Pencarian

Tiga Sandera 1

Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas Bagian 1


Bung Smas - Trio Tifa - Tiga Sandera bisa download dan baca online di http://cerita-silat.mywapblog.com Bung Smas
TRIO TIFA: TIGA SANDERA E-book oleh: dikau Scan & Layout: kiageng80
Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1984
TRIO TIFA: TIGA SANDERA oleh Bung Smas GM 84.134 Hak cipta dilindungi oleh
undang-undang All rights reserved Sampul dan ilustrasi dikerjakan
oleh Rama Seetha Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia, Jakarta, Nov. 1984
Anggota IKAPI Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta
DAFTAR ISI 1. Wawancara di Balai Sidang
2. Bintang Pameran Buku 3. Surat dari Bapak 4. Penjual Karcis 5. Misteri Pak Marfi 6. Disandera Penjahat 7. Kekecewaan Iwon 8. Diculik 9. Air Mata untuk Penjahat
1. Wawancara di Balai Sidang
TRESS ingin menghibur Fia. Makanya malam Minggu akhir bulan Mei itu Tress akan mengajak
Fia mengunjungi Pameran Buku Indonesia di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Pukul setengah tujuh malam, mobil Daihatsu Charade warna coklat muda milik mama Tress
berhenti di mulut sebuah gang di Rawasari. Tress melompat turun dari tempat duduk belakang.
Ditepuknya pundak Iwon. "Kamu di situ saja!" katanya setengah memerintah, "Biar cepat, nggak usah ikut turun! Kamu
suka banyak omong. Ini jam berapa" Kamu, sih! Kutunggu-tunggu dari sore nggak datangdatang juga!"
"Kalau mau buru-buru, kamu jangan ngomong saja!" seru Iwon dari tempat duduk di depan, di
samping kiri sopir. "Baiknya kau ikut turun," kata Pak Tohar, sopir setia berusia setengah umur itu. Pak Tohar
menekan peci hitamnya seraya menoleh ke arah Iwon. "Bukan apa-apa, Won. Non Tress sering
diganggu anak-anak sini."
Tress sudah berlari memasuki mulut gang itu. Tepat di sudut pertigaan Jalan Rawasari dan
mulut gang itu, berdiri sebuah rumah yang miring ke barat. Itu rumah Fia. Tiang-tiangnya telah
keropos. Dinding papannya rombeng sekali.
Iwon meletakkan tustelnya yang dibungkus kantung plastik. Barang mahal itu selalu
disembunyikannya dengan bungkusan kantung murahan. Ia tak berani membawa tustel itu
secara terang-terangan. Kata Bang Ifar, abang iparnya, harga tustel itu tiga ratus ribu rupiah.
Benda itu lebih berharga lagi karena merupakan peralatan studio foto 'Delia' milik Bang Ifar.
Dengan tustel itulah Bang Ifar menghidupi keluarganya. Iwon mengikut Bang Ifar sejak dua
tahun yang lalu. Kini Iwon duduk di kelas enam SD, sekelas dengan Tress. Umurnya memang
satu setengah tahun lebih tua dari Tress. Di kelas pun hanya Iwon yang paling besar. Kalau dulu
ia tidak berhenti sekolah sejak ayahnya meninggal, kini ia sudah duduk di kelas satu SMP seperti
Fia. Tapi sudahlah, kenangan pahit di kampungnya di lereng utara Gunung Slamet itu memang
pantas dilupakan saja. Rasa terima kasihnya kepada Bang Ifar tak bisa dibilang lagi kalau ia
mengingat akan hal itu. Sebab bila tidak dipungut Bang Ifar, sampai kini pun Iwon tetaplah
Kliwon, si gembala kerbau yang putus sekolah.
"Biar kukawal dia, Pak," kata Iwon seraya keluar dan mobil. "Anak gedongan yang manja, huh!
Kalau sudah ngambek..."
Pak Tohar tertawa senang Meskipun dia hanya sopir, dia merupakan sahabat bagi Trio Tifa
(Tress-Iwon-Fia). Pak Tohar selalu menemani Trio Tifa ke mana-mana. Telah banyak peristiwa
tegang dialaminya bersama trio anak-anak berbakat itu. Pak Tohar selalu mengagumi mereka.
Mengagumi Tress yang bisa menulis di majalah dan surat kabar sebagai wartawan cilik. Juga
mengagumi Fia yang pandai menulis cerpen dan cerita bersambung. Iwon memang tidak bisa
menulis seperti kedua anggota trionya. Tapi hasil potretan Iwon sering dipakai pula untuk
melengkapi tulisan Tress di surat kabar.
Iwon memasuki rumah Fia tanpa bersalam. Tress sedang berdiri berhadapan dengan Fia yang
duduk di bangku kayu jati. Bangku itu sangat buruknya, seperti juga rumah dan segala
perabotannya. Rumah buruk ini jarang diterangi dengan lampu petromaks. Biasanya cukup
lampu tempel atau gantung yang nyalanya merah berasap hitam. Tapi kini ada petromaks yang
menyala. Lampu terang itu diletakkan di atas lantai tanah. Diselimuti kain berwarna merah. Ah,
itu bukan sekedar kain. Selimut lampu itu adalah rok lengan pendek milik Fia!
"Kau sedang main sulap, ya?" tegur Iwon. Sejak tadi Fia diam saja.
Tress berasal dari keluarga yang cukup berada. Sehingga ia mudah hanyut dalam kesedihan bila
menyaksikan kesengsaraan orang lain. Lebih-lebih Fia adalah sahabatnya sendiri. Dalam
kesedihan yang berat begitu, ia sering berdiam diri saja.
Berbeda dengan Tress, Iwon telah akrab dengan penderitaan sejak masa kecilnya. Sehingga ia
menganggap biasa saja kesedihan yang disaksikannya di rumah buruk ini. Bahkan rumah emak
Iwon jauh lebih parah lagi keadaannya. Iwon bisa bergurau dalam keadaan seperti ini. Apalagi
karena Fia memang anak periang, yang tak suka memperlihatkan kesedihannya kepada siapa
pun juga. "Fia!" tegur Iwon. "Kalau malam Minggu
penyakit bengongmu kambuh, ya?" Serta-merta Fia tertawa.
"Kukira kau bukan Iwon!" katanya dengan nada riang. "Makanya aku diam saja!"
"Kaukira siapa" Bintang film yang berkenan mengunjungi penggemarnya?"
"Kemarin ayam kalkun Pak Salim hilang. Tadi kukira kau kalkun itu! Hampir saja kutangkap. Pak
Salim menyediakan hadiah buat penemu kalkunnya, lho!"
Iwon tertawa, tapi Tress tersedak karena perasaan haru yang menghantam batinnya. Gurauan
itu juga menggambarkan kesedihan hidup Fia. Pak Salim adalah pedagang burung di pasar
burung Jalan Pramuka. Ibu Fia seorang perawat merpati dagangan Pak Salim. Kadang kala juga
perawat ayam kalkun bila Pak Salim membeli kalkun pula untuk melengkapi dagangannya.
"Bapak mana, Fia?" tanya Tress dengan suara sendu. Maksudnya agar suasana yang tidak enak
itu lekas mencair. "Shooting film," jawab Fia dengan enaknya. Ia bangkit dan bertanya pada Iwon, "Mau minum
apa, Won" Kopi, susu, sirop" Semuanya nggak ada, lho! Sialan kalau kau minta juga!"
"Nggak usah minum. Nanti kamu minta bayaran, lagi! Eh, Bapak shooting film di mana, sih?"
"Kantor polisi."
"Lho! Memang film apa?"
"Judulnya Duga Prasangka." "Jangan ngaco! Memang bapak kamu bintang film?"
Fia tertawa saja. Ketika itu seorang adik lelaki Fia keluar dari ruang dalam. Namanya Marfiyadi.
Iwon menangkap lengan anak kecil itu.
"Bapak ke mana, Di?" tanyanya.
"Di kantor polisi," jawab anak itu, tanpa kesan dia sedih atau bingung.
"Betul, kan?" seru Fia. "Memangnya kamu, suka bohong melulu!"
"Ngapain Bapak di kantor polisi, Di?" tanya Iwon lagi.
"Nggak tahu!" "Kapan Bapak berangkat?" "Kemarin."
"Kamu kok nggak ikut?"
"Polisinya kan hanya nangkap Bapak!"
"Hah?" Iwon kaget. Pegangannya terlepas. Marfiyadi berlari ke luar rumah. Iwon bertanya pada
Fia, "Jadi Bapak ditangkap polisi" Oh... memangnya... memangnya... "
"Bapak kan bekas bromocorah[Penjahat langganan penjara]. Selamanya orang tak akan
mempercayai seorang bekas bromocorah. Itu sebabnya Bapak tidak bisa cari pekerjaan. Orang
selalu mencurigainya. Polisi pun selalu membayang-bayanginya. Setiap kali ada kejahatan,
selalu Bapak yang dicurigai. Padahal aku tahu betul, Bapak tidak jahat lagi seperti dulu. Tapi apa
polisi mau percaya pada kata-kataku?"
Semuanya diam. Tress menunduk. Dia mulai menitikkan air matanya.
"Jangan nangis!" Fia membentaknya. "Kamu mau ke mana, sih?"
"Balai Sidang," kata Iwon, karena ia yakin
Tress pasti tidak bisa bilang apa-apa selagi air matanya berderai. "Di sana ada acara Pameran
Buku Indonesia. Semua buku terbitan penerbit di seluruh Indonesia dipamerkan. Bahkan diikuti
juga oleh penerbit-penerbit dari luar negeri."
"Apa sih enaknya lihat pameran buku" Kalian kok semangat banget?" 'Enaknya... enaknya..."
"Nah, itu! Kalian selalu melakukan pekerjaan yang sia-sia. Kalau nggak senang lihat pameran,
jangan sok senang, dong!"
"Soalnya Fia akan mewawancarai para pengunjung. Bisa dibilang ini tugas dari Oom Didat.
Nggak tahu kenapa dia mau damai dengan papanya. Biasanya dia kan musuhan melulu."
Tress masih diam. Padahal biasanya kalau sudah menyinggung soal 'tugas dari Oom Didat', dia
akan cepat tersinggung. Oom Didat adalah papa Tress. Ia seorang pemilik perusahaan surat
kabar terkenal, juga seorang wartawan kawakan. Tress menuruni bakat papanya. Tapi ia tak
suka menulis di koran Gegap, koran pimpinan papanya sendiri. Alasannya, ia khawatir kalau
tulisannya dimuat hanya karena ia anak boss koran itu. Ia lebih suka menulis untuk majalah
anak-anak Karib. Jika Tress sudah 'menyerah' kepada papanya dan mau menulis di harian
Gegap, tentu ada maksud-maksud tersembunyi. Biasanya ia akan mengambil hati papanya.
Atau tulisannya tidak laku untuk majalah Karib. Macam-macamlah alasannya. Dan jika Iwon
menyinggung soal itu, Tress akan marah. Menulis di koran papanya seolah-olah membuatnya
turun gengsi. Tapi sekali ini Tress tidak marah. Tandanya kesedihannya sudah kelas berat. Iwon jadi takut
untuk mengganggunya. Ia melirik Fia yang duduk tenang-tenang saja.
"Aku juga ingin ikut," kata Fia. "Tapi rokku masih basah, tuh! Tadi nyucinya terlalu sore."
Tress memandangi Fia dengan perasaan pilu sekali. "Kenapa kau tidak meminjam rokku saja?"
katanya. "Ke Balai Sidang saja pinjam rok!" cetus Fia. Seolah dia sombong. Tapi sebenarnya tidak. Dia
gadis kecil yang bersahaja. Tak mau sok-sokan. Kalau tidak punya, tak usah berlagak punya.
Begitu pendapatnya. "Kalau mau pinjam sih, mendingan pinjam hidungmu yang mancung saja!
Biar jangan amblas begini!"
