The Propotition 1
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley Bagian 1
The Propotition (The Propotition #1) by Katie Ashley Sinopsis: Dengan ulang tahun ketiga puluh semakin dekat, Emma Harrison
menyadari bahwa jam biologisnya berdentang dan sang ksatria
berbaju zirah ternyata belum muncul juga. Dia kehabisan pilihan,
terutama setelah sahabat gay-nya mundur untuk menjadi donor
sperma baginya. Tentu saja, selalu ada bank sperma, tapi Emma
takut kesalahan donor mungkin membuatnya hamil dengan
melahirkan bayi setan. Aidan Fitzgerald, playboy yang menjadi rekan kerja Emma, terbiasa
untuk selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, terutama di
kamar tidur. Ketika Emma menolak rayuan Aidan di pesta Natal
perusahaan, Aidan bertekad untuk memilikinya apapun resikonya.
Setelah dia tahu dilema yang sedang Emma hadapi, dia dengan
cepat menawarkan proposisi yang akan menguntungkan mereka
berdua. Dia akan menjadi ayah dari anak Emma, tapi dengan syarat harus
membuat Emma hamil dengan cara alami. Bukan hamil dari hookup atau seks tanpa
ikatan. Awalnya Emma enggan untuk menerima
tawarannya, tapi pesonanya, ditambah dengan keinginan kuatnya
untuk menjadi seorang ibu, akhirnya Aidan menang.
Segera sesi membuat bayi menjadi lebih dari sekedar hubungan
fisik. Aidan tidak bisa pergi darinya begitu saja sementara Emma
mulai bertanya-tanya apakah dia bisa menjadi pria pendamping
hidupnya. Namun dapatkah Aidan melupakan masa lalu dan
menjadi menjadi pria yang Emma butuhkan"
Copyright? 2012 by Katie Ashley
Bab 1 Emma Harrison berdiri di belakang untuk mengagumi hasil kerja
kerasnya. Senyum pendek penuh kepuasan terlintas di wajahnya.
Entah bagaimana dia bisa menciptakan keajaiban, berhasil
mengubah ruang konferensi lantai 4 yang suram menjadi bernuansa
merah muda terlihat sangat indah seperti yang dia impikan.
Dia sangat bangga akan dirinya sendiri mengingat mendekorasi dan
merencanakan pesta sebenarnya bukan keahliannya. Tentu saja saat
kesempatan datang untuk menjual gambaran yang dinginkan bagi
setiap calon ibu pada pesta 'baby shower' mereka, posisinya pada
salah satu biro iklan utama di Atlanta sangat membantu.
Memiringkan kepalanya, ia memperhatikan spanduk "Bayinya
Seorang Putri" yang tergantung sedikit miring ke kiri. Setelah dia
membetulkannya, ujung-ujung jarinya merapikan bagian atas taplak
meja warna pink pucat yang dihiasi dengan minuman dan hadiah
yang dibungkus kertas warna-warni dari tamu yang akan datang.
Dia meniup sejumput rambut merah yang keluar menutupi wajahnya
dan mencoba merapikannya kembali ke ikatan di pangkal lehernya.
Ya, sebenarnya pesta seperti inilah yang kuinginkan untuk acara
baby shower-ku... jika aku bisa mengadakannya suatu saat nanti.
Rasa sakit yang menikam masuk ke dalam jantungnya sebelum
bergerak zig zag menembus dadanya. Perasaan seperti ini sudah
sangat familiar baginya saat ulang tahun ketiga puluhnya sudah
semakin mendekat, melayang di atasnya seperti awan gelap,
sementara menjadi Ibu, bersama dengan Tuan Idaman, masih
menghindarinya. Tidak memiliki suami dan anak lebih menyakitkan
apalagi setelah kematian orangtuanya. Setelah kehilangan ibunya
dua tahun lalu, dia sudah bersumpah akan menggantikan cintanya
yang telah hilang dengan mencari suami dan memiliki seorang anak.
Sayangnya, tidak apa satupun dari kehidupannya terlihat berhasil
sebaik seperti yang direncanakan di dalam kepalanya.
Berjuang keluar dari lamunannya, ia membalik arlojinya-milik
almarhum ibunya dulu-untuk mengecek waktu. Hanya lima belas
menit sebelum tamu-tamu, sebagian besar teman-teman kerjanya,
akan tiba. Oke, Em, saatnya untuk memainkan wajahmu. Seorang
nyonya rumah di acara baby shower tidak akan membiarkan
monster pencemburu bermata hijau merasukinya dan menyebabkan
dia mengamuk, membalik meja dan melemparkan hadiah seperti
Hulk yang sedang murka! Kendalikan dirimu!
Ucapan penyemangat tadi hanya berpengaruh sedikit pada emosi
yang masih bergolak mengaliri dirinya. Dia mencengkeram meja
sampai buku-buku jarinya memutih. Saat air mata diam-diam
mengalir di pipinya, dia cepat-cepat menyekanya. Mengalihkan mata
hijaunya dengan tajam ke langit-langit, sambil berbicara di dalam
benaknya, Tolong bantu aku bisa agar melewati ini semua.
"Kau tahu, aku punya kikir kuku di laci meja kerjaku jika kau ingin
memotong pergelangan tanganmu. Akan jauh lebih cepat daripada
apa yang kau lakukan sekarang!"
Emma melompat dan mencengkeram dadanya. Dia berputar untuk
melihat sahabatnya, Casey, yang sedang menyeringai kearahnya.
Dengan panik dia mengusap air mata yang tersisa di matanya dengan
punggung tangannya. "Astaga, Case, kau sialan menakuti aku!"
"Maaf. Kurasa kau begitu tenggelam dalam kesedihan dan
membenci diri sendiri kau tidak mendengar saat kupanggil
namamu." Merundukkan kepalanya, Emma menjawab, "Aku tidak tahu apa
yang sedang kau bicarakan. Aku sedang memeriksa untuk
memastikan semuanya baik-baik saja sebelum semua orang datang."
Casey memutar matanya. "Em, apa yang kau pikirkan untuk setuju
membuat acara seperti ini" bunuh diri perlahan-lahan secara
emosional." "Bagaimana tidak" Therese-lah yang membuat aku mendapatkan
pekerjaan di sini. Dia mengajari aku sampai aku tahu semuanya. Dia
telah melakukan tiga kali Fertilisasi In-Vitro (inseminasi buatan).
Jika ada orang yang layak dibuatkan acara baby shower, dialah
orangnya." "Yeah, tapi kau tidak harus menjadi satu-satunya orang yang
menyiapkan ini. Maksudku, dia akan sangat mengerti, terutama
dengan semuanya yang terjadi akhir-akhir ini dengan Connor."
Telepon Emma bergetar di atas meja. Dia melirik identitas penelepon
dan meringis. "Orang yang baru saja kita bicarakan menelepon."
"Apa dia masih menelepon dan mengirim pesan-pesan singkat tanpa
henti?" Tanya Casey.
"Yep. Beruntungnya aku."
"Biarkan aku yang menjawab. Aku akan memberitahu si brengsek
itu kalau kau akan melaporkannya ke polisi untuk surat perintah
penahanan atau semacamnya."
"Dia tidak berbahaya, Case."
"Kau hanya perlu memberitahu dia untuk menjadi pria yang
bertanggung jawab, berani dan memberimu beberapa sperma."
Sebuah cekikikan lolos dari bibir Emma. "semenarik apapun ide itu,
aku lebih baik tidak melakukannya. Masalah sperma/bayi inilah
yang memulai segala kekacauan ini."
Casey mendengus frustrasi. "Kenyataannya adalah idemu yang
mempertimbangkan seseorang untuk menyumbangkan spermanya
padamu yang konyol." Dia meletakkan tangannya di bahu Emma.
"Kau sangat cantik dan manis dan menakjubkan untuk meninggalkan
dunia kencan hanya karena ingin memiliki seorang anak."
"Promosi yang bagus dengan pujian. Apa kau pernah berpikir untuk
bekerja di bidang periklanan?" renung Emma.
"Ha, ha, sok pintar. Aku tidak berusaha untuk menjual sesuatu. Ini
kebenaran. Aku tidak tahu kapan akhirnya kau akan
mempercayainya. Yang paling penting, aku ingin tahu kapan semua
pria di sekitar kota ini akan menyadari itu dan melihatnya juga!"
Emma mengangkat tangannya dengan putus asa. "Case, mengingat
waktu biologisku sedang berdentang, dan bukan terus berdetak,
kupikir hal ini sedikit terlambat untuk semua itu."
"Tapi kau bahkan belum berusia tiga puluh tahun," protes Casey.
"Aku tahu itu, tapi aku menginginkan bayi sejak aku berusia dua
puluh. Aku ingin-tidak, aku butuh-untuk memiliki keluarga lagi.
Kehilangan orang tuaku dan tidak memiliki saudara laki-laki atau
saudara perempuan-" Suara Emma tersedak dengan sedikit emosi.
Casey mengusap lengan Emma dengan penuh simpati. "Kau masih
punya banyak waktu untuk memiliki bayi. Dan sang suami masih
bisa datang." Sambil memutar matanya, Emma berkata, "Mungkin aku perlu
mengingatkanmu tentang parade kencan dengan para idiot penuh
kesialan yang sudah kulakukan dalam enam bulan terakhir?"
"Oh, ayolah, mereka tidak seburuk itu."
"Apakah kita memberi nilai pada lingkaran ekstrim atau apa"
Pertama, ada Andy, si...," dia membuat tanda kutip imajiner dengan
jari-jarinya, "Akuntan yang baru bercerai, dengan istrinya yang
berhasil membuntuti kencan kami dan terus memarahinya di tengahtengah Cheesecake
Factory." "Sial, aku ingat dia sekarang. Bukankah akhirnya polisi dipanggil?"
"Oh ya. Aku harus menelepon Connor untuk datang menjemputku
sebab mereka berdua ditahan karena mengganggu ketenangan
umum!" "Jadi ada satu bibit yang buruk di antara kencan-kencan itu," bantah
Casey. "Lalu ada si pengurus pemakaman yang sangat menghiburku selama
makan malam bercerita tentang seluk beluk cara pembalseman,
belum lagi aku pikir ia memiliki keterikatan yang tidak cukup sehat
pada sebagian klien kesayangannya yang sudah almarhum itu."
Casey mengeluarkan suara mau muntah. "Oke, kuakui kalau
necrophilia (tertarik pada mayat) itu bisa mematikan siapapun dari
keinginan berkencan dalam beberapa waktu."
"Beberapa waktu" Bagaimana kalau keanehan itu seumur hidup,
Case?" Kata Emma sambil bergidik. "Terima kasih Tuhan, itu adalah
kencan pertama, dan dia tidak pernah menyentuhku."
"Jadi sudah dua telur yang buruk. Kota ini penuh dengan pria di luar
sana, Em." Emma menyapukan tangannya ke pinggulnya. "Dan kurasa kau
mengalami amnesia tertentu mengenai Barry, si dokter gigi?"
Casey mengerutkan wajahnya seperti kesakitan. "Apakah dia masih
di penjara atas tuduhan kegemarannya mengintip orang?"
Emma menganggukkan kepalanya. "Untungnya, hukum negara kita
cukup keras bagi para brengsek yang menempatkan kamera
tersembunyi pada ruang ganti pria di gym!"
"Yah, mereka itu termasuk kasus yang sangat ekstrim."
"Terus terang, beberapa gadis yang lainnya di departemen kita
berpikir kalau aku harus menulisnya menjadi sebuah buku tentang
pengalaman kencan-kencan yang buruk!"
"Tunggu dulu. Kau juga sudah pernah kencan dengan beberapa pria
yang layak, juga." Emma mendesah. "Dan begitu mereka menyadari aku tidak akan
tidur dengan mereka sebelum makanan pembuka tiba, mereka
langsung kabur ke pintu. Seandainya kami benar-benar berhasil
melewati makan malam, maka bau mengenai keputusasaanku pada
perkawinan dan ingin segera memiliki bayi langsung mengusir
mereka." Casey menyeringai. "Lihat, kau melakukannya dengan cara yang
salah dalam hal ini. Kau harus melakukan sesuatu tanpa merasa
khawatir tentang risikonya dan berhubungan seks tanpa berpikir
untuk hamil." "Aku tidak berpikir begitu." Emma menggelengkan kepalanya.
"Hanya karena Connor berkelit dari ide mengenai penyumbang
sperma, bukan berarti aku akan menyerah. Entah mengapa,
bagaimanapun juga, aku akan memiliki anak untuk dicintai."
*** Aidan Fitzgerald menggosok mata birunya yang kabur. Dia
mengintip melalui sela jari-jarinya melihat jam di layar komputer.
Sialan, sudah jam tujuh lewat. Bahkan jika ia ingin menyelesaikan
proyek itu, otaknya sudah terlalu panas. Dia hampir tidak bisa
membaca kata-kata di depannya. Ia mematikan komputernya,
pikirannya tenang karena dia baru saja dipromosikan sebagai wakil
presiden pemasaran yang berarti dia bisa menunggu sampai besok
pagi dan tidak akan ada orang yang akan memarahinya jika
mengulur-ulur waktu. Sambil mengerang, Aidan bangkit dari kursinya dan meregangkan
tangannya ke atas kepalanya. Dia meraih tasnya dan menuju pintu.
Saat ia mematikan lampu kantornya, perutnya bergemuruh. Mungkin
tidak ada makanan di rumah untuk dimakan, jadi dia perlu membeli
sesuatu di perjalanan pulang. Sesaat terlintas di benaknya harapan
ada seorang wanita menunggunya dengan makanan rumahan. Dia
segera mengangkat bahu untuk membuang pemikiran seperti itu.
Beberapa makanan tidak sebanding dengan kerumitan hubungan
jangka panjang. Ujung-ujungnya, ia jauh lebih bahagia dengan
memohon untuk makan malam dari salah satu saudarinya yag telah
menikah. Setidaknya sebelum mereka melontarkan salah satu
kecaman mereka tentang bagaimana dirinya tidak bisa menjadi
seorang bujangan selama sisa hidupnya, dan di usia tiga puluh dua,
sudah waktunya bagi dia untuk menetap dan memiliki keluarga.
"Omong kosong," gumamnya pelan pada pemikiran itu. Wanita
cleaning service atraktif yang sedang menyusuri lorong mengangkat
kepalanya. Dia kemudian memberinya sebuah senyuman menggoda. "Selamat
malam Mr Fitzgerald."
"Selamat malam Paula," jawabnya. Dia memencet tombol Lift,
berusaha menahan keinginannya untuk menutup kesenjangan sosial
diantara mereka dengan memulai percakapan. Dia menyapukan
tangannya disela-sela rambut pirang terangnya dan menggelengkan
kepalanya. Berbicara dengan Paula kemungkinan besar akan
mengarah pada beberapa janji untuk bertemu di lemari gudang,
walaupun dia akan sangat menikmatinya, ia sudah sedikit lebih tua
untuk mendapatkan jenis seks semacam itu dengan Paula.
Lift membawa dia turun ke lantai pertama. Suara-suara teriakan
menyambut Aidan saat ia melangkah keluar, menyebabkan dia
menggerutu karena frustrasi. Sial, hal terakhir yang ia butuhkan
setelah bekerja lembur dan digoda dengan wanita cleaning service
adalah berhadapan dengan pertengkaran domestik. Dan dari nada
suara kedua pria dan wanita itu, sepertinya memang benar.
"Connor, aku tak percaya kau menyudutkan aku disini di tempat
kerja!" desis seorang wanita.
"Apa yang harus kulakukan" Kau tidak menjawab telepon atau
emailku. Aku harus melihat apakah kau baik-baik saja."
"Aku bilang padamu tinggalkan aku sendiri, dan aku serius!"
"Tapi aku mencintaimu, Em. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Saat terdengar suara gemerisik, suara wanita itu naik satu oktaf.
"Berhenti! Jangan berani-beraninya kau menyentuhku!"
Sisi protektif Aidan seakan bangkit saat mendengar nada wanita itu,
membuat dia bergegas menyusuri sudut itu. "Hei! Lepaskan tangan
sialanmu dari dia!" teriaknya.
Pasangan itu kaget saat melihatnya. wajah wanita yang dinodai air
mata itu menjadi memerah, dan ia menundukkan kepalanya untuk
menghindari tatapan intens Aidan. Seketika itu, ia mengenalinyaEmma Harrison,
bagian periklanan di lantai 4, dan wanita yang
pernah ia bujuk tapi tidak berhasil untuk diajak pulang dari pesta
perusahaan perayaan natal. Dari caranya menolak untuk menatap
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya, dia tahu Emma juga mengenalinya.
Aidan mengalihkan perhatiannya kepada pria itu, Connor, matanya
melebar karena ketakutan. Dia buru-buru melepaskan tangannya dari
bahu Emma dan mundur beberapa langkah. Connor tampak seperti
siap untuk lari keluar ke pintu exit terdekat. Aidan kemudian
menyadari bagaimana penampilannya begitu mengintimidasi dengan
tinju terkepal di samping sisi tubuhnya, rahangnya menegang. Dia
mencoba mengendurkan sikapnya, tapi darah masih memompa
begitu keras di telinganya yang tidak bisa ia kendalikan.
Connor mengangkat tangan tanda menyerah. "Aku tidak yakin apa
yang Anda pikir sedang terjadi, tapi kami hanya berbicara."
Aidan menyipitkan matanya. "Kupikir dari cara dia menangis dan
memohonmu untuk berhenti menyentuhnya, itu jauh lebih dari
sekedar berbicara." Dia mulai akan bertanya pada Emma apakah dia
baik-baik saja, tapi ia melesat melewatinya dan melarikan diri masuk
ke kamar kecil. Aidan memelototi Connor.
"Dengar, Anda salah paham. Aku-"
"Apa yang tidak kuketahui" Kau jelas tidak bisa membiarkan bekas
pacarmu atau mantan istri atau apapun dia bagimu untuk pergi,
meskipun dia tidak bisa tahan saat kau menyentuhnya!"
Tawa gugup meledak dari mulut Connor. Dia terdiam pada saat
Aidan memiringkan alisnya kearahnya sambil maju selangkah.
"Percayalah, Anda begitu sangat, sangat salah. Emma bukan
mantanku." "Lalu apa masalahnya?"
Connor berdehem. "Baik, Anda mau tahu kenyataannya" Begini.
Aku gay, dan Emma sudah menjadi sahabatku sejak SMP."
Mulut Aidan menganga. "Serius?"
"Yep." "Huh...Kalau begitu aku mengakui kalau aku salah. Maaf tentang hal
itu." Connor mengangkat bahu. "Tidak apa-apa. Aku mungkin akan
melakukan hal yang sama jika kupikir ada seorang bajingan yang
mengganggu seorang wanita. Well, aku mungkin tidak jadi
melakukannya jika dia dua kali ukuran tubuhku seperti Anda." Dia
melirik melewati Aidan ke arah kamar mandi dan meringis. "Sialan,
aku benci ketika dia marah padaku. Aku tidak berpikir dia sangat
marah dan begitu terluka. Aku hanya tidak tahu apa yang harus
kulakukan untuk memperbaiki kesalahanku, kau tahu?"
Aidan menggeserkan kakinya, merasakan percakapan mulai
mengarah ke area emosional, yang mana ia selalu coba untuk
menghindarinya apapun yang terjadi. Dia mengangkat satu
tangannya keatas. "Hei bung, itu benar-benar bukan urusanku." Tapi
saat kata-kata itu meninggalkan bibirnya, ia yakin Connor tidak
memperhatikan apa yang dikatakannya. Ekspresi kesedihan dari
wajah Connor seolah mengatakan kalau dia tidak akan lolos tanpa
mendengar semua kisah dramatisnya, kecuali ia benar-benar
berusaha melarikan diri dari Connor.
Sambil menghela napas, Connor mengusap rambut hitamnya.
Dengan suara rendah, dia berkata, "Dia tergila-gila soal anak-anak,
seakan jam biologisnya dalam kondisi marah untuk memiliki bayi
sekitar dua tahun terakhir ini. Karena aku menyayanginya, aku
berjanji padanya aku akan menjadi ayah anak itu dan
menyumbangkan sperma untuk alasan itu."
Oke, jadi mungkin itu bukan cerita yang diharapkan Aidan. "Jangan
bilang padaku kau ketakutan ketika akan berhubungan seks?"
Connor merengut padanya. "Ha, ha, brengsek, benar-benar lucu.
Sekedar informasi buatmu, hal itu akan dilakukan di klinik."
"Di mana letak kesenangannya?" kata Aidan sambil merenung,
dengan senyum licik. "Bung, aku gay, ingat?"
"Maaf." Untuk alasan yang tidak ia pahami, Aidan begitu tertarik
dengan cerita itu, dia merasa perlu meminta Connor untuk
melanjutkan ceritanya. "Jadi apa yang terjadi?"
"Pasanganku tidak siap untuk memiliki anak. Aku berjanji padanya
bahwa Emma tidak selalu ingin aku terlibat, tapi ia tidak bergeming.
Suatu pilihan yang sialan sulit antara pria yang kucintai dan
sahabatku." "Mengapa dia tidak pergi ke bank sperma saja atau sesuatu yang
lain?" Connor tertawa. "Emma memiliki pikiran bahwa akan ada
percampuran mengerikan di mana pilihan sampel donor utamanya
ditukar dengan pembunuh berantai."
Aidan menyeringai. "Kurasa aku bisa memahami pikiran dia."
Sebuah dengungan berbunyi di saku Connor. Ia merogoh saku untuk
mengeluarkannya dan kemudian mengerang saat melihat ID-nya.
"Sial, ini dari Jeff. Dia akan memarahiku karena datang kesini dan
mencoba untuk berbicara dengan Emma. Aku benar-benar harus
pergi. "Tatapannya sekali lagi kearah kamar mandi. "Tapi aku benci
untuk meninggalkannya ..."
"Kau pergi saja. Aku akan mengantarnya sampai dia masuk ke
mobilnya dengan aman."
"Benarkah" Itu bagus sekali." Dia mengulurkan tangannya. "Senang
bertemu denganmu..."
"Aidan. Aidan Fitzgerald."
"Connor Montgomery." Setelah mereka berjabat tangan, Connor
tersenyum. "Terima kasih atas semua bantuanmu dan untuk semua
kesalah pahaman pada situasi ini."
Aidan tertawa. "Menyenangkan sekali karena aku hampir saja
menendang pantatmu."
"Hei," jawab Connor. Saat teleponnya berdering, dia mengernyit dan
melambaikan sedikit tangannya sebelum membawa telepon ke
telinganya. "Babe, yeah, maaf aku belum membaca pesanmu. Aku
sedang dalam perjalanan pulang sekarang." Dia mendorong pintu
kaca dan menghilang dalam kegelapan malam.
Sambil menggelengkan kepalanya, Aidan mulai melintasi lobi
menuju kamar mandi. Dia mengetuk pintu. Dengan suara
melengking, Emma berteriak, "Pergilah, Connor! Tidak ada lagi
yang harus kukatakan kepadamu! Belum lagi, kau baru saja
mempermalukanku setengah mati di depan salah satu bajingan
terbesar di perusahaan ini!"
"Bajingan terbesar, ya?" Gumamnya pelan. Julukan yang tidak
pantas ia banggakan, terutama berasal dari seorang wanita. Dia
terbiasa mendengar gambaran lebih menyanjung mengenai dirinya
dari mereka. Well, setidaknya pada awalnya sebelum dia pergi
menjauhi mereka. Setelah itu, biasanya berbelok menjadi sesuatu
yang menjijikkan. "Aku tidak akan meninggalkan kamar mandi ini sampai aku tahu kau
pergi!" Aidan mendesah. Dia gadis yang memiliki tekad, itu sudah jelas,
belum lagi dia tampak keras kepala. Di dalam pikiran Aidan terlintas
kembali bagaimana cantik dan seksinya dia saat terlihat di pesta
Natal itu, bagaimana gaun hijau ketat yang ia kenakan menempel di
lekuk tubuhnya yang membuatnya tampak sangat menarik. Ketika ia
melihatnya melintasi ruangan dengan beberapa teman
perempuannya, Aidan telah bertekad untuk menghabiskan malam
bersamanya. Senyuman malu-malu dan lirikan ke arahnya melalui
bulu matanya seolah mencemooh Aidan yang mendekat untuk
menutup jarak diantara mereka. Tentu saja, pada saat ia tiba di
sampingnya, teman-temannya yang suka ikut campur sudah
memberitahu dia tentang reputasinya yang meragukan sebagai
seseorang yang suka membuat patah hati wanita dan seorang
playboy. "Dasar wanita," gumamnya pelan saat dia mendorong pintu kamar
mandi. Emma terduduk di atas kain tenun yang menutupi bangku
panjang dengan tisu towel yang dibasahi di matanya. Di satu sisi,
roknya ketarik sampai ketengah pinggulnya, memberinya sebuah
pemandangan kaki dan paha yang menakjubkan. Pada saat terdengar
suara langkah kakinya, dia mendengus dengan frustrasi. Dia
mengacungkan jari telunjuknya ke depan. "Aku bersumpah jika kau
tidak meninggalkan aku sendirian, aku akan menendang bolamu
dengan sangat keras, tidak akan ada lagi pertanyaan tentang apakah
kau bisa menjadi ayah dari anak-anakku!"
Aidan terkekeh. Rambutnya yang cokelat kemerahan menandakan
kepribadiannya yangbegitu berapi-api -salah satunya sudah pernah
dia tunjukkan di pesta Natal. Semua sikap malu-malunya menguap
dalam sekejap ketika gadis itu mengatakan kepadanya dengan
gamblang bahwa ia tidak punya keinginan untuk menjadi salah satu
gadis yang mudah dia taklukkan atau hubungan satu malam.
"Sebenarnya, aku bukan Connor."
Saat mendengar suara orang asing, Emma menarik tisu towel
menjauh dari matanya. Rasa ketakutan menyapu wajahnya saat
melihat Aidan berdiri di hadapannya. Dengan cepat, ia menyentak
roknya ke bawah dan merapikan rambutnya yang acak-acakan
dengan jarinya. "Aku tidak berharap bertemu dengan Anda, Mr
Fitzgerald," katanya, pasrah.
Sebuah seringai muncul di wajah Aidan. "Tidak, aku membayangkan
kau berharap kau akan mengebiri Connor."
Pipi dan leher Emma memerah sewarna dengan rambutnya. "Aku
minta maaf, anda terpaksa mendengar itu, dan aku sangat menyesal
Anda juga harus ikut terseret di tengah-tengah argumen kami.
Seberapa pun memalukannya-memang memalukan-aku menghargai
apa yang coba Anda lakukan."
Aidan mengangkat bahu. "Aku senang bisa membantu."
"Well, aku sangat berterima kasih. Dan aku minta maaf telah
mengacaukan malam anda."
Tidak pernah luput menggunakan sebuah kesempatan, Aidan
menyeringai. "Kau tidak merusak malamku. Bahkan, malam masih
panjang, jadi mengapa kau tidak membiarkan aku membelikanmu
minuman?" Dia memutar tisu towel di tangannya sebelum melemparkannya ke
tempat sampah. "Um, baik sekali tawaran anda, tapi hari ini sangat
berat dan melelahkan. Aku mungkin harus segera pulang."
"Kita bisa berjalan tepat di seberang jalan ke tempat O'Malley." Di
saat keraguan Emma berlanjut, Aidan tertawa. "Aku janji itu bukan
suatu tawaran untuk mencoba untuk memberikanmu alkohol yang
dalam kondisi emosional lemah agar bisa mengajakmu pulang
denganku." Diam-diam, Aidan berharap minum satu atau dua gelas
mungkin bisa mencairkan lapisan es Emma dan memberinya
kesempatan bergerak untuk meraup keuntungan.
Aidan tidak terlalu terkejut ketika perasaan syok membanjiri wajah
Emma. "Benarkah?"
Dia menyilangkan jari di atas hatinya. "Aku berjanji," katanya
berbohong. Sudut bibir Emma tertarik keatas seolah dia sedang menahan
senyum. "Baiklah. Setelah aku mengalami hari ini, aku pastinya
memerlukan minuman." Dia melirik ke belakang ke cermin. "Oh,
aku benar-benar berantakan. Bisakah anda memberiku waktu
beberapa menit untuk merapikan diri?"
"Tentu saja. Aku akan menunggu di luar."
*** Note: Baby shower adalah semacam pesta kecil untuk calon ibu dan bayi berusia 7
bulan dalam kandungan dan setiap tamunya datang membawa hadiah. Jadi seolah-olah, ibu dan si
jabang bayi 'bermandikan' hadiah-hadiah yang diberikan oleh tamu-tamu tersebut ( kalau di
Indonesia ini seperti acara 7 bulanan). Bab 2 Ketika pintu tertutup di belakang Aidan, Emma menghembuskan
napasnya yang telah lama ia tahan dengan suara desahan yang
berlebihan. Merasa letih, dia bersandar di meja kamar mandi. Pergi
minum dengan Aidan Fitzgerald, apa kau sinting" Setiap wanita di
gedung ini tahu reputasinya "setubuhi-mereka-dan-tinggalkanmereka", kecuali kau
siap patah hati, kau seharusnya menjauhi
dirinya. Ingatan tentang pertemuan mereka di pesta Natal terlintas
seperti badai petir merasuk ke dalam benaknya.
Menjadi orang baru di perusahaannya, dia mengawasi setiap pria
lajang yang berpotensi. Setelah memergoki dia sering menatapnya
beberapa kali, dengan polosnya ia menanyakan pada Casey siapa
dia. Casey langsung menggelengkan kepalanya begitu cepat, Emma
yakin kepalanya akan mengalami salah urat. "Dia pria seksi
penggoda, Em, jadi kau harus menjauh darinya kecuali kau mau
ditiduri!" jawabnya.
