Pencarian

My Name Red 7

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 7


itu dapat terlihat jelas. Meskipun Imam Effendi dan adiknya bersaksi secara
terpisah di depan wakil hakim, di dalam ilustrasi itu mereka akan diperlihatkan
sedang menjelaskan bersama betapa suami dari Shekure yang merana tidak kembali
dari peperangan selama empat tahun, betapa Shekure berada dalam keadaan sangat
memprihatinkan tanpa seorang suami yang mengurusinya, betapa kedua anak tak
berayah itu selalu menangis dan kelaparan, betapa tidak ada kemungkinan bagi
perempuan itu untuk menikah lagi karena dia masih dianggap punya suami, dan
bagaimana dalam status seperti itu dia tidak boleh menerima pinjaman tanpa
seizing suaminya. Mereka begitu meyakinkan, bahkan seorang lelaki yang tuli
bagai batu sekalipun akan menjatuhkan keputusan cerai dengan berlinang air mata,
Wakil hakim yang tak berperasaan itu,
entah bagaimana, tidak menunjukkan tandatanda seperti itu, malah menanyakan wali
resmi Shekure. Setelah sesaat dalam keadaan bimbang, aku segera menyela,
menyatakan bahwa ayah Shekure yang telah mengabdi sebagai pembawa pesan dan duta
besar bagi Sultan masih hidup.
"Sampai walinya itu bersaksi di pengadilan, aku tidak akan pernah meluluskan
perceraian baginya!" ujar wakil hakim itu.
Dengan amat gugup aku menjelaskan bahwa Enishte Effendi sedang sakit, tergolek
di atas tempat tidurnya dan tengah berjuang mempertahankan nyawa, dan bahwa
keinginan terakhir yang dipanjatkannya pada Tuhan adalah melihat anak
perempuannya bercerai, dan aku ditunjuk untuk mewakilinya.
"Mengapa perempuan itu ingin bercerai?" tanya wakil hakim itu. "Mengapa pula
seorang lelaki yang sekarat ingin melihat putrinya bercerai dari suaminya yang
sudah lama menghilang di medan perang" Dengarkan, aku akan maklum jika ada
seorang calon menantu yang layak, karena ia tidak akan meninggal begitu saja
dengan harapan yang tak terwujud."
"Ada sebuah kemungkinan, Tuan," ujarku.
"Siapa yang akan menjadi calon menantu itu?"
"Aku sendiri!" "Sekarang kemarilah! Kau adalah wakil walinya!" ujar wakil hakim itu. "Apa
pekerjaanmu?" "Di provinsi-provinsi bagian timur, aku menjadi seorang sekretaris, sekretaris
utama, dan bendahara pembantu bagi beberapa pasha. Aku menyelesaikan catatan
sejarah perang Persia yang ingin kupersembahkan kepada Sultan. Aku adalah
seorang ahli ilustrasi dan
dekorasi. Dan aku telah terbakar asmara pada perempuan ini selama dua puluh
tahun." "Apakah kau kerabatnya?"
Aku merasa sangat malu karena merendahkan diri dengan cepat dan tanpa diduga
dengan sedemikian mengiba-iba di depan wakil hakim ini dan menelanjangi
kehidupanku bagai sebuah barang murahan tanpa misteri apa pun, sehingga aku
sepenuhnya terdiam. "Daripada kau jadi merah padam begitu, lebih baik jawablah
pertanyaanku, anak muda. Kalau tidak, aku akan menolak menjatuhkan
keputusan cerai atas perempuan itu."
"Dia adalah putri bibiku dari pihak ibu."
"Hm, baiklah. Apakah kau mampu membahagiakannya?"
Ketika ia melontarkan pertanyaan itu, ia membuat gerakan tangan yang kasar. Sang
miniaturis harus mengabaikan kekasaran ini. Cukup baginya dengan menunjukkan
betapa aku merona, "Aku hidup dengan layak."
"Karena aku penganut mazhab Syafi'i, tidak ada larangan dalam Kitab Suci atau
dalam keyakinanku dalam meluluskan status bercerai untuk si malang Shekure yang
suaminya telah hilang di medan perang selama empat tahun," ujar wakil hakim itu.
"Aku akan meluluskan sebuah perceraian. Dan akan kunyatakan bahwa suaminya tidak
lagi memiliki hak atasnya jika ia kembali."
Ilustrasi berikutnya adalah yang keempat, harus dilukiskan ketika wakil hakim
itu sedang mencatat data perceraian itu di dalam buku catatannya, melepaskan
bala tentara hurufhuruf dengan tinta hitam yang patuh,
sebelum menyodorkannya ke hadapanku dengan dokumen yang menyatakan bahwa Shekure
kini adalah seorang janda dan karenanya tidak ada halangan baginya untuk segera
menikah kembali. Kebahagiaan yang menyeruak dari dalam diriku saat itu tak
tergambar dengan mewarnai dindingdinding ruang sidang dengan warna merah ataupun
dengan menempatkan gambarnya di dalam garis bingkai berwarna merah darah. Seraya
berlari pulang melewati kerumunan saksi-saksi palsu dan orangorang lainnya yang
berkumpul di depan pintu hakim untuk mengupayakan perceraian bagi saudarasaudara
perempuan mereka, anakanak perempuan mereka atau bahkan bibi mereka, aku
melangkah mantap memulai perjalanan pulangku.
Setelah aku melintasi Bosphorus dan langsung menuju daerah Yakutlar, aku meminta
Imam Effendi yang ingin menikahkan kami secara resmi dan adiknya untuk pulang.
Karena aku mencurigai semua orang yang kulihat di jalanan merasa iri padaku atas
kebahagiaan luar biasa yang akan segera kudapat, aku berlari menuju jalan rumah
Shekure. Bagaimana caranya kawanan burung gagak bertampang jahat itu tahu akan
adanya sesosok mayat di rumah itu dengan berlompatan lincah ke sana kemari di
atas bata-bata tanah liat di atap rumah" Aku dilanda rasa bersalah karena tidak
mampu cukup berduka untuk Enishteku atau bahkan meneteskan sebulir air mata
untuknya. Dari daun-daun jendela dan pintu yang tertutup rapat di rumah itu,
dari kesunyiannya, dan bahkan dari penampakan pohon delima, aku tahu bahwa
semuanya berlangsung sesuai rencana.
Secara naluriah aku bersikap amat tergesa. Aku melemparkan batu ke gerbang di
halaman, tetapi meleset! Kulemparkan sebutir batu lainnya ke arah rumah. Batu itu mendarat di atas atap.
Aku mulai putus asa, dan menghujani rumah itu dengan batu. Sebuah daun jendela
terbuka. Itu adalah jendela di lantai dua tempat empat hari yang lalu, di hari
Rabu, untuk pertama kalinya aku melihat Shekure di antara dahandahan pohon
delima. Orhan yang muncul, dan dari celah daun jendela itu aku bisa mendengar
Shekure mengomelinya. Lalu aku melihatnya. Sejenak, kami saling berpandangan
penuh harap, perempuanku yang rupawan dan aku. Dia begitu jelita dan pantas. Dia
membuat gerakan yang kemudian kuartikan sebagai "tunggu", lalu menutup daun
jendela itu. Masih ada banyak waktu sebelum malam tiba. Aku menunggu dengan harap-harap cemas
di taman yang kosong, terpukau oleh keindahan dunia ini, pepohonan dan jalanan
yang berlumpur. Tak lama kemudian, Hayriye muncul, berpakaian dan berdandan
tidak seperti seorang pelayan, tetapi lebih seperti seorang nyonya rumah. Tanpa
saling mendekatkan diri, kami berjalan ke rerimbunan pepohonan.
"Semua berjalan sesuai rencana," kataku padanya. Aku menunjukkan dokumen yang
kudapatkan dari wakil hakim itu padanya. "Shekure sudah bercerai. Adapun
penghulu dari wilayah tetangga itu ..." aku tadinya hendak menambahkan, "akan
kuurus," tetapi aku malah berkata, "Ia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat
ini. Shekure harus bersiap-siap."
"Tidak peduli sesederhana apa pun, Shekure menginginkan sebuah upacara
pengantin, diikuti oleh penerimaan warga sekitar dan sajian pesta pernikahan.
Kami sudah menyiapkan sebelanga pilaf* dengan kacang
*Nasi bumbu khas Timur Tengah dengan campuran irisan sayuran, ikan, dan daging.
almond dan buah apricot kering."
Dalam kegairahannya, dia sepertinya hendak menceritakan padaku sajian lain yang
sudah dimasaknya, tetapi aku lantas memotongnya. "Jika upacara pernikahannya
harus berupa acara yang sedemikian lengkap," ujarku, "Hasan dan anak buahnya
akan mendengarnya. Mereka akan menyerbu rumah, mempermalukan kita, membuat
pernikahan itu tidak sah, dan kita tidak mampu berbuat apa pun untuk
mengatasinya. Semua kerja keras kita hanya akan menjadi kesia-siaan. Kita harus
melindungi diri tidak hanya dari Hasan dan ayahnya, tetapi juga dari iblis yang
membunuh Enishte Effendi. Apakah kau merasa takut?"
"Bagaimana aku tidak takut?" sahutnya dan dia mulai terisak.
"Kau tidak akan memberi tahu apa pun pada siapa pun," ujarku. "Dandani Enishte
dengan pakaian malamnya, bentangkan kasur lipatnya dan baringkan ia di atasnya,
bukan sebagai sesosok mayat, melainkan seperti jika ia dalam keadaan sakit.
Siapkan gelas-gelas dan botol-botol sirup di dekat kepalanya, dan tutup semua
daun jendela. Pastikan tidak ada lampu di ruangannya, agar ia bisa tetap
berperan sebagai wali Shekure, ayahnya yang sedang sakit, selama upacara
pernikahan itu berlangsung. Tidak ada tempat untuk prosesi pengantin. Kau boleh
mengundang beberapa orang tetangga di saat-saat terakhir, itu saja. Saat kau
mengundang mereka, katakanlah bahwa ini adalah keinginan terakhir Enishte
Effendi .... Ini tidak akan menjadi pesta pernikahan yang riang gembira, melainkan
upacara yang muram. Jika kita tidak melakukan semuanya seperti itu, mereka akan
menghancurkan kita, dan mereka juga akan
menghukummu. Kau paham, bukan?"
Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersedu sedan. Seraya menaiki kuda
putihku, aku berkata bahwa aku akan mengamankan para saksi dan kembali dalam
waktu singkat agar Shekure bisa bersiap-siap. Setelah ini, aku akan menjadi tuan
di rumah itu, dan sebelumnya aku akan pergi ke tukang cukur. Aku tidak
memikirkan hal-hal semacam ini sebelumnya. Saat aku berbicara, detail itu
terlintas di benakku, dan tepat seperti yang kurasakan selama beberapa kali ikut
berperang, aku merasa yakin bahwa aku adalah hamba Tuhan yang diberkahi dan
dibantu oleh Nya, dan bahwa Ia melindungiku. Oleh karena itu, semuanya akan
berlangsung baik baik saja. Ketika kau merasakan keyakinan seperti itu, lakukan
saja apa pun yang terlintas di benakmu, ikuti kata hatimu dan apa pun yang
kaulakukan akan terbukti sebagai kebenaran.
Aku memacu kudaku sejauh empat blok ke arah Golden Horn dari wilayah Yakutlar
untuk mencari lakilaki berjenggot hitam dengan wajah bercahaya, seorang penghulu
di masjid daerah Yasin Pasha, daerah jiran. Dengan sapu di tangannya, ia sedang
mengusir anjing tak tahu adat keluar dari halaman berlumpur itu. Aku
menceritakan padanya situasi sulit yang kuhadapi. Dengan izin Tuhan, aku
menjelaskan bahwa waktu Enishteku berada di tangannya, dan menurut keinginan
terakhirnya, aku ingin menikahi putrinya yang telah diputuskan bercerai dari
suaminya yang hilang di medan perang. Si penghulu keberatan, menyatakan bahwa
menurut hukum Islam seorang perempuan yang bercerai harus menunggu selama
sebulan sebelum menikah kembali. Namun, aku mengatasinya dengan menjelaskan
bahwa suami Shekure yang terdahulu sudah tidak mendampinginya selama empat
tahun, dan oleh karenanya tidak mungkin dia akan hamil dari lakilaki itu. Aku
segera menambahkan bahwa hakim di Uskudar telah meluluskan perceraiannya pagi
ini, dan agar Shekure diizinkan menikah lagi, aku lalu menunjukkan dokumen itu
kepadanya. "Imam yang mulia, yakinlah bahwa tidak ada halangan apa pun atas
pernikahan ini," kataku. Benar, Shekure dan aku memang memiliki hubungan darah,
tetapi menjadi sepupu dari pihak ibu bukanlah sebuah penghalang, pernikahannya
yang terdahulu sudah dianggap tidak sah, lagi pula tidak ada perbedaan agama,
kelas sosial ataupun tingkat keuangan di antara kami. Dan jika ia menerima
kepingan emas yang kusodorkan ke hadapannya agar mau melangsungkan upacara
pernikahan itu di depan khalayak, ia juga akan menuntaskan sebuah tugas suci di
depan Tuhan untuk anakanak tak berayah seorang janda. Apakah ia doyan pita f
dengan kacang almond dan aprikot kering"
Ia memang menyukai sajian itu, tetapi ia masih sibuk dengan anjinganjing di
pintu gerbang. Ia mengambil koinkoin emas dariku dan berkata bahwa ia akan
mengenakan jubah penghulunya, menegaskan penampilannya, mencari turbannya, dan
tiba tepat pada waktunya untuk melangsungkan akad nikah. Ia bertanya jalan
menuju rumah itu dan aku pun memberitahunya.
Setergesa-gesa apa pun pernikahan tersebut dengan pengantin pria yang sudah ?memimpikan pernikahan itu selama dua belas tahun adakah yang lebih alamiah
?daripada pengantin pria yang melupakan semua kecemasan dan kegalauan hatinya,
lalu memasrahkan diri pada tangan penuh kasih dan sindiran
lembut seorang tukang cukur untuk sebuah pangkasan rambut dan cukuran sebelum
pernikahan" Tempat pangkas rambut itu, ke mana kakiku membawaku, berdekatan
letaknya dengan pasar di jalan yang banyak terdapat rumahrumah kumuh di Aksaray.
Di tempat inilah almarhum Enishteku, bibiku dan Shekure yang jelita, pernah
tinggal semasa kami kanakkanak. Inilah tempat cukur rambut yang kudatangi lima
hari yang lalu, di hari pertama kepulanganku, Saat itu ketika aku melangkah
masuk, ia memelukku dan sebagaimana yang akan dilakukan tukang cukur Istanbul
yang baik, alihalih menanyakan padaku ke mana saja aku pergi selama dua belas
tahun terakhir, ia malah langsung mengajakku membicarakan gunjingan terakhir di
daerah itu, dan mengakhiri pembicaran dengan sebuah alusi pada tempat ke mana
kita semua akan pergi di akhir perjalanan penuh makna yang disebut kehidupan.
