Pencarian

Bulir Bulir Pasir Waktu 2

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon Bagian 2


ibunya, dan di pagi hari Dolores akan muncul dengan bibir yang pecah atau matanya bengkak dan biru.
"Mama, mengapa dibiarkan saja ia berbuat begitu?"
Graciela bertanya. "Kau tidak akan mengerti." Ibunya berkata. "Ia seorang pria sejati, tidak kerdil seperti yang lain-lainnya. Ia mengetahui bagaimana membuat seorang wanita puas.
Kecuali itu, ia tergila-gila padaku."
Graciela tentu saja tidak mempercayai kata-kata ibunya.
Ia mengetahui bahwa Moor itu mempergunakan ibunya.
Namun Graciela tidak pernah menegur ibunya lagi.
Pada suatu minggu pagi. Graciela telah bangun untuk
pergi ke gereja. Ibunya telah berangkat lebih pagi lagi, mengantar beberapa potong jahitan. Ketika Graciela
melepaskan gaun tidurnya, tirai itu disingkap dan Moor itu muncul. Pria itu telanjang.
"Di mana ibumu, guapa?"
"Mama sudah pergi pagi tadi. Ia harus mengantar
barang." Orang Moor itu memperhatikan tubuh Graciela yang
telanjang. "Kau benar-benar cantik." Pria itu berkata pelan.
Graciela merasa mukanya menjadi merah. Ia mengetahui
apa sebenarnya yang harus dilakukannya. Ia semestinya menutupi ketelanjangan dirinya, mengenakan rok dan blus dan pergi dari situ. Gantinya itu, ia berdiri saja di situ, tidak mampu bergerak. Ia melihat kejantanan pria itu mulai
membengkak dan bertumbuh semakin besar di depan
matanya. Dan Graciela seakan-akan dapat mendengar
suara-suara berdering di telinganya: "Lebih cepat. . Lebih keras!"
Graciela merasa dirinya menjadi lemas.
Orang Moor itu berkata dengan suara serak,
"Kau masih anak-anak. Ayo, ambil pakaianmu dan keluar dari sini."
Dan Graciela mendapatkan dirinya sendiri bergerak.
Bergerak ke arah pria itu. Graciela mengulurkan kedua lengannya dan melingkarkannya pada
pinggang pria itu dan dirasakannya kekerasan ke-
jantanan pria itu pada tubuhnya sendiri.
"Tidak." Graciela berdesah. "Aku tidak anak-anak lagi."
Kesakitan yang menyusul kemudian adalah yang belum
pernah dialami Graciela. Kenyerian yang tajam, merobek dan tidak tertanggungkan. Kesakitan yang menakjubkan, mempesona, indah. Graciela memeluk keras-keras orang
Moor itu, berteriak-teriak dengan kenikrnatan. Pria itu mendatangkan orgasme demi orgasme bagi Graciela, dan
Graciela berpikir: Ah, jadi inilah teka teki itu. Dan sungguh nikmat untuk mengetahui rahasia segala penciptaan itu, menjadi suatu bagian dari kehidupan itu sendiri,
mengetahui apa arti kenikmatan itu, sekarang dan untuk selamanya
"Terkutuk! Apakah yang kaulakukan?"
Itu suara Dolores Pinero yang berteriak, dan selama
sesaat segala sesuatu seperti berhenti, membeku dalam waktu. Dolores berdiri di sisi tempat tidur itu, memandang pada anaknya dan pada orang Moor itu.
Graciela memandang ke atas pada ibunya, tercekam
kengerian untuj berbicara. Mata Dolores itu menyorotkan kegilaan.
"Kau, anjing betina!" Dolores berteriak. "Kau, anjing betina terkutuk!"
"Mama. . mama. ."
Dolores mengangkat sebuah asbak besi yang ada di
samping tempat tidur itu dan dipukulkannya itu ke atas kepala anaknya.
Itulah yang terakhir yang teringat oleh Graciela.
Graciela sadar di sebuah ruangan rumah sakit. Ada dua lusin ranjang di situ, dan semuanya terpakai. Para
jururawat mondar mandir di situ.
Graciela merasakan kepalanya sakit sekali. Setiap kali ia bergerak, seperti sungai-sungai api mengarus di dalam dirinya. Ia terbaring di situ, mendengarkan teriakan dan erangan pasien-pasien lainnya.
Pada sore hari, seorang dokter yang masih muda
berhenti di sisi ranjang Graciela. Dokter itu berusia tiga puluhan, tapi kelihatan jauh lebih tua dan lelah sekali.
"Ah," kata dokter itu, "Kau akhirnya siuman."
"Di manakah aku?" Untuk berbicara saja sudah terasa sakit sekali.
"Kau berada di ruangan amal Rumah Sakit Provincial di Avila. Kau dibawa masuk kemarin. Dalam keadaan buruk
sekali. Kami terpaksa menjahit dahimu." Dokter itu melanjutkan. "Dokter kepala ahli bedah sendiri yang melakukan penjahitan itu. Katanya, kau terlalu cantik untuk dibiarkan menanggung cacat bekas luka."
Ia salah, Graciela berkata dalam hati. Aku akan cacat selama hidupku.
ada hari kedua, romo Perez datang bersambang pada
Graciela. Duduk di samping ranjang itu, romo Perez sejenak lamanya hanya memandang pada Graciela. Peristiwa
mengerikan yang telah terjadi atas diri anak itu merupkan skandal di Las Navas del Marques. Tetapi, yah, semua sudah terlanjur. Dolores sendiri telah mengatakan pada polisi bahwa anaknya telah terluka kepalanya karena terjatuh.
Romo Perez bertanya, "Bagaimana keadaanmu, nak"
Merasa baikan?" Graciela mengangguk, gerakan itu membuat kepalanya
berdenyut-denyut nyeri. "Pihak kepolisian telah bertanya-tanya kesana dan kesini. Apakah ada yang ingin kausampaikan lewat aku?"
Hening, lama sekali. Akhirnya Graciela berkata, "Cuma suatu kecelakaan."
Romo itu tidak sanggup melihat yang terkandung dalam
mata anak itu. "Oh, begitu."
Yang harus dikatakannya pada Graciela sungguh berat
diucapkannya. "Graciela, aku telah berbicara dengan ibumu. ."
Dan Graciela mengetahui. "Aku. . aku tidak bisa pulang ke rumah, bukan?"
"Ya, begitulah. Tetapi, baiklah kita membicarakan hal itu." Romo Peres memegang tangan Graciela. "Esok aku akan datang lagi."
"Terima kasih, romo."
Ketika romo itu sudah meninggalkannya, Graciela
terbaring di situ dan ia berdoa: Tuhan, biarkanlah aku mati.
Aku tidak mau hidup lebih lama lagi.
Keesokan harinya, dokter itu muncul lagi.
"Aku ada kabar baik." Dokter itu berkata.
"Kau sudah cukup pulih untuk pulang." Itu suatu kebohongan besar, tetapi yang dikatakannya kemudian
memang benar adanya. "Kami memerlukan ranjang ini. "
Graciela bebas untuk pergi. . namun, ke mana"
Ketika romo Perez datang sejam kemudian, ia disertai
seorang padri lain. "Ini romo Berrendo, seorang teman lamaku."
Perez benar sekali, romo Berrendo berkata dalarn hati.
Perempuan ini cantik sekali.
Romo Perez telah menceritakan kepada romo Berrendo
mengenai peristiwa yang terjadi atas diri Graciela. Romo Berrendo sebenarnya mengira akan melihat tanda-tanda
nyata dari jenis lingkungan hidup anak itu: kebinalan, kepasrahan, atau rasa kasihan pada diri sendiri. Ternyata tidak ada pada wajah gadis muda itu.
"Sungguh malang telah kaualami musibah ini." Romo Berrendo berkata. Kalimat itu jelas mengandung makna
lebih dalam. Romo Perez berkata, "Graciela, aku harus kembali ke Las Navas del Marques. Aku telah menyerahkan dirimu dalam pengurusan oleh romo Berrendo. "
Graciela dilanda oleh rasa kepanikan. Ia merasa seakanakan dirinya terputus hubungannya dengan dunianya.
"Jangan pergi." Ia memohon.
Romo Perez memegang tangan Graciela, "Aku mengetahui betapa kau merasa dirimu seorang diri
semata." Ia berkata dengan hangat. "Tetapi kau tidak sendirian. Percayalah, nak. Kau tidak sendirian."
Seorang jururawat mendekati ranjang itu dengan
membawa sebuah bungkusan. Yang diserahkannya kepada
Graciela. "Ini pakaian Anda. Agaknya Anda sudah harus berangkat sekarang."
Kembali kepanikan itu menyerang Graciela. "Sekarang?"
Kedua romo itu bertukar pandang.
"Bagaimana kalau kau mengenakan pakaianmu dulu dan kemudian ikut denganku." Romo Berrendo menyarankan,
"Kita bisa membicarakan ini."
Lima belas menit kemudian, romo Berrendo membantu
Graciela keluar dari rumah sakit itu.
Setelah mereka duduk di kantornya, romo Berrendo
berkata, "Romo Perez mengatakan padaku bahwa kau tidak ada tempat pulang."
Graciela mengangguk. "Kau tidak mempunyai keluarga?"
"Hanya. ." Sungguh sulit mengatakan itu. "Hanya. .
ibuku." "Menurut romo Perez kau jemaah yang setia datang ke gereja di desamu."
Sebuah desa yang tidak akan pernah dilihatnya lagi.
"Benar." Tiba-tiba. "Graciela, pernahkah kau berpikiran untuk masuk
sebuah biara?" "Tidak." Graciela terperanjat mendengar itu.
"Ada sebuah biara di Avila sini. Biara Cistercian. Mereka pasti akan merawat dan mengurus dirimu."
"Aku. . Entahlah. ." Gagasan yang menakutkan sekali.
"Biara itu bukan untuk sembarang orang." Romo Berrendo berkata. "Dan aku harus mengingatkan dirimu, ordo Cistercian adalah yang paling ketat peraturan-peraturannya. Sekali kau masuk lewat gerbang biara itu dan mengangkat sumpah, berarti telah kau buat suatu
perjanjian pada Tuhan untuk tidak keluar lagi dari situ."
Lama sekali Graciela duduk di situ, memandang ke luar jendela, benaknya penuh dengan pikiran-pikiran yang
saling bertentang-tentangan. Mengucilkan diri dari dunia, untuk selama-lamanya. Itu seperti masuk dalam penjara.
Tetapi, sebaliknya, apakah yang dapat ditawarkan dunia
kepada dirinya" Tidakkah ia sendiri telah berulang kali memohon kematian" Mungkin ini jalan keluar dari segala kesengsaraan dirinya.
Romo Berrendo berkata, "Terserah padamu, nak. Kalau kau mau, maka dapat kubawa dirimu bertemu dengan Ibu
Kepala biara itu." Graciela menganggukkan kepala. "Baiklah."
Ibu Kepala biara Cistercian di Avila itu Betina
memperhatikan wajah gadis di hadapannya. Semalam,
untuk pertama kalinya setelah sekian banyak, banyak
tahun, telah didengarnya suara itu berkata. Seorang anak yang masih muda akan datang padamu. Lindungilah anak
itu. "Berapa usiamu, sayang?"
"Empat belas." Berusia cukup. Pada abad keempat, paus telah
mendekritkan, bahwa anak-anak gadis dapat diizinkan
menjadi biarawati pada usia dua belas tahun.
"Aku takut." Graciela berkata pada Ibu Betina.
Aku takut. Kata-kata itu berdering dalam benak Betina.
Aku takut. Itu telah begitu lama berselang. Ia sendiri berbicara dengan romonya. "Entah, apakah aku memang terpanggil untuk itu, romo. Aku takut."
"Betina, kontak pertama dengan Tuhan memang bisa sangat menggelisahkan, dan keputusan untuk mengabdikan hidupmu pada-Nya memang merupakan suatu keputusan
yang berat sekali." Bagaimana aku telah menemukan panggilan hidupku"
Betina bertanya pada diri sendiri. Semasa gadisnya ia bahkan sedikitpun tidak tertarik pada agama. Sebagai gadis ia telah menghindari gereja dan sekolah minggu. Ia lebih tertarik pada pesta-pesta dan pakaian dan anak-anak lelaki.
Tetapi ketika ia berusia sembilan belas tahun, peristiwa-peristiwa yang terjadi mulai mengubah hidupnya.
Ia berada di tempat tidurnya, tidur, ketika suatu suara berkata, "Betina, bangunlah dan keluarlah. "
Betina membuka mata dan duduk, ketakutan. Dinyalakannya lampu dan disadarinya bahwa ia seorang
diri saja di situ. Sungguh sebuah impian yang aneh.
Tetapi suara itu begitu real. Betina berbaring lagi, tetapi tidak mungkin untuk tidur.
"Betina, bangunlah dan keluarlah."
Ah itu bawah sadarku, Betina berpikir. Untuk apa aku
mesti keluar di tengah malam buta begini"
Tetapi ia bangun juga, mengenakan jubah kamarnya dan
turun ke lantai satu. Seluruh rumah itu sunyi, semuanya tidur. Lewat pintu dapur ia keluar ke halaman. Ia melihat ke sekeliling dirinya dalam kegelapan itu, dan matanya
melihat pantulan sinar rembulan atas sebuah lemari es tua yang telah ditaruh di luar menyimpan alat-alat.
Betina tiba-tiba menyadari mengapa dirinya berada di
situ. Ia pergi ke lemari es itu dan seperti orang di bawah hipnose, dibukanya lemari es itu. Adik laki-lakinya yang masih berusia tiga tahun ada di dalam lemari es itu. Tidak sadarkan diri.
Itu adalah peristiwa yang pertama. Pada waktunya,
Betina menalarkannya itu sebagai suatu pengalaman yang
sepenuhnya wajar. Tentunya telah kudengar adikku itu
bangun dan keluar ke halaman. Aku mengetahui bahwa
lemari es itu ada di luar dan aku khawatir akan diri adikku, maka aku keluar dan memeriksa ke situ.
Pengalaman berikutnya tidak semudah itu penjelasannya. Kejadiannya sebulan kemudian.
Dalam tidurnya, Betina mendengar suatu suara berkata,
"Kau mesti memadamkan api."
Betina bangun, denyut nadinya memburu. Juga kali ini ia tidak bisa tidur lagi. Ia bangun dan turun ke ruangan depan.
Tidak ada asap, tidak ada api." Dibukanya kamar tidur orang tuanya. Semuanya normal. Juga tidak ada api di
kamar adiknya. Ah, aku ini sudah sinting, Betina berpikir. Semua ini cuma sebuah impian.
