Kisah Cinta 2
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella Bagian 2
sudah mendapatkan kembali tenagaku." Kemudian Sarita mengalihkan
pembicaraan. "Di manakah sarapan pagi yang kausiapkan untukku?"
"Ya Tuhan!" Marcia kembali berseru, "Aku meletakkannya di depan pintu
rumahmu." "Tampaknya aku harus segera pulang sebelum rotimu dingin."
Marcia langsung melompat berdiri.
Saritapun berdiri dan membiarkan pemuda itu memimpinnya pulang ke
rumah mungilnya. Perjalanan pulang itu tidak dapat dikatakan sebagai perjalanan yang
sunyi. Setiap kali mereka berjumpa dengan seseorang, dapat dipastikan
mereka akan disapa. Mereka yang jauh lebih tua, menyapa Sarita dengan
ramah dan menyampaikan bela sungkawanya atas kematian Duke.
"Sarita, kau sudah kembali?" kata orang pertama yang berpapasan
dengan mereka. "Sarita, aku turut bersedih," kata yang kedua.
"Apakah kabar itu benar, Sarita?" kata yang lain, "Aku turut bersedih.
Duke adalah pria yang baik."
"Selamat datang lagi, Sarita," sapaan lain yang diterima Sarita.
"Apakah rencanamu setelah ini?" tanya mereka penuh kepedulian.
Dan ketika mereka berjumpa dengan pemuda-pemudi sebaya, mereka
akan mengolok-olok Marcia.
"Marcia, kau sudah mengawal Sarita lagi!" seru mereka.
"Wah" wah" lihatlah Marcia. Sekarang ia menjadi pengawal sang Lady
Sarita." "Lihatlah Marcia! Ia tidak mau orang lain mendekati Sarita."
"Marcia, apa aku boleh berkencan dengan Sarita?"
"Marcia, pagi-pagi ini kau sudah mengajak Sarita berkencan!?"
Marcia, seperti biasa, marah-marah atas olok-olokan itu.
"Kami hanya teman!" gerutunya setiap saat.
Sarita hanya tersenyum. Ia sama sekali tidak tersinggung oleh olokolokan mereka. Sarita tahu mereka hanya bercanda dan di balik semua
itu, Sarita dapat merasakan jiwa persaudaraan mereka.
Sarita juga tahu Marcia menyukainya sejak enam tahun lalu. Sarita juga
menyukai Marcia tetapi tidak akan lebih dari seorang teman.
Enam tahun lalu, ketika ayahnya terbaring sakit, Marcia selalu
menyempatkan diri untuk menemaninya. Ia selalu membawa serta
makanan untuk Sarita dan bercanda dengan Sarita untuk mengusir
kesedihannya. Ketika ayahnya meninggal, Marcia adalah orang pertama
yang menghiburnya. Kemudian ketika Sarita dibawa pergi Duke Norbert,
ia adalah orang yang paling sedih. Marcia juga adalah orang selalu
merawat kebun mungilnya selama ia tidak ada di Hauppauge. Setelahnya,
setiap kali Sarita datang ke Hauppauge, Marcia selalu mencuri waktu
untuk menemaninya. Ini adalah hal di antara mereka berdua tapi seisi desa mengetahuinya.
Sarita baru saja datang kemarin sore tapi setiap orang sudah tahu apa
yang terjadi. Sarita mendesah panjang. "Inilah bedanya kota dan desa."
"Ada apa, Sarita?" tanya Marcia cemas, "Apa kau merasa tidak enak
badan" Biar kulihat!" tangan Marcia terulur ke kening Sarita.
"Aku tidak apa-apa," Sarita menghindar.
"Marcia tidak akan pernah mengerti," pikir Sarita dan ia membuka pintu
pagarnya. Sarita tertegun. Sebotol susu terguling di depan pintu rumah mungilnya "
mengotori teras yang baru dibersihkannya pagi ini dan membasahi roti
yang dibawa Marcia pula untuknya.
"Ya Tuhan!" Marcia terpekik kaget, "Aku begitu tergesa-gesa sehingga
membuat kecerobohan!"
"Tidak apa," Sarita membungkuk mengambil botol yang hampir kosong
dan roti basah itu. Marcia menyambar botol beserta roti di tangan Sarita. "Aku akan segera
membawa yang baru." Sebelum Sarita sempat mencegah, Marcia sudah
berlari pulang. Inilah Marcia. Bila Sarita tidak segera menjawab ketukan pintunya di pagi
hari, ia akan berteriak-teriak membangunkan Sarita. Jika ia masih tidak
menemukan Sarita, ia akan berlari pontang-panting mencarinya ke setiap
sudut desa dan akhirnya menemukan Sarita di bukit padang rumput yang
sama. Marcia benar-benar seorang pemuda yang menarik. Hanya ada satu
tempat yang dituju Sarita seteiap pagi, namun Marcia selalu mencarinya
ke mana-mana sebelum pergi ke bukit itu.
"Sarita!" Marcia mengetuk pintu ketika Sarita mencuci kain yang baru
digunakannya untuk membersihkan teras.
Sarita segera menjemur kain itu di atas perapian.
"Sarita!" seru Marcia lagi, "Kau masih di dalam?"
"Ya, aku masih di sini," Sarita membuka pintu.
Marcia terlihat begitu lega.
"Kau masih tidak berubah," Sarita tersenyum " menerima roti dan susu
baru dari Marcia. Marcia mempersilakan dirinya sendiri masuk ketika Sarita mengambil
gelas dan piring. "Kau ingat, Marcia," Sarita terkenang, "Papa selalu marah-marah setiap
kali kau berteriak-teriak memanggilku." Sarita tersenyum mengingat
omelan ayahnya setiap kali Marcia mulai berteriak-teriak membangunkan
Sarita. "Segera tutup mulut bocah itu!" kata Ithnan setiap kali ia terbangun oleh
seruan Marcia. Ketika keadaan ayahnya mulai memburuk, Sarita selalu menunggu Marcia
di depan pintu. Ia tidak mau Marcia membangunkan ayahnya yang
membutuhkan banyak istirahat.
"Jangan membicarakan hal itu!" potong Marcia tidak senang, "Kenangan
itu hanya akan membuatmu semakin bersedih. Sebaiknya kau segera
melupakannya." Sarita terdiam. Ia membuka lemari lain di dinding untuk mencari sesuatu
yang bisa disajikan bersama roti dan susu itu. Saat itulah Sarita sadar
dapurnya kosong! Tampaknya inilah saat yang tepat untuk menggunakan uang
simpanannya. "Maafkan aku," Sarita meletakkan piring berisi roti yang sudah diirisnya
dan segelas susu di depan Marcia. "Aku tidak mempunyai apapun untuk
disajikan." "Apa yang kauperlukan?" tanya Marcia, "Aku akan mengambilnya di
rumah." "Tidak perlu," Sarita mengambil gelas susunya beserta piring dan
peralatan makan untuk mereka. "Siang ini aku akan pergi membelinya.
Aku harus membeli banyak barang untuk hari-hari mendatang."
"Kau akan tinggal di sini?" Marcia bertanya antusias.
Sarita meletakkan piring-piring itu dan gelasnya kemudian duduk di
depan Marcia. "Ya," jawabnya singkat.
"Apa saja yang kauperlukan?" Marcia bertanya penuh semangat, "Aku
akan membelinya untukmu."
"Aku masih belum memikirkannya."
"Ya Tuhan!" Marcia mengejutkan Sarita, "Aku berjanji pada Ayah untuk
menemaninya ke pasar hewan."
"Segeralah pulang sebelum ayahmu marah," Sarita tersenyum. "Aku tidak
terburu-buru. Aku bisa membelinya besok."
"Apa yang selanjutnya akan kaulakukan?"
Sarita menatap kosong roti dan susu hangatnya. Selera makannya masih
belum pulih. "Aku akan mencari pekerjaan dan menanam sayur-sayuran
untuk diriku sendiri.?"
"Kau bisa menjadi guru!" usul Marcia.
Sarita melihat pemuda itu.
"Kau bisa membaca, menulis. Kau lebih berpendidikan dari kami," desak
Marcia. "Penduduk desa pasti senang kalau kau mau menjadi guru."
Sarita tersenyum. "Ya, itu adalah usul yang bagus. Aku sama sekali tidak
memikirkannya. Namun, Marcia, aku membutuhkan tempat untuk
mengajar dan buku serta peralatan tulis."
"Kami akan membangunnya untukmu," Marcia berkata penuh semangat,
"Penduduk desa pasti dengan senang hati membangun tempat mengajar
bagimu. Kami akan berurunan membeli segala yang kauperlukan."
"Terima kasih, Marcia," kata Sarita, "Itu adalah ide yang sangat baik. Aku
akan dengan senang hati membagi apa yang kuketahui pada kalian.
Namun." "Sudah diputuskan!" Marcia berdiri, "Aku akan membicarakannya dengan
ayah ibu sebelum merundingkannya dengan yang lain!"
"Marcia!" Sarita mencoba menghentikan pemuda itu.
Marcia tidak mendengar Sarita. Ia terus berlari pulang.
Sarita menyukai ide mengajar penduduk desa kecil ini. Namun Sarita
tidak suka ide dibayar dan merepotkan mereka untuk kepentingan
mengajarnya. Sarita tidak keberatan bila mereka mau membangun
gedung sekolah untuknya. Sarita keberatan bila mereka harus
mengeluarkan uang untuk buku-buku pelajaran yang ingin digunakannya
beserta peralatan belajar mengajar. Sarita ingin bekerja selama gedung
itu dibangun dan setelahnya, ia akan menggunakan uang hasil kerjanya
untuk membeli peralatan belajar mengajar.
"Sarita," Marcia berseru.
Sarita langsung keluar. Marcia sudah berada dalam pekarangan
rumahnya sendiri. "Sore ini datanglah untuk makan malam bersama kami. Ayah ibu pasti
senang melihatmu." "Terima kasih, Marcia," kata Sarita, "Hari ini aku ingin menyendiri. Besok
sore aku akan bergabung dalam acara makan malam kalian."
"Baiklah," kata Marcia.
"Marcia, tunggu!" cegah Sarita melihat pemuda itu membalikkan badan.
"Aku akan memberi kabar," pemuda itu berlari ke rumah tepat di sisi
kanan rumah Sarita. Karena rumah Sarita adalah milik Marcia pada awalnya, rumah mereka
adalah satu-satunya rumah yang bertetangga dekat di desa pertanian ini.
Hanya sebaris pagar setinggi pinggang yang membatasi taman kecil
Sarita dengan peternakan keluarga Marcia. Sarita melihat Marcia masuk
ke dalam rumah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Saritapun kembali ke rumahnya untuk meringkas meja. Sarita
menyimpan kembali susu yang tidak tersentuh itu di dalam botolnya dan
membiarkan roti itu di atas meja.
Seperti yang dikatakan Sarita pada Marcia, sepanjang hari itu ia
menyendiri di dalam rumahnya " di dalam dunianya. Ia duduk berjamjam di depan nisan ayahnya dengan mata dan pikiran kosong. Ia
melamun di dalam rumah mungilnya. Ia mengenang saat-saat terakhir
bersama ayahnya di rumah ini.
Sarita sama sekali tidak terusik oleh kegelapan ketika malam menjelang.
Gelapnya rumahnya yang tanpa penerangan membuat Marcia menduga
gadis itu tidur sehingga ia tidak mengganggunya.
Seseungguhnya, Sarita duduk di sisi tempat tidur seperti yang biasa
dilakukannya enam tahun lalu. Kakinya merapat di dadanya dan
kepalanya merebah di atas kedua lutunya sementara tangannya memeluk
rapat-rapat lututnya. Sarita merasa begitu kesepian. Ia merindukan saat-saat menjaga
ayahnya yang terbaring sakit, saat-saat Duke Norbert membuatnya panik
sepanjang malam. Sarita tidak menangis. Ia sudah sudah tidak bisa menangis lagi. Ia terlalu
sedih dan kesepian untuk dapat menangis.
Ia tidak merasa begitu kesepian seperti ini ketika ia masih berada di
Sternberg setelah kematian Duke. Sarita juga tidak merasa kesepian
seperti ini ketika ayahnya meninggal enam tahun lalu.
Sarita tahu ia masih terlalu kecil enam tahun lalu untuk mengerti arti
kesepian. Walau tidak diragukan Sarita lebih dewasa dari anak-anak
seusianya, ia masih belum memahami apa arti perpisahan kekal.
Apa yang bisa diharapkan dari gadis yang belum genap sebelas tahun"
Sarita tidak tahu mengapa ia tidak merasa kesepian seperti ini dalam
seminggu terakhir di Sternberg itu.
Sarita tidak tahu bagaimana ia harus melewati hari-hari sepi mendatang.
Namun ia tidak akan menyerah. Ayahnya selalu mengajarkannya untuk
tidak mudah putus asa. Sepanjang malam itu, Sarita hanya meringkuk di sisi tempat tidur tanpa
bisa memejamkan mata. Ketika sinar matahari mulai memasuki kamar,
barulah Sarita sadar bertapa lamanya ia duduk melamun dengan pikiran
kosong. Sarita segera menemui ayahnya untuk mengucapkan selamat pagi.
"Sarita! Sarita!"
Sarita yang baru saja mencapai nisan ayahnya, mau tak mau berbalik.
"Selamat pagi, Sarita," Marcia tersenyum di depan pagar. "Lihatlah apa
yang kubawa untukmu," ia mengangkat sebuah keranjang.
"Masuklah," kata Sarita, "Aku ingin menemui Papa dan setelah itu aku
akan bergabung denganmu."
"Baiklah," Marciapun mempersilakan dirinya sendiri sementara Sarita
menyampaikan selamat paginya dengan cepat kepada ayahnya.
Ketika Sarita kembali, Marcia menatap Sarita dengan pandangan tidak
senangnya. "Kau sama sekali tidak makan," katanya menyalahkan.
"Aku tidak mempunyai apa pun untuk menambah rasa pada roti itu,"
Sarita mencari alasan dengan cepat.
"Hari ini aku membawanya untukmu," Marcia tersenyum penuh
kebanggaan dan ia segera membongkar isi keranjangnya di atas meja.
"Aku membawa roti, susu, keju, madu," katanya sambil mengeluarkan
barang-barang itu satu per satu, "Mentega, gula, , garam, dan rempahrempah."
Sarita terperangah. "Ketika aku mengatakan pada ibu kau tidak mempunyai apapun di
dapurmu, ia menyuruhku membawa ini untukmu."
"Sampaikan terima kasihku padanya."
"Ayah juga mengijinkan aku untuk menemanimu ke kota hari ini."
"Tidak perlu, Marcia," Sarita tidak ingin menyita waktu pemuda itu.
Marcia adalah adalah satu-satunya penerus pertanian keluarganya. Ia
sangat dibutuhkan di ladang mereka. "Aku bisa pergi sendiri."
"Kau pasti membutuhkan orang untuk membawa barang-barangmu."
Sarita lepas tangan. Sinar mata pemuda itu sudah mengatakan ia tidak
bisa dicegah. Segera setelah memaksakan diri untuk menyantap seiris roti dan segelas
susu di hadapan Marcia, Sarita segera membersihkan meja.
Marcia pulang untuk menyiapkan gerobak kudanya ketika Sarita bersiapsiap.
Sarita hanya menyisir rambut dan mengambil uangnya. Sesaat kemudian
ia sudah menanti Marcia di depan rumah.
Seawal mungkin mereka pergi ke kota, semakin cepat pula Sarita dapat
mengembalikan Marcia pada keluarganya.
Sarita tidak perlu khawatir toko-toko di kota terdekat masih tutup. Inilah
bedanya kota besar dan kota kecil. Kota besar adalah kota malam dan
kota kecil adalah kota pagi. Pada pukul delapan pagi dapat dipastikan
semua orang sudah terjaga dan pada sekitar pukul sepuluh malam tiap
orang sudah berada di seluruh rumah mereka masing-masing " bersiapsiap untuk tidur.
Baru saja mereka meninggalkan Hauppauge ketika sebuah kereta
menghadang jalan mereka. "Hei!" seru Marcia marah pada kereta yang melintang di tengah jalan itu,
"Apa kalian tidak tahu cara menggunakan jalan!?"
"Inikah si gadis kota yang terkenal itu?" sebuah suara terdengar dari
dalam kereta. Marcia melintangkan tangan di depan Sarita. "Siapa kau!" Tunjukan
dirimu!" Seorang pria menunjukkan kepalanya di jendela. "Ia lebih cantik dari
yang dikabarkan," pemuda itu tersenyum puas.
"Tuan Jason," Marcia terperanjat, "Sarita tidak punya hutang pada Anda.
Jangan ganggu dia," pintanya.
Sarita tertarik mengapa Marcia tampak begitu takut pada pria sombong
itu. "Sarita?" ulang pemuda itu, "Nama yang indah."
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa dia, Marcia?" tanya Sarita.
"Kau juga punya suara yang indah," seru Jason gembira, "Sudah
diputuskan! Aku menginginkanmu!"
Marcia terperanjat. Sarita juga tidak kalah kagetnya. Ternyata pemuda sombong ini tidak
lebih dari seorang pria mata keranjang. Seharusnya ia mengetahuinya
ketika ia melihat cara pemuda itu melihatnya.
"Terima kasih, Tuan Jason," Sarita menolak sopan, "Saya sungguh
tersanjung namun saya tidak pantas untuk Anda."
Pria itu tertawa. "Kau bermulut manis. Aku benar-benar
menginginkanmu!" Baru saja pemuda itu berkata ketika dua orang pria kekar muncul dari sisi
kereta yang tidak dapat dilihat mereka.
Sarita tidak tahu apa tujuan dua pria itu sehingga ia tidak siap ketika
mereka menariknya turun dengan paksa. Begitu kerasnya tarikan mereka
sehingga Sarita akan jatuh ke tanah bila mereka tidak menggenggam
kuat-kuat pergelangan tangannya.
"Lepaskan Sarita!" Marcia meloncat turun.
"Jangan menghalangi Tuan Muda Jason!" seorang dari pria itu
menghantamkan tinjunya ke wajah Marcia.
Marcia jatuh terpelanting. Kepalanya membentur roda kereta dengan
keras. "MARCIA!!!" Sarita berusaha melepaskan diri.
Kedua pria itu menyeret Sarita ke pintu kereta Jason di sisi lain.
"Lepaskan!" Sarita memberontak, "Lepaskan aku!" Sarita kian cemas
melihat Marcia tidak juga berdiri, "Apa yang akan kaulakukan kalau ia
mati!?" Sarita menatap tajam pada pria di dalam kereta.
"Nyawa pemuda ingusan itu tidak ada artinya bagiku," Jason berkata
dengan sombongnya. "Apa nyawamu tidak berarti!?" serang Sarita, "Apa kau pikir aku akan
menutup mulut" Apa kaupikir mereka tidak akan melepaskanmu!?"
Pemuda itu tertawa tertawa mengejek Sarita. "Mereka tidak mungkin
melakukannya." "Mungkin," Sarita berkata dingin, "Namun aku tidak takut padamu. Kau
boleh membunuhku pula namun setelah itu orang-orang akan bertanyatanya siapa pembunuh kami. Seorang yang melihat kejadian ini pasti
mengatakan salah seorang dari bawahanmu yang melakukannya."
Kalimat Sarita membuat pria yang menghantam Marcia melepaskan
cengkeramannya. "Dan mereka pasti mengatakan kaulah yang memerintah mereka demi
nyawa mereka sendiri," Sarita melanjutkan dengan tenang, "Kau tahu
apa artinya itu, bukan?"
"Ah, aku melihat seseorang mendekat. Ia pasti melihat semuanya,"
tambah Sarita pula. "Lepaskan dia!" Jason berkata panik, "Segera tinggalkan tempat ini."
Dalam sekejap mereka sudah menjauh " meninggalkan Sarita yang
berpuas diri. Seorang pria kaya dan sombong yang lebih suka menyuruh
bawahannya selama ia bersembunyi di tempat aman, dapat dipastikan
adalah pengecut. Marcia mengenang kesakitan.
Perhatian Sarita langsung teralih. "Marcia, kau tidak apa-apa?" tanyanya
cemas. Marcia memegang kepalanya.
"Kau berdarah!" pekik Sarita melihat tangan Marcia yang memerah. "Kita
pulang saat ini juga," Sarita membantu Marcia berdiri, "Lukamu harus
segera diobati!" Sarita membantu Marcia berbaring di dalam gerobak kemudian ia
melajukan kereta kembali ke desa.
Ayah ibu Marcia begitu cemas melihat luka putra satu-satunya mereka.
Mereka segera mengobati luka Marcia.
Ketika Sarita membantu ibu Marcia merawat luka di kepala Marcia itulah,
ia mengetahui siapa pemuda itu. Dari orang tua Marcia, Sarita mendengar
bahwa Jason adalah putra keluarga Burnap, pedagang kaya yang
belakangan ini sukses. Ia adalah satu-satunya pria dalam tiga
bersaudaranya dan ia adalah anak bungsu. Kakak-kakaknya dan orang
tuanya sangat mencintainya. Apapun permintaan Jason, selalu dikabulkan
keluarga Burnap. Yang lebih tidak menguntungkan adalah Jason seorang
pemuda sombong yang berwatak buruk. Ia suka memeras orang lain. Ia
juga tidak ragu-ragu merebut milik orang lain.
Selain memberitahu siapa Jason, orang tua Marcia juga memperingatkan
Sarita untuk berhati-hati pada Jason. Bila apa yang dikatakan Jason
padanya memang serius, Jason pasti akan muncul kembali untuk
menccarinya. Yang tidak Sarita pahami adalah bagaimana Jason tahu tentangnya"
Sarita mendesah panjang. "Inilah bedanya kota besar dengan tempat
terpencil," gumamnya.
Kejadian seremeh apa pun pasti segera menjalar ke seluruh pelosok
dengan cepat. Sarita tidak akan kaget kalau saat ini semua penduduk
Hauppauge tahu mereka diserang Jason dan sekarang Marcia terluka.
Sarita ingin menjaga Marcia, namun orang tua Marcia menyuruhnya
pulang. "Kau juga juga perlu istirahat," kata mereka, "Kejadian ini pasti
mengagetkanmu." Mereka juga berjanji akan memberi kabar pada Sarita bila terjadi sesuatu
pada Marcia entah itu baik atau buruk.
Sarita berharap Marcia tidak apa-apa. Ia tidak mau menjadi penyebab
celakanya pemuda itu. Baru saja ia berharap ketika ia mendengar
ketukan di pintu. Sarita berharap orang tua Marcia tidak datang untuk memberitahu
keadaan Marcia memburuk. "Selamat siang, manis," Jason berdiri di depan pintu dengan senyum
liciknya. Sarita terperanjat. "B-bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Mengapa tidak?" Jason menerobos masuk diikuti kedua pengawalnya.
"Siapa yang mempersilakanmu masuk!?" tegur Sarita.
"Kaupikir ini rumah siapa?" balas Jason, "Ini adalah rumah ayahku. Kau
tidak berhak tinggal di sini."
"Apa kau kira aku percaya?" Sarita tidak gentar, "Rumah ini telah resmi
menjadi milikku!" "Mana buktinya?" tanya Jason. "Ini adalah bukti rumah ini adalah milik
ayahku," Jason mengeluarkan sebuah kertas yang menyatakan rumah
kecil ini adalah milik keluarga Burnap.
"I-itu tidak mungkin," kata Sarita, "Norbert membelinya."
"Kau sudah tinggal di tempat ini selama bertahun-tahun, bagaimana kau
akan membayar hutangmu?" Jason memegang dagu Sarita.
"Lepaskan!" Sarita menampar wajah Jason.
Dua pengawal Jason langsung mencekal Sarita.
"Apa yang kaulakukan padaku, perempuan sial!?" Jason mencengkeram
rambut Sarita. "Mengajarimu adat," jawab Sarita tenang " menolak menunjukkan
kesakitannya. "Akulah yang akan memberimu pelajaran, perempuan," Jason menarik
rambut Sarita sehingga wajah menengadah ke arahnya. Dengan
mulutnya, ia mulai menjelajahi leher jenjang Sarita.
"Lepaskan!" Sarita memberontak dengan jijik.
Dua pria di sisi Sarita memegang tangan gadis itu kuat-kuat sementara
Jason menjelajahi leher Sarita dan dada gadis itu.
"HENTIKAN!!!" pekik Sarita ketika ciuman Jason semakin turun ke
dadanya. Tubuhnya merinding jijik dan ketakutan.
Jason membuka kancing di sepanjang dada Sarita.
"Apa yang kaulakukan padanya, bajingan!?"
Chapter 6 Halbert memegang pundak Jason dan menjatuhkan tinju yang keras di
wajah pemuda itu. Sarita terbelalak. Mengapa Pangeran Halbert berada di tempat ini"
Halbert sendiri juga tidak tahu mengapa ia masih berada di tempat ini.
Hari itu setelah melihat pemuda itu datang dengan dokter, ia memang
memutuskan untuk pergi. Tapi ia tidak pergi ke villa tempat ia tinggal
selama di Trottanilla, melainkan ke kota terdekat, kota asal dokter itu. Di
sana Halbert menyewa kamar untuknya dan pengawal-pengawalnya di
sebuah penginapan. Tidak hanya itu saja yang Halbert lakukan. Halbert mengirim pelayannya
pulang untuk mengabari Wyatt, pelayan dan pengurus pribadinya. Selain
itu, Halbert meminta dua pengawalnya untuk secara bergantian
mengawasi Sarita. Setiap tiga jam pengawalnya yang mengawasi Sarita
akan pulang ke penginapan untuk melaporkan perkembangan dan di saat
yang bersamaan pengawal di sisinya akan berangkat ke Hauppauge.
Sebagai jawaban kabar yang dikirim Halbert, Wyatt, sang pelayan tengah
bayanya datang. "Pangeran sampai kapankah Anda akan berada di sini?" protes Wyatt,
"Bukankah ini sudah waktunya kita kembali ke Helsnivia" Paduka Ratu
sudah merindukan Anda. Paduka Raja hanya mengijinkan Anda
memperpanjang liburan Anda sampai penguburan Duke of Cookelt."
"Kita tidak akan pergi sebelum aku yakin sesuatu," tegas Halbert.
"Bila Anda berkenan," kata Wyatt, "Apakah itu, Pangeran?"
Halbert tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Saat inipun ia tidak punya
jawaban. Dari pengawalnya, ia tahu Sarita tidak tinggal serumah dengan pemuda
itu. Namun ia juga tahu kemarin pagi Sarita berduaan dengan pemuda itu
sepanjang pagi kemudian Sarita mengurung diri di dalam rumah
mungilnya. Dari pengawalnya pulalah, Halbert tahu pagi ini Sarita
diserang orang tak dikenal.
"Seseorang menyerang Lady Sarita, Pangeran," lapor pengawalnya
sekitar satu jam yang lalu, "Pria yang selalu terlihat bersama Lady Sarita
menolongnya." Halbert lega tapi juga tidak senang.
"Baru saja saya melihat kereta penyerang Lady Sarita menuju kediaman
Lady Sarita." "Segera siapkan kuda!" Halbert langsung memerintah.
Sesaat kemudian ia sudah memacu kudanya ke Hauppauge. Jalanan terjal
yang biasa ditempuh dalam satu jam, dapat ditempuh dalam jangka
waktu setengah jam oleh kuda-kuda tangguh Halbert bahkan kurang.
Halbert terus berharap ia datang tepat waktu. Ia sempat menduga ia
terlambat ketika melihat pintu rumah Sarita terbuka lebar. Betapa
murkanya ia melihat seorang pemuda yang tidak jauh lebih tua darinya
tengah bertindak tidak sopan pada Sarita.
"Anda tidak apa-apa, Yang Mulia Pangeran?" pengawal Halbert yang
masuk beberapa saat kemudian, cemas oleh suara benturan keras sesaat
lalu. Dua pria yang mencekal Sarita langsung melepaskan Sarita mendengar
sebutan "Yang Mulia Pangeran" itu. Mereka segera membantu Jason
berdiri dan kabur sebelum ditangkap.
"Biarkan pengecut-pengecut itu," cegah Halbert ketika para pengawalnya
berniat mengejar. Kalau ini adalah Helsnivia, ia pasti sudah menggantung
pemuda kurang ajar itu tetapi ini adalah Trottanilla.
Dua pengawal Halbert pun berdiri tegak.
Halbert mengalihkan perhatiannya pada Sarita yang berdiri mematung.
Gadis itu tidak jauh lebih baik dari yang terakhir dilihatnya. Halbert masih
dapat melihat garis hitam di bawah sepasang mata biru dalam itu. ia
masih dapat melihat jelas guratan-guratan kesedihan gadis itu. Malahan
ia merasa Sarita lebih kurus dari sebelumnya.
"Kau tidak apa-apa?" Halbert menyampirkan jasnya di pundak Sarita.
