Pencarian

The Hunger Games 6

The Hunger Games Karya Suzanne Collins Bagian 6


perban di kepalaku, seandainya saja kelelahan fisik membuat lukaku berdarah
lagi. Saat kami menuju hulu sungai, kami melewati tempat aku menemukan Peeta yang
berkamuflase waktu itu. Untungnya, hujan deras dan sungai yang meluap membuat
tanda-tanda tempat persembunyian Peeta tak kelihatan lagi. Itu berarti, jika
diperlukan kami bisa kembali ke gua kami. Kalau tidak, aku tak berani mengambil
resiko itu jika Cato mengejar kami.
Batu-batu besar berubah jadi batu-batu berukuran sedang dan akhirnya menjadi
kerikil, kemudian, aku lega ketika kami kembali ke rumpun-rumpun pohon pinus
dan dasar hutan yang menanjak yang menanjak perlahan. Untuk pertama kalinya,
aku sadar kami punya masalah. Berjalan d iwilayah berbatu-batu dengan kaki yang
terluka pastinya akan menimbulkan suara. Bahkan saat menginjak rumpun pohon
yang paling halus pun, Peeta berisik. Maksudku berisik, seakan dia menghentakkan
kakinya keras-keras. Aku menoleh dan memandangnya.
"Apa?" tanyanya.
"Jangan terlalu berisik saat berjalan," kataku. "Lupakan Cato, kau membuat kabur
semua kelinci dalam radius tiga kilometer."
"Benarkah?" tanya Peeta. "Maaf, aku tak tau."
Kemudian kami berjalan lagi dan Peeta sedikit lebih baik, tapi meskipun dengan
satu telinga saja, Peeta membuatku terlonjak.
"Bisa kaulepas sepatu botmu?" aku memberi usul.
"Disini?" tanya Peeta tak percaya, seakan aku menyuruhnya berjalan telanjang
kaki diatas arang panas. Aku harus mengingatkan diriku bahwa dia tak terbiasa dengan
hutan dan itu menakutkan, tempat terlarang diluar distrik 12. Aku teringat Gale,
dengan langkah kakinya yang lembut. Kadang-kadang mengerikan bila
membayangkan betapa minimalnya suara yang dihasilkan Gale, bahkan ketika
daun-daun sudah berguguran di tanah dan menjadi tantangan sendiri bagi kami
untuk bergerak tanpa membuat takut buruan.
"Ya," kataku dengan sabar. "Aku juga akan melepas sepatuku. Jadi kita berdua
akan lebih tak bersuara."
Seolah-olah aku juga berisik. Jadi kami berdua melepas sepatu dan kaus kaki
kami. Meskipun lebih baik, tapi aku berani sumpah Peeta sepertinya berusaha untuk
menginjak patah setiap ranting yang ada di bawah kakinya.
Tidak heran, meskipun butuh waktu beberapa jam untuk tiba di kampku dan Rue,
aku tidak berhasil memanah satu pun buruan. Kalau arus air sungai lebih tenang,
aku mungkin bisa menangkap ikan, tapi arus masih deras. Ketika kami beristirahat
dan minum air, aku berusaha memikirkan solusi masalah ini. Idealnya, aku
meninggalkan Peeta sekarang dan menyuruhnya melakukan tugas mudah seperti
mengumpulkan umbi-umbian lalu aku pergi berburu, tapi dia akan sendirian hanya
berbekal pisau untuk membela dirinya melawan tombak Cato dan kekuatan
supernya. Jadi aku ingin sekali bisa menyembunyikannya di tempat yang aman,
lalu berburu, kemudian kembali menemuinya. Tapi aku punya firasat egonya
takkan mau menerima usulan itu.
"Katniss," katanya. "Kita perlu berpencar. Aku tahu aku membuat takut buruan."
"Hanya karena kakimu sakit," kataku, karena menurutku ini hanya bagian kecil
dari masalah kami. "Aku tahu," kata Peeta. "Kenapa kau tidak terus bergerak" Tunjukkan padaku
tumbuh-tumbuhan yang harus kukumpulkan, dengan begitu kita berdua bisa ada
gunanya." "Tidak ada gunanya jika Cato datang dan membunuhmu." Aku berusaha
mengatakannya baik-baik, tapi masih terdengar seolah-olah aku menganggapnya
manusia lemah. Yang mengejutkan Peeta malah tertawa. "Dengar, aku bisa menangani Cato. Aku
pernah melawannya, ingat?"
Yeah, dan hasilnya hebat. Kau berakhir sekarat di lumpur sungai. Itu sebenarnya
yang ingin kuucapkan tapi aku tak bisa mengatakannya. Lagipula dia memang
menyelamatkanku melawan Cato. Aku mencoba taktik lain.
"Bagaimana jika kau memanjat pohon dan berjaga-jaga sementara aku berburu?"
kataku, berusaha membuatnya seperti pekerjaan yang maha penting.
"Bagaimana jika kau menunjukkan padaku apa saja tanaman yang bisa dimakan di
sekitar sini dan pergilah cari daging untuk kita," kata Peeta, meniru nada
suaraku. Aku mendesah dan menunjukkan umbi-umbian apa yang bisa digalinya. Kami
butuh makanan, itu tak bisa diganggu gugat lagi. Sebuah apel, dua potong roti
dan keju seukuran buah plum takkan bisa bertahan lama. Aku akan berada di dekatdekat
sini dan berharap jarak Cato masih jauh.
Kuajari Peeta bersiul - bukan melodi seperti yang diajarkan Rue tapi siulan
sederhana 2 not - yang bisa kami gunakan untuk saling memberitahukan bahwa
kami baik-baik saja. Untungnya, Peeta pandai dalam hal ini. Kutinggalkan Peeta
bersama ransel, lalu aku pergi.
Aku merasa seakan umurku sebelas tahun lagi, menambatkan keselamatan bukan
pada pagar tapi pada Peeta, menahan diri untuk menjaga batas wilayah buruanku
hanya sekitar dua puluh atau tiga puluh meter. Jauh dari Peeta, hutan-hutan jadi
hidup dengan berbagai suara binatang. Dengan perasaan tenang karena Peeta
bersiul secara teratur, tanpa sadar aku berjalan makin jauh dan tak lama
kemudian aku sudah mendapat 2 ekor kelinci dan seekor tupai gemuk yang bisa kupamerkan.
Kuputuskan buruanku sudah cukup. Aku bisa memasang jerat dan mungkin
menangkap ikan. Dengan umbi-umbian yang dikumpulkan Peeta, makanan kami
untuk sementara sudah cukup.
Ketika aku berjalan kembali, aku sadar bahwa kami sudah cukup lama tak saling
bersiul. Ketika siulanku tak dijawab, aku langsung berlari. Segera, aku
menemukan ransel, dengan umbi-umbian yang tertumpuk rapi disampingnya. Selembar plastik
diletakkan di 2tanah sementara matahari menyinari =deretan buah berry yang ada
diatasnya. Tapi dimana Peeta"
"Peeta!" Aku memanggil namanya dengan panik. "Peeta!"
Aku menoleh ke arah suara dari sesemakan dan hampir menembakkan panah
menembus tubuhnya. Untungnya, aku menggeser arah panahku pada detik terakhir
sehingga anak panah itu menancap di dahan pohon oak yang ada disebelah kirinya.
Dia terlonjak, melempar segenggam buah berry ke arah daun-daunan.
Ketakutanku berubah jadi kemarahan. "Apa yang kau lakukan" Kau seharusnya
berada di sini, bukan berlarian di hutan!"
"Aku menemukan buah berry di sungai," kata Peeta, tampak bingung melihat
ledakan kemarahanku. "Aku bersiul. Kenapa kau tak balas bersiul?" bentakku.
"Aku tak dengar. Kurasa, suara airnya terlalu keras," kata Peeta. Dia menyebrang
dan menaruh dua tangannya di bahuku. Pada saat itulah aku merasakan tubuhku
gemetar. "Kupikir Cato membunuhmu!" Aku nyaris berteriak.
"Tidak, aku baik-baik saja," Peeta memelukku, tapi aku tak balas memeluknya.
"Katniss?" Aku mendorongnya, berusaha memilah-milah perasaanku. "Kalau dua orang sudah
setuju dengan sinyal yang disepakati bersama, mereka seharusnya berada dalam
jarak pendengaran. Karena kalau salah satu tak menjawab, artinya mereka dalam
masalah, benar kan?"
"Benar!" sahut Peeta.
"Benar. Karena itulah yang terjadi pada Rue, dan aku melihatnya mati!" kataku.
Aku menjauh dari Peeta, ke arah ransel dan membuka sebotol air lagi walaupun
botol airku masih terisi. Tapi aku masih belum siap memaafkan Peeta. Aku
memerhatikan makanan disana. Roti dan apelnya masih utuh tapi seseorang
mencungkil kejunya. "Dan kau makan tanpa menungguku!" Aku sungguh-sungguh tak peduli. Aku
hanya ingin bisa meluapkan kemarahanku.
"Apa" Tidak, aku tak melakukannya," kata Peeta.
"Oh, jadi apel yang makan kejunya?" aku menyindir.
"Aku tak tau apa yang makan kejunya," kata Peeta perlahan dan tegas, seakan
berusaha untuk tak kehilangan kesabarannya, "tapi bukan aku. Aku ada di sungai
mengumpulkan buah berry. Kau mau?"
Aku mau, tapi aku tak mau buru-buru melunak. Aku berjalan mendekat dan
melihat buah-buah berry itu. Aku tak pernah melihat berry jenis ini. Oh, pernah
kulihat. Tapi bukan di arena. Ini bukan berry Rue, meskipun mirip bentuknya.
Juga bukan jenis berry yang kupelajari saat latihan. Aku membungkuk dan mengambil
beberapa butir berry, menggelindingkannya di antara jemariku.
Suara ayahku terngiang. "Jangan yang ini, Katniss. Jangan pernah makan yang ini.
ini berry nightlock. Kau akan mati bahkan sebelum berry ini sampai di perutmu."
Tepat pada saat itu, meriam berbunyi. Aku berputar balik. Mengira Peeta bakal
jatuh ke tanah, tapi dia hanya mengangkat alis. Pesawat ringan muncul sekitar
seratus meter jauhnya. Apa yang tersisa dari tubuh kerempeng si Muka Rubah
terangkat ke udara. Aku bisa melihat rambut merahnya dibawah sinar matahari.
Seharusnya aku tau saat melihat keju yang hilang...
Peeta menarik lenganku, mendorongku ke pohon. "Cepat, panjat pohonnya. Dia
akan datang sebentar lagi. Kesempatan kita lebih baik jika melawannya dari
atas." Kuhentikan Peeta. "Tidak, Peeta, kaulah yang membunuhnya, bukan Cato."
"Apa" Aku bahkan tak pernah melihatnya sejak hari pertama," kata Peeta.
"Bagaimana mungkin aku membunuhnya?"
Kuulurkan tanganku yang berisi buah-buah berry sebagai jawabannya.
Bab 24 BUTUH waktu untuk menjelaskan situasinya pada Peeta. Bagaimana si Muka
Rubah mencuri makanan dari tumpukan persediaan kawanan Karier sebelum aku
meledakkannya, bagaimana dia mengambil secukupnya untuk bisa hidup tapi tidak
banyak hingga ketahuan, bagaimana dia tak mempertanyakan keamanan buah-buah
berry yang kami siapkan untuk kami sendiri.
"Aku penasaran bagaimana dia bisa menemukan kita ya," ujar Peeta. "Kurasa ini
salahku, jika memang aku seberisik katamu."
Mengikuti kami sama sulitnya seperti mengikuti kawanan ternak, tapi aku berbaik
hati. "Dan dia sangat cerdik, Peeta. Yah, sampai kau mempercundanginya."
"Bukan dengan sengaja. Entah bagaimana tampaknya tidak adil. Maksudku, kita
juga bisa mati kalau dia tak makan buah itu lebih dulu." Namun mendadak Peeta
tersadar. "Tidak, tentu kita takkan mati. Kau mengenali buah ini kan?"
Aku mengangguk. "Kami menyebutnya nightlock."
"Bahkan namanya terdengar mematikan," katanya. "Maafkan aku, Katniss. Kupikir
ini buah berry yang sama seperti yang kaukumpulkan."
"Jangan minta maaf. Ini artinya kita selangkah lebih dekat lagi untuk pulang
kan?" tanyaku. "Akan kubuang sisanya," kata Peeta. Dia mengumpulkan semua berry dalam
plastik biru, berhati-hati agar buah berry itu tetap berada di dalam plastik,
dan pergi ke hutan untuk membuangnya.
"Tunggu!" aku memekik. Kuambil kantong kulit milik anak lelaki distrik 1 dan
kuisi dengan segenggam berry dari dalam plastik. "Jika buah ini bisa membuat si
Muka Rubah tertipu, mungkin bisa membuat Cato tertipu juga. Kalau dia mengejar
kita atau entah bagaimana, kita bisa pura-pura menjatuhkan kantong ini tanpa
sengaja dan jika dia makan - "
"Halo Distrik Dua Belas," kata Peeta.
"Itu dia," kataku, sambil mengamankan kantong itu di ikat pinggangku.
"Dia pasti tau dimana kita sekarang," kata Peeta. "Kalau dia berada tak jauh
dari sini dan melihat pesawat ringan, dia akan tau kita membunuh gadis itu dan
mengejar kita." Peeta benar. Ini mungkin kesempatan yang ditunggu-tunggu Cato. Tapi jika kami
lari sekarang, masih ada daging yang harus dimasak dan api kami akan jadi
penanda keberadaan kami. "Ayo kita buat api. Sekarang." aku mulai mengumpulkan ranting-ranting
semaksemak. "Apakah kau siap berhadapan dengannya?" tanya Peeta.
"Aku siap untuk makan. Lebih baik kita masak makanan kita mumpung ada
kesempatan. Kalau dia tau kita disini, biarlah dia tau. Tapi dia juga tau kita
berdua dan mungkin berasumsi bahwa kita memburu si Muka Rubah. Itu berarti kau sudah
pulih. Dan api berarti kita tak bersembunyi, kita mengundangnya kemari. Apakah
kau bakal datang?" tanyaku.
"Mungkin tidak," jawabnya.
Peeta jago membuat api, dia bahkan bisa menyalakan api dari kayu basah. Dalam
waktu singkat, dua ekor kelinci dan tupai sudah terpanggang, umbi-umbian yang
terbungkus daun-daunan terpanggang di antara arang. Kami bergantian
mengumpulkan daun-daunan dan waspada menunggu kedatangan Cato, tapi
sebagaimana yang kuperkirakan, dia tak datang. Ketika makanan masak, kusimpan
sebagian besar makanan itu dan kami makan kaki kelinci sambil jalan.
