Pencarian

Dear Dylan 1

Dear Dylan Karya Stephanie Zen Bagian 1


Dear Dylan Stephanie Zen Untuk kedua orangtuaku, Papa Librado Laman Zen, Novel ini nggak akan ada tanpa ide dari Papa :)
dan Mama Ronalita Thelma Koamesah,
For everything, Mommy :) Still Tengkyuuu... Jesus Crist, to whom I lay my whole love, life and faith. Sebab kasih setia-Mu lebih baik
daripada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau. Demikianlah aku mau memuji Engkau
seumur hidupku (Mazmur 63:4-5).
Oma Greetje Jeane Koamesah-Rondo, terima kasih, Oma, untuk semua doanya.
Papa Librando Laman Zen (Pa, you"re GENIOUS!) dan Mama Ronalita Thelma
Koamesah (you"re GENIOUS too, Ma!) ".
Adikku, William Ronaldo Yozen, the next BIG thing!
Keluarga besar Zen dan Koamesah di mana pun berada.
The Madus: Dessy Amanda dan Sandra Wanti, ai lap yu banget pokoknya! :D
Best friends ever: Licu, Jovi (maap udah nyatut nama Anda lagi :p), Meli, Fanie, Jennie,
Reni, Ingrid & family, makasih makasih makasiiihh ".
Uci Pasaribu, yang udah mau direpotin menjadi translator bahasa Batak, danke! Dunno
what to do without your help, pal!
My favorite band ever and eveeerrrr: DAUGHTRY. Lagu-lagu kalian mantabb!
Yang udah bikin semangat nulis: Teh Kotak (haha!), Choccocino, The Sims 2 (ini sih
malah bikin malas :p), and my playlist of my Winap. Nggak tau deh apa jadinya tanpa
inspiring stuff ini! Semua di milis armADA, Innoders, Yovie and Nuno, makasih banyak yaa!
Tim GPU, yang sering kali kurepotkan, thanks a buuuuuunch!
Semua yang udah baca karya-karyaku, termasuk yang ini, makaseeh! Ditunggu
komennya di http://smothzensations.blogspot.com dan chubby_stephz@yahoo.com!
God bless us, Steph AFTER A YEAR... "GRRRRRR... ke mana sih dia"!"
Aku mengentak-entakkan kaki dengan kesal sambil berjalan mondar-mandir di depan Sushi
Tei. Penerima tamu Sushi Tei yang berdiri di dekatku kayaknya sebentar lagi bakal membunuhku
dengan tatapannya kalau aku nggak cepat-cepat pergi dari sini. Dari tadi dia memelototiku terus!
Dengan napas setengah tertahan, aku melirik jam yang terpampang di layar HP-ku. Pukul
19.30. Dua jam aku menunggu, dua jam!!!
Dan dia selalu nggak bisa ditelepon kalau ngaret begini! Benar-benar kebiasaan jelek yang
baru kutahu setelah kami jadian. Ganteng-ganteng ternyata suka ngaret, suka sok kagak
mengangkat HP-nya pula kalau ditelepon, huh!
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam. Oke, there"s always sunny side in everything, Alice.
Mungkin dia terpaksa mengulang adegan di video klipnya sampai beberapa kali karena model
untuk video klip itu begitu idiotnya hingga tak tahu bagaimana cara memeluk yang benar, dan
take peluk-memeluk itu harus diulang...
Take peluk-memeluk" Harus diulang"
"Grrrrrr...!" Aku mengertakkan gigiku sekali lagi. Menunggu dua jam sambil mondar-mandir
kayak setrika begini sudah cukup membuatku kesal, seharusnya aku nggak perlu membayangkan
cowokku, yang vokalis band terkenal itu, terpaksa mengulang adegan peluk-memeluk dengan
model video klipnya yang idiot!
Atau malah model itu begitu PINTARnya, sampai dia bisa berpura-pura bodoh dalam
adegan peluk-memeluk, dan dengan begitu bisa mengulang adegan itu berkali-kali?""
Awas nanti kalau dia DATANG!
"Sayang!" Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan tubuh. Dan dengan radar
yang sudah terlatih, aku bisa merasakan orang-orang di sekitarku sudah membeku di tempat
mereka masing-masing. "Dylan...," geramku jengkel melihat dia cengengesan, tapi amat sangaaaattt ganteng dalam
long-sleeve putih dan celana jins abu-abunya.
Kebekuan di sekitarku makin terasa menusuk. Aku bisa merasakan tatapan mata banyak
orang menghunjam pada kami.
Yeah, pacarku ini seleb. Sangat sulit jalan bareng dia tanpa dilihatin begitu banyak orang.
Tapi yah... sekarang aku sudah mulai terbiasa.
"Ah, kamu pasti udah lapar ya, sampai memanggilku Dylan begitu?" tanyanya, masih sambil
cengar-cengir. Memangnya aku masih bisa memanggilnya "Say" setelah aku terpaksa ngetem di sini
menunggu dia, heh" "Aku nungguin kamu DUA JAM, tau! Dua jam!"
"Iya, iya, Say... Maaf yaa... Tadi syuting video klipnya kacau berat sih! Nggak tau deh model
dari agensi mana yang dipilih Bang Budy, dia bego banget sampai adegannya harus diulang
melulu..." Serasa ada yang menabuh genderang perang di dadaku mendengar omongan Dylan barusan.
Berarti memang benar model video klip Skillful pura-pura bodoh supaya dia bisa mengulang...
"Kalian retake adegan pelukan terus, ya?" tanyaku akhirnya, nggak tahan kalau harus
bertanya-tanya tanpa henti dalam hati.
Dylan kelihatan bingung. "Adegan pelukan" Kok adegan pel..."
"Bukan" Terus apa" Adegan ciuman" Kalian retake adegan itu terus, ha"!"
"Eh, Say, kayaknya kamu harus..."
"Apa" Aku harus apa" Harus sabar" Kuulangi ya, aku DUA JAM menunggumu di sini, dan
yang kamu lakukan malah retake adegan ciuman sama model bego dari agensi tolol?"?" Aku,
entah dapat energi dari mana, menyerocos tanpa henti. Sebodo amat kalau dilihatin orang!
Dylan menatapku lurus-lurus selama beberapa detik, lalu meledak tertawa. Orang-orang yang
tadinya memandangi kami karena Dylan seleb, sekarang, aku yakin, memelototi kami, karena
Dylan yang seleb sedang bertengkar dengan ceweknya yang setengah bule dan overhisteris.
"Say, dari mana kamu dapat pikiran aku retake adegan pelukan dan ciuman sama si..."
"Terus apa, ha?"
Dylan tersenyum. "Mau jawaban jujur?"
"Coba saja bohong," kataku marah, "dan aku akan bilang ke Tante Ana kamu bikin aku
kesal!" Pipi Dylan berkedut sedikit, aku yakin dia pasti nggak mau mengambil risiko itu. Tante Ana,
mama Dylan, amaaaaat sangaaaaat menyayangiku, seolah aku anaknya sendiri. Mungkin dia bakal
lebih marah kalau mengetahui Dylan membuatku menunggu dua jam daripada mengetahui
akulah yang tanpa sengaja menginjak pot bunga mawar beliau di kebun rumahnya saat aku ke
sana minggu lalu. Bukannya aku menyembunyikan "aib" kecilku itu, tapi...
"Adegan yang terpaksa di-retake terus," kata Dylan sambil memegang bahuku, "bersama
orang yang kamu sebut model-bego-dari-agensi-tolol itu, adalah adegan tampar-menampar."
Ha! Dia mau coba ngibul rupanya! Apa yang sulit dari adegan tampar-menampar" Aku, yang
bukan model video klip saja, pasti sukses melakukannya dalam sekali take! Lain kalau adegan
ciuman! Di film Harry Potter and the Order of the Phoenix, Daniel Radcliffe dan Katie Leung harus
mengulangnya 27 kali!!! Oh tidak, 27 kali..."
Kalau Dylan berani-berani...
"Nih, kalau nggak percaya, pegang aja pipiku," kata Dylan sambil meraih tangan kananku
dan menuntunnya ke salah satu pipinya.
Aduh, pipinya haluuuuss sekali. Dia pasti baru bercukur tadi, aroma aftershave-nya...
"Si model bego dari agensi tolol itu," kata Dylan lagi, "harus TUJUH kali menamparku
supaya Bang Budy puas dengan hasil gambarnya. Di take pertama, dia terlalu nervous. Take kedua,
dia menamparnya nggak serius. Take ketiga, dia kelihatannya nggak tega menamparku lagi. Take
keempat..." "Oke, oke, aku percaya," kataku sambil menahan tawa. Memang kalau diamati betul-betul,
seperti ada memar merah di pipi Dylan, yang, kalau diamati dengan lebih saksama lagi,
menyerupai bentuk telapak tangan manusia.
"Gitu dong," kata Dylan sambil mengacak rambutku sayang. "Yuk masuk."
Dylan menggandengku memasuki Sushi Tei, dan si penerima tamu di depan sana
terlongong-longong begitu mengetahui siapa yang membuatku mondar-mandir di depan restoran
tempatnya bekerja selama dua jam tadi. Mungkin dalam hatinya dia bersyukur nggak mengusirku,
karena kalau iya, mungkin dia seumur hidup nggak akan punya kesempatan lagi untuk melihat
Dylan hanya berjarak setengah meter darinya.
"Say, pesan apa?"
Aku membolak-balik buku menu dengan tampang bloon. To be honest, aku nggak suka sushi.
Yah, nggak pantang-pantang banget sih. Aku cukup suka dragon roll, juga shrimp "n cheese, tapi itu
pun yang biasa kumakan di bistro sushi milik teman kakaknya Grace, yang adalah sobat kentalku.
Aku nggak berani ambil risiko untuk mencoba menu yang sama juga di sini, siapa tahu rasanya
beda. Lidahku agak rewel kalau menyangkut sushi.
"Ehm, maaf, tapi Mas ini Dylan-nya Skillful, ya?"
Aku mendongak mendengar pertanyaan itu, dan melihat waitress Sushi Tei sedang menatap
Dylan dengan jenis tatapan omigod-ada-seleb-di-depan-gue!, dan dia tampak amat sangaaattt
terpesona. Dylan, sementara itu, mengangguk dengan refleks. Cara mengangguk yang kentara
sekali sudah terlatih. Bukan jenis anggukan yang terlalu sombong, tapi bukan juga yang terlalu
riang gembira, yang membuatnya terlihat terlalu antusias karena ada yang menyadari dia seleb.
"Waaaahhh!" seru waitress itu bersemangat. "Maaf kalau saya mengganggu, tapi saya boleh
minta tanda tangannya" Boleh foto bareng?"
Dylan, sekali lagi, mengangguk. Cara mengangguknya... yah, seperti yang kujelaskan tadi.
"Di mana saya harus tanda tangan?"
Si waitress tergopoh-gopoh mencari media kosong yang bisa dipakainya untuk mendapatkan
tanda tangan Dylan, dan akhirnya dia menyodorkan sehelai kertas putih dengan bolpoin. Dylan
menandatanganinya, lalu mengembalikan kertas itu, bonus senyum.
"Ehh... foto barengnya?"
"Boleh," kata Dylan lagi.
Si waitress mengeluarkan HP-nya dari dalam saku, lalu tampangnya berubah bingung karena
tak tahu bagaimana harus memotret dirinya dan Dylan bersama-sama.
"Sini, Mbak, saya aja yang fotoin," kataku menawarkan diri, dan si waitress kelihatan seolah
dia baru dikabari akan naik gaji.
"Aduuuhh, makasih sekali ya, Mbak," katanya dengan nada puja-puji. "Boleh saya minta
foto dua kali?" Aku mengangguk. Bonus senyum. Dua kali flash menyala, dan kukembalikan HP itu kepada
pemiliknya. "Aduh, makasih ya, Mas Dylan, Mbak... ngg..."
"Alice," Dylan melanjutkan, "dia pacar saya."
Aku harus mengakui dengan malu bahwa sampai sekarang, aku masih sering terlongong saat
Dylan memperkenalkanku sebagai pacarnya di depan orang lain. Tahun lalu, kami harus total
menyembunyikan hubungan kami karena...
Yah, sudahlah, pokoknya aku senang karena sekarang aku dan Dylan bisa go public tanpa ada
ancaman dari pihak mana pun.
"Ah iya, Mbak Alis!" kata si waitress dengan nada sok tahu. Aku ingin membetulkan caranya
menyebutkan namaku, yang seharusnya "Ellys" dan bukannya "Alis", tapi biar sajalah. Namaku
memang selalu terpeleset di lidah orang Indonesia.
"Nah, Say, pesan apa?" Dylan mengulangi pertanyaannya beberapa menit lalu.
Aku membolak-balik buku menu sekali lagi, dan berusaha memilih satu di antara jajaran foto
sushi itu yang kelihatannya-akan-oke-berada-dalam-perutku.
Aha, ini dia! Baked Salmon Takamaki! Kelihatannya enak!
"Salmon Takamaki-nya satu, Mbak," kataku sok ahli, seolah itulah makanan yang selalu
kupesan kalau aku datang ke Sushi Tei.
"Salmon Takamaki satu. Minumnya?"
"Ngg... orange juice deh."
"Orange juice satu, oke. Mas Dylan pesan apa?" Dia beralih menatap Dylan dengan tatapan
amat sangaaatt terpesona yang tadi lagi, dan kali ini aku tersenyum geli sendiri.
Aku yang dulu menatapnya dengan jenis tatapan seperti itu... Aku yang, sampai sekarang,
setelah setahun berlalu, masih nggak percaya aku bisa pacaran dengan Dylan, yang dipuja-puji
sebegitu banyak cewek di Indonesia. Tuhan sudah begitu baik padaku...
"Inari-nya dua. Chuka Kurage satu. Sama Chicken Katsu deh."
