Pencarian

The Hunger Games 5

The Hunger Games Karya Suzanne Collins Bagian 5


Tidak butuh waktu lama hingga aku bisa tiba di tempat aku keluar menuju kamp
Kawanan Karier. Tidak ada tanda keberadaan Peeta, tapi aku tidak heran. Aku
sudah melalui jalan ini tiga kali sejak insiden tawon penjejak. Jika Peeta
berada tidak jauh dari sini, tentu aku sudah curiga. Aliran sungai mulai berbelok ke
kiri menuju bagian hutan yang baru bagiku. Tepi sungai yang berlumpur ditutupi
tanaman air yang berbelit-belit hingga menuju bebatuan besar yang ukurannya
makin besar hingga aku mulai merasa terperangkap. Keluar dari sungai sekarang
bukan persoalan mudah. Menghindari Cato atau Thresh ketika memanjat wilayah
berbatu-batu ini. Sesungguhnya, aku baru saja berpikir bahwa aku sudah salah
jalan, dan berpikir bahwa anak lelaki yang terluka takkan bisa berjalan
mondarmandir ke sumber air ini, ketika aku melihat jejak berdarah di kelokan
menuju ke balik batu besar. Jejak itu sudah lama kering, tapi corengan dari kiri ke kanan
menunjukkan adanya seseorang-yang mungkin tidak bisa sepenuhnya mengontrol
indra-indra pikirannya-berusaha menghapus jejak tersebut.
Sambil berjalan pada bebatuan, aku bergerak perlahan-lahan ke arah jejak
berdarah, mencari keberadaan Peeta. Aku menemukan beberapa jejak berdarah
lagi, ada robekan kain menempel di satu jejak darah, tapi tak ada tanda
kehidupan. Aku langsung kalap dan memanggil namanya dengan suara berbisik. "Peeta!
Peeta!" Kemudian seekor mockingjay hinggap di pohon dan mulai menirukan
nadaku, membuatku berhenti melakukannya. Aku menyerah dan menanjak
kembali menuju sungai sambil berpikir, Dia pasti terus bergerak. Terus menuju ke
bawah. Kakiku baru saja menginjak permukaan air ketika aku mendengar suara.
"Kau di sini untuk menghabisiku, sweetheart?"
Aku berbalik cepat. Suaranya berasal dari sebelah kiri, jadi aku tidak bisa
mendengarnya dengan baik. Juga suara itu terdengar serak dan lemah. Tapi aku
yakin itu suara Peeta. Siapa lagi di arena pertarungan yang memanggilku
sweerheart" Mataku tertuju ke tepi sungai, tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya
ada lumpur, tumbuh-tumbuhan, dasar batu-batuan.
"Peeta?" bisikku. "Di mana kau?" Tidak ada jawaban. Apakah aku sungguh
membayangkannya" Tidak mungkin, aku yakin aku sungguh mendengar suara dan
jaraknya juga tidak terlalu jauh. "Peeta?" Aku bergerak pelan-pelan di tepi
sungai. "Ya, jangan injak aku."
Aku terlonjak. Suaranya tepat di bawah kakiku. Tapi tak terlihat apa-apa disana.
Kemudian matanya terbuka, tidak salah lagi itu matanya yang biru di antara
lumpur cokelat dan daun-daunan hijau. Aku terkesiap dan dibalas dengan deretan
giginya yang putih ketika tertawa.
Dia hebat sekali dalam berkamuflase. Lupakan mengangkat beban. Seharusnya
dalam sesi pribadi dengan Juri Pertarungan Peeta mengecat tubuhnya menjadi
pohon. Atau batu besar. Atau tepi sungai berlumpur yang penuh tumbuhtumbuhan.
"Tutup matamu lagi," perintahku. Dia melakukannya, dan dia juga menutup
mulutnya sehingga semuanya tidak kelihatan. Sebagian besar tubuhnya berada di
bawah lumpur dan tumbuh-tumbuhan. Wajah dan kedua lengannya tersamar
sehingga tidak kelihatan. Aku berlutut di sampingnya. "Kurasa waktu berjam-jam
yang kauhabiskan untuk menghias kue terbayar sudah."
Peeta tersenyum. "Ya, menghias kue dengan gula. Pertahanan terakhir terhadap
kematian." "Kau takkan mati," kataku padanya dengan tegas.
"Kata siapa?" Suaranya terdengar serak.
"Kataku. Kau tahu, kita ada di tim yang sama sekarang," aku memberitahunya.
"Matanya membuka. "Ya, kudengar juga begitu. Baik sekali kau mau mencari apa
yang tersisa dariku."
Kukeluarkan botol airku dan kuberi dia minuman.
"Apakah Cato melukaimu?" tanyaku.
"Kaki kiri. Di paha," jawabnya.
"Ayo ke sungai, kita bersihkan tubuhmu supaya aku bisa melihat lukamu," kataku.
"Menunduk dulu sebentar," katanya. "Aku perlu memberitahumu sesuatu." Aku
menunduk dan mendekatkan telingaku yang bagus ke bibirnya, terasa geli ketika
dia berbisik. "Ingat, kita sedang kasmaran, jadi tidak apa-apa kalau kau mau
menciumku kapan pun kau mau."
Kepalaku langsung tersentak ke belakang tapi aku tertawa terbahak-bahak.
"Terima kasih. Aku kuingat kata-katamu."
Paling tidak Peeta masih bisa bergurau. Tapi ketika aku membantunya ke sungai,
semua sikap santaiku lenyap. Jaraknya ke sungai kurang dari satu meter, apa sih
susahnya" Sangat sulit ternyata ketika aku sadar dia sama sekali tidak bisa
bergerak sendiri. Dia begitu lemah sehingga yang terbaik yang bisa dilakukannya
adalah tidak menahan dirinya. Aku berusaha menyeretnya, tapi meskipun
kenyataannya aku tahu dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak bersuara, jerit
kesakitan terdengar dari mulutnya. Lumpur dan tumbuh-tumbuhan sepertinya
memenjarakan tubuhnya dan akhirnya aku harus menariknya dengan keras untuk
melepaskan Peeta dari cengkeraman lumpur. Tubuhnya masih setengah meter dari
air, terbaring di sana, giginya bergemelutuk, air mata membentuk selokan kotor
di wajahnya. "Dengar, Peeta, aku akan menggulingkanmu ke sungai. Sungainya sangat dangkal
kok. Oke?" tanyaku. "Bagus sekali," katanya.
Aku berjongkok di sampingnya. Tak peduli apa pun yang terjadi, aku
memerintahkan diriku agar aku tidak berhenti sebelum dia sampai di air. "Pada
hitungan ketiga," kataku. "Satu, dua, tiga!"
Aku hanya berhasil menggulingkannya sekali sebelum aku harus berhenti karena
Peeta mengeluarkan suara mengerikan. Sekarang dia berada di tepi sungai.
Mungkin ini lebih baik. "Oke, kita ubah rencana. Aku tidak akan menarikmu hingga masuk sungai,"
kataku. Selain itu, jika aku berhasil mencemplungkannya ke sungai, siapa tahu
aku malah tidak bisa mengeluarkannya"
"Tidak akan digulingkan lagi?" katanya.
"Sudah selesai. Kita bersihkan tubuhmu. Kau awasi hutan ya," kataku. Sulit
bagiku untuk tahu dari mana kami akan mulai membersihkannya. Tubuhnya tertutup
sepenuhnya dengan lumpur dan daun-daun yang berjuntaian, aku bahkan tidak bisa
melihat pakaiannya. Pikiran itu membuatku ragu sesaat, tapi aku menekatkan diri.
Tubuh telanjang bukan masalah besar di arena pertarungan, kan"
Aku punya dua botol air dan tempat air dari kulit milik Rue. Kusandarkan
semuanya di antara bebatuan di sungai sehingga dua wadah itu akan selalu terisi
sementara aku menuang tempat air ketiga pada tubuh Peeta. Butuh waktu lumayan
lama, tapi aku akhirnya berhasil menghilangkan lumpur dan melihat pakaiannya.
Perlahan-lahan aku menarik risleting jaketnya, membuka kancing kemejanya, dan
melepaskan semua pakaian itu dari tubuhnya. Pakaian dalamnya menempel pada
luka-lukanya sehingga aku harus memotongnya dengan pisau dan membasahinya
agar pakaian itu bisa lepas. Tubuhnya memar parah dengan luka bakar di dadanya
serta ada bekas empat sengatan tawon di bawah telinganya. Tapi aku merasa lebih
baik. Aku bisa mengobati semua ini. Aku memutuskan untuk mengurusi bagian
atas tubunya lebih dulu untuk mengurangi sedikit rasa sakitnya, sebelum aku
menghadapi kerusakan yang ditimbulkan Cato pada kakinya.
Kupikir percuma juga mengobati luka-luka Peeta saat dia berbaring di genangan
lumpur, dan aku berhasil menariknya duduk bersandar di batu besar. Dia duduk di
sana, tanpa protes, sementara aku membasuh semua jejak kotoran dari rambut dan
kulitnya. Kulitnya sangat pucat di bawah sorotan sinar matahari dan dia tidak
lagi kelihatan kuat dan gempal. Aku harus mengeluarkan sengat dari luka membengkak
akibat sengatan tawon penjejak dan membuatnya mengernyit. Tapi ketika aku
mengoleskan daun-daunan di sana, Peeta mendesah lega. Sementara dia berjemur
di bawah sinar matahari, aku mencuci pakaian dan jaketnya yang kotor dan
menjemurnya di atas batu-batu besar. Lalu aku mengoleskan salep luka bakar di
dadanya. Pada saat itulah aku menyadari betapa panas kulitnya. Lapisan lumpur
dan berbotol-botol air telah menyamarkan kenyataan bahwa dia demam tinggi.
Aku mencari-cari di dalam tas P3K yang kuambil dari anak lelaki dari Distrik 1
dan menemukan pil penurun panas. Ibuku bahkan sempat menyerah dan membeli
pil-pil ini ketika ramuan rumahannya gagal.
"Telan ini," kataku padanya, dan dengan patuh dia menelan obatnya. "Kau pasti
lapar." "Tidak juga. Lucunya, sudah berhari-hari aku tidak lapar," kata Peeta.
Sesungguhnya ketika kutawarkan daging groosling padanya, Peeta mengernyitkan
hidung dan membuang muka. Saat itulah aku tahu bahwa dia sakit parah.
"Peeta, kau harus makan sedikit," aku berkeras.
"Nanti bakal kumuntahkan juga," katanya. Aku hanya bisa membuatnya makan
beberapa gigitan apel kering.
"Terima kasih. Aku merasa jauh lebih baik, sungguh. Boleh aku tidur sekarang,
Katniss?" tanyanya. "Sebentar lagi," aku berjanji. "Aku perlu melihat kakimu lebih dulu."
Dengan selembut mungkin, aku melepaskan sepatu bot dan kaus kakinya, lalu
dengan amat perlahan aku melepaskan celana panjangnya. Aku bisa melihat
robekan yang dibuat pedang Cato pada kain celana di atas pahanya, tapi aku tetap
tidak siap ketika melihat luka yang ada di balik celananya. Luka terbuka yang
meradang itu penuh darah dan nanah. Kakinya juga bengkak. Dan yang terburuk,
tercium bau daging yang membusuk.
Aku ingin berlari. Menghilang ke balik hutan seperti yang kulakukan pada hari
ketika mereka membawa pulang korban luka bakar ke rumahku. Pergi dan berburu
sementara Prim dan ibuku melakukan sesuatu yang tak sanggup kulakukan karena
memang tidak punya nyali dan keahlian untuk itu. Tapi di sini cuma ada aku. Aku
berusaha menampilkan sikap tenang ibuku ketika menghadapi pasien-pasien yang
datang dengan kondisi buruk.
"Lumayan buruk ya?" tanya Peeta. Dia mengamatiku lekat-lekat.
"Ya, begitulah." Aku mengangkat bagu seolah-olah lukanya bukan masalah besar.
"Kau harus melihat orang-orang dari tambang yang dibawa ke ibuku."
Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa aku biasanya menjauh dari
rumah setiap kali ibuku mengobati pasien yang penyakitnya lebih parah dibanding
pilek. Kalau dipikir-pikir lagi, aku juga tidak suka berada di dekat orang
batuk. "Pertama-tama kita harus membersihkannya dengan baik."
Aku tidak melepaskan celana dalam Peeta karena tidak kotor dan aku tidak mau
melepaskan celana itu melewati pahanya yang bengkak, dan mungkin
membayangkannya telanjang membuatku tidak nyaman. Ada hal lain tentang
ibuku dan Prim. Ketelanjangan tidak berpengaruh pada mereka, tidak membuat
mereka merasa malu. Ironisnya, pada titik ini dalam Hunger Games, adik
perempuanku akan lebih berguna bagi Peeta. Kuselipkan kotak plastikku di bawah
tubuh Peeta agar aku bisa membasuh seluruh tubuhnya. Semakin banyak isi botol
yang kutuang ke tubuhnya, lukanya kelihatan semakin buruk. Bagian bawah
tubuhnya yang lain dalam kondisi lumayan baik, hanya ada satu sengatan tawon
dan beberapa luka bakar kecil yang bisa kuobati dengan cepat. Tapi nanah di
kakinya... apa yang bisa kulakukan untuk itu"
"Bagaimana kalau kita angin-anginkan lukamu lalu...," kataku tanpa bisa
melanjutkan. "Lalu kau akan menjahitnya?" tanya Peeta. Dia tampak sedikit kasihan melihatku,
seakan dia tahu betapa bingungnya aku.
"Benar sekali," kataku. "Sementara itu, kau makab ini."
Aku menaruh potongan-potongan buah pir kering ke tangannya, lalu kembali ke
sungai untuk mencuci sisa pakaiannya. Setelah pakaiannya kering, aku memeriksa
isi peralatan P3K. Kebanyakan cuma barang-barang kebutuhan dasar. Perban, pil
penurun panas, obat sakit perut. Tidak ada yang sekaliber yang kubutuhkan untuk
mengobati Peeta. "Kita akan melakukan sedikit eksperimen," kataku mengakui. Aku tahu daun-daun
tawon penjejak bisa menarik keluar infeksi, jadi kumulai dengan daun-daun itu.
Beberapa menit setelah kutempelkan daun-daun yang sudah kukunyah itu, nanah
mulai mengalir ke bagian samping kakinya. Aku nengatakan pada diriku sendiri
bahwa ini bagus dan aku menggigit bagian dalam pipiku karena sarapanku nyaris
keluar. "Katniss?" tanya Peeta. Kutatap matanya, aku tahu wajahku pasti pucat. Peeta
berkata tanpa suara, "Bagaimana kalau kita berciuman?"
Aku tertawa keras karena lukanya ini sangat menjijikan dan aku tak tahan lagi.
"Ada yang salah?" tanyanya dengan wajah tak berdosa.
"Aku... aku tidak pandai dalam hal ini. Aku bukan ibuku. Aku tidak tahu apa yang
sedang kulakukan dan aku benci nanah," kataku. "Iuh!"
Aku mengerang ketika membuang daun-daun yang kutempelkan di kaki Peeta, lalu
menempelkan daun-daun lain yang baru. "Iuuuuh!"
"Bagaimana kau bisa berburu?" tanyanya.
"Percayalah. Membunuh lebih mudah daripada ini," kataku. "Meskipun bisa saja
aku sedang membunuhmu tanpa kusadari."
"Bisa lebih cepat sedikit melakukannya?" tanya Peeta.
"Tidak. Diam dan makan buah pirmu," kataku.
Setelah tiga kali menempelkan daun-daunan dan menghasilkan sekitar seember
nanah, lukanya tampak lebih baik. Sekarang setelah bengkaknya hilang, aku bisa
melihat seberapa dalamnya luka pedang Cato. Nyaris sampai ke tulang.
"Selanjutnya apa, Dr. Everdeen?" tanyanya.
"Mungkin aku akan mengoleskan salep luka bakar di sini. Menurutku bisa
menghilangkan infeksinya. Lalu kita tutup lukanya?" tanyaku. Aku mengerjakan
semua itu dan segalanya tampak lebih bisa diatasi, kemudian membungkus
lukanya. Kain katun putih bersih. Walaupun dalam balutan perban steril keliman
celana dalamnya tampak kotor dan penuh bakteri. Kukeluarkan ransel Rue. "Ini,
tutup tubuhmu dengan ini dan akan kucuci celana dalammu."
