Pencarian

My Name Red 13

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 13


dari rasa sesal, aku juga merasakan harapan, "Enishtemu memberi tahu Elok
Effendi bahwa ia terlibat dalam beberapa proyek terlarang dengan menutupi
lukisan terakhir, dengan mengungkap hanya bagian tertentu pada masingmasing di
antara kami dan meminta kami menggambar sesuatu di sana dengan memberi lukisan
?itu nuansa misteri dan kerahasiaan, Enishte sendiri yang menanamkan rasa takut
atas perbuatan bidah. Ia, bukan para pengikut Erzurumi yang tak pernah melihat
sebuah manuskrip berhias seumur hidup mereka, yang pertam kali menyebarkan
kegilaan dan kepanikan tentang dosa yang mengotori kita. Sementara itu, apakah
yang harus ditakuti oleh seorang seniman yang berakal sehat?"
"Keterlauan jika seorang seniman berakal sehat harus merasa takut di zaman
sekarang ini," ujar Hitam dengan berpuas diri. "Jelas, tak seorang pun keberatan
terhadap hiasan, tetapi lukisan dilarang dalam agama kita. Karena ilustrasi para
empu Persia dan bahkan adikarya para empu agung Herat pada akhirnya dianggap
sebagai perluasan hiasan, tak seorang pun mempermasalahkannya, dengan alas an
mereka mempertinggi keindahan tulisan dan kehebatan kaligrafi. Dan siapakah pula
yang melihat lukisan kita" Bagaimanapun, ketika kita menggunakan
metodemetode kaum Frank, lukisan kita menjadi kurang terarah pada hiasan dan
desain yang rumit, dan lebih cenderung pada penggambaran langsung. Inilah yang
dilarang oleh Alquran yang mulia dan tidak disenangi oleh Nabi kita. Baik Sultan
maupun Enishte ku sangat paham hal ini. Inilah alasan pembunuhan Enishteku."
"Enishtemu dibunuh karena ia takut," kataku. "Sama sepertimu, ia mulai
menyatakan bahwa ilustrasi, yang ia kerjakan sendiri, tidak bertentangan dengan
agama atau kitab suci .... Inilah dalih yang dicari oleh para pengikut Erzurumi,
yang putus asa untuk menemukan sebuah sisi yang bertentangan dengan agama. Elok
Effendi dan Enishtemu adalah pasangan yang sempurna satu sama lain."
"Dan kaulah yang membunuh mereka bedua, bukan?" ujar Hitam.
Sesaat kukira ia akan memukulku, dan pada saat itu juga, aku tahu suami baru si
cantik Shekure ini tak memiliki keberatan apa pun atas pembunuhan Enishtenya. Ia
tak akan memukulku, dan bahkan jika ia memukulku sekalipun, tak ada bedanya lagi
bagiku, "Sesungguhnya, seperti Sultan yang ingin membuat buku di bawah pengaruh para
seniman Frank," lanjutku keras kepala, "Enishtemu ingin membuat sebuah buku
penuh hasutan yang noda terlarangnya akan melahap martabatnya sendiri. Ia
merasakan kekaguman seorang budak terhadap gambargambar para empu Frank yang
telah ia lihat dalam perjalanannya, dan ia terjerumus sepenuhnya dalam
keterampilan yang ia agungkan pada kita selama harihari terakhirnya kau juga ?pasti telah mendengar segala omong kosong tentang perspektif dan lukisan potret
itu. Jika kau bertanya padaku, tak ada hal
yang merusak ataupun melecehkan di dalam buku yang tengah kami buat .... Kartena
ia amat menyadari hal ini, ia berpurapura sedang menyiapkan sebuah buku
terlarang dan ini memberinya kepuasan .... Terlibat dalam semacam kerja sama
berbahaya dengan izin pribadi Sultan sama pentingnya bagi Enishte dengan
lukisanlukisan karya para empu Frank. Benar, jika kita membuat sebuah lukisan
dengan maksud memamerkannya, itu baru melecehkan. Tetapi, dalam gambargambar ini
aku tak bisa merasakan apa pun yang bertentangan dengan agama, yang bertentangan
dengan keimanan, kesalehan, atau bahkan termasuk perbuatan yang meragukan.
Apakah kau merasakan sesuatu semacam itu?"
Mataku secara bertahap nyaris kehilangan kekuatannya, tetapi syukurlah, aku
masih bisa melihat untuk tahu bahwa pertanyaanku membuat mereka terdiam sejenak.
"Kau tidak yakin, bukan?" kataku, berpuas diri. "Bahkan jika kau diamdiam
percaya bahwa noda penghujatan atau pelecehan terdapat dalam gambargambar yang
kami buat, kau tak pernah bisa menerima keyakinan ini dan menyatakannya, karena
ini akan sama saja dengan memberi pembenaran pada orangorang fanatic dan para
pengikut Erzurumi yang menentang dan menuduhmu. Di sisi lain, kau tak bisa
menyatakan dengan yakin bahwa aku sepolos dan sesegar butiran hujan salju,
karena ini akan berarti penyerahan harga diri dan pengagungan diri yang
membingungkan atas keterlibatanku dalam sebuah tindakan terlarang yang serba
rahasia dan misterius. Apakah kautahu bagaimana aku menjadi sadar bahwa aku
bertindak benar dengan cara seperti ini" Dengan mengajak Elok Efendi yang malang
ke pondok darwis ini di tengah malam! Aku membawanya ke sini dengan alas an
bahwa kami hampir beku berjalan di jalan begitu lama. Kenyataannya aku merasa
senang memamerkan padanya bahwa aku adalah seorang keturunan darwis Kalenderi
yang berpikiran bebas, atau bahkan lebih buruk lagi, bahwa aku ingin menjadi
anggota sekte Kalenderi. Ketika Elok paham aku adalah pengikut terakhir sebuah
tarekat sufi yang berdasar pada homoseksualitas, penggunaan hasis,
penggelandangan, dan segala perilaku menyimpang, aku berpikir ia akan takut dan
lebih menghormatiku, dan pada gilirannya, ia akan merasa terancam hingga berdiam
diri. Tetapi, takdir berkata lain, yang terjadi justru sebaliknya, Teman masa
muda kita yang picik itu tidak menyukai tempat ini, dan ia dengan cepat
memutuskan tuduhan penghujatan agama yang ia pelajari dari Enishtemu padaku.
Maka, teman masa magang kita yang tercinta itu, yang pada mulanya memohon,
'Tolonglah aku, yakinkan aku bahwa kita tak akan masuk neraka agar aku bisa
tidur nyenyak malam ini,' dengan nada suara mengancam, mulai berkeras bahwa
'semua ini akan berujung pada kejahatan.' Ia yakin sang penceramah hoja dari
Erzurum akan mendengar desas-desus bahwa dalam lukisan terakhir itu kami
menyimpang dari perintah Sultan yang tak akan pernah memaafkan kesalahan ini.
Meyakinkan Elok bahwa segalanya baikbaik saja nyaris mustahil. Ia akan
menceritakan semuanya pada jamaah bodoh si penceramah itu, melebihlebihkan
keganjilan Enishte, kecemasan tentang penghinaan pada agama dan penggambaran
Setan dengan bentuk yang baik, dan mereka secara alamiah percaya pada setiap
katakata fitnah itu, Aku tidak perlu mengatakan padamu bagaimana, bukan hanya
para asisten tukang, melainkan seluruh masyarakat perajin menjadi cemburu pada
kami karena kami menjadi pusat perhatian Sultan. Kini mereka semua akan dengan
gembira menyatakan dalam paduan suara bahwa 'para miniaturis itu terperosok ke
dalam perbuatan sesat.' Lebih jauh lagi, kerja sama antara Enishte dan Elok
Effendi akan membuktikan bahwa fitnah ini benar adanya. Aku mengatakan 'fitnah'
karena aku tidak percaya pada yang dikatakan saudaraku Elok tentang buku itu dan
lukisan terakhir. Bahkan, aku tak mau mendengar apa pun yang menyerang almarhum
Enishte. Kurasa sangat layak Sultan beralih lebih menyukai Enishte Effendi
daripada Tuan Osman, dan aku bahkan memercayai apa yang digambarkan Enishte
padaku secara panjang lebar tentang para empu Frank dan kemahiran mereka. Aku
dulu percaya dengan sangat tulus bahwa kami para seniman Utsmaniyah bisa dengan
nyaman mengambil segi ini atau segi itu dari metodemetode kaum Frank sebanyak
yang kita inginkan atau sebanyak yang bisa dilihat dalam kunjungan ke luar
negeri tanpa melakukan pertukaran dengan Iblis atau membahayakan diri kita
sendiri. Hidup ini mudah. Enishtemu, semoga ia beristirahat dengan tenang, telah
menggantikan Tuan Osman dan menjadi ayah baru bagiku dalam hidup baru ini."
"Jangan dulu membahas soal itu," ujar Hitam. "Jelaskan bagaimana kau membunuh
Elok." "Perbuatan ini," kataku, menyadari bahwa aku tidak bisa menggunakan kata
"pembunuhan", "aku melakukan perbuatan ini tidak hanya demi kita, untuk
menyelamatkan kita, melainkan untuk menyelamatkan seluruh bengkel kerja. Elok
Effendi tahu ia menghadapi ancaman yang dahsyat. Aku berdoa pada Tuhan Yang
Mahakuasa, memohon padaNya agar memberiku isyarat
yang menunjukkan padaku betapa sungguh hina bajingan ini. Doaku terjawab ketika
aku menawari Elok uang. Tuhan telah menunjukkan padaku betapa brengseknya ia.
Kepingan emas ini tersirat di benakku, tetapi atas ilham ilahi, aku berdusta.
Aku berkata kepingan-kepingan emas itu tidak ada di pondok ini, melainkan
kusembunyikan di tempat lain. Kami pergi keluar. Aku memandunya berjalan
melintasi jalan-jalan lengang dan daerah daerah terpencil tanpa pertimbangan apa
pun ke mana kami akan menuju. Aku tak punya gagasan tentang apa yang akan
kulakukan, dan pendeknya, aku merasa takut. Di ujung pengembaraan kami, setelah
kami tiba di sebuah jalan yang sebelumnya kami lewati, saudara kita Elok Effendi
sang penyepuh, yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk bentuk dan pengulangan,
menjadi curiga. Namun, Tuhan memberiku sepetak tanah kosong yang dirusak oleh
api, dan di dekatnya, sebuah sumur kering."
