Pencarian

Ceritakan Mimpi Mimpimu 1

Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon Bagian 1


CERITAKAN MIMPI-MIMPIMU Ada orang mengikutinya. Ia pernah membaca tentang penguntit, tapi mereka adanya di dunia lain, dunia yang penuh kekejaman. Ia tak punya bayangan siapa orangnya, siapa yang mungkin ingin mencelakainya. Ia berusaha sebisanya agar tidak panik, tetapi belakangan ini tidurnya dipenuhi mimpi-mimpi buruk mengerikan, dan setiap pagi ia terbangun merasa akan ada malapetaka menimpa.
Begitulah awal novel baru menegangkan Sidney Sheldon, Tell Me Your Dreams?Ceritakan Mimpi-mimpimu. Tiga wanita cantik ?Ashley, Toni, dan Alette?dicurigai melakukan pembunuhan berantai yang amat brutal. Poijgimenangkapsalah satu di antara mereka. Penangkapan ini berlanjut dengan sidang pembunuhan paling ajaib sepanjang abad dan pembelaan yang didasarkan pada bukti medis yang aneh tapi autentik. Cerita bergulir dari London ke Roma ke Quebec ke San Francisco, dengan klimaks yang membuat pembaca terpana. Layak jika Sidney Sheldon digelari "jago cerita pembuat kejutan", dan para pembaca setianya menyatakan novel barunya ini sebagai . novelnya yang paling inventif.
http://www.sidneysheldon.com
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Lt. 6 Jakarta 10270
T"f A V A XT AATAim Ml\f TiTXIT 1
rSanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. .Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
Sidney Sheldon CERITAKAN MIMPI-MIMPIMU Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1999
TELL ME YOUR DREAMS by Sidney Sheldon Copyright " 1998 by The Sidney Sheldon Family limited Partnership All rights reserved.
CERITAKAN MIMPI-MIMPIMU Alih bahasa: Listiana SrisantP GM 402 99.284 Hak cipta terjemahan Indonesia: - Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama JL Palmerah Selatan 24?26 Jakarta 10270 Desain sampul: Richard L. Aquan Ilustrasi digital sampul: Phil Hefferrnan/PHX Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota [KAPI, Jakarta, Maret 1999
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KUT)
SHELDON, Sidney Ceritakan Mi mpi-rcrirnpimu/Sidney Sheldon; alih bahasa, Listiana Srisanti?Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. 432 him. ; 18 cm.
Judul asli: Tell Me Your Dreams ISBN 979-655 - 284-1
L Judul U. Srisanti, listiana
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Ini adalah kisah fiktif yang berdasarkan kasus-kasus nyata
Bab 1 ADA yang mengikutinya. Ia pernah membaca tentang penguntit, tapi mereka adanya di dunia lain, dunia yang penuh kekejaman. Ia tak punya bayangan siapa orangnya, siapa yang ingin mencelakainya. Ia berusaha sebisanya untuk tidak panik, tetapi belakangan ini tidurnya dipenuhi mimpi-mimpi buruk mengerikan, dan setiap pagi ia terbangun merasa akan ada malapetaka menimpa. Mungkin semua ini cuma imajinasiku saja, pikir Ashley Patterson. Aku bekerja terlalu keras. Aku butuh liburan.
Ia menoleh menatap dirinya di cermin di kamarnya. Tampak bayangan wanita usia akhir dua puluhan, berpakaian rapi, berwajah aristokrat, langsing, dengan mata cokelat yang memancarkan inteligensi dan kecemasan. Ada kesan elegan, daya tarik yang tidak mencolok. Rambutnya yang berwarna gelap menjuntai ke bahunya. Aku benci tampangku, pikir Ashley. Aku terlalu kurus. Aku harus mulai makan lebih banyak Ia berjalan ke dapur dan menyiapkan
sarapan, memaksa pikirannya melupakan hal mengerikan yang sedang terjadi dan berkonsentrasi membuat omelet yang lezat, la menyalakan alat pembuat kopi dan memasukkan sehelai roti ke panggangan. Sepuluh menit kemudian, semuanya sudah siap. Ashley meletakkan sarapannya di atas meja dan duduk. Diambilnya garpu, ditatapnya sejenak sarapannya, kemudian digelengkannya kepalanya dengan putus asa. Ketakutan telah melenyapkan nafsu makannya.
Ini tak bisa berlarut-larut, pikirnya jengkel. Siapa pun dia, takkan kuizinkan dia melakukan ini padaku. Tidak akan.
Ashley melirik arlojinya. Sudah waktunya berangkat ke kantor. Ia memandang berkeliling apartemen yang sudah sangat dikenalnya, seakan mencari ketenangan darinya. Apartemennya didekorasi menarik, terletak di tingkat tiga di Via Camino Court, terdiri atas ruang tamu, kamar tidur, ruang kerja, kamar mandi, dapur, dan kamar tamu. Sudah tiga tahun ini ia tinggal di Cupertino, California. Sampai dua minggu yang lalu, Ashley menganggap apartemennya sarang yang nyaman, tempat berlindung yang hangat. Sekarang tempat ini sudah berubah menjadi benteng, yang tak bisa dimasuki orang yang berniat mencelakainya. Ashley berjalan ke pintu depan dan memeriksa kuncinya. Aku akan memasang gerendel, pikirnya. Besok. Dipadam-kannya semua lampu, diperiksanya kembali pintu, agar ia yakin benar-benar sudah dikunci, lalu turun lewat lift ke garasi bawah tanah.
Garasi kosong. Mobilnya terparkir kira-kira enam meter dari lift. Ia memandang berkeliling dengan
waspada, kemudian berlari ke mobilnya, masuk dan mengunci pintunya. Hatinya berdebar keras, la menuju ke pusat kota, di bawah langit mendung yang gelap dan suram. Laporan cuaca mengatakan hari akan hujan. Tapi takkan hujan, pikir Ashley. Matahari akan muncul. Kita tawar-menawar ya, Tuhan. Kalau tidak jadi hujan, berarti segalanya oke, segalanya cuma khayalanku saja.
Sepuluh menit kemudian, Ashley Patterson melaju di pusat kota Cupertino. Ia masih terpesona pada betapa besarnya perubahan yang telah dialami sudut kecil Santa Clara Valley ini. Terletak 80 kilometer di sebelah selatan San Francisco, di sinilah bermulanya revolusi komputer, dan dengan sendirinya tempat ini diberi julukan yang sesuai, Silicon Valley.
Ashley bekerja di Global Computer Graphics Corporation, perusahaan baru yang sukses dan berkembang pesat dengan dua ratus karyawan.
Saat Ashley membelok menuju ke Silverado Street, ada perasaan tak enak bahwa ia di belakangnya, mengikutinya. Tetapi siapa" Dan kenapa" Ia menatap lewat kaca spionnya. Semuanya kelihatan normal.
Tapi semua nalurinya berkata sebaliknya.
Di depan Ashley terbentang bangunan modern tempat Global Computer Graphics berkantor. Ia membelok ke tempat parkir, menunjukkan kartu
pengenalnya kepada penjaga, dan meluncur ke tempat parkirnya. Ia merasa aman di sini.
Saat ia keluar dari mobilnya, hujan mulai turun.
Pada pukul sembilan pagi, kegiatan di Global Computer Graphics sudah tinggi. Ada delapan puluh bilik, tempat para jagoan komputer, semuanya muda, semuanya sibuk membuat Web sites, mencintakan logo untuk perusahaan-perusahaan baru, membuat rancangan desain untuk perusahaan rekaman dan penerbit buku, serta menyusun ilustrasi untuk !" majalah-majalah. Lantai ruang kerja itu dibagi menjadi beberapa divisi: administrasi, penjualan, pemasaran, dan dukungan teknis. Suasananya santai. Para karyawan berjalan-jalan dengan jins, tank top, dan sweter.
Saat Ashley berjalan menuju ke mejanya, supervisornya, Shane Miller, menghampirinya. "Pagi, Ashley."
Shane Miller berusia awal tiga puluhan, besar dan tegap, penuh semangat, dan pribadinya menyenangkan. Awalnya dulu ia mencoba membujuk Ashley untuk tidur bersamanya, tetapi akhirnya ia menyerah dan mereka berdua menjadi teman baik.
Ia mengulurkan majalah Time edisi terbaru kepada Ashley. "Sudah lihat ini?"
Ashley memandang sampulnya. Tampak foto laki-laki terhormat berusia lima puluhan, dengan rambut keperakan. Teks yang menyertai foto itu berbunyi, "Dr. Steven Patterson, Father of Mini Heart Surgery."
"Aku sudah lihat?" *
"Bagaimana rasanya* punya ayah terkenal?" Ashley tersenyum. "Luar biasa." "Dia orang hebat."
"Akan kusampaikan kau bilang begitu. Kami akan makan siang bersama."
"Bagus. Ngomong-ngomong?" Shane Miller menunjukkan foto seorang bintang film yang akan mereka gunakan dalam iklan pesanan seorang klien. "Ada sedikit masalah. Berat badan Desiree naik sekitar lima kilo, dan sudah kelihatan. Lihat lingkaran-lingkaran hitam di bawah matanya. Bahkan dengan dipoles makeup pun, kulitnya bebercakT Kira-kira kau bisa mengatasi ini?"
Ashley mengawasi foto itu. "Matanya bisa kubereskan dengan memakai filter buram. Aku bisa mencoba menguruskan wajahnya dengan efek distorsi, tapi?Tidak. Jangan-jangan nanti dia malah kelihatan tua." Dipandangnya lagi foto itu. "Terpaksa harus kugunakan airbrush atau alat klon untuk beberapa bagian wajahnya."
"Trims. Sabtu nanti kita jadi?"
"Ya." Shane Miller mengangguk ke arah foto itu. "Tak perlu buru-buru. Mereka menginginkannya bulan
lalu." Ashley tersenyum. "Apa lagi yang baru?"
Ashley mulai bekerja. Ia ahli di bidang periklanan dan desain grafis, menciptakan perwajahan dengan teks dan gambar-gambar.
Setengah jam kemudian, ketika Ashley sedang sibuk memoles foto tadi, ia merasa ada yang mengawasinya. Ia mendongak. Dennis Tibbie.
"Pagi, Sayang."
Suaranya membuat Ashley grogi. Tibbie adalah genius komputer perusahaan itu. Ia dijuluki "The Fixer". Setiap kali ada komputer yang ngadat, Tibbie dipanggil. Usianya awal tiga puluhan, kurus, botak, sikapnya sok dan tidak menyenangkan. Terhadap wanita sikapnya obsesif, dan berita yang beredar di kantor itu adalah, ia sedang mengincar Ashley.
" "Perlu bantuan?" "Tidak, terima kasih."
"Hei, bagaimana kalau kita makan malam Sabtu nif
"Terima kasih. Aku sibuk." "Keluar dengan Bos lagi?" f - Ashley menoleh memandangnya, marah. "Bukan urusan.,.?"
"Aku tak bisa mengerti, apa sih istimewanya dia. Dia membosankan. Aku bisa lebih menyenang-kanmu." Tibbie mengedipkan matanya. "Tahu kan apa maksudku"*"
Ashley berusaha keras menahan kejengkelannya. "Aku sedang banyak kerjaan, Dennis."
Tibbie mencondongkan tabuh mendekatinya dan berbisik, "Ada yang akan kauketahui tentang aku, Manis. Aku tak pernah menyerah. Takkan pernah."
Ashley mengawasinya berjalan pergi, dan bertanya-tanya sendiri: Mungkinkah dia orangnya"
Pukul 12.30, Ashley mengistirahatkan komputernya dan berangkat ke Margherita di Roma. Di tempat itu ia berjanji bertemu ayahnya untuk makan siang bersama.
Ia duduk di meja sudut restoran yang penuh itu, mengawasi ayahnya yang mendatanginya. Ia harus mengakui bahwa ayahnya tampan. Orang-orang menoleh menatapnya saat ia berjalan menuju meja Ashley. "Bagaimana rasanya punya ayah terkenal?"
Beberapa tahun lalu Dr. Steven Patterson telah merintis bedah jantung dengan sayatan minimal. Ia terus-menerus diundang untuk memberi seminar di rumah-rumah sakit besar di seluruh dunia. Ibu Ashley meninggal ketika Ashley berusia dua belas tahun, dan ia tak punya siapa-siapa lagi kecuali ayahnya.
"Maaf, aku terlambat, Ashley." Ia membungkuk dan mengecup pipi Ashley.
"Tak apa-apa. Aku baru sampai."
Dr. Patterson duduk. "Kau sudah melihat majalah Time!"
"Sudah. Shane menunjukkannya padaku." Dahi Dr. Patterson mengernyit. "Shane" Bosmu?" "Dia bukan bosku. Dia?dia salah satu supervisor."
"Tidak baik mencampur bisnis dengan kesenangan, Ashley. Kau sering pergi dengan dia, kan" Salah itu."
"Ayah, kami cuma?"
Seorang pelayan datang ke meja mereka. "Anda
ingin memesan sekarang?"
Dr. Patterson menoleh kepadanya dan menukas pedas, "Kau tidak lihat kami sedang bicara" Pergi sampai kau dipanggil nanti."
"Ma?maaf." Pelayan itu berbalik dan bergegas pergi.
Ashley mengerut saking malunya. Ia telah lupa betapa tidak sabaran dan pemarahnya ayahnya. Ia pernah meninju seorang perawat dalam proses operasi, karena perawat itu salah perhitungan. Ashley ingat teriakan-teriakan pertengkaran antara ibu dan ayahnya waktu ia masih kecil dulu. Pertengkaran-pertengkaran itu membuatnya ketakutan. Orangtua-aya selalu mempertengkarkan hal yang sama, tapi betapa pun ia berusaha mengingatnya, Ashley tidak bisa mengingat tentang apa itu. Ia telah memblokirnya dari ingatannya
Ayahnya melanjutkan, seakan interupsi tadi tak ada. "Sampai mana kita" Oh ya. Kencan dengan Shane Miller itu salah. Salah besar."
