Pencarian

The Wednesday Letters 1

The Wednesday Letters Karya Jason F.wright Bagian 1


THE WEDNESDAY LETTERSASON F.WRIGHT Download dan baca secara online di
http://cerita-silat.mywapblog.com
THE WEDNESDAY LETTERS ASON F.WRIGHT www.ac-zzz.blogspot.com April 13, 1988 RABU MALAM Tidak lama setelah pukul sebelas malam, Laurel naik ke atas tempat tidur dan
menyelipkan tubuhnya ke bawah selimut berwarna merah marun di samping
suaminya, Jack. Ia melingkarkan kedua belah lengannya ke sekeliling tubuh
Jack, mendekapnya dari belakang. Saat jemarinya merasakan tekstur tulang
rusuk yang berbaris di bawah kulit dada suaminya, lauren berubah cemas.
Ingatannya melayang pada masa beberapa tahun lalu ketika berat tubuh
suaminya, jauh melebihi berat tubuhnya sendiri.
Mengira bahwa ia sudah tertidur lelap, Laurel-pun memulai kegiatan rutinnya di
malam hari. Ditariknya napas dalam-dalam, meregangkan serta mengisi setiap
rongga parunya dengan udara. Lalu, dengan bibir yang masih terkatup rapat, ia
membiarkan udara yang ditariknya tadi perlahan-lahan keluar lewat hidungnya.
Dengan begitu, ia pun merasa tenang kembali.
Laurel memejamkan matanya; berdoa untuk putra-putrinya-Marthew, Malcolm,
Samantha.---dan juga untuk cucunya, Angela, serta adik perempuannya,
Allyson. Kemudian, ia menghaturkan permohonan kepada Tuhan agar
memberikan suaminya waktu untuk hidup lebih lama. Namun secepat ia
memohon, secepat itu pula ia menyesali permohonannya. Ia justru mengutuk
kelemahannya dalam menghadapi kenyataan. Akhirnya, ia mengakhiri doa
singkat itu dengan air mata.
"Hai," suara Jack mengejutkannya.
"Hai," balasnya lembut, mengusap matanya pada sarung bantal yang berwarna
biru tua. "Kupikir kau sudah terlelap."
"Tidak Juga. Bagaimana perasaanmu"'
"Baik-baik saja, tapi kutinggalkan cucian piring untuk dikerjakan oleh Rain
besok pagi. Dadaku masih terasa nyeri. Apa mungkin aku terlalu tua untuk
quesadilla yang kumasak sendiri?" , Laurel melarikan jemarinya ke antara
helaian rambut Jack yang tipis dan memutih, sementara tangan yang lain mengelus dadanya sendiri.
"Bagaimana denganmu" Masih pusing?"
"Tidak lagi, Sayang."
"Kau itu pemb0h0ng yang buruk, jack Cooper." Ia memindahkan jemarinya dari
rambut suaminya ke atas kening Jack.
"Ah, kau benar, ini semua salah gumpalan yang ada di dalam , kepalaku," sahut
Jack penuh canda. www.ac-zzz.blogspot.com Selama 18 bulan, Jack-yang berusia tujuh puluh satu tahun-tengah sibuk
memerangi tumor otak ganas dan tidak bisa dioperasi. Saat ditemukan, tumor
ganas yang sewaktu-waktu bisa mencabut 'nyawanya itu berukuran sebesar
kelereng, sekarang, ukurannya sama dengan sebuah bola ping-pong.
Rasa sakit kepala yang ditimbulkan tidak teratur polanya, terkadang la bahkan
tidak mengalami sakit kepala sama sekali selama dua atau tiga hari. Namun,
saat rasa sakit kepala itu muncul, maka reaksinya bermacam-macam ,ual, sakit
mabuk-sehingga membuatnya tidak berdaya dan harus berbaring di atas tempat
tidur untuk waktu yang lama.
Meski dokter-dokter yang merawatnya selalu berusaha untuk meyakinkan Jack
bahwa di luar sana terdapat obat-obat serta terapi baru yang tidak lama lagi
akan masuk ke pasaran, ia tahu bahwa satu-satunya yang dapat menyembuhkan
penyakitnya hanyalah sentuhan Tuhan,
Namun, pikir Jack tentunya Tuhan punya kepentingan lain yang lebih mendesak
daripada menolongnya. Lagipula, dia bukan orang besar, sehari-hari ia
mengelola sebuab penginapan yang sederhana di negara bagian Virginia.
Sejak ia didiagnosis menderita tumor otak, Laurel sudah berulang kali
mendengarkan lelucon yang sama terlepas dari mulut suaminya: bahwa Tuhan
punya kepentingan lain yang lebih mendesak ketimbang memperpanjang
umurnya. "Contohnya, membawa kedamaian ke daerah Timur Tengah," seloroh Jack, atau
mengembalikan tim kesukaanku Chicago Cub, ke tengah ajang World Series."
Penginapan yang mereka kelola bersama dinamakan Domus jeferson terletak di
jantung Lembah Shenandoah, tepar di antara pegunungan Allegheny dan Blue
Ridge. Jack sering berkata seandainya ia bisa hidup melewati hari kiamat dan
Sang Pencipta memberinya dua pilihan antara Surga dan daerah perbukitan
tersebut, maka ia takkan pikir panjang untuk memilih langkh terakhir.
Di musim semi seperti sekarang, saat waktu menjelang tengah malam di hari
Rabu, tempat penginapan yang mereka cintai tampak lengang, Satu-satunya
tamu yang menginap adalah Anna Belle Prestwich, seorang pewaris perusahaan
pembuat rnakanan binatang peliharaan yang kaya raya.
Meski penghujung malam sudah tiba, biasanya Anna Belle masih terjaga sambil
membaca sebuah novel roman di dalam kamar sewa seharga $190 semalamnamun ia
memaksa untuk membayar lebih $300.
Kamar tersebut didekorasi menggunakan perangkat mewah mirip dengan
perangkat di kediaman mantan Presiden Arnerika Serikar yang ketiga, Thomas
Jefferson, di Monticello. Perangkat tersebut juga tidak sembarangan dibuat,
melainkan hasil jerih payah beberapa pengrajin tangan.
Dari jendela kamar, penghuninya dapat menatap jauh ke arah padang rumput
seluas 400 hektar yang terbentang di belakang penginapan, menggapai sebuah
sungai kecil yang merrgalir di batas hutan.
Biasanya, setelah selesal membaca tiga atau empat edit teks bu nora
http://ebukita.wordpress.com dari novel roman kesukaannya, Anna Belle akan
membawa kucingnya, Castro, untuk berjalan-jalan di sekeliling penginapan
dengan berbekal sebuah senter milik mendiang suaminya. Ia sadar bahwa tidak
biasanya orang mengajak seekor kucing berjalan-jalan, tetapi ia tidak seperti
www.ac-zzz.blogspot.com kebanyakan 0rang. Dan sebagian besar kucing-kucing peliharaan orang tidak
memiliki masalah berat badan, seperti
Castro. Anna Belle adalah Langganan tetap di penginapan milik Jack dan Laurel.
Beberapa tabun belakangan ini, ia selalu menginap di sana setidaknya dua kali
sebulan. Dan tidak jarang ia menghabiskan waktu sampai sepuluh hari di setiap
kunjungannya. Aneh, memang ". mengingat bahwa tempat tinggalnya sendiri terletak kurang
dari saru mil jaraknya dari penginapan tersebut, Megah, besar dan dilengkapi
dengan empat rumah tamU, istana bergaya Southern itu digosipkan berkisar
antara setengah juta sampai seratus sepuluh juta dolar,
Di pagi musim dingin yang cerah, lama setelah pepohonan menghempaskan
daun-daun ke atas tanah, menara tinggi yang mencuat dari salah santu gudang
bekasnya serta atap dari rumah utama yang bernuansa putih dapat terlihat
melalui pepohonan yang berjajar ke arah timur.
Wanita asal Florida yang bertubuh pendek, gempal. dan berusia nyaris setengah
abad ini pertama berjumpa dengan mendiang suaminya, Alan Prestwich, di
Pantai Miami saat keduanya sedang berjalan menyusuri tepi pantai di suatu
pagi di musim gugur. Alan sedang memunguti kulit kerang unruk koleksi putri
sekretarisnya, sementara Anna belle sedang mengajari Castro agar tidak mudah
takur kepada air. Pertemuan mereka pagi itu membuahkan pernikahan yang tak terduga, yang
juga merupakan pernikahan pertama bagi keduanya. Saat itu, suaminya
mengatakan bahwa ia mencintai Anna Belle karena kebaikan hatinya, karena ia
memiliki pinggul besar nan unik, dan karena kulit putihnya yang seperti susu,
namun lmmbur Layaknya mentega. Tapi, yang paling utama, Alan mencintainya
karena rambut merah tua Anna Belle yang menjurus ke arah merah marun,
yang kini memutih dengan anggun.
"Wanita~wanita yang biasanya aku kencani takkan berani meninggalkan rumah
tanpa terlebih dahulu mengecat warna rambut mereka agar tampak lebih
muda," tutur Alan, berjalan di sampingnya pagi itu, "Tapi, kau, Anna Belle-kau
seperti seekor ikan unik di tengah laut yang dipenuhi oleh ikan itu-itu saja,"
"Kalau aku memang sebaik yang kau katakan," sahut Anna Belle. di akhir kencan
penama mereka, "lalu kenapa semua Iaki?laki yang baik selalu menghindariku?"
"Mereka tidak menghindarimu," jawab Alan. "Hanya saja belum ada yang cukup
baik untukmu." Enam minggu kemudian, mereka pun menikah.
Tiga tahun setelah itu, di tengah-tengah kehidupan baru mereka sebagai
sepasang suami-istri,Alan seorang pengusaha yang memiliki hobi mengendarai
pesawat pribadi-jatUh di tengah rawa Everglades ketika menerbangkan
pesawat jet model Gulfstream III keluaran 1984 yang baru saja dibelinya.
Para petugas berwenang tidak menemukan apa-apa di rawa itu kecuali
sebentuk senter bermerek Maglire berukuran empar puluh sentimeter, bersinar
terang di bawah permukaan air kotor, tergeletak hampir dua kilometer jauhnya
dari lokasi jatuh pesawat. Sejak itu, anna Belle selalu membawa senter ke
mana pun ia pergi, yakin bahwa suatu hari ia akan membutuhkannya untuk
www.ac-zzz.blogspot.com menemukan Castro di tengah hutan setelah habis memakan donat, untuk
menakut-nakuti beruang, atau untuk hal-hal lain yang berguna.
Seumur hidupnya, Anna Belle selalu diberkahi oleh berat badan yang agak
berlebihan. Saat ini bekerja di supermarket A&P dulu, serombongan teman
sekolahnya yang jahil selalu memanggilnya dengan sebutan yang Sama" A&P.
Demi menggoda mereka, ia pUn dengan senang hati mengadopsi julukan itu
sebagai nama panggilnya. Dan, sampai saat ini, julukan itu masih, melekat
padanya. Diberi juLukan berarti orang memerhatikanku, katanya pada diri sendiri.
Sekarang A&P kerap bertanya-tanya julukan apakah yang akan diberikan oleh
teman-teman sekolahnya jika mereka tahu bahwa dia akan mewarisi sebagian
besar dari kekayaan suaminya. Perusahaan peninggalan Alan menjadikannya
seorang milyuner berkali-kali.
Tidak lama setelah kecelakaan yang dialami suaminya, Anna Belle memilih
untuk pindah ke daerah Woodstock, Virginia. Pilihan ini dibuatnya berdasarkan
sebuah brosur Asosiasi Sandiwara Pengulangan Perang Saudara yang ia temukan
di lemari kerja suaminya suatu hari, di mana nama sebuah kota asing tampak
dilingkari dengan tinta bolpen. Sebulan kemudian, ia sudah resmi menjadi
warga WoodstOck, Virginia.
Jack dan Laurel tidak membuang waktu untuk menjalin persahabatan dengan
tetangga baru mereka yang ramah. Diam-diam, mereka berspekulasi bahwa
tujuan hidup Anna Belle adalah untuk menghabiskan semua warisannya di
penginapan yang mereka kelola.
"Coba tebak berapa besar tip yang diberikan A&P padaku malam ini, hanya
karena aku mengantarkan SUSu pesanannya?" bisik Laurel di telinga suaminya.
"SeratUS dolar."
"Lebih tinggi lagi."
"Dua ratus lima puluh dolar?" "Lebih tinggi lagi," ulang Laurel.
"Lima ratus dolar?" suara Jack meninggi, tidak-percaya.
"Lima rarus sembilan belas dolar dan lima puluh dua sen. Ia mernberikan semua
uang yang ada di dalam dompetnya."
"Itu upah yang lumayan karena kau sudah susah-susah menemukan botol SuSU
di kulkas dan menuangkan ke dalam gelas." jack menghe1a napas, menepuknepuk
bantal tidurnya. "Wanita itu memang luar biasa."
"Dia tidak berbahaya, kok,"
Jack memutar rubuhnya dan menatap wajah istrinya, mengunci pandangannya
pada sepasang mata Laurel yang berwarna kecokelatan dan tampak dipenuhi
segudang pengalaman. Matanya sendiri, yang dulu terlihat begitu
mempesona, .kini tampak merosot ke dalam kepalanya sejauh setengah senti
meter, dikelilingi oleh lingkaran hitam. Laurel sering mengatakan sambil
bercanda bahwa Jack mewarisi mata menyerupai binatang rakun dari
ayahnya, .namun setahun belakangan ini lingkaran hitam yang mengelillngi
kedua indera pengelihatannya itu tampak semakin gelap hingga terkesan
memisah dari pipinya. www.ac-zzz.blogspot.com Jack mencondongkan wajahnya ke arah Laurel, hidung mereka nyaris
bersentuhan. "Suaru saat kitaa harus mengatakan yang sebenarnya pada Anna
Belle," ujarnya pelan.
Sejak pertama A&P menginap di Domus jeperson, ia selalu meninggalkan tip
sangat besar untuk servis yang biasa-biasa saja. Kebaikannya itu juga tidak bisa
dipolakan dengan akal sehat. Apa bila Jack membantu membawakan sebuah tas
milik A&P, maka ia akan mengeluarkan selembar uang seratus dolar sebagai tip untuk Jack.
Apabila Laurel meninggalkan sebungkus permen di atas bantal setelah rutinitas
merapikan kamar tamu, maka A&P akan menyelipkan beberapa lembar uang
dua puluh dolar ke dalam tangan Laurel saat makan pagi.
Pernah, suatu kali, dokter langganan Laurel menemukan detak jantung yang
tidak teratur di dalam dada Laurel, menyimpulkan bahwa ada kelainan pada
jantung Laurel yang disekan oleh genetik turunan. Mendengar hal ini, A&P
memaksa agar Laurel menerima sejumlah uang darinya untuk mernbiayai
perawatan medis, meski sembiln puluh persen dari biaya itu sudah ditanggung
oleh perusahaan asuransi.
Di waktu lain, saat saudara kembar jack, joseph, ditahan untuk yang ketiga
kalinya karena penggunaan obat-obat terlarang, A&P memaksa untuk
berkendara ke Pantai Virginia, menebus Joseph keluar dari tahanan, dan
membawanya kembali ke rumahnya seudiri, dengan alasan semua kamar yang
ada di penginapan sudah penuh disewa oleh pengunjung. Joseph tinggal di
rumah A&P sampai ia menemukan pekerjaan dan tempat tinggal sendiri. Jack
sungguh berterima kasih pada A&P, meski ia beranggapan bahwa perjalanan
panjang dari Pantai Virginia ke Woodstock merupakan perjalanan terpanjang
dalam hidup saudara kembarnya itu.
