Ratu Pilihan 5
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella Bagian 5
"Tidur bersama?" wajah Eleanor merah padam diingatkan kejadian yang
tidak sudi diakuinya itu.
Kemarin Eleanor sama sekali tidak memikirkan tindakannya sepanjang
hari itu. Namun pagi ini ketika ia terbangun dengan kepala pening, ia
mulai menggunakan kepala dinginnya mengulang kembali kejadian
sepanjang hari kemarin untuk mencari jawaban mengapa setelah makan
malam ia terus mengantuk hingga akhirnya ia benar-benar tertidur
hingga pagi ini. Eleanor masih ingat dengan jelas bagaimana ia bermanja-manja di
pelukan Quinn. Eleanor ingat bagaimana ia melarang Quinn
meninggalkannya. Ia ingat semuanya mulai dari ia tidur di atas dada
Quinn hingga Quinn mengambil ciuman pertamanya. Tidak ada satu pun
yang terlupakan oleh Eleanor!
Sampai mati pun Eleanor tidak akan mengakui semua tindakannya
kemarin. Itu bukan perbuatan yang dilakukannya dengan akal sehat.
Quinn pasti tahu ia takut akan laut dan ia memanfaatkan ketakutannya
itu! Pasti itu yang terjadi!
Sepanjang pagi ini ia terus mengingkari kejadian kemarin. Sepanjang
makan pagi ini ia berusaha menghindarkan mata dari Quinn. Namun
matanya terus terpaku pada sosok Quinn yang kemarin telah
memeluknya sepanjang perjalanan menuju Corogeanu. Ingatannya terus
melayang pada tangan-tangan kekar yang terus melingkari tubuhnya
sepanjang hari. Siang ini pun ketika Quinn memergokinya di kota, Eleanor
tidak dapat melepaskan matanya dari bibir yang kemarin mencuri ciuman
pertamanya. Eleanor melihat wajah tampan yang begitu dekat itu. Tubuhnya bereaksi
menyadari tubuh kekar yang kemarin menjadi kasurnya, menindihnya.
Jantungnya berdegup keras merasakan tangan kekar yang kemarin
memeluknya, kini tengah melingkari pinggangnya.
"Oh, Eleanor, sayangku," tangan kanan Quinn beralih ke wajah Eleanor,
"Jangan menatapku seperti itu."
Seperti apa" Eleanor tidak mengerti. Apakah yang sedang dikatakan
pemuda ini" "Kau benar-benar tidak menyadari pesonamu, bukan?" Quinn
memperhatikan sepasang bola mata biru yang memandangnya dengan
bingung itu, "Kau benar-benar membuatku ingin meneruskan tidur kita
kemarin ke tingkat yang lebih jauh," ia pun kembali menjatuhkan ciuman
di bibir Eleanor. Jantung Eleanor berdebar keras. Quinn kembali membangkitkan sensasi
yang kemarin dirasakannya. Ciuman Quinn tidak berhenti di situ saja. Ia
mulai menjelajahi wajah Eleanor dan bergerak turun ke dagunya,
lehernya. Eleanor merasakan tangan Quinn yang di pinggangnya bergerak naik
sepanjang punggungnya. Tangannya yang lain melusuri lekuk lehernya,
pundaknya dan terus turun sepanjang sisi tubuhnya. Tubuh Eleanor
bergetar oleh sensasi yang tak dikenalnya. Eleanor takut namun ia
menginginkan lebih dari itu. Eleanor mencengkeram kemeja Quinn takut
sewaktu-waktu ia akan melebur.
Tiba-tiba Quinn menghentikan semuanya. Matanya bersinar lembut.
"Untuk kau dapat benar-benar hamil, aku harus terus meneruskan ini dan
menyatukan tubuh kita berdua," ia tersenyum lembut.
Rona merah menghiasi wajah Eleanor.
"Malam ini aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan melakukannya
sampai kau benar-benar siap," Quinn berjanji dan ia beranjak bangkit.
Tangan Eleanor terulur menarik kemeja Quinn.
Baik Quinn maupun Eleanor terkejut melihat tangan yang mencengkeram
lengan kemeja Quinn itu. "A...aku... aku...," Eleanor tidak tahu apa yang sedang diperbuatnya.
Quinn tersenyum. Ia mengangkat tubuh Eleanor dan membaringkannya di
posisi yang benar. Kemudian ia menarik selimut menutupi tubuh gadis itu
dan mencium dahinya. "Selamat malam, sayangku."
Quinn tahu ia harus bergegas meninggalkan kamar Eleanor. Ia tidak
dapat menjamin ia dapat terus bersikap seperti seorang gentleman.
Sesaat lalu hampir saja ia kehilangan akal sehatnya. Memang tujuan
pernikahan ini adalah untuk memberi keturunan Arcalianne namun
sekarang Quinn meragukan niatnya.
BAB 22 Eleanor mendesah panjang.
Nicci cemas melihat ratunya. Beberapa hari terakhir ini, Eleanor banyak
duduk melamun seperti ini. Biasanya, setiap tidak ada kegiatan, selalu
ada saja keributan yang dibuat Eleanor namun belakangan ini ia hanya
mendesah panjang. Nicci curiga. Apakah perubahan tingkah laku Eleanor ini disebabkan oleh
kehidupan lain dalam dirinya. Bukankah sikap seorang wanita selama
hamil sedikit banyak dipengaruhi oleh janin dalam kandungannya"
Bagaimana Nicci mengetahuinya" Tentu saja karena gosip itu. Gosip akan
kehamilan Eleanor sudah sampai ke Istana bahkan Nicci sering menjadi
incaran orang-orang yang ingin tahu. Namun, apa yang dapat dikatakan
Nicci tentang gosip itu" Ia tidak mengetahui kebenarannya. Ia juga tidak
berani memastikannya. Pernah Nicci menyinggung masalah itu. Wajah Eleanor langsung merah
padam sebagai jawabannya. Melihat kepanikan Eleanor saat itu, Nicci
meragukan kebenaran gosip itu. Tapi kalau melihat sikap Eleanor yang
seperti ini... Lady Irina juga pernah datang ke Istana hanya untuk memastikan gosip
itu. Namun, seperti apa yang didapat Nicci, wajah Eleanor merah padam!
Melihat kepanikan Eleanor, Irina pun memutuskan untuk tidak terus
mendesak gadis itu. Raja Quinn, di sisi lain, selalu tertawa setiap kali ada yang menyinggung
masalah kehamilan Eleanor. Ia tidak membenarkan juga tidak
menyangkal gosip itu. Keduanya benar-benar tidak membantu menjernihkan gosip ini! Kalau
memang benar Eleanor hamil, mengapa Eleanor selalu panik setiap kali
ditanya" Kalau Eleanor tidak hamil, mengapa Quinn selalu tertawa riang
setiap kali ditanya" Kalau Eleanor memang benar hamil, mengapa hingga
detik ini tidak ada pengumuman resmi dari pihak Fyzool"
Lawrence, sang dokter yang diajak Quinn berbicara di Corogeanu pun
tidak luput dari gosip itu. Orang-orang terus membanjiri rumahnya hanya
untuk memastikan kebenaran gosip itu. Namun, tentu saja, Lawrence
tidak dapat membantu. Tiadanya kepastian dari pihak manapun membuat setiap orang terus
berspekulasi dengan kabar kehamilan Eleanor ini.
"Apa yang sedang kaulamunkan, istriku?" Quinn melingkarkan tangan di
pinggang Eleanor. Eleanor terperanjat. Ia membalikkan badan.
Senyuman Quinn menabuh genderang jantung Eleanor. "Tampaknya aku
benar-benar mengejutkanmu. Ini tidak baik untuk bayimu."
"K...kau...," Eleanor kehilangan kata-katanya.
Wajah bersemu itu menggoda Quinn untuk menjatuhkan ciuman.
Mata Eleanor membelalak lebar ketika mulut mereka bertemu.
Quinn tersenyum lembut. Eleanor memalingkan kepala. Tangannya menutupi wajahnya yang panas.
Ketika Quinn menarik punggungnya merapat ke dadanya, barulah Eleanor
menyadari sejak tadi tangan Quinn tidak beranjak dari pinggangnya.
Keduanya sama sekali tidak menyadari pasangan-pasangan mata yang
terpusat pada mereka. Sebagai pemeran utama gosip yang paling hangat
di Viering saat ini, setiap tindakan mereka memancing perhatian setiap
mata. Sekarang, di koridor Istana yang ramai, keduanya berpelukan
dengan mesra. Setidaknya itulah yang dilihat orang lain.
"Dengarlah aku, Eleanor," bisik Quinn.
Suara lembut Quinn ketika menyebut namanya, menabuh genderang
jantung Eleanor. "Aku ingin kau mengucapkan selamat tinggal pada kawanmu di Loudline."
Eleanor langsung melepaskan diri dari pelukan Quinn. Matanya menuntut
penjelasan Quinn. "Apakah kau lupa besok kita akan berangkat ke Pittler?" Quinn bertanya,
"Atau mungkin kau lebih senang bertemu dengan pemuda itu daripada
pergi berburu denganku?"
"T-tidak," sergah Eleanor, "Tentu saja aku mau pergi denganmu."
"Reaksimu tidak mengatakannya," Quinn tidak sependapat, "Jangan
katakan padaku kau lupa."
"Wajar saja kalau aku lupa," Eleanor tidak senang dengan pertengkaran
yang dipancing Quinn, "Orang gila mana yang mau pergi berburu ketika
hewan-hewan bersiap-siap tidur selama musim dingin!?"
"Kau tidak mengerti. Justru inilah letak tantangannya. Mengapa?" Quinn
mencondongkan tubuhnya, "Apakah kau tidak punya kepercayaan diri
untuk mengungguliku?"
Wajah yang terlalu dekat itu membuat mata Eleanor tidak bisa
menghindarkan tatapannya dari bibir yang sanggup meluluhkannya.
Eleanor segera mengalihkan pandangannya dan ia kembali mengutuki
dirinya sendiri. Sepasang mata kelabu Quinn menyedot pandangannya
seperti gua gelap tak berujung. Eleanor mengatupkan tangannya di
dadanya - siap menangkap jantungnya yang siap melompat sewaktuwaktu.
"Jadi, sayangku?"
Nada gembira dalam suara itu menyadarkan Eleanor akan permainan
Quinn. "Aku tidak akan kalah darimu! Lihat saja!"
Quinn tersenyum puas. "Aku tidak sabar melihat penampilanmu besok."
Eleanor kesal. Ia marah! Mengapa setiap saat ia baru menyadari
permainan Quinn ketika pemuda itu sudah puas!" Ia tidak akan
membiarkan pemuda itu tahu belakangan ini ia terus memikirkannya!"
Eleanor tidak akan membiarkan Quinn menertawakannya karena itu!!
"Mau ke mana kau?" Quinn menarik tangan Eleanor.
"Aku mau mencari Seb!"
"Jangan pergi terlalu lama," pesan Quinn.
"Aku tidak akan kembali sampai besok!" Eleanor pergi dengan kesal.
Quinn tertawa. Ia tahu Eleanor sedang marah padanya. Inilah
Eleanornya. Eleanor salah kalau ia pikir Quinn tidak tahu hobi barunya
akhir-akhir ini. Perubahan Eleanor terlalu mencolok hingga penghuni baru Fyzool pun
tahu ada yang salah pada Eleanor. Bagi tiap orang, Eleanor berubah
karena bayi dalam kandungannya. Namun bagi Quinn, Eleanor berubah
karena ia kecewa pada kenyataan ia tidak benar-benar hamil.
Andaikan saja Eleanor tahu betapa Quinn menginginkan kehamilannya...
Hari-hari belakangan ini Quinn menghindari pertemuan dengan Eleanor di
saat tiada orang lain di sekitar mereka. Quinn tidak mau kehilangan akal
sehatnya lagi seperti malam itu. Quinn tidak berani menjamin di saat lain
ia dapat mengendalikan tindakannya seperti saat itu.
Hari-hari belakangan ini Quinn menyadari ia tidak menginginkan
kehamilan Eleanor hanya karena tuntutan awal pernikahan ini. Quinn
tidak mau Eleanor hamil hanya karena tugasnya sebagai seorang Ratu.
Quinn menginginkan keturunan yang benar-benar diinginkan mereka
berdua! Melihat Eleanor yang menjauh dengan membawa kemarahannya, Quinn
ragu keinginannya itu dapat segera terlaksana.
Tidak mengapa. Quinn tidak terburu-buru. Mereka masih muda. Mereka
masih perlu membina hubungan sebelum kehadiran anak mereka.
Sekarang yang harus segera ia laksanakan adalah mempersiapkan
perburuan mereka - tradisi warisan ayahnya.
Quinn pun mengundurkan diri dari tempat itu.
-----0----- Eleanor masih kesal ketika ia sudah tiba di Loudline.
"Pria itu. Lihat saja! Akan kutunjukkan padanya siapa Eleanor! Ia pikir ia
bisa mempermainkanku sesuka hatinya!!"
Pedro hanya bisa diam mendengarkan omelan Eleanor. Sejak hari
pertama ia mengawal sang Ratu ke Loudline, ia terus mendengar omelan
Eleanor tentang suaminya itu. Sekarang ia mulai terbiasa dengannya.
Pedro tidak mengerti bagaimana ia harus menggambarkan hubungan
kedua insan ini. Di saat mereka berbicara, Pedro dapat merasakan
keintiman di antara mereka. Namun, ketika bersama Eleanor seperti saat
ini, Pedro merasa Quinn adalah musuh bebuyutan Eleanor. Entah
bagaimana Eleanor di mana Quinn.
Eleanor menghentikan langkah kaki kudanya dengan tiba-tiba.
Pedro terperanjat. Ia juga segera menghentikan kudanya. Ketika ia
melihat Eleanor, gadis itu sudah turun dari kudanya.
"P-Nona, apa yang Anda lakukan?" tanyanya panik. Baik Quinn, Eleanor
hingga Jancer sudah memperingatinya untuk tidak menyebut gelar gadis
itu. Namun Pedro masih tidak sanggup bersandiwara.
"Jangan berisik," Eleanor menegaskan dengan tidak senang. "Tunggu aku
di sini," katanya kemudian menghilang dalam keramaian.
Pedro tertegun. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia diperintah
untuk mengawal Eleanor selama sang Ratu berada di Loudline. Ia
diperintah untuk tidak membocorkan identitas gadis itu. Ia diperintah
untuk tidak meninggalkan sisi Eleanor. Namun sekarang, untuk pertama
kalinya sejak ia menerima tugas ini, Eleanor menghilang dari
pandangannya. Pedro membawa kuda-kuda mereka ke tepi jalan dan menanti Eleanor.
Apa pun yang dilakukan Eleanor, gadis itu bukan bertindak tanpa berpikir.
Inilah yang saat ini dipercaya Pedro.
Selama beberapa hari mengawal Eleanor di Loudline, Pedro melihat sosok
lain sang Ratu yang anggun dan liar. Pedro tertegun di hari pertama
Eleanor menyapa pedagang-pedagang Loudline dengan akrab. Ia tidak
dapat berkomentar melihat sang wanita nomor satu di kerajaan ini
bersenda gurau dengan rakyat biasa. Gadis itu menjadi idola di Loudline.
Tua muda menyukainya. Pria wanita menyayanginya.
Pedro adalah satu di antara sekian banyak orang yang meragukan
keputusan sang Grand Duke Bernard. Namun, setelah melihat sendiri
pemandangan ini, Pedro sadar Duke memilih Ratu Viering bukan tanpa
pertimbangan. Raja Quinn juga tentu sudah mengetahui hal ini sehingga ia membiarkan
istrinya berkeliaran di Loudline hanya dikawal oleh seorang pria yang
tengah memasuki masa setengah abadnya.
Baru saja Pedro berpikir seperti itu ketika Eleanor muncul di antara
keramaian. "Ke mana saja Anda, Pa," tatapan tajam Eleanor membuatnya menutup
suara. "Aku hanya melihat seorang kenalanku," Eleanor menerangkan, "Namun
aku kehilangan jejaknya."
"Kenalan Anda!?" Pedro kaget, "Apakah ia melihat Anda" Apakah ia..."
"Jangan khawatir," Eleanor menenangkan, "Aku tidak seceroboh itu. Aku
tahu tidak seorang pun boleh melihatku di sini."
Pedro lega mendengarnya. Baru saja Pedro merasa seperti itu ketika Eleanor berkata, "Tunggu aku di
sini," sambil berlari ke seberang jalan.
Pedro terpaku. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang dilakukan
Eleanor. Demikian pula Eleanor. Ia tidak tahu apa yang tengah dilakukannya.
Eleanor bukanlah tipe yang suka campur tangan dalam urusan orang lain.
Ia juga tidak suka mengintai tingkah laku orang lain. Namun beberapa
saat lalu ketika melihat Simona memasuki Dristol, insting Eleanor
mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
Simona sudah menjadi Duchess of Pittler. Ia adalah istri orang nomor
satu dalam urutan tahta Kerajaan Viering. Mengapa ia masih
mengunjungi Dristol" Dan mengapa pula ia harus bersikap sembunyisembunyi seperti
itu" Eleanor semakin tidak mengerti ketika melihat Simona menggandeng
seorang pria bertubuh besar. Cara Simona menggandeng pria itu
membuat Eleanor yakin hubungan di antara mereka tidaklah semurni
yang terlihat.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eleanor baru memutuskan akan meminta tolong sumber gosip
terbesarnya, Seb, ketika ia kembali melihat keduanya menuju lorong ke
pemukiman kumuh. Namun lagi-lagi Eleanor kehilangan jejak.
Eleanor menyusuri lorong itu. Matanya terus memperhatikan sekelilingnya
- mencari sosok seorang wanita berambut merah dan seorang pria
bertubuh besar. "Apa yang kau lakukan di sini?" seseorang menepuk pundak Eleanor.
Eleanor terperanjat. Seb bingung melihat reaksi Eleanor. "Apa aku mengagetkanmu?"
"T-tidak," Eleanor cepat-cepat menghilangkan kekagetannya. Sesaat lalu
ia sempat mengira keduanya menyadari ia tengah mengikuti mereka.
"Apa yang kaulakukan di sini?"tanya Seb, "Sebaiknya engkau tidak pergi
ke tempat ini seorang diri." Seb lalu memperhatikan sekeliling Eleanor
dengan heran, "Di mana penjagamu itu?"
Eleanor tersenyum. Ia tahu siapa yang dikatakan Seb.
Di hari pertama Pedro datang ke Loudline bersamanya, Eleanor
mengenalkan Pedro sebagai teman sekerjanya yang oleh Earl Hielfinberg
ditugaskan untuk membantunya berbelanja kebutuhan rumah tangga
Hielfinberg. Sebagai reaksi atas penjelasannya, Seb berkomentar, "Pasti
suamimu yang melakukannya. Ia pasti cemburu padaku sehingga
mengatur orang untuk mengawasimu."
Eleanor sempat was-was dengan komentar itu.
"Ia pasti bukan sekedar pelayan."
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak perlu menutupinya dariku, Eleanor. Melihatnya saja aku sudah
yakin ia pasti ketua pelayan-pelayan Earl Hielfinberg. Earl pasti sangat
mempercayainya sehingga ia mendengar permintaannya."
Eleanor lega. Namun di sisi lain ia berharap Quinn tidak akan
mengikutinya ke Loudline lagi.
Quinn terlalu berwibawa untuk menjadi rakyat biasa. Auranya sebagai
seorang raja terlalu kental.
Hari itu saat ia menjemputnya, sikap Quinn terlalu mencurigakan sebagai
seorang pelayan. Kebiasaannya memberi perintah sama sekali tidak bisa
dihilangkannya walau Eleanor terus mengomelinya sepanjang hari. Harga
dirinya yang tinggi juga membuat pagar pembatas yang jelas antara dia,
sang raja dengan mereka, sang rakyat biasa.
Hari itu Eleanor dibuat sadar Quinn adalah seorang raja dan ia hanyalah
seorang gadis biasa. Ia memang dilahirkan dalam lingkungan bangsawan,
sebagai putri Earl of Hielfinberg, namun hatinya dibesarkan dalam
lingkungan rakyat biasa. "Aku meninggalkannya."
"Meninggalkannya?" Seb tak percaya. Sejak kemunculan pria tua itu,
Eleanor selalu bersama pria tua itu. Pria tua itu sama sekali tidak mau
meninggalkan sisi Eleanor walau hanya sejenak!
"Aku punya pertanyaan untukmu," Eleanor mengalihkan pikiran pemuda
itu. -----0----- Simona melihat sekelilingnya dengan tidak senang. "Dasar orang
rendahan!" gerutunya ketika seorang pria kumuh terhuyung-huyung
menabraknya. Matanya melirik orang-orang yang di matanya tidak
berkelas sedang berpesta pora dengan minuman keras rendahan mereka.
"Ini adalah tempat yang aman untuk berbicara," Todd menyadari kejijikan
Simona akan suasana di sekitarnya dan ia menekankan, "Seperti
keinginanmu." Simona benar-benar tidak menyukai cara pria itu memperlakukannya.
Mereka memang pernah mempunyai hubungan serius. Namun sekarang
ia tidak lagi sederajat dengannya. Ia adalah seorang Duchess and ia tetap
seorang pria kumuh tak berkelas.
"Bir?" Todd menawarkan segelas penuh minuman.
"Jangan menghabiskan waktuku!" Simona menepis kasar lalu ia berkata
serius, "Aku mau kau melakukan sesuatu untukku."
"Menarik," kata Todd menegak minumannya, "Apa yang diminta Duchess
of Binkley dari seorang perampok seperti aku?"
"Bunuh Eleanor!"
Todd terperanjat. "Kumpulkan orang," kata Simona serius. "Bunuh Eleanor!"
Todd tertawa. "Ternyata Duchess of Binkley masih seorang Simona."
"Kau salah, Todd. Sekarang aku bukan Simona yang dulu. Aku tidak akan
membiarkan orang lain menertawakan aku lagi! Semua orang sama saja!
Mereka tidak mengerti bagaimana sulitnya hidup ini."
Simona tidak akan membiarkan orang lain terus meremehkannya. Sejak
kecil, tidak seorang pun menerimanya. Karena ia berasal dari luar
Coaber, setiap orang memandangnya sebelah mata. Ketika orang tuanya
meninggal pun tidak ada yang peduli padanya. Mereka terus
meremehkannya. Sekarang ketika ia berhasil mendapatkan posisi yang
mantap, semua orang kembali memandang rendah padanya. Memangnya
apa artinya darah biru" Para bangsawan itu tidak lebih baik darinya.
Mereka juga pernah membunuh. Mereka juga pernah mencuri. Mereka
bersikap anggun seakan-akan mereka adalah makhluk mulia. Hanya
karena ia melakukan pekerjaan kotor itu dengan tangannya sendiri, tidak
berarti mereka bisa menghinanya!
Ia telah berjuang dengan tangannya sendiri untuk mencapai posisinya
saat ini. ia tidak akan berhenti. Ia akan terus berjuang hingga puncak!
"Mereka harus tahu siapa Simona!" Simona menegaskan.
Setelah ia menjadi seorang Ratu, tidak akan ada yang berani
menghinanya lagi. Saat itu ia akan membunuh semua orang yang berani
menjelekkannya. Tidak akan ada lagi orang yang berani merendahkannya
ketika Mathias tidak berada di sisinya. Saat ini mereka bisa menghina,
mengejeknya bahkan merendahkannya ketika Mathias tidak ada di
sisinya. Namun, ketika ia sudah menjadi seorang Ratu Viering, mereka
tidak akan berani lagi. "Apa kau pikir akan semudah itu?"
"Tentu saja tidak. Apa kau pikir aku tidak tahu" Quinn tidak pernah
mengijinkan gadis itu keluar Istana. Pengawalan gadis itu juga ketat.
Setiap saat selalu ada prajurit yang mengawal gadis ingusan itu"
"Menarik," kata Todd, "Aku sudah lama ingin mencicipi para pasukan
pengawal kerajaan." "Kumpulkan orang-orang kepercayaanmu," Simona puas, "Kita harus
mencari kesempatan untuk membunuh Eleanor. Kalau perlu kita pancing
dia keluar dan habisi!"
"Bayarannya?" tanya Todd.
Simona bingung. "Apa yang bisa kau berikan sebagai bayarannya?" Todd menantang, "Ini
bukan pekerjaan mudah. Salah sedikit saja bisa kehilangan nyawa."
"Apa yang kau minta?" Simona balas menantang.
"Tidak sulit," Todd memegang dagu Simona, "Yang kuminta tidaklah
sulit." Ia mendekatkan wajahnya, "Aku ingin kau."
"Kau memang bajingan," desis Simona.
Todd tertawa. "Inilah yang kusuka darimu. Kau selalu terus terang. Kau
tidak pernah setengah-setengah dalam mencapai tujuanmu."
Simona membenci pria ini. Dulu mereka pernah menjadi sepasang
kekasih. Tetapi itu dulu.
"Baik," Simona sepakat, "Aku terima syaratmu."
Apa salahnya tidur bersama pria ini" Ini semua juga demi mencapai
tujuannya. Ketika ia berhasil membunuh Eleanor, ia akan menyuruh
orang untuk menghabisi pria ini. Tidak ada yang boleh tahu ia berada di
balik rencana pembunuhan Eleanor. Ia akan menghabisi siapa pun yang
berani menghalangi jalannya. Kalau perlu, ia juga akan menyusun
rencana untuk menghabisi Quinn.
"Kau memang wanita yang berambisi besar," Todd tertawa, "Aku
mencintai sifatmu ini." Dan ia bertanya serius, "Kapan kau ingin aku
mengeksekusinya?" "Kau tahu Pittler?" Simona pun berkata serius.
-----0----- "Kau terlambat!" Quinn berkata tajam.
"Siapa bilang?" Eleanor berkata santai sambil memotong sepotong daging
di piringnya, "Aku pulang lebih awal dari rencanaku."
Siapa yang bisa langsung pulang setelah mendengar tentang pria
bertubuh besar yang dilihatnya bersama Simona itu!"
Tepat seperti dugaannya, sang sumber gosip terbesarnya mengetahui
siapa pria besar itu. Hanya dengan menjelaskan rupa pria itu, Seb sudah
bisa mengatakan segala hal tentang pria itu.
Menurut Seb, pria yang bernama Todd itu sangat terkenal di Loudline. Ia
adalah seorang perampok yang tidak segan-segan menghabisi nyawa
orang lain untuk mendapatkan keinginannya. Semua penduduk di
Loudline takut padanya. Tidak seorang pun berani berselisih dengannya
juga dengan bawahannya yang jumlahnya sangat banyak itu.
Eleanor tidak tahu apa hubungan di Simona dan Todd. Mengingat
pekerjaan Simona sebelum ia menjadi Duchess, mungkin mereka adalah
teman akrab. Namun mendengar penjelasan Seb lebih lanjut, Eleanor
menjadi cemas. Sebelumnya Duchess of Binkley pernah terlihat bersama
Todd di sekitar Loudline. Tidak hanya itu saja. Seb pernah melihat Duke
dan Duchess of Binkley pergi Dristol tak lama setelah peringatan Red
Invitation. Seharian ia mengelilingi Loudline hanya untuk mencari jejak keduanya.
Eleanor tahu cara yang paling cepat adalah bertanya pada setiap orang
yang dilihatnya. Namun, siapa yang berani menjamin orang yang
ditanyanya bukan bawahan Todd ataupun kenalan Simona" Karena itulah
Eleanor pulang terlambat.
Quinn sudah menanti dengan wajah murkanya.
"Ke mana saja kau!?" seru Quinn - menyambut kedatangannya,
"Bukankah sudah kukatakan untuk pulang awal!!" Apa kau tidak
mendengarku!" Apa kau ingin diracun di sana!?"
Itulah Quinn. Di hari mereka berada di Loudline, Quinn selalu curiga
setiap ada yang memberi mereka sesuatu. Puncaknya adalah ketika
seorang pedagang langganan Fauston mengundang mereka untuk makan
malam di rumahnya. Saat itu Quinn menolak. Namun Eleanor
menerimanya dengan senang hati.
Quinn sempat memarahinya karena itu. Kata Quinn, "Bagaimana kalau
makanan itu diracun" Apa kau berani menjamin kebersihannya!?"
Bagi Eleanor, Quinn memang seorang Raja. Eleanor mengabaikan Quinn
dan terus masuk ke rumah sang pedagang sehingga Quinn tidak punya
pilihan lain selain mengikutinya.
Quinn terlihat sangat kesal ketika mereka telah duduk di meja makan
kecil itu. Ia tampak tidak tertarik melihat masakan sederhana yang
disiapkan di depannya. Setelah menyicipi masakan mereka, barulah
Quinn mengakui kelezatan masakan itu yang tidak kalah dari juru masak
Istana. Tentu saja ketika Eleanor bertanya, Quinn tidak mengakuinya. Ia
hanya menjawab, "Biasa."
Eleanor, tentu saja, tidak bisa dibohongi oleh jawaban singkat itu. Walau
demikian, pengalaman itu tidak membuat Quinn mengerti. Ia tetap tidak
menyukai ide Eleanor menerima pemberian teman-temannya di Loudline.
