Pencarian

Perfume Story Of Murderer 2

Perfume The Story Of A Murderer Karya Patrick Suskind Bagian 2


Sepuluh "CHENIER!" SERU BALDINI dari balik meja kasir setelah sebelumnya berdiri berjam-jam sekaku pilar, menatap ke arah pintu. "Pakai wigmu!" demikian ia berseru lagi. Dari balik tong-tong minyak zaitun dan juntaian daging-daging ham, muncullah Chenier, asisten Baldini yang berusia lebih muda tapi sudah tampak seperti lelaki renta. Yang dipanggil melangkah ke meja kasir. Ia mengambil wig dari kantung mantel dan mengepaskannya ke kepala.
"Anda mau keluar, Monsieur Baldini?" ia bertanya.
"Tidak," jawab Baldini. "Aku ingin melanjutkan studi selama beberapa jam dan tak ingin diganggu untuk apa pun juga. Paham?"
"Aha! Saya tahu! Anda pasti sedang membuat parfum baru."
BALDINI: Benar. Parfum yang akan dipakai untuk kulit Spanyol milik Count Verhamont. Ia ingin sesuatu yang benar-benar baru. Ia meminta sesuatu yang seperti... seperti... kurasa ia menyebutnya sebagai 'Cinta dan Jiwa', dan ia terima barang itu dari... dari pecundang di jalan Saint-Andre-des-Arts... itu... si... si....
CHENIER: Pelissier. BALDINI: Ya. Tepat sekali, itu nama si pecundang itu. Hmm... 'Cinta dan jiwa', buatan Pelissier. Kau tahu soal ini"
CHENIER: Ya, ya, tentu saja saya tahu. Anda bisa mencium baunya di mana pun saat ini. Apalagi di setiap sudut jalan. Tapi kalau menurut saya, sih, tak ada bagus-bagusnya! Sama sekali tak bisa dibandingkan dengan apa yang akan Anda ciptakan, Monsieur Baldini.
BALDINI: Tentu saja tidak.
CHENIER: 'Cinta dan jiwa' ini baunya sungguh biasa saja. BALDINI: Vulgar, begitu"
CHENIER: Sangat vulgar. Seperti apa pun ciptaan Missier. Saya yakin pasti mengandung minyak limau.
BALDINI: Sungguhkah" Apa lagi"
CHENIER: Sari bunga limau, barangkali. Dan sedikit rosemary dalam larutan alkohol. Tapi saya tak pasti benar. BALDINI: Semua itu tak ada gunanya sama sekali bagiku. CHENIER: Tentu saja tidak.
BALDINI: Aku tak peduli apa pun yang dipakai si pecundang Missier itu dalam membuat parfum. Aku tak sudi menggunakannya sebagai inspirasi, kujamin itu.
CHENIER: Anda benar sekali, Monsieur.
BALDINI: Seperti kau tahu, aku tak mengambil inspirasi dari siapa pun. Seperti kau tahu, aku menciptakan parfumku sendiri.
CHENIER: Saya tahu, Monsieur.
BALDINI: Aku sendiri yang melahirkan mereka -parfum-parfum itu.
CHENIER: Saya tahu. BALDINI: Dan aku sedang berpikir untuk menciptakan sesuatu untuk Count Verhamont yang akan membuat kehebohan besar.
CHENIER: Saya yakin pasti demikian, Monsieur Baldini.
BALDINI: Tolong jaga toko. Aku butuh ketenangan dan kedamaian. Jangan biarkan siapa pun mendekatiku, Chenier.
Demikianlah, Monsieur Baldini bergegas. Tidak dengan langkah seperti patung, tapi membungkuk sesuai usianya yang memang sepuh. Tapi bungkuknya begitu dalam sampai nyaris seperti habis dipukuli, lalu perlahan menaiki tangga ke ruang studi di lantai dua.
Chenier mengambil posisi di belakang meja kasir dan memasang pose persis seperti majikannya, dengan pandangan lurus ke arah pintu. Ia tahu apa yang akan terjadi beberapa jam ke depan: sama sekali tidak ada pengunjung yang datang dan malapetaka rutin di ruang studi Baldini. Seperti biasa, Baldini akan melepas mantel biru yang sarat aroma kemboia itu, duduk di belakang meja kerja, lalu menunggu inspirasi. Setelah dapat, ia bergegas menuju lemari berisi ratusan flacon dan mulai mencampur asal-asalan. Campuran itu tentu saja gagal. Ia lalu menyumpah-nyumpah, membuka jendela, dan membuang isi tabung ke sungai. Ia akan mencoba lagi sesuatu yang lain yang juga gagal, lalu kembali menyumpah-nyumpah sambil mengamuk melempari barang di kamar yang baunya makin pekat itu. Sekitar jam tujuh malam ia akan kembali turun ke
toko dengan roman sebal dan penampilan berantakan, gemetar dan mengeluh, lalu berkata, "Chenier, aku kehilangan hidungku. Aku tak bisa menciptakan parfum itu, aku tak bisa emberi kulit Spanyol itu pada sang Count. Habislah semua. Jiwaku sudah mati. Aku ingin mati Chenier. Tolong bantu aku untuk mati!" Saat itu Chenier akan menyarankan agar menyuruh orang membeli sebotol 'Cinta dan jiwd dari Pelissier. Baldini setuju saja, tapi dengan syarat bahwa tak seorang pun yang boleh mengetahui peristiwa memalukan ini. Chenier lantas akan bersumpah untuk tutup mulut dan malam ini mereka akan membuat wangi bahan kulit Count Verhamont dengan produk ciptaan orang lain. Pasti demikian yang akan terjadi. Tak diragukan lagi. Chenier hanya berharap agar sirkus ini segera berakhir. Baldini bukan lagi seorang ahli parfum yang hebat. Dulu memang. Tapi itu dulu sekali. Waktu Baldini masih muda, tiga atau empat puluh tahun yang lalu, ia pernah menciptakan parfum bertajuk 'Mawar dari Selatan' dan 'Buket Baldini nan Megah' - dua parfum yang sangat hebat dan membuatnya sekaya sekarang. Tapi sekarang ia sudah tua dan kelelahan, tidak tahu mode terkini serta cita rasa modern, dan setiap kali berhasil menciptakan parfum sendiri, selalu ketinggalan zaman dan tak bisa dipasarkan. Akibatnya dalam setahun mereka harus mengencerkan dan mengoplosnya hingga sepuluh banding satu dan harus puas menjajakannya sebagai produk aditif untuk air mancur. Memalukan sekali, pikir Chenier sambil memeriksa posisi wig lewat cermin. Memalukan soal si Baldini tua, memalukan soal tokonya yang indah karena kalau begini terus lama-kelamaan pasti rusak, dan memalukan soal aku sendiri karena saat toko ini rusak kelak, aku sudah terlalu tua untuk mengambil alih.
Sebelas GIUSEPPE BALDINI MEMANG melepas mantel berparfumnya, tapi itu hanya karena kebiasaan. Aroma kemboja yang menyengat sudah sejak lama tak lagi mengganggu kemampuannya untuk mencium. Puluhan tahun begini, tentunya sekarang sudah tidak terasa lagi. Dan walau ia telah menutup pintu dan meminta agar tidak diganggu siapa pun, ia tidak duduk di belakang meja menunggu inspirasi. Baldini tahu, lebih dari Chenier, bahwa inspirasi tak akan datang - dan memang tak pernah datang. Bahwa ia kini sudah tua dan lelah, itu benar. Juga bahwa ia bukan lagi seorang ahli parfum yang hebat. Tapi hanya Baldini sendiri yang tahu dan sadar bahwa ia tak pernah jadi ahli parfum sebenar-benarnya. Ia mewarisi 'Mawar dari Selatan' dari ayahnya, dan formula untuk parfum 'Buket Baldini nan Megah' ia beli dari seorang penjual rempah keliling dari Genoese. Sisa parfum yang lain hanya aroma biasa. Ia tak pernah menciptakan apa pun. Ia bukan penemu. Hanya seorang penjual wewangian tradisional yang hati-hati. Itu saja. Ibarat kata, ia adalah seorang koki dengan dapur nan hebat plus rutinitas dan resep yang bagus, tapi tak pernah menciptakan hidangan kreasinya sendiri. Seluruh omong kosong ketenaran soal studi eksperimen, dan inspirasi serta lagak-lagu kerahasiaan ia lakukan semata-mata demi menjaga citra profesional seorang ahli parfum dan pembuat sarung tangan. Seorang ahli parfum sejati setidaknya adalah juga seorang alkemis -ahli kimia, yang menciptakan keajaiban. Itu gambaran yang diinginkan publik. Baik, jadilah ia menciptakan citra sedemikian. Bahwa karya seninya menghasilkan sesuatu yang unik dan berbeda, hanya ia sendiri yang tahu dan bangga karenanya. Baldini tak ingin jadi penemu. Ia malah
sangat mencurigai hasil penemuan apa pun karena yakin bahwa sebuah penemuan hanya bisa mewujud setelah melanggar hukum alam atau hukum masyarakat - entah dengan perilaku curang atau culas atau apalah. Baldini juga tak berniat menciptakan parfum baru untuk Count Verhamont. Ia juga tak ingin mengikuti saran Chenier untuk membeli saja 'Cinta dan jiwa' dari Pelissier sore ini. Ia sudah beli dan kini teronggok di atas meja dekat jendela, dalam sebuah flacon berukuran kecil dengan sumbat gelas. Ia membelinya beberapa hari lalu. Tidak secara langsung, tentu saja. Tak mungkin ia melenggang ke toko Pelissier dan membeli parfum itu dengan tangan sendiri. Ia beli lewat seorang perantara yang juga menggunakan perantara lain sebelumnya. Kehati-hatian dalam berbisnis adalah sebuah kemutlakan. Baldini tak berniat mengharumkan kulit Spanyol itu dengan parfum Pelissier begitu saja - lagi pula parfum dalam botol sekecil itu tak akan cukup. Tidak, ia punya ide lebih jahat lagi: ia ingin meniru parfum itu.
Ya, kenapa tidak" Toh ini tak bisa dibilang ilegal. Hanya tidak etis saja. Membuat imitasi gelap atau membajak parfum ciptaan pesaing dan menjualnya dengan nama sendiri adalah tindakan yang sangat rendah dan tercela -tapi tidak ilegal di zaman itu. Dan akan lebih tidak pantas lagi kalau sampai ketahuan atau tertangkap basah. Itu sebabnya Chenier tak boleh tahu, karena ia terkenal tukang gosip.
Sungguh mengerikan melihat kenyataan bahwa seorang jujur sampai terpaksa mengambil jalan tercela. Betapa mengerikan melihat kenyataan bahwa hal terpenting dari eksistensi manusia, yaitu kehormatan, bisa dikotori oleh keburukan seperti ini. Tapi Baldini sudah kehilangan akal, harus bagaimana lagi. Count Verhamont adalah pelanggan penting yang tak boleh dilepaskan - apalagi karena tinggal dialah satu-satunya pelanggan yang tersisa. Baldini tak mau
harus mengejar-ngejar pelanggan lagi seperti di awal kariernya dulu saat berusia dua puluhan, saat terpaksa menggelandang di jalanan dengan sekotak dagangan menggantung di perut. Tuhan tahu betapa ia, Giuseppe Baldini - pemilik toko parfum terbesar di Paris, di lokasi bisnis yang juga terbaik - kini hanya ma pu bertahan hidup melalui panggilan dari rumah ke rumah, berbekal koper kecil di tangan. Baldini tak suka begini karena usianya sekarang sudah lebih dari enam puluh talmn, dan ia benci harus menunggu di ruang tamu yang dingin sebelum sempat memeragakan eau des millefleurs dan barang dagangan lain sampai borjuis-borjuis tua itu bersedia melirik. Belum lagi kompetisi yang menjijikkan dengan para pesaing lain. Ada si Brouet, orang kaya baru dari jalan Dauphine yang mengaku punya koleksi minyak rambut terlengkap di seluruh Eropa, atau Calteau dari jalan Mauconseil - pengusaha katering yang sukses memasok makanan untuk keluarga Duchess d'Artois, atau Antoine Pelissier dari jalan Saint-Andre-des-Arts. Seniman yang satu ini sungguh tak terduga, dan setiap musim selalu meluncurkan wewangian baru yang digilai seluruh dunia.
