Perfume Story Of Murderer 1
Perfume The Story Of A Murderer Karya Patrick Suskind Bagian 1
Patrick Suskind Perfume: The Story of a Murderer
Tentang Penulis PATRICK SUSKIND lahir pada tahun 1949. Ia memelajari sejarah di Munich dan telah menjadi penulis di dunia pertelevisian sebelum menulis Das Parfum ini. Novel keduanya bertajuk Die Taube (Burung Merpati) yang kemudian diadaptasi menjadi naskah panggung dan dipentaskan pertama kali di Gedung Teater BAC di London pada bulan Mei 1993. Naskah panggung lainnya yang berjudul Der Kontrabas (Bas Ganda) pertama kali dipentaskan di Munich pada tahun 1981, dan sejak itu menjadi salah satu kisah yang paling sering dipentaskan di Jerman, Swiss, dan Austria. Karya ini telah pula dipentaskan di Festival Edinburgh dan Royal National Theatre (Teater Nasional Kerajaan) di London. Novel Suskind lain berjudul Die Geschichte von Herrn Sommer (Kisah Tuan Sommer) terbitan 1992 telah pula mendulang sukses internasional sebagaimana Das Parfum. Selanjutnya ia juga menerbitkan Drei Geschichten (Tiga Kisah) pada tahun 1996. Patrick Suskind tinggal di Munich.
BAGIAN I Satu PADA ABAD KEDELAPAN BELAS di Prancis, tinggallah seorang pria yang dikenal sebagai salah seorang tokoh paling berbakat sekaligus paling ditakuti di zaman yang belum lagi mampu menoleransi karakter paradoks seperti
itu. Kisah inilah yang akan dituturkan. Namanya Jean-Baptiste Grenouille. Tak seperti tokoh paradoks terkenal lain seperti de Sade, Saint-Just, Fouche, atau Bonaparte, nama Grenouille kini terlupakan. Dan ini bukan lantaran ia kekurangan atribut pendukung seperti arogansi, misantropi, amoralitas, atau bahkan kekejian, tapi lebih karena bakat dan ambisinya diletakkan secara ketat di ranah yang memang tak bisa dilacak dan diendusi sejarah.
Pada zaman itu kota-kota disesaki aroma yang asing bagi hidung manusia modern: jalan raya berbau pupuk kandang, halaman gedung berbau pesing, anak-anak tangga berbau jamur kayu dan kotoran tikus, dapur berserakan sampah potongan cabe dan lemak daging domba, ruang tamu berbau apak serta berdebu, kamar-kamar tidur seprainya tak pernah diganti sampai berminyak, bantal-bantal lembap dan aroma manis yang tajam dari pispot di kolong tempat tidur, amis sulfur mengembang dari perapian, aroma alkali menyengat dari bilik-bilik penyamakan kulit, sementara rumah-rumah jagal menebar bau darah beku. Orang-orang berbau keringat dan pakaian tak dicuci, mulut menebar bau gigi busuk, dari perut mengambang aroma bawang, dan tubuh mereka - kalau tak lagi muda, menebar aroma keju anyir, susu basi, dan penyakit tumor. Sungai-sungai juga tak kalah berlomba aroma. Bau busuk hadir di pasar, di gereja, di kolong jembatan, dan bahkan di istana. Rakyat jelata tak beda baunya dengan para pendeta. Para murid berbagi aroma dengan istri-istri guru mereka, begitu pula kaum ningrat - bahkan sampai pada sang Raja, baunya seperti seekor singa sementara sang Ratu seperti bandot tua, tak peduli musim panas atau musim dingin. Tak ada yang mampu menghentikan kesibukan bakteri pembusuk pada abad kedelapan belas, maka tak heran jika tak satu pun kegiatan manusia - baik konstruktif maupun destruktif, yang tidak disertai oleh bau busuk.
Kebusukan tentu saja paling parah mendera Paris sebagai kota terbesar di Prancis. Dan konon ada satu tempat di Paris yang selain berbau busuk juga menebar keangkeran. Terletak di antara jalan Fers dan jalan Ferronnerie, persisnya di sebuah tanah permakaman bernama Cimetiere des Innocents. Selama delapan ratus tahun mayat-mayat dibawa ke tempat ini dari Hotel-Dieu dan gereja setempat. Selama delapan ratus tahun, siang dan malam, lusinan mayat digelandang ke dalam satu lorong yang digali memanjang, ditumpuk tulang demi tulang, baik dalam bangunan makam terpisah maupun dalam rumah makam. Baru pada saat menjelang Revolusi Prancis, setelah beberapa bangunan makam runtuh dan baunya sedemikian tak tertahankan sampai diprotes masyarakat sekitar, tmpat itu ditutup dan terlntar. Jutan tulang dan tengkorak diserok begitu saja ke dalam liang kubur Montmartre. Di tempat ini pula sebuah pasar makanan kemudian didirikan.
Alkisah, di tempat terbusuk seantero kerajaan inilah Jean-Baptiste Grenouille lahir pada tanggal 17 Juli 1738. Kelahirannya disambut musim panas paling menggerahkan tahun itu. Panasnya sampai mengelamkan pekuburan dan menebar aroma busuk yang kalau diendusi kira-kira seperti gabungan antara melon busuk dan bekas bakaran kotoran binatang. Sedemikian meluas sampai ke gang-gang di sekitarnya. Saat didera rasa sakit menjelang bersalin ibunda Grenouille tengah berada di kedai ikan di jalan Fers dengan muka pias seperti baru saja perutnya dibelek. Ikan di tempat itu baru dipanen pagi ini dari sungai Seine, dengan amis yang sengatannya mampu menutupi aroma mayat. Namun seperti ummnya ansia zaman itu hidung ibunda Grenouiile sudah tumpul dan tak lagi mampu membedakan antara bau amis ikan dan bau busuk mayat. Apalagi ditambah sakit di perut yang tentunya
semakin mematikan kepekaan indra. Ia hanya ingin rasa sakit ini berhenti - bagaimana caranya agar proses melahirkan segera berlalu. Toh ini sudah yang kelima kalinya. Semua proses persalinan dilakukan di warung ikan seperti ini, dalam kondisi keguguran atau bayi setengah sempurna, karena daging belepotan darah yang keluar dari rahim itu tak ubahnya jeroan ikan yang berserakan di situ. Kalaupun sukses lahir, hidup si bayi juga tak lama. Ibunda Grenouille tak pernah terlalu ambil pusing karena biasanya saat magrib seluruh porak-poranda ini sudah akan tersiram bersih dan diserok ke tanah pekuburan atau ke sungai. Demikian pula yang akan terjadi hari ini.
Ibunda Grenouille ketika itu masih belia - belum lewat 25 tahun. Berparas lumayan cantik, gigi lumayan utuh, dengan rambut kusut tak terawat dan tidak sedang mengidap penyakit serius - kecuali mungkin sedikit encok, sifilis, dan paru. Ia masih ingin hidup lebih lama -katakanlah, lima atau sepuluh tahun lagi dan bahkan menikah kalau memang cukup beruntung. Dengan status normal sebagai seorang istri atau setidaknya janda, ia baru merasa pantas punya momongan. Ibunda Grenouille sungguh berharap momen menyakitkan ini segera berlalu. Saat kontraksi terakhir dimulai, ia berjongkok di bawah meja jagal lalu bersalin tanpa bantuan siapa pun seperti empat kesempatan sebelumnya. Kemudian ia memotong tali pusar si jabang bayi dengan pisau jagal. Tapi tiba-tiba, karena tak tahan sengatan cuaca panas dan bau busuk di tempat itu (sebenarnya ia tak menganggapnya bau busuk, hanya bau sesuatu yang tak tertahankan seperti kebun bunga lili atau ruangan yang dipenuhi bunga narsis), ia pun pingsan. Menggelosor jatuh dari bawah meja jagal ke tengah jalan dan tergeletak di situ dengan tangan masih menggenggam pisau.
Kehebohan merebak. Orang-orang berkerumun di sekeliling, menonton, dan beberapa memanggil polisi. Wanita dengan pisau di tangan itu masih terbaring di jalanan dan perlahan siuman.
Apa yang terjadi padanya" Terdengar sejumlah orang bertanya.
"Tidak apa-apa," jawab si wanita.
Apa yang ia lakukan dengan pisau itu"
"Tidak ada apa-apa."
Darah apa itu di roknya"
"Ini darah ikan."
Ibunda Grenouille bangkit berdiri. Membuang pisau ke samping lalu berjalan gontai hendak membersihkan diri.
Lalu tiba-tiba saja, si jabang bayi di bawah meja jagal menjerit keras. Orang-orang segera celingukan. Dan di situlah, di balik kerumunan lalat, kotoran, dan kepala ikan, mereka menemukan sesosok bayi yang baru lahir, lalu diangkat. Dus, sesuai hukum, segera mereka bawa si bayi ke seorang ibu susu sementara ibunya mereka jebloskan ke penjara. Dan karena si wanita mengaku terus terang bahwa ia lebih suka membunuh si jabang bayi sebagaimana empat bayi sebelumnya, ia pun diadili, diputuskan bersalah atas pengguguran kandungan beruntun dan dihukum penggal beberapa minggu kemudian di de Greve.
Selama beberapa minggu itu si bayi sudah tiga kali berganti ibu susu. Tak ada yang ingin memeliharanya lebih dari beberapa hari. Mereka bilang si bayi begitu rakus. Porsi menyusunya setara. dengan jatah dua bayi. Menghabiskan jatah susu dan daya hidup si ibu susu sedemikian rupa. Wajar jika tak ada yang bersedia menampung karena tak mungkin bagi seorang ibu susu untuk membiayai hidup dengan upah menyusui hanya seorang bayi. Petugas polisi yang bertanggung jawab atas kasus ini adalah seorang laki-laki bernama La Fosse. Ia terus-terusan dibuat pusing dan ingin agar si bayi dikirim saja ke rumah yatim-piatu di ujung terjauh jalan Saint-Antoine, di mana lalu lintas bayi dan anak-anak ramai setiap hari dari dan ke rumah yatim-piatu publik di Rouen. Namun karena konvoinya terdiri atas kuli angkut barang yang membawa keranjang bayi dengan kemasan seekonomis mungkin sampai tega menjejerkan empat bayi dalam satu keranjang, maka tak heran bila angka kematian di lalu lintas tersebut amat tinggi. Sejak itu para kuli disarankan agar hanya mengangkut bayi-bayi yang sudah dibaptis dan memiliki sertifikat transportasi resmi yang akan distempel setibanya di Rouen. Masalahnya sekarang, bayi Grenouille belum dibaptis atau bahkan dinamai agar bisa dicatat secara resmi di sertifikat transportasi. Sementara di pihak lain, secara sosial tak bisa dibilang baik jika seorang polisi menyelundupkan bayi begitu saja ke rumah yatim-piatu. Padahal hanya itu satu-satunya cara menghindari formalitas. Dus, dengan alasan kesulitan administrasi dan birokrasi yang pasti terjadi jika si bayi disingkirkan begitu saja, dan karena desakan waktu, La Fosse menarik kembali putusan awal dan memberi instruksi agar si bayi diserahterimakan dengan kuitansi ke beberapa lembaga gereja tertentu, agar bisa dibaptis dan diputuskan nasibnya lebih jauh. Jadilah sang polisi membuang si bayi ke biara Saint-Merri yang terletak di jalan Saint-Martin. Di sana ia dibaptis dengan nama Jean-Baptiste. Dan karena suasana hati pada hari sebelumnya sedang baik dan kotak amal gereja belum kering, mereka tidak mengirim si bayi ke Rouen dan malah memanjakannya atas tanggungan biara. Pada titik ini ia diserahkan ke seorang ibu susu bemama Jeanne Bussie yang tinggal di jalan Saint-Dennis dengan bayaran tiga franc seminggu sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Dua BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN, si ibu susu Jeanne Bussie berdiri di pintu gerbang biara Saint-Merri dengan tangan menenteng keranjang belanja. Pintu dibuka oleh seorang pendeta botak berusia paruh baya yang tubuhnya menebar aroma cuka.
"Bapa Terrier," seru si ibu susu. "Ini!" katanya sembari meletakkan keranjang belanja di muka gerbang.
"Apa ini?" bertanya Terrier sambil membungkuk ke arah keranjang dan mendengus membaui, berharap isinya sesuatu yang bisa dimakan.
"Ini anak haram milik perempuan dari jalan Fers yang tadinya hendak ia bunuh itu."
Si pendeta dengan lembut membuka keranjang itu dengan jarinya sampai terlihat wajah si bayi yang lelap.
"Kelihatannya baik-baik saja. Pipinya merona dan tampak kenyang minum."
"Terang saja begitu, karena ia menempelkan dirinya padaku. Memompaku begitu kering sampai ke tulang. Aku tak sudi. Kini terserah kau mau disusui dengan susu kambing, bubur, atau gula biang... aku tak peduli. Haram jadah ini akan melahap apa saja."
Bapa Terrier dikenal ramah dan supel. Salah satu dari sekian tanggung jawabnya adalah menangani administrasi kotak amal biara dan pendistribusiannya kepada fakir miskin. Untuk itu ia berharap agar orang tahu berterima kasih dan tidak mengganggunya dengan tetek bengek lain. Ia benci detail teknis karena detail baginya berarti kesulitan dan kesulitan berarti gangguan kesehatan - ia sangat menolak hal ini. Ia menyesal telah membuka pintu gerbang dan berharap si wanita segera pergi membawa lagi mengganggunya dengan remeh-temeh seperti ini. Perlahan ia menegakkan tubuh sembari menghela napas. Hidungnya menangkap aroma susu dan keju murahan yang ditebarkan tubuh si ibu susu. Bau yang enak.
"Aku tak paham apa maumu," ia berkata. "Sungguh, aku tak mengerti apa maksudmu. Setahuku tak ada salahnya bagi si bayi untuk bernaung beberapa waktu lagi di dadamu."
"Memang tak apa baginya," si ibu susu menyalak balik, "tapi aku rugi besar. Beratku turun lima kilo dan harus menanggung nafsu makan tiga perempuan digabung jadi satu. Semua ini demi apa" Demi tiga Franc seminggu"!!"
"Ah... begitu rupanya," desah Bapa Terrier lega. "Aku paham maksudmu. Sekali lagi, ini hanya soal uang, kan?"
"Bukan!!" jerit si ibu susu kesal.
"Tentu saja iya!" bantah si pendeta. "Ujung-ujungnya selalu uang. Semua ketukan di pintu gerbang ini selalu soal uang. Sampai-sampai aku berharap agar sesekali menemukan seseorang berdiri di sini dengan masalah yang sama sekali berbeda - seseorang dengan cukup tenggang rasa dan kebijaksanaan untuk membawa oleh-oleh buah, misalnya. Atau sekadar kacang. Lagi pula, di musim gugur begini pasti banyak yang bisa dijadikan hadiah. Bunga, misalnya. Atau sepatah dua patah kata beramah-tamah, 'Semoga Tuhan memberkatimu, Bapa Terrier.. semoga harimu menyenangkan!' dan semacamnya. Tapi sepertinya aku tak akan pernah menemui hal demikian sampai aku mati. Yang datang kemari kalau bukan pengemis pasti saudagar. Kalau bukan saudagar, pasti pedagang. Jika bukan minta sedekah, pasti menyorongkan tagihan. Aku bahkan tak bisa lagi keluar jalan-jalan dengan tenang. Belum tiga langkah pasti sudah ada saja yang menodong minta uang."
"Tapi aku kan tidak begitu," protes si ibu susu.
"Benar, tapi biar kuberi tahu: kau bukan satu-satunya ibu susu dalam jemaah kita. Ada ratusan ibu angkat jempolan yang berebut ingin menyusui bayi memesona ini untuk tiga Franc seminggu, atau memberi bubur atau jus atau makanan lain.... "
"Kalau begitu, serahkan saja ia pada mereka!"
"... di pihak lain," lanjut Bapa Terrier, "tak baik kiranya mengoper-oper seorang bayi seperti itu. Siapa tahu ia bisa lebih baik menyusu padamu ketimbang orang lain" Apalagi kau pasti juga tahu bahwa ia sudah terbiasa dengan aroma tubuhmu, begitu pun dengan degup jantungmu."
Sekali lagi si pendeta menghela napas panjang, menghirup dalam-dalam kehangatan aroma tubuh si ibu susu.
Tapi saat menyadari bahwa kata-katanya tak mempan, segera ia menambahkan, "Sekarang bawalah anak ini kembali pulang! Keluhanmu akan kubicarakan dengan kepala biara. Akan kusarankan agar kau diberi empat Franc seminggu."
"Tidak," bantah si ibu susu.
"Baiklah... lima!" tukas si pendeta.
"Tidak." "Lantas, kau ingin berapa kalau begitu?" bentak Bapa Terrier. "Lima Franc sudah berlebihan untuk tugas seremeh menyusui bayi!"
"Aku sama sekali tak ingin uang,. timpal si ibu susu. "Aku ingin haram jadah ini keluar dari rumahku."
"Tapi kenapa demikian, wahai wanita yang baik?" tanya Bapa Terrier sambil menjawil lagi keranjang itu dengan lembut. "Lihatlah! Ia sungguh bayi yang menggemaskan. Kulitnya segar kemerahan, ia tidak menangis dan juga telah dibaptis."
"Anak ini dirasuki setan."
Kontan Terrier menarik jarinya dari keranjang.
"Tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin seorang bayi bisa dirasuki setan. Bayi adalah manusia yang belum lengkap - makhluk pramanusia, yang karenanya belum memiliki jiwa yang terbentuk sempurna. Oleh karena itu, ia tak mungkin diminati setan. Atau barangkali ia sudah bisa bicara, ya" Apa ia meronta-ronta, begitu" Mampu menggerakkan sesuatu, barangkali" Apa ada bau setan dari badannya?"
"Tidak, ia sama sekali tidak berbau," jawab si ibu susu.
"Nah, itu dia! Itu bukti yang jelas bahwa ia tidak dirasuki setan. Sebab jika iya, mestinya berbau tak sedap."
Demi meyakinkan si ibu susu dan menguji keberaniannya sendiri, Terrier mengangkat keranjang dan mendekatkannya ke hidung.
"Aku tak mencium bau aneh apa pun," katanya setelah mengendus beberapa kali. "Sungguh tak ada yang aneh. Meski memang ada bau tertentu dari popoknya." Terrier menyorongkan keranjang agar wanita itu yakin.
"Bukan itu maksudku," jawab wanita itu kesal sambil menjauhkan keranjang dari wajahnya. "Bukan bau popok yang jadi masalah. Kotorannya memang bau, itu wajar. Masalahnya si anak itu sendiri - ia tidak berbau sama sekali."
"Itu karena ia sehat!" bantah Terrier jengkel. "Wajar ia tidak berbau karena badannya sehat! Hanya bayi sakit yang badannya bau. Semua orang tahu itu. Bukan rahasia bahwa anak yang terserang cacar pasti berbau kotoran kuda, yang terserang demam berbau apel busuk, dan yang terserang TBC berbau seperti bawang. Tapi anak ini sehat walafiat. Apa itu salah" Apa menurutmu ia mestinya berbau, begitu" Apa anak-anakmu sendiri bau?"
"Tidak," jawab si ibu susu. "Anak-anakku berbau seperti normalnya bau anak manusia."
Terrier meletakkan kembali keranjang itu ke tanah dengan hati-hati. Kejengkelan mulai naik ke ubun-ubun menghadapi perempuan keras kepala ini. Rasanya butuh lebih bebas menggerakkan tangan kalau mau melanjutkan debat tanpa harus melukai si bayi dengan menenteng keranjang terus-menerus. Tapi untuk sekarang ia masih merasa cukup menahan tangan di belakang punggung, menyorongkan perut buncitnya ke arah si ibu susu, lalu bertanya dengan nada tajam, "Kau bersikeras kalau begitu, bahwa kau tahu bagaimana mestinya bau seorang anak manusia - yang kalau boleh kuingatkan bahwa begitu seorang anak dibaptis maka ia adalah juga anak Tuhan. Benar?"
"Ya," jawab wanita itu.
"Dan kau juga bersikeras bahwa jika seorang anak tidak berbau - menurut engkau, wahai ibu susu bernama Jeanne Bussie dari jalan Saint-Dennis-maka anak tersebut sudah pasti dirasuki setan?"
Tangan kiri si pendeta berkelebat dari balik punggung menegaskan pertanyaan dengan jari telunjuk di depan wajah si ibu susu. Membuat perempuan itu meragu. Ia tak menyukai arah percakapan yang sekonyong-konyong berubah mempertanyakan keyakinannya sendiri, di mana ia menjadi pihak yang salah.
"Maksudku sama sekali tidak begitu," elaknya. "Kalian para pendeta selalu saja seenaknya memutuskan apakah segala sesuatunya harus berhubungan dengan setan atau tidak, Bapa Terrier. Bukan hakku memutuskan demikian. Aku hanya tahu satu hal: bayi ini membuatku merinding karena ia tidak berbau sewajarnya bau anak manusia."
"Aha!" jawab Terrier puas sambil mengibaskan tangan kembali. "Sekarang kau menarik tuduhan soal setan tadi, ya" Bagus. Tapi sekarang tolong katakan padaku: seperti apa kiranya bau seorang bayi yang wajar menurut pendapatmu" Hmm?"
"Mestinya ia berbau enak," jawab si ibu susu.
"Enak bagaimana maksudmu?" desak Terrier. "Banyak hal lain yang baunya juga bisa dibilang enak. Seikat bunga, misalnya. Taman bunga Arab baunya juga enak. Tapi bagaimana mestinya bau seorang bayi yang enak" Itu yang kutanya."
Si ibu susu tergugu. Ia tahu persis bagaimana bau seorang bayi. Ia tahu persis karena ia kenyang menyusui, merawat, menggendong, dan menciumi mereka. Ia bahkan mampu mengendusi mereka di kegelapan sekalipun. Saat ini pun ia mencium bau tersebut dengan jelas. Tapi baru sekarang ia diminta menggambarkannya dengan kata-kata.
"Bagaimana?" desak Terrier lagi sambil menjentikkan jari tak sabar.
"Yaah... ini...," gugu si ibu susu, "...tidak mudah dikatakan, karena... karena masing-masing baunya berbeda, walaupun masing-masing juga baunya enak. Bapa, kau tahu maksudku, kan" Kaki mereka, misalnya. Baunya seperti batu halus yang hangat - atau... tidak, lebih seperti susu... atau mentega... persisnya mentega segar. Kaki mereka berbau mentega segar. Dan tubuh mereka berbau seperti... seperti kue serabi berbalur susu. Lantas kepala, sampai ke ubun-ubun dan bagian belakang di mana rambut mulai mengijuk... itu lho,... tahu maksudku, kan" Bagian yang kini tak lagi berambut di kepalamu ...... seraya menepuk bagian yang botak di kepala si pendeta - yang dalam ketakjuban menyimak, tanpa sadar merundukkan kepala dengan patuh. "Di sini, persis di sini, baunya paling enak. Seperti karamel. Begitu manis. Pokoknya enak sekali, Bapa. Sulit dijelaskan! Sekali mampu mengendusi, kau akan menyukainya tanpa peduli itu bau anakmu sendiri atau bukan. Dan begitulah mestinya bau bayi. Tak boleh berbau
lain. Kalau tidak begitu - kalau mereka tidak berbau apa-apa sama sekali di ubun-ubun itu atau bahkan nyaris tak berbau seperti si haram jadah ini, maka... terserah kau mau bilang apa, Bapa, tapi aku ...," ia bersedekap dengan tegas sambil menyalangkan pandangan jijik ke arah keranjang di kakinya seolah-olah berisi katak. 'Aku, Jeanne Bussie, tak sudi menerima benda itu lagi!"
Bapa Terrier perlahan mengangkat kepala sambil melayangkan jemari mengelusi kepala. botaknya beberapa kali seolah merapikan rambut, lalu mendaratkan jemari tersebut ke bawah hidung seperti tak sengaja. Ia mengendus-endus sambil berpikir.
"Seperti karamel, katamu ... ?" ia bertanya, sambil mencoba membangkitkan ketegasan. "Karamel! Tahu apa kau soal karamel" Memangnya kau pemah mencicipi?"
"Tidak juga sih," jawab si ibu susu, "tapi sekali aku pernah berada di sebuah rumah besar di jalan Saint-Honore dan melihat sendiri bagaimana pembuatannya dari gula dan krim cair. Baunya begitu enak dan tak terlupakan."
"Ya, ya... baiklah," jawab Terrier sambil menarik jari dari hidung.
"Tapi tolong jangan bicara lagi sekarang! Aku capek berdebat. Kuputuskan saja sekarang bahwa dengan ini kau menolak bayi yang telah diserahkan oleh biara untuk kau rawat bernama Jean-Baptiste Grenouille dan mengembalikannya ke pihak pelindung sementara, yaitu biara Saint-Merri. Terus terang, ini sungguh meresahkan, tapi sepertinya tak ada pilihan lain. Kau resmi dipecat."
Dengan itu ia mengangkat keranjang, melepaskan endusan terakhir dari kehangatan dan aroma susu yang menyenangkan dari tubuh si ibu susu, membanting pintu, lalu langsung menuju ruang kantor.
Tiga BAPA TERRIER dikenal sebagai orang berpendidikan. Ia tak hanya memelajari ilmu agama tapi juga banyak membaca filsafat, di samping sedikit tentang botani dan ilmu kimia. Ia agak memandang tinggi institusinya sendiri. Tak seperti kebanyakan pendeta lain, ia tak pernah mempertanyakan kesahihan mukjizat, peramalan dan hal ihwal kebenaran sejati kandungan Alkitab, walaupun teks Alkitab memang tak bisa dijelaskan hanya dengan nalar yang malah cenderung mengontradiksi. Ia memilih untuk tidak mencampuri hal-hal seperti itu karena dirasa menjengahkan dan membuat gelisah serta stres. Padahal nalar hanya bermanfaat jika seseorang memiliki keyakinan, rasa aman, dan ketenangan. Yang paling ia tentang adalah anggapan takhayul masyarakat kebanyakan dalam hal sihir-menyihir, kartu ramalan, penggunaan jimat, mata jahat, pengusiran setan, omong kosong saat bulan purnama, dan tetek bengek perilaku absurd lain. Sungguh meresahkan melihat betapa kebiasaan seperti itu belum juga musnah, bahkan ribuan tahun sejak penetapan resmi agama Kristen! Laporan-laporan perihal kerasukan setan atau perjanjian dengan Iblis yang paling muluk sekalipun, setelah ditelaah lebih dalam ternyata tak lebih dari takhayul kuno semata. Tapi ia juga menyadari bahwa mengingkari keberadaan setan sama saja dengan mengingkari kewenangannya - dan Terrier juga enggan untuk sampai sejauh itu, karena badan-badan gereja di samping dirinya sendiri selaku seorang pendeta biasa, juga ditugaskan untuk menetapkan hal-hal semacam itu yang notabene sangat menyentuh dasar-dasar keagamaan. Tapi di pihak lain rasanya sudah sangat jelas, bahwa ketika
menyaksikan peristiwa kerasukan setan, si setan sendiri tak mungkin punya andil di dalamnya. Fakta bahwa wanita tersebut merasa telah menangkap basah perbuatan setan adalah bukti tak terbantahkan bahwa sama sekali tak ada apa pun yang berkaitan dengan setan, karena setan tidak mungkin sedemikian bodoh membiarkan diri tertangkap basah oleh seorang ibu susu seperti Jeanne Bussie. Apalagi dengan hidung sebagai alasan! Dengan organ seprimitif alat penciuman yang merupakan indra paling dasar! Sama saja dengan mengatakan bahwa neraka pasti berbau belerang dan surga pasti berbau dupa serta parfum! Ini wujud takhayul paling buruk yang berakar langsung dari sejarah kelam paganisme. Saat manusia masih hidup seperti binatang. Tak punya kesadaran dan tak mampu membedakan warna tapi menganggap diri mampu mencium bau darah, mampu membedakan mana kawan mana lawan, mengaku telah diendusi raksasa-raksasa kanibal, serigala jadi-jadian dan peri - sementara di pihak lain mereka masih belum jauh dari ritual pengorbanan manusia. Sungguh menjijikkan! Seperti kata pepatah, "Orang bodoh melihat dengan hidung ketimbang mata. Sungguh, anugerah nalar pemberian Tuhan tampaknya harus menunggu sampai ribuan tahun lagi sebelum sisa-sisa terakhir dari keyakinan primitif seperti itu terbasmi habis.
