia mengeluarkan sebuah selendang
sutra, seperti yang biasa dikenakan para Pemburu.
"Bagus," ujar sang Jenderal. "Begitu para prajuritku mengendus baunya, mereka
akan memburu pemiliknya tanpa ampun. Tak ada yang dapat menghentikan
mereka, tak ada senjata yang dikenali oleh blasteran maupun Pemburu dapat
mengalahkan mereka. Mereka akan melumatkan para Pemburu dan sekutu mereka
hingga berkeping-keping. Lemparkan itu kemari!"
Selagi dia mengatakan itu, tulang-tulang kerangka menyeruak dari dalam tanah.
Ada dua belas rangka-tulang, untuk masing-masing gigi yang ditanam Jenderal.
Mereka bukan seperti rangka-rangka Halloween, atau yang biasa kulihat dalan
film-film picisan. Ini adalah daging yang bertumbuh selagi aku memandanginya,
berubah jadi manusia, tapi manusia dengan kulit abu-abu suram, mata kuning, dan
pakaian modern - kaus aku-abu tanpa lengan, celana loreng, dan sepatu bot militer.
Kalau kau tak melihat dari dekat, aku bisa saja memercayai mereka sebgaia
manusia namun daging mereka transparan dan tulang-belulang mereka berkilatkilat
di bawah permukaan kulit, seperti gambaran sinar-X.
Salah satu dari mereka menatap tepat ke arahku, memandangiku dingin, dan aku
tahu bahwa topi tak kasat mata tak akan menutupiku dari pandangan mereka.
Sang wanita ular melemparkan selendang dan selendang itu melayang turun ke
tangan Jenderal. Begitu sang Jenderal memberikannya pada para prajurit, mereka
akan segera memburu Zo? dan yang lain hingga mereka binasa.
Aku tak punya waktu untuk berpikir. Aku berlari dan melompat dengan segenap
tenagaku, bergesa melewati para prajurit dan merebut selendang itu dari udara.
"Apa ini?" teriak sang Jenderal.
Aku mendarat di atas kaki satu prajurit kerangka, yang mendesis.
"Penyusup," geram Jenderal. "Seorang yang terselubung kegelapan. Kunci pintu!"
"Itu Percy Jackson!" pekik Luke. "Pasti itu dia."
Aku berpacu menuju pintu keluar, tapi mendengar suara sobekan dan menyadari
prajurit kerangka telah menyobek sepotong kain dari lengan bajuku. Saat aku
menoleh ke belakang, dia sedang memegang carikan kain itu ke hidungnya,
mengendus baunya, lantas mengedarkannya pada teman-temannya. Aku ingin
berteriak, tapi tak bisa. Aku menyelipkan diri melewati pintu tepat saat para
pengawal membanting pintu itu menutup di belakangku.
Dan kemudian aku berlari sekencang-kencangnya.
Bab 10 Aku Merusakkan Beberapa Pesawat Roket
Aku berlari melintasi kompleks museum, tak berani menoleh ke belakang. Aku
bergesa memasuki Museum Langit dan Antariksa dan melepaskan topi tak kasat
mataku begitu melewati area pendaftaran.
Bagian utama museum adalah sebuah ruangan besar dengan roket-roket dan
pesawat-pesawat bergantungan dari langit-langit. Tiga lantai balkon melingkari
dinding, sehingga kau bisa melihat barang-barang pameran dari berbagai
ketinggian berbeda. Tempat itu tak ramai, hanya beberapa keluarga dan dua
kelompok tur anak-anak, barangkali sedang mengikuti semacam karyawisata
liburan sekolah. Aku ingin berteriak pada mereka untuk mengusir mereka pergi,
tapi kupikir itu hanya akan membuatku ditahan polisi. Aku harus menemukan
Thalian dan Grover dan kedua Pemburu. Tak lama lagi, pria-pria kerangka itu akan
menyerbu museum, dan kurasa mereka tak akan mau mengikuti rangkaian tur
audionya. Aku berlari menabrak Thalia - sungguhan. Aku berlari kencang menyusur jalur
landai menuju balkon teratas dan menabraknya, menjatuhkannya hingga masuk ke
dalam kapsul angkasa Apollo.
Grover memekik kaget. Sebelum aku bisa memperoleh keseimbangan kembali, Zo? dan Bianca sudah
menyiagakan panah-panah mereka, menargetkan pada dadaku. Busur-busur
mereka muncul begitu saja.
Saat Zo? menyadari siapa diriku sebenarnya, dia tidak tampak bersemangat
menurunkan busurnya. "Kau! Berani-beraninya menunjukkan wajah engkau di
sini?" "Percy!" seru Grover. "Syukurlah."
Zo? memelototinya, dan wajah Grover memerah. "Maksudku, em, ya ampun. Kau
nggak semestinya berada di sini.!"
"Luke," seruku, berusaha mengumpulkan napas. "Dia ada di sini."
Amarah di mata Thalia segera meredup. Dia meletak-kan tangannya pada gelang
peraknya. "Di mana?"
Kuceritakan pada mereka tentang Museum Sejarah Nasional, Dr. Thorn, Luke, dan
sang Jenderal. "Sang Jenderal di sini?" Zo? tampak terkejut. "Itu mustahil! Kau bohong."
"Untuk apa aku berbohong" Dengar, sudah tak ada waktu. Para prajurit
kerangka - " "Apa?" desak Thalia. "Berapa banyak?"
"Dua belas." Kataku. "Dan bukan itu saja. Pria itu, sang Jenderal, dia bilang
dia telah mengirim sesuatu, sebuah 'teman main', untuk menyibukkan kalian di sini.
Monster." Thalia dan Grover bertukar pandang.
"Kami sedang mengikuti jejak Artemis," kata Grover. "Aku cukup yakin jejak itu
mengarah ke sini. Bau monster yang kuat ... Artemis pasti sempat singgah ke sini
untuk mencari monster misterius itu. Tapi kami belum menemukan apa pun."
"Zo?," Bianca berkata gugup, "kalau itu benar sang Jenderal - "
"Tidak mungkin!" bentak Zo?. "Percy pasti hanya melihat bayangan pesan-Iris
atau bayangan ilusi lainnya."
"Bayangan tak akan meretakkan lantai marmer," kataku padanya.
Zo? menghela napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Aku tak
mengerti mengapa dia mengambil masalah ini begitu personal, atau bagaimana dia
bisa kenal dengan pria Jenderal ini, tapi kurasa sekarang bukanlah saat yang
tepat untuk bertanya. "Kalau Percy mengatakan yang sebenarnya tentang para prajurit keranagka," ujar
Zo?, "kita tak punya waktu untuk berdebat. Mereka adalah musuh terburuk, paling
mengerikan ... Kita harus segera pergi."
"Ide bagus," timpalku.
"Aku tak menyertakan engkau, bocah," kata Zo?. "Kau bukanlah bagian dari misi
ini." "Hei, aku kan berusaha menyelamatkan nyawa kalian!"
"Kau tak seharusnya ikut, Percy," ujar Thalia muram. "Tapi kau sudah ada di sini
sekarang. Ayolah. Mari kita kembali ke van."
"Ini bukanlah keputusan engkau!" bentak Zo?.
Thalia menggertaknya. "Kau bukan bos di sini, Zo?. Aku tak peduli setua apa
umurmu! Kau tetap saja anak manja angkuh!"
"Kau tak pernah memiliki kebijaksanaan ketika menyangkut anak laki-laki," geram
Zo?. "Kau tak pernah bisa meninggalkan mereka!"
Thalia sepertinya akan segera meninju Zo?. Kemudian semua mematung.
Kudengar suara geraman begitu kencangnya hingga kukira salah satu mesin roket
sedang bertingkah. Di bawah kami, beberapa orang dewasa berteriak. Suara seorang anak kecil
terdengar melengking girang: "Anak kucing!"
Sesuatu yang besar melesat menaiki tanjakan. Sosok itu seukuran truk, dengan
cakar perak dan bulu emas berkilat. Aku sudah pernah melihat monster ini sekali
sebelumnya. Dua tahun lalu, aku melihat sekilas sosoknya dari dalam kereta.
Sekarang, secara langsung dan dari jarak dekat, makhluk itu terlihat lebih
besar. "Singa Nemeas," seru Thalia. "Jangan bergerak."
Singa itu mengaum begitu kerasnya hingga embusan-nya mengacak rambutku.
Gigi taringnya berkilat seperti baja tanpa karat.
"Berpencarlah mengikuti aba-abaku," kata Zo?. "Berusahalah mengalihkan
pikirannya." "Sampai kapan?" tanya Grover.
"Sampai kupikirkan cara untuk membunuhnya. Ayo!"
Kubuka tutup Riptide dan berguling ke kiri. Panah-panah berdesing melewatiku,
dan Grover memainkan irama twit-twit nyaring dengan serulingnya. Aku menoleh
dan melihat Zo? dan Bianca memanjati kapsul Apollo. Mereka menembakkan
panah-panah, susul-menyusul, semua patah begitu mengenai bulu logam singa
tanpa sedikit pun mencederainya. Sang singa mengayunkan kapsul dan
memiringkan pinggirnya, hingga menjatuhkan kedua Pemburu dari belakang
kapsul. Grover masih memainkan nada panik yang mengerikan, dan sang singa
berbalik mengincarnya, tapi Thalia mencegat langkahnya, sembari memegang
Aegis. Sang singa pun menjengit. "AUUUMM!"
"Hi-yah!" seru Thalia. "Mundur!"
Sang singa menggeram dan mencakar udara, tapi ia mundur seolah perisai itu
adalah kobaran api. Selama sedetik, kupikir Thalia sudah berhasil menundukkannya. Kemudian kulihat
singa itu merunduk, otot-otot kakinya menegang. Aku sudah pernah melihat
banyak kucing jalanan yang berkelahi di sekitar apartemenku di New York. Aku
tahu singa itu akan segera menyerang.
"Hei!" teriakku. Aku tak tahu apa yang kupikirkan, tapi aku menerjang makhluk
buas itu. Aku hanya ingin menyingkirkannya dari teman-temanku. Kuayunkan
Riptide, sebuah tebasan bagus pada panggulnya yang semestinya sudah memotong
monster itu jadi Adonan Kucing, namun pedang itu hanya berdencang mengenai
bulunya dengan percikan bunga-bunga api.
Singa itu menyerangku dengan cakarnya, merobek secarik mantelku. Aku mundur
ke langkan. Makhluk itu merangsek maju ke arahku, lima ratus kilo monster, dan
aku tak punya pilihan kecuali untuk berpaling dan melompat.
Aku mendarat di atas sayap pesawat perak model-kuno, yang mencondong dan
nyaris mengempasku ke lantai bawah, tiga tingkat ke bawah.
Sebuah panah melesat melewati kepalaku. Singa itu melompat ke pesawatku, dan
kawat-kawat yang menahan pesawat pun mulai mengerang.
Singa itu mencoba meraihku, dan aku melompat ke barang pameran lainnya,
sebuat pesawat angkasa berbentuk aneh dengan baling-baling serupa helikopter.
Aku mendongak dan melihat sang singa mengaum - dalam moncongnya, tampak
lidah merah jambu dan kerongkongan.
Mulutnya, pikirku. Bulu-bulunya sama sekali tak dapat dilukai, tapi jika saja
aku bisa menyerang mulutnya ... Satu-satunya masalah adalah, monster itu bergerak
terlalu cepat. Di antara sabetan cakar dan gigi taringnya, aku tak bisa mendekat
tanpa takut terpotong-potong.
"Zo?!" teriakku. "Sasar mulutnya!"
Sang monster menerjang. Sebuah anak panah melesat, betul-betul jauh dari
sasaran, dan aku terjatuh dari pesawat angkasa ke puncak sebuah objek pameran
utama, sebuah bola bumi raksasa. Aku meluncur ke bawah Rusia dan jatuh
bergantungan di garis khatulistiwa.
Singa Nemeas menggeram dan menyeimbangkan posisi berdirinya di atas sebuah
pesawat antariksa, tapi bobot tubunya terlampau berat. Salah satu kawat yang
menahannya terputus. Saat pajangan itu mengayun turun seperti pendulum, sang
singa melompat turun ke Kutub Utara bola bumi.
"Grover!" teriakku. "Kosongkan lantai!"
Sekumpulan anak-anak berlari kocar-kacir sambil menjerit. Grover berusaha
menggiring mereka menjauh dari monster tepat saat kawat lain yang menahan
pesawat antariksa terputus dan pajangan itu roboh ke lantai. Thalia terjatuh
dari langkan lantai dua dan mendarat tepat di seberangku, di sisi lain bola bumi.