Dan kata-katanya membawa kembali kenangan yang mengerikan.
Ashley bisa mendengar suara ayahnya berkata, "Kencan dengan Jim Cleary itu salah. Salah besar?"
Ashley baru memasuki usia delapan belas tahun dan tinggal di Bedford, Pennsylvania, tempat kelahirannya Jim Cleary adalah pemuda paling populer di Bedford Area High School. Ia anggota tim sepak bola sekolah, tampan, pandai bergaul, San senyumnya maut. Bagi Ashley tampaknya semua gadis di sekolah itu ingin tidur dengan Jim. Dan sebagian
besar mungkin sudah, pikirnya waktu itu, masam. Ketika Jim Cleary mulai mengajaknya kencan, ia bertekad tak akan mau tidur dengannya. Ashley yakin pemuda itu tertarik padanya hanya untuk seks. Tapi dengan berlalunya waktu, pendapatnya berubah. Ashley senang bersamanya dan Jim kelihatannya benar-benar menikmati kebersamaan mereka.
Musim dingin tahun itu, kelas senior berakhir minggu ke pegunungan untuk bermain ski. Jim Cleary suka sekali bermain ski.
"Kita akan senang," ia meyakinkan Ashley.
"Aku tak mau ikut."
Pemuda itu menatapnya dengan heran. "Kenapa?" "Aku benci udara dingin. Bahkan pakai sarung tangan pun jari-jariku tetap beku." "Tapi asyik sekali kalau?" "Aku tak mau ikut."
Dan pemuda itu tinggal di Bedford untuk menemaninya.
Minat mereka sama, demikian juga cita-cita mereka, dan mereka mengalami saat-saat sangat menyenangkan berdua.
Ketika Jim Cleary berkata pada Ashley, "Ada yang tanya padaku pagi ini apakah kau pacarku. Aku harus bilang apa?" Ashley tersenyum dan berkata, "Bilang ya."
Dr. Patterson cemas. "Kau terlalu sering ketemu si Cleary itu."
"Ayah, ia sangat sopan, dan aku mencintainya." "Bagaimana mungkin kau mencintainya" Dia
19 cuma pemain sepak bola. Takkan kuizinkan kau menikah dengan pemain sepak bola. Dia tak cukup baik untukmu, Ashley."
Ia selalu berkomentar begitu terhadap semua pemuda yang kencan dengannya.
Ayahnya terus-menerus melontarkan komentar yang meremehkan Jim Cleary, tetapi bom itu meledak pada malam perpisahan setelah mereka lulus SMU. Jim Cleary akan pergi bersama Ashley ke pesta perpisahan itu. Ketika ia datang menjemputnya, gadis itu sedang terisak.
"Ada apa" Apa yang terjadi?" "Ay?ayahku bilang - dia akan membawaku ke London. Dia telah mendaftarkanku di?di college di sana."
Jim Cleary kaget. "Dia melakukan ini karena hubungan kita, kan?"
Ashley mengangguk, sedih sekali. "Kapan kau berangkat?" "Besok pagi"
"Jangan! Ashley, demi Tuhan, jangan biarkan dia melakukan ini pada kita. Dengarkan aku. Aku ingin mengawinimu. Pamanku menawariku pekerjaan yang bagus di Chicago, di perusahaan periklanannya. Kita kabur. Temui aku besok pagi di stasiun. Ada kereta api yang berangkat ke Chicago jam tujuh pagi. Maukah kau pergi bersamaku?"
Ashley menatapnya lama dan menjawab lembut, "Ya."
Belakangan, kalau dipikir-pikir, Ashley santa sekali
tak ingat lagi bagaimana jalannya pesta perpisahan itu. Ia dan Jim melewatkan sepanjang malam itu dengan seru mendiskusikan rencana mereka.
"Kenapa kita tak terbang saja ke Chicago?" tanya Ashley.
"Karena kita harus menyerahkan nama kita pada perusahaan penerbangannya. Kalau kita naik kereta api, takkan ada orang yang tahu ke mana kita pergi."
Saat meninggalkan pesta, Jim Cleary bertanya lembut, "Maukah kau mampir ke rumahku" Orangtuaku ke luar kota akhir minggu ini."
Ashley ragu-ragu, hatinya tercabik. "Jim-., kita sudah menunggu selama ini. Beberapa hari lagi tak ada artinya."
"Kau benar." Jim nyengir. "Aku mungkin satu-satunya laki-laki di benua ini yang menikah dengan perawan."
Ketika Ashley tiba di rumah diantar Jim Cleary, Dr. Patterson sudah menunggu dengan berang. "Tahukah kalian jam berapa sekarang?" "Maaf, Sir. Pestanya?"
"Tak usah cari-cari alasan, Cleary. Pikirmu siapa aku ini, mau kaubodohi?" "Saya tidak?"
"Mulai sekarang, jangan coba-coba mendekati anakku lagi, mengerti?"
"Ayah?" "Kau jangan ikut campur." Dr. Patterson sudah berteriak sekarang. "Cleary, tinggalkan tempat ini dan jangan datang-datang lagi."
"Sir, anak Anda dan saya?"
?"Jim?" "Naik ke kamarmu." "Sir?"
"Kalau aku melihatmu di sekitar sini lagi, kuremukkan tulang-tulangmu."
Belum pernah Ashley melihat ayahnya semarah itu. Pertengkaran itu berakhir dengan semua berteriak-teriak. Ketika segalanya usai, Jim pulang dan Ashley bermandi air mata.
Takkan km&nkan ayahku melakukan ini padaku, pikir Ashley mantap. Dia mencoba menghancurkan hidupku. Ashley duduk di tempat tidurnya lama sekali Jan masa depanku. Aku ingin bersamanya. Tempatku tak lagi di sini. Ia bangkit dan mulai mengepak koper kecil. Setengah jam kemudian, Ashley menyelinap lewat pinta belakang dan me-: Huju rumah Jim Cleary, sekitar selusin blok dari rumahnya. Aku akan menginap di rumahnya malam ini, dan kami akan naik kereta api pagi ke Chicago. Tetapi setelah semakin dekat ke rumah Jim, Ashley berpikir, Tidak. Ini salah. Aku tak mau menghancurkan segalanya. Akan kujumpai dia di stasiun saja."
Dia berbalik dan pulang. Sepanjang sisa malam itu Ashley tidak tidur, la memikirkan betapa menyenangkannya hidupnya yang akan datang bersama Jim. Pukul 05.30 ia mengangkat kopernya dan berjalan tanpa suara melewati pintu kamar ayahnya yang tertutup, la
menyelinap keluar rumah dan naik bus ke stasiun. Setibanya di stasiun, Jim ternyata belum datang. Ia kepagian. Kereta apinya baru akan datang sejam lagi. Ashley duduk di bangku, menunggu dengan cemas. Ia membayangkan ayahnya terbangun dan mengetahui ia telah pergi, meledak marah.
Tapi aku tak bisa membiarkannya mengatur hidupku. Suatu hari nanti ia akan benar-benar mengenal Jim, dan ia akan menyadari betapa beruntungnya aku. 06.30" 06.40" 06.45" 06.50" Jim belum kelihatan juga. Ashley mulai panik. Apa yang terjadi" Ia memutuskan untuk menelepon Jim. Tak ada yang mengangkat teleponnya. 06.55" Dia akan muncul setiap saat. Ashley mendengar peluit kereta di kejauhan, dan ia memandang arlojinya 06.59. Kereta sudah berhenti di stasiun. Ashley bangkit dan memandang berkeliling dengan cemas. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi padanya. Mungkin ia kecelakaan. Ia dibawa ke rumah sakit. Beberapa menit kemudian, Ashley berdiri diam memandang kereta ke Chicago meninggalkan stasiun, membawa seluruh impiannya. Ia masih menunggu setengah jam dan mencoba menelepon Jim lagi. Tetap tidak ada yang mengangkat, maka ia pun berjalan pulang pelan-pelan, putus asa.
Siangnya, Ashley dan ayahnya sudah berada dalam pesawat ke London".
Ia kuliah selama dua tahun di London, dan ketika Ashley memutuskan untuk berkarier di bidang komputer, ia mendaftar ke program bergengsi Beasiswa
MEI Wang untuk Wanita di Bidang Teknik di University of California di Santa Cruz. Ia diterima, dan tiga tahun kemudian ia direkrut oleh Global Computer Graphics Corporation.
Awalnya, Ashley menulis sekitar enam surat kepada Jim Cleary, tetapi semuanya ia robek-robek. Sikap Jim dan diamnya telah memberitahu Ashley dengan jelas bagaimana perasaan pemuda itu terhadapnya.
Suara ayahnya membawa Ashley kembali ke masa
kini." "Kau melamun. Mernikirkan apa sih?" Ashley menatap ayahnya di seberang meja. "Tidak."
Dr. Patterson memanggil pelayan, tersenyum ramah kepadanya, dan berkata, "Kami siap memesan makanan sekarang."
Dalam perjalanan kembali ke kantornya, Ashley baru ingat bahwa ia lupa memberi selamat ayahnya atas penampilannya di sampul majalah Time.
Waktu Ashley berjalan ke mejanya, Dennis Tibbie sudah menunggunya. "Kudengar kau makan siang bersama ayahmu." Tukang nguping. Mau tahu terus apa yang terjadi di sekitarnya. "Ya, betul."
"Pasti membosankan." Ia merendahkan suaranya. "Kenapa kau tak pernah makan siang bersamaku?"
"Dennis" aku sudah pernah bilang. Aku tak tertarik."
Ia nyengir. "Nantinya kau akan tertarik. Tunggu saja."
Ada sesuatu yang mengerikan pada pria ini, sesuatu yang menakutkan. Ashley bertanya-tanya sendiri lagi kalau-kalau dialah orangnya yang" Ia menggeleng. Tidak. Ia harus melupakannya, melanjutkan hidupnya.
Dalam perjalanan pulang, Ashley berhenti dan memarkir mobilnya di depan Apple Tree Book House. Sebelum masuk ke toko itu, ia memandang bayangan di kaca untuk melihat apakah ada orang yang dikenalnya yang mengikutinya. Tak ada. Ia masuk.
Pemuda pelayan toko itu mendekatinya. "Bisa
saya bantu?" "Ya. Saya?Apa ada buku tentang penguntit?"
Pemuda itu menatapnya keheranan. "Penguntit?"
Ashley merasa seperti idiot. Cepat-cepat ia berkata, "Ya. Saya juga cari buku tentang?ehem? ?berkebun dan?dan binatang-binatang Afrika."
"Penguntit dan berkebun dan binatang-binatang Afrika?",
"Betul," sahutnya mantap.
Siapa tahu" Suatu hari nanti mungkin aku punya kebun dan aku berlibur ke Afrika.
Ketika Ashley kembali ke mobilnya, hujan mulai turun lagi. Ia mengendarai mobilnya. Tetes air hujan deras menimpa kaca depannya, memburamkan pandangan dan mengubah jalan-jalan di depannya
menjadi lukisan surealisme. Dihidupkannya wiper. Penyeka kaca itu mulai bergerak, berdesis, "Dia akan menangkapmu" menangkapmu" menangkapmu?" Cepat-cepat Ashley mematikannya. Tidak, pikirnya. Yang dikatakannya, "Tak ada yang mengikutimu, tak ada, tak ada."
Dihidupkannya lagi wiper. "Dia akan menangkapmu" menangkapmu" menangkapmu?"
Ashley memarkir mobilnya di garasi dan menekan tombol lift. Dua menit kemudian, dia sudah berjalan menuju apartemennya. Ia sudah tiba di depan pintu, memasukkan kunci ke lubangnya, membuka pintu, dan membeku.
Semua lampu di dalam apartemennya telah dinyalakan.
Bab 2 ALL around the mulberry bush, The monkey chased the weasel. The monkey thought "twas all in fun, Pop! goes the weasel."
"Mengelilingi semak beri, Si monyet mengejar si musang. Si monyet pikir cuma main-main, Pop! muncul si musang."
Toni Prescott tahu persis kenapa ia suka menyanyikan lagu anak-anak yang bloon itu. Ibunya membencinya. "Hentikan lagu bloon itu. Kau dengar tidak" Lagian, suaramu jelek "
"Ya, Bu." Dan Toni akan terus menyanyikannya, dengan berbisik. Kejadian itu sudah lama sekali, tetapi kalau ingat bagaimana ia membuat ibunya jengkel, ia masih berseri-seri.
Toni Prescott tidak suka bekerja di Global Com"
pater Graphics. Usianya 22, nakal, penuh semangat, dan nekat. Setengah membara dan setengah meletup. Wajahnya berhentak, hati, matanya yang hidup berwarna cokelat, tubuhnya menggiurkan. Ia lahir di London dan bicara dengan aksen Inggris yang memikat. Ia atletis dan suka olahraga, teristimewa olahraga musim dingin, seperti ski, meluncur dengan kereta salju, dan selancar es.
Selama kuliah di London, siang hari penampilan Toni konservatif, tetapi malam hari ia memakai rok mini dan dandanan disko serta menikmati kehidupan malam sepenuhnya. Malam-malamnya dilewatkannya di Electric Ballroom di Camden High Street, dan di Subterania dan Leopold Lounge, bergaul dengan rombongan West End yang trendi. . Suaranya bagus, bergairah dan sensual, dan di beberapa kelab ia akan bermain piano dan bernyanyi, dan para pemilik kelab itu akan menyemangatinya. Itulah saat-saat ia merasa paling hidup.
Rutinitas di kelab-kelab itu mengikuti pola yang sama:
"Tahukah kau bahwa kau penyanyi yang hebat, Toni?"
"Ta. Terima kasih."
"Boleh aku mentraktirmu minum?"
Ia tersenyum. "Pimm akan sangat menyenangkan."
"Dengan senang hati."