Pada titik ini aku tahu aku tak bisa melanjutkan ceritaku dan aku mengatakannya
pada mereka. "Jika kau berada di posisiku, kau akan mempertimbangkan
penyelamatan persaudaraan senimanmu dan akan melakukan hal yang sama," kataku
penuh percaya diri. Ketika aku mendengar mereka setuju denganku, aku merasa hendak menangis. Aku
akan mengatakannya karena kasih sayang mereka yang hampir tak layak kuterima
melembutkan hatiku, tetapi tidak. Aku akan mengatakannya karena aku kembali
mendengar suara debum tubuhnya membentur dasar sumur tempat aku menjatuhkannya
setelah membunuhnya, tetapi tidak. Aku akan mengatakannya karena aku teringat
betapa bahagianya aku sebelum menjadi seorang pembunuh, betapa aku serupa dengan
orang lain, tetapi tidak. Orang
buta yang bisaa melintasi daerah kami di masa kecil kami muncul di mata benakku:
Ia mengambil air logam yang kotor, mengeluarkan baju-bajunya yang lebih kotor
dari dalam air, dan memanggil kami anakanak di sekitar tempat itu yang
menyaksikannya dari kejauhan, di sana di sumber air setempat, "Anakanakku, yang
mana di antara kalian yang mau mengisikan cangkir minum orang buta ini dengan
air dari sumber air?" Ketika tak seorang pun pergi membantunya, ia berkata, "Ini
adalah perbuatan baik, anakanakku, sebuah amal!" Warna bola matanya telah pudar
dan hamper sewarna dengan putih matanya.
Terpengaruh oleh pikiran menyerupai lelaki buta tua itu, aku mengakui bagaimana
aku membunuh Enishte dengan tergesagesa, tanpa menikmatinya. Aku tidak terlalu
jujur, juga tidak terlalu tidak tulus dengan mereka: Aku memutuskan bahwa kisah
semacam itu tak akan terlalu memberatkan hatiku, dan mereka diyakinkan bahwa aku
tidak pergi ke rumah Enishte untuk sengaja membunuhnya. Aku ingin menjelaskan
bahwa itu bukanlah pembunuhan terencana yang asyik mereka simak ketika aku
mengingatkan mereka hal berikut saat mencoba membebaskan diri, "Tanpa mempunyai
niat jahat, seseorang tak akan pernah masuk neraka."
"Setelah menyerahkan Elok Effendi pada Malikat Allah," ujarku dengan hatihati,
"apa yang dinyatakan almarhum padaku di saat-saat terakhirnya mulai
menggerogotiku seperti belatung. Setelah
menyebabkanku melumuri tanganku dengan darah, lukisan terakhir itu makin
terbayang di benakku, dan karenanya, setelah memutuskan untuk melihatnya, aku
mendatangi Enishtemu yang tak lagi memanggil kami ke rumahnya. Ia bukan hanya
menolak memperlihatkan lukisan itu,
melainkan juga bersikap seakanakan tiada yang terjadi. Ia mendengus, tak ada
lukisan atau apa pun yang begitu misterius sehingga menyebabkan pembunuhan!
Untuk mencegah penghinaan lebih lanjut, dan untuk menarik perhatiannya, aku
mengaku bahwa akulah yang membunuh Elok Effendi dan melemparkannya ke dalam
sumur. Ya, ia kemudian menanggapiku lebih seruis, tetapi ia terus saja
menghinaku. Bagaimna mungkin seorang lelaki yang menghina anaknya menjadi sang
ayah" Tuan Osman sering jengkel pada kita, ia sering memukul kita, tetapi ia tak
pernah sekalipun menghinakan kita. Oh, saudara-saudaraku, kita telah membuat
kesalahan besar dengan mengkhianatinya."
Aku tersenyum pada saudara-saudaraku yang perhatiannya tertuju pada mataku,
mendengarkanku seakanakan aku sedang sekarat. Seperti seseorang yang tengah
menanti ajal, aku melihat mereka makin samar dan menjauh dariku.
"Aku membunuh Enishtemu karena dua alasan. Pertama, karena ia tanpa kenal malu
telah memaksa Tuan Osman untuk meniru seniman Venesia, Sebastiano. Kedua, karena
di saat aku lemah, aku merendahkan diri dengan bertanya padanya apakah aku
memiliki gaya sendiri."
"Bagaimana tanggapannya?"
"Seakanakan aku memiliki sebuah gaya. Tetapi, karena berasal darinya ini tentu
saja bukan penghinaan. Aku teringat, aku bertanyatanya dalam rasa maluku, apakah
ini memang pujian: Aku menganggap gaya merupakan bentuk lain ketidakberakaran
dan ketidakhormatan, tetapi keraguan menggerogotiku. Aku tak peduli dengan gaya,
tetapi Iblis menggodaku dan aku
menjadi penasaran." "Semua orang secara diamdiam ingin memiliki gaya sendiri," ujar Hitam dengan
cerdas. "Semua orang juga ingin agar potret dirinya dibuat, seperti halnya
Sultan kita." "Apakah kemalangan ini mustahil dihindari?" kataku. "Saat wabah ini menjalar,
tak seorang pun di antara kita bisa bertahan melawan metodemetode orangorang
Eropa." Tak seorang pun mendengarkan aku. Hitam menceritakan kembali kisah seorang
kepala suku Turkmenistan pemurung yang diasingkan selama dua belas tahun ke Cina
karena ia terlalu cepat menyatakan cintanya pada putri sang shah. Karena ia
tidak memiliki potret diri kekasihnya, yang ia impikan selama dua belas tahun,
ia melupakan wajahnya di antara perempuanperempuan Cina yang cantik, dan
penderitaan cintanya itu diubahnya menjadi sebuah upaya luar bisaa atas kehendak
Allah. "Terima kasih pada Enishtemu, kami semua belajar tentang makna 'potret,'"
kataku. "Atas kehendak Tuhan, suatu hari, kita tak akan gentar menceritakan
kisah hidup kita apa adanya."
"Semua dongeng adalah dongeng semua orang," kata Hitam.
"Semua iluminasi adalah iluminasi Tuhan pula," kataku, menyelesaikan sepenggal
puisi karya penyair Hatifi dari Herat itu. "Tetapi ketika metodemetode orang
Eropa menyebar, semua orang akan menganggap istimewa bakat menceritakan
kisahkisah orang lain seakanakan itu adalah karya sendiri."
"Ini tak lain adalah kehendak Setan."
"Lepaskan aku sekarang," teriakku. "Biarkan aku melihat dunia untuk terakhir
kalinya." Mereka ketakutan, dan sebuah keyakinan tumbuh dalam diriku.
"Maukah kau memperlihatkan lukisan terakhir?" ujar Hitam.
Aku menatap Hitam dengan tatapan yang langsung dipahami bahwa aku bersedia
melakukannya, dan ia melepaskanku, Jantungku mulai berdetak kencang.
Aku yakin kau telah sejak lama menemukan identitasku yang telah coba kututupi.
Maka, jangan terkejut bahwa aku bertingkah seperti para empu tua Herat, karena
mereka menyembunyikan tanda tangan mereka bukan untuk menyembunyikan identitas,
melainkan karena soal prinsip dan penghormatan terhadap para empu mereka. Dengan
bergairah, aku berjalan melintasi ruangan-ruangan gelap gulita di pondok itu
dengan memegang lampu minyak, membuat bayanganku yang pucat terlihat. Apakah
tirai kegelapan telah jatuh menyelubungi mataku, atau ruangan ruangan dan
loronglorong ini memang sungguhsungguh segelap ini" Berapa hari dan minggu,
berapa lama waktu yang kumiliki sebelum aku menjadi buta" Bayanganku dan aku
berhenti di antara hantu-hantu di dapur dan mengangkat halamanhalaman dari sudut
yang bersih sebuah lemari berdebu sebelum dengan cepat berbalik. Hitam
mengikutiku sebagai penjaga, tetapi ia lalai membawa belatinya. Akankah aku,
secara kebetulan, mengambil belati itu dan membutakan matanya sebelum aku
sendiri menjadi buta"
"Aku senang karena aku akan melihatnya sekali lagi sebelum menjadi buta," ujarku
dengan penuh harga diri. "Aku ingin kalian juga melihatnya. Lihatlah ini."
Dengan diterangi cahaya lampu minyak, aku menunjukkan pada mereka lukisan
terakhir yang kuambil dari rumah Enishte di hari aku membunuhnya. Pada mulanya,
aku menyaksikan raut penuh ingin tahu bercampur takut mereka ketika mereka
melihat lukisan dua halaman itu. Aku memutar dan bergabung dengan mereka, dan
aku agak gemetar saat menatap lukisan itu, Mataku yang terluka, atau barangkali
kegairahan tibatiba, membuatku serasa demam.
Gambargambar yang kami buat pada berbagai bagian di atas kedua halaman itu
sepanjang tahun silam pohon, kuda, Setan, Malaikat Maut, anjing, dan ?perempuan disusun sedemikian rupa, besar dan kecil, menurut metode baru
?komposisi Enishte sekalipun terasa janggal, sehingga penyepuhan dan bingkai
pembatas karya almarhum Elok Effendi membuat kami merasa kami tak lagi melihat
sebuah halaman buku, melainkan dunia nyata yang tampak melalui sebuah jendela.
Di pusat dunia ini, di mana Sultan seharusnya berada, terdapat potret diriku,
yang dengan singkat kuamati dengan bangga. Aku agak tidak puas dengan gambar itu
karena setelah bekerja keras dengan sia-sia selama beberapa hari, menatap cermin
dan menghapus, dan kembali bekerja, aku tak mampu mencapai kemiripan yang
sempurna. Namun, aku masih merasakan kegembiraan tak tertahankan karena gambar
itu bukan hanya meletakkan aku di tengah sebuah dunia yang luas, tetapi untuk
beberapa alasan yang tak bisa disebutkan, itu membuatku muncul lebih dalam,
rumit, dan misterius daripada yang sesungguhnya. Aku hanya ingin saudara-
saudaraku sesama seniman mengenali, memahami, dan berbagi kegembiraan. Aku
adalah pusat segalanya, seperti
seorang sultan atau raja, dan sekaligus menjadi diriku sendiri. Keadaan itu
membuat harga diriku melambung dan sekaligus membuatku malu hati. Akhirnya,
kedua perasaan ini menjadi seimbang, dan aku bisa bersikap santai dan merasakan
kesenangan yang memusingkan dalam gambar itu. Namun, untuk melengkapi kesenangan
ini, aku mengetahui setiap tanda di wajah dan kemejaku, semua keriput, bayangan,
tailalat, dan borok, semua hal kecil dari cambangku hingga lipatan bajuku, dan
segala warna dalam seluruh bayangan mereka yang harus sempurna, hingga detail
paling kecil, sebanyak yang dimungkinkan oleh kemahiran para pelukis Frank.
