Pencarian

Ceritakan Mimpi Mimpimu 2

Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon Bagian 2


Tagihan dari Louie"s Restaurant sebesar $250.
Ia belum pernah mendengar nama toko. kelab, maupun restoran itu.
Bab 7 ASHLEY PATTERSON mengikuti laporan penyelidikan pembunuhan Dennis Tibbie dari koran dan televisi setiap hari. Polisi kelihatannya menemukan jalan buntu.
Sudah selesai, pikir Ashley. Tak ada lagi yang perlu dikuatirkan.
Malam itu, Deputi Sam Blake muncul di apartemennya. Ashley memandangnya, mulutnya tiba-tiba kering.
"Saya harap saya tidak mengganggu," kata Deputi Blake. "Saya dalam perjalanan pulang, dan saya pikir ada baiknya saya mampir sebentar." Ashley menelan ludah. "Tidak. Silakan masuk. Deputi Blake masuk ke apartemennya. Tempat yang menyenangkan." "Terima kasih." titillk cUka
Berani taruhan Dennis Tioow v Perabotan macam ini." "s*va tidak
"Oh, saya kira pernah."
"Tidak, tidak pernah, Deputi. Saya kan sudah bilang, saya tak pernah kencan dengannya." "Betul. Boleh saya duduk?" "Silakan."
"Begini, saya punya masalah besar dengan kasus ini, Miss Patterson. Tidak cocok dengan pola mana pun. Seperti yang telah saya katakan, selalu ada motif. Saya sudah bicara dengan beberapa karyawan Global Computer Graphics, dan tak seorang pun mengenal Tibbie cukup baik. Dia orangnya penyendiri."
Ashley mendengarkan, menunggu jatuhnya bom.
"Malah, dari masukan mereka, Andalah satu-satunya orang yang menarik baginya."
Apakah ia telah menemukan sesuatu, atau apakah ia sedang dalam ekspedisi memancing-mancing"
Ashley berkata hati-hati, "Dia tertarik pada saya, Deputi, tetapi saya tidak tertarik padanya. Saya sudah menyampaikan dengan jelas padanya."
Deputi Blake mengangguk. "Yah, Anda baik sekali mau mengantar kertas-kertas itu ke apartemennya."
Ashley nyaris saja berkata, "Kertas-kertas apa?" untung kemudian tiba-tiba ia ingat. "Tidak?tidak merepotkan kok Saya kan lewat sana:"
"Betul. Pasti ada orang yang sangat membenci Tibbie, sampai tega berbuat sekeji itu."
Ashley duduk tegang, tanpa berkata apa-apa.
Tahukah Anda apa yang saya benci?" tanya Deputi Blake. "Pembunuhan yang tak terpecahkan.
Membuat saya frustrasi. Sebab kalau ada pembunuhan yang tak terpecahkan, menurut saya itu tidak berarti si pelaku cerdik. Menurut saya itu berarti polisi tidak cukup cerdik. Yah, sejauh ini saya beruntung. Saya berhasil memecahkan semua kasus pembunuhan yang saya tangani." Ia bangkit. "Saya tak akan menyerah dalam kasus ini. Jika terpikir oleh Anda sesuatu yang mungkin bisa membantu, Anda akan menelepon saya kan, Miss Patterson?" "Ya, tentu saja."
Ashley memandangnya pergi dan berpikir, Apakah dia datang ke sini sebagai peringatan" Apakah dia tahu lebih banyak daripada yang disampaikannya padaku"
Toni lebih keasyikan daripada sebelumnya di Internet. Yang paling dinikmatinya adalah obrolannya dengan Jean Claude, tapi itu tidak menghalanginya untuk punya koresponden lain di chat mom. Setiap ada kesempatan, ia duduk di depan komputernya, dan pesan-pesan terketik balas-membalas memenuhi layar komputernya.
"Toni" Ke mana saja kau" Aku sudah lama menunggumu di chat room."
"Tidak rugi menungguku, luv. Ceritakan tentang dirimu. Kau kerja di mana?"
"Aku kerja di perusahaan farmasi. Aku bisa berguna untukmu. Kau pemakai obat?"
"Enyahlah." "Kaukah itu, Toni?"
"Jawaban mimpimu. Ini Mark?" "Ya."
"Belakangan ini kau tidak muncul di Internet." "Aku sibuk. Aku ingin ketemu kau, Toni." "Cerita dong, Mark, kau kerja di mana?" "Aku pegawai perpustakaan." "Wah. menarik sekali! Segala macam buku dan?"
"Kapan kita bisa ketemu?" "Tanya saja Nostradamus."
"Halo, Toni. Namaku Wendy." "Halo, Wendy." "Kau kedengarannya asyik." "Aku menikmati hidup."
"Mungkin aku bisa membantumu untuk lebih menikmatinya lagi." "Apa usulmu?"
"Kuharap kau bukan orang berpandangan sempit yang takut bereksperimen dan mencoba hal-hal baru yang menyenangkan. Akan kuajak kau bersenang-senang."
"Terima kasih, Wendy, Kau tidak memiliki perangkat yang kubutuhkan."
Dan kemudian, Jean Gaude Parent muncul lagi.
"Bonne nuit. Comment (a va" Selamat malam. Apa kabar?"
"Baik sekali. Bagaimana kabarmu?"
"Aku kangen padamu. Aku ingin sekali ketemu kau."
"Aku juga ingin ketemu kau. Terima kasih kiriman fotonya. Kau tampan."
"Dan kau cantik. Kurasa kita perlu berkenalan lebih dekat. Apakah kantormu akan mengirim orang
ke Quebec untuk ikut konvensi komputer?"
"Apa" Aku malah tidak tahu. Kapan sih?"
"Tiga minggu lagi. Banyak perusahaan besar akan datang. Kuharap kau juga datang.
"Mudah-mudahan saja."
"Bagaimana kalau kita ketemu lagi di sini besok
malam waktu yang sama?" "Boleh saja. Sampai besok." "A demain. Sampai besok."
Esok paginya, Shane Miller mendatangi Ashley. "Ashley, kau sudah dengar tentang konvensi besar komputer yang akan diadakan di Quebec City?"
Dia mengangguk. "Ya. Kedengarannya menarik."
"Aku sedang pikir-pikir, apa tidak sebaiknya kita kirim kontingen ke sana."
"Semua perusahaan lain berangkat," kata Ashley. "Symantec, Microsoft, Apple. Quebec City akan menyambut mereka dengan meriah. Lawatan seperti itu bisa menjadi semacam bonus Natal."
Shane Miller tersenyum mendengar antusiasmenya. "Coba kucek dulu."
Keesokan paginya, Shane Miller memanggil Ashley ke ruangannya.
"Maukah kau merayakan Natal di Quebec City?"
"Kita pergi" Asyik sekali," kata Ashley antusias.
Biasanya ia melewatkan liburan Natal bersama ayahnya, tapi tahun ini prospek itu membuatnya takut.
"Sebaiknya kau membawa banyak pakaian hangat."
"Jangan kuatir. Aku senang sekali, Shane."
Toni sedang di chat room Internet. "Jean Claude, kantorku akan mengirim rombongan ke Quebec
Citjf" , "Formidable! Aku senang sekali. Kapan kau
tiba?" "Dua minggu lagi. Rombongan kami lima belas orang."
"Merveillewc! Luar biasa! Firasatku mengatakan sesuatu yang sangat penting akan terjadi." "Firasatku juga." Sesuatu yang sangat penting.
Setiap malam Ashley menonton berita dengan tegang, tapi tetap belum ada perkembangan baru dalam kasus pembunuhan Dennis Tibbie. Ia mulai tenang. Kalau polisi tidak bisa menghubungkannya dengan kasus ini, tak mungkin mereka bisa menemukan kaitannya dengan ayahnya. Sudah beberapa kali ia menguatkan diri untuk menanyai ayahnya soal ini, tapi setiap kali ia mundur. Bagaimana jika ayahnya tidak bersalah" Bisakah ayahnya memaafkannya karena telah menuduhnya sebagai pembunuh" Dan jika dia bersalah, aku. tak ingin tahu, pikir Ashley. Aku takkan tahan. Dan jika dia memang telah melakukan hal-hal mengerikan
itu, dalam pikirannya semua itu dilakukan untuk melindungiku. Setidaknya aku tak harus menghadapinya di hari Natal mendatang.
Ashley menelepon ayahnya di San Francisco. Tanpa basa-basi ia berkata, "Aku takkan bisa melewatkan Natal bersama Ayah tahun ini. Perusahaan mengirimku ke konvensi di Canada."
Kesunyian yang menyusul berlangsung lama. "Sayang sekali, Ashley. Kau dan aku selalu melewatkan Natal bersama-sama."
"Terpaksa sih?"
"Kau satu-satunya yang loimiliki, kau tahu, kan."
"Ya, Ayah, dan" Ayah satu-satunya yang kumiliki."
-"Itu yang paling penting."
Cukup penting untuk membunuh"
"Di mana sih konvensinya?"
"Di Quebec City. Te?"
"Ah. Tempat yang indah. Sudah bertahun-tahun aku tidak ke sana. Begini saja. Tak ada jadwal tugas di rumah sakit untukku sekitar waktu itu. Aku akan ke sana, kita makan malam Natal bersama."
Cepat-cepat Ashley menukas, "Kurasa tidak?"
"Pesankan saja kamar untukku di hotel tempatmu menginap. Kita takkan mengubah tradisi, kan?"
Ia ragu-ragu dan menyahut perlahan, "Tidak, Ayah."
Bagaimana aku bisa menghadapinya" Alette bersemangat sekali. Ia berkata kepada Toni,
"Aku belum pernah ke Quebec City. Apakah * sana ada museum?"
"Tentu saja ada," jawab Toni. "Apa saja ada Banyak arena olahraga musim dingin. Ski, skate?" Alette bergidik. "Aku benci udara dingin. Aku - tak mau berolahraga. Bahkan pakai sarung tangan pun jari-jariku tetap beku. Aku pilih museum saja deh,?"
Pada tanggal 21 Desember, rombongan Global Computer Graphics mendarat di Jean-Lesage International Airport di Sainte-Foy dan diangkut mobil ke Chateau Frontenac yang bertingkat di Quebec City. Temperatur di luar di bawah nol, dan jalan-jalan berselimut salju.
Jean Claude telah memberi Toni nomor telepon rumahnya. Begitu masuk kamarnya, Toni langsung menelepon. "Mudah-mudahan tidak terlalu malam."
"Mais non! Sama sekali tidak! Tak percaya rasanya kau ada di sini. Kapan aku boleh menemuimu?" j
"Kami semua akan ke tempat konvensi besok pagi, tapi aku bisa menyelinap dan makan siang bersamamu."
"Bon! Bagus! Ada restoran, Le Paris-Brest, di Grand Allee Est, Bisakah kau menemuiku di sana pukul satu?"
"Aku akan di sana."
Centre des Congres de Quebec di Rene" Levesque Boulevard adalah bangunan modem bertingkat empat, dari kaca dan baja, yang bisa memuat
beribu-ribu orang. Pukul sembilan pagi itu, aulanya yang luas dipenuhi ahli-ahli komputer dari seluruh dunia. Mereka saling bertukar informasi tentang perkembangan sampai menit terakhir. Mereka memenuhi ruang-ruang multimedia, ruang pameran, dan aula konferensi-video. Ada setengah lusin seminar yang berlangsung bersamaan. Toni bosan. Cuma ngomong doang tanpa tindakan, pikirnya. Pukul 12.45 ia menyelinap keluar dari aula konvensi dan naik taksi ke restoran yang telah disepakati.
Jean Claude sudah menunggunya. Ia menggenggam tangan Toni dan berkata hangat, "Toni, aku senang sekali kau bisa datang."
"Aku juga senang."
"Akan kuusahakan agar kunjunganmu di sini menyenangkan," kata Jean Claude. "Ini kota yang indah, kita bisa jalan-jalan."
Toni menatapnya dan tersenyum. "Aku tahu aku akan menikmatinya."
"Aku ingin melewatkan waktu bersamamu sebanyak mungkin."
"Apakah kau bisa cuti" Bagaimana dengan toko perhiasanmu?"
Jean Claude tersenyum. "Yah, harus bisa jalan tanpa aku."
Kepala pelayan membawakan mereka menu.
Jean Claude bertanya kepada Toni, "Kau mau mencoba beberapa masakan Canada-Prancis kami?"
"Baiklah." "Kalau begitu biar aku yang memesankan untukmu." Ia berkata kepada si pelayan, "Nous voudrions
oo le Brome Lake Duckling." Ia menjelaskan kepada Toni, "Ini masakan khas daerah sini, bebek dimasak dalam calvado dan diisi apel."
"Kedengarannya lezat."
Ternyata memang lezat. Selama makan siang, mereka masing-masing bercerita tentang masa lalu mereka.
"Jadi kau belum pernah menikah?" tanya Toni.
"Belum. Dan kau?"
"Belum." "Kau belum menemukan pria yang tepat."
Oh, Tuhan, betapa menyenangkannya jika persoalannya sesederhana itu. "Belum."
Mereka membicarakan Quebec City dan apa yang bisa dilakukan di kota itu.
"Kau main ski?"
Toni mengangguk. "Aku senang sekali main ski."
"Ah, bon, moi aussi. Bagus, aku juga. Masih ada lagi snowmobiHng, ice-skating, shopping yang mengasyikkan?"
Antusiasmenya hampir membuatnya seperti anak kecil yang kegirangan. Belum pernah Toni merasa senyaman itu jika bersama orang lain.
Shane Miller mengatur agar rombongannya meng-l hadiri konvensi pagi sampai siang hari dan sorenya mereka bebas.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan di sini" keluh Alette pada Toni. "Dingin sekali. Kau mau ngapain saja?"
"Melakukan segalanya." Toni nyengir. "A piu tardi. Sampai nanti."