Sang singa memandangi kami berdua, berusaha menentukan siapa dari kami yang akan
ia bunuh pertama kali. Zo? dan Bianca berada di atas kami, menyiapkan busur, tapi mereka harus terus
bergerak-gerak mencari sudut sasaran yang tepat.
"Tak bisa menembak!" teriak Zo?. "Buat dia membuka mulutnya lebih lebar lagi!"
Sang singa menggeram dari puncak globe.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Ide-ide. Aku membutuhkan ...
Toko cendera mata. Aku punya ingatan samar dari perjalananku ke sini pada masa
kecil. Sesuatu yang kuminta ibuku untuk membelikannku, dan aku menyesalinya.
Kalau mereka masih menjual barang itu ...
"Thalia," seruku, "terus sibukkan dia."
Dia mengangguk serius. "Hi-yah!" Dia mengacungkan tombaknya dan sebuah lengkung jaring listrik biru
menyembur, menyeterum ekor sang singa.
"AUUUUUM!" Singa itu berbalik dan menerjang. Thalia mengelak dari
terjangannya, seraya mengankat Aegis untuk menjaga jarak dari monster itu, dan
aku berlari cepat menuju toko cendera mata.
"Ini bukan waktunya untuk membeli cendera mata, bocah!" jerit Zo?.
Aku berpacu masuk toko, membentur berderet-deret kaus, meloncat ke atas mejameja
penuh dengan planet yang menyala-dalam-gelap dan gumpalan lengket
antariksa. Wanita pramuniaganya tidak protes. Dia terlalu sibuk bersembunyi di
balik mesin kasirnya. Itu dia! Jauh di dinding sana - paket-paket perak berkilat. Satu rak penuh.
Kuambil semua jenis yang bisa kutemukan dan berlari keluar toko dengan sepelukan penuh.
Zo? dan Bianca masih menghujani panah-panah ke arah monster, namun tanpa
hasil. Singa itu tampak tahu lebih baik daripada membuka mulutnya lebar-lebar.
Ia menyerang Thalia, menerkam dengan cakarnya. Ia bahkan terus memicingkan
matanya hingga memipih. Thalia menikam monster itu dan bergerak mundur. Sang singa menekannya.
"Percy," seru Thalia, "apa yang akan kaulakukan - "
Sang singa mengaum dan menepis Thalia seperti mainan kucing, membuatnya
terbang ke sisi roket Titan. Kepalanya membentur logam dan dia pun meluncur
jatuh ke lantai. "Hei!" aku berteriak pada singa. Aku terlalu jauh untuk menyerang, maka kuambil
risiko: kulempar Riptide seperti belati lontar. Pedang itu memantul dari sisi
tubuh singa, tapi itu cukup untuk merebut perhatian sang monster. Ia berpaling
menghadapiku dan mengaum.
Hanya tersisa satu cara untuk mendekatinya. Aku menerjang, dan selagi sang singa
melompat untuk mencegarku, aku mencomot sekantong makanan antariksa dan
menyasar ke dalam mulutnya - sebongkah makanan, parfait stroberi yang
dibekukeringkan4, berbungkus plastik keras.
(Parfait: Makanan penutup yang terbuat dari telur, krim, dan buah.
Freeze-dried -dibeku keringkan- adalah proses pengawetan makanan dengan
membekukannya kemudian menghangatannya pelan-pelan sambil divakum agar
kelembapannya berkurang. Teknik pengawetan ini memelihara nutrisi dan
digunakan untuk mengawetkan makanan untuk dibawa para astronot ke luar
angkasa.) Mata sang singa membelalak dan ia tersedak seperti kucing yang menelan
gumpalan rambut. Aku tak bisa menyalahkannya. Aku teringat pernah merasakan hal yang saa saat
kucoba melahap makanan luar angkasa saat masih kecil. Makanan itu benar-benar
tak berasa dan menjijikkan.
"Zo?, bersiaplah!" terakku.
Di belakangku, aku bisa mendengar suara orang-orang berteriak. Grover sedang
memainkan sebuah lagu mengerikan lainnya dengan serulingnya.
Aku berlari menjauh dari singa. Ia berhasil memuntahkan paket makanan luar


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angkasa itu dan menatapku dengan pandangan kebencian murni.
"Waktunya camilan!" teriakku.
Ia berbuat kesalahan dengan mengaum padaku, dan aku memasukkan roti es krim
ke dalam kerongkongannya. Untungnya, aku selalu menjadi pelempar yang cukup
andal, meskipun bisbol bukanlah kemahiranku. Sebelum sang singa bisa berhenti
tercekik, kutembakkan lagi dua es krim dengan rasa berlainan dan spageti awetan
buat santapan malam. Mata sang singa membelalak. Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan melangkah
mundur dengan kaki-kaki belakangnya, berusaha menjauh dariku.
"Sekarang!" aku berteriak.
Segera, panah-panah menusuk mulut sang singa - dua, empat, enam. Sang singa
meronta-ronta liar, berbalik, dan terjungkal ke belakang. Dan kemudian ia tak
berkutik. Alarm meraung ke sepenjuru museum. Orang-orang berhambur ke pintu keluar.
Petugas-petugas keamanan berlari kocar-kacir panik tanpa tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi.
Grover berlutut di sisi Thalia dan membantunya bangkit. Thalia tampak baik-baik
saja, hanya sedikit linglung. Zo? dan Bianca menjatuhkan diri dari balkon dan
mendarat di sebelahku. Zo? memandangiku waspada. "Itu adalah ... strategi yang menarik."
"Hei, tapi berhasil kan?"
Dia tak membantah. Sang singa tampak mencair, seperti yang kadang terjadi pada monster-monster
yang mati, hingga tak ada lagi yang tersisa kecuali kulit bulunya yang
berkerlapkerlip, dan bahkan itu pun menciut hingga seukuran kulit bulu singa
normal. "Ambil itu," kata Zo? padaku.
Aku menatapnya. "Apa, bulu singa" Bukankah itu, kayak, melanggar hak-hak
binatang atau semacamnya?"
"Itu barang rampasan perang," dia memberitahuku. "Itu adalah hak engkau."
"Kau yang membunuhnya," ujarku.
Dia menggelengkan kepalanya, hampir tersenyum. "Kukira roti lapis es krim
engkaulah yang membunuhnya. Adil ya adil, Percy Jackson. Ambil bulu itu."
Aku mengangkatnya; bulu itu ternyata amat sangat ringan. Bulu itu juga licin dan
lembut. Ia tak tampak seperti sesuatu yang bisa menangkal serangan pedang.
Selagi aku memandanginya, kulit bulu itu berubah menjadi sebuah mantel -
sebuah mantel panjang cokelat keemasan.
"Bukan seperti gayaku, sih," gumamku.
"Kita harus segera keluar dari sini," kata Grover. "Penjaga keamanan tak akan
kebingungan dalam waktu lama."
Aku baru memperhatikan untuk pertama kalinya betapa anehnya bagaimana para
penjaga itu tidak berlari untuk menangkap kami. Mereka menghambur ke segala
arah kecuali ke arah kami, seolah mereka sedang sibuk mencari-cari sesuatu bak
orang gila. Beberapa orang menabrak dinding atau satu sama lain.
"Kau yang menyebabkan itu?" tanyaku pada Grover.
Dia mengangguk, tampak sedikit malu. "Hanya lagu yang membuat sedikit
linglung. Aku memainkan beberapa lagu Barry Manilow. Berhasil setiap saat. Tapi
hanya bertahan selama beberapa detik."
"Penjaga kemanan bukanlah ancaman terbesar kita," ujar Zo?. "Lihat."
Melalui dinding kaca museum, aku bisa melihat segerombolan orang berjalan
melintasi halaman. Gerombolan manusia abu-abu dengan pakaian kamuflase abuabu.
Mereka masih terlalu jauh bagi kami untuk bisa melihat mata mereka, tapi aku
bisa merasakan tatapan mereka menghunjam tajam tepat ke arahku.
"Pergi," kataku. "Mereka akan memburuku. Aku akan alihkan mereka."
"Tidak," ucap Zo?. "Kita pergi bersama-sama."
Aku menatapnya. "Tapi, kau tadi bilang - "
"Kau adalah bagian dari misi ini sekarang," ujar Zo? setengah hati. "Aku tak
menyukainya, tapi takdir tak dapat diubah. Kau adalah anggota misi kelima. Dan
kita tak akan meninggalkan seorang pun di belakang."
Bab 11 Grover Mendapat Lamborghini
Kami sedang menyeberang Sunga Potomac saat kami melihat sebuah helikopter.
Itu adalah helikopter model militer hitam canggih persis seperti yang kami lihat
di Asrama Westover. Dan helikopter itu mengarah tepat ke arah kami.
"Mereka mengenali van ini," seruku. "Kita harus meninggalkannya."
Zo? berbelok ke jalur cepat. Helikopter itu pun menambah kecepatan.
"Barangkali pihak militer akan menembaknya jatuh," ujar Grover penuh harap.
"Militer mungkin akan mengira itu helikopter milik mereka," ujarku. "Bagaimana
mungkin sang Jenderal bisa menggunakan manusia, sih?"
"Tentara bayaran," ujar Zo? sinis. "Itu sungguh hina, tapi ada banyak manusia
yang akan bertarung demi tujuan apa pun selama mereka dibayar."
"Tapi tidakkah kaum manusia ini melihat untuk siapa mereka bekerja?" tanyaku.
"Tidakkah mereka menyadari semua monster yang mengelilinginya?"
Zo? menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu seberapa banyak yang bisa
mereka lihat lewat kabut. Aku ragu itu berpengaruh bagi mereka jika pun mereka
tahu kebenarannya. Terkadang manusia bisa lebih mengerikan daripada monster."
Helikopter itu terus mendekat, melaju lebih cepat daripada kami yang harus
berpacu di tengah-tengah arus kemacetan D.C.
Thalia memejamkan matanya dan berdoa sepenuh kekuatan. "Hei, Ayah. Petir
akan berguna di saat ini. Kumohon?"
Tapi langit tetap abu-abu dan bersalju. Tak ada tanda-tanda datangnya badai
petir yang akan sangat membantu.
"Di sana!" seru Bianca. "Tempat parkir itu!"
"Kita akan terperangkap," ujar Zo?.
"Percayalah padaku," kata Bianca.
Zo? meluncur menyeberangi dua alur arus kendaraan dan memasuki tempat parkir
sebuah mall di sisi selatan sungai. Kami tinggalkan van dan mengikuti Bianca
menuruni beberapa anak tangga.
"Jalur masuk kereta bawah tanah," ujar Bianca. "Mari ke arah selatan.
Alexandria." "Apa pun deh," Thalia menyepakati.
Kami membeli tiket dan memasuki pagar putar, menoleh ke belakang melihat-lihat
jika ada yang mengejar. Beberapa menit kemudian kami sudah menaiki kereta
dengan aman menuju selatan, meluncur meninggalkan D.C. Selagi kereta kami
menembus ke atas permukaan tanah, kami bisa melihat helikopter tadi
berputarputar di atas tempat parkir, tapi ia tak mengejar kami.
Grover mendesah lega. "Pekerjaan bagus, Bianca, memikirkan kereta bawah
tanah." Bianca tampak senang. "Yah, aku melihat stasiun itu saat Nico dan aku
melewatinya musim panas lalu. Aku ingat merasa benar-benar terkejut melihatnya,
karena stasiun ini belum berada di sini saat kami masih tinggal di D.C."
Grover mengerutkan alis. "Baru" Tapi stasiun tadi kelihatan sudah tua."
"Kurasa begitu," kata Bianca. "Tapi percaya padaku, saat kami tinggal di sini
saat masih kecil, kereta bawah tanah belum ada."
Thalia memajukan duduknya. "Tunggu sebentar. Tak ada kereta bawah tanah sama
sekali?" Bianca mengangguk. Begini, aku tak tahu apa pun tentang kota Washington D.C., tapi aku tak bisa
mengerti bagaimana sistem kereta bawah tanah mereka terwujud dalam rentang
waktu kurang dari dua belas tahun. Kurasa semua orang berpikiran sama, karena
mereka tampak bingung. "Bianca," kata Zo?. "Sudah berapa lama sejak ..." Suaranya terputus. Suara
balingbaling helikopter terdengar makin keras kembali.
"Kita harus pindah kereta," kataku. "Stasiun berikut."
Selama setengah jam berikut, yang bisa kami pikirkan hanya bagaimana cara
meloloskan diri dengan selamat. Kami berpindah kereta dua kali. Aku tak tahu
sedikit pun ke mana kami menuju, tapi setelah beberapa lama kami akhirnya
terlepas dari kejaran helikopter itu.