"Begitulah," Bapa Terrier bergumam. "Dan kau bayi kecilku yang malang! Makhluk yang belum lagi memiliki dosa! Terpuruk di keranjang dan terbuang tanpa menyadari kecurigaan jahat yang diarahkan kepadamu. Wanita lancang itu berani-beraninya menuduhmu tak memiliki bau sewajarnya anak manusia lain. Benar-benar omong kosong konyol! Poohpeedooh!"
Ia menggendong dan mengayun keranjang dengan lembut di atas lutut, mengelus-elus kepala si bayi dengan jari sambil sesekali mengulang bergumam, "Poohpeedooh Ini ekspresi yang dianggapnya lembut dan mampu menenangkan anak kecil. "Katanya kau seharusnya berbau karamel. Sungguh omong kosong. Poohpeedooh!"
Setelah beberapa waktu ia menarik jarinya kembali, menariknya ke hidung dan mengendusi. Tapi tak tercium bau apa pun selain bau bubur gandum yang ia makan siang tadi.
Sejenak ia ragu, lalu matanya berkeliling untuk memastikan tak ada yang melihat. Bapa Teerier mengangkat keranjang dan mendekatkan hidungnya lebih dekat. Berharap mencium sesuatu, ia mengendusi sekujur kepala si bayi. Begitu dekat sampai rambut merah si bayi menggelitiki lubang hidung. Ia tak tahu bagaimana mestinya bau kepala seorang bayi. Yang jelas bukan karamel, karena karamel dibuat dari gula yang dicairkan. Bagaimana mungkin seorang bayi yang hanya minum susu bisa berbau gula cair" Lebih masuk akal kalau ia berbau susu - seperti susu si ibu susu. Tapi toh tidak demikian. Atau barangkali berbau rambut, seperti bau kulit dan rambut, dan sedikit bau keringat bayi. Terrier mengendus sedemikian rupa dengan harapan mencium bau kulit, rambut, dan keringat si bayi. Tapi tetap tak mencium apa pun sama sekali. Tampaknya bayi tak memiliki bau pikirnya. Dan pasti memang demikian. Bayi kan dipelihara dengan kebersihan, maka sewajarnya tak berbau. Kecuali kalau ia sudah bisa bicara, berjalan, atau menulis. Hal-hal yang akan tumbuh seiring usia. Kalau mau ditelusuri, manusia pertama kali mengeluarkan bau badan saat ia menginjak pubertas. Memang demikianlah adanya. Bukankah pujangga Horace sendiri telah menulis, "Anak remaja berbau kesturi, sementara anak perawan berbau mekar bunga laksana narsis putih...?" Orang Romawi yang biangnya paganisme pun mafhum akan hal ini! Bau tubuh manusia selalu bernuansa daging, atau lebih tepatnya bau dosa. Bagaimana mungkin seorang bayi yang belum kenal dosa - bahkan dalam mimpinya sekalipun, bisa memiliki bau" Seperti apa baunya kalau memang iya" Poohpeedooh... sungguh tidak mungkin!
Ia letakkan keranjang itu kembali ke atas lutut dan mengayun lembut. Si bayi masih tertidur letap. Kepalan tinju kanannya begitu mungil dan kemerahan, menyembul dari balik selimut dan sesekali berkedut menggeseki pipi. Menggemaskan sekali. Terrier tersenyum dan mendadak merasa amat nyaman. Sesaat ia membiarkan diri hanyut dalam lamunan bahwa dialah ayah si bayi. Bahwa ia belum lagi jadi pendeta dan hanya orang biasa. Seorang tokoh masyarakat, barangkali. Memiliki istri - kehangatan seorang istri beraroma susu dan wol, dan bahwa mereka telah memiliki anak yang kini sedang digendong dan diayun lembut. Darah dagingnya sendiri. Poohpoohpoohpeedooh... khayalan ini sungguh menyamankan. Begitu normal dan wajar. Seorang ayah menggendong anak di pangkuan. Poohpeedooh. Visi yang sudah setua umur dunia tapi selalu terasa segar dan wajar - tentu saja selama dunia masih berputar. Oh, jagat Terrier begitu hangat dalam sentimentalitas.
Lalu si kecil terbangun. Dimulai dari hidungnya. Hidung kecil itu bergerak, mendorong ke atas dan mengendus. Menghirup dan menghela napas dalam embusan-embusan pendek seperti bersin yang tak jadi. Lalu hidung itu berkerenyut dan matanya membuka. Warnanya sulit dipastikan - antara kelabu tiram dan krem opal putih, tersaput semacam lapisan lendir tipis dan tampak tak terlalu biasa menatap cahaya. Terrier mendapat kesan bahwa sepasang bola mata itu belum mampu menangkap sosok dirinya. Tapi hidungnya tidak begitu. Sementara mata "buta" si kecil menyipit dengan tatapan tak jelas,
hidung itu seperti terpaku ke satu sasaran. Anehnya, Terrier merasa bahwa dialah sasaran tersebut. Gumpalan daging mungil dengan dua lubang di wajah bayi itu mengembang seperti pucuk bunga merekah. Atau barangkali lebih mirip bunga tanaman kecil pemakan daging yang tersimpan di taman botani kerajaan. Dan seperti tanaman itu, hidung si kecil seolah membuat isapan-isapan aneh dan menakutkan - Terrier merasa seolah si bayi menatapnya dengan lubang hidung. Melotot sedemikian rupa, memerhatikan dan memandang lebih tajam daripada mata mana pun di dunia. Seolah menggunakan hidung untuk melahap sesuatu hidup-hidup. Sesuatu dari dalam dirinya sendiri - dari Terrier, dan ia tak mampu menahan atau menyembunyikan sesuatu itu. Sang bayi tak berbau kini membauinya tanpa malu-malu. Ah, pasti begitu! Ia sedang mengenali dan menetapkan baunya! Seketika itu juga ia mendadak merasa berbau tak sedap. Berbau keringat serta cuka, bubur gandum dan pakaian kotor. Serasa telanjang dan buruk - seolah ada yang ternganga menatap begitu tajam tanpa timbal balik membuka jati diri. Si bayi seolah mengendus sampai menembus kulit dan seisi perut. Sampai ke emosi yang terdalam, segala pikiran kotornya terpapar begitu saja di hadapan hidung mungil nan rakus itu. Padahal bentuknya pun tak bisa dibilang sempurna. Hanya segumpal daging berbentuk hidung - sebuah organ dengan dua lubang yang tak benci mengernyit, mendengus, dan berkedut. Bulu kuduk Terrier mendadak berdiri. Perut serasa mual. Ia menarik kembali hidungnya sendiri seolah membaui sesuatu yang tak sedap dan enggan berdekatan lebih jauh. Lenyap sudah semua pikiran lembut yang semula membayangkan si bayi sebagai darah dagingnya sendiri. Pupus sudah romantisme lamunan soal ayah dan anak serta istri - seperti ada orang yang tahu-tahu hadir dan
membumihanguskan segala fantasi indah tentang ia dan si bayi. Matanya kini hanya melihat sesosok makhluk aneh dan dingin tengah bernaung di lututnya - atau bahkan binatang buas. Kalau saja ia bukan manusia berwatak lembut, takut Tuhan, dan berakal sehat, pasti sudah digebahnya seperti orang tersengat laba-laba.
Terrier memaksa diri untuk bangkit dan meletakkan keranjang di atas meja. Hatinya didera keinginan untuk menyingkirkan benda itu sejauh dan sesegera mungkin. Lebih cepat lebih baik.
Si bayi lalu mulai menangis. Ia mengerjapkan mata, membukanya lebar-lebar, dan melengkingkan jeritan sedemikian nyaring sampai pembuluh darah Terrier serasa beku. Segera ia mengayun keranjang dengan kedua tangan dan berseru, "Poohpeedooh," berusaha mendiamkan. Tapi si kecil malah menjerit makin nyaring sampai wajahnya membiru dan seperti mau meledak.
Harus segera menjauh! Begitu pikir Terrier. Pergi detik ini juga dari... ia hendak mengucap 'Iblis', tapi segera sadar dan menahan diri. Menjauh dari... monster ini! Dari anak aneh ini! Tapi hendak kabur atau dijauhkan ke mana." Ia kenal selusin ibu susu dan yayasan yatim piatu di kota ini, tapi rasanya masih terlalu dekat. Belum cukup jauh. Harus menjauhkan benda ini sejauh mungkin. Sejauh-jauhnya sampai tak terdengar lagi. Sampai benar-benar tak bisa dikirim balik ke lagi. Atau kalau mungkin dikirim saja ke gereja di wilayah lain - jika terletak di seberang sungai akan lebih baik. Pilihan terbaik adalah membuangnya ke Saint-Antoine. Aha, benar, itu dia! Tempat yang paling tepat untuk bayi penjerit ini. Letaknya jauh di Timur, melewati kota Bastille, di mana pintu gerbangnya selalu dikunci saat malam.
Jadilah ia mengemasi barang seadanya, menjinjing keranjang, bergegas. Berlari melewati labirin gang demi
gang menuju Saint Antoine, ke Timur yang searah dengan sungai Seine, keluar dari kota melangkah lebih jauh lagi ke jalan Charonne sampai nyaris mentok ke ujung jalan, ke sebuah alamat dekat biara Madeleine de Trenelle. Ia tahu di situ tinggal seorang wanita bernama Madame Gaillard yang mau menerima anak-anak tanpa peduli umur atau apa pun asal ada yang bersedia membayar. Ke sanalah ia akan menyerahkan anak ini - yang masih saja menangis. Membayar dengan bayaran penuh untuk setahun di muka, dan kabur kembali ke kota. Sekembalinya di biara nanti ia bersumpah akan segera membuang pakaian yang ia kenakan seolah habis terciprat najis, mandi sebersih mungkin dari kepala sampai kaki, lalu merayap ke ranjang di kamarnya yang sempit, menyilang trinitas berulang-ulang, berdoa panjang-panjang dan akhirnya tidur dengan lega.
Empat MADAME GAILLARD tampak jauh lebih tua dari usianya yang belum lagi tiga puluh tahun. Banyak orang menganggap begitu. Bagi dunia ia terlihat sesuai dengan usia sebenarnya, namun sekaligus pada saat yang sama tampak dua atau tiga ratus tahun lebih tua - jadi seperti mumi seorang gadis muda. Tak banyak yang tahu bahwa di balik itu semua, jiwanya sudah lama mati. Sewaktu kecil ayahnya memukul kening Gaillard dengan tongkat, persis di atas dasar tulang hidung. Sejak itu ia kehilangan kepekaan membaui berikut kehangatan dan dinginnya rasa kemanusiaan. Satu pukulan sudah cukup membuatnya terasing dari perasaan wajarnya manusia, baik itu kehangatan, kebaikan, dendam, kebahagiaan, atau
kesedihan. Ia tak merasakan apa pun saat tidur dengan seorang laki-laki, dan hanya ada setitik haru saat ia mengandung anak. Ia tak menangisi yang mati atau mensyukuri yang hidup. Bergeming saat dipukuli suami tidak pula lega saat laki-laki itu meninggal akibat kolera di Hotel-Dieu. Dua rasa kemanusiaan yang bisa ia rasakan hanya setitik depresi saat menjelang migrain menstruasi dan perubahan mood saat kembali normal. Lain dari itu, wanita zombi ini sama sekali tak merasakan apa pun.
Di pihak lain... atau barangkali justru karena ketiadaan emosi manusiawi itu, Madame Gaillard terkenal bertangan besi dalam hal tatanan, keteraturan, dan keadilan. Ia tak membedakan atau mendiskriminasi anak asuh. Jatah makanan setiap anak tetap tiga kali sehari. Tak lebih, tak kurang. Ia bersedia mengganti popok tiga kali sehari, tapi hanya sampai usia dua tahun. Siapa pun yang membangkang akan dipukul dan dikurangi jatah makannya jadi dua kali sehari. Biaya perawatan setiap anak dibagi persis separo-separo untuk kepentingan rumah penitipan yatim-piatu dan dirinya sendiri. Harga yang ditetapkan juga tak pemah berubah - tak peduli paceklik atau sedang makmur. Meski tampak aneh, tapi hanya dengan cara itu ia bisa menghargai bisnis yang dijalani. Ia butuh uang dan sangat memperhitungkan setiap peraknya. Saat tua kelak ia ingin punya simpanan tunjangan yang cukup untuk membiayai kematian di rumahnya sendiri - tidak di Hotel-Dieu seperti suaminya dulu. Bayangan ini membuat perutnya dingin. Ia tak ingin mati bersama ratusan orang asing. Ia ingin mati sendirian. Untuk itulah ia kini menabung dari usaha penitipan anak yatim-piatu. Kendati publik mafhum dengan fakta bahwa kadang tiga atau empat anak titipnya meninggal saat musim dingin, tapi ini masih jauh lebih baik dari kebanyakan rumah penitipan lain, bahkan terhitung nomor dua terbaik di Paris karena
umumnya perbandingannya mencapai 9 dari 10 anak mati setiap tahun. Toh tak ada yang peduli karena jumlah kelahiran jauh lebih banyak - Paris menghasilkan sepuluh ribu bayi resmi, haram, dan yatim-piatu setiap tahun. Jadi, perbandingan itu masih dianggap wajar.
Grenouille kecil sungguh beruntung dibuang ke rumah penitipan Madame Gaillard. Besar kemungkinan ia tak akan bertahan di tempat lain. Tapi di sini, bersama wanita mati rasa ini, ia tumbuh pesat. Grenouille punya ketahanan jasmani yang tinggi. Siapa pun yang mampu bertahan dilahirkan di keranjang sampah tak akan semudah itu tersingkir dari dunia. Sehari-hari ia mampu hanya makan sup tanpa tambahan apa pun. Susu paling encer, sayuran maupun daging paling basi. Sepanjang masa kecil ia bertahan dari campak, disentri, cacar air, kolera, jatuh ke sumur sedalam dua puluh kaki, atau luka bakar di dada akibat tersiram air panas. Badannya kenyang memar dan bekas luka serta sedikit pincang di kaki, tapi ia tetap hidup. Daya tahannya setangguh bakteri atau kutu pohon yang hidup dari setetes darah yang diawet-awet selama bertahun-tahun. Ia hanya butuh sedikit saja jatah makan-minum serta pakaian karena jiwanya tak menuntut apa-apa. Perlindungan, perhatian, kehangatan, cinta, atau apa pun yang katanya dibutuhkan oleh anak-anak, benar-benar jauh dari Grenouille. Atau barangkali - setidaknya dalam pandangan umum, ia sengaja membuang semua itu agar mampu bertahan hidup. Ini dilakukan sejak usia amat muda. Tangisan yang mengikuti kelahiran Grenouille -tangisan yang mengangkatnya dari sampah dan mengirim ibunya ke tiang gantungan, bukanlah tangisan naluri demi simpati atau cinta. Tangisan itu berasal dari pertimbangan hati - hati sang bayi (bahkan boleh dibilang pertimbangan dewasa), dari putusannya untuk membenci cinta dan kehidupan. Dalam situasinya kita bisa maklum bahwa
hidup hanya memungkinkan bagi Grenouille bila tanpa cinta atau kasih sayang. Sejarah mungkin akan berbunyi lain kalau saja saat itu ia memilih "tanpa kehidupan". Memang, ia tetap bisa mengambil "Jalan mudah" dengan memilih untuk langsung mati saja ketimbang membebani dunia dengan kelahirannya yang tak berarti. Tapi pilihan ini jelas menuntut kerendahan hati yang tak sedikit, dan itu tidak dimiliki Grenouille. Merasa sebagai monster sejak lahir, ia memilih untuk menjalani hidup di jalur dendam dan kebencian.
Putusan ini hadir tidak seperti orang dewasa saat mengambil putusan, karena sebagai anak kecil ia tidak memiliki cukup pengalaman dan nalar untuk memilih dari berbagai pilihan yang dihadirkan oleh pengalaman. Bagaimanapun, putusan ini perlahan hadir. Seperti kacang yang saat dilempar ke tanah harus memutuskan apakah hendak tumbuh atau tidak.
Atau seperti kutu pohon dalam permisalan tadi, di mana hidup tak menawarkan apa pun selain hibernasi abadi. Kutu kecil nan jelek itu hanya tahu bagaimana menggulung badan biru kelabunya tanpa menawarkan apa-apa bagi dunia. Juga dengan memuluskan serta mengeraskan kulit yang tiada berkeringat sedikit pun. Sedemikian rupa menciutkan diri agar tidak diperhatikan dan diinjak manusia. Sang kutu yang kesepian menggulung diri di pohon. Buta, tuli, bodoh, dan tanpa kegiatan lain selain mengendus-endus sepanjang tahun, sepanjang jalan, demi setetes darah dari binatang yang kebetulan lewat lantaran tak kuat menggapai dengan kekuatan sendiri. Sang kutu hanya bisa jatuh. Jatuh ke tanah di tengah hutan lalu merangkak barang satu atau dua milimeter ke sana kemari dengan enam kakinya yang mungil, berbaring pasrah menunggu mati di bawah dedaunan. Tuhan tahu betapa tak berartinya hal ini. Tak akan ada yang merasa kehilangan.
api dasar si kutu keras kepala, menggerutu dan menjijikkan. Ia tetap bergeming. Hanya hidup dan menunggu. Menunggu "sang kebetularn" untuk membawakan darah dalam wujud seekor binatang, persis di bawah pohon. Hanya dengan cara itu si kutu bisa bebas jatuh dari pohon untuk menggaruk, mengisap, dan menggigit kulit mulus korbannya.
Grenouale muda tak ubahnya si kutu pohon. Ia membungkus diri sedemikian rupa, menanti saat yang lebih baik. Sumbangsihnya bagi dunia tak lebih dari sekadar kotoran saat buang air. Tanpa senyum, tanpa tangis, tanpa keceriaan, bahkan tanpa bau badan! Wanita mana pun pasti tak tahan dan segera menendangnya keluar rumah. Tapi tidak Madame Gaillard. Ia tak bisa mencium fakta bahwa si bocah tak berbau, pun soal kejiwaan si anak, karena ia juga menutup diri rapat-rapat.
Namun anak-anak lain langsung bisa merasakan kelainan Grenouille. Sejak hri pertama ia datng, kehadirannya sudah membawa atmosfer mencekam. Refleks awal mereka adalah menjauhi keranjang tidur si bayi dan meringkuk bergerombol di pojok ranjang masing-masing, seolah suhu ruangan mendadak anjlok. Yang termuda di antara mereka bahkan kerap menangis saat malam. Yang lain bermimpi seperti ada yang hendak mencuri napas mereka. Pernah suatu hari anak-anak tertua berencana mencekik saja bayi itu. Mereka menu puk potongan-potongan kain, selimut, serta jerami ke muka Grenouille lalu memberati dengan batu bata. Saat Madame Gaillard menyingkirkan semua itu keesokan paginya, si bayi sudah kisut, lumat, dan membiru, tapi tidak mati. Anak-anak mencoba lagi beberapa kali, namun tetap gagal. Kalau saja mereka mencekik langsung dengan tangan kosong atau menutup mulut serta hidung si bayi, kemungkinan akan lebih sukses, tapi tak ada yang berani mencoba. Tak ada
yang sudi menyentuh si bayi. Grenouille membuat mereka gerah. Seperti orang yang tak tahan melihat laba-laba tapi tak berani menginjaknya karena jijik.
Seiring pertambahan usia, anak-anak akhirnya tak bernafsu lagi meneruskan percobaan pembunuhan mereka-barangkali di bawah kesadaran bahwa Grenouille tak bisa dihancurkan. Pilihan yang tertinggal adalah aksi menjauh. Menyebar, berlarian, atau setidaknya menghindar agar tak tersentuh. Anehnya, mereka tak membenci Grenouille. Cemburu atau dendam pun tidak. Jatah Grenouille di rumah penitipan yatim-piatu tak pernah lebih atau kurang dari mereka sendiri, jadi tak ada alasan untuk itu. Perasaan terganggu dan tak nyaman berada dekat Grenouille semata-mata hadir karena tak bisa mencium bau badannya. Untuk itu mereka takut dan jeri.
Lima KALAU MAU JUJUR, sebenarnya tak ada yang menakutkan dalam. diri Grenouille. Saat dewasa tubuhnya tidak besar ataupun kuat. Buruk rupa memang, tapi tidak sedemikian buruknya sampai mampu membuat orang menjerit kerakutan. Ia tidak agresif atau culas, tidak berlaku sembunyi-sembunyi atau memprovokasi orang. Ia malah lebih suka menghindar. Soal kepandaian juga biasa-biasa saja. Umur tiga tahun ia baru bisa berdiri. Kata pertama. yang keluar dari bibirnya adalah 'ikan'. Ini terjadi jam empat pagi. Diucapkan dengan keriangan luar biasa seperti gema suara, nelayan sepanjang jalan Charonne saat memekikkan dagangan di kejauhan. Kata berikut adalah 'pelargonium', 'kandang kambing', 'cabe savoy, dan 'Jacquestorreur' - yang terakhir ini adalah nama seorang
pembantu tukang kebun dari biara Filles de la Croix di seberang jalan yang kadang diserahi berbagai pekerjaan kasar oleh Madame Gaillard dan terkenal tak pernah mandi seumur hidupnya. Grenouille tak terlalu suka menyerukan kata kerja, kata sifat, dan kata seru. Kecuali untuk 'ya' dan 'tidak' yang lumayan jarang dipakai. Ia hanya menyerukan kata benda - khususnya benda-benda dasar seperti tanaman, binatang, manusia. Itu pun jika ketiga benda tersebut mendadak menyerang hidungnya dengan aroma.
Suatu hari di bulan Maret, ketika sedang duduk di sebilah balok kayu besar sambil asyik bergumam entah apa di tengah matahari musim panas, untuk pertama kalinya ia menyerukan kata 'kayu'. Ia sudah pernah melihat dan mendengar tentang kayu ratusan kali sebelumnya, juga akrab dengan benda ini karena sering disuruh mengumpulkan kayu bakar di musim dingin. Tapi benda ini belum pernah sedemikian menarik perhatian sampai membuat ia mau menyebut namanya. Ini terjadi pertama kali di hari bulan Maret itu, saat ia sedang duduk di balok yang ditumpuk di bawah pinggiran atap dan membentuk bangku sepanjang sisi selatan gudang Madame Gaillard. Bagian atas balok mengambangkan aroma terbakar yang manis sementara bagian dalamnya sampai ke atas menebar bau lumut. Di tengah hangat terik matahari, tebaran aroma damar meluruh dari bilah-bilah papan pinus yang membentuk dinding gudang.
Grenouille duduk di balok itu dengan kaki terjulur dan punggung bersandar ke dinding. Mata terpejam dan tubuh bergeming. Ia tidak melihat, mendengar, atau merasakan apa pun. Hanya aroma kayu yang menguap di sekeliling dan terperangkap di bawah atap bangunan gudang. Ia menghirup dan tenggelam dalam aroma itu, seolah menyesaki seluruh pori-pori kulit sampai akhirnya menjadi kayu itu sendiri. Seperti boneka kayu ia duduk di balok itu.
Seperti Pinokio. Berlagak mati dan setelah setengah jam atau lebih, mengucap kata 'kayu'. Ia muntahkan kata itu seperti orang yang seluruh tubuhnya sesak oleh kayu sampai ke telinga, seolah terkubur dalam kayu sampal ke leher, seolah seluruh isi perut dan hidungnya luber oleh kayu. Bayangan ini menyadarkan dan menyelamatkan benaknya, persis beberapa saar sebelum aroma kehadiran kayu serasa mencekik. Dengan gemetar ia mengggebah badan, meluruk turun dari balok dan terhuyung-huyung menjauh bagai orang berkaki kayu. Sampai berhari-hari kemudian pusingnya tak juga hilang. Dan setiap kali ingatan penciuman itu meluruk sedemikian kuat, mulutnya otomatis bergumam berkali-kali, "Kayu... kayu ... "
Hadilah ia belajar bicara. Kesulitan terbesar didapati saat terbentur pada kata-kata dari benda-benda tak berbau, seperti ide-ide abstrak dan sejenisnya - terutama soal etika dan moral. Ia sulit mengerti dan cenderung mencampur aduk satu sama lain. Sampai usia dewasa ia selalu sungkan dan kerap salah menggunakan kata-kata seperti keadilan, nurani, Tuhan, bahagia, tanggung jawab, kerendahan hati, rasa syukur, dan sebagainya - makna dari ekspresi kata-kata ini tetap jadi misteri baginya.
Di pihak lain, bahasa sehari-hari ternyata tak cukup mampu menjelaskan semua persepsi penciuman yang diperolehnya selama ini. Dengan segera ia dapati bahwa ia tak hanya mampu mencium dan menegaskan aroma kayu, tapi juga berbagai jenis kayu seperti kayu pohon mapel, kayu pohon ek, kayu pohon pinus, kayu lapuk, segar, busuk, kayu berlumut, sampai ke setiap balok, kepingan, dan serpihannya. Tak hanya itu, ia mampu membedakan dengan cara yang tak bisa dilakukan oleh orang lain secara visual. Ini juga berlaku untuk banyak hal lain. Misalnya minuman berwarna putih yang biasa disajikan Madame Gaillard untuk anak-anak asuhnya setiap hari. Orang lain
akan langsung akur bahwa itu pasti susu, tapi indra pencium dan pengecap Grenouille menegaskan hal yang berbeda setiap hari, tergantung dari seberapa panas saat disajikan, dari sapi yang mana susu itu berasal, apa yang dimakan sapi itu sebelumnya, jumlah kandungan krim, dan seterusnya. Atau kenapa asap harus memiliki hanya satu nama saja: 'asap', padahal dari menit ke menit, dari detik ke detik, campuran ratusan macam bau membaur menjadi kesatuan yang sama sekali berbeda setiap kali asap membubung dari sebuah sumber api. Atau kenapa tanah, daratan, udara - masing-masing dari setiap jengkalnya dan di setiap tarikan napas, sarat dengan aneka aroma dan karenanya pasti memuat entitas yang juga berbeda-beda -hanya dirujuk dengan tiga kata yang umum tadi. Seluruh keganjilan dari keanekaragaman yang hanya bisa ditangkap oleh indra penciuman plus keterbatasan jembatan bahasa ini sudah cukup menjadi bukti bagi Grenouille muda untuk yakin bahwa penggunaan bahasa sama sekali tidak logis. Jadilah ia makin terbiasa untuk berbicara hanya apabila benar-benar tak bisa menghindari kontak dengan orang lain.