Wanita yang lain menimpali dengan deskripsi yang sangat detail
mengenai Aidan yang terkenal suka mengeksploitasi wanita yang
berbeda di perusahaan itu. Jadi ketika Aidan mendatanginya sambil
berjalan santai dengan matanya yang menggoda dengan penuh
kesombongan, Emma menolaknya mentah-mentah, lalu kabur begitu
saja dengan penolakan keras Emma itu.
Emma mengeluarkan tempat make-up nya dari tas. Menatap ke
cermin, ia membubuhi kembali wajahnya dengan bedak tabur. Mata
basah karena air mata membutuhkan tambahan eyeliner, maskara,
dan eyeshadow. Sebagai sentuhan terakhir, dia mengoleskan lipstik
warna merah mawar di bibirnya.
Emma mengamati bayangannya dan mengerang. Mengapa kau
bahkan peduli dengan wajahmu" Semua yang ia pedulikan adalah
penampilanmu dari leher ke bawah, bagian pinggang paling
disukainya! Ya Tuhan, dari semua pria di gedung ini, kenapa harus
Aidan yang datang untuk menyelamatkannya. Mr Manwhore
Fitzgerald (manwhore= pria pelacur). Dia adalah tipe pria yang tidak
terbiasa untuk ditolak, jadi dia pasti bangga bisa berhasil
mengajaknya kencan. Dia melemparkan tempat makeup-nya kembali ke dalam tasnya.
Dengan satu tarikan napas yang mendalam, dia melangkah keluar.
Sesuai dengan janjinya, Aidan duduk di salah satu bangku di luar
kamar mandi. Dia langsung berdiri saat ia melihatnya. "Siap?"
"Yap." Mereka mendorong pintu putar dan melangkah keluar menuju
trotoar. Suara sepatu hak Emma berbunyi disetiap langkahnya di
sepanjang trotoar. Udara hangat dari kesibukan lalu lintas yang padat
melewati mereka, mengibarkan bagian bawah rok pendeknya, dan
Emma berjuang untuk menahannya seperti adegan Marilyn Monroe
di film Seven Year Itch. "Kau sering pergi ke O'Malley?" tanyanya,
mencoba untuk membuat percakapan.
Aidan mengangguk. "Beberapa malam dalam seminggu aku dan
beberapa teman pria dari departemenku minum bir disini. Menonton
pertandingan terbaru." Dia menekan tombol untuk menyeberang.
"Bagaimana denganmu?"
Emma mengernyitkan hidungnya saat mereka mulai menyeberang
jalan. "Tidak pernah. Aku jarang berada di tempat seperti itu."
Ketika Aidan menaikkan satu alis kearahnya, dengan cepat dia
berkata, "maksudku, aku tidak apa-apa pergi denganmu malam ini.
Hanya saja ini bukan tempat nongkrongku bersama teman-teman
wanitaku." Dengan seringai khasnya, Aidan menahan pintu masuk O'Malley
terbuka untuknya. "Biar kutebak. Karena kau bersamaku, kau tidak
merasa khawatir tentang sekelompok bajingan yang sedang mabuk
akan menggodamu." "Tepat. Well, mungkin hanya satu bajingan yang sedang mabuk."
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil melirik ke arah Aidan. "Tergantung seberapa banyak yang
kau minum." Mata Aidan melebar sebelum dia tertawa. "Aku akan mencoba
menjaga diriku sendiri."
Seorang wanita muda berambut pirang berdiri di depan meja
penerima tamu. Dia tersenyum lebar saat melihat Aidan dan
membetulkan bajunya untuk memberinya pemandangan yang lebih
baik pada belahan dadanya. Aidan menghargai usahanya dengan
memberinya sebuah senyuman. "Bisakah kami mendapatkan satu
tempat, Jenny?" "Tentu, Aidan. Ikuti aku."
Saat Jenny berjalan sambil menggoyangkan pinggulnya di depan
mereka, Emma memutar matanya pada Aidan yang meresponnya
dengan mengedipkan matanya. Jenny menunjukkan tempat duduk
pada mereka di meja remang-remang di belakang bar. Dia
menyerahkan menu, kemudian menatap langsung ke arah Aidan.
"Sampai jumpa!"
Aidan memberinya lambaian kecil kemudian mengalihkan
perhatiannya ke menu. Merasakan tatapan panas Emma, ia kembali
lagi melihatnya. "Apa?"
"Tidak apa-apa," gumamnya.
"Jika tidak apa-apamu mengenai Jenny, aku sudah bilang aku sering
datang kemari." "Aku tidak mengatakan apa-apa," dia membantahnya.
"Kau tidak harus mengatakannya. Tatapanmu yang mematikan itu
sudah cukup memberikanku jawaban." Aidan menyeringai
kearahnya. "Karena aku tahu kau ingin bertanya, Jenny bukan salah
satu dari gadis yang ingin kutaklukan, dan aku tidak pernah
melihatnya di luar O'Malley. Selain itu, ayahnya yang pemilik
tempat ini, dan ia tidak akan ragu untuk menendangku!"
Untuk beberapa alasan, Emma mendengar pernyataan itu sangat
melegakan. Namun, dia berhasil menjaga wajahnya benar-benar
tanpa ekspresi sambil mengangkat bahunya. "Itu bukan urusanku."
Aidan hanya tertawa kecil saat pelayan mendatangi meja mereka.
"Apa yang bisa saya bantu untuk kalian berdua malam ini?"
Aidan mengangguk kearah Emma. "Aku ingin segelas margarita
dengan es batu tanpa garam, tolong," katanya.
"Heineken dalam botol."
Pelayan menulis pesanan mereka di atas kertas kemudian berjalan
menuju ke bar. Emma menyandarkan sikunya diatas meja dan
menempatkan kepalanya di tangannya. Sebuah napas panjang
kejengkelan lolos dari bibirnya.
"Hari yang buruk, ya?"
Dia mengangkat kepalanya, dan senyuman sedih melintas di
wajahnya. "Bukan salah satu hari yang terbaik. Aku benar-benar
tidak bisa menyalahkan Connor untuk hari terburukku juga.
Sebelumnya sudah benar-benar kacau saat menyelenggarakan acara
baby shower untuk Therese."
"Bosmu?" Tanyanya, dan Emma mengangguk. Pelayan kembali
dengan membawa minuman mereka. Emma meneguk sedikit
margaritanya sementara Aidan menenggak langsung banyak dari
botolnya. Sebuah perasaan cemas mendatanginya saat dia melihat
ekspresi penasaran Aidan, dan dia takut Aidan akan mengajukan
pertanyaan yang cukup kontroversi.
"Apa yang salah dengan baby shower" Seseorang menjadi sangat
mabuk karena minumannya dicampuri alkohol dan tidak ingin
bermain dengan salah satu permainan konyol seperti 'Tebak apa yang
ada di Diaper' ?" Oke, jadi itu bukan pertanyaan yang Emma harapkan. "Bagaimana
mungkin kau tahu apa yang terjadi di acara baby shower?"
Aidan meringis. "Aku punya empat kakak perempuan. Percayalah,
aku sudah menghabiskan waktuku beberapa kali di acara baby
shower sialan itu." Emma tersenyum. "Kuduga kau terpaksa mengikuti itu."
"Jadi apa yang terjadi?" Desaknya.
Dengan mengangkat bahu, Emma menjawab, "Tidak ada yang
khusus. Hanya saja rasanya lebih sulit daripada apa yang ada dalam
pikiranku." "Karena kau menginginkan bayimu sendiri?"
Emma tersentak dan hampir menjatuhkan margaritanya. "Tunggu,
bagaimana kau bisa...?"
"Connor telah bercerita kepadaku."
Emma melebarkan matanya saat aliran hangat menari-nari melewati
pipi dan lehernya. "B-Benarkah" A-Apa lagi yang dia katakan?"
Aidan meneguk minumannya lagi sebelum menjawab. "Dia
mengatakan dia seharusnya menjadi ayah bayimu, tapi dia
membatalkannya." Meskipun ia hanya sekali meneguk minumannya, ruangan seakanakan miring dan
berputar di sekelilingnya. Dia menggelengkan
kepalanya, mencoba membebaskan dirinya dari mimpi buruk dengan
mengalihkan pembicaraannya. Ini tidak boleh terjadi. "Aku akan
membunuhnya!" "Kau tidak perlu melakukan itu."
"Apakah kau bercanda?" Suara Emma naik satu oktaf. "Sudah cukup
menyebalkan ketika ia mengirim pesan teks dan menelepon
sepanjang waktu. Sekarang dia muncul di tempat kerjaku untuk
menggangguku. Tapi bagian terburuk dari semua ini, dia
menceritakan hanya kepadamu, dari sekian banyak orang-orang,
sangat detail mengenai kehidupan pribadiku!"
Aidan mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya menabrak siku
Emma. "Aku dari sekian banyak orang-orang...apa artinya itu?"
Emma menundukkan kepalanya. "Tidak ada."
"Oh tidak. kau tidak akan bisa menghindar semudah itu."
"Hanya saja dengan tipe pria sepertimu, kau mungkin tidak bisa
memahami masalahku atau keinginanku."
Aidan mendengus. "Biar kutebak. Karena diduga aku memiliki
reputasi suka main perempuan, aku tidak bisa memahami bagaimana
menjadi dirimu yang ingin menjadi seorang ibu sampai begitu
buruknya kau menyuruh sahabatmu yang gay untuk
menghamilimu?" "Bukan itu maksudku."
"Kalu begitu katakan padaku."
Emma membungkuk dimana wajah mereka hanya terpisah beberapa
inci. "Karena kau pikir kau tahu segalanya, katakan padaku apakah
kau memahami hal ini. Pernahkah kau menginginkan sesuatu yang
begitu buruk sehingga kau berpikir kau akan mati jika kau tidak
memilikinya" Hanya memikirkan itu saja akan terus membuatmu
terbangun di sepanjang malam. kau tidak bisa tidur, tidak bisa
makan, tidak bisa minum. Kau begitu termakan oleh keinginan itu
tidak ada hal lain yang penting, dan kau tidak yakin hidupmu akan
layak jika kau tidak dapat memilikinya." Air mata kepahitan
menyengat matanya, dan dia menggigit bibir bawahnya agar tidak
terisak tepat di depan Aidan.
Sementara Aidan tetap diam, Emma menggelengkan kepalanya dan
bersandar kembali di kursinya. "Lihat" Aku telah menceritakan
semua masalahku. Seorang pria seperti kau tidak mungkin bisa
memahami perasaan bagaimana seseorang sangat menginginkan
bayi seperti aku." "Tidak, aku mengerti. Aku benar-benar mengerti."
Emma melengkung alisnya yang coklat kemerahan itu kearahnya.
"Aku sangat ragu."
"Mungkin sampai batas tertentu..." Perlahan-lahan, senyum
bergairah menyelinap di wajahnya - sebuah senyuman yang
mengirimkan kehangatan ke pipi Emma serta membuatnya
menggeliat di kursinya. "Aku sangat menginginkan dirimu di pesta
Natal kurasa aku akan mati ketika kau menolak untuk pulang
denganku." Nada suara serak Aidan membuat Emma terkejut. "Maaf?"
Aidan menggeserkan kursinya begitu dekat dengan Emma sehingga
dia menahan reaksi untuk menjauhinya. Dia terkesiap oleh
kedekatan Aidan. Kilauan penuh gairah menyala di matanya
membuatnya seperti si Big Bad Wolf (tokoh serigala besar dan jahat
di cerita fiksi) menjulang di atas Emma. "Seberapa jelas aku harus
katakan" Kau begitu sialan seksi dengan gaun hijau itu. Rambutmu
terurai jatuh bergelombang di sekeliling bahumu. Dan kau terus
memberiku senyuman kecil yang polos dari seberang ruangan."
Napas Aidan serasa menghanguskan pipi Emma sebelum ia berbisik
di telinganya. "Aku tidak pernah ingin berhubungan seks dengan
seseorang sebegitu inginnya seperti aku menginginkan kau."
Dia mendorong Aidan menjauh dengan segala kekuatan yang bisa
dia kerahkan. "Ya Tuhan, kau seperti seorang bajingan yang egois!
Aku terbuka padamu dengan menceritakan keinginanku untuk
memiliki seorang anak dan kau mengatakan kau ingin
untuk...untuk..." Aidan menyilangkan tangannya di dadanya. "Kau sudah dewasa,
Emma. Tak bisakah kau mengatakan seks?"
"kau benar-benar menjijikkan." Dia mencengkeram pinggiran
gelasnya dan menyipitkan matanya ke arah Aidan. "Jika aku tidak
sangat membutuhkan sisa margarita-ku, aku akan menyiramkan ke
wajah aroganmu!" Aidan tertawa melihat kemarahannya. "Sekarang, apakah itu caranya
berbicara dengan ayah masa depan dari anakmu?"
Dia tersentak kebelakang ke kursinya dengan memantul seperti
gelang karet. "M-Maaf?"
"Aku sedang membicarakan mengenai sebuah proposisi (usulan)
bagi kita berdua untuk mendapatkan sesuatu yang benar-benar kita
inginkan. Aku akan memberikanmu sedikit, dan kau memberikan
aku sedikit juga." "Apa maksudmu?"
"Aku sedang berbicara mengenai menawarkan DNAku untukmu.
Connor bilang kau menolak pergi ke bank sperma karena kau
mungkin berakhir dengan membawa bibit setan, jadi kurasa aku bisa
menjadi kandidat yang baik."
Emma melebarkan matanya saat gelombang rasa
menggulung keras dirinya. "kau tidak mungkin serius."
terkejut "Tentang bagian yang mana: aku sebagai pendonor atau aku pilihan
yang lebih baik daripada bibit Setan?" tanyanya, sambil menyeringai
nakal. "Keduanya...tapi terutama kau ingin mendonorkan spermamu
untukku." "Ya, aku serius."
"Apakah kau tahu syarat apa untuk menjadi pendonor sperma?"
Tanya dia. Dia menyeringai kearahnya. "Aku punya ide yang cukup bagus."
Emma menggelengkan kepalanya. "Bagaimana bisa kau bertindak
begitu sembrono tentang ini" Ini adalah komitmen yang sangat
besar." "Tenanglah. Kita bicara tentang masturbasi ke dalam cangkir plastik,
bukan menyumbangkan sebuah organ tubuh."
"Sebenarnya ini sedikit lebih dari itu."
"Aku punya beberapa teman yang pernah melakukan hal seperti itu
di perguruan tinggi. Tidak terlalu berat." Aidan sambil mengangkat
bahu. "Selain itu, hal ini tidak seperti aku menyetujui untuk
menikahimu dan membesarkan anak itu. Ini hanya seperti membagi
sedikit DNA antar kenalan. Aku yakin Connor akan menandatangani
sesuatu yang mengatakan ia tidak ikut membesarkan anak itu, kan?"
"Ya, kami telah membahas kontrak itu ketika Jeff tetap tidak
menginginkan Connor terlibat."
"Aku yakin aku bahkan kandidat yang lebih baik daripada Connor."
"Dan bagaimana kau bisa yakin seperti itu?"
"Semua orang menginginkan seorang anak yang sehat, cerdas, dan
menarik, kan" Well, aku baru saja mendapat surat keterangan sehat
dari hasil tes kesehatan tahunan perusahaan. Keluargaku tidak
memiliki riwayat penyakit berat apapun atau sakit jiwa. Aku lulusan
tertinggi dari Universitas Georgia, dan aku memiliki gelar MBA."
Dia mengedipkan matanya kearah Emma. "Dan kupikir sangat tepat
untuk mengatakan aku membawa beberapa gen tampan dan perkasa
ke dalam gambaran itu."
Emma menatapnya dengan curiga. "Tapi apa imbalannya" Jangan
tersinggung, tapi selain kita bekerja di perusahaan yang sama, aku
baru saja mengenalmu. Dan apa yang aku ketahui selama ini
tentangmu tidak terlalu menyanjung. Terlepas dari seberapa
mudahnya kau menyetujuinya, menawarkan bagian dari esensimu
adalah pengorbanan yang sangat besar bagi seseorang. Aku hanya
tidak bisa membayangkan kau melakukan sesuatu yang tidak begitu
egois." Aidan menyapu tangannya di atas jantungnya. "Sialan, Emma, katakatamu benar-
benar melukai hatiku. Maksudku, aku baru saja
mempertaruhkan hidupku belum sejam yang lalu ketika kau dan
Connor bertengkar, namun aku masih seorang yang benar-benar
egois." Dia memutar matanya. "Jawab saja pertanyaannya."
Dia menyeringai. "Oke, oke, kau benar. Motifku memang bukan
sepenuhnya tidak egois."
"Aku tahu itu!" Katanya gusar.
"Ini hanya proposisiku. Aku menawarkan untuk menjadi ayah dari
anakmu, dan sebaliknya, kau harus berjanji untuk hamil denganku
secara alami." Ketakutan menyelimuti Emma, membuat dirinya sampai bergidik.
"Alami" Seperti kau dan aku...melakukan hubungan seks?"
"Kebanyakan wanita akan menemukan itu sedikit lebih menarik
daripada yang baru saja kau katakan," gumam Aidan.
Emma menggeleng marah. "Aku tidak bisa berhubungan seks
denganmu!" "Kenapa?" "Aku tidak bisa."
"Kau harus memberiku sebuah alasan."
Emma memutar serbet kertas di tangannya seperti dia yang dia biasa
lakukan ketika dia gugup. "Hanya saja aku mempercayai kalau seks
itu sesuatu yang sakral dan bermakna istimewa yang dilakukan
antara dua orang yang benar-benar berkomitmen satu sama lain dan
mereka saling jatuh cinta."
Alis Aidan berkerut. "Dan berapa kali kau benar-benar berkomitmen
dengan seseorang?" Emma menolak bertemu tatapan penuh harap Aidan. "Sekali,"
bisiknya. "Astaga." Aidan menggelengkan kepalanya. "Sulit dipercaya."
Emma menyentak tatapannya untuk bertemu dengan mata Aidan.
"Aku yakin pasti sulit bagimu untuk memahami seseorang yang
tidak menyetubuhi semua yang bisa bergerak! Tapi aku tidak
memainkan permainan itu. Dan ya, aku berumur dua puluh tahun
ketika aku kehilangan keperawananku dengan seorang pria yang
telah aku pacari selama lebih dari satu tahun yang kemudian menjadi
tunanganku." "Aku tidak tahu kau telah bercerai."
"Aku tidak bercerai. Dia meninggal dalam kecelakaan mobil enam
bulan sebelum kami akan menikah." Emma berjuang melawan emosi
yang membanjirinya dengan munculnya kembali ingatannya akan
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Travis. Kekecewaan yang ada sebanyak kesedihannya. Sudah berapa
kali ia menyiksa diri karena memundurkan tanggal pernikahan
mereka" Pada saat itu, dia pikir itu praktis dan masuk akal. Emma
ingin menyelesaikan kuliah, kemudian dia menginginkan Travis
menyelesaikan setengah pendidikannya di sekolah kedokteran. Itulah
bagaimana dia bertemu Casey. Pacarnya Casey, Nate, dan Travis
bersahabat di Emory. Aidan membawanya keluar dari lamunannya. Sambil meringis, dia
berkata, "Ya Tuhan, Em, aku minta maaf."
"Terima kasih," gumamnya.
"Sudah berapa lama?"
"Empat tahun." Dia tersedak oleh birnya yang baru saja ia minum. Setelah dia pulih
dari terbatuk-batuk, ia bertanya, "Kau belum pernah berhubungan
seks lagi selama empat tahun?"
"Belum," bisiknya, sambil menjalankan jarinya disepanjang salah
satu lekukan yang dalam pada meja kayu. Dia membenci dirinya
sendiri karena telah mengakui itu pada Aidan, tapi dia harus
memahami mengapa usulannya tidak masuk akal. Meskipun dia
menginginkan bayi sampai begitu putus asanya, hal itu tidaklah
cukup sampai seputus asa itu untuk membenarkan berhubungan seks
tanpa ikatan dengan playboy yang sangat terkenal itu. Atau apakah...
"Sialan," gumamnya. "Bagaimana kau bisa tahan?"
Emma menyipitkan matanya melihat ekspresi ketidak percayaannya
Aidan. "Ketika empat tahun terakhir kehidupanmu telah menjadi
neraka, seks benar-benar bukan menjadi peringkat tertinggi pada
daftar prioritas hidupmu."
Aidan mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu?"
Emma menunduk menatap serbet kertas, yang kini sudah robek
diatas pangkuannya, dan mencoba untuk mengendalikan emosinya.
Hal terakhir yang dia ingin lakukan adalah menjadi histeris di depan
Aidan untuk kedua kalinya di malam ini. "Setelah Travis,
tunanganku, tewas, aku menutup diri selama satu tahun. Kurasa kau
bisa mengatakan aku seperti mayat hidup. Bangun tidur, aku
berangkat kerja, dan pulang kerumah. Kemudian saat aku mulai
melihat sinar matahari lagi, ibuku didiagnosa menderita kanker. Dia
benar-benar seperti duniaku, dan selama delapan belas bulan, seluruh
hidupku kugunakan untuk merawatnya." Air mata mengaburkan
matanya. "Kemudian dia meninggal."
Saat melihat ekspresi ketakutan Aidan, Emma tertawa dengan
gugup. "Aku bisa membayangkan sekarang kau pasti berharap tidak
pernah mengajakku keluar untuk minum, apalagi menawarkan
proposisimu untukku."
"Sama sekali bukan itu yang kupikirkan."
"Oh benarkah?" "Jika kau mau tahu, aku berpikir lebih tentang bagaimana aku belum
pernah bertemu dengan seorang wanita seperti kau sebelumnya."
"Apakah itu bisa dianggap sebagai pujian?"
Emma tidak bisa menahan mulutnya yang terbuka. "Aku tidak
percaya kau baru saja mengatakan sesuatu yang sangat serius dan
sensitif." "Aku sedang menyeringai. memiliki momen baikku," jawabnya, sambil "Yang berarti, cobalah memiliki momen itu lebih banyak lagi."
Ekspresi riang Aidan berubah serius. "Aku benar-benar menyesal
tentang semua yang telah kau lalui beberapa tahun terakhir. Tak
seorangpun seharusnya menanggung itu begitu banyak dan
melakukannya sendiri."
"Terima kasih," gumamnya, saat ia mencoba untuk tidak menatap
Aidan yang seakan tiba-tiba tumbuh tanduknya. Apakah mungkin
benar dibalik kepribadiannya yang egois sebenarnya ada kebaikan di
hatinya" Salah satunya dia sangat peduli pada semua yang telah dia
lalui" "Dan aku juga minta maaf telah mengkritikmu mengenai seks.
Cukup menyegarkan bertemu seorang wanita yang memiliki idiealis
kuno." "Kau serius?" Aidan tersenyum malu pada Emma. "Ya. Bagus juga mengetahui
kalau penolakanmu di pesta Natal itu bukan hanya karena
reputasiku, tapi lebih banyak tentang prinsip hidupmu."
"Jujur saja, bisakah kau lebih egois lagi?" Jawab Emma, tapi ia tidak
bisa menahan senyumannya pada Aidan.
"Serius, aku bisa melihat mengapa kau ingin memiliki bayi."
"Oh, ya?" Aidan mengangguk. "Kau sudah mengalami banyak cobaan
kematian dan sekarang kau hanya ingin merasakan sedikit
kebahagiaan di kehidupanmu." Dia meremas tangan Emma.
"Benarkan?" Emma menarik napasnya yang agak serak karena kata-kata Aidan
seakan bergema merasuki dirinya. Bagaimana mungkin seseorang
seperti Aidan bisa memasuki emosinya tepat di jantungnya bahkan
ketika terkadang Casey tidak bisa memahami keinginannya yang
begitu mendalam untuk menjadi seorang ibu" "Ya," gumamnya lirih.
"Kalau begitu biarkan aku yang akan menolongmu. Ijinkan aku
memberimu seorang bayi."
Emma melawan desakan untuk mencubit dirinya sendiri pada situasi
yang tidak masuk akal ini. Bagaimana ia bisa berubah dari seseorang
yang begitu emosional di acara baby shower ke seorang pria yang
menawarkan untuk memenuhi impiannya yang paling liar" Sisi
rasional dari pikirannya mencerca sanubarinya. "Apakah kau
memiliki ide bagaimana ini terdengar sangat gila" Aku bahkan tidak
mengenalmu! Mengapa kau malah menawarkan bagian dirimu hanya
kepadaku?" "Aku sudah bilang mengapa."
Emma mengendus dengan frustrasi. "Jadi karena kau akan tidur
denganku. Hanya itukah motivasimu?"
Dia memberinya senyum miring. "Kau terlampau meremehkan daya
pikatmu dan daya tarik seksmu."
"Jika kau mau aku menganggap serius dirimu, kau harus
memberikan alasan yang lebih baik dari itu."
Aidan sedikit menggeliat di kursinya dan berdehem sebelum
menjawab. "Well, ada alasan lain..."
"Dan?" Aidan merengut kearahnya. "Oke, baik. Aku berjanji pada ibuku
ketika ia sedang sekarat karena kanker, aku akan memiliki anak
suatu hari nanti. Dengan cara inilah, kupikir aku bisa menepati
janjiku dengan hanya membutuhkan sedikit komitmen."
Meskipun ia mencoba menyembunyikannya, Emma bisa melihat
kepedihan di mata Aidan. Tampak jelas betapa dia mencintai
almarhum ibunya. "Aku sangat menyesal mengenai ibumu,"
gumamnya. Dia mengangkat bahu. "Sudah lima tahun yang lalu."
"Mengapa dia membuatmu berjanji untuk memiliki anak"
Maksudku, bukankah dia bisa beranggapan kalau kau akan memiliki
mereka suatu hari nanti?"
"Kenyataannya tidak."
Emma menggoyangkan kepalanya dengan perasaan jijik. "Aku
berani bertaruh kau bahkan tidak bisa bertahan berada di dekat anakanak."
"Sekedar informasi untukmu, aku memiliki sembilan keponakan
laki-laki dan perempuan serta seorang cucu keponakan laki-laki
berumur tiga bulan. Jika kau berbicara dengan salah satu dari
mereka, mereka akan memberitahumu kalau aku seorang paman
yang baik." Dia mengeluarkan iPhone-nya dan menggulirkan
beberapa foto sebelum menyodorkan layar itu di depan Emma.
"Oh," gumam Emma, saat ia mengamati wajah-wajah tersenyum
keponakan Aidan. "Aku tidak tahu kau memiliki keluarga besar."
"Empat saudara perempuan, ingat" Ditambah, kami penganut Irish
Catholic (katolik ortodoks di Irlandia)."
Emma mengangguk. "Bukankah kau terlalu muda untuk memiliki
cucu keponakan?" Aidan menunjuk seorang wanita setengah baya yang sangat menarik.
"Angela lima belas tahun lebih tua dari aku, dan Megan sebenarnya
tidak mengharapkan menjadi seorang ibu pada usia dua puluh dua
tahun." Emma tersenyum pada bayi yang baru lahir dalam pelukan gadis itu.
"Dia tampan." "Dalam sembilan bulan, itu bisa saja dirimu," kata Aidan lembut.
Berbagai emosi membengkak didalam dada Emma, dan dia merasa
seakan tidak bisa bernapas. Dia memejamkan matanya sejenak,
berusaha keras menjaga kewarasannya seperti benang rapuh yang
akan putus menjadi dua. Jawaban untuk semua masalahnya sedang
duduk tepat di hadapannya. Semua yang perlu ia lakukan hanya
mengatakan ya, dan akhirnya dia bisa menjadi seorang ibu. Tapi
semua ini terlalu kewalahan untuk dicerna dan dia sangat
membutuhkan untuk menjauh dari Aidan agar bisa berpikir dengan
jernih. Ketika akhirnya dia membuka matanya lagi, ia menemukan Aidan
menatapnya. Dia tersenyum minta maaf. "Aku sangat kacau pada
hari ini. Aku membutuhkan beberapa waktu untuk berpikir tentang
hal ini." "Aku mengerti. Ambil semua waktu yang kau butuhkan. Kau tahu
dimana menemukan aku."
Emma mengangguk kemudian berdiri. "Terima kasih untuk
minumannya ... dan untuk mendengarkan aku."
Aidan mengangguk. "Sama-sama."
Kemudian Emma melakukan sesuatu yang mengejutkan dirinya
sendiri. Dia membungkuk dan mencium pipi Aidan. Ketika dia
menarik diri, mata Aidan melotot. "Selamat malam," gumam Emma
sebelum terburu-buru keluar dari bar.
Udara musim panas seakan menampar wajahnya saat ia mulai
berjalan memasuki malam yang telah larut. emosi maupun fisiknya
telah terkuras habis, kakinya terasa goyah, dan dia agak tersandung
di trotoar yang tidak rata. Dia baru saja memasuki gedung parkir
yang remang-remang ketika seseorang menyambar lengannya.
Emma berbalik dengan menggunakan semua kekuatannya, kepalan
tangannya tertuju pada wajah penyerangnya. Sangat keras.
"Sialan, kau memiliki pukulan tangan kanan yang baik," Aidan
mengerang, dia membawa tangannya ke mata kanannya.
"Ya Tuhan, aku minta maaf! Aku tidak tahu itu kau!" Emma
meminta maaf. "Tidak, tidak apa-apa. Aku sangat bodoh tidak memanggil namamu
terlebih dahulu." Dia mengintip kearahnya dengan satu mata. "Biar
kutebak. Kau mengikuti kelas kursus program Pelatihan Bela diri
untuk Wanita dari Perusahaan?" Emma menganggukkan kepalanya.
"Yeah, well, mereka mengajarimu dengan baik. Aku hanya senang
kau tidak memakai metode kuno SING."