"Oh, aku tidak peduli kalau kau melihatku," kata Peeta.
"Kau sama seperti anggota keluargaku yang lain," kataku. "Aku peduli, oke?"
Aku berbalik dan memandangi sungai sampai celana dalamnya tercebur ke arus
sungai. Dia pasti merasa sedikit lebih baik jika bisa melempar.
"Kau tahu, kau kelihatannya terlalu pemilih untuk bisa jadi orang yang mematikan
seperti itu," kata Peeta ketika aku memukulkan celana dalam itu di antara ke dua
batu. "Seharusnya kubiarkan kau memandikan Haymitch."
Hidungku mengernyit mengingatnya. "Sejauh ini apa yang sudah dikirmkan
Haymitch untukmu?" "Tidak ada apa-apa," kata Peeta. Lalu jeda di antara kami membuatnya menyadari
sesuatu. "Kenapa" Kau dikirimi sesuatu?"
"Salep luka bakar," kataku nyaris malu-malu. "Oh, dan roti."
"Aku selalu tahu kau memang favoritnya," kata Peeta.
"Tolong ya, dia bahkan tidak tahan berada seruangan denganku," kataku.
"Karena kalian mirip," gumam Peeta.
Aku tidak menanggapinya karena sekarang bukanlah saat yang tepat untuk
menghina Haymitch, yang sesungguhnya merupakan dorongan hati pertamaku.
Kubiarkan Peeta tidur sambil menunggu pakaiannya kering, tapi menjelang sore,
aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Pelan-pelan aku mengguncabg bahunya.
"Peeta, kita harus pergi sekarang."
"Pergi?" Dia tampak kebingungan. "Pergi ke mana?"
"Pergi dari sini. Mungkin ke arah hilir. Pergi ke tempat kita bisa
menyembunyikanmu sampai kau lebih kuat," kataku.
Kubantu dia berpakaian, kubiarkan dia tanpa sepatu agar kami bisa berjalan di
air, lalu kutarik dia berdiri. Wajahnya seperti kehilangan darah ketika dia
menumpukkan tubuhnya di kaki. "Ayo, kau bisa melakukannya."
Tapi dia ternyata tidak sanggup. Tidak bisa bertahan lama. Kami berhasil
berjalan lima puluh meter menuju hilir, dengan kupapah di bahuku, dan kutahu dia bakalan
pingsan. Kududukkan dia di tepi sungai, kutundukkan kepalanya di antara kedua
lututnya, dan kutepuk-tepuk punggungnya dengan canggung sembari mengawasi
sekelilingku. Tentu saja, aku kepingin bisa menaikkannya ke pohon, tapi itu
takkan terjadi. Bisa jadi keadaannya lebih buruk. Sebagian batu di sana membentuk
semacam gua kecil. Aku memandang lekat-lekat sebuah gua dua puluh meter di
atas sungai. Ketika Peeta sanggup berdiri, aku separuh memapah, separuh
membimbingnya menuju gua. Sesungguhnya aku harus mencari tempat yang lebih
baik, tapi aku terpaksa menggunakan tempat ini karena sekutuku dalam kondisi
buruk. Wajahnya seputih kertas, terengah-engah, dan meskipun cuaca sejuk, dia
menggigil. Aku mengalasi lantai gua dengan lapisan semak pinus, melepaskan gulungan


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kantong tidur, dan menyelimuti Peeta di dalamnya. Aku mencekokkan dua butir pil
dan air ke mulutnya saat dia tidak menyadarinya, tapi dia menolak makan buah.
Lalu dia cuma terbaring di sana, matanya tertuju pada wajahku ketika aku
membuat semacam tirai dari sulur-sulur daun untuk menutup mulut gua. Hasilnya
tidak memuaskan. Binatang mungkin takkan curiga, tapi manusia yang melihatnya
pasti akan tahu bahwa tirai ini buatan manusia. Kucabut sulur-sulur itu dengan
kesal. "Katniss," katanya. Aku menghampiri Peeta dan menepiskan rambut dari matanya.
"Terima kasih sudah mau mencariku."
"Kau juga akan mencariku jika kau bisa," kataku.
Dahinya terasa panas. Seakan-akan obat itu tidak ada efeknya sama sekali.
Mendadak, entah dari mana, aku takut Peeta bakal mati.
"Ya. Dengar, jika aku tidak berhasil...," Peeta mulai bicara.
"Jangan bicara seperti itu. Aku tidak menguras semua nanah itu dengan sia-sia,"
kataku. "Aku tahu. Tapi seandainya aku..." Peeta mencoba melanjutkan.
"Tidak, Peeta, aku tidak mau membahasnya," kataku, kutaruh jemariku di bibirnya
untuk membuatnya diam. "Tapi aku..." Dia masih berkeras.
Mengikuti dorongan hati, aku menunduk dan menicumnya, menghentikan katakata
Peeta. Ciuman ini mungkin sudah terlambat karena dia benar, kami
seharusnya sedang kasmaran. Ini pertama kalinya aku mencium anak lelaki, yang
seharusnya bisa memberi semacam kesan tak terlupakan, tapi yang terekam dalam
otakku adalah betapa bibirnya terasa panas tidak wajar. Aku melepaskan diri dan
menarik ujung kantong tidur menutupinya. "Kau takkan mati. Aku melarangnya.
Oke?" "Baiklah," bisiknya.
Aku baru saja melangkah menuju udara malam yang sejuk ketika parasut melayang
turun dari angkasa. Jemariku buru-buru melepas ikatannya, berharap bisa
mendapat obat sungguhan untuk mengobati kaki Peeta. Ternyata aku mendapat
sepanci kecil kuah daging hangat.
Haymitch tak bisa lagi mengirim pesan yang lebih jelas daripada ini. Satu ciuman
sama dengan sepanci kuah daging. Aku nyaris bisa mendengar geramannya. "Kau
seharusnya sedang kasmaran, sweetheart. Anak lelaki itu sekarat. Beri aku
sesuatu yang bisa kujual!" Dan dia benar. Jika aku ingin menjaga Peeta tetap hidup, aku harus memberikan
sesuatu yang bisa membuat penonton terenyuh. Pasangan kekasih bernasib malang
yang putus asa kepingin pulang. Dua hati bersatu. Kisah cinta.
Karena tidak pernah jatuh cinta, ini akan jadi sedikit sulit. Aku memikirkan
orangtuaku. Bagaimana ayahku tak pernah tidak memberikan hadiah untuk ibuku
sepulangnya dari hutan. Bagaimana wajah ibuku berbinar mendengar suara
langkah sepatu bot ayahku di pintu. Bagaimana dia nyaris berhenti hidup ketika
ayahku meninggal. "Peeta!" Aku berseru, mencoba memanggilnya dengan nada istimewa yang hanya
digunakan ibuku pada ayahku. Dia tertidur lagi, tapi aku menciumnya agar
terbangun, dan membuatnya terkejut. Lalu dia tersenyum seakan dia amat bahagia
bisa berbaring di sana dan memandangiku selamanya. Peeta jago untuk urusan
semacam ini. Kuangkat pancinya. "Peeta, lihat apa yang dikirimkan Haymitch untukmu."
Bab 20 BUTUH waktu satu jam membuat Peeta menghabiskan kuah daging itu. Satu jam
yang diisi dengan bujukan, permohonan, ancaman, dan ya, ciuman, tapi akhirnya,
tegukan demi tegukan, Peeta akhirnya menghabiskan isi panci itu.
Kubiarkan dia tidur lalu aku mengurus kebutuhan-kebutuhanku sendiri, menyantap
makan malam berupa daging groosling dan umbi-umbian sambil menonton laporan
harian di angkasa. Tidak ada korban baru. Tapi, hari ini aku dan Peeta
memberikan tayangan yang lumayan menarik bagi penonton. Kuharap, para juri Pertarungan
akan membiarkan kami melewati malam ini dengan damai.
Secara otomatis aku berkeliling mencari pohon yang bagus untuk jadi tempat
istirahat sebelum aku sadar bahwa masa itu sudah berakhir. Paling tidak untuk
sementara. Aku tidak bisa meninggalkan Peeta tanpa penjagaan di tanah. Aku
meninggalkan tempat persembunyian Peeta di tepi sungai tanpa tersentuhbagaimana
aku bisa menutupinya"-dan kami hanya berjarak lima puluh meter
jauhnya ke arah hilir. Kupakai kacamataku, bersiap dengan senjataku, dan duduk
beristirahat sambil berjaga.
Suhu udara turun drastis dan tak lama kemudian aku sudah menggigil sampai ke
tulang. Akhirnya aku menyerah dan masuk ke dalam kantong tidur bersama Peeta.
Hangat di dalam kantong tidur dan aku bergelung nyaman penuh rasa syukur
sampai aku sadar bahwa yang kurasakan bukan sekedar hangat, tapi panas tinggi
karena kantong tidur itu memantulkan panas dari demam Peeta. Kupegang dahinya
yang ternyata panas dan kering. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Meninggalkannya di dalam kantong tidur dan berharap panas berlebihan akan
menurunkan demamnya" Mengeluarkannya dari kantong tidur dan berharap udara
malam akan menyejukkannya" Akhirnya aku membasahkan perban dan
menaruhnya di dahi Peeta. Memang ini seperti usaha yang seadanya, tapi aku takut
melakukan apa pun yang terlalu drastis.
Kuhabiskan malam itu dengan setengah duduk, setengah berbaring di samping
Peeta, membasahkan kembali perban, dan berusaha untuk tidak memikirkan
kenyataan bahwa dengan bergabung bersamanya, aku menjadi lebih rentan
daripada ketika aku sendirian. Tertahan di tanah, berjaga-jaga dan harus
mengurus orang yang sangat sakit. Aku hanya perlu memercayai bahwa insting yang
mengirimku menemukan Peeta adalah insting yang bagus.
Ketika langit berubah kemerahan, aku memperhatikan ada keringat di bibir Peeta
dan sadar bahwa demamnya sudah turun. Kondisinya belum kembali normal, tapi
suhu tubuhnya tidak sepanas sebelumnya. Tadi malam sewaktu mengumpulkan
tanaman rambat, aku melihat semak buah-buah berry Rue. Kupetik buah-buah
berry itu dan kuremukkan ke dalam panci kuah daging dengan air dingin.
Peeta berjuang untuk bangun ketika aku tiba di gua.
"Aku bangun dan kau tak ada," katanya. "Aku menguatirkanmu."
Aku jadi tertawa seraya membantunya duduk lagi. "Kau menguatirkanku" Kau
sudah lihat dirimu seperti apa belakangan ini?"
"Kupikir Cato dan Clove berhasil menemukanmu. Mereka senang berburu pada
malam hari," kata Peeta dengan nada serius.
"Clove" Itu yang mana ya?" tanyaku.
"Anak perempuan dari Distrik Dua. Dia masih hidup, kan?" katanya.
"Ya, ada mereka dan kita, Thresh dan si Muka Rubah," kataku. "Itu julukanku buat
anak perempuan dari Distrik Lima. Bagaimana perasaanmu?"
"Lebih baik daripada kemarin. Ini jauh lebih menyenangkan dibandingkan lumpur
" kata Peeta. "Pakaian bersih, obat-obatan, kantong tidur... dan kau."
Oh, ya, segala urusan asmara ini. Aku mengulurkan tangan menyentuh pipinya dan
Peeta menangkap tanganku lalu menekankannya di bibirnya. Aku ingat ayahku
melakukan hal yang persis sama pada ibuku dan aku penasaran dari mana Peeta
memiliki gagasan ini. Tentu bukan dari ayahnya dan ibunya yang nenek sihir itu.
"Tidak ada ciuman untukmu sampai kau makan," kataku.
Kubantu dia duduk bersandar di dinding dan dengan patuh dia menelan suapansuapan
buah berry yang kusendokkan ke mulutnya. Tapi dia menolak makan
daging groosling. "Kau tidak tidur," kata Peeta.
"Aku tidak apa-apa," kataku. Tapi sejujurnya, aku lelah setengah mati.
"Tidurlah sekarang. Aku yang akan berjaga-jaga. Aku akan membangunkanmu jika
terjadi apa-apa," katanya. Aku ragu sejenak. "Katniss, kau tidak bisa tidak
tidur nonstop." Peeta benar juga. Pada akhirnya aku harus tidur. Dan mungkin lebih baik aku
tidur selagi Peeta tampak sehat dan hari masih terang.
"Baiklah," kataku. "Tapi beberapa jam saja. Kau harus membangunkanku."
Saat ini terlalu hangat jika tidur di kantong tidur. Kuluruskan kantong tidur di
atas dasar gua dan berbaring di atasnya, satu tanganku memegangi busur dan panah
yang siap ditembakkan seketika. Peeta duduk di sampingku, bersandar di dinding,
kakinya yang teluka terjulur ke depan, matanya awas memandangi dunia di luar
gua. "Tidurlah," kata Peeta lembut. Tangannya menepis anak-anak rambut nakal di
dahiku. Tidak seperti ciuman-ciuman yang sudah diatur dan sentuhan-sentuhan
yang terjadi selama ini, gerakan ini tampak alami dan menenangkan. Aku tidak
ingin Peeta berhenti dan dia terus melakukannya. Dia masih membelai rambutku
hingga aku tertidur. Terlalu lama. Aku tidur terlalu lama. Aku tahu saat membuka mata dan kulihat
hari sudah menjelang sore. Peeta berada persis di sebelahku, posisinya tidak berubah
sejak aku tidur. Aku duduk, merasa jauh lebih segar daripada beberapa hari
terakhir tapi merasa perlu membela diri.
"Peeta, kau harus membangunkanku setelah aku tidur dua jam," kataku.
"Untuk apa" Tidak ada apa-apa yang terjadi di sini," katanya. "Lagi pula, aku
senang melihatmu tidur. Kau tidak cemberut. Penampilanmu lebih baik."
Perkatannya tentu membuatku cemberut sehingga Peeta jadi nyengir. Saat itulah
aku memperhatikan betapa kering bibir Peeta. Kupegang pipinya. Panas seperti
kompor batu bara. Dia bilang dia sudah minum, tapi botol minumannya masih
terasa penuh. Kuberikan lebih banyak pil penurun panas dan berdiri di atasnya
sementara dia minum sebotol air lalu botol berikutnya. Lalu aku merawat luka-
luka kecilnya, luka-luka bakar, sengatan tawon, yang semuanya tampak lebih baik.
Kukuatkan diriku dan kubuka perban di kakinya.
Jantungku terasa jatuh ke perut. Keadaannya lebih buruk, jauh lebih buruk. Tidak
ada lagi nanah yang kelihatan, tapi bengkaknya membesar dan kulitnya meradang.
Lalu aku melihat garis-garis kemerahan mulai naik ke pahanya. Keracunan darah.
Jika tidak dirawat, Peeta pasti mati. Daun-daunan yang kukunyah dan salep takkan
berfungsi untuk luka ini. Kami membutuhkan obat anti infeksi yang kuat dari
Capitol. Aku tidak bisa membayangkan biaya untuk memperoleh obat seampuh itu.
Jika Haymitch berhasil memperoleh sumbangan dari semua sponsor, apakah
jumlahnya cukup untuk obat itu" Aku tidak yakin. Hadiah-hadiah semakin mahal
harganya seiring dengan berlangsungnya Hunger Games. Uang yang cukup untuk
membeli makanan komplet pada hari pertama hanya bisa membeli biskuit pada
hari kedua belas. Dan obat yang dibutuhkan Peeta pasti sudah teramat mahal sejak
hari pertama. "Masih ada pembengkakan, tapi sudah tidak ada nanah," kataku dengan suara
bergetar. "Aku tahu seperti apa keracunan darah, Katniss," kata Peeta. "Bahkan jika ibuku
bukan ahli obat-obatan."
"Kau hanya perlu bertahan hidup melampaui yang lain, Peeta. Mereka akan
menyembuhkan lukamu di Capitol saat kita menang," kataku.
"Ya, itu rencana bagus," katanya. Tapi aku merasa ini demi kepentinganku saja.