Toni dan Jean Claude makan siang bersama setiap hari, dan setiap sore, Jean Claude membawa Toni berkeliling. Belum pernah Toni melihat tempat seperti Quebec City. Rasanya seperti menemukan desa Prancis indah dari abad lalu di Amerika Utara. Jalan-jalannya yang kuno namanya beraneka macam, seperti Break Neck Stairs?Tangga Pematah Leher, dan Below the Fort?Di Bawah Benteng, dan Sailor"s Leap?Loncatan si Pelaut. Betul-betul seperti kota berselimut salju dalam lukisan.
Mereka mengunjungi La Citadelle, dengan tembok-temboknya yang melindungi Old Quebec, dan mereka menonton upacara tradisional pergantian penjaga di balik dinding benteng. Mereka menyusuri jalan-jalan tempat shopping, Saint Jean, Carrier, Cote de la Fabrique, dan berjalan-jalan di Quartier Petit Champlain.
"Ini distrik komersial paling tua di Amerika," Jean Claude memberitahunya.
"Luar biasa." Ke mana saja mereka pergi, selalu ada pohon Natal yang berkelap-kelip, gua Natal, dan musik yang bisa dinikmati para pejalan kaki.
Jean Claude membawa Toni snowmobiHng di luar kota. Saat mereka berlomba di jalur sempit, Jean Claude berteriak, "Kau senang?"
Toni merasa itu bukan pertanyaan iseng. Ia
mengangguk dan menjawab lembut, "Aku senang sekali."
Alette menghabiskan waktunya di museum-museum. Ia mengunjungi Basilica of Notre-Dame, Good Shepherd Chapel, dan Augustine Museum, tapi hal-hal lain yang ditawarkan Quebec City sama sekali tak menarik minatnya. Ada beberapa restoran yang terkenal enak makanannya, tapi kalau ia tidak makan di hotel, ia makan di Le Commensal, kafeteria vegetarian.
Kadang-kadang Alette terkenang teman senimannya, Richard Melton, di San Francisco, dan bertanya-tanya sendiri apa yang sedang dilakukannya dan apakah Richard ingat padanya.
Ashley cemas sekali menghadapi Natal. Dia tergoda untuk menelepon ayahnya dan memberitahunya agar tidak usah datang. Tapi alasan apa yang bisa kuberikan" Ayah pembunuh. Aku tak mau bertemu dengan Ayah" Hari demi hari berlalu dan Natal semakin dekat.
"Aku ingin menunjukkan toko perhiasanku padamu," Jean Claude memberitahu Toni. "Maukah kau melihatnya?" Toni mengangguk. "Senang sekali." Parent Jewelers terletak di jantung kota Quebec, di rue Notre-Dame. Ketika memasuki toko itu, Toni terperangah. Di Internet, Jean Claude bilang, "Aku punya toko perhiasan kecil." Toko itu besar sekali,
ditata dengan artistik. Setengah lusin pramuniaga sedang sibuk melayani pembeli.
Toni memandang berkeliling dan berkata, "Ini? ini luar biasa."
Jean Claude tersenyum. "Merci. Terima kasih. Aku ingin memberimu cadeu?hadiah Natal." "Jangan. Tak perlu. Aku?" "Jangan menyita kesenanganku dong." Jean Claude membawa Toni ke lemari kaca pajangan penuh cincin. "Bilang mana yang kausukai."
Toni menggeleng. "Itu terlalu mahal. Aku tak bisa?" "Ayolah."
Toni menatapnya beberapa saat, kemudian mengangguk. "Baiklah." Ia memandang isi lemari itu lagi. Di tengah ada cincin zamrud besar dikelilingi
berlian. Jean Claude melihatnya memandangi cincin itu. "Kau suka cincin zamrud itu?" "Indah sekali, tapi terlalu?" "Cincin itu milikmu." Jean Claude mengeluarkan kunci kecil, membuka lemari kaca, dan mengambil cincin itu. "Jangan, Jean Claude?" "Pour moi. Untukku." Disusupkannya cincin itu kejari Tom. Pas sekali. "Voila! Nah! Ini pertanda baik." Toni meremas tangan Jean Claude. "Aku?aku tak tahu mesti bilang apa." "Tak bisa kukatakan betapa senangnya aku bisa Ada restoran enak, namanya
melakukan ini Pavilion. Maukah kau makan malam di sana malan ini?"
"Di mana saja yang kaupilih." "Kujemput kau pukul delapan nanti."
Pukul enam sore itu, ayah Ashley menelepon. "Sayang sekali aku harus mengecewakanmu, Ashley. Aku tak bisa ke Quebec Natal ini. Ada pasien pentingku di Amerika Selatan yang kena stroke. Aku akan terbang ke Argentina malam ini."
"Oh" aku ikut menyesal, Ayah," kata Ashley, Ia berusaha terdengar meyakinkan.
"Kita tebus nanti ya, Sayang?"
"Ya, Ayah. Selamat jalan."
Toni menunggu-nunggu saat makan malamnya dengan Jean Claude. Pasti akan jadi malam yang menyenangkan. Sambil berganti pakaian, ia bernyanyi pelan sendiri.
"Up and down the city road, In and out of the Eagle, That"s the way the money goes, Pop! goes the weasel."
Kurasa Jean Claude jatuh cinta padaku, Ibu.
Pavilion terletak di Gare du Palais yang luas, stasiun kereta tua di Quebec City. Restoran itu besar dengan bar panjang di dekat pintu masuk dan berderet-deret meja sampai ke belakang. Setiap malam
pada pukul sebelas, selusin meja dipinggirkan untuk membuat lantai dansa, dan seorang disc jockey mengambil alih, dengan lagu-lagu yang amat bervariasi dari reggae sampai jazz dan blues.
Toni dan Jean Claude tiba pukul sembilan, dan mereka disambut hangat di pintu oleh pemiliknya sendiri.
"Monsieur Parent. Senang sekali bertemu Anda."
"Terima kasih, Andre". Ini Miss Toni Prescott. Mr. Nicholas."
"Senang sekali berkenalan dengan Anda, Miss Prescott. Meja Anda sudah siap."
"Masakan di sini enak sekali," Jean Claude meyakinkan Toni, setelah mereka duduk. "Mari kita buka dengan sampanye."
Mereka memesan paillard de veau, torpille, salad, dan sebotol Valpolicella.
Tak. henti-hentinya Toni memandang cincin zamrud hadiah Jean Claude. "Cantik sekali!" komentarnya.
Jean Claude mencondongkan tubuhnya ke depan. "Tu aussi. Kau juga. Aku tak bisa mengungkapkan betapa gembiranya aku, kita akhirnya bisa bertemu."
"Aku juga," kata Toni lembut.
Musik mulai terdengar. Jean Claude memandang Toni. "Maukah kau dansa?"
"Mau." Dansa adalah salah satu kegemaran Toni, dan kalau sudah di lantai dansa, ia lupa segalanya. Dia gadis kecil yang berdansa dengan ayahnya, dan ibunya berkata, "Anak itu canggung."
Jean Claude memeluknya erat. "Kau pand sekali berdansa."
"Terima kasih." Ibu dengar itu, Bu"
Toni berpikir, Aku ingin ini berlangsung selamanya.
Dalam perjalanan pulang ke hotel, Jean Claude berkata, "Cherie, maukah kau mampir di rumahku dan kita minum dulu?"
Toni ragu-ragu. "Tidak malam ini, Jean Claude."
"Besok malam, peut-etreT
Toni meremas tangan Jean Claude. "Besok."
Pukul tiga dini hari Perwira Rene Picard sedang berpatroh dengan mobil yang meluncur pelan di Grande Allee di Quartier Montcalm, saat dilihataya pintu depan ramah bata merah bertingkat dua terbuka lebar. Ia menepikan mobilnya ke trotoar dan turun untuk menyelidiki. Ia berjalan ke pintu dan berseru, "Bon soir. Y a-t-il, quelqu"un" Selamat malam. Apakah ada orang?"
Tak ada jawaban. Ia melangkah ke ruang depan, lalu berjalan menuju ruang duduk yang luas. "C"est la police. Ini polisi. Y a-t-il, quelqu"un?"
Tak ada jawaban. Kesunyian rumah itu tidak wajar. Sambil membuka kancing gantungan pistolnya, polisi itu menyelidiki di lantai bawah, memanggil-manggil sambil melongok dari ruang ke ruang. Satu-satunya jawaban hanyalah kesunyian. Ia kembali ke ruang depan. Ada tangga anggun yang menuju ke lantai atas. "Halo!" Tak ada tanggapan.
Rend Picard menaiki tangga. Ketika ia tiba di anak tangga paling atas, pistolnya sudah siap di tangan. Ia memanggil lagi, kemudian berjalan menyusuri selasar panjang. Di depannya ada pintu kamar yang sedikit terbuka. Ia menuju pintu itu, membukanya lebar-lebar, dan langsung pucat. "Mon Dieu! Ya Tuhan!"
Pada pukul lima pagi itu, di dalam bangunan batu abu-abu campur bata merah kekuningan di Story Boulevard, tempat Centrale de Police?markas besar kepolisian?berada, Inspektur Paul Cayer bertanya, "Apa yang kita ketahui?"
Perwira Guy Fontaine menjawab, "Nama korban adalah Jean Claude Parent. Dia ditusuk paling tidak selusin kali, dan dikebiri. Menurut coroner, pembunuhan terjadi tiga atau empat jam sebelumnya. Kami menemukan bon restoran Pavilion di kantong jas Parent. Dia makan malam di sana sebelumnya. Kami telah membangunkan pemilik restoran."
"Ya?" "Monsieur Parent datang ke restoran itu bersama seorang wanita bernama Toni Prescott, gadis berambut cokelat, sangat menarik, dan bicara dengan aksen Inggris. Manajer toko perhiasan Monsieur Parent mengatakan bahwa sore itu Monsieur Parent membawa seorang gadis yang deskripsinya sama ke toko dan memperkenalkannya sebagai Toni Prescott. Monsieur Parent menghadiahinya sebentuk cincin bermata zamrud yang mahal. Berdasarkan pemeriksa-an, kami menduga sebelum meninggal Monsieur Parent mengadakan hubungan seks, dan senjata yang dipakai untuk membunuh adalah pembuka amplop dari baja. Ada sidik jari pada pembuka amplop itu. Kami mengirimnya ke lab kita dan ke FBI. Kami sedang menunggu jawaban mereka."
"Kau sudah menangkap Toni Prescott?"
"Won." "Dan kenapa tidak?"
"Kami tidak berhasil menemukannya. Kami telah mengecek semua hotel di kota ini. Kami telah mengecek arsip kita dan arsip FBI. Dia tak punya akte kelahiran, tak punya nomor jaminan sosial, tak punya SIM."
"Tak mungkin! Mungkinkah dia sudah berhasil meninggalkan kota?"
Perwira Fontaine menggeleng. "Kurasa tidak, Inspektur. Bandara tatap tengah malam. Kereta api terakhir meninggalkan Quebec City pukul setengah enam kemarin sore. Kereta pertama pagi ini baru akan berangkat pukul 06.39. Kami telah mengirim deskripsi gadis ini ke terminal bus, ke dua perusahaan taksi, dan ke perusahaan limusin. "
"Astaga, kita punya namanya, deskripsinya, dan sidik jarinya. Mana mungkin dia bisa menghilang begitu saja." . ,
Satu jam kemudian, ada laporan masuk dari FBI. Mereka tidak berhasil mengidentifikasi sidik jari itu. Tidak ada catatan tentang Toni Prescott.
Bab 8 IMA hari setelah Ashley kembali dari Quebec City, ayahnya menelepon. "Aku baru pulang."
"Pulang?" Sesaat kemudian baru Ashley ingat. "Oh, pasien Ayah di Argentina. Bagaimana kabarnya?"
"Dia akan hidup."
"Syukurlah." "Bisakah kau ke San Francisco untuk makan malam besok?"
Ashley ngeri memikirkan harus menghadapinya, tapi ia tidak mendapatkan alasan untuk menolak.
"Baiklah." "Kutunggu kau di Restoran Lulu. Jam delapan."
Ashley sudah menunggu di restoran itu ketika ayahnya masuk. Sekali lagi dilihatnya lirikan kagum di wajah orang-orang yang rupanya mengenali ayahnya. Ayahnya orang terkenal. Akankah dia mempertaruhkan segalanya hanya untuk?"
Ia tiba di mejanya. "Senang sekali ketemu kau lagi, sweetheart. Am menyesal kita tak jadi makan malam bersama Natal kemarin."
Ashley memaksa diri untuk menanggapi, "Aku juga menyesal."
Ia menatap menu, tapi sebetulnya tidak melihatnya, mencoba mengumpulkan pikirannya.
"Kau mau makan apa?"
"Aku?aku sebetulnya tak lapar," sahurnya.
"Kau harus makan. Kau terlalu kurus."
"Ayam saja deh."
Dipandanginya ayahnya yang sedang memesan makanan, dan dalam hati ia bertanya-tanya sendiri, apakah ia berani mengangkat masalah itu.
"Bagaimana Quebec City?"
"Sangat menarik," kata Ashley. "Kota yang indah."
"Kita harus ke sana bersama suatu hari."
Ashley membuat keputusan dan berusaha membuat suaranya sebiasa mungkin. "Ya. Ngomong-ngomong" bulan Juni lalu aku ikut reuni sepuluh-tahunan di Bedford."
Ayahnya mengangguk. "Kau senang?"
"Tidak." Ia berkata pelan, memilih kata-katanya. "Aku?aku bara tahu bahwa sehari setelah Ayah dan aku berangkat ke London, mayat Jim Cleary" ditemukan. Dia mati ditusuk-tusuk" dan dikebiri." Ia memandang ayahnya, menunggu reaksinya. Dr. Patterson mengerutkan kening. "Cleary" Oh
ya. Pemuda yang mengejar-ngejarmu. Aku menye
lamatkan engkau dari dia, kan?"
Apa maksudnya" Apakah ini pengakuan" Apakah dia menyelamatkannya dari Jim Cleary dengan jalan membunuhnya"
Ashley menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan. "Dennis Tibbie dibunuh dengan cara yang sama. Dia ditusuk-tusuk dan dikebiri." Dilihatnya ayahnya mengambil roti dan mengolesinya dengan mentega.