Tukang cukur yang mahir itu sudah lanjut usia. Silet bermata amat tajam yang
digenggam oleh tangannya yang berbintik-bintik itu bergetar saat ia menarikan
tangannya ke sekeliling pipiku. Ia telah membiarkan dirinya mabuk minuman dan
menerima seorang bocah lelaki bermata hijau, dengan bibir merekah dan wajah
merona merah jambu, sebagai muridnya bocah yang memandangi majikannya dengan
?kekaguman. Dibanding dua belas tahun yang lalu, kedai cukurnya tampak lebih
bersih dan lebih teratur. Setelah mengisikan air mendidih ke dalam baskom yang
digantungkan dari langit-langit kedai itu dengan rantai yang baru, dengan hati
hati ia mencuci rambut dan wajahku dengan air yang keluar dari kran kuningan di
dasar baskom itu. Baskom-baskom tua yang lebar itu baru dipoles kembali sehingga
tidak ada bekas-bekas karat, tungkutungku pemanasnya pun bersih, dan silet-silet yang
bergagang batu akik itu juga tajam. Ia mengenakan sebuah celemek sutra yang
bersih, sesuatu yang pantang dilakukannya dua belas tahun yang lalu. Aku
menyimpulkan bahwa murid tampan yang cukup tinggi untuk usianya dan juga
bertubuh ramping itu telah membantu terciptanya keteraturan di kedai cukur ini
sekaligus pemiliknya. Aku pun lalu menyerah pada kenikmatan bercukur yang penuh
sabun dan beraroma mawar. Aku tidak tahan untuk terus memikirkan betapa
pernikahan tidak hanya menimbulkan gairah hidup dan kemakmuran pada rumah
seorang bujangan, tetapi juga pada pekerjaan dan kedainya.
Aku tidak yakin telah berapa lama waktu berlalu. Aku terhanyut dalam kehangatan
tungku yang meruapkan rasa hangat yang lembut ke seluruh penjuru kedai cukur
itu, dan juga kelincahan jemari si tukang cukur. Dengan kehidupan yang tibatiba
saja menghadiahiku anugerah terindah hari ini, dengan cuma-cuma pula, dan
setelah sekian lama merana, aku merasakan sebentuk rasa syukur tak terhingga
pada Allah yang Maha Kuasa, Aku merasa amat penasaran dengan misteri
keseimbangan dunia yang diwujudkan-Nya. Lalu aku merasa sedih dan pilu untuk
Enishte yang tergolek tak bernyawa di rumahnya, di mana tak lama lagi akulah
yang akan menjadi tuan di rumah itu. Aku sedang bersiap bangkit ketika terdengar
suara di pintu kedai cukur yang selalu terbuka: Shevket!
Dengan gugup, tetapi masih dengan keyakinan diri yang biasa dimilikinya, ia
memegang selembar kertas. Tak mampu berkata-kata dan membayangkan yang terburuk,
sukmaku menggigil seolaholah diembus angin sedingin es saat aku membaca:
Jika tidak ada upacara arak-arakan pengantin perempuan, aku tidak akan
menikah Shekure.?Kuraih tangan Shevket, lalu kuangkat tubuhnya ke atas pangkuanku. Aku akan
senang sekali membalas surat Shekure sayangku secara tertulis, "Apa pun yang
kauinginkan, cintaku!" Tetapi apa yang akan dilakukan pena dan tinta di kedai
seorang tukang cukur yang tak berpendidikan" Maka, dengan sedikit perhitungan,
aku membisikkan jawabanku ke telinga bocah itu: "Baiklah." Masih dengan
berbisik, kali ini aku bertanya padanya tentang keadaan kakeknya. "Ia sedang
tidur." Kini aku merasakan bahwa Shevket, si tukang cukur, dan bahkan kau sudah curiga
padaku dan hubunganku dengan kematian Enishteku (Shevket tentu mencurigai hal-
hal lainnya). Sayang sekali! Aku mendaratkan sebuah ciuman untuk anak itu dan
segera saja ia pergi berlalu dengan rasa tidak senang. Selama pernikahan
berlangsung, dengan mengenakan pakaian liburannya, ia menatapku dengan sorot
mata penuh permusuhan dari kejauhan.
Karena Shekure tidak akan meninggalkan rumah ayahnya demi aku, dan aku akan
pindah ke dalam rumah mertua sebagai mempelai lakilaki, upacara pengantin itu
hanyalah sebuah penyesuaian. Sewajarnya, aku tidak bisa meminta kawan-kawanku
yang kaya raya untuk berdandan elok dan membuat mereka berkerumun menunggu di
gerbang depan rumah Shekure dengan menunggangi kuda mereka seperti yang
dilakukan orang lain. Namun, aku mengundang dua orang kawan masa kecilku yang
telah kutemui dalam enam hari kepulanganku di Istanbul (salah satunya telah
menjadi seorang kerani sepertiku dan yang lainnya mengelola sebuah pemandian umum) selain tukang
cukurku yang baik, yang matanya langsung berkaca-kaca ketika ia berdoa
memohonkan kebahagiaanku saat memangkas rambutku. Dengan menaiki kuda putihku,
aku mengetuk gerbang rumah Shekure tercinta, seolaholah aku akan membawanya ke
rumah yang lain dan kehidupan yang lain pula.
Kepada Hayriye yang membukakan gerbang itu, kuberikan tip yang banyak. Shekure
yang berbusana gaun pengantin berwarna merah menyala dengan kerudung pengantin
merah muda menjuntai dari rambut hingga kakinya, muncul di tengah tangisan,
isakan, desahan (seorang perempuan mengomeli anakanak), luapan kegembiraan, dan
pekikan, "Semoga Tuhan melindunginya." Dengan anggun dia menaiki seekor kuda
putih lain yang kubawakan untuknya. Seiring suara genderang yang dipukul dan
lengkingan seruling zurna yang dengan murah hati telah disewa oleh si tukang
cukur untukku di saat-saat terakhir mengalunkan lagu pengantin yang lembut dan
lirih, upacara pernikahan kami yang sederhana, muram, tetapi tetap penuh
kebanggaan itu dimulai.

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika barisan kuda mulai berjalan beriringan, aku tahu bahwa Shekure dengan
kecerdikannya telah menyusun kemeriahan ini demi keamanan akad nikah kami.
Upacara kami yang memamerkan pernikahan kami pada segenap masyarakat setempat,
meskipun hanya di saat-saat terakhir, telah secara mendasar mendapatkan
persetujuan semua orang, dengan demikian fakta ini bisa mencegah keberatan-
keberatan atas pernikahan kami yang mungkin muncul di masa yang akan datang.
Namun, mengumumkan bahwa kami akan melangsungkan akad
nikah, sekaligus walimahnya yang seakanakan menantang musuhmusuh kami, yakni
? suami pertama Shekure dan keluarganya bisa membahayakan seluruh rencana kami. ?Jika semua tergantung padaku, maka aku akan menyelenggarakan upacara pernikahan
ini dengan diamdiam, bahkan tanpa memberi tahu siapa pun, tanpa harus ada pesta.
Aku lebih suka menjadi suaminya terlebih dahulu, baru kemudian mempertahankan
pernikahan kami. Aku memimpin arak-arakan pengantin itu di atas kuda putih yang sudah dihias
bagaikan kuda negeri dongeng itu. Saat kami berarak melintasi daerah tersebut,
dengan gugup mataku mencari-cari Hasan dan anak buahnya yang kuperkirakan akan
menyergap kami dari sebuah lorong atau gerbang halaman rumah yang temaram.
Kuperhatikan dengan waspada para pemuda, tetua masyarakat, dan orangorang asing
berdiri dan melambailambaikan tangan mereka dari pintupintu rumah mereka tanpa
sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Di sebuah daerah kecil di pasar yang tanpa
sengaja kami masuki, aku menemukan kenyataan bahwa Shekure telah dengan luar
biasa menyebarkan kabar sehingga perceraian dan pernikahannya denganku dengan
cepat bisa diterima oleh masyarakat sekitar. Hal itu terbukti dari kegairahan
seorang penjual sayuran dan buah-buahan yang meninggalkan buah-buahan, wortel
dan apelnya yang berwarnawarni untuk bergabung dengan kami, masuk ke arak-
arakan, dan ikut berjalan beberapa langkah sambil berteriak, "Segala puji hanya
bagi Allah, semoga Allah melindungi kalian berdua," dan dari senyum seorang
pelayan toko yang murung, serta dari pandangan penuh persetujuan tukang-tukang
roti yang sedang mengawasi para pembantunya menggosok kerak di panggangan roti mereka. Masih saja
aku merasa cemas, berupaya menjaga kesemarakan arak-arakanku dari sergapan
tibatiba, atau bahkan gangguan sepatah kata kasar yang mungkin saja terlontar.
Dengan alasan ini, aku tidak begitu terganggu dengan keributan anakanak pemulung
uang logam yang berbaris di belakang kami saat kami meninggalkan pasar. Aku
sadar lewat senyuman para perempuan dari balik jendela, jeruji, dan daun jendela
mereka, bahwa kegairahan arak-arakan anakanak kecil ini melindungi dan mendukung
kami. Saat kutatap sepanjang jalan yang telah dan sedang kami lewati, syukurlah
akhirnya kami memutar kembali ke arah rumah itu, jantungku ada pada Shekure dan
kedukaannya. Sesungguhnya, bukan kemalangannya yang menjalani upacara pernikahan
di hari ayahnya tewas dibunuh yang membuatku pilu, melainkan upacara
pernikahannya yang begitu sederhana dan sekadarnya. Shekureku tercinta layak
mendapatkan arak-arakan pernikahan berupa iring-iringan kuda berhias perak
dengan pelana-pelana hias yang indah dengan para penunggangnya yang berpakaian
bulu musang dan sutra berbordir emas, serta ratusan kereta yang dipenuhi hadiah
dan antara mas kawin. Dia layak memimpin sebuah arak-arakan panjang terdiri dari
putriputri para pasha, sultan, dan kereta-kereta yang penuh sesak oleh
perempuanperempuan selir yang sedang mengobrol tentang kemegahan masa lalu.
Pesta pernikahan Shekure ini bahkan tidak dilengkapi empat tiang penyangga
kanopi sutra berwarna merah yang biasanya memayungi para gadis kaya agar tidak
terlihat oleh orangorang yang mencoba mencuri pandang. Bahkan, tidak ada seorang
pelayan pun yang mendahului prosesi dengan membawa lilin pernikahan dan dekorasi
berbentuk pohon yang berhiaskan buah-buahan, emas, dedaunan perak, dan batu-batu
berkilauan. Lebih memalukan lagi, aku merasakan kesedihan yang siap membobol
kelopak mataku dengan curahan air mata, setiap kali para pemain gendang dan
zurna tibatiba harus menghentikan permainan mereka ketika iring-iringan kami
tenggelam di tengah kepadatan para pengunjung pasar atau para pelayan yang
sedang menimba air dari sumber air di lapangan karena kami tidak menugaskan
seseorang untuk membuka jalan di depan dengan teriakan, "Ini dia pengantinnya."
Begitu kami mendekat ke rumah itu, aku mengumpulkan segenap keberanian untuk
menoleh di atas pelana kudaku dan memandang ke arahnya, dan aku merasa lega
melihat bahwa di balik hiasan pengantin berwarna merah jambu berkilauan dan
kerudung merah mudanya, jauh dari kepiluan yang diakibatkan semua hal
menyedihkan yang baru saja menimpanya, dia tampak tegar mengetahui bahwa kami
telah menuntaskan arak-arakan tanpa halangan apa pun. Maka, layaknya seorang
pengantin lakilaki, aku menurunkan pengantin jelitaku yang tak lama lagi akan
kunikahi itu dari kudanya. Kutuntun tangannya, lalu segenggam demi segenggam,
kutaburkan sekantung uang perak di atas kepalanya di hadapan kerumunan orang
yang turut bersuka cita. Ketika anakanak kecil yang mengarak di belakang iring-
iringan sederhana kami berebut memunguti koinkoin perak itu, Shekure dan aku
memasuki halaman dan melintasi pijakan batu. Begitu kami masuk ke dalam rumah,
kami tidak hanya merasa tersengat oleh hawa panasnya, melainkan juga oleh bau
busuk yang menyengat. Sementara segenap peserta upacara mencari tempatnya masingmasing di dalam rumah,
Shekure dan sekerumunan tetua, para perempuan, dan anakanak (Orhan memandangiku
dengan penuh kecurigaan dari sudut ruangan) tampak melanjutkan rangkaian acara
seolah tidak terjadi apa-apa, dan sesaat aku meragukan indra penciumanku. Namun,
aku sangat tahu bahwa mayat yang dibiarkan di bawah sinar matahari selepas
peperangan dengan pakaian mereka yang koyak moyak, sepatu bot dan sabuk yang
sudah dicuri orang, dan dengan wajah, mata dan bibir mereka telah dikoyak oleh
srigala dan burungburung bangkai, pastilah akan berbau. Itu adalah bau menyengat
yang sering menyesakkan tenggorokan dan paru-paruku sampai membuatku me rasa
tercekik, sehingga aku tidak mungkin salah tentang yang satu ini.
Saat menuruni tangga menuju dapur, aku bertanya pada Hayriye tentang tubuh
Enishte Effendi. Tampaknya dia sadar bahwa aku berbicara padanya untuk pertama
kalinya sebagai kepala rumah tangga di rumah ini.
"Sebagaimana yang Anda perintahkan, kami membaringkannya di atas ranjangnya,
memakaikan baju malamnya, menarik selimut ke atas tubuhnya dan meletakkan botol-
botol sirup di sampingnya. Jika ia meruapkan bau tidak sedap, itu mungkin karena
hawa panas dari tungku perapian di kamar itu," perempuan itu berkata dengan
berlinang air mata. Satu dua tetes air matanya luruh, jatuh ke dalam bejana yang sedang digunakannya
untuk menggoreng daging domba. Dari caranya menangis, kuduga Enishte Effendi
telah sering membawanya ke atas ranjang di malam hari. Esther, yang tampak
bangga duduk diam di pojok dapur, menelan apa yang tadinya sedang dikunyahnya, lalu berdiri.
"Jadikan kebahagiaan Shekure sebagai tujuan utamamu," ujarnya. "Camkanlah betapa
tak ternilainya dia."