Ia kembali ke kamarnya dan baru naik ke atas tempat
tidurnya, ketika rumah itu diguncangkan oleh suatu
ledakan. Betina dan keluarganya lolos dan bahaya, dan orang-orang pemadam kebakaran berhasil menguasai
keadaan. "Api itu bermula di ruangan dasar." Seorang anggota pemadam kebakaran menerangkan, "Dan sebuah boiler meledak."
Peristiwa berikutnya terjadi tiga minggu kemudian. Kali ini benar-benar bukan sebuah impian.
Betina sedang membaca buku di beranda dan dilihatnya
seorang asing berjalan menyeberangi halaman rumah. Pria itu memandang pada Betina dan pada saat itu Betina
merasa suatu firasat buruk mencekam dirinya. Pria itu berbalik dan terus menghilang.
Tiga hari kemudian, Betina berada di sebuah gedung
perkantoran, menunggu lift. Pintu lift itu dibuka dan Betina sudah mau melangkah masuk, ketika dilihatnya operator lift itu. Operator itu ternyata adalah pria yang telah dilihatnya di halaman rumahnya. Betina melangkah
mundur, ketakutan. Pintu lift itu ditutup kembali dan mulai bergerak naik. Beberapa saat kemudian lift itu jatuh, membunuh semua orang yang berada di dalamnya.
Minggu berikutnya, Betina pergi ke gereja. Tuhan, aku tidak mengerti apa yang sedang berlangsung, dan aku
sungguh ketakutan. Mohon Dikau membimbing diriku dan
beritahukan padaku apa yang Dikau kehendaki.
Jawabannya datang malam itu dalam tidur Betina. Suara itu cuma mengatakan satu kata. Pengabdian.
Betina memikirkannya sepanjang malam, dan pada
keesokan paginya ia pergi berbicara dengan padri
gerejanya. Padri itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah. Kau memang seorang di antara orang-orang yang beruntung. Dirimu telah terpilih."
"Terpilih untuk apa?"
"Kau bersedia mengabdi kepada Tuhan, anakku?"
"Entahlah. Aku. . aku takut."
Tetapi pada akhirnya Betina masuk juga ke dalam biara.
Telah kupilih jalan yang benar, Ibu Betina berkata dalam hati. Karena belum pernah aku mengenal dan merasakan
kebahagiaan seperti ini. Dan kini, di hadapannya, ada anak yang terlunta-lunta itu, berkata, "Aku takut."
Ibu Betina memegang tangan Graciela. "Jangan buru-buru, Graciela. Tuhan tidak akan pergi. Pikirkanlah dulu dan kalau sudah, datanglah lagi dan kita akan
membicarakannya." Tetapi, apakah yang mesti dipikirkannya lagi" Aku tidak mempunyai tempat dalam dunia ini, Graciela berpikir. Dan keheningan itu akan baik sekali. Aku telah mendengar
terlalu banyak suara yang mengerikan. Graciela memandang pada Ibu Kepala biara itu, dan berkata, "Aku akan menyambut keheningan itu."
Itu semua terjadi tujuh belas tahun yang lalu, dan sejak itu Graciela telah mendapatkan kedamaian untuk pertama kalinya. Kehidupannya diabdikannya pada Tuhan. Masa lalu bukan punyanya lagi. Dirinya telah diampuni. Ia kini
menjadi pengantin Kristus, dan pada akhir hidupnya, ia akan bersatu dengan-Nya.
Selama bertahun-tahun di dalam keheningan mutlak itu, walaupun terkadang ada juga impian-impian buruk, suara-suara mengerikan di dalam benaknya berangsur-angsur
telah pergi. Suster Graciela diberi tugas bekerja di halaman,
merawat taman. Tembok-tembok biara itu tinggi, bagaikan gunung batu, dan mengelilingi dirinya. Namun Graciela tidak pernah meras dirinya dikungkung di dalam situ;
sebaliknya, tembok-tembok itu menutup dunia luar, dunia yang tidak ingin dilihatnya lagi.
Kehidupan dalam biara itu tenang dan penuh
kedamaian. Tetapi kini, secara tiba-tiba, impian-impian
buruknya berubah menjadi kenyataan. Dunianya telah
diserbu kaum barbar. Mereka telah memaksanya ke luar
dari tempatnya berlindung, memaksanya memasuki
kembali dunia yang telah ditolaknya untuk selama-
lamanya. Orang Moor itu telah kembali. Graciela dapat merasakan nafas panas pria itu di atas wajahnya. Sambil meronta melawannya, Graciela membuka mata, dan
ternyata adalah bruder itu yang berada di atas dirinya, mencoba memasuki tubuhnya. Dan bruder itu berkata,
"Janganlah melawan, suster. Kau akan menikmati ini !"
"Mama." Graciela berseru. "Mama! Tolonglah aku!"
-odwo- BAB TUJUH Lucia Carmine merasa senang sekali ketika ia berjalan di jalanan itu bersama Megan dan Teresa. Sungguh nikmat
mengenakan pakaian wanita kembali dan mendengar
bisikan sutera yang bergesek pada kuIitnya. Dilemparnya sekilas pandang pada kedua wanita lainnya itu. Kedua
biarawati itu berjalan canggung, tidak terbiasa dengan pakaian mereka berupa blus dan rok itu. Mereka seperti diturunkan dari sebuah planet lain. Benar-benar mereka itu tidak sesuai dengan planet bumi ini, Lucia berpikir. Mereka seperti memakai label TANGKAPLAH AKU pada diri
mereka. Suster Teresa yang paling canggung. Baginya dunia ini tidaklah nyata. Yang nyata adalah biara itu, dan ia ingin
sekali cepat-cepat lari ke tempat berlindung yang
bertembok tinggi itu.

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Megan menyadari bahwa para pria memandang pada
dirinya, dan ia merasa mukanya memerah. Ia telah begitu lama hidup di dunianya wanita saja, sehingga telah lupa bagaimana rasanya melihat seorang pria, apalagi seorang pria yang tersenyum pada dirinya. Sungguh merikuhkan, tidak sopan" mengguncang kalbu. Kaum pria itu
menimbulkan perasaan-perasaan yang telah dikuburnya
sejak lama dalam kalbunya. Untuk pertama kalinya sejak sekian banyak tahun, Megan menyadari kewanitaan
dirinya. Mereka sedang lewat bar yang tadi telah mereka lewati, dan suara musik masih sama kerasnya keluar dari dalam bar itu. Apa yang telah dikatakan bruder Carrillo mengenai bar itu" Itu musik rock 'n roll. Sangat digemari anak muda zaman sekarang. Ada sesuatu yang mengganggu dalam
pikiran Megan. Dan tiba-tiba Megan menyadari apa yang mengganggu dirinya itu. Ketika mereka melewati teater tadi, bruder itu telah mengatakan: Sungguh memalukan
yang dewasa ini dipertontonkan bios- kop. Film itu
sepenuhnya pornografi. Perbuatan yang paling pribadi
ditampilkan di situ untuk dili- hat oleh semua orang"
Jantung Megan mulai berdebar keras. Jika bruder
Carrillo telah terkurung dalam sebuah monasteri selama dua puluh tahun terakhir, bagaimana mungkin ia
mengetahui tentang musik rock atau yang dipertontonkan dalam film-film" Ada sesuatu yang amat tidak beres.
Megan berpaling pada Lucia dan Teresa, dan berkata
dengan gelisah, "Kita harus kembali ke toko itu."
Lucia dan Teresa melihat Megan berbalik dan berlari ke arah toko tadi, dan mereka segera mengikutinya.
Graciela sedang di atas lantai, dengan mati-matian
meronta dan bergulat untuk melepaskan diri dari Carrillo.
"Sialan, kau ini! Diamlah!" Pria itu menjadi marah dan tidak sabaran.
Carrillo mendengar suatu suara dan ia menoleh. Ia
melihat tumit sepatu melayang ke arah kepalanya, dan
itulah yang terakhir diingatnya.
Megan membantu Graciela yang bergemetaran itu
bangun. Mendekapnya. "Shhh. Sudah, sudah tidak apa-apa.
Ia tidak akan mengganggumu lagi."
Graciela memerlukan beberapa menit untuk dapat
berbicara. "Ia. . Ia. . bukan kesalahanku kali ini." Ia berkata dengan memohon.
Lucia dan Teresa telah pula tiba di situ. Lucia segera mengerti yang telah terjadi di situ.
"Haram jadah itu!"
Diperhatikannya pria setengah telanjang yang dalam
keadaan tidak sadar tergeletak di atas lantai itu. Lucia cepat bergerak, diambilnya beberapa buah ikat pinggang kulit dari sebuah rak, dan diikatnya kedua tangan Carrillo itu dengan ikat pinggang itu. "Ikat juga kakinya." Ia berkata pada Megan.
Akhirnya Lucia berdiri, puas. "Nah, begitu. Kalau mereka membuka toko ini, sore nanti, haram jadah itu biar
menjelaskan sendiri kepada mereka apa yang dilakukannya di sini." Ia memandang pada Graciela. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku. . aku" ya, aku tidak apa-apa."
"Kita sebaiknya segera meninggalkan tempat ini." Megan berkata. "Kau kenakanlah pakaianmu. Cepat."
Ketika merka sudah siap untuk pergI, Lucia berkata
"Tunggu, sebentar."
Lucia pergi ke mesin peti uang dan ditekannya sebudh
tombol. Ada beberapa ratus peseto di dalam kas-register itu. Semuanya diambil oleh Lucia.
Ia melihat wajah-wajah ketiga suster lainnya yang
memperIihatkan ketidak setujuan mereka atas tindakan
Lucia itu. Lucia berkata, "Begini, suster. Kalau Tuhan tidak menghendaki kita mengambil uang ini, Ia tidak akan
meletakkannya di situ."
Mereka duduk di sebuah kafe, membicarakan langkah-
Iangkah yang harus diambil. Suster Teresa berkata "Kita harus membawa salib ini ke biara di Mendavia secepat
mungkin, di sana kita akan aman. "
Tetapi tidak bagiku, Lucia berpikir. Keselamatanku
adalah di bank di Swiss itu. Tetapi baiklah. Aku harus dapat menguasai salib itu.
"Biara di Mendavia itu adalah di sebelah utara dan sini, bukan?"
"Ya." "Orang-orang yang mengejar kita pasti akan melakukan pencarian di semua kota. Maka sebaiknya malam ini kita tidur di daerah perbukitan sana."
Sehingga tidak seorang pun akan mendengarnya, kalau
ia berteriak. Seorang pelayan.datang pada mereka.
Suster Megan berkata, "Perjalanan kita masih jauh dan berat. Aku menyarankan agar kita memesan makanan dan
minuman yang dapat membekali diri kita dengan tenaga."
Lucia memandang pada suster itu dengan penuh
perhatian. Suster Megan inilah yang harus kuawasi Lucia berpikir. Dan ia berkata, "Suster Megan benar. Biar aku yang memesan, suster-suster.
Ketika mereka mencapai suatu tempat yang dikelilingi
pepohonan di dataran tinggi dari daerah perbukitan luar kota kecil itu, Lucia berkata, "Kita dapat melewatkan malam ini di sini. Esok pagi kita akan berangkat menuju biara di Mendavia itu."
Ketiga suster lainnya mengangguk, mempercayainya.
Malam akhirnya tiba. Mereka berbaring di atas rumput hijau dan segar itu.
Lucia terbaring di situ, bemafas pelan, menantikan
keheningan yang lebih dalam, menunggu yang lainnya
tertidur, agar ia dapat bergerak.
Suster Teresa sulit tertidur. Suatu pengalaman yang
ganjil, terbaring di bawah langit berbintang, dikelilingi suster-suster lainnya. Mereka kini mempunyai nama
masing-masing, wajah dan suara sendiri-sendiri, dan suster
Teresa khawatir bahwa Tuhan akan menghukumnya atas
pengetahuan terlarang itu.
Suster Megan juga kesulitan tidur. Ia merasa dirinya
tegang dengan pengalaman-pengalaman mengguncangkan
tadi. Bagaimana aku secara mendadak merasa dan
mengetahui bahwa bruder itu palsu" Dan dari manakah aku memperoleh keberanian untuk menyelamatkan suster
Graciela" Suster Megan tersenyum sendiri, tidak bisa tidak merasa bangga atas dirinya sendiri, sekalipun ia menyadari bahwa perasaan bangga seperti itu adalah suatu dosa.
Suster Graciela sudah tertidur, secara emosional
terkuras habis tenaganya.
Lucia Carmine diam menanti. Ia terbaring di situ selama hampir dua jam, dan kemudian tanpa menimbulkan suara
ia duduk dan bergerak di kegelapan itu ke tempat suster Teresa terbaring. Akan diambilnya bungkus berisi salib emas itu lalu menghilang dari situ.
Ketika ia tiba di dekat suster Teresa, Lucia melihat
bahwa suster itu masih belum tidur bahkan sedang berlutut dan berdoa. Sialan! Buru-buru ia bergerak kembali ke
tempatnya sendiri. Ia berbaring lagi, memaksa dirinya bersabar. Mustahil bahwa suster Teresa akan berdoa
sepanjang malam. Bagaimanapun suster Teresa juga harus tidur.
Lucia menyusun rencana gerakan-gerakannya. Uang
yang diambil dari toko itu akan cukup baginya untuk naik bus atau kereta api ke Madrid. Sesampainya di sana akan mudah sekali menemukan tempat untuk menggadaikan
salib emas itu. Lucia sudah dapat membayangkan dirinya masuk dan menyerahkan salib emas itu pada pelayan
pegadaian itu. Orang itu pasti sudah menyangka bahwa
saIib itu barang curian, tetapi itu tidak menjadi soal. Ia akan
menawarkan pada banyak orang yang berminat akan saIib itu.
Akan kuberikan seratus ribu peseta untuk salib itu.
Dan ia, Lucia, akan memungutnya kembali salib itu. Aku lebih
suka menjual tubuhku daripada menerima penawaran semurah itu. Seratus lima puluh ribu peseta.
Aku lebih suka meleburnya dan membiarkan cairan
emasnya mengalir ke dalam selokan.
Dua ratus ribu peseta. Itu penawaranku yang terakhir.
Anda sama saja dengan merampok diriku, tetapi baiklah aku terima.
Orang toko pegadaian itu akan bernafsu sekali
mengambil salib emas itu.
Dengan satu syarat. Syarat" Ya. Aku telah kehilangan pasporku. Anda mengetahui
seseorang yang dapat mengatur agar aku mendapatkan
sebuah paspor" Tangannya akan tetap menggenggam salib emas itu.
Dan pelayan toko pegadaian itu akan ragu, kemudian
berkata. Kebetulan aku mempunyai seorang teman yang
dapat mengurus hal-hal seperti itu.
