Pencarian

My Name Red 9

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 9


lagi mengunjunginya, dan aku juga tidak punya kesempatan untuk melakukannya."
"Desas-desus mengatakan ia bergabung dalam perkumpulan para pengikut Hoja dari
Erzurum," ujar Hitam. "Mereka berkata bahwa ia siap mendukung bila Hoja dan
anakanak buahnya menyatakan karya-karya tertentu tidak sesuai dengan agama, dan
dengan demikian, menyatakan bahwa bukubuku kita melanggar hukum yang
?menggambarkan peperangan, senjata, adegan penuh darah, dan upacara-upacara
rutin, belum termasuk arak-arakan yang diikuti semua orang, dari juru masak
hingga tukang sulap, dari para darwis hingga para pemuda penari, dari para
pembuat kebab sampai tukang kunci serta membatasi kita pada subjeksubjek dan
?bentukbentuk lukisan para empu tua Persia." "Bahkan jika kita kembali dengan
penuh kemahiran dan kejayaan pada lukisanlukisan menakjubkan di zaman Timurleng,
bahkan jika kita kembali ke kehidupan dan pengabdian di masa itu dengan segala
detailnya seperti si cemerlang Bangau yang akan mampu melakukan yang terbaik
? setelahku pada akhirnya, semuanya itu akan segera dilupakan," ujarku tanpa ?ampun, "karena semua orang akan ingin melukis seperti orangorang Eropa."
Apakah aku sungguhsungguh meyakini katakata penghujatan ini"
"Enishteku meyakini hal yang sama," Hitam mengaku dengan suara lirih, "meskipun
hal itu membuatnya banyak berharap,"
Sifat-sifat Bangau Aku pernah melihatnya menuliskan namanya sebagai Pelukis Berdosa Mustafa
Chelebi. Tanpa memedulikan apakah ia sudah memiliki atau sebaiknya memiliki
sebuah gaya, apakah lukisannya harus dikenali dengan sebuah tanda tangan atau,
seperti para empu zaman dulu, tetap tak bernama, atau apakah sebuah hubungan
sederhana membutuhkan seseorang melakukan hal itu atau tidak, ia hanya
menuliskan namanya seraya tersenyum dengan penuh kemenangan.
Dengan berani ia terus menyusuri jalan setapak yang sudah kusiapkan untuknya,
dan bersungguh-sungguh dengan tugas yang sebelumnya tak seorang pun mampu
melakukannya. Seperti diriku sendiri, ia juga akan mengawasi empu pembuat gelas
memutar tongkatnya dan meniup gelas yang meleleh dalam oven untuk membuat bejana
biru dan botol-botol hijau. Ia mengamati kulit, jarum-jarum, dan cetakan kayu
milik si pembuat sepatu yang dengan sungguhsungguh membungkuk di atas sepatu
yang mereka buat, seekor kuda yang mengayunkan kaki depannya ke depan dengan
anggun membentuk lengkungan indah dalam sebuah festival liburan, sebuah alat
pemeras biji-bijian untuk diambil minyaknya, sebuah tembakan meriam pasukan kita
ke arah bala tentara musuh, sekrup dan laras senapan-senapan kita. Ia melihat
segala hal dan melukiskannya tanpa keberatan bahwa empu-empu tua di zaman
Timurleng, atau para ilustrator legendaris dari Tabriz dan Kazvin, tidak pernah
merendahkan diri mereka untuk melakukan hal-hal semacam itu. Ia adalah seorang
miniaturis muslim pertama yang pergi ke medan perang dan kembali dengan selamat
dan segar bugar, dalam penyusunan Kitab Kemenangan yang kemudian ia beri ilustrasi. Ia adalah orang
pertama yang dengan bergairah mempelajari benteng benteng musuh, meriam, bala
tentara, kudakuda mereka yang terluka berlumur darah, serta serdadu-serdadu
cedera yang sedang meregang nyawa, dan juga mayatmayat semuanya dengan
?kesungguhan untuk melukis.
Aku mengenali karyanya dari subjek yang dilukisnya, bukan dari gaya dan
perhatiannya dalam mengaburkan detail. Aku bisa memercayainya untuk melakukan
semua aspek dalam membuat lukisan dengan pikiran yang sepenuhnya tenang, dari
penyusunan halaman dan komposisinya, hingga pewarnaan detail yang paling remeh
sekalipun. Mengingat hal itu, ia berhak menggantikanku sebagai Kepala
Iluminator. Namun, ia begitu ambisius dan congkak, dan ia juga terlalu
merendahkan diri pada illustrator-ilustrator lainnya, sehingga ia tidak pernah
bisa mengatur terlalu banyak orang, dan pada akhirnya akan kehilangan anakanak
buahnya. Sesungguhnya, jika semuanya terserah padanya, dengan ketekunannya yang
luar bisaa, ia akan membuat semua ilustrasi di dalam bengkel seni itu sendirian.
Jika ia memikirkan sebuah tugas, ia akan mampu menyelesaikannya dengan baik. Ia
adalah seorang empu besar yang menyadari keahliannya. Ia mengagumi dirinya
sendiri. Itu bagus untuknya.
Ketika suatu kali aku mengunjungi rumahnya tanpa memberi tahu terlebih dahulu,
aku memergokinya sedang bekerja. Di atas meja kerja lipatnya, bangkubangku, dan
tumpukan bantal terletak halamanhalaman yang sedang ia kerjakan:
ilustrasiilustrasi untuk bukubuku Sultan, untukku, untuk bukubuku adat istiadat
yang menyedihkan yang ia kerjakan dengan amat cepat untuk
para pelancong Eropa bodoh yang merendahkan kita, satu halaman komik tiga panil
yang sedang ia buat untuk seorang pasha yang congkak, gambargambar yang akan
dimasukkan ke dalam album, halamanhalaman yang dibuat untuk kesenangannya
sendiri, dan bahkan sebuah gambar persanggamaan yang tak senonoh. Bangau yang
kurus tinggi berpindahpindah dari satu ilustrasi ke ilustrasi lain seperti
seekor lebah di antara bebungaan, sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat, mencubit
pipi muridnya yang sedang mencampur cat dan menambahkan satu goresan lucu pada
lukisan yang sedang dikerjakannya sebelum memperlihatkannya padaku dengan tawa
tertahan di mulutnya. Tidak seperti para miniaturisku yang lainnya, ia tidak
menghentikan kerjanya untuk melakukan penghormatan rutin saat aku tiba. Justru
sebaliknya, ia dengan senang hati memamerkan kecekatan anugerah Tuhan dan
kemampuan yang ia capai melalui kerja keras (ia bisa melakukan pekerjaan tujuh
sampai delapan miniaturis sekaligus). Kini, aku mendapati diriku diamdiam
berpikir andai pembunuh laknat itu adalah salah satu di antara ketiga empu
miniaturisku itu, aku berharap pada Tuhan orang itu adalah Bangau. Selama masa
pendidikannya, melihat sosoknya di pintu rumahku setiap Jumat pagi tidak
membuatku bergairah seperti jika aku melihat Kupukupu di hari lainnya.
Karena ia memerhatikan setiap detail ganjil yang ada, tanpa berdasarkan
pembedaan kecuali yang bisa dilihat, pendekatan seninya menyerupai yang
dilakukan para empu Venesia. Namun, tidak seperti mereka, Bangau yang ambisius
tidak menganggap wajah manusia sebagai sesuatu yang individual atau berbeda
daripada yang lain. Menurutku, karena ia tidak secara terbuka ataupun
diamdiam meremehkan siapa pun, maka ia tidak menganggap wajah sebagai sesuatu
yang penting. Aku yakin almarhum Enishte tidak menugaskannya untuk melukis wajah
Sultan. Bahkan saat melukiskan sebuah subjek yang sangat penting, ia tidak tahan untuk
selalu menempatkan seekor anjing di suatu tempat yang agak jauh dari suatu
acava, atau menggambarkan seorang pengemis hina dina yang penderitaannya
melecehkan kemegahan dan kesemarakan sebuah upacara. Ia cukup percaya diri untuk
membuat olok-olok dalam ilustrasi apa pun yang dibuatnya, subjeknya, dan dirinya
sendiri. "Pembunuhan Elok Effendi menyerupai gaya kakak-kakak Yusuf yang melemparkannya
ke dalam sebuah sumur karena rasa cemburu," ujar Hitam. "Dan pembunuhan
Enishteku menyerupai pembunuhan tak terduga Husrev di tangan anak lelakinya yang
kasmaran pada istri Husrev, Shirin. Semua orang berkata bahwa Bangau senang
melukis adegan peperangan dan gambaran kematian yang mengerikan."
"Setiap orang yang berpikir bahwa seorang iluminator menyerupai subjek dari
lukisanlukisan yang dibuatnya tidak memahamiku atau para empu miniaturisku. Yang
mengungkap diri kita bukanlah subjek lukisan yang diperintahkan orang kepada
kita sebenarnya semuanya sama saja melainkan perasaan terpendam yang kita ? ?sertakan dalam lukisan tersebut saat kita menggambarkan subjeknya: Seberkas
sinar yang tampak benderang terpancar dari dalam lukisan, sebentuk kebimbangan
atau kemarahan yang kentara saat seseorang memerhatikan komposisi sosoksosok,
kawanan kuda dan pepohonan, hasrat dan kepiluan yang menyeruak keluar dari
sebatang pohon cemara seakanakan sedang meraih awing awang, pengunduran diri dan
kesabaran penuh kepasrahan yang tersirat dalam ilustrasi ketika kita menghias
dinding dengan kegairahan yang melahirkan kebutaan .... Ya, ini adalah jejak-jejak
kami yang tersembunyi, bukan kudakuda yang sama persis dalam sebuah barisan.
Ketikaseorang pelukis menggambarkan kemarahan dan kecepatan seekor kuda, ia
tidak melukiskan kemarahan dan kecepatannya sendiri. Dengan berusaha membuat
kuda yang sempurna, ia mengungkapkan rasa cintanya pada kekayaan dunia ini dan
penciptanya dengan mempertontonkan warnawarni gairah hidup hanya itu dan tiada
?lagi yang lainnya."[]
Bab 42 AKU DINAMAI HITAM ^r^r*-- BERANEKA HALAMAN manuskrip terhampar di hadapanku dan Tuan Osman sebagian
menggunakan teks kaligrafi dan siap untuk dijilid, sebagian lagi belum diwarnai
atau tidak terselesaikan karena alasan tertentu saat kami menghabiskan waktu ?sepanjang siang untuk menilai para empu miniaturis dan halamanhalaman buku
Enishteku, sesuai tugas kami. Kami mengira telah bertemu anakanak buah terakhir
Panglima yang membawakan kami lembaran-lembaran yang dikumpulkan dari para
miniaturis dan pembuat kaligrafi yang rumahnya mereka sergap dan geledah
(beberapa lembar di antaranya sama sekali tidak ada hubungannya dengan kedua
buku kami, sementara beberapa lembar lainnya menunjukkan betapa para pembuat
kaligrafi pun secara diamdiam menerima pekerjaan dari luar istana demi tambahan
beberapa keping uang), ketika yang paling kurang ajar di antara mereka mendekat
pada sang empu dan mengeluarkan secarik kertas dari selempangnya.
Awalnya aku tidak memedulikannya, berpikir bahwa itu hanyalah salah satu petisi
dari seorang ayah yang mencari lowongan magang untuk putranya dengan melakukan
pendekatan pada sebanyak mungkin kepala divisi atau pemimpin kelompok. Aku bisa
mengatakan betapa matahari pagi telah lenyap dari cahaya pucat yang menyelusup masuk. Untuk
mengistirahatkan mataku, aku melakukan sebuah latihan yang disarankan para empu
tua dari Shiraz pada semua miniaturis untuk mencegah kebutaan dini, yaitu
berusaha memandang jauh dengan mata kosong tanpa memusatkan pandangan. Saat
itulah aku mengenali dengan debaran hebat di dada warnawarni yang manis dan
lipatan-lipatan kertas mengejutkan yang dipegang empuku dan sedang ia pandangi
dengan raut wajah tak percaya. Ini mirip sekali dengan suratsurat yang
dikirimkan Shekure padaku lewat Esther. Aku baru saja akan berkata, "Kebetulan
sekali" seperti seorang tolol, ketika aku memerhatikan bahwa, seperti halnya
surat pertama Shekure, lembaran itu disertai sebuah lukisan di atas kertas yang
kasar! Tuan Osman menyimpan lukisan itu. Ia menyerahkan padaku surat itu yang kemudian
kusadari dengan malu hati bahwa itu memang surat dari Shekure.
Suamiku tercinta, Hitam. Aku mengirim Esther untuk menengok janda almarhum Elok
Effendi, Kalbiye. Ketika di sana, Kalbiye memperlihatkan pada Esther halaman
bergambar yang kukirimkan padamu ini. Kemudian, aku mendatangi rumah Kalbiye,
berusaha semampuku untuk membujuknya bahwa alangkah baiknya jika dia mau
menyerahkan gambar itu padaku. Halaman ini ada pada tubuh Elok Effendi yang
malang ketika ia diangkat dari dasar sumur. Kalbiye berani bersumpah bahwa tak
ada seorang pun yang menugasi suaminya semoga ia beristirahat dalam naungan
?cahaya Tuhan untuk menggambar kuda. Kalau demikian, siapa yang membuat gambar
?itu" Anak buah Panglima menggeledah rumah kita. Aku mengirim surat ini karena
benda ini pasti berarti untuk penyelidikan. Anakanak titip cium tangan untukmu
dengan penuh hormat. Istrimu tercinta, Shekure.
Dengan hatihati kubaca tiga kata terakhir surat yang indah ini hingga tiga kali,
seakanakan sedang menatap tiga kuntum mawar merah yang amat memesona di sebuah
taman yang indah. Aku mencondongkan tubuhku untuk melihat halaman yang sedang
diperiksa Tuan Osman dengan kaca pembesar di tangannya. Aku langsung tahu bahwa
gambar yang tintanya sudah luntur itu adalah gambar kuda yang dibuat dalam satu
gerakan seperti yang biasa dilakukan oleh para empu zaman dulu.
Tuan Osman, yang ikut membaca surat dari Shekure tanpa berkomentar, melontarkan
sebuah pertanyaan, "Siapa yang menggambarnya?" Ia kemudian menjawabnya sendiri,
"Tentu saja, miniaturis yang sama yang telah menggambar kuda untuk almarhum
Enishte." Bagaimana mungkin ia bisa sedemikian yakin" Terlebih lagi kami belum yakin siapa
yang menggambar kuda untuk buku itu. Kami mengambil gambar kuda di antara
kesembilan halaman buku itu dan mulai memeriksanya.