Pada usia enam tahun ia sudah sangat mampu memahami lingkungan dengan penciuman. Tak ada benda apa pun dalam rumah Madame Gaillard, tidak juga sepanjang jalur utara jalan Charonne - orang, pohon, semak, tiang pancang, noda kecil atau besar - yang tidak dikenalinya berdasarkan bau. Ia juga mampu mengenali lagi benda yang sama berdasarkan keunikan benda tersebut dalam ingatan. Otaknya menyimpan memori tentang puluhan, bahkan ratusan ribu aroma spesifik dengan sangat jelas. Tak hanya mengingat masing-masingnya secara acak kapan saja saat mencium bau yang sama, tapi juga mampu membaui saat mengingat -tanpa harus mencium bau yang sama. Terlebih lagi,
imajinasinya mampu menyusun kombinasi baru dari masing-masing aroma tersebut sedemikian rupa sampai tercipta aroma yang tak ada di dunia nyata. Grenouille bagai seorang autodidak penyusun perbendaharaan raksasa pustaka aroma yang membuatnya mampu menciptakan banyak sekali kalimat tentang aroma. Hebatnya lagi, semua ini terbentuk saat normalnya anak kecil masih harus berusaha keras mengingat kata agar mampu menyusun kalimat koheren yang menggambarkan dunia sekeliling. Analogi terdekat yang mampu menggambarkan bakat aneh ini mungkin ibarat seorang genius musik dengan kemampuan mengidentifikasi melodi dan harmoni dari alfabet di setiap nada individual, lalu menggubahnya menjadi melodi serta harmoni yang sama sekali baru. Yang membedakan kedua realitas ini adalah bahwa perbandingan alfabet untuk aroma tentu jauh lebih besar dan lebih bernuansa ketimbang nada. Plus fakta menyedihkan bahwa seluruh keajaiban aktivitas kreatif seorang genius bernama, Grenouille ini hanya bisa eksis dan diterima dalam pikirannya sendiri.
Dunia luar hanya mencatat bahwa ia tumbuh menjadi orang yang makin lama makin pendiam dan misterius. Kegiatan favoritnya adalah berkelana sendirian sepanjang sisi utara Saint-Antoine. Melalui kebun-kebun sayur dan anggur serta padang rumput. Kadang ia tak pulang dan menghilang berhari-hari. Hukuman rotan yang menanti ia terima tanpa jerit kesakitan. Hukuman kurungan rumah, tak boleh makan, atau kerja berat tetap tak mampu mengubah perilakunya. Delapan belas bulan kunjungan sporadis ke sekolah gereja di Notre Dame de Bon Secours juga tak memberi dampak berarti. Grenouille belajar sedikit kemampuan mengeja dan menulis nama sendiri. Tidak lebih. Guru-guru menganggapnya bodoh.
Madame Gaillard lain lagi. Ia menyadari bahwa anak ini punya kemampuan dan kualitas tersendiri yang sangat tidak biasa - kalau tak mau dibilang ajaib. Terutama sejak ia tahu bahwa tak seperti anak kecil lain, Grenouille sama sekali asing dengan rasa takut terhadap kegelapan dan malam hari. Kau bisa menyuruhnya pergi ke loteng kapan saja, sementara anak-anak lain biar ditemani lentera sekalipun pasti tak akan berani. Atau disuruh mengambil kayu bakar di gudang saat tengah malam. Grenouille tak pernah membawa penerangan apa pun, tapi selalu mampu menemukan jalan dan kembali dengan barang yang diminta tanpa membuat kesalahan - tidak pakai terjatuh, tersandung, atau terjerembab. Madame Gaillard juga menemukan bahwa Grenouille mampu melihat menembus kertas, kain, kayu, bahkan tembok dan pintu terkunci. Tanpa memasuki pondok ia tahu persis berapa jumlah dan anak yang mana yang ada di dalamnya. Ia tahu ada tidaknya ulat dalam kembang kol sebelum kol itu dibelah. Dan sekali, saat Madame Gaillard yakin sudah menyembunyikan uang sedemikian rupa sampai ia sendiri tak bisa menemukan (ia selalu mengubah lokasi penyimpanan), Grenouille langsung menunjuk tanpa ragu ke sebuah lokasi rahasia di balik langit-langit perapian - dan memang benar adanya! Ia bahkan mampu melihat masa depan, karena ia suka meramalkan kunjungan seseorang jauh sebelum orang itu hadir, atau kehadiran badai sementara langit pada saat itu cerah. Tak ada yang tahu bahwa Grenouille tidak melihat semua ini dengan mata, tapi mengendusi aromanya dengan hidung yang dari hari ke hari makin menegaskan presisi aroma tersebut. Pada ulat dalam kembang kol, uang di balik perapian, dan orang di balik tembok atau yang berada beberapa blok di ujung jalan sekalipun. Madame Gaillard tentu saja tak akan menduga sampai sejauh itu - pun andai pukulan ayahnya dulu tidak menumpulkan indra
penciumannya. Ia hanya tahu dan yakin bahwa idiot atau tidak, bocah ini punya indra ke enam. Sadar bahwa orang-orang seperti itu cenderung membawa sial dan kematian, kehadiran Grenouille membuatnya resah. Apalagi jika mengingat bahwa ia tinggal seatap dengan orang yang punya bakat menunjukkan persembunyian uang di balik tembok dan perapian. Dus, begitu yakin bahwa Grenouille memang memiliki bakat mengerikan ini, timbul niat untuk menyingkirkan si bocah. Kebetulan saat itu usia Grenouille sudah mencapai delapan tahun dan biara Saint-Merri tiba-tiba menghentikan pembayaran tahunan begitu saja. Madame Gailard sengaja tidak menagih. Agar tampak wajar ia menunggu sampai seminggu. Saat kiriman uang tak juga datang, ia menggandeng si malang Grenouille dan mengajaknya berjalan-jalan ke kota.
Ia kenal seorang penyamak kulit bernama Grimal yang tinggal dekat sungai di jalan Mortellerie dan terkenal selalu mencari pekerja muda - bukan untuk dididik sebagai murid atau karyawan, tapi sebagai buruh murah. Ada tugas-tugas tertentu yang berbahaya, seperti membersihkan daging dari kulit yang membusuk, mencampur larutan dan bahan celupan beracun untuk proses penyamakan, dan membuat larutan alkali yang membakar kulit. Sedemikian berbahaya sampai membuat si pemilik usaha enggan menyerahkan pengerjaan pada tenaga ahli dan lebih suka mempekerjakan imigran, gelandangan, pelacur, atau anak hilang yang tak akan menarik perhatian jika terjadi sesuatu. Madame Gaillard tentu saja tahu bahwa dalam kondisi normal Grenouille tak mungkin bisa bertahan hidup di pabrik penyamakan kulit milik Grimal. Tapi ia bukan wanita yang suka mengasihani. Toh tugasnya sudah selesai. Perwalian dan pemeliharaannya sudah berakhir. Apa yang terjadi pada si anak setelah itu bukan urusannya lagi. Kalau
mampu bertahan, baguslah. Kalau mati, ya bagus juga - asal dilakukan dan terjadi secara legal.
Jadilah ia meminta kuitansi dari Monsieur Grimal sebagai bukti tertulis serah terima Grenouille, menyerahkan kuitansi biaya komisi sebesar lima belas Franc, lalu kembali pulang ke rumah. Nuraninya sama sekali tak menyisakan sesal. Ia justru merasa tindakannya tidak hanya sah, tapi juga adil, karena jika ia mempertahankan seorang anak yang biaya penitipannya tak lagi dibayar, biaya tersebut otomatis terbebankan ke anak lain atau dirinya sendiri. Ini tentu sangat membahayakan masa depan anak asuh lain, atau lebih buruk lagi: masa depannya sendiri, mengubur impiannya untuk mati wajar, sendiri, dan terlindung. Satu-satunya keinginan yang tersisa dalam hidup.
Karena kita hendak meninggalkan Madame Gaillard dan tak akan bertemu dia lagi dalam cerita ini, sudilah kita relakan beberapa kalimat untuk menggambarkan bagaimana akhir hidupnya.
Walau mendambakan kematian yang wajar sejak kanak-kanak, Madame Gaillard temyata diberi hidup sampai usia sangat, sangat tua. Pada tahun 1782, menjelang ulang tahun ketujuh puluh, ia melepaskan bisnisnya, membeli surat tunjangan hidup sesuai rencana, lalu duduk di rumah menanti ajal. Tapi kematian tak kunjung tiba. Yang datang malah sesuatu yang sama sekali tak terduga siapa pun: Revolusi Prancis - transformasi gila-gilaan seluruh tatanan sosial, moral, dan agama. Awalnya revolusi ini tak memengaruhi nasib Madame Gaillard, tapi kemudian - di usianya yang nyaris delapan puluh tahun-orang yang memegang kewajiban pembayaran tunjangan hidup Madame Gailard harus beremigrasi, seluruh hak kepemilikannya dilucuti, dan dipaksa melelang kepemilikannya atas sebuah pabrik garmen. Untuk
sementara perubahan ini tetap tidak berakibat fatal bagi Madame Gaillard, karena pabrik garmen itu melanjutkan membayar tunjangan tepat waktu. Tapi kemudian tiba saat di mana ia tak lagi menerima uang dalam bentuk koin, tapi secarik kertas tercetak. Ini menandai awal kejatuhan kondisi perekonomian Madame Gaillard.
Dalam dua tahun, surat tunjangan itu tak lagi cukup untuk membiayai hidup. Madame terpaksa menjual rumah dengan harga sangat rendah karena ribuan orang lain mendadak juga terpaksa menjual rumah. Dan sekali lagi ia menerima pembayaran berupa secarik kertas tercetak yang dalam dua tahun kembali tak bernilai. Tahun 1797 (menjelang usia sembilan puluh tahun), seluruh harta dari hasil kerja kerasnya selama hampir seratus tahun ludes dan ia terpaksa tinggal di sebuah kamar sempit di jalan Coquilles. Pada saat itulah - setelah sepuluh-dua puluh tahun terlambat, sang maut menjelang. Hadir dalam wujud penderitaan berkepanjangan bernama kanker tenggorokan yang merampas nafsu makan dan akhirnya suara. Madame Gaillard bahkan tak mampu melenguh protes saat diusung ke Hotel-Dieu. Ia ditaruh di sebuah bangsal bersama ratusan orang sekarat lain, di bangsal tempat suaminya meninggal dulu, berbagi ranjang berdempet-dempet dengan lima wanita asing, dan tiga minggu kemudian mati di depan umum. Mayatnya dibungkus karung, dilempar ke gerobak pengusung pupuk kandang pada jam empat pagi bersama lima puluh mayat lain, lalu seiring denting bel dibawa ke Damart - sebuah tanah pekuburan baru berjarak satu mil di luar gerbang kota. Dan demikianlah akhir seorang Madame Gaillard... dalam sebuah kuburan massal, ditutup batu kapur tebal.
Itu terjadi tahun 1799. Untungnya Madame Gaillard sama sekali tak menyadari nasib yang menanti saat ia melenggang pulang pada tahun 1746, meninggalkan Grenouille dan cerita kita untuk selamanya. Kalau saja ia menyadari, detik itu juga keyakinannya tentang keadilan akan lenyap, bersama satu-satunya makna hidupnya yang paling berarti.
Enam SEJAK PERTAMA KALI menatap Monsieur Grimal - tidak, tepatnya sejak endusan pertama atas bau yang menyelimuti lelaki itu, Grenouille langsung tahu bahwa orang ini tega menyiksanya sampai mati untuk kesalahan kecil sekalipun. Hidupnya bergantung pada berapa banyak pekerjaan yang bisa ditangani dan seberapa bergunanya ia di mata Grimal. Grenouille tak melihat pilihan selain patuh. Menurut dan tak mencoba melawan sama sekali. Hari demi hari ia memendam seluruh energi pemberontakan dan pertentangan, mengubahnya menjadi keinginan tunggal untuk bertahan hidup ala kutu pohon. Ia bekerja keras, tak mengeluh dan tak mencolok. Harapan hidup dipelihara dengan kobaran sangat kecil tapi tetap menyala. Ia menjadi teladan kepatuhan, kesederhanaan, dan ketekunan bekerja. Mematuhi segala perintah tanpa bertanya dan tampak puas menerima makanan apa pun yang disodorkan. Sore hari ia membiarkan diri dikunci di lemari di samping lantai penyamakan tempat menyimpan peralatan dan menggantung kulit kasar yang baru saja digarami. Di sana ia tidur beralas tanah yang keras dan dingin. Siang hari ia bekerja sampai matahari terbenam - empat jam di musim dingin, empat belas, lima belas, dan enam belas jam di musim panas. Tugasnya mengoreki daging dari kulit binatang, membasahinya, mencabuti bulunya, mengapur, merendamnya dengan cairan kimia, melebarkan,
menggosoknya dengan kotoran binatang, membelah kayu bakar, mencabuti ranting dari pepohonan, turun ke sumur penyamakan berisi uap kimia yang membakar kulit, melapis kulit yang masih mentah dan yang sudah jadi sesuai instruksi pekerja senior, memelarkannya dengan remukan gallnut, lalu menutup lubang pembakaran dengan ranting dan tanah untuk proses mumifikasi kulit. Bertahun-tahun kemudian ia harus menggali lagi lubang tersebut dan mengangkat kulit yang kini sudah sempurna tersamak.
Jika tidak sedang mengubur atau menggali samakan kulit, ia ditugasi membawa air. Selama berbulan-bulan ia membawa air dari sungai dengan dua ember. Jumlahnya bisa ratusan ember dalam sehari karena penyamakan membutuhkan air dalam jumlah besar untuk perendaman, perebusan, dan pencelupan kulit. Selama berbulan-bulan tugas ini membuat badannya tak pernah kering. Sore hari pakaiannya selalu kuyup dan ia terpaksa tidur dengan kulit dingin dan membengkak seperti rendaman kulit antelop.
Setelah setahun hidup seperti binatang, ia terjangkit anthrax - penyakit yang paling ditakuti penyamak dan biasanya fatal. Grimal langsung memecat dan celingukan mencari penggantinya, walau diiringi sesal karena belum pernah ia menemui pekerja sepatuh dan seproduktif Grenouille. Di luar dugaan, Grenouille ternyata mampu bertahan dan sembuh. Yang tinggal hanya parut kehitaman dari radang kulit di belakang telinga, di kedua tangan, dan pipi. Membuat wajahnya cacat dan lebih jelek daripada sebelumnya. Tapi ini juga membuat ia kebal terhadap anthrax. Kini ia mampu menguliti kulit paling bau dengan tangan tersayat dan berdarah sekalipun tanpa khawatir terinfeksi lagi. Ini membuatnya mencuat tak hanya melebihi para pekerja magang dan pekerja senior, tapi juga dari para calon penggantinya. Dan karena ia tak bisa lagi digantikan dengan mudah, nilai kerja dan nilai hidupnya
meningkat. Mendadak ia tak boleh lagi tidur di lantai dan diizinkan membuat sendiri ranjang papan (kendati masih di lemari yang sama), diberi jerami sebagai kasur dan selimut sendiri. Pintu lemari tak pernah dikunci lagi saat ia tidur. Makanan juga lebih memadai. Grimal tak lagi memeliharanya sebagai binatang biasa, tapi sebagai peliharaan yang berguna.
Di usia dua belas tahun, Grimal memberi istirahat setengah hari setiap minggu, dan di usia tiga belas bahkan mengizinkan Grenouille keluar jalan-jalan setiap minggu sore selama satu jam setelah jam kerja. Selama satu jam itu ia bebas melakukan apa saja. Grenouille memenangkan taruhannya sendiri dengan tetap hidup dan menggenggam secuil kebebasan yang lebih dari cukup untuk bernapas. Hibernasi sudah berakhir. Kini saatnya Grenouille sang kutu pohon menggeliat. Aroma fajar dihirup kuat-kuat. Ia ingin sekali berburu aroma lagi. Cagar aroma terbesar di dunia kini terbentang di depan mata: kota Paris.
Tujuh RASANYA SEPERTI HIDUP di tengah padang utopia.
Perkampungan di sekitar Saint-Jacques de la Boucherie dan Saint-Eustache serasa taman surga. Di pinggiran jalan sempit antara jalan Saint-Dennis dan jalan Saint-Martin, orang-orang tinggal dalam rumah yang berdempet rapat satu sama lain, setinggi lima sampai enam lantai, membuat orang sulit menatap langit. Udara di permukaan tanah membentuk kanal-kanal lembap yang sarat dengan bekuan aroma - gabungan dari aroma manusia dan binatang, air dan batu, abu dan kulit, sabun dan roti segar serta telur yang direbus dalam air cuka, bau mi dan kuningan yang
digosok, bau daun, bir dan air mata, juga bau lemak dan rumput basah serta kering. Ribuan aroma membentuk bubur tak terlihat menyesaki selokan, jarang membubung menguap melewati atap dan tak pernah berasal dari dalam tanah. Penghuninya tak lagi menganggap aneh bubur aroma ini. Sebagian berasal dari badan mereka sendiri dan mereka sudah sangat terbiasa. Lagi pula, ini juga udara yang mereka hirup sehari-hari - seperti baju yang sudah dipakai sedemikian lama sampai tak lagi tercium baunya atau terasa menempel di kulit. Tapi ini tentu saja merupakan pengalaman pertama bagi Grenouille. Ia tidak mengendusi sekaligus, tapi ia pilah pilah secara analitis menjadi bank data aroma satu demi satu dalam ingatan terpisah. Hidung ajaibnya lalu mengurai setiap gumpalan uap dan aroma menjadi satu untaian terpadu yang tak bisa diuntai lebih jauh lagi. Seluruh proses ini memberi kesenangan luar biasa.
Sering kali ia hanya berdiri diam, bersandar di dinding atau berjongkok di sudut dengan mata tertutup, mulut setengah terbuka dan hidung terkembang lebar. Tenang-tenang ia menunggu setiap arus aroma yang datang. Saat angin mengantar aroma ke arahnya, ia akan memburu sampai dapat. Kadang ia hanya membaui satu aroma saja, dihirupnya dalam-dalam untuk disimpan baik-baik dalam ingatan. Kadang ia mencium aroma yang pernah dikenal atau variasi dari aroma itu, kadang aroma yang sama sekali baru dan belum pernah tercium atau "terlihat" sebelumnya, misalnya aroma kain sutra cetak, wangi teh liar, aroma kain brokat bersulam benang perak, aroma gabus penyumbat sebuah botol anggur tua, dan aroma sisir yang terbuat dari tempurung kura-kura. Grenouille terus berburu mencari berbagai aroma asing. Ia memburu dengan kecintaan dan kesabaran seorang pemancing untuk disimpan baik-baik dalam ingatan.
Setelah kenyang menghirup bubur aroma jalanan ia akan pergi ke daerah yang lebih segar, di mana aroma lebih tipis dan berbaur menyebar bersama angin - persis seperti parfum. Misalnya seperti saat ia pergi ke pasar Les Halles, di mana aroma siang hari terus bertahan sampai sore. Tak terlihat dan tipis-tipis, seolah para penjual masih membaur dalam keramaian, seolah keranjang-keranjang dagangan mereka masih di situ dan penuh dengan sayuran serta telur, atau tong-tong sarat anggur dan cuka, kantong-kantong berisi rempah, kentang, dan tepung, peti-peti dengan paku dan sekrupnya, meja jagal, meja yang sarat gulungan pakaian, piring dan sol sepatu, serta ratusan macam barang lain yang dijual di situ selama siang hari. Kesibukan dan keramaian yang terjadi, sampai sekecil-kecilnya, masih terekam di udara. Grenouille "melihat" semua ini dengan hidung. Ia membaui dengan ketepatan melebihi normalnya orang melihat dengan mata. Persepsi indranya berdasarkan fakta dan karena itu berada di tataran lebih tinggi - katakanlah, ia mampu untuk langsung "melihat" esensi dan roh dari apa yang telah terjadi, dalam kondisi murni dan tak terganggu oleh peristiwa sehari-hari pada saat itu, seperti suara, pandangan, atau tekanan manusia lain yang membuatnya muak.
Di saat lain ia akan pergi ke tempat pemenggalan ibunya dulu. Tempat bernama de Greve di mana tanjungnya menjorok ke sungai seperti lidah raksasa. Di sini kapal-kapal berlabuh, ditarik atau ditambat ke tonggak sepanjang tanjung, dengan sebaran aroma batu bara, butiran padi, rumput kering, dan tali lembap.
Dari arah barat, melewati jalur tunggal yang memotong ke arah kota melalui sungai, datang embusan angin besar yang membawa aroma pedesaan - aroma padang rumput di sekitar Neuilly, aroma hutan di jalur antara Saint-Germain dan Versailles, bahkan aroma kota-kota nun jauh di sana
seperti Rouen atau Caen, dan tak jarang juga aroma laut. Aroma laut tercium seperti sebuah pelayaran dengan ombak berisi campuran antara air, garam, dan dingin matahari. Laut memiliki aroma sederhana tapi sekaligus juga unik dan begitu kaya. Sedemikian kaya sampai Grenouille ragu apakah benar pilahan aromanya terdiri atas ikan, garam, air, ganggang, udara segar, dan sebagainya. Ia lebih suka membaui aroma laut sebagai satu kesatuan. Grenouille sangat menyukai aroma laut sampai ingin suatu hari nanti meraup sendiri sepuasnya sampai mabuk - tentunya dalam kondisi yang murni dan belum tercemar. Kelak, saat ia mendengar dari cerita-cerita tentang betapa luasnya laut itu dan betapa kau bisa melayarinya dengan kapal selama berhari-hari tanpa bertemu daratan, dengan gairah menggebu Grenouille membayangkan dirinya duduk di atas tiang kapal, sepuasnya meluncur di tengah samudra aroma lautan. Ia yakin bahwa yang tercium nanti bukan hanya sekedar aroma, tapi napas-napas sebenar-benarnya yang menjadi akhir dari segala aroma. Betapa senangnya jika bisa membaur lepas dalam napas itu. Tapi ini akan tetap jadi impian bagi Grenouille, yang saat itu tengah berdiri di tepi sungai de Greve, dalam lantunan ajeg sisa-sisa sepoi angin laut yang bisa ia endusi. Grenouille tak aka-n pernah melihat laut. Laut yang sebenarnya-samudra luas yang terbentang jauh di barat, dan tak akan pernah bisa melebur dengan aromanya.
Jadilah ia kembali dengan tekun mengendusi jalanan antara Saint-Eustache dan Hotel de Ville sampai ia mampu mencari jalan sendiri dalam kegelapan sekalipun. Grenouille memutuskan untuk memperluas daerah perburuan. Pertama ke arah barat di sekitar pinggiran Saint-Honore, lalu keluar sepanjang jalan Saint-Antoine ke arah Bastille, dan akhirnya menyeberang sungai ke daerah
Sorbonne dan pinggiran Saint-Germain, tempat tinggal orang-orang kaya. Gerbang-gerbang besi rumah mereka mengembuskan aroma pakaian kulit dan bedak rambut palsu, sementara tembok-tembok tinggi mengembuskan aroma taman yang terdiri dari sapu, bunga mawar, dan pagar tanaman yang baru dipotong rapi. Di sini pula Grenouille pertama kali mencium aroma parfum secara lateral: aroma lavender atau mawar yang menyarati air-air mancur di taman saat acara pesta. Ia juga mencium aroma parfum yang lebih kompleks dan mahal - larutan aroma kesturi yang dicampur dengan minyak neroli dan tuberosa, bunga jonquil, melati, atau kayu manis. Semua dicatat baik-baik dalam ingatan. Didaftar satu per satu seperti ketika orang mendadak membaui aroma tak sedap dan lantas penasaran ingin tahu sumbernya - meski tanpa kekaguman. Grenouille tentu saja sadar bahwa tujuan parfum adalah untuk menciptakan efek memabukkan dan memancing minat serta perhatian. Ia juga mengenali nilai masing-masing aroma yang menyusun parfum tersebut. Namun kalau mau jujur, aroma-aroma itu terasa agak kasar dan membosankan - lebih seperti diaduk asal-asalan ketimbang diracik. Grenouile yakin bisa membuat sendiri aroma parfum yang sama sekali berbeda kalau diberi kesempatan memelajari dan mengolah ramuan dasarnya.
Ia tahu bahwa sebagian besar ramuan tersebut bersumber dari bebungaan dan kios rempah-rempah di pasar, sementara sisanya sama sekali tidak ia kenal. Grenouille menyaring satu per satu, tetap dengan kondisi tanpa nama: aroma ambergris, kesturi, patchouli, kayu cendana, aroma minyak perasan buah bergamot, aroma vetiver, aroma getah pohon, kapur barus, perasan kelopak bunga, minyak jarak....
Grenouille tidak mengkhususkan satu aroma pun. Tidak membedakan berdasarkan dikotomi 'aroma yang enak'
dengan 'aroma yang tidak enak'. Setidaknya belum. Saat ini ia sedang ingin melahap saja dengan rakus. Tujuan perburuan ini semata-mata demi meraup segala yang bisa diberikan oleh dunia dalam hal aroma - terutama aroma yang baru dikenal. Bagi Grenouille, bau keringat kuda sama berartinya dengan aroma seikat bunga mawar. Bau sangit tubuh serangga tidak lebih berarti dari aroma sapi panggang di dapur-dapur para borjuis. Grenouille melahap semua tanpa pandang bulu. Semua, segalanya, dihirup begitu saja. Tak ada prinsip estetika apa pun di dapur imajinasi indra penciumannya. Di situ ia senantiasa menyintesis dan meracik berbagai kombinasi aromatik. Bau tak sedap diterjang juga, karena nantinya toh dibuang lagi - seperti anak kecil dengan mainan balok, ia mencipta dan menghancurkan. Kreativitas Grenouille tak mengenal norma.
Delapan TANGGAL 1 SEPTEMBER 1753 adalah hari ulang tahun penobatan Raja Prancis. Kota Paris meriah dengan taburan petasan di Pont-Royal. Memang tidak semeriah kembang api saat pesta pernikahan Sang Raja atau pesta peringatan kelahiran Dauphin yang legendaris, tapi tetap saja meriah. Jauh sebelum dimulai, para pekerja sudah sibuk mengangkat kembang api raksasa berbentuk roda matahari emas ke tiang kapal di pelabuhan. Jembatan kota Paris berias kembang api berbentuk banteng yang membuncahkan percik api ke arah sungai. Suara derak dan letupan berkumandang dari segala arah, memekakkan telinga di sepanjang trotoar. Petasan-petasan roket melesat dan melukis langit malam dengan semburan cahaya putih.