Maka jadilah salib emas itu berganti tangan. Dan ia,
Lucia, sudah akan berada di dalam perjalanan ke Swiss dan menuju kebebasan. Diingatnya kata-kata ayahnya. Uang itu banyaknya melebihi yang dapat kau habiskan seumur
hidupmu. Mata Lucia mulai merapat. Sungguh suatu hari panjang
dan melelahkan, yang telah dilalui itu.
Dalam setengah-jaga-setengah-tidur, Lucia mendengar
bunyi sebuah lonceng gereja dari desa yang di kejauhan itu.
Dan bunyi itu mengirim suatu banjir kenangan melanda
dirinya. Kenangan dari suatu tempat lain, suatu waktu lain. .
-odwo- BAB DELAPAN Taormina, Sisilia - 1968 Setiap pagi ia dibangunkan oleh bunyi genta-genta
gereja San Domenico di kejauhan, tinggi di pegunungan Peloritani yang mengelilingi Taormina. Lucia Maria
Marmine, anak perempuan Angelo Carmine. Kenyataan itu saja sudah membuat seseorang merasa paling bahagia di dunia ini.
Mereka tinggal di sebuah villa besar dengan jumlah
pelayan yang banyak sekali. Lucia Carmine yang berusia lima belas tahun, setiap pagi diantar seorang pengawal ke sekolah, naik sebuah sedan berlapis baja. Ia besar dengan pakaian paling indah dan bermain dengan boneka termahal di seluruh Sisilia.
Namun, yang menjadi pusat kehidupan Lucia adalah
ayahnya. Di mata Lucia, ayahnya adalah orang paling
tampan di dunia. Ayahnya itu pendek dan berbadan
gempal, dengan wajah yang kuat dan sepasang mata coklat yang menyorotkan kekuasaan. Angelo Carmine mempunyai
dua anak laki-laki, Amaldo dan Victor, tetapi anak
perempuannya. Lucia, merupakan buah hatinya. Dan Lucia memuja ayahnya. Jika di gereja mendengar padri
berkhotbah tentang Tuhan, maka Lucia selalu berpikir
tentang ayahnya. Ayahnya suka duduk di samping tempat tidurnya di pagi hari dan berkata, "Sudah waktunya kau bangun untuk sekolah, sayangku berwajah bidadari." Faccio d'angelo.
Tentu saja itu tidak benar. Lucia mengetahui bahwa dirinya tidaklah cantik. Aku ini menarik, Lucia berkata pada diri sendiri sambil memperhatikan dirinya di kaca cermin.
Tetapi, jika wajah tidak begitu cantik, itu diimbangi oleh tubuhnya. Pada usia lima belas tahun, Lucia memiliki tubuh seorang wanita, dengan buah dada yang bulat dan kencang, pinggang yang kecil, dan pinggul yang bergerak penuh janji sensual.
"Tidak lama lagi kita sudah harus mengawinkanmu."
Ayahnya suka menggoda. "Tidak lama lagi kau akan membuat para pemuda pazzo, tergila-gila pada dirimu,
perawanku yang cantik."
"Aku mau kawin dengan seseorang seperti papa. Tetapi tidak ada orang yang seperti papa."
Angelo Carmine tertawa. "Tidak menjadi soal. Akan kita carikan seorang pangeran untukmu. Kau dilahirkan di
bawah bintang keberuntungan, dan pada suatu hari kau
akan mengetahui bagaimana rasanya seorang pria
mendekap dirimu dan bercinta denganmu."
Lucia merasa pipinya menjadi merah. "Ya, papa."
Memang benar belum ada orang yang mau bercinta
dengannya. . selama dua belas jam terakhir. Benito Palas, salah satu pengawal itu, selalu datang ke tempat tidur Lucia
jika ayahnya keluar kota. Bercinta dengan Benito di rumah menambahkan ketegangan, karena Lucia mengetahui
ayahnya pasti akan membunuh mereka berdua jika sampai perbuatan mereka itu ketahuan.
Benito berusia tiga puluhan, dan pria itu merasa bangga bahwa anak perempuan Angelo Carmine yang termashur
itu, yang cantik dan masih muda itu, telah memilih dirinya dalam pemetikan mahkota kegadisannya.
"Adakah yang kaurasakan sesuai harapanmu?"
Benito bertanya ketika pertama kali meniduri Lucia.
"Oh, ya." Lucia berdesah. "Lebih hebat."
Dan Lucia berpikir. Kalaupun ia tidak sehebat Mario,
Tony atau Enrico, ia jelas lebih hebat daripada Roberto dan Leo. Lucia tidak ingat lagi nama-nama yang lainnya.
Pada usia tiga belas tahun, Lucia merasa dirinya cukup lama sebagai gadis perawan. Ia telah mencari-cari di
sekeliling dirinya, dan memutuskan bahwa pemuda yang
beruntung haruslah Paolo Costello, putra dokter pribadi Angelo Carmine. Paolo berusia tujuh belas tahun, jangkung dan bintang sepakbola di sekolahnya. Lucia telah jatuh cinta pada Paolo sejak pertama kali melihat pemuda itu.
Paolo sendiri menganggap anak perempuan Angelo
Carmine yang menarik itu masih seorang anak-anak.
Tetapi, pada suatu hari panas di bulan Agustus, Lucia memutuskan dirinya tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Ia menelepon Paolo. "Paolo ini Lucia Carmine. Ayahku ada sesuatu yang ingin dibicarakannya denganmu, dan ia bertanya apakah kau
dapat menemuinya siang ini di rumah kami?"
Paolo merasa heran tetapi juga bangga. Ia sangat
mengagumi Angelo Carmine, tetapi ia tidak pernah
membayangkan pemimpin mafia yang sangat berkuasa itu
menaruh perhatian atas dirinya.
"Aku akan senang sekali." Paolo berkata. "Jam berapa aku harus berada di sana?"
"Pukul tiga." Waktu siesta seluruh dunia tidur siang. Rumah dengan
kolam renang itu terpencil, di ujung tanah milik Carmine yang amat luas, dan ayahnya akan berada di luar kota.
Tidak ada kemungkinan dipergoki orang.
Paolo datang tepat pada jam tiga. Pintu gerbang menuju ke taman terbuka, dan Paolo langsung ke rumah itu. Ia berhenti di depan pintu yang tertutup itu dan mengetuk.
"Signore Carmine" Pronto?"
Tidak ada jawaban. Paolo melihat jam tangannya.
Dengan pelan-pelan dibukanya pintu yang tidak terkunci itu dan ia melangkah ke dalam. Ruangan itu gelap.
"Signore Carmine?"
Sesosok tubuh bergerak ke arah dirinya. "Paolo?"
Paolo mengenali suara Lucia. "Lucia, aku mencari ayahmu. Ia berada di sini?"
Lucia kini sudah sangat dekat, cukup dekat bagi Paolo untuk melihat bahwa gadis itu telanjang bulat.
"Yah Tuhan!" Paolo terengah. "Apa. .?"
"Aku menginginkan kau bercinta denganku."
"Kau sudah pazzo, sinting! Kau masih anak-anak. Aku mau keluar dari sini." Paolo mulai bergerak ke arah pintu.
"Silakan. Akan kukatakan pada ayahku, bahwa kau telah memperkosa diriku."
"Tidak, tidak dapat kaulakukan itu."
"Pergilah, dan kau akan mengetahui apakah aku
bermain-main." Paolo berhenti. Jika Lucia melaksanakan ancaman itu,
Paolo mengetahui benar apa yang akan menjadi nasib
dirinya. Pengebirian baru akan merupakan permulaan.
Ia berjalan kembali pada Lucia, mau membujuknya.
"Lucia, sayang. ."
"Aku senang kalau kau menyebutku sayang."
"Tidak, dengarkanlah aku, Lucia. Ini serius sekali.
Ayahmu akan membunuhku jika kau mengatakan padanya
bahwa aku memperkosa dirimu."
"Aku tahu." Paolo mencoba lagi. "Ayahku akan dipermalukan.
Seluruh keluargaku akan jatuh."
"Aku tahu." Sia-sia. Percuma saja. "Apakah yang kauinginkan
dariku." "Aku menginginkan kau yang melakukannya padaku. "
"Tidak. Itu tidak mungkin. Jika ayahmu mengetahuinya, akan dibunuhnya aku."
"Dan kalau kau pergi dari sini, ia akan membunuhmu.
Tidak ada banyak pilihan bagimu, bukan?"
Paolo memandang pada gadis itu, bengong. Panik.
"Mengapa mesti aku, Lucia?"
"Karena aku cinta padamu, Paolo!" Lucia menyambar tangan Paolo dan menekankannya pada selangkangannya.
"Aku ini seorang wanita. Buatlah aku merasa sebagai wanita sejati."
Di ruangan gelap samar-samar itu Paolo dapat melihat
pasangan bukit buah dada Lucia itu, puting susunya yang keras, dan bulu kelam halus di antara kedua pahanya.
Jesus Paolo berkata dalam hati. Apakah yang dapat
dilakukan oleh seorang pria"
Lucia membimbing Paolo ke sebuah sofa, membantu pria
itu melepaskan celana panjang dan celana pendeknya.
Lucia berlutut dan mencium Paolo, mengisapnya pelan-
pelan. Dan Paolo berpikir: ia sudah pernah melakukan ini sebelumnya. Dan ketika tubuh Paolo berada di atas tubuh Lucia, menenggelamkan kejantanannya dalam-dalam ke
dalam tubuh mulus itu, dan Lucia memeluknya pada
pinggangnya, pinggulnya naik dan naik, mendesak dengan penuh nafsu pada tubuh Paolo yang menindihnya itu, Paolo berpikir: Yah, Tuhan. Ia memang hebat sekali.
Lucia sendiri merasa di surga ketujuh. Seakan-akan akan dirinya memang dilahirkan untuk ini. Secara naluriah ia mengetahui apa
yang harus dilakukan-nya untuk menyenangkan pria itu dan menyenangkan dirinya sendiri.
Seluruh tubuhnya menyala. Lucia merasa dirinya diguncang ke suatu puncak, semakin tinggi dan semakin tinggi, dan ketika akhirnya itu terjadi, ia berteriak dalam kenikmatan yang semurni-murninya. Mereka tergeletak di situ, terkuras habis bernafas dengan tersengal-sengal.
Akhirnya, Lucia berbicara. Ia berkata, "Waktu yang sama, esok."
Ketika Lucia berusia enam belas tahun, Angelo Carmine memutuskan sudah waktunya bagi anak perempuannya
melihat dunia. Dengan bibi Rosa sebagai pendamping, Lucia melewatkan liburan sekolahnya di Capri dan Ischia,
Venesia dan Roma, dan selusin tempat lainnya.
"Kau haruslah berbudaya, berpendidikan. . jangan menjadi seorang petani, seperti papamu. Melakukan
perjalanan dan melancong ke tempat-tempat lain akan
melengkapkan pendidikanmu."
"Baik, papa." Tetapi, dengan perencanaan yang cermat dan berhati-
hati, Lucia justru berhasil menghindari kota-kota itu. Bibi Rosa berkeras setiap hari harus siesta, istirahat setiap siang dan tidur sore-sore.
Maka, selagi bibi Rosa tidur, Lucia melantai di Quisisana di Capri, naik carrossa, kereta yang ditarik seekor kuda, bergabung pada sekelompok pemuda pelajar di Marina
Piccola, pergi berpiknik di Bagni di Tibirio, dan dengan funicolare ke Anacapri, tempat ia bergabung dengan
sekelompok mahasiswa Perancis untuk minum-minum di
Piazza Umberto I. Di Venesia, seorang gondolir - pendayuh perahu - yang tampan membawa Lucia ke sebuah disko, dan seorang
nelayan membawa dirinya memancing ikan di Chioggia.
Dan bibi Rosa terus tidur.


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di Roma, Lucia minum anggur dan Apulia dan
menemukan restoran-restoran plesiran seperti Marte dan Ranieri dan Giggi Fazzi.
Ke mana pun Lucia pergi, ia menemukan bar-bar kecil
yang tersembunyi dan klub alam dan pria-pria romantik dan tampan, dan Lucia berkata dalam hati: Papa sayang
memang benar sekali: Melancong seperti ini telah
melengkapkan pendidikanku.
Ketika Lucia kembali, pulang ke Taormina, kepada
teman-temannya yang terdekat ia mengaku: Aku telanjang bulat di Naples, dilembari batu di Salemo, diraba-raba di Florence dan ditiduri di Lucca."
Bagi orang-orang yang cukup berani atau cukup tolol
untuk mencari tahu, Angelo Carmine bergerak di dalam
bisnis real estate. Itu baru sebagain memang benar, karena keluarga Carmine memiliki villa di Taormina, sebuah
rumah di Danau Como di Cemobbio sebuah rumah di
Gstaad, sebuah apartemen di Roma, dan sebuah
perusahaan pertanian besar di luar kota Roma. Namun juga kenyataan, bahwa Carmine bergerak di dalam sejumlah
bisnis yang penuh kehebohan. Ia memiliki selusin rumah pelacuran, dua buah kasino judi, enam buah kapal yang mengangkut kokain dari perkebunan-perkebunannya di
Kolombia, dan sejumlah perusahaan lain yang sangat
menguntungkan, termasuk di dalamnya usaha rentenir.
Angelo Carmine adalah capo, kepala Mafiosi Sisilia,
sehingga layaklah bahwa ia hidup serba berkecukupan.
Kehidupannya merupakan suatu ilham bagi orang-orang
lain, bukti nyata bahwa seorang petani Sisilia yang miskin, yang berambisi dan bekerja keras, dapat menjadi kaya dan berhasil.
Carmine telah memulai sebagai seorang remaja pesuruh
dari mafiosi ketika ia berusia dua belas tahun. Pada usia lima belas ia menjadi seorang penagih dari rentenir-rentenir mafia, dan pada usia enam belas tahun ia
membunuh orangnya yang pertama. Tidak lama kemudian,
ia kawin dengan Anna, ibu Lucia. Pada tahun-tahun
berikutnya, Carmine menaiki tangga organisasi mafia yang penuh bahaya itu hingga mencapai puncak, meninggalkan sederetan musuh-musuh yang mati di belakangnya. Ia telah maju, namun Anna tetap gadis petani yang sederhana yang telah dinikahinya. Anna memberikan tiga orang anak,
namun setelah itu sumbangsihnya pada kehidupan Angelo berakhir. Seakan-akan mengetahui bahwa dirinya tidak
mempunyai tempat lagi di dalam kehidupan keluarga itu, Anna meninggal.