Pada akhir kalimatnya, Fia menekan ujung hidungnya sendiri. Dia memang pesek. Tapi manis,
dan segala yang tampak pada diri Fia seperti pantas-pantas saja. Rambutnya yang panjang
sampai ke pinggang hanya disanggul sekenanya dan ditusuk dengan tusuk konde yang terbuat
dari tulang. Itu pun tampak sangat pantas sekali. Kesederhanaan tampak dari seluruh
pribadinya. Bahkan tingkahnya pun biasa-biasa saja, tidak penuh gaya. Tapi jelas dia memikat
dan tampak sebagai anak berbakat.
Fia mengambil rok merahnya yang dikerudungkan di atas lampu petromaks. Ia membaliknya.
"Hampir kering," katanya seperti pada dirinya sendiri. "Sebentar lagi juga bisa dipakai. Tapi
kalau nggak mau nunggu, kalian pergi dulu saja. Kita kan nggak pernah janji akan ke sana
bersama-sama?" "Aku ingin menghiburmu," kata Tress dengan suara bergumam. "Kupikir kalau kau bersama
kami di sana, kau agak terhibur juga."
"Iya, deh! Tapi tunggu rokku sampai kering, ya?"
"Aku biasa pakai baju basah, Fia," kata Iwon. "Kalau dipakai, kan kering sendiri."
"Kau tukang kritik, tapi bahasamu sendiri harus dikritik" Kering sendiri, katamu. Masa kering
berdua?" seru Fia sambil tertawa.
"Maksudku, kering dengan sendirinya."
"Oke! Kupakai saja rok ini. Kena panas badan dan angin kan bisa kering!"
Fia menyambar rok merahnya dan menghilang ke bagian dalam rumah. Tress memandangi
Iwon. "Kalau dia masuk angin... "
"Anak gelandangan yang hidup di kolong jembatan tidak pernah masuk angin, Tress," potong
Iwon. "Kalau kau, terlambat makan saja harus ke dokter karena perutmu kembung! Orang kan
tergantung dari kebiasaannya?"
"Tapi kamu sadis!"
Tidak apa dibilang sadis. Habis bagaimana" Kalau Fia tidak ikut ke Balai Sidang, mungkin Tress
juga tak jadi berangkat. Trio Tifa harus kompak, begitu kata Tress selalu. Begitu juga maunya
masing-masing. Maunya Iwon juga. Sebab kalau tak jadi ke Balai Sidang, ia tak jadi memotret
juga. Tak jadi mendapat honor dari Gegap. Bang Ifar bisa ngamuk. Sekali membawa tustel,
harus memperoleh hasil. Tidak boleh asal bawa saja. Bisa dituduh hanya main-main dengan
barang mahal. Kasihan, kalau Bang Ifar marah, Mbak Milah jadi sasaran. Mbak Milah adalah
kakak perempuan Iwon. Dia sangat lembut. Dia juga selalu mengajarkan agar Iwon bersikap
sangat hormat kepada abang iparnya.
Akhirnya ketiganya pergi juga. Iwon duduk di samping kiri Pak Tohar dalam mobil itu. Tress dan
Fia di tempat duduk belakang. Jendela mobil dibuka. Angin bisa masuk. Dan bau rok Fia yang
dipanggang dengan lampu petromaks terasa menyengat hidung. Terasa pula mengiris hati Tress
Ragapadmi di sisinya. Sejak awalnya sudah salah. Jadi Tress ngambek melulu. Gara-gara Fia tidak mau pinjam rok,
maka sejak tadi wajah Tress cemberut saja. Apalagi ketika Fia bilang akan memisahkan diri.
"Tidak usah selalu bertiga," kata Fia. "Aku ingin jalan-jalan sendiri. Nanti kita bertemu di pintu
keluar." "Pintu keluar sebelah mana?" tanya Iwon. Ia sudah tahu, Tress pasti menolak gagasan Fia.
"Tempat orang-orang keluar, kan namanya pintu keluar?"
"Kamu bego! Pintu keluarnya kan banyak" Gedung ini menghadap ke mana sebenarnya" Aku
juga bingung! Habis bentuknya kaya nasi tumpeng saja!"
"Dan kita semut-semut yang mengerumuni nasi tumpeng raksasa ini ya?" sambung Fia.
"Nggak lucu!" sengat Tress. "Kalau mau pergi, pergi deh sendiri! Mau ketemu, mau enggak,
terserah kamu!" "Jangan bego juga, dong," Fia berseru seraya tertawa. "Kalau nggak ikut mobilmu, nanti aku
pulangnya bagaimana?"
"Semut kan bisa merayap"
Tress beranjak pergi. Asal saja. Padahal ia menuju ke pintu WC. Rasain! Dia melongo begitu
pintu itu terbuka karena ada orang yang keluar. Mana WC laki-laki, lagi!
"E, kamu buta huruf, ya?" tegur seorang anak lelaki begitu Tress hampir nyelonong ke WC itu.
"Baca, tuh! Kan ada tulisannya WC Pria!"
Tress melotot. Tapi dia mau apa" Sedangkan dari dalam WC itu keluar lima orang anak laki-laki
teman anak yang ngomel padanya. Tress ditertawakan. Pipinya merah. Sesungguhnya dia
tampak cantik kalau pipinya bersemu merah begitu. Tapi karena matanya melotot dan bibirnya
manyun, cantiknya berkurang sebagian.
"Lihat, tuh!" Fia berseru, tapi dia tidak tega untuk menertawakan Tress. "Kalau ngambek dia
kan suka ngawur!" "Kau mau ke mana, Fia?" tanya Iwon.
"Bikin kejutan untuk kalian!"
"Kejutan apa" Dari tadi kau sudah bikin kejutan! Ayahmu ditangkap polisi dari kemarin, kau
baru bilang tadi. Itu cukup bikin kejutan besar. Aku sampai merinding mendengarnya!"
Fia berjalan santai saja. Menyusuri bagian gedung besar itu, yang disebut lobby. Letaknya di
luar lingkaran bagian pusatnya. Langkahnya riang, seperti biasanya. Tangannya yang ramping
melenggang seenaknya. Kakinya juga ramping. Dan sepatunya... Iwon tak berani
membayangkan bahwa sepatu Fia itu lebih pantas dipakai untuk cari kodok daripada menginjak
permadani tebal berwarna merah di gedung megah ini.
Kadang kala Iwon merasa kesal juga pada Fia. Gadis menjelang remaja itu terlalu seram-pangan.
Tapi Fia memang begitu. Kalau tidak serampangan, ya bukan Fia namanya. Kalau mau tidak
serampangan, dengan apa dia bisa melakukannya" Ayahnya hanya pengangguran. Sedangkan
ibunya berpenghasilan tak seberapa. Untuk biaya sekolahnya sendiri saja Fia harus mencarinya
dengan menulis cerpen. Bahkan dia harus pula ikut menanggung beban biaya sekolah dua
orang adik lelakinya. Iwon merenung. Bila dipikir-Pikir, keadaannya masih lebih baik daripada
Fia. Tapi Fia tidak pernah mengeluh, sedangkan Iwon sering kali menyesali nasib buruknya.
Kini Iwon harus 'mengasuh' Tress yang manja. Dia menghampiri si manja yang lagi berdiri di
depan WC laki-laki. "Ayo jalan! Ngapain di sini melulu?" tegur Iwon seraya terus berjalan ke ruang dalam di bagian
tengah. Ia menyandang tustelnya di bahu kiri. Terasa berat sekali. Lebih terasa berat karena dia
tahu itu barang mahal yang sangat berharga bagi Bang Ifar sekeluarga.
Iwon berhenti di depan panggung yang terletak tepat di tengah-tengah gedung raksasa itu. Di
atas panggung ada sekumpulan anak sedang mengerumuni seorang pencerita. Suara pencerita
itu terdengar lewat pengeras suara yang terdapat di langit-langit gedung. Membawakan
dongeng dari beberapa daerah di Indonesia.
Di depan panggung itu Iwon menyiapkan tustelnya. Ia memasang lampu kilat dan
menyesuaikan ukuran bukaan lensa (diafragma) serta kecepatan jepretan. Setelah merasa siap,
ia menoleh ke arah Tress.
"Mulai, Non!" serunya.
Tapi Tress tetap cemberut. Iwon membidikkan tustelnya ke wajah Tress. Diambil dengan jarak
menengah. Jadinya nanti Tress tampak dari kepala sampai ke atas lututnya. Bisa bagus karena
Tress mengenakan celana panjang model celana laki-laki berwarna biru, bajunya berlengan
panjang digulung sampai siku, dengan leher bulat bersetrip biru model Shanghai. Pinggangnya
diikat dengan sabuk seperti pita yang ditalikan begitu saja. Pakaian ini pantas nian untuknya,
untuk gadis kecil berambut pendek setengkuk dengan sisiran tinggi belah di tengah. Tress
tampak lebih dewasa daripada umurnya sendiri dengan pakaian seperti itu. Tasnya kecil, kuning
warnanya. Seperti juga warna bajunya.
Tress menghampiri kerumunan anak kecil di sebuah stand penerbit. Buku-buku ditata cantik di
atas rak-rak indah. "Kamu senang buku, ya?" tanya Tress pada salah seorang anak laki-laki.
Anak yang ditanya kaget. Ia memandangi Tress.
"Kamu siapa?" tanya anak itu. "Aku Tress. Kamu suka buku?"
"Suka, dong." "Buku apa saja?"
"Apa saja. Pokoknya bacaan yang serem-serem. Seri petualangan, atau misteri. Eh, kamu tanyatanya kenapa, sih?"


Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mau mewawancarai kamu. Nanti hasilnya dimuat di koran. Mau, ya?"
"E, jangan!" seru anak itu seraya mundur. "Jangan! Memangnya kamu wartawan?"
"Iya." "Bohong! Masa ada wartawan kecil kayak kamu" Sombong, tuh!"
Percakapan itu menjadi pusat perhatian anak-anak yang berkerumun di situ. Tress jadi malu.
Ada yang bertanya-tanya padanya. Jadinya dia yang diwawancarai orang. Dia melongoklongokkan kepalanya untuk mencari Iwon. Kesalnya menjadi-jadi karena Iwon sedang ngobrol
dengan tiga orang anak sebayanya. Dua orang perempuan, yang seorang laki-laki.
"Won! Tolongin ini!" seru Tress.
Iwon tidak mendengar seruan itu. Ia asyik mengobrol. Bahkan dengan tertawa-tawa. Tress jadi
keki. Ia membalik serentak seraya menghampiri Iwon.
"E, kok ngibrit saja!" seru anak yang diwawancarai Tress.
Tress tidak peduli. Ia menghampiri Iwon. Serta merta Iwon menyambutnya dengan seruan, "Oh,
ini dia!" Tress melotot. "Kenalkan, Tress. Ini Ipung. Cewek yang dua ini... hm... siapa nama kalian tadi?"
"Tini." "Winda."
Tress bersalaman dengan tiga orang anak tadi. Iwon tampak sombong sekali. Ia bangga, seperti
merasa menang dari Tress.
"Ipung ini pernah bikin pasfoto di studio Bang Ifar. Aku yang memotret dan mencetak hasilnya.
Dia curang. Dia minta lebih banyak daripada jumlah yang dipesannya. Tapi kukasih saja. Kami
lalu berkawan. Dia mau diwawancarai, Tress. Tuh, dua orang temannya yang baru kukenal, juga
mau. Siapa tadi namanya" Winda dan... "
"Tini," anak yang bernama Tini menyahut. "Pakai dipotret juga, ya" Cepetan, dong!"
Tahulah Tress apa maksud Iwon. Ternyata Iwon membantunya mewawancarai pengunjung
pameran buku. Tress menyiapkan buku catatan dan bolpoin. Lalu mulai mewawancarai tiga
orang kenalan baru itu. Dengan cara begini, wawancara bisa berjalan lancar. Tidak brengsek
seperti di stand tadi. Tapi tugas Tress tidak hanya mewawancarai pengunjung anak-anak. Pengunjung dewasa juga
harus diwawancarai. Ia menatap Iwon, seperti meminta tolong.