Baik Jack maupun Laurel telah belajar sejak awal, bersahabat dengan A&P
berarti tidak bisa menolak uang pemberian A&P. Tamu favorit mereka itu
sangatlah keras kepala, dan tidak akan mau mundur sampai mereka menuruti
kehendaknya, Meski begiru, A&P sama sekali tidak mengira bahwa Jack dan
Laurel menyumbangkan uang yang ia berikan selama ini ke penampungan anak-anak
terlantar di bagian tenggara Kota Washington, D.C. Tanpa sepengerahuan A&P,
beberapa tahun belakangan ini, si Murah Hati Anna Belle sudah mendanai
kemajuan-kemajuan baru di dapur penampungan; juga memperbaiki sebagian
dari atap yang rusak; dan berandil dalam terbentuknya sebuah lapangan basket
baru Serta taman bermain yang dikelili lagi oleh pagar pengaman yang tinggi.
"Tentu saja kita akan mengatakan yang sebenarnya pada A&P. .. " ucap Laurel
enteng, " ... suatu hari nanti," Sebelum jack bisa memberikan reaksi pada
perkataan istrinya, kedua mata Laurel tiba-tiba terbelalak dan tubuhnya
bergoyang menyamping dan maju-mundur, kedua tangannya mencengkeram
dada. "Sayang!" Jack mengangkat kepalanya untuk mencari tahu apa yang-sedang
terjadi, "Ada apa" Laurel" Duduklah dulu,"
www.ac-zzz.blogspot.com Laurel bersusah-payah untuk duduk, namun jatuh bersandar di atas kayu yang
terpaku di kepala ranjang. "Aku ... tidak ... bisa ... napas ... dadaku ...
telepon ... ," kata-katanya tak lebih dari hembusanr udara kosong,
Jack menoleh ke jendela dan memanggil-manggil A&P.
"Nyonya Prestwich, kemarilah! Kemarilah cepat! Tolong!'
Tapi A&P sudah memulai rutinitasnya berjalan-jalan di malam hari,
menyusuri,pinggiran sungai, menghitung bintang lewat refleksi cahaya yang
terbias di atas permukaan air,berarus lambat dan berbincang-bincang tencang
ilmu astrologi kepada Castro sambil menarik tali kekangnya.
"Ya Tuhan, tolonglah kami" teriak Jack, sementara napas Laurel menghantarkan
rasa sakit yang semakin jadi dan, kedua matanya terbelalak seolah ingin
berteriak, Jack menoleh ke arah wadah telepon cordless yang berada di atas
meja tidur di sisi Laurel.
Kosong. "Tanganku, jack!" kedua mata Laurel bergerak mengikuti rasa sakit yang
menjalar dari dadanya ke lengan kirinya, kemudian ke pinggul dan kakinya.
"Jack," Entah bagaimana, terakhir kalinya ia menyebut nama suaminya itu
justru terdengar seperti permohonan maaf.
"Ya, Tuhan" panggil Jack sekali lagi.
Berusaha untuk duduk tegak, Jack berteriak kepada wanita di sisinya, "Laurel!"
Namun, mulut dan mata istrinya sama sekali tidak bergerak. Jack
menggerakkan kakinya melampaui sudut ranjang hingga kedua telapaknya


The Wednesday Letters Karya Jason F.wright di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyentuh lantai. Ia hanya bisa melangkah dua kali sebelum keseimbangannya
hilang lalu ia terhuyung jatuh. Ruangan di sekitarnya berputar hebat, Jack
berpegangan pada sebuah lampu yang terbuat dari tembaga. Begitu ia hendak
menyeimbangkan tubuhnya.Tudung lampu itu pun tumbang dan menghempaskan tubuh Jack ke atasnya, Tudung lampu yang terbuar dari kaca
pecah berantakan di permukaan lantai, ditimpa lagi oleh berat badan Jack.
"Ya tuhan!Tolonglah kami, tuhan!' Jack terbaring menatap langit-langir, kedua
tangannya menggapai permukaan lantai. Kepalanya sakit. Air mata deras
mengumpul di matanya. Memiringkan kepalanya ke satu sisi, kedua matanya
menemui sebentuk plat mobil asal Tennessee yang terpajang di dinding kamar,
Perlahan-lahan, ruangan itu pun berhenti berputar, dan Jack berhasil
mengangkat tubuhnya sendiri kembali ke atas tempat tidur yang bingkainya
terbuat dari kayu. Posisi Laurel belum berubah, tetapi matanya kini terpejam.
Kedua lengannya terkulai di samping badan.
"Laurel?" Jack melarikan jemarinya ke atas pipi Laurel. "Sayang?" Sebelah
tanganya ia letakkan di atas dada Laurel yang kini tak bersuara. "Manisku,"Jack
melingkarkan kedua lengannya mengelilingi tubuh Laurel dan menariknya lebih
dekat. "Manisku," katanya lagi. Perlahan-lahan, .ia menggoyangkan tubuh
istrinya maju-mundur tanpa henti.
Beberapa saat kemudian, Jack meletakkan kepala istrinya kembali ke atas,
bantal dengan lembut, Lalu, dari laci paling atas meja yang berada di sisi
tempat tidurnya, ia mengambil sebentuk pena, secarik amplop yang sudah
terisi dengan beberapa lembar surat dan selembar kertas tulis berlogo Domus
www.ac-zzz.blogspot.com Jeforson yang masih kosong. Beralaskan buku Alkitab versi King james, ia pun
mulai menulis: l3 April 1988 Laurelku yang terkasih Sepulub menit berlalu dan Jack sudah menyelesaikan surat yang tadi ditulisnya.
Bersamaan dengan surat-surat lain, ia pun menyegel surat yang baru saja ia
rampungkan ke dalam secarik amplop, dan di bagian luar amplop, ia menulis
catatan pendek, Dikuburnya tumpukkan surat-surar itu di dalam Perjanjian
Baru. Setelah mengembalikan Alkitab yang ia gunakan sebagai alas menulis ke atas
meja tidur, ia bergeser mendampingi tubuh istrinya. Dengan hari-hati, .ia
meletakkan lengannya di bawah tubuh Laurel dan mereogkuhnya ke dalam
pelukan. Dibelainya tengkuk Laurel yang ditumbuhi helaian rambur halus
berwarna kecokelatan, Ialu membisikkan sesuatu ke telinganya yang masih
terasa hangat. Dikecupnya dahi Laurel.
Jack memikirkan putranya, Malcolm, dan berharap ia sanggup menghadapi harihari
yang akan datang. Akhirnya, Jack menyerah ketika sakit kepala yang terakhir datang
menghantam. Dan ia terridur.
Pukul 9:04 kcesokan paginya, A&P yang khawatir karena tidak menemukan
sahabat-sahabatnya di ruang umum penginapan masuk ke dalam kamar
pasangan itu bersama Castor. Merekalah yang pertama kali menemukan Jack
dan Laurel terbaring damai dalam keadaan tubuh yang sudah dinginberpelukan.
KAMIS PAGI Setelah menemukan tubuh Laurel dan Jack, pihak pertama yang dihubungi olen
A&P adalah tim paramedik, dengan permintaan untuk segera mengirimkan
mobil ambulans Sambil menunggu kedatangan mereka, ia menghubungi
Samantha-sayangnya, tidak ada' yang menjawab panggilannya-dan sederetan
nomor lain yang ia temukan tergeLetak diatas meja tulis Laurel, tidak jauh dari
ruang penerimaan tamu, Di antara mereka yang dihubungi oleh A&P secara berurutan (sesuai dengan
yang tertulis di atas kertas) ada-lab penata rambut Laurel, Nancy Nighrbell.
"Siapa ini" Siapa yang meninggal" Ada orang meninggal?"
"Ini A&P." "Tidak ada supermarket A&P di sekitar sini,"
"Bukan supermarket. Saya ini tetangganya keluarga Cooper, Anna Belle."
"Oh," Nancy menekankan nada suaranya seolah hendak mengatakan "aha!'.
"Tentu saja; wan ita yang kaya raya itu 'kan?"
"Ya, ya," A&P berseloroh, "Saya punya kabar buruk-"
"Sudah lama saya ingin bertanya," Nancy terus saya berbicara tannpa
mengindahkan perkaraan A&P. "Siapa sih yang menatra rambutmu?"
"Apa?" www.ac-zzz.blogspot.com "Rambutmu," ulang Nancy. "Siapa yang menatanya" Karena warnanya tidak
cocok menurut saya:"
"Saya-" "Ah, tidak penting," Nancy menyahut seenaknya. "Kapan-kapan telepon saya,
ya?" "Baiklah." Pembicaraan tersebur sangat sulit untuk diselesaikan, tetapi A&P
adalah orang yang tidak suka menyinggung perasaan orang lain. "Saya pasti
akan meughubungimu."
"Terus, kau tadi mengatakan bahwa ada seseorang yang meninggal?"tanya
Nancy sekali lagi. "Keluarga Cooper."
"Jack Cooper" Ia meninggal" Semoga ia berisrirahat dengan tenang. Dia itu
orang baik, lho, Bolehkah aku berbicara dengan Laurel?"
"Nancy, dengarkan saya. Laurel juga sudah meninggal. Keduanya baru saja
meninggal." "Dua-duanya?" "ya..'" "Jack dan Laurel" Keduanya meninggal?"
"ya keduanya meninggal semalam. Saya yang menemukan mereka pagi ini."
"Aduh, aduh." Nancy menghela napas panjang. "Saya akan segera ke sana, ya,"
Sebelum Nancy memutuskan sambungan telepon, A&P mendengarnya berteriak
kepada seseerang, "Ran?dall! Aku butuh rumpangan! Matikan saja pertunjukan
gular di televisi, berhenri rnakan cokelarfitdge.dan cepar pakai celanarnu!"
Jika hari itu tidak dirundungi oleh kematian kedua sahabatnya, maka A&P akan
tertawa mendengar ocehan Nancy.
Selain Nancy, Anna Belle juga menghubungi seorang gadis berusia 15 tahun
yang bekerja di toko kelontong dan p0m bensin langganan keluarga Cooper;
pemilik toko susu dan keju; seorang wanita yang pernah menjual iklan
penginapan di Philadelphia; seorang bankir di Winchester Virginia; Pastur Aaron
Braithwaite dari gereja Kristen tanpa aliran yang kerap dikunjungi keluarga
Cooper di Pegunungan jackson, serta nomor tidak dikenal yang ternyata pernah
mendengar tenrang penginapan keluarga Cooper sambil menangis-hisreris,
wanita yang tidak dikenal itu berjanji untuk membawa makanan saat
menghadiri pemakaman Jack dan Laurel.
Orang terakhir yang dihubungi Anna Belle adalah Rain Jesperson, teman dekat
keluarga Cooper yang merangkap sebagai manajer Domus Jeferson. Anna Belle
tidak tahu bagaimana caranya mengabarkan kematian Jack dan Laurel kepada
Rain. Tidak seperri Jack dan Laurel; Rain yang berusia 30 tahun adalah penduduk asli
Lembah Shenandoah. Kedua orang tuanya merupakan satu-satunya kaum hippie
yang ada di daerah tersebut.
Rain berbicara dengan logat kampung yang ringan dan menarik Rambutnya yang
berwarna agak pirang tergerai sampai pundak. Dengan tinggi tubuh lima kaki
lebih sedikit, tidak sulit bagi Rain untuk berbaur di tengah kerumunan orang
banyak. www.ac-zzz.blogspot.com Namun, Rain. Jesperson memiliki suatu keunikan yang tidak dimiliki orang lain,
matanya yang berwarna hijau dan mulus.
Rain dibesarkan di kora Strasburg, terletak di Rute Utara 11, hanya berapa kota
jauhnya dari DomUs jefferson. Selepasnya dari sekolah mengalir, ia menimba
ilmu periklanan di Universitas James Madison, yang jaraknya tidak sampai satu
jam dari kora Harrisonburg.
Tidak seperti teman-temannya yang memilih pindah ke kota-kota besar yang
terletak di sepanjang Rute 1-95 seperti Richmond, Baltimore, atau New York
City, Rain bersikukuh mempertahankan tempat kelahirannya .. Ia bahkan tidak
memiliki hasrat sama sekali untuk meninggalkan daerah yang dianggapnya
sebagai rumah. Rain yalkin ia bisa merealisasikan semua impiannya di antara gugusan bukit
yang mengelilingi Lembah Shenandoah, tidak hanya di kota-kota besar,
Bayangannya tentang masa depan belum berubah sejak dulu, saat ia masih
sering membaca kisah Cinderella di malam hari.Ia membayangkan seorang
suami, anak-anak; pagar kayu berwarna merah jambu, bukan putih. Terutama,
ia membayangkan ketenteraman. Rain percaya impian-impian itu akan
mengikutinya, dan bukan sebaliknya.
Teleponnya berdering sebanyak empat kali di dalam rumahnya yang tersusun
dari batu bata merah. "Rain!" bisik A&P.
"Ini aku, A&P, menelepon dari penginapan."
"Hey A&P,bagaimana kabarmu" Apa kau memperhatikan bahwa aku sudah
membeli susu organik berlemak rendah seperti yang kauminta" Apa kau sudah
makan?" "Ya, aku sudah melakukan semua itu. Tapi aku-"
"Kami sedang kehabisan roti gandum yang kau suka, aku tahu. Nanti aku juga
akan ke sana, kok. Laurel memberi izin kepadaku untuk masuk agak siang,
karena sampai jumat malam hanya kau yang menginap."
"Rain, sebaiknya kau segera datang. Sesuatu telah terjadi."
"Jack?" tanya Rain, meski ia tidak menunggu jawaban dari Anna Belle. "Sesuatu
pasti telah terjadi pada Jack. Oke, aku,aku pasti sampai di sana lima menit
lagi. Duh, pantas saja aku merasa tidak enak saat meninggalkan penginapan
kemarin sore." Air mata Rain berkumpul di sudut mata. Katakan pada Laurel
bahwa aku akan segera datang. Terima kasih, Anna Belle, maaf kau harus
meneleponku dengan kabar buruk ini."
"Rain?" A&P merasa mual.
"Ya?" "Tidak apa-apa. Sampai jumpa sebentar lagi." .
Sepuluh menit kemudian mobil yang dikendarai Rain berhenti di depan Demus
Jefferson. Beberapa mobil polisi dan sebuah ambulans terparkir di pelataran
berbaru yang sempit, menghadap ke berbagai arah menuju pintu mas we. A&P
menangis saat ia melihat sosok Rain mendekat, berita buruk yang tadi belum
tuntas ia sampaikan lewat telepon duduk seperti batu besar di dalam perutnya.
Ia menemui Rain di gerbang utama dan segera merengkuh tubuh mungil itu ke
dalam pelukannya. www.ac-zzz.blogspot.com "Oh, Anna Belle, tidak apa-apa, Jack sudah bebas sekarang, sshhh." Kedua mata
Rain dibasahi oleh air mata.
A&P menarik dirinya dari pelukan Rain, menatap ke matanya yang hijau
berkilauan terbasuh air. "Laurel juga telah pergi."
Kedua lengan Rain mendadak jaruh dari pundak A&P. ''Apa maksudmu, pergi?"
"Meninggal," A&P tersedak, "Laurel juga meninggal."
Rain buru-buru berlari melewati pagar kayu dan menelusuri jalan setapak yang
terbuat dari batu-batu besar menuju tangga kscil serta beranda yang
membatasi pintu utama penginapan. Ia tidak mengindahkan kerumunan orang
yang sedang berpelukan dan menangis di taman, atau di beranda.