Arnaldo dan Victor mendampingi ayah mereka di dalam
bisnis, dan sejak masa anak-anak, Lucia selalu ikut atau mencuri dengar pembicaraan-pembicaraan yang hangat
dan penuh ketegangan di antara ayahnya dan kedua
kakaknya, mendengarkan kisah-kisah cara mereka itu
mengibuli dan mengalahkan musuh-musuh mereka. Bagi
Lucia, ayahnya itu bagaikan seorang ksatria dan ia tidak melihat apa pun yang salah dalam perbuatan-perbuatan
ayah dan kedua kakaknya. Bagi Lucia, ayah dan kedua
kakaknya itu warga teladan. Buktinya adalah pada pilihan teman-temanayahnya. Sekali dalam seminggu, Angelo
Carmine mengadakan suatu pesta makan yang meriah
sekali di villa mereka, dan " wah - orang-orang yang duduk semeja dengan Carmine itu! Walikota pasti hadir, dan
sejumlah pembesar negeri, dan hakim dan jaksa, di
samping pembesar-pembesar itu adalah bintang-bintang
film dan penyanyi-penyanyi opera, dan sering pula kepala polisi dan seorang uskup. Beberapa kali bahkan gubernur sendiri menghadiri pesta mingguan itu.
Kehidupan Lucia memang kehidupan yang diidam-
idamkan setiap orang, penuh pesta-pesta, pakaian indah
dan perhiasan, mobil dan pelayan, dan teman-teman yang sangat berkuasa. Dan kemudian, pada suatu bulan Februari, pada usia Lucia yang kedua puluh tiga, semua itu berakhir secara mendadak.
Mulainya sangat tidak kentara. Dua orang pria datang ke villa itu menemui ayahnya. Yang seorang adalah teman
keluarga, kepala polisi, yang seorang lagi ajudannya.
"Maafkan kami, Padrone." Kepala polisi itu memulai,
"Tetapi ini merupakan suatu formalitas tolol yang dipaksakan kommisioner dan harus kulaksanakan. Beribu-ribu maaf, Padrone, tetapi sudikah Anda menemani kami ke markas kepolisian. Aku menjamin bahwa Anda sudah akan pulang pada waktunya menikmati perayaan ulang tahun
putri Anda." "Tidak menjadi soal." Carmine berkata dengan ramah.
"Setiap orang harus melakukan kewajibannya." Carmine tertawa menyeringai. "Kommisioner baru itu, yang baru diangkat oleh presiden adalah. . memakai sebuah istilah Amerika.. adalah seorang sapu baru yang penuh semangat eh."
"Kurasa begitulah, Padrone." Kepala polisi itu berkata dengan menghela nafas. "Tetapi, jangan khawatir. Anda dan aku sudah sering mengalami gangguan-gangguan seperti
ini, dan selalu kita atasi dengan segera, bukan?"
Mereka tertawa dan berangkat ke markas kepolisian.
Angelo Carmine ternyata tidak pulang menghadm pesta
ulang tahun Lucia itu, hari itu ataupun esok harinya.
Sebenarnyalah, Carmine tidak pernah pulang lagi. Negara telah mengajukan segerobak tuntutan terhadap Carmine, termasuk di dalamnya tuduhan melakukan pembunuhan,
berdagang narkotika, pelacuran, kekerasan dan sejumlah
kejahatan lainnya. Uang jaminan ditolak. Suatu penggerebekan umum dilancarkan oleh pihak kepolisian
yang menyapu organisasi kejahatan Carmine. Carmine telah mengandalkan diri pada koneksi-koneksinya dengan
kalangan berkuasa di Sisilia, agar tuntutan-tuntutan
terhadap dirinya itu dibatalkan, tetapi sebaliknya daripada itu ia bahkaIl dibawa ke Roma di tengah malam buta dan dimasukkan ke dalam Regina Coeli, penjara Ratu Surga
yang terkenal itu. Carmine dimasukkan ke dalam sebuah sel kecil dengan jendela berterali, sebuah radiator, sebuah ranjang dan kamar kecil sederhana. Sungguh tidak layak!
Suatu penghinaan yang tidak bisa dibayangkan akan
dialami oleh Angelo Carmine yang disegani itu.
Pada mulanya, Carmine yakin bahwa Tommaso
Contorno, pengacaranya, akan segera mengatur pembebasan dirinya. Ketika Contorno datang menemuinya di ruangan
pertemuan di penjara itu, Carmine marah-marah padanya.
"Mereka telah menutup semua rumah pelacuranku dan operasi perdagangan narkotikaku, dan mereka mengetahui segala tentang operasi peminjaman uang. Ada seseorang telah berbicara. Kau carilah orang itu dan bawalah lidahnya padaku."
"Jangan khawatir, Padrone." Contorno memastikan.
"Akan kita dapatkan orang itu."
Optimisme itu ternyata kosong. Demi untuk melindungi
para saksinya, negara dengan teguh menolak mengungkapkan nama-nama orang-orang itu sebelum
sidang pengadilan dimulai.
Ketika Angelo Carmine dibawa masuk ke dalam ruangan
sidang itu, hatinya melonjak gembira, karena hakim yang mengetuai persidangan itu adalah Giovanni Buscetta,
seorang yang digaji oleh Carmine selama lima belas tahun terakhir dan yang menjadi tamu tetap di rumah Carmine.
Carmine akhirnya yakin bahwa keadilan akan berpihak
pada dirinya. Dua hari setelah pembukaan sidang pengadilan itu,
Angelo dan anggota-anggota mafia lainnya telah dipindahkan ke Rebibbia Prigione, penjara dengan
keamanan-maksimal yang berada dua belas mil di luar kota Roma. Ruangan persidangan telah diubah menjadi
semacam benteng. Seratus enam puluh anggota mafia
sebagai tertuduh digiring masuk dengan kedua tangan
diborgol dan kaki dirantai, dimasukkan ke dalam tiga puluh buah kurungan baja dengan kaca anti-peluru.
Persidangan itu telah dimulai. Angelino Carmine
berpaling pada omerta, kode tutup mulut Sisilia, sebagai perIindungan bagi dirinya. Tetapi demi keterkejutannya, saksi utama bagi negara ternyata tidak lain daripada Benito Patas, pengawal pribadinya sendiri. Patas telah bekerja pada keluarga Carmine sedemikian lamanya dan begitu
dipercaya, sehingga ia selalu diizinkan hadir dalam
pertemuan-pertemuan yang bersifat rahasia. Dan karena bisnis Carmine itu terdiri atas setiap kegiatan ilegal yang tercantum
dalam daftar kepolisian. Pantas telah mengetahui banyak sekali informasi bersifat tertutup itu.
Ketika pihak polisi menahan Patas, beberapa menit setelah Patas dengan cara kejam dan berdarah dingin membunuh
pacar baru gundiknya, pihak polisi mengancamnya dengan hukuman seumur hidup, dan Patas dengan penuh
keengganan telah setuju membantu pihak polisi menyusun perkara terhadap Carmine, sebagai tukar suatu hukuman yang lebih ringan. Kini, sesuatu yang tiada dibayangkan
kemungkinannya olehnya, menimpa Carmine: ia harus
duduk di kursi terdakwa dan mendengar Patas mengungkapkan semua bukti paling rahasia dari kerajaan Carmine itu.
Lucia setiap hari juga hadir di ruangan sidang itu,
mendengarkan pria yang terhitung sebagai kekasihnya itu menghancurkan ayahnya dan kedua kakaknya.
Kesaksian Benito Patas itu telah membuka lebar-lebar
pintu bendungan. Begitu pemeriksaan kommisioner itu
dimulai, lusinan korban maju ke depan mengungkapkan
kisah-kisah mereka mengenai segala yang telah dilakukan oleh Angelo Carmine dan gerombolan gangsternya
terhadap diri mereka. Mafia telah menggerogoti bisnis mereka, memeras mereka, memaksa mereka ke dalam
pelacuran, membunuh atau membikin cacat selama hidup
orang-orang yang mereka cintai, menjual narkotika pada anak-anak mereka. Daftar kejahatan yang mengerikan itu panjang tidak kepalang.
Yang lebih mencelakakan lagi adalah kesaksian para
pentiti, anggota-anggota mafia yang bertobat, yang
memutuskan untuk berbicara.
Lucia diperkenankan mengunjungi ayahnya di penjara.
Angelo menyambut anaknya dengan gembira. Dipeluknya anaknya itu dan ia berbisik. "Jangan kau cemas, faccia d'angelo. Hakim Giovanni Buscetta merupakan kartu rahasiaku. Ia menguasai semua tipu muslihat hukum. Ia akan menggunakannya agar kedua kakakmu dan aku
dibebaskan." Angelo Carmine ternyata seorang peramal yang gagal.
Umum telah sangat dibuat marah oleh ekses-ekses
mafia, dan ketika persidangan pengadilan itu akhirnya usai, hakim Giovanni Buscetta, seorang binatang politik yang lihai, menjatuhkan hukuman penjara yang panjang pada
para anggota mafia lainnya dan kepada Angelo Carmine
dan kedua putranya menjatuhkan hukum maksimal yang
diperknankan oleh peradilan Italia: hukuman seumur
hidup, berarti hukuman mandatori dua puluh delapan
tahun. Bagi Angelo Carmine itu berarti suatu hukuman mati.
Seluruh Italia bersorak. Akhirnya hukumlah yang
menang. Tetapi bagi Lucia, itu merupakan suatu impian buruk yang tiada terbayangkan. KetIga pria yang paling dicintainya di dunia sedang dikirim ke neraka.
Sekali lagi Lucia diperkenankan mengunjungi ayahnya di dam selnya. Perubahan yang terjadi dalam semalam atas diri Angelo Carmine itu sungguh meresahkan hati. Dalam jangka waktu beberapa hari Angelo telah menjadi seorang tua. Tubuhnya seakan-akan telah mengkeret dan air
mukanya yang sehat dan kuat telah berubah menjadi pucat pasi.
"Mereka telah mengkhianati aku." Angelo mengerang.
"Mereka semua telah mengkhianati diriku. Hakim Giovanni Buscetta - aku telah memberikan segalanya kepadanya. Aku telah membuatnya seorang kaya raya, dan hal yang keji ini telah dilakukannya terhadapku, Lucia! Dan Patas. Aku
bagaikan seorang ayah baginya. Apakah yang telah terjadi di dunia ini" Apakah yang telah terjadi atas kehormatan"
Mereka adalah orang-orang Sisilia seperti diriku."
Lucia memegang lengan ayahnya dan berkata dengan
suara lirih, "Aku juga seorang Sisilia, papa. Kau akan mendapatkan pembalasan dendammu. Aku bersumpah."
"Hidupku sudah berakhir." Ayahnya berkata pada Lucia.
"Tetapi hidupmu masih terbentang di hadapanmu. Aku memiliki suatu rekening di Zurich Bank Leu. Di situ ada uang sebanyak yang pernah bisa kauhabiskan sepuluh kali seumur
hidupmu." Angelo membisikkan nomor rekeningnya itu kepada Lucia. "Tinggalkanlah Italia terkutuk ini. Ambil uang itu dan senangkan dirimu dengan uang itu."
Lucia memeluk ayahnya erat-erat. "Papa. ."
"Jika kau memerlukan seorang teman, kau dapat
mempercayai Dominic Durell. Kami adalah bagaikan
bersaudara. Ia memiliki sebuah rumah di Perancis, di
Beziers, di dekat perbatasan dengan Spanyol."
"Akan kuingat itu."
"Berjanjilah bahwa kau akan meninggalkan Italia. "
"Baik, papa. Tetapi masih ada sesuatu yang harus kulakukan sebelumnya."
Mendendam pembalasan adalah suatu hal, merencanakan pelaksanaan pembalasan dendam itu suatu
hal lain lagi. Ia, Lucia, sendirian, dan itu tidak akan mudah.
Lucia mencamkan pada dirinya sendiri ungkapan Italia
yang berbunyi Rubare il mestiere - mencuri profesi mereka.
Aku harus memikirkan cara mereka melakukannya.
Beberapa minggu setelah ayahnya dan kedua kakaknya
mulai menjalani hukuman penjara mereka Lucia Carmine
muncul di rumah hakim Giovanni Buscetta. Hakim itu
sendiri yang membukakan pintu.
Hakim itu memandang pada Lucia dengan wajah
terkejut. Ia sudah sering melihat dan bertemu dengan Lucia ketika menjadi tamu di rumah keluarga Carmine. Tetapi mereka jarang atau hampir tidak pernah bercakap-cakap satu sama lain.
"Lucia Carmine! Apakah yang kaulakukan di sini" Tidak seharusnya kau. ."
"Aku datang untuk mengucapkan terima kasih, Yang Mulia."
Hakim itu memandang pada Lucia dengan curiga.
"Berterima kasih untuk apa?"
Lucia menatap dalam-dalam ke dalam mata hakim itu.
"Karena Yang Mulia telah mengekspose ayahku dan kedua kakakku, sebagaimana mereka itu sebenarnya. Aku tidak mengetahui apa pun, hidup di dalam rumah yang
mengerikan itu. Aku tidak mengetahui betapa jahatn
ya mereka itu. ." Lucia mulai terisak-isak.
Hakim itu berdiri di situ dengan penuh kesangsian,
kemudian menepuk bahu Lucia. "Sudah. . sudahlah. Mari masuk dan kita minum teh."
"Te. . terima kasih."
Setelah mereka duduk di ruangan tamu, hakim Buscetta
berkata, "Aku tidak membayangkan bahwa begitulah perasaanmu terhadap ayahmu. Aku selalu mendapat kesan bahwa kaIian dekat satu sama lain."
"Hanya karena aku tidak mengetahui yang dilakukan oleh ayahku dan kedua kakakku itu. Ketika aku
mengefahuinya. ." Lucia bergidik. "Yang Mulia tidak mengetahui seperti apa perasaanku ketika itu. Aku ingin minggat dari tempat mengerikan itu, tetapi tidak ada jalan bagiku meloloskan diriku dari sana."
"Aku sungguh tidak mengetahui hal ini." Hakim itu menepuk-nepuk tangan Lucia. "Agaknya aku telah salah mehilai dirimu, sayang."
"Aku takut sekali padanya, ngeri sekali." Suara Lucia itu penuh nada memohon.
Hakim Buscetta memperhatikan - bukannya untuk
pertama kali - betapa Lucia telah menjadi seorang wanita yang cantik. Lucia sedang mengenakan gaun hitam
sederhana yang memperlihatkan garis-garis tubuhnya yang menggiurkan. Hakim itu melihat buah dada Lucia yang
penuh dan kencang itu. Sungguh akan menyenangkan sekali, pikir hakim itu,
tidur dengan anak perempuan Angelo Carmine. Ia kini tidak berkuasa lagi mencelakakan diriku. Kurang ajar tua itu mengira telah memiliki diriku, tetapi aku telah bertindak terlalu pintar baginya. Lucia ini mungkin masih perawan.