Dalam benakku, aku mendengar suara kecapi yang kudengar di jalan di hari pertama
aku kembali ke Istanbul. Melebihi kesedihanku, kudengar semangat membara dalam
iramanya. Aku mendengar irama musik itu lagi kemudian, di kamar temaram tempat
Enishteku terbaring dalam baju malam putihnya saat penghulu menikahkan kami,
Karena Hayriye telah diamdiam mengeluarkan udara kamar itu sebelumnya dan
meletakkan lampu minyak di salah sudut kamar sehingga kamar itu menjadi temaram,
orang nyaris tak mungkin bisa mengetahui dengan pasti apakah Enishteku memang
sedang sakit ataukah sudah mati. Karena itu, ia menjadi wali resmi Shekure
selama akad nikah berlangsung. Kawanku si tukang cukur, bersama seorang tua yang
dikenal oleh semua orang, menjadi saksiku. Sebelum akad nikah itu diakhiri
dengan doa-doa penuh pengharapan dan nasihat dari sang penghulu, serta doa
bersama seluruh hadirin, seorang tua ceriwis yang mempermasalahkan kesehatan
Enishte, hampir saja menundukkan kepalanya ke atas mayat itu, tetapi segera
setelah sang penghulu menyelesaikan akad nikah, aku bangkit dari tempatku dan
merengkuh tangan kaku Enishteku, lalu berteriak sekencangkencangnya, "Jangan
lagi khawatir, Enishteku tersayang. Aku akan melakukan apa pun dengan sekuat
tenaga untuk melindungi Shekure dan anakanaknya, serta memastikan mereka
mendapatkan pakaian yang layak, tercukupi makannya, dicintai dan damai sentosa."
Berikutnya, untuk menunjukkan bahwa Enishteku sedang berusaha berbisik padaku
dari ranjangnya, perlahanlahan aku mendekatkan telingaku ke mulutnya,
berpurapura mendengarkannya dengan penuh perhatian dan dengan mata terbuka
lebar, sebagaimana yang akan dilakukan seorang anak muda saat seorang tua yang
mereka hormati memberikan nasihat yang dirangkum dari seluruh perjalanan
hidupnya dan kemudian akan diserap laksana ramuan berkhasiat ke dalam kepala
mereka. Sang penghulu dan para tetua di daerah itu tampak menghargai dan senang
dengan kesetiaan dan pengabdian yang kutunjukkan kepada ayah mertuaku. Kuharap
tak akan ada yang masih berpikir bahwa aku terlibat dalam pembunuhan
terhadapnya. Ku umumkan pada segenap hadirin yang masih ada di ruangan itu bahwa lelaki yang
sedang tidak sehat itu ingin ditinggalkan sendirian. Segera saja mereka mulai
meninggalkan ruangan itu, memasuki ruang sebelahnya, tempat orangorang berkumpul
untuk berpesta dengan hidangan pilaf dan daging domba buatan Hayriye (tepat di
saat itulah aku tak mampu lagi membedakan bau mayat itu dengan aroma rempah-
rempah dan daging domba goreng). Aku melangkah masuk ke dalam lorong besar dan
layaknya kepala keluarga yang sedang murung, aku menjelajahi seisi rumah dengan
pikiran kosong dan sedih. Kubuka pintu kamar Hayriye tanpa memedulikan histeria
para perempuan karena ada seorang lelaki di antara mereka, dan kemudian aku
menatap Shekure dengan penuh cinta. Kedua bola matanya serta merta memancarkan
kebahagiaan melihatku, lalu aku berkata, "Ayahmu memanggilmu, Shekure. Kita
sudah menikah sekarang, kau harus mencium tangannya."
Sekelompok perempuan tetangga yang diundang mendadak oleh Shekure dan para gadis
remaja yang kuduga adalah para kerabat, bergegas menyatukan diri dan menutupi
wajah mereka sambil mengamati-amatiku sepuas hati mereka.
Tidak lama setelah azan isya berkumandang, tetamu pesta pernikahan itu mulai
bubar, sambil dengan bersemangat membawa pulang kacang kenari, almond, kulit
buah kering, kembang gula, dan permen cengkeh. Di ruang perempuan, Shekure
terusmenerus menangis dan mengeluh bahwa anakanak telah berbuat nakal. Dia sudah
mengakhiri kemeriahan ini. Di antara para lelaki, dengan wajah yang datar aku
terdiam menanggapi gurauan tentang malam pertama dari para tetangga, berkaitan
dengan suasana muram karena ayah mertua yang sedang sakit. Di tengah semua
kegundahan ini, kejadian yang paling mengendap dalam ingatanku adalah ketika aku
menuntun Shekure ke kamar Enishte sebelum makan malam. Pada akhirnya kami
berduaan. Setelah kami berdua mencium tangan dingin dan kaku lelaki tua yang
sudah tiada itu dengan khidmat, kami mundur ke sudut gelap kamar itu dan
berciuman penuh gelora, seolaholah memuaskan dahaga yang tiada taranya. Pada
lidah hangat istriku yang berhasil kumasukkan ke rongga mulutku, aku bisa
merasakan bekas rasa permen yang dengan rakus dinikmati oleh anakanak.[]
Bab 34 AKU, SHEKURE PARA TAMU terakhir pesta pernikahan kami yang memprihatinkan itu sudah
merapatkan kerudung mereka, lalu mengenakan sepatu dan menyeret anakanak mereka
yang telah melemparkan butiran terakhir permen ke dalam mulut mereka, kemudian
meninggalkan kami semua dalam keheningan yang mencekam. Kami semua berada di
halaman, tidak ada yang terdengar lagi selain suara lirih seekor burung pipit
yang dengan tenang meneguk air dari ember yang setengah terisi di dekat sumur.
Burung pipit yang bulu-bulu kepala mungilnya berkilauan diterpa cahaya perapian
batu itu tibatiba melesat pergi ke dalam kegelapan malam, dan aku pun segera
merasakan keberadaan jenazah di ranjang ayahku dalam rumah kami yang kosong.
"Anakanak," panggilku, dengan nada suara yang dikenal Orhan dan Shevket sebagai
nada yang kugunakan saat akan mengumumkan sesuatu, "kemarilah kalian berdua."
Mereka mematuhiku. "Hitam kini adalah ayah kalian. Ayo cium tangannya."
Mereka mematuhiku. "Mengingat mereka dibesarkan tanpa seorang ayah, anakanakku
yang malang tidak pernah tahu bagaimana mematuhi seseorang, atau
memerhatikan katakata seorang ayah sambil menatap matanya lekat-lekat, atau
bahkan memercayainya," ujarku pada Hitam. "Karena itu, jika mereka bersikap
kurang sopan, liar, dan kekanakkanakan padamu, aku yakin kau akan memaklumi
mereka pada awalnya, memahami bahwa mereka dibesarkan tanpa pernah mematuhi ayah
mereka yang bahkan mungkin tidak mereka ingat."
"Aku ingat ayahku," tukas Shevket.
"Hus .... dengarkan," kataku. "Mulai sekarang katakata Hitam lebih harus dipatuhi
daripada katakataku." Aku menghadap ke arah Hitam. "Jika mereka menolak
mendengarkanmu, jika mereka bersikap tidak patuh, atau bahkan menunjukkan
sedikit saja sikap kasar, manja atau tidak santun, peringatkanlah dan maafkan
mereka," ujarku melupakan dengan sengaja menyebut soal hukuman pukul yang sudah
ada di ujung lidahku. "Ruang apa pun yang kuhuni di dalam hatimu, mereka akan
menempati ruang yang sama."
"Aku tidak hanya menikahimu untuk menjadi suamimu," sahut Hitam, "tetapi juga
untuk menjadi ayah dari anakanak manis ini."
"Apakah kalian berdua mendengarnya?" "Ya, Tuhan, aku memohon pada-Mu agar tidak
pernah berhenti menyinari kehidupan kami," Hayriye berkata dari sudut ruangan.
"Ya, Tuhan, kumohon lindungilah kami semua."
"Kalian berdua mendengar itu semua, bukan?" tanyaku. "Bagus, anakanakku yang
tampan. Karena ayah kalian mencintai kalian seperti ini, kalian tidak boleh
lepas kendali dan meremehkan kata-katanya. Sebelumnya ia akan memaafkan kalian."
"Dan aku akan memaafkan mereka sesudahnya juga," ujar Hitam.
"Namun, jika kedua anak ini menentang peringatanmu untuk ketiga kalinya ... maka
kau berhak memukul mereka," ujarku. "Apakah kita semua sudah saling memahami"
Ayah baru kalian, Hitam, datang ke tempat ini dari medan peperangan paling keji
yang sangat dimurkai Tuhan, dan dari medan perang yang didatangi almarhum ayah
kalian hingga ia tidak kembali. Ya, ia seorang lelaki yang lebih tangguh. Kakek
kalian sangat memanjakan kalian. Kini kakek kalian sedang dalam keadaan sakit
keras." "Aku ingin mendatanginya dan menemaninya," seru Shevket.
"Jika kalian tidak mendengarkan, Hitam akan mengajari kalian bagaimana rasanya
mendapat sebuah pukulan dari neraka. Kakek kalian tidak akan mampu menyelamatkan
kalian dari Hitam, seperti dulu yang dilakukannya pada kalian terhadap
kemarahanku. Jika kalian tidak ingin menerima kemarahan ayah kalian, kalian
tidak boleh bertengkar lagi, kalian akan saling berbagi, tidak akan berbohong,
melakukan salat dengan tertib, tidak tidur dulu sebelum belajar, dan kalian juga
tidak boleh berbicara kasar pada Hayriye atau menggodanya .... Apakah kita saling
memahami?" Dengan satu gerakan, Hitam membungkuk dan meraih Orhan, lalu menggendongnya.
Shevket menjaga jarak. Aku merasakan keinginan kuat untuk memeluknya dan
menangis. Anak lelakiku yang menderita dan tak berayah, Shevketku yang kesepian
dan bernasib malang, kau begitu sendirian di tengah dunia yang begitu luas ini.
Aku memikirkan diriku sebagai seorang anak kecil, seperti
Shevket, yang sendirian di tengah dunia, dan dengan pedih kukenang lagi betapa
aku pernah berada di dalam pelukan ayahku seperti Orhan yang kini digendong
Hitam. Namun, tidak seperti Orhan, aku tidak kikuk berada dalam pelukan ayahku,
seperti sebutir buah yang tidak terbiasa dengan pohonnya. Aku saat itu begitu
senang dan bersuka hati. Aku ingat betapa ayahku dan aku sering berpelukan, dan
saling mengecup. Aku sudah akan memuntahkan hujan air mata, tetapi kutahan-
tahan. Meski aku tidak berencana mengatakan kalimat seperti ini, aku tetap
mengatakannya, "Ayo, sekarang coba kau memanggilnya 'Ayah.'"
Malam itu begitu dingin dan halaman rumah kami begitu hening. Di kejauhan
kawanan anjing menyalak dan melolong dengan ribut, begitu menyedihkan dan
memilukan. Beberapa menit kemudian, keheningan itu meluas dan merata ke seluruh
penjuru bagaikan sekuntum bunga hitam.
"Baiklah, anakanak," kataku kemudian. "Ayo kita masuk ke agar kita tidak masuk
angin di luar sini."
Bukan hanya Hitam dan aku yang merasakan kekakuan sepasang pengantin yang
ditinggalkan selepas pesta pernikahan, melainkan juga Hayriye dan anakanak. Kami
semua memasuki rumah dengan raguragu, seolaholah kegelapan dari dalam rumah itu
sesuatu yang asing. Kami lalu mencium bau jenazah ayahku, tetapi semua orang
seakanakan tidak menyadarinya. Diamdiam kami menaiki tangga, dan bayangan yang
jatuh di langit-langit dari lampu-lampu minyak yang biasanya berputar-putar dan
berbaur, kini meluas, lalu menciut, seakanakan baru terjadi untuk pertama
kalinya. Di lantai atas, saat kami membuka sepatu kami di lorong, Shevket
berkata, "Sebelum kita tidur, bolehkah aku mencium tangan kakek?"
"Aku baru saja memeriksanya," ujar Hayriye. "Kakek kalian sedang merasa
kesakitan dan tidak nyaman, jelas sudah bahwa roh jahat telah menguasai
tubuhnya. Demam dari penyakitnya itu telah menelannya. Pergilah ke kamar kalian
agar aku bisa menyiapkan kasur kalian."
Hayriye menggiring mereka memasuki kamar. Saat aku membentangkan kasur dan
membungkusnya dengan sprei dan selimut, dia bersikap seolaholah setiap benda
yang dipegangnya adalah sesuatu yang unik dan mengagumkan di dunia ini, lalu
bergumam betapa tidur di sini, di dalam sebuah kamar yang hangat di antara sprei
bersih dan selimut tebal bagaikan menghabiskan malam di istana seorang sultan.
"Hayriye, ceritakan sebuah dongeng pada kami," pinta Orhan, saat ia duduk di
atas pispot kamarnya. "Pada suatu hari ada seorang manusia biru," ujar Hayriye, "dan sahabat
terdekatnya adalah sesosok jin."


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa orang itu biru?" tanya Orhan.
"Demi Tuhan, Hayriye," potongku. "Malam ini jangan mendongeng tentang jin dan
hantu." "Mengapa dia tidak boleh melakukannya?" tanya Shevket. "Ibu, setelah kami tidur,
apakah Ibu akan meninggalkan ranjang dan menemani kakek?"
"Kakek kalian, semoga Allah melindunginya, sedang sakit parah," ujarku. "Tentu
saja aku akan mendampinginya di malam hari dan menjaganya. Kemudian, aku akan
kembali ke ranjang kita, bukan?"
"Biarkan Hayriye saja yang menjaga kakek," ujar Shevket. "Bukankah Hayriye
selalu menjaga kakek di malam hari?"
"Kau sudah selesai?" tanya Hayriye pada Orhan sambil membasuh bokong Orhan
dengan lap basah. Wajah Orhan tampak diliputi kelelahan yang melegakan. Hayriye
mengintip ke dalam pispot, lalu mengerutkan wajahnya, bukan karena baunya,
melainkan sepertinya dia tidak puas dengan apa yang dilihatnya.
"Hayriye," kataku. "Kosongkan pispot kamar itu dan bawa kembali. Aku tidak ingin
Shevket meninggalkan kamar ini di tengah malam."
"Mengapa aku tidak boleh meninggalkan kamar?" Tanya Shevket. "Mengapa Hayriye
tidak boleh menceritakan dongeng tentang jin dan peri malam ini?"
"Karena ada sekelompok jin di rumah ini, tolol," seru Orhan, bukan karena rasa
takutnya, melainkan karena optimisme bodoh yang sering kulihat dalam ekspresinya
setiap kali ia merasa lega.
"Ibu, apakah memang ada jin di rumah ini?" "Jika kau meninggalkan kamar dan
berusaha melihat kakekmu, jin akan menangkapmu."
"Di manakah Hitam membentangkan kasurnya?" tanya Shevket. "Di manakah ia akan
tidur malam ini?" "Aku tidak tahu," jawabku, "Hayriye akan menyiapkan kasurnya."
