Pencarian

Bulir Bulir Pasir Waktu 1

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon Bagian 1


BULIR -BULIR PASIR WAKTU Sidney Sheldon Kiriman : Hendri Kho (trims)
Final edit & Ebook : Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ Penerbit Sanjaya Jakarta BULIR -BULIR PASIR WAKTU Judul Asli, The Sands of Time
Oleh, Sidney Sheldon Terjemahan, Aranya Darih COVEL BELAKANG SPANYOL. Suatu negeri dari nafsu abadi dan pertumpahan darah yang tiada hentinya. Melarikan diri dari balas dendam seorang lalim yang tidak mengenal
ampun, empat wanita meninggalkan dinding-dinding
keramat dan yang dulunya memberikan perlindungan dan
keamanan dari sebuah biara.
Lucia, wanita yang masih hidup, yang menyimpan
rahasia pembunuhan dari perang puak yang penuh
kekejaman di Sisilia. Graciella, wanita wantik yang belum menebus suatu
dosa masa muda yang penuh kenekatan.
Megan, yatim piatu yang mencari perlindungan dalam
pelukan seorang pemberontak Basque yang pemberani.
Dan Teresa, wanita alim yang dihantui suatu
kepercayaan yang mengejeknya dengan kebisuan.
Meninggalkan kesucian, tetapi tidak melepaskan semua
harapan, mereka menceburkan diri dalam suatu dunia yang gemerlapan, yang asing: suatu dunia yang bagi masing-masing wanita itu merupakan perjumpaan dengan suatu
nasib yang tiada terduga" dan tempat mereka berhadapan dengan yang sesungguhnya mengenai diri mereka masing-masing.
CATATAN PENGARANG Ini sebuah karya fiksi. Namun begitu"
Negeri flamenco yang romantik dan Don Kisot dan
senorita-senorita eksotik dengan sisir kulit penyu di rambutnya, adalah juga negeri Torquemada, Inkwuisisi
Spanyol, dan salah satu perang saudara paling berdarah dalam sejarah. Lebih dari setengah juta orang mati dalam perang perebutan kekuasaan antara kaum Republiken dan pemberontak Nasionalis di Spanyol. Pada tahun 1936,
antara bulan Februari dan Juni, 269 pembunuhan politik telah terjadi, dan kaum nasionalis membunuh kaum
Republiken hingga seribu orang sehari tanpa memperkenankan adanya bela sungkawa. Seratus enam
puluh gereja telah dibakar hingga rata dengan tanah, dan para biarawati telah dikeluarkan dengan paksa dari biara-biara, "seakan-akan," demikian ditulis oleh Due de Saint-Simon mengenai bentrokan sebelumnya antara pemerintah Spanyol dan Gereja, "mereka itu pelacur-pelacur dalam sebuah rumah plesiran." Kantor-kantor surat-kabar dirusak dan pemogokan dan huru-hara endemik di seluruh negeri.
Perang saudara itu berakhir dengan kemenangan kaum
nasional di bawah pimpinan Franco, dan setelah
meninggalnya Franco, Spanyol menjadi suatu kerajaan.
Perang saudara yang berlangsung dari tahun 1936
hingga 1939, secara resmi mungkin telah berakhir, tetapi
kedua Spanyol yang berperang dalam perang saudara itu tidak pernah berdamai satu sama lain. Dewasa ini suatu peperangan lain terus melanda Spanyol, perang gerilya yang dilancarkan kaum Basque untuk memperoleh kembali otonomi yang mereka dapatkan di bawah Republik dan
hilang di bawah rejum Franco. Perang itu dilakukan dengan bom-bom, perampokan bank untuk membiayai pemboman,
pembunuhan dan pemberontakan itu.
Ketika seorang anggota ETA, suatu kelompok gerilya
Basque yang illegal, mati di sebuah rumah sakit Madrid setelah
mengalami penyiksaan oleh pihak polisi, pemberontakan yang meliputi seluruh negeri mengakibatkan pengunduran diri direktur jendral kepolisian, lima kepala sekuriti, dan dua ratus perwira senior kepolisian.
Pada tahun 1986, di Barcelona, kaum Basque secara
terang-terangan membakar bendera Spanyol, dan di
Pamplona ribuan orang mengungsi dan melarikan diri
dalam ketakutan, ketika kaum Nasionalis Basque bentrok dengan polisi dalam serentetan huru-hara, yang akhirnya menyebar ke seluruh Spanyol dan mengancam stabilitas
pemerintahan. Polisi para-militer membalas dengan
menembak sejadi-jadinya pada rumah-rumah dan toko-
toko kaum Basque. Terorisme yang sedang berlangsung
kini bahkan lebih dahsyat daripada di masa sebelumnya.
Ini memang suatu karya fiksi. Namun begitu"
-odwo- BAB SATU Pamplona, Spanyol - 1976 Jika rencana itu meleset, kita semua akan mampus. Itu dikajinya sekali lagi untuk terakhir kalinya, ditimbang-timbang,
diuji, diperiksanya kemungkinan dan kelemahannya. Ia tidak menemukan kesalahan. Rencana itu memang berani, dan memerlukan ketepatan waktu yang
cermat. Jika berhasil, maka akan merupakan peristiwa yang menghebohkan, layak bagi El Cid yang hebat itu. Jika
gagal" Sudahlah, waktu bercemas-cemas sudah lewat, Jaime
Miro berpikir secara filosifik. Kini waktunya untuk berbuat.
Jaime Miro merupakan suatu legenda, seorang pahlawan
bagi rakyat Basque dan hujatan bagi pemerintah Spanyol.
Jaime enam kaki tinggi, dengan wajah yang kuat dan cerdas, bertubuh kekar, dan matanya suram. Saksi-saksi cenderung melukiskannya lebih tinggi daripada yang sesungguhnya, lebih berkulit kelam daripada yang sesungguhnya. Ia
seorang pria yang kompleks, seorang realis yang
memahami gunung hambatan yang dihadapinya, seorang
romantik yang siap untuk mati demi keyakinannya.
Pamplona saat itu sebuah kota dalam suasana kegila-
gilaan. Pagi terakhir bagi dilarikannya banteng-banteng, Fiesta de San Fermain, perayaan tahunan yang berlangsung dari 7 Juli hingga 14 Juli. Tidak kurang dari tiga puluh ribu pengunjung dari seluruh dunia bertumpuk di kota itu.
Orang banyak itu datang untuk menyaksikan adu-banteng yang berlangsung petang itu, namun peristiwa paling ramai adalah enciero - dilarikannya banteng-banteng yang akan beradu petang itu pada pagi hari itu.
Semalam, sepuluh menit menjelang tengah malam
banteng-banteng itu telah digiring dari corrales de gas, kandang-kandang penerimaan, menyeberangi sungai ke
kandang di dasar Calle Santo Dominique. Di sana banteng-banteng itu disimpan untuk malam itu. Pagi ini banteng-banteng itu akan dilepaskan dan dibiarkan berlari di
sepanjang Calle Santo Domingo yang sempit itu, terkurung di jalanan itu oleh barikade-barikade dari kayu di kedua ujungnya. Di saat banteng-banteng itu sampai di ujung jalanan itu, mereka akan dilarikan ke dalam kandang-kandang di Plaza de Hemingway, dan di sana banteng-
banteng itu disimpan hingga dilangsungkannya adu
banteng itu. Pada pukul enam kurang seperempat pagi, rombongan-
rombongan pemusik mulai berkeliling, memainkan musik
Navarre. Pada pukul tujuh tepat, sebuah roket meluncur ke udara, tanda bahwa pintu-pintu gerbang kandang telah
dibuka dan berapa saat kemudian roket kedua melucur ke angkasa, canang bagi kota itu, bahwa banteng-banteng
sudah lepas dan menerjang ke luar dan berlari.
Yang terjadi berikutnya memang pemandangan yang
tidak akan dilupakan orang. Mula-mula datanglah suara itu.
Dimulai sebagai getaran pelan di kejauhan yang kemudian menjadi semakin keras dan menderu-deru hingga akhirnya menjadi semacam ledakan derap kaki-kaki binatang itu.
Dan tiba-tiba muncullah dua belas ekor sapi jantan
berukuran raksasa itu, masing-masing beratnya seribu lima ratus pon, menyerbu Calle Santo Domingo itu bagaikan
deretan gerbong kereta api ekspres.
Binatang-binatang itu berlari dari ujung jalanan itu, melewati Calle Laestrafeta dan Calle de Javier, lewat toko-toko obat dan pakaian dan pasar buah, menuju ke Plaze de
Hemingway, dan terdengarlah teriakan-teriakan Ole dari kerumunan orang banyak di jalanan itu. Permunculan tiba-tiba dari serbuan maut itu membuat sebagian orang lari mencari perlindungan di pintu-pintu rumah dan tangga-tangga kebakaran di kedua sisi jalanan itu. Dan orang-orang itu diteriaki, diejek sebagai Cobradon! - pengecut. Beberapa orang yang terjatuh di jalanan yang akan dilewati binatang-binatang itu segera diselamatkan ke tempat lebih aman.
Sementara binatang-binatang itu berderap lari di jalanan sempit itu, tampak setengah lusin orang dalam seragam feria menggeser barikade-barikade kayu itu, dan binatang-binatang itu tertutup jalannya dan dipaksa menuju ke
jantung kota. Yang sesaat sebelumnya merupakan perayaan yang penuh kegembiraan, telah berubah menjadi suatu
impian buruk. Binatang-binatang yang liar itu kini
menyerbu ke tengah-tengah enon ton yang terbengong-
bengong. Seorang anak dengan kakeknya menjadi korban -
korban yang paling awal, diseruduk dan terinjak-injak kaki-kaki binatang-binatang itu. Tanduk-tanduk menerjang
sebuah kereta bayi, seketika membunuh seorang bayi dan merobohkan pula ibunya yang kemudian mati terinjak pula.
Maut ada di mana-mana. Binatang-bipatang itu menerjang penonton yang tidak berdaya. Orang menjerit-jerit
ketakutan, dalam kepanikan mencoba meloloskan diri dari raksasa-raksasa maut itu.
Sebuah truk berwarna merah tiba-tiba muncul di jalan
lintasan binatang-binatang itu. Binatang-binatang itu berbalik dan arah serbuannya kini ditujukan pada truk itu.
Menyerbu di atas Calle de Estrella, jalanan yang menuju ke carsel, penjara kota Pamplona.
Penjara itu sebuah bangunan batu bertingkat dua dan
tampak menyeramkan. Di atas keempat sudutnya terdapat
menara penjagaan, dan bendera Spanyol berkibar pada
tiang bendera di atas pintu depan gedung itu. Sebuah
gerbang batu menuju ke sebuah halaman dalam. Lantai dua gedung itu terdiri atas sederetan sel yang dihuni oleh tawanan-tawanan yang telah dijatuhi hukuman mati.
Seorang pengawal bertubuh gendut dalam seragam
Policia Armada sedang mengantar seorang padri dalam
jubah hitam berjalan di sepanjang lorong lantai dua itu.
Polisi itu menyandang sebuah senapan otomatik.
Melihat pertanyaan di mata padri yang melihat senapan itu, pengawal itu berkata, "Orang harus selalu waspada di sini, romo. Di lantai ini adalah iblis-iblis bumi."
Pengawal itu menyuruh padri itu melewati pintu
detektor, sebuah pintu yang lazim dapat dijumpai di
bandara-bandara udara. "Maafkan, romo, tetapi peraturan?"
"Oh, tentu saja, anakku."
Ketika padri itu melewati gerbang sekuriti itu, bunyi sirene memecahkan kesunyian tempat itu. Pengawal itu
secara naluri mengencangkan pegangan atas senjatanya.
Padri itu berbalik dan tersenyum pada pengawal itu.
"Kesalahanku." Padri itu berkata sambil melepaskan salib metal yang tergantung pada seutas rantai perak pada lehernya, dan salib itu diserahkannya kepada pengawal itu.
Ia melewati gerbang sekuriti yang kini membungkam.
Pengawal itu menyerahkan kembali saIib berantai itu dan kedua orang itu melanjutkan perjalanan mereka ke bagian iebih dalam dari perut penjara itu.
Bau busuk di lorong dekat sel-sel itu menyengat hidung.
Pengawal itu dalam suasana hati filosofik. "Sebetulnya
Anda membuang-buang waktu Anda saja di sini, Romo.
Binatang-binatang ini tidak mempunyai roh yang harus
diselamatkan." "Namun, kita tetap harus berusaha, anakku."
Pengawal itu menggelengkan kepala. "Percayalah, pintu-pintu gerbang neraka sedang menanti untuk menyambut
kedua orang itu." Padri itu memandang dengan terkejut pada pengawal
itu. "Kedua orang itu" Aku diberitahu bahwa ada tiga orang yang akan kuterima pengakuan dosanya."
Pengawal itu mengangkat pundak. "Telah kami
hematkan waktu untuk Anda. Zamora telah meninggal di
klinik pagi ini. Serangan jantung."
Kedua orang itu telah tiba di sel-sel paling ujung.
"Nah, kita sudah sampai, Romo."
Pengawal itu membukakan pintu sel dan dengan
waspada melangkah mundur ketika padri itu memasuki sel itu. Pintu sel dikunci kembali dan pengawal itu berdiri di lorong itu, siaga menghadapi segala kemungkinan.
Padri itu mendekati sosok tubuh yang tergeletak di atas ranjang sel yang kotor itu. "Namamu, anakku?"
"Ricardo Mellado."
Padri itu memandang pada pria itu. Sulit mengatakan
seperti apa sebenarnya wajah orang itu. Wajahnya bengkak dan memar. Matanya hampir sepenuhnya tertutup rapat.
Lewat bibir yang juga bengkak-bengkak, tahanan itu
berkata "Aku bersyukur Anda dapat datang, Romo."
Padri itu menjawab, "Penyelamatanmu adalah kewajiban Gereja, anakku."
"Mereka akan menggantung diriku pagi ini?"
Padri itu dengan lembut menepuk bahu tahanan itu.
"Kau telah dijatuhi hukuman mati dengan garrote, dengan pencekikkan."
Ricardo Mellado memandang pada padri itu. "Tidak!"
"Aku ikut bersedih." Tetapi perintah itu telah dikeluarkan oleh perdana menteri sendiri."