"Jangan ngambek lagi, ya" Kalau ngambek, otak kamu jadi bebal!" kata Iwon mengejek.
"Kapan sih terbitnya, Kak?" tanya Winda pada Tress. Ia cepat menjadi akrab dengan wartawan
cilik yang baru saja mewawancarainya itu.
"Besok." "Lho! Kok cepat sekali?" tanya Tini.
"Iya, dong! Kami biasa bekerja secepat kilat, kok," sahut Tress bangga.
"Tini ke sini sama oomnya," sela Iwon. "Oomnya ke sini sama istrinya. Mereka kan bisa kita
wawancarai, Tress" Tante dan oomnya Tini kan orang dewasa?"
"Oke! Mereka di mana"'
"Kita tunggu saja di sini. Nanti ke sini, kok," kata Tini.
"Ingin mewawancarai anak remaja juga kan, Tress?" tanya Iwon.
"Iya, dong!" "Ikut aku!"
Iwon pergi. Tress bilang pada ketiga teman barunya untuk menunggu saja di situ. Ia mengikuti
Iwon. Lumayan juga bekas gembala kerbau itu. Otaknya encer. Banyak akalnya, padahal
kelihatannya dia dungu-dungu saja. Ia mencari-cari ke setiap stand penerbit yang ada. LaIu dia
tampak gembira dan menunjuk seseorang.
"Dia juga langganan Bang Ifar!" serunya. "Ayo, kita kebut! Nanti balik lagi untuk mewawancarai
oom dan tantenya Tini!"
Dengan begitu, tugas pun berjalan lancar sekali.
2. Bintang Pameran Buku PUKUL setengah sembilan, semua tugas selesai. Tinggal mencari Fia. Sungguh gila, di manamana dia tidak ada. Tress cemberut lagi. Iwon tetap riang dan tertawa-tawa saja.
"Apa mungkin dia diculik?" tanya Iwon, bermaksud bergurau.
"Siapa yang mau menculiknya?"
"Penjahat, dong. Masa papa kamu?"
"Untuk apa menculiknya?"
"Minta tebusan!"
"Dia kan... eh... aku tidak menghina, kalau ada yang mau menculik, kan mestinya menculik aku.
Bukan Fia." Mereka mencari lagi. Kini menyusuri lobby. Di ujung sana ada stand penerbit PT Tantipala.
Stand ini paling ramai. Memang PT Tantipala terkenal sebagai penerbit yang menerbitkan bukubuku bacaan terbaik. Para orang tua percaya, buku bacaan anak-anak terbitan penerbit ini
dijamin bermutu. Anak-anak juga bagaikan tergila-gila pada buku terbitan PT Tantipala.
"Dari semua stand yang ada, kayaknya stand PT Tantipala yang paling menyedot pengunjung.
Siapa tahu Fia di sana?" gumam Iwon.
"Anak brengsek!" Tress menggerutu. "Maunya bikin keki orang melulu!"
Iwon diam saja. Ia berdiri di depan pintu stand PT Tantipala. Pintu itu ditutup. Dijaga oleh
seorang lelaki berperawakan kekar dengan kepala berambut pendek ikal. Perutnya bundar,
agak gendut. Wajahnya seram, meskipun dia tidak punya kumis dan janggut. Orang itu lebih
cocok ditemui di pelataran parkir daripada di depan stand dalam pameran buku.
"Kok ditutup, Pak?" tanya Iwon.
"Tutup dulu lima menit! Nanti kalau yang di dalam sudah keluar, buka lagi semenit," jawab
orang itu dengan ketus. Kalau berbicara, kedua sudut bibirnya tertarik agak ke bawah. Berkesan
sinis. Huh, hantu sawah di kampung Iwon lebih tampak ramah daripada orang ini.
Tress gelisah menunggu. Orang-orang di dalam stand itu mulai keluar membawa buku
belanjaan mereka dari pintu samping. Lalu pintu depan itu dibuka. Iwon menyeret tangan Tress
untuk masuk secepatnya. Orang berduyun dan berhimpitan bagai pengungsi bencana gunung
meletus saja. Stand ini tampak sempit karena banyaknya buku yang dipamerkan. Juga karena banyaknya
pengunjung. Di pusat ruangan stand ada sebuah meja kecil yang dikerumuni anak-anak. Di situ
ada pengarang yang menandatangani bukunya. Setiap pembeli buku novel Ibu Tak Pernah
Menangis karya pengarang itu, boleh minta tanda-tangan di halaman buku itu kepada
pengarangnya. Tress melongokkan kepalanya untuk melihat pengarang yang kelihatan sibuk sekali itu.
Gaunnya merah. Rambutnya disanggul dan ditusuk konde tulang...
"Fiaaaa!" Tress menjerit tanpa sadar.
Fia kaget. Ia mengangkat wajahnya.
"Halo, Tress" Mau minta tanda tangan" Beli bukunya, dong!" serunya gembira.
Para penggemar Fia yang mengerumuni meja pengarang cilik itu mengerutu. Mereka merasa
tersisih. "Cepatan dong, tanda tangannya!" seru seorang penggemar.
"Baik, baik," Fia berkata dengan ramah.
"Sebentar, ya?"
Fia menulis pesan di halaman sebuah bukunya, lalu menandatanganinya. Ia memberikan buku
itu kepada pembelinya seraya berkata, "Terima kasih. Kalau novel saya yang baru sudah terbit,
beli juga, ya?" "Kalau bagus, sih beli" Kalau enggak, ya enggak!" kata penggemar itu, seorang anak laki-laki
sebaya Iwon. "Sialan! Kau sengaja bikin kejutan, ya?" seru Tress.
Lampu kilat tustel Iwon menyala.
"Tuh! Iwon mulai main tustel! Tapi aku lagi apa, sih" Jangan-jangan hasilnya jelek, tuh! Tadi aku
berkedip!" seru Fia.
"Kau nggak ngasih tahu akan bikin acara begini, sih?" Tress menyesali.
"Tadi kau di mana" Kan dari tadi sudah diumumkan lewat pengeras suara" Semua orang di Balai
Sidang ini juga dengar. Kau budek, barangkali?" jawab Fia seraya terus sibuk menuliskan pesan
dan tanda tangannya. "Aku kok nggak dengar, ya" Tadi aku sibuk, sih!"
"Sibuk ngambek, ya" Makanya, jangan suka ngambek! Kupingmu kan jadi budek!"
"E, cepat, dong! Kan keburu mau pulang, nih!" seorang penggemar perempuan berseru.
"Ya, ya, sabar, ya?" sahut Fia.
"Kemarin saya sudah beli bukunya. Tapi situ nggak ada. Boleh minta tanda tangan, nggak?"
tanya penggemar laki-laki yang berdiri di belakang seraya menjengukkan kepalanya.
Lampu kilat tustel Iwon menyala lagi.
"Boleh, boleh Di mana" Bawa buku, tidak?" sahut Tress.
"Wah! Tidak!" jawab anak itu. Ia mengangsurkan telapak tangannya. "Di sini saja, deh!"
"Oke!" Fia mencoretkan tanda tangan di telapak tangan penggemarnya itu. Si penggemar geli. Tapi dia
puas telah memperoleh tanda tangan pengarang yang dikaguminya. Perbuatannya ditiru oleh
anak lainnya. Bahkan ada yang meminta tanda tangan di pipi. Ada juga yang di punggung
bajunya. Fia menandatangani baju penggemarnya dengan spidol merah milik penjaga stand itu.
Tak disangka, Si Gaun Merah yang sederhana itu telah menjadi bintang dalam pameran buku
ini. Dan Si Gaun Merah tampak biasa-biasa saja, tidak kelihatan dia bangga dan lupa diri.
Sayang sekali, pada adegan yang bagus itu Iwon tidak memotret. Tress sadar, ia tidak boleh
terlalu banyak bicara dengan Fia. Penggemar Fia bisa marah kalau ia banyak bicara. Fia seperti
bukan milik trionya lagi. Fia telah menjadi milik penggemarnya. Lihatlah! Semakin banyak orang
berdatangan. Bahkan 'orang', bukan anak-anak lagi. Orang, artinya orang dewasa seperti oom
dan tantenya Tini yang tadi diwawancarai Tress.
"Won! Kenapa tidak memotret lagi?" tanya Tress seraya mencolek lengan Iwon.
Iwon tak menjawab. Matanya menatap wajah seorang pemuda yang berdiri di belakang kasir.
Kasir itu seorang wanita muda yang cantik. Dia sibuk sekali melayani pembayaran buku-buku
yang dijual. Dia tampak tak acuh pada pemuda yang berdiri di belakangnya. Semuanya tak acuh,
kecuali Iwon. "Siapa?" bisik Tress seraya menatap pemuda itu pula.
"Pencuri buku. Dia ditangkap oleh bapak yang galak tadi dan disuruh berdiri di situ."
"Kau tahu dari mana?"
"Tanya sama Mbak Kasir itu!"
Tress menatap pencuri buku yang berdiri seraya menunduk itu. Sejak kapan dia ditangkap"
Kelihatannya dia letih sekali. Juga sangat malu. Tampak wajahnya memilukan sekali. Masih
begitu muda. Umurnya paling banyak sekitar tujuh belas tahunan. Tampaknya dia bukan
penjahat. Mungkin dia terpaksa mencuri karena ingin memiliki buku tapi tidak punya uang.
"Buku apa yang dicurinya?" tanya Tress.
"Novel Fia. Mungkin dia penggemar Fia juga."
"Berapa buah?" "Satu."
"Berarti dia bukan penjahat. Won, temani aku keluar."
"Mau apa?" "Ketemu bapak yang galak tadi. Kau tahu siapa namanya?"
"Kata Mbak Kasir itu, namanya Pak Akil." "Kita ke sana sekarang!"
Untuk apa, Iwon tidak tahu. Tapi ia ikut juga. Harus lewat pintu samping. Dan bapak yang galak
itu sedang bertolak pinggang. Pintu masuk tampak tertutup lagi.
"Saya temannya Fia, Pak," kata Tress pada Pak Akil, bapak galak itu. "Saya ingin bicara dengan
Bapak." "Kamu siapa?" tanya Pak Akil. Bicara dengan anak kecil saja dia bertolak pinggang. Mungkin dia
tidak bisa bersikap santai" Atau ketiaknya sedang bisulan!
"Saya temannya Fia."
"Nama kamu"' "Tress Ragapadmi."
"Mau apa?" Iwon keki juga. Dia melangkah maju dan memperkenalkan Tress sejelas-jelasnya, "Tress ini putri
Pak Didat Haryosebrang. Bapak kenal
Pak Didat, kan?" "Didat" Hm... boss-nya Gegap, ya?"
"Ya! Pasti Pak Akil kenal Pak Didat"
Sialan! Tadi dia sudah berwajah ramah begitu Iwon memperkenalkan Tress. Tapi sekarang
wajahnya seperti hantu sawah lagi.
"Kamu mau apa?" tanyanya. Suaranya bikin perut enek. Bernada congkak, meremehkan lawan
bicaranya. "Saya ingin Pak Akil membebaskan pencuri buku itu. Maksud saya... saya akan mengganti harga
buku yang dicurinya," kata Tress. Tak kurang sopan. Tak kurang hormat pula pada hantu sawah
bernyawa itu. "Hm!" terdengar suara dengus Pak Akil. Hidungnya yang berlubang lebar itu tampak
mengembang. "Kamu kira enak saja mele-paskan pencuri itu" Kami sudah sering kali kehilangan
buku. Pencuri itu harus diberi pelajaran yang pahit!"
"Apa tidak bisa damai, Pak?" Tress mendesak setengah memohon.
"Memang kamu adiknya?"
"Ya bukan. Saya hanya merasa kasihan saja, Pak. Kalau Bapak mau damai..."