"Oh, Solarplexus, Instep, Nose, Groin?" (Ulu hati, Telapak kaki,
Hidung, Selangkangan) Aidan mengangguk. "Menendang tepat di bolaku itu tidak akan
bekerja dengan baik pada penawaranku."
Dengan putus asa mengubah topik pembicaraan menjauh dari bagian
kejantanannya, Emma bertanya, "Apa yang kau lakukan disini?"
"Mobilku parkir di sini."
"Oh, ya benar," gumamnya, merasa seperti seorang yang idiot.
"Dan aku berjanji pada Connor aku akan memastikan kau sampai ke
mobilmu dengan selamat."
Emma berusaha melawan debar jantungnya melihat kebaikan hati
Aidan. "Terima kasih. kau baik sekali. "Dia menunjuk kearah lorong
yang menurun. "Mobilku disana."
"Aku bisa mengantarmu." Ketika Emma menatapnya dengan sinis,
dia menyeringai. "Kau tahu, untuk membuktikan etika kesopanan
seorang pria pada wanita tidak hilang."
"Oke, kalau begitu."
Suara sepatu mereka bergema di lantai beton, mengisi kesunyian
tempat parkir. "Jadi, um, apa kau tinggal di dekat sini?" Tanya
Aidan. "Tidak, aku sekitar tiga puluh menit dari sini, tepatnya di East
Cobb." "Itu tidak terlalu buruk untuk mengendarai mobil sendirian. Kau
tahu, ketika jalanan sepi."
Emma menundukkan kepalanya untuk menahan cekikikannya pada
upaya buruk Aidan dalam berbasa-basi. Emma pasti tidak bisa
menyembunyikan rasa gelinya dengan baik karena tiba-tiba Aidan
bertanya, "Apa yang lucu?"
Emma tersenyum. "Oh, aku hanya penasaran kapan kau mungkin
akan menyinggung masalah cuaca."
"Aku buruk, ya?"
"Tidak apa-apa."
Aidan menyeringai kearahnya. "Kurasa aku kehilangan trikku karena
kau tidak seperti wanita yang biasanya aku dekati." Ketika Emma
akan membuka mulut untuk protes, Aidan menggelengkan
kepalanya. "Percayalah, Em, ini sebuah pujian."
"Oh, aku mengerti." Emma menunjuk mobil Accord-nya. "Well,
disinilah mobilku." "Connor akan bangga aku bisa membuatmu aman tidak kekurangan
apapun sampai disini."
Emma mendengus saat ia merogoh kunci keluar dari tasnya. "Jika
dia masih hidup untuk melihatku besok setelah mengoceh banyak
kepadamu seperti yang dia lakukan. Aku terkejut dia belum
mencopot papan billboard di I-75 bertuliskan, "Tolong Hamili
Temanku!" Aidan tertawa. "Jangan terlalu keras pada dirinya. Dia sangat peduli
padamu." Mata Emma membelalak karena terkejut mendengar kelembutan
nada suara Aidan. "Aku tahu." Mereka berdiri dengan canggung
sejenak, saling menatap. "Well, terima kasih sekali lagi untuk malam
ini dan untuk menemaniku berjalan sampai ke mobilku."
"Sama-sama." Sementara Emma menekan tombol unlock pada
remote alarm dikuncinya, Aidan mulai berjalan menjauhinya, tetapi
kemudian ia berhenti. Dia berbalik sambil menggelengkan
kepalanya. "Oh persetan." Menarik Emma yang sedang lengah,
Aidan mendorongnya ke mobil. Aidan membungkus tangannya
disekeliling pinggangnya, menyentaknya menempel pada Aidan.
Aliran listrik menggelitik menjalari Emma karena sentuhan Aidan,
dan aroma tubuhnya menyerang lubang hidungnya, membuatnya
merasa pusing. Dia menggeliat di dalam pelukannya. "Apa yang kau-"
Aidan membungkamnya dengan membungkuk diatasnya dan
bibirnya melumat bibir Emma. Dia memprotes dengan
mendorongkan tangannya ke dada Aidan, akan tetapi kehangatan
saat lidah Aidan membuka bibirnya membuat dirinya tidak berdaya.
Lengan Emma jatuh lemas di sisi tubuhnya.
Tangan Aidan menyapu dari pinggangnya sampai punggungnya. Dia
melilitkan jari-jarinya disela-sela rambutnya yang panjang saat
lidahnya masuk kedalam mulut Emma, membelai dan menggoda
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Emma. Tangan Emma naik membungkus lehernya, menarik Aidan
lebih dekat dengannya. Ya Tuhan, sudah begitu lama dia tidak
dicium oleh seseorang, dan Travis setelah seminggu baru tumbuh
keberanian untuk menciumnya seperti ini. Aidan sangat panas dan
ciumannya terasa nikmat, dia orang pertama yang tidak perlu
menunggu untuk melakukannya.
Menggunakan pinggulnya, Aidan menahan Emma dan menjepitnya
di mobil saat ia terus melumat bibirnya. Tepat pada saat Emma pikir
dia tidak bisa bernapas dan akan pingsan, Aidan melepas bibirnya.
Menatap ke arah Emma dengan matanya yang berkabut dan mabuk
akan gairahnya, Aidan tersenyum. "Mungkin ini akan membantumu
mengambil keputusan."
Kemudian ia menarik diri dan memulai berjalan kembali menuruni
lorong, meninggalkan Emma yang meleleh, kacau, dan sendirian
sedang bersandar di mobil.
*** Bab 3 Keesokan harinya pada saat jam makan siang, Casey berjalan
melintasi pintu ruang kerja Emma dan melemparkan dompetnya di
atas meja kerja Emma. "Apapun kondisinya, jangan biarkan aku
mendekati mesin otomatis membeli makanan. Seminggu lagi aku
punya janji untuk pengepasan gaunku, dan selama itu aku hanya
boleh makan salad dan seledri."
Emma tertawa tidak begitu antusias. Dibenaknya dia masih belum
pulih dari kejadian tadi malam, diaterlalu sibuk mengurusi Casey
untuk diet agar terlihat ramping saat menggunakan gaun
pengantinnya. Sepanjang malam ia tidak bisa tidur mencoba untuk
membuang dan berpaling saat pikirannya terus berkutat dengan
tawaran yang diajukan Aidan. Namun sebagian besar ia terjaga
karena bibirnya masih terasa terbakar akibat ciuman Aidan yang
begitu panas, tubuhnya terasa sakit menahan kerinduan sepanjang
malam, sampai pada akhirnya Emma menyerah dan mengambil
vibrator miliknya dari laci nakas.
Setelah menjatuhkan tubuhnya di kursi, Casey memiringkan
kepalanya ke arah Emma. "Ada apa denganmu?"
"Tidak ada apa-apa." Emma berbohong.
Casey menatapnya sambil membuka wadah Tupperware-nya.
"Omong kosong. Kau terlihat sangat kacau."
"Terima kasih, aku menganggap kau berbicara seperti itu karena
stres menjalani diet rendah karbohidrat, dan kau tidak dengan
sengaja bersikap menyebalkan?"
"Ha, ha. Hari ini kau terlihat seperti sangat emosional ingin
membuat acara baby shower-mu sendiri." Jawab Casey sambil
makan sesuap selada. "Bukan, bukan seperti itu." Tanpa sadar Emma mencorat-coret
kalender mejanya. Meski belum yakin ia siap mengatakan apapun
kepada Casey tentang semalam saat bersama Aidan, ia seperti akan
meledak jika ia tidak memberitahu seseorang. Pada saat yang sama,
ia tahu ia membutuhkan saran sahabatnya jika dia benar-benar akan
menerimatawaranserius dari Aidan. "Case?"
"Hmm?" Casey tidak mengangkat wajahnya, ia malah memandangi
saladnya dengan ekspresi jijik. "Kau tahu, saat ini aku ingin
membunuh seseorang yang membuat ranch dressing (saos untuk
salad)." "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
Dengan cepat Casey mengalihkan perhatiannya dari kotak
Tupperware-nya ke Emma. "Ough sial. Aku tidak suka nada
suaramu. Ada apa" Apa kau dipecat" Tidak, tunggu, apa aku yang
dipecat?" Emma melambaikan tangannya tanda tidak peduli, "Bukan, bukan,
bukan seperti itu. Ini tentang..." Emma menarik napas panjang.
"Setelah acara Baby shower, aku pergi minum dengan Aidan
Fitzgerald." "Oh Tuhan, kau tidak boleh melakukan itu! Em, aku sudah
memperingatkan kamu tentang dia! Casey memejamkan matanya
dengan erat. "Tolong katakan padaku, dia tidak memanfaatkan
kondisi emosionalmu yang sedang rapuh setelah acara Baby
shower." "Aku tidak sebodoh itu," Emma menghela napas.
Casey membuka mata gelapnya. "Lalu apa yang terjadi?"
Emma lalu meneruskan untuk menceritakansemuanya pada Casey,
dimulai dari kemunculan Connor dan penentangan Emma tentang
penawaran DNA dari Aidan. Ketika Emma sampai dibagian
penawaran Aidan yang menginginkan Emma bisa hamil secara
normal, Casey langsung bangkit dari tempat duduknya, dan
melemparkan salad ke depannya. "Gila, Em!"
"Aku belum menyetujuinya."
Mata Casey membelalak. "Kenapa tidak?"
"Kenapa tidak" Dua detik yang lalu kau begitu ketakutan saat kau
berpikir aku sudah tidur dengan Aidan!"
"Jelas tidak sama. Aku tahu kau menginginkan sebuah hubungan seorang suami, dan
Aidan Fitzgeral bukan sosok seorang suami. Tapi
aku yakin ia memiliki sperma yang luar biasa sempurna." Saat
Emma tidak menjawabnya, Casey membungkuk diatas meja Emma.
"Kenapa kau menolak tawarannya?"
Emma tidak mau melihat ke atas, ke arah Casey. "Uhm...Kau tahu."
"Itukah jawabanmu" Aku tidak bisa memikirkan kemungkinan
alasan untuk mengatakan tidak! Biarkan aku menjelaskan ini
padamu, Kau memiliki kesempatan untuk mendapatkan apa yang
sangat kamu inginkan di dunia ini, seorang bayi, dari seseorang yang
sangat pintar, sehat, berwajah tampan, dan semua itu digabungkan
dengan potensi kegiatan seks luar biasa."
Wajah Emma memerah dan ia menggelengkan kepalanya. "Kau
sudah tahu pengalamanku, atau tidak berpengalaman, dengan para
pria. Aku bahkan tidak tahu bagaimana untuk memulainya."
"Oh, saat ini aku punya sejuta skenario yang berbeda di kepalaku
tentang bagaimana kau bisa memulainya." Jawab Casey, sambil
menaik-turunkan alisnya dengan cepat.
"Eww!" Emma menjerit.
Casey tertawa. "Oke, oke, aku tak akan menyiksamu lagi dengan
hal-hal yang berbau seks."
"Terima kasih."
"Tapi," Casey berkata, dengan mengangkat satu tangannya. "Hanya
jika kau berjanji untuk menerima tawaran Aidan."
Dengan frustasi Emma mengacak-acak rambutnya. "Percayalah
padaku, ada suara begitu bersikeras dan menjengkelkan di kepalaku
yang memberitahuku untuk segera berlari dengan sangat cepat ke
kantor Aidan dan mengatakan iya padanya. Seolah hal itu adalah
suatu pukulan aneh memutar takdir yang membuat Aidan muncul
seperti itu tadi malam."
"Kedengarannya suara yang berbicara padamu datang dari alasanitu
dan aku sangat setuju dengan suara itu. Aidan menawarkan padamu
untuk merasakan pengalaman sekali dalam seumur hidup, dengan
berhubungan seks lebih dari satu kali agar membuatmu hamil.
Maksudku, jika saja aku tidak jatuh cinta pada Nate selama lima
tahun ini, aku akan mempertimbangkan untuk membiarkan Aidan
melakukan suatu permainan untukku."
Emma menyilangkan lengannya di depan dadanya. "Oh benarkah?"
"Ya," jawab Casey sambil melamun. "Seperti yang pernah aku
katakan padamu sebelumnya, Aidan adalah pria menarik dan sangat
seksual. Siapa yang tidak ingin mendapatkan pengalaman seksual
dengannya setidaknya sekali seumur hidup?"
"Jadi kau mengatakan Nate bukan pria menarik dan tidak seksual?"
Casey tertawa. "Nate hampir tidak memiliki seks yang hebat. Tapi
aku selalu membuatnya menjadi seks sedikit liar di hari-hariku, jadi
aku sangat puas dengan apa yang kumiliki." Casey membungkuk
untuk mengambil kotak makanan dan peralatan makannya yang
dibiarkan tergeletak. Sambil mengayunkan garpu ke arah Emma, ia
berkata. "Sebaliknya kau, di sisi lain, kau memiliki kebutuhan
seksual yang harus dipenuhi."
Emma memutar matanya. "Tolong jangan bawa kehidupan seksualku
dalam masalah ini." "Ayolah Em. Apa kau tidak sedikitpun merasa penasaran tentang
bagaimana rasanya berhubungan seks dengan dirinya?"
Rasa panas mulai menjalar di pipi Emma saat memikirkan ciuman
membara Aidan sampai tubuhnya menempel mobil. Jika Aidan bisa
membuatnya begitu bergairah di tempat parkir yang suram, apalagi
jika ia melakukan di dalam kamar tidur" "Tentu saja aku penasaran,
aku sedang mencapai titik puncak dalam kehidupan seksualku, jadi
area gairahku sepenuhnya belum padam."
"Lalu, apa sih masalahnya?"
Dengan serius Emma mengerutkan bibirnya. "Baiklah, caramu
membandingkan disini benar-benar buruk. Aidan itu seperti
melakukan seks di sirkuit balap di Indianapolis sepanjang 500 mil,
dan aku membutuhkan seseorang yang lebih seperti..."
"Bemper mobil?"
"Aku tadi akan mengatakan, aku ingin melintasi jalur lambat, dasar
kau sok pintar." Casey tertawa. "Maaf. Aku tak bisa menahannya." Ia menegakkan
tubuhnya di kursinya. "Ayo teruskan."
Emma memutar-mutar pensilnya tanpa sadar. "Maksudku
hubunganku dan Travis melangkah dengan kecepatan yang sama.
Tentu saja, aku pernah terlibat aktivitas seksual dengan beberapa
pria, dan melakukan base ketiga: berciuman, bercumbu dan penetrasi
dengan mereka, tapi tidak dengan Travis. Dia hanya dengan satu
gadis yang lain. Kami berkencan sangat lama, namun ia mau
bersabar dan menunggu." Emma menggelengkan kepalanya. "Aidan
tidak membuatku terkesan sebagai pria yang penuh pengertian. Dia
lebih seperti tipe 'wham, bam, thank you ma'am' berhubungan seks
dengan seseorang yang tidak kau kenal setelah itu kau langsung
meninggalkannya." "Kau tidak akan tahu kecuali kau mencobanya. Dan demi Tuhan,
Em, Aidan bukanlah seorang Neanderthal si manusia purba yang
akan menjambak rambutmu dan menyeretmu masuk ke guanya."
Casey terdiam dan menjilat bibirnya. "Walaupun di skenario dia
berpotensi memiliki kinky seks."
"Case, tolong." Emma mendesah.
"Baiklah. Ini adalah bagian terpentingnya. Terlepas dari apakah kau
sedang jatuh cinta dengan seseorang atau tidak, semua pembicaraan
ini mengenai seks. Jadi biarkan dia tahu apa yang kamu inginkan
atau tidak. Dia jelas sangat menginginkanmu jika Aidan bersedia
menawarkan DNA-nya untuk berhubungan seks denganmu, jadi aku
yakin dia pasti dengan senang hati melakukan semuanya sesuai
dengan keinginanmu."
Sekilas gambaran kebaikan dan kepedulian Aidan terlintas di pikiran
Emma. Aidan bukan seorang bajingan seperti yang dia pikirkan
sebelumnya. "Aku rasa begitu..."
Casey menghela napas. "Oke, Em, mari kita lupakan semuanya
tentang tekanan seksual dan pria seperti apa Aidan itu. Untuk
sejenak jangan pikirkan hal lain selain apa yang akan kau rasakan
jika tahun depan kau sudah bisa menimang bayimu sendiri di
tanganmu." Memikirkan hal itu air mata menyengatmata Emma, dan itu
membawanyakembali mengingat apa yang dikatakan Aidan padanya
tadi malam. Seorang bayi - itulah bagian terpentingnya. Tentu saja,
Aidan memang orang asing bagi dirinya, tapi itu sama saja, atau
mungkin bisa lebih buruk lagi jika ia memilih menggunakan donor
sperma. Dengan Aidan ia memiliki kesempatan untuk lebih
mengetahui kehidupan calon ayah bayinya secara langsung,
sementara jika ia pergi ke klinik hal itu tak mungkin ia dapatkan.
Emma tidak memiliki banyak pilihan, jadi jika ia ingin memiliki
seorang bayi, Aidan adalah pilihan yang paling masuk akal.
Emma menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan
keras. Casey berhasil memecahkan sedikit masalah yang ia
tinggalkan. "Sekali lagi kau telah membuktikan bahwa kau memang
cocok berada di dunia periklanan karena kau baru saja berhasil
menjual penawaran Aidan kepadaku."
Casey menjerit sambil berlari ke sisi meja. Melingkarkan lengannya
di leher Emma, dan tersenyum puas. "Oh, Em, bayangkan saja
tentang anak cantik yang kau buat dengan Aidan. Entah laki-laki
atau perempuan, suatu hari nanti dia pasti akan menjadi seseorang
yang akan membuat patah hati orang lain."
Emma tersenyum. Gambaran seorang bayi dengan mata hijau tajam
seperti miliknya dan berambut pirang kecoklatan dari Aidan terlintas
di benaknya. Emma akan membuat mimpinya menjadi kenyataan.
*** Bab 4 Beberapa hari kemudian ketika Emma mendongak, ia melihat sosok
Aidan sedang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Sambil
memegang telepon Emma memberi isyarat pada Aidan untuk masuk
ke dalam ruangannya. Saat Aidan melangkah masuk kedalam ruang
kerjanya, dengan enggan Emma mengalihkan perhatiannya pada
fitur ketampanan Aidan untuk kembali fokus pada suara di
sambungan teleponnya. "Ya, aku akan mengaturnya. Sekali lagi
terima kasih." Emma menutup teleponnya lalu menuliskan sesuatu di
buku agendanya. Setelah selesai, Emma tersenyum pada Aidan.
"Aku senang kau bisa menemuiku hari ini."
"Aku selalu senang meluangkan waktu untukmu Emma." Emma
kesal pada dirinya sendiri ketika Aidan tersenyum padanya pipinya
menjadi hangat bersemu kemerahan. "Aku menduga alasanmu
memintaku datang kesini karena kau menerima penawaranku."
Aidan mencondongkan badannya kedepan telapak tangannya
bertumpu di atas meja Emma. Wajah Aidan hanya beberapa inci dari
muka Emma. "Aku yakin kau sudah memikirkan masalah ini masakmasak, untuk
mempertimbangkan pilihanmu."
"Ya." Bisik Emma, tubuhnya mulai menyadari kedekatannya dengan
Aidan. Emma benci dirinya sendiri karena Aidan sangat
mempengaruhinya. "Apakah kau membayangkan ingin melihatku telanjang hingga
akhirnya kau menyetujui penawaranku?"
Senyuman nakal Aidan membuat Emma memutar matanya.
"Menurutmu bisakah kau bersikap sedikit dewasa dengan
mempertimbangkan betapa seriusnya situasi ini?"
Aidan tertawa dan duduk di kursi di depan Emma. "Baiklah, akan
kucoba." "Dari sudut pandang bisnis, ini akan menjadi keuntungan terbaik kita
berdua untuk masuk kedalam perjanjian ini. Pertama, kita harus
melakukan tes darah untuk memastikan tidak adanya kemungkinan
STD*atau masalah kesehatan lainnya."
"Aku bisa menjamin bahwa aku bersih, namun aku juga tidak
keberatan untuk menjalani tes."
"Terima kasih." Emma menyodorkan sebuah map manila kepada
Aidan. "Dan aku juga telah meminta pengacaraku untuk membuat
kontrak ini." Aidan melihatmap manila itu sebelum ia menatap kembali pada
Emma. "Sebuah kontrak, huh?" Aidan bersandardi kursinya dan
membuka map itu. "Apakah kontrak ini seperti buku seks kinky
dimanaisinya menjelaskan apa yang bisa kita lakukan dan tidak
selama berhubungan intim" Seperti batas keras dan kata aman?"
Emma merasa pipinya mulai terbakar karena malu. "Tentu saja
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak!" Aidan tertawa. "Aku senang mendengarnya. Asal kau tahu, aku
bukan tipe yang suka dengan hal aneh semacam cambuk atau
rantai." "Senang mendengarnya! Sekarang bisakah kau lebih serius, please?"
Emma menghela napas. Dia bangkit dari tempat duduknya dan
berjalan ke sisi samping meja kerjanya. "Kontrak ini menggaris
bawahi tentang menantikan kelahiran anak, atau kupikir aku harus
mengatakan kepadamu, sesuatu yang tidak bisa aku tuntut darimu
sehubungan dengan apa yang terjadi setelah kamu menjadi ayah dari
anakku." Saat Aidan membaca sepintas beberapa paragraf pertama,
Emma melanjutkan. "Terus terang, apa yang tertera disana adalah
untuk melindungimu. Disitu bisa di pastikan aku tidak akan pernah
mencoba menjeratmu mengenai kewajiban finansial, seperti
tunjangan anak atau nenuntut warisan dari seorang ayah."
"Di bagian kelima nampaknya tidak ada kaitannya sama sekali
dengan masalah finansial," jawab Aidan, sambil menyodorkan
kontrak ke Emma. Emma tak perlu membaca surat kontrak tersebut. Dia tahu dengan
pasti apa yang tertera di bagian itu. "Bagian kelima melindungi aku
jika kau ingin mencoba menuntut hak asuh atau ingin mengambil
anak itu dariku." "Kau berpikir aku akan melakukan hal seperti itu?"
"Tentu tidak. Itu hanya. Hanya saja pengacaraku mengatakan..."
Mata Aidan mulai terlihat semakin gelap. "Di paragraf ini ditulis aku
tidak akan pernah bisa berkomunikasi secara lisan ataupun kontak
fisik dengan anakku."
"Aku berpikir kau tidak menginginkan semua itu. Kau pernah
mengatakan padaku sebelumnya bahwa kau sesungguhnya tidak
pernah menginginkan anak ataupun bertanggung jawab sebagai
seorang ayah," bantah Emma.
"Memang benar, namun bagaimana jika aku berubah pikiran"
Katakanlah satu tahun dari sekarang aku ingin melihat anak laki-laki
atau perempuanku tumbuh besar" Dan bagaimana jika suatu hari
nanti anak itu ingin bertemu denganku?"
"Aku tidak tahu." Emma menunduk malu danmenyandarkan
tubuhnya di meja. "Jika Cornor yang akan menjadi ayah anakku, aku
memiliki jawaban atas semuanya. Kami sudah saling mengenal dan
menyayangi sejak kami berusia 12 tahun. Orang tua Connor
menginginkan cucu, jadi aku tahu Connor akan terlibat dalam
mengasuh anakku nanti, terlepas dari apa yang Jeff inginkan." Emma
lalu mengangkat kepalanya dan bertemu dengan tatapan penuh harap
Aidan. "Denganmu, semuanya terasa membingungkan."
Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Aidan lalu merogoh
kantung jas-nya dan mengeluarkan sebuah pulpen. "Ok. Kita
lakukan dengan caramu." Aidan akan menandatangani kontrak itu.
"Tunggu!" Emma berteriak.
Aidan terkejut dan melihat ke arah Emma "Ada apa?"
Emma menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan
keras. "Jika kau memang serius ingin melihat bayinya, kita bisa
merevisinya." "Baiklah. Tapi hanya mengubah bagian tentang aku bisa melihat
anakku. Aku tak menginginkan bagian dari mengganti popok atau
memberi susu di tengah malam, mengerti?"
Emma tersenyum. "Aku mengerti."
"Jadi kapan kita memulainya?"
"Sebetulnya, aku berharap bisa secepat mungkin...well, segera
setelah hasil tes kita keluar. Pada waktu itu aku seharusnya sedang
berovulasi." "Hah?" Pipi Emma merona, "Itulah waktunya dimana aku dapat dengan
mudah untuk hamil." "Jadi kita tidak akan berhubungan seks selama 24 jam dalam 7
hari?" Tanya Aidan sambil nyengir.
"Tidak. Bukan begitu caranya."
"Sayang sekali," kata Aidan sambil berpikir.
Emma memutar badannya kebelakang untuk melihat kalendernya.
"Apakah seminggu dari hari senin bisa?"
"Kedengarannya menyenangkan untukku."
Emma menggigit bibirnya, ia ragu-ragu sebelum dia menguraikan
seluruh permintaannya dalam membuat seorang bayi. Dia merasa
malu untuk membicarakan semuanya di hadapan Aidan.
"Katakan saja, Em," pinta Aidan, nadanya bercampur dengan geli.
Untuk sesaat Emma menyipitkan matanya ke arahnya karena Aidan
terlalu pandai membaca bahasa tubuhnya.
"Baiklah, jadi begini aturannya. Sebaiknya kita melakukan hubungan
intim dua hari sekali selama masa suburku. Berhubungan seks setiap
hari bisa menjadi kurang produktif bagi program kehamilan. Jadi
bisakah kau menemuiku lagi pada hari Rabu dan mungkin saja
Jumat?" "Sebuah jadwal seks untuk *MWF" Pasti efisien," kata Aidan sambil
merenung. "Tolonglah bersikap serius."
Sebuah cengiran nakal melintasi wajah Aidan. "Baik, beritahu aku
bila jadwalnya berubah. Aku akan siap dan ber-ereksi kapanpun kau
membutuhkan aku." "Terima kasih," jawab Emma, dengan senyuman agak kaku.
"Sekarang masalah sudah selesai, dimana kita harus bertemu?"
"Aku pikir kau ingin membuat hal ini seperti bisnis saja, jadi
mungkin lebih baik kita memilih tempat yang netral seperti kamar
hotel, dari pada rumahmu atau rumahku."
Emma menggangguk. "Kedengaran bagus."
"Bisakah aku membuat reservasi untuk kita berdua di Grand Hyatt?"
Mulut Emma ternganga. "Di Grand Hyatt?" Dia mengulangi katakata Aidan.
Aidan tertawa. "Aku bukan semacam pria yang suka dengan Best
Western atau Holiday Inn, Em."
"Oh, tidak, itu tidak apa-apa. Aku hanya berpikir, karena kau sudah
mau membantuku, aku akan menanggung biaya hotel, hanya saja
beberapa malam di Hyatt agak sedikit melebihi budgetku."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku yang akan
membayarnya." "Tapi..." "Aku rasa itu tepat untuk mengatakan aku menghasilkan uang lebih
banyak dari kamu, jadi biarkan aku yang mengurus masalah ini."
Pada saat Emma menarik napas tajam, Aidan mengangkat
tangannya. "Lagi pula, kau harus menabung untuk membiayai anak
itu." Walaupun Emma tidak menyukai Aidan menggunakan referensi
gajinya, namun ia menyadari Aidan ada benarnya juga. "Baiklah,
kau boleh membayar."
"Terima kasih."
"Jadi, hari Senin jam tujuh malam?" Tanya Emma.
"Itu sebuah kencan."
*** STD: Sexually Transmitted Disease/penyakit menular
MWF: Married White Female, Wanita kulit putih yang sudah menikah melakukan
hubungan seks dua hari sekali dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at).
Bab 5 Pada saat mendengar bel pintu, Emma melemparkan jubahnya begitu
saja dan bergegas menyusuri lorong menuju pintu untuk membiarkan
Casey masuk. Hampir saja pintunya terbuka saat Casey
menanyakan, "Bagaimana keadaanmu?"
Emma mengerang. "Seharusnya aku bertemu dengan Aidan satu jam
lagi, dan aku merasa akan muntah setiap saat. Aku mungkin
memerlukan pil penenang Xanax untuk membantuku melewati
malam ini!" "Aku bisa membayangkannya," jawab Casey saat dia melangkah
masuk ke ruang depan. "Tidak perlu takut. Aku sekarang disiniuntuk
berbicara denganmu agar kau tidak bunuh diri melompat dari
tebingdan meyakinkan kamu bahwa kau tampak begitu luar biasa."
Emma langsung memeluk Casey. "Kau tidak tahu betapa berartinya
itu untuk diriku." "Terima kasih, aku senang melakukan ini." Dia menepuk punggung
Emma. "Lagipula, kau selama ini juga telah membantuku melewati
berbagai hubunganku yangkacau selama bertahun-tahun. Aku
merasa berhutang padamu."
Mereka berjalan menyusurilorong dan memasuki kamar tidur Emma.
"Jadi, apa yang akan kau kenakan?" Tanya Casey.
Emma menunjukkearah gaun berwarna hitam yang kurang menarik
tergantung di pintu lemari pakaian. Caseymenggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak, tidak! Yang itu terlalu biasa untuk dikenakan malam
ini!" "Jujur saja, Case, dia tahu kalau aku orang yang pasti mau
berhubungan seks dengannya. Jadi apa masalahnya kalau aku
mengenakan pakaian ini" Lagipula aku tidak akan mepngenakan
pakaian itu dalam waktu yang lama."
Casey memutar bola matanya. "Jangan bodoh, Em. Para pria itu
senang melihat sesuatu yang menarik. Kau harus bisa membuat dia
benar-benar ingin merobek pakaianmu dan ingin menidurimu pada
saat pertama kali dia melihatmu."