Padri itu meletakkan tangannya di atas kepala tahanan itu dan mulai berdoa: Dime tus pecados"
Ricardo Mellado berkata, "Aku telah berbuat banyak dosa dalam pikiran, kata-kata dan perbuatan, dan aku
bertobat atas semua dosa-dosa yang telab kulakukan itu."
Ruege a nestro Padre celestial para la salvacion de tu alma. En el nombre del Padre, del Jijoy del Espiritu Santo"
Pengawal di luar sel itu berkata dalam hati, "Waktu disia-siakan secara tolol. Tuhan akan meludah ke dalam mata binatang itu."
Padri itu telah selesai. "Selamat tinggal, anakku. Semoga Tuhan menerima rohmu dalam damai."
Padri itu mendekati pintu sel dan pengawal itu
membukakannya, kemudian melangkah mundur, sambil
mengarahkan laras senapan itu pada tahanan itu. Ketika pintu telah terkunci kembali, pengawal itu pindah ke sel sebelah dan membukakan pintunya.
"Silakan, Romo."
Padri itu masuk ke dalam sel kedua itu. Tahanan di
dalamnya juga tampak habis disiksa. Padri itu memandang lama-lama pada yang seorang ini. "Siapa namamu, anakku?"
"Felix Carpio." Yang seorang ini berberewok, dengan bekas luka segar di atas pipinya. "Aku tidak takut mati, Romo."
"Itu bagus sekali, anakku. Pada akhirnya semua orang akan mati."
Selagi padri itu mendengarkan pengakuan dosa Carpio,
gelombang-gelombang suara dari kejauhan yang mula-
mula tidak jelas, telah menjadi semakin keras, dan bahkan menggetarkan dinding-dinding penjara itu. Suara deru dan derap binatang-binatang berkuku dan jeritan-jeritan orang banyak yang sedang berlari-lari. Pengawal itu juga
mendengarnya, terperanjat. Suara yang bergema keras itu dengan cepat semakin mendekat.
"Sebaiknya Anda cepat sedikit, Romo. Ada sesuatu yang ganjil sedang terjadi di luar."
"Aku sudah selesai."
Pengawal itu dengan cepat membuka pintu sel itu. Padri itu melangkah ke luar ke lorong dan pengawal itu mengunci kembali pintu itu. Terdengar bunyi sesuatu yang pecah dari depan penjara itu. Pengawal itu berbalik untuk mengintip ke luar jendela berterali yang sempit itu.
"Bunyi apa itu tadi?"
Padri itu berkata, "Kedengarannya seperti ada orang ingin beraudiensi. Bolehkah aku meminjam itu?"
"Meminjam apa?"
"Senjatamu, por favor, tolong."
Sambil mengucapkan kata-kata itu, padri itu melangkah mendekati
pengawal itu. Tanpa berbicara lagi dilepaskannya bagian atas tanda saIib besar yang
tergantung pada lehernya itu, dicabutnya sebilah stiletto panjang mengerikan. Dengan satu gerak secepat kilat
dihujamkannya pisau itu ke dalam dada pengawal itu.
"Ketahuilah, anakku." Padri itu kini berkata, sambil melepaskan dan mengambil senapan otomatik itu dari
pegangan pengawal yang sekarat itu, "Tuhan dan aku telah memutuskan bahwa kamu tidak memerlukan lagi senjata
ini. In Nomine Patris." Jaime Miro berkata, sambil membuat tanda salib pada dirinya sendiri.
Pengawal itu terkulai ke atas lantai semen. Jaime Miro memungut seikat kunci dari pinggang pengawal itu dan
dengan segera membuka pintu kedua sel itu. Suara di
jalanan di luar penjara itu semakin meledak-ledak.
" Ayo, kita segera berangkat." Jaime memerintahkan.
Ricardo Mellado mengambil alih senapan otomatik itu.
"Perananmu sebagai padri hebat sekali. Hampir-hampir telah kauyakinkan diriku." Ia mencoba tersenyum dengan mulutnya yang bengkak itu.
"Ah, mereka telah mengerjai kalian berdua, eh" Jangan khawatir. Mereka harus menebus perbuatan mereka. "
Jaime melingkarkan kedua lengannya pada bahu kedua
orang itu dan dibantunya mereka melewati lorong itu.
"Apa yang terjadi dengan Zamora?"
"Para pengawal telah memukulinya sampai mati. Kami sempat
mendengar teriakan-teriakannya. Mereka membawanya ke klinik dan mengatakan bahwa Zamora
mati karena serangan jantung."
Di depan mereka menghadang pintu besi yang terkunci.
"Tunggulah di sini." Jaime berkata.
Didekatinya pintu itu dan berkatalah ia pada pengawal di sisi sana pintu itu. "Aku sudah selesai dengan tugasku."
Pengawal itu membukakan pintu itu. "Sebaiknya Anda bergegas, Romo. Ada gangguan terjadi di luar sana?" Orang itu tidak pernah mengakhiri kata-katanya. Ketika stilleto Jaime dibenamkan ke dalam tubuhnya, darah meluap ke
luar dari mulut pengawal itu.
Jaime memberi isyarat kepada kedua kawannya. "Ayo."
Felix Carpio kini memungut senapan pengawal itu, dan
mereka menuruni tangga ke lantai bawah. Pemandangan di luar sana memang kacau balau. Para anggota Policia
Armada tampak berlari-lari ke sana ke mari dalam
kebingungan, berusaha melihat yang sedang terjadi di luar itu dan mencoba menghadapi kerumunan orang banyak
yang berteriak-teriak, menjerit-jerit dan menangis dan yang telah menyerbu ke dalam halaman dalam penjara itu mencari keselamatan. Seekor dari binatang-binatang aduan itu
telah menerjang

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian depan penjara itu, menghancurkan gerbang batu. Seekor lagi sedang
menghajar seorang pengawal berseragam dengan tanduknya. Truk merah itu berada di halaman dalam itu, mesinnya
hidup. Dalam kekacauan dan kehiruk-pikukan itu, ketiga pria itu berlalu dengan nyaris tidak diperhatikan orang.
Sedangkan yang melihat mereka bergerak pergi, sendiri terlalu sibuk menyelamatkan diri mereka untuk dapat
berbuat sesuatu. Tanpa berkata-kata Jaime dan anak
buahnya itu melompat ke atas bak belakang truk itu, dan kendaraan itu melesat pergi, membuat semburatnya
pejalan-pejalan kaki yang masih dalam kepanikan itu.
Guardia Civil, polisi para militer setempat, yang
mengenakan seragam hijau dan topi kulit hitam, sedang
berusaba dengan sia-sia mengendalikan orang banyak yang dilanda histeri itu. Policia Armada juga berusaha
membantu. Orang banyak itu kini sedang bergulat dan
bergumul untuk lolos dari binatang-binatang yang sudah kalap itu. Tetapi bahayanya kini lebih terletak pada orang-orang itu sendiri yang mulai saIing-tubruk, berjatuhan dan terinjak-injak, daripada pada binatang-binatang itu.
Dengan cemas Jaime menyaksikan kekacauan itu. "Tidak direncanakan akan terjadi seperti ini!" Ia berseru. Tanpa dapat berbuat apa pun dilihatnya malapetaka yang
berlangsung di depan matanya itu. Tetapi, yah, memang tidak bisa dilakukan apa pun. Jaime memejamkan matanya, menutup penglihatannya dari pemandangan itu.
Truk itu mencapai bagian pinggiran Pamplona dan
meluncur ke arah selatan.
"Ke mana kita pergi sekarang, Jaime?" Ricardo Mellado bertanya.
"Ada suatu tempat yang aman di luar desa Torre. Kita akan tinggal di situ hingga malam tiba, kemudian kita berangkat lagi."
Felix Carpio menggerinyut kesakitan.
Jaime Miro memperhatikannya, wajahnya penuh welas.
"Tidak lama lagi kita akan sampai, kawan." Jaime berkata lembut.
Ia tidak mampu menyingkirkan adegan mengerikan di
Pamplona itu dari pikirannya.
Tiga puluh menit kemudian, mereka mendekat desa
Torre, dengan mengambil jalan melambung melewatinya,
mereka menuju ke sebuah rumah terpencil di pegunungan
di atas desa itu. Jaime membantu kedua orang itu turun dari bak belakang truk merah itu.
"Kalian akan dijemput menjelang tengah malam."
Pengemudi truk itu berkata.
"Agar dibawa juga seorang dokter." Jaime menjawab.
"Dan enyahkan truk itu."
Ketiga orang itu memasuki rumah itu. Sebuah rumah
pertanian, sederhana, tetapi nyaman. Dengan sebuah
tempat perapian di ruangan keluarga. Ada sepucuk surat di atas meja. Jaime Miro membacanya dan tersenyum pada
kalimat penyambutan dalam surat itu: Mi casa es su casa, rumahku adalah rumahmu. Di lemari ada botol-botol berisi anggur. Jaime menuangkan rninuman.
Ricardo Mellado berkata, "Tidak ada kata-kata untuk menyatakan terima kasih kami padamu, sahabatku.
Kuangkat gelas untuk kesehatanmu."
Jaime juga mengangkat gelasnya. "Untuk kemerdekaan."
Tiba-tiba terdengar suara burung kenari dalam sebuah
sangkar. Jaime berjalan ke tempat sangkar itu digantung.
Dilihatnya burung itu terbang menggelepar-gelepar. Jaime membuka pintu sangkar itu, dengan lembut mengangkat ke luar burung itu dan membawanya ke sebuah jendela
terbuka. "Terbanglah bebas, pajarito." Ia berkata pelan. "Semua mahluk hidup haruslah bebas merdeka."
-odwo- BAB DUA Madrid Perdana Menteri Leopoldo Martinez sedang marah
besar. Ia seorang berperawakan kecil, berkaca mata, dan seluruh tubuhnya bergetar ketika berbicara. "Jaime Miro harus dihentikan." Ia berseru. Suaranya bernada tinggi dan melengking. "Kau mengerti?" Ia memelototi setengah lusin orang yang berkumpul dalam ruangan itu. "Kita mencari seorang teroris saja, dan seluruh tentara dan polisi tidak mampu menemukannya."
Pertemuan itu berlangsung di Istana Monclosa tempat
tinggal dan bekerjanya perdana menteri, lima kilometer jauhnya dari pusat kota Madrid, di Carretera di Calicia, suatu jalan bebas hambatan yang tiada beranda-tanda.
Bangunannya sendiri dari batu bata hijau, dengan beberapa balkon, bergorden hijau, dan menara-menara penjaga di setiap sudutnya.
"Kemarin Pamplona telah diubah menjadi suatu medan pertempuran oleh Jaime Miro." Martinez menggebrak meja.
"Telah dibunuhnya dua pengawal penjara dan dua orang teroris anak buahnya telah diselundupkannya ke luar
penjara itu. Banyak orang tidak berdosa telah terbunuh oleh banteng-banteng aduan yang telah dilepaskannya itu."
Sejenak lamanya tidak seorang pun angkat bicara.
Ketika perdana menteri memulai dengan jabatannya,
telah dinyatakannya dengan bangga, "Tindakanku pertama ialah menghentikan grup-grup separatis itu. Madrid adalah pemersatu. Mengubah orang-orang Andalusia, Basque,
Catalan dan Galician menjadi orang-orang Spanyol. "
Ia ternyata terlalu optimis. Kaum Basque yang tinggi
sekali semangat kemerdekaannya ternyata mempunyai
gagasan-gagasan lain, dan gelombang pemboman, perampokan bank dan demonstrasi-demonstrasi oleh kaum teroris ETA, Auzkadita, Azkatasuna, telah berlanjut terus tanpa mereda sedikitpun.
Pria yang berada di sebelah kanan Martinez berkata
dengan tenang, "Akan kuringkus Jaime Miro itu. "
Yang berbicara itu adalah kolonel Ramon Acoca, kepala GOE, Grupo de Operaciones Especiales, satuan operasi
khusus, yang telah dibentuk untuk membereskan kaum
teroris Basque. Acora berusia pertengahan enam puluhan, seorang tinggi besar dengan wajah penuh bekas luka dan bermata dingin seperti obsidian. Ia seorang perwira muda di bawah pimpinan Francisco Franco selama Perang
Saudara dan ia masih secara fanatik berpedoman pada
filsafat Franco: Kita hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan pada sejarah.
Acoca seorang perwira yang jenial dan ia telah menjadi salah seorang ajudan Franco yang terpercaya. Kolonel
Acoca memimpin suatu kesatuan anti-teroris yang bekerja efisien dan kejam. Anak buah Acoca bekerja di bawah
tanah, memakai penyamaran-penyamaran, dan tidak
pernah diumumkan atau difoto karena khawatir pada
pembalasan dendam. Jika ada orang yang dapat menghentikan Jaime Miro,
maka orang itu adalah kolonel Acoca, Martinez berpikir.
Tetapi ada satu persoalan. Siapakah yang akan menghentikan kolonel Acoca"
Menyerankan tugas itu kepada Acoca bukanlah gagasan
perdana menteri. Ia telah menerima telepon di tengah m-
alam buta, lewat pesawat pribadinya. Dan telah dikenalinya suara di seberang sana itu seketika.
"Kami sangat cemas dengan kegiatan-kegiatan Jaime Miro dan kaum terorisnya. Kami menyarankan agar Anda
memberikan tugas penumpasan Jaime Miro dan gerombolannya itu kepada kolonel Ramon Acoca dari GOE.
Apakah ini sudah jelas?"'
"Baik, tuan. Akan segera kami bereskan."
Suara di seberang sana it.u dari seorang anggota Opus Mundo. Organisasi itu adalah badan rahasia yang meliputi kaum bankir, pengacara, kepala-kepaa korporasi raksasa, dan menteri-menteri kabinet. Menurut deas-desusnya,
organisasi itu memegang dana-dana besar sekali, tetapi dari mana asal uang itu dan bagaimana dana itu dipakai dan dimanipulasi, merupakan suatu misteri. Dianggap tidak baik bagi keselamatan seseorang untuk mengajukan terlalu banyak pertanyaan tentang Opus Mundo itu.
