Ratu Pilihan 4
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella Bagian 4
Eleanor tidak menyukai ejekan itu. Tetapi Eleanor juga mengakui
permainan pedangnya tidak dapat mengimbangi permainan Quinn.
Eleanor bukanlah seorang yang lemah. Eleanor sering bermain pedang
dengan ayahnya dan ayahnya sering memuji permainan pedangnya.
Eleanor juga yakin ia akan dapat mengalahkan Quinn.
Gaun panjangnyalah yang menghambat gerakannya. Eleanor tidak dapat
bergerak dengan leluasa tanpa mengkhawatirkan kakinya menginjak
ujung gaunnya. Eleanor tidak dapat bergerak seperti keinginannya tanpa
memperhatikan gaun sutranya yang mengganggu itu.
Quinn menyudutkan Eleanor ke sebuah batang pohon.
Eleanor menahan pedang Quinn sekuat tenaganya.
"Ada apa, Eleanor?" ejek Quinn, "Ke mana semangatmu yang meluapluap itu."
Eleanor kesal. "Aku tidak selemah itu!" Eleanor mengangkat lututnya dan
menghantamkannya sekuat tenaga ke perut Quinn.
Quinn merintih kesakitan.
"Tunggu di sini!" Eleanor menggunakan kesempatan itu untuk
menghindari Quinn. "Ada apa" Apa kau takut?" ejek Quinn sambil memegangi perutnya.
"Aku tidak takut padamu!" Eleanor melempar pedang di tangannya.
Semua orang menjerit panik.
Quinn menghindar tepat sebelum pedang itu menyentuh wajahnya.
Pedang Eleanor tertancap di batang pohon.
Eleanor geram melihatnya. "Jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku
datang!" serunya lalu ia berlari menerobos kerumunan orang yang
memperhatikan mereka dengan tertarik itu.
"Benar-benar gadis liar," gumam Quinn sambil tersenyum penuh arti.
"Paduka," Grand Duke Bernard mendekat.
"Ada apa?" tanya Quinn.
"Saya mohon hentikanlah permainan yang berbahaya ini," pinta Grand
Duke, "Paduka Ratu tidak tahu apa yang sedang dimainkannya. Ia masih
anak-anak." "Jangan khawatir, Bernard," Quinn mencabut pedang Eleanor, "Kau juga
melihatnya bukan" Dia bukan sekadar menggerakkan pedang. Ia cukup
terlatih untuk permainan ini."
"Tetapi, Paduka."
"Aku tidak akan mencelakakan Eleanor," kata Quinn, "Aku hanya ingin
menghilangkan kebosanannya itu."
Grand Duke Bernard tersenyum.
"Permainan ini tidak akan berhenti dengan cepat," kata Quinn lagi, "Kau
tentu bersedia membantuku."
"Tentu, Paduka," Grand Duke mengerti permintaan itu, "Hari ini saya
akan mewakili tugas Anda mempersiapkan hal itu."
Quinn tersenyum. "Bubarkan orang-orang ini. Aku tidak suka ditonton
seperti ini. Kami bukan tontonan yang menarik."
"Saya mengerti, Paduka," Grand Duke Bernard membungkuk lalu ia
mundur dari sisi Quinn. Bersama beberapa prajurit, Grand Duke menghalau orang-orang itu.
Eleanor berlari mendekat.
Quinn tersenyum penuh arti melihat tubuh mungilnya yang terbungkus
baju ketat berkudanya. "Apa" Kau tidak suka?" Eleanor tidak menyukai senyuman itu, "Maaf, aku
tidak pernah ingin mengikuti seleramu. Hanya ini yang bisa kutemukan."
"Aku tidak mengatakan apa-apa," Quinn membela diri.
"Benar. Tapi senyummu itu sudah menjelaskan semuanya," balas Eleanor
kesal. Quinn mengabaikan pernyataan itu. "Kau sudah siap?" ia melempar
pedang itu ke Eleanor. "Kapan pun kau siap," Eleanor menangkap pedang itu dan bersiap siaga.
Grand Duke memperhatikan kedua orang yang mulai terlibat dalam
permainan pedang yang seru itu.
Grand Duke tahu Eleanor tidak sekedar menggerakkan pedangnya.
Eleanor memainkan pedangnya dengan bagus dan terencana. Eleanor
tidak mempermaikan permainan pedang anak kecil. Ia benar-benar
terlatih untuk itu. Grand Duke juga tahu kemampuan Quinn berada jauh di atas Eleanor
tetapi Quinn nampaknya terus mengalah pada Eleanor. Quinn
membiarkan Eleanor menguasai keadaan dan terus mengimbangi
permainan lincah gadis itu.
Grand Duke tersenyum. "Permainan mereka tidak akan berhenti sebelum
malam," gumamnya sambil meninggalkan tanah berumput itu.
BAB 17 Nafas Eleanor tersenggal-senggal. Ia sudah kehabisan tenaganya.
Seumur hidup tidak pernah Eleanor bermain pedang sepanjang hari
seperti ini. Tidak seorang pun yang menantangnya bermain hingga
matahari tenggelam. Bintang-bintang sore mulai keluar dari tempat
persembunyiannya tetapi mereka masih belum berhenti.
"Kau tidak buruk," kata Quinn juga tersenggal-senggal.
"Kau juga," balas Eleanor.
"Tidak," Quinn menerjang.
Eleanor terkejut. Quinn memainkan pedangnya di pedang Eleanor, "Aku lebih baik darimu,"
pedang Eleanor terlempar dari tangan Eleanor.
Eleanor terperangah. Pedangnya jatuh tak jauh dari sisinya.
Quinn tertawa puas. Eleanor menatapnya dengan tajam.
"Kau benar-benar membuatku lelah," Quinn menjatuhkan diri di atas
rumput. Eleanor menatap tajam pria itu.
"Hari sudah larut," kata Quinn, "Sebaiknya kita berhenti."
Eleanor melihat langit malam yang bertaburan bintang dan
membaringkan diri di sisi Quinn.
Eleanor memperhatikan bintang-bintang yang menghiasi langit malam.
Matanya terpejam merasakan angin sepoi-sepoi yang menari-nari di
udara. Ketenangan sore ini benar-benar membuai dirinya. Eleanor ingin
terus seperti ini - berbaring di atas rumput sambil menikmati semilir
angin yang membuaikan diri. Dan kesunyian alam yang menenangkan
hati. Quinn juga berdiam diri memperhatikan langit malam dengan bintangbintang yang
berkelap-kelip di atasnya. Entah sudah berapa lamanya ia
tidak menghabiskan banyak tenaga seperti ini. Gadis ini memang liar.
Gerakannya sama sekali tidak terduga.
"Sudah waktunya kita kembali," Quinn berdiri dan menoleh pada Eleanor.
Mata Eleanor terpejam rapat. Nafasnya naik turun dengan teratur.
Quinn berlutut di sisi Eleanor. "Kau pasti kelelahan," tangannya terulur
menyeka keringat di dahi Eleanor yang belum mengering. "Kau bisa sakit
kalau kau tidur di sini," ia berkata lembut.
Eleanor sudah terbuai ke dalam dunia mimpinya.
Quinn tersenyum. Ia membungkukkan badan, meletakkan kepala Eleanor
di bahunya dan mengangkat tubuh gadis itu dari tanah.
"Bawa masuk pedang yang tergetak di kebun belakang," perintahnya
pada prajurit pertama yang dilihatnya dan ia terus membawa masuk
Eleanor. Grand Duke Bernard melihat Quinn mendekat sambil membopong
Eleanor. "Yang Mulia," Grand Duke mendekat dengan cemas.
"Tidak apa-apa," Quinn menenangkan pria tua itu, "Ia hanya kelelahan."
Grand Duke memperhatikan mata Eleanor yang terpejam. Ia tampak
begitu tenang dengan wajah tidurnya yang manis itu.
"Tampaknya beliau benar-benar kelelahan."
Quinn tertawa. "Ia adalah Xena."
"Xena?" Grand Duke bertanya heran.
Quinn tersenyum. "Tapi ia tetaplah seorang wanita," matanya
memandang lembut gadis dalam gendongannya itu.
Grand Duke tertegun. Belum pernah ia melihat Quinn tersenyum seperti
itu. Belum pernah ia melihat sinar mata itu.
"Aku akan membawanya ke kamarnya."
"Silakan, Paduka," Grand Duke menepi - memberi jalan.
Grand Duke memperhatikan Quinn yang berjalan menjauh sambil
membopong Eleanor. Dalam hati ia berpikir, 'Pilihanku mungkin tidak
salah.' -----0----- Eleanor terbangun oleh rasa lapar. Ia duduk di tepi ranjang dan
memperhatikan sekelilingnya dengan bingung.
"Kau sudah bangun?"
Eleanor tertegun melihat Quinn duduk di kursi depan perapian.
"Mengapa kau di sini?" Eleanor tiba-tiba menyadarinya. Semenjak ia
mengeluhkan sikap Quinn yang seperti pengasuh yang selalu mau
memastikan ia tidur, Quinn hampir tidak pernah datang ke kamarnya.
Dan tiba-tiba saja hari ini ia berada di sini dengan senampan teh dan
makanan ringan. "Apakah aku tidak boleh berada di dalam kamar istriku?" Quinn
menyelidiki. "Tidak. Aku tidak bermaksud demikian," Eleanor membela diri, "Aku
hanya merasa heran."
"Kau tertidur pulas seperti seekor babi kecil dan aku tidak tega
membiarkanmu terbangun dengan perut lapar."
Eleanor terperangah. Perutnya berbunyi.
"Sudah kuduga kau akan kelaparan," Quinn tersenyum geli.
Eleanor tidak suka cara pria itu berbicara. Ia membuang mukanya dengan
angkuh dan melangkah ke pintu.
"Kau tidak mau menemaniku?" Quinn bertanya heran, "Aku telah
meminta mereka menyiapkan jatah untuk dua orang."
Langkah kaki Eleanor terhenti. Ia melihat Quinn yang dengan tenangnya
menyiapkan sebuah piring di depannya dan dengan tenang pula ia
menuangkan teh dalam cangkir di depannya.
"Mereka akan kecewa kalau kau tidak menghabiskan jatahmu."
Dengan kesal Eleanor duduk di kursi panjang di depan pria itu.
"Tidak ada perdebatan," kata Quinn santai, "Aku sudah sangat lelah."
Eleanor tidak menanggapi. Ia mengulurkan tangan mengambil cangkir
yang telah diisi Quinn untuknya. Saat itulah ia menyadari ia sudah
berganti baju. Eleanor melihat Quinn dengan pucat. "Apa yang kaulakukan?"
Quinn kebingungan. "Mengapa aku sudah berganti baju!?" Eleanor ingat persis ia berbaring di
sisi Quinn di atas rumput dengan pakaian berkuda merah pemberian Irina
dan sekarang ia sudah mengenakan baju tidur coklat muda sutranya.
Quinn tertawa geli. Eleanor tidak suka mendengarnya. "Apa yang lucu!!?" bentaknya kesal.
Tawa Quinn langsung menghilang. Ia berdiri.
Eleanor dapat merasakan bahaya ketika pria itu mendekat. Ia bergeser
menjauhi pria itu. Quinn sengaja memojokkan gadis itu di salah satu sudut kursi panjang
itu. Satu tangannya memegang sandaran kursi dan satunya memegang
pegangan kursi. Tubuhnya membungkuk pada Eleanor yang meringkuk di
pojok. Eleanor benar-benar terpojok di kursinya. Quinn mengurungnya di antara
dua tangannya. Ia tidak punya ruang untuk kabur.
"Katakan, istriku," Quinn mendekatkan tubuhnya.
Eleanor tidak suka cara pria itu memanggilnya. Jelas sekali pria itu
tengah mengejeknya! "Apa kau mau memulainya?" Quinn mendekatkan wajahnya.
"Memulainya?" Eleanor bingung.
"Bukannya kita belum pernah melakukannya sama sekali," Quinn terus
memperpendek jarak di antara mereka.
'Quinn terlalu dekat!' sesuatu dalam diri Eleanor memperingatkan.
Eleanor dapat merasakan hembusan nafas Quinn. Ia dapat merasakan
gerakan bibir Quinn di atas bibirnya. Apa pun yang tengah dimainkan pria
itu, Eleanor tahu ia harus segera mencari cara untuk melepaskan diri.
"Katakan," bisik Quinn berbahaya, "Apa yang bisa kulakukan pada
seorang babi kecil yang tidur pulas sepertimu?"
Eleanor marah. Ia membenci pria itu menyebutnya babi!!
"Mulutmu bau," katanya dingin.
Quinn termangu. Ia menatap sepasang mata biru yang kesal itu.
"Mulutmu bau," ulang Eleanor dengan tatapan mata dinginnya.
Quinn tertawa geli. "Kau memang benar-benar pandai merusak suasana,"
pria itu menjatuhkan diri di sisi Eleanor.
"Apa katamu!?" Eleanor melayangkan tinjunya ke dada pria itu.
"Dan liar," Quinn menangkap kedua tangan Eleanor.
"Kau yang," Eleanor terpesona. Ia tidak pernah melihat Quinn tersenyum
seperti ini padanya. Sepasang mata kelabunya menatapnya lembut bukan
mengejek seperti biasanya. Quinn benar-benar memberikan senyumnya
yang menawan! "Kau sungguh manis dengan pipimu yang memerah itu," tangan Quinn
memegang pipi Eleanor. Sekali lagi Quinn mendekatkan wajahnya.
Jantung Eleanor berdebar kencang tanpa bisa dihentikan gadis itu.
Sepasang mata birunya terus terpaku pada sepasang mata kelabu yang
tersenyum lembut itu. "Kuberitahu, istriku yang lugu," Quinn berbisik di telinga Eleanor,
"Pelayanlah yang membantumu berganti baju." Senyum di wajah Quinn
berubah menjadi senyum mengejek yang selalu ia tunjukkan.
Eleanor langsung sadar. Quinn sedang mempermainkannya!
"Kau benar-benar menyebalkan!" Eleanor mendorong Quinn.
Quinn tertawa geli. Membuat Eleanor marah memang hal yang paling
menyenangkan untuk dilakukan setelah sepanjang hari berkutat dengan
pekerjaan yang membosankan.
"Tidak lucu!" Eleanor berdiri dengan kemarahan yang memuncak. Ia
benar-benar membenci pria ini!
"Duduk!" Quinn menangkap tangan Eleanor.
Eleanor melihat sepasang mata Quinn yang berkilat itu. Ia tahu Quinn
tidak suka ia pergi tanpa menghabiskan makanannya. Namun Eleanor
sendiri juga sudah mencapai puncak kemarahannya. Maka, ia
menebaskan tangan Quinn. "Mengapa aku harus mendengarmu!?"
katanya marah. Quinn terkejut. Ini kedua kalinya Eleanor meninggalkan makannya yang
belum tersentuh sama sekali.
Eleanor tahu Quinn pasti sudah menyuruh prajurit menjaga pintu
kamarnya. Ia pasti telah memikirkan segala cara untuk tetap
menahannya di dalam kamar. Namun ia tidak akan membiarkan pria itu
terus menang. Quinn memperhatikan Eleanor yang berjalan ke beranda dengan kesal.
Tiba-tiba ia sadar Eleanor sudah marah besar. Quinn kesal ketika
menyadari ia dibuat takut oleh kemarahan gadis itu.
Hingga saat ini ia tidak mengerti mengapa ia suka melampiaskan
kepenatannya kepada Eleanor. Ia mengakui ia menikmati kemarahan
gadis itu. Walaupun ia tidak menyukai keliaran gadis itu, ia benar-benar
dibuat takut ketika gadis itu bersikap anggun.
Ia tidak mungkin lupa ketika Eleanor benar-benar marah pada hari itu.
Hari itu adalah pertama kalinya Eleanor menghadiri pesta sebagai
seorang Ratu Viering. Juga pertama kalinya Quinn mengijinkan Eleanor
keluar Fyzool. "Aku tidak mau!" itulah reaksi pertama Eleanor ketika ia mengajukan
syarat-syaratnya. "Kau tidak bisa memerintahku!"
"Kau harus ingat siapa yang berkuasa di tempat ini!" nada Quinn
meninggi, "Kau harus ikut!"
"Tanpa bantahan!" Quinn menambahkan dengan tegas ketika melihat
Eleanor akan membuka mulutnya, "Dan kuperingatkan kau, jangan
berbuat yang macam-macam," Quinn memberikan sinyal bahaya, "Aku
tidak ingin kau mempermalukan aku!"
"Kau tidak bisa memerintahku!"
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang mengatakannya" Aku adalah suamimu. Aku berhak
mengaturmu!" "Siapa yang memintanya!" Aku hanya kebetulan terpilih menjadi istrimu!
Aku tidak pernah sudi menikah denganmu!" suara Eleanor meninggi.
Eleanor kesal. Ia marah. Ia sudah tidak mau melihat pria itu lagi. Mati
pun ia tidak akan sudi melihatnya!
Tanpa menanti jawaban Quinn, Eleanor langsung meninggalkan ruangan
itu. Ia akan menunjukkan pada pria itu bahwa ia bukan gadis yang bisa
sembarangan diperintah. Akan ia tunjukkan ia bukan gadis yang bisa
dipermainkan. Ia bukan seorang dari para penggemarnya yang terus
berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa yang paling pantas untuk
menjadi pendamping Quinn!
Dan keesokan sorenya, Quinn puas ketika melihat Eleanor. Gadis itu
tampak begitu memukau. Ia jauh lebih cantik dari saat pernikahannya. Ia
jauh lebih anggun dari pesta pertunangannya. Dari aura yang
ditebarkannya, Quinn merasa gadis itu sudah menjadi sosok lain yang
tidak dikenalnya. Quinn benar-benar puas. Ia tahu mengapa Nicole tiba-tiba mengadakan
pesta itu dan mengundang keduanya. Nicole masih tidak dapat menerima
keputusannya untuk menikah dengan gadis lain ketika mereka masih
bersama. Nicole tidak mengakui Eleanor! Ditambah dengan kelakukan
Eleanor yang mulai menjadi bahan pembicaraan, Nicole pasti ingin
membuktikan pada dunia bahwa Eleanor tidak pantas menjadi seorang
Ratu Viering. Namun dalam pesta itu Eleanor merebut perhatian semua
orang. Ia menjadi seorang gadis muda yang bersinar paling cantik dan
menawan dalam pesta itu. Sayangnya, kepuasan itu tidak bertahan lama. Quinn mulai merasakan
kejanggalan ketika Eleanor bersikap angkuh kepada setiap undangan di
pesta itu bahkan Irina, sang kakak angkat kesayangannya. Ia baru benarbenar
menyadari kejanggalan itu ketika Eleanor tetap bersikap kaku dan
anggun keesokan harinya dan beberapa hari setelahnya.
Sepanjang hari Eleanor tidak terlihat berkeliaran di sekitar Fyzool. Ia
tidak nampak ketika para pekerja kebun melakukan pekerjaan rutin
mereka. Ia tidak terdengar muncul tiba-tiba di dapur. Ia tidak muncul
seperti seorang pahlawan ketika Quinn sedang memarahi seseorang. Ia
tidak lagi kabur dalam pelajaran musiknya. Sepanjang hari Eleanor duduk
di Ruang Musik memeriahkan suasana Fyzool dengan permainan pianonya
yang lembut. Di lain waktu ia menemani tamunya sepanjang hari.
Sikapnya yang berubah total itu membuat semua orang bingung dan
membuat Quinn panik. Quinn memerintahkan gadis itu untuk berhenti mengambek seperti
seorang anak kecil namun gadis itu dengan polosnya bertanya,
"Mengambek" Siapakah yang sedang mengambek?"
"Berhentilah bersikap seperti ini!" Quinn menegaskan.
"Maafkan saya, Paduka," Eleanor menyesal, "Saya sungguh tidak
mengerti permintaan Anda."
"Berhentilah bersikap seperti ini. Kau membuatku muak."
"Apakah yang membuat Anda tidak puas, Paduka?" tanya Eleanor tidak
mengerti, "Bukankah ini yang Anda inginkan dari istri Anda?" Eleanor
menyeka bibirnya. Mata tajam Quinn tidak lepas dari Eleanor yang dengan anggun
meletakkan sendok garpunya. Kemudian ia berdiri.
"Maafkan saya, Yang Mulia," kata Eleanor lembut, "Saya tidak dapat
menemani Anda lebih lama lagi."
Mata Quinn terus memperhatikan Eleanor yang berjalan dengan
anggunnya menuju pintu. Dadanya membusung selayaknya seorang lady
yang mengerti benar posisi dan kekuasaannya. Eleanor sudah menjadi
sesosok yang tidak dikenalnya.
Quinn juga meminta Grand Duke untuk menyampaikan pesannya pada
Eleanor. "Katakan pada gadis itu aku sudah tidak akan memaksanya," kata Quinn
kepada Grand Duke, "Katakan padanya untuk berhenti bersikap kekanakkanakan
seperti ini." Quinn berharap setidaknya Eleanor akan mendengar pria yang
dihormatinya itu. Namun ia salah, Eleanor tidak berhenti bersikap dingin
dan anggun. Quinn tidak mengerti. Ia sama sekali tidak mengerti keadaan ini.
Bukankah seharusnya ia senang dengan keadaan ini" Inilah istri yang
diinginkannya! Seorang lady cantik yang anggun, pendiam dan penurut.
Tetapi mengapa justru keadaan ini membuatnya tidak tenang" Mengapa
ia justru merasa tersiksa. Ia merasa seperti sedang dihukum!
Quinn geram. Ini semua gara-gara gadis itu! Ia pasti tengah
merencanakan sesuatu yang membuatnya was-was. Tapi... apa yang telah
dilakukan gadis itu" Ia telah menuruti perintahnya dengan bersikap
anggun selayaknya seorang lady sejati. Hari ini pun ia tidak melakukan
sesuatu yang merepotkannya. Kemarin ia juga tidak membuat ulah. Ia
sudah menjadi sosok istri yang diinginkannya.
Sudah tujuh hari ini Eleanor bersikap manis. Quinn tidak bisa bertahan
lebih lama lagi. Ia tidak bisa membiarkan keadaan yang menyiksa ini
berlanjut terus menerus. Quinn mendengar dari Bernard. Irina adalah orang yang membesarkan
Eleanor tetapi Derrick adalah orang yang membentuk Eleanor yang
sekarang. Satu-satunya cara untuk menghentikan Eleanor adalah
memanggil kembali keliarannya itu.
Maka di malam ketujuh itu, Quinn, setelah sekian lama absen, muncul di
kamar Eleanor. Eleanor sudah hampir tertidur ketika ia masuk.
Matanya yang setengah mengantuk melihatnya dengan bingung ketika ia
membaringkan diri di sisi gadis itu.
"Apa yang kaulakukan!!?" Eleanor terperanjat ketika Quinn menarik
tubuhnya. Sepasang mata birunya membelalak kaget.
"Menurutmu, apakah yang dilakukan istri penurut sepertimu terhadap
permintaan suaminya yang mendesak?"
"Apa?" "Kuberitahu, Eleanor," Quinn menindih Eleanor, "Apa yang seorang lady
sejati lakukan untuk suaminya."
"Kalau kau kesepian, jangan cari aku," Eleanor berkata dingin.
Quinn bingung. "Aku bukan pengasuhmu!" Eleanor mendorong Quinn sekuat tenaganya.
Quinn duduk di sisi Eleanor dan tertawa geli.
"Apa yang lucu!?" Eleanor bangkit.
Melihat wajah kesal gadis itu, Quinn tahu ia membangkitkan kembali
keliaran gadis itu. Setelahnya mereka memang bertengkar hebat namun
Quinn merasa lega. Eleanor telah kembali ke sifat aslinya.
Quinn memutuskan! Ia harus melakukan sesuatu sebelum Eleanor
memutuskan sesuatu yang akan menyusahkannya.
Tangan Eleanor memutar pegangan pintu serambi.
"Aku tidak akan melakukannya kalau aku adalah kau," tangan Quinn
menahan pintu. Eleanor melihat pria itu dengan kesal.
"Atau aku akan membatalkan bulan madu kita?"
"Bulan madu?" Eleanor bertanya bingung, "Apa itu?"
"Jangan membuat usahaku sia-sia. Aku sudah bersusah payah
menyisihkan waktu untuk membawamu pergi."
"Pergi!?" Eleanor berseru senang. "Kita akan pergi ke mana" Ke mana?"
Quinn tersenyum geli melihat reaksi gadis itu. Ia benar-benar seperti
seorang gadis kecil yang diberi permen.
"Ke Corogeanu," Quinn menjawab.
"Corogeanu...?" mata Eleanor nanar.
"Ada apa?" Quinn mengejek, "Apa kau takut ke Corogeanu?"
"T-tidak!" sahut Eleanor, "S-siapa yang takut!?"
Walaupun Eleanor berkata seperti itu, Quinn tahu Eleanor berbohong. Ia
melihat mata gadis itu menunduk ke lantai dan tangannya bertautan di
depan dadanya. Quinn yakin ia melihat tubuh gadis itu bergetar.
"Teh kita pasti sudah dingin," Quinn memeluk pundak gadis itu. Sekarang
ia dapat merasakan getaran tubuh gadis itu di telapak tangannya.
'Red Invitation memang telah meninggalkan luka di hati banyak orang,'
Quinn berkata pada dirinya sendiri.
BAB 18 Akhirnya hari ini tiba juga.
Suasana di Tognozzi sudah ramai mulai pagi ini. Sebuah kapar pesiar
mewah bersandar di dermaga. Sejak jauh hari para awak kapal sudah
membersihkan dan menyiapkan kapal itu untuk menyambut para tamu
mereka hari ini. Sebuah podium pun telah disiapkan sebagai tempat misa
mengenang korban Red Invitation dan pelepasan kapal pesiar kerajaan.
Para pekerja sibuk memasukkan barang-barang ke dalam kapal. Para
wanita mengumpulkan bunga yang akan dilepas bersamaan dengan
kepergian kapal pesiar kerajaan. Orang-orang berlalu lalang. Anak-anak
kecil berkumpul di dermaga untuk mengagumi kapal besar itu. Keretakereta kuda
mulai berdatangan dari penjuru Viering. Para pedagang juga
mulai berkumpul. Mereka datang untuk mengumpulkan rejeki dari
keramaian yang hanya terjadi sekali dalam setahun ini. Semua sibuk
mempersiapkan kegiatan ritual yang sudah mereka lakukan selama
beberapa tahun ini untuk memperingati Red Invitation.
Eleanor pun sudah berdiri di sana - di depan kapal mewah yang menanti
mereka. Irina memperhatikan Eleanor yang berdiri di sisi kereta kuda kerajaan.
"Apakah Eleanor baik-baik saja?" tanyanya cemas.
"Jangan khawatir," Derrick menenangkan, "Quinn ada di sisinya."
"Dia tidak tahu!" Irina tidak sependapat, "Ia tidak tahu Eleanor...
Eleanor... dia... dia..."
"Kurasa ia tahu," ujar Derrick tanpa melepas matanya dari pasangan
nomor satu di Viering itu, "Lihatlah itu."
Irina melihat sekarang Quinn sudah berdiri di sisi Eleanor. Ia membiarkan
Eleanor memeluk lengan kirinya dan mereka melangkah perlahan ke
kapal yang telah menanti kedatangan mereka sejak pagi ini. Matanya
menatap Eleanor dengan cemas.
"Bukankah kau adalah seorang Xena yang tidak kenal takut?" ejek Quinn.
Cengkraman tangan Eleanor di lengan Quinn tidak melonggar. Dengan
semakin mendekatnya mereka ke kapal, semakin erat cengkeraman
Eleanor. Quinn termenung melihat gadis itu tidak terpancing ejekannya. Ia
melepaskan tangan dari cengkeraman Eleanor dan memeluk pundak
gadis itu. Eleanor cepat-cepat mencengkeram kemeja Quinn dan merapatkan
dirinya pada Quinn. Quinn dapat merasakan getaran hebat tubuh Eleanor di balik mantel
panjangnya. Quinn melihat kepala Eleanor yang terus menunduk dalam-dalam lalu ke
kapal yang tengah mempersiapkan diri untuk pelayarannya.
Tanpa berpikir dua kali, Quinn mengangkat tubuh Eleanor.
Eleanor tekejut. "Berpeganganlah padaku," bisik Quinn. "Aku akan membawamu ke sana."
Tanpa disuruh untuk yang kedua kalinya, Eleanor langsung memeluk
leher Quinn dan membenamkan kepalanya di pundak Quinn.
"Aku benar, bukan?" Derrick puas, "Quinn tidak akan membiarkan
Eleanor." Irina tidak melepaskan matanya dari kedua orang itu.
Quinn membopong Eleanor ke kapal. Sementara itu Eleanor terus
menyembunyikan pandangan matanya di pundak Quinn.
Irina melihat ayahnya muncul yang muncul dari dalam kapal mendekati
mereka dengan panik. Entah apa yang dikatakan Quinn pada ayahnya.
Dari tempatnya berdiri Irina hanya dapat melihat wajah serius sang
Grand Duke yang terus menganggukkan kepala.
Kemudian tanpa mempedulikan orang-orang yang kebingungan, Quinn
melangkah mantap ke dalam kapal pesiar megah itu dan langsung ke
kamar yang disediakan untuk mereka berdua.
