Pencarian

One Money 1

One For The Money Karya Janet Evanovich Bagian 1


Novel seru yang menyegarkan!
The Washington Post Stephanie Plum kehilangan pekerjaan dan karena sangat butuh uang dia terpaksa
menjadi penangkap penjahat buron. Namun, bukan soal gampang meringkus penjahat
yang satu ini sebab Joc Morclli bukan hanya mantan polisi yang andal, tetapi ?juga "kekasih" pertama Stephanie.
Stephanie bukan detektif biasa, yang terlatih dingin, dan macho. Dia cantik,
seksi, bicara seenaknya, tapi punya nyali dan kejelian biasa. Anda takkan
menyangka akan enemuinya di kawasan keras/ preman, bandar narkoba, perempuan
jalanan.Tapi, tak takut menyatroni semacam itu. dan dipandang remphr dia akan
membukukan kehebat kepada semua orang dan mungh dia mendapat si bad boy idaman
?di sa lalunya itu" A "Janet Evanovich menulis begitu lucu dan penuh gagasan baru'li lliSH
Los Angeles Times Book 9789790240261 #1 NEW YORK TIMES BESTSELLING AUTHOR
Buku ini kupersembahkan untuk suamiku, Peter dengan sepenuh cinta " 2004, Janet
?Evanovich Diterjemahkan dari One for the Money, karangan Janet Evanovich, terbitan St.
Martin's Griffin, New York, 2006
Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit Penerjemah: Fari Hamda Pewajah Isi: Cipa
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta
12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id Cetakan 1: Maret 2008 ISBN: 978-979-
024-026-1 Ada seorang laki-laki yang memasuki kehidupan seorang perempuan dan menyebabkan
kerusakan permanen. Inilah yang dilakukan Joseph Morelli padaku tidak secara
?permanen, tapi secara periodik.
Morelli dan aku sama-sama lahir dan tumbuh di Trenton, daerah pemukiman pekerja
kasar yang biasa disebut Burg alias desa. Rumah-rumah bertingkat dan sempit
dibangun berdempetan. Pekarangan-pekarangn kecil. Mobil-mobil Amerika. Rata-rata
penduduk berasal dari Italia, ditambah cukup banyak keturunan Hongaria dan
Jerman untuk menghalau melejitnya angka pernikahan sebangsa. Burg adalah tempat
yang tepat untuk jajan pizza atau berjudi. Toh, andai kita tidak punya pilihan
lain, berdomisili di Trenton okelah untuk membesarkan keluarga.
Semasa kecil aku jarang bergaul dengan Joseph Morelli. Dia dua tahun lebih tua
dan tinggal dua blok jauhnya dari kami. "Jangan dekat-dekat dengan bocah-bocah
Morelli," ibuku kerap mewanti-wanti. "Mereka liar. Ibu sudah banyak dengar
cerita tentang hal-hal yang mereka lakukan pada gadis-gadis saat berhasil
menggaet kesempatan berduaan."
"Hal-hal macam apa?" korekku, tergelitik.
"Kamu nggak perlu tahu," balas Ibu. "Pokoknya mengerikan. Hal-hal kurang ajar."
Semenjak itulah, aku memandang Joseph Morelli dengan kombinasi antara penasaran
dan takut yang mendekati rasa hormat. Dua minggu kemudian, dengan lutut gemetar
dan perut bergejolak, aku mengekori Morelli masuk ke dalam garasi ayahnya.
Janjinya, ia akan mengajariku permainan baru.
Garasi keluarga Morelli berdiri di ujung tanah mereka, terpisah dan telantar.
Bangunan itu mengenaskan, secercah sinar merembes lewat jendela tunggal yang
bersaput debu. Udara di dalam pengap; bau lapuk, banban bekas serta kaleng-
kaleng oli kosong. Garasi yang tak pernah dimaksudkan untuk memarkir mobil-mobil
keluarga Morelli itu memiliki aneka fungsi lain. Bagi si tua Morelli, untuk
mencambuk putra-putranya dengan ikat pinggang; bagi putra-putranya, untuk onani;
dan bagi Joseph Morelli, untuk mengajak aku, Stephanie Plum, bermain kereta.
"Apa nama permainan ini?" tanyaku pada Joseph Morelli.
"Ting-ting," sahutnya sambil jongkok, berlutut, lalu merangkak ke antara pahaku,
kepalanya nyangkut di kolong rok pendekku yang berwarna merah jambu. "Kamu jadi
terowongan, aku jadi kereta."
Kurasa ini menjelaskan sesuatu mengenai tabiatku. Ternyata, mendengarkan nasihat
bukanlah keahlianku. Atau, bahwa aku lahir dengan rasa ingin tahu yang
berlebihan. Atau, peristiwa ini jangan-jangan berkaitan dengan hasrat
memberontak atau akunya yang lagi jenuh atau memang takdir. Apa pun itu,
kesepakatan yang dibuat sepihak ini sangat mengecewakan, sebab aku cuma kebagian
jadi terowongan, padahal aku pe-ngen banget jadi keretanya.
Sepuluh tahun bergulir, Joe Morelli masih tinggal dua blok dari kami. Ia telah
tumbuh, semakin besar semakin berandalan. Tatapannya, sesaat laksana api hitam,
dan detik berikutnya ibarat cokelat yang lumer di dalam mulutmu. Dia punya tato
elang di dada, gaya jalan arogan khas cowok berbokong kencang dan berpinggang
ramping, serta menyandang reputasi bertangan ramah alias rajin menjamah dengan ?jari-jari yang lihai.
Kata sahabatku, Mary Lou Molnar, ia pernah diberi tahu bahwa Morelli berlidah
kadal. "Astaga," seruku, "apa pula maksudnya?"
"Intinya, jangan pernah mau diajak berduaan sama dia; kujamin kamu bakal tahu
maksudnya. Begitu dia berhasil menjebakmu berduaan ... mampus deh. Kamu jadi
santapannya." Sejak episode kereta dulu, aku jarang melihat Morelli. Jangan-jangan ia telah
memperluas cakrawala eksploitasi seksualnya. Mataku melebar dan aku merapatkan
diri ke Mary Lou, siap mendengar yang terburuk. "Yang kita bahas ini bukan
pemerkosaan 'kan?" "Yang kita bahas ini hawa nafsu! Begitu dimengingin-kan dirimu, tamatlah
riwayatmu. Cowok ini mustahil ditolak."
Selain pernah dijamah di usia enam tahun oleh jemari kau tahu siapa, aku masih
utuh. Niatku menjaga diri sampai pernikahan nanti, atau minimal sampai kuliah.
"Aku masih perawan," cetusku seolah-olah itu bukan berita basi. "Aku yakin dia
nggak berani macam-macam sama perawan."
"Justru spesialisasinya di bidang keperawanan! Semua cewek perawan langsung
mencair di bawah geraya-ngannya."
Dua pekan sesudahnya, Joe Morelli datang ke Tasty Pastry, bakeri tempatku
bekerja saban hari sepulang sekolah. Ia memesan cannolii tabur butiran cokelat,
bercerita bahwa ia bergabung dengan angkatan laut, dan secara ajaib melucuti
celana dalamku empat menit selepas tutup toko, di ubin Tasty Pastry, di belakang
konter kue sus rasa cokelat.
Baru ada kesempatan bertemu dia lagi saat umurku sudah bertambah tiga tahun. Aku
sedang dalam perjalanan ke mal, di balik kemudi Buick ayahku, ketika mataku
tertumbuk pada Morelli yang berdiri di ambang Giovichinni's Meat Market. Aku
menancap gas mesin gede bertenaga V-8 itu, melibas trotoar dan menerjang Morelli
dari belakang hingga ia terjungkal lewat bemper kanan. Kuhentikan mobil dan
keluar untuk mengestimasi kerusakan. "Ada yang patah?"
Ia tergolek di pavemen, menengadah tepat ke arah rokku. "Kakiku."
"Sukurin," ejekku. Lalu aku berbalik di atas tumitku, masuk ke dalam Buick dan
melesat ke mal. Insiden itu harus dicatat akibat kegilaan sesaat, dan sebagai pembelaan, perlu
kutegaskan bahwa sejak hari itu aku belum pernah menabrak orang lain.
Sepanjang musim dingin, angin melanda Hamilton Avenue, melolong lewat celah-
celah jendela, menimbun ceceran sampah di ceruk trotoar dan emperan toko. Selama
musim panas, udara statis dan berkabut tipis, berat oleh kelembapan dan sarat
oleh hidrokarbon, memantul di beton panas dan melelehkan aspal. Para jangkrik
mengerik, bau sampah menyengat, dan debu mengambang di atas lapangan-lapangan
sofbol seluruh negara bagian.
i Sejenis dadar gulung khas Sisilia. ambang
Kurasa, inilah seninya bermukim di New Jersey.
Siang ini, kuputuskan untuk tidak menghiraukan intensitas ozon Agustus yang
bikin kerongkongan gatel dan meluncur dalam Mazda Matiaku dengan atap
konvertibel melorot. Penyejuk udara mengembus kencang, aku bersenandung
mengiringi Paul Simon, wajahku ditampar-tampar oleh ikal-ikal kusut rambutku
yang cokelat sebahu, mata biruku yang selalu waspada sembunyi penuh gaya di
balik kacamata hitam Oakley, dan kakiku mendorong pedal gas dalam-dalam.
Sekarang hari Minggu, aku punya kencan bareng semur daging di rumah orangtuaku.
Singgah di lampu merah, aku melirik spion dan menyumpah begitu melihat Lenny
Gruber dalam sedan perunggu, dua mobil di belakangku. Kujedotkan jidatku ke
setir. "Setan." Aku satu SMU dengan Gruber. Dulu dia bedebah, dan sekarang pun
masih bedebah. Sialnya, dia bedebah yang punya wewenang: pelunasan Matia ini
bermasalah, dan Gruber bekerja sebagai juru sita.
Enam bulan silam, pas beli mobil ini, aku tampil meyakinkan; apartemen yang
menawan, serta karcis terusan pertandingan Rangers. Dan tiba-tiba DOR! Aku kena
PHK. Duit ludes. Selamat tinggal kredit papan atas.
Aku mengecek kaca spion lagi, menggertakkan gigi, dan menarik rem tangan dengan
kasar. Lenny ibarat asap. Saat kita berusaha menangkapnya, ia menguap. Jadi,
jangan sampai peluang terakhir ini untuk bernegosiasi kusiasiakan. Kupaksa
diriku keluar dari mobil, minta maaf pada pria yang terjebak antara Gruber dan
aku, lalu melangkah mantap menuju mobil Gruber.
"Stephanie Plum," sambut Gruber dengan nada ri-ang dan terkejut yang dibuat-
buat. "Suatu kehormatan ber -
jumpa denganmu." Kedua tanganku bertumpu di atap mobil, aku merunduk dan menatapya lewat jendela
yang terkuak. "Lenny, aku mau ke rumah ortu makan malam. Kautak berencana
merampas mobilku sementara aku berada di rumah orangtuaku 'kan" Maksudku, itu
perbuatan kacangan, Lenny."
"Steph, aku ini manusia yang lumayan rendah, itu sebabnya aku mendapat kerjaan
yang halal ini. Boleh dibilang aku tega melakukan apa saja."
Lampu beralih hijau, dan pengemudi di belakang Gruber memijit klakson.
"Mungkin kita bisa mengatur kesepakatan," tawarku pada Gruber.
"Apakah melibatkan tubuhmu dalam keadaan telanjang?"
Terbayang olehku adegan lawakan Three Stoogesz, menyambar dan menarik hidungnya
hingga ia meraung-raung seperti babi. Masalahnya, untuk melakukannya aku perlu
menyentuh dia; mending pilih pendekatan yang lebih berjarak. "Buat malam ini
saja, biarkan mobilnya padaku dulu, dan besok pagi-pagi sekali aku akan langsung
mengantarnya." "No way, * tolak Gruber. "Kau terlalu licin. Sudah lima hari aku menguber mobil
ini." "Jadi, tambah sehari lagi bukan masalah dong."
"Kuharap kautahu terima kasih, paham maksudku?"
Aku nyaris tersedak. "Lupakan. Silakan ambil mobilku. Malah, kau boleh
membawanya detik ini juga. Biar jalan kaki saja ke rumah ortu."
2. Acara komedi Amerika berupa lawakan fisik, ditayangkan pada paruh pertama
abad ke-o, dibintangi oleh tiga laki-laki.
Tatapan Gruber terkunci setengah jalan ke dadaku. Ukuranku 36B. Lumayan
membanggakan tapi tidak berlebihan untuk tinggi badanku, 170 cm. Aku mengenakan
celana pendek spandex hitam dan sweter hoki longgar. Bukan jenis busana yang
layak disebut menggoda, toh Gruber tetap membelalak.
Seringainya melebar, cukup untuk memperlihatkan bahwa gerahamnya tanggal satu.
"Kurasa, aku bisa menunggu sampai besok. Bagaimanapun, kita 'kan dulu satu SMU."
"Hu-uh." Cuma itu yang sanggup kulontarkan. Lima menit kemudian, aku menikung
dari Hamilton memasuki Roosevelt. Kira-kira dua blok dari rumah orang tuaku,
panggilan keluarga menyo dot diriku memasuki jantung Burg. Ini komunitas yang
terdiri atas keluarga-keluarga besar. Di sinilah sumber rasa aman, cinta-kasih,
serta kestabilan dan kepastian yang tercipta lewat ritual-ritual kami. Jam
dasbor mengingatkan aku sudah terlambat tujuh menit, dan desakan untuk berteriak
merupakan tanda, aku telah pulang.
Aku menepi dan memandangi rumah gabungan sempit bertingkat dua, serambinya
dihalau kerai dan jendela-jendela dinaungi awning aluminium. Bagian milik
keluarga Plum dicat kuning, nuansa yang sama sejak 40 tahun, dan beratap sirap
cokelat. Semak snowball mengapit tangga depan yang terbuat dari semen, dan
kembang-kembang kerenyam merah ditata dalam jarak yang seimbang sepanjang
serambi. Pada dasarnya, kediaman ini merupakan sebuah flat. Ruangduduk paling
depan, ruang makan di tengah, dapur di ujung. Tiga kamar tidur dan kamar mandi
mengisi lantai atas. Hunian yang mungil dan hangat, disesaki kelebihan perabot
dan aroma-aroma dapur menguar, tak pernah kekurangan mengakomodasi kebutuhan hidup.
Ny. Markovitz, tetangga yang mengandalkan jaminan sosial sehingga hanya mampu
beli warna obralan, mengecat bagian rumahnya dengan nuansa hijau limau.
Ibu muncul di pintu kasa yang terbuka. "Stephanie," tegurnya. "Ngapain kamu di
luar, cuma duduk-duduk di mobil" Kamu telat buat santap malam. Kamu tahu ayahmu
benci kalau telat makan. Kentang jadi dingin, semurnya mengering."
Di Burg, perkara makan penting sekali. Bulan mengitari bumi, bumi mengitari
matahari, dan penduduk Burg mengitari semur daging. Seingatku, dari dulu
kehidupan orangtuaku dikendalikan oleh irisan-irisan daging sapi gulung seberat
lima pon yang matang tepat pukul enam.
Oma Mazur berdiri dua kaki di belakang Ibu. "Aku juga pengen beli itu,"
cetusnya, membeliak ke arah celana pendekku. "Kakiku masih cukup menarik, tahu."
Ia menyingkap roknya dan menunduk mengamati lututnya. "Gimana" Menurutmu aku
cocok pakai celana sepeda?"
Kedua lutut Oma Mazur persis kenop pintu. Kecantikannya pernah mengalami masa-
masa jaya, tapi seiring tahun yang bergulir, kulitnya melorot dan tulang-
tulangnya bertonjolan. Toh, menurutku jika dia pengen pakai celana sepeda,
biarkan saja. Di mataku, ini salah satu keuntungan tinggal di New Jersey nenek-?nenek pun diizinkan bergaya nyentrik.
Ayahku melontarkan gerutuan muak dari dapur, tempatnya sedang mengiris daging.
"Celana pendek sepeda," gumamnya, mengeplak kening sendiri. "Duh!"
Dua tahun silam, tatkala lemak menyumbat arteri Opa Mazur dan mengirimnya ke
surga babi panggang raksasa,
Oma Mazur mengungsi ke rumah orangtuaku dan tak pernah berencana pindah ke
tempat lain. Ayah menerima hal ini dengan sikap tabah ala Dunia Lama, dipadu
serentet gerundelan yang kurang diplomatis.