Dapat kuajarkan beberapa ilmu tempat tidur padanya.
Seorang pelayan tua masuk membawa nampan dengan
seperangkat minum teh dan sepiring kue kering.
Diletakkannya itu di atas sebuah meja.
"Kutuangkan teh untuk Yang Mulia?" Pelayan itu bertanya.
"Biar aku saja yang melakukan itu." Lucia berkata.
Suaranya penuh kehangatan dan penuh janji.
Hakim Buscetta tersenyum pada Lucia. "Kau boleh
pergi." Ia berkata pada pelayan itu.
"Baik, Yang Mulia."
Hakim itu memperhatikan Lucia yang berjalan ke meja
kecil itu, dan mulai menuangkan teh untuk hakim itu dan untuk dirinya sendiri.
"Kurasa kau dan aku dapat menjadi sahabat baik, Lucia."
Giovanni Buscetta berkata, menjajagi.
Lucia tersenyum manis padanya. "Itu akan menyenangkan sekali, Yang Mulia."
"Panggil aku. . Giovanni saja."
"Giovanni." Lucia mengulurkan secangkir teh kepada hakim itu. Diangkatnya cangkirnya sendiri:
"Kematian bagi semua penjahat keji."
Dengan tersenyum, Buscetta mengangkat cangkirnya.
"Kematian bagi semua penjahat keji." Ia meneguk tehnya dan mukanya menyeringai. Teh itu terasa getir.
"Apakah terlalu. .?"
"Oh tidak. Tidak, sayangku. Cukup manis."


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lucia mengangkat lagi cangkirnya. "Untuk persahabatan kita."
Lucia menghirup minumannya, dan hakim itu mengikutinya. "Untuk. ." Buscetta tidak pernah menyelesaikan kata-kata yang
mau diucapkan itu. Ia diserang oleh suatu kejang dadakan, dan ia merasa suatu besi merah-menganga-panas menusuk
jantungnya. Tangannya memegang dadanya. "Oh, Tuhan!
Panggillah dokter. ."
Lucia duduk saja di situ, dengan tenang meminum
tehnya, melihat hakim itu seperti tersandung dan roboh ke atas lantai. Hakim itu tergeletak di situ, tubuhnya
berkelejat-kelejat sejenak, kemudian diam.
"Nah, satu sudah, Papa." Lucia berkata.
Benito Patas berada di dalam selnya, bermain soliter, ketika sipir mengatakan padanya, "Ada tamu perempuan untukmu."
Benito mengangguk. Padanya telah diberikan status
khusus sebagai seorang informan, banyak privilase, dan menerima kunjungan dari orang rempuan termasuk di
dalamnya. Patas mempunyai selusin teman wanita, dan
mereka bergilir mengunjunginya. Patas bertanya sendiri, siapa gerangan yang kali ini datang.
Setelah berdandan, Patas mengikuti penjaga itu melalui lorong penjara itu ke ruangan privat untuk kunjungan-kunjungan seperti itu.
Penjaga itu mempersilakan Patas masuk.
Patas dengan penuh gairah melangkah masuk, seketika
berhenti dan memandang terkejut.
"Lucia! Demi Tuhan, apa yang kau lakukan di sini"
Bagaimana kau dapat masuk?"
Lucia berkata pelan, "Aku telah mengatakan kepada mereka bahwa kita bertunangan, Benito."
Pakaian yang dikenakan Lucia itu sungguh menggiurkan, gaun sutera yang berpotongan dada rendah; pakaian itu melekat pada tubuhnya yang indah.
Benito Patas melangkah mundur menjauhi Lucia.
"Keluarlah kau dari sini."
"Kalau memang itu yang kau kehendaki. Tetapi ada sesuatu yang harus kau dengarkan dulu. Ketika aku
melihatmu berdiri di tempat saksi dan memberikan
kesaksian terhadap ayahku dan kakakku, aku sungguh
membencimu. Aku berniat membunuhmu." Lucia bergerak mendekat. "Tetapi, kemudian aku menyadari, bahwa yang kaulakukan itu adalah suatu tindakan yang membuktikan keberanianmu. Kau berani berdiri tegak dan mengatakan yang sebenarnya. Ayahku dan kedua kakku itu bukanlah
orang-orang jahat, tetapi mereka telah melakukan
perbuatan-perbuatan yang jahat, dan kau satu-satunya
orang yang cukup kuat untuk melawan mereka."
"Percayalah, Lucia." Benito berkata, "Polisi telah memaksa diriku untuk. ."
"Kau tidak perlu menjelaskannya." Lucia berkata pelan.
"Tidak padaku. Ingatkah kau ketika pertama kalinya kita bercinta" Ketika itu aku sudah mengetahui bahwa aku cinta padamu dan akan selalu cinta padamu."
"Lucia, aku tidak akan pernah melakukan yang" "
"Caro, kekasihku, aku mau kita melupakan yang telah terjadi itu. Itu sudah berlalu. Yang penting sekarang ini adalah kau dan aku."
Lucia kini sudah dekat sekali pada Benito, dan pria itu dapat mencium bau parfum Lucia yang memabokkan itu.
Pikirannya dalam kebingungan.
"Kau. . kau bersungguh-sungguh dengan kata-katamu itu?"
"Lebih dari apa pun selama hidupku. Itulah sebabnya hari ini aku datang padamu, untuk membuktikannya
padamu. Membuktikan bahwa aku benar-benar milikmu.
Dan tidak hanya dengan kata-kata."
Jari-jari tangan Lucia melesat ke tali-tali gaunnya, dan sesaat kemudian gaunnya itu luruh ke atas lantai. Lucia telanjang bulat. "Kau sekarang mempercayai aku?"
Ya, Tuhan! Lucia memang cantik. "Ya, aku mempercayaimu." Suara pria itu serak.
Lucia lebih mendekat lagi, dan tubuhnya bergesek pada tubuh Benito. "Tanggalkan pakaianmu." Lucia berbisik.
"Cepat!" Ia memperhatikan Benito melepaskan pakaiannya.
Ketika pria itu sudah telanjang, dipegangnya tangan Lucia dan dibimbingnya ke ranjang kecil di sudut ruangan itu.
Pria itu tidak tunggu-tunggu dengan bermain-main dulu.
Dalam sekejap tubuhnya sudah menindih tubuh Lucia,
merentang kedua kaki Lucia, dan menenggelamkan
kejantanannya de dalam tubuh Lucia, suatu senyum
sombong menghias wajahnya.
"Ini seperti di waktu-waktu lalu." Benito berkata. "Kau tidak pernah dapat melupakan diriku, bukan?"
"Ya." Lucia berbisik di telinga Benito. "Dan, tahukah kau mengapa aku tidak dapat melupakan dirimu?"
"Tidak, mi amore, kekasihku. Coba katakan padaku. "
"Karena aku ini seorang Sisilia. Seperti ayahku."
Lucia mengulurkan tangannya ke belakang kepalanya
dan dicabutnya sebuah tusuk rambut yang panjang yang
dipakai menahan tata-rambutnya.
Benito Patas merasakan sesuatu menikam dirinya di
bawah perigaannya, dan rasa nyeri tiba-tiba itu
membuatnya membuka mulut untuk berteriak, tetapi mulut Lucia sudah membungkamnya dengan suatu ciuman. Dan
selagi tubuh Benito menggeliat-geliat dan meronta di atas tubuhnya, Lucia mendapatkan orgasmenya.
Beberapa menit kemudian Lucia sudah berpakaian
kembali dan tusuk rambut itu sudah di tempat asalnya.
Benito terbaring di ranjang itu di bawah selimut, matanya tertutup. Lucia mengetuk pada pintu sel itu dan tersenyum pada penjaga yang membukakan pintu untuknya. "Ia sudah tertidur." Lucia berbisik pada penjaga itu.
Penjaga itu memandang pada wanita muda yang cantik
itu dan tersenyum, "Tentu telah kaukuras tenaganya."
"Mudah-mudahan saja begitu." Lucia berkata.
-odwo- Keberanian yang menyertai dua pembunuhan itu
merebut hati seluruh Italia. Anak perempuan seorang tokoh Mafioso, yang masih muda dan cantik telah membalas
dendam ayahnya dan kedua kakaknya. Khalayak Italia yang memang suka sensasi itu mengelu-elukan keberanian Lucia itu, menganjurkan dan berada di pihaknya agar Lucia
melarikan diri dari jangkauan hukum. Pihak kepolisian, dengan sendirinya, bersikap lain. Lucia Carmine telah membunuh seorang hakim yang dihormati dan kemudian
melakukan pembunuhan kedua di dalam lingkungan
dinding-dinding penjara. Di mata pihak kepolisian,
kejahatan Lucia adalah bahwa Lucia telah menjadikan
Plhak kepolisian bahan tertawaan dan ditololkan oleh
seluruh Italia. Surat-surat kabar sedang bersorak-sorak dan mengejek-ejek kepolisian Italia. "
"Aku menghendaki lehernya, kepalanya." Kommisioner kepolisian itu berteriak-teriak pada wakilnya. "Dan aku menghendakinya hari ini juga."
Pengejaran atas diri Lucia dimulai dan semakin hari
semakin digiatkan. Sedangkan sasaran pengejaran itu
sendiri sedang bersembunyi di rumah Salvatore Giuseppe, salah seorang ayahnya yang telah luput dari badai
pengadilan Mafiosi. Pada mulanya, Lucia hanya memikirkan pembalasan
dendam demi kehormatan ayah dan kedua kakaknya. Ia
bahkan siap ditangkap dan berkorban. Ketika ia berhasil berjalan ke luar dari penjara itu dan meloloskan diri, pikirannya berubah dan pembalasan dendam menjadi
mempertahankan hidup dan kebebasan dirinya. Setelah
berhasil melakukan sesuai sumpahnya, kehidupan tiba-tiba kembali menjadi berharga. Aku tidak akan membiarkan
diriku ditangkap oleh mereka, Lucia kini bersumpah pada diri sendiri.
Salvatore Giuseppe dan istrinya telah melakukan segala yang dapat mereka lakukan untuk menyempurnakan
penyamaran Lucia. Mereka telah memirangkan rambut
Lucia, membercakkan giginya, membelikan kaca mata dan pakaian yang kedodoran untuk dipakai Lucia.
Salvatore memeriksa kreasi mereka dengan seksama.
"Tidak jelek." Ia berkata. "Tetapi belum cukup. Kita harus mengeluarkan dirimu dari Italia. Kau harus pergi ke
sesuatu tempat yang tidak mengedarkan surat kabar yang memuat gambarmu di halaman depannya. Di sesuatu
tempat yang dapat memberikanmu tempat berlindung dan
bersembunyi selama beberapa bulan."
Dan Lucia ingat. Jika kau memerlukan seorang sahabat, kau dapat
mempercayai Dominic Durell. Kami seperti bersaudara. La memiliki sebuah rumah di Perancis, di Beziers, di dekat perbatasan dengan Spanyol.
"Aku mengetahui kemana aku dapat pergi." Lucia berkata. "Aku hanya memerlukan sebuah pasport. "
"Akan kuurus itu."
Dua puluh empat jam kemudian, Lucia sudah
memandang pada sebuah pasport yang dikeluarkan atas
nama Lucia Roma, dengan foto yang melukiskan dirinya
dalam penyamarannya. "Kemanakah kau akan pergi?"
"Ayahku mempunyai seorang teman di Perancis, yang akan membantu aku."
Salvatore berkata, "Jika kau ingin aku menemanimu ke perbatasan. .?"
Mereka sama-sama mengetahui betapa berbahaya hal
itu. "Jangan, Salvatore." Lucia berkata. "Kau telah melakukan segala yang dapat kaulakukan untuk diriku. Yang ini harus kulakukan sendiri."
Keesokan paginya, Salvatore Giuseppe menyewakan
sebuah mobil Fiat atas nama Lucia Roma, dan kepada Lucia diserahkannya kunci mobil itu.
"Berhati-hatilah." Salvatore berpesan.
"Jangan khawatir. Aku telah dilahirkan di bawah bintang keberuntungan."
Tidakkah ayahnya telah berkata begitu"
Di perbatasan Perancis-Italia, mobil-mobil antri untuk memasuki Perancis. Ketika Lucia bergerak semakin
mendekati pintasan immigrasi, kian dekat kian gugup
pulalah ia. Sudah jelas mereka akan berada di semua jalan keluar dari Italia, mencari dirinya. Jika
mereka menangkapnya, Lucia menyadari bahwa hukuman paling
ringan yang akan didapatkannya adalah hukuman seumur
hidup. Daripada tertangkap, aku lebih suka bunuh diri sebelumnya. Lucia berkata dalam hatinya.
Ia telah sampai di depan petugas immigrasi itu.
"Pasport Anda, signorine, nona."
Lucia menyerahkan pasportnya, lewat jendela mobilnya.
Setelah melempar sekilas pandang atas pasport itu, petugas itu memandang pada Lucia dan tampaklah suatu keheranan muncul di mata petugas itu. Dari pasport itu pria itu kembali memandang pada wajah Lucia dan kembali lagi ke pasport itu secara lebih teliti. Lucia merasa ketegangan s-makin memuncak dalam dirinya.
"Anda adalah Lucia Carmine" Petugas immigrasi itu berkata.
-odwo- BAB SEMBILAN "Bukan!" Lucia berseru. Wajahnyan jadi pucat. Ia melihat ke sekelilingnya, mencari jalan pelarian. Tidak ada. Dan tiba-tiba, mengira penglihatannya telah menjadi kacau, petugas immigradi itu tersenyum padanya. Pria itu
bercondong kepadanya dan berbisik, "Ayahmu telah baik sekali pada keluargaku, signorina. Kau boleh jalan terus.
Selamat jalan." Lucia merasa dirinya seperti mau pingsan, dan dengan
kelegaan yang luar biasa ia berkata, "Grazie terima kasih."
'Lucia menginjak pedal gas mobilnya dan menyeberangi
dua puluh lima yard ke perbatasan Perancis itu. Ia tiba di di Beziers enam jam kemudian.
Telepon itu dijawab pada dering pertama, dan suara pria yang mulus berkata, "Hello."
"Tolong hubungkan dengan Dominic Durell."
"Di sini Dominic Durell. Siapa ini?"
"Lucia Carmine. Ayahku mengatakan padaku?"
"Lucia!" Suara itu penuh kehangatan. "Aku memang mengharap akan dihubungi olehmu."
"Aku memerlukan bantuan."
"Kau serahkan itu padaku."