Si waitress mengulangi pesanannya, dengan berlambat-lambat (mungkin dia berharap bisa
selamanya mencatat pesanan Dylan, hehe), lalu pergi meninggalkan kami berdua.
"Aku curiga," kata Dylan.
"Apa" Kalau waitress tadi naksir kamu" Aku nggak kaget."
"Haha, Say, akhir-akhir ini sarkasmemu sedang tinggi, ya" Dapat tugas bahasa Inggris
menulis drama satir lagi?" godanya.
Aku cemberut. Ini karena aku kadang nggak tahan dengan segala tekanan menjadi pacar
seleb, dan mood-ku jadi nggak keruan karenanya. Sedikit happy, lalu jadi supercemburuan, terlalu
curiga, dan kembali tenang. Aku jadi bingung kenapa Dylan nggak mengalami hal yang sama, ya"
Ah iya, yang seleb kan dia. Jelas dia nggak merasakan stresnya punya pacar seleb.
"Hmm, atau kamu lagi PMS" Pengin Marah Selalu?" Dia menggodaku lagi.
"Nggak!" seruku malu. Ngapain sih dia menyinggung-nyinggung soal PMS segala"
Eh, tapi dia betul-betul mengingat omongan ngawurku, bahwa aku mendefinisikan PMS
bukan hanya dengan Pre-Menstrual Syndrome, tapi juga dengan Pengin Marah Selalu. Dasar
Dylan, pantas aja dia masuk fakultas hukum, otaknya Pentium Intel Core Duo 2 begitu.
"Bener nih" Kok kayaknya kamu lagi senewen gitu" Mau aku pesankan es krim?"
Ah, lagi-lagi dia ingat kalau cuma es krim lah yang bisa menenangkan emosiku saat PMS atau
mood kacau-balau. Dia ini benar-benar pacar yang baik, tahu nggak" Hafal apa saja kesukaanku,
pacarnya yang aneh ini. "Nggak usah, aku nggak papa kok. Lagian di sini bukan H?agen-Dazs, nggak jual es krim."
Dylan tersenyum geli. Entah kenapa, dia sepertinya selalu menganggapku cewek yang sangat
lucu. Padahal aku jelas-jelas clumsy. Kikuk. Canggung. Tak bisa menempatkan diri. Hanya
beruntung saja jadi pacarnya.
"Kamu mau ngomong apa tadi?" tanyaku akhirnya.
"Apa" Es krim?"
"Bukaaann. Yang soal curiga-curiga tadi itu lho. Kamu curiga apa?"
"Oohh... aku curiga, model video klip tadi sengaja dipilih Bang Budy untuk balas dendam
sama aku." "Balas dendam" Emang kenapa" Modelnya siapa?" Tak urung aku penasaran juga, kepingin
tahu siapa model yang dibayar untuk menampar cowokku, walau hanya dalam video klip.
"Regina Helmy."
Aku melotot. "Regina Helmy..." Kakaknya Anastasia?"
Dylan mengangguk, sementara aku memutar otakku yang pas-pasan. Anastasia yang kusebut
tadi Anastasia Helmy, presenter reality show Pacar Selebriti, acara TV yang membuatku bisa dekat
dengan Dylan sampai akhirnya jadian. Aku merasa, entah bagaimana, berutang budi pada acara
yang satu itu. Dan secara tak langsung, pada Anastasia juga.
Dan soal Regina, hmm... dia model yang sangat top belakangan ini. Berbeda dengan adiknya
yang presenter, dia berprofesi sebagai model, merangkap bintang iklan. Hebatnya lagi, iklan yang
dibintanginya sebagian besar iklan kosmetik. Entah cleansing foam, moisturizer, krim malam,
pokoknya jenis-jenis iklan yang menuntut para modelnya memiliki kemulusan wajah mutlak.
Teknik-teknik "penyempurnaan" via komputer tidak akan terlalu berhasil, kalau modelnya nggak
memang berwajah mulus dari sononya.
Dan aku tadi menyebut Regina apa"
Yep. Model bego dari agensi tolol.
Oohh, mungkin aku yang akan dikontrak oleh Glamour Models, agensi si Regina itu, kalau
saja gen Kaukasia-ku dari Daddy ada lebih banyak, dan tinggiku mencapai 175 cm, bukannya
pendek begini. Yah, Glamour Models adalah agensi yang mengontrak model-model paling top seIndonesia. Mau cari yang paling cantik" Ada. Yang paling seksi" Ada. Yang paling fabulous,
eksotis, komersil, sampai yang punya nilai kontrak termahal di Indonesia, semuanya terdaftar di
bawah manajemen mereka. Hanya model-model berkualifikasi tinggi yang ada di bawah payung
Glamour Models. Dan Regina Helmy adalah "aset" mereka yang utama.
See" Cowokku menghabiskan seharian untuk syuting video klip dengan model bernilai
kontrak termahal se-Indonesia! Pantas saja, dia membuatku menunggu dua jam, walaupun untuk
itu dia harus ditampar tujuh kali oleh Regina, yeah.
"Ini semua pasti akal-akalan Bang Budy! Dia kepingin balas dendam karena bulan lalu aku
sama anak-anak ngerjain dia pas ulang tahun! Dia pasti belum bisa menerima tumpahan telur
busuk di atas kepalanya begitu membuka pintu!" Dylan ngoeml-ngomel, mengemukakan
kecurigaannya. "Mmm, Say, aku nggak ngerti kenapa Bang Budy mengontrak Regina Helmy untuk jadi
model video klip Skillful kalau dia memang berniat balas dendam sama kamu. Kalau dia memang
berniat balas dendam, yang akan dia kontrak pastilah... Mpok Atiek."
Dylan mengerjap, dan untuk kedua kalinya hari ini, dia meledak dalam tawa.
"Alice sayang, kamu lucu banget! Hahahaha..." Dia masih terbahak sampai pesanan kami
datang. Si waitress sepertinya masih betah berlama-lama di meja kami, jadi aku menunggu dia
pergi dulu sebelum melanjutkan obrolanku dengan Dylan.
"Lho, aku benar, kan" Kalau dia memang mau balas dendam, ngapain dia kontrak model
paling top di Indonesia" Bukannya lebih baik ditampar berkali-kali oleh Regina Helmy daripada
Mpok Atiek?" "Hahahaha... masalahnya bukan di Regina atau Mpok Atiek-nya! Masalahnya ada di adegan
tampar-menampar itu! Aku curiga, Bang Budy sengaja menyuruh Regina untuk nggak serius, jadi
dia bisa menamparku berkali-kali dalam syuting itu, untuk melampiaskan dendam Bang Budy!"
Aku melongo. "Hah, yang bener aja!"
"Seriuuuss! Kamu sih nggak lihat ekspresi Bang Budy tadi! Biasanya dia sewot banget kalau
ada adegan klip yang harus diulang, katanya buang-buang waktu yang berharga. Tapi tadi, dia
malah tersenyum-senyum puas waktu adegan Regina menampar aku!"
Aku menggeleng tak percaya. Bang Budy, manajer Skillful yang galaknya ngalah-ngalahin
herder itu, bisa iseng juga" No way!


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, udahlah, kita makan yuk!" Dylan mengedik ke pesanan kami yang sudah tertata di
meja, dan aku mengangguk.
Di mana Salmon Takamaki-ku ya" Hmm...
Aku menatap satu per satu piring sushi yang ada di meja, dan mengernyitkan dahi. Kok
nggak ada satu pun yang mirip dengan Salmon Takamaki yang fotonya ada di buku menu tadi"
"Peasananmu udah datang semua?" tanyaku ke Dylan. Dia mengangguk, dan menunjuk
piring-piring yang merupakan pesanannya.
"Ini Inari, enak deh, Say! Terus ini Chuka Kurage... ini Chicken Katsu... Kamu pesen apa?"
Aku semakin bingung. Hanya tersisa satu piring yang tidak diklaim Dylan sebagai
pesanannya, dan aku sama sekali nggak melihat kemiripan sushi yang ada di piring itu dengan foto
Salmon Takamaki yang kulihat di buku menu tadi.
"Pesanan yang datang salah, ya?" tanya Dylan lagi.
Aku mengangkat bahu. "Yang ini kok nggak mirip pesananku?" tanyaku, lebih kepada diri
sendiri, sambil menunjuk piring sushi-tak-dikenal itu.
"Hmm... coba lihat order list-nya dulu, barangkali waitress-nya tadi salah catat pesananmu."
Oh ya, betul juga! Bisa jadi si waitress sengaja salah menghidangkan pesanan supaya dia bisa
kembali ke meja ini dan memandangi Dylan lagi.
Dylan mengambil kertas print-out komputer yang ada di sebelah kirinya, dan mengamati
tulisan yang tercetak di situ.
"Kamu pesan Salmon Takamaki?"
"He-eh." "Ya berarti bener ini pesananmu." Dylan menunjuk piring sushi-tak-dikenal itu lagi. "Ini
Salmon Takamaki." "Ah, nggak mirip sama foto yang di buku menu!" gerutuku. Dylan jadi ikut bingung.
Dan mendadak aku sadar apa yang salah. Cepat-cepat kuambil buku menu yang masih ada di
dekatku, dan membolak-baliknya.
Yang kupesan tadi... benar Baked Salmon Takamaki, dan fotonya benar-benar tak mirip
dengan sushi di depanku ini. Tapi ada juga yang namanya Salmon Takamaki, dan fotonya benarbenar mirip si sushi-tak-bertuan. Aku mencoba mengingat-ingat, dan langsung merutuk dalam
hati begitu tahu di mana letak kesalahannya. Sewaktu memesan tadi, aku hanya menyebutkan
"Salmon Takamaki satu", bukannya "BAKED Salmon Takamaki satu"!!!
Rupanya si waitress nggak salah catat, akulah yang bego kuadrat karena sok irit kata waktu
menyebutkan pesanan! Ha! Mana kutahu kalau Baked Salmon Takamaki dan Salmon Takamaki rupanya berbeda
jauh begini" "Say, pesanan yang diantar salah, ya" Aku panggilin waitress-nya, ya?"
Aku menggeleng cepat-cepat. "Nggak, nggak salah kok. Aku aja yang tadi keliru pesannya.
Yang salah aku." "Ya udah, kalau gitu kamu pesen lagi aja. Yang itu nggak usah dimakan."
"Jangan! Aku makan ini aja nggak papa kok." Aku nyengir bego sambil mengambil sepotong
sushi-tak-bertuan yang kini sudah diketahui siapa tuan... ehh, nyonyanya itu dengan sumpit, dan
memasukkannya ke mulut. Hmm... not bad. Hanya agak kenyal-kenyal sedikit.
Yang sedetik kemudian kusadari, "kenyal-kenyal" itu berasal dari potongan salmon di
tengah-tengah sushi, yang jelas-jelas MENTAH.
Glek. Aku menelan susah payah. Nggak amis memang, dan sama sekali nggak membuatku
mual. Rasanya bahkan lumayan. Tapiii... "bahan-bahan yang mentah" adalah salah satu alasan
kenapa aku nggak suka sushi. Dan sekarang aku baru saja menelan salah satu di antaranya!
Telan, Alice, telaaaaaannnnn!
"Say, kalau nggak suka nggak usah dipaksain. Nih, kamu makan Chicken Katsu aja," Dylan
menatapku khawatir, dan menyorongkan salah satu piringnya.
"Nggak usah. Nggg... enak kok. Aku makan ini aja, hehe..."
Dan selama setengah jam berikutnya aku sibuk berkutat menghabiskan Salmon-Takamakisalah-pesan itu. Mencampurnya dengan kecap asin dan wasabi banyak-banyak ternyata cukup
menolong. Ohh, how I wish they"ve cooked the salmon....
IDE GILA BENAR-BENAR nggak terasa sudah setahun gue dan Alice jadian. Rasanya kok kayak baru
kemarin ya gue ketemu dia di jumpa fans pensinya SMA 93" Rasanya baru kemarin Kinar
ngenalin dia ke gue, dan baru kemarin juga ada syuting Pacar Selebriti.
Hmm, memang bener kata orang, waktu terasa berjalan cepat sekali kalau kita menjalani
sesuatu yang menyenangkan.
Setelah masalah dengan Noni dulu itu, nggak ada satu pun masalah lagi yang muncul
antara gue dan Alice. Yah, paling masalah-masalah kecil kayak berantem karena gue datang
telat saat janjian (kalau nggak macet bukan Jakarta namanya, man! Dan Alice terus-menerus
menelepon, padahal bahaya banget kalau gue menerima telepon saat gue di jalan raya!), terus
Alice yang masih suka minder ada di sebelah gue. Nggak tahu kenapa. Padahal di mata gue,
she"s the best girl ever.
Memang, pemberitaan infotainment di awal-awal kami go public dulu nggak begitu
bagus. Gue malah dengar beberapa orang mengomentari gue bego karena blak-blakan
mengaku udah punya cewek. Katanya, tabu buat personel band yang lagi ngetop untuk
mengaku nggak jomblo lagi. Popularitas bia turun, fans bisa bubar jalan.
Sebodo amat lah. Bukannya fans nggak penting buat gue. Oho, tanpa mereka, siapa sih Skillful" Siapa sih
Dylan" Tapi kalau gue sampai harus mengorbankan perasaan cewek yang gue sayangi hanya
karena alasan kayak gitu, itu gila namanya. Sebuah band harusnya disuka karena lagulagunya bagus, personelnya ramah, bukan karena masih single atau nggak. Kalau band itu
bener-bener bagus, biarpun semua personelnya udah punya anak, pasti deh fans nggak bakal
lari. Lho, kok gue jadi berfilsafat ya"
Yah, pokoknya gitu deh pandangan gue. Gue nggak mau menomorduakan Alice, dia
udah banyak terluka gara-gara itu. Bohong kalau gue bilang gue sayang dia, tapi masih
melakukan hal-hal yang bikin dia sedih.