Sayangnya, pada saat kami turun dari kereta, kami mendapati diri berada di akhir
jalur, di sebuah kawasan industri tanpa apa pun selain gudang-gudang dan jalur
kereta. Dan salju. Salju yang tumpah-ruah. Rasanya jauh lebih dingin di sini.
Aku lega mengenakan mantel bulu singa baruku.
Kami menyusuri langsiran gerbong kereta, berpikir barangkali akan ada kereta
khusus penumpang lain di suatu tempat, tapi di sana hanya ada berderet-deret
gerbong barang, yang sebagian besar terselimuti salju, seolah gerbong-gerbong
itu sudah tak digerakkan sekian tahun lamanya.
Seorang pria gelandangan sedang berdiri dekat api dalam tong sampah. Kami pasti
terlihat sangat menyedihkan, karena pria itu memberi kami seringai ompongnya
sambil berujar, "Kalian semua ingin menghangatkan diri" Kemarilah!"
Kami berkumpul mendekati api. Gigi-gigi Thalia bergemeletuk. Dia berkata, "Yah,
ini l-l-l-umayan." "Kaki-kaki kambingku membeku," keluh Grover.
"Kaki-kakimu," koreksiku, mengingat kehadiran pria gelandangan itu.
"Barangkali kita mesti menghubungi perkemahan," kata Bianca. "Chiron - "
"Tidak," ujar Zo?. "Mereka sudah tak bisa membantu kita lagi. Kita harus
mengakhiri misi ini sendiri."
Aku memandang muram ke arah langsiran kereta. Di suatu tempat, di arah barat,
Annabeth sedang terancam bahaya. Artemis tengah dirantai. Monster penanda
kiamat sedang berkeliaran. Dan kami tersangkut di pinggiran kota D.C., berbagi
api dengan seorang gelandangan.
"Kalian tahu," ujar pria gelandangan, "kalian tak pernah benar-benar kehilangan
teman." Wajahnya kumal dan janggutnya kusut, namun ekspresi wajahnya tampak
baik. "Kalian anak-anak butuh kereta menuju barat?"
"Benar, Pak," jawabku. "Bapak tahu ada kereta itu?"
Dia menunjuk dengan tangan dekilnya.
Tiba-tiba kusadari adanya sebuah kereta barang, mengilap dan bebas salju. Itu
adalah salah satu kereta pengangkut-mobil, dengan tirai baja berlubang dan tiga
lantai mobil di dalam. Di sisi badan kereta barang itu ada tulisan JALUR BARAT
MATAHARI. "Itu ... pas banget," ujar Thalia. "Makasih, eh ..."
Dia berbalik ke arah pria gelandangan, tapi dia sudah menghilang. Tong sampah di
hadapan kami dingin dan kosong, seolah dia telah membawa kobaran api itu
bersamanya. Sejam kemudian kami melaju ke arah barat. Tak ada masalah siapa yang menyopir
saat ini, kami semua mendapatkan mobil mewah kami sendiri. Zo? dan Bianca
menduduki mobil Lexus di tingkat teratas. Grover sedang berpura-pura menjadi
pembalap di balik setir sebuah Lamborghini. Dan Thalia tengah menghidupkan
radio dalam Mercedes SLK hitam agar dia bisa mendengarkan stasiun rockalternatif
dari D.C. "Boleh ikutan?" tanyaku padanya.
Dia mengendikkan bahu, maka aku memanjat ke dalam jok sebelah kursi sopir.
Radio sedang memainkan lagu White Stripes. Aku kenal lagu ini karena itu
satusatunya CD yang kumiliki yang disukai ibuku. Ibu bilang itu mengingatkannya
pada Led Zeppelin. Memikirkan tentang ibuku membuatku sedih, karena
sepertinya kemungkinan besar aku tak akan bisa pulang saat Natal. Aku mungkin
takkan hidup selama itu. "Mantel yang bagus," kata Thalia padaku.
Aku rapatkan mantel itu ke sekujur badanku, bersyukur atas kehangatannya.
"Yeah, tapi Singa Nemea itu bukanlah monster yang tengah kita cari."
"Bahkan mendekati pun tidak. Kita masih harus menempuh perjalanan jauh."
"Apa pun wujud monster misterius ini, sang Jenderal bilang ia akan
mendatangimu. Mereka ingin menjauhkanmu dari kelompok, agar monster itu
muncul dan bertarung melawanmu satu-lawan-satu."
"Dia bilang begitu?"
"Yah, kurang lebih seperti itu. Iya."
"Itu hebat. Aku senang dijadikan sebagai umpan."
"Tak ada ide monster seperti apa ini barangkali?"
Dia menggelengkan kepalanya murung. "Tapi kau tahu ke mana kita akan pergi,
kan" San Francisco. Itulah tempat yang hendak dituju Artemis."
Aku teringat akan sesuatu yang sempat dikatakan Annabeth saat pesta dansa:
bagaimana ayahnya pindah ke San Francisco, dan bahwa mustahil baginya untuk
pergi. Kaum blasteran tak bisa tinggal di sana.
"Kenapa?" tanyaku. "Memang apa buruknya dari San Francisco?"
"Kabut benar-benar tebal di sana oleh karena Gunung Pupus Harapan berada di
dekatnya. Sihir bangsa Titan - setidaknya yang tersisa darinya - masih tertinggal
di sana. Monster-monster dalam jumlah yang tak akan kaupercayai begitu terpikat
pada tempat itu." "Apa itu Gunung Pupus Harapan?"
Thalia mengangkat alisnya. "Kau benar-benar tidak tahu" Tanyakan saja pada si
bloon Zo?. Dia kan ahlinya."
Thalia melotot ke luar jendela depan. Aku ingin menanyakan apa maksud
perkataannya, tapi aku juga tak ingin terdengar seperti orang idiot. Aku benci
merasa Thalia tahu lebih banyak dariku, maka aku menutup mulut.
Matahari petang bersinar menembus sisi lubang-baja dari gerbong kereta,
melemparkan bayang-bayang ke wajah Thalia. Aku berpikir betapa berbedanya dia
dari Zo? - Zo? begitu formal dan dingin seperti tingkah seorang putri, Thalia
dengan pakaian acak-acakannya dan sikap pemberontaknya. Namun juga ada
sesuatu yang serupa dari mereka. Sikap keras yang sama. Saat ini, ketika tengah
duduk di bawah bayang-bayang dengan raut muram, Thalia terlihat persis seperti
salah satu Pemburu. Kemudian tiba-tiba, pikiran itu menimpaku: "Itu sebabnya kau tidak akur dengan
Zo?." Thalia mengerutkan alis. "Apa?"
"Para Pemburu mencoba merekrutmu," tebakku.
Sinar matanya berubah amat terang mengancam. Kukira Thalia akan segera
membuatku raib dari Mercedes ini, namun dia hanya mendesah.
"Aku hampir saja bergabung dengan mereka," dia mengakui. "Luke, Annabeth,
dan aku tak sengaja bertemu dengan mereka suatu kali, dan Zo? berusaha
meyakinkanku. Dia sudah berhasil melakukannya, tapi ..."
"Tapi?" Jemari Thalia mencengkeram kemudi. "Aku diharuskan meninggalkan Luke."
"Oh." "Zo? dan aku akhirnya berkelahi. Dia bilang aku begitu tolol. Dia bilang aku
akan menyesali keputusanku. Dia bilang bahwa Luke akan mengecewakanku suatu hari
nanti." Aku memandangi matahari di balik tirai logam. Kami sepertinya meluncur makin
cepat setiap detiknya - bayang-bayang berkedip-kedip seperti proyektor film lama.
"Memang berat," ujarku. "Sulit untuk mengakui bahwa Zo? benar."
"Dia nggak benar! Luke nggak pernah mengecewakanku. Nggak pernah."
"Kita harus bertarung dengannya," kataku. "Hanya itu satu-satunya cara."
Thalia tak menjawab. "Kau belum melihat Luke belakangan ini," aku memperingatkan. "Aku tahu ini
sulit dipercaya, tapi - "
"Aku akan lakukan apa yang harus kulakukan."
"Bahkan jika itu artinya membunuhnya?"
"Kumohon," katanya. "Keluarlah dari mobilku."
Aku merasa kasihan padanya hingga aku langsung menuruti.
Saat aku baru hendak pergi, dia berujar, "Percy."
Saat aku menoleh kembali, mata Thalia merah, tapi aku tak tahu apakah itu
disebabkan oleh amarah atau kesedihan. "Annabeth juga ingin bergabung dengan
para Pemburu. Mungkin kau semestinya memikirkan apa sebabnya."
Sebelum aku bisa menanggapi, dia menaikkan jendela mobilnya dan
membungkamku. *** Aku duduk di kursi pengemudi Lamborghini Grover. Grover tengah tertidur di jok
belakang. Dia akhirnya menyerah berusaha membuat Zo? dan Bianca terkesan
dengan musik serulingnya setelah dia memainkan lagu "Poison Ivy - Sulur
Beracun" dan mengakibatkan sulur-sulur itu mencuat sungguhan dari sistem
pendingin Lexus mereka. Selagi aku memandangi terbenamnya mentari, aku terpikir akan Annabeth. Aku
takut jatuh tertidur. Aku takut akan apa yang mungkin kuimpikan.
"Oh, jangan takut pada mimpi," ujar sebuah suara tepat di sebelahku.
Kutolehkan pandangan. Entah mengapa, aku tak terkejut mendapati pria
gelandangan dari tempat langsiran kereta duduk di jok sebelah. Celana jinsnya


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah begitu tua hingga nyaris berwarna putih. Mantelnya koyak, dengan kain
dalamannya mencuat. Dia terlihat seperti boneka beruang yang habis dilindas
truk. "Kalau bukan karena mimpi," ujarnya, "aku tak akan tahu separuh hal yang
kuketahui tentang masa depan. Mereka lebih baik daripada tabloid-tabloid
terbitan Olympus." Dia berdeham, lantas mengangkat kedua tangannya dengan gaya dramatis: "Mimpi
bagai podcast, Mendownload kebenaran. Beri tahu hal keren."
"Apollo?" tebakku, karena kurasa tak ada orang lain yang mampu mengarang
haiku seburuk itu. Dia menaruh telunjuknya ke bibirnya. "Aku sedang menyamar. Panggil aku Fred."
"Dewa bernama Fred?"
"Eh, yah ... Zeus memaksakan peraturan-peraturan tertentu. Lepas tangan, saat
ada misi manusia. Bahkan ketika ada suatu malapetaka besar yang semestinya tak
terjadi. Tapi tak ada yang bisa berbuat macam-macam pada adik perempuanku.
Tak siapa pun." "Bisakah kau menolong kami, kalau begitu?"
"Sttt. Aku sudah melakukannya. Apa kau tak melihat ke arah luar?"
"Kereta ini. Seberapa cepat kita melaju?"
Apollo terkekeh. "Cukup cepat. Sayangnya, kita hampir kehabisan waktu.
Sekarang matahari sudah hampir terbenam. Tapi kurencanakan akan mengantar
kalian melintasi seporsi besar dataran Amerika, setidaknya."
"Tapi di mana Artemis berada?"
Raut wajahnya mengeruh. "Aku tahu banyak, dan aku melihat banyak. Tapi aku
tak tahu jawaban itu. Dia ... dia tertutupi dariku. Aku tak menyukainya."
"Dan Annabeth?"
Dia mengerutkan alisnya. "Oh, maksudmu gadis yang kauhilangkan itu" Hmm.
Aku tak tahu." Aku berusaha menahan amarahku. Aku tahu para dewa memiliki kesulitan untuk
menganggap serius kaum manusia, bahkan pun para blasteran. Kami memiliki
rentang umur yang sangat pendek, jika dibandingkan dengan kaum dewa.
"Bagaimana dengan monster yang tengah dicari Artemis?" tanyaku. "Apa kau tahu
apa itu?" "Tidak," sahut Apollo. "Tapi ada satu orang yang barangkali tahu. Jika kau belum
menemukan monster itu saat kau tiba di San Francisco, carilah Nereus, sang
Lelaki Tua dari Lautan. Dia memiliki ingatan yang kuat dan mata yang tajam. Dia
memiliki bakat pengetahuan yang kadangkala tak diketahui oleh Oracleku sendiri."
"Tapi itu kan Oracle-mu," protesku. "Tak bisakah kau beritahukan pada kami apa
arti ramalan itu?" Apollo mendesah. "Kau sama saja dengan bertanya pada seorang seniman untuk
menjelaskan karya seninya, atau bertanya pada seorang penyair untuk menjelaskan
puisinya. Bukan itu tujuannya. Arti itu hanya akan dipahami melalui proses
pencarian." "Dengan kata lain, kau tidak tahu."
Apollo mengecek arlojinya. "Ah, lihatlah waktu sekarang! Aku harus segera pergi.