Parfum buatan Pelissier selalu merombak selera pasar. Misalnya jika tren tahun ini adalah air Hungaria dan Baldini menimbun minyak lavender, bergamot, dan rosemary untuk memenuhi tuntutan pasar sebagaimana wajarnya, Pelissier akan hadir memperkenalkan 'Air de Muse' -parfum kesturi yang amat keras. Setelah itu setiap orang mendadak berbau binatang, dan Baldini terpaksa meracik ulang stok minyak rosemary-nya menjadi minyak rambut dan menjahit lavender menjadi pundi-pundi bedak. Kalau Baldini kemudian ikut menimbun minyak kesturi, civet, dan castor untuk tahun depan, Pelissier segera merilis parfum lain bertajuk 'Kesegaran Rimbi' yang dengan cepat menjadi tren baru. Lalu, setelah Baldini bermalam-malam
melakukan percobaan dan menyuap sana-sini demi menguak rahasia formula 'kesegaran Rimbi', Pelissier bakal segera melonjak lagi dengan 'Senja di Turki' atau 'Rempah Lisbor', atau 'Bouquet de la Cour' atau parfum sialan lainnya. Orang ini sungguh berbahaya bagi bisnis dengan kesembronoan kreativitasnya. Membuatmu ingin kembali ke hukum perdagangan yang lama. Membuatmu ingin kembali ke "Hukum Draconian' untuk melawan seniman pembangkang seperti Pelissier - si biang inflasi bisnis wewangian. Baldini gemas sekali. Kenapa izin praktik Pelissier tidak dicabut saja, plus ganjaran pasal yang melarangnya untuk berbisnis lebih jauh. Lebih dari itu, orang seperti ini mestinya harus diberi pelajaran! Sangat menyebalkan, karena Pelissier sendiri dikenal bukan seorang ahli parfum atau pembuat sarung tangan yang terlatih. Ayahnya dulu hanya seorang pembuat cuka apel, ia pun menuruni bakat yang sama: membuat cuka apel, tidak yang lain! Tapi justru sebagai seorang pembuat cuka apel ia punya akses menangani bahan-bahan beralkohol, dus jadilah si brengsek itu mampu menggebrak dan mengacau kedamaian para ahli parfum sejati. Lagi pula, buat apa masyarakat membeli parfum baru setiap tahun" Apa memang perlu demikian" Toh sejak dulu masyarakat sudah cukup nyaman dengan kolonye sari bunga lembayung dan wewangian bunga sederhana yang hanya dimodifikasi sedikit saja tiap sepuluh tahun. Selama ribuan tahun masyarakat terbiasa dengan wewangian dan getah aromatik biasa, beberapa macam balsam, minyak dan rempah aromatik kering. Pun saat orang kemudian belajar menggunakan flacon untuk menyuling jejamuan, bunga, dan kayu serta mengambil sari aroma dari uap ketiga elemen tersebut dalam bentuk minyak yang mudah menguap, lantas menggiling benih, biji, dan kulit buah dalam gilingan pohon ek, kemudian mengekstraksi aroma
dari kelopak bunga menggunakan minyak yang telah disaring dengan hati-hati, bahkan pada saat itu jumlah parfilm yang dihasilkan masih sangat sedikit. Di zaman itu, figur seperti Pelissier tak mungkin ada, karena untuk membuat minyak rambut sederhana saja orang membutuhkan keahlian yang tak terbayangkan oleh seorang pembuat cuka apel. Ia tidak hanya harus mampu menyuling, tapi juga bertindak sebagai pembuat salep, apoteker, alkemis, seniman, pedagang, humanis, dan tukang kebun sekaligus. Ia harus mampu membedakan lemak domba dengan lemak anak sapi, atau antara bunga lembayung Victoria dengan bunga lembayung Parma. Ia juga harus fasih berbahasa Latin. Harus tahu kapan waktu yang baik untuk memanen heliotrope dan kapan bunga pelargonium mekar, dan tahu bahwa kelopak bunga melati cenderung kehilangan aroma saat matahari terbit. Nah, mana mungkin Pelissier mengerti hal-hal seperti ini" Seumur hidupnya pun ia mungkin belum pemah meninggalkan Paris, atau melihat bunga melati mekar merekah. Belum lagi lengan sekuat Hercules yang dibutuhkan untuk memeras beberapa tetes saja dari sari pati ratusan kelopak bunga melati. Hmm... mungkin ia sudah tahu hal ini - tahu soal bunga melati, tapi pasti hanya dalam bentuk sebotol cairan konsentrat berwarna cokelat gelap yang dicampur bersama formula-jadi lainnya untuk membuat parfum. Bah! Di masa kejayaan seniman sejati zaman dulu, manusia ngawur seperti Pelissier tak akan pernah diterima di mana pun-terutama di bisnis parfum. Ia kekurangan segalanya: karakter, pendidikan, keagungan, dan kepatuhan hierarki dalam serikat kerja. Kesuksesan sebagai seorang ahli parfum ia peroleh semata-mata dari penemuan yang sudah ada sejak dua ratus tahun lalu oleh sang genius Mauritius Frangipani - ia orang Italia, lho! Si genius penemu aroma yang dapat larut dalam larutan
alkohol. Dengan mencampur bubuk aromatik ciptaannya ke dalam alkohol untuk mentransfer aroma dari bubuk tersebut ke cairan yang mudah menguap, Frangipani telah membebaskan aroma dari materi, menghaluskannya, dan menemukan aroma sebagai aroma murni. Pendeknya, ialah pencipta parfum pertama. kali. Hebat sekali! Benar-benar prestasi monumental dan hanya bisa disejajarkan dengan penemuan-penemuan besar umat manusia lainnya, seperti penemuan sistem penulisan oleh bangsa Syria, Geometri oleh Euclid, gagasan-gagasan Plato, atau metamorfosis dari anggur menjadi minuman keras oleh bangsa Yunani. Sungguh prestasi nan mulia!
Namun demikian, seperti yang selalu terjadi pada semua penemuan besar, ditemukannya larutan alkohol juga
emiliki akibat baik dan buruk yang mengantar umat manusia pada bencana dan penderitaan, setara dengan manfaat yang bisa dihasilkan. Penemuan Frangipani tak lepas dari hukum ini. Sekarang, saat orang tahu bagaimana mengikat aroma bunga, jejamuan, kayu, getah, serta sekresi binatang dalam larutan alkohol dan mengemasnya dalam botol, kualitas seni membuat parfum juga makin merosot. Dari yang semula. agung berada di tangan para empu, kini juga bisa dilakukan oleh para penipu - setidaknya penipu berhidung lumayan tajam seperti si brengsek Missier. Tanpa susah-payah memelajari proses penciptaan benda menakjubkan seperti dalam botol ini, orang-orang macam. Missier seenaknya mengikuti indra penciuman dan meracik apa saja yang muncul di kepala atau apa pun yang bisa menjadi tren di masyarakat, walau untuk sementara.
Yang membuat Baldini lebih jengkel adalah fakta bahwa apa pun pendapatnya, di usia 35 tahun si brengsek Pelissier sudah berhasil mengumpulkan kekayaan lebih besar dari dia sendiri - sang Baldini, yang sebelumnya harus susah-payah membanting tulang tanpa henti selama tiga generasi.
Kejayaan Pelissier tumbuh dalam hitungan hari, sementara Baldini malah makin merosot. Hal seperti ini sama sekali tidak mungkin terjadi sebelumnya! Kenyataan bahwa seorang seniman dan pedagang terhormat sampai harus berjuang mempertahankan hidup, ini terjadi sejak beberapa dekade terakhir! Dan sejak kegilaan terhadap barang baru merebak di mana-mana, masyarakat seperti kesetanan dengan hasrat terhadap tindakan dan percobaan instan. Membuat perdagangan yang berlangsung jadi penuh omong kosong, baik di dunia bisnis maupun ilmu pengetahuan.
Segala kegilan soal kecepatan. Apa maksudnya membangun sekian banyak jalan baru di mana-mana - juga jembatan" Apa gunanya semua itu" Apa untungnya menempuh perjalanan ke Lyon dalam seminggu" Siapa yang mampu membangun toko dalam waktu sesempit itu" Siapa yang diuntungkan dari kondisi ini" Atau menyeberangi Laut Atlantik dan berlomba ke Amerika dalam sebulan - buru-buru sekali" Toh selama ini kita baik-baik saja tanpa benua itu selama ribuan tahun. Apa sebenarnya yang dicari oleh bangsa beradab seperti kita di tengah hutan yang dihuni oleh Indian atau orang Negro" Orang bahkan jauh-jauh pergi sampai ke Lapland di Kutub Utara. Padahal yang ditemui hanya es abadi dan kebiadaban sampai terpaksa makan ikan mentah. Dan sekarang kabarnya kita tengah berharap menemukan benua baru yang konon berada di Pasifik Selatan, atau di manalah - peduli amat. Kenapa harus gila-gilaan begini" Mungkin lantaran yang lain juga berlaku serupa - orang Spanyol, orang Inggris nan terkutuk, dan orang Belanda yang kurang ajar - selalu menantang tarung sementara kita tak pernah punya cukup dana perang. Coba bayangkan: sebuah kapal perang harganya 300 ribu livre, padahal dihajar kanon sekali saja bakal tenggelam dalam waktu
lima menit - dan harga segitu dibayar dari pajak kita! Menteri Keuangan baru-baru ini menuntut upeti sepersepuluh dari pendapatan pajak. Ini jelas menghancurkan negara - pun bila tuntutan itu tak dipenuhi. Benar-benar jahat.
Penderitaan manusia berakar dari ketidakrelaan untuk menempatkan diri pada tempatnya. Ini Pascal yang bilang. Dan Pascal adalah tokoh hebat - katakanlah, Frangipani-nya kaum intelektual. Seorang seniman sejati. Orang zaman sekarang sudah enggan dengan hal-hal begini. Sekarang orang membaca buku-buku "panas" karangan Huguenots atau orang Inggris, menulis risalah atau mahakarya yang katanya ilmiah dan berakibat mempertanyakan segala sesuatu. Akibatnya, segala sesuatu kini tampak salah - tiba-tiba segala sesuatu mesti berbeda. Yang terakhir adalah tentang binatang-binatang kecil yang belum pernah ditemui sebelumnya dan katanya terkandung serta berenang ria dalam segelas air. Mereka juga menyebut sifilis sebagai penyakit yang wajar dan bukan suatu bentuk hukuman Tuhan. Tuhan tidak menciptakan dunia dalam tujuh hari, katanya, tapi dalam waktu jutaan tahun. Heh! Itu pun kalau benar Tuhan yang buat. Mereka juga bilang bahwa suku-suku liar sebenarnya manusia biasa seperti kita juga, bahwa selama ini kita telah salah mendidik anak, dan bahwa bumi tidak lagi bulat tapi rata di bagian atas dan bawahnya seperti buah melon - apa pun itu, tak ada bedanya! Di segala bidang, manusia mempertanyakan segala sesuatu, menggali, mengorek-ngorek, membongkar dan bereksperimen sesuka hati. Manusia sudah tak puas lagi dengan kondisi apa adanya. Semua harus bisa dibuktikan, harus ada saksi, statistik, dan eksperimennya. Mereka mengagung-agungkan Diderot, d'Alembert, Voltaire, dan Rousseau, atau entah siapa lagi - bahkan ada pendeta dan kalangan ningrat juga di antara mereka!
Seluruh tatanan masyarakat terinfeksi oleh pengkhianatan mereka, pada kegemaran mereka akan kegelisahan dan ketidakrelaan untuk puas dengan pemberian alam, atau bahkan dengan segala kekacauan yang berkecamuk di kepala mereka sendiri!
Sejauh mata memandang, hanya kekacauan yang terlihat. Orang-orang asyik membaca buku. Bahkan perempuan! Para pendeta membuang waktu di warung kopi. Jika polisi ikut campur dan memenjarakan salah seorang di antara mereka, para penerbit segera menjerit dan buru-buru menggelar petisi. Pria dan wanita dari kalangan ningrat berlomba memanfaatkan pengaruh mereka dan dalam beberapa minggu saja orang itu dibebaskan atau diizinkan keluar negeri, kembali sibuk menebar pamflet yang menyesatkan. Di salon orang-orang ribut omong kosong soal orbit komet dan ekspedisi, tentang daya angkat dan hukum fisika Newton, rencana membangun kanal, sirkulasi darah, serta diameter bumi.
Sang Raja sendiri ikut-ikutan meminta mereka mendemonstrasikan omong kosong gaya baru - semacam petir buatan yang mereka sebut sebagai listrik. Di hadapan seluruh majelis istana, seseorang menggesek sebuah botol, lalu timbul bunga api. Konon menurut laporan, Yang Mulia begitu terkesan. Baldini sungguh tak habis pikir. Tidak mungkin kakek sang Raja, Louis nan agung yang sejati -yang di bawah pemerintahannya Baldini hidup selama bertahun-tahun - membiarkan demonstrasi sekonyol itu. Tapi memang demikian tampaknya watak zaman ini, kendati harus ditebus dengan konsekuensi cukup berat.
Saat orang sudah tak malu atau takut lagi mempertanyakan kekuasaan Tuhannya Gereja; saat mereka membicarakan monarki - makhluk dengan keagungan setara Tuhan - dan raja sebagai sosok suci di dalamnya semudah membicarakan tukar-menukar barang dalam
katalog tentang berbagai bentuk pemerintahan yang ingin dipilih seenak hati; saat orang sudah sedemikian lancang menggambarkan Tuhan Yang Mahaperkasa - Tuhan semesta alam, seolah tak beda dengan materi lain yang bisa digantikan, plus imbuhan bahwa semua tatanan, moral, serta kebahagiaan di bumi ini bisa ada tanpa Dia - murni berdasarkan moralitas dan nalar bawaan manusia semata....
Ampun Tuhan!! Tak heran kalau semua jadi jungkir batik, degradasi moral dan azab Tuhan yang disangkal oleh manusia sendiri. HasiInya kelak sungguh mengerikan. Komet besar yang jatuh pada tahun 1681, misalnya. Mereka berani berolok dan menyatakan bahwa itu tak lebih dari nukilan bintang! Padahal sesungguhnya pertanda yang diturunkan Tuhan sebagai peringatan. Ramalan teramat jelas tentang seratus tahun degradasi dan disintegrasi di lingkungan spiritual, politik, dan agama basil ciptaan manusia sendiri, dan bahwa suatu hari kelak semua ini akan mengarah pada bencana dan keterpurukan global di mana hanya bunga rawa yang bisa tumbuh - seperti Pelissier.
Baldini berdiri dekat jendela sebagai seorang tua yang tengah menatap tegas ke arah matahari terik di atas permukaan sungai. Kapal-kapal tongkang hilir mudik di bawah kakinya, perlahan bergerak ke barat, menuju Pont-Neuf dan dermaga di bawah serambi-serambi kota Louvre. Kapal-kapal tidak ditambat melawan arus. Untuk itu mereka memanfaatkan arus dari seberang pulau. Di sini segalanya mengapung menjauh-baik kapal-kapal kosong maupun yang sarat muatan, sampan dan kapal-kapal nelayan yang lebar dan datar, gulungan air keemasan maupun yang cokelat kotor.. semua bergerak menjauh, perlahan, dengan jarak makin lebar dan tak tertahankan. Dan jika Baldini melihat persis ke bawahnya, persis ke
bawah tembok rumah dan jembatan, air serasa mengisap fondasi jembatan. Membuatnya pusing.