Saat itulah Sarita mendapatkan kembali kesadarannya. "S-sa"," tubuh
Sarita jatuh lemas. Halbert menangkap Sarita.
"Sarita! Sarita!" terdengar teriakan Marcia. "Kau tidak apa-apa" Aku
melihat kereta keluarga Burnap baru saja pergi. Mengapa banyak kuda
di," Marcia terperangah melihat dua pria berseragam di ruang kecil itu
dan seorang pria berbaju mahal memeluk Sarita.
"Siapa kau?" tanya Marcia waspada.
"Aku tidak apa-apa," jawab Sarita " benar-benar pulih dari kekagetannya.
Sarita berpegang pada lengan Halbert dan mencoba berdiri tegak namun
tubuhnya masih bergetar. Halbert membimbing Sarita duduk.
"Apa Jason tidak mencelakaimu!?" Marcia mencengkeram pundak Sarita,
"Apa ia tidak melakukan sesuatu padamu!?"
"Jangan khawatir," jawab Sarita, "Jason hanya datang menagih hutang
atas rumah ini." "Bagaimana mungkin!?" tanya Marcia, "Rumah ini sudah menjadi milikmu
sejak Duke membelinya. Tempat ini tidak pernah menjadi milik mereka!"
"Aku pun tidak tahu," jawa Sarita. "Ia mempunyai bukti kepemilikan
rumah ini." "Tidak mungkin!"
Halbert mulai merasa ia diabaikan.
"Aku akan menghubungi pengacara keluarga Riddick. Ia adalah orang
yang mengurus pembelian rumah ini dari kalian. Aku yakin rumah ini
milikku dan aku tidak punya kewajiban apa-apa pada keluarga Burnap."
"Percuma, Sarita," sergah Marcia, "Tujuan mereka bukan rumah ini tapi
kau! Tuan Jason menginginkanmu dan ia pasti melakukan apa saja untuk
mendapatkanmu! Pengacara keluarga Riddick tidak dapat membantumu.
Menikahlah denganku. Hanya itulah satu-satunya cara menghentikan
Tuan Jason." Halbert membelalak. Sarita dilamar di hadapannya!
"Terima kasih, Marcia," Sarita melepaskan tangan tangan Marcia dari
pundaknya. "Aku tidak ingin membuatmu menikahiku hanya untuk
menolongku." "Aku serius!" tegas Marcia, "Aku tidak menawarkan pernikahan dengan
main-main. Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu sejak pertama kita
bertemu. Aku terus mencintaimu ketika kau pergi. Sekarang kau telah
kembali. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi."
"Apa yang sedang dipikirkan pemuda ini?" gerutu Halbert, "Ia sama sekali
tidak memandangku. Memangnya hanya ia yang bisa membantu Sarita!?"
"Kurasa jalan yang terbaik adalah meninggalkan tempat ini," Halbert
memberi pendapat. "Sesuai dengan kata Anda, Lady Sarita, Jason tidak
akan dapat menguasai tempat ini karena tempat ini secara sah adalah
milik Anda." Sarita tersenyum. "Saya juga berpikir itu adalah cara yang tercepat dan
terbaik." Halbert puas oleh kemenangan.
Satu-satunya orang yang tidak senang adalah Marcia. "Siapa dia,
Sarita!?" tuntutnya, "Mengapa ia ada di sini?"
Sarita tidak tahu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Halbert
adalah Putra Mahkota Kerajaan Helsnivia. Apa hubungan Halbert
dengannya" Sarita tidak tahu. Teman" Walau mereka pergi bersama
beberapa kali, mereka tidak pernah bicara seperti teman. Sebaliknya,
mereka hanya berdiam diri.
"Perkenalkan, nama saya adalah Halbert Severinghaus," jawab Halbert
sebelum Sarita menemukan jawaban, "Saya adalah kawan Sarita. Senang
berkenalan dengan Anda," Halbert mengulurkan tangan.
Marcia melihat Sarita. Sarita tidak tahu harus berbuat apa.
Marcia menepis uluran tangan Halbert dan pergi dengan kesal.
Halbert kebingungan. "Biarkan dia," kata Sarita terkenang kejadian serupa enam tahun lalu.
Enam tahun lalu ketika Duke Norbert datang menjemputnya dengan
kereta kudanya yang mewah, Marcia langsung berlari mencarinya.
"Siapa dia, Sarita?" tuntutnya.
Sama seperti saat ini, Duke mendahului Sarita.
"Perkenalkan saya adalah Norbert Riddick, Duke of Cookelt. Saya adalah
teman ayah Sarita dan saya datang untuk menjemputnya."
Duke juga mengulurkan tangan pada Marcia namun Marcia menepisnya
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan berlari pergi tanpa berpamitan.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Halbert " melihat Sarita berdiri.
"Saya akan menemui Graham. Saya perlu bukti rumah ini adalah milik
saya. Entah itu bukti pembelian rumah ini atau secoret kertas, saya harus
yakin rumah ini tidak pernah menjadi milik keluarga Burnap!"
Begitu pentingnyakah rumah kecil ini hingga Sarita merasa ia perlu
memastikan bukti kepemilikannya atas bangunan yang lebih cocok
dijadikan gudang ini" "Aku akan mengantarmu," Halbert memutuskan.
Sarita belum sempat menolak ketika Halbert menurunkan titah.
"Segera siapkan kuda!" dan pada Sarita, ia berkata, "Segera ganti baju!
Kita tidak boleh kehilangan waktu sedetik pun."
Sarita tidak punya waktu untuk memprotes perintah yang tidak
diharapkannya itu. Ia juga tidak punya niat untuk menolak tawaran yang
setengah memaksa itu. Tanpa banyak bicara, ia kembali ke kamarnya
dan berganti baju. Segera setelah ia menyisir rapi rambutnya dan
mengikatnya dengan sehelai sapu tangan, ia kembali menemui Halbert.
Halbert sudah siap di pintu ketika Sarita keluar.
"Terima kasih," Sarita mengembalikan kemeja Halbert.
"Kau sudah siap?" Halbert segera mengenakan kemejanya.
"Ya," jawab Sarita.
Sarita tidak mengerti ketika seorang dari pengawal Halbert sudah
menghilang. Ia lebih kebingungan ketika ia hanya melihat dua ekor kuda
di depan pagar rumahnya. "Saya akan meminjam kuda," Sarita berbelok ke arah rumah Marcia.
"Tidak perlu," Halbert menangkap tangan Sarita, "Kau akan duduk
bersamaku," dan ia mendudukkan Sarita di belakang pelana kudanya.
Halbert segera naik ke atas kudanya diikuti pengawalnya yang lain.
Saritapun segera melingkarkan tangan di punggung Halbert ketika
mereka mulai melaju dengan cepat. Ia sudah tidak punya waktu
memikirkan betapa beruntungnya ia. Ia juga tidak punya tempat untuk
memikirkan betapa berbedanya Halbert ini dengan Halbert yang
dikenalnya. Saat ini segala tenaga dan pikirannya hanya tertuju pada
bukti kepemilikan rumah kecilnya yang berharga itu.
Begitu terfokusnya pikirannya hingga begitu ia melihat kantor Graham, ia
langsung melompat turun dan berlari ke dalam kantor yang berantakan
itu. "Ah, Tuan Puteri Sarita," kata sekretaris Graham, "Akhirnya Anda
muncul." Sarita melalui wanita itu tanpa berkata apa-apa.
"Graham!" Sarita langsung membuka pintu, "Kau harus membantuku!"
Graham langsung menghentikan pekerjaannya.
"Puji Tuhan," ia langsung menyambut Sarita, "Anda baik-baik saja, Tuan
Puteri," ia menggenggam jari-jemari Sarita erat-erat.
"Apa yang terjadi?" tanya Sarita curiga, "Apa Chris menjual rumahku
pada keluarga Burnap?"
"Keluarga Burnap?" Graham kebingungan, "Apa yang Anda katakan, Tuan
Puteri" Duke Chris tidak bisa melakukan apa-apa tanpa Anda."
"Jelaskan apa yang terjadi, Graham," Halbert maju untuk menjernihkan
suasana, "Sarita, dengarkan penjelasan Graham." Ia juga ingin tahu apa
yang sedang dibicarakan kedua orang ini. Apa hubungan kuasa Chris
sebagai Duke of Cookelt yang baru dengan Sarita" Mengapa Graham
begitu lega melihat Sarita seakan-akan ia tahu sesuatu tengah
mengancam Sarita" "Sesuai dengan yang diminta almarhum Duke Norbert, saya membacakan
surat wasiatnya setelah pemakamannya. Duchess memaksa saya
membacakannya tanpa kehadiran anda. Menurutnya, Anda sedang
mempersiapkan pernikahan Anda dengan Earl of Mongar."
Begitu Graham menyebutkan seluruh harta keluarga Riddick jatuh ke
tangan Chris, Duchess Belle menjerit histeris.
"Bagaimana mungkin itu terjadi!?" Duchess yang kehilangan kontrol
mencekik Graham, "Katakan bagaimana mungkin tua bangka itu tidak
mewariskan apapun padaku!?"
Chris tersenyum puas. "Tenang, Mama. Tenangkan dirimu," Dorothy menarik tangan Duchess,
"Graham belum selesai membaca surat wasiat Papa. Chris masih empat
belas tahun, ia membutuhkan wali."
Duchess langsung tenang dibuatnya.
Dorothy membimbing ibunya duduk kembali di Ruang Baca Sternberg.
Grahampun kembali melanjutkan tugasnya.
"Sarita Yvonne Lloyd akan menjadi walinya."
Mata Duchess langsung membelalak. "SARITA!?" seru Duchess, "Tua
bangka itu menunjuk anak haram itu sebagai wali Chris!?""
Graham ketakutan. "Di mana dia!" Di mana anak tidak tahu diri itu!?" Duchess Belle langsung
menerjang kamar Sarita. Graham lega. Sedetik lalu ia merasa yakin Duchess akan membunuhnya.
Chris tidak suka dengan pilihan ayahnya. Ia lebih tidak menyukai
kelanjutan wasiat ayahnya yang menyatakan ia tidak bisa membuat
keputusan apapun tanpa persetujuan Sarita. Itu sama artinya dengan
menjadi seorang Duke boneka!
Tiba-tiba Chris mendapatkan ide bagus. Ia akan membuat Sarita sebagai
gundik dan walinya. Kalau Sarita jatuh dalam tangannya, gadis itu pasti
akan menuruti semua keinginannya dan ia tidak perlu menjadi Duke
boneka. Dorothy langsung mengikuti ibunya disertai Chris.
"Di mana kau, anak haram!?" Duchess membuka pintu kamar Sarita
lebar-lebar. "Tunjukkan wajah sialmu, anak sialan!" seru Duchess " menerjang
masuk. Tidak nampak sedikitpun jejak Sarita di kamar yang rapi itu. Seketika itu
juga Duchess sadar. "Si" siapa yang membantu Sarita melarikan diri!?"
serunya murka, "Siapa yang membiarkan anak haram itu kabur!" Cepat
katakan atau kubunuh kalian semua!"
Sia-sia saja ancaman Duchess Belle karena tidak seorang pun tahu Sarita
kabur. Tak seorangpun melihat kepergian Sarita dari kamar yang terkunci
rapat sejak Duke Norbert meninggal. Terlebih lagi, kunci kamar Sarita
ada di tangan Duchess! Segera saja kepergian Sarita menjadi berita heboh.
Earl of Mongar marah-marah ketika tahu calon istrinya menghilang.
Duchess Belle setengah gila mencari Sarita untuk membuat perhitungan
dengannya. Chris bersaing dengan waktu untuk menemukan Sarita
sebelum penobatannya sebagai Duke of Cookelt yang baru.
Tak seorangpun dapat menemukan Sarita. Keluarga Riddick pun tidak.
Namun semua itu berubah kemarin pagi ketika Chris memeriksa
warisannya. Ketika ia menghitung warisannya itulah, ia melihat bukti pembelian
sebuah rumah kecil di Hauppauge oleh ayahnya untuk Sarita. Segera saja
ia tahu di mana Sarita berada. Kabar itu pun diketahui Duchess yang juga
langsung bertindak. "Saya dengar Duchess mengirim orang untuk membunuh Anda," Graham
menutup ceritanya. "Membunuh Sarita," Halbert terkesiap.
"Apabila terjadi sesuatu pada Tuan Puteri Sarita, secara otomatis Duchess
Belle akan menjadi wali Tuan Muda Chris," terang Graham, "Selain itu
saya mendengar Tuan Muda Chris juga mengirim orang ke Hauppauge,"
Graham menatap Sarita lekat-lekat, "Anda harus segera menemui Tuan
Muda Chris. Saat ini hanya ia yang dapat mencegah Duchess. Hanya ia
yang dapat melindungi Anda."
"Tidak," Sarita menggeleng, "Aku tidak akan menemui Chris lagi. Ia
sudah gila! Ia bersenang-senang dengan pelacur ketika ayahnya sakit
parah dan"," suara Sarita tertahan di tenggorokannya. Mau tidak mau ia
teringat tindakan Jason padanya dan ia jijik olehnya.
Rumah pelacur itu! Halbert teringat wajah murka Sarita ketika ia
memasuki tempat terhina itu. Sekarang mengertilah ia mengapa seorang
gadis terhormat seperti Sarita bisa memasuki tempat itu. Tak heran
beberapa saat lalu gadis ini tampak begitu ketakutan. Di saat yang
bersamaan, Halbert juga merasa malu telah memberi nilai yang begitu
buruk pada Sarita. Halbert memegang pundak Sarita dan meremasnya dengan lembut "
memberinya kekuatan. "I-ia mencoba memperkosaku," lanjut Sarita. "Ia sudah gila, Graham. Ia
bahkan mencoba memperkosaku di malam kematian Norbert!" Sarita
histeris. Graham kehilangan kata-katanya.
Halbert terperanjat. "Untunglah Anda di sini saat ini, Tuan Puteri," Graham memecahkan
kesunyian suasana. "Saya mendengar Duchess bukan hanya ingin
membunuh Anda tapi juga meratakan rumah Anda."
"APA!!?" pekik Sarita, "Itu tidak boleh terjadi!" dan ia langsung melesat
keluar. Graham terkejut oleh reaksi Sarita.
"Sarita, apa yang akan kaulakukan?" Halbert mengejar.
Sarita meloncat ke kuda Halbert dan memacunya dengan cepat.
"SARITA!" seru Halbert.
Sarita semakin menjauh. Halbert langsung menaiki kuda pengawalnya dan mengejar Sarita "
meninggalkan pengawal malang yang kebingungan itu.
Halbert harus memacu kudanya secepat mungkin untuk mengejar Sarita
" jauh lebih cepat dari ketika ia meninggalkan Hauppauge.
"Sarita, berhenti!" seru Halbert.
Sarita sama sekali tidak mengurangi kecepatannya ketika mereka mulai
memasuki daerah perhutanan.
"Sarita, tenangkan dirimu!"
Teriakan Halbert sama sekali tidak berguna karena saat ini pikiran gadis
itu hanya tertuju pada rumah kecilnya yang berharga. Rumah yang
menyimpan saat-saat terakhir ayah tercintanya. Begitu khawatirnya ia
sehingga ia mematung melihat rumah mungilnya masih berdiri kokoh di
tempatnya. Halbert turun dari kudanya dan berdiri tanpa suara di belakang gadis itu.
Rumah itu masih utuh, masih seindah ketika Sarita meninggalkannya
beberapa jam lalu. Rumah kenangannya masih berdiri di sana!
Sarita jauh lemas. Lagi-lagi Halbert menangkap Sarita tepat pada waktunya. Mata biru
Sarita yang sekarang terlihat seperti abu-abu, tampak begitu kosong.
Wajah Sarita pucat tidak berekspresi.
Halbert bersimpati pada Sarita.
Hidup sebagai anak haram dalam keluarga yang membencinya memang
tidak mudah. Cinta ayah kandung yang tidak terbatas, tidaklah cukup
untuk melindunginya dari kebencian keluarganya.
Halbert mengangkat Sarita dan membawanya masuk.
"Yang Mulia Pangeran," pengawal yang ditugasinya menjaga rumah Sarita
menyambut dari belakang rumah Sarita, "Lapor, Pengeran."
"Tahan laporanmu," Halbert segera menghentikan. "Tunggu aku di luar."
Halbert langsung membawa Sarita ke dalam kamarnya dan
membaringkannya di tempat tidur.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya lembut.
Sarita mencoba tersenyum.
"Kau butuh istirahat," lanjut Halbert, "Terutama setelah hari panjang
yang melelahkan ini. Jangan biarkan dirimu sakit lagi."
Sarita memandang kosong. "Aku akan segera kembali," kata Halbert pula.
Pengawal Halbert masih menanti Halbert di depan rumah.
Halbert mengajak pengawalnya ke belakang rumah Sarita, jauh dari
pendengaran Sarita. "Sekarang katakan apa yang terjadi sejak kami pergi," kata Halbert.
"Kurang lebih satu jam setelah Anda pergi, serombongan orang datang
mencari Lady Sarita. Sesuai perintah Anda, saya segera keluar dari
persembunyian saya untuk menghalau mereka."
"Apakah kau tahu siapa mereka?"
"Tidak, Yang Mulia. Namun saya dapat meyakinkan mereka bukan orang
yang sama." Halbert berpikir. Ia tidak dapat menduga apakah orang-orang itu adalah
utusan Duchess Belle atau Chris. siapa pun yang mengutus mereka,
tujuan mereka tidak baik.
"Berjaga-jagalah di luar dan"," Halbert tertegun. Tiba-tiba saja ia sadar
ia telah meninggalkan pengawalnya di depan kantor Graham!
Halbert merasa pengawalnya pasti tahu apa yang harus dilakukannya dan
ia mengulangi perintahnya.
"Berjaga-jagalah. Aku akan ada di dalam."
"Baik, Yang Mulia," pengawal itu memberi hormat.
Ketika Halbert kembali ke dalam rumah, Sarita sedang duduk di meja
depan perapian. "Mereka datang, bukan?" tanyanya.
"Benar," Halbert tidak mencoba menutupi. "Namun pengawalku telah
mengusirnya." "Mereka akan datang lagi," gumam Sarita, "Pasti."
Halbert menatap wajah pucat gadis itu yang hampir sepucat rambutnya.
Dalam keadaan seperti ini, gadis itu benar-benar tampak tidak berdaya.
"Aku tidak mau berpikir sejauh itu," kata Halbert dan ia menuju dapur
kecil Sarita. "Saat ini aku lapar. Apa kau punya sesuatu untuk dimakan?"
Sarita memperhatikan Halbert membuka almari dapurnya satu per satu
tanpa berhasil menemukan yang dicarinya.
Sarita teringat suatu ketika ayahnya merasa sehat. Pagi-pagi ayahnya
bangun untuk membuat sarapan bagi dirinya sendiri dan Sarita. Ithnan
membuka almari dapur satu per satu dan membongkar isinya dengan
suara keras seperti Halbert sehingga Sarita terbangun.
"Di mana kau menyimpan makananmu!?" tanya Halbert kesal " persis
seperti reaksi ayahnya ketika melihat Sarita terbangun oleh keributan
yang dibuatnya. Sarita tertawa geli. Halbert terperangah. "Maaf," Sarita mencoba menghentikan tawanya. "Saya tidak bermaksud
menertawakan Anda. Anda begitu mirip Papa. Suatu hari ia berlagak
membuat sarapan tapi ia berakhir seperti Anda. Baagaimana mungkin ia
tahu di mana saya menyimpan makanan kalau ia tidak pernah," Sarita
terdiam. Ia melihat Halbert memperhatikannya lekat.
"Mengapa?" tanyanya.
"Mengapa aku tidak menghentikanmu?" Halbert melanjutkan untuk
Sarita. Sarita hanya menatap Halbert.
"Aku tidak akan menghentikanmu. Kenanganlah yang membuat mereka
terus hidup bersamamu."
Air mata Sarita jatuh. Dengan cepat, Sarita menghapusnya.
"Menangislah," Halbert menahan tangan Sarita, "Itu akan membuatmu
merasa lebih baik." "Terima kasih," Sarita tersenyum " membuat Halbert tertegun.
Sarita berdiri. "Saya akan menyiapkan makan malam untuk Anda dan
pengawal Anda." Halbert tidak menahan Sarita keluar rumah.
Tapi setelah sepuluh menit berlalu, ia mulai cemas.
"Ke mana Sarita?" tanya Halbert begitu membuka pintu.
"Lady Sarita pergi ke halaman belakang," jawab sang Pengawal.
Halbert tidak membuang waktu.
Di sana, di sudut halaman belakang yang tidak dilihatnya sebelumnya, ia
melihat Sarita duduk termenung.
"Papa, apa yang harus kulakukan?" ia mendengar Sarita bertanya sedih
ketika ia berdiri di belakang gadis itu.
"Apakah aku tidak bisa menjaga satu-satunya peninggalanmu ini?"
Sarita merasa begitu bodoh. Ia telah pergi menemui Graham. Ia telah
meyakinkan rumah ini adalah miliknya. Namun, sekarang bukti itu ada di
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan Chris. Sewaktu-waktu mereka bisa mengambil rumah ini darinya.
Rumah satu-satunya yang menyimpan kenangan ayahnya.
Halbert tahu ia tidak bisa membiarkan ini. Ia harus bertindak saat ini
juga. Halbert pergi menemui pengawalnya lagi.
Chapter 7 Ketika Halbert kembali beberapa saat setelahnya, ia melihat Sarita masih
duduk di sana. Halbert tidak perlu melihat wajah Sarita untuk mengetahui
bagaimana ekspresi gadis itu saat ini. Punggung yang melengkung lemas
itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya.
Sesuatu mendorong Halbert untuk merengkuh gadis itu dalam
pelukannya dan membisikkan kata-kata lembut yang menguatkan hati
yang hancur itu. Namun yang dapat dilakukannya hanyalah memegang
kedua pundak gadis itu dan memanggilnya lembut, "Sarita."
Sarita menoleh. Mata biru mudanya basah oleh air mata.
Untuk sesaat Halbert yakin Sarita akan menjatuhkan diri dalam
pelukannya dan menangis tersedu-sedu. Namun gadis itu segera berdiri,
menghapus air matanya, dan berkata tenang,
"Maafkan saya, Pangeran. Saya akan segera menyiapkan makanan untuk
Anda." Sarita segera mengambil sayuran yang menjadi tujuan awalnya ke kebun
belakang. Halbert melepaskan gadis itu dengan perasaan terluka. Ia merasa Sarita
menjaga jarak dengannya dan ia tidak menyukainya. Ia ingin Sarita jujur
pada perasaannya sendiri. Halbert tidak akan melarangnya menangis
untuk orang yang dicintainya.
Saat itulah Halbert melihat apa yang baru saja di hadapan Sarita.
Halbert tertegun melihat nisan batu yang hanya bertuliskan:
Di sinilah terletak kenangan kita bersama Ithnan Lloyd.
Pandangan Halbert beralih pada Sarita yang sekarang sibuk menimba air
di sumur yang tidak ia sadari keberadaannya beberapa saat lalu.
Halbert bertanya-tanya. Siapakah Ithnan Lloyd ini" Mengapa Sarita
memanggilnya Papa" Terlebih dari semua itu, Halbert ingin tahu mengapa
Duke of Cookelt hanya mewariskan rumah kecil di tempat terpencil
seperti ini pada putri kesayangannya. Mengapa Duke of Cookelt memilih
Sarita sebagai wali putranya, bukan Duchess Belle, istrinya sendiri"
Mata Halbert tidak lepas dari Sarita yang berusaha mengangkat seember
penuh air. Ia tidak mengenal gadis ini, Halbert berkata pada dirinya sendiri ketika ia
berjalan ke sisi Sarita. Pasti ada sesuatu pada diri Sarita yang membuat
Duke Norbert lebih mempercayakan putranya pada Sarita daripada
istrinya sendiri. Sarita terkejut ketika sebuah tangan terulur dari belakangnya dan
mengangkat ember itu dengan mudahya.
Untuk sesaat ia menduga itu adalah Marcia. Karena itu ia sangat terkejut
melihat Halbert berdiri tepat di depannya dengan ember airnya.
"T-terima kasih," katanya tergagap.
Sarita tidak pernah mengangkat ember air. Marcia selalu ada di sisinya
ketika ia hendak mengambil air di sumur yang dibuat penduduk desa
untuknya dan ayahnya ini. Malah tidak jarang Marcia mengisi tempat
penyimpanan air Sarita bahkan sebelum Sarita memintanya.
"Ke mana kau akan meletakkannya?" Halbert bertanya dan memimpin
jalan ke dalam rumah. "Letakkan saja di sini," Sarita menunjuk meja dapurnya yang kecil di
sepanjang dinding. Halbert pun meletakkannya di tempat yang diminta Sarita.
Sarita berusaha menghidupkan api perapian.
Tiba-tiba saja Halbert sadar hanya perapian itu satu-satunya tempat
untuk memasak. "Siapkan sayuranmu, aku akan menghidupkan perapian," Halbert
mengambil alih pekerjaan Sarita.
Sarita terkejut. Lagi-lagi ia lupa pemuda yang ada bersamanya saat ini
bukan Marcia melainkan Yang Mulia Pangeran Halbert! Marcia tidak
pernah membantunya menghidupkan perapian. Marcia adalah tipe
pemuda yang menganggap urusan rumah adalah tugas wanita. Namun
mengapa Pangeran Halbert membantunya" Sarita tidak punya waktu
menjawab pertanyaannya sendiri karena ia tersadar ia tidak bisa
menyajikan jamuan seperti yang biasa dinikmati sang Putra Mahkota!
Yang dimilikinya saat ini hanyalah sebongkah roti, susu, dan sayursayuran dari kebunnya sendiri.
"Yang Mulia," Sarita berkata dengan nada bersalah, "Saya sungguh
menyesal. Saya tidak dapat menyajikan jamuan yang pantas untuk
Anda." Halbert melihat Sarita. "Aku hanya memintamu menyiapkan sesuatu yang
bisa dimakan," kemudian ia bertanya, "Apakah kau ingin menggunakan
kuali ini untuk memasak air?" Halbert mengangkat kuali yang tergantung
di atas perapian. "Ya," jawab Sarita.
Sarita membiarkan Halbert menjerang air sementara ia sibuk mencuci
dan memotong sayuran yang akan disajikannya berama roti dan susu
yang dimilikinya. Ketika Sarita sibuk memasak sup, ia melihat Halbert sibuk memindahkan
roti, susu, madu, keju serta peralatan makan yang telah disiapkannya di
atas meja dapur ke meja makan.
Kemudian ketika Sarita hendak memindahkan kuali supnya yang sudah
siap ke meja makan, Halbert berkata, "Aku akan melakukannya."
Sarita berpikir, inikah beda ego seorang pemuda desa dan seorang
gentleman" Setelah yakin semua sudah siap, Sarita melangkah ke pintu.
"Kau mau ke mana?" tanya Halbert menghentikan langkah Sarita.
"Saya akan memanggil pengawal Anda."
"Ia sudah pergi."
"Oh"," hanya itulah jawaban Sarita.
"Duduklah. Makanan akan segera dingin."
"Saya tidak lapar."
Halbert menatap Sarita. "Kalau kau berpikir aku akan membujukmu,
maaf, kau salah. Aku tidak peduli. Itu adalah perutmu sendiri. Kalau kau
sakit, kau sendiri yang akan merasakannya." Dan ia mengambil sup
untuknya sendiri. Sesuatu dalam perkataan Halbert membuat Sarita duduk di depan
pemuda itu " menghadap pintu.
Sarita merasa yakin ia melihat seulas senyum puas di wajah Halbert
ketika ia duduk. Namun ketika ia melihat Halbert, pemuda itu sibuk
menyantap makanannya. Sarita mengulurkan tangan mengambil sup buatannya sendiri.
"Sarita! Sarita!"
Pintu terbuka. "Sarita, kudengar kau sudah kembali!" Marcia langsung menerjang dan
memegang pundak Sarita sambil membungkuk " menatap gadis itu lekatlekat. "Apa yang terjadi" Kau tidak apa-apa" Serombongan orang
berkuda datang ketika kau tidak ada. Mereka berteriak-teriak
memanggilmu. Kami berhasil mengusir mereka sebelum mereka merusak
rumah ini. Siapa mereka" Apa mereka utusan Tuan Jason lagi?" Marcia
tidak memberi Sarita kesempatan untuk membuka suara.
Halbert kesal. Lagi-lagi ia diabaikan pemuda desa ini.
"Tempat ini sudah tidak aman, Sarita. Mereka bisa datang sewaktuwaktu. Pergilah dari tempat ini. Kau bisa tinggal bersamaku."
"Ia tidak akan ke mana-mana," Halbert berkata dingin.
Saat itulah Marcia menyadari keberadaan Halbert.
"Mengapa ia masih di sini?" Marcia melihat Sarita dengan pandangan
menuduh seolah-olah Sarita telah menyeleweng.