"Kau harus makan. Meningkatkan kekuatanmu. Aku akan membuatkan sup
untukmu," kataku. "Jangan nyalakan api," kata Peeta. "Tidak layak demi semangkuk sup."
"Kita lihat saja," sahutku. Saat membawa panci ke sungai, aku kaget saat
menyadari betapa panasnya air di sungai. Aku berani sumpah para Juri Pertarungan
sengaja menaikkan suhu setinggi mungkin pada siang hari dan menurunkan suhu
serendah-rendahnya pada malam hari. Panas dari batu-batu yang terpanggang
matahari memberiku ide. Mungkin aku tidak perlu menyalakan api.
Aku duduk di atas batu besar yang berada di antara sungai dan gua. Setelah
memurnikan setengah panci air, aku menaruhnya di bawah sinar matahari langsung
dan menambahkan beberapa batu panas seukuran telur ayam ke dalam air di panci.
Aku harus mengakui bahwa aku bukan tukang masak yang bisa diandalkan. Tapi
karena membuat sup adalah salah satu keahlianku. Kucincang-cincang daging
groosling-ku sampai nyaris menjadi bubur dan kutambahkan umbi-umbian Rue.
Untungnya daging dan umbi sudah matang jadi hanya perlu dipanaskan saja dalam
sup. Di antara sinar matahari dan batu-batuan, air dalam panci pun sudah
menghangat. Kumasukkan daging dan umbi-umbian ke dalam panci, kuganti batubatu
di dalam panci dengan yang baru, lalu aku pergi mencari daun hijau untuk
menambahkan rasa sedikit. Tidak lama kemudian, aku menemukan lokio yang
tumbuh di dasar bebatuan. Sempurna. Kucincang lokio hingga halus lalu
kutambahkan ke dalam panci. Aku mengganti batu-batuan lagi, menutup panci,
dan membiarkan sup masak.
Aku melihat tanda-tanda keberadaan hewan buruan di sekitar sini, tapi aku tidak
merasa nyaman meninggalkan Peeta sendirian sementara aku berburu, jadi aku
memasang enam jerat dan berharap semoga aku beruntung. Aku bertanya-tanya
tentang peserta-peserta lain, bagaimana cara mereka mencari dan menemukan
makanan setelah sumber makanan mereka diledakkan. Paling tidak tiga peserta,
Cato, Clove, dan si Muka Rubah, bergantung pada sumber makanan mereka.
Mungkin Thresh tidak. Aku punya firasat dua pasti memiliki pengetahuan seperti
Rue tentang bagaimana cara mencari makanan dari alam. Apakah para peserta lain
saling bertarung" Mencari kami" Mungkin salah satu dari mereka telah
menemukan kami dan sedang menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Pemikiran itu membuatku segera kembali ke gua.
Peeta berbaring di atas kantong tidur di bawah naungan batu-batuan. Meskipun dia
tampak sedikit ceria ketika aku datang, jelas kelihatan bahwa dia menderita.
Kutaruh kain basah yang sejuk di kepalanya, tapi kain itu langsung hangat tidak
lama setelah menyentuh kulitnya.
"Kau mau sesuatu?" tanyaku.
"Tidak," katanya. "Terima kasih. Tunggu, ya. Berceritalah untukku."
"Cerita" Tentang apa?" kataku. Aku bukan pencerita yang baik. Sama seperti
bernyanyi. Tapi ada kalanya, Prim berhasil memaksaku bercerita.
"Sesuatu yang gembira. Ceritakan hari paling bahagia yang bisa kau ingat," kata
Peeta. Dari mulutku keluar perpaduan antara desahan dan dengusan. Cerita bahagia" Ini
butuh lebih banyak usaha daripada membuat sup. Kukorek-korek otakku mencari
kenangan-kenangan indah. Kebanyakan dari kenangan itu melibatkan Gale dan aku
berburu, dan entah bagaimana menurutku cerita semacam itu tidak cocok bagi
Peeta atau penonton. Jadi tinggal cerita tentang Prim.
"Pernah tidak aku cerita bagaimana aku mendapat kambing untuk Prim?" tanyaku.
Peeta menggeleng, dan dia memandangku penuh semangat menanti ceritaku. Jadi
aku mulai bercerita. Tapi aku berhati-hati. Karena kata-kataku akan terdengar di
seantero Panem. Dan kalau orang-orang yakin aku sudah berburu secara ilegal, aku
tidak mau melukai Gale atau Greasy Sae atau tukang daging atau bahkan Penjaga
Perdamaian di distrikku yang juga menjadi pelangganku dengan memberikan
pernyataan di depan umum bahwa mereka juga melanggar hukum.
Ini cerita sesungguhnya tentang bagaimana aku mendapat uang untuk membeli
kambing Prim, Lady. Saat itu jumat malam, sehari sebelum ulang tahun Prim yang
kesepuluh pada akhir Mei. Saat sekolah bubar, aku dan Gale langsung pergi ke
hutan, karena aku ingin punya banyak hewan buruan yang bisa kutukar untuk
membeli hadiah buat Prim. Mungkin kain baru untuk membuat pakaian atau sisir.
Jerat-jerat kami menghasilkan tangkapan yang lumayan dan hutan dipenuhi daundaun
hijau, tapi hari ini tidak lebih dari sekedar tangkapan jumat malam yang
biasa. Aku kecewa ketika berjalan pulang, meskipun Gale menghiburku dengan
mengatakan bahwa besok pasti hari kami akan lebih baik. Kami sedang beristirahat
sejenak di hutan ketika aku melihatnya. Seekor rusa jantan yang masih muda,
mungkin masih anak rusa kalau melihat ukurannya. Tanduk-tanduk baru mulai
tumbuh, masih kecil dan seakan berbalut beludru. Dia tampak hendak lari tapi
tidak yakin terhadap kami, tidak terbiasa melihat manusia. Indah sekali.
Mungkin sudah tidak seindah semasa hidupnya ketika dua anak panah menembus
tubuh anak rusa itu, satu di leher, satu di dada. Aku dan Gale memanah
bebarengan. Anak rusa itu berusaha lari tapi terjatuh, dan pisau Gale langsung
menggorok lehernya sebelum binatang itu menyadari apa yang terjadi. Sejenak,
aku merasakan sengatan kepedihan yang datang tiba-tiba karena telah membunuh
mahkluk yang masih kecil dan tak berdosa. Tapi kemudian perutku langsung
keroncongan membayangkan daging yang masih segar dan polos itu.
Seekor rusa! Selama kami berburu, aku dan Gale hanya pernah membunuh tiga
ekor. Rusa pertama adalah rusa betina yang entah bagaimana kakinya terluka, dan
nyaris tidak bisa dihitung sebagai buruan yang sukses. Tapi kami belajar dari
pengalaman untuk tidak menyeret bangkai hewan ke Hob. Hal itu cuma akan
menimbulkan kekacauan karena orang-orang berteriak menawar potonganpotongan
dagingnya sembari mereka berusaha memotong daging itu untuk mereka
sendiri. Greasy Sae turun tangan dan mengirim kami berdua ke tukang daging.
Tapi binatang itu sudah dalam kondisi rusak berat, bongkahan-bongkahan
dagingnya banyak yang sudah hilang, kulitnya berlubang-lubang. Meskipun semua


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang membayar, tapi harganya di bawah nilai buruan.
Kali ini, kami menunggu sampai malam tiba dan menyelinap melalui lubang di
bawah pagar yang dekat dengan tempat tukang daging. Meskipun kami sudah
dikenal sebagai pemburu, tetap saja bukan pemandangan yang bagus bila menyeret
rusa seberat 75 kilogram di sepanjang jalan Distrik 12 pada tengah hari bolong,
seakan kami sengaja mempermalukan pihak yang berwenang.
Tukang daging kami adalah wanita gempal bertubuh pendek bernama Rooba, yang
membuka pintu belakang ketika kami mengetuk. Kau tidak boleh menawar dengan
Rooba. Dia akan menyebutkan harga, yang bisa kau terima atau kau tolak, tapi itu
harga yang adil. Kami menerima harga yang ditawarkannya pada rusa kami dan dia
memberikan potongan-potongan daging yang bisa kami ambil setelah rusa
dipotong. Bahkan setelah uangnya dibagi dua, aku dan Gale tidak pernah
memegang uang sebanyak itu sepanjang hidup kami. Kami memutuskan untuk
merahasiakannya dan mengejutkan keluarga kami dengan daging buruan dan uang
itu besok malam. Dari sinilah aku memperoleh uang untuk membeli kambing, tapi aku bercerita
pada Peeta bahwa aku menjual liontin perak milik ibuku. Cerita itu takkan
merugikan siapa pun. Lalu aku melanjutkan cerita pada sore hari ulang tahun
Prim. Aku dan Gale pergi ke pasar di alun-alun agar aku bisa membeli bahan kain untuk
dibuat gaun. Ketika jemariku sedang mengelus kain katun biru yang tebal, mataku
menangkap sesuatu. Ada lelaki tua yang sedang menggembalakan kambing-
kambingnya di seberang Seam. Aku tak tahu nama aslinya, semua orang
memanggilnya Pak Kambing. Sendi-sendi tubuhnya bengkak dan terpelintir dalam
sudut yang menyakitkan, dan dia batuk-batuk parah yang menunjukkan bahwa dia
menghabiskan waktu bertahun-tahun di tambang. Tapi dia beruntung. Selama
bekerja di tambang dia berhasil menyimpan uang cukup banyak untuk membeli
kambing-kambing itu dan di usia tuanya dia memiliki kegiatan daripada cuma
menunggu dan mati kelaparan pelan-pelan. Orang tua itu jorok dan tidak sabaran,
tapi kambing-kambingnya bersih dan susunya banyak jika kau punya uang untuk
membelinya. Seekor kambing, yang berwarna putih dengan totol-totol hitam, sedang berbaring
di kereta. Mudah melihat alasannya. Entah binatang apa, mungkin anjing, telah
melukai punggungnya dan menimbulkan infeksi. Kondisinya buruk, Pak Kambing
menjaganya hanya untuk diambil susunya. Tapi aku kenal seseorang yang bisa
mengobati kambing itu. "Gale," bisikku. "Aku ingin kambing itu untuk Prim."
Di Distrik 12, memiliki kambing betina bisa mengubah nasib. Hewan-hewan itu
bisa hidup nyaris di mana pun, padang rumput jadi tempat sempurna mereka untuk
makan, dan mereka bisa menghasilkan satu setengah liter susu setiap hari. Bisa
untuk diminum, dibuat keju, dijual. Dan semuanya tidak melanggar hukum.
"Lukanya tampak parah," kata Gale. "Sebaiknya kita lihat lebih teliti."
Kami menghampirinya dan membeli secangkir susu untuk diminum berdua, lalu
berdiri di dekat kambing itu dengan berlagak cuek tapi ingin tahu.
"Jangan ganggu," kata Pak Kambing.
"Cuma lihat-lihat," tukas Gale.
"Jangan lama-lama lihatnya. Sebentar lagi dia akan dibawa tukang daging. Nyaris
tak ada yang mau membeli susunya, dan mereka cuma bayar setengah harga," kata
lelaki tua itu. "Berapa harga yang dibayar tukang daging untuknya?" tanyaku.
Dia mengangkat bahu. "Tunggu dan lihat saja."
Aku menoleh dan melihat Rooba menyebrang jalan menghampiri kami.
"Untung kau datang," kata Pak Kambing ketika tukang daging datang. "Anak
perempuan ini naksir kambingmu."
"Tidak, jika dia sudah ada yang punya," kataku seolah tak peduli.
Rooba memandangiku dari atas ke bawah lalu mengernyit melihat kambingnya.
"Kambing itu tak ada yang punya. Lihat punggungnya. Pasti setengah bangkainya
nanti akan terlalu buruk untuk dijadikan sosis."
"Apa?" seru Pak Kambing. "Kita sudah punya perjanjian."
"Kita punya perjanjian untuk hewan dengan beberapa luka gigitan. Bukan hewan
itu. Jual saja pada anak perempuan itu jika dia cukup bodoh untuk membelinya,"
kata Rooba. Ketika tukang daging itu berjalan pergi, kulihat dia mengedipkan
matanya padaku. Pak Kambing marah, tapi dia masih ingin kambing itu lepas dari tangannya. Butuh
waktu setengah jam bagi kami untuk mencapai kesepakatan harga. Sejumlah orang
bahkan ikut kumpul memberikan pendapat mereka. Aku memperolehnya dengan
harga yang amat bagus jika kambing itu hidup; tapi aku sama saja dengan
dirampok jika kambing itu mati. Orang-orang terus berargumen, tapi aku
mengambil kambing itu. Gale menawarkan diri untuk menggendongnya. Sama seperti aku, kurasa Gale
ingin melihat seperti apa wajah Prim nanti ketika melihat kambing ini. Dalam
keadaan terburu-buru, kubeli pita pink dan kuikat di leher kambing itu. Kemudian
kami bergegas pulang. Kau harus melihat reaksi Prim ketika kami masuk dengan kambing itu. Ingat ya ini
anak perempuan yang menangis untuk menyelamatkan kucing tua menyebalkan
itu, Buttercup. Prim langsung bersemangat hingga dia tertawa dan menangis
bebarengan. Ibuku tidak terlalu yakin melihat lukanya, tapi mereka segera
mengusahakan mengobatinya, dengan meracik ramuan dan memaksa binatang itu
meminum obat buatan mereka.
"Kedengarannya mereka sepertimu," kata Peeta.
Aku nyaris lupa dia ada di sini.
"Oh, tidak, Peeta. Mereka punya tangan magis. Binatang itu bisa mati jika aku
berusaha mengobatinya," kataku.
Tapi kemudian aku buru-buru menggigit lidahku, menyadari Peeta pasti memikiran
kondisinya, yang sedang sekarat dan berada di tangan yang tidak kompeten.
"Jangan kuatir. Aku tidak sedang berusaha diobati kok," gurau Peeta. "Teruskan
ceritamu." "Well, sudah selesai ceritanya. Aku ingat malam itu Prim berkeras tidur bersama
Lady di atas selimut di dekat perapian. Dan sebelum tertidur, kambing itu
menjilat pipi Prim, seakan dia memberi ciuman selamat malam," kataku. "Saat itu si
kambing sudah tergila-gila pada Prim."
"Apakah kambing itu masih memakai pita pink?" tanya Peeta.
"Sepertinya begitu," kataku. "Kenapa?"
"Aku hanya berusaha membayangkannya," kata Peeta penuh perhatian. "Aku bisa
mengerti kenapa hari itu membuatmu bahagia."
"Yah, aku tahu kambing itu akan jadi tambang emasku," kataku.
"Ya, tentu saja itu maksudku ketika membayangkan kenapa kau bahagia, bukan
karena kebahagiaan abadi yang kau berikan pada adikmu yang amat kausayangi
hingga kau rela menggantikan tempatnya di sini," kata Peeta dengan gaya tak
acuh. "Kambing itu sudah membayar harga yang kubayar untuk membelinya. Bahkan
jauh berkali-kali lipat lebinya," kataku dengan nada sombong.
"Hm, hewan itu takkan berani tidak melakukannya setelah kau menyelamatkan
nyawanya," kata Peeta. "Aku juga berniat melakukan hal yang sama."
"Sungguh" Memangnya apa yang kaulakukan hingga membuatku rugi?" tanyaku.
"Menimbulkan banyak kesulitan untukmu. Jangan kuatir. Kau akan mendapat
bayarannya," kata Peeta.
"Omonganmu tak masuk akal," kataku. Kupegang dahinya. Demamnya makin
tinggi. "Kau sudah tidak sepanas tadi."
Suara terompet mengejutkanku. Secepat kilat aku berdiri dan sudah berada di
mulut gua, tidak ingin ketinggalan sepatah kata pun. Itu sahabat baruku,
Claudius Templesmith, dan sebagaimana sudah kuduga, dia mengundang kami berpesta.
Hm, kami tidak selapar itu dan aku mengabaikan tawarannya dengan gaya tak
peduli ketika dia berkata, "Tunggu dulu. Beberapa dari kalian mungkin sudah
menolak undanganku. Tapi ini bukan pesta biasa. Masing-masing dari kalian
membutuhkan sesuatu yang amat kalian dambakan."