Nah, singkatnya, gue happy. Nggak mau muluk dengan bilang she"s the one. But I would
say that I"ve finally found someone. Someone who could be the one. Gue berani bilang igut
karena melihat satu fakta: Mama, seperti yang udah gue duga, sayang banget sama Alice.
Malah kadang gue ngerasa gue yang dianaktirikan kalau ada Alice.
Contohnya nih, minggu lalu waktu Mama bikin brownies kukus. Yang dibolehin makan
potongan pertama dari pan itu Alice! Terus Mbak Vita, pacarnya Tora. Terus Papa. Terus
Tora. Baru deh terakhir gue dikasih izin. Dianaktirikan banget, kan"
Tapi gue nggak keberatan kok. Kalau Mama udah sesayang itu sama orang, itu pertanda
ke depannya semua rencana bakal mulus.
Nggak percaya" Gue ada bukti: Mama sayang banget sama Mbak Vita (nggak heran sih,
kan Mbak Vit aorangnya taat banget sama Tuhan, cantik, baik, pinter, pula! Gue aja masih
nggak percaya Tora yang suka seenak udelnya sendiri itu bisa dapet cewek kayak Mbak
Vita!), dan sekarang... Tora and Mbak Vita are getting married!
Tora, abang gue yang suka iseng itu, mau nikah! Gue masih nggak percaya!
See" Pokoknya kalau Mama setuju, semuanya langsung berjalan mulus.
Yah, bukannya gue berpikir mau merit sama Alice atau apa (gila aja, dia kan belum lulus
SMA!), tapi ini bisa jadi pertanda yang bagus, kan"
"Hoi! Bengong!" Dudy menepuk punggung gue dari belakang, dan gue nyaris jatuh
tengkurap ke depan. "Sialan lo, ngagetin aja!" Gue mendorongnya balik, dan dia cengar-cengir.
"Dipanggil Bang Budy noh!"
"Ada apa?" "Mana gue tahu! Udah sana cepetan, lo kan tahu dia orangnya kayak apa kalo ngadepin
orang lelet!" Gue mengedikkan bahu, lalu berjalan menuju ruangan Bang Budy. Gue mengetok pintu
dan masuk. "Abang manggil aku?"
"Iya. Duduk, Lan."
Gue menurut, dan mengempaskan diri di salah satu sofa di situ. "Ada kontrak baru lagi?"
Bang Budy menggeleng. "Sebenernya Abang malu mau ngomong soal ini sama kamu."
Gue bengong. Weitss, kenapa Bang Budy bilang gitu" Apa yang bikin dia malu untuk
ngomong ke gue" Jangan-jangan dia mau mengakui bahwa...
Hiiii... nggak deh! "Ada apa sih, Bang?"
"Tadi Abang ditelepon Pak Leo, dia..." Gue langsung memasang telinga baik-baik. Pak
Leo adalah bos sekaligus pemilik Pro Music Indonesia, recording label tempat Skillful
bernaung. Dia nggak bakal menelepon kalau nggak ada urusan yang benar-benar gawat
darurat. Kantor Pro Music kebakaran, misalnya.
Eh nggak ding, kalau urusannya begitu, yang bakal dia telepon jelas pemadam
kebakaran, bukan Bang Budy.
"Ya?" Gue jadi nggak sabaran. Kok tumben sih Bang Budy ngomongnya kayak balita
baru belajar bicara gini" Biasanya dia kalau ngomong cas-cis-cus-pret, tanpa jeda dan
langsung, meniru istilah Tukul, tunjek poin.
To the point, maksudnyaaaa.
"Kata Pak Leo... Aduh, Dylan, ini bad news."
Haduh, ampun deh... bad news! Sekalinya nelepon, bos besar itu malah bawa berita
buruk! Gue jadi punya firasat jelek...
"Apa penjualan album Skillful merosot" Karena... karena aku ngaku udah punya pacar?"
Gue nggak bercanda. Dalam dunia gue dan Skillful, hal kayak gitu sangat mungkin
terjadi. Seperti yang gue bilang tadi, banyak orang menganggap tabu kalau seorang personel
band ngetop mengakui statusnya udah nggak single.
Dulu, penjualan album Peterpan merosot setelah Ariel merit. Itu bukti nyata.
Tapi untunglah, Bang Budy menggeleng.
"Nggak, ini sama sekali nggak ada hubungannya sama kamu dan Alice. Penjualan album
bagus kok... bagus banget." Sekarang Bang Budy meremas-remas tangannya dengan gelisah.
Haduh, gue jadi punya pikiran lebih buruk lagi nih kalau gaya Bang Budy udah kayak ayam
mau bertelor begini! "Ada apa sih" Pak Leo bilang apa?"
Bang Budy kelihatannya benar-benar bakal bermetamorfosa jadi ayam petelur, karena
dia sekarang mengubah-ubah posisi duduknya. Seolah ada anak ayam yang mulai menetas di
bawah bokongnya. "Kamu pernah dengar nama band Excuse?"
"Nggak." "Itu band baru Pro Music. Kata Pak Leo, mereka sangat potensial."
"Oh, maksudnya saingan baru, gitu" Kalau itu Abang nggak usah khawatir, kita udah
punya penggemar sendiri, Bang."
"Nggak, Abang nggak khawatir. Yang khawatir justru Pak Leo."
"Hah" Maksudnya?" Gue jadi nggak nyambung. Kenapa tiba-tiba Pak Leo khawatir
Skillful punya saingan" Toh kami selama ini punya banyak saingan dan kami tetap baik-baik
aja. "Mmm... Pak leo bukan khawatir sama Skillful, tapi sama Excuse."
"Tunggu, biar aku perjelas dulu biar nantinya nggak salah tangkap. Pak Leo khawatir
sama Excuse, karena mereka band baru dan belum tentu penjualan albumnya bagus?"
"Ya." "Terus, apa hubungannya sama Skillful" Kita diminta bantuin mereka?"
Bang Budy kelihatan menelan ludah dengan susah payah. Perasaan gue makin nggak
enak. "Kurang-lebih... ya, seperti itu. Kita diminta bantuin mereka."
"Bantuin bikin lagu?"
Bang Budy menggeleng. "Membawa mereka jadi opening band kita untuk promo tur berikutnya?" tebak gue lagi.
Bang Budy, lagi-lagi, menggeleng.
"Terus apa?" "Ehh... yah, sebenarnya kamu yang diminta bantuannya, Lan."
"Aku?" Gue menuding muka gue sendiri. Gimana gue bisa bantuin band itu"
"Iya. Kamu diminta... membantu mereka meraih atensi masyarakat."
"Dengan cara?" "Mmm... membuat masyarakat tahu kalau ada band bernama Excuse."
"Iya Bang, aku ngertiiiiii... tapi dengan cara apa?" Gue mulai nggak sabaran. Bang Budy
bener-bener aneh kalau ngomongnya belepotan begini!
"Ehh... kasarnya, kamu diminta cari masalah sama vokalis band itu, lalu apalah... yang
bisa bikin kalian berdua muncul di infotainment, lalu masyarakat akan tahu ada band yang
bernama Excuse... Tapi soal yang cari masalah itu, kalian berdua cuma sandiwara kok..."
Gue melongo dengan suksesnya! Jadi INI yang bikin Bang Budy ngomong ke sana
kemari dari tadi" Gue diminta "membawa" vokalis Excuse, dan secara tidak langsung
bandnya juga, untuk masuk infotainment?""
Benar-benar gila! "Aku nggak setuju, Bang."
"Yah... Abang juga. Tapi Pak Leo sendiri yang minta sama kita..."
Gue jadi emosi nih kalau gini caranya! "Tapi apa Pak Leo nggak mikirin apa dampaknya
buat Skillful nanti" Apa Pak Leo nggak mikirin dampak buat aku pribadi" Katakanlah aku
terlibat tindakan pemukulan sama vokalis Excuse, apa itu nggak bikin image-ku jadi jelek"
Nggak bikin image Skillful jadi jelek?"
Bang Budy menghela napas. Seumur-umur, baru kali ini gue berani menyerocos di
depannya. Biasanya juga dia yang menyerocos di depan gue!
"Lalu..." "Bang, Abang tahu aku nggak suka infotainment. Sebisa mungkin aku menghindar, tapi
sekarang Pak Leo begitu aja minta aku jadi... jadi tumbal supaya memuluskan jalan
Excuse"!" "Dylan, Abang juga nggak setuju! Kamu kira Abang mau merusak image band yang
sudah Abang bentuk" Kalau kau mau tahu, dari riset label, kita adalah band paling minim
publikasi negatif!" "Terus kenapa sekarang Pak Leo kepingin bikin kita jadi band haus publikasi" Kenapa
nggak minta vokalis band lain aja untuk main sandiwara sama vokalis Excuse" Kenapa nggak
nyuruh... nyuruh Hugo-nya eXisT aja" Dia kan suka cari masalah! Orang nggak bakal kaget
kalau dia yang muncul di infotainment!" Sekarang gue mulai adu mulut sama Bang Budy.
"eXisT bukan artis Pro Music, Lan," kata Bang Budy, dan gue langsung memaki-maki
dalam hati. Tentu saja Pak Leo nggak bisa menggunakan artis dari recording label lain. Dia
harus menggunakan artis dari labelnya sendiri, yang kalau gue pikir-pikir, memang yang
paling cocok dijadikan boneka adalah gue.
Oh damn Sugar-honey-ice-tea!
"Kamu harus tahu, Pak Leo justru butuh oran gyang selama ini nggak pernah muncul
dalam sorotan publisitas. Orang yang kalau masuk infotainment akan bikin masyarakat kaget,
dan nggak mudah lupa..."
"Yeah, aku bakal selamanya diingat sebagai tukang jagal!" gerutuku emosi. Ini benerbener ide tergila yang pernah kudengar.
Entah apa reaksi Alice kalau mendengar soal ini.
"Apa ada pilihan untuk menolak?" tanya gue pesimis.
"nggak ada. Kamu tahu Pak Leo. His wish is our command."
Kayaknya gue kepingin bener-bener menghadiahi bogem mentah sama vokalis Excuse
itu. Gara-gara bandnya mau cari atensi masyarakat, gue yang jadi korban!
Gue hampir membanting pintu ruangan Bang Budy waktu dia memanggil.
"Lan, cuma mau ngingatin aja, tanggal lima belas ada MTV Awards. Kamu boleh ajak
Alice." Hah, kok bisa saat ada masalah gue-harus-berakting-memukuli-vokalis-band-pendatangbaru-supaya-bandnya-dapat-perhatian-cukup begini, Bang Budy masih bisa membahas MTV
Awards"! REGINA HELMY, JANGAN SAMPAI KAU YANG
TERPAKSA MENGOMPRES PIPIMU DENGAN ES
BATU! ADA begitu banyak hal yang baru kusadari setelah satu tahun aku dan Dylan jadian. Ehh...
baikan. Di antaranya adalah...
1. Dylan ternyata sangaaaattt cerdas. Dulu, waktu aku masih berstatus fans Skillful, dan
beberapa kali menonton Dylan manggung, aku tahu kalau cara dia berkomunikasi dengan
audiens sangat payah. Omongannya kadang-kadang nggak nyambung, dan suka salting sendiri di
panggung. Tapi ternyata kalau aku ngobrol-ngobrol berdua aja sama dia, dia benar-benar cerdas.
Diajak ngobrol apa aja nyambung. Belum lagi otaknya yang punya daya ingat super itu.
Wawasannya juga luas. Jadi kesimpulanku: tiap kali di atas panggung pasti dia grogi, sampaisampai omongannya suka ngawur dan melantur ke mana-mana.
2. Dylan itu jayus. Bener deh. Sering aku nggak nyadar kalau dia sedang bermaksud melucu,
dan malah menatapnya dengan ekspresi "maksud-loo?". Hmm... mungkin itu sebabnya dia
menganggapku sangat lucu. Jelas stok lawakanku jauh lebih fresh dan nggak garing kayak dia,
haha! 3. Dylan kalau mandi lamaaaaa banget! Entah apa saja yang dilakukannya di dalam sana.
Kamar mandi, maksudku. Pernah aku sampai harus menunggu hampir satu jam di teras
rumahnya, dan Dylan belum selesai mandi juga. Mungkinkah bercukur menghabiskan waktu
lebih lama dibanding luluran"
4. Porsi makan Dylan nggak jauh beda dengan kuli pelabuhan. Aku sampai kaget
waktumakan bareng dia di Hoka-Hoka Bento, kira-kira tiga bulan setelah kami balikan, karena
dia sanggup menghabiskan porsi makan untuk tiga orang! Akibatnya, sekarang beratnya naik lima
kilo, dan banyak diprotes para fansnya. Kasihan dia... Selain aku, nggak ada yang tahu masalah
kritikan tentang berat badannya itu membuatnya cukup stres.
5. Hal yang membuat Dylan malas menyetir mobil adalah karena waktu dia pertama kali
belajar menyetir dulu, dia menabrak tong sampah tetangganya sampai ambrol, dan diminta
mengganti rugi empat ratus ribu! Hah, aku sih juga bakal trauma kayak dia kalau diminta
mengganti sebanyak itu! Tetanggaku, Bu Parno, si Mrs. Infotainment itu, seenggaknya nggak
akan minta ganti rugi sebanyak itu kalau aku menghancurkan tong sampahnya. Atau... hmm...
nggak tahu juga sih. Aku nggak pernah menabrak tong sampahnya, soalnya. Belum. Hehe.
6. Dylan bener-bener kepingin melanjutkan kuliahnya. Kalau bisa, dia malah mau
meneruskan S2. Tapi sampai sekarang jadwal Skillful masih padat, dan Dylan terpaksa memperpanjang cuti kuliahnya.