Perdana Menteri Martinez telah menunjuk kolonel Acoca sebagai yang bertanggung jawab, sesuai instruksi yang diterima Martinez itu, tetapi kolonel raksasa itu ternyata seorang fanatik yang tidak terkendalikan. GOE kolonel Acoca itu telah menciptakan kekuasaan teror. Perdana
Menteri Martinez membayangkan pemberontak- pemberontak Basque yang telah ditangkap anak buah
Acoca di dekat Pamplona. Mereka itu telah diadili dan dihukum mati dengan cara digantung. Adalah kolonel Acoca yang berkeras agar kaum pemberontak Basque yang
tertangkap itu dilaksanakan hukuman matinya dengan
menggunakan garotte, sebuah krah besi yang dipasangi
paku-paku yang secara berangsur didikencangkan pada
leher orang yang menjalani hukuman mati itu, dan yang
akhirnya menghancurkang tulang leher dan patahnya
tulang punggung sang korban.
Jaime Miro telah menjadi suatu obessi bagi kolonel
Acoca. "Aku menghendaki kepalanya." Acoca berkata. "Potonglah kepalanya, dan gerakan Basque akan mati."
Sesuatu yang dilebih-lebihkan, perdana menteri itu
berpikir, sekalipun harus diakuinya bahwa ada intikebenaran dalam yang dikatakan Acoca itu. Jaime Miro adalah seorang pemimpin yang kharismatik. fanatik dalam perjuangannya, dan karena itu berbahaya.
Namun, dengan caranya sendiri, perdana menteri
Martinez berkata dalam hati. Acoca adalah sama berbahaya.
Primo Cadado, direktur jendral keamanan, kini
berbicara. "Yang mulia, tidak ada seorang pun yang dapat meramalkan yang telah terjadi di Pamplona itu. Jaime Miro adalah?"
"Aku mengetahui bagaimana Jaime Miro itu." Perdana Menteri menukas, "Yang mau kuketahui adalah ia sekarang di mana." Martinez beralih pada kolonel Acoca.
"Aku sedang mengejarnya."Kolonel itu berkata. Suaranya itu dingin membekukan semua di lam ruangan itu. "Izinkan saya mengingatkan Yang Mulia bahwa kami tidak hanya
berperang dengan seorang Jaime Miro saja. Kita sedang memerangi rakyat Basque. Merekalah yang memberikan
makanan dan senjata serta tempat berlindung pada Jaime Miro dan gerombolan terorisnya. Orang itu menjadi
pahlawan mereka. Tetapi jangan Yang Mulia khawatir.
Tidak lama lagi ia cuma seorang pahlawan yang tergantung.
Setelah suatu peradiian yang jujur, tentu saja, ini kujamin pada Yang Mulia."
Bukan 'kita' kata yang dipakainya. Perdana Menteri itu bertanya-tanya sendiri apakah orang-orang lainnya yang hadir di ruangan itu telah memperhatikan hal itu. Ya, pikirnya dengan gelisah. Sesuatu harus dilakukan terhadap kolonel itu. Tidak lama lagi.
Perdana Menteri berdiri dari kursinya. "Hingga di sini saja untuk sementara ini, tuan-tuan."
Semuanya bangkit berdiri, siap meninggalkan ruangan
itu. Kecuali kolonel Acoca.
Setelah yang lain-lainnya pergi, Leopoldo Martinez mulai berjalan mondar-mandir di ruangan itu. "Sialan itu orang-orang Basque. Mengapa mereka tidak puas dengan menjadi orang Spanyol" Apa lagi yang mereka inginkan?"
"Mereka serakah akan kekuasaan." Acoca berkata.
"Mereka menuntut otonomi, bahasa mereka sendiri, dan bendera mereka. ."
"Tidak! Selama aku yang memegang tampuk pemerintahan, tidak bisa. Aku tidak akan mengizinkan
mereka merobek-robek dan memisah-misahkan Spanyol.
Pemerintah akan memberitahukan kepada mereka apa saja yang dapat mereka peroleh dan apa yang tidak boleh
mereka peroleh. Mereka itu tidak lebih dari gerombolan pembuat huru hara yang. ."
Seorang ajudan masuk. "Maafkan Yang Mula." Orang itu berkata ragu. "Uskup Ibanez telah tiba. "
"Persilakan ia masuk."
Mata kolonel itu menyipit. "Anda boleh memastikan bahwa Gereja berada di belakang semua ini. Sudah
waktunya kita memberikan pelajaran kepada Gereja itu."
Gereja merupakan salah satu ironi terbesar dalam
sejarah kita, kolonel Acoca berpikir penuh kegetiran.
Pada awal Perang Saudara, Gereja Katolik telah memihak pada
kekuatan Nasionalis. Sri Paus mendukung jendralisimo Franco, dan dengan begitu memperkenankan jendralisimo itu memproklamirkan bahwa ia berjuang di sisi Tuhan. Tetapi ketika gereha-gereja dan monasteri-monasteri dan para padri diserang, Gereja Katolik
mencabut dukungannya. Jendralisimo Franco telah marah sekali. Berani benar
Gereja itu mencoba mendikte pemerintah! Suatu peperangan secara diam-diam telah dimulai. Lebih banyak gereja dan monasteri diserang oleh pasukan-pasukan
Franco. Biarawati-biarawati dan padri-padri dibunuh.
Uskup-uskup dikenakan tahanan rumah, dan para padri di selurh Spanyol didenda karena telah berkhotbah yang
isinya dianggap menentang pemerintah. Baru setelah
Gereja mengancam akan menjatuhkan hukum mengucilan
atas diri Franco, Franco menghentikan serangan-serangan terhadap Gereja itu.
Gereja terkutuk! pikir Acoca. Setelah Franco mangkat, Gereja mulai campur tangan lagi.
Acoca berpaling pada perdana menteri Martinez. "Sudah waktunya
diberitahukan kepada uskup itu, siapa sebenarnya yang memerintah Spanyol."
Uskup Calvo Ibanez orangnya kurus dan tampak rapuh,
dengan rambutnya yang putih perak. Ia memandang
kepada kedua pembesar itu lewat kaca mata pince-nes-nya.
"Buenas tardes."
Kolonel Acoca merasa empedunya naik ke tenggorokan.
Melihat orang gereja saja membuatnya mual. Mereka itu
kaum judas yang menggiring kambing-kambing tololnya ke pembantaian.
Uskup itu berdiri di situ, menunggu undangan untuk
duduk. Undangan itu tidak kunjung datang. Uskup itu juga tidak diperkenalkan pada kolonel itu. Memang perlakuan yang disengaja.
Perdana Menteri itu memandang pada kolonel Acoca,
menunggu pengarahan. Dengan kaku, Acoca berkata,
"Sejumlah berita mencemaskan telah meminta perhatian kami. Kaum pemberontak Basque dilaporkan mengadakan
rapat-rapat di monasteri-monasteri Katolik. Juga dilaporkan bahwa Gereja telah memperkenankan monasteri dan biara menyimpan alat-alat senjata bagi
kaum pemberontak." Nada suara Acoca itu mengandung ancaman. "Jika orang membantu musuh-musuh Spanyol, maka orang itu menjadilah musuh Spanyol."
Uskup Ibanez memandang padanya sejenak lamanya,
kemudian berpaling pada perdana menteri Martinez. "Yang Mulia, kami semua adalah anak-anak Spanyol. Orang-orang Basque itu bukanlah musuh Anda. Yang mereka minta
hanyalah kemerdekaan untuk. ."
"Mereka tidak meminta." Acoca berteriak. "Mereka menuntut! Mereka merajalela ke mana-mana membuat
huru hara, merampok bank, dan membunuh anggota polisi, dan kau berani mengatakan mereka itu bukan musuh-musuh kita?"
"Aku mengakui bahwa telah terjadi ekses-ekses yang tidak dapat dimaafkan. Tetapi kadang-kadang dalam
memperjuangkan keyakinan. ."
"Mereka tidak mempunyai keyakinan kecuali pada diri mereka sendiri. Mereka tidak mempedulikan Spanyol.
Seperti dikatakan salah seorang pengarang terbesar kita.
Tidak seorang pun di Spanyol mementingkan kebaikan
bersama. Setiap kelompok memikirkan diri sendiri. Gereja, orang-orang
Basque, Catalan. Setiap mereka itu mengatakan persetan dengan yang lainnya."
Uskup itu mengetahui benar bahwa kolonel Acoca secara salah mengutip Ortega Y. Gasset. Yang sebenarnya
dikatakan Ortega Y. Gasset meliputi pula tentara dan
pemerintah. Tetapi uskup itu diam saja. Kembali ia
berpaling pada perdana menteri, mengharapkan

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembicaraan yang lebih rasional.
"Yang Mulia, Gereja Katolik. ."
Perdana Menteri itu merasa bahwa tindakan Acoca
sudah terlalu jauh. "Jangan salah mengerti, Uskup. Pada dasarnya, tentu saja, pemerintah seratus persen berada di belakang Gereja."
Kolonel Acoca berbicara lagi. "Tetapi kita tidak dapat mengizinkan gereja-gereja dan monasteri- monasteri dan biara-biara Anda dipakai melawan kami. Jika Anda terus membiarkan orang-orang Basque itu menyimpan senjata di tempat-tempat itu, dan mengadakan rapat-rapat di tempat-tempat itu, Andalah yang harus memikul tanggung-jawab dan akibatnva."
"Aku yakin dan pasti bahwa laporan-laporan yang Anda terima itu adalah keliru." Uskup itu berkata dengan tulus.
"Namun begitu, aku pasti akan memeriksanya dengan segera."
Perdana Menteri berkata lirih, "Terima kasih. Uskup.
Sekian saja dulu." Perdana Menteri Martinez dan kolonel Acoca melihat
uskup itu berjalan pergi.
"Bagaimana pendapatmu?" Martinez bertanya.
"Ia mengetahui apa yang sedang terjadi."
Perdana menteri itu menghela nafas. Sudah cukup
banyak masalah yang kuhadapi tanpa mesti mencari ribut dengan Gereja.
"Jika Gereja itu memihak orang-orang Basque, maka berarti Gereja melawan kita." Wajah dan suara kolonel Acoca mengeras. "Aku meminta izin dari Yang Mulia untuk memberi pelajaran pada uskup itu. "
Perdana Menteri itu terkejut dengan sorot fanatisme
dalam mata kolonel itu. Ia secara naluriah menjadi
waspada. "Benarkah kau telah menerima laporan-Iaporan bahwa Gereja telah membantu kaum pemberontak itu?"
"Tentu saja, Yang Mulia."
Tidak ada cara untuk memastikan apakah orang itu
mengatakan yang sebenarnya. Perdana menteri Martinez
mengetahui betapa kolonel Acoca membenci Gereja. Tetapi, mungkin ada baiknya jika Gereja sekali-sekali merasakan lecutan, asal saja kolonel Acoca tidak bertindak terlampau jauh. Sejenak lamanya perdana menteri itu menimbang-nimbang masalah itu.
Adalah Acoca yang memecah keheningan itu. "Jika
gereja-gereja itu memberi tempat berlindung pada kaum teroris, maka gereja-gereja itu harus dihukum."
Dengan penuh keengganan perdana menteri Martinez
mengangguk. "Di manakah kau akan memulai?"
"Jaime Miro dan orang-orangnya kemarin telah dilihat di Avila. Tidak mustahil mereka bersembunyi di biara di
sana." Perdana Menteri mengambil suatu keputusan. "Geledahlah tempat itu." Ia berkata.
Keputusan itulah yang menyulut serentetan peristiwa
yang menggoncangkan seluruh Spanyol dan mengejutkan
dunia. -odwo- BAB TIGA Avila Keheningan itu bagaikan turunnya salju yang lembut,
menenangkan seperti bisikan angin musim panas, dan diam seperti melesatnya bintang-bintang. Biara Cistercian
terletak di luar tembok kota Avila, kota tertinggi di Spanyol, 112 kilometer di barat-daya Madrid. Biara itu dibangun untuk keheningan. Peraturan-peraturannya telah disahkan pada tahun 1601 dan tetap tidak berubah selama berabad-abad: liturginya, kepatuhan spiritual, ketertutupan ketat, tobat dan penebusan dosa, dan keheningan. Senantiasa, keheningan itu. Biara Cistercian di Avila itu adalah satu di antara tujuh buah yang masih terdapat di Spanyol, yang masih
bertahan dari jumlah ratusan yang telah dihancurkan selama Perang Saudara dalam suatu gerakan anti-Gereja yang terjadi di Spanyol secara periodik
sepanjang berabad-abad. Selama empat ratus tahun tiada sesuatu perubahan yang terjadi di sebelah dalam tembok-tembok biara itu, kecuali wajah-wajah penghuninya. Para wanita yang hidup
bersama Tuhan itu tinggal bersama, bekerja bersama,
makan bersama dan berdoa bersama, namun mereka tidak
pernah saling sentuh dan berbicara satu sama lainnya.
Pengecualian hanya ada dan diperkenankan bilamana
mereka menghadiri misa atau pada waktu Ibu Kepala
Betina berbicara pada mereka di kesendirian kantornya.
Bahkan pada waktu seperti itu, suatu bahasa isyarat kuno yang sedapat mungkin dipakai. Ibu Kepala itu seorang
biarawati tua yang berusia tujuh puluh tahun lebih, seorang wanita berwajah cerah, ceria dan penuh semangat, yang berjaya dalam kedamaian dan kenikmatan kehidupan biara, dan suatu kehidupan yang sepenuhnya diabdikan kepada
Tuhan. Para biarawati yang tinggal dan memencilkan diri di
Biara Cistercian itu berasal dari latar belakang kehidupan yang berbeda-beda dan datang dari negeri-negeri lain.
Keluarga asal mereka ada yang ningrat, petani, tentara.
Mereka datang di biara itu sebagai orang kaya dan miskin, terpelajar dan tidak terpelajar, dalam sengsara dan yang hidup berlimpah, namun kini mereka satu di mata Tuhan, bersatu dalam hasrat mereka akan pernikahan abadi
dengan Jesus. Di berbagai ordo lainnya, pelecutan diri sendiri telah dihentikan, tetapi di biara-biara dan monasteri-monasteri Cistercian, hal itu masih dilakukan. Sedikitnya satu dalam seminggu, dan kadang-kadang setiap hari, para biarawati itu menghukum tubuh mereka dengan Disiplin, sebuah
lecut panjang dua belas inci terbuat dari tali tipis yang dililin dengan enam ujung bersimpul, yang mendatangkan kenyerian sangat. Lecut itu dipakai untuk mencambuk
punggung, kaki dan bokong. .