Aku memang butuh sesuatu yang amat kudambakan. Sesuatu untuk
menyembuhkan kaki Peeta. "Masing-masing dari kalian akan menemukan sesuatu itu dalam ransel yang
bertuliskan nomor distrikmu, di Cornucopia pada dini hari. Pikirkan baik-baik
jika kalian menolak untuk datang. Untuk beberapa orang, ini bakal jadi kesempatan
terakhirmu," kata Claudius.
Lalu senyap, hanya kata-katanya yang menggantung di udara. Aku terlonjak ketika
Peeta memegang bahuku dari belakang.
"Jangan," katanya. "Kau tidak boleh mempertaruhkan hidupmu demi aku."
"Siapa bilang aku mau melakukannya?" tanyaku.
"Jadi kau takkan pergi?" tanya Peeta.
"Tentu saja, aku takkan pergi. Jangan pikir aku sebodoh itu. Kaupikir aku
bakalan langsung berlari merebut barang gratisan melawan Cato, Clove, dan Thresh"
Jangan konyol," kataku, sambil membantunya kembali ke tempat tidur. "Kubiarkan
mereka bertarung memperebutkannya, kita lihat siapa yang muncul di angkasa
besok malam dan mulai menyusun rencana dari sana."
"Kau pembohong yang buruk, Katniss. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa
bertahan hidup selama ini." Peeta mulai meniru omonganku. "Aku tahu kambing
itu akan jadi tambang emasku. Kau sudah tidak sepanas tadi. Tentu saja, aku
takkan pergi." Dia menggeleng.
"Jangan pernah berjudi. Kau akan kehilangan semua hartamu," kata Peeta.
Kemarahan membakar wajahku. "Baiklah, aku pergi, dan kau tak bisa
menghentikanku!" "Aku bisa mengikutimu. Paling tidak separo jalan. Aku mungkin takkan berhasil
tiba di Cornucopia, tapi jika aku meneriakkan namamu, aku yakin bakal ada orang
yang menemukanku. Dan pada saat itu tiba aku pasti mampus," katanya.
"Kau takkan sanggup berjalan seratus meter dengan kakimu itu," kataku.
"Akan kuseret tubuhku," kata Peeta. "Kau pergi, aku pergi juga."
Peeta keras kepala dan mungkin cukup kuat untuk melaksanakan ancamannya.
Berteriak memanggil-manggil namaku di hutan. Bahkan jika tak ada peserta yang
menemukannya, bisa jadi mahkluk lain yang menemukannya. Dia tak sanggup
membela dirinya sendiri. Aku mungkin harus mengikatnya di dinding gua kalau
ingin pergi sendiri. Dan apa yang bakal terjadi padanya jika dia kusiksa seperti
itu" "Apa yang harus kulakukan" Duduk di sini dan melihatmu mati?" tanyaku.
Dia pasti tahu itu bukan pilihan. Penonton akan membenciku. Dan sejujurnya, aku
juga bakal membenci diriku sendiri, jika aku tidak mencobanya.
"Aku takkan mati. Aku berjanji. Jika kau mau berjanji untuk tidak pergi,"
katanya. Kami menghadapi jalan buntu. Aku tahu aku tidak bisa berdebat dengannya untuk
urusan ini, jadi aku tidak mencobanya. Dengan enggan, aku berpura-pura
mengikuti keinginannya. "Kalau begitu, kau harus melakukan apa yang kusuruh.
Minum airmu, bangunkan aku pada jam yang kuperintahkan, dan makan semua
sup itu semenjijikkan apa pun rasanya!" Aku membentaknya.
"Setuju. Supnya sudah matang?" tanya Peeta.
"Tunggu di sini," kataku. Udara sekarang lebih dingin meskipun matahari masih
belum terbenam. Aku benar tentang juri Pertarungan yang mempermainkan suhu
udara. Aku penasaran apakah salah satu benda yang didambakan seseorang berupa
selimut. Sup buatanku masih bagus dan hangat dalam panci logam. Dan
sesungguhnya rasanya tidak terlalu buruk.
Peeta makan tanpa mengeluh, bahkan mengais-ngais hingga ke dasar ke dasar
panci untuk menunjukkan semangatnya. Dia mengoceh betapa lezatnya sup
buatanku. Seharusnya pujian dari Peeta terdengar menyenangkan kalau kau tidak
tahu ocehan apa saja yang diucapkan oleh penderita demam. Mendengarnya bicara
seolah mendengarkan Haymitch sebelum alkohol menenggelamkannya dalam
ketidaksadaran. Kuberikan obat penurun panas lagi sebelum Peeta tertidur pulas.
Ketika aku turun ke sungai untuk bersih-bersih, yang terpikir dalam otakku
hanyalah Peeta akan mati jika aku tidak datang ke pesta itu. Aku bisa merawatnya
selama satu-dua hari lagi, kemudian infeksi akan mencapai jantung atau otaknya
atau paru-parunya, lalu dia pun tewas. Dan aku akan sendirian di sini. Lagi.
Menunggu yang lain. Pikiranku kalut hingga aku nyaris tidak melihat parasut, yang melayang tepat di
depanku. Lalu aku menerjang mengejarnya, menariknya dari air, merobek kain
perak yang membungkusnya untuk mengambil botol kecil di dalamnya. Haymitch
melakukannya lagi! Dia mendapatkan obat itu-aku tidak tahu bagaimana caranya,
membujuk orang-orang bodoh yang percaya pada romantisme untuk menjual
perhiasan mereka-dan aku bisa menyelamatkan Peeta! Tapi botol ini sangat kecil.
Pasti dosisnya sangat kuat untuk bisa menyembuhkan orang yang sakitnya separah
Peeta. Keraguan menyelubungiku. Kubuka tutup botol dan kucium isinya.
Semangatku pupus ketika mencium aroma yang teramat manis. Untuk lebih
yakinnya, kuteteskan sedikit cairan itu keujung lidahku. Tidak diragukan lagi,
ini sirup obat tidur. Ini obat yang lazim ditemukan di Distrik 12. Harganya murah,
untuk ukuran obat, tapi bisa membuat kecanduan. Hampir semua orang pernah
mencicipinya satu atau dua kali. Di rumah kami punya sebotol. Ibuku memberikan
obat ini pada pasien-pasien yang histeris untuk membuatnya tidak sadar agar bisa
menjahit luka mereka atau menenangkan pikiran mereka atau membantu seseorang
yang sedang kesakitan agar bisa tidur dengan tenang. Hanya butuh sedikit. Botol
seukuran ini bisa membuat Peeta tak sadarkan diri sepanjang hari, tapi apa
gunanya" Aku sangat marah dan hendak melemparkan hadiah terakhir dari
Haymitch ini ke sungai ketika aku sadar. Sepanjang hari" Itu lebih dari cukup
buatku. Kuremukkan segenggam buah berry agar rasanya tidak terlalu kentara dan
menambahkan daun-daun mint untuk memberi rasa. Kemudian aku berjalan
kembali ke gua. "Kubawakan kau hadiah. Aku menemukan buah-buah berry agak
jauh dari hilir sungai."
Peeta membuka mulutnya, menggigit buah-buah itu tanpa ragu. Dia menelannya
kemudian mengernyit. "Rasanya sangat manis."
"Ya, ini namanya buah berry gula. Ibuku membuat selai dari berry ini. Kau tidak
pernah mencobanya ya?" tanyaku, dan menyuapkan sesendok lagi ke mulutnya.
"Tidak pernah," katanya, wajahnya tampak heran. "Tapi rasanya tidak asing. Berry
gula?" "Yah, kau tidak bisa membelinya, buah berry ini tumbuh liar," kataku. Suapan
lagi ditelannya. Hingga tinggal satu suapan terakhir.
"Rasanya semanis sirup," kata Peeta, sambil menyantap suapan sendok terakhir.
"Sirup." Mata Peeta terbelalak saat menyadarinya. Kututup mulutnya dengan tanganku dan
kujepit hidungnya keras-keras, sehingga Peeta terpaksa menelan bukannya
meludahkan buah berry itu. Peeta berusaha memuntahkannya, tapi terlambat, dia
sudah mulai kehilangan kesadarannya. Pada detik-detik terakhir kesadarannya
hilang, aku bisa melihat di matanya bahwa apa yang kulakukan ini takkan
termaafkan. Aku duduk bertumpu pada tumitku dan memandangnya dengan perpaduan
kesedihan dan kepuasan. Ada buah berry tercecer di dagunya yang segera kuhapus
hingga bersih. "Siapa yang tidak bisa berbohong, Peeta?" tanyaku, meskipun dia tidak bisa
mendengarku. Tidak apa-apa. Seantero Panem bisa mendengarku.
Bab 21 JAM-JAM terakhir menjelang malam tiba, aku mengumpulkan batu-batu dan
berusaha membuat kamuflasi di pintu gua sebaik mungkin. Kegiatan ini lambat
dan melelahkan, tapi setelah banyak berkeringat dan memindah-mindahkan
batubatuan, aku merasa puas dengan hasil kerjaku. Gua itu sekarang kelihatan
seperti bagian dari tumpukan batu-batuan, seperti yang ada di sekitar tempat ini. Aku
masih bisa merangkak masuk ke tempat Peeta melalui bukaan kecil, tapi tidak
terdeteksi dari luar. Itu bagus, karena aku masih perlu berbagi kantong tidur
lagi malam ini. Selain itu, jika aku tidak kembali dari pesta, Peeta akan tersembunyi
tapi tidak sampai terpenjara. Meskipun aku tidak yakin dia bisa bertahan lebih
lama tanpa obat. Kalau aku tewas dalam pesta, kemungkinan besar Distrik 12
takkan punya pemenang. Aku meracik makanan dari ikan yang lebih kecil dan lebih banyak tulangnya yang
mendiami sungai di sini. Kuisi juga semua tempat air yang kupunya dan
kusucihamakan, lalu kubersihkan senjata-senjataku. Hanya ada sembilan anak
panah yang tersisa. Aku sedang menimbang-nimbang apakah ingin meninggalkan
pisauku di tangan Peeta agar dia punya perlindungan selama aku pergi, tapi
sesungguhnya itu tak ada gunanya. Kamuflase jadi pertahanan terakhirnya. Tapi
aku masih bisa memanfaatkan pisau ini. Siapa tahu apa yang bakal kuhadapi


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nanti" Berikut ini beberapa hal yang kuyakini. Paling tidak Cato, Clove, dan Thresh
akan siap ketika pesta dimulai. Aku tidak yakin dengan si Muka Rubah karena
pertarungan langsung bukanlah gayanya atau kekuatannya. Tubuhnya lebih kecil
daripada tubuhku dan dia tidak bersenjata, kecuali dia menemukan senjata entah
di mana belakangan ini. Dia mungkin akan menunggu tidak jauh dari tempat pesta,
melihat apa sisa-sisa yang bisa dia pungut. Tapi tiga peserta lain... aku pasti
bakal sibuk sekali. Kemampuanku untuk membunuh sasaran dari jarak jauh adalah aset
terbesarku, tapi aku tahu harus terjun ke sarang kehebohan untuk memperoleh
ransel itu, ransel bernomor 12 seperti yang disebutkan Claudius Templesmith.
Aku mendongak menatap langit, berharap lawan yang harus kuhadapi pada dini
hari nanti bisa berkurang satu, tapi tak ada seorang pun yang muncul. Besok akan
ada wajah-wajah yang muncul di sana. Pesta selalu menghasilkan korban jiwa.
Aku merangkak ke dalam gua, menyimpan kacamataku, dan bergelung di samping
Peeta. Untungnya aku sudah tidur nyenyak sepanjang siang tadi. Aku tidak boleh
tidur. Kurasa tak ada seorang pun yang akan menyerang gua kami malam ini, tapi
aku tidak bisa menanggung risiko ketinggalan dini hari.
Dingin sekali, dingin yang amat menggigit malam ini. Seakan para Juri
Pertarungan telah menyuntikkan embusan udara yang membeku ke arena
pertarungan, dan mungkin saja mereka memang sungguh-sungguh melakukannya.
Aku berbaring di samping Peeta di dalam kantong tidur, berusaha menyerap setiap
titik panas dari demamnya. Aneh rasanya berada dekat secara fisik dengan
seseorang yang teramat jauh. Peeta bisa saja berada di Capitol, Distrik 12, atau
di bulan saat ini, aku sama saja tak bisa menggapainya. Aku tak pernah merasa
kesepian seperti saat ini sejak Hunger Games dimulai.
Terima saja ini akan jadi malam yang buruk, kataku dalam hati. Aku berusaha
tidak melakukannya, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan ibuku dan Prim,
bertanya-tanya apakah mereka bisa tidur malam ini. Pada tahap-tahap menjelang
akhir Hunger Games dan adanya peristiwa penting seperti pesta, sekolah mungkin
diliburkan. Keluargaku bisa memilih antara menonton di televisi tua yang
gambarnya berbintik-bintik di rumah atau bergabung dengan massa di alun-alun
untuk menonton di layar-layar televisi besar yang gambarnya jernih. Mereka akan
mendapat privasi di rumah tapi dukungan di alun-alun. Orang-orang akan bersikap
ramah pada mereka, memberikan sedikit makanan jika ada yang tersisa. Aku
bertanya-tanya apakah tukang roti telah mengurus mereka, terutama sekarang
setelah aku dan Peeta satu tim, dan melaksanakan janjinya untuk menjaga perut
adikku tetap kenyang. Semangat pasti berkobar di Distrik 12. Kami jarang sekali memiliki peserta yang
bisa kami elu-elukan pada tahap ini di Hunger Games. Tentu saja, orang-orang
pasti gembira melihat aku dan Peeta, terutama sekarang setelah kami bersama.
Kalau aku memejamkan mata, aku bisa membayangkan teriakan-teriakan mereka
ke layar-layar televisi, mendorong kami untuk terus lagi. Aku melihat wajah-
wajah mereka-Greasy Sae dan Madge, bahkan para Penjaga Perdamaian yang membeli
daging dariku-sedang bersorak untuk kami.
Dan Gale. Aku kenal dia. Dia takkan berteriak dan bersorak. Tapi dia akan
menonton, setiap momen, setiap gerak dan tingkah laku, dan menginginkan aku
pulang. Aku ingin tahu apakah dia berharap Peeta juga bisa selamat. Gale bukan
kekasihku, tapi akankah dia jadi kekasihku, jika aku membuka pintu hatiku" Dia
bicara tentang kami kabur bersama. Apakah itu cuma perhitungan praktis dari
kemungkinan kami bertahan hidup jauh dari distrik" Atau ada sesuatu yang lebih"
Aku ingin tahu apa yang dia tangkap dari semua ciuman ini.
Melalui celah di bebatuan, aku melihat bulan melintasi langit. Pada waktu yang
kuperkirakan tiga jam sebelum dini hari tiba, aku memulai segala persiapan
akhir. Aku berhati-hati meninggalkan Peeta dengan air dan obat-obatan tepat di
sampingnya. Barang-barang lainnya takkan berguna jika aku tidak kembali.
Setelah melalui sejumlah pertimbangan, kulepaskan jaket Peeta dan kupakai
rangkap di luar jaketku. Dia tidak membutuhkannya. Apalagi sekarang ketika dia
berada di kantong tidur dengan demam tingginya, dan pada siang hari besok nanti.
Jika aku tidak melepaskannya, dia pasti terpanggang kepanasan di dalam kantong
tidur. Kedua tanganku sudah kaku kedinginan, jadi kupakai kaus kaki cadangan
Rue, Setelah kubuat lubang untuk empat jari-jariku. Kaus kaki ini membantu. Aku
mengisi ransel kecil Rue dengan makanan, botol air, dan perban, menyelipkan
pisau di ikat pinggangku, lalu mengambil busur dan anak panahku. Aku baru saja
hendak pergi ketika teringat pada pentingnya menjaga situasi kami sebagai
pasangan kekasih yang bernasib malang, jadi aku menunduk dan mencium Peeta,
lama dan tak terlupakan. Aku membayangkan desahan penuh air mata di Capitol,
lalu aku pura-pura menyeka air mataku sendiri. Kemudian aku melesat di antara
batu-batuan menuju pekatnya malam.