7. Kue favorit Dylan adalah pukis. Aku nggak bercanda: P-U-K-I-S. Kalau ada donat J.Co
dan pukis di depannya, lalu dia disuruh memilih, aku berani bertaruh kalau dia akan memilih
pukis. Kamu nggak bakal percaya sebelum melihatnya sendiri.
8. Jangan pernah mengajak Dylan bicara saat dia baru bangun tidur dan belum minum kopi.


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam kondisi seperti itu, kalau kamu meneleponnya untuk minta jemput di PIM, dia akan
menjemputmu ke Plaza Senayan. Aku pernah mengalaminya. Jangan tertawa.
9. Dylan itu orangnya sangat pengalah. Sama sekali nggak egois, sampai-sampai aku merasa
nggak enak karena sering mau menang sendiri. Termasuk untuk menentukan film apa yang akan
kami tonton kalau ke bioskop. Dia berkali-kali mengalah untuk nggak nonton The Bourne
Ultimatum atau Die Hard 4.0 karena aku memaksanya nonton Selamanya dan Harry Poter and the
Order of the Phoenix. Di luar semua itu, banyaaakk sekali yang berubah dalam hidupku. Termasuk bertambahnya
gelarku sebagai psikolog amatir free charge, karena fans-fans Skillful yang kukenal sekarang sering
banget menelepon atau SMS untuk curhat masalah-masalah pribadi mereka. Padahal ada lho yang
sudah anak kuliahan, yang notabene lebih tua dari aku dan harusnya bisa lebih dewasa dalam
menyikapi masalahnya, tapi malah minta saran dariku.
Tapi aku menikmati semuanya.
Kecuali saat-saat di mana gerombolan wartawan infotainment mengintilku dan Dylan ke mana
pun, itu sangat menyebalkan. Bagaimana caranya pacaran kalau dilihatin begitu banyak orang,
plus disorot kamera, plus bakal jadi tontonan jutaan penikmat infotainment se-Indonesia"
Aku nggak akan bangga seandainya pagi-pagi saat aku mau berangkat sekolah, Bu Parno
muncul di teras rumahnya dan bilang, "Lice, saya lihat kamu lho di infotainment kemarin sore."
Percayalah, itu pertanda bahwa namaku akan disebut-sebut setidaknya seratus kali dalam
arisan PKK selanjutnya. *** "Aku nggak mau makan sushi lagi," kataku begitu Dylan bilang dia lapar. Dylan tertawa geli.
"Aku nggak bilang kalau mau makan sushi kok," katanya sok ngeles. "Kita makan pizza aja,
yuk?" Aku mengangguk. Whatever lah, asal bukan sushi lagi. Aku nggak sanggup membayangkan
harus mengulang skenario menelan salmon mentah kemarin.
Dylan menggandengku menuju Pizza Hut. Seperti biasa, orang-orang yang kami lewati
menatap kami dengan tatapan ohh-ada-seleb-lewat. Bahkan ada dua cewek yang memberanikan
diri menyapa Dylan dan mengajaknya foto bareng, biarpun suara mereka bergetar saking
groginya saat bicara. Haha, kalau aku melihat fans-fans seperti ini, aku jadi teringat masa lalu, saat
aku begitu groginya untuk bicara pada Dylan.
Kami sudah sampai di depan Pizza Hut, dan hampir saja masuk waktu seseorang
memanggil. "Dylan!" Spontan kami berhenti, dan aku menoleh melihat siapa yang memanggil itu.
O-em-ji. Regina Helmy! Damn, kenapa dari sekian banyak mal di Jakarta, dia memilih datang ke mal ini dan
berpapasan dengan aku dan Dylan" Dan dilihat aslinya, ternyata dia jauuuhh lebih cantik daripada
di TV. Tinggi langsing, dengan pakaian modis, yang aku yakin kulihat minggu lalu di etalase
ZARA, menempel di badannya. Ohh, dan tasnya pun Anya Hindmarch! Dan dia pakai boots yang
keren banget! Apakah itu... Jimmy Choo yang terbaru?""
"Hai, Gin!" sapa Dylan sambil, entah mataku salah lihat atau apa, tersenyum sumringah.
Gin" Oh ya, Gin dari Gina. Gina dari Regina. Hmm... tidakkah terdengar terlalu akrab"
Semacam panggilan... sayang"
Heh... nggak, aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh!
"Hai!" balas Regina sambil tersenyum lebar. Gigi-giginya rapi sekali, dan putih bersih. Entah
seberapa sering di-bleaching. Dan entah kenapa aku juga setengah berharap akan menemukan cabe
nyelip di sana. Itu akan membuatnya sedikit manusiawi, kecantikannya terlalu mirip bidadari,
bikin aku minder saja! Sayang sekali nggak ada cabe nyelip di giginya.
"Sama siapa?" tanya Regina.
"Ini, sama cewek gue." Dylan menunjukku yang ada di sebelahnya.
Regina, dengan kurang ajarnya, celingak-celinguk, seolah dia nggak percaya akulah yang
dimaksud Dylan sebagai ceweknya! Sialan!
"Oh," katanya akhirnya, saat tatapannya berhenti padaku. "Ini cewek lo?"
"Ya. Namanya Alice. Alice, Regina. Regina, Alice," Dylan saling mengenalkan kami. Mau
nggak mau aku menjabat tangan Regina, yang benar-benar halus bak sutra. Padahal tadi aku
berharap tangannya kapalan atau berkutil. Sayang sekali, harapanku lagi-lagi nggak terkabul.
"Eh, Lan, pipi lo masih merah..." Regina melepaskan tangannya dari jabatanku dan...
menyentuh pipi Dylan! Di depanku!!!
Dobel kurang ajar! Berani-beraninya! Apa dia sama sekali nggak memandangku?""
Helooooo... aku ini pacarnya Dylan!
"Ng... nggak, udah nggak papa kok," kata Dylan dengan nada suara yang aneh, jelas dia
merasa risih pipinya disentuh Regina begitu!
Atau dia malah... grogi"
"Sori ya waktu itu gue bego banget sampai harus take berulang kali," kata Regina sambil
tertawa kecil. Tawanya halus sekali, seperti dilatih di sekolah kepribadian. Sangat bertolak
belakang dengan cara tertawaku yang bercampur antara ngakak dan mendengus.
"Ah, nggak papa, toh akhirnya beres juga tu video klip," Dylan cengengesan.
"Habisnya... gue grogi sih kalau di depan lo," kata Regina pelan, tapi membuatku serasa baru
dipaksa menelan sebaskom Salmon Takamaki. Tanpa wasabi dan kecap asin.
Ini orang sengaja manas-manasin aku, atau dia memang lagi flirting sama Dylan?""
"Ah, lo bisa aja. Gue bukan siapa-siapa lagi, kan lo yang model dengan nilai kontrak
termahal se-Indonesia."
Ya ampun. Sekarang mereka malah saling memuji! Dan aku terlupakan!
"Nilai kontrak nggak menjamin kualitas, Lan," kata Regina lagi, dan dengan segenap jiwa
aku mengaminkannya dalam hati. Yeah, dia boleh saja berbandrol paling tinggi se-Indonesia, tapi
di mataku dia sangat norak! Nggak berkualitas, huh!
"Eh, gue pamit dulu ya, mau ada pemotretan. Takut kena macet di jalan." Dia melirik
arlojinya, dan aku samar bisa melihat huruf G besar terpampang di sana.
Ah ya, aku lupa dia spokeperson untuk merek arloji itu di Indonesia. Mungkin dia otomatis
mendapat suplai produk arloji keluaran terbaru merek itu setiap bulan.
"Lho, nggak mau gabung sama kita?" tanya Dylan sambil menunjuk pintu masuk Pizza Hut,
yang membuatku melotot saking kagetnya. Dylan mengajak Regina gabung sama kami?""
"Sori, Lan, gue nggak bisa. Ada pemotretan, dan gue harus ngurusin badan lagi nih, minggu
depan gue ikut rombongan Anne Avantie ke State, ada undangan fashion show di sana."
Huh! Ingin rasanya aku mengucapkan "minggu-depan-gue-juga-ikut-rombongan-DonatellaVersace-ke-Planet-Mars-ada-undangan-fashion-show-di-sana"!
"Ohh, ya udah. Good luck deh buat kerjaan lo."
"Oke. Ntar pipi lo kompres pake es batu gih, biar hilang merahnya," kata Regina sambil,
sekali lagi, menyentuh pipi Dylan!
Kalau dia nggak segera cabut dari sini, dia yang akan kubuat terpaksa mengompres pipi
dengan es batu nanti malam!
Regina ber-dadah ria pada Dylan (kelihatannya dia sengaja berpura-pura aku nggak ada di
sebelah Dylan), kemudian berlalu pergi. Dylan menggandeng tanganku lagi dan kami masuk ke
Pizza Hut. Sampai pesanan kami datang, aku masih merengut bete.
"Kok kamu nggak makan?"
Aku makin manyun. "Nggak! Minggu depan gue ada show Anne Avantie di State! Harus
ngurusin badan!" Alis Dylan terangkat sebelah, lalu dia terpingkal-pingkal.
"Kamu marah ya sama Regina" Gara-gara dia menyentuh pipiku tadi?"
Aku membuang muka. Ternyata aku keliru menilai Dylan cerdas! Buktinya, untuk
pertanyaan yan gudah jelas jawabannya gitu aja, dia masih nanya!
"Cieee... yang lagi cemburu," Dylan menggodaku, tapi aku tetap buang muka. Biar aja sekalisekali dia tahu rasanya dicuekin! Suer, aku kesel banget tadi sepanjang dia ngobrol sama Regina!
Aku merasa... minder. Dan terintimidasi. Hanya dengan kehadiran seorang Regina Helmy.
"Jangan gitu, Say. Aku nggak ada apa-apa kok sama Regina. Di video klip sekalipun, adegan
kami nggak ada yang berhubungan sama mesra-mesraan. Klip itu kan isinya tentang cewek sama
cowok yang berantem melulu."
Kayaknya aku mulai melunak. Iya ya, urusan Dylan dan Regina kan cuma di syuting video
klip itu saja, dan kalau video klip itu sudah selesai, berarti mereka nggak akan beruruan lagi. Done.
"Yahh...," kataku akhirnya, setengah merengek, "wajar kan kalau aku khawatir kamu
kecantol cewek macam Regina. Dia kan cantik, langsing, modis, model top pula..."
"Say, aku tuh cari pacar yang bisa bikin aku merasa there"s no one else I"d rather spend my time
with. Yang kalau aku nggak ketemu dia sehariii aja, aku bisa kangen setengah mati. Pacar yang
mau diajak makan Pizza Hut bareng, bukannya yang menolak dengan alasan dia diet karena
minggu depan ada undangan fashion show."
Aku menelan ludah. Ah, memang aku sering sekali jadi childish dan konyol begini. Dan
hebatnya, Dylan selalu bisa menghadapi aku dengan tenang.
Kok dia masih bisa tahan juga ya sama aku?"
"Tapi... tapi... kenapa dia pegang-pegang pipimu segala?" tanyaku tergagap. Aku jadi malu
sudah ngambek, tapi gengsi dong kalau ngaku!
"Regina emang orangnya gitu, suka SKSD." Dylan nyengir dan aku merasa senang melihat
ada satu poin negatif Regina di mata Dylan. Seperti yang kubilang sebelumnya, satu poin jelek
akan membuat cewek itu terlihat sedikit manusiawi.
"Berarti kamu nggak suka, kan... nggg... digituin?"
"Digituin gimana" Dipegang-pegang pipinya" Ya nggak sukalah, Say... sebel banget!"
"Oohh..." "Tapi aku kasihan sama Regina."
"Heh" Kenapa?" Menurutku, nggak ada satu hal pun dari Regina yang bisa membuat orang
mengasihaninya. Apa coba yang harus dikasihani" Cantiknya selangit, karier sukses, dan penghasilannya pasti berlimpah.
"Cowoknya kan meninggal beberapa bulan lalu. Narkoba."
Aku menggigit bibir. Aku sama sekali nggak tahu tentang itu. Secara, aku bukan penggila
infotainment kayak Bu Parno.
Dan yah... mungkin itu sebabnya Regina sengaja memanas-manasi aku dengan SKSD sama
Dylan tadi. Mungkiiiin dia iri aku masih punya Dylan, sementara dia kehilangan cowoknya.
Kok aku jadi kasihan juga ya, sama dia" Jadi prihatin. Hmm...
"OH iya, Say, aku mau kasih tahu kamu sesuatu nih."
"Hmm?" "Tanggal lima belas nanti nggak ada acara, kan" Nggak ada jadwal ulangan juga?"
Aku mengerutkan kening. Memangnya ada apa Dylan tanya kayak gitu"
"Bentar, coba kuingat-ingat dulu..." Aku memutar otak. "Kayaknya nggak ada deh, kenapa
emangnya?" "Mau ikut ke MTV Awards nggak?"
"HAH?"!" "MTV Awards," ulang Dylan. "Kan Skillful masuk nominasi, jadi aku sama anak-anak
semua bakal dateng. Nah, Rey, Dovan, Ernest, sama Dudy berencana ngajak istri masing-masing.
Dan aku jelas nggak mau menghabiskan semalaman duduk garing di sebelah Bang Budy. So,"
Dylan tersenyum, "would you like to accompany me?"
Kayaknya menu sarapan yang kumakan tadi pagi (roti panggang dan telur mata sapi) jungkirbalik di dalam perutku. Seolah gerak peristaltik nggak lagi manjur untuk mengolah mereka
menjadi energi, jadi mereka memutuskan untuk berakrobat sendiri di lambung dan usus-ususku.
"Maksudnya nanti... aku bakal duduk di sebelahmu sepanjang acara itu, gitu?"
Dylan nyengir. "Kecuali kamu lebih suka duduk di sebelah Bang Budy."
"Dylan, aku serius! Aku nggak pernah ikut acara-acara kayak gitu! Apalagi..."