Ketika bicara, ayahnya berkata, "Aku tidak heran, Ashley. Orang-orang brengsek biasanya bernasib buruk."
Padahal ia dokter, orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Aku tak akan pernah bisa memahaminya, pikir Ashley. Kurasa aku tak ingin memahaminya.
Saat makan malam mereka usai, Ashley masih tak mendapat kemajuan apa-apa.
Tom berkata, "Aku benar-benar senang di Quebec City, Alette. Aku ingin kembali ke sana suatu hari nanti. Kau senang tidak?"
Alette menjawab malu-malu, "Aku senang mu-seum-museumnya."
"Kau sudah menelepon pacarmu di San Francisco?"
"Dia bukan pacarku."
"Berani taruhan deh, kau sebetulnya mau jadi pacarnya, kan?" "Forse. Mungkin." "Kenapa kau tidak meneleponnya?" "Kurasa kurang pantas perem?"
"Telepon dia." Mereka janjian akan ketemu di De Young Museum.
"Aku benar-benar kangen padamu," kata Rich ard Melton. "Bagaimana Quebec?"
"Jfa bene. Bagus."
"Sayang sekali aku tidak bisa di sana bersamamu."
Mungkin suatu hari nanti, pikir Alette penuh harap. "Bagaimana lukisanmu?"
"Tidak jelek sih. Aku baru saja menjual salah satu lukisanku pada kolektor terkenal."
"Fantastis!" Alette benar-benar senang. Dan mau tak mau ia berpikir, Rasanya lain jika aku bersamanya. Kalau dengan orang lain, aku pasti sudah berpikir, Yang tak punya selera sehingga mau membuang-buang uang untuk membeli lukisanmu" atau Jangan lepaskan dulu pekerjaanmu! atau seratus komentar sinis lainnya. Tapi dengan Richard aku tidak begitu.
Itu memberi Alette perasaan bebas yang luar biasa, seakan ia telah menemukan obat bagi penyakit yang selama ini membuat tabuhnya lemah.
Mereka makan siang bersama di museum.
"Kau mau makan apa?" tanya Richard. "Daging panggang di sini enak sekali."
"Aku vegetarian. Aku makan salad saja. Terima j kasih."
"Oke." Seorang pelayan muda dan menarik mendatangi j meja mereka. "Halo, Richard."
"Hai, Bernice. Di luar dugaan, Alette merasa cemburu. Reaksinya itu membuatnya heran.
"Kalian sudah siap pesan?"
"Ya. Miss Peters pesan salad, dan aku pesan sandwich daging panggang."
Si pelayan memandangi Alette. Cemburukah dia padaku" pikir Alette. Setelah si pelayan pergi, Alette berkata, "Dia manis sekali. Kau kenal baik dengannya?" Langsung saja pipinya memerah. Ngapain aku tanya begitu"
Richard tersenyum. "Aku sering ke sini. Ketika pertama kali aku ke sini, aku tak punya banyak uang. Aku akan pesan sandwich, dan Bernie membawakanku banquet. Dia luar biasa."
"Kelihatannya dia menyenangkan," kata Alette. Dan ia berpikir, Pahanya besar.
Setelah memesan makanan, mereka ngobrol soal pelukis.
"Suatu hati nanti aku ingin ke Giverny," kata Alette, "tempat Monet melukis." "Tahukah kau Monet dulunya karikaturis?" "Tidak."
"Betul. Kemudian dia bertemu Boudin, yang menjadi gurunya dan mendorongnya untuk memulai melukis di luar rumah, Ceritanya seru. Monet ternyata tergila-gila melukis di luar rumah, sehingga ketika dia memutuskan untuk melukis seorang wanita di kebun, di atas kanvas setinggi lebih dari dua setengah meter, dia menggali lubang di kebun,
supaya dia bisa mengerek kanvas itu naik-turuni Sekarang lukisan itu tergantung di Musee d"Orsayj di Paris."
Waktu berjalan cepat dan menyenangkan.
Sesudah makan, Alette dan Richard berjalan-jalan, melihat-lihat museum. Ada lebih dari 40.000 objek yang dimiliki museum itu, dari karya seni kuno Mesir sampai lukisan Amerika kontemporer.


Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Allete dipenuhi kebahagiaan atas kebersamaannya dengan Richard dan ketidakmunculan pikiran-pikiran negatifnya. Che cosa signified"
Seorang penjaga berseragam mendekati mereka. "Selamat sore, Richard."
"Sore, Brian. Ini temanku, Alette Peters. Brian Hill."
Brian berkata pada Alette, "Anda suka museum Ini?"
"Oh, ya Luar biasa."
"Richard sedang mengajari saya melukis," kata Brian.
Alette memandang Richard. "Betul?"
Richard berkata merendah, "Oh, aku cuma membimbingnya sedikit"
"Yang dilakukannya lebih dari itu, Miss. Dari dulu saya ingin jadi pelukis. Itulah sebabnya saya bekerja di museum, karena saya pencinta seni. Kebetulan Richard sering datang dan melukis. Waktu saya melihat hasil karyanya, saya berpikir, "Aku ingin seperti dia." Maka saya tanya kalau-kalau dia
mau mengajari saya, dan dia baik sekali, dia bersedia. Pernahkah Anda melihat lukisannya?"
"Pernah," sahut Alette. "Lukisannya bagus-bagus."
Setelah mereka meninggalkan Brian, Alette berkata, "Kau baik sekali, Richard."
"Aku senang melakukan sesuatu untuk orang lain." Dan ia menatap Alette.
Saat mereka berjalan meninggalkan museum, Richard berkata, "Teman sekamarku pergi pesta malam ini. Bagaimana kalau kita mampir ke tempatku?" Pemuda itu tersenyum. "Aku punya beberapa lukisan yang ingin kutunjukkan padamu."
Alette meremas tangannya. "Jangan sekarang, Richard."
"Terserah padamu. Kita ketemu lagi minggu depan?" " "Ya."
Dan Richard sama sekali tak tahu, betapa Alette mengharapkan pertemuan itu.
Richard mengantar Alette ke tempat parkir mobilnya. Ia melambai ketika mobil itu meluncur pergi.
Menjelang tidur malam itu, Alette berpikir, Seperti keajaiban. Richard telah membebaskanku. Ia tertidur,
memimpikan Richard. .Pukul dua dini hari, teman sekamar Richard Melton, Gary, pulang dari pesta ulang tahun temannya. Apartemen mereka gelap. Dinyalakannya lampu di ruang duduk. "Richard?"
Ia berjalan ke arah kamar. Di pintu ia melongok ke dalam dan langsung mual.
"Tenang, Nak." Detektif Whittier memandang tubuh yang gemetar di kursi itu. "Sekarang kita mulai lagi. Apakah dia punya musuh, orang yang marah sekali hingga bisa berbuat begini padanya?"
Gary menelan ludah. "Tidak. Semua" semua orang menyukai Richard."
"Ada yang tidak. Sudah berapa lama kau dan Richard tinggal bersama?"
"Dua tahun." "Kalian pacaran?"
"Astaga," Gary menukas jengkel. "Bukan, kami teman. Kami tinggal bersama untuk menghemat."
Detektif Whittier memandang berkeliling apartemen kecil itu. "Jelas sekali bukan perampokan," katanya "Tak ada yang bisa dicuri di sini. Apakah teman sekamarmu ini sedang terlibat hubungan cinta dengan seorang gadis?"
"Tidak?Ah, ya. Dia sedang tertarik pada seorang gadis. Saya rasa dia mulai menyukainya."
"Kau tahu namanya?"
"Ya. Alette. Alette Peters. Dia bekerja di Cupertino."
Detektif Whittier dan Detektif Reynolds saling pandang. "Cupertino?" "Astaga" kata Reynolds.
Setengah jam kemudian, Detektif Whittier bicara
di telepon dengan Sheriff Dowling, "Sheriff, kurasa kau akan tertarik mengetahui bahwa di sini terjadi pembunuhan dengan modus operandi sama dengan kasus yang terjadi di Cupertino?tusukan berkali-kali dan kebiri." "Ya Tuhan!"
"Aku baru saja bicara dengan FBI. Komputer mereka menunjukkan bahwa sudah terjadi tiga kali pembunuhan dengan kebiri, yang sangat mirip dengan pembunuhan terakhir ini. Yang pertama kali terjadi di Bedford, Pennsylvania, kira-kira sepuluh tahun lalu, berikutnya seorang laki-laki bernama Dennis Tibbie?ini kasusmu?kemudian terjadi lagi M.O. yang sama di Quebec City, dan sekarang yang terjadi di sini."
"Tidak masuk akal. Pennsylvannia" Cupertino" Quebec City" San Francisco" Apa ada kaitannya?"
"Kami sedang mencoba mencari kaitannya. Quebec membutuhkan paspor. FBI sedang melakukan pengecekan ulang kalau-kalau ada orang yang berada di Quebec City sekitar Natal lalu juga berada di kota-kota lain saat pembunuhan terjadi"."
Ketika media mendapat bocoran apa yang terjadi, kisah ini dijadikan berita utama koran-koran di seluruh dunia:
SERIAL KILLER LOOSE?PEMBUNUH BERANTAI BERKELIARAN..*
QUATRES HOMMES BRUTALEMENT TUES ET CASTRES_EMPAT LAKI-LAKI DIBUNUH DENGAN BRUTAL DAN DIKEBIRI"
GESUCHT WIRD E/N MANN DER SEINE OPFER
KASTRIERT?DICARI PEMBUNUH YANG MENGEBIRI KORBAN-KORBANNYA"
QUATTRO UOM1N1 SONO STATI CASTRATI E UCCISI-EMPAT LAKI-LAKI DIKEBIRI DAN DIBUNUH.
Di network, para psikolog yang merasa dirinya penting menganalisis pembunuhan-pembunuhan ini.
?"dan semua korbannya laki-laki. Dari cara mereka ditusuk dan dikebiri, tak ada keraguan lagi ini perbuatan seorang homoseks yang?"
?"jadi, jika polisi tidak bisa mendapatkan hubungan antara korban-korban ini, mereka mungkin akan menemukan bahwa ini perbuatan kekasih yang telah dilecehkan oleh para laki-laki itu?"
?"tapi menurut pendapat saya ini pembunuhan acak yang dilakukan oleh orang yang ibunya sangat dominan"."
Sabtu pagi, Detektif Whittier menelepon Deputi Blake dari San Francisco.
"Deputi, aku punya kabar baru untukmu."
"Katakan." "Aku baru saja ditelepon FBI. Cupertino tercatat sebagai tempat tinggal warga Amerika yang berada di Quebec saat pembunuhan Parent terjadi."
"Menarik sekali. Siapa nama laki-laki ini?"
"Perempuan. Patterson. Ashley Patterson."
Pukul enam sore itu, Deputi Sam Blake membunyikan bel apartemen Ashley Patterson. Dari balik pintu yang tertutup, didengarnya suara wanita yang bertanya hati-hati, "Siapa?"
"Deputi Blake. Saya ingin bicara pada Anda, Miss Patterson."
Sunyi lama, kemudian pintu terbuka. Ashley berdiri di depannya, kelihatan waspada.
"Boleh saya masuk?"
"Ya, tentu saja." Apakah ini soal Ayah" Aku harus hati-hati. Ashley mengajak Deputi ke sofa. "Apa yang bisa saya lakukan, Deputi?"
"Apakah Anda berkeberatan menjawab beberapa pertanyaan?"
Ashley kelihatan salah tingkah. "Saya" saya tak tahu. Apakah saya dicurigai karena sesuatu?"
Blake tersenyum menenangkan. "Bukan begitu, Miss Patterson. Ini cuma rutin saja. Kami sedang menginvestigasi beberapa pembunuhan."
"Saya tak tahu apa-apa soal pembunuhan," katanya cepat-cepat. Terlalu cepat"
"Baru-baru ini Anda di Quebec City, kan?"
"Ya." "Anda kenal dengan Jean Claude Parent?" "Jean Claude Parent?" Ia berpikir sejenak. "Tidak. Saya belum pernah mendengar namanya. Siapa
dia?" "Dia punya toko perhiasan di Quebec City."
Ashley menggeleng. "Saya tidak membeli perhiasan di Quebec."
"Anda bekerja bersama Dennis Tibbie."
Ashley merasakan ketakutannya muncul lagi. Ini tentang ayahnya. Ia berkata hati-hati, "Saya tidak bekerja bersamanya. Dia bekerja di perusahaan yang sama dengan saya."
"Tentu saja. Anda kadang-kadang ke San Fran, cisco bukan. Miss Patterson?"
Ashley bertanya-tanya sendiri ke mana arah m-tanyaan-pertanyaan ini. Hati-hati. "Kadang-kadang ya."
"Pernahkah Anda bertemu pelukis bernama Richard Melton di sana?"
"Tidak. Saya tidak kenal orang bernama begitu."
Deputi Blake duduk diam menatap Ashley, frustrasi. "Miss Patterson, bersediakah Anda datang ke markas untuk menjalani tes poligraf" Jika mau, Anda bisa menelepon pengacara Anda dan?"
"Saya tidak memerlukan pengacara. Dengan senang hati saya akan menjalani tes itu."
Si ahli poligraf adalah seorang pria bernama Keith Rosson, dan ia salah satu dari yang terbaik. Ia harus membatalkan kencan makan malamnya, tetapi ia senang membantu Sam Blake.
Ashley diminta duduk di kursi, yang dihubungkan dengan kabel ke mesin poligraf. Rosson sudah melewatkan 45 menit mengobrol dengannya, memancing informasi latar belakangnya, dan mengevaluasi keadaan emosinya. Sekarang ahli poligraf itu sudah siap untuk mulai.
"Anda merasa nyaman?"
"Ya." "Bagus. Mari kita mulai." Ia menekan tombol, i "Siapa nama Anda?" "Ashley Patterson."
Mata Rosson bolak-balik pindah dari Ashley ke hasil printout poligraf. "Berapa umur Anda, Miss Patterson?" "Dua puluh delapan." "Di mana Anda tinggal?" "10964 Via Camino Court di Cupertino." "Anda bekerja?" "Ya."
"Anda suka musik klasik?" "Ya."