Halbert tahu ia tidak menyukai pemuda ini.
"Karena aku akan tinggal di sini malam ini," Halbert menjawab.
"Apakah itu benar, Sarita?" Marcia langsung bertanya penuh tuntutan
pada Sarita. "Engkau tidak mungkin mengusirku," Halbert menjawab pandangan
Sarita, "Pengawalku sudah pergi dan aku tidak punya tempat lain untuk
menginap malam ini."
"Seperti yang Anda lihat, saya tidak punya tempat tidur lain untuk Anda."
"Aku tidak berniat merebut tempat tidurmu. Aku bisa tidur di sini."
"Bila Anda berkenan," kata Sarita menyerah, "Jadilah tamu saya."
Pangeran benar. Ia tidak mungkin menelantarkannya.
Marcia tidak suka mendengarnya. "Kau tidak boleh membiarkannya
tinggal di sini, Sarita!"
"Mengapa?" "Karena" karena"," Marcia melihat Halbert kemudian kembali pada
Sarita, "Karena orang kaya seperti dia tidak mungkin bisa tidur di lantai!"
Marcia langsung mengutarakan hal yang terlintas di otaknya dan cepatcepat menambahkan, "Ia bisa tidur di rumahku."
"Terima kasih, Marcia. Aku sungguh senang atas tawaranmu namun
besok pagi-pagi kami akan meninggalkan Hauppauge."
Marcia tidak menyukai cara Halbert memanggilnya dengan akrab. Ia lebih
tidak menyukai ide pemuda kaya yang tidak dikenalnya ini akan
membawa pergi Sarita. "Benarkah itu, Sarita?" lagi-lagi Marcia menuntut kebenaran dari Sarita.
Sarita melihat Halbert lagi.
"Kau sudah menyetujuiku pagi ini."
Benar, ia telah sependapat dengan usul Halbert untuk meninggalkan
Hauppauge. Namun seingat Sarita, ia tidak pernah menyetujui usul untuk
pergi bersama Halbert apalagi mendengarnya.
"Kau tidak ingin melibatkannya, bukan?"
Sarita mengikuti Halbert melihat Marcia yang mulai kebingungan oleh
arah pembicaraan mereka. Sarita sadar baik Chris maupun Duchess Belle pasti akan melakukan
segala cara untuk mendapatkannya. Mata Sarita beralih pada perban
putih di sekeliling kepala Marcia. Tidak perlu diragukan pula Marcia akan
melakukan segalanya untuk melindunginya. Sarita tidak mau melihat
Marcia terluka lagi karenanya.
"Sarita," Marcia menggenggam kedua tangan Sarita, "Aku memang tidak
sekaya tuan ini tapi aku pasti bisa membahagiakanmu. Tinggallah
bersamaku." Sarita melihat Marcia dengan sedih. "Aku tidak bisa, Marcia."
Marcia melihat Halbert dengan kesal. "Terserah padamu," ia
menghentakan tangan Sarita dan pergi.
Sarita melihat pintu yang dibanting keras tanpa suara. Ia ingin
melewatkan hari-hari tenangnya di Hauppauge tapi sekarang ide itu
sudah bukan ide yang bijaksana lagi.
"Makanan sudah hampir dingin," kata Halbert sambil menuang sup di
piring Sarita, "Makanlah selagi hangat. Setelah ini aku ingin kau
menyiapkan barangmu dan tidur. Besok pagi-pagi kita akan
meninggalkan Hauppauge. Paling lambat pukul empat pagi kita harus
meninggalkan tempat ini."
Sarita membuka mulut untuk memprotes tapi sepasang mata biru tua
yang menatapnya itu menegaskan ia tidak ingin dibantah. Maka Sarita
menahan protesnya dan menyantap supnya tanpa suara. Ide pergi
bersama Halbert ke Helsnivia bukanlah ide yang buruk. Yang terpenting,
ia bisa memenuhi janji Duke Norbert pada ayahnya: memulangkan Sarita
ke Helsnivia! Setelahnya mereka makan tanpa seorangpun membuka suara.
Sarita hanya sanggup meminum supnya dan segelas susu tapi Halbert
tampak sudah puas melihatnya.
Halbert membantu Sarita merapikan meja setelahnya.
Sarita tengah mencuci piring dan Halbert mematikan api perapian ketika
mereka mendengar suara kuda diiringi roda kereta mendekat.
Sarita melihat Halbert dengan pucat pasi ketika kereta berhenti di depan
rumahnya. "Jangan khawatir, itu adalah pengawalku dan kereta kuda yang akan
membawa kita ke pelabuhan besok pagi."
Sarita membelalak. Selama ini rumah ini hanya ditempatinya seorang diri
bersama ayahnya atau Duke Norbert. Sekarang tiga orang lain muncul!
Bagaimana ia harus menempatkan mereka dalam rumah mungilnya ini!"
"Mereka akan berjaga-jaga di luar untuk memastikan tidak ada yang
menganggu kita," Halbert membaca pikiran Sarita.
Halbert menghampiri rombongan kecil yang baru datang itu dan
memberikan petunjuknya. Sarita melihat Halbert sudah merencanakan semua ini dan ia tidak
melihat sebuah celah pun untuk membantah. Maka iapun menyelesaikan
pekerjaannya. "Pergilah mempersiapkan kopermu," Halbert berkata ketika ia kembali
dan melihat Sarita sudah selesai dengan piring-piring kotornya, "Dan
segera beristirahat. Besok akan menjadi hari yang melelahkan bagimu.
Kita harus mencapai Magport sebelum malam."
Sarita tidak membantah. Ia melangkah ke dalam kamarnya dan menutup
pintu yang membatasinya dengan para pria itu.
Baru saja ia menutup rapat koper besarnya ketika ia mendengar derap
kuda mendekat. Sarita panik. Pikiran utusan Chris atau Duchess Belle
datang menakutkannya. "Maaf saya datang terlambat, Yang Mulia."
Sarita langsung lega. "Kau memang sepandai yang kupercayai. Aku tahu kau akan menemukan
cara untuk kembali."
"Anda terlalu memuji saya, Yang Mulia."
Setelahnya Sarita mendengar pintu rumahnya ditutup dan sebuah
kesunyian panjang mengisi rumah mungilnya sebelum ia mendengar
kembali pintu dibuka. Sarita tidak tahu bagaimana sang Pangeran akan tidur di rumahnya yang
kecil ini. Sebenarnya Sarita tidak keberatan memberikan ranjangnya pada
Halbert. Namun Sarita yakin Halbert pasti menolak walau Sarita
meyakinkan ia tidak akan bisa tidur tanpa kasur empuknya. Tetapi, Sarita
sadar, Pangeran tetaplah seorang gentleman.
Sarita berganti gaun tidur dan duduk di tepi ranjang.
Ia tidak mendengar suara apapun di luar. Hanya sinar lilin yang mengintip
celah pintunyalah yang menyatakan keberadaan orang lain di rumahnya.
Sarita membaringkan diri di tempat tidur. Ia ragu ia bisa tidur. Karena itu
betapa herannya Sarita ketika ia terbangun dalam pelukan Halbert di
ruang yang sempit. "Selamat pagi," Halbert menyapa.
Mata Sarita hanya menatap Halbert.
"Apakah tidurmu nyenyak?" Halbert bertanya lagi.
Sarita mengangguk. Matanya berkeliling menjelajahi ruangan sempit
tempat mereka berada. Berdasarkan suara derap kaki kuda dan bentuk
ruangan kayu kecil ini, Sarita yakin berada dalam kereta kuda dengan
Halbert memangkunya. Kakinya terjulur sepanjang bangku kereta.
Punggungnya tersandar di sisi kereta yang lain dengan tangan kekar
Halbert melingkari pundaknya. Sehelai selimut tipis menutupi tubuhnya.
"Aku tidak tega membangunkanmu," Halbert menjawab mata biru muda
yang kebingungan dan malu itu.
Sarita tidur nyenyak ketika ia hendak membangunkannya dini hari ini.
Sarita tampak begitu damai dari yang pernah dilihatnya. Begitu
tenangnya gadis ini tidur sehingga Halbert tidak sampai hati
mengusiknya. Maka tanpa menimbulkan suara, Halbert memeriksa isi lemari "
memastikan Sarita tidak meninggalkan barangnya dan membawa koper
Sarita keluar untuk pengawalnya memasukkannya ke dalam kereta.
Halbert mengambil selimut tipis di bawah bangku kereta untuk
menyelimuti Sarita. Halbert dapat mendengar Sarita bergumam "Papa" ketika ia mengangkat
tubuh kecilnya dari tempat tidur.
Halbert percaya Sarita pasti sangat lelah setelah hari-hari yang panjang
dan melelahkan ini. Sarita berusaha duduk. Ketika ia sudah benar-benar duduk, ia menyadari hal memalukan lain. Ia
duduk di pangkuan Halbert! Mata biru mudanya berusaha menghindari
sepasang mata biru tua yang sejajar dengan matanya.
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sarita merasa salah tingkah. Ia berdiri. Tepat bersamaan dengan itu,
kereta berhenti. Sarita kehilangan keseimbangan tubuhnya.
"Apa yang sedang kaulakukan!?" Halbert merengkuh Sarita kembali ke
pangkuannya. Secercah rona merah di wajah cantik Sarita memberi jawaban pada
Halbert. Halbert tersenyum penuh arti. "Kalau kau tidak mau duduk di
pangkuanku, kau tinggal mengatakannya," ia menyelipkan tangannya
yang lain di bawah lutut Sarita, "Aku bisa memindahkanmu," ia
mengangkat Sarita dan mendudukkan gadis itu di sisinya seperti
menggendong anak kecil. "T-terima kasih."
Halbert menyukai rona yang memberi nuansa baru pada kulit pucat
Sarita. "Kita sudah tiba di pelabuhan, Yang Mulia," seseorang berkata dan
setelahnya pintu terbuka lebar.
Sarita melihat keramaian pagi hari di pelabuhan melalui pintu yang
terbuka itu. "Kenakalah sepatumu," Halbert membungkuk " membantu Sarita
mengenakan sepatu di kakinya yang telanjang.
Sarita benar-benar dibuat salah tingkah olehnya.
"Dan jangan lupa selimutmu," Halbert menyampirkan selimut yang
terjatuh di lantai kereta itu di pundak Sarita.
Saat itulah Sarita sadar ia masih mengenakan gaun tidurnya. Dengan
cepat ia menutupi tubuhnya dengan selimut.
Halbert keluar kemudian mengulurkan tangan pada Sarita yang duduk di
sisi lain kereta. "Kau mau kugendong lagi?" Halbert menikmati rona merah di wajah
cantik yang kebingungan itu.
"T-tidak, terima kasih," Sarita cepat-cepat melangkah keluar sebellum
Halbert benar-benar menggendongnya.
Tubuh Sarita baru saja terjulur keluar pintu ketika Halbert melingkarkan
tangannya di pinggang Sarita. Sarita masih kaget ketika tangan Halbert
yang lain menyelinap di belakang lututnya dan dalam satu gerakan
ringan, ia sudah berada dalam gendongan Halbert.
"Y-Yang Mulia!" Sarita panik.
"Pegang selimutmu," Halbert memberikan perintah tegasnya, "Angin laut
di pagi hari tidak menyenangkan."
Sarita melingkarkan tangan kirinya di leher Halbert dan tangannya yang
lain mencengkeram erat-erat selimut.
Ketika Halbert melangkah ke sebuah kapal besar, barulah Sarita benar-
benar memperhatikan kesibukan pelabuhan. Kerinduan yang mendalam
yang mendalam menyelimutinya. Di suatu saat di masa lalu, ia sering
berada di pelabuhan bersama ayahnya. Suatu ketika ia duduk di pundak
kokoh ayahnya, di saat lain ia duduk di gendongan ayahnya, dan di saat
lain ia berjalan di sisi ayahnya yang dengan sabar menjelaskan kesibukan
tiap-tiap pribadi di pelabuhan.
Sarita merapatkan pegangannya di leher Halbert dan menyembunyikan
wajah sedihnya di pundak pemuda itu.
Halbert tidak berkomentar. Dalam pikirannya gadis ini sedang malu.
Namun Sarita salah kalau ia berpikir Halbert akan menurunkannya.
"Selamat datang, Yang Mulia."
Sarita mengangkat kepalanya.
Seorang pria tengah baya terkejut.
"Y-Yang Mulia, i"ini"," Wyatt tidak dapat berkata-kata. Kemarin ketika
pengawal Halbert muncul di penginapan untuk menyampaikan perintah
Halbert, ia begitu gembira. Tanpa membuang waktu, ia langsung
menyiapkan kapal yang telah menanti kepulangan Pangeran Halbert. Ia
tidak berpikir banyak ketika meliht sang Pangeran mendekat dengan
seorang wanita dalam gendongannya. Ia sudah biasa melihat Pangeran
kerajaannya bersama wanita. Tapi Sarita" Sampai matipun Wyatt tidak
pernah berpikir Sarita sang gadis haram yang Halbert sendiri nyatakan
tidak akan pernah disentuhnya, berada dalam gendongan majikannya.
"Kita berangkat!" Halbert memberi perintah dan membawa Sarita ke
dalam salah satu kabin. Pengawal Halbert mengekor dengan koper Sarita " membuat Wyatt kian
tidak dapat berkata-kata.
Halbert baru menurunkan Sarita setelah pengawalnya meletakkan koper
Sarita di dalam kabin. Sarita mencengkeram erat selimut yang menutupi pundaknya.
"Bergantilah," kata Halbert, "Aku akan menjemputmu setengah jam lagi
untuk makan pagi." Dan Halbert meninggalkan Sarita yang masih berdiri
mematung. "Yang Mulia, apa yang Anda lakukan!?" sambut Wyatt begitu melihat
Halbert, "Apa yang akan dikatakan Paduka Raja dan Ratu!?"
"Gadis itu baru kehilangan ayahnya dan sekarang ia berada dalam
bahaya." "Anda tidak berniat membawanya pulang, bukan?" selidik Wyatt.
Itulah yang sedang dipikirkan Halbert.
"Ini sudah lebih dari cukup, Pangeran!" protes Wyatt, "Simpati Anda
sudah lebih dari cukup!"
"Wyatt," potong Halbert tidak senang, "Aku tahu apa yang kulakukan."
Wyatt langsung terdiam. Sesungguhnya, Halbert sendiri tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
Komentar terakhir Wyatt terulang lagi di kepalanya.
Ini sudah lebih dari cukup!
Sehari setelah kematian Duke of Cookelt adalah hati terakhirnya di
Trottanilla. Orang tuanya juga telah mengirim kapal untuk
menjemputnya. Namun kematian Duke Norbert membuat orang tuanya
memberi kelonggaran hingga pemakanan Duke. Pemakaman Duke sudah
berlalu namun ia masih tetap di Trottanilla, di sisi Sarita.
Benar. Apa yang dilakukannya sudah melebihi simpati. Mungkinkah
jiwanya sebagai seorang Pangeran terusik melihat kesedihan gadis itu"
Seorang Pangeran seperti dia tidak dapat berdiam diri melihat seorang
gadis muda sebatang kara dalam kesedihan dan bahaya. Namun ia telah
bertindak jauh dari simpati.
Ia tidak mau Sarita berhubungan dengan Chris" Benar. Membawanya
pergi dari Trottanilla sudah cukup untuk membantu gadis itu. Tapi
meminta Graham menjadi penyambung lidah Chris dan walinya" Ini
sudah mencampuri urusan Sarita!
Sekarang apakah ia benar-benar berniat membawa Sarita ke Ririvia"
Halbert tidak mengerti. Beberapa saat lalu ia bahkan menikmati wajah
merah Sarita. Ia bahkan dengan sengaja menggoda gadis yang
disumpahinya tidak akan pernah didekatinya.
Ketika Halbert kembali untuk menjemput Sarita, ia melihat gadis itu
berdiri di dek. Rambut kuning pucatnya melambai-lambai tertiup angin.
Mata biru mudanya menatap laut penuh kerinduan. Begitu sempurnanya
lekukan hidung yang mancung itu dan bibir merah yang terkatup rapat.
Begitu cantiknya Sarita dalam kesunyiannya sehingga ia tampak seperti
seorang putri duyung yang merindukan rumah di bawah lautnya.
Tidak pernah Halbert merasakan keinginan mendesak untuk merengkuh
seorang gadis dalam pelukannya.
Pasti jiwa petualangannya yang menjadi sebab semua ini, Halbert
memutuskan. Chapter 8 "Apa-apaan ini!?" pekik Ratu Kathleen.
"Ini sudah di luar batas!" Raja Marshall sependapat.
"Bisa-bisanya anak itu membawa pualng anak haram!" Ratu Kathleen
langsung berdiri, "Di mana dia" Katakan di mana mereka!" Akan kuusir
anak haram itu!" Ratu Kathleen tidak dapat menutupi kemarahannya. Kegembiraannya
mendengar kepulangan putranya langsung berubah menjadi amarah
ketika mendengar Halbert membawa putri haram almarhum Duke of
Cookelt bersamanya. Jamuan yang sedianya akan diselenggarakan untuk
menyambut kepulangan putranya, langsung dibatalkannya. Sekarang ia
sudah benar-benar tidak sabar untuk mengusir gadis hina itu.
Karena itu begitu mendengar prajurit berkata, "Kereta Pangeran Halbert
sudah memasuki gerbang istana," ia langsung menerjang ke pintu masuk.
Di sana, di depan pintu kayu yang kokoh, Ratu berdiri dengan angkuhnya.
Tidak satu goretan di wajahnya yang tidak menunjukkan kemurkaannya.
Raja Marshall yang menyusul kemudian tidak kalah angkernya.
Seisi istana sudah mendengar apa yang terjadi ketika seorang prajurit
datang mengharap Raja pagi ini. Sekarang mereka mengintip dari tempat
mereka masing-masing " ingin tahu apa yang akan terjadi.
Kereta yang membawa Pangeran dan Sarita akhirnya berhenti di depan
Raja dan Ratu. Ratu sudah hampir menyemprotkan luapan amarahnya ketika Halbert
turun dari kereta. Halbert mengulurkan tangan untuk membantu Sarita.
Ratu siap menyemburkan amarahnya ketika gadis itu akhirnya keluar dari
dalam kereta. Dengan anggunnya, Sarita menjejakkan kaki di pelataran istana. Wajah
cantiknya langsung menangkap ekspresi marah Ratu Kathleen. Mata biru
mudanya menatap malu-malu melalui bulu mata lentiknya. Sesaat
kemudian senyum manis merekah di bibir mungilnya yang memerah.
Sinar matahari yang menyinari rambut kuning pucatnya, membuatnya
bersinar indah. Ratu Kathleen menatap gadis itu lekat-lekat.
Raja Marshall terkesima. "Papa, Mama, aku sudah pulang," Halbert memeluk ibunya kemudian
ayahnya. Kemudian ia membawa Sarita ke hadapan orang tuanya yang
membisu. "Ini adalah Sarita, putri almarhum Duke of Cookelt. Aku
mengundangnya tinggal di sini untuk beberapa waktu."
"Selamat siang, Yang Mulia Paduka Raja, Yang Mulia Paduka Ratu," suara
merdu Sarita melantunkan salamnya.
Ratu Kathleen langsung membuang muka dan melangkah angkuh ke
dalam istana. Sarita tidak terlalu kaget oleh reaksi Ratu Kathleen. Ia memang tidak
mengharapkan sambutan yang ramah.
Teima kasih pada Duchess Belle, seisi dunia percaya ia adalah anak
haram Duke Norbert. Sebagai orang terhormat sudah pasti Ratu Kathleen tidak senang dengan
keberadaan anak haram dalam rumahnya, bersama satu-satunya
putranya. Halbert juga tidak mengharapkan lebih. Ia sudah tahu membawa pulang
Sarita bukanlah hal yang baik, tapi ia tidak dapat membiarkan Sarita
pergi seperti yang diinginkan gadis itu setelah mereka tiba di Magport
kemarin malam. Halbert tidak berani berharap banyak. Ibunya tidak
langsung mengusir Sarita di depan pintu rumah sudah sangat baik.
"Jangan kauhiraukan ibumu," Raja Marshall mengagetkan Halbert dengan
kata-katanya yang ramah, "Bawalah Lady Sarita ke kamarnya. Ia tentu
sudah lelah." "Lady Sarita!!?"" Halbert membelalak. Apakah ia tidak salah dengar"
"Mari, Lady Sarita," Raja memberi jalan pada Sarita.
Halbert tidak percaya ayah yang sangat diyakininya akan menyuruh
prajurit mengusir Sarita, menunjukkan jalan dengan ramah pada Sarita!
Mata Halbert beralih pada Sarita yang dengan sopan mengikuti Raja
Kathleen. "Pesona gadis ini memang tidak bisa diremehkan," Halbert berpendapat
ketika Sarita membungkuk hormat sebelum mengikuti pelayan yang
diperintahkan Raja mengantar Sarita ke kamarnya.
"Di mana kau temukan dia, Halbert?" Raja Kathleen bertanya tidak
percaya. Halbert terkejut mendengar nada takjub ayahnya. Ia tidak dapat
mempercayai sepasang mata biru tua itu bersinar kagum.
Beberapa pelayan mulai membongkar muatan kereta.
"Aku perlu bicara," Halbert memutuskan.
Walaupun ayahnya menyambut Sarita dengan ramah dan ibunya tidak
mengusir Sarita, bukan berarti Sarita aman. Halbert harus menjelaskan
alasannya membawa pulang Sarita.
"Tentu, Halbert," Raja merangkul pundak putranya, "Kau harus
memberitahuku di mana kau menemukan gadis ini," dan ia membawa
Halbert ke Ruang Duduk. Ratu Kathleen ada di dalam Ruang Duduk ketika mereka masuk. Mata
hijaunya yang dingin menatap kedatangan mereka.
"Mama, aku perlu bicara tentang Sarita."
Ratu membuang muka. "Seperti yang kalian ketahui," Halbert membuka pembicaraan, "Duke of
Cookelt baru saja meninggal dunia. Sekarang Sarita benar-benar
sebatang kara. Duke Norbert mewariskan semua kekayaannya pada Chris
dan menunjuk Sarita sebagai walinya."
"Gadis itu!?" Raja terkejut.
Ratu tidak bereaksi. "Duke menunjuknya," Halbert mengulangi.
"Ia masih terlalu muda."
"Kurasa itulah yang membuat Duchess Belle tidak dapat menerimanya,"
Halbert melanjutkan, "Ia mengirim orang untuk menyingkirkan Sarita.
Aku tidak dapat berdiam diri melihatnya dalam bahaya. Keluarga Riddick
tidak menyukainya. Duchess Belle tidak pernah menyukai Sarita dan
Chris, adik tiri Sarita, berusaha memperkosanya."
"Aku tidak menyangkanya," gumam Raja, "Ia memang sangat
mempesona. Tapi, Halbert, apakah kau yakin ia adalah putri Duke of
Cookelt?" "Tentu saja. Apa mungkin Duke mencintai anak orang lain melebihi
putrinya sendiri?" tanya Halbert.
Raja Marshall terdiam. "Aku tidak bisa membiarkannya seorang diri dalam bahaya," lanjut
Halbert, "Karena itu aku mengundangnya ke sini sebagai tamuku. Aku
berharap kalian tidak keberatan."
"Tentu saja ia akan diterima di sini dengan tangan terbuka," sahut Raja.
Halbert melihat ibunya " mengharapkan sepatah dua patah kata darinya.
Ratu Kathleen masih tetap tidak bereaksi.
"Mama, apakah Mama bisa menerima kehadiran Sarita?" Halbert akhirnya
langsung bertanya. Demi kekagetan Halbert, Ratu Kathleen berdiri sebagai jawabannya.
Tanpa sedikitpun melihat putranya, ia melangkah pergi.
"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," Raja memberi kepastian,
"Kathleen hanya tidak dapat menerima kenyataan kau membawa pulang
Sarita." "Membawa pulang seorang wanita, tepatnya?" Halbert berpikir sinis. Tentu
saja Ratu tidak senang. Ia tidak pernah menyukai petualangan Halbert
dan gadis-gadisnya. Ini adalah pertama kalinya ia membawa pulang
wanita. Namun Sarita bukanlah salah satu wanitanya. Bagaimana ia harus
meyakinkan Ratu" "Kenapa kau tidak beristirahat, Halbert," Raja mengusulkan, "Kau pasti
lelah setelah perjalanan panjang. Apa kau lapar" Aku akan menyuruh
pelayan membawa makanan ke kamarmu."
"Tidak perlu, Papa. Kami sempat berhenti untuk bersantap siang."
Raja Marshall tidak memberi komentar.
"Aku akan beristirahat di kamarku, Papa. Selamat siang."
-----0----- Sarita duduk di beranda " memandang pegunungan tinggi yang
membentang di kejauhan. Ia teringat lagi ketololannya kemarin malam
setelah kapal merapat di Ririvia.
"Malam ini kita akan menginap di dalam kapal," Halbert memberitahunya,
"Besok pagi-pgi kita akan berangkat ke istana."
Istana adalah satu-satunya tempat yang tidak ingin dikunjungi Sarita.
Halbert bersedia membawanya ke Helsnivia saja sudah membuat Sarita
sangat berterima kasih. Duke Norbert hanya berjanji pada Ithnan untuk memulangkan Sarita ke
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Helsnivia. "Terima kasih, Yang Mulia," kata Sarita, "Saya akan baik-baik saja dari
sini. Saya sangat berterima kasih atas tumpangan yang Anda berikan."
"Ke mana kau akan pergi?" Halbert bertanya curiga.
"Mungkin saya akan melewatkan beberapa hari di sini," jawab Sarita,
"Setelah itu saya akan meninggalkan Helsnivia. Entah ke mana."
Halbert menatapnya lekat-lekat dengan penuh tanda tanya. "Aku tidak
mengerti apa yang kaubicarakan. Sebagai informasimu, kita belum tiba di
Helsnivia." "Oh," Sarita terkejut.
"Helsnivia tidak punya laut," Halbert mengingatkan.
Rona merah mewarnai wajah Sarita. Ia benar-benar lupa Helsnivia adalah
kerajaan kecil di antara pegungungan tinggi!
Halbert menyadari apa yang dipikirkan Sarita dan ia tidak dapat menahan
tawanya. "Maaf, pengetahuan geografi saya buruk," Sarita tidak suka perasaan
diledek. Halbert tersenyum geli melihat rona merah yang membuat Sarita kian
manis dan kekanak-kanakan itu. "Satu-satunya alasan orang tuaku
mengirim kapal ini adalah jalan laut lebih cepat untuk mencapai Helsnivia
daripada jalan darat."
Sarita ingat Duke Norbert pernah berkata, "Walau Helsnivia adalah
kerajaan kecil yang kaya, tidak mudah menyerangnya. Pegunungan yang
mengelilinginya bukanlah jalan yang mudah untuk dilalui."
"Beristirahatlah," kata Halbert, "Kulihat sepanjang hari ini kau berdiri di
ujung kapal seperti mau memimpin jalan."
Sarita tidak membantahnya namun ia juga tidak meninggalkan dek
tempat ia berdiri yang biasa disebut poop oleh para pelaut.
"Atau kau ingin tidur lagi dalam pelukanku?" goda Halbert.
Godaan itu langsung membuat Sarita bergerak. "Selamat malam, Yang
Mulia." Halbert tertawa geli melihat Sarita kabur.
Sarita tidak suka mendengar tawa itu. Pasti inilah yang biasa dilakukan
Halbert untuk menjerat wanita-wanitanya. Halbert salah besar bila ia
mengira Sarita tertarik untuk menjadi satu dari sekian mantannya.
Tiba-tiba saja Sarita ingin tahu apa yang membuat Halbert menolongnya
sampai sejauh ini. Halbert tidak mungkin serius menjadikannya salah satu
wanitanya, bukan" Halbert sendiri pernah mengatakan ia tidak tertarik
padanya. Sarita benar-benar terkejut ketika pagi ini Halbert bersikeras
membawanya ke Istana Ririvia tanpa peduli penolakan Sarita. Sekarang
Sarita lebih terkejut oleh tangan terbuka Raja Marshall.
Sarita yakin ia melihat ekspresi kemarahan Raja Marshall dan Ratu
Kathleen ketika kereta berhenti di hadapan mereka. Sarita mengharapkan
usiran mereka tapi yang kemudian diterimanya benar-benar di luar
dugaan! Kecuali reaksi Ratu Kathleen, mungkin.
Sarita tidak mengenali mereka. Namun melihat kemiripan Halbert dengan
pria yang penuh wibawa itu, Sarita yakin dua sosok yang berdiri di pintu
itu adalah Raja Marshall dan Ratu Kathleen. Hati Sarita sudah siap
menerima usiran keduanya. Ia juga sudah menyiapkan kata-kata sopan
yang akan dijelaskannya pada mereka. Bahwa ia tidak bersedia dibawa
Halbert pulang ke istana. Bahwa ia punya rencana sendiri yang mulai
dipikirkannya ketika kapal meninggalkan dermaga dan dimantapkannya
ketika kapal merapat di Magport.