Menurut ajaran Bernard Clairvaux, abbot ordo
Cistercian: Tubuh Kristus diremukkan. . tubuh kita harus disesuaikan dalam kesamaan dengan tubuh Tuhan kita
yang luka. Kehidupan dalam biara itu lebih keras daripada
kehidupan dalam penjara, namun para penghuninya hidup dalam puncak kenikmatan yang tidak pernah mereka kenal di dunia luar. Jika biara itu sebuah penjara, maka itu adalah sebuah penjara di Taman Eden Tuhan, dengan keyakinan
akan suatu kebahagiaan abadi bagi mereka yang secara
sukarela memilih untuk berada di situ dan tinggal di situ selamanya.
-odwo- Suster Lucia dibangunkan oleh bunyi genta biara. Ia
membuka mata, kaget dan tidak sadar di mana ia sedang berada untuk sejenak lamanya. Sel kecil tempatnya tidur itu seluruhnya berwarna hitam. Bunyi genta itu menandakan pukul tiga dinihari, dimulainya doa, sedangkan dunia luar masih diliputi kegelapan.
Tai! Rutin ini akan membunuh aku, Suster Lucia berkata pada diri sendiri.
Ia berbaring kembali di atas ranjangnya yang sempit dan tidak menyenangkan itu, sangat menginginkan sebatang
sigaret. Dengan penuh keenganan ia turun dari ranjangnya.
Jubah berat yang dipakainya dan yang dibawanya tidur itu menggesek kulitnya yang peka bagaikan kertas ampelas.
Terlintas dalam benaknya semula gaun indah karya
desainer-desainer busana terkenal yang tergantung di
lemari dalam apartemennya di Roma dan vilanya di Gstaad.
Dari luar selnya, suster Lucia dapat mendengar suara
gerak-gerik para biarawati yang sedang berkumpul di
ruangan depan. Dengan tak acuh, suster Lucia membereskan tempat tidurnya dan keluar dari selnya,
melangkah ke ruangan panjang tempat para biarawati itu berantri, semuanya dengan kepala tertunduk. Pelan-pelan mereka mulai berjalan menuju ke kapel.
Mereka tampak seperti segerombolan burung pinguin
yang tolol, pikir suster Lucia. Sungguh di luar
pengertiannya mengapa para wanita itu dengan sengaja
menyia-nyiakan kehidupan mereka, melepaskan seks,
pakaian indah, dan makanan enak. Tanpa itu semua, apa gunanya hidup terus" Dan peraturan-peraturan sial dan terkutuk itu!
Ketika suster Lucia pertama kali masuk biara itu, Ibu Kepala telah berkata padanya, "Kau harus berjalan dengan kepala tertunduk. Jangan keluarkan kedua tanganmu yang saling berjaIinan dari bawah jubahmu. Berjalanlah dengan langkah-langkah pendek. Berjalanlah pelan-pelan. Jangan sampai matamu beradu dengan mata suster yang mana
pun, bahkan jangan memandang biar sekilas pun pada
mereka. Kau tidak boleh berbicara. Telingamu hanya untuk mendengar kata-kata Tuhan."
"Baik, Ibu Kepala."
Selama bulan berikutnya Lucia mengikuti pendidikan
dalam biara. "Yang datang kemari bukanlah untuk bergabung dengan yang lain-lainnya, melainkan untuk tinggal di sini seorang diri dengan Tuhan. Kesendirian jiwa adalah essensial bagi persatuan dengan Tuhan. Itu dilindungi oleh peraturan-peraturan keheningan."
"Baik, Ibu Kepala."
"Kau harus senantiasa mematuhi keheningan mata.
Memandang ke dalam mata yang lain-lainnya akan
mengalihkan dirimu pada citra-citra yang sia-sia."
"Baik, Ibu Kepala."
"Pelajaran pertama yang akan kaudapatkan di sini adalah membetulkan masa lalu, membersihkan diri dari
kebiasaan-kebiasaan lama dan kecenderungan- kecenderungan duniawi: menghapus setiap citra masa lalu.
Kau akan melakukan penebusan dan penghukuman diri
yang mensucikan agar membebaskan dirimu dari
kehendak-diri dan cinta-diri. Tidak cukuplah bagi kita untuk merasa menyesal atas perbuatan-perbuatan dosa
kita di masa lalu. Sekali kita menemukan keindahan tanpa batas dan kesucian Tuhan, kita akan berhasrat tidak saja menebus dosa-dosa kita sendiri, melainkan setiap dosa yang telah pernah dilakukan."
"Baik, Ibu Kepala."
"Kau harus berjuang melawan sensualitas, yaitu yang disebut oleh Santo John dari Salib, 'malamnya citarasa'."
"Baik, Ibu Kepala."
"Setiap biarawati hidup dalam keheningan dan
kesendirian seakan-akan ia sudah berada di surga. Dalam keheningan murni dan suci yang dihasratkannya dengan
sangat itu, ia akan mampu mendengarkan keheningan tidak terbatas dan memiliki Tuhan."
Pada akhir bulan pertama, Lucia mengangkat sumpah
awalnya. Pada hari upacara itu dilakukan, rambut Lucia
digunting. Suatu pengalaman traumatik. Ibu Kepala yang melakukannya sendiri.
Ketika guntingan pertama terjadi, Lucia sudah mau
memrotes, tetapi seketika itu juga ia menyadari bahwa yang sedang terjadi itu hanyalah akan menyempumakan
penyamarannya. Aku masih dapat menumbuhkannya
panjang kembali, Lucia berkata dalam hati. Sementara ini aku akan seperti seekor ayam yang dicabut bulu-bulunya.
Mereka telah sampai di kapel itu. Para biarawati sudah mulai berdoa sendiri-sendiri, tetapi pikiran suster Lucia sibuk dengan urusan-urusan yang lebih penting daripada Tuhan.
Dalam sebulan atau dua lagi, setelah pihak polisi
berhenti mencari-cari diriku, aku akan keluar dari rumah gila ini.
Setelah doa pagi itu, suster Lucia berbaris bersama yang lain-lainnya ke ruangan makan, secara sembunyi-sembunyi melanggar peraturan - yang dilakukannya setiap hari -
dengan memperhatikan wajah-wajah para biarawati itu. Itu satu-satunya hiburan bagi dirinya. Lucia menganggapnya sungguh ganjil dan sulit dipercaya, bahwa tidak ada
seorang suster pun yang mengetahui wajah suster lainnya.
Sus Lucia tercekam oleh wajah para biarawati itu. Ada yang tua, ada pula yang muda bahkan ada yang cantik, dan ada pula yang jelek. Lucia tidak dapat mengerti mengapa mereka semua tampaknya begitu bahagia. Ada tiga wajah yang secara khusus menarik perhatian Lucia. Yang seorang adalah suster Teresa, seorang wanita yang agaknya berusia enam puluhan. Suster Teresa jauh daripada cantik namun ada suatu spiritualitas pada diri suster itu yang
membuatnya cantik, kecantikan yang bukan dari dunia ini.
Sepertinya suster Teresa itu selalu tersenyum ke dalam, seakan-akan membawa suatu rahasia menakjubkan di
dalam dirinya. Seorang biarawati lain yang mempesona Lucia adalah
suster Graciela. Yang seorang ini cantik sekali dan berusia tiga puluhan. Kulitnya mulus, air-mukanya lembut, dan matanya hitam cemerlang. Ia bisa menjadi seorang bintang film, Lucia berkata dalam hati. Apakah kisah wanita itu"
Mengapa ia mengubur dirinya dalam tempat seperti ini"
Biarawati yang ketiga adalah suster Megan. Bermata
biru, alis dan bulumatanya pirang. Usianya dua puluhan lebih dan wajahnya terbuka dan segar.
Dan yang seorang ini, apa kerjanya di sini" Ya, apa yang dikerjakan wanita-wanita itu di sini" Mereka terkurung di balik tembok-tembok ini, dlberi sebuah sel kecil sebagai tempat tidur, makanan yang buruk, delapan jam berdoa
dan berdoa, kerja keras, dan tidur yang terlalu sedikit.
Mereka itu pasti pazzo, sinting - semuanya.
Ia sendiri masih lebih mujur daripdda mereka itu,
karena mereka terkurung di sini untuk selama idu p
mereka, sedang ia sendiri, Lucia, akan keluar dari situ dalam waktu sebulan atau dua lagi. Barangkali tiga bulan, Lucia berpikir. Ini memang tempat bersembunyi yang
sempurna. Tolollah aku, kalau aku tidak sabaran dan cepat-cepat keluar dari sini. Dalam beberapa bulan lagi, pihak polisi akan berhenti mencari diriku. Pada waktu aku
meninggalkan tempat ini dan mengeluarkan uangku dari
Swiss, barangkali akan kutulis buku mengenai tempat gila ini.
Beberapa hari yang lalu, suster Lucia telah dipanggil oleh Ibu Kepala ke kantor untuk tugas mencari sebuah
dokumen, dan selagi berada di kantor mengerjakan yang ditugaskan
pada dirinya itu, suster Lucia telah menggunakan kesempatan meriksa dan membaca berkas-
berkas yang ada di situ. Malangnya, ia kepergok oleh Ibu Kepala.
"Kau harus menebus kesalahanmu dengan menggunakan Disiplin." Ibu Kepala Betina itu berkata pada Lucia.
Suster Lucia menundukkan kepala dan dengan patuh
menjawab,"Baik, Ibu Kepala."
Lucia kembali ke selnya dan beberapa menit kemudian,
para suster yang lewat depan selnya mendengar suara
mengerikan dari cambuk itu, berulang-ulang. Yang mereka tidak ketahui adalah bahwa suster Lucia menyambuk
tempat tidurnya. Orang-orang sinting ini mungkin saja kaum sado-
machisto, orang yang mendapatkan kepuasan dengan
menyiksa diri sendiri, tetapi aku - maafkan saja - belum segila mereka.
Mereka semua duduk di refrektori, empat puluh
biarawati, pada dua meja panjang. Diet Cistercian semata-mata vegetarian. Karena tubuh ini menghasratkan daging, maka daging dilarang. Lama sebelum fajar, secangkir teh atau kopi dan beberapa ons roti kering disajikan. Makanan pokok disantap pada pukul sebelas, dan terdiri dari sup encer, beberapa sayuran, dan kadang-kadang sepotong
buah. Ibu Kepala telah memerintahkan kepada Lucia,
"Kita berada di sini bukan untuk menyenangkan tubuh kita melainkan untuk menyenangkan Tuhan."
han. " Pada kucingku sekali pun tidak akan kuberikan sarapan pagi seperti ini, suster Lucia berkata dalam hati. Aku telah berada di sini dua bulan lamanya, dan aku berani bertaruh bahwa berat badanku telah turun sepuluh pon. Inilah versi Tuhan mengenai
pertanian gendut. Selesai sarapan pagi itu, dua orang biarawati
menyediakan dua buah ember cuci yang diletakkan di
ujung tiap meja itu. Para biarawati yang duduk di meja makan itu mengirimkan piring masing-masing kepada
suster yang menghadapi ember cuci itu. Suster itulah yang mencuci setiap piring itu, mengeringkannya dengan sebuah handuk, kemudian mengembalikan piring itu pada yang
empunya. Air dalam ember itu kian menjadi keruh dan
kotor. Dan mereka akan hidup seperti ini selama hidup mereka, suster Lucia berkata dalam hati penuh kemuakan. Ah,
sudahlah, buat apa aku mesti mengeluh. Ini benar-benar mengalahkan hukuman seumur hidup di penjara.
Suster Lucia rasanya mau menukarkan roh kekalnya
untuk sebatang rokok sigaret.
Lima ratus yard jauhnya dari biara itu, kolonel Ramon Acoca dan dua lusin orang pilihan dari GOE, Grupoa de Operaciones Especiales " satuan operasi khusus - sedang bersiap melancarkan suatu serangan terhadap biara itu.
-odwo- BAB EMPAT Kolonel Ramon Acoca mempunyai naluri seorang
pemburu. Ia sangat menyukai pemburuan, tetapi yang
memberikan kepuasan luar dalam pada dirinya adalah saat pembunuhannya. Pernah ia mengaku pada seorang teman,
"Aku mendapatkan orgasme kalau aku membunuh. Tidak soal apakah yang kubunuh itu seekor kijang, trewelu atau seseorang. . Ada sesuatu dalam perbuatan merenggut
nyawa itu yang membuat orang merasa dirinya seperti
Tuhan." Acoca telah bertugas di intelijen militer, dan ia dengan cepat mendapatkan nama sebagai seorang yang brliyan. Ia berani, kejam, dan cerdas, dan kombinasi itu menjadikan dirinya diperhatikan oleh seorang di antara para ajudan jendral Franco.
Acoca bergabung pada staf Franco sebagai seorang
letnan, dan dalam waktu kurang dari tiga tahun telah naik pangkatnya menjadi kolonel. Ia bertanggung jawab atas kaum Falangis, suatu satuan khusus yang dipakai menteror orang-orang yang menentang Franco.
Selama perang Acoca dipanggil oleh seorang anggota
Opus Mundo. "Aku harap kau mengerti bahwa kami berbicara
denganmu adalah dengan izin jendral Franco."
"Baik, tuan." "Kami telah memperhatikan dirimu, kolonel. Dan kami senang dengan yang kami lihat."
"Terima kasih, tuan."
"Kadang-kadang kami mempunyai tugas-tugas tertentu yang - katakan saja - sangat rahasia. Dan sangat
berbahaya." "Aku mengerti, tuan."
"Kita mempunyai banyak musuh. Orang-orang yang
tidak memahami pentingnya pekerjaan yang kita lakukan."
"Betul, tuan." "Kadang-kadang mereka menghambat kita. Dan kita
tidak boleh membiarkan hal itu terjadi."
"Tentu, tuan." "Aku yakin kita dapat memakai seorang seperti Anda, kolonel. Kurasa kita saling mengerti satu sama lain."
"Betul, tuan. Dan aku merasa mendapat kehormatan jika dapat melakukan sesuatu untuk tuan."
"Kami menginginkan kau tetap di tentara. Itu akan penting sekali bagi kita. Tetapi kadang kala, kami ingin menugaskan Anda untuk menangani proyek-proyek khusus
itu." "Terima kasih, tuan."
"Anda jangan sekali-kali membicarakan hal ini."