Ia telah salah membeli rumah di atas jembatan. Terlebih di sisi barat, karena matanya kini hanya bisa melihat sungai mengalir dan bergerak menjauh. Seolah ia dan rumah serta seluruh kekayaan yang telah susah-payah ia kumpulkan selama ini ikut mengalir menjauh bersama sungai, sementara, ia sudah terlalu tua dan lemah untuk melawan arus. Kadang saat sedang berbisnis di sisi sungai sebelah kiri, di daerah Sorbonne atau sekitar Saint-Sulpice, ia sengaja tidak menyeberang jembatan dan langsung ke Pont Saint-Michel, tapi mengambil jalan memutar lebih jauh lewat Pont-Neuf, hanya karena jembatan itu tidak memiliki bangunan di atasnya. Kalau sudah begitu, ia akan berdiri di sisi timur dinding jembatan dan menatap ke arah sungai. Menikmati arus sungai yang mengalir ke arahnya. Selama beberapa saat itu ia biarkan dirinya hanyut dalam lamunan bahwa hidupnya kini telah lebih baik, bahkan bisnisnya sedang marak, keluarganya makmur, dan banyak wanita yang memuja dan menghambur ke pelukannya. Bahwa hidupnya sedang tumbuh makin besar dan makin besar.
Tapi saat pandangan itu bergeser sedikit saja, ia langsung melihat rumahnya sendiri di kejauhan - tinggi, panjang dan lurus, rapuh, berjarak beberapa ratus meter di Pont au Change. Ia juga melihat jendela ruang kerja di lantai dua dan melihat dirinya sendiri di situ, tengah memandang aliran sungai seperti sekarang. Dan mimpi indah itu pun pupus. Baldini memutar tubuh, berjalan gontai dari Pont-Neuf dengan perasaan lebih remuk dari sebelumnya -seremuk sekarang ini, saat ia berpaling menjauh dari jendela dan duduk di meja kerja.
Dua Belas DI HADAPANNYA DI ATAS MEJA, berdiri flacon berisi parfum karya Pelissier. Berkilapan cokelat keemasan diterpa sinar matahari, bening dan tidak kusam. Tampak begitu polos seperti air teh yang tidak kental, tapi tetap solid sebagai parfum. Selain empat perlima bagian alkohol, seperlimanya berisi campuran misterius yang mampu mengharubirukan seluruh Paris. Campuran itu kalau diteliti mungkin berisi tiga atau tiga puluh ramuan berbeda yang disiapkan dari berbagai kemungkinan kimia, yang masing-masing proporsinya sangat tepat. Jiwa parfumnya sungguh terasa - itu kalau kita cukup berbaik hati menyebut parfum buatan oportunis macam Pelissier 'memiliki jiwa'. Tugas Baldini sekarang adalah bagaimana menemukan komposisi parfum ini.
Baldini menghela napas perlahan lalu menarik gorden menutupi jendela. Cahaya matahari langsung dapat sangat merusak aroma parfum atau aroma konsentrat lain yang sejenis. Sehelai sapu tangan putih berenda ia keluarkan dari laci dan digelarnya di atas meja. Lalu, sambil menarik kepala sejauh mungkin dan memencet hidung, ia memutar tutup flacon perlahan-lahan. Ia tak ingin merasakan sensasi penciuman prematur secara langsung dari botol. Parfum harus diendus dalam bentuk gas yang sedang mekar, bukan dalam bentuk konsentrat. Ia memercik beberapa tetes ke permukaan sapu tangan, mengibas-ibas sebentar untuk mengusir uap alkohol, lalu didekatkan ke hidung. Dalam tiga tarikan napas cepat ia mengisap aroma parfum seolah terbuat dari bubuk saja, lalu segera mendengus menghembuskan napasnya ke diri sendiri, mengendus lagi dengan irama waltz, dan akhirnya menarik napas panjang dalam-dalam yang kemudian dilepas perlahan dengan jeda
diam beberapa detik sampai hembusan terakhir. Baldini menghempaskan sapu rangan ke meja dan ambruk ke kursi.
Jujur saja, aromanya luar biasa. Missier sialan itu rupanya benar-benar ahli. Seorang master, malah! Pun bila ia memang belum pemah menerima pelatihan apa pun soal pembuatan parfum. Baldini sungguh berharap dialah yang membuat 'Cinta dan jiwa' ini. Benar-benar orisinal sekaligus klasik, padat, harmonis, dan sama sekali baru! Aromanya terasa segar tapi tidak seronok. Bernuansa bunga tapi manisnya tidak terasa palsu. Ada kedalaman dari warna cokelatnya yang kaya, enak dilihat dan menggairahkan, tapi tetap tidak terkesan berlebihan atau bombastis.
Nyaris dengan ketakziman Baldini berdiri dan mengangkat sapu tangan itu sekali lagi ke dekat hidung. "Menakjubkan... menakjubkan...," demikian ia bergumam sambil mengendus dengan rakus. "Parfum ini punya karakter yang riang dan memesona. Seperti melodi yang
mampu membuatmu merasa nyaman sekaligus.... Ah, tidak!
Langsung membuatmu nyaman detik pertama kau menciumnya!" Baldini melempar sapu tangan itu kembali ke meja dengan kesal. Memutar badan dan berjalan menjauh ke sudut ruangan, seolah malu oleh antusiasmenya sendiri.
Ngaco! Benar-benar ngaco! Bagaimana mungkin ia membiarkan diri hanyut memuji, "... seperti melodi, riang, indah, terasa nyaman." Dasar idiod. Idiotisme kekanak-kanakan! Itu kan cuma kesan sedetik. Kelemahan sesaat. Bias temperamen semata-terutama dari darah Italianya. Jangan menilai saat mengendus! Itu peraturan nomor satu, dasar Baldini bodoh! Baui saja saat mengendus dan menilai belakangan! 'Cinta dan jiwa' tidak jelek sebagai parfum dan terhitung produk berhasil. Peracikan dilakukan dengan
cerdas dan baik - kalau tak mau disebut "menyulap". Dan kau tak bisa berharap lebih dari sulap murahan kalau sudah bicara soal Missier. Orang seperti dia tak mungkin bisa menciptakan parfum sempurna. Penipu itu menyulap dengan keahlian seorang master. Membingungkan indra penciumanmu dengan kesempurnaan harmoni. Dalam seni klasik pembuatan parfum, orang itu adalah serigala berbulu domba. Pendek kata: Missier tak lebih dari monster berbakat. Lebih buruk lagi: ia seperti setan yang menggoda iman para ahli parfum sejati.
Tapi engkau, wahai Baldini, tidak akan sampai terbodohi. Kau memang terkejut untuk sesaat oleh kesan pertama ramuan ini, tapi tahukah kau bagaimana aromanya satu jam dari sekarang, saat unsurnya yang mudah menguap lenyap dan struktur utamanya naik ke permukaan" Atau bagaimana perubahan aromanya malam ini, saat sisa-sisa aroma yang bisa dicium meninggalkan komponen-komponen gelap nan berat yang saat ini tersembunyi di balik kemegahan aroma bunga" Tunggu dan lihatlah sendiri, Baldini!
Peraturan kedua menyatakan bahwa parfum sejati bersifat langgeng. Memiliki tiga tahapan masa - sebutlah 'masa remaja', 'masa dewasa', dan 'masa tua'. Hanya apabila mampu memerikan aroma yang tetap segar dan enak di ketiga tahapan itu, sebuah parfum bisa disebut berhasil. Berapa sering kita menemukan bahwa campuran aroma yang terasa begitu segar saat pertama kali dicoba ternyata berbau seperti buah busuk selang beberapa waktu dan akhirnya sama sekali tidak meninggalkan aroma apa pun selain bau kesturi yang dipakai sebagai dasar" Seorang ahli parfum harus sangat hati-hati soal ini. Kelebihan setetes saja akan sangat merusak hasil akhir sebuah parfum. Ini kesalahan klasik pembuatan parfum. Siapa tahu, bisa saja Missier berlebihan menggunakan aroma dasar ini.
Barangkali malam ini juga akan kita singkap kepalsuan 'Cinta dan jiwa'. Lihat saja.
Kita akan mengendus lagi nanti. Indra penciuman kita ibarat kapak tajam yang mampu membelah kayu sampai menyerpih. Memfragmentasi setiap detail parfum ini. Akan jelas nanti betapa aroma magis palsu ini ternyata terbuat dari bahan dan metode yang biasa saja. Kita, Baldini sang ahli parfum, akan menangkap basah tipuan Pelissier si pembuat cuka apel. Topeng itu akan kita robek dari wajah buruknya dan kita tunjukkan pada dunia bagaimana sesungguhnya kehebatan Baldini. Campurannya akan kita tiru dan ubah menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Tiruan yang sedemikian sempurna sampai Missier sendiri tak mampu membedakannya dengan buatannya sendiri. Tidak! Masih belum cukup! Kita akan meningkatkan parfum ini! Kita angkat apa yang salah, membuangnya, dan memamerkannya di bawah hidungnya sendiri! Kau hanya seorang penipu, Pelissier! Tak lebih dari penipu busuk! Pesohor karbitan di dunia pembuatan parfum. Tak lebih dari itu.
Dan sekarang, ayo kita kerja, Baldini! Tajamkan hidungmu dan enduslah tanpa bias sentimentalitas! Filter aroma ini dengan aturan seni yang benar! Sebelum malam ini berakhir, kau sudah harus menggenggam formulanya!
Baldini seperti terjun ke meja kerja. Menyambar kertas, tinta, dan selembar sapu tangan baru, lalu digelarnya baik-baik, dan ia pun mulai menganalisis. Prosedurnya begini: celup ujung sapu tangan ke dalam parfum, kibaskan dengan cepat di bawah hidung, lalu saring aromanya berdasarkan pilahan-pilahan ramuan yang terkandung tanpa bias dari kompleksitas gabungan bagian yang lain. Kemudian, sambil memegang sapu tangan di ujung tangan yang terjulur, catat nama ramuan yang ditemukan, lalu ulangi lagi dari awal sambil terus melayang-layangkan sapu tangan ke dekat hidung, menangkap fragmen aroma berikutnya, dan seterusnya....
Tiga Belas BALDINI BEKERJA TANPA HENTI selama dua jam, dengan gerakan yang makin lama makin kacau, makin jorok menulis dari tinta ke kertas, dan makin besar dosis parfum yang ia teteskan ke sapu tangan untuk diendus hidungnya.
Ia nyaris tak bisa mencium apa-apa lagi sekarang. Uap parfum yang ia hirup membuat mabuk. Ia tak bisa lagi mengenali niat awal untuk membongkar kepalsuan Pelissier. Baldini sadar tak ada gunanya terus mencium. Ia tak akan pemah bisa menyarikan ramuan parfum misterius ini. Yang pasti bukan hari ini atau besok saat hidungnya pulih kembali kalau Tuhan mengizinkan. Kegiatan mengendusi dan memilah-milah unsur dasar aroma, memfragmentasi kesatuannya untuk memastikan kualitas gabungan aroma yang tercipta menjadi komponen-komponen terpisah, adalah kegiatan yang sangat melelahkan dan memualkan. Kini semangatnya sudah terbang entah ke mana. Ia tak ingin meneruskan lebih jauh.
Kendati niatnya demikian, tapi tangannya seperti punya pikiran sendiri. Ini buah dari praktik selama ribuan kali sebagai pembuat parfum. Mencelupkan sapu tangan lalu dianginkan dan dikibas dengan cepat melewati wajah. Setiap tarikan napas ia tahan selama beberapa detik untuk ke udian dilepas dengan helaan dan jeda yang terlatih. Sampai akhirnya hidung itu sendiri yang memutuskan untuk berhenti dari siksaan. Baldini mulai dihinggapi reaksi alergi sampai benar-benar tak mampu mencium apa-apa
lagi seperti disumbat lilin. Bernapas pun sulit. Seolah terserang pilek hebat sampai matanya berair. Puji Tuhan!
Sekarang ia bisa berhenti dengan lega. Tugas telah dilakukan dengan sekuat tenaga dan usaha terbaik berdasarkan aturan seni yang benar, kendati akhirnya harus kalah (seringnya begitu). Saatnya untuk ultra posse nemo obligatur - tutup toko! Besok pagi ia akan pergi ke tempat Pelissier untuk membeli sebotol besar parfum 'Cinta dan jiwa' untuk membuat wangi kulit Spanyol milik Count Verhamont sesuai permintaan. Setelah itu ia akan kembali menenteng koper kecil berisi rupa-rupa sabun model kuno, kantung-kantung aromatik, minyak rambut, dan pundi-pundi bedak, lalu berkeliling ke salon-salon para countess tua yang selalu gemetar sebagai langganan terakhir. Barangkali saat itu ia juga akan sama gemetarnya dan terpaksa menjual toko serta bisnsnya kepada Pelissier atau salah satu dari puluhan pedagang kaya karbitan di kota ini. Kalau cukup beruntung ia bisa menjual seharga beberapa ribu livre. Ia akan mengepak satu atau dua koper dan pergi ke Italia bersama istri tercinta (kalau belum keburu mati lantaran stres). Dan jika ia sanggup bertahan seusai perjalanan, ia akan membeli sebuah rumah kecil di pedesaan dekat Messina karena harga barang-barang di sana murah. Di sanalah, dalam pahitnya kemiskinan, ia, sang Giuseppe Baldini, mantan ahli parfum terbesar di Paris, akan meninggal dunia - kapan pun Tuhan mengizinkan. Yah, kedengarannya tidak terlalu buruk.
Baldini menyumbat kembali flacon parfum, meletakkan pena dan mengusap sapu tangan beraroma tajam itu ke kening untuk terakhir kali. Luapan alkohol cukup menenangkan, tapi tidak lebih. Matahari terbenam di ufuk barat.
Baldini berdiri dan membuka gorden. Tubuhnya mandi cahaya matahari sore sampai ke lutut, merah padam seperti
sebatang obor tua saat apinya habis. Ufuk merah matahari bersernbunyi di belakang kota Louvre bersama pijaran api lembut menjajari atap-atap rumah. Sungai berkilau keemasan dan kapal-kapal sudah lenyap. Angin sore berhembus menyapa permukaan air, berkilapan di sana-sini, bergerak makin dekat seperti tangan raksasa menebar jutaan koin emas di atas air. Sesaat Baldini merasa arus sungai sore itu berbalik arah: mengalir ke arah Baldini. Banjir oleh kilauan emas.