"Kurasa ini sudah saatnya," Derrick berkata ketika melihat Uskup Agung
Viering naik ke mimbar misa.
Irina melihat sekeliling. "Mengapa Earl belum datang?"
"Earl of Hielfinberg tidak akan pernah datang," Derrick meletakkan tangan
di punggung Irina. "Kau tahu itu."
"Tetapi Eleanor...."
"Justru karena Eleanor datang, ia semakin tidak mungkin datang. Earl
masih tidak bisa melupakan peristiwa itu."
Irina mengangguk mengerti.
Earl tentunya tidak ingin peristiwa yang sama terulang lagi, bukan" Ia
tentu tidak ingin mengantarkan kepergian orang yang dicintainya untuk
selama-lamanya. Namun ia juga tidak dapat mencegah kepergian
Eleanor. Misa berlangsung dengan lancar. Uskup Agung melakukan ritual
tahunannya di Tognozzi tanpa halangan berarti. Namun, Quinn tidak
muncul dalam pidato tahunannya. Sebagai gantinya, Duke of Krievickie
berdiri di mimbar menghadap semua orang yang berkumpul untuk ikut
mengenang peristiwa Red Invitation.
"Saya berada di sini untuk mewakili Yang Mulia Paduka Raja Quinn," kata
sang Grand Duke membuka pidato.
"Lihatlah, dia sama sekali tidak memandangmu sebagai Putra Mahkota,"
bisik Simona ketika Bernard memulai pidatonya.
"Bernard lebih mampu memberi pidato mendadak daripada aku."
Simona sama sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Mengapa
Mathias bisa sedemikian bodohnya"
Segera, setelah pidato Grand Duke usai, para undangan bergerak
memasuki kapal. Para awak kapal pun langsung mempersiapkan
pelayaran. Bersamaan dengan itu, menebarkan bunga yang telah
dipersiapkan sejak pagi ditebarkan ke laut - untuk para korban Red
Invitation dan untuk mengucapkan selamat jalan pada mereka. Anakanak kecil yang
masih di dermaga itu berteriak melompat-lompat
gembira. Orang-orang melambaikan tangan - mengucapkan selamat
jalan diiringi doa demi keselamatan perjalanan kenangan untuk
memperingati Mangstone ini.
Irina bergegas menghampiri ayahnya.
"Mengapa Paduka Raja tidak muncul?" seseorang bertanya pada Bernard.
"Beberapa saat lalu aku melihatnya bersama Paduka Ratu."
"Beliau sedang menemani Paduka Ratu," jawab Grand Duke.
"Apa yang terjadi pada Paduka Ratu" Apakah beliau baik-baik saja?" ia
terus mengejar Bernard. "Jangan khawatir. Paduka Ratu hanya tidak enak badan. Sekarang
Paduka Raja menemaninya," jawab Grand Duke Bernard diplomatis.
"Syukurlah kalau beliau baik-baik saja," kata yang lain.
"Mungkin beliau kelelahan," Grand Duke mencoba memberikan alasan
yang masuk akal. "Mungkin ia tidak terbiasa dengan jadwal kegiatan
istana yang padat." "Mungkin juga."
Irina termenung. Bernard melihat wajah cemas gadis itu. "Jangan khawatir," katanya,
"Paduka Raja ada bersamanya."
Irina pun mempercayai itu.
"Aku akan melihat keadaan mereka," kata Grand Duke meninggalkan
kedua putra-putrinya. Mata Irina tidak lepas dari ayahnya yang menaiki tangga menuju kabin
istimewa keluarga Raja. "Eleanor akan baik-baik saja," Derrick meyakinkan kakaknya.
Irina melihat Derrick dan mengangguk. Ia percaya Eleanor akan baik-baik
saja. "Mereka pasti sedang bersandiwara agar semua orang percaya pada
omong kosong mereka."
Irina langsung menoleh. Simona berjalan dengan angkuh di sisi Mathias. Ia terus mengomel ketika
Mathias membawanya menuju ke dalam kabin mereka. Matanya
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang sinis orang-orang yang dilaluinya.
"Mengapa ia ada di sini?" gumam Irina.
"Apa boleh buat. Sekarang ia adalah seorang Duchess," Derrick memberi
jawaban yang sudah diketahui semua orang.
Irina termenung. Para undangan di kapal ini adalah keluarga para korban
Red Invitation dan itu termasuk Mathias. Selain itu sekarang Simona
adalah Duchess of Binkley.
"Kuharap Eleanor tidak mencari masalah."
Derrick tertawa. "Aku yakin Eleanor pasti mencari perhitungan dengan
mereka." Irina memelototi Derrick. Ia tidak suka mendengar komentar itu tetapi ia
juga percaya Eleanor akan melakukannya. Eleanor sudah membenci
Simona sejak detik pertama ia diharuskan menikah dengan Quinn.
Eleanor sudah ingin membuat perhitungan dengan pasangan itu semenjak
ia menjadi calon mempelai Quinn.
"Hari ini mereka juga menyiapkan banyak makanan lezat. Apa kau tidak
mau bergabung?" Derrick mengajak Irina bergabung dengan para undangan yang sudah
menikmati acara yang disiapkan untuk mereka. Meja-meja telah tertata
rapi di Ruang Pesta perut kapal pesiar megah itu. Hidangan lezat terus
disajikan tanpa henti. Para pemain musik melantunkan lagu-lagu lembut
mengiring para pasangan yang berdansa di tengah ruangan. Semua ini
disiapkan untuk menghibur para undangan selama empat jam mendatang
sebelum mereka mencapai Corogeanu.
-----0----- Quinn duduk di sisi tempat tidur, memperhatikan Eleanor yang sudah
tidur tenang di bawah pengaruh obat tidur.
Seseorang mengetuk pintu dengan perlahan.
Quinn berdiri membuka pintu.
Bernard melihat ke dalam dengan hati-hati.
"Ia sudah tenang," kata Quinn perlahan. "Sekarang ia tidur."
Grand Duke tampak lega. Dengan hati-hati ia melangkah masuk. Ia tidak
mau langkah kakinya membangunkan Eleanor.
"Bagaimana keadaan di luar?"
"Semua telah saya tangani sesuai keinginan Anda."
"Bagus," Quinn tersenyum puas.
Bernard menatap Eleanor yang tengah tidur nyenyak. "Paduka," ia
berkata ragu-ragu, "Saya rasa ini terlalu banyak untuk Paduka Ratu. Anda
tahu... ia..." "Aku tahu," Quinn melanjutkan, "Ia adalah satu-satunya orang yang
selamat dalam kecelakaan itu. Ia adalah orang yang dicari-cari untuk
mengorek kejadian kelam itu. Dia adalah orang yang kaulindungi walau
taruhannya adalah kepercayaan rakyat Viering padamu."
Grand Duke terperangah. "Kurasa aku tidak pernah melupakan gadis kecil yang menatap kosong
laut dan menjerit pilu pada hari itu. Tangisannya yang keras membuat
semua orang pilu," Quinn menatap Eleanor. "Gadis kecil itu adalah
Eleanor. Aku tahu di hari pertama kami bertemu."
Grand Duke kehabisan kata-katanya.
"Ia harus mengatasi ketakutannya, Bernard. Ia tidak dapat terus
melarikan diri dari kenyataan pahit itu. Aku telah mengatasi rasa pedih
itu. Ia pun harus bisa bangkit dari peristiwa itu."
Quinn menepuk pundak Bernard. "Jangan khawatir. Aku tidak akan
membuatnya kian terpuruk. Aku tidak akan memaksanya."
Grand Duke melihat kesungguhan di wajah Quinn. Tanpa Quinn
meyakinkannyapun, Grand Duke percaya pada Quinn. Ia percaya Quinn
tidak pernah ingin mencelakakan Eleanor.
Grand Duke mengangguk. "Kuserahkan semua kejadian di luar sana padamu," kata Quinn, "Untuk
sementara ini, aku rasa aku tidak dapat meninggalkan Eleanor seorang
diri." Sekali lagi Grand Duke mengangguk. "Saya mengerti," ia tersenyum,
"Serahkan semuanya pada saya."
"Aku tahu aku bisa mengandalkanmu," Quinn tersenyum puas.
Sepeninggal Grand Duke, Quinn menuju sisi Eleanor. Ia memperhatikan
lekat-lekat wajah yang tidur tenang itu.
'Mungkin aku terlalu memaksamu,' pikirnya.
Bagi kebanyakan orang Red Invitation hanyalah sebuah peristiwa bencana
alam biasa. Namun bagi sebagian orang Red Invitation adalah bencana
alam luar biasa. Bencana itu membawa perubahan besar bagi hidup
Quinn dan kebanyakan bangsawan Viering. Bencana itu telah membawa
perubahan besar pada kelangsungan kehidupan bangsawan Viering.
Dalam satu hari Viering kehilangan banyak bangsawannya termasuk Raja
dan Ratu. Tidak satu orang pun selamat dalam bencana itu. Setidaknya
itulah yang semula dianggap semua orang dan dipercayai sebagian orang
hingga detik ini. Setelah seminggu pencarian yang tidak membuahkan hasil, Duke of
Krievickie yang kala itu sudah menjadi Grand Duke kepercayaan Raja
Alvaro, mengambil tindakan. Ia menghentikan pencarian, mengumumkan
berita meninggalnya Raja dan Ratu Kerajaan Viering beserta para
bangsawan yang menjadi tamu dalam kapal pesiar itu, serta
mengumumkan pengambilalihan posisi Raja Viering oleh dirinya hingga
Quinn cukup umur untuk naik tahta.
Sempat terjadi banyak spekulasi dalam masa-masa berkabung itu.
Orang-orang mulai mempertanyakan mengapa sang Grand Duke tidak
ikut dalam pesta yang akan diadakan di Corogeanu itu" Mengapa sang
Grand Duke yang tidak pernah meninggalkan sisi Raja Alvaro absen
dalam peristiwa yang mengguncang Viering itu" Mengapa tidak seorang
pun menghentikan Raja pada hari itu"
Awan mendung mengiringi kepergian Red Invitation, nama sang kapal
pesiar maut itu. Angin sudah berhembus kencang di detik-detik terakhir
sebelum Red Invitation meninggalkan Tognozzi. Ombak juga sudah
menunjukkan keganasannya. Para pelaut juga merasakan adanya badai
yang mendekat. Namun mengapa tidak ada yang menghentikan Raja"
Quinn juga sempat menjadi seorang dari mereka yang mencurigai Duke
of Schewicvic. Ia yakin Bernard telah memanipulasi ayahnya untuk tetap
melanjutkan pelayarannya ke Corogeanu walau cuaca mulai memburuk.
Bernard pasti memanfaatkan cuaca buruk itu untuk mendapatkan tahta
Viering. Selama ini tidak ada badai yang melalui selat antara daratan utama
Viering dan Corogeanu yang berada beberapa mil di sisi barat Viering.
Namun itu tidak berarti tidak akan pernah ada badai yang memotong
selat itu! Hari itu para pelaut memang masih melakukan aktivitas mereka walau
mereka tahu badai terakhir musim panas berada di sekitar mereka. Kapal
besar kecil masih berhilir mudik di Tognozzi ketika Red Invitation
berlayar. Namun tidak ada yang menyeberang ke Corogeanu!
Quinn tidak dapat menerima kenyataan orang tuanya meninggal dalam
bencana itu. Ia menyalahkan Bernard. Ia tidak percaya Bernard tidak
mengetahui keberadaan bahaya yang menghadang itu. Dan yang
membuatnya semakin kesal adalah Bernard tetap bergeming walau
semakin hari semakin banyak orang yang mencurigainya.
Kemudian muncullah kabar itu. Ada seorang korban selamat!
Quinn mendengar berita adanya seorang pelaut yang menemukan
seorang gadis kecil terapung-apung di atas sebuah kayu di tengah laut.
Banyak pihak berlomba-lomba memastikan siapa gadis kecil itu. Banyak
yang berharap gadis kecil itu adalah keluarga mereka yang hari itu ikut
orang tuanya ke Corogeanu. Bagi Quinn, gadis itu adalah kunci untuk
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hari itu. Mengapa Grand Duke
yang pergi ke Tognozzi, akhirnya pulang tanpa ikut berlayar di Red
Invitation" Bernard tetap terlihat tenang walau berita itu semakin lantang. Ia sama
sekali tidak memerintahkan pencarian gadis kecil itu. Ia juga tidak
berusaha mencari tahu siapa gadis kecil itu. Malahan ia memberi nasehat,
"Itu hanya omong kosong. Jangan mempercayai kabar burung yang tidak
mempunyai bukti." Quinn tidak mempercayai penjelasan Bernard itu. Dan ketika tidak
seorang pun berhasil menemukan jejak gadis itu, ia semakin
mempercayai keterlibatan Bernard.
Tidak seorang pun berhasil menemukan pelaut yang menemukan gadis
itu. Juga tidak seorang pun memastikan kebenaran berita itu. Orangorang pun
mulai meragukan berita itu.
Namun Quinn percaya, korban selamat itu benar-benar ada dan Bernard
telah melakukan sesuatu sebelum seorang pun mendengar kabar itu.
Bernard pasti telah menghabisi gadis itu beserta pelaut yang
menemukannya sebelum seorangpun menemukan mereka. Quinn
percaya! Quinn terus mempercayai hal itu hingga misa berkabung yang diadakan
di Tognozzi untuk mengiringi kepergian para korban Red Invitation.
Dalam misa itu, perhatian semua orang tertuju pada seorang gadis kecil
yang meraung-raung di pelukan Earl of Hielfinberg. Gadis kecil itu
memberontak dengan liarnya, membuat semua hadirin merasa pilu.
Countess of Hielfinberg adalah satu di antara korban Red Invitation.
Quinn melihat Bernard menghampiri Earl beserta putra putrinya kemudian
Earl menyerahkan gadis kecil itu pada Irina. Irina dan Derrick membawa
gadis kecil itu pergi sehingga misa bisa berlanjut dengan tenang.
Dalam misa itu, Quinn sempat mendengar beberapa orang membicarakan
Earl of Hielfinberg dan putri kecilnya.
"Mengapa gadis itu ada di sini?" ia mendengar seorang wanita berbicara
pada wanita yang lain, "Bukankah ia ikut Countess Virgie" Aku melihat
Countess Virgie membawanya masuk ke dalam Red Invitation."
"Mungkin Countess Virgie meminta Grand Duke membawanya pulang,"
kata wanita satunya, "Bukankah Grand Duke akhirnya pulang sebelum
Red Invitation berlayar?"
Quinn bertanya-tanya. Mungkinkah itu yang terjadi di hari itu sehingga
gadis itu selamat" Ataukah gadis itu benar-benar sang korban selamat
yang sempat menjadi bahan pemberitaan itu"
Kemudian sorenya Bernard menemuinya.
"Maafkan saya," mata Bernard berkaca-kaca saat itu, "Seharusnya saya
ikut menjadi korban di hari naas itu. Saya sering menyesali diri saya
sendiri. Mengapa hari itu saya menuruti keinginan Paduka Raja Alvaro
untuk kembali ke Fyzool?"
Quinn kaget mendengar penjelasan yang tidak pernah didengarnya dari
mulut Bernard semenjak berita naas itu.
"Saya menduga Paduka Raja sudah mempunyai firasat ia akan pergi
sehingga ia memaksa saya kembali ke Fyzool. Saya telah berjanji pada
Paduka Raja untuk membesarkan dan mendidik Anda menjadi seorang
Raja Viering yang bijaksana. Hari ini saya bersumpah kepada Anda juga
kepada para korban Red Invitation, saya akan mengabdikan diri pada
Anda hingga Anda naik tahta."
Hari itu Quinn langsung mempercayai apa yang didengarnya. Ia percaya
peristiwa itu adalah murni kecelakaan yang tidak bisa dicegah siapa pun.
Hari ini Quinn memahami mengapa Bernard tidak pernah melakukan
pengejaran pada sang korban selamat yang digosipkan itu. Mengapa ia
terus mengingkari berita yang jelas-jelas nyata itu. Akan terlalu kejam
bila mereka memaksakan pengejaran pada seorang gadis kecil yang tidak
tahu apa-apa itu, pada gadis kecil yang mengalami trauma yang tidak
dapat dilupakannya seumur hidupnya.
Quinn tersenyum melihat wajah manis yang tenang itu.
Kalau saat itu ia bertindak gegabah, saat ini Bernard tidak akan ada di
sisinya. Dan entah apa jadinya dirinya saat ini. Mungkinkah ia menjadi
seperti Mathias yang lemah ataukah ia menjadi seorang Raja yang penuh
dendam" Ia juga mungkin telah menghancurkan hidup Earl of Hielfinberg
dan gadis ini. Semua mungkin saja... BAB 19 Eleanor memperhatikan sekelilingnya.
"Kau sudah bangun?" Quinn bertanya lembut.
Mata Eleanor beralih ke pemuda yang duduk di sampingnya itu.
"Apa kau sudah merasa lebih baik?" tangannya merapikan rambut di
sekeliling wajah Eleanor.
"D-Di mana ini?" tanya Eleanor panik.
Quinn hanya tersenyum. Eleanor pucat pasi. Tangannya menggenggam erat selimut tipis yang
menutupi tubuhnya. Quinn duduk di sisi Eleanor. "Tidak ada yang perlu kautakuti," ia meraih
tubuh Eleanor. Eleanor mencengkeram baju Quinn. Wajahnya terus memutih. Tubuhnya
bergetar hebat. "Kau pasti telah melalui masa-masa yang sulit," bisik Quinn di telinga
Eleanor. Tangannya bergerak membelai rambut gadis itu.
"Aku ingin pulang," pinta Eleanor.
"Tak lama lagi semuanya akan usai. Corogeanu sudah dekat."
"Aku masih harus pulang ke Schewicvic," gerutu Eleanor tidak
sependapat. Quinn termenung. Tidak adakah yang bisa dilakukannya untuk
mengalihkan perhatian gadis ini"
"Ini adalah kesempatan langka," Quinn berdiri, "Mengapa kau tidak
melihat pemandangan luar?"
Eleanor mencengkeram baju Quinn semakin erat.
Quinn mau tidak mau duduk kembali. "Kau tidak bisa terus begini."
"Aku mau pulang," Eleanor mengulangi.
Quinn mendesah. Trauma berhasil membuat Eleanor menjadi seorang
gadis manja yang penakut.
"Aku menyesal sekarang aku tidak bisa menuruti keinginanmu."
Eleanor juga tahu sekarang terlalu terlambat untuk kembali ke Fyzool.
Sekarang sudah amat terlambat untuk menarik kembali keputusannya
menerima tantangan Quinn. Sekarang sudah terlambat untuk
menghentikan harga dirinya yang terusik oleh ejekan Quinn.
Quinn menyandarkan punggungnya di atas tumpukan bantal tanpa
melepaskan Eleanor. "Katakan apa yang harus kita lakukan untuk
menghabiskan waktu?"
Eleanor mengangkat kepalanya melihat Quinn.
"Kita masih punya waktu yang panjang sebelum tiba di Corogeanu."
Eleanor tertegun. Quinn membiarkannya setengah berbaring di atas
tubuhnya. Sementara itu tangannya merangkul punggungnya erat-erat.
Quinn tidak pernah memperlakukannya dengan lembut seperti ini. Quinn
yang biasanya pasti sudah mengejek dirinya dan terus menghinanya.
Eleanor membaringkan badan di atas tubuh Quinn. Ia tidak ingin pergi
dari kenyamanan ini. Ia tidak ingin melepaskan diri dari kehangatan ini.
Ia ingin terus berada di tempat yang menenangkan ini.
Rasa tenang, aman dan nyaman membuat mata Eleanor berat.
-----0----"Di mana matamu!"
Semua kegiatan di Ruang Pesta langsung terhenti. Pasangan yang sedang
berdansa mematung. Tangan para pemain musik terhenti di udara. Katakata orang
yang sedang mengobrol tertahan dalam kesunyian.
Semua mata langsung menuju Simona yang bertolak pinggang. Matanya
mengadili seorang wanita yang kurang lebih seusia dengannya.
"Apa kau tidak tahu siapa aku!?" Simona membusungkan dada.
"Beraninya kau menabrakku!"
Wanita bangsawan itu kesal. Nampak jelas sekali ia tidak suka cara
Simona merendahkannya. "Ada apa, Simona?" Mathias bertanya.
"Tidak ada apa-apa," Simona membalikkan badannya dengan angkuh,
"Hanya seorang tidak tahu diri menabrakku."
Derrick mengalihkan pandangannya. "Lagi-lagi ia membuat ulah,"
katanya. "Selama Mathias ada di sisinya, tidak ada yang berani melawan Simona,"
Irina sependapat. "Aku ingin tahu," gumam Derrick, "Apa yang akan dilakukan Eleanor
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau ia ada di sini."
Irina tersenyum geli. "Ia pasti akan melabrak Simona."
"Saat itu aku ingin melihat wajah Simona," Derrick juga tersenyum geli.
"Sayangnya," Irina kembali cemas, "Kita tidak tahu bagaimana keadaan
Eleanor saat ini. Ini sudah berlangsung tiga jam semenjak kita
meninggalkan Tognozzi. Paduka juga tidak muncul. Aku benar-benar
cemas." Irina melihat ayahnya melintasi kerumunan di Hall.
"Papa," Irina mencegat Grand Duke, "Apa tidak ada kabar" Ini sudah
lebih dari setengah perjalanan. Tidak lama lagi kita akan tiba di
Corogeanu." "Jangan khawatir," Bernard menenangkan, "Paduka Raja ada di sisinya."
"Bahkan Paduka Raja pun tidak meninggalkan sisi Eleanor, apakah itu
tidak berarti keadaan Eleanor benar-benar gawat!" sergah Irina. "Paduka
tidak pernah meninggalkan tamu-tamunya seperti ini."
Grand Duke tidak dapat membantah. Ini pertama kalinya Quinn
meninggalkan tamu-tamunya. Pertama kalinya pula ia meninggalkan
perjamuan tanpa menyambut para tamunya terlebih dahulu.
"Aku rasa bukan itu alasan Quinn tidak meninggalkan Eleanor."
"Derrick!" suara sang Grand Duke meninggi.
"Maksudku Paduka," Derrick langsung membenarkan.
"Ia bukan tipe orang yang mengambil tindakan untuk mengubah arah
gosip," kata Irina pula.
Ini juga benar. Quinn tidak pernah ambil pusing oleh gosip-gosip yang
beredar seputarnya. Ia tidak mungkin sengaja terus berada di sisi Eleanor
untuk membuat gosip baru.
Semenjak mendengar dari Grand Duke bahwa Paduka Raja Quinn tidak
dapat meninggalkan Paduka Ratu Eleanor yang sedang tidak enak badan,
para tamu mulai berspekulasi. Sebelumnya terdengar santer pernikahan
mereka yang selalu diwarnai pertikaian hebat. Sebelumnya lagi juga
tersiar kabar Eleanor kabur ke Mangstone. Pernikahan keduanya sudah
menjadi gosip rahasia selama beberapa bulan terakhir ini. Tidak ada yang
mempercayai pernikahan ini akan berlangsung lama. Tidak ada yang
mempercayai pula keduanya benar-benar saling mencintai seperti yang
pernah mereka umumkan. Dan hari ini...
"Irina benar. Ia bukanlah tipe orang seperti ini," Derrick sependapat. "Ia
bukan orang yang dengan mudah menyerahkan tugasnya pada orang
lain. Kecuali ia benar-benar mendapat halangan besar, ia tidak akan
menyerahkan tugasnya pada Papa."
Grand Duke pun sependapat. Walaupun ia adalah tangan kanan Raja
terdahulu dan penasehat Raja yang sekarang, Quinn lebih suka
melakukan sendiri tugas-tugasnya.
"Bisakah Papa melihat keadaan Eleanor?" pinta Irina. "Aku benar-benar
cemas." "Baiklah," Grand Duke sependapat, "Aku akan melihat keadaan Eleanor."
Grand Duke langsung melangkahkan kaki ke kabin khusus keluarga
kerajaan. Irina menarik tangan Derrick.
"Bukankah Papa sudah setuju akan melihat keadaan Eleanor?" protes
Derrick. Irina tidak menjawab. Ia terus menarik Derrick mengikuti ayah mereka.
Derrick memperhatikan sorot cemas di mata kakaknya. "Aku kalah
darimu," gumamnya. -----0----- Suara ketukan di pintu membuka mata Quinn yang terpejam.
"Seseorang perlu membuka pintu."
Eleanor pun membuka matanya. Ia melihat Quinn yang setengah
mengantuk. Ketukan di pintu kembali terdengar.
Eleanor melihat pintu. "Kalau kau tidak mau membuka pintu berarti aku yang harus pergi."
Eleanor mencengkeram baju Quinn dan menggelengkan kepalanya.
"Aku akan segera kembali," Quinn melepaskan cengkeraman Eleanor.
Eleanor terkejut. Tiba-tiba saja ia merasa kesepian.
Quinn membuka pintu. "Ada apa, Bernard?" tanyanya melihat orang di
depan pintu. "Saya datang untuk melihat keadaan."
Eleanor merasakan angin laut yang menerobos pintu. Ia mendengar suara
yang menderu bagaikan panggilan kematian itu. Ia dapat mencium bau
yang membekukan darahnya. Ia teringat angin ribut yang menerbangkan
apapun, ombak besar yang menggapai langit, sinar-sinar di langit kelam
yang menyilaukan serta jeritan halilintar yang memekikkan telinga.
Quinn menyadari perubahan Eleanor.
"Masuklah ke dalam," katanya memerintah dan ia menutup pintu rapatrapat.
Bernard melihat Eleanor yang meringkuk di atas tempat tidur dengan
tubuh bergetar heba. Lalu ia melihat Quinn.
"Ia sudah bangun," Quinn memberitahu.
Bernard turut cemas melihat wajah pucat gadis itu. Ia berharap ia dapat
melakukan sesuatu untuknya.
"Katakan bagaimana perkembangan keadaan di luar," Quinn mengalihkan
perhatian Bernard, "Apa yang mereka katakan" Apa ada yang
mencariku?" "Tidak ada, Paduka Raja. Saya telah memberitahu alasan Anda tidak bisa
berada bersama mereka. Mereka mengkhawatirkan keadaan Paduka Ratu
namun saya telah meyakinkan mereka Paduka Ratu baik-baik saja."
Semua orang percaya pada penjelasan Bernard kecuali Irina. Sang kakak
angkat dan ibu asuh Eleanor itu tidak dapat berhenti menemaskan
Eleanor. Tidak akan ada yang dapat menghentikan kecemasan putrinya
itu kecuali ia melihat sendiri Eleanor.
Ketika Quinn berada di sisi Eleanor, apakah yang dapat dilakukan Irina"
Quinn sudah lebih dari cukup untuk menjaga Eleanor. Itulah yang
dikatakan Derrick pada Irina. Namun Irina menahan dirinya bukan karena
itu. Melainkan karena ia tidak ingin menganggu mereka.
Sebagai orang yang bertanggung jawab mewakili Quinn, Bernard
memutuskan untuk memeriksa sendiri keadaan Eleanor. Ia ingin tahu
apakah Paduka Rajanya bisa menghadiri pesta yang ia adakan untuk para
tamunya itu. Sekarang ketika melihat Eleanor yang meringkuk di atas
tempat tidur, Bernard percaya kali ini Quinn tidak dapat menjadi tuan
rumah yang baik untuk alasan yang baik.
"Semua orang mulai membicarakannya, Paduka," lapor the Grand Duke,
"Semua membicarakan betapa besarnya cinta Anda pada Paduka Ratu
hingga tidak sanggup meninggalkannya walau hanya sedetik."
"MENARIK!" Suara keras pemuda itu memanggil kembali Eleanor dari bayangan masa
lalunya yang kelam. "Kau dengar itu, Eleanor?" Quinn menoleh pada Eleanor, "Kau telah
membuat gosip-gosip itu berubah haluan."
Eleanor kesal mendengar nada mengejek yang tersembunyi dalam suara
geli itu. Pemuda ini benar-benar tahu bagaimana mempermainkannya.
Sesaat lalu bersikap manis padanya dan sekarang mengejeknya kembali.
Eleanor meraih bantal dan melemparkannya pada Quinn.
Quinn menghindar dengan sigap. Tangannya menangkap bantal itu
sebelum ia mendarat di wajah Grand Duke Bernard yang termangu.
"Lihatlah!" Quinn menyalahkan, "Kau telah melukai Bernard."
Eleanor langsung meloncat dari tempat tidur. "Kau tidak apa-apa,
Bernard?" tanyanya cemas, "Aku tidak membuatmu terluka, bukan?"
Grand Duke Bernard kebingungan.
Quinn tersenyum geli melihat Eleanor yang tidak mau meninggalkan
tempat tidur, berdiri di depan Bernard.
Tiba-tiba saja Eleanor menyadari permainan Quinn.
"KAU!!!!" geram Eleanor kesal.
"Setidaknya kau telah membuat kemajuan," senyum nakal di wajah
Quinn kian lebar. "Rasanya aku ingin memberi pelajaran padamu," Eleanor mendekati
Quinn dengan kemarahan terpendam.
"Apakah itu yang ingin kaulakukan setelah meninggalkan sarangmu?"
selidik Quinn. Eleanor tidak mempedulikan gurauan itu. Ia merebut bantal di tangan
Quinn. "Hei!" Quinn melindungi dirinya sendiri dari serangan Eleanor.