"Tentu saja, tuan."
Dan pada waktunya, kolonel Acoca dipanggil untuk
melaksanakan sejumlah tugas untuk Opus Mundo. Dan
seperti sudah diberitahukan kepadanya, tugas-tugas itu semuanya berbahaya. Dan sangat rahasia.
Dalam menjalankan salah-satu tugasnya itu, Acoca
bertemu dengan seorang gadis muda dan cantik dari suatu keluarga baik-baik. Hingga saat itu semua wanita dalam kehidupan Acoca adalah pelcur-pelacur dn lonte-lonte
tentara. Ada di antara mereka itu yang benar-benar jatuh cinta pada Acoca terpikat oleh kekuatnnya.
Nmun Susana Cerredilla tergolong dari suatu dunia lain.
Ayah Susana adalah seorang profesor pada universitas
Madrid, dan ibu Susana adalah saorang pengacara. Ketika Susana berusia tujuh belas tahun, ia sudah memiliki tubuh seorang wanita dan kelembutan wajah bagaikan seorang
madona. Ramon Acoca belum pernah bertemu- dengan
seorang seperti wanita-anak itu. Kelembutan gadis itu mengilhami Acoca dengan suatu kelembutan pula. Acoca
Jatuh cinta oada gadis itu, dan entah bagaimana - yang juga tidak dimengerti oleh ayah maupun Ibunya- Susana juga jatuh cinta pada Ramon Acoca.
Selama bulan madu mereka, Acoca seakan-akan belum


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah mengenal seorang wanita lain. Ia mengenal benar gejolak nafsu dalam dirinya, tetapi perpaduan cinta dan nafsu adalah sesuatu yang belum pernah dialaminya.
Tiga bulan setelah pernikahan mereka, Susana memberitahukan kepada suaminya, bahwa ia mengandung.
Acoca merasa dirinya seperti di surga ke tujuh.
Kebahagiaan itu ditambah pula oleh penugasan Acoca ke sebuah desa kecil dan indah Castinblanco, di negeri Basque.
Ketika itu musim gugur tahun 1936, ketika pertempuran di antara kaum Republik dan kaum Nasional sedang
memuncak. Pada suatu minggu pagi, Ramon Acoca dan istya sedang
minum kopi di alun-alun desa itu ketika alun-alun itu tiba-tiba penuh dengan kau demonstran Basque.
"Kau segeralah pulang." Acoca berkata. "Akan ada keributan di sini."
"Tetapi kau sendiri. .?"
"Sudahlah, kau segera pulang. Aku sendiri tidak akan apa-apa. "
Kaum demonstran sudah mulai tidak dapat dikendalikan
lagi. Dengan lega hati, Ramon Acoca melihat istrinya berjalan pergi dari kerumunan orang banyak itu, berjalan menuju sebuah bara di suatu sudut di alun-alun. Tetapi, ketika Susana tiba di biara itu, pintu biara itu mendadak dibuka dari dalam dan orang-orang Basque bersenjata, yang telah bersembunyi di dalam biara itu, menyebar keluar dengan menembakkan snjata-senjata mereka. Dengan tidak dapat berbuatapapun, Acoca melihat istrinya roboh dihujani
peluru. Pada hari itulah Acoca bersumpah akan membalas dendamm pada kaum Basque dan pada Gereja.
Dan kini Acoca berada di Avila, di luar sebuah biara lain.
Kali ini mereka akan mampus.
Di dalam biara itu, dalam kegelapan menjelang magrib, suster Teresa yang menggenggam Disiplin di tangan
kanannya, menghajar tubuhnya dengan cambuk itu. Ia
nyaris menjerit kesakitan, tetapi tiada suara yang
diperkenankan di dalam biara itu. Sehingga suster Teresa menahan jeritan-jeritannya itu di dalam dirinya. Ampunilah aku, Jesus, atas dosa-dosaku. Jadilah Dikau bahwa aku menghukum diriku sendiri, sebagaimana Dikau telah
dihukum, dan aku melukai diriku sendiri, sebagaimana
Dikau telah dilukai. Biarlah aku menderita sebagaimana Dikau telah menderita.
Suster Teresa hampir pingsan karena kesakitan. Tiga
kali lagi dicambuknya tubuhnya sendiri, dan kemudian ia terkulai di atas ranjangnya. Suster Teresa menghukum diri sendiri tanpa sampai mengeluarkan darah. Itu dilarang.
Dengan menggerinyut kesakitan dengan setiap gerakan
yang dibuatnya, Teresa mengembalikan cambuk itu ke
dalam peti hitamnya. Kemudian diletakkannya itu di suatu sudut selnya. Selalu benda itu di situ, suatu pengingat bahwa dosa sekecil apa pun haruslah ditebus dengan
kenyerian. Pelanggaran yang telah dilakukan suster Teresa telah
terjadi pagi itu, ketika ia berbelok di suatu tikungan lorong biara itu, dirinya telah bertubrukan dengan suster Graciela.
Kaget, suster Teresa telah memandang pada wajah suster Graciela. Suster Teresa segera melaporkan pelanggarannya itu, dan Ibu Kepala cuma mengerutkan dahi dan
memberikan isyarat disiplin kepada suster Teresa.
Terbaring di ranjangnya itu, suster Teresa tidak mampu menyingkirkan wajah yang luar biasa cantiknya dari wanita muda yang telah dipandangnya itu, dari benaknya. Gereja secara halus telah menyebutkan daya tarik seorang
biarawati bagi seorang biarawati lain itu suatu persahabatan khusus, dan hukuman atas itu adalah
seketika dan berat. Suster Teresa telah menjalani
hukumannya, karena telah melanggar peraturan itu.
Kini bunyi genta biara itu mampir ke pendengaran
suster Teresa, seolah-olah bunyi itu datang dari tempat yang jauh sekali. Ah. . itu adalah suara Tuhan, yang
menegur dirinya. Di sel sebelah, bunyi genta itu menembus lorong-lorong impian suster Graciela, dan bunyi itu membaur dengan
suara berkeriutnya per-per tempat tidur. Pria Moor itu sedang
bergerak ke arahnya, telanjang bulat, kejantanannya mekar besar, kedua tangan pria Moor itu diulurkan untuk menyambar dirinya. Suster Graciela
membuka matanya, seketika terbangun, jantungnya
berdebam menggelepar. Ia melihat ke sekeliling dirinya, dalam ketakutan, tetapi dirinya ternyata bersendiri di selnya yang sempit itu, dan satu-satunya suara adalah bunyi genta yang menentramkan itu.
Suster Graciela berlutut di sisi ranjangnya. Jesus, terima kasih, bahwa Dikau telah membebaskan diriku dari masa lalu. Terima kasih atas kebabagiaan yang kukecap sekarang dengan berada di sini, dalam sinar Dikau. Biarlah aku berjaya hanya dalam kebahagiaan Dikau. Tolonglah aku, Kekasihku, agar aku selalu setia pada panggilan yang Dikau berikan
padaku. Tolonglah aku, agar aku dapat meringankan kesedihan hati suci Dikau.
Suster Graciela bangkit berdiri dan dengan seksama
menata tempat tidurnya, kemudian ia menggabungkan diri pada iring-iringan suster-suster lainnya, yang dalam hening bergerak ke kapel.
Pada mulanya, ketika suster Graciela baru masuk biara itu, ia tidak mengerti manakala Ibu Kepala mengatakan padanya, bahwa seorang biarawati adalah seorang wanita yang melepaskan segala yang dimilikinya agar dapat
memiliki segala-galanya. Ketika itu suster Graciela hanya berusia empat belas tahun. Kini, tujuh belas tahun
kemudian hal itu menjadi terang baginya. Dalam
perenungan ia memiliki segala-galanya, karena perenungan adalah jiwa yang menjawab pada roh. Hari-harinya
dipenuhi dengan kedamaian yang menakjubkan.
Terima kasih, karena Dikau telah membuat diriku
melupakannya, Bapa. Terima kasih, karena Dikau berdiri di sisiku. Aku tidak mungkin dapat menghadapi masa laluku yang mengerikan itu tanpa Dikau. . Terima kasih. . Terima kasih. .
Setelah Matin, doa pagi, itu selesai, para biarawati
kembali ke sel masing-masing. Untuk tidur lagi hingga menyingsingnya matahari.
Di luar biara itu, kolonel Ramon Acoca dan anak buahnya dengan cepat bergerak di dalam kegelapan itu. Ketika
mereka tiba di biara itu Acoca berkata, "Jaime Miro dan orang-orangnya akan bersenjata. Jangan mengambil
eesiko." Dipandangnya tampang depan biara itu, dan sejenak
lamanya terlihatlah oleh mata ingatannya, sebuah biara lain dengan partisan-partisan Basque menyerbu ke luar, dan Susana roboh dalam hujan peluru.
"Tak usah merepotkan diri dengan menangkap Miro
hidup-hidup." Ramon Acoca berkata.
Suster Megan dibangunkan oleh keheningan itu. Suatu
keheningan yang lain, suatu keheningan yang bergerak, suatu hembusan udara ketergesaan, suatu bisikan tubuh-tubuh. Ada suara-suara yang belum pernah didengarnya
selama lima belas tahun di dalam biara itu. Suster Megan tiba-tiba merasa sesuatu yang mengerikan sedang terjadi.
Ia turun dari tempat tidurnya tanpa menimbulkan suara dan dibukanya pintu selnya. Sungguh tidak bisa dipercaya, lorong baru yang panjang itu penuh dengan kaum pria.
Seorang tinggi besar, raksasa, dengan wajah penuh bekas luka sedang keluar dari sel Ibu Kepala, menyeret Ibu Kepala
itu pada lengannya. Megan memandang dengan terguncang.
Aku sedang bermimpi buruk, katanya dalam hati. Mustahil orang-orang lelaki itu berada di situ.
"Dimana kau menyembunyikannya?" Kolonel Acoca membentak.
Wajah Ibu Kepala itu kebengongan dan kengerian itu
sendiri. "Shh! Ini gereja Tuhan. Anda mencemarinya." Suara Ibu Kepala itu bergetar. "Kalian harus segera pergi dari sini."
Cengkeraman kolonel Acoca pada lengan Ibu Kepala itu
mengencang, dan pria itu mengguncang-guncang tubuh Ibu Kepala itu. "Aku menghendaki Miro, suster."
Ahh, mimpi buruk ini sungguh-sungguh. Pintu-pintu sel lainnya mulai dibuka, dan para biarawati mulai
bermunculan, semuanya dengan wajah kebingungan. Tidak pernah ada sesuatu dalam pengalaman mereka yang
mempersiapkan diri mereka pada peristiwa luar biasa itu.
Kolonel Acoca mendorong pergi Ibu Kepala dan ia
berpaling pada Patricio Arrieta, salah seorang pembantunya. "Geledah tempat ini. Dari atas hingga bawah."
Orang-orang Acoca mulai menyebar, menyerbu ke dalam
kapel, refrektori, dan sel-sel, membangunkan biarawati-biarawati yang masih tidur dan memaksa mereka dengan
kasar pergi ke kapel lewat lorong panjang itu. Para
biarawati menurut tanpa bersuara, tetap mempertahankan sumpah keheningan mereka. Pemandangan itu bagaikan
suatu adegan dalam film yang tanpa bersuara.
Orang-orang Acoca itu dipenuhi oleh rasa balas-dendam.
Mereka semuanya adalah Falangis, dan mereka masih ingat benar betapa Gereja telah menentang mereka selama
Perang Saudara dan betapa Gereja telah mendukung kaum loyalis terhadap
pemimpin mereka yang tercinta, Jendralisimo Franco. Ini kesempatan mereka untuk
membalas dendam. Ketegasan dan keheningan para
biarawati itu bahkan membuat orang-orang itu bertambah beringas.
Ketika Acoca melewati sebuah sel, suatu jeritan bergema keluar dari dalam sel itu. Acoca menengok ke dalam dan melihat seorang anak buahnya merobek jubah seorang
suster. Acoca berjalan terus.
Suster Lucia terbangun oleh suara-suara teriakan orang-orang lelaki. Dalam kepanikan, Lucia terduduk di tempat tidurnya. Ah, polisi telah menemukan diriku, pikiran
pertama yang terlintas dalam benaknya. Aku harus segera keluar dari tempat neraka ini. Tetapi tidak ada jalan keluar dari biara itu kecuali lewat pintu depan.
Lucia bergegas berdiri dan mengintip ke sepanjang
lorong itu. Pemandangan yang dilihatnya itu membuatnya heran tidak kepalang. Lorong itu bukannya penuh dengan polisi, melainkan dengan orang-orang pria dalam pakaian sipil, membawa senjata, menghancurkan lampu-Iampu dan meja-meja. Di mana-mana tampak kekacauan dan
kebingungan. Ibu Kepala tampak berdiri di tengab-tengah hiruk pikuk itu, berdoa, menyaksikan orang-orang luar itu mengotori, mencemari, biaranya yang dicintainya. Suster Megan
datang ke sisi Ibu Kepala, dan Lucia menggabungkan diri ke situ.
"A. . apa yang terjadi" Siapakah mereka itu?" Lucia bertanya. Itu adalah kata-kata pertama yang diucapkan dengan bersuara sejak ia masuk biara itu.
Ibu Kepala meletakkan tangan kanannya di bawah ketiak kirinya, tiga kali. Tanda isyarat untuk bersembunyi.
Lucia memandang pada Ibu Kepala itu dengan mata
penuh ketidak-percayaan. "Anda sekarang boleh berbicara.
Mari kita keluar dari sini, demi Kristus. Dan aku benar-benar maksudkan demi Kristus.
Patricio Arrieta bergegas mendekati Acoca.
"Telah kami geledah seluruh tempat ini, kolonel. Tidak ada tanda-tanda Jaime Miro atau anak buahnya di sini."
"Cari sekali lagi." Acoca berkata dengan berkeras kepala.
Pada saat itulah Ibu Kepala ingat akan satu-satunya
pusaka yang dimiliki biara itu. Ia bergegas ke suster Teresa dengan berbisik, "Aku ada tugas untukmu. Ambillah salib emas dari refrektori dan bawalah itu ke biara di Mendavia.
Kau harus segera keluar dari sini. Cepat!"