Aku ingin bergerak lebih tinggi didalam hutan, memanjat pohon yang bagus, dan
berkemah untuk malam ini, tapi Peeta menolak. "Aku tak bisa memanjat pohon
sepertimu Katniss, apalagi kakiku seperti ini, dan rasanya aku tak bisa tidur
lima belas meter di atas tanah."
Aku menghela napas. Beberapa jam jalan kaki - atau lebih tepatnya
mendentamkan kaki - melintasi hutan untuk tiba ketempat yang cuma kami
tempati hingga besok pagi untuk kami tinggalkan berburu. Tapi Peeta tidak
meminta banyak. Dia mengikuti perintahku sepanjang hari dan aku yakin jika
keadaannya terbalik, dia takkan membuatku tidur di pohon. Barulah aku sadar
bahwa sepanjang hari ini aku tidak bersikap baik pada Peeta. Mengocehinya
tentang betapa berisik jalannya, berteriak padanya karena menghilang. Permainan
asmara yang kami mainkan di gua lenyap tak berbekas di tempat terbuka, di bawa
sinar matahari, dengan Cato yang mengancam kami. Haymitch mungkin sudah
muak padaku, dan para penonton..
Aku berjinjit dan menciumnya. "Tentu. Ayo kita kembali ke gua."
Peeta tampak senang dan lega. "Well, ternyata mudah."
Kucabut anak panahku dari pohon oak, berhati-hati agar tak merusak anak
panahnya. Sekarang anak-anak panah ini adalah makanan, keselamatan, hidup itu
sendiri. Kami melemparkan lebih banyak kayu lagi ke api. Kobarannya akan menghasilkan
asap selama beberapa jam. Ketika kami tiba di sungai, air sungai sudah jauh
lebih surut dan arusnya juga lebih tenang, jadi aku menyarankan agar kami berjalan
disungai untuk kembali ke gua. Dengan senang hati Peeta mematuhiku, dan karena
dia jauh lebih tak bersuara di sungai daripada ditanah. Perjalanan ke gua masih
jauh, meskipun kami berjalan menurun, dan daging kelinci menambah tenaga
kami. Aku dan Peeta kelelahan akibat jalan menanjak yang kami lalui hari ini dan
masih kekurangan makan. Kupasang panah dibusurku, bersiaga menghadapi Cato
atau ikan yang mungkin bisa kutemui, tapi anehnya sungai ini tak terisi makhluk
hidup. Pada saat kami tiba ditempat tujuan, kami sudah berjalan menyeret dan matahari
terbenam di cakrawala. Kami mengisi botol-botol air, lalu menuju gua kami.
Tempat ini tidak mewah, tapi di alam liar ini, gua inilah yang paling bisa
disebut rumah. Gua juga lebih hangat daripada pohon, karena memberikan perlindungan
dari angin yang berembus kencang dari arah barat. Kusiapkan makan malam, tapi
baru separo dimakan Peeta sudah mengantuk. Setelah beberapa hari tak
beraktivitas, kegiatan berburu membuat kami kelelahan. Kusuruh Peeta masuk ke
kantong tidur dan kusimpan sisa makanannya. Peeta langsung tidur. Kutarik
kantong tidur hingga dagunya dan kucium dahinya, bukan untuk penonton, tapi
untukku. Karena aku bersyukur dia masih di sini, tak tewas seperti yang kukira.
Lega karena aku tak harus menghadapi Cato sendirian.
Cato yang brutal dan haus darah, yang bisa mematahkan leher lawannya dengan
sekali puntir, yang punya kekuatan untuk mengalahkan Thresh, sudah mengincarku
sejak awal. Dia mungkin memiliki kebencian khusus padaku karena aku
mengalahkan nilainya pada saat latihan. Anak lelaki seperti Peeta akan
mengabaikannya begitu saja. Aku punya firasat hal itu malah membuat perhatian
Cato teralih. Aku teringat pada reaksi konyolnya ketika mendapati persediaan
makanannya meledak. Peserta-peserta lain tentunya marah, tapi Cato murka. Aku
bertanya-tanya apakah Cato masih waras sekarang.
Langit benderang dengan lambang negara, dan aku melihat wajah si Muka Rubah
bersinar di atas sana lalu menghilang dari dunia selamanya. Peeta tidak
mengatakannya, tapi menurutku dia merasa tak enak hati karena membunuh gadis


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, meskipun membunuhnya merupakan tindakan yang diperlukan. Aku tidak bisa
berpura-pura akan merindukannya,tapi aku harus mengaguminya. Tebakanku
adalah jika mereka memberikan semacam tes pada kami, hasilnya dia pasti akan
keluar sebagai peserta terpintar. Sesungguhnya, jika kami memasang perangkap
untuknya, aku yakin dia pasti bisa menciumnya dan menghindari buah berry
tersebut. Ketidaktauan Peeta-lah yang membuat si Muka Rubah tewas. Aku
menghabiskan banyak waktuku untuk memastikan aku tidak meremehkan lawanlawanku
sehingga aku lupa bahwa memandang mereka terlalu tinggi pun sama
berbahayanya. Dan itu membawaku kembali ke Cato. Sementara aku bisa memperkirakan siapa si
Muka Rubah dan cara kerjanya, Cato tampaknya lebih licin. Lebih kuat, lebih
terlatih, tapi pintar" Aku tak tau. Pasti tak sepintar si Muka Rubah. Dan Cato
tidak memiliki kontrol diri seperti yang ditunjukkan si Muka Rubah. Aku yakin Cato
bisa dengan mudah kehilangan akal sehatnya dalam keadaan marah. Meskipun
tidak berarti aku lebih baik daripada dia untuk urusan itu. Aku teringat ketika
kutembakkan anak panah menembus apel dimulut babi ketika aku marah besar.
Mungkin aku memahami Cato lebih dari yang kupikirkan.
Meskipun tubuhku kelelahan, pikiranku tetap waspada, jadi kubiarkan Peeta tidur
lewat dari jam jaga kami biasanya. Bahkan, warna kelabu samar tanda hari telah
dimulai sudah tampak ketika aku mengguncang bahunya. Peeta melihat keluar,
nyaris terkejut. "Aku tidur sepanjang malam. Ini tak adil Katniss, kau
seharusnya membangunkanku." Aku meregangkan tubuh lalu meringkuk ke dalam kantong tidur. "Aku akan tidur
sekarang. Bangunkan aku kalau ada kejadian seru."
Ternyata tak terjadi apa-apa, karena ketika aku membuka mata, sinar matahari
siang menembus di celah-celah bebatuan.
"Ada tanda-tanda dari teman kita?" tanyaku.
Peeta menggeleng. "Tidak ada, dia sepertinya tak mau tampil menonjol."
"Menurutmu berapa lama lagi waktu kita sebelum juri pertarungan membuat kita
bertemu?" tanyaku. "Hm, si Muka Rubah tewas hampir sehari lalu, jadi pasti ada banyak waktu bagi
penonton untuk memasang taruhan kemudian merasa bosan. Kurasa bisa terjadi tak
lama lagi," kata Peeta.
"Yeah, aku punya firasat hari inilah saatnya," kataku. Aku duduk dan memandang
keluar ke pemandangan yang mententramkan. "Aku penasaran, bagaimana cara
mereka melakukannya ya?"
Peeta tidak menjawab. Memang tak ada jawaban yang bagus untuk pertanyaan itu.
"Yah, sampai mereka melakukannya, tak ada gunanya bagi kita menyia-nyiakan
satu hari berburu. Tapi kita sebaiknya mungkin makan sebanyak yang bisa kita
telan untuk berjaga-jaga seandainya kita menghadapi masalah," kataku.
Peeta membereskan perlengkapan kami sementara aku mengeluarkan makanan.
Sisa daging kelinci, umbi-umbian, sayuran hijau, roti-roti yang diolesi sisa-
sisa keju terakhir. Makanan yang masih kusimpan untuk cadangan adalah tupai dan
apel. Pada saat kami selesai makan, yang tersisa hanyalah tulang-tulang kelinci. Kedua
tanganku berminyak, yang hanya membuatku merasa makin kotor. Mungkin di
Seam kami tak mandi setiap hari, tapi disana kami lebih bersih daripada tubuhku
belakangan ini. Kecuali kakiku, yang sudah berjalan disungai, bagian tubuhku
yang lain berselimutkan debu.
Ketika meninggalkan gua, aku merasakan saat akhir menjelang. Entah bagaimana
aku merasa tak akan ada satu malam lagi di arena. Dengan satu atau lain cara,
hidup atau mati, aku punya firasat akan keluar dari arena hari ini. Kutepuk
batubatu menyampaikan salam perpisahan dan kami berjalan menuju sungai untuk
bersih-bersih. Aku bisa merasakan kulitku gatal kepingin kena air dingin. Aku
bisa menata rambutku dan mengepangnya kebelakang dalam keadaan basah. Kupikir
kami mungkin bisa menggosok pakaian kami dengan cepat disungai. Atau tempat
yang tadinya sungai itu. Sekarang tempat itu kering kerontang. Aku menurunkan
tanganku untuk menyentuhnya.
"Bahkan tak ada bekas lembap sama sekali. Mereka pasti mengeringkannya ketika
kita tidur," kataku. Rasa takut membayangkan bibir pecah-pecah, tubuh yang
sakit, dan pikiran berkabut akibat dehidrasi pertamaku merasuk kedalam kesadaranku.
Botol-botol air kami masih lumayan penuh, tapi dengan matahari seterik ini, air
kami takkan bertahan lama.
"Danau," kata Peeta. "Mereka ingin kita kesana."
"Mungkin masih ada air di kolam," kataku penuh harap.
"Kita bisa memeriksanya," kata Peeta, tapi dia hanya menghiburku. Aku juga
menghibur diriku karena aku tau apa yang akan kutemukan saat kami kembali
kekolam tempat aku merendam kakiku. Tapi kami tetap berjalan kesana hanya
untuk memastikan apa yang kami ketahui.
"Kau benar. Mereka menggiring kita ke danau," kataku. Disana tidak ada
perlindungan. Disana mereka menjamin adanya pertarungan berdarah tanpa ada
apapun yang menghalangi pandangan mereka. "Kau mau kesana sekarang atau
menunggu sampai air kita kita habis?"
"Ayo kesana sekarang, mumpung kita punya makanan dan sudah beristirahat. Mari
kita akhiri semua ini," kata Peeta.
Aku mengangguk. Lucu rasanya. Aku merasa seolah-olah berada di hari pertama
Hunger Games lagi. Dua puluh satu peserta sudah tewas, tapi aku masih harus
membunuh Cato. Sesungguhnya, bukankah dia selalu jadi satu-satunya orang yang
harusnya kubunuh" Sekarang tampaknya peserta-peserta lain hanyalah rintangan-
rintangan kecil, pengalih perhatian, yang menjauhkan kami dari pertarungan
Hunger Games yang sesungguhnya. Cato dan aku.
Tapi tunggu, ada anak lelaki yang menunggu disampingku. Aku merasakan kedua
lengannya memelukku. "Dua lawan satu. Seharusnya mudah," kata Peeta.
"Makan kita berikutnya akan di Capitol," sahutku.
"Pastinya," timpal Peeta.
Kami berdiri sesaat, berpelukan erat, merasakan keberadaan satu sama lain, sinar
matahari, gemerisik daun-daunan dibawah kaki kami. Lalu tanpa kata-kata, kami
melepaskan pelukan dan berjalan ke danau.
Saat ini aku tak peduli jika langkah kaki Peeta membuat binatang-binatang
pengerat kabur, membuat burung-burung terbang. Kami harus melawan Cato dan
sama saja melakukannya sekarang atau nanti ditanah lapang. Tapi aku tidak yakin
kami punya pilihan. Jika para juri pertarungan ingin kami melakukannya di tempat
terbuka, maka tempat terbukalah pilihannya.
Kami berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon tempat kawanan Karier
memerangkapku. Serpihan-serpihan kulit sarang tawon penjejak, hancur karena
hujan lebat dan kering karena sengatan matahari, menegaskan bahwa ini memang
tempatnya. Kusentuh serpihan kulit itu dengan ujung sepatu botku, dan segera
serpihan itu berubah jadi debu yang terriup terbawa angin. Aku tidak bisa
menahan diri untuk tidak melihat pohon tempat Rue hinggap diam-diam, menunggu untuk
menyelamatkanku. Tawon penjejak. Mayat Glimmer yang menggembung.
Halusinasi-halusinasi yang menakutkan.
"Ayo terus bergerak," kataku, ingin melepaskan diri dari kegelapan yang
melingkupi tempat ini. Peeta tak membantah.
Sudah menjelang malam ketika kami tiba ditanah lapang. Tidak ada tanda
keberadaan Cato. Tiak ada tanda apapun selain emas Cornucopia berkilau di
bawah sinar matahari yang menyilaukan. Untuk berjaga-jaga seandainya Cato akan
menyerang kami dengan cara yang dilakukan si Muka Rubah ketika merebut
ranselnya, kami mengelilingi Cornucopia untuk memastikan tempat ini kosong.
Lalu dengan patuh, seakan mengikuti perintah, kami berjalan ke danau dan mengisi
tempat air kami. Aku mengernyit memandang matahari yang terbenam. "Kita tak mau melawannya
setelah hari gelap. Hanya ada satu kacamata malam."
Dengan hati-hati Peeta meneteskan iodine ke dalam air. "Mungkin itu yang
ditunggunya. Kau ingin melakukan apa sekarang" Kembali ke gua?"
"Itu, atau mencari pohon. Tapi kita beri dia waktu setengah jam lagi. Kemudian
kita cari tempat sembunyi," jawabku.
Kami duduk didekat danau, sengaja membiarkan diri kami terlihat. Tidak ada
gunanya bersembunyi sekarang. Di pepohonan di ujung tanah lapang, aku bisa
melihat burung-burung mockingjay hinggap disana-sini. Saling bertukar melodi
diantara mereka seperti saling melempar bola-bola berwarna cerah. Aku
menyanyikan empat not lagu Rue.Aku bisa merasakan burung-burung itu diam
menunggu penuh rasa ingin tau mendengar suaraku dan menyimak lebih seksama.
Kuulang nada itu dalam suasana hening. Pertama seekor mockingjay balas
melantunkannya, lalu diikuti mockingjay lainnya.