Aku ragu aku bisa menanggung risiko membantumu lagi, Percy, tapi ingatlah akan
kata-kataku! Tidurlah! Dan saat kau kembali nanti, aku mengharapkan sebuah
haiku yang bagus tentang perjalananmu!"
Aku ingin mengajukan protes mengatakan bahwa aku tidak lelah dan aku tak
pernah membuat haiku seumur hidupku, tapi Apollo menjentikkan jarinya, dan hal
berikutnya yang kusadari adalah aku mengatupkan mataku.
Dalam mimpiku, aku adalah orang lain. Aku mengenakan tunik Yunani modelkuno,
yang rasanya terlalu berangin di bagian bawah, dan sandal kulit bertali. Kulit
Singa Nemeas membungkus punggungku seperti mantel tanpa lengan, dan aku
sedang berlari ke suatu tempat, ditarik oleh seorang gadis yang menggenggam
tanganku erat. "Cepat!" seru sang gadis. Terlalu gelap untuk melihat wajah gadis itu dengan
jelas, tapi aku dapat mendengar rasa takut dari suaranya. "Dia akan menemukan kita!"
Saat itu malam hari. Jutaan bintang bersinar di atas kami. Kami berlari melewati
rerumputan tinggi, dan bau ribuan jenis bunga membuat udara terasa memabukkan.
Tamannya begitu indah, namun gadis itu memanduku cepat melintasinya, seolah
nyawa kami sedang terancam.
"Aku tak takut," aku berusaha berkata padanya.
"Seharusnya kau takut!" ujar sang gadis, menarikku bersamanya. Dia memiliki
rambut hitam panjang terkepang sepanjang punggungnya. Jubah sutranya berkilat
samar di bawah terpaan cahaya bintang-bintang.
Kami berpacu menyusuri sisi bukit. Dia menarikku ke balik semak berduri dan
kami pun merebahkan diri, sama-sama kehabisan napas. Aku tak tahu mengapa
gadis itu begitu ketakutan. Taman itu tampak begitu damai. Dan aku merasa kuat.
Lebih kuat dari yang pernah kurasakan sebelumnya.
"Tak perlu berlari," kataku padanya. Suaraku terdengar lebih dalam, jauh lebih
percaya diri. "Aku telah mengalahkan ribuan monster dengan tangan hampa."
"Bukan monster yang ini," kaya sang gadis. "Ladon terlalu kuat. Kau harus
mengambil jalan memutar, ke atas gunung menuju ayahku. Hanya itu satu-satunya
jalan." Kepedihan suaranya mengejutkanku. Dia betul-betul khawatir, hampir seperti dia
peduli terhadapku. "Aku tak percaya pada ayahmu," ujarku.
"Kau memang tak seharusnya memercayainya," sang gadis sepakat. "Kau harus
mengelabuinya. Tapi kau tak bisa mengambil hadiahnya secara langsung. Kau
akan mati!" Aku terkekeh pelan. "Kalau begitu kenapa kau tak menolongku, gadis cantik?"
"Aku ... aku takut. Ladon akan menghentikanku. Saudari-saudariku, kalau mereka
sampai tahu ... mereka tak akan menganggapku sebagai saudari mereka lagi."
"Kalau begitu memang tak ada pilihan." Aku bangkit berdiri, menggosok kedua
tanganku. "Tunggu!" ujar sang gadis.
Gadis itu tampak berjuang keras mengambil keputusan. Kemudian, jemarinya
bergetar, dia mengangkat tangannya dan menarik sebuah bros putih panjang dari
rambutnya. "Jika kau mesti bertarung, ambil ini. Ibuku, Pleione, memberikannya
padaku. Dia adalah putri lautan, dan kekuatan laut terkandung di dalamnya.
Kekuatan keabadianku."
Gadis itu mengembuskan napas ke jepitan itu, dan ia pun berkilat samar. Bros itu
bergemerlap di bawah cahaya bintang seperti tiram yang disemir.
"Ambillah," katanya padaku. "Dan jadikan ini sebagai senjata."
Aku tertawa. "Jepitan rambut" Bagaimana mungkin ini bisa menebas Ladon, gadis
cantik?" "Mungkin memang tak bisa," dia mengakui. "Tapi hanya itu yang bisa
kutawarkan, jika kau tetap berkeras kepala."
Suara gadis itu melunakkan hatiku. Aku mengulurkan tangan dan memungut jepit
rambut itu, dan selagi aku mengambilnya, jepitan itu memanjang dan makin
memberat dalam genggamanku, hingga aku memegang pedang perunggu yang
sangat kukenali. "Sangat seimbang," ujarku. "Meski aku biasanya lebih menyukai menggunakan
kedua tangan kosongku. Harus kunamakan apa pedang ini?"
"Anaklusmos," ujar sang gadis sedih. "Arus air yang akan mengejutkan orang. Dan
tanpa kausadari, kau akan terhempas ke lautan."
Sebelum aku bisa berterima kasih padanya, terdengar sauar injakan di rimput,
suara desisan seperti udara yang berembus keluar dari ban, dan sang gadis pun
berkata, "Terlambat! Dia sudah ada di sini!"
Aku tersentak duduk di jok pengemudi Lamborghini. Grover mengguncangguncang
lenganku. "Percy," katanya. "Sudah pagi. Kereta sudah berhenti. Ayo!"
Aku berusaha menghapus rasa kantukku. Thalia, Zo?, dan Bianca sudah keluar dari
tirai-tirai logam. Di luar tampak pegunungan bersalju yang dipenuhi pohon-pohon
pinus, cahaya merah mentari mencuat di antara dua puncak gunung.
Aku merogoh pena dari dalam sakuku dan menekuninya. Anaklusmos, nama
Yunani Kuno bagi Riptide. Bentuk yang berbeda, namun aku yakin ini adalah
pedang yang sama dengan yang kulihat dalam mimpiku.
Dan aku juga meyakini akan suatu hal lain. Gadis yang kulihat itu adalah Zo?
Nightshade. Bab 12 Aku Pergi Berseluncur dengan Seekor Babi
Kami tiba di pinggiran kota ski kecil yang bertengger di tengah pegunungan. Ada
plang bertulisan SELAMAT DATANG DI CLOUDCROFT, NEW MEXICO.
Udara terasa dingin dan ringan. Atap-atap kabin berselimuti tumpukan salju, dan
gundukan salju kotor menumpuk di pinggir-pinggir jalan. Pohon-pohon pinus
tinggi menampak di balik lembah, melempar bayang-bayang gelap-gulita, meski
pagi itu begitu cerah. Bahkan dengan mantel bulu-singa yang kukenakan, aku begitu kedinginan begitu
kami tiba di Jalan Utama, hampir satu kilometer dari jalur kereta. Selagi kami
berjalan, kuberitahukan Grover mengenai pembicaraanku dengan Apollo malam
kemarin - bagaimana dia memberitahuku untuk mencari Nereus di San Francisco.
Grover tampak gelisah. "Itu bagus, kurasa. Tapi kita harus tiba di sana terlebih
dulu." Aku berusaha untuk tak terlalu deperesi memikirkan peluang kami. Aku tak ingin
membuat Grover panik, tapi aku tahu kami memiliki tenggat waktu pentung lain
yang kian mendekat, selain dari menyelamatkan Artemis sebelum pertemuan
tahunan para dewa. Sang Jenderal telah bilang bahwa Annabeth hanya akan
dipertahankan hidup hingga tenggat titik balik matahari musim dingin. Itu hari
Jumat, tinggal empat hari lagi. Dan dia menyebutkan sesuatu tentang pengorbanan.
Aku tak suka mendengar hal itu sama sekali.
Kami berhenti di tengah-tengah kota. Kau bisa melihat hampir segala hal dari
tempat itu: sekolah, beberapa toko cendera mata dan kafe, beberapa kabin ski,
dan toko bahan pangan. "Hebat," ujar Thalia, mengedarkan pandangan ke sekitar. "Tak ada stasiun bus.
Tak ada taksi. Tak ada tempat penyewaan mobil. Tak ada jalan keluar."
"Itu ada kedai kopi!" seru Grover.
"Iya," ujar Zo?. "Kopi boleh juga."
"Dan kue-kue," ujar Grover penuh harapan. "Dan kertas lilin."
Thalia mendesah. "Baiklah. Bagaimana kalau kalian berdua pergi membeli
makanan buat kita. Percy, Bianca, dan aku akan mengecek ke toko bahan pangan.
Barangkali mereka bisa memberi arahan bagi kami."
Kami sepakat untuk bertemu kembali di depan toko dalam waktu lima belas menit.
Bianca tampak tak nyaman pergi bersama kami, tapi dia tetap melakukannya.
Di dalam toko, kami menemukan beberapa hal penting mengenai Cloudcroft: tak
ada cukup salju untuk berski, toko bahan pangan itu menjual tikus-tikus karet
seharga satu dollar, dan tak ada jalan keluar yang mudah untuk masuk dan keluar
kota kecuali kau memiliki mobil pribadi.
"Kalian bisa saja memanggil taksi dari Alamogordo," kata sang pramuniaga ragu.
"Itu berlokasi di bawah pegunungan, tapi dibutuhkan waktu setidaknya satu jam
penuh untuk sampai di sana. Menghabiskan biaya tujuh ratus dollar."
Pramuniaga itu tampak begitu kesepian, hingga aku memutuskan untuk membeli
satu ekor tikus karet. Kemudian kami berjalan keluar dan berdiri di serambi.
"Hebat," gerutu Thalia. "Aku akan berjalan-jalan, melihat-lihat kalau ada orang
di toko-toko lain yang memiliki saran."
"Tapi kata pramuniaga itu - "
"Aku tahu," katanya padaku. "Aku akan tetap mengecek."
Aku membiarkannya pergi. Akku tahu bagaimana rasanya begitu gelisah. Semua
anak blasteran memiliki masalah kurangnya daya perhatian oleh karena refleks
pertarungan bawaan kami. Kami tak tahan hanya berdiri diam menunggu. Lagi
pula, aku merasa Thalia masih kesal oleh pembicaraan kami semalam tentang
Luke. Bianca dan aku berdiri bersamaan dengan kikuk. Maksudku ... aku memang tak
pernah merasa nyaman bicara hanya berdua dengan seorang gadis, dan aku tak
pernah berduaan bersama Bianca sebelumnya. Aku tak yakin apa yang harus
kukatakan, terutama mengingat kini dia adalah Pemburu.
"Tikus yang bagus," ujarnya pada akhirnya.
Kutaruh tikus itu di langkan serambi. Barangkali itu akan menarik lebih banyak
pembeli untuk memasuki toko.
"Jadi ... apa kau senang menjadi seorang Pemburu sejauh ini?" tanyaku.
Dia mengerutkan bibirnya. "Kau bukannya masih marah padaku karena memilih
bergabung, kan?" "Ya nggaklah. Selama, kautahu ... selama kau sendiri bahagia."
"Aku nggak yakin 'bahagia' adalah kata yang tepat, dengan kepergian Yang Mulia
Artemis. Tapi menjadi seorang Pemburu jelas asyik. Entah mengapa aku merasa
jadi lebih tenang. Semuanya tampak memelan di sekelilingku. Kurasa itulah
keabadian." Aku menatapnya, berusaha mengenali perbedaannya. Dia memang tampak lebih
percaya diri dari sebelumnya, lebih tenang. Bianca tak lagi menyembunyikan
wajahnya di balik topi hijaunya. Dia mengucir rambutnya ke belakang, dan dia
menatap tepat ke mataku saat bicara. Dengan menggigil, kusadari bahwa lima ratus
atau seribu tahun dari sekarang, Bianca di Angelo akan tampak persis seperti
saat ini. Dia mungkin akan melakukan perbincangan seperti ini bersama anak blasteran
lain lama setelah kematianku, tapi Bianca akan tetap tampak seperti gadis usia
dua belas tahun. "Nico tak mengerti keputusanku," gumam Bianca. Dia memandangiku seolah ingin
mendapat penenangan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Dia akan baik-baik saja," ucapku. "Perkemahan Blasteran menampung banyak
anak-anak di bawah umur. Mereka melakukan hal yang sama untuk Annabeth."
Bianca mengannguk. "Kuharap kita bisa menemukannya. Annabeth, maksudku.
Dia beruntung memiliki teman sepertimu."
"Aku tak banyak gunanya baginya."
"Jangan salahkan dirimu, Percy. Kau mempertaruhkan nyawamu untuk
menyelamatkan aku dan adikku. Maksudku, itu tindakan yang sangat berani. Kalau
aku tak bertemu denganmu, aku tak akan berani meninggalkan Nico di
perkemahan. Kupikir jika ada orang-orang sepertimu di sana, Nico akan baik-baik
saja. Kau orang yang baik."