"Tapi kami akan makan malam terlebih dulu," protes Emma saat
Casey bergerak menuju ke arah lemari pakaian dan menyalakan
lampunya. "Bagus, biarkan dia menderita sepanjang makan malam berlangsung
dan menginginkanmu sebagai makanan penutupnya!"
"Aku sama sekali tidak percaya kau bisa berpikir seperti itu, apalagi
mengatakannya." Casey mendengus dengan bangga. "Well, salah satu dari kita harus
memikirkan hal seperti ini."
Emma mengabaikan kata-katanya dan melangkah masuk ke kamar
mandi untuk mulai ber-make up. Dia menyapukan blush on warna
kemerahan ke pipinya yang berwarna gading saat Casey akhirnya
menerobos masuk melewati pintu. "Ooh, yang ini!" Dia
mengulurkan sebuah gaun strapless pendek berbahan sifon berwarna
emerald. Dinding kamar mandi yang berwarna ungu muda tiba-tiba seakan
mulai menekan Emma. Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat
ke arah Casey. "Tidak, aku tidak bisa mengenakan itu."
"Kenapa tidak" Ini seksi, tapi tidak tampak murahan, danini warna
favoritnya. Ditambah lagi, gaun ini akan menunjukkan lekuk
tubuhmu yang luar biasa itu!"
Perlahan-lahan, emosinyaterbakar memancar melewati dadanya, dan
untuk beberapa saat, dadanyaterasa begitu sesak hingga dia tidak
dapat berbicara. Ketika akhirnya dia bisa melakukannya,
suaranyaterbata-bata karena dipenuhi oleh emosinya. "Itu adalah
gaun yang aku kenakan pada saat pesta pertunangankudengan
Travis." Ekspresi senyuman Casey seketika berhenti, tapi kemudian ia cepat
berubah menjadi tersenyum kembali. "Sebaiknya kau harus
mengenakannya lagi. Saat itu adalah malam berbahagia, dan malam
ini juga satu-satunya malam yang membahagiakan karena akan
memulailembaran baru dari kehidupanmu, dimana kau akan menjadi
seorang ibu." Emma memandang gaun itu untuk sesaat. Sebuah gambaran
mengenaiibunya yang begitujelas terlintas di dalam pikirannya,
seakan meremas hatinya, dan dia tersenyum lebar. Suara ibunya
terngiang di benaknya sama persis kata-katanya ketikadi toko pada
hari itu. Oh Em, sayang, gaun ini sangat luar biasa! Kau akan
membuat napas Travis melayang jauh. Emma menutup matanya,
mencoba menikmati kenangan saat mereka berdua dan menjaga
emosinya agar tetap stabil. Ketika dia yakin bahwa dirinya tidak
akan menangis, dia membuka matanya dan tersenyum pada Casey.
"Kau benar. Aku harus mengenakan lagiagar bisa menambah lebih
banyak kenangan indah pada gaun ini."
"Itu baru semangat!" Casey melingkarkan lengannya disekeliling
Emma dan memeluknya dengan erat. "Sialan, aku bangga sekali
karena bisa menyebutmu sebagai sahabat baikku. Kau begitu kuat
dan tabah melewati seluruh kejadian buruk yang pernah kau alami,
dan sekarang kau memutuskan untuk memiliki seorang bayi
dariperutmu sendiri. Kau seorang *Steel Magnolia kecilku!"
Emma tersenyum. "Siapa yang tahu masalah hubungan seks tanpa
ikatanbisa membuatmu begitu sentimentil."
"Aku hanya ikutberbahagia denganmu, dan aku akan menjadi
seorang bibi." "Ibu baptis, ingat, kan?"
Casey mengerutkan hidungnya. "Aku tidak tahu apakah aku
memiliki moral dan etika yang pantas untuk melakukan tanggung
jawab besar sebagai seorang ibu baptis. Aku seorang bibi nakal yang
suka menyembunyikan film dengan rating R (film dewasa) dan
membeli minuman keras dalam saat aku masih di bawah umur."
Emma terkikik. "Secara mentalitas kita akan melakukan hal itu,
terutama sebelum kau benar-benar menjadi seorang ibu!"
"Gigit lidahmu untuk yang satu itu, missy. Kami harus bisa
membawa Nate melewati masa magangdi tempat kerjanya, sebelum
kami berpikirsoal anak."
Emma kembali ber-make-up, sedangkan Casey memandang lurus ke
arah rambut Emma. "Apa yang kamu pikirkan" Kamu kehilangan ikat rambut?"
"Tidak, Aidan menyukai rambutku dibiarkan terurai dan
bergelombang," Emma menjawab saat dia mengoleskaneye-shadow
di matanya. "Ah, ternyata gadisku memikirkan apa yang Aidan inginkan. Kau
membiarkan dia sepenuhnya mengontrolmu dalam waktu singkat!"
Emma memutar matanya. "Kenapa tiba-tiba aku merasa seperti
Scarlett O'Hara dalam filmnya Gone with the Wind saat dia
beraktingmenjadiwanita yang harus bertingkah sangat konyol untuk
mendapatkan seorang suami?"
"Well, secara teknis kau tidak melakukan semua ini agar
mendapatkan suami-kau hanya perlu membangunkanereksi Aidan
sekali... atau dua kali."
Tubuh Emma terguncang karena tertawa keras, membuat eyelinernyamelengkung keatas
sampai pelipisnya. "Case, sialan, lihat apa
yang telah kau lakukan padaku!" Katanya saat dia bisa mengambil
nafasnya lagi. "Aku" Aku tidak melakukan apapun selain mengatakan fakta yang
ada." Setelah membersihkan eyeliner yang berantakan, Emma mengangkat
pergelangan tangannya untuk melihat jam tangannya. "Sial! Aku
harus segera siap, kalau tidak aku akan terlambat!"
*** Emma memandang ke arah teleponnya berkali-kalinya. "Sial, sial,
sial!" Dia sekarang sudah terlambat lima belas menit, dan sms-nya
pada Aidan belum dijawab. Dia takut kalau Aidan marah dan pergi
begitu saja. Lagipula, Aidan tidak perlu menunggu untuk
mendapatkan wanita- merekabiasanya tidak segan-segan
melakukansekecil apapun perintahnya. Teleponnya bergetar saat
mobilnya bergerak menuju ke tempat valet. Dia merogoh dalam
tasnya untuk mencari teleponnya.
Langsung membuka pesan itu dan jantungnya berhenti kemudian
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti di restart. "Lebih baik kau segera kemari. Cepat. Jangan
mandi air dingin untuk meredakan hasratmu malam ini."
"Ma am?" tanya valet.
Dengan pikirannya yang masih dipenuhi oleh Aidan, dia bahkan
tidak menyadari saat pintu mobilnya sudah terbuka dan seorang pria
muda sekarang menatapnya dengan penuh harap.
"Oh, maafkan aku."
Emma mengambil tiket dari pria itu dan segera masuk ke dalam
hotel. Pandangannya menyapu orang-orang asing yang ada di lobi.
Ketika tidak menemukan Aidan, dia menjulurkan lehernya untuk
mencari Aidan di dalam ruangan yang sangat penuh.
Akhirnya, matanya bisa menemukan Aidan, dan Emma memberinya
senyum ragu-ragu. Aidan berjalan cepat menuju ke arahnya. Karena
melihat wajahnya yang frustasi, Emma mengangkat tangannya. "Oh,
Aidan, aku benar-benar minta maaf karena datang terlambat. Lalu
lintas benar-benar macet dan..."
Aidan membungkamnya sekali lagi dengan melumat bibir Emma.
Aidan menciumnya lebih lembut daripada waktu malam itu di
tempat parkir, karena sekarang mereka ada di tengah-tengah sebuah
lobi hotel yang ramai. Saat menarik dirinya, Emma memukul
lengannya. "Kau benar-benar harus berhenti melakukan itu!" Protesnya.
"Menciummu?" "Tidak, memotong kata-kataku."
"Maafkan aku, tapi aku tidak bisa menahannya. Penampilanmu
benar-benar sialan malam ini."
Mata Emma melebar kemudian tersenyum. "Oke kalau begitu, kau
dimaafkan." Aidan tersenyum. "Senang mendengarnya. Apa kau lapar?"
"Sedikit," Dia berbohong. Hanya dengan memikirkan makan
membuatnya ingin muntah. Ketegangannya masih sangat tidak
terkendali. "Ayolah." Dia menempatkan telapak tangannya di pinggang Emma
kemudian membimbingnya menuju restoran hotel ini. Seorang
pelayan yang mengenakan tuksedo mempersilahkan mereka duduk
di sebuah meja yang memiliki pemandangan menakjubkan saat
matahari terbenam di kota ini. Pelayan itu mencatat pesanan
minuman mereka kemudian meninggalkan mereka berdua.
Saat meraih menu, jari tangan Emma menyentuh jari tangan Aidan.
Aidan mendongak sambil memberi senyum khasnya yang seksi dan
mematikan itu. Campuran antara kerinduan yang membara dan
kegelisahan serta melumpuhkan itu mengalir dalam diri Emma, dan
dia segera mengalihkan pandangannya kembali kemenu itu.
Bernafas Em, Kau bisa melakukan semua ini.
"Makanan apa yang enak?" Tanya Aidan, suaranya memecahkan
kesunyian diantara mereka.
"Oh, aku tidak tahu." Bisik Emma, menjaga matanya agar tetap
tertuju pada daftar menu. Makanan adalah hal paling akhir yang dia
pikirkan untuk saat ini. Semua yang bisa dia pikirkan sekarang
adalah apa yang akan terjadi setelah makan malam nanti. Bagaimana
rasanya setelah akhirnya dia bisa berhubungan intim dengan
seseorang sekali lagi" Dan di atas semua itu, dia khawatir kalau
dirinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Aidan.
Emma sangat bersyukur ketika pelayan kembali lagidengan
membawa margaritanya. Dia memiringkan gelasnya lalu meneguk
minuman itu sebanyak mungkin, menyesapnya hingga setengah
gelas dan dia merasa menggigil ketika alkohol itu seperti menekan
perutnya. Pada saat pelayan mencatat pesanan makanan mereka, Emma sudah
menghabiskan minuman keras tequila itu dan memesan satu gelas
lagi. "Kurasa mereka membuat margarita yang benar-benar enak disini
ya?" Aidan bertanya sambil tersenyum agak cemberut.
Dengan antusias Emma menganggukkan kepalanya. "Sangat."
Saat Aidan menceritakan mengenai detil promosinya
sebagaiVPmarketing dan mengenai perjalanan-perjalanan yang akan
dia lakukan di masa mendatang, Emma ingin menghabiskan
Margaritanya yang kedua. Dia hampir tidak bisa mencerna apa yang
dibicarakan Aidan mengenai perjalanannya ke luar negeri dan dalam
negeri untuk melakukan bisnis. Sebaliknya dia fokus menghisap
minuman alkohol yang ada di gelasnya dengan menggunakan
sedotan kecil. Tanpa ragu, dia melambaikan tangannya pada pelayan
agar membawakan dia minuman lagi.
Aidan tiba-tiba berhenti di tengah-tengah kalimatnya dan
mengangkat alis matanya yang pirang. "Apa kau mencoba untuk
menjadi mabuk sehingga kau bisa bertahan saat melakukan seks
denganku nanti?" "Tidak, tidak, sama sekali bukan karena itu!" teriaknya.
Aidan mencondongkan tubuhnya di atas meja. "Minggu lalu kau
hanya minum setengah gelas margaritamu. Sekarang kau menenggak
margaritamu seperti seorang pecandu yang baru saja keluar dari
pusat rehabilitasi."
Emma mengambil napas dalam-dalam, keputusan terbaik adalah dia
akan mengatakan yang sebenarnya pada Aidan. "Aku hanya... aku
terlalu gugup. Itu saja."
"Mengenai kita yang akan tidur bersama?"
Emma menganggukkan kepalanya.
Alis mata Aidan terangkat lagi. "Apa kau kuatir aku akan
menyakitimu atau akan memintamu melakukan sesuatu yang tidak
kamu inginkan?" "Tidak, bukan sesuatu yang seperti itu."
"Lalu apa itu?" Tuntutnya.
"Aku kuatir kalau aku akan mengecewakanmu."
Mulutnya menganga karena begitu terkejut. "Bagaimana bisa kau
berpikir seperti itu?"
Emma mengangkat bahunya. "Karena kau sudah sering
melakukanbersama banyak wanita...sedangkan aku tidak memiliki
pengalaman. Aku hanya melakukan itudengan satu orang pria saja,
dan selain bersama dia, aku tidak tahu apa yang diinginkan oleh
seorang pria." "Pertama, terlepas dari rumor yang beredar apa yang dikatakan
orang lain sebenarnya jumlah wanitaku tidaklah terlalu banyak.
Emma, aku tidak meniduri setengah dari wanita di kota ini, aku juga
bukan Gene Simmons dari Kiss. Dan yang kedua, seks pada
dasarnya merupakan alasan yang sama sekali tidak peduli dengan
siapapun kau melakukannya. Lain halnyadenganperbedaan antara
apa yang disukai orang-orang dan keinginan mereka di atas meja
makan." Emma bermain-main dengan sedotan di dalam gelasnya. "Aku
merasatakut setelah kau bersamaku nanti, kau tidak ingin
meneruskanperjanjian kita."
"Maksudnyagairahkuakan matisetelah tidur denganmu yang tidak
berpengalaman itu sampai aku tidak menginginkan kamu lagi?"
"Ya," Bisiknya. Saat Aidan menjauhkan dirinya dan tertawa
terbahak-bahak, bibir Emma bergetar. "Itu tidak lucu."
Kegembiraannya memudar dengan cepat. "Oh Em, maafkan aku
karena telah melukai perasaanmu. Hanya saja aku tidak bisa
membayangkan bahwa kau sangat mempercayai hal-hal semacam
itu." "Well, aku memang mempercayainya." Dia mendesah. "Aku
mempercayainya." Aidan mengangkat jari telunjuknya. "Biarkan aku membuat masalah
ini menjadi sangat jelas. Tidak mungkin kau mengecewakan aku
sampai aku tidak menginginkanmu lagi." Kemudian dia
mendekatkan dirinya pada Emma-Napasnya membara,
menghanguskan kulit sensitifdi telinga Emma. "Aku terangsang
hanya dengan melihatmu saja."
Pipi Emma memerah saat mendengarkan kalimatnya itu. "Aku tidak
percaya kau baru saja mengatakan hal itu!"
Aidan tersenyum. "Itulah faktanya. Begitu aku melihatmu tadi, aku
langsung ingin menyeretmu ke lantai atas." Aidan meraih tangan
Emma, menariknya di bawah taplak meja dan meletakkannya di atas
pangkuannya. "Lihat apa yang telah kau lakukan pada diriku?"
Mulut Emma terasa kering saat mendengar kata-katanya, dan fakta
bahwa Aidan sudah hampir mengeras seperti yang diharapkan oleh
Casey. Emma menyapukan lidahnya di atas bibirnya. Cara Aidan
memandangnya membuat tubuh Emma bergetar dari ujung kepala
hingga ujung kakinya, terutama di antara kedua kakinya. Ya Tuhan,
Aidan begitu seksi-sedikit terlalu seksi, melebihi apa yang dia
inginkan. Jika Aidan menganggap Emma seksi danmerasa
terganggukarena hanya duduk saja di meja makan ini, Emma tidak
bisa membayangkan apa yang akan terjadisaat di tempat tidur
dengannya. Pada saat itu juga, antisipasi Emma memenangkanatas
ketakutannya sendiri. "Aku pikir aku sudah siap untuk naik ke atas
jika kau menginginkannya."
Alis mata Aidan terangkat karena terkejut. "Bahkan tanpa melewati
makan malam?" Emma menganggukkan kepalanya.
"Biar kutebak. Kau takut akan kehilangan keberanianmu?" Tanya
Aidan. Dengan jumlah alkohol yang tidak masuk akal telah memompa ke
seluruh tubuhnya, Emma memberinya senyum sensual. "Tidak, aku
memang sudah siap untuk tidur denganmu." Saat kata-kata itu lolos
dari bibirnya, Emma tersentak dan menundukkan kepalanya. "Ya
Tuhan, benarkah aku baru saja mengatakan hal itu?"
"Kalau kau terus berbicara kotor, aku tidak akan bisa sampai ke
lantai atas tanpa mempertontonkan kebodohanku pada seisi ruangan
ini." Dengan cepat dia memanggil pelayan untuk meminta tagihan.
Saat dia membayar, Emma berdiri dari kursinya, dia merasa ruangan
berputar di sekelilingnya. "Oh sial, aku pusing sekali."
Aidan meraih pundaknya agar Emma berdiri dengan seimbang. "Apa
kau yakin bisa berjalan?"
"Aku rasa bisa. Tapi apakah aku bisa minum lagi atau tidak, itu harus
diperdebatkan terlebih dulu."
Aidan terkekeh sambil meletakkan tangannya di pinggang Emma
dan membimbingnya keluar dari restoran. Emma menyandarkan
kepalanya di dada Aidan, menikmati aroma kayu dari cologne Aidan.
Pada saat Aidan mulai berjalan menujulift, Emma mendongak dan
bertanya, "Bukankah kita perlu check in terlebih dulu?"
Aidan merogoh lalu mengeluarkan kunci kamar dari dalam jaketnya
dan melambaikannya pada Emma. "Semua sudah diurus."
"Kau benar-benar seorang pria yang penuh dengan perencanaan,"
balasnya, kemudian tertawa seakan itu hal paling lucu yang pernah
dia katakan. Saat Aidan menunduk melihat kegeliannya, Emma
menggelengkan kepalanya. "Serius, tidak, aku tidak akan minum
lagi." "Tidak, kau cukup menggemaskan saat kau sedikit mabuk," Katanya,
lalu menekan tombol lift.
Pintu terbuka, dan mereka masuk ke dalam. Guncangan saat Lift
bergerak naik ke atas membuat kaki Emma tidak stabil, dan dia
menempel semakin erat pada Aidan. Lift berbunyi ketika sampai di
lantai mereka. "Silahkan kau keluar duluan,"desak Aidan saat pintu
lift terbuka. "Terima kasih." Tapi saat dia melangkah keluar, dia menoleh ke
kanan dan ke kiri, tidak yakin dia harus berjalan ke arah mana.
"Lewat sini," perintah Aidan, lalu menggandeng tangan Emma.
Ketikasampai di kamar mereka, pandangan Emma terpaku pada
papan nama yang terbuat kuningan tergantung di pintu kamar, dan
dia meraih lengan baju Aidan. "Apa yang kita lakukan disini"
Bukankah ini kamar untuk bulan madu."
"Ya, aku tahu itu saat aku memesannya. Aku diberitahu bahwa
kamar ini adalah salah satu kamar terbaik yang mereka miliki." Dia
menyeringai. "Selain itu, kupikir kaumungkin akan merasa lebih
nyaman melakukan apa yang akan kita lakukan nanti jika kita
seakan-akan sudah menikah."
Mata Emma mengerjap tidak percaya. "Itu manis sekali. Kau sudah
memikirkan segalanya. Bukankah begitu?"
"Semua hal yang bisa membuatmu nyaman."
Jantung Emma berdegup kencang mendengar kata-kata Aidan.
"Terima kasih."
Aidan membuka pintu kamar. "Silahkan masuk."
*** *Steel Magnolia: sebutan untuk seorang wanita yang kuat dan mandiri, namun
begitu feminim Bab 6 Emma berjalan menuju suite dan terkesiap. Taburan kelopak mawar
merah muda dan merah berserakan mengarah dari ruang tamu
menuju kamar tidur. Diatas meja kopi, sebotol sampanye yang
didinginkan di dalam sebuah wadah perak beserta dua gelas. Sebuah
mangkuk berisi strawberi berlumuran coklat membuat perutnya
menggeram. Dia mengalihkan pandangannya dan mengikuti taburan
mawar menuju kamar tidurdimana deretan lilin telah menunggu
untuk dinyalakan, dan sebuah kotak dengan pembungkus berwarna
merah muda diletakkan diatas tempat tidur.
Emma menoleh kembali kearah Aidan yang sedang mengangkat
bahunya untuk melepaskan jasnya. "Kau melakukan semua ini
untukku?" "Aku ingin menerima pujian, tapi para pegawai yang melakukan
semuanya, lilin beraroma buah-buahan dan bunga-bunganya,"
jawabnya, sambil melemparkan kartu kunci kamar hotel keatas meja.
Melihat ekspresi kebingungan Emma yang terus berlanjut, Aidan
tertawa ringan. "Apa yang kau harapkan" Sebuah tempat tidur single
dan seks kilat?" Aku tahu ini hanya tentang membuatmu menjadi
hamil tapi biarkan aku memberimu sedikit penghargaan."
"Tidak. Hanya saja aku tidak membayangkan seperti ini," Emma
tersenyum malu. "Untuk semua yang sudah kau lakukan, terima
kasih." "Sama-sama." "Apa yang ada di dalam kotak?" tanyanya,sambil menunjuk ke
tempat tidur. "Sesuatu untukmu."
"Untukku?" Aidan mengangguk dan menyerahkan kotak tersebut kepadanya.
"Sebelum kau membukanya, biarkan aku mengatakan ini. Kamu
sudah tahu kau tidak perlu melakukan apapun tapi cukup bernapas
untuk membuatku ereksi lebih keras ..."
"Aidan!" protes Emma.
Aidan tertawa mendengar kemarahannya. "Bagaimanapun juga aku
termasuk pria pecinta lingerie, jadi kupikir mungkin kau ingin
menyenangkan aku dengan mengenakannya."
Emma merobek kertas pembungkus kotak tersebut. Setelah
menyingkirkan kertas merah muda pembungkusnya, matanya
fokuspada satin berwarna hijau emerald. Jemarinya bergetar saat ia
menarik keluar baju tidur baby doll itu. Bagian atasnya bertabur
manik-manik hijau dan emas yang rumit serta sulaman bunga
dengan bahan tipis sampai pahanya sesuai dengan thong-nya.
"Apa itu oke?" "Sangat indah," gumamnya. Membayangkan Aidan berbelanja hanya
untuknya sungguh luar biasa. Apakah ia melakukan semua ini untuk
merebut hatinya ataukah kamarnya dilengkapi denganpakaian
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lingerie yang siap pakai" "Terima kasih."
Wajah Aidan berubah menjadi seringai lebar. "Aku tak tahu kalau itu
indah. Aku lebih berpikir kearah betapa seksinya kamu dalam
balutan warna hijau. Sama seperti gaun hijau di pesta natal dan
hanya kau satu-satunya yang mengenakannya malam itu."Dengan
lembut Aidan menyingkirkan sehelairambut pirang Emma dari
wajahnya. "Warna itu membuat segala sesuatu tentangmu terlihat
menonjol dari rambut sampai matamu."
"Tapi bagaimana kamu bahkan tahu ukuranku?"
"Casey membantuku untuk yang satu itu."
Emma memutar matanya. "Kenapa aku tidak kaget" Aku harus ingat
untuk berterima kasih padanya."
Aidan tertawa. "Well, jika hal ini membuatmu merasa lebih baik, dia
bersumpah akan memotong bolaku jika aku merusak malam ini
untukmu." "Dia tidak akan melakukannya, kan?" Emma melengking.
"Oh yeah. Dia akan melakukannya."
"Diantara Connor dan Casey, aku tidak percaya kau bahkan akan
melakukan semua ini."
"Tak masalah. Aku bisa berfungsi dengan baik walaupun dibawah
tekanan," gurau Aidan. Dia menggerakkan kepalanya kearah kamar
mandi. "Sekarang, seriuslahpersiapkan dirimu dan bergantilah
pakaianmu." Emma terkikih. "Baiklah kalau begitu."Dia masuk ke kamar mandi
dan menutup pintunya, menguncinya untuk alasan tepat. Dia
membuka ritsleting bajunya, lalugaunnya jatuh ke lantai, bahan sifon
gaunnya menimbulkan suara seperti bisikan. Setelah mengganti
celana dalamnya dengan thong, Emma melepas branya dan memakai
pakaian tidurnya. Tidak ada kancing ataupun ritsleting, hanya pita
satin dibagian tengah yang mengikatnya agar tetapmenempel di
tubuhnya. Ketika ia selesai, Emma menatap bayangannya sendiri di
cermin. "Oh my," bisiknya. Entah bagaimana mengenakan pakaian
tidur ini telah merubah dirinya menjadi seorang wanita yang benarbenar begitu
seksi. Emma bahkan seakan mendengar suara Casey yang terngiang
ditelinganya, "Ayo dapatkan dia, sayang!"
Saat tangan Emma mencapai pegangan pintu, dia mengambil napas
supaya tenang sebelum membukanya. Aidan membelakanginya saat
ia melangkah keluar dari kamar mandi. Kamar tidurnya berkerlapkerlip oleh cahaya
lilin, suara musik lembut mengalun dari ihome di
sudut kamar. Emma masih tidak percaya bahwa Aidan melakukan
semua ini. Di dalam benaknya, ia membayangkan Aidan
menuntunnya menaiki tangga seperti cerita Big Band Wolf dan
memangsanya bahkan sebelum ia sempat menutup pintu.
Emma berdiri dengan canggung ditengah ruangan menunggu Aidan
menyadari keberadaannya. Ia berpindah-pindah dari satu kaki ke
kaki lainnya, menggosok lengannya yang telanjang.Akhirnya Emma
berdeham. Ketika Aidan berputar, matanya melebar. "Sialan, Em."
Menyadari dirinya sendiri Emma menarik-narik keliman baby dollnya, mencoba
menutupi dirinya lebih banyak lagi. "Bagaimana
penampilanku?" tanyanya, sambil perlahan-lahan berputar untuk
mendapatkan persetujuan Aidan.
Aidan memperpendek jarak diantara mereka dengan dua langkah
panjang. Membungkuskan lengannya disekeliling pinggang Emma,
ia menyentak tubuh Emma kearahnya. Hembusan napasnyayang
menggoda menyentuh pipi Emma, sambil berbisik ia berkata,
"Sialan seksi."
"Terima kasih."Terdorongoleh pujian Aidan, Emma mencondongkan
tubuhnya lalu membawa bibirnya ke bibir Aidan. Kali ini Emma
menyelipkan lidahnya masuk kedalam mulut Aidan, dengan penuh
semangat mencari kehangatannya. Tangan Aidan meluncur turun
dari pinggang Emma dan menangkup pantatnya. Aidan mengaitkan
salah satu kaki Emma keatas pinggulnya, menggesekkan ereksinya
ke tubuh Emma. Emma mengerang saat merasakan kebutuhan Aidan
yang terasa dari balik celana dalamnya yang tipis. Ketika Aidan
bergerakditubuhnya, Emma inginmerasakan lebih pada Aidan. Kulit
telanjang Aidan menempel pada tubuhnya.
Emma melepas sejenak bibirnya dari Aidan. "Apakah kau tidak
melepaskan pakaianmu?"
"Aku menginginkanmu untuk menelanjangiku."
"Oh," gumam Emma. Untungnya, Aidan sudah melepaskan dasinya,
jadi Emma tidak perlu khawatir dengan yang satu itu. Jari-jarinya
gemetaran meraih kancingkemeja Aidan. Dia meraba-raba saat
melepaskan kancing pertamanya sebelum melepas sisanya. Emma
membuka kemeja Aidan dan matanya melebar saat melihat pahatan
dada Aidan. Tanpa berpikir, Emma menjalankan tangannya turun ke
tengah dada Aidan, diatas absnya yang bagaikan papan cucian, dan
turun lagi menuju gesper ikat pinggangnya, menyebabkan Aidan
mengambil napasnyadalam-dalam dan otot-otot perutnya menegang.
Menikmatiefek yang ditimbulkannya bahkan hanya berupa sentuhan
kecil padanya, Emma mendongak dan tersenyum. "Dada yang bagus.
Aku berani bertaruh kau menghabiskan waktu berjam-jam di gym."
Sebelum Aidan bisa menjawab, Emma menggelengkan kepalanya.
"Apakah aku terdengar sangat klise?"
Aidan terkekeh. "Tidak, lebih mengarah ke kolam renang. Aku dulu
juararenang di seluruh negara bagian."
Hmm. Aku berani bertaruh kamu terlihat cukup lezat untuk dilihat
dengan celanaspeedomu, pikir Emma.
Dada Aidan bergetar karena tertawa dan Emma menyadari dengan
rasangeri karena ia melakukan kesalahan dan mengucapkan apa
yang dia pikirkandengan suara keras. "Mainkan kartumu dengan
benar, kau bisa mendapatkan apapun yang kamu inginkan dan
mungkin aku akan mengenakan satu untukmu."
Karena ingin melihat lebih banyak lagi bagian tubuh Aidan, dengan
tergesa-gesa Emma melepaskan gesper dan menyentak ikat pinggang
Aidan lepas dari celananya. Setelahmelemparkannya ke lantai,
Emma memandang kearahnya. Tatapan Aidan panas terbakar
menusuk kedalam dirinya, dan Emma merasakan kehangatan
mengalir di pipinya dan turun ke lehernya. Emma mengangkat
tangannya untuk melepaskan kemeja Aidan melalui lengannya.
Kemejanya jatuh ke lantai.
Sekarang yang tertinggal hanya celana Aidan, dan bagi Emma hal itu
cukup mempengaruhinya-atau setidaknya apa yang ada didalamnya.
BegituEmma membuka kancing celana Aidan, jemari Emma
meraba-raba risletingnya. Ketika ia mendorong kebawah, jemari
Emma menyentuh ereksi Aidan. Kejantanannya terasa mengeras
dibalik celana dalamnya, menunggu dibebaskan oleh sentuhannya.