"Sama seperti ayahmu," kata Peeta.
Jemariku menyentuh pin di kausku. "Itu lagu Rue," kataku. "Menurutku mereka
mengingatnya." Musik bergema dan aku mengenali keindahannya. Not-not itu saling tumpang
tindih, membentuk nada yang saling mengisi, membentuk harmoni yang indah dan
bagai nyanyian bidadari. Berkat Rue, suara inilah yang mengirim para pekerja
dikebun buah di distrik 11 pulang kerumah setiap malam. Apakah ada yang
menyanyikannya pada jam pulang, kini setelah Rue meninggal"
Selama sesaat, aku memejamkan mataku dan mendengarkan, terpukau dengan
keindahan lagu itu. Kemudian ada sesuatu yang mengganggu irama musik.
Iramanya terpotong secara kasar dan tak beraturan. Nada-nada sumbang bercampur
dengan melodi. Mockingjay itu memekikkan kengerian.
Kami langsung berdiri, Peeta menghunus pedangnya, aku bersiap memanah, ketika
Cato berlari melintasi pepohonan. Dia tak membawa tombak. Bahkan, kedua
tangannya kosong, tapi dia terus berlari ke arah kami. Panah pertamaku mengenai
dadanya, yang anehnya langsung jatuh tanpa menembus tubuh Cato.
"Dia memakai semacam perisai!" aku berteriak pada Peeta.
Teriakanku tepat pada waktunya, karena Cato sudah mendatangi kami. Aku
menguatkan diri, tapi dia menerjang diantara kami tanpa mengurangi
kecepatannya. Dari dengus napasnya, keringat yang membanjiri wajahnya yang
pias,Cato sudah berlari cukup lama. Bukan kearah kami. Tapi lari dari sesuatu.
Tapi apa" Mataku mengamati hutan tepat ketika makhluk pertama melompat ke tanah lapang.
Ketika aku berpaling, aku melihat enam makhluk lain mengikutinya. Kemudian
aku lari tunggang langgang mengejar Cato tanpa ada tujuan lain selain
menyelamatkan diriku sendiri.
Bab 25 MUTAN. Tidak ada keraguan lagi. Aku pernah melihat mutt ini, tapi mereka
bukan binatang-binatang yang lahir secara alami. Mereka mirip serigala-serigala
raksasa, tapi serigala apa yang berdiri mantap dengan kedua kaki belakangnya"
Serigala apa yang melambai pada kawanannya dengan cakar depannya seakan
punya pergelangan tangan" Aku bisa melihat makhluk-makhluk ini dari jauh. Dari
jarak dekat, aku yakin tampilan mereka yang lebih menakutkan akan lebih jelas
terlihat. Cato langsung berlari lurus menuju Cornucopia, dan tanpa bertanya lagi aku
mengikutinya. Jika Cato berpikir Cornucopia adalah tempat yang paling aman, aku
tak mau menentang pendapatnya. Selain itu, jika aku bisa memanjat pohon, tak
mungkin Peeta bisa lari lebih cepat dari mereka dengan kakinya yang luka - Peeta!
Kedua tanganku baru saja mendarat di logam yang menjadi bagian dari ekor
runcing Cornucopia ketika aku ingat Peeta adalah bagian dari timku. Dia berada
lima belas meter dibelakangku, tertatih-tatih secepat yang dia bisa, tapi mutt-
mutt itu mendekat dengan amat cepat. Kutembakkan anak panahku ke kawanan
binatang itu dan satu tumbang kena panahku, tapi masih banyak yang
menggantikan tempatnya. Peeta melambai menyuruhku naik keatas trompet. "Sana, Katniss! Pergi!"
Peeta benar. Aku tak bisa melindungi kami berdua dengan tetap berada di atas
tanah. Aku mulai memanjat, menapaki Cornucopia dengan kedua tangan dan
kakiku. Permukaannya yang terbuat dari emas murni di desain agar bentuknya
serupa dengan trompet anyaman yang kami isi pada saat memungut hasil panen,
jadi ada bagian-bagian yang menonjol dan lipatan yang bisa untuk tempat
berpegangan. Tapi setelah sehari terpanggang matahari di arena pertarungan ini,
logam itu cukup panas untuk bisa membuat tanganku melepuh.
Cato berbaring miring dipuncak trompet, enam meter diatas tanah, terengah-engah
sambil muntah diujung trompet. Sekarang kesempatanku untuk menghabisinya.
Aku berhenti di tengah jalan menuju trompet dan menyiapkan anak panah, tapi
ketika aku hendak menembakkannya, aku mendengar jeritan Peeta. Aku menoleh
dan melihatnya baru tiba di ekor Cornucopia, dan mutt itu berada di tumitnya.
"Panjat!" teriakku. Peeta mulai memanjat, tapi gerakannya tak hanya terhalang
kakinya yang luka tapi juga pisau ditangannya. Kutembakkan panah ke leher mutt
pertama yang sudah menancapkan cakarnya di ekor logam itu. Sebelum mati
binatang itu menyambar teman-temannya, tanpa bisa dihindari cakarnya
menimbulkan luka menganga pada tubuh beberapa mutt lain. Saat itulah aku
sempat melihat cakarnya. Panjangnya sepuluh sentimeter dan setajam silet.
Peeta sampai di kakiku dan kupegang lengannya lalu kutarik dia. Kemudian aku
ingat Cato menunggu dipuncak trompet, tapi dia sedang meringkuk kesakitan dan
lebih disibukkan dengan mutt daripada kami. Cato mengucapkan sesuatu yang tak
bisa kupahami. Suara dengusan dan raungan mutt-mutt membuatku makin tak
mengerti apa yang diucapkannya.
"Dia bilang, 'Apa mereka bisa memanjat"'" jawab Peeta, dan mengembalikan
fokusku ke dasar trompet.
Mutt-mutt itu mulai berkumpul. Ketika mereka bergabung, mereka bangkit dan
berdiri dengan kaki belakang dengan mudah, membuat mereka secara mengerikan
tampak seperti manusia. Masing-masing binatang itu memiliki bulu lebat, ada yang
bulunya lurus, ada yang keriting, warnanya pun beragam mulai dari hitam legam
sampai pirang. Ada sesuatu dari mereka yang membuat bulu kudukku berdiri, tapi
aku tak tau apa yang salah.
Moncong mereka mengendus dan merasakan trompet, mencium dan merasakan
logam itu, mengais-ngais permukaan logam itu lalu memekik dengan nada tinggi
terhadap satu sama lain. Ini pasti cara mereka berkomunikasi karena kawanan mutt
itu mundur seakan memberikan ruang. Lalu salah satu dari mereka, mutt berukuran
besar dengan bulu pirang dan halus berlari dari jauh lalu melompat ke trompet.
Kedua kaki belakangnya sangat kuat karena dia mendarat hanya tiga meter di
bawah kami, bibirnya yang pink membentuk seringai. Selama sesaat binatang itu
bertahan disana dan ketika itulah aku sadar apa yang membuatku gelisah
memandang mutt itu. Mata hijaunya memandangku tidak seperti mata anjing atau
serigala atau mata binatang lain yang pernah kulihat. Mata itu tak salah lagi
mata manusia. Kesadaran itu baru saja kucerna ketika kuperhatikan ada kalung leher
dengan angka 1 tertera disana dengan perhiasan dan semua itu menghantamku.
Rambut pirang, mata hijau dan angka itu... Glimmer.
Aku memekik kecil dan kesulitan memegang panahku. Aku sudah menunggu
untuk menembakkan panah, dan makin menyadari menipisnya jumlah anak
panahku. Aku menunggu apakah makhluk itu bisa memanjat. Tapi sekarang, ketika
mutt itu mulai meluncur mundur, tidak mampu berpegangan pada logam itu,
meskipun aku bisa mendengar suara cakaran pelan seperti kuku yang digeruskan di
papan tulis, aku menembakkan anak panah ke lehernya. Tubuh mutt itu
berkelojotan lalu jatuh berdebum di tanah.
"Katniss?" aku bisa merasakan genggaman Peeta dilenganku.
"Itu dia!" aku berseru.
"Siapa?" tanya Peeta.
Kepalaku menoleh kesana kemari melihat kawanan itu, memperhatikan berbagai
ukuran dan warna kawanan itu. Mutt yang kecil dengan bulu merah dan mata
kekuningan.. si Muka Rubah! Dan disana, rambut kelabu dan mata hijau
kecoklatan anak lelaki dari distrik 9 yang tewas ketika kami berebutan ransel!
Dan yang terburuk dari semuanya, mutt terkecil, dengan bulu gelap berkilau, mata
coklat besar dan kalung yg tertulis angka 11. Giginya dipamerkan dengan penuh
kebencian. Rue... "Ada apa Katniss?" Peeta mengguncang bahuku.
"Itu mereka. Mereka semua. Yang lain-lain. Rue dan si Muka Rubah dan..
pesertapeserta lain," aku tercekat.
Aku mendengar Peeta terkesiap ketika mengenali mereka. "Apa yang mereka
lakukan pada mereka" Kaupikir.. itu mata asli mereka?"
Mata mereka adalah kekuatiran terakhirku. Bagaimana dengan otak mereka"
Apakah mereka diberi ingatan peserta yang sesungguhnya" Apakah mereka
diprogram secara khusus untuk membenci wajah kami karena kami selamat dan
mereka tewas terbunuh dengan keji" Dan mereka yang kami bunuh... apakah
mereka percaya bahwa mereka membalaskan kematian mereka"


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum aku bisa menemukan jawabannya, mutt-mutt itu mulai menyerang
trompet. Mereka terbagi dalam duakelompok di kedua sisi trompet dan
menggunakan bagian bawah tubuh mereka yang kuat untuk menghantamkan diri
mereka ke arah kami. Sergapan gigi tak jauh dari tanganku lalu aku mendengar
Peeta berteriak, kurasakan tubuhnya ditarik, beratnya tubuh anak lelaki dan mutt
membuatku tertarik ke kesamping. Jika bukan karena pegangan dengan lenganku,
Peeta sudah terjatuh ke tanah, tapi karena itu juga butuh seluruh kekuatanku
untuk membuat kami tetap berada di lekukan trompet. Dan lebih banyak lagi peserta
yang datang. "Bunuh dia, Peeta! Bunuh dia!" aku berteriak, meskipun aku tidak bisa melihat
apa yang terjadi, aku tau Peeta pasti menusuk binatang itu karena tarikannya
melemah. Aku berhasil menarik Peeta kembali ke trompet dan menyeret tubuh kami ke
puncak. Disana musuh kami yang tidak sekeji musuh kami di bawah sudah
menunggu. Cato belum bangkit berdiri, tapi napasnya sudah teratur dan aku tahu tidak lama
lagi dia akan pulih dan bisa mendatangi kami, mendorong kami kesamping agar
jatuh menuju kematian kami. Kusiapkan busurku, tapi anak panahku berakhir ke
mutt yang kemungkinan besar adalah Thresh. Siapa lagi yang bisa melompat
setinggi itu" Sejenak aku merasa lega karena akhirnya kami bisa lebih tinggi
daripada lompatan mutt itu dan aku baru saja hendak menoleh ke Cato ketika Peeta
terlonjak dari sisiku. Aku yakin kawanan binatang itu berhasil menariknya sampai
darahnya muncrat mengenai wajahku.
Cato berdiri dihadapanku, nyaris dimulut trompet, mengunci Peeta dan menutup
jalan pernapasannya. Peeta mencakar-cakar lengan Cato, tapi dengan lemah,
seakan bingung apakah jauh lebih penting untuk bernapas atau berusaha
membendung semburan darah dari lubang terbuka yang ditimbulkan mutt di
betisnya. Kuarahkan satu dari dua sisa anak panah ke kepala Cato, tahu bahwa panahku
takkan ada efeknya pada tubuhnya atau lengan dan kakinya, yang kini bisa kulihat
tubuhnya tertutup semacam jala berwarna kulit yang pas badan. Semacam baju
pelindung canggih dari Capitol. Apakah itu yang terdapat di ranselnya sewaktu
pesta" Baju pelindung dari serangan panahku" Yah, mereka lupa mengirimkan
pelindung wajah. Cato hanya tertawa. "Tembak aku dan dia ikut jatuh bersamaku."
Dia benar. Jika aku memanahnya dan dia jatuh ke kawanan mutt itu, Peeta pasti
akan tewas bersamanya. Kami tiba dijalan buntu. Aku tidak bisa memanah Cato
tanpa membunuh Peeta juga. Dia tidak bisa membunuh Peeta tanpa memastikan
otaknya akan kena panah. Kami berdiri seperti patung, kami semua mencari jalan
keluar. Otot-ototku menegang, rasanya otot-ototku bisa putus kapan saja. Gigiku
bergemeletuk. Kawanan mutt itu terdiam dan satu-satunya hal yang bisa kudengar
adalah darah yang berdentam di telingaku yang masih bagus.
Bibir Peeta membiru. Jika aku tak melakukan sesuatu dengan cepat, dia akan mati
kehabisan napas dan aku juga akan kehilangan dia dan Cato mungkin akan
menggunakan tubuh Peeta sebagai senjata melawanku. Sesungguhnya, aku yakin
ini rencana Cato. Karena ketika dia berhenti tertawa, bibirnya menyunggingkan
senyum kemenangan. Seakan ini usaha terakhirnya, Peeta mengangkat jemarinya, yang meneteskan
darah dari kakinya, ke arah lengan Cato. Bukannya berusaha meloloskan diri,
telunjuknya tiba-tiba berbelok dan dengan sengaja membuat tanda Xdipunggung
tangan Cato. Cato menyadari apa artinya sedetik setelah aku sadar. Aku bisa
melihat dari senyumnya yang hilang dari bibirnya. Tapi kesadarannya terlambat
sedetik karena pada saat itu anak panahku menembus tangannya. Cato menjerit dan
secara naluriah melepaskan Peeta yang menghantamkan punggungnya ke Cato.
Selama sesaat yang mengerikan, kupikir mereka akan jatuh bersama. Aku
meluncur ke depan memegangi Peeta ketika Cato kehilangan pijakannya diatas
trompet yang licin kena darah dan terjerembap ke tanah.
Kami mendengarnya menghantam tanah, udara mengembus keluar dari tubuhnya,
lalu kawanan mutt menyerangnya. Aku dan Peeta berpegangan, menunggu
tembakan meriam. Menunggu kompetisi ini berakhir. Menunggu dibebaskan. Tapi
semua tidak terjadi. Belum. Karena ini klimaks Hunger Games dan penonton
menunggu tayangan yang tak terlupakan.