Ia tidak suka mendengar laporan Eleanor menyantap sesuatu di luar
sana. Menurut Eleanor, Quinn terlalu khawatir akan keselamatannya,
sang pemberi keturunan Viering.
"Kau membuatku menunggu!!" Quinn menegaskan kesalahan Eleanor.
Eleanor heran. Mengapa Quinn harus menunggunya" Kalau ia memang
lapar, ia bisa makan sendiri.
"Aku tidak pernah minta kau menungguku."
"Aku harus yakin kau tidak makan setiap makanan yang disodorkan
padamu!" Ya, tentu saja, Quinn, sang pendeta Viering, tidak mau direpotkan lagi
dengan pernikahan, bukan"
Tiba-tiba Eleanor sadar. Ia harus memperingatkan Quinn akan tindakan
Mathias dan Simona. Ia memang tidak punya bukti tetapi ia yakin
instingnya tidak salah. "Sebaiknya kau mewaspadai Mathias," Eleanor memperingatkan,
"Kudengar mereka merencanakan sesuatu terhadapmu."
Alis mata Quinn terangkat. "Begitu banyakkah waktu luangmu hingga kau
sempat mengurusi gosip itu?"
"Ini bukan gosip," Eleanor menegaskan dengan kesal. "Aku
mendengarnya dari sumber terpercaya."
"Ya... ya... sumber gosipmu," kata Quinn acuh sambil menyantap makan
malamnya. "Gadis sepertimu pasti mempunyai banyak sumber gosip
terpercaya." "Quinn!" "Aku mengetahui Mathias lebih baik dari kau," Quinn mengingatkan
dengan nada tegasnya, "Aku tahu ia adalah seorang pengecut. Ia tidak
akan berani melakukan sesuatu padaku."
"Mathias mungkin tidak tetapi Simona mungkin. Simona adalah wanita
yang ambisius. Ia akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya."
Mata Quinn menatap langsung Eleanor. "Sepertimu?"
Eleanor tidak menyukai ejekan itu. Ia telah berbaik hati memperingati
Quinn tetapi pria itu malah menganggapnya sedang bergosip ria.
"Terserah apa katamu!" Eleanor berdiri kesal.
"Habiskan makan malammu sebelum kau pergi," Quinn memperingatkan.
"Aku sudah kenyang," kata Eleanor acuh. Dengan tenangnya, ia
melangkah ke pintu. Eleanor tahu Quinn sangat tidak menyukai seseorang meninggalkan
ruang makan sebelum ia menghabiskan makanan di piringnya tetapi ia
sudah tidak tertarik untuk menemani Quinn lagi. Pria itu telah membuang
selera makannya jauh-jauh.
"Aku tidak akan mengirimmu makanan kalau kau kelaparan di tengah
malam," Quinn mengancam.
"Terima kasih," balas Eleanor dingin, "Aku sedang berdiet."
"Kau tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menghabiskan makan
malammu!" Quinn mengulang dengan ancaman.
"Aku lelah. Aku ingin tidur," Eleanor mengabaikan perintah itu.
"Tidur?" Quinn bertanya heran, "Apa aku tidak salah mendengar" Burung
liar sepertimu yang suka berkeliaran di malam hari sudah mau tidur
sepagi ini?" "Aku tidak mau bangun kesiangan," Eleanor membuka pintu, "Besok pagi
kita akan pergi ke Pittler."
"Selamat malam, suamiku yang idealis," Eleanor melontarkan ejekannya
lalu menghilang di balik pintu.
Quinn geram. Gadis itu benar-benar satu-satunya orang di dunia ini yang
tidak bisa diaturnya! BAB 23 "Jangan pergi jauh-jauh dariku!"
Eleanor mengacuhkan tajam pemuda itu. Ia sudah tidak dapat lagi
menggambarkan kebenciannya pada pemuda egois satu ini.
Pagi ini dengan seenaknya sendiri, Quinn melarangnya berkuda bersama
mereka. Quinn salah bila ia pikir Eleanor tidak tahu tentang tradisi berburu
keluarga kerajaan di musim gugur ini. Ayahnya memang tidak pernah
mengikuti kegiatan ini semenjak ibunya meninggal dan ia sendiri tidak
pernah ikut. Namun Grand Duke beserta putra-putrinya selalu
mengikutinya setiap tahun. Dari merekalah Eleanor sering mendengar
cerita tentang kebiasaan Raja Alvaro ini.
Tua muda, laki perempuan, kaya miskin boleh mengikuti kegiatan
berburu yang selalu diadakan di musim pertengahan musim gugur, di
Pittler, daerah perbukitan yang hanya terletak 10 mil dari Fyzool.
Perburuan ini hanya diadakan sehari. Pagi hari rombongan kerajaan akan
berangkat dari Viering. Sementara itu rombongan lain telah menanti di
Pittler. Eleanor juga tahu. Tua muda, laki perempuan semuanya menunggang
kuda ke Pittler. Ratu Esther pun tidak pernah naik kereta. Ia berkuda di
sisi Raja Alvaro hanya dengan dikawal pasukan pengawal Istana.
Hari ini mengapa ia harus ditawan di dalam kereta bersama dua wanita
bangsawan yang terus berkicau tiada henti!?"
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang mereka sudah tiba di Pittler tetapi Quinn tetap tidak
mengijinkannya berkeliaran seperti yang lain. Ia tetap dilarang berkuda!
Apa gunanya ia memakai baju berkudanya kalau ia hanya boleh dudukduduk di bawah
pohon sambil bersenda gurau bersama wanita-wanita
bangsawan yang berhasil dikumpulkan Quinn. Quinn juga menempatkan
setengah lusin prajurit di sekitarnya!
Ketika Eleanor memprotesnya, Quinn mengacuhkannya.
Eleanor marah. Ia tidak terima! Mengapa ia harus diperlakukan seperti
seorang tahanan!?" Ia bukan kriminal!!
"Ia pasti takut kau berbuat onar," komentar Derrick mendengar
pertengkaran mereka, "Bukankah ini adalah keahlianmu?"
Benar, ini adalah satu-satunya kegiatan di mana ia bisa mengekspresikan
jiwanya dengan bebas. Ia memang lebih suka berburu daripada berdiam
diri di Fyzool! Tetapi untuk apa Quinn mengajaknya pergi kalau ia hanya
boleh menonton" Lebih baik Quinn membiarkannya berdiam diri dalam
Istana daripada menahannya seperti saat ini. Bukankah Quinn selalu
mempunyai alasan bila ia kabur dari tugas-tugas kerajaannya"
Kalau memang itu yang ditakutkan Quinn, Eleanor akan membuktikan
kepada pemuda egois itu siapa Eleanor. Akan Eleanor tunjukkan ia bukan
gadis-gadisnya. Eleanor adalah Eleanor! Eleanor tidak bisa dibandingkan
dengan Nicole, mantan kekasihnya ataupun Simona, sang Duchess baru.
Kalau Quinn memang takut Eleanor mempermalukan dirinya sendiri di
depan dua wanita itu, akan ia tunjukkan Eleanor bukan orang yang tolol!
Dengan berbekal keyakinan itu, Eleanor sengaja mendekati Quinn yang
ditempeli Nicole sejak pagi.
"Maafkan ketidaksopanan saya menganggu Anda berdua," Eleanor
menarik perhatian keduanya.
"Ada apa?" Quinn tidak suka dengan ide Eleanor mencari pertengkaran
lagi. Sejak pagi ini Eleanor terus memancing pertengkaran tanpa henti
dan ia sudah sangat lelah dibuatnya.
"Yang Mulia," Eleanor berkata dengan suara lembutnya, "Bila Anda
berkenan, saya ingin mengundurkan diri."
Nada lemah lembut itu langsung membuat Quinn waspada. Sesaat lalu
Eleanor masih memasang muka masamnya. Sedetik lalu Eleanor masih
membentaknya. "Mengapa" Apa engkau sudah bosan?"
"Tidak, Yang Mulia. Saya menyukai perburuan ini. Hanya saja matahari
semakin tinggi. Saya tidak tahan panas ini. Bila Anda berkenan, saya
ingin berteduh di dalam kereta."
Mengertilah Quinn apa yang sedang dimainkan Eleanor. "Aku akan
mengantarmu." "Tidak perlu, Yang Mulia. Saya tidak ingin menganggu kesibukan Anda.
Biarlah prajurit mengawal saya," Eleanor menatap Nicole, "Sungguh tidak
sopan meninggalkan kawan akrab Anda di tengah pembicaraan kalian
yang sedang hangat-hangatnya." Eleanor tersenyum, "Silakan kalian
melanjutkan pembicaraan kalian." Dan ia mengundurkan diri.
"Maafkan aku, Nicole," Quinn mengikuti Eleanor.
Hari ini sudah cukup Eleanor membuatnya semakin lelah dengan
bantahannya yang tiada habisnya. Semalam ia memang menyepelekan
peringatan Eleanor. Namun setelah kepergian Eleanor dan setelah
kemarahannya yang tidak berarti, sirna, Quinn berpikir dengan jernih.
Eleanor bukan seorang penggosip. Sejujurnya, baru kemarin malam
Quinn mendengar Eleanor membicarakan orang lain. Quinn yakin Eleanor
tidak mungkin mengatakannya bila bukan karena suatu alasan yang
berarti. Maka Quinn pun memanggil Pedro. Darinya, Quinn tahu mengapa Eleanor
pulang terlambat. Dari Pedro pula ia tahu Simona muncul di Loudline
bersama seorang pria tak dikenal. Pedro tidak tahu mengapa seharian itu
Eleanor terus bersikap seperti seorang pemburu yang sedang mencari
buruannya. Quinn tahu mengapa. Quinn yakin Eleanor pasti telah melihat
keduanya sebelum Pedro. Eleanor pasti telah mengetahui sesuatu tentang
mereka berdua. Semalam Quinn tidak bisa tidur nyenyak dibuatnya. Ia khawatir Simona
memang merencanakan sesuatu terhadap Eleanor. Ia takut Simona
merencanakan sesuatu di perburuan hari ini.
Quinn telah melakukan segala yang terpikir olehnya untuk melindungi
Eleanor. Demi keselamatan Eleanor, Quinn rela membuang rencananya
untuk menggembirakan gadis itu. Tetapi gadis itu...
Quinn benar-benar dibuat kesal oleh pemberontakan Eleanor. Semalam
Eleanor memperingatinya akan pasangan Binkley. Hari ini gadis itu
melupakannya! Gadis satu ini memang benar-benar bisa mencari
pekerjaan untuknya! Eleanor salah kalau dia pikir Quinn percaya Eleanor sudah melupakan
kecurigaannya pada Simona.
Quinn menangkap tangan Eleanor dan menggandengnya, "Aku akan
mengantarmu." "Tidak perlu, Yang Mulia," Eleanor menolak lembut, "Tidak baik
meninggalkan kawan Anda seperti ini. Bila Anda mengkhawatirkan saya,
saya bisa berteduh di bawah pohon besar dalam jangkauan mata Anda."
Yakin sudah Quinn akan permainan Eleanor. Eleanor cukup membuatnya
lelah dengan bantahannya. Quinn tidak dapat membiarkan gadis itu
semakin memecahkan kepalanya dengan pemberontakannya yang paling
ditakutinya ini! Quinn membawa Eleanor ke bawah pohon terdekat. "Katakan," ia
mengurung Eleanor di batang pohon, "Apa yang sedang kaurencanakan?"
"Apa yang Anda katakan, Yang Mulia?" Eleanor tidak mengerti, "Anda
membuat saya bingung."
"Kau akan membuat kepalaku pecah sebelum kau bingung," Quinn
memperingati. "Hentikan permainanmu ini sebelum aku benar-benar
marah." "Maafkan saya, Yang Mulia," Eleanor mengaku salah, "Saya tidak pernah
ingin membuat Anda marah. Bila Anda tidak ingin saya meninggalkan
tempat ini, saya akan berdiam diri di tepian seperti keinginan Anda."
Quinn menatap lekat-lekat wajah lembut itu dan menjatuhkan kepalanya
di pundak Eleanor. "Kau benar-benar membuatku lelah," desahnya.
Eleanor hanya memasang wajah bingung.
Quinn menatap Eleanor lekat-lekat, "Kalau kau memang sedemikian
inginnya ikut berburu, aku tidak akan mencegahmu lagi."
Hati Eleanor bersorak mendengarnya namun wajahnya tetap tenang.
Memang itulah yang dikatakan Quinn. Namun... "Selalu dan selalu ada
tetapi", gerutu Eleanor. Quinn melarangnya pergi lebih dari satu meter
dari sisinya. Quinn bahkan tidak segan-segan mengambil alih tali kendali
kuda Eleanor bila dirasanya Eleanor akan menjauhkan diri.
Apa gunanya ia mengijinkannya berkuda kalau ia tidak diperbolehkan
mengendalikan kudanya sendiri!"
"Sudah kukatakan jangan menjauh dariku!" Quinn menarik tali kendali
kuda Eleanor dengan tidak senang.
Eleanor membuang muka. Saat itulah ia baru menyadari sekelompok
wanita tengah membicarakan mereka. Jarak mereka memang jauh tetapi
dari arah pandangan mereka, Eleanor tahu ia pasti telah menjadi topik
pembicaraan mereka. Eleanor tidak terlalu memusingkan pembicaraan
mereka. Sejak tahu ia akan dinikahkan dengan Quinn, Eleanor mulai
terbiasa menjadi pusat pembicaraan.
Kali ini pun Eleanor tidak mempedulikan mereka. Quinn sendiri tidak
peduli. Untuk apa ia harus membantu Quinn menciptakan sosok seorang
istri yang manis dan penurut" Toh pernikahan ini murni hanya untuk
memberi keturunan padanya.
Eleanor tertegun. Berbicara tentang Simona, sejak tadi ia tidak melihat
wanita itu. Eleanor yakin ia melihat Simona bersama Duke Mathias ketika
mereka tiba. Sekarang ia tidak melihat keduanya. Simona tidak mungkin
melewatkan kesempatan ini untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai
istri penerus tahta Viering.
"AWAS! MINGGIR!!!"
Eleanor menoleh. Seekor kuda melesat dengan cepat ke arahnya. Sebelum Eleanor sempat
bertindak, kuda yang ditumpanginya meringkik keras karena kaget.
Kedua kaki depannya terangkat tinggi-tinggi - melempar Eleanor yang
tidak siap. Eleanor mendengar jeritan panik di sekitarnya dan sesaat kemudian ia
sudah berada di gendongan Quinn.
Hanya Tuhan yang tahu apa yang telah terjadi dalam waktu singkat itu.
Hanya nasib baik Eleanor yang membuatnya terlempar ke arah Quinn.
Hanya keberuntungan yang membuat Quinn dapat menangkap tubuh
Eleanor. Quinn memeluk Eleanor erat-erat. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak
menyangka ia sungguh dibuat kaget oleh gadis ini. Hanya akal sehatlah
yang membuatnya mengambil tindakan cepat untuk menangkap tubuh
Eleanor. Sedetik lalu ia benar-benar takut kehilangan Eleanor. Ia tidak tahu sejak
kapan gadis ini menjadi bagian hidupnya yang penting. Dari awal
pernikahan mereka, Quinn tahu Eleanor penting untuknya. Sekarang ia
baru menyadari Eleanor lebih penting dari yang ia pikirkan. Eleanor bukan
lagi hanya sekedar alat untuk melahirkan keturunannya.
Eleanor adalah hidupnya! Ia mencintai gadis liar ini! Ia mencintainya
dengan cinta yang tidak pernah dirasakannya pada gadis mana pun. Ia
mencintai Eleanor dengan segenap jiwanya!
Quinn mempererat pelukannya. Tubuhnya masih bergetar oleh
kepanikan. Jiwanya masih dipenuhi oleh ketakutan akan kehilangan
Eleanor. Eleanor bingung. Pikirannya masih kosong. Tangan-tangan kekar Quinn
yang mendekapnya dengan erat, membuat kesadarannya pulih perlahanlahan.
"Anda tidak apa-apa, Paduka Ratu?"
Pertanyaan itu membuat Eleanor benar-benar pulih dari kekagetannya
sendiri. Eleanor memalingkan kepala melihat orang yang mengajukan
pertanyaan itu. Quinn masih tidak rela melepaskan Eleanor. Quinn masih ingin merasakan
kehangatan Eleanor di pelukannya - meyakinkan diri Eleanor masih ada
di sisinya. Eleanor berada dalam pelukannya. Eleanor baik-baik saja.
Grand Duke Bernard melihat pasangan itu dengan wajah pucat pasinya.
"Apakah Anda baik-baik saja?" ia mengulangi pertanyaannya dengan
cemas. Di belakangnya, Eleanor melihat orang-orang yang menatapnya dengan
pucat pasi. "Aku tidak apa-apa," Eleanor tersenyum, "Keberuntungan masih
menyertaiku." Quinn tidak suka mendengarnya. "Semua ini tidak akan terjadi kalau kau
duduk diam seperti perintahku!"
Eleanor melotot tajam - siap menyerang balik.
Demi kebingungan Eleanor, Quinn mendesah, "Sudahlah. Aku tidak
sedang ingin bertengkar denganmu." Lalu ia melihat Derrick yang berada
tepat di belakang Grand Duke. "Derrick, kemarilah."
Derrick menurut. "Temani Eleanor," demi kekagetan Eleanor, Quinn mengangkatnya seperti
mengangkat anak kecil dan meletakkannya di depan pelana kuda Derrick.
"Aku yakin ia masih kaget." Lalu dengan sinar matanya yang lembut ia
berkata pada Eleanor, "Kali ini aku ingin kau menurutiku."
Suara lembut itu membuat Eleanor tidak sanggup berkata apa-apa.
"Eleanor," Irina mendekat dan menggenggam tangan Eleanor.
Eleanor kaget merasakan getaran hebat di tangan Irina.
"Kau tidak apa-apa?"
Sekarang barulah Eleanor sadar betapa pucatnya wajah kedua kakak
angkatnya ini. "Jangan khawatir, Irina," Eleanor menggenggam tangan wanita itu. "Aku
baik-baik saja," katanya menenangkan.
"Jancer," Quinn memanggil kepala pengawal istananya, "Aku perlu bicara
denganmu." Melihat sikap tegang Quinn, Bernard sadar ini bukan hanya sekedar
ketidaksengajaan. Ia segera mengikuti Quinn dan Jancer.
Tampaknya bukan hanya Bernard yang merasakannya, setiap orang di
tempat itu juga melihat keseriusannya masalah ini. Setiap orang
menghentikan kegiatan mereka. Bahkan pria pemilik kuda yang menjadi
akar kecelakaan ini segera menemui Eleanor.
Eleanor sudah duduk di bawah pohon besar bersama Irina yang terus
memegang erat tangannya. Derrick duduk di sisi Irina sementara itu
beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar mereka.
Getaran di tangan Irina sama sekali tidak berkurang. Wajahnya juga
masih putih pucat. "Paduka Ratu." Eleanor melihat pria itu melepas topinya. Tangannya mencengkeram
topinya erat-erat. Wajahnya menunjukkan kekhawatirannya dan rasa
bersalahnya yang mendalam. Bibirnya bergetar hebat tidak sanggup
membuka suara. Matanya basah oleh air mata kepanikan.
"Ada apa?" Eleanor bertanya lembut.
"Maafkan hamba," pria itu berjenggot lebat itu tiba-tiba berlutut di
hadapan Eleanor. "Maafkan kecerobohan hamba!"
Eleanor melepaskan tangan Irina dan duduk di depan pria itu. Ia
mengenali pria itu. Ialah orang yang memperingatinya akan kedatangan
kuda liar itu. "Aku tidak menyalahkanmu," Eleanor meletakkan tangan di pundak pria
itu. Pria itu tertegun melihat senyum lembut Eleanor.
"Kita hanya bisa memahami kuda tetapi kita tetap tidak tahu apa yang
dipikirkannya," Eleanor menghibur, "Mungkin sesuatu menganggunya
sehingga ia tiba-tiba menjadi liar."
Di kejauhan Quinn tersenyum melihat Eleanor. Inilah salah satu sifat
Eleanor yang membuatnya dengan cepat dicintai penduduk Loudline.
"Aku ingin kau menyelidiki masalah ini. Aku tidak percaya ini murni
kecelakaan," Quinn menegaskan. Sejak awal perburuan, ia terus
mengawasi Eleanor dan tindak tanduk Simona. Baru ketika Nicole
mengajaknya, ia kehilangan jejak Simona. Ia tidak melihat wanita itu
setelahnya. Sekarang barulah ia melihat wanita itu di antara kerumunan
orang-orang yang mencemaskan Eleanor. Tindak-tanduknya sepanjang
hari ini cukup membuatnya mencurigai wanita itu.
"Perburuan ini cukup sampai di sini." Quinn tidak sanggup lagi bertahan
dalam kepenatan ini. Sekarang bukan hanya jiwanya yang lelah.
Pikirannya juga telah menggerogoti fisiknya.
"Saya akan memberitahu orang-orang," Duke Bernard bergegas
melakukan tugasnya. "Jancer," kata Quinn sepeninggal Duke, "Kirim orang terbaikmu
mengawasi Arsten." Jancer terkejut mendengar perintah itu. Ia ingin bertanya lebih jauh
tetapi demi kepenatan yang tidak pernah dilihatnya di wajah pemuda itu,
ia berkata "Hamba mengerti, Paduka."
Sekarang tinggal satu tugas Quinn - membujuk Eleanor!
"Pekerjaan ini tidak akan mudah," gumam Quinn melangkah ke tempat
Eleanor yang sekarang sudah dengan akrabnya bercakap-cakap dengan
pria itu. Baru saja Quinn berpikir seperti itu ketika Eleanor berseru kaget, "APA!!?"
"Papa mengatakan Paduka Raja membubarkan perburuan ini," Derrick
mengulangi kabar yang baru didengarnya, "Ia ingin kalian segera kembali
ke Fyzool." Eleanor kesal. Ia baru saja diperbolehkan menunggang kudanya sendiri.
Ia baru saja menikmati perburuan ini.
"Tindakan Raja Quinn tepat," Irina membela, "Sebaiknya kau segera
kembali ke Istana." Eleanor tidak terima. Ia tidak bisa hanya duduk diam melihat Quinn
dengan seenaknya memerintahkan semua orang berkemas.
"Eleanor, mau ke mana kau?" Irina bertanya panik.
Eleanor menjawabnya dengan terus mendekati Quinn.
Melihat Eleanor mendekat dengan wajah tidak sukanya, Quinn tahu gadis
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu sudah mendengar perintahnya.
"Quinn, apa maksud semua ini!?" Eleanor menuntut.
"Jangan memulai!" Quinn memperingati dengan tajam.
"Siapa yang akan memulainya?" Eleanor menatap tajam pria itu.
"Kau selalu memulai perdebatan kita."
"Apakah kau tidak pernah?" balas Eleanor, "Kau juga sering memulainya."
"Kau...," Quinn mendesah.
"APA!?" Eleanor membusungkan dada sambil bersila pinggang.
Quinn maju selangkah. Tangan kanannya meraih tangan Eleanor
sementara tangan kirinya melingkari pinggang Eleanor.
Eleanor terkejut. "Mau apa," mulutnya dibungkam oleh Quinn.
Eleanor membelalak. Quinn menikmati sinar kemarahan di mata Eleanor itu dan ia tidak
menghentikan ciuman lembutnya.
Eleanor tergoda. Cara Quinn menciumnya membuyarkan kemarahannya.
Sentuhan lembut bibir Quinn membuatnya terlena.
"Begini lebih baik," Quinn menjauhkan bibinya.
Eleanor melihat sinar kepuasan di sepasang mata kelabu itu dan
kemarahannya bangkit kembali.
"Sekarang kita bisa berkemas pulang," Quinn memberitahu orang-orang
yang terperangah itu. Eleanor terkejut. Tiba-tiba ia menyadari Quinn telah menciumnya di
depan orang-orang itu! Wajah Eleanor memerah padam.
"Kau seperti udang rebus."
Eleanor tidak suka ejekan itu. Ia melihat Quinn - siap untuk melontarkan
kemarahannya. Quinn tersenyum lembut padanya!
Eleanor terperangah. Sekali lagi Quinn menarik Eleanor ke dalam pelukannya. "Kau benarbenar
membiusku," ia berbisik di telinga Eleanor.
Eleanor terperangah. Ia terbius oleh sepasang mata lembut itu. Ia terlena
oleh kata-kata lembut itu.
"Sayangnya, kau belum cukup berpengalaman," Quinn mencium bibir
Eleanor. Quinn melepaskan Eleanor dan tertawa.
Eleanor terperanjat. Tiba-tiba ia menyadari Quinn tengah
mempermainkannya. "Kau..." geram Eleanor lalu ia berseru, "Aku membencimu!?"
Tawa Quinn langsung berhenti.
"Aku membencimu!" Eleanor mengulangi dengan kesal.
Quinn menatap tajam gadis itu.
"Aku membencimu! Membencimu! Membencimu! Membencimu!" Eleanor
terus mengulangi kata-katanya.
Quinn mendekati Eleanor. Ia tampak sangat berbahaya dengan wajah
garangnya. Eleanor tidak takut. "Aku membencimu! Sangat membencimu!" katanya
tegas sambil membusungkan dada.
"Kusarankan kau untuk menarik kata-katamu itu," Quinn berkata
berbahaya. "Aku membencimu," Eleanor mengulangi dengan riang.
"Kau!" Quinn menerjang Eleanor.
Eleanor terkejut. Ia tidak siap menerima tubuh Quinn.
Quinn juga tidak kalah terkejutnya. Tangan kirinya dengan cepat
memeluk Eleanor dan tangan kanannya melindungi kepala Eleanor dari
benturan. Mereka terjatuh dengan keras.
"Kau tidak apa-apa?" Quinn bertanya cemas.
Eleanor menganggukkan kepala sambil menahan sakit.
"Syukurlah," Quinn lega.
Eleanor menatap Quinn. Jarak di antara mereka begitu dekat. Eleanor
dapat merasakan hembusan nafas Quinn di wajahnya. Ia dapat
merasakan detak jantung Quinn yang teratur di kedua tangannya yang
membatasi tubuh mereka. Jantung Eleanor berdebar kencang.
Quinn menatap Eleanor lekat-lekat. Wajahnya mendekat.
Eleanor memejamkan matanya.
"Paduka!" Mereka melompat menjauh. Wajah keduanya memerah.
Prajurit itu merasa bersalah. "M-maaf menganggu," ia berjalan mundur.
"Ada apa?" tanya Quinn yang lebih dulu menguasai diri.
"Kami sudah selesai berkemas," lapor prajurit itu, "Kami siap menanti
perintah Anda." "Kita pulang saat ini juga," Quinn memberikan perintahnya.
"Baik," prajurit itu memberi hormat kemudian pergi.
Quinn berdiri dan mengulurkan tangan pada Eleanor. "Kita tidak punya
waktu bermain-main."
Eleanor menerima uluran tangan itu. Jantungnya masih berdebar-debar
dengan kencang. -----0----- "Aku tahu aku tidak boleh meninggalkan Fyzool. Setidaknya aku bisa
pergi ke Hall!" "Paduka Raja meminta saya mencegah Anda pergi ke bawah," Nicci
berkata dengan hati-hati.
"Apa mau pria sial itu!?" Eleanor marah, "Mengapa ia tidak sekalian
mengurungku di kamar!?"
"Semula itulah yang diinginkan Paduka," penjelasan Nicci membuat mata
Eleanor melebar, "Namun saya memohon padanya untuk membiarkan
Anda meninggalkan kamar."
Bara api kemarahan Eleanor berkobar kian ganas.
Sejak kemarin Quinn memperlakukannya seperti tawanan. Kemarin ia
memaksanya pulang walau mereka telah berencana menginap di Pittler.
Kemarin pula ia berjanji hari ini mereka akan pergi lagi ke Pittler untuk
menghadiri pesta rakyat di Pittler. Namun pagi ini...
Ya, pagi ini ia mengirim utusan untuk memberitahunya semua
kegiatannya hari ini dibatalkan. Yang lebih keterlaluan, hari ini Quinn
melarangnya meninggalkan gedung Fyzool. Ia bahkan tidak
memperbolehkannya pergi ke lantai dasar Istana. Untuk memastikan ia
menuruti segala perintahnya, Quinn menempatkan lebih selusin pengawal
di sisinya. Eleanor lelah diperlakukan seperti kriminal kelas atas!
Tak peduli ke mana pun kakinya melangkah, lusinan pengawal itu
mengikutinya! Tak peduli ke mana kakinya berbelok, Nicci akan selalu
bertanya, "Anda akan pergi ke mana, Paduka Ratu?"
Eleanor murka! Sudah cukup perlakuan ini!
"Paduka Ratu, Anda mau ke mana?" Nicci menahan Eleanor.
"Aku akan membuat perhitungan dengan pria egois itu!" Eleanor
melepaskan diri dari Nicci. "Aku menuntut penjelasan darinya!!" Dan
tanpa menghiraukan cegahan Nicci, Eleanor berlari ke Ruang Kerja Quinn.
Eleanor yakin pemuda itu ada di sana.
"Paduka Ratu, Anda tidak boleh meninggalkan lantai ini!" Nicci berlari
mengejar. Dengan panik ia berkata pada pasukan yang kebingungan,
"Cepat hentikan Paduka Ratu!"
Mereka langsung bergerak.