"Ibu masih akan tidur bersama kami, bukan?" tanya Shevket.
"Harus berapa kali Ibu katakan padamu" Aku akan tidur bersama kalian berdua
seperti sebelumnya." "Selalu?"
Hayriye berlalu sambil membawa pispot. Dari laci tempat aku menyembunyikannya,
kukeluarkan sembilan lukisan yang disisakan oleh pembunuh jahanam itu, dan duduk
di atas ranjang. Dengan diterangi cahaya sebatang
lilin, aku memandanginya dalam waktu lama, mencoba menyelami rahasia
lukisanlukisan tersebut. Ilustrasiilustrasi ini begitu indah sehingga kau akan
salah mengenali mereka, seolaholah itu adalah sebuah kenangan yang sudah
kaulupakan. Dan seperti tulisan, begitu kau memandanginya lukisanlukisan itu
akan berbicara. Aku tersesat dalam lukisanlukisan itu. Aku tahu dari wangi kepala Orhan yang
tampan, di mana aku menempelkan hidungku, bahwa ia juga memandangi warna merah
yang ganjil dan mencurigakan itu. Seperti yang kadangkadang terjadi, aku
merasakan sebentuk keinginan untuk mengeluarkan payudaraku dan menyusuinya. Tak
lama kemudian, ketika Orhan ketakutan melihat lukisan mengerikan Malaikat Maut,
dan dengan lembut mengembuskan napas manis ke dalam bibirnya yang kemerahan, aku
tibatiba saja merasa ingin melahapnya.
"Aku akan memakanmu, kautahu?"
"Ibu, geli!" ujarnya dan meloloskan diri dari pelukanku,
"Bangun kau! Bangun kau, anak nakal!" aku menjerit dan menamparnya dengan
bermainmain. Ia tergeletak menimpa lukisanlukisan itu. Aku memandangi
ilustrasiilustrasi tersebut; sepertinya tidak ada yang rusak. Gambar seekor kuda
di bagian atas samarsamar tampak tersungkur.
Hayriye masuk dengan pispot kosong. Aku mengumpulkan lukisanlukisan itu dan akan
meninggalkan kamar ketika Shevket mulai menangis, "Ibu akan pergi ke mana?"
"Aku akan segera kembali."
Aku melintasi lorong yang dingin membekukan itu. Hitam sedang duduk di depan
tumpukan bantal ayahku yang kosong, dengan posisi yang sama saat ia menghabiskan
waktu selama empat hari mendiskusikan lukisan dengan almarhum ayahku. Aku
meletakkan ilustrasiilustrasi itu di atas rehal, bantal duduk, dan di atas
lantai di depannya. Warnawarna seketika menyeruakkan kehangatan dan kehidupan
yang mengagumkan di dalam kamar yang hanya diterangi cahaya lilin itu,
seakanakan semuanya siap bergerak.
Dengan diam mematung, kami memandangi lukisan itu dari jauh dan dengan penuh
hormat. Ketika kami bergerak meski hanya sedikit saja, udara beku yang meruapkan
aroma kematian dari kamar di seberang lorong yang lebar itu akan membuat lidah
api lilin itu bergetar, dan ilustrasiilustrasi misterius ayahku itu seakanakan
ikut bergerak. Apakah lukisanlukisan ini sedemikian pentingnya bagiku karena
telah menjadi penyebab kematian ayahku" Apakah aku sepenuhnya terserap oleh
keanehan kuda itu, atau oleh keunikan warna merah, oleh penderitaan yang
ditunjukkan sebatang pohon, atau oleh kepiluan yang terpancar dari gambar dua
orang darwis pengembara itu, atau disebabkan rasa takutku pada pembunuh ayahku
yang mungkin juga telah membunuh orangorang lain hanya demi ilustrasiilustrasi
ini" Beberapa saat kemudian, Hitam dan aku paham sepenuhnya bahwa keheningan di
antara kami berdua kemungkinan besar diakibatkan lukisanlukisan itu, dan juga
kenyataan berada di kamar yang sama berdua saja di malam pernikahan kami. Kami
berdua sama-sama ingin berbicara.
"Saat kita bangun besok pagi, kita harus mengatakan pada semua orang bahwa
ayahku yang tak berdaya telah
meninggal dunia dalam tidurnya," ujarku. Meskipun yang kukatakan itu benar,
tetapi kedengarannya aku telah bersikap tidak tulus.
"Semuanya akan baikbaik saja besok pagi," sahut Hitam dengan sikap kikuk yang
sama, tak mampu menyadari kenyataan akan apa yang telah ia katakan.
Saat ia membuat sebuah gerakan kecil yang menandakan ia akan mendekat padaku,
aku merasakan keinginan kuat dalam dadaku untuk memeluknya seperti yang
kulakukan pada anakanak, merengkuh kepalanya ke dalam tanganku.
Tepat pada saat itulah, aku mendengar pintu kamar ayahku terbuka, dan merasa
dibangkitkan oleh sebentuk rasa ngeri, aku berlari, membuka pintu kami, dan
melongok keluar: lewat cahaya yang menyusup ke dalam lorong, aku tercengang
mendapati pintu kamar ayahku setengah terbuka. Aku melangkah ke lorong yang
sedingin es itu. Kamar ayahku yang hangat oleh tungku pemanas yang masih menyala
dipenuhi bau menyengat mayat yang membusuk. Apakah Shevket masuk kemari, atau
adakah orang lain" Tubuh ayahku mengenakan baju malamnya, tampak beristirahat
dengan damai, diselimuti cahaya temaram tungku pemanas. Aku ingat, di malammalam
tertentu, aku akan berkata, "Selamat malam, Ayah sayang," sementara ia membaca
buku Kitab Sukma diterangi cahaya lilin sebelum tidur. Ia akan mengangkat
tubuhnya perlahan, mengambil gelas yang kubawakan untuknya dari tanganku, dan
berkata, "Semoga si pembawa air minum tidak membutuhkan apa-apa lagi," sebelum
akhirnya ia mencium pipiku dan menatap mataku, seperti yang biasa dilakukannya
saat aku masih kecil. Aku menunduk menatap wajah ayahku yang mengerikan dan
seketika aku merasa takut, Aku ingin menghindar dari memandanginya, tetapi di
saat yang sama, terhasut oleh setan, aku ingin mengetahui ia sudah menjadi
sejelek apa. Dengan takut-takut aku kembali ke kamar berpintu biru tempat Hitam sedang
berjalan menghampiriku. Aku mendorong tubuhnya, lebih karena tak tahu apa yang
kupikirkan daripada karena amarah. Kami bergelut di bawah cahaya lilin yang
berpendar-pendar, meski itu bukanlah perkelahian yang sesungguhnya, lebih
seperti berpurapura berkelahi. Kami seakanakan menikmati gerakan saling
membanting, menyentuh tangan, kaki dan dada. Kebingungan yang kurasakan mewujud
dalam keadaan emosional yang digambarkan Nizami sedang dialami oleh Hiisrev dan
Shirin: Mampukah Hitam, yang telah membaca Nizami dengan saksama, merasakannya"
Seperti Shirin, apakah aku juga bermaksud mengatakan "Teruskan" ketika aku
berkata, "Jangan lukai bibirku dengan menciumnya terlalu keras?"
"Aku menolak tidur seranjang denganmu, hingga manusia iblis itu ditemukan,
hingga pembunuh ayahku tertangkap," ujarku.
Saat aku berlari ke kamar, aku merasa diliputi rasa malu. Aku sudah berbicara
dengan suara yang sedemikian melengking, seolaholah aku ingin anakanak dan
Hayriye mendengar apa yang kukatakan mungkin bahkan ayahku yang malang dan ?almarhum suamiku, yang tubuhnya sudah lama membusuk dan berubah menjadi debu
entah di tanah tandus mana di muka bumi ini.
Begitu aku kembali bersama anakanak, Orhan berkata, "Ibu, Shevket tadi keluar ke
lorong rumah." "Apakah kau keluar?" tanyaku, dan menggerakkan tubuhku seperti jika aku akan
menamparnya. "Hayriye," seru Shevket sambil memeluk perempuan
itu. "Ia tidak keluar kamar," jawab Hayriye. "Ia berada di dalam kamar sepanjang
waktu." Aku merasa menggigil dan tidak mampu memandangi mata Hayriye. Kusadari bahwa
setelah kematian ayahku diumumkan, sejak itu anakanak akan mencari perlindungan
Hayriye, mengatakan padanya semua rahasia kami, dan pelayan yang rendah ini akan
mengambil keuntungan dari kesempatan itu agar bisa mengendalikanku. Dia juga
tidak akan berhenti di situ saja. Dia akan mencoba menimpakan beban kesalahan
atas terbunuhnya ayahku padaku, lalu dia akan membuat perwalian anakanak jatuh
ke tangan Hasan! Ya, jelas dia akan melakukannya! Semua rencana busuk ini
mungkin dijalankannya karena dia pernah tidur dengan ayahku, semoga ia
beristirahat di bawah cahaya suci. Mengapa aku harus menyembunyikan hal ini
lagi" Pada kenyataannya dia memang melakukan hal itu. Aku tersenyum manis
padanya. Lalu, aku mengangkat Shevket ke atas pangkuanku dan menciumnya.
"Aku bilang padamu, Ibu, tadi Shevket keluar ke lorong," seru Orhan.
"Naiklah ke atas kasur kalian berdua. Biarkan Ibu berbaring di antara kalian
agar bisa menceritakan kisah tentang anjing hutan tak berekor dan jin hitam."
"Tetapi tadi ibu memberi tahu Hayriye agar tidak menceritakan pada kami kisah
tentang jin," ujar Shevket. "Mengapa bukan Hayriye saja yang bercerita pada kami
malam ini?" "Apakah mereka akan mendatangi Kota Sepi?" tanya Orhan.
"Ya, mereka akan melakukannya!" jawabku. "Tidak ada seorang anakpun di kota itu
yang memiliki seorang ibu atau ayah. Hayriye, turunlah ke lantai bawah dan
periksa sekali lagi semua pintu. Kita mungkin akan ketiduran di tengahtengah
cerita." "Aku tidak akan ketiduran," seru Orhan.
"Di mana Hitam akan tidur malam ini?" tanya Shevket.
"Di bengkel kerja," sahutku. "Ayo berangkulan erat pada ibu kalian agar kita
semua bisa merasa hangat dan nyaman di balik selimut. Kaki kecil siapa ini yang
sedingin es?" "Kakiku," sahut Shevket. "Di mana Hayriye akan tidur?"
Aku mulai bercerita, dan seperti biasanya, Orhan yang pertama jatuh terlelap,
setelah aku merendahkan suaraku.
"Setelah aku tertidur, Ibu tidak akan meninggalkan ranjang, bukan?" tanya
Shevket. "Tidak, aku tidak akan pergi."
Aku sungguhsungguh tidak berniat meninggalkan ranjang. Setelah Shevket jatuh
tertidur, aku merenungkan betapa menyenangkannya tidur berangkulan dengan kedua
putraku di malam pernikahan keduaku dengan suamiku yang tampan, cerdas, dan ?menggairahkan di kamar sebelah. Aku jatuh tertidur dengan pikiranpikiran seperti
itu, tetapi tidurku begitu gelisah. Tak lama kemudian, ini yang kuingat tentang
dunia yang bergerak aneh antara mimpi dan keterjagaan: Pertama, aku berhadapan
dengan sukma almarhum ayahku yang murka, kemudian aku lari dari sosok pembunuh
laknat yang juga ingin mengirimku ke dalam kubur bersama ayahku. Saat lelaki itu
mengejarku, pembunuh berdarah dingin itu sosoknya jadi lebih
menakutkan dari sukma ayahku, dan ia mulai membuat suarasuara yang menggangguku.
Dalam mimpiku, ia melempari rumah
kami dengan batu. Kemudian, ia melemparkan sebongkah batu ke arah pintu,
mengarahkannya ke satu titik untuk membuatnya terbuka. Berikutnya, ketika
makhluk jahat ini mulai melolonglolong seperti seekor binatang setan, jantungku
mulai berdegup kencang. Aku terjaga bermandikan keringat. Apakah aku mendengar suarasuara itu dalam
mimpiku ataukah aku terbangun oleh suarasuara dari suatu tempat di rumah ini"
Aku tidak bisa memastikannya, hingga akupun kembali merangkul anakanakku, dan
tanpa bergerak lagi, aku menanti. Aku nyaris yakin bahwa suarasuara itu hanya
muncul dalam tidurku, ketika kudengar lolongan yang sama. Saat itu, sesuatu yang
amat besar sepertinya jatuh di halamandengan sebuah debuman keras. Mungkinkah
itu juga sebongkah batu" Aku mematung didera rasa ngeri. Namun, keadaan segera
menjadi lebih buruk: aku mendengar suarasuara dari dalam rumah. Di manakah
Hayriye" Di kamar manakah Hitam tidur" Bagaimana keadaan jenazah ayahku yang
menyedihkan itu sekarang" Ya, Tuhan, aku bermohon pada-Mu, lindungilah kami semua.
Anakanak tampak tertidur lelap.
Jika ini terjadi sebelum aku menikah, aku pasti sudah bangkit dari ranjangku dan
mengatasi keadaan ini bagaikan seorang kepala rumah tangga. Aku pasti akan
menekan kuatkuat rasa takutku dan mengusir segala jin dan roh jahat. Dalam
keadaanku sekarang ini, bagaimanapun aku terjerat oleh rasa takut dan mendekap
erat anakanak, seolaholah tiada siapa-siapa lagi di dunia ini. Tak ada siapa pun
yang akan datang membantuku dan anakanak. Aku mulai menduga sesuatu yang lebih buruk terjadi. Aku
berdoa memohon pertolongan Allah. Sebagaimana yang terjadi dalam mimpiku, aku
hanya sendirian. Kudengar gerbang halaman dibuka. Itu adalah pintu gerbang di
halaman, bukan" Ya, tentu saja.
Seketika aku bangkit, menyambar jubahku dan meninggalkan kamar itu, bahkan tanpa
mengetahui apa yang akan kulakukan.
"Hitam!" desisku dari anak tangga teratas.
Setelah dengan tergesa kukenakan sepatuku, aku bergegas menuruni tangga. Lilin
yang kunyalakan dari tungku pemanas, segera saja padam tertiup embusan angin
begitu aku melangkahkan kakiku ke pijakan batu halaman rumah. Seembus lagi angin
kencang meniupku, meskipun langit tampak jernih. Begitu mataku menyesuaikan diri
dengan suasana di luar, aku melihat bulan yang sepotong itu membanjiri halaman
rumah dengan cahayanya. Ya, Allah! Gerbang halaman terbuka. Aku berdiri terpana,
gemetar di tengah hawa dingin menusuk.