Sarita hanya dapat terdiam ketika Ratu Kathleen pergi tanpa kata-kata.
Ia benar-benar termangu dalam keterkejutannya ketika Raja Marshall
menyambutnya dengan tangan terbuka bahkan menyebutnya Lady!
Mereka tidak mungkin tidak tahu!
Wyatt, pelayan Halbert terus menjatuhkan pandangan tidak suka padanya
sejak mereka bertemu. Pagi ini ketika Sarita tidak melihatnya di kapal,
Sarita yakin Wyatt telah pulang ke Helsnivia untuk melapor.
Sarita percaya seisi Helsnivia tahu siapa dirinya, sang anak haram
almarhum Duke of Cookelt!
Ia dapat merasakan pandangan ingin tahu orang-orang di Hall istana. Ia
dapat mendengar bisikan-bisikan miring mereka padanya. Ia adalah anak
haram almarhum Duke of Cookelt dan ia juga miskin!
Sarita tidak terlalu mempedulikan hal terakhir itu. Ketika meninggalkan
Sternberg, ia berencana untuk tinggal di Hauppauge, bukan di istana. Ia
tidak butuh gaun-gaun mewahnya yang dapat dipastikan sekarang
memenuhi almari baju Dorothy. Ia tidak membutuhkan perhiasanperhiasan mewahya yang sudah direbut Duchess Belle sejak Duke jatuh
sakit. Ia juga tidak membutuhkan benda-benda itu saat ini. Sarita tidak
berniat tinggal lama di Istana Ririvia!
"Apakah itu mungkin?" Sarita bertanya-tanya.
"Kau tidak akan ke mana-mana," Halbert menegaskan pagi ini ketika ia
menyatakan keinginannya turun di perbatasan Helsnivia. "Kau akan ikut
denganku ke Ririvia!"
"Tinggallah di sini selama mungkin," kata Raja Marshall ketika
menyambutnya. Sarita sempat berpikir Raja Marshall adalah salah satu dari sekian pria
yang melihatnya sebagai anak haram yang bisa diajak tidur semalam.
Namun dalam senyum yang ditujukan padanya itu, ia merasakan
kehangatan dan di dalam mata biru tua itu, ia melihat keramahan.
Keramahan yang ditunjukkan hanya padanya seakan-akan ia adalah tamu
yang diharap-harapkan kedatangannya sejak lama. Bahkan, belum lama
Sarita memasuki kamar barunya yang megah ini, pelayan mengantarkan
makanan kecil! Kue-kue yang menggiurkan itu dibiarkan Sarita di atas meja rias. Teh
yang masih mengelup ketika disajikan, dibiarkannya dingin.
Sesungguhnya beberapa saat lagi adalah waktu makan malam. Sarita
tidak terbiasa makan sesuatu sesaat sebelum makan malam.
Suasana makan malam itu sendiri tidaklah jauh berbeda dari dugaan
Sarita. Sarita duduk di depan sepasang mata hijau dingin Ratu Kathleen.
Keberadaan Halbert di sisinya sama sekali tidak membantu.
Raja Marshall yang duduk di ujung meja pun tidak banyak merubah
suasana makan malam yang menegangkan ini.
Sarita dapat merasakan sepasang mata dingin Ratu terus mengawasi tiap
gerak-geriknya dan itu sama sekali tidak membuatnya nyaman!
Andai Sarita boleh memilih, ia lebih suka makan sendiri di kamarnya. Tapi
ia adalah tamu di Ririvia, bukan" Selain itu pelayan menjemputnya ketika
waktu makan malam tiba " membuatnya tidak bisa kabur dari saat ini.
Pelayan itu sendiri tidaklah menyenangkan. Sikapnya memang sopan tapi
juga dingin dan kaku. Sarita tidak menyukai pandangan menyelidiknya.
Rasanya, melalui sepasang matanya yang berpengalaman itu, ia ingin
mengorek rencana Sarita pada sang Putra Mahkota.
"Sarita," Raja Marshall memanggilnya dan ketika itu pula Ratu
mengalihkan perhatiannya dengan sepasang mata hijau dingin yang
membara " membuat Raja menutup mulut.
Halbert pun tidak bisa berbuat banyak. Baru saja ia menoleh pada Sarita,
Ratu sudah menjatuhkan tatapannya yang tajam. Akhirnya Halbert
mencoba meredakan ketegangan dengan menanyakan suasana Helsnivia
selama ia tidak ada. Namun itu juga tidak membantu Sarita merasa lebih baik.
Dalam keadaan seperti ini, Sarita lebih menyukai suasana Ruang Makan
di Sternberg. Walau dalam tiap acara makan Duchess Belle tidak pernah
melewatkan kesempatan untuk memarahi Sarita atau mengutuknya,
Sarita tidak kehilangan selera makannya seperti ini. Ia sudah terbiasa
dengan suasana perang di Ruang Makan Sternberg yang ditujukan untuk
memojokannya. Ia sudah biasa menelan kata-kata kemarahan itu
bersama makanannya. Ia tidak biasa menelan makanannya di bawah
sepasang mata dingin yang ingin membekukannya.
Karena itu betapa gembiranya Sarita ketika di akhir makan malam
Halbert berkata, "Kulihat Sarita sudah lelah," lalu ia melihat Sarita, "Mengapa kau tidak
kembali ke kamarmu" Kau tahu di mana kamarmu, bukan?"
"Ya," Sarita mengangguk.
Segera setelah mengucapkan sepatah kata "selamat malam", Sarita
kembali ke kamarnya. Istana Ririvia memang luas namun ingatan Sarita tidak terlalu lemah
dalam mengingat jalan menuju kamarnya. Sarita langsung berganti baju
setibanya di kamar tapi ia tidak tidur. Ia duduk di beranda " memandang
keindahan taman Ririvia yang tidak sempat diperhatikannya sore ini dan
juga rumah-rumah di kejauhan.
Sinar matahari musim panas memberi penerangan pada Ririvia untuk
memandang sejauh mungkin. Mulai dari keramaian di taman Ririvia di
bawah kakinya hingga pegunungan tinggi di kejauhan.
"Papa, aku sudah pulang ke tempat yang kau inginkan," gumam Sarita.
Terima kasih pada Halbert, ia tidak sepenuhnya berbohong pada Duke
Norbert. Terima kasih padanya pula, Sarita dapat memenuhi janji Duke
Norbert pada ayahnya. "Lihatlah, Norbert," kata Sarita lagi, "Kau tidak perlu memaksa Pangeran
demi memulangkanku ke Helsnivia. Sekarang kau bisa dengan tenang
berkata pada Papa kau telah memenuhi janjimu."
Sarita membeku. Berkata tentang janji, apakah yang telah diperbuatnya
pada janji dengan orang yang begitu mencintainya selama enam tahun
belakangan ini" Duke Norbert telah memintanya menjadi wali Chris, mendidik,
menyiapkan Chris menjadi Duke of Cookelt. Namun apakah yang telah
dilakukannya!" Ia kabur dari Trottanilla!
Darah di otak Sarita langsung membeku.
Mengapa ia begitu egois" Mengapa ia bisa memutuskan untuk pergi tanpa
memikirkan permintaan Duke padanya " satu-satunya permintaannya
dan yang terakhir" Hingga detik-detik terakhir hidupnya, Duke Norbert berusaha memenuhi
janjinya pada Ithnan. apakah yang akan dipertanggungjawabkannya pada
Duke Norbert kelak" "Aku tidak mengharapkanmu di sini."
Sarita terperanjat. "Kau pucat pasi. Apakah kau sakit?" tanya Halbert pula.
"Saya baik-baik saja," jawab Sarita melihat pemuda itu berdiri di beranda
di sisi kirinya. "Mengapa Anda berada di sini?"
"Ini adalah kamarku," Halbert menunjuk ruang di belakangnya.
"Oh, saya tidak tahu."
Halbert pun tidak akan tahu jika ia tidak melihat pelayan ibunya
mengetuk kamar kosong di sebelahnya dan berkata, "Lady Sarita, apakah
Anda ada di dalam?" Untuk sesaat Halbert menduga ibunya akan memanggil Sarita tapi betapa
leganya ia ketika beberapa saat kemudian pelayan itu berkata, "Saya
diperintah untuk membawa Anda ke Ruang makan. Yang Mulia Paduka
Raja dan Ratu menanti kehadiran Anda."
"Apakah saya mengusik Anda?"
"Tidak. Aku sama sekali tidak terganggu olehmu."
Sarita melayangkan senyumannya.
"Apa yang kaulakukan di sini?"
"Saya sedang berpikir."
"Apa yang kaupikirkan?"
"Janji saya pada Norbert."
"Jangan khawatir," Halbert berusaha menenangkan. "Chris tidak akan
bisa berbuat apa-apa terhadap rumahmu. Ia tidak bisa memutuskan apa
pun tanpa persetujuan kau sebagai walinya."
"Itulah yang mencemaskan saya. Norbert meminta saya menjadi wali
Chris tapi lihatlah apa yang sudah saya lakukan. Saya kabur dari
Trottanilla seperti seorang penjahat tanpa sedikit pun memikirkan
Norbert." "Aku telah meminta Graham untuk menjadi perantara kalian."
Sarita terperangah. "Maafkan aku. Aku sudah bertindak di luar batas. Kupikir ini adalah satusatunya cara baik untuk memenuhi tugasmu sebagai wali Duke of Cookelt
yang baru tanpa berhubungan langsung dengannya."
"Terima kasih, Yang Mulia Pangeran Halbert," Sarita tersenyum dengan
segenap hatinya, "Anda sudah membantu saya memecahkan masalah
saya bahkan sebelum saya menyadarinya."
"Senyum inilah yang bisa menundukkan dunia," Halbert berpikir. Tidak
mungkin Sarita tidak menyadari betapa cantik dan mempesonanya
dirinya saat ini. Sinar matahari sore panas yang jatuh di atas rambut pucatnya yang
tergerai sampai ke pinggangnya, membuatnya seperti diselimuti cahaya.
Namun yang lebih menakjubkan adalah sepasang mata biru mudanya
yang bersinar gembira juga senyum manisnya yang mempesona. Tidak
pernah Halbert melihat seorang wanita secantik ini.
"Aku memberitahu Graham aku akan membawamu ke sini. Ia akan
mengirim kabar padamu bila terjadi sesuatu di Cookelt. Ia juga berjanji
akan mengirim berkas-berkas penting yang perlu kauurus secepat
mungkin. Ia juga akan mengawasi Chris untukmu."
Nama itu membuat Sarita pucat pasi. Kalau Graham tahu di mana dirinya,
apakah itu berarti Chris juga tahu"
"Chris mungkin datang ke sini," Halbert membaca pikiran Sarita.
Sarita langsung menggigil. Matanya memandang nanar Halbert "
membuat Halbert ingin melompati jarak di antara mereka dan
memeluknya erat-erat. Namun ia hanya berkata,
"Kulihat ia tidak akan berani menunjukkan muka di sini. Kalaupun ia
datang, aku tidak akan membiarkannya bertindak kurang ajar padamu.
Kau adalah tamuku. Sebagai tuan rumah, aku berkewajiban menjamin
keamananmu." Sinar ketakutan di sepasang mata itu masih tidak hilang. Halbert
memarahi dirinya sendiri karenanya.
"P-pangeran, apa yang hendak Anda lakukan!?" Sarita berteriak panik
melihat Halbert berdiri di atas pagar yang mengelilingi berandanya.
Halbert merambat di dinding menyeberangi jarak sekitar lima meter di
antara beranda mereka. Sarita menahan nafasnya seolah-olah takut Halbert akan jatuh bebas dari
tingkat tiga ini bila ia melepaskannya.
"Apa yang Anda lakukan!?" Sarita langsung bertanya ketika Halbert
menjejakkan kaki di lantai berandanya.
"Mengapa sinar ketakutan di mata itu masih tidak berubah?" Halbert
meraih Sarita dalam pelukannya.
"P-panggeran," Sarita terkejut, "Apa yang Anda lakukan?"
"Ssh"," tangan kiri Halbert melingkari pinggang Sarita dan menariknya
merapat. Tangan kanannya mendekap kepala Sarita di dadanya.
Sarita panik. Halbert tidak bergerak juga tidak bersuara. Ia hanya memeluk Sarita
seperti yang ingin dilakukannya di detik pertama ia melihat air mata
Sarita. Sarita menemukan kehangatan di dada Halbert. Entah sudah berapa lama
ia tidak dipeluk seperti ini. Duke Norbert tidak pernah memeluknya. Ia
juga tidak memeluknya ketika ia muncul di depan pintu rumahnya di
Hauppauge. Duke hanya berkata, "Hallo. Aku yakin kau adalah Sarita, si
putri cilik itu. Apakah ayahmu ada?" Duke juga tidak memeluknya ketika
ia menangisi pembakaran jasad ayahnya.
Sudah lama sekali Sarita tidak merasakan kehangatan seperti ini. Sudah
lama sekali Sarita tidak menyandarkan kepalanya dalam dada hangat
seorang pria. Ayahnya selalu memeluknya seperti ini ketika ia menangis. Ayahnya
selalu memeluknya sepanjang malam yang dingin di luar sana. Ayahnya
selalu memeluknya dalam setiap kesempatan.
Jari jemari Sarita mencengkeram kemeja Halbert. Matanya yang mulai
membasah menutup rapat. Bibirnya yang tertutup menggumamkan,
"Papa?" Sarita merindukan ayahnya.
Tiba-tiba Halbert melepaskan Sarita.
Sarita merasa hampa.
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedetik lalu Halbert bertanya pada dirinya apa yang sedang dilakukannya
pada anak haram yang disumpahnya tidak akan pernah disentuhnya!"
Namun ketika melihat sepasang mata penuh kerinduan itu, Halbert sadar
tidak mudah mengabaikan gadis ini.
Halbert mengangkat Sarita.
Sarita terkejut. Ia cepat-cepat melingkarkan tangan di leher Halbert
untuk menopang badannya. "Aku datang untuk memastikan kau tidur saat ini juga," Halbert
membawanya masuk melalui pintu yang terbuka lebar itu.
Sarita merasa seperti kembali ke saat-saat ia membandel untuk tidur
sehingga ayahnya memaksa dengan membopongnya ke tempat tidur
seperti ini. Halbert membaringkan Sarita di tempat tidur dan beranjak pergi.
"Pangeran!" Sarita menarik tangan Halbert.
Halbert langsung berbalik.
"Kali ini gunakanlah pintu," Sarita tersenyum kekanak-kanakan.
"Tentu," kata Halbert, "Pertama-tama aku akan menutup pintu serambi."
Sarita melepas tangan Halbert.
"Selamat malam," ia tidak kuasa menahan keinginannya untuk mencium
kening gadis yang memandangnya dengan kekanak-kanakan ini.
"Apakah yang kaupikirkan, Halbert!?" Halbert memarahi dirinya sendiri
sambil berjalan ke pintu serambi kamar Sarita, "Apakah kau ingin Sarita
menahanmu di ranjangnya!?" ia mengunci pintu serambi.
Halbert melihat Sarita masih memandangnya dengan mata kekanakkanakan dan senyum manis ketika ia menuju pintu.
Sarita masih tersenyum beberapa saat setelah Halbert menghilang di
balik pintu. Sekarang ia yakin Halbert melakukan semua ini karena
simpatinya sebagai seorang gentleman kepada seorang gadis yang
sebatang kara.Sarita membaringkan diri. Malam ini ia pasti dapat
memimpikan saat-saat indah bersama ayahnya.
Chapter 9 "Sarita! Sarita!"
Suara berat memanggilnya dari kejauhan.
"Sarita, bangun!"
Sarita melihat sepasang mata cemas itu dengan pikiran kosong.
"Kau tidak apa-apa?"
Sarita melihat Halbert dengan bingung. Sesaat lalu ia bertemu Duke
Norbert yang menagih pertanggungjawabannya kemudian Chris muncul
dan berusaha memperkosanya lagi. Saat itulah ia mendengar suara yang
memanggil-manggilnya dengan panik dan ketika ia tersadar, ia sudah
berada di lengan Halbert.
"Kau tidak sakit lagi, bukan?" tangan Halbert memegang kening Sarita.
Sarita hanya menatap Halbert dengan mata bertanya-tanya.
"Kau pasti terlalu lelah," Halbert memutuskan.
Mata Sarita tidak beranjak dari wajah tampan yang cemas itu.
"Urusan Cookelt pasti telah menguras tenagamu," Halbert melepaskan
tangannya yang melingkari punggung Sarita.
Seminggu sudah Sarita tinggal di Ririvia. Selama ini tidak ada yang tidak
beres pada Sarita. Sekarang Sarita terlihat lebih sehat dan lebih segar
dari sebelumnya. Walau terkadang ia masih terlihat sedih, Sarita sudah
sering tersenyum gembira.
Halbert tidak pernah mendengar suara Sarita di malam hari ataupun di
pagi hari ketika ia melewati kamar Sarita. Tapi pagi ini ia mendengar
Sarita menjerit-jerit ketakutan. Ia pun memutuskan untuk melihat Sarita.
Walau Sarita berada jauh dari Trottanilla, tidak berarti Sarita jauh dari
masalah keluarga Riddick. Sesungguhnya, di pagi pertama Sarita berada
di Ririvia, ia telah menerima setumpuk dokumen kiriman Graham. Demi
kelancaran tugas Sarita, Raja Kathleen mengijinkan Sarita menggunakan
Ruang Perpustakaan. Halbert juga telah mengatur orang khusus untuk
mengirim kembali dokumen-dokumen itu beserta perintah tertulis Sarita
kepada Graham. Sejak itu pulalah hari-hari Sarita tidak pernah jauh dari
Ruang Perpustakaan dan urusan Cookelt.
Graham bukan saja perantara yang baik tapi juga penasehat yang baik.
Tiga hari setelah Sarita berada di Helsnivia, ia menyarankan Sarita untuk
mengganti guru pribadi Chris. Sesungguhnya Sarita tidak menyukai Owen
tapi ia tidak dapat melihat kesalahan Owen dalam mengajar Chris.
Grahamlah yang berkata Owen akan membentuk Chris menjadi Duke
yang buruk. Owen pula yang mulai mendorong Chris untuk melawan
Sarita. Sarita, atas saran Graham, memilih guru baru untuk Chris dan
sekarang guru itu menjadi pengawas kepercayaannya.
"Apakah kau mau pergi berkuda denganku?"
Sarita melihat Halbert sudah mengenakan pakaian lengkap. Celana hitam
yang membalut kaki panjangnya dipadu dengan kemeja putihnya. Halbert
terlihat jauh lebih santai dari saat ia mengenakan baju dinasnya.
Sarita ingat setiap pagi Halbert selalu pergi berkuda. Sarita selalu melihat
kepergian Halbert di pagi-pagi buta. Sarita juga mengawasi kepulangan
Halbert sesaat sebelum makan pagi. Halbert pasti tidak menyadarinya.
Sarita selalu melihat di saat Halbert mulai mendekati pintu, segerombolan
wanita yang entah dari mana datangnya, mengerumuni Halbert. Dengan
ramah dan senyumnya yang menaklukan hati tiap wanita, Halbert
melayani wanita-wanita itu satu per satu. Benar-benar tipe pria yang
tidak kekurangan teman wanita! Yang diherankan Sarita adalah Halbert
tidak se"lincah" ketika ia berada di Trottanilla. Ia melihat wanita di sisi
Halbert selalu silih berganti tapi tidak tiap hari dan sehari lima kali seperti
di Trottanilla. Halbert juga tidak selalu menghabiskan waktunya bersama
wanita seperti ketika ia di Trottanilla. Sesungguhnya, ia lebih banyak
menghabiskan waktu untuk urusan Kerajaan Helsnivia. Tapi siapa tahu
ketika ia berada di luar Ririvia.
"Aku akan menunggumu di bawah," Halbert memberitahu dan ia
meninggalkan Sarita yang masih bergulat dengan pikiran kosongnya.
Saritapun segera bangkit dan bersiap-siap.
Sarita selalu seperti ini beberapa saat setelah ia membuka mata di pagi
hari terutama bila ia dibangunkan dengan paksa. Ayahnya selalu berkata
saat yang paling mudah untuk membujuknya adalah di pagi hari ketika ia
baru membuka mata. Hanya saat inilah pikirannya kosong dan otaknya
berputar lambat bahkan untuk berkata-kata. Bila Halbert tidak
mengetahuinya, maka ia pasti menyadarinya saat ini.
Beberapa saat kemudian Sarita sudah berdiri di depan Halbert yang
menantiya di depan pintu Ririvia dengan dua ekor kuda yang gagah.
Penampilan Sarita jauh dari Halbert yang berwibawa. Sarita hanya
mengenakan salah satu gaun katunnya yang sederhana " jauh dari kesan
mewah. Rambutnya hanya terikat pita coklat muda yang senada dengan
gaunnya. "Kau sudah siap?" Halbert memberi cambuk kuda kepada Sarita.
"Ya," pikiran Sarita sudah pulih sekarang tapi ini sudah terlalu terlambat
untuk berpaling. Sarita segera menaiki kudanya sebelum Halbert
menawarkan bantuan atau membantunya tanpa ijin.
Halbert menyembunyikan senyum gelinya melihat Sarita yang seperti
terburu-buru kabur. Berdua, mereka beriringan meninggalkan Istana Ririvia yang megah.
Mereka melewati Travlienne, pusat pemerintahan Helsnivia. Mereka terus
melaju ke daerah perhutanan " jauh dari pemukiman. Mereka terus
menanjak di antara pohon-pohon tinggi hingga pada akhirnya Halbert
berhenti di tepi jurang terbuka.
"Ini adalah tempat yang paling kusukai di Helsnivia," Halbert
mengumumkan. Sarita memandang kumpulan rumah-rumah kecil jauh di kaki gunung.
Halbert turun dari atas kudanya dan berjalan ke tepi jurang.
Sarita mengikuti. "Dari sini kau bisa melihat seluruh wilayah Helsnivia."
Sarita melihat lekukan-lekukan kaki pegunungan dan daratan hijau yang
membentang luas hingga di kaki gunung di kaki langit. Beberapa garis
meliuk-liuk di antara hijaunya pepohonan. Di sana sini terlihat danau
yang nampak seperti kolam kecil di tempat tinggi ini. Istana Ririvia yang
tinggi menjulangpun nampak seperti sebuah titik di antara karpet hijau
yang membentang sejauh mata memandang.
"Aku sungguh menyesal aku tidak pernah membawamu keluar."
Sarita melihat Halbert dan tersenyum. "Saya tidak pernah menyalahkan
Anda. Anda adalah orang yang sibuk."
"Kadang di kala aku lelah, aku datang ke tempat ini. Tidak seorang pun
tahu tempat ini kecuali aku," Halbert menatap Sarita, "Dan kau
tentunya." Halbert memberikan senyumannya yang menawan, "Kau
adalah gadis pertama yang kuajak ke tempat ini."
Sarita hanya tersenyum. Dalam hati ia bertanya-tanya berapa kalikah
Halbert mengatakan kalimat yang sama. Sarita tidak akan terkejut bila
Halbert sudah menghafal kalimat ini di luar kepalanya.
"Kau juga wanita pertama yang kuajak pulang ke Ririvia."
Pemuda dengan reputasi seperti Halbert!" Tidak mungkin. Sarita tidak
percaya. Bila Halbert berkata ia adalah anak haram pertama ang
dibawanya pulang, Sarita akan percaya.
"Anda sungguh pandai berbicara, Pangeran," Sarita tersenyum, "Pasti
inilah cara Anda membuat tiap kekasih Anda merasa spesial."
"Tidak, Sarita. Aku bersungguh-sungguh," Halbert berusaha meyakinkan.
Sarita hanya tersenyum simpul dan duduk memandang kejauhan. Ia
memang gadis muda yang lugu dan buta tentang pria tetapi ia tidaklah
sebodoh itu. "Sesungguhnya kau adalah yang pertama dalam banyak hal," Halbert
duduk di sisi Sarita, "Kau adalah gadis pertama yang kulihat tidak terlalu
pusing dengan penampilanmu."
"Bila Anda menunjuk pada gaun-gaun saya, Pangeran, sungguh menyesal
saya tidak mempunyai sepotong gaun pun yang sesuai dengan
kemewahan Istana Ririvia. Ketika meninggalkan Sternberg, saya berniat
tinggal di desa Hauppauge yang jauh dari kaya dibandingkan Istana
Ririvia yang megah."
"Kau bisa membeli gaun baru."
"Untuk apa?" tanya Sarita, "Saya tidak akan selamanya tinggal di Ririvia.
Yang terutama, saya tidak punya uang, uang negara ini."
Halbert memperhatikan Sarita sama sekali tidak terusik oleh bedanya
kualitas pakaian yang mereka kenakan.
"Kau adalah wanita pertama yang tidak pusing menata rambut."
"Tatanan rambut yang paling rumit yang saya kenakan adalah
mengepang rambut saya," Sarita membeberkan fakta, "Saya tidak
dibesarkan untuk memusingkan rambut saya. Saya suka membiarkan
rambut saya tergerai."
Selama Sarita di Ririvia, Halbert juga telah memperhatikannya. Ia
beberapa kali melihat Sarita dengan rambut terkepang rapi. "Kau lebih
cocok dengan rambut tergerai bebas."
"Apakah Anda sedang mengomentari penampilan saya, Pangeran?" tanya
Sarita menyelidik. "Tidak. Aku hanya membeberkan hal-hal pertama dari wanita yang
kulihat darimu." "Tampaknya petualangan-petualangan Anda belum cukup untuk
mengenalkan sosok wanita pada Anda," Sarita tertawa geli, "Saya lihat
petualangan Anda tidak akan pernah berhenti. Di dunia ini ada banyak
macam wanita. Anda masih perlu mencoba petualangan baru."
Halbert terperanjat. "Kau adalah wanita pertama yang mengatakannya."
"Mengatakan apa?"
"Petualanganku."
"Apakah ada yang salah dengannya, Pangeran?" tanya Sarita, "Apakah
saya mengatakan sesuatu yang salah?"
"Tidak. Kau adalah wanita pertama yang mengerti petualanganku."
"Ayah saya adalah seorang petualang. Ia selalu mencoba hal baru untuk
membuatnya tidak pernah bosan dan ia tidak pernah berhenti," Sarita
terkenang, "Katanya, seorang petualang tidak pernah berlabuh."
"Namun pada akhirnya ia berlabuh pada ibumu."
"Tidak," Sarita menyangkal, "Papa tidak pernah berlabuh. Ia membawa
Mama bersamanya." "Duke Norbert membawa ibu Sarita dalam affair cintanya!" Halbert tidak
dapat memahami kharakter Duke Norbert. Bagaimana mungkin ia
melibatkan kekasihnya yang satu dengan kekasihnya yang lain"
"Kau sungguh"," Halbert kehilangan kata-katanya.
Sarita melihat Halbert " menanti kelanjutan kalimatnya.
"Unik," akhirnya Halbert berkata.
"Terima kasih. Itu adalah komentar pertama yang saya dengar," Sarita
bermain dalam permainan kata "pertama" Halbert.
"Apakah kau tidak mempercayaiku?"
"Saya mempercayai Anda," Sarita tersenyum dan menambahkan kalimat
yang pernah diutarakan Halbert padanya, "Karena saya tidak cukup
cantik untuk membuat Anda tertarik pada saya."
"Aku bersungguh-sungguh Sarita. Kau adalah wanita pertama yang
membuatku duduk di samping tempat tidur dan merawatmu. Aku tidak
pernah menjaga orang sakit. Kaulah yang pertama."
"Menjaga saya?" Sarita bingung. Ia teringat lagi ucapan Halbert pagi ini di
kamarnya. "Apa kau sakit lagi?" Lagi" Kapan ia pernah memberitahu
Halbert bahwa ia sakit"
"Kapankah Anda merawat saya?" Sarita pernah jatuh pingsan di tangan
Halbert tapi saat itu Sarita langsung pergi. Marcialah yang menjaganya.
Marcialah yang merawatnya ketika ia sakit. Tapi" butuh satu jam untuk
pergi ke kota terdekat dari Hauppauge. Butuh satu jam lagi untuk
kembali. Hari itu Marcia berkata ia akan memanggil dokter tapi sesaat
kemudian ia sudah kembali untuk merawatnya. "Apakah?"" Sarita
melihat Halbert dengan tidak percaya dan bingung.
"Sudah waktunya kita kembali," Halbert berdiri, "Wyatt pasti sudah mulai
bingung mencariku." Halbert berbohong! Setiap pagi Sarita melihat Wyatt berdiri di pintu
menanti kepulangan Halbert dari olahraga paginya ini. Ia menghindar!
