Pencarian

The Propotition 2

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley Bagian 2


Emma mencondongkan tubuhnya pada Aidan, menekankan
tubuhnya yang bergairah ke arah Aidan sambil meraih bagian
belakang pinggangnya untuk mendorong celananya turun melewati
pantatnya. Tangannya berhenti sebentar untuk menangkup kedua
belahan pantat Aidan sebelum meraih celananya. Emma meluncur
turun kebawah bersamaandengan gerakan celananya.
"Tak ada pujian untuk pantatku?" tanya Aidan, suaranya bercampur
dengan geli. Ketika Emma sudah dibawah, ia menengadah mamandang Aidan.
"Sangat indah?"
Aidan tertawa."Terima kasih."
Memegang bagian belakang kaki Aidan, Emma perlahan berdiri.
Kuku-kukunya mencengkeram betis dan paha Aidan. Aidan tidak
pernah mengalihkan pandangannya dari Emma. Sekali lagi, Emma
menangkup pantat Aidan saat jemarinya bergerak menuju ban
pinggang celana dalamnya. Tepat saat Emma mulai membebaskan
ereksinya, Aidan menggelengkan kepalanya. "Untuk yang pertama,
ini akan menjadi segalanya tentang dirimu." Kemudian Aidan
membawa bibirnya ke bibir Emma, memasukkan lidahnya ke dalam
mulut Emma. Emma memeluk leher Aidan saat lidah Aidan
menekanlidahnya. Aidan terus menciuminya hinggameninggalkan jejak hangat dari
mulut Emma menuju ke telinganya saat tangannya menangkup
korsetnya. "Kau memiliki sepasang payudara paling mengagumkan."
Sebuah tawa gugup lolos dari bibir Emma.
"Apa?" tanya Aidan.
"Kau terdengar seperti seseorang dari perkumpulan persaudaraan
pria terangsang." Aidan tersenyum. "Benarkah" Dan apa yang kamu inginkandari aku
untuk menyebutnya?" "Mungkin payudara."
Jemari Aidan menyusup kedalam korset, menangkup payudara
Emma yang hangat. Ketika ibu jari Aidan menjentik bolakbalikmelintasi putingnya,
Emma terkesiap. Aidan tersenyum melihat
responnya. "Oke, kau mempunyai payudara yang paling indah. Apa
itu lebih baik?" Emma melengkungkan tubuhnyakearah tangan Aidan. "Mmm, jauh
lebih baik," jawabnya denganterengah-engah.
"Aku tak bisa menunggu untuk mengecup payudaramu."
Emma mengerang saat Aidan menyentuhkan tangannya yang lain
pada payudaranya yang masih terabaikan dan mulai meremas
keduanya secara bersamaan. Sebuah pernyataan yang mengejutkan
diri Emma sendiri, saat ia bertanya, "Apa yang menghentikanmu?"
"Hmmm. Kain ini. Apa kau tidak keberatan jika kita
menyingkirkannya?" Emma menggelengkan kepalanya.
Aidan menyusupkan jemarinya ke pita satin di belahan dadanya.
Perlahan-lahan, tanpa melepaskan tatapannya pada Emma, ia
melepaskan pitanya, dengan sedikit menyentaknya sebelum gaun
tidur itu terbuka lebar. Pandangannya jatuh ke bagian dada Emma
dan Aidan menjilat bibirnya sendiri. Emma merasakan panas yang
meningkat diantara pahanya, dan ia bergerak-gerak di atas kakinya.
Menekankan kedua pahanya bersama-sama untuk meredakannya.
Kepalanya terkulai kebelakang ketika mulut Aidan menutupi
putingnya. Dia menghisap secara mendalam sebelum menjentikkan
dan memutar-mutarkan lidahnya di atas putingnya. Tangan Aidan
tetap membelai payudara lainnya saat lidahnya bekerja pada
putingnya di dalam mulutnya, menyebabkan putingnya mengeras
seperti kerikil. Emma tak dapat menahan teriakan kenikmatan yang
keluar dari bibirnya. Secara otomatis jemarinya membelit rambut
Aidan, menarik dan mencengkram tiap helai rambutnya saat
kenikmatan menghantamnya.
Aidan berpindah sambil menjilatimeninggalkan jejak basah menuju
payudara yang satunya sebelum mengklaim puting itu. Rasa sakit
diantara pahanya meningkat dan Emma tahu jika Aidan
menyentuhnya disana, ia akan menemukan Emma basah
karenamembutuhkan dirinya.
Seakan dapat membaca pikiran Emma, satu tangan Aidan mulai
menjelajah turun menuju ke perutnya. Jemarinya dengan ringan
membelai menggodamelintasi pusarnya, menyebabkan pinggulnya
mengejang. Aidan sesaat ragu sebelum akhirnya membenamkan
jemarinya diantara paha Emma. Emma terengah-engah diantara bibir
Aidan saat jemari Aidan menyentuhclit-nya yang sensitifnya
daribalik kain tipisnya. Tanpa sadar pinggulnya melengkung kearah
tangan Aidan, menggosok dirinya sendiri di ujung jari Aidan.
"Kurasa kita harus menyingkirkan yang ini juga?"
"Uh-huh," bisik Emma hampir tidak jelas.
Aidan tergelaksaat jemarinya menarikkaret celana dalam Emma, lalu
menurunkannya melewati pantatnya. Seperti yang Emma lakukan
padanya, tubuhnyamengikuti celana dalamnya yang meluncur ke
lantai, kecuali Aidan sambil menciumi dan menggigit saat ia
menyusuri paha dan kakinya. Emma merasakan setiap menitnya
lututnya akan melemah dan roboh. Untungnya, Aidan memegang
bagian belakang pahanya untuk menjaganya tetap seimbang saat ia
melangkah keluar dari celana dalamnya.
Berlutut di hadapan Emma, jemari Aidan menjelajah diantara kaki
Emma, mencari klitorisnya yang sudah membengkak. Saat ia
membelainya, Emma berteriak dan mencengkeram erat bahu Aidan.
Ibu jarinya terus menggosok sambil jemarinya menyusup diantara
lipatan basahnya. Jari-jarinya berputar-putar di dinding vaginanya
yang ketat, membawanya memasuki kegilaan oleh kebutuhan. Emma
menggigit bibir bawahnya untuk meredam teriakan kenikmatan yang
lolos dari tenggorokannya. Tetapi hal yang dilakukan itu sia-sia saat
Aidan melanjutkan penyiksaannya pada intinya dan membawanya
semakin dekat menuju orgasme. Saat gelombang orgasmeyang
pertama menghantamnya, Emma membenamkan kukunya pada
punggung Aidan dan mendorong keras pinggulnya kearah tangan
Aidan. Aidan bangkit dari lantai. Ia terusmemegang erat pinggang Emma
untuk menenangkannya saat Emma berusaha mendapatkan kembali
kesadarannya. "Kau begitu sialan seksi saat kau datang," bisiknya ke
telinga Emma. Emma merona mendengar kata-kata Aidan, napasnya masih
terengah-engah. Dengan perlahan, Aidan menggendong Emma
menuju tempat tidur kemudian membaringkannya dengan terlentang.
Dengan bertumpu pada siku tangannya, Emma mendorong tubuhnya
bergeser ke atas kasur. Aidan menjulang di atasnya, gairahnya
terbakar menyala terlihat dimata birunya. Emma bergetar di bawah
tatapannya. Saattubuhnyamelingkupi tubuh Emma, Aidan
mendorong kaki Emma agar terbuka lebar, kemudia ia menciuminya
menyusuri leher, turun melewati lekukan payudaranya dan ke
perutnya lalu turun lebih jauh lagi.
Saat kepala Aidan tenggelam diantara kedua kakinya, Emma
menutup matanya dalam gairah. Ketika jemari Aidan menyusup
kembali ke dalam dirinya, lidahnya berputar-putar disekitar clit-nya,
menghisapnya dengan mulutnya. Kedua tangan Emma
mencengkeram seprai. "Oh, Aidan!" teriaknya. Seketika, tangan
Emma bergerak menutupi mulutnya. Oh Tuhan, apa yang terjadi
padaku" Aku tak pernah berteriak di tempat tidur sebelumnya.
Jemari Aidan bergerak semakin cepat sementara ia menjilati dan
menghisap pusat kenikmatannya.
"Oh ya! Ya, Aidan..please," bisik Emma,tangannya memilin seprai
sampai ketat. Pinggulnya menggeliat mengikuti irama saat Aidan
memasukkan jemari dan lidahnya keluar masuk kedalam dirinya.
Akhirnya, hal itu mengirim Emma ke tepian orgasme dan ia klimaks
dengan keras. Ketika Emma mulai kembali pada dirinya sendiri, ia
menyadari salah satu tangannya telah lepas dari seprai dan membelit
rambut Aidan. Setelah Emma melepaskannya, Aidan melepaskan celana dalamnya,
memberikan Emma sebuah pemandangan penuh- ereksinyayang
begitu besar. Ia bangkit dan berlutut diantara kaki Emma dan
tersenyum padanya. "Jadi, posisiapa yang terbaikuntukmembuat
bayi?" Apa .." Apakah dia serius saat ia baru saja menanyakannya tentang
posisi terbaik yang harus digunakan" "Um.. well, sepertinya
Misionaris." "Kedengaran menyenangkan untukku." Aidan membungkuk di atas
Emma, memposisikan dirinya diantara paha Emma. Ketika
kejantanannya menyentuh bibir bawahnya, tubuh Emma menegang
dan ia mencengkram bahu Aidan. Dengan lembut Aidan mencium
keningnya. "Aku akan melakukannya dengan lembut dan perlahan,
oke?" Emma mengangguk dan memaksa kelopak matanya menutup.
"Tidak, lihat aku Emma."
Mematuhi perintahnya, Emma mengintipkeatas kearahnya. Dengan
perlahan, Aidan mulai masukke dalam dirinya. Emma terkesiap
penuhkenikmatan, bukan rasa sakit, saat Aidan mengisi dirinya.
"Hmmm," gumannya ketika Aidan akhirnya mengubur jauh kedalam
dirinya. "Tuhan, kau terasa begitu luar biasa," bisik Aidan ke telinga Emma.
"Aku bisa mengatakan hal yang sama tentangmu," balas Emma.
Aidan terkekeh saat dia diam tanpa bergerak untuk beberapa saat,
membiarkan Emma menyesuaikan diri dengan ukuran miliknya.
"Yeah, tapi untukku, rasanya ini lebih karena bisa merasakanbegitu
banyak. Aku tak pernah berada didalam tubuh wanita tanpa kondom
sebelumnya." "Benarkah?" Aidan menganggukkan kepalanya. "Sepertinya kau telah mengambil
keperawanan-tanpa-kondomku."
"Oh," gumam Emma.
Dengan perlahan, Aidan menarik keluar lalu mendorong masuk
kembali ke dalam dirinya menggerakkan kejantanannya keluar
masuk di dalam diri Emma. "Oh, sial, rasanya panas," erangnya ke
telinga Emma. Saat Aidan menemukan ritmenya, Emma mengangkat pinggulnya
untuk bertemu dengan kejantanannya. Mereka bergerak hampir
bersamaan, napas mereka seperti celana dalam yang compangcamping.
Tapi setelah beberapa menit, Aidan mengejutkan Emma,
iamenjagakecepatannyadengan tenang. Lembut dan manis, hampir
terasa seperti percintaannya yang dimiliki bersama Travis.
Sebuahemosional kesakitan membakar di dadanya, yang
membuatnya bergetar. Emma tidak suka menggeser perasaan yang
dia miliki. Seharusnya seks ini hanya untuk membuat anak, bukan
bercinta. Ketika Emma memandang kedalam mata Aidan, ia melihat
Aidan sedang mengendalikan dirinya. Menangkup wajah Aidan
dengan tangannya, Emma tersenyum. "Kau tak perlu menahan diri
demi aku." "Sudah lama kau tidak berhubungan seks, dan aku tak ingin
menyakitimu," jawab Aidan hampirmengertakkan giginyakarena
menahan diri. "Aku bukan seorang perawan, jadi kautak akan menyakiti
aku."Gerakannya masih tetappelan-pelan, kecepatannya hampir
seperti diatur, Emma menyadari ia harus menyadarkan Aidan untuk
berhenti bertingkah laku seperti itu. Pada saat bersamaan, Emma
tidak tahu apakah dirinya berhak menuntut apa yang ia butuhkan.
Dengan menghirup napas dalam-dalam, Emma memukul pantat
telanjang Aidan. Sangat keras. "Aidan Fitzgerald, kau lebih baik
menyetubuhi akuseakan-akan kau menginginkannya!"
Kepala Aidan tersentak ke belakang seakan Emma telah
menamparnya. "Ya Tuhan, Em, aku tidak percaya kau mengatakan
hal itu." Pipi Emma merona seperti biasa, tapi ia menggelengkan kepalanya.
"Jangan memperlakukanku seperti bunga yang rapuh. Aku
menginginkanmu untuk menikmati ini."
"Baiklah kalau begitu," bisa dibilang jawabnya sambil menggeram.
Emma memekik saat Aidan membalikkan posisi mereka sehingga
Emma kini menunggangi Aidan. Aidan berbaring tidak bergerak,
kejantanannya masih terkubur jauh didalam dirinya, menunggu
Emma untuk mengambil alihpermainan ini. Secara tentatif, Emma
bergoyang diatasnya secara perlahan lalu mulai meningkatkan
kecepatannya. Sambil bersandar, Emma meletakkan telapak
tangannya diatas paha Aidan.Emma bergerak diatasnya dengan keras
dan cepat, memutar-mutarnya sampai Emma menemukan titik yang
tepat untuk membawanya kembali ke tepian orgasme. "Ya! Oh
Tuhan!" Teriaknya. Aidan bangkit mengambil posisi duduk. Ia mengambil salah satu
payudara Emma yang berayun-ayun ke dalam mulutnya dan
menghisap keras sambil mencengkeram pinggul Emma dengan erat.
Aidan mengubah ritme permainan inidengannya, menarik Emma
sampai kemaluannya hampir keluar lalu menghempaskan lagi
kebawah diatas pangkuannya. Emma merasakan setiap kali
kejantanan Aidan menjadi semakin dalam dan lebih dalam lagi, dan
ia begitu menikmati perasaan ini, Aidan mendengusdalam
kenikmatan di dada Emma. Tepat pada saat Emma mulai berpikir ia akan datang lagi, Aidan
mendorongnya lalu membaringkannya dan mengangkat kedua
kakinya langsung ke atas dadanya dan mengarahkannya kepundak
Aidan. Emma mengerang saat Aidan menyentakkan kejantanannya
lagi kedalam dirinya. Aidan menyeringai penuh kepuasan berada di
dalam diri Emma, dan Emma tahu dia pun merasakan hal yang sama.
Emma harus mengatakan padanya bahwa ia ingin disetubuhi, agar
Aidan mau memberikannya. Dengan keras.