Dan adegan itu akan berakhir sama. Teman kencannya akan merapat ke tubuhnya dan berbisik
di telinganya, "Kenapa kita tidak ke flatku dan
bercinta?" "Minggir." Dan Toni akan segera meninggalkan kelab. Malam harinya ia akan berbaring di tempat tidurnya, memikirkan betapa bodohnya para laki-laki dan betapa mudahnya menguasai mereka. Kasihan, mereka tidak menyadarinya, tapi mereka ingin dikuasai. Mereka butuh dikuasai.
Kemudian ia pindah dari London ke Cupertino. Mulanya ini seperti malapetaka. Toni benci Cupertino dan ia sama sekali tak suka bekerja di Global Computer Graphics. Ia bosan setiap hari mendengar plug-in dan dpi dan halftone dan grid. Ia rindu sekali pada kehidupan malamnya yang menyenangkan di London. Hanya ada beberapa kelab malam di daerah Cupertino, dan Toni sering mengunjunginya: San Jose Live atau P.J. Mulligan atau Hollywood Junction. Ia memakai rok mini ketat dan tube top dengan sepatu terbuka berhak dua belas setengah senti atau sepatu datar dengan sol kayu tebal. Makeup-nya tebal?eyeliner gelap tebal, bulu mata palsu, eye shadow warna-warni, dan lipstik mencorong. Seakan ia ingin menyembunyikan kecantikannya.
Kadang-kadang, pada akhir minggu Toni akan naik mobil ke San Francisco. Di tempat itu baru seru. Ia mengunjungi restoran-restoran dan kelab yang ada panggung musiknya. Ia mengunjungi Harry
Denton"s dan restoran One Market dan California
Cafe, dan ketika para pemusik sedang beristirahat, Toni akan menuju piano, bermain dan bernyanyi. Para pengunjung senang sekali. Kalau Toni mau membayar makan malamnya, para pemilik restoran
akan berkata, "Tidak usah, ini tanggungan restoran
kami. Anda hebat sekali. Kami akan senang jika
Anda bisa datang lagi." Ibu dengar itu, Bu" "Anda hebat sekali. Kami
akan senang jika Anda bisa datang lagi."
Pada suatu Sabtu malam, Toni sedang makan malam di French Room di Cliff Hotel. Para pemusik telah selesai bermain dan meninggalkan panggung. Kepala pelayan memandang Toni dan mengangguk mengundang.
Toni bangkit dan menyeberang ruangan menuju ke piano. Ia duduk dan mulai bermain sambil menyanyikan lagu lama Cole Porter. Setelah selesai, terdengar aplaus meriah. Ia menyanyikan dua lagu lagi dan kembali ke mejanya.
Seorang pria paro-baya yang botak mendatanginya. "Maaf. Boleh saya bergabung sebentar?"
Toni sudah siap bilang tidak, ketika pria itu menambahkan, "Saya Norman Zimmerman. Saya sedang memproduksi The King and I untuk tur keliling. Saya ingin membicarakan ini dengan Anda."
Toni baru saja membaca artikel yang memuji-muji Zimmerman. Ia tokoh teater genius.
Pria-itu duduk. "Bakat Anda sangat luar biasa. Anda menyia-nyiakan waktu kalau cuma bermain-
30 main di tempat-tempat seperti ini. Anda seharusnya
berada di Broadway."
Broadway. Ibu dengar itu, Bu" "Saya ingin Anda ikut audisi untuk?" "Maaf. Saya tidak bisa." Pria itu menatapnya keheranan. "Ini bisa membuka banyak kesempatan untuk Anda. Sungguh. Saya rasa Anda tidak menyadari betapa berbakatnya Anda." "Saya punya pekerjaan." "Melakukan apa, kalau saya boleh tahu?" "Saya bekerja di perusahaan komputer." "Begini saja. Sebagai permulaan saya akan membayar dobel penghasilan Anda saat ini dan?"
Toni menukas, "Saya menghargainya, tapi saya" saya tak bisa."
Zimmerman bersandar di kursinya. "Anda tidak tertarik pada show business!" "Sangat tertarik." "Kalau begitu apa masalahnya?" Toni ragu-ragu, kemudian menjawab hati-hati, "Mungkin saya terpaksa harus mundur di tengah tur."
"Karena suami Anda atau??" "Saya belum menikah."
"Saya tidak mengerti. Anda bilang Anda tertarik pada show business. Ini kesempatan emas bagi Anda untuk?"
"Maaf. Saya tidak bisa menjelaskan."
Kalau kujelaskan pun, dia tidak akan mengerti,
31 pikir Toni sedih. Tak seorang pun akan mengerti. Ini kutukan yang harus kujalani. Seumur hidup.
Beberapa bulan setelah Toni bekerja di Global Computer Graphics, ia mendengar tentang Internet, pintu dunia untuk berkenalan dengan pria.
Ia sedang makan malam di Duke of Edinburg dengan Kathy Healy, temannya yang bekerja pada perusahaan komputer saingan. Restoran itu benar-benar pub ash Inggris yang dibongkar, dipak dalam kontainer dan dikirim dengan kapal ke California. Toni pergi ke sana jika ingin makan ikan dan kentang goreng Cockney, iga dengan puding Yorkshire, dan makanan-makanan serta minuman Inggris lainnya. Satu kaki berpijak tanah, katanya selalu. Aku harus ingat asalku.
Toni mendongak memandang Kathy. "Aku ingin minta bantuanmu."
"Sebut saja." "Aku perlu bantuanmu soal Internet, luv. Ajari aku bagaimana menggunakannya."
"Toni, satu-satunya komputer yang bisa kuakses adalah di tempat kerjaku, dan peraturan perusahaan melarang?"
"Peduli setan dengan peraturan perusahaan. Kau bisa menggunakan Internet, kan?" "Ya."
Toni membelai kepala Kathy Healy dan tersenyum. "Bagus."
Malam berikutnya, Toni pergi ke kantor Kathy Healy dan Kathy memperkenalkannya ke dunia
Internet. Setelah mengklik icon Internet, Kathy memasukkan password-nya dan menunggu sebentar
untuk disambungkan, kemudian mengklik icon lain dua kali dan masuk ke chat room?ruang untuk mengobrol. Toni duduk keheranan, memandang percakapan yang terketik cepat berlangsung di antara orang-orang di seluruh globe.
"Aku harus punya itu!" kata Toni. "Aku akan beli komputer untuk flatku. Maukah kau menolongku dan men-set up Internet untukku?"
"Beres. Gampang kok, cuma tinggal mengklikkan mouse-ma ke lajur URL, pilih salah satu, dan?"
"Seperti kata-kata dalam lagu, "Jangan katakan, tunjukkan."-"
Malam berikutnya, Toni sudah asyik main Internet, dan sejak saat itu hidupnya berubah. Ia tak lagi bosan. Internet menjadi karpet ajaib yang menerbangkannya ke seluruh penjuru dunia. Sepulang dari kantor, ia akan langsung menyalakan komputernya dan go on-line untuk menjelajahi berbagai chat room yang ada.
Sederhana sekali. Ia mengakses Internet, menekan tombol, dan jendela terbuka di layar, terpisah menjadi bagian atas dan bagian bawah. Toni mengetik, "Halo. Siapa di sana?"
Layar bagian bawah memunculkan kalimat, "Bob. Aku di sini. Aku menunggumu."
Toni siap menghadapi dunia.
Ada Hans di Holland: "Ceritakan tentang dirimu, Hans."
"Aku DJ di kelab hebat di Amsterdam. Aku suka hip-hop, rave, world beat. Sebut saja deh."
Toni mengetik jawabannya. "Hebat sekali kedengarannya. Aku suka dansa. Aku bisa dansa semalam suntuk. Aku tinggal di kota kecil yang payah, tidak ada apa-apa di sini, kecuali beberapa disko."
"Kedengarannya menyedihkan."
"Memang." "Bagaimana kalau kau kuhibur" Seberapa besar kemungkinan kita bertemu?" -"Dadah." Ia meninggalkan chat room itu.
Ada Paul, di Afrika Selatan:
"Aku sudah menunggumu muncul lagi, Toni."
"Aku di sini. Aku ingin sekali tahu segalanya tentang kau, Paul."
"Usiaku 32. Aku dokter di rumah sakit di Johannesburg. Aku?"
Toni dengan marah mematikan Internet-nya. Dokter! Kenangan mengerikan melandanya. Sesaat ia memejamkan mata, jantungnya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Cukup untuk malam ini, pikirnya, gemetar. Ia pergi tidur.
Malam berikutnya, Toni kembali asyik main Internet. Di layarnya muncul Sean dari Dublin:
"Toni" Nama yang cantik."
"Terima kasih, Sean."
"Pernahkah kau ke Irlandia?"
"Belum." "Kau akan menyukainya. Ini negeri kurcaci ajaib.
Coba ceritakan bagaimana rupamu, Toni. Berani
bertaruh, kau pasti cantik."
"Kau betul. Aku cantik, aku menyenangkan,
dan aku singel. Apa pekerjaanmu, Sean?" "Aku pelayan bar. Aku?" Toni mengakhiri sesi obrolan itu.
Setiap malam berbeda. Ada pemain polo di Argentina dan salesman mobil di Jepang, pramuniaga toko serbaada di Chicago, teknisi televisi di New York. Internet betul-betul arena permainan yang mengasyikkan, dan Toni menikmatinya sepenuh-penuhnya. Ia bisa pergi sejauh ia mau, dan ia tahu ia aman karena anonim.
Dan kemudian, suatu malam, di on-line chat room, ia bertemu Jean Claude Parent.
"Bon soir. Selamat malam. Aku senang ketemu kau, Toni."
"Senang kenalan denganmu, Jean Claude. Kau
di mana?" "Di Quebec City."
"Aku belum pernah ke Quebec. Apakah kira-kira aku akan senang di sana?" Toni mengharap jawaban ya akan muncul di layar.
Ternyata Jean Claude mengetik, "Aku tak tahu. Tergantung orang macam apa kau."
Bagi Toni jawabannya ini menggugah rasa ingin tahunya. "Begitu" Orang macam apa sebaiknya aku agar bisa menikmati Quebec?"
"Quebec seperti daerah perbatasan Amerika Utara" zaman dahulu. Sangat Prancis. Orang-orang Quebec
sangat mandiri. Kami tak suka diperintah orang lain."
Ioni mengetik, "Aku juga tidak." "Kalau begitu kau akan menyukai Quebec. Quebec kota yang indah, dikelilingi pegunungan dan danau-danau cantik, surga untuk berburu dan memancing."
Memandang kata-kata yang terketik di layarnya, Toni hampir bisa merasakan antusiasme Jean Claude. "Kedengarannya hebat. Ceritakan tentang dirimu."


Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Moi" Tak banyak yang bisa diceritakan. Usiaku 38, belum menikah. Baru saja putus hubungan, dan aku ingin berumah tangga dengan wanita yang cocok Et vous" Dan kau" Apakah kau sudah menikah?"
Toni balas mengetik, "Belum. Aku juga sedang mencari-cari nih. Kau kerja apa?"
"Aku punya toko perhiasan kecil. Kuharap kau mau datang menengok tokoku suatu hari nanti." "Apakah ini undangan?" "Mais out Ya."
Toni mengetik, "Kedengarannya menarik." Dan ia sungguh-sungguh dengan ucapannya itu. Mungkin aku akan menemukan jalan untuk ke sana, pikir Toni. Mungkin dia orang yang bisa menyelamatkanku.
Toni berkomunikasi dengan Jean Claude Parent hampir setiap malam. Ia telah men-scan fotonya, dan Toni ternyata menatap foto pria yang sangat menarik dan bertampang cerdas.
Ketika Jean Claude melihat kiriman balasan foto
Toni yang di-scan, ia menulis, "Kau cantik, ma cherie. Aku sudah tahu kau pasti cantik. Datanglah mengunjungiku."
"Suatu hari nanti."
"Segeralah." "Dadah." Toni mengundurkan diri.
Di tempat kerjanya keesokan paginya, Toni mendengar Shane Miller berbicara dengan Ashley Patterson dan berpikir, Apa sih yang dilihamya pada gadis itu" Dia membosankan sekali. Bagi Toni, Ashley adalah perawan tua putus asa yang sok suci. Dia sama sekali tak tahu bagaimana caranya bersenang-senang, pikir Toni. Toni melecehkan segala sesuatu tentang gadis itu. Ashley orang kuper yang senang tinggal di rumah malam hari dengan membaca buku atau nonton History Channel atau CNN. Ia tak punya minat di bidang olahraga. Membosankan! Ia tak pernah main Internet. Kenalan dengan orang-orang asing lewat komputer adalah sesuatu yang takkan pernah dilakukan Ashley. Si ikan beku. Dia tak tahu betapa ruginya dia, pikir Toni. Tanpa on-line chat room itu, aku takkan pernah ketemu Jean Claude.
Toni berpikir, betapa ibunya akan membenci Internet. Tapi ibunya membenci segalanya. Ia cuma punya dua cara berkomunikasi: berteriak atau merengek. Toni tak pernah bisa membuatnya senang. "Tak bisakah kau melakukan sesuatu dengan benar" Dasar anak bodoh!" Yah, ibunya kelewat
sering membentaknya. Ioni teringat kecelakaan mengerikan yang membuat ibunya meninggal. Masih terngiang di telinganya bagaimana ibunya menjerit-jerit minta tolong. Kenangan itu membuatnya tersenyum.
"A penny for a spool of thread, A penny-for a needle. That"s the way the money goes, Pop! goes the weasel."
"Satu penny untuk segulung benang, Satu penny untuk sebatang jarum. Untuk itulah uangnya, Pop! muncul si musang."
Bab 3 DI tempat lain, di waktu lain, Alette Peters bisa jadi pelukis terkenal. Sejauh yang bisa diingatnya, indranya dipenuhi nuansa warna. Ia bisa melihat warna, mencium warna, dan mendengar warna.
Suara ayahnya biru dan kadang-kadang merah.
Suara ibunya cokelat tua.
Suara gurunya kuning. Suara penjual sayur ungu.