Napasku menimbulkan awan-awan putih kecil ketika terembus ke udara.
Dinginnya sama seperti dinginnya udara bulan November di distrikku. Suatu
malam ketika aku menyelinap ke hutan, dengan lentera di tangan, bertemu dengan
Gale di tempat yang sudah kami atur agar kami bisa duduk terbungkus selimut
bersama, menyesap teh herbal dari termos logam yang terbungkus kain perca,
sambil berharap buruan akan lewat depan kami sementara menunggu pagi tiba. Oh,
Gale, pikirku. Seandainya ada kau yang menjagaku sekarang....
Aku bergerak secepat yang berani kulakukan. Kacamata malam ini luar biasa, tapi
aku masih sedih kehilangan pendengaran sebelah kiri. Aku tak tahu ledakan itu
menyebabkan apa, tapi yang pasti ledakan itu merusak sesuatu yang dalam dan tak
bisa diperbaiki lagi. Tak apalah. Kalau aku pulang, aku bakalan kaya raya, dan
aku bisa membayar orang untuk jadi pendengarku.
Hutan selalu tampak berbeda pada malam hari. Bahkan dengan kacamata,
segalanya memiliki secercah kesan asing. Seakan pohon-pohon, bunga-bungaan,
dan bebatuaan siang hari sudah tidur dan mereka mengirim versi mereka yang
tidak menyenangkan untuk mengganti tempat mereka. Aku tidak mencoba berbuat
macam-macam, seperti mengambil rute baru. Aku berjalan naik menyusuri sungai
dan mengikuti jalan yang sama menuju tempat persembunyian Rue di dekat danau.
Sepanjang jalan, aku tidak melihat tanda keberadaan peserta lain, tidak ada
embusan napas, atau guncangan pada cabang pohon. Entah akulah orang pertama
yang tiba atau yang lain-lain sudah berada di posisi mereka sejak tadi malam.
Masih ada waktu sekitar satu jam, mungkin dua, ketika aku masuk ke semaksemak
dan menunggu darah tertumpah di Cornucopia.
Kukunyah beberapa helai daun mint, perutku tidak sanggup makan berat.
Untunglah aku memakai jaket Peeta sekalian dengan jaketku. Kalau tidak, aku
bakal terpaksa bergerak terus agar tetap hangat. Langit berubah kelabu pagi yang
berembun dan masih tak ada tanda-tanda peserta lain. Tidak mengejutkan
sebenarnya. Semua orang punya kelebihan entah dengan kekuatan, kemampuan
mematikan, atau kelicikan. Aku penasaran apakah mereka menduga Peeta
bersamaku sekarang" Aku tidak yakin si Muka Rubah dan Thresh tau bahwa Peeta
terluka. Lebih baik jika mereka berpikir Peeta melindungiku saat aku masuk
mengambil ransel. Tapi di mana ranselnya" Arena pertarungan sudah cukup terang sehingga aku
membuka kacamataku. Aku bisa mendengar burung-burung pagi bernyanyi.
Waktunya tiba" Selama sedetik, aku panik karena mengira berada di lokasi yang
salah. Tapi tidak, aku yakin aku ingat Claudius Templesmith menyebut
Cornucopia. Dan Cornucopia ada di sana. Aku di sini. Jadi di mana pestaku
berlangsung" Tepat ketika cahaya matahari pertama menyinari bagian emas Cornucopia, ada
gerakan di tanah. Tanah di depan mulut terompet terbelah dua dan meja bundar
dengan taplak putih bersih muncul di arena. Di meja terdapat empat ransel, dua
ransel hitam besar dengan angka 2 dan 11, ransel hijau ukuran sedang dengan
angka 5, dan ransel oranye mungil-yang sesungguhnya bisa kuikat di pergelangan
tanganku-pasti yang bertanda angka 12.
Meja itu baru saja terpasang di tempatnya ketika ada sosok yang melesat dari
Cornucopia, menyambar ransel hijau, dan kabur dengan cepat. Si Muka Rubah!
Dia paling lihai membuat gagasan yang penuh risiko dan cerdas! Peserta-peserta
lain masih tenang berada di sekitar tanah lapang, menilai situasi, dan dia sudah
mendapatkan ranselnya. Dia juga memerangkap kami, karena tak ada seorang pun
yang mau mengejarnya, sementara ransel kami sendiri masih duduk manis di atas
meja. Si Muka Rubah pasti sengaja meninggalkan ransel-ransel itu, dia sadar
benar mencuri ransel yang bukan miliknya pasti akan membuat dirinya dikejar.
Seharusnya itu jadi strategiku! Ketika segala perasaan terkejut, kagum, marah,
cemburu, dan frustasi usai kurasakan, aku melihat rambut kemerahan menghilang
di antara pepohonan dan berada di luar jarak tembakanku. Huh. Aku selalu ngeri
pada peserta-peserta lain, tapi mungkin si Muka Rubah adalah lawan yang
sesungguhnya di sini. Dia juga menghabiskan waktuku, karena sekarang jelas bahwa aku harus tiba di
meja sehabis ini. Siapa pun yang tiba lebih dulu ke meja akan dengan mudah
mengambil ranselku lalu kabur. Tanpa ragu, aku berlari cepat ke meja. Aku bisa
merasakan datangnya bahaya sebelum aku melihatnya. Untungnya lemparan pisau
pertama mendesing di sebelah kanan tubuhku jadi aku bisa mendengarnya dan
menangkisnya dengan busurku. Aku berbalik, menarik tali busur dan
menembakkan panah ke arah jantung Clove. Dia mengelak tepat untuk
menghindari serangan fatal, tapi ujung mata panah menembus lengan kiri atas
Clove. Sialnya, dia melempar pisau dengan tangan kanan, tapi panah itu sempat
membuat gerakannya lambat, dia juga harus menarik panah dari lengannya dan
kesakitan akibat lukanya. Aku terus bergerak, secara otomatis langsung memasang
anak panah di busur, yang hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah
bertahuntahun berburu. Aku berada di meja sekarang, jemariku menggenggam ransel mungil itu. Tanganku
masuk di antara talinya dan menggantung di lengan bawahku. Ransel ini terlalu
kecil untuk bisa kubawa di bagian lain tubuhku, dan aku berbalik untuk
menembakkan panah lagi ketika pisau kedua menyambar dahiku. Pisau itu
mengiris bagian atas alisku, membuat luka terbuka yang mengucurkan darah ke
wajahku, membutakan mataku, memenuhi mulutku dengan rasa logam tajam
darahku sendiri. Aku terhuyung-huyung mundur tapi masih sempat menembakkan
panah yang sudah siap tembak ke arah penyerangku. Saat anak panah itu terlepas
dari tanganku, aku tahu tembakanku pasti meleset. Kemudian Clove
menghantamkan tubuhnya ke tubuhku, membuatku jatuh telentang. Dia mengunci
kedua bahuku di tanah dengan lututnya.
Ini dia, pikirku, dan berharap demi Prim kematianku berlangsung cepat. Tapi
Clove tampak ingin menikmatinya. Bahkan dia tidak tampak terburu-buru. Tidak
diragukan lagi Cato berada tidak jauh dari tempat ini, mengawasi Clove sambil
menunggu Thresh mungkin Peeta.
"Di mana pacarmu, Distrik Dua Belas" Masih hidup?" tanya Clove.
Selama kami bicara artinya aku masih hidup.
"Dia ada di luar sana. Memburu Cato," balasku. Lalu aku berteriak
sekeraskerasnya. "Peeta!"
Clove meninju leherku, langsung membuat suaraku hilang. Tapi kepalanya
menoleh ke kanan dan kiri, dan aku tahu selama sesaat dia mempertimbangkan
apakah aku berkata yang sebenarnya. Karena Peeta tak muncul menyelamatkanku,
Clove kembali memandangku.
"Pembohong," katanya sambil menyeringai. "Dia sudah sekarat. Cato tau di mana
dia melukainya. Kau mungkin mengikatnya di pohon sementara kau berusaha
menjaganya tetap hidup. Apa yabg ada di ransel mungilmu itu" Obat buat si Lover
Boy" Sayang, dia tak pernah mendapatkannya."
Clove membuka jaketnya. Di baliknya terdapat deretan pisau yang mengesankan.
Dengan hati-hati dia memilih pisau yang cantik dengan mata pisau melengkung
yang tampak kejam. "Aku berjanji pada Cato kalau dia mengizinkanku
menghabisimu, aku akan memberikan tontonan yang seru pada penonton."
Sekarang aku berusaha keras untuk lepas dari tindihannya, tapi gagal. Dia
terlalu berat dan kunciannya terlalu keras.
"Lupakan saja, Distrik Dua Belas. Kami akan membunuhmu. Sama seperti yang
kami lakukan pada sekutu kecilmu yang suka melompat-lompar di pepohonan" Ya,
pertama Rue, lalu kau, dan kurasa kita biarkan saja alam membereskan Lover
Boymu. Bagaimana?" tanya Clove. "Nah, kita mulai dari mana?"
Dengan asal-asalan dia menyeka darah dari lukaku dengan lengan jaketnya. Sesaat,
dia mengamati wajahku, memiringkannya dari satu sisi ke sisi lain seakan wajahku
ini sepotong kayu dan dia sedang memutuskan pola apa yang akan digunakan
untuk mengukirnya. Aku mencoba menggigit tangannya, tapi dia menjambak
rambut atasku, memaksaku tetap di tanah.
"Ku pikir..." Clove seakan mendengkurkan ucapannya. "Kupikir kita akan mulai
dari mulutmu." Kukatupkan gigiku rapat-rapat sementara dia bermain-main dengan ujung mata
pisaunya menelusuri bibirku.
Aku tidak mau menutup mataku. Komentarnya tentang Rue membuatku terbakar
amarah, kemarahan yang sama kupikir adalah mati dengan bermartabat. Sebagai
tindakan perlawanan terakhirku, aku akan menatapnya selama yang kubisa, yang
mungkin sisa waktunya tak lama lagi, tapi aku akan terus menatapnya, aku takkan
menjerit. Dengan caraku sendiri, aku akan mati, tapi tak terkalahkan.
"Ya, menurutku kau sudah tak perlu mulutmu lagi. Ingin meniupkan ciuman
terakhir untuk Lover Boy?" tanyanya.
Kuusahakan mengumpulkan darah dan air liur dalam mulutku lalu kuludahi
wajahnya. Dia langsung murka. "Baik kalau begitu. Ayo kita mulai."
Kukuatkan diriku menghadapi penderitaan yang sebentar lagi tiba. Tapi ketika aku
merasakan ujung pisau mulai mengiris bibirku, ada kekuatan besar yang menarik
Clove dari tubuhku lalu dia menjerit. Mulanya aku terlalu terpana, tak sanggup
mencerna apa yang terjadi. Apakah Peeta yang entah bagaimana datang
menyelamatkanku" Apakah para Juri Pertarungan mengirim hewan liar untuk
menambah seru pertarungan" Apakah pesawat ringan tanpa sengaja menariknya ke
udara" Tapi ketika aku berhasil bangun dengan dua tangan yang kebas, ternyata semua
dugaanku salah. Clove meronta-ronta dengan kaki di atas tanah, terperangkap
dalam jepitan lengan Thresh. Aku terkesiap melihat Thresh seperti itu, menjulang
di hadapanku, memegang Clove seperti memegang boneka kain. Aku ingat tubuh
Thresh memang besar, tapi dia tampak semakin meraksasa, lebih kuat daripada
yang kuingat. Berat badannya seakan bertambah di arena pertarungan. Dia
memutar tubuh Clove lalu membantingnya ke tanah.
Ketika Thresh berteriak, aku terlonjak, karena tak pernah mendengarnya bicara
lebih dari sekedar gumaman. "Apa yang kaulakukan terhadap gadis kecil itu" Kau
membunuhnya?" Clove merangkak mundur dengan posisi duduk, seperti serangga yang panik,
bahkan terlalu kaget untuk memanggil Cato. "Tidak! Bukan, bukan aku!"
"Kau menyebut namanya. Aku mendengarmu. Kaubunuh dia?" Sebuah pemikiran
terlintas dalam benaknya, mengguratkan kemarahan di wajah Thresh. "Kaupotong
dia seperti kau akan potong gadis ini?"
"Tidak! Tidak, aku..." Clove melihat batu, yang di tangan Thresh seukuran roti
tawar, lalu langsung panik.
"Cato!" pekiknya. "Cato!"
"Clove!" Aku mendengar jawaban Cato, tapi aku tahu dia terlalu jauh untuk bisa
membantu Clove. Apa yang sedang dilakukan Cato" Berusaha mengejar si Muka
Rubah atau Peeta" Atau dia menunggu Thresh dan salah memperkirakan
lokasinya" Thresh menghantamkan batu itu dengan keras ke pelipis Clove. Tidak ada darah
yang keluar, tapi dari tengkorak Clove yang penyok aku tahu dia bakal tewas.
Masih ada sisa-sisa kehidupan dalam diri Clove, dadanya yang naik-turun dengan
cepat, erangan lemah yang keluar dari bibirnya.
Ketika Thresh berputar ke arahku, batu di tangannya terangkat, aku tahu tak ada
gunanya bagiku untuk lari. Dan busurku kosong, tadi sudah kutembakkan ke arah
Clove. Aku terperangkap dalam sorot mata cokelat keemasannya yang aneh. "Apa
maksud dia" Tentang Rue jadi sekutumu?"
"Aku-aku-kami bergabung. Meledakkan persediaan mereka. Aku berusaha
menyelamatkannya, sungguh. Tapi dia lebih dulu berada di sana. Anak lelaki
Distrik Satu," kataku. Mungkin jika dia tahu aku membantu Rue, dia takkan
membuatku mati perlahan dan sengsara.
"Dan kau membunuh anak lelaki itu?" tanyanya.
"Ya. Aku membunuhnya. Dan memakamkan Rue dengan bunga-bungaan," kataku.
"Lalu aku bernyanyi untuknya sampai dia terlelap."
Air mata mengambang di mataku. Ketegangan pertarungan itu keluar dari
kenanganku. Aku merasa dipenuhi sosok Rue, rasa sakit di kepalaku, rasa takutku
terhadap Thresh, dan erangan gadis yang sekarat tak jauh dariku.


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sampai terlelap?" tanya Thresh serak.
"Sampai meninggal. Aku bernyanyi untuknya sampai dia meninggal," kataku.
"Distrikmu... mereka mengirimiku roti."
Tanganku terulur ke atas, tapi bukan untuk mengambil anak panah yang kutahu
takkan pernah bisa kuraih. Aku hanya ingin menyeka hidungku. "Lakukan dengan
cepat, oke, Thresh?"
Beragam emosi yang bertentang melintas di wajah Thresh. Dia menurunkan
batunya dan menunjukku, nyaris seperti menuduh. "Hanya untuk kali ini, aku
melepasmu. Untuk gadis kecil itu. Kau dan aku impas. Kita tak ada utang lagi.
Kau paham?" Aku mengangguk karena aku memang paham. Tentang utang. Tentang membenci
utang. Aku paham jika Thresh menang, dia harus pulang menghadapi distrik yang
sudah melanggar semua peraturan untuk berterima kasih padaku, dan Thresh
melanggar peraturan juga untuk berterima kasih padaku. Dan aku paham bahwa
saat itu Thresh takkan menghantam tengkorakku.
"Clove!" suara Cato makin dekat sekarang. Dari suaranya yang penuh kepedihan
aku tahu Cato sudah melihat Clove di tanah.
"Lebih baik kau lari sekarang, Gadis Api," kata Thresh.
Aku tidak perlu diberitahu dua kali. Aku bersalto lalu kakiku menjejak tanah
yang keras ketika berlari menjauh dari Thresh dan Clove serta suara Cato. Baru ketika
sampai ke hutan aku menoleh sejenak ke belakang. Thresh dan dua ransel besar
menghilang di ujung tanah lapang menuju wilayah yang tak pernah kulihat. Cato
berlutut di samping, tombak di tangan, sambil memohon pada Clove agar tetap
bertahan. Sebentar lagi Cato akan sadar bahwa usahanya sia-sia, Clove tak bisa
diselamatkan. Aku melesat di antara pepohonan, berkali-kali menyeka darah yang
menetes ke mataku, terbang laksana angin, bagaikan binatang terluka yang kabur.