Saat Aidan menghujam ke dalam diri Emma, bola kejantanannya
memukul-mukul ke pantat Emma. Aidan mengerang saat posisi itu
membawanya lebih dalam lagi. Teriakan kenikmatan Emma seperti
memicu Aidan pada saat ia mendorong lagi dan lagi. Emma
merasakan ketegangan di dalam tubuh Aidan dan menyadari Aidan
sudah dekat. Tiba-tiba Aidan melebarkan paha Emma dan membawa
mereka kembali pada posisi awal, bertatap muka danmereka saling
memeluk. Ketika orgasme Emma yang terakhir datang, dinding vaginanya
mencengkeram sekeliling kejantanan Aidan, ia mendorong sekali
lagi kemudian membiarkan spermanya masuk kedalam diri Emma.
"Oh, sial Emma!" teriaknya sebelum ambruk diatas tubuh Emma.
Mereka berbaring bersama saling melilit, berusaha mengatur napas
mereka. "Jangan pernah meragukan dirimu lagi", gumam Aidan ke
telinganya. "Benarkah?" Aidan menarik tubuhnyalalu tersenyum padanya, "Sepenuhnya
benar." "Terima kasih. Kau benar-benar luar biasa."
"Aku pikir aku sudah punya fakta dari caramu berteriak," Aidan
mendorong rambut Emma yang menutupi wajahnya. "Kau jelas tidak
merasa malu di tempat tidur, kan?"
Malu pada apa yang mungkin sudah dia katakan atau lakukandalam
panas gairahnya, Emma membenamkan wajahnya ke leher Aidan.
"Oh Tuhanku," gumamnya.
"Yeah. Kau suka mengatakan satu kata itu berkali-kali. Tentu saja,
aku penggemar terberatmu saat kau meneriakkan namaku," ujar


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aidan. Ketika Emma tetap menyembunyikan wajahnya, Aidan
menyenggolnyasambil bercanda. "Ayolah, Em. Jangan malu. Itu
benar-benar panas." "Benarkah?" Emma terkejut.
"Ya." Setelah menghembuskan napas dengan sedikit kepuasan, Emma
menarik dirinya untuk tersenyum malu padanya. "Kurasa aku
terbawa suasana karena aku tak tahu rasanya bisa seperti itu."
"Kau tak berhubungan seks seperti itu dengan tunanganmu?"
"Ya, tapi aku mencintainya." Ia melihat alis Aidan berkerut, Emma
merona. "Maksudku, aku pikir aku tidak akan pernah menikmati
hubungan seks kecuali kalau aku jatuh cinta pada orang tersebut."
"Well, aku senang bisa membuktikan bahwa kau salah,"ujarnya.
Mereka berbaring dengan tenang selama beberapa menit. Emma bisa
mengatakan bahwa Aidan bukan orang yang suka berpelukan setelah
bersenggama, yang semakin mengukuhkan citranya sebagai playboy.
Emma memandang Aidan yang terus menatap langit-langit atau
bergerak-gerak dibawah selimut penutupnya. Dia mungkin tidak
tidur dengan sebagianbesar wanita yang diajaknya berhubungan
seks. Aidan berdeham, "Mau bergabung mandi denganku?"
"Tidak. Kurasa aku harus menunggu sebelum melakukan itu."
"Kenapa?" Emma tersipu. "Apa kau yakin benar-benar ingin mendengar
alasannya?" "Tentu saja aku ingin."
Emma tidak percaya setelah tidur dengan Aidan, ia tidak bisa
membawa dirinya mengatakan hal-hal tertentu di depannya atau
menjelaskan beberapa aspek agar dirinya berhasil menjadi hamil.
Aidan menyenggolnya dengan sikunya. "Ayolah, Em. Ada apa?"
"Baiklah. Aku pernah membaca bahwa kau harus menunggu dua
puluh atau tiga puluh menit sebelum menggunakan kamar mandi
atau shower. Kau tahu, untuk membiarkan spermanya bekerja dan
lain-lain." "Itu saja " Kupikir dengan caramu menolakku karena mandi
bersamaku adalah sesuatu yang benar-benar memalukan," seringai
Aidan. "Percayalah. Membicarakan hal seperti ini denganmu sungguh
memalukan." "Oke, terserah. Jadi kesepakatan dengan sperma itu agaknya seperti
'kau tak boleh berenang selama 30 menit setelah memakan sel telur'
benarkah seperti itu?"
"Kupikir begitu," gumam Emma.
"Apa lagi yang harus kamu lakukan?"
"Aidan,"protesnya.
"Ayolah, kau bisa mengatakannya. Kau baru saja mengatakan
sperma di depanku, dan aku tidak melarikan diri ke bukit. Aku rasa
aku bisa mengatasinya."
Tawa kecil keluar dari bibir Emma. "Well, mereka bilang kau harus
meletakkan sebuah bantal dibawah pinggangmu. Itu membantu
memiringkan cervix dan uterus (mulut rahim dan rahim)."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Ok. Aku menyerah. Kau
mengatakan kata-kata yang tidak dapat kupahami, uterus. Aku akan
keluar dari sini." Emma menepuknya sambil bercanda saat Aidan berpura-pura
bangkit dari tempat tidur. Aidan mencium keningnya. "Sial, kau
benar-benar seksi bahkan saat kau malu."
"Yeah, benar." "Serius, Em. Aku tumbuh besar dengan empat saudara perempuan
disebuah rumah mungil dengan kamar tidur tiga,dua kamar mandi.
Aku sudah pernah melihat dan mendengar hal-hal mengenai wanita,
cukup meninggalkan bekas luka pria manapun secarapsikologis
selama bertahun-tahun. Aku berjanji tak akan ada satupun
perkataanmu yang akan membuatku jijik."
Emma tertawa. "Yeah, well aku anak tunggal yang membutuhkan
waktu sekitar setahun sebelum aku bisa membicarakan masalah
mens-ku didepan kekasihku."
Aidan kemudian mengambil satu ekstra bantal lalu dia menopang
danmemasukkannya dibawah selimut. Kemudian ia menyelipkan
tangannya di bawah pantat Emma, mengangkat pinggulnya
keatas."Baiklah,sekarang, saatnya untuk membantucalon anak
beraksi." Emma tertawa dan menggeliat melawan Aidan. "Aku bisa
melakukannya sendiri."
"Aku senang bisa membantumu." Aidan menggoyangkan bantal di
bawah Emma tanpa memindahkan tangannya. "Dan aku tidak akan
melewatkan kesempatan ini untuk memegang pantatmu."
"Kau tak akan berhenti?" Emma mulai gusar.
"Beriaku satu ronde lagi, dan kau akan memohon padaku agar
jangan berhenti!" "Mari kita lihat."
Aidan memberinya seringai nakal sebelum membalikkan selimutnya.
"Ronde kedua dimulai dibawah pancuran dalam lima belas menit
lagi." "Oke," balas Emma.
Emma menontonbentuk tubuh telanjang Aidan yang luar biasaitu
saat ia melangkah masuk ke kamar mandi dan menyalakan air.
Getaran penuh antisipasi menghinggapinya saat memikirkan akan
berhubungan seks dengan Aidan lagi. Kehangatan menjalar di
pipinya lalu turun ke lehernya saat memikirkan apa yang Emma
katakan dan lakukan. Tetapi Aidan menyukainya, jadi itu tidak
masalah. Waktu seakan berjalan lambat saat Emma menunggu untuk bangun.
Dirinya penasaran apakah ada air panas yang masih tersisa
untuknya. Akhirnya, ia melemparkan selimutnya dan bergegas
masuk ke kamar mandi. Uap panas menyelimuti saat ia melangkah
masuk, dan ia mendengar Aidan sedang bersenandung.
Emma membuka pintu kaca shower dan menyelinap ke dalam.
"Wow, tempat shower ini sangat luas," komentarnya.
"Suite bulan madu, ingat" Mereka mengharapkan para pasangan ada
disini selama mungkin."
"Aku rasa begitu," jawab Emma.
Aidan menyerahkan sabun cair kepadanya. Emma
menyemprotkandiatas tangannya dan mulai menyabuni tubuhnya
dari atas saat ia merasakan tangan Aidan di pinggangnya. Ketika
Aidan menarik Emma ke arahnya, Emma melangkah mundur. Saat
melihat ekspresi kebingungan Aidan, Emma tersenyum dengan
manis. "Aku percaya kau mengatakan tentang pertama kali untuk
kepuasanku." Emma menurunkan tangannya dan mencengkeram
kejantanan Aidan. "Kali ini tentang dirimu."
Aidan menyeringai, "Kalau itu memang keinginanmu, ma'am."
Tangan Emma, licin karena sabun, meluncur naik turun, membuat
kejantanan Aidan mengeras. Aidan mengerang penuh kenikmatan
saat tangan Emma yang lain menangkup bolanya, memijatnya
dengan lembut. "Hhmm, teknik yang bagus untuk seorang wanita
yang mengklaim dirinya tidak punya banyak pengalaman."
"Oh, tapi aku baru saja mulai, tuan Fitzgerald."
"Oh Tuhan," gumam Aidan saat Emma berjongkok diatas lututnya.
Emma menjalankan tangannya naik keatas paha Aidan, membasuh
sabunnya. Ketika Aidan sepenuhnya sudah dibilas, Emma
mendorong kaki Aidan agar terpisah. Dengan tangannya
mencengkeram kemaluan Aidan, Emma menjilat sepanjang garis
dari pusar turun ke pangkal pahanya. Air mengalir di punggung
Emma saat ia menjilati ujung kejantanan Aidan. Ia memutarkan
lidahnya, menggodanya, menyebabkan Aidan mengerang. "Kau
membunuhku." Napasnya tersengal-sengal saat Emma membawanya ke dalam
mulutnya. Membawanya keluar masuk, Emma menjaga tangannya
agar tetap stabil. Perasaan bangga menyelimutinya ketika Aidan
menutup matanya dan membenturkan kepalanya ke belakang kearah
dinding keramik. Tangannya bergerak ke rambut Emma, dan jari-jari
Aidanmemutar helaian rambut panjang Emma saat ia menggerakkan
kepalanya naik turun diatas kemaluanya. Ketika Emma mulai merasa
Aidan seperti akan datang, Aidan dengan lembut mendorongnya
untuk menjauh. "Aku tak ingin menyia-nyiakan itu, sayang," katanya
saat Emma memandangnya. Aidan memegang bahu Emma dan menariknya bangkit dari lantai.
Memutar posisi mereka, Aidan mendorongnya ke arah dinding
keramik. Ia tersenyum kepada Emma saat ia mengangkat salah satu
kaki Emma ke pinggulnya dan menekankan dirinya ke dalam diri
Emma. "Kau membuatku begitu bergairah dengan aksimu di ronda
kedua yang mungkin akan menjadi lebih singkat dari yang
direncanakan." "Tidak apa-apa", katanya terengah-engah. Emma melingkarkan
lengannya dengan erat disekitar leher Aidan, menekankan
payudaranya yang keras ke dada Aidan. Air menetes diantara mereka
saat Aidan mulai bergerak. Setelah beberapa kali hujaman yang
mendalam membuat Emma berteriak, Aidan melirik ke arah Emma.
"Aku tidak menyakitimu, kan?"
"Tidak. Kau terasa nikmat."
"Hanya nikmat?" godanya.
Emma menyeringai. "Hebat, luar biasa, sangat mengagumkan, Oh,
Tuhan.. Oh Tuhan..!"
Aidan tertawa. "Kau sepertinya sok pintar." Aidan meningkatkan
kecepatannya, memunculkan suara erangan kenikmatan dari mereka
berdua. Tepat ketika Emma semakin dekat, Aidan mencengkram
pantatnya dan mengayunkan kaki Emma naik dari lantai, dan
menyentaknya lebih dalam. Emma terkesiap penuh kenikmatan saat
Aidan mendesakkan punggung Emma ke arah dindingshower.
"Remas miliku dengan ketat," perintahnya. Emma melingkarkan
kakinya disekeliling pinggul Aidan, membawa milik Aidan lebih
dalam saat ia melakukannya. "Oh Tuhan, ya," erang Aidan di
pangkal leher Emma. Aidan bergerak dengan tidak terkendali. Punggung Emma terasa
terbakar akibat bergesekan dengan dinding shower karena hujaman
keras Aidan, tetapi semuanya terasa sangat nikmat untuk dikeluhkan.
Sebaliknya, Emma terengah-engah ditelinga Aidan, berteriak
memanggil namanya saat orgasme menghantam dirinya. Tepat pada
saat Emma mengepal di sekeliling kejantanannya, Aidan datang,
menjepit Emma dengan keras ke dinding. Aidan memutar kepalanya
sambil menyeringai kearah Emma. "Yap, sialan nikmat, Ms.
Harrison." Emma tertawa. "Terima kasih, Mr. Fitzgerald. Biasakah kau
membiarkan aku turun sekarang" Aku merasa bisa membakar
dinding ini." Mata Aidan melebar. "Sial. Maafkan aku."
"Tidak apa-apa."
Ketika Emma sudah berdiri di atas kakinya, kakinya terasa elastis
sepertinya mereka mungkin tidak kuat menahan tubuhnya. Posisi
mereka sesungguhnya tak ada dalam daftar 'Hal yang harus
dilakukan' untuk membuatnya hamil, jadi ia tahu ia harus segera
kembali ke tempat tidur. "Aku sebaiknya berbaring."
"Untuk calon anak," goda Aidan sambil menyeringai.
"Yeah, untuk calon anak."
Setelah meraih handuk, Emma menghambur keluar dari pancuran
dan terhuyung-huyung menuju kamar tidur. Mengeringkan dirinya
dengan cepat, Emma mengambil gaun tidur yang disimpan di tasnya
dan memakainyamelalui atas kepalanya. Melirik kearah jam di meja
samping ranjang yang menunjukkan sudah lewat tengah malam. Ia
menguap dan berpikir bagaimana caranya agar ia bisa bangun pagi
dan kembali bekerja. Membalikkan selimut, ia menyelinap masuk ke
tempat tidur. Aidan melangkah keluar dari kamar mandi, sebuah handuk membelit
pinggangnya. Emma menyadarikalau dirinya sendiri sedang
mencengkeram selimut yang mengelilinginya. "Apakah aku
membuatmu lelah?" tanya Aidan sambilmenyeringai.
Senyum malu-malu melengkung di bibirnya. "Sedikit,"
jawabnya.Emma tidak bisa membuat dirinya berpaling ketika Aidan
menjatuhkan handuknya dan menyelipkan celana dalamnya keatas.
Tetapi kemudian jantung Emma tenggelam saat Aidan mulai meraih
celananya. "apakah kau tidak akan bermalam?"
Aidan berbalik menghadap Emma. "Aku sebenarnya tidak berencana
untuk bermalam. Tapi kau bisa bermalam. Kamar ini sudah dipesan
untuk semalam." "Oh", bisiknya, tidak mampu menyimpan kekecewaannya.
Emma merasakan panasnya tatapan Aidan sebelum ia
menghembuskan napas panjang. Tempat tidur melentur karena berat
tubuh Aidan saat ia duduk. "Em, kau tahu pria macam apa aku
sebelum kita melakukan ini. Aku biasanya tidak..."
"Tidak. Aku tidak apa-apa"
"Kau jelas tidak terdengar atau terlihat baik tentang hal ini."
"Hanya saja kau baru sajamengejutkan aku dengan memberi lingerie
dan sampanye. Semua ini menjadi terlihat bukan hanya sekedar
bisnis dan lebih banyak lagi..." Emma menggelengkan kepalanya.