Kembang Darah Setan 1 Raja Naga 7 Bintang Qi Xing Long Wang - Seven Star Dragon King Karya Khu Lung Wanita Iblis 23
The Propotition (The Propotition #1) by Katie Ashley Sinopsis: Dengan ulang tahun ketiga puluh semakin dekat, Emma Harrison
menyadari bahwa jam biologisnya berdentang dan sang ksatria
berbaju zirah ternyata belum muncul juga. Dia kehabisan pilihan,
terutama setelah sahabat gay-nya mundur untuk menjadi donor
sperma baginya. Tentu saja, selalu ada bank sperma, tapi Emma
takut kesalahan donor mungkin membuatnya hamil dengan
melahirkan bayi setan. Aidan Fitzgerald, playboy yang menjadi rekan kerja Emma, terbiasa
untuk selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, terutama di
kamar tidur. Ketika Emma menolak rayuan Aidan di pesta Natal
perusahaan, Aidan bertekad untuk memilikinya apapun resikonya.
Setelah dia tahu dilema yang sedang Emma hadapi, dia dengan
cepat menawarkan proposisi yang akan menguntungkan mereka
berdua. Dia akan menjadi ayah dari anak Emma, tapi dengan syarat harus
membuat Emma hamil dengan cara alami. Bukan hamil dari hookup atau seks tanpa
ikatan. Awalnya Emma enggan untuk menerima
tawarannya, tapi pesonanya, ditambah dengan keinginan kuatnya
untuk menjadi seorang ibu, akhirnya Aidan menang.
Segera sesi membuat bayi menjadi lebih dari sekedar hubungan
fisik. Aidan tidak bisa pergi darinya begitu saja sementara Emma
mulai bertanya-tanya apakah dia bisa menjadi pria pendamping
hidupnya. Namun dapatkah Aidan melupakan masa lalu dan
menjadi menjadi pria yang Emma butuhkan"
Copyright? 2012 by Katie Ashley
Bab 1 Emma Harrison berdiri di belakang untuk mengagumi hasil kerja
kerasnya. Senyum pendek penuh kepuasan terlintas di wajahnya.
Entah bagaimana dia bisa menciptakan keajaiban, berhasil
mengubah ruang konferensi lantai 4 yang suram menjadi bernuansa
merah muda terlihat sangat indah seperti yang dia impikan.
Dia sangat bangga akan dirinya sendiri mengingat mendekorasi dan
merencanakan pesta sebenarnya bukan keahliannya. Tentu saja saat
kesempatan datang untuk menjual gambaran yang dinginkan bagi
setiap calon ibu pada pesta 'baby shower' mereka, posisinya pada
salah satu biro iklan utama di Atlanta sangat membantu.
Memiringkan kepalanya, ia memperhatikan spanduk "Bayinya
Seorang Putri" yang tergantung sedikit miring ke kiri. Setelah dia
membetulkannya, ujung-ujung jarinya merapikan bagian atas taplak
meja warna pink pucat yang dihiasi dengan minuman dan hadiah
yang dibungkus kertas warna-warni dari tamu yang akan datang.
Dia meniup sejumput rambut merah yang keluar menutupi wajahnya
dan mencoba merapikannya kembali ke ikatan di pangkal lehernya.
Ya, sebenarnya pesta seperti inilah yang kuinginkan untuk acara
baby shower-ku... jika aku bisa mengadakannya suatu saat nanti.
Rasa sakit yang menikam masuk ke dalam jantungnya sebelum
bergerak zig zag menembus dadanya. Perasaan seperti ini sudah
sangat familiar baginya saat ulang tahun ketiga puluhnya sudah
semakin mendekat, melayang di atasnya seperti awan gelap,
sementara menjadi Ibu, bersama dengan Tuan Idaman, masih
menghindarinya. Tidak memiliki suami dan anak lebih menyakitkan
apalagi setelah kematian orangtuanya. Setelah kehilangan ibunya
dua tahun lalu, dia sudah bersumpah akan menggantikan cintanya
yang telah hilang dengan mencari suami dan memiliki seorang anak.
Sayangnya, tidak apa satupun dari kehidupannya terlihat berhasil
sebaik seperti yang direncanakan di dalam kepalanya.
Berjuang keluar dari lamunannya, ia membalik arlojinya-milik
almarhum ibunya dulu-untuk mengecek waktu. Hanya lima belas
menit sebelum tamu-tamu, sebagian besar teman-teman kerjanya,
akan tiba. Oke, Em, saatnya untuk memainkan wajahmu. Seorang
nyonya rumah di acara baby shower tidak akan membiarkan
monster pencemburu bermata hijau merasukinya dan menyebabkan
dia mengamuk, membalik meja dan melemparkan hadiah seperti
Hulk yang sedang murka! Kendalikan dirimu!
Ucapan penyemangat tadi hanya berpengaruh sedikit pada emosi
yang masih bergolak mengaliri dirinya. Dia mencengkeram meja
sampai buku-buku jarinya memutih. Saat air mata diam-diam
mengalir di pipinya, dia cepat-cepat menyekanya. Mengalihkan mata
hijaunya dengan tajam ke langit-langit, sambil berbicara di dalam
benaknya, Tolong bantu aku bisa agar melewati ini semua.
"Kau tahu, aku punya kikir kuku di laci meja kerjaku jika kau ingin
memotong pergelangan tanganmu. Akan jauh lebih cepat daripada
apa yang kau lakukan sekarang!"
Emma melompat dan mencengkeram dadanya. Dia berputar untuk
melihat sahabatnya, Casey, yang sedang menyeringai kearahnya.
Dengan panik dia mengusap air mata yang tersisa di matanya dengan
punggung tangannya. "Astaga, Case, kau sialan menakuti aku!"
"Maaf. Kurasa kau begitu tenggelam dalam kesedihan dan
membenci diri sendiri kau tidak mendengar saat kupanggil
namamu." Merundukkan kepalanya, Emma menjawab, "Aku tidak tahu apa
yang sedang kau bicarakan. Aku sedang memeriksa untuk
memastikan semuanya baik-baik saja sebelum semua orang datang."
Casey memutar matanya. "Em, apa yang kau pikirkan untuk setuju
membuat acara seperti ini" bunuh diri perlahan-lahan secara
emosional." "Bagaimana tidak" Therese-lah yang membuat aku mendapatkan
pekerjaan di sini. Dia mengajari aku sampai aku tahu semuanya. Dia
telah melakukan tiga kali Fertilisasi In-Vitro (inseminasi buatan).
Jika ada orang yang layak dibuatkan acara baby shower, dialah
orangnya." "Yeah, tapi kau tidak harus menjadi satu-satunya orang yang
menyiapkan ini. Maksudku, dia akan sangat mengerti, terutama
dengan semuanya yang terjadi akhir-akhir ini dengan Connor."
Telepon Emma bergetar di atas meja. Dia melirik identitas penelepon
dan meringis. "Orang yang baru saja kita bicarakan menelepon."
"Apa dia masih menelepon dan mengirim pesan-pesan singkat tanpa
henti?" Tanya Casey.
"Yep. Beruntungnya aku."
"Biarkan aku yang menjawab. Aku akan memberitahu si brengsek
itu kalau kau akan melaporkannya ke polisi untuk surat perintah
penahanan atau semacamnya."
"Dia tidak berbahaya, Case."
"Kau hanya perlu memberitahu dia untuk menjadi pria yang
bertanggung jawab, berani dan memberimu beberapa sperma."
Sebuah cekikikan lolos dari bibir Emma. "semenarik apapun ide itu,
aku lebih baik tidak melakukannya. Masalah sperma/bayi inilah
yang memulai segala kekacauan ini."
Casey mendengus frustrasi. "Kenyataannya adalah idemu yang
mempertimbangkan seseorang untuk menyumbangkan spermanya
padamu yang konyol." Dia meletakkan tangannya di bahu Emma.
"Kau sangat cantik dan manis dan menakjubkan untuk meninggalkan
dunia kencan hanya karena ingin memiliki seorang anak."
"Promosi yang bagus dengan pujian. Apa kau pernah berpikir untuk
bekerja di bidang periklanan?" renung Emma.
"Ha, ha, sok pintar. Aku tidak berusaha untuk menjual sesuatu. Ini
kebenaran. Aku tidak tahu kapan akhirnya kau akan
mempercayainya. Yang paling penting, aku ingin tahu kapan semua
pria di sekitar kota ini akan menyadari itu dan melihatnya juga!"
Emma mengangkat tangannya dengan putus asa. "Case, mengingat
waktu biologisku sedang berdentang, dan bukan terus berdetak,
kupikir hal ini sedikit terlambat untuk semua itu."
"Tapi kau bahkan belum berusia tiga puluh tahun," protes Casey.
"Aku tahu itu, tapi aku menginginkan bayi sejak aku berusia dua
puluh. Aku ingin-tidak, aku butuh-untuk memiliki keluarga lagi.
Kehilangan orang tuaku dan tidak memiliki saudara laki-laki atau
saudara perempuan-" Suara Emma tersedak dengan sedikit emosi.
Casey mengusap lengan Emma dengan penuh simpati. "Kau masih
punya banyak waktu untuk memiliki bayi. Dan sang suami masih
bisa datang." Sambil memutar matanya, Emma berkata, "Mungkin aku perlu
mengingatkanmu tentang parade kencan dengan para idiot penuh
kesialan yang sudah kulakukan dalam enam bulan terakhir?"
"Oh, ayolah, mereka tidak seburuk itu."
"Apakah kita memberi nilai pada lingkaran ekstrim atau apa"
Pertama, ada Andy, si...," dia membuat tanda kutip imajiner dengan
jari-jarinya, "Akuntan yang baru bercerai, dengan istrinya yang
berhasil membuntuti kencan kami dan terus memarahinya di tengahtengah Cheesecake
Factory." "Sial, aku ingat dia sekarang. Bukankah akhirnya polisi dipanggil?"
"Oh ya. Aku harus menelepon Connor untuk datang menjemputku
sebab mereka berdua ditahan karena mengganggu ketenangan
umum!" "Jadi ada satu bibit yang buruk di antara kencan-kencan itu," bantah
Casey. "Lalu ada si pengurus pemakaman yang sangat menghiburku selama
makan malam bercerita tentang seluk beluk cara pembalseman,
belum lagi aku pikir ia memiliki keterikatan yang tidak cukup sehat
pada sebagian klien kesayangannya yang sudah almarhum itu."
Casey mengeluarkan suara mau muntah. "Oke, kuakui kalau
necrophilia (tertarik pada mayat) itu bisa mematikan siapapun dari
keinginan berkencan dalam beberapa waktu."
"Beberapa waktu" Bagaimana kalau keanehan itu seumur hidup,
Case?" Kata Emma sambil bergidik. "Terima kasih Tuhan, itu adalah
kencan pertama, dan dia tidak pernah menyentuhku."
"Jadi sudah dua telur yang buruk. Kota ini penuh dengan pria di luar
sana, Em." Emma menyapukan tangannya ke pinggulnya. "Dan kurasa kau
mengalami amnesia tertentu mengenai Barry, si dokter gigi?"
Casey mengerutkan wajahnya seperti kesakitan. "Apakah dia masih
di penjara atas tuduhan kegemarannya mengintip orang?"
Emma menganggukkan kepalanya. "Untungnya, hukum negara kita
cukup keras bagi para brengsek yang menempatkan kamera
tersembunyi pada ruang ganti pria di gym!"
"Yah, mereka itu termasuk kasus yang sangat ekstrim."
"Terus terang, beberapa gadis yang lainnya di departemen kita
berpikir kalau aku harus menulisnya menjadi sebuah buku tentang
pengalaman kencan-kencan yang buruk!"
"Tunggu dulu. Kau juga sudah pernah kencan dengan beberapa pria
yang layak, juga." Emma mendesah. "Dan begitu mereka menyadari aku tidak akan
tidur dengan mereka sebelum makanan pembuka tiba, mereka
langsung kabur ke pintu. Seandainya kami benar-benar berhasil
melewati makan malam, maka bau mengenai keputusasaanku pada
perkawinan dan ingin segera memiliki bayi langsung mengusir
mereka." Casey menyeringai. "Lihat, kau melakukannya dengan cara yang
salah dalam hal ini. Kau harus melakukan sesuatu tanpa merasa
khawatir tentang risikonya dan berhubungan seks tanpa berpikir
untuk hamil." "Aku tidak berpikir begitu." Emma menggelengkan kepalanya.
"Hanya karena Connor berkelit dari ide mengenai penyumbang
sperma, bukan berarti aku akan menyerah. Entah mengapa,
bagaimanapun juga, aku akan memiliki anak untuk dicintai."
*** Aidan Fitzgerald menggosok mata birunya yang kabur. Dia
mengintip melalui sela jari-jarinya melihat jam di layar komputer.
Sialan, sudah jam tujuh lewat. Bahkan jika ia ingin menyelesaikan
proyek itu, otaknya sudah terlalu panas. Dia hampir tidak bisa
membaca kata-kata di depannya. Ia mematikan komputernya,
pikirannya tenang karena dia baru saja dipromosikan sebagai wakil
presiden pemasaran yang berarti dia bisa menunggu sampai besok
pagi dan tidak akan ada orang yang akan memarahinya jika
mengulur-ulur waktu. Sambil mengerang, Aidan bangkit dari kursinya dan meregangkan
tangannya ke atas kepalanya. Dia meraih tasnya dan menuju pintu.
Saat ia mematikan lampu kantornya, perutnya bergemuruh. Mungkin
tidak ada makanan di rumah untuk dimakan, jadi dia perlu membeli
sesuatu di perjalanan pulang. Sesaat terlintas di benaknya harapan
ada seorang wanita menunggunya dengan makanan rumahan. Dia
segera mengangkat bahu untuk membuang pemikiran seperti itu.
Beberapa makanan tidak sebanding dengan kerumitan hubungan
jangka panjang. Ujung-ujungnya, ia jauh lebih bahagia dengan
memohon untuk makan malam dari salah satu saudarinya yag telah
menikah. Setidaknya sebelum mereka melontarkan salah satu
kecaman mereka tentang bagaimana dirinya tidak bisa menjadi
seorang bujangan selama sisa hidupnya, dan di usia tiga puluh dua,
sudah waktunya bagi dia untuk menetap dan memiliki keluarga.
"Omong kosong," gumamnya pelan pada pemikiran itu. Wanita
cleaning service atraktif yang sedang menyusuri lorong mengangkat
kepalanya. Dia kemudian memberinya sebuah senyuman menggoda. "Selamat
malam Mr Fitzgerald."
"Selamat malam Paula," jawabnya. Dia memencet tombol Lift,
berusaha menahan keinginannya untuk menutup kesenjangan sosial
diantara mereka dengan memulai percakapan. Dia menyapukan
tangannya disela-sela rambut pirang terangnya dan menggelengkan
kepalanya. Berbicara dengan Paula kemungkinan besar akan
mengarah pada beberapa janji untuk bertemu di lemari gudang,
walaupun dia akan sangat menikmatinya, ia sudah sedikit lebih tua
untuk mendapatkan jenis seks semacam itu dengan Paula.
Lift membawa dia turun ke lantai pertama. Suara-suara teriakan
menyambut Aidan saat ia melangkah keluar, menyebabkan dia
menggerutu karena frustrasi. Sial, hal terakhir yang ia butuhkan
setelah bekerja lembur dan digoda dengan wanita cleaning service
adalah berhadapan dengan pertengkaran domestik. Dan dari nada
suara kedua pria dan wanita itu, sepertinya memang benar.
"Connor, aku tak percaya kau menyudutkan aku disini di tempat
kerja!" desis seorang wanita.
"Apa yang harus kulakukan" Kau tidak menjawab telepon atau
emailku. Aku harus melihat apakah kau baik-baik saja."
"Aku bilang padamu tinggalkan aku sendiri, dan aku serius!"
"Tapi aku mencintaimu, Em. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Saat terdengar suara gemerisik, suara wanita itu naik satu oktaf.
"Berhenti! Jangan berani-beraninya kau menyentuhku!"
Sisi protektif Aidan seakan bangkit saat mendengar nada wanita itu,
membuat dia bergegas menyusuri sudut itu. "Hei! Lepaskan tangan
sialanmu dari dia!" teriaknya.
Pasangan itu kaget saat melihatnya. wajah wanita yang dinodai air
mata itu menjadi memerah, dan ia menundukkan kepalanya untuk
menghindari tatapan intens Aidan. Seketika itu, ia mengenalinyaEmma Harrison,
bagian periklanan di lantai 4, dan wanita yang
pernah ia bujuk tapi tidak berhasil untuk diajak pulang dari pesta
perusahaan perayaan natal. Dari caranya menolak untuk menatap
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya, dia tahu Emma juga mengenalinya.
Aidan mengalihkan perhatiannya kepada pria itu, Connor, matanya
melebar karena ketakutan. Dia buru-buru melepaskan tangannya dari
bahu Emma dan mundur beberapa langkah. Connor tampak seperti
siap untuk lari keluar ke pintu exit terdekat. Aidan kemudian
menyadari bagaimana penampilannya begitu mengintimidasi dengan
tinju terkepal di samping sisi tubuhnya, rahangnya menegang. Dia
mencoba mengendurkan sikapnya, tapi darah masih memompa
begitu keras di telinganya yang tidak bisa ia kendalikan.
Connor mengangkat tangan tanda menyerah. "Aku tidak yakin apa
yang Anda pikir sedang terjadi, tapi kami hanya berbicara."
Aidan menyipitkan matanya. "Kupikir dari cara dia menangis dan
memohonmu untuk berhenti menyentuhnya, itu jauh lebih dari
sekedar berbicara." Dia mulai akan bertanya pada Emma apakah dia
baik-baik saja, tapi ia melesat melewatinya dan melarikan diri masuk
ke kamar kecil. Aidan memelototi Connor.
"Dengar, Anda salah paham. Aku-"
"Apa yang tidak kuketahui" Kau jelas tidak bisa membiarkan bekas
pacarmu atau mantan istri atau apapun dia bagimu untuk pergi,
meskipun dia tidak bisa tahan saat kau menyentuhnya!"
Tawa gugup meledak dari mulut Connor. Dia terdiam pada saat
Aidan memiringkan alisnya kearahnya sambil maju selangkah.
"Percayalah, Anda begitu sangat, sangat salah. Emma bukan
mantanku." "Lalu apa masalahnya?"
Connor berdehem. "Baik, Anda mau tahu kenyataannya" Begini.
Aku gay, dan Emma sudah menjadi sahabatku sejak SMP."
Mulut Aidan menganga. "Serius?"
"Yep." "Huh...Kalau begitu aku mengakui kalau aku salah. Maaf tentang hal
itu." Connor mengangkat bahu. "Tidak apa-apa. Aku mungkin akan
melakukan hal yang sama jika kupikir ada seorang bajingan yang
mengganggu seorang wanita. Well, aku mungkin tidak jadi
melakukannya jika dia dua kali ukuran tubuhku seperti Anda." Dia
melirik melewati Aidan ke arah kamar mandi dan meringis. "Sialan,
aku benci ketika dia marah padaku. Aku tidak berpikir dia sangat
marah dan begitu terluka. Aku hanya tidak tahu apa yang harus
kulakukan untuk memperbaiki kesalahanku, kau tahu?"
Aidan menggeserkan kakinya, merasakan percakapan mulai
mengarah ke area emosional, yang mana ia selalu coba untuk
menghindarinya apapun yang terjadi. Dia mengangkat satu
tangannya keatas. "Hei bung, itu benar-benar bukan urusanku." Tapi
saat kata-kata itu meninggalkan bibirnya, ia yakin Connor tidak
memperhatikan apa yang dikatakannya. Ekspresi kesedihan dari
wajah Connor seolah mengatakan kalau dia tidak akan lolos tanpa
mendengar semua kisah dramatisnya, kecuali ia benar-benar
berusaha melarikan diri dari Connor.
Sambil menghela napas, Connor mengusap rambut hitamnya.
Dengan suara rendah, dia berkata, "Dia tergila-gila soal anak-anak,
seakan jam biologisnya dalam kondisi marah untuk memiliki bayi
sekitar dua tahun terakhir ini. Karena aku menyayanginya, aku
berjanji padanya aku akan menjadi ayah anak itu dan
menyumbangkan sperma untuk alasan itu."
Oke, jadi mungkin itu bukan cerita yang diharapkan Aidan. "Jangan
bilang padaku kau ketakutan ketika akan berhubungan seks?"
Connor merengut padanya. "Ha, ha, brengsek, benar-benar lucu.
Sekedar informasi buatmu, hal itu akan dilakukan di klinik."
"Di mana letak kesenangannya?" kata Aidan sambil merenung,
dengan senyum licik. "Bung, aku gay, ingat?"
"Maaf." Untuk alasan yang tidak ia pahami, Aidan begitu tertarik
dengan cerita itu, dia merasa perlu meminta Connor untuk
melanjutkan ceritanya. "Jadi apa yang terjadi?"
"Pasanganku tidak siap untuk memiliki anak. Aku berjanji padanya
bahwa Emma tidak selalu ingin aku terlibat, tapi ia tidak bergeming.
Suatu pilihan yang sialan sulit antara pria yang kucintai dan
sahabatku." "Mengapa dia tidak pergi ke bank sperma saja atau sesuatu yang
lain?" Connor tertawa. "Emma memiliki pikiran bahwa akan ada
percampuran mengerikan di mana pilihan sampel donor utamanya
ditukar dengan pembunuh berantai."
Aidan menyeringai. "Kurasa aku bisa memahami pikiran dia."
Sebuah dengungan berbunyi di saku Connor. Ia merogoh saku untuk
mengeluarkannya dan kemudian mengerang saat melihat ID-nya.
"Sial, ini dari Jeff. Dia akan memarahiku karena datang kesini dan
mencoba untuk berbicara dengan Emma. Aku benar-benar harus
pergi. "Tatapannya sekali lagi kearah kamar mandi. "Tapi aku benci
untuk meninggalkannya ..."
"Kau pergi saja. Aku akan mengantarnya sampai dia masuk ke
mobilnya dengan aman."
"Benarkah" Itu bagus sekali." Dia mengulurkan tangannya. "Senang
bertemu denganmu..."
"Aidan. Aidan Fitzgerald."
"Connor Montgomery." Setelah mereka berjabat tangan, Connor
tersenyum. "Terima kasih atas semua bantuanmu dan untuk semua
kesalah pahaman pada situasi ini."
Aidan tertawa. "Menyenangkan sekali karena aku hampir saja
menendang pantatmu."
"Hei," jawab Connor. Saat teleponnya berdering, dia mengernyit dan
melambaikan sedikit tangannya sebelum membawa telepon ke
telinganya. "Babe, yeah, maaf aku belum membaca pesanmu. Aku
sedang dalam perjalanan pulang sekarang." Dia mendorong pintu
kaca dan menghilang dalam kegelapan malam.
Sambil menggelengkan kepalanya, Aidan mulai melintasi lobi
menuju kamar mandi. Dia mengetuk pintu. Dengan suara
melengking, Emma berteriak, "Pergilah, Connor! Tidak ada lagi
yang harus kukatakan kepadamu! Belum lagi, kau baru saja
mempermalukanku setengah mati di depan salah satu bajingan
terbesar di perusahaan ini!"
"Bajingan terbesar, ya?" Gumamnya pelan. Julukan yang tidak
pantas ia banggakan, terutama berasal dari seorang wanita. Dia
terbiasa mendengar gambaran lebih menyanjung mengenai dirinya
dari mereka. Well, setidaknya pada awalnya sebelum dia pergi
menjauhi mereka. Setelah itu, biasanya berbelok menjadi sesuatu
yang menjijikkan. "Aku tidak akan meninggalkan kamar mandi ini sampai aku tahu kau
pergi!" Aidan mendesah. Dia gadis yang memiliki tekad, itu sudah jelas,
belum lagi dia tampak keras kepala. Di dalam pikiran Aidan terlintas
kembali bagaimana cantik dan seksinya dia saat terlihat di pesta
Natal itu, bagaimana gaun hijau ketat yang ia kenakan menempel di
lekuk tubuhnya yang membuatnya tampak sangat menarik. Ketika ia
melihatnya melintasi ruangan dengan beberapa teman
perempuannya, Aidan telah bertekad untuk menghabiskan malam
bersamanya. Senyuman malu-malu dan lirikan ke arahnya melalui
bulu matanya seolah mencemooh Aidan yang mendekat untuk
menutup jarak diantara mereka. Tentu saja, pada saat ia tiba di
sampingnya, teman-temannya yang suka ikut campur sudah
memberitahu dia tentang reputasinya yang meragukan sebagai
seseorang yang suka membuat patah hati wanita dan seorang
playboy. "Dasar wanita," gumamnya pelan saat dia mendorong pintu kamar
mandi. Emma terduduk di atas kain tenun yang menutupi bangku
panjang dengan tisu towel yang dibasahi di matanya. Di satu sisi,
roknya ketarik sampai ketengah pinggulnya, memberinya sebuah
pemandangan kaki dan paha yang menakjubkan. Pada saat terdengar
suara langkah kakinya, dia mendengus dengan frustrasi. Dia
mengacungkan jari telunjuknya ke depan. "Aku bersumpah jika kau
tidak meninggalkan aku sendirian, aku akan menendang bolamu
dengan sangat keras, tidak akan ada lagi pertanyaan tentang apakah
kau bisa menjadi ayah dari anak-anakku!"
Aidan terkekeh. Rambutnya yang cokelat kemerahan menandakan
kepribadiannya yangbegitu berapi-api -salah satunya sudah pernah
dia tunjukkan di pesta Natal. Semua sikap malu-malunya menguap
dalam sekejap ketika gadis itu mengatakan kepadanya dengan
gamblang bahwa ia tidak punya keinginan untuk menjadi salah satu
gadis yang mudah dia taklukkan atau hubungan satu malam.
"Sebenarnya, aku bukan Connor."
Saat mendengar suara orang asing, Emma menarik tisu towel
menjauh dari matanya. Rasa ketakutan menyapu wajahnya saat
melihat Aidan berdiri di hadapannya. Dengan cepat, ia menyentak
roknya ke bawah dan merapikan rambutnya yang acak-acakan
dengan jarinya. "Aku tidak berharap bertemu dengan Anda, Mr
Fitzgerald," katanya, pasrah.
Sebuah seringai muncul di wajah Aidan. "Tidak, aku membayangkan
kau berharap kau akan mengebiri Connor."
Pipi dan leher Emma memerah sewarna dengan rambutnya. "Aku
minta maaf, anda terpaksa mendengar itu, dan aku sangat menyesal
Anda juga harus ikut terseret di tengah-tengah argumen kami.
Seberapa pun memalukannya-memang memalukan-aku menghargai
apa yang coba Anda lakukan."
Aidan mengangkat bahu. "Aku senang bisa membantu."
"Well, aku sangat berterima kasih. Dan aku minta maaf telah
mengacaukan malam anda."
Tidak pernah luput menggunakan sebuah kesempatan, Aidan
menyeringai. "Kau tidak merusak malamku. Bahkan, malam masih
panjang, jadi mengapa kau tidak membiarkan aku membelikanmu
minuman?" Dia memutar tisu towel di tangannya sebelum melemparkannya ke
tempat sampah. "Um, baik sekali tawaran anda, tapi hari ini sangat
berat dan melelahkan. Aku mungkin harus segera pulang."
"Kita bisa berjalan tepat di seberang jalan ke tempat O'Malley." Di
saat keraguan Emma berlanjut, Aidan tertawa. "Aku janji itu bukan
suatu tawaran untuk mencoba untuk memberikanmu alkohol yang
dalam kondisi emosional lemah agar bisa mengajakmu pulang
denganku." Diam-diam, Aidan berharap minum satu atau dua gelas
mungkin bisa mencairkan lapisan es Emma dan memberinya
kesempatan bergerak untuk meraup keuntungan.
Aidan tidak terlalu terkejut ketika perasaan syok membanjiri wajah
Emma. "Benarkah?"
Dia menyilangkan jari di atas hatinya. "Aku berjanji," katanya
berbohong. Sudut bibir Emma tertarik keatas seolah dia sedang menahan
senyum. "Baiklah. Setelah aku mengalami hari ini, aku pastinya
memerlukan minuman." Dia melirik ke belakang ke cermin. "Oh,
aku benar-benar berantakan. Bisakah anda memberiku waktu
beberapa menit untuk merapikan diri?"
"Tentu saja. Aku akan menunggu di luar."
*** Note: Baby shower adalah semacam pesta kecil untuk calon ibu dan bayi berusia 7
bulan dalam kandungan dan setiap tamunya datang membawa hadiah. Jadi seolah-olah, ibu dan si
jabang bayi 'bermandikan' hadiah-hadiah yang diberikan oleh tamu-tamu tersebut ( kalau di
Indonesia ini seperti acara 7 bulanan). Bab 2 Ketika pintu tertutup di belakang Aidan, Emma menghembuskan
napasnya yang telah lama ia tahan dengan suara desahan yang
berlebihan. Merasa letih, dia bersandar di meja kamar mandi. Pergi
minum dengan Aidan Fitzgerald, apa kau sinting" Setiap wanita di
gedung ini tahu reputasinya "setubuhi-mereka-dan-tinggalkanmereka", kecuali kau
siap patah hati, kau seharusnya menjauhi
dirinya. Ingatan tentang pertemuan mereka di pesta Natal terlintas
seperti badai petir merasuk ke dalam benaknya.
Menjadi orang baru di perusahaannya, dia mengawasi setiap pria
lajang yang berpotensi. Setelah memergoki dia sering menatapnya
beberapa kali, dengan polosnya ia menanyakan pada Casey siapa
dia. Casey langsung menggelengkan kepalanya begitu cepat, Emma
yakin kepalanya akan mengalami salah urat. "Dia pria seksi
penggoda, Em, jadi kau harus menjauh darinya kecuali kau mau
ditiduri!" jawabnya.