Itu adalah seekor kuda berwarna cokelat yang tampan dan membuatmu tak bias
menahan diri untuk memandanginya. Apakah aku bersungguh-sungguh ketika
mengatakan hal ini" Aku telah memiliki cukup banyak waktu untuk memandangi kuda
ini dengan Enishteku, dan kemudian ketika aku ditinggalkan sendirian dengan
semua ilustrasi ini, tetapi aku tidak terlalu memikirkannya saat itu. Itu memang
seekor kuda yang tampan, tetapi itu adalah gambar kuda biasa: kuda yang sangat
biasa sehingga kita bahkan tidak bisa memastikan siapa yang telah menggambarnya.
Warnanya juga bukan sungguhsungguh cokelat, melainkan lebih seperti cokelat
kemerahan; ada seulas pucat jejak warna merah di tubuh kuda itu, Itu adalah
gambar seekor kuda yang sering kulihat di bukubuku dan ilustrasi ilustrasi
lainnya, sehingga aku tahu gambar itu telah digambar berkali-kali tanpa sejenak
pun si miniaturis berhenti untuk mempertimbangkannya.
Kami memandangi kuda itu seperti ini, sampai kami menemukan bahwa gambar itu
menyembunyikan sebuah rahasia. Kini aku bisa melihat sebentuk keindahan dalam
kuda itu yang memancar bagaikan hawa panas yang muncul di depan mataku dan di
dalamnya terkandung kekuatan yang membangkitkan gairah kehidupan, mempelajari
dan merengkuh dunia ini. Aku bertanya pada diriku sendiri, "Siapakah miniaturis
dengan sentuhan ajaib yang telah menggambarkan kuda ini sebagaimana Allah
melihatnya?" seakan terlupakan begitu saja bahwa pelukis itu tak lebih daripada
seorang pembunuh laknat. Kuda ini berdiri di depanku layaknya seekor kuda asli,
tetapi di suatu tempat di dalam benakku aku menyadari bahwa ini adalah sebuah
ilustrasi. Terperangkap dalam dua pemikiran ini membuatku terhanyut, dan di
dalam diriku menyeruak sebuah perasaaan tentang keutuhan dan kesempurnaan.
Sesaat, kami membandingkan kudakuda yang tintanya luntur yang digambar untuk
berlatih itu, dengan kuda yang dibuat untuk buku Enishteku, dan kami pada
akhirnya menyimpulkan bahwa kedua gambar itu dibuat oleh tangan yang sama. Sikap
berdiri yang angkuh kudakuda jantan yang kuat dan elok itu lebih menyiratkan
kebekuan daripada suatu gerakan. Aku terpana menatap kuda di buku Enishte.
"Ini adalah seekor kuda yang menakjubkan," ujarku,
"gambar ini bisa mendorong orang untuk merobek selembar kertas dan menyalinnya,
dan melukiskan setiap detailnya."
"Pujian tertinggi yang bisa kauberikan pada seorang pelukis adalah dengan
mengatakan bahwa karyanya merangsang minatmu sendiri untuk membuat ilustrasi,"
sahut Tuan Osman. "Tetapi kini mari kita lupakan bakatnya dulu, dan berusaha
menguak identitas setan laknat ini. Apakah Enishte Effendi, semoga ia
beristirahat dengan tenang, pernah menyebutkan cerita yang akan menyertai gambar
ini?" "Tidak. Menurutnya, ini adalah salah satu kuda yang terdapat di negerinegeri
yang dipimpin Sultan kita yang perkasa. Ini adalah seekor kuda tampan dari garis
keturunan bangsa Utsmaniyah. Itu adalah sebuah simbol yang akan memperlihatkan
kekayaan Sultan kita pada penguasa Venesia, dan daerah-daerah berada yang di
bawah kekuasaannya. Tetapi, di sisi lain, seperti yang digambarkan para empu
Venesia, kuda ini juga tampak lebih hidup daripada seekor kuda yang dilihat oleh
mata Tuhan, lebih seperti seekor kuda yang tinggal di sebuah kandang tertentu
dengan seorang pengurus kuda tertentu di Istanbul, agar penguasa Venesia itu
bias berkata pada dirinya sendiri, 'Karena para miniaturis Utsmaniyah telah
melihat dunia seperti kita, maka orangorang Utsmaniyah itu pun akan menyerupai
kita,1 kemudian ia akan menerima kekuasaan dan persahabatan Sultan kita, Karena,
jika kita mulai menggambar seekor kuda dengan berbeda, kita akan melihat dunia
ini dengan berbeda pula. Di luar keunikannya, kuda ini dilukis dengan gaya para
empu zaman dulu." Semakin dalam kami membahas kuda itu, gambar itu
menjadi semakin indah dan berharga di depan mataku. Mulutnya agak sedikit
terbuka, lidahnya terlihat di antara gigi geliginya. Matanya bersinar cemerlang.
Kaki-kakinya tampak kuat dan elok. Apakah sebuah lukisan menjadi legendaris
berdasarkan rupanya atau berdasarkan apa yang dikatakan orang tentang lukisan
tersebut" Tuan Osman tidak pernah seperlahan itu menggerakkan kaca pembesar di
atas gambar binatang. "Apakah yang sedang berusaha disampaikan oleh kuda ini?" tanyaku dengan
bersemangat, tetapi naif. "Mengapa kuda ini ada" Mengapa kuda yang ini! Ada apa
dengan kuda yang satu ini" Mengapa kuda ini membuatku bergairah?"
"Gambargambar, seperti juga bukubuku yang dibuat atas perintah para sultan,
shah, dan pasha, menyatakan kekuasaan mereka," ujar Tuan Osman. "Para penguasa
akan menganggap betapa karya-karya ini sangat indah, lewat helaian emas mereka
yang melimpah dan pengeluaran yang boros atas kerja keras dan pemuasan pandangan
mata, yang secara nyata membuktikan kekayaan sang penguasa. Keindahan sebuah
ilustrasi sangatlah penting, karena itu membuktikan betapa bakat yang dimiliki
sang miniaturis merupakan sesuatu yang langka dan mahal, sama seperti emas yang
digunakan dalam penciptaan karya tersebut. Orang orang menganggap gambar seekor
kuda itu bagus, karena gambar itu amat menyerupai seekor kuda, itu adalah seekor
kuda dalam penglihatan Tuhan, atau sepenuhnya kuda khayali. Kesan seolaholah
gambar itu adalah benda aslinya muncul berkat adanya bakat. Sementara, bagi
kita, keindahan dalam ilustrasidimulai dengan kerumitan dan keberlimpahan makna.
Tentu saja, mengetahui kuda
ini tidak hanya mengungkapkan dirinya sendiri, melainkan juga mengungkap tangan
si pembunuh, tanda tangan si iblis, ini akan menambah makna lukisan tersebut.
Mengetahui bahwa itu tidak hanya sekadar gambar kuda, melainkan kuda itu sendiri
memang indah, yakni dengan melihat ilustrasi kuda bukan sebagai sebuah


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilustrasi, melainkan sebagai kuda sungguhan."
"Andai kau melihat ilustrasi ini seperti kau melihat seekor kuda asli, apa yang
kausaksikan di sana?"
"Melihat ukuran kuda tersebut, aku dapat mengatakan bahwa itu bukan seekor kuda
poni. Tetapi, melihat dari panjang dan lengkungan lehernya, itu adalah seekor
kuda pacu yang bagus, dan dari punggungnya yang datar, ia kuda yang cocok
dikendarai untuk perjalanan jauh. Dari kehalusan kaki-kakinya, kita bias
menyimpulkan bahwa kuda ini cukup pintar seperti seekor kuda Arab, meski
tubuhnya terlalu panjang dan besar untuk seekor kuda Arab. Keelokan kaki-kakinya
menunjukkan apa yang dikatakan oleh ulama Bukhara Fadlan tentang kudakuda
berharga dalam bukunya Kitab tentang Kuda, bahwa jika kebetulan di depannya
terdapat sebuah sungai, kuda itu akan dengan mudah melompatinya tanpa ragu dan
takut. Aku tahu di luar kepala hal-hal menakjubkan yang tertulis tentang
kudakuda terpilih dalam Kitab tentang Kuda yang telah diterjemahkan dengan amat
indah oleh tabib khusus hewan istana kita, Fuyuzi. Dan aku bisa mengatakan
padamu bahwa setiap kata-katanya sesuai dengan kuda berwarna cokelat kemerahan
di hadapan kita ini: Seekor kuda yang bagus harus memiliki wajah yang tampan dan
mata bagaikan sepasang mata kijang, telinganya haruslah tegak seperti alang-
alang dengan jarak yang tepat di antaranya, kuda yang bagus harus
memiliki gigigigi yang kecil, dahi yang bulat dan alis yang tipis, tubuhnya
harus tinggi, bersurai panjang, dengan pinggang yang pendek, hidung mungil, bahu
kecil dan punggung yang bidang, pahanya harus padat dan besar, lehernya jenjang,
dadanya lebar, dengan bokong yang luas dan paha bagian dalam yang berisi. Hewan
tersebut harus tampak angkuh dan anggun, juga saat melangkah ia harus tampak
seperti sedang memberi salam pada mereka yang berada di sampingnya."
"Tepatnya, begitulah kuda cokelat kita," ujarku, sambil memandangi gambar kuda
itu dengan takjub. "Kita sudah menemukan kuda kita," ujar Tuan Osman dengan seulas senyum ironis,
"tetapi sayangnya ini tidak berguna bagi kita dalam mengungkap identitas si
miniaturis, karena aku tahu tak ada miniaturis yang berakal sehat yang akan
melukis seekor kuda menggunakan kuda sungguhan sebagai modelnya. Miniaturis
miniaturisku akan selalu menggambar seekor kuda dari ingatannya dengan satu
gerakan. Sebagai bukti, biar kuingatkan kau bahwa sebagian besar di antara
mereka mulai menggambar garis kasar seekor kuda dari salah satu ujung kakinya
terlebih dahulu." "Apakah itu dilakukan agar kuda itu bisa dilukiskan sedang berdiri tegak di atas
tanah?" ujarku dengan penuh sesal.
"Sebagaimana yang ditulis Jemalettin dari Kazvin dalam bukunya Ilustrasi Kuda,
seseorang dapat menyelesaikan gambar seekor kuda dengan baik dengan memulai dari
kakinya, hanya jika ia menyimpan keseluruhan kuda itu di dalam ingatannya. Jelas
sekali, untuk menggambarkan seekor kuda melalui pikiran dan ingatan, atau yang
lebih konyol lagi, dengan berkali-kali
memandangi seekor kuda sungguhan, orang harus mulai dari kepala hingga leher,
dan dari leher kemudian ke tubuhnya. Aku dengar ada ilustrator-ilustrator
Venesia tertentu yang dengan senang hati menjual gambargambar seperti itu pada
para tukang jahit dan tukang jagal, gambar kuda biasa-biasa saja yang dilukis
hanya untuk berlatih. Ilustrasi seperti itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan makna dunia ini ataupun dengan keindahan mahluk ciptaan Tuhan. Namun, aku
yakin bahwa seorang seniman yang biasa-biasa saja sekalipun tahu bahwa sebuah
ilustrasi yang murni tidak dilukis menurut apa yang dilihat mata pada saat itu
juga, melainkan menurut apa yang diingat dan dibiasakan oleh tangan. Sang
pelukis selalu sendirian di hadapan halaman kertas yang akan dilukisnya. Untuk
alasan itu saja, ia akan selalu mengandalkan ingatannya. Nah, kini tidak ada
lagi yang bisa kita lakukan, selain menggunakan 'metode gundik1 untuk menyibak
tanda tangan tersembunyi yang dikandung kuda kita yang digambar berdasarkan
ingatan, meski dilakukan dengan amat cepat dan dengan gerakan tangan yang sangat
terampil. Amatilah baikbaik."
Ia tidak pernah sedemikian perlahan menggerakkan kaca pembesarnya di atas kuda
itu, seolaholah ia sedang berusaha menemukan tempat harta karun di atas sebuah
peta kuno yang dilukis dengan amat cermat di atas kulit anak sapi.
"Ya," sahutku, seperti seorang murid yang dilanda tekanan untuk membuat sebuah
penemuan yang cemerlang dan cepat agar mengesankan sang empu. "Kita bisa
membandingkan warna dan bordiran pada selimut pelana dengan yang ada pada
gambargambar lainnya."
"Para empu miniaturisku tidak akan pernah mau
merendahkan kuasnya untuk desain seperti ini. Para muridlah yang menggambar
pakaian, karpet, dan selimut di dalam gambargambar. Mungkin almarhum Elok
Effendi yang menggambarnya. Lupakan saja."
"Bagaimana dengan telinganya?" kataku dengan bingung. "Telinga kuda ..."
"Tidak. Telinga-telinga ini tidak pernah berubah sejak zaman Timurleng, selalu
bagaikan helaian daun ilalang, kita semua mengetahui hal itu."
Aku baru saja akan mengatakan, "Bagaimana dengan jalinan surai dan gambaran
setiap helai rambutnya," tetapi kemudian aku terdiam, sama sekali bukan karena
terpukau oleh permainan empu-murid ini. Jika aku seorang murid, aku pasti tahu
di mana tempatku, "Lihatlah ini," seru Tuan Osman dengan raut gusar bercampur serius seorang
dokter yang menunjukkan sebutir jerawat pengganggu pada seorang koleganya.
"Kaulihat itu?"
Ia menggerakkan kaca pembesarnya ke atas kepala si kuda dan dengan perlahanlahan
menariknya menjauh dari permukaan gambar. Aku merendahkan kepalaku untuk bisa
melihat dengan lebih baik apa yang sudah diperbesar oleh lensa itu.
Hidung kuda itu ganjil: kedua lubang hidungnya.
"Kaulihat itu?" tanya Tuan Osman.
Untuk memastikan apa yang kulihat, kupikir aku harus menempatkan diriku di
tengah, tepat di belakang lensa itu. Ketika Tuan Osman melakukan hal yang sama,
kami bersentuhan pipi di belakang lensa yang kini berjarak cukup jauh dari
gambar itu. Sejenak aku terhenyak merasakan kekasaran jenggot kering sang empu
dan dingin pipinya di wajahku.
Hening. Seakanakan ada sesuatu yang hebat terjadi di dalam gambar yang hanya
berjarak satu tangan dari mataku yang lelah,dan kami sedang menyaksikannya
dengan penuh kekaguman dan penghormatan.
"Apa yang salah dengan hidungnya?" beberapa lama kemudian aku berhasil bersuara
lirih. "Ia menggambar hidungnya dengan aneh," sahut Tuan Osman tanpa mengalihkan
pandangannya dari gambar itu.
Kami masih memeriksa gambar hidung yang digambarkan dengan ganjil dan unik itu.