"Tapi aku paham sekarang. Ini akan selalu menjadi hanya sekedar
seks denganmu." Aidan mengerangdan mengusap rambutnya yang basah. "Aku
seharusnya menyadari hal ini akan terjadi," gumannya.
"Aku baik-baik saja, oke?" Saat melihat pandangan Aidan yang
ragu-ragu, Emma mendesah. "Semua ini membuat emosiku menjadi
tidak biasa, seperti roller coaster, senang, gembira, sedih, kecewa,
atau putus asa bercampur jadi satu, dan aku minta maaf. Aku yakin
kau benci wanita yang suka menuntut dan emosional."
Aidan meringis. "Kadang-kadang."
Emma tersenyum sedih kepadanya. "Aku bisa membayangkannya."
"Sesungguhnya aku benci pada diriku sendiri saat ini karena
memberi harapan padamu." Dengan mendengus karena frustasi,
Aidan menurunkan celananya dan kembali ke tempat tidur. Ketika
tangannya meraih selimut, Emma menyentakkan kepalanya dengan
kaget. "Apa yang kau lakukan?"
"Menurutmu apa yang sedang kulakukan" Tentu saja aku akan
tidur." Gerutunya. "Tapi kupikir..."
"Kurasa karena kau akan menjadi ibu dari anakku, aku bisa membuat
pengecualian buatmu."
Sebuah teriakantertahan lolos daribibirEmma. Hal terakhir yang ia
inginkan adalah merasa dikasihani. Saat Aidan naik ke tempat tidur,
Emma beringsut sejauh mungkin darinya. Dalam kemarahan, Emma
melingkarkan selimut di sekelilingnya, meninggalkan Aidan
kedinginan. "Em?" Ketika Emma menolak untuk menjawab, Aidan bergeser di
atastempat tidur untuk mendekatinya. "Kenapa kau marah" Aku
tetap tinggal, kan?"
Emma berbalik mempelototinya. "Aku tidak ingin kau tinggal hanya
karena kewajiban atau kasihan, Aidan. Aku ingin kau tinggal karena
kau menginginkannya."
"Sial. Aku tidak bermaksud untuk terlihat seperti itu. Aku hanya
bermaksud untuk tinggal karena kau berbeda dengan yang lainnya...
Seseorang yang spesial."
Sejenak ekspresi Emma melembut. "Benarkah?"
"Yeah, tentu."

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah kalau begitu."
"Bisakah aku minta bagian selimutnya" Pantatku membeku."
"Tentu. Maksudku, kita tidak boleh membiarkan sesuatu terjadi pada
pantatmu yang menakjubkan itu, kan?"
"Mulutmu benar-benar masalah," gumam Aidan, saat ia menyelinap
masuk kebawah selimut. Rasa terkejut membanjiri Emma ketika
Aidan merengkuhnya, dan Emma tak mampu menghentikan
hembusan napas kepuasan meluncur keluar dari bibirnya.
*** Bab 7 Sinar matahari masuk melalui tirai yang terbuka, menghangatkan
wajah Emma. Dia berguling, menutupi wajahnya dengan tangannya.
Untuk sesaat, dia lupa bahwa dia tidak berada di kasurnya yang
nyaman. Kemudian kebenaran itu muncul serasa menampar dirinya.
Emma sedang berada di ranjang berukuran king-size di Honeymoon
Suite di Grand Hyatt. Ketika dia berbalik, Emma menemukan Aidan sudah pergi tanpa
mengucapkan selamat tinggal. Sebersit kesedihan seketika menjalar
kedadanya, tapi Emma mencoba memberi alasan untuk dirinya
sendiri,merupakan suatu keajaiban Aidan mau bermalam. Emma
tidak terlalu berharap untuk seseorang seperti Aidan akan
membangunkannya dan memberinya ciuman selamat tinggal. Itulah
jalan keluar dari wilayah pemahaman seseorang seperti Aidan.
Emma melirik ke arah jam dan melihat bahwa sekarang sudah jam
tujuh lewat. Jika dia inginsampai ke tempat kerja tepat waktu,dia
tahu ia harus segera pulang. Mengenakan gaun yang dipakainya
semalam, dia mengeluh karena tidak berpikir kedepan untuk
membawa baju ganti yang akan dia kenakan ke kantor. Dengan usia
hampir tiga puluh tahun, Emma tidak pernah mengalami hal yang
memalukan sebelumnya dan sekarang dia akan mengalaminya. Lagi
pula, siapa di dunia ini yang menggunakan kain sutera tipis pada jam
tujuh pagi" Syukurlah, lorong terlihat sepi saat Emmabergegas menyusuri karpet
bermotif bunga menuju lift. Ketika sampai di lantai bawah, hanya
ada staf hotel di sekitar lobi. Dia mencoba menegakkan kepalanya
saat melewati mereka. Dia berhasil menjaga martabatnya sampai dia
keluar dan memberikan tiketnya ke petugas valet. Dia menatap
pakaian dan rambut Emma yang terlihat kusut dan sebuah senyum
memaklumi terukir di wajahnya. "Satu menit, Ma'am."
Emma mengerang dalam hati dan menekankan pada dirinya untuk
tidak lupa membawa perlengkapan bermalam lagi.
*** Emma hampir masuk ke dalam kantornya sebelum Casey
menghambur ke dalam dan membanting pintu. "Aku tidak percaya
kau tidak meneleponku!"
Sambil mengangkat tangannya, Emma mengingatkan, "Aku bahkan
belum minum kopi. Aku sudah menunda peluncuran inkuisisi
setidaknya tiga puluh menit."
"Hmm, aku orang yang tidak sabaran. Apa kamu kurang tidur
semalam?" Casey bertanya sambil menaikkan alisnya.
"Tidak. Hmm maksudku ya aku kurang tidur."
Casey menjerit dan menjatuhkan dirinya ke kursi. "Detil, Em! Aku
sangat ingin tahu secara detilnya!"
"Kalau begitu jadilah sahabat yang baik dan buatkan aku kopi."
Emma mengerang. Sambil mendongkol, Casey bangkit dari kursinya. "Baiklah. Tapi
kau harus menjelaskan semuanya padaku setiap rincinya, setiap
detailerotis ketika aku kembali!"
Ketika Casey keluar ruangan, Emma duduk di kursinya dan
menyalakan komputernya. Saat sedang membaca janji pertemuannya
untuk hari ini, ponselnya berbunyi dari dalam tasnya. Emma
mengambilnya dan mengecek pesan singkat di ponselnya. Emma
melihat satu pesan dari Aidan yang menyebabkan jantungnya seakan
melompat ke tenggorokannya.
Maaf, aku tidak mengucapkan selamat tinggal tadi. Kau
terlihatsangat nyenyakuntuk dibangunkan. Sampai ketemu hari
Rabu. --A. Emma tidak bisa menahan keinginannya untuk tersenyum konyol
yang menghiasi wajahnya. Bagaimanapun juga, dia tidak seperti
seorang yang benar-benar bajingan. Aidan sebenarnya cukup peduli
dengan mengirimi Emma sebuah pesan untuk mengecek keadaan
Emma. Dengan cepat, jari-jari Emma melayang di atas keyboard ponselnya.
Terima kasih. Aku tidur nyenyak semalam...well, setelah semuanya
itu. Sampai ketemu hari Rabu, juga.
Casey muncul dengan membawa segelas kopi yang masih mengepul
dan memberikannya pada Emma.
Saat Emma meniup kopinya ada sedikit gelombang diatas cairan
gelap itu, bibir Caset cemberut. "Em, aku benar-benar sakit hati kau
tidak menghubungiku pagi ini. Maksudku, aku sudah hampir mati
karena penasaran sepanjang malam dan pagi ini menunggu kabar
darimu! Aku membuat Nate hampir gila semalam karena terus
bertanya-tanya apa yang kamu lakukan."
Emma melompat dari kursinya hingga menumpahkan kopinya ke
lantai. "Kau serius mengatakan kepada Nate mengenai aku tidur
dengan Aidan?" Casey memutar matanya, "Tentu saja ya. Apa kau tidak berpikir Nate
akan bertanya-tanya karena kau tiba-tiba hamil?"
"Aku rasa kau benar juga."
"Aku pikir sampai malam berakhir, dia sepertigelisah menunggu
kabar darimu juga. Menurutku, perhatiannya lebih dari sekedar ingin
memastikan bahwa kau baik-baik saja dan Aidan tidak mengikat
kamu menjadi subyek seks kinky sialan atau sesuatu yang lainnya."
Sambil mengelap tangannya ke pinggulnya,Emma menatap jengkel
kearah Casey. "Dan apa yang kau harapkan" Aku mengirim SMS
kepadamu mengenai setiap detail apa yang terjadi?"
"Itu pasti sangat menarik. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana
erangan dan desahan dikirimkan ke pesan teks."
"Tidak mungkin aku melakukan itu." Emma menggerutu kemudian
meneguk kopinya. Cairan hangat kafein mengalir menyambut ke
tenggorokan hingga ke perutnya.
"Jadi, bagaimana ceritanya?"
Kilas balik peristiwa semalam menyala di dalam benak Emma
seperti sebuah film X-rated dan Emma tidak bisa menahan pipinya
merona. "Menakjubkan."
"Jadi, itu semua yang kau pikirkan saat bersamanya?"
Emma mengangguk. "Dan kami melakukan lagi."
Casey begitu menikmati setiap detilnya, mencondongkan tubuhnya
ke depan sejauh mungkin dari kursinya sehingga wajahnya hampir
menyentuh lantai."Jadi, berapa kali kau klimaks?"
"Casey!" Teriak Emma.
"Oh ayolah, Em! Aku sudah mengalaminya sendiri,
mempraktekkannya sampai gila-gilaan dengan Nate," desak Casey.
Kehangatan membanjiri pipi Emma. "Oke, kalau begitu.
Empat...Tidak, tunggu, lima kali. Salah satunya saat di kamar mandi,
juga." Mata gelap Casey melebar dan bertepuk tangan dengan gembira.
"Em, itu sangat fantastis!!"
"Hanya kau satu-satunya orang yang bertepuk tangan untuk hal
semacam orgasme!" "Aku hanya tidak bisa menahannya. Aku sangat berbahagia
untukmu." Tanpa sadar sebuah desahan lolos dari bibir Emma lalu dia
menceritakan pada Casey beberapa detail yang tidak terlalu
memalukan. Ketika Emma sampai pada bagian dimana Aidan ikut
bermalam, alis Casey berkerut. "Apa salahnya" Apa kau tidak
berpikir bahwa itu perlakuan yang sangat manis?" Tanya Emma.
"Yaa, tapi itu..."
Emma memutar tangannya dengan kalut. "Teruskan, katakan saja?"
"Aku hanya ingin kau berhati-hati, Em. Kau baru sekali tidur
dengannya, dan kau sudah terlalu banyak melibatkan perasaanmu."
"Tidak!" Protes Emma.
"Ya! Kau melakukannya. Kau panik ketika dia meninggalkanmu
semalam dan kau sudah limbung hanya karena dia mengirimi kamu
SMS pagi ini. Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka, oke?"
Emma membiarkan kepalanya jatuh ke belakang ke sandaran kursi
dan mendesah. "Kau benar. Aku membuat perasaanku terlalu
mendalam." Emma meniup helaian rambut yang jatuh di wajahnya
dan menatap ke arah Casey. "Mengapa semuanya harus menjadi
begitu rumit untukku" Wanita lain bisa melepaskan celana dalam
mereka dan melakukan seks tanpa membawa perasaaan tapi tidak
denganku. Aku melibatkan perasaanku kepada seorang douchenozzle
(julukan orang yang suka seks bebas), satu-satunya orang yang
bersedia menghamiliku untuk kepuasannya sendiri!"
Casey tertawa. "Jangan menyalahkan pada dirimu sendiri. Walaupun
aku harus mengakui bahwa douchenozzle, seperti yang kau sebut
tadi, memangbenar-benar memiliki permainan yang menggairahkan.
Sial, aku bahkan mungkin pernah tergoda untuk merasakan sedikit
lebih dari kenyataanbahwa dia akan mengajakku makan malam,
memberiku lingerie, dan menghabiskan malam bersamaku."
"Aku perlu strategi baru. Aku harus menahan diri dan benar-benar
hanya melakukannya secara fisik semata mulai sekarang. Aku akan
masuk ke kamar, melakukan seks, dan segera keluar dari sana tanpa
banyak berpikir." "Itu baru gadisku."
*** Bab 8 Pada hari Rabu ketika Emma melangkah memasuki kantor Aidan, ia
menengadah dari dokumen yang dia baca dan memandangdisetiap
aspek penampilan Emma. Emma tahu dia tampak begitu berbeda
sejak Aidan meninggalkannya kemarin pagi - praktis telanjang bulat
di bawah selimut dengan rambut pirang panjang yang tergerai di atas
bantal. Hari ini dia muncul bagaikan seorang wanita profesional
yang berpengalaman dengan rok pensil ketat warna abu-abu, blus
berenda warna hitam, dan sepatu bertumit. Dia juga telah mengatur
rambutnya menjadi ikatan lepas. Tapi meskipundia berpakaian rapi,
dia merasa sama saja dengan telanjang dari cara Aidan menatapnya.
Masuk dan keluarlah dengan cepat, dan kau takkan terluka, Emma
mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Dia tersipu saat bertemu
dengan mata Aidan yang seperti sedang memicingkan matanya.
"Hai," katanya, malu-malu.
"Halo. Untuk apa aku berhutang kesenangan dengan kunjunganmu
ini?" Ambil napas dalam-dalam, Em. Kamu bisa melakukannya. Yang
bisa dilakukan Aidan hanyalah mengatakan tidak...dan mungkin
sekali dia akan mempermalukan kamu secara menyeluruh atas
usulan itu di siang hari. Belum lagi jika ia mungkin mengajukan
tuduhan pelecehan seksual. Emma melihat ke sekeliling. "Um, saat
ini kau tidak sibuk, kan?"
"Tidak, aku hanya sedang menunggu waktu untuk meeting.
Kenapa?" Emma menggigit bibirnya sekali lagi, ia tidak yakin apakah ia benarbenar bisa
melakukan pendekatan seperti ini pada Aidan. Sejak ia
melakukan tes ovulasinya di kamar mandi, pikirannya menjerit
betapa gilanya dia, bahkan berpikir untuk mengajak Aidan
berhubungan seks saat mereka sedang bekerja. Saat lift meluncur
naik keatas, kesadarannya bekerja dan mendorongnya terlalu jauh
dengan menyebut dirinya sebagai wanita jalang yang tidak tahu malu
atau bahkan mempertimbangkan dia seperti wanita panggilan untuk
seks di tengah hari. Dia menantikan suara-suara di kepalanya keluar. "Well, kau tahu,
suhu tubuhku naik beberapa waktu yang lalu."
Alis Aidan berkerut. "Kau datang ke sini untuk memberitahuku
bahwa kau sakit?" Dengan tertawa gugup, Emma menjawab, "Tidak, tidak, tidak seperti
itu. Hanya saja..." Dia menarik napas, mencoba menenangkan
sarafnya. Hal ini sedikit membantu lututnya yang gemetaran.