Mengapa aku tidak sempat membawa sebilah pisau tadi" Aku juga tidak memegang
besi tempat lilin, atau bahkan sepotong kayu sekalipun. Sejenak, di dalam
kegelapan, aku melihat gerbang itu bergerak-gerak sendiri. Kemudian, setelah
pintu ger bang itu tampak tenang, aku mendengarnya berderit, Aku ingat kemudian
aku berpikir, semua ini seolaholah sebuah mimpi.
Ketika kudengar suara ribut dari dalam rumah, seperti ada sesuatu yang terjadi
di bawah atap rumah, aku tahu bahwa sukma ayahku sedang berjuang meninggalkan
raganya. Mengetahui bahwa sukma ayahku sedang amat
tersiksa, aku merasa lega sekaligus merana. Andai ayahku adalah penyebab semua
keributan ini, maka tidak ada iblis jahat yang akan mencelakaiku. Di sisi lain,
jika sukma yang tersiksa ini, yang menggeliatgeliat membabi buta ini, sedang
berusaha melepaskan diri dan naik ke atas, maka aku ikut merasa tersiksa,
sehingga aku harus berdoa pada Allah agar sukma yang gelisah itu menjadi tenang.
Namun, ketika jelas bagiku bahwa sukma ayahku akan melindungiku dan anakanakku,
aku merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa menyirami sekujur tubuhku. Jika
memang sungguhsungguh ada iblis yang sedang berniat jahat di balik gerbang itu,
semoga ia akan takut pada sukma ayahku yang gusar.
Saat itulah aku mulai khawatir, barangkali itu adalah Hitam yang sedang
memikirkan ayahku terlalu dalam. Mungkinkah ayahku mengirimkan setan pada Hitam"
Di manakah Hitam berada" Saat itu, di luar gerbang halaman, di jalanan sana, aku
melihatnya berdiri mematung. Ia sedang berbicara dengan seseorang.
Seorang lakilaki sedang berbicara pada Hitam dari balik pepohonan di halaman
yang kosong di sudut terjauh jalan itu. Aku bisa menyimpulkan bahwa lolongan
yang kudengar saat aku terbaring di ranjang itu berasal dari lelaki ini, yang
langsung kutahu sebagai Hasan. Ada nada kepedihan yang memilukan, bahkan
tangisan, di dalam suaranya, tetapi juga ada nada mengancam. Aku mendengarkan
suara mereka dari kejauhan. Di tengah keheningan malam mereka berbincang-
bincang. Aku tahu aku sendirian di dunia ini bersama anakanakku. Aku sedang memikirkan
betapa aku mencintai Hitam, tetapi sejujurnya yang kuinginkan adalah hanya
mencintai Hitam karena suara muram Hasan?
membakar jantungku. "Besok, aku akan kembali dengan hakim, bala tentara, dan saksi-saksi yang akan
bersumpah bahwa kakakku masih hidup dan sedang bertempur di pegunungan Persia,"
ujarnya. "Pernikahanmu tidak sah. Kalian melakukan perzinaan di sana."
"Shekure bukanlah isterimu, dia dulu adalah istri kakakmu," sahut Hitam.
"Kakakku masih hidup," tukas Hasan dengan meyakinkan. "Ada saksi-saksi yang
pernah melihatnya." "Pagi tadi, berdasarkan fakta bahwa ia tidak kembali setelah empat tahun pergi
berperang, hakim Uskudar memberikan status bercerai pada Shekure. Jika lelaki
itu ternyata masih hidup, kirimkan saksi-saksimu itu untuk mengatakan padanya
bahwa kini ia seorang duda."
"Shekure dilarang menikah selama satu tahun," sergah Hasan. "Kalau tidak,
berarti dia melanggar aturan Alquran. Bagaimana mungkin ayah Shekure mau
melakukan tindakan yang memalukan seperti itu?"
"Enishte Effendi," seru Hitam, "sedang dalam keadaan sakit parah. Ia terbaring
sekarat di ranjangnya ... dan hakim sudah meresmikan pernikahan kami."
"Apakah kau bersekongkol untuk meracuni Enishtemu?" tuduh Hasan. "Apakah kau
merencanakan semua ini dengan Hayriye?"


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayah mertuaku sangat gusar dengan apa yang pernah kaulakukan pada Shekure.
Kakakmu, jika ia sungguhsungguh masih hidup, juga akan menegurmu karena
kekurangajaranmu." "Semua itu dusta!" pekik Hasan. "Itu semua adalah alasanalasan yang dibuat
Shekure agar dia bisa meninggalkan kami."
Tibatiba terdengar jeritan dari dalam rumah. Itu adalah jeritan Hayriye. Lalu,
Shevket juga menjerit-jerit. Mereka menjerit bersahut-sahutan. Dengan bingung
dan takut, dan tanpa mampu menahan diri lagi, aku juga ikut menjerit dan berlari
ke dalam rumah, tak tahu apa yang sedang kulakukan.
Shevket berlari menuruni tangga dan berlari ke halaman.
"Kakekku tubuhnya sedingin es," jeritnya. "Kakekku sudah mati."
Kami saling berpelukan. Aku menggendong tubuhnya. Hayriye masih menjerit-jerit.
Hitam dan Hasan mendengar semua jeritan ini dan semua yang dikatakan anak ini.
"Ibu mereka telah membunuh kakek," seru Shevket kali ini.
Semua orang mendengar hal ini. Apakah Hasan mendengarnya" Aku mendekap Shevket
lebih erat lagi, dan dengan tenang berjalan dengannya masuk kembali ke dalam
rumah. Di puncak anak tangga, Hayriye sedang keheranan bagaimana seorang anak
kecil bisa terjaga dan menyelinap keluar.
"Ibu berjanji tidak akan meninggalkan kami," protes Shevket yang mulai
terisakisak. Benakku kini hanya memikirkan Hitam, Karena ia sedang sibuk dengan Hasan, ia
tidak berpikir untuk menutup gerbang. Aku mencium pipi Shevket dan mendekapnya
lebih erat, menghirup wangi lehernya, menenangkannya, dan akhirnya
menyerahkannya pada Hayriye sambil berbisik, "Kalian berdua naik ke atas."
Mereka pergi ke lantai atas. Aku kembali ke halaman dan berdiri beberapa langkah
di belakang pintu gerbang. Menurutku Hasan tidak bisa melihatku. Apakah ia sudah
berpindah tempat dalam kegelapan taman di seberang jalan itu. Mungkinkah ia
pindah ke balik pohon yang memagari jalan" Saat itu terjadi, entah bagaimana, ia
bisa melihatku, dan ia pun berbicara padaku juga. Berbincang di tengah kegelapan
dengan seseorang yang wajahnya tak bisa kulihat sangat membuatku gugup. Namun,
keadaannya lebih buruk lagi ketika Hasan menuduhku, menuduh kami, dan jauh di
dalam lubuk hatiku aku membenarkan semua tuduhannya. Dengan lakilaki itu,
seperti dengan ayahku, aku selalu merasa bersalah, selalu dalam keadaan
bersalah. Dan kini, lebih jauh lagi, dengan sejuta rasa pilu kusadari betapa aku
jatuh cinta dengan lelaki yang menuduhku itu. Allah yang Maha Penyayang,
tolonglah hambaMu ini. Cinta bukanlah penderitaan demi penderitaan, melainkan
sebuah makna untuk meraih-Mu, bukankah demikian"
Hasan menyatakan bahwa aku telah membunuh ayahku bersekongkol dengan Hitam. Ia
berkata bahwa ia mendengar apa yang dikatakan oleh Shevket, dengan menambahkan
bahwa semuanya sudah terungkap kini, dan bahwa kami telah melakukan sebuah dosa
tak berampun yang layak diganjar siksa api neraka. Keesokan harinya ia akan
menghadap hakim dan menjelaskan semua itu. Jika aku dinyatakan tak bersalah,
jika tanganku dinyatakan tidak berlumuran darah ayahku, ia bersumpah akan
kembali menyeretku dan anakanakku ke dalam rumahnya, di mana ia akan menjadi
sang ayah hingga kakaknya pulang. Namun, jika aku ternyata dinyatakan bersalah,
seorang perempuan seperti aku, yang dengan tak berperasaan meninggalkan
suaminya seorang lelaki yang rela melakukan pengorbanan terbesar dalam ?hidupnya hukuman paling berat sekalipun tak akan
?terlalu kejam bagiku. Kami dengan sabar mendengarkan sumpah serapahnya, lalu
tibatiba saja keheningan menyeruak dari balik pepohonan itu.
"Jika kau dengan suka rela bersedia kembali ke rumah suami sejatimu sekarang,"
ujar Hasan, kini dengan nada bicara yang sepenuhnya berbeda, "jika kaumau
kembali ke rumahku bersama anakanakmu, tanpa membuat kehebohan dan tanpa
terlihat oleh siapapun, aku akan melupakan taktik palsu pernikahan ini,
kejahatan-kejahatan yang kaulakukan, dan memaafkan semuanya. Dan kita akan
menunggu bersama-sama, Shekure, tahun demi tahun dengan penuh kesabaran,
menunggu kepulangan kakakku."
Apakah ia sedang mabuk" Ada sesuatu yang sedemikian kekanakkanakan dalam
suaranya, dan semua yang ia ajukan kepadaku di depan suamiku membuatku khawatir
harus ia bayar dengan nyawanya.
"Apakah kau paham?" ia berteriak dari balik pepohonan. Aku tidak tahu pasti di
sebelah mana tepatnya ia berada di tengah kegelapan itu. Ya, Tuhanku yang Maha
Pengasih, tolong bantulah kami, hamba-hamba-Mu yang berlumuran dosa ini.
"Kau tidak mungkin bisa hidup di bawah satu atap bersama lakilaki yang telah
membunuh ayahmu, Shekure. Aku tahu itu."
Sesaat aku mengira ia tidak mungkin menjadi orang yang telah membunuh ayahku dan
bahwa ia mungkin hanya mengejek kami saja. Hasan ini adalah titisan iblis.
Namun, aku tidak bisa meyakini apapun.
"Dengarkan aku, Hasan Effendi," seru Hitam ke arah kegelapan di depannya. "Ayah
mertuaku dibunuh, ini yang sesungguhnya terjadi. Seorang lelaki terkutuk telah
membunuhnya." "Ia sudah dibunuh sebelum acara pernikahan itu, bukan?" potong Hasan. "Kalian
berdua telah membunuhnya karena ia menentang pernikahan tidak sah ini,
perceraian palsu, saksi-saksi palsu, dan semua rekayasa kalian ini. Jika ia
menganggap Hitam cukup pantas, ia akan memberikan putrinya bertahuntahun lalu."
Hidup bersama bertahuntahun bersama suami pertamaku dan kami, membuat Hasan
mengetahui masa lalu kami seperti kami sendiri. Dan dengan emosi mendidih
seorang kekasih yang dinistakan, ia mengingat setiap detail dari segala yang
pernah kudiskusikan dengan suami pertamaku dulu. Sesuatu yang ke mudian
terlupakan, atau yang kini ingin kulupakan. Setelah bertahuntahun, kami berbagi
begitu banyak kenangan ia, kakaknya, dan aku itulah yang sesungguhnya ? ?kucemaskan, kebaruan dan jarak Hitam jadi terasa bagiku ketika Hasan mulai
mengingatkanku kembali pada masa lalu.
"Kami justru mencurigai kaulah yang membunuhnya," sahut Hitam.
"Sebaliknya, kaulah yang membunuhnya agar kalian bisa menikah, Ini adalah bukti.
Sementara, aku tidak memiliki alas an apapun."
"Kau membunuhnya agar kami tidak bisa menikah," balas Hitam. "Ketika kautahu
bahwa ia merestui perceraian Shekure dan pernikahannya denganku, kau jadi kalap.
Lagi pula, kau amat marah pada Enishte Effendi, karena ia telah mendorong
Shekure untuk kembali ke rumah ini dan tinggal bersamanya. Kauingin membalas
dendam. Selama ia tetap hidup, kautahu kau tidak akan pernah bisa meminang
Shekure." "Hentikan ocehanmu," tukas Hasan dengan mantap.
"Aku menolak mendengarkan semua omong kosong ini. Di sini sangat dingin. Aku
kedinginan di sini, berusaha mendapatkan perhatianmu dengan lemparan
batu apakah kau tidak mendengarnya?"
?"Hitam sedang tenggelam dalam ilustrasiilustrasi ayahku," sahutku.
Apakah aku telah melakukan kesalahan dengan mengatakan hal ini"
Hasan berbicara dengan nada sumbang yang sama seperti yang kadangkadang
kualamatkan pada Hitam, "Shekure, sebagai istri kakakku, tindakan terbaik yang
bisa kaulakukan adalah kembali sekarang juga bersama anakanakmu ke rumah milik
pahlawan pasukan kavaleri, lelaki yang masih menikah denganmu menurut Alquran."
"Aku tak mau," jawabku dengan suara bagai desisan pada malam yang gulita. "Aku
tak mau, Hasan. Tidak."
"Kalau begitu, tanggung jawab dan pengabdianku pada kakakku akan memaksaku
memperingatkan hakim besok pagi tentang apa yang sudah kudengar di sini. Kalau
tidak, merekalah yang akan memanggilku untuk menghadap."
"Mereka tetap akan memanggilmu," ujar Hitam. "Begitu kau pergi menghadap hakim,
aku akan membongkar siapa yang telah membunuh pelayan kesayangan Sultan, Enishte
Effendi. Pagi ini." "Baiklah," balas Hasan dengan tenang. "Ungkap saja
itu." Aku memekik. "Mereka akan menyiksa kalian berdua!" jeritku. "Jangan pergi
menghadap hakim. Tunggu. Semuanya akan menjadi jelas."
"Aku tidak takut disiksa," sahut Hasan. "Aku pernah dua kali disiksa sebelumnya,
dan keduanya kusadari sebagai satusatunya cara agar kesalahan itu bisa tercabut dari mereka yang tak
bersalah. Hanya para penipu yang takut pada siksaan. Aku akan melapor pada
hakim, komandan pasukan tentara, Syekhulislam, serta semua orang yang terlibat
dengan buku Enishte Effendi yang malang dan semua ilustrasinya. Semua orang
membicarakan ilustrasiilustrasi itu. Ada apa dengan gambargambar itu" Apa yang
ada dalam gambar itu?"
"Tidak ada apapun di dalamnya," jawab Hitam.
"Yang artinya kau sudah memeriksanya pada kesempatan pertama."
"Enishte Effendi ingin agar aku menyelesaikan bukunya."
"Baiklah. Kuharap mereka akan menyiksa kita berdua."