Grand Duke melihat keduanya kembali hanyut dalam keasyikan mereka
sendiri dan ia meninggalkan mereka dengan diam-diam.
"Tidak seorang pun yang bertingkah sepertimu setelah meninggalkan
sarangnya," komentar Quinn sambil terus menangkap serangan Eleanor.
"Kau yang memulainya!" kata Eleanor kesal.
"Sudah cukup permainan hari ini," katanya sambil mengambil alih bantal
di tangan Eleanor. Sebuah ombak besar menerjang kapal.
Eleanor terkejut. Tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Quinn segera memeluk Eleanor sebelum ia terjatuh. Saat itulah Quinn
menyadari getaran hebat tubuh Eleanor.
"Sial," gerutu Quinn.
Kaki Eleanor kehilangan tenaganya dan ia bergelantung lemas di tangan
Quinn. Quinn mendudukkan Eleanor di lantai kabin dan duduk di sisinya sambil
memeluknya erat-erat. "Tidak apa-apa," bisiknya, "Tidak ada apa-apa. Itu hanyalah ombak
biasa." Jari jemari Eleanor mencengkeram kemeja Quinn erat-erat.
"Tidak akan terjadi apa-apa," Quinn meyakinkan, "Aku ada di sini. Aku
tidak akan meninggallkanmu."
Eleanor mendekapkan diri kian erat pada Quinn.
Otak Quinn berputar cepat mencari topik yang dapat mengalihkan
perhatian Eleanor. "Kau membuat kemajuan besar," gurau Quinn, "Kau merubah haluan
gosip-gosip itu. Aku tidak akan heran kalau tak lama lagi mereka
menyebutmu pelacur kelas atas."
Telinga Eleanor memerah mendengar ledekan itu. "Siapa yang pelacur!?"
Eleanor naik pitam. Mata biru beningnya menantang Quinn. "Katakan itu
lagi maka aku akan... aku akan..."
"Aku apa?" Quinn tersenyum simpul.
"Aku... aku...," Eleanor tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
"Menunjukkan padaku bahwa kau benar-benar seorang yang ahli dalam
hal ini?" "KAU!!!" Eleanor geram, "K-kau..." Eleanor begitu marah hingga ia
kehabisan kata-kata. Quinn tertawa geli melihat muka Eleanor yang memerah karena
amarahnya yang memuncak itu. Eleanor sungguh tidak cocok dengan
ekspresi murkanya itu. Wajahnya terlalu cantik, terlalu kekanak-kanakan.
Mata biru beningnya yang lembut tampak begitu aneh dengan sorot
tajamnya. "Apa yang kautertawakan!?" bibir mungil itu mencibir kesal.
"Ini," Quinn menyentuh bibir Eleanor.
Sentuhan lembut Quinn mendinginkan api amarah Eleanor dan membuat
dadanya berdebar kencang.
"Kau sungguh tampak begitu menggelikan dengan ekspresi kemarahanmu
itu. Kau sungguh tidak cocok untuk marah," bisik Quinn sambil
mendekatkan wajah. Eleanor pasrah. Ia membiarkan tangan Quinn menjelajahi wajahnya. Ia
membiarkan Quinn mengangkat dagunya. Eleanor menutup matanya. Ia
sudah benar-benar luluh oleh cara Quinn menyentuhnya.
Quinn pun tanpa ragu-ragu mendekatkan bibirnya.
Seseorang mengetuk pintu.
"Sial!" Eleanor mendengar Quinn menggerutu. "Siapa yang berani
merusak suasana ini!!?"
Seketika itu Eleanor sadar dari pengaruh biusan Quinn dan ia menjauhkan
diri. "Belum, sayangku," Quinn menarik Eleanor kembali ke pelukannya, "Aku
belum selesai." Sebelum Eleanor sempat menyadari kekagetannya sendiri, Quinn
mendaratkan ciuman lembut di atas bibirnya dan ia berdiri untuk
membuka pintu. Eleanor terperanjat. Kejadian ini sangat cepat. Terlalu cepat untuknya. Ia
tidak siap untuk itu. Ciuman pertamanya melayang begitu saja tanpa ia
sadari. Entah mengapa, Eleanor tidak kecewa. Dadanya terus berdegup
kencang. Ia tidak dapat mempercayai ini. Quinn, si pemuda yang lebih
suka mengejeknya daripada memujinya, telah menciumnya!
"Saya datang untuk memeriksa keadaan," kata seorang awak kapal,
"Apakah Anda baik-baik saja, Paduka?"
"Apa yang terjadi?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Guncangan barusan disebabkan
oleh gelombang besar."
"Kuharap badai tidak datang."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Paduka. Kapten mengatakan tidak
akan ada badai. Gelombang barusan murni gelombang biasa."
"Untunglah," Quinn lega. "Masih berapa lamakah sebelum kita
mendarat?" "Kurang lebih setengah jam lagi, Paduka."
Quinn melirik Eleanor yang masih duduk di lantai. Gadis itu sedikitpun
tidak bergerak. Matanya menerawang kosong seperti tubuh tidak berjiwa.
Lalu ia berkata, "Kau bisa pergi sekarang."
Pria itu langsung mengundurkan diri.
Quinn duduk di depan Eleanor. "Kau sudah lebih baik?" tangannya
merangkum wajah Eleanor. Wajah Eleanor langsung memerah. Wajah Quinn yang begitu dekat itu
mau tidak mau membuatnya teringat ciuman singkat Quinn beberapa
saat lalu. "Melihat wajahmu yang seperti ini," Quinn menggoda, "Kau sudah jauh
lebih baik." Eleanor kesal. Lagi-lagi ia membiarkan dirinya dipermainkan Quinn!
Quinn tersenyum melihatnya. Tiba-tiba ia berdiri sementara tangannya
menarik tubuh Eleanor. Tubuh Eleanor yang tidak siap langsung limbung.
Quinn memeluk gadis itu dengan lembut. Tangan kanan Quinn
memegang pipi yang memucat itu sementara tangan kirinya memeluk
pinggang Eleanor, menahan gadis itu.
"Kau tahu, kau bisa membiusku dengan wajahmu yang tanpa dosa itu,"
Quinn tersenyum penuh kasih.
Wajah Eleanor merona. "Kau sungguh membuatku tidak berdaya," sekali lagi Quinn mendaratkan
ciumannya di bibir Eleanor.
Eleanor tidak pernah tahu sebuah ciuman bisa terasa menakjubkan
seperti ini. Eleanor tidak dapat menggambarkan perasaan ini. Ia tidak
dapat mengutarakannya. Ia merasa luluh tidak berdaya sekaligus terbuai.
Tubuhnya bergetar hebat ketika Quinn melepaskan bibirnya. Bibirnya
membuka - haus akan kenikmatan yang baru dikenalkan Quinn padanya.
Matanya menatap Quinn penuh kerinduan.
Tangan Quinn menyandarkan kepala Eleanor di pundaknya.
Eleanor menggenggam erat kemeja Quinn dan menyembunyikan
wajahnya di dada Quinn. Ia terlalu malu untuk melihat wajah pemuda itu.
"Sekarang," katanya memecah kesunyian di antara mereka, "Apa yang
harus kita lakukan denganmu?"
"Denganku?" "Pertama-tama aku perlu memulangkanmu ke sarangmu."
Lagi-lagi Quinn mengagetkan Eleanor. Sebelum Eleanor menyadarinya,
Quinn mengangkat Eleanor dan membaringkan gadis itu di atas tempat
tidur. BAB 20 Quinn menurunkan kaki Eleanor di atas tanah.
"Kita sudah sampai," ia memberitahu.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eleanor melepaskan tangannya dari leher Quinn dan membuka matanya.
Ia tersenyum lebar melihat jalan setapak ke villa kerajaan, Corogeanu.
Matanya langsung melihat Irina yang berdiri tak jauh di depannya
bersama Derrick. "Irina!!" Eleanor berlari riang.
Irina menyambut gadis itu dengan pelukannya. Ia lega melihat Eleanor
yang kembali segar bugar.
"Ayo kita pergi, Irina," Eleanor menarik lengan wanita itu, "Aku sudah
tidak sabar menjelajahi tempat ini."
Irina tidak mempunyai kesempatan untuk melawan Eleanor. Ia hanya
bisa membiarkan gadis itu menariknya dengan paksa.
"Hati-hati Eleanor!" Derrick berseru cemas, "Awas Irina!" serunya ketika
melihat Irina hampir terjatuh karena Eleanor.
Derrick memegang dahinya dan mengeluh panjang. Eleanor memang
selalu bisa membuatnya cemas. Sejujurnya, Derrick tidak terlalu cemas
akan Eleanor. Ia lebih mencemaskan Irina. Irina bukan seorang gadis liar
seperti Eleanor. Ia adalah seorang lady!
Quinn tertawa. Derrick terkejut. Entah sejak kapan Quinn telah berada di belakangnya.
"Sepertinya Eleanor sudah pulih."
Derrick melihat kedua wanita yang terpenting dalam hidupnya itu telah
menjauh. Quinn pun tersenyum melihat Eleanor yang kembali ceria itu. Eleanor di
atas daratan memang berbeda dengan Eleanor di atas laut.
"Paduka," Derrick berkata serius, "Saya telah mendengarnya. Anda
mengetahui tentang Eleanor."
"Ya," gumam Quinn.
Derrick melihat Quinn dengan serius.
"Itu adalah cerita masa lalu. Kejadian itu murni kecelakaan. Tidak ada
gunanya mengungkit cerita masa lalu. Lagipula itu akan terlalu kejam
untuk Eleanor." Derrick lega mendengarnya.
"Mungkin hari ini aku boleh memberi kebebasan pada Eleanor," Quinn
tersenyum penuh arti melihat gadis itu membuat Irina panik.
"Mari kita pergi," Quinn menepuk pundak Derrick. "Kau mencemaskan
Irina, bukan?" Quinn melalui Derrick, "Aku tidak mencemaskan Eleanor
tapi aku mencemaskan Irina. Aku percaya Eleanor akan membuat Irina
celaka," dan pemuda itu tertawa.
Derrick terperangah. Mau tak mau ia pun tersenyum. "Baik, Paduka,"
katanya mengikuti Quinn mengejar kedua gadis di depan itu.
"Derrick, kau bisa memanggilku Quinn," Quinn memberitahu. "Aku sudah
bukan hanya seorang Raja bagimu. Sekarang aku juga menjadi bagian
dari keluarga kalian."
"Saya juga sependapat," kata Derrick, "Tapi... Papa."
"Bernard memang seorang yang masih kolot," Quinn tertawa geli.
Derrick terperangah. Baru kali ini ia mendengar Quinn berkomentar
tentang ayahnya. "Tapi kerajaan ini membutuhkan orang seperti dia, bukan?" kata Quinn
serius. Derrick mengangguk. Andai bukan karena pikiran kolot ayahnya, mungkin
ayahnya sudah langsung mengambil alih tahta ketika Quinn masih terlalu
kecil untuk menjadi seorang Raja.
-----0----- Grand Duke bingung melihat Raja Quinn duduk santai di Ruang Duduk
Corogeanu menikmati anggurnya. Beberapa saat lalu seorang pelayan
menyampaikan panggilan Quinn. Ia menduga ada sesuatu yang hendak
dirundingkan Quinn dengannya. Namun apa yang dilihatnya saat ini
berbeda dengan dugaannya.
"Duduklah," ia menyambut kedatangan sang Grand Duke.
"Paduka Ratu?" Bernard melihat sekelilingnya.
"Ia ada bersama Irina dan Derrick yang menemaninya menjelajahi
Corogeanu. Untuk sementara waktu ini aku memiliki waktu luang," lalu ia
menawari, "Kau mau minum apa" Brandy" Armagnac" Atau Sherry"
Vodka?" "Anggur merah," jawab Grand Duke.
Quinn tersenyum, "Kau masih tidak berubah." Quinn menuangkan segelas
anggur merah untuk Grand Duke.
Bernard menerima gelas itu.
Quinn menuju jendela dan memperhatikan kegiatan para tamunya di luar.
Sekitar lima ratus bangsawan dan keluarga ternama yang diundang itu
tampak menikmati keindahan Corogeanu. Sekelompok wanita tampak
berkumpul di bawah rimbunan pepohonan dan bercanda riang.
Sekelompok tamu menikmati jamuan yang disiapkan di kebun. Beberapa
pria tampak merundingkan sesuatu dengan serius. Sekelompok anak kecil
yang turut serta bersama orang tuanya, bermain dengan riang.
Entah di mana sekarang Eleanor berada. Begitu melihat bangunan villa
yang dinamakan sesuai dengan nama pulau ini, Eleanor berseru gembira.
Ia menarik Irina menjelajahi Corogeanu sambil mengumumkan, "Ini
adalah waktu penjelajahan!"
Melihat Eleanor kembali membawa kabur kakaknya, Derrick langsung
mengikuti mereka. Quinn memutuskan untuk menyerahkan mereka pada
Derrick. Ia masih punya pekerjaan yang perlu dilakukannya sejak awal
perjalanan ini yaitu menyambut tamu-tamunya.
Quinn berpikir andai bencana itu tidak pernah terjadi, mungkin Eleanor
sudah dari dulu jatuh cinta pada tempat ini.
Corogeanu bukanlah pulau besar. Bahkan pulau ini masih terlalu kecil
untuk disebut pulau kecil.
"Sepertinya suasana tahun ini berbeda dari tahun-tahun yang lalu."
Grand Duke mengangguk setuju.
"Entah mengapa aku merasa Eleanor akan membawa sebuah kejutan."
"Mungkin karena ia selalu membuat kejutan," Bernard memberikan
komentarnya. "Dia suka membuat keributan," Quinn membenarkan. Matanya mencaricari Eleanor di
seputar pulau kecil ini. Quinn melihat sesuatu melompat dari beranda di lantai tiga Corogeanu
tak lama kemudian muncul seorang wanita dengan wajah paniknya
disertai seorang pria. Sesaat kemudian wanita itu melompat dari beranda.
Pria itu tampak panik dan kemudian ia pun melompat dari beranda ke
pohon di bawah beranda itu.
Pemandangan itu membuat Quinn teringat peristiwa serupa yang
dilihatnya beberapa tahun lalu.
Quinn masih ingat saat itu ia berada di dalam kereta menanti sang Grand
Duke yang mengambil barang di dalam Mangstone.
Di saat ia menanti itulah tiba-tiba ia melihat sebuah sosok kecil melompat
dari beranda ke pohon terdekat. Ia bergelayutan dari satu dahan ke
dahan yang lain dengan lincahnya selayaknya seekor monyet.
Sesaat kemudian tampak seorang gadis remaja muncul di beranda
dengan wajah geramnya. Ia bertengkar dengan seorang pemuda sebelum
ia melompat dari beranda.
Quinn membelalak kaget. Ia mengenali wajah gadis itu. Ia adalah Irina,
putri Duke of Binkley! Pemuda yang tak lain adalah Derrick itu tampak panik dan ia pun
mengejar kedua gadis itu.
Quinn tertawa. Ia benar-benar tidak menduga Irina, putri Duke of Binkley
yang anggun ternyata bisa bertingkah seperti ini.
Grand Duke yang muncul dari dalam Mangstone kebingungan melihat
rajanya tertawa geli. Quinn tidak pernah memberitahu Bernard apa yang membuatnya tertawa
saat itu. Bernard juga tidak pernah bertanya.
Quinn tersenyum geli melihat Irina dengan susah payah mengejar Eleanor
yang dengan lincahnya melompat dari satu dahan ke dahan yang lain.
Derrick, di sisi lain, kebingungan mengejar kedua gadis itu.
"Aku tidak bisa hanya berdiam diri di sini," Quinn beranjak meninggalkan
jendela, "Derrick membutuhkan bantuan."
Grand Duke tidak mengerti tapi ia juga tidak menghentikan Quinn.
Quinn langsung menuju halaman tempat ia melihat kedua wanita itu
saling kejar mengejar dan Derrick yang kewalahan menghentikan
keduanya melakukan tindakan yang berbahaya dengan gaun mereka
yang merepotkan itu. Quinn berdiri di bawah sebatang pohon dan menengadah.
"Sudah waktunya kau berhenti."
Eleanor terkejut. Kakinya terpeleset. Tangannya langsung bertindak cepat
berpegangan pada dahan pohon.
Irina membelalak kaget. Ia melihat Quinn yang berdiri di bawah mereka
dengan wajah memerah. Derrick juga tidak kalah kagetnya melihat Quinn tiba-tiba muncul.
Eleanor memanjat dahan pohon tempat ia menggelantung dan duduk.
Matanya langsung menatap tajam Quinn, setajam suaranya, "Apa-apaan
kau ini!" Apa kau ingin mencelakaiku!?"
"Aku tidak mencelakaimu," kata Quinn tenang, "Kau sendiri yang mencari
bahaya." "Apa katamu!?" Eleanor marah.
Quinn menghela nafas panjang.
"Apa!?" Eleanor tidak suka melihat wajah lelah pria itu. Ia tidak
melakukan apa-apa yang menganggu pria itu. Untuk apa ia memasang
wajah itu!" Eleanor benar-benar tidak menyukai Quinn!
Quinn mendekati pohon itu. Di luar dugaan Eleanor, pria itu mulai
memanjat ke arahnya. Irina membelalak. Derrick melotot. "Derrick, dia," bisik Irina.
"Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya," jawab Derrick.
Beberapa tahun lalu Quinn tidak bisa berbuat apa-apa selain bisa tertawa
dan menahan rasa iri hatinya melihat ketiganya bersenda gurau sambil
melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
"Apa yang kau lakukan!?" Eleanor memelototi pria yang langsung duduk
santai di pangkal dahan yang sama dengannya.
"Bukan hanya kau yang ingin duduk di sini," Quinn menyandarkan
punggung ke batang pohon. Ia menutup matanya seolah-olah sedang
menikmati hawa segar di sekitar pohon itu.
"Sebaiknya kau jangan melakukan sesuatu yang bodoh!" Quinn
memperingati, "Aku tidak mau merepotkan diriku sendiri."
"Siapa yang menyuruhmu merepotkan dirimu sendiri"!" Eleanor
memalingkan badan. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat tubuh
Eleanor kehilangan keseimbangan. Eleanor membelalak kaget. Dahan
tempatnya duduk terlalu dekat dengan ujung dahan dan tidak cukup kuat
untuk menahan gerakannya yang tiba-tiba itu.
Quinn segera meraih tangan Eleanor dan memeluknya erat-erat.
"Kau benar-benar liar," keluh Quinn, "Kau hanya akan membuat masalah
besar kalau kau jatuh. Duduklah yang manis seperti Irina."
Mendengar namanya disebut, wajah Irina memerah lagi. Selama ini tidak
seorang pun selain Eleanor dan Derrick tahu ia bisa memanjat pohon.
Bahkan ayahnya pun tidak tahu!
Derrick melompat dari dahan tempatnya berdiri ke sisi Irina. Berdua
mereka memperhatikan Eleanor yang masih belum pulih dari
kekagetannya, meringkuk di pelukan Quinn.
"Kurasa kita harus meninggalkan mereka," bisik Derrick.
Irina mengangguk mengerti dan menerima uluran tangan Derrick.
Eleanor berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sesaat yang lalu ia
merasa nyawanya telah pergi meninggalkan raganya.
Quinn tersenyum geli melihat gadis itu. "Kau sudah kehilangan nyalimu?"
Kemarahan Eleanor langsung bangkit lagi mendengar suara mengejek itu.
Ia memelototi Quinn. "Sekarang tinggal kita berdua," kata Quinn sebelum Eleanor sempat
melontarkan kemarahannya.
Eleanor langsung melihat tempat Irina dan Derrick beberapa saat lalu
berada. "Mereka sudah pergi," Quinn memberitahu.
Mata Eleanor menangkap sosok Derrick yang membantu Irina turun dari
pohon. Eleanor memalingkan kepala.
"Jangan!" Quinn mencoba memperingati tetapi ia terlambat. Mata Eleanor
menggelap melihat hamparan laut di belakangnya. Tubuhnya bergetar
keras. Ia merasa seluruh dunia berputar dan bersamaan dengan itu
tenaganya menghilang. Quinn kembali memeluk Eleanor erat-erat. "Tidak apa-apa," bisiknya,
"Tidak akan terjadi apa pun."
Eleanor mencengkeram kemeja Quinn. "A-aku ingin kembali."
"Tidak ada salahnya kau menemaniku di sini," Quinn memegang tangan
Eleanor. Eleanor melihat senyum lembut Quinn. Jantungnya berdebar keras. Ia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu di dalam, Irina berdiri di sisi jendela. Matanya tidak lepas
dari pohon tempat Quinn dan Eleanor berada.
"Kau tidak perlu mencemaskan mereka," Derrick berkata, "Paduka tidak
akan melakukan sesuatu yang berbahaya."
Irina tidak menanggapi. "Seharusnya kau lebih tenang sekarang," Derrick membuka mulut,
"Setidaknya sekarang ada Paduka yang mengawasi Eleanor."
"Aku bingung," gumam Irina, "Haruskah aku memanggil mereka?"
Derrick bingung melihat kegundahan Irina.
"Makan malam sudah hampir siap."
Derrick tersenyum. "Kulihat kau tidak perlu memusingkan hal itu. Paduka
sudah tahu. Lihatlah."
Irina memperhatikan halaman.
Quinn sudah berdiri di dahan kemudian ia meloncat.
Irina terkejut. Di sana, Eleanor pun membelalak kaget.
"Apa yang kaulakukan!?" seru Eleanor panik.
Quinn mendarat di tanah dengan mulusnya kemudian ia menengadah.
"Melompatlah." "APA!?" "Aku akan menangkapmu," Quinn mengulurkan tangan.
"Siapa yang akan melakukan hal gila sepertimu!?" Eleanor kesal.
Quinn tersenyum geli. "Bukannya kau selalu melakukannya?"
Eleanor termenung. "Ia tidak akan melakukannya, bukan?" Irina menatap adiknya dengan
cemas, "Eleanor tidak akan melompat seperti Paduka, bukan?"
"Siapa tahu," gumam Derrick, "Aku tidak yakin apa yang akan dilakukan
Eleanor tetapi aku tahu Paduka tidak akan mencelakakan Eleanor."
"Eleanor, jangan melompat," Irina berdoa namun di saat yang bersamaan
Eleanor menjatuhkan diri dari dahan.
"ELEANOR!!!" Irina terpekik kaget.
Derrick langsung menangkap tubuh lemas kakaknya. "Tidak apa-apa,"
katanya menenangkan, "Eleanor tidak apa-apa. Lihatlah itu."
Irina membuka matanya. Paduka Raja tengah membopong Eleanor. Ia tidak menurunkan Eleanor
malah membawanya ke dalam.
"Tampaknya ia lebih kuat dariku," gumam Derrick.
"Ya, Tuhan, Eleanor...," Irina tidak tahu harus berkata apa.
Sementara Irina sedang memulihkan kekagetannya, Eleanor berusaha
keras melepaskan diri dari Quinn.
"Turunkan aku!" Eleanor memasang wajah cemberutnya.
"Mengapa?" Quinn bertanya tidak mengerti, "Ini adalah bulan madu kita.
Apakah salah kalau aku bersikap manis pada istriku selama bulan madu?"
"Bulan madu?" Eleanor mencibir. "Tidak ada orang yang berbulan madu
dengan membawa berpuluh-puluh penonton."
Quinn hanya tersenyum. Sudah sejak tadi ia menyadari puluhan pasang
mata yang terus memperhatikannya membopong Eleanor. "Apakah itu
artinya kau ingin berbulan madu hanya denganku?" ia sengaja menggoda
Eleanor, "Setiap malam kita bisa berbulan madu."
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mati pun aku tidak sudi!" Eleanor menanggapi dengan cepat.
"Aku tidak akan membiarkannya," Quinn meneruskan godaannya, "Kalau
kau mati, aku tidak akan mempunyai pasangan bulan madu."
"Dengan rekor kekasihmu, aku yakin dalam satu jam kau akan
menemukan pasangan baru."
Alis Quinn terangkat. "Kau cemburu?"
"S-si-si," wajah Eleanor merah padam, "Siapa yang cemburu!?""
suaranya meninggi dengan kesal.
Quinn tertawa geli. Ia tidak tahu wajah Eleanor memerah karena kesal
atau memang karena malu. Quinn hanya tahu Eleanor tidak menyukai
godaannya dan itu sudah cukup untuknya.
Quinn melihat Duke Bernard mendekat diikuti putra-putrinya.
"Sudah, jangan marah," Quinn menurunkan Eleanor, "Irina akan
menggantungku kalau melihat wajahmu itu."
"Aku akan melaporkanmu pada Irina!" Eleanor menjulurkan lidahnya pada
Quinn dan langsung berlari ke pelukan ibu angkat kesayangannya itu.
Quinn hanya tersenyum melihatEleanor menarik Irina pergi dengan
gembira. Dalam hati ia berpikir Eleanor memang masih anak-anak.
"Apa yang terjadi, Paduka?" Duke Bernard bertanya cemas, "Tampaknya
Paduka Ratu tidak senang berada di dekat Anda."
Quinn hanya tertawa. "Dia alergi padaku," katanya kemudian ia bertanya,
"Ada apa kau mencariku, Bernard?"
"Saya hanya ingin bertanya apakah Anda akan menginap di sini atau
langsung pulang bersama tamu-tamu yang lain."
Quinn melihat Eleanor yang kini sudah berbaur dengan tamu-tamu yang
lain dikawal Derrick. "Aku tidak berani menjamin Eleanor dapat melupakan laut di sekitarnya
ini," Quinn memutuskan, "Kami akan pulang bersama kalian." Dan
sebelum sang Grand Duke berkata, ia menambahkan, "Dapatkah kau
mencari Lawrence untukku?"
Walaupun tidak mengerti akan permintaan Rajanya, Duke Bernard tetap
berkata, "Tentu, Paduka Raja."
Kemudian, seperti Eleanor, Quinn pun berbaur dengan tamu-tamunya
sambil menunggu makan malam.
-----0----- Eleanor sedang bercanda dengan tamu-tamunya, ketika terdengar
bentakan kasar. "APA!" Apa kalian sudah puas melihatku!" Simona bersila pinggang
memelototi sekelompok wanita, "Memangnya kalian pikir siapa kalian!"
Beraninya kalian memelototi Duchess of Binkley!!?"
Seperti semua orang di tempat itu, Irina melihat Simona melabrak
sekelompok wanita itu tanpa dapat berkata apa-apa.
Eleanor langsung mendekati mereka.
"Kita akan melihat pertunjukan menarik," Derrick tersenyum simpul.
Irina langsung memelototi Derrick dengan tidak senang. Sementara itu
Eleanor sudah tiba di sisi kumpulan orang yang menjadi pusat perhatian
itu. "Apa yang terjadi, Simona?" Eleanor sengaja bertanya pada wanita itu
dengan senyum manis tersungging di wajah lembutnya.
Karena Simona tampak tidak ingin menjawab pertanyaannya, Eleanor
berpaling pada sekelompok wanita di sisi yang lain. "Dapatkah kalian
memberitahuku apa yang telah terjadi?"
Mereka pun tidak mengeluarkan suara.
Eleanor pun menyadari sesuatu. "Walau aku tidak mengerti apa yang
telah terjadi, sebagai senior Simona, aku meminta maaf yang sebesarbesarnya."
Baik Irina maupun Derrick terperanjat.
"Aku harap kalian bisa memaklumi tindakan Simona. Ia masih baru dalam
lingkungan ini," Eleanor berkata dengan segenap ketulusannya, "Aku
tidak terlalu mengerti masa lalu Simona. Namun sepertinya, Simona tidak
suka terus-terusan menjadi pusat perhatian. Aku berharap kalian bisa
memaklumi sikapnya ini. Selain itu aku juga berharap kalian bisa
membantu Simona terbiasa dengan kehidupan barunya."
Bibir Derrick membentuk senyum geli. "Aku sudah tahu Eleanor tidak
akan berpihak pada Simona."
"Sejak kapan dia pandai menyindir orang?" gumam Irina.
Tidak seorang pun dari mereka yang membuka suara. Kemudian Eleanor
berpaling pada Simona. "Simona, sebagai Duchess of Binkley, aku ingin
kau memahami kedudukanmu. Aku berharap engkau bisa
memperlakukan tamu-tamuku seperti tamu-tamumu sendiri. Aku yakin
Duke Mathias sudah menjelaskan pentingnya kedudukanmu ini." Raut
wajah Eleanor dipenuhi rasa bersalah. "Maafkan aku, tak seharusnya aku
berkata sekeras itu padamu." Sepasang bola mata birunya menatap
Simona lekat-lekat, "Aku lupa engkau pasti masih tidak dapat
meninggalkan kebiasaan masa lalumu."
Tangan Simona terkepal erat di sisi tubuhnya.
"Aku tidak tahu apakah Duke Binkley sudah mengajarkan dasar-dasar
tata krama pergaulan kelas ini. Aku hanya ingin mengulangi sebagai
seorang Duchess, kau tidak boleh mengumbar emosimu seperti itu.