"Paduka!" "Paduka Ratu, jangan meninggalkan tempat ini."
"Paduka!" prajurit pengawal Eleanor beserta Nicci mengejar gadis itu.
-----0----- "Seperti yang Anda duga, Paduka," Jancer melaporkan hasil
penyelidikannya, "Kejadian kemarin bukan murni kecelakaan. Sang
pemilik kuda mengatakan ia tengah beristirahat ketika kudanya tiba-tiba
menjadi liar. Ketika kami memeriksa kuda tersebut, kami mendapati luka
baru di tubuhnya. Tampaknya ada seseorang yang sengaja melukainya."
Duke Bernard terperanjat mendengar penjelasan itu.
Sementara itu Quinn terus mendengarkan kelanjutan laporan Jancer
dengan serius. "Kemarin mata-mata kami melihat Duchess Pittler menemui seorang pria
di Dristol." Tepat seperti yang pernah dikatakan Eleanor.
"Mereka tidak mendengar pembicaraan Duchess namun mereka berhasil
mengetahui siapa pria yang ditemui Duchess. Pria itu adalah kriminal
yang paling ditakuti di Loudline."
"Paduka, ini...," Duke Bernard tidak dapat mengutarakan kekagetannya.
Quinn memilih untuk tidak berkomentar. "Terus awasi mereka," katanya.
"Dan perketat penjagaan Eleanor."
Duke melihat Quinn dengan menekan segala pertanyaan di hatinya.
"Paduka, maafkan kelancangan saya," Jancer mengajukan pendapat,
"Anda memusatkan pengawalan pada Paduka Ratu namun tidakkah lebih
baik bila penjagaan Anda juga diperketat?"
Quinn terkejut. Sejak kemarin ia hanya memikirkan keselamatan Eleanor.
Sedikit pun tidak terlintas dalam benaknya mungkin sasaran mereka
adalah dirinya bukan Eleanor.
"Lakukan apa yang kuperintah," Quinn memilih untuk melindungi Eleanor
daripada mementingkan keselamatannya sendiri.
"Baik, Paduka" Jancer pun mengundurkan diri.
Jancer baru saja akan membuka pintu ketika seseorang membuka pintu
dengan kasar. "QUINN!" Eleanor melangkah dengan api kemarahannya yang membara.
"Aku butuh penjelasanmu!"
"Apa yang kaulakukan di sini!?" api kemarahan Quinn pun turut
membara. "Katakan apa maksud semua ini!" Eleanor menuntut. "Apa maksudmu
memperlakukan aku seperti tahanan!!?"
"Apa yang kau lakukan di sini!?" Quinn mengulangi pertanyaannya
dengan nada tinggi. "Beraninya kau meninggalkan kamarmu!" Lalu
matanya menatap tajam orang-orang yang memasuki ruangan beberapa
saat kemudian. "Apa yang kalian lakukan!" Apa kalian sudah melupakan
tugas kalian!!?" "Ma-maafkan kami, Paduka," Nicci langsung berlutut diikuti pengawalpengawal
Eleanor, "Kami sudah berusaha mencegah Paduka Ratu."
Quinn kesal pada dirinya sendiri. Mengapa ia melupakan kekeraskepalaan
Eleanor" Seharusnya ia sudah tahu seluruh prajurit Viering tidak akan
dapat menahan gadis satu ini. Eleanor adalah orang pertama yang akan
memprotes keputusannya. Tetapi demi keselamatan Eleanor, Quinn
sanggup menanggung kekesalan Eleanor. Quinn memilih dibenci Eleanor
daripada kehilangan Eleanor.
"Demi keselamatan kita, pertemuan pagi ini terpaksa dibatalkan," Quinn
menjelaskan dengan tenang.
"Tetapi," bantah Eleanor, "Mereka telah merencanakan pertemuan ini
sejak lama. Mereka bahkan terus menerus meminta kesediaan kita sejak
awal bulan ini." "Mata-mataku menangkap kegiatan mencurigakan di Arsten."
"Itu adalah gosip," lalu Eleanor menekankan, "Katamu."
Quinn membelalak. Matanya menatap tajam gadis itu seolah-olah ingin
mencabik-cabiknya menjadi serpihan-serpihan kecil.
Eleanor tidak gentar. "Katakan saja sejujurnya padaku bila kau tidak
tertarik pergi ke sana. Aku tetap akan pergi ke sana walau tanpamu."
"KAU TIDAK AKAN PERGI KE MANA PUN HARI INI!" Quinn menggebrak
meja. Semua terperanjat. Eleanor menantang kemurkaan Quinn itu. "Kita sudah berjanji pada
mereka. Apakah kau ingin kau mengingkari aku juga janjiku!" Apakah
kau mau mengatakan seorang Ratu diijinkan untuk mengingkari janjinya
pada rakyat?" "Cukup, Eleanor!" Quinn geram. "Hari ini aku tidak mau mendengar
bantahanmu." "Kau tidak bisa melarangku!" Eleanor menegaskan, "Aku mempunyai
tangan dan kaki. Aku bisa menggerakkannya semauku tanpa menunggu
ijinmu!" Quinn kehabisan kata-katanya.
Eleanor tidak menanti lebih lama lagi untuk sambutan Quinn.
"Kau tidak akan meninggalkan Istana hari ini!" Quinn berseru murka
ketika Eleanor melangkah ke pintu. "Tahan dia!"
"Kau tidak bisa melarangku!" Eleanor berseru keras kepala.
"Apalagi yang kalian tunggu, tahan dia!" Quinn berseru murka pula
melihat pengawal-pengawal Eleanor hanya berdiri kebingungan. "Apa
kalian lupa apa tugas kalian!!?"
"B-baik, Paduka," para prajurit itu gugup. "Maafkan saya, Paduka Ratu,"
dua dia antara mereka mencekal tangan Eleanor.
Mata Eleanor membelalak lebar kepada dua prajurit yang memegang
tangan kanan dan kirinya itu. "Lepaskan aku!" ia memberontak.
"Bawa dia ke kamarnya!" Quinn menurunkan perintah, "Tanpa seijinku, ia
tidak boleh meninggalkan kamar."
"Kau tidak akan melakukan itu!" Eleanor terperanjat.
"Apa kalian tidak mendengar perintahku!!" Quinn murka melihat para
prajurit itu tetap tidak bergerak.
"Kau tidak bisa mengurungku!" Eleanor berseru marah, "Aku bukan
tawananmu! Engkau egois, Quinn. Kau pengecut! Jangan kau kira aku
mau melahirkan keturunanmu."
"Tutup mulutmu, Eleanor!" bentak Quinn, "Aku tidak mau mendengar
apapun!" lalu kepada para pengawal Eleanor, ia berkata keras, "Bawa dia
pergi! Jangan sampai aku melihatnya lagi!"
"B-baik, Paduka," para prajurit itu menyadari keseriusan perkataan
Quinn. "Dan kau, Nicci," Quinn beralih pada wanita yang gemetar ketakutan itu,
"Jaga dia baik-baik. Jangan sampai ia berani melangkahkan kaki keluar
kamarnya." "Saya mengerti, Paduka."
Mereka tidak membuang waktu untuk membawa Eleanor meninggalkan
ruangan itu. "Lepaskan aku! Lepaskan!"
Berontakan kemarahan Eleanor terdengar nyaring ketika mereka
membawa paksa Eleanor kembali ke kamarnya.
Ketika seruan-seruan itu menghilang, tidak seorang pun berani membuka
suara. Bahkan Jancer, yang semua berniat meninggalkan ruangan itu
tidak berani bergerak. Mereka memperhatikan Quinn namun tidak
seorang pun yang berani menatap langsung sepasang mata yang
berkobar penuh kemarahan itu.
Sepuluh menit belum berlalu ketika terdengar langkah-langkah kaki
mendekat dengan tergesa-gesa.
Bernard melihat bara di mata Quinn kian membara ketika seorang prajurit
muncul dengan wajah pucat diiringi Nicci, pelayan pribadi Eleanor.
Mereka segera berlutut di depan Quinn yang masih belum bergerak
semenjak kepergian Eleanor.
"M-maafkan kami, Paduka," terdengar suara ketakutan prajurit itu, "P-papaduka
Ratu... bbbeliau..."
Semua langsung sadar sesuatu telah terjadi pada Paduka Ratu mereka.
Tidak seorang pun berani bergerak dalam suasana sunyi yang
menegangkan itu. Semuanya berusaha menghindari pandangan murka
Quinn. "E...lea...nor...!" tangan Quinn terkepal erat.
Prajurit itu tidak berani melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk dalamdalam.
"Apa yang kau tunggu?" akhirnya Quinn mengeluarkan suara, "Cepat
kawal Eleanor." Nicci tertegun. "Paduka, apakah...," Nicci tidak berani melanjutkan
pertanyaannya. "Apa lagi yang kalian tunggu!!!?" Quinn kesal, "Eleanor tidak akan
menunggu kalian!" "B-baik, Paduka," mereka langsung berbalik.
"Tunggu!" Quinn menghentikan langkah mereka.
Para prajurit itu melihat Quinn dengan bingung.
"Lepas seragam kalian sebelum berangkat!" kata Quinn.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Paduka," para prajurit itu menerima perintah Quinn dan langsung
bergegas mengejar Eleanor.
Quinn duduk kembali di kursinya dan mendesah panjang. Ia benar-benar
dibuat lelah oleh Eleanor.
Eleanor memang bukan lawan yang mudah dihadapi. Ia membutuhkan
lebih dari satu kepala untuk memikirkan Eleanor. Ia membutuhkan lebih
dari sepuluh badan untuk menghentikan gadis liar itu. Tetapi itulah yang
menarik perhatiannya, bukan"
Grand Duke tertegun melihat Quinn yang seperti pria kelaparan yang
baru pulang dari perang besar. Ia tidak pernah melihat pemuda ini seperti
ini. Sesulit apa pun masalah yang dihadapinya, seletih apa pun kerjanya,
ia tidak pernah melihat pemuda ini tidak bertenaga seperti ini.
Tampaknya Quinn sangat serius dalam mencegah Mathias naik tahta.
BAB 24 Simona marah. Mathias memang seorang pria penakut yang tidak berguna!
Quinn sudah jelas akan melakukan segala cara untuk mencabut haknya
sebagai ahli waris kerajaan tetapi Mathias tetap tidak khawatir.
Quinn sudah pasti tidak akan melakukan apa pun terhadap satu-satunya
penerusnya, tetapi ia tetap takut pada Quinn dan juga gadis ingusan itu!
Simona mengakui ia sempat panik mendengar gosip kehamilan gadis itu.
Kemarin setelah melihat Eleanor, ia yakin gadis itu tidak hamil!
Simona bukan orang yang buta dalam hal ini. Ia sudah beberapa kali
hamil. Tentu saja, ia tidak membiarkan janinnya terus tumbuh. Simona
tidak mau kehilangan kemolekan tubuhnya sebelum ia berhasil
membenahi kehidupannya. Sekarang setelah ia berhasil mencapai
kedudukanya ini pun, ia tidak mau mengorbankan tubuh moleknya yang
menggoda pria mana pun hanya untuk seorang anak ingusan!
Ini bukan akhir dari ambisinya! Ini adalah langkah pertamanya untuk
mencapai ambisinya! Ia dengan tidak mudah mendapatkan posisinya saat ini. Ia juga tidak
akan membiarkan orang lain dengan mudahnya merusak kehidupannya
termasuk Mathias, alat menuju puncak kejayaan di Viering!
Mathias memang tidak berguna! Ia sudah tahu membunuh kedua batu
halangan terbesar mereka adalah jalan paling cepat untuk mencapai
puncak kekuasaan Viering, tetapi ia tidak berani! Simona sudah
mengatakan ia akan megnatur semuanya. Ia tidak akan berbuat bodoh
dengan membuat orang lain mengetahui perbuatan mereka, tetapi
Mathias tetap takut! Simona sudah lelah dengan suami penakutnya.
Kemarin Mathias langsung kabur ketika Simona memintanya
memanfaatkan pertengkaran Quinn dan Eleanor. Melihat pertengkaran
yang tidak terduga itu, Simona melihat ini adalah kesempatan emas
untuk menutupi perbuatan mereka. Simona berniat membuat peristiwa
pembunuhan Eleanor seolah-olah dikarenakan kekesalan Quinn pada
istrinya. Bila rencana itu berhasil, Mathias harus berpura-pura sebagai
saksi mata. Dengan kuasanya sebagai penerus tahta Viering, Mathias bisa
menjebloskan Quinn ke dalam penjara dengan tuduhan pembunuhan.
Rencana itu begitu sempurna! Sayangnya, Mathias tidak berani. Maka
Simona terpaksa mengubah rencananya.
Ketika melihat Eleanor akhirnya masuk ke arena perburuan, Simona
melihat adanya kesempatan untuk membunuh gadis itu. Dengan tidak
mudahnya kesempatan itu tiba. Sialnya, nasib baik gadis itu
menyelamatkannya. Simona geram. Apa dasar Mathias mengatakan dua orang itu tidak akan
muncul di pesta rakyat hari ini"
Simona tidak tuli. Dari jauh-jauh hari ia sudah mendengar Raja Quinn
akan menghadiri pesta rakyat di Pittler bersama istrinya. Ini adalah
kesempatan bagus untuk menghabisi mereka! Di antara kerumunan
orang banyak, siapa yang dapat melihat orang yang membunuh Eleanor"
Siapa yang dapat melihat kemunculan anak panah ke jantung Eleanor"
Walau Mathias tidak mau membantunya, Simona masih bisa
melaksanakan rencananya. Todd sudah mencari orang-orang untuk
membantunya menjalankan rencananya ini. Mathias tidak dapat
diandalkan tetapi Todd sangat dapat diandalkan. Tidak ada ruginya
Simona tidur dengannya. Sinar terang pedang keluarga Soyoz di bawah sinar mentari menarik
perhatiannya. Simona tersenyum licik. Gadis ingusan itu boleh tertawa senang tetapi ia
tetap harus sadar ia tidak lebih dari alat penghasil bayi Quinn. Eleanor
bukan apa-apa dibandingkan keluarga Soyoz!
Simona meraih pedang itu.
"Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?" seorang pelayan mencegah.
"Lepaskan tangan kotormu!" bentak Simona tidak senang, "Beraninya kau
melarangku! Kau pikir siapa kau!?"
"Maafkan kelancangan saya," terdengar jelas pelayan itu tidak sudi
mengucapkannya. "Dasar pelayan tidak berguna!" umpat Simona, "Sekali lagi kau berani
membantahku, aku akan mengirimku keluar dari sini!"
Pelayan itu pergi meninggalkan Simona dengan mengomel.
"Semuanya sama saja!" Simona kesal.
Mereka semua iri padanya. Mereka tidak mau mengakui usaha kerasnya.
"Semuanya akan segera berubah," Simona tertawa puas.
-----0----- Eleanor tertawa geli melihat pengawal-pengawalnya yang kewalahan
menerobos keramaian. Eleanor yakin mereka telah diperintahkan Quinn
untuk membawanya pulang. Tetapi siapa yang saat ini mau pulang"
Dengan tidak mudahnya ia datang ke tempat ini. Eleanor tidak pernah
berada dalam pesta rakyat seperti ini. Ia masih ingin menghabiskan
waktu Ia tidak pernah melihat orang-orang berkumpul di suatu sisi hanya
untuk mendengarkan nyanyian penyair ataupun memainkan permainan
yang unik. Ia juga tidak pernah melihat pertunjukan-pertunjukan yang
mereka mainkan di tepi jalan.
Ia begitu sibuk memperhatikan keramaian sehingga ia menabrak
seseorang. "Ma-maafkan saya," Eleanor cepat-cepat meminta maaf.
"Eleanor, mengapa kau ada di sini?" Seb bertanya heran.
Eleanor kaget melihat pemuda itu. "Seb!" serunya riang, "Tak kusangka
akan bertemu denganmu. Angin apa yang membawamu ke sini?"
"Aku berasal dari Pittler."
"Benarkah!?" senyuman Eleanor kian lebar, "Itu artinya kau bisa
membawaku berkeliling!"
"Tentu saja. Tapi..."
Eleanor bersorak gembira karenanya. "Ayo kita pergi," ia menarik lengan
Seb, "Cepat! Cepat!"
Seb kalah oleh Eleanor. Ia membiarkan Eleanor menariknya ke mana pun
ia ingin. "Lihat, Seb! Lihat orang itu! Apa yang dia bawa di punggungnya!" Eleanor
menunjuk seorang pria yang memanggul sebuah karung besar di
punggungnya. "Lihat! Lihat!" ia mengalihkan perhatiannya pada seorang
pria yang mempertunjukkan keahliannya melempar beberapa pisau
sekaligus ke udara. "Eleanor, tampaknya kau benar-benar menyukai festival ini."
"Tentu saja. Ini pertama kalinya aku datang ke festival seperti ini. Papa
tidak pernah mengijinkanku keluar rumah. Ia terlalu melindungiku. Quinn
juga begitu. Memangnya dia itu siapa!" Dia sama sekali tidak berhak
melarangku keluar rumah."
Eleanor menyadari amarahnya kembali membara ketika melihat ekspresi
wajah Quinn berubah. "Ah, maaf," Eleanor menyesal, "Tidak semestinya
aku..." "Tidak mengapa," Seb memahami. "Suamimu benar-benar mencintaimu."
"Siapa yang mengatakannya!?" lagi-lagi emosi Eleanor membara, "Dia..."
Eleanor menyadari emosinya kembali membara. Otaknya berputar cepat
mencari topik pembicaraan lain.
"Lihat, Seb," Eleanor menarik pemuda itu ke kerumunan di depan, "Apa
yang mereka jual di sana?"
Lagi-lagi Seb kalah oleh Eleanor.
"Seb, siapakah gadis yang kaubawa itu" Apa ia adalah kekasihmu?"
Langkah mereka terhenti oleh panggilan itu.
"B-bukan," wajah Seb merah padam. "I-ia adalah..."
Eleanor melihat orang yang barusan memanggil Seb itu. "Mrs.
Brandrick!?" pekik Eleanor senang, "Mengapa Anda ada di sini?"
"Eleanor?" wanita kurus itu kaget melihat Eleanor. "Mengapa kau ada di
sini?" "Apakah Anda juga berasal dari Pittler?" Eleanor menanyai wanita tengah
baya itu dengan penuh antusias.
"Benar, aku berasal dari sini," jawabnya lalu ia mengulai pertanyaannya,
"Mengapa kau ada di sini" Bagaimana dengan pekerjaanmu" Apakah
Vicenzo juga datang?"
"Tidak, aku datang sendirian," mata Eleanor melirik keramaian. Hatinya
tertawa puas menyadari tidak seorang pasukan Keamanan Istana terlihat.
"Baru kali ini aku melihatmu tanpa baju pelayan," lanjut Mrs. Brandrick
pula, "Darimana kau mendapatkan gaun ini?" ia menyentuh gaun coklat
muda Eleanor. Eleanor terperanjat. "I-ini pemberian Tuan Puteri," Eleanor berbohong.
Dalam hatinya ia mengumpat memarahi Quinn. Ini semua karena pemuda
itu ia tidak sempat mengganti gaunnya dengan gaun yang lebih pantas.
Para prajurit itu menyeretnya dengan paksa hingga ke dalam kamarnya.
"Lepaskan aku!" Eleanor menyentakkan lengannya dengan keras begitu ia
telah memasuki kamarnya. "Maafkan kami, Paduka Ratu," kata mereka lagi, "Kami hanya menuruti
perintah." Eleanor sama sekali tidak mau melihat mereka.
"Kami akan berjaga-jaga di luar. Bila Anda memerlukan sesuatu, Anda
bisa memanggil kami kapan saja," mereka mengundurkan diri.
Eleanor melangkah dengan kesal ke lemari bajunya.
"Paduka, apa yang Anda lakukan?" Nicci cepat-cepat mencegahnya
dengan panik. "Aku mau mandi!" Eleanor membuka pintu lemari bajunya lebar-lebar.
"Pemuda egois itu benar-benar menyebalkan! Pikirnya dia itu siapa"
Jangan harap aku akan melahirkan keturunannya. Mati pun aku tidak
mau." Nicci diam memperhatikan Eleanor membongkar isi lemari bajunya.
"Mengapa tiap hari aku harus berhubungan dengan pemuda sial itu!?"
Eleanor terus menggerutu, "Benar-benar menjijikan! Aku ingin sekali
mencincangnya dan membuangnya ke laut. Lihat saja! Begitu ada
kesempatan aku akan melakukannya!"
Nicci lega melihat Eleanor terus membongkar isi lemari bajunya -
mencari-cari gaun baru. Ia yakin majikannya saat ini ingin mandi untuk
mendinginkan kepalanya yang panas. "Saya akan meminta pelayan
menyiapkan air mandi Anda," katanya mengundurkan diri.
Eleanor tidak menyahut. Ia terus menyibukkan diri dengan gaungaunnya. Namun ia
langsung bersorak senang ketika mendengar pintu
tertutup. Eleanor tidak perlu memeriksa pintu karena ia yakin Nicci telah mengunci
pintu untuk memastikan ia tidak keluar. Itu membuatnya kian marah
pada Quinn. Quinn bukan saja telah merampas kebebasannya tapi juga
orang yang dipercayainya.
Eleanor segera memanfaatkan waktu untuk kabur. Ia merayapi dinding
luar Fyzool dari balkonnya menuju serambi lain yang dekat dengan
pohon. Dari sana, ia memanjat pohon ke lantai dasar kemudian berlari ke
istal kuda. Tak seorang pun memergokinya ketika ia melarikan kuda ke Pittler.
Namun Eleanor yakin Quinn akan mengirim pasukan untuk membawanya
pulang dengan paksa segera setelah ia mengetahui kepergiannya ini.
Eleanor menangkap sosok-sosok yang dikenalinya dengan baik di dalam
lautan manusia. Para pasukan Keamanan Istana itu terperanjat menyadari Eleanor tengah
tersenyum penuh kepuasan kepada mereka.
"Paduka Ratu...," desah mereka kehabisan kata-kata.
Beberapa saat lalu mereka sempat panik melihat Eleanor ditarik seorang
pemuda. Mereka pasti sudah membongkar penyamaran mereka bila
Pedro tidak segera mencegah.
"Tunggu dulu," katanya, "Pemuda itu tidak berbahaya. Ia adalah teman
Ratu. Lihatlah." Mereka memahami perkataan Pedro ketika melihat Eleanor berbicara
dengan gembira kepada pemuda itu.
"Sekarang aku mengerti mengapa Paduka sangat mencemaskan Paduka
Ratu," seorang prajurit melihat Eleanor yang sekarang sudah dikelilingi
orang-orang. "Paduka Ratu memang seorang gadis yang menawan," prajurit yang lain
sependapat. "Sekarang aku juga mengerti mengapa Grand Duke memilihnya," prajurit
lain berkomentar melihat Eleanor sudah membaur dengan rakyat.
Pedro tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Ia juga satu di antara
orang-orang yang sempat menyangsikan keputusan Grand Duke. Namun
setelah beberapa hari mengawal Eleanor ke Loudline, ia memahami
keputusan Grand Duke tersebut.
"Untuk saat ini sebaiknya kita mengawasi Paduka Ratu dari kejauhan,"
kata Pedro, "Aku yakin beliau tidak akan senang bila kita berada di
sekitarnya." "Aku sependapat denganmu," kata yang lain.
"Apa yang sedang kaulihat, Eleanor?" Seb memecah perhatian Eleanor.
"Tidak ada." "Di mana suamimu?" tanya Mrs. Brandrick, "Tak kusangka ia
mengijinkanmu keluar sendirian."
"Benar. Ia tampaknya tidak suka kau berteman dengan kami," kata yang
lain. Eleanor hanya tertawa. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya
kepada mereka. "Ia tidak punya alasan melarangku. Hari ini aku tidak punya tugas,"
katanya. Ya, Quinn telah membatalkan semua kegiatannya hari ini. Eleanor yakin
pemuda itu akan membatalkan semua kegiatannya dan mengurungnya di
dalam kamar hingga ia melahirkan keturunannya.
"Untuk kau bisa hamil," jari-jari Quinn menyentuh bibirnya, "Kita harus
melakukan lebih dari ini."
Wajah Eleanor merah padam teringat akan cumbuan Quinn di suatu
malam. "Eleanor, apa yang kaulakukan?" Seb menghentikan langkahnya, "Kami
tidak akan menantimu."
"Tunggu aku," Eleanor segera mengikuti mereka.
Seseorang menarik tangan Eleanor dan tangan yang lain membungkam
mulutnya. Eleanor terkejut. Ia berusaha melepaskan diri dari tarikan kuat itu.
Matanya melihat kepergian Seb dan Mrs. Brandrick beserta kawankawannya dengan
panik. Ia berteriak memanggil pemuda itu namun kain
yang menutupi mulutnya, meredam suaranya. Eleanor memberontak
tetapi kesadarannya yang kian kabur tidak mengijinkannya.
Ketika membuka matanya kembali, Simona sudah berdiri di depannya
dengan senyum puas. Di sisinya, berdiri pria yang dilihat Eleanor
bersamanya di kota, Todd.
"Bagaimana rasanya, gadis ingusan?"
Eleanor sadar tangannya terikat erat di belakang punggungnya. Kakinya
pun terikat erat dan sebuah kain menutupi mulutnya.
"Aku sudah lama menanti saat ini."
Mata Eleanor melotot tajam. Mulutnya menuntut penjelasan namun yang
keluar hanyalah gerangan-gerangan tidak jelas.
"Apa?" Simona mendekatkan telinganya, "Apa katamu" Aku tidak
mengerti bahasa monyet." Dan ia tertawa geli.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eleanor mengangkat kakinya menghantam kaki Simona.
Simona menjerit kesakitan. "KAU!!!" ia menghunuskan pedangnya.
"Simona!" Todd menahan, "Sabar. Jangan terburu-buru! Apa gunanya
kita membawanya ke sini kalau bukan untuk menikmati kematiannya."
Simona menurunkan pedangnya.
Eleanor berusaha sekuat tenaga memuntahkan kain yang menyumpal
mulutnya. Simona membungkukkan badan. "Katakan bagian mana yang harus
kuambil dulu," ia membelai wajah Eleanor dengan ujung pedangnya yang
tajam, "Wajahmu yang cantik ini atau," ia melihat bibir Eleanor, "Mulutmu
yang tajam ini." Eleanor meludahkan kain di mulutnya ke wajah Simona.
Simona murka. "Aku akan membunuhmu!"
"Berhenti, Simona!" Todd menahan wanita itu tepat sebelum ia
menusukkan pedangnya di perut Eleanor.
"Aku akan membunuh gadis ingusan ini! Aku akan menghancurkan siapa
pun yang menghinaku."
"Kau memang patut mendapatkannya." Eleanor memutar otak untuk
mengulur waktu sementara ia berusaha melepaskan ikatan di tangannya.
"Apa yang kau mengerti, gadis ingusan!" Apa yang kalian orang kaya
mengerti!?" Simona membentak histeris, "Kalian hanya mengerti
menertawakan orang miskin. Kalian tidak peduli pada orang-orang di
sekitar kalian. Yang kalian mengerti hanyalah bagaimana mengumpulkan
kejayaan. Kalian sama sekali tidak mengerti usahaku untuk mencapai
kejayaan. Kalian hanya bisa menertawakanku, memandang rendah
padaku!" "Kaulah yang tidak mengerti," Eleanor memberitahu, "Kau tidak mengerti
bagaimana menjadi seorang bangsawan. Selamanya kau tidak pantas!"
"DIAM!!!" Simona menerjang Eleanor.
Eleanor cukup siaga untuk menghindar. Ia memanfaatkan waktu yang
sangat singkat itu untuk memotong ikatan tali di tangannya dengan
pedang Simona yang tertancap di sisinya.
"Semua sama saja! Semua sama!"
Eleanor tertegun melihat air mata Simona menetes.
"Apa kau mengerti bagaimana rasanya diusir dari satu tempat ke tempat
lain" Apa kau tahu bagaimana memohon bantuan orang lain" Apa kau
pernah merasakan hari-hari tanpa makanan" Tidak ada seorang pun yang
peduli pada kami. Tidak seorang pun mau membantu orang tuaku.
Mereka hanya bisa mengusirnya. Mereka bahkan membiarkan jasadnya
membusuk di pinggir jalan. Sekarang aku telah menjadi seorang Duchess
tetapi semua orang tetap saja memandang rendah padaku. Kaya miskin
semua sama saja! Tidak ada yang mengerti usaha kerasku. Setiap orang
hanya bisa iri padaku!"
Tiba-tiba Eleanor merasa kasihan pada Simona. Ia memahami segala
tindakan Simona yang begitu sombong pada bangsawan-bangsawan yang
lain. Namun ia tidak memahami penyebab di balik semua ini.
"Engkau tidak mengerti," Eleanor bersimpati, "Tindakanmu sendirilah
yang menyebabkan semua ini!"
"Ini semua karena kau! Kalau kau tidak ada maka aku akan menjadi
Ratu!" "Jadi itukah rencanamu sekarang" Setelah menjadi Duchess, engkau ingin
menjadi Ratu." "Benar," Simona menegaskan, "Aku tidak akan membiarkan seorang pun
menghalangiku!" Eleanor tetap berpura-pura tangannya terikat erat. Matanya melihat
sosok besar Todd di belakang Simona. Eleanor sadar ia bisa menjatuhkan
Simona tetapi ia tidak yakin ia bisa menjatuhkan pria besar itu. Sekarang
ia hanya berharap pria itu segera meninggalkan mereka.