Cinta Tokoh Sesat 1 Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai Dewa Cadas Pangeran 2
sudah mendapatkan kembali tenagaku." Kemudian Sarita mengalihkan
pembicaraan. "Di manakah sarapan pagi yang kausiapkan untukku?"
"Ya Tuhan!" Marcia kembali berseru, "Aku meletakkannya di depan pintu
rumahmu." "Tampaknya aku harus segera pulang sebelum rotimu dingin."
Marcia langsung melompat berdiri.
Saritapun berdiri dan membiarkan pemuda itu memimpinnya pulang ke
rumah mungilnya. Perjalanan pulang itu tidak dapat dikatakan sebagai perjalanan yang
sunyi. Setiap kali mereka berjumpa dengan seseorang, dapat dipastikan
mereka akan disapa. Mereka yang jauh lebih tua, menyapa Sarita dengan
ramah dan menyampaikan bela sungkawanya atas kematian Duke.
"Sarita, kau sudah kembali?" kata orang pertama yang berpapasan
dengan mereka. "Sarita, aku turut bersedih," kata yang kedua.
"Apakah kabar itu benar, Sarita?" kata yang lain, "Aku turut bersedih.
Duke adalah pria yang baik."
"Selamat datang lagi, Sarita," sapaan lain yang diterima Sarita.
"Apakah rencanamu setelah ini?" tanya mereka penuh kepedulian.
Dan ketika mereka berjumpa dengan pemuda-pemudi sebaya, mereka
akan mengolok-olok Marcia.
"Marcia, kau sudah mengawal Sarita lagi!" seru mereka.
"Wah" wah" lihatlah Marcia. Sekarang ia menjadi pengawal sang Lady
Sarita." "Lihatlah Marcia! Ia tidak mau orang lain mendekati Sarita."
"Marcia, apa aku boleh berkencan dengan Sarita?"
"Marcia, pagi-pagi ini kau sudah mengajak Sarita berkencan!?"
Marcia, seperti biasa, marah-marah atas olok-olokan itu.
"Kami hanya teman!" gerutunya setiap saat.
Sarita hanya tersenyum. Ia sama sekali tidak tersinggung oleh olokolokan mereka. Sarita tahu mereka hanya bercanda dan di balik semua
itu, Sarita dapat merasakan jiwa persaudaraan mereka.
Sarita juga tahu Marcia menyukainya sejak enam tahun lalu. Sarita juga
menyukai Marcia tetapi tidak akan lebih dari seorang teman.
Enam tahun lalu, ketika ayahnya terbaring sakit, Marcia selalu
menyempatkan diri untuk menemaninya. Ia selalu membawa serta
makanan untuk Sarita dan bercanda dengan Sarita untuk mengusir
kesedihannya. Ketika ayahnya meninggal, Marcia adalah orang pertama
yang menghiburnya. Kemudian ketika Sarita dibawa pergi Duke Norbert,
ia adalah orang yang paling sedih. Marcia juga adalah orang selalu
merawat kebun mungilnya selama ia tidak ada di Hauppauge. Setelahnya,
setiap kali Sarita datang ke Hauppauge, Marcia selalu mencuri waktu
untuk menemaninya. Ini adalah hal di antara mereka berdua tapi seisi desa mengetahuinya.
Sarita baru saja datang kemarin sore tapi setiap orang sudah tahu apa
yang terjadi. Sarita mendesah panjang. "Inilah bedanya kota dan desa."
"Ada apa, Sarita?" tanya Marcia cemas, "Apa kau merasa tidak enak
badan" Biar kulihat!" tangan Marcia terulur ke kening Sarita.
"Aku tidak apa-apa," Sarita menghindar.
"Marcia tidak akan pernah mengerti," pikir Sarita dan ia membuka pintu
pagarnya. Sarita tertegun. Sebotol susu terguling di depan pintu rumah mungilnya "
mengotori teras yang baru dibersihkannya pagi ini dan membasahi roti
yang dibawa Marcia pula untuknya.
"Ya Tuhan!" Marcia terpekik kaget, "Aku begitu tergesa-gesa sehingga
membuat kecerobohan!"
"Tidak apa," Sarita membungkuk mengambil botol yang hampir kosong
dan roti basah itu. Marcia menyambar botol beserta roti di tangan Sarita. "Aku akan segera
membawa yang baru." Sebelum Sarita sempat mencegah, Marcia sudah
berlari pulang. Inilah Marcia. Bila Sarita tidak segera menjawab ketukan pintunya di pagi
hari, ia akan berteriak-teriak membangunkan Sarita. Jika ia masih tidak
menemukan Sarita, ia akan berlari pontang-panting mencarinya ke setiap
sudut desa dan akhirnya menemukan Sarita di bukit padang rumput yang
sama. Marcia benar-benar seorang pemuda yang menarik. Hanya ada satu
tempat yang dituju Sarita seteiap pagi, namun Marcia selalu mencarinya
ke mana-mana sebelum pergi ke bukit itu.
"Sarita!" Marcia mengetuk pintu ketika Sarita mencuci kain yang baru
digunakannya untuk membersihkan teras.
Sarita segera menjemur kain itu di atas perapian.
"Sarita!" seru Marcia lagi, "Kau masih di dalam?"
"Ya, aku masih di sini," Sarita membuka pintu.
Marcia terlihat begitu lega.
"Kau masih tidak berubah," Sarita tersenyum " menerima roti dan susu
baru dari Marcia. Marcia mempersilakan dirinya sendiri masuk ketika Sarita mengambil
gelas dan piring. "Kau ingat, Marcia," Sarita terkenang, "Papa selalu marah-marah setiap
kali kau berteriak-teriak memanggilku." Sarita tersenyum mengingat
omelan ayahnya setiap kali Marcia mulai berteriak-teriak membangunkan
Sarita. "Segera tutup mulut bocah itu!" kata Ithnan setiap kali ia terbangun oleh
seruan Marcia. Ketika keadaan ayahnya mulai memburuk, Sarita selalu menunggu Marcia
di depan pintu. Ia tidak mau Marcia membangunkan ayahnya yang
membutuhkan banyak istirahat.
"Jangan membicarakan hal itu!" potong Marcia tidak senang, "Kenangan
itu hanya akan membuatmu semakin bersedih. Sebaiknya kau segera
melupakannya." Sarita terdiam. Ia membuka lemari lain di dinding untuk mencari sesuatu
yang bisa disajikan bersama roti dan susu itu. Saat itulah Sarita sadar
dapurnya kosong! Tampaknya inilah saat yang tepat untuk menggunakan uang
simpanannya. "Maafkan aku," Sarita meletakkan piring berisi roti yang sudah diirisnya
dan segelas susu di depan Marcia. "Aku tidak mempunyai apapun untuk
disajikan." "Apa yang kauperlukan?" tanya Marcia, "Aku akan mengambilnya di
rumah." "Tidak perlu," Sarita mengambil gelas susunya beserta piring dan
peralatan makan untuk mereka. "Siang ini aku akan pergi membelinya.
Aku harus membeli banyak barang untuk hari-hari mendatang."
"Kau akan tinggal di sini?" Marcia bertanya antusias.
Sarita meletakkan piring-piring itu dan gelasnya kemudian duduk di
depan Marcia. "Ya," jawabnya singkat.
"Apa saja yang kauperlukan?" Marcia bertanya penuh semangat, "Aku
akan membelinya untukmu."
"Aku masih belum memikirkannya."
"Ya Tuhan!" Marcia mengejutkan Sarita, "Aku berjanji pada Ayah untuk
menemaninya ke pasar hewan."
"Segeralah pulang sebelum ayahmu marah," Sarita tersenyum. "Aku tidak
terburu-buru. Aku bisa membelinya besok."
"Apa yang selanjutnya akan kaulakukan?"
Sarita menatap kosong roti dan susu hangatnya. Selera makannya masih
belum pulih. "Aku akan mencari pekerjaan dan menanam sayur-sayuran
untuk diriku sendiri.?"
"Kau bisa menjadi guru!" usul Marcia.
Sarita melihat pemuda itu.
"Kau bisa membaca, menulis. Kau lebih berpendidikan dari kami," desak
Marcia. "Penduduk desa pasti senang kalau kau mau menjadi guru."
Sarita tersenyum. "Ya, itu adalah usul yang bagus. Aku sama sekali tidak
memikirkannya. Namun, Marcia, aku membutuhkan tempat untuk
mengajar dan buku serta peralatan tulis."
"Kami akan membangunnya untukmu," Marcia berkata penuh semangat,
"Penduduk desa pasti dengan senang hati membangun tempat mengajar
bagimu. Kami akan berurunan membeli segala yang kauperlukan."
"Terima kasih, Marcia," kata Sarita, "Itu adalah ide yang sangat baik. Aku
akan dengan senang hati membagi apa yang kuketahui pada kalian.
Namun." "Sudah diputuskan!" Marcia berdiri, "Aku akan membicarakannya dengan
ayah ibu sebelum merundingkannya dengan yang lain!"
"Marcia!" Sarita mencoba menghentikan pemuda itu.
Marcia tidak mendengar Sarita. Ia terus berlari pulang.
Sarita menyukai ide mengajar penduduk desa kecil ini. Namun Sarita
tidak suka ide dibayar dan merepotkan mereka untuk kepentingan
mengajarnya. Sarita tidak keberatan bila mereka mau membangun
gedung sekolah untuknya. Sarita keberatan bila mereka harus
mengeluarkan uang untuk buku-buku pelajaran yang ingin digunakannya
beserta peralatan belajar mengajar. Sarita ingin bekerja selama gedung
itu dibangun dan setelahnya, ia akan menggunakan uang hasil kerjanya
untuk membeli peralatan belajar mengajar.
"Sarita," Marcia berseru.
Sarita langsung keluar. Marcia sudah berada dalam pekarangan
rumahnya sendiri. "Sore ini datanglah untuk makan malam bersama kami. Ayah ibu pasti
senang melihatmu." "Terima kasih, Marcia," kata Sarita, "Hari ini aku ingin menyendiri. Besok
sore aku akan bergabung dalam acara makan malam kalian."
"Baiklah," kata Marcia.
"Marcia, tunggu!" cegah Sarita melihat pemuda itu membalikkan badan.
"Aku akan memberi kabar," pemuda itu berlari ke rumah tepat di sisi
kanan rumah Sarita. Karena rumah Sarita adalah milik Marcia pada awalnya, rumah mereka
adalah satu-satunya rumah yang bertetangga dekat di desa pertanian ini.
Hanya sebaris pagar setinggi pinggang yang membatasi taman kecil
Sarita dengan peternakan keluarga Marcia. Sarita melihat Marcia masuk
ke dalam rumah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Saritapun kembali ke rumahnya untuk meringkas meja. Sarita
menyimpan kembali susu yang tidak tersentuh itu di dalam botolnya dan
membiarkan roti itu di atas meja.
Seperti yang dikatakan Sarita pada Marcia, sepanjang hari itu ia
menyendiri di dalam rumahnya " di dalam dunianya. Ia duduk berjamjam di depan nisan ayahnya dengan mata dan pikiran kosong. Ia
melamun di dalam rumah mungilnya. Ia mengenang saat-saat terakhir
bersama ayahnya di rumah ini.
Sarita sama sekali tidak terusik oleh kegelapan ketika malam menjelang.
Gelapnya rumahnya yang tanpa penerangan membuat Marcia menduga
gadis itu tidur sehingga ia tidak mengganggunya.
Seseungguhnya, Sarita duduk di sisi tempat tidur seperti yang biasa
dilakukannya enam tahun lalu. Kakinya merapat di dadanya dan
kepalanya merebah di atas kedua lutunya sementara tangannya memeluk
rapat-rapat lututnya. Sarita merasa begitu kesepian. Ia merindukan saat-saat menjaga
ayahnya yang terbaring sakit, saat-saat Duke Norbert membuatnya panik
sepanjang malam. Sarita tidak menangis. Ia sudah sudah tidak bisa menangis lagi. Ia terlalu
sedih dan kesepian untuk dapat menangis.
Ia tidak merasa begitu kesepian seperti ini ketika ia masih berada di
Sternberg setelah kematian Duke. Sarita juga tidak merasa kesepian
seperti ini ketika ayahnya meninggal enam tahun lalu.
Sarita tahu ia masih terlalu kecil enam tahun lalu untuk mengerti arti
kesepian. Walau tidak diragukan Sarita lebih dewasa dari anak-anak
seusianya, ia masih belum memahami apa arti perpisahan kekal.
Apa yang bisa diharapkan dari gadis yang belum genap sebelas tahun"
Sarita tidak tahu mengapa ia tidak merasa kesepian seperti ini dalam
seminggu terakhir di Sternberg itu.
Sarita tidak tahu bagaimana ia harus melewati hari-hari sepi mendatang.
Namun ia tidak akan menyerah. Ayahnya selalu mengajarkannya untuk
tidak mudah putus asa. Sepanjang malam itu, Sarita hanya meringkuk di sisi tempat tidur tanpa
bisa memejamkan mata. Ketika sinar matahari mulai memasuki kamar,
barulah Sarita sadar bertapa lamanya ia duduk melamun dengan pikiran
kosong. Sarita segera menemui ayahnya untuk mengucapkan selamat pagi.
"Sarita! Sarita!"
Sarita yang baru saja mencapai nisan ayahnya, mau tak mau berbalik.
"Selamat pagi, Sarita," Marcia tersenyum di depan pagar. "Lihatlah apa
yang kubawa untukmu," ia mengangkat sebuah keranjang.
"Masuklah," kata Sarita, "Aku ingin menemui Papa dan setelah itu aku
akan bergabung denganmu."
"Baiklah," Marciapun mempersilakan dirinya sendiri sementara Sarita
menyampaikan selamat paginya dengan cepat kepada ayahnya.
Ketika Sarita kembali, Marcia menatap Sarita dengan pandangan tidak
senangnya. "Kau sama sekali tidak makan," katanya menyalahkan.
"Aku tidak mempunyai apa pun untuk menambah rasa pada roti itu,"
Sarita mencari alasan dengan cepat.
"Hari ini aku membawanya untukmu," Marcia tersenyum penuh
kebanggaan dan ia segera membongkar isi keranjangnya di atas meja.
"Aku membawa roti, susu, keju, madu," katanya sambil mengeluarkan
barang-barang itu satu per satu, "Mentega, gula, , garam, dan rempahrempah."
Sarita terperangah. "Ketika aku mengatakan pada ibu kau tidak mempunyai apapun di
dapurmu, ia menyuruhku membawa ini untukmu."
"Sampaikan terima kasihku padanya."
"Ayah juga mengijinkan aku untuk menemanimu ke kota hari ini."
"Tidak perlu, Marcia," Sarita tidak ingin menyita waktu pemuda itu.
Marcia adalah adalah satu-satunya penerus pertanian keluarganya. Ia
sangat dibutuhkan di ladang mereka. "Aku bisa pergi sendiri."
"Kau pasti membutuhkan orang untuk membawa barang-barangmu."
Sarita lepas tangan. Sinar mata pemuda itu sudah mengatakan ia tidak
bisa dicegah. Segera setelah memaksakan diri untuk menyantap seiris roti dan segelas
susu di hadapan Marcia, Sarita segera membersihkan meja.
Marcia pulang untuk menyiapkan gerobak kudanya ketika Sarita bersiapsiap.
Sarita hanya menyisir rambut dan mengambil uangnya. Sesaat kemudian
ia sudah menanti Marcia di depan rumah.
Seawal mungkin mereka pergi ke kota, semakin cepat pula Sarita dapat
mengembalikan Marcia pada keluarganya.
Sarita tidak perlu khawatir toko-toko di kota terdekat masih tutup. Inilah
bedanya kota besar dan kota kecil. Kota besar adalah kota malam dan
kota kecil adalah kota pagi. Pada pukul delapan pagi dapat dipastikan
semua orang sudah terjaga dan pada sekitar pukul sepuluh malam tiap
orang sudah berada di seluruh rumah mereka masing-masing " bersiapsiap untuk tidur.
Baru saja mereka meninggalkan Hauppauge ketika sebuah kereta
menghadang jalan mereka. "Hei!" seru Marcia marah pada kereta yang melintang di tengah jalan itu,
"Apa kalian tidak tahu cara menggunakan jalan!?"
"Inikah si gadis kota yang terkenal itu?" sebuah suara terdengar dari
dalam kereta. Marcia melintangkan tangan di depan Sarita. "Siapa kau!" Tunjukan
dirimu!" Seorang pria menunjukkan kepalanya di jendela. "Ia lebih cantik dari
yang dikabarkan," pemuda itu tersenyum puas.
"Tuan Jason," Marcia terperanjat, "Sarita tidak punya hutang pada Anda.
Jangan ganggu dia," pintanya.
Sarita tertarik mengapa Marcia tampak begitu takut pada pria sombong
itu. "Sarita?" ulang pemuda itu, "Nama yang indah."
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa dia, Marcia?" tanya Sarita.
"Kau juga punya suara yang indah," seru Jason gembira, "Sudah
diputuskan! Aku menginginkanmu!"
Marcia terperanjat. Sarita juga tidak kalah kagetnya. Ternyata pemuda sombong ini tidak
lebih dari seorang pria mata keranjang. Seharusnya ia mengetahuinya
ketika ia melihat cara pemuda itu melihatnya.
"Terima kasih, Tuan Jason," Sarita menolak sopan, "Saya sungguh
tersanjung namun saya tidak pantas untuk Anda."
Pria itu tertawa. "Kau bermulut manis. Aku benar-benar
menginginkanmu!" Baru saja pemuda itu berkata ketika dua orang pria kekar muncul dari sisi
kereta yang tidak dapat dilihat mereka.
Sarita tidak tahu apa tujuan dua pria itu sehingga ia tidak siap ketika
mereka menariknya turun dengan paksa. Begitu kerasnya tarikan mereka
sehingga Sarita akan jatuh ke tanah bila mereka tidak menggenggam
kuat-kuat pergelangan tangannya.
"Lepaskan Sarita!" Marcia meloncat turun.
"Jangan menghalangi Tuan Muda Jason!" seorang dari pria itu
menghantamkan tinjunya ke wajah Marcia.
Marcia jatuh terpelanting. Kepalanya membentur roda kereta dengan
keras. "MARCIA!!!" Sarita berusaha melepaskan diri.
Kedua pria itu menyeret Sarita ke pintu kereta Jason di sisi lain.
"Lepaskan!" Sarita memberontak, "Lepaskan aku!" Sarita kian cemas
melihat Marcia tidak juga berdiri, "Apa yang akan kaulakukan kalau ia
mati!?" Sarita menatap tajam pada pria di dalam kereta.
"Nyawa pemuda ingusan itu tidak ada artinya bagiku," Jason berkata
dengan sombongnya. "Apa nyawamu tidak berarti!?" serang Sarita, "Apa kau pikir aku akan
menutup mulut" Apa kaupikir mereka tidak akan melepaskanmu!?"
Pemuda itu tertawa tertawa mengejek Sarita. "Mereka tidak mungkin
melakukannya." "Mungkin," Sarita berkata dingin, "Namun aku tidak takut padamu. Kau
boleh membunuhku pula namun setelah itu orang-orang akan bertanyatanya siapa pembunuh kami. Seorang yang melihat kejadian ini pasti
mengatakan salah seorang dari bawahanmu yang melakukannya."
Kalimat Sarita membuat pria yang menghantam Marcia melepaskan
cengkeramannya. "Dan mereka pasti mengatakan kaulah yang memerintah mereka demi
nyawa mereka sendiri," Sarita melanjutkan dengan tenang, "Kau tahu
apa artinya itu, bukan?"
"Ah, aku melihat seseorang mendekat. Ia pasti melihat semuanya,"
tambah Sarita pula. "Lepaskan dia!" Jason berkata panik, "Segera tinggalkan tempat ini."
Dalam sekejap mereka sudah menjauh " meninggalkan Sarita yang
berpuas diri. Seorang pria kaya dan sombong yang lebih suka menyuruh
bawahannya selama ia bersembunyi di tempat aman, dapat dipastikan
adalah pengecut. Marcia mengenang kesakitan.
Perhatian Sarita langsung teralih. "Marcia, kau tidak apa-apa?" tanyanya
cemas. Marcia memegang kepalanya.
"Kau berdarah!" pekik Sarita melihat tangan Marcia yang memerah. "Kita
pulang saat ini juga," Sarita membantu Marcia berdiri, "Lukamu harus
segera diobati!" Sarita membantu Marcia berbaring di dalam gerobak kemudian ia
melajukan kereta kembali ke desa.
Ayah ibu Marcia begitu cemas melihat luka putra satu-satunya mereka.
Mereka segera mengobati luka Marcia.
Ketika Sarita membantu ibu Marcia merawat luka di kepala Marcia itulah,
ia mengetahui siapa pemuda itu. Dari orang tua Marcia, Sarita mendengar
bahwa Jason adalah putra keluarga Burnap, pedagang kaya yang
belakangan ini sukses. Ia adalah satu-satunya pria dalam tiga
bersaudaranya dan ia adalah anak bungsu. Kakak-kakaknya dan orang
tuanya sangat mencintainya. Apapun permintaan Jason, selalu dikabulkan
keluarga Burnap. Yang lebih tidak menguntungkan adalah Jason seorang
pemuda sombong yang berwatak buruk. Ia suka memeras orang lain. Ia
juga tidak ragu-ragu merebut milik orang lain.
Selain memberitahu siapa Jason, orang tua Marcia juga memperingatkan
Sarita untuk berhati-hati pada Jason. Bila apa yang dikatakan Jason
padanya memang serius, Jason pasti akan muncul kembali untuk
menccarinya. Yang tidak Sarita pahami adalah bagaimana Jason tahu tentangnya"
Sarita mendesah panjang. "Inilah bedanya kota besar dengan tempat
terpencil," gumamnya.
Kejadian seremeh apa pun pasti segera menjalar ke seluruh pelosok
dengan cepat. Sarita tidak akan kaget kalau saat ini semua penduduk
Hauppauge tahu mereka diserang Jason dan sekarang Marcia terluka.
Sarita ingin menjaga Marcia, namun orang tua Marcia menyuruhnya
pulang. "Kau juga juga perlu istirahat," kata mereka, "Kejadian ini pasti
mengagetkanmu." Mereka juga berjanji akan memberi kabar pada Sarita bila terjadi sesuatu
pada Marcia entah itu baik atau buruk.
Sarita berharap Marcia tidak apa-apa. Ia tidak mau menjadi penyebab
celakanya pemuda itu. Baru saja ia berharap ketika ia mendengar
ketukan di pintu. Sarita berharap orang tua Marcia tidak datang untuk memberitahu
keadaan Marcia memburuk. "Selamat siang, manis," Jason berdiri di depan pintu dengan senyum
liciknya. Sarita terperanjat. "B-bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Mengapa tidak?" Jason menerobos masuk diikuti kedua pengawalnya.
"Siapa yang mempersilakanmu masuk!?" tegur Sarita.
"Kaupikir ini rumah siapa?" balas Jason, "Ini adalah rumah ayahku. Kau
tidak berhak tinggal di sini."
"Apa kau kira aku percaya?" Sarita tidak gentar, "Rumah ini telah resmi
menjadi milikku!" "Mana buktinya?" tanya Jason. "Ini adalah bukti rumah ini adalah milik
ayahku," Jason mengeluarkan sebuah kertas yang menyatakan rumah
kecil ini adalah milik keluarga Burnap.
"I-itu tidak mungkin," kata Sarita, "Norbert membelinya."
"Kau sudah tinggal di tempat ini selama bertahun-tahun, bagaimana kau
akan membayar hutangmu?" Jason memegang dagu Sarita.
"Lepaskan!" Sarita menampar wajah Jason.
Dua pengawal Jason langsung mencekal Sarita.
"Apa yang kaulakukan padaku, perempuan sial!?" Jason mencengkeram
rambut Sarita. "Mengajarimu adat," jawab Sarita tenang " menolak menunjukkan
kesakitannya. "Akulah yang akan memberimu pelajaran, perempuan," Jason menarik
rambut Sarita sehingga wajah menengadah ke arahnya. Dengan
mulutnya, ia mulai menjelajahi leher jenjang Sarita.
"Lepaskan!" Sarita memberontak dengan jijik.
Dua pria di sisi Sarita memegang tangan gadis itu kuat-kuat sementara
Jason menjelajahi leher Sarita dan dada gadis itu.
"HENTIKAN!!!" pekik Sarita ketika ciuman Jason semakin turun ke
dadanya. Tubuhnya merinding jijik dan ketakutan.
Jason membuka kancing di sepanjang dada Sarita.
"Apa yang kaulakukan padanya, bajingan!?"
Chapter 6 Halbert memegang pundak Jason dan menjatuhkan tinju yang keras di
wajah pemuda itu. Sarita terbelalak. Mengapa Pangeran Halbert berada di tempat ini"
Halbert sendiri juga tidak tahu mengapa ia masih berada di tempat ini.
Hari itu setelah melihat pemuda itu datang dengan dokter, ia memang
memutuskan untuk pergi. Tapi ia tidak pergi ke villa tempat ia tinggal
selama di Trottanilla, melainkan ke kota terdekat, kota asal dokter itu. Di
sana Halbert menyewa kamar untuknya dan pengawal-pengawalnya di
sebuah penginapan. Tidak hanya itu saja yang Halbert lakukan. Halbert mengirim pelayannya
pulang untuk mengabari Wyatt, pelayan dan pengurus pribadinya. Selain
itu, Halbert meminta dua pengawalnya untuk secara bergantian
mengawasi Sarita. Setiap tiga jam pengawalnya yang mengawasi Sarita
akan pulang ke penginapan untuk melaporkan perkembangan dan di saat
yang bersamaan pengawal di sisinya akan berangkat ke Hauppauge.
Sebagai jawaban kabar yang dikirim Halbert, Wyatt, sang pelayan tengah
bayanya datang. "Pangeran sampai kapankah Anda akan berada di sini?" protes Wyatt,
"Bukankah ini sudah waktunya kita kembali ke Helsnivia" Paduka Ratu
sudah merindukan Anda. Paduka Raja hanya mengijinkan Anda
memperpanjang liburan Anda sampai penguburan Duke of Cookelt."
"Kita tidak akan pergi sebelum aku yakin sesuatu," tegas Halbert.
"Bila Anda berkenan," kata Wyatt, "Apakah itu, Pangeran?"
Halbert tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Saat inipun ia tidak punya
jawaban. Dari pengawalnya, ia tahu Sarita tidak tinggal serumah dengan pemuda
itu. Namun ia juga tahu kemarin pagi Sarita berduaan dengan pemuda itu
sepanjang pagi kemudian Sarita mengurung diri di dalam rumah
mungilnya. Dari pengawalnya pulalah, Halbert tahu pagi ini Sarita
diserang orang tak dikenal.
"Seseorang menyerang Lady Sarita, Pangeran," lapor pengawalnya
sekitar satu jam yang lalu, "Pria yang selalu terlihat bersama Lady Sarita
menolongnya." Halbert lega tapi juga tidak senang.
"Baru saja saya melihat kereta penyerang Lady Sarita menuju kediaman
Lady Sarita." "Segera siapkan kuda!" Halbert langsung memerintah.
Sesaat kemudian ia sudah memacu kudanya ke Hauppauge. Jalanan terjal
yang biasa ditempuh dalam satu jam, dapat ditempuh dalam jangka
waktu setengah jam oleh kuda-kuda tangguh Halbert bahkan kurang.
Halbert terus berharap ia datang tepat waktu. Ia sempat menduga ia
terlambat ketika melihat pintu rumah Sarita terbuka lebar. Betapa
murkanya ia melihat seorang pemuda yang tidak jauh lebih tua darinya
tengah bertindak tidak sopan pada Sarita.
"Anda tidak apa-apa, Yang Mulia Pangeran?" pengawal Halbert yang
masuk beberapa saat kemudian, cemas oleh suara benturan keras sesaat
lalu. Dua pria yang mencekal Sarita langsung melepaskan Sarita mendengar
sebutan "Yang Mulia Pangeran" itu. Mereka segera membantu Jason
berdiri dan kabur sebelum ditangkap.
"Biarkan pengecut-pengecut itu," cegah Halbert ketika para pengawalnya
berniat mengejar. Kalau ini adalah Helsnivia, ia pasti sudah menggantung
pemuda kurang ajar itu tetapi ini adalah Trottanilla.
Dua pengawal Halbert pun berdiri tegak.
Halbert mengalihkan perhatiannya pada Sarita yang berdiri mematung.
Gadis itu tidak jauh lebih baik dari yang terakhir dilihatnya. Halbert masih
dapat melihat garis hitam di bawah sepasang mata biru dalam itu. ia
masih dapat melihat jelas guratan-guratan kesedihan gadis itu. Malahan
ia merasa Sarita lebih kurus dari sebelumnya.
"Kau tidak apa-apa?" Halbert menyampirkan jasnya di pundak Sarita.