Perbuatan itu hanya merendahkan dirimu sendiri. Semoga engkau bisa
memahaminya. Aku tidak ingin orang lain memandang rendah pada
wanita yang akan menjadi penerusku sampai putra kami lahir. Engkau
juga perlu memahami sebagai Duchess of Binkley, engkau tidak akan
dapat terlepas dari pusat perhatian. Jangan khawatir, perhatian setiap
orang padamu berbeda dengan perhatian tiap pria ketika kau masih
bekerja di Dristol." Kemudian Eleanor mendesah kecewa. "Aku sungguh
iri padamu. Aku, sang Ratu Kerajaan Viering, tidak mendapatkan banyak
perhatian walau kedudukanku lebih tinggi darimu." Lalu Eleanor
tersenyum manis, "Apa boleh buat, kau lebih punya daya tarik daripada
aku. Bukankah begitu, Duke Mathias?" mata Eleanor tertuju pada sang
suami Simona, Duke of Binkley yang sejak awal hanya berdiri terpaku di
tempatnya. Duke Mathias terperanjat. "B-benar, Paduka Ratu." Ia menjawab dengan
gugup. Derrick tidak dapat menahan tawa gelinya. "Eleanor benar-benar luar
biasa." "Dia benar-benar tidak mudah dihadapi."
Derrick terperanjat. Ketika ia menoleh, Quinn sudah berdiri di
belakangnya. "Irina, aku perlu bantuanmu," kata Quinn ketika ia mendapat perhatian
wanita itu. "Dengan senang hati, Paduka."
Quinn mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku bajunya. "Aku ingin kau
memasukkan obat ini pada minuman Eleanor."
Keduanya membelalak kaget.
"Aku sudah mengatur tempat duduk kalian selama makan malam," lanjut
Quinn, "Aku akan mengalihkan perhatian Eleanor untuk memberi
kesempatan pada kalian."
"I-ini?" Irina menerima botol itu dengan bingung.
"Ini adalah obat tidur yang kuterima dari Lawrence," Quinn menjelaskan,
"Lebih baik membiarkan Eleanor tidur sepanjang perjalanan daripada
membiarkannya membuat ulah."
"Eleanor pasti akan marah besar," komentar Irina.
"Tidak ada cara lain," Derrick juga berkomentar, "Hanya ini satu-satunya
cara untuk membawa pulang Eleanor tanpa membuat gadis itu
ketakutan." Quinn tersenyum penuh arti. Kemudian ia berkata, "Sudah saatnya aku
menghentikan ini." Quinn pun mendekati Eleanor.
Irina menarik baju Derrick untuk mendapatkan perhatiannya. "Sejak
kapan ia berada di sana" Apakah ia melihat semuanya?"
"Entahlah," hanya itu yang dapat dijawab Derrick.
"Eleanor, sayangku," Quinn menyelipkan tangannya di pinggang Eleanor,
"Aku tahu engkau tertarik pada masa lalu Simona namun sekarang bukan
saatnya mendengar cerita yang menarik itu."
Eleanor langsung menengadah melihat Quinn.
"Aku yakin makan malam sudah siap," Quinn memberitahu, "Engkau mau
ke sana sendiri atau kugendong?"
Wajah Eleanor langsung memerah. "Aku bisa berjalan sendiri," ia
langsung membalikkan badan.
Quinn tersenyum melihatnya. Ia berpaling pada Mathias dan berkata,
"Kuharap engkau bisa membantu istri pilihanmu terbiasa dengan
kehidupan barunya ini," dan ia segera mengikuti Eleanor.
BAB 21 "Di mana Eleanor?" Quinn menatap tajam pelayan pribadi Eleanor,
"Katakan padanya aku menyuruhnya datang sekarang juga!" Quinn
marah. "Ehm..., Paduka Raja. Itu... anu... Paduka Ratu," Nicci bingung, "Dia...
Paduka Ratu..." Quinn menghela nafas. Kemarin malam ketika Eleanor masih terlihat segar bugar ketika mereka
akan kembali ke Tognozzi, Quinn sempat curiga kakak beradik Krievickie
tidak melakukan tugas mereka. Namun ketika Eleanor terus berpegang
padanya ketika mereka sudah memasuki kapal, Quinn tahu keduanya
telah berhasil tanpa sedikit pun menimbulkan kecurigaan Eleanor. Hanya
semangat Eleanorlah yang membuat obat itu tidak bekerja seperti yang
diharapkan Quinn. Eleanor sempat membuat keributan ketika ia tiba-tiba terjatuh tak lama
setelah kapal meninggalkan Corogeanu. Quinn segera mengatasi keadaan
dengan membawa Eleanor ke kamar dan memanggil Lawrence untuk
memeriksanya. Tentu saja keduanya tahu apa yang membuat Eleanor
tiba-tiba jatuh pingsan namun tak seorang pun dari mereka yang
membuka suara. Lawrence sempat mengagumi daya tahan Eleanor pada obat tidurnya.
Namun ia yakin, Eleanor akan terus tertidur hingga mereka mencapai
Istana. Dan memang itulah yang terjadi. Eleanor terus tidur hingga pagi
ini! Ketika Eleanor muncul di Ruang Makan dengan wajah cerianya, Quinn
yakin gadis itu tidak tahu apa yang membuatnya pingsan kemarin malam.
Namun rupanya ia terlalu menyepelekan Eleanor. Gadis cerdas itu pasti
tahu apa yang sudah diperbuatnya dan sekarang ia memberikan
pembalasannya! Pagi ini ia sudah memberitahu Eleanor mereka akan menghadiri sebuah
perjamuan sosial. Sekarang, gadis itu menghilang. Seharusnya ia sudah
tahu akan begini jadinya. "Ke mana dia?"
Nicci terkejut. "Ke mana biasanya dia menghilang?"
Nicci sadar ia tidak bisa berbohong pada Raja Quinn. "Baju pelayan yang
Paduka Ratu minta tidak ada di tempatnya," Nicci memberitahu dengan
hati-hati. Matanya terus mengawasi setiap perubahan di wajah tampan
Quinn, "Mungkin Paduka Ratu pergi ke Loudline. Paduka Ratu suka pergi
ke Loudline dengan menyamar sebagai pelayan Earl Hielfinberg."
Dengan tingkah Eleanor yang seperti itu, Quinn sama sekali tidak
terkejut. "Nicci, kau bisa mencarikan baju pelayan untukku?"
Nicci terperanjat. "Paduka, Anda... Anda... tidak bermaksud... bukan?"
"Seseorang harus menjemput Eleanor."
"Anda bisa mengirim saya untuk menjemput Eleanor. Saya tahu di mana
biasanya Ratu berada."
"Aku tidak ingin mengulangi perintahku, Nicci," Quinn memperingati.
"B-baik, Paduka. Hamba akan segala melaksanakan perintah Anda," Nicci
langsung bergegas pergi. Kalau semua orang mengatakan Eleanor adalah satu-satunya orang yang
bisa menghadapi amarahnya, Quinn pun mempunyai kepercayaan diri ia
adalah satu-satunya orang yang bisa mengatasi pemberontakan Eleanor.
Quinn menghela nafas. Tampaknya hari ini ia tidak akan bisa ke manamana. Ia
harus mengirim seseorang ke perjamuan itu.
"Paduka," Jancer, sang Kepala Pengawal Istana muncul dengan wajah
pucatnya, "Saya telah mendengarnya. Saya bisa mengirim pasukan untuk
menjemput Paduka Ratu."
Quinn tidak terkejut melihat wajah panik pria itu. "Harus aku sendiri yang
menjemput Eleanor." "Saya akan mengatur pasukan untuk menemani Anda."
"Tidak, Jancer. Aku tidak mau dikawal," perkataan Quinn membuat Jancer
membelalak, "Aku punya tugas lain untukmu."
Jancer tidak mengerti rajanya. Semenjak kehadiran Eleanor di Istana ini,
Quinn mulai berubah. Sekarang ia menjadi seseorang yang benar-benar
tidak dikenal Jancer. Dulu Quinn selalu berkepala dingin menghadapi setiap masalah. Ia jarang
mengumbar emosinya. Sekarang, tiada hari mereka tidak mendengar
bentakan Quinn. Anehnya, amarah Quinn tidak lagi semenyeramkan dulu.
Entah itu karena mereka sudah mulai terbiasa dengan suara nyaring
Quinn yang mengagetkan istana setiap saat ataukah karena kehadiran
Eleanor yang selalu membantah Quinn dengan suara nyaringnya pula.
Jancer tidak mengerti. Dulu Quinn tidak pernah menolak setiap wanita cantik yang muncul di
depannya. Sekarang Quinn hanya memfokuskan perhatiannya pada
tugas-tugas kerajaan. Quinn tidak pernah lagi terlihat bersenda gurau
dengan wanita-wanita cantik kecuali menyangkut urusan kerajaan.
Eleanor membawa banyak perubahan pada Quinn. Semenjak
kedatangannya, Jancer sering mendengar tawa pemuda yang hampir
tidak pernah tertawa semenjak kematian orang tuanya itu. Ia juga sering
memergoki rajanya itu mengawasi tingkah Eleanor dengan senyum penuh
arti. Eleanor... Jancer tidak tahu bagaimana ia harus menggambarkan gadis itu. Di satu
saat gadis itu tampak masih kanak-kanak. Di saat yang lain, ia begitu
berwibawa. Di satu kesempatan ia sungguh liar dan di kesempatan lain ia
sangat anggun. Kemarin ia melihat sendiri sisi Eleanor yang lain. Sebagai Kepala
Pengawal Istana, sudah menjadi kewajibannya mengawal pasangan
nomor satu di kerajaan ini. Ia berada di tempat itu ketika Eleanor
menghadapi Simona yang menjadi pusat perhatian.
Gadis itu tampak begitu manis dan polos ketika ia mengucapkan katakatanya yang
memahami posisi sang Duchess baru itu. Kata-katanya
yang lembut berpihak pada Simona. Setidaknya itulah yang dilihat setiap
orang pada saat itu. Namun bila seseorang berpikir lebih jauh, tidak sulit
menangkap sindiran-sindiran tersembunyi gadis belia itu.
Jancer tidak tahu haruskah ia berkata Ratu Eleanor adalah seorang
malaikat, atau seorang iblis atau seorang iblis berbaju malaikat atau
seorang malaikat berbaju iblis. Ia sungguh tidak dapat memahami
tindakan ratunya yang satu ini.
Ratu Viering satu ini suka berbuat sesuka hatinya tanpa berpikir banyak.
Dan sekarang ia juga membuat Raja Viering ikut-ikutan.
Tidak! Tunggu dulu! Jancer tidak dapat menjamin Ratu akan dalam
keadaan selamat ketika pasukan Istana mulai menyisir Loudline. Janganjangan
keberadaan pasukan Istana di Loudline malah membahayakan
Ratu. Jancer tersenyum Rajanya memang orang yang dapat dihandalkan. Duke
Bernard pasti tahu kedua orang itu memang cocok hingga ia memilih
Eleanor. Seperti Eleanor yang selalu bisa menghadapi Quinn, Quinn juga
adalah satu-satunya orang yang bisa menghadapi Eleanor.
Namun keyakinan itu mulai goyah ketika Jancer melihat pekikan ngeri
Duke Bernard saat ia menyampaikan pesan Raja untuknya.
"Paduka Raja ingin Anda mewakilinya dalam perjamuan siang ini. Bila
mereka bertanya apa yang terjadi, Anda diminta untuk mengatakan
Paduka Ratu sedang dalam keadaan tidak sehat sehingga Paduka Raja
memutuskan untuk menemaninya."
"Apa katamu!?" "Sekarang Paduka Raja pergi ke kota dan melarang seorang prajurit pun
menemaninya," Jancer mengulangi.
"Mengapa kalian begitu ceroboh" Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada
Paduka Raja" Bagaimana kalau tiba-tiba ada perampok?" Bernard gelisah,
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cepat kirimkan prajurit ke kota!"
"Tenanglah, Duke Bernard," Jancer menenangkan.
"Bagaimana kau bisa tenang!" Ini menyangkut keselamatan Paduka
Raja!" "Saya juga mencemaskan keselamatan Paduka Raja. Namun, saya
merasa lebih berbahaya bila tiba-tiba segerombolan prajurit menyusuri
kota. Mungkin akan lebih aman bila membiarkan mereka berdua berada
di kota tanpa seorang prajurit pun. Tidak akan ada seorang rakyat pun
yang akan mengenali mereka. Paduka Raja pasti tahu bagaimana
menyembunyikan identitasnya."
"Mereka?" Duke bertanya tidak percaya.
"Bukankah saya telah mengatakan Paduka Raja pergi ke kota untuk
menjemput Paduka Ratu?"
"Oh, Tuhan," Bernard tiba-tiba lemas, "Eleanor...."
Jancer tercengang. Tampaknya tidak seorang pun benar-benar
memahami sang Ratu Terpilih ini.
-----0----- "Apa kau sudah membeli semua kebutuhanmu?" seseorang memegang
pundak Eleanor. Eleanor terkejut. Matanya terbelalak lebar.
Quinn menatap tajam Eleanor dengan kesal. Tidak sulit menemukan gadis
ini di Loudline. Seperti yang dikatakan Nicci, gadis ini berada di satu di
antara took-toko langganan Fauston. Tapi Nicci lupa mengatakan
keberadaan pemuda yang jelas-jelas jatuh cinta pada Eleanor di toko ini.
Quinn tidak tahu apakah Eleanor benar-benar cerdas atau bodoh.
"Eleanor, siapa dia?" tanya Seb.
"Dia... dia...," kepala Eleanor langsung berputar cepat, "Dia juga adalah
pelayan Earl." "Oh, jadi dia teman sekerjamu," Seb mengambil kesimpulan.
"Bukan hanya itu saja," Quinn menarik Eleanor mendekat ke sisinya, "Aku
juga adalah suaminya." Matanya melihat pemuda itu dengan penuh
kemenangan. Mata Eleanor melotot pada Quinn.
Seb tampak terpukul. "Oh," mata nanarnya menatap Eleanor, "Kau tidak
pernah memberitahuku, Eleanor."
"Itu karena kau tidak pernah bertanya," Eleanor menjawab cepat.
Quinn tersenyum puas melihat reaksi pemuda itu. Pemuda itu salah kalau
ia berpikir Eleanor juga tertarik padanya. Quinn tahu Eleanor hanya
senang berteman dengannya. Tidak lebih dari itu!
"Maaf, aku masih ada pekerjaan lain," Seb mundur.
Eleanor merasa bersalah melihat Seb. "Besok aku akan datang lagi,"
janjinya. Quinn tersenyum puas melihat pemuda itu kabur dengan wajah pucat
pasi. "Apa maumu!?" bentak Eleanor - menatap tajam Quinn. "Engkau
membuat Seb kabur. Apa yang harus kulakukan kalau ia membenciku
karenanya!?" Quinn tidak suka mendengarnya. "Rupanya kau memihak pemuda itu."
"Aku tidak memihak siapa pun! Seb adalah temanku!" Eleanor tertegun,
"Jangan-jangan...," ia melihat wajah kesal Quinn lekat-lekat, "Kau
cemburu?" "Jangan memancing pertengkaran di tempat ini," Quinn memperingati
dengan berbahaya. "Apa maumu datang ke sini?"
"Menurutmu?" "Aku tidak mau pulang!" Eleanor bersikeras, "Aku tidak mau kembali pada
orang licik sepertimu! "
"Aku juga tidak ingin mengajakmu pulang."
Eleanor tertegun. "Hari ini aku ingin menjalankan tugasku sebagai seorang suami yang
baik," Quinn memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelipkan tangan
Eleanor di sikunya. "Apa kau ingin mencari kesempatan untuk memberiku obat tidur lagi?"
Eleanor menyelidiki. Quinn tersenyum tak bersalah. "Biasanya apa yang dilakukan seorang
suami ketika istrinya berbelanja?"
"Mengomel sepanjang jalan, melarang istrinya menghamburkan uang,"
Eleanor menjawab spontan.
"Tidak, kau salah," Quinn membenarkan, "Seorang suami yang baik
berkewajiban mengeluarkan uang ketika istrinya yang bijaksana
memutuskan membeli sesuatu dan membawakan barang belanjaan
istrinya." Quinn tersenyum lembut. "Aku adalah seorang suami yang baik
dan aku percaya kau adalah seorang istri yang bijaksana."
Wajah Eleanor memerah. "Jadi, kau mau ke mana?"
Ketika keduanya menyibukkan diri di kota, sebuah gosip baru beredar di
Loudline. Orang-orang heran melihat sang Grand Duke muncul di jamuan sosial
yang seharusnya dihadiri pasangan nomor satu Kerajaan ini. Mereka
mulai berspekulasi mendengar penjelasan sang Grand Duke.
"Apakah itu mungkin?"
"Tidak mungkin salah lagi. Bukankah kemarin kita juga mendengar
sendiri Ratu mengatakannya?"
"Tidak. Itu tidak mungkin. Mereka baru menikah."
"Mengapa tidak mungkin?"
"Bukannya kemarin Ratu terlihat tidak segar. Bahkan ia pingsan dalam
perjalanan pulang. Raja juga tampak cemas sekali hingga ia terus berada
di sisi Ratu." "Tidak mungkin salah! Kemarin aku melihat Raja berbicara dengan Dokter
Lawrence." "Kalau itu benar, mengapa sampai sekarang tidak ada pengumuman
resmi dari Istana?" Setiap orang menggabung-gabungkan peristiwa kemarin dengan
absennya Raja dan Rau dari perjamuan sosial yang juga dihadiri
bangsawan-bangsawan ternama Viering ini. Begitu cepat dan liarnya
gosip itu berkembang hingga berita itu sampai di telinga Irina.
"Derrick, apakah engkau sudah mendengarnya?" Irina bertanya. "Apakah
mungkin Eleanor...?"
"Eleanor juga seorang wanita?" Derrick balik bertanya.
"Ini bukan saatnya bergurau!" Irina naik pitam, "Ini bukan masalah
sepele!" Sang pasangan yang sedang digosipkan sedang asyiknya berkeliling
Loudline tanpa menyadari gosip tentang mereka juga akhirnya sampai di
telinga Simona. Sang Duchess of Binkley itu langsung panik mendengarnya. "Tidak! Ini
tidak boleh terjadi!" pekiknya sambil terus berjalan mondar-mandir di
depan suaminya, "Kita sudah tidak punya waktu! Kita tidak boleh
membiarkan anak itu lahir!"
"Apa yang kaukhawatirkan?" Mathias heran melihat kepanikan istrinya,
"Belum tentu gosip itu benar."
"Bagaimana kalau gadis ingusan itu benar-benar sedang mengandung!?"
"Belum tentu anak itu adalah pria."
"Engkau memang bodoh! Apa kau tidak sadar kritisnya posisimu ini!!?"
emosi Simona meledak. "Aku harus melakukan sesuatu," Simona berbalik
meninggalkan Mathias, "Aku harus melakukan sesuatu. Todd! Benar, aku
harus segera menyuruh Todd membunuh gadis sialan itu!"
Mathias hanya duduk bengong melihat Simona terus bergumam sambil
menjauh. Ia tidak mengerti mengapa istrinya harus panik seperti itu
hanya karena mendengar gosip yang beredar di jamuan sosial siang ini.
Bukankah ini adalah hal bagus kalau Eleanor memang sedang hamil"
-----0----- Nicci tercengang melihat Raja membantu istrinya turun dari kuda.
Mereka masing-masing pergi hanya dengan seekor kuda. Sekarang
keduanya kembali dengan menunggangi seekor kuda sementara kuda
yang lain membawa dua keranjang besar yang menggelantung di kedua
sisi pelana kuda di atas punggungnya.
Nicci tidak dapat mengeluarkan suara apa pun.
Quinn menyuruh prajurit yang juga tercengang di pintu, untuk
menurunkan dua keranjang besar itu.
"Pa-paduka," Jancer juga tidak kalah kagetnya melihat kepulangan
keduanya sore ini bersama belanjaan mereka, "Apa yang Anda lakukan?"
"Berbelanja," Quinn menjawab santai.
"Anda tidak perlu melakukan itu. Anda bisa menyuruh Vicenzo mengatur
orang untuk membeli barang-barang yang Anda perlukan," kata Grand
Duke Bernard yang juga menyambut kedatangan mereka.
"Istriku ingin memilih sendiri bahan-bahan dapurnya," Quinn tersenyum
melihat Eleanor yang sekarang dengan gembira memamerkan hasil
belanjanya pada Nicci. "Panggil Vicenzo untuk menyimpan belanjaan
kami," katanya pada seorang prajurit, "Katakan padanya pula kami sudah
kenyang." Kemudian ia berbalik pada Jancer, "Apakah kau punya seorang
prajurit tengah baya yang tangguh dan tidak kaku?"
Jancer terkejut oleh pertanyaan tidak terduga itu.
"Paduka Raja?" tanya Bernard.
"Lebih baik membiarkan dia pergi ke tempat yang kita ketahui daripada
membiarkannya menghilang tanpa petunjuk."
"Tapi... itu...," Duke Bernard tidak sependapat dengan keputusan Quinn.
"Ia punya caranya sendiri untuk melakukan tugasnya sebagai seorang
Ratu," Quinn percaya keputusannya ini tidak salah.
Seharian bersama Eleanor di kota membuat Quinn menyadari mengapa
gadis itu mengetahui banyak hal yang tidak diketahuinya. Harus diakui
Quinn, ia sempat terkejut menyadari betapa terkenalnya Eleanor di
Loudline. Rasanya hampir tidak ada yang tidak menyapa Eleanor. Melihat
Eleanor tampak begitu akrab dengan mereka, Quinn yakin kegiatan
Eleanor ini bukan hanya masalah sehari dua hari. Sejujurnya, barangbarang yang
mereka bawa pulang kebanyakan adalah pemberian temanteman Eleanor.
Tak heran Eleanor suka kabur ke Loudline.
"Jancer, aku harap engkau segera menemukan prajurit itu. Aku tidak
berani menjamin Eleanor akan duduk diam sampai engkau
menemukannya." "Saya mengerti, Paduka. Saya rasa saya tahu siapa yang dapat menerima
tugas itu." "Suruh ia menemuiku di ruang kerjaku," kata Quinn.
"Saya akan segera melaksanakan perintah Anda," Jancer mengundurkan
diri. Quinn pun masuk ke dalam istana diiringi Bernard. "Bagaimana
perjamuan siang ini?"
"Semua berjalan dengan lancar, Paduka," Duke Bernard memulai
laporannya. "Saya memberi penjelasan sesuatu petunjuk Anda."
"Bagus," Quinn puas. Ia memasuki Istana diiringi Duke Bernard.
"Hm..., Paduka," Duke Bernard ragu-ragu. Ia tidak tahu bagaimana harus
mengutarakan pertanyaannya, "Apakah Paduka Ratu... apakah ia..."
Quinn melihat Bernard dengan tertarik.
"Semua orang di jamuan membicarakannya. Paduka Ratu sedang hamil."
Quinn terperanjat. Kemudian ia tertawa geli.
Bernard bingung melihat reaksi itu.
"Eleanor pasti senang mendengarnya," Quinn tidak menyangkal juga
tidak membenarkan pertanyaan Bernard.
-----0----- "Benarkah itu!?" Eleanor mengulang dengan gembira.
"Benar, Paduka Ratu. Mulai hari ini hamba ditunjuk untuk menemani
Anda setiap kali Anda ingin ke kota."
"Bukankah ini bagus, Paduka Ratu?" tanya Nicci, "Anda tidak perlu
sembunyi-sembunyi pergi ke Loudline."
Senyum di wajah Eleanor kian mengembang. "Katakan padanya aku akan
jatuh cinta padanya kalau ia terus seperti ini."
"Mengapa tidak kau katakan sendiri pada orang yang bersangkutan?"
Mereka terperanjat. Quinn memasuki kamar Eleanor dengan seluruh wibawanya.
"Paduka Raja," Nicci dan prajurit itu memberi hormat - menyambut
kedatangan Quinn. Wajah Eleanor memerah dan ia langsung membuang muka.
Nicci memberi tanda pada prajurit di sisinya untuk meninggalkan tempat
itu. "Jadi, apa yang barusan akan kaukatakan padaku?" Quinn mendekati
Eleanor. "Kalau kau malu mengatakannya dengan keras, mengapa kau
tidak membisikkannya padaku?" ia mencondongkan tubuh ke arah
Eleanor. Rona merah di wajah Eleanor kian menyala. "P-pergi kau!" ia mendorong
Quinn kuat-kuat. Quinn tertawa geli. Eleanor sama sekali tidak menikmati tawa pemuda itu. "Pergi! Jangan
ganggu aku!" usirnya kesal.
"Begitukah tindakanmu pada seseorang yang ingin memberimu hadiah?"
"Hadiah?" Eleanor mencermati wajah Quinn dengan curiga.
Quinn hanya tersenyum. "Lihatlah apa yang kubawa untukmu," ia
memberikan bungkusan di tangannya pada Eleanor.
Tidak perlu diperintah, Eleanor segera membuka bungkusan itu. Sebuah
gaun katun hitam terlipat rapi di atas pangkuan Eleanor. Mata Eleanor
terbelalak melihat Quinn.
"Kau adalah pelayan Earl Hielfinberg, bukan?"
Eleanor memperhatikan wajah Quinn dengan curiga. "Apa tujuanmu?"
"Apa kau masih perlu bertanya?" Quinn menjawab polos, "Tentu saja
membuatmu jatuh cinta padaku."
Wajah Eleanor langsung memerah oleh amarah.
Quinn tertawa. "KAU!!!" Eleanor menerjang.
Quinn menangkap tangan Eleanor dan menindihnya di atas tempat tidur.
Eleanor geram. Ia tidak bisa bergerak di bawah tindihan tubuh Quinn.
"Kau tahu, istriku," Quinn tersenyum simpul, "Gosip apa yang beredar di
Viering hari ini?" "APA!?" "Semua orang mengatakan engkau sedang hamil," Quinn tidak sabar
mengetahui reaksi Eleanor.
Eleanor membelalak lebar. "Benarkah itu?" tanyanya tidak percaya,
"Sejak kapan" Mengapa aku tidak menyadarinya?"
Nada riang dalam suara itu membuat Quinn waspada.
"Lihatlah. Aku sudah mengatakannya, bukan. Kalau waktunya sudah tiba,
aku juga akan hamil."
Tawa Quinn lepas tanpa bisa dikontrolnya. Ia menjatuhkan diri di sisi
Eleanor dan menggeliat karena sakit di perutnya.
Eleanor sama sekali tidak senang melihat reaksi yang berlebihan itu. Ia
tahu Quinn tidak sedang bergembira tetapi sedang menggodanya. "Apa
yang sedang kautertawakan!?" Eleanor duduk sambil menatap tajam
Quinn. "Istriku, oh istriku," akhirnya Quinn berhasil mengatasi tawanya. Ia pun
duduk dan menyeka air matanya yang keluar karena tawa. Melihat wajah
cemberut Eleanor, Quinn benar-benar harus mengeluarkan seluruh
kemampuannya untuk mencegah tawanya lepas lagi. "Aku sungguh tidak
tahu engkau ini cerdas atau tolol," Quinn mengulum tawanya dalam
senyum gelinya. "HEI!!" "Jangan marah," Quinn memegang dagu Eleanor. "Itu tidak baik untuk
bayimu," tangannya turun ke perut Eleanor.
Wajah Eleanor merah padam.
Quinn tidak dapat menahan dirinya lagi.
Eleanor sadar ia sedang dipermainkan.
"KAU!" Eleanor menghantam dada Quinn, "Kau mempermainkanku!" ia
menerjang dengan sekuat tenaganya.
Quinn langsung terjatuh lagi di atas tempat tidur dengan Eleanor di
atasnya. Tawanya yang tidak terkontrol sudah menguras seluruh
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaganya sehingga ia tidak punya kemampuan untuk menghindari
pukulan Eleanor. Eleanor pun kaget menyadari ia sedang menindih tubuh Quinn. Ketika ia
akan bangkit, tangan Quinn sudah melingkari pinggangnya dan
menariknya merapat. "Kau tahu, Eleanor, kau sungguh manis kalau engkau diam," Quinn
tersenyum lembut. Wajah Eleanor merah padam.
Quinn memanfaatkan kesempatan itu untuk mencium Eleanor. "Aku
mendapatkannya," ia tersenyum penuh kemenangan.
"Kau," Eleanor geram. "Lepaskan aku!" iapun memberontak.
Sebagai jawabannya, Quinn menggulingkan tubuh mereka sehingga
sekarang ia menindih Eleanor.
"Akan sangat menyenangkan sekali kalau membiarkan engkau terus
percaya engkau sedang hamil," suara serius Quinn membuat Eleanor
terdiam. Eleanor sadar ada sesuatu yang penting yang harus diketahuinya.
"Aku tidak tahu haruskah aku memberitahumu atau haruskah aku
meminta Irina menerangkannya padamu."
"Apa maksudmu?"
Quinn tersenyum geli. "Kurasa aku lebih suka melihat wajahmu yang
seperti udang rebus daripada membiarkan Irina mengajarkan apa yang
sudah seharusnya ia ajarkan ketika kau akan menikah."
"Engkau benar-benar membuatku bingung."
"Dengarkan aku, sayangku," Quinn memilih kata-kata yang mudah
dimengerti oleh Eleanor, "Hamil tidaklah semudah yang kaupikirkan.
Pernikahan tidak dapat memastikan engkau dapat hamil. Untuk hamil,
kita perlu lebih dari tidur bersama seperti kemarin."