Apalagi ia akan berbicara tentang kata-kata yang tidak perlu disebut
lagi lebih dari yang dituduhkan. "Kau tahu, aku telah melakukan tes
ini untuk mengetahui kapan aku ovulasi dan kapan aku lagi subur
sekali. Dan well...sekarang inilah saatnya."
Aidan menatap ke arah Emma, untuk sesaat ia tak berkedip dan
nyaris tak bernapas sebelum sebuah seringaian melengkung di
bibirnya. "Oh, jadi kau datang ke sini untuk seks?"
Emma meringis. "Apakah kau selalu harus bersikap kasar?"
Aidan terkekeh. "Maafkan aku. Apakah kau lebih suka jika aku
menyebutnya sebagai sebuah kenikmatan di sore hari?" Godanya,
seakan menikmati fakta bahwa Emma sekarang sedang menggeliat
di atas sepatunya. "Tolong berhentilah," gumamnya. Untuk menguji keberaniannya, dia
melangkah mendekati meja Aidan. Sungguh ajaib, kakinya terasa
lentur seperti karet, sebenarnya hal itu sangat mendukungnya.
Dengan Aidan yangbertindak seperti seseorang yang gila seks,
Emma tidak perlu khawatir karena ia tidak memiliki perasaan
sesuatu padanya. Ini adalah tindakan tercela Aidan yang Emma ingat
saat pesta Natal, Aidan bukan seperti orang yang memeluknya dari
belakang saat tidur kemarin malam itu. Emma menyadari bahwa dia
harus menyimpan catatan perilaku Aidan dibenaknya setiap kali dia
mulai tergelincir masuk ke ranjau emosional dari perasaannya yang
lebih mendalam pada Aidan.
Mengandalkan lebih dari kemauan keras membuat Emma
mengambil langkah satu inci di sekitar sisi meja. Ketika dia bertemu
dengan kerlingan mata Aidan, Emma mendesah. "Tolong, bisakah
kau bersikap seperti yang kau lakukan kemarin malam?"
"Dan bagaimana itu?"
Dia menundukkan kepalanya. "Entahlah...Hanya saja tidak seperti
ini." "Maafkan aku, Em. Hanya saja aku tidak terbiasa diperlakukan
seperti sepotong daging di tengah hari."
Emma bertemu dengan tatapan Aidan yang geli. "Aku minta maaf
jika aku membuatmu merasa seperti itu. Aku sebenarnya lebih suka
menunggu kesempatan ini nanti malam. Kau tak bisa
membayangkan betapa sulitnya hal ini bagiku. Untuk datang kesini
dan penawaran yang kau berikan seperti ini benar-benar mengerikan,
belum lagi melakukan sesuatu yang memalukan. Aku sangat
membencinya, Aku perlu bantuanmu untuk membuatku hamil. Dan
aku membutuhkanmu sekarang."
Aidan bergeser di kursinya. dan Emma tahu permohonannya itu
memiliki efek pada diri Aidan. "Aku harus mengakui, kau
membutuhkan aku seperti ini adalah salah satu yang membuatku
begitu bergairah, Em," ujarnya. Sambil menunjuk ke arah pintu, ia
memerintahkan, "Kunci pintunya."
Emma bergegas untuk memastikan bahwa tak ada seorangpun yang
akan mengganggu mereka. Ketika ia kembali ke sampingnya, Aidan
menekan tombol telepon. Suara sekretarisnya muncul dari speaker.
"Ya, Mr. Fitzgerald?"
"Marilyn, tolong mundurkan jadwal meetingku yang jam 3:00.
Tiba-tiba ada sesuatu yang harus kukerjakan." Ia mengedip ke
Emma. "Baik Sir."

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan pastikan saya tidak terganggu selama tiga puluh menit
kedepan." "Akan saya lakukan."
Setelah Emma yakin Aidan telah menutup teleponnya, ia
menggelengkan kepalanya. "Setengah jam" Seseorang pasti percaya
pada dirinya sendiri akan staminanya."
Aidan tertawa. "Jangan meragukan staminaku." Mendorong kursinya
ke belakang, Aidan berputar dimana lututnya menyentuh Emma.
Hasrat terpancar di mata Aidan saat ia membawa tangannya keatas,
dan mengaitkan kedua jarinya di belakang kepalanya. "Baiklah. Aku
milikmu, sayang. Yang harus kau lakukan adalah setubuhi aku
sekarang." Mata Emma terbelalak. "Tapi. Bukankah kau..." dia terdiam,
pandangan matanya berkedip di atas sofa kulit.
Aidan menggelengkan kepalanya dengan pelan-pelan. "Kaulah yang
membutuhkan aku. Sekarang giliranmu terserah kau."
Rasa malu dan amarah menjalar di dalam dirinya. Aidan seakan
membuat hal ini menjadi lebih sulit dari yang seharusnya pada
Emma. "Baiklah," katanya jengkel. Tanpa mengalihkan
pandangannya dari mata Aidan, Emma menyentakkan rok model
lurusnya hingga keatas pinggulnya.
Aidan mengambil napas dalam-dalam, saat Emma tiba-tiba
memperlihatkan bagian pangkal pahanya yang ditutupi celana dalam
berenda. "Sialan, kau sangat seksi," gumamnya.
Setelah Emma melepaskan celana dalamnya, pelan-pelan ia
menurunkan roknya kembali sedikit kebawah dan melangkah
menghampirinya. Dia ingin sekali menampar langsung seringaian
sombong di wajahnya yang tampan. Kilatan geli di mata birunya
jelas mengatakan padanya bahwa Aidan sangat menikmati rasa
malunya. Dengan kekuatan lebih dari yang dia butuhkan, Emma
mendorong kaki Aidan agar terpisah dengan salah satu lututnya.
Kemudian dia membungkuk kearah Aidan, menempatkan jarinya ke
ikat pinggangnya. Ereksinya sangat jelas terbentuk di celananya.
Setelah Emma cepat-cepat menurunkan ristleting celananya, pelanpelan dia mulai
turun ke pangkuan Aidan. "Apa" Tanpa pemanasan terlebih dulu?" Tanya Aidan. Suaranya
bergetar penuh rasa humor.
Dia merengut kearahnya. "Ini bukan tentang orgasme, tapi ini untuk
mendapatkan apa yang kuinginkan." balasnya, tangannya
menyelipmasuk ke celana dalam Aidan lalu jari-jarinya meremas
kemaluannya. "Maaf sayang, jika aku tidak orgasme, maka kau tak akan
mendapatkan apa yang kau inginkan."
Sambil memutar matanya, Emma mengarahkan ereksi Aidan
diantara kemaluannya. Saat Emma meluncur perlahan, rasa nikmat
terasa di sepanjang kejantanannya. Aidan mengerang dan membawa
bibirnya ke leher Emma. Begitu dia merasakandi dalam diri Emma,
Aidan menjilat ke atas menuju telinga Emma dengan menyisakan
kelembaban, mengisap daun telinganya. "Hmm, seseorang yang
sangat basah dan siap untukku bahkan tanpa sentuhan. Aku pasti
memiliki beberapa efek untukmu, sayang."
Emma melarikan jarinya menuju rambut Aidan, menyentakkan
kepala Aidan keatas untuk bertemu dengan tatapan matanya. Sambil
tersenyum, dia berkata, "Jangan menyanjung diri sendiri. Jelas-jelas
ini masalah biologis. Karena adanya hormon dan esterogen, bukan
kau, yang membuatku ..."
Aidan mencengkeram pinggul Emma dengan kuat, jarinya
mendorong ke dalam vaginanya. "Katakan saja."
Emma sempat ragu sebelum berbisik, "Basah."
Aidan menggeram dan mendorong lidahnya ke dalam mulut Emma.
Emma menggeser ritme gerakannya di atas pangkuan Aidan lebih
cepat lagi. Tangan Aidan turun dari pinggul Emma menuju ke
pinggang roknya. Setelah Aidan melepas baju Emma, jari
terampilnya turun menyusuri deretan kancing mutiara kecil.
Emma menggigit bibirnya ketika tangan Aidan menyelinap di dalam
cup bra berendanya untuk membelai salah satu payudaranya. Ketika
ibu jari Aidan mencubit putingnya, Emma tidak bisa menghentikan
erangan yang lolos dari bibirnya. Dia benci pada dirinya sendiri
bahkan lebih ketika Aidan tersenyum penuh kemenangan kearahnya.
Aidan bertekad bahwa Emmamenginginkan lebih dari sekedar ingin
hamil, dan hal itu membuatnya marah jika ia menyerah padanya.
Kemarahan mendorong Emma untuk bergerak lebih keras terhadap
diri Aidan, berharap untuk menyelesaikannya lebih cepat.
Tapi Aidan ternyata telah mengantisipasinya. Ia mencengkeram kuat
kedua sisi pantat Emma dengan kedua tangannya kemudian bergeser
ke tepi kursi. Emma menjerit dan mencengkeram kakinya di
pinggang Aidan agar tidak terjatuh. "Tunggu sebentar." Kata Aidan.
Dalam satu gerakan, Aidan berdiri, membuat tangan Emma mengetat
di lehernya. Tawa Aidanmenghangatkan telinganya. "Santai sedikit,
sayang. Aku masih ingin bernafas."
"Maaf," Rengeknya.
Dengan lembut Aidan menurunkan Emmadi tepi mejanya, kemudian
membawa bibirnya ke bibir Emma. Mencium seperti kelaparan, dia
mendorongEmma untukmerebahkan tubuhnya.Emma menggeserkan
pinggulnya dan sekali lagi membungkus kakinya di sekeliling
pinggang Aidan, membawanya masuk bahkan lebih dalam. Mereka
berdua sama-sama mengerang di bibir masing-masing penuh dengan
sensasi. "Sialan, Emma," gumannya sambil menghujam ke dalam
diri Emma. Menjaga kecepatan agar tetap stabil, Aidan melepaskan bibirnya dari
bibir Emma dan mulai mencium menuruni lehernya. Mulutnya
menggantikan tangannya yang sebelumnya telah berada disana,
dengan menggunakan lidahnya dan mengisap putingnya. Emma
menutup matanya. Tekadnya untuk tidak merasa apa-apa telah
memudar saat ia terengah-engah dan mendorong tubuhnya lebih jauh
ke dalam mulut Aidan. Ketika bibir Aidan pindah ke payudara yang
satunya, Emma tahu ia dekat ke tepian orgasme. "Aidan," katanya
terengah-engah. Aidan mengangkat kepalanya dari payudara Emma untuk melihat
Emma ketika dia datang. "Melihatmu seperti ini membuatku gila,"
katanya. Ia mendorong lagi beberapa kali kemudian ia mengikuti
Emma. "Ya Tuhan!"teriaknya.
Mereka berbaring tak bergerak selama beberapa detik, mereka
berdua meredakan diri pasca orgasme. Aidan mengangkat kepalanya
dan Emma tersenyum dengan malas. "Seperti biasanya, rasanya
sangat menakjubkan."
"Ya, benar." jawab Emma, napasnya masih terengah-engah.
"Apakah ada kemungkinan suhu tubuhmu berubah lagi hari ini?"
"Tidak, aku rasa tidak."
"Sialan." Emma terkikik, "Maaf."
Aidan menciumnya sebelum melepaskan diri keluar dari Emma.
Ketika ia menarik celananya keatas, Emma turun dari meja. Dia
merapikan branyakemudian menarik roknya kebawah. "Oh, celana
dalamku!" gumam Emma, mencari-cari di sekitar lantai.
"Sudah kuamankan," kata Aidan, membungkuk di samping meja.
Dia menatap thong hitam berenda dengan sekuntum mawar merah
muda sebelum menyerahkannya ke Emma. "Sayang sekali aku tidak
bisa melihatmu menggunakan itu."
"Selalu ada lain kali," candanya sambil tersenyum.
Aidan tertawa dan mulai menyelipkan kemeja kedalam celananya.
Emma memakai celana dalamnya lalu merapikan rambutnya. "Um,
Apakah kau keberatan jika aku menggunakan sofamu untuk
sementara?" "Untuk calon anak?"
Dia mengangguk "Tentu saja tidak. Aku juga harus turun kebawah untuk meeting-ku."
"Jadi, sampai jumpa pada jum'at malam?"
Aidan mengedipkan mata kemudian memukul pantat Emma,
"Sampai ketemu lagi."
*** Bab 9 Dua minggu kemudian Setiap bagian terkecil dalam tubuh Emma mencoba tidak melirik
lingkaran merah di kalender untuk keseratus kalinya. Haidnya sudah
terlambat -dua hari, lebih tepatnya telat dua malam, tujuh belas jam
dan lima puluh menit sampai ia tidak bisa tidur. Karena biasanya
siklus menstruasinya selalu tepat waktu, ketegangan yang
dialaminya semakin naik. Tentu saja, secara fisik untuk pertama
kalinya mungkin hal ini membuatnya bahagia. Tapi mungkin juga
karena tubuhnya sudah siap untuk menjadi seorang ibu dan Aidan
adalah seorang yang mirip Dewa Seks sehingga mereka melakukan
itu dan langsung berhasil"
Jika melihat tanda mencolok pada tanggal yang dilingkari,itu tidak
cukup untuk membuatnya berharap secara berlebihan, sekarang ini
jantungnya selalu berdebar setiap ia melingkari satu tanggal. Dia
bertanya-tanya mengapa ia merasa perlu untuk
menandainya,mungkin tidak ada cara lain agar ia bisa melupakan hal
yang paling penting itu. Karena hal itu sudah terpatri dan menempel
di hati dan jiwanya Hari ini adalah peringatan dua tahun meninggal ibunya.
Tepat saat airmata kesedihan menusuk matanya, kepala Casey
muncul dipintu. "Ayolah, girl. Aku akan membawamu makan siang."
Emma tersenyum. Dia tidak perlu repot-repot menyembunyikan
fakta kalau dia menangis. Casey sudah tahu betapa pentingnya hari
ini. Tahun lalu, ia menghujani Emma dengan alkohol dan coklat lalu
menghabiskan malam dengan memeluknya di tempat tidur saat ia
tidak bisa mengendalikan tangisannya. "Tawaranmu sangat manis,
tapi sebenarnya, aku tidak keberatan tinggal di sini."
"Sahabat sepertiapa aku ini jika meninggalkanmu di sini sendirian
sepanjang hari ini."
"Semacam orang yang menghargai bagaimana akuselama dibawah
tekanan,aku berusaha mematikan emosionalku dan menarik diri dari
keluargaku dan teman-teman?" pinta Emma dengan penuh harap.
Casey mendengus. "Tidak, hal itu tidak akan terjadi. Kau butuh
margarita sampai mabuk. Makanan yang sangat berlemak, dan desert
berkalori yang dilapisi coklat. Dan dengan senang hati aku akan
menyediakannya." Emma tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Casey. Selain itu dia
benar-benar ingin keluar dari kantor dan mencoba untuk tidak
memikirkan sesuatu untuk sementara waktu. Jadi dia bangkit dari
kursinya dan tersenyum. "Baiklah. Jika kau yang membayar, aku
akan makan, minum, dan bergembira!"
"Itu baru gadisku."
Ketika lift mereka mulai turun, Casey bertanya, "Kau tidak
keberatan jika Nate bergabung dengan kita, kan?"