Setelah beberapa menit terdengar suara dentuman meriam dan aku tahu Clove
sudah tewas, dan Cato akan mengejar salah satu dari kami. Kalau tidak mengejar
Thresh, dia akan mengejarku. Aku merasa ngeri, lemas akibat luka di kepalaku,
terguncang. Aku memasang anak panah, tapi Cato bisa melempar tombak hampir
sama jauhnya dengan jarak aku bisa memanah.
Hanya satu hal yang membuatku lebih tenang. Thresh mengambil ransel Cato yang
berisi benda yang amat sangat dibutuhkannya. Kalau aku harus bertaruh, Cato akan
mengejar Thresh, bukan aku. Tapi aku tetap tidak melambatkan lariku ketika tiba
di sungai. Aku langsung mencemplungkan kakiku ke sungai, masih memakai
sepatu, menggelepar menuju hilir. Kulepaskan kaus kaki Rue yang kugunakan
sebagai sarung tangan dan kutekankan kaus kaki itu ke dahiku, berusaha
menyumbat aliran darahku, tapi hanya dalam hitungan menit kaus kaki itu sudah
basah dengan darah. Entah bagaimana aku berhasil sampai ke gua. Aku mengimpitkan tubuhku di
antara celah batu. Dalam sorotan bintik-bintik cahaya, kulepaskan ransel mungil
itu dari tanganku, kubuka tutupnya dan kutumpahkan semua isinya ke tanah. Satu
kotak kecil yang berisi jarum suntik. Tanpa ragu, kusuntikkan jarum ke lengan
Peeta dan perlahan-lahan kuinjeksikan isinya.
Tanganku memegang kepalaku laku turun ke paha, tanganku licin dengan darah.
Hal terakhir yang kuingat adalah betapa indahnya warna hijau-perak ngengat yang
mendarat di lekuk lenganku.
Bab 22 BUNYI hujan yang bertalu-talu menghantam atap rumah kami perlahan-lahan
menarikku kembali ke alam sadar. Namun aku berusaha kembali tidur, terbungkus
dalam kehangatan selimut, aman di dalam rumah. Samar-samar aku sadar kepalaku
sakit. Mungkin aku kena flu dan ini sebabnya aku boleh tetap berada di ranjang,
meskipun aku tahu aku sudah lama tidur. Tangan ibuku mengelus pipiku dan aku
tidak mengenyahkannya, sebagaimana yang kulakukan jika aku dalam keadaan
sadar, karena aku tak pernah ingin ibuku tahu betapa aku mendambakan sentuhan
lembut itu. Betapa aku merindukannya meskipun aku masih belum percaya
padanya. Kemudian terdengar suara, suara yang salah, bukan suara ibuku, dan aku
ketakutan. "Katniss," terdengar suara itu berkata. "Katniss, kau bisa dengar aku?"
Mataku terbuka dan rasa aman itu pun lenyap. Aku tidak berada di rumah, tidak
sedang bersama ibuku. Dalam gua yang dingin dan temaram, kakiku yang
telanjang seperti membeku meskipun diselimuti, di udara tercium bau darah yang
anyir. Wajah anak lelaki yang pucat dan tirus tampak di depanku, dan setelah
melewati kekagetanku, aku merasa lebih baik, "Peeta."
"Hei," panggilnya. "Senang bisa melihat matamu lagi."
"Sudah berapa lama aku pingsan?" tanyaku.
"Tidak yakin juga. Aku bangun kemarin sore dan kau terbaring di sampingku
dalam kubangan darah yang sangat menakutkan," kata Peeta. "Kupikir darahnya
sudah berhenti, tapi lebih baik kau jangan duduk dulu atau melakukan sesuatu."
Dengan gamang kuangkat tanganku menyentuh kepala dan ada perban di sana.
Gerakan sederhana ini membuatku lemah dan pening. Peeta mendekatkan botol ke
bibirku dan aku minum dengan haus.
"Kau sudah lebih baik," kataku.
"Jauh lebih baik. Apa pun yang kausuntikkan ke lenganku menyembuhkanku,"
katanya. "Pagi ini, hampir semua bengkak di kaki hilang."
Peeta tampaknya tidak marah aku sudah menipunya, membiusnya, lalu kabur
menuju pesta. Mungkin aku terlalu payah sekarang dan aku bakal mendengarnya
nanti ketika kondisiku lebih kuat. Tapi untuk sementara ini, sikap yang
ditampilkan Peeta hanyalah kelembutan.
"Kau sudah makan?" tanyaku.
"Maaf aku sudah menghabiskan tiga potong daging groosling itu sebelum aku
sadar bahwa makanan mesti dihemat. Jangan kuatir, aku kembali ke diet ketatku,"
katanya. "Tidak apa-apa. Baguslah, kau perlu makan. Aku akan berburu tak lama lagi,"
kataku. "Jangan terburu-buru, oke?" ujar Peeta. "Biar aku yang mengurusimu sementara
ini." Tampaknya aku juga tak punya banyak pilihan. Peeta menyuapiku potonganpotongan
daging groosling dan kismis, lalu menyuruhku minum banyak air. Dia
menggosok-gosok kakiku hingga kehangatan menjalar di sana dan membungkus
kakiku dengan jaketnya sebelum menarik kantong tidur hingga menutupi sampai
sebatas daguku. "Sepatu botmu juga kaus kakimu masih lembap dan cuaca juga tidak membantu,"
katanya. Terdengar gemuruh guntur, dan aku melihat sambaran kilat di angkasa melalui
celah di batu-batuan. Hujan menetes masuk melalui beberapa lubang di atap, tapi
Peeta telah membangun semacam kanopi di atas kepalaku dan bagian atas tubuhku
dengan menyelipkan kotak plastik di celah batu-batuan di atasku.
"Aku jadi penasaran apa yang menjadi alasan badai ini" Maksudku, siapa
sasarannya?" tanya Peeta.
"Cato dan Thresh," kataku tanpa pikir panjang. "Si Muka Rubah akan berada di
sarangnya entah di mana, dan Clove... dia melukaiku lalu..." Suaraku menghilang.
"Aku tahu Clove tewas. Aku melihatnya di langit tadi malam," kata Peeta. "Kau
membunuhnya?" "Tidak. Thresh menghancurkan tengkoraknya dengan batu," kataku.
"Untung dia tidak menangkapmu juga," kata Peeta.
Kenangan tentang pesta itu kembali sepenuhnya dan aku merasa mual. "Dia
menangkapku. Tapi dia membiarkanku pergi."
Tentu saja aku harus menceritakan pada Peeta. Tentang banyak hal yang jadi
rahasiaku karena dia terlalu sakit untuk bertanya dan aku belum siap untuk
menceritakannya kembali. Seperti ledakan itu, telingaku, kematian Rue, anak
lelaki dari Distrik 1, dan roti. Semua itu mengarah pada apa yang terjadi pada Thresh
dan bagaimana dia membayar hutangnya.
"Dia melepasmu karena dia tidak mau berutang padamu?" tanya Peeta tak
percaya. "Ya. Aku tidak berharap kau mengerti. Kau selalu hidup berkecukupan. Tapi jika
kau tinggal di Seam, aku tak perlu menjelaskannya padamu," kataku.
"Tidak perlu. Jelas aku tidak secerdas itu untuk bisa memahaminya," kata Peeta.
"Seperti roti contohnya. Bagaimana aku tak pernah bisa lupa bahwa aku berutang
padamu karena roti itu," kataku.
"Roti" Apa" Waktu kita masih kanak-kanak?" tanyanya. "Kurasa kita bisa
melupakan itu. Maksudku, kau baru saja membangkitkanku dari maut."
"Tapi kau tidak kenal aku waktu itu. Kita tak pernah bicara. Lagi pula, hadiah
pertama selalu sulit untuk dibayar. Aku takkan pernah berada di sini untuk
membantumu jika kau tidak menolongku saat itu," kataku. "Lagi pula, kenapa kau
melakukannya?" "Kenapa" Kau tahu kenapa," kata Peeta. Aku menggeleng pelan, terluka.
"Haymitch bilang kau memang sulit diyakinkan."
"Haymitch?" tanyaku. "Apa hubungannya dengan dia?"
"Tak apa-apa," kata Peeta. "Jadi Cato dan Thresh, ya" Kurasa berlebihan jika aku
berharap mereka bisa saling membunuh ya?"
Tapi pemikiran itu membuatku muram.
"Kurasa kita ingin Thresh yang tewas. Kurasa dia bisa jadi teman kita jika
tinggal di Distrik Dua Belas," kataku.
"Jadi mari kita harap Cato membunuhnya, agar kita tidak harus melakukannya,"
kata Peeta muram. Aku sama sekali tidak ingin Cato membunuh Thresh. Aku tidak mau ada peserta
lagi yang mati. Tapi ini bukanlah kata-kata yang boleh diucapkan para pemenang
di arena pertarungan. Meskipun sudah berusaha mati-matian, aku bisa merasakan
air mata mengambang di mataku.
Peeta waswas melihatku. "Ada apa" Kau kesakitan?"
Kuberikan jawaban lain pada Peeta, karena apa yang kukatakan ini juga jujur tapi
bisa dianggap sebagai kelemahan sesaat bukannya kelemahan fatal.
"Aku ingin pulang, Peeta." kataku sedih, seperti anak kecil.
"Kau akan pulang. Aku berjanji," katanya, dan dia menunduk untuk menciumku.
"Aku ingin pulang sekarang," kataku.
"Begini saja. Kau tidur saja lagi dan mimpikan rumah. Tanpa sadar kau sudah ada
dirumah," katanya. "Oke?"
"Oke," bisikku. "Bangunkan aku kalau kau ingin aku berjaga."
"Aku sudah sehat dan puas beristirahat, berkat kau dan Haymitch. Selain itu,
siapa yang tahu berapa lama ini berlangsung?" tanyanya.
Apa maksud Peeta" Badai ini" Jeda yang diberikannya kepada kami" Hunger
Games Aku tak tahu, tapi aku terlalu sedih dan letih untuk bertanya.
Sudah malam saat Peeta membangunkanku. Hujan sudah menderas, membuat
tetesan air dari langit-langit berubah menjadi arus air tanpa henti. Peeta
menaruh panci di bawah bocoran air paling besar dan menempatkan plastik agar
membelokkan air itu tidak mengenaiku. Aku merasa lebih baik, bisa duduk tanpa
jadi terlalu pening, dan aku sungguh kelaparan. Demikian juga Peeta. Jelas bahwa
dia menungguku terbangun untuk makan dan tidak sabar untuk segera makan.
Tidak banyak makanan yang tersisa. Dua potong daging groosling, campuran
umbi-umbian, dan segenggam buah kering.
"Apakah kita harus makan sedikit dan menyimpan sisanya?" tanya Peeta.
"Tidak usah, mari kita habiskan saja. Daging groosling ini sudah terlalu lama
disimpan, dan kita tak mau sakit karena makan makanan yang sudah busuk,"
kataku, dan membagi makanan jadi dua porsi yang sama banyaknya. Kami
berusaha makan pelan-pelan, tapi kamu terlalu lapar sehingga makanan habis
dalam beberapa menit. Perutku masih belum kenyang betul.
"Besok hari berburu," kataku.
"Aku takkan bisa banyak membantu," kata Peeta. "Aku tak pernah berburu
sebelumnya." "Aku yang membunuh dan kau yang masak," kataku. "Dan kau selalu bisa
mengumpulkan makanan."
"Kuharap ada semacam semak roti di luar sana," kata Peeta.
"Roti yang dikirim Distrik Sebelas untukku masih hangat," kataku sambil
menghela napas. "Sini, kunyah ini."
Kuberikan beberapa lembar daun mint dan kukunyah juga beberapa lembar.
Sulit melihat proyeksi di angkasa, tapi cukup jelas bagi kami untuk tahu tidak
ada kematian hari ini. Jadi Cato dan Thresh belum bertarung sampai mati.
"Ke mana Thresh pergi" Maksudku, ada apa di ujung lingkaran?" aku bertanya
pada Peeta. "Ladang. Sejauh mata memandang hanya terlihat rumput setinggi bahuku. Aku
tidak tahu, mungkin sebagian di antaranya tanaman gandum. Dari jauh tampak
potongan-potongan warna berbeda. Tapi tak tampak jelas jalan yang bisa dilalui,"
kata Peeta. "Aku yakin sebagian di antara rumput itu tanaman gandum. Aku juga yakin Thresh
tahu mana yang gandum," kataku. "Apakah kau ke ladang itu?"
"Tidak. Tak ada seorang pun yang mau mengejar Thresh ke ladang itu. Tempat itu
menimbulkan perasaan seram. Setiap kali aku memandang ladang itu, yang terpikir
olehku adalah segala hal yang tersembunyi. Ular, anjing gila, dan pasir isap,"
kata Peeta. "Bisa apa saja ada di sana."
Aku tidak mengatakan apa-apa tapi kata-kata Peeta mengingatkanku pada
peringatan-peringatan yang mereka berikan pada kami agar tidak melewati pagar
di Distrik 12. Sesaat, aku tidak bisa tidak membandingkannya dengan Gale, yang
akan memandang ladang itu sebagai sumber makanan potensial juga sebagai
ancaman. Thresh jelas menganggapnya seperti itu. Ini bukan berarti Peeta tak
bernyali, dia sudah membuktikan bahwa dirinya bukan pengecut. Tapi kurasa ada
hal-hal yang tak banyak kaupertanyakan ketika di rumahmu selalu tercium aroma
roti hangat, sementara Gale mempertanyakan segalanya. Apa yang bakal
dipikirkan Peeta jika mendengar kelakar tak sopan yang terlontar di antara kami
ketika aku dan Gale melanggar hukum setiap hari" Apakah Peeta akan terkejut
mendengar segala hal yang kami katakan tentang Panem" Atau semburan kata-kata
penuh amarah dari Gale tentang Capitol"
"Mungkin ada semak roti di ladang itu," kataku. "Mungkin itu sebabnya Thresh
tampak lebih gemuk daripada ketika kita memulai Hunger Games ini."
"Bisa jadi atau dia mendapat sponsor-sponsor yang sangat murah hati," kata
Peeta. "Aku penasaran, kira-kira apa yang harus kita lakukan agar Haymitch mau
mengirimi kita roti."
Kedua alisku terangkat sebelum aku ingat dia tidak tahu tentang pesan yang
dikirimkan Haymitch beberapa malam lalu. Satu ciuman sama dengan sepanci
kuah daging. Ini juga bukan sesuatu yang bisa kuceritakan tanpa pikir panjang.
Mengucapkan isi pikiranku dengan lantang sama saja dengan membocorkan
rahasia pada penonton bahwa kisah cinta kami hanyalah tipuan untuk memperoleh
simpati mereka dan pada akhirnya kami takkan mendapat makanan. Entah
bagaimana, aku harus mengembalikan keadaan. Dimulai dari sesuatu yang
sederhana. Kuulurkan tangan dan kuraih tangannya.
"Hm, dia mungkin sudah menghabiskan seluruh sumber dayanya untuk
membantuku membuatmu pingsan," kataku nakal.
"Yeah, tentang itu," kata Peeta, mengaitkan jemarunya dengan jemariku. "Jangan
coba-coba melakukan hal semacam itu lagi."
"Kau bisa apa memangnya?" tanyaku.
"Aku... aku..." Peeta kehilangan kata-kata. "Beri aku waktu sebentar."
"Apa sih masalahnya?" tanyaku sambil nyengir.
"Masalahnya kita masih hidup. Itu membuatmu makin yakin bahwa tindakanmu
benar," ujar Peeta. "Memang tindakanku benar," aku berseru.
"Tidak! Jangan lakukan, Katniss!" Genggamannya makin erat, hingga menyakiti
tanganku, dan ada kemarahan sungguh-sungguh dalam suaranya. "Jangan mati
demi aku. Kau tak boleh lagi melakukan apa pun untuk membantuku. Setuju?"
Aku terkejut dengan intensitas kemarahannya tapi aku menyadari adanya
kesempatan yang baik memperoleh makanan, jadi aku mengikuti permainannya.