Mata Baldini basah dalam kesedihan. Lama sekali ia berdiri diam memandang keelokan alam. Lalu tiba-tiba ia mendorong membuka jendela lebar-lebar dan melempar parfum Pelissier sejauh mungkin, melengkung tinggi sepanjang sungai, berkecipak dan membelah kilapan permukaan air sebelum tenggelam dalam sekejap.
Udara segar menghambur ke dalam ruangan. Baldini megap-megap menghirup napas dan segera sadar bahwa hidungnya mulai membaik. Lalu menutup jendela. Hampir bersamaan, malam turun begitu tiba-tiba. Pemandangan kota dan sungai yang semula berpendar keemasan berubah menjadi siluet kaku berwarna kelabu. Ruang kerja Baldini kini gelap. Ia tak bergeser dari posisi awal dan tetap menatap keluar jendela. "Aku tidak akan mengirim seorang pun ke tempat Pelissier besok pagi," ia berkata. Kedua tangan mencengkeram punggung kursi erat-erat. "Tidak akan. Dan aku juga tidak akan berkeliling ke salon-salon lagi. Aku akan langsung pergi ke notaris besok pagi dan menjual nunah serta bisnisku. Itu yang akan kulakukan. Haram jadah!"
Ekspresi wajah Baldini saat itu sumringah seperti bocah dan tiba-tiba ia merasa sangat bahagia. Sekali lagi ia adalah Baldini tua sekaligus muda. Dengan keberanian dan keteguhan kuat menghadapi nasib pun bila keteguhan itu berarti mundur teratur. Memangnya kenapa"! Tak ada lagi
yang bisa dilakukan. Tekadnya bulat untuk meninggalkan masa lalu yang bodoh, di mana seolah tak ada pilihan. Tuhan Mahaadil dalam memberi suka maupun duka, tapi Dia tak ingin kita meratapi dan menangisi duka. Justru kita harus membuktikan pada diri sendiri bahwa kita memang jantan. Dan rasanya Dia memang telah memberikan tandaNya. Fatamorgana merah keemasan dari siluet kota saat ini merupakan peringatan: bertindaklah sekarang, saat ini juga... Baldini. Sebelum terlambat! Mumpung rumahmu masih berdiri kokoh, gudangmu masih penuh, dan mumpung masih bisa menawar dengan harga yang baik untuk bisnis gagalmu. Putusan masih Dia biarkan di tanganmu. Menikmati hari tua dengan hidup sederhana di Messina memang bukan tujuan hidup sejak awal, tapi masih lebih terhormat dan terhitung ibadah ketimbang musnah dalam kemewahan semu di Paris. Biarkan saja keluarga Brouet, Calteau, dan Pelissier bersorak sekarang. Giuseppe Baldini memang gulung tikar, tapi setidaknya ini dilakukan dengan kehormatan dan atas kehendak sendiri!
Baldini merasa cukup bangga pada diri sendiri. Benaknya kini begitu damai. Untuk pertama kalinya dalam hidup ia merasa begitu nyaman. Lehernya tidak kaku lagi dan bahunya serasa hidup. Ia berdiri tegak tanpa beban, rileks, bebas dan puas dengan diri sendiri. Duh, untuk pertama kalinya bernapas terasa begitu ringan. Ia bisa dengan jelas mencium aroma parfum 'Cinta dan jiwa' dalam ruangan tanpa harus terpengaruh. Baldini telah mengubah jalan hidup dan merasa bahagia. Sekarang ia hendak naik menemui istrinya dan menyampaikan putusan ini. Setelah itu ia akan berziarah ke Notre-Dame dan menyalakan lilin sebagai ungkapan terima kasih atas petunjuk serta berkah yang telah Tuhan berikan padanya, Giuseppe Baldini, dalam wujud kekuatan karakter.
Dengan bergegas, nyaris seperti anak muda, Baldini memakai wig di kepalanya yang botak, mengenakan mantel biru, menyambar lilin dari meja, dan keluar dari ruangan. Ia baru saja menyalakan lilin sepanjang perjalanan naik saat mendengar bel pintu berdenting di lantai dasar. Bunyinya bukan denting bel Persia dari pintu toko, tapi bel dari pintu masuk pelayan - bunyi menyebalkan yang selalu terasa mengganggu. Ia selalu mengubah putusan untuk menyingkirkan benda itu dan menggantinya dengan bel yang lebih enak didengar dengan alasan biaya yang dirasa berlebihan. Tapi kini pikiran itu malah membuatnya terkikik geli. Toh tak ada bedanya lagi sekarang karena ia akan menjual bel itu sekalian bersama rumahnya. Biar penghuni baru saja yang gantian jengkel kelak.
Denting nyaring bel terdengar lagi. Baldini menajamkan telinga ke arah suara di lantai bawah. Tampaknya Chenier sudah pulang dan pelayan wanitanya juga enggan menjawab membukakan pintu. Jadilah Baldini turun sendiri.
Baldini melepas gerendel dan membuka pintu. Hmm... tak ada siapa-siapa" Kegelapan malam seperti menelan bulat-bulat cahaya lilin yang ia bawa. Lalu, perlahan sekali, matanya meraba sosok seorang anak atau pemuda tanggung mengapit sesuatu di lengannya.
"Mau apa kau?" "Saya dari Maltre Grimal, mengirimkan kulit kambing pesanan Anda," jawab orang itu sambil melangkah lebih dekat dan menyorongkan setumpuk kulit kambing dari lengannya yang menekuk. Dalam cahaya lilin, Baldini mulai bisa melihat wajah si bocah serta matanya yang gugup dan tak bisa diam. Tubuhnya bungkuk, seolah bersembunyi di belakang kedua lengan yang terjulur, menunggu untuk ditinju. Orang itu adalah Grenouille.
Empat Belas KULIT KAMBING UNTUK BAHAN kulit Spanyol Count Verhamond. Baldini baru ingat sekarang. Ia memesan kulit itu dari Grimal beberapa hari lalu. Kulit kambing dengan kualitas terbaik dan terhalus yang akan dipakai sebagai pengering tinta di meja Count Verhamont, seharga lima betas Franc per potong. Tapi ia tidak terlalu membutuhkannya lagi sekarang, di samping untuk menghemat pengeluaran. Di pihak lain, kalau ia tolak begitu saja... " Siapa tahu akan membuat kesan jelek, orang-orang akan bergunjing dan menebar gosip bahwa Baldini mulai tak bisa dipercaya, Baldini mulai kehabisan pesanan, Baldini tak hisa membayar tagihan... dan itu tidak baik. Oho, tidak, karena justru akan menurunkan nilai jual bisnisnya. Akan jauh lebih baik kalau sekarang ia terima saja kulit kambing tak berguna ini. Tak ada yang perlu tahu bahwa Giuseppe Baldini sebenarnya telah memutar haluan.
"Masuklah!" Ia memersilakan bocah itu masuk dan berjalan bersama ke arah toko. Baldini memimpin dengan lilin di tangan, sementara Grenouille mengikuti di belakang sambil menenteng kulit kambing. Ini adalah kali pertama Grenouille menginjakkan kaki di rumah seorang ahli parfum. Tempat di mana aroma bukan sekadar hiasan tapi menjadi pusat perhatian. Ia mengetahui setiap ahli parfum dan apoteker di kota ini, sering berdiam bermalam-malam di etalase mereka dengan hidung menempel di celah lubang kunci. Ia tahu setiap aroma yang ditangani di sini dan kerap menggabungkannya di rumah aroma imajiner dalam ingatan untuk menciptakan parfum terbaik. Jadi sebenarnya tidak ada yang baru atau terlalu aneh, namun ia tetap merasa seperti anak kecil genius musik yang
jejingkrakan kegirangan ingin melihat sebuah orkestra dari dekat atau memanjat melewati paduan suara gereja hanya untuk melihat organ yang tersembunyi. Grenouille ingin sekali melihat toko parfum dari dalam, dan karena itu segera menyambar kesempatan untuk mengantar kulit kambing ke tempat Baldini.
Kini ia berdiri dalam ruang toko Baldini. Satu-satunya tempat di Paris dengan jumlah terbesar aroma profesional yang diracik dalam sebuah ruangan kecil. Ia tak bisa melihat banyak di keremangan cahaya lilin, kecuali sekejap bayangan meja kasir dengan timbangannya, dua patung bangau di atas baki parfum, sebuah kursi berlengan untuk pelanggan, lemari-lemari gelap sepanjang dinding, sekilas peralatan menulis dari perunggu, serta label-label putih pada botol dan wadah leburan logam. Ia juga tak bisa mencium melebihi apa yang sudah biasa diciumnya dari jalanan, tapi ia segera bisa merasakan keseriusan yang melingkupi rumah ini. Boleh juga disebut sebagai keseriusan suci - kalau kata 'suci' memang punya arti buat seorang seperti Grenouille. Yang jelas ia merasakan sensasi keseriusan yang dingin, ketegasan dari keahlian dan seni seorang seniman, serta keseriusan atmosfer bisnis yang melekat di setiap mebel, setiap alat, sampai ke kaleng, botol, dan pot. Sepanjang langkah mengikuti Baldini, dalam bayang-bayang tubuh si ahli parfum karena Baldini tak mau repot-repot menerangi jalan, Grenouille hanyut dalam fantasi bahwa tempat ini miliknya. Bahwa di sinilah tempat di mana ia kelak akan mengguncang dunia
Gagasan ini tentu saja sombong sekali. Tak ada alasan yang bisa membenarkan seorang pembantu penyamak kulit berlatar belakang tak jelas, tanpa koneksi atau perlindungan dan tanpa status sosial apa pun, untuk sampai berharap bahwa ia bisa mengambil keuntungan dari toko parfum paling terkenal di Paris ini. Apalagi sejak
kita tahu bahwa Baldini hendak mengakhiri bisnisnya. Namun bagi Grenouille, gagasan sombong ini bukan semata-mata harapan, tapi kepastian. Ia sadar bahwa satu-satunya cara untuk lolos dari penjara nasib adalah dengan kabur meninggalkan Grimal dan mengambil alih toko ini. Grenouille si kutu parasit mulai mencium darah. Bersumber dari dendam dan kebencian yang ia biarkan tidur selama bertahun-tahun, terbungkus rapat dan menanti peluang. Sekaranglah kesempatan itu. Tak peduli bagaimana akhirnya. Jadi sama sekali bukan soal harapan. Itu sebabnya Grenouille bisa begitu yakin.
Mereka sampai di ruangan toko. Baldini membuka ruang belakang yang menghadap ke arah sungai dan berlaku sebagai gudang sekaligus bengkel dan laboratorium. Tempat di mana sabun dimasak, pomade diracik menjadi minyak rambut, dan eau de toilette dicampur dalam botol-botol besar.
"Di sana!" Baldini menunjuk ke sebuah meja besar di depan jendela. "Taruh kulitnya di sana!"
Grenouille melangkah keluar dari bayang-bayang Baldini, menaruh kulit kambing di meja, lalu dengan cepat melompat kembali ke belakang, memosisikan diri di antara Baldini dengan pintu. Baldini berdiri diam beberapa saat. Lilin diletakkan tegak lurus di atas meja agar cairannya tidak menetes. Punggung jemari Baldini mengusap permukaan kulit kambing yang mulus. Ia membalik lapisan teratas dan mengusap lapisan berbulu dari kulit itu. Terasa kasar sekaligus lembut. Kualitasnya benar-benar bagus dan cocok digunakan untuk kulit Spanyol. Saat kering tidak akan menyusut, dan setelah dipasang dengan benar permukaannya akan tetap fleksibel dan lentur. Baldini bisa langsung tahu hanya dengan menekan lembaran kulit di antara jempol dan jari telunjuk. Kulit kambing ini mampu menahan aroma sampai lima atau sepuluh tahun. Bagus,
bagus sekali. Benar-benar kualitas prima. Ia juga berpikir untuk membuat sarung tangan - tiga pasang untuk diri sendiri dan tiga pasang lagi untuk istrinya, sebagai bekal perjalanan ke Messina.
Baldini menarik kembali tangannya. Meja kayu yang telah disiapkan juga dibuat dengan baik. Semua sudah siap. Ada baskom kaca untuk merendam kulit dalam cairan parfum, piring kaca untuk mengeringkan, adukan untuk mencampur racikan dalam alkohol, lengkap dengan alu, pengaduk, kuas, mesin pengupas, dan gunting besar. Seolah semua ini sudah lama tertidur dalam gelap dan akan bangun menjelang pagi. Ia jadi berpikir apakah harus membawa meja ini sekalian ke Messina" Bersama beberapa peralatan lain - yang penting-penting saja tentunya. Meja ini sungguh enak dan cocok dipakai bekerja. Kayunya dari pohon ek sampai ke kaki meja, dengan penahan rangka dipasang bersilangan agar tidak goyang. Permukaannya juga tak mempan dihajar asam, minyak, atau goresan pisau. Tapi pasti akan menuntut biaya besar bila diboyong ke Messina, bahkan dengan kapal sekalipun! Jadi memang tidak bisa tidak, ia tetap harus menjual meja ini besok, lengkap dengan tetek bengek yang ada di atas, di bawah, dan di sisinya - pokoknya ia akan menjual semuanya besok! Seorang Baldini memang sentimental, tapi tetap memiliki karakter kuat dan teguh dengan pendirian, apa pun kesulitan yang menghadang. Boleh jadi ia menyerahkan semua ini dengan mata berlinang, tapi akan tetap dilakukan karena inilah jalan yang benar, sesuai pertanda dari Tuhan.
Baldini berbalik hendak pergi. Agak kaget melihat makhluk aneh yang kini berdiri menghadang di pintu - ia sendiri hampir lupa.