Suramnya Bayang Bayang 7 Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam Anak Pendekar 19
Eleanor tidak menyukai ejekan itu. Tetapi Eleanor juga mengakui
permainan pedangnya tidak dapat mengimbangi permainan Quinn.
Eleanor bukanlah seorang yang lemah. Eleanor sering bermain pedang
dengan ayahnya dan ayahnya sering memuji permainan pedangnya.
Eleanor juga yakin ia akan dapat mengalahkan Quinn.
Gaun panjangnyalah yang menghambat gerakannya. Eleanor tidak dapat
bergerak dengan leluasa tanpa mengkhawatirkan kakinya menginjak
ujung gaunnya. Eleanor tidak dapat bergerak seperti keinginannya tanpa
memperhatikan gaun sutranya yang mengganggu itu.
Quinn menyudutkan Eleanor ke sebuah batang pohon.
Eleanor menahan pedang Quinn sekuat tenaganya.
"Ada apa, Eleanor?" ejek Quinn, "Ke mana semangatmu yang meluapluap itu."
Eleanor kesal. "Aku tidak selemah itu!" Eleanor mengangkat lututnya dan
menghantamkannya sekuat tenaga ke perut Quinn.
Quinn merintih kesakitan.
"Tunggu di sini!" Eleanor menggunakan kesempatan itu untuk
menghindari Quinn. "Ada apa" Apa kau takut?" ejek Quinn sambil memegangi perutnya.
"Aku tidak takut padamu!" Eleanor melempar pedang di tangannya.
Semua orang menjerit panik.
Quinn menghindar tepat sebelum pedang itu menyentuh wajahnya.
Pedang Eleanor tertancap di batang pohon.
Eleanor geram melihatnya. "Jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku
datang!" serunya lalu ia berlari menerobos kerumunan orang yang
memperhatikan mereka dengan tertarik itu.
"Benar-benar gadis liar," gumam Quinn sambil tersenyum penuh arti.
"Paduka," Grand Duke Bernard mendekat.
"Ada apa?" tanya Quinn.
"Saya mohon hentikanlah permainan yang berbahaya ini," pinta Grand
Duke, "Paduka Ratu tidak tahu apa yang sedang dimainkannya. Ia masih
anak-anak." "Jangan khawatir, Bernard," Quinn mencabut pedang Eleanor, "Kau juga
melihatnya bukan" Dia bukan sekadar menggerakkan pedang. Ia cukup
terlatih untuk permainan ini."
"Tetapi, Paduka."
"Aku tidak akan mencelakakan Eleanor," kata Quinn, "Aku hanya ingin
menghilangkan kebosanannya itu."
Grand Duke Bernard tersenyum.
"Permainan ini tidak akan berhenti dengan cepat," kata Quinn lagi, "Kau
tentu bersedia membantuku."
"Tentu, Paduka," Grand Duke mengerti permintaan itu, "Hari ini saya
akan mewakili tugas Anda mempersiapkan hal itu."
Quinn tersenyum. "Bubarkan orang-orang ini. Aku tidak suka ditonton
seperti ini. Kami bukan tontonan yang menarik."
"Saya mengerti, Paduka," Grand Duke Bernard membungkuk lalu ia
mundur dari sisi Quinn. Bersama beberapa prajurit, Grand Duke menghalau orang-orang itu.
Eleanor berlari mendekat.
Quinn tersenyum penuh arti melihat tubuh mungilnya yang terbungkus
baju ketat berkudanya. "Apa" Kau tidak suka?" Eleanor tidak menyukai senyuman itu, "Maaf, aku
tidak pernah ingin mengikuti seleramu. Hanya ini yang bisa kutemukan."
"Aku tidak mengatakan apa-apa," Quinn membela diri.
"Benar. Tapi senyummu itu sudah menjelaskan semuanya," balas Eleanor
kesal. Quinn mengabaikan pernyataan itu. "Kau sudah siap?" ia melempar
pedang itu ke Eleanor. "Kapan pun kau siap," Eleanor menangkap pedang itu dan bersiap siaga.
Grand Duke memperhatikan kedua orang yang mulai terlibat dalam
permainan pedang yang seru itu.
Grand Duke tahu Eleanor tidak sekedar menggerakkan pedangnya.
Eleanor memainkan pedangnya dengan bagus dan terencana. Eleanor
tidak mempermaikan permainan pedang anak kecil. Ia benar-benar
terlatih untuk itu. Grand Duke juga tahu kemampuan Quinn berada jauh di atas Eleanor
tetapi Quinn nampaknya terus mengalah pada Eleanor. Quinn
membiarkan Eleanor menguasai keadaan dan terus mengimbangi
permainan lincah gadis itu.
Grand Duke tersenyum. "Permainan mereka tidak akan berhenti sebelum
malam," gumamnya sambil meninggalkan tanah berumput itu.
BAB 17 Nafas Eleanor tersenggal-senggal. Ia sudah kehabisan tenaganya.
Seumur hidup tidak pernah Eleanor bermain pedang sepanjang hari
seperti ini. Tidak seorang pun yang menantangnya bermain hingga
matahari tenggelam. Bintang-bintang sore mulai keluar dari tempat
persembunyiannya tetapi mereka masih belum berhenti.
"Kau tidak buruk," kata Quinn juga tersenggal-senggal.
"Kau juga," balas Eleanor.
"Tidak," Quinn menerjang.
Eleanor terkejut. Quinn memainkan pedangnya di pedang Eleanor, "Aku lebih baik darimu,"
pedang Eleanor terlempar dari tangan Eleanor.
Eleanor terperangah. Pedangnya jatuh tak jauh dari sisinya.
Quinn tertawa puas. Eleanor menatapnya dengan tajam.
"Kau benar-benar membuatku lelah," Quinn menjatuhkan diri di atas
rumput. Eleanor menatap tajam pria itu.
"Hari sudah larut," kata Quinn, "Sebaiknya kita berhenti."
Eleanor melihat langit malam yang bertaburan bintang dan
membaringkan diri di sisi Quinn.
Eleanor memperhatikan bintang-bintang yang menghiasi langit malam.
Matanya terpejam merasakan angin sepoi-sepoi yang menari-nari di
udara. Ketenangan sore ini benar-benar membuai dirinya. Eleanor ingin
terus seperti ini - berbaring di atas rumput sambil menikmati semilir
angin yang membuaikan diri. Dan kesunyian alam yang menenangkan
hati. Quinn juga berdiam diri memperhatikan langit malam dengan bintangbintang yang
berkelap-kelip di atasnya. Entah sudah berapa lamanya ia
tidak menghabiskan banyak tenaga seperti ini. Gadis ini memang liar.
Gerakannya sama sekali tidak terduga.
"Sudah waktunya kita kembali," Quinn berdiri dan menoleh pada Eleanor.
Mata Eleanor terpejam rapat. Nafasnya naik turun dengan teratur.
Quinn berlutut di sisi Eleanor. "Kau pasti kelelahan," tangannya terulur
menyeka keringat di dahi Eleanor yang belum mengering. "Kau bisa sakit
kalau kau tidur di sini," ia berkata lembut.
Eleanor sudah terbuai ke dalam dunia mimpinya.
Quinn tersenyum. Ia membungkukkan badan, meletakkan kepala Eleanor
di bahunya dan mengangkat tubuh gadis itu dari tanah.
"Bawa masuk pedang yang tergetak di kebun belakang," perintahnya
pada prajurit pertama yang dilihatnya dan ia terus membawa masuk
Eleanor. Grand Duke Bernard melihat Quinn mendekat sambil membopong
Eleanor. "Yang Mulia," Grand Duke mendekat dengan cemas.
"Tidak apa-apa," Quinn menenangkan pria tua itu, "Ia hanya kelelahan."
Grand Duke memperhatikan mata Eleanor yang terpejam. Ia tampak
begitu tenang dengan wajah tidurnya yang manis itu.
"Tampaknya beliau benar-benar kelelahan."
Quinn tertawa. "Ia adalah Xena."
"Xena?" Grand Duke bertanya heran.
Quinn tersenyum. "Tapi ia tetaplah seorang wanita," matanya
memandang lembut gadis dalam gendongannya itu.
Grand Duke tertegun. Belum pernah ia melihat Quinn tersenyum seperti
itu. Belum pernah ia melihat sinar mata itu.
"Aku akan membawanya ke kamarnya."
"Silakan, Paduka," Grand Duke menepi - memberi jalan.
Grand Duke memperhatikan Quinn yang berjalan menjauh sambil
membopong Eleanor. Dalam hati ia berpikir, 'Pilihanku mungkin tidak
salah.' -----0----- Eleanor terbangun oleh rasa lapar. Ia duduk di tepi ranjang dan
memperhatikan sekelilingnya dengan bingung.
"Kau sudah bangun?"
Eleanor tertegun melihat Quinn duduk di kursi depan perapian.
"Mengapa kau di sini?" Eleanor tiba-tiba menyadarinya. Semenjak ia
mengeluhkan sikap Quinn yang seperti pengasuh yang selalu mau
memastikan ia tidur, Quinn hampir tidak pernah datang ke kamarnya.
Dan tiba-tiba saja hari ini ia berada di sini dengan senampan teh dan
makanan ringan. "Apakah aku tidak boleh berada di dalam kamar istriku?" Quinn
menyelidiki. "Tidak. Aku tidak bermaksud demikian," Eleanor membela diri, "Aku
hanya merasa heran."
"Kau tertidur pulas seperti seekor babi kecil dan aku tidak tega
membiarkanmu terbangun dengan perut lapar."
Eleanor terperangah. Perutnya berbunyi.
"Sudah kuduga kau akan kelaparan," Quinn tersenyum geli.
Eleanor tidak suka cara pria itu berbicara. Ia membuang mukanya dengan
angkuh dan melangkah ke pintu.
"Kau tidak mau menemaniku?" Quinn bertanya heran, "Aku telah
meminta mereka menyiapkan jatah untuk dua orang."
Langkah kaki Eleanor terhenti. Ia melihat Quinn yang dengan tenangnya
menyiapkan sebuah piring di depannya dan dengan tenang pula ia
menuangkan teh dalam cangkir di depannya.
"Mereka akan kecewa kalau kau tidak menghabiskan jatahmu."
Dengan kesal Eleanor duduk di kursi panjang di depan pria itu.
"Tidak ada perdebatan," kata Quinn santai, "Aku sudah sangat lelah."
Eleanor tidak menanggapi. Ia mengulurkan tangan mengambil cangkir
yang telah diisi Quinn untuknya. Saat itulah ia menyadari ia sudah
berganti baju. Eleanor melihat Quinn dengan pucat. "Apa yang kaulakukan?"
Quinn kebingungan. "Mengapa aku sudah berganti baju!?" Eleanor ingat persis ia berbaring di
sisi Quinn di atas rumput dengan pakaian berkuda merah pemberian Irina
dan sekarang ia sudah mengenakan baju tidur coklat muda sutranya.
Quinn tertawa geli. Eleanor tidak suka mendengarnya. "Apa yang lucu!!?" bentaknya kesal.
Tawa Quinn langsung menghilang. Ia berdiri.
Eleanor dapat merasakan bahaya ketika pria itu mendekat. Ia bergeser
menjauhi pria itu. Quinn sengaja memojokkan gadis itu di salah satu sudut kursi panjang
itu. Satu tangannya memegang sandaran kursi dan satunya memegang
pegangan kursi. Tubuhnya membungkuk pada Eleanor yang meringkuk di
pojok. Eleanor benar-benar terpojok di kursinya. Quinn mengurungnya di antara
dua tangannya. Ia tidak punya ruang untuk kabur.
"Katakan, istriku," Quinn mendekatkan tubuhnya.
Eleanor tidak suka cara pria itu memanggilnya. Jelas sekali pria itu
tengah mengejeknya! "Apa kau mau memulainya?" Quinn mendekatkan wajahnya.
"Memulainya?" Eleanor bingung.
"Bukannya kita belum pernah melakukannya sama sekali," Quinn terus
memperpendek jarak di antara mereka.
'Quinn terlalu dekat!' sesuatu dalam diri Eleanor memperingatkan.
Eleanor dapat merasakan hembusan nafas Quinn. Ia dapat merasakan
gerakan bibir Quinn di atas bibirnya. Apa pun yang tengah dimainkan pria
itu, Eleanor tahu ia harus segera mencari cara untuk melepaskan diri.
"Katakan," bisik Quinn berbahaya, "Apa yang bisa kulakukan pada
seorang babi kecil yang tidur pulas sepertimu?"
Eleanor marah. Ia membenci pria itu menyebutnya babi!!
"Mulutmu bau," katanya dingin.
Quinn termangu. Ia menatap sepasang mata biru yang kesal itu.
"Mulutmu bau," ulang Eleanor dengan tatapan mata dinginnya.
Quinn tertawa geli. "Kau memang benar-benar pandai merusak suasana,"
pria itu menjatuhkan diri di sisi Eleanor.
"Apa katamu!?" Eleanor melayangkan tinjunya ke dada pria itu.
"Dan liar," Quinn menangkap kedua tangan Eleanor.
"Kau yang," Eleanor terpesona. Ia tidak pernah melihat Quinn tersenyum
seperti ini padanya. Sepasang mata kelabunya menatapnya lembut bukan
mengejek seperti biasanya. Quinn benar-benar memberikan senyumnya
yang menawan! "Kau sungguh manis dengan pipimu yang memerah itu," tangan Quinn
memegang pipi Eleanor. Sekali lagi Quinn mendekatkan wajahnya.
Jantung Eleanor berdebar kencang tanpa bisa dihentikan gadis itu.
Sepasang mata birunya terus terpaku pada sepasang mata kelabu yang
tersenyum lembut itu. "Kuberitahu, istriku yang lugu," Quinn berbisik di telinga Eleanor,
"Pelayanlah yang membantumu berganti baju." Senyum di wajah Quinn
berubah menjadi senyum mengejek yang selalu ia tunjukkan.
Eleanor langsung sadar. Quinn sedang mempermainkannya!
"Kau benar-benar menyebalkan!" Eleanor mendorong Quinn.
Quinn tertawa geli. Membuat Eleanor marah memang hal yang paling
menyenangkan untuk dilakukan setelah sepanjang hari berkutat dengan
pekerjaan yang membosankan.
"Tidak lucu!" Eleanor berdiri dengan kemarahan yang memuncak. Ia
benar-benar membenci pria ini!
"Duduk!" Quinn menangkap tangan Eleanor.
Eleanor melihat sepasang mata Quinn yang berkilat itu. Ia tahu Quinn
tidak suka ia pergi tanpa menghabiskan makanannya. Namun Eleanor
sendiri juga sudah mencapai puncak kemarahannya. Maka, ia
menebaskan tangan Quinn. "Mengapa aku harus mendengarmu!?"
katanya marah. Quinn terkejut. Ini kedua kalinya Eleanor meninggalkan makannya yang
belum tersentuh sama sekali.
Eleanor tahu Quinn pasti sudah menyuruh prajurit menjaga pintu
kamarnya. Ia pasti telah memikirkan segala cara untuk tetap
menahannya di dalam kamar. Namun ia tidak akan membiarkan pria itu
terus menang. Quinn memperhatikan Eleanor yang berjalan ke beranda dengan kesal.
Tiba-tiba ia sadar Eleanor sudah marah besar. Quinn kesal ketika
menyadari ia dibuat takut oleh kemarahan gadis itu.
Hingga saat ini ia tidak mengerti mengapa ia suka melampiaskan
kepenatannya kepada Eleanor. Ia mengakui ia menikmati kemarahan
gadis itu. Walaupun ia tidak menyukai keliaran gadis itu, ia benar-benar
dibuat takut ketika gadis itu bersikap anggun.
Ia tidak mungkin lupa ketika Eleanor benar-benar marah pada hari itu.
Hari itu adalah pertama kalinya Eleanor menghadiri pesta sebagai
seorang Ratu Viering. Juga pertama kalinya Quinn mengijinkan Eleanor
keluar Fyzool. "Aku tidak mau!" itulah reaksi pertama Eleanor ketika ia mengajukan
syarat-syaratnya. "Kau tidak bisa memerintahku!"
"Kau harus ingat siapa yang berkuasa di tempat ini!" nada Quinn
meninggi, "Kau harus ikut!"
"Tanpa bantahan!" Quinn menambahkan dengan tegas ketika melihat
Eleanor akan membuka mulutnya, "Dan kuperingatkan kau, jangan
berbuat yang macam-macam," Quinn memberikan sinyal bahaya, "Aku
tidak ingin kau mempermalukan aku!"
"Kau tidak bisa memerintahku!"
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang mengatakannya" Aku adalah suamimu. Aku berhak
mengaturmu!" "Siapa yang memintanya!" Aku hanya kebetulan terpilih menjadi istrimu!
Aku tidak pernah sudi menikah denganmu!" suara Eleanor meninggi.
Eleanor kesal. Ia marah. Ia sudah tidak mau melihat pria itu lagi. Mati
pun ia tidak akan sudi melihatnya!
Tanpa menanti jawaban Quinn, Eleanor langsung meninggalkan ruangan
itu. Ia akan menunjukkan pada pria itu bahwa ia bukan gadis yang bisa
sembarangan diperintah. Akan ia tunjukkan ia bukan gadis yang bisa
dipermainkan. Ia bukan seorang dari para penggemarnya yang terus
berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa yang paling pantas untuk
menjadi pendamping Quinn!
Dan keesokan sorenya, Quinn puas ketika melihat Eleanor. Gadis itu
tampak begitu memukau. Ia jauh lebih cantik dari saat pernikahannya. Ia
jauh lebih anggun dari pesta pertunangannya. Dari aura yang
ditebarkannya, Quinn merasa gadis itu sudah menjadi sosok lain yang
tidak dikenalnya. Quinn benar-benar puas. Ia tahu mengapa Nicole tiba-tiba mengadakan
pesta itu dan mengundang keduanya. Nicole masih tidak dapat menerima
keputusannya untuk menikah dengan gadis lain ketika mereka masih
bersama. Nicole tidak mengakui Eleanor! Ditambah dengan kelakukan
Eleanor yang mulai menjadi bahan pembicaraan, Nicole pasti ingin
membuktikan pada dunia bahwa Eleanor tidak pantas menjadi seorang
Ratu Viering. Namun dalam pesta itu Eleanor merebut perhatian semua
orang. Ia menjadi seorang gadis muda yang bersinar paling cantik dan
menawan dalam pesta itu. Sayangnya, kepuasan itu tidak bertahan lama. Quinn mulai merasakan
kejanggalan ketika Eleanor bersikap angkuh kepada setiap undangan di
pesta itu bahkan Irina, sang kakak angkat kesayangannya. Ia baru benarbenar
menyadari kejanggalan itu ketika Eleanor tetap bersikap kaku dan
anggun keesokan harinya dan beberapa hari setelahnya.
Sepanjang hari Eleanor tidak terlihat berkeliaran di sekitar Fyzool. Ia
tidak nampak ketika para pekerja kebun melakukan pekerjaan rutin
mereka. Ia tidak terdengar muncul tiba-tiba di dapur. Ia tidak muncul
seperti seorang pahlawan ketika Quinn sedang memarahi seseorang. Ia
tidak lagi kabur dalam pelajaran musiknya. Sepanjang hari Eleanor duduk
di Ruang Musik memeriahkan suasana Fyzool dengan permainan pianonya
yang lembut. Di lain waktu ia menemani tamunya sepanjang hari.
Sikapnya yang berubah total itu membuat semua orang bingung dan
membuat Quinn panik. Quinn memerintahkan gadis itu untuk berhenti mengambek seperti
seorang anak kecil namun gadis itu dengan polosnya bertanya,
"Mengambek" Siapakah yang sedang mengambek?"
"Berhentilah bersikap seperti ini!" Quinn menegaskan.
"Maafkan saya, Paduka," Eleanor menyesal, "Saya sungguh tidak
mengerti permintaan Anda."
"Berhentilah bersikap seperti ini. Kau membuatku muak."
"Apakah yang membuat Anda tidak puas, Paduka?" tanya Eleanor tidak
mengerti, "Bukankah ini yang Anda inginkan dari istri Anda?" Eleanor
menyeka bibirnya. Mata tajam Quinn tidak lepas dari Eleanor yang dengan anggun
meletakkan sendok garpunya. Kemudian ia berdiri.
"Maafkan saya, Yang Mulia," kata Eleanor lembut, "Saya tidak dapat
menemani Anda lebih lama lagi."
Mata Quinn terus memperhatikan Eleanor yang berjalan dengan
anggunnya menuju pintu. Dadanya membusung selayaknya seorang lady
yang mengerti benar posisi dan kekuasaannya. Eleanor sudah menjadi
sesosok yang tidak dikenalnya.
Quinn juga meminta Grand Duke untuk menyampaikan pesannya pada
Eleanor. "Katakan pada gadis itu aku sudah tidak akan memaksanya," kata Quinn
kepada Grand Duke, "Katakan padanya untuk berhenti bersikap kekanakkanakan
seperti ini." Quinn berharap setidaknya Eleanor akan mendengar pria yang
dihormatinya itu. Namun ia salah, Eleanor tidak berhenti bersikap dingin
dan anggun. Quinn tidak mengerti. Ia sama sekali tidak mengerti keadaan ini.
Bukankah seharusnya ia senang dengan keadaan ini" Inilah istri yang
diinginkannya! Seorang lady cantik yang anggun, pendiam dan penurut.
Tetapi mengapa justru keadaan ini membuatnya tidak tenang" Mengapa
ia justru merasa tersiksa. Ia merasa seperti sedang dihukum!
Quinn geram. Ini semua gara-gara gadis itu! Ia pasti tengah
merencanakan sesuatu yang membuatnya was-was. Tapi... apa yang telah
dilakukan gadis itu" Ia telah menuruti perintahnya dengan bersikap
anggun selayaknya seorang lady sejati. Hari ini pun ia tidak melakukan
sesuatu yang merepotkannya. Kemarin ia juga tidak membuat ulah. Ia
sudah menjadi sosok istri yang diinginkannya.
Sudah tujuh hari ini Eleanor bersikap manis. Quinn tidak bisa bertahan
lebih lama lagi. Ia tidak bisa membiarkan keadaan yang menyiksa ini
berlanjut terus menerus. Quinn mendengar dari Bernard. Irina adalah orang yang membesarkan
Eleanor tetapi Derrick adalah orang yang membentuk Eleanor yang
sekarang. Satu-satunya cara untuk menghentikan Eleanor adalah
memanggil kembali keliarannya itu.
Maka di malam ketujuh itu, Quinn, setelah sekian lama absen, muncul di
kamar Eleanor. Eleanor sudah hampir tertidur ketika ia masuk.
Matanya yang setengah mengantuk melihatnya dengan bingung ketika ia
membaringkan diri di sisi gadis itu.
"Apa yang kaulakukan!!?" Eleanor terperanjat ketika Quinn menarik
tubuhnya. Sepasang mata birunya membelalak kaget.
"Menurutmu, apakah yang dilakukan istri penurut sepertimu terhadap
permintaan suaminya yang mendesak?"
"Apa?" "Kuberitahu, Eleanor," Quinn menindih Eleanor, "Apa yang seorang lady
sejati lakukan untuk suaminya."
"Kalau kau kesepian, jangan cari aku," Eleanor berkata dingin.
Quinn bingung. "Aku bukan pengasuhmu!" Eleanor mendorong Quinn sekuat tenaganya.
Quinn duduk di sisi Eleanor dan tertawa geli.
"Apa yang lucu!?" Eleanor bangkit.
Melihat wajah kesal gadis itu, Quinn tahu ia membangkitkan kembali
keliaran gadis itu. Setelahnya mereka memang bertengkar hebat namun
Quinn merasa lega. Eleanor telah kembali ke sifat aslinya.
Quinn memutuskan! Ia harus melakukan sesuatu sebelum Eleanor
memutuskan sesuatu yang akan menyusahkannya.
Tangan Eleanor memutar pegangan pintu serambi.
"Aku tidak akan melakukannya kalau aku adalah kau," tangan Quinn
menahan pintu. Eleanor melihat pria itu dengan kesal.
"Atau aku akan membatalkan bulan madu kita?"
"Bulan madu?" Eleanor bertanya bingung, "Apa itu?"
"Jangan membuat usahaku sia-sia. Aku sudah bersusah payah
menyisihkan waktu untuk membawamu pergi."
"Pergi!?" Eleanor berseru senang. "Kita akan pergi ke mana" Ke mana?"
Quinn tersenyum geli melihat reaksi gadis itu. Ia benar-benar seperti
seorang gadis kecil yang diberi permen.
"Ke Corogeanu," Quinn menjawab.
"Corogeanu...?" mata Eleanor nanar.
"Ada apa?" Quinn mengejek, "Apa kau takut ke Corogeanu?"
"T-tidak!" sahut Eleanor, "S-siapa yang takut!?"
Walaupun Eleanor berkata seperti itu, Quinn tahu Eleanor berbohong. Ia
melihat mata gadis itu menunduk ke lantai dan tangannya bertautan di
depan dadanya. Quinn yakin ia melihat tubuh gadis itu bergetar.
"Teh kita pasti sudah dingin," Quinn memeluk pundak gadis itu. Sekarang
ia dapat merasakan getaran tubuh gadis itu di telapak tangannya.
'Red Invitation memang telah meninggalkan luka di hati banyak orang,'
Quinn berkata pada dirinya sendiri.
BAB 18 Akhirnya hari ini tiba juga.
Suasana di Tognozzi sudah ramai mulai pagi ini. Sebuah kapar pesiar
mewah bersandar di dermaga. Sejak jauh hari para awak kapal sudah
membersihkan dan menyiapkan kapal itu untuk menyambut para tamu
mereka hari ini. Sebuah podium pun telah disiapkan sebagai tempat misa
mengenang korban Red Invitation dan pelepasan kapal pesiar kerajaan.
Para pekerja sibuk memasukkan barang-barang ke dalam kapal. Para
wanita mengumpulkan bunga yang akan dilepas bersamaan dengan
kepergian kapal pesiar kerajaan. Orang-orang berlalu lalang. Anak-anak
kecil berkumpul di dermaga untuk mengagumi kapal besar itu. Keretakereta kuda
mulai berdatangan dari penjuru Viering. Para pedagang juga
mulai berkumpul. Mereka datang untuk mengumpulkan rejeki dari
keramaian yang hanya terjadi sekali dalam setahun ini. Semua sibuk
mempersiapkan kegiatan ritual yang sudah mereka lakukan selama
beberapa tahun ini untuk memperingati Red Invitation.
Eleanor pun sudah berdiri di sana - di depan kapal mewah yang menanti
mereka. Irina memperhatikan Eleanor yang berdiri di sisi kereta kuda kerajaan.
"Apakah Eleanor baik-baik saja?" tanyanya cemas.
"Jangan khawatir," Derrick menenangkan, "Quinn ada di sisinya."
"Dia tidak tahu!" Irina tidak sependapat, "Ia tidak tahu Eleanor...
Eleanor... dia... dia..."
"Kurasa ia tahu," ujar Derrick tanpa melepas matanya dari pasangan
nomor satu di Viering itu, "Lihatlah itu."
Irina melihat sekarang Quinn sudah berdiri di sisi Eleanor. Ia membiarkan
Eleanor memeluk lengan kirinya dan mereka melangkah perlahan ke
kapal yang telah menanti kedatangan mereka sejak pagi ini. Matanya
menatap Eleanor dengan cemas.
"Bukankah kau adalah seorang Xena yang tidak kenal takut?" ejek Quinn.
Cengkraman tangan Eleanor di lengan Quinn tidak melonggar. Dengan
semakin mendekatnya mereka ke kapal, semakin erat cengkeraman
Eleanor. Quinn termenung melihat gadis itu tidak terpancing ejekannya. Ia
melepaskan tangan dari cengkeraman Eleanor dan memeluk pundak
gadis itu. Eleanor cepat-cepat mencengkeram kemeja Quinn dan merapatkan
dirinya pada Quinn. Quinn dapat merasakan getaran hebat tubuh Eleanor di balik mantel
panjangnya. Quinn melihat kepala Eleanor yang terus menunduk dalam-dalam lalu ke
kapal yang tengah mempersiapkan diri untuk pelayarannya.
Tanpa berpikir dua kali, Quinn mengangkat tubuh Eleanor.
Eleanor tekejut. "Berpeganganlah padaku," bisik Quinn. "Aku akan membawamu ke sana."
Tanpa disuruh untuk yang kedua kalinya, Eleanor langsung memeluk
leher Quinn dan membenamkan kepalanya di pundak Quinn.
"Aku benar, bukan?" Derrick puas, "Quinn tidak akan membiarkan
Eleanor." Irina tidak melepaskan matanya dari kedua orang itu.
Quinn membopong Eleanor ke kapal. Sementara itu Eleanor terus
menyembunyikan pandangan matanya di pundak Quinn.
Irina melihat ayahnya muncul yang muncul dari dalam kapal mendekati
mereka dengan panik. Entah apa yang dikatakan Quinn pada ayahnya.
Dari tempatnya berdiri Irina hanya dapat melihat wajah serius sang
Grand Duke yang terus menganggukkan kepala.
Kemudian tanpa mempedulikan orang-orang yang kebingungan, Quinn
melangkah mantap ke dalam kapal pesiar megah itu dan langsung ke
kamar yang disediakan untuk mereka berdua.