Saat itulah Sarita mendapatkan kembali kesadarannya. "S-sa"," tubuh
Sarita jatuh lemas. Halbert menangkap Sarita.
"Sarita! Sarita!" terdengar teriakan Marcia. "Kau tidak apa-apa" Aku
melihat kereta keluarga Burnap baru saja pergi. Mengapa banyak kuda
di," Marcia terperangah melihat dua pria berseragam di ruang kecil itu
dan seorang pria berbaju mahal memeluk Sarita.
"Siapa kau?" tanya Marcia waspada.
"Aku tidak apa-apa," jawab Sarita " benar-benar pulih dari kekagetannya.
Sarita berpegang pada lengan Halbert dan mencoba berdiri tegak namun
tubuhnya masih bergetar. Halbert membimbing Sarita duduk.
"Apa Jason tidak mencelakaimu!?" Marcia mencengkeram pundak Sarita,
"Apa ia tidak melakukan sesuatu padamu!?"
"Jangan khawatir," jawab Sarita, "Jason hanya datang menagih hutang
atas rumah ini." "Bagaimana mungkin!?" tanya Marcia, "Rumah ini sudah menjadi milikmu
sejak Duke membelinya. Tempat ini tidak pernah menjadi milik mereka!"
"Aku pun tidak tahu," jawa Sarita. "Ia mempunyai bukti kepemilikan
rumah ini." "Tidak mungkin!"
Halbert mulai merasa ia diabaikan.
"Aku akan menghubungi pengacara keluarga Riddick. Ia adalah orang
yang mengurus pembelian rumah ini dari kalian. Aku yakin rumah ini
milikku dan aku tidak punya kewajiban apa-apa pada keluarga Burnap."
"Percuma, Sarita," sergah Marcia, "Tujuan mereka bukan rumah ini tapi
kau! Tuan Jason menginginkanmu dan ia pasti melakukan apa saja untuk
mendapatkanmu! Pengacara keluarga Riddick tidak dapat membantumu.
Menikahlah denganku. Hanya itulah satu-satunya cara menghentikan
Tuan Jason." Halbert membelalak. Sarita dilamar di hadapannya!
"Terima kasih, Marcia," Sarita melepaskan tangan tangan Marcia dari
pundaknya. "Aku tidak ingin membuatmu menikahiku hanya untuk
menolongku." "Aku serius!" tegas Marcia, "Aku tidak menawarkan pernikahan dengan
main-main. Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu sejak pertama kita
bertemu. Aku terus mencintaimu ketika kau pergi. Sekarang kau telah
kembali. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi."
"Apa yang sedang dipikirkan pemuda ini?" gerutu Halbert, "Ia sama sekali
tidak memandangku. Memangnya hanya ia yang bisa membantu Sarita!?"
"Kurasa jalan yang terbaik adalah meninggalkan tempat ini," Halbert
memberi pendapat. "Sesuai dengan kata Anda, Lady Sarita, Jason tidak
akan dapat menguasai tempat ini karena tempat ini secara sah adalah
milik Anda." Sarita tersenyum. "Saya juga berpikir itu adalah cara yang tercepat dan
terbaik." Halbert puas oleh kemenangan.
Satu-satunya orang yang tidak senang adalah Marcia. "Siapa dia,
Sarita!?" tuntutnya, "Mengapa ia ada di sini?"
Sarita tidak tahu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Halbert
adalah Putra Mahkota Kerajaan Helsnivia. Apa hubungan Halbert
dengannya" Sarita tidak tahu. Teman" Walau mereka pergi bersama
beberapa kali, mereka tidak pernah bicara seperti teman. Sebaliknya,
mereka hanya berdiam diri.
"Perkenalkan, nama saya adalah Halbert Severinghaus," jawab Halbert
sebelum Sarita menemukan jawaban, "Saya adalah kawan Sarita. Senang
berkenalan dengan Anda," Halbert mengulurkan tangan.
Marcia melihat Sarita. Sarita tidak tahu harus berbuat apa.
Marcia menepis uluran tangan Halbert dan pergi dengan kesal.
Halbert kebingungan. "Biarkan dia," kata Sarita terkenang kejadian serupa enam tahun lalu.
Enam tahun lalu ketika Duke Norbert datang menjemputnya dengan
kereta kudanya yang mewah, Marcia langsung berlari mencarinya.
"Siapa dia, Sarita?" tuntutnya.
Sama seperti saat ini, Duke mendahului Sarita.
"Perkenalkan saya adalah Norbert Riddick, Duke of Cookelt. Saya adalah
teman ayah Sarita dan saya datang untuk menjemputnya."
Duke juga mengulurkan tangan pada Marcia namun Marcia menepisnya
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan berlari pergi tanpa berpamitan.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Halbert " melihat Sarita berdiri.
"Saya akan menemui Graham. Saya perlu bukti rumah ini adalah milik
saya. Entah itu bukti pembelian rumah ini atau secoret kertas, saya harus
yakin rumah ini tidak pernah menjadi milik keluarga Burnap!"
Begitu pentingnyakah rumah kecil ini hingga Sarita merasa ia perlu
memastikan bukti kepemilikannya atas bangunan yang lebih cocok
dijadikan gudang ini" "Aku akan mengantarmu," Halbert memutuskan.
Sarita belum sempat menolak ketika Halbert menurunkan titah.
"Segera siapkan kuda!" dan pada Sarita, ia berkata, "Segera ganti baju!
Kita tidak boleh kehilangan waktu sedetik pun."
Sarita tidak punya waktu untuk memprotes perintah yang tidak
diharapkannya itu. Ia juga tidak punya niat untuk menolak tawaran yang
setengah memaksa itu. Tanpa banyak bicara, ia kembali ke kamarnya
dan berganti baju. Segera setelah ia menyisir rapi rambutnya dan
mengikatnya dengan sehelai sapu tangan, ia kembali menemui Halbert.
Halbert sudah siap di pintu ketika Sarita keluar.
"Terima kasih," Sarita mengembalikan kemeja Halbert.
"Kau sudah siap?" Halbert segera mengenakan kemejanya.
"Ya," jawab Sarita.
Sarita tidak mengerti ketika seorang dari pengawal Halbert sudah
menghilang. Ia lebih kebingungan ketika ia hanya melihat dua ekor kuda
di depan pagar rumahnya. "Saya akan meminjam kuda," Sarita berbelok ke arah rumah Marcia.
"Tidak perlu," Halbert menangkap tangan Sarita, "Kau akan duduk
bersamaku," dan ia mendudukkan Sarita di belakang pelana kudanya.
Halbert segera naik ke atas kudanya diikuti pengawalnya yang lain.
Saritapun segera melingkarkan tangan di punggung Halbert ketika
mereka mulai melaju dengan cepat. Ia sudah tidak punya waktu
memikirkan betapa beruntungnya ia. Ia juga tidak punya tempat untuk
memikirkan betapa berbedanya Halbert ini dengan Halbert yang
dikenalnya. Saat ini segala tenaga dan pikirannya hanya tertuju pada
bukti kepemilikan rumah kecilnya yang berharga itu.
Begitu terfokusnya pikirannya hingga begitu ia melihat kantor Graham, ia
langsung melompat turun dan berlari ke dalam kantor yang berantakan
itu. "Ah, Tuan Puteri Sarita," kata sekretaris Graham, "Akhirnya Anda
muncul." Sarita melalui wanita itu tanpa berkata apa-apa.
"Graham!" Sarita langsung membuka pintu, "Kau harus membantuku!"
Graham langsung menghentikan pekerjaannya.
"Puji Tuhan," ia langsung menyambut Sarita, "Anda baik-baik saja, Tuan
Puteri," ia menggenggam jari-jemari Sarita erat-erat.
"Apa yang terjadi?" tanya Sarita curiga, "Apa Chris menjual rumahku
pada keluarga Burnap?"
"Keluarga Burnap?" Graham kebingungan, "Apa yang Anda katakan, Tuan
Puteri" Duke Chris tidak bisa melakukan apa-apa tanpa Anda."
"Jelaskan apa yang terjadi, Graham," Halbert maju untuk menjernihkan
suasana, "Sarita, dengarkan penjelasan Graham." Ia juga ingin tahu apa
yang sedang dibicarakan kedua orang ini. Apa hubungan kuasa Chris
sebagai Duke of Cookelt yang baru dengan Sarita" Mengapa Graham
begitu lega melihat Sarita seakan-akan ia tahu sesuatu tengah
mengancam Sarita" "Sesuai dengan yang diminta almarhum Duke Norbert, saya membacakan
surat wasiatnya setelah pemakamannya. Duchess memaksa saya
membacakannya tanpa kehadiran anda. Menurutnya, Anda sedang
mempersiapkan pernikahan Anda dengan Earl of Mongar."
Begitu Graham menyebutkan seluruh harta keluarga Riddick jatuh ke
tangan Chris, Duchess Belle menjerit histeris.
"Bagaimana mungkin itu terjadi!?" Duchess yang kehilangan kontrol
mencekik Graham, "Katakan bagaimana mungkin tua bangka itu tidak
mewariskan apapun padaku!?"
Chris tersenyum puas. "Tenang, Mama. Tenangkan dirimu," Dorothy menarik tangan Duchess,
"Graham belum selesai membaca surat wasiat Papa. Chris masih empat
belas tahun, ia membutuhkan wali."
Duchess langsung tenang dibuatnya.
Dorothy membimbing ibunya duduk kembali di Ruang Baca Sternberg.
Grahampun kembali melanjutkan tugasnya.
"Sarita Yvonne Lloyd akan menjadi walinya."
Mata Duchess langsung membelalak. "SARITA!?" seru Duchess, "Tua
bangka itu menunjuk anak haram itu sebagai wali Chris!?""
Graham ketakutan. "Di mana dia!" Di mana anak tidak tahu diri itu!?" Duchess Belle langsung
menerjang kamar Sarita. Graham lega. Sedetik lalu ia merasa yakin Duchess akan membunuhnya.
Chris tidak suka dengan pilihan ayahnya. Ia lebih tidak menyukai
kelanjutan wasiat ayahnya yang menyatakan ia tidak bisa membuat
keputusan apapun tanpa persetujuan Sarita. Itu sama artinya dengan
menjadi seorang Duke boneka!
Tiba-tiba Chris mendapatkan ide bagus. Ia akan membuat Sarita sebagai
gundik dan walinya. Kalau Sarita jatuh dalam tangannya, gadis itu pasti
akan menuruti semua keinginannya dan ia tidak perlu menjadi Duke
boneka. Dorothy langsung mengikuti ibunya disertai Chris.
"Di mana kau, anak haram!?" Duchess membuka pintu kamar Sarita
lebar-lebar. "Tunjukkan wajah sialmu, anak sialan!" seru Duchess " menerjang
masuk. Tidak nampak sedikitpun jejak Sarita di kamar yang rapi itu. Seketika itu
juga Duchess sadar. "Si" siapa yang membantu Sarita melarikan diri!?"
serunya murka, "Siapa yang membiarkan anak haram itu kabur!" Cepat
katakan atau kubunuh kalian semua!"
Sia-sia saja ancaman Duchess Belle karena tidak seorang pun tahu Sarita
kabur. Tak seorangpun melihat kepergian Sarita dari kamar yang terkunci
rapat sejak Duke Norbert meninggal. Terlebih lagi, kunci kamar Sarita
ada di tangan Duchess! Segera saja kepergian Sarita menjadi berita heboh.
Earl of Mongar marah-marah ketika tahu calon istrinya menghilang.
Duchess Belle setengah gila mencari Sarita untuk membuat perhitungan
dengannya. Chris bersaing dengan waktu untuk menemukan Sarita
sebelum penobatannya sebagai Duke of Cookelt yang baru.
Tak seorangpun dapat menemukan Sarita. Keluarga Riddick pun tidak.
Namun semua itu berubah kemarin pagi ketika Chris memeriksa
warisannya. Ketika ia menghitung warisannya itulah, ia melihat bukti pembelian
sebuah rumah kecil di Hauppauge oleh ayahnya untuk Sarita. Segera saja
ia tahu di mana Sarita berada. Kabar itu pun diketahui Duchess yang juga
langsung bertindak. "Saya dengar Duchess mengirim orang untuk membunuh Anda," Graham
menutup ceritanya. "Membunuh Sarita," Halbert terkesiap.
"Apabila terjadi sesuatu pada Tuan Puteri Sarita, secara otomatis Duchess
Belle akan menjadi wali Tuan Muda Chris," terang Graham, "Selain itu
saya mendengar Tuan Muda Chris juga mengirim orang ke Hauppauge,"
Graham menatap Sarita lekat-lekat, "Anda harus segera menemui Tuan
Muda Chris. Saat ini hanya ia yang dapat mencegah Duchess. Hanya ia
yang dapat melindungi Anda."
"Tidak," Sarita menggeleng, "Aku tidak akan menemui Chris lagi. Ia
sudah gila! Ia bersenang-senang dengan pelacur ketika ayahnya sakit
parah dan"," suara Sarita tertahan di tenggorokannya. Mau tidak mau ia
teringat tindakan Jason padanya dan ia jijik olehnya.
Rumah pelacur itu! Halbert teringat wajah murka Sarita ketika ia
memasuki tempat terhina itu. Sekarang mengertilah ia mengapa seorang
gadis terhormat seperti Sarita bisa memasuki tempat itu. Tak heran
beberapa saat lalu gadis ini tampak begitu ketakutan. Di saat yang
bersamaan, Halbert juga merasa malu telah memberi nilai yang begitu
buruk pada Sarita. Halbert memegang pundak Sarita dan meremasnya dengan lembut "
memberinya kekuatan. "I-ia mencoba memperkosaku," lanjut Sarita. "Ia sudah gila, Graham. Ia
bahkan mencoba memperkosaku di malam kematian Norbert!" Sarita
histeris. Graham kehilangan kata-katanya.
Halbert terperanjat. "Untunglah Anda di sini saat ini, Tuan Puteri," Graham memecahkan
kesunyian suasana. "Saya mendengar Duchess bukan hanya ingin
membunuh Anda tapi juga meratakan rumah Anda."
"APA!!?" pekik Sarita, "Itu tidak boleh terjadi!" dan ia langsung melesat
keluar. Graham terkejut oleh reaksi Sarita.
"Sarita, apa yang akan kaulakukan?" Halbert mengejar.
Sarita meloncat ke kuda Halbert dan memacunya dengan cepat.
"SARITA!" seru Halbert.
Sarita semakin menjauh. Halbert langsung menaiki kuda pengawalnya dan mengejar Sarita "
meninggalkan pengawal malang yang kebingungan itu.
Halbert harus memacu kudanya secepat mungkin untuk mengejar Sarita
" jauh lebih cepat dari ketika ia meninggalkan Hauppauge.
"Sarita, berhenti!" seru Halbert.
Sarita sama sekali tidak mengurangi kecepatannya ketika mereka mulai
memasuki daerah perhutanan.
"Sarita, tenangkan dirimu!"
Teriakan Halbert sama sekali tidak berguna karena saat ini pikiran gadis
itu hanya tertuju pada rumah kecilnya yang berharga. Rumah yang
menyimpan saat-saat terakhir ayah tercintanya. Begitu khawatirnya ia
sehingga ia mematung melihat rumah mungilnya masih berdiri kokoh di
tempatnya. Halbert turun dari kudanya dan berdiri tanpa suara di belakang gadis itu.
Rumah itu masih utuh, masih seindah ketika Sarita meninggalkannya
beberapa jam lalu. Rumah kenangannya masih berdiri di sana!
Sarita jauh lemas. Lagi-lagi Halbert menangkap Sarita tepat pada waktunya. Mata biru
Sarita yang sekarang terlihat seperti abu-abu, tampak begitu kosong.
Wajah Sarita pucat tidak berekspresi.
Halbert bersimpati pada Sarita.
Hidup sebagai anak haram dalam keluarga yang membencinya memang
tidak mudah. Cinta ayah kandung yang tidak terbatas, tidaklah cukup
untuk melindunginya dari kebencian keluarganya.
Halbert mengangkat Sarita dan membawanya masuk.
"Yang Mulia Pangeran," pengawal yang ditugasinya menjaga rumah Sarita
menyambut dari belakang rumah Sarita, "Lapor, Pengeran."
"Tahan laporanmu," Halbert segera menghentikan. "Tunggu aku di luar."
Halbert langsung membawa Sarita ke dalam kamarnya dan
membaringkannya di tempat tidur.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya lembut.
Sarita mencoba tersenyum.
"Kau butuh istirahat," lanjut Halbert, "Terutama setelah hari panjang
yang melelahkan ini. Jangan biarkan dirimu sakit lagi."
Sarita memandang kosong. "Aku akan segera kembali," kata Halbert pula.
Pengawal Halbert masih menanti Halbert di depan rumah.
Halbert mengajak pengawalnya ke belakang rumah Sarita, jauh dari
pendengaran Sarita. "Sekarang katakan apa yang terjadi sejak kami pergi," kata Halbert.
"Kurang lebih satu jam setelah Anda pergi, serombongan orang datang
mencari Lady Sarita. Sesuai perintah Anda, saya segera keluar dari
persembunyian saya untuk menghalau mereka."
"Apakah kau tahu siapa mereka?"
"Tidak, Yang Mulia. Namun saya dapat meyakinkan mereka bukan orang
yang sama." Halbert berpikir. Ia tidak dapat menduga apakah orang-orang itu adalah
utusan Duchess Belle atau Chris. siapa pun yang mengutus mereka,
tujuan mereka tidak baik.
"Berjaga-jagalah di luar dan"," Halbert tertegun. Tiba-tiba saja ia sadar
ia telah meninggalkan pengawalnya di depan kantor Graham!
Halbert merasa pengawalnya pasti tahu apa yang harus dilakukannya dan
ia mengulangi perintahnya.
"Berjaga-jagalah. Aku akan ada di dalam."
"Baik, Yang Mulia," pengawal itu memberi hormat.
Ketika Halbert kembali ke dalam rumah, Sarita sedang duduk di meja
depan perapian. "Mereka datang, bukan?" tanyanya.
"Benar," Halbert tidak mencoba menutupi. "Namun pengawalku telah
mengusirnya." "Mereka akan datang lagi," gumam Sarita, "Pasti."
Halbert menatap wajah pucat gadis itu yang hampir sepucat rambutnya.
Dalam keadaan seperti ini, gadis itu benar-benar tampak tidak berdaya.
"Aku tidak mau berpikir sejauh itu," kata Halbert dan ia menuju dapur
kecil Sarita. "Saat ini aku lapar. Apa kau punya sesuatu untuk dimakan?"
Sarita memperhatikan Halbert membuka almari dapurnya satu per satu
tanpa berhasil menemukan yang dicarinya.
Sarita teringat suatu ketika ayahnya merasa sehat. Pagi-pagi ayahnya
bangun untuk membuat sarapan bagi dirinya sendiri dan Sarita. Ithnan
membuka almari dapur satu per satu dan membongkar isinya dengan
suara keras seperti Halbert sehingga Sarita terbangun.
"Di mana kau menyimpan makananmu!?" tanya Halbert kesal " persis
seperti reaksi ayahnya ketika melihat Sarita terbangun oleh keributan
yang dibuatnya. Sarita tertawa geli. Halbert terperangah. "Maaf," Sarita mencoba menghentikan tawanya. "Saya tidak bermaksud
menertawakan Anda. Anda begitu mirip Papa. Suatu hari ia berlagak
membuat sarapan tapi ia berakhir seperti Anda. Baagaimana mungkin ia
tahu di mana saya menyimpan makanan kalau ia tidak pernah," Sarita
terdiam. Ia melihat Halbert memperhatikannya lekat.
"Mengapa?" tanyanya.
"Mengapa aku tidak menghentikanmu?" Halbert melanjutkan untuk
Sarita. Sarita hanya menatap Halbert.
"Aku tidak akan menghentikanmu. Kenanganlah yang membuat mereka
terus hidup bersamamu."
Air mata Sarita jatuh. Dengan cepat, Sarita menghapusnya.
"Menangislah," Halbert menahan tangan Sarita, "Itu akan membuatmu
merasa lebih baik." "Terima kasih," Sarita tersenyum " membuat Halbert tertegun.
Sarita berdiri. "Saya akan menyiapkan makan malam untuk Anda dan
pengawal Anda." Halbert tidak menahan Sarita keluar rumah.
Tapi setelah sepuluh menit berlalu, ia mulai cemas.
"Ke mana Sarita?" tanya Halbert begitu membuka pintu.
"Lady Sarita pergi ke halaman belakang," jawab sang Pengawal.
Halbert tidak membuang waktu.
Di sana, di sudut halaman belakang yang tidak dilihatnya sebelumnya, ia
melihat Sarita duduk termenung.
"Papa, apa yang harus kulakukan?" ia mendengar Sarita bertanya sedih
ketika ia berdiri di belakang gadis itu.
"Apakah aku tidak bisa menjaga satu-satunya peninggalanmu ini?"
Sarita merasa begitu bodoh. Ia telah pergi menemui Graham. Ia telah
meyakinkan rumah ini adalah miliknya. Namun, sekarang bukti itu ada di
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan Chris. Sewaktu-waktu mereka bisa mengambil rumah ini darinya.
Rumah satu-satunya yang menyimpan kenangan ayahnya.
Halbert tahu ia tidak bisa membiarkan ini. Ia harus bertindak saat ini
juga. Halbert pergi menemui pengawalnya lagi.
Chapter 7 Ketika Halbert kembali beberapa saat setelahnya, ia melihat Sarita masih
duduk di sana. Halbert tidak perlu melihat wajah Sarita untuk mengetahui
bagaimana ekspresi gadis itu saat ini. Punggung yang melengkung lemas
itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya.
Sesuatu mendorong Halbert untuk merengkuh gadis itu dalam
pelukannya dan membisikkan kata-kata lembut yang menguatkan hati
yang hancur itu. Namun yang dapat dilakukannya hanyalah memegang
kedua pundak gadis itu dan memanggilnya lembut, "Sarita."
Sarita menoleh. Mata biru mudanya basah oleh air mata.
Untuk sesaat Halbert yakin Sarita akan menjatuhkan diri dalam
pelukannya dan menangis tersedu-sedu. Namun gadis itu segera berdiri,
menghapus air matanya, dan berkata tenang,
"Maafkan saya, Pangeran. Saya akan segera menyiapkan makanan untuk
Anda." Sarita segera mengambil sayuran yang menjadi tujuan awalnya ke kebun
belakang. Halbert melepaskan gadis itu dengan perasaan terluka. Ia merasa Sarita
menjaga jarak dengannya dan ia tidak menyukainya. Ia ingin Sarita jujur
pada perasaannya sendiri. Halbert tidak akan melarangnya menangis
untuk orang yang dicintainya.
Saat itulah Halbert melihat apa yang baru saja di hadapan Sarita.
Halbert tertegun melihat nisan batu yang hanya bertuliskan:
Di sinilah terletak kenangan kita bersama Ithnan Lloyd.
Pandangan Halbert beralih pada Sarita yang sekarang sibuk menimba air
di sumur yang tidak ia sadari keberadaannya beberapa saat lalu.
Halbert bertanya-tanya. Siapakah Ithnan Lloyd ini" Mengapa Sarita
memanggilnya Papa" Terlebih dari semua itu, Halbert ingin tahu mengapa
Duke of Cookelt hanya mewariskan rumah kecil di tempat terpencil
seperti ini pada putri kesayangannya. Mengapa Duke of Cookelt memilih
Sarita sebagai wali putranya, bukan Duchess Belle, istrinya sendiri"
Mata Halbert tidak lepas dari Sarita yang berusaha mengangkat seember
penuh air. Ia tidak mengenal gadis ini, Halbert berkata pada dirinya sendiri ketika ia
berjalan ke sisi Sarita. Pasti ada sesuatu pada diri Sarita yang membuat
Duke Norbert lebih mempercayakan putranya pada Sarita daripada
istrinya sendiri. Sarita terkejut ketika sebuah tangan terulur dari belakangnya dan
mengangkat ember itu dengan mudahya.
Untuk sesaat ia menduga itu adalah Marcia. Karena itu ia sangat terkejut
melihat Halbert berdiri tepat di depannya dengan ember airnya.
"T-terima kasih," katanya tergagap.
Sarita tidak pernah mengangkat ember air. Marcia selalu ada di sisinya
ketika ia hendak mengambil air di sumur yang dibuat penduduk desa
untuknya dan ayahnya ini. Malah tidak jarang Marcia mengisi tempat
penyimpanan air Sarita bahkan sebelum Sarita memintanya.
"Ke mana kau akan meletakkannya?" Halbert bertanya dan memimpin
jalan ke dalam rumah. "Letakkan saja di sini," Sarita menunjuk meja dapurnya yang kecil di
sepanjang dinding. Halbert pun meletakkannya di tempat yang diminta Sarita.
Sarita berusaha menghidupkan api perapian.
Tiba-tiba saja Halbert sadar hanya perapian itu satu-satunya tempat
untuk memasak. "Siapkan sayuranmu, aku akan menghidupkan perapian," Halbert
mengambil alih pekerjaan Sarita.
Sarita terkejut. Lagi-lagi ia lupa pemuda yang ada bersamanya saat ini
bukan Marcia melainkan Yang Mulia Pangeran Halbert! Marcia tidak
pernah membantunya menghidupkan perapian. Marcia adalah tipe
pemuda yang menganggap urusan rumah adalah tugas wanita. Namun
mengapa Pangeran Halbert membantunya" Sarita tidak punya waktu
menjawab pertanyaannya sendiri karena ia tersadar ia tidak bisa
menyajikan jamuan seperti yang biasa dinikmati sang Putra Mahkota!
Yang dimilikinya saat ini hanyalah sebongkah roti, susu, dan sayursayuran dari kebunnya sendiri.
"Yang Mulia," Sarita berkata dengan nada bersalah, "Saya sungguh
menyesal. Saya tidak dapat menyajikan jamuan yang pantas untuk
Anda." Halbert melihat Sarita. "Aku hanya memintamu menyiapkan sesuatu yang
bisa dimakan," kemudian ia bertanya, "Apakah kau ingin menggunakan
kuali ini untuk memasak air?" Halbert mengangkat kuali yang tergantung
di atas perapian. "Ya," jawab Sarita.
Sarita membiarkan Halbert menjerang air sementara ia sibuk mencuci
dan memotong sayuran yang akan disajikannya berama roti dan susu
yang dimilikinya. Ketika Sarita sibuk memasak sup, ia melihat Halbert sibuk memindahkan
roti, susu, madu, keju serta peralatan makan yang telah disiapkannya di
atas meja dapur ke meja makan.
Kemudian ketika Sarita hendak memindahkan kuali supnya yang sudah
siap ke meja makan, Halbert berkata, "Aku akan melakukannya."
Sarita berpikir, inikah beda ego seorang pemuda desa dan seorang
gentleman" Setelah yakin semua sudah siap, Sarita melangkah ke pintu.
"Kau mau ke mana?" tanya Halbert menghentikan langkah Sarita.
"Saya akan memanggil pengawal Anda."
"Ia sudah pergi."
"Oh"," hanya itulah jawaban Sarita.
"Duduklah. Makanan akan segera dingin."
"Saya tidak lapar."
Halbert menatap Sarita. "Kalau kau berpikir aku akan membujukmu,
maaf, kau salah. Aku tidak peduli. Itu adalah perutmu sendiri. Kalau kau
sakit, kau sendiri yang akan merasakannya." Dan ia mengambil sup
untuknya sendiri. Sesuatu dalam perkataan Halbert membuat Sarita duduk di depan
pemuda itu " menghadap pintu.
Sarita merasa yakin ia melihat seulas senyum puas di wajah Halbert
ketika ia duduk. Namun ketika ia melihat Halbert, pemuda itu sibuk
menyantap makanannya. Sarita mengulurkan tangan mengambil sup buatannya sendiri.
"Sarita! Sarita!"
Pintu terbuka. "Sarita, kudengar kau sudah kembali!" Marcia langsung menerjang dan
memegang pundak Sarita sambil membungkuk " menatap gadis itu lekatlekat. "Apa yang terjadi" Kau tidak apa-apa" Serombongan orang
berkuda datang ketika kau tidak ada. Mereka berteriak-teriak
memanggilmu. Kami berhasil mengusir mereka sebelum mereka merusak
rumah ini. Siapa mereka" Apa mereka utusan Tuan Jason lagi?" Marcia
tidak memberi Sarita kesempatan untuk membuka suara.
Halbert kesal. Lagi-lagi ia diabaikan pemuda desa ini.
"Tempat ini sudah tidak aman, Sarita. Mereka bisa datang sewaktuwaktu. Pergilah dari tempat ini. Kau bisa tinggal bersamaku."
"Ia tidak akan ke mana-mana," Halbert berkata dingin.
Saat itulah Marcia menyadari keberadaan Halbert.
"Mengapa ia masih di sini?" Marcia melihat Sarita dengan pandangan
menuduh seolah-olah Sarita telah menyeleweng.