Ribuan orang memadati jalanan sepanjang jembatan dan dermaga di kedua sisi sungai, tak henti ber-"aaah... " "uuuh... " ria serta seruan memuji, bahkan - sesekali ditingkahi, "Panjang umur Sang Raja ... !" - walau sadar bahwa Sang Raja telah awet bertahta selama lebih dari 38 tahun dan kepopulerannya sudah lama pudar. Hmm... kembang api memang mampu membuat orang optimis.
Grenouile duduk termenung dalam diam di bawah bayang-bayang Pavilyun de Flore, persis di seberang Pont-Royal, di sisi kanan silngai. Tak sedikit pun ia turut bersorak. Apalagi sampai mendongak memandangi petasan roket. Ia datang dengan harapan dapat mencium sesuatu yang baru, tapi tak lama kemudian sadar bahwa kembang api ternyata tak punya aroma apa pun yang bisa ditawarkan. Variasi kemegahan dan kemewahan audiovisual mereka hanya meninggalkan campuran aroma yang amat monoton: sulfur, minyak, dan potasium nitrat.
Grenouille sudah hendak bangkit dan berjalan pulang menyusuri gang Louvre ketika tiba-tiba saja angin membawa sebuah aroma yang amat samar clan sulit ditegaskan. Benar-benar secuil aroma. Sekecil atom - tidak, bahkan lebih samar dari itu. Lebih seperti pertanda datangnya aroma ketimbang aroma itu sendiri, namun pada saat yang sama meniang sungguh terasa seperti pertanda dari sesuatu yang belum pernah diciumnya selama ini. Grenouille merapatkan punggung ke tembok, menutup mata dan mengembangkan hidung lebar-lebar. Aroma misterius itu sungguh lembut dan tipis sampai nyaris tak "terpegang". Persepsi yang ditimbulkan juga berubah terus. Apalagi dikaburkan oleh aroma petasan, keringat sekian banyak orang, menyerpih dan tergilas oleh ribuan aroma lain di kota ini. Tapi beberapa detik kemudian aroma itu datang lagi. Tipis-tipis, bersama sekelebat bayangan pertanda akan sesuatu yang amat
hebat, tapi hanya sedetik... lalu hilang lagi. Grenouiile sungguh dibuat menderita. Untuk pertama kali dalam hidup ia tersiksa, bukan hanya ketamakannya menghirup aroma yang tersinggung, tapi hatinya juga sakit. Seperti ada sesuatu yang dahsyat di balik aroma ini - aroma yang boleh jadi merupakan kunci untuk mengurutkan senua aroma. Orang belum bisa disebut 'pakar aroma' kalau belum mengerti aroma yang satu ini. Celakalah Grenouille kalau sampai tak bisa mendapatkannya. Ia harus memiliki - tak hanya untuk disimpan tapi juga agar hatinya tenang.
Grenouille nyaris muntah karena gelisah. Ia bahkan belum bisa memastikan arah datangnya aroma tersebut. Kadang ada jeda beberapa menit sebelum angin mengembuskan aroma itu lagi. Dan setiap kalinya ia nyaris jantungan takut kehilangan. Setengah putus asa, akhirnya ia yakin bahwa aroma itu datang dari seberang sungai. Dari suatu tempat di arah tenggara.
Grenouille menjauh dad tembok Pavilyun de Flore, membaur di kerumunan orang, lalu merintis jalan menyeberangi jembatan. Setiap beberapa langkah ia. berhenti dan berjingkat agar marnpu mengendusi aroma itu dari atas kepala orang-orang. Mulanya ia tak mencium apa pun selain kehebohannya sendid, tapi perlahan ia bisa menangkap aroma itu. Bahkan lebih kuat. Sadar sedang mengikuti jejak yang benar, ia menyelarn lag~l ke kerumunan orang, menggeliat melewati jejalan para penonton dan pemasang petasan yang sibuk menyuluti petasan roket, sempat kehilangan aroma buruan di tengah bubungan asap, panik, mendorong dan menyikut membuka jalan lebih gegas, lalu entah. setelah. berapa menit kemudian baru tiba di seberang sungai, dekat Hotel de Mailly, dermaga Malaquest, dan jalan setapak yang mengarah ke jalan Seine.
Grenouille menghentikan langkah, mengumpulkan segenap kekuatan, lalu mengendus. Begitu dapat, ia "genggam" erat-erat. Aroma itu bergulung sepanjang jalan Seine seperti pita. Begitu jelas tapi sekaligus juga begitu samar dan tipis. Jantung Grenouille berdegup kencang -bukan karena kecapekan sehabis berlari, tapi akibat kegelisahan dari ketidakberdayaannya di hadapan aroma misterius itu. Ia mencoba mengingat sesuatu sebagai pembanding, tapi tak ada yang sama. Aroma ini segar, tapi bukan seperti segarnya jeruk limau atau buah delima. Bukan juga segarnya getah myrrh atau kayu manis, tidak pula daun mint atau pohon birch atau getah camphor atau duri pohon pinus. Membanding lebih jauh, kesegaran ini juga tidak mirip kesegaran rintik hujan bulan Mei atau angin musim dingin atau air sumur. Grenouille juga mencium kehangatan dalam aroma tersebut. Tapi lagi-lagi saat membandingkan ia yakin bahwa ini tidak seperti kehangatan pohon jeruk, bergamot, pohon cemara, atau kesturi. Tidak pula menyerupai kehangatan bunga melati atau narsis, bunga mawar ataupun iris. Aroma ini gabungan keduanya - mengabur dan substantif. Tidak, ini bukan gabungan, tapi kesatuan. Walau tipis dan amat samar namun tetap bergaung kuat dan terus-menerus - seperti selembar kain sutra... tapi bukan sutra. Lebih seperti kue kering berbalur susu madu. Sampai di sini pun ia bingung sekaligus takjub: bagaimana mungkin aroma susu dan sutra bisa hadir bersamaan! Grenouille tak habis pikir. Aroma ini sungguh tak bisa dicerna, tak bisa digambarkan, dan tak bisa dikategorikan dengan cara apa pun - bahkan mestinya tak mungkin ada! Tapi toh aroma itu hadir dan nyata karena kini ia tengah membauinya. Grenouille mengekor perlahan. Jantungnya terus berdegup kencang. Ia sadar bahwa sebenarnya bukan ia yang mengikuti aroma, tapi aroma itulah yang telah menangkap dan menariknya seperti kerbau dicucuk hidung.
Grenouille menyusuri jalan Seine. Tak ada orang sepanjang jalan. Rumah-rumah berdiri lengang dan kosong karena penghuninya sedang masyuk kembang api di sungai. Tak ada gangguan bau manusia atau sengatan asap mesiu. Jalan Seine kembali ke pelangi aroma aslinya berupa air, kotoran manusia, tikus, dan sampah sayuran. Tapi di atasnya mengambang aroma misterius yang kini tengah menarik hidung Grenouille. Beberapa langkah memasuki jalan, remang cahaya malam habis ditelan bangunan-bangunan tinggi. Grenouille melangkah dalam kegelapan. Peduli amat, toh ia tak butuh mata. Aroma tipis ini saja sudah lebih terang ketimbang lentera mana pun.
Lima puluh meter berikutnya ia membelok tajam ke jalan Marais - sebuah gang yang amat sempit dan makin gelap - kalau memang bisa lebih gelap lagi. Anehnya, di tempat ini aroma misterius itu seperti memudar - tidak, bukan memudar, tapi menjadi lebih murni. Kemurnian yang justru mengeluarkan daya tarik lebih besar. Kaki Grenouille seperti punya pikiran sendiri. Satu ketika ia tertarik ke arah kanan, lurus menuju sebuah dinding. Grenouille meraba sebentar dan menemukan celah rendah yang mengarah ke halaman belakang sebuah rumah - atau gedung. Tak tahulah. Yang jelas ia terus melangkah seperti orang mimpi berjalan. Ia melewati pekarangan, membelok di sudut ke sebuah pekarangan lain yang lebih kecil, dan di tempat ini akhirnya ada cahaya, meski hanya menerangi daerah seluas beberapa kaki saja. Sebuah atap kayu menjuntai dari dinding. Di balik dinding itu ada meja dengan sebatang lilin yang menyala. Seorang gadis duduk di depan meja sedang membersihkan sekeranjang plum kuning. Tangan kirinya mengambil buah dari keranjang, digenggam lalu dikupas dengan pisau, kemudian ia
melempar hasilnya ke sebuah ember. Umur si gadis mestinya tak lebih dari tiga belas atau empat belas tahun. Grenouille bergeming menatap nanar tak percaya. Seketika itu ia mengenali sumber aroma misterius yang telah ia ikuti sejak setengah mil lalu dari seberang sungai: bukan berasal dari pekarangan atau buah plum. Sumbernya adalah si gadis perawan itu!
Sekejap ia begitu kalutnya sampai tak percaya sendiri. Baru pertama kali ini dalam hidup ia menyaksikan sesuatu yang begitu indah seperti si gadis pengupas buah plum -pun walau hanya sempat melihat dari belakang, dalam siluet nyala lilin. Maksud Grenouille di sini tentu saja lebih mengacu bahwa ia belum pernah mencium benda secantik ini. Sungguh berbeda dengan aroma manusia yang ia kenal selama ini - dari sekian ribu pria, wanita, dan anak-anak sepanjang pengalaman hidupnya, jadi tak heran bila ia sulit meyakini ada aroma yang begitu elok bisa keluar dari tubuh seorang manusia. Selama ini ia yakin bahwa tak ada yang istimewa dari aroma manusia - malah cenderung mengerikan. Anak-anak berbau hambar, pria dewasa berbau kencing, asam keringat, serta keju, sementara wanita umumnya berbau lemak anyir dan ikan busuk. Sungguh sangat tidak menarik dan memuakkan. Begitulah bau tubuh manusia.
Namun kini rupanya tiba saat Grenouille tak lagi bisa memercayai hidung dan harus mengandalkan mata untuk meyakinkan bahwa ia benar-benar melihat apa yang dicium. Tapi kegalauan indra ini tak berlangsung lama. Hanya sedetik yang ia butuhkan untuk yakin pada realitas optik tersebut. Detik berikut ia kembali terbenam dalam surga persepsi indra penciuman. Baru sekarang ia tersenyum saat mencium aroma manusia... dari tubuh si gadis - mencium bau ketiaknya, minyak di rambutnya, bau amis di kemaluan.... Grenouille menghirup dalam-dalam
seperti orang mengisap candu. Keringat si gadis sesegar angin laut, lemak rambutnya semanis minyak zaitun, kemaluannya seharum bunga lili air, kulitnya semerbak aprikot matang. Harmoni dari seluruh komponen ini menghasilkan aroma parfum tiada tara yang begitu kaya, begitu seimbang dan ajaib, sampai-sampai setiap parfum yang pernah ia cium selama ini dan setiap kumpulan aroma yang pernah ia ciptakan sampai detik ini, menjadi begitu kerdil dan tak berarti. Ratusan ribu aroma jatuh tak berharga di hadapan aroma yang satu ini. Aroma yang memiliki tataran hierarki dan prinsip jauh lebih tinggi dan mampu menata susunan aroma lainnya. Sungguh sebuah keindahan murni.
Grenouille sadar bahwa ia harus memiliki aroma ini atau hidupnya tak berarti lagi. Ia harus memahami detail terkecilnya, mengikuti sampai ke rambut terhalus. Ingatan saja, betapa pun kompleks, tak akan cukup. Ia ingin menanam aroma dewa ini ke kedalaman jiwanya yang hitam dan berlumpur - menelusuri sedemikian rupa sampai akhirnya tiba pada putusan bahwa sejak detik ini ia akan hidup, berpikir, dan membaui hanya berdasarkan struktur terintim dari formula magis aroma tersebut.
Perlahan ia mendekati si gadis, makin dekat dan makin dekat, sampai tiba persis di bawah atap teras dan berhenti persis selangkah di belakang si gadis yang belum juga menyadari kehadirannya.
Rambut si gadis berwarna merah dan ia mengenakan gaun kelabu panjang tak berlengan. Lengannya putih bersih dan tangannya kekuningan oleh perasan buah plum. Grenouille membungkuk ke arah si gadis dan menghirup aroma murni yang menguap dari tengkuk, rambut, dan kerah baju. Grenouille menghirupnya seperti menghirup udara pagi. Belum pernah ia merasa senyaman ini.
Si gadis lain lagi. Mendadak ia merasa udara berubah dingin. Kendati tidak melihat Grenouille, tak urung tubuhnya gelisah. Bulu kuduk meremang seperti orang menjelang ketakutan luar biasa. Dingin aneh itu datang dari arah belakang, seolah ada yang baru saja membuka pintu ruangan luas yang dingin itu. Si gadis meletakkan pisau ke atas meja, menarik tangan ke dada, lalu berpaling.
Tubuh si gadis begitu kaku ketakutan melihat Grenouille, sampai tak mampu berbuat apa-apa saat lelaki itu menjulurkan tangan mencekik leher. Ia bahkan tak sanggup menjerit, meronta, atau berusaha membela diri. Grenouille berpejam mata. Ia tak ingin melihat wajah berbintik si gadis, bibir ranum dan bola mata hijau yang mendelik penuh teror itu. Matanya terus terpejam sementara mencekik. Yang dipedulikannya hanya satu: jangan sampai aroma tubuh gadis itu hilang sedikit pun.
Setelah si gadis mati, Grenouile meletakkan tubuh lunglai itu di lantai di antara biji-biji buah plum, lalu merobek bajunya. Gelombang aroma tubuh si gadis sontak membanjir memabukkan. Wajah Grenouille merangsek menggeseki kulit si gadis. Hidungnya rakus melahap aroma yang menguap - dari perut ke buah dada, ke leher, sekitar wajah dan rambut, lalu kembali ke perut, turun ke kemaluan, ke paha dan kakinya yang putih. Ia mengendusi mayat si gadis dari ujung kepala sampai ujung kaki, mengumpulkan sisa-sisa terakhir aroma tubuh di bawah dagu, di pusar, dan di kerutan siku bagian dalam.
Setelah puas dan yakin tak bersisa lagi, untuk sesaat ia duduk berjongkok di sisi mayat, mengumpulkan kesadaran setelah menyesakkan diri dengan aroma si gadis. Ibarat minuman, ia tak ingin menumpahkan aroma itu sedikit pun. Untuk itu, pertama sekali ia harus menguncinya di kamar ingatan yang terdalam. Barulah kemudian ia bangkit dan meniup lilin.
Sementara itu, orang-orang sudah mulai kembali pulang, bernyanyi dan bersorak ria sepanjang jalan Seine. Grenouille kembali mengandalkan penciuman untuk menuntun pulang di kegelapan sepanjang gang, tembus ke jalan Petits Augustins yang berseberangan dengan jalan Seine, lalu terus ke arah sungai. Tak lama kemudian mayat si gadis ditemukan. Jeritan dan kehebohan kontan meledak. Obor-obor dinyalakan. Para penjaga dan patroli malam tergopoh-gopoh berdatangan. Sementara Grenouille sudah lama kembali berada di seberang sungai.
Malam itu, kamar sempit Grenouille serasa istana dan ranjang papan serasa beralas bulu angsa. Belum pernah seumur hidupnya ia mencicipi yang namanya kebahagiaan, selain kesenangan-kesenangan kecil tapi tersumbat-dan itu pun amat sangat jarang. Tapi kini ia sedemikian bergelimang suka cita sampai tak bisa tidur. Rasanya seperti baru lahir kembali - tidak, bukan lahir kembali, tapi lahir untuk yang pertama kalinya, karen selama ini rasanya ia tak lebih dari binatang dengan sekelumit kesadaran. Baru hari inilah ia menyadari jati diri sesungguhnya sebagai seorang genius, di samping kesadaran bahwa arti serta tujuan hidupnya memiliki takdir yang lebih tinggi, yaitu tiada lain untuk merevolusi dunia aroma. Hanya dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang sanggup mewujudkan hal itu melalui keistimewaan indra penciuman, ingatan luar biasa, dan yang terpenting, wewangian sejati yang baru saja ia ambil dari gadis di jalan Marais tadi. Di dalamnya terkandung formula magis untuk membuat parfum macam apa pun. Sebuah formula wewangian yang begitu hebat, halus, kuat, stabil, bervariasi, dan sekaligus menakutkan - sebuah keindahan yang tak tertahankan. Telah ia temukan kompas menuju masa depan.
Dus, seperti lazimnya tokoh-tokoh monster berbakat besar yang cenderung melompat tanpa ragu ke pusaran kegelapan jiwa mereka setelah merasa mengalami "pencerahan", Grenouille tak pernah lagi berpaling dari apa yang diyakininya sebagai jalan takdir. Jelas baginya sekarang kenapa ia harus begitu bertahan hidup selama ini, dalam kekejian dan kekerasan yang luar biasa pula. Rupanya agar kelak bisa memenuhi takdir sebagai seorang pencipta wewangian. Dan bukan yang biasa-biasa saja, tapi pencipta dan ahli parfum terhebat sepanjang masa.
Dan pada malam itu juga, sejak bangun sampai di alam mimpi, ia memeriksa bank data memorinya yang luar biasa itu. Jutaan demi jutaan matriks ingatan aroma dikaji dengan teliti lalu disusun secara sisternatis dalam kategori aroma bagus, jelek, tipis, kasar, busuk, serta menyenangkan. Seminggu berselang sistem ini tumbuh menjadi lebih halus dan tersaring, katalog aroma menjadi lebih luas dan beragam, hierarkinya juga lebih jelas. Tak lama kemudian Grenouile mulai mampu membangun fondasi struktur aroma yang telah dibuat dengan sedemikian hati-hati, seperti membangun kastil saja. Ada rumah-rumah, tembok, tangga, menara, gudang bawah tanah, kamar-kamar, ruangan-ruangan rahasia ... pokoknya sebuah benteng ingatan imajinasi yang dibangun berdasarkan aroma terdahsyat yang pernah ada, yang setiap hari tumbuh makin besar, makin indah, dan makin menyempurna.
Sebuah pembunuhan menjadi awal dari semua kemegahan ini - itu pun kalau ia sadar. Tapi Grenouille benar-benar tak ambil pusing. Ia bahkan sudah tak ingat lagi bagaimana rupa dan perawakan si gadis dari jalan Marais. Yang penting ia telah menyimpan dan menjadikan bagian terbaik dari gadis itu sebagai milik pribadi, yaitu aroma tubuhnya.
Sembilan ADA SELUSIN LEBIH ahli parfum tinggal di Paris pada zaman itu. Enam orang tinggal di sebelah kanan sungai, enam orang tinggal di sisi kiri, dan satu orang tinggal pas di tengah, persisnya di Pont au Change, yang menghubungkan sisi kanan sungai dengan Ile de la Cile. Jembatan ini begitu padat dengan gedung-gedung berlantai empat sampai orang tak bisa lagi melihat sungai saat menyeberang jembatan dan malah serasa berada di sebuah jalan raya biasa - jalan yang sangat elegan, malah. Pont au Change memang terkenal sebagai salah satu distrik bisnis terbaik di Paris. Bermacam toko ternama bisa ditemui di sini. Ada pandai emas, pembuat lemari, pembuat wig dan dompet terbaik, bermacam pabrik pembuat pakaian dalam wanita dan stoking terbaik, pembuat bingkai lukisan, para pedagang sepatu berkuda, pembuat sulaman untuk hiasan bahu, pembuat kancing emas, dan para bankir. Di distrik ini pula berdiri bisnis serta kediaman seorang ahli parfum dan pembuat sarung tangan terkenal bernama Giuseppe Baldini. Jendela etalasenya dinaungi kanopi hijau beraltar nan mewah, persis di samping bendera simbol keluarga Baldini. Bendera simbol keluarga itu bertatahkan emas, bergambar flacon (tabung kimia) emas yang menumbuhkan seikat bunga yang juga emas. Di depan pintu toko terhampar sebuah karpet merah dengan gambar simbol keluarga Baldini bersulam emas. jika pintu dibuka akan terdengar denting bel Persia, disusul ayunan leher dua patung bangau memerciki air beraroma bunga lembayung dari paruh mereka ke sebuah bejana emas, yang kemudian dibentuk menyerupai flacon seperti pada simbol keluarga Baldini.
Kenapa" Malam itu terjadi sebuah bencana kecil. Dengan sedikit keterlambatan pengumuman, pihak istana mengeluarkan dekrit yang mengharuskan peruntuhan sedikit demi sedikit seluruh gedung yang berada di atas jembatan di seluruh Paris. Maka pada malam itu, tanpa alasan jelas, sebelah Barat Pont au Change, di antara dermaga ketiga dan keempat, runtuh berurutan. Dua buah gedung diserok ke arah sungai. Begitu menyeluruh dan tiba-tiba sampai penghuninya tak sempat menyelamatkan diri. Untungnya hanya dua orang yang tercatat sebagai korban, yaitu Giuseppe Baldini dan istrinya, Teresa. Para pelayan telah keluar lebih dulu, dengan atau tanpa permisi. Chenier adalah pelayan pertama yang berniat kembali lebih dulu (karena. ia tak punya tempat tinggal lain), melangkah dengan kaki terseok agak mabuk. Bisa ditebak betapa syok dan runtuh sarafnya melihat kejadian ini. Sia-sia saja pengorbanan hidupnya selama tiga puluh tahun, bersandar harapan agar suatu hari nanti namanya tercantum dalam surat warisan Baldini karena si tua itu tak punya sanak ataupun saudara. Kini, dalam sekali kebas, seluruh warisan itu musnah - semuanya: rumah, bisnis, bahan mentah, laboratorium, Baldini sendiri dan tentu saja surat warisan Baldini. Padahal ia yakin bahwa kelak hampir pasti Baldini akan menunjuknya sebagai pemilik pabrik di Saint-Antoine.
Tak ada apa pun yang bisa ditemukan. Tidak mayat, brankas, atau buku catatan berisi enam ratus formula. Hanya satu yang tersisa dari Giuseppe Baldini sang pembuat parfum terbesar seantero Eropa: aroma parfum aneka warna - ada aroma kesturi, kayu manis, cuka apel, lavender, dan ribuan aroma lain. Selama beberapa minggu aroma ini mengambang tinggi di atas sungai Seine, membentang dari Paris sampai Le Havre.
Bagian II Di belakang meja kasir dari kayu boxwood ringan, berdiri sang Baldini - setua dan sekaku pilar, mengenakan wig berpupur perak dan mantel biru berhias bros katak-katak kecil dari emas. Harum bunga kemboja yang ia semprotkan setiap pagi membungkusnya seperti kabut, nyaris terlihat saking tebalnya dan membuat si pemakainya sedikit kabur dari pandangan. Sedemikian kakunya ia sampai seolah menjadi bagian dari barang jualannya sendiri. Hanya apabila bel berdering dan kedua bangau memercik parfum - itu pun agak jarang terjadi, ia mendadak "hidup". Tubuhnya membungkuk dan mengecil sedemikian rupa, Ialu bergegas keluar dari balik meja kasir begitu cepatnya sampai kabut parfum kemboja tak sempat mengikuti. Segera ia menyambut serta memersilakan duduk si pelanggan sementara ia memeragakan dagangan parfum dan kosmetiknya yang terbaik.
Koleksi parfum serta kosmetik dagangan Baldini jumlahnya ribuan. Stoknya bervariasi, mulai dari essences absolues - wewangian utama dari minyak bunga, larutan alkohol, ekstrak, sari pati, balsam, getah, dan bermacam obat dalam wujud kering, cair, atau lilin. Ia juga menjual bermacam minyak rambut, pasta, bedak, sabun, krim, bedak wangi, bandolin, sampo, lilin pengeras kumis, obat kutil, dan alat-alat kecantikan mulai dari minyak mandi, losion, garam pewangi, perlengkapan kamar mandi, dan rupa-rupa parfum yang tak terhitung banyaknya. Namun Baldini belum puas dengan produk-produk kecantikan klasik ini. Ia berambisi mengumpulkan semua benda beraroma atau apa pun yang memiliki kontribusi dalam pembuatan parfum. Jadi, selain pastiles pelega tenggorok, lilin dan tali dupa, ia juga menyediakan bermacam rempah
mulai dari biji minyak adas manis sampai kayu manis, sirup, bermacam minuman anggur dan brendi perasan buah, minuman anggur dari Cyprus, Malaga, dan Corinth, madu, kopi, teh, permen, dan buah kering, daun ara, kembang gula. atau manisan, cokelat, kastanye, bahkan caper kering, mentimun, bawang, serta ikan tuna yang diasinkan. Masih ditambah dengan filin penyegel parfum, alat tulis-menulis, tinta khusus untuk menulis surat cinta beraroma bunga mawar, perangkat menubs dengan tas kulit Spanyol, penyangga pena dari kayu cendana putih, peti jenazah dan peti-peti biasa dari kayu cedar, pot air dan mangkuk berdekorasi mekaran bunga, kendi dupa dari kuningan, flacon kristal dan kendi-kendi bertutup gading, sarung tangan beraroma, sapu tangan, bantal alas menjahit berisi bunga pala, serta kertas dinding beraroma kesturi yang mampu menghiasi kamar selama lebih dari seratus tahun.
Tentu saja toko Baldini tidak cukup besar untuk menampung semua barang tersebut. Ruangan toko memang apik, namun kecil dan menghadap ke arah jalan (atau ke arah jembatan). Jadi, untuk gudang ia tak hanya menggunakan ruangan bawah tanah, tapi juga seluruh lantai dua dan lantai tiga serta nyaris seluruh ruangan yang menghadap ke sungai di lantai dasar. Bisa dibayangkan betapa kacaunya aroma yang menaungi Rumah Keluarga Baldini. Betapa pun elok kualitas tiap-tiap barang tersebut (karena Baldini hanya mau membeli barang kualitas terbaik), paduan aromanya nyaris tak tertahankan. Ibarat sebuah orkestra beranggotakan ribuan musisi dan masing-masing memainkan melodi berbeda sekencang dan sesuka hati. Baldini dan para asistennya sudah terbiasa dengan kekacauan ini - persis seperti konduktor-konduktor orkestra berusia senja (yang kemampuan mendengarnya sudah pasti menurun). Begitu pun Nyonya Baldini yang
tinggal di lantai empat dan selalu menentang penumpukan barang lebih jauh, nyaris tak terganggu lagi oleh kekacauan aroma tersebut. Tapi tidak demikian bagi para pelanggan Baldini yang baru pertama kali memasuki toko. Neraka aroma yang menghantam indra penciuman terasa bagai hantaman tinju tepat di wajah. Tergantung kekuatan masing-masing, yang bersangkutan bisa seketika itu pusing atau malah segar. Apa pun itu, yang jelas tetap membuat indra penciuman si pelanggan sedemikian linglung sampai tak ingat lagi tujuannya datang ke toko. Tak sedikit bocah-bocah kurir yang lupa pesanan, pendekar pedang nan sangar mendadak muntah-muntah, dan wanita ningrat yang mual-mual, setengah histeris, setengah klaustrofobia -ketakutan berada di ruang sempit, lantas pingsan dan hanya bisa dibangunkan oleh olesan minyak beraroma paling tajam dari minyak cengkeh, amonia, dan getah camphor.
Dengan keadaan seperti itu, sungguh tidak mengherankan bila denting bel Persia dan percik parfum dari paruh patung bangau di pintu toko Giuseppe Baldini makin lama makin jarang terdengar.