"Anda kenal Richard Melton?" "Tidak."
Tak ada perubahan pada grafik.
"Di mana Anda bekerja?"
"Di Global Computer Graphics Corporation.".
"Anda menyukai pekerjaan Anda?"
"Ya." "Anda bekerja lima hari dalam seminggu?" "Ya."
"Pernahkah Anda bertemu Jean Claude Parent?" "Tidak."
Tetap tak ada perubahan pada grafik.
"Anda sarapan pagi ini?"
"Ya." "Apakah Anda membunuh Dennis Tibbie?" "Tidak."
Pertanyaan-pertanyaan dilanjutkan sampai tiga puluh menit lagi, dan kemudian diulang tiga kali, dengan urutan yang berbeda.
Setelah sesi itu selesai, Keith Rosson masuk ke kantor Sam Blake dan menyerahkan hasil tes poligraf. "Bersih total. Kemungkinan dia bohong ^ rang dari satu persen. Kau menangkap orang yang salah"
Ashley meninggalkan markas besar polisi, lega sekali. Terima kasih, Tuhan, sudah selesai. Ia tadi takut sekali mereka akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut ayahnya. Untung tidak. Tak ada yang bisa menghubungkan Ayah dengan semua ini sekarang.
Ia memarkir mobilnya di garasi dan naik lift ke lantai apartemennya. Ia membuka kunci pintunya, masuk, dan hati-hati mengunci lagi pintunya. Ia merasa amat lelah, dan pada saat yang bersamaan juga gembira. Mandi air panas, pikir Ashley. Ia berjalan masuk ke kamar mandi, dan langsung pucat pasi. Di cermin kamar mandinya, ada yang telah menulis besar-besar dengan lipstik merah cerah: KAU AKAN MATI.
Bab 9 ASHLEY berusaha tidak histeris. Jari-jarinya gemetar hebat sehingga ia harus mencoba tiga kali untuk menekan nomornya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dicobanya lagi. Dua" sembilan" sembilan" dua" satu" kosong" satu" Telepon mulai berdering. "Kantor Sheriff."
"Tolong dengan Deputi Blake. Cepat!"
"Deputi Blake sudah pulang. Bisakah dengan yang lain??"
"Tidak! Saya?Maukah Anda memintanya untuk menelepon saya" Ini Ashley Patterson. Saya perlu bicara dengannya, segera."
"Tunggu sebentar, Miss, akan saya coba hubungkan."
Deputi Sam Blake mendengarkan istrinya, Serena, berteriak-teriak padanya, "Kakakku memperkudamu, siang-malam, dan dia tidak menggajimu cukup untuk aku hidup layak. Kenapa kau tidak minta
naik gaji" Kenapa?"
Mereka sedang di meja makan. "Tolong kentang, nya, Sayang."
Sereda meraih dan membanting piring kentang itu di depan suaminya "Mereka tidak menghargaimu."
"Kau betul, Sayang. Aku minta saus." "Kau dengar tidak sih apa yang kukatakan?" jeritnya.
"Semua kata, Sayang. Makan malamnya enak sekali. Kau memang pandai masak."
"Bagaimana aku bisa bertengkar denganmu, bangsat, kalau kau tidak membalas?"
Ia menyuap sepotong daging. "Itu karena aku mencintaimu, darling."
Telepon berdering. "Sori." Ia mengangkat gagang telepon. "Halo" Ya" Sambungkan". Miss Patterson?" Didengarnya gadis itu terisak.
"Sesuatu?sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Anda harus segera datang."
"Saya berangkat sekarang."
Serena bangkit "Apa" Kau mau keluar lagi" Kita kan sedang makan malam!"
"Ini darurat, Sayang. Akan kuusahakan untuk pulang secepat aku bisa." Serena memandangnya menyandangkan pistolnya. Suaminya membungkuk menciumnya. "Makan malam yang luar biasa."
Ashley membuka pintu begitu ia datang. Masih ada bekas air mata di pipinya. Ia gemetar. Sam Blake melangkah masuk, memandang berkeliling dengan
waspada. "Ada orang lain di sini?"
"Tadi ada" Ia berjuang untuk tetap tenang. "L-lihat"." Diajaknya Sam Blake ke kamar mandi.
Deputi Blake membaca tulisan di cermin keras-keras, "Kau akan mati."
Ia menoleh memandang Ashley. "Anda punya dugaan siapa yang menulis ini?"
"Tidak," sahut Ashley. "Ini apartemen saya. Tak ada orang lain yang punya kunci" Belakangan ini ada orang yang masuk ke sini" Ada orang yang mengikuti saya. Ada orang yang ingin membunuh saya." Air matanya tumpah. "Saya t-tak tahan lagi."
Ia terisak tak terkendali. Deputi Blake memeluknya dan mengusap-usap bahunya. "Jangan takut. Semuanya akan beres. Kami akan melindungi Anda, dan kami akan menemukan siapa di belakang semua ini."
Ashley menarik napas dalam-dalam. "Maaf. Saya?saya biasanya tidak cengeng begini. Ini?ini mengerikan sekali."
"Mari kita bicara," kata Sam Blake.
Ashley memaksa diri tersenyum. "Baiklah."
"Bagaimana kalau kita minum teh?"
Mereka bicara ditemani teh panas. "Kapan semua ini mulai, Miss Patterson?"
"Kira-kira?kira-kira enam bulan lalu. Saya merasa diikuti orang. Mulanya perasaan itu samar saja, tapi kemudian makin terasa. Saya tahu saya diikuti, tapi saya tak melihat siapa-siapa. Kemudian
di kantor, ada yang mengutak-atik komputer saya dan menggambar tangan memegang pisau yang mencoba?mencoba menusuk saya."
"Dan apakah Anda punya dugaan siapa yang melakukan itu?"
"Tidak." "Tadi Anda bilang ada orang yang pernah masuk ke apartemen ini sebelum hari ini?"
"Ya. Pernah ada yang menyalakan semua lampu ketika saya pergi. Berikutnya saya menemukan puntung rokok di meja rias saya. Saya tidak merokok. Dan ada orang yang membuka laci dan mengacak-acak" pakaian dalam saya." Ashley me-" narik napas panjang. "Dan sekarang" ini."
"Apakah Anda punya pacar yang mungkin merasa ditolak?"
Ashley menggeleng. "Tidak."
"Temankah Anda melakukan transaksi bisnis yang menyebabkan orang lain kehilangan banyak uang?"
"Tidak." "Tidak ada ancaman dari siapa-siapa?" "Tidak." Terpikir olehnya untuk memberitahukan tentang akhir minggu yang mengerikan di Chicago, tapi itu bisa menyangkut nama ayahnya. Ia memutuskan untuk diam saja dalam hal ini.
"Baiklah. Saya akan menelepon kantor dan minta mereka mengirim orang ke sini untuk?"
"Jangan! Tolong jangan! Saya tidak berani mempercayai orang lain. Bisakah Anda tinggal di sini j menemani saya, hanya sampai pagi?"
"Saya rasa saya tidak?"
"Oh, tolong." Gadis itu gemetar.
Sam Blake memandang matanya dan berpikir, belum pernah ia melihat orang ketakutan seperti itu.
"Tak adakah tempat Anda bisa menginap malam ini" Apakah Anda tidak punya teman untuk?T
"Bagaimana kalau ternyata pelakunya salah satu dari teman saya sendiri?"
Deputi Blake mengangguk. "Baiklah. Saya akan tinggal. Besok pagi saya akan mengatur perlindungan 24 jam untuk Anda."
"Terima kasih." Suaranya dipenuhi kelegaan.
Sam Blake mengusap tangan Ashley. "Dan jangan takut. Saya berjanji kami akan membongkar kasus ini. Saya akan menelepon Sheriff Dowling dan memberitahunya apa yang terjadi."
Ia bicara di telepon selama lima menit, dan setelah meletakkan gagang telepon, ia berkata, "Se: baiknya saya menelepon istri saya."
"Tentu saja." Deputi Blake mengangkat gagang telepon lagi dan menekan nomornya. "Halo, Sayang. Aku tak bisa pulang malam ini, jadi bagaimana jika kau nonton acara tele??"
"Kau tak bisa apa" Di mana kau, bersama salah satu pelacur murahanmu?"
Ashley bisa mendengar teriakan-teriakannya di telepon.
"Serena?" "Jangan membohongiku."
~ "Serena?" "Dasar laki-laki, seks melulu yang dipikirkan"
"Serena?" "Aku sudah tak tahan lagi, tahu." "Serena?"
" "Ini ucapan terima kasih yang kuterima karena menjadi istri yang baik"."
Percakapan telepon sepihak itu berlangsung sekitar sepuluh menit berikutnya. Akhirnya Deputi Blake meletakkan kembali gagang telepon dan menoleh kepada Ashley, malu.
"Maaf. Dia sebetulnya tidak seperti itu."
Ashley memandangnya dan berkata, "Saya mengerti."
"Tidak?saya serius. Serena bersikap begitu ka- ] reria dia ketakutan."
Ashley menatapnya, ingin tahu. "Ketakutan?"
Sejenak ia diam. "Hidupnya tak lama lagi. Serena kena kanker. Sekarang sedang dalam keada-j an remisi Mulainya kira-kira tujuh tahun yang lalu. Kami sudah menikah selama lima tahun."
"Jadi Anda tahu?""
"Ya. Tak jadi soal. Saya mencintainya." Ia berhenti. "Belakangan ini keadaannya memburuk. Dia ketakutan karena dia takut mati dan takut saya akan meninggalkannya Teriakan-teriakan itu cuma tameng untuk menyembunyikan ketakutannya."
"Saya?saya ikut sedih."
"Dia wanita luar biasa. Sebetulnya dia lemah lembut, penuh perhatian, dan penuh kasih sayang. Itulah Serena yang saya kenal."
Ashley berkata, "Saya minta maaf kalau saya menyebabkan?"
"Sama sekali tidak." Ia memandang berkeliling.
Ashley berkata, "Cuma ada satu kamar. Anda boleh memakainya, dan saya akan tidur di sofa."
Deputi Blake menggeleng. "Sofa cukup untuk saya."
Ashley berkata, "Tak bisa saya katakan betapa berterima kasihnya saya."
"Tak jadi masalah, Miss Patterson." Diawasinya gadis itu menuju lemari dan mengeluarkan seprai dan selimut.
Ia berjalan ke sofa dan membentangkan seprai. "Kuharap Anda?"
"Sempurna. Saya toh tidak berencana tidur." Ia mengecek jendela-jendela untuk meyakinkan sudah dikunci dan kemudian berjalan ke pintu dan memasang selot dobelnya. "Beres." Diletakkannya pistolnya di meja di sebelah sofa. "Anda beristirahatlah. Besok pagi kita atur segalanya."
Ashley mengangguk. Ia mendekati Deputi Blake dan mencium pipinya. "Terima kasih."
Deputi Blake memandangnya masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Ia berjalan kembali ke jendela dan mengeceknya lagi. Ini akan jadi malam yang panjang.
Di kantor pusat FBI di Washington, Agen Khusus Ramirez sedang bicara dengan Roland Kingsley, kepala seksinya. "Kita sudah mendapat laporan sidik jari dan DNA
yang ditemukan di TKP di Bedford, Cuperti Quebec, dan San Francisco. Laporan akhir Dna baru saja masuk. Sidik jari di semua tempat sam dan DNA-nya juga sama."
Kingsley mengangguk. "Jadi jelas pembunuhan berantai." "Tak diragukan lagi." "Mari kita temukan banditnya."
Pukul enam paginya, tubuh telanjang Deputi Sam Blake ditemukan oleh istri pengawas bangunan; apartemen di jalan kecil di belakang apartemen Ashley Patterson. Ia ditusuk sampai mati dan dikebiri.
Bab 10 MEREKA berlima: Sheriff Dowling, dua detektif berpakaian biasa, dan dua polisi berseragam. Mereka berdiri di ruang tengah, memandang Ashley yang duduk di kursi, menangis histeris.
Sheriff Dowling berkata, "Anda satu-satunya yang bisa membantu kami, Miss Patterson."
Ashley menengadah menatap orang-orang itu dan mengangguk. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali. "Saya?akan saya coba."
"Kita mulai dari awal. Deputi Blake menginap di sini?"
"Y-ya. Saya yang memintanya. Saya?saya takut sekali."
"Apartemen ini cuma punya satu kamar." "Betul."
"Di mana Deputi Blake tidur?"
Ashley menunjuk ke sofa, di atasnya masih ada selimut dan bantal. "Dia-dia melewatkan malam di situ."
"Jam berapa Anda pergi tidur?"
Ashley berpikir sesaat. "Rasanya?pasti sekitar tengah malam. Saya cemas sekali. Kami minum teh dan bicara, dan saya merasa lebih tenang. Saya ambilkan selimut dan seprai untuknya, kemudian saya masuk kamar." Ia berusaha sebisanya untuk tetap tenang.
"Itukah terakhir kalinya Anda melihatnya?"
"Ya" "Dan Anda tidur?"
"Tidak langsung. AMiirnya saya .minum sebutir pil tidur. Hal berikutnya yang saya ingat, saya terbangun mendengar teriakan seorang wanita dari jalan kecil di belakang." Ia mulai gemetar.
"Apakah menurut Anda ada orang yang masuk ke apartemen ini dan membunuh Deputi Blake?"
"Saya?saya tidak tahu," jawab Ashley putus asa. "Ada orang yang sudah beberapa kali masuk ke sini. Mereka bahkan menulis ancaman di cermin."
"Dia memberitahu saya lewat telepon."
"Mungkin dia mendengar sesuatu dan?keluar untuk menyelidiki," kata Ashley.
Sheriff Dowling menggeleng. "Saya rasa dia takkan keluar telanjang begitu."
Ashley menjerit. "Saya tak tahu! Saya tak tahu! ini mimpi buruk." Ditutupinya matanya dengan tangannya.
Sheriff Dowling berkata, "Saya ingin memeriksa apartemen Anda. Apakah saya memerlukan surat j perintah?" Wsfe^ wL,
Tentu saja tidak. S-silakan,"
Sheriff Dowling mengangguk kepada kedua detektif. Salah seorang masuk ke kamar tidur. Yang lainnya ke dapur. *
"Apa yang Anda bicarakan dengan Deputi Blake?"