Aku tidak melihat, tapi aku bisa mendengar gerunan, raungan dan lolongan
kesakitan dari manusia dan binatang ketika Cato menghajar kawanan mutt. Aku
tak mengerti bagaimana dia bisa selamat sampai aku teringat pada baju pelindung
yang melindunginya dari pergelangan kaki sampai leher. Cato pasti juga punya
pisau atau pedang atau semacamnya, sesuatu yang dia sembunyikan di balik
pakaiannya, karena sesekali terdengar jeritan kematian mutt atau suara logam
beradu ketika mata pisau itu beradu dengan trompet emas. Pertarungan berpindah
ke samping Cornucopia dan Cato pasti berusaha mencoba satu cara yang bisa
menyelamatkan nyawanya-kembali ke ekor trompet lalu bergabung bersama kami.
Tapi, dia tak sanggup lagi melawan meskipun memiliki kekuatan dan keahlian luar
biasa. Aku tidak tahu sudah lewat berapa lama, mungkin sekitar satu jam, ketika Cato
terjatuh ke tanah. Kami mendengar para mutt menyeretnya, menyeretnya kembali
ke Cornucopia. Sekarang mereka akan menghabisinya, pikirku. Tapi tidak
terdengar suara meriam. Malam tiba dan lagu kebangsaan terdengar tapi tak ada foto Cato di angkasa,
hanya ada erangan-erangan samar yang terdengar dari logam dibawah kami. Udara
dingin yang berhembus dari tanah lapang mengingatkanku bahwa Hunger Games
belum berakhir dan mungkin akan berlangsung sampai entah kapan, dan tidak ada
jaminan siapa yang bakal jadi pemenangnya.
Aku mengalihkan perhatianku pada Peeta dan melihat kakinya berdarah parah.
Semua persediaan kami, ransel kami, berada didekat danau tempat kami
meninggalkannya ketika melarikan diri dari kawanan mutt. Aku tidak punya
perban, tidak ada yang bisa kupakai untuk menghambat aliran darah dari betisnya.
Walaupun menggigil, aku membuka jaketku, melepaskan kausku dan menutup
ritsleting jaketku secepat mungkin. Hanya sebentar saja terkena udara dingin
gigiku sudah bergemeletuk tanpa terkendali.
Wajah Peeta tampak kelabu dalam cahaya bulan yang pucat. Aku menyuruhnya
berbaring sebelum aku memeriksa lukanya. Darah yang licin dan hangat mengalir
dijemariku. Aku pernah beberapa kali melihat ibuku mengikat turniket dan kini
aku berusaha meniru ikatannya. Aku memotong bagian lengan kausku,
membungkusnya dua kali dikakinya tepat dibawah lutut dan kubuat simpul
setengah. Aku tak punya kayu, jadi kupakai anak panahku yang tersisa dan
kuselipkan di dalam simpul, lalu kuputar ikatannya sejauh yang bisa kulakukan
dengan aman. Tindakanku amat beresiko - Peeta bisa saja kehilangan kakinya -
tapi ketika aku menimbang kemungkinan Peeta kehilangan kaki dengan
kemungkinan kehilangan nyawa, pilihan apalagi yang kumiliki" Kuperban lukanya
dengan sisa kausku lalu aku berbaring disisinya.
"Jangan tidur," kataku padanya. Aku tidak yakin apakah ini protokol medis yang
tepat, tapi aku takut jika dia tertidur dia takkan bangun lagi.
"Kau kedinginan?" tanya Peeta. Dia membuka ritsleting jaketnya dan aku
melekatkan tubuhku padanya, Peeta memelukku erat. Rasanya sedikit lebih hangat,
bisa berbagi panas tubuh di dalam dua lapis jaketku, tapi malam belum larut.
Suhu udara masih akan terus turun. Bahkan sekarang aku bisa merasakan Cornucopia,
yang panas membakar ketika aku mendakinya pertama kali, perlahan-lahan jadi
sedingin es. "Cato masih bisa memenangkan pertarungan ini," aku berbisik pada Peeta.
"Jangan berpikir seperti itu," sahut Peeta, menarik tutup kepalaku, tapi dia
gemetar lebih hebat dari aku. Jam-jam selanjutnya adalah masa terburuk dalam hidupku, dan apa yang kumaksud
buruk ini pasti sudah jelas jika memikirkan apa yang telah kulewati sepanjang
hidupku. Dinginnya sudah cukup menyiksa, tapi mimpi buruk yang sesungguhnya
adalah mendengarkan Cato mengerang, memohon dan akhirnya merengek ketika
kawanan mutt menjauh darinya. Tidak lama kemudian, aku tidak peduli lagi siapa
dia atau apa yang telah dia lakukan, aku hanya ingin penderitaannya segera
berakhir. "Kenapa mereka tak langsung membunuhnya?" aku bertanya pada Peeta.
"Kau tau kenapa," katanya, lalu dia menarikku makin dekat padanya.
Dan aku paham kenapa. Tak ada seorang penonton pun yang bisa meninggalkan
tayangan ini sekarang. Dari sudut pandang juri pertarungan, ini adalah kata
penghabisan dalam dunia hiburan.
Suara Cato terus-menerus terdengar hingga akhirnya menguasai pikiranku,
menghalangi berbagai kenangan dan harapan akan hari esok, menghapus segalanya
kecuali yang terjadi saat ini, yang mulai kuyakini takkan pernah berubah. Takkan
ada apapun kecuali rasa dingin dan takut serta suara-suara memilukan dari anak
lelaki yang menjelang kematiannya ditrompet Cornucopia.
Peeta mulai tertidur sekarang, dan setiapkali dia tertidur, aku meneriakkan
namanya makin lama makin keras karena jika dia tidur lalu mati, aku yakin aku
pasti bakalan gila. Peeta melawannya, mungkin lebih untukku daripada untuk
dirinya sendiri, dan aku tau itu pasti sulit karena ketidaksadaran pasti
merupakan salah satu bentuk pelarian. Tapi adrenalin dalam tubuhku tak mengizinkanku
mengikutinya, jadi aku tak bisa membiarkan Peeta tertidur. Aku tidak bisa
membiarkannya. Satu-satunya petunjuk berlalunya waktu tampak di langit, dengan perubahan bulan
yang nyaris tak kentara. Jadi Peeta mulai menunjukkannya padaku lagi, berkeras
agar aku menyadari pergerakannya dan kadang-kadang, selama sesaat aku
merasakan sepercik harapan sebelum penderitaan malam itu melahapku bulat-bulat
sekali lagi. Akhirnya, aku mendengar Peeta berbisik bahwa matahari sudah terbit. Kubuka
mataku dan kulihat bintang-bintang tampak memudar dalam cahaya dini hari yang
pucat. Aku juga bisa melihat betapa piasnya wajah Peeta. Waktu yang tersisa
untuknya juga tak banyak lagi. Dan aku tau aku harus segera membawanya
kembali ke Capitol. Namun, tetap tak terdengar dentuman meriam. Kutempelkan telingaku yang masih
bisa mendengar pada trompet dan samar-samar kudengar suara Cato.
"Rasanya dia lebih dekat sekarang. Katniss, kau bisa memanahnya?" tanya Peeta.
Jika dia berada dimulut trompet, aku mungkin bisa menghabisinya. Pada titik ini,
membunuhnya adalah tindakan yang kulakukan karena belas kasihan.
"Panah terakhir ada di turniketmu," kataku.
"Ambil saja," kata Peeta, membuka ritsleting jaketnya dan melepaskanku dari
pelukannya. Kemudian kulepaskan anak panah di kakinya, kuikat turniket itu lagi seerat yang
bisa kulakukan dengan kedua tanganku yang beku. Kugosok-gosokan kedua
tanganku. Ketika aku merangkak ke mulut trompet dan berpegangan diujungnya,
aku merasakan tangan Peeta memegangiku.
Perlu beberapa saat untuk melihat Cato dalam cahaya temaram ini, dalam
genangan darah. Onggokan daging mentah yang dulunya adalah musuhku
mengeluarkan suara, aku tau di mana letak mulutnya. Dan menurutku kata yang
hendak diucapkannya adalah kumohon.
Rasa kasihan, bukan balas dendam, yang membuat anak panahku melayang ke
tengkoraknya. Peeta menarikku ke atas, busur di tangan, tak ada anak panah
tersisa. "Kau berhasil menembaknya?" bisik Peeta.
Meriam berdentam sebagai jawabannya.
"Kalau begitu kita menang, Katniss," kata Peeta tanpa semangat.
"Hore untuk kita," kataku, tapi dalam suaraku tak tersirat kegembiraan karena
menang. Ada lubang terbuka ditanah lapang dan seakan ada aba-aba mutt yang tersisa
melompat ke dalamnya,menghilang ke dalam tanah yang kemudian menutup.
Kami menunggu pesawat ringan mengambil mayat Cato. Menunggu trompet
kemenangan yang seharusnya akan mengikuti, tapi tak ada yang terjadi.
"Hei!" aku berteriak ke udara. "Apa yang terjadi?" hanya terdengar celoteh
burungburung. "Mungkin karena mayatnya. Mungkin kita harus menjauh darinya," kata Peeta.
Aku berusaha mengingatnya. Apakah kami harus menjauhkan diri dari peserta
yang tewas pada pembunuhan terakhir" Otakku terlalu keruh untuk bisa yakin, tapi
apalagi yang bisa menjadi alasan penundaan ini"
"Oke, apakah kau bisa berjalan sampai danau?" tanyaku.
"Rasanya bisa kucoba," kata Peeta. Kami meluncur turun menuju ekor trompet dan
terjatuh ke tanah. Kalau sendi-sendiku saja sekaku ini, bagaimana Peeta bisa
bergerak" Aku bangkit lebih dulu, mengoyang-goyangkan dan menekuk-nekukan
kedua lengan dan kakiku sampai kupikir bisa membantunya berdiri. Entah
bagaimana kami berhasil sampai ke danau. Kedua tanganku meraup air dingin
untuk Peeta dan satu lagi untukku.
Seekor mockingjay bersiul panjang dan rendah membuat air mata kelegaan
memenuhi mataku ketika pesawat ringan mengambil mayat Cato. Sekarang mereka
akan membawa kami. Sekarang kami bisa pulang.
Tapi sekali lagi tak ada kelanjutannya.
"Apalagi yang mereka tunggu?" tanya Peeta dengan suara lemah. Ikatan turniket
yang mengendur dan usaha yang dihabiskannya untuk berjalan ke danau ini
membuat lukanya terbuka lagi.
"Aku tidak tau," jawabku. Apapun yang menyebabkan penundaan ini, aku tidak
sanggup melihat Peeta kehilangan lebih banyak darah lagi. Aku berdiri untuk
mencari kayu tapi aku melihat anak panahku yang terpantul dari baju pelindung
Cato. Anak panah ini akan bisa dipakai seperti sebelumnya. Aku membungkuk
untuk mengambilnya, ketika suara Claudius Templesmith membahana di arena.
"Salam untuk para peserta terakhir dari Hunger Games ke tujuh puluh empat.
Perubahan peraturan sebelumnya telah dicabut. Setelah membaca buku peraturan
dengan lebih seksama, dinyatakan bahwa hanya satu pemenang yang diizinkan
dalam acara ini," katanya. "Semoga beruntung dan semoga keberuntungan ada di
pihakmu." Terdengar ledakan statis kecil lalu hening. Kutatap Peeta tak percaya ketika
kenyataan itu meresap dalam benakku. Mereka tak pernah berniat membiarkan
kami berdua hidup. Ini cuma cara juri pertarungan untuk memastikan bahwa
Hunger Games kali ini menjadi tayangan paling dramastis dalam sejarah. Dan
tololnya, aku percaya. "Kalau kaupikirkan lagi, sebenarnya tak terlalu mengejutkan kok," kata Peeta
pelan. Kuperhatikan Peeta ketika dengan susah payah dan kesakitan berusaha
berdiri. Lalu dia bergerak menghampiriku, seakan dalam gerakan lambat,
tangannya mengeluarkan pisau dari ikat pinggangnya...
Sebelum aku sempat menyadari tindakanku, busurku langsung siaga dengan anak
panah yang tertuju ke jantung Peeta. Dia mengangkat alis dan kulihat pisau sudah
terlepas dari tangannya menuju danau dan tercemplung di air. Aku menjatuhkan
senjataku lalu melangkah mundur, wajahku terbakar malu.
"Tidak," kata Peeta. "Lakukanlah." Peeta tertatih-tatih berjalan mendekatiku dan
mendesakkan senjataku ke tanganku.
"Aku tidak bisa," kataku. "Aku tidak mau."
"Lakukanlah. Sebelum mereka mengirim mutt-mutt itu kembali atau apalah. Aku
tak mau mati seperti Cato," katanya.
"Kalau begitu, kau saja yang panah," kataku marah, mendorongkan senjata itu
kembali padanya. "Kaupanah aku lalu kau pulang dan jalani hidupmu!" lalu ketika
aku mengucapkannya, aku tau kematian disini, sekarang, akan jauh lebih mudah
bagi kami berdua. "Kau tau aku tak bisa melakukannya," kata Peeta, membuang senjata itu. "Baiklah,
aku yang akan mati lebih dulu."
Dia menunduk dan merobek perban dari kakinya, melepaskan penghalang antara
darahnya dan tanah. "Tidak, kau tak boleh bunuh diri," kataku. Aku berlutut, putus asa berusaha
menempelkan kembali perban ke lukanya.
"Katniss," katanya. "Ini yang kumau."
"Kau takkan meninggalkanku sendiri disini," kataku. Karena jika dia mati, aku
takkan pernah benar-benar pulang. Aku akan menghabiskan sisa hidupku di arena
ini, berusaha memikirkan jalan pulang.
"Dengar," kata Peeta, menarikku berdiri. "Kita sama-sama tahu mereka harus
punya pemenang. Dan hanya salah satu dari kita yang akan jadi pemenangnya.
Tolong jadilah pemenang. Demi aku."
Kemudian dia mengoceh tentang betapa dia mencintaiku, seperti apa hidupnya
tanpaku, tapi aku sudah tak mendengarnya karena kata-kata Peeta sebelumnya
terngiang dalam kepalaku.
Kita sama-sama tau mereka harus punya pemenang.
Ya, mereka harus punya pemenang. Tanpa pemenang, semua ini akan
mempermalukan Juri Pertarungan.Mereka akan mengecewakan Capitol.