"Mungkin aku melakukannya untuk diriku sendiri, Peeta, pernahkah kau berpikir
seperti itu" Mungkin kau bukan satu-satunya yang... yang kuatir tentang...
seperti apa rasanya jika..."
Aku tergagap. Aku tidak pandai berkata-kata seperti Peeta. Dan ketika aku
bicara, bayangan bahwa aku bisa saja kehilangan Peeta menghantamku lagi dan aku sadar
betapa aku tidak ingin dia mati. Dan ini bukan tentang sponsor. Bukan tentang
apa

The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan terjadi di distrik. Bukan tentang aku tidak mau sendirian. Aku tidak
mau kehilangan anak lelaki yang memberiku roti.
"Jika apa, Katniss?" tanya Peeta lembut.
Aku berharap bisa menutup semua kamera, menghalangi momen ini dari tatapan
mata ingin tahu di seantero Panem. Bahkan jika itu berarti kehilangan makanan.
Apa pun yang kurasakan, perasaanku adalah urusanku bukan urusan orang lain.
"Itu jenis topik yang Haymitch bilang padaku agar tidak kubahas," kataku
menghindar, meskipun Haymitch tak pernah bicara seperti itu. Sesungguhnya, dia
mungkin sedang mengutukku sekarang karena tidak menggunakan kesempatan
dengan baik. Tapi Peeta berhasil menangkap kesempatan ini.
"Kalau begitu, biar kujawab sendiri," katanya, dan bergerak mendekatiku.
Ini adalah ciuman pertama yang sama-sama kami sadari sepenuhnya. Tak satu pun
dari kami sedang demam, kesakitan, atau tak sadarkan diri. Bibir kami tak ada
yang terbakar demam atau sedingin es. Ini adalah ciuman pertama yang kulakukan
dengan dada berdebar. Hangat dan penuh rasa ingin tahu. Ini adalah ciuman
pertama yang membuatku menginginkan ciuman lainnya.
Tapi aku tidak mengerti. Yah, aku mendapat ciuman keduaku, tapi hanya kecupan
ringan di ujung hidungku karena perhatian Peeta teralih.
"Kurasa lukamu berdarah lagi. Ayo, berbaringlah. Lagi pula, sudah waktunya
tidur," kata Peeta. Kaus kakiku sudah cukup kering untuk bisa kupakai. Kusuruh Peeta memakai
jaketnya lagi. Rasa dingin yang lembap seakan menusuk tulangku, Peeta pasti
sudah setengah beku. Aku berkeras berjaga lebih dulu, meskipun kami berdua
berpikir tak ada seorang pun yang bakal datang dengan cuaca seperti ini. Tapi
Peeta menolak kecuali aku juga masuk kantong tidur, dan aku menggigil begitu
keras sehingga tak ada gunanya menolak Peeta. Berbeda dengan dua malam lalu,
ketika kurasakan Peeta sejuta kilometer jauhnya dariku, saat ini aku justru
terkejut dengan kesigapannya. Setelah kami berdua berada di dalam kantong tidur, dia
menaruh kepalaku di atas lengannya yang digunakannya sebagai bantal, sementara
tangan satunya lagi memelukku penuh perlindungan bahkan ketika dia tertidur.
Sudah lama sekali tak ada seorang pun yang memelukku seperti ini. Sejak ayahku
meninggal dan aku berhenti memercayai ibuku, tak ada satupun pelukan yang
membuatku senyaman ini. Dengan bantuan kacamata malam,aku berbaring melihat tetesan-tetesan air
memantul dilantai gua. Beberapa kali aku ketiduran lalu terbangun, merasa
bersalah dan marah pada diriku sendiri. Setelah 3 atau 4 jam aku tak tahan
lagi,akhirnya kubangunkan Peeta karena mataku tak mau lagi membuka. Dia
tampaknya tak keberatan. "Besok setelah kering, akan kucarikan tempat yang sangat tinggi dipohon supaya
kita bisa tidur dengan damai," aku berjanji padanya lalu tertidur.
Tapi besoknya cuaca tak lebih baik.Hujan deras turun tanpa henti seakan juri
pertarungan berniat membanjiri kami. Petir menggelegar begitu keras seakan
mengguncang bumi. Peeta berniat keluar mencari makanan, tapi kukatakan
padanya usaha itu bakal sia-sia dalam badai seperti ini. Peeta tau aku
benar,tapi perut kami yang keroncongan makin lama makin sakit.
Hari berlalu hingga malam tiba dan tak ada perubahan pada cuaca. Haymitch
adalah satu-satunya harapan kami, tapi tak ada apapun yang dikirimnya. Entah
karena kekurangan uang - segalanya harus dibayar dengan harga mahal ini - atau
karena dia tak puas dengan penampilan kami. Mungkin dia tak puas. Harus kuakui
penampilan kami tak membuat penonton terpaku ditempatnya. Kami kelaparan,
lemah karena luka-luka kami, berusaha tak membuat luka kami terbuka lagi. Kami
memang duduk berimpitan terbungkus kantong tidur, tapi tujuannya adalah agar
tetap hangat. Kegiatan paling seru yang kami lakukan adalah tidur siang.
Aku tak yakin bagaimana cara kami bisa sampai ke kegiatan asmara. Ciuman tadi
malam menyenangkan,tapi mengusahakan ciuman lagi perlu perencanaan. Selain
itu,ciuman jelas tak cukup lagi karena kami tak mendapat makanan tadi malam.
Firasatku Haymitch tak sekadar mencari kasih sayang fisik, dia menginginkan
sesuatu yang lebih personal. Aku payah dalam urusan ini, tapi Peeta tidak.
Mungkin pendekatan terbaik adalah dengan membuatnya bicara.
"Peeta," kataku santai. "Waktu wawancara kaubilang kau sudah lama naksir aku.
Lamanya sejak kapan?"
"Coba kuingat-ingat. Kurasa pada hari pertama sekolah. Kita berumur 5 tahun. Kau
pake baju kotak-kotak merah dan rambutmu.. dikepang dua bukan satu. Ayahku
menunjukmu ketika kita menunggu untuk berbaris," kata Peeta.
"Ayahmu" Kenapa?" tanyaku.
"Dia bilang, 'Lihat anak perempuan itu" Aku ingin menikahi ibunya, tapi dia
kawin lari dengan penambang batubara,'" ujar Peeta.
"Apa" Kau pasti mengarang cerita ini!" aku berseru.
"Tidak, ini sungguhan," kata Peeta. "Lalu kubilang, 'Penambang batubara" Kenapa
mau dengan penambang batubara kalau ibunya bisa menikah dengan ayah"' Dan
ayahku bilang, 'karena ketika ayahnya bernyanyi.. bahkan burung pun diam
mendengarkan.' " "Itu memang betul. Burung-burung itu mendengarkan. Maksudku, dulu mereka
mendengarkan ayahku,"kataku. Aku terpana dan amat tersentuh memikirkan
tukang roti menceritakan semua ini pada Peeta. Aku jadi tersadar bahwa
keenggananku bernyanyi,ketidak pedulianku pada musik sesungguhnya bukan
karena aku menganggap musik cuma menghabiskan waktu. Mungkin karena musik
terlampau mengingatkanku pada ayahku.
"Jadi hari itu, di kelas musik, guru kita bertanya siapa yang tau lagu lembah.
Tanganmu terangkat tinggi. Dia menyuruhmu berdiri di atas kursi kecil dan kau
menyanyikan lagu itu pada kami. Dan aku berani sumpah, semua burung di luar
jendela terdiam mendengarmu,"kata Peeta.
"Yang benar saja," kataku sambil tertawa.
"Benar kok. Sungguh. Dan ketika lagumu berakhir, aku tau - sama seperti
ibumu - aku sudah takluk padamu," ujar Peeta. "Lalu selama 11 tahun selanjutnya,
aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara denganmu."
"Yang ternyata tak berhasil," tambahku.
"Yang ternyata tak berhasil. Jadi bisa dibilang ketika namaku yang tercabut
dalam pemungutan, itu suatu keberuntungan." kata Peeta.
Sesaat aku merasakan kegembiraan yang konyol, lalu rasa heran menguasaiku.
Karena kami seharusnya mengarang semua cerita ini, berakting jatuh cinta bukan
jatuh cinta sungguhan. Tapi cerita Peeta memiliki unsur kebenaran. Bagian
tentang ayahku dan burung-burung itu. Aku memang bernyanyi pada hari pertama sekolah,
walaupun aku tak ingat lagu apa yang kunyanyikan. Dan baju kotak-kotak merah..
aku pernah punya baju seperti itu, yang kulungsurkan ke Prim dan jadi kain lap
setelah kematian ayahku. Ceritanya juga menjelaskan hal lain. Kenapa Peeta rela dipukul untuk bisa
memberiku roti pada hari ketika aku kehabisan daya itu.Jadi jika semua detail
cerita itu benar.. mungkinkah semua ini benar"
"Kau punya ingatan.. yang luar biasa," kataku terbata-bata.
"Aku ingat segalanya tentang dirimu," kata Peeta, sambil menyelipkan rambut
yang terlepas ke belakang telingaku. "Kaulah yang tak memperhatikannya."
"Sekarang aku memperhatikan,"kataku.
"Yah, aku tak punya banyak pesaing disini," kata Peeta.
Aku ingin menarik diri, memasang penutup pada kamera lagi. Tapi aku tau aku tak
bisa melakukannya. Seakan-akan aku bisa mendengar Haymitch berbisik di
telingaku,'Katakan! Katakan!'
Aku menelan ludah dengan susah payah dan membiarkan kata-kata itu terucap.
"Kau tak punya pesaing dimanapun."
Lalu kali ini, akulah yang mendekat.
Bibir kami baru saja bersentuhan ketika suara berdebam di luar membuat kami
terlonjak. Busurku terangkat, siap ditembakkan. Peeta mengintip di antara
bebatuan lalu bersorak dan dia sudah berada di bawah hujan, kemudian dia
menyerahkan sesuatu padaku. Parasut perak yang menempel pada keranjang.
Langsung kubuka penutupnya dan di dalamnya ada banyak makanan lezat, roti
segar, keju kambing, apel dan yang paling hebat dari semuanya ada wadah berisi
sup daging domba di atas nasi. Makanan yang kukatakan pada Caesar Flickerman
sebagai hal terbaik yang diberikan Capitol.
Peeta kembali ke gua, wajahnya tampak cerah. "Kurasa Haymitch akhirnya bosan
melihat kita kelaparan."
"Kurasa begitu," jawabku.
Tapi otakku bisa mendengar kata-kata Haymitch yang penuh kepuasan dan
menjengkelkan, "Ya, itu yang aku cari, sweetheart."
Bab 23 SEMUA sel tubuhku ingin aku melahap rebusan daging domba dan
menjejalkannya ke mulutku, langsung dengan tangan. Tapi suara Peeta
menghentikanku. "Lebih baik kita makan rebusan daging itu pelan-pelan. Ingat
malam pertama kita di kereta" Makanan berlemak membuatku mual padahal saat
itu aku tak sedang kelaparan."
"Kau benar. Padahal sekarang aku bisa menghirup semuanya!" kataku penuh
penyesalan. Tapi aku tak melakukannya. Kami bersikap logis. Kami makan sepotong roti,
setengah apel, serta nasi dan rebusan daging yang besarnya seukuran telur ayam.
Kupaksa diriku makan rebusan daging itu dalam sendokan-sendokan kecil -
mereka bahkan mengirimi kami piring-piring dan peralatan makan dari perak -
menikmati setiap gigitanku. Setelah kami selesai makan, aku memandangi piring
berisi makanan dengan penuh harap. "Aku masih mau tambah."
"Aku juga. Begini saja.. kita tunggu selama satu jam," kata Peeta. "Kalau
makanan kita tetap di perut, kita makan seporsi lagi."
"Setuju," kataku. "Dan ini akan jadi satu jam yang panjang."
"Mungkin tak selama itu," kata Peeta. "Kaubilang apa tadi sebelum makanan
turun" Sesuatu tentang... aku... tak ada pesaing... hal terbaik yang pernah
terjadi padamu.." "Aku tak ingat bagian terakhir itu," kataku, berharap cahaya disini terlalu
temaram sehingga kamera tak bisa menangkap wajahku yang merona.
"Oh, betul juga. Itu memang cuma ada dalam pikiranku," kata Peeta. "Geser
sedikit, aku kedinginan."
Aku memberinya ruang didalam kantong tidur. Kami bersandar di dinding gua,
kepalaku di bahunya, kedua lengannya membungkus tubuhku. Aku bisa merasakan
Haymitch mendorongku untuk terus berakting.
"Jadi sejak umur lima tahun, kau tak pernah memperhatikan gadis lain?" aku
bertanya padanya. "Tidak juga, aku memperhatikan hampir semua gadis, tapi tak ada yang memberi
kesan abadi seperti dirimu," kata Peeta.
"Aku yakin orangtuamu akan girang mendengarmu menyukai gadis dari Seam,"
kataku. "Aku tak peduli. Lagipula, kalau kita berhasil pulang, kau tak lagi menjadi
gadis dari Seam, kau akan jadi gadis dari Desa Pemenang," katanya.
Itu benar. Kalau kami menang, kami masing-masing akan mendapat rumah di sisi
kota yang disediakan untuk para pemenang Hunger Games. Dulu, ketika Hunger
Games dimulai, Capitol membangun 12 rumah bagus di masing-masing distrik.
Tentu saja, di distrik kami hanya satu yang dihuni. Sebagian besar rumah itu tak
pernah dihuni sama sekali.
Pikiran yang mengganggu menghantamku. "Tapi tetangga kita satu-satunya cuma
Haymitch! "Ah, itu bakal menyenangkan," ujar Peeta, sambil mempererat pelukannya. "Kau,
aku dan Haymitch. Sangat nyaman. Piknik, ulangtahun, duduk di dekat perapian
pada malam-malam musim panas sambil mengulang cerita tentang Hunger
Games." "Sudah kubilang, dia membenciku!" kataku, tapi aku tak bisa menahan diri untuk
tidak tertawa membayangkan Haymitch jadi sahabat baruku.
"Kadang-kadang saja. Saat dia tak mabuk, aku tak pernah mendengarnya bicara
jelek tentang dirimu," kata Peeta.
"Dia selalu mabuk!" aku protes.
"Betul juga. Siapa yang kupikirkan" Oh, aku tau. Cinna yang menyukaimu. Tapi
itu terutama karena kau tak berusaha kabur ketika dia membakarmu," ujar Peeta.
"Sebaliknya, Haymitch.. well, kalau aku jadi kau, aku akan menghindari Haymitch
sepenuhnya. Dia membencimu."
"Seingatku kau bilang aku favoritnya," kataku.
"Dia membenciku lebih daripada dia membencimu," kata Peeta. "Kurasa manusia
secara umum bukanlah sesuatu yang dia sukai."
Aku tahu penonton akan menikmati ejekan kami terhadap Haymitch. Dia sudah
lama ikut Hunger Games dan bisa di bilang dia seperti sahabat lama bagi sebagian
penonton. Dan setelah dia meluncur jatuh dipanggung pada hari pemungutan,
semua orang mengenalnya. Pada saat ini, mereka akan menyeretnya keluar dari
ruang kontrol untuk diwawancarai tentang kami. Entah dusta apa yang
dikatakannya tentang kami. Haymitch memiliki kekurangan karena kebanyakan
mentor memiliki partner, pemenang lain yang membantu mereka, sementara
Haymitch harus selalu siaga sepanjang waktu. Serupa seperti apa yang kurasakan
ketika sendirian di arena. Aku ingin tau bagaimana cara Haymitch bertahan,
dengan minuman, perhatian dan tekanan untuk menjaga kami tetap hidup.
Lucu rasanya. Secara pribadi aku dan Haymitch tak bisa terlalu akrab, tapi
mungkin Peeta tak salah menyebut kami mirip karena dia tampaknya bisa
berkomunikasi denganku melalui ketepatan waktu pemberian hadiah-hadiahnya.