Aku menyumpah-nyumpah dalam hati. Ya ampuun, acara macam itu kan pasti ada red carpet
session-nya! Belum lagi, bakal ada para VJ MTV yang jadi fashion police, yang bakal mencari tahu
dari mana asal-usul gaun, jas, baju, dan sepatu orang-orang yang lewat di situ!
Aku ingat, tahun lalu, Titi Kamal datang sambil menggandeng Christian Sugiono di MTV
Awards, dan saat ditanya gaun, clutch, dan stiletto-nya dibeli di mana, dia menyebutkan Gucci,
Guess", ZARA. Berapa budget yang dia habiskan" Sepuluh jeti. Lebih dikit.
Entah berapa yang dia maksud dengan "lebih dikit" itu.
Kalau aku setuju untuk menemani Dylan ke sana, aku harus pakai baju apa?"" Aku jelas
nggak punya budget "sepuluh juta lebih dikit" seperti Titi Kamal!
"Sayaaang, helooo..." Kok ngelamun?"
Aku menggeleng beberapa kali, berusaha mengusir bayangan Titi Kamal dari benakku.
"Mmm, Lan, aku nggak tahu apa aku pantas datang di acara kayak gitu."
"Apa kamu pantas" Ya pantas dong! Kenapa kamu mikir kayak gitu?"
"Aku..." Ah, nggak lucu kalau aku bilang aku nggak punya baju yang pantas untuk datang ke
acara itu. Bisa-bisa nanti Dylan mengira aku minta dibelikan baju!
Yeah, aku tahu dengan sekali manggung dia bisa membelikanku segala macam yang dipakai
Titi Kamal tahun lalu itu, tapi itu kan gila sekali!
"Aku... mmm... aku takut bikin kekacauan di sana."
Dylan bengong. "Kekacauan" Kamu... nggak berencana bawa bom kentut atau apa, kan?"
"Aduh, ya nggak laaaaahhhh! Maksudku, aku takut kalau nanti tingkahku di sana ada yang
konyol, dan ujung-ujungnya malah bikin kamu malu..."
Nah, itu alasan yang cukup brilian untuk dipikirkan dalam waktu beberapa detik.
"Nggak usah mikir kayak gitu, kamu nggak bakal bikin aku malu kok. Aku malah bangga
banget kalau bisa datang sambil menggandeng kamu. Ikut, ya?"
Oh, sudahlah. Memangnya aku bisa bikin kekonyolan apa sih di sana" Dan mungkin aku bisa
memikirkan soal baju nanti. Ini toh masih tanggal satu. Masih ada waktu dua minggu untuk
memutar otak. GARA-GARA GUE GUE nggak tega cerita sama Alice tentang obrolan gue dan Bang Budy waktu itu. Dia pasti
bakal bingung banget kalau gue cerita, dan gue nggak mau menambah beban pikirannya.
Alice itu orangnya suka kepikiran kalau ada masalah.
Nah, sebagai gantinya, gue malah mengajak dia ke MTV Awards. Dia sempat nggak
mau, katanya dia merasa nggak pantas datang ke acara semacam itu. Yang bener aja, Babe,
nggak ada yang lebih pantas datang bareng gue ke acara itu selain lo.
Hmm, tapi tampaknya ajakan menemani gue ke MTV Awards juga membuatnya
kepikiran. Kadang-kadang gue berpendapat Alice seharusnya menjalani hidupnya dengan
lebih santai. C"mon, she"s not even seventeen yet! Kalau nggak berhenti mengkhawatirkan
segala sesuatu, dia bakal cepat tua.
... Ngomong apa gue" Bukannya GUE yang membuat dia jadi seperti itu" Gue yang
menyeret dia ke dalam dunia yang penuh pressure. Fans-fans yang selalu minta perhatian,
rentetan tur promo dan show yang nggak ada habisnya, keterbatasan waktu gue untuk
bersama dia... Kalau dia jadi cepat tua, itu semua salah gue.
"Lan, Dylan!" Gue mendongak dari koran yang sedari tadi menutupi muka gue tanpa gue baca sedikit
pun. Tora berdiri di depan pintu kamar dengan tampang panik.
"Apa?" "Aduh, lo tolongin gue dong! Vita sama Mama lagi gawat banget tuh!"
Gue bengong. Apa yang dia maksud dengan Mbak Vita dan Mama lagi gawat banget"
Apa mereka berdebat tentang satu hal dan nggak bisa menemukan kata sepakat, lalu akhirnya
berantem" Apa piring-piring sudah beterbangan di dapur"
"Emangnya ada apa?"
"Ituu... masa Vita sama Mama maunya dekorasi pesta nanti pakai warna pink semua!"
"Hah?" "Iyaaaa, mereka maunya pesta pernikahan gue sama Vita nanti pakai nuansa pink! Gila,
lo kira gue bakal tahan berdiri selama berjam-jam untuk salaman sama para tamu di ruangan
yang seluruhnya bernuansa PINK" Kenapa sih mereka nggak milih putih aja" Atau apalah...
warna yang netral..."
Mau nggak mau gue ngakak. Haha, ternyata ini yang Tora maksud Mama dan Mbak Vita
lagi gawat banget! Tora nggak mau pestanya nanti bernuansa pink!
Kalau dipikir-pikir emang gila juga sih... Warna pink... Haha!
"Lho, apa yang salah dengan warna pink?" tanya gue sok lugu. "Kan bagus, ceria."
"Lo ternyata jadi ikutan gila, Lan! Gue kira Mama sama Vita aja yang jadi terobsesi
sama segala sesuatu tentang pesta ini, tapi ternyata lo juga kena dampaknya, ikutan stres
sampai nggak bisa berpikir jernih!"
Tora pergi sambil menyumpah-nyumpah. Gue nggak bisa nggak tertawa melihat
tingkahnya. Ternyata ada juga yang bisa bikin si Mr. Easygoing pusing tujuh keliling.
PUSIIING!!! AKU sama sekali nggak ngerti kenapa guru-guru zaman sekarang hobi sekali melihat muridmuridnya sengsara. Sudah tau kami, para murid yang teraniaya ini, sangat kurang waktu untuk
istirahat dan menikmati masa muda, kok ya mereka malah tega memberi tugas tambahan"
Bayangin! Tugas tambahan! Libur sekolah aja nggak ada yang namanya libur tambahan!
Nah, salah satu anggota Persekutuan Guru Tega itu adalah Pak Rudi, guru bahasa Indonesiaku. Tadi waktu dia masuk ke kelas, dengan tampang nggak berdosa dia bilang bakal memberikan
tugas tambahan buat kami, membuat karya tulis! Dasar guru tengil! Kayak masalahku belum
cukup banyak saja! Aku bahkan masih belum punya baju untuk kupakai menemani Dylan ke
MTV Awards! Aduh, masalah yang satu itu beneran kronis deh...
Kemarin aku cerita ke Mama, dan Mama bilang nggak keberatan meminjami aku credit cardnya untuk beli baju, tapi itu justru membuatku tambah bingung! Aku kan nggak pernah datang ke
acara-acara high class begini! Dan kalaupun aku punya credit card yang bisa digesek untuk beli baju,
itu nggak menyelesaikan masalah! Aku, yang pasti membeli baju dengan kondisi linglung bagai
tak memijak bumi itu, bisa saja membeli gaun yang salah total!
Nah, aku harus bikin skala prioritas. First thing first. MTV Awards masih sepuluh hari lagi,
sementara karya tulis harus dikumpulkan besok lusa. Jelas aku harus mulai membuat karya tulis
sialan itu dulu. Tunggu, tadi Pak Rudi bilang temanya apa"
"Grace! Grace!" Aku menyiku Grace yang duduk di sebelahku buru-buru. Mumpung aku
lagi punya niat mengerjakan tugas, harus segera dilaksanakan sebelum niatku itu menguap.
"Apa?" "Tema kartulnya tentang apa sih, bo?"
"Bebas." "Hah" Kebebasan gitu, maksudnya" Freedom?"
Grace berdecak. "Bukaaann. Maksudnya, kita bebas memilih temanya sesuai keinginan kita.
Please deh, Lice, lo dari tadi ngapain aja sampai nggak denger Pak Rudi ngomong?"
Aku cengengesan. "Gue kepikiran baju apa yang harus gue pakai di MTV Awards! Aduh
gila, gue sama sekali nggak punya ide mau pakai baju apa!" Aku memang sudah cerita pada Grace
soal ajakan Dylan ke MTV Awards itu.
"Nggak punya ide atau nggak punya duit?" tembak Grace, dan aku langsung manyun.


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak punya ide! Nyokap gue udah mau minjemin credit card-nya kok, jadi gue nggak ada
masalah soal budget."
"Eh, kenapa nggak minta duit ke Dylan aja" Kan dia yang ngajak lo ke acara itu, harusnya
dia dong yang bayarin baju lo?"
"Ihhh..." Aku meleletkan lidah. "Gue kan baru pacar dia, belum jadi istri, nggak berhak
minta uang belanja!"
Grace nyengir. "Ya deh, ya deh, gue nggak akan membuat lo terlihat matre di depan Dylan.
Nah, gimana kalau nanti pulang sekolah kita ke butik temennya Kak Julia" Gue kenal sama yang
punya, jadi bisa minta special price. Plus, baju-baju di sana modelnya ajibb banget!" Dia
berpromosi. Aku nggak kaget mendengar ceritanya. Koneksi Kak Julia, kakak Grace, memang
mantap-mantap! Ada yang kerja di stasiun TV, pemilik EO, punya bistro sushi (satu-satunya bistro
yang menghasilkan sushi yang cocok dengan perutku), dan sekarang punya butik! Hebatnya,
mereka juga suka ngasih privilege gitu ke Grace, jadi anak tengil itu sering dapat hal-hal bagus
macam tiket konser gratis, voucher makan sushi, atau semacamnya.
Yah, aku juga selalu kecipratan seneng sih, hehe...
Aku nyaris mengangguk waktu teringat karya tulis tentang kebebasan, ehh... yang bertema
bebas itu. Kemungkinan aku menyelesaikan karya tulisku itu hanya dalam waktu satu hari sama
besarnya dengan kemungkinan Indonesia melunasi utangnya pada World Bank, yang berarti amat
sangat minim! Jelas aku harus mulai menyicil mengerjakan karya tulis itu mulai hari ini, huhhhh...
"Lusa aja deh Grace perginya."
"Lho" Bukannya makin lama ntar lo malah makin bingung mau pakai baju apa" Udaaahh,
hari ini aja perginya! Gue juga kepingin lihat-lihat baju di sana!"
"Gue juga maunya nanti, tapi gimana dong kartulnya ini?"
Grace menghela napas putus asa. "Iya ya... gara-gara Pak Rudi nih! Merampas kesenangan
murid-murid aja!" "He-eh," aku mengiyakan. "Gue nggak mungkin bisa nyelesein dalam satu hari, jadi kita
perginya habis kartul ini dikumpulin aja, ya?"
"Iya deh. Aduuhh, padahal tadinya gue mau pura-pura kartul ini cuma mimpi buruk!"
Aku menggumam nggak jelas. Lo nggak usah repot berpura-pura Grace, kartul ini memang
mimpi buruk. Hanya saja, ini mimpi buruk yang jadi kenyataan.
*** Aku mendekatkan wajahku ke cermin, dan bergidik ngeri begitu melihat calon jerawat yang
menampakkan diri tepat di ujung hidungku!
"Ihhh... kok bisa-bisanya ada jerawat nongol sekarang sih?"" Aku memandangi wajahku dari
segala sisi, dan ternyata calon jerawat itu bukannya halusinasi atau apa. Dia benar-benar nyata!
Padahal sembilan hari lagi aku harus menampakkan diri di MTV Awards! Apa jerawat ini
dan segala bopeng laknatnya bakal hilang dalam waktu sesingkat itu" Duuhh, kenapa sih cuma
Susan Storm saja yang bisa menghilangkan jerawatnya dalam dua detik tanpa perlu memakai obat
apa pun" Kenapa nggak tiap cewek dikaruniai kemampuan kayak gitu" Itu kan kemampuan yang
sangat berguna, dibanding... dibanding apa, ya"
Yah, pokoknya itu kemampuan yang sangat berguna! Apalagi untuk saat-saat kritis begini!
Aku mengomel panjang-pendek, lalu melirik jam di LCD HP-ku.
Hah"! Pukul 23.09?""
Dan aku belum menulis apa-apa untuk karya tulisku! Padahal besok tugas jelek itu harus
dikumpulkan! Hah, aku memang nggak bisa mengorganisir apa pun dengan baik! Plus nggak punya
keyakinan yang teguh! Niatnya kemarin pulang sekolah aku mau menyicil karya tulis itu (aku
sampai mengurungkan niat untuk pergi ke butik sama Grace, remember"), tapi aku ingat kalau Sisca
meminjamiku CD game The Sims 2 University, jadi tanpa babibu aku meng-install-nya di laptop-ku,
dan kebablasan main sampai pagi!
Hari ini aku juga main game itu sepanjang sore, dan baru berhasil mengendalikan diri dengan
mematikannya lalu membuka new document di Microsoft Word pukul 20.00 tadi.
Nah, sekarang new document itu masih berupa sheet kosong, nggak bertuliskan apa-apa kecuali
"Oleh: Alice Henrietta Hawkins" di tengah-tengahnya!
Jadi apa yang sudah kulakukan dalam rentang waktu tiga jam sejak aku membuka new
document itu"! Ah yeah, salah satunya sudah jelas: memandangi jerawatku di cermin, dan berandai-andai
aku ini Susan Storm. Sempat terlintas di pikiranku untuk bolos saja besok, dan mengumpulkan karya tulis ini lusa,
jadi aku punya waktu tambahan untuk mengerjakannya satu hari, tapi lalu aku ingat Pak Rudi itu
jenis guru yang memandang penundaan pengumpulan tugas sama hinanya dengan makanan basi.