Memanah Burung Rajawali 6 Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam Pendekar Sadis 4
Patrick Suskind Perfume: The Story of a Murderer
Tentang Penulis PATRICK SUSKIND lahir pada tahun 1949. Ia memelajari sejarah di Munich dan telah menjadi penulis di dunia pertelevisian sebelum menulis Das Parfum ini. Novel keduanya bertajuk Die Taube (Burung Merpati) yang kemudian diadaptasi menjadi naskah panggung dan dipentaskan pertama kali di Gedung Teater BAC di London pada bulan Mei 1993. Naskah panggung lainnya yang berjudul Der Kontrabas (Bas Ganda) pertama kali dipentaskan di Munich pada tahun 1981, dan sejak itu menjadi salah satu kisah yang paling sering dipentaskan di Jerman, Swiss, dan Austria. Karya ini telah pula dipentaskan di Festival Edinburgh dan Royal National Theatre (Teater Nasional Kerajaan) di London. Novel Suskind lain berjudul Die Geschichte von Herrn Sommer (Kisah Tuan Sommer) terbitan 1992 telah pula mendulang sukses internasional sebagaimana Das Parfum. Selanjutnya ia juga menerbitkan Drei Geschichten (Tiga Kisah) pada tahun 1996. Patrick Suskind tinggal di Munich.
BAGIAN I Satu PADA ABAD KEDELAPAN BELAS di Prancis, tinggallah seorang pria yang dikenal sebagai salah seorang tokoh paling berbakat sekaligus paling ditakuti di zaman yang belum lagi mampu menoleransi karakter paradoks seperti
itu. Kisah inilah yang akan dituturkan. Namanya Jean-Baptiste Grenouille. Tak seperti tokoh paradoks terkenal lain seperti de Sade, Saint-Just, Fouche, atau Bonaparte, nama Grenouille kini terlupakan. Dan ini bukan lantaran ia kekurangan atribut pendukung seperti arogansi, misantropi, amoralitas, atau bahkan kekejian, tapi lebih karena bakat dan ambisinya diletakkan secara ketat di ranah yang memang tak bisa dilacak dan diendusi sejarah.
Pada zaman itu kota-kota disesaki aroma yang asing bagi hidung manusia modern: jalan raya berbau pupuk kandang, halaman gedung berbau pesing, anak-anak tangga berbau jamur kayu dan kotoran tikus, dapur berserakan sampah potongan cabe dan lemak daging domba, ruang tamu berbau apak serta berdebu, kamar-kamar tidur seprainya tak pernah diganti sampai berminyak, bantal-bantal lembap dan aroma manis yang tajam dari pispot di kolong tempat tidur, amis sulfur mengembang dari perapian, aroma alkali menyengat dari bilik-bilik penyamakan kulit, sementara rumah-rumah jagal menebar bau darah beku. Orang-orang berbau keringat dan pakaian tak dicuci, mulut menebar bau gigi busuk, dari perut mengambang aroma bawang, dan tubuh mereka - kalau tak lagi muda, menebar aroma keju anyir, susu basi, dan penyakit tumor. Sungai-sungai juga tak kalah berlomba aroma. Bau busuk hadir di pasar, di gereja, di kolong jembatan, dan bahkan di istana. Rakyat jelata tak beda baunya dengan para pendeta. Para murid berbagi aroma dengan istri-istri guru mereka, begitu pula kaum ningrat - bahkan sampai pada sang Raja, baunya seperti seekor singa sementara sang Ratu seperti bandot tua, tak peduli musim panas atau musim dingin. Tak ada yang mampu menghentikan kesibukan bakteri pembusuk pada abad kedelapan belas, maka tak heran jika tak satu pun kegiatan manusia - baik konstruktif maupun destruktif, yang tidak disertai oleh bau busuk.
Kebusukan tentu saja paling parah mendera Paris sebagai kota terbesar di Prancis. Dan konon ada satu tempat di Paris yang selain berbau busuk juga menebar keangkeran. Terletak di antara jalan Fers dan jalan Ferronnerie, persisnya di sebuah tanah permakaman bernama Cimetiere des Innocents. Selama delapan ratus tahun mayat-mayat dibawa ke tempat ini dari Hotel-Dieu dan gereja setempat. Selama delapan ratus tahun, siang dan malam, lusinan mayat digelandang ke dalam satu lorong yang digali memanjang, ditumpuk tulang demi tulang, baik dalam bangunan makam terpisah maupun dalam rumah makam. Baru pada saat menjelang Revolusi Prancis, setelah beberapa bangunan makam runtuh dan baunya sedemikian tak tertahankan sampai diprotes masyarakat sekitar, tmpat itu ditutup dan terlntar. Jutan tulang dan tengkorak diserok begitu saja ke dalam liang kubur Montmartre. Di tempat ini pula sebuah pasar makanan kemudian didirikan.
Alkisah, di tempat terbusuk seantero kerajaan inilah Jean-Baptiste Grenouille lahir pada tanggal 17 Juli 1738. Kelahirannya disambut musim panas paling menggerahkan tahun itu. Panasnya sampai mengelamkan pekuburan dan menebar aroma busuk yang kalau diendusi kira-kira seperti gabungan antara melon busuk dan bekas bakaran kotoran binatang. Sedemikian meluas sampai ke gang-gang di sekitarnya. Saat didera rasa sakit menjelang bersalin ibunda Grenouille tengah berada di kedai ikan di jalan Fers dengan muka pias seperti baru saja perutnya dibelek. Ikan di tempat itu baru dipanen pagi ini dari sungai Seine, dengan amis yang sengatannya mampu menutupi aroma mayat. Namun seperti ummnya ansia zaman itu hidung ibunda Grenouiile sudah tumpul dan tak lagi mampu membedakan antara bau amis ikan dan bau busuk mayat. Apalagi ditambah sakit di perut yang tentunya
semakin mematikan kepekaan indra. Ia hanya ingin rasa sakit ini berhenti - bagaimana caranya agar proses melahirkan segera berlalu. Toh ini sudah yang kelima kalinya. Semua proses persalinan dilakukan di warung ikan seperti ini, dalam kondisi keguguran atau bayi setengah sempurna, karena daging belepotan darah yang keluar dari rahim itu tak ubahnya jeroan ikan yang berserakan di situ. Kalaupun sukses lahir, hidup si bayi juga tak lama. Ibunda Grenouille tak pernah terlalu ambil pusing karena biasanya saat magrib seluruh porak-poranda ini sudah akan tersiram bersih dan diserok ke tanah pekuburan atau ke sungai. Demikian pula yang akan terjadi hari ini.
Ibunda Grenouille ketika itu masih belia - belum lewat 25 tahun. Berparas lumayan cantik, gigi lumayan utuh, dengan rambut kusut tak terawat dan tidak sedang mengidap penyakit serius - kecuali mungkin sedikit encok, sifilis, dan paru. Ia masih ingin hidup lebih lama -katakanlah, lima atau sepuluh tahun lagi dan bahkan menikah kalau memang cukup beruntung. Dengan status normal sebagai seorang istri atau setidaknya janda, ia baru merasa pantas punya momongan. Ibunda Grenouille sungguh berharap momen menyakitkan ini segera berlalu. Saat kontraksi terakhir dimulai, ia berjongkok di bawah meja jagal lalu bersalin tanpa bantuan siapa pun seperti empat kesempatan sebelumnya. Kemudian ia memotong tali pusar si jabang bayi dengan pisau jagal. Tapi tiba-tiba, karena tak tahan sengatan cuaca panas dan bau busuk di tempat itu (sebenarnya ia tak menganggapnya bau busuk, hanya bau sesuatu yang tak tertahankan seperti kebun bunga lili atau ruangan yang dipenuhi bunga narsis), ia pun pingsan. Menggelosor jatuh dari bawah meja jagal ke tengah jalan dan tergeletak di situ dengan tangan masih menggenggam pisau.
Kehebohan merebak. Orang-orang berkerumun di sekeliling, menonton, dan beberapa memanggil polisi. Wanita dengan pisau di tangan itu masih terbaring di jalanan dan perlahan siuman.
Apa yang terjadi padanya" Terdengar sejumlah orang bertanya.
"Tidak apa-apa," jawab si wanita.
Apa yang ia lakukan dengan pisau itu"
"Tidak ada apa-apa."
Darah apa itu di roknya"
"Ini darah ikan."
Ibunda Grenouille bangkit berdiri. Membuang pisau ke samping lalu berjalan gontai hendak membersihkan diri.
Lalu tiba-tiba saja, si jabang bayi di bawah meja jagal menjerit keras. Orang-orang segera celingukan. Dan di situlah, di balik kerumunan lalat, kotoran, dan kepala ikan, mereka menemukan sesosok bayi yang baru lahir, lalu diangkat. Dus, sesuai hukum, segera mereka bawa si bayi ke seorang ibu susu sementara ibunya mereka jebloskan ke penjara. Dan karena si wanita mengaku terus terang bahwa ia lebih suka membunuh si jabang bayi sebagaimana empat bayi sebelumnya, ia pun diadili, diputuskan bersalah atas pengguguran kandungan beruntun dan dihukum penggal beberapa minggu kemudian di de Greve.
Selama beberapa minggu itu si bayi sudah tiga kali berganti ibu susu. Tak ada yang ingin memeliharanya lebih dari beberapa hari. Mereka bilang si bayi begitu rakus. Porsi menyusunya setara. dengan jatah dua bayi. Menghabiskan jatah susu dan daya hidup si ibu susu sedemikian rupa. Wajar jika tak ada yang bersedia menampung karena tak mungkin bagi seorang ibu susu untuk membiayai hidup dengan upah menyusui hanya seorang bayi. Petugas polisi yang bertanggung jawab atas kasus ini adalah seorang laki-laki bernama La Fosse. Ia terus-terusan dibuat pusing dan ingin agar si bayi dikirim saja ke rumah yatim-piatu di ujung terjauh jalan Saint-Antoine, di mana lalu lintas bayi dan anak-anak ramai setiap hari dari dan ke rumah yatim-piatu publik di Rouen. Namun karena konvoinya terdiri atas kuli angkut barang yang membawa keranjang bayi dengan kemasan seekonomis mungkin sampai tega menjejerkan empat bayi dalam satu keranjang, maka tak heran bila angka kematian di lalu lintas tersebut amat tinggi. Sejak itu para kuli disarankan agar hanya mengangkut bayi-bayi yang sudah dibaptis dan memiliki sertifikat transportasi resmi yang akan distempel setibanya di Rouen. Masalahnya sekarang, bayi Grenouille belum dibaptis atau bahkan dinamai agar bisa dicatat secara resmi di sertifikat transportasi. Sementara di pihak lain, secara sosial tak bisa dibilang baik jika seorang polisi menyelundupkan bayi begitu saja ke rumah yatim-piatu. Padahal hanya itu satu-satunya cara menghindari formalitas. Dus, dengan alasan kesulitan administrasi dan birokrasi yang pasti terjadi jika si bayi disingkirkan begitu saja, dan karena desakan waktu, La Fosse menarik kembali putusan awal dan memberi instruksi agar si bayi diserahterimakan dengan kuitansi ke beberapa lembaga gereja tertentu, agar bisa dibaptis dan diputuskan nasibnya lebih jauh. Jadilah sang polisi membuang si bayi ke biara Saint-Merri yang terletak di jalan Saint-Martin. Di sana ia dibaptis dengan nama Jean-Baptiste. Dan karena suasana hati pada hari sebelumnya sedang baik dan kotak amal gereja belum kering, mereka tidak mengirim si bayi ke Rouen dan malah memanjakannya atas tanggungan biara. Pada titik ini ia diserahkan ke seorang ibu susu bemama Jeanne Bussie yang tinggal di jalan Saint-Dennis dengan bayaran tiga franc seminggu sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Dua BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN, si ibu susu Jeanne Bussie berdiri di pintu gerbang biara Saint-Merri dengan tangan menenteng keranjang belanja. Pintu dibuka oleh seorang pendeta botak berusia paruh baya yang tubuhnya menebar aroma cuka.
"Bapa Terrier," seru si ibu susu. "Ini!" katanya sembari meletakkan keranjang belanja di muka gerbang.
"Apa ini?" bertanya Terrier sambil membungkuk ke arah keranjang dan mendengus membaui, berharap isinya sesuatu yang bisa dimakan.
"Ini anak haram milik perempuan dari jalan Fers yang tadinya hendak ia bunuh itu."
Si pendeta dengan lembut membuka keranjang itu dengan jarinya sampai terlihat wajah si bayi yang lelap.
"Kelihatannya baik-baik saja. Pipinya merona dan tampak kenyang minum."
"Terang saja begitu, karena ia menempelkan dirinya padaku. Memompaku begitu kering sampai ke tulang. Aku tak sudi. Kini terserah kau mau disusui dengan susu kambing, bubur, atau gula biang... aku tak peduli. Haram jadah ini akan melahap apa saja."
Bapa Terrier dikenal ramah dan supel. Salah satu dari sekian tanggung jawabnya adalah menangani administrasi kotak amal biara dan pendistribusiannya kepada fakir miskin. Untuk itu ia berharap agar orang tahu berterima kasih dan tidak mengganggunya dengan tetek bengek lain. Ia benci detail teknis karena detail baginya berarti kesulitan dan kesulitan berarti gangguan kesehatan - ia sangat menolak hal ini. Ia menyesal telah membuka pintu gerbang dan berharap si wanita segera pergi membawa lagi mengganggunya dengan remeh-temeh seperti ini. Perlahan ia menegakkan tubuh sembari menghela napas. Hidungnya menangkap aroma susu dan keju murahan yang ditebarkan tubuh si ibu susu. Bau yang enak.
"Aku tak paham apa maumu," ia berkata. "Sungguh, aku tak mengerti apa maksudmu. Setahuku tak ada salahnya bagi si bayi untuk bernaung beberapa waktu lagi di dadamu."
"Memang tak apa baginya," si ibu susu menyalak balik, "tapi aku rugi besar. Beratku turun lima kilo dan harus menanggung nafsu makan tiga perempuan digabung jadi satu. Semua ini demi apa" Demi tiga Franc seminggu"!!"
"Ah... begitu rupanya," desah Bapa Terrier lega. "Aku paham maksudmu. Sekali lagi, ini hanya soal uang, kan?"
"Bukan!!" jerit si ibu susu kesal.
"Tentu saja iya!" bantah si pendeta. "Ujung-ujungnya selalu uang. Semua ketukan di pintu gerbang ini selalu soal uang. Sampai-sampai aku berharap agar sesekali menemukan seseorang berdiri di sini dengan masalah yang sama sekali berbeda - seseorang dengan cukup tenggang rasa dan kebijaksanaan untuk membawa oleh-oleh buah, misalnya. Atau sekadar kacang. Lagi pula, di musim gugur begini pasti banyak yang bisa dijadikan hadiah. Bunga, misalnya. Atau sepatah dua patah kata beramah-tamah, 'Semoga Tuhan memberkatimu, Bapa Terrier.. semoga harimu menyenangkan!' dan semacamnya. Tapi sepertinya aku tak akan pernah menemui hal demikian sampai aku mati. Yang datang kemari kalau bukan pengemis pasti saudagar. Kalau bukan saudagar, pasti pedagang. Jika bukan minta sedekah, pasti menyorongkan tagihan. Aku bahkan tak bisa lagi keluar jalan-jalan dengan tenang. Belum tiga langkah pasti sudah ada saja yang menodong minta uang."
"Tapi aku kan tidak begitu," protes si ibu susu.
"Benar, tapi biar kuberi tahu: kau bukan satu-satunya ibu susu dalam jemaah kita. Ada ratusan ibu angkat jempolan yang berebut ingin menyusui bayi memesona ini untuk tiga Franc seminggu, atau memberi bubur atau jus atau makanan lain.... "
"Kalau begitu, serahkan saja ia pada mereka!"
"... di pihak lain," lanjut Bapa Terrier, "tak baik kiranya mengoper-oper seorang bayi seperti itu. Siapa tahu ia bisa lebih baik menyusu padamu ketimbang orang lain" Apalagi kau pasti juga tahu bahwa ia sudah terbiasa dengan aroma tubuhmu, begitu pun dengan degup jantungmu."
Sekali lagi si pendeta menghela napas panjang, menghirup dalam-dalam kehangatan aroma tubuh si ibu susu.
Tapi saat menyadari bahwa kata-katanya tak mempan, segera ia menambahkan, "Sekarang bawalah anak ini kembali pulang! Keluhanmu akan kubicarakan dengan kepala biara. Akan kusarankan agar kau diberi empat Franc seminggu."
"Tidak," bantah si ibu susu.
"Baiklah... lima!" tukas si pendeta.
"Tidak." "Lantas, kau ingin berapa kalau begitu?" bentak Bapa Terrier. "Lima Franc sudah berlebihan untuk tugas seremeh menyusui bayi!"
"Aku sama sekali tak ingin uang,. timpal si ibu susu. "Aku ingin haram jadah ini keluar dari rumahku."
"Tapi kenapa demikian, wahai wanita yang baik?" tanya Bapa Terrier sambil menjawil lagi keranjang itu dengan lembut. "Lihatlah! Ia sungguh bayi yang menggemaskan. Kulitnya segar kemerahan, ia tidak menangis dan juga telah dibaptis."
"Anak ini dirasuki setan."
Kontan Terrier menarik jarinya dari keranjang.
"Tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin seorang bayi bisa dirasuki setan. Bayi adalah manusia yang belum lengkap - makhluk pramanusia, yang karenanya belum memiliki jiwa yang terbentuk sempurna. Oleh karena itu, ia tak mungkin diminati setan. Atau barangkali ia sudah bisa bicara, ya" Apa ia meronta-ronta, begitu" Mampu menggerakkan sesuatu, barangkali" Apa ada bau setan dari badannya?"
"Tidak, ia sama sekali tidak berbau," jawab si ibu susu.
"Nah, itu dia! Itu bukti yang jelas bahwa ia tidak dirasuki setan. Sebab jika iya, mestinya berbau tak sedap."
Demi meyakinkan si ibu susu dan menguji keberaniannya sendiri, Terrier mengangkat keranjang dan mendekatkannya ke hidung.
"Aku tak mencium bau aneh apa pun," katanya setelah mengendus beberapa kali. "Sungguh tak ada yang aneh. Meski memang ada bau tertentu dari popoknya." Terrier menyorongkan keranjang agar wanita itu yakin.
"Bukan itu maksudku," jawab wanita itu kesal sambil menjauhkan keranjang dari wajahnya. "Bukan bau popok yang jadi masalah. Kotorannya memang bau, itu wajar. Masalahnya si anak itu sendiri - ia tidak berbau sama sekali."
"Itu karena ia sehat!" bantah Terrier jengkel. "Wajar ia tidak berbau karena badannya sehat! Hanya bayi sakit yang badannya bau. Semua orang tahu itu. Bukan rahasia bahwa anak yang terserang cacar pasti berbau kotoran kuda, yang terserang demam berbau apel busuk, dan yang terserang TBC berbau seperti bawang. Tapi anak ini sehat walafiat. Apa itu salah" Apa menurutmu ia mestinya berbau, begitu" Apa anak-anakmu sendiri bau?"
"Tidak," jawab si ibu susu. "Anak-anakku berbau seperti normalnya bau anak manusia."
Terrier meletakkan kembali keranjang itu ke tanah dengan hati-hati. Kejengkelan mulai naik ke ubun-ubun menghadapi perempuan keras kepala ini. Rasanya butuh lebih bebas menggerakkan tangan kalau mau melanjutkan debat tanpa harus melukai si bayi dengan menenteng keranjang terus-menerus. Tapi untuk sekarang ia masih merasa cukup menahan tangan di belakang punggung, menyorongkan perut buncitnya ke arah si ibu susu, lalu bertanya dengan nada tajam, "Kau bersikeras kalau begitu, bahwa kau tahu bagaimana mestinya bau seorang anak manusia - yang kalau boleh kuingatkan bahwa begitu seorang anak dibaptis maka ia adalah juga anak Tuhan. Benar?"
"Ya," jawab wanita itu.
"Dan kau juga bersikeras bahwa jika seorang anak tidak berbau - menurut engkau, wahai ibu susu bernama Jeanne Bussie dari jalan Saint-Dennis-maka anak tersebut sudah pasti dirasuki setan?"
Tangan kiri si pendeta berkelebat dari balik punggung menegaskan pertanyaan dengan jari telunjuk di depan wajah si ibu susu. Membuat perempuan itu meragu. Ia tak menyukai arah percakapan yang sekonyong-konyong berubah mempertanyakan keyakinannya sendiri, di mana ia menjadi pihak yang salah.
"Maksudku sama sekali tidak begitu," elaknya. "Kalian para pendeta selalu saja seenaknya memutuskan apakah segala sesuatunya harus berhubungan dengan setan atau tidak, Bapa Terrier. Bukan hakku memutuskan demikian. Aku hanya tahu satu hal: bayi ini membuatku merinding karena ia tidak berbau sewajarnya bau anak manusia."
"Aha!" jawab Terrier puas sambil mengibaskan tangan kembali. "Sekarang kau menarik tuduhan soal setan tadi, ya" Bagus. Tapi sekarang tolong katakan padaku: seperti apa kiranya bau seorang bayi yang wajar menurut pendapatmu" Hmm?"
"Mestinya ia berbau enak," jawab si ibu susu.
"Enak bagaimana maksudmu?" desak Terrier. "Banyak hal lain yang baunya juga bisa dibilang enak. Seikat bunga, misalnya. Taman bunga Arab baunya juga enak. Tapi bagaimana mestinya bau seorang bayi yang enak" Itu yang kutanya."
Si ibu susu tergugu. Ia tahu persis bagaimana bau seorang bayi. Ia tahu persis karena ia kenyang menyusui, merawat, menggendong, dan menciumi mereka. Ia bahkan mampu mengendusi mereka di kegelapan sekalipun. Saat ini pun ia mencium bau tersebut dengan jelas. Tapi baru sekarang ia diminta menggambarkannya dengan kata-kata.
"Bagaimana?" desak Terrier lagi sambil menjentikkan jari tak sabar.
"Yaah... ini...," gugu si ibu susu, "...tidak mudah dikatakan, karena... karena masing-masing baunya berbeda, walaupun masing-masing juga baunya enak. Bapa, kau tahu maksudku, kan" Kaki mereka, misalnya. Baunya seperti batu halus yang hangat - atau... tidak, lebih seperti susu... atau mentega... persisnya mentega segar. Kaki mereka berbau mentega segar. Dan tubuh mereka berbau seperti... seperti kue serabi berbalur susu. Lantas kepala, sampai ke ubun-ubun dan bagian belakang di mana rambut mulai mengijuk... itu lho,... tahu maksudku, kan" Bagian yang kini tak lagi berambut di kepalamu ...... seraya menepuk bagian yang botak di kepala si pendeta - yang dalam ketakjuban menyimak, tanpa sadar merundukkan kepala dengan patuh. "Di sini, persis di sini, baunya paling enak. Seperti karamel. Begitu manis. Pokoknya enak sekali, Bapa. Sulit dijelaskan! Sekali mampu mengendusi, kau akan menyukainya tanpa peduli itu bau anakmu sendiri atau bukan. Dan begitulah mestinya bau bayi. Tak boleh berbau
lain. Kalau tidak begitu - kalau mereka tidak berbau apa-apa sama sekali di ubun-ubun itu atau bahkan nyaris tak berbau seperti si haram jadah ini, maka... terserah kau mau bilang apa, Bapa, tapi aku ...," ia bersedekap dengan tegas sambil menyalangkan pandangan jijik ke arah keranjang di kakinya seolah-olah berisi katak. 'Aku, Jeanne Bussie, tak sudi menerima benda itu lagi!"
Bapa Terrier perlahan mengangkat kepala sambil melayangkan jemari mengelusi kepala. botaknya beberapa kali seolah merapikan rambut, lalu mendaratkan jemari tersebut ke bawah hidung seperti tak sengaja. Ia mengendus-endus sambil berpikir.
"Seperti karamel, katamu ... ?" ia bertanya, sambil mencoba membangkitkan ketegasan. "Karamel! Tahu apa kau soal karamel" Memangnya kau pemah mencicipi?"
"Tidak juga sih," jawab si ibu susu, "tapi sekali aku pernah berada di sebuah rumah besar di jalan Saint-Honore dan melihat sendiri bagaimana pembuatannya dari gula dan krim cair. Baunya begitu enak dan tak terlupakan."
"Ya, ya... baiklah," jawab Terrier sambil menarik jari dari hidung.
"Tapi tolong jangan bicara lagi sekarang! Aku capek berdebat. Kuputuskan saja sekarang bahwa dengan ini kau menolak bayi yang telah diserahkan oleh biara untuk kau rawat bernama Jean-Baptiste Grenouille dan mengembalikannya ke pihak pelindung sementara, yaitu biara Saint-Merri. Terus terang, ini sungguh meresahkan, tapi sepertinya tak ada pilihan lain. Kau resmi dipecat."
Dengan itu ia mengangkat keranjang, melepaskan endusan terakhir dari kehangatan dan aroma susu yang menyenangkan dari tubuh si ibu susu, membanting pintu, lalu langsung menuju ruang kantor.
Tiga BAPA TERRIER dikenal sebagai orang berpendidikan. Ia tak hanya memelajari ilmu agama tapi juga banyak membaca filsafat, di samping sedikit tentang botani dan ilmu kimia. Ia agak memandang tinggi institusinya sendiri. Tak seperti kebanyakan pendeta lain, ia tak pernah mempertanyakan kesahihan mukjizat, peramalan dan hal ihwal kebenaran sejati kandungan Alkitab, walaupun teks Alkitab memang tak bisa dijelaskan hanya dengan nalar yang malah cenderung mengontradiksi. Ia memilih untuk tidak mencampuri hal-hal seperti itu karena dirasa menjengahkan dan membuat gelisah serta stres. Padahal nalar hanya bermanfaat jika seseorang memiliki keyakinan, rasa aman, dan ketenangan. Yang paling ia tentang adalah anggapan takhayul masyarakat kebanyakan dalam hal sihir-menyihir, kartu ramalan, penggunaan jimat, mata jahat, pengusiran setan, omong kosong saat bulan purnama, dan tetek bengek perilaku absurd lain. Sungguh meresahkan melihat betapa kebiasaan seperti itu belum juga musnah, bahkan ribuan tahun sejak penetapan resmi agama Kristen! Laporan-laporan perihal kerasukan setan atau perjanjian dengan Iblis yang paling muluk sekalipun, setelah ditelaah lebih dalam ternyata tak lebih dari takhayul kuno semata. Tapi ia juga menyadari bahwa mengingkari keberadaan setan sama saja dengan mengingkari kewenangannya - dan Terrier juga enggan untuk sampai sejauh itu, karena badan-badan gereja di samping dirinya sendiri selaku seorang pendeta biasa, juga ditugaskan untuk menetapkan hal-hal semacam itu yang notabene sangat menyentuh dasar-dasar keagamaan. Tapi di pihak lain rasanya sudah sangat jelas, bahwa ketika
menyaksikan peristiwa kerasukan setan, si setan sendiri tak mungkin punya andil di dalamnya. Fakta bahwa wanita tersebut merasa telah menangkap basah perbuatan setan adalah bukti tak terbantahkan bahwa sama sekali tak ada apa pun yang berkaitan dengan setan, karena setan tidak mungkin sedemikian bodoh membiarkan diri tertangkap basah oleh seorang ibu susu seperti Jeanne Bussie. Apalagi dengan hidung sebagai alasan! Dengan organ seprimitif alat penciuman yang merupakan indra paling dasar! Sama saja dengan mengatakan bahwa neraka pasti berbau belerang dan surga pasti berbau dupa serta parfum! Ini wujud takhayul paling buruk yang berakar langsung dari sejarah kelam paganisme. Saat manusia masih hidup seperti binatang. Tak punya kesadaran dan tak mampu membedakan warna tapi menganggap diri mampu mencium bau darah, mampu membedakan mana kawan mana lawan, mengaku telah diendusi raksasa-raksasa kanibal, serigala jadi-jadian dan peri - sementara di pihak lain mereka masih belum jauh dari ritual pengorbanan manusia. Sungguh menjijikkan! Seperti kata pepatah, "Orang bodoh melihat dengan hidung ketimbang mata. Sungguh, anugerah nalar pemberian Tuhan tampaknya harus menunggu sampai ribuan tahun lagi sebelum sisa-sisa terakhir dari keyakinan primitif seperti itu terbasmi habis.