Aku memerhatikan di wajah kawan-kawan lamaku tersirat rasa takut, kebingungan,
dan perasaan tak terelakkan yang menggerogoti kami semua: cemburu. Bersamaan
dengan reaksi mendadak dan kemarahan yang merekarasakan terhadap seorang lelaki


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terperosok ke dalam dosa, mereka juga merasa iri.
"Pada malammalam yang kuhabiskan di sini dengan menatap gambar ini diterangi
cahaya lampu minyak, aku merasa untuk pertama kalinya bahwa Tuhan telah
menyianyiakan aku dan hanya setan yang menemaniku dalam keterasinganku," ujarku.
"Aku tahu, jika aku sungguhsungguh menjadi pusat dunia dan setiap kali aku ?menatap gambar itu inilah yang kuinginkan terlepas dari semarak warna merah
?yang menguasai lukisan ini, terlepas dari dikelilingi oleh segala hal yang
kucintai, termasuk teman-teman darwisku dan perempuan yang menyerupai si cantik
Shekure, aku masih merasa kesepian. Aku tidak takut memiliki karakter dan
individualitas, aku juga tidak takut orang lain membungkuk dan menyembahku.
Sebaliknya, inilah yang kuinginkan."
"Maksudmu kauingin mengatakan bahwa kau tak menyesal?" ujar Bangau seperti
seorang lelaki yang baru saja meninggalkan khotbah Jumat.
"Aku merasa seperti Iblis bukan karena aku telah membunuh dua orang, melainkan
karena potretku telah dibuat dalam gaya ini. Aku menduga karena aku membunuh
mereka, maka aku bisa membuat gambar ini. Namun, kini keterpencilan yang
kurasakan membuatku takut. Meniru para empu Frank tanpa mencapai keahlian mereka
membuat seorang miniaturis lebih rendah daripada seorang budak. Kini aku merasa
putus asa untuk bisa lolos dari perangkap ini. Tentu saja, kalian semua tahu:
Setelah semua ini usai diceritakan dan telah terjadi, aku membunuh mereka berdua
agar bengkel seni bertahan seperti bisaa, dan pastilah Allah mengetahuinya."
"Tetapi ini akan mendatangkan persoalan yang lebih besar kepada kita," ujar
Kupukupu. Aku dengan tibatiba mencekal pergelangan tangan si bodoh Hitam yang masih
menatap gambar itu, dan dengan seluruh kekuatanku, seraya membenamkan kuku
kukuku ke dalam dagingnya, aku dengan marah meremas dan memuntirnya. Belati yang
ia pegang terlepas dari tangannya. Aku meraihnya dari tanah.
"Kini kau tak akan bisa memecahkan permasalahnmu dengan menyerahkanku pada
algojo," kataku. Seakanakan hendak mencongkel matanya, aku mendekatkan ujung
belati itu ke wajah Hitam. "Berikan padaku jarum itu."
Ia mengeluarkannya dan memberikannya padaku, lalu aku menyelipkannya dalam
selempang sabukku. Aku memusatkan tatapanku ke matanya yang seperti mata domba,
"Aku kasihan pada si cantik Shekure karena dia tak punya pilihan lain selain
mengawinimu," ujarku. "Jika aku tak terpaksa membunuh Elok Effendi untuk
menyelamatkan kalian dari segala kehancuran, dia pasti akan menikahiku dan kami
akan berbahagia. Jelaslah, aku yang paling paham dongeng-dongeng dan bakat bakat
orangorang Eropa seperti yang diceritakan ayahnya kepada kami. Maka, dengarkan
dengan teliti hingga akhir apa yang akan kukatakan padamu. Tak ada lagi tempat
di Istanbul ini untuk kita para empu miniaturis yang ingin hidup dengan
keterampilan dan kehormatan belaka. Ya, inilah yang telah kusadari. Jika kita
merendahkan diri dengan meniru para empu Frank, seperti yang diinginkan almarhum
Enishte dan Sultan, kita akan dicegah, jika bukan oleh pengikut Erzurumi dan
mereka yang seperti Elok Effendi, maka oleh kepengecutan yang dibenarkan dalam
diri kita, dan kita tak akan bisa melanjutkannya. Jika kita terpengaruh Iblis
dan mengkhianati segala hal yang telah hadir dalam sebuah upaya sia-sia untuk
mencapai gaya dan karakter Eropa, kita masih akan gagal segagal aku dalam ?membuat potret diri terlepas dari segala kecakapan dan pengetahuanku. Gambar
primitif ini telah kubuat bahkan tanpa mencapai kemiripan dengan diriku,
menyingkap bagiku apa yang kita ketahui selama ini tanpa mengakuinya: Kecakapan
orangorang Frank dicapai dalam waktu berabadabad. Jika buku Enishte Effendi
telah sempurna dan dikirim pada mereka, para empu Venesia akan menyeringai
angkuh, dan ledekan mereka akan samapi kepada penguasa Venesia begitulah.
?Mereka akan berkata dengan mengejek bahwa orangorang Utsmaniyah telah berhenti
menjadi orangorang Utsmaniyah dan mereka tak lagi akan takut
kepada kita. Betapa indahnya jika kita bisa bertahan di jalan para empu tua!
Tetapi tak seorang pun menginginkan hal ini, termasuk Yang Mulia Sultan dan
Hitam Effendi yang merasa sedih karena ia tak memiliki lukisan potret Shekure
yang amat berharga. Dalam hal itu, duduklah dan jangan lakukan apa pun, kecuali
meniru orangorang Eropa selama berabadabad! Dengan bangga bubuhkanlah tanda
tanganmu pada lukisanlukisan tiruan buatanmu. Para empu tua Herat mencoba
menggambarkan dunia dengan cara Tuhan memandangnya, dan untuk menyembunyikan
individualitas mereka, mereka tak pernah membubuhkan tanda tangan mereka. Namun,
kau dikutuk untuk menuliskan tanda tanganmu demi menyembunyikan ketiadaan
individualitasmu. Tetapi, ada sebuah pilihan lain. Barangkali kalian sendiri
telah diundang, dan jika demikian, kalian menyembunyikannya dariku: Akbar,
Sultan Hindustan, menghamburkan uang dan bujuk rayu, mencoba mengumpulkan dalam
istananya para seniman paling berbakat di dunia. Sangat jelas bahwa buku yang
akan diselesaikan dalam waktu ribuan tahun Islam itu tak akan dibuat di
Istanbul, melainkan di bengkel seni Agra."
"Haruskah seorang seniman menjadi pembunuh terlebih dulu untuk menjadi setinggi
dan sekuat dirimu?" tanya Bangau.
"Tidak, cukup dengan menjadi yang paling berbakat," sahutku tak peduli.
Kawanan ayam jantan yang sombong berada di jarak yang jauh. Aku mengumpulkan
bungkusan dan keping-keping uang emasku, dan buku catatanku, serta menaruh
ilustrasi-ilustrasiku ke dalam map. Aku mempertimbangkan akan membunuh mereka
satu demi satu dengan belati itu, yang ujungnya kutodongkan ke tenggorokan Hitam, tetapi
aku hanya merasakan kasih saying pada teman-teman masa kecilku termasuk Bangau
?yang telah menusukkan jarum ke mataku.
Aku berteriak pada Kupukupu yang bangkit berdiri, dan itu membuatnya takut
sehingga ia duduk kembali. Kini, merasa percaya diri bisa lolos dari pondok ini
dengan aman, aku bergegas melangkah ke pintu; dan di beranda, dengan tak sabar
aku mengutarakan katakata yang telah kurencanakan akan kukatakan, "Kepergianku
dari Istanbul akan mirip dengan kepergian Ibnu Shakir dari Baghdad saat
pendudukan pasukan Mongol."
"Dalam hal itu, kau harus pergi ke Barat, bukan ke Timur," tukas si pencemburu
Bangau. "Timur dan Barat adatah kepunyaan Aliah," ujarku dalam bahasa Arab seperti
ucapan almarhum Enishte. "Tetapi Timur adalah timur dan Barat adalah barat," kata Hitam.
"Seorang seniman selayaknya tidak takluk pada keangkuhan semacam ini," ujar
Kupukupu, "ia selayaknya hanya melukis saja dengan cara ia melihatnya, bukan
meributkan soal Timur dan Barat."
"Benar sekali," ujarku pada Kupukupu. "Terimalah ciumanku."
Aku hendak maju dua langkah menuju Kupukupu ketika Hitam melompat tibatiba ke
arahku. Dengan satu tangan aku memegang kantong berisi pakaian dan kepingan uang
emas, dan di bawah lenganku, aku mengepit map berisi lukisan-lukisanku, Karena
berhatihati menjaga barang-barangku, aku gagal mempertahankan diri. Aku tak
mampu mencegahnya mencengkeram lengan bawah tanganku yang memegang belati.
Tetapi keberuntungan tak berada di pihaknya. Ia tersandung pada sebuah meja kerja
rendah dan sejenak kehilangan keseimbangan. Alihalih memegang kendali lenganku,
ia malah tergantung padanya. Dengan menendangnya sekuat tenaga dan menggigit
jemarinya, aku membebaskan diri. Ia melolong, takut akan keselamatan jiwanya.
Lalu, aku menginjak tangan yang sama, membuatnya merasa amat kesakitan. Seraya
mengacungkan belati pada dua orang lainnya, aku berteriak, "Berhenti!"
Mereka tetap di tempat mereka duduk. Aku menusukkan ujung belati ke salah satu
lubang hidung Hitam, seperti yang dilakukan Keykavus dalam kisah legenda. Ketika
hidungnya mulai mengucurkan darah, tangis getir mengalir dari matanya yang
memohon. "Kalau begitu, kini katakanlah padaku," ujarku, "apakah aku akan buta?"