"Kurasa ini sudah saatnya," Derrick berkata ketika melihat Uskup Agung
Viering naik ke mimbar misa.
Irina melihat sekeliling. "Mengapa Earl belum datang?"
"Earl of Hielfinberg tidak akan pernah datang," Derrick meletakkan tangan
di punggung Irina. "Kau tahu itu."
"Tetapi Eleanor...."
"Justru karena Eleanor datang, ia semakin tidak mungkin datang. Earl
masih tidak bisa melupakan peristiwa itu."
Irina mengangguk mengerti.
Earl tentunya tidak ingin peristiwa yang sama terulang lagi, bukan" Ia
tentu tidak ingin mengantarkan kepergian orang yang dicintainya untuk
selama-lamanya. Namun ia juga tidak dapat mencegah kepergian
Eleanor. Misa berlangsung dengan lancar. Uskup Agung melakukan ritual
tahunannya di Tognozzi tanpa halangan berarti. Namun, Quinn tidak
muncul dalam pidato tahunannya. Sebagai gantinya, Duke of Krievickie
berdiri di mimbar menghadap semua orang yang berkumpul untuk ikut
mengenang peristiwa Red Invitation.
"Saya berada di sini untuk mewakili Yang Mulia Paduka Raja Quinn," kata
sang Grand Duke membuka pidato.
"Lihatlah, dia sama sekali tidak memandangmu sebagai Putra Mahkota,"
bisik Simona ketika Bernard memulai pidatonya.
"Bernard lebih mampu memberi pidato mendadak daripada aku."
Simona sama sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Mengapa
Mathias bisa sedemikian bodohnya"
Segera, setelah pidato Grand Duke usai, para undangan bergerak
memasuki kapal. Para awak kapal pun langsung mempersiapkan
pelayaran. Bersamaan dengan itu, menebarkan bunga yang telah
dipersiapkan sejak pagi ditebarkan ke laut - untuk para korban Red
Invitation dan untuk mengucapkan selamat jalan pada mereka. Anakanak kecil yang
masih di dermaga itu berteriak melompat-lompat
gembira. Orang-orang melambaikan tangan - mengucapkan selamat
jalan diiringi doa demi keselamatan perjalanan kenangan untuk
memperingati Mangstone ini.
Irina bergegas menghampiri ayahnya.
"Mengapa Paduka Raja tidak muncul?" seseorang bertanya pada Bernard.
"Beberapa saat lalu aku melihatnya bersama Paduka Ratu."
"Beliau sedang menemani Paduka Ratu," jawab Grand Duke.
"Apa yang terjadi pada Paduka Ratu" Apakah beliau baik-baik saja?" ia
terus mengejar Bernard. "Jangan khawatir. Paduka Ratu hanya tidak enak badan. Sekarang
Paduka Raja menemaninya," jawab Grand Duke Bernard diplomatis.
"Syukurlah kalau beliau baik-baik saja," kata yang lain.
"Mungkin beliau kelelahan," Grand Duke mencoba memberikan alasan
yang masuk akal. "Mungkin ia tidak terbiasa dengan jadwal kegiatan
istana yang padat." "Mungkin juga."
Irina termenung. Bernard melihat wajah cemas gadis itu. "Jangan khawatir," katanya,
"Paduka Raja ada bersamanya."
Irina pun mempercayai itu.
"Aku akan melihat keadaan mereka," kata Grand Duke meninggalkan
kedua putra-putrinya. Mata Irina tidak lepas dari ayahnya yang menaiki tangga menuju kabin
istimewa keluarga Raja. "Eleanor akan baik-baik saja," Derrick meyakinkan kakaknya.
Irina melihat Derrick dan mengangguk. Ia percaya Eleanor akan baik-baik
saja. "Mereka pasti sedang bersandiwara agar semua orang percaya pada
omong kosong mereka."
Irina langsung menoleh. Simona berjalan dengan angkuh di sisi Mathias. Ia terus mengomel ketika
Mathias membawanya menuju ke dalam kabin mereka. Matanya
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang sinis orang-orang yang dilaluinya.
"Mengapa ia ada di sini?" gumam Irina.
"Apa boleh buat. Sekarang ia adalah seorang Duchess," Derrick memberi
jawaban yang sudah diketahui semua orang.
Irina termenung. Para undangan di kapal ini adalah keluarga para korban
Red Invitation dan itu termasuk Mathias. Selain itu sekarang Simona
adalah Duchess of Binkley.
"Kuharap Eleanor tidak mencari masalah."
Derrick tertawa. "Aku yakin Eleanor pasti mencari perhitungan dengan
mereka." Irina memelototi Derrick. Ia tidak suka mendengar komentar itu tetapi ia
juga percaya Eleanor akan melakukannya. Eleanor sudah membenci
Simona sejak detik pertama ia diharuskan menikah dengan Quinn.
Eleanor sudah ingin membuat perhitungan dengan pasangan itu semenjak
ia menjadi calon mempelai Quinn.
"Hari ini mereka juga menyiapkan banyak makanan lezat. Apa kau tidak
mau bergabung?" Derrick mengajak Irina bergabung dengan para undangan yang sudah
menikmati acara yang disiapkan untuk mereka. Meja-meja telah tertata
rapi di Ruang Pesta perut kapal pesiar megah itu. Hidangan lezat terus
disajikan tanpa henti. Para pemain musik melantunkan lagu-lagu lembut
mengiring para pasangan yang berdansa di tengah ruangan. Semua ini
disiapkan untuk menghibur para undangan selama empat jam mendatang
sebelum mereka mencapai Corogeanu.
-----0----- Quinn duduk di sisi tempat tidur, memperhatikan Eleanor yang sudah
tidur tenang di bawah pengaruh obat tidur.
Seseorang mengetuk pintu dengan perlahan.
Quinn berdiri membuka pintu.
Bernard melihat ke dalam dengan hati-hati.
"Ia sudah tenang," kata Quinn perlahan. "Sekarang ia tidur."
Grand Duke tampak lega. Dengan hati-hati ia melangkah masuk. Ia tidak
mau langkah kakinya membangunkan Eleanor.
"Bagaimana keadaan di luar?"
"Semua telah saya tangani sesuai keinginan Anda."
"Bagus," Quinn tersenyum puas.
Bernard menatap Eleanor yang tengah tidur nyenyak. "Paduka," ia
berkata ragu-ragu, "Saya rasa ini terlalu banyak untuk Paduka Ratu. Anda
tahu... ia..." "Aku tahu," Quinn melanjutkan, "Ia adalah satu-satunya orang yang
selamat dalam kecelakaan itu. Ia adalah orang yang dicari-cari untuk
mengorek kejadian kelam itu. Dia adalah orang yang kaulindungi walau
taruhannya adalah kepercayaan rakyat Viering padamu."
Grand Duke terperangah. "Kurasa aku tidak pernah melupakan gadis kecil yang menatap kosong
laut dan menjerit pilu pada hari itu. Tangisannya yang keras membuat
semua orang pilu," Quinn menatap Eleanor. "Gadis kecil itu adalah
Eleanor. Aku tahu di hari pertama kami bertemu."
Grand Duke kehabisan kata-katanya.
"Ia harus mengatasi ketakutannya, Bernard. Ia tidak dapat terus
melarikan diri dari kenyataan pahit itu. Aku telah mengatasi rasa pedih
itu. Ia pun harus bisa bangkit dari peristiwa itu."
Quinn menepuk pundak Bernard. "Jangan khawatir. Aku tidak akan
membuatnya kian terpuruk. Aku tidak akan memaksanya."
Grand Duke melihat kesungguhan di wajah Quinn. Tanpa Quinn
meyakinkannyapun, Grand Duke percaya pada Quinn. Ia percaya Quinn
tidak pernah ingin mencelakakan Eleanor.
Grand Duke mengangguk. "Kuserahkan semua kejadian di luar sana padamu," kata Quinn, "Untuk
sementara ini, aku rasa aku tidak dapat meninggalkan Eleanor seorang
diri." Sekali lagi Grand Duke mengangguk. "Saya mengerti," ia tersenyum,
"Serahkan semuanya pada saya."
"Aku tahu aku bisa mengandalkanmu," Quinn tersenyum puas.
Sepeninggal Grand Duke, Quinn menuju sisi Eleanor. Ia memperhatikan
lekat-lekat wajah yang tidur tenang itu.
'Mungkin aku terlalu memaksamu,' pikirnya.
Bagi kebanyakan orang Red Invitation hanyalah sebuah peristiwa bencana
alam biasa. Namun bagi sebagian orang Red Invitation adalah bencana
alam luar biasa. Bencana itu membawa perubahan besar bagi hidup
Quinn dan kebanyakan bangsawan Viering. Bencana itu telah membawa
perubahan besar pada kelangsungan kehidupan bangsawan Viering.
Dalam satu hari Viering kehilangan banyak bangsawannya termasuk Raja
dan Ratu. Tidak satu orang pun selamat dalam bencana itu. Setidaknya
itulah yang semula dianggap semua orang dan dipercayai sebagian orang
hingga detik ini. Setelah seminggu pencarian yang tidak membuahkan hasil, Duke of
Krievickie yang kala itu sudah menjadi Grand Duke kepercayaan Raja
Alvaro, mengambil tindakan. Ia menghentikan pencarian, mengumumkan
berita meninggalnya Raja dan Ratu Kerajaan Viering beserta para
bangsawan yang menjadi tamu dalam kapal pesiar itu, serta
mengumumkan pengambilalihan posisi Raja Viering oleh dirinya hingga
Quinn cukup umur untuk naik tahta.
Sempat terjadi banyak spekulasi dalam masa-masa berkabung itu.
Orang-orang mulai mempertanyakan mengapa sang Grand Duke tidak
ikut dalam pesta yang akan diadakan di Corogeanu itu" Mengapa sang
Grand Duke yang tidak pernah meninggalkan sisi Raja Alvaro absen
dalam peristiwa yang mengguncang Viering itu" Mengapa tidak seorang
pun menghentikan Raja pada hari itu"
Awan mendung mengiringi kepergian Red Invitation, nama sang kapal
pesiar maut itu. Angin sudah berhembus kencang di detik-detik terakhir
sebelum Red Invitation meninggalkan Tognozzi. Ombak juga sudah
menunjukkan keganasannya. Para pelaut juga merasakan adanya badai
yang mendekat. Namun mengapa tidak ada yang menghentikan Raja"
Quinn juga sempat menjadi seorang dari mereka yang mencurigai Duke
of Schewicvic. Ia yakin Bernard telah memanipulasi ayahnya untuk tetap
melanjutkan pelayarannya ke Corogeanu walau cuaca mulai memburuk.
Bernard pasti memanfaatkan cuaca buruk itu untuk mendapatkan tahta
Viering. Selama ini tidak ada badai yang melalui selat antara daratan utama
Viering dan Corogeanu yang berada beberapa mil di sisi barat Viering.
Namun itu tidak berarti tidak akan pernah ada badai yang memotong
selat itu! Hari itu para pelaut memang masih melakukan aktivitas mereka walau
mereka tahu badai terakhir musim panas berada di sekitar mereka. Kapal
besar kecil masih berhilir mudik di Tognozzi ketika Red Invitation
berlayar. Namun tidak ada yang menyeberang ke Corogeanu!
Quinn tidak dapat menerima kenyataan orang tuanya meninggal dalam
bencana itu. Ia menyalahkan Bernard. Ia tidak percaya Bernard tidak
mengetahui keberadaan bahaya yang menghadang itu. Dan yang
membuatnya semakin kesal adalah Bernard tetap bergeming walau
semakin hari semakin banyak orang yang mencurigainya.
Kemudian muncullah kabar itu. Ada seorang korban selamat!
Quinn mendengar berita adanya seorang pelaut yang menemukan
seorang gadis kecil terapung-apung di atas sebuah kayu di tengah laut.
Banyak pihak berlomba-lomba memastikan siapa gadis kecil itu. Banyak
yang berharap gadis kecil itu adalah keluarga mereka yang hari itu ikut
orang tuanya ke Corogeanu. Bagi Quinn, gadis itu adalah kunci untuk
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hari itu. Mengapa Grand Duke
yang pergi ke Tognozzi, akhirnya pulang tanpa ikut berlayar di Red
Invitation" Bernard tetap terlihat tenang walau berita itu semakin lantang. Ia sama
sekali tidak memerintahkan pencarian gadis kecil itu. Ia juga tidak
berusaha mencari tahu siapa gadis kecil itu. Malahan ia memberi nasehat,
"Itu hanya omong kosong. Jangan mempercayai kabar burung yang tidak
mempunyai bukti." Quinn tidak mempercayai penjelasan Bernard itu. Dan ketika tidak
seorang pun berhasil menemukan jejak gadis itu, ia semakin
mempercayai keterlibatan Bernard.
Tidak seorang pun berhasil menemukan pelaut yang menemukan gadis
itu. Juga tidak seorang pun memastikan kebenaran berita itu. Orangorang pun
mulai meragukan berita itu.
Namun Quinn percaya, korban selamat itu benar-benar ada dan Bernard
telah melakukan sesuatu sebelum seorang pun mendengar kabar itu.
Bernard pasti telah menghabisi gadis itu beserta pelaut yang
menemukannya sebelum seorangpun menemukan mereka. Quinn
percaya! Quinn terus mempercayai hal itu hingga misa berkabung yang diadakan
di Tognozzi untuk mengiringi kepergian para korban Red Invitation.
Dalam misa itu, perhatian semua orang tertuju pada seorang gadis kecil
yang meraung-raung di pelukan Earl of Hielfinberg. Gadis kecil itu
memberontak dengan liarnya, membuat semua hadirin merasa pilu.
Countess of Hielfinberg adalah satu di antara korban Red Invitation.
Quinn melihat Bernard menghampiri Earl beserta putra putrinya kemudian
Earl menyerahkan gadis kecil itu pada Irina. Irina dan Derrick membawa
gadis kecil itu pergi sehingga misa bisa berlanjut dengan tenang.
Dalam misa itu, Quinn sempat mendengar beberapa orang membicarakan
Earl of Hielfinberg dan putri kecilnya.
"Mengapa gadis itu ada di sini?" ia mendengar seorang wanita berbicara
pada wanita yang lain, "Bukankah ia ikut Countess Virgie" Aku melihat
Countess Virgie membawanya masuk ke dalam Red Invitation."
"Mungkin Countess Virgie meminta Grand Duke membawanya pulang,"
kata wanita satunya, "Bukankah Grand Duke akhirnya pulang sebelum
Red Invitation berlayar?"
Quinn bertanya-tanya. Mungkinkah itu yang terjadi di hari itu sehingga
gadis itu selamat" Ataukah gadis itu benar-benar sang korban selamat
yang sempat menjadi bahan pemberitaan itu"
Kemudian sorenya Bernard menemuinya.
"Maafkan saya," mata Bernard berkaca-kaca saat itu, "Seharusnya saya
ikut menjadi korban di hari naas itu. Saya sering menyesali diri saya
sendiri. Mengapa hari itu saya menuruti keinginan Paduka Raja Alvaro
untuk kembali ke Fyzool?"
Quinn kaget mendengar penjelasan yang tidak pernah didengarnya dari
mulut Bernard semenjak berita naas itu.
"Saya menduga Paduka Raja sudah mempunyai firasat ia akan pergi
sehingga ia memaksa saya kembali ke Fyzool. Saya telah berjanji pada
Paduka Raja untuk membesarkan dan mendidik Anda menjadi seorang
Raja Viering yang bijaksana. Hari ini saya bersumpah kepada Anda juga
kepada para korban Red Invitation, saya akan mengabdikan diri pada
Anda hingga Anda naik tahta."
Hari itu Quinn langsung mempercayai apa yang didengarnya. Ia percaya
peristiwa itu adalah murni kecelakaan yang tidak bisa dicegah siapa pun.
Hari ini Quinn memahami mengapa Bernard tidak pernah melakukan
pengejaran pada sang korban selamat yang digosipkan itu. Mengapa ia
terus mengingkari berita yang jelas-jelas nyata itu. Akan terlalu kejam
bila mereka memaksakan pengejaran pada seorang gadis kecil yang tidak
tahu apa-apa itu, pada gadis kecil yang mengalami trauma yang tidak
dapat dilupakannya seumur hidupnya.
Quinn tersenyum melihat wajah manis yang tenang itu.
Kalau saat itu ia bertindak gegabah, saat ini Bernard tidak akan ada di
sisinya. Dan entah apa jadinya dirinya saat ini. Mungkinkah ia menjadi
seperti Mathias yang lemah ataukah ia menjadi seorang Raja yang penuh
dendam" Ia juga mungkin telah menghancurkan hidup Earl of Hielfinberg
dan gadis ini. Semua mungkin saja... BAB 19 Eleanor memperhatikan sekelilingnya.
"Kau sudah bangun?" Quinn bertanya lembut.
Mata Eleanor beralih ke pemuda yang duduk di sampingnya itu.
"Apa kau sudah merasa lebih baik?" tangannya merapikan rambut di
sekeliling wajah Eleanor.
"D-Di mana ini?" tanya Eleanor panik.
Quinn hanya tersenyum. Eleanor pucat pasi. Tangannya menggenggam erat selimut tipis yang
menutupi tubuhnya. Quinn duduk di sisi Eleanor. "Tidak ada yang perlu kautakuti," ia meraih
tubuh Eleanor. Eleanor mencengkeram baju Quinn. Wajahnya terus memutih. Tubuhnya
bergetar hebat. "Kau pasti telah melalui masa-masa yang sulit," bisik Quinn di telinga
Eleanor. Tangannya bergerak membelai rambut gadis itu.
"Aku ingin pulang," pinta Eleanor.
"Tak lama lagi semuanya akan usai. Corogeanu sudah dekat."
"Aku masih harus pulang ke Schewicvic," gerutu Eleanor tidak
sependapat. Quinn termenung. Tidak adakah yang bisa dilakukannya untuk
mengalihkan perhatian gadis ini"
"Ini adalah kesempatan langka," Quinn berdiri, "Mengapa kau tidak
melihat pemandangan luar?"
Eleanor mencengkeram baju Quinn semakin erat.
Quinn mau tidak mau duduk kembali. "Kau tidak bisa terus begini."
"Aku mau pulang," Eleanor mengulangi.
Quinn mendesah. Trauma berhasil membuat Eleanor menjadi seorang
gadis manja yang penakut.
"Aku menyesal sekarang aku tidak bisa menuruti keinginanmu."
Eleanor juga tahu sekarang terlalu terlambat untuk kembali ke Fyzool.
Sekarang sudah amat terlambat untuk menarik kembali keputusannya
menerima tantangan Quinn. Sekarang sudah terlambat untuk
menghentikan harga dirinya yang terusik oleh ejekan Quinn.
Quinn menyandarkan punggungnya di atas tumpukan bantal tanpa
melepaskan Eleanor. "Katakan apa yang harus kita lakukan untuk
menghabiskan waktu?"
Eleanor mengangkat kepalanya melihat Quinn.
"Kita masih punya waktu yang panjang sebelum tiba di Corogeanu."
Eleanor tertegun. Quinn membiarkannya setengah berbaring di atas
tubuhnya. Sementara itu tangannya merangkul punggungnya erat-erat.
Quinn tidak pernah memperlakukannya dengan lembut seperti ini. Quinn
yang biasanya pasti sudah mengejek dirinya dan terus menghinanya.
Eleanor membaringkan badan di atas tubuh Quinn. Ia tidak ingin pergi
dari kenyamanan ini. Ia tidak ingin melepaskan diri dari kehangatan ini.
Ia ingin terus berada di tempat yang menenangkan ini.
Rasa tenang, aman dan nyaman membuat mata Eleanor berat.
-----0----"Di mana matamu!"
Semua kegiatan di Ruang Pesta langsung terhenti. Pasangan yang sedang
berdansa mematung. Tangan para pemain musik terhenti di udara. Katakata orang
yang sedang mengobrol tertahan dalam kesunyian.
Semua mata langsung menuju Simona yang bertolak pinggang. Matanya
mengadili seorang wanita yang kurang lebih seusia dengannya.
"Apa kau tidak tahu siapa aku!?" Simona membusungkan dada.
"Beraninya kau menabrakku!"
Wanita bangsawan itu kesal. Nampak jelas sekali ia tidak suka cara
Simona merendahkannya. "Ada apa, Simona?" Mathias bertanya.
"Tidak ada apa-apa," Simona membalikkan badannya dengan angkuh,
"Hanya seorang tidak tahu diri menabrakku."
Derrick mengalihkan pandangannya. "Lagi-lagi ia membuat ulah,"
katanya. "Selama Mathias ada di sisinya, tidak ada yang berani melawan Simona,"
Irina sependapat. "Aku ingin tahu," gumam Derrick, "Apa yang akan dilakukan Eleanor
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau ia ada di sini."
Irina tersenyum geli. "Ia pasti akan melabrak Simona."
"Saat itu aku ingin melihat wajah Simona," Derrick juga tersenyum geli.
"Sayangnya," Irina kembali cemas, "Kita tidak tahu bagaimana keadaan
Eleanor saat ini. Ini sudah berlangsung tiga jam semenjak kita
meninggalkan Tognozzi. Paduka juga tidak muncul. Aku benar-benar
cemas." Irina melihat ayahnya melintasi kerumunan di Hall.
"Papa," Irina mencegat Grand Duke, "Apa tidak ada kabar" Ini sudah
lebih dari setengah perjalanan. Tidak lama lagi kita akan tiba di
Corogeanu." "Jangan khawatir," Bernard menenangkan, "Paduka Raja ada di sisinya."
"Bahkan Paduka Raja pun tidak meninggalkan sisi Eleanor, apakah itu
tidak berarti keadaan Eleanor benar-benar gawat!" sergah Irina. "Paduka
tidak pernah meninggalkan tamu-tamunya seperti ini."
Grand Duke tidak dapat membantah. Ini pertama kalinya Quinn
meninggalkan tamu-tamunya. Pertama kalinya pula ia meninggalkan
perjamuan tanpa menyambut para tamunya terlebih dahulu.
"Aku rasa bukan itu alasan Quinn tidak meninggalkan Eleanor."
"Derrick!" suara sang Grand Duke meninggi.
"Maksudku Paduka," Derrick langsung membenarkan.
"Ia bukan tipe orang yang mengambil tindakan untuk mengubah arah
gosip," kata Irina pula.
Ini juga benar. Quinn tidak pernah ambil pusing oleh gosip-gosip yang
beredar seputarnya. Ia tidak mungkin sengaja terus berada di sisi Eleanor
untuk membuat gosip baru.
Semenjak mendengar dari Grand Duke bahwa Paduka Raja Quinn tidak
dapat meninggalkan Paduka Ratu Eleanor yang sedang tidak enak badan,
para tamu mulai berspekulasi. Sebelumnya terdengar santer pernikahan
mereka yang selalu diwarnai pertikaian hebat. Sebelumnya lagi juga
tersiar kabar Eleanor kabur ke Mangstone. Pernikahan keduanya sudah
menjadi gosip rahasia selama beberapa bulan terakhir ini. Tidak ada yang
mempercayai pernikahan ini akan berlangsung lama. Tidak ada yang
mempercayai pula keduanya benar-benar saling mencintai seperti yang
pernah mereka umumkan. Dan hari ini...
"Irina benar. Ia bukanlah tipe orang seperti ini," Derrick sependapat. "Ia
bukan orang yang dengan mudah menyerahkan tugasnya pada orang
lain. Kecuali ia benar-benar mendapat halangan besar, ia tidak akan
menyerahkan tugasnya pada Papa."
Grand Duke pun sependapat. Walaupun ia adalah tangan kanan Raja
terdahulu dan penasehat Raja yang sekarang, Quinn lebih suka
melakukan sendiri tugas-tugasnya.
"Bisakah Papa melihat keadaan Eleanor?" pinta Irina. "Aku benar-benar
cemas." "Baiklah," Grand Duke sependapat, "Aku akan melihat keadaan Eleanor."
Grand Duke langsung melangkahkan kaki ke kabin khusus keluarga
kerajaan. Irina menarik tangan Derrick.
"Bukankah Papa sudah setuju akan melihat keadaan Eleanor?" protes
Derrick. Irina tidak menjawab. Ia terus menarik Derrick mengikuti ayah mereka.
Derrick memperhatikan sorot cemas di mata kakaknya. "Aku kalah
darimu," gumamnya. -----0----- Suara ketukan di pintu membuka mata Quinn yang terpejam.
"Seseorang perlu membuka pintu."
Eleanor pun membuka matanya. Ia melihat Quinn yang setengah
mengantuk. Ketukan di pintu kembali terdengar.
Eleanor melihat pintu. "Kalau kau tidak mau membuka pintu berarti aku yang harus pergi."
Eleanor mencengkeram baju Quinn dan menggelengkan kepalanya.
"Aku akan segera kembali," Quinn melepaskan cengkeraman Eleanor.
Eleanor terkejut. Tiba-tiba saja ia merasa kesepian.
Quinn membuka pintu. "Ada apa, Bernard?" tanyanya melihat orang di
depan pintu. "Saya datang untuk melihat keadaan."
Eleanor merasakan angin laut yang menerobos pintu. Ia mendengar suara
yang menderu bagaikan panggilan kematian itu. Ia dapat mencium bau
yang membekukan darahnya. Ia teringat angin ribut yang menerbangkan
apapun, ombak besar yang menggapai langit, sinar-sinar di langit kelam
yang menyilaukan serta jeritan halilintar yang memekikkan telinga.
Quinn menyadari perubahan Eleanor.
"Masuklah ke dalam," katanya memerintah dan ia menutup pintu rapatrapat.
Bernard melihat Eleanor yang meringkuk di atas tempat tidur dengan
tubuh bergetar heba. Lalu ia melihat Quinn.
"Ia sudah bangun," Quinn memberitahu.
Bernard turut cemas melihat wajah pucat gadis itu. Ia berharap ia dapat
melakukan sesuatu untuknya.
"Katakan bagaimana perkembangan keadaan di luar," Quinn mengalihkan
perhatian Bernard, "Apa yang mereka katakan" Apa ada yang
mencariku?" "Tidak ada, Paduka Raja. Saya telah memberitahu alasan Anda tidak bisa
berada bersama mereka. Mereka mengkhawatirkan keadaan Paduka Ratu
namun saya telah meyakinkan mereka Paduka Ratu baik-baik saja."
Semua orang percaya pada penjelasan Bernard kecuali Irina. Sang kakak
angkat dan ibu asuh Eleanor itu tidak dapat berhenti menemaskan
Eleanor. Tidak akan ada yang dapat menghentikan kecemasan putrinya
itu kecuali ia melihat sendiri Eleanor.
Ketika Quinn berada di sisi Eleanor, apakah yang dapat dilakukan Irina"
Quinn sudah lebih dari cukup untuk menjaga Eleanor. Itulah yang
dikatakan Derrick pada Irina. Namun Irina menahan dirinya bukan karena
itu. Melainkan karena ia tidak ingin menganggu mereka.
Sebagai orang yang bertanggung jawab mewakili Quinn, Bernard
memutuskan untuk memeriksa sendiri keadaan Eleanor. Ia ingin tahu
apakah Paduka Rajanya bisa menghadiri pesta yang ia adakan untuk para
tamunya itu. Sekarang ketika melihat Eleanor yang meringkuk di atas
tempat tidur, Bernard percaya kali ini Quinn tidak dapat menjadi tuan
rumah yang baik untuk alasan yang baik.
"Semua orang mulai membicarakannya, Paduka," lapor the Grand Duke,
"Semua membicarakan betapa besarnya cinta Anda pada Paduka Ratu
hingga tidak sanggup meninggalkannya walau hanya sedetik."
"MENARIK!" Suara keras pemuda itu memanggil kembali Eleanor dari bayangan masa
lalunya yang kelam. "Kau dengar itu, Eleanor?" Quinn menoleh pada Eleanor, "Kau telah
membuat gosip-gosip itu berubah haluan."
Eleanor kesal mendengar nada mengejek yang tersembunyi dalam suara
geli itu. Pemuda ini benar-benar tahu bagaimana mempermainkannya.
Sesaat lalu bersikap manis padanya dan sekarang mengejeknya kembali.
Eleanor meraih bantal dan melemparkannya pada Quinn.
Quinn menghindar dengan sigap. Tangannya menangkap bantal itu
sebelum ia mendarat di wajah Grand Duke Bernard yang termangu.
"Lihatlah!" Quinn menyalahkan, "Kau telah melukai Bernard."
Eleanor langsung meloncat dari tempat tidur. "Kau tidak apa-apa,
Bernard?" tanyanya cemas, "Aku tidak membuatmu terluka, bukan?"
Grand Duke Bernard kebingungan.
Quinn tersenyum geli melihat Eleanor yang tidak mau meninggalkan
tempat tidur, berdiri di depan Bernard.
Tiba-tiba saja Eleanor menyadari permainan Quinn.
"KAU!!!!" geram Eleanor kesal.
"Setidaknya kau telah membuat kemajuan," senyum nakal di wajah
Quinn kian lebar. "Rasanya aku ingin memberi pelajaran padamu," Eleanor mendekati
Quinn dengan kemarahan terpendam.
"Apakah itu yang ingin kaulakukan setelah meninggalkan sarangmu?"
selidik Quinn. Eleanor tidak mempedulikan gurauan itu. Ia merebut bantal di tangan
Quinn. "Hei!" Quinn melindungi dirinya sendiri dari serangan Eleanor.