"Laurel?" Rain memanggil sekuat tenaga saat ia menapak di dalam ruang
tengah. Dua orang polisi dan seorang laki-laki yang mengenakan jas berdiri
sambil menyandarkan tubuh mereka di dinding, berbicara dalam nada suara
rendah. "Laurel?" Rain berlari menaiki tangga, tidak mengindahkan seorang
pollsi yang berada di hadapannya.
"Nona jesperson, tolong turun 'ke bawah." Polisi itu mencekal lengannya
kemejanya, tetapi Rain tidak peduli. Ia terus saja melangkah dan membuka
pintu kamar utama. Di dalamnya, seQrang wanita sedang mengambil foto-foto
dokumentasi lampu yang rusak serta tudungnya yang berantakan. Selembar
kain putih menutupi rimbunan di tengah ranjang.
"Rain'." A&P berdiri di ambang pintu, bertutur dengan suara lembut dan
terkendali. "Mereka berdua meninggal semalam."
"Laurel juga" Kok bisa" Kecelakaan?" Kedua lutut Rain terasa lemas. Saat ia
hendak duduk di kursi yang terletak di balik pintu kamar, seorang fotografer
lepas yang bertugas memotret lokasi kejadian tiba-tiba saja menghampiri.
Forografer tersebut memohon maaf dua kali sebelum meminta Rain dan A&P
untuk meninggalkan kamar tidur Jack dan Laurel.
Tidak lama setelah itu, di dalam dapur penginapan, A&P rnencerirakan kepada
Rain perihal kcjadian yang dialarrunya cadi pagi.
'Aku tidak percaya ,"tukas Rain, meski dalam hati kecilnya ia tahu bahwa A&P
tidak berbohong. "Tim paramedik belum bisa menentukan seedit teks bu nora
http://ebukita.wordpress.com pasti meninggalnya Laurel, tapi ada
kemungkinan ia terkena stroke atau serangan jantung sesaat sebelum tidur.
Menurut perkiraanku, Jack berusaha untuk menolong istrinya, hanya saja, ... ia
terlambat. Kau sendiri tahu penderitaan Jack selama ini, bahkan semalam ia
pamit untuk tidur lebih cepat dari biasanya. Kurasa dengan kepergian Laurel,
secara otomatis, ia pun berhenti hidup-kau mengerti maksudku?"
Rain menganggukkan kepalanya, meneguk air dalam gelas yang digenggamnya.
"Mereka meninggal di atas tempar tidur, terbaring dalam pelukans atu sama
lain, dan tampak begitu bahagia." A&P menyeret kursi duduknya agar lebih
dekat dengan Rain. "Mereka seperti foto yang sering kulihat terpasang di
kartukartu ucapan. Kautahu . kan apa yang kumaksud" Kartu-katu ucapan Hallmark
yang menampangkan foto pasangan yang sedang jatuh cinta dalam nuansa
hitam-putih, dengan halaman kosong di bagian tengah kartu supaya kita bisa
menulis pesan kita sendiri" Coba sekali-sekali kauperhatikan wajah-wajah di
www.ac-zzz.blogspot.com dalam foto-foto tersebut seolah tidak ada satu hal pun yang salah dalam hidup
mereka. Seolah mereka siap kapan saja dunia akan kiamat. Ekspresi macam
itulah yang kutemui di wajah Jack dan Laurel saat kutemukan mereka pagi
tadi. Wajah Jack begitu tampan, nyaman dan damai." ia berhenti sebentar,
melemparkan pandangannya ke jendela, "Seandainya saja Alan meninggal
seperti itu.' Kedua wanita yang sedang duduk berdampingan dan dirundung kesedihan itU
perlahan-lahan muLai menerima kenyataan pahit meninggalnya dua sahabat
mereka. Tatapan mereka berkelana melampaui jendela dapur, hilang di antara
kerumunan manusia di halaman depan penginapan, Sementara kedua mata Rain
menyelubungi tubuh-tubuh asing milik orang-orang yang sedang berkabung,
pikirannya tertuju pada Malcolm Cooper.
"AAyah dan Ibu sudah meninggal."
"Apa"Sammie?" Malcolm berteriak kepada telepon satelit miliknya.
"Mereka sudah pergi, Mal." Samantha, adik perempuan Malcolm, mengulang
perkataannya tadi seraya menggapai sebuah revolver Magnum berkaliber .357
yang tergeletak di atas meja dapur. jemarinya yang kuat dan kapalan memutar
tabung silinder revolver, sementara di telinganya tersangkut sebuah gagang
telepon dinding berusia 76-tahun yang terbuat dari kayu .
Samantha berbicara dengan nada tegas, meski ia agak lelah setelah sepagian
mengurusi pemindahan jenazah kedua orang tuanya dari penginapan ke kamar
jenazah kabupaten. Ia tidak punya pilihan lain kecuali menyaksikan tubuh ayah
dan ibunya dimasukkan ke dalam kantong hitam, diusung keluar dari DomU5
jefferson dan pada akhirnya dibawa pergi oleh kereta jenazah.
Matanya menangkap bentuk kursi tinggi yang empuk di hadapannya, setengah
tersembunyi di bawah meja panjang yang melintang di sisi lain dapur, Dapur
tersebut memiliki ukuran yang sungguh di luar batas normal, pikir Samantha,
dan setiap perabotan berdiri bagai pulau-pulau kecil di tengah lautan luas.
"Bagaimana Sammie" Bagaiman mungkin mereka pergi begiu saja?"
"Ibu terkena serangan jantung, Mal, dan Ayah pergi mengikutinya. Semua itu
terjadi semalam, entah pukul berapa."
Malcolm menatapi seekor monyet sapajou yang sedang minum dari pinggiran
sungai. Monyet jenis ini memiliki bulu berwarna gelap di sekitar tubuh, lengan,
dan kaki; serta bulu berwarna terang di sekitar kepala, leher dan dada. Dari
sudut matanya, Malcolm juga melihat bayangan seekor ular sepanjang dua
belas kala merayap di' atas permukaan air tidak jauh dari moyet tadi.
"Jadi Ibu sudah meninggal?"


The Wednesday Letters Karya Jason F.wright di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya." "Dan Ayah juga?"
'Beliau mengidap kanker, Malcolm."
"Aku tidak tahu itu," ujar Malcolm pelan. Ia memindahkan telepon satelit-yang
digenggamnya dari satu telinga ke telinga lainnya, dan melemparkan
pandangannya ke arah langit barat. Pepohonan dan akar-akar hijau mencuat
tinggi, menggapai langit yang melindungi hutan serta Sungai Amazon di daerah
Manaus, Brazil. Dengan sekali dayung, Malcolmn pUn mulai menahkodai perahu
www.ac-zzz.blogspot.com yang ia tumpangi melalui perairan berlumut, Bak pendayung profesional,
Malcolm memutar sudut dayungnya secara vertikal sementara perlahan-lahan
membawa perahu berwarna perak, berukuran empat belas kaki, dengan dasar
yang rata kembali ke tengah sungai terpanjang di dunia, Matanya basah oleh air
mata untuk mendiang sang ibu.
"Aku akan pulang katanya kepada Samantha.
"Benarkah?" tanya adik perempuannya itu, setengah tidak percaya.
"Berikan aku satu-dua hari untuk perjalanan ke sana."
"Kau yakin, Malcolm" jika kau yakin, maka kami harus memberitahukan
kedatanganmu pada Nathan."
"Aku yakin. Aku pasti datang," desak. Malcolm. "Tunggu sampai aku tiba, ya."
"Baiklah." "Aku sangat berduka cita, Sam."
"Aku juga," bisik Samantha.
"Maafkan aku karena tidak ada di sana sekarang," Malcolm nyaris tersedak oleh
kata-katanya sendiri. "Tidak apa, Mal, kau melakukan apa yang harus kaulakukan. Tidak apa-apa."
Malcolm menarik napas dalam-dalam sebanyak tiga kali.
"Aku sayang padamu. Kautahu itu 'kan, Dik?"
"Aku tahu. Aku juga sayang padamu."
"Apa kau menyayangi dirimu sendiri?"
"Oh,hush." Samantha tersenyum untuk pertama kalinya sejak ia mendengar di
radio polisi tentang dua jenazah yang ditemukan di Domus Jefferson.
Samantha menarik tuas telepon untuk memutuskan sam?ungan dan
menghubungi nomor lain. "Dia sedang dalam perjalanan kemari," katanya
kepada kakak sulungnya, Matthew.
"Dari mana?" "Entahlah." Samantha menghela napas. "Dari alam, mungkin."
"Berapa lama sebelum ia tiba?"
"Katanya dua hari."
"Kalau begitu ia masih ada di Brazil." Matthew berhenti berbicara sejenak, lalu
bertanya, "Bagaimana reaksinya?"
"Sunyi." "Sudah kutebak,"
Baik kedua orang tuanya, maupun Matthew dan Samantha, sudah hampir
setahun ini hilang komunikasi dengan Malcolm. Sesekali selembar kartu pos
datang dari lokasi terpencil di Amerika Selatan,yang merupakan satu-satunya
bentuk komunikasi pilihan Malcolm sejak ia meninggalkan Woodstock dua tahun
sebelumnya, Terakhir kali ia menelepon ke rumah adalah beberapa hari setelah
ia menerima paket kiriman ibunya yang dialamatkan ke sebuah apartemen di
Sere Lagoas, Brazil. Paket itu berisi kue-kue kering, sepucuk surat dari Rain
yang disimpan Malcolm namun tak pernah ia baca, dan sejumlah uang tunai
dari A&P yang disembunyikan di dalam sepasang kaus kaki panjang. Malcolm
menggunakan uang tersebut untuk membeli penyaring air yang terbuat dari
tanah liat, sepatu anak-anak, dan beberapa buku gambar.
www.ac-zzz.blogspot.com Paket yang dikirim Laurel juga menghantarkan sebentuk telepon satelit
berharga mahal. Selembar kertas post-it terekat pada buku manual yang
disertakan. Tulisan tangan ibunya berbunyi."jaga dirimu. Hubungi kami jika kau
sudah siap." Malcolm mengikuti saran ibunya dan menelepon, tetapi
pembicaraan pertama mereka dengan cepat berakhir saat Laurel memohonnya
untuk kembali. Laurel sempar menyesal karena tidak sempat memberitahukan Malcolm bahwa
ayahnya sedang sekarat, Malcolm membawa telepon satelit pemberian ibunya
ke mana pun ia pergi, namun jarang sekali diaktifkan.
"Bagaimana daftar orang-orang kenalan Ayah?" Samantha bertanya pada
Matthew. 'Beres,aku sudah menelepon semua orang. Ada tiga atau empat nama yang
tidak aku kenal, tapi A&P membantuku menemukan beberapa nomor, Mudahmudahan
mereka semua bisa datang ke pemakaman."
"Aku juga berharap begitu."
"Oh," Matthew tiba-tiba teringat, "Bibi Allyson menghubungiku kembali. Beliau
tidak bisa mendapatkan kursi penerbangan dari Las Vegas sampai Sabtu sore."
"Aku tidak sabar bertemu dengan beliau. Ya ampun, sudah lama sekali aku tak
melihatnya!" "Baru dua tahun, Beliau datang untuk merayakan ulang tahun, pernikahan Ayah
dan Ibu yang ke-35, ingat?" Matthew terdiam sesaat. "Apa masih belum ada
kabar dari saudara Ayah?"
"Beliau itu paman kita," jawab Samantha, tidak menutup?nutupi
kegusarannya .. "Dan memang belum ada kabar dari beliau. Aku meninggaLkan
pesan pada petugas pengawasnya di St. Louis."
"Jangan salahkan aku, Dik, tapi aku takkan heran jika beliau tidak datang.
Kedatangan Malcolm saja sudah cukup menegangkan."
"Mungkin." kata Samantha. "tapi beliau tetap harus dikabari."
"Baiklah, Coba terus kalau begitu."
Samantha tahu apa yang akan mereka bahas selanjutnya.
"Kau sudah menelepon Nathan?" tanya Matthew.
"Kau kan tahu hal itu tidak mudah dilakukan."
"AkU tahu, Sam, tapi dia adalah Jaksa Penuntut Umum di sini. Dia harus tahu
Malcolm berencana,untuk pulang, Atau kau ingin minta bantuan Rain untuk
menyampaikan berita ini padanya."
"Kurasa boleh juga." Samantha menyarungi senjata api miliknya .. "Tapi
kejadian ini membuat Rain terpukul, Matt. Sangat terpukul."
"Sudah kuduga," balas Matthew, "Dia sudah datang?"
"Ia tiba beberapa saat yang lalu. Sekarang ia ada di luar bersama Anna Belle
dan para tetangga." "Aku merasa kasihan pada Rain. Dia itu sudah seperti keluarga kita sediri."
"Ya." "Sampaikan padanya ucapan terima kasihku atas semua bantuannya, ya" Aku
harus segera terbang ke Dulles. Nanti aku akan menyewa mobil dan berkendara
dari bandera ke penginapan. Aku akan tiba sekitar pukul lima atau enam sore."
"Apa Monica ikut?"
www.ac-zzz.blogspot.com "Tidak bisnisnya sedang ramai dan ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan."
"Tidak bisa pergi sebentar saja?"
"Tidak." "Aku turut sedih mendengarnya, Matt. Apa semua baik-baik saja dengan kalian?"
"Oh, ya, tentu saja, Kautahu sendiri bagaimana sifat Monica meski ia datang, ia
pasti hanya bisa memikirkan klien?kliennya sepanjang waktu. ia melakukan
usaha ini dengan sungguh-sungguh. servis 24 jam, kautahu-lah. Dan karena
semua ini baru untuknya, jadi ia cukup stres, la benar-benar kewalahan."
"Matt. dia itu kan pelatih pribadi-"
"Pelatih kesehatan," Matthew mengoreksi.
"-Terserah lah, Dia pasti bisa menyisihkan sedikit waktu. Kau juga tahu itu,
Kaubutuh dia sekarang."
"Tidak apa kok, Sam. Sungguh. Lagipula, kami sudah menjadwalkan pertemuan
dengan seorang-pakar adopsi yang pernah kuceritakan padamu dan juga
seorang wanita hamil lainnya di newark akhir minggu ini. Aku punya perasaan
kalau kali ini kami akan berhasil. Jadi, Monica tidak mau melewatkan
pertemuan tersebut. Waktunya tidak tepat baginya untuk datang."
"Jangan lupa menyampaikan itu kepada Ibu dan Ayah. Mereka seharusnya
meninggal dua minggu dari sekarang, saat Monica punya cukup waktu untuk
datang melayat." Suara Samantha meninggi dan memecah. "Maafkan
kelancanganku, Matt. Aku senang akan segera berjumpa denganmu."
"Begitu pula aku, Sam. Maafkan aku karena adak ada di sana bersamamu
sekarang. Samantha mengangguk."Aku tahu." Air matanya mengalir.
"Sam?" "Kita pasti bisa melewati ini bersama."
"Kuharap begitu."
"Sam?" "Ya, Matt?" "Jangan lupa bicara dengan Rain."
Samantha menghela napasnya. "Baiklah.'
Edit teks bu nora http://ebukita.wordpress.com4
KAMIS MALAM Boa tarde," kata Malcolm pada seorang wanita muda yang duduk di balik meja
tiker berlogo Penerbangan Brazil, TAM Airlines.
"Boa tarde. senhor" Selamat siang, Tuan.
"Eu preciso passage para Washington. D. c." Saya ingin memesan satu tiket ke
washington, D.C. "Fala ingles?" tanya wanita muda berambut cokelat brunette itu. Apakah Anda
bisa berbahasa inggris"
"Tentu saja. Apa saya terlihat seperti orang Amerika?" Malcolm melarikan
jemarinya ke janggut kasar yang melekat di sekitar wajahnya. Kulitnya
berwarna kecokelatan dan terlihat keriput karena sudah berbulan-bulan tinggal
www.ac-zzz.blogspot.com di pedalaman Amazon. Kedua matanya agak kemerahan dan terasa perih,
Rambutnya dibiarkan memanjang sampai sebatas pundak.