Ashley menarik napas dalam-dalam. "Saya? saya memberitahunya tentang?tentang apa yang terjadi pada saya. Dia sangat?" Ia mendongak menatap Sheriff. "Kenapa ada orang yang membunuhnya" Kenapa?"
"Saya tak tahu, Miss Patterson. Kami akan menyelidikinya."
Letnan Elton, detektif yang masuk ke dapur, berdiri di pinta. "Bisa saya bicara sebentar dengan Anda, Sheriff?"
"Maaf." Sheriff Dowling masuk ke dapur. "Apa?"
Letnan Elton berkata, "Saya temukan ini di bak cuci piring." Dia menunjukkan pisau daging berlumur darah yang dipegangnya pada ujungnya. "Belum dicuci. Saya rasa kita bisa mendapat sidik jari."
Kostoff, detektif yang kedua, muncul dari dalam kamar dan bergegas ke dapur. Ia memegang cincin bermata zamrud dikelilingi berlian. "Saya temukan ini di dalam kotak "perhiasan di kamar. Ini cocok dengan deskripsi yang kita terima dari Quebec tentang cincin yang diberikan Jean Claude Parent pada Toni Prescott."
Ketiga orang itu berpandangan.
"Tidak masuk akal," kata Sheriff. Dengan hati"
hari sekali diambilnya pisau daging dan cincin fa dan ia masuk lagi ke ruang tamu. Ditunjukkannyi pisau ita dan ia bertanya. "Miss Patterson, apaki ini pisau Anda?"
Ashley menatap pisau itu. "Saya?Ya. Mungkin saja. Kenapa?"
Sheriff Dowling memperlihatkan cincinnya. "Pernahkah Anda melihat cincin ini?"
Ashley memandang cincin itu dan menggeleng. "Tidak."
"Kami menemukannya di dalam kotak perhiasan Anda."
Mereka memperhatikan ekspresinya. Ia kelihatan bingung sekali.
Ia berbisik, "Saya?Pasti ada orang yang menaruhnya di sana"."
"Siapa yang melakukan hal seperti itu?"
Wajahnya pucat. "Saya tak tahu."
Seorang detektif masuk. "Sheriff?"
"Ya, Baker?" Ia memberi isyarat pada si detektif j agar ke sudut. "Apa yang kaudapat?"
"Kami menemukan noda-noda darah di karpet . di selasar dan di dalam lift. Kelihatannya mayatnya j diletakkan di atas seprai, diseret ke dalam lift, dan dibuang di jalan."
"Gila!" Sheriff Dowling menoleh memandang j Ashley. "Miss Patterson, Anda ditahan. Saya akan j membacakan hak-hak Anda. Anda berhak untuk j b
erdiam diri. Jika Anda melepas hak untuk diam j ini, apa pun yang Anda katakan bisa digunakan J untuk menuntut Anda di depan pengadilan. Anda
berhak didampingi pengacara. Jika Anda tidak bisa membayar pengacara, pengadilan akan menunjuk pengacara untuk mendampingi Anda."
Setiba mereka di kantor polisi, Sheriff Dowling berkata, "Ambil sidik jarinya dan catat perkataannya."
Ashley menjalani prosedur ini seperti automaton. Ketika sudah selesai, Sheriff Dowling berkata, "Anda berhak menelepon satu kali."
Ashley mendongak menatapnya dan berkata muram, "Tak ada yang bisa saya telepon." Aku tak bisa menelepon ayahku.
Sheriff Dowling mengawasi Ashley digiring ke sel.
"Gila, aku sungguh tak mengerti. Kau melihat hasil tes poligrafnya" Aku berani sumpah dia tak bersalah."
Detektif Kostoff masuk. "Sam melakukan hubungan seks sebelum dia meninggal. Kami menyorotkan sinar ultraviolet di atas tabuhnya dan seprai yang dipakai untuk membungkusnya. Kami sudah mendapat hasil positif ada sperma dan cairan vagina. Kami?"
Sheriff Dowling mengerang. "Tunggu!" Ia sudah menunda-nunda saat ia hams memberitahu adiknya. Harus dilakukan sekarang. Ia menghela napas dan berkata, "Aku akan kembali."
Dua puluh menit kemudian, ia sudah ada di rumah Sam.
"Wah, sungguh kejutan menyenangkan," kata Serena "Sam bersamamu?"
"Tidak, Serena. Aku harus menanyakan sesuatu padamu." Ini akan susah.
Serena memandangnya ingin tahu. "Ya?"
"Apakah?apakah kau dan Sam berhubungan seks dalam 24 jam terakhir ini?"


Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ekspresi wajah Serena langsung berubah. "Apa" Kami" Tidak. Kenapa kau mau?" Sam tidak pulang, kan?"
"Aku menyesal harus memberitahumu, tapi dia?" "Dia meninggalkanku karena perempuan itu, kan" Aku tahu ini akan terjadi. Aku tidak menyalahkannya Aku istri brengsek. Aku?"
"Serena Sam sudah meninggal."
"Aku selalu memarahinya. Bukan maksudku untuk marah. Aku ingat?"
Sheriff Dowling memegang kedua lengan adiknya "Serena Sam sudah meninggal."
"Suatu kali kami akan ke pantai dan?"
Dia mengguncang tubuhnya. "Dengarkan aku. Sam sudah meninggal/"
"?dan kami akan piknik."
Ketika dipandangnya Serena, ia sadar adiknya telah mendengarnya.
"Jadi kami berada di pantai, lalu muncul orang ini dan berkata, "Serahkan uangmu." Dan Sam berkata, "Tunjukkan pistolmu.?"
Sheriff Dowling berdiri diam dan membiarkannya mengoceh sendiri. Serena dalam keadaan shock total dan mengingkari kenyataan.
?"begitulah Sam. Ceritakan tentang wanita yang diajaknya kabur ini. Cantikkah dia" Sam selalu bilang aku cantik, tapi aku tahu aku tidak cantik. Dia bilang begitu untuk menyenangkanku sebab dia mencintaiku. Dia takkan meninggalkanku. Dia akan kembali. Lihat saja nanti. Kau akan lihat. Dia mencintaiku." Ia mencerocos terus.
Sheriff Dowling berjalan ke telepon dan menekan nomor. "Kirim perawat ke sini." Didekatinya adiknya dan dipeluknya. "Segalanya akan beres."
"Pernahkah aku cerita waktu aku dan Sam??"
Lima belas menit kemudian, seorang perawat tiba.
"Jaga dia baik-baik," kata Sheriff Dowling.
Ada rapat di kantor Sheriff Dowling. "Ada telepon untukmu di saluran satu."
Sheriff Dowling mengangkat gagang telepon. "Ya?"
"Sheriff, ini Agen Khusus Ramirez di kantor pusat FBI di Washington. Kami punya informasi untuk Anda sehubungan dengan kasus pembunuhan berantai. Kami tidak punya catatan sidik jari tentang Ashley Patterson karena dia belum pernah melakukan tindak kriminal, dan sebelum tahun 1988, DMV tidak mensyaratkan cap jempol untuk SIM di negara bagian California."
"Teruskan." "Mulanya kami sangka ada gangguan komputer, tapi kami mengeceknya dan?" Selama lima menit berikutnya, Sheriff Dowling
mendengarkan, ekspresi wajahnya tidak pevc 1 Ketika akhirnya bicara, ia berkata, "Anda ya?" tidak ada kekeliruan" Rasanya tidak" Semuanya , Oh, begitu" Terima kasih banyak."
Diletakkannya kembali gagang telepon dan duduk diam lama. Kemudian ia mendongak. "Telepon dari lab FBI di Washington. Mereka sudah selesai! mengecek ulang sidik jari di tubuh para korban. I Jean Claude Parent sedang berkencan dengan gadis Inggris bernama Tom Prescott ketika dibunuh." - \
"Ya." "Richard Melton di San Francisco berkencan dengan gadis Italia bernama Alette Peters waktu dibunuh"
Mereka mengangguk. "Dan semalam Sam Blake bersama Ashley Patterson." "Betul."
Sheriff Dowling menarik napas berat. "Ashley Patterson?" "Ya?"
"Toni Prescott. " "Ya?"
"Alette Peters " "Ya?"
"S^uanya orang yang sama."
Bab 11 ROBERT CROWTHER, pialang real estat dari kantor Bryant & Crowther, membuka pintu dengan gaya berlebihan dan berkata, "Ini terasnya. Memandang ke bawah Anda bisa melihat Menara Coit dari sini."
Dipandangnya pasangan suami-istri muda itu melangkah ke luar menuju langkau. Pemandangan dari sana sungguh luar biasa, kota San Francisco terbentang di bawah dalam panorama spektakuler. Robert Crowther melihat pasangan muda itu saling melempar lirikan dan senyum rahasia, dan ia senang. Mereka berusaha menyembunyikan, kegembiraan mereka. Polanya selalu sama: para calon pembeli mengira bahwa jika memperlihatkan antusiasme berlebihan, harganya akan dinaikkan.
Untuk penthouse dua lantai ini, pikir Crowther masam, harganya sudah cukup tinggi. Yang "a . ?,,Hcemaskan, apakah pasangan muda mi sang* f u t".? Hnn berapa sin peng"
belinya. Si suami pengacara, dan d^f
hasilan pengacara muda. Mereka pasangan yang menarik, jelas sangai
saling mencintai. David Singer berusia awal tiga puluhan, rambutnya pirang, penampilannya cerdas, dengan sikap menawan. Istrinya" Sandra, cantik dan hangat.
Robert Crowther melihat perutnya yang agak membesar dan berkata, "Kamar tamu yang kedua cocok sekali dijadikan kamar bayi. Ada taman bermain, sam blok dari sini, dan dua sekolah di dekat-dekat sini." Dilihatnya mereka bertukar senyum rahasia lagi.
Apartemen dua lantai di atas gedung tinggi itu terdiri.atas kamar utama di lantai atas, lengkap dengan kamar mandi-, dan sebuah kamar tamu. Di lantai bawah ada ruang keluarga yang luas, mang makan, perpustakaan, dapur, kamar tamu yang kedua, dan dua kamar mandi. Pemandangan kota bisa dilihat dari hampir semua ruang.
Robert mengawasi keduanya masuk ke dalam apartemen lagi. Mereka berdiri di sudut, berunding dengan berbisik.
"Aku suka sekali," kata Sandra kepada David. "Dan ini bagus untuk bayi kita. Tapi, Sayang, sanggupkah kita membelinya" Harganya 600.000 dolar!"
This biaya pemeliharaan," David menambahkan. "Kabar buraknya kita tidak sanggup membelinya hari ini. Kabar baiknya kita akan sanggup membelinya Kamis nanti. Jin akan keluar dari botol ajaibnya dan kehidupan kita akan berubah."
"Aku tahu," kata Sandra bahagia. "Sungguh menyenangkan!"
"Kita beli saja?"
Sandra menarik napas dalam-dalam "Ayo deh." David nyengir, melambaikan sebelah tangan dan berkata, "Selamat datang di rumahmu, Mrs. Singer."
Sambil bergandengan, mereka berjalan mendekati Robert Crowther yang sedang menunggu. "Kami akan membelinya," kata David kepadanya.
"Selamat. Ini salah satu pilihan permukiman terbaik di San Francisco. Anda berdua akan senang tinggal di sini."
"Kami yakin akan begitu."
"Anda beruntung. Perlu saya sampaikan ada beberapa orang lain yang juga tertarik pada penthouse ini."
"Berapa down payment-nyaT
"Setoran uang muka sebesar 10.000 dolar cukup untuk sekarang. Saya akan menyiapkan surat-suratnya. Pada saat Anda menandatanganinya, kami mengharap Anda membayar 60.000 dolar lagi. Bank Anda bisa mengatur cicilan bulanan selama dua atau tiga puluh tahun untuk sisanya."
David melirik Sandra. "Oke."
"Akan saya siapkan surat-suratnya."
"Bolehkah kami melihat-lihat sekali lagi?" tanya Sandra bersemangat.
Crowther tersenyum ramah. "Silakan saja, Mrs. Singer. Ini rumah Anda."
"Seperti mimpi indah saja, David. Tak percaya rasanya ini benar-benar terjadi." "Ini benar-benar terjadi." David memeluknya.
"Aku ingin membuat semua mimpimu menjadi J kenyataan."
"Kau sudah membuatnya menjadi kenyataan,! Sayang."
Selama ini mereka tinggal di apartemen kecil berkamar dua di Marina District, tapi dengan lahir- | nya bayi mereka, apartemen itu akan jadi sempit. Sebelum ini, mereka tidak akan sanggup membeli apartemen dua lantai di Nob Hill, tapi Kamis adalah hari kemitraan untuk biro hukum internasional Kincaid. Turner, Rose & Ripley, tempat David bekerja. Dari 25 calon, enam akan dipilih mendapat kesempatan langka menjadi partner perusahaan, dan semua orang setuju bahwa David adalah salah satu yang akan terpilih. Kincaid, Turner, Rose & Ripley, dengan kantor-kantor di San Francisco, New York, London, Paris, dan Tokyo, adalah salah satu biro hukum bergengsi di dunia, dan biasanya menjadi incaran lulusan semua fakultas hukum top.
Biro hukum, itu menerapkan pendekatan wortel-di-ujung-tongkat bagi pengacara-pengacara muda mereka. Para senior tanpa belas kasihan memperalat mereka, tanpa memedulikan jam kerja atau apakah mereka sedang sakit, mereka menyerahkan pekerjaan berat dan kasar yang tak mereka inginkan kepada para pengacara muda ini. Tekanannya berat, pekerjaan 24 jam sehari. Itu tongkatnya. Yang bertahan adalah mereka yang mengharapkan wortel. Wortelnya adalah janji untuk menjadi partner di biro hukum itu. Menjadi partner berarti gaji yang lebih besar, sebagian dari keuntungan besar perusahaan, kantor yang luas dengan pemandangan indah, kamar mandi sendiri, tugas-tugas ke luar negeri, dan banyak lagi kenikmatan lain.