"Kulitnya bagus," kata Baldini. "Katakan pada majikanmu bahwa aku puas dengan pekerjaannya dan akan mampir beberapa hari lagi untuk membayar."
"Baik, Tuan," jawab Grenouille. Tapi ia tetap bergeming. Menghalangi Baldini yang sudah hendak meninggalkan ruangan. Baldini jelas kaget, tapi masih belum curiga dan cenderung menangkap gelagat si bocah sebagai sikap malu-malu.
"Ada apa?" ia bertanya. "Ada hal lainnya yang bisa kulakukan untukmu" Hmm" Bicaralah!"
Grenouille berdiri di sana dengan tubuh membungkuk dan menatap Baldini dengan tatapan yang sengaja dipasang malu-malu.
"Saya ingin bekerja untuk Anda, Maitre Baldini. Bekerja untuk Anda di bisnis ini."
Kalimat ini mengalir bukan sebagai permintaan, tapi tuntutan. Juga tak bisa dibilang mengucap, karena mulut Grenouille mendesis seperti reptil. Sekali lagi, Baldini salah membaca gelagat buruk ini sebagai kegugupan seorang anak kecil. Ia malah tersenyum ramah.
"Lho, kau kan murid seorang penyamak, anak muda," ujar Baldini. "Aku tidak butuh murid karena sudah ada asisten."
"Anda ingin membuat kulit kambing ini harum, Maitre Baldini" Ingin membuat kulit yang saya bawa ini berbau harum, kan?" Grenouille mendesis seperti tak menyimak jawaban Baldini.
"Benar," jawab Baldini.
"Dengan parfum 'Cinta dan jiwa' buatan Pelissier?" tanya Grenouille. Tubuhnya membungkuk lebih dalam.
Mendengar ini, tubuh Baldini langsung gemetar tersengat teror. Bukan lantaran heran bagaimana si bocah bisa tahu persis, tapi karena Grenouille telah menyebut nama parfum terkutuk yang gagal ia uraikan siang tadi.
"Dari mana kau dapat gagasan ngawur bahwa aku akan menggunakan parfum buatan orang lain ... ?"
"Karena tubuh Anda sarat aroma itu!" desis Grenouille lagi. "Tercium di keningmu, dan di kantong baju sebelah kanan ada sapu tangan yang juga kuyup oleh parfum itu. Parfum 'Cinta dan jiwa' ini tidak terlalu bagus. Jelek. Terlalu banyak bergamot dan daun rosemary, dan sedikit sekali sari bunga mawarnya."
"Aha!" seru Baldini. Kaget menyadari percakapan yang bergeser ke penyebutan unsur secara spesifik. Dengan bernafsu ia mengejar lebih jauh, "Apa lagi?"
"Bunga pohon jeruk, limau, cengkeh, minyak kesturi, melati, alkohol, dan satu lagi saya tak tahu namanya - di sana, tapi dari sana, di botol itu!" telunjuk Grenouille menunjuk di kegelapan. Baldini menjajarkan terang lilin sesuai arah telunjuk, ke arah lemari, ke sebuah botol berisi balsam berwarna kuning kelabu.
"Storax?" ia bertanya.
Grenouiile mengangguk. "Benar. Itu juga. Storax." Tubuhnya membungkuk sedemikian rupa sampai seolah kejang-kejang sambil menggumamkan sedikitnya nama itu dua belas kali, "Storaxstorax-storaxstorax....
Baldini mengangkat lilin menerangi si aneh yang menggumamkan 'storax' itu dan berpikir, "Orang ini kalau tidak gila, mestinya pencuri atau memang genius berbakat." Ia yakin seratus persen bahwa memang itulah unsur yang dicarinya selama ini. Unsur yang sedemikian rupa diracik dengan proporsi yang tepat dan membentuk parfum 'Cinta dan Jiwa'. Pengalamannya sebagai seorang ahli mengatakan bahwa ini memang mungkin sekali. Sari bunga mawar, cengkeh, dan storax - tiga unsur itulah yang ia cari-cari sepanjang siang. Bila digabung dengan unsur lainnya dalam komposisi yang tepat - yang ia yakin telah berhasil ia kenali sebelumnya, akan menyatulah semua itu menjadi sebuah bulatan cantik berwujud kue. Tinggal masalah proporsi penggabungannya saja sekarang. Untuk ini Baldini harus
melakukan percobaan selama beberapa hari. Ini pekerjaan sulit dan bahkan lebih buruk dari kegiatan mengidentifikasi bagian-bagian tadi, karena ia harus mengukur bobot dan mencatat serta mengawasi seluruh prosesnya dengan sangat hati-hati. Sedetik saja lengah dalam jentikan pipet atau salah menghitung jumlah tetesan, akan merusak segalanya. Setiap kegagalan akan menghabiskan biaya sangat mahal. Baldini jadi ingin menguji makhluk aneh ini. Menanyakan formula yang tepat dari parfum 'Cinta dan Jiwa'. Dalam perhitungan Baldini, kalau ia bisa tahu sampai setiap tetes dan gramnya, maka ia pasti seorang pembajak yang - entah bagaimana, mencuri resep asli dari Pelissier untuk dipakai sebagai dasar negosiasi agar Baldini mau mengangkatnya sebagai murid. Tapi kalau mendekati, ia pasti seorang genius aroma, dan ini tentu saja menggelitik minat profesional Baldini. Ini bukan berarti ia hendak membatalkan niat awal untuk pensiun, karena parfum itu toh sudah tak penting lagi sekarang. Bila orang ini mampu membawakan sampai bergalon-galon pun, ia tetap enggan mengharumi kulit Spanyol milik Count Verhamont dengan parfum buatan Pelissier. Baldini yang sekarang bukan lagi seorang obsesif wewangian yang rela menghabiskan umur dalam bisnis campur-mencapur aroma. Semangat bisnisnya sudah bergeser sama sekali. Saat ini ia hanya ingin menemukan formula parfum sialan itu, dan kemungkinan lebih jauh untuk memelajari bakat bocah misterius ini. Anak yang mampu mengendusi dan mengenali aroma begitu saja. Baldini ingin tahu rahasianya. Penasaran saja.
"Tampaknya kau memiliki hidung yang baik, anak muda," ujar Baldini setelah Grenouille usai mendesah-desah. Ia kembali menuju meja dan meletakkan lilin dengan hati-hati. "Tak diragukan lagil memang hidung yang berbakat. Tapi.... "
"Hidung saya adalah yang terbaik di seluruh Paris, Maitre Baldini," potong Grenouille dengan suara serak. "Saya tahu semua aroma di dunia-semuanya. Hanya saja beberapa namanya saya tidak tahu, tapi saya cepat belajar. Aroma yang memiliki nama jumlahnya tak banyak - hanya beberapa ribu. Saya mau memelajari semuanya. Saya tak akan pernah lupa nama balsam itu... storax. Balsam itu namanya storax, namanya storax, namanya storax....
"Diam!" bentak Baldini. "Jangan potong kalau saya sedang bicara! Kau kurang ajar dan tidak sopan. Tak ada orang yang tahu nama seribu macam aroma. Aku sendiri tidak tahu. Paling hanya beberapa ratus, karena jumlahnya sendiri tak sampai beberapa ratus di bisnis ini. Yang lain bukan aroma, hanya bau saja. Tak berguna."
Tubuh Grenouille yang semula nyaris tegak lagi saat begitu bersemangat menggambarkan pengetahuannya tentang ribuan aroma sampai membentangkan tangan, kembali mengkerut seperti katak mendengar bentakan dan selaan Baldini.
"Tentu saja aku juga tahu," lanjut Baldini, "meski belum lama, bahwa 'Cinta dan Jiwa' terdiri dari storax, sari bunga mawar, dan cengkeh, plus bergamot, ekstrak rosemary, dan sebagainya. Yang ingin kuketahui, seperti kataku tadi, adalah hidungmu. Kemungkinan, betapa Tuhan telah menganugerahimu dengan hidung setajam itu -sebagaimana berkahnya pada banyak orang lain, khususnya pada orang-orang seusiamu. Tapi dalam kasus ahli parfum," sampai di sini Baldini mengangkat telunjuk dan membusungkan dada, "seorang ahli parfum sejati membutuhkan lebih dari sekadar hidung tajam. Ia juga butuh organ lain yang murni, bersih, serta terlatih membaui selama puluhan tahun. Mampu menguraikan aroma yang paling kompleks sekalipun berdasarkan komposisi dan proporsi, sekaligus menciptakan racikan
parfum yang benar-benar baru. Hidung seperti ini," ujar Baldini sambil mengetuk hidungnya dengan jari, "bukanlah sesuatu yang dimiliki begitu saja, anak muda! Tapi diperoleh melalui kerja keras dan ketekunan. Atau barangkali kau bisa memberiku komposisi yang tepat dari masing-masing unsur formula parfum 'Cinta dan jiwa' saat ini juga" Hmm"
Bisa tidak?" Grenouille tak menjawab. "Setidaknya perkiraan yang mendekati, barangkali?" desak Baldini. Badannya sedikit terjulur agar bisa melihat katak jelek di depannya dengan lebih jelas. "Perkiraan saja. Sekadar estimasi, begitu" Hmm ... " Bisa tidak" Ayo bicara! Katanya hidungmu terbaik di seluruh Paris?"
Tapi Grenouille tetap diam.
"Hah! Sudah kuduga!" seru Baldini puas sekaligus kecewa. Ia meluruskan badan. "Kau tidak bisa, kan" Tentu saja tidak. Kau termasuk orang yang tahu apakah ada peterseli atau chervil dalam sebuah sup saat makan siang. Itu bagus, dan terhitung luar biasa. Tapi tidak lantas menjadikanmu seorang koki, kan" Mendekati pun tidak. Dalam seni dan keahlian apa pun - catat ini baik-baik sebelum kau pergi, bakat tetap tidak berarti banyak bila dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh dari kerendahan hati dan kerja keras. Itu yang utama.
Baldini tengah mencari batang lilin di meja saat Grenouille nienggeram, "Saya tak tahu apa itu formula, Maitre. Saya tidak tahu. Tapi selain dari itu, saya tahu segalanya!"
"Formula adalah dasar dari inti setiap parfum," tegas Baldini. Ia ingin mengakhiri saja percakapan ini. Sekarang. "Sebuah formula memuat instruksi langkah demi langkah dan mendetail tentang proporsi yang dibutuhkan untuk mencampur setiap unsur agar hasilnya persis sesuai
keinginan. Itulah yang namanya formula. Ia bertindak sebagai resep - kalau kau lebih mengerti istilah ini."
"Formula, formula..." gumam Grenouille serak, makin lama makin keras dari arah pintu. "Saya tidak butuh formula. Resepnya sudah ada di hidung saya. Boleh saya racikkan untuk Anda, Maitre" Bolehkah" Bolehkah?"
"Bagaimana caranya?" pekik Baldini sambil mengangkat lilin ke wajah Grenouille. "Bagaimana caramu meraciknya?"
Sekali itu Grenouiile tidak mengkerut. "Lho, semua bahan kan sudah ada di sini. Segala yang dibutuhkan, aroma-aromanya, semua ada di ruangan ini." Kembali ia menunjuk-nunjuk ke kegelapan. "Ada sari bunga mawar, ada bunga pohon jeruk, di situ ada cengkeh, di sana rosemary, itu.... "
"Tentu saja semua ada di sini!!" raung Baldini kesal. "Semua memang tersedia di ruangan ini. Tapi biar kukatakan padamu, bodoh, bahwa apa pun itu tetap tak berguna kalau formulanya tidak adal"
". di sana bunga melati, di sana alkohol, bergarnot di sana, storax di sana." Grenouille mengoceh. Setiap nama ia sebutkan sambil menunjuk ke tempat-tempat berbeda di ruangan itu. Padahal begitu gelap sampai orang hanya bisa mengira-ngira bayangan lemari berisi bermacam botol di kejauhan.
"Kau bisa melihat dalam gelap, ya?" Baldini melanjutkan. "Kau tak hanya memiliki hidung terbaik, tapi juga mata paling tajam di seluruh Paris. Iya" Sekarang - barangkali kau juga punya kuping terbaik - buka lebar-lebar kupingmu karena akan kuberi tahu: kau ini sok tahu dan penipu. Bisa saja kau curi informasi itu dari Pelissier. Habis kau mata-matai dia, kan" Dan sekarang kau pikir bisa membodohi aku, begitu?"
Grenouille kini berdiri tegak. Badannya menjulang
dengan kaki membentang menghalangi pintu, dengan
kedua tangan sedikit terentang - mirip laba-laba di sudut kusen. "Beri saya waktu sepuluh menit," ujarnya dengan nada dan suara nyaris normal. "Saya akan buatkan 'Cinta dan Jiwa' untuk Anda. Saat ini, di sini juga, di ruangan ini. Maitre, beri saya waktu sepuluh menit saja!"
"Kau pikir aku akan begitu saja membiarkanmu seenaknya mengacak-acak laboratoriumku" Dengan segala ramuan mahal ini" Kau?"
"Benar," jawab Grenouille.
"Bah!!" bentak Baldini, sambil memuntahkan seluruh udara dari paru-paru. Tapi kemudian ia menghirup napas dalam-dalam dan menatap Grenouille lama sekali. Sambil merenung. Kalau mau jujur, sebenarnya tak rugi bila dicoba. Toh semua akan berakhir besok. Aku tahu persis ia tak akan bisa membuktikan apa pun. Tak mungkin. Sebab kalau memang bisa, wah, artinya ia lebih dahsyat dari Frangipani sendiri. Jadi, kenapa tidak kubiarkan saja ia mendemonstrasikan kebenaran ini" Bukan tidak mungkin suatu hari kelak, di Messina, aku akan menyesal telah salah mengenali seorang ahli penciuman nan genius, walau anugerah ini sengaja ditutupi Tuhan di balik wujud buruk... Ah, tidak mungkin. Nalarku menegaskan bahwa hal ini tidak mungkin - tapi toh mukjizat memang bisa terjadi. Itu pasti. Bagaimana jika suatu hari kelak, saat aku terbaring sekarat di Messina, aku akan sampai berpikir bahwa dulu, suatu senja di Paris, aku menutup mata pada keajaiban" Duh, sama sekali tak menyenangkan, Baldini. Biarkan saja si bodoh ini menyia-nyiakan beberapa tetes sari bunga mawar dan minyak kesturi. Toh akan kau sia-siakan juga jika kau masih berminat membajak parfum Pelissier. Apalah artinya beberapa tetes - walau memang amat sangat mahal, dibanding peluang mendapatkan pengetahuan dan kedamaian di hari tua"
"Sekarang, perhatikan!" ujar Baldini dengan suara ditegas-tegaskan. "Perhatikan baik-baik! Aku... siapa namamu tadi?"