Aku ingat cerita Ayah tentang anjing piaraan-nya waktu kecil. Alkisah, anjing
itu adalah anjing paling jelek, paling uzur dan paling dungu. Anjing itu tukang
ngompol, mencecerkan urin ke mana pun ia melangkah. Di balik moncong, giginya
membusuk, pinggangnya didera radang selaput lendir, serta tumor-tumor lebar dan
tebal menimbun di bawah kulitnya. Suatu hari, Opa Plum menggiring si anjing ke
belakang garasi dan menembaknya. Aku curiga, ada kalanya ayahku mengkhayalkan
akhir yang serupa bagi Oma Mazur.
"Seharusnya kamu pakai gaun," cela Ibu seraya menyajikan buncis dan krim bawang
mutiara di atas meja. "Umurmu 30 dan gayamu masih kayak ABG. Gimana mau menjerat
pria baik-baik kalau begitu?"
"Aku tidak menginginkan pria. Aku pernah punya, dan hasilnya aku tidak senang."
"It karena suamimu dulu cuma pantat kuda," celetuk Oma Mazur.
Setuju. Mantan suamiku itu pantat kuda sejati. Terutama saat tertangkap basah di
meja makan kami bersama Joyce Barnhardt.
"Dengar-dengar, putra Loretta Buzick dan istrinya berpisah," singgung Ibu. "Kamu
ingat dia" Ronald Buzick?"
Jelas sekali omongan Ibu ini mengarah ke mana, dan aku menolak diseret ke sana.
"Aku takkan kencan sama Ronald Buzick," tegasku. "Jangan harap."
"Memang apa salahnya si Ronald Buzick?"
Ronald Buzick adalah penjagal daging. Kepalanya mulai botak, badannya gempal,
dan barangkali aku kelewat angkuh dalam urusan ini, tapi menurutku sulit
membayangkan sesuatu yang romantis terhadap laki-laki yang menghabiskan hari-
hari dengan menjejali bo'ol ayam dengan jeroan.
Ibu terus memaksa. "Baik, kalau begitu Bernie Kuntz saja" Aku berpapasan dengan
Bernie Kuntz di binatu, dan dia sempat menanyakan kabarmu. Kurasa dia tertarik
padamu. Aku bisa mengundang dia kemari untuk ngopi dan ngemil kue."
Menakar keberuntunganku belakangan, bisa jadi Ibu malah sudah mengundang Bernie,
dan detik ini juga ia sedang mengitari blok sambil ngunyah Tic-Tac. "Jangan
bahas soal Bernie," potongku. "Ada sesuatu yang perlu kusampaikan pada kalian.
Sedikit kabar buruk ..."
Aku betul-betul dag-dig-dug menghadapi momen ini dan telah menundanya selama
mungkin. Ibu membekap mulutnya dengan tangan. "Kamu menemukan benj olan di payudaramu!"
Di keluarga kami, tak seorang pun pernah menemukan benjolan di payudaranya, toh
ibuku selalu waspada soal yang satu ini. "Payudaraku aman. Pekerjaanku yang
gawat." "Pekerjaanmu kenapa?"
"Aku tak punya lagi. Aku kena PHK."
"Dipecat!" dengusnya tajam. "Bagaimana hal ini bisa menimpamu" Itu pekerjaan
bagus. Kamu mencintai pekerjaanmu itu."
Aku mantan pembelanja lingerie diskon di E. E. Martin, dan aku kerja di Newark,
yang letaknya bu-kan persis di kawasan berpemandangan indah Gar-den State.
Sebenarnya, Ibulah yang jatuh cinta pada pekerjaan
tersebut yang ia bayangkan glamor. Dalam realita, aku keseringan bergelut dengan
harga kancut nilon full fashion. E. E. Martin tak sebanding dengan Victoria's
Secret.

One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan khawatir," ibur ibuku. "Selalu ada lowongan untuk pembelanja lingerie."
"Jarang ada lowongan untuk pembelanja lingerie."
Apalagi bagi mereka yang dulunya kerja di E. E. Martin. Pernah menerima gaji dan
E. E. Martin membuat diriku sama menariknya dengan penderita lepra. Musim dingin
lalu, E. E. Martin memotong anggaran pelicin, sehingga afiliasinya dengan mafia
dipublikasikan. Sang C.E.O dituduh atas praktik bisnis ilegal, E. E.
Martin dijual ke Baldicott, Inc., dan kendati tak punya salah sama sekali, aku
ikut ketiban pangkas pegawai. "Sudah enam bulan aku keluar."
"Enam bulan! Dan aku tidak tahu! Ibumu sendiri tak tahu kamu luntang-lantung di
jalanan?" "Aku tidak luntang-lantung. Ada kalanya aku dapat kerjaan temporer. Pengarsipan
dan sebagaimnya." Dan, semakin terperosok ke dalam jurang. Namaku terdaftar di
seluruh agensi penyalur kawasan Trenton, dan setiap iklan lowongan kubaca dengan
khidmat. Bahkan aku tak piih-pilih lagi, menetapkan batas pada layanan pelanggan
via telepon sampai pengasuh anjing. Namun, masa depanku tampak suram; di level
entri data kelewat berkualifikasi, dan untuk level manajemen kurang
berpengalaman. Dengan garpu, Ayah menambah lagi seiris daging montok ke piringnya. Tiga puluh
tahun lamanya ia bekerja di kantor pos dan ia memilih pensiun dini. Sekarang ia
pengemudi taksi paruh-waktu.
"Kemarin aku ketemu Vinnie, sepupumu," ucapnya.
"Dia butuh orang untuk pengarsipan. Cobalah telepon dia."
Sungguh peningkatan karier yang kuangani mengurus pengarsipan Vinnie. Dari ?seluruh kerabat kami yang kusukai, Vinnie di urutan terakhir. Vinnie itu cacing,
menyimpang secara seksual, betul-betul sampah. "Berapa gajinya?" lontarku.
Ayah mengangkat pundak. "Paling-paling upah minimum."
Hebat. Jabatan yang sempurna bagi orang yang sudah di berkubang dalam
keputusasaan. Bos brengsek, kerj aan brengsek, bayaran brengsek. Alasan-asalanku
untuk mengasihani diri tiada habisnya.
"Dan kabar terbaik adalah, kantornya dekat," dukung Ibu. "Kamu bisa ke rumah
setiap hari buat makan siang."
Aku mengangguk tanpa berpikir dan kurasa aku butuh korek api batangan untuk
menopang kelopak mata, segera.
Sinar mentari menyusupi celah gorden kamarku, unit AC di jendela ruang duduk
berdengung berisik, meramalkan satu pagi gerah lagi, dan jam digital di radioku
menunjukkan pukul sembilan dalam kilau biru elektrik. Hari ini sudah dimulai
tanpaku. Sambil mendesah aku berguling keluar ranjang dan tertatih-tatih menuju kamar
mandi. Kelar dari situ, kuse-ret langkahku ke dapur dan berhenti di depan
kulkas, berharap peri kulkas telah mengunjungiku semalam. Aku menguak pintunya
dan menekuri rak-rak kosong, sadar bahwa makanan ternyata tidak berkloning
secara ajaib dari lelehan mentega dalam tempurung dan kerangka-kerangka penyek
yang mengambang di dasar laci sayur. Yang tersedia untuk menyelamatkanku dari
bencana kelaparan cuma setengah wadah mayones, sebotol dir,
roti gandum utuh berlapis jamur biru, sebonggol selada iceberg kecokelatan dan
lengket di balik plastik pembungkusnya, serta sekotak kepingan hamster.
Kumenimbang-nimbang apakah pukul sembilan pagi terlalu dini untuk minum bir.
Tentu saja di Moskow sudah pukul empat petang. Boleh dong.
Kutenggak setengah botol bir dan dengan muram mendekati jendela ruang duduk.
Kusibak gorden, mengintip pelataran parkir di bawah. Miataku sudah raib. Lenny
telah beraksi dini. Bukan kejutan, namun tetap saja kenyataan ini ibarat biji
nyangkut di tenggorokan; menyakitkan. Sekarang aku sudah resmi jadi orang yang
telah kehilangan segalanya.
Dan, seolah-olah semua ini belum cukup bikin depresi, kemarin aku berjanji pada
Ibu untuk menemui Vinnie. Pertahananku melemah di tengah-tengah hidangan
penutup. Aku memaksa diri berdiri di bawah pancuran dan setengah jam kemudian melangkah
keluar dengan gontai setelah meratap dan meraung sampai tenagaku terkuras habis.
Kujejali tubuhku ke dalam stoking serta setelan, dan siap menuntaskan
kewajibanku sebagai putri Ibu yang baik.
Hamsterku, Rex, masih bobo di kaleng sup dalam kandangnya, di atas bufet dapur.
Kutuang sedikit kepingan hamster ke dalam mangkuknya dan mulutku meniru suara-
suara kecupan. Rex membuka mata kelamnya dan berkedip-kedip. Kumisnya bergetar,
ia mengendus dalam-dalam lalu menolak makanannya mentah-mentah. Aku tak
menyalahkan dia. Waktu sarapan kemarin, aku menyicip sekeping dan memang tidak
terkesan. Aku mengunci apartemen dan berjalan menyusuri St.
James sejauh tiga blok menuju Blue Ribbon Used Cars. Di muka pelataran, sebuah
Nova seharga $500 seakan memohon-mohon agar dibeli. Bodinya berkarat total dan
kecelakaan yang tak terhitung jumlahnya telah membuat Nova itu nyaris tak
dikenali lagi sebagai mobil, apalagi sebagai Chevy. Toh, Blue Ribbon bersedia
menukar si butut itu dengan TV dan VCR-ku. Blender dan microwave-ku juga
kutinggal di sana untuk menebus biaya registrasi dan pajak-pajak.
Aku membawa Nova itu keluar pelataran dan langsung mengarah ke Vinnie. Aku
berhenti di ruas parkir di simpang Hamilton dan Olden, menarik lepas kunci dari
starter dan menunggu mobil itu mati. Seusai doa singkat agar tidak dilihat oleh
seseorang yang kukenal, kuempaskan pintu terbuka dan terbirit-birit melintasi
jarak pendek yang memisahkanku dengan ambang kantor. Reklame biru dan putih di
atas pintu berbunyi "Vincent Plum Bail Bonding Company"]. Dalam huruf yang lebih
kecil tertulis layanan 24 jam mencakup seluruh negeri. Lokasinya strategis,
diapit Tender Loving Care Dry Cleaners dan Fiorello's Deli. Vincent Plum menj
amin perkara-perkara ringan sengketa perceraian, perkelahian, curanmor, ?mengemudi dalam keadaan mabuk, pengutil toko. Kantor itu kecil dan bersahaja,
terdiri atas dua ruangan berpanel walnut dan karpet murahan nuansa karat
membalut lantai. Sebuah sofa Danish, modern dan kaku berlapis kulit imitasi
cokelat, disandarkan pada salah satu dinding area resepsionis, serta sebuah meja
logam hitam-cokelat dengan telepon saluran ganda dan perangkat komputer
bertengger di sudut. Sekretaris Vinnie duduk di belakang meja, kepalanya
3. Usaha ini membayar jaminan tahanan luar atau bebas bersyarat
tenggelam penuh konsentrasi dalam lautan berkas. "Yeah?"
"Aku Stephanie Plum. Aku kemari untuk bertemu sepupuku, Vinnie."
"Stephanie Plum!" Ia menengadah. "Aku Connie Rosolli. Kau satu sekolah dengan
adik perempuanku, Tina. Ya ampun, kuharap kau tidak terjerat pembebasan
bersyarat." Kini aku mengenalinya. Dia adalah Tina dalam versi yang lebih tua. Lebih melar
di pinggang, lebih montok di wajah. Ia memiliki banyak bulu-bulu halus hitam,
kulit buah zaitun yang sempurna, dan bayangan kumis di atas bibir.
"Satu-satunya urusanku di sini untuk cari duit," jelasku pada Connie. "Dengar-
dengar Vinnie butuh orang buat pengarsipan."
"Kami baru saja mengisi lowongan itu, dan jangan bilang-bilang ya, tapi
menurutku kau tak rugi apa-apa. Pekerjaan itu benar-benar payah. Upah minimum,
dan seharian kau harus berlutut sambil nyanyi lagu abjad. Menurutku, kalau harus
melewati segitu banyak waktu di atas lutut, kita bisa cari hal lain dengan
bayaran yang lebih layak. Paham 'kan maksudku?"
Terakhir kali aku berlutut, itu dua tahun yang lalu. Aku mencari lensa
kontakku." "Begini saja, kalau kau sangat butuh pekerjaan, kenapa tidak minta Vinnie
menyerahkan kasus lacak buron padamu" Bayarannya gede lho."
"Sebesar apa?" "Sepuluh persen dari uang jaminan." Connie mencomot berkas dari laci atas. "Yang
ini baru masuk. Pembebasan bersyarat dijamin sebesar $ 100.000, dan ia tidak
menghadiri panggilan pengadilan. Jika kau berhasil membekuk dan membawa dia
kemari, kau dapat $10.000."
Sebelah tanganku bertumpu di meja demi menjaga keseimbangan. "Sepuluh ribu dolar
untuk menemukan seseorang" Di mana jebakannya?"
"Terkadang mereka tak ingin ditemukan, dan mereka menembakmu. Tapi itu jarang
terjadi." Connie membuka-buka berkas itu. "Pria yang kasusnya masuk kemarin ini
penduduk lokal. Morty Beyers sudah mulai melacaknya, jadi hasil investigasi
pendahuluan tersedia. Ada foto-foto dan tetek-bengek lainnya."
"Apa yang terjadi dengan Morty Beyers?"
"Usus buntunya kolaps. Kejadiannya tadi malam pukul 11.30. Dirawat di St.
Francis, ditancapi infus di tangan dan selang di hidung."
Aku tak bermaksud mensyukuri kemalangan Morty Beyers, toh aku mulai bersemangat
membayangkan prospek melangkah pakain sepatunya. Uang tersebut menggiurkan, dan
menyangdang titel profesi ini punya gengsi tersendiri. Di pihak lain, bertugas
menciduk para pelarian terdengar mengerikan, dan sungguh aku pengecut kawakan
bila menyangkut risiko mencederai anggota-anggota tubuhku.
"Kuduga, kau takkan kesulitan menemukan pria ini," sambung Connie. "Kaubicara
saja dengan ibunya. Dan andaikata tak ada hasilnya, kau boleh mengundurkan diri.
Kau takkan kehilangan apa-apa 'kan?"
Kecuali nyawa. "Entahlah. Aku kurang suka ditembak."
"Barangkali, ini seperti menyetir di jalan tol," bujuk Connie. "Barangkali,
lama-lama kita terbiasa. Dari sudut pandangku, hidup di New Jersey merupakan
tantangan, apalah arti semua limbah beracun itu dan kendaraan delapan belas roda
itu dan para skizofren bersenjata itu. Maksudku, apalah arti tambahan satu orang
sinting me-nembakimu?"
Cukup mendekati filosofiku sendiri. Dan $ 10.000 itulah daya tariknya. Aku bakal
sanggup membayar lunas semua kreditor dan menata-ulang hidupku. "Oke," putusku,
"aku akan mengerjakannya."
"Kau harus bilang Vinnie dulu," Connie memutar kursinya ke arah pintu ruang
kerja Vinnie. "Hei, Vinnie!" salaknya. "Kita punya bisnis di luar sini."
Vinnie berusia 45 tahun, tinggi 170 cm tanpa tu-mit sepatunya, dan bodinya
singset, tanpa tonjolan tulang, mirip kus-kus. Ia memakai sepatu berujung
lancip, suka perempuan berpayudara lancip dan pemuda-pemuda berkulit sawo-
matang, dan mobilnya Cadillac Seville.
"Ada Steph di sini. Dia berminat melakukan lacak buron," urai Connie pada
Vinnie. "No way. Terlalu bahaya," larang Vinnie. "Rata-rata agenku pernah bekerja di
bidang keamanan. Dan kau harus paham soal penegakan hukum."
"Aku bisa belajar soal penegakan hukum," dalihku.
"Nah, belajarlah dulu. Nanti balik lagi."
"Aku butuh kerjaan sekarang."
"Bukan masalahku."
Kurasa kini saatnya bersikap keras. "Aku akan menjadikan ini masalahmu, Vinnie.