"Tentu saja tidak. Sudah lama sekali aku belum sempat melihatnya."
"Aku juga.Uh, aku sempat berpikir ingin berlari ke rumah sakit pada
jam istirahat makan siang untuk melakukan seks kilat."
Emma memutar matanya. "Kau sangat mengerikan."
Ketika mereka tiba di restoran, Nate mendapatkan tempat yangsudah
menunggu mereka. Dia bangkit dari kursinya dan memeluk Emma.
"Bagaimana keadaanmu, Emmie Lou?" tanyanya. Dia menahan diri
untuk tidak tersenyum mendengar nama panggilan masa kecilnya
yang diberikan oleh kakeknya dibibir Nate. Itu adalah salah satu
kesenangan Travis saat menggodanya dengan memanggil namanya
seperti itu dan ketika dia memanggilnya seperti yang dilakukan
Travis, Nate pikir itu sangat lucu dan secara otomatis dia menirunya.
Untungnya, Emma tahu pertanyaan Nateberkaitan dengan peringatan
meninggalnya ibunya, bukan mengenai haidnya yang terlambat.
"Aku mulai bisa melaluinya. Beberapa hari ini lebih baik daripada
kemarin-kemarin." Dia mengangguk dan menepuk punggungnya. Saat ia kembali
duduk, Casey menyikut Emma untuk duduk di samping Nate. Dia
tahu Casey tidak ingin Emma duduk sendirian. "Tidak, tidak, sudah
lama kalian hampir tidak saling bertemu," protes Emma.
"Lebih baik seperti ini. Aku bisa menataplangsung mata Nate yang
duduk dihadapanku." "Sebagian besar alasan dari semua itu untuk menjaga Casey yang
biasanya menggodaku di bawah meja," jawab Nate, sambil
mengedipkan mata. Emma mencibir dan duduk disamping Nate. Casey duduk dengan
santai diseberang mereka. Setelah pelayan pergi dengan membawa
catatan pesanan minuman mereka, Emma merasakan rasa sakit yang
menusuk di perutnya dan ia mencengkram menu lebih erat.
Casey langsung melihatpenderitaannya. "Ada apa?"
Emma menyipitkan matanya sekilas kearah Nate lalu kembali ke
Casey dan menggelengkan kepalanya. Itu hal terakhir yang dia
inginkan untuk membahas masalah kewanitaannya didepan Nate -
entah masalah pribadi atau bukan. Meskipun dia berarti lebih dari
sekedar tunangannya Casey - dia adalah seorang teman yang baik
dan dapat dipercaya - tapi tetap saja dia merasa terganggu untuk
membahas masalah ini. "Oh tidak apa-apa."
"Sial, kau tidak kram, kan?"
Emma merasakan pipinya menghangat saat ia mencoba untuk
bersembunyi dibalik menu. "Aku bilang tidak ada apa-apa."
Casey memutar matanya. "Oh, sialan, Em. Nate tahu semua tentang
vagina dan ovarium, jadi berhentilah berpura-pura malu di
depannya." "Aku tidak berpura-pura malu...aku benar-benar malu!" Jawab
Emma. Mengabaikan Emma, Casey menatap tajam Nate. "Kau tahu
bagaimana Em berhubungan seks dengan Aidan agar bisa hamil?"
Nate mengangguk. "Well, sekarang haidnya sudah terlambat dua
hari." Emma menutup matanya, berharap lantai akan terbuka dan
menelannya bulat-bulat. Nate berdeham, mencoba untuk meredakan
ketegangan. "Jika kau kram, itu bisa menjadi pertanda baik. Kadangkadang ketika
implan telur menempel dinding rahim, kau akan
mengalami nyeri dari sedang sampai berat mirip dengan kram saat
menstruasi." Casey tesenyum dengan berseri-seri ke arah Nate. "Sayang kau
begitu seksi saat kau mengucapkan istilah medis itu."
Emma mendengus saat Nate membungkuk diatas meja dan
memberikan ciuman yang lama pada Casey. "Kalian benar-benar
memuakkan." Begitu mereka berhenti berciuman, Emma tersenyum
pada Nate. "Tapi terima kasih untuk informasinya. Aku berharap
seperti itu." "Begitu juga dengan aku. Kau akan menjadi seorang ibu yang luar
biasa, Emmie Lou, Tuhan tahu, kau pantas mendapatkan
kebahagiaan," jawab Nate, sambil meremas tangan Emma.
"Terima kasih. Aku sangat menghargainya." Jawaban Emma disela
oleh bunyi telepon di dalam dompetnya. Dia melirik ke arah pesan
itu dan tersenyum. Aku tidak tahu apakah kau masih mau berbicara padaku atau tidak,
tapi aku memikirkanmu hari ini. Tidak seorangpun, selain ibuku
sendiri, kau sangat berarti untukku. Ibuku selalu mencintai dan
menerimaku apa adanya. Belum lagi dia pembuat kue chocolate chip
terbaik yang pernah kumiliki! Aku mencintai dan merindukanmu,
Emmie Lou!

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu dari Connor. Dia bahkan menggunakan nama panggilan
akrabnya. Ketika dia akan membalas pesannya, Casey berdeham.
Emma tersentak lalu menatap ke arahnya. "Maaf aku tidak
berpikir--" Casey memberi isyaratke arah atasdi balik bahu Emma. Ketika
Emma berbalik, Connor berdiri dengan membawa karangan bunga
lili - bunga favorit ibunya. Air mata Emma menetes saat ia langsung
berdiri dari tempat duduknya dan memeluk leher Connor. "Ya
Tuhan, aku tak percaya kau ada disini!"
"Aku senang kau memelukku, bukannya memukulku."
Saat Emma menarik dirinya, dia tertawa."Kurasa aku meninggalkan
sesuatuyang sangat buruk diantara kita ya?"
"Dude, kupikir aku hampir mati diantara kamu dan pria itu - oh siapa
ya namanya" seseorang yang berpikir aku adalah pacarmu dan akan
menendang pantatku."
Casey mencibir. "Namanya Aidan, tapi aku pikir kita bisa
menghubungkan dia sebagai calon daddy bayi Em."
Mata Connor melebar dan ia terhuyung mundur kebelakang. "Kau
mendapatkan pria itu untuk menjadi donor sperma untukmu?"
Emma melemparkan tatapan membunuh ke arah Cassey sebelum dia
bertambah ngawur di tempat ini. "Tidak, persisnya tidak seperti itu.
"Dia memberi isyarat pada Connor untuk duduk. "Kurasa kau perlu
memesankan sesuatu dulu."
Connor melambaikan tangannya ke pelayan sebelum duduk."Aku
membutuhkan bir...sebenarnya, tolong bawakan aku satu pitcher!"
*** Bab 10 Aidan bergegas keluar dari lift setelah meeting terakhirnya sore itu.
Dengan promosi barunya, hari-harinya semakin padat, dari saat ia
berjalan melewati pintu masuk sampai absen pulang. Untungnya
sekarang ini hanya butuh setengah jam lagi sampai ia bisa pulang.
Dia berhenti dimeja sekeretarisnya. "Apa ada pesan Marylin?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Tapi ada Ms. Harison yang telah
menunggu di kantormu."
Kemaluan Aidan berkedut begitu mendengar nama Emma disebut.
Terakhir kali Emma berada di kantornya, mereka melakukan seks
kilat. Dia yakin, dia sangat berharap bahwa Emma kembali untuk
itu. "Terima kasih."
Dia menjilati bibirnya sebagai antisipasi dan membuka pintu
kantornya. Apapun harapan yang dia miliki untuk berhubungan seks
seketika sirna, saat dia melihat Emma tergeletak di sofanya,
menangis histeris. Tenggorokannya tersedak tampak mengerikan,
dan dia berjuang untuk bernapas. Aidan sudah terbiasa dengan
adegan seperti ini ketika ia tumbuh dewasa. Dengan empat saudara
perempuannya, dia sudah sering melihat dan mendengar hampir
semuanya. Tapi biasanya setiap kali estrogen sialan-seperti badai itu naik ke
atas cakarawala, dia dan ayahnya menghindar dengan melarikan diri
pergi keluar kestadion baseball atau ke tempat pizza. Tidak peduli
seberapa sukses bisnisnya, tapi ada satu hal yang tidak bisa dia
tangani: perempuan yang sedang emosional.
Emma mendongak lalu melihat Aidan berdiri di ambang pintu. Mata
mereka bertemu dan dia menangis lagi. "oh sial," gumam Aidans
ambil menjalankan jari-jarinya di sela-sela rambutnya. Dia ragu
sebelum perlahan-lahan berjalan ke arah sofa. Saat Aidan menatap
Emma, dia bergerak bergantian di atas tumit kakinya. Akhirnya
Aidan mengeluarkan sapu tangan bersulamnya dari saku jasnya dan
menyerahkan kepada Emma. "Emma, ada apa?"
"Aku baru saja mendapat haid."
Aidan meringis. "Um, maaf. Aku punya beberapa Advil di mejaku
jika kamu mengalami kram atau sesuatu."
Emma mengeluarkan ingusnya dan melotot kearahnya. "Apa kau
tidak paham" Aku menstruasi. Jadi aku tidak hamil."
"Oh," gumam Aidan, akhirnya memahami masalah utama yang
membuat Emma bertingkah aneh.
"Dan aku tahu untuk mendapatkan kehamilan pertama adalah
sesuatu yang mungkin tidak langsung berhasil, tapi aku tidak bisa
berpikir mengapa aku tidak bisa hamil" Maksudku dokter
kandunganku sangat yakin waktu mengatakan aku sehat dan mampu,
tapi bagaimana kalau dia salah?"
Aidan membuka mulutnya, tapi Emma terus berbicara, suaranya
naik satu oktaf. "Atau bagaimana jika aku tidak bisa memahami
menjadi satu sosok di mana aku tidak bisa hamil" Bagaimana jika
aku sudah menyia-nyiakan masa suburku selama bertahun-tahun dan
sekarang aku menjadi kering atau mandul dan sendirian selama sisa
hidupku?" Dia menangis lagi, dadanya naik turun karena isak tangis keras yang
menyiksa dirinya. Aidan berdiri terpaku di atas lantai. Diam-diam
berdebat dalam hati apakah dia akan berbalik dengan cepat dan
berlari keluar dari kantornya. Apa sih yang harus dia lakukan
dengan kondisi Emma seperti ini" Dengan enggan, ia duduk
disamping Emma disofa. Bahkan tanpa ditawari, Emma
melemparkan dirinya pada Aidan. Pipinya yang basah oleh air mata
ditekan keleher Aidan, sementara tubuh Emma gemetar menempel
tubuh Aidan. Untuk sesaat tubuh Aidan membeku, dan mungkin juga
Emma merasa nyaman pada tubuh Aidan yang seperti sebuah patung
marmer. Aidan berdeham dan mencoba untuk mendapat pegangannya. "Shh,
tidak apa-apa. Jangan menangis," katanya sambil menepuk-nepuk
punggung Emma. Tampaknya hal itu menjadi dorongan semangat
yang dibutuhkan Emma karena setelah itudia memperketat
tangannya di leher Aidan. Karena dia tidak tahu apa sih yang harus
dilakukan, Aidan hanya membiarkan Emma menangis.
Keheningan tampaknya sudah berlalu sebelum Emma kelelahan.
Napasnya terengah-engah karena frustrasi, dan tubuhnya gemetar.
"Apakah kau baik-baik saja sekarang?" tanya Aidan dengan ragu.
Emma tersentak menjauh saat mendengar suaranya. Tiba-tiba
ekspresi malu melintas di wajahnya. "Ya Tuhan, aku begitu, begitu
menyesal! Aku tidak percaya aku datang kesini dan membuatmu
panik!" "Tidak apa-apa."
"Tidak, tidak. Sial! Ketika aku melihat...ketika aku tahu aku tidak
hamil, semua yang kupikirkan adalah menemuimu. Aku bahkan
melewati kantor Casey." Dia bergidik. "Ya Tuhan, aku sangat malu
karena kau melihatku bertingkah seperti orang gila!" keluhnya,
sambil membenamkan kepalanya di tangannya.
Mencoba untuk meringankan suasana, Aidan mengatakan, "Kau
tahu, sepertinya kau memberiku sebuah kerumitan di sini."
Emma mengangkat kepalanya. "Apa?"
"Aku berpikir dalam hati kau yang paling marah tentang prospek
harus berhubungan seks lagi denganku."
Emma terkikik. "Tidak sama sekali bukan itu." Sambil bercanda dia
menyikutnya, lalu bertanya, "Bukankah kau pernah bilang padaku
kalau kau sebenarnya bersikap merendahkan dirimu dalam urusan di
tempat tidur?" Aidan menyeringai. "Bukan seperti itu."
"Aku tidak berpikir begitu." Emma membungkuk dan mencium pipi
Aidan. "Tidak Aidan, berhubungan seks denganmu merupakan
kejutan yang paling besar dari semua rencana gilaku."
"Sebuah kejutan" Kau yakin kau bukan orang yang bisa membelai
ego kelaki-lakianku, kan?"
"Berhentilah memancing untuk mendapatkan pujian, Mr.
Fitzgerald." Emma menangkupkan wajah Aidan dengan tangannya,
ibu jarinya menyusuri sepanjang janggut di pipinya. "Selain itu,
kupikir aku melakukan pekerjaan yang cukup baik waktu
membelaimu saat terakhir kali kita bersama." Ketika mata Aidan
melebar, Emma tertawa. "Dan dalam tujuh sampai sepuluh hari saat
aku kembali subur, aku berharap menemukan diriku kembali
ditempat tidur dengan seorang dewa seks seperti dirimu - asalkan
kamu bersedia." "Oh aku akan bersedia sekali." Dia mengambil salah satu tangan
Emma dan mencium jari-jarinya. "Aku bersedia saat ini juga."
Emma menggelengkan kepalanya. "Tujuh sampai sepuluh hari."
Dia mengerang. "Kau suka menyiksaku, bukan?"
"Maafkan aku. Aku berjanji akan menebusnya nanti." Emma
memberinya ciuman sayang di bibir Aidan. "Aku sebenarnya ingin
mengucapkan terima kasih terlebih dulu kepadamu. Aku bertingkah
aneh hari ini...itu bukan hanya tentang aku yang tidak jadi hamil."
"Bukan hanya itu?" tanyanya,dengan waspada.
Menarik napas panjang, dia berkata, "Hari ini adalah peringatan dua
tahun meninggalnya ibuku. Hari-hari seperti ini selalu terasa berat,
tapi kemudian saat menyadari kalau aku tidak hamil...hal ini
semacam pukulan ganda buatku."
Dia meremas tangan Emma. "Aku ikut menyesal. Aku kehilangan
ibuku lima tahun yang lalu. Ulang tahunnya, tepat hari ibu, hari
dimana ia meninggal - sangat menyebalkan."
Emma menatap kagum ke arahnya dan Aidan merasa terkejut
melihat dirinya juga. Dia tidak pernah membayangkan berbagi
sesuatu yang sangat pribadi, tapi ada sesuatu tentang diri Emma
yang membuatnya ingin terbuka-untuk berbagi sesuatu dengannya
yang biasanya dia tidak pernah berani melakukan itu. "Apakah kau
dekat dengan ibumu?" tanya Emma dengan lembut.