"Grenouille," jawab Grenouille, "Jean-Baptiste Grenouille."
"Aha, benar," balas Baldini sok tahu. "Baiklah, sekarang perhatikan baik-baik, Jean-Baptiste Grenouille! Telah kupertimbangkan masak-masak. Kuberi kau kesempatan, sekarang, detik ini juga, untuk membuktikan ucapanmu. Kegagalanmu nanti juga akan menjadi pelajaran berharga agar bersikap rendah hati, yang - walau bisa dimaklumi mengingat usiamu sekarang, akan menjadi syarat mutlak bagi kemajuanmu sendiri di masa depan sebagai anggota perserikatan ahli parfum, sekaligus buat dirimu sendiri sebagai seorang laki-laki, anggota masyarakat, dan umat Kristen yang baik. Aku siap mengajari tanpa dipungut biaya. Entah kenapa aku sedang murah hati...sore ini. Siapa tahu parfum hasil buatanmu akan berguna buatku kelak. Tapi jangan kau kira bisa menipu aku. Hidung Giuseppe Baldini boleh jadi sudah tua, tapi masih cukup tajam untuk langsung mengenali perbedaan antara buatanmu dengan parfum aslinya." Baldini mengeluarkan sapu tangan beraroma 'Cinta dan jiwa' dari saku dan mengibaskannya di depan hidung Grenouille. "Sekarang majulah, wahai pemilik hidung terbaik di seluruh Paris! Dekati meja dan tunjukkan kehebatanmu. Tapi hati-hati, jangan menjatuhkan atau menyenggol apa pun. Jangan sentuh apa-apa dulu. Biar aku beri penerangan lebih dulu. Kita ingin agar percobaan kecil ini bisa terlihat dengan jelas, kan?"
Jadilah Baldini memasang dan menyalakan dua batang lilin di sudut kanan dan kiri di atas meja kerja besar dari kayu ek itu. Tiga lilin tambahan ia pasang bersisian di bawah meja, di sudut kanan dan kiri. Ia menyingkirkan tumpukan kulit kambing, dan mengosongkan bagian tengah
meja. Dengan gerakan cepat dan terlatih ia menyiapkan peralatan yang dibutuhkan: botol aduk berperut besar, corong gelas, pipet, gelas pengukur kecil dan besar, lalu meletakkan semuanya dalam urutan yang benar di atas meja.
Sementara itu, Grenouille telah beranjak dari ambang pintu. Bahkan ketika Baldini berpidato panjang lebar, sikap kaku dan pura-puranya telah lenyap. Yang ia dengar hanya persetujuan Baldini, dengan gairah dan kegirangan seorang anak kecil saat keinginannya diluluskan dan meledek pada keterbatasan, kondisi, serta kekangan moralitas yang semula mengekang. Tenang-tenang ia berdiri menunggu sampai Baldini puas berorasi. Untuk pertama kalinya ia merasa lebih sebagai manusia ketimbang binatang saat kelak berhasil mematahkan sikap skeptis orang.
Sementara Baldini sibuk memasang lilin, Grenouille menyelinap berkeliling di kegelapan laboratorium, mengamati lemari-lemari berisi bermacam ramuan mahal, minyak, dan ramuan dalam larutan alkohol - semua mengikuti tuntunan hidung. Dengan santai ia mengambil botol-botol yang dibutuhkan. Semua ada sembilan botol: sari bunga pohon jeruk, minyak li au, sari bunga awar, cengkeh, ekstrak melati, bergamot, rosemary, minyak kesturi, serta balsam storax. Semua diambil dan disiapkan dengan cepat di pinggir meja. Yang terakhir ia siapkan adalah sebuah botol besar berleher sempit berisi larutan alkohol konsentrasi tinggi. Kemudian ia kembali menempatkan diri di belakang Baldini. Si tua itu masih asyik menata peralatan racik dengan sikap dibuat-buat untuk memamerkan keahlian. Memindahkan tabung yang ini sedikit ke belakang, yang itu sedikit ke pinggir, sedemikian rupa agar sesuai tatanan tradisi dan tampak apik di tengah cahaya lilin. Grenouille menunggu tak sabar. Ingin agar si tua segera menyingkir dan membiarkan ia bekerja.
"Nah!" akhirnya Baldini berseru sambil menyingkir. "Sudah kusiapkan semua yang dibutuhkan untuk eksperimenmu. Jangan pecahkan apa pun, jangan tumpahkan apa pun. Dan ingat: semua cairan yang akan kau pakai selama lima menit ke depan adalah barang-barang yang sangat mahal dan langka. Tak akan pernah lagi kau temui mereka dalam wujud konsentrat seperti ini."
"Berapa banyak yang harus kubuat, Maitre?" tanya Grenouille.
"Membuat apa ... ?" sergah Baldini yang merasa belum selesai bicara.
"Parfum yang harus kubuat' " jawab Grenouille serak. "Anda ingin berapa banyak" Haruskah kupenuhi botol besar ini sampai ke ujungnya?" Ia menunjuk ke sebuah botol aduk berukuran minimal satu galon.
"Jangan!" jerit Baldini ngeri - spontan takut membayangkan betapa mubazirnya bila itu sampai terjadi. Merasa malu sendiri, ia langsung berkoar lagi, "Dan jangan memotong kalau aku sedang bicara!" Suaranya berubah kalem dan ironis saat kemudian bergumam,
"Buat apa segalon parfum yang kita sendiri juga tak suka" Setengah gelas saja sudah cukup. Tapi karena memang sulit mengukur sejumlah itu, bolehlah kau mulai dengan mengisi sampai sepertiga botol."
"Baiklah," tukas Grenouille. "Saya akan mengisi sepertiga botol aduk ini dengan parfum 'Cinta dan jiwa'. Tapi, Maitre Baldini, saya akan melakukannya dengan cara saya sendiri. Entahlah bagaimana seorang ahli sejati melakukannya, tapi saya akan coba melakukan ini dengan cara saya sendiri."
"Sesukamulah," sergah Baldini. Ia tahu bahwa dalam bisnis ini tak ada istilah 'caraku' atau 'caramu'. Hanya ada satu cara, yaitu dengan mengetahui formula dan
menggunakan kalkulasi yang tepat untuk mencapai kuantitas yang diinginkan, menciptakan sebuah konsentrat terukur yang tepat dari berbagai unsur, diuapkan menjadi parfum dengan cara mencampurkan unsur-unsur tersebut dalam rasio yang tepat dengan alkohol - biasanya dengan variasi perbandingan antara 1:10 dan 1:20. Tak ada cara lain lagi yang ia tahu. Inilah yang hendak ia saksikan sekarang. Mulanya berbekal kesombongan karena yakin Grenouille tak akan berhasil, tapi perlahan berubah menjadi kekagetan, dan akhirnya terheran-heran tak habis pikir. Bahkan terasa seperti mukjizat. Seluruh detailnya begitu terpatri dalam ingatan. Tak mungkin terlupa sampai mati.
Lima Belas PEMUDA KECIL BERNAMA GRENOUILLE itu pertama-tama membuka sumbat botol-besar berisi konsentrat alkohol. Mengangkat botolnya saja ia kesulitan. Harus mengangkat sampai nyaris ke kepala agar mulut botol sejajar dengan corong di botol aduk. Buat apa ada gelas pengukur kalau begini" Baldini bergidik melihat kebodohan itu. Grenouille menjungkirbalikkan dunia pembuatan parfum karena memulai proses dengan pelarut, padahal konsentratnya dulu yang harus dibuat. Selain itu, secara fisik pun ia nyaris tidak memadai. Tangannya gemetar mengangkat botol. Baldini menunggu dan menebak-nebak kapan kiranya botol besar itu selip dan pecah berantakan di atas meja. Lilin, pikirnya. Ya Tuhan! Ada lilin! Wah, bisa terjadi kebakaran! Orang ini akan membakar habis rumahku! Baldini sudah hendak menerjang menurunkan botol alkohol dari tangan si gila itu, tapi Grenouille ternyata
mampu meletakkannya sendiri baik-baik ke lantai dan ditutup kembali. Alkohol berkilau tenang dalam botol aduk tanpa tumpah sedikit pun. Beberapa saat Baldini terengah-engah, namun dengan wajah lega, seolah bagian terberat baru saja berlalu. Dan memang demikian. Proses selanjutnya berlangsung begitu cepat sampai sulit diikuti mata, apalagi mencatat urutan proses atau memahami keseluruhan prosedur.
Grenouille seperti mencomot asal-asalan dari deretan flacon berisi unsur-unsur ramuan, membuka sumbat, membaui isi flacon sekilas di bawah hidung, memercikkan sedikit dari satu botol, menuang satu atau dua tetes dari botol lain, menuang isi botol ketiga ke dalam corong, dan seterusnya. Grenouille sama sekali tak menyentuh pipet, tabung uji, gelas pengukur, sendok, atau kayu pengukur yang tersedia dan biasa dipakai ahli parfum untuk mengendalikan proses rumit saat pencampuran. Kelihatannya jadi seperti main-main. Memercik dan mencampur ramuan demi ramuan seperti anak kecil saat asyik menggodok rumput dan lumpur dalam rebusan air yang lalu disebut sebagai sup. Ya, memang persis seperti anak kecil, pikir Baldini. Meski berlengan panjang menggantung, wajah rusak dan hidung bulat besar seperti orang tua, ia tetap seperti anak-anak. Semula Baldini mengira Grenouille berusia lebih tua, tapi sekarang ia tampak jauh lebih muda - seperti anak usia tiga atau empat tahun. Tak beda dengan makhluk-makhluk mungil pramanusia yang polos, sulit dimengerti, dan seenaknya sendiri itu. Makhluk-makhluk sok polos yang egois, selalu ingin membudaki dunia agar tunduk pada keinginan pribadi mereka. Dan pasti akan begitu kalau dibiarkan mengejar hasrat megalomaniak tanpa dibatasi aturan dan prinsip pengajaran yang menuntun ke perilaku disiplin, pengendalian diri, dan kesejatian seorang manusia. Seperti
ada fanatisme anak kecil yang terperangkap dalam diri pemuda ini. Berdiri di depan meja dengan mata bersinar, lupa sekeliling dan segalanya, kecuali diri sendiri dan botol-botol serta isinya yang ia tuang ke dalam corong dengan gerakan canggung dan konon akan menghasilkan apa yang diyakini sepenuh hati sebagai parfum mahal bernama 'Cinta dan Jiwa'. Baldini bergidik melihat Grenouille sibuk bergerak di tengah cahaya lilin. Begitu absurd tapi juga sangat percaya diri. Di zaman dulu - demikian ia merenung dan untuk sejenak merasa begitu sedih, nelangsa, dan jengkel seperti sore itu saat menatap kota dalam kobaran matahari senja dari balik jendela. Di zaman dulu, orang macam Grenouille tidak mungkin ada. Kalaupun ada, maka terhitung ras manusia baru yang hanya mungkin eksis di zaman edan seperti sekarang. Tapi sekaranglah saatnya memberi pelajaran, dasar bocah tak tahu adat! Baldini hendak mengomelinya habis-habisan seusai percobaan, sampai si bocah meringkuk seperti bangkai di tempat sampah! Dasar manusia hina! Seenaknya mencampuri urusan orang. Dunia benar-benar sudah gila dan dipenuhi parasit!
Baldini begitu sibuk dengan kejengkelan dan rasa jijik sampai tak menyadari saat Grenouille menutup kembali semua flacon, menarik corong dari mulut botol aduk, mencengkeram. leher botol dengan tangan kanan lalu mengocok kuat-kuat diimbangi tangan kiri. Saat botol diputar ke udara beberapa kali, isinya teraduk bolak-balik seperti limun dari perut sampai ke leher botol, meski tidak sampai tumpah. Melihat ini, Baldini tak tahan lagi. Ia menjerit ngeri dan murka, "Hentikan!" lengkingnya. "Sudah cukup! Hentikan saat ini juga! Haram. jadah! Taruh botol itu kembali ke meja dan jangan sentuh apa-apa lagi, kau mengerti" Jangan sentuh apa pun! Aku pasti sudah gila sampai mau mendengar ocehanmu. Caramu menangani
semua ini, kekasaranmu dalam bekerja, metode yang primitif, sudah cukup untuk membuktikan bahwa kau tak lebih dari seorang penipu! Penipu barbar dan anak kecil buruk rupa tak tahu diri! Kau tak bisa mencampur limun atau air manis biasa, apalagi meracik parfum! Bersyukur dan berterimakasihlah bahwa majikanmu masih mengizinkanmu bermain-main dengan larutan penyamak. Tapi jangan pernah kau ulangi lagi, kau dengar" Jangan pernah berani-berani menginjakkan kaki di toko parfum mana pun!"
Demikian Baldini bertitah. Dan sementara ia bicara, udara sekeliling dipenuhi aroma parfum 'Cinta dan Jiwa'. Aroma yang memiliki daya persuasif lebih kuat dari kata-kata, penampilan, emosi, atau kehendak. Daya persuasif aroma ini tak bisa dibendung. Meresap ke dalam diri seperti udara yang merayapi paru-paru saat bernapas mengisi dan mengilhami seluruh keberadaan. Benar-benar tak bisa ditangkal.