"Kamu jangan menggurui saya deh! Pergi sana!" Pak Akil menghardik.
Sungguh mati, Iwon ingin menggampar hantu sawah itu. Tapi keinginannya hanya kandas di
hati belaka. Iwon setuju pada tindakan Tress. Tapi dia juga menyesalkan mengapa Tress begitu mudah jatuh
hati pada pencuri buku itu. Hanya karena wajahnya yang tampak memelas" Ataukah hanya
karena pemuda itu penggemar Fia" Tress memang mudah iba. Tapi perasaan iba saja tidak
cukup untuk menolong anak muda itu. Sebab Pak Akil marah karena merasa digurui oleh Tress.
Jadinya Iwon mengajak Tress pergi saja.
"Kita masuk lagi, ya?" kata Tress.
"Tadi kan sudah masuk?" potong Pak Akil. "Jangan masuk lagi! Bikin padat saja! Kamu kan tidak
akan beli buku?" Tress mendengus putus asa. Iwon menyentak dengan garang, "Kalau dia mau, dia bisa
memborong semua buku yang Bapak pamerkan dalam stand itu, Pak. Jangan menghina! Kami
tidak beli karena semua buku yang Bapak pamerkan sudah kami punyai!"
"E, anak kecil besar mulut, kamu!"
Pak Akil akan menampar, barangkali. Tapi Iwon sudah ngacir seraya menyeret tangan Tress.
Mereka pergi jauh-jauh. Berhenti di kantin. Lalu memesan minuman dalam botol dan makanan
kecil. "Kita tunggu Fia di sini saja," kata Tress. "Anak senewen! Bikin kejutan nggak kira-kira!"
"Aku sendiri juga heran. Dia nggak pernah ngomong sudah bisa bikin novel. Kaya tukang sihir
saja, ya?" Tress merenung sesaat. Disedotnya minumannya dengan pipa plastik. Lalu berkata dengan
suara perlahan, "Aku terharu melihat roknya... "
"Ah, dari tadi kau mempersoalkan itu saja. Nggak habis-habis, dong!"
"Kau tidak melihatnya tadi. Won, apa kaulihat lambung kanan Fia" Rok itu sobek di arah
lambung kanannya!" "Ah, masa" Tadi kan tidak?"
"Tapi aku benar-benar melihatnya!"
Iwon diam. Ia akan diam seterusnya, tapi tak bisa. Sebab dari arah stand PT Tantipala terdengar
suara gemuruh dan jeritan-jeritan. Iwon melompat.
"Fia!" jeritnya. Ia hanya mengkhawatirkan nasib Fia. Sebab salah satu sisi dinding triplek stand
itu ambruk! Tress buru-buru membayar minuman dan makanan kecil yang belum sempat dinikmatinya. Lalu
lari terbirit-birit menyusul Iwon. Mereka tiba di pintu masuk yang tetap tertutup. Pak Akil masih
berjaga di situ. Ia sedang mendorong-dorong anak-anak yang berusaha membuka pintu.
"Ada apa, Pak?" tanya Iwon setengah berteriak.
"Tidak ada apa-apa!" seru Pak Akil dengan nada galak.
"Saya dengar Fia menjerit!"
"Semua orang di situ menjerit!"
"Dindingnya ambruk, Pak!"
"Saya tahu. Sudah! Jangan ribut! Minggir! Ayo, minggir! Jangan sampai saya marah, nih!"
Iwon menoleh ke arah Tress.
"Kalau kau suruh aku menerobos pintu ini, akan kulakukan!" kata Iwon tegas. "Aku tidak peduli
ada raja jin yang menjaga pintu itu!"
"Jangan! Kita panggil saja Fia!"
Tress berteriak memanggil-manggil nama Fia. Berulang kali ia melakukannya. Hatinya menjadi
cemas karena Fia tidak menyahut. Suara gaduh masih terdengar dari dalam stand itu. Tapi
orang-orang mulai keluar dan pintu samping. Mereka digiring dengan paksa oleh petugas
penjaga stand. Di antara gerombol orang, tampak Fia digandeng oleh seseorang. Dua orang
lainnya mengiring di belakang dan di sebelah kiri Fia.
"Itu dia pengarangnya!" seru seorang anak laki-laki seraya menyongsong Fia.
Pak Akil mencegah anak itu dengan menangkap tangannya. "Sudah! Sudah! Besok ke sini lagi!"
seru Pak Akil seraya menarik tangan anak itu.
Tress berlari mencegat langkah Fia.
"Kau kenapa, Fia" Kenapa?" tanyanya dengan gugup sekali.
Fia tersenyum. Seperti tidak menderita apa pun juga.
"Kau kenapa" Ngomong, dong" jerit Tress.
"Aku tidak apa-apa?" seru Fia.
Tapi tangan Fia mendekap lambung kanannya. Tress jadi curiga. Ia menarik tangan itu. Akan
dilihatnya apa ada luka menganga di lambung sahabatnya itu. Begitu Tress mendekat, pengawal
Fia mendorongnya tanpa ampun. Tress terpelanting. Untunglah Iwon menangkapnya.
"Kita ikuti saja. Fia aman dengan tiga orang pengawalnya!" bisik Iwon.
Mereka mengikuti Fia dari arah belakang. Anak-anak berduyun bagaikan mengiringi ronggeng
monyet masuk kampung. Makin banyak jumlahnya. Makin riuh suaranya.
Iring-iringan Fia tiba di pintu keluar gedung itu. Pada saat itulah Iwon mengagumi Pak Tohar
sedalam-dalamnya. Pak Tohar seperti punya indra ke-enam saja. Ia bagaikan tahu apa yang
terjadi sebelum orang mengatakan kepadanya. Begitu rombongan Fia muncul di pintu keluar,
serta-merta Pak Tohar meluncurkan mobilnya ke depan pintu itu. Mobil berhenti, pintupintunya terbuka dengan cepat. Fia bagaikan putri raja belaka. Serombongan orang
mengiringnya, dan ia masuk ke tempat duduk belakang dengan pengawalan tetap ketat. Tress
hanya seperti dayang saja. Sampai seorang pengawal Fia mendorongnya ketika Tress akan
memasuki mobil itu. "Minggir!" bentak pengawal itu. Rupanya dia polisi. Nyata dari sikap dan rambutnya yang
pendek. Ada popor pistol yang tampak menggelembung di balik bajunya, di arah pinggang
sebelah kanan. "Dia yang punya mobil, Pak!" seru Iwon kepada pengawal itu.
"Oh, ya" Oke! Silakan, Dik!" sahut pengawal itu agak malu.
"Dia juga!" kata Tress seraya menuding Iwon.
Dengan begitu, Iwon boleh memasuki mobil Tress, di samping kiri Pak Tohar.


Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fia melambaikan tangannya kepada para pengawalnya.
"Terima kasih, Pak!" serunya.
Pengawalnya mengangkat tangan. Setengah berdadah, setengah menghormat. Fia terus
melambai-lambaikan tangannya. Bagai putri kerajaan menyalami rakyat yang mengeluelukannya. Rakyat itu pun menyambut lambaian tangan Fia. Bukan main, ini sungguh terjadi,
dan ini sungguh bagai dalam khayalan belaka.
Mobil berjalan menyentak. Segera meluncur cepat di pelataran parkir, menuju ke pintu keluar.
"Lambungmu kenapa, Fia?" tanya Tress.
"Nggak apa-apa, kok. Saku rokku sobek. Kan malu kalau kulit perutku kelihatan! Makanya
kudekap pakai tangan."
"Tadi aku sudah melihat sobekan rokmu. Tapi kusangka kau terluka."
"Bisanya sobek kenapa?" tanya Iwon.
"Tadi aku ditarik-tarik penggemarku. Ada yang jail juga. Mungkin dia pencopet, mungkin juga
penggemar yang ingin memiliki benda-benda kenangan dariku. Pokoknya uangku hilang!"
"Berapa?" tanya Tress segera. "Nggak banyak. Tapi kan gedeg juga!" "Berapa?" desak Tress.
"Dua ratus perak, sih! Mestinya kan besok
bisa buat ongkos Yadi ke sekolah... " "Biar aku ganti, Fia."
"Percaya, Tress! Kuminta dua ribu juga kau mau ngasih, kan" Tapi aku belum pernah jadi
peminta-minta, lho!"
"Miskin-miskin masih sombong juga, Tress!" seru Iwon.
Mobil terus meluncur. Pak Tohar memang sopir mahir yang bisa dipercaya.
"Ceritanya bagaimana kok bisa begini, Non"' tanya sopir setengah baya itu. Ia menekan ujung
peci hitamnya seraya melanjutkan, "Tadi Pak Tohar dengar pengumuman Non Fia mau kasih
tanda tangan sama penggemarnya. Wah! Saya juga ingin minta tanda tangan, lho!"
"Jadi Pak Tohar mengikuti kegiatan saya di dalam tadi, ya?" tanya Fia. "Pantas begitu saya
muncul, Pak Tohar sudah siap menjemput!"
"Tadi kan ada pengumuman Non Fia akan pulang juga. Hebat, ya" Non Fia bisa bikin gempar
begitu! Dari kapan Non Fia punya ilmu begitu, sih Non?"
"Semua ini hasil kerja Pak Akil, kok. Dia yang mengiklankan novel pertama saya hingga jadi
ngetop. Eh," Fia menoleh ke arah Tress dan melanjutkan, "apa kalian jadi buta huruf, ya" Kok
nggak pernah lihat iklanku di koran-koran dan majalah" Kalian jadi kayak orang dungu. Nggak
pernah kasih selamat padaku. Padahal novelku sudah terbit sejak dua bulan yang lalu!"
"Ah, masa, Fia?" Tress melongo. "Ampun! Aku jadi bego, ya?"
"Nggak terlalu bego, kok. Sebenarnya aku juga nggak hebat. Mengarang cerita kan sudah
pekerjaanku" Apalagi aku tinggal menyusun kalimat dan menulisnya. Bahan ceritanya dari
Bapak. Ah, sebenarnya yang harus jadi pengarang Bapak, kok. Bukan aku. Sayang Bapak hanya
bekas bromocorah... "
Bila percakapan sudah sampai pada soal Pak Marfiatno, ayah Fia, maka Tress akan menjadi pilu.
Maka ia berusaha mengalihkan percakapan. Ia bertanya, "Kau nggak ingin ngasih bukumu, Fia"
Atau aku harus beli" Tapi kau mau menandatanganinya juga, kan?"
"Nggak lucu, dong! Memangnya kamu siapa, sih" Kamu kan bukan penggemarku!" sahut Fia.
Nada suaranya tetap riang.
"Aku punya gagasan!" sela Iwon.
"Bilang, dong!" kata Trees.
"Bikin saja artikel tentang Fia. Tadi aku sudah memotretnya ketika ia dikerumuni penggemarnya
sebelum dinding stand itu ambruk. Aku yakin hasil potretku bagus. Bikin saja untuk majalah
Karib. Pasti dimuat. Fia kan pengarang di majalah itu" Malah majalah Kariblah yang
mengorbitkannya!" "Salah!" bantah Fia. "Majalah Karib yang memberi kesempatan pertama untuk menulis cerpen.
PT Tantipala yang memberikan kesempatan pertama untuk menjadi penulis novel. Pak Akil yang
mengiklankan dan mengatur acara temu penggemar di pameran buku. Begitu tepatnya!"
"Kau begitu mengagumi Pak Akil, ya?" sela Tress. "Aku sih nggak suka tampangnya yang
sangar!" "Kau kan belum kenal dia. Kalau cuma lihat tampang, apa Pak Tohar ini nggak mirip... eh, sori,
ya Pak" Mirip copet yang digebukin orang di terminal Pulo Gadung!"