Aku tinggal berbincang dengan Lucille, panjanglebar."
Lucille adalah istri Vinnie dan satu-satunya wanita di Burg yang tak tahu-menahu
tentang adiksi Vinnie pada seks menyimpang. Tentu saja, andai ia pernah bertanya
... ceritanya akan beda. "Kau memerasku" Sepupumu sendiri?"
"Zaman sekarang semua orang putus asa."
Ia berpaling ke Connie. "Kasih dia kasus-kasus sipil.
Vang urusannya cukup dibereskan via telepon."
"Aku minta yang ini," tuntutku, menuding berkas di meja Connie. "Aku mau kasus
senilai $10 .000 ini."
"Lupakan. Itu pembunuhan. Seharusnya tak usah diberi jaminan, tapi dia warga
Burg, dan aku kasihan pada ibunya. Percaya deh, kau takkan senang terlibat
urusan macam itu." "Aku butuh duit, Vinnie. Kasih aku kesempatan menyeret dia kemari."
"Asal neraka beku dulu," tolak Vinnie. "Kalau kehilangan orang ini, aku kena 100
rebu. Nggak bakalan aku kirim amatiran buat ngejar dia."
Connie memutar-mutar bola matanya padaku. "Kesannya dia bayar dari kantong
sendiri. Pemilik kantor Vinnie perusahaan asuransi. Jadi, itu bukan persoalan
besar." "Beri aku rentang seminggu, Vinnie," mohonku. "Andai aku gagal membekuk dia
dalam seminggu, kau tinggal mengalihkan kasusnya ke orang lain."
"Setengah jam pun takkan kuberi."
Kutarik napas dalam-dalam dan mencondongkan tubuh ke Vinnie, berbisik di
telinganya. "Aku tahu tentang Madam Zaretski dan pecut serta borgolnya. Aku tahu
tentang cowok-cowok berondong. Dan aku tahu soal bebek itu."
Vinnie tidak menyahut. Bibirnya mengatup hingga memutih, dan kutahu aku menang.
Lucille bakal muntah-muntah bila tahu apa yang dilakukan suaminya pada si bebek.
Lantas dia akan mengadu ke ayahnya, Harry Si Palu, dan Harry akan memancung
titit Vinnie. "Siapa buronan kita?" tanyaku pada Vinnie.
Vinnie mengangsurkan berkasnya. "Joseph Morelli."
Jantungku melonjak dalam dadaku. Aku tahu Morelli
terlibat pembunuhan. Peristiwa ini sempat jadi berita heboh di Burg, perincian
penembakan menciprati halaman utama Trenton Times. ANGGOTA KEPOLISIAN MEMBUNUH
PRIA TAK BERSENJATA. Itu sebulan lalu, dan isu-isu lain yang lebih penting
(semisal jumlah total lotere) telah menggantikan pembahasan mengenai Morelli.
Karena tiadanya informasi lanjutan, aku berasumsi bahwa penembakan itu berkaitan
dengan dinas. Tak kusadari Morelli digugat atas pembunuhan.
Reaksiku tak luput dari Vinnie. "Dari tampangmu, ku-tebak kaukenal dia."
Aku mengangguk. "Waktu SMU aku pernah menjual cannoli padanya."
Connie menggeram. "Sayang, setengah dari seluruh perempuan di New Jersey menjual
cannoli-nya pada Morelli."
Kubeli sekaleng soda di Fiorello's dan aku melangkah ke mobil sembari minum. Aku
menyelinap di balik kemudi dan, menyerah pada hawa gerah, aku melepas dua
kancing blus sutra merahku serta melucuti stoking. Lalu, aku membuka-buka berkas
Morelli, pertama menilik foto-foto beberapa diambil saat penangkapan Morelli, ?ada pula jepretan jarak jauh dirinya dalam balutan jaket pilot cokelat dan jins,
serta sebuah pose formal memakai kemeja dan dasi, jelas dikliping dari dokumen
kepolisian. Ia tak banyak berubah. Agak kurusan, mungkin. Tulang wajahnya lebih
tegas. Sedikit kerut di mata. Parut tipis luka melintangi alis kanannya,
mengakibatkan kelopaknya agak turun. Kesan yang keseluruhan bikin merinding.
Mengancam. Morelli pernah menyalahgunakan kenaifanku, bukan hanya sekali tapi dua kali.
Sehabis berbuat di lantai bakeri, ia tak pernah menelepon, tak pernah mengirim
kartu pos, bahkan tak mengucapkan selamat tinggal. Dan bagian yang terburuk, aku
justru mengharap teleponnya. Mary Lou Molnar benar soal Morelli. Dia memang
perayu ulung. Semua itu tinggal sejarah, kutegaskan pada diriku. Dan rentang 11 tahun
belakangan, aku tak melihat laki-laki itu lebih dari dua atau tiga kali, dan itu
pun cuma dari jauh. Morelli hanyalah kenangan dari masa kecilku, dan perasaanku saat masih kanak-
kanak tak punya tempat di masa kini. Aku punya tugas yang harus dituntaskan.
Jelas dan sederhana. Tak ada maksud membalas luka lama. Menemukan Morelli tak
berkaitan dengan dendam. Menemukan Morelli berkaitan dengan uang sewa. Yeah,
yang benar saja. Karena inilah perutku tiba-tiba mulas.
Berdasarkan informasi dalam kontrak jaminan, Morelli berdomisili di kompleks
apartemen yang berdekataan dengan Route 1. Sepertinya itu tempat terbaik untuk
mulai menyidik. Kusangsikan Morelli ada di apartemennya, tapi aku bisa
mewawancarai para tetangga dan memeriksa apakah ia mengambil surat-suratnya.
Aku meletakkan berkas itu di samping dan dengan berat hati menyusupkan kaki ke
dalam sepatu hitamku yang bertumit tinggi. Kuputar kunci starter. Tak ada
respons. Tinjuku menggebrak dasbor dengan kencang dan aku menggeram puas saat
mesin menyala. Sepuluh menit kemudian, kumasuki halaman parkir Morelli. Gedung-gedung bata,
bertingkat dua, utiliter. Tiap gedung dilengkapi dua jalur beratap. Delapan
apartemen berjejer sepanjang jalur-jalur itu, empat di atas, empat di bawah.
Kupadamkan mesin dan memantau nomor-nomor pintu. Morelli menempati apartemen
ujung di lantai dasar. Sejenak aku duduk saja, merasa tolol dan tak becus. Andai Morelli ada di rumah,
apa yang harus kulakukan" Mengancam akan mengadu pada ibunya jika dia tak mau
ikut dengan sukarela" Laki-laki ini dicari karena membunuh. Banyak yang dia
pertaruhkan. Aku tak bisa membayangkan ia mencederaiku, namun ada kemungkinan
besar aku bakal mempermalukan diri. Bukannya aku tipe
orang yang membiarkan aib kecil menghalangi perangaiku yang membabi-buta saat
nyemplung dalam proyek-proyek bodoh ... seperti pernikahanku yang nahas dengan
Dickie Orr, si bokong kuda. Memori itu membuatku mengernyit tanpa sadar. Sulit
dipercaya aku betul-betul menikahi seorang pria bernama Dickie.
Oke, batinku, lupakan Dickie. Sekarang adalah proyek Morelli. Periksa kotak
suratnya, lantas apartemennya. Bila aku beruntung (atau apes, tergantung caramu
memandangnya), karena ternyata Morelli membuka pintunya, aku tinggal asal
mengarang dusta dan cabut. Setelah itu aku akan menelepon polisi dan biarlah
mereka yang menangangi urusan fisik.
Aku melangkah mantap menyeberangi aspal dan dengan cermat meneliti deretan kotak
surat yang menjorok dari dinding bata. Seluruhnya disesaki amplop-amplop; milik
Morellilah yang paling penuh. Aku menyusuri jalur beratap dan mengetuk pintu
apartemennya. Tak ada jawaban. Betapa mengejutkan. Aku mengetuk-ulang dan
menunggu. Nihil. Kuberjalan mengitari bangunan dan menghitung jendela-jendela.
Empat punya Morelli dan empat punya apartemen yang memunggungi miliknya. Morelli


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah mengatupkan kerai. Toh aku tetap mendekat, sambil mengendap-endap,
berusaha mengintip lewat celah antara pinggir kerai dan tembok. Andai kerainya
mendadak tersibak dan seraut wajah nongol, aku pasti ngompol di tempat.
Untungnya, kerai itu tidak tersibak, dan sayangnya aku tak berhasil melihat ada
apa di baliknya. Kembali ke jalur beratap, dan aku mendatangi tiga apartemen
yang lain. Dua pintu tidak disahut. Yang terakhir dihuni oleh wanita uzur yang
selama enam tahun tinggal di situ tak pernah melihat Morelli. Jalan buntu.
Aku kembali ke mobil dan duduk di sana, merenungkan langkah selanjutnya. Di
pelataran ini tidak ada aktivitas tak ada gelegar televisi dari jendela yang ?terbuka, tak ada anak-anak bersepeda, tak ada anjing buang hajat di rumput. Ini
bukan jenis tempat tinggal yang dihuni keluarga, simpulku. Bukan lingkungan
tempat para tetangga saling kenal.
Sebuah mobil sporty melesat masuk dan menikung jauh dariku, berhenti di salah
satu petak parkir kosong di depan. Si pengemudi diam sebentar di belakang setir,
dan aku bertanya-tanya apakah ia janjiandengan seseorang. Lantaran tak punya
kegiatan lain untuk dikerjakan, aku menunggu untuk melihat apa yang akan
terjadi. Selang lima menit, pintu pengemudi terkuak, seorang pria keluar dan
berderap ke jalur beratap dekat apartemen Morelli.
Aku tak percaya penglihatanku. Orang itu sepupu Joe, Mooch Morelli. Mooch pasti
punya nama sungguhan, namun aku tak ingat siapa. Selama mengenalnya, dia selalu
dipanggil Mooch. Waktu kecil ia tinggal satu jalan dari St. Francis Hospital. Ke
mana-mana selalu bersama Joe. Aku bersilang jari dan berharap Mooch tersayang
datang mengambil barang yang dititipkan Joe pada tetangga. Atau, barangkali
Mooch sedang membobol jendela apartemen Joe dengan linggis. Hatiku mulai gembira
membayangkan Mooch melakukan pendobrakan ketika ia muncul dari belakang gedung,
kunci di tangan, dan menyilakan diri masuk ke apartemen Morelli lewat pintu
depan. Aku menanti dengan tegang, dan sepuluh menit kemudian Mooch nongol lagi sambil
menenteng sebuah tas marinir hitam, naik mobil dan segera berangkat. Kutunggu
dia keluar dari parkiran, lantas aku membututinya. Aku
menjaga jarak sejauh beberapa mobil di belakangnya, memegang setir hingga jari
memutih dan jantung berpacu dalam dadaku, gamang oleh janji $ 10.000 itu.
Aku menguntit Mooch ke State Street dan mengawasinya berhenti di sebuah jalur
pribadi. Aku mengitari blok dan parkir beberapa rumah jauhnya. Pada suatu
ketika, area ini merupakan lingkungan mewah terdiri atas rumah-rumah bata yang
megah dan luas, pekarangan-pekarangan terpelihara apik. Di era 1960-an, tatkala
blockbusting4 masih jadi praktik populer kaum liberal, salah seorang pemilik
rumah di State Street menjual rumahnya pada sebuah keluarga kulit hitam, dan
dalam kurun lima tahun berikutnya seluruh penduduk panik dan hengkang. Keluarga-
keluarga yang lebih miskin pindah kemari, rumah-rumah akhirnya kurang terawat
dan dirombak jadi flat, halaman-halaman telantar, jendela-jendela dibarika-de.
Namun, seperti yang sering menimpa lokasi-lokasi terbaik, bilangan ini sedang
diklaim kembali. Mooch keluar dari rumah itu selang beberapa menit. Dia sendirian dan tanpa tas
marinir tadi. Astaga, ini pasti jejak. Seberapa besar peluang Joe Morelli sedang
duduk di dalam rumah tersebut dengan tas itu di atas pangkuan" Menurutku cukup
besar. Barangkali layak diselidiki. Sekarang ada dua pilihan. Menelepon polisi
detik ini juga, atau pergi memeriksa sendiri. Bila aku memanggil polisi padahal
Morelli tidak di dalam, aku akan kelihatan konyol, dan mereka takkan repot-repot
datang menolongku untuk kedua kalinya nanti. Di lain pihak, aku sungguh tak
ingin menyelidiki sendiri. Bukan sikap yang pantas bagi se-4 Praktik yang biasa
digunakan oleh agen teal estate untuk meyakinkan para pemilik properti agar
menjual harta mereka dengan memberi kesan bahwa sebuah lingkungan sedang
berubah, dianggap ilegal di A.S.
seorang yang baru saja diterima sebagai pemburu buron, namun apa daya.
Aku berlama-lama memantau rumah itu, berharap Morelli melenggang keluar supaya
bukan diriku yang perlu melenggang masuk ke sana. Aku melirik jam dan memikirkan
makanan. Hingga saat ini yang kutelan buat sarapan cuma bir. Aku menoleh ke
belakang lagi ke arah rumah. Berhasil menuntaskan tugas ini setara ketiban emas
batangan dan aku dapat menghamburkan uang kecil di dasar tasku demi sepotong
hamburger. Motivasi. Kutarik napas dalam-dalam, membuka pintu, dan memaksa diri turun dari mobil.
Kerjakan saja, perintahku. Jangan bikin rumit sesuatu yang sederhana. Jangan-
jangan malah dia tidak berada di sana.
Aku melangkah penuh tekad, bergumam sendiri selagi menyusuri trotoar. Tiba di
rumah itu aku masuk tanpa ragu. Kotak-kotak surat di selasar menunjukkan adanya
delapan apartemen. Semua pintu apartemen itu membuka pada lorong tangga. Seluruh
kotak surat dilabeli kecuali apartemen 201. Tak satu pun dari nama itu Morelli.
Lantaran tak punya rencana yang lebih bagus, kuputuskan untuk mendatangi pintu
misterius itu. Seraya naik tangga, adrenalin meningkat dalam nadiku. Tiba di
lantai dua, jantungku melonjak-lonjak. Demam panggung, batinku. Sangat normal.
Aku menghirup udara beberapa kali dan tanpa pikir panjang berhasil menyeret diri
ke pintu tujuan. Sebuah tangan mengetuk pintu tersebut. Edan, ini 'kan tanganku.
Ada yang bergerak di balik pintu. Di dalam sana ada seseorang, mengamatiku lewat
lubang intai. Morelli kah" Aku yakin sekali. Udara macet dalam paru-paruku, dan
denyut nadiku menyakiti kerongkongan. Kenapa aku melakukan hal ini" Aku
pembelanja lingerie murah. Tahu apa aku soal pembunuh"
Jangan ingat dia sebagai pembunuh, tegasku. Ingat bahwa dia penjahat kelamin.
Ingat bahwa dia laki-laki yang menodaimu lantas menulisnya detail-detailnya di
tembok kamar mandi pria Mario's Sub Shop. Aku menggigiti bibir, melontarkan
senyum canggung, penuh harap dan keraguan pada sosok di belakang lubang intai,
meyakinkan diri bahwa penjahat kelamin manapun takkan tahan untuk menolong cewek
bertampang begini polos dan bodoh.
Sesaat berlalu. Aku nyaris bisa mendengar Morelli mengumpat dalam hati, berdebat
sendiri apakah sebaiknya membuka pintu atau tidak. Aku melambai kecil dengan
jariku pada lubang intai itu. Malu-malu, tidak mengancam; memperlihatkan aku ini
tidak berbahaya serta yakin bahwa dia ada di situ.
Selot digeser, pintu dibuka dengan kasar, dan tahu-tahu aku sudah berdiri tepat
di depan muka Morelli. Mimiknya pasif-agresif, suaranya tak sabaran. "Apa?"
Dia lebih tegap dari yang kuingat. Lebih bengis. Matanya lebih waspada, garis
mulutnya lebih sinis. Aku kemari dalam rangka mencari bocah yang mungkin
membunuh karena ledakan emosi. Kuduga pria di hadapanku ini sanggup membunuh
dengan ketidakacuhan pro fesional.
Aku diam sejenak untuk memantapkan suara dan mengarang dusta. "Aku mencari Joe
Juniak ..." "Kau salah apartemen. Tak ada yang namanya Juniak di sini."