"Apakah ini 'gaya' yang mengilhami orangorang Venesia yang sedang dibicarakan
oleh semua orang, termasuk para empu Cina itu?" tanya Tuan Osman dengan nada
mengejek. Aku menyerah pada kemarahan, aku merasa ia sedang mengejek almarhum Enishteku,
"Enishteku, semoga ia beristirahat dalam damai, pernah berkata bahwa banyak
kesalahan yang lahir bukan dari kurangnya kemampuan atau bakat,melainkan dari
lubuk jiwa miniaturis itu sendiri yang seharusnya tidak dianggap sebagai
kesalahan, melainkan sebagai gaya."
Bagaimanapun munculnya, apakah lewat tangan miniaturis itu atau kuda itu
sendiri, tidak ada jejak lainnya selain hidung ganjil itu untuk mengungkap
identitas penjahat licik yang telah membunuh Enishteku. Karena, apa lagi hanya
berdasarkan lubang hidung itu saja, kami kesulitan mengenali hidung kudakuda
yang sudah luntur di halaman kertas yang ditemukan di tubuh Elok Effendi yang
malang. Kami menghabiskan banyak waktu untuk mencari gambargambar kuda yang dibuat oleh
para miniaturis kesayangan Tuan Osman dalam berbagai buku selama
beberapa tahun terakhir ini. Kami mencari keganjilan yang sama dengan lubang
hidung kuda itu. Karena Kitab Segala Pesta, yang masih belum selesai,
menggambarkan kelompok-kelompok masyarakat dan berbagai kalangan yang berbaris
di depan Sultan, maka terdapat beberapa ekor kuda di antara 25D ilustrasi yang
ada. Orangorang dikirimkan untuk mendatangi bengkel kerja buku seni, tempat
penyimpanan bukubuku dengan gambar tertentu, beberapa buku catatan dengan
bentukbentuk lazim dan bukubuku yang baru diselesaikan, selain juga kamar-kamar
pribadi Sultan dan harem, agar mereka bisa membawa kembali buku apa pun yang
belum diamankan dan disembunyikan di ruang penyimpanan harta, semuanya ini tentu
saja atas seizin Sultan. Dalam sebuah ilustrasi yang memenuhi dua halaman kertas dalam Kitab Kemenangan
yang ditemukan di kamar seorang pangeran muda, digambarkan upacara pemakaman
Sultan Suleyman yang Agung, yang wafat dalam serangan Szegetvar, kami memeriksa
kuda cokelat dengan garis putih dan bermata seperti kijang yang menarik kereta
jenazah, dan kudakuda lainnya yang dilengkapi selimut pelana berbordir emas.
Apakah kudakuda tersebut sedang menarik kereta jenazah yang beroda besar itu
atau sedang berdiri menarik perhatian dengan mata basah karena tubuh tuan mereka
ditutupi sehelai kain merah, semuanya berdiri dengan posisi anggun yang sama,
sikap yang dipinjam dari karya para empu tua Herat, yaitu dengan salah satu kaki
depan maju ke depan dan yang lainnya berdiri tegak menjejak tanah di sampingnya.
Leher-leher mereka jenjang dan melengkung, ekor mereka diikat dan surai mereka
disisir dan dipotong rapi, tetapi tak ada yang hidungnya aneh
seperti yang kami cari. Bukti aneh ini juga tidak ada dalam ratusan kuda yang
menarik para panglima, ulama, dan hoja yang ikut serta dalam upacara pemakaman
tersebut, dan kini berdiri tegak di sekeliling puncak bukit untuk menghormati
almarhum Sultan Suleyman.
Sesuatu yang menyedihkan dalam pemakaman yang muram ini juga mendera kami. Kami
sedih melihat betapa manuskrip bergambar ini, yang dihasilkan dari kerja keras
Tuan Osman dan para miniaturisnya, telah diperlakukan dengan buruk, dan bahwa
para perempuan di harem bermainmain dengan para pangeran dengan mencorat-coret
dan menandai berbagai tempat di dalam halamanhalaman buku tersebut. Di samping
sebatang pohon, yang di bawahnya tampak sosok kakek Sultan, tertulis dengan
tulisan tangan yang buruk kalimat berikut: "Effendiku yang agung, aku
mencintaimu, dan aku akan menantimu dengan kesabaran pohon ini." Maka, dengan
dipenuhi rasa kecewa dan sedih, kami mengamati dengan teliti buku buku
legendaris yang pembuatannya pernah kudengar, tetapi belum pernah kulihat
sebelumnya. Dalam jilid kedua Kitab Keterampilan yang pernah tersentuh goresan kuas ketiga
empu miniaturis itu, kami melihat, di belakang meriam yang sedang meledak dan
kaki-kaki serdadu, ratusan kuda dalam beragam warna, termasuk warna cokelat,
kelabu, dan biru, yang sedang berkerumun dalam pakaian besi lengkap yang
melindungi tubuh mereka, saat mereka melintasi puncakpuncak bukit berwarna merah
jambu dalam barisan yang rapi, tetapi tidak satu pun di antara mereka yang
hidungnya cacat. "Lagi pula, apa artinya sebuah cacat!" ujar Tuan Osman
kemudian, ketika memeriksa sebuah halaman di buku yang sama, yang melukiskan
Gerbang Luar Istana dan arak-arakan yang kebetulan kami ikuti saat itu. Kami juga gagal menemukan
tanda yang kami cari pada hidung kuda beraneka warna yang dinaiki para pengawal
kerajaan, pembawa berita, dan para sekretaris Dewan Negara dalam ilustrasi ini.
Ilustrasi yang menggambarkan rumah sakit di sisi kanannya, Balairung Istana
Sultan, dan pepohonan di halaman, dengan skala yang cukup kecil untuk dimasukkan
ke bingkai yang sedemikian megah, sesuai dengan nilai penting gambar itu dalam
benak kami. Kami melihat kakek buyut Sultan kami, Sultan Selim, semasa ia
menyatakan perang di wilayah kekuasaan Dhulkadirid, mendirikan tenda kerajaan di
sepanjang tepi Sungai Kiiskun, dan memburu anjinganjing balap hitam berekor
merah yang berlarian dengan lincah, anakanak kijang dengan pantat yang melayang
di udara, dan kelinci-kelinci yang ketakutan, sebelum akhirnya meninggalkan
seekor macan tutul yang terkapar dalam kolam darah yang merah, tutul-tutul di
tubuh macan itu bermekaran seperti bunga. Tak ada kuda Sultan yang berwarna
cokelat dengan garis hitam cemerlang, ataupun kudakuda yang ditunggui para
pemburu dengan burungburung elang yang siaga dengan kedua cakarnya, yang
memiliki tandatanda yang kami cari.
Hingga senja turun, kami sudah meneliti ratusan kuda yang proses pembuatannya
melibatkan kuas Zaitun, Kupukupu, dan Bangau, dalam empat sampai lima tahun
terakhir: kuda cokelat keemasan dengan telinga yang anggun milik Khan Krimea,
Mehmet Giray; kudakuda hitam dan keemasan; kudakuda berwarna kelabu dan yang
memiliki semburat merah jambu, dengan hanya kepala dan lehernya saja yang
terlihat di balik puncak bukit dalam peperangan; kudakuda milik Haydar Pasha
yang ikut merebut kembali benteng Halkul-Vad dari pasukan kafir Spanyol di
Tunisia dan kudakuda berwarna cokelat kemerahan dan hijau milik orangorang
Spanyol dari jenis berleher panjang yang terjulur ke depan, seolaholah leher-
leher itu berusaha melepaskan diri dari kudanya; seekor kuda hitam yang membuat
Tuan Osman berkomentar, "Aku pernah mengamati yang satu ini sebelumnya, aku jadi
penasaran, siapa yang membuat karya seceroboh ini?"; seekor kuda merah yang
dengan santun memasang telinganya pada suara kecapi yang sedang dipetik seorang
bocah pesuruh di bawah sebatang pohon; kuda milik Shirin, Shebdiz, yang tampak
seanggun dan sepemalu Shirin, tengah menunggui pemiliknya mandi di sebuah danau
pada malam bulan purnama; kudakuda penuh semangat yang digunakan dalam
perlombaan menombak; kuda jantan yang sedang berahi dan betinanya yang cantik,
yang untuk alasan tertentu telah membuat Tuan Osman mengatakan, "Aku sangat
menyukainya di masa mudaku, tetapi kini aku sudah bosan"; kuda emas bersayap
sewarna matahari yang dikirim Allah pada Nabi Ilyas untuk melindunginya dari
serangan para penyembah berhala sayapnya salah dilukiskan pada tubuh Nabi ?Ilyas; kuda jenis unggul berwarna kelabu milik Sultan Suleyman yang Agung dengan
kepala kecil dan tubuh besar yang menatap pilu para pangeran muda yang rupawan;
kudakuda yang marah; kudakuda yang sedang melompat tinggi; kudakuda yang
kelelahan; kudakuda yang cantik; kudakuda yang tidak diperhatikan siapapun;
kudakuda yang tidak akan pernah meninggalkan halamanhalaman buku ini; dan
kudakuda yang melompati bingkai bersepuh emas, meninggalkan kurungannya.
Tidak satu pun di antara semua kuda itu yang mengandung tanda tangan yang sedang
kami cari. Namun, kami mampu menjaga kegairahan kami, meski dengan wajah yang kelelahan dan
murung: beberapa kali kami melupakan kuda dan terhanyut dalam keindahan sebuah
lukisan, dalam warnawarni yang sejenak membelenggu kami. Tuan Osman selalu
memandangi lukisanlukisan itu yang sebagian besar ia ciptakan sendiri, atau
?setidaknya ia yang mengawasi dan memberi hiasan lebih karena kenangan daripada
?kekaguman. "Ini dibuat oleh Kasim dari daerah Kasim Pasha!" ujarnya sambil
menunjuk gambar bungabunga kecil berwarna ungu di dasar tenda perang kakek
Sultan kami, Sultan Suleyman, yang berwarna merah. "Sesungguhnya ia bukanlah
seorang empu, tetapi selama empat puluh tahun ia mengisi ruang-ruang kosong
dalam gambargambar dengan gambar bebungaan yang mekar bersemi, sebelum ia
meninggal dunia dua tahun yang lalu. Aku selalu menugaskannya menggambar
bungabunga kecil ini, karena ia bisa melakukannya lebih baik dari siapa pun." Ia
terdiam sesaat, lalu berseru, "Sayang sekali, sayang sekali!" Dengan sepenuh
hatiku, kurasakan betapa katakata ini menandakan akhir sebuah masa.
Kegelapan telah hampir menyelimuti kami, ketika seberkas sinar menyeruak di
ruangan itu. Terdengar keributan. Jantungku, yang mulai berdegup kencang seperti
genderang, segera saja paham: Sang Penguasa Dunia, Yang Mulia Sultan, masuk
dengan tibatiba. Aku melemparkan diriku ke kakinya. Kucium ujung jubah beliau.
Kepalaku pening, Aku tak mampu menatap mata beliau.
Cukup lama hingga akhirnya beliau mulai berbicara pada Kepala Iluminator, Tuan
Osman. Aku merasakan sebuah kebanggaan yang meledak-ledak menyaksikan beliau berbicara pada lelaki
yang beberapa saat sebelumnya duduk bertumpu lutut bersamaku sambil mengamati
lukisanlukisan. Tak bisa dipercaya, Yang Mulia Sultan kini duduk di tempat aku
duduk sebelumnya, dan beliau sedang mendengarkan penjelasan empuku dengan
saksama, seperti yang kulakukan sebelumnya. Kepala Bendahara, yang berada di
sisinya, dan Panglima Pasukan Pemburu, serta beberapa orang lainnya yang
identitasnya tidak kuketahui, berjaga ketat di sekitar beliau, dan memandangi
gambargambar dari bukubuku yang terbuka dengan penuh perhatian. Aku mengumpulkan
semua keberanianku, dan memandangi dari jauh wajah dan mata Sang Penguasa Dunia,
meskipun dengan pandangan sekilas dari ujung mataku. Betapa tampannya beliau!
Betapa gagah dan sempurnanya! Jantungku tidak lagi berdegup kencang. Sesaat,
kami bersirobok pandang. "Betapa aku sangat mencintai Enishtemu, semoga ia beristirahat dengan tenang,"
ujar beliau. Ya, beliau sedang berbicara padaku. Dalam kegairahan yang meledak-
ledak, aku kehilangan beberapa kalimat yang beliau katakan.
"... aku sangat berduka. Namun, cukup melegakan melihat setiap gambar yang ia buat
adalah sebuah maha karya. Saat orang kafir Venesia itu melihat semua ini, ia
akan tercengang dan menghargai kebijaksanaanku. Kalian harus menentukan siapa
miniaturis laknat itu lewat hidung kuda ini. Kalau tidak, meskipun tampak kejam,
semua empu miniaturis akan disiksa."
"Sang Pelindung Dunia, Yang Mulia Sultan," ujar Tuan Osman. "Mungkin akan lebih
baik jika kita menangkap lelaki yang bertanggung jawab telah salah menggoreskan kuas ini dengan memaksa
semua empu miniaturis menggambar seekor kuda dalam selembar kertas kosong dengan
cepat, tanpa diberi kesempatan untuk berpikir panjang."
"Tentu saja, kalau ini memang kesalahan menggoreskan kuas, dan bukan hidung kuda
sungguhan," tukas Sultan kami dengan cerdas.


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paduka Sultan," sahut Tuan Osman, "untuk mengakhiri semua ini, sebuah
perlombaan perlu diumumkan atas titah Yang Mulia malam ini juga. Seorang penjaga
diperintahkan mendatangi para empu miniaturis, meminta mereka menggambar seekor
kuda dengan cepat di atas selembar kertas kosong untuk perlombaan ini
Sultan memandang Panglima Pasukan Pengawal dengan sebuah isyarat di wajahnya
yang menyuarakan, "Apakah kau mendengarnya?" lalu ia berkata, "Tahukah kalian
kisahkisah persaingan karya penyair Nizami yang paling kusukai?"
Sebagian di antara kami berkata, "Kami tahu," Sebagian lagi bertanya, "Yang
manakah?" Sebagian lagi, termasuk diriku, berdiam diri.
"Aku tidak menyukai perlombaan para penyair atau kisah tentang perlombaan antara
para pelukis Cina, pelukis Barat, dan cermin," ujar Sultan yang tampan rupawan.
"Aku paling menyukai perlombaan para tabib yang berlomba hingga mati."
Setelah mengatakan hal ini, beliau bergegas meninggalkan kami untuk melaksanakan
salat magrib. Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan kumandang azan magrib, dalam suasana
yang temaram setelah melangkah keluar dari gerbang-gerbang istana,
aku bergegas berjalan menuju lingkungan rumahku seraya dengan suka cita
membayangkan Shekure, anakanak, dan rumah kami, ketika aku mengingat kembali
dengan rasa ngeri kisah tentang perlombaan para tabib itu:
Salah satu dari dua tabib yang berlomba di hadapan sang Sultan tabib itu selalu?digambarkan dengan jubah berwarna merah jambu membuat sebutir pil beracun
?berwarna hijau yang cukup kuat untuk melumpuhkan seekor gajah, dan memberikannya
pada tabib yang satunya, yang dilukiskan mengenakan jubah berwarna biru laut.