Pak Tohar tertawa saja. Dikatai apa pun, ia tidak pernah marah. Sebab ia adalah sahabat Trio
Tifa yang paling setia. Mobil terus meluncur ke arah timur. Memasuki kawasan industri Pulo Gadung. Di situlah kantor
redaksi Gegap. Di situ pula percetakannya. Papa akan berada di kantor sampai jam setengah
dua belas malam nanti. Malam Minggu bagi papa Tress, adalah hari kerja. Ia menyiapkan
penerbitan koran hari Minggu. Gegap adalah koran yang terbit tujuh kali dalam seminggu.
Berbeda dengan terbitan hari biasa, maka terbitan hari Minggu agak istimewa. Memuat beritaberita yang lebih mendalam dan lengkap. Memuat pula artikel-artikel tentang kegiatan remaja,
anak-anak, dan kelompok masyarakat lainnya. Tulisan tentang pameran buku yang berisi hasil
wawancara Tress dengan para pengunjung itu akan dimuat untuk terbitan hari Minggu. Papa
menunggu Tress paling lambat sampai pukul sepuluh malam.
Hanya tiga menit Tress terlambat. Papa sudah menyambut di depan pintu ruang kerjanya yang
terpisah dari ruang kerja anggota redaksi.
"Selamat malam, Anak Papa!" sambut Papa dengan wajah cerah. "Kau mulai bisa menepati
janji, ya" Tiga menit terlambat, mungkin bukan kesalahanmu. Jalan macet, hm?"
"Soal jalan macet, jangan tanya Tress, dong! Tuh, Pak Tohar yang tanggung jawab!" sahut Tress.
"Pa! Hasil wawancaranya sih hebat. Tapi
Tress nggak bisa nulis kalau terburu-buru. Papa saja yang nulis, ya?"
"Kau tidak akan pernah bisa kalau tidak belajar. Tulis sendiri hasil wawancaramu."
"Nanti jelek!" "Lebih baik jelek daripada tidak menulis!" Papa memandangi Iwon. "Bagaimana" Bisa dicetak
sekarang hasil potretanmu, Won?"
"Bisa, Oom! Saya bisa memotong film di kamar gelap!" sahut Iwon bangga karena ia ikut disapa
dan berkesan bahwa Oom Didat juga memerlukannya.
"Baik! Pergi ke kamar gelap sana. Tahu tempatnya, kan" Jumpai petugas kamar gelap dan
mulailah bekerja. Oom ingin tahu apa kau tidak hanya besar omong saja!"
Iwon merasa ditantang. Tapi dia tidak hanya besar omong saja. Urusan kamar gelap merupakan
pekerjaan sehari-harinya di studio foto 'Della'. Kamar gelap adalah kamar yang benar-benar
gelap untuk melakukan pencucian film dan pencetakan foto. Iwon menggunakan film hitam
putih. Ia tidak menghabiskan satu rol, sehingga film itu harus dipotong. Sisanya bisa dibiarkan
saja di dalam tustel. Sedangkan film yang sudah digunakan, bisa langsung dicuci dan dicetak
menjadi foto. Ia segera menuju ke kamar gelap.
Tress merasa banyak yang harus ditulis. Tapi ia tidak bisa menulis dengan terburu-buru begitu.
Ia memerlukan waktu yang lama. Maka tulisannya pun jelek sekali. Papa membacanya. Agaknya
Papa tidak puas. "Jangan marah, ya" Tulisan ini harus Papa buat lagi. Kau hanya menuliskan hasil wawancaramu
saja. Tidak kau susun dengan baik. Seolah-olah merupakan isi catatan harianmu saja," kata
Papa. Tress cemberut seperti biasanya. Tapi ia mengakui, hasil tulisannya memang buruk sekali.
"Honornya tidak dipotong," kata Papa, mencoba mengambil hati Tress. "Jangan marah dulu,
dong! Tress tetap menerima honor utuh seperti kalau Tress menulis tanpa bantuan Papa."
Tress tidak melihat Fia di ruangan itu. Pikirnya, Fia pasti sedang melihat-lihat percetakan. Fia
sering menaruh perhatian pada hal-hal yang belum dipahaminya. Di percetakan ini dia biasa
keluyuran ke mana-mana. Hanya keruang diesel yang tidak pernah dilakukannya. Gemuruh
suara diesel selalu mengingatkannya pada gempa bumi. Ia takut karenanya.
Ternyata potret hasil jepretan Iwon sangat bagus. Oom Didat puas sekali melihatnya. Ia tertarik
pada foto Fia di tengah kerumunan penggemarnya. Oom Didat seperti tidak percaya pada
penglihatannya sendiri. Ia mengerutkan dahinya seraya memandangi foto itu.
"Kenapa tidak kautulis tentang dia?" gumam Oom Didat.
"Untuk terbitan kapan, Pa?" sambut Tress.
"Minggu depan. Bisa kausiapkan tulisannya, kan?"
"Bisa, Pa. Honornya beres?" "Selalu beres."
"Fia mendapat honor juga, kan, Pa" Menurut peraturan di perusahaan Papa, orang yang
diwawancarai khusus seperti Fia berhak mendapatkan imbalan."
"Betul!" Tress gembira mendengarnya. Ia berlari ke luar untuk mencari Fia. Ternyata Fia tergolek di
bangku panjang berlapiskan jok empuk. Dia terlelap nyenyak sekali. Tress memandanginya.
Gadis menjelang remaja itu, yang gaun merahnya sobek di bagian lambung kanannya, betapa
sederhana sikapnya. Padahal di sebuah gedung megah di Senayan sana, dia telah
menggemparkan begitu banyak orang. Fia, nanti pun kau akan kembali ke sebuah rumah
rombeng berbau kotoran burung merpati...
3. Surat dari Bapak MALAM sudah selarut ini, Fia belum tidur juga. Ia duduk di kursi kayu bersandaran sepunggung
tingginya. Meja tulis kecil yang terletak di sudut kamar itu dihadapinya. Tapi dia tidak mengetik
sejak tadi. Hanya memandangi mesin tulis itu saja. Mesin tulis itulah satu-satunya benda paling
bagus di rumah ini. Dulu dibeli dengan uang honor Tress di koran Gegap yang dimuat secara
bersambung tentang penculikan seorang bintang film terkenal. Tulisan itu merupakan hasil
pengalaman Trio Tifa yang pertama kalinya.
Tadi Fia ingin menulis. Akan dibuatnya sebuah cerpen untuk majalah Karib. Tapi keinginan itu
musnah karena hatinya sedang sedih. Dipandanginya surat kabar yang terlipat di atas meja.
Surat kabar harian itu dibawa oleh Yadi. Di halaman pertama tertera berita tentang dua orang
tahanan polisi yang melarikan diri. Nama tahanan itu Mf dan Sn. Mf seorang bromocorah, kata
koran itu. Dan Fia tahu betul, seperti juga Yadi, bahwa Mf itu adalah Marfiatno, bapak tercinta!
"Bapak melarikan diri dari tahanan...," gumam Fia. "Tapi kenapa sampai saat ini polisi tidak
mencarinya ke rumah?"
Pertanyaan itu tak bisa dijawabnya sendiri. Mungkin Bapak tertangkap lagi, tertembak, atau
bersembunyi di suatu tempat yang jauh. Bisa jadi Bapak memang tidak berniat menjenguk
anak-anaknya dalam pelarian itu.
Polisi sedang mengejarnya...
Di ambang pintu kamar, tampak wajah Ibu. Sebagian tubuhnya tertutup oleh tirai pintu kamar
itu. "Sudah, jangan terlalu kaupikirkan nasib bapakmu," gumam Ibu dengan suara sendu. "Dia lebih
tahu untuk berbuat sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri... "
"Baik bagi dirinya sendiri?" Fia mengulang. "Jadi Bapak lari dari tahanan karena ia menganggap
tindakan itu baik bagi dirinya sendiri?"
"Mungkin begitu."
"Mungkin juga Bapak lari karena terpaksa. Bapak tidak tahan siksaan atau tindakan kejam
sesama tahanan. Bapak sering menceritakan bagaimana pahitnya hidup dalam tahanan dan
penjara... " "Sekali ini berilah kepercayaan kepada Bapak. Dia telah benar-benar insyaf. Apa yang
dilakukannya, harus kita percaya sebagai tindakan yang baik. Kita tidak tahu apa maksud Bapak,
tapi kita harus yakin, Bapak tidak jahat lagi. Fia, kalau kita sendiri tidak bisa memberi
kepercayaan kepadanya, bagaimana orang lain bisa?"
"Fia percaya Bapak telah insyaf, Bu. Tapi penangkapan itu... " Fia menunduk. "Bahkan polisi pun
tidak mempercayai Bapak lagi."
Ibu mendesah. Kini tirai pintu itu disingkap-kannya hingga seluruh tubuhnya tampak. Ibu belum
begitu tua. Tapi dia telah tampak renta karena sepanjang hidupnya bersama Bapak, hanya
penderitaan yang dialaminya. Ibu wanita yang tabah dan setia. Belum pernah Fia mendengar
Ibu mengeluh karena penderitaan dan perbuatan Bapak. Ibu selalu mengajarkan agar anakanaknya menaruh rasa hormat pada ayah mereka. Tak peduli Bapak seorang bromocorah atau
bukan. "Sekarang tidurlah. Besok kau harus berangkat sekolah, kan?" kata Ibu seraya berlalu.
Fia belum mengantuk juga. Yadi sudah terlelap di tempat tidur dengan kasur butut itu. Yadi
seperti anak-anak yang lain. Dia bisa tidur lelap meskipun hatinya pilu karena penderitaan
hidupnya. Fia memandangi wajah adiknya itu. Betapa ngilu terasa di hati. Ketika Fia seumur
dengan Yadi dulu, Bapak juga menjadi orang tahanan seperti sekarang ini. Dulu pun Bapak
sering kali melarikan diri.
Malam terus lewat. Jam setengah satu tiba. Kenangan manis pada malam Minggu yang lalu
terbayang di pelupuk mata Fia. Betapa indahnya bila Bapak dan Ibu hadir di Balai Sidang itu.
Seperti apa bahagia mereka bila menyaksikan anaknya menjadi pusat perhatian begitu banyak
orang di sana" Ada suara langkah yang terdengar sangat ringan di pintu depan. Fia bangkit serentak. Hampir
saja ia menjerit memanggil Bapak. Tapi diurungkannya niat itu. Bila Bapak seorang pelarian, tak
boleh berseru-seru memanggilnya. Orang akan berdatangan. Hansip dan penduduk akan
menangkap Bapak. Mungkin ada yang memukulnya. Dan bila seseorang telah memulai
memukul, maka lainnya akan ikut-ikutan, meskipun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Entahlah, di tengah masyarakat kota besar begini, hal yang buruk seperti itu sering kali
terjadi. Orang menjadi latah, selalu menirukan perbuatan orang lain tanpa memikirkan sebab
dan akibatnya. Seolah dengan meniru, orang telah berlaku benar.
Suara langkah itu menjauh seperti bergegas. Fia berlari ke pintu depan. Ia tertegun melihat
secarik kertas tergeletak di lantai tanah. Seperti disodorkan dari luar melalui bawah daun pintu.
Fia memungutnya. Ia merasa tidak perlu menjenguk ke luar. Sebab dia yakin Bapak pasti telah
jauh. Hanya suratnya yang ditinggalkannya.
Dengan perasaan gugup Fia memasuki kamarnya kembali. Lampu minyak di dinding tidak cukup
terang. Tapi Fia bisa melihat jelas tulisan Bapak. Begitu rapinya. Kertasnya pun cukup bagus.
Tandanya Bapak menulis surat itu tidak dengan terburu-buru. Hal ini agak melegakan hati Fia.
Fia, Jangan sedih, Bapak tidak apa-apa. Jangan dengarkan apa kata tetangga tentang Bapak.
Yakinlah, Bapak tetap menyayangi kalian. Bapak akan pulang kalau pekerjaan ini telah selesai.