Pujian itu mengejutkanku. "Meskipun aku menjatuhkanmu di permainan tangkap
bendera?" Dia tertawa. "Oke. Kecuali untuk saat itu, selebihnya kau orang yang baik."
Sekitar dua ratus meter dari tempat kami berdiri, Grover dan Zo? terlihat keluar
dari kedai kopi sambil mendekap kantong-kantong kue dan minuman. Aku merasa
masih enggan untuk bertemu dengan mereka kembali. Rasanya aneh, tapi kusadari
aku senang berbicara dengan Bianca. Dia ternyata lumayan. Setidaknya, jauh lebih
mudah untuk ditemani dibanding Zo? Nightshade.
"Jadi bagaimana sejarahmu dengan Nico?" tanyaku padanya. "Di mana kalian
bersekolah sebelum di Westover?"
Dia mengerutkan kening. "Kurasa itu adalah sekolah asrama di D.C. Rasanya itu
sudah lama sekali." "Kalian tak pernah tinggal dengan orangtua kalian" Maksudku, salah satu orangtua
kalian yang manusia?"
"Kami diberi tahu bahwa kedua orangtua kami sudah meninggal. Ada simpanan di
bank untuk kami. Uang yang sangat banyak, kurasa. Seorang pengacara akan
datang sekali waktu untuk mengecek keadaan kami. Kemudian aku dan Nico harus
meninggalkan sekolah itu."
"Kenapa?" Dia menautkan alisnya. "Kami harus pergi ke suatu tempat. Aku ingat yang itu
karena suatu hal yang penting. Kami menempuh perjalanan jauh. Dan kami
menetap di suatu hotel selama beberapa mingu. Dan kemudian ... aku tak tahu.
Suatu hari seorang pengacara lain datang untuk menjemput kami. Dia bilang sudah
waktunya bagi kami untuk pergi. Dia mengantar kami kembali ke timur, melewati
D.C. Kemudian menuju Maine. Dan kami pun mulai bersekolah di Westover."
Itu adalah kisah yang ganjil. Namun jika dipikir lagi, toh Bianca dan Nico
adalah blasteran. Tak ada yang normal bagi mereka.
"Jadi selama ini kau yang membesarkan Nico hampir sepanjang hidupmu?"
tanyaku. "Hanya kalian berdua?"
Dia mengangguk. "Itu sebabnya aku ingin sekali bergabung dengan para Pemburu.
Maksudku, aku tahu ini tindakan yang egois, tapi aku ingin memiliki kehidupanku
sendiri dan teman-temanku sendiri. Aku sayang Nico - jangan salah kira - aku
hanya perlu mengetahui bagaimana rasanya tak menjadi kakak selama dua puluh


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

empat jam penuh." Aku berpikir tentang musim panas lalu, bagaimana perasaanku saat aku
mengetahui bahwa aku memiliki cyclops sebagai adik. Aku bisa mengerti akan apa
yang dikatakan Bianca. "Zo? sepertinya memercayaimu," kataku. "Omong-omong, apa sih yang
sebenarnya kalian berdua sempat bicarakan - tentang sesuatu yang berbahaya dari
misi ini?" "Kapan?" "Kemarin pagi di paviliun," kataku, sebelum aku bisa menghentikan ucapanku
sendiri. "Sesuatu tentang sang Jenderal."
Wajahnya mengeruh. "Bagaimana kau bisa ... Topi tak kasat mata. Apa kau
menguping?" "Tidak! Maksudku, nggak beneran menguping. Aku cuma - "
Aku diselamatkan dari berusaha menjelaskan saat Zo? dan Grocer tiba dengan
membawa minuman dan kue-kue. Cokelat panas untuk Bianca dan aku. Kopi untuk
mereka. Aku mendapat muffin bluberi, dan rasanya sangat enak sampai-sampai
aku nyaris mengabaikan tatapan marah yang diberikan Bianca padaku.
"Kita harus melakukan mantra pelacak jejak," ujar Zo?. "Grover, apa kau masih
punya biji pohon ek yang tersisa?"
"Emm," gumam Grover. Dia sedang mengunyah sepotong muffin gandum,
lengkap dengan bungkusnya. "Kurasa masih ada. Aku hanya perlu - "
Dia mematung. Aku baru hendak bertanya ada masalah apa, saat semilir hangat berdesir lewat,
seperti embusan udara musim semi yang tersesat di tengah-tengah musim dingin.
Udara segar diiringi dengan bunga-bunga liar dan sinar mentari. Dan suatu hal
lain - hampir seperti sebuah suara, berusaha mengatakan sesuatu. Sebuah
peringatan. Zo? berdengap. "Grover, gelas engkau."
Grover menjatuhkan gelas kopinya, yang dihias gambar burung-burung. Tiba-tiba
burung-burung itu melepaskan diri dari gelas itu dan melayang pergi - sekawanan
merpati kecil. Tikus karetku berdecit. Ia berlari menyusuri langkan serambi dan
memasuki pepohonan - dengan bulu sungguhan, dan kumis tikus sungguhan.
Grover terjatuh di sebelah gelas kopinya, yang menguarkan uap di salju. Kami
mengelilinginya dan berusaha membangunkannya. Dia mengerang, matanya
berkedip-kedip. "Hei!" ujar Thalia, berlari dari arah jalan. "Aku baru saja ... Ada apa dengan
Grover?" "Aku nggak tahu," ujarku. "Dia jatuh pingsan."
"Eeeeeehhh," erang Grover.
"Yah, cepat bangunkan dia!" kata Thalia. Dia memegangi tombaknya. Dia
menoleh ke belakangnya seperti sedang diikuti. "Kita harus segera pergi dari
sini." Kami berhasil tiba di ujung kota sebelum dua kerangka pertama muncul. Mereka
melangkah keluar dari balik pepohonan di dua sisi jalan. Alih-alih mengenakan
kamuflase abu-abu, mereka kini mengenakan seragam biru Kepolisian Negara
Bagian New Mexico, tapi mereka memiliki kulit abu-abu tembus-pandang yang
sama dan mata kuning. Mereka mengeluarkan pistol mereka. Kuakui aku pernah berpikir bahwa sepertinya
akan asyik sekali mempelajari cara menembakkan pistol, tapi aku berubah pikiran
begitu melihat para prajurit kerangka itu mengacungkan pistol mereka ke arahku.
Thalia mengetuk gelangnya. Aegis melingkar ke wujud aslinya di lengannya,
namun para prajurit itu tak terpengaruh sedikit pun. Mata kuning bersinar mereka
menusuk tepat ke mataku. Kuhunus Riptide, meski aku tak yakin apa gunanya pedang ini melawan pistol.
Zo? dan Bianca menyiapkan busur mereka, tapi Bianca mengalami kesulitan
karena Grover terus-terusan pingsan dan bersandar padanya.
"Mundur," kata Thalia.
Kami mulai bergerak mundur - namun kemudian kudengar gemerisik ranting
pohon. Dua kerangka lagi bermunculan dari jalan di belakang kami. Kami
dikepung. Aku bertanya-tanya di mana para kerangka lain berada. Aku sudah melihat selusin
kerangka di Smithsonian. Lantas salah satu prajurit mengangkat ponsel ke
mulutnya dan bicara melaluinya.
Hanya saja dia tidak bicara. Dia membuat suara gemeretuk, seperti gigi-gigi
kering pada tulang kerangka. Tiba-tiba kusadari apa yang tengah terjadi. Para kerangka
itu berpencar untuk mencari kami. Kerangka-kerangka ini kini tengah memanggil
saudara-saudara mereka. Tak lama lagi kami akan diserbu.
"Sudah dekat," erang Grover.
"Sudah di sini kok," kataku.
"Bukan," desaknya. "Berkah itu. Berkah dari Alam Liar."
Aku tak tahu apa yang dia bicarakan, tapi aku mengkhawatirkan kondisinya.
Grover sedang tak bisa berjalan, apalagi untuk bertarung.
"Kita harus berhadapan satu-lawan-satu," ujar Thalia. "Empat dari mereka. Empat
dari kita. Barangkali dengan begitu mereka tak akan memerhatikan Grover."
"Setuju," kata Zo?.
"Alam Liar!" rintih Grover.
Angin hangat bertiup melewati ngarai, berdesir menggerakkan dedaunan, tapi aku
memakukan pandanganku pada kerangka-kerangka itu. Aku teringat bagaimana
sang Jenderal bercerita dengan sombong akan nasib Annabeth. Aku teringat
bagaimana Luke mengkhianatinya.
Dan aku menerjang ke depan.
Kerangka pertama menembakkan pistolnya. Waktu melambat. Aku tak akan bilang
mampu melihat pelurunya, tapi aku dapat merasakan lajunya, persis seperti aku
merasakan arus air di lautan. Aku menangkisnya dengan ujung pedangku dan terus
menerjang. Kerangka itu menarik pentungan dan aku menebas siku lengannya. Kemudian
kuayunkan Riptide pada pinggangnya dan kubelah dia jadi dua.
Tulang-belulangnya terputus dan berjatuhan ke aspal dalam sebuah tumpukan.
Hampir seketika pula, tulang-belulang itu mulai bergerak, menyusun kembali
dirinya. Kerangka kedua menggertakkan giginya padaku dan berusaha menembak,
tapi kujatuhkan pistolnya ke salju.
Kukira tindakanku cukup lumayan, hingga dua kerangka lain menembakku dari
belakang. "Percy!" teria Thalia.
Aku terjerembab dengan wajah telungkup di jalan. Kemudia kusadari sesuatu ...
aku tidak mati. Tembakan peluru itu terasa tumpul, seperti sebuah dorongan dari
belakang, tapi ia tak melukaiku.
Bulu Singa Nemeas itu! Mantelku tahan peluru.
Thalia menyerang kerangka kedua. Zo? dan Bianca mulai menembakkan panahpanah ke
kerangka tiga dan empat. Grover berdiri di sana sembari merentangkan
kedua tangannya ke arah pepohonan, seolah ingin memeluk mereka.
Terdengar suara dentaman dari hutan di sisi kiri kami, seperti bunyi sebuah
buldoser. Barangkali bala bantuan kerangka-kerangka itu telah tiba. Aku bangkit
dan membungkuk dari terjangan sebuah pentungan polisi. Kerangka yang kubelah
jadi dua telah tersusun kembali, mengejarku.
Tak mungkin kami bisa menghentikan mereka. Zo? dan Bianca menembak ke
kepala mereka dari jarak dekat, namun panah-panah itu hanya berdesing melewati
tengkorak kosong mereka. Satu kerangka menyerang Bianca, dan kukira dia sudah
akan mati, tapi Bianca menghunus pisau berburunya dan menikam prajurit itu tepat
di dada. Seluruh tubuh kerangka itu meledak dalam gumpalan asap, hanya
menyisakan sedikit tumpukan abu dan sebuah lencana polisi.
"Bagaimana kau bisa melakukannya?" tanya Zo?.
"Aku nggak tahu," ujar Bianca tegang. "Tikaman beruntung?"
"Kalau begitu, lakukan lagi!"
Bianca mencobanya, namun tiga keragka yang tersisa kini berhati-hati
menghadapinya. Mereka menekan kami ke belakang, menjaga kami sejarak
pentungan. "Rencana?" kataku selagi kami bergerak mundur.
Tak ada yang menjawab. Pepohonan di belakang kerangka-kerangka itu menggigil.
Dahan-dahannya berderak. "Berkah," gumam Grover.
Dan kemudian, dengan raungan besar, babi terbesar yang pernah kulihat menerjang
dari jalan. Itu adalah celeng, setinggi sembilan meter, dengan moncong merah
jambu beringus dan taring seukuran kano. Punggungnya penuh dengan rambutrambut
cokelat yang berdiri tegak, dan matanya liar dan penuh amarah.
"NGOIIIIIIIIIK!" ia berdengking, dan menghantam ketiga kerangka dengan
taringnya. Kekuatannya begitu hebat, sampai-sampai mereka terhempas melayang
ke pepohonan dan ke sisi gunung, tempat mereka pecah berhamburan, tulang paha
dan tulang lengan bertebaran kemana-mana.
Kemudian babi itu berpaling pada kami.
Thalia mengangkat tombaknya, tapi Grover memekik, "Jangan membunuhnya!"
Celeng itu menggeram dan mengais-ngais tanah, bersiap menerjang.
"Itu Babi Hutan Erymanthias," ujar Zo?, berusaha tetap tenang. "Kurasa kita tak
bisa membunuhnya." "Itu adalah berkah," kata Grover. "Berkah dari Alam Liar!"