"Menurut legenda, darah membeku di mata sebagian orang, dan tidak membeku di
mata orang lain. Jika Allah senang dengan kemahiran senimu, Ia akan melimpahkan
kegelapanNya yang luar bisaa kepadamu dan melindungimu. Dalam hal itu, kau tak
akan melihat dunia yang brengsek ini lagi, melainkan pemandangan indah yang Ia
lihat. Jika Ia tidak senang padamu, kau akan terus melihat dunia seperti
sekarang." "Aku akan melatih kemahiran seni yang murni di Hindustan," kataku. "Tetapi,
Allah akan menghukumku karena membuat lukisan."
"Jangan memelihara khayalan terlalu tinggi bahwa kau akan bisa melepaskan diri
dari metode kaum Frank," ujar Hitam. "Apakah kautahu bahwa Akbar Khan mendorong
para senimannya untuk menandatangani karya-karya
mereka" Para pastor Jesuit dari Portugal telah sejak lama memperkenalkan lukisan
dan metode Eropa di sana. Mereka ada di mana-mana sekarang."
"Selalu ada pekerjaan bagi seniman yang ingin tetap murni, selalu ada tempat
untuk menemukan tempat berlindung," kataku.
"Aha," ujar Bangau, "menjadi buta dan kabur ke negerinegeri pinggiran."
"Mengapa kauingin tetap murni?" ujar Hitam. "Tetaplah di sini bersama kami."
"Selama sisa hidupmu kau tak akan melakukan apa pun selain berusaha menyamai
orangorang Frank demi sebuah gaya individu," kataku. "Tetapi lebih tepatnya
karena kau menyaingi orangorang Frank, kau tak akan pernah mencapai gaya
individual." "Tiada lagi yang tersisa," ujar Hitam dengan merendahkan.
Tentu saja, bukan kemahiran seni, melainkan si cantik Shekure yang merupakan
satusatunya sumber kabahagiaannya. Aku melepaskan belati bernoda darah itu dari
hidung Hitam yang berlumur darah dan mengangkatnya di atas kepalanya seperti
pedang seorang algojo yang bersiap memenggal kepala seorang pesakitan.
"Jika aku mau, aku bisa saja memotong kepalamu," ujarku, menyatakan apa yang
telah tampak jelas. "Namun, aku bersiap mengampunimu demi anakanak Shekure dan
kebahagiaannya. Bersikap baiklah pada Shekure dan jangan bersikap kejam atau
menyia-nyiakannya. Berjanjilah padaku!"
"Aku berjanji," ujarnya.
"Dengan ini kunyatakan aku menghadiahkan Shekure padamu," ucapku.
Tetapi lenganku bertindak sesuai kehendaknya sendiri, tak memedulikan kata
kataku. Aku menusukkan belati itu ke arah Hitam dengan seluruh kekuatanku.
Pada saat terakhir, karena Hitam bergerak dan karena aku mengalihkan arah
sabetanku, belati itu menembus bahunya, bukan lehernya. Aku menyaksikan dengan
ngeri perbuatan yang dilakukan oleh tanganku sendiri. Begitu aku menarik belati
itu, yang terbenam hingga gagangnya di daging Hitam, darah menyembur merah
segar. Yang telah kulakukan itu membuatku takut sekaligus malu. Tetapi jika aku
menjadi buta di atas kapal, barangkali di lautan Arab, aku tahu bahwa aku tak
akan bisa membalas dendam pada saudara-saudaraku sesama miniaturis mana pun.
Bangu, takut gilirannya akan segera tiba, melarikan diri ke kamar-kamar yang
gelap pekat di bagian dalam pondok. Seraya memegang lampu tinggitinggi, aku
mengejarnya, tetapi segera merasa takut dan berbalik. Gerakan terakhirku adalah
mencium Kupukupu dan menyatakan selamat tinggal, sebagai tanda perpisahan
baginya. Karena bau darah telah meruap di antara kami, aku tak bisa menciumnya
sepuas hatiku, Namun, ia memerhatikan bahwa air mata mengalir dari mataku.
Aku meninggalkan pondok itu dalam semacam kesunyian maut yang disela oleh
erangan Hitam. Nyaris berlari, aku melintasi taman yang basah dan berlumpur, dan
daerah yang gelap, Kapal yang akan membawaku ke bengkel seni Akbar Khan akan
berangkat setelah azan subuh. Pada saat itu perahu dayung terakhir akan
berangkat ke kapal itu dari Pelabuhan Kapal Layar. Saat berlari, air mata
berurai deras dari kedua mataku.
Ketika aku melintasi Aksaray seperti seorang pencuri,
aku bisa melihat samara samar cahaya pertama fajar merekah di cakrawala.
Berhadapan dengan sumber air pertama yang kutemui, di antara loronglorong jalan,
jalan-jalan kecil, dan dindingdinding, terdapat rumah batu tempat aku
menghabiskan malam pada hari pertamaku di Istanbul dua puluh lima tahun silam.
Di sana, melintasi gerbang halaman yang sedikit terbuka, aku melihat sekali lagi
sumur tempatku ingin mencemplungkan diri di tengah malam, disiksa rasa bersalah
karena pada usia sebelas tahun aku membasahi kasur yang digelar kerabat jauhku
untuk menunjukkan kebaikan dan sikap ramahtamah yang murah hati. Pada saat aku
mencapai Bayazid, kedai pembuat jam (tempat aku sering datang untuk membetulkan
jam dindingku yang rusak), kedai penjual botol (tempat aku membeli lampu-lampu
kristal kosong dan cangkircangkir minuman yang kulukis, serta botol-botol kecil
yang kuhias dengan corak bungabunga dan diamdiam kujual pada orangorang
terhormat) dan tempattempat pemandian umum (tempat kakiku menuju di luar
kebisaaan suatu kali karena saat itu tarifnya tidak mahal dan sedang kosong)
yang berdiri menarik perhatian di depan mataku yang berurai air mata.
Tak ada seorang pun di sekitar kedai kopi yang telah dirusak dan dibakar itu,
juga tak ada seorang pun di rumah si cantik Shekure dan suami barunya yang
mungkin tengah berada di ambang maut saat ini. Dengan tulus aku mengharapkan
kebahagiaan bagi mereka. Ketika mengelanai jalanan di harihari setelah menodai
tanganku dengan darah, semua anjing Istanbul, pepohonan berbayangnya, jendela
jendela tertutup, cerobong-cerobong asap yang hitam, hantu-hantu, dan orangorang tak bahagia yang
terpaksa bangun subuh dan bergegas menuju masjid untuk melakukan salat subuh selalu menatapku dengan
rasa pemusuhan. Namun, dari saat aku mengakui kejahatanku dan memutuskan untuk
meninggalkan satusatunya kota yang kukenal ini, mereka menyambutku dengan penuh
persahabatan. Setelah melintasi Masjid Bayazid, aku menyaksikan Golden Horn dari sebuah
tanjung: cakrawala begitu cerah, tetapi air masih tampak hitam. Muncul perlahan
dalam gelombang yang tak kelihatan, dua perahu dayung nelayan, kapal-kapal
barang dengan jangkar tergulung, dan sebuah bangkai kapal laut yang
berulangulang mengimbauku agar jangan pergi, Apakah air mata yang mengucur dari
kedua mataku ini disebabkan oleh jarum itu" Aku berkata pada diri sendiri untuk
membayangkan kehidupan menyenangkan yang akan kualami di Hindustan dan karya-
karya indah yang akan tercipta oleh bakatku!
Aku meninggalkan jalanan, berlari melintasi dua taman berlumpur, dan berteduh di
bawah sebuah rumah batu tua yang dikelilingi oleh tetumbuhan hijau. Ini adalah
rumah yang kudatangi setiap Selasa sebagai seorang murid untuk menjemput Tuan
Osman dan mengikutinya dua langkah di belakangnya seraya membawakan tasnya, map,
kotak pena, dan papan untuk menulis sepanjang jalan menuju bengkel kerja. Tiada
yang berubah di sini, kecuali pepohonan palem di halaman dan sepanjang jalan
telah tumbuh begitu besar sehingga aura keagungan, kekuasaan, dan kemakmuran
menggema kembali ke masa Sultan Suleyman mendiami rumah dan jalan itu.
Karena jalan menuju pelabuhan telah dekat, aku takluk dalam godaan Iblis,
dilanda gairah ingin melihat lengkungan bangunan bengkel seni tempat aku
menghabiskan waktu seperempat abad. Akhirnya aku
mengikuti jalan yang kulalui sebagai seorang murid saat membuntuti Tuan Osman:
menuruni Jalan Pemanah yang berbau memualkan pohon limau yang berbunga di musim
semi, melintasi tukang roti tempat Tuan Osman kerap membeli kue bulat isi
daging, naik ke bukit yang didereti para gembel dan pepohonan buah-buahan,
melintasi daun-daun jendela tertutup di pasar baru, dan tukang cukur yang selalu
disapa Tuan Osman setiap pagi, sepanjang tepi lapangan kosong tempat para pemain
acrobat mendirikan tenda-tenda mereka di musim panas dan melakukan pertunjukan,
di depan kamar-kamar sewa untuk para bujangan yang baunya tidak sedap, di bawah
lengkungan-lengkungan bergaya Byzantium yang berbau apak, di depan istana
Ibrahim Pasha dan pilar yang terbuat dari tiga sosok ular melingkar yang telah
kugambar ratusan kali, melintasi pohon palem yang kami gambarkan dengan cara
berbeda setiap kali, muncul di arena balap kuda dan di bawah pohonpohon kastanye
dan mulberi tempat burungburung pipit berkicau di pagi hari.
Pintu berat bengkel kerja tertutup. Tak ada seorang pun di pintu masuk atau di
bawah lengkungan serambi bertiang di atas. Aku hanya bisa menatap sejenak pada
jendelajendela kecil yang menjadi tempat kami kerap memandangi pepohonan di
bawah sebagai para murid yang dicekik kebosanan, sebelum aku ditegur seseorang.