Seperti bagaimana dia menahan diri untuk tak memberiku air karena tahu aku
sudah dekat sumber air dan bagaimana aku tahu sirup obat tidur itu bukan sesuatu
yang diperlukan untuk mengurangi rasa sakit Peeta dan bagaimana aku tau
sekarang aku harus mengikuti peranku dalam urusan asmara ini. Sesungguhnya dia
tak berusaha terlalu keras untuk berhubungan dengan Peeta. Mungkin dia pikir
kuah daging cuma menjadi semangkuk kuah daging bagi Peeta, sementara aku
melihat ada maksud lain dibalik semua semangkuk kuah daging.
Sebuah pemikiran menghantamku, dan aku heran kenapa pernyataan ini butuh
waktu lama untuk muncul ke permukaan. Mungkin karena baru belakangan ini aku
memandang Haymitch dengan rasa ingin tau. "Menurutmu bagaimana dia
melakukannya?" "Siapa" Melakukan apa?" tanya Peeta.
"Haymitch. Menurutmu bagaimana caranya hingga dia bisa menang Hunger
Games?" tanyaku. Peeta berpikir sebelum menjawab. Tubuh Haymitch kekar, meskipun tak sekekar
Cato dan Thresh. Dia juga tidak terlalu tampan sampai para sponsor
menghujaninya dengan hadiah. Dan mukanya selalu masam, sulit membayangkan
ada orang yang mau bersekutu dengannya. Hanya ada satu cara Haymitch bisa
menang, dan Peeta mengucapkannya tepat ketika aku menemukan jawabannya.
"Dia lebih cerdik dari peserta-peserta lain," kata Peeta.
Aku mengangguk, membiarkan pembicaraan terhenti begitu saja. Aku penasaran
apakah Haymitch sadar cukup lama untuk bisa membantuku dan Peeta. Karena dia
pikir kami punya kecerdasan yang cukup untuk bertahan hidup. Mungkin dia tidak
selalu jadi pemabuk. Mungkin, pada mulanya, dia berusaha membantu para
peserta. Tapi keadaan kemudian jadi tak tertahankan. Pasti buruk rasanya menjadi
mentor dua anak kemudian kau melihatnya mati. Tahun demi tahun. Aku tersadar
jika aku berhasil lolos dari sini, aku juga akan menjadi mentor. Menjadi mentor
bagi anak perempuan dari distrik 12. Gagasan itu begitu menjijikkan, sehingga
aku mengenyahkannya dari otakku.
Sekitar setengah jam berlalu sebelum aku memutuskan untuk makan lagi. Peeta
juga terlalu lapar untuk berdebat. Saat aku menghabiskan 2 sendok kecil rebusan
daging domba dan nasi, kami mendengar lagu kebangsaan mulai dinyanyikan.
Peeta mengintip ke langit melalui celah di bebatuan.
"Tak bakal ada yang bisa dilihat dilangit malam ini," kataku, jauh lebih
tertarik pada rebusan dagingnya. "Tidak terjadi apa-apa, kalau tidak kita pasti sudah
mendengar bunyi meriam."
"Katniss," kata Peeta perlahan.
"Apa" Rotinya juga harus dibagi dua?" tanyaku.
"Katniss," panggilnya sekali lagi, tapi aku ingin bisa tak menggubrisnya.
"Aku akan bagi dua satu roti ini. Tapi kejunya kusimpan untuk besok ya," kataku.
Kulihat Peeta sedang memandangiku lekat-lekat. "Apa?"
"Thresh tewas," kata Peeta.
"Tidak mungkin," kataku.
"Mereka pasti menembakkan meriam saat guntur dan kita tak mendengarnya," kata


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peeta. "Kau yakin" Maksudku, diluar hujan deras. Mungkin kau salah liat," kataku.
Kudorong dia menjauh dari bebatuan dan mengintip kelangit yang gelap dan
berhujan. Selama 10 detik, aku melihat cuplikan foto Thresh lalu dia menghilang.
Cuma itu. Aku merosot duduk tersandar di bebatuan, sejenak lupa pada tugas yang
ada di tanganku. Thresh tewas. Seharusnya aku gembira, kan" Berkurang satu lagi
peserta yang harus dihadapi. Peserta yang kuat pula. Tapi aku tak gembira. Yang
bisa kupikirkan tentang Thresh adalah bagaimana dia melepaskanku,
membiarkanku lari karena Rue, yang tewas karena tombak di perutnya...
"Kau baik-baik saja?" tanya Peeta.
Aku mengangkat bahu dengan gaya tak peduli dan memeluk kedua sikuku,
mendekapnya erat-erat. Aku harus mengubur rasa sakit yang sesungguhnya
kurasakan, karena siapa yang akan memasang taruhan pada peserta yang menangisi
kematian lawan-lawannya" Rue berbeda. Kami bersekutu. Dia juga masih sangat
muda. Tapi tak seorangpun akan memahami kesedihanku pada pembunuhan
terhadap Thresh. Kata itu membuatku tersentak. Pembunuhan! Untungnya, aku tak
mengucapkannya keras-keras. Kata itu takkan memberiku poin lebih di arena
pertarungan. Malahan aku berkata, "Hanya saja... kalau kita tak menang... aku
ingin Thresh yang menang. Karena dia melepasku. Dan karena Rue."
"Yeah, aku tau," kata Peeta. "Tapi ini berarti kita selangkah lebih dekat menuju
distrik 12." Dia mendorong makanan ketanganku. "Makan. Masih hangat."
Kugigit sepotong daging untuk menunjukkan aku tak peduli, tapi rasanya seperti
lem di mulutku dan dengan susah payah aku menelannya. "Itu berarti Cato akan
kembali memburu kita," kataku.
"Dan dia mendapat persediaan barangnya lagi," kata Peeta.
"Aku berani taruhan, dia pasti terluka," kataku.
"Kenapa kau bilang begitu?" tanya Peeta.
"Karena Thresh tak bakal menyerah tanpa melawan. Dia sangat kuat, maksudku,
dulunya dia sangat kuat. Dan mereka berada di teritori Thresh," kataku
menjelaskan. "Bagus," kata Peeta. "Semakin terluka Cato, semakin baik. Kira-kira bagaimana
keadaan si Muka Rubah ya?"
"Oh, dia baik-baik saja," kataku dengan jengkel. Aku masih marah karena dia
bisabisanya berpikir untuk bersembunyi di Cornucopia sementara aku tidak.
"Mungkin lebih mudah menangkap Cato daripada dia."
"Mungkin mereka akan saling mengejar dan kita bisa pulang," kata Peeta. "Tapi
lebih baik kita ekstra waspada dalam berjaga-jaga. Aku tertidur beberapa kali."
"Aku juga," kataku mengakui. "Tapi tidak malam ini."
Kami menghabiskan makanan tanpa bicara lalu Peeta menawarkan diri untuk
berjaga lebih dulu. Aku tidur di dalam kantong tidur di samping Peeta, menarik
tudung kepalaku menutupi wajahku agar tersembunyi dari kamera. Aku butuh
ruang privasi agar bisa mengeluarkan segala bentuk emosi di wajahku tanpa
terlihat semua orang. Di bawah tudung, dalam hati aku mengucapkan selamat
tinggal pada Thresh dan berterima kasih padanya karena membiarkanku hidup.
Aku berjanji untuk mengenangnya, dan jika bisa, aku ingin melakukan sesuatu
untuk membantu keluarganya dan keluarga Rue kalau aku menang. Lalu aku
tertidur, nyaman karena perutku kenyang dan kehangatan Peeta yang berada
disampingku. Saat Peeta membangunkanku, yang terekam dalam otakku adalah aroma keju
kambing. Dia memegang setengah potong roti dengan olesan krim putih dan
potongan-potongan apel diatasnya.
"Jangan marah," katanya. "Aku harus makan lagi. Ini setengah bagianmu."
"Oh, baguslah," kataku dan langsung melahapnya dalam gigitan besar. Rasa keju
yang berlemak sama seperti yang dibuat Prim, sementara apelnya manis dan
garing. "Mmm" "Kami membuat keju kambing dan kue tar apel ditoko roti," katanya.
"Pasti mahal," kataku.
"Terlalu mahal untuk di makan keluargaku. Kecuali makanannya sudah basi. Tentu
saja, nyaris semua yang kami makan sudah basi," kata Peeta, menarik kantong
tidur membungkus tubuhnya. Kurang dari semenit, dia sudah mendengkur.
Huh. Aku selalu berpikir pemilik toko memiliki hidup yang lebih ringan. Memang
benar, Peeta selalu punya makanan. Tapi menjalani hidupmu dengan roti basi, roti
tawar yang keras dan kering, yang tak diinginkan orang lain sepertinya
menimbulkan perasaan tertekan. Berbeda dengan kami, karena aku membawa
makanan setiap hari, kebanyakan makananku masih segar dan hijau.
Pada jam jagaku, hujan akhirnya berhenti, tak berhenti pelan-pelan tapi berhenti
mendadak. Air berhenti turun dan hanya ada sisa-sisa tetesan air dari
cabangcabang pohon dan suara aliran air sungai yang deras dibawah kami. Bulan
purnama yang indah muncul, bahkan tanpa kacamata malam aku bisa melihat pemandangan
di luar. Aku tidak bisa memutuskan apakah bulan itu sungguhan atau hanya
proyeksi buatan juri pertarungan.
Sudah berapa lama aku pergi" Kuperkirakan sudah dua minggu aku berada di
arena dan ada seminggu persiapan di Capitol. Mungkin bulan sudah menyelesaikan
putarannya. Entah kenapa aku ingin sekali bulan itu menjadi bulanku, bulan yang
sama yang kulihat dari hutan di sekitar distrik 12. Bulan itu akan jadi sesuatu
yang bisa menjadi tempatku berpegangan dalam dunia sureal di arena ini, dimana
keaslian segalanya harus diragukan.
Tinggal kami berempat yang tersisa.
Untuk pertama kalinya aku membiarkan diriku sungguh-sungguh berpikir tentang
kemungkinan bahwa aku mungkin bisa pulang. Menuju ketenaran. Memperoleh
kekayaan. Kerumahku di Desa Pemenang. Ibuku dan Prim akan tinggal bersamaku.
Tidak ada lagi rasa takut kelaparan. Semacam rasa kebebasan. Tapi.. lalu apa"
Seperti apa kujalani hidupku setiap hari" Kebanyakan hariku dihabiskan dengan
mencari makanan. Bila itu direnggut dariku, aku tak tau lagi siapa diriku, apa
identitasku. Pemikiran itu agak membuatku takut. Aku memikirkan Haymitch,
dengan semua uang yang dimilikinya. Hidupnya telah menjadi apa" Dia tinggal
sendirian, tanpa istri dan anak, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
mabuk-mabukan. Aku tak ingin berakhir seperti itu.
"Tapi kau takkan sendirian," aku berbisik pada diriku sendiri. Aku punya ibuku
dan Prim. Yah, untuk sementara. Kemudian... aku tak ingin memikirkan saat itu,
ketika Prim tumbuh dewasa, ibuku telah meninggal. Aku tau aku takkan pernah
menikah, karena aku tak mau mengambil resiko untuk membawa anak ke dunia
ini. Karena satu-satunya hal yang tak bisa dijamin oleh pemenang adalah
keselamatan anak-anakmu sendiri. Nama anak-anakku akan masuk kedalam
pemungutan seperti nama anak-anak lain. Dan aku bersumpah takkan pernah
membiarkannya terjadi. Matahari akhirnya bersinar, cahayanya menerobos diantara celah-celah bebatuan
dan menyinari wajah Peeta. Kalau kami berhasil pulang, akan berubah seperti
apakah Peeta" Anak lelaki yang baik hati dan membingungkan ini, yang bisa
menghasilkan kebohongan dengan begitu meyakinkan ke seantero Panem sehingga
percaya bahwa dia jatuh cinta setengah mati padaku dan aku harus mengakui
bahwa ada momen-momen ketika dia juga membuatku percaya. Paling tidak, kami
akan berteman, pikirku. Tak ada yang akan mengubah kenyataan bahwa kami
saling menyelamatkan satu sama lain disini. Dan diluar semua itu, dia selalu
menjadi anak lelaki dengan roti. Sahabat baik. Apapun diluar persahabatan... dan
aku merasa mata kelabu Gale mengawasiku mengawasi Peeta, nun jauh dari
Distrik 12. Rasa tak nyaman membuatku bergerak. Aku bergerak mendekat dan
mengguncang-guncangkan bahu Peeta. Matanya membuka setengah mengantuk
dan ketika terfokus padaku, dia menarikku kebawah lalu memberiku ciuman
panjang. "Kita menyia-nyiakan waktu berburu," kataku ketika akhirnya ciuman kami
terlepas. "Aku tak akan menyebut ini sia-sia," katanya seraya meregangkan tubuhnya
sembari duduk. "Jadi kita berburu dengan perut kosong agar lebih bersemangat?"
"Bukan kita," kataku. "Kita makan kenyang agar punya tenaga."
"Aku ikut," kata Peeta. Tapi aku bisa melihat dia terkejut ketika aku membagi
semua sisa rebusan daging domba dan menyerahkan sepiring besar dengan
makanan bertumpuk padanya. "Semua ini?"
"Kita akan mendapat makanan hari ini," kataku dan kami berdua menghabiskan isi
piring kami. Meskipun sudah dingin, makanan ini adalah makanan terlezat yang
pernah kucicipi. Kutaruh garpuku dan kubersihkan sisa-sisa kuah dipiring dengan
jariku. "Aku bisa merasakan Effie Trinket bergidik melihat tingkahku."
"Hei, Effie, lihat ini!" seru Peeta. Dia melempar garpunya kebelakang dan
menjilati piringnya hingga bersih sambil membuat suara-suara berisik dan puas.
Kemudian dia meniupkan ciuman kepadanya dan berseru, "Kami merindukanmu,
Effie!" Kututup mulutnya dengan tanganku, tapi aku tertawa. "Hentikan! Bisa saja Cato
ada diluar gua ini."
Peeta menyambar tanganku menjauh.
"Aku tak peduli. Kau ada disini untuk melindungiku sekarang," kata Peeta dan
menarikku mendekat. Setelah kami berberes dan berdiri diluar gua kami, suasana hati kami langsung
berubah serius. Seakan-akan selama beberapa hari terakhir, terlindung dibalik
bebatuan dan hujan serta Cato yang disibukkan dengan Thresh, kami diberi
kelonggaran, semacam liburan. Sekarang, meskipun hari ini cerah dan hangat,
kami sama-sama merasakan bahwa kami sudah kembali ke Hunger Games
sepenuhnya. Kuberikan pisauku pada Peeta, karena senjata apapun yang pernah di
milikinya sekarang sudah tak ada lagi, dia menyelipkan pisau itu di ikat
pinggangnya. Tujuh anak panahku yang tersisa bergoyang-goyang di wadahnya.
Aku tak boleh kehilangan anak panah lagi.
"Dia akan memburu kita sekarang," kata Peeta. "Cato bukanlah orang yang akan
menunggu mangsanya lewat."
"Kalau dia terluka...," kataku.
"Tak masalah," kata Peeta. "Kalau dia bisa bergerak, dia akan datang."
Hujan lebat membuat air sungai lebih tinggi 1-2 meter. Kami berhenti disana
untuk mengisi air kami. Kuperiksa jerat yang kupasang beberapa hari lalu dan ternyata
kosong. Tak mengherankan dalam cuaca buruk sebelumnya. Selain itu, aku belum
melihat banyak binatang atau tanda-tanda keberadaan mereka di area ini.
"Kalau kita ingin makanan, sebaiknya kita pergi ke wilayah berburuku yang lama,"
kataku. "Terserah. Beritahu aku apa yang harus kulakukan," kata Peeta.
"Buka matamu," kataku. "Sebisa mungkin berjalanlah di atas batu-batu, tak perlu
meninggalkan jejak yang bisa diikutinya. Dan pasang telinga buat kita berdua."
Sudah jelas bahwa ledakan itu merusak pendengaran sebelah kiriku secara
permanen. Aku berjalan di dalam air untuk menutup jejak kami sepenuhnya, tapi aku tak
yakin kaki Peeta sanggup menghadapi arus air. Walaupun obat itu bisa
menyembuhkan infeksinya, kondisinya masih lemah. Dahiku yang luka kena pisau
terasa sakit, tapi pendarahan sudah berhenti setelah tiga hari. Tapi aku memakai
Sang Pembantai 2 Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua Durjana Pemetik Bunga 1
^