Suster Teresa bergemetar sekujur tubuhnya. Dipandangnya Ibu Kepala, ia seperti telah lumpuh. Suster Teresa telah melewatkan tiga puluh tahun dari hidupnya dalam biara itu. Pikiran meninggalkan biara itu berada di luar daya bayangnya. Ia mengangkat tangannya dan
mengeluh, aku tidak dapat.
Ibu Kepala itu gugup, gelisah. "Salib itu tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang Iblis ini. Ayo, lakukanlah demi Jesus."
Mata suster Teresa itu berkaca. Ia menegakkan dirinya.
Ia mengeluh lagi, demi Jesus, kemudian ia berbalik dan bergegas ke refrektori.
Suster Graciela mendekati kelompok suster itu,
memandang dengan heran pada hiruk pikuk di sekeliling dirinya.
Anak-buah Acoca itu telah menjadi semakin beringas,
mereka menghancurkan segala yang disentuhnya. Kolonel Acoca memperhatikan anak buahnya itu dengan nyengir
setuju. Lucia berpaling pada Megan dan Graciela. "Entah apa yang kalian mau lakukan, tetapi aku sendiri akan keluar dari sini. Kalian ikut?"
Kedua suster itu cuma memandang padanya, terlalu
terbengong untuk dapat menjawab.
Suster Teresa tampak bergegas kembali pada mereka,
membawa sesuatu yang dibungkus dengan sepotong
kanvas. Ada sejumlah anak buah Acoca itu menggiring lebih banyak lagi biarawati ke refrektori.
" Ayo." Lucia berkata.
Suster Teresa, Megan dan Graciela ragu sejenak tetapi kemudian mengikuti Lucia menuju ke pintu depan biara itu.
Pintu itu ternyata telah didobrak hingga terbuka oleh orang-orang Acoca itu.
Tiba-tiba seorang pria muncul di hadapan mereka. "Mau pergi ke mana, nyonya-nyonya" Ayo, balik. Teman-temanku mempunyai rencana untuk kalian. "
"Kami mempunyai hadiah untukmu." Dipungutnya sebuah tempat memasang lilin yang terbuat dari logam
berat, dan Lucia tersenyum.
Pria itu melihat pada benda di tangan Lucia itu tidak mengerti. "Apa yang dapat kaulakukan dengan itu?"
"Ini." Lucia menyabetkan tempat pemasangan lilin itu ke kepala orang itu, mengenainya, dan orang itu roboh ke atas lantai, tidak sadarkan diri.
Ketiga suster yang lain itu memandang dengan
ketakutan. "Ayo, bergeraklah!" Lucia berkata.
Sejenak kemudian Lucia, Megan, Graciela dan Teresa
berada di halaman depan biara itu, bergegas lewat pintu gerbang itu ke dalam malam yang berbintang itu.
Lucia berhenti. "Di sini aku akan meninggalkan kalian.
Mereka pasti akan mencari kalian, maka sebaiknya kalian hjuga segera pergi dari sini."
Lucia berbalik dan mulai berjalan ke arah pegunungan
yang tampak di kejauhan sana, menjulang tinggi di atas biara itu. Aku akan bersembunyi di sana sampai pencarian ini mereda, kemudian akan kutuju Swiss. Sialan benar!
Anak-anak haram jadah itu telah merusak penyamaranku
yang sebenarnya sempurna ini.
Sambil berjalan mendaki jalan ke daerah pegunungan
itu, Lucia menoleh ke bawah. Dari tempatnya yang tinggi itu ia dapat melihat ketiga suster itu. Sungguh tidak bisa dipercaya, mereka masih berdiri di depan pintu gerbang biara itu, bagaikan tiga buah patung. . Yah Tuhan, Lucia berkata pada diri sendiri. Enyahlah dari situ sebelum mereka menangkap kalian. Ayo, bergeraklah!
Mereka tidak bisa bergerak. Seperti semua syaraf dalam tubuh mereka itu telah menjadi lumpuh. Mereka begitu
lama terkucil dari dunia, sehingga benak mereka itu tidak dapat mencerna yang sedang terjadi di situ. Selama ini mereka hidup menurut Peraturan. Tiba-tiba kini tidak ada Peraturan itu. Apakah yang dikehendaki Tuhan dari diri mereka" Apakah ini memang rencana-Nya" Mereka berdiri di situ berapat-rapat satu sama lainnya, takut membuka mulut, takut saling memandang.
Dengan ragu-ragu, suster Teresa menuding ke arah
lampu-Iampu di Avila di kejauhan itu, dan keluhan keluar dari mulutnya. Ke sana. Dengan ragu-ragu, mereka mulai bergerak ke arah kota itu.
Memperhatikan mereka dari bukit-bukit di atas itu,
Lucia berpikir: Jangan, tolol! Di sana itu tempat pertama yang mereka tuju mencari kalian. Ah, sudahlah, itu urusan kalian. Aku mempunyai persoalan-persoalanku sendiri.
Sejenak lamanya ia tetap berdiri di situ, melihat ketiga suster itu berjalan menuju kehancuran mereka sendiri; menuju ke tempat pembantaian mereka sendiri. Tai!
Lucia dengan tersandung-sandung dan terjatuh-jatuh
cepat menuruni bukit itu, lari mengejar ketiga suster itu.
"Hei, tunggu." Lucia berseru. "Berhenti!"
Ketiga suster itu berhenti, berbalik.
Lucia bergegas mendekati mereka, pernafasannya
terengah-engah. "Kalian mengambil jalan yang salah.
Tempat pertama mereka akan mencari kalian adalah di
kota. Kalian harus bersembunyi di tempat lain."
Ketiga suster itu cuma memandang pada Lucia,
membungkam. Lucia berkata dengan tidak sabaran, "Pegunungan itu.
Ayo, kita naik ke daerah pegunungan itu. Ikutilah aku."
Lucia berbalik dan kembali berjalan ke arah daerah
pegunungan itu. Setelah diam tanpa bergerak sedikitpun sejenak lamanya, ketiga suster itu serempak pula bergerak dan mengikuti Lucia dari belakang.
Sekali-sekali Lucia menoleh ke belakang untuk
memastikan bahwa mereka terus mengikuti dirinya. Ah,
mengapa aku tidak bisa memikirkan urusanku sendiri.
Lusia berpikir. Mereka itu bukan menjadi tanggung
jawabku. Lebih berbahaya dengan berkumpul dan
bersama-sama begini. Lucia terus berjalan mendaki daerah pegunungan itu, selalu memastikan bahwa ketiga suster itu masih mengikuti dirinya. Memang berat yang dihadapi
ketiga suster itu, dan berulang-kali mereka berhenti
sejenak untuk mengatur kembali pernafasan dan tenaga
mereka. Lucia berkali-kali berhenti, agar ketiga suster itu tidak tertinggal jauh di belakang. Ah, akan kutinggalkan mereka esok pagi.
"Ayo, kita harus berjalan lebih cepat." Lucia berseru kepada ketiga suster itu.
-odwo- Di biara itu, serbuan itu telah berakhir. Para biarawati yang tak berdaya itu, dengan jubah-jubah yang robek-robek dan bercipratan darah, sedang dikumpulkan dan kemudian dinaikkan ke dalam truk-truk tertutup.
"Bawa mereka ke markas besarku di Madrid."
Kolonel Acoca memerintahkan. "Tempatkan mereka
dalam isolasi." "Dengan tuduhan apa?""
"Menyembunyikan teroris."
"Baik, kolonel." Patricio Arrieta berkata. Ia ragu. "Ada empat biarawati yang telah menghilang."
Sorot mata kolonel Acoca menjadi kejam. "Cari mereka."
Kolonel Acoca terbang pulang ke Madrid untuk melapor
kepada Perdana Menteri. "Jaime Miro lolos sebelum kami sampai di biara itu."
Perdana Menteri Martinez mengangguk. "Telah kudengar begitu." Dan di dalam hati ia bertanya-tanya, apakah betul Jaime Miro itu berada di biara itu. Tidak menyangsikan lagi, Kolonel Acoca secara membahayakan
sudah mulai tidak dapat dikendalikan. Telah timbul protes-protes keras terhadap serangan kejam atas biara di Avila itu. Perdana Menteri memilih kata-katanya dengan berhati-hati.
"Surat-surat kabar telah
mengejar-ngejar diriku mengenai yang telah terjadi itu."
"Surat-surat kabar memang menjadi teroris itu seorang pahlawan." Acoca berkata, wajahnya muram. "Jangan kita membiarkan mereka menekan kita. "
"Jaime Miro itu menimbulkan banyak kesulitan pada pemerintah, kolonel. Dan empat biarawati itu.. jika mereka berbicara. ."
"Jangan khawatir. Mereka tidak akan bisa pergi jauh.
Akan kutangkap mereka dan akan kudapatkan Miro."
Perdana Menteri sudah memutuskan bahwa ia tidak
dapat mengambil resiko lebih jauh lagi. "Kolonel, aku menghendaki agar Anda memastikan ketiga puluh enam
biarawati yang Anda tahan itu diperlakukan dengan baik, dan aku telah memerintahkan kepada tentara untuk
bergabung dalam pengejaran atas diri Miro dan lain-
lainnya. Anda akan bekerja sama dengan kolonel Sostelo."
Agak lama keheningan dengan muatan tegangan
berbahaya itu. "Siapa di antara kita yang harus bertanggung jawab atas operasi ini?" Sorot mata Acoca itu dingin.
Perdana Menteri itu menelan. "Tentu saja Anda."
Lucia dan ketiga suster itu berjalan terus hingga fajar, bergerak ke arah timur laut memasuki daerah pegunungan, menjauhi Avila dan biara itu. Mereka mencapai dataran tinggi pegunungan Guadarrama, dan berjalan di atas
jalanan dari tanah yang dikeraskan, yang kiri-kanannya berdinding
batu. Mereka

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melewati ladang-ladang penggembalaan biri-biri dan kambing. Menjelang matahari menyingsing telah mereka lewati beberapa mil dan mereka mendapatkan diri mereka berada di suatu daerah penuh
pepohonan di luar desa kecil Villacastin.
Di sini akan kutinggalkan mereka, Lucia memutuskan.
Tuhan mereka akan mengurus dan memelihara mereka
sekarang. Tuhan memang telah melindungi diriku, ia
berpikir dengan getir. Swiss itu semakin jauh saja rasanya.
Aku tidak mempunyai uang, tidak mempunyai pasport, dan aku berpakaian seperti seorang juru kubur. Tetapi kini orang-orang itu telah mengetahui bahwa kita telah
meloloskan diri. Mereka akan mencari sampai mereka
mendapatkan dan menangkap kita. Maka itu, semakin cepat aku pergi, dan pergi sendirian, semakin baiklah.
Tetapi pada saat itu, sesuatu terjadi yang membuat Lucia mengubah rencana-rencananya.
Suster Teresa sedang berjalan di antara pepohonan itu ketika ia tersandung dan bungkusan yang dibawanya
dengan berhati-hati itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah. Benda itu keluar dari bungkusan kanvasnya, dan Lucia mendapatkan dirinya memandang pada sebuah
salib yang terukir indah sekali dan terbuat dari emas penuh. Bersinar-sinar di bawah sorotan matahari yang
baru menyingsing. Itu emas benaran, Lucia berkata dalam hati. Yang di atas sana memang melindungi diriku. Salib itu adalah manna.
Manna benar-benar. Itu adalah tiketku ke Swiss.
Lucia memperhatikan suster Teresa itu memungut
kembali salib itu, membungkusnya kembali dengan kanvas itu. Lucia tersenyum sendiri. Tidak akan sulit mengambil benda itu. Biarawati-biarawati itu akan melakukan apa yang ia katakan pada mereka.
Kota Avila heboh. Berita mengenai serangan terhadap
biara itu telah cepat tersebar luas, dan Romo Berrendo telah dipilih untuk menghadapi kolonel Acoca. Padri itu sudah berusia tujuh puluhan, dengan kerapuhan tubuh
yang tampak dari luar, tetapi sebetulnya menyembunyikan pula kekuatan yang terkandung di dalam sanubarinya.
Romo Berrendo seorang yang hangat dan penuh pengertian bagi jemaahnya. Tetapi pada saat ini dirinya dilanda oleh amarah yang luar biasa.
Kolonel Acoca telah membuatnya menunggu selama satu
jam, sebelum mempersilakannya masuk ke dalam
kantornya. Tanpa berbasa-basi romo Berrendo berkata, "Anda dan orang-orang Anda telah menyerang sebuah biara tanpa
alasan apa pun. Itu sungguh suatu tindakan gila-gilaan."
"Kami Cuma melaksanakan tugas kami." Kolonel itu berkata dengan singkat. "Biara itu telah memberi perlindungan kepada Jaime Miro dan gerombolan
pembunuhnya, sehingga yang terjadi itu adalah ditimbulkan oleh ulah para biarawati itu sendiri. Kami menahan mereka untuk diperiksa."
"Apakah Anda menemukan Jaime Miro di biara itu?"
Romo itu menggugat dengan marah.
Dengan mulus kolonel Acoca menjawab, "Tidak. Ia dan orang-orangnya telah meloloskan diri sebelum kami tiba di sana. Tetapi kami akan mendapatkannya, dan keadilan
akan berkuasa." Keadilanku, kolonel Acoca berkata dalam hati dengan
sepenuh-penuh kegarangan.
-odwo- BAB LIMA Perjalanan para biarawati itu lambat sekali. Pakaian
mereka memang tidak cocok untuk daerah berat itu. Sandal mereka terlalu tipis bagi perlindungan kaki mereka
terhadap tanah berbatu, dan jubah mereka selalu saja
tersangkut-sangkut pada sesuatu.
Ketika mereka baru meninggalkan biara, Teresa,
Graciela dan Megan selalu menghindari saling pandang di
antara mereka, secara naluri mereka masih berpegangan pada peraturan yang berlaku di dalam biara. Tetapi kini, ma
sing-masing menyadari dirinya dengan diam-diam
memperhatikan wajah yang lainnya. Juga, setelah bertahun-tahun membisu secara timbal balik, mereka mendapatkan bahwa berbicara itu sungguh sulit. Dan kalau mereka
berbicara kata-kata mereka tersendat-sendat. Hanya Lucia yang tampak bebas dan yakin akan diri sendiri, dan ketiga biarawati lainnya itu seperti dengan sendirinya berpaling pada Lucia sebagai pemimpin.
"Sudah waktunya kita saling berkenalan." Lucia berkata.