Aidan bergeser tidak nyaman karena ingatannya kembali ke
kenangan indah seakan diputar di pikirannya seperti sebuah film.
"Ya. Aku dekat dengannya. Well, aku masih dekat dengan ayahku.
Tapi ibuku..." Senyum kecil melengkung di bibirnya. "Dia berumur
tiga puluh delapan tahun saat melahirkan aku. Aku adalah anak lakilaki yang
telah lama ditunggu untuk meneruskan nama keluarga dan
bayi terakhir dalam hidupnya."
"Aku bertaruh dia sangat memanjakanmu," renung Emma.
"Ya. Dan ke empat kakak perempuanku." Dia menggelengkan
kepalanya. "Oh Tuhan, sangat mengherankan aku bukan gay karena
tumbuh disekitar para hormon estrogen."
Emma tertawa. "Tidak, sebaliknya kau menjadi seorang manwhore
(pria pelacur)." "Ya, sekarang ini," jawabnya menyenggol lutut Emma dengan
lututnya. "Bagaimana kalau seorang manwhore yang berhati emas?"
"Itu sedikit lebih baik."
Emma tersenyum. "Terima kasih telah memberi aku sandaran untuk
menangis." "Aku senang bisa membantu."
Mereka duduk diam selama beberapa detik, saling menatap mata.
Akhirnya Emma berdeham dan berdiri. "Kurasa aku lebih baik
pulang ke rumah sekarang."
Ketika Emma mulai melewatinya, Aidan menyambar lengannya.
"Kenapa kau tidak pulang denganku malam ini?" Untuk sesaat,
Aidan pikir ada orang lain yang berbicara. Suaranya terdengar asing
baginya, belum lagi apa yang telah disarankan merupakan gagasan
yang sama sekali asing baginya. Dia jarang mengundang wanita ke
rumahnya-selalu ditempat mereka atau kamar hotel. Hanya pasangan
seksualnya yang sudah lama bisa menyeberangi penghalang itu. Tapi
Emma telah mengubahnya menjadi seseorang yang benar-benar
emosional seperti banci dan membuatnya melanggar semua
aturannya. Pertama, Aidan pernah menginap dengan Emma dan dia
sekarang meminta Emma ke rumahnya.
Jika Aidan terkejut, Emma terpana. "A-Apa?"
"Kau tahu, jadi kau tidak harus sendirian dengan semua kejadian hari
ini." "Apakah kau yakin?"
Dia mengangguk. "Aku bisa membuat steak di atas panggangan atau
aku bisa membuat pasta atau udang scampi (udang dipanggang atau
di tumis dengan bawang putih dan saus mentega)."
"Kau bisa memasak?" tanya Emma dengan heran.
"Ya, aku yang sok pintar bisa memasak."
"Aku terkesan. Aku tidak tahu kau sepertinya memiliki triple threat
(ganteng, tubuh seksi, personality). Maksudku memiliki ketrampilan
kuliner, menjadi bos di tempat kerja dan tentu saja kita tidak bisa
melupakan bakatmu di kamar tidur."
Aidan tertawa. "Aku penuh dengan kejutan, sayang."
Emma menggigit bibir bawahnya dan Aidan yakin Emma seakan
berperang dengan dirinya sendiri tentang apakah ia harus menerima
tawaran Aidan. "Apa kau yakin tidak keberatan?"
"Aku yakin. Kita bisa nongkrong dan bersantai."
"Kedengarannya sangat menyenangkan."
"Aku akan menemuimu di luar di lantai sepuluh?"
Emma mengangguk. "Mau memberiku arah rumahmu atau aku
hanya mengikutimu?" "Kau bisa ikut aku dan mengantarmu kembali ke mobilmu."
"Oh tidak, terlalu ruwet."
"Em. Tidak apa-apa. bagaimana kalau kau menemuiku di lantai
bawah dalam lima belas menit?"
"Oke kedengarannya bagus."
*** Bab 11 Benak Emma berperang ketika sedang di dalam lift yang merangkak
menuju lantai kantornya. Kau melanggar semua aturan dengan
pergi ke rumahnya! Ingat mantramu 'datang, bercinta, lalu pergi'"
Setuju untuk membiarkan dia memasak dan menghiburmu jelas
bukan bagian dari rencanamu. Kau akan menyesalinya! Dia telah
menjadi musuh terburuknya sendiri.
"Cukup!" Dia berteriak tepat pada saat pintu lift terbuka. Dua orang
wanita yang sedang menunggu memberinya tatapan aneh. Dia
menundukkan kepala lalu berjalan cepat menuju kantornya.
Menyambar dompet dan tasnya, kemudian membanting dan
mengunci pintu. Begitu sampai di bawah dia mondar-mandir di lobi. Saat Emma
berpikir untuk meninggalkan Aidan demi menjaga kewarasannya
sendiri, ia muncul di depan Emma, "Maaf aku membuatmu
menunggu." "Ehm, tidak, tidak apa-apa."
Emma mengikuti Aidan keluar melalui pintu samping ke arah
gedung parkir. Ketika kunci remote di tangan Aidan membuat lampu
sebuah Mercedes convertible hitam legam berkedip, Emma bersiul
rendah. "Mobil yang bagus, Mr Fitzgerald."
Aidan terkekeh. "Terima kasih, Miss Harrison."
"Aku terkesan dengan semua kemewahan ini."
Dia menggeleng. "Kau mulai lagi dengan mulutmu itu."
Emma melempar tasnya ke lantai mobil lalu meluncurkan pantatnya
di kursi kulit. Selain fakta bahwa harga mobil ini dua kali lipat harga
Honda-nya, seluruh bagian interiornya benar-benar bersih. Tidak ada
remah bahkan setitik debu yang dapat ditemukan, berbeda sekali
dengan keadaan interior mobilnya yang bahkan bisa memberi makan
sebuah desa kecil dengan sisa-sisa sarapan atau makan malamnya di
jalan yang berceceran. "Keberatan kalau aku menurunkan atapnya?"
"Tidak masalah. Ini hari yang indah."
Aidan menekan sebuah tombol di konsol, dan atap mulai tertarik ke
belakang. Saat mereka keluar dari gedung parkir, Emma merogoh
tasnya mencari jepit rambut. Setelah menjepit rambut panjangnya ke


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang, dia menutup mata dan membiarkan angin meniup dirinya.
"Jangan bilang aku sangat membosankan sampai membuatmu
mengantuk?" Emma terkikik. "Maafkan aku. Aku hanya mengistirahatkan mataku
sebentar." Mereka tidak lama berkendara di jalan tol sebelum Aidan melajukan
mobil keluar jalan tol. Ketika ia memasuki kawasan tua yang elite,
Emma sontak berpaling padanya. "Kau tinggal di sini?"
Dia terkekeh. "Memang kenapa?"
Emma mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Kurasa aku
membayangkanmu tinggal di gedung apartemen khas bujangan yang
elegan dan mewah." "Well, jika kau ingin tahu, sebenarnya dulu aku terbiasa tinggal di,
seperti yang kau katakan gedung apartemen yang elegan dan mewah
di pusat kota. Tapi kemudian kakakku, Angie, yang merupakan agen
real estate, meyakinkanku bahwa aku harus berhenti
menghamburkan uang untuk membayar sewa dan mulai berinvestasi
beberapa properti. Bagaimanapun dia berhasil membujukku untuk
membeli rumah tetangga kakak kami, Becky. " Dia melirik pada
Emma dan tersenyum. "Aku pikir itu hanya akal-akalan mereka agar
bisa mengawasiku, tapi sepadan karena aku bisa mendapat banyak
makanan gratis." Dia menunjuk ke kiri pada sebuah rumah mewah
dua lantai bergaya kolonial dengan sebuah teras depan melengkung.
"Itu rumah Becky."
"Cantik." "Terima kasih," jawab Aidan, lalu membelokkan mobilnya kembali.
"Dia membutuhkan rumah besar untuk mengurung monster-monster
itu tetap di dalam."
"Monster-monster?"
"Tiga keponakanku."
Emma tertawa. "Aku mengerti."
Aidan memasuki jalan masuk sebuah rumah bata berlantai dua
dengan kolom putih. Emma melongo menatap rumah yang modelnya
sama sekali tidak sesuai dengan Aidan. Kekurangan dari rumah itu
hanya pagar kayu putih dan mainan-mainan berserakan, dan Aidan
akan terlihat seperti seorang suami dan ayah di sebuah kota
pinggiran pada umumnya. Setelah Emma keluar dari mobil, dia berjalan keluar dari garasi dan
matanya melebar menatap pada rumput sehijau zamrud dan bunga
beraneka warna. "Wow, kau melakukan semua ini?" Tanyanya
sambil menunjuk ke halaman yang terjaga rapi.
Aidan mendengus. "Ya Tuhan, tidak. Aku tidak bisa menumbuhkan
apapun kecuali sedikit jamur di kulkas. Ayahku adalah salah satu
yang ahli dengan tanaman. Tidak hanya itu, tapi dia sudah pensiun,
jadi berkebun di halaman rumah anak-anaknya adalah misi terakhir
hidupnya." "Dia benar-benar manis." Emma mengikuti Aidan menaiki tangga
teras depan menuju ke dalam rumah. Dia menekan kode ketika alarm
mulai berbunyi. Emma berusaha untuk tidak menunjukkan
keterkejutannya ketika ia melangkah ke dalam ruang tamu yang luas
dan terbuka. Jendela-jendela yang lebarnya dari lantai ke langitlangit membuat
ruangan bermandikan cahaya, serta pilar-pilar kayu
yang tinggi berselang-seling hingga menyentuh langit-langit.
Mengingat kesan pertamanya tentang Aidan, dia mengharap furnitur
yang fungsional, modern, namun dingin. Bukannya kursi empuk
yang hangat, sofa dua dudukan atau selimut antik yang menyelimuti
sofa. "Apakah kau memiliki dekorator?" Tanyanya sambil mengikuti
Aidan menuju dapur. "Tidak, aku melakukan semuanya sendiri. Well, kakak-kakak
perempuanku ikut membantu tentu saja. Mereka mengambil
kesempatan untuk memanjakanku di semua area domestik." Aidan
berbalik dan mengamati ekspresi Emma. "Jadi apa kau menyukai
rumah ini?" "Suka" Aku mencintai rumah ini. Kau hanya berpikir tentang
investasi properti. Tapi ini adalah sebuah rumah yang akan membuat
siapapun merasa bangga."
Senyum lambat mengembang di wajah Aidan. "Terima kasih. Pujian
yang datang dari seseorang sepertimu benar-benar sangat berarti."
"Seseorang sepertiku?"
Aidan melarikan jari-jarinya ke rambut, berhenti menarik-narik
tengkuknya. "Oh kau tahu, seseorang yang nyata---seseorang yang
menghargai rumah sebagai tempat yang nyaman untuk dihuni."
Emma membuka mulutnya hendak menjawab, tapi bunyi gedebuk
keras menyela mereka. Aidan memutar bola matanya. "Mungkin aku harus
memperingatkanmu tentang Beau."
"Kau punya teman sekamar?"
Dia terkekeh. "Tidak, kecuali kalau kau menganggap anjing
Labrador hitam seberat delapan puluh pound (40 kg) yang
menggigitku baik di dalam maupun luar ruangan dan mendengkur
lebih keras dari beruang adalah teman sekamar."
"Oh kau memiliki anjing!" Pekik Emma.
Aidan memberinya tatapan aneh. "Sial, aku tidak berpikir kau akan
kegirangan tentang Labrador tua-ku yang bau."
Dia menyeringai. "Kau tidak tahu betapa aku mencintai anjing! Aku
sudah lama ingin punya satu, tapi jadwalku benar-benar gila, aku
takut akan meninggalkannya lama sendirian."
"Aku mengerti. Aku sebenarnya menitipkan Beau ke Penitipan
Anjing beberapa hari dalam seminggu."
"Kau melakukannya?" Tanya Emma, berjuang untuk mencegah
sudut-sudut bibirnya tersenyum.
Aidan menjawab sambil cemberut, "Ya, ya, aku seperti banci."
Emma berjinjit untuk mengacak rambut Aidan. "Aw, aku pikir kau
manis melakukan itu untuk Beau." Emma menggeser tangannya ke
dada Aidan. "Dan itu menunjukkan apa yang selama ini aku percaya
- bahwa kau mempunyai hati di dalam sini."
"Aku senang kau sedikit terkesan padaku. Aku benci kalau anakanak kita kelak
akan ketakutan karena ibunya mengira bahwa
ayahnya adalah seorang bajingan seks yang tidak berperasaan."
Wajah Emma merengut saat ia menyentak tangannya menjauh dari
dada Aidan. Aidan menatapnya malu. "Aku tidak bermaksud
membuatmu kesal dengan menyebutkan bayi."
"Tidak apa-apa. Aku terlalu emosional hari ini. "
Aidan menangkup dagu Emma lalu memberinya senyum
menenangkan. "Itu akan terjadi, Emma. Mungkin bulan depan atau
tahun depan, tetapi kau tetap akan hamil."
Air mata menusuk matanya. "Terima kasih."
"Bahkan pada saat kita mati saat mencoba, kita akan tetap
mewujudkannya." Emma tertawa. "Kadang aku berpikir kau akan menikmati bagian
kematian dikarenakan oleh seks."
Matanya tertutup karena kebahagiaan yang luar biasa. "Aku tidak
bisa membayangkan hal lain yang lebih baik."
Mereka terinterupsi oleh lolongan rendah bersemangat dari pintu
basement. "Kurasa sebaiknya aku membiarkan Beau keluar sebelum
sarafnya terganggu," kata Aidan. Ia memutar kenop, dan Beau
menerjang keluar. Anjing itu segera menerjang lutut Emma, tapi
Emma hanya tertawa. "Turun Beau! Jangan lompat!" teriak Aidan.
"Tidak apa-apa," kata Emma tepat saat Beau menyapukan lidah
merah mudanya di pipi Emma. "Dia hanya senang melihat orang."
"Dia produk gagal dari sekolah kepatuhan," gumam Aidan.
"Aw, aku yakin dia anjing terbaik di seluruh dunia! Iya kan, sayang"
"Kata Emma, suaranya naik satu oktaf. Beau menggoyangkan
ekornya menyambut perhatian yang diberikan Emma, ekornya
bergoyang diantara kaki Aidan. Dia melayang ke surga anjing ketika
Emma mulai menggaruk-garuk belakang telinganya, mendengus dan
akhirnya duduk diam. "Oke, waktunya ke luar."
Beau menolak untuk menjauh dari Emma. Aidan memutar bola
matanya dengan putus asa. "Keluar. Sekarang! "
Emma mencium puncak kepala Beau lalu bangkit berdiri. "Kau lebih
baik keluar sebelum menyebabkan kita berdua dalam masalah,"
katanya sambil menunjuk pintu belakang.
Beau dengan enggan melintasi dapur, cakar-cakarnya mengetuk
lantai kayu. Aidan membuka pintu dan membiarkannya menuju
halaman belakang. Dia menggelengkan kepalanya ketika Beau
berlarian mengejar kupu-kupu. "Hebat. Dia benar-benar sudah jadi
patuh padamu." "Aku tidak bisa mencegah semua orang, bahkan binatang,
mencintaiku," canda Emma.