Sang celeng berseru "NGOIIIIK!" dan mengayunkan taringnya. Zo? dan Bianca
menghindar dari jalannya. Aku harus mendorong Grover agar dia tidak terlempar
ke gunung dengan mengendarai Taring Celeng Ekspres.
"Yeah, aku merasa terberkati!" seruku. "Berpencar!"
Kami berlari ke sepenjuru arah, dan sesaat celeng itu tampak kebingungan.
"Ia ingin membunuh kita!" seru Thalia.
"Tentu saja," timpal Grover. "Ia kan liar!"
"Jadi kenapa ia bisa disebut berkah?" tanya Bianca.
Itu sepertinya pertanyaan yang masuk akal bagiku, tapi babi itu tersinggung dan
menerjangnya. Bianca lebih gesit dari yang kukira. Dia berguling dari jalur
tapak babi dan muncul di belakang. Celeng itu menyerang dengan taringnya dan
melumatkan plang SELAMAT DATANG DI CLOUDCROFT.
Aku memeras otak, berusaha mengingat-ingat mitos tentang celeng itu. Aku cukup
yakin Hercules sudah pernah bertarung melawan makhluk ini sekali, tapi aku tak
ingat bagaimana cara Hercules mengalahkannya. Aku hanya memiliki ingatan
samar-samar tentang celeng itu melintasi beberapa kota Yunani sebelum Hercules
berhasil menaklukkannya. Kuharap Cloudcroft sudah diasuransikan terhadap
serangan celeng. "Terus bergerak!" teriak Zo?. Dia dan Bianca berlari ke arah berlawanan. Grover
menari-nari mengelilingi sang babi, memainkan serulingnya sementara celeng itu
mendengus dan berusaha mencungkilnya dengan tarinya. Tapi Thalia dan aku
adalah juara dalam hal ketidakberuntungan. Saat celeng itu berpaling ke arah
kami, Thalia berbuat kesalahan dengan mengangkat Aegis sebagai perlindungan.
Pandangan kepala Medusa membuat celeng itu berdengking ngamuk. Barangkali
kepala itu tampak terlalu mirip dengan anggota keluarganya. Celeng itu pun
merangsek ke arah kami. Kami hanya berhasil menghindar dari kejarannya karena kami berlari menaiki
bukit, dan kami bisa menyelap-nyelip ke sela-sela pepohonan sementara celeng itu
harus berlari lurus melewatinya.
Di sisi lain bukit, aku menemukan sebuah bentangan jalur lama kereta, setengah
terbenam dalam salju. "Ke sini!" Kurenggut lengan Thalia dan kami berlari menyusuri jalur sementara
celeng itu meraung di belakang kami, terpeleset dan tergelincir saat ia berusaha
menyusuri sisi bukit yang curam. Kaki-kakinya tak diciptakan untuk itu,
terpujilah dewa-dewi. Di hadapan kami, aku melihat sebuah terowongan tertutup. Di luar sisi
terowongan, tampak sebuah jembatan tua merentangi jurang. Sebuah ide gila
melintas di benakku. "Ikuti aku!" Thalia melambat - aku tak punya waktu untuk bertanya kenapa - tapi aku
menariknya dan dengan enggan dia mengikuti. Di belakang kami, sepuluh ton
tangki babi sedang menumbangkan pohon-pohon pinus dan memecahkan bebatuan
dengan kaki-kakinya selagi mengejar kami.
Thalia dan aku berlari memasuki terowongan dan muncul di sisi seberang.
"Tidak!" teriak Thalia.
Dia berubah seputih es. Kami tengah berada di ujung jembatan. Di bawah, gunung
menukik curam ke lembah yang penuh salju sekitar dua puluh meteran ke bawah.
Celeng itu berada tepat di belakang kami.
"Ayolah!" kataku. "Jembatan itu bisa menahan berat kita, kayaknya."
"Aku nggak bisa!" teriak Thalia. Matanya melebar dengan penuh ketakutan.
Celeng itu menabrak terowongan tertutup, menghantamnya dengan kecepatan
penuh. "Sekarang!" teriakku pada Thalia.
Dia melihat ke bawah dan menelan ludah. Aku bersumpah mukanya berubah hijau.
Aku tak punya waktu untuk memproses alasannya. Celeng itu merangsek masuk
terowongan, melaju tepat ke arah kami. Rencana B. Kusergap Thalia dari belakang
dan kudorong kami berdua hingga meluncur jatuh dari tepi jembatan, ke sisi
gunung. Kami meluncur dengan menggunakan Aegis sebagai papan seluncur,
melewati bebatuan dan lumpur dan salju, berpacu ke bawah bukit. Si celeng tak
seberuntung itu; ia tak dapat berbalik dengan cepat, jadi kesepuluh ton bobot
monster itu menerjang terus ke atas jembatan kecil itu, yang ambruk di bawah
tekanan bobotnya. Celeng itu pun terjun-bebas ke jurang dengan dengkingan
nyaring dan mendarat di tumpukan salju dengan suara DEBUMAN besar.
Thalia dan aku mengerem luncuran. Kami berdua kehabisan napas. Aku terluka
dan berdarah. Rambut Thalia tersangkuti jarum-jarum daun pinus. Di sebelah
kami, celeng itu mendengking dan meronta. Yang bisa kulihat adalah ujung rambut
pada punggungnya. Hampir seluruh tubuhnya terbenam lumpur salju seperti
sebuah paket styrofoam. Celeng itu tidak tampak terluka, tapi sepertinya ia juga
tak akan ke mana-mana. Aku menatap Thalia. "Kau takut ketinggian."
Sekarang saat kami aman berada di dasar gunung, matanya menampakkan amarah
biasanya. "Jangan bodoh."
"Itulah alasan kenapa kau ketakutan saat berada di bus Apollo. Kenapa kau tak
ingin membicarakannya."
Thalia mengambil napas dalam. Kemudian dia menyingkirkan jarum-jarum pinus
dari rambutnya. "Kalau kau bilang-bilang pada orang lain, aku bersumpah - "
"Tidak, tidak," kataku. "Itu tak mengapa. Hanya saja ... putri Zeus, Penguasa
Langit, takut pada ketinggian?"
Dia baru hendak mendorongku ke gundukan salju saat, di atas kami, suara Grover
memanggil, "Halooooo?"
"Di bawah sini!" teriakku.
Beberapa menit kemudian, Zo?, Bianca, dan Grover bergabung dengan kami.
Kami berdiri memandangi celeng itu berjuang keluar dari timbunan salju.
"Berkah dari Alam Liar," kata Grover, meski dia kini tampak terganggu.
"Aku setuju," kata Zo?. "Kita harus menggunakannya."
"Tunggu dulu," kata Thalia jengkel. Dia masih tampak seperti habis kalah
bertarung melawan pohon Natal. "Jelaskan padaku kenapa kau bisa begitu yakin
bahwa babi ini merupakan berkah?"
Grover tampak memandanginya, resah. "Ia adalah kendaraan kita ke barat. Apa
kau tahu betapa cepatnya celeng ini bisa berjalan?"
"Asyik," kataku. "Kayak ... koboi babi."
Grover mengangguk. "Kita harus naik. Andai saja ... andai saja tadi aku sempat
mencari-cari ke sekitar. Tapi ia sudah menghilang sekarang."
"Apa yang hilang?"
Grover sepertinya tak mendengarku. Dia melangkah mendekati celeng itu dan
melompat ke punggungnya. Dengan segera celeng itu mulai membuat kemajuan
mengatasi timbunan lumpur salju. Begitu ia terbebas darinya, tak akan ada yang
bisa menghentikannya. Grover mengeluarkan serulingnya. Dia mulai memainkan
sebuah lagu yang merusak kuping dan meyondorkan apel ke depan celeng. Apel itu
melayang dan berputar tepat di depan moncongnya, dan celeng itu pun kegirangan,
berusaha meraihnya. "Setir otomatis," gumam Thalia. "Hebat."
Thalia berjalan susah payah dan melompat ke belakang Grover, yang masih
menyisakan cukup banyak tempat bagi kami semua.
Zo? dan Bianca pun berjalan mendekati celeng.
"Tunggu sebentar," seruku. "Apa kalian berdua tahu apa yang dibicarakan Grover
tentang - berkah alam liar ini?"
"Tentu saja," sahut Zo?. "Apa kau tak merasakannya dalam embusan angin" Ia
begitu kuat ... aku tak pernah tahu akan dapat merasakan kehadirannya lagi."


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kehadiran apa?"
Dia memandangiku seolah aku ini idiot. "Penguasa Alam Liar, tentu saja. Hanya
selama sesaat, pada saat kedatangan celeng itu, aku merasakan kehadiran Pan."
Bab 13 Kami Mengunjungi Tempat Penampungan Sampah Para Dewa
Kami mengendarai celeng hingga terbenamnya matahari, yang kurasa hanya
selama itu pula pantatku mampu bertahan. Bayangkan mengendarai sebuah sikat
baja raksasa melintasi tanah berkerikil sepanjang hari. Seperti itulah rasa
nyamannya menunggangi celeng.
Aku sama sekali tak tahu berapa kilometer jauh perjalanan yang kami tempuh, tapi
pegunungan mengabur di kejauhan dan digantikan oleh berkilo-kilometer dataran
yang kering dan rata. Rerumputan dan semak elukar kian jarang hingga kami pun
berderap (celeng berderap nggak sih") melewati gurun.
Saat malam tiba, celeng itu berhenti di dasar sungai dan mengendus. Ia mulai
meminum air berlumpur itu, kemudian mencabut kaktus saguaro dari dasar dan
menguyahnya, lengkap dengan jarun-jarum kaktusnya.
"Ini jarak terjauh yang bisa ia tempuh," kata Grover. "Kita harus turun selagi
ia makan." Tak ada yang perlu dibujuk untuk segera turun. Kami meluncur turun dari
punggung celeng sementara ia sibuk menyobek-nyobek kaktus. Kemudian kami
berjalan tertatih-tatih sebaik yang kami bisa dengan pantat kami yang bengkak.
Setelah saguari ketiganya dan seteguk lagi air lumpur, celeng itu mendengking
dan bersendawa, kemudian berputar dan berderap balik menuju timur.
"Ia lebih menyukai pegunungan," tebakku.
"Aku nggak bisa menyalahkannya," ujar Thalia. "Lihat."
Di depan kami membentang jalur dua-jalur setengah tertutupi pasir. Di sisi lain
jalan tampak sekelompok gedung yang terlalu kecil untuk disebut kota: rumah
yang dipalang, toko taco yang tampaknya sudah tak buka semenjak sebelum
kelahiran Zo? Nightshade, dan sebuah gedung semen putih kantor pos dengan
plang bertulisan GILA CLAW, ARIZONA menggantung miring di atas pintu. Di
belakangnya tampak bentangan perbukitan ... tapi kemudian kusadari itu bukan
perbukitan biasa. Daerah pedalaman tak akan tampak sedatar itu. Bukit-bukit itu
merupakan gundukan raksasa dari mobil-mobil bekas, peralatan rumah tangga, dan
barang-barang rongsokan logam lainnya. Itu dalah tempat pembuangan sampah
yang seperti tak ada ujungnya.
"Wow," seruku. "Aku mendapat firasat kita nggak bakalan menemukan tempat penyewaan mobil di
sini," kata Thalia. Dia memandang Grover. "Apa kau masih punya celeng
cadangan?" Grover mengendus udara, tampak tegang. Dia merogoh biji-biji pohon ek dan
melemparnya ke pasir, kemudian memainkan serulingnya. Biji-biji itu mengatur
posisi mereka sendiri membentuk pola yang tak masuk akal bagiku, tapi Grover
terlihat cemas. "Itu kita," katanya. "Kelima biji itu."
"Aku yang mana?" tanyaku.
"Yang bentuknya kayak salah bikin," sahut Zo?.
"Oh, diamlah." "Kumpulan yang itu," kata Grover, menunjuk ke sebelah kiri, "adalah masalah."
"Monster?" tanya Thalia.
Grover terlihat cemas. "Aku nggak mencium bau apa pun, yang nggak masuk akal.
Tapi biji-biji pohon ek nggak akan berbohong. Tantangan kita berikutnya ..."
Dia menunjuk tepat ke arah tempat pembuangan sampah. Dengan sinar matahari
yang kini hampir menghilang, perbukitan logam itu tampak seperti sesuatu yang
berada di planet asing. Kami memutuskan untuk berkemah malam ini dan mencoba menjelajahi tempat
pembuangan sampah di pagi harinya. Tak satu pun dari kami yang ingin menyelam
ke bak sampah dalam gelap.