"Aku Lucia." Sejenak kebungkaman canggung, dan Graciela berkata
malu-malu, "Aku suster Graciela."
Yang berambut kelam dan sangat cantik.
"Aku suster Megan."
Yang berambut pirang dengan mata biru memikat.
"Aku suster Teresa."
Yang tertua di antara mereka. Lima puluh tahun" Enam
puluh" Dan ketika mereka sedang beristirahat di hutan pinggir desa itu, Lucia berpikir. Mereka itu seperti burung-burung baru ditetaskan yang jatuh dari sarang mereka. Kalau
disuruh sendiri saja, mereka tidak akan dapat bertahan lima menit. Yah, itu nasib mereka. Aku sendiri sudah akan berada di dalam perjalanan ke Swiss, dengan salib emas itu.
Lucia berjalan ke tepi lapangan terbuka tempat mereka berada itu dan mengintip ke arah desa kecil di bawah itu.
Tampak beberapa orang berjalan di jalanan desa itu, tetapi tidak ada tanda-tanda orang-orang yang telah menyerbu
biara. Nah, sekarang, Lucia berpikir. Sekarang inilah kesempatanku.
Ia balik pada yang lain-lain. "Aku akan turun ke desa itu dan mencoba mencari makanan. Kalian tunggu di sini."
Lucia kemudian mengangguk ke arah suster Teresa. "Dan kau kau ikut aku."
Suster Teresa bingung. Selama tiga puluh tahun ia cuma mematuhi perintah-perintah Ibu Kepala biara, suster
Betina, dan kini, secara tiba-tiba suster yang seorang ini mengamliil alih pimpinan. Tetapi, yang terjadi ini adalah kehendak Tuhan, suster Teresa berpikir. Tuhan telah
menunjuk suster Lucia itu sebagai penolong kita, maka suster Lucia berbicara dengan suara-Nya. "Aku harus secepat mungkin membawa salib ini ke biara di Mendavia."
"Benar. Kalau kita berada di bawah sana akan kita tanyakan ke arah mana kita harus berjalan untuk sampai di Mendavia."
Mereka berdua mulai menuruni bukit menuju ke desa
itu. Lucia senantiasa waspada, menghindari kesulitan.
Ini akan gampang sekali, suster Lucia berkata dalam hati.
Mereka telah mencapai pinggiran kota kecil itu. Sebuah tanda mengatakan Villacastin. Di depan mereka adalah
jalan utama kota kecil itu ke kiri ada sebuah jalan kecil yang sunyi.
Bagus, Lucia berpikir. Tidak akan ada saksi yang melihat yang bakal terjadi. Lucia menghadap ke jalan samping itu.
"Mari kita ambil jalan ini. Agar lebih kecil kemungkinan dilihat orang."
Suster Teresa mengangguk dan mengikuti Lucia dengan
patuh. Soalnya sekarang, bagaimana mendapatkan salib
emas itu dari suster Teresa itu.
Aku dapat merampasnya dan lari, Lucia berpikir. Tetapi suster Teresa mungkin akan berteriak dan menarik banyak perhatian. Tidak, aku harus memastikan bahwa ia tidak berkoar-koar.
Ada sebatang tangkai pohon yang tergeletak di tanah di depannya, dan Lucia berhenti, kemudian membungkuk
untuk memungutnya. Ah, berat juga. Bagus. Lucia
menunggu sampai suster Teresa sudah berada di dekatnya.
"Suster Teresa. ."
Suster itu memandang padanya, dan selagi Lucia mulai
mengangkat batang kayu itu suatu suara pria yang datang entah dari mana berkata "Tuhan beserta kalian, suster-suster."
Lucia berputar, siap untuk lari. Seorang pria berdiri di situ, memakai jubah panjang berwarna coklat. Seorang
bruder. Bruder itu jangkung dan kurus, dengan wajah
paling alim yang pernah dilihat Lucia. Dari matanya seakan bersinar sorot kehangatan, dan suaranya juga lembut.
"Aku bruder Miguel Carrillo."
Pikiran Lucia bekerja keras. Rencana pertamanya telah terganggu. Namun kini, mendadak ia mempunyai rencana
yang lebih baik. "Puji Tuhan, Anda telah bertemu kami." Lucia berkata.
Orang itulah yang akan merupakan jalan lolosnya. Ia akan mengetahui jalan paling mudah untuk keluar dari Spanyol.
"Kami datang dari biara Cistercian di dekat Avila." Lucia menjelaskan. "Tadi malam sejumlah orang telah menyerbu
biara. Semua biarawati telah ditangkap dan dibawa pergi.
Kami berempat telah berhasil meloloskan diri."
Ketika bruder itu menjawab, suaranya penuh dengan
amarah. "Aku datang darl monasteri di San Cenerro, tempatku tinggal selama dua puluh tahun terakhir. Kami diserang kemarin dulu malam." Bruder itu menghela nafas.
"Aku mengetahui bahwa Tuhan mempunyai rencananya bagi semua anak-anak-Nya. tetapi harus kuakui, bahwa
pada saat ini aku sungguh tidak mengerti apa gerangan rencana Tuhan itu."
"Orang-orang yang menyerbu biara kami itu sedang mencari kami." Lucia berkata. "Penting sekali bahwa kami dapat keluar dari Spanyol secepat mungkin. Tahukah Anda cara agar itu dapat dilakukan?"
Bruder Carrillo tersenyum lembut. "Kurasa aku dapat membantu, suster. Tuhan yang telah mempertemukan kita.
Bawalah aku kepada yang lainnya. "
Dalam waktu tidak terlalu lama, Lucia telah membawa
bruder itu pada kelompok mereka berempat.
"Ini adalah bruder Carrillo." Lucia berkata. "Ia telah tinggal dalam sebuah monasteri selama dua puluh tahun. Ia datang untuk menolong kita."
Reaksi para suster terhadap munculnya bruder itu
campur-aduk. Graciela tidak berani memandang langsung pada bruder itu; Megan memperhatikannya dengan sekilas-sekilas pandang; dan suster Teresa memandang pria itu sebagai seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan untuk
membawa mereka ke biara di Mendavia itu.
Bruder Carrillo berkata, "Orang-orang yang telah menyerang biara itu pastilah akan terus mencarl kalian.
Tetapi yang mereka cari adalah empat orang biarawati. Hal
pertama yang harus kalian lakukan adalah berganti
pakaian." Megan mengingatkan bruder Carrillo itu, "Kami tidak mempunyai pakaian untuk ganti jubah kami."
Bruder Carrillo tersenyum pada suster Megan. "Tuhan kita memiliki lemari pakaian yang besar dan terisi penuh.
Jangan khawatir, anakku. Tuhan yang akan menyediakannya. Mari kita kembali ke kota."
Pukul dua siang, waktu Siesta, beristirabat, dan bruder Carrillo bersama empat suster itu berjalan di jalan utama desa itu, siaga terhadap tanda-tanda dari para pengejar mereka. Toko-toko telah tutup, tetapi restoran dan bar masih buka dan dari tempat-tempat itu dapat mereka
mendengar musik aneh, musik yang keras, timpang-nada
dan menderu-deru. Bruder Carrillo melihat airmuka suster Teresa.
"Oh, itu musik rock'nroll." bruder itu berkata. "Sangat populer di kalangan muda zaman sekarang. "
Beberapa wanita muda sedang berdiri di depan sebuah
bar, dan mereka memandang heran pada para suster yang lewat itu. Para biarawati itu membalas pandangan kedua wanita itu, dengan mata terbuka lebar, memandang pada pakaian yang aneh yang dipakai kedua wanita itu. Yang seorang memakai rok yang demikian pendeknya, sehingga nyaris tidak menutupi pahanya, dan yang seorang lagi
memakai rok lebih panjang yang terbelah di kedua sisi pahanya.
Mereka itu sama saja dengan bertelanjang, suster Teresa berkata dalam hati, ngeri melihatnya.
Megan sedang memandang ke arah sesuatu di seberang
jalanan. Megan berhenti. Bruder Carrillo berkata, "Ada apa" Ada apa?" Dan ia berputar untuk melihat juga.
Megan sedang memperhatikan seorang wanita yang
menggendong seorang bayi. Ah, sudah berapa tahun yang berlalu, sejak ia melihat seorang bayi, atau bahkan seorang anak" Tidak lagi sejak dirinya berada di rumah yatim piatu itu, empat belas tahun berselang. Kejutan itu membuat Megan menyadari betapa jauh kehidupannya telah terpisah dari dunia luar.
Suster Teresa juga memandang pada bayi itu, tetapi yang dipikirkan adalah lain lagi. Itu bayi Monique. Bayi di seberang jalan itu telah mulai menangis dan menjerit. Bayi itu
menangis dan menjerit karena aku telah meninggalkannya. Tetapi tidak, itu mustahil. Itu tiga puluh tahun yang lalu. Suster Teresa memalingkan mukanya,
jeritan-jeritan bayi itu memekakkan telinganya. Mereka melanjutkan perjalanan.
Mereka lewat sebuah bioskop. Plakat di dinding lebar
gedung itu memperlihatkan Tiga Kekasih, dan gambarnya melukiskan seorang wanita yang berpakaian minim sedang berpelukan dengan seorang pria yang bertelanjang dada.
"Ya Tuhan, mereka. . mereka nyaris telanjang!" Suster Teresa berseru.
Bruder Carrillo mengerutkan dahi. "Ya. Sungguh
memalukan yang diizinkan kepada bioskop-bioskop untuk dipertunjukkan pada umum. Zaman sekarang. Film itu
jelas-jelas pornografi. Perbuatan-perbuatan paling pribadi dipertunjukkan untuk dilihat semua. Mereka mengubah
anak-anak Tuhan menjadi binatang."
Ketika mereka tiba di sebuah toko pakaian wanita,
bruder Carrillo berkata, "Berhenti."
Toko itu ternyata sudah tutup.
"Tunggu aku sebentar."
Keempat wanita itu melihat bruder itu berjalan ke sudut jalan, membelok dan menghilang. Mereka saling pandang.
Kemana bruder itu pergi" Dan bagaimana kalau ia tidak kembali"
Beberapa menit kemudian, mereka mendengar bunyi
pintu depan toko itu dibuka, dan bruder Carrilo tampak di lubang pintu depan toko itu. Bruder itu memberi isyarat agar mereka masuk. "Cepat," kata bruder itu.
Setelah mereka sudah berada di dalam toko itu dan
bruder itu sudah menutup kembali pintu, Lucia bertanya,
"Bagaimana Anda. .?"
"Tuhan menyediakan pintu belakang maupun pintu
depan." Bruder itu berkata dengan khidmat. Namun ada nada lucu dalam kata-katanya yang membuat Megan
tersenyum. "Kita harus bertindak cepat." Bruder Carrillo memperingatkan, "dan kita harus pergi dari sini sebelum siesta berakhir dan toko dibuka kembali. Silakan, pilihlah yang cocok bagi masing-masing kalian."
Lucia berkata dalam hati: Puji Tuhan, akhirnya aku dapat berpakaian sebagai wanita lagi. Ia pergi ke sebuah rak penuh pakaian dan mulai memilih. Didapatkannya sebuah rok beige dan blus sutera yang pantas bersama rok itu. Ini bukan Balenciaga, tetapi untuk sementara bolehlah. Lucia juga memilih celana dalam dan kutang dan sepasang sepatu bot lunak. Ia menghilang di balik sebuah rak pakaian lain,
menanggalkan pakaian yang dipakainya, dan dalam
beberapa menit saja ia sudah mapan dalam pakaian baru dan siap untuk berangkat.
Para biarawati lain itu pelan dan ragu-ragu memilih
pakaian untuk dirinya masing-masing.
Graciela memilih rok katun putih dan sepasang sandal
baru. Megan memilih rok katun biru bermotif yang
panjangnya hingga di bawah lutut, dan sepasang sepatu bertumit pendek.
Suster Teresa yang paling sulit melakukan pilihannya.
Akhirnya ia memilih rok terpanjang yang ada di situ, dan blus katun berlaher tinggi dan berlengan panjang.
Bruder Carrillo mendesak-desak. "Cepat, suster-suster.
Lepaskanlah jubah-jubah itu dan gantilah memakai yang kalian pilih."
Ketiga biarawati itu saling pandang dengan malu-malu
dan canggung. Bruder itu tersenyum. "Tentu saja aku akan menunggu kalian di kantor sana."
Bruder itu berjalan pergi ke bagian belakang toko itu dan masuk ke dalam ruangan kantor.
Ketiga biarawati itu mulai melepaskan pakaian mereka, rikuh melakukan itu di hadapan satu sama lain.
Di dalam ruangan kantor toko itu, bruder Carrillo telah menyeret sebuah kursi ke jendela jalusi kantor itu dan lewat jendeia itu diintipnya para suster itu melepas
pakaian. Dalam benak bruder Carrillo itu: Yang manakah yang akan kutiduri duIuan"
-odwo- Miguel Carrillo memulai karirnya sebagai seorang
maling ketika ia baru berusia sepuluh tahun. Ia dilahirkan dengan rambut pirang berikal dan wajah yang alim, yang ternyata terbukti sangat membantu dirinya dalam profesi itu. Ia memulai dari bawah, mencopet dompet, mencuri dari toko, dan setelah lebih tua karirnya mengembang dan ia mulai memberindili orang-orang mabok dan menjadikan
wanita-wanita kaya sebagai mangsanya. Karena daya
tariknya yang hebat, ia sangat berhasil.
Menyamar sebagai seorang bruder dari sebuah
monasteri yang jauh, Carrillo melakukan perjalanan dari gereja ke gereja, memohon tempat berteduh untuk
melewatkan malam. Itu selalu dikabulkan, dan di pagi hari, ketika para padri membuka pintu-pintu gereja, semua
benda berharga yang ada di gereja itu telah hilang lenyap, bersama dengan bruder yang baik itu.