"Aku benar-benar kasihan padamu," Eleanor mengejek Simona, "Kau
telah dikuasai oleh ambisimu."
"Tutup mulutmu!" Simona menampar Eleanor. "Engkau memang tidak
mengerti aturan, bukan" Engkau memang seorang monyet!"
"Setidaknya aku masih seorang Ratu," Eleanor puas oleh kenyataan.
"Tidak lagi. Engkau tidak lagi menjadi seorang Ratu. Aku akan
memancing Quinn keluar dan setelah itu aku akan menghabisi kalian
berdua." Eleanor terperanjat, "Engkau benar-benar gila."
"Katakan apa yang kausuka," Simona tertawa.
Eleanor memperhatikan wanita itu tertawa histeris. Ia sungguh kasihan
pada Simona. Sebenarnya ia adalah seorang wanita yang cantik namun
ambisi telah mengubahkan menjadi seorang iblis.
Tidak! Tidak ini tidak benar! Ia tidak punya waktu berbelaskasihan. Ia
harus mencari cara meninggalkan tempat ini. Ia harus memperingati
Quinn. Mereka tidak boleh menyentuh Quinn.
"Todd! Todd!" Terdengar suara seseorang memanggil di luar.
Todd meninggalkan kedua wanita itu.
"Bukannya sudah kukatakan jangan tinggalkan tempat itu!" Todd
membentak. "Apa kau tidak mendengar perintahku!"
Tidak terdengar suara apa pun.
"Kau memang tidak berguna!" Todd mengumpat.
Sesaat kemudian pria besar itu masuk kembali.
Dari balik tubuh Simona, Eleanor melihat seorang pria lain berdiri di
depan pintu rumah kecil ini.
Todd membisikkan sesuatu di telinga Simona.
Eleanor ingin tahu apakah yang dikatakan pria itu pada Simona hingga
Simona terlihat begitu murka.
"Aku akan memeriksa keadaan. Tetaplah di sini," Todd berpesan, "Aku
akan segera kembali."
Todd pergi bersama pria yang terus menanti di depan rumah.
Inilah kesempatannya! Eleanor harus mencari cara untuk menjatuhkan
Simona. Sekarang tangannya terbebas tapi kakinya tidak. Selain itu
Simona memegang pedang. Andaikan saja ia bisa merebut pedang itu...
"Dasar pria tidak berguna! Kalian sama saja!" Simona pun beranjak pergi.
Tidak! Ia tidak ada waktu lagi! Eleanor menerjang Simona.
Simona jatuh terjerembab di bawah Eleanor.
Eleanor menggunakan tangannya yang bebas untuk merebut pedang di
tangan Simona. "Apa yang kaulakukan!?" Simona mendorong Eleanor menjauh dengan
kakinya. Eleanor terlempar ke dinding. Ia mengerang kesakitan.
"Engkau memang mencari mati!" Simona mengangkat pedangnya tinggitinggi.
Eleanor kaget. Ia tidak punya kesempatan untuk menghindar. Teriakan
kesakitannya melepas begitu saja ketika pedang itu menusuk perutnya.
Eleanor menahan pedang itu dengan tangan kosong dan dengan seluruh
kekuatannya melemparkan kakinya ke perut Simona.
Simona jatuh kesakitan. Sekali lagi jeritan kesakitannya melompat ketika ia menarik pedang di
perutnya. Eleanor tidak membuang waktu untuk melepas ikatan tali di
kakinya. Kemudian sekuat tenaganya, ia menghantamkan pangkal
pedang ke perut Simona untuk membuatnya pingsan. Telapak tangannya
yang berdarah terasa semakin perih ketika ia memegang pangkal pedang
itu erat-erat. Eleanor berjalan tertatih-tatih ke pintu belakang yang terbuka.
"Simona! Simona!"
Eleanor terkejut. "Simona, apa yang terjadi?"
Eleanor sadar ia tidak punya banyak waktu. Ia harus segera menjauhi
gubuk ini. "Gadis itu kabur! Cepat kejar gadis itu!"
"Gadis itu pasti tidak jauh!"
"Ikuti jejak darah gadis sial itu!" perintah Simona.
"Jejak apa yang harus kuikuti" Di luar hujan deras."
"Sial!" umpat Simona, "Mengapa di saat seperti ini harus turun hujan!?"
Eleanor berlari ke dalam hutan. Ia tidak berani membuang waktu dengan
memastikan keberadaan pengejarnya. Ia tidak berani membuang waktu
untuk merasa kesakitan. Saat ini ia hanya punya waktu untuk berlari
secepat mungkin, sejauh mungkin dari para penyekapnya.
Kaki Eleanor tersangkut sesuatu. Tanpa bisa dihindari lagi, Eleanor jatuh
tersungkur. Eleanor meringis kesakitan menahan perutnya yang menghantam tanah
tak rata itu. Eleanor menancapkan pedang di tanah dan berusaha untuk bangkit.
Belum sampai sedetik ia berlutut, ia jatuh tersungkur kembali.
Eleanor lelah. Seluruh tenaganya sudah habis untuk menahan sakitnya.
Eleanor menoleh ke belakang sekali lagi.
Hujan lebat yang tiba-tiba membasahi bumi membuat Eleanor tidak dapat
melihat kejauhan dengan jelas. Ia juga tidak dapat mendengar tapak kaki
dalam deru hujan yang mengguyur bumi itu.
Eleanor melihat sekitar - mencari tempat yang aman untuk berhenti
sejenak. Matanya melihat sebuah lubang di sebatang pohon besar yang tua.
Sekali lagi Eleanor berusaha bangkit dengan bantuan pedang yang
ditancapkannya jauh ke dalam perut bumi. Dengan tertatih-tatih Eleanor
berjalan ke lubang itu sambil memegangi perutnya yang terus
mengeluarkan darah. Eleanor merasa seluruh tenaganya sudah hilang. Ia langsung
menyandarkan diri di dalam lubang itu dan beristirahat.
Ia sudah tidak kuat lagi.
Pandangannya mengabur. Kepalanya pening. Sakit yang menyiksa di
perutnya sudah tak terasa lagi. Darah merah yang terus mengalir keluar
tanpa dapat dihentikan membuatnya merasa kian lemah.
Eleanor melihat angkasa asal hujan itu dan berharap seseorang akan
menemukannya. Tetapi... siapakah itu"
Terlintas wajah berang Quinn pagi ini.
Eleanor tersenyum sedih. Pemuda itu mungkin tidak akan mencarinya. Apalah artinya ia selain pion
pentingnya untuk menghentikan langkah Mathias menuju tahta"
Pemuda itu tidak akan tertarik untuk menemukannya. Ia adalah satusatunya makhluk
yang paling tidak disukainya di bumi ini. Ia adalah
pelacur kelas atas yang tidak ingin disimpannya di dalam istananya yang
agung dan suci. Eleanor mencibir mengingatnya.
Pemuda itu mengira siapakah dirinya"
Benar ia adalah orang yang paling berkuasa di Viering. Benar ia adalah
Yang Mulia Paduka Raja Kerajaan Viering. Benar ia adalah suaminya.
Tetapi apakah haknya untuk mengatur dirinya"
Tiba-tiba saja Eleanor menyesal. Andai saja pagi ini ia tidak bersikeras
sekarang ia sedang menikmati kenyamanan istana. Andai saja ia
mengalah pada Quinn, ia tidak akan berada dalam hujan lebat,
kedinginan dan kesakitan seperti ini. Andai saja ia tidak mendengar
kemurkaannya sendiri, ia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan
dirinya sendiri. Tetapi semua itu hanyalah andai.
Andai... Telinga Eleanor menangkap suara asing. Seketika ia menggenggam
pedangnya erat-erat dan bersiaga.
Sesuatu melompat mendekat.
Eleanor langsung menghunuskan pedangnya.
Seekor katak menatapnya lalu ia meloncat menjauh.
Eleanor menghela nafas lega dan menurunkan pedangnya.
Otak bawah sadarnya mengingatkannya akan kemungkinan kemunculan
para penculiknya. Eleanor tahu ia tidak bisa berdiam diri di sini.
Ia kembali bertumpu pada pedangnya dan berusaha berdiri. Dengan
tertatih-tatih, Eleanor melanjutkan perjalanan panjangnya.
Eleanor tidak tahu ke mana ia harus melangkah. Ia tidak tahu sekarang ia
berada di mana. Ia tidak mengenal tempat ini. Ia hanya tahu ia harus
melangkah maju menjauhi rumah kecil itu.
Eleanor membiarkan kakinya melangkah. Belum jauh ia meninggalkan
lubang itu ketika ia kembali terjatuh.
Eleanor tidak mencoba berusaha untuk berdiri. Ia sudah terlalu lelah
untuk berjalan. Ia terlalu lelah untuk menggerakkan tubuhnya. Ia sudah
tidak mempunyai tenaga untuk berpikir. Ia juga tidak mempunyai tenaga
lagi untuk merasakan sakit di perutnya yang robek.
Di saat seperti ini Eleanor benar-benar mengharapkan Quinn muncul
dengan wajah garangnya. Eleanor tidak pernah menyukai Quinn. Ia membenci pemuda itu! Tetapi di
saat seperti ini ia benar-benar mengharapkan wajah garang Quinn. Quinn
memang suka mengejeknya tetapi setidaknya pemuda itu tidak pernah
benar-benar menyakitinya.
Pemuda yang sombong itu memperlakukannya dengan baik. Mulutnya
memang kasar tetapi sikapnya sangat terjaga.
Pemuda pemarah itu menghormati pernikahan mereka. Ia tidak pernah
lagi bermain-main dengan wanita lain semenjak pernikahan mereka. Ia
benar-benar menghormatinya.
Pemuda itu kasar, pemarah, suka memandang rendah orang lain, suka
mengejek orang lain, dan suka membangkitkan kemarahan orang lain.
Tetapi ia juga seorang yang tahu diri, sopan, dan kadang lembut.
Eleanor tertawa geli. Memang benar apa kata orang. Setiap orang barulah menyadari betapa
berharganya hidupnya ketika ia akan mati. Ketika kematian menjelang
barulah orang menyadari betapa pentingnya orang-orang di sekitarnya.
Ketika ajal di depan mata itulah orang baru menyesal.
Demikian pula Eleanor. Satu-satunya hal yang disesali Eleanor adalah
pertengkarannya dengan Quinn pagi ini. Eleanor tidak pernah berbaikan
dengan Quinn untuk setiap pertengkaran-pertengkaran mereka dan itulah
yang membuatnya semakin sedih.
"Maafkan aku, Quinn," bisik Eleanor lirih sambil berharap Quinn ada di
sisinya untuk mendengarnya.
Eleanor tidak dapat mengumpulkan konsentrasinya untuk mendengar
suara langkah kaki di kejauhan. Bahkan ia sudah tidak dapat lagi
mendengar deru hujan di sekitarnya.
Pandangan Eleanor semakin mengabur.
Eleanor sudah tidak peduli lagi. Ia sudah tidak peduli lagi bila mereka
menemukannya. Ia sudah berusaha untuk bertahan. Ia telah bertahan
hingga titik darah penghabisannya.
Biarlah Simona menemukannya. Biarlah para penculiknya itu
menangkapnya kembali. Eleanor sudah tidak peduli semuanya lagi karena
ia tahu ketika itu ia sudah tidak ada lagi di dunia ini.
BAB 25 Hujan deras mengguyur bumi. Udara yang dingin menaikkan kabut tipis
ke langit yang gelap. Di tengah suasana ini, Quinn bersama pasukannya mencari-cari Eleanor.
Pagi ini semenjak mengetahui Eleanor kabur, ia terus tidak bisa tenang.
Pikirannya kacau balau dan perasaannya terus tidak menentu.
Quinn terus mengatakan pada dirinya sendiri Eleanor akan baik-baik saja.
Semua yang dikatakan gadis itu belum tentu benar. Ia mengenal Mathias
lebih baik dari siapa pun. Selain itu di sisi Eleanor telah ada prajuritprajurit
terbaik Fyzool. Eleanor akan baik-baik saja.
Kepercayaan dirinya itu runtuh ketika mendengar laporan pasukan yang
mengikuti Eleanor. Pedro dan prajurit lainnya merasakan ketidakberesan ketika melihat Seb
mencari-cari Eleanor. "Eleanor, di mana kau?"
"Eleanor!" seru mereka mencari-cari gadis itu.
Mereka langsung bergerak mendekati kawanan itu. "Apa yang terjadi?"
tanya mereka, gusar "Di mana Paduka Ratu?"
"Katakan di mana Paduka Ratu?" seorang prajurit mencengkeram kemeja
Seb.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paduka Ratu?" Seb kebingungan.
"Katakan di mana Yang Mulia Paduka Ratu Eleanor!?""
Mata orang-orang itu kian melebar.
"Lepaskan dia," Pedro segera melangkah maju mengambil tindakan. Lalu
dengan suaranya yang tenang ia bertanya, "Bisakah Anda memberitahu
kami di manakah gadis muda yang beberapa saat lalu berada bersama
Anda, Tuan?" Seb langsung mengenali Pedro.
"Aku tidak tahu," jawab Seb, "Beberapa saat lalu ia masih ada di sini."
"Apa maksudmu tidak tahu!?" prajurit itu kembali emosi, "Apa yang akan
kaupertanggung jawabkan kalau terjadi sesuatu pada Paduka Ratu!?"
"Paduka Ratu?" Mrs. Brandrick juga semakin bingung.
"Paduka Ratu pasti masih tidak jauh," seorang prajurit menyimpulkan,
"Hentikan festival ini dan cari Paduka Ratu!"
"Tunggu!" kata Pedro, "Tindakan itu hanya akan membuat kekacauan
lebih besar." "Apa kau punya ide lain?"
Pedro termenung. Semenjak Quinn menanyakan kegiatan Eleanor di
Loudline, Quinn sangat mencemaskan keselamatan Eleanor. Pedro masih
ingat hari itu Eleanor menanyai Seb tentang seorang pria bernama Todd.
Mungkinkah semua ini berhubungan dengan pria itu"
"Apakah Anda tahu tentang Todd?" tanya Pedro pada pemuda itu.
"Apalagi yang akan kaulakukan, Pedro?" sergah seorang prajurit, "Kita
tidak punya waktu untuk melakukan wawancara ini."
"Tidak," kata Pedro, "Aku yakin ini berhubungan dengan Todd. Paduka
Raja sangat mengkhawatirkan keselamatan Paduka Ratu semenjak
Paduka Ratu melihat Todd. Aku juga mendengar dari Jancer, ia mengirim
beberapa orang mengawasi Todd."
"Tuan," Mrs. Brandrick menghentikan perundingan orang-orang yang tak
dikenalnya itu, "Todd mempunyai tempat persembunyian di sekitar sini."
Kalimat itu mengagetkan pasukan pengawal Eleanor.
"Anak muda, kau tahu tempat itu?" prajurit yang lain bertanya pada Seb.
Seb mengangguk dengan bingung. Ia tidak mengerti situasi yang tengah
dihadapinya ini. "Bagus," kata pria bertubuh kekar itu yang tampak lebih berkuasa dari
pria-pria lain, "Pedro, bawa nyonya ini kembali ke Fyzool. Laporkan
keadaan ini pada Paduka Raja. Aku akan mengejar mereka bersama
pemuda ini." "Siap," Pedro memberi hormat dengan gaya khas seorang prajurit
kemudian pada Mrs. Brandrick, ia berkata, "Bersediakah Anda pergi
bersama saya menemui Paduka Raja Quinn, Nyonya?"
Mrs. Brandrick mengangguk. Berbagai pertanyaan di dalam kepalanya
membuatnya tidak dapat berpikir jernih.
Beberapa saat kemudian mereka telah menghadapi sepasang mata murka
Quinn. Mrs. Brandrick tidak perlu mengingat dua kali untuk mengenali pemuda
yang di suatu hari muncul bersama Eleanor di kota dan mengaku sebagai
suami Eleanor. Sebuah pertanyaan menggantung di kepalanya namun ia
tidak berani mengeluarkan suara melihat kemurkaan pemuda yang
terkenal di Viering itu. "Pedro, tanyakan dengan jelas posisi persembunyian Todd dari nyonya
ini," suara tenang Quinn membuat semua orang terperangah, "Jancer,
siapkan prajurit. Aku akan memimpin langsung pasukan. Sepuluh menit
lagi kita akan berangkat."
Tanpa menanti jawaban pemimpin pasukannya, Quinn langsung bergegas
mempersiapkan diri. Tidak seorang pun berani membantah perintah
Quinn. Emosi Quinn memang tidak meledak-ledak seperti biasanya
namun justru itu yang membuat mereka kian ketakutan.
Wajah Quinn terlihat semakin tegang ketika mereka bertemu dengan
pasukan yang semula mengawal Eleanor.
Dari pasukan itu mereka mengetahui dengan tepat lokasi persembunyian
Todd dan kawanannya. Bersama mereka, tampak orang-orang yang
dilihat Pedro bersama Eleanor sesaat sebelum ia menghilang. Mereka pula
yang memberi informasi kepada pasukan pengawal Eleanor tentang Todd.
Menurut mereka, bawahan Todd sangat banyak. Tidak hanya meliputi
penjahat-penjahat Loudline namun juga daerah Pittler dan sekitarnya.
Biasanya, di hari festival Pittler mereka selalu berkumpul di tempat ini
untuk bersenang-senang dan melakukan aksi kejahatan mereka.
"Kami yakin mereka ada di dalam rumah itu, Paduka," lapor prajurit.
"Paduka, mungkinkah ini ada hubungannya dengan...?" Jancer tidak
berani melanjutkan kata-katanya melihat ekspresi kaku di wajah Quinn.
Quinn diam memperhatikan rimbunan hutan di kaki bukit.
Seb memperhatikan pemuda yang diketahuinya sebagai suami Eleanor
dengan pandangan takjub. Seperti mereka yang mengenal Eleanor
sebagai pelayan Earl of Hielfinberg, pertanyaan demi pertanyaan
menggelantung di kepalanya.
Quinn marah. Ia murka tapi ia juga cemas. Inilah akibat kekeraskepalaan
Eleanor. "Lain kali ingatkan aku untuk mengikat kaki tangan Eleanor."
Perkataan Quinn itu membuat mereka yang sudah kebingungan makin
bingung. "Apa yang harus kita lakukan, Paduka?" tanya Jancer, "Haruskah kita
memanggil tambahan pasukan?"
"Tidak. Tambahan pasukan hanya akan membuat mereka mengetahui
keberadaan kita," jawab Quinn, "Saat ini kita tidak bisa bertindak
gegabah. Eleanor ada di tangan mereka."
"Saya mengerti, Paduka."
"Jancer, perintahkan pasukan mengelilingi hutan ini. Aku tidak ingin
seorang pun dari mereka lolos. Aku ingin beberapa prajurit ikut denganku
mendekati persembunyian mereka. Tanpa perintah dariku, tidak ada yang
boleh mengambil tindakan."
"Saya ikut," Seb mengajukan diri, "Saya juga ingin menyelamatkan
Eleanor." "Paduka Ratu, Seb!" sergah Mrs. Brandrick.
Seb langsung menyadari kesalahannya. "Maafkan kelancangan saya,
Paduka Raja." "Tugasmu sudah selesai," Quinn menolak, "Dari sini serahkan masalah ini
pada pasukan kerajaan."
"Aku ikut!" Seb bersikeras, "Aku telah menyebabkan Eleanor diculik!"
"Paduka Ratu, Seb!" lagi-lagi Mrs. Brandrick memotong pemuda itu
dengan marah. "Anda tidak bisa menolak kami, Paduka Raja," orang-orang yang lain
maju, "Kami bersama Paduka Ratu ketika beliau menghilang. Kami
merasakan tanggung jawab untuk menyelamatkan beliau."
Quinn diam memperhatikan orang-orang itu.
"Dengarkan perintah pasukanku," Quinn membalikkan badannya, "Aku
tidak ingin kalian menghambat tugas mereka."
Mata mereka membelalak gembira mendengarnya.
Demikianlah Quinn dan pasukannya dibantu teman-teman Eleanor,
melakukan operasi penyelamatan Eleanor.
Walaupun hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi, Quinn berhasil
memasuki rumah itu tanpa halangan yang berarti. Namun ketika Quinn
tiba di sana, rumah itu sudah kosong. Sang pemimpin komplotan penculik
Eleanor telah hilang dari tempat itu. Demikian pula Eleanor.
"Kami tidak menemukan jejak seorang pun di sini," lapor Jancer.
Mata Quinn terpaku pada jejak darah di tembok.
"Paduka," Jancer memberanikan diri untuk bertanya, "Mungkinkah..."
"Jangan mengambil kesimpulan tanpa bukti!" sergah Quinn.
Tidak mungkin! Ya, ini tidak mungkin darah Eleanor. Eleanor baik-baik
saja. Mereka membawanya pergi ke tempat lain. Para penjahat itu
memindahkan Eleanor ke tempat lain mendengar pasukan kerajaan telah
mengurung mereka. Eleanor baik-baik saja.
"Paduka, kami menemukan sesuatu."
Quinn langsung mengikuti prajurit ke sebuah ruangan kecil. Matanya
membelalak lebar melihat percikan darah merah di lantai.
Jancer tidak berani mengeluarkan suara.
Quinn membungkuk mengambil seutas tali yang dinodari darah merah
yang masih belum kering. Jancer melihat tangan pemuda itu bergetar ketika ia memungut tali itu
dari lantai. Ia yakin Raja Quinn juga tahu tali itu digunakan para penjahat
untuk mengikat Eleanor. "Eleanor," Quinn menggenggam tali itu, "Aku tidak akan memaafkanmu
bila kau berani membiarkan dirimu terluka."
Jancer tidak pernah melihat sinar mata itu. Ia tidak tahu bagaimana
harus menggambarkan sinar mata yang penuh kemarahan, kecemasan
sekaligus kepanikan itu. Seumur-umur baru kali ini ia melihat rajanya
dalam keadaan kacau seperti ini.
Quinn mengikuti jejak darah di sepanjang lantai dan tembok hingga ke
pintu belakang yang terbuka. Ia tetap tidak mengeluarkan suara apa pun
melihat pegangan pintu itu ternodai darah merah segar. Matanya yang
bersinar penuh kemurkaan menerobos derasnya hujan ke hutan yang
terhampar di depan. Sikap diamnya itu membuat Jancer tidak berani mengambil tindakan.
"Jancer, ikuti jejak darah ini. Aku yakin mereka tidak jauh," Quinn
mengontrol kembali perasaannya. "Tidak seorang pun dari mereka boleh
lolos. Sekali pun harus turun ke akhirat, tangkap mereka!!"
"Baik, Paduka!" Jancer memberi hormat kemudian ia segera mengatur
pasukan sesuai dengan perintah Quinn.
Ketika pasukan yang berjaga-jaga di sekitar hutan bersiaga menangkap
penjahat-penjahat yang bersembunyi di dalam hutan, Jancer dan
pasukannya mulai menyusuri hutan sekitar rumah itu.
Quinn yakin gadis liarnya itu berhasil menyelamatkan diri dari para
penculiknya. Namun ia tidak berani menjamin keselamatan gadis itu. Ia
juga tidak berani memikirkan kemungkinan bercak-bercak darah merah di
rumah itu adalah darah Eleanor. Saat ini ia hanya berani berpikir Todd
membawa Eleanor pergi ke tempat lain.
Namun lagi-lagi keyakinannya runtuh ketika seorang prajurit muncul
melaporkan keadaan. "Todd sudah tertangkap, Yang Mulia," lapornya, "Sekarang kami masih
mengejar kawanannya yang lain. Di antara mereka tampak seorang
wanita." Jancer menatap Quinn. "Mungkinkah itu Paduka Ratu?"
"Itu... tidak mungkin," prajurit itu ragu-ragu, "Sebab Todd melindungi
wanita itu. Ia juga memanggilnya Simona."
Jancer terbelalak. "Tidak!" Quinn langsung memotong pikiran Jancer, "Mathias tidak
mungkin berada di balik ini! Ia bukan pria seperti itu!" lalu dengan gusar
ia bertanya pada prajurit itu, "Apa kau sudah bertanya padanya tentang
keberadaan Eleanor?"
"Maafkan kelalaian saya, Paduka," prajurit itu menunduk, "Kami tidak
menanyakannya." "Eleanor tidak ada berada di antara mereka. Itu artinya ia sudah
meloloskan diri," Quinn menyimpulkan. Ya, Eleanor adalah gadis liar. Ia
tidak mungkin membiarkan dirinya ditawan. Ia berhasil meloloskan diri
dari penjagaan pasukan kerajaan yang ketat. Tak mungkin ia tidak
berhasil meloloskan diri para penjahat murahan itu.
"Teruskan pencarian!" Quinn memerintahkan prajurit, "Dan kau, kembali
ke posisimu. Tangkap semua penjahat itu. Tidak seorang pun boleh
lolos!" "Baik, Paduka!" prajurit itu langsung bergegas kembali ke posisi awalnya
sementara itu Quinn dan pasukan yang dibawanya meneruskan pencarian
mereka. "Eleanor!" teriak Quinn cemas.
"Paduka Ratu!" teriak yang lain.
Hujan yang turun kian deras membuat pencarian mereka semakin sulit.
Mereka harus berjalan hati-hati di atas tanah yang becek dan di tengah
guyuran air hujan yang mengaburkan pandangan mereka. Hujan yang
lebat juga menghilangkan jejak-jejak darah yang masih terlihat beberapa
langkah di pintu belakang rumah itu.
"Jangan bermain-main denganku, Eleanor!" Quinn cemas sampai
kehilangan kesabaran, "Keluar kau atau aku marah!"
Guyuran hujan deras bersahut-sahutan menjawab titah Quinn.
"Paduka," seseorang mendekat, "Sepertinya di sana ada sesuatu."
Prajurit itu menunjuk gundukan di barat daya mereka.
Darah Quinn serasa membeku melihat sosok di kejauhan. Ia segera
berlari menerobos hujan. Sesosok tubuh tergeletak di tanah. Dari perutnya, mengalir darah merah
yang bercampur dengan air hujan. Tangannya yang berdarah
menggenggam erat sebuah pedang panjang.
"Eleanor!" Quinn panik. Quinn mengangkat badan Eleanor. "Eleanor!
Eleanor!" Quinn menepuk pipi pucat Eleanor. "Eleanor!" Quinn memanggil
Eleanor lagi. Melihat tidak ada reaksi dari Eleanor, Quinn kian cemas. Ia mengangkat
tubuh Eleanor. "Kembali ke Istana!" perintahnya kemudian membawa lari
Eleanor. Ketika mereka hampir mencapai rumah persembunyian Todd, beberapa
orang berlari mendekat. "Eleanor," Seb kehilangan kata-katanya melihat kondisi Eleanor.
Mata orang-orang itu terperangah melihat Eleanor di gendongan Quinn.
Tak seorang pun membuka suara.
"Lapor, Paduka," Pedro melaporkan keadaan, "Kami sudah berhasil
menangkap sebagian besar dari bawahan Todd. Sekarang beberapa
prajurit masih mengejar yang lain."
"Teruskan pengejaran," perintah Quinn, "Aku akan membawa Eleanor
kembali ke Istana." "Saya tidak sependapat," Mrs. Brandrick mengeluarkan suara, "Hujan
sangat deras. Jalanan terlalu licin untuk dilalui. Selain itu sekarang yang
paling penting adalah menghentikan pendarahan Eleanor... ah tidak,
Paduka Ratu." "Saya juga sependapat dengan Mrs. Brandrick, Paduka," kata Pedro pula,
"Kita harus segera menghentikan pendarahan Paduka Ratu. Selain itu
hujan sangat deras dan kita tidak membawa kereta. Keadaaan Paduka
Ratu akan memburuk bila ia terus dibiarkan berhujan-hujan seperti ini."
"Harap Anda memikirkan keputusan Anda sebaik-baiknya, Paduka," kata
Jancer pula, "Kita harus menempuh jarak selama kurang lebih setengah
jam sebelum mencapai Fyzool."
'Bila untuk Eleanor,' Quinn memperhatikan wajah pucat di gendongannya
lalu ia melihat rumah persembunyian Todd di antara hujan deras.
"Bila Anda berkenan," Mrs. Brandrick menawarkan, "Anda bisa berteduh
di rumah saya." "Terima kasih, Mrs. Brandrick," Quinn menolak halus, "Kami akan
berteduh di rumah itu." Lalu dengan tegas ia berkata pada pasukannya,
"Pedro, kembali ke Istana dan siapkan kereta untuk menjemput kami.
Jancer, pimpin pasukan mengejar penjahat-penjahat itu. Dan kau, Seb,
panggil dokter." "Baik, Paduka," sahut mereka.
Quinn pun langsung berlari ke dalam rumah persembunyian Todd.
Pedro langsung berlari ke tempat mereka menambatkan kuda mereka.