Tabib tersebut, mulamula menelan pil beracun itu, lalu menelan sebutir pil
penawar racun berwarna biru laut yang ia buat. Dari tawanya yang ringan dan
renyah, semua orang tahu bahwa keadaannya baikbaik saja, tidak ada hal buruk apa
pun yang dideritanya karena menelan racun itu. Setelah itu, gilirannya memberi
sapuan kematian dengan karyanya kepada lawannya. Dengan gerakan yang sangat
tenang, didera rasa suka cita karena mendapatkan kesempatan unjuk kemampuan, ia
memetik setangkai mawar merah muda dari taman dan mendekatkannya ke bibirnya,
lalu tanpa bersuara ia membisikkan sebait syair misterius pada kelopak-
kelopaknya. Kemudian, dengan sikap tubuh yang menunjukkan rasa percaya diri yang
amat tinggi, ia menyodorkan bunga mawar itu kepada saingannya. Kekuatan bisikan
misterius itu begitu mengacaukan pikiran tabib berjubah merah jambu ketika ia
mengangkat mawar itu ke depan hidungnya, sekuntum mawar yang tak mengandung apa-
apa selain wanginya yang alamiah, dan ia pun pingsan karena ketakutan, lalu
mati.[] Bab 43 AKU DINAMAI "ZAITUN1
MENJELANG SALAT magrib, terdengar sebuah ketukan di pintu, dan aku membukanya
tanpa persiapan apa pun: Itu adalah seorang anak buah Panglima dari istana,
seorang pemuda yang bersih, tampan, dan bertampang riang. Selain selembar kertas
dan sebidang papan untuk menulis, ia membawa sebuah lampu minyak yang justru
berpendar memberi bayangan pada wajahnya, bukan meneranginya. Ia segera
memberitahuku: Sultan mengadakan sebuah perlombaan di antara para empu
miniaturis untuk melihat siapa yang bisa membuat gambar kuda terbaik dalam waktu
yang paling singkat. Aku diminta duduk di atas lantai, memasangkan kertas itu di
atas papan, dan meletakkan papan tersebut di pangkuanku, lalu menggambar dengan
cepat kuda paling indah pada ruang yang dibatasi bingkai di atas kertas itu.
Aku mengajak tamuku masuk. Aku berlari untuk mengambil tinta dan kuas-kuas
terbaikku yang terbuat dari bulu telinga seekor kucing. Aku duduk di atas lantai
dan tercenung! Mungkinkah perlombaan ini merupakan sebentuk muslihat atau sebuah
jebakan yang akhirnya membuatku harus membayar semua ini dengan darah atau
kepalaku" Mungkin saja! Namun, tidakkah semua ilustrasi legendaris yang dibuat
oleh para empu tua Herat dilukis
dengan garisgaris indah yang terlahir di antara kematian dan keindahan"
Aku terselimuti oleh hasrat melukis, tetapi aku merasa takut menggambar tepat
seperti para empu tua, dan aku menahan diri.
Memandangi kertas kosong itu, aku terdiam dan berharap sukmaku akan mengusir
kegundahanku dengan sendirinya. Aku harus mampu memusatkan perhatianku hanya
pada kuda indah yang akan kugambarkan. Aku harus mengerahkan seluruh kekuatan
dan konsentrasiku. Semua kuda yang pernah kugambar dan kulihat mulai berlompatan di depan mataku.
Tetapi, hanya satu yang paling sempurna di antara semuanya. Kini aku akan
melukis seekor kuda yang tak seorang pun mampu menggambarkannya sebelumnya.
Dengan mantap, aku menggambarkannya dalam mata batinku. Dunia seakanakan
memudar, seolaholah tibatiba saja aku lupa daratan, melupakan bahwa aku sedang
duduk di sini, dan bahkan melupakan apa yang akan kugambarkan. Tanganku
membenamkan kuas ke dalam wadah tinta dengan sendirinya, terangkat kembali
setelah menyerap tinta dalam jumlah yang tepat. Ayolah, tanganku yang hebat,
lahirkanlah seekor kuda luar biasa dari imajinasiku ke muka bumi ini! Kuda dan
aku seolaholah menjadi satu dan kami sedang mulai unjuk diri.
Menuruti kata hatiku, aku mencari ruang yang tepat di dalam halaman berbingkai
yang kosong di hadapanku. Aku membayangkan kuda itu berdiri di sana, dan tiba
tiba saja: Bahkan sebelum aku mampu berpikir, tanganku telah terjulur mantap ke depan
dengan sendirinya lihatlah betapa anggunnya dan dengan cepat membuat? ?lengkungan dari ujung kaki, lalu tanganku menggambarkan kaki bagian bawah yang
ramping menawan, dan naik ke atas. Begitu kuas itu membuat lengkungan dengan
kemantapan yang sama melewati lutut dan naik dengan cepat menuju bagian dasar
dada sang kuda, aku menjadi sangat gembira! Melengkung dari sini, tanganku
bergerak penuh kemenangan lebih tinggi lagi: Betapa indahnya dada binatang itu!
Dada itu melengkung naik membentuk leher, tepat seperti itulah kuda dalam mata
batinku. Tanpa mengangkat kuasku, aku menggores ke bawah dari arah pipi,
melukiskan mulut yang amat kuat, yang kemudian kubuat terbuka setelah berpikir
sejenak. Kumasuki mulut itu beginilah terjadinya, bukalah mulutmu lebar-lebar,
?wahai kuda dan aku membuat lidahnya menjulur keluar. Perlahan aku beralih ke
?hidung tak ada ruang untuk bimbang! Dengan mengangkat kepalaku, aku sejenak
?memandangi keseluruhan gambar itu, dan ketika kulihat betapa aku membuat garis
garis yang sama dengan yang kubayangkan, aku sepenuhnya melupakan apa yang
sedang kulukis, kuping dan lengkung leher luar biasa indah yang digambar oleh
tanganku dengan sendirinya. Saat aku menggambar bagian belakang berdasarkan
ingatan, tanganku berhenti seketika untuk membiarkan bulu-bulu kuas menyerap
tinta dari wadahnya. Aku merasa cukup puas ketika menggambarkan bagian
pantatnya, dan kaki belakangnya yang kuat dan menonjol. Aku sepenuhnya asyik
masyuk dengan lukisan itu. Aku seakanakan berdiri di samping kuda yang sedang
kugambar, saat dengan senang hati aku mulai membuat ekornya. Ini adalah seekor
kuda perang, seekor kuda pacu. Aku membuat simpul di ekornya dan memutarnya.
Dengan bersemangat aku bergerak naik.
Saat aku menggambar ujung ekor dan bokong kuda, aku merasakan sebuah kesejukan
yang menenteramkan di pantat dan lubang anusku sendiri. Merasa senang hati,
dengan bahagia aku menyempurnakan kelembutan menawan daging pantatnya, kaki kiri
belakang yang dengan anggun berada di belakang kaki kanannya, dan kemudian kuku-
kuku kakinya. Aku terpukau oleh kuda yang telah kugambar dan tanganku yang telah
menggambarkan letak kaki kiri depan kuda itu dengan sedemikian anggun, tepat
seperti yang kurencanakan. Aku mengangkat tanganku dari kertas itu dan dengan
cepat menggambarkan mata yang sendu, tetapi berapiapi. Dengan ragu sesaat, aku
membuat kedua lubang hidung dan alas pelananya. Aku menggambar surainya sehelai
demi sehelai, seolaholah bulu surai itu disisir dengan lembut oleh jemariku
sendiri. Kupasangkan sanggurdi pada binatang itu, kutambahkan seulas garis putih
menyala di dahinya, dan kutuntaskan dengan menggambar buah pelir dan zakarnya,
Ketika aku menggambar seekor kuda yang menakjubkan, aku menjadi kuda yang
menakjubkan itu.[] Bab 44 AKU DINAMAI "KUPU-KUPU'
AKU YAKIN sudah hampir tiba saatnya untuk melaksanakan salat magrib. Seseorang
berada di balik pintu. Ia menjelaskan bahwa Sultan baru saja mengadakan sebuah
perlombaan. Sebagaimana yang kautitahkan, Sultan tersayang, siapakah yang bisa
menggambar seekor kuda lebih indah daripada diriku"
Sejenak aku terpaku ketika kutahu bahwa gambar tersebut harus dibuat tanpa
warna, atau dalam gaya tinta hitam. Mengapa tidak berwarna" Karena aku yang
terbaik dalam memilih dan memulaskan warna" Siapa yang akan menilai gambar
terbaik itu nanti" Aku mencoba mengorek lebih banyak keterangan dari pemuda
tampan berbahu lebar dengan bibir berwarna merah jambu yang datang dari istana
itu, dan ia memberi tahu bahwa Kepala Iluminator Tuan Osman berada di balik
lomba ini. Tuan Osman, tak diragukan lagi, mengenal baik bakatku dan paling
menyukaiku di antara semua empu.
Maka, saat aku menatap halaman kosong itu, cara berdiri, rupa, dan cara bersikap
seekor kuda yang akan menyenangkan Sultan dan sekaligus Tuan Osman menjadi hidup
di depan mataku. Kuda itu seharusnya tampak hidup, tetapi serius, seperti
kudakuda buatan Tuan Osman sepuluh tahun silam, dan kuda itu sebaiknya
mendompak, dengan cara yang disukai Sultan, sehingga
mereka berdua akan menyetujui keindahan kuda itu. Aku bertanyatanya, berapa
banyakkah kepingan emas yang mereka tawarkan" Bagaimanakah Mir Musavvir akan
membuat gambar ini" Bagaimanakah dengan Bihzad"
Tibatiba saja, binatang liar itu memasuki pikiranku dengan semacam kecepatan
yang pada saat itu langsung kupahami, tanganku yang terkutuk ini meraih kuas dan
mulai menggambar seekor kuda menakjubkan di luar jangkauan pemikiran orang lain,
diawali dari kaki depan sebelah kiri yang teracung. Setelah dengan cepat
menggabungkan kaki pada tubuh, aku membuat dua lengkungan dengan tangkas, senang
hati, dan penuh percaya diri jika kau melihatnya, kau akan berkata bahwa ?seniman ini bukanlah ilustrator, melainkan seorang penulis kaligrafi. Aku
memandang kagum pada tanganku sendiri saat ia bergerak dengansendirinya
seakanakan milik orang lain. Lengkungan-lengkungan menakjubkan ini menjadi perut
yang lebar, dada tegap, dan leher jenjang serupa leher angsa. Ilustrasi ini bias
dianggap selesai. Oh, bakat yang kumiliki! Sementara itu, aku melihat tanganku
telah menggambar hidung dan mulut terbuka seekor kuda yang kuat dan riang, dan
menggoreskan kepala dan telinganya. Kemudian, sekali lagi, lihatlah Ibu, betapa
indahnya, aku dengan riang menggambar lengkungan lain seakanakan sedang menulis
sepucuk surat, dan aku merasa hendak tertawa tergelak-gelak.Aku menggoreskan
lengkungan sempurna leher kudaku yang mendompak ke arah pelananya. Tanganku
menyibukkan diri dengan pelana itu saat aku mengagumi kudaku dengan bangga kini
?menjadi hidup, dengan sesosok tubuh bulat yang tegap, tak seperti tubuhku: Semua
orang akan terpukau oleh kuda ini. Kubayangkan komentar manis
yang akan dilontarkan Sultan ketika aku memenangkan hadiahnya. Beliau akan
menghadiahiku sekantung uang emas, dan aku ingin tertawa lagi saat kubayangkan
bagaimana aku menghitung uang emas itu di rumahku. Kemudian, tanganku, yang
kutatap dengan sudut mataku, menyelesaikan gambar pelana dan memasukkan kuasku
ke tempat tinta dan kembali sebelum aku mulai menggambar pantat kudaitu seraya
terkekeh seakanakan aku mendengar sebuah lelucon. Aku bergegas menggambar
ekornya. Betapa lembut dan montokaku membuat ujung bokongnya, dengan senang hati
aku ingin meremas bokong kuda itu dengan kedua tanganku seperti bokong lembut
seorang pemuda yang hendak kukasari. Saat aku tersenyum, tanganku yang pintar
telah selesai menggambar kakibelakang, dan kuasku terhenti: Inilah bagian
belakang kuda paling indah yang pernah ada di dunia. Aku dilanda rasa senang,
dan dengan gembira berpikir tentang betapa mereka akan sangat menyukai kudaku,
betapa mereka akan menyatakan aku adalah miniaturis paling berbakat, dan bahkan
betapa mereka akan langsung mengumumkan bahwa aku bakal ditunjuk menjadi Kepala
Iluminator. Namun, kemudian aku merenungkan apa lagi yang akan dikatakan oleh
orangorang tolol itu, "Betapa cepat dan riang ia menggambar kuda ini!" Karena
alasan ini saja aku cemas mereka tak akan menganggap serius ilustrasiku yang
menakjubkan ini. Maka, dengan teliti aku menggambar surai, lubang hidung, gigi,
helaian ekor kuda, dan penutup pelana dengan begitu rinci sehinga tak diragukan
lagi bahwa aku telah bekerja keras mengerjakan ilustrasi kuda itu. Dari posisi
ini, yakni dari arah belakang, buah pelir kuda itu seharusnya kelihatan, tetapi
aku tak menggambarnya karena itu mungkin akan terlalu menarik perhatian kaum perempuan.
Dengan bangga, aku mengamati kudaku: mendompak, bergerak seperti badai, kuat,
dan penuh tenaga! Seakanakan angin telah menyebabkan kuas itu bergerak-gerak,
seperti hurufhuruf dalam sebaris naskah, tetapi binatang itu juga bersikap
tenang. Mereka akan memuji miniaturis hebat yang menggambar ilustrasi ini
laksana memuji Bihzad atau Mir Musavvir, dan kelak aku pun akan menjadi seperti
mereka. Ketika aku menggambar seekor kuda yang menakjubkan, aku menjadi seorang empu
agung di masa lalu yang menggambar kuda itu.[]
) 45 SETELAH SALAT magrib aku bermaksud hendak pergi ke kedai kopi, tetapi mereka
mengatakan padaku ada seorang tamu di depan pintu. Semoga kabar bagus, aku
berharap. Aku pergi dan mendapati seorang utusan dari istana. Ia menjelaskan
perlombaan yang diadakan Sultan. Bagus, kuda paling indah di dunia. Katakanlah
padaku berapa banyak kau akan menawariku untuk setiap gambar, dan aku akan
dengan cepat menggambarkannya untukmu lima atau enam buah di antaranya.