Lucia merasa lega sekali. Ini berita baik pertama sejak lama, dan tiba-tiba ia menyadari keletihan dirinya.
"Aku memerlukan tempat untuk bersembunyi."
"Tidak ada soal. Istriku dan aku mempunyai tempat yang sempurna untuk keperluanmu yang dapat kaupakai
sesukamu." Sungguh baik. "Terima kasih."
"Di mana kau sekarang berada, Lucia?"
"Aku?" Pada saat itu dengung radio gelombang pendek dari
kepolisian terdengar lewat telepon itu, dan seketika pula itu dimatikan.
"Lucia. ." Canang nyaring berdering dalam benak Lucia.
Mengapa ada radio kepolisian dalam rumah Durell itu"
Dan Durell telah menjawab telepon itu pada dering
pertama. Seolah-olah memang sedang menantikannya.
"Lucia. . kau masih di situ?"
Lucia mengetahui, dengan kepastian yang tidak
tergoyahkan sedikitpun, bahwa orang di seberang sana itu adalah seorang polisi. . Ah, perangkap telah dipasang di mana-mana. Hubungan telepon itu dilacak.
"Lucia. ." Lucia cepat meletakkan gagang telepon itu dan segera
pergi meninggalkan tempat itu. Aku harus segera keluar dari Perancis, ia berkata pada diri sendiri.
Lucia kembali ke mobilnya, mengeluarkan peta.
Perbatasan Spanyol hanya beberapa jam jauhnya dari situ.
Lucia segera berangkat, menuju ke arah San Sebastian.
Di perbatasan Spanyol itulah segala sesuatunya mulai
menjadi kacau. "Pasport." Lucia menyerahkan pasportnya pada petugas imigrasi
Spanyol itu. Pasport itu diperiksanya dengan sekilas
pandang saja, dan sudah mau menyerahkannya kembali
kepada Lucia ketika sesuatu, entah apa, membuatnya
berubah pikiran. Ia memandang secara lebih teliti pada Lucia, dan air mukanya berubah.
"Sebentar. Aku harus membubuhkan cap pada pasport ini."
Ia telah mengenali diriku, Lucia berpikir gelisah.
Dilihatnya petugas itu berjalan memasuki sebuah ruangan kantor dan memperlihatkan pasport itu pada seorang
petugas lain. Kedua orang itu lalu berbicara serius satu sama lainnya. Ah, ia harus segera meloloskan diri dari tempat itu. Lucia membuka pintu mobilnya dan turun.
Serombongan turis Jerman yang telah selesai diperiksa imigrasi itu, sedang ramai-ramai naik ke atas bus wisata yang diparkir di sebelah mobil Lucia. Tanda yang
ditempelkan pada bus itu: Madrid.
"Auchtung! Perhatian!" kata pemandu rombongan itu.
"Schnell. Cepat."
Lucia menengok ke ruangan kantor imigrasi itu. Petugas yang telah mengambil pasportnya sedang berteriak-teriak ke corong telepon.
"Semuanya cepat naiklah ke dalam bus."
Tanpa berpikir dua kali, Lucia bergerak ke tengah
rombongan itu dan ikut naik ke dalam bus wisata itu,
sambil melengoskan mukanya agar tidak dilihat oleh
pemandu wisata itu. Lucia mengambil tempat duduk di
bangku belakang. Ayo, bergeraklah! Lucia berdoa. Cepat!
Lewat jendela bus itu Lucia melihat seorang petugas lain bergabung pada kedua petugas imigrasi tadi, dan bertiga mereka memeriksa pasport itu. Sejenak kemudian bus itu mulai bergerak dan meninggalkan San Sebastian menuju ke Madrid.
Rombongan turis di dalam bus itu agaknya sedang
menikmati masa liburan. Ya, mengapa tidak" Lucia berpikir getir. Mereka tidak dikejar-kejar polisi. Dan.. layakkah ia sendiri mesti menghadapi resiko-resiko selama hidupnya"
Lucia memikirkannya, mengalami kembali adegan-adegan
dengan hakim Buscetta dan Benito.
Kurasa kau dan aku dapat menjadi teman baik, Lucia..
Kematian bagi penjahat-penjahat keji.
Dan Benito Patas: Ini seperti di waktu-waktu lalu. Kau tidak melupakan diriku, bukan"
Dan ia telah membuat kedua pengkhianat itu membayar
mahal atas dosa mereka terhadap keluarganya. Sepadankah itu dengan yang harus dialaminya ini" Mereka sudah
mampus, tetapi ayahnya dan kedua kakaknya akan
menderita sepanjang hidup mereka. Ah, ya, Lucia berpikir.
Itu sepadan dengan yang harus dialaminya sekarang.
Seorang di antara rombongan wisatawan itu mulai
menyanyikan sebuah lagu Jerman, dan yang lain-lainnya ikut bernyanyi dengannya.
"In Munchen ist ein Hofbrau Haus, ein, zwei, sufa. ."
Untuk sementara diriku aman bersama rombongan ini,
Lucia berkata dalam hati. Akan kuputuskan apa yang harus kulakukan selanjutnya, setelah aku tiba di Madrid.
Di kota bertembok, Avila, bus wisata itu berhenti sesuai jadwal untuk memberikan minuman dan kesempatan pada
para wisatawan itu merentangkan badan setelah berjam-
jam duduk di dalam bus. "AIle raus vom bus, semua turun dari bus." Pemandu wisata itu berkata.
Lucia tetap duduk, memperhatikan para penumpang itu
bangkit dan turun. Aku akan lebih aman jika tetap di sini.
Tetapi pemandu wisata itu telah melihatnya.
"Keluar, nona," kata pemandu itu. "Kita hanya punya lima belas menit."
Lucia ragu, kemudian dengan keengganan bangkit dan
bergerak ke arah pintu bus itu.
Ketika lewat di dekat pemandu itu, pria itu berkata,
"Warten sie bitte! Hai, tunggu sebentar! Anda tidak termasuk dalam rombongan ini."
Lucia memberikan senyumnya yang paling manis
kepada pemandu itu. ' Memang bukan." Ia berkata.
"Soalnya, begini, mobilku mogok di San Sebastian, dan penting sekali aku segera sampai di Madrid. Maka aku. ."
"Nein! Tidak!" Pemandu itu berkata keras.
"Itu tidak bisa. Ini adalah suatu tour privat."
"Aku tahu." Lucia berkata. "Tetapi, begini. . aku perlu. ."
"Anda harus mengurus ini dengan kantor pusat biro wisata di Munich."
"Aku tidak dapat melakukan itu. Aku sangat buru-buru, dan. ."
"Nein, nein. Tidak, tidak. Anda akan menimbulkan kesulitan bagi diriku. Pergilah, kalau tidak, akan kupanggil polisi."
"Tetapi. ." . "Apa pun yang dicobanya, Lucia tidak berhasl membujuk pemandu itu. Dua puluh menit kemudian Lucia cuma dapat melihat bus itu berangkat tanpa dirinya menuju ke Madrid.
Ia, Lucia Carmine, terdampar di situ tanpa pasport dan hampir tanpa uang, sedangkan pada saat itu Polisi dan setengah lusin negeri mencari dirinya, mau menangkapnya karena pembunuhan-pembunuhan itu.
Lucia memeriksa keadaan sekelilingnya. Bus tadi telah berhenti di setasiun bus.


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah aku dapat naik bus lain di sini, Lucia berpikir.
Ia masuk ke dalam setasiun bus itu.
Ketika ia sedang berjalan menuju salah satu loket yang bertanda MADRID, tempat penjualan karcis bus k Madrid tampak pula dua orang polisi berseragam bergegas masuk ke dalam setasiun itu Seorang dari kedua orang polisi itu memegang selembar foto. Mereka bergerak dari jendela
loket yang satu ke jendela loket lainnya, sambil
memperlihatkan foto itu kepada pegawai yang melayani
penjualan tiket. Ah, mereka mencari diriku. Pemandu wisata tadi itu
sungguh terkutuk, telah melaporkan diriku kepada pihak berwajib.
Lucia dengan cepat menyelinap di antara orang-orang
yang sedang berjalan ke luar meninggalkan setasiun itu.
Ia berjalan di atas jalan-jalan Avila, berjalan setenang mungkin agar tidak menarik perhatian orang. Lucia
membelok ke Calle de la Madre Soldad, dengan bangunan-bangunan granit dan balkon-balkon itu. Ketika sampai di Plaza de la Santa Lucia duduk di sebuah bangku taman
bermaksud mengatur rencana mengenai apa yang harus
dilakukan berikutnya. Kira-kira seratus yard jauhnya dari bangku taman itu, sejumlah wanita dan pasangan muda
mudi sedang duduk di atas rumput menikmati sinal
matahari sore. Selagi Lucia duduk di bangkunya, sebuah mobil polisi
muncul. Berhenti di ujung taman itu, dan dua orang polisi turun dari mobil itu. Kedua orang polisi berjalan ke arah rombongan wanita dan pasangan muda mudi itu, mulai
menanyai mereka. Jantung Lucia berdebar keras.
Ia memaksa dirinya bangkit berdiri dan memalingkan
wajahnya dari pdisi itu, lalu mulai berjalan pergi, menjauh.
Jalanan berikutnya memasang papan nama: Jalan Hidup
dan MatI. Ya, Tuhan, apakah ini suatu petanda"
Tiba-tiba Lucia mendengar bunyi sebuah lonceng gereja.
Ia mengangkat mukanya dan melihat ke arah datangnya
suara itu. Dari gerbang kota yang terbuka itu. Di kejauhan sana, tinggi di atas sebuah bukit tampak berdiri tembok-
tembok sebuah biara. Lucia berdiri terpaku di situ.
Memandang pada biara itu.
"Mengapa kau datang pada kami, anakku?" Ibu Kepala Betina bertanya lembut.
"Aku memerlukan tempat berlindung."
"Dan kau telah memutuskan untuk berlindung pada
Tuhan?" Tepat sekali. "Ya." Lucia mulai mengang-ngarang. "Inilah yang telah sejak dulu kuidam-idamkan" mengabdikan
diriku pada kehidupan rohaniah."
"Dalam jiwa kita itulah yang kita semua hasratkan bukankah begitu, anakku?"
Jesus ia mempercayai kata-kataku, Lucia berkata dalam hati.
Ibu Kepala itu melanjutkan, "Harus kauketahui bahwa ordo Cistercian adalah yang palIng ketat dari semua ordo lainnya, anakku. Kami sama sekali terkucil dari dunia luar."
Kata-kata Ibu Kepala Biara itu bagaikan musik di telinga Lucia.
"Yang telah masuk ke sini telah bersumpah tidak akan meninggalkannya lagi."
"Aku tidak mau pergi dari sini lagi." Lucia meyakinkan Ibu Kepala biara itu. Tidak untuk beberapa bulan
berikutnya, setidak-tidaknya.
Ibu Kepala biara itu bangkit berdiri. "Ini merupakan suatu keputusan yang maha penting. Aku menyarankan
agar kau memikirkannya dulu dengan sungguh-sungguh
sebelum mengambil keputusanmu."
Lucia merasa situasi mau terlepas dari genggamannya,
dan ia mulai menjadi panik. Kemana ia harus pergi. Tidak ada tempat lain. Satu-satunya harapan bagi dirinya adalah tinggal di dalam tembok-tembok tinggi ini.
"Aku sudah memikirkannya." Lucia cepat berkata.
"Sungguh, Ibu Kepala, aku berniat mengingkari dunia. Aku ingin berada di sini lebih daripada di tempat mana pun."
Ibu Kepala itu terheran-heran. Ada sesuatu yang ganjil dan seperti keputusasaan pada wanita di hadapannya itu.
"Kau seorang Katolik?"
"Ya. " Ibu Kepala mengambil pena. "Siapa namamu, anakku?"
"Namaku Lucia Car" Roma.
"Orangtuamu masih hidup?"
"Ayahku." "Apa pekerjaannya. "
"Ia seorang pengusaha. Ia kini sudah pensiun."
"Kau mempunyai saudara laki-laki atau perempuan?"
"Dua kakak laki-laki."
"Dan apakah pekerjaan mereka?"
Lucia memutuskan bahwa dirinya memerlukan segala
akal yang ada. "Mereka adalah padri. "
"Oh bagus sekali."
Katekis itu berlangsung tiga jam lamanya. Pada akhirnya Ibu Betina berkata, "Akan kucarikan tempat tidur untukmu untuk malam ini. Esok pagi kau akan mulai dengan
pelajaran-pelajaranmu, dan setelah selesai itu, dan kau
masih berpikiran sama, kau dapat masuk dalam ordo ini.
Tetapl kuperingatkan padamu, sungguh suatu jalan yang amat sulit yang telah kaupilih ini."
"Percayalah, Ibu Kepala." Lucia berkata dengan bersungguh-sungguh, "Aku tidak ada pilihan lain."
Angin malam itu lembut dan hangat, berbisik-bisik
dalam hembusannya di atas tepat itu, dan Lucia tidur. Ia berada di suatu pesta di sebuah villa indah, dan ayah dan kedua kakaknya juga hadir di situ. Semua bersenang-senang, bergembira, hingga seorang asing masuk ke dalam ruangan itu dan berkata, "Siapakah orang-orang ini'?" Lalu lampu-lampu padam dan sinar lampu sorot menerangi
wajahnya dan ia terbangun dan duduk. Sorot lampu itu
menyilaukan. Ada setengah lusin pria mengelilingi para suster di
lapangan terbuka itu. Dengan sorot lampu diarahkan ke matanya, Lucia hanya dapat melihat sosok-sosok tubuh
para pria itu dengan samar-samar.
"Siapakah kau?" Pria itu bertanya lagi. Suaranya dalam dan kasar.
Lucia seketika terbangun, pikirannya waspada. Ia
terperangkap. Tetapi kalau orang-orang pria itu polisi, mereka mestinya mengetahui mereka, para suster itu, siapa adanya. Dan apakah yang mereka kerjakan di malam buta itu"
Lucia mencoba secara untung-untungan. "Kami biarawati dari biara di Avila." Lucia berkata. "Sejumlah orang pemerintah datang dan. ."
"Kami telah mendengar tentang itu." Pria itu menyelangi.
Ketiga suster lainnya telah duduk semuanya, terbangun dan ketakutan.
"Si" siapakah Anda?" Megan bertanya.
"Namaku Jaime Miro."
Mereka berenam, memakai celana-celana kasar, jaket
kulit, kaos panas, sepatu beralas tali dan baret-baret basque tradisional. Mereka bersenjata lengkap. Dua orang dari antara
mereka tampaknya habis mengalami pemukulan berat. Pria yang menyebut dirinya sebagai Jaime Miro jangkung dan kurus, dengan mata hitam yang galak. "Mereka tidak mustahil dibuntuti hingga ke sini." Ia berpaling pada seorang anggota rombongan itu. "Coba kau sekitar sini."