"Begitulah," Bapa Terrier bergumam. "Dan kau bayi kecilku yang malang! Makhluk yang belum lagi memiliki dosa! Terpuruk di keranjang dan terbuang tanpa menyadari kecurigaan jahat yang diarahkan kepadamu. Wanita lancang itu berani-beraninya menuduhmu tak memiliki bau sewajarnya anak manusia lain. Benar-benar omong kosong konyol! Poohpeedooh!"
Ia menggendong dan mengayun keranjang dengan lembut di atas lutut, mengelus-elus kepala si bayi dengan jari sambil sesekali mengulang bergumam, "Poohpeedooh Ini ekspresi yang dianggapnya lembut dan mampu menenangkan anak kecil. "Katanya kau seharusnya berbau karamel. Sungguh omong kosong. Poohpeedooh!"
Setelah beberapa waktu ia menarik jarinya kembali, menariknya ke hidung dan mengendusi. Tapi tak tercium bau apa pun selain bau bubur gandum yang ia makan siang tadi.
Sejenak ia ragu, lalu matanya berkeliling untuk memastikan tak ada yang melihat. Bapa Teerier mengangkat keranjang dan mendekatkan hidungnya lebih dekat. Berharap mencium sesuatu, ia mengendusi sekujur kepala si bayi. Begitu dekat sampai rambut merah si bayi menggelitiki lubang hidung. Ia tak tahu bagaimana mestinya bau kepala seorang bayi. Yang jelas bukan karamel, karena karamel dibuat dari gula yang dicairkan. Bagaimana mungkin seorang bayi yang hanya minum susu bisa berbau gula cair" Lebih masuk akal kalau ia berbau susu - seperti susu si ibu susu. Tapi toh tidak demikian. Atau barangkali berbau rambut, seperti bau kulit dan rambut, dan sedikit bau keringat bayi. Terrier mengendus sedemikian rupa dengan harapan mencium bau kulit, rambut, dan keringat si bayi. Tapi tetap tak mencium apa pun sama sekali. Tampaknya bayi tak memiliki bau pikirnya. Dan pasti memang demikian. Bayi kan dipelihara dengan kebersihan, maka sewajarnya tak berbau. Kecuali kalau ia sudah bisa bicara, berjalan, atau menulis. Hal-hal yang akan tumbuh seiring usia. Kalau mau ditelusuri, manusia pertama kali mengeluarkan bau badan saat ia menginjak pubertas. Memang demikianlah adanya. Bukankah pujangga Horace sendiri telah menulis, "Anak remaja berbau kesturi, sementara anak perawan berbau mekar bunga laksana narsis putih...?" Orang Romawi yang biangnya paganisme pun mafhum akan hal ini! Bau tubuh manusia selalu bernuansa daging, atau lebih tepatnya bau dosa. Bagaimana mungkin seorang bayi yang belum kenal dosa - bahkan dalam mimpinya sekalipun, bisa memiliki bau" Seperti apa baunya kalau memang iya" Poohpeedooh... sungguh tidak mungkin!
Ia letakkan keranjang itu kembali ke atas lutut dan mengayun lembut. Si bayi masih tertidur letap. Kepalan tinju kanannya begitu mungil dan kemerahan, menyembul dari balik selimut dan sesekali berkedut menggeseki pipi. Menggemaskan sekali. Terrier tersenyum dan mendadak merasa amat nyaman. Sesaat ia membiarkan diri hanyut dalam lamunan bahwa dialah ayah si bayi. Bahwa ia belum lagi jadi pendeta dan hanya orang biasa. Seorang tokoh masyarakat, barangkali. Memiliki istri - kehangatan seorang istri beraroma susu dan wol, dan bahwa mereka telah memiliki anak yang kini sedang digendong dan diayun lembut. Darah dagingnya sendiri. Poohpoohpoohpeedooh... khayalan ini sungguh menyamankan. Begitu normal dan wajar. Seorang ayah menggendong anak di pangkuan. Poohpeedooh. Visi yang sudah setua umur dunia tapi selalu terasa segar dan wajar - tentu saja selama dunia masih berputar. Oh, jagat Terrier begitu hangat dalam sentimentalitas.
Lalu si kecil terbangun. Dimulai dari hidungnya. Hidung kecil itu bergerak, mendorong ke atas dan mengendus. Menghirup dan menghela napas dalam embusan-embusan pendek seperti bersin yang tak jadi. Lalu hidung itu berkerenyut dan matanya membuka. Warnanya sulit dipastikan - antara kelabu tiram dan krem opal putih, tersaput semacam lapisan lendir tipis dan tampak tak terlalu biasa menatap cahaya. Terrier mendapat kesan bahwa sepasang bola mata itu belum mampu menangkap sosok dirinya. Tapi hidungnya tidak begitu. Sementara mata "buta" si kecil menyipit dengan tatapan tak jelas,
hidung itu seperti terpaku ke satu sasaran. Anehnya, Terrier merasa bahwa dialah sasaran tersebut. Gumpalan daging mungil dengan dua lubang di wajah bayi itu mengembang seperti pucuk bunga merekah. Atau barangkali lebih mirip bunga tanaman kecil pemakan daging yang tersimpan di taman botani kerajaan. Dan seperti tanaman itu, hidung si kecil seolah membuat isapan-isapan aneh dan menakutkan - Terrier merasa seolah si bayi menatapnya dengan lubang hidung. Melotot sedemikian rupa, memerhatikan dan memandang lebih tajam daripada mata mana pun di dunia. Seolah menggunakan hidung untuk melahap sesuatu hidup-hidup. Sesuatu dari dalam dirinya sendiri - dari Terrier, dan ia tak mampu menahan atau menyembunyikan sesuatu itu. Sang bayi tak berbau kini membauinya tanpa malu-malu. Ah, pasti begitu! Ia sedang mengenali dan menetapkan baunya! Seketika itu juga ia mendadak merasa berbau tak sedap. Berbau keringat serta cuka, bubur gandum dan pakaian kotor. Serasa telanjang dan buruk - seolah ada yang ternganga menatap begitu tajam tanpa timbal balik membuka jati diri. Si bayi seolah mengendus sampai menembus kulit dan seisi perut. Sampai ke emosi yang terdalam, segala pikiran kotornya terpapar begitu saja di hadapan hidung mungil nan rakus itu. Padahal bentuknya pun tak bisa dibilang sempurna. Hanya segumpal daging berbentuk hidung - sebuah organ dengan dua lubang yang tak benci mengernyit, mendengus, dan berkedut. Bulu kuduk Terrier mendadak berdiri. Perut serasa mual. Ia menarik kembali hidungnya sendiri seolah membaui sesuatu yang tak sedap dan enggan berdekatan lebih jauh. Lenyap sudah semua pikiran lembut yang semula membayangkan si bayi sebagai darah dagingnya sendiri. Pupus sudah romantisme lamunan soal ayah dan anak serta istri - seperti ada orang yang tahu-tahu hadir dan
membumihanguskan segala fantasi indah tentang ia dan si bayi. Matanya kini hanya melihat sesosok makhluk aneh dan dingin tengah bernaung di lututnya - atau bahkan binatang buas. Kalau saja ia bukan manusia berwatak lembut, takut Tuhan, dan berakal sehat, pasti sudah digebahnya seperti orang tersengat laba-laba.
Terrier memaksa diri untuk bangkit dan meletakkan keranjang di atas meja. Hatinya didera keinginan untuk menyingkirkan benda itu sejauh dan sesegera mungkin. Lebih cepat lebih baik.
Si bayi lalu mulai menangis. Ia mengerjapkan mata, membukanya lebar-lebar, dan melengkingkan jeritan sedemikian nyaring sampai pembuluh darah Terrier serasa beku. Segera ia mengayun keranjang dengan kedua tangan dan berseru, "Poohpeedooh," berusaha mendiamkan. Tapi si kecil malah menjerit makin nyaring sampai wajahnya membiru dan seperti mau meledak.
Harus segera menjauh! Begitu pikir Terrier. Pergi detik ini juga dari... ia hendak mengucap 'Iblis', tapi segera sadar dan menahan diri. Menjauh dari... monster ini! Dari anak aneh ini! Tapi hendak kabur atau dijauhkan ke mana." Ia kenal selusin ibu susu dan yayasan yatim piatu di kota ini, tapi rasanya masih terlalu dekat. Belum cukup jauh. Harus menjauhkan benda ini sejauh mungkin. Sejauh-jauhnya sampai tak terdengar lagi. Sampai benar-benar tak bisa dikirim balik ke lagi. Atau kalau mungkin dikirim saja ke gereja di wilayah lain - jika terletak di seberang sungai akan lebih baik. Pilihan terbaik adalah membuangnya ke Saint-Antoine. Aha, benar, itu dia! Tempat yang paling tepat untuk bayi penjerit ini. Letaknya jauh di Timur, melewati kota Bastille, di mana pintu gerbangnya selalu dikunci saat malam.
Jadilah ia mengemasi barang seadanya, menjinjing keranjang, bergegas. Berlari melewati labirin gang demi
gang menuju Saint Antoine, ke Timur yang searah dengan sungai Seine, keluar dari kota melangkah lebih jauh lagi ke jalan Charonne sampai nyaris mentok ke ujung jalan, ke sebuah alamat dekat biara Madeleine de Trenelle. Ia tahu di situ tinggal seorang wanita bernama Madame Gaillard yang mau menerima anak-anak tanpa peduli umur atau apa pun asal ada yang bersedia membayar. Ke sanalah ia akan menyerahkan anak ini - yang masih saja menangis. Membayar dengan bayaran penuh untuk setahun di muka, dan kabur kembali ke kota. Sekembalinya di biara nanti ia bersumpah akan segera membuang pakaian yang ia kenakan seolah habis terciprat najis, mandi sebersih mungkin dari kepala sampai kaki, lalu merayap ke ranjang di kamarnya yang sempit, menyilang trinitas berulang-ulang, berdoa panjang-panjang dan akhirnya tidur dengan lega.
Empat MADAME GAILLARD tampak jauh lebih tua dari usianya yang belum lagi tiga puluh tahun. Banyak orang menganggap begitu. Bagi dunia ia terlihat sesuai dengan usia sebenarnya, namun sekaligus pada saat yang sama tampak dua atau tiga ratus tahun lebih tua - jadi seperti mumi seorang gadis muda. Tak banyak yang tahu bahwa di balik itu semua, jiwanya sudah lama mati. Sewaktu kecil ayahnya memukul kening Gaillard dengan tongkat, persis di atas dasar tulang hidung. Sejak itu ia kehilangan kepekaan membaui berikut kehangatan dan dinginnya rasa kemanusiaan. Satu pukulan sudah cukup membuatnya terasing dari perasaan wajarnya manusia, baik itu kehangatan, kebaikan, dendam, kebahagiaan, atau
kesedihan. Ia tak merasakan apa pun saat tidur dengan seorang laki-laki, dan hanya ada setitik haru saat ia mengandung anak. Ia tak menangisi yang mati atau mensyukuri yang hidup. Bergeming saat dipukuli suami tidak pula lega saat laki-laki itu meninggal akibat kolera di Hotel-Dieu. Dua rasa kemanusiaan yang bisa ia rasakan hanya setitik depresi saat menjelang migrain menstruasi dan perubahan mood saat kembali normal. Lain dari itu, wanita zombi ini sama sekali tak merasakan apa pun.
Di pihak lain... atau barangkali justru karena ketiadaan emosi manusiawi itu, Madame Gaillard terkenal bertangan besi dalam hal tatanan, keteraturan, dan keadilan. Ia tak membedakan atau mendiskriminasi anak asuh. Jatah makanan setiap anak tetap tiga kali sehari. Tak lebih, tak kurang. Ia bersedia mengganti popok tiga kali sehari, tapi hanya sampai usia dua tahun. Siapa pun yang membangkang akan dipukul dan dikurangi jatah makannya jadi dua kali sehari. Biaya perawatan setiap anak dibagi persis separo-separo untuk kepentingan rumah penitipan yatim-piatu dan dirinya sendiri. Harga yang ditetapkan juga tak pemah berubah - tak peduli paceklik atau sedang makmur. Meski tampak aneh, tapi hanya dengan cara itu ia bisa menghargai bisnis yang dijalani. Ia butuh uang dan sangat memperhitungkan setiap peraknya. Saat tua kelak ia ingin punya simpanan tunjangan yang cukup untuk membiayai kematian di rumahnya sendiri - tidak di Hotel-Dieu seperti suaminya dulu. Bayangan ini membuat perutnya dingin. Ia tak ingin mati bersama ratusan orang asing. Ia ingin mati sendirian. Untuk itulah ia kini menabung dari usaha penitipan anak yatim-piatu. Kendati publik mafhum dengan fakta bahwa kadang tiga atau empat anak titipnya meninggal saat musim dingin, tapi ini masih jauh lebih baik dari kebanyakan rumah penitipan lain, bahkan terhitung nomor dua terbaik di Paris karena
umumnya perbandingannya mencapai 9 dari 10 anak mati setiap tahun. Toh tak ada yang peduli karena jumlah kelahiran jauh lebih banyak - Paris menghasilkan sepuluh ribu bayi resmi, haram, dan yatim-piatu setiap tahun. Jadi, perbandingan itu masih dianggap wajar.
Grenouille kecil sungguh beruntung dibuang ke rumah penitipan Madame Gaillard. Besar kemungkinan ia tak akan bertahan di tempat lain. Tapi di sini, bersama wanita mati rasa ini, ia tumbuh pesat. Grenouille punya ketahanan jasmani yang tinggi. Siapa pun yang mampu bertahan dilahirkan di keranjang sampah tak akan semudah itu tersingkir dari dunia. Sehari-hari ia mampu hanya makan sup tanpa tambahan apa pun. Susu paling encer, sayuran maupun daging paling basi. Sepanjang masa kecil ia bertahan dari campak, disentri, cacar air, kolera, jatuh ke sumur sedalam dua puluh kaki, atau luka bakar di dada akibat tersiram air panas. Badannya kenyang memar dan bekas luka serta sedikit pincang di kaki, tapi ia tetap hidup. Daya tahannya setangguh bakteri atau kutu pohon yang hidup dari setetes darah yang diawet-awet selama bertahun-tahun. Ia hanya butuh sedikit saja jatah makan-minum serta pakaian karena jiwanya tak menuntut apa-apa. Perlindungan, perhatian, kehangatan, cinta, atau apa pun yang katanya dibutuhkan oleh anak-anak, benar-benar jauh dari Grenouille. Atau barangkali - setidaknya dalam pandangan umum, ia sengaja membuang semua itu agar mampu bertahan hidup. Ini dilakukan sejak usia amat muda. Tangisan yang mengikuti kelahiran Grenouille -tangisan yang mengangkatnya dari sampah dan mengirim ibunya ke tiang gantungan, bukanlah tangisan naluri demi simpati atau cinta. Tangisan itu berasal dari pertimbangan hati - hati sang bayi (bahkan boleh dibilang pertimbangan dewasa), dari putusannya untuk membenci cinta dan kehidupan. Dalam situasinya kita bisa maklum bahwa
hidup hanya memungkinkan bagi Grenouille bila tanpa cinta atau kasih sayang. Sejarah mungkin akan berbunyi lain kalau saja saat itu ia memilih "tanpa kehidupan". Memang, ia tetap bisa mengambil "Jalan mudah" dengan memilih untuk langsung mati saja ketimbang membebani dunia dengan kelahirannya yang tak berarti. Tapi pilihan ini jelas menuntut kerendahan hati yang tak sedikit, dan itu tidak dimiliki Grenouille. Merasa sebagai monster sejak lahir, ia memilih untuk menjalani hidup di jalur dendam dan kebencian.
Putusan ini hadir tidak seperti orang dewasa saat mengambil putusan, karena sebagai anak kecil ia tidak memiliki cukup pengalaman dan nalar untuk memilih dari berbagai pilihan yang dihadirkan oleh pengalaman. Bagaimanapun, putusan ini perlahan hadir. Seperti kacang yang saat dilempar ke tanah harus memutuskan apakah hendak tumbuh atau tidak.
Atau seperti kutu pohon dalam permisalan tadi, di mana hidup tak menawarkan apa pun selain hibernasi abadi. Kutu kecil nan jelek itu hanya tahu bagaimana menggulung badan biru kelabunya tanpa menawarkan apa-apa bagi dunia. Juga dengan memuluskan serta mengeraskan kulit yang tiada berkeringat sedikit pun. Sedemikian rupa menciutkan diri agar tidak diperhatikan dan diinjak manusia. Sang kutu yang kesepian menggulung diri di pohon. Buta, tuli, bodoh, dan tanpa kegiatan lain selain mengendus-endus sepanjang tahun, sepanjang jalan, demi setetes darah dari binatang yang kebetulan lewat lantaran tak kuat menggapai dengan kekuatan sendiri. Sang kutu hanya bisa jatuh. Jatuh ke tanah di tengah hutan lalu merangkak barang satu atau dua milimeter ke sana kemari dengan enam kakinya yang mungil, berbaring pasrah menunggu mati di bawah dedaunan. Tuhan tahu betapa tak berartinya hal ini. Tak akan ada yang merasa kehilangan.
api dasar si kutu keras kepala, menggerutu dan menjijikkan. Ia tetap bergeming. Hanya hidup dan menunggu. Menunggu "sang kebetularn" untuk membawakan darah dalam wujud seekor binatang, persis di bawah pohon. Hanya dengan cara itu si kutu bisa bebas jatuh dari pohon untuk menggaruk, mengisap, dan menggigit kulit mulus korbannya.
Grenouale muda tak ubahnya si kutu pohon. Ia membungkus diri sedemikian rupa, menanti saat yang lebih baik. Sumbangsihnya bagi dunia tak lebih dari sekadar kotoran saat buang air. Tanpa senyum, tanpa tangis, tanpa keceriaan, bahkan tanpa bau badan! Wanita mana pun pasti tak tahan dan segera menendangnya keluar rumah. Tapi tidak Madame Gaillard. Ia tak bisa mencium fakta bahwa si bocah tak berbau, pun soal kejiwaan si anak, karena ia juga menutup diri rapat-rapat.
Namun anak-anak lain langsung bisa merasakan kelainan Grenouille. Sejak hri pertama ia datng, kehadirannya sudah membawa atmosfer mencekam. Refleks awal mereka adalah menjauhi keranjang tidur si bayi dan meringkuk bergerombol di pojok ranjang masing-masing, seolah suhu ruangan mendadak anjlok. Yang termuda di antara mereka bahkan kerap menangis saat malam. Yang lain bermimpi seperti ada yang hendak mencuri napas mereka. Pernah suatu hari anak-anak tertua berencana mencekik saja bayi itu. Mereka menu puk potongan-potongan kain, selimut, serta jerami ke muka Grenouille lalu memberati dengan batu bata. Saat Madame Gaillard menyingkirkan semua itu keesokan paginya, si bayi sudah kisut, lumat, dan membiru, tapi tidak mati. Anak-anak mencoba lagi beberapa kali, namun tetap gagal. Kalau saja mereka mencekik langsung dengan tangan kosong atau menutup mulut serta hidung si bayi, kemungkinan akan lebih sukses, tapi tak ada yang berani mencoba. Tak ada
yang sudi menyentuh si bayi. Grenouille membuat mereka gerah. Seperti orang yang tak tahan melihat laba-laba tapi tak berani menginjaknya karena jijik.
Seiring pertambahan usia, anak-anak akhirnya tak bernafsu lagi meneruskan percobaan pembunuhan mereka-barangkali di bawah kesadaran bahwa Grenouille tak bisa dihancurkan. Pilihan yang tertinggal adalah aksi menjauh. Menyebar, berlarian, atau setidaknya menghindar agar tak tersentuh. Anehnya, mereka tak membenci Grenouille. Cemburu atau dendam pun tidak. Jatah Grenouille di rumah penitipan yatim-piatu tak pernah lebih atau kurang dari mereka sendiri, jadi tak ada alasan untuk itu. Perasaan terganggu dan tak nyaman berada dekat Grenouille semata-mata hadir karena tak bisa mencium bau badannya. Untuk itu mereka takut dan jeri.
Lima KALAU MAU JUJUR, sebenarnya tak ada yang menakutkan dalam. diri Grenouille. Saat dewasa tubuhnya tidak besar ataupun kuat. Buruk rupa memang, tapi tidak sedemikian buruknya sampai mampu membuat orang menjerit kerakutan. Ia tidak agresif atau culas, tidak berlaku sembunyi-sembunyi atau memprovokasi orang. Ia malah lebih suka menghindar. Soal kepandaian juga biasa-biasa saja. Umur tiga tahun ia baru bisa berdiri. Kata pertama. yang keluar dari bibirnya adalah 'ikan'. Ini terjadi jam empat pagi. Diucapkan dengan keriangan luar biasa seperti gema suara, nelayan sepanjang jalan Charonne saat memekikkan dagangan di kejauhan. Kata berikut adalah 'pelargonium', 'kandang kambing', 'cabe savoy, dan 'Jacquestorreur' - yang terakhir ini adalah nama seorang
pembantu tukang kebun dari biara Filles de la Croix di seberang jalan yang kadang diserahi berbagai pekerjaan kasar oleh Madame Gaillard dan terkenal tak pernah mandi seumur hidupnya. Grenouille tak terlalu suka menyerukan kata kerja, kata sifat, dan kata seru. Kecuali untuk 'ya' dan 'tidak' yang lumayan jarang dipakai. Ia hanya menyerukan kata benda - khususnya benda-benda dasar seperti tanaman, binatang, manusia. Itu pun jika ketiga benda tersebut mendadak menyerang hidungnya dengan aroma.
Suatu hari di bulan Maret, ketika sedang duduk di sebilah balok kayu besar sambil asyik bergumam entah apa di tengah matahari musim panas, untuk pertama kalinya ia menyerukan kata 'kayu'. Ia sudah pernah melihat dan mendengar tentang kayu ratusan kali sebelumnya, juga akrab dengan benda ini karena sering disuruh mengumpulkan kayu bakar di musim dingin. Tapi benda ini belum pernah sedemikian menarik perhatian sampai membuat ia mau menyebut namanya. Ini terjadi pertama kali di hari bulan Maret itu, saat ia sedang duduk di balok yang ditumpuk di bawah pinggiran atap dan membentuk bangku sepanjang sisi selatan gudang Madame Gaillard. Bagian atas balok mengambangkan aroma terbakar yang manis sementara bagian dalamnya sampai ke atas menebar bau lumut. Di tengah hangat terik matahari, tebaran aroma damar meluruh dari bilah-bilah papan pinus yang membentuk dinding gudang.
Grenouille duduk di balok itu dengan kaki terjulur dan punggung bersandar ke dinding. Mata terpejam dan tubuh bergeming. Ia tidak melihat, mendengar, atau merasakan apa pun. Hanya aroma kayu yang menguap di sekeliling dan terperangkap di bawah atap bangunan gudang. Ia menghirup dan tenggelam dalam aroma itu, seolah menyesaki seluruh pori-pori kulit sampai akhirnya menjadi kayu itu sendiri. Seperti boneka kayu ia duduk di balok itu.
Seperti Pinokio. Berlagak mati dan setelah setengah jam atau lebih, mengucap kata 'kayu'. Ia muntahkan kata itu seperti orang yang seluruh tubuhnya sesak oleh kayu sampai ke telinga, seolah terkubur dalam kayu sampal ke leher, seolah seluruh isi perut dan hidungnya luber oleh kayu. Bayangan ini menyadarkan dan menyelamatkan benaknya, persis beberapa saar sebelum aroma kehadiran kayu serasa mencekik. Dengan gemetar ia mengggebah badan, meluruk turun dari balok dan terhuyung-huyung menjauh bagai orang berkaki kayu. Sampai berhari-hari kemudian pusingnya tak juga hilang. Dan setiap kali ingatan penciuman itu meluruk sedemikian kuat, mulutnya otomatis bergumam berkali-kali, "Kayu... kayu ... "
Hadilah ia belajar bicara. Kesulitan terbesar didapati saat terbentur pada kata-kata dari benda-benda tak berbau, seperti ide-ide abstrak dan sejenisnya - terutama soal etika dan moral. Ia sulit mengerti dan cenderung mencampur aduk satu sama lain. Sampai usia dewasa ia selalu sungkan dan kerap salah menggunakan kata-kata seperti keadilan, nurani, Tuhan, bahagia, tanggung jawab, kerendahan hati, rasa syukur, dan sebagainya - makna dari ekspresi kata-kata ini tetap jadi misteri baginya.
Di pihak lain, bahasa sehari-hari ternyata tak cukup mampu menjelaskan semua persepsi penciuman yang diperolehnya selama ini. Dengan segera ia dapati bahwa ia tak hanya mampu mencium dan menegaskan aroma kayu, tapi juga berbagai jenis kayu seperti kayu pohon mapel, kayu pohon ek, kayu pohon pinus, kayu lapuk, segar, busuk, kayu berlumut, sampai ke setiap balok, kepingan, dan serpihannya. Tak hanya itu, ia mampu membedakan dengan cara yang tak bisa dilakukan oleh orang lain secara visual. Ini juga berlaku untuk banyak hal lain. Misalnya minuman berwarna putih yang biasa disajikan Madame Gaillard untuk anak-anak asuhnya setiap hari. Orang lain
akan langsung akur bahwa itu pasti susu, tapi indra pencium dan pengecap Grenouille menegaskan hal yang berbeda setiap hari, tergantung dari seberapa panas saat disajikan, dari sapi yang mana susu itu berasal, apa yang dimakan sapi itu sebelumnya, jumlah kandungan krim, dan seterusnya. Atau kenapa asap harus memiliki hanya satu nama saja: 'asap', padahal dari menit ke menit, dari detik ke detik, campuran ratusan macam bau membaur menjadi kesatuan yang sama sekali berbeda setiap kali asap membubung dari sebuah sumber api. Atau kenapa tanah, daratan, udara - masing-masing dari setiap jengkalnya dan di setiap tarikan napas, sarat dengan aneka aroma dan karenanya pasti memuat entitas yang juga berbeda-beda -hanya dirujuk dengan tiga kata yang umum tadi. Seluruh keganjilan dari keanekaragaman yang hanya bisa ditangkap oleh indra penciuman plus keterbatasan jembatan bahasa ini sudah cukup menjadi bukti bagi Grenouille muda untuk yakin bahwa penggunaan bahasa sama sekali tidak logis. Jadilah ia makin terbiasa untuk berbicara hanya apabila benar-benar tak bisa menghindari kontak dengan orang lain.