Aidan berbalik padanya dan tersenyum lebar. "Ada yang sombong
malam ini." Matanya melebar saat melihat kaki Emma. "Oh sial, aku
minta maaf." Emma menatap ke bawah dan melihat lubang compang-camping di
stokingnya karena cakar Beau. "Bukan masalah besar."
"Kau ingin ganti?"
Emma mengangguk. "Ya, terima kasih."
"Ikut aku." Emma mengikuti Aidan menyusuri lorong. Dia tidak terlalu senang
dengan kemungkinan masuk kamar tidur utama bersama Aidan, jadi
dia berhenti di depan dinding yang penuh foto. "Apa ini semua foto
keluargamu?" Aidan berbalik lalu mengangguk. "Ya, Angie yang melakukannya.
Dia punya semua foto keluarga saat bersama kemudian mengatur
foto-foto itu untukku sebagai hadiah pembukaan rumah."
"Dia melakukan pekerjaan hebat." Ketika Aidan masuk ke dalam
kamar tidur, Emma terus menatap foto-foto. Aidan mirip sekali
dengan mendiang ibunya. Ada beberapa foto orang tua mereka saat
masih muda hingga tua. "Aku suka salah satu foto orangtuamu saat di ulang tahun
pernikahan ke-50 mereka. Ibumu sangat cantik," Serunya.
"Trims." "Ayahmu juga tampan."
"Aku kan sudah bilang kalau aku mewarisi ketampanan dari
mereka!" Emma memutar bola matanya terhadap kesombongan
Aidan. "Ayahmu terlihat benar-benar manis dan baik."
Aidan melongokkan kepalanya dari pintu kamar tidur. "Kenapa?"
Emma mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu. Kurasa aku
membayangkan ayahmu mirip Hugh Hefner, dan kau mewarisi
jejaknya. " Aidan tertawa sambil menyerahkan sweat pants biru dan t-shirt
putih. "Percayalah, ayahku beda jauh dengan Hef. Orangtuaku
adalah pasangan kekasih sejak SMA. Aku tidak tahu apakah dia
pernah tidur dengan orang lain selain dengan Mom. Mom sudah
meninggal lima tahun yang lalu, dan ayah tidak berkencan
sekalipun." "Itu sangat romantis," Sembur Emma.
"Ya, tapi dia kesepian. Jika tidak menggangguku dia akan
mengganggu salah satu saudara perempuanku, dia selalu
meneleponku, mendesak untuk mengunjunginya. Aku tahu dia ingin
seseorang berada di sampingnya sepanjang waktu, tapi dia tidak bisa
melupakan Mom. Aku terus mengatakan kepadanya untuk
melanjutkan hidupnya, tapi ia menolak."
Emma mulai jengkel mendengar nada bicara Aidan. "Mungkin dia
belum siap. Mungkin perasaan cinta yang begitu besar diantara
mereka tidak mudah untuk berakhir seperti yang kau pikirkan,"
Sahut Emma. "Kurasa juga begitu. Tapi, ya Tuhan, dia perlu mengenyahkan
harapan bahwa aku harus selalu menelpon dan berada
disampingnya." Emma mengangkat tangannya putus asa, tidak mampu menahan
amarahnya lagi. "Apakah dia telah menjadi ayah yang baik bagimu
atau tidak?" "Ya, tentu saja dia baik."
"Jadi seharusnya dia tidak perlu menelpon untuk memaksamu
datang. Kau-lah yang seharusnya menelpon ayahmu dan bertanya
bagaimana keadaannya. Membalas sebagian pengorbanan yang ia
lakukan saat kau sedang tumbuh dewasa."
"Aku tahu, itu hanya-"
"Percayalah padaku Aidan, dia tidak akan berada di dunia ini
selamanya. Aku telah melakukan semua yang aku mampu untuk
ibuku ketika dia masih hidup, namun kadang rasa bersalah masih
melingkupi perasaanku. Aku tidak ingin nantinya kau dihantui
perasaan menyesal." "Sialan, Em, kau membuatku merasa seperti seorang bajingan."
Seiring dengan kemarahannya menguap, tiba-tiba Emma merasa
malu karena memarahi Aidan. Emma menundukkan kepala.
"Maafkan aku. Aku hanya tahu kau memiliki hati yang benar-benar
baik, itu saja. " "Kalau kau benar-benar percaya padaku, aku akan berusaha berbuat
lebih baik, oke?" Emma mengintip Aidan melalui bulu matanya dan tersenyum.
"Oke." Dia berdeham dan menunjuk seberang lorong. "Kau bisa mengganti
pakaian di kamar mandi."
"Terima kasih. Aku mungkin juga perlu mencuci wajah setelah
mengomel dan menangis seharian. Aku mungkin berantakan."
"Apa kau ingin mandi sekalian sementara aku menyiapkan makan
malam?" "Kau menyindirku bau ya?" Tanyanya, sambil menyeringai.
Aidan terkekeh. "Tidak, aku hanya berpikir mungkin itu akan
membuatmu merasa lebih baik. Kalau kau mau, kau bisa berendam
di bak Jacuzzi." Emma memejamkan mata dan menghela napas. "Sempurna."
"Ayo." Emma mengikutinya ke kamar tidur. Dindingnya berwarna biru
muda dan putih cerah, membuat ruangan itu terasa lapang dan
nyaman. Dia menahan dorongan untuk tertawa karena telah
membayangkan - penutup ranjang berbahan sutra, cermin di atas
tempat tidur, dinding bercat hitam atau merah.
Kamar ini justru sebaliknya. Sebuah ranjang besar dan mewah
berada di tengah ruangan. Satu-satunya hal yang mencuri
perhatiannya adalah segala sesuatu begitu rapi dan terorganisir. "Kau
pasti harus mengeluarkan banyak uang untuk pengurus rumah
tangga," renungnya. "Aku tidak punya pengurus rumah tangga."
"Kau melakukan semua ini sendiri?"
"Ya, aku suka bersih-bersih."
Setelah mengintip kamar mandi, Emma merenung, "Kau penggila
kerapian, ya?" "Aku hanya ingin menyimpan segala sesuatu secara terorganisir."
"Hmm." "Dan apa maksudnya itu?" tanya Aidan, seraya meletakkan
tangannya di pinggul. "Tidak." "Biar kutebak. Kau mengambil beberapa mata kuliah psikologi di
perguruan tinggi, dan para ahli mengatakan bahwa seringkali
penderita obsesif kompulsif disebabkan oleh kondisi emosional
mereka yang kacau?" "Aku tidak bilang begitu."


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mendengus. "Kau tidak perlu mengatakannya, Dr. Phil. Kalau
kau sudah selesai menganalisis kepribadianku, aku akan
membiarkanmu pergi mandi."
"Aku hargai itu."
Setelah menutup pintu, Emma menyalakan air. Sambil melepas
pakaian, ia mencoba untuk mengenyahkan stres. Begitu bak rendam
penuh, dia menyalakan jet. Menyelinap ke dalam air panas dan
mendesah penuh kepuasan. Dia baru saja menyandarkan kepala
ketika pintu tiba-tiba terdorong terbuka.
Sambil menjerit, dia bergegas untuk menutupi payudara dengan
tangannya. Aidan terkekeh. "Ya Tuhan, Em, tidak perlu panik. Aku
sudah pernah melihat semua yang ada di dirimu, ingat" "
Kehangatan merambat ke pipinya. "Aku tahu. Kau mengejutkanku,
itu saja. " Dia mengangkat dompet Emma. "Kau meninggalkan ini di dapur,
kupikir kau mungkin membutuhkannya."
Emma mengangguk. "Terima kasih."
Aidan meletakkan dompet di konter. "Oke, kali ini aku benar-benar
akan pergi, dan berjanji akan meninggalkanmu dalam damai."
Emma terkikik lalu kembali berendam setelah Aidan menutup pintu.
Dia mungkin bisa tinggal di sini selama berjam-jam, tapi ketika jarijarinya
mulai keriput dan aroma wangi mulai lenyap, dia pikir sudah
waktunya untuk keluar. Setelah mengeringkan diri, ia memakai baju Aidan lalu mengikat
rambutnya menjadi ekor kuda. Ketika ia meraih dompet, ponselnya
berbunyi. Sebuah pesan dari Casey. Belum melihatmu sejak makan
siang. Kuharap kau baik-baik saja.
Emma berjuang menahan isak tangis putus asa yang mengancam
akan menenggelamkannya. Dengan jari-jari gemetar, ia mengirim
sms balasan pada Casey. Sedang datang bulan. Aku di rumah Aidan.
Aku telpon besok. Hanya butuh sedetik bagi Casey untuk membalas. Aku benar-benar
menyesal, babe. Aku di sini untukmu. Mencintaimu.
Emma tidak bisa menahan perasaan terkejut terhadap reaksi Casey.
Dia tadinya menduga kalau Casey akan menuntut penjelasan tentang
apa yang sebenarnya ia lakukan di rumah Aidan hingga melewatkan
kesempatan menikmati beberapa gelas margarita dengannya. Pada
akhirnya, Emma berpikir untuk tidak melibatkan Casey ke dalam
masalahnya dengan Aidan tentang menghasilkan bayi.
Sambil menghela napas, ia memasukkan ponselnya kembali ke
dalam dompet lalu keluar dari kamar tidur.
*** Bab 12 Ketika ia sampai ke ruang tamu, ia bisa mendengar Aidan
bersenandung bersama dengan radio dapur. Dia mengintip di sudut
dan menyaksikan dengan takjub saat Aidan masak. Bagaimana
mungkin bahwa Aidan yang ini orang yang sama yang bisa menjadi
begitu sombong, seorang playboy yang kadang membuat ia gila"
Rasanya seperti ia adalah dua orang menghuni tubuh yang sama.
Aidan memergokinya menatap, dan dia tersenyum malu-malu
padanya saat ia melangkah bertelanjang kaki ke dapur. Ia menarik
nafas dalam. "Sesuatu berbau menakjubkan."
Sebuah ekspresi senang tumbuh di wajahnya. "Aku memutuskan
memasak scampi. Aku pikir kita bisa makan di teras jika tidak apaapa?"
Dia mengangguk. "Kedengarannya bagus."
Aidan membuka pintu belakang, dan Emma keluar. Beau datang
berlari mendekatinya. "Turun boy! Jangan pernah berpikir tentang
itu!" Teriak Aidan. Beau enggan menyenggol kaki Emma. "Anak Baik," jawabnya,
memberinya hadiah dengan garukan di belakang telinga. Saat dia
menatap sekeliling teras dan halaman belakang, matanya melebar
saat melihat kolam di tanah. "Ini semua begitu indah."
"Terima Kasih."
Dia mengulurkan sebuah kursi untuknya, dan dia bergeser ke meja.
Dia sudah mengatur untuk mereka lengkap dengan serbet kain.
Emma melirik piringnya yang penuh scampi mengirim bunyi
keroncong perutnya. Ketika Aidan duduk, ia tersenyum padanya.
"Aku tidak bisa cukup berterima kasih untuk mandi dan pakaian.
Aku merasa seperti orang baru."
"Sama-sama." Setelah mengigit sepotong pasta, ia mendongak dan menemukan
Aidan sedang menatap dadanya. Secara sadar, dia menyilangkan
lengannya di atas dadanya, berusaha menyembunyikan fakta bahwa
mereka mengetat pada kainnya. Dia berdeham, dan Aidan cepatcepat membuang muka.
"Aidan Fitzgerald, apa kau menatap
payudaraku seperti anak remaja terangsang?"
Dia memberi senyum malu-malu. "Sulit bagiku untuk tidak
menatapnya ketika mereka seolah akan melompat dari bajumu."
Emma jengkel "Baiklah, aku benci mengukurnya sak itu bukan
milikku, dan itu cocok dimana pun selain dadaku," Emma menunduk
dan bergidik. "Ugh, aku jadi ingin mendapatkan pengurangan
payudara." "Ya Tuhan, mengapa kau ingin melakukan itu" Payudaramu luar
biasa." Emma memutar matanya. "Itu seperti yang pria perlu katakan.
Kamu tidak tahu rasa sakit yang mereka rasakan. Punggungku
membunuhku, tidak lupa bilang sulit menemukan baju yang sesuai.
Kemudian ada berbagai faktor yang membuat mereka bertambah
besar ketika kau sedang hamil."
Aidan menjilat bibirnya. "Benarkah?"
"Ya, mesum, benar."
Dia tertawa. "Maaf, tapi aku seorang pria penyuka payudara,
sehingga kemungkinan itu benar-benar membuatku bergairah."
"Pria penyuka payudara karena bertentangan dengan apa" Penyuka
bokong atau penyuka kaki?"
Aidan mengangguk. "Tentu saja, tak usah dikatakan bahwa kedua
pantat dan paha juga luar biasa."
Emma memberi senyum sinis. "Oh, terima kasih banyak. Sekarang
aku khawatir bahwa mereka mengerikan, dan kau akan mengalami
trauma harus melihat mereka. Senang aku akan beristirahat dengan
tenang malam ini." "Aku akan mengabaikan kesinisan mengingat hari yang kau miliki.
Sebaliknya, saya akan menawarkan lebih banyak anggur," katanya.
Dia mengangkat gelasnya. "Terima Kasih. Ini lezat."
Selagi Aidan menuangkan, Emma melirik keluar sinar matahari yang
memudar berkilauan di atas air. "Aku harus mengatakan aku lebih
dari sedikit iri pada kolammu."
"Sebenarnya inilah yang membuatku membeli tempat ini. Seperti
yang aku katakan sebelumnya. Berenang adalah gairahku ketika
tumbuh dewasa, dan setelah aku meninggalkan rumah, aku selalu
ingin kolam lain." Aidan meneguk anggurnya dan berbalik menatap
intens pada dirinya. "Jadi, apa gairahmu saat masih muda?"
"Hmm, mungkin kedengaran klise tetapi bernyanyi." Dia berlari
jari-jarinya di atas bibir gelas anggurnya. "Yah, aku kira itu masih
aku sukai." "Sungguh?" Emma terkejut dengan ekspresi bersemangat di wajah Aidan. "Ya,
keluarga aku benar-benar fans besar pada Bluegrass dan Country.
Aku dibesarkan bernyanyi dengan band yang terdiri dari lima sepupu
laki-laki. Kami akan bermain di festival dan di bar milik Paman
Gary." Emma tertawa. "Aku kira kau akan menyebutnya honky-tonk
lebih dari apa pun."
Aidan menggeleng. "Mengapa hampir tidak mungkin bagi aku untuk
membayangkan kau bernyanyi dalam bar yang penuh asap, kasar,
dan kacau?" "Oh, aku tidak hanya bernyanyi disana. Aku bernyanyi di gereja
juga." Aidan menyeringai paham. "Ah, kau gadis gereja. Itu menjelaskan
banyak hal." Emma berhenti memutar pasta pada garpunya dan menatapnya
tajam. "Apa artinya itu?"
"Sekarang aku tahu sebabnya mengapa kau merasakan hal yang kau
lakukan tentang tidur denganku-mengapa kau tidak memiliki
pasangan seksual di masa lalu kau selain tunanganmu."