Keduanya terdiam. Berikutnya, Hitam dan aku mendengar suara langkah kaki di
halaman yang lengang itu. Apakah mereka beranjak pergi atau justru mendekati
kami" Kami tidak bisa melihat Hasan ataupun mengetahui apa yang sedang diper
buatnya. Tidak masuk akal baginya menerobos semak belukar berduri yang memagari
tepian taman di malam yang gelap gulita ini. Ia mungkin bisa saja berlalu dengan
mudah tanpa terlihat dengan melewati pepohonan dan melesat pergi di depan kami,
tetapi kami tidak mendengar suara langkah kaki di dekat kami. Dengan berani aku
berteriak, "Hasan!" Tak ada sahutan.
"Diamlah!" tukas Hitam.
Kami berdua gemetar karena kedinginan. Tanpa ragu lagi, kami menutup gerbang dan
semua pintu rapat-rapat. Sebelum memasuki kamar tidurku yang hangat oleh
anakanakku, aku memeriksa kembali ayahku. Sementara itu, Hitam sekali lagi duduk
di depan gambar gambar itu.f]
b 35 AKU ADALAH SEEKOR KUDA ABAIKAN SAJA fakta bahwa aku berdiri di sini tegak dan kaku. Jika kebenaran
harus diungkapkan, aku sudah berlari melintasi abad demi abad. Aku telah
menyeberangi banyak daratan, terlibat dalam berbagai medan perang, menarik
anakanak perempuan para shah yang murung ke pelaminan. Aku berlari tiada henti
dari halaman ke halaman, dari kisah ke sejarah, dari sejarah ke legenda, dari
buku ke buku. Aku pernah muncul di berbagai dongeng, cerita, buku dan peperangan
yang tak terhitung jumlahnya. Aku menemani para kesatria tak terkalahkan,
kekasih-kekasih legendaris dan bala tentara hebat. Aku sudah mengarungi berbagai
medan perang dengan sultan-sultan kita yang digdaya, dan sebagai hasilnya aku
muncul di dalam ilustrasi yang tak terhitung banyaknya.
Kau bertanya, bagaimana rasanya dilukis begitu sering"
Tentu saja, aku sangat bangga pada diriku sendiri, meskipun aku juga masih
bertanyatanya, apakah memang aku yang digambarkan dalam semua lukisan itu.
Terbukti dari gambargambar ini aku ternyata dipahami secara berbeda oleh
masingmasing orang. Tetap saja aku mempunyai perasaan yang kuat bahwa ada suatu
kesamaan, sebuah kesatuan dalam semua ilustrasi itu.
Teman-teman miniaturisku menggambarkan kembali sebuah kisah barubaru ini, dan
dari situ aku mempelajari hal-hal berikut ini: Raja kaum kafir Frank berniat
untuk menikah dengan putrid seorang bangsawan Venesia. Ia menginginkannya,
tetapi kemudian dilanda berbagai pertimbangan, "Bagaimana jika ternyata orang
Venesia ini miskin dan putrinya buruk rupa?" Untuk meyakinkan dirinya, ia
memerintahkan senimanseniman terbaiknya untuk melukis putri bangsawan Venesia
ini, termasuk harta bendanya dan semua yang dimilikinya. Orang Venesia bisa saja
tidak terlalu memedulikan ketidaksenonohan: mereka tidak hanya akan
mempertontonkan putriputri mereka untuk dipelototi para seniman, tetapi juga
kudakuda dan istana-istana mereka. Sang seniman kafir berbakat yang bisa melukis
seorang perawan atau seekor kuda seperti itu bisa dengan mudah kaucomot begitu
saja dari tengah kerumunan orang. Di bagian belakang halaman rumahnya, saat raja
Frank itu memeriksa lukisanlukisan dari Venesia sambil mempertimbangkan apakah
ia akan meminang perawan itu sebagai permaisurinya, kuda jantannya tibatiba saja
bangkit, berupaya menaiki kuda betina yang menarik hati dalam lukisan itu, dan
kuda jantan yang mengamuk itu lalu menghancurkan lukisan dan bingkainya dengan
alat kelaminnya yang sangat besar.
Mereka bilang, bukanlah kecantikan kuda betina Venesia itu yang membangkitkan
berahi kuda jantan Frank meskipun kuda betina itu memang tampak sangat ?memesona melainkan kemampuan mengambil model kuda betina tertentu dan
?melukiskannya dengan sangat mirip. Kini, muncul pertanyaan: Berdosakah
menggambarkan kuda betina seperti itu, yakni sebagaimana layaknya kuda
betina sungguhan" Dalam kasusku, seperti yang kaulihat, ada sedikit perbedaan
antara gambarku dan gambargambar kuda lainnya.
Sesungguhnya, sebagian dari kalian yang memerhatikan dengan cermat bagian tengah
tubuhku, panjang tungkai kaki-kakiku, dan kebanggaan mereka yang membawaku, akan
memahami bahwa aku memang sosok yang unik. Namun, sosok yang cemerlang ini
menandakan keunikan sang miniaturis yang melukiskanku, bukan pada keunikanku
sebagai seekor kuda. Semua orang tahu bahwa tidak ada seekor kuda pun yang tepat
menyerupaiku. Aku hanyalah seekor kuda khayal dalam imajinasi sang miniaturis.
Melihatku, mereka yang mengamatiku sering berkata, "Ya, Tuhan, seekor kuda yang
sangat tampan!" Sesungguhnya mereka sedang memuji sang seniman, bukan aku. Semua
kuda pada kenyataannya memang berbeda dan sang miniaturis, di atas segalanya,
pasti mengetahui hal ini.
Lihatlah baikbaik, bahkan alat kelamin kuda jantan yang satu tidak akan menyamai
milik kuda jantan lainnya. Jangan takut, kau boleh memeriksanya dari dekat, kau
bahkan boleh memegangnya: Anugerah terindah dari Tuhan ini memiliki bentuk dan
lekukannya sendiri. Sekarang, semua miniaturis menggambar kuda dari ingatannya dengan cara yang
sama, meskipun kami sudah diciptakan seunik mungkin oleh Allah yang Maha
Pencipta. Mengapa mereka harus bangga hanya dengan menggambarkan ribuan dan
puluhan ribu kuda dengan gaya yang sama, tanpa sungguhsungguh melihat kami" Akan
kukatakan mengapa: Karena mereka berusaha melukis kan dunia menurut cara pandang
Tuhan, bukan menurut penglihatan mereka. Bukankah semua jumlah latihan itu merupakan upaya
untuk menantang keesaan Tuhan, sebab upaya itu sama dengan pernyataan bahwa ia
bisa melakukan pekerjaan Tuhan" Seniman yang tidak puas melihat dengan mata
mereka sendiri, seniman yang melukis kuda yang sama ribuan kali, menyatakan
bahwa apa yang ada dalam imajinasi mereka itu adalah kuda buatan Tuhan. Seniman
yang menyatakan bahwa kuda yang terbaik adalah yang digambar oleh seorang
miniaturis buta berdasarkan khayalan mereka, tidakkah mereka telah melakukan
perbuatan durhaka dengan menantang Allah"
Gaya baru para empu Frank tidak berupa pelecehan terhadap agama, justru
sebaliknya, mereka berupaya sekuat tenaga mempertahankan keyakinan kita. Aku
berdoa semoga para pengikut Erzurumi tidak salah paham padaku. Aku tidak senang
orangorang kafir Frank mempertontonkan perempuanperempuan mereka setengah
telanjang, mengabaikan kerendahhatian yang diperintahkan agama, betapa mereka
tidak dapat memaknai kenikmatan kopi dan bocah-bocah lelaki tampan, dan bahwa
mereka berkeliaran dengan wajah tercukur klimis dan rambut yang sama panjangnya
dengan rambut perempuan, menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan semoga Allah
melindungi kita semua. Aku menjadi begitu sebal dengan kaum Frank ini, hingga
jika aku berpapasan dengan salah satu di antara mereka, aku akan menendangnya
dengan sekuat tenaga. Tetapi, aku juga merasa kesal jika dilukiskan dengan tidak benar oleh para
miniaturis yang duduk di sekitar rumah bagai sekelompok perempuan dan tidak
pernah pergi ke mana-mana. Mereka akan melukiskanku sedang
melompat dengan kedua kaki depanku menjulur panjang ke depan, padahal tak ada
seekor kuda pun di muka bumi ini yang berlari bagai kelinci begitu. Jika salah
satu kaki depanku maju ke depan, yang lainnya berada di belakangnya. Kebalikan
dari yang dilukiskan dalam ilustrasi peperangan, tak ada kuda di dunia ini yang
menjulurkan salah satu kaki depannya seperti seekor anjing penasaran, sementara
kaki depan yang satunya lagi tegak menjejak bumi. Tidak ada pasukan kavaleri
mana pun yang kudanya berjalan perlahan bersamaan secara serempak, seperti jika
digambarkan dengan kertas karbon dua puluh lapis, Kami para kuda berkelana dan
makan rumput hijau di kaki kami ketika tak ada seorang pun yang melihat. Kami
tidak pernah ingin bersikap seperti patung dan menanti dengan anggun sebagaimana
yang diperlihatkan dalam lukisanlukisan. Mengapa semua orang begitu malu
menggambarkan cara makan, cara minum, cara berak, dan cara tidur kami" Mengapa
mereka begitu takut melukiskan organ penting anugerah Tuhan milikku yang hebat
dan unik ini" Para perempuan dan anakanak sangat suka mengamatinya, dan apakah
bahayanya" Apakah Hoja dari Erzurum juga menentang hal ini"
Mereka berkata bahwa pada suatu hari ada seorang shah yang bodoh dan penggugup
di Shiraz. Ia selalu merasa ketakutan, sehingga musuhmusuhnya berniat
melenyapkannya agar putranya bisa mengambil alih tahta. Alihalih mengirimkan
sang pangeran ke Isfahan sebagai gubernur provinsi, ia malah mengurung putranya
itu di dalam kamar paling terpencil di dalam istananya. Sang pangeran tumbuh
besar dan tinggal di dalam sel buatan ini, tempat yang tidak menghadap ke
halaman ataupun taman, selama tiga puluh satu tahun. Setelah jatah
waktu sang ayah di dunia ini habis, sang pangeran yang ditinggalkan sendirian
dengan buku-bukunya naik tahta dan menyatakan, "Aku memerintahkan kalian
membawakanku seekor kuda. Aku selalu melihat gambarnya di bukubuku, dan aku
penasaran melihatnya." Mereka membawakannya seekor kuda jantan abuabu yang
paling tampan di seluruh istana itu, tetapi ketika raja baru ini melihat kuda
itu memiliki lubang hidung bagaikan lorong tambang bawah tanah, bokong yang
memalukan, bulu yang lebih gimbal dari yang tampak di dalam gambar, dan bagian
belakang tubuh yang kasar, ia begitu terpukul sehingga ia menitahkan agar


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh kuda di kerajaannya dibantai saja. Selepas pembantaian brutal yang
berlangsung selama empat puluh hari ini, seluruh sungai di kerajaan itu berwarna
merah kehitaman. Namun, Allah yang Mahatinggi tidak akan menunda untuk berlaku
adil: Sang raja yang kini sama sekali tidak memiliki pasukan berkuda, ketika
harus berhadapan dengan pasukan dari musuh terburuknya, Gubernur Turki dari trah
Kambing hitam, terpaksa mundur, dan pada akhirnya terbabat habis. Tidak
diragukan lagi: Ketika seluruh sejarah terungkap, bangsa kuda telah membalaskan
dendamnya.[] Bab 36 AKU DINAMAI HITAM SHEKURE MENGUNCI diri di dalam kamar dengan anakanak, dan aku mendengarkan semua
suara di dalam rumah dan segala deritnya yang tiada henti. Shekure dan Shevket
mulai saling berbisik dan dia dengan gusar berseru mendiamkan mereka. Aku
mendengar suara di daerah berlantai batu di dekat sumur, tetapi suarasuara itu
tidak berlangsung lama. Kemudian, perhatianku beralih pada pekikan seekor camar
yang mendarat di atas atap. Bunyi itu juga lalu berubah menjadi hening seperti
suarasuara lainnya. Setelah itu, aku mendengar suara erangan pelan dari sisi
lain lorong rumah: Hayriye sedang menangis dalam tidurnya. Erangannya itu
menjadi batuk yang langsung terhenti begitu saja. Ini juga kemudian mengantar
keheningan yang senyap dan menghanyutkan. Beberapa saat kemudian, aku
membayangkan seorang penyusup sedang berkeliaran di kamar tempat jenazah
Enishteku terbaring, dan aku langsung terdiam mematung.
Dalam hening, aku mengamati gambargambar di depanku, memikirkan bagaimana Zaitun
yang penuh gairah, Kupukupu yang indah, dan almarhum penyepuh itu membubuhkan
warna ke atas halaman kertasnya. Aku merasa ingin meneriaki setiap gambar dengan
berseru "Setan!" atau "Maut!" sebagaimana yang dilakukan
Enishteku pada malammalam tertentu, tetapi rasa takut menahanku. Lagi pula,
semua ilustrasi ini sudah sedemikian menggangguku karena aku tidak mampu
menuliskan sebuah kisah yang tepat untuk menyertai lukisanlukisan itu, walaupun
Enishteku bersikukuh memintaku. Setelah aku perlahanlahan meyakini bahwa
kematiannya berkaitan dengan lukisanlukisan ini, aku merasa amat cemas dan
gusar. Aku sudah mengamati dengan teliti semua ilustrasi ini ketika Enishte
menceritakan padaku berbagai kisah, tetapi semua itu kulakukan hanya untuk
meraih kesempatan berdekatan dengan Shekure. Kini, setelah dia sudah menjadi
isteriku yang sah secara hukum, mengapa aku harus disibukkan oleh gambar gambar
ini" Sebuah suara batin yang tak berperasaan menjawabnya, "Karena, meskipun
anakanak itu sudah tidur lelap, Shekure menolak meninggalkan ranjang mereka dan
bergabung denganmu." Aku menunggu beberapa lama sambil menatap lukisanlukisan
itu dengan diterangi cahaya lilin, berharap si jelita bermata hitam milikku itu
akan mendatangiku. Pada pagi harinya, aku terjaga dari tidurku oleh jeritan Hayriye. Aku menyambar
tempat lilin dan bergegas berlari ke lorong. Kupikir Hasan menyerbu rumah ini
bersama anak buahnya, dan sempat terpikir olehku untuk menyembunyikan
ilustrasiilustrasi itu. Namun, dengan cepat aku tersadar bahwa Hayriye menjerit
atas perintah Shekure, sebuah cara untuk mengumumkan kematian Enishte Effendi
pada anakanak dan para tetangga.
Ketika aku bertemu Shekure di lorong rumah, kami berpelukan penuh kasih sayang.
Anakanak yang terlonjak dari ranjang mereka karena mendengar jeritan Hayriye,
berdiri kaku tak bergerak.
"Kakek kalian sudah meninggal dunia," ujar Shekure pada mereka. "Ibu tidak
menginginkan kalian memasuki kamar itu dengan alasan apapun."