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemungkinan mereka akan dihukum mati, secara perlahan dan menyakitkan
sementara kamera-kamera akan menyiarkannya ke seantero negeri.
Jika aku dan Peeta mati, atau mereka pikir kami...
Jemariku meraba-raba kantong di ikat pinggangku, lalu melepaskannya. Peeta
melihat apa yang kulakukandan segera mencengkeram pergelangan tanganku.
"Tidak, aku takkan membiarkanmu."
"Percayalah," aku berbisik. Dia menatapku lama sebelum melepaskan
cengkeramannya. Kubuka kantong itu dan kutuang segenggam kecil buah berry itu
ditelapak tangannya. Lalu aku menuangnya ketanganku sendiri. "Pada hitungan
ketiga?" Peeta menunduk dan menciumku sekali, sangat lembut. "Pada hitungan ketiga,"
katanya. Kami berdiri, berpunggungan, dua tangan kami yang kosong bergenggaman erat.
"Ulurkan tanganmu. Aku ingin semua orang melihatnya," kata Peeta.
Kubuka telapak tanganku, buah-buah berry yang hitam berkilau ditimpa matahari.
Kugenggam tangan Peeta sebagai pertanda, sebagai salam perpisahan, lalu kami
mulai menghitung. "Satu," mungkin aku salah. "Dua," mungkin mereka tak peduli jika kami mati.
"Tiga!" sudah terlambat untuk berubah pikiran. Kuangkat tanganku kemulut,
kupandangi dunia terakhir kalinya. Berry-berry itu baru saja melewati mulutku
ketika suara trompet menggelegar.
Suara Claudius yang panik menyela suara trompet. "Stop! Stop! Bapak-ibu
sekalian, dengan ini kupersembahkan para pemenang Hunger Games ke 74,
Katniss Everdeen dan Peeta Mellark!" "Kupersembahkan pada kalian - para
peserta dari Distrik Dua Belas!"
Bab 26 KULUDAHKAN buah-buah berry dari mulutku, mengelap lidah dengan ujung
kausku untuk memastikan tidak ada cairan berry yang menempel. Peeta menarikku
ke danau, disana kami membasuh mulut kami dengan air lalu ambruk berpelukan.
"Kau tak menelannya kan?" aku bertanya padanya.
Peeta menggeleng. "Kau?"
"Kurasa aku sudah mati kalau ada yang tertelan," kataku.
Aku bisa melihat bibirnya bergerak untuk menjawab, tapi aku tidak bisa
mendengarnya di antara gemuruh raungan penonton di Capitol yang mereka
perdengarkan langsung ke arena melalui pengeras suara.
Pesawat ringan muncul diatas kepala dan dua tangga turun, hanya saja tak mungkin
aku melepaskan Peeta. Satu tanganku masih merangkulnya ketika aku
membantunya naik dan kami berdua menaruh satu kaki di anak tanggapaling
bawah. Arus listrik membuat kami membeku ditempat dan aku lega karena aku
tidak yakin Peeta sanggup bertahan sepanjang perjalanan. Karena kami bisa
memandang ke bawah sementara otot-otot kami tak bisa bergerak, aku bisa melihat
darah mengalir keluar dari kaki Peeta. Tidak heran ketika pintu menutup
dibelakang kami dan arus listrik itu berhenti, Peeta langsung tak sadarkan diri
dilantai. Jemariku masih memegang bagian belakang jaketnya kuat-kuat sehingga ketika
mereka menariknya pergi, di tanganku terenggut segenggam kain hitam. Dokter
dengan pakaian steril putih, bermasker dan sarung tangan, sudah siap untuk
mengoperasi Peeta dan langsung beraksi. Peeta tampak begitu pucat dan tenang di
atas meja perak, berbagai tabung dan kabel mencelat dari berbagai sisi tubuhnya.
Sesaat aku lupa kami sudah tidak lagi berada di Hunger Games dan aku melihat
para dokter sebagai salah satu ancaman lain, sekawanan mutt yang dirancang untuk
membunuhnya. Dengan ngeri, aku menerjang ke arahnya, tapi aku ditangkap dan
ditarik ke ruangan lain, pintu kaca menutup diantara kami. Kugedor-gedor pintu
kaca, berteriak sekuat-kuatnya. Semua orang mengabaikanku kecuali beberapa
pelayan Capitol yang muncul dari belakangku dan menawariku minum.
Aku terduduk di lantai, wajahku menghadap pintu, memandangi gelas kristal di
tanganku. Sedingin es, terisi jus jeruk, sedotan dengan rumbai-rumbai putih.
Betapa tidak pasnya benda ini berada di tanganku yang berdarah, kotor dengan
kuku-kuku penuh tanah dan bekas-bekas luka. Mulutku langsung mengeluarkan
liur mencium aroma yang nikmat, tapi kutaruh gelas itu dengan hati-hati ke
lantai, aku tidak percaya pada sesuatu yang tampak begitu bersih dan cantik.
Melalui pintu kaca, aku melihat para dokter bekerja giat mengobati Peeta, alis
mereka bertautan ketika berkonsentrasi. Aku melihat cairan dipompakan ke
tubuhnya melalui tabung-tabung, mengamati deretan tombol dan lampu yang tak
berarti apa-apa bagiku. Aku tidak yakin, tapi kupikir jantungnya berhenti dua
kali. Aku serasa berada di rumah lagi, ketika mereka membawa tubuh korban yang
hancur karena ledakan tambang, atau wanita yang sudah tiga hari menunggu
persalinannya yang tak kunjung tiba, atau anak kelaparan berusaha melawan
pneumonia sementara ibuku dan Prim menunjukan ekspresi yang sama seperti para
dokter itu. Sekarang saatnya untuk berlari ke hutan, bersembunyi di antara
pepohonan sampai si pasien itu sudah lama tewas dan di bagian lain Seam peti
mati sedang dibuat. Tapi aku tertahan di sini dengan dinding- dinding pesawat
ringan dan kekuatan yang sama yang menahan orang-orang yang mencintai mereka
yang di ambang batas maut. Entah sudah berapa kali aku melihat mereka,
mengelilingi meja dapur kami dan aku pikir, Kenapa mereka tak pergi" Kenapa
mereka tetap tinggal untuk melihat"
Dan sekarang aku tau. Itu karena kau tak punya pilihan.
Aku terkejut ketika melihat ada yang memandangku dalam jarak beberapa
sentimeter, lalu aku tersadar bahwa aku sedang melihat wajahku sendiri yang
terpantul di kaca. Tatapan mata yang liar, pipi yang cekung, rambut kusut.
Ganas. Buas. Gila. Tidak heran semua orang menjaga jarak aman denganku.
Selanjutnya yang kutahu kami mendarat diatap Pusat Latihan, mereka membawa
Peeta tapi meninggalkanku di belakang pintu. Kubenturkan tubuhku ke kaca
sambil menjerit-jerit. Kupikir sekilas aku melihat bayangan rambut pink - pasti
rambut Effie, pasti Effie datang menyelamatkanku - ketika jarum suntik
menusukku dari belakang. Ketika aku terbangun, mulanya aku takut bergerak. Seluruh langit-langit berbinar
dengan sinar kuning lembut membuatku bisa melihat bahwa aku berada di kamar
yang di dalamnya hanya ada ranjangku.Tidak tampak pintu atau jendela. Ada bau
menyengat dan bau antiseptik diudara. Dilengan kananku ada beberapa slang yang
menjulur hingga ke dinding di belakangku. Aku telanjang, tapi seprai terasa
nyaman di kulitku. Ragu-ragu aku mengangkat tangan kiriku diatas selimut. Tidak
hanya tanganku sudah digosok hingga bersih, kuku-kukunyapun sudah dibentuk
menjadi oval sempurna, bekas luka bakarnya tak tampak terlalu kentara lagi.
Kusentuh pipiku, bibirku, luka lama di atas alisku dan jemariku baru saja
menyentuh rambutku yang halus ketika aku tercekat. Takut-takut aku menyentuh
rambut didekat telinga kiriku. Bukan, ini bukan ilusi. Aku bisa mendengar lagi.
Aku berusaha bangkit dan duduk, tapi ada semacam pengikat yang menahan
tubuhku di sekitar pinggang sehingga aku hanya bisa bangkit tak lebih dari
beberapa sentimeter. Tubuhku yang tertahan ini membuatku panik dan aku
berusaha bergerak duduk, menggoyang-goyangkan pahaku keluar dari pengikat
ketika ada bagian dinding yang terbuka dan gadis Avox berambut merah
melangkah masuk membawa nampan. Melihatnya membuatku tenang dan aku
berhenti mencoba melepaskan diri. Aku ingin menanyakan jutaan pertanyaan
padanya, tapi aku takut jika aku kelihatan mengenalinya dia malah akan kena
bahaya. Saat ini tentu aku diawasi secara ketat. Dia menaruh nampan diatas
pahaku dan menekan sesuatu yang membuat ranjangku bergerak hingga aku dalam posisi
duduk. Ketika dia mengatur bantal-bantalku, aku memberanikan diri mengajukan
satu pertanyaan. Kutanyakan pertanyaan itu dengan lantang, selantang yang bisa
kuucapkan dengan suara serakku, jadi tak tampak ada rahasia. "Apakah Peeta
selamat?" Gadis itu mengangguk. Lalu dia menyelipkan sendok ke tanganku dan aku
merasakan tekanan persahabatan darinya.
Kurasa dia tidak mengharapkan aku mati. Dan Peeta berhasil selamat. Tentu saja,
dia selamat. Dengan segala peralatan canggih dan mahal yang ada ditempat ini.
Tapi, aku tidak pernah yakin sampai saat ini.
Ketika si Avox pergi, pintu menutup tanpa suara dibelakangnya lalu aku menyerbu
isi nampan dengan rakus. Semangkuk kuah daging yang jernih, sedikit saus apel
dan segelas air. Cuma ini" pikirku geram. Bukankah makan malam menyambut
kepulanganku seharusnya lebih spektakuler" Tapi ternyata aku harus susah payah
menghabiskan sedikit makanan yang tersaji di depanku. Lambungku sepertinya
menyusut hingga seukuran kacang, sehingga aku bertanya-tanya sudah berapa
lama aku pingsan karena tak sulit bagiku makan sarapan lumayan banyak tadi pagi
di arena pertarungan. Biasanya ada jeda beberapa hari antara akhir pertarungan
dan tampilnya pemenang, agar mereka bisa mengembalikan pemenang, yang
kelaparan, terluka dan kacau hingga utuh lagi. Entah dimana, Cinna dan Portia
akan membuat pakaian untuk penampilan kami didepan umum. Haymitch dan
Effie akan mengatur pesta untuk para sponsor kami, meninjau pertanyaanpertanyaan
untuk wawancara-wawancara akhir kami. Di kampung halaman, distrik
12 mungkin dalam kondisi kacau karena mereka berusaha mengatur pesta
penyambutan untuk aku dan Peeta, mengingat pesta penyambutan terakhir
diadakan hampir tiga puluhtahun lalu.
Rumah! Prim dan ibuku! Gale! Bahkan memikirkan kucing tua budukan milik
Prim saja membuatku tersenyum. Tak lama lagi aku akan pulang ke rumah!
Aku ingin turun dari ranjang ini. Melihat Peeta dan Cinna, mencari tau apa yang
terjadi. Dan kenapa aku tak boleh melakukannya" Aku merasa sehat. Tapi ketika
aku berusaha melepaskan diri dari ikatan, aku merasakan cairan dingin masuk ke
pembuluh darahku dari salah satu slang dan seketika aku hilang kesadaran.
Ini terjadi beberapa kali dalam waktu yang tak bisa kuhitung. Aku bangun, makan,
meskipun aku berusaha menolak dengan turun dari ranjang, aku tak sadarkan diri
lagi. Seakan-akan aku berada dalam senja yang aneh dan tak berkesudahan. Hanya
beberapa hal yg kuingat. Gadis Avox berambut merah tak pernah datang lagi sejak
membawakanku makanan, bekas luka-lukaku mulai menghilang dan apakah aku
cuma mengkhayalkannya" Atau apakah aku mendengar laki-laki berteriak" Bukan
dengan aksen Capitol, tapi dengan irama aksen dirumah yang lebih kasar. Dan aku
tak bisa tidak merasakan perasaan menenangkan yang samar bahwa ada seseorang
yang menjagaku. Akhirnya, tiba waktunya ketika aku sadar dan tak ada slang yang menempel
dilengan kananku. Ikatan penahan dibagian tengah tubuhku juga sudah lepas dan
aku bebas bergerak kemanapun. Aku mulai duduk tapi terpukau melihat kedua
tanganku. Kulitku tampak sempurna, halus dan berkilau. Tak hanya luka-luka di
arena yang hilang, tapi luka-luka yang terkumpul selama beberapa tahun berburu
telah lenyap tanpa bekas. Dahiku selembut satin dan ketika aku berusaha mencari
bekas luka dibetisku, aku tidak bisa menemukannya.
Kuturunkan kakiku dari ranjang, gelisah membayangkan bagaimana kakiku
sanggup menahan beratku, tapi ternyata kakiku kuat dan mantap. Di kaki ranjang
ada pakaian yang membuatku tersentak. Itu pakaian yang dikenakan semua peserta
di arena. Kupandangi pakaian itu begitu lama seakan pakaian itu punya gigi,
sampai aku ingat bahwa pakaian ini yang akan kupakai untuk menyambut timku.
Aku mengenakan pakaian dalam waktu kurang dari semenit dan berdiri gelisah di
depan dinding yang kutau ada pintu disana bahkan jika aku tidak bisa melihatnya
dan mendadak pintu itu terbuka. Aku melangkah ke lorong lebar dan kosong yang
tampaknya tak ada pintu lain disana. Tapi seharusnya ada pintu. Dan dibalik
salah satu pintu pasti ada Peeta. Sekarang aku sadar dan bergerak, makin lama merasa
makin gelisah memikirkannya. Dia pasti baik-baik saja atau gadis Avox itu takkan
mengatakannya. "Peeta!" aku berseru, karena tak ada seorangpun yang bisa kutanyai. Aku
mendengar namaku dipanggil, sebagai jawabannya, tapi bukan suara Peeta. Suara
itu menimbulkan kekesalan dan keingintahuan. Effie.