"Memiliki moralitas dan spiritualitas bukanlah hal buruk," dia balas.
"Aku tidak mengatakan itu. Bahkan, itulah yang palingku suka
darimu." Emma mendengus. "Kau bercanda."
"Yah, itulah aku." Aidan mengulurkan tanganya untuk
menggenggam jari-jarinya. "Sampai aku bertemu denganmu, aku
tidak pernah tahu kepolosan bisa sangat seksi."
Meskipun pipinya menghangat karena pujiannya, dia tidak bisa
menahan seringai yang melengkung di bibirnya. "Kau benar-benar
menjadi pria yang lembut, kan?"
Aidan menarik tangannya dan menyilangkan tangan di depan dada.
"Aku tidak menyadari sedang berbuat lembut saat ini. Aku hanya
mencoba untuk sedikit menyanjungmu."
Emma mengunyah serius gigitan udang. "Kupikir mengagumi itu
alami jadi tentu kau bahkan tidak menyadari bahwa kau sedang
melakukannya. Kupikir kau bahkan akan berhasil melakukannya
dalam keadaan koma sekalipun."
"Oh, benarkah?"
"Ya, semua perawat akan menjilati (kagum) padamu-bahkan perawat
pria sekalipun. Kamu mungkin akan berakhir dengan mendapatkan
perawatan yang sangat menyebalkan. Belum lagi mungkin akan
terjadi pertarungan tinju harian untuk memberikan spons mandimu."
Aidan melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa terbahakbahak. Ketika ia
menatapnya, mata birunya berbinar dengan geli.
"Ya Tuhan, Em, aku pikir aku tidak pernah tertawa dengan seorang
wanita sebanyak bersamamu."
"Aku berasumsi itu pujian, kan?"
"Oh yeah, yang terbaik."
Emma menggigiti di ujung garpunya, mencoba memutuskan apakah
ia memiliki keberanian untuk mengajukan pertanyaan yang telah
mengganggu dia selama beberapa waktu ini. "Jadi, apakah Kamu
pernah benar-benar jatuh cinta sebelumnya?"
Aidan tersedak gigitan scampi yang dia makan. Dia menyerah pada
batuk sebelum meneguk banyak anggur. "Itu datang begitu saja,"
jawabnya, dengan suara tercekik.
"Tidak juga. Kamu hanya ingin menghindari pertanyaan itu."
Dia membuat suara frustrasi di belakang tenggorokannya. Setelah
menatap air berkilauan, akhirnya ia berkata, "Ya, aku telah jatuh
cinta sebelumnya. Kau puas sekarang?"
"Hanya itu saja?"
"Apakah kau berharap untuk beberapa rincian cabul?"
Emma menyeringai, "Mungkin."
"Well, aku pikir itu cukup untuk malam ini." Dia mengambil piring
kosong dan mulai bangkit dari kursinya ketika Emma mengulurkan
tangan dan sedikit menyentuh tangannya. Emma bisa melihat
perjuangan di matanya, belum lagi ia terus mengepal dan
mengendurkan rahangnya. Dia tampak sedang bertarung pada
dirinya apakah harus jujur pada Emma.
Tidak ingin membuatnya sakit, Emma menggeleng. "Tidak apa-apa.
Kau tidak perlu memberitahuku. Itu tidak sopan untuk ditanyakan."
"Tidak, tidak, aku akan memberikan detail yang mengerikan,"
jawabnya, kembali duduk. Rahang Emma ternganga. Dia tidak manahan diri untuk maju ke
depan, dengan penuh harap menunggu untuk keluarnya setiap kata.
Antara mendengar tentang orang tuanya dan sekarang kehidupan
cintanya, begitu banyak potongan puzzle Aidan datang bersamasama.
"Namanya Amy, dan kami baru 15 tahun. Kami berdua di tim renang
saat SMA. Dia adalah hubungan pertamaku, pengalaman seksual
pertamaku, dan..." Dia gelisah di kursinya. "Gadis pertama yang aku
putuskan." Hati Emma tiba-tiba merasa sakit untuk seorang gadis yang bahkan
tidak ia kenal. "Kenapa kau putus?"
"Kami kencan hingga SMA dan mecoba membuatnya tetap berjalan
sampai kuliah semester pertama, tapi hatiku tidak lagi sama. Lebih
dari apapun, aku tidak ingin terikat. Jadi aku melirik wanita lain."
"Dia memergokimu berselingkuh?"
Aidan mengusap tangan ke wajahnya. "Sialan, aku tidak percaya aku
mengatakan padamu semua ini."
"Tolong selesaikan."
"Tidak, aku putus sebelum dia tahu. Lalu tiga tahun kemudian, aku
bertemu dengannya di pernikahan seorang teman, dan kami mulai
berhubungan lagi. Tak satu pun dari kita bersaing dalam renang lagi,
kami menyelesaikan kuliah dan mulai karir kami. Setelah satu tahun
bersama-sama, hal logis untuk dilakukan adalah..."
"Bertunangan." Dia meringis. "Tapi semakin dia ingin di lamar, aku hanya pria yang
tidak bisa dan melakukannya. Membayangkan terikat dengannya
selama sisa hidupku membuatku merasa tercekik secara fisik."
Tubuhnya memberikan getaran kecil. "Dan kemudian aku
melakukan sesuatu yang benar-benar buruk, jadi dia
memutuskanku." "Apa yang kau lakukan?" Emma bertanya lembut.
"Dia melihatku berhubungan sex dengan wanita lain."
Emma menutup mulut dengan tangannya dan menatap Aidan dengan
ngeri. "Itu...sangat kejam."
Ekspresinya gelap. "Ya, dalam masalah itu jika kau tidak mendapat
kan pesan, aku brengsek, ingat?"
"Tapi kau bisa begitu baik dan perhatian. Kenyataan aku tidak di
rumah sendirian, menangis ke dalam setengah liter Ben and Jerry itu
membuktikannya. Sebaliknya, aku duduk di sini makan malam yang
kau masak dan mengenakan pakaianmu. Itulah kasih sayang sejati."
Emma menggeleng sedih. "Itulah alasan mengapa begitu sulit
membayangkan kau bisa melakukan sesuatu yang begitu tidak
berperasaan kepada seseorang yang kau cintai."
Aidan mengangkat bahu. "Masa lalu adalah masa lalu kurasa.
Setidaknya dia menemukan orang lain dan sudah menikah selama
delapan tahun terakhir."
"Kau sudah melihatnya?"
"Tidak. Ibuku bertemu di Misa bersama suami dan anak-anaknya."
Aidan tersenyum malu-malu. "Ibu tampaknya sangat ingin
menggosoknya ke wajahku."
"Dia mungkin masih marah padamu karna meninggalkan sesuatu
yang baik." "Mungkin." Aidan mengosongkan sisa botol anggur ke gelasnya.
"Jadi sekarang kau sudah mendengar kisah sedihku, bagaimana
denganmu?" "Kau sudah tahu aku."
Aidan menggeleng. "Aku tidak berbicara tentang jatuh cinta. Aku
sedang berbicara tentang mematahkan hati seseorang." Dia
menyandarkan sikunya di atas meja kaca. "Dengan wajah dan
tubuhmu, tidak mungkin kau belum pernah mematahkan hati
setidaknya seorang pria sekalipun."
"Aku tidak pernah mengatakan aku tidak," Emma protes.
"Aha! Jadi ceritakan," kata Aidan.
"Ini jelas tidak cabul seperti ceritamu."
Dia menyeringai padanya. "Aku tidak akan membayangkannya,


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alim. Aku yakin dengan kenyataan bahwa kau tidak tidur dengan
seorang telah mematahkan banyak hati."
Emma menyilangkan tangan di depan dada. "Terakhir kali aku cek,
hatimu di atas pinggangmu, bukan di bawahnya."
Aidan tertawa. "Oke, oke. Aku mengerti. Jadi apa ceritanya?"
"Baik. Berikut versi SparkNotes: namanya Steve, kami delapan belas
tahun, dan aku jatuh cinta dengan sahabatnya."
"Aduh, itu pasti menyebalkan buat si Steve."
"Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti dia, tapi waktu itu
aku berusia enam belas tahun, tidak ada seorangpun di dunia yang
ada buat aku selain Travis."
"Apakah kau pergi dengan dia untuk membuat Travis cemburu?"
"Tidak, pada awalnya aku pikir Steve akan membuat aku melupakan
dia. Kami semua berada di sekolah dan gereja yang sama, tapi Travis
bertindak seperti aku tak lebih dari seorang teman. Steve adalah tipe
pria yang membawakan kau bunga dan menelepon kau pagi hari
untuk menanyakan kabar. Dia juga menghormati batas tentang
seksualitasku." "Kasihan Steve," canda Aidan.
Emma tertawa. "Sekarang aku tidak mengatakan dia tidak
mendapatkan kepuasan seksual."
"Hanya bukan enchilada (sejenis tortilla denga saus tomat dan cabai)
yang banyak." Dia mengerutkan hidungnya. "Jika kau harus mengatakan nyaseperti
itu, aku kira begitu."
Aidan menyeringai. "Jadi apa yang terjadi?"
"Meskipun ia seharusnya menjadi segala yangku inginkan dari
seoarang pacar, aku tidak merasakan apa-apa. Itu tidak adil baginya,
jadi aku putus dengan dia. Dia begitu hancur dia menyuruh Travis
untuk datang dan berbicara denganku."
Emma menundukkan kepala, melawan senyum menyebar di pipinya.
"Travis datang menghentak di kamarku, berwajah merah dan marah,
menuntut bagaimana aku bisa mematahkan hati sahabatnya. Setelah
mendengarkan dia mengoceh dan selama sekitar lima menit,
akhirnya aku hanya berteriak aku jatuh cinta padanya."
Mata Aidan melebar. "Gila! Itu tepat sasaran. Apa yang dia
katakan?" Emma tertawa. "Bahwa dia jatuh cinta denganku juga, tapi dia tidak
ingin menyakiti Steve. Jadi kami menunggu beberapa bulan untuk
mulai berkencan, dan kemudian kami tak terpisahkan."
"Dan Steve baik-baik saja dengan itu?"
"Dia tidak senang, tapi ia menemukan orang lain."
Aidan menatapnya sejenak dan kemudian menyeringai. "Setelah
mengeluarkan omong kosong berat ini, aku pikir kita perlu sedikit
anggur lagi. "Ya, aku pikir kita membutuh kan itu, juga."
*** Bab 13 Ketika Aidan tidak kembali dalam beberapa menit, Emma pergi
mencari pria itu. Dia mencarinya ke dapur tetapi menemukan dapur
itu kosong, kemudian dia mendengar sebuah panggilan yang berasal
dari arah lorong. Dia menjulurkan kepalanya - melihat kesekitar
sudut-sudut lorong - untuk melihat siapa saja yang sedang berbicara
dengan Aidan. Tiga anak laki-laki rambut pirang berombak berdiri di
foyer (ruang atau area penyambut tamu - biasanya bagian ini
dijadikan sebagai area pembatas antara ruangan dalam dan luar),
mereka memakai celana renang lengkap dengan peralatan renang
yang mereka bawa. Wajah mereka tertunduk. Kemudian anak yang
paling kecil yang umurnya tidak lebih dari lima tahun menginjak
kakinya dan gusar, "Tapi Paman Aidan, kau berjanji kami bisa
berenang kapan saja!"
"Aku tahu, Georgie, tetapi kau tahu - "
Lalu anak yang tertinggi menggeleng. "Dude, ini sangat tidak
keren." "Dengar, aku mengatakan kepada kalian bahwa kalian bisa kembali
besok. Hanya saja malam ini bukan waktu yang tepat," bantah
Aidan. Emma melangkah ke lorong - tempat Aidan beserta tiga anak
berdikusi - dan berdeham. Lalu empat pasang mata terfokus pada
dirinya. "Apa yang terjadi?"
"Jadi, dia alasan mengapa kami tidak boleh berenang!" Seru anak
yang memiliki tinggi menengah.
"Ooh, Paman Aidan punya pacar!" Seru Georgie sebelum tawanya
meledak. Aidan mengerang frustrasi. "Emma, ini adalah monster yang pernah
aku ceritakan sebelumnya. Kenalkan; John, Percy, dan Georgie."
Melangkah ke depan - kearah tiga orang anak - Emma melambaikan
tangannya dan tersenyum cerah pada mereka. "Hi guys."
"Hai," gumam mereka. Mereka terlihat terpesona dengan kehadiran
Emma. Hal itu membuat Emma bertanya-tanya apakah mereka tidak
pernah melihat seorang wanita di rumah Aidan sebelumnya.
Emma memiringkan kepalanya melihat mereka. "Biar kutebak.
Mungkinkah kalian diberi nama seperti para penyair romanic"
Anak yang paling tinggi memutar bola matanya. "Ya, sayangnya
orangtua kami mengambil sebuah pelajaran yang membosankan,
seperti pelajaran sastra Inggris yang begitu kaku, dudes."
Aidan mendengus karena jengkel. "Maksud mereka adalah kakakku
dan suaminya adalah professor jurusan sastra Inggris di Georgia
State." Lalu Aidan menunjuk pada anak yang tertinggi, ia berkata,
"Yang tertua dan bermulut cerewet berusia tiga belas John Keats.
Yang kedua, Percy Shelley, berusia sebelas tahun, dan George
Byron, atau biasa dipanggil Georgie, berusia lima tahun." Kemudian
Aidan kembali melihat Emma "Dan kalian, kenalkan ini temanku,
Emma Harrison." "Senang bertemu dengan kalian semua. Sepertinya kalian sudah siap
untuk berenang, ya" "Ya, sebelum Loverboy ini memutuskan untuk tidak memberi izin
pada kami," John menjawab sambil memperlihatkan wajah cemberut
kearah Aidan. Tangannya menepis ke udara, Aidan menggeram, "Jaga mulutmu."
Emma menyembunyikan rasa gelidibalik tangannya. Setelah ia yakin
ia berhasil menyembunyikannya, ia berkata, "Itu pembelaannya,
Paman kalian tidak tahu bahwa hari ini aku memiliki hari yang
buruk dan membutuhkan seorang teman. Tapi aku juga tidak
keberatan sama sekali kalau kalian tetap disini dan sambil berenang
tentunya." Alis Aidan terangkat keatas karena terkejut. "Kau tak tahu?" Ia
bertanya dan pada saat yang bersamaan Georgie menjerit,
"Benarkah?" "Tentu saja, kenapa tidak."
"Baiklah!" Seru Percy sebelum akhirnya berjalan cepat melewati
Emma. John dan Georgie juga sudah berjalan terlebih dahulu
melewati Emma. Emma tertawa melihat kegembiraan mereka sementara Aidan
menggelengkan kepalanya. "Aku tak percaya kau setuju untuk
membiarkan mereka tetap tinggal."
"Mereka di sini untuk berenang, jadi aku ragu kalau kehadiran
mereka disini akan mengganggu kita."
"Ucapan yang sangat familiar," gumam Aidan sambil mengantar
Emma kembali keluar. Saat melihat Georgie akan melompat di bagian yang dangkal, Aidan
Pendekar Terkutuk Pemetik 1 Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game Si Gila Dari Muara Bondet 2
^