Dia melepaskan diri dari pelukanku, kemudian segera berada di samping jenazah
ayahnya, dan mulai terisak. Aku menggiring anakanak kembali ke dalam kamar
mereka. "Gantilah pakaian tidur kalian, nanti kalian akan terkena flu," ujarku,
lalu duduk di ujung ranjang.
"Kakek tidak meninggal pagi ini. Ia meninggal tadi malam,"seru Shevket.
Sehelai rambut indah Shekure bergulung membentuk huruf Arab "waw" di atas
bantalnya. Kehangatan tubuhnya belum sepenuhnya menghilang dari balik selimut.
Kami bisa mendengar sedu sedan dan ratapannya bersama Hayriye. Kemampuannya
untuk menjerit seolaholah ayahnya sungguhsungguh meninggal dunia tanpa dia duga,
secara mencengangkan telah terdengar begitu mengharukan, sehingga aku merasa
seakanakan aku sama sekali tidak mengenal Shekure. Dia seperti sedang kerasukan
jin aneh. "Aku takut," seru Orhan dengan sorot mata menyiratkan permohonan izin untuk
menangis. "Jangan takut," tukasku. "Ibumu menangis seperti itu agar para tetangga
mengetahui kematian kakekmu dan datang melayat."
"Apa bedanya jika mereka datang?" tanya Shevket.
"Jika mereka datang melayat, mereka akan bersedih dan berduka bersama kita atas
kematiannya. Dengan cara itu kita bisa membagi beban dan rasa sakit kita."
"Apakah kau membunuh kakekku?" teriak Shevket.
"Kalau kau ingin membuat ibumu gusar, jangan mengharapkan kasih saying dariku!"
sahutku, juga dengan berteriak. Kami tidak saling berteriak seperti seorang ayah tiri dengan anak tirinya,
melainkan seperti dua orang lelaki yang berbicara di tepi sungai yang
berseberangan dengan arus air sungai yang deras dan kencang. Shekure melangkah
keluar dan mendorong potongan kayu palang jendela, berusaha mendorong daun
jendela hingga terbuka agar jeritannya bisa terdengar lebih jelas ke sekeliling
rumahnya. Aku meninggalkan kamar dan bergabung dengannya. Kami berdua berusaha mendorong
jendela itu. Dengan kekuatan yang terhimpun, daun jendela itu terlepas dan jatuh
ke halaman. Cahaya matahari dan hawa dingin segera menerobos masuk, mendera
wajah kami. Sejenak kami terpana. Shekure menjerit, menangis sejadi jadinya.
Kematian Enishte Effendi, begitu diumumkan lewat jeritannya, menjadi duka cita
yang amat tragis dan menyakitkan. Entah tulus atau tidak, tangisan isteriku itu
menyiksa batinku. Tanpa kuduga, aku pun mulai menangis. Aku tidak tahu apakah
aku menangis dengan tulus karena duka cita, atau semata-mata hanya berpurapura
karena takut dianggap bertanggung jawab atas kematian Enishteku.
"Ia sudah tiada, ayahku tercinta sudah tiada!" jerit Shekure.
Sedu sedan dan kesedihanku meniru sedu sedannya, meski aku tidak tahu dengan
pasti apa yang kukatakan. Aku mencemaskan bagaimana aku harus memandangi para
tetangga yang menatap kami dari rumahrumah mereka, dari balik celah-celah pintu
dan daun-daun jendela, sambil aku juga memikirkan bagai mana aku harus bersikap
agar tampak pantas. Saat aku menangis, aku merasa harus
mengenyahkan kebimbangan tentang tulus tidaknya kesedihanku, atau kegelisahan
akan dituduh sebagai pembunuh dan juga rasa takut pada Hasan dan anak buahnya.
Shekure menjadi milikku, dan seolaholah kami sedang merayakannya dengan jeritan
dan kucuran air mata. Aku merengkuh istriku yang terisak, dan tanpa memedulikan
anakanak yang berlinangan air mata dan sedang mendekati kami, dengan penuh cinta
kasih aku menciumi pipinya dan menghirup aroma pepohonan almond dari masa muda
kami. Bersama anakanak, kami berjalan menghampiri jenazah itu terbaring. Aku
mengucapkan, "La ilaha illallah, tidak ada Tuhan selain Allah" seolaholah aku
sedang mengucapkannya bukan pada mayat berumur dua hari yang sudah berbau,
melainkan pada seseorang yang tengah sekarat yang ingin kubimbing dengan kata
kata kesaksian tersebut. Aku ingin Enishteku masuk surga dengan katakata itu di
bibirnya. Kami berpurapura seolaholah ia telah mengulangi katakata tersebut, dan
sejenak kami tersenyum sambil memandangi wajahnya yang nyaris hancur dan
kepalanya yang memar hebat. Aku membuka kedua tanganku ke langit dan membaca
surah "Ya Sin", sementara yang lainnya mendengarkan dengan berdiam diri. Dengan
sehelai kain tipis yang dibawa Shekure ke dalam kamar, kami dengan hatihati
mengikat mulut Enishteku agar tertutup, dengan lembut menutup matanya yang rusak
dan menggulingkannya ke sisi kanan tubuhnya, mengatur kepalanya agar menghadap
ke arah Mekah. Shekure membentangkan sehelai kain putih bersih di atas tubuh
ayahnya. Aku merasa senang karena anakanak mengamati
semuanya dengan cermat dan tenang, kemudian mereka mulai meratapratap. Aku
merasa bagai seseorang yang sungguhsungguh me miliki seorang istri dan anakanak,
dengan sebuah perapian dan rumah.
Satu persatu, aku mengumpulkan lukisanlukisan itu ke dalam sebuah map,
mengenakan jubahku yang berat, dan bergegas meninggalkan rumah. Aku langsung
menuju masjid terdekat, berpurapura tidak melihat tetangga kami seorang ?perempuan tua dengan seorang cucunya yang sok dewasa, yang tampak jelas begitu
gembira dengan semua kegiatan mendadak ini: Mereka telah mendengar tangisan kami
dan amat bersemangat untuk ikut serta merasakan kepiluan kami.
Sebuah lubang kecil di dinding yang diakui oleh sang penceramah sebagai
"rumahnya" tampak sangat mungil di samping bangunan megah dengan kubah kubahnya
yang begitu besar dan halaman yang amat luas, seperti layaknya masjid masjid
yang dibangun pada zaman sekarang. Sang penceramah rupanya telah memperbesar
batas-batas "rumah" lubang tikus kecilnya yang dingin dan merebut keseluruhan
masjid, tanpa sedikit pun peduli pada cucian pudar dan kumal yang dijemur
isterinya di antara dua pohon kastanye di sudut halaman. Kami menghindari
seranganserangan dua ekor anjing biadab yang menguasai halaman itu, seperti Imam
Effendi dan keluarganya. Dan begitu anakanak lakilaki sang penceramah itu
mengusir kedua anjing tersebut dengan tongkat, lalu mengundurkan diri dari
hadapan kami, sang penceramah dan aku pindah ke sebuah sudut tersembunyi.
Setelah proses perceraian kemarin dan fakta bahwa kami tidak memintanya memimpin
upacara pernikahan, yang pasti membuatnya kesal, aku bisa membaca, "Ya,
Tuhan, apa yang membuatmu kemari sekarang?" di wajahnya.
"Enishte Effendi meninggal dunia pagi ini."
"Semoga Tuhan mengampuni semua dosanya. Semoga ia diberi tempat yang layak di
sisiNya!" ujarnya dengan niat baik. Bagaimana mungkin aku tanpa pikir panjang
telah menjerumus kan diriku sendiri dengan mengucapkan katakata "pagi ini" dalam
pernyataanku" Aku menjatuhkan kepingan uang emas lainnya ke dalam telapak
tangannya, sama seperti yang kuberikan padanya kemarin. Aku memintanya memimpin
doa kematian sebelum Azan dan menunjuk adiknya sebagai pemberi pengumuman dengan
berkeliling mengumumkan kematian tersebut pada segenap khalayak.
"Adikku memiliki seorang sahabat dekat yang setengah buta. Kami bertiga
merupakan ahli dalam memandikan jenazah," ujarnya.
Apa lagi yang bisa lebih tepat selain membayar seorang lelaki buta dan seorang
setengah licik untuk memandikan jenazah Enishte Effendi" Aku menjelaskan padanya
bahwa proses pemakaman akan dilangsungkan siang ini dan kerabat istana, para
sejawat, serta orangorang dari bengkel kerja dan sekolah agama akan hadir. Aku
tidak berniat menjelaskan keadaan wajah Enishte Effendi dan kepalanya yang
hancur, karena setelah beberapa lama berpikir, kuputuskan bahwa masalah tersebut
harus diungkapkan di tingkat yang lebih tinggi.
Karena Sultan kami memercayakan pembukuan dana untuk buku yang beliau titahkan
pada Enishteku itu kepada Kepala Bendahara, aku harus melaporkan kematiannya
kepada Kepala Bendahara sebelum kepada
orang lain. Aku lalu mencari seorang pembuat pelapis perabotan, seorang kerabat
dari sisi ayahku yang bekerja di bengkel kerja tukang jahit di seberang Gerbang
Air Mancur sejak aku masih kecil. Saat aku bertemu dengannya, aku mencium
tangannya yang belang-belang, dan menjelaskan dengan mengiba-iba betapa aku
harus menghadap Kepala Bendahara. Ia memintaku menunggu di antara beberapa murid
setengah gundulnya yang sedang menjahit tirai, melipat sutra warnawarni yang
dibentangkan di pangkuan mereka. Kemudian, ia menyuruhku mengikuti seorang
pembantu kepala penjahit yang kutahu kemudian sedang menuju istana untuk
melakukan pengukuran. Saat kami mendaki Lapangan Pawai melewati Gerbang Air
Mancur, aku tahu bahwa aku bisa menghindar melewati bengkel kerja di seberang
Hagia Sophia, dan karenanya aku tidak perlu mengumumkan kejahatan itu pada para
miniaturis lainnya. Lapangan Pawai tampak begitu hiruk pikuk kini, tempat yang biasanya begitu
kosong bagiku. Meski tidak ada seorang manusia pun di Gerbang Unjuk Rasa, di
depan tempat para pembawa petisi biasanya berjajar saat para anggota Dewan
bersidang dan juga tiada seorang pun di sekitar gudang gandum. Seakanakan aku
bisa mendengar suarasuara ribut yang tiada henti dari jendela rumah sakit,
bengkel kerja tukang kayu, tukang roti, kandang-kandang kuda, para pengantin
lakilaki di atas kuda mereka di depan Gerbang Kedua (yang tombak-tombaknya
kupandangi dengan penuh kekaguman), dan juga dari tengah pepohonan cemara. Aku
menjadi waspada karena rasa takutku melewati Gerbang Penghormatan atau Gerbang
Kedua yang akan segera kulakukan untuk pertama kalinya seumur hidupku.
Di gerbang itu aku tidak mampu memusatkan perhatian pada tempat para algojo
dikatakan selalu dalam keadaan siaga, dan aku juga tak mampu menyembunyikan rasa
sebalku pada para penjaga gerbang yang memandang penuh kecurigaan pada
segelondong kain pelapis yang kubawa sebagai pelengkap penyamaranku, sehingga
mereka yang mengamatiku akan berkesimpulan bahwa aku sedang menjadi pembantu
penjahit yang juga adalah penunjuk jalanku.
Begitu kami memasuki Lapangan Dewan, suasana yang amat hening menyelimuti kami.
Aku merasakan jantungku berdegup amat kencang, hingga urat-urat nadi di dahi dan
leherku. Daerah ini, yang begitu sering diceritakan oleh Enishteku dan mereka
yang pernah mengunjungi istana, terbentang di hadapanku bagai kan sebuah taman
surga yang keindahannya tiada taranya. Aku tidak merasakan kegembiraan seorang
manusia yang baru memasuki surga, yang ada hanyalah rasa gemetar dan takjub. Aku
langsung merasa diriku hanyalah seorang pelayan biasa Sultan yang sebagaimana
kupahami secara menyeluruh saat ini, merupakan dasar dari segala keduniawian.
Aku memandangi burungburung merak yang berkeliaran di taman yang hijau,
cangkircangkir emas yang diikatkan dengan rantai ke air mancur, juga jubah
penyambutan Wazir Agung yang terbuat dari sutra (yang tampak bagai mengapung
tanpa menyentuh tanah). Aku merasakan kegairahan melayani pemimpinku. Tidak
diragukan lagi aku akan mampu menyelesaikan buku rahasia Sultan kami yang
ilustrasi-ilustrasinya yang masih belum selesai itu kini tengah kukempit. Tanpa
mengetahui dengan pasti apa yang akan kulakukan, aku berjalan mantap di belakang
si penjahit. Mataku menatap lekat
Menara Dewan, sepenuhnya terpukau oleh rasa takut yang kini melebihi
kekagumanku. Ditemani seorang pelayan istana yang terus membuntuti kami, dengan hening dan
ketakutan, seolaholah berada dalam sebuah mimpi, kami melewati gedung Dewan dan
gedung Bendahara. Aku merasa pernah melihat istana ini sebelumnya, dan tahu
betul semua seluk beluknya.
Kami masuk melewati sebuah pintu yang amat besar ke dalam sebuah ruangan yang
diberitahukan kepadaku sebagai Ruang Dewan Lama. Di bawah kubahnya yang amat
besar, aku melihat senimanseniman empu memegangi kain-kain, lembaran kulit
binatang, sarung pedang perak, dan petipeti berhiaskan cangkang kerang. Aku
menyimpulkan bahwa orangorang ini berasal dari kelompok perajin Sultan kami:
para pembuat tombak, perajin sepatu, perajin perak, ahli pembuat beludru,
pemahat gading, dan para pembuat alat musik berdawai. Mereka semua menunggu di
luar pintu Kepala Bendahara dengan beraneka ragam petisi mengenai pembayaran,
permintaan bahan baku, dan permohonan izin masuk ke tempattempat terlarang milik
Sultan untuk membuat pengukuran. Aku merasa senang melihat bahwa tak seorang pun
di antara mereka yang merupakan iluminator.