Aku menoleh dan melihat mereka semua menunggu diruangan besar diujung
lorong, Effie, Haymitch dan Cinna. Kakiku melangkah tanpa ragu. Mungkin
pemenang harus menunjukkan lebih banyak menahan diri, superioritas, terutama
saat dia tau ini akan direkam kamera, tapi aku tak peduli. Aku berlari ke arah
mereka dan bahkan akupun terkejut ketika pertama-tama aku berlari ke pelukan
Haymitch. Ketika dia berbisik ditelingaku, "Kerja bagus, sweetheart," nadanya
tak terdengar sarkastik. Effie tampak berkaca-kaca sambil menepuk-nepuk rambutku dan berbicara tentang
bagaimana dia mengatakan pada semua orang betapa hebatnya kami.
Cinna memelukku erat dan tak mengatakan apa-apa. Lalu kuperhatikan Portia tak
bersama kami dan aku jadi punya firasat buruk.
"Dimana Portia" Apakah dia bersama Peeta?" tanyaku tanpa henti. "Peeta baikbaik
saja kan" Maksudku, dia masih hidupkan?"
"Dia baik-baik saja. Hanya saja mereka ingin kalian melakukan reuni kalian
langsung di upacara," kata Haymitch.
"Oh. Karena itu," kataku. Saat mengerikan ketika memikirkan Peeta tewas kembali
berlalu. "Kurasa aku hanya ingin melihatnya sendiri."
"Pergilah dengan Cinna. Dia harus menyiapkanmu," kata Haymitch.
Lega rasanya bisa berduaan dengan Cinna ,merasakan lengannya yang melindungi
di bahuku ketika dia membawaku menjauh dari kamera, melewati jalan dan
menuju elevator yang menuju lobi Pusat Latihan. Rumah sakit berada jauh
dibawah tanah, bahkan dibawah gym tempat para peserta berlatih. Jendela-jendela
lobi digelapkan dan beberapa penjaga berdiri berjaga-jaga. Tidak ada orang lain
di sana yang mengantar kami menyebrang menuju elevator peserta. Langkah-langkah
kaki kami bergema dalam ruangan kosong. Dan ketika kami naik menuju lantai
dua belas, semua wajah peserta yang takkan pernah kembali melintas dibenakku,
membuat dadaku berat dan sesak.
Ketika pintu elevator terbuka, Venia, Flavius dan Octavia mengerubungiku, bicara
sangat cepat dan girang hingga aku tidak bisa mengerti apa yang mereka ocehkan.
Tapi perasaan mereka amat jelas. Mereka sungguh bahagia melihatku dan aku juga
bahagia bertemu mereka, meskipun kadarnya tak seperti kebahagiaanku melihat
Cinna. Rasanya lebih seperti seseorang yang merasa gembira bisa melihat tiga
binatang peliharaannya pada akhir hari yang sulit.
Mereka membawaku menuju ruang makan dan di sana aku mendapat makanan
sungguhan - daging sapi panggang, kacang polong dan roti lembut - walaupun
porsi makananku masih sedikit dikontrol, karena ketika aku minta tambah, mereka
menolak memberikannya. "Tidak, tidak, tidak. Mereka tak ingin semua makanan ini keluar lagi di
panggung," kata Octavia, tapi diam-diam dia menyelipkan roti tambahan untukku dibawah
meja agar aku tau dia mendukungnya.
Kami kembali ke kamarku dan Cinna menghilang sejenak ketika tim persiapannya
menyiapkanku. "Oh, mereka melakukan poles satu badan penuh padamu," kata Flavius dengan
nada iri. "Tak ada cacat sedikitpun di kulitmu."
Tapi ketika aku melihat tubuh telanjangku dicermin, aku hanya melihat betapa
kurusnya diriku. Maksudku, aku yakin kondisiku pasti lebih buruk ketika aku
keluar dari arena, tapi saat ini aku bisa menghitung jumlah rusukku dengan
mudah. Mereka membereskan pengaturan air pancuran untukku dan mereka menata
rambutku, kukuku dan makeup-ku ketika aku selesai. Mereka bicara tanpa henti
hingga aku tak perlu menjawab mereka, yang menurutku bagus karena akumerasa
tak kepingin bicara. Lucu sebenarnya, karena walaupun mereka berceloteh tentang
Hunger Games, semua yang mereka bicarakan adalah tentang dimana mereka
berada atau apa yang sedang mereka lakukan atau bagaimana perasaan mereka
ketika suatu peristiwa khusus terjadi. "Aku masih berbaring di ranjangku!" "Aku
baru menyemir alisku!" "Berani sumpah aku nyaris pingsan!" Segalanya tentang
mereka, bukan anak-anak lelaki dan perempuan yang tewas di arena.
Kami tidak bicara tentang Hunger Games di Distrik 12. Disana kami mengatupkan
gigi dan menontonnya karena kami harus melakukannya lalu berusaha kembali
melakukan kegiatan kami sesegera mungkin setelah tanyangan itu usai. Kata-kata
mereka hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan, untuk menjaga diriku agar
tak membenci tim persiapanku ini.
Cinna masuk membawa gaun kuning sederhana di kedua lengannya.
"Apakah kau sudah menyerah dengan segala konsep 'gadis yang terbakar' itu?"
tanyaku. "Menurutmu bagaimana," kata Cinna dan dia memakaikan gaun itu dari atas
kepalaku. Aku segera menyadari ada sumpalan dibagian dadaku, menambah lekuklekuk
ditubuhku yang hilang akibat kelaparan. Kedua tanganku memegang dadaku
lalu aku mengernyitkan dahi.
"Aku tau," kata Cinna sebelum aku bisa protes. "Tapi para Juri Pertarungan ingin
mengubah bentuk tubuhmu dengan operasi. Haymitch ribut besar dengan mereka
karena hal ini. Pakaian ini adalah bentuk kompromi." Dia menghentikanku


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum aku bisa melihat bayangan diriku. "Tunggu, jangan lupa sepatunya."
Venia membantuku memakai sandal kulit datar lalu aku berpaling ke cermin.
Aku masih 'gadis yang terbakar.' Kain yang halus ini berkilau lembut. Bahkan
gerakan samar di udara mengirimkan desiran ke sekujur tubuhku. Kostum kereta
tampak berkilauan sementara gaun wawancara terlalu malu-malu. Dalam gaun ini,
aku memberi ilusi seakan mengenakan cahaya lilin.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Cinna.
"Menurutku ini yang terbaik," kataku. Ketika mataku berpaling dari kain yang
berkelap-kelip, aku terkejut. Rambutku tergerai, tertahan dengan ikat rambut
sederhana, riasan wajahku mengisi sudut-sudut tajam wajahku, kuteks bening
menghias kukuku. Gaun tanpa lengan ini terpusat di rusukku bukan di pinggangku,
menghilangkan kesan sumpalan pada bentuk tubuhku. Ujung gaun jatuh tepat di
lututku. Sepatu tanpa hak membuat orang bisa melihat sosokku yang
sesungguhnya. Aku terlihat sederhana, seperti anak perempuan. Gadis muda.
Paling banter empat belas tahun. Lugu. Tak berbahaya. Ya mengejutkan, Cinna
berhasil menampilkanku seperti ini padahal aku baru saja menang Hunger Games.
Ini adalah penampilan yang penuh perhitungan. Tak ada satupun rancangan Cinna
yang tak punya tujuan. Kugigit bibirku berusaha mencari tau motivasinya.
"Kupikir tadinya lebih.. anggun," kataku.
"Kupikir Peeta akan lebih menyukai yang ini," jawab Cinna hati-hati.
Peeta" Bukan, ini bukan tentang Peeta. Ini tentang Capitol, para juri
pertarungan dan penonton. Walaupun aku tidak memahami rancangan Cinna, gaun ini
mengingatkanku bahwa Hunger Games belumlah berakhir. Dan dibalik
jawabannya yang sambil lalu ini, aku merasakan adanya bahaya. Sesuatu yang tak
bisa diungkapkan Cinna di depan timnya sendiri.
Kami masuk ke elevator menuju lantai tempat kami latihan. Sudah jadi kebiasaan
bagi pemenang dan tim pendukungnya untuk muncul dari bawah panggung.
Pertama tim persiapan, diikuti pendamping. Penata gaya. mentor. Dan akhirnya
sang pemenang. Tapi tahun ini, dengan dua pemenang yang memiliki pendamping
dan mentor yang sama, semua ini harus dipikirkan ulang. Aku berdiri di ruangan
temaram dibawah panggung. Piringan logam baru sudah terpasang untuk
membawaku keatas. Aku masih bisa mencium bau serbuk gergaji dan cat yang
masih baru. Cinna bersama tim persiapannya mengganti pakaian dan mengenakan
kostum mereka sendiri lalu mengambil tempat,meninggalkanku seorang diri.
Dalam keremangan, aku melihat dinding buatan yang jaraknya sekitar sepuluh
meter dan aku menduga Peeta ada dibaliknya.
Sorak-sorai penonton sangat ribut, sehingga aku tidak menyadari kehadiran
Haymitch sampai dia menyentuh bahuku. Aku terlonjak, terkejut, kurasa separuh
pikiranku masih berada di arena pertarungan.
"Tenang, ini aku. Sini kulihat dulu," kata Haymitch. Aku mengulurkan lenganku
dan berputar sekali. "Cukup bagus."
Kata-katanya tak terdengar seperti pujian.
"Tapi apa?" tanyaku.
Mata Haymitch memandangi ruang pengap diantara kedua tanganku yang terbuka
dan dia tampaknya mengambil keputusan. "Tapi tidak apa-apa. Bagaimana kalau
pelukan untuk keberuntungan?"
Oke, ini permintaan janggal dari Haymitch, tapi bagaimanapun kami adalah
pemenang. Mungkin pelukan untuk keberuntungan adalah wajib. Namun ketika
aku merangkulnya, aku merasa terperangkap dalam pelukannya. Dia mulai bicara,
sangat cepat, sangat pelan di telingaku, rambutku menutupi bibirnya.
"Dengar. Kau dalam masalah. Katanya Capitol murka karena kau melawan mereka
di arena. Mereka tak tahan ditertawai dan jadi bahan olokan Panem," kata
Haymitch. Saat ini rasa takut mengalir disekujur tubuhku, tapi aku tertawa seakan-akan
Haymitch mengatakan sesuatu yang menyenangkan karena tak ada apapun yang
menutupi mulutku. "Lalu apa?"
"Satu-satunya perlindunganmu adalah kau sedang kasmaran dan tidak bertanggung
jawab atas tindakan-tindakanmu." Haymitch mundur dan memperbaiki ikat
rambutku. "Jelas Sweetheart?"
Orang tak bisa menduga Haymitch bicara tentang apa.
"Jelas," kataku. "Kau sudah bilang pada Peeta tentang ini?"
"Tidak perlu," sahut Haymitch. "Dia sudah paham."
"Dan kaupikir aku tak paham?" tanyaku, sembari menggunakan kesempatan ini
untuk meluruskan dasi kupu-kupu merah cerah yang pasti dipasangkan oleh Cinna
dengan susah payah. "Sejak kapan apa yang kupikirkan penting untukmu?" tanya Haymitch. "Lebih baik
kita bersiap-siap diposisi."
Dia membawaku ke lingkaran logam. "Ini malammu, sweetheart. Nikmatilah."
Dia mencium keningku lalu menghilang dalam keremangan.
Kutarik rokku, berharap gaunku lebih panjang, berharap gaun ini bisa menutupi
lututku yang goyah. Lalu aku sadar tindakanku tak ada gunanya. Seluruh tubuhku
gemetar seperti daun. Aku berharap ini bisa diartikan sebagai rasa grogi karena
terlalu senang. Lagipula, ini kan malamku.
Bau apak dan lembab di bawah panggung membuatku tercekik. Keringat dingin
mengalir deras dan aku tak bisa menghalau pikiranku bahwa papan-papan diatas
kepalaku bakalan runtuh, menguburku. Ketika aku meninggalkan arena, ketika
trompet dimainkan, seharusnya aku merasa aman. Sejak saat itu. Selama sisa
hidupku. Tapi, jika yang dikatakan Haymitch benar, saat ini aku berada ditempat
yang paling berbahaya sepanjang hidupku.
Jauh lebih buruk daripada diburu di arena. Di sana aku paling hanya tewas. Habis
cerita. Tapi disini ada Prim, ibuku, Gale, penduduk Distrik 12, semua orang yang
kusayangi bisa dihukum jika aku tidak bisa tampil sesuai skenario sebagai
gadisyang-sedang-jatuh-cinta-setengah-mati seperti yang disarankan Haymitch.
Tapi aku masih punya kesempatan. Lucunya, di arena, ketika aku menuangkan
buah-buah berry itu, aku hanya berpikir untuk mempercundangi para Juri
Pertarungan, tak memikirkan bagaimana pengaruh tindakanku terhadap Capitol.
Tapi Hunger Games adalah senjata mereka dan kau tak seharusnya
mengalahkannya. Jadi sekarang Capitol akan bertindak seolah-olah mereka yang
mengontrol semua ini sepanjang waktu. Seakan mereka yang mengatur semua
kejadian ini, bahkan pada usaha bunuh diri bersama kami. Tapi hal itu hanya akan
berhasil jika aku bekerja sama dengan mereka.
Dan Peeta... Peeta juga akan menderita jika semua ini gagal. Tapi tadi apa kata
Haymitch ketika aku bertanya apakah dia sudah memberitahu Peeta tentang
keadaan ini" Bahwa dia harus berpura-pura jatuh cinta"
"Tidak perlu. Dia sudah paham."
Sudah paham dan berpikir lebih maju daripada pikiranku dalam Hunger Games
dan menyadari betapa berbahayanya keadaan kami" Atau sudah paham bahwa
kami sedang jatuh cinta setengah mati" Aku tak tau. Aku belum memilah-milah
beragam perasaanku tentang Peeta. Semuanya terlalu rumit. Apa yang kulakukan
adalah bagian dari Hunger Games dan kebalikannya adalah kemarahanku pada
Capitol. Atau karena aku memikirkan seperti apa tindakanku akan dilihat oleh
mereka di Distrik 12. Atau karena itu satu-satunya hal yang layak dilakukan.
Atau aku melakukannya karena aku menyayanginya.
Pertanyaan-pertanyaan ini harus kurenungkan lagi dirumah, dalam hutan yang
tenang dan damai, tanpa diawasi seorang pun. Bukan pada saat ini ketika semua
mata tertuju padaku. Tapi entah berapa lama aku bisa punya kemewahan itu. Dan
saat ini, bagian paling berbahaya dari Hunger Games segera dimulai.