Tidak mengumpulkan tugas on-time, berarti nilai nol. Habis perkara.
Oohh, tema untuk karya tulis ini saja belum kupikirkan! Bagaimana mau mulai menulis kalau
ide pokoknya saja aku nggak ada"
Apa kukarang saja ya dari keseharianku" Gimana kalau "Kehidupanku Sebagai Pacar
Superstar?" Idih, nggak banget! Kalau "Pacarku Sayang, Pacarku Malang?"
Hah, makin nggak nyambung!
Yeah, sudah bisa dipastikan, aku memang cewek yang payah. Mungkin aku harus minta
bantuan seseorang. Tapi... siapa"
Daddy sudah tidur. Mama juga. Grace" Jangan-jangan dia malah belum mengerjakan juga!
Dylan" Ah ya! Dylan saja! Dia lagi di Semarang sekarang, tapi show-nya sudah selesai siang tadi, jadi
mungkin sekarang dia lagi nyantai. Siap-siap untuk tidur mungkin, karena besok dia naik pesawat
paling pagi. Aku mengambil HP-ku dan mengetik SMS.
To: Dear Dylan Say, udh tidur" Bantuin ide utk bikin kartul dong. I hv no
idea :"( Nggak sampai semenit, SMS balasan Dylan masuk.
From: Dear Dylan Pelanggaran Hukum Indonesia" :D Hak Cipta dalam Industri Rekaman Euuhh... beginilah kalau pacarmu mahasiswa fakultas hukum, kalau ada orang yang
menyinggung tentang karya tulis atau makalah di depannya, pasti dia menyangkutpautkan dengan
hukum. Kayak kurang pusing saja kepalaku, harus menulis karya tulis dengan tema begitu.
Lebih baik tak usah minta saran Dylan kalau untuk hal seperti ini. Dia malah membuat
kepalaku makin berdengung, seolah ada koloni tawon membangun sarang di dalamnya.
Aku duduk di depan laptop sambil menatap hampa monitornya selama kira-kira lima menit,
lalu memutuskan menyerah. Sadar kalau aku bakal begadang semalaman, aku memutuskan ke
ruang makan dan membuat kopi. Atau kalau aku berutung, Caramel Latte Starbucks botolan
yang dibeli Daddy kemarin mungkin masih ada di kulkas.
Begitu pintu kulkas terbuka, aku melihat Caramel Latte Starbucks botolan itu. Tersisa di
dalam botolnya untuk porsi satu kali minum! Ha, benar-benar menguntungkan! Kutenggak saja
kopi itu langsung dari botolnya.
Sambil menjilati bibir yang masih berasa Caramel Latte, aku jalan ke arah ruang keluarga.
Apa nonton TV dulu ya" Balik ke kamar juga pasti bengong lagi di depan laptop... Dan siapa tahu
acara TV ada yang menginspirasi untuk bikin kartu litu" Hmm... cukup masuk akal.
Aku lalu membenamkan diri di sofa besar ruang keluarga, dan menyalakan TV. Ah, acara
berita. Bagus, nonton ini saja, pasti banyak topik yang bisa disorot.
Berita pertama yang kulihat tentang anak yang membunuh bapaknya di sebuah desa di Jawa
Tengah, karena merasa sawah yang diberikan pada saudaranya lebih luas daripada yang diberikan
padanya. Hiii, ini sih nggak cocok jadi tema karya tulis!
Berita kedua, tentang peluncuran album Ungu. Cukup ringan, harusnya bisa kutulis, tapi aku
harus menyorot pada poin apa" Cuma diluncurkannya album baru doang, itu kan hal yang
standar. Biarpun pusing, aku kepingin karya tulisku nanti temanya nggak STD, alias harus cukup
istimewa. Haha, udah dekat deadline begini, aku masih saja banyak maunya.
Berita ketiga, tentang imbauan pemerintah supaya warga beralih dari menggunakan kompor
minyak tanah menjadi kompor gas LPG. Untuk itu, bahkan dibagikan beberapa kompor gas dan
tabungnya sekalian di sebuah kecamatan.
Hmmm... aku jadi bertanya-tanya kenapa pemerintah getol banget dalam hal yang satu ini,
ya" Maksudku, apa sih salahnya menggunakan kompor minyak tanah" Paling juga pantat wajan
jadi hitam penuh jelaga dan butuh energi ekstra saat mencucinya. Apa pantat wajan yang
berjelaga turut berkontribusi dalam pencemaran udara di Jakarta, sampai-sampai pemerintah
kekeuh mengimbau masyarakat untuk pakai kompor gas"
Mendadak satu ide muncul di kepalaku, dan aku langsung berlari ke kamar tanpa mematikan
TV lagi. Di depan laptop, tepat di bawah tulisan "Oleh: Alice Henrietta Hawkins" tadi, aku
mengetik: Ada Apa di Balik Imbauan Pemerintah Agar Masyarakat
Indonesia Mengganti Penggunaan Kompor Minyak Tanah dengan
Kompor Gas" Akhir-akhir ini, pemerintah sangat gigih mengimbau masyarakat
untuk mengganti penggunaan kompor minyak tanah dengan kompor gas.
Ada motif apa di balik semua imbauan tersebut" Apakah benar, alasan
yang dikemukakan bahwa persediaan minyak tanah di Indonesia sudah
semakin menipis, sementara persediaan energi gas masih melimpah"
Ataukah, karena minyak tanah termasuk BBM yang masih disubsidi
pemerintah, dan jika, hanya jika, penggunaannya berkurang karena
masyarakat beralih menggunakan kompor gas, pemerintah berpeluang
mencabut subsidi tersebut" Lalu mengalihkan dana subsidi tersebut pada
bidang lainnya" Mari kita melihat pada kasus naiknya harga BBM beberapa waktu lalu.
Pemerintah mencabut subsidi untuk premium, solar, dan pertamax
dengan alasan akan mengalihkan subsidi BBM tersebut pada bidang
pendidikan. Apakah kita sudah melihat realisasi dari rencana tersebut"
Apakah setelah harga BBM naik, pendidikan di Indonesia semakin
membaik" Menurut saya pribadi, tidak.
Memang, ada program baru yang bernama Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) yang dilaksanakan pasca ditingkatkannya anggaran dalam
APBN untuk pendidikan, tapi, sekali lagi, apakah program BOS tersebut
telah dilaksanakan dengan tepat sasaran" Apakah benar, sekolah-sekolah
yang menerima bantuan tersebut benar-benar pantas untuk dibantu"
Atau sebenarnya masih banyak dana yang lari ke pos-pos yang kurang
layak menerimanya" Jika opini saya tentang imbauan untuk menggunakan kompor gas
dibanding kompor minyak tanah ini benar bertujuan agar, ujungujungnya, subsidi minyak tanah dicabut, maka kita patut prihatin. Masih
banyak rakyat miskin di luar sana yang tak akan mampu membeli kompor
gas, juga bahan bakarnya. Mereka masih sangat bergantung pada
penggunaan minyak tanah, bahkan masih ada yang menggunakan lampu
minyak untuk penerangan. Kalau sekarang saja mereka harus bersusah
payah membeli minyak tanah yang sering kali langka dan mahal
meskipun masih disubsidi, bagaimana dengan nanti"
Aku mengerjap-ngerjap membaca tulisan sepanjang satu halaman yang baru saja kuketik dalam
waktu hanya lima menit. Waow, kok kayaknya aku mengomeli pemerintah, ya" Haha... nggak
deh, ini hanya opini seorang remaja yan gprihatin terhadap nasib bangsanya. I do care.
Aku membaca lagi setiap paragraf yang kutulis, berusaha supaya apa yang kutulis nggak
melenceng dari topik yang kuangkat, dan ternyata menulis karya tulis itu nggak sesulit yang
kubayangkan. Saat aku mematikan laptop-ku pada pukul 00.13 pagi, aku sudah memegang lima lembar
kertas print-out hasil tulisanku, dan cengar-cengir sendiri menatapnya.
Dan oh, ada SMS dari Dylan!
From: Dear Dylan TERIMA KASIH TELAH BERLANGGANAN SMS SELEBRITI
Saya sebagai selebriti pilihan Anda, mengucapkan:
night and have a nice dream.
SMS ini langsung dr HP saya lho! :p
PS: gmn kartulnya, Say" Udh sls"
Good Haha, apa kubilang, Dylan itu jayus banget! Tapi dia sangat perhatian yaaa...
Eh, ini lagu apa ya di radio, kok lucu banget musiknya"
Aku berjalan ke arah radio, dan membesarkan volumenya. Lagu itu mengaluh merdu.
Kau pacar yang sempurna Baik, tampan, dan kaya Tak hentinya kubanggakan di depan mereka
Semua orang bilang Beruntungnya diriku Dapatkan pacar sepertimu...
(Mana Tahan " SHE) Wahh, aku banget deh! Aku memang benar-benar beruntung dapat pacar seperti Dylan!
TERNYATA... ORANG MAU NIKAH ITU RIBET!
LAGI-LAGI Tora ngomel panjang-pendek soal detail pesta pernikahannya. Padahal pesta itu
sendiri rencananya masih enam bulan lagi. Tapi Mama dan Mbak Vita bolak-balik
mencetuskan ide yang, menurut Tora, bikin kepalanya nyaris botak saking stresnya. Ide
tentang pesta bernuansa pink waktu itu cuma salah satunya. Belum lagi, istri para adik lakilaki Mama slash ipar-ipar mama slash para nantulang gue, nggak mau ketinggalan ikut
nimbrung dalam persiapan ini.
Haha, gue jadi kepingin ngakak. Nantulang gue totalnya ada lima, dan sifat kelima orang
itu, plus Mama, nggak ada yang sama. Kebayang dong, enam ibu-ibu, dengan sifat berbeda,
berusaha merancang satu pesta" Enam kepala yang keras kepal (aneh nggak sih
kedengarannya"), enam ide berbeda, enam selera berbeda, harus disatukan" Belum ditambah
masukan-masukan dari Mbak Vita dan pihak keluarganya makin kacau saja, bah! (Batak gue
keluar kalau sudah begini.)
Fiuuuhh... ternyata... orang mau nikah itu ribet! Untung Alice masih SMA, yang berarti
gue nggak akan menghadapi semua masalah khas perencanaan pernikahan yang gila-gilaan
repotnya ini dalam waktu dekat.
Yang bikin gue agak stres, adalah karena sekarang rumah gue jadi "markas besar"
perencanaan pernikahan itu. Dengan kata lain, nggak ada lagi ketenangan di rumah setiap kali
gue pulang. Pasti di rumah lagi ada rapat ini-itu, dan bayangin aja sendiri seperti apa ributnya
kalau banyak orang ngumpul di rumah. Jangan lupa juga, keluarga gue keluarga Batak, yang
kalau bicara selalu dengan suara lantang dan bertenaga. Ributnya orang nawar barang di
pasar nggak ada apa-apanya deh dibanding suasana di rumah gue!
Saking bisingnya suasana rumah akhir-akhir ini, Papa jadi suka ngabur dari rumah untuk
meneruskan hobi lamanya: mancing di kolam pemancingan. Tora juga kadang suka ikut,
bikin Mbak Vita ngomel karena calon suaminya cuek bebek dengan segala detail pernikahan
yang high-pressure itu, dan malah memilih ngejogrok di pinggir kolam mancing.
Yeah, dengan hebohnya Mama mempersiapkan pernikahan anak sulungnya, pantas saja
Papa dan Tora ngabur. Daripada pusign disuruh kasih pendapat tentang apakah-hidanganpenutup-dari-katering-sebaiknya-buah-segar-atau-puding, ya kan" Membahas soal hidangan
penutup itu saja mereka bisa berjam-jam lho! Buset!
Hmm... gue nggak enak mengakui ini, tapi gue bersyukur akhir-akhir ini jadwal Skillful
lumayan padat, jadi gue agak jarang di rumah, yang berarti nggak perlu terlibat semua
"kekacauan" pra-pernikahan itu, hehe...
"Hei, Dylan, baru bangun kau?"
Gue menutup pintu kamar dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menggaruk-garuk
kepala dan mulut menguap. Nantulang Saidah berdiri di depan gue, memandangi gue dari
atas ke bawah. Iyalah gue baru bangun, gue kan baru saja datang dari Semarang pagi tadi, dan capeknya
masih terasa sampai sekarang, jadi gue punya alasan kan untuk bangun pukul 14.00"
Tapi gue menajwab, "Iya, Nan. Ngantuk banget sih."
Eh, lumayan gue bisa menjawab dengan cukup nyambung. Padahal biasanya otak dan
mulut gue selalu nggak sinkron kalau diajak ngomong saat baru bangun tidur dan belum
minum kopi. "Tak baik bangun siang-siang."
Gue menggumam nggak jelas. Asal tahu aja, Nantulang Saidah ini nantulang gue yang
paling ceriwis, senangnya mengomentari segala sesuatu. Dia nggak tahu aja jam-jam di saat
dia tidur nyenyak tuh gue masih harus jejingkrakan nyanyi di kafe. Gue kan kerja, bukannya
leha-leha. "Datang jam berapa tadi, Nan?" tanya gue, mengalihkan pembicaraan.
"Jam sembilan. Mamak kau itu sudah ribut saja menelepon ke rumah. Katanya hari ini
mau ada rapat pemilihan warna kebaya untuk keluarga."
Ah, satu lagi topik yang berpotensi menghabiskan satu jam untuk diperdebatkan: warna
kebaya untuk keluarga. Gue manggut-manggut sok peduli, lalu beranjak ke sofa di ruang
keluarga dan menyalakan TV. Terdengar kebisingan dari arah ruang makan yang rupanya
sudah disulap menjadi "ruang rapat". Tapi bukannya kembali ke "ruang rapat", Nantulang
Saidah malah mengekor gue, dan duduk di sofa juga.