Doa Bapak untuk kalian semua. Ingat tulisanmu dalam novel Ibu Tak Pernah Menangis" Di situ
kautulis: Orang tua sering melakukan sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak-anaknya. Ingat,
kan" Kadang kala kau juga tidak mengerti akan sesuatu yang dilakukan oleh orang tuamu. Fia,
menulislah terus. Kelak dunia akan tahu, di rumah buruk ini telah lahir seorang pengarang yang
menjadi milik bangsanya. Sebelum Bapak menulis surat ini, Bapak telah berdebat dengan rekan Bapak tentang novelmu.
Dia tidak percaya bahwa novel itu benar-benar hasiI tulisanmu. Kelak Bapak ingin
memperkenalkanmu padanya. Ia berjanji akan memberimu bahan cerita bila benar kau bisa
menulis novel. Bapak tak pernah melupakanmu,
(tanda tangan) Mf Fia melipat kertas itu. Betapa bagusnya bahasa Bapak dalam suratnya. Fia percaya, tidak banyak
orang yang bisa menulis surat sebagus itu untuk anaknya. Bapak memang berbakat. Kemudian,
diam-diam Fia merasa malu. Kalimat 'Orang tua sering melakukan sesuatu yang tidak
dimengerti oleh anak-anaknya' sebenarnya adalah ucapan Bapak. Kalimat itu sering diucapkan
Bapak untuk menasihati Fia. Begitu seringnya, sehingga Fia hapal sekali pada kalimat itu. Tanpa
sengaja, ia menuliskannya pada novel pertamanya.
Rasa tenteram mulai singgah di batin Fia. Ia memasang kertas pada mesin tulisnya. Akan
ditulisnya sebuah cerpen tentang seorang anak yang menyaksikan ayahnya menjadi perampok.
Judulnya entah apa. Sekali ini Fia menulis cerpen tanpa membuat judulnya lebih dahulu.
4. Penjual Karcis DUA kali Tress ke rumah Fia. Tapi Fia selalu tidak di rumah. Kata ibunya, Fia selalu pergi setiap
kali pulang sekolah. Ke mana, ibunya tidak tahu.
"Anak dan bapaknya sama saja!" gerutu Tress. "Sama-sama misterius!"
Iwon tertawa saja mendengar gerutu itu. Fia memang sering sulit dimengerti. Seperti juga
ayahnya. Ketika tidak dicari, tahu-tahu Fia muncul di rumah Tress di Rawamangun.
Fia seperti biasanya, mengenakan rok yang sangat sederhana. Sanggul rambutnya juga seperti
biasanya. Tusuk kondenya, hidungnya, bibirnya, tak ada yang tidak seperti biasanya. Tapi tasnya
tampak bagus, meskipun dari kelas murahan. Ia membuka tas itu. Lalu mengambil isinya dan
meletakkannya di meja tamu.
"Nah, kau boleh pilih, mau nonton kelas berapa," katanya tanpa permulaan apa-apa.
"Kau apa-apaan, sih?" tanya Tress dongkol.
Fia mengeluarkan lipatan kertas lebar dan tasnya pula. Ia membuka lipatan kertas itu.
"Baca deh! Kau ketinggalan zaman kalau tidak tahu ada pertunjukan besar ini!" serunya.
Kertas itu ternyata sebuah poster pertunjukan artis-artis ibu kota di Balai Sidang. Nama
pertunjukan itu 'Malam Senandung Sejuta Bintang'. Hampir semua penyanyi ibu kota tampil
dalam pertunjukan besar itu.
"Ooo... ceritanya kau ini jualan karcis, ya?" seru Tress.
"Iya, dong! Kelas istimewa lima belas ribu rupiah. Kelas satu sepuluh ribu, kelas dua lima ribu.
Mau kelas kambing, boleh juga. Hanya tiga ribu!"
"Pertunjukannya kapan?"
"Baca sendiri, dong! Tuh! Seminggu setelah pameran buku berakhir. Malam ini kan penutupan
pameran buku." "Kau kok nggak ke sana lagi?"
"Nggak boleh sama Pak Akil. Habis keselamatanku bisa terancam karena diserbu penggemar.
Kemarin dulu saja Pak Akil dikritik oleh polisi karena tidak mengadakan pengamanan untuk
menjaga keselamatanku. Pertunjukan ini panitianya juga Pak Akil, kok. Selain sebagai pegawai
PT Tantipala bagian promosi, dia kan sering mengadakan pertunjukan begini. Tapi ini tidak ada
hubungannya dengan PT Tantipala. Ini usaha Pak Akil pribadi."
"Usaha Pak Akil atau bukan, aku nggak mau beli karcisnya!"
"Bego! Di sana kau kan bisa wawancara dengan para artis" Bisa menulis tentang pertunjukan
itu!" "Iya, sih! Tapi bagaimana caranya mendapat karcis gratis?"
"Harus ikut menjual! Kalau kau bisa jual sepuluh karcis, kau dapat satu karcis kelas istimewa!
Masih dapat keuntungan pula sebesar sepuluh persen. Naksir, nggak tuh?"
"Naksir banget! Sini! Aku ikut jualan! Iwon juga pasti mau!"
"Tress! Apa-apaan itu?" seru Mama dari dalam rumah. Mama telah mendengar percakapan
Tress dengan Fia. "Nggak apa-apa, Ma. Papa kan nggak marah kalau Tress ikut jualan karcis pertunjukan begini.
Halal, kok!" "Halal sih halal! Tapi kan bikin malu Papa saja!" Mama membentak, seperti biasanya.
"Belajar cari uang kok malu!" Tress menggerutu.
Trian, kakak perempuan Tress, biasanya berpihak pada Mama. Tapi sekali ini dia tidak. Ia
menghampiri adiknya dan berbisik, "Jangan ribut! Mbak Trian juga mau ikut jualan! Tapi diamdiam saja!"
"Apa itu bisik-bisik?" hardik Mama.
Tress pura-pura tertawa. "Mbak Trian ngeledek Mama!" serunya.
"Ngeledek apa" Hayo, bilang Mbak Trian ngomong apa!"
"Kata Mbak Trian, Mama tambah cakep kalau cemberut!"


Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bohong! Tadi Mbak Trian nggak bilang begitu!" bantah Mama.
"Nggak percaya, ya sudah. Masa begitu saja pakai sumpah, Ma?" sahut Tress.
"Payah deh, kalau Trian sudah ikut-ikutan Tress. Kalian makin sukar diatur! Awas kalau Papa
pulang, nanti!" Enakan kalau Papa di rumah, kata Tress dalam hati. Papa akan selalu memihak Tress. Selama
Tress melakukan perbuatan yang sehat, Papa selalu mendukungnya. Berjualan karcis
pertunjukan termasuk perbuatan yang sehat.
Mama berlalu sambil bersungut-sungut. Trian tertawa-tawa.
"Kasih sepuluh karcis kelas istimewa, sini!" bisik Trian pada Fia. "Tahu beres! Besok kau ke sini
untuk ambil duitnya!"
"Hebat! Cepat sekali jadi duitnya?" seru Fia kagum.
"Nggak sombong, ya. Aku kan murid sekolah top. Teman-temanku anak orang gedean
semuanya. Buang duit lima belas ribu bagi mereka sama juga buang ingus, tahu?"
"Iya, deh! Besok ambil lagi, ya?" tanya Fia.
"Beres! Sepuluh karcis untuk percobaan dulu. Kalau habis, aku ambil lagi."
Fia senang sekali. Meskipun kalau Trian yang menjual karcis itu Fia tidak memperoleh
keuntungan, dia tetap senang. Sebab dia sudah merasa membantu pekerjaan Pak Akil. Sekedar
balas jasa, sebab Pak Akil sangat baik kepadanya.
Kegembiraan itu sebenarnya tidak berumur lama. Sebab ketika meninggalkan rumah Tress, Fia
kembali ingat akan penderitaannya. Rindunya pada Bapak tak berkesudahan. Semalam Bapak
datang lagi. Ia memberikan uang banyak sekali. Lima puluh ribu rupiah bagi Fia sungguh sangat
banyaknya. Juga bagi ibunya. Tapi ibu tak mau menerima uang itu. Fia juga setuju dengan
tindakan ibunya. "Lebih baik Bapak tetap menjadi penganggur daripada bekerja seperti dulu lagi," kata ibu
semalam. "Ini uang halal, Bu. Kuperoleh dengan jerih payahku sendiri," kata Bapak setengah mengiba
agar Ibu mau menerima uang itu.
Tapi Ibu tetap menolak. Bapak mengantungi uang itu dengan hati yang pilu. Dia pergi lagi. Ke
mana, tak seorang pun tahu.
Sudah seminggu Pak Marfi melarikan diri dari tahanan. Ia sedang merenung di sebuah rumah
terpencil di kawasan Parung, Bogor. Pukul sebelas malam telah lewat. Malam kemarin ia
menjenguk anak dan istrinya di Rawasari. Ia memaklumi sikap anak dan istrinya yang menolak
uang pemberiannya. Dalam kemiskinan semacam itu anak dan istrinya menolak uang
pemberiannya. Tentunya karena mereka tak mau menerima uang hasil kejahatan.
Pak Marfi tersenyum diam-diam.
"Orang-orang yang tabah," gumamnya. "Aku pun setuju kalau mereka tak sudi menerima uang
haram... " Terdengar suara langkah mendekati pintu rumah. Pak Marfi menoleh. Daun pintu berderit
membuka. Masuk ke ruang depan rumah sempit itu, seorang pemuda bertubuh ramping. Santo
namanya. Dua minggu yang lalu dia ditangkap polisi karena dicurigai terlibat dalam sebuah
perampokan di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Ia memang salah seorang anggota komplotan
perampok itu. Ketika Pak Marfi ditangkap, Santo ditempatkan satu sel dengannya. Pak Marfi
mengaku sebagai bromocorah yang sudah berpuluh kali menjadi langganan penjara. Mengaku
pula telah berulang kali melarikan diri dari penjara maupun sel tahanan polisi. Santo ingin
melarikan diri. Pak Marfi bersedia membantunya, asalkan Santo mau mengajak Pak Marfi
bergabung dalam komplotan perampok itu. Santo menjamin bisa membawa Pak Marfi untuk
bergabung. Maka mereka pun melarikan diri. Sampai kini sudah seminggu lamanya mereka
dalam persembunyian sambil menunggu anggota komplotan menemui mereka.
"Belum datang juga, San?" tanya Pak Marfi pada pemuda ramping itu.
"Kukira sebentar lagi," kata Santo. "Mereka pasti sudah menyiapkan penjemputan untuk kita."
"Apa benar tempat pertemuannya di sini?" tanya Pak Marfi.
"Ya. Mungkin ada sedikit halangan makanya mereka belum menghubungi kita. Maklumlah,
polisi sekarang meningkatkan kewaspadaan mereka. Kita harus bergerak dengan serba hatihati."
Dari arah jalan beraspal agak jauh dari tempat itu, terdengar suara kendaraan berhenti. Lalu
suara langkah-langkah bergegas mendekati rumah itu. Santo tampak beringas. Pak Marfi
tenang-tenang saja. "Polisi!" desis Santo.
"Katamu polisi tidak tahu tempat persembunyian kita" Tentunya mereka bukan polisi!" katanya
dengan penuh keyakinan. Santo memandangi Pak Marfi. Diam-diam ia mengakui kelebihan penjahat kawakan itu.
Ketenangannya luar biasa, ketelitiannya pun patut dipuji. Santo sudah mengagumi Pak Marfi
sejak usaha pelarian itu dimulai. Pak Marfi bisa membuka gembok sel tahanan hanya dengan
sebatang kawat yang secara diam-diam diselundupkannya ke dalam sel. Kawat itu
ditemukannya di kamar mandi, bekas gantungan cermin.
Ternyata Pak Marfi benar. Orang yang datang itu adalah salah seorang anggota komplotan. Ia
tidak masuk ke rumah. Hanya berseru dengan kalimat sandi, "Anak kijang mau ke mana?"