Pada usia enam tahun ia sudah sangat mampu memahami lingkungan dengan penciuman. Tak ada benda apa pun dalam rumah Madame Gaillard, tidak juga sepanjang jalur utara jalan Charonne - orang, pohon, semak, tiang pancang, noda kecil atau besar - yang tidak dikenalinya berdasarkan bau. Ia juga mampu mengenali lagi benda yang sama berdasarkan keunikan benda tersebut dalam ingatan. Otaknya menyimpan memori tentang puluhan, bahkan ratusan ribu aroma spesifik dengan sangat jelas. Tak hanya mengingat masing-masingnya secara acak kapan saja saat mencium bau yang sama, tapi juga mampu membaui saat mengingat -tanpa harus mencium bau yang sama. Terlebih lagi,
imajinasinya mampu menyusun kombinasi baru dari masing-masing aroma tersebut sedemikian rupa sampai tercipta aroma yang tak ada di dunia nyata. Grenouille bagai seorang autodidak penyusun perbendaharaan raksasa pustaka aroma yang membuatnya mampu menciptakan banyak sekali kalimat tentang aroma. Hebatnya lagi, semua ini terbentuk saat normalnya anak kecil masih harus berusaha keras mengingat kata agar mampu menyusun kalimat koheren yang menggambarkan dunia sekeliling. Analogi terdekat yang mampu menggambarkan bakat aneh ini mungkin ibarat seorang genius musik dengan kemampuan mengidentifikasi melodi dan harmoni dari alfabet di setiap nada individual, lalu menggubahnya menjadi melodi serta harmoni yang sama sekali baru. Yang membedakan kedua realitas ini adalah bahwa perbandingan alfabet untuk aroma tentu jauh lebih besar dan lebih bernuansa ketimbang nada. Plus fakta menyedihkan bahwa seluruh keajaiban aktivitas kreatif seorang genius bernama, Grenouille ini hanya bisa eksis dan diterima dalam pikirannya sendiri.
Dunia luar hanya mencatat bahwa ia tumbuh menjadi orang yang makin lama makin pendiam dan misterius. Kegiatan favoritnya adalah berkelana sendirian sepanjang sisi utara Saint-Antoine. Melalui kebun-kebun sayur dan anggur serta padang rumput. Kadang ia tak pulang dan menghilang berhari-hari. Hukuman rotan yang menanti ia terima tanpa jerit kesakitan. Hukuman kurungan rumah, tak boleh makan, atau kerja berat tetap tak mampu mengubah perilakunya. Delapan belas bulan kunjungan sporadis ke sekolah gereja di Notre Dame de Bon Secours juga tak memberi dampak berarti. Grenouille belajar sedikit kemampuan mengeja dan menulis nama sendiri. Tidak lebih. Guru-guru menganggapnya bodoh.
Madame Gaillard lain lagi. Ia menyadari bahwa anak ini punya kemampuan dan kualitas tersendiri yang sangat tidak biasa - kalau tak mau dibilang ajaib. Terutama sejak ia tahu bahwa tak seperti anak kecil lain, Grenouille sama sekali asing dengan rasa takut terhadap kegelapan dan malam hari. Kau bisa menyuruhnya pergi ke loteng kapan saja, sementara anak-anak lain biar ditemani lentera sekalipun pasti tak akan berani. Atau disuruh mengambil kayu bakar di gudang saat tengah malam. Grenouille tak pernah membawa penerangan apa pun, tapi selalu mampu menemukan jalan dan kembali dengan barang yang diminta tanpa membuat kesalahan - tidak pakai terjatuh, tersandung, atau terjerembab. Madame Gaillard juga menemukan bahwa Grenouille mampu melihat menembus kertas, kain, kayu, bahkan tembok dan pintu terkunci. Tanpa memasuki pondok ia tahu persis berapa jumlah dan anak yang mana yang ada di dalamnya. Ia tahu ada tidaknya ulat dalam kembang kol sebelum kol itu dibelah. Dan sekali, saat Madame Gaillard yakin sudah menyembunyikan uang sedemikian rupa sampai ia sendiri tak bisa menemukan (ia selalu mengubah lokasi penyimpanan), Grenouille langsung menunjuk tanpa ragu ke sebuah lokasi rahasia di balik langit-langit perapian - dan memang benar adanya! Ia bahkan mampu melihat masa depan, karena ia suka meramalkan kunjungan seseorang jauh sebelum orang itu hadir, atau kehadiran badai sementara langit pada saat itu cerah. Tak ada yang tahu bahwa Grenouille tidak melihat semua ini dengan mata, tapi mengendusi aromanya dengan hidung yang dari hari ke hari makin menegaskan presisi aroma tersebut. Pada ulat dalam kembang kol, uang di balik perapian, dan orang di balik tembok atau yang berada beberapa blok di ujung jalan sekalipun. Madame Gaillard tentu saja tak akan menduga sampai sejauh itu - pun andai pukulan ayahnya dulu tidak menumpulkan indra
penciumannya. Ia hanya tahu dan yakin bahwa idiot atau tidak, bocah ini punya indra ke enam. Sadar bahwa orang-orang seperti itu cenderung membawa sial dan kematian, kehadiran Grenouille membuatnya resah. Apalagi jika mengingat bahwa ia tinggal seatap dengan orang yang punya bakat menunjukkan persembunyian uang di balik tembok dan perapian. Dus, begitu yakin bahwa Grenouille memang memiliki bakat mengerikan ini, timbul niat untuk menyingkirkan si bocah. Kebetulan saat itu usia Grenouille sudah mencapai delapan tahun dan biara Saint-Merri tiba-tiba menghentikan pembayaran tahunan begitu saja. Madame Gailard sengaja tidak menagih. Agar tampak wajar ia menunggu sampai seminggu. Saat kiriman uang tak juga datang, ia menggandeng si malang Grenouille dan mengajaknya berjalan-jalan ke kota.
Ia kenal seorang penyamak kulit bernama Grimal yang tinggal dekat sungai di jalan Mortellerie dan terkenal selalu mencari pekerja muda - bukan untuk dididik sebagai murid atau karyawan, tapi sebagai buruh murah. Ada tugas-tugas tertentu yang berbahaya, seperti membersihkan daging dari kulit yang membusuk, mencampur larutan dan bahan celupan beracun untuk proses penyamakan, dan membuat larutan alkali yang membakar kulit. Sedemikian berbahaya sampai membuat si pemilik usaha enggan menyerahkan pengerjaan pada tenaga ahli dan lebih suka mempekerjakan imigran, gelandangan, pelacur, atau anak hilang yang tak akan menarik perhatian jika terjadi sesuatu. Madame Gaillard tentu saja tahu bahwa dalam kondisi normal Grenouille tak mungkin bisa bertahan hidup di pabrik penyamakan kulit milik Grimal. Tapi ia bukan wanita yang suka mengasihani. Toh tugasnya sudah selesai. Perwalian dan pemeliharaannya sudah berakhir. Apa yang terjadi pada si anak setelah itu bukan urusannya lagi. Kalau
mampu bertahan, baguslah. Kalau mati, ya bagus juga - asal dilakukan dan terjadi secara legal.
Jadilah ia meminta kuitansi dari Monsieur Grimal sebagai bukti tertulis serah terima Grenouille, menyerahkan kuitansi biaya komisi sebesar lima belas Franc, lalu kembali pulang ke rumah. Nuraninya sama sekali tak menyisakan sesal. Ia justru merasa tindakannya tidak hanya sah, tapi juga adil, karena jika ia mempertahankan seorang anak yang biaya penitipannya tak lagi dibayar, biaya tersebut otomatis terbebankan ke anak lain atau dirinya sendiri. Ini tentu sangat membahayakan masa depan anak asuh lain, atau lebih buruk lagi: masa depannya sendiri, mengubur impiannya untuk mati wajar, sendiri, dan terlindung. Satu-satunya keinginan yang tersisa dalam hidup.
Karena kita hendak meninggalkan Madame Gaillard dan tak akan bertemu dia lagi dalam cerita ini, sudilah kita relakan beberapa kalimat untuk menggambarkan bagaimana akhir hidupnya.
Walau mendambakan kematian yang wajar sejak kanak-kanak, Madame Gaillard temyata diberi hidup sampai usia sangat, sangat tua. Pada tahun 1782, menjelang ulang tahun ketujuh puluh, ia melepaskan bisnisnya, membeli surat tunjangan hidup sesuai rencana, lalu duduk di rumah menanti ajal. Tapi kematian tak kunjung tiba. Yang datang malah sesuatu yang sama sekali tak terduga siapa pun: Revolusi Prancis - transformasi gila-gilaan seluruh tatanan sosial, moral, dan agama. Awalnya revolusi ini tak memengaruhi nasib Madame Gaillard, tapi kemudian - di usianya yang nyaris delapan puluh tahun-orang yang memegang kewajiban pembayaran tunjangan hidup Madame Gailard harus beremigrasi, seluruh hak kepemilikannya dilucuti, dan dipaksa melelang kepemilikannya atas sebuah pabrik garmen. Untuk
sementara perubahan ini tetap tidak berakibat fatal bagi Madame Gaillard, karena pabrik garmen itu melanjutkan membayar tunjangan tepat waktu. Tapi kemudian tiba saat di mana ia tak lagi menerima uang dalam bentuk koin, tapi secarik kertas tercetak. Ini menandai awal kejatuhan kondisi perekonomian Madame Gaillard.
Dalam dua tahun, surat tunjangan itu tak lagi cukup untuk membiayai hidup. Madame terpaksa menjual rumah dengan harga sangat rendah karena ribuan orang lain mendadak juga terpaksa menjual rumah. Dan sekali lagi ia menerima pembayaran berupa secarik kertas tercetak yang dalam dua tahun kembali tak bernilai. Tahun 1797 (menjelang usia sembilan puluh tahun), seluruh harta dari hasil kerja kerasnya selama hampir seratus tahun ludes dan ia terpaksa tinggal di sebuah kamar sempit di jalan Coquilles. Pada saat itulah - setelah sepuluh-dua puluh tahun terlambat, sang maut menjelang. Hadir dalam wujud penderitaan berkepanjangan bernama kanker tenggorokan yang merampas nafsu makan dan akhirnya suara. Madame Gaillard bahkan tak mampu melenguh protes saat diusung ke Hotel-Dieu. Ia ditaruh di sebuah bangsal bersama ratusan orang sekarat lain, di bangsal tempat suaminya meninggal dulu, berbagi ranjang berdempet-dempet dengan lima wanita asing, dan tiga minggu kemudian mati di depan umum. Mayatnya dibungkus karung, dilempar ke gerobak pengusung pupuk kandang pada jam empat pagi bersama lima puluh mayat lain, lalu seiring denting bel dibawa ke Damart - sebuah tanah pekuburan baru berjarak satu mil di luar gerbang kota. Dan demikianlah akhir seorang Madame Gaillard... dalam sebuah kuburan massal, ditutup batu kapur tebal.
Itu terjadi tahun 1799. Untungnya Madame Gaillard sama sekali tak menyadari nasib yang menanti saat ia melenggang pulang pada tahun 1746, meninggalkan Grenouille dan cerita kita untuk selamanya. Kalau saja ia menyadari, detik itu juga keyakinannya tentang keadilan akan lenyap, bersama satu-satunya makna hidupnya yang paling berarti.
Enam SEJAK PERTAMA KALI menatap Monsieur Grimal - tidak, tepatnya sejak endusan pertama atas bau yang menyelimuti lelaki itu, Grenouille langsung tahu bahwa orang ini tega menyiksanya sampai mati untuk kesalahan kecil sekalipun. Hidupnya bergantung pada berapa banyak pekerjaan yang bisa ditangani dan seberapa bergunanya ia di mata Grimal. Grenouille tak melihat pilihan selain patuh. Menurut dan tak mencoba melawan sama sekali. Hari demi hari ia memendam seluruh energi pemberontakan dan pertentangan, mengubahnya menjadi keinginan tunggal untuk bertahan hidup ala kutu pohon. Ia bekerja keras, tak mengeluh dan tak mencolok. Harapan hidup dipelihara dengan kobaran sangat kecil tapi tetap menyala. Ia menjadi teladan kepatuhan, kesederhanaan, dan ketekunan bekerja. Mematuhi segala perintah tanpa bertanya dan tampak puas menerima makanan apa pun yang disodorkan. Sore hari ia membiarkan diri dikunci di lemari di samping lantai penyamakan tempat menyimpan peralatan dan menggantung kulit kasar yang baru saja digarami. Di sana ia tidur beralas tanah yang keras dan dingin. Siang hari ia bekerja sampai matahari terbenam - empat jam di musim dingin, empat belas, lima belas, dan enam belas jam di musim panas. Tugasnya mengoreki daging dari kulit binatang, membasahinya, mencabuti bulunya, mengapur, merendamnya dengan cairan kimia, melebarkan,
menggosoknya dengan kotoran binatang, membelah kayu bakar, mencabuti ranting dari pepohonan, turun ke sumur penyamakan berisi uap kimia yang membakar kulit, melapis kulit yang masih mentah dan yang sudah jadi sesuai instruksi pekerja senior, memelarkannya dengan remukan gallnut, lalu menutup lubang pembakaran dengan ranting dan tanah untuk proses mumifikasi kulit. Bertahun-tahun kemudian ia harus menggali lagi lubang tersebut dan mengangkat kulit yang kini sudah sempurna tersamak.
Jika tidak sedang mengubur atau menggali samakan kulit, ia ditugasi membawa air. Selama berbulan-bulan ia membawa air dari sungai dengan dua ember. Jumlahnya bisa ratusan ember dalam sehari karena penyamakan membutuhkan air dalam jumlah besar untuk perendaman, perebusan, dan pencelupan kulit. Selama berbulan-bulan tugas ini membuat badannya tak pernah kering. Sore hari pakaiannya selalu kuyup dan ia terpaksa tidur dengan kulit dingin dan membengkak seperti rendaman kulit antelop.
Setelah setahun hidup seperti binatang, ia terjangkit anthrax - penyakit yang paling ditakuti penyamak dan biasanya fatal. Grimal langsung memecat dan celingukan mencari penggantinya, walau diiringi sesal karena belum pernah ia menemui pekerja sepatuh dan seproduktif Grenouille. Di luar dugaan, Grenouille ternyata mampu bertahan dan sembuh. Yang tinggal hanya parut kehitaman dari radang kulit di belakang telinga, di kedua tangan, dan pipi. Membuat wajahnya cacat dan lebih jelek daripada sebelumnya. Tapi ini juga membuat ia kebal terhadap anthrax. Kini ia mampu menguliti kulit paling bau dengan tangan tersayat dan berdarah sekalipun tanpa khawatir terinfeksi lagi. Ini membuatnya mencuat tak hanya melebihi para pekerja magang dan pekerja senior, tapi juga dari para calon penggantinya. Dan karena ia tak bisa lagi digantikan dengan mudah, nilai kerja dan nilai hidupnya
meningkat. Mendadak ia tak boleh lagi tidur di lantai dan diizinkan membuat sendiri ranjang papan (kendati masih di lemari yang sama), diberi jerami sebagai kasur dan selimut sendiri. Pintu lemari tak pernah dikunci lagi saat ia tidur. Makanan juga lebih memadai. Grimal tak lagi memeliharanya sebagai binatang biasa, tapi sebagai peliharaan yang berguna.
Di usia dua belas tahun, Grimal memberi istirahat setengah hari setiap minggu, dan di usia tiga belas bahkan mengizinkan Grenouille keluar jalan-jalan setiap minggu sore selama satu jam setelah jam kerja. Selama satu jam itu ia bebas melakukan apa saja. Grenouille memenangkan taruhannya sendiri dengan tetap hidup dan menggenggam secuil kebebasan yang lebih dari cukup untuk bernapas. Hibernasi sudah berakhir. Kini saatnya Grenouille sang kutu pohon menggeliat. Aroma fajar dihirup kuat-kuat. Ia ingin sekali berburu aroma lagi. Cagar aroma terbesar di dunia kini terbentang di depan mata: kota Paris.
Tujuh RASANYA SEPERTI HIDUP di tengah padang utopia.
Perkampungan di sekitar Saint-Jacques de la Boucherie dan Saint-Eustache serasa taman surga. Di pinggiran jalan sempit antara jalan Saint-Dennis dan jalan Saint-Martin, orang-orang tinggal dalam rumah yang berdempet rapat satu sama lain, setinggi lima sampai enam lantai, membuat orang sulit menatap langit. Udara di permukaan tanah membentuk kanal-kanal lembap yang sarat dengan bekuan aroma - gabungan dari aroma manusia dan binatang, air dan batu, abu dan kulit, sabun dan roti segar serta telur yang direbus dalam air cuka, bau mi dan kuningan yang
digosok, bau daun, bir dan air mata, juga bau lemak dan rumput basah serta kering. Ribuan aroma membentuk bubur tak terlihat menyesaki selokan, jarang membubung menguap melewati atap dan tak pernah berasal dari dalam tanah. Penghuninya tak lagi menganggap aneh bubur aroma ini. Sebagian berasal dari badan mereka sendiri dan mereka sudah sangat terbiasa. Lagi pula, ini juga udara yang mereka hirup sehari-hari - seperti baju yang sudah dipakai sedemikian lama sampai tak lagi tercium baunya atau terasa menempel di kulit. Tapi ini tentu saja merupakan pengalaman pertama bagi Grenouille. Ia tidak mengendusi sekaligus, tapi ia pilah pilah secara analitis menjadi bank data aroma satu demi satu dalam ingatan terpisah. Hidung ajaibnya lalu mengurai setiap gumpalan uap dan aroma menjadi satu untaian terpadu yang tak bisa diuntai lebih jauh lagi. Seluruh proses ini memberi kesenangan luar biasa.
Sering kali ia hanya berdiri diam, bersandar di dinding atau berjongkok di sudut dengan mata tertutup, mulut setengah terbuka dan hidung terkembang lebar. Tenang-tenang ia menunggu setiap arus aroma yang datang. Saat angin mengantar aroma ke arahnya, ia akan memburu sampai dapat. Kadang ia hanya membaui satu aroma saja, dihirupnya dalam-dalam untuk disimpan baik-baik dalam ingatan. Kadang ia mencium aroma yang pernah dikenal atau variasi dari aroma itu, kadang aroma yang sama sekali baru dan belum pernah tercium atau "terlihat" sebelumnya, misalnya aroma kain sutra cetak, wangi teh liar, aroma kain brokat bersulam benang perak, aroma gabus penyumbat sebuah botol anggur tua, dan aroma sisir yang terbuat dari tempurung kura-kura. Grenouille terus berburu mencari berbagai aroma asing. Ia memburu dengan kecintaan dan kesabaran seorang pemancing untuk disimpan baik-baik dalam ingatan.
Setelah kenyang menghirup bubur aroma jalanan ia akan pergi ke daerah yang lebih segar, di mana aroma lebih tipis dan berbaur menyebar bersama angin - persis seperti parfum. Misalnya seperti saat ia pergi ke pasar Les Halles, di mana aroma siang hari terus bertahan sampai sore. Tak terlihat dan tipis-tipis, seolah para penjual masih membaur dalam keramaian, seolah keranjang-keranjang dagangan mereka masih di situ dan penuh dengan sayuran serta telur, atau tong-tong sarat anggur dan cuka, kantong-kantong berisi rempah, kentang, dan tepung, peti-peti dengan paku dan sekrupnya, meja jagal, meja yang sarat gulungan pakaian, piring dan sol sepatu, serta ratusan macam barang lain yang dijual di situ selama siang hari. Kesibukan dan keramaian yang terjadi, sampai sekecil-kecilnya, masih terekam di udara. Grenouille "melihat" semua ini dengan hidung. Ia membaui dengan ketepatan melebihi normalnya orang melihat dengan mata. Persepsi indranya berdasarkan fakta dan karena itu berada di tataran lebih tinggi - katakanlah, ia mampu untuk langsung "melihat" esensi dan roh dari apa yang telah terjadi, dalam kondisi murni dan tak terganggu oleh peristiwa sehari-hari pada saat itu, seperti suara, pandangan, atau tekanan manusia lain yang membuatnya muak.
Di saat lain ia akan pergi ke tempat pemenggalan ibunya dulu. Tempat bernama de Greve di mana tanjungnya menjorok ke sungai seperti lidah raksasa. Di sini kapal-kapal berlabuh, ditarik atau ditambat ke tonggak sepanjang tanjung, dengan sebaran aroma batu bara, butiran padi, rumput kering, dan tali lembap.
Dari arah barat, melewati jalur tunggal yang memotong ke arah kota melalui sungai, datang embusan angin besar yang membawa aroma pedesaan - aroma padang rumput di sekitar Neuilly, aroma hutan di jalur antara Saint-Germain dan Versailles, bahkan aroma kota-kota nun jauh di sana
seperti Rouen atau Caen, dan tak jarang juga aroma laut. Aroma laut tercium seperti sebuah pelayaran dengan ombak berisi campuran antara air, garam, dan dingin matahari. Laut memiliki aroma sederhana tapi sekaligus juga unik dan begitu kaya. Sedemikian kaya sampai Grenouille ragu apakah benar pilahan aromanya terdiri atas ikan, garam, air, ganggang, udara segar, dan sebagainya. Ia lebih suka membaui aroma laut sebagai satu kesatuan. Grenouille sangat menyukai aroma laut sampai ingin suatu hari nanti meraup sendiri sepuasnya sampai mabuk - tentunya dalam kondisi yang murni dan belum tercemar. Kelak, saat ia mendengar dari cerita-cerita tentang betapa luasnya laut itu dan betapa kau bisa melayarinya dengan kapal selama berhari-hari tanpa bertemu daratan, dengan gairah menggebu Grenouille membayangkan dirinya duduk di atas tiang kapal, sepuasnya meluncur di tengah samudra aroma lautan. Ia yakin bahwa yang tercium nanti bukan hanya sekedar aroma, tapi napas-napas sebenar-benarnya yang menjadi akhir dari segala aroma. Betapa senangnya jika bisa membaur lepas dalam napas itu. Tapi ini akan tetap jadi impian bagi Grenouille, yang saat itu tengah berdiri di tepi sungai de Greve, dalam lantunan ajeg sisa-sisa sepoi angin laut yang bisa ia endusi. Grenouille tak aka-n pernah melihat laut. Laut yang sebenarnya-samudra luas yang terbentang jauh di barat, dan tak akan pernah bisa melebur dengan aromanya.
Jadilah ia kembali dengan tekun mengendusi jalanan antara Saint-Eustache dan Hotel de Ville sampai ia mampu mencari jalan sendiri dalam kegelapan sekalipun. Grenouille memutuskan untuk memperluas daerah perburuan. Pertama ke arah barat di sekitar pinggiran Saint-Honore, lalu keluar sepanjang jalan Saint-Antoine ke arah Bastille, dan akhirnya menyeberang sungai ke daerah
Sorbonne dan pinggiran Saint-Germain, tempat tinggal orang-orang kaya. Gerbang-gerbang besi rumah mereka mengembuskan aroma pakaian kulit dan bedak rambut palsu, sementara tembok-tembok tinggi mengembuskan aroma taman yang terdiri dari sapu, bunga mawar, dan pagar tanaman yang baru dipotong rapi. Di sini pula Grenouille pertama kali mencium aroma parfum secara lateral: aroma lavender atau mawar yang menyarati air-air mancur di taman saat acara pesta. Ia juga mencium aroma parfum yang lebih kompleks dan mahal - larutan aroma kesturi yang dicampur dengan minyak neroli dan tuberosa, bunga jonquil, melati, atau kayu manis. Semua dicatat baik-baik dalam ingatan. Didaftar satu per satu seperti ketika orang mendadak membaui aroma tak sedap dan lantas penasaran ingin tahu sumbernya - meski tanpa kekaguman. Grenouille tentu saja sadar bahwa tujuan parfum adalah untuk menciptakan efek memabukkan dan memancing minat serta perhatian. Ia juga mengenali nilai masing-masing aroma yang menyusun parfum tersebut. Namun kalau mau jujur, aroma-aroma itu terasa agak kasar dan membosankan - lebih seperti diaduk asal-asalan ketimbang diracik. Grenouile yakin bisa membuat sendiri aroma parfum yang sama sekali berbeda kalau diberi kesempatan memelajari dan mengolah ramuan dasarnya.
Ia tahu bahwa sebagian besar ramuan tersebut bersumber dari bebungaan dan kios rempah-rempah di pasar, sementara sisanya sama sekali tidak ia kenal. Grenouille menyaring satu per satu, tetap dengan kondisi tanpa nama: aroma ambergris, kesturi, patchouli, kayu cendana, aroma minyak perasan buah bergamot, aroma vetiver, aroma getah pohon, kapur barus, perasan kelopak bunga, minyak jarak....
Grenouille tidak mengkhususkan satu aroma pun. Tidak membedakan berdasarkan dikotomi 'aroma yang enak'
dengan 'aroma yang tidak enak'. Setidaknya belum. Saat ini ia sedang ingin melahap saja dengan rakus. Tujuan perburuan ini semata-mata demi meraup segala yang bisa diberikan oleh dunia dalam hal aroma - terutama aroma yang baru dikenal. Bagi Grenouille, bau keringat kuda sama berartinya dengan aroma seikat bunga mawar. Bau sangit tubuh serangga tidak lebih berarti dari aroma sapi panggang di dapur-dapur para borjuis. Grenouille melahap semua tanpa pandang bulu. Semua, segalanya, dihirup begitu saja. Tak ada prinsip estetika apa pun di dapur imajinasi indra penciumannya. Di situ ia senantiasa menyintesis dan meracik berbagai kombinasi aromatik. Bau tak sedap diterjang juga, karena nantinya toh dibuang lagi - seperti anak kecil dengan mainan balok, ia mencipta dan menghancurkan. Kreativitas Grenouille tak mengenal norma.
Delapan TANGGAL 1 SEPTEMBER 1753 adalah hari ulang tahun penobatan Raja Prancis. Kota Paris meriah dengan taburan petasan di Pont-Royal. Memang tidak semeriah kembang api saat pesta pernikahan Sang Raja atau pesta peringatan kelahiran Dauphin yang legendaris, tapi tetap saja meriah. Jauh sebelum dimulai, para pekerja sudah sibuk mengangkat kembang api raksasa berbentuk roda matahari emas ke tiang kapal di pelabuhan. Jembatan kota Paris berias kembang api berbentuk banteng yang membuncahkan percik api ke arah sungai. Suara derak dan letupan berkumandang dari segala arah, memekakkan telinga di sepanjang trotoar. Petasan-petasan roket melesat dan melukis langit malam dengan semburan cahaya putih.