Zo? dan Bianca mengeluarkan lima kantong tidur dan matras busa dari dalam
ransel mereka. Aku tak tahu bagaimana cara mereka melakukannya, karena ransel
mereka begitu kecil, tapi pasti sudah disihir untuk menampung begitu banyak
barang. Kusadari busur dan kantong-kantong panah mereka pastinya juga sudah
disihir. Aku belum pernah memikirkannya sebelumnya, tapi ketika para Pemburu
membutuhkannya, senjata itu tiba-tiba saja sudah tersampir di punggung mereka.
Dan saat mereka tak memerlukannya lagi, senjata itu pun menghilang.
Malam menjadi dingin dengan cepat, maka Grover dan aku mengumpulkan papanpapan
lama dari rumah rusak. Dan Thalia memberinya kejutan listrik untuk
menghasilkan api unggun. Tak lama kami pun sudah senyaman yang bisa
kaurasakan saat berada di tengah-tengah kota hantu terbengkalai.
"Bintang-bintang muncul," kata Zo?.
Dia benar. Ada jutaan bintang bermunculan di langit, tanpa cahaya lampu kota
yang akan mengubah langit menjadi jingga.
"Mengagumkan," kata Bianca. "Aku belum pernah benar-benar melihat Galaksi
Bimasakti sebelumnya."
"Ini nggak ada apa-apanya," kata Zo?. "Di masa lalu, ada jauh lebih banyak lagi.
Banyak rasi bintang telah menghilang karena polusi cahaya yang dibuat manusia."
"Kau bicara seolah aku sendiri bukan manusia," kataku.
Zo? mengangkat alisnya. "Aku ini Pemburu. Aku peduli pada apa yang terjadi
terhadap tempat-tempat liar di dunia. Bukankah hal yang sama berlaku pula bagi
dikau?" "Bagi kau," Thalia mengoreksi. "Bukan dikau."
"Tapi kau menggunakan kau di awal kalimat."
"Dan juga di akhir," ujar Thalia. "Bukan dikau. Bukan engkau. Cukup kau."
Zo? mengangkat tanggannya kesal. "Aku benci bahasa ini. Terlalu sering
berubahubah!" Grover mendesah. Dia masih memandangi langit seperti sedang memikirkan
tentang masalah polusi cahaya. "Andai saja Pan masih ada di sini, dia akan
membenahi segalanya."
Zo? mengangguk sedih. "Barangkali itu karena kopinya," kata Grover. "Aku sedang minum kopi, dan
angin datang. Barangkali kalau aku minum kopi lagi ..."
Aku cukup yakin kopi tak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di Cloudcroft,
tapi aku tak tega untuk memberi tahu itu pada Grover. Aku terpikir akan tikus
karet dan burung-burung mini yang tiba-tiba hidup ketika angin berembus. "Grover, apa
kau benar-benar mengira yang tadi itu adalah Pan" Maksudku, aku tahu kau ingin
itu berasal dari Pan."
"Dia mengirim pertolongan untuk kita," Grover bersikukuh. "Aku nggak tahu
mengapa atau bagaimananya. Tapi itu jelas kehadirannya. Setelah misi ini selesai
dilaksanakan, aku akan kembali ke New Mexico dan minum kopi banyak-banyak.
Itu adalah petunjuk terbaik yang pernah kami dapatkan selama dua ribu tahun. Aku
sudah begitu dekat."
Aku tak menjawab. Aku tak ingin meremukkan harapan Grover.
"Yang bikin aku penasaran," ujar Thalia, sambil menatap Bianca, "adalah
bagaimana kau bisa menghancurkan salah satu zombie. Masih ada banyak zombie
lain di luar sana. Kita harus cari tahu cara untuk melawannya."
Bianca menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu. Aku cuma menusuknya dan
ia langsung terbakar."
"Mungkin ada sesuatu yang istimewa dari belatimu," kataku.
"Itu belati yang sama dengan punyaku," sahut Zo?. "Sama-sama perunggu langit.
Tapi kepunyaanku tidak membuat para prajurit jadi seperti itu."
"Barangkali kau harus mengenai kerangka itu di titik tertentu," kataku.
Bianca tampak tak nyaman dengan perhatian semua yang terpusat padanya.
"Lupakan saja," kata Zo? padanya. "Nanti kita akan temukan jawabannya.
Sementara itu, kita seharusnya merencanakan gerak selanjutnya. Saat kita
melewati tempat pembuangan sampah, kita harus melanjutkan perjalanan ke barat. Kalau
kita bisa menemukan jalan, kita bisa menumpang kendaraan yang lewat menuju
kota terdekat. Kukira itu mestinya Las Vegas."
Aku baru ingin protes mengatakan bahwa Grover dan aku pernah mengalami
pengalaman buruk saat berada di kota itu, tapi Bianca sudah mengajukan
keluhannya terlebih dulu.
"Tidak!" serunya. "Jangan ke sana!"
Dia terlihat sangat ketakutan, seperti baru saja diturunkan di ujung jalur curam
roller coaster. Zo? mengerutkan alis. "Kenapa?"
Bianca mengambil napas dengan gemetar. "Aku ... aku merasa kami pernah
menetap di sana selama beberapa lama. Nico dan aku. Saat kami sedang dalam
perjalanan. Dan kemudian, aku nggak ingat lagi ..."
Tiba-tiba sebuah pikiran buruk menerpaku. Aku teringat akan apa yang dikatakan
Bianca padaku tentang Nico dan dirinya menetap di sebuah hotel sementara waktu.
Aku beradu mata dengan Grover, dan aku merasa dia sedang memikirkan hal yang
sama. "Bianca," kataku. "Hotel yang kautempati itu. Apakah itu mungkin dinamakan
Hotel dan Kasino Lotus?"
Matanya membeliak. "Bagaimana kau bisa tahu itu?"
"Oh, hebat," kataku.
"Tunggu," ujar Thalia. "Apa tuh Kasino Lotus?"
"Dua tahun lalu," kataku, "Grover, Annabeth, dan aku terperangkap di sana. Hotel
itu dirancang agar orang tak ingin meninggalkannya. Kami tinggal di sana selama
sekitar satu jam. Saat kami keluar, lima hari telah berlalu. Hotel itu
mempercepat waktu." "Tidak," kata Bianca. "Tidak, itu nggak mungkin."
"Kau bilang ada orang yang datang dan menjemputmu," aku ingat perkataannya.
"Benar." "Seperti apa rupanya" Apa yang dia katakan?"
"Aku ... aku nggak ingat. Kumohon, aku benar-benar nggak ingin
membicarakannya." Zo? memajukan duduknya, alisnya bertaut prihatin. "Kau bilang bahwa
Washington, D.C., telah berubah saat kau kembali musim panas lalu. Kau tak ingat
kereta bawah tanah ada di sana."
"Iya, tapi - " "Bianca," kata Zo?, "bisakah dikau memberitahuku siapa nama presiden Amerika
Serika saat ini?" "Jangan konyol," ujar Bianca. Dia memberi tahu kami nama presiden yang benar.
"Dan siapa presiden sebelumnya?" tanya Zo?.
Bianca berpikir sejenak. "Roosevelt."
Zo? menelan ludah. "Theodore atau Franklin?"
"Franklin," kata Bianca. "F.D.R."
"Kayak Jalan Raya FDR?" tanyaku. Karena serius, hanya itu yang kuketahui
tentang F.D.R. "Bianca," kata Zo?. "F.D.R. bukanlah presiden terakhir. Itu sekitar tujuh puluh
tahun lalu." "Itu mustahil," kata Bianca. "Aku ... aku belum setua itu."
Dia memandangi tangannya seolah ingin memastikan tangannya belum keriputan.
Mata Thalia berubah iba. Kurasa dia sendiri tahu bagaimana rasanya ditarik dari
pusaran waktu selama beberapa waktu. "Tidak apa-apa, Bianca. Yang terpenting
adalah kau dan Nico selamat. Kalian berhasil keluar."
"Tapi bagaimana bisa?" kataku. "Kami hanya berada di sana selama sejam dan
kami nyaris tak bisa keluar. Bagaimana kau bisa membebaskan diri setelah tinggal
di sana sekian lama?"
"Aku sudah bilang padamu." Bianca tampak hampir menangis. "Seorang laki-laki
datang dan bilang sudah waktunya untuk pergi. Dan - "
"Tapi siapa" Kenapa dia melakukannya?"
Sebelum dia dapat menjawab, kami diterpa oleh cahaya menyilaukan dari tengah
jalan. Lampu depan mobil muncul begitu saja. Aku setengah berharap itu adalah
Apollo, datang untuk memberi kami tumpangan lagi, namun mesinnya terlalu
hening bagi kendaraan matahri, dan lagi pula, sekarang sudah malam. Kami
memberesi kantong-kantong tidur kami dan segera menepi begitu limusin putih
berbahaya meluncur hingga berhenti tepat di hadapan kami.
*** Pintu belakang limusin itu membuka tepat di sebelahku. Sebelum aku bisa
melangkah menjauh, mata pedang menyentuh tenggorokanku.
Aku mendengar suara Zo? dan Bianca menyiagakan busur-busur mereka. Begitu
pemilik pedang itu keluar dari dalam mobil, aku mundur dengan sangat perlahan.
Aku harus melakukannya, karena dia menekan mata pedangnya ke bawah daguku.
Dia tersenyum keji. "Tidak begitu gesit kini, kau yah, bocah tengik?"
Dia adalah pria besar dengan potongan rambut krukat, jaket kulit hitam khas
pengendara motor, jins hitam, kaus putih tanpa lengan, dan sepatu bot tentara.
Kacamata gelap menutupi matanya, tapi aku tahu apa yang ada di balik dua lensa
kacamatnya - soket kosong penuh dengan kobaran api.
"Ares," geramku.
Dewa Perang itu memandangi teman-temanku. "Santailah, Anak-anak."
Dia menjentikkan jarinya, dan senjata-senjata mereka terjatuh ke tanah.
"Ini adalah pertemuan damai." Dia menekan ujung pedangnya sedikit lebih jauh di
bawah daguku. "Tentu saja aku ingin sekali membawa kepalamu sebagai trofi, tapi
seseorang ingin bertemu denganmu. Dan aku tak pernah memenggal musuhmusuhku di
hadapan seorang wanita."
"Wanita?" tanya Thalia.
Ares menoleh ke arahnya. "Wah, wah. Kudengar kau telah kembali."
Dia menurunkan pedangnya dan mendorongku menjauh.
"Thalia, putri Zeus," renung Ares. "Kau tak bergaul dengan teman-teman yang
baik." "Apa urusanmu, Ares?" sembur Thalia. "Siapa yang ada di dalam mobil?"
Ares tersenyum, menikmati perhatiannya. "Oh, aku ragu dia ingin bertemu dengan
kalian semua. Khususnya mereka." Dia memajukan dagunya ke arah Zo? dan
Bianca. "Mengapa kalian semua tidak pergi saja membeli taco sementara
menunggu" Dia hanya akan bicara dengan Percy selama beberapa menit."
"Kami tak akan meninggalkannya sendiri bersama dikau, Dewa Ares," ujar Zo?.
"Lagi pula," ucap Grover pada akhirnya, "tempat taconya kan tutup."
Ares menjentikkan jarinya lagi. Lampu-lampu di dalam kedai Meksiko itu tiba-tiba
menyala. Papan-papan yang memalang pintu berjatuhan dan tanda TUTUP
membalik ke tulisan BUKA. "Kau bilang apa tadi, bocah kambing?"
"Pergilah," kataku pada teman-teman. "Aku akan tangani ini."
Aku berusaha terdengar lebih percaya diri dari yang kurasakan sesungguhnya.
Kurasa Ares tak terkelabui.
"Kau dengar bocah ini," ujar Ares. "Dia besar dan kuat. Dia bisa mengatasi
segalanya." Teman-temanku berpaling dengan ragu menuju restoran taco. Ares memandangiku
dengan pandangan benci, kemudian membuka pintu limusin layaknya seorang
supir. "Masuklah ke dalam, bocah," ujarnya. "Dan jaga sopan-santunmu. Dia lebih tak
menoleransi kekasaran daripadaku."
Saat aku menatapnya, rahangku hampir copot.
Aku lupa akan namaku. Aku lupa di mana aku berada. Aku lupa bagaimana cara
bicara satu kalimat penuh.
Wanita itu mengenakan gaun satin merah dan rambutnya dikeriting dalam jalinan
ikal kecil. Wajahnya adalah wajah tercantik yang pernah kulihat: rias wajah yang
sempurna, sepasang mata memikat, senyuman yang bisa mencerahkan sisi gelap
rembulan. Saat mengenangnya kembali, aku tak bisa menjelaskan padamu serupa siapa
sosoknya. Atau bahkan apa warna rambut atau matanya. Pilihlah aktris tercantik
yang terpikir olehmu. Sang dewi ini sepuluh kali lipat lebih cantik darinya.