''Ya, Tuan." Wanita muda itu tersenyum, memamerkan deretan gigi putih
cemerlang, membuar kompleksi kulit wajahnya yang sedikit gelap terlihat
mencolok. "Anda perlu bepergian ke Amerika Serikat, Hari apa?"
"Secepatnya,hari ini, kalau bisa."
"Penerbangan terakhir menuju Miami akan berangkat dalam waktu dua puluh
lima minutos ... menit, maksud saya ... tapi Anda tidak akan bisa melewati
gerbang imigrasi dalam waktu sesingkat itu.
"Bagaimana dengan penerbangan menuju los Angeles?" "Malam ini" Tidak
ada."wanita muda tersebut menggengkan kepalanya. "Tolong tunggu sebentar."
Ia dengan cekatan menyelipkan juntaian rambutnya ke belakang telinga.
Malcolm tidak sengaja menilik dua tanda lahir yang sebelumnya tersembunyi di
dekatr bagian atas lehernya, di bawah rahang dagu, sejajar dengan telinga
kanannya. Si petugas penerbangan dengan cepar mengerukkan jemarinya yang lentik ke
atas panel keyboard kuno berwarna krem. "Kami bisa menerbangkan Anda ke
Rio De janeiro, lalu Anda transit di sana sambil menunggu penerbangan
berikutnya ke Miami. Dari Miami.Anda akan naik penerbangan berikutnya
menuju bandara Dulles di Washingcon, D.C. Itukah tujuan terakhirAnda?"
"Tujuan saya cukup dekat dari situ."
"Anda ingin ke Virginia, correto?" tanya si wanita muda. "Apakah Virginia
tempat yang indah?" Apa?" Malcolm balik bertanya, seolah tidak menyimak.
"Maaf;" kata si wanita muda, tersipu malu. "Saya boleh 'mengonfirmasi
penerbangan ini untuk Anda" Anda akan tiba di Washington dua jam lebih awal
Jika mengambil penerbangan ini, dibanding apabila Anda mengambil jadwal
penerbangan pertama besok pagi."
,Hanya dua jam perbedaannya?"
"Sim. Hanya dua jam."
Malcolm mengagumi wajah wanita muda di hadapannya yang begitu muda dan
polos. Cahaya remang-remang yang membanjiri ruangan tempat mereka berada
mungkin membuat orang-orang di sekitar mereka tidak nyaman, tetapi bagi
wajah malaikat asal Brazil yang sedang dipandanginya cahaya itu membuar
kulit si wanita berkilauan.
Malcolm menebak-nebak dalam hati usia si wanita muda itu, dan tebakannya
mengarah pada angka 21 atau 22. Meski ia sering digoda oleh lusinan wanta
selama masa tinggalnya di 'Brazil, suara ibunya yang terdengar amat religius
dan khawatir, serta bayang?bayang Rain yang menyesakkan kepalanya,
membuat Malcolm enggan mengikuti hasratnya untuk jatuh ke dalam godaangodaan
tersebut. Dirasakannya lagi pukulan dalam dada yang kian. menggebu, mengingatkannya
bahwa kedua orangtuanya telah pergi, dan rasa kehilangan itu diikuti oleh
suaru sensasi lain yang menjeratnya ke dalam dunia baru,dunia di mana ia
terlahir tanpa tujuan, www.ac-zzz.blogspot.com Malcolm masih menatapi wajah muda di depannya, Wanita muda itu,sama
cantiknya seperti wanita-wanita lain yang ia temui di Brazil. Tanpa pikir
panjang, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Bagaimana dengan Rencana
B"' "Rencana B"rencana apa?"
"Rencana B. Aku tetap di sini sampai jam kerjamu berakhir, Lalu, aku
mengajakmu makan mala ,kita bisa berjalan-jalan, ditepi sungai, dan kau boleh
mengucapkan selamat tinggal padaku pada pukul"-Malcolm mencondongkan
tubuhnya lebih jauh melewati meja tiket dan menolehkan kepalanya untuk
mencuri pandang ke arah layar moniror komputer-"pada puku1 7:32 pagi, saat
aku harus menumpang penerbangan 2122 menuju Miami."
Wanita muda itu tersenyum dan dengan hati-hati melirik ke arah kiri dan
kanan. "Ya, Tuan. Saya pikir, saya suka dengan Rencana B ini."
"Kalau begiru, tolong segera dikonfirmasikan tiketnya." Malcolm balas.'
tersenyum, menyerahkan segepok mata uang Brazil, reatis, dari dalam taS
ranselnya. Si wanita mengecek kembali paspor milik Malcolm dan memberikan sebentuk
folder kecil berisi lembaran tiket, uang kembalian, bon pembelian, dan
forrnulir imigrasi. "Nama saya Ana Paula," bisik si wanita muda, meregangkan
lengannya di atas meja tiket,
"Malcolm. Prazer ern conbece-la" ia menjabat tangan Ana Paula dengan dua
tangan. "Saya juga senang berjumpa dengan Anda." Ana Paula menoleh dap melihat
bahwa atasannya sedang mengawasi dari jauh, waswas terhadap orang Amerika
yang tampak tertarik kepada pegawai barunya, "Jam kerja saya berakhir pukul
sepuluh nanti malamn. Saya akan menemui Anda di tempat antrean raksi."
"Pukul sepuluh,' Malcolm mengulang perkataan Ana Paula lengkap dengan aksen
Portugis yahg kental. "Siapa berikutnya?" Ana Paula memanggil seorang wanita gemuk berkebangsaan
Italia yang sedang menunggu di antrean di belakang wanita itu, Malcolm
menghilang dan mulai menghabiskan waktu sampai ia bisa bertemu lagi dengan
wanita cantik asal Brazil tadi.
Beberapa menit lewat pukul sepuluh malam, Ana Paula muncul di tempat
antrean taksi di luar terminal bandara seperti yang telah dijanjikan.
Malcolm duduk di atas kursi kayu sambil mengutak-atik telepon satelit dalam
genggamannya. Ia menyaksikan sejumah supir taksi berebutan untuk
mendapatkan penumpang kulit putih. Mendadak Malcolm merasakan kram
ringan di perutnya. Ana Paula mengenakan celana pendek tipis berwarna merah muda, atasan
berwarna putih dan tas kuning. Rambutnya yang berwarna hitam pekat tumpah
di atas pundaknya yang mulus dan bundar,
Malcolm menatap tanpa henti, mulutnya sedikit menganga. Aku mungkin tidak
akan pernah kembali ke tempat ini, pikirnya.
"Oi." "Hello," jawah Ana Paula.
www.ac-zzz.blogspot.com 'jadi, yang manakah yang lebih disukai oleh si Cantik Ana Paula,bahasa Inggris
atau Portugis?" Sejujurnya" Aku lebih suka bahasa lnggris. Biasanya aku tidak pernah bisa
berlatih. Di malam hari, aku sekolah, tetapi tidak banyak teman-temanku yang
bekerja di bandara ini yang bisa berbahasa Inggris dengan baik. 'Meski begitu,
mereka selalu merasa mampu berbahasa Inggris karena' mereka bisa
mengucapkan Mac Donalds dan Pizza Hoot. Tapi menurut saya itu tidak
menunjukkan apa-apa."
"Ha!" Malcolm menyelami kedua mata Ana Paula. "Kau benar," Ia membungkuk
dan menyandangkan ransel besar yang tergeletak di atas tanah. "Ayo makan."
"Mac Donalds?"'tawa Anna Paula.


The Wednesday Letters Karya Jason F.wright di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Feijoada." "Serio?" "Serio. Itu mungkin akan jadi makanan Brazil terakhirku untuk beberapa
waktu." "Oh?" "Tapi setidaknya, aku ada di sini malam ini."
Senyum Ana Paula kembali mengembang. "Kalau begitu kita panggil taksi. Kita
bisa pergi ke restoran tepi sungai di Hotel Tropica. Kau pernah ke sana?"
"Belum pernah, tapi apa mereka menyajikan feijoada?"
Ana Paula terkekeh lagi. "Aku yakin mereka menyajikan feijonda, ya. Restoran
ini adalah salah satu yang terbaik di Manaus."
Malcolm meraih tangan Ana Paula dan menggiringnya mendekati sebuah taksi.
Menyelak di depan pasangan asal Amerika yang sudah lanjut usia, ia segera
menduduki kursi penumpang di belakang sambil menenteng tas ranselnya,
Dengan terburu-buru, ia menarik Ana Paula ke atas pangkuannya.
'Hotel Tropica." seru Malcolm kepada sang sopir, merasakan taksi yang mereka
tumpangi bergerak pergi. Pada pukul 11.15 malam,feijoada disajikan di atas meja mereka. Masakan itu
merupakan khas Brazil,sup daging yang dicampur dengan kacang-kacangan
serta sayur-sayuran hijau. Kaki, telinga, serta hidung adalah bagian yang paling
disukai para penggemar sup tersebut, Sup yang disajikan malam itu merupakan
sisa dari paket makan siang sebelumnya, dihidangkan kembali untuk Malcolm
setelah ia menjanjikan tip yang sangat besar bagi pelayan dan koki restoran.
Jam-jam berikutnya, dua sejoli Amerika-Brazil terlibat dalam pembicaraan
serius tentang impian Ana Paula untuk sekolah di Amerika Serikat dan pesta
kejutan di hari ulang tahunnya baru?baru ini, merayakan usianya yang ke-18.
Pada pukul 01:30 pagi, Malcolm sudah menceritakan kepada Ana Paula
mengenai alasannya kembali ke Virginia dan setumpuk masalah yang sedang
menunggunya di sana. Ia bahkan bercerita tentang novel yang sudah bertahuntahun
ini masih dalam proses penulisan. Ia juga menjelaskan bagaimana ia
berencana untuk merayakan kesuksesan novel tersebut pada malam buku
pertamanya masuk ke dalam daftar best-seller di koran New York Times.
Tentunya, setelah novel itu rampung
www.ac-zzz.blogspot.com Satu-satunya hal yang tidak ia ceritakan kepada Ana Paula adalah bagaimana
wanita muda itu telah membantunya menghapuskan bayang-bayang Rain dari
dalam pikirannya. Sementara itu, menggunakan jari telunjuk, tengah, dan manisnya, Ana Paula
menggambar angka delapan imajiner di bawah lengan Malcolm yang tidak
tertutup kain pakaian, terpampang di atas meja bertaplak krem, Dari wakru ke
waktu, Malcolm berusaha untuk melupakan kematian orang tuanya agar ia bisa
menikmati sentuhan Ana Paula.
Sekitar pukul 02:30 pagi, di dalam sebuab bar yang tidak jauh dari restoran
bintang empat tempat mereka menyantap makan malam pasangan itu
menghabisi botol anggur ke dua. Seorang petugas 'yang sedang membersihkan
lantai bolak-balik menyeret tungkai pelnya di sekitar mereka.
Ana Paula mencondongkan tubuhnya ke arah Malcolm dan membisikkan
sesuatu, Bibirnya meuempel cukup lama di telinga Malcolm. Harum tubuhnya
membuat Malcolm mabuk kepayang,meski ia kenal harum itu, Tapi saat ia
menatap ke dalam mata berwarna cokelat nan indah milik Ana Paula ia justru
melihat bayangan orang lain di sana.
"Aku tidak bisa," jawaban Malcolm mengejutkan keduanya. Pada pukul 07:00
pagi, walau telah menolak kecantikan wanita Brazil yang menemaninya
menghabiskan waktu semalam suntuk, Malcolm menumpangi pesawat 2122
dengan kepala yang penuh akan wejangan ibunya dan d.ada yang sesak akan
rasa bersalah. JUMAT PAGI Dalam perjalanan menuju Miami, Malcolm duduk termangu menatapi
bayangannya sendiri yang terpantul di permukaan jende1a pesawat. Pada
pantulan yang sama, ia menemukan ibunya, Laurel. yang sedang berdansa
sendirian di tengah-tengah ruang tamu. Kedua orang tuanya baru saja
diresmikan sebagai pemilik Domus Jefferson dan sesuai dengan keinginan
Jackseriap jengkal penginapan tersebut dilapisi oleh cat berwarna putih. Saat
itu musim panas tahun 1963. Malcolm berusia tiga belas tahun.
Tidak jauh dari ruang ramu tempat Malcolm menyaksikan ibunya berdansa,
Matthew. kakak sulungnya, sedang berdebat dengan ayabnya perihal untungrugi
menjalankan bisnis penginapan dan membandingkannya dengan jabatan
Jack sebelumnya sebagai Kepala Dinas Perbaikan di Universitas Virginia.
Marthew mengethui bahwa jabatan ayahnya di universitas bukan sesuatu yang
bisa dibanggakan. namun setidaknya Jack bisa mendapatkan gaji bulanan yang
memadai dan penghargaan yang tidak kecil dari Universitas Virginia atas
pengabdiannya selama 22 tahun. Teman kerja Jack di sana sering menjulukinya
sebagai Jack Barry, karena kemiripannya dengan pembawa acara Twenty-One
dan karena kesenangannya memecahkan teka-teki.
"Kau pasti Kepala Dinas Perbaikan paling pintar di seluruh universitas
nasional," ujar teman-temannya suatu hari. "Seharusnya kau mengepalai dinas di Yale.
Kau adalah tukang bersih-bersih dengan kermampuan baca tertinggi di seantero
www.ac-zzz.blogspot.com Amerika." Mereka menggodanya, Jack tertawa mereka menggodanya lag; dan
Jack hanya tersenyum. Selama sepuluh tahun, Jack dan Laurel diam-diam menabung demi
merealisasikan impian mereka untuk membeli dan menjalankan bisnis
penginapan. Tapi, mereka membayangkan bahwa mimpi itu tidak akan menjadi
kenyataan sampai anak-anak mereka sudah dewasa dan mampu mencari
tempat tinggal masing?masing. Namun, sebuah warisan bernilai besar tiba-tiba
dilimpahkan kepada mereka, dari paman Jack yang sedang sekarat di Kota
Pittsburg. Dan rezeki yang tidak disangka itu pun menjadi batu loncatan bagi
pasangan Jack dan Laurel untuk merealisasikan semua rencan-rencana
terpendam mereka. Dengan uang hibahan paman Jack, mereka menyewa sebuah apartemen untuk
tempat tinggal joe saudara kembar Jack. Mereka juga membayarkan uang sewa
apartemen selama enam bulan pertama dan memberikan beberapa ribu dolar
kepada Joe untuk menyokong biaya hidupnya sampai ia menemukan pekerjaan
baru. Beberapa minggu sebelum pasangan Cooper membeli Domus JeffersoJ!, Joe
dipecat dari pekerjaannya sebagai ahli pertamanan di Kabupaten Albemarle.
Sepertlnya, orang-orang di kabupaten tersebut tidak suka kebiasaan Joe
mengendarai mesin pemotong
rumput sejauh empat mil ke tengah kota untuk mengonsumsi bir segar saar jam
makan siang. "Anda ingin minum Tuan?" SUara lembut pramugari yang mendadak hinggap di
telinga Malcolm menariknya dari lembah masa lalu yang sedang ia selami.
Malcolm menggelengkan kepalanya sebagai balasan, dan menutup tirai jendela
pesawat seolah unruk mengenyahkan bayangannya sendiri.
Malcolm bukan orang yang mudah tidur. Ia mematikan lampu kabin,
menyandarkan kepalanya ke jendela, dan memejamkan matanya rapat-rapat,
Dalam bayangannya, ia melihat Samantha, adik perempuannya yang rewel.