Santo melonjak gembira mendengar kalimat sandi itu. Ia segera berseru menjawab, "Ke hutan!"
"Oke! Keluarlah!"
Santo beranjak ke luar. Pak Marfi masih duduk di kursi kayu di ruang depan rumah itu.
Terdengar suara bisik-bisik Santo dengan orang yang datang. Lalu tangan Santo melambai ke
arah Pak Marfi. Mereka bertiga menyusuri jalan sempit berbatu yang gelap sekali. Tiba di jalan beraspal,
mereka memasuki sebuah mobil Jeep CJ 7. Penjemput mereka bernama Kiwo, sedangkan
pengemudi mobil itu bernama Kaput. Keduanya bertubuh tegap dan berwajah ganteng. Kiwo
sedikit lebih kekar daripada Kaput.
Mobil melaju di jalan-jalan berliku. Kemudian lewat kebun karet. Lalu berhenti di tempat yang
sunyi. Hanya suara burung malam dan cengkerik yang terdengar dari alam terbuka itu. Suara
mobil terdengar begitu kerasnya.
"Kalian turun!" kata Kiwo kepada Santo dan Pak Marfi.
"Lho! Kok turun di sini?" tanya Santo.
"Turun!" Kiwo menghardik.
Pak Marfi turun lewat pintu belakang. Santo menyusul. Begitu kaki Santo menjejak aspal, Kiwo
menembak dengan pistol berpeluru dua belas. Tiga butir peluru menyambar tubuh
Santo. Terdengar suara mengaduh, dan tubuh Santo terguling ke atas aspal. Pak Marfi meloncat
ke kebun karet. Tapi peluru-peluru pistol FN itu mengejarnya. Dia terguling-guling. Ada lubang
tanah di situ. Tubuhnya terperosok ke dalam, hingga ke dasarnya. Suara tembakan terdengar
lagi. Pelurunya memburu tubuh Pak Marfi ke dasar lubang tanah.
Mobil itu melaju meninggalkan dua korban yang terkapar di sana.
Pada saat yang bersamaan, Fia merasakan kegelisahan yang aneh. Dadanya berdebar-debar.
Telinganya terasa panas. Ia mendesah tapi kegelisahan itu tetap mengganggunya.
"Apa yang terjadi dengan Bapak?" bisiknya.
Hanya Bapak yang pada saat ini tidak berada di rumah. Maka Fia hanya mencemaskan nasib
Bapak. Agaknya Ibu pun merasakan hal yang sama. Ibu gelisah di kamarnya. Tapi Yanto, adik
bungsu Fia, tergolek diam di sisi Ibu. Dia tak tahu akan kegelisahan ibu dan kakaknya. Seperti
juga Yadi di kamar Fia yang mendengkur karena letih bermain sepak bola sepanjang sore tadi.
Fia mengemasi lembaran-lembaran karcis pertunjukan di atas meja tulisnya. Masih ada
sembilan lembar karcis yang belum terjual. Ia menghitung jumlah uang yang diperolehnya.
Menghitung keuntungannya pula. Begitu banyak uang diperolehnya. Bila uang penjualan itu
disetorkan kepada Pak Akil, Fia akan memperoleh keuntungan hampir empat puluh ribu rupiah!
Tangannya gemetar. Dadanya berdebar.
"Ah... " desahnya, "Inilah yang bikin aku berdebar-debar! Aku selalu merasakan hal ini setiap
kali memperoleh uang banyak dari hasil jerih-payahku sendiri."
Dia yakin, uang perolehannya itu yang membuatnya berdebar-debar. Namun tak urung hatinya
gundah bila teringat akan Bapak tercinta.
5. Misteri Pak Marfi GAGASAN Tress boleh juga. Ia akan menyumbangkan sebagian keuntungan penjualan karcis
untuk pencuri buku yang tertangkap di Balai Sidang. Fia telah mencatat alamat pencuri buku
itu. Namanya Pompies Renaldi. Tinggalnya di Kayu Manis.
Trio Tifa lengkap pada pukul tiga sore. Mereka meluncur dengan Daihatsu Charade warna
coklat milik mama Tress. Rumah Pompies mudah dicari, karena semua orang di sekitar rumah
itu mengenalnya. Tapi kenapa wajah Pompies berubah" Tress menatap pemuda itu dengan perasaan iba. Fia
terpana, sedangkan Iwon menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajah Pompies tampak biru
bengap. Bekas pukulan merata di wajahnya. Dia mengerang kesakitan setiap kali tubuhnya
bergerak di atas kursi plastik.
"Mas Pompies kenapa?" Fia yang menegur lebih dulu. Ia beranjak duduk di depan Pompies.
Matanya menatap wajah pemuda itu dengan penuh perhatian.
"Saya dihajar habis-habisan...," gumam Pompies.
"Di mana?" desak Fia.
"Dalam tahanan."
"Polisi bertindak sekejam itu?" sahut Tress. Ia tetap berdiri di sisi Iwon. "Ini berita bagus buat
Gegap!" "Bukan polisi," kata Pompies.
"Habis siapa?" tanya Tress.
"Sesama tahanan. Mereka memerasku. Aku dipukuli. Mereka tidak percaya kalau aku anak
orang miskin. Yah... mungkin tampangku seperti anak orang gedongan. Apalagi yang kucuri
buku. Mereka percaya, hanya anak gedongan yang mencuri buku."
Tress menyerahkan amplop putih berisi uang. Jumlahnya dua puluh ribu rupiah.
"Ini sekedar sumbangan dari kami," kata Tress. Karena ia bilang 'kami', seolah-olah yang
menyumbang adalah Trio Tifa. "Kami ikut prihatin atas penderitaan Mas Pompies."
Pompies tampak keheranan. Kepalanya menggeleng-geleng dengan sikap dungu. "Saya nggak
ngerti. Saya nggak ngerti...," katanya.
"Kami percaya, Mas Pompies bukan orang jahat. Kami menyampaikan sekedar sumbangan.
Terima, dong... " Tangan Pompies gemetar. Ia menerima amplop itu dengan mulut melongo. Bagaikan mimpi
saja rasanya, menerima sumbangan dari tiga orang anak kecil yang baru dikenalnya.
Pompies memandangi Fia. "Aku sudah mengenalmu," katanya. Kepada Fia dia ber-aku-aku saja. "Aku sering lihat kau di
pasar burung." "Betul!" sahut Fia dengan sikap akrab. "Aku memang suka ngobyek di kios Pak Salim, kok. Kalau
Pak Salim sembahyang atau tidur siang, aku yang nunggu kiosnya. Lumayan, aku sering dapat
untung menjualkan merpati Pak Salim. Tahu saja, situ!"
Pompies tersenyum, seperti akan terbahak-bahak. "Aku pernah kaucurigai sebagai pencuri
burung merpati," katanya. "Kau membentak-bentakku. Tapi aku tidak mencuri. Demi Allah!" Fia
tertawa. "Sori, ya! Habis burung Pak Salim sering hilang! Aku nombok kalau ada merpati yang hilang,
lho!" "Tapi di pameran buku itu... aku benar-benar mencuri. Aku kaget lihat kau di situ. Aku kagum
karena kau bisa mengarang novel. Aku ingin memiliki novelmu. Tapi aku tidak punya uang.
Kulihat banyak orang mencuri buku. Aku ikut-ikutan. Tapi orang itu menangkapku."
"Pak Akil, ya" Yang badannya besar tapi kepalanya kecil kayak kelereng?"
"Ya." "Dia orang baik, kok. Jangan marah, ya" Habis dia kesal banyak buku yang hilang, sih. Jadinya
situ deh yang kena sialnya!"
Pompies menunduk seraya memandangi amplop di tangannya. Tampak-tampaknya dia tidak
setuju kalau Fia bilang Pak Akil orang baik. "Dia menjebloskan aku ke dalam tahanan polisi,"
katanya. "Karena dia, aku jadi begini. Aku malu... "
"Sudahlah," Tress ikut menghibur Pompies. "Anggap saja sebagai pengalaman pahit. Kan nggak
nyolong buku lagi" Minta saja sama Fia. Pasti dikasih berikut tanda tangannya. Tapi aku sih
nggak dikasih. Sama aku dia pelit, lho!"
Tanpa sadar, Tress juga sudah beraku-aku dengan Pompies. Keakraban mulai terjalin di antara
mereka. Tress duduk, tanpa dipersilakan oleh tuan rumah.
"Kau tahu di mana rumah Pak Akil?" tanya Pompies, setengah kepada Fia, setengah ditujukan
kepada Tress. "Tidak," jawab Fia. Padahal dia tahu. Ia merasa pertanyaan Pompies ada apa-apanya.
"Kasih tahu saja," desak Pompies. "Aku akan bikin perhitungan dengannya."
"E, jangan!" cegah Fia. "Jangan, deh! Dia orang baik, kok! Percaya, deh!"
"Dia telah membuat masa depanku berantakan!"
"Ha" Masa depan" Kok begitu?" tanya Fia tidak mengerti.
"Aku tidak bisa kuliah karena aku mendekam dalam sel tahanan... "
"Lho, sekarang kan bisa masuk?"
Pompies menggeleng dengan lunglai.
"Sudah terlambat. Empat hari yang lalu aku masih dalam tahanan. Padahal hari itu kuliah tahun
ini dibuka." "Ooo... jadi Mas Pompies mahasiswa baru, ya?" tanya Fia.
Pompies mendesah. Di wajahnya terbayang perasaan sesal dan duka. Ia telah lulus ujian Proyek
Perintis I untuk memasuki Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta. Lulus ujian itu merupakan
hasil perjuangan yang sangat berat. Pesertanya berjumlah berpuluh-puluh ribu orang.
Seharusnya ia bisa masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk tahun kuliah 1984.
Tapi ia dilepaskan dari tahanan pada empat hari setelah kuliah dimulai. Ia terlambat dan tak
bisa masuk kuliah. Ini adalah kerugian yang tak ternilai harganya.
"Tahun depan kan bisa ikut ujian lagi, Mas," kata Tress menghibur.
"Kalau ada biaya dan... yah... kalian tidak tahu betapa beratnya mengikuti ujian Proyek Perintis
I. Aku tidak yakin kalau aku bisa lulus lagi pada tahun depan. Semua ini gara-gara Pak Akil!"
"Tapi Mas Pompies kan salah juga," Tress menyela. "Masih untung Pak Akil tidak menuntut Mas
Pompies sampai ke pengadilan. Meskipun hanya sebuah buku yang diambil, kalau sampai ke
pengadilan kan repot juga. Mungkin sekarang belum bisa bebas. Pak Akil bijaksana juga, dong.
Betul kan, Fia?" "Ya. Kudengar ia menarik perkaranya sehingga Mas Pompies dibebaskan. Kata Pak Akil begitu."
Tress mencibir ke arah Fia. Dia tidak setuju kalau Fia memuji-muji Pak Akil. Tadi ia hanya
bermaksud menghibur Pompies, maka ia bilang Pak Akil cukup bijaksana. Padahal dalam hati
Tress membenci Pak Akil. Betapa tidak" Bila Pak Akil sedikit punya kebijaksanaan, maka perkara
pencurian buku itu bisa dimaafkan. Toh hanya sebuah buku bacaan berharga seribu lima ratus
rupiah. Buku itu pun bisa diminta kembali dari tangan Pompies. Padahal Pak Akil sendiri sudah
memberi 'hukuman badan' terhadap Pompies: Pak Akil menyetrap Pompies di belakang kasir
sampai beberapa jam sebelum diserahkan ke polisi!
Sungguh tidak adil! Jerit Tress dalam hatinya. Kalau memang Pak Akil ingin menjunjung tinggi
kebenaran dan hukum, tentunya ia tidak akan memberi hukuman badan terhadap pencuri buku
itu. Tidak akan menyetrapnya. Sebab menghukum dengan cara seperti itu pun tidak dibenarkan
oleh undang-undang. Tapi Tress mau apa" Semuanya sudah terjadi. Sejak mulanya ia berpihak pada pencuri buku itu.