Ia memiliki sebuah suara tinggi yang menusuk telinga. Ia berkata bahwa belati
dengan gagang bertatah batu merah delima berlumur darah di tanganku adalah
miliknya, dan bahwa kemenakannya, Shevket, dan Shekure telah bersekongkol
mencurinya dari rumahnya. Ini jelas cukup bukti bahwa aku adalah salah satu anak
buah Hitam yang telah menyerang rumahnya untuk melarikan Shekure. Lelaki sombong bersuara tinggi
ini juga mengenal teman-teman seniman Hitam dan bahwa mereka pasti akan kembali
ke bengkel seni. Ia menghunus sebilah pedang panjang yang berkilau terang
berwarna merah yang aneh, menandakan ia memiliki sejumlah urusan yang hendak ia
selesaikan denganku, apa pun alasannya. Aku menimbang nimbang untuk mengatakan
padanya bahwa ada kesalahpahaman, tetapi aku melihat kemurkaan di wajahnya. Aku
bisa membaca dari raut wajahnya bahwa ia hendak melancarkan sebuah serangan
tibatiba yang mematikan terhadapku. Aku hendak berkata, "Kumohon, hentikan."
Tetapi ia telah lebih dulu bertindak.
Aku bahkan tak sempat mengangkat belatiku, aku hanya mampu mengangkat tanganku
yang memegang kantungku. Kantung itu jatuh. Dalam sebuah gerakan halus, tanpa kehilangan kecepatannya,
pedang itu memotong tanganku, lalu menebas leherku memenggal putus kepalaku.?Aku tahu aku telah dipancung dari dua langkah aneh yang diambil tubuhku yang
meninggalkanku di balik kebingungannya, dari tingkah bodoh tanganku mengibaskan
belati, dan dari cara tubuhku yang kesepian rubuh dengan darah menyembur dari
leherku seperti air mancur. Kakiku yang malang, yang terus saja bergerak-gerak,
seakanakan masih berjalan, menendangnendang tanpa guna seperti kaki kuda yang
tengah sekarat. Dari tanah berlumpur tempat kepalaku terjatuh, aku tak bisa melihat pembunuhku,


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga tak mampu menatap kantungku yang penuh berisi kepingan uang emas dan gambargambar yang masih ingin
kucengkeram erat-erat. Semua itu ada di belakangku, di arah bukit yang menurun
ke laut dan Pelabuhan Kapal Layar yang tak akan pernah kucapai. Kepalaku tak
akan pernah lagi menoleh dan melihat mereka, atau seluruh dunia ini. Aku
melupakan mereka dan membiarkan pikiranpikiranku membawaku pergi.
Inilah yang terjadi padaku sesaat sebelum aku dipenggal: Kapal layar akan
berangkat dari pelabuhan, ini berbaur dalam benakku dengan sebauh perintah untuk
bergegas; itulah cara ibuku mengatakan "bergegaslah" ketika kau masih bocah.
Ibu, leherku sakit sekali dan segalanya menjadi diam.
Inilah yang mereka sebut kematian.
Namun, aku tahu aku belum mati. Bola mataku tak bergerak, tetapi aku masih bisa
melihat dengan baik melalui sepasang mataku yang terpentang. Yang kulihat dari
batas tanah memenuhi benakku: jalan yang agak menanjak, dinding, lengkungan,
atap bengkel kerja, langit ... lalu bayangan itu memudar.
Rasanya seakanakan saat pengamatan ini terus bergerak dan aku menyadari bahwa
melihat telah menjadi bagian dari ingatan. Aku teringat apa yang kupikirkan
ketika menatap berjam-jam sebuah lukisan yang indah: jika kau menatap cukup
lama, pikiranmu akan memasuki waktu lukisan.
Segenap waktu kini menjadi "saat ini."
Seakanakan tiada yang mau melihatku, ketika pikiranku mengabur, kepalaku yang
terbalur lumpur akan terus menatap lereng yang muram, dinding batu, serta
pepohonan kastanye dan mulberi yang berdekatan, tetapi
tak terjangkau, selama bertahuntahun.
Penantian tanpa akhir ini tibatiba menerima bagian yang getir dan membosankan
ini, aku tak menginginkan apa pun selain meninggalkan "saat ini."[]
File Control About <" ">
Ux Bab 59 AKU, SHEKURE B HITAM MENYEMBUNYIKAN kami di rumah seorang kerabat jauh tempat kami melewatkan
malam tanpa bisa tidur. Di ranjang tempat aku berbaring berangkulan dengan
Hayriye dan anakanak, sesekali aku tertidur di antara suarasuara dengkur dan
batuk, tetapi dalam mimpiku yang gelisah, aku melihat makhlukmakhluk aneh dan
perempuanperempuan yang tangan dan kakinya dipenggal, dan secara acak
ditempelkan kembali. Mereka tidak berhenti memburuku dan terusmenerus membuatku
terjaga. Menjelang pagi, hawa dingin membangunkanku, aku lalu menyelimuti
Shevket dan Orhan, memeluk mereka, menciumi kepala mereka, dan memohon kepada
Allah untuk menurunkan mimpimimpi yang menyenangkan bagi mereka, seperti yang
kunikmati selama harihari penuh berkah ketika aku tidur dalam damai di bawah
atap rumah almarhum ayahku.
Bagaimanapun aku tidak bisa tidur. Selepas salat subuh, saat memandangi jalanan
lewat celah-celah daun jendela di dalam kamar yang kecil dan gelap itu, aku
melihat sesuatu yang pernah kulihat dalam mimpi bahagiaku: sesosok lelaki
seperti hantu, kelelahan sepulang berperang dengan lukaluka yang dideritanya,
menghunus sebatang tongkat, seolaholah itu adalah sebilah pedang, yang
merinduiku dan mendekatiku dengan
Control About "< ">
langkah-langkah yang amat kukenal. Dalam mimpiku, setiap kali aku akan merengkuh
lelaki itu ke dalam pelukanku, aku terbangun sambil bercucuran air mata. Ketika
kulihat lelaki di jalan itu Hitam, jeritan yang tak pernah berhasil lolos dari
tenggorokanku di dalam mimpiku, kini terlontar keluar.
Aku berlari dan membuka pintu.
Wajahnya tampak bengkak dan lebam keunguan akibat berkelahi. Hidungnya robek dan
berlumuran darah. Ada luka menganga di tubuhnya dari bahu hingga ke lehernya.
Kemejanya menjadi memerah terkena darah. Seperti suami dalam mimpiku, Hitam
tersenyum lemah ke arahku, karena pada akhirnya ia telah berhasil pulang.
"Masuklah," ujarku.
"Panggillah anakanak," sahutnya. "Kita akan pulang." "Kau tidak dalam keadaan
yang baik untuk pulang ke rumah."
"Tak ada alasan untuk takut padanya lagi," ujarnya. "Pembunuh itu adalah Velijan
Effendi, si orang Persia."
"Zaitun ..." ucapku. "Apakah kau membunuh bajingan
itu?" "Ia melarikan diri ke India dengan kapal yang berangkat dari Pelabuhan Kapal
Layar," jawabnya sambil menghindari pandang mataku, menyadari bahwa ia tidak
menyelesaikan tugasnya dengan baik.
"Apakah kau mampu bertahan berjalan pulang ke rumah kita?" tanyaku. "Haruskah
kucarikan seekor kuda untukmu?"
Aku merasa ia akan mati setibanya di rumahnya dan aku amat kasihan padanya.
Bukan karena ia akan mati sendirian, melainkan karena ia tidak akan pernah
mengenal kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku bisa
melihat dari kepedihan dan ketegaran di matanya bahwa ia tak ingin berada di
rumah yang asing ini, dan bahwa ia sesungguhnya ingin menghilang tanpa terlihat
oleh siapa pun dalam keadaannya yang seperti ini. Dengan susah payah, mereka
menaikkannya ke atas kuda.
Selama perjalanan pulang kami, saat kami melintasi pinggiran jalan dalam
kelompok kami, anakanak awalnya terlalu ketakutan untuk melihat wajah Hitam.
Namun, dengan mengangkangi kuda yang berjalan perlahan itu, Hitam masih bisa
menceritakan bagaimana ia menggagalkan siasat si pembunuh laknat yang telah
membunuh kakek mereka dan bagaimana ia menantangnya dalam duel pedang. Aku bisa
melihat betapa anakanak entah bagaimana menjadi bersikap hangat padanya, dan aku
berdoa pada Allah: Tolong, Ya Allah, jangan biarkan ia mati!
Ketika kami sampai di rumah, Orhan berteriak, "Kita sampai di rumah!", dengan
kegembiraan yang serupa naluriku merasakan betapa Izrail, sang Malaikat Maut,
mengasihani kami dan Allah akan memberi waktu lebih lama pada Hitam. Namun, aku
tahu dari pengalamanku bahwa manusia tak akan pernah tahu ketika Allah Yang
Mahakuasa mengambil jiwa seseorang, dan aku sudah terlalu banyak berharap.
Kami membantu Hitam menuruni kudanya. Kami memondongnya naik ke tangga dan
membaringkannya di atas ranjang di kamar almarhum ayahku, kamar berpintu biru
itu. Hayriye merebus air dan membawanya naik. Hayriye dan aku menelanjanginya,
merobek pakaiannya, dan mengguntingi bajunya, membuka kemeja berlumur darah yang
menempel ketat di dagingnya itu, selempangnya, sepatunya, dan pakaian dalamnya.
Ketika Control About "< ">
kami membuka daun jendela, cahaya matahari lembut musim dingin yang sedang
bermainmain di dahan pepohonan di taman menerobos masuk mengisi ruangan itu,
memantulkan cahayanya pada bejana-bejana, kotak lem, wadah tinta, pecahan gelas,
dan pisau pena, menyinari kulit pucat Hitam yang sekarat, dan lukanya, dagingnya
yang sewarna buah ceri masam.
Aku membilas sehelai kain di dalam air panas dan menggosokkan sabun ke atasnya.
Lalu kubasuh tubuh Hitam dengan perlahanlahan, seakanakan sedang membersihkan
selembar karpet antik yang tak ternilai harganya, dan dengan penuh kasih sayang
dan bersemangat, seperti saat aku membelai salah satu putraku. Tanpa menekan
bagian-bagian lebam yang menutupi wajahnya, tanpa menyakiti luka sobek di
hidungnya, aku membersihkan luka menganga di bahunya seperti yang akan dilakukan
oleh seorang dokter. Sama seperti saat aku memandikan anakanakku ketika mereka
masih bayi, aku menyenandungkan nyanyian padanya. Ada luka sabitan di dada dan
kedua tangannya. Jari jemari tangan kirinya menjadi ungu karena digigit. Kain
yang kugunakan untuk membasuh tubuhnya segera saja menjadi berwarna merah darah.