Bab 27 LAGU kebangsaan berdentam ditelingaku, lalu aku mendengar suara Caesar
Flickerman menyambut penonton. Apakah dia tau betapa pentingnya setiap kata
yang terucap harus benar dari sekarang" Pasti dia tau. Dia pasti akan membantu
kami. Para penonton bertepuk tangan ketika tim persiapan muncul. Aku
membayangkan Flavius, Venia dan Octavia berjalan mondar-mandir dan
membungkuk-bungkuk konyol. Hampir dipastikan mereka tidak tau apa-apa. Lalu
Effie diperkenalkan, entah sudah berapa lama dia menunggu momen ini. Kuharap
dia bisa menikmatinya karena sebingung-bingungnya Effie, dia punya insting yang
tajam tentang hal-hal tertentu dan pasti dia mengira bahwa kami dalam masalah.
Tentu saja, Portia dan Cinna menerima sorak-sorai sambutan yang membahana,
mereka brilian. Sekarang aku memahami pilihan gaun Cinna yang kupakai malam
ini. Sebisa mungkin aku perlu tampak seremaja dan senaif mungkin. Kemunculan
Haymitch menimbulkan rentetan tepuk tangan yang berlangsung paling tidak 5
menit. Bagaimanapun, dia menjadi yang pertama. Bukan hanya menjaga satu
peserta tetap hidup, tapi dua. Bagaimana jika dia tidak memperingatkanku tepat
pada waktunya" Akankah aku bertindak berbeda" Memamerkan momen dengan
buah berry itu ke muka Capitol" Tidak, kurasa tidak. Tapi bisa jadi, aku jauh
lebih tak meyakinkan di banding sekarang daripada yang seharusnya. Saat ini juga.
Karena aku bisa merasa piringan logam itu mengangkatku ke panggung.
Cahaya yang membutakan. Sorakan yang memekakkan telinga mengguncang
logam di bawah kakiku. Lalu kulihat Peeta hanya beberapa meter jauhnya. Dia
tampak begitu bersih, sehat dan tampan, aku hampir tidak mengenalinya. Tapi
senyumnya tetap sama, baik di lumpur atau di Capitol dan ketika aku melihatnya.
Aku berjalan 3 langkah dan berlari ke pelukan Peeta. Dia tertatih mundur, hampir
kehilangan keseimbangannya dan pada saat itulah aku menyadari benda logam
yang di tangannya, semacam tongkat. Dia meluruskan tubuhnya dan kami
berpelukan sementara para penonton menggila.
Peeta menciumku dan sepanjang waktu itu aku berpikir, Apakah kau tau" Apakah
kau tau seberapa besar bahaya yang kita hadapi"
Setelah sekitar sepuluh menit, Caesar Flickerman menepuk bahu Peeta untuk
melanjutkan acara dan Peeta hanya mendorong lelaki itu ke samping bahkan tanpa
meliriknya. Penonton makin menggila. Entah Peeta tahu atau tidak, seperti biasa
dia bisa memainkan perannya dengan baik di hadapan penonton.
Akhirnya, Haymitch datang menyela lalu mendorong kami dengan manis menuju
kursi pemenang. Biasanya kursi pemenang hanyalah 1 yang dihias, di sana peserta
yang menang menonton film yang terdiri atas potongan-potongan Hunger Games
yang jadi sorotan. Tapi karena pemenangnya ada dua, para juri pertarungan telah
menyediakan sofa beludru merah yang empuk. Sofa kecil yang dijuluki ibuku
sebagai kursi cinta. Aku duduk amat dekat dengan Peeta hingga bisa dibilang aku
duduk di pangkuannya. Tapi ketika aku menoleh memandang Haymitch aku tau
usahaku belum cukup. Setelah melepas sandalku, aku melipat kakiku ke samping
dan menyandarkan kepalaku di bahu Peeta. Secara otomatis lengannya memelukku
dan aku merasa seakan aku kembali berada di gua, meringkuk di sampingnya,
berusaha menjaga tubuh kami agar tetap hangat. Kemejanya terbuat dari bahan
berwana kuning yang sama seperti gaunku, tapi Portia menyuruhnya memakai
celana panjang hitam. Dia tak mengenakan sandal, tapi sepatu bot hitam yang
gagah. Seandainya saja Cinna memberiku pakaian yang sama.. aku merasa amat
rapuh dalam gaun halus ini. Tapi kurasa itulah tujuannya.
Caesar Flickerman melontarkan beberapa lelucon, lalu tibalah saatnya tayangan
utama. Tayangan ini berlangsung selama tiga jam dan harus ditonton di seluruh
Panem. Semua lampu meredup dan lambang negara muncul di layar ,aku sadar aku
tak siap menghadapi semua ini. Aku tak ingin melihat dua puluh dua peserta lain
tewas. Cukup bagiku melihatnya di arena. Jantungku mulai berdebar dan aku
merasakan dorongan kuat untuk lari. Bagaimana mungkin para pemenang
menghadapi semua ini seorang diri" Selama tayangan ini, sesekali mereka
menampilkan reaksi pemenang dikotak kecil di sudut layar televisi. Kuingat
kembali tahun-tahun sebelumnya.. beberapa pemenang menunjukkan reaksi
kemenangan, meninju udara, memukul dada mereka. Kebanyakan dari mereka
tampak terperangah. Yang kutau, satu satunya yang membuatku tertahan di kursi
ini hanyalah Peeta - lengannya memeluk bahuku, tangannya yang satu lagi
merangkul kedua tanganku. Tentu saja, para pemenang sebelum ini tak diintai oleh
Capitol untuk dihancurkan.
Memadatkan kegiatan beberapa minggu dalam satu jam merupakan prestasi
tersendiri, terutama jika memperhitungkan berapa banyak kamera yang merekam
pada saat yang sama. Siapapun yg menyusun tayangan ini harus memilih cerita apa
yang ingin ditampilkannya. Tahun ini, untuk pertama kalinya, mereka
menampilkan kisah cinta. Aku tau aku dan Peeta sudah menang, tapi tampak sekali
mereka berlebihan menampilkan waktu-waktu kami berduaan sejak awal. Tapi aku
lega, karena tayangan ini mendukung konsep jatuh-cinta-setengah-mati yang jadi
pembelaanku melawan Capitol, selain itu kami tak perlu berlama-lama melihat
kematian demi kematian. Kurang-lebih setengah jam pertama terpusat pada kegiatan-kegiatan pra-arena,
hari pemungutan, naik kereta kuda melintasi Capitol, nilai-nilai latihan kami dan
wawancara- wawancara kami. Ada semacam lagu soundtrack dengan nada riang
yang membuatnya terdengar jadi 2 kali lebih mengerikan, karena hampir semua
yang ada di layar itu sudah tewas.
Setelah kami di arena, ada liputan pertarungan berdarah yang mendetail lalu para
pembuat film berganti-ganti menayangkan para peserta yang tewas dan kami.
Kebanyakan yang ditampilkan adalah Peeta, tak diragukan lagi dia memainkan
peran asmara ini dengan baik. Sekarang aku melihat apa yang dilihat para
penonton, bagaimana dia mengelabui kawanan Karier tentang diriku. Terjaga
sepanjang malam dibawah pohon tawon penjejak. Melawan Cato agar aku bisa
lolos. Bahkan ketika dia bersembunyi ditepi sungai berlumpur. Membisikkan
namaku dalam tidurnya. Sebaliknya, aku seperti tak punya perasaan - menghindari
bola-bola api, menjatuhkan sarang tawon dan meledakkan persediaan makanan -
sampai aku berburu untuk Rue. Mereka menayangkan kematiannya dengan utuh,
tombak menembus tubuhnya, usaha penyelamatanku yang gagal, anak panahku
yang menembus leher anak lelaki dariDistrik 1, Rue yang menghembuskan napas
terakhirnya dipelukanku. Dan lagunya. Aku menyanyikan setiap nada dalam lagu
itu. Ada sesuatu yang mati dalam diriku dan aku terlalu mati rasa untuk bisa
merasakan sesuatu. Aku seperti menonton orang asing dalam tayangan Hunger
Games yang lain. Tapi aku perhatikan mereka tak menyertakan bagian ketika aku
menghias jasadnya dengan bunga-bungaan.
Benar. Karena itu berarti setitik tanda pemberontakan.
Keadaan berbalik mengarah padaku setelah mereka mengumumkan bahwa dua
peserta dari distrik yang sama bisa tetap hidup dan aku menyerukan nama Peeta
lalu buru-buru menutup mulutku dengan tangan. Jika awalnya aku tidak peduli
dengan Peeta, aku membayarnya sekarang, dengan mencarinya, merawatnya
hingga kembali sehat, pergi ke pesta untuk mengambil obat dan menciumnya tanpa
pikir panjang. Secara objektif, aku bisa melihat mutt-mutt itu dan kematian Cato
sebagai kejadian mengerikan, tapi aku merasakannya terjadi pada orang-orang
yang tak pernah kukenal. Lalu tibalah momen buah berry itu. Aku bisa mendengar penonton saling
menyuruh yang lain untuk diam, mereka tak mau melewatkan yang satu ini.
Gelombang syukur untuk para pembuat film mengaliri sekujur tubuhku ketika
mereka tak mengakhiri tayangan ini dengan pengumuman nama kami sebagai
pemenang, tapi dengan aku memukuli pintu kaca di pesawat ringan, meneriakkan
nama Peeta ketika mereka berusaha menghidupkannya lagi.
Dalam hal bertahan hidup, itu adalah malam terbaikku.
Lagu kebangsaan diputar lagi dan kami berdiri ketika Presiden Snow naik ke
panggung diiringi gadis kecil yang membawa bantalan yang berisi mahkota. Tapi
hanya ada satu mahkota disana, terdengar kebingungan dari penonton - akan
dipasang dikepala siapa" - sampai Presiden Snow memutar mahkota itu dan
memisahkannya jadi dua. Dia memasang mahkota pertama disekitar alis Peeta
sambil tersenyum. Dia masih tersenyum ketika memasang mahkota kedua
dikepalaku, tapi matanya, yang hanya berjarak beberapa sentimeter dariku, tampak
selicik ular. Saat itulah aku tahu bahwa meskipun kami berdua makan buah berry itu, akulah
yang akan disalahkan karena punya ide semacam itu. Akulah penghasutnya.
Akulah yang akan dihukum.
Selanjutnya kami membungkuk memberi hormat dan bersorak gembira. Tanganku
hampir putus karena kebanyakan melambai ketika Caesar Flickerman akhirnya
menyampaikan ucapan selamat malam pada para penonton, mengingatkan mereka
untuk tetap menyaksikan televisi untuk wawancara akhir.
Aku dan Peeta digiring menuju rumah Presiden untuk Makan Malam Kemenangan,
disana kami tidak punya banyak waktu untuk makan karena para pejabat Capitol
dan para sponsor yang murah hati saling berebutan untuk berfoto bersama kami.
Wajah demi wajah lewat begitu saja dan jadi terasa memabukkan seiring dengan
berlalunya malam. Kadang-kadang,sekilas aku melihat Haymitch, yang
membuatku tenang atau Presiden Snow, yang membuatku takut, tapi aku tetap
tertawa dan berterima kasih pada orang-orang dan tersenyum ketika difoto.
Satusatunya yang tak pernah kulepaskan adalah tangan Peeta.
Matahari sudah mengintip dibalik cakrawala ketika kami kembali ke lantai dua
belas di Pusat Latihan. Kupikir akhirnya aku bisa bicara berdua dengan Peeta,
tapi Haymitch mengirimnya ke Portia untuk mencoba pakaian untuk wawancara dan
mengawalku menuju pintu kamarku.
"Kenapa aku tak boleh bicara dengannya?" tanyaku.


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Banyak waktu untuk bicara di rumah nanti," sahut Haymitch. "Tidurlah, kau akan
masuk televisi jam dua nanti."
Meskipun dihalangi Haymitch, aku bertekad untuk bisa bertemu Peeta berdua saja.
Setelah aku berbaring diranjang tanpa bisa memejamkan mata selama beberapa
jam, aku berjalan menuju lorong kamar. Pikiran pertamaku adalah memeriksa atap,
tapi tak ada siapa-siapa disana. Bahkan jalanan di bawah sana tampak kosong
setelah perayaan tadi malam. Aku kembali ke kamarku sebentar lalu memutuskan
untuk langsung ke kamarnya, tapi ketika aku berusaha memutar kenop pintu
ternyata kamarku dikunci dari luar. Awalnya kukira Haymitch pelakunya, tapi ada
ketakutan yang tersembunyi bahwa Capitol mungkin mengawasi dan menahanku
di sini. Aku tak pernah bisa kabur sejak Hunger Games dimulai, tapi ini lebih
personal. Kali ini terasa seperti aku ditahan atas kejahatan yang kulakukan dan
menunggu hukuman. Dengan cepat aku kembali ke ranjang dan pura-pura tidur
sampai Effie Trinket datang membangunkan dengan sapaan "Hari ini hari
besaaaar!" Aku punya waktu lima menit untuk makan semangkuk bubur panas dan rebusan
daging sebelum tim persiapan turun. Yang harus kukatakan adalah, "Para penonton
mencintaimu!" dan tak perlu berbicara lagi selama beberapa jam selanjutnya.
Ketika Cinna datang, dia mengusir mereka semua dan memakaikanku gaun putih
tipis dan sepatu pink. Kemudian dia memperbaiki riasan wajahku sampai aku
tampak memancarkan kilau halus kemerahan. Kami ngobrol basa-basi, tapi aku
takut menanyakan sesuatu yang sungguh-sungguh penting padanya karena sehabis
peristiwa pintu itu, aku tak bisa mengenyahkan perasaan bahwa aku sedang
diawasi terus-menerus. Wawancara berlangsung di ruang duduk. Ruangan itu sudah dibersihkan dan kursi
cinta dipindahkan kemari, dikelilingi berbagai vas bunga berisi mawar merah dan
pink. Hanya beberapa kamera yang akan merekam acara ini. Tidak ada penonton.
Caesar Flickerman memelukku dengan hangat ketika aku masuk ke ruangan.
"Selamat, Katniss. Bagaimana keadaanmu?"
"Baik. Tegang untuk wawancara," kataku.
"Jangan tegang. Kita akan melewati saat yang menyenangkan," katanya.
"Aku tak bagus bicara tentang diriku sendiri," kataku.
"Tidak bakal ada perkataanmu yang salah," katanya.
Lalu aku berpikir, Oh, Caesar, seandainya saja apa katamu itu benar. Padahal
sesungguhnya, Presiden Snow mungkin merancang semacam "kecelakaan"
untukku ketika kita sedang mengobrol.