Pura-pura bingung. Memaksa senyum tipis. "Maaf ..." Aku mundur selangkah dan
hendak menuruni tangga ketika Morelli sadar.
"Yesus Kristus!" sambarnya. "Stephanie Plum?"
Nada itu dan makna di baliknya akrab di telingaku. Ayah memakai nada itu setiap
kali memergoki anjing keluarga Smullen mengangkat sebelah kakinya dekat-dekat
semak hortensianya. Aku tidak tersinggung, batinku. Dari awal aku sudah tahu di
antara kami berdua tak pernah ada cinta. Ini justru mempermudah misiku.
"Joseph Morelli," cetusku. "Sungguh menggemparkan."
Tatapannya memicing. "Yeah. Hampir sama menggemparkan dengan waktu mobil ayahmu
melibasku." Demi menghindari konfrontasi, kurasa aku perlu memberinya penjelasan. Bukan
berarti harus melakukannya secara meyakinkan. "Itu kecelakaan. Kakiku selip."
"Itu bukan kecelakaan. Kamu menerjang undakan sialan itu dan mengejarku di atas
trotoar. Kamu nyaris membunuhku." Ia membungkukkan badan lewat ambang pintu dan
melongok ke lorong. "Jadi, sebenarnya kamu ngapain kemari" Kamu baca tentangku
di koran dan memutuskan hidupku belum cukup berantakan?"
Rencanaku buyar seketika. "Aku bisa saja kurang peduli pada hidupmu yang kacau,"
salakku. "Aku kerja buat Vinnie, sepupuku. Kamu melanggar kontrak pembebasan
bersyarat." Bagus, Stephanie. Kendali-diri yang luar biasa. Dia meringis.
"Vinnie mengirim kamu untuk meringkusku?" "Menurutmu ini lucu?"
"Yak, menurutku lucu. Asal tahu ya, aku benar-benar menikmati leluconmu, sebab
aku jarang ketawa belakangan ini."
Aku bisa menghargai sudut pandangnya. Andai aku
terancam 20 tahun penjara, aku juga gak bakalan ketawa. "Kita harus bicara."
"Bicaralah, tapi cepat. Aku buru-buru."
Rupanya aku punya sekitar empat puluh detik untuk membujuknya menyerahkan diri.
Langsung saja tembak dengan gertakan yang paling ampuh. Pancing rasa bersalahnya
terhadap keluarga. "Bagaimana dengan ibumu?"
"Ada apa dengan ibuku?"
"Ibumu yang menandatangani kesepakatan bebas bersyaratmu. Ia bakal terpaksa
bayar $100.000. Ia bakal terpaksa menggadaikan rumahnya. Dan dia harus bilang
apa ke orang-orang, bahwa Joe, putranya, terlalu ciut untuk menghadap
pengadilan?" Ekspresinya mengeras. "Kamu buang-buang waktu. Aku tak berniat kembali ke
tahanan. Mereka akan mengurungku dan membuang kuncinya, dan selama di sana ada
kemungkinan besar aku mati. Kamutahu apa yang menimpa polisi yang masuk penjara.
Bukan hal-hal yang menyenangkan. Dan kalau kamu mau tahu lebih banyak kenyataan
pahit, kamulah orang terakhir yang akan kubiarkan mendapat uang itu. Kamu cewek
sinting. Kamu menggilingku dengan Buick jahanam."
Kuingatkan-diri, aku tak peduli pada Morelli maupun pendapatnya tentangku, tapi
sejujurnya, kemurkannya ini menyakitkan. Di lubuk hati, aku sempat berharap dia
memendam rasa sayang padaku. Aku pernah ingin bertanya kenapa ia sama sekali tak
meneleponku setelah merayuku di bakeri itu. Sebaliknya, aku membentaknya. "Kamu
layak digiling. Dan lagi-pula, aku cuma sedikit menyerempetmu. Satu-satunya
alasan kakimu patah adalah, kamu panik dan keselengkat kaki sendiri."
"Masih untung aku tidak menuntutmu."
"Masih untung aku tidak mundurin mobil dan bolak-balik menggilasmu tiga atau
empat kali." Morelli memutar-mutar mata dan mengayunkan tangannya ke udara.
"Aku mau cabut. Senang juga berdiri di sini dan berusaha memahami logika wanita
..." "Logika wanita" Maksudmu?"
Morelli berbalik menjauh dari pintu, mengenakan jaket olahraga tipis, dan
menyambar tas nilon hitamnya dari lantai. "Aku harus pergi dari sini."
"Kamu mau ke mana?"
Ia menyikutku agar minggir, menyelipkan sepucuk pistol hitam sangar ke balik
pinggang Levi'snya, mengunci pintu dan mengantongi kuncinya. "Bukan urusanmu."
"Dengar ya," cecarku, mengekor dia turun tangga. "Memang aku baru di bidang ini,
tapi aku bukan orang dungu, dan aku pantang menyerah. Aku janji pada Vinnie
untuk menggeretmu ke sana dan itulah tekadku. Silakan kabur kalau mau, toh aku
bakal melacak dan menemukanmu, dan aku akan mengupayakan segalanya untuk
meringkusmu." Cuma gertak sambal! Aku tak percaya aku berpidato begitu. Kali ini saja aku
berhasil menemukan dia berkat faktor keberuntungan. Dan, satu-satunya cara aku
bisa menangkapnya lain kali adalah jika kebetulan menemukan dia dalam keadaan
terikat, pingsan, mulut disumpal. Bahkan, aku tak yakin sejauh mana aku kuat
menyeret tubuhnya. Dia keluar lewat pintu belakang dan berderap menuju sebuah mobil model terbaru
yang parkir dekat gedung. "Jangan repot-repot mencatat nomor pelat," singgung
Morelli. "Ini mobil pinjaman, satu jam dari sekarang sudah
pasti kutukar. Dan tak perlu buang waktu menguntitku. Aku pasti lolos darimu,
kujamin itu." Ia melempar tas marinirnya ke jok depan, bersiap naik mobil, dan berhenti. Ia
berpaling dan menegakkan punggung, sikunya bertumpu di bingkai pintu. Lalu,
untuk pertama kali sejak aku muncul di pintu apartemennya, ia terpekur sebentar
untuk betul-betul memandangiku. Gejolak amarah awal telah reda, kini ia sedang
menilaiku diam-diam. Inilah sang polisi, batinku. Morelli yang belum kukenal.
Morelli yang sudah dewasa, andai binatang jenis itu memang ada. Atau jangan-
jangan hanya Morelli yang dulu, mencari celah baru.
"Aku suka rambutmu panjang dan ikal begini," pujinya pada akhirnya. "Cocok
dengan pribadimu. Penuh energi, kurang terkendali, seksi parah."
"Kamu tak tahu apa-apa soal kepribadianku."
"Aku tahu bagian-bagian yang seksi parah." Wajahku meradang. "Tidak sopan
mengingatkan hal itu padaku."
Morelli menyeringai. "Betul. Dan barangkali kamu ada benarnya waktu naik Buick
itu dulu. Jangan-jangan aku memang pantas ditabrak."
"Apakah ini permintaan maaf?"
"Bukan. Tapi lain kali kita main kereta, kamu boleh pegang senternya."
Hampir pukul satu saat kukembali ke kantor Vinnie. Kuempaskan tubuh di kursi
depan meja Connie dan mendongak untuk menikmati AC secara maksimal.
"Kau habis joging di luar?" tanya Connie. "Belum pernah kulihat keringat
sebanyak itu semenjak Nixon."
"Mobilku kedap udara."
"Kasihan. Gimana perkara Morelli" Kau dapat petunjuk?"
"Karena itulah aku kemari. Aku butuh pertolongan. Ternyata urusan sergap-buron
nggak segampang itu. Aku perlu konsultasi dengan ahlinya profesi ini."
"Kutahu siapa yang tepat. Ranger. Nama lengkap Ricardo Carlos Manoso. Keturunan
Kuba-Amerika, generasi kedua. Pernah dinas militer di pasukan khusus. Sekarang
kerja buat Vinnie. Ia menangani pelacakan dan penyergapan yang bagi agen lain
hanya terjadi dalam mimpi. Kadang-kadang dia agak kreatif, tapi yah, orang
genius memang suka begitu 'kan?"
"Kreatif?" "Tidak selalu taat aturan main." "Oh."
"Persis Clint Eastwood di film Dirty Harry," cerocos Connie. "Kau tak bermasalah
dengan Clint Eastwood 'kan?"
Ia memijit sebuah tombol sambungan kilat, terhubung dengan penyeranta Ranger dan
berpesan agar ditelepon balik. "Jangan khawatir," lanjutnya, tersenyum. "Orang
ini akan memberitahumu semua yang perlu kauketahui."
Sejam sesudahnya, aku duduk berhadapan dengan Ranger Manoso di sebuah kafe pusat
kota. Rambutnya yang hitam lurus diekor kuda. Bisepnya bak granit dipahat dan
dibuat mengilap dengan Armor All. Tinggi sekitar 180 cm, leher kekar, dan
berpotongan jangan macam-macam sama gua. Kuperkirakan usianya akhir 20-an.
Ia bersandar ke belakang dan nyengir. "Jadiiiii, Connie bilang aku diharapkan
menjadikan dirimu agen andal pemburu buron. Katanya kaubutuh kursus kilat.
Kenapa buru-buru?" "Lihat Nova cokelat di luar sana?" Tatapannya beralih ke jendela. "Hu-uh." "Itu
mobilku." Ia manggut-manggut, nyaris tak kentara. "Jadi, kau butuh duit. Ada hal lain?"
"Alasan pribadi."
"Itu bisnis yang berbahaya. Moga-moga alasan pribadimu itu layak dikejar."
"Apa alasanmu sendiri melakukannya?"
Ia membalik telapak tangannya ke atas. "Ini yang paling mahir kukerjakan."
Jawaban yang jitu, batinku. Lebih berbobot ketimbang jawabanku sendiri. "Mungkin
suatu hari nanti aku juga bakal jadi jagoan profesi ini. Sementara, tujuanku
hanyalah memiliki pekerjaan tetap."
"Vinnie menyerahkan kasus padamu?"
"Joseph Morelli."
Kepalanya tengadah dan dia ngakak, gelegarnya memantul di dinding kedai sandwich
kecil ini. "Ah, gila! Kau becanda 'kan" Mustahil kau nangkap jagoan kita itu.
Ini beda dengan ngejar berandalan punk. Laki-laki ini cerdik. Dia kelas kakap.
Kaupaham maksudku?" "Kata Connie kau kelas kakap."
"Ini aku, dan itu kau, dan kau nggak bakalan semahir aku, Nona Manis."
Tatkala suasana hatiku sedang baik pun, aku orang yang kurang sabar, dan detik
ini suasana hatiku sedang jauh dari baik. "Mari kujelaskan situasinya," tukasku,
memajukan tubuh. "Aku dipecat. Mobilku disita, kulkasku kosong-melompong. Aku
mungkin ditendang keluar dari apartemenku, dan sepatu ini kesempitan. Aku tak
mau buang-buang tenaga untuk bersosialisasi. Kau akan membantuku atau tidak?"
Manoso menyeringai. "Ini bakal lucu. Ini Professor Higgins dan Elizabeth
Doolittles versi Trenton."
"Aku harus memanggilmu apa?"
"Nama bekenku. Ranger."
Tangannya terentang ke seberang meja untuk meraih berkas yang kubawa. Ia membaca
sekilas kesepakatan pembebasan bersyarat. "Kau sudah mulai investigasi" Kau
sudah memeriksa apartemen Morelli?"
"Dia tidak di sana, tapi aku beruntung dan bisa menemukan dia di sebuah
apartemen di State Street. Aku tiba di sana pas dia mau berangkat."
"Dan?" "Dia pergi." "Sial," decak Ranger. "Kau nggak dikasihtau ya, kau diharapkan mencegah dia."
"Kuminta dia ikut denganku ke kantor polisi, tapi katanya dia nggak mau."
Bahana tawa lagi. "Kurasa kau belum punya pistol?"
"Menurutmu sebaiknya aku punya pistol?"


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Barangkali ini gagasan yang cukup bijak," sahutnya, masih terkekeh. Ia selesai
membaca kesepakatan j aminan. "Morelli menghabisi seorang laki-laki bernama
Ziggy Kulesza. Pakai senjata pribadinya, ia menjejalkan sebutir peluru
hydroshock 45 di antara kedua mata Ziggy, dari jarak dekat." Ranger mendelik
padaku. "Kautahu apa soal senjata?"
"Yang kutahu, aku tak suka benda itu."
"Peluru hydroshock 45 menerjang masuk lempeng dan
5. Dalam drama Pygmalion karya Bernard Shaw, Professor Higgins bertaruh dengan
Kolonel Pickering, ia bisa mengubah Eliza Doolittle, seorang gadis penjual bunga
yang kampungan, jadi seorang perempuan terpelajar dengan mengajarinya bicara
dengan logat kelas atas dan etiket pergaulan
rapi, tapi saat meledak hasilnya adalah bolongan seukuran kentang. Kau berakhir
dengan otak berceceran ke seluruh penjuru. Kepala Ziggy pasti meletus seperti
telur dalam microwave."
"Halah. Baik sekali kau menceritakan ini padaku."
Senyumnya mencerahkan seisi ruangan. "Kukira kau pengen tahu." Ia kembali
menyender di kursi dan bersedekap. "Kautahu sedikit latar belakang perkara ini?"
"Berdasarkan artikel-artikel koran yang oleh Morty Beyer dilampirkan di belakang
kesepakatan jaminan, penembakan terjadi larut malam, kira-kira sebulan silam di
sebuah gedung apartemen di Shaw. Morelli sedang bebas tugas dan pergi
mengunjungi Carmen Sanchez. Menurut pengakuan Morelli, setelah Carmen
meneleponnya mengenai urusan kepolisian, ia bergegas berangkat dan waktu tiba di
apartemen Carmen, Ziggy Kulesza membuka pintu dan menerjangnya. Morelli
mengklaim, dia menembak Ziggy sebagai tindakan beladiri."
"Para tetangga Carmen menyampaikan versi yang berbeda. Sebagian menghambur ke
lorong begitu mendengar tembakan dan melihat Morelli menjulang di atas Kulesza
dengan pistol yang masih berasap. Salah seorang penghuni menahan Morelli sampai
polisi datang. Tak seorang pun ingat adanya pistol di tangan Ziggy, dan
penyidikan di lapangan tidak menghasilkan bukti bahwa Ziggy bersenjata."
"Morelli sempat memergoki pria lain dalam apartemen Carmen di saat penambakan,
dan tiga penghuni ingat telah melihat sebuah wajah yang tidak familier, namun
rupanya pria itu menghilang sebelum polisi tiba di TKP."
"Dan mengenai Carmen?" cecar Ranger.
"Tak seorang pun ingat telah melihat Carmen. Artikel
terakhir terbit seminggu setelah kejadian, dan semenjak tanggal tersebut, Carmen
belum menampakkan diri."
Ranger mengangguk. "Ada informasi lain yang kau ketahui?"
"Cuma sampai di situ."
"Pria yang ditembak Morelli bekerja untuk Benito Ramirez. Pernah dengar
namanya?" "Ramirez petinju."
"Bukan petinju biasa. Dia mukjizat. Kelas berat. Ramirez hal paling hebat yang
pernah terjadi di Trenton sejak George Washington mengelabui pasukan Hessian
pada akhir 1776. Gym tempatnya berlatih terletak di Stark Street. Ziggy menempel
pada Ramirez seperti putih pada nasi. Kadang-kadang Ziggy jadi lawannya untuk
latihan. Kebanyakan, dia jadi kacung sekaligus bodyguard Ramirez."
"Gosip apa yang beredar, tentang alasan Morelli menembak Kulesza?"
Ranger menatapku lekat-lekat. "Nihil. Tapi, Morelli pasti punya alasan yang
kuat. Morelli itu laki-laki berdarah dingin, dan jika anggota polisi ingin
menghabisi seseorang, ada cara-cara tertentu."
"Polisi yang pandai menguasai diri pun tak luput dari kesalahan."
"Bukan kesalahan macam ini, Say. Bukan Morelli." "Jadi apa yang kausarankan?"
"Saranku, kauharus hati-hati."
Sekonyong-konyong perutku mulas. Ternyata ini lebih dari sekadar terjun ke dalam
petualangan kecil untuk dapat duit dengan cepat. Menangkap Morelli bakal sulit.