Masih di dalam bayangan yang sama, Samantha sedang membaca buku teks
karya Shakespeare di beranda depan rumah seraya memperkirakan berapa lama
lagi ia harus menunggu sebelum ia boleh meminta izin lagi kepada orang tuanya
untuk menelepon ke luar kota.
Di usia yang ke-10, Samantha merasa sangat kesal karena harus dipisahkan dari
teman-temannya di Kota Charlottesville, mengikuri kepindahan keluarganya ke
Lembah Shenandoah di Virginia.
"Charlottesville memang tempat yang membosankan," gerutu samantha pada
kedua orang tuanya, "tapi tempat ini jauh lebih sepi, dan karenanya cukup
menyeramkan bagiku."
Selang beberapa waktu, Samantha akhirnya membiasakan diri diwoodstOck dan
menemukan sejumlah temnan baru. Meski begitu, ia tetap saja rindu akan
kehidupan yang ia tinggalkan di Kora Charlottesville, sebuah kora nyentrik yang
dibangun oleh Thomas Jefferson.
Satu-satunya hal yang membuatnya betah adalah pondokan kecil tempat ia dan
Malcolm tinggal sampai mereka menyelesaikan pendidikan menengah ke atas,
terletak tidak jauh dari penginapan yang dikelola oleh orang tua mereka.
www.ac-zzz.blogspot.com Teman-temannya mengagumi pondokan tersebut, dan beberapa dari mereka
bahkan merasa iri. Tapi, bagi Samantha, semuanya tidak sebanding dengan apa
yang ia rindukan. Walau telah diberi kebebasan dan fasilitas yang memadai di pondokan itu,
bayang-bayang Kota Charlottesville tidak pernah lepas dari pikiran Samantha.
Hal yang paling mernbuatnya ingin berlari kembali ke kota itu adalah kehidupan
teater yang begitu semarak di sana. Sejak usia enam tahun, Samantha sudah
mulai mengikuti audisi pertunjukkan teater di sekitar Charlottesville, dan
meski peran yang ia mainkan tergolong kecil, ia tetap merasa berhak
mengomentari kehidupan teater di Woodstock yang dikategorikan sebagai,
"amatir, tidak memberi inspirasi dan tidak cocok untuk seseorang yang punya
potensi besar di bidang teater."
Lebih dari sekali Samantha menganCam kedua orang tuanya untuk
meninggalkan Virginia, minta tumpangan.pada siapa saja yang lewat sampai
Washington. D.C., naik kereta Amtrak ke New York dan mencoba peluangnya di
panggung' Broadway. Di ulang tahunnya yang ke-I7, Samantha merealisasikan
niatnya itu. Matthew, anak sulung keIuarga Cooper, berusia 17 saar mereka pindah ke
Woodstock. Untungnya karena ia selalu mengambil kelas musim panas selama
dua tahun berturut-turut, maka ia diizinkan untuk lulus setahun lebih cepat
dari teman-teman sekelasnya di Charlottesville.
Ayahnya menganjurkan ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Woodstock
supaya bisa bermain untuk tim Falcon dari SMA Woodstock dan menikmati masa
remajanya. Namun, nasihat itu tidak diindahkan oleh Matthew. Hasratnya
untuk menjadi pemain olahraga sudah lama luntur, dan di usianya yang ke-17,
ia tidak sabar untuk menjadi mahasiswa ekonomi di kampus Univeritas
Teknologi Virginia di Kota Blacksburg.
Tidak ingin mengeccwakan ayahnya, Matthew pun beralasan bahwa lututnya
terlalu lemah untuk terus' berkiprah di dunia olahraga. Ia berpikir ayabnya
hanya menglnginkan suatu hari anak sulungnya bisa menjadi milyuner suaru
hari nanti. Dan, ya, Matthew juga menginginkan hal yang sama-tapi bukan di
lapangan olahraga, melainkan di bursa saham wall Street.
Bayangan musim panas tahun itu terlukis jelas di dalam benak Malcolm. lbunya
mengenakan rok terusan berwarna kuning, menggoyangkan tubuh mengikuti
irama musik Elvis yang dimainkan di mesin piringan hitam. Mesin itu sudah ada
di dalam penginapan sejak sebelum mereka tinggal di sana. peninggalan
pemilik aslinya, Malcolm memandangi gerak-gerik ibunya dari meja makan yang
lebar. "Itu bukan dansa namanya, Bu."
"Oh, begitukah menurutmu, Malcolm Cooper?" 'Bahkan Sammie bisa bergoyang
lebih baik dari itu."
"Diam, Tolol!" Samantha memperingatkan lewat jendela
yang terbuka dari beranda depan.
"Samantha!" tegor Laurel.
"Maaf, Bu-Bodoh. Gimana, lebih baik?" Laurel menahan tawanya sendiri.
www.ac-zzz.blogspot.com "Maukah kau berdansa dengan ibumu, Tuan Muda?" tantang Laurel kepada
Malcolm. 'B0leh" tapi untuk satu lagu saja," jawab Malcolm sembari beranjak dari
duduknya dan menghampiri ibunya. "Perhatikan, Sammie," teriaknya. "Kau
mungkin bisa belajar dari praktik ini." 'Belajar apa" Caranya mudah?"
"Teruskan membacamu Samantha .. Dan kau, Tuan," Laurel mengedipkau
sebelah matanya kepada Malcolm, "jangan goda. adjkmu terus. Siap untuk
berdansa?" Tiga lagu berlalu sementara Malcolm dan ibunya bergerak dari ruang tamu ke
ruang makan, dengan luwes mengelilingi meja makan seolah benda itu
mewakili pasangan imajiner yang juga sedaang berdansa di sekitar mereka,
hingga akhirnya mereka sampai di dapur,
"Kau berdansa dengan sangat baik!" Laurel mengangkat suaranya dengan riang
sambil membungkuk rendah dan berputar di bawah lengan Malcolm. "Kau
bahkan lebih baik dari yang kukira!"
Kalimat tersebut seolah datang dari mulut Tuhan sendiri,
BApAK dan lbu sekalian," pramugari asal Brazil berbicara dalam bahasa inggris
dengan aksen yang nyaris tidak ketara dibandingkan 'Orang-orang pribumi yang
diternui Malcolm di Brazil. "Kami sudah memulai prosesi pendaratan pesawat ke
landasan Miami. Kapten kapal meminta agar Anda mematikan dan memasukkan
kembali semua alat-alat elektronik dan letakkan nampan di posisi semula
dalam keadaan terkunci. Waktu setempat adalah pukul 03:30 sore."
Malcolm menyerahkan tiga bungkus pretzel yang sudah kosong serta kaleng
minuman Sprite kepada pramugari yang lewat, lalu meraih sebuah kantong
kertas dari belakang kursi penumpang di hadapannya untuk berjaga-jaga. Siapa
tahu ia akan merasa mual.
Di seberangnya, dua bocah asal Brazil duduk berjajar,sepertinya mereka
kembar, pikir Malcolm. Di tengah kedua bocah itu ndalah seorang pria, mungkin
ayah mereka, yang sedang membaca majalah sepak bola. Bocah-bocah tadi
menunjuk-nunjuk ke halaman majalah yang sedang dibaca, berdebat seru
tentang pemain mana yang lebih hebat, "Shh," kata sang ayah. "Fecham suas
bocas" la melirik ke arah Malcolm dan mengumbar senyum.
Malcolm membiarkan matanya trerpejam lagi dan pikirannya melayang kepada
sebuab lapangan sepak bola yang ditumbuhi rerumputan di samping gedung
gereja di Sete Lagoas. Ia sedang berjalan menuju ke aparteemennya, melalui
sebuah mal di tengah kota, suatu area yang memamerkan sederetan restoran,
bar, dan toko-toko roti. Mal itu terletak tidak jauh dari salah satu sungai
bernama sama dengan kota tempat ia berada.
Perut Malcolm terasa penuh, setelah diisi oleh kacang hitam, nasi, dan
potongan daging bistik yang disantapnya saat makan siang tadi. Di lidahnya
masih terasa gelembung soda manis rasa buah beri dari minuman Guarana yang
diteguknya berbarengan dengan porsi makan siang.
"Oi, amigo!" Seorang bocah laki-laki memanggilnya. "Americano! Americano!"
Malcolm menoleh. "Quer Jogr?" www.ac-zzz.blogspot.com Malcolm tersenyum lebar dan menunjukkan jarinya pada sepasang sandal jepit
yang ia kenakan. "Nao tenbo saparos,' ujarnya. "Ndo tenho sapatos"
Bocah itu tertawa dan setengah lusin pemain bola datang mengerumuni, setiap
pasang mata memandangi sosok Malcolm yang berkulit putih dan
berkebangsaan Amerika. "Olha!" salah seorang dari mereka berteriak. Secara serempak, Setiap pemain
pun mengarahkan telunjuk mereka ke kaki masing?masing.
Malcolm tidak memperhatikan hal ini sebelumnya: beberapa dari mereka
beralaskan sandal, sedang sisanya tidak mengenakan alas kaki sama sekali.
Malcolm rnenyuuggingkan senyurn gembira, lalu berjalan ke arah lapangan,
menendang kedua sandal jepitnya jauh ke tepi lapangan. Salah satu pemain
mengusulkan agar ia melepaskan kemeja yang ia kenakan, bergabung dengan
tim kulit. Malcolm melempar kemejanya ke tanah. Dalam waktu sekian detik,
langit bergemuruh hebat dan menurunkan hujan lebat.
Mereka terus bemnain. Malcolm berlarian di seputar lapangan luas hingga kakinya terasa perih seperti
terbakar, mengejar bola dan pemain lainnya seakan ia masih berusia 12 tahun.
Bocah-bocah di sekelilingnya dengan gesit menggiring bola dari saru SUdUt
lapangan ke sudut lainnya, membentuk formasi kesebelasan yang bergerak
mengikuti irama permainan. Saat Malcolm melihat adanya peluang baginya
untuk menggiring bola ke gawang lawan, si Penjaga gawang tampak lengah dan
terpelesei di tanah basah sehingga Malcolm bisa mencetak gol. Tapi ia yakin,
bocah penjaga gawang itU sengaja menjatuhkan diri.
Malcolm mengedipkan maranya ke arah si Penjaga gawang. Bocah itu membalas
kedipannya. Dengan tubuh basah kuyup dan sarat akan lumpur, Malcolm meraih kaus yang
tergeletak di atas tanah sebelum menjatuhkan dirinya sendiri ke atas
rerumputan, menatap langit kelam. Bocah?bocah sepermainannya tidak
membuang banyak waktu untuk mengerumuninya, menindihnya seraya
meluncurkan serangkaian pertanyaan tentang tempat kelahirannya, Amerika
Serikat.

The Wednesday Letters Karya Jason F.wright di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah dia kaya" Bagaimanakah warna langit di Amerika Serikat" Apa ia pernah
mengunjungi toko serba ada 7-1l" Apakah dia sudah menikah" Apakah
binatangbinatang anjing di Amerika serikat menggonggong dalam bahasa Inggris"
Sudikah ia membawa mereka semua kembali bersamanya ke kampung halaman"
Atau bahkan hanya salah satu dari mereka"
Malcolm dengan sabar menjawab setiap pertanyaan yang lepas dari mulur
setiap bocah, lalu sebelum beranjak pergi, ia mengeluarkan segepok uang
kertas yang basah terkena hujan dari kantong kemejanya, Uang tersebut ia
serahkan kepada salah satu bocah-bocah yang mengelilinginya seraya
menunjukkan jarinya ke sebuah roko roti eli seberang jalan. Mereka berteriak
kegirangan, beberapa menjabat tangannya, sedang yang lain berseru: 'TOs!
t0s!" Sementara seorang dari mereka cukup berkata, "Obrigado," dan memeluk
Malcolm untuk waktu yang cukup lama.
www.ac-zzz.blogspot.com Wajah kotor dan penuh terima kasih itulah yang terbesit di dalam benak
Malcolm ketika bocah-bocah dalam pesawat yang duduk di samping kursinya
mendadak meledak dalam tawa renyah. Kemudian, ayah mereka menegur
kegaduhan yang mereka ciptakan. Malcolm memalingkan wajah, memandangi
lautan biru di bawah sana.
Orang tuaku; telah meninggal, batinnya.
Beberapa jam dan satu penerbangan lagi maka ia akan berkumpul kembali
dengan Matthew dan Samantha, pemakaman untuk dua orang, serta sebuah
konfrontasi melawan kenangan?kenangan yang ia miliki bersama Jack.
Kepalanya berputar. Malcolm berusaha untuk mengesampingkan adegan yang jauh lebih tidak
mengenakkan antara dirinya dan petugas-petugas kepolisian, juga
pertemuannya kembali dengan pria yang mencuri cinta masa mudanya.
Orang tunku telah meninggal.
Entah kenapa, hidungnya menangkap harum parfum yang kerap dikenakan Rain.
Apa dia sudah tiba?" teriak Nathan Crescimanno saat ia melangkah keluar dari
dalam mobil BMW miliknya dan berjalan menuju gerbang mama Domus
Jefferson. "Belum,' jawab Samantha, berdiri di beranda. Dengan tinggi tubuh tidak lebih
dari 157 cm dan satu setel jas longgar, Nathan tampak seperti seorang bocah
laki-laki yang sedang mengendarai mobil ayahnya.la juga mengenakan
kacamata berbingkai emas ala John Lennon.
"Di mana Rain?"
"Ada di dalam. Tapi pelankan suaramu, ya" Banyak hal yang sedang terjadi di
sana." "Maaf Aku sendiri sedang merasa lelah." Nathan mencakar dengan halus batang
hidungnya sendiri. "Bisa tolong panggilkan Matt agar menemuiku di sini" Aku
akan menunggu di luar."
Samantha mengangguk, matanya memancarkan senyuman, lalu segera masuk
ke penginapan yang penuh sesak. Tidak lama, Matthew keluar menghampiri
Nathan di beranda, Samantha mengikuti kakaknya dari belakang,
"Hey. Nathan," sapa Matthew, menjabat tangan Nathan yang kecil dan halus.
Terlalu kecil dan halus untuk seorang pria, pikir Matthew.
"Matt, Matt, Matt, akhirnya kau sampai juga. Bagaimana kabarmu" Bagaimana
Boston?" "Boston menyenangkan, tapi sebenarnya aku tinggal di New York"
"Mana wanita cantik pendampingmu" Mon tidak ikut pulang?"
"Tidak, Monica tidak bisa datang. Bisnisnya sekarang sedang benar-benar naik
daun." "Baguslah. Hey, Matt, aku turut berduka cita atas kejadian yang menimpa orang
tuamu. Aku tahu kalian pasti sedang sedih."
Di seberang beranda, Samantha menoleh dan memutar bola matanya ke atas.
"Aku hargai itu .... Terus, apa kabar terbarumu" Kau sudah berbicara kepada
Ketua Romenesko?" "Sudah, dan seperti yang kujanjikan kepadamu di telepon, aku berhasil
membujuk beliau agar menyetujui perjanjian kita. Kami takkan mengganggu
www.ac-zzz.blogspot.com Malcolm sampai pemakaman selesai. Aku meyakinkan Ketua Romenesko bahwa
Malcolm takkan mengambil risiko untuk lari ... setidaknya untuk beberapa hari
ke depan." "Kuhargai usahamu," kata Matthew."Kami sekeluarga menghargai usahamu,"
Matthew mengoreksi perkataannya, mencuri?curi pandang ke arah Samantha.
Samantha memberi anggukan setuju yang terpaksa kepada nathan.
Pintu kasa tiba-tiba terbuka dan Rain melangkah ke beranda.
"Hai!" sapa Nathan. "Kau baik-baik saja" Sedari tadi pagi aku mencoba
menghubungimu di sini. Kenapa kau tidak menjawab?"