Seb juga langsung bergerak mencari dokter. Sementara itu Jancer
Hantu Wanita Berambut Putih 3 Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar Pendekar Aneh 1
"Tidur bersama?" wajah Eleanor merah padam diingatkan kejadian yang
tidak sudi diakuinya itu.
Kemarin Eleanor sama sekali tidak memikirkan tindakannya sepanjang
hari itu. Namun pagi ini ketika ia terbangun dengan kepala pening, ia
mulai menggunakan kepala dinginnya mengulang kembali kejadian
sepanjang hari kemarin untuk mencari jawaban mengapa setelah makan
malam ia terus mengantuk hingga akhirnya ia benar-benar tertidur
hingga pagi ini. Eleanor masih ingat dengan jelas bagaimana ia bermanja-manja di
pelukan Quinn. Eleanor ingat bagaimana ia melarang Quinn
meninggalkannya. Ia ingat semuanya mulai dari ia tidur di atas dada
Quinn hingga Quinn mengambil ciuman pertamanya. Tidak ada satu pun
yang terlupakan oleh Eleanor!
Sampai mati pun Eleanor tidak akan mengakui semua tindakannya
kemarin. Itu bukan perbuatan yang dilakukannya dengan akal sehat.
Quinn pasti tahu ia takut akan laut dan ia memanfaatkan ketakutannya
itu! Pasti itu yang terjadi!
Sepanjang pagi ini ia terus mengingkari kejadian kemarin. Sepanjang
makan pagi ini ia berusaha menghindarkan mata dari Quinn. Namun
matanya terus terpaku pada sosok Quinn yang kemarin telah
memeluknya sepanjang perjalanan menuju Corogeanu. Ingatannya terus
melayang pada tangan-tangan kekar yang terus melingkari tubuhnya
sepanjang hari. Siang ini pun ketika Quinn memergokinya di kota, Eleanor
tidak dapat melepaskan matanya dari bibir yang kemarin mencuri ciuman
pertamanya. Eleanor melihat wajah tampan yang begitu dekat itu. Tubuhnya bereaksi
menyadari tubuh kekar yang kemarin menjadi kasurnya, menindihnya.
Jantungnya berdegup keras merasakan tangan kekar yang kemarin
memeluknya, kini tengah melingkari pinggangnya.
"Oh, Eleanor, sayangku," tangan kanan Quinn beralih ke wajah Eleanor,
"Jangan menatapku seperti itu."
Seperti apa" Eleanor tidak mengerti. Apakah yang sedang dikatakan
pemuda ini" "Kau benar-benar tidak menyadari pesonamu, bukan?" Quinn
memperhatikan sepasang bola mata biru yang memandangnya dengan
bingung itu, "Kau benar-benar membuatku ingin meneruskan tidur kita
kemarin ke tingkat yang lebih jauh," ia pun kembali menjatuhkan ciuman
di bibir Eleanor. Jantung Eleanor berdebar keras. Quinn kembali membangkitkan sensasi
yang kemarin dirasakannya. Ciuman Quinn tidak berhenti di situ saja. Ia
mulai menjelajahi wajah Eleanor dan bergerak turun ke dagunya,
lehernya. Eleanor merasakan tangan Quinn yang di pinggangnya bergerak naik
sepanjang punggungnya. Tangannya yang lain melusuri lekuk lehernya,
pundaknya dan terus turun sepanjang sisi tubuhnya. Tubuh Eleanor
bergetar oleh sensasi yang tak dikenalnya. Eleanor takut namun ia
menginginkan lebih dari itu. Eleanor mencengkeram kemeja Quinn takut
sewaktu-waktu ia akan melebur.
Tiba-tiba Quinn menghentikan semuanya. Matanya bersinar lembut.
"Untuk kau dapat benar-benar hamil, aku harus terus meneruskan ini dan
menyatukan tubuh kita berdua," ia tersenyum lembut.
Rona merah menghiasi wajah Eleanor.
"Malam ini aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan melakukannya
sampai kau benar-benar siap," Quinn berjanji dan ia beranjak bangkit.
Tangan Eleanor terulur menarik kemeja Quinn.
Baik Quinn maupun Eleanor terkejut melihat tangan yang mencengkeram
lengan kemeja Quinn itu. "A...aku... aku...," Eleanor tidak tahu apa yang sedang diperbuatnya.
Quinn tersenyum. Ia mengangkat tubuh Eleanor dan membaringkannya di
posisi yang benar. Kemudian ia menarik selimut menutupi tubuh gadis itu
dan mencium dahinya. "Selamat malam, sayangku."
Quinn tahu ia harus bergegas meninggalkan kamar Eleanor. Ia tidak
dapat menjamin ia dapat terus bersikap seperti seorang gentleman.
Sesaat lalu hampir saja ia kehilangan akal sehatnya. Memang tujuan
pernikahan ini adalah untuk memberi keturunan Arcalianne namun
sekarang Quinn meragukan niatnya.
BAB 22 Eleanor mendesah panjang.
Nicci cemas melihat ratunya. Beberapa hari terakhir ini, Eleanor banyak
duduk melamun seperti ini. Biasanya, setiap tidak ada kegiatan, selalu
ada saja keributan yang dibuat Eleanor namun belakangan ini ia hanya
mendesah panjang. Nicci curiga. Apakah perubahan tingkah laku Eleanor ini disebabkan oleh
kehidupan lain dalam dirinya. Bukankah sikap seorang wanita selama
hamil sedikit banyak dipengaruhi oleh janin dalam kandungannya"
Bagaimana Nicci mengetahuinya" Tentu saja karena gosip itu. Gosip akan
kehamilan Eleanor sudah sampai ke Istana bahkan Nicci sering menjadi
incaran orang-orang yang ingin tahu. Namun, apa yang dapat dikatakan
Nicci tentang gosip itu" Ia tidak mengetahui kebenarannya. Ia juga tidak
berani memastikannya. Pernah Nicci menyinggung masalah itu. Wajah Eleanor langsung merah
padam sebagai jawabannya. Melihat kepanikan Eleanor saat itu, Nicci
meragukan kebenaran gosip itu. Tapi kalau melihat sikap Eleanor yang
seperti ini... Lady Irina juga pernah datang ke Istana hanya untuk memastikan gosip
itu. Namun, seperti apa yang didapat Nicci, wajah Eleanor merah padam!
Melihat kepanikan Eleanor, Irina pun memutuskan untuk tidak terus
mendesak gadis itu. Raja Quinn, di sisi lain, selalu tertawa setiap kali ada yang menyinggung
masalah kehamilan Eleanor. Ia tidak membenarkan juga tidak
menyangkal gosip itu. Keduanya benar-benar tidak membantu menjernihkan gosip ini! Kalau
memang benar Eleanor hamil, mengapa Eleanor selalu panik setiap kali
ditanya" Kalau Eleanor tidak hamil, mengapa Quinn selalu tertawa riang
setiap kali ditanya" Kalau Eleanor memang benar hamil, mengapa hingga
detik ini tidak ada pengumuman resmi dari pihak Fyzool"
Lawrence, sang dokter yang diajak Quinn berbicara di Corogeanu pun
tidak luput dari gosip itu. Orang-orang terus membanjiri rumahnya hanya
untuk memastikan kebenaran gosip itu. Namun, tentu saja, Lawrence
tidak dapat membantu. Tiadanya kepastian dari pihak manapun membuat setiap orang terus
berspekulasi dengan kabar kehamilan Eleanor ini.
"Apa yang sedang kaulamunkan, istriku?" Quinn melingkarkan tangan di
pinggang Eleanor. Eleanor terperanjat. Ia membalikkan badan.
Senyuman Quinn menabuh genderang jantung Eleanor. "Tampaknya aku
benar-benar mengejutkanmu. Ini tidak baik untuk bayimu."
"K...kau...," Eleanor kehilangan kata-katanya.
Wajah bersemu itu menggoda Quinn untuk menjatuhkan ciuman.
Mata Eleanor membelalak lebar ketika mulut mereka bertemu.
Quinn tersenyum lembut. Eleanor memalingkan kepala. Tangannya menutupi wajahnya yang panas.
Ketika Quinn menarik punggungnya merapat ke dadanya, barulah Eleanor
menyadari sejak tadi tangan Quinn tidak beranjak dari pinggangnya.
Keduanya sama sekali tidak menyadari pasangan-pasangan mata yang
terpusat pada mereka. Sebagai pemeran utama gosip yang paling hangat
di Viering saat ini, setiap tindakan mereka memancing perhatian setiap
mata. Sekarang, di koridor Istana yang ramai, keduanya berpelukan
dengan mesra. Setidaknya itulah yang dilihat orang lain.
"Dengarlah aku, Eleanor," bisik Quinn.
Suara lembut Quinn ketika menyebut namanya, menabuh genderang
jantung Eleanor. "Aku ingin kau mengucapkan selamat tinggal pada kawanmu di Loudline."
Eleanor langsung melepaskan diri dari pelukan Quinn. Matanya menuntut
penjelasan Quinn. "Apakah kau lupa besok kita akan berangkat ke Pittler?" Quinn bertanya,
"Atau mungkin kau lebih senang bertemu dengan pemuda itu daripada
pergi berburu denganku?"
"T-tidak," sergah Eleanor, "Tentu saja aku mau pergi denganmu."
"Reaksimu tidak mengatakannya," Quinn tidak sependapat, "Jangan
katakan padaku kau lupa."
"Wajar saja kalau aku lupa," Eleanor tidak senang dengan pertengkaran
yang dipancing Quinn, "Orang gila mana yang mau pergi berburu ketika
hewan-hewan bersiap-siap tidur selama musim dingin!?"
"Kau tidak mengerti. Justru inilah letak tantangannya. Mengapa?" Quinn
mencondongkan tubuhnya, "Apakah kau tidak punya kepercayaan diri
untuk mengungguliku?"
Wajah yang terlalu dekat itu membuat mata Eleanor tidak bisa
menghindarkan tatapannya dari bibir yang sanggup meluluhkannya.
Eleanor segera mengalihkan pandangannya dan ia kembali mengutuki
dirinya sendiri. Sepasang mata kelabu Quinn menyedot pandangannya
seperti gua gelap tak berujung. Eleanor mengatupkan tangannya di
dadanya - siap menangkap jantungnya yang siap melompat sewaktuwaktu.
"Jadi, sayangku?"
Nada gembira dalam suara itu menyadarkan Eleanor akan permainan
Quinn. "Aku tidak akan kalah darimu! Lihat saja!"
Quinn tersenyum puas. "Aku tidak sabar melihat penampilanmu besok."
Eleanor kesal. Ia marah! Mengapa setiap saat ia baru menyadari
permainan Quinn ketika pemuda itu sudah puas!" Ia tidak akan
membiarkan pemuda itu tahu belakangan ini ia terus memikirkannya!"
Eleanor tidak akan membiarkan Quinn menertawakannya karena itu!!
"Mau ke mana kau?" Quinn menarik tangan Eleanor.
"Aku mau mencari Seb!"
"Jangan pergi terlalu lama," pesan Quinn.
"Aku tidak akan kembali sampai besok!" Eleanor pergi dengan kesal.
Quinn tertawa. Ia tahu Eleanor sedang marah padanya. Inilah
Eleanornya. Eleanor salah kalau ia pikir Quinn tidak tahu hobi barunya
akhir-akhir ini. Perubahan Eleanor terlalu mencolok hingga penghuni baru Fyzool pun
tahu ada yang salah pada Eleanor. Bagi tiap orang, Eleanor berubah
karena bayi dalam kandungannya. Namun bagi Quinn, Eleanor berubah
karena ia kecewa pada kenyataan ia tidak benar-benar hamil.
Andaikan saja Eleanor tahu betapa Quinn menginginkan kehamilannya...
Hari-hari belakangan ini Quinn menghindari pertemuan dengan Eleanor di
saat tiada orang lain di sekitar mereka. Quinn tidak mau kehilangan akal
sehatnya lagi seperti malam itu. Quinn tidak berani menjamin di saat lain
ia dapat mengendalikan tindakannya seperti saat itu.
Hari-hari belakangan ini Quinn menyadari ia tidak menginginkan
kehamilan Eleanor hanya karena tuntutan awal pernikahan ini. Quinn
tidak mau Eleanor hamil hanya karena tugasnya sebagai seorang Ratu.
Quinn menginginkan keturunan yang benar-benar diinginkan mereka
berdua! Melihat Eleanor yang menjauh dengan membawa kemarahannya, Quinn
ragu keinginannya itu dapat segera terlaksana.
Tidak mengapa. Quinn tidak terburu-buru. Mereka masih muda. Mereka
masih perlu membina hubungan sebelum kehadiran anak mereka.
Sekarang yang harus segera ia laksanakan adalah mempersiapkan
perburuan mereka - tradisi warisan ayahnya.
Quinn pun mengundurkan diri dari tempat itu.
-----0----- Eleanor masih kesal ketika ia sudah tiba di Loudline.
"Pria itu. Lihat saja! Akan kutunjukkan padanya siapa Eleanor! Ia pikir ia
bisa mempermainkanku sesuka hatinya!!"
Pedro hanya bisa diam mendengarkan omelan Eleanor. Sejak hari
pertama ia mengawal sang Ratu ke Loudline, ia terus mendengar omelan
Eleanor tentang suaminya itu. Sekarang ia mulai terbiasa dengannya.
Pedro tidak mengerti bagaimana ia harus menggambarkan hubungan
kedua insan ini. Di saat mereka berbicara, Pedro dapat merasakan
keintiman di antara mereka. Namun, ketika bersama Eleanor seperti saat
ini, Pedro merasa Quinn adalah musuh bebuyutan Eleanor. Entah
bagaimana Eleanor di mana Quinn.
Eleanor menghentikan langkah kaki kudanya dengan tiba-tiba.
Pedro terperanjat. Ia juga segera menghentikan kudanya. Ketika ia
melihat Eleanor, gadis itu sudah turun dari kudanya.
"P-Nona, apa yang Anda lakukan?" tanyanya panik. Baik Quinn, Eleanor
hingga Jancer sudah memperingatinya untuk tidak menyebut gelar gadis
itu. Namun Pedro masih tidak sanggup bersandiwara.
"Jangan berisik," Eleanor menegaskan dengan tidak senang. "Tunggu aku
di sini," katanya kemudian menghilang dalam keramaian.
Pedro tertegun. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia diperintah
untuk mengawal Eleanor selama sang Ratu berada di Loudline. Ia
diperintah untuk tidak membocorkan identitas gadis itu. Ia diperintah
untuk tidak meninggalkan sisi Eleanor. Namun sekarang, untuk pertama
kalinya sejak ia menerima tugas ini, Eleanor menghilang dari
pandangannya. Pedro membawa kuda-kuda mereka ke tepi jalan dan menanti Eleanor.
Apa pun yang dilakukan Eleanor, gadis itu bukan bertindak tanpa berpikir.
Inilah yang saat ini dipercaya Pedro.
Selama beberapa hari mengawal Eleanor di Loudline, Pedro melihat sosok
lain sang Ratu yang anggun dan liar. Pedro tertegun di hari pertama
Eleanor menyapa pedagang-pedagang Loudline dengan akrab. Ia tidak
dapat berkomentar melihat sang wanita nomor satu di kerajaan ini
bersenda gurau dengan rakyat biasa. Gadis itu menjadi idola di Loudline.
Tua muda menyukainya. Pria wanita menyayanginya.
Pedro adalah satu di antara sekian banyak orang yang meragukan
keputusan sang Grand Duke Bernard. Namun, setelah melihat sendiri
pemandangan ini, Pedro sadar Duke memilih Ratu Viering bukan tanpa
pertimbangan. Raja Quinn juga tentu sudah mengetahui hal ini sehingga ia membiarkan
istrinya berkeliaran di Loudline hanya dikawal oleh seorang pria yang
tengah memasuki masa setengah abadnya.
Baru saja Pedro berpikir seperti itu ketika Eleanor muncul di antara
keramaian. "Ke mana saja Anda, Pa," tatapan tajam Eleanor membuatnya menutup
suara. "Aku hanya melihat seorang kenalanku," Eleanor menerangkan, "Namun
aku kehilangan jejaknya."
"Kenalan Anda!?" Pedro kaget, "Apakah ia melihat Anda" Apakah ia..."
"Jangan khawatir," Eleanor menenangkan, "Aku tidak seceroboh itu. Aku
tahu tidak seorang pun boleh melihatku di sini."
Pedro lega mendengarnya. Baru saja Pedro merasa seperti itu ketika Eleanor berkata, "Tunggu aku di
sini," sambil berlari ke seberang jalan.
Pedro terpaku. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang dilakukan
Eleanor. Demikian pula Eleanor. Ia tidak tahu apa yang tengah dilakukannya.
Eleanor bukanlah tipe yang suka campur tangan dalam urusan orang lain.
Ia juga tidak suka mengintai tingkah laku orang lain. Namun beberapa
saat lalu ketika melihat Simona memasuki Dristol, insting Eleanor
mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
Simona sudah menjadi Duchess of Pittler. Ia adalah istri orang nomor
satu dalam urutan tahta Kerajaan Viering. Mengapa ia masih
mengunjungi Dristol" Dan mengapa pula ia harus bersikap sembunyisembunyi seperti
itu" Eleanor semakin tidak mengerti ketika melihat Simona menggandeng
seorang pria bertubuh besar. Cara Simona menggandeng pria itu
membuat Eleanor yakin hubungan di antara mereka tidaklah semurni
yang terlihat.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eleanor baru memutuskan akan meminta tolong sumber gosip
terbesarnya, Seb, ketika ia kembali melihat keduanya menuju lorong ke
pemukiman kumuh. Namun lagi-lagi Eleanor kehilangan jejak.
Eleanor menyusuri lorong itu. Matanya terus memperhatikan sekelilingnya
- mencari sosok seorang wanita berambut merah dan seorang pria
bertubuh besar. "Apa yang kau lakukan di sini?" seseorang menepuk pundak Eleanor.
Eleanor terperanjat. Seb bingung melihat reaksi Eleanor. "Apa aku mengagetkanmu?"
"T-tidak," Eleanor cepat-cepat menghilangkan kekagetannya. Sesaat lalu
ia sempat mengira keduanya menyadari ia tengah mengikuti mereka.
"Apa yang kaulakukan di sini?"tanya Seb, "Sebaiknya engkau tidak pergi
ke tempat ini seorang diri." Seb lalu memperhatikan sekeliling Eleanor
dengan heran, "Di mana penjagamu itu?"
Eleanor tersenyum. Ia tahu siapa yang dikatakan Seb.
Di hari pertama Pedro datang ke Loudline bersamanya, Eleanor
mengenalkan Pedro sebagai teman sekerjanya yang oleh Earl Hielfinberg
ditugaskan untuk membantunya berbelanja kebutuhan rumah tangga
Hielfinberg. Sebagai reaksi atas penjelasannya, Seb berkomentar, "Pasti
suamimu yang melakukannya. Ia pasti cemburu padaku sehingga
mengatur orang untuk mengawasimu."
Eleanor sempat was-was dengan komentar itu.
"Ia pasti bukan sekedar pelayan."
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak perlu menutupinya dariku, Eleanor. Melihatnya saja aku sudah
yakin ia pasti ketua pelayan-pelayan Earl Hielfinberg. Earl pasti sangat
mempercayainya sehingga ia mendengar permintaannya."
Eleanor lega. Namun di sisi lain ia berharap Quinn tidak akan
mengikutinya ke Loudline lagi.
Quinn terlalu berwibawa untuk menjadi rakyat biasa. Auranya sebagai
seorang raja terlalu kental.
Hari itu saat ia menjemputnya, sikap Quinn terlalu mencurigakan sebagai
seorang pelayan. Kebiasaannya memberi perintah sama sekali tidak bisa
dihilangkannya walau Eleanor terus mengomelinya sepanjang hari. Harga
dirinya yang tinggi juga membuat pagar pembatas yang jelas antara dia,
sang raja dengan mereka, sang rakyat biasa.
Hari itu Eleanor dibuat sadar Quinn adalah seorang raja dan ia hanyalah
seorang gadis biasa. Ia memang dilahirkan dalam lingkungan bangsawan,
sebagai putri Earl of Hielfinberg, namun hatinya dibesarkan dalam
lingkungan rakyat biasa. "Aku meninggalkannya."
"Meninggalkannya?" Seb tak percaya. Sejak kemunculan pria tua itu,
Eleanor selalu bersama pria tua itu. Pria tua itu sama sekali tidak mau
meninggalkan sisi Eleanor walau hanya sejenak!
"Aku punya pertanyaan untukmu," Eleanor mengalihkan pikiran pemuda
itu. -----0----- Simona melihat sekelilingnya dengan tidak senang. "Dasar orang
rendahan!" gerutunya ketika seorang pria kumuh terhuyung-huyung
menabraknya. Matanya melirik orang-orang yang di matanya tidak
berkelas sedang berpesta pora dengan minuman keras rendahan mereka.
"Ini adalah tempat yang aman untuk berbicara," Todd menyadari kejijikan
Simona akan suasana di sekitarnya dan ia menekankan, "Seperti
keinginanmu." Simona benar-benar tidak menyukai cara pria itu memperlakukannya.
Mereka memang pernah mempunyai hubungan serius. Namun sekarang
ia tidak lagi sederajat dengannya. Ia adalah seorang Duchess and ia tetap
seorang pria kumuh tak berkelas.
"Bir?" Todd menawarkan segelas penuh minuman.
"Jangan menghabiskan waktuku!" Simona menepis kasar lalu ia berkata
serius, "Aku mau kau melakukan sesuatu untukku."
"Menarik," kata Todd menegak minumannya, "Apa yang diminta Duchess
of Binkley dari seorang perampok seperti aku?"
"Bunuh Eleanor!"
Todd terperanjat. "Kumpulkan orang," kata Simona serius. "Bunuh Eleanor!"
Todd tertawa. "Ternyata Duchess of Binkley masih seorang Simona."
"Kau salah, Todd. Sekarang aku bukan Simona yang dulu. Aku tidak akan
membiarkan orang lain menertawakan aku lagi! Semua orang sama saja!
Mereka tidak mengerti bagaimana sulitnya hidup ini."
Simona tidak akan membiarkan orang lain terus meremehkannya. Sejak
kecil, tidak seorang pun menerimanya. Karena ia berasal dari luar
Coaber, setiap orang memandangnya sebelah mata. Ketika orang tuanya
meninggal pun tidak ada yang peduli padanya. Mereka terus
meremehkannya. Sekarang ketika ia berhasil mendapatkan posisi yang
mantap, semua orang kembali memandang rendah padanya. Memangnya
apa artinya darah biru" Para bangsawan itu tidak lebih baik darinya.
Mereka juga pernah membunuh. Mereka juga pernah mencuri. Mereka
bersikap anggun seakan-akan mereka adalah makhluk mulia. Hanya
karena ia melakukan pekerjaan kotor itu dengan tangannya sendiri, tidak
berarti mereka bisa menghinanya!
Ia telah berjuang dengan tangannya sendiri untuk mencapai posisinya
saat ini. ia tidak akan berhenti. Ia akan terus berjuang hingga puncak!
"Mereka harus tahu siapa Simona!" Simona menegaskan.
Setelah ia menjadi seorang Ratu, tidak akan ada yang berani
menghinanya lagi. Saat itu ia akan membunuh semua orang yang berani
menjelekkannya. Tidak akan ada lagi orang yang berani merendahkannya
ketika Mathias tidak berada di sisinya. Saat ini mereka bisa menghina,
mengejeknya bahkan merendahkannya ketika Mathias tidak ada di
sisinya. Namun, ketika ia sudah menjadi seorang Ratu Viering, mereka
tidak akan berani lagi. "Apa kau pikir akan semudah itu?"
"Tentu saja tidak. Apa kau pikir aku tidak tahu" Quinn tidak pernah
mengijinkan gadis itu keluar Istana. Pengawalan gadis itu juga ketat.
Setiap saat selalu ada prajurit yang mengawal gadis ingusan itu"
"Menarik," kata Todd, "Aku sudah lama ingin mencicipi para pasukan
pengawal kerajaan." "Kumpulkan orang-orang kepercayaanmu," Simona puas, "Kita harus
mencari kesempatan untuk membunuh Eleanor. Kalau perlu kita pancing
dia keluar dan habisi!"
"Bayarannya?" tanya Todd.
Simona bingung. "Apa yang bisa kau berikan sebagai bayarannya?" Todd menantang, "Ini
bukan pekerjaan mudah. Salah sedikit saja bisa kehilangan nyawa."
"Apa yang kau minta?" Simona balas menantang.
"Tidak sulit," Todd memegang dagu Simona, "Yang kuminta tidaklah
sulit." Ia mendekatkan wajahnya, "Aku ingin kau."
"Kau memang bajingan," desis Simona.
Todd tertawa. "Inilah yang kusuka darimu. Kau selalu terus terang. Kau
tidak pernah setengah-setengah dalam mencapai tujuanmu."
Simona membenci pria ini. Dulu mereka pernah menjadi sepasang
kekasih. Tetapi itu dulu.
"Baik," Simona sepakat, "Aku terima syaratmu."
Apa salahnya tidur bersama pria ini" Ini semua juga demi mencapai
tujuannya. Ketika ia berhasil membunuh Eleanor, ia akan menyuruh
orang untuk menghabisi pria ini. Tidak ada yang boleh tahu ia berada di
balik rencana pembunuhan Eleanor. Ia akan menghabisi siapa pun yang
berani menghalangi jalannya. Kalau perlu, ia juga akan menyusun
rencana untuk menghabisi Quinn.
"Kau memang wanita yang berambisi besar," Todd tertawa, "Aku
mencintai sifatmu ini." Dan ia bertanya serius, "Kapan kau ingin aku
mengeksekusinya?" "Kau tahu Pittler?" Simona pun berkata serius.
-----0----- "Kau terlambat!" Quinn berkata tajam.
"Siapa bilang?" Eleanor berkata santai sambil memotong sepotong daging
di piringnya, "Aku pulang lebih awal dari rencanaku."
Siapa yang bisa langsung pulang setelah mendengar tentang pria
bertubuh besar yang dilihatnya bersama Simona itu!"
Tepat seperti dugaannya, sang sumber gosip terbesarnya mengetahui
siapa pria besar itu. Hanya dengan menjelaskan rupa pria itu, Seb sudah
bisa mengatakan segala hal tentang pria itu.
Menurut Seb, pria yang bernama Todd itu sangat terkenal di Loudline. Ia
adalah seorang perampok yang tidak segan-segan menghabisi nyawa
orang lain untuk mendapatkan keinginannya. Semua penduduk di
Loudline takut padanya. Tidak seorang pun berani berselisih dengannya
juga dengan bawahannya yang jumlahnya sangat banyak itu.
Eleanor tidak tahu apa hubungan di Simona dan Todd. Mengingat
pekerjaan Simona sebelum ia menjadi Duchess, mungkin mereka adalah
teman akrab. Namun mendengar penjelasan Seb lebih lanjut, Eleanor
menjadi cemas. Sebelumnya Duchess of Binkley pernah terlihat bersama
Todd di sekitar Loudline. Tidak hanya itu saja. Seb pernah melihat Duke
dan Duchess of Binkley pergi Dristol tak lama setelah peringatan Red
Invitation. Seharian ia mengelilingi Loudline hanya untuk mencari jejak keduanya.
Eleanor tahu cara yang paling cepat adalah bertanya pada setiap orang
yang dilihatnya. Namun, siapa yang berani menjamin orang yang
ditanyanya bukan bawahan Todd ataupun kenalan Simona" Karena itulah
Eleanor pulang terlambat.
Quinn sudah menanti dengan wajah murkanya.
"Ke mana saja kau!?" seru Quinn - menyambut kedatangannya,
"Bukankah sudah kukatakan untuk pulang awal!!" Apa kau tidak
mendengarku!" Apa kau ingin diracun di sana!?"
Itulah Quinn. Di hari mereka berada di Loudline, Quinn selalu curiga
setiap ada yang memberi mereka sesuatu. Puncaknya adalah ketika
seorang pedagang langganan Fauston mengundang mereka untuk makan
malam di rumahnya. Saat itu Quinn menolak. Namun Eleanor
menerimanya dengan senang hati.
Quinn sempat memarahinya karena itu. Kata Quinn, "Bagaimana kalau
makanan itu diracun" Apa kau berani menjamin kebersihannya!?"
Bagi Eleanor, Quinn memang seorang Raja. Eleanor mengabaikan Quinn
dan terus masuk ke rumah sang pedagang sehingga Quinn tidak punya
pilihan lain selain mengikutinya.
Quinn terlihat sangat kesal ketika mereka telah duduk di meja makan
kecil itu. Ia tampak tidak tertarik melihat masakan sederhana yang
disiapkan di depannya. Setelah menyicipi masakan mereka, barulah
Quinn mengakui kelezatan masakan itu yang tidak kalah dari juru masak
Istana. Tentu saja ketika Eleanor bertanya, Quinn tidak mengakuinya. Ia
hanya menjawab, "Biasa."
Eleanor, tentu saja, tidak bisa dibohongi oleh jawaban singkat itu. Walau
demikian, pengalaman itu tidak membuat Quinn mengerti. Ia tetap tidak
menyukai ide Eleanor menerima pemberian teman-temannya di Loudline.
Ia tidak suka mendengar laporan Eleanor menyantap sesuatu di luar
sana. Menurut Eleanor, Quinn terlalu khawatir akan keselamatannya,
sang pemberi keturunan Viering.