Daripada mengatakan hal-hal seperti itu, aku lebih memilih tetap diam, dan
mengundang masuk bocah lelaki pesuruh itu untuk menunggu di dalam rumah. Sesaat
aku berpikir: Aku akan menggambar kuda paling indah di dunia yang tidak pernah
ada sebelumnya. Aku bisa saja menggambar kuda perang, kudakuda Mongolia yang
besar, kuda Arab yang anggun, kuda besar yang menggeliat bergelimang darah, atau
bahkan kudakuda pengangkut yang sedang menarik segerobak batu menuju tempat
orangorang yang sedang membuat bangunan, tetapi tak seorang pun akan menyebutnya
kuda paling indah di dunia. Tentu saja, dengan predikat "kuda paling indah di
dunia," aku akan tahu bahwa yang dimaksud Sultan adalah kudakuda paling hebat
dari yang sudah aku dinamai "bangau1
digambarkan ribuan kali di Persia, dengan mempertahankan semua rumusan, model,
dan sikap badan zaman dahulu, Tetapi mengapa"
Tentu saja, ada sebagian pihak yang tidak menginginkanku memenangkan sekantung
emas. Jika mereka memberitahuku untuk menggambar kudamu yang biasa-biasa saja,
semua orang tahu tidak ada lukisan siapa pun yang bisa bersaing dengan
lukisanku. Siapakah yang telah menipu Sultan kami seperti itu" Penguasa
tertinggi kami, dengan mengabaikan desas-desus tiada akhir para seniman yang iri
dengki itu, tahu benar bahwa aku adalah miniaturis beliau yang paling berbakat.
Ia mengagumi ilustrasi-ilustrasiku.
Dengan cepat dan penuh kemarahan, tanganku bergerak cepat, seakanakan ingin
bangkit dari semua keadaan yang menyakitkan ini, dan dengan sebuah upaya yang
dilakukan dengan segenap konsentrasi, aku menggambar seekor kuda sejati, dimulai
dari ujung kuku kakinya. Kau akan melihat kuda seperti ini di jalanan atau di
medan pertempuran. Lelah, tetapi terkendali .... Kemudian, dengan kemarahan yang
sama, aku menuntaskan dengan cepat seekor kuda kavaleri, dan yang satu ini
bahkan lebih baik. Tak seorang pun di antara para miniaturis buku seni di
bengkel kerja mampu menggambar hewan-hewan seindah ini. Aku baru saja akan
menggambar kuda lainnya dari ingatanku, ketika pesuruh istana itu berkata, "Satu
saja cukup." Ia baru saja akan menyambar kertas itu dan pergi, tetapi aku menahannya karena
aku tahu benar, seperti aku mengenal betul namaku, bahwa bajingan-bajingan ini
akan menyerahkan sekantung uang emas untuk kudakuda ini.
Jika aku membuat ilustrasi sebagaimana aku menginginkannya, mereka tidak akan
memberiku emas! Jika aku tidak bisa mendapatkan emas, namaku akan hancur
selamanya. Aku berhenti sejenak untuk berpikir. "Tunggu sebentar," kataku pada
utusan itu. Aku masuk ke dalam dan kembali dengan dua keeping uang emas Venesia
tiruan yang berkilau dan kemudian kuberikan pada pemuda itu. Ia tampak takut,
matanya membelalak. "Kau sama beraninya dengan seekor singa," ujarku.
Aku mengambil salah satu buku catatan yang kusembunyikan dari mata dunia. Di
sinilah aku diamdiam membuat salinan ilustrasiilustrasi paling indah yang pernah
kusaksikan selama bertahuntahun. Ini belum termasuk salinan-salinan yang dibuat
oleh pemimpin kaum cebol, Jafer, di bagian penyimpanan harta mengenai pohon
pohon, naga, burung, pemburu, dan kesatriakesatria terbaik dari halaman buku
buku yang terkunci. Itu jika kau memberi bangsat itu sepuluh keping uang emas,
Buku catatanku sangat hebat, bukan bagi mereka yang ingin melihat dunia
sungguhan tempat mereka tinggal lewat gambargambar dan hiasan, melainkan untuk
mereka yang ingin mengingat kembali dongeng-dongeng tua.
Seraya membukabuka halaman buku itu dan memperlihatkan semua gambarnya kepada
pesuruh istana, aku memilih gambargambar kuda terbaik. Dengan cepat aku membuat
lubang-lubang di sepanjang garis dalam gambar itu dengan menggunakan sebatang
jarum. Berikutnya, aku menaruh sehelai kertas kosong di bawah stensilan itu.
Perlahanlahan aku menaburkan debu batu bara ke atasnya dalam jumlah banyak, lalu
menggoyangkannya agar debu itu masuk melewati lubang-lubang yang
kubuat. Aku mengangkat kertas stensil itu. Debu-debu batu bara itu, titik demi
titik, telah menjelma menjadi seekor kuda indah di atas kertas di bawahnya.
Sangat menyenangkan melihatnya.
Aku mengambil penaku. Dengan sebuah ilham yang serta merta memancar di dalam
diriku, dengan indahnya aku menyambungkan titik-titik itu dengan gerakan yang
cepat dan mantap, saat aku menggambarkan perut kuda itu, lehernya yang anggun,
hidung, dan bokongnya, dengan berbunga-bunga aku merasakan kuda itu di dalam


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diriku. "Ini dia," seruku. "Kuda yang paling indah di dunia. Tak seorang pun di
antara manusiamanusia bodoh itu yang bisa menggambar seperti ini."
Bocah pesuruh istana itu meyakininya pula, dan ia akan menjelaskan ke hadapan
Sultan betapa aku telah terilhami untuk menggambarkannya. Aku memberinya tiga
koin emas tiruan lagi. Aku memberi isyarat bahwa aku akan memberinya lebih
banyak lagi jika aku menjadi pemenang hadiah emas itu. Lebih jauh, aku yakin ia
juga membayangkan akan segera bisa menatap istriku sekali lagi yang ia pandangi
dengan mulut ternganga. Ada banyak orang yang percaya bahwa kau bisa mengenali
seorang miniaturis yang baik dari kuda yang digambarnya, tetapi untuk menjadi
miniaturis terbaik tidak cukup hanya dengan membuat kuda terbaik, kau juga harus
meyakinkan Sultan dan lingkaran penjilat di sekeliling beliau, bahwa kau memang
seorang miniaturis terbaik.
Ketika aku menggambar seekor kuda yang menakjubkan, aku adalah aku, tidak lebih.
[] Bab 46 aku akan disebut seorang pembunuh
ip wg'V, APAKAH KAU bisa menentukan siapa diriku dari :. " caraku membuat sketsa
seekor kuda" L' V-Begitu aku mendengar aku diundang untuk jJE!": wembuat seekor
kuda, aku tahu ini bukanlah perlombaan: Mereka ingin menangkapku melalui
ilustrasiku. Aku amat sadar bahwa sketsa-sketsa kuda yang kugambar di atas
kertas kasar itu ditemukan di atas jenazah Elok Effendi yang malang. Tetapi, aku
tak memiliki kesalahan atau gaya yang bisa membuat mereka menemukanku melalui
kudakuda yang kubuat. Walaupun aku yakin tentang hal ini, aku merasa panik
ketika membuat kuda. Apakah aku telah membuat sesuatu yang dapat membuktikan
kejahatanku saat aku membuat kuda untuk Enishte" Aku harus menggambar seekor
kuda yang baru kali ini. Aku berpikir tentang hal-hal lain sama sekali. Aku
"menahan" diri dan menjadi orang lain.
Tetapi siapakah aku" Apakah aku seorang seniman yang menahan adikarya yang bisa
kubuat demi mencocokkan diri dengan gaya bengkel kerja atau seorang seniman yang
suatu hari akan menggambar kuda di dalam dirinya dengan penuh kemenangan"
Dengan tibatiba dan ngeri, kurasakan keberadaan miniaturis pemenang itu di dalam
diriku. Rasanya seakanakan aku diawasi oleh jiwa yang lain dan aku
merasa malu. Aku segera tahu bahwa aku tak akan bisa tetap berdiam di rumah, dan bergegas
keluar. Aku berjalan tergesagesa menyusuri jalanan gelap. Seperti yang ditulis
Syekh Osman Baba dalam Kehidupan Para Aulia, untuk melepaskan diri dari sesosok
iblis di dalam dirinya seorang darwis pengembara harus berkelana seumur hidupnya
tanpa berdiam di suatu tempat terlau lama. Setelah berkelana dari kota ke kota
selama enam puluh tujuh tahun, ia kelelahan terusmenerus melarikan diri dan
akhirnya menyerah pada iblis. Pada usia ini para empu miniaturis mengalami
kebutaan, atau kegelapan Allah, usia ketika mereka mau tak mau telah mencapai
sebuah gaya tersendiri, sekaligus membebaskan diri dari segala gaya yang telah
diakrabi. Aku mengelana ke Pasar Ayam di Bayazid, melewati lapangan kosong tempat pasar
budak, di tengah bau sedap kedaikedai sop dan puding, seakanakan aku mencari
sesuatu. Aku melintasi pintupintu tertutup kios tukang cukur, penjahit pakaian,
dan seorang tukang roti tua yang sedang menghitung uangnya dan menatapku dengan
terkejut. Aku melintasi sebuah toko kelontong yang berbau ikan asin dan acar,
dan karena mataku hanya tertarik oleh warnawarna, aku berjalan ke dalam sebuah
kedai jamu dan barang kelontong di mana suatu benda sedang ditimbang, dan dalam
cahaya lampu, aku menatap penuh gairah cara seseorang menatap sesuatu yang ?dicintainya pada kantong-kantong kopi, jahe, kunyit, dan kayu manis, sekaleng
?permen karet berwarnawarni, adas manis yang aromanya semerbak, dan pada tumpukan
rempah-rempah berwarna hitam dan cokelat. Terkadang aku ingin memasukkan
semuanya ke dalam mulutku, terkadang aku ingin mengisi selembar halaman kertas dengan gambar
semua benda itu. Aku berjalan ke tempat aku mengisi perutku dua kali minggu ini yang secara
pribadi kunamai "dapur sup bagi orangorang tertindas" kenyataannya, kata
?"menyedihkan" akan lebih tepat. Kedai itu buka hingga tengah malam bagi mereka
yang mengetahuinya. Di dalamnya terdapat beberapa orang tak beruntung yang
berpakaian seperti pencuri kuda atau lelaki yang kabur dari penjara; sepasang
tokoh menyedihkan yang kesedihan dan keputusasaannya menyebabkan pandangan
mereka terpeleset dari dunia ini menuju surga yang jauh, seperti yang terjadi
pada para pecandu opium; dua orang gembel yang berusaha mengikuti tata krama
paling mendasar; dan seorang lelaki terhormat yang duduk sendiri di sudut,
menjauh dari kerumunan. Aku menyapa si tukang masak yang berasal dari Aleppo.
Setelah mewadahi dolma* kubis isi daging ke mangkukku, aku melapisinya dengan
yoghurt dan menaruh di atasnya segenggam merica pedas sebelum duduk di samping
pemuda terhormat itu. Setiap malam sebuah kesedihan melandaku, sebuah derita melingkupiku. Oh,
saudara-saudaraku, kita diracuni, kita membusuk, sekarat, kita membuat diri kita
letih saat kita hidup, kita menenggelamkan leher kita dalam penderitaan ....
Beberapa malam aku bermimpi ia muncul dari sumur dan mendatangiku, tetapi aku
tahu kami telah menguburnya dalam-dalam di dalam tanah. Tak mungkin ia bisa
bangkit dari kubur. Lelaki yang kukira telah membenamkan hidungnya dalam supnya dan melupakan
seluruh dunia di sampingku
*JIasaian khas Turki berupa lapisan daun anggur atau kubis dengan isi yang
lezat, biasanya berisi nasi dan daging
membuka pintu untuk sebuah percakapan. Apakah ini isyarat dari Allah" "Ya,"
ujarku, "mereka merebus daging ini dengan kekentalan yang tepat, kubisku juga
cocok dengan seleraku." Aku bertanya tentang dirinya: Ia baru lulus dari sebuah
sekolah tinggi menyedihkan yang bayarannya dua puluh keeping uang perak sehari
dan diterima magang di tempat Arifi Pasha sebagai seorang kerani. Aku tidak
bertanya padanya mengapa di malam selarut ini ia tidak berada di kediaman sang
Pasha, di masjid, atau di rumahnya sendiri dalam pelukan istri tercintanya,
melainkan malah memilih berada di kedai jalanan bersama para pencoleng lajang.
Ia bertanya padaku dari mana aku berasal dan siapakah aku. Aku berpikir sejenak.
"Namaku Bihzad. Aku datang dari Herat dan Tabriz. Aku telah melukis gambar
gambar yang paling luar bisaa, adikarya yang paling menakjubkan. Di Persia dan
Arabia, di setiap bengkel seni buku muslim tempat ilustrasiilustrasi dibuat,
mereka mengatakan hal ini tentangku selama ratusan tahun: Ini tampak nyata,
bagaikan karya Bihzad."
Tentu saja, bukan ini soalnya. Lukisan-lukisanku mengungkap apa yang dilihat
oleh pikiran, bukan oleh mata. Tetapi lukisan, seperti yang kauketahui dengan
baik, adalah sebuah perayaan bagi mata. Jika kaugabungkan kedua gagasan ini,
duniaku akan muncul. Yakni:
ALIF : Lukisan menghidupkan apa yang dilihat oleh pikiran, sebagai perayaan bagi
mata. LAM : Yang dilihat oleh mata di dunia memasuki lukisan hingga mencapai derajat
bahwa itu melayani pikiran. MIM : Akibatnya, keindahan adalah penemuan mata di dunia kita atas apa yang
telah diketahui oleh pikiran.