Lalu Peeta berdiri disana ,tampak tampan dengan pakaian berwarna merah dan
putih, menarikku ke samping. "Aku tak bisa bertemu denganmu. Haymitch
bertekad memisahkan kita."
Sesungguhnya Haymitch bertekad menjaga kami tetap hidup, tapi terlalu banyak
telinga yang mendengar, jadi aku cuma bilang, "Ya, dia jadi sangat bertanggung
jawab belakangan ini."
"Yah, hanya tinggal ini dan kita bisa pulang. Dia tak bisa mengawasi kita
terusmenerus," kata Peeta.
Aku merasakan keringat dingin menetes dan tidak ada waktu lagi untuk mencari
tau kenapa aku berkeringat, karena mereka sudah siap untuk kami. Kami duduk
dalam posisi formal dikursi cinta itu. Tapi, Caesar berkata, "Oh, sana mendekat
dan bergelunglah disampingnya kalau kau mau. Tampaknya sangat manis."
Jadi aku berdiri lalu Peeta menarikku mendekat padanya.
Ada orang yang menghitung mundur dan tahu-tahu kami sudah disiarkan secara
langsung ke seantero negri. Caesar Flickerman luar biasa, dia menggoda, bercanda
dan terharu pada saat-saat yang diperlukan. Dia dan Peeta sudah memiliki
hubungan yang terbentuk pada malam wawancara pertama, obrolan santai
semacam itu, jadi aku hanya banyak tersenyum dan bicara sesedikit mungkin.
Maksudku, aku harus berbicara sedikit, tapi sebisa mungkin aku segera
mengarahkan percakapan kembali ke Peeta.
Namun pada akhirnya, Caesar mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
butuh jawaban lebih lengkap.
"Well, Peeta, pada hari-hari kalian di gua, kami tau bahwa dia adalah cinta
pertamamu sejak usia lima tahun, benar?" tanya Caesar.
"Sejak pertama kali aku memandangnya," kata Peeta.
"Tapi Katniss, ini perjalanan yang luar biasa untukmu," kata Caesar. "Kurasa hal
paling seru yang dinantikan penonton adalah melihatmu jatuh cinta padanya.
Kapan kau sadar bahwa kau jatuh cinta padanya?" tanya Caesar.
"Oh, ini sulit..," aku tertawa dibuat- buat dan menunduk memandangi kedua
tanganku. Tolong. "Yah, aku tau kapan kau sadar. Malam ketika kau meneriakkan namanya dari
pohon itu," kata Caesar.
Terima kasih, Caesar! pikirku, lalu aku meneruskan idenya. "Ya, kurasa itulah
saatnya. Maksudku, sebelum saat itu aku berusaha tak memikirkan
perasaanperasaanku padanya, sejujurnya karena itu membingungkan dan hanya akan
memperburuk keadaan jika aku sungguh-sungguh menyayanginya. Tapi, di pohon
pada saat itu, segalanya berubah," kataku.
"Kenapa begitu?" desak Caesar.
"Mungkin.. karena untuk pertama kalinya.. ada kemungkinan aku bisa
memilikinya," kataku.
Dibelakang juru kamera, aku melihat Haymitch mendesah lega dan aku tau aku
mengatakan hal yang benar.
Caesar mengeluarkan saputangan dan mengambil waktu sejenak karena dia merasa
amat terharu. Aku bisa merasakan dahi Peeta menempel di pelipisku lalu bertanya, "Jadi
sekarang setelah kau memilikiku, apa yang akan kaulakukan terhadapku?"
Aku menoleh memandangnya. "Menaruhmu ditempat dimana kau tak bisa
dilukai." Dan ketika Peeta menciumku, orang-orang di ruangan terdengar mendesah.
Caesar langsung meneruskan dengan berpindah adegan menanyakan segala macam
luka yang kami alami di arena, luka bakar, sengatan tawon dan luka-luka lain.
Tapi baru pada giliran bercerita tentang mutt, aku lupa bahwa aku sedang berada di
depan kamera. Ketika Caesar bertanya pada Peeta bagaimana keadaan "kaki
baru"nya. "Kaki baru?" tanyaku, lalu aku tak bisa menahan diri untuk tak mengulurkan
tangan dan menarik bagian bawah celana Peeta. "Oh, tidak," bisikku, sambil
menyentuh alat logam-dan-plastik yang mengganti dagingnya.
"Tak ada yang memberitahumu?" tanya Caesar dengan lembut.
Aku menggeleng. "Aku belum sempat memberitahunya," kata Peeta sambil mengangkat bahu
sedikit. "Ini salahku," kataku. "Karena aku menggunakan turniket itu."
"Ya, salahmu aku hidup." ujar Peeta.
"Peeta benar," kata Caesar. "Dia pasti mati kehabisan darah jika tak kautolong."
Kurasa pernyataannya benar, tapi aku tidak bisa menahan perasaan bingungku
hingga kupikir aku bakal menangis, lalu aku teringat pada kenyataan bahwa semua
orang di negri ini menontonku jadi segera saja kubenamkan wajahku di kemeja
Peeta. Butuh waktu beberapa menit untuk membujukku melepaskan wajahku dari
kemeja Peeta karena lebih baik aku menangis disana dan ketika aku akhirnya
melepaskan Peeta, Caesar tak lagi menanyaiku agar aku bisa memulihkan diri.
Bahkan dia sama sekali tak menanyaiku apa-apa sampai ke kejadian dengan buah
berry itu. "Katniss, aku tau kau shock, tapi aku harus bertanya. Pada saat kau mengeluarkan
buah-buah berry itu. Apa yang ada dalam pikiranmu..?" tanyanya.
Aku terdiam lama sebelum menjawab, berusaha mengingat lagi pikiranku. Ini
adalah momen penting apakah aku akan menantang Capitol atau melanjutkan
gagasan gila bahwa membayangkan Peeta tewas membuatku gila sehingga aku tak
bisa mempertanggungjawabkan perbuatanku. Rasanya aku harus mengucapkan
pidato panjang yang dramatis, tapi yang terucap dari mulutku adalah satu kalimat
pendek yang nyaris tak terdengar. "Aku tak tau, aku hanya.. tidak bisa
membayangkan.. hidup tanpa dia."
"Peeta" Ada yang mau kautambahkan?" tanya Caesar.
"Tidak. Kurasa jawaban itu sama untuk kami berdua," jawab Peeta.
Caesar berpamitan dan acarapun selesai. Semua orang tertawa, menangis dan
berpelukan, tapi aku masih tak yakin sampai aku mendekat ke Haymitch.
"Oke?" bisikku.
"Sempurna," jawabnya.
Aku kembali ke kamarku untuk mengambil beberapa barang dan tak menemukan
apapun kecuali pin mockingjay yang diberikan Madge. Ada orang yang
mengembalikannya ke kamarku seusai Hunger Games. Mereka mengantar kami
melewati jalanan dikota menuju kereta yang sudah menunggu kami. Kami hampir
tak punya waktu untuk mengucapkan selamat tinggal pada Cinna dan Portia,
meskipun kami bakalan bertemu mereka dalam beberapa bulan ke depan, ketika
kami melakukan kunjungan keliling ke distrik-distrik dalam upacara kemenangan.
Ini adalah cara Capitol untuk mengingatkan orang bahwa Hunger Games
sesungguhnya tak pernah berlalu. Kami semua akan dijejali banyak omong kosong
dan semua orang akan berpura-pura menyanjung kami.
Kereta mulai bergerak dan kami menuju kegelapan malam sampai kami keluar dari
terowongan dan pada saat itulah aku bisa bernapas lega untuk pertama kalinya
sejak hari pemungutan. Effie mendampingi kami kembali ke distrik dan tentu saja,
Haymitch ikut serta. Kami makan malam banyak sekali dan duduk tanpa bicara di
depan TV untuk menonton siaran ulang wawancara. Sementara Capitol makin
menjauh dibelakangku, aku mulai memikirkan rumah. Tentang Prim dan ibuku.
Tentang Gale. Aku permisi untuk mengganti gaunku dengan kaus sederhana dan
celana panjang. Perlahan-lahan aku membasuh riasan wajahku dan mengepang
rambutku. Aku mulai bertransformasi menjadi diriku. Katniss Everdeen. Gadis
yang tinggal di Seam. Berburu di hutan. Berdagang di Hob. Aku memandangi
cermin sementara aku mengingat siapa aku dan siapa yang bukan aku. Pada saat
aku bergabung dengan yang lain, tekanan yang kurasakan dari lengan Peeta yang
merangkulku terasa asing.
Ketika kereta berhenti sebentar untuk mengisi bahan bakar, kami diperbolehkan
keluar untuk menghirup udara segar. Tak ada gunanya lagi mengawasi kami. Aku
dan Peeta berjalan di sepanjang rel, bergandengan tangan dan kini setelah kami
berduaan aku malah tidak tau ingin bicara apa. Peeta berhenti untuk memetik
bunga- bunga liar untukku. Ketika dia memberikan bunga itu padaku, aku berusaha
keras untuk tampak senang. Karena dia tak tau bahwa bunga-bunga berwarna
pinkputih itu adalah bunga dari bawang liar dan membuatku teringat pada jam-jam
yang kuhabiskan bersama Gale untuk mengumpulkannya.
Gale. memikirkan diriku akan bertemu Gale beberapa jam lagi membuat perutku
mulas. Tapi kenapa" Aku tidak bisa menyusun alasannya di benakku. Aku hanya
tau bahwa aku merasa berbohong pada dua orang yang percaya padaku. Sejauh ini
aku bisa lolos dalam kebohonganku atas nama Hunger Games. Tapi dirumah tak
ada lagi Hunger Games yang bisa jadi tamengku.
"Ada apa?" tanya Peeta.
"Tidak apa-apa," jawabku. Kami terus berjalan, melewati gerbong terakhir, hingga
aku yakin tidak ada kamera tersembunyi di semak-semak disepanjang rel. Tapi
tidak ada kata terucap dari bibirku.
Haymitch membuatku terlonjak ketika dia menepuk punggungku. Bahkan saat ini,
ditempat tersembunyi entah dimana, dia bicara dengan suara rendah.
"Kerja yang bagus, kalian berdua. Tetap teruskan sampai tidak ada kamera lagi.
Kita akan baik-baik saja."
Aku mengawasi Haymitch berjalan kembali ke kereta dan menghindari tatapan
Peeta. "Apa maksud Haymitch?" Peeta bertanya padaku.
"Capitol. Mereka tidak menyukai aksi kita dengan buah berry itu," jawabku.
"Apa" Apa sih yang kaubicarakan?" tanya Peeta.
"Tindakan itu berbau pemberontakan. Jadi, Haymitch sudah mengarahkanku
selama beberapa terakhir ini. Agar aku tidak memperburuk keadaan," kataku.
"Mengarahkanmu" Tapi aku tidak," kata Peeta.
"Dia tau kau cukup cerdas untuk melakukannya dengan benar," kataku.
"Aku tak tau ada yang harus dilakukan dengan benar," tukas Peeta. "Jadi
maksudmu, beberapa hari terakhir ini dan kupikir.. di arena.. adalah strategi
yang kalian rencanakan?" "Bukan. Maksudku, aku tak bisa bicara dengannya di arena kan?" kataku tergagap.
"Tapi kau tau dia ingin kau melakukan apa, kan?" tanya Peeta. Kugigit bibirku.
"Katniss?" Peeta melepaskan tanganku dan aku berjalan selangkah, seakan ingin menemukan
keseimbanganku lagi. "Itu semua demi Hunger Games," kata Peeta. "Kau cuma berakting."
"Tidak semuanya akting," kataku sambil memegangi bungaku erat-erat.
"Seberapa banyak, kalau begitu" Ah, lupakan saja. Kurasa pertanyaan
sesungguhnya adalah seberapa banyak yang tersisa ketika kita di rumah nanti?"
tanyanya. "Aku tidak tau. Distrik 12 makin dekat dan aku jadi makin bingung," kataku.
Peeta menunggu penjelasan lebih lanjut, tapi tak ada kata-kata yang keluar.
"Yah, beritahu aku kapan kau tidak bingung lagi," katanya, kepedihan dalam
suaranya terdengar jelas.
Aku bisa mendengar langkah kaki Peeta kembali ke gerbong kereta. Pada saat aku
naik ke gerbong, Peeta sudah menghilang ke kamarnya sepanjang malam.
Keesokan paginya aku juga tak melihatnya. Pada saat Peeta muncul, kami sudah
memasuki distrik 12. Dia mengangguk padaku, wajahnya tanpa ekspresi.
Aku ingin bilang padanya bahwa dia bersikap tidak adil. Bahwa kami adalah dua
orang yang tak saling mengenal. Bahwa aku melakukan apa yang perlu dilakukan
untuk membuat kami tetap hidup, untuk membuat kami berdua tak tewas di arena.
Bahwa aku tidak bisa menjelaskan hubunganku dengan Gale karena aku sendiri
tidak tahu. Bahwa tak ada gunanya mencintaiku karena aku juga takkan pernah
mau menikah dan dia bakalan membenciku suatu saat nanti. Bahwa jika aku punya
perasaan untuknya, semua itu tak penting lagi karena aku takkan pernah bisa
punya cinta semacam itu, yang bisa membuatku membayangkan keluarga dan anak-anak.
Bagaimana mungkin Peeta bisa" Bagaimana bisa setelah semua yang kami alami"
Aku juga ingin memberitahunya bahwa saat ini aku sudah merindukannya. Tapi itu
berarti aku bersikap tidak adil.
Jadi kami berdiri tanpa bicara. Melalui jendela, aku bisa melihat peron penuh
dengan kamera. Semua orang bersemangat menyambut kepulangan kami.
Dari sudut mataku, kulihat Peeta mengulurkan tangannya. Aku memandangnya,
tak yakin dengan apa yang harus kulakukan.
"Sekali lagi" Untuk penonton?" tanya Peeta. Suaranya tak terdengar marah.
Suaranya terdengar kosong dan itu lebih buruk kedengarannya. Anak lelaki dengan
roti itu sudah terlepas dari genggamanku.
Kupegang tangan Peeta, kugenggam erat-erat, aku bersiap-siap menghadapi
kamera, dan ngeri membayangkan saat ketika aku harus melepaskan genggaman
tangan Peeta. -------AKHIR BUKU SATU-------
Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Terjebak Di Gelombang Maut 1 Goosebumps - Kamar Hantu Tangan Berbisa 16
^