Halbert tahu ia tidak menyukai pemuda ini.
"Karena aku akan tinggal di sini malam ini," Halbert menjawab.
"Apakah itu benar, Sarita?" Marcia langsung bertanya penuh tuntutan
pada Sarita. "Engkau tidak mungkin mengusirku," Halbert menjawab pandangan
Sarita, "Pengawalku sudah pergi dan aku tidak punya tempat lain untuk
menginap malam ini."
"Seperti yang Anda lihat, saya tidak punya tempat tidur lain untuk Anda."
"Aku tidak berniat merebut tempat tidurmu. Aku bisa tidur di sini."
"Bila Anda berkenan," kata Sarita menyerah, "Jadilah tamu saya."
Pangeran benar. Ia tidak mungkin menelantarkannya.
Marcia tidak suka mendengarnya. "Kau tidak boleh membiarkannya
tinggal di sini, Sarita!"
"Mengapa?" "Karena" karena"," Marcia melihat Halbert kemudian kembali pada
Sarita, "Karena orang kaya seperti dia tidak mungkin bisa tidur di lantai!"
Marcia langsung mengutarakan hal yang terlintas di otaknya dan cepatcepat menambahkan, "Ia bisa tidur di rumahku."
"Terima kasih, Marcia. Aku sungguh senang atas tawaranmu namun
besok pagi-pagi kami akan meninggalkan Hauppauge."
Marcia tidak menyukai cara Halbert memanggilnya dengan akrab. Ia lebih
tidak menyukai ide pemuda kaya yang tidak dikenalnya ini akan
membawa pergi Sarita. "Benarkah itu, Sarita?" lagi-lagi Marcia menuntut kebenaran dari Sarita.
Sarita melihat Halbert lagi.
"Kau sudah menyetujuiku pagi ini."
Benar, ia telah sependapat dengan usul Halbert untuk meninggalkan
Hauppauge. Namun seingat Sarita, ia tidak pernah menyetujui usul untuk
pergi bersama Halbert apalagi mendengarnya.
"Kau tidak ingin melibatkannya, bukan?"
Sarita mengikuti Halbert melihat Marcia yang mulai kebingungan oleh
arah pembicaraan mereka. Sarita sadar baik Chris maupun Duchess Belle pasti akan melakukan
segala cara untuk mendapatkannya. Mata Sarita beralih pada perban
putih di sekeliling kepala Marcia. Tidak perlu diragukan pula Marcia akan
melakukan segalanya untuk melindunginya. Sarita tidak mau melihat
Marcia terluka lagi karenanya.
"Sarita," Marcia menggenggam kedua tangan Sarita, "Aku memang tidak
sekaya tuan ini tapi aku pasti bisa membahagiakanmu. Tinggallah
bersamaku." Sarita melihat Marcia dengan sedih. "Aku tidak bisa, Marcia."
Marcia melihat Halbert dengan kesal. "Terserah padamu," ia
menghentakan tangan Sarita dan pergi.
Sarita melihat pintu yang dibanting keras tanpa suara. Ia ingin
melewatkan hari-hari tenangnya di Hauppauge tapi sekarang ide itu
sudah bukan ide yang bijaksana lagi.
"Makanan sudah hampir dingin," kata Halbert sambil menuang sup di
piring Sarita, "Makanlah selagi hangat. Setelah ini aku ingin kau
menyiapkan barangmu dan tidur. Besok pagi-pagi kita akan
meninggalkan Hauppauge. Paling lambat pukul empat pagi kita harus
meninggalkan tempat ini."
Sarita membuka mulut untuk memprotes tapi sepasang mata biru tua
yang menatapnya itu menegaskan ia tidak ingin dibantah. Maka Sarita
menahan protesnya dan menyantap supnya tanpa suara. Ide pergi
bersama Halbert ke Helsnivia bukanlah ide yang buruk. Yang terpenting,
ia bisa memenuhi janji Duke Norbert pada ayahnya: memulangkan Sarita
ke Helsnivia! Setelahnya mereka makan tanpa seorangpun membuka suara.
Sarita hanya sanggup meminum supnya dan segelas susu tapi Halbert
tampak sudah puas melihatnya.
Halbert membantu Sarita merapikan meja setelahnya.
Sarita tengah mencuci piring dan Halbert mematikan api perapian ketika
mereka mendengar suara kuda diiringi roda kereta mendekat.
Sarita melihat Halbert dengan pucat pasi ketika kereta berhenti di depan
rumahnya. "Jangan khawatir, itu adalah pengawalku dan kereta kuda yang akan
membawa kita ke pelabuhan besok pagi."
Sarita membelalak. Selama ini rumah ini hanya ditempatinya seorang diri
bersama ayahnya atau Duke Norbert. Sekarang tiga orang lain muncul!
Bagaimana ia harus menempatkan mereka dalam rumah mungilnya ini!"
"Mereka akan berjaga-jaga di luar untuk memastikan tidak ada yang
menganggu kita," Halbert membaca pikiran Sarita.
Halbert menghampiri rombongan kecil yang baru datang itu dan
memberikan petunjuknya. Sarita melihat Halbert sudah merencanakan semua ini dan ia tidak
melihat sebuah celah pun untuk membantah. Maka iapun menyelesaikan
pekerjaannya. "Pergilah mempersiapkan kopermu," Halbert berkata ketika ia kembali
dan melihat Sarita sudah selesai dengan piring-piring kotornya, "Dan
segera beristirahat. Besok akan menjadi hari yang melelahkan bagimu.
Kita harus mencapai Magport sebelum malam."
Sarita tidak membantah. Ia melangkah ke dalam kamarnya dan menutup
pintu yang membatasinya dengan para pria itu.
Baru saja ia menutup rapat koper besarnya ketika ia mendengar derap
kuda mendekat. Sarita panik. Pikiran utusan Chris atau Duchess Belle
datang menakutkannya. "Maaf saya datang terlambat, Yang Mulia."
Sarita langsung lega. "Kau memang sepandai yang kupercayai. Aku tahu kau akan menemukan
cara untuk kembali."
"Anda terlalu memuji saya, Yang Mulia."
Setelahnya Sarita mendengar pintu rumahnya ditutup dan sebuah
kesunyian panjang mengisi rumah mungilnya sebelum ia mendengar
kembali pintu dibuka. Sarita tidak tahu bagaimana sang Pangeran akan tidur di rumahnya yang
kecil ini. Sebenarnya Sarita tidak keberatan memberikan ranjangnya pada
Halbert. Namun Sarita yakin Halbert pasti menolak walau Sarita
meyakinkan ia tidak akan bisa tidur tanpa kasur empuknya. Tetapi, Sarita
sadar, Pangeran tetaplah seorang gentleman.
Sarita berganti gaun tidur dan duduk di tepi ranjang.
Ia tidak mendengar suara apapun di luar. Hanya sinar lilin yang mengintip
celah pintunyalah yang menyatakan keberadaan orang lain di rumahnya.
Sarita membaringkan diri di tempat tidur. Ia ragu ia bisa tidur. Karena itu
betapa herannya Sarita ketika ia terbangun dalam pelukan Halbert di
ruang yang sempit. "Selamat pagi," Halbert menyapa.
Mata Sarita hanya menatap Halbert.
"Apakah tidurmu nyenyak?" Halbert bertanya lagi.
Sarita mengangguk. Matanya berkeliling menjelajahi ruangan sempit
tempat mereka berada. Berdasarkan suara derap kaki kuda dan bentuk
ruangan kayu kecil ini, Sarita yakin berada dalam kereta kuda dengan
Halbert memangkunya. Kakinya terjulur sepanjang bangku kereta.
Punggungnya tersandar di sisi kereta yang lain dengan tangan kekar
Halbert melingkari pundaknya. Sehelai selimut tipis menutupi tubuhnya.
"Aku tidak tega membangunkanmu," Halbert menjawab mata biru muda
yang kebingungan dan malu itu.
Sarita tidur nyenyak ketika ia hendak membangunkannya dini hari ini.
Sarita tampak begitu damai dari yang pernah dilihatnya. Begitu
tenangnya gadis ini tidur sehingga Halbert tidak sampai hati
mengusiknya. Maka tanpa menimbulkan suara, Halbert memeriksa isi lemari "
memastikan Sarita tidak meninggalkan barangnya dan membawa koper
Sarita keluar untuk pengawalnya memasukkannya ke dalam kereta.
Halbert mengambil selimut tipis di bawah bangku kereta untuk
menyelimuti Sarita. Halbert dapat mendengar Sarita bergumam "Papa" ketika ia mengangkat
tubuh kecilnya dari tempat tidur.
Halbert percaya Sarita pasti sangat lelah setelah hari-hari yang panjang
dan melelahkan ini. Sarita berusaha duduk. Ketika ia sudah benar-benar duduk, ia menyadari hal memalukan lain. Ia
duduk di pangkuan Halbert! Mata biru mudanya berusaha menghindari
sepasang mata biru tua yang sejajar dengan matanya.
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sarita merasa salah tingkah. Ia berdiri. Tepat bersamaan dengan itu,
kereta berhenti. Sarita kehilangan keseimbangan tubuhnya.
"Apa yang sedang kaulakukan!?" Halbert merengkuh Sarita kembali ke
pangkuannya. Secercah rona merah di wajah cantik Sarita memberi jawaban pada
Halbert. Halbert tersenyum penuh arti. "Kalau kau tidak mau duduk di
pangkuanku, kau tinggal mengatakannya," ia menyelipkan tangannya
yang lain di bawah lutut Sarita, "Aku bisa memindahkanmu," ia
mengangkat Sarita dan mendudukkan gadis itu di sisinya seperti
menggendong anak kecil. "T-terima kasih."
Halbert menyukai rona yang memberi nuansa baru pada kulit pucat
Sarita. "Kita sudah tiba di pelabuhan, Yang Mulia," seseorang berkata dan
setelahnya pintu terbuka lebar.
Sarita melihat keramaian pagi hari di pelabuhan melalui pintu yang
terbuka itu. "Kenakalah sepatumu," Halbert membungkuk " membantu Sarita
mengenakan sepatu di kakinya yang telanjang.
Sarita benar-benar dibuat salah tingkah olehnya.
"Dan jangan lupa selimutmu," Halbert menyampirkan selimut yang
terjatuh di lantai kereta itu di pundak Sarita.
Saat itulah Sarita sadar ia masih mengenakan gaun tidurnya. Dengan
cepat ia menutupi tubuhnya dengan selimut.
Halbert keluar kemudian mengulurkan tangan pada Sarita yang duduk di
sisi lain kereta. "Kau mau kugendong lagi?" Halbert menikmati rona merah di wajah
cantik yang kebingungan itu.
"T-tidak, terima kasih," Sarita cepat-cepat melangkah keluar sebellum
Halbert benar-benar menggendongnya.
Tubuh Sarita baru saja terjulur keluar pintu ketika Halbert melingkarkan
tangannya di pinggang Sarita. Sarita masih kaget ketika tangan Halbert
yang lain menyelinap di belakang lututnya dan dalam satu gerakan
ringan, ia sudah berada dalam gendongan Halbert.
"Y-Yang Mulia!" Sarita panik.
"Pegang selimutmu," Halbert memberikan perintah tegasnya, "Angin laut
di pagi hari tidak menyenangkan."
Sarita melingkarkan tangan kirinya di leher Halbert dan tangannya yang
lain mencengkeram erat-erat selimut.
Ketika Halbert melangkah ke sebuah kapal besar, barulah Sarita benar-
benar memperhatikan kesibukan pelabuhan. Kerinduan yang mendalam
yang mendalam menyelimutinya. Di suatu saat di masa lalu, ia sering
berada di pelabuhan bersama ayahnya. Suatu ketika ia duduk di pundak
kokoh ayahnya, di saat lain ia duduk di gendongan ayahnya, dan di saat
lain ia berjalan di sisi ayahnya yang dengan sabar menjelaskan kesibukan
tiap-tiap pribadi di pelabuhan.
Sarita merapatkan pegangannya di leher Halbert dan menyembunyikan
wajah sedihnya di pundak pemuda itu.
Halbert tidak berkomentar. Dalam pikirannya gadis ini sedang malu.
Namun Sarita salah kalau ia berpikir Halbert akan menurunkannya.
"Selamat datang, Yang Mulia."
Sarita mengangkat kepalanya.
Seorang pria tengah baya terkejut.
"Y-Yang Mulia, i"ini"," Wyatt tidak dapat berkata-kata. Kemarin ketika
pengawal Halbert muncul di penginapan untuk menyampaikan perintah
Halbert, ia begitu gembira. Tanpa membuang waktu, ia langsung
menyiapkan kapal yang telah menanti kepulangan Pangeran Halbert. Ia
tidak berpikir banyak ketika meliht sang Pangeran mendekat dengan
seorang wanita dalam gendongannya. Ia sudah biasa melihat Pangeran
kerajaannya bersama wanita. Tapi Sarita" Sampai matipun Wyatt tidak
pernah berpikir Sarita sang gadis haram yang Halbert sendiri nyatakan
tidak akan pernah disentuhnya, berada dalam gendongan majikannya.
"Kita berangkat!" Halbert memberi perintah dan membawa Sarita ke
dalam salah satu kabin. Pengawal Halbert mengekor dengan koper Sarita " membuat Wyatt kian
tidak dapat berkata-kata.
Halbert baru menurunkan Sarita setelah pengawalnya meletakkan koper
Sarita di dalam kabin. Sarita mencengkeram erat selimut yang menutupi pundaknya.
"Bergantilah," kata Halbert, "Aku akan menjemputmu setengah jam lagi
untuk makan pagi." Dan Halbert meninggalkan Sarita yang masih berdiri
mematung. "Yang Mulia, apa yang Anda lakukan!?" sambut Wyatt begitu melihat
Halbert, "Apa yang akan dikatakan Paduka Raja dan Ratu!?"
"Gadis itu baru kehilangan ayahnya dan sekarang ia berada dalam
bahaya." "Anda tidak berniat membawanya pulang, bukan?" selidik Wyatt.
Itulah yang sedang dipikirkan Halbert.
"Ini sudah lebih dari cukup, Pangeran!" protes Wyatt, "Simpati Anda
sudah lebih dari cukup!"
"Wyatt," potong Halbert tidak senang, "Aku tahu apa yang kulakukan."
Wyatt langsung terdiam. Sesungguhnya, Halbert sendiri tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
Komentar terakhir Wyatt terulang lagi di kepalanya.
Ini sudah lebih dari cukup!
Sehari setelah kematian Duke of Cookelt adalah hati terakhirnya di
Trottanilla. Orang tuanya juga telah mengirim kapal untuk
menjemputnya. Namun kematian Duke Norbert membuat orang tuanya
memberi kelonggaran hingga pemakanan Duke. Pemakaman Duke sudah
berlalu namun ia masih tetap di Trottanilla, di sisi Sarita.
Benar. Apa yang dilakukannya sudah melebihi simpati. Mungkinkah
jiwanya sebagai seorang Pangeran terusik melihat kesedihan gadis itu"
Seorang Pangeran seperti dia tidak dapat berdiam diri melihat seorang
gadis muda sebatang kara dalam kesedihan dan bahaya. Namun ia telah
bertindak jauh dari simpati.
Ia tidak mau Sarita berhubungan dengan Chris" Benar. Membawanya
pergi dari Trottanilla sudah cukup untuk membantu gadis itu. Tapi
meminta Graham menjadi penyambung lidah Chris dan walinya" Ini
sudah mencampuri urusan Sarita!
Sekarang apakah ia benar-benar berniat membawa Sarita ke Ririvia"
Halbert tidak mengerti. Beberapa saat lalu ia bahkan menikmati wajah
merah Sarita. Ia bahkan dengan sengaja menggoda gadis yang
disumpahinya tidak akan pernah didekatinya.
Ketika Halbert kembali untuk menjemput Sarita, ia melihat gadis itu
berdiri di dek. Rambut kuning pucatnya melambai-lambai tertiup angin.
Mata biru mudanya menatap laut penuh kerinduan. Begitu sempurnanya
lekukan hidung yang mancung itu dan bibir merah yang terkatup rapat.
Begitu cantiknya Sarita dalam kesunyiannya sehingga ia tampak seperti
seorang putri duyung yang merindukan rumah di bawah lautnya.
Tidak pernah Halbert merasakan keinginan mendesak untuk merengkuh
seorang gadis dalam pelukannya.
Pasti jiwa petualangannya yang menjadi sebab semua ini, Halbert
memutuskan. Chapter 8 "Apa-apaan ini!?" pekik Ratu Kathleen.
"Ini sudah di luar batas!" Raja Marshall sependapat.
"Bisa-bisanya anak itu membawa pualng anak haram!" Ratu Kathleen
langsung berdiri, "Di mana dia" Katakan di mana mereka!" Akan kuusir
anak haram itu!" Ratu Kathleen tidak dapat menutupi kemarahannya. Kegembiraannya
mendengar kepulangan putranya langsung berubah menjadi amarah
ketika mendengar Halbert membawa putri haram almarhum Duke of
Cookelt bersamanya. Jamuan yang sedianya akan diselenggarakan untuk
menyambut kepulangan putranya, langsung dibatalkannya. Sekarang ia
sudah benar-benar tidak sabar untuk mengusir gadis hina itu.
Karena itu begitu mendengar prajurit berkata, "Kereta Pangeran Halbert
sudah memasuki gerbang istana," ia langsung menerjang ke pintu masuk.
Di sana, di depan pintu kayu yang kokoh, Ratu berdiri dengan angkuhnya.
Tidak satu goretan di wajahnya yang tidak menunjukkan kemurkaannya.
Raja Marshall yang menyusul kemudian tidak kalah angkernya.
Seisi istana sudah mendengar apa yang terjadi ketika seorang prajurit
datang mengharap Raja pagi ini. Sekarang mereka mengintip dari tempat
mereka masing-masing " ingin tahu apa yang akan terjadi.
Kereta yang membawa Pangeran dan Sarita akhirnya berhenti di depan
Raja dan Ratu. Ratu sudah hampir menyemprotkan luapan amarahnya ketika Halbert
turun dari kereta. Halbert mengulurkan tangan untuk membantu Sarita.
Ratu siap menyemburkan amarahnya ketika gadis itu akhirnya keluar dari
dalam kereta. Dengan anggunnya, Sarita menjejakkan kaki di pelataran istana. Wajah
cantiknya langsung menangkap ekspresi marah Ratu Kathleen. Mata biru
mudanya menatap malu-malu melalui bulu mata lentiknya. Sesaat
kemudian senyum manis merekah di bibir mungilnya yang memerah.
Sinar matahari yang menyinari rambut kuning pucatnya, membuatnya
bersinar indah. Ratu Kathleen menatap gadis itu lekat-lekat.
Raja Marshall terkesima. "Papa, Mama, aku sudah pulang," Halbert memeluk ibunya kemudian
ayahnya. Kemudian ia membawa Sarita ke hadapan orang tuanya yang
membisu. "Ini adalah Sarita, putri almarhum Duke of Cookelt. Aku
mengundangnya tinggal di sini untuk beberapa waktu."
"Selamat siang, Yang Mulia Paduka Raja, Yang Mulia Paduka Ratu," suara
merdu Sarita melantunkan salamnya.
Ratu Kathleen langsung membuang muka dan melangkah angkuh ke
dalam istana. Sarita tidak terlalu kaget oleh reaksi Ratu Kathleen. Ia memang tidak
mengharapkan sambutan yang ramah.
Teima kasih pada Duchess Belle, seisi dunia percaya ia adalah anak
haram Duke Norbert. Sebagai orang terhormat sudah pasti Ratu Kathleen tidak senang dengan
keberadaan anak haram dalam rumahnya, bersama satu-satunya
putranya. Halbert juga tidak mengharapkan lebih. Ia sudah tahu membawa pulang
Sarita bukanlah hal yang baik, tapi ia tidak dapat membiarkan Sarita
pergi seperti yang diinginkan gadis itu setelah mereka tiba di Magport
kemarin malam. Halbert tidak berani berharap banyak. Ibunya tidak
langsung mengusir Sarita di depan pintu rumah sudah sangat baik.
"Jangan kauhiraukan ibumu," Raja Marshall mengagetkan Halbert dengan
kata-katanya yang ramah, "Bawalah Lady Sarita ke kamarnya. Ia tentu
sudah lelah." "Lady Sarita!!?"" Halbert membelalak. Apakah ia tidak salah dengar"
"Mari, Lady Sarita," Raja memberi jalan pada Sarita.
Halbert tidak percaya ayah yang sangat diyakininya akan menyuruh
prajurit mengusir Sarita, menunjukkan jalan dengan ramah pada Sarita!
Mata Halbert beralih pada Sarita yang dengan sopan mengikuti Raja
Kathleen. "Pesona gadis ini memang tidak bisa diremehkan," Halbert berpendapat
ketika Sarita membungkuk hormat sebelum mengikuti pelayan yang
diperintahkan Raja mengantar Sarita ke kamarnya.
"Di mana kau temukan dia, Halbert?" Raja Kathleen bertanya tidak
percaya. Halbert terkejut mendengar nada takjub ayahnya. Ia tidak dapat
mempercayai sepasang mata biru tua itu bersinar kagum.
Beberapa pelayan mulai membongkar muatan kereta.
"Aku perlu bicara," Halbert memutuskan.
Walaupun ayahnya menyambut Sarita dengan ramah dan ibunya tidak
mengusir Sarita, bukan berarti Sarita aman. Halbert harus menjelaskan
alasannya membawa pulang Sarita.
"Tentu, Halbert," Raja merangkul pundak putranya, "Kau harus
memberitahuku di mana kau menemukan gadis ini," dan ia membawa
Halbert ke Ruang Duduk. Ratu Kathleen ada di dalam Ruang Duduk ketika mereka masuk. Mata
hijaunya yang dingin menatap kedatangan mereka.
"Mama, aku perlu bicara tentang Sarita."
Ratu membuang muka. "Seperti yang kalian ketahui," Halbert membuka pembicaraan, "Duke of
Cookelt baru saja meninggal dunia. Sekarang Sarita benar-benar
sebatang kara. Duke Norbert mewariskan semua kekayaannya pada Chris
dan menunjuk Sarita sebagai walinya."
"Gadis itu!?" Raja terkejut.
Ratu tidak bereaksi. "Duke menunjuknya," Halbert mengulangi.
"Ia masih terlalu muda."
"Kurasa itulah yang membuat Duchess Belle tidak dapat menerimanya,"
Halbert melanjutkan, "Ia mengirim orang untuk menyingkirkan Sarita.
Aku tidak dapat berdiam diri melihatnya dalam bahaya. Keluarga Riddick
tidak menyukainya. Duchess Belle tidak pernah menyukai Sarita dan
Chris, adik tiri Sarita, berusaha memperkosanya."
"Aku tidak menyangkanya," gumam Raja, "Ia memang sangat
mempesona. Tapi, Halbert, apakah kau yakin ia adalah putri Duke of
Cookelt?" "Tentu saja. Apa mungkin Duke mencintai anak orang lain melebihi
putrinya sendiri?" tanya Halbert.
Raja Marshall terdiam. "Aku tidak bisa membiarkannya seorang diri dalam bahaya," lanjut
Halbert, "Karena itu aku mengundangnya ke sini sebagai tamuku. Aku
berharap kalian tidak keberatan."
"Tentu saja ia akan diterima di sini dengan tangan terbuka," sahut Raja.
Halbert melihat ibunya " mengharapkan sepatah dua patah kata darinya.
Ratu Kathleen masih tetap tidak bereaksi.
"Mama, apakah Mama bisa menerima kehadiran Sarita?" Halbert akhirnya
langsung bertanya. Demi kekagetan Halbert, Ratu Kathleen berdiri sebagai jawabannya.
Tanpa sedikitpun melihat putranya, ia melangkah pergi.
"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," Raja memberi kepastian,
"Kathleen hanya tidak dapat menerima kenyataan kau membawa pulang
Sarita." "Membawa pulang seorang wanita, tepatnya?" Halbert berpikir sinis. Tentu
saja Ratu tidak senang. Ia tidak pernah menyukai petualangan Halbert
dan gadis-gadisnya. Ini adalah pertama kalinya ia membawa pulang
wanita. Namun Sarita bukanlah salah satu wanitanya. Bagaimana ia harus
meyakinkan Ratu" "Kenapa kau tidak beristirahat, Halbert," Raja mengusulkan, "Kau pasti
lelah setelah perjalanan panjang. Apa kau lapar" Aku akan menyuruh
pelayan membawa makanan ke kamarmu."
"Tidak perlu, Papa. Kami sempat berhenti untuk bersantap siang."
Raja Marshall tidak memberi komentar.
"Aku akan beristirahat di kamarku, Papa. Selamat siang."
-----0----- Sarita duduk di beranda " memandang pegunungan tinggi yang
membentang di kejauhan. Ia teringat lagi ketololannya kemarin malam
setelah kapal merapat di Ririvia.
"Malam ini kita akan menginap di dalam kapal," Halbert memberitahunya,
"Besok pagi-pgi kita akan berangkat ke istana."
Istana adalah satu-satunya tempat yang tidak ingin dikunjungi Sarita.
Halbert bersedia membawanya ke Helsnivia saja sudah membuat Sarita
sangat berterima kasih. Duke Norbert hanya berjanji pada Ithnan untuk memulangkan Sarita ke
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Helsnivia. "Terima kasih, Yang Mulia," kata Sarita, "Saya akan baik-baik saja dari
sini. Saya sangat berterima kasih atas tumpangan yang Anda berikan."
"Ke mana kau akan pergi?" Halbert bertanya curiga.
"Mungkin saya akan melewatkan beberapa hari di sini," jawab Sarita,
"Setelah itu saya akan meninggalkan Helsnivia. Entah ke mana."
Halbert menatapnya lekat-lekat dengan penuh tanda tanya. "Aku tidak
mengerti apa yang kaubicarakan. Sebagai informasimu, kita belum tiba di
Helsnivia." "Oh," Sarita terkejut.
"Helsnivia tidak punya laut," Halbert mengingatkan.
Rona merah mewarnai wajah Sarita. Ia benar-benar lupa Helsnivia adalah
kerajaan kecil di antara pegungungan tinggi!
Halbert menyadari apa yang dipikirkan Sarita dan ia tidak dapat menahan
tawanya. "Maaf, pengetahuan geografi saya buruk," Sarita tidak suka perasaan
diledek. Halbert tersenyum geli melihat rona merah yang membuat Sarita kian
manis dan kekanak-kanakan itu. "Satu-satunya alasan orang tuaku
mengirim kapal ini adalah jalan laut lebih cepat untuk mencapai Helsnivia
daripada jalan darat."
Sarita ingat Duke Norbert pernah berkata, "Walau Helsnivia adalah
kerajaan kecil yang kaya, tidak mudah menyerangnya. Pegunungan yang
mengelilinginya bukanlah jalan yang mudah untuk dilalui."
"Beristirahatlah," kata Halbert, "Kulihat sepanjang hari ini kau berdiri di
ujung kapal seperti mau memimpin jalan."
Sarita tidak membantahnya namun ia juga tidak meninggalkan dek
tempat ia berdiri yang biasa disebut poop oleh para pelaut.
"Atau kau ingin tidur lagi dalam pelukanku?" goda Halbert.
Godaan itu langsung membuat Sarita bergerak. "Selamat malam, Yang
Mulia." Halbert tertawa geli melihat Sarita kabur.
Sarita tidak suka mendengar tawa itu. Pasti inilah yang biasa dilakukan
Halbert untuk menjerat wanita-wanitanya. Halbert salah besar bila ia
mengira Sarita tertarik untuk menjadi satu dari sekian mantannya.
Tiba-tiba saja Sarita ingin tahu apa yang membuat Halbert menolongnya
sampai sejauh ini. Halbert tidak mungkin serius menjadikannya salah satu
wanitanya, bukan" Halbert sendiri pernah mengatakan ia tidak tertarik
padanya. Sarita benar-benar terkejut ketika pagi ini Halbert bersikeras
membawanya ke Istana Ririvia tanpa peduli penolakan Sarita. Sekarang
Sarita lebih terkejut oleh tangan terbuka Raja Marshall.
Sarita yakin ia melihat ekspresi kemarahan Raja Marshall dan Ratu
Kathleen ketika kereta berhenti di hadapan mereka. Sarita mengharapkan
usiran mereka tapi yang kemudian diterimanya benar-benar di luar
dugaan! Kecuali reaksi Ratu Kathleen, mungkin.
Sarita tidak mengenali mereka. Namun melihat kemiripan Halbert dengan
pria yang penuh wibawa itu, Sarita yakin dua sosok yang berdiri di pintu
itu adalah Raja Marshall dan Ratu Kathleen. Hati Sarita sudah siap
menerima usiran keduanya. Ia juga sudah menyiapkan kata-kata sopan
yang akan dijelaskannya pada mereka. Bahwa ia tidak bersedia dibawa
Halbert pulang ke istana. Bahwa ia punya rencana sendiri yang mulai
dipikirkannya ketika kapal meninggalkan dermaga dan dimantapkannya
ketika kapal merapat di Magport.