Wanita yang lain menimpali dengan deskripsi yang sangat detail
mengenai Aidan yang terkenal suka mengeksploitasi wanita yang
berbeda di perusahaan itu. Jadi ketika Aidan mendatanginya sambil
berjalan santai dengan matanya yang menggoda dengan penuh
kesombongan, Emma menolaknya mentah-mentah, lalu kabur begitu
saja dengan penolakan keras Emma itu.
Emma mengeluarkan tempat make-up nya dari tas. Menatap ke
cermin, ia membubuhi kembali wajahnya dengan bedak tabur. Mata
basah karena air mata membutuhkan tambahan eyeliner, maskara,
dan eyeshadow. Sebagai sentuhan terakhir, dia mengoleskan lipstik
warna merah mawar di bibirnya.
Emma mengamati bayangannya dan mengerang. Mengapa kau
bahkan peduli dengan wajahmu" Semua yang ia pedulikan adalah
penampilanmu dari leher ke bawah, bagian pinggang paling
disukainya! Ya Tuhan, dari semua pria di gedung ini, kenapa harus
Aidan yang datang untuk menyelamatkannya. Mr Manwhore
Fitzgerald (manwhore= pria pelacur). Dia adalah tipe pria yang tidak
terbiasa untuk ditolak, jadi dia pasti bangga bisa berhasil
mengajaknya kencan. Dia melemparkan tempat makeup-nya kembali ke dalam tasnya.
Dengan satu tarikan napas yang mendalam, dia melangkah keluar.
Sesuai dengan janjinya, Aidan duduk di salah satu bangku di luar
kamar mandi. Dia langsung berdiri saat ia melihatnya. "Siap?"
"Yap." Mereka mendorong pintu putar dan melangkah keluar menuju
trotoar. Suara sepatu hak Emma berbunyi disetiap langkahnya di
sepanjang trotoar. Udara hangat dari kesibukan lalu lintas yang padat
melewati mereka, mengibarkan bagian bawah rok pendeknya, dan
Emma berjuang untuk menahannya seperti adegan Marilyn Monroe
di film Seven Year Itch. "Kau sering pergi ke O'Malley?" tanyanya,
mencoba untuk membuat percakapan.
Aidan mengangguk. "Beberapa malam dalam seminggu aku dan
beberapa teman pria dari departemenku minum bir disini. Menonton
pertandingan terbaru." Dia menekan tombol untuk menyeberang.
"Bagaimana denganmu?"
Emma mengernyitkan hidungnya saat mereka mulai menyeberang
jalan. "Tidak pernah. Aku jarang berada di tempat seperti itu."
Ketika Aidan menaikkan satu alis kearahnya, dengan cepat dia
berkata, "maksudku, aku tidak apa-apa pergi denganmu malam ini.
Hanya saja ini bukan tempat nongkrongku bersama teman-teman
wanitaku." Dengan seringai khasnya, Aidan menahan pintu masuk O'Malley
terbuka untuknya. "Biar kutebak. Karena kau bersamaku, kau tidak
merasa khawatir tentang sekelompok bajingan yang sedang mabuk
akan menggodamu." "Tepat. Well, mungkin hanya satu bajingan yang sedang mabuk."
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil melirik ke arah Aidan. "Tergantung seberapa banyak yang
kau minum." Mata Aidan melebar sebelum dia tertawa. "Aku akan mencoba
menjaga diriku sendiri."
Seorang wanita muda berambut pirang berdiri di depan meja
penerima tamu. Dia tersenyum lebar saat melihat Aidan dan
membetulkan bajunya untuk memberinya pemandangan yang lebih
baik pada belahan dadanya. Aidan menghargai usahanya dengan
memberinya sebuah senyuman. "Bisakah kami mendapatkan satu
tempat, Jenny?" "Tentu, Aidan. Ikuti aku."
Saat Jenny berjalan sambil menggoyangkan pinggulnya di depan
mereka, Emma memutar matanya pada Aidan yang meresponnya
dengan mengedipkan matanya. Jenny menunjukkan tempat duduk
pada mereka di meja remang-remang di belakang bar. Dia
menyerahkan menu, kemudian menatap langsung ke arah Aidan.
"Sampai jumpa!"
Aidan memberinya lambaian kecil kemudian mengalihkan
perhatiannya ke menu. Merasakan tatapan panas Emma, ia kembali
lagi melihatnya. "Apa?"
"Tidak apa-apa," gumamnya.
"Jika tidak apa-apamu mengenai Jenny, aku sudah bilang aku sering
datang kemari." "Aku tidak mengatakan apa-apa," dia membantahnya.
"Kau tidak harus mengatakannya. Tatapanmu yang mematikan itu
sudah cukup memberikanku jawaban." Aidan menyeringai
kearahnya. "Karena aku tahu kau ingin bertanya, Jenny bukan salah
satu dari gadis yang ingin kutaklukan, dan aku tidak pernah
melihatnya di luar O'Malley. Selain itu, ayahnya yang pemilik
tempat ini, dan ia tidak akan ragu untuk menendangku!"
Untuk beberapa alasan, Emma mendengar pernyataan itu sangat
melegakan. Namun, dia berhasil menjaga wajahnya benar-benar
tanpa ekspresi sambil mengangkat bahunya. "Itu bukan urusanku."
Aidan hanya tertawa kecil saat pelayan mendatangi meja mereka.
"Apa yang bisa saya bantu untuk kalian berdua malam ini?"
Aidan mengangguk kearah Emma. "Aku ingin segelas margarita
dengan es batu tanpa garam, tolong," katanya.
"Heineken dalam botol."
Pelayan menulis pesanan mereka di atas kertas kemudian berjalan
menuju ke bar. Emma menyandarkan sikunya diatas meja dan
menempatkan kepalanya di tangannya. Sebuah napas panjang
kejengkelan lolos dari bibirnya.
"Hari yang buruk, ya?"
Dia mengangkat kepalanya, dan senyuman sedih melintas di
wajahnya. "Bukan salah satu hari yang terbaik. Aku benar-benar
tidak bisa menyalahkan Connor untuk hari terburukku juga.
Sebelumnya sudah benar-benar kacau saat menyelenggarakan acara
baby shower untuk Therese."
"Bosmu?" Tanyanya, dan Emma mengangguk. Pelayan kembali
dengan membawa minuman mereka. Emma meneguk sedikit
margaritanya sementara Aidan menenggak langsung banyak dari
botolnya. Sebuah perasaan cemas mendatanginya saat dia melihat
ekspresi penasaran Aidan, dan dia takut Aidan akan mengajukan
pertanyaan yang cukup kontroversi.
"Apa yang salah dengan baby shower" Seseorang menjadi sangat
mabuk karena minumannya dicampuri alkohol dan tidak ingin
bermain dengan salah satu permainan konyol seperti 'Tebak apa yang
ada di Diaper' ?" Oke, jadi itu bukan pertanyaan yang Emma harapkan. "Bagaimana
mungkin kau tahu apa yang terjadi di acara baby shower?"
Aidan meringis. "Aku punya empat kakak perempuan. Percayalah,
aku sudah menghabiskan waktuku beberapa kali di acara baby
shower sialan itu." Emma tersenyum. "Kuduga kau terpaksa mengikuti itu."
"Jadi apa yang terjadi?" Desaknya.
Dengan mengangkat bahu, Emma menjawab, "Tidak ada yang
khusus. Hanya saja rasanya lebih sulit daripada apa yang ada dalam
pikiranku." "Karena kau menginginkan bayimu sendiri?"
Emma tersentak dan hampir menjatuhkan margaritanya. "Tunggu,
bagaimana kau bisa...?"
"Connor telah bercerita kepadaku."
Emma melebarkan matanya saat aliran hangat menari-nari melewati
pipi dan lehernya. "B-Benarkah" A-Apa lagi yang dia katakan?"
Aidan meneguk minumannya lagi sebelum menjawab. "Dia
mengatakan dia seharusnya menjadi ayah bayimu, tapi dia
membatalkannya." Meskipun ia hanya sekali meneguk minumannya, ruangan seakanakan miring dan
berputar di sekelilingnya. Dia menggelengkan
kepalanya, mencoba membebaskan dirinya dari mimpi buruk dengan
mengalihkan pembicaraannya. Ini tidak boleh terjadi. "Aku akan
membunuhnya!" "Kau tidak perlu melakukan itu."
"Apakah kau bercanda?" Suara Emma naik satu oktaf. "Sudah cukup
menyebalkan ketika ia mengirim pesan teks dan menelepon
sepanjang waktu. Sekarang dia muncul di tempat kerjaku untuk
menggangguku. Tapi bagian terburuk dari semua ini, dia
menceritakan hanya kepadamu, dari sekian banyak orang-orang,
sangat detail mengenai kehidupan pribadiku!"
Aidan mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya menabrak siku
Emma. "Aku dari sekian banyak orang-orang...apa artinya itu?"
Emma menundukkan kepalanya. "Tidak ada."
"Oh tidak. kau tidak akan bisa menghindar semudah itu."
"Hanya saja dengan tipe pria sepertimu, kau mungkin tidak bisa
memahami masalahku atau keinginanku."
Aidan mendengus. "Biar kutebak. Karena diduga aku memiliki
reputasi suka main perempuan, aku tidak bisa memahami bagaimana
menjadi dirimu yang ingin menjadi seorang ibu sampai begitu
buruknya kau menyuruh sahabatmu yang gay untuk
menghamilimu?" "Bukan itu maksudku."
"Kalu begitu katakan padaku."
Emma membungkuk dimana wajah mereka hanya terpisah beberapa
inci. "Karena kau pikir kau tahu segalanya, katakan padaku apakah
kau memahami hal ini. Pernahkah kau menginginkan sesuatu yang
begitu buruk sehingga kau berpikir kau akan mati jika kau tidak
memilikinya" Hanya memikirkan itu saja akan terus membuatmu
terbangun di sepanjang malam. kau tidak bisa tidur, tidak bisa
makan, tidak bisa minum. Kau begitu termakan oleh keinginan itu
tidak ada hal lain yang penting, dan kau tidak yakin hidupmu akan
layak jika kau tidak dapat memilikinya." Air mata kepahitan
menyengat matanya, dan dia menggigit bibir bawahnya agar tidak
terisak tepat di depan Aidan.
Sementara Aidan tetap diam, Emma menggelengkan kepalanya dan
bersandar kembali di kursinya. "Lihat" Aku telah menceritakan
semua masalahku. Seorang pria seperti kau tidak mungkin bisa
memahami perasaan bagaimana seseorang sangat menginginkan
bayi seperti aku." "Tidak, aku mengerti. Aku benar-benar mengerti."
Emma melengkung alisnya yang coklat kemerahan itu kearahnya.
"Aku sangat ragu."
"Mungkin sampai batas tertentu..." Perlahan-lahan, senyum
bergairah menyelinap di wajahnya - sebuah senyuman yang
mengirimkan kehangatan ke pipi Emma serta membuatnya
menggeliat di kursinya. "Aku sangat menginginkan dirimu di pesta
Natal kurasa aku akan mati ketika kau menolak untuk pulang
denganku." Nada suara serak Aidan membuat Emma terkejut. "Maaf?"
Aidan menggeserkan kursinya begitu dekat dengan Emma sehingga
dia menahan reaksi untuk menjauhinya. Dia terkesiap oleh
kedekatan Aidan. Kilauan penuh gairah menyala di matanya
membuatnya seperti si Big Bad Wolf (tokoh serigala besar dan jahat
di cerita fiksi) menjulang di atas Emma. "Seberapa jelas aku harus
katakan" Kau begitu sialan seksi dengan gaun hijau itu. Rambutmu
terurai jatuh bergelombang di sekeliling bahumu. Dan kau terus
memberiku senyuman kecil yang polos dari seberang ruangan."
Napas Aidan serasa menghanguskan pipi Emma sebelum ia berbisik
di telinganya. "Aku tidak pernah ingin berhubungan seks dengan
seseorang sebegitu inginnya seperti aku menginginkan kau."
Dia mendorong Aidan menjauh dengan segala kekuatan yang bisa
dia kerahkan. "Ya Tuhan, kau seperti seorang bajingan yang egois!
Aku terbuka padamu dengan menceritakan keinginanku untuk
memiliki seorang anak dan kau mengatakan kau ingin
untuk...untuk..." Aidan menyilangkan tangannya di dadanya. "Kau sudah dewasa,
Emma. Tak bisakah kau mengatakan seks?"
"kau benar-benar menjijikkan." Dia mencengkeram pinggiran
gelasnya dan menyipitkan matanya ke arah Aidan. "Jika aku tidak
sangat membutuhkan sisa margarita-ku, aku akan menyiramkan ke
wajah aroganmu!" Aidan tertawa melihat kemarahannya. "Sekarang, apakah itu caranya
berbicara dengan ayah masa depan dari anakmu?"
Dia tersentak kebelakang ke kursinya dengan memantul seperti
gelang karet. "M-Maaf?"
"Aku sedang membicarakan mengenai sebuah proposisi (usulan)
bagi kita berdua untuk mendapatkan sesuatu yang benar-benar kita
inginkan. Aku akan memberikanmu sedikit, dan kau memberikan
aku sedikit juga." "Apa maksudmu?"
"Aku sedang berbicara mengenai menawarkan DNAku untukmu.
Connor bilang kau menolak pergi ke bank sperma karena kau
mungkin berakhir dengan membawa bibit setan, jadi kurasa aku bisa
menjadi kandidat yang baik."
Emma melebarkan matanya saat gelombang rasa
menggulung keras dirinya. "kau tidak mungkin serius."
terkejut "Tentang bagian yang mana: aku sebagai pendonor atau aku pilihan
yang lebih baik daripada bibit Setan?" tanyanya, sambil menyeringai
nakal. "Keduanya...tapi terutama kau ingin mendonorkan spermamu
untukku." "Ya, aku serius."
"Apakah kau tahu syarat apa untuk menjadi pendonor sperma?"
Tanya dia. Dia menyeringai kearahnya. "Aku punya ide yang cukup bagus."
Emma menggelengkan kepalanya. "Bagaimana bisa kau bertindak
begitu sembrono tentang ini" Ini adalah komitmen yang sangat
besar." "Tenanglah. Kita bicara tentang masturbasi ke dalam cangkir plastik,
bukan menyumbangkan sebuah organ tubuh."
"Sebenarnya ini sedikit lebih dari itu."
"Aku punya beberapa teman yang pernah melakukan hal seperti itu
di perguruan tinggi. Tidak terlalu berat." Aidan sambil mengangkat
bahu. "Selain itu, hal ini tidak seperti aku menyetujui untuk
menikahimu dan membesarkan anak itu. Ini hanya seperti membagi
sedikit DNA antar kenalan. Aku yakin Connor akan menandatangani
sesuatu yang mengatakan ia tidak ikut membesarkan anak itu, kan?"
"Ya, kami telah membahas kontrak itu ketika Jeff tetap tidak
menginginkan Connor terlibat."
"Aku yakin aku bahkan kandidat yang lebih baik daripada Connor."
"Dan bagaimana kau bisa yakin seperti itu?"
"Semua orang menginginkan seorang anak yang sehat, cerdas, dan
menarik, kan" Well, aku baru saja mendapat surat keterangan sehat
dari hasil tes kesehatan tahunan perusahaan. Keluargaku tidak
memiliki riwayat penyakit berat apapun atau sakit jiwa. Aku lulusan
tertinggi dari Universitas Georgia, dan aku memiliki gelar MBA."
Dia mengedipkan matanya kearah Emma. "Dan kupikir sangat tepat
untuk mengatakan aku membawa beberapa gen tampan dan perkasa
ke dalam gambaran itu."
Emma menatapnya dengan curiga. "Tapi apa imbalannya" Jangan
tersinggung, tapi selain kita bekerja di perusahaan yang sama, aku
baru saja mengenalmu. Dan apa yang aku ketahui selama ini
tentangmu tidak terlalu menyanjung. Terlepas dari seberapa
mudahnya kau menyetujuinya, menawarkan bagian dari esensimu
adalah pengorbanan yang sangat besar bagi seseorang. Aku hanya
tidak bisa membayangkan kau melakukan sesuatu yang tidak begitu
egois." Aidan menyapu tangannya di atas jantungnya. "Sialan, Emma, katakatamu benar-
benar melukai hatiku. Maksudku, aku baru saja
mempertaruhkan hidupku belum sejam yang lalu ketika kau dan
Connor bertengkar, namun aku masih seorang yang benar-benar
egois." Dia memutar matanya. "Jawab saja pertanyaannya."
Dia menyeringai. "Oke, oke, kau benar. Motifku memang bukan
sepenuhnya tidak egois."
"Aku tahu itu!" Katanya gusar.
"Ini hanya proposisiku. Aku menawarkan untuk menjadi ayah dari
anakmu, dan sebaliknya, kau harus berjanji untuk hamil denganku
secara alami." Ketakutan menyelimuti Emma, membuat dirinya sampai bergidik.
"Alami" Seperti kau dan aku...melakukan hubungan seks?"
"Kebanyakan wanita akan menemukan itu sedikit lebih menarik
daripada yang baru saja kau katakan," gumam Aidan.
Emma menggeleng marah. "Aku tidak bisa berhubungan seks
denganmu!" "Kenapa?" "Aku tidak bisa."
"Kau harus memberiku sebuah alasan."
Emma memutar serbet kertas di tangannya seperti dia yang dia biasa
lakukan ketika dia gugup. "Hanya saja aku mempercayai kalau seks
itu sesuatu yang sakral dan bermakna istimewa yang dilakukan
antara dua orang yang benar-benar berkomitmen satu sama lain dan
mereka saling jatuh cinta."
Alis Aidan berkerut. "Dan berapa kali kau benar-benar berkomitmen
dengan seseorang?" Emma menolak bertemu tatapan penuh harap Aidan. "Sekali,"
bisiknya. "Astaga." Aidan menggelengkan kepalanya. "Sulit dipercaya."
Emma menyentak tatapannya untuk bertemu dengan mata Aidan.
"Aku yakin pasti sulit bagimu untuk memahami seseorang yang
tidak menyetubuhi semua yang bisa bergerak! Tapi aku tidak
memainkan permainan itu. Dan ya, aku berumur dua puluh tahun
ketika aku kehilangan keperawananku dengan seorang pria yang
telah aku pacari selama lebih dari satu tahun yang kemudian menjadi
tunanganku." "Aku tidak tahu kau telah bercerai."
"Aku tidak bercerai. Dia meninggal dalam kecelakaan mobil enam
bulan sebelum kami akan menikah." Emma berjuang melawan emosi
yang membanjirinya dengan munculnya kembali ingatannya akan
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Travis. Kekecewaan yang ada sebanyak kesedihannya. Sudah berapa
kali ia menyiksa diri karena memundurkan tanggal pernikahan
mereka" Pada saat itu, dia pikir itu praktis dan masuk akal. Emma
ingin menyelesaikan kuliah, kemudian dia menginginkan Travis
menyelesaikan setengah pendidikannya di sekolah kedokteran. Itulah
bagaimana dia bertemu Casey. Pacarnya Casey, Nate, dan Travis
bersahabat di Emory. Aidan membawanya keluar dari lamunannya. Sambil meringis, dia
berkata, "Ya Tuhan, Em, aku minta maaf."
"Terima kasih," gumamnya.
"Sudah berapa lama?"
"Empat tahun." Dia tersedak oleh birnya yang baru saja ia minum. Setelah dia pulih
dari terbatuk-batuk, ia bertanya, "Kau belum pernah berhubungan
seks lagi selama empat tahun?"
"Belum," bisiknya, sambil menjalankan jarinya disepanjang salah
satu lekukan yang dalam pada meja kayu. Dia membenci dirinya
sendiri karena telah mengakui itu pada Aidan, tapi dia harus
memahami mengapa usulannya tidak masuk akal. Meskipun dia
menginginkan bayi sampai begitu putus asanya, hal itu tidaklah
cukup sampai seputus asa itu untuk membenarkan berhubungan seks
tanpa ikatan dengan playboy yang sangat terkenal itu. Atau apakah...
"Sialan," gumamnya. "Bagaimana kau bisa tahan?"
Emma menyipitkan matanya melihat ekspresi ketidak percayaannya
Aidan. "Ketika empat tahun terakhir kehidupanmu telah menjadi
neraka, seks benar-benar bukan menjadi peringkat tertinggi pada
daftar prioritas hidupmu."
Aidan mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu?"
Emma menunduk menatap serbet kertas, yang kini sudah robek
diatas pangkuannya, dan mencoba untuk mengendalikan emosinya.
Hal terakhir yang dia ingin lakukan adalah menjadi histeris di depan
Aidan untuk kedua kalinya di malam ini. "Setelah Travis,
tunanganku, tewas, aku menutup diri selama satu tahun. Kurasa kau
bisa mengatakan aku seperti mayat hidup. Bangun tidur, aku
berangkat kerja, dan pulang kerumah. Kemudian saat aku mulai
melihat sinar matahari lagi, ibuku didiagnosa menderita kanker. Dia
benar-benar seperti duniaku, dan selama delapan belas bulan, seluruh
hidupku kugunakan untuk merawatnya." Air mata mengaburkan
matanya. "Kemudian dia meninggal."
Saat melihat ekspresi ketakutan Aidan, Emma tertawa dengan
gugup. "Aku bisa membayangkan sekarang kau pasti berharap tidak
pernah mengajakku keluar untuk minum, apalagi menawarkan
proposisimu untukku."
"Sama sekali bukan itu yang kupikirkan."
"Oh benarkah?" "Jika kau mau tahu, aku berpikir lebih tentang bagaimana aku belum
pernah bertemu dengan seorang wanita seperti kau sebelumnya."
"Apakah itu bisa dianggap sebagai pujian?"
Emma tidak bisa menahan mulutnya yang terbuka. "Aku tidak
percaya kau baru saja mengatakan sesuatu yang sangat serius dan
sensitif." "Aku sedang menyeringai. memiliki momen baikku," jawabnya, sambil "Yang berarti, cobalah memiliki momen itu lebih banyak lagi."
Ekspresi riang Aidan berubah serius. "Aku benar-benar menyesal
tentang semua yang telah kau lalui beberapa tahun terakhir. Tak
seorangpun seharusnya menanggung itu begitu banyak dan
melakukannya sendiri."
"Terima kasih," gumamnya, saat ia mencoba untuk tidak menatap
Aidan yang seakan tiba-tiba tumbuh tanduknya. Apakah mungkin
benar dibalik kepribadiannya yang egois sebenarnya ada kebaikan di
hatinya" Salah satunya dia sangat peduli pada semua yang telah dia
lalui" "Dan aku juga minta maaf telah mengkritikmu mengenai seks.
Cukup menyegarkan bertemu seorang wanita yang memiliki idiealis
kuno." "Kau serius?" Aidan tersenyum malu pada Emma. "Ya. Bagus juga mengetahui
kalau penolakanmu di pesta Natal itu bukan hanya karena
reputasiku, tapi lebih banyak tentang prinsip hidupmu."
"Jujur saja, bisakah kau lebih egois lagi?" Jawab Emma, tapi ia tidak
bisa menahan senyumannya pada Aidan.
"Serius, aku bisa melihat mengapa kau ingin memiliki bayi."
"Oh, ya?" Aidan mengangguk. "Kau sudah mengalami banyak cobaan
kematian dan sekarang kau hanya ingin merasakan sedikit
kebahagiaan di kehidupanmu." Dia meremas tangan Emma.
"Benarkan?" Emma menarik napasnya yang agak serak karena kata-kata Aidan
seakan bergema merasuki dirinya. Bagaimana mungkin seseorang
seperti Aidan bisa memasuki emosinya tepat di jantungnya bahkan
ketika terkadang Casey tidak bisa memahami keinginannya yang
begitu mendalam untuk menjadi seorang ibu" "Ya," gumamnya lirih.
"Kalau begitu biarkan aku yang akan menolongmu. Ijinkan aku
memberimu seorang bayi."
Emma melawan desakan untuk mencubit dirinya sendiri pada situasi
yang tidak masuk akal ini. Bagaimana ia bisa berubah dari seseorang
yang begitu emosional di acara baby shower ke seorang pria yang
menawarkan untuk memenuhi impiannya yang paling liar" Sisi
rasional dari pikirannya mencerca sanubarinya. "Apakah kau
memiliki ide bagaimana ini terdengar sangat gila" Aku bahkan tidak
mengenalmu! Mengapa kau malah menawarkan bagian dirimu hanya
kepadaku?" "Aku sudah bilang mengapa."
Emma mengendus dengan frustrasi. "Jadi karena kau akan tidur
denganku. Hanya itukah motivasimu?"
Dia memberinya senyum miring. "Kau terlampau meremehkan daya
pikatmu dan daya tarik seksmu."
"Jika kau mau aku menganggap serius dirimu, kau harus
memberikan alasan yang lebih baik dari itu."
Aidan sedikit menggeliat di kursinya dan berdehem sebelum
menjawab. "Well, ada alasan lain..."
"Dan?" Aidan merengut kearahnya. "Oke, baik. Aku berjanji pada ibuku
ketika ia sedang sekarat karena kanker, aku akan memiliki anak
suatu hari nanti. Dengan cara inilah, kupikir aku bisa menepati
janjiku dengan hanya membutuhkan sedikit komitmen."
Meskipun ia mencoba menyembunyikannya, Emma bisa melihat
kepedihan di mata Aidan. Tampak jelas betapa dia mencintai
almarhum ibunya. "Aku sangat menyesal mengenai ibumu,"
gumamnya. Dia mengangkat bahu. "Sudah lima tahun yang lalu."
"Mengapa dia membuatmu berjanji untuk memiliki anak"
Maksudku, bukankah dia bisa beranggapan kalau kau akan memiliki
mereka suatu hari nanti?"
"Kenyataannya tidak."
Emma menggoyangkan kepalanya dengan perasaan jijik. "Aku
berani bertaruh kau bahkan tidak bisa bertahan berada di dekat anakanak."
"Sekedar informasi untukmu, aku memiliki sembilan keponakan
laki-laki dan perempuan serta seorang cucu keponakan laki-laki
berumur tiga bulan. Jika kau berbicara dengan salah satu dari
mereka, mereka akan memberitahumu kalau aku seorang paman
yang baik." Dia mengeluarkan iPhone-nya dan menggulirkan
beberapa foto sebelum menyodorkan layar itu di depan Emma.
"Oh," gumam Emma, saat ia mengamati wajah-wajah tersenyum
keponakan Aidan. "Aku tidak tahu kau memiliki keluarga besar."
"Empat saudara perempuan, ingat" Ditambah, kami penganut Irish
Catholic (katolik ortodoks di Irlandia)."
Emma mengangguk. "Bukankah kau terlalu muda untuk memiliki
cucu keponakan?" Aidan menunjuk seorang wanita setengah baya yang sangat menarik.
"Angela lima belas tahun lebih tua dari aku, dan Megan sebenarnya
tidak mengharapkan menjadi seorang ibu pada usia dua puluh dua
tahun." Emma tersenyum pada bayi yang baru lahir dalam pelukan gadis itu.
"Dia tampan." "Dalam sembilan bulan, itu bisa saja dirimu," kata Aidan lembut.
Berbagai emosi membengkak didalam dada Emma, dan dia merasa
seakan tidak bisa bernapas. Dia memejamkan matanya sejenak,
berusaha keras menjaga kewarasannya seperti benang rapuh yang
akan putus menjadi dua. Jawaban untuk semua masalahnya sedang
duduk tepat di hadapannya. Semua yang perlu ia lakukan hanya
mengatakan ya, dan akhirnya dia bisa menjadi seorang ibu. Tapi
semua ini terlalu kewalahan untuk dicerna dan dia sangat
membutuhkan untuk menjauh dari Aidan agar bisa berpikir dengan
jernih. Ketika akhirnya dia membuka matanya lagi, ia menemukan Aidan
menatapnya. Dia tersenyum minta maaf. "Aku sangat kacau pada
hari ini. Aku membutuhkan beberapa waktu untuk berpikir tentang
hal ini." "Aku mengerti. Ambil semua waktu yang kau butuhkan. Kau tahu
dimana menemukan aku."
Emma mengangguk kemudian berdiri. "Terima kasih untuk
minumannya ... dan untuk mendengarkan aku."
Aidan mengangguk. "Sama-sama."
Kemudian Emma melakukan sesuatu yang mengejutkan dirinya
sendiri. Dia membungkuk dan mencium pipi Aidan. Ketika dia
menarik diri, mata Aidan melotot. "Selamat malam," gumam Emma
sebelum terburu-buru keluar dari bar.
Udara musim panas seakan menampar wajahnya saat ia mulai
berjalan memasuki malam yang telah larut. emosi maupun fisiknya
telah terkuras habis, kakinya terasa goyah, dan dia agak tersandung
di trotoar yang tidak rata. Dia baru saja memasuki gedung parkir
yang remang-remang ketika seseorang menyambar lengannya.
Emma berbalik dengan menggunakan semua kekuatannya, kepalan
tangannya tertuju pada wajah penyerangnya. Sangat keras.
"Sialan, kau memiliki pukulan tangan kanan yang baik," Aidan
mengerang, dia membawa tangannya ke mata kanannya.
"Ya Tuhan, aku minta maaf! Aku tidak tahu itu kau!" Emma
meminta maaf. "Tidak, tidak apa-apa. Aku sangat bodoh tidak memanggil namamu
terlebih dahulu." Dia mengintip kearahnya dengan satu mata. "Biar
kutebak. Kau mengikuti kelas kursus program Pelatihan Bela diri
untuk Wanita dari Perusahaan?" Emma menganggukkan kepalanya.
"Yeah, well, mereka mengajarimu dengan baik. Aku hanya senang
kau tidak memakai metode kuno SING."