Dan, menggeret dia ke pengadilan rasanya kok jahat. Dia bukan karakter
favoritku, namun kebencianku belum
sampai ingin melihatnya dipenjara seumur hidup.
"Kau masih berminat meringkusnya?" tembak Ra-nger. Aku bungkam.
"Andai kau tidak mengerjakannya, orang lain yang akan menanganinya," terang
Ranger. "Kau masih perlu belajar banyak. Dan kau tidak diharapkan membuat
penilaian. Kerjakan saja tugasmu, dan bawa orangnya kembali. Percayakan saja
pada sistem." "Kaupercaya pada sistem?"
"Dia pasti disikat duluan oleh tangan-tangan anarkis."
"Perkara ini melibatkan sejumlah besar uang. Bila kau sej ago itu, kenapa Vinnie
tak menyerahkan kasus Morelli padamu" Kenapa ia malah mengirim Morty Beyers?"
"Vinnie bekerj a lewat cara-cara misterius."
"Ada hal lain yang perlu kuketahui soal Morelli?"
"Jika mau duit itu, kau harus bergerak cepat. Menurut desas-desus, sistem
pengadilan adalah masalah terakhir yang perlu Morelli pusingkan."
"Apakah kau bermaksud mengatakan, ada kontrak untuk membunuhnya?"
Tangan Ranger memeragakan pistol. "Dor."
"Kaupercaya gosip itu?"
Ia mengedikkan bahu. "Cuma mengulang yang kudengar."
"Plotnya makin rumit," keluhku pada Ranger.
"Seperti kataku barusan, kita jangan pedulikan plot. Tugasmu sederhana. Temukan
orangnya, bawa dia kembali."
"Menurutmu aku mampu?"
"Tidak." Kalau itu usaha untuk mematahkan semangatku, jawaban dia salah. "Toh, apakah kau
akan menolongku?" "Selama kau tak bilang siapa-siapa. Jangan sampai image-ku tercemar gara-gara
dikira pria baik hati."
Aku mengangguk. "Oke, mulai dari mana?"
"Pertama, kau harus punya perlengkapan. Dan sementara kita mencari perangkat
kerasmu itu, aku bisa memberimu kuliah tentang hukumnya."
"Ini takkan mahal, 'kan?"
"Waktu serta pengetahuanku kupersembahkan gratis sebab aku suka padamu, dan dari
dulu aku pengen jadi Profesor Higgins. Tapi, harga sepasang borgol $40. Kaubawa
duit plastik?" Aku kehabisan kartu kredit. Untuk melunasi tagihan-tagihan sudah kugadaikan
perhiasan-perhiasanku yang berharga namun hanya segelintir itu, dan menjual sofa
ranjang ruang duduk ke tetangga. Sebagian besar perangkat rumah tangga
elektronik ludes untuk beli Nova. Yang tersisa hanyalah simpanan darurat. Dengan
tegas aku menolak untuk menyentuhnya. Aku menyisihkan dana itu dalam rangka
membiayai rekonstruksi ortopedi setelah tukang tagih utang mematahkan tulang-
tulangku nanti. Yah, peduli setan. Lagian, jangan-jangan jumlahnya takkan cukup, bahkan jika
cuma buat lutut. "Aku punya sedikit tabungan," desahku.
Aku menjatuhkan tas cantol baruku yang besar dari kulit hitam ke lantai dekat
kursi, lantas duduk di meja makan. Ibu dan Ayah serta Oma Mazur sudah duduk
duluan, ingin mendengar hasil pertemuanku dengan Vinnie.
"Kamu terlambat 12 menit," omel Ibu.
"Aku tak mendengar suara sirene.
Kamu tidak kecelakaan, toh?" "Aku kerja."
"Sudah mulai?" ia menoleh ke ayahku. "Baru hari
pertama kerja dan keponakanmu sudah menyuruhnya lembur. Kamu harus bicara
padanya, Frank." "Tidak juga," bantahku. "Jam kantorku fleksibel."
"Ayahmu bekerja di kantor pos selama 30 tahun, ia tak pernah telat pulang buat
makan malam." Tanpa sempat kucegah, aku kelepasan mendesah.
"Maksudmu apa mendesah seperti itu?" cecar Ibu.
"Dan tas barumu. Dari mana tas baru itu?"
"Baru beli hari ini. Aku perlu menenteng-nenteng banyak barang untuk kerjaan
ini. Aku perlu tas besar."
"Barang-barang apa yang kamu butuh" Bukannya kamu menata arsip?"
"Aku tidak mendapat kerjaan itu. Aku dapat kerjaan
lain." "Pekerjaan apa?"
Kutuang saos tomat di atas irisan daging dan nyaris gagal menahan desahan kedua.
"Agen keamanan lateral," sahutku. "Aku bekerja sebagai agen keamanan lateral."
"Agen keamanan lateral," tiru ibuku. "Frank, kamu tahu apa itu agen keamanan
lateral?" "Yeah," gumamnya. "Pemburu duit jaminan para buron."
Ibu mengeplak kening sendiri dan memutar-mutar bola mata.
"Stephanie, Stephanie, Stephanie, kamu kerasukan apa" Itu bukan jenis pekerjaan
untuk gadis baik-baik."
"Ini pekerjaan yang sah dan terhormat," bantahku. "Seperti polisi atau detektif
swasta." Tak satu pun dari keduanya kuanggap terhormat.
"Tapi, kamu buta soal beginian."
"Sederhana kok," tangkisku. "Vinnie menyodorkan kasus TYTM padaku, lantas aku
harus menemukan orangnya dan mengawalnya kembali ke markas polisi." "Apa itu TYTM?"
"Tersangka Yang Tidak Muncul di pengadilan." "Barangkali aku bisa jadi agen
keamanan lateral," timbrung Oma Mazur. "Bisa menghasilkan uang saku. Aku bisa
memburu para TYTM itu bersamamu." "Yesus," desis Ayah.
Ibu tak mengacuhkan mereka. "Ada baiknya kamu belajar menjahit sarung," tukasnya
padaku. "Sarung selalu dibutuhkan." Ia berpaling ke ayahku. "Frank, tidakkah
menurutmu Stephanie seharusnya belajar bikin sarung" Bukankah itu gagasan yang
bagus?" Kurasakan otot-otot bahuku menegang dan berusaha keras untuk santai.
Bertahanlah, kuingatkan diriku. Ini latihan yang baik buat besok pagi, sebab aku
berniat mendatangi ibunya Morelli.
Berdasarkan peringkat di Burg, ibunda Joseph Morelli membuat ibuku setara dengan
ibu rumah tangga kelas dua. Ibuku bukanlah pemalas, namun bagi standar Burg, Ny.
Morelli seorang ibu rumah tangga sehebat pahlawan. Tuhan sendiri tak mampu
menghasilkan jendela-jendela yang lebih bersih, cucian lebih putih, atau memasak
pasta ziti yang lebih nikmat ketimbang Ny. Morelli. Ia tak pernah melewatkan
misa, jualan Amway di waktu senggang, dan mata hitamnya yang tajam menusuk
sanggup membuat setan dalam diriku lari tunggang-langgang. Aku bukannya
mengharapkan Ny. Morelli mengadukan anak bungsunya itu, toh ia berada dalam
daftar wawancaraku. Kita perlu melongok ke balik setiap batu.
Ayah Joe bisa disogok dengan $5 dan sekerat bir, tapi ia sudah meninggal.
Pagi ini aku menuruti penampilan profesional, berbalut setelan linen krem pas
badan, lengkap dengan stoking dan tumit tinggi dan giwang mutiara berselera.
Parkir di pinggir jalan, mendaki tangga serambi, baru mengetuk pintu masuk rumah
keluarga Morelli. "Yak," sambut Momma Morelli, berdiri di balik pintu kasa, mendelik padaku dengan
cara merendahkan yang biasa diterima kaum ateis atau pengangguran. "Lihat siapa
yang pagi-pagi cerah begini sudah nongol di serambiku ... nona kecil pemburu
buron." Dagunya teracung satu inci tambahan. "Aku sudah dengar semua tentangmu
dan pekerjaan barumu, dan aku nggak akan buka mulut."
"Aku harus menemukan Joe, Ny. Morelli. Ia tidak memenuhi panggilan pengadilan."
"Aku yakin dia punya alasan yang masuk akal."
Tentu saja. Semisal, dia betul-betul bersalah. "Begini deh, aku akan
meninggalkan kartu namaku, siapa tahu perlu. Baru dicetak kemarin." Aku mengais-
ngais tas besarku, menemukan borgol, penyemprot rambut, senter, sisir tak ada ?kartu nama. Tas itu kumiringkan untuk melihat lebih dalam, dan pistolku meluncur
jatuh di atas babu t indoor-outdoor hijau.
"Pistol," desis Ny. Morelli. "Apa kata dunia" Ibumu tahu kau bawa-bawa pistol"
Biar kubilangin. Aku akan menelepon dia dan mengadukanmu sekarang juga."
Ia menatapku dengan muak dan membanting pintu.
Umurku 3D tahun, dan Ny. Morelli mau ngadu ke ibuku. Hal seperti ini hanya
mungkin terjadi di Burg. Kupungut pistolku, menjejalkannya kembali ke dalam tas,
dan menemukan kartu-kartu namaku. Kuselipkan secarik kartu itu di antara lis dan
kasa. Kemudian aku melintasi jarak singkat pulang ke rumah orangtuaku dan
memakai telepon mereka untuk menghubungi Francie, sepupuku yang tahu segalanya tentang
siapa saja. Ia sudah pergi jauh, menurut Francie. Ia laki-laki lihai dan kemungkinan besar
sekarang ia berkumis palsu. Morelli 'kan polisi. Punya banyak relasi. Ia tahu
cara mendapat nomor j aminan sosial baru dan memulai kehidupan baru jauh dari
sini. Kau takkan pernah menemukan dia.
Pengaruh naluri dan keputusasaan membuatku berpikir sebaliknya. Jadi, aku
menelepon Eddie Gazarra, anggota polisi Trenton yang juga merangkap sebagai
sahabat sejatiku sejak lahir. Bukan sekadar teman baik, ia juga menikah dengan
sepupuku, Si Manja Shirley. Alasan Gazarra menikahi Shirley sama sekali di luar
pemahamanku, tapi sampai kini telah 11 tahun mereka bersama, jadi kusimpulkan
memang ada kecocokan di antara mereka.
Begitu tersambung dengan Gazarra, aku tidak basa-basi dulu, langsung menuju
pokok permasalahan. Aku bercerita bahwa aku bekerja untuk Vinnie dan menanyakan
apa yang ia ketahui soal penembakan Morelli.
"Yang kutahu, jangan sampai kau terlibat urusan itu," tukas Gazarra. "Kaumau
kerja buat Vinnie" Boleh-boleh aja. Tapi, mintalah kasus lain."
"Terlambat. Aku menangani kasus ini."
"Tapi yang ini baunya busuk sekali."
"Di New Jersey segalanya juga bau busuk. Cuma itu yang bisa kita andalkan."
Gazarra memelankan suara. "Ketika anggota polisi digugat atas pembunuhan, ini
persoalan serius. Semua orang jadi sensi. Dan parahnya lagi, dalam pembunuhan
ini ada bukti fisik yang kuat banget terhadap Morelli. Dia kepergok di tempat
kejadian dengan pistol masih panas di tangan. Menurut pengakuannya, Ziggy
bersenjata. Tapi senjata itu tidak ditemukan, tak ada peluru menembus dinding seberang atau
lantai maupun plafon, tak ada bubuk mesiu di tangan ataupun kemeja Ziggy. Juri
tak punya pilihan selain menuntut Morelli. Dan, seolah-olah situasinya belum
cukup prihatin ... Morelli tidak memenuhi panggilan sidang. Betul-betul tamparan
bagi departemen kepolisian dan juga aib besar. Sebut saja nama Morelli di
lorong-lorong dan mendadak semua orang punya janji penting. Tak ada yang bakal
senang kau mengendus-endus kesana-kemari untuk urusan ini. Jika mengincar
Morelli, kau akan menginjak dahan patah dan jatuh ke tanah dari ketinggian,
sendiri." "Kalau aku berhasil meringkus dia, aku dapat $10 .000."
"Mending beli tiket lotere. Peluangmu lebih besar."
"Yang kutangkap, Morelli pergi mendatangi Carmen Sanchez, tapi si Sanchez tidak
ada waktu Morelli tiba."
"Dia bukan sekadar tidak berada di tempat kejadian; dia hilang ditelan bumi."
"Masih?" "Masih. Dan jangan kira kami belum mencarinya." "Bagaimana dengan pria yang kata
Morelli berada di apartemen itu bersama Ziggy. Si saksi misterius?" "Raib."
Aku mengerutkan hidung, kurang percaya. "Menurutmu ini aneh?"
"Menurutku ini lebih dari aneh." "Sepertinya Morelli ketiban sial."
Terbayang olehku Gazarra mengedikkan bahu di telepon seberang. "Yang pasti,
naluri polisiku berkata, ada mata rantai yang lepas."
"Kaupikir Morelli bergabung dengan Legiun Asing?"
"Kupikir, dia masih berada di sekitar sini dan berusaha keras meningkatkan
peluangnya lolos dari hukuman mati ... atau jangan-jangan dia akan mati karena
usahanya itu." Aku lega mendengar ada yang sependapat denganku. "Kaupunya usul?"
"Bukan usul yang ingin kaudengar."
"Ayolah Eddie. Aku butuh bantuan."
Dengusan lagi. "Kau jangan melacak persembunyiannya di tempat teman atau
kenalannya. Dia lebih cerdik dari itu. Yang bisa kuanjurkan ini doang: carilah
Carmen Sanchez dan pria yang kata Morelli berada di apartemen itu bersama Ziggy.
Andai aku di posisi Morelli, aku pasti bernafsu menemukan dua individu hilang
itu, mungkin untuk membuktikan ketidakbersalahanku, atau justru untuk memastikan
mereka tak bisa membuktikan kesalahanku. Aku tak punya bayangan gimana kau akan
berhasil. Kami saja tidak mampu melacak mereka, dan kemungkinan besar kau juga
tidak." Kuucapkan terima kasih pada Gazarra dan meletakkan telepon. Sepertinya gagasan
terbaik adalah mencari saksi-saksi itu. Yang kucemaskan bukan kemustahilan misi
ini. Yang kupedulikan adalah, jika mulai melacak jejak Carmen Sanchez, mungkin
aku menelusuri jalur yang sama dengan Morelli dan mungkin kami akan bersilang-
jalan lagi. Mulai dari mana" Gedung apartemen Carmen. Aku bisa berbincang-bincang dengan
para tetangga, dan barangkali mendapat kontak teman-teman dan keluarganya. Apa
lagi" Bicara dengan si petinju, Benito Ramirez. Bila Ramirez dan Ziggy memang
seakrab itu, barangkali Ramirez kenal Sanchez. Bahkan, jangan-jangan dia punya
petunjuk mengenai para saksi hilang.
Kurampas sekaleng soda dari kulkas dan sekotak Fig Newtons dari lemari dapur,
memutuskan untuk menemui Ramirez terlebih dahulu.


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Stark street berpangkal di tepi sungai, tepat di udara gedung parlemen, dan
mengarah ke timur laut. Berimpitan usaha-usaha kecil yang kurang sukses, bar-
bar, bandar-bandar narkoba, serta rumah-rumah identik bertingkat tiga yang
muram, jalan ini merentang hampir sejauh satu mil. Rata-rata rumah kembar itu
dirombak jadi apartemen atau kamar kos. Hanya segelintir yang dilengkapi AC.
Semuanya penuh-padat. Begitu cuaca panas, para penghuni berduyun-duyun dari
rumah mereka, mengerubungi undak-undak dan sudut jalan, mencari udara segar dan
aktivitas. Pukul 10.30 pagi, jalan ini masih relatif tenang.
Pertama kali ngider, gym itu terlewat olehku. Aku mengecek-ulang alamat pada
lembaran yang kurobek dari buku telepon, kemudian putar-balik, melaju lambat-
lambat, memantau nomor-nomor bangunan. Mataku tertumbuk pada reklame itu, Stark
Street Gym, dicetak dengan profesional dalam huruf hitam pada jendela pintu.