Pilihlah warna rambut kesukaanmu, warna mata, atau apa pun. Sang dewi memiliki itu
semua. Saat dia tersenyum padaku, sekilas dia tampak sedikit mirip Annabeth. Kemudian
jadi mirip bintang televisi yang pernah kutaksir saat kelas lima SD.
Kemudian ... yah, kau dapat gambarannya.
"Ah, akhirnya kau datang, Percy," ujar sang dewi. "Aku Aphrodite."
Aku bergeser menduduki jok di seberangnya dan mengatakan sesuatu seperti, "Em
eh gah." Dia tersenyum. "Kau manis sekali. Tolong pegangi ini."
Dia menyondorkanku sebuah cermin berkilat seukuran piring makan malan dan
memintaku memeganginya untuknya. Dia mencondongkan tubuhnya dan memulas
lipstiknya, meski kulihat lipstik di bibirnya masih sempurna.
"Apa kau tahu mengapa kau ada di sini?" tanyanya.


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin menjawab. Kenapa aku sampai tak bisa menyusun satu kalimat lengkap"
Dia hanya seorang wanita. Seorang wanita yang sangat cantik. Dengan mata serupa
kolam mata air ... Wow. Kucubit lenganku, keras-keras.
"Aku ... aku nggak tahu," ucapku akhirnya.
"Oh, Sayang," ujar Aphrodite. "Masih menyangkal juga?"
Di luar mobil, aku bisa mendengar Ares terkekeh. Aku merasa dia bisa mendengar
seluruh perbincangan kami. Bayangan dirinya berada di luar sana membuatku
marah, dan itu membuat pikiranku lebih jernih.
"Aku nggak tahu apa maksudmu," kataku.
"Yah kalau begitu, kenapa kau mengikuti misi ini?"
"Artemis ditangkap!"
Aphrodite memutar bola matanya. "Oh, Artemis. Kumohon. Itu kasus yang sangat
tak penting. Maksudku, kalaupun mereka mau menangkap seorang dewi,
seharusnya dia adalah seorang dewi yang cantik memesona, bukankah begitu" Aku
merasa kasihan pada makhluk malang yang harus menahan Artemis. Mem-bo-sankan!"
"Tapi dia sedang mengejar monster," protesku. "Monster yang sangat mengerikan.
Kami harus mencarinya!"
Aphrodite menyuruhku memegang cermin sedikit lebih tinggi. Dia sepertinya
menemukan masalah mikroskopis di sudut matanya dan mulai membenahi
maskaranya. "Selalu tentang monster. Tapi sayangku Percy, itulah alasan anakanak
yang lain menjalani misi ini. Aku lebih tertarik padamu."
Jantungku berdebar. Aku tak ingin menjawab, tapi matanya mampu menarik
jawaban dari mulutku. "Annabeth sedang terancam."
Aphrodite berbinar. "Tepat sekali."
"Aku harus menolongnya," ujarku. "Aku mendapati beberapa mimpi."
"Ah, kau bahkan memimpikan dirinya! Itu manis sekali!"
"Tidak! Maksudku ... bukan itu maksudku."
Dia membuat suara ck ck ck. "Percy, aku berada di pihakmu. Lagi pula, akulah
alasan yang menyebabkanmu bisa berada di sini."
Aku memandanginya. "Apa?"
"Kaus beracun yang diberikan Stoll bersaudara pada Phoebe," ujarnya. "Apa kau
pikir itu sebuah kecelakaan" Mengirim Blackjack untuk mencarimu"
Membantumu keluar diam-diam dari perkemahan?"
"Kau yang melakukannya?"
"Tentu saja! Karena jujur sajalah, betapa membosankannya para Pemburu itu!
Sebuah misi mencari monster, bla bla bla. Menyelamatkan Artemis. Biarkan saja
dia terus menghilang, menurutku. Tapi sebuah misi pencarian cinta sejati - "
"Tunggu sebentar. Aku nggak pernah bilang - "
"Oh, Sayang, kau tak peerlu mengucapkannya. Kau tentu tahu bahwa Annabeth
nyaris saja bergabung dengan para Pemburu, bukan?"
Aku merona. "Aku nggak tahu pasti - "
"Dia nyaris saja menyia-nyiakan hidupnya! Dan kau, Sayang, kau bisa
mencegahnya dari tindakan itu. Romantis sekali!"
"Eh ..." "Oh, turunkan cerminnya," Aphrodite memerintahkan. "Aku tampak baik-baik
saja." Aku tak sadar aku masih memegangnya, tapi begitu aku menurunkannya, kusadari
betapa pegalnya lenganku.
"Sekarang dengarkan, Percy," kata Aphrodite. "Para Pemburu adalah musuhmu.
Lupakan mereka dan Artemis dan monster itu. Itu tak penting. Kau cukup
memfokuskan pikiran untuk mencari dan menyelamatkan Annabeth."
"Apa kau tahu di mana dia berada?"
Aphrodite mengibaskan tangannya kesal. "Tidak, tidak. Kuserahkan urusan-urusan
detail itu padamu. Tapi sudah lama sekali sejak kami mendapati sebuah kisah
cinta tragis yang indah." "Hei, pertama-tama, aku nggak pernah bilang apa pun tentang cinta. Dan kedua,
apanya yang tragis?"
"Cinta mengalahkan segalanya," Aphrodite menjanjikan. "Lihat saja Helen dan
Paris. Apakah mereka membiarkan apa pun menghalangi cinta mereka berdua?"
"Bukankah mereka memulai Perang Troya dan mengakibatkan ribuan orang
tewas?" "Fuuuh. Bukan itu intinya. Ikuti kata hatimu."
"Tapi ... aku nggak tahu apa katanya. Hatiku, maksudku."
Aphrodite tersenyum simpati. Dia memang sungguh memesona. Dan itu bukan
hanya karena wajahnya yang cantik atau bagaimana. Dia begitu memercayai cinta,
hingga sulit untuk tak merasa bersemangat saat mendengar dia membicarakannya.
"Tak mengetahui adalah separuh dari sisi menariknya," ujar Aphrodite. "Sangat
menyakitkan, bukan" Tidak yakin siapa yang kaucintai dan siapa yang
mencintaimu" Oh, dasar anak-anak! Kalian manis sekali sampai-sampai aku ingin
menangis jadinya." "Tidak, tidak," kataku. "Jangan lakukan itu."
"Dan jangan khawatir," ujarnya. "Aku tak akan menjadikan ini kisah yang mudah
dan membosankan untukmu. Tidak, aku masih akan menyimpan beberapa kejutan
menarik. Penderitaan. Ketidakpastian. Oh, kau tunggu saja nanti."
"Tak apa-apa," kataku padanya. "Jangan repot-repot."
"Kau sungguh manis sekali. Andai semua putriku bisa mematahkan hati anak
lakilaki semanis dirimu." Mata Aphrodite mulai berkaca-kaca. "Sekarang, kau
sebaiknya pergi. Dan berhati-hatilah di teritori suamiku, Percy. Jangan ambil
apa pun. Dia sangat cerewet terhadap pernak-pernik dan rongsokannya."
"Apa?" tanyaku. "Maksudmu Hephaestus?"
Tapi pintu mobil itu membuka dan Ares merenggut pundakku, menarikku keluar
dari mobil dan kembali ke kegelapan gurun.
Perjumpaan dengan sang dewi cinta berakhir sudah.
"Kau beruntung, bocah tengik." Ares mendorongku dari limusinnya. "Berterima
kasihlah." "Untuk apa?" "Atas kebaikan hati kami. Kalau urusan ini diserahkan padaku - "
"Lalu kenapa tak kau bunuh saja aku?" aku membalas gertakannya. Itu adalah
perkataan yang bodoh untuk disampaikan pada dewa perang, tapi berada di
dekatnya selalu membuatku merasa marah dan nekat.
Ares mengangguk, seolah aku akhirnya mengatakan sesuatu yang cerdas.
"Aku akan dengan senang hati membunuhmu, serius," ujarnya. "Tapi begini, ada
situasi yang sedang kuhadapi. Menurut desas-desus yang beredar di Olympus, kau
kemungkinan akan melancarkan peperangan terbesar dalam sejarah. Aku tak ingin
mengacaukan itu. Lagi pula, bagi Aphrodite kau sudah seperti sosok pemain
operasabun atau semacamnya. Jika aku membunuhmu, hal itu akan membuatku tampak
buruk di hadapannya. Tapi jangan khawatir. Aku belum melupakan janjiku. Suatu
hari nanti, nak - tak lama lagi - kau akan mengangkat pedangmu dalam
pertarungan, dan kau akan mengingat kemurkaan Ares."
Aku mengepalkan tanganku. "Kenapa mesti menunggu" Aku sudah
mengalahkanmu sekali. Apa pergelangan kakimu sudah sembuh?"
Dia menyeringai licik. "Gertakanmu lumayan juga, bocah tengik. Tapi kau tetap
tak ada apa-apanya di banding jagonya penggertak. Aku akan memulai pertarungan
begitu aku siap. Hingga saat itu tiba ... Enyahlah."
Dia menjentikkan jarinya dan dunia berputar tiga ratus enam puluh derajat,
berputar dalam pusaran debu-debu merah. Aku terjatuh ke tanah.
Saat aku berdiri lagi, limusin itu telah menghilang. Jalanannya, restoran
taconya, seluruh kota dari Gila Claw telah menghilang. Teman-temanku dan aku berdiri di
tengah-tengah pusat pembuangan sampah, bergunung-gunung rongsokan logam
membentang ke segala penjuru.
"Apa yang dia inginkan darimu?" tanya Bianca, begitu kuceritakan pada mereka
tentang Aphrodite. "Oh, eh, nggak yakin juga," aku berbohong. "Dia menyuruh kita untuk berhati-hati
dengan tempat sampah suaminya. Dia bilang untuk tak mengambil apa pun."
Zo? memicingkan matanya. "Dewi cinta tak akan menempuh perjalanan khusus
hanya untuk memberitahumu hal itu. Berhati-hatilah, Percy. Aphrodite telah
mengakibatkan banyak pahlawan binasa."
"Untuk sekali-kalinya aku setuju dengan Zo?," timpal Thalia. "Kau tak bisa
memercayai Aphrodite."
Grover menatapku dengan cara aneh. Sebagai orang yang berempati tinggi,
biasanya dia bisa membaca emosiku, dan aku merasa dia tahu persis akan apa yang
dibicarakan oleh Aphrodite padaku.
"Jadi," kataku, ingin segera mengalihkan topik, "bagaimana kita bisa keluar dari
sini?" "Ke sana," kata Zo?. "Itulah arah barat."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Di bawah cahaya bulan purnama, aku terkejut seberapa baiknya aku bisa melihat
Zo? memutar bola matanya ke arahku. "Ursa Mayor berada di utara," katanya, "itu
artinya arah itu pasti barat."
Dia menunjuk ke barat, kemudian pada rasi bintang utara, yang sulit dikenali
karena ada begitu banyak bintang lain di sana.
"Oh, yeah," kataku. "Yang kayak beruang-beruangan itu."
Zo? tampak tersinggung. "Tunjukkan penghormatanmu. Itu bukanlah beruang
sembarangan. Ia adalah lawan yang kuat."
"Kau bersikap seolah ia sungguhan."
"Teman-teman," sela Grover. "Lihatlah!"
Kami sampai di puncak gunung sampah. Bertumpuk-tumpuk barang logam
berkilat di bawah sinar rembulan: potongan-potongan kepala kuda perunggu,
kakikaki logam dari patung manusia, bangkai kereta tempur yang sudah rusak,
bertonton perisai dan pedang dan senjata-senjata lain, bersama dengan barang-
barang yang lebih modern, seperti mobil-mobil yang bersepuh emas dan perak, lemari es,
mesin cuci, dan layar monitor komputer.
"Wow," seru Bianca. "Barang-barang itu ... sebagian kelihatan kayak emas
sungguhan." "Memang," ujar Thalia serius. "Seperti yang dibilang Percy tadi, jangan sentuh
apa pun. Ini adalah tempat pembuangan sampah para dewa."
"Sampah?" Grover memungut sebuah mahkota cantik terbuat dari emas, perak, dan
perhiasan. Mahkota itu patah di satu sisi, seolah habis dibelah oleh kapak. "Kau
sebut ini sampah?" Dia menggigit ujungnya dan mulai mengunyah. "Ini kan enak!"
Thalia merebut mahkota itu dari tangan Grover. "Aku serius!"
"Lihat!" seru Bianca. Dia berlari menuruni bukit, terpeleset oleh gulungan
Wanita Iblis 8 Rajawali Emas 10 Mata Malaikat Pangeran Bunga Bangkai 2
^