Grenouille meletakkan botol ke atas meja, menyeka tangan serta lehernya yang basah oleh parfum dengan ujung baju. Mundur satu dua langkah ke belakang. Kekagokan gerak tubuhnya saat membungkuk dari hujan cercaan Baldini sudah lebih dari cukup untuk menebar aroma yang baru saja tercipta ke segala arah. Begitu saja, tak butuh apa-apa lagi. Baldini memang masih terus meledak dan mencaci-maki, namun keraguan terasa makin kuat di setiap tarikan napasnya. Sadar bahwa ia baru saja terbantah dengan telak dan makna kata-katanya makin kosong. Saat akhirnya Baldini terdiam, ia terdiam cukup lama. Tak butuh kata "Sudah selesai" sebagai penegas dari Grenouille untuk menyadari bahwa parfum itu memang sudah tercipta dengan baik dan sempurna.
Namun, meski sekujur tubuh dikabuti aroma 'Cinta dan Jiwa' yang begitu jelas, ia tetap menyeret langkah ke arah
meja untuk menguji lebih jauh. Selembar sapu tangan bersih ia ambil dari saku baju sebelah kiri, dilipat dan diperciki beberapa tetes dari botol aduk dengan pipet panjang. Ia angin-anginkan sapu tangan dengan lengan terjulur lalu ditarik sekilas ke bawah hidung dengan gerakan terlatih. Baldini menghirup napas dan mengeluarkan perlahan dalam desahan terputus-putus, perlahan-lahan sampai tak ada lagi udara tersisa di paru-paru.
Baldini terhenyak di bangku kerja. Jika tadi wajahnya memerah murka, kini pucat pasi.
"Luar biasa," gumamnya perlahan. "Demi Tuhan, sungguh luar biasa." Ia menekan sapu tangan itu ke hidung berkali-kali, mengendus dan menggelengkan kepala sambil tak putus mengucap, "Luar biasa... " Tak diragukan lagi bahwa aroma ini memang aroma parfum 'Cinta dan Jiwa'. Begitu persis disalin sampai Missier sendiri tak akan sanggup membedakannya dengan karyanya sendiri. "Luar biasa.... "
Merasa diri begitu kecil dan malu, sang Baldini tak beranjak dari bangku. Tampak konyol menggenggam sapu tangan, menekannya ke hidung berkali-kali seperti babu tua yang tersedu sedan. Saat ini ia tak bisa bicara apa-apa lagi. Menggumam "Luar biasa' pun tidak, selain mengangguk-angguk lembut dan menatap nanar ke dalam isi botol Aduk. Bibirnya bergumam monoton, "Hmm, hmm, hmm.... hmm, hmm, hmm... hmm, hmm, hmm.... "
Beberapa saat kemudian, Grenouille mendekat ke meja tanpa suara, seperti bayangan.
"Parfum ini jelek," ia berkata. "Racikannya masih belum sempurna."
"Hmm, hmm, hmm....", jawab Baldini.
Grenouille berkata lagi, "Jika diizinkan, Maitre, saya akan membuatnya jadi lebih baik. Beri waktu satu menit dan akan saya buat parfum yang lebih pantas."
"Hmm, hmm, hmm... , jawab Baldini sambil mengangguk. Bukan maksud merestui, tapi karena ia begitu kaget dan tak berdaya sampai hanya sanggup menggumam. "Hmm, hmm, hmm, dan mengangguk. Ia menyingkir sambil terus begitu. Sama sekali tak berusaha merintangi Grenouille yang mulai meracik untuk kedua kalinya: menuang alkohol dari botol besar ke botol aduk di atas meja (persis di atas parfum yang sudah jadi tadi), menuangkan kembali kandungan flacon demi flacon tanpa urutan dan kuantitas pasti ke dalam corong. Tapi di akhir prosedur, Grenouille tidak mengocok botol tapi diputar lembut seperti orang mengaduk segelas brendi. Entah lantaran mengingat kehalusan cara dan teguran Baldini, atau mungkin karena isinya terasa lebih berharga kali ini. Saat itulah, saat cairan tengah diputar-putar lembut dalam botol, Baldini sadar dari keterkejutan dan berdiri. Sapu tangan masih ditekan ke hidung seperti berjaga dari serangan baru.
"Sudah selesail Maitre," Grenouille berkata. "Sekarang barulah aromanya benar-benar sempurna."
"Ya, ya, baiklah," jawab Baldini sambil mengibas mengusir dengan tangan. "Tak ingin diuji dulu?" desak Grenouille. "Tak inginkah Anda mengujinya, Maitre" Maukah?"
"Nanti saja. Aku sedang tak bernafsu mengujinya sekarang. Aku... sedang teringat akan hal lain. Sekarang pergilah! Ayo!"
Baldini menyambar sebatang lilin dan bergegas menuju pintu. Grenouille mengikuti. Kembali menyusuri koridor sempit menuju pintu belakang. Baldini membuka gerendel dan membuka pintu, lalu menepi untuk memberi jalan pada Grenouille.
"Bolehkah. aku bekerja untuk Anda, Maitre" Bolehkah?" tanya Grenouille. Berdiri di ambang pintu sambil kembali memasang pose membungkuk, kembali dengan mata mengintai.
"Aku tak tahu," jawab Baldini. "Akan kupikirkan. Sekarang pulanglah."
Detik berikutnya Grenouille menghilang di kegelapan malam. Baldini berdiri nanar memandang malam. Tangan kanan memegang lilin dan tangan kiri menggenggam sapu tangan, seperti orang mimisan. Tubuhnya menggigil takut. Segera ia masuk dan mengunci pintu. Sapu tangan ia selipkan ke saku sambil berjalan kembali ke laboratorium.
Aroma baru ini begitu sempurna sampai Baldini terharu dan menangis. Ia tak butuh menguji lebih jauh. Cukup berdiri di pinggir meja di depan botol aduk, lalu bernapas. Begitu agung dan luar biasa. Serupa simfoni 'Cinta dan jiwa' yang asli sekaligus gesekan biola kesepian. Bahkan lebih. Baldini berpejam mata memandang kilasan memori yang berkelebat dan terbangkitkan oleh parfum itu. Ia melihat sosoknya sebagai seorang pemuda yang tengah melewati sebuah taman saat senja di kota Naples, kilasan lain saat terbaring di pelukan seorang wanita berambut hitam keriting, serta siluet buket mawar di tepi jendela saat malam makin meninggi. Ia mendengar nyanyian burung dan musik lamat-lamat dari bar-bar di pelabuhan, menyimak bisikan di telinga - selarik kata, "Aku mencintaimu," dan betapa tengkuknya meremang bahagia. Semua kenangan yang seolah terjadi saat ini juga! Persis sekarang ini! Baldini memaksa diri membuka mata dan melenguh senang. Parfum ini tidak sepertti parfum mana pun yang pernah dibuat. Bukan aroma yang membuat hal-hal tercium lebih baik. Tidak seperti bedak wangi atau perlengkapan kamar mandi. Ini benar-benar baru dan mampu menciptakan dunia yang utuh - dunia yang ajaib
dan begitu kaya. Seketika itu mampu membuatmu lupa akan segala keburukan dunia dan merasa begitu kaya, begitu ringan, bebas dan nyaman....
Bulu kuduk dan rambut halus di lengan Baldini yang semula meremang kini kembali normal, bersama dengan debur kedamaian merengkuh sukma. Tangannya meraup kulit kambing di pinggir meja, sebuah pisau, lalu mulai merapikan kulit itu agar layak dipakai. Setelah itu ia letakkan dalam baskom kaca dan menuang parfum buatan Grenouille ke atasnya. Sebentang kaca tebal ia tutupkan di atas baskom, lalu beranjak menuang sisa parfum ke dua botol kecil, memberi kertas label dan menuliskan kata 'Nuit Napolitaine'. Kemudian meniup lilin dan pergi.
Setiba di lantai atas, ia tak berkata apa pun pada istrinya selagi mereka makan. Terutama sekali ia tidak menyinggung soal putusan besar yang telah diambil sore tadi. Sang istri ikut membisu, melihat bahwa suasana hati suaminya sedang baik, dan itu sudah lebih dari cukup. Baldini juga tidak menuruti kebiasaan berjalan berkeliling Notre-Dame untuk bersyukur pada Tuhan atas berkah kekuatan dan keteguhan karakter yang kini dirasakan. Bahkan untuk pertama kalinya dalam hidup, sepanjang malam itu ia lupa berdoa.
Enam Belas PAGI-PAGI SEKALI BALDINI langsung pergi ke tempat Grimal. Pertama-tama ia membayar pesanan kulit kambing dengan harga penuh tanpa mengeluh atau menawar macam-macam. Lalu ia menjamu Grimal di Tour d'Argent dengan sebotol arak putih untuk menegosiasikan perihal Grenouille. Bisa dipastikan Baldini tak akan mengungkap
'mengapa' ia menginginkan pemindahan kepemilikan ini. Alih-alih berterus terang, ia mendongeng bahwa mendadak ia kebanjiran pesanan bahan kulit berparfum dan untuk itu ia butuh pekerja tidak berpengalaman. Dikatakan bahwa ia butuh pemuda yang tak banyak menuntut, bersedia mengerjakan tugas-tugas mudah seperti memotong kulit dan sejenisnya. Baldini memesan sebotol arak lagi sembari menawar 25 livre sebagai biaya kompensasi transfer. Zaman itu uang 25 livre sangat besar. Grimal langsung menyambut. Berdua mereka berjalan ke penyamakan, di mana - anehnya, Grenouille telah menunggu dengan buntel sederhana yang sudah lengkap terkemas. Baldini membayar 25 livre dan langsung membawa Grenouille pergi. Benaknya sadar bahwa ia baru saja membuat transaksi terbesar sepanjang hidup.
Grimal juga berpikiran sama. Ia kembali ke Tour d'Argent untuk minum dua botol arak putih lagi, lalu pindah ke Lion d'Or di seberang sungai menjelang siang. Begitu mabuknya ia, sampai-sampai ketika memutuskan untuk kembali ke Tour d'Argent tengah malam itu, ia salah mengambil jalan ke jalan Nonanindieres yang ia sangka sebagai jalan Geoffroi L'Anier. Walhasil, saat mengira telah keluar di ujung jalan Pont-Marie, ia malah jatuh ke sungai Quai des Ormes. Grimal jatuh tercebur dengan wajah lebih dulu dan langsung tewas tenggelam. Perlu beberapa waktu sampai sungai menyeretnya keluar dari kedalaman, melewati tambatan kapal-kapal tongkang ke aliran arus utama, mengapungkan mayatnya saat fajar, mengambang ke arah barat.
Tubuh itu mengapung tanpa suara melewati Pont au Change tanpa terantuk tiang-tiang dermaga, persis enam puluh kaki di bawah Jean-Baptiste Grenouille yang hendak menjelang tidur. Sebuah dipan telah disiapkan di sudut belakang laboratorium Baldini. Mulut Grenouille
menyeringai puas sementara mantan majikannya mengambang tak bernapas di sungai Seine yang dingin. Ia menggulung diri di dipan seperti kutu menjelang hibernasi. Saat lelap, jiwanya melayang makin dalam ke diri sendiri, membuncahkan perasaan kemenangan sampai ke tembok benteng sanubari dan imajinasi, di mana ia melayang dalam mimpi jamuan pesta yang sarat wewangian - sebuah pesta raksasa gila-gilaan dengan awan-awan parfum dan kabut dupa, seluruhnya digelar atas nama keagungan pribadi.
Tujuh Belas DEMIKIANLAH, DENGAN KEHADiRAN GRENOUILLE, ketenaran Rumah Parfum Giuseppe Baldini mulai menanjak ke tingkat nasional, bahkan sampai ke seluruh Eropa. Bel Persia di atas pintu nyaris tak pernah berhenti berdenting, begitu pun aksi tebaran wewangian patung burung bangau penyambut tamu - pendek kata, mendadak kondisi bisnisnya berbalik 180 derajat.
Menjelang malam di hari pertama Grenouille bekerja, ia harus bekerja keras menyiapkan sebotol besar 'Nuit Napolitaine' yang langsung ludes terjual delapan puluh flacon keesokan harinya. Ketenaran aromanya menyebar seperti kobaran api. Mata Chenier sampai basah menghitung uang dan punggungnya sakit lantaran terlalu sering membungkuk hormat setiap kali transaksi. Soalnya bukan apa-apa - hanya orang-orang dari kalangan terhormat atau setidaknya pelayan kalangan terhormatlah yang datang berkunjung. Pernah suatu hari pintu toko terhempas begitu keras sampai bergetar. Setelah itu masuklah pesuruh Count d'Argenson seraya berteriak-karena - memang begitu kebiasaan seorang pesuruh -
bahwa ia ingin lima botol parfum baru ini. Chenier masih belum habis kaget ketika lima belas menit kemudian Count d'Argenson muncul sendiri di ambang pintu. Bagaimana tidak kaget" Count d'Argenson adalah orang kepercayaan sang Raja - seorang penasihat perang dan tokoh terkuat di Paris.
Sementara Chenier berjuang menghadapi serbuan pelanggan, Baldini menutup diri di laboratorium bersama murid baru kesayangannya. Kepada Chenier ia membualkan situasi baru ini dengan teori fantastis yang ia sebut sebagai 'pendelegasian kerja demi peningkatan produktivitas'. Selama bertahun-tahun, demikian tuturnya, ia sengaja diam mengamati dengan sabar sementara Missier dan pecundang lain mencuri para pelanggan serta meruntuhkan bisnisnya. Kesabaran itu kini telah sampai batasnya. Baldini menerima tantangan dan menyerang balik dengan senjata mereka sendiri. Setiap musim, setiap bulan - bahkan kalau perlu setiap minggu, ia akan menghajar dengan sebuah parfum baru. Dan bukan sembarang parfum! Baldini akan mengerahkan seluruh bakat kreatifnya. Karena itu ia butuh bantuan asisten yang belum berpengalaman. Seseorang yang diserahi tugas khusus menangani dan bertanggung jawab terhadap produksi parfum, sementara Chenier harus berkonsentrasi pada penjualan. Dengan metode modern ini mereka akan membuka lembaran baru dalam sejarah industri parfum, menyingkirkan para pesaing, dan tumbuh menjadi besar serta kaya raya tanpa dapat ditahan siapa pun. Ya, dengan sadar dan secara eksplisit ia menyebut kata 'Mereka' karena ia berniat berbagi keuntungan dengan Chenier, rekan pembantu yang telah begitu lama bekerja untuknya.