Kurang menonjol, tapi kupikir toh mereka juga tidak perlu berlebihan. Mereka
'kan tidak berniat bersaing dengan Lady Spa. Sesudah dua blok dari sana
kuberhasil menemukan parkir lowong.
Aku mengunci Nova, mencantolkan tas gedeku di bahu, dan mulai melangkah.
Kutinggalkan fiasko dengan Ny. Morelli di belakang, merasa keren banget dalam
setelan dan tumit tinggiku, menenteng-nenteng aneka perangkat pemburu-buron.
Kendati malu mengakuinya, aku mulai menikmati peranku ini. Bagi wanita yang
ingin menambah aura dinamis dalam setiap langkahnya, menurutku tak ada yang
lebih tepat daripada menyimpan borgol dalam tasmu.
Gym itu terletak di pertengahan blok, berseberangan dengan A & K Auto Body.
Tirai-tirai besi bengkel itu menganga lebar, dan suara meniru eong kucing serta
kecupan terdengar saat aku menyusuri trotoar. Darah New Jerseyku yang kental
mendesakku untuk membalas dengan seruan melecehkan yang setimpal. Tetapi,
mengingat hal utama dalam keselamatan diri adalah jangan menarik perhatian, maka
aku mengatup mulut rapat-rapat dan bergegas jalan.
Di seberang, perhatianku tersita oleh refleks mundur sosok bias di jendela
lantai 3 yang berdebu. Seseorang tadi mengamatiku. Tidak heran. Mobilku baru
saja meraung-raung sepanjang jalan ini, bukan hanya sekali tapi dua. Tadi pagi
peredamku copot, sehinggamesinku telah menggeram dengan berisik selagi aku
melewati muka toko-toko dari bata di Stark Street ini. Bukan operasi yang pantas
disebut undercover. Pintu gym membuka ke selasar sempit dengan undakan naik. Lorong itu bernuansa
hijau institusi, penuh grafiti serta bekas-bekas tangan yang telah menumpuk
selama 20 tahun. Baunya parah, campuran pesing dan aroma kecut yang berasal dari
keringat dan badan pria. Di atas, keadaan lantai dua yang bergaya gudang tidak
lebih baik. Segelintir laki-laki sedang latihan angkat beban. Ring
kosong. Kantong-kantong pasir diangguri. Jangan-jangan semua orang sedang
keluar, main lompat tali atau nyolong mobil. Ini pikiran terakhir yang sempat
melintasi benakku. Begitu aku masuk, segala aktivitas mereda, dan walaupun di
jalan tadi aku sudah merasa kurang nyaman, itu tak seberapa ketimbang yang
kualami di sini. Dalam bayanganku, seorang juara dikelilingi aura pro
fesionalisme. Aku tidak siap menghadapi atmosfer ini yang penuh curiga dan
bermusuhan. Jelas, aku dianggap wanita kulit putih yang bukan dibesarkan di
jalanan, tahu-tahu menginvasi gym pria kulit hitam. Dan andai penolakan bisu ini
sedikit saja lebih dahsyat, sudah pasti aku akan mental ke belakang, menuruni
tangga bagai korban santet.
Aku melebarkan posisi kakiku (yang lebih bermaksud agar tidak limbung saking
ngerinya, dan bukan ingin membuat bocah-bocah itu terkesan) kemudian menaikkan
tasku yang melorot di bahu. "Aku mencari Benito Ramirez."
Sebuah gunung otot raksasa bangkit dari bangku latihan. "Aku Ramirez."
Perawakannya melebihi 183 cm. Suaranya dibikin sok manis, bibirnya mengembang
dalam senyum genit. Efek keseluruhannya aneh, suara dan senyum itu bertolak-
belakang dengan tatapannya yang waspada dan penuh selidik.
Aku melintasi ruangan dan mengulurkan tangan. "Stephanie Plum."
"Benito Ramirez."
Genggamannya kelewat lembut, terlalu lama. Lebih terasa seperti belaian
ketimbang j abat tangan, dan sensualitas macam ini mengganggu. Sebelumnya, aku
berasumsi bahwa tinju adalah olahraga ketangkasaan dan saling serang yang
bertujuan memenangkan pertandingan,
bukan mengakibatkan lawanmu cacat. Toh, Ramirez kelihatan akan menikmati
melakukan penyiksaan itu. Ada sesuatu pada sorot matanya yang lekat, lubang
gulita yang menyedot masuk apa saja tetapi tanpa ada yang keluar; persembunyian
yang cocok bagi setan. Ditambah seringainya yang agak bloon dengan kemanisan
yang tidak wajar, sehingga berkesan kurang waras. Kumengi-rangira apakah mimik
itu disetel dengan sengaja, tercipta untuk bikin keder sang lawan menjelang bel
pertandingan. Sengaja atau tidak, tampangnya betul-betul mengerikan.
Kucoba membebaskan tanganku dan ia malah mempererat genggamannya.
"Jadi, Stephanie Plum," kicaunya dengan merdu, "apa yang bisa kulakukan
untukmu?" Sebagai pembelanja bagi E. E. Martin, aku biasa bernegosiasi. Aku belajar cara mempertahankan
kepentinganku sambil tetap bersikap ramah dan profesional. Mimik dan nada
suaraku mengisyaratkan pada Ramirez, aku bersahabat. Kata-kataku langsung ke
intinya. "Kau boleh melepas tanganku, biar kuambilkan kartu namaku," uj arku.
Senyumnya tetap di tempar, kini lebih hangat dan ingin tahu daripada sinting.
Aku mengangsurkan kartu nama dan mengamati dia membacanya.
"Agen Keamanan Lateral," bacanya, jelas merasa geli. "Berat juga untuk seorang
gadis kecil." Belum pernah aku menganggap diriku kecil sampai berdiri sebelahan dengan
Ramirez. Tinggiku 170 cm dan berpotongan kukuh berkat darah petani Hongaria dari
pihak keluarga Mazur. Tercipta sempurna untuk bekerja di ladang-ladang paprika,
menarik bajak, serta membrojolkan bayi-bayi bak burung bertelur. Olahragaku lari
dan secara periodik menahan lapar untuk membakar lemak, namun
tetap saja bobotku 59 kg. Tidak berat, tetapi tidak ceking juga. "Aku mencari
Joe Morelli. Apakah kau melihatnya?"
Ramirez menggeleng. "Aku tak kenal Joe Morelli. Cuma tahu dia nembak Ziggy." Ia
memandang berkeliling pada pria-pria lainnya. 'Ada yang lihat si Morelli"'
Tak seorang pun merespons.
"Aku diberi tahu ada saksi dalam penembakan itu dan saksi itu lenyap,"
berondongku. "Kaupunya gagasan kira-kira siapa saksi itu?"
Lagi-lagi, tak ada respons.
Terus mendesak. "Bagaimana dengan Carmen Sanchez" Kaukenal Carmen" Pernahkah
Ziggy bercerita tentang dia?"
"Banyak benar pertanyaanmu," komentar Ramirez.
Kami berdiri dekat jendela besar model zaman dulu di muka ruangan, dan tanpa
dorongan selain naluri, kualihkan perhatianku ke gedung seberang. Lagi-lagi,
sosok bias di jendela lantai 3 yang sama. Seorang laki-laki, batinku. Sulit
memastikan apakah ia berkulit hitam atau putih. Toh, nggak penting juga.
Ramirez mengelus lengan jaketku. "Kaumau Coke" Di sini kami punya mesin Coke.
Aku bisa membelikanmu soda."
"Terima kasih atas tawaranmu, tapi ini pagi yang sibuk, aku betul-betul harus
pergi. Jika kaulihat Morelli, aku akan menghargai bila kau meneleponku."
"Rata-rata cewek merasa tersanjung kalau sang juara membelikan mereka soda."
Bukan cewek ini, batinku. Cewek ini beranggapan otak sang juara mungkin rada
korslet. Dan, cewek ini kurang suka atmosfer dalam gym ini.
"Pasti menyenangkan tinggal sebentar dan minum soda," kilahku, "sayangnya aku
punya janji makan siang dini." Dengan sekotak Fig Newtons.
"Selalu tergesa-gesa, itu tidak baik. Kau sebaiknya tinggal dan santai-santai
dulu. Teman kencanmu nggak akan marah."
Aku memindahkan bobotku, mencoba beringsut menjauh seraya meralat dustaku.
"Sebenarnya, ini makan siang bisnis bersama Sersan Gazarra."
"Aku tidak percaya," sembur Ramirez. Senyumnya membeku, dan segala keramahan
telah menguap dari suaranya. "Kurasa kaubohong soal makan siang itu."
Sulur-sulur panik mengeriting dalam perutku, dan ku-larang diri untuk bereaksi
secara berlebihkan. Ramirez sedang bermain-main denganku. Pamer di depan konco-
konconya. Kemungkinan besar sakit hati karena aku tidak bertekuk lutut oleh daya
pikatnya. Sekarang dia harus menyelamatkan muka.
Aku pura-pura memeriksa arloji. "Maaf jika kau tersinggung, tapi diharapkan
ketemu Gazarra sepuluh menit lagi. Dia takkan senang kalau aku terlambat."
Aku mundur selangkah. Ramirez menyambar tengkukku, jemarinya mencekal demikian
kuat hingga aku terbungkuk-bungkuk.
"Kau takkan ke mana-mana, Stephanie Plum," desisnya. "Sang juara belum selesai
denganmu." Keheningan dalam gym itu mencekam. Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun
menyuarakan keberatan. Aku melirik setiap laki-laki itu dan hanya dibalas
tatapan kosong. Tak seorang pun bakal menolong, batinku, mulai dijalari
kengerian yang senyata-nyatanya.
Kurendahkan suaraku untuk mengimbangi nada Ramirez yang pelan. "Aku kemari
sebagai anggota komunitas penegak hukum. Aku datang mencari informasi yang akan
membantuku melacak Joe Morelli, dan kau tak punya alasan menyalahartikan niatku.
Aku berlaku profesional, dan kuharap kau menghormati hal ini."
Ramirez menyeretku mendekat. "Kau kudu tahu sesuatu tentang sang juara,"
tukasnya. "Pertama, kau tidak menguliahi sang juara soal penghormatan. Dan
kedua, kau kudu tahu sang juara selalu mendapatkan apa yang dia mau." Ia
mengguncang-guncangku. "Kau tahu apa yang diinginkan sang juara sekarang juga"
Sang juara pengen kau bersikap manis padanya, Say. Sangat manis. Kau harus minta
ampun karena sudah menolak sang juara. Tunjukkan respek pada sang juara."
Deliknya beranjak ke payudaraku. "Mungkin kau kudu menunjukkan sedikit rasa
takut. Kau takut padaku, hei Jablai?"
Wanita mana pun dengan IQ di atas 12 bakal takut pada Benito Ramirez.
Ia terkekeh dan bulu-bulu sepanjang lenganku bergidik.
"Sekarang kau takut," ejeknya dalam bisikan. "Aku bisa mencium baunya. Ketakutan
anak kucing. Taruhan, celanamu pasti basah. Mungkin tanganku harus nyelip ke
dalam celanamu biar kucari tahu sendiri."
Di tasku ada pistol, dan jika terpaksa aku akan menggunakannya, tapi tidak
sebelum segala upaya lain gagal. Kursus 10 menit belum menjadikan diriku
penembak jitu. Biar saja, batinku. Aku tak berniat membunuh siapa pun. Cuma
pengen bikin mereka semua mundur agar aku bisa meloloskan diri. Tanganku
meluncur di bagian luar tas sampai merasakan pistolnya, keras dan mantap di
bawah telapakku. Ambil pistolmu, batinku. Bidik Ramirez dan kau harus kelihatan serius.
Sanggupkan diriku menarik
pelatuknya" Sejujurnya aku tak tahu. Aku ragu. Aku berharap tidak perlu
bertindak sejuah itu. "Lepaskan leherku," gertakku. "Ini peringatan terakhir."
"Jangan pernah memerintah sang juara!" hardiknya, lepas kendali, tampangnya
melungker dan makin jelek. Dalam sepersekian detik itu, pintu terempas terbuka,
dan aku menangkap sekilas gambaran laki-laki di baliknya ada kesintingan, dan ?ada pula api neraka serta kemurkaan yang begitu membara sampai napasku tercekat.
Ia merenggut bagian depan blusku, dan suara kain robek menembus jeritanku.
Di kala krisis, ketika seseorang bereaksi secara naluriah, kita melakukan apa
saja demi keselamatan diri. Aku melakukan hal yang akan dilakukan setiap wanita
Amerika lain dalam situasi yang serupa. Dengan bantuan tasku, aku membulatkan
sisi kepala Ramirez si manusia kotak alias bikin dia benjol. Berisi pistol dan
penyeranta dan aneka atribut sirkus lain, beban tas ini minimal sepuluh pon.
Ramirez oleng ke samping, dan aku menghambur ke tangga. Belum beranjak satu
setengah meter ia sudah mencengkeram rambutku dengan kasar dan menggeretku
menyeberangi ruangan bak boneka perca. Aku hilang keseimbangan dan terpelanting
tengkurap di lantai, tangan duluan bergesekan dengan parkit yang tak dipernis,
badan menyusul, pendaratan yang mengentak udara dari paru-paruku.
Ramirez menunggangiku, bokongnya menindih punggungku, tangannya meraup rambutku,
menjambak-jambak dengan liar. Aku meraih tasku namun tidak berhasil mengeluarkan
pistol. Letusan senjata berkekuatan tinggi memekak dan kaca-kaca jendela pecah
berhamburan. Tembakan lagi. Seseorang tengah memuntahkan berentet peluru ke
dalam gym ini. Para laki-laki itu kocar-kacir dan berteriak-teriak, mencari
tempat berlindung. Termasuk Ramirez. Begitu pula aku, merangkak di lantai, kaki
terlalu lemas untuk menahan bobotku. Setiba di tangga, aku bangkit dan
berpegangan pada susuran, kehilangan pijakan lantaran terlalu panik
mengoordinasikan gerak-gerikku. Aku setengah terperosok sejauh sisa jarak turun,
mencapai linoleum retak-retak di lantai dasar. Aku bangkit berdiri dan buru-buru
keluar, ditimpa terik mentari yang membutakan. Stokingku tercabik-cabik dan
lututku berdarah. Sambil bertumpu di kenop pintu, aku berusaha mengatur napas
ketika sebuah tangan mencekal bagian atas lenganku. Aku terlompat dan merintih.
Ternyata Joe Morelli. "Demi Tuhan," rutuknya. "Jangan bengong di sini. Buruan minggat!"
Kurasa Ramirez tak cukup peduli padaku untuk mengejar sampai turun tangga, tapi
memang tak ada perlunya tinggal di sini untuk memastikannya. Jadi, dengan tumit
sepatu berdetak-detak aku membuntuti Morelli, dadaku terbakar kekurangan oksigen
dan rokku tersingkap sampai selangkangan. Di layar lebar, Kathleen Turner pasti
akan terlihat menarik dalam keadaan ini. Aku jauh dari kesan glamor. Hidungku
meler dan rupanya aku ngiler juga. Mengerang kesakitan dan mewek ketakutan,
mulutku menyuarakan suara-suara binatang aneh dan sumpah-sumpah palsu kepada
Tuhan. Kami menikung di sudut, memotong lewat jalan di blok berikutnya, dan berlari
sepanjang gang satu-arah yang diapit pekarangan-pekarangan belakang. Di jalan
ini berdempet garasi-garasi kayu telantar yang bisa dimuati satu mobil, serta tong-
tong sampah penyok dan kepenuhan.
Dua blok dari situ, sirene-sirene meraung. Pasti sejumlah mobil patroli dan
sebuah ambulans telah dikirim untuk menindaki penembakan tadi. Kalau dipikir-
pikir, seharusnya aku menunggu di sekitar gym itu dan mengakali polisi agar
mereka membantuku menangkap Morelli. Hal yang patut diingat lain kali adalah aku
tengah hampir diperkosa dan dianiaya.
Morelli berhenti tiba-tiba dan menarikku ke dalam sebuah garasi kosong. Pintu
ganda itu cukup terbuka untuk membiarkan kami menyelinap masuk, namun tak cukup
lebar untuk orang-orang yang lewat melihat ke bagian dalam. Lantainya berlapis
debu, udaranya apek dan bau besi. Ironi ini menamparku. Di sinilah aku, setelah
sekian tahun berlalu, lagi-lagi di dalam sebuah garasi bersama Morelli.