Sarita hanya dapat terdiam ketika Ratu Kathleen pergi tanpa kata-kata.
Ia benar-benar termangu dalam keterkejutannya ketika Raja Marshall
menyambutnya dengan tangan terbuka bahkan menyebutnya Lady!
Mereka tidak mungkin tidak tahu!
Wyatt, pelayan Halbert terus menjatuhkan pandangan tidak suka padanya
sejak mereka bertemu. Pagi ini ketika Sarita tidak melihatnya di kapal,
Sarita yakin Wyatt telah pulang ke Helsnivia untuk melapor.
Sarita percaya seisi Helsnivia tahu siapa dirinya, sang anak haram
almarhum Duke of Cookelt!
Ia dapat merasakan pandangan ingin tahu orang-orang di Hall istana. Ia
dapat mendengar bisikan-bisikan miring mereka padanya. Ia adalah anak
haram almarhum Duke of Cookelt dan ia juga miskin!
Sarita tidak terlalu mempedulikan hal terakhir itu. Ketika meninggalkan
Sternberg, ia berencana untuk tinggal di Hauppauge, bukan di istana. Ia
tidak butuh gaun-gaun mewahnya yang dapat dipastikan sekarang
memenuhi almari baju Dorothy. Ia tidak membutuhkan perhiasanperhiasan mewahya yang sudah direbut Duchess Belle sejak Duke jatuh
sakit. Ia juga tidak membutuhkan benda-benda itu saat ini. Sarita tidak
berniat tinggal lama di Istana Ririvia!
"Apakah itu mungkin?" Sarita bertanya-tanya.
"Kau tidak akan ke mana-mana," Halbert menegaskan pagi ini ketika ia
menyatakan keinginannya turun di perbatasan Helsnivia. "Kau akan ikut
denganku ke Ririvia!"
"Tinggallah di sini selama mungkin," kata Raja Marshall ketika
menyambutnya. Sarita sempat berpikir Raja Marshall adalah salah satu dari sekian pria
yang melihatnya sebagai anak haram yang bisa diajak tidur semalam.
Namun dalam senyum yang ditujukan padanya itu, ia merasakan
kehangatan dan di dalam mata biru tua itu, ia melihat keramahan.
Keramahan yang ditunjukkan hanya padanya seakan-akan ia adalah tamu
yang diharap-harapkan kedatangannya sejak lama. Bahkan, belum lama
Sarita memasuki kamar barunya yang megah ini, pelayan mengantarkan
makanan kecil! Kue-kue yang menggiurkan itu dibiarkan Sarita di atas meja rias. Teh
yang masih mengelup ketika disajikan, dibiarkannya dingin.
Sesungguhnya beberapa saat lagi adalah waktu makan malam. Sarita
tidak terbiasa makan sesuatu sesaat sebelum makan malam.
Suasana makan malam itu sendiri tidaklah jauh berbeda dari dugaan
Sarita. Sarita duduk di depan sepasang mata hijau dingin Ratu Kathleen.
Keberadaan Halbert di sisinya sama sekali tidak membantu.
Raja Marshall yang duduk di ujung meja pun tidak banyak merubah
suasana makan malam yang menegangkan ini.
Sarita dapat merasakan sepasang mata dingin Ratu terus mengawasi tiap
gerak-geriknya dan itu sama sekali tidak membuatnya nyaman!
Andai Sarita boleh memilih, ia lebih suka makan sendiri di kamarnya. Tapi
ia adalah tamu di Ririvia, bukan" Selain itu pelayan menjemputnya ketika
waktu makan malam tiba " membuatnya tidak bisa kabur dari saat ini.
Pelayan itu sendiri tidaklah menyenangkan. Sikapnya memang sopan tapi
juga dingin dan kaku. Sarita tidak menyukai pandangan menyelidiknya.
Rasanya, melalui sepasang matanya yang berpengalaman itu, ia ingin
mengorek rencana Sarita pada sang Putra Mahkota.
"Sarita," Raja Marshall memanggilnya dan ketika itu pula Ratu
mengalihkan perhatiannya dengan sepasang mata hijau dingin yang
membara " membuat Raja menutup mulut.
Halbert pun tidak bisa berbuat banyak. Baru saja ia menoleh pada Sarita,
Ratu sudah menjatuhkan tatapannya yang tajam. Akhirnya Halbert
mencoba meredakan ketegangan dengan menanyakan suasana Helsnivia
selama ia tidak ada. Namun itu juga tidak membantu Sarita merasa lebih baik.
Dalam keadaan seperti ini, Sarita lebih menyukai suasana Ruang Makan
di Sternberg. Walau dalam tiap acara makan Duchess Belle tidak pernah
melewatkan kesempatan untuk memarahi Sarita atau mengutuknya,
Sarita tidak kehilangan selera makannya seperti ini. Ia sudah terbiasa
dengan suasana perang di Ruang Makan Sternberg yang ditujukan untuk
memojokannya. Ia sudah biasa menelan kata-kata kemarahan itu
bersama makanannya. Ia tidak biasa menelan makanannya di bawah
sepasang mata dingin yang ingin membekukannya.
Karena itu betapa gembiranya Sarita ketika di akhir makan malam
Halbert berkata, "Kulihat Sarita sudah lelah," lalu ia melihat Sarita, "Mengapa kau tidak
kembali ke kamarmu" Kau tahu di mana kamarmu, bukan?"
"Ya," Sarita mengangguk.
Segera setelah mengucapkan sepatah kata "selamat malam", Sarita
kembali ke kamarnya. Istana Ririvia memang luas namun ingatan Sarita tidak terlalu lemah
dalam mengingat jalan menuju kamarnya. Sarita langsung berganti baju
setibanya di kamar tapi ia tidak tidur. Ia duduk di beranda " memandang
keindahan taman Ririvia yang tidak sempat diperhatikannya sore ini dan
juga rumah-rumah di kejauhan.
Sinar matahari musim panas memberi penerangan pada Ririvia untuk
memandang sejauh mungkin. Mulai dari keramaian di taman Ririvia di
bawah kakinya hingga pegunungan tinggi di kejauhan.
"Papa, aku sudah pulang ke tempat yang kau inginkan," gumam Sarita.
Terima kasih pada Halbert, ia tidak sepenuhnya berbohong pada Duke
Norbert. Terima kasih padanya pula, Sarita dapat memenuhi janji Duke
Norbert pada ayahnya. "Lihatlah, Norbert," kata Sarita lagi, "Kau tidak perlu memaksa Pangeran
demi memulangkanku ke Helsnivia. Sekarang kau bisa dengan tenang
berkata pada Papa kau telah memenuhi janjimu."
Sarita membeku. Berkata tentang janji, apakah yang telah diperbuatnya
pada janji dengan orang yang begitu mencintainya selama enam tahun
belakangan ini" Duke Norbert telah memintanya menjadi wali Chris, mendidik,
menyiapkan Chris menjadi Duke of Cookelt. Namun apakah yang telah
dilakukannya!" Ia kabur dari Trottanilla!
Darah di otak Sarita langsung membeku.
Mengapa ia begitu egois" Mengapa ia bisa memutuskan untuk pergi tanpa
memikirkan permintaan Duke padanya " satu-satunya permintaannya
dan yang terakhir" Hingga detik-detik terakhir hidupnya, Duke Norbert berusaha memenuhi
janjinya pada Ithnan. apakah yang akan dipertanggungjawabkannya pada
Duke Norbert kelak" "Aku tidak mengharapkanmu di sini."
Sarita terperanjat. "Kau pucat pasi. Apakah kau sakit?" tanya Halbert pula.
"Saya baik-baik saja," jawab Sarita melihat pemuda itu berdiri di beranda
di sisi kirinya. "Mengapa Anda berada di sini?"
"Ini adalah kamarku," Halbert menunjuk ruang di belakangnya.
"Oh, saya tidak tahu."
Halbert pun tidak akan tahu jika ia tidak melihat pelayan ibunya
mengetuk kamar kosong di sebelahnya dan berkata, "Lady Sarita, apakah
Anda ada di dalam?" Untuk sesaat Halbert menduga ibunya akan memanggil Sarita tapi betapa
leganya ia ketika beberapa saat kemudian pelayan itu berkata, "Saya
diperintah untuk membawa Anda ke Ruang makan. Yang Mulia Paduka
Raja dan Ratu menanti kehadiran Anda."
"Apakah saya mengusik Anda?"
"Tidak. Aku sama sekali tidak terganggu olehmu."
Sarita melayangkan senyumannya.
"Apa yang kaulakukan di sini?"
"Saya sedang berpikir."
"Apa yang kaupikirkan?"
"Janji saya pada Norbert."
"Jangan khawatir," Halbert berusaha menenangkan. "Chris tidak akan
bisa berbuat apa-apa terhadap rumahmu. Ia tidak bisa memutuskan apa
pun tanpa persetujuan kau sebagai walinya."
"Itulah yang mencemaskan saya. Norbert meminta saya menjadi wali
Chris tapi lihatlah apa yang sudah saya lakukan. Saya kabur dari
Trottanilla seperti seorang penjahat tanpa sedikit pun memikirkan
Norbert." "Aku telah meminta Graham untuk menjadi perantara kalian."
Sarita terperangah. "Maafkan aku. Aku sudah bertindak di luar batas. Kupikir ini adalah satusatunya cara baik untuk memenuhi tugasmu sebagai wali Duke of Cookelt
yang baru tanpa berhubungan langsung dengannya."
"Terima kasih, Yang Mulia Pangeran Halbert," Sarita tersenyum dengan
segenap hatinya, "Anda sudah membantu saya memecahkan masalah
saya bahkan sebelum saya menyadarinya."
"Senyum inilah yang bisa menundukkan dunia," Halbert berpikir. Tidak
mungkin Sarita tidak menyadari betapa cantik dan mempesonanya
dirinya saat ini. Sinar matahari sore panas yang jatuh di atas rambut pucatnya yang
tergerai sampai ke pinggangnya, membuatnya seperti diselimuti cahaya.
Namun yang lebih menakjubkan adalah sepasang mata biru mudanya
yang bersinar gembira juga senyum manisnya yang mempesona. Tidak
pernah Halbert melihat seorang wanita secantik ini.
"Aku memberitahu Graham aku akan membawamu ke sini. Ia akan
mengirim kabar padamu bila terjadi sesuatu di Cookelt. Ia juga berjanji
akan mengirim berkas-berkas penting yang perlu kauurus secepat
mungkin. Ia juga akan mengawasi Chris untukmu."
Nama itu membuat Sarita pucat pasi. Kalau Graham tahu di mana dirinya,
apakah itu berarti Chris juga tahu"
"Chris mungkin datang ke sini," Halbert membaca pikiran Sarita.
Sarita langsung menggigil. Matanya memandang nanar Halbert "
membuat Halbert ingin melompati jarak di antara mereka dan
memeluknya erat-erat. Namun ia hanya berkata,
"Kulihat ia tidak akan berani menunjukkan muka di sini. Kalaupun ia
datang, aku tidak akan membiarkannya bertindak kurang ajar padamu.
Kau adalah tamuku. Sebagai tuan rumah, aku berkewajiban menjamin
keamananmu." Sinar ketakutan di sepasang mata itu masih tidak hilang. Halbert
memarahi dirinya sendiri karenanya.
"P-pangeran, apa yang hendak Anda lakukan!?" Sarita berteriak panik
melihat Halbert berdiri di atas pagar yang mengelilingi berandanya.
Halbert merambat di dinding menyeberangi jarak sekitar lima meter di
antara beranda mereka. Sarita menahan nafasnya seolah-olah takut Halbert akan jatuh bebas dari
tingkat tiga ini bila ia melepaskannya.
"Apa yang Anda lakukan!?" Sarita langsung bertanya ketika Halbert
menjejakkan kaki di lantai berandanya.
"Mengapa sinar ketakutan di mata itu masih tidak berubah?" Halbert
meraih Sarita dalam pelukannya.
"P-panggeran," Sarita terkejut, "Apa yang Anda lakukan?"
"Ssh"," tangan kiri Halbert melingkari pinggang Sarita dan menariknya
merapat. Tangan kanannya mendekap kepala Sarita di dadanya.
Sarita panik. Halbert tidak bergerak juga tidak bersuara. Ia hanya memeluk Sarita
seperti yang ingin dilakukannya di detik pertama ia melihat air mata
Sarita. Sarita menemukan kehangatan di dada Halbert. Entah sudah berapa lama
ia tidak dipeluk seperti ini. Duke Norbert tidak pernah memeluknya. Ia
juga tidak memeluknya ketika ia muncul di depan pintu rumahnya di
Hauppauge. Duke hanya berkata, "Hallo. Aku yakin kau adalah Sarita, si
putri cilik itu. Apakah ayahmu ada?" Duke juga tidak memeluknya ketika
ia menangisi pembakaran jasad ayahnya.
Sudah lama sekali Sarita tidak merasakan kehangatan seperti ini. Sudah
lama sekali Sarita tidak menyandarkan kepalanya dalam dada hangat
seorang pria. Ayahnya selalu memeluknya seperti ini ketika ia menangis. Ayahnya
selalu memeluknya sepanjang malam yang dingin di luar sana. Ayahnya
selalu memeluknya dalam setiap kesempatan.
Jari jemari Sarita mencengkeram kemeja Halbert. Matanya yang mulai
membasah menutup rapat. Bibirnya yang tertutup menggumamkan,
"Papa?" Sarita merindukan ayahnya.
Tiba-tiba Halbert melepaskan Sarita.
Sarita merasa hampa.
Kisah Cinta Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedetik lalu Halbert bertanya pada dirinya apa yang sedang dilakukannya
pada anak haram yang disumpahnya tidak akan pernah disentuhnya!"
Namun ketika melihat sepasang mata penuh kerinduan itu, Halbert sadar
tidak mudah mengabaikan gadis ini.
Halbert mengangkat Sarita.
Sarita terkejut. Ia cepat-cepat melingkarkan tangan di leher Halbert
untuk menopang badannya. "Aku datang untuk memastikan kau tidur saat ini juga," Halbert
membawanya masuk melalui pintu yang terbuka lebar itu.
Sarita merasa seperti kembali ke saat-saat ia membandel untuk tidur
sehingga ayahnya memaksa dengan membopongnya ke tempat tidur
seperti ini. Halbert membaringkan Sarita di tempat tidur dan beranjak pergi.
"Pangeran!" Sarita menarik tangan Halbert.
Halbert langsung berbalik.
"Kali ini gunakanlah pintu," Sarita tersenyum kekanak-kanakan.
"Tentu," kata Halbert, "Pertama-tama aku akan menutup pintu serambi."
Sarita melepas tangan Halbert.
"Selamat malam," ia tidak kuasa menahan keinginannya untuk mencium
kening gadis yang memandangnya dengan kekanak-kanakan ini.
"Apakah yang kaupikirkan, Halbert!?" Halbert memarahi dirinya sendiri
sambil berjalan ke pintu serambi kamar Sarita, "Apakah kau ingin Sarita
menahanmu di ranjangnya!?" ia mengunci pintu serambi.
Halbert melihat Sarita masih memandangnya dengan mata kekanakkanakan dan senyum manis ketika ia menuju pintu.
Sarita masih tersenyum beberapa saat setelah Halbert menghilang di
balik pintu. Sekarang ia yakin Halbert melakukan semua ini karena
simpatinya sebagai seorang gentleman kepada seorang gadis yang
sebatang kara.Sarita membaringkan diri. Malam ini ia pasti dapat
memimpikan saat-saat indah bersama ayahnya.
Chapter 9 "Sarita! Sarita!"
Suara berat memanggilnya dari kejauhan.
"Sarita, bangun!"
Sarita melihat sepasang mata cemas itu dengan pikiran kosong.
"Kau tidak apa-apa?"
Sarita melihat Halbert dengan bingung. Sesaat lalu ia bertemu Duke
Norbert yang menagih pertanggungjawabannya kemudian Chris muncul
dan berusaha memperkosanya lagi. Saat itulah ia mendengar suara yang
memanggil-manggilnya dengan panik dan ketika ia tersadar, ia sudah
berada di lengan Halbert.
"Kau tidak sakit lagi, bukan?" tangan Halbert memegang kening Sarita.
Sarita hanya menatap Halbert dengan mata bertanya-tanya.
"Kau pasti terlalu lelah," Halbert memutuskan.
Mata Sarita tidak beranjak dari wajah tampan yang cemas itu.
"Urusan Cookelt pasti telah menguras tenagamu," Halbert melepaskan
tangannya yang melingkari punggung Sarita.
Seminggu sudah Sarita tinggal di Ririvia. Selama ini tidak ada yang tidak
beres pada Sarita. Sekarang Sarita terlihat lebih sehat dan lebih segar
dari sebelumnya. Walau terkadang ia masih terlihat sedih, Sarita sudah
sering tersenyum gembira.
Halbert tidak pernah mendengar suara Sarita di malam hari ataupun di
pagi hari ketika ia melewati kamar Sarita. Tapi pagi ini ia mendengar
Sarita menjerit-jerit ketakutan. Ia pun memutuskan untuk melihat Sarita.
Walau Sarita berada jauh dari Trottanilla, tidak berarti Sarita jauh dari
masalah keluarga Riddick. Sesungguhnya, di pagi pertama Sarita berada
di Ririvia, ia telah menerima setumpuk dokumen kiriman Graham. Demi
kelancaran tugas Sarita, Raja Kathleen mengijinkan Sarita menggunakan
Ruang Perpustakaan. Halbert juga telah mengatur orang khusus untuk
mengirim kembali dokumen-dokumen itu beserta perintah tertulis Sarita
kepada Graham. Sejak itu pulalah hari-hari Sarita tidak pernah jauh dari
Ruang Perpustakaan dan urusan Cookelt.
Graham bukan saja perantara yang baik tapi juga penasehat yang baik.
Tiga hari setelah Sarita berada di Helsnivia, ia menyarankan Sarita untuk
mengganti guru pribadi Chris. Sesungguhnya Sarita tidak menyukai Owen
tapi ia tidak dapat melihat kesalahan Owen dalam mengajar Chris.
Grahamlah yang berkata Owen akan membentuk Chris menjadi Duke
yang buruk. Owen pula yang mulai mendorong Chris untuk melawan
Sarita. Sarita, atas saran Graham, memilih guru baru untuk Chris dan
sekarang guru itu menjadi pengawas kepercayaannya.
"Apakah kau mau pergi berkuda denganku?"
Sarita melihat Halbert sudah mengenakan pakaian lengkap. Celana hitam
yang membalut kaki panjangnya dipadu dengan kemeja putihnya. Halbert
terlihat jauh lebih santai dari saat ia mengenakan baju dinasnya.
Sarita ingat setiap pagi Halbert selalu pergi berkuda. Sarita selalu melihat
kepergian Halbert di pagi-pagi buta. Sarita juga mengawasi kepulangan
Halbert sesaat sebelum makan pagi. Halbert pasti tidak menyadarinya.
Sarita selalu melihat di saat Halbert mulai mendekati pintu, segerombolan
wanita yang entah dari mana datangnya, mengerumuni Halbert. Dengan
ramah dan senyumnya yang menaklukan hati tiap wanita, Halbert
melayani wanita-wanita itu satu per satu. Benar-benar tipe pria yang
tidak kekurangan teman wanita! Yang diherankan Sarita adalah Halbert
tidak se"lincah" ketika ia berada di Trottanilla. Ia melihat wanita di sisi
Halbert selalu silih berganti tapi tidak tiap hari dan sehari lima kali seperti
di Trottanilla. Halbert juga tidak selalu menghabiskan waktunya bersama
wanita seperti ketika ia di Trottanilla. Sesungguhnya, ia lebih banyak
menghabiskan waktu untuk urusan Kerajaan Helsnivia. Tapi siapa tahu
ketika ia berada di luar Ririvia.
"Aku akan menunggumu di bawah," Halbert memberitahu dan ia
meninggalkan Sarita yang masih bergulat dengan pikiran kosongnya.
Saritapun segera bangkit dan bersiap-siap.
Sarita selalu seperti ini beberapa saat setelah ia membuka mata di pagi
hari terutama bila ia dibangunkan dengan paksa. Ayahnya selalu berkata
saat yang paling mudah untuk membujuknya adalah di pagi hari ketika ia
baru membuka mata. Hanya saat inilah pikirannya kosong dan otaknya
berputar lambat bahkan untuk berkata-kata. Bila Halbert tidak
mengetahuinya, maka ia pasti menyadarinya saat ini.
Beberapa saat kemudian Sarita sudah berdiri di depan Halbert yang
menantiya di depan pintu Ririvia dengan dua ekor kuda yang gagah.
Penampilan Sarita jauh dari Halbert yang berwibawa. Sarita hanya
mengenakan salah satu gaun katunnya yang sederhana " jauh dari kesan
mewah. Rambutnya hanya terikat pita coklat muda yang senada dengan
gaunnya. "Kau sudah siap?" Halbert memberi cambuk kuda kepada Sarita.
"Ya," pikiran Sarita sudah pulih sekarang tapi ini sudah terlalu terlambat
untuk berpaling. Sarita segera menaiki kudanya sebelum Halbert
menawarkan bantuan atau membantunya tanpa ijin.
Halbert menyembunyikan senyum gelinya melihat Sarita yang seperti
terburu-buru kabur. Berdua, mereka beriringan meninggalkan Istana Ririvia yang megah.
Mereka melewati Travlienne, pusat pemerintahan Helsnivia. Mereka terus
melaju ke daerah perhutanan " jauh dari pemukiman. Mereka terus
menanjak di antara pohon-pohon tinggi hingga pada akhirnya Halbert
berhenti di tepi jurang terbuka.
"Ini adalah tempat yang paling kusukai di Helsnivia," Halbert
mengumumkan. Sarita memandang kumpulan rumah-rumah kecil jauh di kaki gunung.
Halbert turun dari atas kudanya dan berjalan ke tepi jurang.
Sarita mengikuti. "Dari sini kau bisa melihat seluruh wilayah Helsnivia."
Sarita melihat lekukan-lekukan kaki pegunungan dan daratan hijau yang
membentang luas hingga di kaki gunung di kaki langit. Beberapa garis
meliuk-liuk di antara hijaunya pepohonan. Di sana sini terlihat danau
yang nampak seperti kolam kecil di tempat tinggi ini. Istana Ririvia yang
tinggi menjulangpun nampak seperti sebuah titik di antara karpet hijau
yang membentang sejauh mata memandang.
"Aku sungguh menyesal aku tidak pernah membawamu keluar."
Sarita melihat Halbert dan tersenyum. "Saya tidak pernah menyalahkan
Anda. Anda adalah orang yang sibuk."
"Kadang di kala aku lelah, aku datang ke tempat ini. Tidak seorang pun
tahu tempat ini kecuali aku," Halbert menatap Sarita, "Dan kau
tentunya." Halbert memberikan senyumannya yang menawan, "Kau
adalah gadis pertama yang kuajak ke tempat ini."
Sarita hanya tersenyum. Dalam hati ia bertanya-tanya berapa kalikah
Halbert mengatakan kalimat yang sama. Sarita tidak akan terkejut bila
Halbert sudah menghafal kalimat ini di luar kepalanya.
"Kau juga wanita pertama yang kuajak pulang ke Ririvia."
Pemuda dengan reputasi seperti Halbert!" Tidak mungkin. Sarita tidak
percaya. Bila Halbert berkata ia adalah anak haram pertama ang
dibawanya pulang, Sarita akan percaya.
"Anda sungguh pandai berbicara, Pangeran," Sarita tersenyum, "Pasti
inilah cara Anda membuat tiap kekasih Anda merasa spesial."
"Tidak, Sarita. Aku bersungguh-sungguh," Halbert berusaha meyakinkan.
Sarita hanya tersenyum simpul dan duduk memandang kejauhan. Ia
memang gadis muda yang lugu dan buta tentang pria tetapi ia tidaklah
sebodoh itu. "Sesungguhnya kau adalah yang pertama dalam banyak hal," Halbert
duduk di sisi Sarita, "Kau adalah gadis pertama yang kulihat tidak terlalu
pusing dengan penampilanmu."
"Bila Anda menunjuk pada gaun-gaun saya, Pangeran, sungguh menyesal
saya tidak mempunyai sepotong gaun pun yang sesuai dengan
kemewahan Istana Ririvia. Ketika meninggalkan Sternberg, saya berniat
tinggal di desa Hauppauge yang jauh dari kaya dibandingkan Istana
Ririvia yang megah."
"Kau bisa membeli gaun baru."
"Untuk apa?" tanya Sarita, "Saya tidak akan selamanya tinggal di Ririvia.
Yang terutama, saya tidak punya uang, uang negara ini."
Halbert memperhatikan Sarita sama sekali tidak terusik oleh bedanya
kualitas pakaian yang mereka kenakan.
"Kau adalah wanita pertama yang tidak pusing menata rambut."
"Tatanan rambut yang paling rumit yang saya kenakan adalah
mengepang rambut saya," Sarita membeberkan fakta, "Saya tidak
dibesarkan untuk memusingkan rambut saya. Saya suka membiarkan
rambut saya tergerai."
Selama Sarita di Ririvia, Halbert juga telah memperhatikannya. Ia
beberapa kali melihat Sarita dengan rambut terkepang rapi. "Kau lebih
cocok dengan rambut tergerai bebas."
"Apakah Anda sedang mengomentari penampilan saya, Pangeran?" tanya
Sarita menyelidik. "Tidak. Aku hanya membeberkan hal-hal pertama dari wanita yang
kulihat darimu." "Tampaknya petualangan-petualangan Anda belum cukup untuk
mengenalkan sosok wanita pada Anda," Sarita tertawa geli, "Saya lihat
petualangan Anda tidak akan pernah berhenti. Di dunia ini ada banyak
macam wanita. Anda masih perlu mencoba petualangan baru."
Halbert terperanjat. "Kau adalah wanita pertama yang mengatakannya."
"Mengatakan apa?"
"Petualanganku."
"Apakah ada yang salah dengannya, Pangeran?" tanya Sarita, "Apakah
saya mengatakan sesuatu yang salah?"
"Tidak. Kau adalah wanita pertama yang mengerti petualanganku."
"Ayah saya adalah seorang petualang. Ia selalu mencoba hal baru untuk
membuatnya tidak pernah bosan dan ia tidak pernah berhenti," Sarita
terkenang, "Katanya, seorang petualang tidak pernah berlabuh."
"Namun pada akhirnya ia berlabuh pada ibumu."
"Tidak," Sarita menyangkal, "Papa tidak pernah berlabuh. Ia membawa
Mama bersamanya." "Duke Norbert membawa ibu Sarita dalam affair cintanya!" Halbert tidak
dapat memahami kharakter Duke Norbert. Bagaimana mungkin ia
melibatkan kekasihnya yang satu dengan kekasihnya yang lain"
"Kau sungguh"," Halbert kehilangan kata-katanya.
Sarita melihat Halbert " menanti kelanjutan kalimatnya.
"Unik," akhirnya Halbert berkata.
"Terima kasih. Itu adalah komentar pertama yang saya dengar," Sarita
bermain dalam permainan kata "pertama" Halbert.
"Apakah kau tidak mempercayaiku?"
"Saya mempercayai Anda," Sarita tersenyum dan menambahkan kalimat
yang pernah diutarakan Halbert padanya, "Karena saya tidak cukup
cantik untuk membuat Anda tertarik pada saya."
"Aku bersungguh-sungguh Sarita. Kau adalah wanita pertama yang
membuatku duduk di samping tempat tidur dan merawatmu. Aku tidak
pernah menjaga orang sakit. Kaulah yang pertama."
"Menjaga saya?" Sarita bingung. Ia teringat lagi ucapan Halbert pagi ini di
kamarnya. "Apa kau sakit lagi?" Lagi" Kapan ia pernah memberitahu
Halbert bahwa ia sakit"
"Kapankah Anda merawat saya?" Sarita pernah jatuh pingsan di tangan
Halbert tapi saat itu Sarita langsung pergi. Marcialah yang menjaganya.
Marcialah yang merawatnya ketika ia sakit. Tapi" butuh satu jam untuk
pergi ke kota terdekat dari Hauppauge. Butuh satu jam lagi untuk
kembali. Hari itu Marcia berkata ia akan memanggil dokter tapi sesaat
kemudian ia sudah kembali untuk merawatnya. "Apakah?"" Sarita
melihat Halbert dengan tidak percaya dan bingung.
"Sudah waktunya kita kembali," Halbert berdiri, "Wyatt pasti sudah mulai
bingung mencariku." Halbert berbohong! Setiap pagi Sarita melihat Wyatt berdiri di pintu
menanti kepulangan Halbert dari olahraga paginya ini. Ia menghindar!
Cinta Tokoh Sesat 1 Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai Dewa Cadas Pangeran 2