"Si, baik." Lucia menyadari bahwa yang menjawab itu ternyata
seorang wanita. Dan wanita itu dengan tangkas bergerak di antara pepohonan.
"Apa yang akan kita lakukan dengan mereka?"
Ricardo Mellado bertanya.
Jaime Miro menjawab, "Dengan nada singkat, tidak ada.
Kita tinggalkan saja mereka di sini dan melanjutkan
perjalanan kita." Seorang dari antara mereka memprotes. "Jaime. . mereka ini suster-suster. . persekutuan Jesus."
"Maka, biar Jesus yang mengurus mereka." Jaime Miro berkata dengan nada singkat. "Kita sendiri ada pekerjaan yang harus dibereskan."
Para suster itu kini berdiri, menanti. Para pria itu
semuanya mengelilingi Jaime, berdebat dengannya.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka tertangkap. Acoca dan orang-orangnya sedang mencari mereka."
"Mereka juga mencari kita, amigo, sahabat."
"Suster-suster ini tidak akan bisa bertahan tanpa bantuan kita."
Dengan tegas Jaime Miro berkata, "Tidak. Kita tidak boleh mempertaruhkan, mengambil resiko atas nyawa kita demi untuk mereka. Kita menghadapi masalah-masalah
kita sendiri." Felix Carpio, seorang wakilnya, berkata, "Kita dapat mengawal mereka sampai suatu jarak tertentu, Jaime. Asal mereka dapat keluar dari sini." Ia berpaling pada para suster itu. "Kemanakah Anda sedang menuju?"
Suster Teresa yang menjawab, sinar Tuhan bersorot dari matanya. "Aku menjalankan misi suci. Ada sebuah biara di Mendavia yang akan memberi tempat berteduh dan
berlindung pada kami."
Felix Carpio berkata pada Jaime Miro, "Kita dapat mengawal mereka dalam perjalanan kita ke San Sebastian."
Jaime berpaling pada Felix Carpio itu, marah. "Kau, tolol!
Mengapa tidak kau pasang saja sekalian, sebuah papan
yang, menerangkan kepada semua orang ke mana kita
sedang menuju?" "Aku cuma bermaksud. ."
"Mierda, sialan!" Suara Jaime Miro itu penuh kemarahan.
"Kini kita tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa harus membawa mereka bersama kita. Jika Acoca menemukan
mereka, Acoca akan memaksa mereka berbicara. Mereka
akan memperlambat perjalanan kita dan memberikan
kemudahan pada Acoca dan para penjagalnya untuk
melacak klta. Lucia cuma setengah mendengarkan semua itu. Salib
emas itu begitu dekat dalam jangkauannya. Tetapi orang-orang sialan itu! Yah, Tuhan, betapa pilihan waktumu
buruk sekali! Sungguh ganjil rasa humormu!
"Baiklah." Jaime Miro berkata. "Kita terpaksa berbuat begitu. Kita akan membawa mereka hingga sejauh biara itu, meninggalkan mereka di sana. Namun, kita tidak bisa
menggerombol seperti sebuah sirkus begini." Jaime Miro berpaling pada para suster itu. Suaranya masih
menyatakan kemarahannya. "Apakah ada di antara Anda
yang mengetahui di mana Mendavia itu?"
Para suster itu saling berpandangan.
Graciela berkata "Kami tidak mengetahui secara pasti."
"Lalu, bagaimana Anda mengharapkan akan dapat
sampai di sana?" "Tuhan yang akan membimbing kami." Suster Teresa berkata dengan tegas.
Seorang di antara para pria itu, Rubio Arzano, tertawa menyeringai. "Kalian benar-benar masih beruntung." Ia mengangguk ke arah Jaime. "Ia sendiri yang turun gunung untuk mengantar kalian secara pribadi, suster."
Jaime membungkamnya dengan sorot matanya yang
melotot. "Kita akan memecah rombongan ini. Kita akan mengambil tiga jalan terpisah-pisah."
Jaime mengeluarkan sebuah peta dari tas-panggulnya
dan keenam pria itu berjongkok, peta digelar di atas tanah, dan lampu sorot dipakai sebagai penerangan.
"Biara di Mendavia itu di sini, sebelah tenggara Logrono.
Aku akan mengambil jalan utara lewat Valladolid,
kemudian ke Burgos." Jaime berpaling pada Rubio, seorang jangkung berwajah menyenangkan. "Kau mengambil jalan ke Olmedo, menuju ke Penafiel dan Aranda de Duero."
"Baik, amigo, kawan."
Jaime Miro berkonsentrasi atas peta itu. Ia mengangkat mukanya, memandang pada Ricardo Mellado. "Ricardo, kau ambil jalan menuju Segovia, kemudian mengambil rute
pegunungan ke Cerezo de Abajo, lalu ke Soria. Kita semua bertemu kembali di Logrono." Jaime memasukkan kembali peta itu ke dalam tas panggulnya. "Logrono itu dua ratus sepuluh kilometer dari sini. Jauhilah jalan-jalan besar.
Felix bertanya. "Di mana, di Logrono, kita akan
bertemu?" Ricardo berkata, "Sirkus Jepang akan main di Logrono, minggu depan."
"Bagus. Kita akan bertemu di sana. Pertunjukan pagi."
Felix Carpio berkata. "Dengan siapakah para suster itu akan melakukan perjalanan?"
"Mereka juga kita pecah."
Hei, sudah waktunya menghentikan itu semua, Lucia
memutuskan. "Jika serdadu-serdadu itu mencari Anda senor maka akan lebih aman bagi kami untuk melakukan
perjalanan sendiri."
"Tetapi kami yang tidak akan aman, suster."
Jaime berkata. "Kalian telah mengetahui terlalu banyak dari rencana kami, sekarang."
"Lagi pula." Pria yang bemama Rubio itu menambahkan,
"Kalian tidak akan berpeluang. Kami mengenal negeri ini, daerah ini. Kami orang-orang Basque, dan rakyat di
seberang utara sana adalah sahabat kami. Mereka akan
membantu kami dan menyembunyikan kami dari serdadu-
serdadu nasionalis itu. Kalian tidak akan sampai di
Mendavia jika jalan sendiri."
Aku tidak mau pergi ke Mendavia, tolol!
Jaime Miro berkata setengah menggerundel,
"Baiklah mari kita berangkat. Kita harus sejauh mungkin dari sini menjelang fajar."
Suster Megan berdiri di situ mendengarkan pria yang
kini mengeluarkan perintah-perintah itu. Pria itu kasar dan angkuh, namun dari pria itu memancar suatu daya yang
menenteramkan. Jaime Miro memandang pada Teresa dan menunjuk pada
Tomas Sanjuro dan Rubio Arzano.
"Mereka yang akan bertanggung jawab atas dirimu."
Suster Teresa menjawab, "Tuhanlah yang bertanggung jawab atas diriku."
"Oh, ya. Tentu saja." Jaime menjawab menyindir. "Kukira dengan begitulah kau sampai berada di tempat ini."
Rubio mendekati suster Teresa. "Aku Rubio Arzano, suster. Bagaimana orang memanggilmu?"
"Aku suster Teresa."
Lucia cepat-cepat berkata. "Aku akan menemani suster Teresa." Tidak ada kekuatan yang dapat memisahkan dirinya dari salib emas itu.
Jaime Miro mengangguk. "Baiklah." Kini pria itu menunjuk pada Graciela. "Ricardo, kau bertanggung jawab atas dirinya."
Ricardo Mellado mengangguk. "Bueno baiklah." '
Wanita yang telah disuruh Jaime untuk memeriksa
keadaan sekitar situ telah kembaIi. "Semuanya beres."
Wanita itu berkata. "Baik." Jaime berpaling pada suster Megan. "Kau ikut dengan kami, suster."
Megan mengangguk. Jaime Miro itu mempesona dirinya.
Dan ada sesuatu yang mencekam pada diri wanita itu.
Wanita itu tampak berwama kulit kelam dan tampak
garang. Mulutnya bagaikan sebuah luka yang merah. Ada sesuatu yang sangat seksual pada wanita itu.
Wanita itu mendekati suster Megan. "Aku Amparo Jiron.
Janganlah kau banyak berbicara, suster, sehingga tidak akan timbul kesulitan."
Jaime berkata pada lain-lainnya. "Ayo, kita berangkat.
Bertemu di Logrono dalam waktu tujuh hari. Jangan
menelantarkan suster-suster yang menjadi tanggung jawab kalian."
Suster Teresa dan pria bernama Rubio Arzano sudah
mulai menuruni jalan bukit itu. Lucia bergegas menyusul di belakang mereka. Lucia telah melihat peta yang telah
dimasukkan oleh Rubio Arzano di dalam tas panggulnya.
Akan kuambil itu, Lucia memutuskan, kalau ia tidur.
Dan mulailah pelarian menyeberangi Spanyol itu.
-odwo- BAB SEPULUH Miguel Carrilo sedang murung. Ya, murung sekali. Hari itu bukan hari yang mujur baginya. Yang telah dimulai begitu bagus di pagi hari, ketika ia bertemu dengan empat suster dan berhasil meyakinkan mereka bahwa dirinya
seorang bruder, telah berakhir dengan dirinya dipukul knockout, diikat tangan dan kakinya, dan ditinggalkan di atas lantai toko pakaian itu.
Yang 'menemukan' Carrilo adalah istri pemilik toko itu.
"Madre de Dios! Siapakah kau" Apa yang kau lakukan di sini?"
Carrilo menggunakan segala daya pikatnya.
"Puji Tuhan, akhirnya Anda datang juga, senorita. Aku telah berusaha melepaskan ikatan-ikatan ini agar dapat meminjam telepon Anda memanggil polisi. "
"Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"Penjelasannya sederhana sekali, senorita. Aku adalah bruder Gonzales. Aku datang dari sebuah monasteri di
dekat Madrid. Aku sedang lewat toko Anda yang bagus ini, ketika melihat dua orang pemuda mendobrak pintu dan
masuk ke sini. Aku merasa sebagai kewajibanku sebagai anak Tuhan untuk menghentikan perbuatan mereka itu.
Aku ikuti mereka ke dalam dengan harapan dapat
membujuk mereka akan jalan salah yang mereka tempuh
itu, tetapi mereka menyergap diriku dan mengikat kaki dan tanganku. Nah, tolonglah Anda bukakan ikatan-ikatan ini. ."
"Mierda! Tai!" Carrilo memandang pada nyonya itu. "Maafkan?""
"Kau ini siapa?"
"Sudah kukatakan. Aku. ."
"Kau ini pembohong terbesar yang pernah kujumpai."
Wanita itu pergi ke tumpukan jubah yang telah
ditanggalkan oleh para biarawati itu.
"Apakah ini?" "Ah, itu" Ya. Dua pemuda itu tadi memakai penyamaran sebagai biarawati, dan. ."
"Ada empat pasang jubah. Sedangkan kau mengatakan ada dua pria."
"Benar. Yang dua orang lainnya belakangan datang, dan. ."
Wanita itu berjalan ke tempat telepon.
"Apakah yang Anda lakukan?"
"Memanggil polisi."
"Itu tidak perlu. Segera setelah Anda melepaskan diriku, aku akan langsung ke kantor polisi dan melaporkan
kejadian di sini." Wanita itu memandang pada Cardo.
"Jubahmu terbuka, bruder."
Pihak polisi lebih tidak bersimpati terhadap Carrilo
daripada wanita itu. Carrilo diperiksa oleh empat anggota Guardia Civil.
"Kamu menyadari bahwa dirimu ini persis dengan
pelukisan seorang pria yang telah membunuh seorang
padri di utara sana?"
Carrilo menghela nafas. "Aku tidak heran. Aku
mempunyai seorang saudara kembar. . biar terkutuklah ia, dan justru karena saudara kembarku itulah aku masuk
monasteri. Ibu kami yang malang?"
"Jangan coba mengelabui kami."
Seorang pria tinggi besar dengan wajah penuh bekas
luka masuk ke dalam ruangan pemeriksaan itu.
"Selamat siang, kolonel Aroca."
"Inikah orangnya?"
"Betul, kolonel. Karena jubah-jubah para biarawati yang kami dapatkan di toko itu, kami pikir Anda pasti
berkepentingan memeriksa sendiri orang ini."
Kolonel Acoca mendekati Carrilo yang malang itu. "Ya, aku sangat tertarik dalam perkara ini."


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Carrilo tersenyum kepada kolonel itu. "Aku lega sekali Anda berada di sini, kolonel. Aku sedang menjalankan
suatu misi untuk gerejaku, dan penting sekali aku
secepatnya tiba di Barcelona. Sebagaimana telah kucoba menjelaskan kepada tuan-tuan ini, aku seorang korban dari keadaan, hanya karena aku berusaha menjadi seorang
penolong." Kolonel Acoca mengangguk. "Karena kau sangat terburu-buru, aku akan berusaha
tidak membuang-buang waktumu." Carrilo tersenyum lega. "Terima kasih, kolonel. "
"Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan sederhana padamu. Jika kau menjawabnya dengan sejujurnya, segala sesuatunya akan bereslah. Jika kau berbohong, itu akan sungguh menyakitkan dirimu."
Carrilo berkata dengan penuh semangat, "Anak Tuhan tidak berbohong."
"Aku senang sekali mendengar itu. Coba kau ceritakan tentang empat orang biarawati itu."
"Aku tidak mengetahui apa pun tentang empat bia. ."
Tinju kolonel itu mengenai tepat mulut Carrilo dengan alat logam yang meliliti tulang-tulang jari-jari tangan itu.
Darah seketika muncrat dari mulut Carrilo.
"Ya, Tuhan. Apakah yang Anda lakukan?" Carrilo berseru dengan terengah.
Kolonel Acoca mengulangi pertanyaannya.
"Ceritakan padaku mengenai empat biarawati itu."
"Aku tidak. ." Tinju itu menghantam lagi mulut Carrilo mematahkan
gigi-gigi. Carrilo seperti tercekik dalam darahnya sendiri.
"Jangan. . Aku.. "
"Ceritakan padaku tentang empat orang biarawati itu."
Suara Acoca itu pelan dan sabar.
"Aku. ." Carrilo melihat tinju itu diangkat lagi. "Ya! Aku. .
aku." Dan kata-kata meluncur ke luar dari mulutnya.
"Mereka berada di Villacastin lari dari biara mereka. Jangan memukul aku lagi."
"Teruskan. " "Aku. . aku mengatakan kepada mereka bahwa aku akan membantu mereka. Mereka perlu berganti pakaian."