Suara angin di antara pepohonan hijau.
Suara air mengalir abu-abu.
Alette Peters berusia dua puluh tahun. Ia bisa bertampang sederhana, menarik, atau cantik jelita, tergantung mood-nya atau bagaimana ia merasa saat itu. Yang jelas ia tak pernah hanya sekadar cantik. Sebagian dari daya tariknya adalah karena ia sama sekali tak menyadari kecantikannya. Ia pemalu dan suaranya pelan, dengan kelembutan yang nyaris tak sesuai lagi dengan zaman modem ini.
Alette lahir di Roma, dan nada bicaranya beraksen Italia yang melodius. Ia suka segalanya tentang Roma. Ia pernah berdiri di anak tangga paling atas Spanish Steps dan memandang ke arah kota dan merasa itu kotanya. Waktu ia memandang kuil-kuil kuno dan Colosseum, ia tahu seharusnya ia hidup di era itu. Ia berjalan-jalan di Piazza Navona, mendengarkan nyanyian air di Fountain of the Four Rivers dan berjalan sepanjang Piazza Venezia, dengan monumen kue pengantin untuk Victor Emanuel U. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di Basilika Santo Petrus, Museum Vatican, dan Borghese Gallery, menikmati karya-karya agung Raphael dan Fra Bartolommeo dan Andrea del Sarto dan Pontormo. Bakat mereka membuatnya kagum sekaligus frustrasi. Ingin sekali rasanya ia duahirkan di abad keenam belas dan bisa mengenal mereka. Mereka lebih riil bagi Alette daripada orang-orang yang lewat di jalan. Alette ingin sekali menjadi pelukis.
Ia bisa mendengar suara cokelat-tua ibunya, "Kau membuang-buang kertas dan cat. Kau tak punya bakat."
Kepindahan mereka ke California semula membuatnya gelisah. Alette cemas tentang bagaimana ia bisa menyesuaikan diri, tetapi ternyata Cupertino kejutan yang menyenangkan. Ia menikmati privasi yang ditawarkan kota kecil itu, dan ia senang bekerja di Global Computer Graphics Corporation. Tak ada galeri besar di Cupertino, tapi pada akhir
minggu, Allete pergi ke San Francisco untuk mengunjungi galeri-galeri di sana.
"Kenapa kau tertarik pada lukisan-lukisan itu?" tanya Toni padanya. "Ikutlah aku ke P.J. Mulligan. Kita bersenang-senang."
"Apakah kau tidak tertarik pada seni?"
Toni tertawa. "Tentu. Siapa nama lengkapnya?"
Cuma ada satu awan gelap yang menggantung dalam hidup Alette. Ia menderita manik-depresif. Ia menderita anomi, merasa disisihkan dari yang lain. Perubahan suasana, hatinya bisa begitu tiba-tiba, dalam sekejap ia bisa berubah dari luar biasa bahagia menjadi merasa sangat menderita. Ia sama sekali tak bisa mengontrol emosinya.
Toni-lah satu-satunya orang dengan siapa Alette bisa mendiskusikan masalahnya. Toni punya solusi untuk semua masalah, dan biasanya solusinya: "Ayo kita keluar dan bersenang-senang!"
Topik favorit Toni adalah Ashley Patterson. Ia sedang mengawasi Shane Miller berbicara dengan Ashley.
"Lihat tuh si Sok Suci," kata Toni menghina. "Ia ratu es."
Alette mengangguk. "Ia serius sekali. Harus ada yang mengajarinya tertawa."
Toni mendengus. "Harus ada yang mengajarinya tidur dengan cowok."
Sekali dalam seminggu, Alette pergi ke rumah penampungan para tunawisma di San Francisco dan
membantu melayani makan malam. Ada seorang wanita tua kecil yang selalu menunggu-nunggu kedatangan Alette. Ia memakai kursi roda, Alette membantu mendorongnya ke meja makan dan membawakan makanan hangat untuknya.
Wanita itu berkata penuh terima kasih, "Sayang, kalau aku punya anak perempuan, aku ingin sekali punya anak seperti kau."
Alette meremas tangannya. "Itu pujian yang luar biasa. Terima kasih." Dan hati. kecilnya berkata, Kalau kau punya anak perempuan, ia akan bertampang jelek persis kau. Dan Alette ngeri sendiri punya pikiran seperti itu. Seakan ada orang lain dalam dirinya yang mengucapkan kata-kata itu. Hal semacam itu sering terjadi.
Ia sedang berbelanja dengan Betty Hardy, sesama anggota gerejanya. Mereka berhenti di depan toko serbaada. Betty mengagumi gaun yang terpajang di etalase. "Bagus, ya?"
"Cantik," kata Alette. Itu gaun paling buruk yang pernah kulihat. Cocok untukmu.
Suatu malam, Alette makan malam dengan Ronald, penguras gerejanya. "Aku benar-benar senang bersamamu, Alette. Bagaimana kalau kita lebih sering lagi keluar bersama?"
Alette tersenyum malu-malu. "Baiklah." Dan ia berpikir, Non faccia, lo stupido?sudah jelek, bego lagi. Mungkin di kehidupan lain, bangsat. Dan lagi-lagi ia kaget sendiri. Kenapa sih aku ini" Dan ia tak punya jawaban.
Kalau ada yang meremehkannya sedikit saja,
disengaja atau tidak, Alette akan marah besar. Suatu hari waktu ia bermobil ke kantor, ada mobil yang memotong jalannya. Ia mengenakkan gigi dan berpikir, Kubunuh kau, bangsat. Pria pengemudi mobil itu melambai penuh permohonan maaf dan Alette tersenyum manis. Tapi hatinya masih membara.
Pada hari suramnya, ketika awan gelap menyelubunginya, Alette membayangkan orang-orang di jalan kena serangan jantung atau tertabrak mobil atau dijambret dan dibunuh. Kejadian-kejadian dalam angan-angannya itu rasanya nyata sekali. Sesaat kemudian, ia akan dipenuhi rasa malu.
Pada hari-hari baiknya, Alette orang yang lain sama sekali. Ia benar-benar baik hati, dan simpatik, serta senang menolong orang lain. Satu-satunya yang menodai kebahagiaannya adalah kesadarannya bahwa kegelapan akan menyelubunginya lagi, dan dia akan tak berdaya di dalamnya.
Setiap Minggu pagi, Alette ke gereja. Gerejanya punya program-progam sukarela untuk memberi makan para tunawisma, mengajar melukis sesudah jam sekolah dan memberi pelajaran tambahan pada murid-murid yang membutuhkannya. Alette menjadi guru sekolah Minggu dan membantu anak-anak balita. Ia menyediakan diri membantu semua kegiatan amal itu dan mengabdikan sebanyak mungkin waktunya sejauh ia bisa. Paling senang ia mengajar anak-anak melukis.
Suatu hari Minggu, gerejanya mengadakan bazar j untuk mengumpulkan dana, dan Alette membawa beberapa lukisannya ke gereja untuk dijual. Pastornya, Frank Selvaggio, kagum sekali melihat lukisan-lukisan itu.
"Ini?ini brilian! Seharusnya kau menjualnya di galeri."
Wajah Alette langsung merona merah. "Tidak. Saya hanya melukis untuk bersenang-senang.?"
Bazar itu ramai sekali. Umat gereja itu membawa teman-teman dan keluarga mereka. Mereka mendatangi stan-stan permainan maupun penjualan. Ada yang menjual kue berhias indah, quilt cantik yang dijahit tangan, selai buatan sendiri dalam botol-botol cantik, mainan dari kayu yang dipahat. Orang-orang berjalan dari stan ke stan, mencicipi permen, membeli barang-barang yang pada hari berikutnya sudah tak ada gunanya.
"Tapi ini kan untuk amal," Alette mendengar seorang wanita menjelaskan pada suaminya.
Alette memandang lukisan-lukisan yang telah dipajangnya di stan, sebagian besar pemandangan dengan warna-warna cerah yang seakan meloncat dari kanvasnya. Perasaannya cemas. "Kau ini membuang-buang uang saja, beli cat terus."
Seorang laki-laki mendatangi stannya. "Hai. Kaukah yang melukis ini semua?"
Suaranya biru tua. Bukan, goblok. Michelangelo mampir dan melukis ini. "Kau sangat berbakat."
"Terima kasih." Tahu apa kau tentang bakat"
Ada pasangan muda yang datang ke stan Alette. "Lihat warna-warna itu! Aku harus beli yang itu. Kau hebat sekali."
Sepanjang sore orang-orang datang ke stannya untuk membeli lukisannya dan menyampaikan kepadanya, betapa berbakatnya dia. Alette ingin sekali mempercayai mereka, tetapi setiap kali tirai hitam turun menutupinya, ia berpikir, Mereka semua ditipu.
Seorang pedagang lukisan mampir. "Lukisan-lukisan ini indah sekali. Kau seharusnya membisniskan bakatmu."
"Saya cuma pelukis amatir," Alette ngotot. Dan ia menolak mendiskusikannya lebih jauh lagi.
Pada akhir hari itu, Alette berhasil menjual semua lukisannya. Ia mengumpulkan uang yang telah dibayarkan orang-orang kepadanya, memasukkannya ke amplop, dan menyerahkannya kepada Pastor Frank Selvaggio.
Pastor menerimanya dan berkata, "Terima kasih, Alette. Bakatmu luar biasa, membawa banyak keindahan dalam hidup orang banyak."
Ibu dengar itu, Bu" Kalau Alette sedang di San Francisco, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengunjungi Museum of Modern Art, dan ia juga berkeliling di De Young Museum untuk mempelajari koleksi seni Amerika mereka.
Beberapa pelukis muda mereproduksi lukisan-lukisan yang tergantung di dinding museum. Salah seorang pelukis muda menarik perhatian Alette. Pemuda itu berusia akhir dua puluhan, ramping, rambutnya pirang, garis wajahnya kuat dan cerdas, la sedang mereproduksi lukisan Petunias karya George O"Keeffe, dan hasilnya benar-benar bagus. Pelukis itu melihat Alette mengawasinya. "Hai."
Suaranya kuning hangat. "Halo," balas Alette malu-malu.
Si pelukis mengangguk ke arah lukisan yang sedang digarapnya. "Bagaimana menurutmu?"
"Belissimo. Kurasa bagus sekali." Dan ia menunggu bati kecilnya berkata, Untuk amatir pemula. Tapi ternyata tidak terjadi. Ia heran sendiri. "Benar-benar bagus."
Pemuda itu tersenyum. "Terima kasih. Namaku Richard Richard Melton."
"Alette Peters."
"Kau sering ke sini?" tanya Richard. -M Sesering aku bisa. Aku tidak tinggal di San .Francisco."
"Kau tinggal di mana?"
"Di Cupertino." Bukan?"Bukan urusanmu" atau "Kau ingin tahu, ya?" tapi?"Di Cupertino." Apa yang terjadi padaku"
"Kota kecil yang menyenangkan."
"Aku suka kota itu." Bukan?"Apa yang membuatmu berpikir itu kota kecil yang menyenangkan?" atau "Tahu apa kau tentang kota kecil yang menyenangkan?" tapi?"Aku suka kota itu."
Pemuda itu sudah menyelesaikan lukisannya.
"Aku lapar. Boleh kutraktir makan siang" Cafe De Young makanannya enak."
Alette cuma ragu-ragu sejenak. "Va bene. Dengan senang hati." Bukan?"Tampangmu bloon" atau "Aku tak sudi makan siang dengan orang asing," tapi?"Dengan senang hati." Ini pengalaman baru yang menggembirakan bagi Alette.
Acara makan siang itu sangat menyenangkan dan tidak sekali pun pikiran negatif muncul dalam benak Alette. Mereka ngobrol tentang para pelukis besar, dan Alette bercerita pada Richard tentang masa kecilnya di Roma.
"Aku belum pernah ke Roma," katanya. "Mungkin suatu hari nanti."
Dan Alette berpikir, Asyik sekali kalau bisa ke Roma bersamamu.
Saat makan siang mereka hampir selesai, Richard melihat teman sekamarnya di seberang ruangan dan memanggilnya. "Gary, aku tak tahu kau akan ada di sini. Kenalkan temanku. Ini Alette Peters. Gary King."
Gary juga berusia akhir dua puluhan, dengan mata biru cerah dan rambut gondrong sebahu.
"Senang berkenalan denganmu, Gary."
"Gary sobatku sejak SMU, Alette."
"Yeah. Sudah sepuluh tahun kami bersama, jadi kalau kau ingin dengar cerita seru tentang?"
"Gary, bukankah kau harus pergi?"
"Betul." Ia menoleh kepada Alette." "Tapi jangan lupa tawaranku. Sampai ketemu lagi."
Mereka memandang Gary pergi. Richard berkata, "Alette?"
"Ya?" gpl "Boleh aku menemuimu lagi?" "Silakan." Aku akan senang sekali.
Senin pagi. Alette menceritakan pengalamannya pada Toni. "Jangan berhubungan dengan seniman," Toni memperingatkan. "Hidupmu akan tergantung dari lukisannya. Kau akan menemuinya lagi?"
Alette tersenyum. "Ya. Kurasa dia menyukaiku. Dan aku menyukainya. Aku benar-benar menyukainya."
Mulanya cuma perbedaan pendapat kecil saja, tapi berakhir dengan debat seru. Pastor Frank akan pensiun setelah melayani selama empat puluh tahun. Selama ini ia pastor yang baik dan penuh perhatian, dan umat sedih akan ditinggalkannya. Ada rapat-rapat rahasia untuk merundingkan apa sebaiknya hadiah perpisahannya. Arloji" uang" liburan" lukisan. Ia suka karya seni.
"Kenapa kita tidak minta seseorang membuat lukisan dirinya, dengan gereja sebagai latar belakangnya?" Mereka menoleh ke Alette. "Maukah kau mengerjakannya?" "Tentu saja," jawabnya riang. Walter Manning adalah salah satu anggota senior gereja itu dan juga salah satu kontributor terbesar. Ia pengusaha yang sangat sukses, tapi kelihatannya tidak suka kalau orang lain sukses. Ia
berkata, "Anak perempuanku pelukis yang baik. Mungkin sebaiknya dia yang melukis Pastor."