"Kau tak ada rencana menikah juga?"
GLEK! Apa-apaan ini" Kok tau-tau gue ditodong pertanyaan begini"
"Kan kau sudah ada pacar?" tanya Nantulang Saidah lagi.
Buseett! Ada sih ada, tapi umurnya belum juga tujuh belas!
"Ah, masih kecil dia. Sekolah saja belum selesai."
"Dulu, aku menikah sama tulangmu begitu lulus SMA."


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Haha, itu tahun berapa" Gue tertawa dalam hati.
"Ya, kan sekarang sudah lain, Nan. Alice harus sekolah dulu. Kalau sudah lulus, barulah
dipikirkan... mmm... soal ke situ."
Bener-bener gila, ngebahas masalah gini aja bikin gue malu setengah mati! Untung
nggak ada orang lain di sini, apalagi Tora. Kalau si tengil itu ada, gue pasti diketawain habishabisan!
"Oh iya, pacar kau namanya Alice ya..." Nantulang Saidah bergumam sendiri.
"Ah, di sini kau rupanya, Saidah!" Mama masuk ke ruang keluarga, tangannya berkacak
pinggang. "Kenapa kau tak ikut rapat" Maria dan Uci sedang bertengkar apakah warna
kebaya seharusnya ungu atau pink! Kau harus kasih pendapat! Dan kita kekurangan satu
orang untuk jadi penerima tamu nanti!"
Nah kan, gue bilang juga apa. Banyak banget kekacauan hanya karena masalah kebayakebayaan ini! Kalau gini, lebih baik gue mandi dan main ke kantor manajemen ah! Di rumah
pasti bakal ribut, Nantulang Saidah saja sudah diseret kembali oleh Mama ke "ruang rapat".
"Ya ampun, Dylan!" Mama tiba-tiba berbalik lagi ke ruang keluarga dan berteriak
melihat gue, gue sampai kaget! "Mama lupa! Kan nggak perlu repot cari penerima tamu
lagi..." Ha" Maksudnya GUE gitu yang bakal dijadikan penerima tamu"
"Aku, Ma?" Gue menuding diri sendiri.
"Ya bukanlah, Nak. Alice! Mama mau minta tolong Alice jadi penerima tamu! Dia pasti
mau, kan?" Alis gue otomatis terangkat. Wow, cewek gue sebentar lagi bakal terlibat dalam
kekacauan ini juga" "Eh... nggak tau sih, nanti aku tanya dia." Gue melirik jam dinding, jam segini sih dia
belum pulang sekolah. "Ah, kalau Alice sih Mama yakin pasti mau. Nanti tolong bilang dia ya, supaya kasih
detail ukuran bahu, dada, pinggang, sama pinggulnya, biar kebayanya bisa langsugn
dijahitkan." Heh" Ukuran bahu, dada, pinggang, dan pinggul?"" What the...
"Aduh, Ma... kalau itu sih... Mama aja deh ya yang ngomong ke dia. Aku nggak enak
kalau ngomong..." "Nggak enak gimana" Kan dia pacarmu sendiri." Mama terlihat heran. Kacau!
"Justru karena dia pacarku itu, nanti dia... Udahlah, pokoknya nanti Mama aja yang
ngomong soal... soal ukuran-ukuran itu. Tapi nanti aku bilangin deh kalau Mama kepingin
dia jadi penerima tamu."
"Ya sudah." Mama terdiam sebentar, tapi dalam sekejap ngacir kembali ke ruang makan,
karena terdengar kehebohan di sana, dan suara Nantulang Saidah yang terdengar paling keras.
"Pink sajalah, Maria!" kukuh Nantulang Saidah.
"Bah, dang boi i1, Saidah! Ungu lebih cocok dengan warna ulos kita!" teriak Nantulang
Maria. "Nunga hudok!2 Saidah pasti sependapat denganku!" seru Nantulang Uci puas, karena
Nantulang Saidah berada di pihaknya.
Hhh... lebih baik gue segera cabut dari sini sebelum gue juga dimintai pendapat soal
ungu atau pink itu! Kalau mereka sudah mulai saling berteriak dengan bahasa Batak begitu,
berarti masalahnya sudah supergawat.
1 2 Tak bisalah Sudah kubilang! RUN & RAN "LO udah ngerjain kartul?" Grace menanyaiku.
"Udah. Lo?" "Hebatnya, udah juga." Dia nyengir. "Apa tema lo?"
"Ada Apa di Balik Imbauan Pemerintah Agar Masyarakat Indonesia Mengganti Penggunaan Kompor
Minyak Tanah dengan Kompor Gas?"
Aku melihat alis Grace nyaris menyatu di tengah dahinya. "Ya meneketehe! Tanay
pemerintah dong ah!"
Aku terkikik begitu menyadari Grace salah sambung. "Gue tuh bukan nanya ke lo, tau! Gue
lagi ngasih tahu apa tema kartul gue!"
Mulut Grace membulat besar waktu dia mengucapkan "oooo" yang panjang. Dia lalu
setengah merampas kertas print-out karya tulis yang kupegang, dan membacanya sekilas.
"Wow, lo dendam sama pemerintah" Seems like you"re yelling right on their ears here. If they still
have it, I mean." "Ah, nggak. Gue tuh tadi malam nggak ada ide, terus gue nonton berita di TV. Nah,
beritanya pas ini, jadinya yaa... gue nulis tentang ini aja."
Sekali lagi Grace ber-"oooo
" panjang. "Punya lo tentang apa?" tanyaku balik.
"Hehehe..." "Apaan sih, malah cengengesan" Sini, gue lihat!" Aku merampas hasil print-out yang ada
dalam genggamannya, lalu membacanya dengan cepat.
"Bagaimana Rasanya Jadi Sahabat Pacar Vokalis Band Top di Indonesia?"" Graceee!!!"
Aku berlari mengejarnya keliling kelas sebisaku, tapi meningkatnya porsi chicken nugget, sosis,
hamburger, dan es krim yang kutelan belakangan ini rupanya mulai menunjukkan dampak buruk:
aku nggak bisa mengejar Grace karena napasku sudah setengah-setengah!
"Awas hah... lo hah... Grace hah...," kataku kehabisan napas, dan terduduk lemas di
bangkuku. Apa jadinya kalau Pak Rudi membaca karya tulis tengil milik Grace itu"!
Hii... membayangkannya saja aku sudah horor sendiri! Mana perasaanku nggak enak, pula...
*** "Ayolah, Lice, toh seisi dunia udah tahu lo pacaran sama Dylan!"
"Seisi dunia prasejarah!" gerutuku jengkel. "Gue bener-bener malu disuruh baca karya tulis
lo di depan kelas, tau!"
"Iya, iya, maaappp... Lain kali gue nggak nulis kartul tentang diri lo lagi deh, janji!"
"Nggak gue maafin!"
Aku meleletkan lidah padanya, dan berjalan menuju meja kantin bakso Pak Amboi sambil
ngedumel. Tadi aku bener-bener sudah dipermalukan di kelas, dan ini semua gara-gara karya tulis
Grace yang konyol itu! Bayangkan, sekali lagi, BAYANGKAN, aku disuruh membaca karya tulis
Grace itu di depan kelas, karena AKU-lah objeknya! Apa aku sudah sama menariknya dengan
kenapa-pemerintah-mengimbau-masyarakat-mengganti-kompor-minyak-tanah-dengan-komporgas, sampai-sampai dijadikan tema karya tulis"
"Aliceeee... gue ngaku salah deh. Gue traktir baksonya, ya" Ya" Ya" Lo nggak ngerti posisi
gue sih, Lice, gue beneran mati ide tadi malam!"
"Gue juga mati ide, tapi gue kan nggak nulis tentang..." aku memutar otakku secepat kilat,
"gue nggak nulis tentang... bagaimana-rasanya-jadi-sahabat-cewek-yang-kakaknya-punya-koneksimantap-mantap!"
Grace melotot, tapi sedetik kemudian dia terpingkal-pingkal! Aku mangkil jengkel, aku kan
lagi marah, kok diketawain"
"Heii, kalau lo belum nyadar, gue lagi marah, bukannya ngelawak!"
"Hahahahahahahaha... lo boleh nulis tentang itu kapan-kapan! Gue bakal penasaran banget
gimana hasil tulisan lo itu!"
Aku terdiam beberapa saat, tapi akhirnya ikut tertawa juga. Gila, memang konyol banget sih
apa yan gbaru kubilang tadi! Jelas sekali betapa payahnya aku, dalam hal marah-marah yang tak
memerlukan skill sekalipun, aku gagal total!
"Sudah, sudah, cepet traktir baksonya!" seruku kesal karena melihat tawa Grace makin nggak
jelas. Dia langsung berhenti tertawa." Lho, bukannya udah nggak marah lagi?"
"Emang! Tapi siapa bilang itu berarti gue batal menagih janji lo?"
Bahu Grace terkulai lemas di kedua sisi tubuhnya, tapi dia berjalan juga untuk memesan
bakso di Pak Amboi. Ha! Siapa suruh tadi bilang mau nraktir"
*** "Eeehh, Grace, lo yakin nih, harga bajunya nggak bakal mahal?" Aku berusaha menjajari langkah
Grace, sambil menutup kembali ritsleting tasku yang tadi dibuka untuk diperiksa oleh petugas
keamanan saat memasuki mal ini.
"Kan lo bilang bawa credit card nyokap lo, berarti nggak usah khawatir dong duit kurang?"
"Iyaaa, tapi kalau bulan depan surat lembar tagihan nyokap gue angkanya nggak wajar, itu
jauh lebih parah daripada gue bawa duit kurang!"
"Waduh gimana yaa... desainernya lulusan sekolah mode di Paris sih, jadinya..."
Aku mulai ngedumel, tapi Grace malah menarik tanganku supaya mempercepat langkah. Dia
cengengesan. "Bercandaaa. Nggak mahal-mahal amat kok, lagian gue kan udah bilang kalau kita pasti bakal
dapat special price!"
Hmm, mungkin sebaiknya aku mulai mempertimbangkan untuk merealisasikan karya tulis
dengan tema bagaimana-rasanya-jadi-sahabat-cewek-yang-kakaknya-punya-koneksi-mantapmantap itu.
Grace menarikku melewati beberapa belokan, sampai akhirnya kami tiba di depan sebuah
butik yang besaaarrrr sekali! Aku membaca papan namanya, yang terbuat dari huruf-huruf merah
marun yang melingkar-lingkar: Run & Ran. Pandanganku lalu turun pada bagian depan toko.
Etalasenya menampilkan manekin-manekin yang mengenakan gaun-gaun berpotongan
sederhana, tanpa banyak detail atau payet, tapi kereeeeennn banget! Seolah semua gaun itu dibuat
dari bahan yang bisa jatuh dengan indah di tubuh pemakainya.
Mmm, di tubuh manekin yang berukuran sempurna, memang keren banget, tapi gimana di
badanku, yang jelas-jelas kelebihan lemak ini?""
"Yuk, masuk." "Gila lo, Run & Ran ini punya temen Kak Julia?"
Aku berdecak ketika Grace mengangguk. Run & Ran termasuk jajaran butik paling eksklusif
di Jakarta, aku pernah membacanya di majalah, dan Grace malah membawaku ke sini..."
"Tenang aja. Special price." Grace mengedipkan sebelah matanya, dan menggamit lenganku
melewati pintu kaca Run & Ran yang berkilau. Aku menarik napas dalam-dalam, dan langsung
merasakan sensasi aneh begitu berada di dalam butik itu.
Kalau dari luar saja Run & Ran udah kelihatan luar biasa, bagian dalamnya lebih hebat lagi.
Jajaran gaun segala model digantung di sana-sini, ditata menurut warnanya, dan setiap gaun yang
kulihat membuatku makin melongo. Cantik-cantik!
Memang aku nggak pernah masuk ke tempat ini sebelumnya. Seperti yang kubilang tadi, Run
& Ran termasuk jajaran butik paling eksklusif di Jakarta, dan buat apa aku mondar-mandir di sini
kalau nggak ada niatan beli" Lagian, pakaian kebangsaanku kan cuma kaus dan jins!
"Grace! Haloooo!"
Aku menoleh sewaktu mendengar suara itu, dan melihat seorang cewek seumuran Kak Julia,
kakaknya Grace, berjalan menghampiri Grace. Dia cantik bangeeettt, nyaris secantik Regina
Helmy tengil itu, tapi dia kelihatan jauh lebih menyenangkan.
"Untung tadi kamu SMS dulu, bilang kalau mau ke sini! Kakak hampir aja ikut ke Bali, mau
liburan!" "hehe, sori deh, Kak... Habisnya kalau nggak sama Kak Rana langsung, nggak bisa dapat
diskon dong?" "Huuu, kamu, maunyaaa..." Cewek cantik yang dipanggil Kak rana oleh Grace itu tersenyum
manis. "By the way, mau ada pesta ya, kok beli gaun" Atau jangan-jangan kamu udah mau sweet
seventeen?" "Ah nggak, masih lama." Grace mengibaskan tangannya. "Aku ke sini nganter temenku kok.
Tuh orangnya." Grace menunjukku, dan rasanya aku kepingin ngacir saja waktu Kak Rana menatapku.
"Halo!" sapanya ramah sambil menghampiriku. "Namanya siapa?"
"Mmm... Alice, Kak."
"Hai, Alice!" Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman, yang langsung kusambut. "Aku
Rana, salah satu pemilik Run & Ran, ready to assist you! Butuh gaun yang seperti apa" Acara apa?"
Aku nyaris menjawab pertanyaannya, waktu seseorang muncul dan setengah berseru, "Hei,
Grace udah datang?" Sekali lagi aku menoleh, dan terlongong sebengong-bengongnya begitu melihat Kak Rana,
satu lagi Kak Rana, berdiri di belakangku!