Apakah lulusan sekolah tinggi yang menyedihkan ini memahami logika yang kusahkan
dengan ilham dari lubuk jiwaku ini" Tidak sama sekali. Mengapa" Karena, walaupun
kau menghabiskan tiga tahun duduk di kaki seorang hoja yang memberi pelajaran di
sebuah sekolah agama untuk dua puluh keeping uang perak sehari saat ini kau bisa
membeli dua puluh potong roti dengan uang sejumlah itu kau masih tak akan tahu ?siapakah gerangan Bihzad itu. Jelaslah bahwa Hoja Effendi pun tak tahu siapa
Bihzad. Baiklah kalau begitu, biar kujelaskan. Aku berkata:
"Aku telah melukis semuanya, benarbenar semuanya: Nabi Muhammad di masjid di
depan mihrab hijau bersama keempat khalifah. Dalam buku lain, Nabi Muhammad naik
ke langit ketujuh di malam Mikraj. Iskandar Agung dalam perjalanan ke Cina
memukul genderang di sebuah kuil di tepi laut untuk menakut-nakuti sesosok
monster yang mengacaukan lautan dengan badai taufan. Seorang sultan sedang
merancap sambil memata-matai perempuanperempuan cantik di haremnya berenang
telanjang di kolam seraya mendengarkan suara kecapi. Seorang pegulat muda merasa
yakin akan menang setelah mempelajari segala jurus gurunya, tetapi kemudian
dikalahkan di depan Sultan di tangan gurunya sendiri yang menyembunyikan sebuah
jurus pamungkas. Laila dan Majnun saat masih kanak kanak berlutut di sebuah
ruang sekolah yang dindingnya dihias begitu indah, dan saling jatuh cinta saat
membaca Alquran. Ketidakmampuan pasangan kekasih untuk saling berpandangan dari?yang paling pemalu hingga yang paling tidak senonoh. Pembangunan istana batu
demi batu, Hukuman penyiksaan bagi orangorang yang bersalah. Terbangnya
burungburung elang. Kelinci-kelinci yang sedang bermain main. Harimau-harimau
yang culas, Pepohonan cemara dan pinus yang menjadi sarang burungburung pipit.
Kematian. Para penyair yang sedang bersaing. Perayaan untuk memperingati
kemenangan. Dan orangorang sepertimu yang tak melihat apa pun, kecuali sup di
depannya." Kerani itu tak lagi merasa takut-takut, ia bahkan menganggap aku cukup menghibur
dan ia pun tersenyum. "Hoja Effendi-mu seharusnya menyuruhmu membaca ini, kau akan mengetahuinya,"
lanjutku. "Ada sebuah kisah yang kusuka dari Taman Mawar karya Sadi. Kautahu
yang satu ini, Raja Darius terpisah dari rombongan saat berburu dan pergi
mengembarai bukit-bukit. Tanpa diduga, sesosok orang asing berjanggut yang
tampak berbahaya muncul di depannya. Sang raja menjadi panik dan menggapai busur
panah di atas kudanya ketika orang itu memohon, "Rajaku, jangan menembakkan anak
panahmu. Tidakkah Anda mengenaliku" Bukankah aku pengurus kuda paling setia yang
Anda percayai seratus kuda dan anak kuda" Berapa kalikah kita saling bertemu"
Aku tahu masingmasing di antara ratusan kuda Anda melalui watak dan perilaku,
bahkan melalui warnanya. Lalu, mengapa Anda tak memedulikan kami, para pelayan
di bawah perintah Anda, bahkan mereka yang sering bertemu dengan Anda seperti
diriku?" Ketika aku menggambarkan adegan ini, aku membuat kudakuda hitam, cokelat, dan
putih dirawat dengan ?begitu lembut oleh pengurus kuda itu di sebuah padang runput hijau surgawi yang
indah dipenuhi bungabunga aneka warna dengan kebahagiaan dan ketenangan yang
?membuat pembaca paling bodoh sekalipun akan memahami pesan cerita Sadi tersebut: Keindahan dan misteri dunia ini hanya muncul melalui kasih sayang,
perhatian, ketertarikan, dan cinta kasih. Jika kauingin hidup di surga tempat
kudakuda betina dan kudakuda jantan yang berbahagia itu tinggal, bukalah matamu
lebar-lebar dan lihatlah dunia ini dengan memahami warna-warnanya, detailnya,
dan ironinya. Anak didik hoja dua puluh koin perak ini merasa terhibur sekaligus ngeri padaku.
Ia ingin menjatuhkan sendoknya dan melarikan diri, tetapi aku tak memberinya
kesempatan. "Beginilah empu dari segala empu Bihzad menggambarkan raja, pengurus kudanya,
dan kudakuda dalam gambar itu," kataku. "Selama seratus tahun para miniaturis
tidak berhenti meniru kudakuda itu. Setiap kuda yang digambarkan berdasarkan
imajinasi dan hati Bihzad telah menjadi sebuah model bentuk. Ratusan miniaturis,
termasuk aku sendiri, bisa menggambar kudakuda itu berdasarkan ingatan.
Pernahkah kau melihat gambar seekor kuda?"
"Aku pernah melihat kuda bersayap dalam sebuah buku indah yang dihadiahkan
seorang guru seorang ulama terkemuka pada almarhum hojaku."? ?Aku tidak tahu apakah aku sebaiknya mendorong kepala badut ini ke dalam
supnya badut yang bersama gurunya telah menganggap serius buku Makhluk makhluk
?Aneh dan menghanyutkannya atau membiarkannya menjelaskan dengan istilahistilah
?megah satusatunya gambar kuda yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya barangkali dalam sebuah
?salinan manuskrip yang buruk pula. Aku menemukan alternatif ketiga, yakni
meletakkan sendokku dan keluar dari kedai itu. Setelah berjalan beberapa saat,
aku memasuki penginapan para darwis yang ditinggalkan itu, tempat aku dipenuhi
oleh rasa damai. Aku membereskannya dan tanpa melakukan hal lain, aku
mendengarkan kesunyian. Kemudian, aku memindahkan cermin dari tempat aku menyembunyikannya dan
menaruhnya pada meja kerja yang rendah. Setelah itu, kuletakkan ilustrasi dua
halaman itu dan papan untuk menggambar di pangkuanku. Ketika aku bisa melihat
wajahku dalam cermin dari tempatku duduk, aku mencoba menggambar potret diriku
dengan arang. Aku menggambar cukup lama dengan sabar. Lama kemudian, ketika aku
melihat bahwa sekali lagi wajah di atas halaman kertas itu tidak menyerupai
wajahku dalam cermin, aku dilanda semacam kepedihan sehingga air mata menggenang
di sudut mataku. Bagaimanakah para pelukis Venesia yang digambarkan dengan
berbunga-bunga oleh Enishte itu melakukannya" Aku lalu membayangkan diriku
menjadi salah seorang di antaranya, berpikir bahwa jika aku membuat ilustrasi
berdasarkan pikiran, aku mungkin bisa membuat sebuah potret diri yang
meyakinkan. Kemudian, aku mengutuk para pelukis Eropa dan Enishte, menghapus apa
yang telah kubuat, dan mulai menatap lagi ke dalam cermin untuk memulai gambar
yang lain. Akhirnya, kutemukan diriku mengelanai jalanan lagi, dan kemudian, berada di
sini, di kedai kopi yang hina ini. Aku bahkan tidak yakin bagaimana aku bisa
sampai di sini. Ketika aku masuk, aku merasakan semacam rasa malu
karena berbaur dengan para miniaturis dan penulis kaligrafi menyedihkan ini
sehingga keringat membasahi wajahku.
Si pendongeng belum memulai pertunjukannya. Gambar itu bahkan belum
digantungkan. Aku terpaksa berbaur dengan kerumunan pengunjung kedai kopi itu.
Maka, izinkanlah aku berkata jujur padamu: Seperti orang lain, aku pun terkadang
membuat lelucon, menceritakan kisahkisah cabul, mencium pipi temanku dengan
gerak tubuh berlebihan, berbicara dengan makna ganda, sindiran, dan permainan
katakata, bertanya kabar pembantu muda para empu, dan seperti orang lain, tanpa
belas kasihan mengejek musuhmusuh bersama kami, dan setelah aku benarbenar
bersemangat, aku berbuat makin jauh dan mencium leher para lelaki. Namun,
mengetahui bahwa sebagian jiwaku tetap diam ketika aku melibatkan diri dalam
tingkah laku semacam itu membuatku merasakan siksaan tak tertahankan.
Namun, sebelum terlalu lama, aku bukan hanya berhasil dalam menggunakan bahasa
kiasan untuk membandingkan kelaminku sendiri, dan milik orang lain yang banyak
digunjingkan, dengan kuas, pena buluh, pilar kedai kopi, seruling, tonggak
tangga, pengetuk pintu, bawang prei, menara, jemari perempuan dalam sirup
kental, pohon pinus, dan dua kali aku berhasil membandingkan bokong-bokong para
pemuda tampan yang banyak dibicarakan dengan jeruk, buah ara, kue kering,
bantal, dan juga bukit kecil sarang semut. Sementara itu, penulis kaligrafi
paling congkak sebayaku hanya bisa membandingkan kelaminnya dengan tiang layar
dan galah dengan malumalu dan tanpa rasa percaya diri. Lebih dari itu, aku ?mengarang cerita tentang kelamin
para miniaturis tua yang tak lagi bisa bangkit, bibir para murid baru yang
sewarna buah ceri, para empu kali grafi yang mengubur uangnya (seperti yang
kulakukan) di tempat tertentu ("di celah paling menjijikkan"), mungkin opium
yang dimasukkan ke anggur yang kuminum dan bukannya kelopak mawar, para empu
terakhir Tabriz dan Shiraz, campuran kopi dan anggur di Aleppo, serta para ahli
kaligrafi dan para pemuda tampan yang ada di sana.
Beberapa kali tampaknya satu atau dua roh yang merasukiku, pada akhirnya, muncul
dengan penuh kemenangan, meninggalkan yang lain di belakangnya, dan aku akhirnya
melupakan sisi senyap dan tanpa cinta dalam diriku. Kali ini aku teringat
perayaan hari besar di masa kanak-kanakku di mana saat itu aku bisa menjadi
diriku sendiri bersama kawan-kawan dan sanak keluarga. Terlepas dari semua
lelucon, ciuman, dan pelukan, masih ada kesunyian dalam diriku yang membuatku
menderita dan merasa terasing di tengah keramaian.
Siapa yang telah memberkatiku dengan roh kesunyian dan tanpa belas kasih ini itu
bukanlah roh, melainkan jin yang selalu mencaciku dan menjauhkanku dari orang
?lain" Tetapi kesunyian dalam diriku merasa tenteram, bukan oleh kejahatan yang
dihasut oleh setan, sebaliknya, justru oleh kisahkisah paling murni dan paling
sederhana yang mendorong jiwa seseorang. Di bawah pengaruh anggur, aku
menceritakan dua kisah, berharap bahwa ini akan membuatku damai. Seorang murid
ahli kaligrafi yang berwajah pucat kemerahan menatap mataku dengan sepasang mata
hijaunya dan mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian.
Dua Cerita tentang Kebutaan dan Gaya yang Diceritakan Sang Miniaturis untuk
Menghibur Kesepian dalam Jiwanya
ALIF Bertentangan dengan yang diduga orang, membuat gamba-gambar kuda dengan melihat
pada kuda sungguhan bukanlah penemuan para empu Eropa. Gagasan aslinya merupakan
milik empu agung Jemalettin dari Kazvin. Setelah Hasan Jangkung, Khan Kambing
putih, menaklukkan Kazvin, empu tua Jemalettin tidak puas hanya bergabung begitu
saja dengan bengkel buku seni sang khan pemennag. Alihalih, ia ikut serta dalam
operasi milier bersama sang khan, menyatakan bahwa ia ingin menghiasi kitab
Sejarah sang khan dengan adegan peperangan yang ia saksikan sendiri. Maka empu
agung ini, yang telah selama enam puluh dua tahun membuat gambar kuda, perang
pasukan berkuda, dan pertempuran tanpa pernah melihat perang yang sesungguhnya,
ikut berperang untuk pertama kalinya. Tetapi, sebelum ia sempat melihat kudakuda
yang bertarung penuh keringat, ia kehilangan tangan dan pandangan matanya karena
tembakan meriam musuh. Empu tua itu, seperti semua empu agung lainnya, telah
menanti kebutaan seakanakan itu adalah berkah dari Allah, dan ia pun tidak
menganggap kehilangan tangannya sebagai cacat yang besar. Ia percaya bahawa
ingatan seorang miniaturis tidak terletak di tangan, seperti yang dipercayai
oleh sebagian orang, melainkan dalam nalar dan hati, dan lebih daripada itu,
karena kini ia telah menjadi buta, ia menyatakan bahwa ia bisa melihat


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gambargambar yang sesungguhnya, kudakuda tanpa cacat yang diperintahkan Allah
untuk dilihat. Untuk berbagi keajaiban ini dengan para pencinta seni, ia menyewa
seorang murid penulis kaligrafi berkulit pucat, berwajah kemerahan, dan bermata
hijau, yang ia ajari cara menggambar kuda yang
muncul baginya dalam kegelapan ilahiah Tuhan karena ketika ia akan ?menggambarnya sendiri, ia tak bisa memegang kuas dengan tangannya yang buntung.
Setelah kematiannya, cerita sang empu tentang cara menggambar 303 kuda yang
dimulai dari kaki depan sebelah kiri dikumpulkan oleh murid penulis kaligrafi
yang tampan itu dalam tiga jilid buku yang masingmasing berjudul Menggambar
Kuda, Iring-iringan Kuda, dan Cinta terhadap Kuda, yang amat disukai di mana-
mana dan dicari cari orang untuk beberapa waktu di wilayah kekuasaan Kambing
putih. Walaupun mereka muncul dalam berbagai edisi dan salinan baru, yang
diingat oleh para ilustrator, murid magang, dan para murid mereka, dan digunakan
sebagai buku latihan, tetapi setelah bangsa Kambing putih yang dipimpin Hasan
Jangkung lenyap dan gaya ilustrasi Herat melanda seluruh Persia, Jemalettin dan
manuskrip manuskripnya terlupakan. Tak diragukan, logika di balik kritik keras
Kemalettin Riza dari Heart atas ketiga buku ini dalam bukunya Kuda Si Orang
Buta, dan kesimpulannya bahwa bukubuku itu sebaiknya dibakar, telah
menggambarkan berbaliknya keadaan ini. Kemalettin Reza menyatakan bahwa tak
seekor kuda pun yang digambar oleh Jemalettin dari Kazvin dalam ketiga jilid
buku itu yang merupakan kuda dalam pandangan Tuhan sebab tiada di antara mereka
?yang "tak ternoda", karena empu tua itu telah menggambarkan mereka setelah ia
menyaksikan sebuah adegan perang yang sesungguhnya, tak peduli betapa singkat
sekalipun. Karena harta kekayaan Hasan Jangkung dari Kambing putih telah dijarah
oleh Sultan Mehmet dan dibawa ke Istanbul, maka tak mengejutkan bila terkadang
303 kisah ini muncul dalam manuskrip-manuskrip lain di Istanbul dan
bahkan beberapa ekor kuda digambar berdasarkan petunjuk-petunjuk yang terdapat
di dalamnya. L AM Di Herat dan Shiraz, ketika seorang empu miniaturis yang menjelang harihari
terakhirnya menjadi buta karena kerja keras seumur hidupnya, hal itu bukan hanya
dianggap sebagai tanda atas tekad kuat empu tersebut, melainkan juga dianggap
sebagai pengakuan Tuhan atas karya dan bakat empu agung tersebut. Bahkan ada
suatu masa di Herat ketika para empu yang tidak menjadi buta saat mereka telah
tua malah dicurigai, sebuah keadaan yang memaksa beberapa di antara mereka untuk
membutakan diri dalam usia tua. Ada masa yang panjang di mana orang orang dengan
penuh hormat mengenang para seniman yang membutakan diri, mengikuti jejak para
empu legendaries yang memilih melakukan hal itu daripada bekerja untuk penguasa
lain atau mengubah gaya mereka. Dan dalam zaman inilah Abu Said, cucu Timurleng
dari garis keturunan Miran Shah, memperkenalkan sebuah corak yang lebih jauh
dalam bengkel kerjanya setelah ia menaklukkan Tashkent dan Samarkand: Memberi
penghormatan yang lebih besar pada kebutaan tiruan daripada kebutaan yang
sesungguhnya. Veli Hitam, perajin tua yang mengilhami Abu Said, menegaskan bahwa
seorang miniaturis buta bisa melihat kudakuda pandangan Tuhan dalam kegelapan.