Ada yang mengusulkan, "Bagaimana kalau mereka-berdua melukisnya, dan nanti kita voting untuk menentukan mana yang akan kita hadiahkan pada Pastor Frank?"
Alette mulai bekerja. Lukisan itu diselesaikannya dalam lima hari, dan hasilnya benar-benar karya akbar. Tokoh yang ditampilkannya seakan memancarkan rasa belas kasihan dan kebaikannya. Hari Minggu berikutnya, rombongan itu berkumpul lagi untuk melihat hasil lukisan. Banyak pujian ^dilontarkan pada lukisan Alette.
"Hidup, sekali. Rasanya ia bisa berjalan keluar dari kanvas"."
"Oh, Pastor akan senang sekali"."
"Ini seharusnya dipajang di museum, Alette"."
Walter Manning membuka bungkus lukisan karya anak perempuannya. Lukisannya cukup baik, tapi tak ada nyala seperti yang ada pada lukisan Alette.
"Bagus sekali," salah satu anggota kongregasi berkata sopan, "tetapi kurasa lukisan Alette-^"
"Setuju?" "Lukisan Alette-lah yang sebaiknya?" Walter Manning bicara. "Keputusannya harus dengan suara bulat. Anakku pelukis profesional?" ia memandang Alette?"bukan cuma amatir. Ia melakukan ini sebagai sumbangan. Tentu tak bisa ditolak." "Tapi, Walter?"
"Tidak, Sir. Harus dengan suara bulat. Pilihan-cuma dua, kita hadiahi Pastor dengan lukisa anakku, atau tidak ada hadiah sama sekali."
Alette berkata, "Aku sangat menyukai lukisan, nya. Marilah kita hadiahkan kepada Pastor."
Walter Manning tersenyum puas dan berkata "Pastor akan senang sekali."
Dalam perjalanan pulang malam itu, Walter Manning meninggal dalam kecelakaan tabrak-lari. Mendengar berita itu, Alette terperangah.
Bab 4 ASHLEY PATTERSON sedang mandi buru-buru, ia kesiangan, ketika didengarnya bunyi itu. Pintu membuka" Menutup" Ia mematikan keran dus, mendengarkan, hatinya berdebar kencang. Sunyi. Sesaat ia berdiri diam saja, tubuhnya basah berkilau, kemudian cepat-cepat mengeringkan diri dan hati-hati melangkah ke dalam kamarnya. Segala sesuatu kelihatan normal. Rupanya imajinasiku yang berlebihan lagi. Aku harus buru-buru berpakaian. Ia berjalan ke laci pakaian dalamnya, menariknya terbuka, dan memandangnya tak percaya. Ada yang sudah mengaduk-aduk pakaian dalamnya. Bra dan celana dalamnya ditumpuk jadi satu. Ia biasanya menumpuknya terpisah dengan rapi.
Ashley tiba-tiba merasa mual. Apakah pria itu membuka celananya, mengambil celana dalam Ashley, lalu menggosokkannya ke tubuhnya" Apakah pria itu membayangkan memperkosanya" Memperkosa dan membunuhnya" Ia merasa sesak
napas. Aku seharusnya melapor ke polisi, tapi mereka akan menertawakanku.
Anda ingin kami menyelidiki ini karena Anda pikir ada laki-laki yang mengaduk-aduk laci pakaian dalam Anda"
Belakangan ini ada yang mengikuti saya.
Anda sudah lihat siapa dia"
Belum Apakah ada orang yang mengancam Anda" Tidak.
Tahukah Anda kenapa ada orang yang ingin mencelakai Anda" Tidak
Tak ada gunanya, pikir Ashley putus asa. Aku tak bisa melapor ke polisi. Mereka akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, dan aku akan kelihatan seperti orang totol.
Ia bergegas berpakaian, tiba-tiba saja ia ingin cepat-cepat meninggalkan apartemen. Aku harus pindah. Aku akan pergi ke tempat yang tak dapat dia temukan.
Tapi sambil memikirkannya pun ia merasa itu tak mungkin. Dia tahu di mana aku tinggal, dia tahu tempat kerjaku. Dan apa yang kuketahui tentang dia" Sama sekali tak ada.
Ia tak mau menyimpan senapan di apartemennya sebab ia membenci kekerasan. Tapi sekarang aku perlu perlindungan, pikir Ashley. Ia masuk ke dapur, mengambil pisau steak, membawanya ke kamar, dan. memasukkannya ke laci meja di sebelah tempat tidurnya.
Mungkin saja aku sendiri yang mengaduk-aduk pakaian dalamku. Mungkin itu yang terjadi. Ataukah harapanku ini terlalu muluk"
Ada amplop dalam kotak suratnya di lorong pintu masuk di bawah. Pengirimnya "Bedford Area High School, Bedford, Pennsylvania."
Ashley membaca undangan itu dua kali.
Reuni Sepuluh Tahunan! Vang kaya, yang miskin, gelandangan, pencuri! Pernahkah kau penasaran, ingin tahu apa yang terjadi pada teman-temanmu selama sepuluh tahun belakangan ini" Sekaranglah kesempatan untuk mendapatkan jawabannya. Akhir minggu tanggal 15 Juni kita akan kumpul-kumpul seru. Makan, minum, musik, dan dansa. Jangan sampai tidak ikutan.
Kirimkan saja kartu penerimaan terlampir ini, supaya kami tahu kau mau datang. Semua menunggu-nunggu ingin berjumpa denganmu.
Dalam perjalanan ke kantornya, Ashley memikirkan undangan itu. "Semua menunggu-nunggu ingin berjumpa denganmu." Semua, kecuali Jim Cleary, pikirnya pahit.
"Aku ingin menikahimu. Pamanku menawariku pekerjaan bagus di Chicago di perusahaan periklanannya". Ada kereta yang berangkat ke Chicago jam tujuh pagi. Maukah kau pergi bersamaku?"
Dan Ashley teringat kepedihan hatinya saat menunggu Jim di stasiun dengan putus asa, padahal ia
begitu mempercayainya. Jim telah berubah pikiran, dan ia tak cukup jantan untuk datang dan memberitahunya. Ia malah membiarkannya kebingungan di stasiun kereta api. sendirian. Lupakan saja undangan itu. Aku tak akan pergi
Ashley makas siang bersama Shane Miller di TGI Friday"s. Mereka duduk di pojok, makan tanpa bicara.
"Kelihatannya kau punya masalah," kata Shane.
"Son," Ashley ragu-ragu sejenak. Ia tergoda untuk menceritakan soal pakaian dalam itu pada Shane, tapi rasanya akan kedengaran bego. Ada yang mengaduk-aduk pakaian dalammu" Maka alih-alih bercerita, ia berkata, "Aku menerima undangan reuni sepuluh tahunan SMU."
"Kau akan datang?"
"Jelas tidak." Jawabannya terdengar lebih keras daripada yang dimaksudkan Ashley.
Shane Miller memandangnya heran. "Kenapa tidak" Reuni seperti itu bisa mengasyikkan lho."
Apakah Jim Cleary akan datang" Apakah ia punya istri dan anak" Apa yang akan dikatakan Jim kepadanya" "Maaf, aku tak bisa datang menemuimu di stasiun. Maaf, aku bohong berkata akan menikahimu?"
"Aku takkan datang."
Tetapi Ashley tak berhasil mengusir undangan itu dari benaknya Asyik juga sih ketemu beberapa
teman sekelasku dulu, pikirnya. Ada beberapa teman yang dekat dengannya. Salah satunya adalah Florence Schiffer. Bagaimana ya kabarnya dia" Dan ia juga bertanya-tanya sendiri apakah kota Bedford telah berubah.
Ashley Patterson dibesarkan di Bedford, Pennsylvania, kota kecil dua jam perjalanan dari Pittsburgh ke arah timur, di pelosok Allegheny Mountains. Ayahnya dulu kepala Memorial Hospital of Bedford County, salah satu dari seratus rumah sakit top di negaranya.
Dibesarkan di Bedford sangat menyenangkan. Ada taman-taman untuk piknik, sungai-sungai tempat memancing, dan kegiatan sosial sepanjang tahun. Ashley senang mengunjungi Big Valley. Di sana ada koloni Amish. Sudah pemandangan biasa melihat kuda-kuda menarik kereta Amish dengan atap berwarna-warni, warna yang tergantung pada tingkat keortodoksan pemiliknya. Ada malam-malam mengesankan saat mengunjungi Mystery Village, teater, dan Great Pumpkin Festival. Ashley tersenyum mengingat saat-saat indahnya di sana. Mungkin aku akan kembali, pikirnya Jim Cleary tak akan punya nyali untuk muncul.
Ashley memberitahukan keputusannya kepada Shane Miller. "Jumat depan," katanya. "Aku akan kembali Minggu malam."
"Bagus. Beritahu aku jam berapa kau tiba. Kujemput kau di bandara."
"Terima kasih. Sh Ketika Ashley kembali dari makan siang, ia kembali ke tempatnya dan menyalakan komputernya. Betapa herannya ia. bintik-bintik tiba-tiba bergulung memenuhi layar komputernya. Ia menatapnya, kebingungan. Bmtik-bintik itu mulai membentuk fotonya. Saat Ashley masih menatap dengan ngeri, muncul tangan yang memegang pisau jagal di atas layar. Tangan itu berlari menuju gambarnya, siap menusukkan pisau ke dadanya. Ashley menjerit, "Tidak!" Ia mematikan monitor dan meloncat berdiri. Shane Miller yang bergegas datang sudah berada di sampingnya. "Ashley! Ada apa?" Ashley gemetar. "Di" di layar?" Shane menyalakan komputer. Muncul gambar anak kucing yang sedang mengejar segelondong benang di padang rumput hijau.
Shane menoleh memandang Ashley, bingung. "Apa?T "Sudah?sudah lenyap," bisiknya. "Apa yang lenyap?"
Ashley menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku" aku stres berat belakangan ini, Shane. Sori."
"Kenapa kau tidak konsultasi dengan Dr. Speakman?"
Ashley sudah ke Dr. Speakman sebelumnya. Ia psikolog perusahaan yang ditugasi menangani para ahli komputer yang stres. Ia bukan dokter umum,
tapi ia pandai dan penuh pengertian, dan sungguh membantu kalau ada orang yang bisa diajak bicara. "Aku akan ke tempatnya," kata Ashley.
Dr. Ben Speakman berusia lima puluhan, kebapakan dalam usianya yang masih cukup muda. Kantornya merupakan oasis tenang di ujung gedung, suasananya santai dan nyaman.
"Semalam aku bermimpi," kata Ashley. Ia memejamkan mata, mengingat kembali mimpinya. "Aku sedang berlari. Aku berada di taman yang luas penuh bunga-bunga" Bunga-bunga itu punya wajah, aneh-aneh dan jelek" Mereka berteriak-teriak padaku" Aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Aku terus berlari menuju sesuatu" Aku tak tahu apa"." Ia berhenti dan membuka matanya.
"Mungkinkah kau melarikan diri dari sesuatu" Adakah yang mengejar-ngejarmu?"
"Aku tak tahu. Aku?kurasa aku diikuti orang, Dr. Speakman. Kedengarannya gila, tapi?kurasa ada orang yang ingin membunuhku."
Sesaat Dr. Speakman mengawasinya. "Siapa yang ingin membunuhmu?"
"Aku?aku tak tahu."
"Kau pernah melihat orang yang mengikutimu?"
"Tidak." "Kau tinggal sendirian, kan?"
"Ya." "Apakah kau punya hubungan khusus dengan seseorang" Maksudku, hubungan cinta?"
"Tidak. Saat ini tidak."
"Jadi, sudah beberapa waktu sejak?maksudku kadang-kadang jika seorang wanita tidak punya pria dalam hidupnya?yah, sejenis ketegangan fisik bisa timbul"."
Ia mencoba memberitahuku bahwa aku perlu hubungan se?Ia tak sanggup mengucapkan kata itu. Terngiang di telinganya bentakan kemarahan ayahnya, "Jangan sekali-kali lagi mengucapkan kaki itu. Orang akan mengira kau pelacur. Orang baik-baik tidak bilang soal seks. Dari mana kau dapat kata-kata kotor itu?"
"Kurasa kau bekerja terlalu keras, Ashley. Kurasa tak ada yang perlu kaucemaskan. Mungkin cuma ketegangan biasa. Santailah sedikit. Beristirahatlah lebih banyak lagi."
"Akan kucoba." Shane Miller sudah menunggunya. "Apa kata Dr. Speakman?"
Ashley berusaha tersenyum. "Dia bilang aku baik-baik saja. Aku cuma bekerja terlalu keras."
"Nah, kita harus melakukan sesuatu untuk itu," kata Shane. "Sebagai permulaan, bagaimana kalau kau istirahat saja selama sisa hari ini?" Suaranya penuh perhatian.
"Terima kasih." Ashley memandangnya dan tersenyum. Ia laki-laki yang menyenangkan. Teman yang baik.
Tak mungkin dia, pikir Ashley. Tak mungkin. Selama seminggu berikutnya, tak ada lain yang
bisa dipikirkan Ashley selain reuni. Salahkah kalau aku pergi nanti" Bagaimana jika Jim Cleary muncul" Tahukah dia betapa dia telah menyakitiku" Pedulikah dia" Akankah dia ingat aku" .
Malam sebelum Ashley berangkat ke Bedford, ia tak bisa tidur. Ia tergoda untuk membatalkan penerbangannya. Bodoh betul, pikirnya. Yang sudah lalu biarlah berlalu.
Ketika mengambil tiketnya di bandara, Ashley mengamatinya dan berkata, "Maaf, saya rasa ada kekeliruan. Saya pesan kelas turis. Ini tiket kelas utama."