"Kau membuatku menunggu!!" Quinn menegaskan kesalahan Eleanor.
Eleanor heran. Mengapa Quinn harus menunggunya" Kalau ia memang
lapar, ia bisa makan sendiri.
"Aku tidak pernah minta kau menungguku."
"Aku harus yakin kau tidak makan setiap makanan yang disodorkan
padamu!" Ya, tentu saja, Quinn, sang pendeta Viering, tidak mau direpotkan lagi
dengan pernikahan, bukan"
Tiba-tiba Eleanor sadar. Ia harus memperingatkan Quinn akan tindakan
Mathias dan Simona. Ia memang tidak punya bukti tetapi ia yakin
instingnya tidak salah. "Sebaiknya kau mewaspadai Mathias," Eleanor memperingatkan,
"Kudengar mereka merencanakan sesuatu terhadapmu."
Alis mata Quinn terangkat. "Begitu banyakkah waktu luangmu hingga kau
sempat mengurusi gosip itu?"
"Ini bukan gosip," Eleanor menegaskan dengan kesal. "Aku
mendengarnya dari sumber terpercaya."
"Ya... ya... sumber gosipmu," kata Quinn acuh sambil menyantap makan
malamnya. "Gadis sepertimu pasti mempunyai banyak sumber gosip
terpercaya." "Quinn!" "Aku mengetahui Mathias lebih baik dari kau," Quinn mengingatkan
dengan nada tegasnya, "Aku tahu ia adalah seorang pengecut. Ia tidak
akan berani melakukan sesuatu padaku."
"Mathias mungkin tidak tetapi Simona mungkin. Simona adalah wanita
yang ambisius. Ia akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya."
Mata Quinn menatap langsung Eleanor. "Sepertimu?"
Eleanor tidak menyukai ejekan itu. Ia telah berbaik hati memperingati
Quinn tetapi pria itu malah menganggapnya sedang bergosip ria.
"Terserah apa katamu!" Eleanor berdiri kesal.
"Habiskan makan malammu sebelum kau pergi," Quinn memperingatkan.
"Aku sudah kenyang," kata Eleanor acuh. Dengan tenangnya, ia
melangkah ke pintu. Eleanor tahu Quinn sangat tidak menyukai seseorang meninggalkan
ruang makan sebelum ia menghabiskan makanan di piringnya tetapi ia
sudah tidak tertarik untuk menemani Quinn lagi. Pria itu telah membuang
selera makannya jauh-jauh.
"Aku tidak akan mengirimmu makanan kalau kau kelaparan di tengah
malam," Quinn mengancam.
"Terima kasih," balas Eleanor dingin, "Aku sedang berdiet."
"Kau tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menghabiskan makan
malammu!" Quinn mengulang dengan ancaman.
"Aku lelah. Aku ingin tidur," Eleanor mengabaikan perintah itu.
"Tidur?" Quinn bertanya heran, "Apa aku tidak salah mendengar" Burung
liar sepertimu yang suka berkeliaran di malam hari sudah mau tidur
sepagi ini?" "Aku tidak mau bangun kesiangan," Eleanor membuka pintu, "Besok pagi
kita akan pergi ke Pittler."
"Selamat malam, suamiku yang idealis," Eleanor melontarkan ejekannya
lalu menghilang di balik pintu.
Quinn geram. Gadis itu benar-benar satu-satunya orang di dunia ini yang
tidak bisa diaturnya! BAB 23 "Jangan pergi jauh-jauh dariku!"
Eleanor mengacuhkan tajam pemuda itu. Ia sudah tidak dapat lagi
menggambarkan kebenciannya pada pemuda egois satu ini.
Pagi ini dengan seenaknya sendiri, Quinn melarangnya berkuda bersama
mereka. Quinn salah bila ia pikir Eleanor tidak tahu tentang tradisi berburu
keluarga kerajaan di musim gugur ini. Ayahnya memang tidak pernah
mengikuti kegiatan ini semenjak ibunya meninggal dan ia sendiri tidak
pernah ikut. Namun Grand Duke beserta putra-putrinya selalu
mengikutinya setiap tahun. Dari merekalah Eleanor sering mendengar
cerita tentang kebiasaan Raja Alvaro ini.
Tua muda, laki perempuan, kaya miskin boleh mengikuti kegiatan
berburu yang selalu diadakan di musim pertengahan musim gugur, di
Pittler, daerah perbukitan yang hanya terletak 10 mil dari Fyzool.
Perburuan ini hanya diadakan sehari. Pagi hari rombongan kerajaan akan
berangkat dari Viering. Sementara itu rombongan lain telah menanti di
Pittler. Eleanor juga tahu. Tua muda, laki perempuan semuanya menunggang
kuda ke Pittler. Ratu Esther pun tidak pernah naik kereta. Ia berkuda di
sisi Raja Alvaro hanya dengan dikawal pasukan pengawal Istana.
Hari ini mengapa ia harus ditawan di dalam kereta bersama dua wanita
bangsawan yang terus berkicau tiada henti!?"
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang mereka sudah tiba di Pittler tetapi Quinn tetap tidak
mengijinkannya berkeliaran seperti yang lain. Ia tetap dilarang berkuda!
Apa gunanya ia memakai baju berkudanya kalau ia hanya boleh dudukduduk di bawah
pohon sambil bersenda gurau bersama wanita-wanita
bangsawan yang berhasil dikumpulkan Quinn. Quinn juga menempatkan
setengah lusin prajurit di sekitarnya!
Ketika Eleanor memprotesnya, Quinn mengacuhkannya.
Eleanor marah. Ia tidak terima! Mengapa ia harus diperlakukan seperti
seorang tahanan!?" Ia bukan kriminal!!
"Ia pasti takut kau berbuat onar," komentar Derrick mendengar
pertengkaran mereka, "Bukankah ini adalah keahlianmu?"
Benar, ini adalah satu-satunya kegiatan di mana ia bisa mengekspresikan
jiwanya dengan bebas. Ia memang lebih suka berburu daripada berdiam
diri di Fyzool! Tetapi untuk apa Quinn mengajaknya pergi kalau ia hanya
boleh menonton" Lebih baik Quinn membiarkannya berdiam diri dalam
Istana daripada menahannya seperti saat ini. Bukankah Quinn selalu
mempunyai alasan bila ia kabur dari tugas-tugas kerajaannya"
Kalau memang itu yang ditakutkan Quinn, Eleanor akan membuktikan
kepada pemuda egois itu siapa Eleanor. Akan Eleanor tunjukkan ia bukan
gadis-gadisnya. Eleanor adalah Eleanor! Eleanor tidak bisa dibandingkan
dengan Nicole, mantan kekasihnya ataupun Simona, sang Duchess baru.
Kalau Quinn memang takut Eleanor mempermalukan dirinya sendiri di
depan dua wanita itu, akan ia tunjukkan Eleanor bukan orang yang tolol!
Dengan berbekal keyakinan itu, Eleanor sengaja mendekati Quinn yang
ditempeli Nicole sejak pagi.
"Maafkan ketidaksopanan saya menganggu Anda berdua," Eleanor
menarik perhatian keduanya.
"Ada apa?" Quinn tidak suka dengan ide Eleanor mencari pertengkaran
lagi. Sejak pagi ini Eleanor terus memancing pertengkaran tanpa henti
dan ia sudah sangat lelah dibuatnya.
"Yang Mulia," Eleanor berkata dengan suara lembutnya, "Bila Anda
berkenan, saya ingin mengundurkan diri."
Nada lemah lembut itu langsung membuat Quinn waspada. Sesaat lalu
Eleanor masih memasang muka masamnya. Sedetik lalu Eleanor masih
membentaknya. "Mengapa" Apa engkau sudah bosan?"
"Tidak, Yang Mulia. Saya menyukai perburuan ini. Hanya saja matahari
semakin tinggi. Saya tidak tahan panas ini. Bila Anda berkenan, saya
ingin berteduh di dalam kereta."
Mengertilah Quinn apa yang sedang dimainkan Eleanor. "Aku akan
mengantarmu." "Tidak perlu, Yang Mulia. Saya tidak ingin menganggu kesibukan Anda.
Biarlah prajurit mengawal saya," Eleanor menatap Nicole, "Sungguh tidak
sopan meninggalkan kawan akrab Anda di tengah pembicaraan kalian
yang sedang hangat-hangatnya." Eleanor tersenyum, "Silakan kalian
melanjutkan pembicaraan kalian." Dan ia mengundurkan diri.
"Maafkan aku, Nicole," Quinn mengikuti Eleanor.
Hari ini sudah cukup Eleanor membuatnya semakin lelah dengan
bantahannya yang tiada habisnya. Semalam ia memang menyepelekan
peringatan Eleanor. Namun setelah kepergian Eleanor dan setelah
kemarahannya yang tidak berarti, sirna, Quinn berpikir dengan jernih.
Eleanor bukan seorang penggosip. Sejujurnya, baru kemarin malam
Quinn mendengar Eleanor membicarakan orang lain. Quinn yakin Eleanor
tidak mungkin mengatakannya bila bukan karena suatu alasan yang
berarti. Maka Quinn pun memanggil Pedro. Darinya, Quinn tahu mengapa Eleanor
pulang terlambat. Dari Pedro pula ia tahu Simona muncul di Loudline
bersama seorang pria tak dikenal. Pedro tidak tahu mengapa seharian itu
Eleanor terus bersikap seperti seorang pemburu yang sedang mencari
buruannya. Quinn tahu mengapa. Quinn yakin Eleanor pasti telah melihat
keduanya sebelum Pedro. Eleanor pasti telah mengetahui sesuatu tentang
mereka berdua. Semalam Quinn tidak bisa tidur nyenyak dibuatnya. Ia khawatir Simona
memang merencanakan sesuatu terhadap Eleanor. Ia takut Simona
merencanakan sesuatu di perburuan hari ini.
Quinn telah melakukan segala yang terpikir olehnya untuk melindungi
Eleanor. Demi keselamatan Eleanor, Quinn rela membuang rencananya
untuk menggembirakan gadis itu. Tetapi gadis itu...
Quinn benar-benar dibuat kesal oleh pemberontakan Eleanor. Semalam
Eleanor memperingatinya akan pasangan Binkley. Hari ini gadis itu
melupakannya! Gadis satu ini memang benar-benar bisa mencari
pekerjaan untuknya! Eleanor salah kalau dia pikir Quinn percaya Eleanor sudah melupakan
kecurigaannya pada Simona.
Quinn menangkap tangan Eleanor dan menggandengnya, "Aku akan
mengantarmu." "Tidak perlu, Yang Mulia," Eleanor menolak lembut, "Tidak baik
meninggalkan kawan Anda seperti ini. Bila Anda mengkhawatirkan saya,
saya bisa berteduh di bawah pohon besar dalam jangkauan mata Anda."
Yakin sudah Quinn akan permainan Eleanor. Eleanor cukup membuatnya
lelah dengan bantahannya. Quinn tidak dapat membiarkan gadis itu
semakin memecahkan kepalanya dengan pemberontakannya yang paling
ditakutinya ini! Quinn membawa Eleanor ke bawah pohon terdekat. "Katakan," ia
mengurung Eleanor di batang pohon, "Apa yang sedang kaurencanakan?"
"Apa yang Anda katakan, Yang Mulia?" Eleanor tidak mengerti, "Anda
membuat saya bingung."
"Kau akan membuat kepalaku pecah sebelum kau bingung," Quinn
memperingati. "Hentikan permainanmu ini sebelum aku benar-benar
marah." "Maafkan saya, Yang Mulia," Eleanor mengaku salah, "Saya tidak pernah
ingin membuat Anda marah. Bila Anda tidak ingin saya meninggalkan
tempat ini, saya akan berdiam diri di tepian seperti keinginan Anda."
Quinn menatap lekat-lekat wajah lembut itu dan menjatuhkan kepalanya
di pundak Eleanor. "Kau benar-benar membuatku lelah," desahnya.
Eleanor hanya memasang wajah bingung.
Quinn menatap Eleanor lekat-lekat, "Kalau kau memang sedemikian
inginnya ikut berburu, aku tidak akan mencegahmu lagi."
Hati Eleanor bersorak mendengarnya namun wajahnya tetap tenang.
Memang itulah yang dikatakan Quinn. Namun... "Selalu dan selalu ada
tetapi", gerutu Eleanor. Quinn melarangnya pergi lebih dari satu meter
dari sisinya. Quinn bahkan tidak segan-segan mengambil alih tali kendali
kuda Eleanor bila dirasanya Eleanor akan menjauhkan diri.
Apa gunanya ia mengijinkannya berkuda kalau ia tidak diperbolehkan
mengendalikan kudanya sendiri!"
"Sudah kukatakan jangan menjauh dariku!" Quinn menarik tali kendali
kuda Eleanor dengan tidak senang.
Eleanor membuang muka. Saat itulah ia baru menyadari sekelompok
wanita tengah membicarakan mereka. Jarak mereka memang jauh tetapi
dari arah pandangan mereka, Eleanor tahu ia pasti telah menjadi topik
pembicaraan mereka. Eleanor tidak terlalu memusingkan pembicaraan
mereka. Sejak tahu ia akan dinikahkan dengan Quinn, Eleanor mulai
terbiasa menjadi pusat pembicaraan.
Kali ini pun Eleanor tidak mempedulikan mereka. Quinn sendiri tidak
peduli. Untuk apa ia harus membantu Quinn menciptakan sosok seorang
istri yang manis dan penurut" Toh pernikahan ini murni hanya untuk
memberi keturunan padanya.
Eleanor tertegun. Berbicara tentang Simona, sejak tadi ia tidak melihat
wanita itu. Eleanor yakin ia melihat Simona bersama Duke Mathias ketika
mereka tiba. Sekarang ia tidak melihat keduanya. Simona tidak mungkin
melewatkan kesempatan ini untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai
istri penerus tahta Viering.
"AWAS! MINGGIR!!!"
Eleanor menoleh. Seekor kuda melesat dengan cepat ke arahnya. Sebelum Eleanor sempat
bertindak, kuda yang ditumpanginya meringkik keras karena kaget.
Kedua kaki depannya terangkat tinggi-tinggi - melempar Eleanor yang
tidak siap. Eleanor mendengar jeritan panik di sekitarnya dan sesaat kemudian ia
sudah berada di gendongan Quinn.
Hanya Tuhan yang tahu apa yang telah terjadi dalam waktu singkat itu.
Hanya nasib baik Eleanor yang membuatnya terlempar ke arah Quinn.
Hanya keberuntungan yang membuat Quinn dapat menangkap tubuh
Eleanor. Quinn memeluk Eleanor erat-erat. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak
menyangka ia sungguh dibuat kaget oleh gadis ini. Hanya akal sehatlah
yang membuatnya mengambil tindakan cepat untuk menangkap tubuh
Eleanor. Sedetik lalu ia benar-benar takut kehilangan Eleanor. Ia tidak tahu sejak
kapan gadis ini menjadi bagian hidupnya yang penting. Dari awal
pernikahan mereka, Quinn tahu Eleanor penting untuknya. Sekarang ia
baru menyadari Eleanor lebih penting dari yang ia pikirkan. Eleanor bukan
lagi hanya sekedar alat untuk melahirkan keturunannya.
Eleanor adalah hidupnya! Ia mencintai gadis liar ini! Ia mencintainya
dengan cinta yang tidak pernah dirasakannya pada gadis mana pun. Ia
mencintai Eleanor dengan segenap jiwanya!
Quinn mempererat pelukannya. Tubuhnya masih bergetar oleh
kepanikan. Jiwanya masih dipenuhi oleh ketakutan akan kehilangan
Eleanor. Eleanor bingung. Pikirannya masih kosong. Tangan-tangan kekar Quinn
yang mendekapnya dengan erat, membuat kesadarannya pulih perlahanlahan.
"Anda tidak apa-apa, Paduka Ratu?"
Pertanyaan itu membuat Eleanor benar-benar pulih dari kekagetannya
sendiri. Eleanor memalingkan kepala melihat orang yang mengajukan
pertanyaan itu. Quinn masih tidak rela melepaskan Eleanor. Quinn masih ingin merasakan
kehangatan Eleanor di pelukannya - meyakinkan diri Eleanor masih ada
di sisinya. Eleanor berada dalam pelukannya. Eleanor baik-baik saja.
Grand Duke Bernard melihat pasangan itu dengan wajah pucat pasinya.
"Apakah Anda baik-baik saja?" ia mengulangi pertanyaannya dengan
cemas. Di belakangnya, Eleanor melihat orang-orang yang menatapnya dengan
pucat pasi. "Aku tidak apa-apa," Eleanor tersenyum, "Keberuntungan masih
menyertaiku." Quinn tidak suka mendengarnya. "Semua ini tidak akan terjadi kalau kau
duduk diam seperti perintahku!"
Eleanor melotot tajam - siap menyerang balik.
Demi kebingungan Eleanor, Quinn mendesah, "Sudahlah. Aku tidak
sedang ingin bertengkar denganmu." Lalu ia melihat Derrick yang berada
tepat di belakang Grand Duke. "Derrick, kemarilah."
Derrick menurut. "Temani Eleanor," demi kekagetan Eleanor, Quinn mengangkatnya seperti
mengangkat anak kecil dan meletakkannya di depan pelana kuda Derrick.
"Aku yakin ia masih kaget." Lalu dengan sinar matanya yang lembut ia
berkata pada Eleanor, "Kali ini aku ingin kau menurutiku."
Suara lembut itu membuat Eleanor tidak sanggup berkata apa-apa.
"Eleanor," Irina mendekat dan menggenggam tangan Eleanor.
Eleanor kaget merasakan getaran hebat di tangan Irina.
"Kau tidak apa-apa?"
Sekarang barulah Eleanor sadar betapa pucatnya wajah kedua kakak
angkatnya ini. "Jangan khawatir, Irina," Eleanor menggenggam tangan wanita itu. "Aku
baik-baik saja," katanya menenangkan.
"Jancer," Quinn memanggil kepala pengawal istananya, "Aku perlu bicara
denganmu." Melihat sikap tegang Quinn, Bernard sadar ini bukan hanya sekedar
ketidaksengajaan. Ia segera mengikuti Quinn dan Jancer.
Tampaknya bukan hanya Bernard yang merasakannya, setiap orang di
tempat itu juga melihat keseriusannya masalah ini. Setiap orang
menghentikan kegiatan mereka. Bahkan pria pemilik kuda yang menjadi
akar kecelakaan ini segera menemui Eleanor.
Eleanor sudah duduk di bawah pohon besar bersama Irina yang terus
memegang erat tangannya. Derrick duduk di sisi Irina sementara itu
beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar mereka.
Getaran di tangan Irina sama sekali tidak berkurang. Wajahnya juga
masih putih pucat. "Paduka Ratu." Eleanor melihat pria itu melepas topinya. Tangannya mencengkeram
topinya erat-erat. Wajahnya menunjukkan kekhawatirannya dan rasa
bersalahnya yang mendalam. Bibirnya bergetar hebat tidak sanggup
membuka suara. Matanya basah oleh air mata kepanikan.
"Ada apa?" Eleanor bertanya lembut.
"Maafkan hamba," pria itu berjenggot lebat itu tiba-tiba berlutut di
hadapan Eleanor. "Maafkan kecerobohan hamba!"
Eleanor melepaskan tangan Irina dan duduk di depan pria itu. Ia
mengenali pria itu. Ialah orang yang memperingatinya akan kedatangan
kuda liar itu. "Aku tidak menyalahkanmu," Eleanor meletakkan tangan di pundak pria
itu. Pria itu tertegun melihat senyum lembut Eleanor.
"Kita hanya bisa memahami kuda tetapi kita tetap tidak tahu apa yang
dipikirkannya," Eleanor menghibur, "Mungkin sesuatu menganggunya
sehingga ia tiba-tiba menjadi liar."
Di kejauhan Quinn tersenyum melihat Eleanor. Inilah salah satu sifat
Eleanor yang membuatnya dengan cepat dicintai penduduk Loudline.
"Aku ingin kau menyelidiki masalah ini. Aku tidak percaya ini murni
kecelakaan," Quinn menegaskan. Sejak awal perburuan, ia terus
mengawasi Eleanor dan tindak tanduk Simona. Baru ketika Nicole
mengajaknya, ia kehilangan jejak Simona. Ia tidak melihat wanita itu
setelahnya. Sekarang barulah ia melihat wanita itu di antara kerumunan
orang-orang yang mencemaskan Eleanor. Tindak-tanduknya sepanjang
hari ini cukup membuatnya mencurigai wanita itu.
"Perburuan ini cukup sampai di sini." Quinn tidak sanggup lagi bertahan
dalam kepenatan ini. Sekarang bukan hanya jiwanya yang lelah.
Pikirannya juga telah menggerogoti fisiknya.
"Saya akan memberitahu orang-orang," Duke Bernard bergegas
melakukan tugasnya. "Jancer," kata Quinn sepeninggal Duke, "Kirim orang terbaikmu
mengawasi Arsten." Jancer terkejut mendengar perintah itu. Ia ingin bertanya lebih jauh
tetapi demi kepenatan yang tidak pernah dilihatnya di wajah pemuda itu,
ia berkata "Hamba mengerti, Paduka."
Sekarang tinggal satu tugas Quinn - membujuk Eleanor!
"Pekerjaan ini tidak akan mudah," gumam Quinn melangkah ke tempat
Eleanor yang sekarang sudah dengan akrabnya bercakap-cakap dengan
pria itu. Baru saja Quinn berpikir seperti itu ketika Eleanor berseru kaget, "APA!!?"
"Papa mengatakan Paduka Raja membubarkan perburuan ini," Derrick
mengulangi kabar yang baru didengarnya, "Ia ingin kalian segera kembali
ke Fyzool." Eleanor kesal. Ia baru saja diperbolehkan menunggang kudanya sendiri.
Ia baru saja menikmati perburuan ini.
"Tindakan Raja Quinn tepat," Irina membela, "Sebaiknya kau segera
kembali ke Istana." Eleanor tidak terima. Ia tidak bisa hanya duduk diam melihat Quinn
dengan seenaknya memerintahkan semua orang berkemas.
"Eleanor, mau ke mana kau?" Irina bertanya panik.
Eleanor menjawabnya dengan terus mendekati Quinn.
Melihat Eleanor mendekat dengan wajah tidak sukanya, Quinn tahu gadis
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu sudah mendengar perintahnya.
"Quinn, apa maksud semua ini!?" Eleanor menuntut.
"Jangan memulai!" Quinn memperingati dengan tajam.
"Siapa yang akan memulainya?" Eleanor menatap tajam pria itu.
"Kau selalu memulai perdebatan kita."
"Apakah kau tidak pernah?" balas Eleanor, "Kau juga sering memulainya."
"Kau...," Quinn mendesah.
"APA!?" Eleanor membusungkan dada sambil bersila pinggang.
Quinn maju selangkah. Tangan kanannya meraih tangan Eleanor
sementara tangan kirinya melingkari pinggang Eleanor.
Eleanor terkejut. "Mau apa," mulutnya dibungkam oleh Quinn.
Eleanor membelalak. Quinn menikmati sinar kemarahan di mata Eleanor itu dan ia tidak
menghentikan ciuman lembutnya.
Eleanor tergoda. Cara Quinn menciumnya membuyarkan kemarahannya.
Sentuhan lembut bibir Quinn membuatnya terlena.
"Begini lebih baik," Quinn menjauhkan bibinya.
Eleanor melihat sinar kepuasan di sepasang mata kelabu itu dan
kemarahannya bangkit kembali.
"Sekarang kita bisa berkemas pulang," Quinn memberitahu orang-orang
yang terperangah itu. Eleanor terkejut. Tiba-tiba ia menyadari Quinn telah menciumnya di
depan orang-orang itu! Wajah Eleanor memerah padam.
"Kau seperti udang rebus."
Eleanor tidak suka ejekan itu. Ia melihat Quinn - siap untuk melontarkan
kemarahannya. Quinn tersenyum lembut padanya!
Eleanor terperangah. Sekali lagi Quinn menarik Eleanor ke dalam pelukannya. "Kau benarbenar
membiusku," ia berbisik di telinga Eleanor.
Eleanor terperangah. Ia terbius oleh sepasang mata lembut itu. Ia terlena
oleh kata-kata lembut itu.
"Sayangnya, kau belum cukup berpengalaman," Quinn mencium bibir
Eleanor. Quinn melepaskan Eleanor dan tertawa.
Eleanor terperanjat. Tiba-tiba ia menyadari Quinn tengah
mempermainkannya. "Kau..." geram Eleanor lalu ia berseru, "Aku membencimu!?"
Tawa Quinn langsung berhenti.
"Aku membencimu!" Eleanor mengulangi dengan kesal.
Quinn menatap tajam gadis itu.
"Aku membencimu! Membencimu! Membencimu! Membencimu!" Eleanor
terus mengulangi kata-katanya.
Quinn mendekati Eleanor. Ia tampak sangat berbahaya dengan wajah
garangnya. Eleanor tidak takut. "Aku membencimu! Sangat membencimu!" katanya
tegas sambil membusungkan dada.
"Kusarankan kau untuk menarik kata-katamu itu," Quinn berkata
berbahaya. "Aku membencimu," Eleanor mengulangi dengan riang.
"Kau!" Quinn menerjang Eleanor.
Eleanor terkejut. Ia tidak siap menerima tubuh Quinn.
Quinn juga tidak kalah terkejutnya. Tangan kirinya dengan cepat
memeluk Eleanor dan tangan kanannya melindungi kepala Eleanor dari
benturan. Mereka terjatuh dengan keras.
"Kau tidak apa-apa?" Quinn bertanya cemas.
Eleanor menganggukkan kepala sambil menahan sakit.
"Syukurlah," Quinn lega.
Eleanor menatap Quinn. Jarak di antara mereka begitu dekat. Eleanor
dapat merasakan hembusan nafas Quinn di wajahnya. Ia dapat
merasakan detak jantung Quinn yang teratur di kedua tangannya yang
membatasi tubuh mereka. Jantung Eleanor berdebar kencang.
Quinn menatap Eleanor lekat-lekat. Wajahnya mendekat.
Eleanor memejamkan matanya.
"Paduka!" Mereka melompat menjauh. Wajah keduanya memerah.
Prajurit itu merasa bersalah. "M-maaf menganggu," ia berjalan mundur.
"Ada apa?" tanya Quinn yang lebih dulu menguasai diri.
"Kami sudah selesai berkemas," lapor prajurit itu, "Kami siap menanti
perintah Anda." "Kita pulang saat ini juga," Quinn memberikan perintahnya.
"Baik," prajurit itu memberi hormat kemudian pergi.
Quinn berdiri dan mengulurkan tangan pada Eleanor. "Kita tidak punya
waktu bermain-main."
Eleanor menerima uluran tangan itu. Jantungnya masih berdebar-debar
dengan kencang. -----0----- "Aku tahu aku tidak boleh meninggalkan Fyzool. Setidaknya aku bisa
pergi ke Hall!" "Paduka Raja meminta saya mencegah Anda pergi ke bawah," Nicci
berkata dengan hati-hati.
"Apa mau pria sial itu!?" Eleanor marah, "Mengapa ia tidak sekalian
mengurungku di kamar!?"
"Semula itulah yang diinginkan Paduka," penjelasan Nicci membuat mata
Eleanor melebar, "Namun saya memohon padanya untuk membiarkan
Anda meninggalkan kamar."
Bara api kemarahan Eleanor berkobar kian ganas.
Sejak kemarin Quinn memperlakukannya seperti tawanan. Kemarin ia
memaksanya pulang walau mereka telah berencana menginap di Pittler.
Kemarin pula ia berjanji hari ini mereka akan pergi lagi ke Pittler untuk
menghadiri pesta rakyat di Pittler. Namun pagi ini...
Ya, pagi ini ia mengirim utusan untuk memberitahunya semua
kegiatannya hari ini dibatalkan. Yang lebih keterlaluan, hari ini Quinn
melarangnya meninggalkan gedung Fyzool. Ia bahkan tidak
memperbolehkannya pergi ke lantai dasar Istana. Untuk memastikan ia
menuruti segala perintahnya, Quinn menempatkan lebih selusin pengawal
di sisinya. Eleanor lelah diperlakukan seperti kriminal kelas atas!
Tak peduli ke mana pun kakinya melangkah, lusinan pengawal itu
mengikutinya! Tak peduli ke mana kakinya berbelok, Nicci akan selalu
bertanya, "Anda akan pergi ke mana, Paduka Ratu?"
Eleanor murka! Sudah cukup perlakuan ini!
"Paduka Ratu, Anda mau ke mana?" Nicci menahan Eleanor.
"Aku akan membuat perhitungan dengan pria egois itu!" Eleanor
melepaskan diri dari Nicci. "Aku menuntut penjelasan darinya!!" Dan
tanpa menghiraukan cegahan Nicci, Eleanor berlari ke Ruang Kerja Quinn.
Eleanor yakin pemuda itu ada di sana.
"Paduka Ratu, Anda tidak boleh meninggalkan lantai ini!" Nicci berlari
mengejar. Dengan panik ia berkata pada pasukan yang kebingungan,
"Cepat hentikan Paduka Ratu!"
Mereka langsung bergerak.