Aku menyentuh dadanya; kurasakan kelembutan dinding perutnya di tanganku;
kupandangi zakarnya lama sekali. Terdengar suara anakanak yang mendekat dari
halaman di bawah sana. Mengapa sebagian penyair menamainya "sebatang pena?"
Aku bisa mendengar Esther masuk ke dapur dengan suara riang dan dengan raut muka
misterius yang dia perlihatkan saat membawakan sebuah kabar. Aku turun untuk
menyambutnya. Dia begitu bergairah sehingga dia mulai bercerita
tanpa memeluk atau menciumku: Kepala Zaitun yang terpenggal ditemukan di depan
bengkel seni. Lukisan yang membuktikan kesalahan dan kejahatannya, serta
kantungnya juga sudah ditemukan. Ia berniat melarikan diri ke Hindustan, tetapi
sebelumnya ia ingin melihat bengkel seni itu untuk terakhir kalinya.
Ada beberapa saksi atas kejadian itu: Hasan menghadang Zaitun, menghunus pedang
merahnya, dan memenggal kepala Zaitun hanya dengan satu tebasan.
Saat Esther bercerita, aku memikirkan di mana ayahku yang malang berada saat
ini. Tahu bahwa si pembunuh sudah mendapat ganjarannya pada awalnya membuat
ketakutanku mereda. Kemudian dendam membuatku merasakan kenikmatan dan keadilan.
Saat itu juga aku membayangkan apakah ayahku yang kini telah tiada bisa
merasakan perasaan-perasaan semacam ini. Tibatiba saja, tampak olehku bahwa
seluruh dunia ini bagaikan sebuah istana dengan kamar-kamar yang tak terhitung
jumlahnya, dan semua pintunya terbuka. Kita bisa melintas dari satu kamar ke
kamar lainnya hanya dengan melatih ingatan dan imajinasi kita, tetapi sebagian
besar di antara kita, karena malas, jarang melatih kemampuan ini, dan selamanya
akan tetap berada di kamar yang sama.
"Jangan menangis, sayangku," ujar Esther. "Kaulihat, pada akhirnya semuanya akan
baikbaik saja." Aku memberinya empat keping emas. Dia mengambilnya seketika, memasukkannya ke
dalam mulutnya dan menggigitnya keras-keras dengan penuh semangat dan kerinduan.
"Koinkoin palsu dari Venesia ada di mana-mana," jelasnya sambil tersenyum.
Begitu dia pergi, aku memperingatkan Hayriye agar
Control About "< ">
tidak membolehkan anakanak naik ke atas. Aku pergi ke kamar tempat Hitam
terbaring, mengunci pintu, dan bergelung dengan bergairah di samping tubuh
telanjang Hitam. Lalu, lebih karena penasaran daripada karena gairah birahi, dan
lebih karena rasa sayang daripada rasa takut, aku melakukan permintaan Hitam
padaku di rumah Yahudi yang digantung pada malam saat ayahku yang malang
terbunuh. Aku tak bisa mengatakan bahwa aku sepenuhnya mengerti mengapa penyair Persia
yang selama berabadabad menyamakan kelamin lelaki dengan sebatang pena dan
mengandaikan mulut perempuan sebagai wadah tinta, atau ada apa di balik
perbandingan semacam itu yang asal muasalnya sudah dilupakan orang dengan begitu
banyaknya pengulangan apakah karena kecilnya mulut perempuan" Keheningan yang ?misterius sebuah wadah tinta" Apakah karena Tuhan sendiri adalah seorang pelukis
agung" Cinta, bagaimanapun, harus dipahami bukan dengan logika seorang perempuan
seperti aku yang terusmenerus menyakiti benaknya untuk melindungi diri sendiri,
melainkan dengan kemusykilannya.
Jadi, izinkanlah aku menyampaikan sebuah rahasia: Di sana, di ruangan yang
berbau kematian itu, bukan benda di dalam mulutku yang membuatku bergairah. Yang
membuatku bergairah saat berbaring di sana dengan seluruh dunia ini berdenyut-
denyut hebat di antara bibirku adalah celoteh bahagia anakanakku yang saling
memaki dan mengasari di halaman.
Ketika mulutku begitu sibuk, mataku bisa melihat betapa Hitam memandangiku
dengan tatapan yang sungguhsungguh berbeda. Ia berkata bahwa ia tidak akan
pernah lagi melupakan wajah dan mulutku. Menurut
bukubuku tua milik ayahku, kulitnya beraroma kertas yang apak, dan aroma debu di
Ruang Penyimpanan Harta memenuhi rambutnya. Saat aku meneruskan kegiatanku,
sambil membelai luka memarnya, lukanya yang menganga, dan bengkak-bengkak di
tubuhnya, ia mengerang seperti seorang anak kecil. Ia menjauh, semakin menjauh
dari kematian, dan saat itulah aku paham bahwa aku akan semakin terikat padanya.
Bagai sebuah kapal yang kian melaju saat layarnya yang terkembang menggelembung
ditiup angin, irama persetubuhan kami yang perlahan tapi pasti semakin cepat
membawa kami ke samudra-samudra tak dikenal.
Aku tahu dari kemampuannya mengendalikan perairan ini, bahkan di atas ranjang
kematiannya sekalipun, bahwa Hitam telah berkali-kali mengarungi lautan ini
sebelumnya dengan entah berapa banyak perempuan binal. Saat aku dibingungkan
apakah lengan yang kuciumi adalah lenganku atau lengannya, apakah aku mengisap
jariku sendiri atau seluruh kehidupan ini, ia menatap nanar dengan mata setengah
terkatup, nyaris dimabukkan oleh lukaluka dan suka citanya, memeriksa ke mana
dunia ini telah membawanya, berulangulang, ia mencengkeram kepalaku lembut
dengan kedua telapak tangannya dan menatap wajahku dengan terpukau, terkadang
seperti sedang memandangi sebuah lukisan, terkadang seperti tengah menatap
seorang pelacur Mingeria.
Di puncak kenikmatan, ia memekik bagaikan pahlawan legendaries yang dipenggal
dengan satu tebasan pedang dalam lukisanlukisan terkenal yang mengabadikan
pertarungan antara pasukan Persia dan Turania. Kenyataan bahwa pekikan ini bisa
terdengar ke seluruh lingkungan sekitar rumah, membuatku cemas. Seperti
Control About "< ">
seorang empu miniaturis sejati ketika mendapat ilham terhebatnya, seraya
menggenggam pena di bawah tuntunan langsung Allah, tetapi masih bisa menimbang-
nimbang bentuk dan komposisi seluruh halaman yang akan dilukisnya, Hitam terus
mengarahkan tempat kami di dunia ini dari satu sudut di benaknya, bahkan saat ia
sedang berada di puncak tertinggi gairahnya.
"Kau bisa memberi tahu mereka bahwa kau sedang membubuhkan obat ke atas luka-
lukaku," ujarnya dengan terengahengah.
Katakata ini tidak hanya mengangkat warna cinta kami yang berada di jalan ?sempit antara kehidupan dan kematian, larangan dan surga, keputusasaan dan rasa
malu melainkan juga menjadi alasan bagi cinta kami. Untuk dua puluh enam tahun
?berikutnya, sampai suamiku tersayang Hitam tak sadarkan di depan sumur pada
suatu pagi dan mati karena penyakit jantung, setiap siang saat cahaya matahari
merangsek masuk ke dalam kamar dari celah-celah daun jendela dan untuk beberapa
?tahun pertama dengan diiringi suarasuara Shevket dan Orhan bermain main kami
?bercinta, selalu menganggapnya sebagai "membubuhkan obat ke atas lukaluka".
Inilah sebabnya anakanakku yang cemburu, orangorang yang tidak ingin kubuat
menderita karena deraan rasa cemburu atas seorang ayah yang kasar dan pemurung,
bisa terus tidur di ranjang yang sama denganku selama bertahun tahun. Semua
perempuan yang bijaksana akan tahu betapa lebih nikmatnya tidur bergelung dengan
salah satu anaknya daripada dengan seorang suami pemurung yang telah dikalahkan
oleh kehidupan. Kami anakanakku dan aku sangat bahagia, tetapi
? ?Hitam tidak. Alasan yang paling jelas adalah karena luka di bahu dan lehernya
tidak pernah sembuh sepenuhnya. Suamiku tersayang kini menjadi "cacat", demikian
sebutan orangorang tentang dirinya. Namun, hal ini tidak mengganggu
kehidupannya, selain apa yang terlihat. Bahkan ada masa-masa di mana aku
mendengar perempuanperempuan lain yang melihat suamiku dari kejauhan,
menggambarkannya sebagai seorang lelaki tampan. Namun, bahu kanan Hitam lebih
rendah dari yang kiri dan lehernya tetap miring. Aku juga mendengar gunjingan
bahwa seorang perempuan seperti aku hanya bisa menikahi seorang suami yang
menurutnya berada di bawahnya, dan sebagaimana lukaluka Hitam itu menyebabkan
ketidakpuasannya, itu juga menjadi sumber rahasia kebahagiaan yang kami rasakan
bersama. Di antara semua gunjingan itu, mungkin ada juga sebagian yang mengandung
kebenaran. Betapapun aku merasa kehilangan dan sengsara karena tak mampu
melintasi jalan-jalan di Istanbul dengan menaiki seekor kuda yang luar bisaa
cantiknya, dikelilingi dayangdayang, para budak, dan pengawal yang menurut ?Esther pantas kudapatkan. Aku juga sesekali mendambakan seorang suami gagah
perkasa yang mengangkat kepalanya tinggitinggi dan menatap dunia ini dengan
sorot mata penuh kemenangan.