Kalau saja Baldini tahu bahwa beberapa hari lalu Chenier akan menganggap ocehan seperti ini sebagai bukti kuat gejala kepikunan sang majikan. "Bersiap-siaplah jatuh
miskin," demikian ia berpikir, "tak akan lama lagi sebelum akhirnya si tua bangka itu bangkrut." Tapi sekarang ia tak mampu berpikir apa-apa lagi. Benaknya bisu dengan segunung tugas yang harus dilakukan. Begitu sibuknya sampai terkapar kelelahan setiap sore dan nyaris tak sanggup mengosongkan kas serta mengutip upah bagiannya. Dalam mimpi yang paling liar sekalipun ia tak pernah membayangkan situasi akan terus menanjak seperti ini, walau menyaksikan sendiri betapa Baldini keluar dari laboratorium setiap hari dengan sedikitnya tiga jenis parfum baru.
Aroma parfum-parfum itu juga bukan main-main. Dan tidak hanya parfum, Baldini hadir dengan sederet krim, bedak, sabun, tonik rambut, eau de toilette, segala macam minyak... pokoknya nyaris semua lini produksi kini berbau wangi segar, orisinal, berbeda, dan setiap kali bahkan terasa lebib baik. Seolah tersihir, masyarakat terus memburu produk baru apa saja yang keluar dari toko Baldini. Benar-benar apa saja, bahkan sampai ke pita rambut berparfum yang dibuat Baldini kala iseng. Harga tak pernah jadi masalah. Apa pun produk keluaran Baldini selalu jadi hit. Kesuksesan ini begitu dahsyat sampai Chenier rela menerimanya sebagai fenomena biasa dan tidak lagi mengusik mempertanyakan sebab. Pikirnya, mungkin berhubungan dengan orang baru yang aneh itu, si cebol kaku yang selalu mengunci diri seperti anjing di laboratorium dan kadang terlihat saat Baldini keluar ruangan, berdiri di latar belakang sedang mengelap gelas dan membersihkan adukan - mungkinkah makhluk misterius ini punya andil dalam kesuksesan bisnis mereka" Rasanya Chenier tak akan percaya kalau tidak diceritakan sendiri oleh Baldini.
Kita tahu yang sesungguhnya bahwa si cebol Grenouille memang sumber segala keajaiban ini. Semua yang dipajang
Baldini di rak toko dan dipasarkan oleh Chenier baru seujung kuku dari yang diciptakan oleh Grenouille di balik pintu laboratorium yang tertutup. Hidung Baldini tak bisa cukup cepat mengimbangi kemampuan Grenouille. Ada kalanya ia merasa begitu tersiksa karena terpaksa harus memilih di antara sekian banyak ciptaan Grenouille yang semuanya begitu baik dan sempurna. Penyihir kecil itu mampu memetakan resep untuk seluruh parfum yang ada di Prancis tanpa sekalipun mengulang resep yang sama dua kali, dan tanpa sekalipun menghasilkan produk berkualitas jelek atau bahkan menengah. Lebih jauh kalau mau jujur, Baldini tak bisa meresepkan atau memformulasikan setiap produk itu sekaligus, karena Grenouile masih selalu mengomposisikan parfum dengan cara yang kacau dan tidak profesional seperti saat pertama Baldini mengenalnya malam itu. Ia masih selalu mencampur ramuan sesuka hati dan tanpa aturan. Tak tahan melihat semua ini, tapi dengan harapan untuk bisa memahami barang sedikit, suatu hari Baldini menuntut agar Grenouille mau menggunakan skala, gelas pengukur, dan pipet saat mempersiapkan campuran, pun walau Grenouille merasa tak perlu begitu. Ia juga menuntut Grenouille membiasakan diri untuk tidak menganggap alkohol sebagai salah satu bahan ramuan, tapi sebagai pelarut yang harus ditambahkan di akhir percobaan. Dan demi Tuhan! Yang terpenting, Baldini menuntut agar semua dilakukan lebih perlahan-dengan tahapan dan urutan yang lebih bisa dicermati dan dipahami, sebagaimana lazimnya seniman.
Grenouille menurut. Saat itulah untuk pertama kali Baldini mampu mengikuti dan mendokumentasikan setiap manuver individual penyihir ini. Berbekal kertas dan pena, sambil terus mengingatkan agar bekerja lebih pelan, ia duduk di samping si pemuda dan mencatat berapa ons bahan yang ini, berapa gram yang itu, berapa tetes yang
dimasukkan ke botol aduk, dan seterusnya. Metode ini amat detail dalam menganalisis prosedur; melibatkan prinsip-prinsip yang bila diabaikan akan menghambat prosedur itu. Setelah selesai mendokumentasikan setiap prosedur ke dalam buku dan menyimpannya dengan aman, Baldini merasa yakin bahwa semua kini jadi miliknya seorang.
Bagaimanapun, Grenouille juga mengambil hikmah dan manfaat dari prosedur disiplin terapan Baldini. Meski pada dasarnya ia tak pernah hanya mengandalkan semua itu. Grenouile tak pernah sa pai harus melongok sebuah formula tertentu untuk membuat parfum yang sama berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian karena hidungnya tak pernah melupakan aroma. Tapi dengan membiasakan diri menggunakan gelas pengukur dan skala, ia memelajari bahasa khusus dunia pembuatan parfum. Instingnya berkata bahwa pengetahuan ini akan berguna kelak. Setelah beberapa minggu, Grenouille telah menguasai tidak hanya nama seluruh aroma yang ada di laboratorium Baldini, tapi juga mampu mencatat formula parfumnya sendiri. Atau sebaliknya, ia juga mampu memodifikasi formula dan instruksi orang lain menjadi parfum dan/atau produk beraroma lain. Tidak hanya itu! Sekali ia menguasai bagaimana mengekspresikan gagasan dalam bahasa pipet dan skala, ia bahkan tak butuh lagi perantaraan eksperimen. Setiap kali Baldini menyuruh membuat parfum baru, baik untuk kolonye atau apa saja, Grenouille tak lagi meraih flacon dan bubuk ra uan. Ia langsung duduk di depan meja dan menulis formulanya saat itu juga. Grenouille belajar menuangkan catatan mentalnya tentang aroma menjadi sebuah parfum jadi dengan cara menuliskan formulanya. Buat dia hal ini sekadar jalan memutar saja, tapi di mata dunia-khususnya Baldini, ini suatu kemajuan. Mukjizat Grenouile tidak
berubah, namun formulasi tertulisnya kini sedikit banyak menyingkirkan ketakutan yang dirasakan pengamat, dan inilah yang terbaik. Setidaknya ini baik buat kewarasan banyak pihak. Makin Grenouille menguasai teknik dan seni pembuatan parfum, ia makin mampu mengekspresikan diri dalam bahasa konvensional dunia pembuat parfum, sekaligus mengurangi rasa takut dan kecurigaan Baldini. Walau masih menganggap Grenouille sebagai orang dengan bakat dan penciuman luar biasa, Baldini tak lagi menyamakannya dengan Frangipani atau penyihir aneh. Grenouille merasa hal ini lebih baik. Peraturan dan disiplin seni bisa ia fungsikan sebagai samaran. Kini nyaris setiap kali ia meninabobokan Baldini dengan prosedur yang benar. Mengukur berat ramuan, memutar-mutar botol aduk, meneteskan parfum ke sapu tangan sebagai bahan penguji. Grenouille kini sudah sama elegan dan ahlinya dengan Baldini dalam hal membaui sapu tangan berparfum di bawah hidung. Kadang dari waktu ke waktu, dengan interval yang diatur baik, ia sengaja membuat kesalahan yang bisa ditangkap Baldini, seperti lupa menyaring ramuan, salah menentukan skala, salah mencampurkan persentase larutan ambergris ke dalam formula, dan sebagainya. Dengan penuh perhatian ia menerima omelan Baldini dan memperbaiki dengan patuh. Dengan cara ini ia menenangkan dan menyeret Baldini ke dalam ilusi bahwa 'semuanya wajar-wajar saja'. Toh dari awal Grenouille memang tak berniat mencurangi Baldini. Ia sungguh-sungguh ingin belajar. Bukan bagaimana mencampur ramuan, mengomposisi aroma, atau sejenisnya. Soal itu ia sudah lebih mafhum dari siapa pun. Baginya, seluruh bahan yang ada di toko Baldini belum cukup untuk menciptakan parfum yang sesungguhnya. Parfum yang dibuat selama ini hanya main-main bila dibandingkan dengan apa yang tersimpan dalam pikirannya - dan pasti akan ia buat suatu
hari nanti. Untuk mencapai hal ini, Grenouille sadar bahwa ada dua syarat mutlak yang harus dipenuhi. Pertama adalah jubah status dan kehormatan kalangan menengah ke atas - setidaknya status sebagai murid utama di bisnis ini. Dari sini barulah ia bisa memuaskan gelora sejati atas bakatnya dan mewujudkan mimpi tanpa terhalang siapa pun. Yang kedua adalah pengetahuan tentang seni membuat parfum itu sendiri - bagaimana memproduksi, mengisolasi, memekatkan, mengawetkan, dan menyalurkannya ke pelanggan kalangan atas. Grenouille boleh jadi memiliki hidung terbaik di dunia, baik secara analitis maupun visi, tapi pada saat ini ia belum memiliki kemampuan mewujudkan parfum yang sesungguhnya.
Delapan Belas GRENOUILLE DENGAN SUKACITA memelajari seni
membuat sabun dari lemak babi, menjahit sarung tangan kulit kambing, meracik bedak dari tepung terigu, kulit padi, dan almond, serta menumbuk akar bunga violet. Ia juga belajar membuat lilin wangi dari arang, potasium nitrat, dan potongan kayu cendana; membuat pastiles oriental tumbuk dari getah dupa dan bubuk kayu; mengubah remasan getah olibanum, lak, vetiver, dan kayu manis menjadi bola harum; mengayak dan mengaduk poudre imperiale dari tumbukan kelopak mawar, lavender, dan kulit pohon casearilla. Ia juga belajar bagaimana mengaduk perona wajah berwarna putih dan biru halus, mencetak batangan-batangan gincu, membuat cat kuku terbaik serta pasta gigi rasa mint, mengaduk cairan penggulung rambut palsu untuk laki-laki, pemutih untuk menghilangkan bintik kulit, dan ekstrak nightshade untuk mata, Spanish fly nntuk
pria-pria ningrat dan cuka apel higienis untuk para wanitanya.... Pokoknya Grenouille belajar membuat segala macam produk wewangian mulai dari bedak, perlengkapan kamar mandi, sampai peralatan kecantikan, plus ramuan teh dan jejamuan, minuman keras, marinade, dan sejenisnya. Semua dipelajari dengan sabar, tnpa niat macam-macam, tanpa mengeluh, dan semua sukses Seluruh ilmu tradisional Baldini diserap dengan mudah tanpa kesulitan.
Momen favorit Grenouille dalam proses pembelajaran ini adalah setiap kali Baldini mengajari bagaimana membuat larutan ramuan dalam alkohol, ekstrak, dan sari ramuan. Tanpa kenal lelah ia menggerus biji almond pahit dalam bejana peremuk, menumbuk kesturi, mencincang ambergris yang berminyak dengan pisau jagal, memarut akar bunga violet dan memeras hasilnya dalam larutan alkohol terbaik. Ia belajar bagaimana memakai corong pemisah untuk mengambil sari minyak dari lemon tumbuk dan ampas susu, mengeringkan jejamuan dan bebungaan di tempat hangat serta terhalang dari sinar matahari, dan bagaimana mengawetkan dedaunan dalam tempayan dan peti bertutup lilin. Ia belajar seni membilas pomade dan bagaimana memproduksi, menyaring, memekatkan, menjemihkan, dan memurnikan penggabungan ramuan.
Sejujurnya, laboratoriurn Baldini bukanlah tempat yang tepat untuk membuat minyak bunga. atau tetumbuhan dalam skala besar. Kota Paris tak cukup mampu memasok kuantitas bunga segar sebanyak itu. Namun dari waktu ke waktu, saat kebetulan beroleh rosemary murah dan segar, daun sage, mint, atau biji minyak adas dari pasar atau saat menerima kiriman akar bunga valerian, jintan, pala, atau cengkeh kering, mulailah sang alkemis Baldini beraksi. Tabung penyulingan ukuran besar segera dikeluarkan, bersama dengan alat penyuling dari tembaga, di atasnya
ada kepala tambat untuk mengondensasikan cairan. Dengan bangga ia mengumumkan alat yang sudah empat puluh tahun ia pakai untuk menyuling bunga lavender secara langsung dari tempatnya di dataran terbuka Liguria Selatan dan puncak-puncak Luberon. Sementara Grenouille memilah-milah apa yang hendak disuling, Baldini sibuk mondar-mandir memanaskan tungku beralas batu bata -karena kecepatan adalah inti dari prosedur ini, lalu memasukkan apa yang sudah disiapkan Grenouille ke sebuah ketel tembaga, yang diisi sedikit air hingga menutupi dasarnya. Beragam tanaman yang sudah dicincang ia masukkan, lalu dengan sigap menyumbat tutup tabung dan menghubungkannya dengan dua buah selang agar air bisa keluar masuk dengan bebas. Mekanisme pendinginan air yang cerdik ini, demikian Baldini menjelaskan, adalah temuannya sendiri saat bekerja di lapangan. Kemudian ia mulai meniup api tungku.
Bukit Pemakan Manusia 6 Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak Dewi Maut 12
^