"Ya, Anda sendiri yang mengubahnya."
Ashley memandang petugas itu. "Saya kenapa?"
"Anda menelepon dan meminta agar tiket Anda diubah menjadi tiket kelas utama." Ia menunjukkan secarik kertas pada Ashley. "Ini nomo/ kartu kredit Anda?"
Ia memandangnya dan menjawab pelan, "Ya?" Ia tidak menelepon.
Ashley tiba di Bedford pagi-pagi dan check in di Bedford Springs Resort. Kegiatan reuni baru akan mulai pukul enam petang itu, maka ia memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kota. Ia memanggil taksi di depan hotel.
"Ke mana, Miss?"
"Keliling-keliling saja."
Kampung halaman biasanya kelihatan lebih kecil jika penduduknya kembali beberapa tahun kemudian. Tetapi bagi Ashley, Bedford kelihatannya lebih
59 besar daripada yang diingatnya. Taksi melewati jalan-jalan yang dikenalnya, lewat di depan kantor Bedford Gazette, stasiun televisi WKYE, serta selusin restoran dan galeri seni yang familier. Baker"s Loaf of Bedford masih ada, juga Clara"s Place, Ford Bedford Museum, dan Old Bedford Village. Mereka melewati Memorial Hospital, bangunan tiga tingkat yang anggun dengan serambi bertiang-tiang. Di situlah ayahnya menjadi terkenal.
Ia teringat lagi pertengkaran antara ayah dan ibunya yang diwarnai teriakan-teriakan. Pertengkaran itu selam tentang satu hal yang sama. Tentang apa" Ia tak bisa ingat
Pukul lima Ashley kembali ke kamar hotelnya. Ia berganti baju tiga kali sebelum akhirnya memutuskan gaun mana yang akan dipakainya. Ia memilih gaun hitam sederhana, tapi tampak indah.
Ketika memasuki aula Bedford Area High School yang didekorasi meriah, Ashley berada dalam kerumunan 120 orang asing yang serasa dikenalnya. Beberapa mantan teman sekelasnya sama sekali tak bisa dikenali, yang lain hanya berubah sedikit. Ashley mencari satu orang: Jim Cleary. Apakah ia sudah banyak berubah" Ikutkah istrinya" Orang-orang mendekati Ashley,
"Ashley, aku Trent"Watterson. Kau keren sekali!"
"Terima kasih. Kau juga, Trent."
"Kenalkan, istriku"."
"Ashley, kau Ashley, kan?"
"Ya. Mmm?" "Art. Art Davies. Ingat aku?"
"Tentu saja." Pakaiannya buruk dan ia kelihatannya salah tingkah.
"Bagaimana kabarnya, Art?"
"Yah, kau tahu kan, aku ingin jadi insinyur, tapi tidak kesampaian."
"Aku ikut prihatin."
"Yeah. Akhirnya aku jadi montir."
"Ashley! Aku Lenny Holland. Astaga, kau cantik betul!"
"Terima kasih, Lenny." Pria itu sudah bertambah gemuk dan memakai cincin berlian besar di kelingkingnya.
"Aku bisnis real estat sekarang. Kau sudah menikah?"
Ashley ragu-ragu. "Belum."
"Ingat Nicki Brandt" Kami menikah. Kami punya anak kembar."
"Selamat." Sungguh mengherankan betapa orang bisa berubah dalam sepuluh tahun. Ada yang jadi gemuk dan ada yang jadi kurus" kaya raya dan miskin. Menikah dan cerai" jadi orangtua dan kehilangan
orangtua. Waktu berjalan terus. Acara dilanjutkan dengan makan malam, musik, dan dansa. Ashley ngobrol dengan mantan teman-teman sekelasnya dan mendengarkan kisah hidup mereka, tapi pikirannya
dipenuhi Jim Cleary. Ia masih belum kelihatan batang hidungnya. Dia takkan datang, Ashley memutuskan. Dia tahu aku akan ada di sini dan dia takut menghadapikiL
Seorang wanita berwajah menarik mendekatinya. ?"Ashley! Aku berharap akan ketemu kau." Ia Florence Schiffer. Ashley benar-benar senang bertemu dengannya Florence dulu salah satu teman dekatnya Mereka berdua duduk di meja kosong di sudut untuk mengobrol. "Kan kelihatan keren, Florence," kata Ashley. "Kau juga Sori aku telat. Bayiku kurang enak badan. Sejak terakhir kita ketemu, aku sudah menikah dan cerat Sekarang aku lagi pacaran dengan Mr. Wonderful. Bagaimana denganmu" Setelah pesta perpisahan dulu, kau menghilang. Aku mencoba mencarimu, tapi kau telah meninggalkan Bedford."
"Aku ke London," kata Ashley. "Ayahku mendaftarkanku di college di sana. Kami berangkat pagi setelah pesta perpisahan itu."
"Aku mencoba segala cara untuk menghubungimu. Para detektif itu mengira aku tahu kau di mana. Mereka mencarimu sebab kau dan Jim Cleary kan pacaran."
Ashley berkata pelan, "Detektif f
"Ya. Yang menyelidiki pembunuhan itu."
Ashley merasa darah menghilang dari wajahnya. "Pem" pembunuhan apa?"
Florence bengong menatapnya. "Ya Tuhan! Kau tak tahu?"
"Tahu apa?" Ashley menuntut. "Kau ini ngomong
apa?" "Sehari setelah pesta perpisahan itu, orangtua Jim pulang dan menemukan mayatnya. Ia ditusuk sampai meninggal dan" dikebiri."
Ruangan serasa berputar. Ashley memegangi tepi meja. Florence mencengkeram lengannya.
"Sori" sori, Ashley. Kukira kau sudah membaca tentang itu, tapi tentu saja" kau sudah di London."
Ashley memejamkan matanya rapat-rapat Teringat olehnya ia menyelinap keluar malam itu* menuju rumah Jim Cleary. Tapi ia berbalik dan
pulang, untuk menunggunya paginya saja. Kalau saja aku jadi ke rumahnya, pikir Ashley merana, mungkin ia masih hidup. Padahal selama bertahun-tahun ini aku sudah membencinya. Oh, Tuhan. Siapa yang membunuhnya " Siapa?"
Terngiang di telinganya suara ayahnya, "Jangan coba-coba mendekati anakku, mengerti" "Kalau kulihat kau muncul lagi di sini, kuremukkan semua tulangmu."
Ashley bangkit berdiri. "Maafkan aku, Florence. Aku?aku tidak enak badan." Dan Ashley kabur.
Para detektif. Mereka pasti menghubungi ayahnya. Kenapa ia tidak memberitahuku "
Ia naik pesawat pertama yang berangkat ke California. Menjelang pagi baru ia tertidur. Ia mimpi buruk. Ada sosok berdiri dalam gelap, menusuk-
?osuk h* berteri-"riak padunya. Sosok i melangkah ke bawah cahaya. Ternyata ayahnya.
itu Bab 5 BEBERAPA bulan berikutnya sungguh bulan-bulan penuh derita bagi Ashley. Bayangan tubuh Jim Cleary yang bermandi darah dan terpotong-potong selalu muncul dalam benaknya. Terpikir olehnya untuk menemui Dr. Speakman lagi, tapi ia tahu ia tak akan berani mendiskusikan ini dengan siapa pun. Ia bahkan merasa bersalah hanya karena memikirkan bahwa ayahnya mungkin telah melakukan hal mengerikan itu. Dicobanya mengusir pikiran itu dan berkonsentrasi pada pekerjaannya. Tidak mungkin. Dengan kecewa dipandangnya logo yang baru saja ia kacaukan.
Shane Miller mengawasinya, cemas. "Kau tak apa-apa, Ashley?" Ia memaksa diri tersenyum. "Aku baik-baik saja." "Aku ikut prihatin mendengar tentang temanmu." Ia telah menceritakan soal Jim pada Shane. "Aku?aku akan bisa mengatasinya."
Bagaimana kalau kita makan berdua malam
ini?" Terima kasih, Shane, Aku?aku sedang malas Minggu depan deh." "Baik. Kalau ada yang bisa kulakukan?" "Kuhargai perhatianmu. Tak ada yang bisa melakukan apa-apa."
Toni berkata pada Alette, "Si Sok Suci lagi punya masalah. Rasain."
"Aku merasa displace?kasihan padanya. Masalahnya kelihatannya berat."
"Biarkan saja. Kita semua kan punya masalah."
Saat Ashley akan meninggalkan kantor suatu hari Jumat, Dennis Tibbie menghentikannya. "Hei, Manis, aku perlu bantuan." "Maaf, Dennis, aku?"
"Ayolah. Santai sedikit!" Ia memegang lengan Ashley. "Aku perlu nasihat dari sudut pandang wanna."
"Dennis, aku tidak?"
"Aku jatuh cinta pada seorang gadis, dan aku ingin menikahinya, tapi ada masalah. Maukah kau membantuku?"


Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ashley ragu-ragu. Dia tidak menyukai Dennis Tibbie, tapi membantunya toh tidak ada salahnya. "Bisakah menunggu sampai besok?"
"Aku perlu bicara denganmu sekarang. Penting sekali."
Ashley menarik napas dalam, "Baiklah." "Bisakah kita ke apartemenmu?"
Ashley menggeleng. "Tidak." Pasti akan susah
menyuruhnya pergi. "Maukah kau mampir ke tempatku?"
Ashley ragu-ragu. "Baiklah." Dengan begitu aku bisa pulang kapan saja aku mau. Kalau aku bisa membantunya mendapatkan gadis yang dicintainya, mungkin dia takkan menggangguku lagi
T6ni berkata kepada Alette. "Astaga! Si Sok Suci akan ke apartemen si Bloon. Bego benar cewek itu. Ke mana otaknya?"
"Dia hanya akan mencoba membantunya. Kan tidak apa-apa?"
"Ah, Alette, kapan sih kau dewasa" Cowok itu kan mau tidur dengannya."
"Non va. Non si fa cost Mana bisa."
"Aku tak bisa ngomong yang lebih tepat."
Apartemen Dennis Tibbie didekorasi ala mimpi buruk gaya baru. Poster-poster film horor ditempel di dinding, bersebelahan dengan poster cewek-cewek telanjang dan binatang-binatang buas yang sedang melahap mangsanya. Pahatan kayu erotis kecil-kecil bertebaran di atas meja-mejanya.
Ini apartemen orang gila, pikir Ashley. Ia sudah tak sabar ingin meninggalkan tempat itu.
"Hei, aku senang kau mau datang, Sayang. Aku sungguh menghargai ini. Kalau?"
?"Aku tak bisa lama-lama, Dennis," Ashley memperingatkan. "Ceritakan tentang gadis yang kau-
"Dia betul-betul istimewa." Dennis mengulurkan rokok. "Rokok?"
"Aku tidak merokok." Diawasinya Dennis menyalakan rokoknya.
"Bagaimana kalau minum?"
"Aku tidak minum minuman keras."
Dermis menyeringai. "Kau tidak merokok, kau tidak minum. Tinggal kegiatan yang menyenangkan dong. kalau begitu?"
la menukas tajam. "Dermis, kalau kau tidak?"
"Cuma bergurau." Dennis berjalan ke bar dan menuang anggur. "Minumlah sedikit saja. Takkan membuatmu mabuk." Diulurkannya gelas anggur ku.
Ia menyeruput sedikit anggurnya. "Ceritakan tentang Miss Right"
Dennis Tibbie duduk di sofa di sebelah Ashley. "Belum pernah aku ketemu gadis seperti dia. Dia seksi seperti kau dan?" *>
"Kalau kau macam-macam, aku pulang." "Hei, maksudku tadi kan memujimu. Pendeknya, gadis itu cinta banget padaku, tapi ayah dan ibunya aktif di kegiatan sosial dan mereka membenciku." Ashley tidak berkomentar. "Jadi masalahnya, jika aku mendesaknya, dia akan menikah denganku, tapi dengan demikian dia melawan keluarganya. Hubungan mereka sangat dekat dan kalau aku menikahinya, keluarganya takkan mengakuinya. Dan suatu hari nanti, dia mungkin akan menyalahkanku. Kau paham masalahnya?"
Ashley menyeruput anggurnya lagi. "Ya, aku?" Sesudah itu waktu serasa menghilang dalam kabut
Ashley terbangun pelan-pelan, menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat tidak beres. Ia merasa telah diberi obat bius. Untuk membuka mata saja susah sekali. .Ashley memandang ke sekeliling ruangan dan ia mulai panik. Ia terbaring di atas tempat tidur, telanjang,, di kamar hotel murahan. Ia berhasil duduk, dan kepalanya serasa dipukul-pukul. Ia sama sekali tak tahu ia ada di mana atau bagaimana cara ia bisa berada di situ. Ada menu room service di meja di sebelah tempat tidurnya dan diulurkannya tangan menjangkaunya. The Chicago Loop Hotel. Sekali lagi ia membacanya, terperangah. Ngapain aku di Chicago" Sudah berapa lama aku di sini" Kunjungan ke apartemen Dennis Tibbie hari Jumat. Sekarang hari apa" Dengan kecemasan yang semakin memuncak diangkatnya telepon.
"Ada yang bisa dibantu?" Susah bagi Ashley untuk bicara. "Hari?hari apa sekarang?" "Hari ini tanggal tujuh belas?" "Bukan. Maksud saya hari ini hari apa?" "Oh. Ini hari Senin. Bisakah saya?" Ashley meletakkan kembali gagang telepon dengan bengong. Senin. Ia telah kehilangan dua hari dua malam. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba mengingat-ingat. Ia telah pergi ke apartemen Dennis
Tibbte.. Oik minum segelas anggur" Setelah itu segalanya kosong.