"Oh, Solarplexus, Instep, Nose, Groin?" (Ulu hati, Telapak kaki,
Hidung, Selangkangan) Aidan mengangguk. "Menendang tepat di bolaku itu tidak akan
bekerja dengan baik pada penawaranku."
Dengan putus asa mengubah topik pembicaraan menjauh dari bagian
kejantanannya, Emma bertanya, "Apa yang kau lakukan disini?"
"Mobilku parkir di sini."
"Oh, ya benar," gumamnya, merasa seperti seorang yang idiot.
"Dan aku berjanji pada Connor aku akan memastikan kau sampai ke
mobilmu dengan selamat."
Emma berusaha melawan debar jantungnya melihat kebaikan hati
Aidan. "Terima kasih. kau baik sekali. "Dia menunjuk kearah lorong
yang menurun. "Mobilku disana."
"Aku bisa mengantarmu." Ketika Emma menatapnya dengan sinis,
dia menyeringai. "Kau tahu, untuk membuktikan etika kesopanan
seorang pria pada wanita tidak hilang."
"Oke, kalau begitu."
Suara sepatu mereka bergema di lantai beton, mengisi kesunyian
tempat parkir. "Jadi, um, apa kau tinggal di dekat sini?" Tanya
Aidan. "Tidak, aku sekitar tiga puluh menit dari sini, tepatnya di East
Cobb." "Itu tidak terlalu buruk untuk mengendarai mobil sendirian. Kau
tahu, ketika jalanan sepi."
Emma menundukkan kepalanya untuk menahan cekikikannya pada
upaya buruk Aidan dalam berbasa-basi. Emma pasti tidak bisa
menyembunyikan rasa gelinya dengan baik karena tiba-tiba Aidan
bertanya, "Apa yang lucu?"
Emma tersenyum. "Oh, aku hanya penasaran kapan kau mungkin
akan menyinggung masalah cuaca."
"Aku buruk, ya?"
"Tidak apa-apa."
Aidan menyeringai kearahnya. "Kurasa aku kehilangan trikku karena
kau tidak seperti wanita yang biasanya aku dekati." Ketika Emma
akan membuka mulut untuk protes, Aidan menggelengkan
kepalanya. "Percayalah, Em, ini sebuah pujian."
"Oh, aku mengerti." Emma menunjuk mobil Accord-nya. "Well,
disinilah mobilku." "Connor akan bangga aku bisa membuatmu aman tidak kekurangan
apapun sampai disini."
Emma mendengus saat ia merogoh kunci keluar dari tasnya. "Jika
dia masih hidup untuk melihatku besok setelah mengoceh banyak
kepadamu seperti yang dia lakukan. Aku terkejut dia belum
mencopot papan billboard di I-75 bertuliskan, "Tolong Hamili
Temanku!" Aidan tertawa. "Jangan terlalu keras pada dirinya. Dia sangat peduli
padamu." Mata Emma membelalak karena terkejut mendengar kelembutan
nada suara Aidan. "Aku tahu." Mereka berdiri dengan canggung
sejenak, saling menatap. "Well, terima kasih sekali lagi untuk malam
ini dan untuk menemaniku berjalan sampai ke mobilku."
"Sama-sama." Sementara Emma menekan tombol unlock pada
remote alarm dikuncinya, Aidan mulai berjalan menjauhinya, tetapi
kemudian ia berhenti. Dia berbalik sambil menggelengkan
kepalanya. "Oh persetan." Menarik Emma yang sedang lengah,
Aidan mendorongnya ke mobil. Aidan membungkus tangannya
disekeliling pinggangnya, menyentaknya menempel pada Aidan.
Aliran listrik menggelitik menjalari Emma karena sentuhan Aidan,
dan aroma tubuhnya menyerang lubang hidungnya, membuatnya
merasa pusing. Dia menggeliat di dalam pelukannya. "Apa yang kau-"
Aidan membungkamnya dengan membungkuk diatasnya dan
bibirnya melumat bibir Emma. Dia memprotes dengan
mendorongkan tangannya ke dada Aidan, akan tetapi kehangatan
saat lidah Aidan membuka bibirnya membuat dirinya tidak berdaya.
Lengan Emma jatuh lemas di sisi tubuhnya.
Tangan Aidan menyapu dari pinggangnya sampai punggungnya. Dia
melilitkan jari-jarinya disela-sela rambutnya yang panjang saat
lidahnya masuk kedalam mulut Emma, membelai dan menggoda
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Emma. Tangan Emma naik membungkus lehernya, menarik Aidan
lebih dekat dengannya. Ya Tuhan, sudah begitu lama dia tidak
dicium oleh seseorang, dan Travis setelah seminggu baru tumbuh
keberanian untuk menciumnya seperti ini. Aidan sangat panas dan
ciumannya terasa nikmat, dia orang pertama yang tidak perlu
menunggu untuk melakukannya.
Menggunakan pinggulnya, Aidan menahan Emma dan menjepitnya
di mobil saat ia terus melumat bibirnya. Tepat pada saat Emma pikir
dia tidak bisa bernapas dan akan pingsan, Aidan melepas bibirnya.
Menatap ke arah Emma dengan matanya yang berkabut dan mabuk
akan gairahnya, Aidan tersenyum. "Mungkin ini akan membantumu
mengambil keputusan."
Kemudian ia menarik diri dan memulai berjalan kembali menuruni
lorong, meninggalkan Emma yang meleleh, kacau, dan sendirian
sedang bersandar di mobil.
*** Bab 3 Keesokan harinya pada saat jam makan siang, Casey berjalan
melintasi pintu ruang kerja Emma dan melemparkan dompetnya di
atas meja kerja Emma. "Apapun kondisinya, jangan biarkan aku
mendekati mesin otomatis membeli makanan. Seminggu lagi aku
punya janji untuk pengepasan gaunku, dan selama itu aku hanya
boleh makan salad dan seledri."
Emma tertawa tidak begitu antusias. Dibenaknya dia masih belum
pulih dari kejadian tadi malam, diaterlalu sibuk mengurusi Casey
untuk diet agar terlihat ramping saat menggunakan gaun
pengantinnya. Sepanjang malam ia tidak bisa tidur mencoba untuk
membuang dan berpaling saat pikirannya terus berkutat dengan
tawaran yang diajukan Aidan. Namun sebagian besar ia terjaga
karena bibirnya masih terasa terbakar akibat ciuman Aidan yang
begitu panas, tubuhnya terasa sakit menahan kerinduan sepanjang
malam, sampai pada akhirnya Emma menyerah dan mengambil
vibrator miliknya dari laci nakas.
Setelah menjatuhkan tubuhnya di kursi, Casey memiringkan
kepalanya ke arah Emma. "Ada apa denganmu?"
"Tidak ada apa-apa." Emma berbohong.
Casey menatapnya sambil membuka wadah Tupperware-nya.
"Omong kosong. Kau terlihat sangat kacau."
"Terima kasih, aku menganggap kau berbicara seperti itu karena
stres menjalani diet rendah karbohidrat, dan kau tidak dengan
sengaja bersikap menyebalkan?"
"Ha, ha. Hari ini kau terlihat seperti sangat emosional ingin
membuat acara baby shower-mu sendiri." Jawab Casey sambil
makan sesuap selada. "Bukan, bukan seperti itu." Tanpa sadar Emma mencorat-coret
kalender mejanya. Meski belum yakin ia siap mengatakan apapun
kepada Casey tentang semalam saat bersama Aidan, ia seperti akan
meledak jika ia tidak memberitahu seseorang. Pada saat yang sama,
ia tahu ia membutuhkan saran sahabatnya jika dia benar-benar akan
menerimatawaranserius dari Aidan. "Case?"
"Hmm?" Casey tidak mengangkat wajahnya, ia malah memandangi
saladnya dengan ekspresi jijik. "Kau tahu, saat ini aku ingin
membunuh seseorang yang membuat ranch dressing (saos untuk
salad)." "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
Dengan cepat Casey mengalihkan perhatiannya dari kotak
Tupperware-nya ke Emma. "Ough sial. Aku tidak suka nada
suaramu. Ada apa" Apa kau dipecat" Tidak, tunggu, apa aku yang
dipecat?" Emma melambaikan tangannya tanda tidak peduli, "Bukan, bukan,
bukan seperti itu. Ini tentang..." Emma menarik napas panjang.
"Setelah acara Baby shower, aku pergi minum dengan Aidan
Fitzgerald." "Oh Tuhan, kau tidak boleh melakukan itu! Em, aku sudah
memperingatkan kamu tentang dia! Casey memejamkan matanya
dengan erat. "Tolong katakan padaku, dia tidak memanfaatkan
kondisi emosionalmu yang sedang rapuh setelah acara Baby
shower." "Aku tidak sebodoh itu," Emma menghela napas.
Casey membuka mata gelapnya. "Lalu apa yang terjadi?"
Emma lalu meneruskan untuk menceritakansemuanya pada Casey,
dimulai dari kemunculan Connor dan penentangan Emma tentang
penawaran DNA dari Aidan. Ketika Emma sampai dibagian
penawaran Aidan yang menginginkan Emma bisa hamil secara
normal, Casey langsung bangkit dari tempat duduknya, dan
melemparkan salad ke depannya. "Gila, Em!"
"Aku belum menyetujuinya."
Mata Casey membelalak. "Kenapa tidak?"
"Kenapa tidak" Dua detik yang lalu kau begitu ketakutan saat kau
berpikir aku sudah tidur dengan Aidan!"
"Jelas tidak sama. Aku tahu kau menginginkan sebuah hubungan seorang suami, dan
Aidan Fitzgeral bukan sosok seorang suami. Tapi
aku yakin ia memiliki sperma yang luar biasa sempurna." Saat
Emma tidak menjawabnya, Casey membungkuk diatas meja Emma.
"Kenapa kau menolak tawarannya?"
Emma tidak mau melihat ke atas, ke arah Casey. "Uhm...Kau tahu."
"Itukah jawabanmu" Aku tidak bisa memikirkan kemungkinan
alasan untuk mengatakan tidak! Biarkan aku menjelaskan ini
padamu, Kau memiliki kesempatan untuk mendapatkan apa yang
sangat kamu inginkan di dunia ini, seorang bayi, dari seseorang yang
sangat pintar, sehat, berwajah tampan, dan semua itu digabungkan
dengan potensi kegiatan seks luar biasa."
Wajah Emma memerah dan ia menggelengkan kepalanya. "Kau
sudah tahu pengalamanku, atau tidak berpengalaman, dengan para
pria. Aku bahkan tidak tahu bagaimana untuk memulainya."
"Oh, saat ini aku punya sejuta skenario yang berbeda di kepalaku
tentang bagaimana kau bisa memulainya." Jawab Casey, sambil
menaik-turunkan alisnya dengan cepat.
"Eww!" Emma menjerit.
Casey tertawa. "Oke, oke, aku tak akan menyiksamu lagi dengan
hal-hal yang berbau seks."
"Terima kasih."
"Tapi," Casey berkata, dengan mengangkat satu tangannya. "Hanya
jika kau berjanji untuk menerima tawaran Aidan."
Dengan frustasi Emma mengacak-acak rambutnya. "Percayalah
padaku, ada suara begitu bersikeras dan menjengkelkan di kepalaku
yang memberitahuku untuk segera berlari dengan sangat cepat ke
kantor Aidan dan mengatakan iya padanya. Seolah hal itu adalah
suatu pukulan aneh memutar takdir yang membuat Aidan muncul
seperti itu tadi malam."
"Kedengarannya suara yang berbicara padamu datang dari alasanitu
dan aku sangat setuju dengan suara itu. Aidan menawarkan padamu
untuk merasakan pengalaman sekali dalam seumur hidup, dengan
berhubungan seks lebih dari satu kali agar membuatmu hamil.
Maksudku, jika saja aku tidak jatuh cinta pada Nate selama lima
tahun ini, aku akan mempertimbangkan untuk membiarkan Aidan
melakukan suatu permainan untukku."
Emma menyilangkan lengannya di depan dadanya. "Oh benarkah?"
"Ya," jawab Casey sambil melamun. "Seperti yang pernah aku
katakan padamu sebelumnya, Aidan adalah pria menarik dan sangat
seksual. Siapa yang tidak ingin mendapatkan pengalaman seksual
dengannya setidaknya sekali seumur hidup?"
"Jadi kau mengatakan Nate bukan pria menarik dan tidak seksual?"
Casey tertawa. "Nate hampir tidak memiliki seks yang hebat. Tapi
aku selalu membuatnya menjadi seks sedikit liar di hari-hariku, jadi
aku sangat puas dengan apa yang kumiliki." Casey membungkuk
untuk mengambil kotak makanan dan peralatan makannya yang
dibiarkan tergeletak. Sambil mengayunkan garpu ke arah Emma, ia
berkata. "Sebaliknya kau, di sisi lain, kau memiliki kebutuhan
seksual yang harus dipenuhi."
Emma memutar matanya. "Tolong jangan bawa kehidupan seksualku
dalam masalah ini." "Ayolah Em. Apa kau tidak sedikitpun merasa penasaran tentang
bagaimana rasanya berhubungan seks dengan dirinya?"
Rasa panas mulai menjalar di pipi Emma saat memikirkan ciuman
membara Aidan sampai tubuhnya menempel mobil. Jika Aidan bisa
membuatnya begitu bergairah di tempat parkir yang suram, apalagi
jika ia melakukan di dalam kamar tidur" "Tentu saja aku penasaran,
aku sedang mencapai titik puncak dalam kehidupan seksualku, jadi
area gairahku sepenuhnya belum padam."
"Lalu, apa sih masalahnya?"
Dengan serius Emma mengerutkan bibirnya. "Baiklah, caramu
membandingkan disini benar-benar buruk. Aidan itu seperti
melakukan seks di sirkuit balap di Indianapolis sepanjang 500 mil,
dan aku membutuhkan seseorang yang lebih seperti..."
"Bemper mobil?"
"Aku tadi akan mengatakan, aku ingin melintasi jalur lambat, dasar
kau sok pintar." Casey tertawa. "Maaf. Aku tak bisa menahannya." Ia menegakkan
tubuhnya di kursinya. "Ayo teruskan."
Emma memutar-mutar pensilnya tanpa sadar. "Maksudku
hubunganku dan Travis melangkah dengan kecepatan yang sama.
Tentu saja, aku pernah terlibat aktivitas seksual dengan beberapa
pria, dan melakukan base ketiga: berciuman, bercumbu dan penetrasi
dengan mereka, tapi tidak dengan Travis. Dia hanya dengan satu
gadis yang lain. Kami berkencan sangat lama, namun ia mau
bersabar dan menunggu." Emma menggelengkan kepalanya. "Aidan
tidak membuatku terkesan sebagai pria yang penuh pengertian. Dia
lebih seperti tipe 'wham, bam, thank you ma'am' berhubungan seks
dengan seseorang yang tidak kau kenal setelah itu kau langsung
meninggalkannya." "Kau tidak akan tahu kecuali kau mencobanya. Dan demi Tuhan,
Em, Aidan bukanlah seorang Neanderthal si manusia purba yang
akan menjambak rambutmu dan menyeretmu masuk ke guanya."
Casey terdiam dan menjilat bibirnya. "Walaupun di skenario dia
berpotensi memiliki kinky seks."
"Case, tolong." Emma mendesah.
"Baiklah. Ini adalah bagian terpentingnya. Terlepas dari apakah kau
sedang jatuh cinta dengan seseorang atau tidak, semua pembicaraan
ini mengenai seks. Jadi biarkan dia tahu apa yang kamu inginkan
atau tidak. Dia jelas sangat menginginkanmu jika Aidan bersedia
menawarkan DNA-nya untuk berhubungan seks denganmu, jadi aku
yakin dia pasti dengan senang hati melakukan semuanya sesuai
dengan keinginanmu."
Sekilas gambaran kebaikan dan kepedulian Aidan terlintas di pikiran
Emma. Aidan bukan seorang bajingan seperti yang dia pikirkan
sebelumnya. "Aku rasa begitu..."
Casey menghela napas. "Oke, Em, mari kita lupakan semuanya
tentang tekanan seksual dan pria seperti apa Aidan itu. Untuk
sejenak jangan pikirkan hal lain selain apa yang akan kau rasakan
jika tahun depan kau sudah bisa menimang bayimu sendiri di
tanganmu." Memikirkan hal itu air mata menyengatmata Emma, dan itu
membawanyakembali mengingat apa yang dikatakan Aidan padanya
tadi malam. Seorang bayi - itulah bagian terpentingnya. Tentu saja,
Aidan memang orang asing bagi dirinya, tapi itu sama saja, atau
mungkin bisa lebih buruk lagi jika ia memilih menggunakan donor
sperma. Dengan Aidan ia memiliki kesempatan untuk lebih
mengetahui kehidupan calon ayah bayinya secara langsung,
sementara jika ia pergi ke klinik hal itu tak mungkin ia dapatkan.
Emma tidak memiliki banyak pilihan, jadi jika ia ingin memiliki
seorang bayi, Aidan adalah pilihan yang paling masuk akal.
Emma menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan
keras. Casey berhasil memecahkan sedikit masalah yang ia
tinggalkan. "Sekali lagi kau telah membuktikan bahwa kau memang
cocok berada di dunia periklanan karena kau baru saja berhasil
menjual penawaran Aidan kepadaku."
Casey menjerit sambil berlari ke sisi meja. Melingkarkan lengannya
di leher Emma, dan tersenyum puas. "Oh, Em, bayangkan saja
tentang anak cantik yang kau buat dengan Aidan. Entah laki-laki
atau perempuan, suatu hari nanti dia pasti akan menjadi seseorang
yang akan membuat patah hati orang lain."
Emma tersenyum. Gambaran seorang bayi dengan mata hijau tajam
seperti miliknya dan berambut pirang kecoklatan dari Aidan terlintas
di benaknya. Emma akan membuat mimpinya menjadi kenyataan.
*** Bab 4 Beberapa hari kemudian ketika Emma mendongak, ia melihat sosok
Aidan sedang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Sambil
memegang telepon Emma memberi isyarat pada Aidan untuk masuk
ke dalam ruangannya. Saat Aidan melangkah masuk kedalam ruang
kerjanya, dengan enggan Emma mengalihkan perhatiannya pada
fitur ketampanan Aidan untuk kembali fokus pada suara di
sambungan teleponnya. "Ya, aku akan mengaturnya. Sekali lagi
terima kasih." Emma menutup teleponnya lalu menuliskan sesuatu di
buku agendanya. Setelah selesai, Emma tersenyum pada Aidan.
"Aku senang kau bisa menemuiku hari ini."
"Aku selalu senang meluangkan waktu untukmu Emma." Emma
kesal pada dirinya sendiri ketika Aidan tersenyum padanya pipinya
menjadi hangat bersemu kemerahan. "Aku menduga alasanmu
memintaku datang kesini karena kau menerima penawaranku."
Aidan mencondongkan badannya kedepan telapak tangannya
bertumpu di atas meja Emma. Wajah Aidan hanya beberapa inci dari
muka Emma. "Aku yakin kau sudah memikirkan masalah ini masakmasak, untuk
mempertimbangkan pilihanmu."
"Ya." Bisik Emma, tubuhnya mulai menyadari kedekatannya dengan
Aidan. Emma benci dirinya sendiri karena Aidan sangat
mempengaruhinya. "Apakah kau membayangkan ingin melihatku telanjang hingga
akhirnya kau menyetujui penawaranku?"
Senyuman nakal Aidan membuat Emma memutar matanya.
"Menurutmu bisakah kau bersikap sedikit dewasa dengan
mempertimbangkan betapa seriusnya situasi ini?"
Aidan tertawa dan duduk di kursi di depan Emma. "Baiklah, akan
kucoba." "Dari sudut pandang bisnis, ini akan menjadi keuntungan terbaik kita
berdua untuk masuk kedalam perjanjian ini. Pertama, kita harus
melakukan tes darah untuk memastikan tidak adanya kemungkinan
STD*atau masalah kesehatan lainnya."
"Aku bisa menjamin bahwa aku bersih, namun aku juga tidak
keberatan untuk menjalani tes."
"Terima kasih." Emma menyodorkan sebuah map manila kepada
Aidan. "Dan aku juga telah meminta pengacaraku untuk membuat
kontrak ini." Aidan melihatmap manila itu sebelum ia menatap kembali pada
Emma. "Sebuah kontrak, huh?" Aidan bersandardi kursinya dan
membuka map itu. "Apakah kontrak ini seperti buku seks kinky
dimanaisinya menjelaskan apa yang bisa kita lakukan dan tidak
selama berhubungan intim" Seperti batas keras dan kata aman?"
Emma merasa pipinya mulai terbakar karena malu. "Tentu saja
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak!" Aidan tertawa. "Aku senang mendengarnya. Asal kau tahu, aku
bukan tipe yang suka dengan hal aneh semacam cambuk atau
rantai." "Senang mendengarnya! Sekarang bisakah kau lebih serius, please?"
Emma menghela napas. Dia bangkit dari tempat duduknya dan
berjalan ke sisi samping meja kerjanya. "Kontrak ini menggaris
bawahi tentang menantikan kelahiran anak, atau kupikir aku harus
mengatakan kepadamu, sesuatu yang tidak bisa aku tuntut darimu
sehubungan dengan apa yang terjadi setelah kamu menjadi ayah dari
anakku." Saat Aidan membaca sepintas beberapa paragraf pertama,
Emma melanjutkan. "Terus terang, apa yang tertera disana adalah
untuk melindungimu. Disitu bisa di pastikan aku tidak akan pernah
mencoba menjeratmu mengenai kewajiban finansial, seperti
tunjangan anak atau nenuntut warisan dari seorang ayah."
"Di bagian kelima nampaknya tidak ada kaitannya sama sekali
dengan masalah finansial," jawab Aidan, sambil menyodorkan
kontrak ke Emma. Emma tak perlu membaca surat kontrak tersebut. Dia tahu dengan
pasti apa yang tertera di bagian itu. "Bagian kelima melindungi aku
jika kau ingin mencoba menuntut hak asuh atau ingin mengambil
anak itu dariku." "Kau berpikir aku akan melakukan hal seperti itu?"
"Tentu tidak. Itu hanya. Hanya saja pengacaraku mengatakan..."
Mata Aidan mulai terlihat semakin gelap. "Di paragraf ini ditulis aku
tidak akan pernah bisa berkomunikasi secara lisan ataupun kontak
fisik dengan anakku."
"Aku berpikir kau tidak menginginkan semua itu. Kau pernah
mengatakan padaku sebelumnya bahwa kau sesungguhnya tidak
pernah menginginkan anak ataupun bertanggung jawab sebagai
seorang ayah," bantah Emma.
"Memang benar, namun bagaimana jika aku berubah pikiran"
Katakanlah satu tahun dari sekarang aku ingin melihat anak laki-laki
atau perempuanku tumbuh besar" Dan bagaimana jika suatu hari
nanti anak itu ingin bertemu denganku?"
"Aku tidak tahu." Emma menunduk malu danmenyandarkan
tubuhnya di meja. "Jika Cornor yang akan menjadi ayah anakku, aku
memiliki jawaban atas semuanya. Kami sudah saling mengenal dan
menyayangi sejak kami berusia 12 tahun. Orang tua Connor
menginginkan cucu, jadi aku tahu Connor akan terlibat dalam
mengasuh anakku nanti, terlepas dari apa yang Jeff inginkan." Emma
lalu mengangkat kepalanya dan bertemu dengan tatapan penuh harap
Aidan. "Denganmu, semuanya terasa membingungkan."
Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Aidan lalu merogoh
kantung jas-nya dan mengeluarkan sebuah pulpen. "Ok. Kita
lakukan dengan caramu." Aidan akan menandatangani kontrak itu.
"Tunggu!" Emma berteriak.
Aidan terkejut dan melihat ke arah Emma "Ada apa?"
Emma menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan
keras. "Jika kau memang serius ingin melihat bayinya, kita bisa
merevisinya." "Baiklah. Tapi hanya mengubah bagian tentang aku bisa melihat
anakku. Aku tak menginginkan bagian dari mengganti popok atau
memberi susu di tengah malam, mengerti?"
Emma tersenyum. "Aku mengerti."
"Jadi kapan kita memulainya?"
"Sebetulnya, aku berharap bisa secepat mungkin...well, segera
setelah hasil tes kita keluar. Pada waktu itu aku seharusnya sedang
berovulasi." "Hah?" Pipi Emma merona, "Itulah waktunya dimana aku dapat dengan
mudah untuk hamil." "Jadi kita tidak akan berhubungan seks selama 24 jam dalam 7
hari?" Tanya Aidan sambil nyengir.
"Tidak. Bukan begitu caranya."
"Sayang sekali," kata Aidan sambil berpikir.
Emma memutar badannya kebelakang untuk melihat kalendernya.
"Apakah seminggu dari hari senin bisa?"
"Kedengarannya menyenangkan untukku."
Emma menggigit bibirnya, ia ragu-ragu sebelum dia menguraikan
seluruh permintaannya dalam membuat seorang bayi. Dia merasa
malu untuk membicarakan semuanya di hadapan Aidan.
"Katakan saja, Em," pinta Aidan, nadanya bercampur dengan geli.
Untuk sesaat Emma menyipitkan matanya ke arahnya karena Aidan
terlalu pandai membaca bahasa tubuhnya.
"Baiklah, jadi begini aturannya. Sebaiknya kita melakukan hubungan
intim dua hari sekali selama masa suburku. Berhubungan seks setiap
hari bisa menjadi kurang produktif bagi program kehamilan. Jadi
bisakah kau menemuiku lagi pada hari Rabu dan mungkin saja
Jumat?" "Sebuah jadwal seks untuk *MWF" Pasti efisien," kata Aidan sambil
merenung. "Tolonglah bersikap serius."
Sebuah cengiran nakal melintasi wajah Aidan. "Baik, beritahu aku
bila jadwalnya berubah. Aku akan siap dan ber-ereksi kapanpun kau
membutuhkan aku." "Terima kasih," jawab Emma, dengan senyuman agak kaku.
"Sekarang masalah sudah selesai, dimana kita harus bertemu?"
"Aku pikir kau ingin membuat hal ini seperti bisnis saja, jadi
mungkin lebih baik kita memilih tempat yang netral seperti kamar
hotel, dari pada rumahmu atau rumahku."
Emma menggangguk. "Kedengaran bagus."
"Bisakah aku membuat reservasi untuk kita berdua di Grand Hyatt?"
Mulut Emma ternganga. "Di Grand Hyatt?" Dia mengulangi katakata Aidan.
Aidan tertawa. "Aku bukan semacam pria yang suka dengan Best
Western atau Holiday Inn, Em."
"Oh, tidak, itu tidak apa-apa. Aku hanya berpikir, karena kau sudah
mau membantuku, aku akan menanggung biaya hotel, hanya saja
beberapa malam di Hyatt agak sedikit melebihi budgetku."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku yang akan
membayarnya." "Tapi..." "Aku rasa itu tepat untuk mengatakan aku menghasilkan uang lebih
banyak dari kamu, jadi biarkan aku yang mengurus masalah ini."
Pada saat Emma menarik napas tajam, Aidan mengangkat
tangannya. "Lagi pula, kau harus menabung untuk membiayai anak
itu." Walaupun Emma tidak menyukai Aidan menggunakan referensi
gajinya, namun ia menyadari Aidan ada benarnya juga. "Baiklah,
kau boleh membayar."
"Terima kasih."
"Jadi, hari Senin jam tujuh malam?" Tanya Emma.
"Itu sebuah kencan."
*** STD: Sexually Transmitted Disease/penyakit menular
MWF: Married White Female, Wanita kulit putih yang sudah menikah melakukan
hubungan seks dua hari sekali dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at).
Bab 5 Pada saat mendengar bel pintu, Emma melemparkan jubahnya begitu
saja dan bergegas menyusuri lorong menuju pintu untuk membiarkan
Casey masuk. Hampir saja pintunya terbuka saat Casey
menanyakan, "Bagaimana keadaanmu?"
Emma mengerang. "Seharusnya aku bertemu dengan Aidan satu jam
lagi, dan aku merasa akan muntah setiap saat. Aku mungkin
memerlukan pil penenang Xanax untuk membantuku melewati
malam ini!" "Aku bisa membayangkannya," jawab Casey saat dia melangkah
masuk ke ruang depan. "Tidak perlu takut. Aku sekarang disiniuntuk
berbicara denganmu agar kau tidak bunuh diri melompat dari
tebingdan meyakinkan kamu bahwa kau tampak begitu luar biasa."
Emma langsung memeluk Casey. "Kau tidak tahu betapa berartinya
itu untuk diriku." "Terima kasih, aku senang melakukan ini." Dia menepuk punggung
Emma. "Lagipula, kau selama ini juga telah membantuku melewati
berbagai hubunganku yangkacau selama bertahun-tahun. Aku
merasa berhutang padamu."
Mereka berjalan menyusurilorong dan memasuki kamar tidur Emma.
"Jadi, apa yang akan kau kenakan?" Tanya Casey.
Emma menunjukkearah gaun berwarna hitam yang kurang menarik
tergantung di pintu lemari pakaian. Caseymenggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak, tidak! Yang itu terlalu biasa untuk dikenakan malam
ini!" "Jujur saja, Case, dia tahu kalau aku orang yang pasti mau
berhubungan seks dengannya. Jadi apa masalahnya kalau aku
mengenakan pakaian ini" Lagipula aku tidak akan mepngenakan
pakaian itu dalam waktu yang lama."
Casey memutar bola matanya. "Jangan bodoh, Em. Para pria itu
senang melihat sesuatu yang menarik. Kau harus bisa membuat dia
benar-benar ingin merobek pakaianmu dan ingin menidurimu pada
saat pertama kali dia melihatmu."