"Maka kau mendobrak pintu toko itu. ."
"Tidak. Aku.. mereka mencuri pakaian di toko itu dan membuat diriku tidak berdaya, lalu meninggalkan diriku di toko itu."
"Mereka mengatakan ke mana mereka pergi?"
"Tidak." Carrilo tidak mengungkap bahwa para suster itu mau pergi ke Mendavia. Tetapi sikap Carrilo yang tidak mengungkapkan pengetahuannya itu sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak dilakukan untuk melindungi para suster itu. Carrilo tidak perlu dengan suster-suster itu.
Sebabnya adalah karena kolonel Acoca telah merusak
wajahnya. Akan sulit sekali baginya mencari nafkah setelah kelak dibebaskan dari penjara.
Kolonel Acoca berpa1ing pada seorang anggola Guardia
Civil. "Kalian melihat bagaimana suatu bujukan bersahabat dapat menghasilkan sesuatu" Kirim orang ini ke Madrid dan
tahan dirinya dengan tuduhan melakukan pembunuhan." Lucia, Suster Teresa, Rubio Arzano dan Tomas Sanjuro
berjalan ke arah barat laut, menuju ke Olmedo. Mereka menempuh jalan yang menjauhi jalan-jalan raya. Mereka berjalan di sepanjang malam hari dan pada menjelang fajar mereka mencari suatu tempat yang terpencil dan sunyi di daerah perbukitan.
Rubio Arzano berkata, "Kota Olmedo tidak jauh lagi di depan sana. Kita akan berhenti di sini hingga jatuhnya malam. Kalian berdua cobalah beristirahat dan tidur."
Suster Teresa secara fisik sudah kehabisan tenaga.
Tetapi telah terjadi sesuatu pada dirinya secara emosional yang lebih mencemaskan lagi. Ia merasa dirinya kehilangan sentuhan dengan kenyataan. Itu terjadi sejak hilangnya salib emas itu. Ia telah kehilangan itu di dalam perjalanan, terjatuh" Ataukah ada orang yang telah mencurinya" Suster Teresa tidak dapat memastikannya.
Segala sesuatu kini tampak begitu tidak nyata. Ia tidak dapat memastikan lagi yang mana yang real dan mana yang cuma pembayangan belaka. Bayi yang telah dilihatnya itu.
Itu bayi Monique" Atau, barangkali Tuhan sedang
menggoda dirinya" Semua ini begitu membingungkan.
Ketika ia masih muda, segala sesuatunya begitu sederhana.
Ketika ia masih muda. . -odwo- BAB SEBELAS Eze, Perancis - 1924 Ketika ia baru berusia delapan tahun, bagian terbesar kebahagiaan Teresa De Fosse dtang dari Gereja. Gereja itu bagaikan nyala api suci yang menarik dirinya kepada
kehangatannya. Teresa tinggal di sebuah chateau dl atas gunung yang
menjulang di atas desa kuno Eze, dekat Monte Carlo, dan berpemandangan atas Cote d"Azur.
Monique yang setahun lebih muda dari Teresa adalah si cantik dalam keluarga itu. Teresa adalah anak yang tidak kebagian kecantikan itu, bahkan penampilannya membuat kikuk orangtuanya sendiri. Keburukan Teresa adalah
kekacauan air mukanya. Semuanya seakan-akan salah
letak, seolah-olah ia itu seorang yang sengaja mengenakan wajah pelawak.
Tetapi, jika Tuhan memberikan kepadanya wajah yang
buruk, hal itu diimbangi dengan suatu berkah yang amat mempesona. Teresa memiliki suara bidadari. Seluruh jemaah gereja akan terpukau mendengar Teresa menyanyi.
Dan semakin usianya bertambah, suaranya menjadi
semakin indah. Teresalah yang selalu bernyanyi solo di gereja. Di sana, di gereja itulah, Teresa merasakan dirinya berada.
Sedangkan di luar gereja, Teresa sangat pemalu,
menyadari kekurangannya dalam penampilan. Di sekolah, adalah Monique yang mempunyai banyak teman. Yang laki-laki maupun yang perempuan, semuanya mengerumuni
Monique. Dan Monique malu mempunyai kakak yang
begitu jelek. Sebaliknya, Teresa mencintai adiknya,
memujanya. Dan ketika kedua gadis itu memasuki usia
belasan tahun, semua ramalan menjadi kenyataan. Monique menjadi semakin cantik saja, dan Teresa menjadi semakin jelek.
Ketika pada suatu hari Teresa lewat ruangan tamu,
didengarnya ibunya dan ayahnya sedang berbincang
mengenai dirinya. "Ia akan menjadi perawan tua. Kita akan harus
menanggungnya seumur hidup kita."
"Teresa akan menemukan seseorang. Perilaku dan
wataknya sangat manis."
"Bukan itu yang dicari pemuda zaman sekarang. Mereka menginginkan seseorang wanita yang dapat dinikmatinya di tempat tidur. "
Teresa lari ke kamarnya. Pada suatu hari, Madame Neff, bibi seorang direktur
stasiun radio di Nice, datang berbicara dengan Teresa.
"Kau menyia-nyiakan hidupmu di sini, sayang. Kau memiliki suara yang luar biasa. Semestinya
kau memanfaatkannya." "Aku memanfaatkannya. Aku. ."
"Aku tidak berbicara tentang?" Wanita itu memandang sekelilingnya di dalam gereja itu, "Ini. Aku berbicara hal memakai suaramu
secara profesional. Aku dapat membanggakan diri dengan berkata bahwa aku dapat
mengenali suatu bakat istimewa jika mendengarnya. Aku ingin kau bernyanyi untuk didengar kemenakanku. Ia dapat menempatkan dirimu dalam siaran radio. Kau berminat?"
"Aku. .. aku, entahlah." Gagasan itu menakutkan bagi Teresa.
"Bicarakanlah dengan keluargamu."
"Kurasa itu suatu gagasan yang baik sekali."
Ibu Teresa berkata. "Itu akan baik sekali bagimu." Ayahnya berkata.
Hanya Monique yang ragu-ragu. "Kau bukan seorang profesional." Monique berkata. "Kau bisa menjadi tertawaan orang." Yang sebenarnya terdapat di dalam benak Monique adalah kekhawatirannya bahwa Teresa
akan berhasil. Tidaklah adil Monique berpikir, bahwa
Tuhan memberikan suara yang seindah itu kepada Teresa.
Bagaimana kalau Teresa menjadi termashur" Aku akan
diabaikan orang. Pada hari Minggu berikutnya, Nyonya Neff menemui
Teresa dan berkata, "Aku telah berbicara dengan
kemenakanku. Ia bersedia memberikan kesempatan
padamu. Ia mengharapkan kedatanganmu pada hari Rabu
pada pukul tiga." Maka muncullah Teresa di stasiun radio di Nice ltu dan bertemu dengan direkturnya.
"Aku Louis Bonnet." Pria itu berkata singkat
"Aku dapat memberikan waktu lima menit padamu."
Penampilan Teresa secara fisikal itu ternyata sepenuhnya sesuai dengan kekhawatiran direktur itu. Ia sudah pernah menerima seorang berbakat kiriman bibinya.
Sebaiknya aku menganjurkan padanya agar bertahan di
dapurnya saja. Tetapi itu tidak dilakukannya. Soalnya ialah, bibinya itu amat kaya dan ia, Louis Bonnet, menjadi satu-satunya pewaris.
Teresa diajak masuk ke sebuah studio penyiaran.
"Anda sudah pernah menyanyi secara profesional?"
"Belum, tuan." Blus yang dipakai Teresa itu telah basah kuyub dengan peluhnya. Ia ada di dalam kepanikan, siap untuk melarikan diri.
Bonnet menyuruh Teresa berdiri di depan sebuah
mikrofon. "Aku kebetulan tidak ada pemain piano di sini, sehingga kau terpaksa menyanyikan sebuah cappella. Kau mengetahui apa cappella itu?"
"Ya, tuan." "Bagus. Aku akan berada di ruangan kontrol. Kau ada waktu untuk menyanyikan sebuah lagu."
"Tuan. . apakah yang akan kunya. ."
Direktur itu sudah keluar dari studio itu.
Dan tiba-tiba terdengar suara Louis Bonnet itu, entah dari mana. "Waktuku terbatas."
"Maafkan aku. Aku tidak dapat. ."
Tetapi direktur itu telah bertekad menghukum Teresa
karena telah menyia-nyiakan waktunya.
"Beberapa not saja." Louis Bonnet berkeras. "Ayo, aku sedang menunggu." Ia bersandar ke belakang di kursinya dan menyalakan sebatang Gitane. Masih empat jam lagi.
Yvette akan menunggunya. Ia masih ada waktu mampir
sebentar sebelum pulang ke istrinya sendiri. Barangkali masih ada waktu untuk. .
Dan kemudian didengarnya itu, dan ia nyaris tidak
mempercayai pendengarannya. Suara yang begitu murni
dan manis, sehingga berdiri bulu kuduknya. Jesus Kristus!
Di manakah wanita itu selama ini"
Lewat pintu ruang kontrol itu, sejumlah orang yang ikut terpesona mendengar suara Teresa telah masuk
Ketika lagu yang dinyanyikan Teresa itu selesai, hening sejenak lamanya, dan seorang wanita yang ikut mendengar itu berkata, "Siapapun yang menyanyi itu, jangan sampai ia lolos dari kita."
Louis Bonnet bergegas keluar dari ruangan kontrol itu dan masuk ek dalam ruangan studio. Teresa sedang
bersiap-siap untuk pergi.
"Maafkan kalau aku telah terlalu banyak mengambil
waktu Anda. Soalnya, aku belum pernah?"
"Duduklah, Maria."
"Teresa." "Maafkan aku." Louis Bonnet menarik nafas dalam-
dalam. "Kami menyiarkan musik radio setiap Sabtu malam."
"Aku tahu. Aku sering mendengarkan."
"Bagaimana kalau kau mengisi acara itu?"
Teresa memandang terbengong pada pria itu. "Mak"
Maksud Anda, aku?" "Mulai minggu ini juga. Kita akan meluncurkan dirimu
dimulai dari yang minimum. Ini akan menjadi langkah
pertama yang penting bagi masa depanmu."
"Dibayar" Berapa?" Monique bertanya.
"Entahlah. Aku tidak tahu. Itu juga tidak menjadi soal bagiku."
Yang terpenting adalah diriku ternyata dibutuhkan. "Wah, itu kabar gembira. Jadi kau akan melakukan siaran radio, suaramu disiarkan lewat radio." Ayah Teresa berkata.
Ibunya juga sudah mulai membuat rencana-rencana.
"Harus kita atur agar semua teman kita ikut mendengar, dan kita akan minta mereka menulis surat menyatakan
penilaian mereka." Teresa memandang kepada Monique, mengharapkan
adiknya juga mengatakan. Itu tidak perlu. Tidak usah
melakukan itu. Sebab Teresa memang benar-benar hebat.
Tetapi Monique tidak berkata apa-apa. Ini semua
sebentar saja sudah akan menguap dan lewat tanpa bekas, itulah yang ada di dalam pikiran Monique
Ia ternyata salah. Sabtu malam di stasiun siaran itu, Teresa dalam
kepanikan. "Percayalah." Louis Bonnet meyakinkan padanya. "Ini
wajar sekali. Semua senimanakan memulai saat-saat
seperti ini." "Sungguh sayang ia tidak sedikitpun lebih manis
dipandang." Seorang manager panggung berkomentar.
"Tetaoi dalam radio, siapa yang mengetahui perbedaannya?" Pementasan Teresa malamitu luar biasa. DanTeresa
sendiri menyadari bahwa dirinya belum pernah menyani
sebaik yang dilakukannya itu. Dan siapatahu keberhasilan akan membawa dirinya"
Mungkin dirinya akan menjadi termashur dan kaum pria
bertekuk lutut di kakinya, meminta dirinya sudi menjadi istrinya. Selama ini yang dikejar-kejar hanya Monique.
Seakan-akan dapatmembaca pikiran Teresa, Monique
berkata, "Akusungguh berbahagia untukmu, kak. Tetapi
janganlah kau sampai terhanyut oleh semua ini. Yang
seperti ini tidak pernah bertahan lama."
Tetapi yang ini akan langgeng, Teresa berkata dalam
hati. Akhirnya aku menjadi seseorang. Seorang pribadi.
Pada hari Senin pagi ada telepon interiokal untuk
Teresa. "Barangkali cuma lelucon." Ayahnya memperingatkan Teresa. "Katanya ia Jacques Raimu."
Direktur panggung terpenting di Perancis. Teresa
mengangkatgagang telepon itu, "Hello?"
"Nona De Fosse?"
"Betul." "Teresa De Fosse?"
"Di sini Jacques Raimu. Telah kudengar programmu di radio Sabtu malam. Anda adalah tepatnya orang yang
sedang kucari." "Aku. . aku tidak mengerti."
"Aku akan mementaskan sebuah lakon di Comedie
Francaise, sebuah musikal. Aku akan memulai latihan-
latihan minggu depan. Telah kucari-cari seseorang dengan suara seperti yang Anda miliki. Terus terang saja, tidak ada. . ya, tidak ada orang yang mempunyai suara seperti yang Anda miliki. Siapakah agen Anda?"
"Agen" Aku. . aku tidak mempunyai seorang agen. "
"Kalau begitu aku akan datang ke tempat Anda dan akan kita rundingkan hal ini langsung di antara kita."
"Tuan Raimu. . Aku.. aku tidak cantik." Sungguh
menyakitkan mengucapkan kata-kata itu, tetapi Teresa
yakin bahwa itu harus dikatakannya. Jangan sampai tuan Raimu itu menaruh harapan-harapan kosong. .
Pria itu ternyata tertawa. "Kau akan menjadl cantik jika aku selesai denganmu. Teater itu suatu dunia khayal. Make up dapat melakukan keajaiban-keajaiban. "
"Tetapi. ." "Akan kutemui Anda esok."
Impian di atas impian. Menjadi bintang dalam suatu
lakon karya Raimu! "Akan kusiapkan kontraknya dengannya."
Ayah Teresa berkata. "Kau harus berhati-hati jika berurusan dengan orang-orang teater."
"Kita harus menyiapkan gaun-gaun baru untukmu." Ibu Teresa berkata, "Dan akan kuundang tuan Raimu untuk makan malam di sini."
Monique tidak mengatakan apa-apa. Yang sedang terjadi itu sungguh tidak tertanggungkan. Sungguh tidak masuk di akal bahwa kakaknya akan menjadi seorang bintang.
Pendekar Bunga Merah 4 Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita Tumbal Mahkota Ratu 2
^