Grand Duke melihat keduanya kembali hanyut dalam keasyikan mereka
sendiri dan ia meninggalkan mereka dengan diam-diam.
"Tidak seorang pun yang bertingkah sepertimu setelah meninggalkan
sarangnya," komentar Quinn sambil terus menangkap serangan Eleanor.
"Kau yang memulainya!" kata Eleanor kesal.
"Sudah cukup permainan hari ini," katanya sambil mengambil alih bantal
di tangan Eleanor. Sebuah ombak besar menerjang kapal.
Eleanor terkejut. Tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Quinn segera memeluk Eleanor sebelum ia terjatuh. Saat itulah Quinn
menyadari getaran hebat tubuh Eleanor.
"Sial," gerutu Quinn.
Kaki Eleanor kehilangan tenaganya dan ia bergelantung lemas di tangan
Quinn. Quinn mendudukkan Eleanor di lantai kabin dan duduk di sisinya sambil
memeluknya erat-erat. "Tidak apa-apa," bisiknya, "Tidak ada apa-apa. Itu hanyalah ombak
biasa." Jari jemari Eleanor mencengkeram kemeja Quinn erat-erat.
"Tidak akan terjadi apa-apa," Quinn meyakinkan, "Aku ada di sini. Aku
tidak akan meninggallkanmu."
Eleanor mendekapkan diri kian erat pada Quinn.
Otak Quinn berputar cepat mencari topik yang dapat mengalihkan
perhatian Eleanor. "Kau membuat kemajuan besar," gurau Quinn, "Kau merubah haluan
gosip-gosip itu. Aku tidak akan heran kalau tak lama lagi mereka
menyebutmu pelacur kelas atas."
Telinga Eleanor memerah mendengar ledekan itu. "Siapa yang pelacur!?"
Eleanor naik pitam. Mata biru beningnya menantang Quinn. "Katakan itu
lagi maka aku akan... aku akan..."
"Aku apa?" Quinn tersenyum simpul.
"Aku... aku...," Eleanor tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
"Menunjukkan padaku bahwa kau benar-benar seorang yang ahli dalam
hal ini?" "KAU!!!" Eleanor geram, "K-kau..." Eleanor begitu marah hingga ia
kehabisan kata-kata. Quinn tertawa geli melihat muka Eleanor yang memerah karena
amarahnya yang memuncak itu. Eleanor sungguh tidak cocok dengan
ekspresi murkanya itu. Wajahnya terlalu cantik, terlalu kekanak-kanakan.
Mata biru beningnya yang lembut tampak begitu aneh dengan sorot
tajamnya. "Apa yang kautertawakan!?" bibir mungil itu mencibir kesal.
"Ini," Quinn menyentuh bibir Eleanor.
Sentuhan lembut Quinn mendinginkan api amarah Eleanor dan membuat
dadanya berdebar kencang.
"Kau sungguh tampak begitu menggelikan dengan ekspresi kemarahanmu
itu. Kau sungguh tidak cocok untuk marah," bisik Quinn sambil
mendekatkan wajah. Eleanor pasrah. Ia membiarkan tangan Quinn menjelajahi wajahnya. Ia
membiarkan Quinn mengangkat dagunya. Eleanor menutup matanya. Ia
sudah benar-benar luluh oleh cara Quinn menyentuhnya.
Quinn pun tanpa ragu-ragu mendekatkan bibirnya.
Seseorang mengetuk pintu.
"Sial!" Eleanor mendengar Quinn menggerutu. "Siapa yang berani
merusak suasana ini!!?"
Seketika itu Eleanor sadar dari pengaruh biusan Quinn dan ia menjauhkan
diri. "Belum, sayangku," Quinn menarik Eleanor kembali ke pelukannya, "Aku
belum selesai." Sebelum Eleanor sempat menyadari kekagetannya sendiri, Quinn
mendaratkan ciuman lembut di atas bibirnya dan ia berdiri untuk
membuka pintu. Eleanor terperanjat. Kejadian ini sangat cepat. Terlalu cepat untuknya. Ia
tidak siap untuk itu. Ciuman pertamanya melayang begitu saja tanpa ia
sadari. Entah mengapa, Eleanor tidak kecewa. Dadanya terus berdegup
kencang. Ia tidak dapat mempercayai ini. Quinn, si pemuda yang lebih
suka mengejeknya daripada memujinya, telah menciumnya!
"Saya datang untuk memeriksa keadaan," kata seorang awak kapal,
"Apakah Anda baik-baik saja, Paduka?"
"Apa yang terjadi?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Guncangan barusan disebabkan
oleh gelombang besar."
"Kuharap badai tidak datang."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Paduka. Kapten mengatakan tidak
akan ada badai. Gelombang barusan murni gelombang biasa."
"Untunglah," Quinn lega. "Masih berapa lamakah sebelum kita
mendarat?" "Kurang lebih setengah jam lagi, Paduka."
Quinn melirik Eleanor yang masih duduk di lantai. Gadis itu sedikitpun
tidak bergerak. Matanya menerawang kosong seperti tubuh tidak berjiwa.
Lalu ia berkata, "Kau bisa pergi sekarang."
Pria itu langsung mengundurkan diri.
Quinn duduk di depan Eleanor. "Kau sudah lebih baik?" tangannya
merangkum wajah Eleanor. Wajah Eleanor langsung memerah. Wajah Quinn yang begitu dekat itu
mau tidak mau membuatnya teringat ciuman singkat Quinn beberapa
saat lalu. "Melihat wajahmu yang seperti ini," Quinn menggoda, "Kau sudah jauh
lebih baik." Eleanor kesal. Lagi-lagi ia membiarkan dirinya dipermainkan Quinn!
Quinn tersenyum melihatnya. Tiba-tiba ia berdiri sementara tangannya
menarik tubuh Eleanor. Tubuh Eleanor yang tidak siap langsung limbung.
Quinn memeluk gadis itu dengan lembut. Tangan kanan Quinn
memegang pipi yang memucat itu sementara tangan kirinya memeluk
pinggang Eleanor, menahan gadis itu.
"Kau tahu, kau bisa membiusku dengan wajahmu yang tanpa dosa itu,"
Quinn tersenyum penuh kasih.
Wajah Eleanor merona. "Kau sungguh membuatku tidak berdaya," sekali lagi Quinn mendaratkan
ciumannya di bibir Eleanor.
Eleanor tidak pernah tahu sebuah ciuman bisa terasa menakjubkan
seperti ini. Eleanor tidak dapat menggambarkan perasaan ini. Ia tidak
dapat mengutarakannya. Ia merasa luluh tidak berdaya sekaligus terbuai.
Tubuhnya bergetar hebat ketika Quinn melepaskan bibirnya. Bibirnya
membuka - haus akan kenikmatan yang baru dikenalkan Quinn padanya.
Matanya menatap Quinn penuh kerinduan.
Tangan Quinn menyandarkan kepala Eleanor di pundaknya.
Eleanor menggenggam erat kemeja Quinn dan menyembunyikan
wajahnya di dada Quinn. Ia terlalu malu untuk melihat wajah pemuda itu.
"Sekarang," katanya memecah kesunyian di antara mereka, "Apa yang
harus kita lakukan denganmu?"
"Denganku?" "Pertama-tama aku perlu memulangkanmu ke sarangmu."
Lagi-lagi Quinn mengagetkan Eleanor. Sebelum Eleanor menyadarinya,
Quinn mengangkat Eleanor dan membaringkan gadis itu di atas tempat
tidur. BAB 20 Quinn menurunkan kaki Eleanor di atas tanah.
"Kita sudah sampai," ia memberitahu.
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eleanor melepaskan tangannya dari leher Quinn dan membuka matanya.
Ia tersenyum lebar melihat jalan setapak ke villa kerajaan, Corogeanu.
Matanya langsung melihat Irina yang berdiri tak jauh di depannya
bersama Derrick. "Irina!!" Eleanor berlari riang.
Irina menyambut gadis itu dengan pelukannya. Ia lega melihat Eleanor
yang kembali segar bugar.
"Ayo kita pergi, Irina," Eleanor menarik lengan wanita itu, "Aku sudah
tidak sabar menjelajahi tempat ini."
Irina tidak mempunyai kesempatan untuk melawan Eleanor. Ia hanya
bisa membiarkan gadis itu menariknya dengan paksa.
"Hati-hati Eleanor!" Derrick berseru cemas, "Awas Irina!" serunya ketika
melihat Irina hampir terjatuh karena Eleanor.
Derrick memegang dahinya dan mengeluh panjang. Eleanor memang
selalu bisa membuatnya cemas. Sejujurnya, Derrick tidak terlalu cemas
akan Eleanor. Ia lebih mencemaskan Irina. Irina bukan seorang gadis liar
seperti Eleanor. Ia adalah seorang lady!
Quinn tertawa. Derrick terkejut. Entah sejak kapan Quinn telah berada di belakangnya.
"Sepertinya Eleanor sudah pulih."
Derrick melihat kedua wanita yang terpenting dalam hidupnya itu telah
menjauh. Quinn pun tersenyum melihat Eleanor yang kembali ceria itu. Eleanor di
atas daratan memang berbeda dengan Eleanor di atas laut.
"Paduka," Derrick berkata serius, "Saya telah mendengarnya. Anda
mengetahui tentang Eleanor."
"Ya," gumam Quinn.
Derrick melihat Quinn dengan serius.
"Itu adalah cerita masa lalu. Kejadian itu murni kecelakaan. Tidak ada
gunanya mengungkit cerita masa lalu. Lagipula itu akan terlalu kejam
untuk Eleanor." Derrick lega mendengarnya.
"Mungkin hari ini aku boleh memberi kebebasan pada Eleanor," Quinn
tersenyum penuh arti melihat gadis itu membuat Irina panik.
"Mari kita pergi," Quinn menepuk pundak Derrick. "Kau mencemaskan
Irina, bukan?" Quinn melalui Derrick, "Aku tidak mencemaskan Eleanor
tapi aku mencemaskan Irina. Aku percaya Eleanor akan membuat Irina
celaka," dan pemuda itu tertawa.
Derrick terperangah. Mau tak mau ia pun tersenyum. "Baik, Paduka,"
katanya mengikuti Quinn mengejar kedua gadis di depan itu.
"Derrick, kau bisa memanggilku Quinn," Quinn memberitahu. "Aku sudah
bukan hanya seorang Raja bagimu. Sekarang aku juga menjadi bagian
dari keluarga kalian."
"Saya juga sependapat," kata Derrick, "Tapi... Papa."
"Bernard memang seorang yang masih kolot," Quinn tertawa geli.
Derrick terperangah. Baru kali ini ia mendengar Quinn berkomentar
tentang ayahnya. "Tapi kerajaan ini membutuhkan orang seperti dia, bukan?" kata Quinn
serius. Derrick mengangguk. Andai bukan karena pikiran kolot ayahnya, mungkin
ayahnya sudah langsung mengambil alih tahta ketika Quinn masih terlalu
kecil untuk menjadi seorang Raja.
-----0----- Grand Duke bingung melihat Raja Quinn duduk santai di Ruang Duduk
Corogeanu menikmati anggurnya. Beberapa saat lalu seorang pelayan
menyampaikan panggilan Quinn. Ia menduga ada sesuatu yang hendak
dirundingkan Quinn dengannya. Namun apa yang dilihatnya saat ini
berbeda dengan dugaannya.
"Duduklah," ia menyambut kedatangan sang Grand Duke.
"Paduka Ratu?" Bernard melihat sekelilingnya.
"Ia ada bersama Irina dan Derrick yang menemaninya menjelajahi
Corogeanu. Untuk sementara waktu ini aku memiliki waktu luang," lalu ia
menawari, "Kau mau minum apa" Brandy" Armagnac" Atau Sherry"
Vodka?" "Anggur merah," jawab Grand Duke.
Quinn tersenyum, "Kau masih tidak berubah." Quinn menuangkan segelas
anggur merah untuk Grand Duke.
Bernard menerima gelas itu.
Quinn menuju jendela dan memperhatikan kegiatan para tamunya di luar.
Sekitar lima ratus bangsawan dan keluarga ternama yang diundang itu
tampak menikmati keindahan Corogeanu. Sekelompok wanita tampak
berkumpul di bawah rimbunan pepohonan dan bercanda riang.
Sekelompok tamu menikmati jamuan yang disiapkan di kebun. Beberapa
pria tampak merundingkan sesuatu dengan serius. Sekelompok anak kecil
yang turut serta bersama orang tuanya, bermain dengan riang.
Entah di mana sekarang Eleanor berada. Begitu melihat bangunan villa
yang dinamakan sesuai dengan nama pulau ini, Eleanor berseru gembira.
Ia menarik Irina menjelajahi Corogeanu sambil mengumumkan, "Ini
adalah waktu penjelajahan!"
Melihat Eleanor kembali membawa kabur kakaknya, Derrick langsung
mengikuti mereka. Quinn memutuskan untuk menyerahkan mereka pada
Derrick. Ia masih punya pekerjaan yang perlu dilakukannya sejak awal
perjalanan ini yaitu menyambut tamu-tamunya.
Quinn berpikir andai bencana itu tidak pernah terjadi, mungkin Eleanor
sudah dari dulu jatuh cinta pada tempat ini.
Corogeanu bukanlah pulau besar. Bahkan pulau ini masih terlalu kecil
untuk disebut pulau kecil.
"Sepertinya suasana tahun ini berbeda dari tahun-tahun yang lalu."
Grand Duke mengangguk setuju.
"Entah mengapa aku merasa Eleanor akan membawa sebuah kejutan."
"Mungkin karena ia selalu membuat kejutan," Bernard memberikan
komentarnya. "Dia suka membuat keributan," Quinn membenarkan. Matanya mencaricari Eleanor di
seputar pulau kecil ini. Quinn melihat sesuatu melompat dari beranda di lantai tiga Corogeanu
tak lama kemudian muncul seorang wanita dengan wajah paniknya
disertai seorang pria. Sesaat kemudian wanita itu melompat dari beranda.
Pria itu tampak panik dan kemudian ia pun melompat dari beranda ke
pohon di bawah beranda itu.
Pemandangan itu membuat Quinn teringat peristiwa serupa yang
dilihatnya beberapa tahun lalu.
Quinn masih ingat saat itu ia berada di dalam kereta menanti sang Grand
Duke yang mengambil barang di dalam Mangstone.
Di saat ia menanti itulah tiba-tiba ia melihat sebuah sosok kecil melompat
dari beranda ke pohon terdekat. Ia bergelayutan dari satu dahan ke
dahan yang lain dengan lincahnya selayaknya seekor monyet.
Sesaat kemudian tampak seorang gadis remaja muncul di beranda
dengan wajah geramnya. Ia bertengkar dengan seorang pemuda sebelum
ia melompat dari beranda.
Quinn membelalak kaget. Ia mengenali wajah gadis itu. Ia adalah Irina,
putri Duke of Binkley! Pemuda yang tak lain adalah Derrick itu tampak panik dan ia pun
mengejar kedua gadis itu.
Quinn tertawa. Ia benar-benar tidak menduga Irina, putri Duke of Binkley
yang anggun ternyata bisa bertingkah seperti ini.
Grand Duke yang muncul dari dalam Mangstone kebingungan melihat
rajanya tertawa geli. Quinn tidak pernah memberitahu Bernard apa yang membuatnya tertawa
saat itu. Bernard juga tidak pernah bertanya.
Quinn tersenyum geli melihat Irina dengan susah payah mengejar Eleanor
yang dengan lincahnya melompat dari satu dahan ke dahan yang lain.
Derrick, di sisi lain, kebingungan mengejar kedua gadis itu.
"Aku tidak bisa hanya berdiam diri di sini," Quinn beranjak meninggalkan
jendela, "Derrick membutuhkan bantuan."
Grand Duke tidak mengerti tapi ia juga tidak menghentikan Quinn.
Quinn langsung menuju halaman tempat ia melihat kedua wanita itu
saling kejar mengejar dan Derrick yang kewalahan menghentikan
keduanya melakukan tindakan yang berbahaya dengan gaun mereka
yang merepotkan itu. Quinn berdiri di bawah sebatang pohon dan menengadah.
"Sudah waktunya kau berhenti."
Eleanor terkejut. Kakinya terpeleset. Tangannya langsung bertindak cepat
berpegangan pada dahan pohon.
Irina membelalak kaget. Ia melihat Quinn yang berdiri di bawah mereka
dengan wajah memerah. Derrick juga tidak kalah kagetnya melihat Quinn tiba-tiba muncul.
Eleanor memanjat dahan pohon tempat ia menggelantung dan duduk.
Matanya langsung menatap tajam Quinn, setajam suaranya, "Apa-apaan
kau ini!" Apa kau ingin mencelakaiku!?"
"Aku tidak mencelakaimu," kata Quinn tenang, "Kau sendiri yang mencari
bahaya." "Apa katamu!?" Eleanor marah.
Quinn menghela nafas panjang.
"Apa!?" Eleanor tidak suka melihat wajah lelah pria itu. Ia tidak
melakukan apa-apa yang menganggu pria itu. Untuk apa ia memasang
wajah itu!" Eleanor benar-benar tidak menyukai Quinn!
Quinn mendekati pohon itu. Di luar dugaan Eleanor, pria itu mulai
memanjat ke arahnya. Irina membelalak. Derrick melotot. "Derrick, dia," bisik Irina.
"Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya," jawab Derrick.
Beberapa tahun lalu Quinn tidak bisa berbuat apa-apa selain bisa tertawa
dan menahan rasa iri hatinya melihat ketiganya bersenda gurau sambil
melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
"Apa yang kau lakukan!?" Eleanor memelototi pria yang langsung duduk
santai di pangkal dahan yang sama dengannya.
"Bukan hanya kau yang ingin duduk di sini," Quinn menyandarkan
punggung ke batang pohon. Ia menutup matanya seolah-olah sedang
menikmati hawa segar di sekitar pohon itu.
"Sebaiknya kau jangan melakukan sesuatu yang bodoh!" Quinn
memperingati, "Aku tidak mau merepotkan diriku sendiri."
"Siapa yang menyuruhmu merepotkan dirimu sendiri"!" Eleanor
memalingkan badan. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat tubuh
Eleanor kehilangan keseimbangan. Eleanor membelalak kaget. Dahan
tempatnya duduk terlalu dekat dengan ujung dahan dan tidak cukup kuat
untuk menahan gerakannya yang tiba-tiba itu.
Quinn segera meraih tangan Eleanor dan memeluknya erat-erat.
"Kau benar-benar liar," keluh Quinn, "Kau hanya akan membuat masalah
besar kalau kau jatuh. Duduklah yang manis seperti Irina."
Mendengar namanya disebut, wajah Irina memerah lagi. Selama ini tidak
seorang pun selain Eleanor dan Derrick tahu ia bisa memanjat pohon.
Bahkan ayahnya pun tidak tahu!
Derrick melompat dari dahan tempatnya berdiri ke sisi Irina. Berdua
mereka memperhatikan Eleanor yang masih belum pulih dari
kekagetannya, meringkuk di pelukan Quinn.
"Kurasa kita harus meninggalkan mereka," bisik Derrick.
Irina mengangguk mengerti dan menerima uluran tangan Derrick.
Eleanor berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sesaat yang lalu ia
merasa nyawanya telah pergi meninggalkan raganya.
Quinn tersenyum geli melihat gadis itu. "Kau sudah kehilangan nyalimu?"
Kemarahan Eleanor langsung bangkit lagi mendengar suara mengejek itu.
Ia memelototi Quinn. "Sekarang tinggal kita berdua," kata Quinn sebelum Eleanor sempat
melontarkan kemarahannya.
Eleanor langsung melihat tempat Irina dan Derrick beberapa saat lalu
berada. "Mereka sudah pergi," Quinn memberitahu.
Mata Eleanor menangkap sosok Derrick yang membantu Irina turun dari
pohon. Eleanor memalingkan kepala.
"Jangan!" Quinn mencoba memperingati tetapi ia terlambat. Mata Eleanor
menggelap melihat hamparan laut di belakangnya. Tubuhnya bergetar
keras. Ia merasa seluruh dunia berputar dan bersamaan dengan itu
tenaganya menghilang. Quinn kembali memeluk Eleanor erat-erat. "Tidak apa-apa," bisiknya,
"Tidak akan terjadi apa pun."
Eleanor mencengkeram kemeja Quinn. "A-aku ingin kembali."
"Tidak ada salahnya kau menemaniku di sini," Quinn memegang tangan
Eleanor. Eleanor melihat senyum lembut Quinn. Jantungnya berdebar keras. Ia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu di dalam, Irina berdiri di sisi jendela. Matanya tidak lepas
dari pohon tempat Quinn dan Eleanor berada.
"Kau tidak perlu mencemaskan mereka," Derrick berkata, "Paduka tidak
akan melakukan sesuatu yang berbahaya."
Irina tidak menanggapi. "Seharusnya kau lebih tenang sekarang," Derrick membuka mulut,
"Setidaknya sekarang ada Paduka yang mengawasi Eleanor."
"Aku bingung," gumam Irina, "Haruskah aku memanggil mereka?"
Derrick bingung melihat kegundahan Irina.
"Makan malam sudah hampir siap."
Derrick tersenyum. "Kulihat kau tidak perlu memusingkan hal itu. Paduka
sudah tahu. Lihatlah."
Irina memperhatikan halaman.
Quinn sudah berdiri di dahan kemudian ia meloncat.
Irina terkejut. Di sana, Eleanor pun membelalak kaget.
"Apa yang kaulakukan!?" seru Eleanor panik.
Quinn mendarat di tanah dengan mulusnya kemudian ia menengadah.
"Melompatlah." "APA!?" "Aku akan menangkapmu," Quinn mengulurkan tangan.
"Siapa yang akan melakukan hal gila sepertimu!?" Eleanor kesal.
Quinn tersenyum geli. "Bukannya kau selalu melakukannya?"
Eleanor termenung. "Ia tidak akan melakukannya, bukan?" Irina menatap adiknya dengan
cemas, "Eleanor tidak akan melompat seperti Paduka, bukan?"
"Siapa tahu," gumam Derrick, "Aku tidak yakin apa yang akan dilakukan
Eleanor tetapi aku tahu Paduka tidak akan mencelakakan Eleanor."
"Eleanor, jangan melompat," Irina berdoa namun di saat yang bersamaan
Eleanor menjatuhkan diri dari dahan.
"ELEANOR!!!" Irina terpekik kaget.
Derrick langsung menangkap tubuh lemas kakaknya. "Tidak apa-apa,"
katanya menenangkan, "Eleanor tidak apa-apa. Lihatlah itu."
Irina membuka matanya. Paduka Raja tengah membopong Eleanor. Ia tidak menurunkan Eleanor
malah membawanya ke dalam.
"Tampaknya ia lebih kuat dariku," gumam Derrick.
"Ya, Tuhan, Eleanor...," Irina tidak tahu harus berkata apa.
Sementara Irina sedang memulihkan kekagetannya, Eleanor berusaha
keras melepaskan diri dari Quinn.
"Turunkan aku!" Eleanor memasang wajah cemberutnya.
"Mengapa?" Quinn bertanya tidak mengerti, "Ini adalah bulan madu kita.
Apakah salah kalau aku bersikap manis pada istriku selama bulan madu?"
"Bulan madu?" Eleanor mencibir. "Tidak ada orang yang berbulan madu
dengan membawa berpuluh-puluh penonton."
Quinn hanya tersenyum. Sudah sejak tadi ia menyadari puluhan pasang
mata yang terus memperhatikannya membopong Eleanor. "Apakah itu
artinya kau ingin berbulan madu hanya denganku?" ia sengaja menggoda
Eleanor, "Setiap malam kita bisa berbulan madu."
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mati pun aku tidak sudi!" Eleanor menanggapi dengan cepat.
"Aku tidak akan membiarkannya," Quinn meneruskan godaannya, "Kalau
kau mati, aku tidak akan mempunyai pasangan bulan madu."
"Dengan rekor kekasihmu, aku yakin dalam satu jam kau akan
menemukan pasangan baru."
Alis Quinn terangkat. "Kau cemburu?"
"S-si-si," wajah Eleanor merah padam, "Siapa yang cemburu!?""
suaranya meninggi dengan kesal.
Quinn tertawa geli. Ia tidak tahu wajah Eleanor memerah karena kesal
atau memang karena malu. Quinn hanya tahu Eleanor tidak menyukai
godaannya dan itu sudah cukup untuknya.
Quinn melihat Duke Bernard mendekat diikuti putra-putrinya.
"Sudah, jangan marah," Quinn menurunkan Eleanor, "Irina akan
menggantungku kalau melihat wajahmu itu."
"Aku akan melaporkanmu pada Irina!" Eleanor menjulurkan lidahnya pada
Quinn dan langsung berlari ke pelukan ibu angkat kesayangannya itu.
Quinn hanya tersenyum melihatEleanor menarik Irina pergi dengan
gembira. Dalam hati ia berpikir Eleanor memang masih anak-anak.
"Apa yang terjadi, Paduka?" Duke Bernard bertanya cemas, "Tampaknya
Paduka Ratu tidak senang berada di dekat Anda."
Quinn hanya tertawa. "Dia alergi padaku," katanya kemudian ia bertanya,
"Ada apa kau mencariku, Bernard?"
"Saya hanya ingin bertanya apakah Anda akan menginap di sini atau
langsung pulang bersama tamu-tamu yang lain."
Quinn melihat Eleanor yang kini sudah berbaur dengan tamu-tamu yang
lain dikawal Derrick. "Aku tidak berani menjamin Eleanor dapat melupakan laut di sekitarnya
ini," Quinn memutuskan, "Kami akan pulang bersama kalian." Dan
sebelum sang Grand Duke berkata, ia menambahkan, "Dapatkah kau
mencari Lawrence untukku?"
Walaupun tidak mengerti akan permintaan Rajanya, Duke Bernard tetap
berkata, "Tentu, Paduka Raja."
Kemudian, seperti Eleanor, Quinn pun berbaur dengan tamu-tamunya
sambil menunggu makan malam.
-----0----- Eleanor sedang bercanda dengan tamu-tamunya, ketika terdengar
bentakan kasar. "APA!" Apa kalian sudah puas melihatku!" Simona bersila pinggang
memelototi sekelompok wanita, "Memangnya kalian pikir siapa kalian!"
Beraninya kalian memelototi Duchess of Binkley!!?"
Seperti semua orang di tempat itu, Irina melihat Simona melabrak
sekelompok wanita itu tanpa dapat berkata apa-apa.
Eleanor langsung mendekati mereka.
"Kita akan melihat pertunjukan menarik," Derrick tersenyum simpul.
Irina langsung memelototi Derrick dengan tidak senang. Sementara itu
Eleanor sudah tiba di sisi kumpulan orang yang menjadi pusat perhatian
itu. "Apa yang terjadi, Simona?" Eleanor sengaja bertanya pada wanita itu
dengan senyum manis tersungging di wajah lembutnya.
Karena Simona tampak tidak ingin menjawab pertanyaannya, Eleanor
berpaling pada sekelompok wanita di sisi yang lain. "Dapatkah kalian
memberitahuku apa yang telah terjadi?"
Mereka pun tidak mengeluarkan suara.
Eleanor pun menyadari sesuatu. "Walau aku tidak mengerti apa yang
telah terjadi, sebagai senior Simona, aku meminta maaf yang sebesarbesarnya."
Baik Irina maupun Derrick terperanjat.
"Aku harap kalian bisa memaklumi tindakan Simona. Ia masih baru dalam
lingkungan ini," Eleanor berkata dengan segenap ketulusannya, "Aku
tidak terlalu mengerti masa lalu Simona. Namun sepertinya, Simona tidak
suka terus-terusan menjadi pusat perhatian. Aku berharap kalian bisa
memaklumi sikapnya ini. Selain itu aku juga berharap kalian bisa
membantu Simona terbiasa dengan kehidupan barunya."
Bibir Derrick membentuk senyum geli. "Aku sudah tahu Eleanor tidak
akan berpihak pada Simona."
"Sejak kapan dia pandai menyindir orang?" gumam Irina.
Tidak seorang pun dari mereka yang membuka suara. Kemudian Eleanor
berpaling pada Simona. "Simona, sebagai Duchess of Binkley, aku ingin
kau memahami kedudukanmu. Aku berharap engkau bisa
memperlakukan tamu-tamuku seperti tamu-tamumu sendiri. Aku yakin
Duke Mathias sudah menjelaskan pentingnya kedudukanmu ini." Raut
wajah Eleanor dipenuhi rasa bersalah. "Maafkan aku, tak seharusnya aku
berkata sekeras itu padamu." Sepasang bola mata birunya menatap
Simona lekat-lekat, "Aku lupa engkau pasti masih tidak dapat
meninggalkan kebiasaan masa lalumu."
Tangan Simona terkepal erat di sisi tubuhnya.
"Aku tidak tahu apakah Duke Binkley sudah mengajarkan dasar-dasar
tata krama pergaulan kelas ini. Aku hanya ingin mengulangi sebagai
seorang Duchess, kau tidak boleh mengumbar emosimu seperti itu.