"Tapi kami akan makan malam terlebih dulu," protes Emma saat
Casey bergerak menuju ke arah lemari pakaian dan menyalakan
lampunya. "Bagus, biarkan dia menderita sepanjang makan malam berlangsung
dan menginginkanmu sebagai makanan penutupnya!"
"Aku sama sekali tidak percaya kau bisa berpikir seperti itu, apalagi
mengatakannya." Casey mendengus dengan bangga. "Well, salah satu dari kita harus
memikirkan hal seperti ini."
Emma mengabaikan kata-katanya dan melangkah masuk ke kamar
mandi untuk mulai ber-make up. Dia menyapukan blush on warna
kemerahan ke pipinya yang berwarna gading saat Casey akhirnya
menerobos masuk melewati pintu. "Ooh, yang ini!" Dia
mengulurkan sebuah gaun strapless pendek berbahan sifon berwarna
emerald. Dinding kamar mandi yang berwarna ungu muda tiba-tiba seakan
mulai menekan Emma. Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat
ke arah Casey. "Tidak, aku tidak bisa mengenakan itu."
"Kenapa tidak" Ini seksi, tapi tidak tampak murahan, danini warna
favoritnya. Ditambah lagi, gaun ini akan menunjukkan lekuk
tubuhmu yang luar biasa itu!"
Perlahan-lahan, emosinyaterbakar memancar melewati dadanya, dan
untuk beberapa saat, dadanyaterasa begitu sesak hingga dia tidak
dapat berbicara. Ketika akhirnya dia bisa melakukannya,
suaranyaterbata-bata karena dipenuhi oleh emosinya. "Itu adalah
gaun yang aku kenakan pada saat pesta pertunangankudengan
Travis." Ekspresi senyuman Casey seketika berhenti, tapi kemudian ia cepat
berubah menjadi tersenyum kembali. "Sebaiknya kau harus
mengenakannya lagi. Saat itu adalah malam berbahagia, dan malam
ini juga satu-satunya malam yang membahagiakan karena akan
memulailembaran baru dari kehidupanmu, dimana kau akan menjadi
seorang ibu." Emma memandang gaun itu untuk sesaat. Sebuah gambaran
mengenaiibunya yang begitujelas terlintas di dalam pikirannya,
seakan meremas hatinya, dan dia tersenyum lebar. Suara ibunya
terngiang di benaknya sama persis kata-katanya ketikadi toko pada
hari itu. Oh Em, sayang, gaun ini sangat luar biasa! Kau akan
membuat napas Travis melayang jauh. Emma menutup matanya,
mencoba menikmati kenangan saat mereka berdua dan menjaga
emosinya agar tetap stabil. Ketika dia yakin bahwa dirinya tidak
akan menangis, dia membuka matanya dan tersenyum pada Casey.
"Kau benar. Aku harus mengenakan lagiagar bisa menambah lebih
banyak kenangan indah pada gaun ini."
"Itu baru semangat!" Casey melingkarkan lengannya disekeliling
Emma dan memeluknya dengan erat. "Sialan, aku bangga sekali
karena bisa menyebutmu sebagai sahabat baikku. Kau begitu kuat
dan tabah melewati seluruh kejadian buruk yang pernah kau alami,
dan sekarang kau memutuskan untuk memiliki seorang bayi
dariperutmu sendiri. Kau seorang *Steel Magnolia kecilku!"
Emma tersenyum. "Siapa yang tahu masalah hubungan seks tanpa
ikatanbisa membuatmu begitu sentimentil."
"Aku hanya ikutberbahagia denganmu, dan aku akan menjadi
seorang bibi." "Ibu baptis, ingat, kan?"
Casey mengerutkan hidungnya. "Aku tidak tahu apakah aku
memiliki moral dan etika yang pantas untuk melakukan tanggung
jawab besar sebagai seorang ibu baptis. Aku seorang bibi nakal yang
suka menyembunyikan film dengan rating R (film dewasa) dan
membeli minuman keras dalam saat aku masih di bawah umur."
Emma terkikik. "Secara mentalitas kita akan melakukan hal itu,
terutama sebelum kau benar-benar menjadi seorang ibu!"
"Gigit lidahmu untuk yang satu itu, missy. Kami harus bisa
membawa Nate melewati masa magangdi tempat kerjanya, sebelum
kami berpikirsoal anak."
Emma kembali ber-make-up, sedangkan Casey memandang lurus ke
arah rambut Emma. "Apa yang kamu pikirkan" Kamu kehilangan ikat rambut?"
"Tidak, Aidan menyukai rambutku dibiarkan terurai dan
bergelombang," Emma menjawab saat dia mengoleskaneye-shadow
di matanya. "Ah, ternyata gadisku memikirkan apa yang Aidan inginkan. Kau
membiarkan dia sepenuhnya mengontrolmu dalam waktu singkat!"
Emma memutar matanya. "Kenapa tiba-tiba aku merasa seperti
Scarlett O'Hara dalam filmnya Gone with the Wind saat dia
beraktingmenjadiwanita yang harus bertingkah sangat konyol untuk
mendapatkan seorang suami?"
"Well, secara teknis kau tidak melakukan semua ini agar
mendapatkan suami-kau hanya perlu membangunkanereksi Aidan
sekali... atau dua kali."
Tubuh Emma terguncang karena tertawa keras, membuat eyelinernyamelengkung keatas
sampai pelipisnya. "Case, sialan, lihat apa
yang telah kau lakukan padaku!" Katanya saat dia bisa mengambil
nafasnya lagi. "Aku" Aku tidak melakukan apapun selain mengatakan fakta yang
ada." Setelah membersihkan eyeliner yang berantakan, Emma mengangkat
pergelangan tangannya untuk melihat jam tangannya. "Sial! Aku
harus segera siap, kalau tidak aku akan terlambat!"
*** Emma memandang ke arah teleponnya berkali-kalinya. "Sial, sial,
sial!" Dia sekarang sudah terlambat lima belas menit, dan sms-nya
pada Aidan belum dijawab. Dia takut kalau Aidan marah dan pergi
begitu saja. Lagipula, Aidan tidak perlu menunggu untuk
mendapatkan wanita- merekabiasanya tidak segan-segan
melakukansekecil apapun perintahnya. Teleponnya bergetar saat
mobilnya bergerak menuju ke tempat valet. Dia merogoh dalam
tasnya untuk mencari teleponnya.
Langsung membuka pesan itu dan jantungnya berhenti kemudian
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti di restart. "Lebih baik kau segera kemari. Cepat. Jangan
mandi air dingin untuk meredakan hasratmu malam ini."
"Ma am?" tanya valet.
Dengan pikirannya yang masih dipenuhi oleh Aidan, dia bahkan
tidak menyadari saat pintu mobilnya sudah terbuka dan seorang pria
muda sekarang menatapnya dengan penuh harap.
"Oh, maafkan aku."
Emma mengambil tiket dari pria itu dan segera masuk ke dalam
hotel. Pandangannya menyapu orang-orang asing yang ada di lobi.
Ketika tidak menemukan Aidan, dia menjulurkan lehernya untuk
mencari Aidan di dalam ruangan yang sangat penuh.
Akhirnya, matanya bisa menemukan Aidan, dan Emma memberinya
senyum ragu-ragu. Aidan berjalan cepat menuju ke arahnya. Karena
melihat wajahnya yang frustasi, Emma mengangkat tangannya. "Oh,
Aidan, aku benar-benar minta maaf karena datang terlambat. Lalu
lintas benar-benar macet dan..."
Aidan membungkamnya sekali lagi dengan melumat bibir Emma.
Aidan menciumnya lebih lembut daripada waktu malam itu di
tempat parkir, karena sekarang mereka ada di tengah-tengah sebuah
lobi hotel yang ramai. Saat menarik dirinya, Emma memukul
lengannya. "Kau benar-benar harus berhenti melakukan itu!" Protesnya.
"Menciummu?" "Tidak, memotong kata-kataku."
"Maafkan aku, tapi aku tidak bisa menahannya. Penampilanmu
benar-benar sialan malam ini."
Mata Emma melebar kemudian tersenyum. "Oke kalau begitu, kau
dimaafkan." Aidan tersenyum. "Senang mendengarnya. Apa kau lapar?"
"Sedikit," Dia berbohong. Hanya dengan memikirkan makan
membuatnya ingin muntah. Ketegangannya masih sangat tidak
terkendali. "Ayolah." Dia menempatkan telapak tangannya di pinggang Emma
kemudian membimbingnya menuju restoran hotel ini. Seorang
pelayan yang mengenakan tuksedo mempersilahkan mereka duduk
di sebuah meja yang memiliki pemandangan menakjubkan saat
matahari terbenam di kota ini. Pelayan itu mencatat pesanan
minuman mereka kemudian meninggalkan mereka berdua.
Saat meraih menu, jari tangan Emma menyentuh jari tangan Aidan.
Aidan mendongak sambil memberi senyum khasnya yang seksi dan
mematikan itu. Campuran antara kerinduan yang membara dan
kegelisahan serta melumpuhkan itu mengalir dalam diri Emma, dan
dia segera mengalihkan pandangannya kembali kemenu itu.
Bernafas Em, Kau bisa melakukan semua ini.
"Makanan apa yang enak?" Tanya Aidan, suaranya memecahkan
kesunyian diantara mereka.
"Oh, aku tidak tahu." Bisik Emma, menjaga matanya agar tetap
tertuju pada daftar menu. Makanan adalah hal paling akhir yang dia
pikirkan untuk saat ini. Semua yang bisa dia pikirkan sekarang
adalah apa yang akan terjadi setelah makan malam nanti. Bagaimana
rasanya setelah akhirnya dia bisa berhubungan intim dengan
seseorang sekali lagi" Dan di atas semua itu, dia khawatir kalau
dirinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Aidan.
Emma sangat bersyukur ketika pelayan kembali lagidengan
membawa margaritanya. Dia memiringkan gelasnya lalu meneguk
minuman itu sebanyak mungkin, menyesapnya hingga setengah
gelas dan dia merasa menggigil ketika alkohol itu seperti menekan
perutnya. Pada saat pelayan mencatat pesanan makanan mereka, Emma sudah
menghabiskan minuman keras tequila itu dan memesan satu gelas
lagi. "Kurasa mereka membuat margarita yang benar-benar enak disini
ya?" Aidan bertanya sambil tersenyum agak cemberut.
Dengan antusias Emma menganggukkan kepalanya. "Sangat."
Saat Aidan menceritakan mengenai detil promosinya
sebagaiVPmarketing dan mengenai perjalanan-perjalanan yang akan
dia lakukan di masa mendatang, Emma ingin menghabiskan
Margaritanya yang kedua. Dia hampir tidak bisa mencerna apa yang
dibicarakan Aidan mengenai perjalanannya ke luar negeri dan dalam
negeri untuk melakukan bisnis. Sebaliknya dia fokus menghisap
minuman alkohol yang ada di gelasnya dengan menggunakan
sedotan kecil. Tanpa ragu, dia melambaikan tangannya pada pelayan
agar membawakan dia minuman lagi.
Aidan tiba-tiba berhenti di tengah-tengah kalimatnya dan
mengangkat alis matanya yang pirang. "Apa kau mencoba untuk
menjadi mabuk sehingga kau bisa bertahan saat melakukan seks
denganku nanti?" "Tidak, tidak, sama sekali bukan karena itu!" teriaknya.
Aidan mencondongkan tubuhnya di atas meja. "Minggu lalu kau
hanya minum setengah gelas margaritamu. Sekarang kau menenggak
margaritamu seperti seorang pecandu yang baru saja keluar dari
pusat rehabilitasi."
Emma mengambil napas dalam-dalam, keputusan terbaik adalah dia
akan mengatakan yang sebenarnya pada Aidan. "Aku hanya... aku
terlalu gugup. Itu saja."
"Mengenai kita yang akan tidur bersama?"
Emma menganggukkan kepalanya.
Alis mata Aidan terangkat lagi. "Apa kau kuatir aku akan
menyakitimu atau akan memintamu melakukan sesuatu yang tidak
kamu inginkan?" "Tidak, bukan sesuatu yang seperti itu."
"Lalu apa itu?" Tuntutnya.
"Aku kuatir kalau aku akan mengecewakanmu."
Mulutnya menganga karena begitu terkejut. "Bagaimana bisa kau
berpikir seperti itu?"
Emma mengangkat bahunya. "Karena kau sudah sering
melakukanbersama banyak wanita...sedangkan aku tidak memiliki
pengalaman. Aku hanya melakukan itudengan satu orang pria saja,
dan selain bersama dia, aku tidak tahu apa yang diinginkan oleh
seorang pria." "Pertama, terlepas dari rumor yang beredar apa yang dikatakan
orang lain sebenarnya jumlah wanitaku tidaklah terlalu banyak.
Emma, aku tidak meniduri setengah dari wanita di kota ini, aku juga
bukan Gene Simmons dari Kiss. Dan yang kedua, seks pada
dasarnya merupakan alasan yang sama sekali tidak peduli dengan
siapapun kau melakukannya. Lain halnyadenganperbedaan antara
apa yang disukai orang-orang dan keinginan mereka di atas meja
makan." Emma bermain-main dengan sedotan di dalam gelasnya. "Aku
merasatakut setelah kau bersamaku nanti, kau tidak ingin
meneruskanperjanjian kita."
"Maksudnyagairahkuakan matisetelah tidur denganmu yang tidak
berpengalaman itu sampai aku tidak menginginkan kamu lagi?"
"Ya," Bisiknya. Saat Aidan menjauhkan dirinya dan tertawa
terbahak-bahak, bibir Emma bergetar. "Itu tidak lucu."
Kegembiraannya memudar dengan cepat. "Oh Em, maafkan aku
karena telah melukai perasaanmu. Hanya saja aku tidak bisa
membayangkan bahwa kau sangat mempercayai hal-hal semacam
itu." "Well, aku memang mempercayainya." Dia mendesah. "Aku
mempercayainya." Aidan mengangkat jari telunjuknya. "Biarkan aku membuat masalah
ini menjadi sangat jelas. Tidak mungkin kau mengecewakan aku
sampai aku tidak menginginkanmu lagi." Kemudian dia
mendekatkan dirinya pada Emma-Napasnya membara,
menghanguskan kulit sensitifdi telinga Emma. "Aku terangsang
hanya dengan melihatmu saja."
Pipi Emma memerah saat mendengarkan kalimatnya itu. "Aku tidak
percaya kau baru saja mengatakan hal itu!"
Aidan tersenyum. "Itulah faktanya. Begitu aku melihatmu tadi, aku
langsung ingin menyeretmu ke lantai atas." Aidan meraih tangan
Emma, menariknya di bawah taplak meja dan meletakkannya di atas
pangkuannya. "Lihat apa yang telah kau lakukan pada diriku?"
Mulut Emma terasa kering saat mendengar kata-katanya, dan fakta
bahwa Aidan sudah hampir mengeras seperti yang diharapkan oleh
Casey. Emma menyapukan lidahnya di atas bibirnya. Cara Aidan
memandangnya membuat tubuh Emma bergetar dari ujung kepala
hingga ujung kakinya, terutama di antara kedua kakinya. Ya Tuhan,
Aidan begitu seksi-sedikit terlalu seksi, melebihi apa yang dia
inginkan. Jika Aidan menganggap Emma seksi danmerasa
terganggukarena hanya duduk saja di meja makan ini, Emma tidak
bisa membayangkan apa yang akan terjadisaat di tempat tidur
dengannya. Pada saat itu juga, antisipasi Emma memenangkanatas
ketakutannya sendiri. "Aku pikir aku sudah siap untuk naik ke atas
jika kau menginginkannya."
Alis mata Aidan terangkat karena terkejut. "Bahkan tanpa melewati
makan malam?" Emma menganggukkan kepalanya.
"Biar kutebak. Kau takut akan kehilangan keberanianmu?" Tanya
Aidan. Dengan jumlah alkohol yang tidak masuk akal telah memompa ke
seluruh tubuhnya, Emma memberinya senyum sensual. "Tidak, aku
memang sudah siap untuk tidur denganmu." Saat kata-kata itu lolos
dari bibirnya, Emma tersentak dan menundukkan kepalanya. "Ya
Tuhan, benarkah aku baru saja mengatakan hal itu?"
"Kalau kau terus berbicara kotor, aku tidak akan bisa sampai ke
lantai atas tanpa mempertontonkan kebodohanku pada seisi ruangan
ini." Dengan cepat dia memanggil pelayan untuk meminta tagihan.
Saat dia membayar, Emma berdiri dari kursinya, dia merasa ruangan
berputar di sekelilingnya. "Oh sial, aku pusing sekali."
Aidan meraih pundaknya agar Emma berdiri dengan seimbang. "Apa
kau yakin bisa berjalan?"
"Aku rasa bisa. Tapi apakah aku bisa minum lagi atau tidak, itu harus
diperdebatkan terlebih dulu."
Aidan terkekeh sambil meletakkan tangannya di pinggang Emma
dan membimbingnya keluar dari restoran. Emma menyandarkan
kepalanya di dada Aidan, menikmati aroma kayu dari cologne Aidan.
Pada saat Aidan mulai berjalan menujulift, Emma mendongak dan
bertanya, "Bukankah kita perlu check in terlebih dulu?"
Aidan merogoh lalu mengeluarkan kunci kamar dari dalam jaketnya
dan melambaikannya pada Emma. "Semua sudah diurus."
"Kau benar-benar seorang pria yang penuh dengan perencanaan,"
balasnya, kemudian tertawa seakan itu hal paling lucu yang pernah
dia katakan. Saat Aidan menunduk melihat kegeliannya, Emma
menggelengkan kepalanya. "Serius, tidak, aku tidak akan minum
lagi." "Tidak, kau cukup menggemaskan saat kau sedikit mabuk," Katanya,
lalu menekan tombol lift.
Pintu terbuka, dan mereka masuk ke dalam. Guncangan saat Lift
bergerak naik ke atas membuat kaki Emma tidak stabil, dan dia
menempel semakin erat pada Aidan. Lift berbunyi ketika sampai di
lantai mereka. "Silahkan kau keluar duluan,"desak Aidan saat pintu
lift terbuka. "Terima kasih." Tapi saat dia melangkah keluar, dia menoleh ke
kanan dan ke kiri, tidak yakin dia harus berjalan ke arah mana.
"Lewat sini," perintah Aidan, lalu menggandeng tangan Emma.
Ketikasampai di kamar mereka, pandangan Emma terpaku pada
papan nama yang terbuat kuningan tergantung di pintu kamar, dan
dia meraih lengan baju Aidan. "Apa yang kita lakukan disini"
Bukankah ini kamar untuk bulan madu."
"Ya, aku tahu itu saat aku memesannya. Aku diberitahu bahwa
kamar ini adalah salah satu kamar terbaik yang mereka miliki." Dia
menyeringai. "Selain itu, kupikir kaumungkin akan merasa lebih
nyaman melakukan apa yang akan kita lakukan nanti jika kita
seakan-akan sudah menikah."
Mata Emma mengerjap tidak percaya. "Itu manis sekali. Kau sudah
memikirkan segalanya. Bukankah begitu?"
"Semua hal yang bisa membuatmu nyaman."
Jantung Emma berdegup kencang mendengar kata-kata Aidan.
"Terima kasih."
Aidan membuka pintu kamar. "Silahkan masuk."
*** *Steel Magnolia: sebutan untuk seorang wanita yang kuat dan mandiri, namun
begitu feminim Bab 6 Emma berjalan menuju suite dan terkesiap. Taburan kelopak mawar
merah muda dan merah berserakan mengarah dari ruang tamu
menuju kamar tidur. Diatas meja kopi, sebotol sampanye yang
didinginkan di dalam sebuah wadah perak beserta dua gelas. Sebuah
mangkuk berisi strawberi berlumuran coklat membuat perutnya
menggeram. Dia mengalihkan pandangannya dan mengikuti taburan
mawar menuju kamar tidurdimana deretan lilin telah menunggu
untuk dinyalakan, dan sebuah kotak dengan pembungkus berwarna
merah muda diletakkan diatas tempat tidur.
Emma menoleh kembali kearah Aidan yang sedang mengangkat
bahunya untuk melepaskan jasnya. "Kau melakukan semua ini
untukku?" "Aku ingin menerima pujian, tapi para pegawai yang melakukan
semuanya, lilin beraroma buah-buahan dan bunga-bunganya,"
jawabnya, sambil melemparkan kartu kunci kamar hotel keatas meja.
Melihat ekspresi kebingungan Emma yang terus berlanjut, Aidan
tertawa ringan. "Apa yang kau harapkan" Sebuah tempat tidur single
dan seks kilat?" Aku tahu ini hanya tentang membuatmu menjadi
hamil tapi biarkan aku memberimu sedikit penghargaan."
"Tidak. Hanya saja aku tidak membayangkan seperti ini," Emma
tersenyum malu. "Untuk semua yang sudah kau lakukan, terima
kasih." "Sama-sama." "Apa yang ada di dalam kotak?" tanyanya,sambil menunjuk ke
tempat tidur. "Sesuatu untukmu."
"Untukku?" Aidan mengangguk dan menyerahkan kotak tersebut kepadanya.
"Sebelum kau membukanya, biarkan aku mengatakan ini. Kamu
sudah tahu kau tidak perlu melakukan apapun tapi cukup bernapas
untuk membuatku ereksi lebih keras ..."
"Aidan!" protes Emma.
Aidan tertawa mendengar kemarahannya. "Bagaimanapun juga aku
termasuk pria pecinta lingerie, jadi kupikir mungkin kau ingin
menyenangkan aku dengan mengenakannya."
Emma merobek kertas pembungkus kotak tersebut. Setelah
menyingkirkan kertas merah muda pembungkusnya, matanya
fokuspada satin berwarna hijau emerald. Jemarinya bergetar saat ia
menarik keluar baju tidur baby doll itu. Bagian atasnya bertabur
manik-manik hijau dan emas yang rumit serta sulaman bunga
dengan bahan tipis sampai pahanya sesuai dengan thong-nya.
"Apa itu oke?" "Sangat indah," gumamnya. Membayangkan Aidan berbelanja hanya
untuknya sungguh luar biasa. Apakah ia melakukan semua ini untuk
merebut hatinya ataukah kamarnya dilengkapi denganpakaian
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lingerie yang siap pakai" "Terima kasih."
Wajah Aidan berubah menjadi seringai lebar. "Aku tak tahu kalau itu
indah. Aku lebih berpikir kearah betapa seksinya kamu dalam
balutan warna hijau. Sama seperti gaun hijau di pesta natal dan
hanya kau satu-satunya yang mengenakannya malam itu."Dengan
lembut Aidan menyingkirkan sehelairambut pirang Emma dari
wajahnya. "Warna itu membuat segala sesuatu tentangmu terlihat
menonjol dari rambut sampai matamu."
"Tapi bagaimana kamu bahkan tahu ukuranku?"
"Casey membantuku untuk yang satu itu."
Emma memutar matanya. "Kenapa aku tidak kaget" Aku harus ingat
untuk berterima kasih padanya."
Aidan tertawa. "Well, jika hal ini membuatmu merasa lebih baik, dia
bersumpah akan memotong bolaku jika aku merusak malam ini
untukmu." "Dia tidak akan melakukannya, kan?" Emma melengking.
"Oh yeah. Dia akan melakukannya."
"Diantara Connor dan Casey, aku tidak percaya kau bahkan akan
melakukan semua ini."
"Tak masalah. Aku bisa berfungsi dengan baik walaupun dibawah
tekanan," gurau Aidan. Dia menggerakkan kepalanya kearah kamar
mandi. "Sekarang, seriuslahpersiapkan dirimu dan bergantilah
pakaianmu." Emma terkikih. "Baiklah kalau begitu."Dia masuk ke kamar mandi
dan menutup pintunya, menguncinya untuk alasan tepat. Dia
membuka ritsleting bajunya, lalugaunnya jatuh ke lantai, bahan sifon
gaunnya menimbulkan suara seperti bisikan. Setelah mengganti
celana dalamnya dengan thong, Emma melepas branya dan memakai
pakaian tidurnya. Tidak ada kancing ataupun ritsleting, hanya pita
satin dibagian tengah yang mengikatnya agar tetapmenempel di
tubuhnya. Ketika ia selesai, Emma menatap bayangannya sendiri di
cermin. "Oh my," bisiknya. Entah bagaimana mengenakan pakaian
tidur ini telah merubah dirinya menjadi seorang wanita yang benarbenar begitu
seksi. Emma bahkan seakan mendengar suara Casey yang terngiang
ditelinganya, "Ayo dapatkan dia, sayang!"
Saat tangan Emma mencapai pegangan pintu, dia mengambil napas
supaya tenang sebelum membukanya. Aidan membelakanginya saat
ia melangkah keluar dari kamar mandi. Kamar tidurnya berkerlapkerlip oleh cahaya
lilin, suara musik lembut mengalun dari ihome di
sudut kamar. Emma masih tidak percaya bahwa Aidan melakukan
semua ini. Di dalam benaknya, ia membayangkan Aidan
menuntunnya menaiki tangga seperti cerita Big Band Wolf dan
memangsanya bahkan sebelum ia sempat menutup pintu.
Emma berdiri dengan canggung ditengah ruangan menunggu Aidan
menyadari keberadaannya. Ia berpindah-pindah dari satu kaki ke
kaki lainnya, menggosok lengannya yang telanjang.Akhirnya Emma
berdeham. Ketika Aidan berputar, matanya melebar. "Sialan, Em."
Menyadari dirinya sendiri Emma menarik-narik keliman baby dollnya, mencoba
menutupi dirinya lebih banyak lagi. "Bagaimana
penampilanku?" tanyanya, sambil perlahan-lahan berputar untuk
mendapatkan persetujuan Aidan.
Aidan memperpendek jarak diantara mereka dengan dua langkah
panjang. Membungkuskan lengannya disekeliling pinggang Emma,
ia menyentak tubuh Emma kearahnya. Hembusan napasnyayang
menggoda menyentuh pipi Emma, sambil berbisik ia berkata,
"Sialan seksi."
"Terima kasih."Terdorongoleh pujian Aidan, Emma mencondongkan
tubuhnya lalu membawa bibirnya ke bibir Aidan. Kali ini Emma
menyelipkan lidahnya masuk kedalam mulut Aidan, dengan penuh
semangat mencari kehangatannya. Tangan Aidan meluncur turun
dari pinggang Emma dan menangkup pantatnya. Aidan mengaitkan
salah satu kaki Emma keatas pinggulnya, menggesekkan ereksinya
ke tubuh Emma. Emma mengerang saat merasakan kebutuhan Aidan
yang terasa dari balik celana dalamnya yang tipis. Ketika Aidan
bergerakditubuhnya, Emma inginmerasakan lebih pada Aidan. Kulit
telanjang Aidan menempel pada tubuhnya.
Emma melepas sejenak bibirnya dari Aidan. "Apakah kau tidak
melepaskan pakaianmu?"
"Aku menginginkanmu untuk menelanjangiku."
"Oh," gumam Emma. Untungnya, Aidan sudah melepaskan dasinya,
jadi Emma tidak perlu khawatir dengan yang satu itu. Jari-jarinya
gemetaran meraih kancingkemeja Aidan. Dia meraba-raba saat
melepaskan kancing pertamanya sebelum melepas sisanya. Emma
membuka kemeja Aidan dan matanya melebar saat melihat pahatan
dada Aidan. Tanpa berpikir, Emma menjalankan tangannya turun ke
tengah dada Aidan, diatas absnya yang bagaikan papan cucian, dan
turun lagi menuju gesper ikat pinggangnya, menyebabkan Aidan
mengambil napasnyadalam-dalam dan otot-otot perutnya menegang.
Menikmatiefek yang ditimbulkannya bahkan hanya berupa sentuhan
kecil padanya, Emma mendongak dan tersenyum. "Dada yang bagus.
Aku berani bertaruh kau menghabiskan waktu berjam-jam di gym."
Sebelum Aidan bisa menjawab, Emma menggelengkan kepalanya.
"Apakah aku terdengar sangat klise?"
Aidan terkekeh. "Tidak, lebih mengarah ke kolam renang. Aku dulu
juararenang di seluruh negara bagian."
Hmm. Aku berani bertaruh kamu terlihat cukup lezat untuk dilihat
dengan celanaspeedomu, pikir Emma.
Dada Aidan bergetar karena tertawa dan Emma menyadari dengan
rasangeri karena ia melakukan kesalahan dan mengucapkan apa
yang dia pikirkandengan suara keras. "Mainkan kartumu dengan
benar, kau bisa mendapatkan apapun yang kamu inginkan dan
mungkin aku akan mengenakan satu untukmu."
Karena ingin melihat lebih banyak lagi bagian tubuh Aidan, dengan
tergesa-gesa Emma melepaskan gesper dan menyentak ikat pinggang
Aidan lepas dari celananya. Setelahmelemparkannya ke lantai,
Emma memandang kearahnya. Tatapan Aidan panas terbakar
menusuk kedalam dirinya, dan Emma merasakan kehangatan
mengalir di pipinya dan turun ke lehernya. Emma mengangkat
tangannya untuk melepaskan kemeja Aidan melalui lengannya.
Kemejanya jatuh ke lantai.
Sekarang yang tertinggal hanya celana Aidan, dan bagi Emma hal itu
cukup mempengaruhinya-atau setidaknya apa yang ada didalamnya.
BegituEmma membuka kancing celana Aidan, jemari Emma
meraba-raba risletingnya. Ketika ia mendorong kebawah, jemari
Emma menyentuh ereksi Aidan. Kejantanannya terasa mengeras
dibalik celana dalamnya, menunggu dibebaskan oleh sentuhannya.
Kembang Darah Setan 1 Raja Naga 7 Bintang Qi Xing Long Wang - Seven Star Dragon King Karya Khu Lung Wanita Iblis 23