"Maaf Nathan, kami tidak bisa menjawab setiap telepon yang masuk. Karena
telepon di penginapan ini sudah berdering tanpa henti sejak kabar kematian
Jack dan Laurel tersebar."
Nathan menghampiri Rain dan menariknya ke dalam rangkulan. "Tidak apa,"
katanya lembut. "Aku hanya khawatir,"
"AkU tahu," balas Rain. melepaskan ketegangannya dengan cara meremas
pundak Nathan. "Maafkan kelancanganku,"
"Kita akan baik-baik saja, Sayang." Nathan menaikkan volume suaranya hingga
bisa terdengar sampai ke ujung beranda. "Semua ini akan berlalu dengan
cepat." "Aku masuk dulu," kata Samantha, berpura-pura batuk untuk menyembunyikan
sesuatu. Matthew menundukkan kepala, menutupi senyum yang merekah di wajah,
"Rain, Sayang, temanilah Samantha ke dalamn. Aku harus membicarakan
sesuatu yang penting dengan Matt." Nathan mcengecup pipi Rain. "Aku cinta
padamu," ia berbisik di telinga Rain.
Rain melepas senyum hangat, memeluk Nathan sekali lagi, sebelum masuk ke
penginapan dan mengikuti langkah Samantha ke lantai dua.
"Dengar, Matt. aku harus selalu berada di dekat-dekat Sini sampai pemakaman
selesai. Aku mungkin juga akan meminta bantuanmu dan Sammie untuk
mengawasi Malcolm. Jangan sampai dia ditinggal sendirian."
"Aku mengerti, Nathan. Kuhargai kebesaran hatimu untuk membiarkan kami
mengadakan pemakaman ini dengan tenang. Kehilangan kedua orang tua kami
dalam satu hari sudah cukup sulit bagi kami, Kurasa kami tidak akan sanggup
menangani masalah-masalah lain yaog lebih berat selama beberapa hari ini."
"Tentu saja. Dan, aku berjanji, Rain dan aku takkan mengganggu waktu
kebersamaan kalian." Nathan berusaha unruk mendengar serius. "Apakah kau
akan ada di sini saat Malcolm tiba"''
"Seharusnya, ya."
"Di mana kau menginap?"
Matthew memiringkan kepalanya ke satu sisi, lalu mengerutkan dahinya dan
menautkan alisnya. "Aku menginap di sini, Nathan. Tempar ini 'kan
penginapan." "Ah, benar juga." Nathan mengamati gedung penginapan di hadapannya seolah
ini pertama kalinya, mengusir rasa malu yang mendadak menggerogoti. "Ya
sudah, sebaiknya kita masuk."
www.ac-zzz.blogspot.com "Nathan?" panggil Matthew saat Nathan meletakkan tangannya di atas gagang
pintu, bersiap untuk masuk.
"Pernikahannya masih tetap akan berlangsung, 'kan?" "Kau juga sudah dengar
kabar itu?" "Tentu saja." "Lalu, kenapa kau harus bertanya" Apa kau tahu sesuatu yang harus aku
ketahui?" Nathan tertawa gugup; menurut Matthew tawanya terdengar seperti
batuk anak-anak. "Tenang saja, aku cuma tanya. Karena aku tinggal di New York maka aku jarang
mendengar berita tentang Woodstock. Sam baru saja mengatakan padaku
bahwa penginapan ini akan menjadi tempat resepsi pernikahan dan sisanya aku
menebak sendiri. Resepsi Pernikahan."
"Pintar juga tebakanmnu. Ya, kami masih akan tetap menjalankannya. Kecuali
ada sesuatu yang menghentikannya, ya?"
"Benar." Matthew mengangguk.
"Pokoknya awasi saja adik laki-lakimu."
Di dalam kamar tidur utama yang telah dirapikan seolah dindingnya tidak
pernah menyaksikan kernatian sepasang suami-istri lanjut usia,Samantha dan
Rain berbaring di atas kasur berukuran besar sambil menatapi kipas angin yang
menggantung di langit-langit.
"Aku masih tidak bisa mempercayainya," kata Rain. ''Aku tahu."
"Ayah-ibumu meninggal Begitu saja."
"Aku tahu. Seperti mimpi, ya" Aku terus-terusan berpikir bahwa Ayah sedang
berjalan-jalan mengitari penginapan atau membaca di ruang bacanya. Tapi aku
sudah mengecek beberapa kali. Beliau tidak ada di sana."
"Sakit sekali rasanya kehilangan mereka, dan aku hanya pegawai di sini.."
"Rain," Samantha memotong perkataan Rain, "kau tahu bahwa kau lebih dari
sekadar pegawai untuk kami. Kau adalah keluarga kami. Ayah dan lbu
mencintaimu." "Kuharap begitu." Rain mengusap air mata yang mulai bermuara di sudut
matanya dengan kedua jempol."Aku sudah Lelah menangis terus, padahal
mereka baru meninggal 24 jam yang lalu. Proses pemakaman saja tidak akan
selesai sampai beberapa hari lagi."
"Aku sudah menebak." Samantha menghela napas panjang, terdengar jelas oleh
Rain. "Apa kau sudah memikirkan apa yang kira-kira akan kaulakukan?" Ia
menatap Rain. "Tentang apa?" "Kautahu tentang apa,"
"Tentang pekerjaanku di sini" Tentang resepsi pernikahan pasangan Vanatter
yang akan dilaksanakan minggu depan" Tentang selokan di dekat rumahku" Aku
hampir bisa menumbuhkan pohon Natalku.."
"Kau pasti tahu maksudku."
"Oh." "Ya, oh." "Maksudmu apa yang akan kulakukan tentang laki-laki itu, Siapa namanya,si
Petualang?" www.ac-zzz.blogspot.com "Yup, itu dia."
Rain tersenyum lemah. "Aku belum berpikir sejauh itu, Jujur deh,otakku sudah
seperti agar-agar sekarang, Sam. Aku masih kalut akan apa yang terjadi di
penginapan ini." "Apakah kau berusaha untuk membohongi seorang petugas polisi?" Samantha
menepuk pinggul Rain dengan punggung tangannya.
"Entahlah. Maksudku, memang aku sempat memikirkan dia sekali atau dua kaliatau
seratus kali- tapi biasanya semua pikiranku itu hanya membuatku merasa
mual." "Dia akan tiba di sini malam ini, Tadi ia sudah menghubungiku dari Miami.'
"Bagaimana ia akan kemari?"
"Dengan mobil sewaan. Aku sudah menawarkan untuk menjemputnya, tapi ia
mnenolak, Sebenarnya aku ingin sekali pergi dari tempat ini, meski untuk
sesaat, Mencari udara segar. Kalau aku harus berjalan dari penginapan ini ke
Miami dan memapahnya kembali, pasti sudah aku lakukan,"
"Oh tidak, Apa kau jengah karena dibawah sesak dengan banyak orang" Kau
mau aku meminta mereka pergi?"
"Jangan, aku tahu maksud mereka baik," kata Samantha, "hanya saja aku
merasa energiku terserap habis. Tubuhku lelah dipeluk." Mereka terdiam untuk
sesaat. "Kau tahu kan bahwa kau takkan mungkin menghindarinya selama tiga
hari." "Aku tahu." Rain berpikir panjang, Menit berikutnya berlalu cepat.
Akhirnya Samantha menanyakan hal yang paling ditakuti Rain. "Kau masih
mencintainya, 'kan?"
Rain memutar cincin pertunangan yang melingkar di jari manisnya. "Aku sama
saja dengan wanita yang sudah menikah, sam."
"Bukan itu pertanyaanku."
"Aku mencintai Nathan. Sungguh. Dia sangat baik padaku, selalu
memperlakukanku seperti ratu. Aku tahu sejumlah orang tidaktahan pada
sifatnya, dan aku mengerti. Tapi, bagiku, ia adalah seorang pria sejati. Dia
begitu kokoh dan sabar menghadapiku, Dia mencintaiku. Dia punya mimpi."
"Mimpi untuk menguasai dunia."
"Bukan dunia, Sam, hanya Negara Bagian Virginia. Lagipula, ia tinggal di kota
yang sama denganku. Jadi mimpinya sama saja dengan mimpiku."
"Dengar, kau juga tidak memberikan Si Petualang alasan yang cukup untuk
tinggal di sini bersamamu." Samantha menolehkan wajahnya ke arah Rain dan
memohon maaf saat itu juga dengan matanya.
Mereka terbaring dan terbungkam, mendengarkan suara?suara manusia yang
berbaur di bawah sana, serta suara ringkikan engsel pintu yang bergoyang
terbuka dan tertutup setiap dua menit.
"Sam?" "Ya?" "Omong-omong tentang mimpi .... "
"Uh-oh," Samantha menggumam.
"Bagaimana dengan impianmu sendiri" Apa yang kaulakukan sekarang?"
www.ac-zzz.blogspot.com "Aku pernah punya mimpi, bahkan mimpi yang sangat besar, tapi untuk
sementara aku harus mengesampingkan mimpi-mimpi itu." Ia ragu sesaat,
"Kautahu lah bagaimana situasinya." Samantha menatapi langit-langit.
"Kenapa kau berhenti?"
"Berhenti berakting?"
"Ya." "Oh, entahlah. Will benci kehidupan seperti itu. la membenci aktor-aktor
lainnya. Ia berpikir semua aktor itu hanya ingin menggantikan posisinya dalam
hidupku, Berpikir bahwa semua aktor bersifat egois dan memiliki penilaian yang
dangkal." "Tapi kau tidak seperti itu."
"Mudah-mudahan saja tidak,"
"Tapi dia justru yang egois dan berpenilaian dangkaL kan?"
"Lebih dari yang kautahu," kata Samantha mengakui.
Rain menepuk paha Samantha. "Lalu kenapa tidak dlteruskan aktingmu
sekarang ini" "Oh, nanti sajalah. Aku tidak ada waktu sekarang."
Rain menimbang-nimbang jawaban Samantha. "Tapi suatu hari nanti kau
mungkin menemukan waktu yang tepat untuk kembali berakting. Dan aku yakin
teman-teman lamamu pasti senang melihatmu lagi di Kota Harrisonburg."
"Mungkin," 'Sudah berapa lama sejak terakhir kau berakting bersama mereka?" tanya Rain.
"Lima, tujuh tahun?"
"Sekitar itu." Rain menggosok matanya dan meregangkan kedua lengannya di atas kepala.
"Aku akan menjadi orang pertama yang mengantre karcis pertunjukkanmu.
Barisan pertama. Pertunjukkan pertama,"
"Aku tahu," kata Samantha. "Tapi sekarang kita harus mengurusimu dulu,"
"Ya ampun, bagaimana mungkin kaupunya waktu untuk mengurusi rmasalah
hatiku di tengah semua ini?"
"Aku menganggapnya seperti terapi. Kurasa aku sudah 99 persen mati rasa saat
ini, Aku tidak punya buku petunjuk yang bisa memberitahukanku cara
mengatasi kematian kedua oraag tuaku di malam yang sama. jadi, dengan cara
mengalihkan isu masalahnya kepadamu, membua masalahku sendiri menjadi
Iebih mudah untuk ditangani." Ia memandangi Rain lagi, tersenyum lebar.
"Samantha Cooper!" Rain mengambil sebentuk bantal yang tergeletak di antara
mereka dan memukul Samantha di kepala,
"Shhh, ada orang-orang yang sedang berkabung di bawah,"
Kedua wanita itu berusaha untuk menahan derai tawa mereka.
"Sam, apa yang harus kulakukan?"
"Aku tak tahu, Aku benar-benar tidak tahu."
Mereka beristirahar di kamar itu sampai kegaduhan di lantai dasar pindah ke
luar dari penginapan dan ke halaman depan, lalu pindah lagi ke pelataran
parkir, hingga akhirnya terbagi-bagi dalam selusin kendaraan.
Penginapan itu kemudian menjadi sunyi.
www.ac-zzz.blogspot.com Malcolm memandangi setumpuk peta-peta loka1. "Saya baru saja tiba dari
Amerika Selatan untuk menghadiri
sebuah pemakaman," ujarnya kepada Salima, seorang wanita yang bekerja di


The Wednesday Letters Karya Jason F.wright di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Avis, tempat penyewaan mobil. Wanita muda berwajah kalem dan baik hati 'itu
menatar pesanan mobil untuk Malcolm dari yang berukuran ekonomis ke ukuran
sedang, Saat Malcolm menambahkan bahwa pemakaman yang akan ia hadiri adalah
milik kedua orang tuanya, Salima menatar pesanan mobilnya menjadi ukuran
besar. Kemudian, setelah bercerita mengenai pengalaman pahitnya
ditinggalkan oleh satu-satunya wanita yang pernah ia cintai, serta betapa ia
dicekam rasa takut untuk berjumpa lagi dengan wanita tersebut setelah dua
tahun berkelana, Salima setuju menyewakan sebuah sedan Mustang berwarna
biru tua kepada Malcolm. Di pertengahan bulan April ini, saat musim semi menuai warna cemerlang pada
pohon dan tanaman, udara yang berembus di Virginia kelewat hangat, layaknya
musirn panas. Termometer di atas papan dasbor mobil menunjukkan suhu 22
derajar Celsius. Malcolm merapatkan mobil yang dikendarainya ke jalur darurat di jalan tol,
membuka atap mobilnya. Ia melanjutkan perjalanannya ke arah barat, melalui daerah pinggiran Virginia
Utara sampai deretan mal dan restoran makanan cepat saji perlahan-lahan
sirna di tengah ladang pertanian serta gulungan bukit yang memagari Rute 66,
bersambung di arah selatan pada Rure 81.
Belum tiga jam berlalu sejak pesawat yang ia tumpangi mendarat di bandara
Dulles, dan kini ia sudah tiba di sebuah pom bensin yang terletak di jalur tol
menuju Kota Woodstock. Ia membeli sekaleng minuman Diet Coke dan dua
kotak permen Tic tac, Malcolm merasa lega, meski sedikit terkejut,
menemukan si penjaga toko sama sekali asing baginya.
Ditutupnya kembali atap mobil Mustang yang ia kendarai, sebelum ia meluncur
pergi dari lokasi pom bensin dan menuju ke tengah kota, Tidak banyak yang
berubah di tempat itu sejak kepergiannya. Sebelum memasuki batas kota, ia
sempat melihat restoran terbaru Arby's di dekat jalur keluar jalan tol dan
sebuah pom bensin Shell yang belum lama ditata ulang. Namun, Kota
Woodstock itu sendiri terlihat sama persis seperti saat ia tinggalkan, dua tahun
yang lalu ketika ia kabur membawa ransel berisi pakaian dan secarik tiket
pesawar gratis. Apotek Walton & Smoot's tampak gelap. Begitu pula toko pernak-pernik di
sebelahnya, serta gedung perkantoran real-estate Century 21 di sudut jalan.
Satu blok jauhnya dari sana di jalan Main Street, bioskop milik keluarga Devin
Rovnyak terlihat remang-remang dengan beberapa lampu yang masih menyala.
Dugaan Malcolm mengatakan, anak kembar Devin sedang berada di dalam
bioskop menonton film-film yang akan dimainkan minggu depan.
Malcolm penasaran, apakah anak-anak remaja itu membiarkan pintu belakang
bioskop terbuka begitu saja, Demi mengenang masa lalu, ia bisa saja masuk
www.ac-zzz.blogspot.com diam-diam dan mengejutkan kedua anak itu dari belakang dengan mengenakan
ember popcorn di kepalanya sambil mengayun-ayunkan dua pasang penjepit
hot?dog di tangan,Ia yakin kedua remaja itu akan kencing dicelana, di hadapan
siapa saja yang ada di sana; Malcolm sudah pernah melakukan hal ini
sebelumnya. Menarik juga, pikirnya. mungkin besok-besok.