Keberangan terpancar di wajahnya, mengeraskan tatapannya, mencubit ujung-ujung
mulutnya. Ia menyambar kerah setelanku dan menempelkan punggungku pada tembok
kayu mentah. Benturan itu menerbangkan debu dari kasau dan membuat gigiku
mengge-lugut. Suaranya mengandung murka yang nyaris tak terkendali. "Maksud lo apa sih,
ngeloyor masuk ke gym itu?"
Ia menegaskan pertanyaan itu dengan menghentak badanku lagi, membuat semakin
banyak debu beterbangan di sekitar kami. "Jawab!" hardiknya. Aku sakit hati,
bukan fisik. Aku sudah bertindak bodoh. Dan kini, sebagai pelengkap deritaku,
Morelli mendampratku. Malunya hampir setara dengan kenyataan
bahwa dialah yang datang menyelamatkanku. "Aku mencari kamu."
"Vak, selamat deh, kamu berhasil menemukanku. Kau sekaligus membuatku ketahuan,
dan aku tidak senang."
"Jadi, kaulah sosok di jendela lantai tiga itu, yang mengawasi gym dari seberang
jalan." Morelli tak menyahut sedikit pun. Dalam keremangan garasi, bola matanya
menghitam pekat. Aku menguatkan diri. "Dan sekarang, kurasa tinggal satu hal yang harus
kulakukan." "Aku tak sabar mendengarnya."
Aku merogoh tas, mengeluarkan revolver, dan mendorong dada Morelli dengan
moncongnya. "Anda ditahan."
Matanya melebar, tak menyangka. "Kamu punya pistol! Kenapa tak kamu pakai
melawan Ramirez" Yesus, kamu malah memukulnya pakai tas, kayak cewek lenje.
Kenapa kamu nggak pakai pistol sialanmu itu?"
Kurasakan pipiku merona. Mau bilang apa" Kenyataannya sungguh mengenaskan, bisa
merugikanku sendiri. Mengaku pada Morelli bahwa aku lebih takut pada senjataku
ketimbang pada Ramirez takkan meningkatkan kredibilitasku sebagai agen keamanan
lateral. Morelli tak butuh lama untuk menebaknya. Ia berdecak jijik, menyingkirkan laras
senjataku ke samping dan mengambilnya dari tanganku. "Kalau kamu tak berani
memakainya, kamu jangan bawa-bawa pistol. Kamu punya izin senjata?"
"Ya." Dan, aku hampir sepuluh persen yakin bahwa izinnya legal.
"Di mana kamu memperoleh izin itu?"
"Ranger mendapatkannya untukku."
"Ranger Manoso" Kristus, kemungkinan besar dia bikin
surat itu sendiri di ruang bawah tanahnya." Ia menyentak peluru-pelurunya keluar
dan mengembalikan pistolku. "Cari kerjaan baru. Dan jangan dekat-dekat Ramirez.
Dia sinting. Tiga kali ia dituntut atas pemerkosaan dan selalu dibebaskan


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhubung sang korban lenyap."
"Aku tidak tahu ..."
"Banyak yang kamu belum tahu."
Tingkahnya itu mulai memuakkan. Sekarang aku cukup sadar masih banyak yang perlu
kupelajari tentang sergap buron; aku tak butuh kesombongan Morelli yang
sarkastik. "Jadi, maksudmu apa?"
"Tinggalkan kasusku. Kamu mau berkarier sebagai penegak hukum" Baik. Silakan.
Tapi jangan belajar lewat aku. Masalahku terlampau banyak untuk mencemaskan
keselamatan bokongmu."
"Tidak ada yang minta diselamatkan olehmu. Aku pasti berhasil menyelamatkan
bokongku sendiri kalau kamu tak ikut campur."
"Sayang, kamu tak mampu menemukan bokongmu sendiri, bahkan dengan kedua tangan."
Telapak tanganku bilur-bilur dan rasanya seperti terbakar. Kulit kepalaku perih.
Lututku gemetaran. Aku ingin pulang ke apartemen dan berdiri di bawah pancuran
selama lima sampai enam jam, hingga aku merasa bersih dan kuat. Aku ingin enyah
dari hadapan Morelli dan istirahat. "Aku mau pulang."
"Ide bagus," sindirnya. "Mana mobilmu?"
"Di sudut Stark Street dan Tyler."
Ia memeotkan diri di sisi pintu dan mengintip cepat. "Aman."
Lututku kini kaku, darah telah mengering dan memborok di sisa-sisa stokingku.
Wajar bila aku pincang, tapi
rupanya ini kelemahan yang takkan dimaklumi orang macam Morelli, jadi aku
berjalan mendahuluinya. Hatiku mengerang ow, ow, ow, tapi tanpa mengucap sepatah
kata pun. Saat kami tiba di belokan kusadari ia sedang mengantarku ke Stark.
"Aku tak butuh pengawal," tolakku. "Aku baik-baik saja."
Tangannya memegang sikuku, ia menuntunku maju. "Jangan geer. Aku bukannya
memedulikan keselamatanmu, tapi benar-benar ingin mengenyahkanmu dari hidupku.
Aku ingin memastikan kamu pergi. Aku mau lihat knalpotmu menghilang di
cakrawala." Semoga beruntung, batinku. Knalpotku ada di suatu tempat di Route 1, bersama
peredamku. Kami tiba di Stark, dan aku lunglai seketika begitu melihat mobilku. Baru parkir
di sana kurang dari sejam, dan dalam kurun waktu itu mobilku telah diselimuti
grafiti dari ujung ke ujung. Sebagian besar nuansa merah jambu dan hijau norak,
kata yang paling menonjol di kedua sisi adalah "memek". Aku memeriksa pelat dan
melihat kotak Fig Newtons di jok belakang. Yap, ini memang mobilku.
Penghinaan tambahan untuk hari yang sudah cukup hina ini. Pedulikah aku" Sama
sekali tidak. Kebal. Aku mulai imun terhadap hinaan. Aku mengais tas mencari
kunci, menemukannya dan menancapnya di pintu.
Morelli mundur dengan sempoyongan, tangan di saku, cengiran merambati bibirnya.
"Biasanya orang cukup puas mendandani mobil mereka dengan garis samping atau
pelat pribadi." "Mati aja lo." Kepala Morelli menengadah dan ia terbahak-bahak. Tawanya dalam dan kencang serta
menular, dan andai aku tidak dalam keadaan terguncang, aku pasti ketawa
bersamanya. Jadi, aku menarik pintu dengan kasar, mengempaskan tubuh di balik
kemudi. Kuputar kunci starter, menggebrak dasbor kuat-kuat, dan meninggalkan
Morelli megap-megap di tengah gumpalan asap dan deru bising yang boleh
mencairkan isi perutnya. Secara resmi, aku tinggal di perbatasan timur kota Trenton. Toh, sebenarnya
lingkunganku lebih mirip Hamilton Township ketimbang Trenton itu sendiri. Gedung
apartemenku berupa kubus jelek dari bata merah gelap yang dibangun sebelum dunia
mengenal AC sentral dan jendela termis. Seluruhnya delapan belas apartemen,
disebar rata dalam tiga lantai. Berdasarkan standar zaman modern, ini bukan
apartemen yang hebat. Tak tersedia klub kolam renang atau fasilitas lapangan
tennis. Liftnya tak bisa diandalkan. Kamar mandi vintage model keluarga
Partridge dengan perlengkapan kuning mostar dan pernik pedusunan Prancis di meja
rias. Kecanggihan perangkat dapur setingkat di bawah generik.
Bagusnya, apartemen ini dibangun dengan bahan bangunan yang kukuh. Suara-suara
tidak menembus dari apartemen ke apartemen. Ruangan-ruangannya luas dan
bermandikan matahari. Langit-langit tinggi. Aku tinggal di lantai dua, dengan
jendela-jendela menghadap lapangan parkir pribadi yang sempit. Gedung ini
didirikan sebelum tren balkon, tapi aku cukup beruntung memiliki tangga darurat
dari besi hitam yang melintangi jendela kamarku. Tempat yang sempurna untuk
menjemur stoking, mengarantina tanaman rumah yang terjangkit kutu dan cukup
lebar untuk nongkrong di luar pada malam-malam musim panas yang gerah.
Yang terpenting, gedung bata jelek ini bukan bagian dari sebuah kompleks luas
gedung-gedung bata jelek lainnya. Gedung ini bertengger sendiri di sebuah jalanan sibuk penuh usaha-usaha
kecil, dan berbatasan dengan lingkungan rumah-rumah sederhana berstruktur kayu.
Benar-benar seperti tinggal di Burg ... hanya lebih baik. Ibu sempat keberatan
mengulurkan tali pusar sejauh ini, dan bakeri cuma satu blok dari sini.
Aku parkir di pelataran dan buru-buru masuk lewat pintu belakang. Berhubung
Morelli sudah tak ada di sekitarku, aku tak perlu sok tegar, dan aku menyerapah
serta mengomel dan terpincang-pincang sepanjang jalan menuju apartemenku. Aku
mandi, mengobati luka-luka, dan memakai kaus dan celana pendek. Lututku
kehilangan lapisan kulit teratas, dan lebamnya telah menjelma dalam nuansa
magenta dan biru dongker. Kondisi sikuku kira-kira serupa. Perasaanku seperti
bocah yang baru jatuh dari sepeda. Bisa kubayangkan diriku bersenandung "Aku
mampu melakukannya; aku mampu melakukannya," dan sekonyong-konyong, aku malah
terbujur di tanah, tampak tolol, dengan kedua lutut tergores.
Kuempaskan diri telentang di ranjang, lengan merentang lebar-lebar. Inilah
posisi favoritku di kala segala sesuatu terasa percuma. Kelebihan posisi ini
adalah: aku bisa tidur sementara menunggu gagasan cemerlang muncul di benakku.
Aku terbaring di sana untuk waktu yang rupanya lama. Tak ada gagasan cemerlang
menghampiri, dan aku terlalu gelisah untuk tidur.
Aku tak kuasa menghentikan pemutaran-ulang kejadian tadi dengan Ramirez.
Sebelumnya, aku tak pernah diserang oleh seorang laki-laki, bahkan belum pernah
mengalami hal yang mendekati itu. Agresi tadi siang adalah pengalaman yang
merendahkan, mengerikan, dan kini tatkala butiran-butiran debu telah mendarat
kembali, serta giliran emosi-emosi tenang mendominasi, aku merasa telah diperkosa dan tak
berdaya. Kupertimbangkan untuk melapor ke polisi, tapi segera menepis gagasan itu.
Merengek-rengek ke aparat takkan menambah poinku sebagai pemburu buron yang
berani dan tangguh. Tak terbayang olehku seorang Ranger mengajukan tuntutan atas
penyerangan. Aku masih beruntung, kutegaskan pada diriku. Aku selamat dan hanya mengalami
luka-luka luar. Berkat Morelli.
Pengakuan terakhir itu membuatku mengerang. Diselamatkan oleh Morelli sungguh
memalukan. Dan, amat sangat tidak adil. Kalau dipikir-pikir, kukira hasil
kerjaku tidak terlalu buruk. Perkara ini kutangani sejak kurang dari 48 jam, dan
aku sempat menemukan buronanku dua kali. Memang sih, belum berhasil
meringkusnya, toh aku masih dalam proses belajar. Tak ada yang mengharapkan
seorang mahasiswa teknik mesin tahun pertama membangun jembatan yang sempurna.
Menurutku, aku berhak mendapat pemakluman yang sama.
Kusangsikan pistol itu akan berguna bagiku. Tak terbayang olehku menembak
Morelli. Barangkali di kaki.
Tapi seberapa besar peluangku mengenai sasaran yang kecil dan bergerak" Sama
sekali tidak ada. Jelas, aku butuh cara yang tidak sefatal itu untuk menjinakkan
sang mangsa. Mungkin spray beladiri lebih cocok dengan gayaku. Besok pagi aku
akan kembali ke Sunny's Gun Shop dan menambahkan spray itu ke dalam tas atribut
mautku. Jam radio mengerlip pukul 05.50 petang. Aku memandangnya dengan murung, tidak
segera menyadari makna waktu, kemudian dicekam ngeri. Ibu mengharapkan
aku datang makan malam lagi!
Aku melompat turun dari ranjang dan bergegas menuju telepon. Teleponku mati.
Belum bayar tagihannya. Kusambar kunci mobil di atas bufet dapur dan menghambur
ke pintu. Ibu sudah berdiri di tangga serambi saat mobilku menepi. Kedua tangannya
melambai-lambai dan ia berteriak-teriak. Aku tak bisa mendengarnya di tengah
raungan mesin, tapi aku membaca gerak bibirnya. "Matikan!" jeritnya. "Matikan!"
"Maaf! ," kubalas menjerit. "Peredamku copot." "Kamu harus memperbaikinya. Aku
bisa mendengarmu datang dari jarak empat blok. Gara-gara kamu jantung Ny. Ciak
akan berpalpitasi." Ia melirik mobil. "Mobilmu habis dipermak?"
"Ini terjadi di Stark Street. Berandalan." Aku mendorongnya masuk selasar
sebelum ia membaca tulisannya.
"Wow, lututmu bagus," cetus Oma Mazur sembari bungkuk mengamati luka-lukaku dari
dekat. "Pekan lalu aku nonton acara TV, kurasa Oprah, dan tamunya sekelompok
wanita dengan lutut seperti itu. Katanya kegesek karpet. Entah apa maksud
mereka." "Kristus," desah Ayah dari balik koran. Ia tak perlu menjelaskan. Kami semua
mengerti keputusasaannya.
"Ini bukan kegesek karpet," bantahku pada Oma Mazur. "Aku jatuh waktu main
sepatu roda." Dustaku takkan dipersoalkan. Aku punya sejarah panjang kecelakaan
katastrofik. Aku mendelik ke arah meja makan yang ditata dengan taplak renda yang cantik.
Artinya tamu. Aku menghitung jumlah piring. Lima. Aku memutar-mutar bola mata.
"Ibu, tega benar." "Tega kenapa?"
Bel pintu berdenting, mengonfirmasi ketakutanku yang terdalam.
"Itu tamu kita. Bukan masalah besar," tangkis Ibu, menuju pintu. "Boleh dong
mengundang tamu ke rumahku sendiri kalau aku mau.
"Itu Bernie Kuntz," keluhku. "Kelihatan dari jendela selasar."
Ibuku berhenti, berkacak pinggang. "Memang apa salahnya dengan Bernie Kuntz?"
"Pertama ... dia laki-laki."
"Oke, kamu pernah punya pengalaman pahit. Bukan berarti kamu harus menyerah.
Lihat kakakmu Valerie. Sudah 12 tahun ia menikah bahagia. Dia punya dua gadis
cantik." "Cukup. Aku mau pergi. Aku lewat pintu belakang."
"Kue nanas upside-down," cegah Ibu. "Kamu akan melewatkan santapan penutup kalau
pulang sekarang. Dan jangan kira kita akan menyisihkan bagianmu."
Ibu tak segan-segan bermain kotor bila menurutnya perlu. Ia tahu aku terjebak
dengan kue nanas itu. Seorang Plum pasti rela mengalami siksaan terberat demi
santapan penutup yang lezat.
Oma Mazur melotot garang pada Bernie. "Kau siapa?"
"Aku Bernie Kuntz."
"Mau apa?" Aku memandang ke ujung lorong, pada Bernie yang dengan gelisah bertumpu dari
sebelah kaki ke kaki satunya.
"Aku diundang makan malam," terang Bernie.
Oma Mazur belum juga buka pintu kasa. "Helen," panggilnya lewat pundak. "Ada
seorang pemuda di depan. Katanya diundang makan malam. Kenapa aku tidak diberi
tahu apa-apa soal ini?" Lihat rok lusuh yang kupakai ini. Aku tak bisa menemani
seorang pria, pakai rok seperti ini."
Aku kenal Bernie sejak umurnya S tahun. Kami SD bareng. Dari kelas satu hingga
kelas tiga kami makan siang bersama, dan selamanya aku akan mengasosiasikan
dirinya dengan roti Wonder lapis selai kacang dan jeli. Waktu SMU kami tak
pernah saling kontak. Setahuku dia pergi kuliah, dan selepas kuliah dia jualan
peralatan rumah tangga di toko ayahnya.
Perawakan sedang, berbobot sedang dan masih montok seperti bayi. Ia berbusana
rapi lengkap dengan fanto-fel mengilat bergesper, celana bahan, dan jaket sport.