Laki-laki itu telah memasukkan sesuatu ke dalam gelas anggurnya yang telah membuatnya kehilangan ingatan untuk sementara, la pernah membaca kejadian penggunaan obat semacam itu. Namanya date rape drug, bius kencan perkosaan. Pasti itu yang diberikannya. Omongan bahwa ia perlu nasihatnya itu cuma tipuan. Bego benar aku, bisa masuk perangkapnya. Ia sama sekali tak ingat pergi ke bandara, terbang ke Chicago, atau masuk ke hotel kumuh ini dengan Tibbie. Dan lebih parah lagi?ia sama sekali tak ingat apa yang telah terjadi dalam mangan ini.
Aku harus keluar dari sini, pikir Ashley putus asa. Ia merasa kotor, seakan setiap senti tubuhnya telah diperalat. Apa yang telah dilakukan Dennis padanya" Dicobanya untuk tidak memikirkan hal itu. la bangkit dari tempat tidur, masuk ke kamar mandi mungil dan melangkah ke bawah dus. Dibiarkannya pancaran air panas menerpa tubuhnya, agar bisa mencuci hal-hal kotor mengerikan yang telah terjadi padanya. Bagaimana kalau ia nanti hamil" Sungguh menjijikkan punya anak dari Dennis. Ashley melangkah keluar dari ruang dus, mengeringkan tubuhnya, dan berjalan ke lemari pakaian. Pakaiannya tak
ada. Yang ada di dalam lemari itu hanyalah rok mini kulit hitam, tube top murah-ao, dan sepasang sepatu berhak tinggi-runcing. Jijik sekali rasanya harus memakai pakaian seperti itu, tapi ia tak punya pilihan lain. Cepat-cepat ia
tn berpakaian dan mengerling ke cermin. Ia kelihatan seperti pelacur.
Ashley memeriksa dompetnya. Hanya empat puluh dolar. Buku cek dan kartu kreditnya masih ada. Terima kasih, Tuhan!
Ia keluar ke selasar. Kosong. Ia turun dengan lift ke lobi yang kumuh dan berjalan ke meja resepsionis untuk check out. Diulurkannya kartu kreditnya kepada kasir yang sudah berumur.
"Mau meninggalkan kami nih?" goda pria tua itu. "Asyik, ya?"
Ashley menatapnya, bertanya-tanya dalam hati apa maksudnya dan takut mendengar jawabannya. Ingin sekali rasanya ia bertanya kapan Dennis Tibbie meninggalkan hotel, tapi akhirnya memutuskan lebih baik itu tidak disebut-sebutnya.
Si kasir menggesekkan kartu kreditnya ke mesin. Ia mengerutkan kening dan sekali lagi mencobanya. Akhirnya ia berkata, "Sori. Kartunya tak bisa dipakai. Sudah melewati batas."
Mulut Ashley ternganga. "Mana mungkin! Pasti ada kekeliruan!"
Si kasir mengangkat bahu. "Ada kartu kredit lain?"
"Tidak. Aku?tidak punya. Apakah kau menerima cek pribadi?"
Pria itu mengawasi pakaiannya dengan pandangan mencemooh. "Yah, bisa juga, kalau kau punya kartu pengenal."
"Aku perlu menelepon?"
71 - Telepon umum ada di sudut itu."
"San Francisco Memorial Hospital?" - "Dr. Steven Patterson."
Tunggu sebentar?" "Kantor Dr. Patterson."
"Sarah" Ini Ashley. Aku perlu bicara dengan ayahku."
"Maaf. Miss Patterson. Beliau sedang di kamar operasi dan?"
Ashley menggenggam gagang telepon erat-erat. Tahukah kau berapa lama dia akan berada di
sana?" "Susah dikatakan. Saya tahu beliau dijadwalkan untuk operasi selanjurnya pukul?"
Ashley nyaris histeris. "Aku perlu bicara dengannya Penting sekali. Bisakah disampaikan padanya" Begitu sempat, tolong minta dia meneleponku." Ia memandang nomor telepon di telepon umum itu dan menyebutkannya kepada resepsionis ayahnya. "Aku akan menunggu di sini sampai dia menelepon."
"Akan saya sampaikan."
Ia duduk di lobi hampir sejam, berharap telepon segera berdering. Orang-orang yang lewat menatapnya atau meliriknya dan ia merasa telanjang dalam pakaiannya yang murahan dan mencolok itu. Ketika telepon akhirnya berdering, ia kaget sendiri. ,.
Bergegas ia ke telepon umum itu. "Halo?"
"Ashley?" terdengar suara ayahnya.
"Oh, Ayah, aku?" "Ada apa?"
"Aku di Chicago dan?"
"Sedang apa kau di Chicago?"
"Aku tak dapat menceritakannya sekarang. Aku perlu tiket pesawat ke San Jose. Aku tak punya uang. Bisakah Ayah membantu?""
"Tentu saja. Tunggu sebentar." Tiga menit kemudian, suara ayahnya terdengar kembali. "Ada pesawat American Airlines berangkat dari O"Hare pukul 10.40, Penerbangan 407. Tiket untukmu sudah disiapkan di konter check in. Aku akan menjemputmu di bandara San Jose dan?"
"Jangan!" Mana bisa ayahnya melihatnya dalam dandanan begini. "Aku?aku akan langsung ke apartemenku untuk berganti pakaian."
"Baiklah. Aku akan datang menjemputmu makan malam. Kau bisa ceritakan semuanya selama kita makan."
"Terima kasih, Ayah. Terima kasih."
Dalam perjalanan pulang naik pesawat itu, Ashley memikirkan hal-hal tak termaafkan yang telah dilakukan Dennis Tibbie padanya. Aku harus melapor ke polisi, ia memutuskan. Mana bisa kubiarkan dia bolos begitu saja. Berapa banyak wanita lain yang telah mendapat perlakuan sama"
Ketika Ashley tiba kembali di apartemennya, ia merasa telah kembali ke tempat perlindungannya Tak sabar sudah ia ingin bebas dari seragam
jembel yang dikenakannya. Dibukanya pakaiannya secepat ia bisa. Ia merasa perlu mandi lagi sebelum bertemu ayahnya. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan berhenti dengan kaget. Di depannya, di
atas meja riasnya, ada puntung rokok.
Mereka berdua duduk di meja sudut restoran di The Oaks. Ayah Ashley mengawasinya dengan cemas. "Apa yang kaulakukan di Chicago?" "Aku?aku tak tahu."
Ayahnya memandangnya, bingung. "Kau tak tahu?"
Ashley ragu-ragu, menimbang-nimbang apakah sebaiknya menceritakan pada ayahnya apa yang terjadi Mungkin ayahnya bisa memberinya nasihat.
Dia berkata hati-hati, "Dennis Tibbie memintaku ikut ke apartemennya untuk membantu memecahkan masalahnya?"
"Dennis Tibbie" Ular itu?" Dulu Ashley pernah memperkenalkan ayahnya dengan teman-teman kerjanya. "Bagaimana kau bisa berurusan dengan dia?"
Ashley langsung tahu bahwa langkahnya keliru. Reaksi ayahnya terhadap problemnya selalu berlebihan. Terutama kalau menyangkut pria.
"Kalau aku melihatmu di dekat-dekat sini lagi, Cleary, kuremukkan semua tulangmu," "Tidak penting, kok" kata Ashley. "Aku ingin mendengarnya." Sesaat Ashley diam saja, firasat buruk memenuhi benaknya. "Yah, aku minum di apartemen Dennis dan?"
Sementara dia bercerita, dilihatnya wajah ayahnya menjadi suram. Matanya memancarkan sesuatu yang membuat Ashley ngeri. Dia mencoba meringkas ceritanya.
"Tidak," ayahnya mendesak. "Aku ingin mendengar semuanya"."
Ashley berbaring di tempat tidurnya malam itu, terlalu lelah sampai tak bisa tidur, pikirannya bingung. Kalau apa yang dilakukan Dennis tersiar, sungguh memalukan. Semua orang di kantor akan tahu apa yang terjadi. Tapi mana bisa kubiarkan dia melakukan ini pada orang Join. Aku harus lapor polisi.
Orang-orang sudah mencoba memberitahunya bahwa Dennis terobsesi dengan dirinya, tapi ia mengabaikannya. Sekarang, kalau dipikir-pikir lagi, ia bisa melihat semua gejalanya: Dennis benci kalau ada pria lain ngobrol dengannya; tak bosan-bosannya ia mengajaknya kencan; ia selalu mencuri dengar pembicaraannya".
Paling tidak aku sekarang tahu siapa yang menguntitku, pikir Ashley.
Pukul 08.30, saat Ashley bersiap-siap untuk ke kantor, teleponnya berdering. Diangkatnya. "Halo." "Ashley, ini Shane. Kau sudah dengar berita?"
"Berita apa?" .
"Ada di televisi. Mereka baru saja menemukan mayat Dennis Tibbie.
Sekejap bumi serasa terbalik. "Oh, Tuhan! Apa yang terjadi?"
"Menurut kantor sheriff, ada yang menusuknya sampai mati dan kemudian mengebirinya."
Bab 6 DEPUTI SAM BLAKE mendapatkan posisinya sebagai wakil kepala di Kantor Sheriff Cupertino dengan jalan sulit: ia menikahi adik Kepala Sheriff, Serena Dowling, perempuan galak yang ketajaman lidahnya bisa merobohkan hutan-hutan Oregon. Sam Blake-lah satu-satunya pria yang bisa menangani Serena. Pria bertubuh pendek, baik hati dan lemah lembut ini memiliki kesabaran seorang santo. Tak peduli betapa kelewatannya tingkah Serena, ia akan menunggu sampai Serena tenang, dan kemudian mengajaknya bicara baik-baik.
Blake bergabung dengan kantor sheriff itu karena Sheriff Matt Dowling adalah sahabatnya. Mereka bersekolah di sekolah yang sama dan# besar bersama-sama, Blake menikmati tugas-tugasnya sebagai polisi dan menjalankannya dengan sangat baik Ia memiliki inteligensi yang tajam selalu ingin tahu, serta ulet dan pantang menyerah. Kombinasi mi
membuatnya menjadi detektif paling baik di angkat-annya.
Pagi itu, Sam Blake dan Sheriff Dowling minum kopi bersama
Sheriff Dowling berkata, "Kudengar adikku me-repotkanmu semalam. Kami mendapat banyak telepon dari para tetangga yang mengeluhkan keributan itu. Serena memang benar-benar juara teriak."
Sam mengangkat bahu. "Aku akhirnya berhasil menenangkannya Matt."
"Untung saja dia tidak tinggal bersamaku lagi, Sam. Aku tak tahu dia itu kerasukan apa. Kalau sudah marah-marah?"
Obrolan mereka terganggu. "Sheriff, kita baru dihubungi 911. Ada pembunuhan di Sunnyvale Avenue"
Sheriff Dowling memandang Sam Blake. Blake mengangguk. "Aku akan ke sana."
Lima belas menit kemudian, Deputi Blake memasuki apartemen Dennis Tibbie. Di ruang tamu seorang polisi patroli sedang bicara dengan pengelola apartemen. "Di mana mayatnya?" tanya Blake. Polisi itu mengangguk ke arah kamar tidur. "Di dalam situ. Sir." Wajah si polisi pucat.
Blake berjalan ke dalam kamar dan berhenti, shoe*. Tubuh seorang laki-laki terkapar telanjang di atas tempat tidur, dan kesan pertama Blake adalah kamar itu banjir darah Saat ia , , .
? saat ia melangkah lebih
dekat ke tempat tidur, dilihatnya dari mana asal darah itu. Ujung tajam bergerigi pecahan botol berkali-kali telah dihunjamkan ke punggung korban, dan serpihan beling botolnya bertebaran di tubuhnya. Buah pelir si korban telah dipotong.
Memandang itu, Blake merasa selangkangannya nyeri. "Bagaimana mungkin orang bisa melakukan hal sekeji ini?" katanya keras. Tak ada tanda-tanda di mana senjatanya, tapi mereka akan menggeledah rumah itu.
Deputi Blake kembali ke ruang tamu untuk bicara dengan pengelola apartemen. "Anda kenal almarhum?"
"Ya, Sir. Ini apartemennya." "Siapa namanya?" "Tibbie. Dennis Tibbie." Deputi Blake mencatat. "Sudah berapa lama dia tinggal di sini?"
"Hampir tiga tahun."-7
"Apa yang bisa Anda ceritakan tentang dia?"
"Tidak banyak, Sir. Tibbie orangnya diam, selalu membayar uang sewa tepat waktu. Kadang-kadang dia membawa perempuan ke sini. Saya rasa mereka kebanyakan WTS."
"Anda tahu dia bekerja di mana?"
"Oh, ya. Global Computer Graphics Corporation. Dia salah satu orang yang tergila-gila komputer."
Deputi Blake mencatat lagi. "Siapa yang menemukan mayatnya?"
"Salah satu pelayan. Maria. Kemarin hari libur, jadi dia baru datang pagi ini?"
"Saya ingin bicara dengan dia." "Baik, Sir. Saya panggilkan dia."
Maria adalah wanita Brazilia berkulit gelap berumur empat puluhan, gugup dan ketakutan.
"Kau yang menemukan mayatnya, Maria?"
"Bukan saya yang membunuhnya. Saya bersumpah." Ia nyaris histeris. "Apakah saya perlu pengacara?"
"Tidak. Kau tidak membutuhkan pengacara. Ceritakan saja padaku apa yang terjadi."
"Tidak ada yang terjadi. Maksud saya?saya ke sini pagi ini untuk bersih-bersih, seperti biasanya. Saya?saya pikir dia sudah pergi. Dia selalu berangkat kerja jam tujuh pagi. Saya merapikan ruang tamu dan?"
Brengseki "Maria, ingatkah kau keadaan ruangan ini sebelum kaurapikan?"
"Apa maksud Bapak?" \
"Apakah kau menggeser sesuatu" Memindahkan sesuatu dari sini?"
"Wah, ya. Ada botol anggur pecah di lantai. Botol itu lengket sekali. Saya?"
"Kauapakan botol itu?" tanyanya tegang.
"Saya masukkan compactor dan saya hancurkan."
"Apa lagi yang kaulakukan?"
"Yah, saya membersihkan asbak dan?"