Ribuan orang memadati jalanan sepanjang jembatan dan dermaga di kedua sisi sungai, tak henti ber-"aaah... " "uuuh... " ria serta seruan memuji, bahkan - sesekali ditingkahi, "Panjang umur Sang Raja ... !" - walau sadar bahwa Sang Raja telah awet bertahta selama lebih dari 38 tahun dan kepopulerannya sudah lama pudar. Hmm... kembang api memang mampu membuat orang optimis.
Grenouile duduk termenung dalam diam di bawah bayang-bayang Pavilyun de Flore, persis di seberang Pont-Royal, di sisi kanan silngai. Tak sedikit pun ia turut bersorak. Apalagi sampai mendongak memandangi petasan roket. Ia datang dengan harapan dapat mencium sesuatu yang baru, tapi tak lama kemudian sadar bahwa kembang api ternyata tak punya aroma apa pun yang bisa ditawarkan. Variasi kemegahan dan kemewahan audiovisual mereka hanya meninggalkan campuran aroma yang amat monoton: sulfur, minyak, dan potasium nitrat.
Grenouille sudah hendak bangkit dan berjalan pulang menyusuri gang Louvre ketika tiba-tiba saja angin membawa sebuah aroma yang amat samar clan sulit ditegaskan. Benar-benar secuil aroma. Sekecil atom - tidak, bahkan lebih samar dari itu. Lebih seperti pertanda datangnya aroma ketimbang aroma itu sendiri, namun pada saat yang sama meniang sungguh terasa seperti pertanda dari sesuatu yang belum pernah diciumnya selama ini. Grenouille merapatkan punggung ke tembok, menutup mata dan mengembangkan hidung lebar-lebar. Aroma misterius itu sungguh lembut dan tipis sampai nyaris tak "terpegang". Persepsi yang ditimbulkan juga berubah terus. Apalagi dikaburkan oleh aroma petasan, keringat sekian banyak orang, menyerpih dan tergilas oleh ribuan aroma lain di kota ini. Tapi beberapa detik kemudian aroma itu datang lagi. Tipis-tipis, bersama sekelebat bayangan pertanda akan sesuatu yang amat
hebat, tapi hanya sedetik... lalu hilang lagi. Grenouiile sungguh dibuat menderita. Untuk pertama kali dalam hidup ia tersiksa, bukan hanya ketamakannya menghirup aroma yang tersinggung, tapi hatinya juga sakit. Seperti ada sesuatu yang dahsyat di balik aroma ini - aroma yang boleh jadi merupakan kunci untuk mengurutkan senua aroma. Orang belum bisa disebut 'pakar aroma' kalau belum mengerti aroma yang satu ini. Celakalah Grenouille kalau sampai tak bisa mendapatkannya. Ia harus memiliki - tak hanya untuk disimpan tapi juga agar hatinya tenang.
Grenouille nyaris muntah karena gelisah. Ia bahkan belum bisa memastikan arah datangnya aroma tersebut. Kadang ada jeda beberapa menit sebelum angin mengembuskan aroma itu lagi. Dan setiap kalinya ia nyaris jantungan takut kehilangan. Setengah putus asa, akhirnya ia yakin bahwa aroma itu datang dari seberang sungai. Dari suatu tempat di arah tenggara.
Grenouille menjauh dad tembok Pavilyun de Flore, membaur di kerumunan orang, lalu merintis jalan menyeberangi jembatan. Setiap beberapa langkah ia. berhenti dan berjingkat agar marnpu mengendusi aroma itu dari atas kepala orang-orang. Mulanya ia tak mencium apa pun selain kehebohannya sendid, tapi perlahan ia bisa menangkap aroma itu. Bahkan lebih kuat. Sadar sedang mengikuti jejak yang benar, ia menyelarn lag~l ke kerumunan orang, menggeliat melewati jejalan para penonton dan pemasang petasan yang sibuk menyuluti petasan roket, sempat kehilangan aroma buruan di tengah bubungan asap, panik, mendorong dan menyikut membuka jalan lebih gegas, lalu entah. setelah. berapa menit kemudian baru tiba di seberang sungai, dekat Hotel de Mailly, dermaga Malaquest, dan jalan setapak yang mengarah ke jalan Seine.
Grenouille menghentikan langkah, mengumpulkan segenap kekuatan, lalu mengendus. Begitu dapat, ia "genggam" erat-erat. Aroma itu bergulung sepanjang jalan Seine seperti pita. Begitu jelas tapi sekaligus juga begitu samar dan tipis. Jantung Grenouille berdegup kencang -bukan karena kecapekan sehabis berlari, tapi akibat kegelisahan dari ketidakberdayaannya di hadapan aroma misterius itu. Ia mencoba mengingat sesuatu sebagai pembanding, tapi tak ada yang sama. Aroma ini segar, tapi bukan seperti segarnya jeruk limau atau buah delima. Bukan juga segarnya getah myrrh atau kayu manis, tidak pula daun mint atau pohon birch atau getah camphor atau duri pohon pinus. Membanding lebih jauh, kesegaran ini juga tidak mirip kesegaran rintik hujan bulan Mei atau angin musim dingin atau air sumur. Grenouille juga mencium kehangatan dalam aroma tersebut. Tapi lagi-lagi saat membandingkan ia yakin bahwa ini tidak seperti kehangatan pohon jeruk, bergamot, pohon cemara, atau kesturi. Tidak pula menyerupai kehangatan bunga melati atau narsis, bunga mawar ataupun iris. Aroma ini gabungan keduanya - mengabur dan substantif. Tidak, ini bukan gabungan, tapi kesatuan. Walau tipis dan amat samar namun tetap bergaung kuat dan terus-menerus - seperti selembar kain sutra... tapi bukan sutra. Lebih seperti kue kering berbalur susu madu. Sampai di sini pun ia bingung sekaligus takjub: bagaimana mungkin aroma susu dan sutra bisa hadir bersamaan! Grenouille tak habis pikir. Aroma ini sungguh tak bisa dicerna, tak bisa digambarkan, dan tak bisa dikategorikan dengan cara apa pun - bahkan mestinya tak mungkin ada! Tapi toh aroma itu hadir dan nyata karena kini ia tengah membauinya. Grenouille mengekor perlahan. Jantungnya terus berdegup kencang. Ia sadar bahwa sebenarnya bukan ia yang mengikuti aroma, tapi aroma itulah yang telah menangkap dan menariknya seperti kerbau dicucuk hidung.
Grenouille menyusuri jalan Seine. Tak ada orang sepanjang jalan. Rumah-rumah berdiri lengang dan kosong karena penghuninya sedang masyuk kembang api di sungai. Tak ada gangguan bau manusia atau sengatan asap mesiu. Jalan Seine kembali ke pelangi aroma aslinya berupa air, kotoran manusia, tikus, dan sampah sayuran. Tapi di atasnya mengambang aroma misterius yang kini tengah menarik hidung Grenouille. Beberapa langkah memasuki jalan, remang cahaya malam habis ditelan bangunan-bangunan tinggi. Grenouille melangkah dalam kegelapan. Peduli amat, toh ia tak butuh mata. Aroma tipis ini saja sudah lebih terang ketimbang lentera mana pun.
Lima puluh meter berikutnya ia membelok tajam ke jalan Marais - sebuah gang yang amat sempit dan makin gelap - kalau memang bisa lebih gelap lagi. Anehnya, di tempat ini aroma misterius itu seperti memudar - tidak, bukan memudar, tapi menjadi lebih murni. Kemurnian yang justru mengeluarkan daya tarik lebih besar. Kaki Grenouille seperti punya pikiran sendiri. Satu ketika ia tertarik ke arah kanan, lurus menuju sebuah dinding. Grenouille meraba sebentar dan menemukan celah rendah yang mengarah ke halaman belakang sebuah rumah - atau gedung. Tak tahulah. Yang jelas ia terus melangkah seperti orang mimpi berjalan. Ia melewati pekarangan, membelok di sudut ke sebuah pekarangan lain yang lebih kecil, dan di tempat ini akhirnya ada cahaya, meski hanya menerangi daerah seluas beberapa kaki saja. Sebuah atap kayu menjuntai dari dinding. Di balik dinding itu ada meja dengan sebatang lilin yang menyala. Seorang gadis duduk di depan meja sedang membersihkan sekeranjang plum kuning. Tangan kirinya mengambil buah dari keranjang, digenggam lalu dikupas dengan pisau, kemudian ia
melempar hasilnya ke sebuah ember. Umur si gadis mestinya tak lebih dari tiga belas atau empat belas tahun. Grenouille bergeming menatap nanar tak percaya. Seketika itu ia mengenali sumber aroma misterius yang telah ia ikuti sejak setengah mil lalu dari seberang sungai: bukan berasal dari pekarangan atau buah plum. Sumbernya adalah si gadis perawan itu!
Sekejap ia begitu kalutnya sampai tak percaya sendiri. Baru pertama kali ini dalam hidup ia menyaksikan sesuatu yang begitu indah seperti si gadis pengupas buah plum -pun walau hanya sempat melihat dari belakang, dalam siluet nyala lilin. Maksud Grenouille di sini tentu saja lebih mengacu bahwa ia belum pernah mencium benda secantik ini. Sungguh berbeda dengan aroma manusia yang ia kenal selama ini - dari sekian ribu pria, wanita, dan anak-anak sepanjang pengalaman hidupnya, jadi tak heran bila ia sulit meyakini ada aroma yang begitu elok bisa keluar dari tubuh seorang manusia. Selama ini ia yakin bahwa tak ada yang istimewa dari aroma manusia - malah cenderung mengerikan. Anak-anak berbau hambar, pria dewasa berbau kencing, asam keringat, serta keju, sementara wanita umumnya berbau lemak anyir dan ikan busuk. Sungguh sangat tidak menarik dan memuakkan. Begitulah bau tubuh manusia.
Namun kini rupanya tiba saat Grenouille tak lagi bisa memercayai hidung dan harus mengandalkan mata untuk meyakinkan bahwa ia benar-benar melihat apa yang dicium. Tapi kegalauan indra ini tak berlangsung lama. Hanya sedetik yang ia butuhkan untuk yakin pada realitas optik tersebut. Detik berikut ia kembali terbenam dalam surga persepsi indra penciuman. Baru sekarang ia tersenyum saat mencium aroma manusia... dari tubuh si gadis - mencium bau ketiaknya, minyak di rambutnya, bau amis di kemaluan.... Grenouille menghirup dalam-dalam
seperti orang mengisap candu. Keringat si gadis sesegar angin laut, lemak rambutnya semanis minyak zaitun, kemaluannya seharum bunga lili air, kulitnya semerbak aprikot matang. Harmoni dari seluruh komponen ini menghasilkan aroma parfum tiada tara yang begitu kaya, begitu seimbang dan ajaib, sampai-sampai setiap parfum yang pernah ia cium selama ini dan setiap kumpulan aroma yang pernah ia ciptakan sampai detik ini, menjadi begitu kerdil dan tak berarti. Ratusan ribu aroma jatuh tak berharga di hadapan aroma yang satu ini. Aroma yang memiliki tataran hierarki dan prinsip jauh lebih tinggi dan mampu menata susunan aroma lainnya. Sungguh sebuah keindahan murni.
Grenouille sadar bahwa ia harus memiliki aroma ini atau hidupnya tak berarti lagi. Ia harus memahami detail terkecilnya, mengikuti sampai ke rambut terhalus. Ingatan saja, betapa pun kompleks, tak akan cukup. Ia ingin menanam aroma dewa ini ke kedalaman jiwanya yang hitam dan berlumpur - menelusuri sedemikian rupa sampai akhirnya tiba pada putusan bahwa sejak detik ini ia akan hidup, berpikir, dan membaui hanya berdasarkan struktur terintim dari formula magis aroma tersebut.
Perlahan ia mendekati si gadis, makin dekat dan makin dekat, sampai tiba persis di bawah atap teras dan berhenti persis selangkah di belakang si gadis yang belum juga menyadari kehadirannya.
Rambut si gadis berwarna merah dan ia mengenakan gaun kelabu panjang tak berlengan. Lengannya putih bersih dan tangannya kekuningan oleh perasan buah plum. Grenouille membungkuk ke arah si gadis dan menghirup aroma murni yang menguap dari tengkuk, rambut, dan kerah baju. Grenouille menghirupnya seperti menghirup udara pagi. Belum pernah ia merasa senyaman ini.
Si gadis lain lagi. Mendadak ia merasa udara berubah dingin. Kendati tidak melihat Grenouille, tak urung tubuhnya gelisah. Bulu kuduk meremang seperti orang menjelang ketakutan luar biasa. Dingin aneh itu datang dari arah belakang, seolah ada yang baru saja membuka pintu ruangan luas yang dingin itu. Si gadis meletakkan pisau ke atas meja, menarik tangan ke dada, lalu berpaling.
Tubuh si gadis begitu kaku ketakutan melihat Grenouille, sampai tak mampu berbuat apa-apa saat lelaki itu menjulurkan tangan mencekik leher. Ia bahkan tak sanggup menjerit, meronta, atau berusaha membela diri. Grenouille berpejam mata. Ia tak ingin melihat wajah berbintik si gadis, bibir ranum dan bola mata hijau yang mendelik penuh teror itu. Matanya terus terpejam sementara mencekik. Yang dipedulikannya hanya satu: jangan sampai aroma tubuh gadis itu hilang sedikit pun.
Setelah si gadis mati, Grenouile meletakkan tubuh lunglai itu di lantai di antara biji-biji buah plum, lalu merobek bajunya. Gelombang aroma tubuh si gadis sontak membanjir memabukkan. Wajah Grenouille merangsek menggeseki kulit si gadis. Hidungnya rakus melahap aroma yang menguap - dari perut ke buah dada, ke leher, sekitar wajah dan rambut, lalu kembali ke perut, turun ke kemaluan, ke paha dan kakinya yang putih. Ia mengendusi mayat si gadis dari ujung kepala sampai ujung kaki, mengumpulkan sisa-sisa terakhir aroma tubuh di bawah dagu, di pusar, dan di kerutan siku bagian dalam.
Setelah puas dan yakin tak bersisa lagi, untuk sesaat ia duduk berjongkok di sisi mayat, mengumpulkan kesadaran setelah menyesakkan diri dengan aroma si gadis. Ibarat minuman, ia tak ingin menumpahkan aroma itu sedikit pun. Untuk itu, pertama sekali ia harus menguncinya di kamar ingatan yang terdalam. Barulah kemudian ia bangkit dan meniup lilin.
Sementara itu, orang-orang sudah mulai kembali pulang, bernyanyi dan bersorak ria sepanjang jalan Seine. Grenouille kembali mengandalkan penciuman untuk menuntun pulang di kegelapan sepanjang gang, tembus ke jalan Petits Augustins yang berseberangan dengan jalan Seine, lalu terus ke arah sungai. Tak lama kemudian mayat si gadis ditemukan. Jeritan dan kehebohan kontan meledak. Obor-obor dinyalakan. Para penjaga dan patroli malam tergopoh-gopoh berdatangan. Sementara Grenouille sudah lama kembali berada di seberang sungai.
Malam itu, kamar sempit Grenouille serasa istana dan ranjang papan serasa beralas bulu angsa. Belum pernah seumur hidupnya ia mencicipi yang namanya kebahagiaan, selain kesenangan-kesenangan kecil tapi tersumbat-dan itu pun amat sangat jarang. Tapi kini ia sedemikian bergelimang suka cita sampai tak bisa tidur. Rasanya seperti baru lahir kembali - tidak, bukan lahir kembali, tapi lahir untuk yang pertama kalinya, karen selama ini rasanya ia tak lebih dari binatang dengan sekelumit kesadaran. Baru hari inilah ia menyadari jati diri sesungguhnya sebagai seorang genius, di samping kesadaran bahwa arti serta tujuan hidupnya memiliki takdir yang lebih tinggi, yaitu tiada lain untuk merevolusi dunia aroma. Hanya dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang sanggup mewujudkan hal itu melalui keistimewaan indra penciuman, ingatan luar biasa, dan yang terpenting, wewangian sejati yang baru saja ia ambil dari gadis di jalan Marais tadi. Di dalamnya terkandung formula magis untuk membuat parfum macam apa pun. Sebuah formula wewangian yang begitu hebat, halus, kuat, stabil, bervariasi, dan sekaligus menakutkan - sebuah keindahan yang tak tertahankan. Telah ia temukan kompas menuju masa depan.
Dus, seperti lazimnya tokoh-tokoh monster berbakat besar yang cenderung melompat tanpa ragu ke pusaran kegelapan jiwa mereka setelah merasa mengalami "pencerahan", Grenouille tak pernah lagi berpaling dari apa yang diyakininya sebagai jalan takdir. Jelas baginya sekarang kenapa ia harus begitu bertahan hidup selama ini, dalam kekejian dan kekerasan yang luar biasa pula. Rupanya agar kelak bisa memenuhi takdir sebagai seorang pencipta wewangian. Dan bukan yang biasa-biasa saja, tapi pencipta dan ahli parfum terhebat sepanjang masa.
Dan pada malam itu juga, sejak bangun sampai di alam mimpi, ia memeriksa bank data memorinya yang luar biasa itu. Jutaan demi jutaan matriks ingatan aroma dikaji dengan teliti lalu disusun secara sisternatis dalam kategori aroma bagus, jelek, tipis, kasar, busuk, serta menyenangkan. Seminggu berselang sistem ini tumbuh menjadi lebih halus dan tersaring, katalog aroma menjadi lebih luas dan beragam, hierarkinya juga lebih jelas. Tak lama kemudian Grenouile mulai mampu membangun fondasi struktur aroma yang telah dibuat dengan sedemikian hati-hati, seperti membangun kastil saja. Ada rumah-rumah, tembok, tangga, menara, gudang bawah tanah, kamar-kamar, ruangan-ruangan rahasia ... pokoknya sebuah benteng ingatan imajinasi yang dibangun berdasarkan aroma terdahsyat yang pernah ada, yang setiap hari tumbuh makin besar, makin indah, dan makin menyempurna.
Sebuah pembunuhan menjadi awal dari semua kemegahan ini - itu pun kalau ia sadar. Tapi Grenouille benar-benar tak ambil pusing. Ia bahkan sudah tak ingat lagi bagaimana rupa dan perawakan si gadis dari jalan Marais. Yang penting ia telah menyimpan dan menjadikan bagian terbaik dari gadis itu sebagai milik pribadi, yaitu aroma tubuhnya.
Sembilan ADA SELUSIN LEBIH ahli parfum tinggal di Paris pada zaman itu. Enam orang tinggal di sebelah kanan sungai, enam orang tinggal di sisi kiri, dan satu orang tinggal pas di tengah, persisnya di Pont au Change, yang menghubungkan sisi kanan sungai dengan Ile de la Cile. Jembatan ini begitu padat dengan gedung-gedung berlantai empat sampai orang tak bisa lagi melihat sungai saat menyeberang jembatan dan malah serasa berada di sebuah jalan raya biasa - jalan yang sangat elegan, malah. Pont au Change memang terkenal sebagai salah satu distrik bisnis terbaik di Paris. Bermacam toko ternama bisa ditemui di sini. Ada pandai emas, pembuat lemari, pembuat wig dan dompet terbaik, bermacam pabrik pembuat pakaian dalam wanita dan stoking terbaik, pembuat bingkai lukisan, para pedagang sepatu berkuda, pembuat sulaman untuk hiasan bahu, pembuat kancing emas, dan para bankir. Di distrik ini pula berdiri bisnis serta kediaman seorang ahli parfum dan pembuat sarung tangan terkenal bernama Giuseppe Baldini. Jendela etalasenya dinaungi kanopi hijau beraltar nan mewah, persis di samping bendera simbol keluarga Baldini. Bendera simbol keluarga itu bertatahkan emas, bergambar flacon (tabung kimia) emas yang menumbuhkan seikat bunga yang juga emas. Di depan pintu toko terhampar sebuah karpet merah dengan gambar simbol keluarga Baldini bersulam emas. jika pintu dibuka akan terdengar denting bel Persia, disusul ayunan leher dua patung bangau memerciki air beraroma bunga lembayung dari paruh mereka ke sebuah bejana emas, yang kemudian dibentuk menyerupai flacon seperti pada simbol keluarga Baldini.
Kenapa" Malam itu terjadi sebuah bencana kecil. Dengan sedikit keterlambatan pengumuman, pihak istana mengeluarkan dekrit yang mengharuskan peruntuhan sedikit demi sedikit seluruh gedung yang berada di atas jembatan di seluruh Paris. Maka pada malam itu, tanpa alasan jelas, sebelah Barat Pont au Change, di antara dermaga ketiga dan keempat, runtuh berurutan. Dua buah gedung diserok ke arah sungai. Begitu menyeluruh dan tiba-tiba sampai penghuninya tak sempat menyelamatkan diri. Untungnya hanya dua orang yang tercatat sebagai korban, yaitu Giuseppe Baldini dan istrinya, Teresa. Para pelayan telah keluar lebih dulu, dengan atau tanpa permisi. Chenier adalah pelayan pertama yang berniat kembali lebih dulu (karena. ia tak punya tempat tinggal lain), melangkah dengan kaki terseok agak mabuk. Bisa ditebak betapa syok dan runtuh sarafnya melihat kejadian ini. Sia-sia saja pengorbanan hidupnya selama tiga puluh tahun, bersandar harapan agar suatu hari nanti namanya tercantum dalam surat warisan Baldini karena si tua itu tak punya sanak ataupun saudara. Kini, dalam sekali kebas, seluruh warisan itu musnah - semuanya: rumah, bisnis, bahan mentah, laboratorium, Baldini sendiri dan tentu saja surat warisan Baldini. Padahal ia yakin bahwa kelak hampir pasti Baldini akan menunjuknya sebagai pemilik pabrik di Saint-Antoine.
Tak ada apa pun yang bisa ditemukan. Tidak mayat, brankas, atau buku catatan berisi enam ratus formula. Hanya satu yang tersisa dari Giuseppe Baldini sang pembuat parfum terbesar seantero Eropa: aroma parfum aneka warna - ada aroma kesturi, kayu manis, cuka apel, lavender, dan ribuan aroma lain. Selama beberapa minggu aroma ini mengambang tinggi di atas sungai Seine, membentang dari Paris sampai Le Havre.
Bagian II Di belakang meja kasir dari kayu boxwood ringan, berdiri sang Baldini - setua dan sekaku pilar, mengenakan wig berpupur perak dan mantel biru berhias bros katak-katak kecil dari emas. Harum bunga kemboja yang ia semprotkan setiap pagi membungkusnya seperti kabut, nyaris terlihat saking tebalnya dan membuat si pemakainya sedikit kabur dari pandangan. Sedemikian kakunya ia sampai seolah menjadi bagian dari barang jualannya sendiri. Hanya apabila bel berdering dan kedua bangau memercik parfum - itu pun agak jarang terjadi, ia mendadak "hidup". Tubuhnya membungkuk dan mengecil sedemikian rupa, Ialu bergegas keluar dari balik meja kasir begitu cepatnya sampai kabut parfum kemboja tak sempat mengikuti. Segera ia menyambut serta memersilakan duduk si pelanggan sementara ia memeragakan dagangan parfum dan kosmetiknya yang terbaik.
Koleksi parfum serta kosmetik dagangan Baldini jumlahnya ribuan. Stoknya bervariasi, mulai dari essences absolues - wewangian utama dari minyak bunga, larutan alkohol, ekstrak, sari pati, balsam, getah, dan bermacam obat dalam wujud kering, cair, atau lilin. Ia juga menjual bermacam minyak rambut, pasta, bedak, sabun, krim, bedak wangi, bandolin, sampo, lilin pengeras kumis, obat kutil, dan alat-alat kecantikan mulai dari minyak mandi, losion, garam pewangi, perlengkapan kamar mandi, dan rupa-rupa parfum yang tak terhitung banyaknya. Namun Baldini belum puas dengan produk-produk kecantikan klasik ini. Ia berambisi mengumpulkan semua benda beraroma atau apa pun yang memiliki kontribusi dalam pembuatan parfum. Jadi, selain pastiles pelega tenggorok, lilin dan tali dupa, ia juga menyediakan bermacam rempah
mulai dari biji minyak adas manis sampai kayu manis, sirup, bermacam minuman anggur dan brendi perasan buah, minuman anggur dari Cyprus, Malaga, dan Corinth, madu, kopi, teh, permen, dan buah kering, daun ara, kembang gula. atau manisan, cokelat, kastanye, bahkan caper kering, mentimun, bawang, serta ikan tuna yang diasinkan. Masih ditambah dengan filin penyegel parfum, alat tulis-menulis, tinta khusus untuk menulis surat cinta beraroma bunga mawar, perangkat menubs dengan tas kulit Spanyol, penyangga pena dari kayu cendana putih, peti jenazah dan peti-peti biasa dari kayu cedar, pot air dan mangkuk berdekorasi mekaran bunga, kendi dupa dari kuningan, flacon kristal dan kendi-kendi bertutup gading, sarung tangan beraroma, sapu tangan, bantal alas menjahit berisi bunga pala, serta kertas dinding beraroma kesturi yang mampu menghiasi kamar selama lebih dari seratus tahun.
Tentu saja toko Baldini tidak cukup besar untuk menampung semua barang tersebut. Ruangan toko memang apik, namun kecil dan menghadap ke arah jalan (atau ke arah jembatan). Jadi, untuk gudang ia tak hanya menggunakan ruangan bawah tanah, tapi juga seluruh lantai dua dan lantai tiga serta nyaris seluruh ruangan yang menghadap ke sungai di lantai dasar. Bisa dibayangkan betapa kacaunya aroma yang menaungi Rumah Keluarga Baldini. Betapa pun elok kualitas tiap-tiap barang tersebut (karena Baldini hanya mau membeli barang kualitas terbaik), paduan aromanya nyaris tak tertahankan. Ibarat sebuah orkestra beranggotakan ribuan musisi dan masing-masing memainkan melodi berbeda sekencang dan sesuka hati. Baldini dan para asistennya sudah terbiasa dengan kekacauan ini - persis seperti konduktor-konduktor orkestra berusia senja (yang kemampuan mendengarnya sudah pasti menurun). Begitu pun Nyonya Baldini yang
tinggal di lantai empat dan selalu menentang penumpukan barang lebih jauh, nyaris tak terganggu lagi oleh kekacauan aroma tersebut. Tapi tidak demikian bagi para pelanggan Baldini yang baru pertama kali memasuki toko. Neraka aroma yang menghantam indra penciuman terasa bagai hantaman tinju tepat di wajah. Tergantung kekuatan masing-masing, yang bersangkutan bisa seketika itu pusing atau malah segar. Apa pun itu, yang jelas tetap membuat indra penciuman si pelanggan sedemikian linglung sampai tak ingat lagi tujuannya datang ke toko. Tak sedikit bocah-bocah kurir yang lupa pesanan, pendekar pedang nan sangar mendadak muntah-muntah, dan wanita ningrat yang mual-mual, setengah histeris, setengah klaustrofobia -ketakutan berada di ruang sempit, lantas pingsan dan hanya bisa dibangunkan oleh olesan minyak beraroma paling tajam dari minyak cengkeh, amonia, dan getah camphor.
Dengan keadaan seperti itu, sungguh tidak mengherankan bila denting bel Persia dan percik parfum dari paruh patung bangau di pintu toko Giuseppe Baldini makin lama makin jarang terdengar.
Memanah Burung Rajawali 6 Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam Pendekar Sadis 4