Apa pun penyebabnya, Hitam selalu tampak murung. Karena aku tahu bahwa
kesedihannya tak ada kaitannya dengan bahunya, aku yakin bahwa ada sebuah
rahasia di sudut jiwanya yang membuatnya terasuki jin kesedihan yang selalu
memuramkan suasana hatinya, bahkan dalam saat-saat paling meledak-ledak ketika
kami tengah bercinta. Untuk menenangkan jin tersebut, sesekali ia
Control About "< ">
meneguk anggur, sesekali ia bahkan menghabiskan waktu sehari semalam dengan para
miniaturis mengejar-ngejar bocah lelaki tampan. Ada masa ketika ia menghibur
diri sendiri dengan ditemani para pelukis, penulis kaligrafi, dan para penyair
dalam permainan katakata cabul, katakata bermakna ganda, saling menyindir,
bermainmain dengan kiasan dan sanjungan. Ada pula masa ketika ia melupakan
segalanya dan menyerahkan diri pada tugas-tugas kesekretariatan dan sebuah tugas
administrasi pemerintahan di bawah si Bongkok Siileyman Pasha, dalam pekerjaan
yang berhasil didapatnya. Empat tahun kemudian, ketika Sultan kami mangkat, dan
dengan naik takhtanya Sultan Mehmed yang memalingkan diri dari semua bidang
seni, kegairahan Hitam dalam seni iluminasi dan melukis berubah, dari sebuah
kesenangan yang dilakukan dengan terbuka, menjadi kegiatan rahasia yang
dilakukan di balik pintu yang tertutup rapat. Ada masanya ketika ia membuka
salah satu bukubuku yang diwariskan ayahku pada kami, menatap tajam dengan
perasaan bersalah dan sedih pada sebuah ilustrasi yang dibuat pada zaman
kekuasaan putra Timurleng di Herat ya, Shirin jatuh cinta pada Hiisrev setelah
?melihat lukisan lelaki itu bukan sebagai bagian yang menggembirakan dari
?permainan bakat yang pernah dimainkan di lingkaran dalam istana, melainkan
seakanakan ia sedang menikmati sebuah rahasia amat manis yang telah lama
mengendap dalam ingatannya.
Dalam tahun ketiga pemerintahan Sultan kami, Ratu Inggris mengirimkan pada Yang
Mulia Sultan sebuah jam luar bisaa indah berisi alat musik yang bisa berbunyi
dengan sebuah peniup. Sekelompok utusan dari Inggris merakit jam luar bisaa ini


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah berminggu-minggu bekerja keras dengan beraneka kepingan, roda-roda bergerigi, gambargambar, dan
patungpatung kecil yang mereka bawa dari Inggris, lalu menegakkan jam besar itu
di atas sebuah lereng di Taman Pribadi Istana, menghadap Golden Horn. Kerumunan
orang yang berkumpul di lereng Golden Horn, atau mereka yang datang dengan
perahu dayung untuk menonton, tercengang menyaksikan bagaimana sebuah patung
berukuran manusia dengan hiasan-hiasan yang saling berputar teratur ketika jam
raksasa itu memainkan musik yang rebut dan menakutkan, bagaimana mereka berdansa
dengan elok dan penuh arti dengan sendirinya, seirama dengan melodi musik,
seakanakan mereka adalah makhluk makhluk Tuhan, bukan buatan para hambaNya, dan
bagaimana jam itu menunjukkan waktu pada seluruh Istanbul dengan sebuah genta
yang menyerupai suara lonceng.
Hitam dan Esther memberitahuku dalam beberapa kesempatan yang berbeda, betapa
jam yang sepertinya menjadi pusat keterpukauan yang tiada habisnya bagi kaum
gelandangan Istanbul dan sebagian besar orang yang tak begitu pintar itu,
dianggap sebagai sumber kegelisahan oleh orangorang saleh dan juga oleh Sultan
kami, karena benda itu menjadi simbol kekuatan kaum kafir. Pada suatu waktu,
ketika desas-desus seperti ini menjadi kian ramai, Sultan Ahmed, penguasa
berikutnya, terbangun di tengah malam di bawah bisikan Allah, lalu meraih
tongkat kebesarannya dan keluar dari harem menuju Taman Pribadi, dan kemudian
menghancurkan jam itu beserta patungpatungnya hingga berkeping-keping. Mereka
yang mengabari kami gunjingan itu menjelaskan, betapa tatkala Sultan sedang
tidur, beliau melihat wajah
Control About "< ">
suci Yang Mulia Nabi bergelimang cahaya kudus dan bagaimana Rasulullah
memperingatkan beliau: Jika Sultan kami membiarkan rakyat beliau terpukau oleh
lukisan dan, lebih buruk lagi, oleh bendabenda yang menyerupai manusia, yang
berarti menyaingi ciptaan Allah, rahmat Allah untuk beliau akan dicabut. Mereka
juga menceritakan bagaimana Sultan kami mengambil tongkat kebesarannya dengan
setengah bermimpi. Demikianlah kurang lebihnya yang didiktekan Sultan kami pada
sejarawan beliau yang setia. Sultan memerintahkan buku ini, yang diberi judul
Intisari Sejarah, dikerjakan oleh para penulis kaligrafi, dengan dorongan
berkantung-kantung emas dari beliau, meski beliau melarang buku itu diberi
ilustrasi oleh para miniaturis.
Maka, layunya mawar merah keceriaan seni lukis dan seni iluminasi yang sempat
mekar berseri selama satu abad di Istanbul, dilestarikan lewat ilham dari
negerinegeri Persia. Pertentangan antara
metodemetode yang digunakan para empu Herat zaman dulu dengan para empu kaum
Frank yang melahirkan pertikaian di antara para seniman dan dilema
berkepanjangan itu tidak pernah terselesaikan. Karena seni lukis itu sendiri
telah ditelantarkan, para seniman melukis tidak seperti orang Timur ataupun
orang Barat. Para miniaturis tidak menjadi gusar dan memberontak,
melainkan seperti para manula yang diamdiam terserang sebuah ?penyakit perlahanlahan menerima keadaan yang mereka hadapi dengan besar hati
?dan pasrah. Mereka juga tidak merasa penasaran atau mengangankan karya-karya
para empu besar Herat dan Tabriz yang pernah mereka tiru dengan penuh kekaguman,
atau karya para empu Frank yang metodemetode terbarunya mereka
sukai, walaupun mereka terperangkap dalam kebimbangan antara iri dan benci.
Tepat saat pintupintu rumah tertutup pada suatu malam, dan seluruh kota ditelan
kegelapan, seni lukis juga ditinggalkan. Seni itu bagai terlupakan tanpa ampun
sehingga kita sekali lagi akan memandang dunia dengan cara yang berbeda.
Buku ayahku, sayangnya, tetap tak terselesaikan. Dari tempat Hasan membuat
halamanhalaman yang telah diselesaikan itu berserakan di tanah, halamanhalaman
itu dipindahkan ke Ruang Penyimpanan Harta. Di sana, seorang pustakawan yang
sangkil dan tidak mudah puas menyatukan halamanhalaman itu kembali, dan
menjilidnya dengan ilustrasiilustrasi lain yang tak berhubungan sama sekali
milik bengkel seni itu, dan akibatnya mereka terpisah dalam beberapa bundel
album. Hasan lari dari Istanbul dan menghilang, tidak pernah terdengar kabarnya
lagi. Shevket dan Orhan tidak pernah bisa melupakan bahwa bukan Hitam, melainkan
Paman Hasan merekalah yang telah membunuh pembunuh ayahku.
Menggantikan Tuan Osman yang meninggal dunia setelah dua tahun menjadi buta,
Bangau menjadi Kepala Iluminator. Kupukupu, yang juga mengagumi bakat almarhum
ayahku, mengabdikan sisa hidupnya dengan menggambar desain hiasan untuk karpet,
pakaian, dan tenda. Para empu muda di bengkel seni itu memasrahkan diri pada
pekerjaan serupa. Tak seorang pun yang bersikap seolah olah meninggalkan seni
ilustrasi adalah sebuah kerugian besar. Mungkin karena tak ada seorang pun
pernah melihat wajahnya sendiri digambar di atas halaman kertas itu.
Sepanjang hayatku, diamdiam aku sangat menginginkan dua buah lukisan dibuat
untukku sesuatu yang ?Control About "< ">
tak pernah kukatakan pada siapa pun:
1. Potret diriku sendiri; tetapi aku tahu sekeras apa pun miniaturis Sultan
berusaha, mereka pasti akan gagal, karena andai mereka bisa melihat kecantikanku
sekalipun, tak ada di antara mereka yang akan percaya seraut wajah perempuan
bisa jelita tanpa menggambarkan mata dan bibirnya seperti seorang perempuan
Cina. Andai mereka menganggapku sebagai seorang perempuan Cina yang cantik,
sebagaimana yang akan dilakukan oleh para empu Herat zaman dulu, mungkin mereka
yang melihatnya dan mengenaliku akan mampu membedakan wajahku di balik wajah
perempuan Cina yang jelita itu. Namun, dalam generasi selanjutnya, bahkan jika
mereka menyadari bahwa mataku tidak sungguhsungguh sipit, mereka tak akan pernah
bisa memutus kan bagaimana sesungguhnya raut wajahku. Betapa bahagianya aku hari
ini, di masa tuaku yang kujalani dalam kedamaian bersama anakanakku seandainya? ?aku memiliki sebuah potret diri masa mudaku!
2. Sebuah lukisan kebahagiaan: Yang digambarkan oleh penyair si Pirang Nazim
dari Ran dalam salah satu puisinya. Aku sangat tahu bagaimana lukisan ini harus
dibuat. Bayangkanlah lukisan seorang ibu dengan dua anaknya; anak yang termuda
digendong dalam buaiannya, dininabobokan olehnya sambil tersenyum, sementara si
anak menyusu di payudaranya yang montok dengan bahagia, juga sambil tersenyum.
Sorot mata sang kakak yang cemburu adalah sesuatu yang harus bisa ditangani
seorang ibu. Aku ingin menjadi ibu di dalam lukisan itu. Aku ingin burung di
angkasa digambarkan seolaholah sedang terbang melayang dan di saat yang sama tetap
terdiam di tempatnya selamanya dengan bahagia, dengan gaya para empu Herat zaman
dulu yang mampu menghentikan waktu. Aku tahu itu tidak mudah.
Orhan anakku, yang cukup bodoh untuk bersikap logis atas semua hal,
mengingatkanku bahwa pada satu sisi para empu Herat penghenti waktu itu tak akan
pernah bisa melukiskanku sebagaimana aku yang sesungguhnya, sementara di sisi
lain para empu Frank yang tak henti melukis potret ibu dan anak tak akan mampu
menghentikan waktu. Ia bersikukuh selama bertahuntahun bahwa lukisan
kebahagiaanku itu tak akan pernah bisa dibuat.
Mungkin ia benar. Kenyataannya, kita tidak mencari senyuman dalam lukisan
kebahagiaan, melainkan mencari kebahagiaan hidup itu sendiri. Para pelukis
mengetahui hal ini, tetapi justru hal inilah yang tak mampu mereka lukis. Itu
sebabnya, mereka mengganti kegembiraan melihat dengan kegembiraan kehidupan.