David berpraktek sebagai pengacara perusahaan di biro hukum Kincaid, Turner, Rose & Ripley selama enam tahun, dan itu merupakan berkah penuh cobaan baginya. Jam kerjanya mengerikan, dan beban stresnya sangat berat, tapi David, yang bertekad untuk mendapatkan kemitraan, bertahan dan hasil kerjanya brilian. Sekarang hari yang dinantikannya telah tiba.
Ketika David dan Sandra meninggalkan agen real estat itu, mereka pergi berbelanja. Mereka membeli buaian, kursi tinggi, kereta bayi, tempat bermain, dan pakaian-pakaian untuk bayi mereka, yang sudah mereka namai Jeffrey. Sonogram menunjukkan bahwa bayi mereka laki-laki. "Yuk kita belikan dia mainan," ajak David. "Masih banyak waktu untuk itu." Sandra tertawa. Sehabis berbelanja mereka berjalan-jalan keliling kota, menyusuri tepi laut di Ghirardelli Square, melewati Cannery ke Fisherman"s Warf. Mereka makan siang di American Bistro.
Hari itu Sabtu, hari yang cocok di San Francisco untuk tas kulit bermonogram dan dasi, setelan, serta kemeja bermonogram, hari untuk makan siang yang mengesankan dan penthouse. Hari untuk f seorang pengacara.
David dan Sandra bertemu tiga tahun lalu di pesta
kecil makan malam. David datang ke pesta itu dengan anak gadis salah seorang klien biro hukumnya. Sandra adajah paralegal yang bekerja untuk biro hukum saingan. Selama makan malam, Sandra dan David berdebat seru tentang putusan yang dijatuhkan untuk sebuah kasus politik di Washington. Sementara yang lain di meja makan itu menonton, perdebatan di antara mereka semakin panas. Dan di tengah perdebatan itu, David dan Sandra menyadari bahwa mereka berdua sama-sama tak peduli tentang putusan peradilan itu. Mereka sedang saling pamer, sibuk berdansa cinta dengan kata-kata.
David menelepon Sandra keesokan harinya. "Aku ingin menyelesaikan diskusi kita kemarin," katanya. "Kurasa ini perlu," "Kurasa juga begitu," Sandra setuju. "Bisakah kita bicarakan sambil makan, malam j ini?"
Sandra ragu-ragu. Ia sudah telanjur punya kencan makan malam, malam ku. "Ya," katanya. "Malam ini boleh juga."
Sejak malam itu mereka selalu bersama. Tepat setahun setelah pertemuan mereka, mereka menikah..!
Joseph Kincaid, partner senior perusahaan itu, memberi libur akhir minggu pada David.
Gaji David di Kincaid, Turner, Rose & Ripley j 45.000 dolar setahun. Sandra tetap bekerja sebagai paralegal. Tetapi sekarang, dengan kedatangan bayi mereka, biaya hidup mereka akan meningkat. "Beberapa bulan lagi aku harus melepas pekerjaanku," kata Sandra. "Aku tak ingin bayi kita dibesarkan pengasuh, Sayang. Aku ingin menjaga dan merawatnya sendiri."
"Kita akan bisa mengatasinya," David meyakinkannya. Kemitraan ini akan mengubah hidup mereka.
David sudah mulai bekerja lembur lebih lama lagi. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak dilupakan pada hari kemitraan.
Kamis pagi, sembari berpakaian, David mendengarkan berita di televisi.
Pembawa berita berkata terengah, "Ada berita selingan". Ashley Patterson, putri dokter terkenal San Francisco, Steven Patterson, telah ditangkap dengan tuduhan dialah si pembunuh berantai yang selama ini dicari polisi dan FBI"." David berdiri beku di depan pesawat televisi. . ?"semalam Sheriff Santa Clara County Matt Dowling mengumumkan penangkapan Ashley Patterson untuk kasus pembunuhan berantai yang mencakup pengebirian. Sheriff Dowling memberitahu reporter, "Tak ada keraguan lagi bahwa kami telah menangkap orang yang tepat. Bukti-buktinya tak terbantah.?"
Dr. Steven Patterson. Pikiran David melayang, kembali ke masa lalu".
Saat itu ia baru berusia 21 tahun dan baru mulai masuk fakultas hukum. Ia pulang kuliah suatu hari dan menemukan ibunya di lantai kamar, pingsan.
Ia menelepon 911, dan ambulans membawa ibunyj ke San Francisco Memorial Hospital. David menunggu di luar ruang gawat darurat sampai seorang dokter keluar untuk berbicara padanya. "Apakah?apakah dia akan sembuh?" Si dokter ragu-ragu. "Salah seorang ahli jantung kami telah memeriksanya. Salah satu pembuluh katup jantung kirinya pecah." "Apa artinya itu?" David menuntut. "Saya khawatir tak ada yang bisa kami lakukan untuknya Dia terlain lemah untuk transplantasi, sedangkan bedah jantung mini masih baru dan terlalu berisiko."
David merasa akan pingsan. "Berapa?berapa lama lagi-dia??"?"
"Menurut saya beberapa hari lagi, mungkin se-"j minggu. Saya ikut prihatin, Nak."
David berdiri diam, panik. "Tidak adakah orang yang bisa membantunya?"
"Sayang tidak ada. Satu-satunya yang mungkin bisa menolongnya adalah Steven Patterson, tapi ? dia sangat?" "Siapa Steven Patterson?" "Dr. Patterson adalah perintis bedah jantung dengan sayatan minimal. Tapi dengan kesibukan jadwal praktek dan risetnya, tak ada kemungkinan?" David sudah lenyap.
Ia menelepon tempat praktek Dr. Patterson dari telepon umum di selasar rumah sakit. "Saya mau j mendaftar ke Dr. Patterson. Untuk ibu saya. Dia?"
"Maaf. Kami tidak bisa menerima pasien baru lagi. Waktu luang yang ada paling cepat baru enam bulan dari sekarang."
"Dia tak punya waktu enam bulan," teriak David.
"Maaf. Saya bisa menyarankan Anda ke?"
David membanting telepon.
Keesokan paginya David ke tempat praktek Dr. Patterson. Ruang tunggunya penuh. David mendekati resepsionis. "Saya mau mendaftar untuk ibu saya. Keadaannya parah dan?"
Ia mendongak menatap David dan berkata, "Anda menelepon kemarin, kan?"
"Ya." "Sudah saya katakan. Tak ada pasien yang batal dan kami tidak bisa menerima pasien baru."
"Saya akan menunggu," kata David berkeras.
"Anda tak bisa menunggu. Dokternya?"
David duduk. Ia memandang orang-orang di mang tunggu itu dipanggil ke ruang dalam satu demi satu, sampai akhirnya hanya ia sendiri yang tinggal.
Pukul enam sore resepsionis berkata, "Tak ada gunanya menunggu lagi. Dr. Patterson sudah pulang."
David mengunjungi ibunya di ruang gawat darurat malam itu.
"Anda hanya bisa tinggal satu menit," seorang perawat memperingatkannya. "Dia sangat lemah."
David melangkah masuk dan matanya dipenuhi air mata. Ibunya dihubungkan dengan respirator, sementara siang-siang dipasang di lengan dan
lubang hidungnya. Ia kelihatan lebih putih daripadf seprai tempat tidurnya. Matanya terpejam.
David bergerak mendekatinya dan berkata, "ini aku. Mom. Takkan kuizinkan sesuatu terjadi pada Mom. Mom akan sembuh." Air mata mengalir di pipinya "Mom mendengarku" Kita berdua akan melawan ini. Tak seorang pun bisa mengalahkan kita tidak selama kita bersatu. Akan kucarikan dokter terbaik di dunia. Bertuhanlah dulu, Mom. Aku akan kembali besok pagi." Ia membungkuk dan dengan lembut mengecup pipinya. Masihkah dia hidup besok pagi"
Sore hari berikutnya David ke garasi di lantai bawah tanah gedung tempat Dr. Patterson praktek dan berkantor. Seorang tukang parkir sedang mengatur parkir mobil-mobil.
Ia mendekati David. "Bisa kubantu?"
"Aku menunggu istriku," kata David. "Dia pasien j Dr. Patterson."
Tukang parkir tersenyum. "Dia dokter yang hebat." j
"Dia cerita pada kami tentang mobil mewahnya." j David berhenti, mencoba mengingat-ingat. "Cadillac, j ya?"
Si tukang parkir menggeleng. "Bukan." Ia me-j jtiunjuk Rolls-Royce yang diparkir di sudut. "Rolls 1 yang di sana itu"
David berkata "Oh ya, betul. Tapi kurasa dia ] bilang dia punya Cadillac juga."
"Tidak mengherankan," kata si tukang parkir. Ia J bergegas menyongsong mobil yang masuk.
David berjalan santai ke arah Rolls itu. Ketika yakin tak ada yang melihatnya, ia membuka pintunya, masuk ke tempat duduk belakang, dan merebahkan diri di lantainya. Ia berbaring di sana terjepit dan tidak nyaman, berharap Dr. Patterson segera keluar. Pukul 18.15, David merasakan sedikit gerakan " ketika pintu depan mobil terbuka dan ada orang duduk di belakang setir. Didengarnya mesin dihidupkan, kemudian mobil mulai bergerak. "Selamat malam, Dr. Patterson." "Selamat malam, Marco." Mobil meninggalkan garasi, dan David merasa mobil berbelok. Ia menunggu dua menit, kemudian menarik napas dalam-dalam dan duduk.
Dr. Patterson melihatnya dari kaga spion. Ia berkata tenang, "Kalau ini penodongan, aku tidak membawa uang tunai." "Berbeloklah ke jalan sepi dan berhenti di pinggir." Dr. Patterson mengangguk. David mengawasi dengan waspada ketika dokter itu membelok ke jalan sepi, menepikan mobilnya ke trotoar, dan berhenti.
"Akan kuberikan semua uang tunai yang ada padaku," kata Dr. Patterson. "Kau boleh mengambil mobilnya. Tak perlu pakai kekerasan. Jika?"
David sudah pindah ke tempat duduk depan. "Ini bukan penodongan. Saya tidak menginginkan
mobil." . . Dr. Patterson memandangnya dengan jengkel.
"Ana maumu sebenarnya?"
"Nama saya Singer. Ibu saya hampir mati. ingin Dokter menyelamatkannya."
Ada kilatan kelegaan di wajah Dr. Patterson yang kemudian digantikan dengan kemarahan. "Daftar dulu ke re?" "Tak ada waktu lagi untuk daftar-daftaran," David menjerit "Dia sudah mau mati, dan takkan saya biarkan itu terjadi." Dicobanya untuk menguasai diri. "Tolonglah. Dokter-dokter yang lain mengatakan Andalah satu-satunya harapan kami."
Dr. Patterson menatapnya, masih waspada. "Apa masalahnya?"
"Kamp?kamp jantung kirinya pecah. Para dokter takut mengoperasinya. Mereka bilang Andalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan hidupnya." Dr. Patterson menggeleng. "Jadwalku?" "Persetan dengan jadwal Anda! Ini ibu saya. Anda harus menyelamatkannya! Dia satu-satunya yang saya miliki?"
Sunyi, lama. David duduk diam, matanya terpejam erat-erat. Didengarnya suara Dr. Patterson.
"Aku tak mau menjanjikan apa-apa, tapi akan kuperiksa dia. Di mana dia?"
David menoleh memandangnya. "Dia di unit gawat darurat di San Francisco Memorial Hospital."
"Temui aku di sana pukul delapan pagi besok." ; David sulit bicara. "Saya tak tahu bagaimana?" \ "Ingat, aku tak menjanjikan apa-apa. Dan aku ,
tak suka ditakut-takuti macam begini, anak muda. j
Lain kali, cobalah menelepon."
David duduk tegang. Dr. Patterson memandangnya. "Apa?"
"Ada masalah lain."
"Oh, begitu?" "Saya?saya tak punya uang. Saya mahasiswa hukum, dan saya bekerja sambil kuliah."
Dr. Patterson menatapnya.
David berkata penuh tekad, "Saya bersumpah akan mencari jalan untuk membayar Anda. Jika itu berarti saya terikat seumur hidup, Anda tetap akan dibayar. Saya mengerti tarif Anda mahal sekali, dan saya?"
"Kurasa kau tak mengerti, Nak."
"Saya tak bisa meminta bantuan orang lain, Dr. Patterson. Saya?saya memohon pada Anda."
Sunyi lagi. r "Masih berapa tahun lagi kuliahmu?"
"Masih lama. Saya baru masuk."
"Tapi kau mengharap akan bisa membayarku?"
"Saya bersumpah."
"Keluar dari sini."
Setibanya di rumah, David yakin ia akan ditangkap polisi dengan tuduhan penculikan, pengancaman, dan entah apa lagi. Tapi ternyata tidak. Pertanyaan dalam benaknya adalah apakah Dr. Patterson akan muncul di rumah sakit besok.
Ketika David masuk ke bangsal gawat darurat keesokan paginya, Dr. Patterson ada di sana, sedang memeriksa ibunya.
1" David mengawasinya, jantungnya berdeba, kencang, tenggorokannya kering.
Dr. Patterson menoleh ke salah satu rombongan dokter yang berdiri di sana. "Bawa dia ke ruang operasi, Al. StatF"
Sementara mereka memindahkan ibu David ke atas dorongan, David bertanya serak, "Apakah dia??" "Kita lihat saja nanti."
Enam jam kemudian, David ada di ruang tunggu ketika Dr. Patterson mendekatinya.
David meloncat berdiri. "Bagaimana??" Ia tidak; berani meneruskan pertanyaannya.
"Dia akan sembuh. Ibumu wanita kuat."
David berdiri diam, dipenuhi perasaan lega luar biasa. Diam-diam ia berdoa. Terima kasih, Tuhan, j
Dr. Patterson mengawasinya. "Aku bahkan tak J tahu nama depanmu." Ig*"-
"David, Sir." "Nah, David Sir, tahukah kau kenapa aku me-j mutuskan untuk melakukan ini?" "Tidak?"