Malangnya, nasib membelakanginya. Dua malam
sebelumnya, di Bejar, sebuah kota kecil dekat Avilla, padri gereja telah kembali lebih dini daripada yang dijadwalkan, dan Miguel Carrillo telah ketangkap basah sedang
meringkas benda-benda berharga gereja itu. Padri itu
seorang yang gemuk dan besar, dan ia telah bergulat dan menggencet Carrillo di atas lantai, dan mengatakan akan menyerahkannya kepada polisi. Sebuah piala berat yang terbuat dan perak telah jatuh ke atas lantai, dan Carrillo telah memungut itu dan memukulkannya ke atas kepala
padri itu. Entah karena piala itu memang terlalu berat atau batok kepala padri itu yang terlalu rapuh, yang jelas, padri itu tergeletak mati di atas lantai. Miguel Carrillo melarikan
diri dalam panik, dan ingin menciptakan jarak sejauh-jauh mungkin antara dirinya dengan tempat kejahatan itu
terjadi. Ia telah lewat Avila dan mendengar kisah
penyerangan biara di situ oleh kolonel Acoca dan GOE
rahasia. Secara amat kebetulan saja Carrillo bertemu
dengan keempat biarawati yang telah lolos dari tangan Acoca itu. Kini, penuh gairah dan nafsu yang bergelora, Carrillo mengintip pada tubuh-tubuh telanjang itu dan berpikir: Ada satu kemungkinan yang menarik sekali.
Karena kolonel Acoca dan orang-orangnya sedang mencari suster-suster ini, tidak mustahil ada hadiah besar disediakan untuk ganti kepala-kepala para suster itu. Akan kutiduri mereka
terlebih dulu, lalu menyerahkan mereka kepada Acoca.
Wanita-wanita itu, kecuali Lucia yang sudah berganti
pakaian, sepenuhnya telanjang. Carrillo memperhatikan mereka ketika mereka dengan canggung mengenakan
pakaian dalam baru itu. Setelah selesai berganti pakaian, mereka tampak buru-buru untuk pergi dari situ sebelum mereka tertangkap.
Sudah waktunya untuk bekerja, Carrillo berpikir dengan penuh nafsu. Ia turun dari kursi itu dan keluar dari ruangan kantor
itu. Didekatinya keempat wanita itu, diperhatikannya seorang demi seorang, dan ia berkata,
"Bagus sekali. Tidak seorang pun di dunia ini akan mengira Anda sekalian adalah biarawati. Kusarankan kalian
memakai pula kerudung kepala." Dan dipilihkannya sehelai untuk setiap suster itu.
Miguel telah pula mengambil keputusan. Graciela yang
akan menjadi yang pertama. Wanita yang satu itu jelas salah satu wanita tercantik yang pernah dijumpai Carrillo.
Dan tubuhnya itu! Tega-teganya wanita itu menyia-
nyiakannya untuk Tuhan! Akan kutunjukkan padanya yang dapat diperbuat dengan tubuh seindah itu.
Kepada Lucia, Teresa dan Megan, bruder Carrillo
berkata, "Kalian tentunya sudah lapar. Kuminta kalian pergi ke kedai yang kita lewati tadi, dan menunggu di sana. Aku akan ke gereja dan meminta sedikit uang dari padri, agar kita dapat makan." Ia berpaling pada Graciela. "Dan Anda kuminta ikut bersamaku, suster, untuk menjelaskan kepada padri mengenai yang terjadi di biara kalian."
"Aku. . baiklah."
Carrillo berkata lagi pada yang tiga lainnya,
"Kami berdua akan segera menyusul. Kusarankan kalian menggunakan pintu belakang."
Bruder itu menunggu hingga Lucia, Teresa dan Megan
pergi dari situ. Setelah didengarnya pintu belakang ditutup rapat, ia berpaling pada Graciela. Wanita yang satu ini benar-benar
menakjubkan, pikir bruder Carrillo.

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barangkali aku akan membawanya bersamaku, mengajarkan padanya tentang pekerjaan ini. Ia dapat
merupakan tenaga bantuan yang baik.
Graciela sedang memandang pada bruder itu. "Aku
sudah siap." "Belum." Carrillo berpura-pura memperhatikan penampilan Graciela itu sejenak lamanya. "Yang kukira belum. Gaun itu sama sekali tidak cocok bagimu. Lepaskan."
"Tetapi. . mengapa?"
"Tidak cocok." Carrillo berkata dengan liciknya. "Orang akan memperhatikan dirimu, padahal kau tidak ingin
menarik perhatian orang."
Graciela ragu sejenak, kemudian bergerak ke belakang
sebuah rak pakaian. "Ayo, cepat. Kita cuma ada sedikit waktu."
Dengan canggung Graciela melepaskan gaunnya itu. Ia
hanya memakai celana dalam dan kutang, ketika Carrillo tiba-tiba muncuL
"Lepaskan semuanya." Suara bruder itu serak.
Graciela memandang padanya. "Apa" Tidak!"
Graciela berseru. "Aku. . aku tidak dapat. Oh, jangan. .
aku. ." Carrillo bergerak mendekat. "Akan kubantu, suster. "
Kedua tangannya diulurkan dan dengan secepat kilat
dirobeknya kutang itu dan tangannya kini sibuk dengan celana dalam Graciela itu.
"Tidak!" Graciela menjerit. "Jangan! Hentikan!"
Carrillo tertawa menyeringai. "Cerita kita baru saja mulai. Kau akan menyukai ini."
Kedua lengannya yang kuat kini melingkari tubuh
Graciela. Dipaksanya Graciela itu ke atas lantai dan Carrillo mengangkat jubahnya sendiri.
Dalam benak Graciela seakan-akan turun layar panggung itu. Orang Moor itu, yang berusaha mendesakkan
kejantanannya ke dalam dirinya, menyobek-nyobek
kedalaman dirinya, dan suara tinggi melengking dari
ibunya yang berteriak-teriak. Dan Graciela berpikir, penuh kengerian. Tidak, jangan lagi. Ah, tidak. . jangan itu yang terjadi lagi.
Ia kini bergulat dan berlawan dengan sengitnya,
meronta menjauhkan Carrillo dari dirinya, berusaha
bangun. "Benar-benar sialan, kau!" Carrillo berseru.
Tinju Carrillo menghantam wajah Graciela, dan Graciela terjatuh ke belakang, matanya kabur, pusing.
Dan Graciela mendapatkan dirinya berpusing kembali
dalam waktu. Kembali. . kembali.. -odwo- BAB ENAM Las Navas del Marques, Spanyol - 1950
Ia berusia lima tahun. Kenangan-kenangan pertamanya
adalah sederetan orang-orang pria telanjang yang tidak dikenalnya, yang naik dan turun dari tempat tidur ibunya.
Ibunya menjelaskan kepadanya, "Mereka itu paman-
pamanmu. Kau harus menghormati mereka."
Orang-orang lelaki itu semua kasar-kasar dan tidak
sopan, sama sekali tidak mempunyai rasa sayang. Mereka menginap
semalam, seminggu, sebulan, kemudian menghilang. Setelah mereka pergi, ibunya segera mencari seorang laki-Iaki baru.
Di masa mudanya, Dolores Pinero seorang wanita yang
cantik, dan Graciela telah mewarisi wajah cantik dari
ibunya. Bahkan ketika masih anak-anak, Graciela mempesona jika dipandang. Tubuhnya yang masih muda
sudah penuh dengan janji.
Dengan berlalunya tahun demi tahun, tubuh Dolores
Pinero berubah menjadi gemuk dan wajahnya yang cantik telah dimemarkan oleh pukulan-pukulan waktu yang
penuh kegetiran. Sekalipun sudah tidak cantik lagi, ia tetap tersedia, dan ia disohorkan sebagai seorang teman tidur yang penuh gairah. Bercinta merupakan satu-satunya
bakatnya, dan itu dipakainya dalam usaha menaklukkan
kaum pria, dengan berharap dapat mempertahankan
mereka dengan membeli cinta mereka itu dengan tubuhnya sendiri.
Dolores Pinero membenci anak perempuannya, karena
anaknya itu merupakan pengingatnya pada satu-satunya
pria yang benar-benar dicintainya.
Ayah Graciela adalah seorang mekanik muda dan
tampan, yang telah melamar Dolores muda yang cantik itu, dan Dolores dengan penuh gairah telah membiarkan pria itu
membujuk dirinya. Tetapi, ketika Dolores memberitahukan kepada mekanik muda itu bahwa dirinya
telah hamil, pria itu menghilang, meninggalkan Dolores sendiri dengan kutukan benihnya.
Dolores seorang wanita yang berperangai buruk, dan ia membalaskan dendamnya pada anaknya. Setiap kali
Graciela melakukan sesuatu yang tidak menyenangkannya, Dolores memukulinya dan berteriak padanya, "Kau
memang segoblok ayahmu!" Gaya hidup Dolores Pinero memalukan sekali, dan itu berakibat pada Graciela. Ibu-ibu lain tidak memperkenankan anak-anak mereka bermain
dengan Graciela, khawatir moral anak-anak itu akan
ditulari. Graciela bersekolah di Plazoleta de Cristo, tetapi
tidak mempunyai teman. Ia salah seorang murid yang
cerdas di sekolah, tetapi angka-angkanya selalu rendah.
Sulit bagi Graciela untuk berkonsentrasi, karena ia selalu lelah.
Pada hari-hari Minggu, Graciela selalu bangun pagi dan mempersiapkan
diri dengan diam-diam, khawatir membangunkan ibunya dan 'paman' yang mana pun yang
bersama ibunya di tempat tidur. Graciela pergi sendiri ke gereja San Juan Bautista, tempat romo Perez berkhotbah tentang kenikmatan-kenikmatan hidup sesudah mati,
kehidupan yang seperti dongeng dari Jesus; dan Graciela seakan-akan tidak sabar lagi akan kematian untuk dapat bertemu dengan Jesus.
Di musim dingin, kehidupan Graciela bagaikan suatu
pemandangan alam yang gersang, monoton dan muramuram. Las Navas del Marques berlokasi di sebuah
lembah yang dikelilingi pegunungan, dan karena itu, musim dingin adalah enam bulan lamanya! Musim panas lebih
ringan ditanggung, karena itulah waktu para wisatawan datang dan memenuhi kota itu dengan tawa dan tari, dan jalanan-jalanan menjadi ramai. Graciela suka melihat para pengunjung kota itu duduk di kafe-kafe tepi jalan, minum aperitivos atau berbelanja di pasar ikan atau di toko-toko.
Yang paling menggairahkan Graciela adalah setiap
malam menyaksjkan paseo. Para pemuda dan gadis
berjalan-jalan di Plaza Mayor dalam kelompok-kelomopk yang terpisah, para pemuda memperhatikan para gadis,
sedangkan para orang tua mengawasinya dari kafe-kafe
tepi jalanan. Itu adalah upacara berpasang-pasangan,
mencari pasangan, yang telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya. Graciela ingin sekali ikut serta, tetapi ibunya selalu melarangnya.
"Kau mau menjadi puta?" Ibunya itu akan berteriak.
"Jauhilah pemuda-pemudi itu. Mereka cuma menginginkan sesuatu dari dirimu. Aku mengetahuinya dari pengalaman."
Ibunya selalu menambahkan dengan penuh kegetiran.
Jika siang hari masih tertanggungkan, malam hari selalu suatu siksaan. Lewat tirai tipis yang memisahkan tempat-tempat tidur mereka, Graciela dapat mendengarkan bunyi erangan liar, geliatan badan dan pernafasan yang terengah-engah, dan senantiasa kata-kata cabul itu.
"Lebih cepat. . yang lebih keras!"
"Cogeme!" "Mamane el verga!"
"Metele en el culo!"
Sebelum ia berusia sepuluh tahun, Graciela sudah
mendengar setiap kata cabul dalam kamus Spanyol. Katakata itu dibisikkan dan diteriakkan dan digumamkan dan dierangkan. Jeritan-jeritan nafsu itu menjijikkan Graciela, tapi sekaligus juga membangkitkan hasrat-hasrat aneh
dalam dirinya. Ketika Graciela berusia empat belas tahun, orang Moor itu 'masuk'. Orang Moor itu pria terbesar yang pernah dilihat Graciela. Kulitnya hitam berkilat, dan kepalanya dicukur gundul. Orang Moor itu tiba di tengah malam ketika Graciela sudab tidur, dan Graciela pertama melihat orang Moor itu di pagi harinya, ketika pria itu menggeser tirai dan berjalan telanjang bulat lewat tempat tidur Graciela, pergi ke kamar kecil. Graciela memandang pada pria itu dan
nafas Graciela seperti terhenti. Pria itu benar-benar besar,
semua bagian tubuhnya. Itu akan membunuh ibuku,
Graciela berkata pada diri sendiri.
Orang Moor itu sedang memandang pada Graciela. "Hei, dan siapakah ini?"
Dolores Pinero bergegas turun dari tempat tidurnya dan berdiri di samping pria itu. "Anakku," katanya singkat.
Suatu gelombang kekikukan melanda diri Graciela ketika melihat tubuh ibunya yang juga telanjang bulat itu di samping pria itu.
Orang Moor itu tersenyum, "Siapakah namamu, guapa?"
Graciela terlampau malu melihat ketelanjangan itu,
hingga ia tidak bisa berbicara, apalagi menjawab.
"Namanya Graciela. Ia anak terbelakang."
"Ia cantik. Aku berani bertaruh bahwa kau sendiri seperti dia ketika masih kecil."
"Aku masih muda." Golores berkata. Ia berpaling pada anaknya. "Ayo, berpakaianlah. Kau akan terlambat untuk sekolahmu."
"Baik, mama." Orang Moor itu masih berdiri di situ, memandang pada
Graciela. Wanita yang lebih tua itu memegang lengan Moor itu
dan berkata setengah bergurau, "Ayo, kita kembali ke tempat tidur, querindo, sayang. Rita belum selesai."
"Nanti." Moor itu berkata. Ia masih saja memandang pada Graciela.
Orang Moor itu terus di rumah Dolores. Setiap hari
Graciela pulang dari sekolah, ia berdoa agar pria itu sudah pergi. Karena sebab yang ia sendiri tidak mengerti, pria itu menakutkan bagi Graciela. Pria itu selalu sopan padanya dan tidak pernah berlaku kurang ajar, namun hanya
memikirkan pria itu saja sudah membuat Graciela
merinding. Perlakuan pria itu atas ibu Graciela lain lagi. Orang Moor itu tinggal di rumah kecil itu hampir sepanjang hari, minum. Ia mengambil uang seberapa saja yang didapatkan Dolores. Kadang-kadang di malam hari, di tengah mereka bercinta, Graciela dapat mendengar pria itu memukuli
Macan Tutul Di Salju 10 Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius Arok Dedes 1
^