Dengan harapan bahwa ia akan menuliskan kisah ini, yang amat sulit digambarkan,
aku menceritakan semuanya pada Orhan putraku. Tanpa ragu aku memberikan padanya
suratsurat yang pernah dikirimkan oleh Hasan dan Hitam kepadaku, beserta
ilustrasiilustrasi kuda kasar dengan tinta yang telah luntur yang ditemukan di
jenazah Elok Effendi yang malang. Di atas segalanya, jangan sampai tertipu oleh
Orhan, jika ia menggambarkan Hitam lebih abai daripada Hitam yang sesungguhnya,
jika ia menggambarkan kehidupan kami lebih sulit daripada kenyataannya, jika ia
menggambarkan Control About "< ">
Shevket lebih jahat serta aku lebih cantik dan lebih kasar daripada aku yang
sesungguhnya. Tiada dusta yang tak berani dikatakan Orhan demi sebuah kisah yang
menyenangkan dan meyakinkan. 1990-92, 1994-98[]
Kronologi 336-330 SM: Darius menguasai Persia. Ia adalah raja terakhir bangsa Achaemenid,
menyerahkan kekaisarannya setelah ditaklukkan Iskandar Agung.
336-323 SM: Iskandar Agung menduduki takhtanya. Ia menaklukkan Persia dan
menyerang India. Kepopulerannya sebagai pahlawan dan raja menjadi legenda bagi
segenap bangsa Islam bahkan hingga ke zaman modern.
622: Peristiwa Hijrah. Hijrahnya Nabi Muhammad saw. Dari Mekah ke Madinah, dan
dimulainya kalender Islam.
1010: Kitab Para Paja karya Firdausi. Penyair Persia Firdausi (hidup antara 935
1020) mempersembahkan Kitab Para Paja kepada Sultan Mahmud al Ghazni. Episode-
episode mitos dan sejarah Persia dalam kitab itu termasuk serbuan Iskandar, ?kisahkisah kepahlawanan Rustem, dan pertempuran antara Persia dan Turan telah
?memberi ilham bagi para miniaturis sejak abad keempat belas.
1206-1227: Masa pemerintahan penguasa Mongol Jengis Khan. Ia menjajah Persia,
Rusia, dan Cina, serta memperluas kekaisarannya dari Mongolia hingga Eropa.
Sekitar 1141-1209: Penyair Persia Nizami hidup. Ia menulis epik romantis Syair
Lima Seuntai, menyertakan
Control About "< ">
kisahkisah berikut ini yang telah memberi ilham bagi lukisan para miniaturis:
Harta Karun Misteri, Hiisrev dan Shirin, Laiia dan Majnun, Tujuh Gadis Cantik
dan Kitab Iskandar Agung.
1258: Keruntuhan Baghdad. Hulagu Khan (memerintah pada 1251-1265), cucu Jengis
Khan, yang menaklukkan Baghdad.
1300-1922: Kesultanan Utsmaniyah, sebuah kekuatan muslim suni, menguasai Eropa
Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Dalam puncak perluasan kekuasaannya,
kesultanan ini mencapai gerbang-gerbang Wina dan Persia.
1370-1405: Masa kekuasaan penguasa Turki imurleng. Menguasai wilayah-wilayah
yang dikuasai kaum Kambing hitam di Persia. Timurleng menaklukkan wilayah yang
terbentang dari Mongolia hingga Laut Tengah, termasuk sebagian Rusia, India,
Afghanistan, Iran, Irak, dan Anatolia (tempat ia mengalahkan Sultan Utsmaniyah
Bayazid I pada 1402). 1370-1526: Dinasti Timuriyah, didirikan oleh Timurleng, melahirkan kehidupan
intelektualitas dan kebangkitan seni yang cemerlang, dan menguasai Persia, Asia
Tengah, dan Transoxiana. Sekolah-sekolah lukisan miniatur di Shiraz, Tabriz, dan
Herat berkembang luas di bawah dinasti Timuriyah. Pada awal abad kelima belas,
Herat menjadi pusat seni lukis di dunia Islam dan rumah bagi Empu Agung Bihzad.
1375-1467: Kambing hitam, sebuah federasi suku-suku Turkmenistan, berkuasa di
sebagian wilayah Irak, Anatolia Timur, dan Iran. Jihan Shah (memerintah pada
1438-1467), adalah penguasa Kambing hitam terakhir, dan dikalahkan oleh penguasa
Kambing putih Hasan Jnagkung pada 1467.
1378-1502: Federasi Kambing putih dari suku-suku Turkmenistan menguasai wilayah
utara Irak, Azerbaijan, dan Anatolia Timur. Penguasa Kambing putih Hasan
Jangkung (memerintah pada 1452-1478) gagal dalam upayanya menghadang perluasan
bagian timur Kesultanan Utsmaniyah, tetapi ia berhasil mengalahkan penguasa
Kambing hitam Jihan Shah pada 1467 dan penguasa Timuriyah, Abu Said, pada 1468.
Ia memperluas daerah kekuasaannya hingga ke Baghdad, Herat, dan Teluk Persia.
1453: Sultan Utsmaniyah Mehmet si Penakluk mengambil alih Istanbul. Runtuhnya
Kekaisaran Byzantium. Sultan Mehmet kemudian memesan pembuatan lukisan potret
dirinya dari Bellini. 1502-1736: Kekaisaran Safawiyah menguasai Persia. Penetapan mazhab Islam syiah
sebagai agama negara membantu menyatukan kekaisaran. Kekaisaran ini awalnya
berpusat di Tabriz, lalu pindah ke Kazvin, dan kemudian ke Isfahan. Penguasa
Safawiyah pertama, Shah Ismail (memerintah pada 1501-1524), merebut wilayah yang
dikuasai Kambing putih di Azerbaijan dan Persia. Persia dianggap mengalami
kemunduran selama pemerintahan Shah Tahmasp I (memerintah pada
Control About "< ">
1524-1576). 1512: Pelarian Bihzad. Sang miniaturis agung Bihzad bermigrasi dari Herat ke
Tabriz. 1514: Penjarahan Istana Tujuh Surga. Sultan Utsmaniyah, Selim si Muka Masam,
setelah mengalahkan bala tentara Safawiyah di Chaldiran, menjarah Istana Tujuh
Surga di Tabriz. Ia kembali ke Istanbul membawa sejumlah besar buku dan lukisan
Persia yang menakjubkan. 1520-1566: Suleyman yang Agung dan Zaman Keemasan Kebudayaan Utsmaniyah. Masa
pemerintahan Sultan Utsmaniyah, Suleyman yang Agung. Penaklukan penaklukan
penting yang memperluas wilayah kesultanan ke timur dan barat, termasuk
penyerangan Wina yang pertama (1529) dan pengambilalihan Baghdad dari kekaisaran
Safawiyah (1535). 1556-1605: Masa kekuasaan Akbar Khan, Kaisar Hindustan, salah seorang keturunan
Timurleng dan Jengis Khan. Ia mendirikan bengkel-bengkel seni miniaturis di
Agra. 1566-1574: Masa kekuasaan Sultan Utsmaniyah Selim II. Perjanjian damai
ditandatangani dengan Austria dan Persia.
1571: Perang Lepanto. Sebuah perang laut selama empat jam antara pasukan sekutu
Kristen dan pasukan Utsmaniyah yang berakhir dengan serbuan pasukan
Utsmaniyah ke Siprus (1570). Meski pasukan Ustmaniyah kalah, Venesia menyerahkan
Siprus pada Kesultanan Utsmaniyah di tahun 1573. Perang tersebut menimbulkan
pengaruh besar pada rasa percaya diri orangorang Eropa dan menjadi bahan lukisan
Titian, Tintoretto, dan Veronese.
1574-1595: Masa kekuasaan Sultan Utsmaniyah Murat III (di masa inilah peristiwa
peristiwa dalam novel kita ini terjadi). Pemerintahannya menjadi saksi atas
serangkaian pertempuran antara 1578-1590 yang dikenal sebagai perang Utsmaniyah-
Safawiyah. Ia adalah Sultan Utsmaniyah yang paling tertarik pada buku dan seni
miniatur dan ia memerintahkan pembuatan Kitab Keterampilan, Kitab Segala Pesta
dan Kitab Kemenangan yang dikerjakan di Istanbul. Para miniaturis Utsmaniyah
yang paling menonjol, termasuk Osman sang Miniaturis (Tuan Osman) dan murid-
muridnya, ikut andil dalam pengerjaan bukubuku itu.
1576: Tawaran Damai Shah Tahmasp pada Kesultanan Utsmaniyah. Setelah puluhan
tahun bermusuhan, Shah Safawiyah Tahmasp memberi hadiah pada Sultan Utsmaniyah
Selim II, setelah kematian Suleyman yang Agung, sebagai upaya menjalin
perdamaian di masa yang akan datang. Di antara hadiahhadiah yang dikirimkan ke
Edirne, terdapat satu eksemplar Kitab Para Paja yang menakjubkan, dibuat dalam
rentang waktu dua puluh lima tahun. Buku tersebut kemudian dipindahkan ke Ruang
Penyimpanan Harta di Istana Topkapi.
Control About "< ">
1583: Miniaturis dari Persia, Velijan (Zaitun), sekitar sepuluh tahun setelah
kedatangannya ke Istanbul diperintahkan bekerja untuk istana Utsmaniyah.
1587-1629: Masa kekuasaan penguasa Safawiyah asal Persia Shah Abbas I, dimulai
dengan mundurnya ayahnya, Muhammad Khodabandeh. Shah Abbas mengurangi kekuatan
orangorang Turkmenistan di Persia dengan memindahkan ibukota dari Kazvin ke
Isfahan. Ia berdamai dengan Kesultanan Utsmaniyah pada 1590.
1591: Kisah tentang Hitam dan Para Pelukis Istana Utsmaniyah. Setahun sebelum
seribu tahun hijriyah (dihitung dengan kalender bulan), Hitam kembali ke
Istanbul dari timur, dimulainya kejadian-kejadian yang dikisahkan dalam novel
ini. 1603-1617: Masa kekuasaan Sultan Ahmet I yang menghancurkan jam raksasa dengan
patungpatungnya yang dikirimkan kepada sang sultan sebagai hadiah dari Ratu
Elizabeth I. Kereta 450 Dari Paddington 4 Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman Pendekar Guntur 23
^