Akhirnya, ia memutuskan untuk mengendarai mobil sewaannya ke sisi lain kota
tempat ia tumbuh dewasa dan berhenti di pelataran parkir Ben Franklin
Department Srore.ia teringat akan cintanya kepada Kota Woodstock,Tidak
seperti kota-kota kecil lainnya di negara bagian Virginia, Woodstock tidak
menawarkan armosfir kuno ataupun modern. Di pelataran parkir ini,
contohnva, berdiri salah satu cabang bank nasional yang baru saja selesai
dibangun. Gedung-gedung bersejarah mengintip dari kejauhan, menatap
langsung ke arah kumpulan restoran modern serta cabang hotel ternama.
Malcolm menganggapnya perpaduan sempurna antara, masa lampau dan masa
kini, Masyarakat kota ini takkan pernah melupakan warisan leluhur yang begitu
kaya dan indah, atau mengorbankan semangat kota kecil yang mereka miliki.
Walau begitu, mereka juga tak akan menolak penyajian burger keju dari
Woody's dan es krim Frosty ukuran besar,
Malcolm memasuki RUte 11 dan berkendara melawan arah untuk kembali ke
tengah kota mengambil belokan ke kiri menuju jalan Woodstock Tower Road
dan mengikuti alur jalan sejauh beberapa kilometer menaiki pegunungan yang
berkelok, sampai ia tiba di Hutan Nasional George Washington. Dalam waktu
singkat, setelah ia berada di puncak gunung memandangi kota Woodstock dan
Tujuh Lekuk Sungai Shenandoah yang terkenal dari ketinggian beberapa ribu
kaki,Malcolm mulai mendaki jalan setapak yang berbatu menuju ke menara
logam yang merupakan obyek wisata ternama. Ia menaiki susunan tangga dan
berdiri disebuah platform yang besar.
Waktu SMA dulu, Malcolm dan teman-temannya sering sekali berdiri di sini,
berkumpul selama berjam-jam di atas Menara Woodstock. Pemandangan yang
disajikan sungguh unik, menampangkan keindahan Virginia bagian Utara, Di
bagian Barat, berdiri di pelataran yang dulu digunakan sebagai pemantau
kebakaran, para pengunjung bisa melihat Kota woodstock dan Tujuh Lekuk
Persimpangan Utara Sungai Shenandoah. Di bagian Timur, jika udara berembus
tenang dan' langit cerah, kita bisa melihat Lembah Port dan Pegunungan
Massanutten. Di hari-hari yang sangat cerah, 'Pegunungan Blue Ridge juga bisa
terlihat, Malcolm mengingatkan dirinya sendiri untuk kembali ke tempat ini di siang
hari, agar ia dapat menikmati pemandangan sekitarnya dengan lebih saksama.
Ia menyalakan senter yang ditentengnya, menyinari atap logam di sampingnya
dan tersenyum melihat ukiran-ukiran yang tergores di sana. Ada beberapa yang
baru, dan beberapa yang ia kenal. Ia melihat tulisan tangannya sendiri tergores
di salah satu tiang, penyanggah, menggunakan spidolmerah: AKU CINTA RJ.
Selesai bernostalgia, Malcolm kembali mengendarai Mustangnya melalui jalan
sempit berbatu menuju Rute 11.Ia mengambil arah selatan dan melihat binar
lampu menyala di lantai atas musium kota. Ia bertanya-tanya apakah Maria
Lewia sudah pensiun. www.ac-zzz.blogspot.com Maria Lewia adalah guru bahasa lnggris di SMA tempat Malcolm sekolah, dan
beliaulah alasan kenapa ia lngin menjadi seorang novelis. Nyonya Lewia sudah
pernah menerbitkan sejumlah buku;salah satunya adalah novel roman yang
ditulis dengan nama samaran. Beliau pensiun dari posisinya sebagai guru SMA.
ketika akhirnya menyadari batas kesabarannya berdebat dengan anak-anak
remaja berusia 17 tahun, Tapi, masa pensiunnya berlangsung kurang dari
seminggu. Bethany Brickhouse, seorang direktur museum berusia delapan puluh dua tahun
berbadan sehat dan berwajah. cantik, merupakan salah satu penyumbang
terbesar di museum Kota Woodstock. Suatu hari, Nyonya Brickhouse pingsan di
tengah panas dan kemeriahan pesta lulus-lulusan SMA Central-dan tidak pernah
sadarkan diri. Setelah diminta oleh Walikota Woodstock, didukung oleh anggota pemerintahan
kota, tetangga dan juga Malcolm, Nyonya Lewia menggantikan posisi Nyonya
Brickhouse sebagai direktur museum.
Meski sudah larut malam, Malcolm ingin mengunjungi wanita yang menjadi guru
tulisnya. Namun, ia kemudian mengurungkan niatnya. Nyonya Lewia pasti akan
menanyakan kabar novelnya yang sampai sekarang belum ia selesaikan.
Lagipula, ia tidak ingin mengejutkan orang lanjut usia seperti Nyonya Lewia,
kalau-kalau beliau kencing di celana seperti anak-anak kembar keluarga
Rovnyak. Roda kendaraan terus melaju melalui jalan-jalan sepi, sampai akhirnya
berhenti di depan Bar Woody's's. Jumat malam yang biasanya menarik begitu
banyak pelanggan, kali ini Bar Woody's's terlihat sepi. Musim olahraga bela kaki
bagi siswa sekolah menengah sudah lama selesai, karena itu tidak ada
permainan yang bisa dirayakan,
Sejak terakhir ia melihat Rain, Malcolm belum pernah berada di dekat Bar
Woody's'S. Menatapi trotoar di pinggir jalan, ia seolah terseret kembali ke
malam itu, sebuah adegan dalam memorinya mengacu pada sebentuk gigi
berwarna merah menggelinding di atas turtup lubang periksa jalan yang terbuat
dari besi padat. Malcolm meringis mengingat kejadian tersebut, merasakan
ususnya melilit hebat. Waktu itu, ia mengunjungi Rain di rumahnya pagi-pagi sekali setelah
perkelahian fisik yang ia alami malam sebelumnya. Malcolm berdiri di pintu
depan rumah Rain dan menyampaikan bahwa laki-laki yang ia pukul semalam
adalah putra dari pejabat pemerintah daerah Virginia yang terhormat,oleh itu,
ia yakin bahwa hukuman yang ia terima takkan setimpal dengan. perbuatannya.
Malcolm juga berkata, bahwa perkelahian itu akan meniadi tambahan terakhir
dari daftar kelakuan buruknya.
Malcolm menjelaskan bahwa Nathan mengumbar berita pertunangan mereka
berdua. Benarkah begitu" ia menuntur ingin tahu, Ia menganjurkan kepada Rain
untuk menjauhi laki-laki yang menurutnya tidak bisa dipercaya, ia memohon
Rain untuk pergi bersamanya meninggalkan Kota Woodstock.
Rain mengangkat telunjuknya dan sambil berderai air mata, menuduh Malcolm
sekali lagi membiarkan dirinya dikuasai oleh kecemburuan.
Malcolm memohon. www.ac-zzz.blogspot.com Rain menangis. Dua puluh empat jam berikutnya, Rain masih tetap berada di Woodstock,
sementara Malcolm berada di bagian Selatan Benua Amerika,
Malcolm menggelengkan kepalanya seakan hendak mengguncang ingatannya
sendiri. Ia menginjak pedal gas dan melaju meninggalkan Bar Woody's's. Ia
menerobos lampu merah sebelum bergegas pergi jauh-jauh dari kota
Woodstock, seakan ditarik oleh gelapnya malam menuju negeri entah berantah,
sampai-sampai Rute 11 tidak terlihat lagi. Ia tidak tahu harus ke mana.
jarak yang terbentang antara Malcolm dan keluarganya tidak Iebih dari dua mil.
Dua mil antara dia dan sejarah, yang ia tinggalkan dua tahun lalu. Sekali lagi,
harum, parfum yang kerap dikenakan Rain berembus menerpa wajahnya,
Malcolm keluar dari jalan trol lewat jalur kiri, meneruskan perjalanannya
menelusuri jalan kecil yang berakhir di atas bukit, tempar Domas Jeferson
berdiri. Begitu roda mobil yang ia kendarai berhenti berputar, lampu besar
yang masih menyala menyinari kesunyian penginapan di malam hari. Dari balik
kemudi, Malcolm termangu mendapati dirinya berada di halaman penginapan
milik mendiang 0rang tuanya. Kesunyian yang menyelimuri membuat hatinya
gundah. Tidak peduli berapa banyak orang yang menginap di Domas Jaferson atau
kegaduhan macam apa yang mereka seedit teks bu nora
http://ebukita.wordpress.comkan, penginapan itu akan selalu terlihat bagai
pemandangan yang dilukis dengan cat air. Bahkan kelap-kelip lampu mobil
ambulans, isak?tangis para pelayat, dan lengkingan sirene sedan kepolisian
yang mengerumuni penginapan seharian ini tidak berpengaruh pada ketenangan
kota yang memang menjadi ciri khas daerah tersebur. Jack sering
mengistilahkan kesunyian penginapan yang dikelolanya sebagai, 'semangat
Jefferson'. Sedang Malcolm menyebutnya, 'seram'.
Malcolm menghitung mobil-mobil yang terparkir di dekat penginapan. Total ada
empat: Chevy El Camino keluaran 1979. mobil patroli Kepolisian WoodstOck,
Volvo milik ibunya dan mobil pick-up bermerek Chevy warna hijau milik
ayahnya. Malcolm mematikan lampu besar mobil yang dikendarainya dan
terdiam di balik kemudi. Di beranda yang remang-remang, Malcolm membayangkan ibunya sedang
memeluk seorang pemuda kurus yang terlihat rapi mengenakan setelan tuxedo
berwarna biru. Di samping si pemuda adalah seorang gadis berusia 17 tahun
yang periang dan juga merupakan kencannya malam itu,
Si pemuda melepaskan diri dari dekapan ibunya, meraih tangan kencannya,dan
pura-pura tidak melihat uluran tangan ayahnya. "Hari-hari," pesan ibunya saat
ia menggiring kencannya itu ke dalam mobil limosin berwarna putih. Malcolm
tidak ingat apakah ia menjawab pesan ibunya atau tidak, ia hanya ingat harum
wangi-wangian yang dikenakan Rain, aromanya berdansa di bawah hidung
Malcolm" menguap perlahan dari tengkuk leher Rain saat mereka sedang
berdansa di bawah lampu hias di Hotel Marriott, di Kota Harrisonburg.
www.ac-zzz.blogspot.com Malcolm mendorong pintu mobil sewaannya dan beranjak ke luar seraya
meregangkan kaki di tengah beningnya malam di Kota Woodstock. Ia meraih
sebentuk ransel dari bagasi mobil dan berjalan menuju penginapan, sandal
yang ia kenakan menciptakan kegaduhan saat menapaki tumpukan kerikil di
halaman penginapan. ia menaiki enam anak tangga yang membimbingnya ke beranda penginapan,
yang mudah dikenal dari brosur-brosur iklan dmus Jejferson.
"Hai, Malcolm," suara seseorang menyapa dari dalam kegelapan.
Malcolm tersentak kaget "Halo?" Ia menjatuhkan ranselnya ke tanah dan
memutar badannya, menemukan dua laki-laki-pastur-yang sedang duduk di
kursi goyang berwarna putih, Ada enam kursi goyang di beranda, semuanya
menghadap ke arah malam gelap.
"Maaf, kukira kau sudah melihat kami di sini," ujar salah seorang pastur seraya
bangkit berdiri. "Ya ampun, bagaimana mungkin kau punya pikiran seperti itu" Kau benar-benar
menakut.." 'Malcolm!" tegur pastur itu, suaranya diliputi oleh kekesalan. yang amat dikenal
Malcolm. "Maaf, Pastur B."
"Aku seaang melihatmu di sini. Kau masih ingat kepada Pastur DoUg White?"
"Tentu saJa.hai pastur."
Pastur Doug ikur berdiri dan menjabat tangan Malcolm.
Pastur Doug dan Pastur Braithwaite memiliki tinggi tubuh dan usia yang sama.
Bedanya, apabila Pastur Braithwaite selalu berpenampilan necis, maka Pastur
Doug berpenampilan sebaliknya,
Rambut Pastur Braithwaire tampak sangat terawat dan panjangnya tidak
berubah sedikit pun sejak Malcolm pertama berjumpa dengan beliau, saat ia
masih remaja dan sering dipaksa ke gereja oleh orang tuanya. Rambut beliau
memang selalu diporong rapi tepat di atas batas telinga, dan poninya selalu
rata menutupi dahi yang berkilau. Sekarang beliau tampil mengenakan kemeja
putih, dasi biru, dan jas biru yang sepadan.
Sementara, itu, Pastur Doug terkenal dengan penampilanrrya yang asal jadi.'
Malcolm melihat bahwa di tengah kemelut warga yang kehilangan dua sahabat
terdekat mereka, Pastur Doug tetap saja mempertahankan gaya berpakaian
yang sama. Rambut Pastur Doug terlihat menipis di bagian atas kepala, dengan lambang
yang memanjang tidak rata. Beliau mengenakan jas hujan berwarna hitam di
atas kemeja putih dan dasi hitam yang tersimpul kendur, Celana berbahan
polyester berwarna hitam yang beliau kenakan tampak terlalu ketat, dan
sepasang kaus kaki berwarna cokelat muda dipadanlkan dengan sepasang
sepatu tenis berwarna hitam bertali hitam juga.
Ketika Malcolm menjabat tangan Pastur Doug, jemarinya merasakan bekas luka
di pergelangan tangan beliau. Malcolm sudah lama ingin menanyakan perihal
luka tersebut. Namun, ia selalu mengurungkan niatnya.
Selama sepuluh tahun, Malcolm tidak pernah melihat kedua pastur tersebut
secara terpisah. Pastur Doug melayani umat gereja kecil di dekat Rute 7 di
www.ac-zzz.blogspot.com Kota Winchester, dan sesekali beliau selalu berkeliling diLembah bersama
Pastur Braithwaite yang tak pernah berada jauh dari beliau.
"Aku mendapat kabar tentang Jack dan LaUrel dari A&P," kata Pastur
Braithwaite. "Kami sungguh menyesali kejadian ini, Malcolm. Kami ada di sini
untuk membantu." Malcolm menganggukkan kepalanya dan dari sudut matanya ia bisa melihat
adiknya menghampiri pintu depan penginapan.
"Tadinya kupikir seseorang akan menunggu. kedaranganku di sini," lanjut
Malcolm,.mengangkat suaranya keras-keras,-"tapi aku sungguh berharap bahwa
orang yang menungguku-adalah pecundang."
"Malcolm!" Teriakan itu, datang dari balik pintu kawat, "Jangan membicarakan
adikmu seperti itu!" Samantha bergegas membuka pintu dan berlari
menghampiri kakaknya, menubruk dada Malcolm, membuat pria itu nyaris
terjatuh. "Tenaaaang dong!' kala Malcolm. "Aku sudah tahu kau pasti ada di sekitar sini."
Ia meregangkan setiap otot di lengan dan kakinya unruk menahan berat badan
mereka berdua agar tidak terjatuh. "Memangnya sudah selama itukah kita tidak
berjumpa?" Samantha melepaskan dirinya dari dekapan Malcolm dan melancarkan sebuah
pukulan ringan di dada kakaknya, "Sudah lama sekali, Bodoh."