Bagaimanapun, bakat sejati terletak dalam diri seorang miniaturis yang bisa
melihat, tetapi mampu memahami dunia seperti seorang buta. Pada usia enam puluh
tujuh tahun, ia membuktikan pendapatnya dengan menggambar dengan cepat seekor
kuda yang muncul dari ujung kuasnya tanpa terlalu
banyak menatap kertas, bahkan matanya tetap terbuka beberapa saat dan terpaku
pada halaman ilustrasi. Di ujung upacara seni ini, di mana Miran Shah menyuruh
para musisi tuli memainkan kecapi dan para pendongeng bisu menceritakan
kisahkisah untuk mendukung upaya empu legendaris itu, kuda istimewa yang
digambar oleh Veli Hitam diperbandingkan dengan kudakuda lain yang telah ia
buat: Tak ada perbedaan apa pun di antara mereka, yang membuat Miran Shah merasa
terganggu. Setelahnya, empu legendaris itu menyatakan bahwa seorang miniaturis
yang memiliki bakat, tak peduli apakah matanya terbuka atau tertutup, akan
selalu dan hanya akan melihat kuda dengan satu cara, yakni dengan cara Allah
melihat kudakuda itu. Dan di antara para empu miniaturis, tak ada perbedaan
antara yang buta dan yang melihat: Tangan akan selalu menggambar kuda yang sama
karena tak ada hal seperti penemuan baru kaum Frank yang disebut "gaya."
Kudakuda yang dibuat oleh empu agung Veli Hitam telah ditiru oleh semua
miniaturis muslim selama 110 tahun. Adapun Veli Hitam sendiri, setelah kejatuhan
Abu Said dan pembubaran bengkel seninya, memutuskan pindah dari Samarkand ke
Kazvin, di mana dua tahun kemudian ia dihukum karena upayanya untuk menyangkal
ayat dalam Alquran yang menyatakan, "Orang buta dan orang yang melihat tidaklah
sama." Karena hal ini, ia mulamula dibuat buta, lalu dibunuh oleh para tentara
muda Nizam Shah. AKU HENDAK menceritakan kisah ketiga yang menjelaskan pada murid penulis
kaligrafi bermata indah itu bagaimana empu agung Bihzad telah membutakan matanya
sendiri, betapa ia tak ingin meninggalkan Herat,
mengapa ia tak pernah melukis lagi setelah dibawa dengan paksa ke Tabriz, betapa
gaya seorang miniaturis adalah sungguhsungguh gaya bengkel seni tempat ia
bekerja dan ceritacerita lainnya yang pernah ia dengar dari Tuan Osman, tetapi
aku lebih tertarik pada si pendongeng. Bagaimana aku tahu ia akan menceritakan
kisah Setan malam ini"
Aku ingin berkata, "Setanlah yang pertama kali berkata 'aku'! Setanlah yang
menggunakan gaya. Setanlah yang memisahkan Barat dengan Timur."
Kupejamkan mataku dan menggambar Setan pada lembaran kertas kasar si pendongeng
seperti yang dihasratkan hatiku. Ketika aku menggambar, si pendongeng dan
pembantunya, juga para seniman lain, dan para penonton yang merasa ingin tahu
terkekeh geli dan mendorongku.
Ya, apakah kaukira aku memiliki gayaku sendiri, atau apakah aku berutang pada
anggur"[] setan AKU MENYUKAI aroma lada merah yang sedang digoreng dalam minyak zaitun, hujan
yang jatuh ke laut yang tenang pada saat fajar, pemunculan tak terduga seorang
perempuan di sebuah jendela terbuka, kesunyian, perenungan, dan kesabaran. Aku
percaya pada diriku sendiri, dan hampir sepanjang waktu aku tak peduli pada
segala yang dikatakan orang tentangku. Malam ini, aku datang ke kedai kopi ini
untuk membuat para miniaturis dan penulis kaligrafi saling bergunjing, berdusta,
dan menyebarkan desas-desus.
Tentu saja, karena aku yang berbicara, kau sudah bersiap memercayai kebalikan
dari yang kukatakan. Tetapi kau cukup cerdas untuk merasa bahwa kebalikan dari
yang kukatakan tidak selalu benar, dan walaupun kau mungkin meragukanku, kau
cukup cerdik untuk tertarik pada katakataku: Kau sangat sadar bahwa namaku, yang
muncul dalam Alquran lima puluh dua kali, adalah salah satu yang paling sering
disebut orang. Baiklah kalau begitu, izinkan aku memulai dengan kitab Tuhan, Alquran yang
mulia. Segala yang dikatakan tentang diriku di dalamnya adalah benar belaka.
Biarlah orang tahu bahwa ketika aku mengatakan hal ini, aku melakukannya dengan
penuh kerendahan hati. Di sana juga terdapat persoalan tentang gaya. Aku selalu
merasa amat pedih karena aku diremehkan dalam Alquran. Tetapi kepedihan ini adalah
jalan hidupku. Memang sudah begitulah takdirnya.
Memang benar, Tuhan menciptakan manusia di depan mata kami, para malaikat. Lalu
Tuhan meminta kami menundukkan diri di hadapan makhluk ini. Ya, memang sungguh
terjadi seperti yang tertulis dalam surat "Al-A'raf: Ketika semua malaikat
lainnya membungkuk di hadapan manusia, aku menolak. Aku teringat Bahwa Adam
diciptakan dari lumpur, sementara aku diciptakan dari api, sebuah unsur yang
lebih tinggi seperti yang kalian tahu. Maka, aku tidak mau menundukkan tubuhku
di depan manusia. Dan Tuhan menganggap tindakanku itu sebagai sikap "sombong."
"Pergilah kau dari surga," kata Tuhan. "Keagungan di sini tidak layak bagi
makhluk sepertimu." "Izinkanlah aku hidup hingga Hari Pembalasan," kataku, "sampai mereka yang telah
mati dibangkitkan kembali." Tuhan memberikan izinNya. Aku berjanji dalam seluruh
waktu ini aku akan menggoda anak cucu Adam, orang yang telah menyebabkan aku
dihukum, dan Tuhan berkata Ia akan memasukkan orangorang yang tergoda olehku ke
neraka. Aku tidak perlu mengatakan padamu bahwa kita masingmasing membenarkan
katakata-Nya. Aku tak akan mengatakan apa-apa lagi soal ini.
Seperti yang dinyatakan oleh beberapa orang, pada saat itu Tuhan dan aku membuat
kesepakatan. Menurut mereka, aku membantu Tuhan menguji para hambaNya dengan
berusaha merusak iman mereka: Orang yang baik tak akan tersesat, sedangkan orang
jahat yang menyerah pada hasrat duniawinya akan berdosa dan masuk neraka. Maka,
yang kulakukan sangat penting: jika semua orang
masuk surga, tak seorang pun akan memiliki rasa takut, dan dunia serta para
pemerintahnya tak akan pernah bisa berfungsi dalam menegakkan kebajikan; karena
dalam dunia kita kejahatan sama perlunya dengan kebajikan, dan dosa sama
pentingnya dengan sikap lurus. Mempertimbangkan hal itu aku selayaknya diberi
ucapan terima kasih untuk penciptaan tata dunia Allah tentu dengan seizin-Nya ?(dengan alasan apa lagi Ia mengizinkanku hidup sampai Hari Pembalasan") di
?mana disebut "jahat" dan tak pernah diberi apa yang menjadi hakku merupakan
siksaan tersembunyi bagiku. Orangorang seperti mistikus Mansur, si pemintal wol,
atau adik Imam Ghazali yang terkenal, Ahmad Ghazali, telah membengkokkan garis
penalaran ini begitu jauh seperti yang disimpulkan dalam tulisan-tulisan mereka
bahwa jika dosa-dosa yang kusebabkan sesungguhnya dilakukan melalui izin dan
kehendak Tuhan, maka semua itu adalah hasrat Tuhan. Lebih jauh lagi, mereka
meyakini bahwa kebaikan dan kejahatan tidak ada karena semuanya muncul dari
Tuhan, dan bahkan aku adalah bagian dariNya.
Beberapa orang tak berotak ini sepantasnya dibakar hingga mati bersama bukubuku
mereka. Tentu saja, kebaikan dan kejahatan memang ada, dan tanggung jawab untuk
menarik garis di antara keduanya jatuh kepada kita masingmasing. Aku bukanlah
Allah, dan bukanlah aku yang menanamkan keganjilan semacam itu di kepala
orangorang tolol ini. Mereka mendapat gagasan tersebut melalui pemikiran mereka
sendiri. Ini membawaku pada keluhan kedua: aku bukanlah sumber segala kejahatan dan dosa
di dunia ini. Banyak orang berdosa karena ambisi buta, gairah, ketiadaan
keteguhan, kehinaan, dan paling sering, ketololan mereka sendiri tanpa dorongan,
muslihat, atau godaan dariku. Betapa tak masuk akal upaya para mistikus
terpelajar untuk membebaskanku dari segala kejahatan, begitu pula dengan
anggapan bahwa aku adalah sumber dari segala kejahatan, yang juga bertentangan
dengan apa yang tertulis dalam Alquran. Bukan aku yang menggoda setiap penjual
buah yang menyisipkan apel busuk pada para pelanggannya, setiap bocah yang
berbohong, setiap penjilat yang merendah-rendahkan diri, setiap lelaki tua yang
bermimpi cabul di siang bolong, atau setiap pemuda yang mengeluarkan air
maninya. Bahkan Tuhan pun tidak mampu menemukan sesuatu yang jahat dalam kentut
atau mengeluarkan air mani. Tentu saja, aku bekerja sangat keras agar kau
berbuat dosa besar. Tetapi, beberapa hoja menyatakan bahwa kalian yang
bersendawa, bersin, atau bahkan kentut adalah karena tipu dayaku, yang membuatku
paham bahwa mereka sama sekali tidak memahamiku.
Biarkan saja mereka salah memahamimu agar kau bisa menipu mereka dengan lebih
mudah, percayalah. Sungguh. Tetapi, izinkan aku mengingatkanmu, aku punya harga
diri, yang membuatku berselisih paham dengan Tuhan. Walaupun aku bisa menyaru
semua bentuk yang bisa dibayangkan dan walaupun telah terekam dalam begitu
banyak buku hingga puluhan ribu kali bahwa aku telah berhasil menggoda
orangorang saleh, terutama dengan godaan gairah terhadap perempuan cantik,
bisakah para miniaturis di depanku malam ini menjelaskan mengapa mereka berkeras
menggambarkanku sebagai sesosok makhluk buruk rupa dan mengerikan yang
bertanduk, berekor panjang, dengan wajah dipenuhi tahi
lalat menonjol" Maka, kini kita sampai pada pokok persoalan: lukisan figuratif. Sebuah kerumunan
orang di jalanan Istanbul dihasut oleh seorang pengkhotbah yang namanya tak akan
kusebutkan sehingga ia tak akan mengganggumu. Pengkhotbah itu mengutuk halhal
berikut ini sebagai hal-hal yang bertentangan dengan firman Tuhan: lantunan Azan
yang seperti lagu; berkumpulnya para lelaki di rumah darwis saling duduk di
pangkuan yang lain dan bernyanyi diiringi musik; dan minum kopi. Aku mendengar
beberapa miniaturis di antara kita yang merasa takut pada pengkhotbah ini dan
gerombolannya menyatakan bahwa akulah yang berada di balik segala lukisan
bergaya Frank. Selama berabadabad, tuduhan tak terhitung telah ditujukan
kepadaku tetapi tiada yang terlalu jauh dari kebenaran.
Mari kita awali dari permulaan. Semua orang menyalahkanku karena menghasut Hawa
agar memakan buah terlarang dan melupakan bagaimana semua persoalan ini bermula.
Tidak, ini tidak diawali dengan kesombonganku di hadapan Tuhan. Sebelum soal
yang lainnya, ada persoalan Tuhan menghadirkan manusia di depan kami dan
berharap kami membungkuk padanya yang kutanggapi dengan penolakan tegas dan
kuanggap memang pantas dilakukan walaupun para malaikat lainnya patuh. Apakah ?menurutmu layak bahwa, setelah menciptakanku dari api, Tuhan memintaku menunduk
di depan manusia yang Ia ciptakan dari lumpur hina" Oh, saudara-saudaraku,
katakana sejujurnya pikiranmu. Baiklah, kalau begitu, aku tahu kalian telah
memikirkannya dan takut bahwa apa pun yang dikatakan di sini tak akan hanya
diketahui oleh kita: Tuhan akan mendengar
semuanya dan pada suatu hari nanti Ia akan memanggilmu untuk
mempertanggungjawabkannya. Baiklah, lupakan mengapa Ia memberimu akal sejak
awal. Aku setuju, kau diperbolehkan merasa takut, dan aku akan melupakan
pertanyaan ini dan perdebatan tentang lumpur-lawan-api. Tetapi, ada sesuatu yang
tak akan pernah kulupakan ya, jelas, sesuatu yang akan selalu kubanggakan: Aku
?tak pernah menundukkan diri di hadapan manusia.