"Apakah ada puntung rokoknya?"
Maria mengingat-ingat. "Satu. Saya masukkan ke keranjang sampah di dapur,"
"Ayo kita lihat." Blake mengikutinya ke dapur,
dan Maria menunjuk ke keranjang sampah. Di dalamnya ada puntung rokok bernoda lipstik. Dengan hati-hati Deputi Blake menyeroknya dengan amplop
koin. Dia mengajak Maria kembali ke ruang tamu. "Maria, tahukah kau kira-kira apa ada yang hilang dari apartemen ini" Apakah kelihatannya ada barang-barang berharga yang lenyap?"
Maria memandang berkeliling. "Saya rasa tidak. Mr. Tibbie senang mengumpulkan patung-patung kecil itu. Dia mengeluarkan banyak uang untuk membelinya. Kelihatannya semua ada di sini."
Jadi motifnya bukan perampokan. Obat terlarang" Balas dendam" Kisah cinta yang putus di jalan"
"Apa yang kaulakukan setelah kau merapikan mang ini, Maria?"
"Saya menyedot debu, seperti biasanya. Dan kemudian?" Suaranya bergetar. "Saya masuk ke kamar dan" saya melihatnya." Ditatapnya Deputi Blake. "Saya bersumpah, bukan saya yang melakukannya."
Coroner dan para asistennya tiba dalam mobil
khusus, membawa kantong mayat.
Tiga jam kemudian, Deputi Sam Blake kembali ke
kantor polisi. "Dapat apa, Sam?"
"Tidak banyak." Blake duduk di depan Sheriff Dowling. "Dennis Tibbie bekerja di Global. Rupanya dia jenius."
"Tapi tidak cukup jenius untuk menjaga dirinya agar tidak dibunuh."
"Dia tidak sekadar dibunuh, Matt. Dia dibantai, Sayang kau tidak melihat apa yang dilakukan si pembunuh pada tubuhnya. Pasti pelakunya maniak."
"Tidak ada petunjuk, untuk penyelidikan lebih lanjut?"
"Kami belum yakin apa senjata yang digunakan. Kami masih menunggu hasil lab, tapi kemungkinan botol anggur pecah. Si pelayan melemparnya ke dalam compactor. Kelihatannya ada sidik jari di salah satu serpihan gelas di punggungnya. Aku sudah bicara dengan para tetangganya. Tak ada masukan.. Tak ada yang melihat ada orang masuk ataupun keluar dari apartemennya. Tidak ada suara-suara yang aneh. Rupanya Tibbie suka menyendiri. Bukan orang yang senang bergaul dengan tetangga. Satu hal. Tibbie berhubungan seks sebelum dia meninggal. Ada sisa-sisa cairan vagina, rambut kemaluan, beberapa petunjuk lain, dan puntung rokok bernoda lipstik. Kita akan mengetes DNA-nya."
"Koran-koran akan pesta dengan berita ini. Aku sudah bisa membayangkan judulnya?MANIAK MENYERANG SILICON VALLEY." Sheriff Dowling menghela napas. "Kita bereskan kasus ini secepat kita bisa."
"Aku akan ke Global Computer Graphics sekarang."
Ashley perlu waktu satu sejam untuk memutuskan apakah ia akan ke kantor atau tidak. Ia bingung
sekali. Begitu melihatku, orang akan segera tahu ada yang tidak beres. Tapi kalau aku tidak muncul, mereka pasti ingin tahu kenapa. Polisi mungkin ke sana untuk menginterogasi. Kalau mereka me-nanyaiku, aku terpaksa akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tak akan percaya padaku. Mereka akan menuduhku membunuh Dennis Tibbie. Dan kalau mereka percaya padaku, dan kalau kuberitahu ayahku tahu apa yang dilakukan Dennis padaku, mereka akan menyalahkan ayahku.
Ia teringat kasus pembunuhan Jim Cleary. Terngiang di telinganya suara Florence, "Orangtua Jim pulang dan menemukan mayatnya. Dia ditusuk sampai mati dan dikebiri."
Ashley memejamkan matanya erat-erat. Ya Tuhan, apa yang terjadi" Apa yang terjadi"
Deputi Sam Blake masuk ke ruang kerja. Para karyawan berwajah suram bergerombol di sana-sini, bicara dengan pelan. Blake. bisa membayangkan topik pembicaraan mereka. Ashley mengawasinya dengan ketakutan sementara Blake berjalan ke arah ruangan Shane Miller.
Shane bangkit menyambutnya. "Deputi Blake?"
"Ya." Kedua laki-laki itu berjabatan tangan.
"Silakan duduk, Deputi."
Sam Blake duduk. "Saya dengar Dennis Tibbie karyawan di sini?"
"Betul. Salah satu yang terbaik. Sungguh tragedi
"Dia sudah bekerja di sini selama tiga tahun?"
"Ya. Dia jenius kami. Tak ada yang tak bisa dilakukannya dengan komputer."
"Apa yang bisa Anda ceritakan tentang kehidupan sosialnya?"
Shane Miller menggeleng. "Tidak banyak, sayangnya Tibbie suka menyendiri."
"Apakah kira-kira dia pemakai obat?"
"Dennis" Pasti tidak. Dia keranjingan program sehat"
"Apakah dia berjudi" Mungkinkah dia berutang banyak pada seseorang?"
Tidak. Gajinya tinggi sekali, tapi saya rasa dia orangnya cukup pelit"
"Bagaimana dengan wanita" Apakah dia punya pacar?"
"Perempuan tidak begitu tertarik pada Tibbie." Ia berpikir sejenak. "Tapi belakangan ini, dia bilang pada orang-orang ada gadis yang sedang dia pertimbangkan untuk dinikahi."
"Apakah dia menyebutkan namanya?"
Miller menggeleng. "Tidak. Yah, pada saya sih tidak."
"Apakah Anda keberatan kalau saya bicara dengan beberapa karyawan Anda?"
"Sama sekali tidak. Silakan. Tapi harus saya katakan, mereka semua sangat terguncang."
Mereka akan lebih terguncang lagi kalau melihat mayatnya, pikir Blake.
Kedua pria itu berjalan ke ruang kerja.
Shane Miller angkat bicara. "Mohon perhatian. Rekan-rekan, ini Deputi Blake. Beliau ingin mengajukan beberapa pertanyaan."
Para karyawan sudah menghentikan apa yang sedang mereka kerjakan dan mereka semua mendengarkan.
Deputi Blake berkata, "Pasti karian sudah mendengar apa yang terjadi pada Mr. Tibbie. Kami memerlukan bantuan kalian untuk menemukan siapa yang telah membunuhnya. Apakah di antara kalian ada yang tahu kalau-kalau dia punya musuh" Orang yang cukup membencinya sehingga bisa membunuhnya?" Sunyi. Blake meneruskan. "Ada gadis yang sedang dia pertimbangkan untuk dinikahinya. Apakah dia membicarakan gadisnya ini dengan salah satu dari kalian?"
Ashley sesak napas. Sekaranglah saatnya untuk bicara. Sekaranglah saatnya untuk memberitahu si wakil kepala polisi apa yang telah dilakukan Tibbie padanya. Tapi Ashley ingat ekspresi wajah ayahnya waktu dia menceritakan soal libble kepadanya. Mereka akan menuduh ayahnya sebagai pelaku pembunuhan ini.
Ayahnya tak mungkin membunuh orang.
Ia dokter. Ia ahli bedah. Dermis Tibbie dikebiri. Deputi Blake sedang bicara, ?"dan tak seorang pun melihatnya setelah dia pulang dari sini Jumat
sore?" Toni Prescott membatin, Ayo. Bilang padanya,
Nona Sok Suci. Bilang bahwa kau pergi k\ apartemennya. Kenapa kau tak mau ngomong"
Deputi Blake berdiri menunggu, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Yah, kalau di antara kalian ada yang ingat sesuatu yang bisa membantu, saya akan berterima kasih jika Anda mau menelepon saya. Mr. Miller punya nomor telepon saya. Terima kasih."
Mereka mengawasinya saat ia berjalan keluar ditemani Shane.
Ashley lemas saking leganya.
Deputi Blake menoleh kepada Shane. "Apa ada orang di sini yang dekat dengannya?"
"Tidak, tak ada yang dekat," kata Shane. "Saya rasa Dennis tidak dekat dengan siapa-siapa. Dia sangat tertarik pada salah satu operator komputer kami, tapi tak pernah dapat kesempatan mendekatinya"
Deputi Blake berhenti. "Apakah sekarang dia ada di sini?" "Ada tapi?"
"Saya ingin bicara dengan dia."
"Baiklah. Anda bisa menggunakan ruangan saya." Mereka berbalik, dan Ashley melihat mereka masuk lagi. Mereka berjalan langsung ke mejanya. Ashley merasakan wajahnya memerah.
"Ashley, Deputi Blake mau bicara denganmu."
Jadi ia tahu! Ia akan menanyainya tentang kunjungannya ke apartemen Tibbie. Aku harus hati-hati, j pikir Ashley
Wakil kepala polisi itu memandangnya. "Anda keberatan, Miss Patterson?"
Ia berhasil menjawab, "Sama sekali tidak." Ia mengikutinya ke ruangan Shane.
"Silakan duduk." Mereka berdua duduk. "Saya dengar Dermis Tibbie suka pada Anda?" "Saya?saya rasa?" Hati-hati. "Ya." "Pernahkah Anda kencan dengannya?" Pergi ke apartemennya tidak sama dengan kencan. "Tidak."
"Apakah dia bicara pada Anda tentang wanita yang ingin dinikahinya?"
Ia terbenam semakin dalam. Mungkinkah polisi itu merekam wawancara ini" Mungkin ia sudah tahu ia ada di apartemen Tibbie. Siapa tahu mereka menemukan sidik jarinya. Sekaranglah saatnya memberitahu si wakil kepala polisi apa yang telah Tibbie lakukan kepadanya. Tapi kalau aku mengaku, pikir Ashley putus asa, ini akan membawanya ke ayahku, dan mereka akan menghubungkannya dengan pembunuhan Jim Cleary. Apakah mereka juga sudah tahu tentang itu" Tapi kepolisian di Bedford kan tak punya alasan untuk" memberi tahu kepolisian di Cuppertino. Atau adakah alasannya"
Deputi Blake mengawasinya menunggu jawaban. "Miss Patterson?"
"Apa?"Oh, maaf. Kejadian ini membuat saya sangat bingung"."
"Saya mengerti, p^kfkahiaya?" nyebut wanita yang ingin d^ahinya
"Ya" tapi dia tak pernah memberi tahu sav namanya." Paling tidak itu benar.
"Pernahkah Anda ke apartemen Tibbie?"
Ashley menarik napas dalam-dalam. Jika ia bilang tidak, interogasi ini mungkin akan berakhir Tapi kalau mereka sudah menemukan sidik jarinya" "Ya."
"Anda pernah ke apartemennya?"
"Ya" Ia memandangnya lekat-lekat sekarang. "Anda bilang Anda tidak pernah kencan dengannya."
Otak Ashley berlomba sekarang. "Betul. Tidak untuk kencan, tidak. Saya mengantarkan kertas-kertasnya yang ketinggalan."
"Kapan itu?" Ia merasa terperangkap. "Mm" kira-kira seminggu yang lalu." "Dan hanya sekali itu Anda ke tempatnya?" "Betul."
Nah, kalau mereka sudah mendapatkan sidik jarinya ia tak akan dituduh.
Deputi Blake duduk diam-diam, mengawasinya, dan Ashley merasa bersalah. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya. Siapa tahu ada perampok yang masuk dan membunuhnya?perampok yang sama yang membunuh Jim Cleary sepuluh tahun lalu di tempat sejauh 4.800 kilometer dari sini. Jika kau percaya pada kebetulan. Jika kau percaya pada Santa Clans. Jika kau percaya pada peri gigi.
Brengsek kau, Ayah, Deputi Blake berkata, "Ini tindak kriminal yang
mengerikan. Kelihatannya tidak ada motifnya. Tetapi tahukah Anda, selama bertahun-tahun saya berdinas di kepolisian, belum pernah saya melihat kasus kriminal tanpa motif." Tak ada reaksi. "Tahukah Anda apakah Dennis Tibbie pemakai obat?" "Saya yakin tidak."
"Jadi apa yang kita miliki" Bukan obat terlarang. Dia tidak dirampok. Dia tidak berutang pada siapa pun. Hanya tinggal situasi romantis, kan" Ada yang cemburu padanya."
Atau ada ayah yang ingin melindungi anak gadisnya.
"Saya sama bingungnya seperti Anda, Deputi." Deputi Blake memandangnya sesaat dan matanya seakan berkata, "Saya tak percaya pada Anda,
Nona." Deputi Blake bangkit berdiri. Ia mengeluarkan kartu nama dan mengulurkannya kepada Ashley. "Jika ada sesuatu yang terpikirkan oleh Anda saya akan berterima kasih jika Anda menelepon saya"
"Dengan senang hati." "Selamat siang."
Dipandangnya ia pergi. Sudah selasai Ayah bebas.
Ketika Ashley kembali ke apartemennya malam itu, ada pesan di mesin penjawab teleponnya, "Semalam kau membualku benar-benar panas, baby. Aku sudah tegang sekali nih. Tapi kau akan memuaskanku iii ??"o telah kaujanjikan. Waktu
malam ini, seperti yang w"
dan tempat yang sama. Ashley berdiri bingung, tak percaya pada a yang didengarnya. Aku ini gila. pikirnya. Ini tak lkio hubungannya dengan Ayah Pasti ada orang /"?>, $ belakang semua ini. Tapi siapa " Dan kenapa"
Lima hari kemudian, Ashley menerima laporan dan perusahaan kartu kreditnya. Tiga hal menarik perhatiannya:
Tagihan dari Mod Dress Shop sebesar $450.
Tagihan dari Circus Club sebesar $300.
Bende Mataram 44 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Jennings Si Iseng 1
^