"Dua alasan. Kondisi ibumu merupakan tantang-1 an bagiku. Aku suka tantangan. Alasan kedua j adalah kau."
"Saya?saya tidak mengerti."
"Apa yang kaulakukan adalah hal yang mungkin 1 kulakukan sendiri waktu aku masih muda. Kau \ punya imajinasi. Nah, sekarang"?nada suaranya i berubah?"kau bilang kau akan membayarku."
Hati David mencelos. "Ya, Sir. Suatu hari?" "Bagaimana kalau sekarang?" David menelan ludah. "Sekarang?" "Aku akan mengajukan tawaran. Kau bisa mengemudi?" "Bisa, Sir?"
"Baiklah. Aku sudah bosan mengemudikan mobil besar itu. Kauantar aku ke tempat kerja setiap pagi dan jemput aku setiap sore antara pukul enam sampai tujuh selama setahun. Setelah itu, kuanggap tarifku sudah dibayar"."
Itulah tawarannya. David menyopiri Dr. Patterson ke kantor dan mengantarnya pulang setiap hari, dan sebagai imbalannya, Dr. Patterson menyelamatkan nyawa ibu David.
Selama setahun itu, David jadi menghormati Dr. Patterson. Walaupun kadang-kadang marah-marah, Dr. Patterson adalah orang paling tidak egois yang pernah dikenal David. Ia terlibat banyak kegiatan amal dan menyumbangkan waktu luangnya untuk khnik-ldinik gratis. Dalam perjalanan pergi ke dan pulang, dari kantor atau rumah sakit, ia dan David banyak mengobrol. "Jurusan hukum apa yang kauambil, David?" "Hukum pidana."
"Kenapa" Supaya kau~bisa membantu para penjahat itu bebas?"
"Tidak, Sir. Ada banyak orang jujur yang terlibat hukum dan membutuhkan bantuan. Saya ingin membantu mereka."
Ketika setahun berlalu, Dr. Patterson menjabat
tangan David dan berkata, "Utangmu* lunas su dan"."
Sudah bertahun-tahun David tidak bertemu Dr. Patterson, tetapi berkali-kali membaca tentangnya.
"Dr. Steven Patterson membuka klinik gratis untuk bayi yang kena AIDS"."
"Dr. Steven Patterson tiba di Kenya hari ini untuk meresmikan Patterson Medical Center"."
"Kegiatan di Patterson Charity Shelter dimulai hari ini____"
Ia seakan berada di mana-mana, menyumbangkan waktu dan uangnya untuk mereka yang membutuhkannya
Suara Sandra membuyarkan lamunan David. "David. Kau kenapa?"
Ia menoleh dari pesawat televisinya. "Mereka bara saja menangkap anak Dr. Patterson dengan tuduhan melakukan pembunuhan berantai itu."
Sandra berkata "Sungguh mengerikan! Aku ikut menyesal, Sayang."
"Dia memberi Mom kesempatan untuk hidup tujuh tahun lagi. Tujuh tahun yang menyenangkan. Sungguh tidak adil sesuatu seperti ini terjadi pada orang seperti dia Dia orang paling baik yang pernah kukenal, Sandra. Dia tak layak menerima i ini Bagaimana mungkin dia punya anak monster j seperti itu?" Dilihatnya arlojinya "Sialan! Aku akan terlambat."
"Kau belum sarapan."
"Aku terlara tegang untuk sarapan." Ia melirik j
pesawat televisinya. "Berita tadi" dan hari ini hari kemitraan"."
"Kau pasti terpilih. Tak ada keraguan lagi."
"Selalu ada keraguan, Sayang. Setiap tahun, selalu ada orang yang dijagokan ternyata masuk kotak."
Sandra memeluknya dan berkata, "Mereka akan beruntung kalau memilihmu."
David membungkuk dan menciumnya. "Terima kasih, Manis. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan tanpa engkau."
"Aku selalu ada. Kau akan meneleponku begitu ada berita kan, David?"
"Tentu saja. Kita nanti keluar dan merayakannya." Dan kalimat itu terngiang lagi dalam benaknya. Bertahun-tahun yang lalu, ia pernah berkata pada gadis lain, "Kita nanti keluar dan merayakannya. "
Dan ia telah membunuh gadis itu.
Kantor Kincaid, Turner, Rose & Ripley menempati tiga lantai di gedung TransAmerica Pyramid di tengah kota San Francisco. Ketika David Singer masuk, ia disambut senyum-senyum maklum. Ia merasa bahkan sapaan "selamat pagi" yang diterimanya pun kualitasnya berbeda. Mereka tahu mereka sedang menyapa calon partner perusahaan.
Dalam perjalanan menuju kantornya yang kecil, David melewati ruangan yang didekorasi baru dan nantinya akan ditempati oleh partner yang terpilih, dan ia tak tahan tidak mengintip ke dalam. Kantor
itu luas dan indah, dengan kamar mandi sendiri, seperangkat meja dan kursi menghadap ke jendela dengan pemandangan indah ke pantai. Ia berdiri sesaat, menikmati kantor itu.
Ketika David memasuki ruangannya, sekretarisnya, Holly, berkata, "Selamat pagi, Mr. Singer." Suaranya berirama.
"Selamat pagi, Holly."
"Ada pesan untuk Anda."
"Ya?" "Mr. Kincaid ingin bertemu Anda di kantornya pukul lima nanti." Holly lalu tersehyum lebar. Rupanya benar-benar terjadi. "Bagus." Ia mendekati David dan berkata, "Saya rasa saya juga harus memberitahu Anda, saya tadi minum kopi dengan Dorothy, sekretaris Mr. Kincaid. Dia bilang nama Anda paling atas di daftar." David nyengir. "Terima kasih, Holly." "Anda mau minum kopi?" "Ya, terima kasih." "Panas dan kental, -sebentar lagi." David berjalan ke mejanya. Meja itu dipenuhi tumpukan surat-surat, kontrak, dan arsip.
Hari inilah harinya. Akhirnya, "Mr. Kincaid ingin menemui Anda di kantornya pukul lima nanti-Nama Anda paling atas di daftar."
Ia tergoda untuk menelepon Sandra dan memberitahunya soal ini. Sesuatu menahannya. Aku akan menunggu sampai ini benar-benar terjadi, pikirnya.
David melewatkan dua jam berikutnya menangani
pekerjaan di atas mejanya" Pukul sebelas, Holly masuk. "Ada tamu, namanya Dr. Patterson ingin ketemu Anda. Dia tidak punya jan?"
David mendongak dengan heran. "Dr. Patterson kemaril"
"Ya." David bangkit. "Suruh dia masuk."
Steven Patterson masuk, dan David berusaha menyembunyikan reaksinya. Dokter itu kelihatan tua dan lelah.
"Halo, David." "Dr. Patterson. Silakan duduk." David memandangnya pelan-pelan duduk. "Saya melihat berita pagi ini. Saya?saya tak bisa mengatakan betapa saya ikut prihatin."
Dr. Patterson mengangguk lesu. "Ya. Ini pukulan berat." Ia mendongak. "Aku perlu bantuanmu, David."
"Tentu saja," jawab David bersemangat. "Apa saja yang bisa saya lakukan. Apa saja."
"Aku ingin kau jadi pembela Ashley."
Butuh waktu beberapa saat sebelum perkataan itu bisa dicernanya. "Saya?saya tak bisa. Saya bukan pengacara kasus pidana."
Dr. Patterson menatap matanya dan berkata, "Ashley bukan penjahat."
"Saya?Anda tak mengerti, Dr. Patterson. Saya pengacara perusahaan. Saya bisa merekomendasikan pengacara pidana brilian yang?"
"Aku sudah menerima telepon dari enam pengacara pidana top. Mereka semua ingin
159 membelanya." Ia membungkuk di kursinya. "Tetapi mereka tidak tertarik pada anakku, David. Ini kasus pidana tingkat tinggi, dan mereka mencari popularitas. Mereka sama sekali tak peduli padanya. Aku peduli. Dia satu-satunya milikku."
"Saya ingin Anda menyelamatkan ibu saya. Dia satu-satunya milik saya," "Saya sungguh ingin membantu Anda, tapi?"
"Ketika baru lulus dulu, kau bekerja untuk biro hukum yang menangani kasus pidana."
Hati David mulai berdebar lebih kencang. "Betul, tapi?"
"Kau pengacara pidana selama beberapa tahun."
David mengangguk. "Ya, tapi kemudian saya? saya tinggalkan. Itu sudah lama dan?"
"Belum terlalu lama, David. Dan kau pernah bilang padaku kau suka sekati pekerjaanmu. Kenapa kau keluar dan ganti menangani kasus-kasus perusahaan?"
David terdiam sesaat. "Tidak penting."
Dr. Patterson mengeluarkan surat bertulisan tangan dan menyerahkannya kepada David. Tanpa membacanya pun David tahu betul apa isi surat itu.
Dear Dr. Patterson, Tak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan betapa besarnya saya berutang budi pada Anda dan betapa saya menghargai kebaikan hati Anda. Jika suatu kali nanti ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk Anda, katakan saja, dan permintaan itu akan saya laksanakan tanpa pertanyaan.
David memandang surat itu tanpa melihatnya. "David, maukah kau bicara pada Ashley?" David mengangguk. "Ya, tentu saja saya akan bicara padanya, tapi saya?" Dr. Patterson bangkit. "Terima kasih." David memandangnya meninggalkan kantornya.
"Kenapa kau keluar dan ganti menangani kasus-kasus perusahaan?"
Karena aku membuat kesalahan dan seorang gadis tak bersalah yang kucintai telah meninggal. Aku sudah bersumpah tak akan mempertaruhkan nyawa orang di tanganku lagi. Tak akan.
Aku tak bisa membela Ashley Patterson.
David menekan tombol interkom. "Holly, tolong tanya pada Mr. Kincaid kalau-kalau dia bisa menemuiku sekarang:"
"Ya, Sir." Tiga puluh menit kemudian, David memasuki kantor mewah Joseph Kincaid. Kincaid berumur enam puluhan, laki-laki monoton, baik secara fisik, mental, maupun emosional.
"Well," katanya ketika David masuk, "kau anak muda yang tak sabaran rupanya. Pertemuan kita dijadwalkan pukul lima sore nanti."
David mendekati meja Kincaid. "Aku tahu. Aku datang untuk mendiskusikan hal lain, Joseph."
Bertahun-tahun yang lalu, David telah membuat kesalahan dengan memanggil orang tua itu Joe, dan
si tua marah-marah. "Jangan pernah sekali-kaU /Q ?| memanggilku Joe."
"Duduklah, David."
David duduk. "Cerutu" Ini dari Kuba."
"Tidak, terima kasih." "
"Apa yang ingin kaubicarakan?"
"Dr. Steven Patterson baru saja menemuiku."
Kincaid berkata, "Dia muncul di berita pagi ini. Sungguh sayang. Apa yang diinginkannya darimu?"
"Dia memintaku menjadi pembela anaknya."
Kincaid memandang David, keheranan. "Kau kan bukan pengacara pidana."
"Aku sudah bilang begitu."
"Ya sudah, kalau begitu." Sesaat Kincaid berpikir. Tahu tidak, aku ingin Dr. Patterson jadi klien kita. Dia sangat berpengaruh. Dia bisa membuat biro hukum kita laris. Dia punya hubungan dengan beberapa organisasi medis yang?"
"Ada lagi." Kincaid memandang David, bertanya-tanya. "Oh?" Aku sudah berjanji akan berbicara pada anaknya."
"Begitu. Yah, kurasa tak ada ruginya. Bicaralah, setelah itu kita carikan pembela yang baik untuknya"
"^egitulah rencanaku." Per^tT"!^ ^ daPat Poin plus darinya, limf^nti." terSenym ",Kita ^temu lagi pukul "Baik. Terima kasih i^"_u "
David berjalan kembali ke kantornya ia va-tanya sendiri, Kenapa Dr. Patterson ngotot ^^Inginkanku menjadi pembela anaknya"
Bab 12 DI Santa Clara County Jail, Ashley Patterson duduk dalam selnya, terlalu terguncang untuk memahami bagaimana ia bisa ada di sana. Ia senang sekali berada dalam penjara, karena terali penjara bisa melindunginya dari siapa pun yang melakukan ini padanya. Ia mengandaikan selnya selimut, yang diselubungkan menutupi dirinya, untuk menghindarkan hal-hal mengerikan yang terjadi padanya. Seluruh hidupnya telah menjadi mimpi burak yang sangat mengerikan. Ashley memikirkan semua kejadian misterius yang telah terjadi: Ada orang yang masuk ke apartemennya dan, mempermainkannya" kunjungan ke Chicago" tulisan di cerminnya., dan sekarang polisi menuduhnya melakukan hal-hal menyeramkan yang ia sama sekali tak tahu-menahu. Ada konspirasi buruk terhadap dirinya, tapi ia tak punya ide siapa dalangnya atau kenapa.


Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi tadi salah seorang penjaga datang ke selnya.
Si penjaga mengawal Ashley ke ruang kunjungan. Ayahnya sudah menantinya di sana.
Ayahnya berdiri di sana, memandangnya, matanya dipenuhi sorot duka. "Sayang" aku tak tahu hams bilang apa."
Ashley berbisik, "Aku tidak melakukan satu pun dari perbuatan-perbuatan mengerikan yang dituduhkan kepadaku."
"Aku tahu. Ada yang membuat kesalahan fatal, tapi kita akan meluruskannya."
Ashley memandang ayahnya dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana ia bisa berpikir bahwa ayahnyalah pelakunya.
?"jangan kuatir," katanya. "Semuanya akan beres. Aku sudah mendapat pembela untukmu. David Singer. Dia salah satu dari orang muda paling brilian yang kukenal. Dia akan datang menemuimu. Kuminta kau menceritakan segalanya kepadanya."
Ashley memandang ayahnya dan berkata putus asa, "Ayah, aku?aku tak tahu harus cerita apa kepadanya. Aku tak tahu apa yang sebenarnya-terjadi."