"Benarkah" Sepertinya baru kemarin kau memanggilku dengan sebutan itu .. "
"Kau akan mendengar sebutan itu lebih banyak lagi sebelum malam ini
berakhir,"

The Wednesday Letters Karya Jason F.wright di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, aku tidak sabar mendengarnya .... Omong-omong, mana kemenakanku?"
"Ada bersama keluarga Godfrey. Aku menitipkannya di sana sejak aku
menyampaikan kabar kematian Ayah dan lbu kepadanya. AkU tidak ingin Angela
sendirian di rumah."
"Katakan pada Angie bahwa paman kesukaannya ada di sini. itu pasti akan
membuatnya ceria lagi"
"Dia tahu-pamannya itu-mengajak dia makan es krim sore tadi." Samantha
tertawa bahkan sebelum ia menyelesaikan leluconnya.
"Ya sudah, sebaiknya kami tinggalkan kalian berdua unruk saling berbincang,'
sela Pastur Braithwaite, sambil membungkuk beliau meraih tas koper kulit
berwarna cokelat. "Lagipula, kami harus pulang. Pastur Doug akan menginap
bersama keluargaku untuk beberapa hari."
"Baik sekali hatimu, Pastur," puji Samantha.
Pastur Braithwaite melangkah menuruni anak tangga dan Pastur Doug mengikuti
dari belakang, lalu berhenti saat ia berhadapan dengan Malcolm. "Aku senang
melihat kalian berkumpul lagi. Dan, sekali lagi.aku turut berduka cita atas
kepergian orang tua kalian." Beliau meletakkan sebelah tangan di pundak
Malcolm dan menatapnya lekat-lekat.
"Terima kasih, Pastur.'
"]ika kalian perlu teman bicara, siapa saja dari kalian, jangan sungkan-sungkan
untuk menghubungi Pastur Braithwaite."
"Terima kasih," kata Samantha keras-keras agar Pastur Braithwaite ikut
mendengar. www.ac-zzz.blogspot.com Pastur Doug meuuruni anak tangga dengan langkah pelan, lebar, dan teratur,
Beliau berhenti begitu sampai di landasan terendah, lengannya yang panjang
dan kurus melambai ke arah Malcolm dan Samantha.Setelah itu, beliau
membungkukkan badan dan masuk ke dalam mobil milik Pastur Braithwaite.
Beberapa detik kemudian, mobil yang mereka tumpangi bergerak menelusuri
jalan kecil yang tadi Malcolm lewati, hingga akhirnya ditelan kegelapan malam.
"Aneh ya cara Pastur Doug membungkuk?" tanya Malcolm, melirik Samantha .
"Diamlah dan peluk aku lagi." Samantha menarik tubuh kakaknya lebih dekat,
mendekapnya erat dan menghirup sisa aroma air sungai yang masih melekat di
janggut kasar Malcolm."Aku tidak tahu yang mana yang lebih buruk
Mal,meninggalnya Ayah dan Ibu, atau bau badanmu yang sangat tidak sedap.
Kapan sih kau terakhir mandi?"
'Beberapa hari yang lalu, dan sebenarnya juga aku hanya siram-siram saja,
bukan pakai air lagi ... trapi pakai lumpur."
"Di Brazil?" "Ya. Brazil." "Aku tidak peduli seperti apa baumu, aku hanya senang kau suda di sini."
Samantha mengeratkan dekapannya, "Aku rindu padmu, Mal."
"Aku orang yang mudah dirindukan, Sammie."
Samantha mengangkat kepalanya dari pundak Malcolm. "Aku serius. Bagaimana
kita bisa mengantisipasi. tragedi ini" Aku rahu kematian bisa kapan saja
mengambil Ayah dari dalam kehidupan kita, sejak beliau didiagnosis mengidap
kanker, Tapi Ibu?" Ia mengubur wajahnya di dada Malcolm dan mulai terisak.
"Sudahlah, ayo kita masuk." Malcolm menjinjing ranselnya dan mengikuti
langkah Samantha ke dalam penginapan. Ia berhenti sebentar di serambi untuk
mengamati rumah yang sunyi.
"Ia sedang rnengunjungi Rosie dan Rick Schwartz, di Pegunungan Jackson, tapi
ia akan kembali. Ia juga menginap di sini."sam rnembersit hidungnya.
"Pasangan Schwartz masih hidup?" tanya Malcolm. "Ayolah, Mal, kau belum
pergi selama itu. Rick masih menjalankan kliniknya dan Rosie masih menjabat
sebagai walikota . . Kalau dihitung, sudah sepuluh tahun ia menjabat di posisi
itu," "Kurasa tidak banyak yang berubah di tempat ini, ya." Malcolm memberi
pernyataan, bukan bertanya,
"Ya," jawab Samantha. "Woodstock akan terus menjadi Woodstock dan keluarga
Cooper akan terus menjadi keluarga Cooper. Itu kata Ayah."
Malcolm menjatuhkan ranselnya di dasar tangga dan berjalan melalui koridor
menuju ruang dapur, Ia berhenti sebentar di tengab jalan untuk membenarkan
letak bingkai di dinding yang menyimpan sekeping liang logam kuno bernilai
satu sen koleksi orang tua mereka.
"Tempat ini punya bau yang berbeda."
"itu karena tidak ada yang memasak di sini," Samantha duduk di meja makan
yang panjang. Malcolm duduk di seberangnya. Dinding ruangan yang berwarna
putih seperti kulit telur diisi oleh foto-foto pahlawan perang dan
presidenpresiden yang pernah duduk di Gedung Putih.
www.ac-zzz.blogspot.com Keramik mahal dipamerkan di balik dinding kaca sebuah lemari antik hasil
kerajinan tangan yang dibeli Jack di sebuah pelelangan di Kota Waynesboro
dalam tahun yang sama mereka sekeluarga pindah ke WoodstOck. Foto
kediaman thomas Jefferson, Monticello, yang telah digubah oleh seorang
arsitek tergantung di dinding lain tepat di antara foto Presiden Jefferson dan
Presiden George Washington.di belalcang Malcolm, sebuah lukisan
menggambarkan Jenderal Washington yang sedang berdoa di tengah tumpukkan
salju di Lembah Forge tergantung rapi. Lukisan itu merupakan salah saru
rekayasa seni yang paling disukai Jack.
"Kau ingat harumnya sarapan yang selalu disiapkan Ibu?" Samantha
menyandarkan kedua sikunya di atas meja. "Roti pangang ala perancis yang
beliau masak" Juga cara beliau mencelupkan roti panggang ala texas di sirup
manis yang beliau buat sendiri semalaman" Apalagi daging ham ala virginia.
Harumnya begitu menggoda sampai waktu makan malam."
"Ibu menang jago masak, ya." Malcolm meletakkan kedua lengannya ke
belakang kepala, mengaitkan kesepuluh jarinya tersimpul, menatap langitlangit.
"Itulah kehebatan beliau," jawab Samantha. "Seandainya saja aku lebih sering
makan bersama mereka di sini beberapa tahun belakangan."
Keduanya duduk terdiam, menatapi gugusan foto keluarga dan barang antik
yang mengisi dinding ruang, Pada akhirnya, Samatha meletakkan kepalanya ke
atas kedua lengannya yang terlipat di atas meja. Ia menatap Malcolm dan
mengagumi sosoknya yang kasar. Bahkan setelah melalui perjalanan panjang,
dan wajah yang ditumbuhi janggut panjang dan berantakan, Malcolm tetap saja
terlihat tampan. "Kapan upacara pemakaman akan dilangsungkan?" tanya
Malcolm. "Minggu malam di gereja, Orang-orang akan melayat hari Sabtu."
"Pemakaman di hari Minggu?"
"Itu permintaan Ayah. Beliau sempat bilang pada anggota gereja dan membuat
mereka berjanji pada beliau untuk melakukannya di hari Minggu. "Kalau tidak
salah beliau juga melakukannya secara tertulis dalam surat kontrak yang beliau
tanda tangani saat mengurus pemakarnannya sendiri."
"Beliau sudah membayar biaya pemakaman dirinya sendiri sebelum.." Oh, itu
terdengar seperti ... seperti .... "
"Seperti kebiasaan Ayah" Yep."
"Dan orang-orang akan melayat ke gereja juga?"
"Bukan, mereka akan melayat ke Rumah Duka Gutherie di Kota Edinburgh."
"Ariek Gutherie masih hidup?"
"Malcolm!" "Maaf Dik, kau tahu aku suka bercanda,'
Samantha menggerutu dan keduanya kembali terdiam.
"Dia sedang ada di rumah keluarga Guthrie sekarang, kalau saja kau
penasaran," kata Samantha beberapa menit kemudian.
"Dimana?" "Di rumah keluarga Guthrie."
www.ac-zzz.blogspot.com "Siapa?" "Nancy Reagan, siapa lagi?"
"Oh, baguslah. Ada urusan apa Nancy Reagan di sini?"
"Kau itu benar-benar bodoh. Kau pasti tahu siapa yang aku maksud."
Malcolm bersandar di kursinya dan menatap ke langit-langit.
"Rain." "Dia menanyakanmu, asal kautahu."
"Dia juga masih hidup?"
"Malcolm. Berhentilah."
"Berhenti apa" Aku tidak tahu apa yang ingin kaudengar dariku, Sam."
"Kau tidak ingin tahu kabarnya?"
"Tidak juga." "Bohong." "Baiklah, apa kabarnya?"
"Sedih." "Oke." Samantha mengedipkan matanya. "Dan dia masih lajang."Malcolm segera
membenarkan posisi duduknya.
"Pernikahannya dengan Nathan sudah ditunda tiga kali. Yang pcrtama memang
dikarenakan sesuatu yang mendadak. Kerabat Rain di Kota Gaithersburg harus
melakukan operasi dan beliau buruh bantuan selama beberapa bulan, jadi Rain
pergi ke sana dan menjaga kerabatnya. Nathan mengatakan dia tidak
keberatan, tapi aku bisa lihat betapa hal Itu membuatnya kesal."
"Sesuatu yang pasti membuatmu kegirangan," Malcolm tersenyum.
Bibir Samantha juga menyunggingkan sebersit senyuman, tapi ia tidak
melanjutkan. "Aku tidak percaya bisa berakhir begitu, kupikir pernikahannya sudah lama
berlangsung." "Ya, itu karena kau bukanlah orang yang mudah untuk dilacak. Aku sudah
mencoba menghubungimu berkali-kali di nomor telepon yang Ibu berikan
kepadamu." "Memang aku jarang mengaktifkan telepon itu, Kau beruntung Kamis kemarin
aku menjawab." "Sedang ada di mana kau waktu itu?"
"Di atas perahu, di tengah perairan Amazon, di sebelah Utara amazon, sibuk
memotret dan menulis."
"Menulis?" "Iya, menulis bukuku, Kau masih ingat kan dengan bukuku?"
"Itu 'kan dua tahun yang lalu, Mal. Kupikir sekarang kau sudah selesai dengan
buku itu." "Kupikir juga begitu. Tapi, nyatanya, aku terjangkit penyakir inspirasi buntu."
"Itu masih lebih baik daripada terjangkit penyakit cacingan," Samantha
tersenyum. "Aku sempat cacingan," wajah Malcolm berubah serius.
www.ac-zzz.blogspot.com Samantha nyaris membenturkan kepalanya sendiri ke atas meja. Lalu,
keduanya tertawa bersama bak dua orang yang sedang berbagi lelucon kuno
yang hanya diketahui oleh mereka,
"Terus, kapan kita akan membicarakannya?" tanya Samantha saat gelegar tawa
mereka menyusut jadi tawa kecil.
"Nah, ini dia,"
"Kita tidak bisa terus-terusan menghindari topik ini."
"Sejujurnya, aku heran kau bisa tahan selama ini."
"Tidak mudah bagiku, Malcolm."
"Aku serius. Tadinya kupikir Nathan bersama cecunguknya akan menunggu
kedatanganku." "Matt dan Nathan membuat kesepakatan. Kaupunya waktu beberapa hari, tapi
setelah pemakaman selesai, kita harus menghadapinya bersama,"
"Matt membuat perjanjian dengan Nathan agar tidak menggangguku" Pasti sulit
sekali membujuk Nathan untuk sepakat."
"Memang sulit, tapi setidaknya perjanjian itu sudah disepakati semua pihak.
Matt benar-benar berusaha sebisa mungkin untuk menolongmu."
"Lalu, apa syaratnya" Kau harus memegangi tanganku selarna tiga hari?"
'Bukan begitu. Aku hanya perlu kunci mobilmu."
"Apa?" "Kunci mobilmu, Mal."
"Kau pasti bercanda:"
"Aku serius, Kau dilarang menyetir. Surat Izin MengemudimU juga ditahan."
"Apa"' Ini prosedur standar, Apa kau tidak mengerti kenapa pihak kepolisian selalu
menahan SIM seorang berandal sepertimu yang selalu berencana untuk kabur?"
"Ayolah, Dik, Aku janji takkan macam-macam,"
"Maaf Mal. Pekerjaanku yang jadi taruhan di sini. Pekerjaanku"
Malcolm menarik serangkaian kunci dari saku celana pendek yang ia kenakan
lalu menggesernya ke arah Samantha,
"Maaf, ya," Samantha merengkuh rangkaian kunci di hadapannya.
"Aku mengerti. Maafkan aku juga karena kau diberi tanggung jawab untuk
mengawasiku." "Jangan minta maaf soal itu." Samantha mengulurkan tangannya, meraih jemari
Malcolm. "Kau melakukan hal yang benar."
"Begitu menurutmu."
"Ya. Sebenarnya kau tidak perlu pulang:"
"Ayah dan Ibn meninggal, bagaimana mungkin aku tidak pulang?" .
"Meski begitu, aku tetap bangga terhadapmu. Ayah dan Ibu juga pasti bangga
terhadapmu." "Mari kita lihat apakah kau masih merasakan kebanggaan itu pada Minggu
malam." "Mal, tolong jangan buat masalah."
"Aku bersumpah," kata Malcolm, membuat tanda silang di dadanya dengan
menggunakan jari telunjuk,
www.ac-zzz.blogspot.com "Aku sayang padamu, Bodoh."
Samantha membimbing Malcolm ke lantai dua, ke dalam kamar tidur utama dan
menjabarkan semua yang diceritakan oleh A&P kepadanya tentang bagaimana
wanita itu menemukan Jack dan Laurel suatu pagi di hari Kamis dalam keadaan
sudah meninggal dan berpelukan. Samantha menjelaskan bahwa ibu mereka
sudah lama merasa tersiksa karena belum sempat mengabarkan kepada
Malcolm perihal kondisi ayah mereka yang sekarat karena kanker.
"Ketidaktahuanmu benar-benar menghancurkan hatinya,"
"Aku benar-benar sedih untuk Ibu, tapi aku dan Ayah sudah lama tidak pernah
berbicara lagi. Mungkin sudah sejak dua atau tiga tahun sebelum kepergianku.
Aku tidak yakin kalau aku akan cepat-cepat pulang begitu mendengar kabar
yang ingin disampuikan Ibu kepadaku."
"Beliau itu ayah kita, Mal. Ayahmu, darah dagingmu." Samantha membiarkan
kata-katanya barusan tenggelam dalam pikiran kakaknya. "Kau pasti akan
pulang untuk beliau."
"Mungkin." Malcolm mengangguk, meski ia sangsi.
Dengan hati-hati, Samantha menyampaikan penjelasan yang didapatnya dari
ahli koroner tentang kematian orang tua mereka dua malam lalu. Ia
mengingatkan Malcolm, bahwa keluarga mereka mengidap penyakit jantung
keturunan dan meskipun Laurel tidak pernah merasa dirinya terancam oleh
Walet Emas Perak 12 Rajawali Emas 24 Dayang Dayang Dasar Neraka Kidung Maut Bulan Purnama 1
^