Dasarnya Tress memang mudah iba. Apalagi ia melihat wajah Pompies tidak berkesan sebagai
wajah penjahat. Penjahat mana yang hanya mencuri sebuah buku novel karya pengarang yang
dikenalnya" Begitu jalan pikiran Tress.
"Kalau aku tahu rumah Pak Akil... " Pompies menggumam.
"Aku tidak tahu," potong Fia, tetap melindungi Pak Akil.
Iwon setuju pada sikap Tress. Tapi dia juga setuju pada sikap Fia. Pak Akil kurang bijaksana, tapi
tindakan Pompies untuk 'bikin perhitungan' juga tidak bisa dibenarkan.
"Sudah deh, Mas," kata Iwon, "jangan bikin perkara lagi. Lupakan saja. Nggak usah dibalas,
lama-lama Pak Akil juga mati."
"Heh!" Fia membentak. "Ngomong semba-rangan!"
"lya, dong! Lama-lama Pak Akil kan mati juga. Masa dia mau ganti kulit kayak ular?"
Benar juga. Iwon bisa tertawa, meskipun segala wujud yang tampak di matanya sungguh
mengibakan. Wajah Pompies yang bengap, rumah rombeng yang miring, semuanya terasa
mengiris hati. Tapi tertawa pun tidak dilarang.
Dan mereka pulang. Pada jam-jam tutup kantor seperti itu, jalan protokol (jalan raya) di Jakarta
sering macet. Kendaraan terlalu banyak, seolah jalan-jalan lebar itu tak mampu lagi
menampung kendaraan yang semakin hari jumlahnya makin bertambah. Perempatan Jalan
Matraman pun macet. Kendaraan bagaikan sampah-sampah yang bergerombol di selokan.
Polisi sibuk mengatur lalulintas. Lampu merah seperti tak diacuhkan lagi. Hanya gerakan tangan
polisi itu yang diacuhkan.
Suasana bising. Terasa lebih bising karena penyeberang jalan hilir-mudik sambil berseru-seru
tak menentu. Pedagang koran berlarian dan berteriak. Ada berita kecil tapi judulnya ditulis
dengan huruf besar di halaman pertama sebuah koran harian. Bunyi judul itu nyata, 'Dua orang
pelarian tewas ditembak'.
"Hah?" Fia menjerit kaget begitu membaca judul berita itu secara tidak sengaja. Seorang
penjaja koran sedang berdiri di sisi mobil Tress sambil melayani pembeli di mobil sebelah. Dari
arah dalam mobil Tress memang bisa melihat koran-koran yang dibawa oleh anak lelaki penjaja
koran itu. "Kenapa, Fia?" tanya Iwon gugup.
Fia gemetar. Telunjuknya menuding koran itu. Iwon mengambil selembar koran. Selintas
pandang dibacanya judul berita itu.
"Bayar, Tress!" serunya seraya menyimak berita koran itu.
"Berita apa, Won?" tanya Pak Tohar.
"Tunggu, Pak! Biar aku selesai membaca dulu!" Tress membayar koran itu. Ia melongokkan
kepalanya agar bisa ikut membaca berita itu.
Fia, seperti juga anak lain di dunia ini, sangat mengasihi ayahnya. Bandit atau bukan, Bapak
tetaplah makhluk tercinta bagi anaknya. Dan kini berita di koran itu menyatakan Bapak tewas
ditembak di pelosok Parung. Fia tidak tahu persis apa yang dibaca Iwon dalam berita itu. Tapi
hatinya yang peka telah tahu akan nasib Bapak tercinta...
Dia pingsan. Kepalanya tergolek bagai tidur nyenyak. Tress menjerit kalang-kabut. Kepalakepala bersembulan dari mobil di sekitarnya. Melongok ke arah mobil Tress.
Pak Tohar orang cekatan yang terlatih. Ia tidak lekas panik. Menghadapi keadaan gawat seperti
itu, ia bisa bertindak cepat. Dibunyikannya klakson mobil berulang-ulang. Lampu-lampu
dinyalakan. Pengendara-pengendara mobil di sekitarnya tahu apa yang terjadi. Mereka
berusaha menyisih. Mobil Pak Tohar menyusup pergi. Membelok ke kiri memasuki Jalan
Matraman Dalam. Pada jalur sebelah kiri itu kendaraan cukup jarang. Mobil itu bisa meluncur
cepat. Ada dokter buka praktek di tepi jalan itu. Mobil berhenti. Dengan gerakan cepat yang
sejak tadi dilakukannya, Pak Tohar menggotong tubuh Fia. Ia memasuki ruang praktek dokter
itu. "Anak ini sakit gawat!" serunya pada pasien-pasien yang menunggu. "Perlu perawatan segera!"


Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silakan! Masuk saja, Pak!" seru beberapa orang pasien.
Dokter di situ baru saja menyelesaikan penulisan resep pada seorang pasien perempuan.
"Selamat sore, dok! Anak ini pingsan karena mengalami kejutan berat!" kata Pak Tohar. Nada
suaranya bagai memerintah dokter itu agar bekerja dengan cepat.
"Kejutan bagaimana?" tanya dokter itu.
"Ia mengalami berita buruk yang mengejutkan. Mungkin lemah jantung. Atau bagaimanalah,
Dokter kan lebih tahu!"
Pak Tohar lekas beranjak ke luar. Tress masuk. Wajahnya tampak tegang sekali.
"Tenang, Non. Semuanya akan lekas berakhir!" kata Pak Tohar sebelum Tress mengucap apaapa.
Pak Tohar lalu menyeberang jalan. Iwon tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh sopir setengah
tua yang gesit itu. Ternyata Pak Tohar menelepon Oom Didat. Pada jam-jam begini biasanya
Oom Didat berada di rumah. Berangkat ke kantor lagi pada pukul lima sore.
Dengan singkat Pak Tohar menceritakan semuanya. Bagai seorang anak buah melapor pada
komandan, sekaligus minta ditugaskan.
"Sebentar kuhubungi kantor polisi. Tunggu di situ. Berapa nomor telepon yang kaugunakan?"
tanya Oom Didat setelah memahami laporan Pak Tohar.
"Saya tidak tahu pesawat ini nomor berapa. Habis ini telepon umum, Pak. Eh itu ada nomornya,
tapi sudah tidak jelas!"
"Baik. Tunggu lima menit lagi, nanti bel ke sini!"
"Baik, Pak!" Pak Tohar menunggu. Matanya memandangi tempat praktek dokter itu. Dia sungguh merasa
tegang. Tapi ketegangan itu tidak tampak pada wajahnya.
Setelah mendapatkan perawatan dokter, Fia siuman. Ia bingung sesaat setelah menyadari
dirinya berada di ruang praktek dokter. Dilihatnya wajah Tress yang basah air mata. Tahulah ia
apa yang telah tenjadi. "Fiaaaa!" Tress menjerit seraya menghambur memeluk Fia.
Selama mengenal Fia, baru sekali ini Tress melihat gadis yang tabah itu menangis. Itu pun
hampir-hampir tanpa suara. Fia hanya meneteskan air mata. Tanpa mengisak. Sesekali
mendesah dan menyebut nama Tuhan. Betapa tabah gadis kecil yang menderita ini. Tapi karena
ketabahan itulah maka Tress menangis meraung-raung sambil menciumi Fia.
"Non," suara Pak Tohar terdengar di ambang pintu ruangan sempit itu, "kita diperintahkan
menghubungi kantor polisi. Mari, Non. Bapak antar ke sana!"
"Mungkin saya perlu penjelasan singkat," kata dokter itu. "Apa sebenarnya yang terjadi?"
"Maaf, Dok. Ini soal pribadi. Tapi Dokter boleh tahu sedikit. Ayah anak ini meninggal," kata Pak
Tohar setengah berbisik kepada dokter itu.
Kemudian, Dokter berbisik setelah dilihatnya Pak Tohar merogoh saku baju untuk mengambil
uang, "Tidak usah. Bawa saja. Jaga dia baik-baik."
"Terima kasih banyak, Dok." "Sama-sama."
Tress terus-menerus menangis. Padahal Fia sudah berulang
kali menyeka air matanya. Tangis
tak begitu berguna untuk meringankan beban penderitaan, pikir Fia. Tapi tak urung air matanya
terus menetes bagai gerimis di musim penghujan.
Kantor polisi tak jauh. Jarak sedekat itu seolah bisa dicapai hanya dengan melompat saja. Lebihlebih Pak Tohar bisa menggerakkan mobil itu secepat gerakannya sendiri.
"Kenapa kita ke kantor polisi, Pak?" tanya Iwon yang sejak tadi tak bisa berkata-kata karena pilu
dan lara berpadu dalam hatinya.
"Pak Didat memerintahkan agar saya menghubungi kantor polisi," jawab Pak Tohar dengan
nada tegas. Tumben, nada suaranya serba tegas dan tidak lemah-lembut seperti biasanya.
Nada suara yang tegas begitu mempengaruhi seisi mobil. Mereka jadi diam.
Tiba di kantor polisi, semuanya berlompatan turun. Agaknya Pak Didat sudah memberitahukan
tentang mereka kepada polisi. Seorang anggota polisi berpangkat lettu (letnan satu)
menyongsong mereka. "Hanya yang berkepentingan yang boleh masuk!" katanya setengah membentak.
Tress keki bukan main, ia menyeka air mata dan memandangi polisi yang membentaknya. Polisi
itu tertawa. "Anak bandel! Kamu tidak berkepentingan! Kamu dilarang masuk!" kata polisi itu.
"Oom!" seru Tress gembira. Ia telah mengenal polisi muda usia itu sebagai teman Papa.
Namanya Letnan Marcus Hope.
"Mari saya antarkan ke dalam," kata Letnan Marcus Hope kepada Fia.
Fia berjalan mendahului polisi itu. Tress menyusulnya. Iwon mengekor di belakang, bersama
Pak Tohar. "Bagaimana keadaan ayah saya, Pak?" tanya Fia tanpa menoleh.
"Lihat saja!" kata Letnan Marcus Hope.
Tress heran mendengar pertanyaan Fia tadi.
Bukankah Fia telah tahu bahwa ayahnya tewas ditembak di daerah Parung" Tadi dia bertanya
tentang keadaan ayahnya. Misteri apa ini"
Di dalam sebuah ruangan, Pak Marfi duduk sambil mengisap rokok. Ia tertawa melihat anaknya.
"Heh... heh... heh..." sambutnya pada anaknya.
"Bapaaaaak!" Fia menjerit seraya menghambur memeluk ayahnya.
Tress merasa dipermainkan. Ia menoleh ke arah Letnan Marcus Hope.
"Apa-apaan ini, Oom?"
Letnan Marcus terkekeh. Pak Tohar bergumam menyatakan rasa syukurnya setelah mengetahui
keadaan Pak Marfi. Ia melangkah masuk. Dijabatnya tangan Pak Marfi.
"Selamat, Pak," ucapnya bersungguh-sungguh. "Tadi Pak Didat tidak menjelaskan keadaan Pak
Marfi yang sebenarnya. Beliau hanya memerintahkan saya membawa Fia ke sini."
"Heh... heh... heh," Pak Marfi terkekeh. "Saya tidak menyangka akan jadi ramai begini."
"Apa yang terjadi sebenarnya, Pak?" tanya Fia.
"Tadi pagi ibumu sudah dipanggil ke sini untuk melihat keadaan Bapak. Seperti yang kaulihat
ini, Bapak tidak apa-apa. Hanya lecet-lecet sedikit di lutut dan siku. Diberi obat merah juga
sembuh." "Tapi kata koran itu, Pak... "
"Ho! Soal itu tanyakan saja pada Pak Letnan. Eh, Bapak pernah janji akan memperkenal-kanmu
pada Pak Letnan, kan?"
Pahlawan Dan Kaisar 6 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Pendekar Pemabuk 1
^