"Kita akan menyelidiki ini sampai tuntas, Sayang. Takkan kubiarkan siapa pun menyakitimu. Tak seorang pun! Selamanya! Kau terlalu berarti bagiku. Kau satu-satunya milikku, Sayang."
"Dan Ayah satu-satunya milikku," Ashley berbisik.
Ayah Ashley masih tinggal selama sejam lagi. Ketika ia pulang, dunia Ashley kembali menjadi sesempit sel yang mengurungnya. Ia berbaring di atas
dipannya, memaksa diri agar tidak memikirkan apa-apa. Semua ini akan segera berakhir, dan nanti ternyata semua ini hanya mimpi" Hanya mimpi" Hanya mimpi" Ia tertidur.
Suara seorang penjaga membangunkannya. "Ada tamu." jari*!.":
Dia dibawa ke ruang kunjungan, dan Shane Miller sudah menunggunya di sana. Ia bangkit ketika Ashley masuk. "Ashley?" Harinya berdegup kencang. "Oh, Shane!" Belum pernah ia segembira itu bertemu seseorang. Entah bagaimana, ia yakin Shane akan datang dan membebaskannya, ia akan mengatur agar mereka melepaskannya. "Shane, aku senang sekali ketemu kau!" "Aku senang ketemu kau," kata Shane canggung. Ia mengitarkan pandangannya ke ruang kunjungan yang suram. "Meskipun harus kubilang, tidak dalam situasi begini. Waktu aku dengar berita itu, aku-aku tak bisa percaya. Apa yang terjadi" Apa yang membuatmu melakukannya, Ashley?"
Perlahan wajahnya kehilangan rona. "Apa yang membuatku?" Kaupikir aku yang??"
"Sudahlah," kata Shane cepat-cepat. "Jangan bilang apa-apa lagi. Kau tak boleh ngomong pada siapa pun kecuali pada pengacaramu."
Ashley terperangah menatapnya. Shane percaya ia bersalah. "Kenapa kau datang?"
"Yah, aku?aku sebetulnya tak enak mengatakannya, tapi mengingat?mengingat situasi, aku?perusahaan?terpaksa memberhentikanmu. Maksudku? wajar kan kalau kami beranggapan tidak menguntungkan bagi kami jika dihubungkan dengan kasus seperti ini. Bahwa koran-koran sudah telanjur menyebutkan kau bekerja di Global pun sudah merugikan. Kau bisa mengerti, kan" Bukan alasan pribadi lho."
Selagi mengendarai mobilnya menuju San Jose, David Singer memutuskan apa yang akan dikatakannya kepada Ashley Patterson. Ia akan berusaha mengorek keterangan dari gadis itu dan kemudian meneruskan informasi ini kepada Jesse Quiller, salah satu pengacara pidana terbaik di Amerika. Jika ada yang bisa membantu Ashley, Jesse-lah orangnya.
David diantar ke kantor Sheriff Dowling. Ia mengangsurkan kartunya kepada si sheriff. "Saya pengacara. Saya datang untuk menemui Ashley Patterson dan?" "Dia menunggu Anda."
David memandangnya keheranan. "Dia menunggu
saya?" "Ya." Sheriff Dowling berpaling pada seorang polisi dan mengangguk.
Polisi itu berkata kepada David. "Lewat sini." Dibawanya David ke ruang kunjungan, dan beberapa menit kemudian, Ashley diantar ke situ dari selnya.
Ashley Patterson benar-benar kejutan bagi David
Ia pernah bertemu Ashley bertahun-tahun yang 1 lalu, ketika ia masih mahasiswa hukum dan men-I jadi sopir ayahnya. Waktu itu kesan David ia j gadis yang menarik dan cerdas. Sekarang ia ber-1 hadapan dengan wanita muda yang cantik dengan \ mata ketakutan. Ia duduk di kursi di seberang j David.
"Halo. Ashley. Aku David Singer."
"Ayahku sudah memberitahu bahwa kau akan datang." Suaranya bergetar.
"Aku datang hanya untuk mengajukan beberapa pertanyaan."
Ia mengangguk. "Sebelumnya, aku ingin kau tahu bahwa apa pun yang kaukatakan akan tetap merupakan rahasia. Hanya kita berdua yang tahu. Tetapi aku perlu tahu yang sebenarnya." David ragu-ragu. Ia tidak bermaksud bertindak sejauh ini, tetapi ia ingin bisa memberi Jesse Quiller semua informasi yang bisa didapatnya, agar bisa membujuknya untuk menangani kasus ini. "Apakah kau membunuh orang-orang itu?"
"Tidak!" Suara Ashley penuh keyakinan. "Aku tidak bersalah!" ..
David menarik sehelai kertas dari kantongnya dan meliriknya. "Kau kenal dengan orang yang bernama Jim Cleary?"
"Ya. Kami?kami merencanakan akan menikah. Aku tak punya alasan untuk berbuat jahat pada Jim. Aku mencintainya." David mengamati Ashley sejenak, kemudian
memandang kertasnya lagi. "Bagaimana dengan Dennis Tibbie?"
"Dennis bekerja di perusahaan yang sama denganku. Aku bertemu dia pada malam dia dibunuh, tapi pembunuhan itu tak ada sangkut pautnya denganku. Waktu itu aku ada di Chicago." David menatap wajah Ashley. "Kau harus percaya padaku. Aku?aku tak punya alasan untuk membunuhnya."
David berkata, "Baiklah." Diliriknya lagi kertasnya. "Apa hubunganmu dengan Jean Claude Parent?"
"Polisi menanyakan tentang dia padaku. Aku malahan belum pernah mendengar namanya. Bagaimana mungkin aku membunuhnya kalau kenal pun tidak?" Ia memandang David dengan tatapan memohon. "Tak bisakah kau melihat" Mereka menangkap orang yang salah." Ia mulai terisak. "Aku tak membunuh siapa-siapa." "Richard Melton?" "Aku juga tak tahu siapa dia." David menunggu sementara Ashley berusaha mengendalikan diri. "Bagaimana dengan Deputi Blake?"
Ashley menggeleng. "Deputi Blake menginap di apartemenku malam itu untuk menjagaku. Ada orang yang membuntuti dan mengancamku. Aku tidur di kamarku, dan dia tidur di sofa di mang tamu. Mereka?mereka menemukan mayatnya di jalan kecil." Bibirnya bergetar. "Kenapa aku harus membunuhnya" Dia membantuku]"
David mengawasi Ashley, bingung. Ada yang
sangat tidak beres di sini, pikir David. Kalau dia tidak mengatakan yang sebenarnya, dia aktris yang sangat biar biasa. David bangkit "Aku akan kembali. Aku ingin bicara dengan Sheriff."
Dua menit kemudian, ia sudah berada di kantor Sheriff.
"Anda sudah bicara dengannya?" tanya Sheriff Dowling.
"Ya. Saya rasa Anda terburu nafsu, Sheriff."
"Apa maksudnya, Counselor?"
"Maksudnya Anda mungkin terlalu bersemangat melakukan penangkapan. Ashley Patterson bahkan sama sekali tidak-kenal dengan dua orang yang Anda tuduhkan dibunuh olehnya."
Senyum kecil menghias bibir Sheriff Dowling. "Dia berhasil memperdaya Anda juga, hah" Dia benar-benar membodohi kita semua."
"Apa yang Anda bicarakan?"
"Akan saya tunjukkan pada Anda, Mister." Ia membuka map di mejanya dan mengulurkan beberapa lembar kertas kepada David. "Ini salinan laporan labkrim, laporan FBI, laporan DNA, dan laporan Interpol tentang kelima laki-laki yang dibunuh dan dikebiri. Masing-masing korban berhubungan seks dengan seorang wanita sebelum dibunuh. Ada sisa-sisa cairan vagina dan sidik jari di semua TKP. Kesannya seakan ada tiga wanita yang terlibat. Nah, FBI meneliti dan membandingkan semua bukti ini, dan tebaklah apa hasilnya" Ketiga wanita ini ternyata Ashley Patterson, DNA dan sidik jarinya positif di semua pembunuhan."
David menatapnya tak percaya. "Apakah? apakah Anda yakin?"
"Ya. Kecuali Anda mau mempercayai bahwa Interpol, FBI, dan lima labkrim yang berbeda semua sepakat untuk menjebak klien Anda. Buktinya semua di sini, Mister. Salah sam dari yang dibunuhnya adalah adik ipar saya. Ashley Patterson akan diadili dengan tuduhan pembunuhan tingkat pertama, dan dia akan dijatuhi hukuman setimpal. Ada lagi?"
"Ya." David menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin ketemu Ashley Patterson lagi."
Mereka membawa kembali Ashley ke mang kunjungan. Ketika Ashley berjalan masuk, David bertanya marah, "Kenapa kau bohong padaku?"
"Apa" Aku tidak bohong. Aku tidak bersalah. Aku?"
"Mereka punya cukup banyak bukti yang mem-beratkanmu yang bisa membakarmu belasan kali. Aku kan sudah bilang aku ingin tahu yang sebenarnya."
Ashley memandangnya selama semenit penuh, dan ketika ia bicara, suaranya pelan dan tenang, "Aku mengatakan yang sebenarnya. Tak ada lagi yang bisa kukatakan."
Mendengarnya bicara, David berpikir, Dia benar-benar percaya pada apa yang dikatakannya. Aku bicara pada orang sinting. Apa yang bisa kukatakan pada Jesse Quiller"
"Maukah kau bicara dengan psikiater?"
"Aku tidak?Ya. Jika kau menginginkannya."
"Akan kuatur." Dalam perjalanan pulang ke San Francisco, David berpikir, Aku sudah memenuhi janjiku. Aku sudah bicara padanya. Jika dia beranggapan yang dikatakannya benar, dia betul-betul sinting. Akan kuserahkan dia pada Jesse, yang akan menyatakan bahwa kliennya tidak waras, dan kasus ini akan ditutup.
Ia kasihan sekali pada Steven Patterson.
Di San Francisco Memorial Hospital, Dr. Patterson menerima ucapan simpati dari rekan-rekan sesama dokter.
"Sungguh sayang, Steve. Tak semestinya kau mendapat musibah macam ini?"
"Pasti ini beban berat bagimu. Jika ada yang bisa kulakukan?"
"Aku tak bisa memahami anak-anak sekarang. Ashley selama ini kelihatan normal-normal saja"."
Dan di balik masing-masing ekspresi simpati itu ada pikiran yang sama: Untung saja bukan anakku.
Setiba kembali di kantor biro hukumnya, David bergegas menemui Joseph Kincaid.
Kincaid mendongak dan berkata, "Wah, sudah pukul enam lewat, David, tapi aku masih menunggumu. Kau sudah ketemu putri Dr. Patterson?"
"Sudah." "Dan sudahkah kau menemukan pengacara untuk j membelanya?"
mengatur agar ada psikiater yang memeriksanya. Aku akan menemuinya lagi besok pagi."
Jospeh Kincaid memandang David, heran. "Oh" Terus terang saja, aku heran kau terlibat sejauh ini. Tentunya kita tidak bisa melibatkan biro hukum kita dengan urusan semacam ini. Pengadilannya nanti akan mengerikan."
"Aku tidak benar-benar terlibat, Joseph. Hanya saja aku berutang budi besar pada ayahnya. Aku sudah berjanji padanya."
"Tidak di atas kertas, kan?"
"Tidak." "Jadi hanya obligasi moral?"
David menatapnya sejenak, hampir mengatakan sesuatu, kemudian tidak jadi. "Ya. Hanya obligasi moral."
"Nah, kalau urusanmu dengan Miss Patterson sudah beres, kita ketemu lagi dan bicara." Tak sepatah kata pun tentang kemitraan.
Ketika David tiba di rumah sore itu, apartemennya gelap. "Sandra?"
Tak ada jawaban. Ketika David mulai menyalakan lampu selasar, Sandra tiba-tiba muncul dari dapur, membawa kue dengan lilin-lilm menyala.
"Kejutan! Kita rayakan?" Sandra melihat ekspe-resi wajah David dan berhenti. "Ada yang tak beres, Sayang" Kau tidak berhasil mendapatkan kemitraan, David" Mereka menyerahkannya kepada orang lain?"
"Tidak, tidak," katanya menenangkan. "Semua-1 nya baik."
Sandra meletakkan kuenya dan mendekati suami-i nya. "Ada yang tak beres." "Cuma:., ditunda."
"Bukankah pertemuanmu dengan Joseph Kincaid j dijadwalkan hari ini?"
"Ya. Duduklah, Sayang. Kita harus bicara."
Mereka berdua duduk di sofa, dan David ber-j kata, "Ada perkembangan di luar dugaan. Steven ] Patterson datang menemuiku tadi pagi."
"Oh ya" Urusan apa?"
"Dia ingin aku menjadi pembela anaknya."
Sandra tercengang memandangnya. "Tapi, David" kau bukan?"
"Aku tahu. Sudah kucoba menjelaskan padanya. Tapi aku memang pernah praktek sebagai pengacara pidana." .
"Tapi sekarang kan tidak lagi." Apakah kau bilang padanya kau akan menjadi partner di biro hukummu?"
"Tidak. Dia ngotot bahwa aku satu-satunya yang bisa membela anaknya. Tidak masuk akal, memang. Aku sudah coba mengusulkan orang lain, seperti Jesse Quiller, tapi dia sama sekali tak mau dengar."
"Yah, dia harus cari orang lain."
Temu saja. Aku sudah berjanji-..akan bicara dengan anaknya, dan sudah kulakukan."
Sandra bersandar di sofanya. "Tahukah Mr. Kincaid soal ini?"
"Ya. Aku beritahu dia. Dia tidak begitu senang."
David menirukan suara Kincaid. ?"Tentunya kita tidak bisa melibatkan biro hukum kita dengan urusan semacam ini. Pengadilannya nanti akan mengerikan.?"
"Seperti apa sih anak Dr. Patterson?"
"Dia betul-betul percaya bahwa dia tidak bersalah."
"Mungkinkah itu?"
"Sheriff di Cupertino menunjukkan arsip gadis itu padaku. DNA dan sidik jarinya ada di semua tempat pembunuhan."
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?"
Suling Emas 20 Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie Kisah Membunuh Naga 40
^