"Paduka!" "Paduka Ratu, jangan meninggalkan tempat ini."
"Paduka!" prajurit pengawal Eleanor beserta Nicci mengejar gadis itu.
-----0----- "Seperti yang Anda duga, Paduka," Jancer melaporkan hasil
penyelidikannya, "Kejadian kemarin bukan murni kecelakaan. Sang
pemilik kuda mengatakan ia tengah beristirahat ketika kudanya tiba-tiba
menjadi liar. Ketika kami memeriksa kuda tersebut, kami mendapati luka
baru di tubuhnya. Tampaknya ada seseorang yang sengaja melukainya."
Duke Bernard terperanjat mendengar penjelasan itu.
Sementara itu Quinn terus mendengarkan kelanjutan laporan Jancer
dengan serius. "Kemarin mata-mata kami melihat Duchess Pittler menemui seorang pria
di Dristol." Tepat seperti yang pernah dikatakan Eleanor.
"Mereka tidak mendengar pembicaraan Duchess namun mereka berhasil
mengetahui siapa pria yang ditemui Duchess. Pria itu adalah kriminal
yang paling ditakuti di Loudline."
"Paduka, ini...," Duke Bernard tidak dapat mengutarakan kekagetannya.
Quinn memilih untuk tidak berkomentar. "Terus awasi mereka," katanya.
"Dan perketat penjagaan Eleanor."
Duke melihat Quinn dengan menekan segala pertanyaan di hatinya.
"Paduka, maafkan kelancangan saya," Jancer mengajukan pendapat,
"Anda memusatkan pengawalan pada Paduka Ratu namun tidakkah lebih
baik bila penjagaan Anda juga diperketat?"
Quinn terkejut. Sejak kemarin ia hanya memikirkan keselamatan Eleanor.
Sedikit pun tidak terlintas dalam benaknya mungkin sasaran mereka
adalah dirinya bukan Eleanor.
"Lakukan apa yang kuperintah," Quinn memilih untuk melindungi Eleanor
daripada mementingkan keselamatannya sendiri.
"Baik, Paduka" Jancer pun mengundurkan diri.
Jancer baru saja akan membuka pintu ketika seseorang membuka pintu
dengan kasar. "QUINN!" Eleanor melangkah dengan api kemarahannya yang membara.
"Aku butuh penjelasanmu!"
"Apa yang kaulakukan di sini!?" api kemarahan Quinn pun turut
membara. "Katakan apa maksud semua ini!" Eleanor menuntut. "Apa maksudmu
memperlakukan aku seperti tahanan!!?"
"Apa yang kau lakukan di sini!?" Quinn mengulangi pertanyaannya
dengan nada tinggi. "Beraninya kau meninggalkan kamarmu!" Lalu
matanya menatap tajam orang-orang yang memasuki ruangan beberapa
saat kemudian. "Apa yang kalian lakukan!" Apa kalian sudah melupakan
tugas kalian!!?" "Ma-maafkan kami, Paduka," Nicci langsung berlutut diikuti pengawalpengawal
Eleanor, "Kami sudah berusaha mencegah Paduka Ratu."
Quinn kesal pada dirinya sendiri. Mengapa ia melupakan kekeraskepalaan
Eleanor" Seharusnya ia sudah tahu seluruh prajurit Viering tidak akan
dapat menahan gadis satu ini. Eleanor adalah orang pertama yang akan
memprotes keputusannya. Tetapi demi keselamatan Eleanor, Quinn
sanggup menanggung kekesalan Eleanor. Quinn memilih dibenci Eleanor
daripada kehilangan Eleanor.
"Demi keselamatan kita, pertemuan pagi ini terpaksa dibatalkan," Quinn
menjelaskan dengan tenang.
"Tetapi," bantah Eleanor, "Mereka telah merencanakan pertemuan ini
sejak lama. Mereka bahkan terus menerus meminta kesediaan kita sejak
awal bulan ini." "Mata-mataku menangkap kegiatan mencurigakan di Arsten."
"Itu adalah gosip," lalu Eleanor menekankan, "Katamu."
Quinn membelalak. Matanya menatap tajam gadis itu seolah-olah ingin
mencabik-cabiknya menjadi serpihan-serpihan kecil.
Eleanor tidak gentar. "Katakan saja sejujurnya padaku bila kau tidak
tertarik pergi ke sana. Aku tetap akan pergi ke sana walau tanpamu."
"KAU TIDAK AKAN PERGI KE MANA PUN HARI INI!" Quinn menggebrak
meja. Semua terperanjat. Eleanor menantang kemurkaan Quinn itu. "Kita sudah berjanji pada
mereka. Apakah kau ingin kau mengingkari aku juga janjiku!" Apakah
kau mau mengatakan seorang Ratu diijinkan untuk mengingkari janjinya
pada rakyat?" "Cukup, Eleanor!" Quinn geram. "Hari ini aku tidak mau mendengar
bantahanmu." "Kau tidak bisa melarangku!" Eleanor menegaskan, "Aku mempunyai
tangan dan kaki. Aku bisa menggerakkannya semauku tanpa menunggu
ijinmu!" Quinn kehabisan kata-katanya.
Eleanor tidak menanti lebih lama lagi untuk sambutan Quinn.
"Kau tidak akan meninggalkan Istana hari ini!" Quinn berseru murka
ketika Eleanor melangkah ke pintu. "Tahan dia!"
"Kau tidak bisa melarangku!" Eleanor berseru keras kepala.
"Apalagi yang kalian tunggu, tahan dia!" Quinn berseru murka pula
melihat pengawal-pengawal Eleanor hanya berdiri kebingungan. "Apa
kalian lupa apa tugas kalian!!?"
"B-baik, Paduka," para prajurit itu gugup. "Maafkan saya, Paduka Ratu,"
dua dia antara mereka mencekal tangan Eleanor.
Mata Eleanor membelalak lebar kepada dua prajurit yang memegang
tangan kanan dan kirinya itu. "Lepaskan aku!" ia memberontak.
"Bawa dia ke kamarnya!" Quinn menurunkan perintah, "Tanpa seijinku, ia
tidak boleh meninggalkan kamar."
"Kau tidak akan melakukan itu!" Eleanor terperanjat.
"Apa kalian tidak mendengar perintahku!!" Quinn murka melihat para
prajurit itu tetap tidak bergerak.
"Kau tidak bisa mengurungku!" Eleanor berseru marah, "Aku bukan
tawananmu! Engkau egois, Quinn. Kau pengecut! Jangan kau kira aku
mau melahirkan keturunanmu."
"Tutup mulutmu, Eleanor!" bentak Quinn, "Aku tidak mau mendengar
apapun!" lalu kepada para pengawal Eleanor, ia berkata keras, "Bawa dia
pergi! Jangan sampai aku melihatnya lagi!"
"B-baik, Paduka," para prajurit itu menyadari keseriusan perkataan
Quinn. "Dan kau, Nicci," Quinn beralih pada wanita yang gemetar ketakutan itu,
"Jaga dia baik-baik. Jangan sampai ia berani melangkahkan kaki keluar
kamarnya." "Saya mengerti, Paduka."
Mereka tidak membuang waktu untuk membawa Eleanor meninggalkan
ruangan itu. "Lepaskan aku! Lepaskan!"
Berontakan kemarahan Eleanor terdengar nyaring ketika mereka
membawa paksa Eleanor kembali ke kamarnya.
Ketika seruan-seruan itu menghilang, tidak seorang pun berani membuka
suara. Bahkan Jancer, yang semua berniat meninggalkan ruangan itu
tidak berani bergerak. Mereka memperhatikan Quinn namun tidak
seorang pun yang berani menatap langsung sepasang mata yang
berkobar penuh kemarahan itu.
Sepuluh menit belum berlalu ketika terdengar langkah-langkah kaki
mendekat dengan tergesa-gesa.
Bernard melihat bara di mata Quinn kian membara ketika seorang prajurit
muncul dengan wajah pucat diiringi Nicci, pelayan pribadi Eleanor.
Mereka segera berlutut di depan Quinn yang masih belum bergerak
semenjak kepergian Eleanor.
"M-maafkan kami, Paduka," terdengar suara ketakutan prajurit itu, "P-papaduka
Ratu... bbbeliau..."
Semua langsung sadar sesuatu telah terjadi pada Paduka Ratu mereka.
Tidak seorang pun berani bergerak dalam suasana sunyi yang
menegangkan itu. Semuanya berusaha menghindari pandangan murka
Quinn. "E...lea...nor...!" tangan Quinn terkepal erat.
Prajurit itu tidak berani melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk dalamdalam.
"Apa yang kau tunggu?" akhirnya Quinn mengeluarkan suara, "Cepat
kawal Eleanor." Nicci tertegun. "Paduka, apakah...," Nicci tidak berani melanjutkan
pertanyaannya. "Apa lagi yang kalian tunggu!!!?" Quinn kesal, "Eleanor tidak akan
menunggu kalian!" "B-baik, Paduka," mereka langsung berbalik.
"Tunggu!" Quinn menghentikan langkah mereka.
Para prajurit itu melihat Quinn dengan bingung.
"Lepas seragam kalian sebelum berangkat!" kata Quinn.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Paduka," para prajurit itu menerima perintah Quinn dan langsung
bergegas mengejar Eleanor.
Quinn duduk kembali di kursinya dan mendesah panjang. Ia benar-benar
dibuat lelah oleh Eleanor.
Eleanor memang bukan lawan yang mudah dihadapi. Ia membutuhkan
lebih dari satu kepala untuk memikirkan Eleanor. Ia membutuhkan lebih
dari sepuluh badan untuk menghentikan gadis liar itu. Tetapi itulah yang
menarik perhatiannya, bukan"
Grand Duke tertegun melihat Quinn yang seperti pria kelaparan yang
baru pulang dari perang besar. Ia tidak pernah melihat pemuda ini seperti
ini. Sesulit apa pun masalah yang dihadapinya, seletih apa pun kerjanya,
ia tidak pernah melihat pemuda ini tidak bertenaga seperti ini.
Tampaknya Quinn sangat serius dalam mencegah Mathias naik tahta.
BAB 24 Simona marah. Mathias memang seorang pria penakut yang tidak berguna!
Quinn sudah jelas akan melakukan segala cara untuk mencabut haknya
sebagai ahli waris kerajaan tetapi Mathias tetap tidak khawatir.
Quinn sudah pasti tidak akan melakukan apa pun terhadap satu-satunya
penerusnya, tetapi ia tetap takut pada Quinn dan juga gadis ingusan itu!
Simona mengakui ia sempat panik mendengar gosip kehamilan gadis itu.
Kemarin setelah melihat Eleanor, ia yakin gadis itu tidak hamil!
Simona bukan orang yang buta dalam hal ini. Ia sudah beberapa kali
hamil. Tentu saja, ia tidak membiarkan janinnya terus tumbuh. Simona
tidak mau kehilangan kemolekan tubuhnya sebelum ia berhasil
membenahi kehidupannya. Sekarang setelah ia berhasil mencapai
kedudukanya ini pun, ia tidak mau mengorbankan tubuh moleknya yang
menggoda pria mana pun hanya untuk seorang anak ingusan!
Ini bukan akhir dari ambisinya! Ini adalah langkah pertamanya untuk
mencapai ambisinya! Ia dengan tidak mudah mendapatkan posisinya saat ini. Ia juga tidak
akan membiarkan orang lain dengan mudahnya merusak kehidupannya
termasuk Mathias, alat menuju puncak kejayaan di Viering!
Mathias memang tidak berguna! Ia sudah tahu membunuh kedua batu
halangan terbesar mereka adalah jalan paling cepat untuk mencapai
puncak kekuasaan Viering, tetapi ia tidak berani! Simona sudah
mengatakan ia akan megnatur semuanya. Ia tidak akan berbuat bodoh
dengan membuat orang lain mengetahui perbuatan mereka, tetapi
Mathias tetap takut! Simona sudah lelah dengan suami penakutnya.
Kemarin Mathias langsung kabur ketika Simona memintanya
memanfaatkan pertengkaran Quinn dan Eleanor. Melihat pertengkaran
yang tidak terduga itu, Simona melihat ini adalah kesempatan emas
untuk menutupi perbuatan mereka. Simona berniat membuat peristiwa
pembunuhan Eleanor seolah-olah dikarenakan kekesalan Quinn pada
istrinya. Bila rencana itu berhasil, Mathias harus berpura-pura sebagai
saksi mata. Dengan kuasanya sebagai penerus tahta Viering, Mathias bisa
menjebloskan Quinn ke dalam penjara dengan tuduhan pembunuhan.
Rencana itu begitu sempurna! Sayangnya, Mathias tidak berani. Maka
Simona terpaksa mengubah rencananya.
Ketika melihat Eleanor akhirnya masuk ke arena perburuan, Simona
melihat adanya kesempatan untuk membunuh gadis itu. Dengan tidak
mudahnya kesempatan itu tiba. Sialnya, nasib baik gadis itu
menyelamatkannya. Simona geram. Apa dasar Mathias mengatakan dua orang itu tidak akan
muncul di pesta rakyat hari ini"
Simona tidak tuli. Dari jauh-jauh hari ia sudah mendengar Raja Quinn
akan menghadiri pesta rakyat di Pittler bersama istrinya. Ini adalah
kesempatan bagus untuk menghabisi mereka! Di antara kerumunan
orang banyak, siapa yang dapat melihat orang yang membunuh Eleanor"
Siapa yang dapat melihat kemunculan anak panah ke jantung Eleanor"
Walau Mathias tidak mau membantunya, Simona masih bisa
melaksanakan rencananya. Todd sudah mencari orang-orang untuk
membantunya menjalankan rencananya ini. Mathias tidak dapat
diandalkan tetapi Todd sangat dapat diandalkan. Tidak ada ruginya
Simona tidur dengannya. Sinar terang pedang keluarga Soyoz di bawah sinar mentari menarik
perhatiannya. Simona tersenyum licik. Gadis ingusan itu boleh tertawa senang tetapi ia
tetap harus sadar ia tidak lebih dari alat penghasil bayi Quinn. Eleanor
bukan apa-apa dibandingkan keluarga Soyoz!
Simona meraih pedang itu.
"Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?" seorang pelayan mencegah.
"Lepaskan tangan kotormu!" bentak Simona tidak senang, "Beraninya kau
melarangku! Kau pikir siapa kau!?"
"Maafkan kelancangan saya," terdengar jelas pelayan itu tidak sudi
mengucapkannya. "Dasar pelayan tidak berguna!" umpat Simona, "Sekali lagi kau berani
membantahku, aku akan mengirimku keluar dari sini!"
Pelayan itu pergi meninggalkan Simona dengan mengomel.
"Semuanya sama saja!" Simona kesal.
Mereka semua iri padanya. Mereka tidak mau mengakui usaha kerasnya.
"Semuanya akan segera berubah," Simona tertawa puas.
-----0----- Eleanor tertawa geli melihat pengawal-pengawalnya yang kewalahan
menerobos keramaian. Eleanor yakin mereka telah diperintahkan Quinn
untuk membawanya pulang. Tetapi siapa yang saat ini mau pulang"
Dengan tidak mudahnya ia datang ke tempat ini. Eleanor tidak pernah
berada dalam pesta rakyat seperti ini. Ia masih ingin menghabiskan
waktu Ia tidak pernah melihat orang-orang berkumpul di suatu sisi hanya
untuk mendengarkan nyanyian penyair ataupun memainkan permainan
yang unik. Ia juga tidak pernah melihat pertunjukan-pertunjukan yang
mereka mainkan di tepi jalan.
Ia begitu sibuk memperhatikan keramaian sehingga ia menabrak
seseorang. "Ma-maafkan saya," Eleanor cepat-cepat meminta maaf.
"Eleanor, mengapa kau ada di sini?" Seb bertanya heran.
Eleanor kaget melihat pemuda itu. "Seb!" serunya riang, "Tak kusangka
akan bertemu denganmu. Angin apa yang membawamu ke sini?"
"Aku berasal dari Pittler."
"Benarkah!?" senyuman Eleanor kian lebar, "Itu artinya kau bisa
membawaku berkeliling!"
"Tentu saja. Tapi..."
Eleanor bersorak gembira karenanya. "Ayo kita pergi," ia menarik lengan
Seb, "Cepat! Cepat!"
Seb kalah oleh Eleanor. Ia membiarkan Eleanor menariknya ke mana pun
ia ingin. "Lihat, Seb! Lihat orang itu! Apa yang dia bawa di punggungnya!" Eleanor
menunjuk seorang pria yang memanggul sebuah karung besar di
punggungnya. "Lihat! Lihat!" ia mengalihkan perhatiannya pada seorang
pria yang mempertunjukkan keahliannya melempar beberapa pisau
sekaligus ke udara. "Eleanor, tampaknya kau benar-benar menyukai festival ini."
"Tentu saja. Ini pertama kalinya aku datang ke festival seperti ini. Papa
tidak pernah mengijinkanku keluar rumah. Ia terlalu melindungiku. Quinn
juga begitu. Memangnya dia itu siapa!" Dia sama sekali tidak berhak
melarangku keluar rumah."
Eleanor menyadari amarahnya kembali membara ketika melihat ekspresi
wajah Quinn berubah. "Ah, maaf," Eleanor menyesal, "Tidak semestinya
aku..." "Tidak mengapa," Seb memahami. "Suamimu benar-benar mencintaimu."
"Siapa yang mengatakannya!?" lagi-lagi emosi Eleanor membara, "Dia..."
Eleanor menyadari emosinya kembali membara. Otaknya berputar cepat
mencari topik pembicaraan lain.
"Lihat, Seb," Eleanor menarik pemuda itu ke kerumunan di depan, "Apa
yang mereka jual di sana?"
Lagi-lagi Seb kalah oleh Eleanor.
"Seb, siapakah gadis yang kaubawa itu" Apa ia adalah kekasihmu?"
Langkah mereka terhenti oleh panggilan itu.
"B-bukan," wajah Seb merah padam. "I-ia adalah..."
Eleanor melihat orang yang barusan memanggil Seb itu. "Mrs.
Brandrick!?" pekik Eleanor senang, "Mengapa Anda ada di sini?"
"Eleanor?" wanita kurus itu kaget melihat Eleanor. "Mengapa kau ada di
sini?" "Apakah Anda juga berasal dari Pittler?" Eleanor menanyai wanita tengah
baya itu dengan penuh antusias.
"Benar, aku berasal dari sini," jawabnya lalu ia mengulai pertanyaannya,
"Mengapa kau ada di sini" Bagaimana dengan pekerjaanmu" Apakah
Vicenzo juga datang?"
"Tidak, aku datang sendirian," mata Eleanor melirik keramaian. Hatinya
tertawa puas menyadari tidak seorang pasukan Keamanan Istana terlihat.
"Baru kali ini aku melihatmu tanpa baju pelayan," lanjut Mrs. Brandrick
pula, "Darimana kau mendapatkan gaun ini?" ia menyentuh gaun coklat
muda Eleanor. Eleanor terperanjat. "I-ini pemberian Tuan Puteri," Eleanor berbohong.
Dalam hatinya ia mengumpat memarahi Quinn. Ini semua karena pemuda
itu ia tidak sempat mengganti gaunnya dengan gaun yang lebih pantas.
Para prajurit itu menyeretnya dengan paksa hingga ke dalam kamarnya.
"Lepaskan aku!" Eleanor menyentakkan lengannya dengan keras begitu ia
telah memasuki kamarnya. "Maafkan kami, Paduka Ratu," kata mereka lagi, "Kami hanya menuruti
perintah." Eleanor sama sekali tidak mau melihat mereka.
"Kami akan berjaga-jaga di luar. Bila Anda memerlukan sesuatu, Anda
bisa memanggil kami kapan saja," mereka mengundurkan diri.
Eleanor melangkah dengan kesal ke lemari bajunya.
"Paduka, apa yang Anda lakukan?" Nicci cepat-cepat mencegahnya
dengan panik. "Aku mau mandi!" Eleanor membuka pintu lemari bajunya lebar-lebar.
"Pemuda egois itu benar-benar menyebalkan! Pikirnya dia itu siapa"
Jangan harap aku akan melahirkan keturunannya. Mati pun aku tidak
mau." Nicci diam memperhatikan Eleanor membongkar isi lemari bajunya.
"Mengapa tiap hari aku harus berhubungan dengan pemuda sial itu!?"
Eleanor terus menggerutu, "Benar-benar menjijikan! Aku ingin sekali
mencincangnya dan membuangnya ke laut. Lihat saja! Begitu ada
kesempatan aku akan melakukannya!"
Nicci lega melihat Eleanor terus membongkar isi lemari bajunya -
mencari-cari gaun baru. Ia yakin majikannya saat ini ingin mandi untuk
mendinginkan kepalanya yang panas. "Saya akan meminta pelayan
menyiapkan air mandi Anda," katanya mengundurkan diri.
Eleanor tidak menyahut. Ia terus menyibukkan diri dengan gaungaunnya. Namun ia
langsung bersorak senang ketika mendengar pintu
tertutup. Eleanor tidak perlu memeriksa pintu karena ia yakin Nicci telah mengunci
pintu untuk memastikan ia tidak keluar. Itu membuatnya kian marah
pada Quinn. Quinn bukan saja telah merampas kebebasannya tapi juga
orang yang dipercayainya.
Eleanor segera memanfaatkan waktu untuk kabur. Ia merayapi dinding
luar Fyzool dari balkonnya menuju serambi lain yang dekat dengan
pohon. Dari sana, ia memanjat pohon ke lantai dasar kemudian berlari ke
istal kuda. Tak seorang pun memergokinya ketika ia melarikan kuda ke Pittler.
Namun Eleanor yakin Quinn akan mengirim pasukan untuk membawanya
pulang dengan paksa segera setelah ia mengetahui kepergiannya ini.
Eleanor menangkap sosok-sosok yang dikenalinya dengan baik di dalam
lautan manusia. Para pasukan Keamanan Istana itu terperanjat menyadari Eleanor tengah
tersenyum penuh kepuasan kepada mereka.
"Paduka Ratu...," desah mereka kehabisan kata-kata.
Beberapa saat lalu mereka sempat panik melihat Eleanor ditarik seorang
pemuda. Mereka pasti sudah membongkar penyamaran mereka bila
Pedro tidak segera mencegah.
"Tunggu dulu," katanya, "Pemuda itu tidak berbahaya. Ia adalah teman
Ratu. Lihatlah." Mereka memahami perkataan Pedro ketika melihat Eleanor berbicara
dengan gembira kepada pemuda itu.
"Sekarang aku mengerti mengapa Paduka sangat mencemaskan Paduka
Ratu," seorang prajurit melihat Eleanor yang sekarang sudah dikelilingi
orang-orang. "Paduka Ratu memang seorang gadis yang menawan," prajurit yang lain
sependapat. "Sekarang aku juga mengerti mengapa Grand Duke memilihnya," prajurit
lain berkomentar melihat Eleanor sudah membaur dengan rakyat.
Pedro tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Ia juga satu di antara
orang-orang yang sempat menyangsikan keputusan Grand Duke. Namun
setelah beberapa hari mengawal Eleanor ke Loudline, ia memahami
keputusan Grand Duke tersebut.
"Untuk saat ini sebaiknya kita mengawasi Paduka Ratu dari kejauhan,"
kata Pedro, "Aku yakin beliau tidak akan senang bila kita berada di
sekitarnya." "Aku sependapat denganmu," kata yang lain.
"Apa yang sedang kaulihat, Eleanor?" Seb memecah perhatian Eleanor.
"Tidak ada." "Di mana suamimu?" tanya Mrs. Brandrick, "Tak kusangka ia
mengijinkanmu keluar sendirian."
"Benar. Ia tampaknya tidak suka kau berteman dengan kami," kata yang
lain. Eleanor hanya tertawa. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya
kepada mereka. "Ia tidak punya alasan melarangku. Hari ini aku tidak punya tugas,"
katanya. Ya, Quinn telah membatalkan semua kegiatannya hari ini. Eleanor yakin
pemuda itu akan membatalkan semua kegiatannya dan mengurungnya di
dalam kamar hingga ia melahirkan keturunannya.
"Untuk kau bisa hamil," jari-jari Quinn menyentuh bibirnya, "Kita harus
melakukan lebih dari ini."
Wajah Eleanor merah padam teringat akan cumbuan Quinn di suatu
malam. "Eleanor, apa yang kaulakukan?" Seb menghentikan langkahnya, "Kami
tidak akan menantimu."
"Tunggu aku," Eleanor segera mengikuti mereka.
Seseorang menarik tangan Eleanor dan tangan yang lain membungkam
mulutnya. Eleanor terkejut. Ia berusaha melepaskan diri dari tarikan kuat itu.
Matanya melihat kepergian Seb dan Mrs. Brandrick beserta kawankawannya dengan
panik. Ia berteriak memanggil pemuda itu namun kain
yang menutupi mulutnya, meredam suaranya. Eleanor memberontak
tetapi kesadarannya yang kian kabur tidak mengijinkannya.
Ketika membuka matanya kembali, Simona sudah berdiri di depannya
dengan senyum puas. Di sisinya, berdiri pria yang dilihat Eleanor
bersamanya di kota, Todd.
"Bagaimana rasanya, gadis ingusan?"
Eleanor sadar tangannya terikat erat di belakang punggungnya. Kakinya
pun terikat erat dan sebuah kain menutupi mulutnya.
"Aku sudah lama menanti saat ini."
Mata Eleanor melotot tajam. Mulutnya menuntut penjelasan namun yang
keluar hanyalah gerangan-gerangan tidak jelas.
"Apa?" Simona mendekatkan telinganya, "Apa katamu" Aku tidak
mengerti bahasa monyet." Dan ia tertawa geli.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eleanor mengangkat kakinya menghantam kaki Simona.
Simona menjerit kesakitan. "KAU!!!" ia menghunuskan pedangnya.
"Simona!" Todd menahan, "Sabar. Jangan terburu-buru! Apa gunanya
kita membawanya ke sini kalau bukan untuk menikmati kematiannya."
Simona menurunkan pedangnya.
Eleanor berusaha sekuat tenaga memuntahkan kain yang menyumpal
mulutnya. Simona membungkukkan badan. "Katakan bagian mana yang harus
kuambil dulu," ia membelai wajah Eleanor dengan ujung pedangnya yang
tajam, "Wajahmu yang cantik ini atau," ia melihat bibir Eleanor, "Mulutmu
yang tajam ini." Eleanor meludahkan kain di mulutnya ke wajah Simona.
Simona murka. "Aku akan membunuhmu!"
"Berhenti, Simona!" Todd menahan wanita itu tepat sebelum ia
menusukkan pedangnya di perut Eleanor.
"Aku akan membunuh gadis ingusan ini! Aku akan menghancurkan siapa
pun yang menghinaku."
"Kau memang patut mendapatkannya." Eleanor memutar otak untuk
mengulur waktu sementara ia berusaha melepaskan ikatan di tangannya.
"Apa yang kau mengerti, gadis ingusan!" Apa yang kalian orang kaya
mengerti!?" Simona membentak histeris, "Kalian hanya mengerti
menertawakan orang miskin. Kalian tidak peduli pada orang-orang di
sekitar kalian. Yang kalian mengerti hanyalah bagaimana mengumpulkan
kejayaan. Kalian sama sekali tidak mengerti usahaku untuk mencapai
kejayaan. Kalian hanya bisa menertawakanku, memandang rendah
padaku!" "Kaulah yang tidak mengerti," Eleanor memberitahu, "Kau tidak mengerti
bagaimana menjadi seorang bangsawan. Selamanya kau tidak pantas!"
"DIAM!!!" Simona menerjang Eleanor.
Eleanor cukup siaga untuk menghindar. Ia memanfaatkan waktu yang
sangat singkat itu untuk memotong ikatan tali di tangannya dengan
pedang Simona yang tertancap di sisinya.
"Semua sama saja! Semua sama!"
Eleanor tertegun melihat air mata Simona menetes.
"Apa kau mengerti bagaimana rasanya diusir dari satu tempat ke tempat
lain" Apa kau tahu bagaimana memohon bantuan orang lain" Apa kau
pernah merasakan hari-hari tanpa makanan" Tidak ada seorang pun yang
peduli pada kami. Tidak seorang pun mau membantu orang tuaku.
Mereka hanya bisa mengusirnya. Mereka bahkan membiarkan jasadnya
membusuk di pinggir jalan. Sekarang aku telah menjadi seorang Duchess
tetapi semua orang tetap saja memandang rendah padaku. Kaya miskin
semua sama saja! Tidak ada yang mengerti usaha kerasku. Setiap orang
hanya bisa iri padaku!"
Tiba-tiba Eleanor merasa kasihan pada Simona. Ia memahami segala
tindakan Simona yang begitu sombong pada bangsawan-bangsawan yang
lain. Namun ia tidak memahami penyebab di balik semua ini.
"Engkau tidak mengerti," Eleanor bersimpati, "Tindakanmu sendirilah
yang menyebabkan semua ini!"
"Ini semua karena kau! Kalau kau tidak ada maka aku akan menjadi
Ratu!" "Jadi itukah rencanamu sekarang" Setelah menjadi Duchess, engkau ingin
menjadi Ratu." "Benar," Simona menegaskan, "Aku tidak akan membiarkan seorang pun
menghalangiku!" Eleanor tetap berpura-pura tangannya terikat erat. Matanya melihat
sosok besar Todd di belakang Simona. Eleanor sadar ia bisa menjatuhkan
Simona tetapi ia tidak yakin ia bisa menjatuhkan pria besar itu. Sekarang
ia hanya berharap pria itu segera meninggalkan mereka.