Bagaimanapun, inilah yang dilakukan oleh para empu baru Eropa itu, dan mereka
tidak puas dengan hanya menggambarkan dan memampangkan setiap detail warna mata,
kulit wajah, bentuk bibir, kerutan dahi, cincin dan rambut telinga lelaki yang
menjijikkan, para pendeta, para saudagar kaya, dan bahkan kaum perempuan
termasuk bayangan indah yang jatuh di antara payudara mereka. Para seniman ini
juga berani menempatkan subjek lukisan mereka di tengah halaman, seakanakan
manusia hendak disembah, dan memajang potret-potret itu seperti berhala di mana
kita seakanakan menundukkan diri di depannya. Apakah manusia cukup penting untuk
boleh digambarkan dalam setiap detail, termasuk bayangannya" Jika rumah rumah di
sebuah jalan digambar menurut anggapan salah manusia sehingga rumah rumah itu
secara bertahap berkurang ukurannya saat mengecil di kejauhan, tidakkah manusia
akan berhasil merampas tempat Allah di pusat dunia" Hm, Allah, yang mahabesar
dan mahakuasa lebih tahu daripadaku. Tetapi, tentu saja tak masuk akal
menyalahkanku atas gagasan lukisan potret ini. Aku, yang menolak merendahkan
diri di hadapan manusia menderita rasa sakit dan keterkucilan yang tak
terkatakan. Aku, yang terlempar dari karunia Tuhan hingga menjadi sasaran
kutukan. Akan lebih beralasan menuduhku bertanggung jawab atas bocah-bocah yang
merancap dan orangorang yang kentut sembarangan, seperti yang dikatakan oleh
beberapa pengkhotbah dan pemimpin agama,
Aku punya sebuah komentar terakhir mengenai permasalahan ini, tetapi kata kataku
tidak ditujukan pada orangorang yang tak bisa berpikir di luar hasrat mereka
untuk pamer, gairah kelamin mereka, nafsu terhadap uang, atau gairah tak masuk
akal lainnya! Hanya Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya yang tiada berbatas, yang
akan memahamiku: Tidakkah Kau yang telah memberi manusia sifat sombong dengan
menyuruh para malaikat menunduk di depannya" Kini mereka menganggap diri mereka
seperti anggapan para malaikat-Mu yang menunduk pada manusia atas perintah-Mu.
Manusia menyembah diri mereka sendiri, menempatkan diri mereka di pusat dunia.
Bahkan pelayanmu yang paling berbakti sekalipun ingin digambarkan dalam gaya
para empu kaum Frank. Aku mengetahuinya seperti aku mengetahui namaku sendiri
bahwa pemujaan diri ini akan berujung pada pelupaan-Mu secara keseluruhan. Dan
akulah satusatunya yang akan disalahkan.
Bagaimanakah aku harus meyakinkanmu bahwa aku tidak memasukkan semua ini ke
dalam hatiku" Tentu saja, dengan berdiri tegak di atas kedua kakiku sendiri,
terlepas dari berabadabad lemparan batu tak kenal belas kasihan, kutukan,
pelaknatan, dan celaan. Seandainya saja musuh-musuhku yang marah dan dangkal,
yang tak pernah lelah mengutukku, mau mengingat bahwa Tuhan sendiri yang telah
memberiku jatah umur hingga Hari Pembalasan, sementara mereka hanya diberi waktu
tak lebih daripada enam atau tujuh puluh tahun saja. Jika aku diminta memberi saran
pada mereka bahwa mereka bisa memanjangkan umur dengan minum kopi, aku tahu
benar, karena yang berkata adalah Setan, mereka justru akan melakukan hal yang
sebaliknya dan sama sekali menolak kopi, atau lebih buruk lagi, berdiri di atas
kepala mereka dan mencoba menuangkan kopi ke bokong mereka.
Jangan tertawa. Bukan itu intinya, melainkan bentuk pemikiranlah yang penting.
Bukan apa yang dilukis oleh seorang miniaturis, melainkan bagaimana gayanya.
Tetapi, hal-hal semacam ini sebaiknya dilakukan dengan halus. Aku akan
mengakhiri penuturanku dengan sebuah kisah cinta, tetapi nanti akan menjadi
terlalu larut. Lidah manis empu pendongeng yang memberiku suara malam ini
berjanji akan menceritakan sebuah kisah cinta apabila ia menggantung gambar
seorang perempuan lusa nanti, pada Rabu malam.[]
Bab 48 aku, shekure AKU BERMIMPI ayahku mengatakan padaku hal-hal yang tak dapat kupahami, dan mimpi
itu begitu menakutkan sehingga aku terjaga. Shevket dan Orhan memelukku dengan
erat di samping tubuhku, dan kehangatan mereka membuatku berkeringat. Tangan
Shevket terkulai di perutku, Orhan meletakkan kepalanya yang berkeringat di
dadaku. Aku beranjak dari ranjang dan meninggalkan kamar itu tanpa membangunkan


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Aku melintasi ruang tengah yang luas dan tanpa bersuara membuka pintu kamar
tempat Hitam tidur. Dalam temaram cahaya lilin yang kubawa, aku tak dapat
melihatnya, hanya tampak ujung kasur putih yang terhampar seperti sesosok tubuh
di tengah ruangan yang gelap dan dingin. Cahaya lilin tak mampu mencapai kasur
itu. Ketika aku lebih mendekatkan tanganku, cahaya lilin yang merah bersemu Jingga
menerangi wajah Hitam yang tampak letih dan tak tercukur, serta bahunya yang
telanjang. Aku mendekat padanya. Seperti yang dilakukan Orhan, ia tidur
meringkuk seperti seekor kutu, dan raut wajahnya tampak seperti seorang perawan
yang tengah terlelap. "Ini suamiku," ujarku pada diri sendiri. Ia terasa begitu
jauh, begitu asing, sehingga aku dilanda kesedihan. Seandainya aku punya belati,
aku akan membunuhnya tidak, aku tidak sungguhsungguh ingin melakukan hal ?seperti itu. Aku hanya bertanyatanya, seperti yang bisaa dilakukan anakanak
kecil, bagaimana jika aku membunuhnya. Aku tak percaya ia telah hidup
bertahuntahun dengan terus memikirkanku, biarpun ekspresi wajahnya tampak polos
kekanakkanakan. Aku menyodok bahunya dengan kaki telanjangku untuk membangunkannya. Saat
melihatku, ia lebih tampak terkejut daripada terpesona atau merasa senang,
walaupun hanya sesaat, tepat seperti yang kuharapkan. Sebelum ia sepenuhnya
tersadar, aku berkata, "Aku bermimpi bertemu ayahku. Ia mengatakan sesuatu yang
mengerikan padaku: Kaulah yang telah membunuhnya
"Bukankah kita sedang bersama saat ayahmu dibunuh?"
"Aku tahu," kataku. "Tetapi kau mengetahui bahwa pada saat itu ayahku sedang
sendirian di rumah."
"Aku tidak tahu. Kaulah yang menyuruh anakanak pergi dengan Hayriye. Hanya
Hayriye, dan mungkin Esther, yang mengetahuinya. Kau lebih tahu dariku siapa
lagi yang yang mungkin tahu."
"Berkali-kali kurasakan suara batinku hendak berkata padaku mengapa semuanya
menjadi makin buruk, rahasia atas kemalangan kita. Kubuka mulutku agar suara itu
berbicara, tetapi seakanakan dalam mimpi, aku tak mampu bersuara. Kau bukan lagi
Hitam yang baik dan lugu dari masa kecilku."
"Hitam yang lugu itu telah terusir olehmu dan ayahmu."
"Jika kau menikahiku untuk membalas dendam pada
ayahku, kau telah mencapai tujuanmu. Mungkin itu sebabnya anakanak tak
menyukaimu." "Aku tahu," ujarnya dengan sedih. "Sebelum tidur kau pergi ke bawah sebentar dan
mereka bernyanyi, 'Hitam, Hitam, lubang pantatku,' cukup nyaring untuk bisa
kudengar." "Seharusnya kau memukul mereka," kataku, setengah hati. Lalu kutambahkan dengan
panik, "Jika kaumain tangan pada mereka, aku akan membunuhmu."
"Naiklah ke ranjang," katanya. "Nanti kau mati kedinginan."
"Mungkin aku tak akan pernah naik ke ranjangmu. Mungkin kita telah melakukan
kesalahan dengan menikah. Mereka bilang upacara pernikahan kita tidak sah di
mata hukum. Tahukah kau, aku mendengar suara langkah kaki Hasan sebelum aku
tertidur" Tidak aneh, saat aku tinggal di rumah almarhum suamiku, aku mendengar
suara langkah kaki Hasan selama bertahuntahun. Anakanak menyukainya. Dan ia tak
punya belas kasihan. Ia memiliki sebilah pedang merah, berhati-hatilah
menghadapinya." Aku melihat sesuatu yang begitu letih dan tegang di mata Hitam sehingga aku tahu
aku tak akan bisa merasa takut padanya.
"Di antara kita berdua, kaulah yang lebih memiliki harapan dan yang lebih
sedih," kataku. "Aku hanya berjuang untuk tak menjadi tidak bahagia dan untuk
melindungi anakanakku, sedangkan kau dengan keras kepala mencoba membuktikan
diri. Ini bukan karena kau mencintaiku."
Ia berbicara panjang tentang betapa ia amat mencintaiku, betapa ia selalu
memikirkan diriku seorang di penginapanpenginapan terpencil, di pegunungan
pegunungan terasing, dan pada malammalam bersalju. Jika ia tak mengatakan semua
ini, aku pasti akan membangunkan anakanakku dan kembali ke rumah bekas suamiku.
Karena aku merasa terdorong, kukatakan kalimat-kalimat berikut ini, "Terkadang
rasanya bekas suamiku akan kembali suatu saat. Bukan karena aku takut tertangkap
basah di tengah malam bersamamu atau terpergok oleh anakanak, aku takut saat
kita berpelukan ia datang mengetuk pintu."
Kami mendengar raungan kucing berkelahi mempertahankan nyawa mereka tak jauh di
luar gerbang halaman rumah kami. Keributan ini diikuti oleh keheningan yang
panjang. Kurasa aku akan menangis tersedu. Aku tak bisa menaruh tempat lilinku
di ujung meja atau memalingkan kepalaku ke kamarku dan kembali bersama
anakanakku. Kukatakan pada diri sendiri bahwa aku tak akan meninggalkan kamar
ini hingga aku benarbenar yakin bahwa Hitam tak ada kaitan apa pun dengan
kematian ayahku. "Kau meremehkan kami," kataku pada Hitam, "Kau menjadi angkuh sejak kau
menikahiku. Tampak jelas kau melecehkan kami karena suamiku hilang, dan kini
setelah ayahku terbunuh kau jatuh kasihan pada kami."
"Shekureku yang kuhormati," ujarnya berjati-hati. Aku senang ia mengawalinya
seperti ini. "Kautahu sendiri, semua ini tak ada yang benar. Aku rela melakukan
apa pun untukmu." "Kalau begitu turunlah dari ranjangmu dan menunggu bersamaku dengan berdiri."
Mengapa kau mengatakan bahwa aku sedang menunggu"
"Aku tak bisa," ujarnya dengan tersipu malu, seraya
memberi isyarat pada selimut dan baju tidurnya.
Ia benar, tetapi aku tetap merasa terganggu karena ia tak memenuhi permintaanku.
"Sebelum ayahku dibunuh, kau memasuki rumah ini gemetar ketakutan seperti seekor
kucing yang menumpahkan susu," kataku. "Tetapi kini ketika kau memanggilku
'Shekureku yang kuhormati' rasanya hampa seakanakan kau hanya ingin kami ?mengetahui bahwa seperti itulah dirimu."
Aku gemetar, bukan karena marah, melainkan karena hawa dingin membekukan yang
merengkuh kakiku, punggungku, dan leherku.
"Naiklah ke tempat tidur dan jadilah istriku," ujarnya.
"Bagaimana penjahat yang membunuh ayahku akan ditemukan?" ujarku. "Jika
membutuhkan waktu lama sebelum ia ditemukan, tidak benar bagiku tinggal serumah
denganmu." "Terima kasih padamu dan Esther, Tuan Osman telah memusatkan seluruh
perhatiannya pada kudakuda itu."
"Tuan Osman adalah musuh almarhum ayahku. Kini ayahku yang malang bisa melihat
dari langit bahwa kau bergantung pada Tuan Osman untuk menemukan pembunuhnya.
Itu pasti akan membuatnya sangat sedih."
Hitam tibatiba saja bangkit dari tempat tidur dan menghampiriku. Aku bahkan tak
bisa bergerak. Namun, bertentangan dengan yang kuharapkan, ia hanya memadamkan
lilinku dengan tangannya dan berdiri di sana. Kami berada dalam kegelapan.
"Ayahmu sudah tak bisa lagi melihat kita," bisiknya. "Kita hanya berdua. Katakan
padaku kini, Shekure: Kau memberiku kesan, ketika aku kembali setelah dua belas
tahun, bahwa kau akan bisa mencintaiku, bahwa kau
akan bisa memberi ruang di hatimu untukku, Lalu kita menikah. Sejak itu kau
malah kian menjauhkan diri dari mencintaiku."
"Aku terpaksa menikahimu," bisikku.
Di sana, dalam kegelapan, tanpa belas kasihan, aku merasakan betapa kata kataku
menusuk dagingnya seperti kuku-kuku tajam seperti yang pernah diungkapkan oleh
?penyair Fuzuli. "Jika aku bisa mencintaimu, aku akan mencintaimu ketika aku masih bocah,"
bisikku lagi. "Kalau begitu katakan padaku, peri cantik dalam kegelapan," katanya. "Kau pasti
telah memata-matai semua miniaturis yang sering mengunjungi rumahmu dan mengenal
mereka. Menurutmu, yang mana pembunuhnya?"
Aku senang ia masih bisa menjaga selera humornya. Lagi pula, ia adalah suamiku.
"Aku kedinginan."
Apakah aku sungguhsungguh telah mengatakan kalimat ini, aku tak ingat lagi. Kami
mulai berciuman. Seraya memeluknya dalam gelap, masih memegang lilin dengan satu
tangan, kulumat lidahnya yang bagai beludru di dalam mulutku, dan air mataku,
rambutku, baju tidurku, tubuhku yang gemetar, dan bahkan tubuhnya penuh dengan
keajaiban. Menghangatkan hidungku pada pipinya yang panas juga terasa
menyenangkan, tetapi Shekure yang malumalu ini menahan diri. Saat aku
menciumnya, aku tak membiarkan diriku terhanyut atau menjatuhkan lilin,melainkan
berpikir tentang ayahku yang sedang menyaksikanku, dan memikirkan bekas suamiku,
serta anakanakku yang tengah tertidur di ranjang.
"Ada seseorang di dalam rumah," pekikku. Kudorong Hitam dan bergegas keluar
menuju ruang tengah.[] Bab 49 aku dinamai hitam DENGAN HENING dan tanpa terlihat, disamarkan oleh kegelapan subuh, aku pergi
seperti seorang tamu yang bersalah dan berjalan tanpa henti melintasi jalanan
berlumpur. Di Bayazid, aku berwudu di halaman, masuk ke dalam masjid, dan
menunaikan salat subuh. Di dalam masjid tak ada orang lain, selain Imam Effendi
dan seorang lelaki tua yang bisa tertidur saat melakukan salat sebuah bakat ?langka yang hanya bisa dicapai melalui latihan sepanjang hayat. Kautahu betapa
Serikat Candu Iblis 2 Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah Rahasia Kampung Garuda 9
^