Kami bergerak ke salah satu sisi dan ikut menunggu seperti yang lain. Sesekali
kami mendengar suara pegawai kantor bendahara yang melengking tinggi, mencurigai
adanya kesalahan penghitungan atau meminta penjelasan. Ini akan dibalas dengan
jawaban santun dari seorang perajin kunci, misalnya. Suarasuara bermunculan
sedikit lebih keras dari bisikan. Kepak sayap merpati di halaman yang bergema di
kubah di atas kami terdengar lebih nyaring daripada rentetan permintaan remeh
para tukang. Ketika tiba giliranku, aku memasuki ruangan berkubah kecil milik Kepala
Bendahara, dan menemukannya hanya berisi seorang pegawai saja. Aku segera saja
menjelaskan bahwa ada satu urusan penting yang harus kusampaikan untuk
diperhatikan oleh Kepala Bendahara: Sebuah proyek buku Sultan telah dibuat dan
itu adalah sesuatu yang amat penting baginya. Tertarik pada apa yang kubawa, si
pegawai mengangkat matanya. Kutunjukkan padanya ilustrasiilustrasi dari buku
Enishteku. Kuperhatikan betapa keunikan gambargambar tersebut dan keganjilannya
yang mencengangkan, mengaduk-aduk pikirannya. Aku langsung memberitahunya nama
Enishteku, nama samarannya, dan pekerjaannya, aku juga menambahkan kabar bahwa
ia telah tewas karena gambargambar ini. Aku berbicara dengan cepat, dan aku
sangat sadar jika aku kembali dari istana ini tanpa sempat bertemu Sultan, aku
akan dikenai tuduhan telah membunuh Enishte sendiri.
Saat si pegawai berlalu untuk memberi tahu Kepala Bendahara, aku langsung
bermandikan keringat dingin. Mungkinkah Kepala Bendahara, sebagaimana yang
pernah diceritakan almarhum Enisteku padaku, tidak pernah pergi dari sisi Sultan
dan bahkan pada saat-saat tertentu membentangkan sajadah untuk Sultan salat, dan
sering kali menjadi tempat Sultan berbagi rahasia mungkinkah ia bersedia ?meninggalkan wilayah terlarang Enderun di istana untuk menemuiku" Fakta bahwa
seorang pembawa pesan telah dikirimkan ke jantung istana atas namaku sudah
sangat luar biasa. Aku bertanyatanya di manakah Yang Mulia Sultan sendiri
berada: Mungkinkah ia sedang beristirahat di salah satu tenda di dekat pantai"
Apakah ia sedang berada di dalam harem" Apakah Kepala Bendahara sedang menemaninya"


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa lama kemudian, aku dipanggil. Biar kukatakan seperti ini: Aku dibawa
dalam keadaan tidak siap sehingga aku tidak punya waktu untuk merasa ketakutan.
Bahkan, aku merasa panik melihat ekspresi penuh hormat dan kekaguman dari para
empu pembuat beludru yang sedang berdiri di ambang pintu. Aku melangkah masuk
dan segera didera rasa takut. Kupikir aku tidak akan mampu berbicara. Ia
mengenakan penutup kepala berbordir emas yang hanya digunakan olehnya dan Wazir
Agung. Ya, aku berdiri di hadapan Kepala Bendahara. Ia sedang memandang ke arah
ilustrasiilustrasi yang diletakkan di atas meja baca tempat seorang pegawai
telah meletakkannya sedemikian rupa setelah mengambilnya dariku. Aku merasa
seolaholah akulah yang telah membuat semua lukisan itu. Aku mencium tepi
jubahnya. "Anakku," ujarnya, "kalau aku tidak salah, Enishtemu telah meninggal dunia,
benar?" Aku tidak mampu menjawabnya karena terlalu bergairah, atau mungkin itu akibat
deraan rasa bersalah, dan akhirnya aku hanya mengangguk. Di saat yang sama
sesuatu yang sungguhsungguh tak terduga terjadi: Di hadapan sorot mata Kepala
Bendahara yang simpatik sekaligus tampak terkejut, setetes air mata jatuh amat
perlahan di pipiku. Aku sungguhsungguh dalam keadaan bingung. Batinku telah
berkecamuk hanya karena berada di dalam istana bersama Kepala Bendahara yang
bersedia meninggalkan Sultan untuk berbicara denganku, dan juga karena aku
berada amat dekat dengannya. Air mata mulai membanjir dari mataku, tetapi aku
sama sekali tidak merasa malu.
"Tumpahkanlah seluruh kesedihanmu, anakku," ujar Kepala Bendahara.
Aku terisak dan meratap. Meski menurutku dua belas tahun terakhir ini waktu
telah mendewasakanku, tetapi berada sedemikian dekat dengan Sultan, pada jantung
seluruh kesultanan, orang akan dengan cepat menyadari bahwa ia tak lain hanyalah
seorang anak kecil. Aku sama sekali tidak peduli apakah para perajin perak dan
beludru di luar sana mendengar isakanku. Aku harus mengatakan semuanya pada
Kepala Bendahara. Ya, aku mengatakan semua kepadanya apa yang terjadi pada diriku. Seakanakan aku
melihat kembali jenazah Enishteku, pernikahanku dengan Shekure, ancaman ancaman
Hasan, kesulitanku menyelesaikan buku Enishteku, dan rahasia-rahasia yang muncul
dari semua ilustrasi itu, lalu akupun kembali bisa menguasai emosiku. Aku merasa
satusatunya jalan untuk melepaskan diri dari perangkap di mana aku terjerumus ke
dalamnya adalah dengan menempatkan diriku dalam belas kasih keadilan sejati dan
kasih sayang Sultan kami, sang pelindung dunia ini, sehingga aku tidak menahan
apapun lagi. Sebelum mencerna semua yang kukatakan, dan menyerahkanku pada
algojo-algojo dan para penyiksa, akankah Kepala Bendahara ini menceritakan
kembali kisahku langsung kepada Sultan"
"Mari kita segera mengumumkan kematian Enishte Effendi ini di bengkel seni,
jangan ditunda lagi," ujar Kepala Bendahara. "Aku ingin agar semua seniman
sejawatnya menghadiri pemakamannya."
Ia memandangiku untuk memastikan apakah aku tidak keberatan dengan hal itu.
Terdorong oleh perhatiannya, aku me nunjukkan keprihatinanku mengenai pelaku
kejahatan itu dan motif di belakang kematian Enishteku dan empu penyepuh Elok
Effendi. Aku memperkirakan para pengikut ulama dari Erzurum dan mereka yang
menjadikan rumahrumah darwis tempat musik dibunyikan dan para lelaki menari
sebagai sasaran, mungkin juga terlibat. Saat aku melihat ekspresi kebimbangan di
wajah Kepala Bendahara, dengan bersemangat segera kukatakan kecurigaanku yang
lainnya: kuceritakan padanya bahwa bayaran uang dalam jumlah besar jika
diikutsertakan membuat ilustrasi buku Enishte Effendi agaknya sudah mengarah
pada sebuah persaingan dan kecemburuan yang tak terelakkan di antara para empu.
Kerahasiaan proyek ini sendiri sudah memicu segenap kebencian, rasa sakit hati,
dan banyak intrik. Bersama katakata yang tercurah dari mulutku, dengan gugup
bisa kurasakan betapa Kepala Bendahara jadi agak mencurigaiku seperti juga ?dirimu. Ya, Allah, limpahkanlah keadilan-Mu, hanya itu saja yang kupinta, tidak
kurang tidak lebih. Dalam keheningan yang menyeruak kemudian, Kepala Bendahara memalingkan
pandangannya dariku, seakanakan merasa malu terhadap katakata yang kuucapkan,
dan juga nasibku. Ia lalu memusatkan perhatiannya pada gambar gambar yang
terhampar di atas meja lipat.
"Ada sembilan lukisan di sini," ujarnya. "Perjanjiannya adalah sebuah buku
dengan sepuluh ilustrasi. Enishte Effendi mengambil lebih banyak lembaran emas
dari kami daripada yang ia gunakan untuk gambargambar ini."
"Si pembunuh bid'ah itu pasti telah mencuri ilustrasi terakhir yang mengandung
lebih banyak emas," sahutku.
"Kau belum memberi tahu kami siapa penulis kaligrafinya."
"Almarhum Enishteku belum menuntaskan teks buku itu. Ia baru meminta bantuanku
untuk menyelesaikannya."
"Anakku, kau baru saja menjelaskan bahwa kau baru tiba di Istanbul."
"Sudah satu minggu ini. Aku tiba tiga hari setelah Elok Effendi terbunuh."
"Maksudmu, Enishte Effendi-mu itu telah membuat ilustrasi sebuah manuskrip yang
belum ditulis yang belum ada sepanjang tahun ini?"
? ?"Ya, Tuan." "Jika demikian, apakah ia pernah mengatakan padamu buku ini akan berisi kisah
apa?" "Tepat seperti yang diinginkan Sultan kita: sebuah buku yang menggambarkan tahun
keseribu kalender hijriah, yang akan menggetarkan hati penguasa Venesia, dengan
menunjukkan kekuatan militer dan harga diri Islam, bersama kekuasaan dan
kekayaan Kesultanan Utsmaniyah yang agung. Buku ini dimaksudkan sebagai sebuah
buku yang menjelaskan dan menggambarkan semua hal paling berharga dan paling
penting dalam dunia kita. Dan tepat seperti Risalah tentang Fisiognomi, sebuah
potret Sultan harus ditempatkan di tengah buku tersebut. Lebih jauh lagi,
mengingat ilustrasi-ilustrasinya dibuat dengan gaya kaum Frank dan menggunakan
metode kaum Frank pula, semua itu akan membangkitkan kekaguman penguasa Venesia
dan hasratnya untuk bersahabat,"
"Aku mengetahui semua itu, tetapi apakah anjinganjing dan pepohonan ini adalah
hal-hal yang paling berharga dan penting dalam Kesultanan Utsmaniyah yang
agung?" tanyanya, sambil menunjuk-nunjuk dengan liar ke arah semua ilustrasi
itu. "Enishteku, semoga jiwanya beristirahat dengan damai, bersikukuh bahwa buku ini
tidak hanya menunjukkan kekayaan Sultan kita saja, melainkan juga kekuatan moral
dan spiritual beliau, serta kesedihan-kesedihan beliau yang tersembunyi."
"Dan potret Sultan kita?"
"Aku belum pernah melihatnya. Lukisan itulah yang mungkin telah disembunyikan
oleh si pembunuh. Siapa tahu, mungkin lukisan itu ada di dalam rumahnya saat
ini." Almarhum Enishteku telah menyusut statusnya menjadi seseorang yang ditugasi
membuat gambargambar aneh yang oleh Kepala Bendahara dianggap tak ada nilainya,
dan bukan seseorang yang berjuang untuk menyelesaikan sebuah buku seharga emas-
emas yang telah dibayarkan kepadanya. Apakah Kepala Bendahara mengira aku telah
membunuh seorang lelaki yang tidak begitu piawai dan tak bisa dipercaya hanya
untuk menikahi anak perempuan Enishte, atau demi beberapa alasan
lainnya mungkin untuk menjual lembaran emas" Dari caranya memandangku, aku ?membaca bahwa kasusku akan segera ditutup, maka dengan gugup dan dengan
mengerahkan sisa-sisa kekuatanku, aku berbicara, berusaha membersihkan namaku:
Kukatakan padanya bahwa Enisteku pernah mengatakan padaku kecurigaannya bahwa
salah satu di antara empu miniaturis yang disewanya telah membunuh Elok Effendi
yang malang. Dengan menjaga agar pernyataanku cukup singkat, kukatakan betapa
Enishteku mencurigai Zaitun, Bangau, atau Kupu kupu. Aku juga tidak memiliki
cukup bukti atau keyakinan tentang itu. Setelah itu, aku justru merasa Kepala
Bendahara menganggapku tak lebih dari seorang penipu rendahan dan penggunjing
yang bodoh. Akhirnya, aku merasa senang ketika Kepala Bendahara berkata bahwa kami harus
menutupi detail kematian misterius Enishte dari bengkel kerja seni. Aku
menganggapnya sebagai tanda bahwa ia memercayai kisahku. Lukisanlukisan itu
tetap dipegang oleh Kepala Bendahara dan akupun keluar melalui Gerbang
Penghormatan yang sebelumnya terasa seperti Gerbang Surga. Setelah melangkah
?keluar di bawah tatapan menyelidik para pengawal istana, aku merasa lega,
bagaikan seorang tentara yang pulang setelah menghilang bertahuntahun lamanya.[]
AKU ADALAH PAMANMU TERCINTA
- . ?vrwz"* PEMAKAMANKU BEGITU megah, tepat seperti j yang kuinginkan. Aku merasa
bangga karena v'jfe-semua orang yang kuharap hadir ternyata memang "0*1 datang.
Para wazir yang sedang berada di Istanbul saat kematianku, Haji Huseyin Pasha
dari Siprus dan Baki Pasha yang pincang dengan setia mengingat betapa aku telah
melakukan pengabdian tiada akhir kepada mereka dari waktu ke waktu. Kehadiran
Menteri Keuangan, Red Melek Pasha, yang pada saat kematianku sedang sangat
berbaik hati, tetapi sekaligus sangat banyak mengkritik, telah menghidupkan
halaman sederhana di masjid daerah kami. Kalau aku pernah menjalani sebuah
kehidupan politik yang aktif, aku pasti sudah diberi jabatan setingkat dengan
Mustafa Agha, Kepala Utusan Sultan, yang kehadirannya juga membuatku senang.
Orangorang yang berduka berkelompok dalam jumlah yang sangat besar menjadi
kerumunan yang terhormat dan dikagumi, di dalamnya termasuk Sekretaris Dewan
Kemalettin Effendi, Kepala Sekretaris Salim Effendi yang kaku, para pegawai
Dewan masingmasing adalah seorang sahabat atau musuh terburuk sekelompok
? ?anggota Dewan tua yang pensiun dini dari politik aktif, teman-teman sekolahku,
serta orangorang lain yang mengetahui kematianku aku tak bisa membayangkan
?bagaimana dan dari mana dan
?para kerabat lainnya, ipar, dan orangorang muda.
Aku juga merasa bangga terhadap mereka, atas keseriusan dan duka cita mereka
yang mendalam. Kehadiran Kepala Bendaraha Hazim Agha dan Panglima Pasukan
Pengawal menjelaskan pada semua hadirin betapa Sultan kami yang mulia dengan
tulus ikut berduka cita atas kematianku yang tak terduga. Aku sungguh merasa
senang dengan semua ini. Aku tidak tahu apakah kedukaan Sultan kami akan berarti
upaya keras untuk menangkap pembunuhku yang terkutuk itu, termasuk dengan
menggerakkan para penyiksa, tetapi aku tahu satu hal: bahwa lelaki terkutuk itu
kini berada di halaman, di antara para miniaturis dan penulis kaligrafi lainnya,
menunjukkan perasaan terpukul yang dalam saat memandangi peti matiku.
Berdoalah, jangan kira aku mendendam pada pembunuhku atau amat murka padanya,
atau bahwa sukmaku dalam keadaan tidak tenang karena aku dikhianati dan dibantai
begitu kejam. Saat ini, aku berada dalam keadaan yang sepenuhnya berbeda, dan
sukmaku dalam keadaan damai, karena sudah kembali ke bentuk asalnya setelah
Abarat 1 Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis Rahasia 180 Patung Mas 12
^