"Aku benar-benar kasihan padamu," Eleanor mengejek Simona, "Kau
telah dikuasai oleh ambisimu."
"Tutup mulutmu!" Simona menampar Eleanor. "Engkau memang tidak
mengerti aturan, bukan" Engkau memang seorang monyet!"
"Setidaknya aku masih seorang Ratu," Eleanor puas oleh kenyataan.
"Tidak lagi. Engkau tidak lagi menjadi seorang Ratu. Aku akan
memancing Quinn keluar dan setelah itu aku akan menghabisi kalian
berdua." Eleanor terperanjat, "Engkau benar-benar gila."
"Katakan apa yang kausuka," Simona tertawa.
Eleanor memperhatikan wanita itu tertawa histeris. Ia sungguh kasihan
pada Simona. Sebenarnya ia adalah seorang wanita yang cantik namun
ambisi telah mengubahkan menjadi seorang iblis.
Tidak! Tidak ini tidak benar! Ia tidak punya waktu berbelaskasihan. Ia
harus mencari cara meninggalkan tempat ini. Ia harus memperingati
Quinn. Mereka tidak boleh menyentuh Quinn.
"Todd! Todd!" Terdengar suara seseorang memanggil di luar.
Todd meninggalkan kedua wanita itu.
"Bukannya sudah kukatakan jangan tinggalkan tempat itu!" Todd
membentak. "Apa kau tidak mendengar perintahku!"
Tidak terdengar suara apa pun.
"Kau memang tidak berguna!" Todd mengumpat.
Sesaat kemudian pria besar itu masuk kembali.
Dari balik tubuh Simona, Eleanor melihat seorang pria lain berdiri di
depan pintu rumah kecil ini.
Todd membisikkan sesuatu di telinga Simona.
Eleanor ingin tahu apakah yang dikatakan pria itu pada Simona hingga
Simona terlihat begitu murka.
"Aku akan memeriksa keadaan. Tetaplah di sini," Todd berpesan, "Aku
akan segera kembali."
Todd pergi bersama pria yang terus menanti di depan rumah.
Inilah kesempatannya! Eleanor harus mencari cara untuk menjatuhkan
Simona. Sekarang tangannya terbebas tapi kakinya tidak. Selain itu
Simona memegang pedang. Andaikan saja ia bisa merebut pedang itu...
"Dasar pria tidak berguna! Kalian sama saja!" Simona pun beranjak pergi.
Tidak! Ia tidak ada waktu lagi! Eleanor menerjang Simona.
Simona jatuh terjerembab di bawah Eleanor.
Eleanor menggunakan tangannya yang bebas untuk merebut pedang di
tangan Simona. "Apa yang kaulakukan!?" Simona mendorong Eleanor menjauh dengan
kakinya. Eleanor terlempar ke dinding. Ia mengerang kesakitan.
"Engkau memang mencari mati!" Simona mengangkat pedangnya tinggitinggi.
Eleanor kaget. Ia tidak punya kesempatan untuk menghindar. Teriakan
kesakitannya melepas begitu saja ketika pedang itu menusuk perutnya.
Eleanor menahan pedang itu dengan tangan kosong dan dengan seluruh
kekuatannya melemparkan kakinya ke perut Simona.
Simona jatuh kesakitan. Sekali lagi jeritan kesakitannya melompat ketika ia menarik pedang di
perutnya. Eleanor tidak membuang waktu untuk melepas ikatan tali di
kakinya. Kemudian sekuat tenaganya, ia menghantamkan pangkal
pedang ke perut Simona untuk membuatnya pingsan. Telapak tangannya
yang berdarah terasa semakin perih ketika ia memegang pangkal pedang
itu erat-erat. Eleanor berjalan tertatih-tatih ke pintu belakang yang terbuka.
"Simona! Simona!"
Eleanor terkejut. "Simona, apa yang terjadi?"
Eleanor sadar ia tidak punya banyak waktu. Ia harus segera menjauhi
gubuk ini. "Gadis itu kabur! Cepat kejar gadis itu!"
"Gadis itu pasti tidak jauh!"
"Ikuti jejak darah gadis sial itu!" perintah Simona.
"Jejak apa yang harus kuikuti" Di luar hujan deras."
"Sial!" umpat Simona, "Mengapa di saat seperti ini harus turun hujan!?"
Eleanor berlari ke dalam hutan. Ia tidak berani membuang waktu dengan
memastikan keberadaan pengejarnya. Ia tidak berani membuang waktu
untuk merasa kesakitan. Saat ini ia hanya punya waktu untuk berlari
secepat mungkin, sejauh mungkin dari para penyekapnya.
Kaki Eleanor tersangkut sesuatu. Tanpa bisa dihindari lagi, Eleanor jatuh
tersungkur. Eleanor meringis kesakitan menahan perutnya yang menghantam tanah
tak rata itu. Eleanor menancapkan pedang di tanah dan berusaha untuk bangkit.
Belum sampai sedetik ia berlutut, ia jatuh tersungkur kembali.
Eleanor lelah. Seluruh tenaganya sudah habis untuk menahan sakitnya.
Eleanor menoleh ke belakang sekali lagi.
Hujan lebat yang tiba-tiba membasahi bumi membuat Eleanor tidak dapat
melihat kejauhan dengan jelas. Ia juga tidak dapat mendengar tapak kaki
dalam deru hujan yang mengguyur bumi itu.
Eleanor melihat sekitar - mencari tempat yang aman untuk berhenti
sejenak. Matanya melihat sebuah lubang di sebatang pohon besar yang tua.
Sekali lagi Eleanor berusaha bangkit dengan bantuan pedang yang
ditancapkannya jauh ke dalam perut bumi. Dengan tertatih-tatih Eleanor
berjalan ke lubang itu sambil memegangi perutnya yang terus
mengeluarkan darah. Eleanor merasa seluruh tenaganya sudah hilang. Ia langsung
menyandarkan diri di dalam lubang itu dan beristirahat.
Ia sudah tidak kuat lagi.
Pandangannya mengabur. Kepalanya pening. Sakit yang menyiksa di
perutnya sudah tak terasa lagi. Darah merah yang terus mengalir keluar
tanpa dapat dihentikan membuatnya merasa kian lemah.
Eleanor melihat angkasa asal hujan itu dan berharap seseorang akan
menemukannya. Tetapi... siapakah itu"
Terlintas wajah berang Quinn pagi ini.
Eleanor tersenyum sedih. Pemuda itu mungkin tidak akan mencarinya. Apalah artinya ia selain pion
pentingnya untuk menghentikan langkah Mathias menuju tahta"
Pemuda itu tidak akan tertarik untuk menemukannya. Ia adalah satusatunya makhluk
yang paling tidak disukainya di bumi ini. Ia adalah
pelacur kelas atas yang tidak ingin disimpannya di dalam istananya yang
agung dan suci. Eleanor mencibir mengingatnya.
Pemuda itu mengira siapakah dirinya"
Benar ia adalah orang yang paling berkuasa di Viering. Benar ia adalah
Yang Mulia Paduka Raja Kerajaan Viering. Benar ia adalah suaminya.
Tetapi apakah haknya untuk mengatur dirinya"
Tiba-tiba saja Eleanor menyesal. Andai saja pagi ini ia tidak bersikeras
sekarang ia sedang menikmati kenyamanan istana. Andai saja ia
mengalah pada Quinn, ia tidak akan berada dalam hujan lebat,
kedinginan dan kesakitan seperti ini. Andai saja ia tidak mendengar
kemurkaannya sendiri, ia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan
dirinya sendiri. Tetapi semua itu hanyalah andai.
Andai... Telinga Eleanor menangkap suara asing. Seketika ia menggenggam
pedangnya erat-erat dan bersiaga.
Sesuatu melompat mendekat.
Eleanor langsung menghunuskan pedangnya.
Seekor katak menatapnya lalu ia meloncat menjauh.
Eleanor menghela nafas lega dan menurunkan pedangnya.
Otak bawah sadarnya mengingatkannya akan kemungkinan kemunculan
para penculiknya. Eleanor tahu ia tidak bisa berdiam diri di sini.
Ia kembali bertumpu pada pedangnya dan berusaha berdiri. Dengan
tertatih-tatih, Eleanor melanjutkan perjalanan panjangnya.
Eleanor tidak tahu ke mana ia harus melangkah. Ia tidak tahu sekarang ia
berada di mana. Ia tidak mengenal tempat ini. Ia hanya tahu ia harus
melangkah maju menjauhi rumah kecil itu.
Eleanor membiarkan kakinya melangkah. Belum jauh ia meninggalkan
lubang itu ketika ia kembali terjatuh.
Eleanor tidak mencoba berusaha untuk berdiri. Ia sudah terlalu lelah
untuk berjalan. Ia terlalu lelah untuk menggerakkan tubuhnya. Ia sudah
tidak mempunyai tenaga untuk berpikir. Ia juga tidak mempunyai tenaga
lagi untuk merasakan sakit di perutnya yang robek.
Di saat seperti ini Eleanor benar-benar mengharapkan Quinn muncul
dengan wajah garangnya. Eleanor tidak pernah menyukai Quinn. Ia membenci pemuda itu! Tetapi di
saat seperti ini ia benar-benar mengharapkan wajah garang Quinn. Quinn
memang suka mengejeknya tetapi setidaknya pemuda itu tidak pernah
benar-benar menyakitinya.
Pemuda yang sombong itu memperlakukannya dengan baik. Mulutnya
memang kasar tetapi sikapnya sangat terjaga.
Pemuda pemarah itu menghormati pernikahan mereka. Ia tidak pernah
lagi bermain-main dengan wanita lain semenjak pernikahan mereka. Ia
benar-benar menghormatinya.
Pemuda itu kasar, pemarah, suka memandang rendah orang lain, suka
mengejek orang lain, dan suka membangkitkan kemarahan orang lain.
Tetapi ia juga seorang yang tahu diri, sopan, dan kadang lembut.
Eleanor tertawa geli. Memang benar apa kata orang. Setiap orang barulah menyadari betapa
berharganya hidupnya ketika ia akan mati. Ketika kematian menjelang
barulah orang menyadari betapa pentingnya orang-orang di sekitarnya.
Ketika ajal di depan mata itulah orang baru menyesal.
Demikian pula Eleanor. Satu-satunya hal yang disesali Eleanor adalah
pertengkarannya dengan Quinn pagi ini. Eleanor tidak pernah berbaikan
dengan Quinn untuk setiap pertengkaran-pertengkaran mereka dan itulah
yang membuatnya semakin sedih.
"Maafkan aku, Quinn," bisik Eleanor lirih sambil berharap Quinn ada di
sisinya untuk mendengarnya.
Eleanor tidak dapat mengumpulkan konsentrasinya untuk mendengar
suara langkah kaki di kejauhan. Bahkan ia sudah tidak dapat lagi
mendengar deru hujan di sekitarnya.
Pandangan Eleanor semakin mengabur.
Eleanor sudah tidak peduli lagi. Ia sudah tidak peduli lagi bila mereka
menemukannya. Ia sudah berusaha untuk bertahan. Ia telah bertahan
hingga titik darah penghabisannya.
Biarlah Simona menemukannya. Biarlah para penculiknya itu
menangkapnya kembali. Eleanor sudah tidak peduli semuanya lagi karena
ia tahu ketika itu ia sudah tidak ada lagi di dunia ini.
BAB 25 Hujan deras mengguyur bumi. Udara yang dingin menaikkan kabut tipis
ke langit yang gelap. Di tengah suasana ini, Quinn bersama pasukannya mencari-cari Eleanor.
Pagi ini semenjak mengetahui Eleanor kabur, ia terus tidak bisa tenang.
Pikirannya kacau balau dan perasaannya terus tidak menentu.
Quinn terus mengatakan pada dirinya sendiri Eleanor akan baik-baik saja.
Semua yang dikatakan gadis itu belum tentu benar. Ia mengenal Mathias
lebih baik dari siapa pun. Selain itu di sisi Eleanor telah ada prajuritprajurit
terbaik Fyzool. Eleanor akan baik-baik saja.
Kepercayaan dirinya itu runtuh ketika mendengar laporan pasukan yang
mengikuti Eleanor. Pedro dan prajurit lainnya merasakan ketidakberesan ketika melihat Seb
mencari-cari Eleanor. "Eleanor, di mana kau?"
"Eleanor!" seru mereka mencari-cari gadis itu.
Mereka langsung bergerak mendekati kawanan itu. "Apa yang terjadi?"
tanya mereka, gusar "Di mana Paduka Ratu?"
"Katakan di mana Paduka Ratu?" seorang prajurit mencengkeram kemeja
Seb.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paduka Ratu?" Seb kebingungan.
"Katakan di mana Yang Mulia Paduka Ratu Eleanor!?""
Mata orang-orang itu kian melebar.
"Lepaskan dia," Pedro segera melangkah maju mengambil tindakan. Lalu
dengan suaranya yang tenang ia bertanya, "Bisakah Anda memberitahu
kami di manakah gadis muda yang beberapa saat lalu berada bersama
Anda, Tuan?" Seb langsung mengenali Pedro.
"Aku tidak tahu," jawab Seb, "Beberapa saat lalu ia masih ada di sini."
"Apa maksudmu tidak tahu!?" prajurit itu kembali emosi, "Apa yang akan
kaupertanggung jawabkan kalau terjadi sesuatu pada Paduka Ratu!?"
"Paduka Ratu?" Mrs. Brandrick juga semakin bingung.
"Paduka Ratu pasti masih tidak jauh," seorang prajurit menyimpulkan,
"Hentikan festival ini dan cari Paduka Ratu!"
"Tunggu!" kata Pedro, "Tindakan itu hanya akan membuat kekacauan
lebih besar." "Apa kau punya ide lain?"
Pedro termenung. Semenjak Quinn menanyakan kegiatan Eleanor di
Loudline, Quinn sangat mencemaskan keselamatan Eleanor. Pedro masih
ingat hari itu Eleanor menanyai Seb tentang seorang pria bernama Todd.
Mungkinkah semua ini berhubungan dengan pria itu"
"Apakah Anda tahu tentang Todd?" tanya Pedro pada pemuda itu.
"Apalagi yang akan kaulakukan, Pedro?" sergah seorang prajurit, "Kita
tidak punya waktu untuk melakukan wawancara ini."
"Tidak," kata Pedro, "Aku yakin ini berhubungan dengan Todd. Paduka
Raja sangat mengkhawatirkan keselamatan Paduka Ratu semenjak
Paduka Ratu melihat Todd. Aku juga mendengar dari Jancer, ia mengirim
beberapa orang mengawasi Todd."
"Tuan," Mrs. Brandrick menghentikan perundingan orang-orang yang tak
dikenalnya itu, "Todd mempunyai tempat persembunyian di sekitar sini."
Kalimat itu mengagetkan pasukan pengawal Eleanor.
"Anak muda, kau tahu tempat itu?" prajurit yang lain bertanya pada Seb.
Seb mengangguk dengan bingung. Ia tidak mengerti situasi yang tengah
dihadapinya ini. "Bagus," kata pria bertubuh kekar itu yang tampak lebih berkuasa dari
pria-pria lain, "Pedro, bawa nyonya ini kembali ke Fyzool. Laporkan
keadaan ini pada Paduka Raja. Aku akan mengejar mereka bersama
pemuda ini." "Siap," Pedro memberi hormat dengan gaya khas seorang prajurit
kemudian pada Mrs. Brandrick, ia berkata, "Bersediakah Anda pergi
bersama saya menemui Paduka Raja Quinn, Nyonya?"
Mrs. Brandrick mengangguk. Berbagai pertanyaan di dalam kepalanya
membuatnya tidak dapat berpikir jernih.
Beberapa saat kemudian mereka telah menghadapi sepasang mata murka
Quinn. Mrs. Brandrick tidak perlu mengingat dua kali untuk mengenali pemuda
yang di suatu hari muncul bersama Eleanor di kota dan mengaku sebagai
suami Eleanor. Sebuah pertanyaan menggantung di kepalanya namun ia
tidak berani mengeluarkan suara melihat kemurkaan pemuda yang
terkenal di Viering itu. "Pedro, tanyakan dengan jelas posisi persembunyian Todd dari nyonya
ini," suara tenang Quinn membuat semua orang terperangah, "Jancer,
siapkan prajurit. Aku akan memimpin langsung pasukan. Sepuluh menit
lagi kita akan berangkat."
Tanpa menanti jawaban pemimpin pasukannya, Quinn langsung bergegas
mempersiapkan diri. Tidak seorang pun berani membantah perintah
Quinn. Emosi Quinn memang tidak meledak-ledak seperti biasanya
namun justru itu yang membuat mereka kian ketakutan.
Wajah Quinn terlihat semakin tegang ketika mereka bertemu dengan
pasukan yang semula mengawal Eleanor.
Dari pasukan itu mereka mengetahui dengan tepat lokasi persembunyian
Todd dan kawanannya. Bersama mereka, tampak orang-orang yang
dilihat Pedro bersama Eleanor sesaat sebelum ia menghilang. Mereka pula
yang memberi informasi kepada pasukan pengawal Eleanor tentang Todd.
Menurut mereka, bawahan Todd sangat banyak. Tidak hanya meliputi
penjahat-penjahat Loudline namun juga daerah Pittler dan sekitarnya.
Biasanya, di hari festival Pittler mereka selalu berkumpul di tempat ini
untuk bersenang-senang dan melakukan aksi kejahatan mereka.
"Kami yakin mereka ada di dalam rumah itu, Paduka," lapor prajurit.
"Paduka, mungkinkah ini ada hubungannya dengan...?" Jancer tidak
berani melanjutkan kata-katanya melihat ekspresi kaku di wajah Quinn.
Quinn diam memperhatikan rimbunan hutan di kaki bukit.
Seb memperhatikan pemuda yang diketahuinya sebagai suami Eleanor
dengan pandangan takjub. Seperti mereka yang mengenal Eleanor
sebagai pelayan Earl of Hielfinberg, pertanyaan demi pertanyaan
menggelantung di kepalanya.
Quinn marah. Ia murka tapi ia juga cemas. Inilah akibat kekeraskepalaan
Eleanor. "Lain kali ingatkan aku untuk mengikat kaki tangan Eleanor."
Perkataan Quinn itu membuat mereka yang sudah kebingungan makin
bingung. "Apa yang harus kita lakukan, Paduka?" tanya Jancer, "Haruskah kita
memanggil tambahan pasukan?"
"Tidak. Tambahan pasukan hanya akan membuat mereka mengetahui
keberadaan kita," jawab Quinn, "Saat ini kita tidak bisa bertindak
gegabah. Eleanor ada di tangan mereka."
"Saya mengerti, Paduka."
"Jancer, perintahkan pasukan mengelilingi hutan ini. Aku tidak ingin
seorang pun dari mereka lolos. Aku ingin beberapa prajurit ikut denganku
mendekati persembunyian mereka. Tanpa perintah dariku, tidak ada yang
boleh mengambil tindakan."
"Saya ikut," Seb mengajukan diri, "Saya juga ingin menyelamatkan
Eleanor." "Paduka Ratu, Seb!" sergah Mrs. Brandrick.
Seb langsung menyadari kesalahannya. "Maafkan kelancangan saya,
Paduka Raja." "Tugasmu sudah selesai," Quinn menolak, "Dari sini serahkan masalah ini
pada pasukan kerajaan."
"Aku ikut!" Seb bersikeras, "Aku telah menyebabkan Eleanor diculik!"
"Paduka Ratu, Seb!" lagi-lagi Mrs. Brandrick memotong pemuda itu
dengan marah. "Anda tidak bisa menolak kami, Paduka Raja," orang-orang yang lain
maju, "Kami bersama Paduka Ratu ketika beliau menghilang. Kami
merasakan tanggung jawab untuk menyelamatkan beliau."
Quinn diam memperhatikan orang-orang itu.
"Dengarkan perintah pasukanku," Quinn membalikkan badannya, "Aku
tidak ingin kalian menghambat tugas mereka."
Mata mereka membelalak gembira mendengarnya.
Demikianlah Quinn dan pasukannya dibantu teman-teman Eleanor,
melakukan operasi penyelamatan Eleanor.
Walaupun hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi, Quinn berhasil
memasuki rumah itu tanpa halangan yang berarti. Namun ketika Quinn
tiba di sana, rumah itu sudah kosong. Sang pemimpin komplotan penculik
Eleanor telah hilang dari tempat itu. Demikian pula Eleanor.
"Kami tidak menemukan jejak seorang pun di sini," lapor Jancer.
Mata Quinn terpaku pada jejak darah di tembok.
"Paduka," Jancer memberanikan diri untuk bertanya, "Mungkinkah..."
"Jangan mengambil kesimpulan tanpa bukti!" sergah Quinn.
Tidak mungkin! Ya, ini tidak mungkin darah Eleanor. Eleanor baik-baik
saja. Mereka membawanya pergi ke tempat lain. Para penjahat itu
memindahkan Eleanor ke tempat lain mendengar pasukan kerajaan telah
mengurung mereka. Eleanor baik-baik saja.
"Paduka, kami menemukan sesuatu."
Quinn langsung mengikuti prajurit ke sebuah ruangan kecil. Matanya
membelalak lebar melihat percikan darah merah di lantai.
Jancer tidak berani mengeluarkan suara.
Quinn membungkuk mengambil seutas tali yang dinodari darah merah
yang masih belum kering. Jancer melihat tangan pemuda itu bergetar ketika ia memungut tali itu
dari lantai. Ia yakin Raja Quinn juga tahu tali itu digunakan para penjahat
untuk mengikat Eleanor. "Eleanor," Quinn menggenggam tali itu, "Aku tidak akan memaafkanmu
bila kau berani membiarkan dirimu terluka."
Jancer tidak pernah melihat sinar mata itu. Ia tidak tahu bagaimana
harus menggambarkan sinar mata yang penuh kemarahan, kecemasan
sekaligus kepanikan itu. Seumur-umur baru kali ini ia melihat rajanya
dalam keadaan kacau seperti ini.
Quinn mengikuti jejak darah di sepanjang lantai dan tembok hingga ke
pintu belakang yang terbuka. Ia tetap tidak mengeluarkan suara apa pun
melihat pegangan pintu itu ternodai darah merah segar. Matanya yang
bersinar penuh kemurkaan menerobos derasnya hujan ke hutan yang
terhampar di depan. Sikap diamnya itu membuat Jancer tidak berani mengambil tindakan.
"Jancer, ikuti jejak darah ini. Aku yakin mereka tidak jauh," Quinn
mengontrol kembali perasaannya. "Tidak seorang pun dari mereka boleh
lolos. Sekali pun harus turun ke akhirat, tangkap mereka!!"
"Baik, Paduka!" Jancer memberi hormat kemudian ia segera mengatur
pasukan sesuai dengan perintah Quinn.
Ketika pasukan yang berjaga-jaga di sekitar hutan bersiaga menangkap
penjahat-penjahat yang bersembunyi di dalam hutan, Jancer dan
pasukannya mulai menyusuri hutan sekitar rumah itu.
Quinn yakin gadis liarnya itu berhasil menyelamatkan diri dari para
penculiknya. Namun ia tidak berani menjamin keselamatan gadis itu. Ia
juga tidak berani memikirkan kemungkinan bercak-bercak darah merah di
rumah itu adalah darah Eleanor. Saat ini ia hanya berani berpikir Todd
membawa Eleanor pergi ke tempat lain.
Namun lagi-lagi keyakinannya runtuh ketika seorang prajurit muncul
melaporkan keadaan. "Todd sudah tertangkap, Yang Mulia," lapornya, "Sekarang kami masih
mengejar kawanannya yang lain. Di antara mereka tampak seorang
wanita." Jancer menatap Quinn. "Mungkinkah itu Paduka Ratu?"
"Itu... tidak mungkin," prajurit itu ragu-ragu, "Sebab Todd melindungi
wanita itu. Ia juga memanggilnya Simona."
Jancer terbelalak. "Tidak!" Quinn langsung memotong pikiran Jancer, "Mathias tidak
mungkin berada di balik ini! Ia bukan pria seperti itu!" lalu dengan gusar
ia bertanya pada prajurit itu, "Apa kau sudah bertanya padanya tentang
keberadaan Eleanor?"
"Maafkan kelalaian saya, Paduka," prajurit itu menunduk, "Kami tidak
menanyakannya." "Eleanor tidak ada berada di antara mereka. Itu artinya ia sudah
meloloskan diri," Quinn menyimpulkan. Ya, Eleanor adalah gadis liar. Ia
tidak mungkin membiarkan dirinya ditawan. Ia berhasil meloloskan diri
dari penjagaan pasukan kerajaan yang ketat. Tak mungkin ia tidak
berhasil meloloskan diri para penjahat murahan itu.
"Teruskan pencarian!" Quinn memerintahkan prajurit, "Dan kau, kembali
ke posisimu. Tangkap semua penjahat itu. Tidak seorang pun boleh
lolos!" "Baik, Paduka!" prajurit itu langsung bergegas kembali ke posisi awalnya
sementara itu Quinn dan pasukan yang dibawanya meneruskan pencarian
mereka. "Eleanor!" teriak Quinn cemas.
"Paduka Ratu!" teriak yang lain.
Hujan yang turun kian deras membuat pencarian mereka semakin sulit.
Mereka harus berjalan hati-hati di atas tanah yang becek dan di tengah
guyuran air hujan yang mengaburkan pandangan mereka. Hujan yang
lebat juga menghilangkan jejak-jejak darah yang masih terlihat beberapa
langkah di pintu belakang rumah itu.
"Jangan bermain-main denganku, Eleanor!" Quinn cemas sampai
kehilangan kesabaran, "Keluar kau atau aku marah!"
Guyuran hujan deras bersahut-sahutan menjawab titah Quinn.
"Paduka," seseorang mendekat, "Sepertinya di sana ada sesuatu."
Prajurit itu menunjuk gundukan di barat daya mereka.
Darah Quinn serasa membeku melihat sosok di kejauhan. Ia segera
berlari menerobos hujan. Sesosok tubuh tergeletak di tanah. Dari perutnya, mengalir darah merah
yang bercampur dengan air hujan. Tangannya yang berdarah
menggenggam erat sebuah pedang panjang.
"Eleanor!" Quinn panik. Quinn mengangkat badan Eleanor. "Eleanor!
Eleanor!" Quinn menepuk pipi pucat Eleanor. "Eleanor!" Quinn memanggil
Eleanor lagi. Melihat tidak ada reaksi dari Eleanor, Quinn kian cemas. Ia mengangkat
tubuh Eleanor. "Kembali ke Istana!" perintahnya kemudian membawa lari
Eleanor. Ketika mereka hampir mencapai rumah persembunyian Todd, beberapa
orang berlari mendekat. "Eleanor," Seb kehilangan kata-katanya melihat kondisi Eleanor.
Mata orang-orang itu terperangah melihat Eleanor di gendongan Quinn.
Tak seorang pun membuka suara.
"Lapor, Paduka," Pedro melaporkan keadaan, "Kami sudah berhasil
menangkap sebagian besar dari bawahan Todd. Sekarang beberapa
prajurit masih mengejar yang lain."
"Teruskan pengejaran," perintah Quinn, "Aku akan membawa Eleanor
kembali ke Istana." "Saya tidak sependapat," Mrs. Brandrick mengeluarkan suara, "Hujan
sangat deras. Jalanan terlalu licin untuk dilalui. Selain itu sekarang yang
paling penting adalah menghentikan pendarahan Eleanor... ah tidak,
Paduka Ratu." "Saya juga sependapat dengan Mrs. Brandrick, Paduka," kata Pedro pula,
"Kita harus segera menghentikan pendarahan Paduka Ratu. Selain itu
hujan sangat deras dan kita tidak membawa kereta. Keadaaan Paduka
Ratu akan memburuk bila ia terus dibiarkan berhujan-hujan seperti ini."
"Harap Anda memikirkan keputusan Anda sebaik-baiknya, Paduka," kata
Jancer pula, "Kita harus menempuh jarak selama kurang lebih setengah
jam sebelum mencapai Fyzool."
'Bila untuk Eleanor,' Quinn memperhatikan wajah pucat di gendongannya
lalu ia melihat rumah persembunyian Todd di antara hujan deras.
"Bila Anda berkenan," Mrs. Brandrick menawarkan, "Anda bisa berteduh
di rumah saya." "Terima kasih, Mrs. Brandrick," Quinn menolak halus, "Kami akan
berteduh di rumah itu." Lalu dengan tegas ia berkata pada pasukannya,
"Pedro, kembali ke Istana dan siapkan kereta untuk menjemput kami.
Jancer, pimpin pasukan mengejar penjahat-penjahat itu. Dan kau, Seb,
panggil dokter." "Baik, Paduka," sahut mereka.
Quinn pun langsung berlari ke dalam rumah persembunyian Todd.
Pedro langsung berlari ke tempat mereka menambatkan kuda mereka.
Seb juga langsung bergerak mencari dokter. Sementara itu Jancer
Hantu Wanita Berambut Putih 3 Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar Pendekar Aneh 1