Perbuatan itu hanya merendahkan dirimu sendiri. Semoga engkau bisa
memahaminya. Aku tidak ingin orang lain memandang rendah pada
wanita yang akan menjadi penerusku sampai putra kami lahir. Engkau
juga perlu memahami sebagai Duchess of Binkley, engkau tidak akan
dapat terlepas dari pusat perhatian. Jangan khawatir, perhatian setiap
orang padamu berbeda dengan perhatian tiap pria ketika kau masih
bekerja di Dristol." Kemudian Eleanor mendesah kecewa. "Aku sungguh
iri padamu. Aku, sang Ratu Kerajaan Viering, tidak mendapatkan banyak
perhatian walau kedudukanku lebih tinggi darimu." Lalu Eleanor
tersenyum manis, "Apa boleh buat, kau lebih punya daya tarik daripada
aku. Bukankah begitu, Duke Mathias?" mata Eleanor tertuju pada sang
suami Simona, Duke of Binkley yang sejak awal hanya berdiri terpaku di
tempatnya. Duke Mathias terperanjat. "B-benar, Paduka Ratu." Ia menjawab dengan
gugup. Derrick tidak dapat menahan tawa gelinya. "Eleanor benar-benar luar
biasa." "Dia benar-benar tidak mudah dihadapi."
Derrick terperanjat. Ketika ia menoleh, Quinn sudah berdiri di
belakangnya. "Irina, aku perlu bantuanmu," kata Quinn ketika ia mendapat perhatian
wanita itu. "Dengan senang hati, Paduka."
Quinn mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku bajunya. "Aku ingin kau
memasukkan obat ini pada minuman Eleanor."
Keduanya membelalak kaget.
"Aku sudah mengatur tempat duduk kalian selama makan malam," lanjut
Quinn, "Aku akan mengalihkan perhatian Eleanor untuk memberi
kesempatan pada kalian."
"I-ini?" Irina menerima botol itu dengan bingung.
"Ini adalah obat tidur yang kuterima dari Lawrence," Quinn menjelaskan,
"Lebih baik membiarkan Eleanor tidur sepanjang perjalanan daripada
membiarkannya membuat ulah."
"Eleanor pasti akan marah besar," komentar Irina.
"Tidak ada cara lain," Derrick juga berkomentar, "Hanya ini satu-satunya
cara untuk membawa pulang Eleanor tanpa membuat gadis itu
ketakutan." Quinn tersenyum penuh arti. Kemudian ia berkata, "Sudah saatnya aku
menghentikan ini." Quinn pun mendekati Eleanor.
Irina menarik baju Derrick untuk mendapatkan perhatiannya. "Sejak
kapan ia berada di sana" Apakah ia melihat semuanya?"
"Entahlah," hanya itu yang dapat dijawab Derrick.
"Eleanor, sayangku," Quinn menyelipkan tangannya di pinggang Eleanor,
"Aku tahu engkau tertarik pada masa lalu Simona namun sekarang bukan
saatnya mendengar cerita yang menarik itu."
Eleanor langsung menengadah melihat Quinn.
"Aku yakin makan malam sudah siap," Quinn memberitahu, "Engkau mau
ke sana sendiri atau kugendong?"
Wajah Eleanor langsung memerah. "Aku bisa berjalan sendiri," ia
langsung membalikkan badan.
Quinn tersenyum melihatnya. Ia berpaling pada Mathias dan berkata,
"Kuharap engkau bisa membantu istri pilihanmu terbiasa dengan
kehidupan barunya ini," dan ia segera mengikuti Eleanor.
BAB 21 "Di mana Eleanor?" Quinn menatap tajam pelayan pribadi Eleanor,
"Katakan padanya aku menyuruhnya datang sekarang juga!" Quinn
marah. "Ehm..., Paduka Raja. Itu... anu... Paduka Ratu," Nicci bingung, "Dia...
Paduka Ratu..." Quinn menghela nafas. Kemarin malam ketika Eleanor masih terlihat segar bugar ketika mereka
akan kembali ke Tognozzi, Quinn sempat curiga kakak beradik Krievickie
tidak melakukan tugas mereka. Namun ketika Eleanor terus berpegang
padanya ketika mereka sudah memasuki kapal, Quinn tahu keduanya
telah berhasil tanpa sedikit pun menimbulkan kecurigaan Eleanor. Hanya
semangat Eleanorlah yang membuat obat itu tidak bekerja seperti yang
diharapkan Quinn. Eleanor sempat membuat keributan ketika ia tiba-tiba terjatuh tak lama
setelah kapal meninggalkan Corogeanu. Quinn segera mengatasi keadaan
dengan membawa Eleanor ke kamar dan memanggil Lawrence untuk
memeriksanya. Tentu saja keduanya tahu apa yang membuat Eleanor
tiba-tiba jatuh pingsan namun tak seorang pun dari mereka yang
membuka suara. Lawrence sempat mengagumi daya tahan Eleanor pada obat tidurnya.
Namun ia yakin, Eleanor akan terus tertidur hingga mereka mencapai
Istana. Dan memang itulah yang terjadi. Eleanor terus tidur hingga pagi
ini! Ketika Eleanor muncul di Ruang Makan dengan wajah cerianya, Quinn
yakin gadis itu tidak tahu apa yang membuatnya pingsan kemarin malam.
Namun rupanya ia terlalu menyepelekan Eleanor. Gadis cerdas itu pasti
tahu apa yang sudah diperbuatnya dan sekarang ia memberikan
pembalasannya! Pagi ini ia sudah memberitahu Eleanor mereka akan menghadiri sebuah
perjamuan sosial. Sekarang, gadis itu menghilang. Seharusnya ia sudah
tahu akan begini jadinya. "Ke mana dia?"
Nicci terkejut. "Ke mana biasanya dia menghilang?"
Nicci sadar ia tidak bisa berbohong pada Raja Quinn. "Baju pelayan yang
Paduka Ratu minta tidak ada di tempatnya," Nicci memberitahu dengan
hati-hati. Matanya terus mengawasi setiap perubahan di wajah tampan
Quinn, "Mungkin Paduka Ratu pergi ke Loudline. Paduka Ratu suka pergi
ke Loudline dengan menyamar sebagai pelayan Earl Hielfinberg."
Dengan tingkah Eleanor yang seperti itu, Quinn sama sekali tidak
terkejut. "Nicci, kau bisa mencarikan baju pelayan untukku?"
Nicci terperanjat. "Paduka, Anda... Anda... tidak bermaksud... bukan?"
"Seseorang harus menjemput Eleanor."
"Anda bisa mengirim saya untuk menjemput Eleanor. Saya tahu di mana
biasanya Ratu berada."
"Aku tidak ingin mengulangi perintahku, Nicci," Quinn memperingati.
"B-baik, Paduka. Hamba akan segala melaksanakan perintah Anda," Nicci
langsung bergegas pergi. Kalau semua orang mengatakan Eleanor adalah satu-satunya orang yang
bisa menghadapi amarahnya, Quinn pun mempunyai kepercayaan diri ia
adalah satu-satunya orang yang bisa mengatasi pemberontakan Eleanor.
Quinn menghela nafas. Tampaknya hari ini ia tidak akan bisa ke manamana. Ia
harus mengirim seseorang ke perjamuan itu.
"Paduka," Jancer, sang Kepala Pengawal Istana muncul dengan wajah
pucatnya, "Saya telah mendengarnya. Saya bisa mengirim pasukan untuk
menjemput Paduka Ratu."
Quinn tidak terkejut melihat wajah panik pria itu. "Harus aku sendiri yang
menjemput Eleanor." "Saya akan mengatur pasukan untuk menemani Anda."
"Tidak, Jancer. Aku tidak mau dikawal," perkataan Quinn membuat Jancer
membelalak, "Aku punya tugas lain untukmu."
Jancer tidak mengerti rajanya. Semenjak kehadiran Eleanor di Istana ini,
Quinn mulai berubah. Sekarang ia menjadi seseorang yang benar-benar
tidak dikenal Jancer. Dulu Quinn selalu berkepala dingin menghadapi setiap masalah. Ia jarang
mengumbar emosinya. Sekarang, tiada hari mereka tidak mendengar
bentakan Quinn. Anehnya, amarah Quinn tidak lagi semenyeramkan dulu.
Entah itu karena mereka sudah mulai terbiasa dengan suara nyaring
Quinn yang mengagetkan istana setiap saat ataukah karena kehadiran
Eleanor yang selalu membantah Quinn dengan suara nyaringnya pula.
Jancer tidak mengerti. Dulu Quinn tidak pernah menolak setiap wanita cantik yang muncul di
depannya. Sekarang Quinn hanya memfokuskan perhatiannya pada
tugas-tugas kerajaan. Quinn tidak pernah lagi terlihat bersenda gurau
dengan wanita-wanita cantik kecuali menyangkut urusan kerajaan.
Eleanor membawa banyak perubahan pada Quinn. Semenjak
kedatangannya, Jancer sering mendengar tawa pemuda yang hampir
tidak pernah tertawa semenjak kematian orang tuanya itu. Ia juga sering
memergoki rajanya itu mengawasi tingkah Eleanor dengan senyum penuh
arti. Eleanor... Jancer tidak tahu bagaimana ia harus menggambarkan gadis itu. Di satu
saat gadis itu tampak masih kanak-kanak. Di saat yang lain, ia begitu
berwibawa. Di satu kesempatan ia sungguh liar dan di kesempatan lain ia
sangat anggun. Kemarin ia melihat sendiri sisi Eleanor yang lain. Sebagai Kepala
Pengawal Istana, sudah menjadi kewajibannya mengawal pasangan
nomor satu di kerajaan ini. Ia berada di tempat itu ketika Eleanor
menghadapi Simona yang menjadi pusat perhatian.
Gadis itu tampak begitu manis dan polos ketika ia mengucapkan katakatanya yang
memahami posisi sang Duchess baru itu. Kata-katanya
yang lembut berpihak pada Simona. Setidaknya itulah yang dilihat setiap
orang pada saat itu. Namun bila seseorang berpikir lebih jauh, tidak sulit
menangkap sindiran-sindiran tersembunyi gadis belia itu.
Jancer tidak tahu haruskah ia berkata Ratu Eleanor adalah seorang
malaikat, atau seorang iblis atau seorang iblis berbaju malaikat atau
seorang malaikat berbaju iblis. Ia sungguh tidak dapat memahami
tindakan ratunya yang satu ini.
Ratu Viering satu ini suka berbuat sesuka hatinya tanpa berpikir banyak.
Dan sekarang ia juga membuat Raja Viering ikut-ikutan.
Tidak! Tunggu dulu! Jancer tidak dapat menjamin Ratu akan dalam
keadaan selamat ketika pasukan Istana mulai menyisir Loudline. Janganjangan
keberadaan pasukan Istana di Loudline malah membahayakan
Ratu. Jancer tersenyum Rajanya memang orang yang dapat dihandalkan. Duke
Bernard pasti tahu kedua orang itu memang cocok hingga ia memilih
Eleanor. Seperti Eleanor yang selalu bisa menghadapi Quinn, Quinn juga
adalah satu-satunya orang yang bisa menghadapi Eleanor.
Namun keyakinan itu mulai goyah ketika Jancer melihat pekikan ngeri
Duke Bernard saat ia menyampaikan pesan Raja untuknya.
"Paduka Raja ingin Anda mewakilinya dalam perjamuan siang ini. Bila
mereka bertanya apa yang terjadi, Anda diminta untuk mengatakan
Paduka Ratu sedang dalam keadaan tidak sehat sehingga Paduka Raja
memutuskan untuk menemaninya."
"Apa katamu!?" "Sekarang Paduka Raja pergi ke kota dan melarang seorang prajurit pun
menemaninya," Jancer mengulangi.
"Mengapa kalian begitu ceroboh" Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada
Paduka Raja" Bagaimana kalau tiba-tiba ada perampok?" Bernard gelisah,
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cepat kirimkan prajurit ke kota!"
"Tenanglah, Duke Bernard," Jancer menenangkan.
"Bagaimana kau bisa tenang!" Ini menyangkut keselamatan Paduka
Raja!" "Saya juga mencemaskan keselamatan Paduka Raja. Namun, saya
merasa lebih berbahaya bila tiba-tiba segerombolan prajurit menyusuri
kota. Mungkin akan lebih aman bila membiarkan mereka berdua berada
di kota tanpa seorang prajurit pun. Tidak akan ada seorang rakyat pun
yang akan mengenali mereka. Paduka Raja pasti tahu bagaimana
menyembunyikan identitasnya."
"Mereka?" Duke bertanya tidak percaya.
"Bukankah saya telah mengatakan Paduka Raja pergi ke kota untuk
menjemput Paduka Ratu?"
"Oh, Tuhan," Bernard tiba-tiba lemas, "Eleanor...."
Jancer tercengang. Tampaknya tidak seorang pun benar-benar
memahami sang Ratu Terpilih ini.
-----0----- "Apa kau sudah membeli semua kebutuhanmu?" seseorang memegang
pundak Eleanor. Eleanor terkejut. Matanya terbelalak lebar.
Quinn menatap tajam Eleanor dengan kesal. Tidak sulit menemukan gadis
ini di Loudline. Seperti yang dikatakan Nicci, gadis ini berada di satu di
antara took-toko langganan Fauston. Tapi Nicci lupa mengatakan
keberadaan pemuda yang jelas-jelas jatuh cinta pada Eleanor di toko ini.
Quinn tidak tahu apakah Eleanor benar-benar cerdas atau bodoh.
"Eleanor, siapa dia?" tanya Seb.
"Dia... dia...," kepala Eleanor langsung berputar cepat, "Dia juga adalah
pelayan Earl." "Oh, jadi dia teman sekerjamu," Seb mengambil kesimpulan.
"Bukan hanya itu saja," Quinn menarik Eleanor mendekat ke sisinya, "Aku
juga adalah suaminya." Matanya melihat pemuda itu dengan penuh
kemenangan. Mata Eleanor melotot pada Quinn.
Seb tampak terpukul. "Oh," mata nanarnya menatap Eleanor, "Kau tidak
pernah memberitahuku, Eleanor."
"Itu karena kau tidak pernah bertanya," Eleanor menjawab cepat.
Quinn tersenyum puas melihat reaksi pemuda itu. Pemuda itu salah kalau
ia berpikir Eleanor juga tertarik padanya. Quinn tahu Eleanor hanya
senang berteman dengannya. Tidak lebih dari itu!
"Maaf, aku masih ada pekerjaan lain," Seb mundur.
Eleanor merasa bersalah melihat Seb. "Besok aku akan datang lagi,"
janjinya. Quinn tersenyum puas melihat pemuda itu kabur dengan wajah pucat
pasi. "Apa maumu!?" bentak Eleanor - menatap tajam Quinn. "Engkau
membuat Seb kabur. Apa yang harus kulakukan kalau ia membenciku
karenanya!?" Quinn tidak suka mendengarnya. "Rupanya kau memihak pemuda itu."
"Aku tidak memihak siapa pun! Seb adalah temanku!" Eleanor tertegun,
"Jangan-jangan...," ia melihat wajah kesal Quinn lekat-lekat, "Kau
cemburu?" "Jangan memancing pertengkaran di tempat ini," Quinn memperingati
dengan berbahaya. "Apa maumu datang ke sini?"
"Menurutmu?" "Aku tidak mau pulang!" Eleanor bersikeras, "Aku tidak mau kembali pada
orang licik sepertimu! "
"Aku juga tidak ingin mengajakmu pulang."
Eleanor tertegun. "Hari ini aku ingin menjalankan tugasku sebagai seorang suami yang
baik," Quinn memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelipkan tangan
Eleanor di sikunya. "Apa kau ingin mencari kesempatan untuk memberiku obat tidur lagi?"
Eleanor menyelidiki. Quinn tersenyum tak bersalah. "Biasanya apa yang dilakukan seorang
suami ketika istrinya berbelanja?"
"Mengomel sepanjang jalan, melarang istrinya menghamburkan uang,"
Eleanor menjawab spontan.
"Tidak, kau salah," Quinn membenarkan, "Seorang suami yang baik
berkewajiban mengeluarkan uang ketika istrinya yang bijaksana
memutuskan membeli sesuatu dan membawakan barang belanjaan
istrinya." Quinn tersenyum lembut. "Aku adalah seorang suami yang baik
dan aku percaya kau adalah seorang istri yang bijaksana."
Wajah Eleanor memerah. "Jadi, kau mau ke mana?"
Ketika keduanya menyibukkan diri di kota, sebuah gosip baru beredar di
Loudline. Orang-orang heran melihat sang Grand Duke muncul di jamuan sosial
yang seharusnya dihadiri pasangan nomor satu Kerajaan ini. Mereka
mulai berspekulasi mendengar penjelasan sang Grand Duke.
"Apakah itu mungkin?"
"Tidak mungkin salah lagi. Bukankah kemarin kita juga mendengar
sendiri Ratu mengatakannya?"
"Tidak. Itu tidak mungkin. Mereka baru menikah."
"Mengapa tidak mungkin?"
"Bukannya kemarin Ratu terlihat tidak segar. Bahkan ia pingsan dalam
perjalanan pulang. Raja juga tampak cemas sekali hingga ia terus berada
di sisi Ratu." "Tidak mungkin salah! Kemarin aku melihat Raja berbicara dengan Dokter
Lawrence." "Kalau itu benar, mengapa sampai sekarang tidak ada pengumuman
resmi dari Istana?" Setiap orang menggabung-gabungkan peristiwa kemarin dengan
absennya Raja dan Rau dari perjamuan sosial yang juga dihadiri
bangsawan-bangsawan ternama Viering ini. Begitu cepat dan liarnya
gosip itu berkembang hingga berita itu sampai di telinga Irina.
"Derrick, apakah engkau sudah mendengarnya?" Irina bertanya. "Apakah
mungkin Eleanor...?"
"Eleanor juga seorang wanita?" Derrick balik bertanya.
"Ini bukan saatnya bergurau!" Irina naik pitam, "Ini bukan masalah
sepele!" Sang pasangan yang sedang digosipkan sedang asyiknya berkeliling
Loudline tanpa menyadari gosip tentang mereka juga akhirnya sampai di
telinga Simona. Sang Duchess of Binkley itu langsung panik mendengarnya. "Tidak! Ini
tidak boleh terjadi!" pekiknya sambil terus berjalan mondar-mandir di
depan suaminya, "Kita sudah tidak punya waktu! Kita tidak boleh
membiarkan anak itu lahir!"
"Apa yang kaukhawatirkan?" Mathias heran melihat kepanikan istrinya,
"Belum tentu gosip itu benar."
"Bagaimana kalau gadis ingusan itu benar-benar sedang mengandung!?"
"Belum tentu anak itu adalah pria."
"Engkau memang bodoh! Apa kau tidak sadar kritisnya posisimu ini!!?"
emosi Simona meledak. "Aku harus melakukan sesuatu," Simona berbalik
meninggalkan Mathias, "Aku harus melakukan sesuatu. Todd! Benar, aku
harus segera menyuruh Todd membunuh gadis sialan itu!"
Mathias hanya duduk bengong melihat Simona terus bergumam sambil
menjauh. Ia tidak mengerti mengapa istrinya harus panik seperti itu
hanya karena mendengar gosip yang beredar di jamuan sosial siang ini.
Bukankah ini adalah hal bagus kalau Eleanor memang sedang hamil"
-----0----- Nicci tercengang melihat Raja membantu istrinya turun dari kuda.
Mereka masing-masing pergi hanya dengan seekor kuda. Sekarang
keduanya kembali dengan menunggangi seekor kuda sementara kuda
yang lain membawa dua keranjang besar yang menggelantung di kedua
sisi pelana kuda di atas punggungnya.
Nicci tidak dapat mengeluarkan suara apa pun.
Quinn menyuruh prajurit yang juga tercengang di pintu, untuk
menurunkan dua keranjang besar itu.
"Pa-paduka," Jancer juga tidak kalah kagetnya melihat kepulangan
keduanya sore ini bersama belanjaan mereka, "Apa yang Anda lakukan?"
"Berbelanja," Quinn menjawab santai.
"Anda tidak perlu melakukan itu. Anda bisa menyuruh Vicenzo mengatur
orang untuk membeli barang-barang yang Anda perlukan," kata Grand
Duke Bernard yang juga menyambut kedatangan mereka.
"Istriku ingin memilih sendiri bahan-bahan dapurnya," Quinn tersenyum
melihat Eleanor yang sekarang dengan gembira memamerkan hasil
belanjanya pada Nicci. "Panggil Vicenzo untuk menyimpan belanjaan
kami," katanya pada seorang prajurit, "Katakan padanya pula kami sudah
kenyang." Kemudian ia berbalik pada Jancer, "Apakah kau punya seorang
prajurit tengah baya yang tangguh dan tidak kaku?"
Jancer terkejut oleh pertanyaan tidak terduga itu.
"Paduka Raja?" tanya Bernard.
"Lebih baik membiarkan dia pergi ke tempat yang kita ketahui daripada
membiarkannya menghilang tanpa petunjuk."
"Tapi... itu...," Duke Bernard tidak sependapat dengan keputusan Quinn.
"Ia punya caranya sendiri untuk melakukan tugasnya sebagai seorang
Ratu," Quinn percaya keputusannya ini tidak salah.
Seharian bersama Eleanor di kota membuat Quinn menyadari mengapa
gadis itu mengetahui banyak hal yang tidak diketahuinya. Harus diakui
Quinn, ia sempat terkejut menyadari betapa terkenalnya Eleanor di
Loudline. Rasanya hampir tidak ada yang tidak menyapa Eleanor. Melihat
Eleanor tampak begitu akrab dengan mereka, Quinn yakin kegiatan
Eleanor ini bukan hanya masalah sehari dua hari. Sejujurnya, barangbarang yang
mereka bawa pulang kebanyakan adalah pemberian temanteman Eleanor.
Tak heran Eleanor suka kabur ke Loudline.
"Jancer, aku harap engkau segera menemukan prajurit itu. Aku tidak
berani menjamin Eleanor akan duduk diam sampai engkau
menemukannya." "Saya mengerti, Paduka. Saya rasa saya tahu siapa yang dapat menerima
tugas itu." "Suruh ia menemuiku di ruang kerjaku," kata Quinn.
"Saya akan segera melaksanakan perintah Anda," Jancer mengundurkan
diri. Quinn pun masuk ke dalam istana diiringi Bernard. "Bagaimana
perjamuan siang ini?"
"Semua berjalan dengan lancar, Paduka," Duke Bernard memulai
laporannya. "Saya memberi penjelasan sesuatu petunjuk Anda."
"Bagus," Quinn puas. Ia memasuki Istana diiringi Duke Bernard.
"Hm..., Paduka," Duke Bernard ragu-ragu. Ia tidak tahu bagaimana harus
mengutarakan pertanyaannya, "Apakah Paduka Ratu... apakah ia..."
Quinn melihat Bernard dengan tertarik.
"Semua orang di jamuan membicarakannya. Paduka Ratu sedang hamil."
Quinn terperanjat. Kemudian ia tertawa geli.
Bernard bingung melihat reaksi itu.
"Eleanor pasti senang mendengarnya," Quinn tidak menyangkal juga
tidak membenarkan pertanyaan Bernard.
-----0----- "Benarkah itu!?" Eleanor mengulang dengan gembira.
"Benar, Paduka Ratu. Mulai hari ini hamba ditunjuk untuk menemani
Anda setiap kali Anda ingin ke kota."
"Bukankah ini bagus, Paduka Ratu?" tanya Nicci, "Anda tidak perlu
sembunyi-sembunyi pergi ke Loudline."
Senyum di wajah Eleanor kian mengembang. "Katakan padanya aku akan
jatuh cinta padanya kalau ia terus seperti ini."
"Mengapa tidak kau katakan sendiri pada orang yang bersangkutan?"
Mereka terperanjat. Quinn memasuki kamar Eleanor dengan seluruh wibawanya.
"Paduka Raja," Nicci dan prajurit itu memberi hormat - menyambut
kedatangan Quinn. Wajah Eleanor memerah dan ia langsung membuang muka.
Nicci memberi tanda pada prajurit di sisinya untuk meninggalkan tempat
itu. "Jadi, apa yang barusan akan kaukatakan padaku?" Quinn mendekati
Eleanor. "Kalau kau malu mengatakannya dengan keras, mengapa kau
tidak membisikkannya padaku?" ia mencondongkan tubuh ke arah
Eleanor. Rona merah di wajah Eleanor kian menyala. "P-pergi kau!" ia mendorong
Quinn kuat-kuat. Quinn tertawa geli. Eleanor sama sekali tidak menikmati tawa pemuda itu. "Pergi! Jangan
ganggu aku!" usirnya kesal.
"Begitukah tindakanmu pada seseorang yang ingin memberimu hadiah?"
"Hadiah?" Eleanor mencermati wajah Quinn dengan curiga.
Quinn hanya tersenyum. "Lihatlah apa yang kubawa untukmu," ia
memberikan bungkusan di tangannya pada Eleanor.
Tidak perlu diperintah, Eleanor segera membuka bungkusan itu. Sebuah
gaun katun hitam terlipat rapi di atas pangkuan Eleanor. Mata Eleanor
terbelalak melihat Quinn.
"Kau adalah pelayan Earl Hielfinberg, bukan?"
Eleanor memperhatikan wajah Quinn dengan curiga. "Apa tujuanmu?"
"Apa kau masih perlu bertanya?" Quinn menjawab polos, "Tentu saja
membuatmu jatuh cinta padaku."
Wajah Eleanor langsung memerah oleh amarah.
Quinn tertawa. "KAU!!!" Eleanor menerjang.
Quinn menangkap tangan Eleanor dan menindihnya di atas tempat tidur.
Eleanor geram. Ia tidak bisa bergerak di bawah tindihan tubuh Quinn.
"Kau tahu, istriku," Quinn tersenyum simpul, "Gosip apa yang beredar di
Viering hari ini?" "APA!?" "Semua orang mengatakan engkau sedang hamil," Quinn tidak sabar
mengetahui reaksi Eleanor.
Eleanor membelalak lebar. "Benarkah itu?" tanyanya tidak percaya,
"Sejak kapan" Mengapa aku tidak menyadarinya?"
Nada riang dalam suara itu membuat Quinn waspada.
"Lihatlah. Aku sudah mengatakannya, bukan. Kalau waktunya sudah tiba,
aku juga akan hamil."
Tawa Quinn lepas tanpa bisa dikontrolnya. Ia menjatuhkan diri di sisi
Eleanor dan menggeliat karena sakit di perutnya.
Eleanor sama sekali tidak senang melihat reaksi yang berlebihan itu. Ia
tahu Quinn tidak sedang bergembira tetapi sedang menggodanya. "Apa
yang sedang kautertawakan!?" Eleanor duduk sambil menatap tajam
Quinn. "Istriku, oh istriku," akhirnya Quinn berhasil mengatasi tawanya. Ia pun
duduk dan menyeka air matanya yang keluar karena tawa. Melihat wajah
cemberut Eleanor, Quinn benar-benar harus mengeluarkan seluruh
kemampuannya untuk mencegah tawanya lepas lagi. "Aku sungguh tidak
tahu engkau ini cerdas atau tolol," Quinn mengulum tawanya dalam
senyum gelinya. "HEI!!" "Jangan marah," Quinn memegang dagu Eleanor. "Itu tidak baik untuk
bayimu," tangannya turun ke perut Eleanor.
Wajah Eleanor merah padam.
Quinn tidak dapat menahan dirinya lagi.
Eleanor sadar ia sedang dipermainkan.
"KAU!" Eleanor menghantam dada Quinn, "Kau mempermainkanku!" ia
menerjang dengan sekuat tenaganya.
Quinn langsung terjatuh lagi di atas tempat tidur dengan Eleanor di
atasnya. Tawanya yang tidak terkontrol sudah menguras seluruh
Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaganya sehingga ia tidak punya kemampuan untuk menghindari
pukulan Eleanor. Eleanor pun kaget menyadari ia sedang menindih tubuh Quinn. Ketika ia
akan bangkit, tangan Quinn sudah melingkari pinggangnya dan
menariknya merapat. "Kau tahu, Eleanor, kau sungguh manis kalau engkau diam," Quinn
tersenyum lembut. Wajah Eleanor merah padam.
Quinn memanfaatkan kesempatan itu untuk mencium Eleanor. "Aku
mendapatkannya," ia tersenyum penuh kemenangan.
"Kau," Eleanor geram. "Lepaskan aku!" iapun memberontak.
Sebagai jawabannya, Quinn menggulingkan tubuh mereka sehingga
sekarang ia menindih Eleanor.
"Akan sangat menyenangkan sekali kalau membiarkan engkau terus
percaya engkau sedang hamil," suara serius Quinn membuat Eleanor
terdiam. Eleanor sadar ada sesuatu yang penting yang harus diketahuinya.
"Aku tidak tahu haruskah aku memberitahumu atau haruskah aku
meminta Irina menerangkannya padamu."
"Apa maksudmu?"
Quinn tersenyum geli. "Kurasa aku lebih suka melihat wajahmu yang
seperti udang rebus daripada membiarkan Irina mengajarkan apa yang
sudah seharusnya ia ajarkan ketika kau akan menikah."
"Engkau benar-benar membuatku bingung."
"Dengarkan aku, sayangku," Quinn memilih kata-kata yang mudah
dimengerti oleh Eleanor, "Hamil tidaklah semudah yang kaupikirkan.
Pernikahan tidak dapat memastikan engkau dapat hamil. Untuk hamil,
kita perlu lebih dari tidur bersama seperti kemarin."
Suramnya Bayang Bayang 7 Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam Anak Pendekar 19