Sejauh penglihatanku, sejak kelas enam ia tak banyak berubah. Dia masih
kelihatan seperti tak mampu menjumlahkan bilangan pecahan, dan kait besi kecil
risletingnya tegak-lurus, menciptakan sebuah tenda mungil di bukaan celananya.
Kami memilih tempat duduk mengitari meja dan berkonsentrasi pada urusan makan.
"Bernie menjual perangkat rumah tangga," singgung Ibu, mengoper kol merah.
"Penghasilannya bagus juga dari situ. Mobilnya Bonneville."
"Mobilnya Bonneville. Bayangkan," timpal Oma Mazur.
Ayah terus merunduk di atas ayamnya. Ia berkiblat pada Mets, pakaian dalamnya
Fruit of the Loom dan mobilnya Buick. Pengabdiannya bagai dipahat dalam granit,
dan ia takkan terkagum-kagum oleh ambisi besar seorang penjual panggangan roti
bermobil Bonneville. Bernie berpaling padaku. "Jadi, apa kesibukanmu sekarang?"
Aku memainkan garpu. Hariku tak bisa dibilang sukses, dan mengumumkan ke seluruh
dunia: aku adalah agen keamanan lateral rasanya terlalu sombong. "Aku bekerja
untuk semacam perusahaan asuransi," balasku.
"Maksudmu seperti menangani klaim?"
"Lebih tepat seperti menangani benda-benda koleksi."
"Dia pemburu buron!" sembur Oma Mazur. "Kayak di TV, dia nguber pelarian-
pelarian bedebah. Dia punya pistol dan lain-lain." Tangannya menggapai ke
belakang, ke bufet tempat aku meninggalkan tas. "Tasnya penuh berisi atribut
sirkusnya," urai Oma Mazur, memangku tasku. Ia menarik keluar borgol,
penyeranta, sebungkus tampon dan memajang semuanya di meja. "Dan ini pistolnya,"
umumnya dengan bangga. "Cantik sekali, ya?"
Harus kuakui itu pistol yang cukup keren, berlapis baja tahan karat serta gagang
kayu ukir. Sebuah revolver Smith and Wesson 5-shot, Model Spesial 60. A. 38.
Mudah digunakan, mudah dibawa-bawa, kata Ranger. Dan, ini pembelian bijak
dibandingkan pistol semiotomatis, jika $400 pantas disebut bijak.
"Tuhan," lolong Ibu, "jauhkan darinya! Tolong ambil pistol itu sebelum dia bunuh
diri." Silindernya terbuka dan jelas-jelas kosong. Pengetahuanku soal pistol tak
banyak, tapi setahuku pistol tanpa peluru tak bisa nembak. "Kosong kok," ujarku.
"Tidak ada pelurunya."
Oma Mazur menangkup pistol itu dengan dua tangan, jari di pelatuk. Ia
menyipitkan sebelah mata dan membidik lemari kaca. "Kapow," cetusnya, "kapow,
kapow, kapow." Ayah sibuk dengan bumbu sosis, sengaja mengabaikan kami.
"Aku kurang suka pistol di meja makan," protes Ibu. "Dan hidangan jadi dingin.
Nanti aku terpaksa memanaskan lagi kuahnya."
"Percuma punya pistol kalau nggak diisi," kritik Oma Mazur padaku. "Gimana bisa
nangkap pembunuh kalau pistolmu tak berpeluru?"
Bernie duduk melongo semenjak tadi. "Pembunuh?"
"Dia sedang mengejar Joe Morelli," urai Oma Mazur. "Dia pembunuh bonafid
sekaligus buronan paling licin. Ia meledakkan kepala Ziggy Kulesza."
"Aku kenal Ziggy Kulesza," timpal Bernie. "Kira-kira setahun lalu dia beli TV
layar lebar dariku. Jarang kami berhasil menjual layar lebar. Kemahalan."
"Apakah dia pernah beli barang lain darimu?" desakku. "Baru-baru ini?"
"Nggak. Tapi, kadang-kadang aku melihatnya di Sal's Butcher Shop, di seberang
toko. Kayaknya Ziggy oke. Jenis orang kebanyakan, tahu 'kan?"
Tak ada yang memperhatikan Oma Mazur. Ia masih bermain-main dengan pistol,
mengokang dan membidik, membiasakan diri dengan bobotnya. Kusadari ada sekotak
amunisi di samping tampon. Sebuah pikiran mengerikan menyambar benakku. "Oma
tidak mengisi pistolku 'kan?"
"Yah, tentu saja aku mengisinya," balasnya. "Dan aku membiarkan lubang pertama
kosong, kayak di TV, sehingga kita takkan menembak sesuatu tanpa sengaj a."
Untuk membuktikan dirinya sudah mengambil langkah pengaman, ia menekan pelatuk.
Terdengar suara dor nyaring, kilat menyembur dari laras pistol, dan kerangka
ayam menggelinjang di piring.
"Bunda Suci!" pekik Ibu, melompat berdiri, kursinya
terjengkang. "Ups," celetuk Oma, "kurasa aku mengosongkan lubang yang salah." Ia condong maju
untuk memeriksa hasil karyanya. "Lumayan buat pemula; aku nembak unggasmu tepat
di bool." Ayah mencengkeram erat garpunya, mukanya merah dadu.
Aku bergegas mengitari meja dan dengan hati-hati menyita pistol itu dari Oma
Mazur. Aku menumpahkan seluruh peluru dan menjejalkan kembali semua barangku ke
dalam tas cantol. "Lihat, piringku pecah," keluh Ibu. "Itu 'kan bagian dari satu set. Di mana aku
bisa cari penggantinya?" Ia mengangkat piring itu, dan kami semua terbungkam
memandangi taplak yang berlubang serta peluru yang menancap di meja mahoni.
Oma Mazurlah yang pertama bersuara. "Tembakan itu bikin aku nafsu makan,"
tukasnya. "Tolong ambilkan kentang."
Secara garis besar, Bernie Kuntz telah menghadapi malam tadi dengan cukup bijak.
Ia tidak membasahi celananya tatkala Oma Mazur mengoyak perut si ayam. Tanpa
perlawanan, ia melahap sampai dua porsi dari panci kubis mengerikan bikinan Ibu.
Dan ia bersikap cukup ramah padaku, padahal sudah jelas keluargaku sedeng dan
kami berdua tidak ditakdirkan untuk tidur di atas seprei yang sama. Kelihatan
sekali sikapnya itu demi menjaga hubungan baik semata. Aku wanita yang belum
memiliki banyak perangkat rumah tangga. Romansa memang memberimu seseorang untuk
menghabiskan waktu malam bersama, tetapi komisi memberimu liburan ke Hawaii.


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecocokan antara kami berdua merupakan impian terwujud.
Ia ingin menjual, aku ingin membeli, dan aku tak menolak ketika ia menawarkan
diskon 10 persen. Dan, sebagai bonus karena sudah duduk manis sepanjang makan
malam, aku mendapat keterangan tentang Ziggy Kulesza. Ia biasa belanja daging di
toko Sal Bocha yang lebih dikenal sebagai bandar judi ketimbang pria yang
menimbang irisan steik. Aku mencatat informasi ini dalam hati sebagai referensi untuk masa mendatang.
Sekarang tidak signifikan, toh siapa tahu suatu saat bakal berguna.
Aku duduk di mejaku dengan segelas es teh dan berkas Morelli, berusaha menyusun
rencana aksi. Aku baru mengisi mangkuk Rex dengan berondong jagung. Mangkuk itu
kutaruh di dekatku di atas meja, dan Rex berada dalam mangkuk, pipinya gembung
oleh berondong j agung, mocongnya bergerak-gerak cepat sekali.
"Jadi Rex," ujarku, "menurutmu gimana" Menurutmu kita akan mampu meringkus
Morelli?" Seseorang menggedor pintu masuk, dan aku maupun Rex mematung total dengan radar
berdengung. Aku tidak sedang menanti kedatangan siapa-siapa. Rata-rata tetanggaku lansia.
Tak ada yang akrab denganku secara khusus. Tak terbayang olehku siapa di antara
mereka yang mengetuk pintuku pada pukul 09.30 malam. Barangkali Ny. Becker dari
lantai 3. Terkadang dia lupa tinggal di mana.
Gedoran itu terulang. Rex dan aku menoleh ke arah pintu. Pintu itu terbuat dari
baja tahan api, dilengkapi lubang intai keamanan, selot, dan rantai ganda.
Tatkala cuaca bagus, aku membiarkan jendela-jendela terbuka lebar sepanjang
siang dan malam, tapi aku selalu mengunci pintu. Hannibal dan halusinasi-
halusinasinya mustahil menerobos pintuku, tapi jendela-jendelaku menyambut
dengan lengan terentang idiot mana pun yang dapat mendaki tangga darurat.
Akumenangkup mangkuk berondong jagung dengan panci terbalik supaya Rex tidak
memanjat keluar, dan pergi menyelidiki. Tanganku sampai di kenop pintu ketika
ketukannya berhenti. Aku mengintip lewat lubang intai dan hanya melihat
kegelapan. Orang itu meletakkan jarinya di lubang intai. Bukan pertanda bagus.
"Siapa?" sapaku.
Gelak lirih menyusup lewat birai pintu, dan aku te-renyak mundur. Kekehan itu
disusul sepatah kata tunggal. "Stephanie."
Mustahil tak mengenali suara itu. Melodis sekaligus mengejek. Suara Ramirez.
"Aku kemari untuk bermain denganmu, Stephanie," dendangnya. "Kamu siap
mainmain?" Lututku lunglai seketika, dan dadaku membuncah oleh teror irasional. "Pergilah,
atau kupanggil polisi."
"Kamu takkan menelepon siapa pun, Jablai. Teleponmu diputus. Aku tahu sebab aku
sudah coba nomormu."
Orangtuaku tak pernah memahami kebutuhanku untuk independen. Mereka yakin aku
menjalani kehidupan yang seram serta sepi, dan argumen panjanglebar pun takkan
meyakinkan mereka sebaliknya. Sejujurnya, aku jarang sekali merasa takut.
Mungkin ada kalanya aku ke-der terhadap serangga-serangga besar yang kakinya
banyak. Di mataku, laba-laba yang baik adalah laba-laba yang sudah mati, dan
hak-hak perempuan tidak bisa dianggap valid jika aku tak boleh menyuruh laki-
laki menginjak serangga untukku. Aku tak pernah mengkhawatirkan para skinhead
mendobrak pintu atau memanjat j endela
yang terbuka. Rata-rata mereka lebih suka beroperasi di kawasan dekat stasiun
kereta. Penodongan dan curanmor di lingkunganku juga minim dan nyaris tak pernah
berakibat kematian. Hingga detik ini, saat-saat menggentarkan yang jarang kualami adalah ketika
bangun di tengah malam dan terinvasi oleh ketakutan-ketakutan mistik ... hantu,
momok, kelelawar vampir, alien. Terpenjara oleh imajinasiku yang liar. Aku akan
berbaring di ranjang, nyaris tanpa bernapas, menunggu-nunggu saat levitasi.
Harus diakui, pasti lebih enak jika aku tidak menunggu sendirian. Tapi selain
Bill Murray, apa daya insan manusia menghadapi agresi mahkluk gaib" Untungnya,
aku belum pernah mengalami rotasi kepala total, didatangi arwah Elvis atau
dipindah-pindahkan. Dan, yang paling mendekati pengalaman "keluar dari tubuh
sendiri" adalah waktu bibir Joe Morelli mengerjaiku empat belas tahun silam, di
belakang rak berisi kue sus.
Suara Ramirez menerobos pintu. "Gak suka kalau punya urusan yang belum selesai
dengan seorang perempuan, Stephanie Plum. Gak suka kalau perempuan melarikan
diri dari sang juara."
Ia memutar-mutar kenop pintu, dan dalam jeda itu ususku melilit serta jantungku
mengambung ke tenggorokan. Pintu itu bertahan, dan denyut nadiku turun ke
tingkat prastroke. Aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan memutuskan, tindakan terbaik
adalah mengacuhkan dia. Aku menolak terlibat adu bentak. Dan, aku tak mau
memperuncing keadaan yang telanjur parah. Aku mengatup dan mengunci jendela
ruang duduk dan menutup tirai rapat-rapat. Aku bergegas ke kamar dan berdebat
sendiri mengenai perlunya cari bantuan lewat tangga darurat. Bagaimanapun, rasanya
goblok jika melebih-lebihkan ancaman ini, lebih dari yang rela ku akui. Ini
bukan masalah besar, kutegaskan pada diriku. Tak ada yang perlu dicemaskan. Aku
memutar-mutar bola mata. Tak ada yang perlu dicemaskan ... selain kriminal edan,
laki-laki seberat dua ratus lima puluh pon berdiri di lorong, mengata-ngataiku.
Kutangkup mulut untuk menahan rintihan histeria. Jangan panik, kuingatkan
diriku. Sebentar lagi tetanggaku pasti memeriksa ada apa, dan Ramirez akan
terpaksa minggat. Kuambil pistol dari tas dan kembali ke pintu untuk mengintip lagi. Lubang intai
tidak ditutup, dan lorong tampak lengang. Aku menempelkan telinga di daun pintu
dan mendengarkan. Senyap. Selotnya kulingsirkan lalu menguak pintu sejengkal,
megarantaiku tetap di tempat dan pistolku siap-siaga. Sejauh mata memandang, tak
ada Ramirez. Kucabut rantai dan memantau lorong. Damai sentosa. Ia betul-betul
pergi. Mataku tertumbuk pada ceceran substansi rasam di lantai depan pintu. Aku cukup
yakin itu bukan tepung kanji. Aku terselak, menutup pintu dan memasang rantai.
Hebat. Baru dua hari kerja dan seorang psikopat kelas dunia sudah buang peju di
ambang pintuku. Hal macam ini tak pernah menimpaku sewaktu kerja di E. E. Martin. Sempat seorang
gembel mengencingi kakiku, dan ada kalanya laki-laki melucuti celananya di
stasiun kereta, toh itu hal-hal yang dapat diperkirakan terjadi di Newark. Aku
telah belajar untuk tidak dimasukan ke hati. Urusan Ramirez ini beda persoalan.
Ini amat sangat mengerikan.
Aku melenguh ketika sebuah jendela dibuka dan ditutup di lantai atas. Cuma Ny.
Delgado yang mengeluarkan kucingnya, batinku. Bangkitlah. Perlu mengalihkan
pikiran dari Ramirez, jadi aku menyibukkan diri dengan mengumpulkan barang-
barang yang bisa kugadaikan. Tak banyak yang tersisa. Walkman, setrika, giwang
mutiara pernikahanku, jam dapur, poster Ansel Adams berbingkai, dan dua lampu
meja beanpot. Kuharap ini cukup untuk bayar tagihan telepon dan menyambung
langganan kembali. Jangan sampai drama terjebak di apartemen sendiri tanpa dapat
memanggil bantuan terulang lagi.
Aku memasukkan Rex ke kandang, sikat gigi, ganti baju tidur, dan merangkak ke
ranjang dengan seluruh lampu apartemen menyala.
Yang pertama kulakukan begitu bangun esok paginya adalah memeriksa lubang intai.
Rupanya tak ada yang luar biasa, jadi aku mandi kilat dan berpakaian. Rex
terdengar pulas dalam kaleng supnya, semalam ia begadang dengan lari-lari di
atas roda. Aku mengganti air minum dan mengisi mangkuknya dengan kepingan
hamster yang menjijikan itu. Minum secangkir kopi pasti enak. Sayangnya, di
rumah tak ada kopi. Akumendekati jendela ruang duduk dan mengintai tanda-tanda Ramirez di pelataran,
lantas balik ke pintu memeriksa untuk kedua kali. Kulingsirkan selot dan membuka
pintu dengan rantai tetap terpasang. Hidungku menyusup lewat celah dan
mengendus-endus. Tak tercium bau petinju, jadi kututup pintu, melucuti rantai,
dan membuka pintu lagi. Aku memantau keluar dengan pistol teracung. Lorong sepi.
Akumengunci pintu dan menjing-kat-jingkat sepanjang lorong. Lift berdenting,
pintu mendengung terbuka, dan aku hampir nembak Ny. Moyer.
Aku minta maaf bertubi-tubi, bilang bahwa pistol ini bukan sungguhan, dan kabur
Tamu Dari Alam Gaib 2 Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak Pedang Berkarat Pena Beraksara 6
^