"Haiii... Kak Runny!" Grace menyapa cewek yang baru muncul itu, dan aku langsung
paham. Dua cewek ini bersaudara kembar. Runny dan Rana... Run & Ran... Ooohh!
Grace mengulangi prosedur saat mengenalkan aku pada Kak Rana tadi ke Kak Runny, dan
dia menjelaskan dugaanku memang benar, dua cewek itu saudara kembar, dan butik ini milik
mereka berdua. Oh wow, dua cewek non selebritis berpenampilan tercantik yang pernah kulihat, dan mereka
berdua owner butik super menakjubkan ini" Aku jadi ragu apakah Grace membawaku ke tempat
yang benar. "Nah, Runny lagi ada customer, jadi... aku aja yang temani pilih baju, ya?" kata Rana setelah
hampir lima menit kami berbasa-basi, dan Grace ngabur untuk beli makanan. "Kamu butuh baju
untuk acara apa?" "Nggg... itu... nggg..." Aku kok rasanya susah mengucapkannya" "MTV Awards."
Kak Rana menatapku sesaat, lalu dia mengangguk pelan. "MTV Awards, hmm... kamu
undangan, atau...?" "Undangan," jawabku cepat. "Ehh... maksudku, ada teman yang masuk nominasi, jadi..."
"Tunggu, Alice," potong Kak Rana, "kamu kelihatannya nggak asing. Kayaknya aku pernah
lihat kamu di TV..."
Kata-kata Kak Rana membatalkan niatku untuk menutup mulut yang tadi masih menganga
karena belum selesai bicara.
"Ah, hehe... nggak kok, Kakak salah orang. Aku nggak pernah masuk TV, aku kan bukan..."
"Kamu pacar Dylan Skillful!" seru Kak Rana girang.
Oh noooo... tidak lagi! Kenapa sekarang setelah jadi pacar Dylan, semua orang sepertinya
mengenaliku" Bahkan mbah-mbah yang jualan teh botol dan Coca Cola di depan sekolahku pun
waktu itu bilang dia tahu aku pacar Dylan! Sinting sekali!
"Nggg... eh... iya sih...," jawabku akhirnya, sadar hanya akan membuang tenaga seandainya
aku menyangkal. Bukannya aku nggak suka orang mengenaliku sebagai pacar Dylan sih, tapi yaa...
risih aja gitu. Lagi pula, aku jadi ketularan Dylan, nggak begitu suka membahas hubungan kami
sama orang lain. "Waow! An honor for me!" kata Kak Rana girang. "Okee, jadi aku bakal mensuplai baju untuk
pacar vokalis band terngetop se-Indonesia..."
Aku jadi merasa makin risih mendengar kata-katanya. Ngagk enak disebut pacar vokalis
band terngetop se-Indonesia. Kesannya, kalau aku bukan pacar Dylan, aku hanya cewek tanpa
identitas. Pathetic. Aku lebih senang kalau orang mengenalku sebagai Alice Henrietta Hawkins
saja. "Tapi kan udah banyak produk Run & Ran yang dipakai seleb, Kak," gumamku sedikit
heran. Kenapa Kak Rana girang pakaian milik butiknya akan kupakai, kalau sudah ada begitu
banyak seleb yang mempromosikan Run & Ran" Aku bahkan pernah melihat Cindy, penyanyi
tengil tapi supercuaaantiiikkk dan beken (yang, oke, kuakui, adalah mantan pacar... ehem,
tepatnya pelarian Dylan dulu) itu pakai salah satu sackdress keluaran Run & Ran.
"This is different, Alice!" seru Kak Rana lagi, mendadak ber-English ria, dan tanpa mengacuhkan tampangku yang udah berkerut-kerut karena bengong, dia menarikku ke sebuah ruangan di
belakang ruang utama Run & Ran.
"Ini keluaran terbaru," katanya sambil menunjuk deretan baju yang tergantung di depan
kami. "New arrival. Haute couture. Cuma orang-orang istimewa yang kami, aku dan Runny
maksudnya, perlihatkan baju-baju ini, sebelum dipajang di ruang depan."
Aku menelan ludah meliaht pemandangan di depanku. Benar-benar deretan gaun paling
menakjubkan yang pernah kulihat! Jauh lebih mengagumkan daripada semua gaun chic dan
fashionable yang ada di ruang depan!
"Oke, let"s start. Boleh tahu berapa ukuran kamu?"
"Heh?" tanyaku tak mengerti.
"Ups, sori. Maksudku... ukuran baju yang biasanya kamu pakai."
Aku langsung jadi merah padam. Ukuran tubuh adalah salah satu hal yang kerap membuatku
minder. Dan ditanya ukuran tubuh tanpa tedeng aling-aling begini, aku jadi gelagapan.
Kak Rana terdiam sebentar, tapi karena dia melihatku enggan menjawab, dia lalu berjalan
menuju rak. Aku jadi senewen mendadak, apalagi melihat ukuran baju-baju menakjubkan di
depanku yang kelihatannya hanya akan cukup dijejalkan di badan cewek macam Cindy dan
Regina Helmy si model-jangan-sampai-kau-yang-terpaksa-mengompres-pipimu-dengan-es-batu.
"Coba yang ini deh," kata Kak Rana, menyerahkan sehelai gaun pink dari bahan tafetta halus
ke tanganku. Potongannya sederhana, dengan model leher sabrina dan beberapa rimpel pada
lengannya. Aku mengangguk dan menuju kamar pas di ruangan itu, yang lagi-lagi membuatku
melongo. Bukannya kamar pas standar yang hanya bilik berukuran 1 x 1 m2 dan berisi cermin
membosankan, kamar pas yang kumasuki adalah ruangan luas dengan karpet ungu muda, berisi
sofa kecil cantik, foto-foto beberapa seleb yang mengenakan produk Run & Ran di dindingnya
(waow, ada Bunga Citra Lestari! Dan Laudya Cynthia Bella!), juga cermin tiga sisi yang
berpinggiran ukiran mewah! Benar-benar butik kelas atas!
Aku mulai membuka bajuku, dan memakai gaun yang diberikan Kak Rana dengan hati-hati.
Bisa gawat kalau ada yang robek karena nggak muat, gimana bayarnya nanti, coba" Dan sebagai
cewek setengah bule, aku agak yahh... benci pada ukuran dadaku... yang lebih daripada cewekcewek kebanyakan. Banyak banget baju yang saat kupakai muat di pinggang, pinggul, dan
sebagainya, tapi bagian dadanya membuatku sesak napas.
Tapi aneh sekali, bagaimana gaun yang tadinya kukira hanya akan berhenti di kepalaku itu
sukses meluncur turun melewati bahu, dada, pinggang, dan pinggul, lalu jatuh dengan indah di
tubuhku. Aku lebih bengong lagi saat melihat cermin, menyadari aku kelihatan jauh lebih
langsing dari sebenarnya! Ohh, gaun mahal memang berbeda!
Aku keluar dari ruang pas itu dan berhadapan dengan Kak Rana, yang menatapku dari atas
ke bawah, lalu menggeleng pertanda tak setuju.
"Lho kenapa, Kak?" tanyaku nggak paham. Bukannya gaun ini hebat banget" Badanku yang
melar aja bisa kelihatan bagus banget di kaca tadi!
"Warnanya kurang menonjolkan warna matamu... Ah, aku salah pilih..."
Kurang menonjolkan warna mataku, katanya" Mataku yang warnanya nggak jelas antara
cokelat buram dan hitam ini" Penting ya ditonjolkan"
Kak Rana berdecak, lalu dia mengoprek rak bajunya lagi, dan menarik gaun kuning lembut
bertali spageti dengan pita yang menyatu di bagian dada.
"Coba yang ini, Alice."
Aku menurut, dan mengulang lagi prosedur mengepas baju yang tadi kulakukan. Hebatnya,
kali ini gaun tali spageti itu meluncur turun dengan lebih mudah dibanding gaun tafetta pink tadi,
dan aku semakin bengong melihat bagaimana aksen pita besar di dada itu mengalihkan perhatian
dari pinggangku yang berlemak. Wow!
Dengan senyum masih mengembang di wajah, aku melangkah keluar kamar pas. Kak Rana


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandangiku lagi dengan tatapan menilai, lalu, anehnya, dia sekali lagi menggeleng!
"Aduh, salah lagi... salah lagi...," dia mengomeli dirinya sendiri.
"Eh, nggak kok, Kak. Gaunnya bagus banget. Enak dipakai," kali ini aku memberanikan diri
bicara. Kalau gaun sebagus ini salah, yang benar seperti apa dong"
"Itu kurang menonjolkan bentuk tubuhmu," kata Kak Rana dengan nada kecewa, entah
pada gaun rancangannya atau pada bentuk tubuhku. Hah, kayak aku kepingin bentuk tubuhku
ditonjolkan saja! "Nah! Yang ini saja!"
Kak Rana menjatuhkan ke tanganku sehelai gaun turkois berpotongan leher V dengan
bentuk rok A-line sepanjang lutut. Bahannya ringan, dan ada semacam cincin perak gemerlap di
bagian yang nantinya akan menempel pada bahu.
"Coba, Lice, coba!" kata Kak Rana dengan semangat anak kecil yang nggak sabar mencoba
mainan baru, dan aku kembali ke kamar pas dengan enggan. Seandainya saja aku boleh memilih
gaun kuning pastel bertali spageti yang masih kukenakan sekarang. Gaun ini cantik sekali...
Aku melepas gaun di tubuhku dengan perasaan berat, seolah badanku nggak mau berpisah
dengan gaun ini. ah, kalaupun membeli gaun ini akan membuatku diomeli Mama karena tagihan
kartu kreditnya nggak wajar bulan depan, aku pasti rela. Rasanya aku nggak akan pernah
menemukan gaun secantik ini lagi...
Setelah memakai gaun turkois hasil paksaan Kak Rana, aku berjalan keluar kamar pas. Aku
nggak berminat melihat penampilanku di cermin, karena pasti akan semakin membuatku
kepingin memakai gaun kuning pastel yang tadi lagi.
"Waaahhh, cantiknyaaa!"
Aku mendongak dan melihat Kak Rana tersenyum sumringah sambil bertepuk tangan.
"Coba dari tadi aku menyuruhmu pakai gaun yang ini!"
Huhuhu, nggak mau... Aku mau gaun yang kuning pastel tadi...
"Sekarang aksesorinya..." Kak Rana menuju sudut ruangan (yang tadi nggak kuperhatikan
saking terpesonanya aku sama jajaran gaun di depanku) tempat kotak-kotak seukuran kotak kue
tar ditumpuk rapi, dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
"Ini, nanti rambutmu dikucir ke atas aja, terus pakai ini. Oya, poninya disasak terus disisr ke
belakang aja ya! Pasti cantik banget! Dia menyurukkan semacam jepit ke telapak tanganku. Jepit
itu berbentuk bunga lili putih bersih seukuran bunga aslinya, dengan daun tiruan hijau segar yang
menjuntai, juga putik bunga yang berwarna kuning lembut. Wow, kalau aku nggak melihatnya
dari jarak sedekat ini, aku pasti akan keliru mengira jepit ini dibuat dari bunga asli! Bener deh,
harga bisa membeli kualitas!
Kak Rana memasangkan jepit itu di rambutku, di sisi kanan, menjepit poniku sedikit.
"Ini sepatunya."
Aku menunduk dan melihat Kak Rana sudah meletakkan stileto perak dengan tali-tali
berkilau di depan kakiku. Entah berapa tinggi itu haknya?""
"Ayo, dipakai."
Aku cengengesan nggak jelas, lalu menunduk untuk memasang stileto itu dan mengikatkan
tali-talinya di sekeliling betisku. Agak susah menunduk dengan gaun begini.
"Aduh, Alice, cantik banget!" Kak Rana berdecak sambil menatapku. Entah apa dia benarbenar mengagumi penampilanku atau mengagumi gaun milik butiknya yang berhasil menyulap
penampilanku jadi "wow".
"Tapi, Kak..." aku berusaha menjelaskan aku suka banget sama gaun kuning pastel bertali
spageti tadi, tapi Kak Rana nggak mendengarkan. Dia malah menarik tanganku, mendekati kotakkotak aksesori tempat dia mengambil jepit rambut tadi, dan membuatku memandangi pantulan
bayanganku di cermin besar yang menempel di dinding.
"Looks beautiful, eh?" Kak Rana mengedipkan sebelah mata padaku.
Aku nggak menjawab, masih memandangi pantulan bayanganku sendiri. Ha, that can"t be me!
Nggak mungkin cewek di cermin itu aku! Percaya deh, aku nggak selangsing itu... Dan nggak
mungkin sebuah jepit rambut bisa mengubah wajahku jadi manis begini! Lagi pula, mana ada
sepatu yang bisa membuat tungkai kakiku yang pendek ini jadi terlihat panjang?""
"Waooowww!" Aku menoleh mendengar suara kagum itu, dan mendapati Grace berdiri di belakangku
sambil mencomoti kentang goreng dari kantong kertas berlogo McDonald.
"Gila, Lice, lo cantik bangeeeetttt," katanya lagi, kali ini sambil menggeleng-geleng tak
percaya. "Sudah kubilang begitu!" Kak Rana tersenyum lebar sambil bertepuk tangan lagi. "Nah,
Alice, that dress is now officially yours. For free!"
"Hah"!" Aku melongo. Kalau tadi aku masih kaget karena melihat penampilanku di kaca
yang berubah bak peserta The Swan yang dioperasi plastik habis-habisan, sekarang aku lebih kaget
lagi. Gaun ini... Kak Rana ngasih gaun ini... gratis"
"Wow! Thanks, Kak!" seru Grace, nyolong start karena melihatku yang speechless.
"Sama-sama. Oya, ntar jangan lupa bilang Julia, lagi ada new arrival nih di sini. Aku belum
sempat kabarin dia sendiri soalnya, oke?"
"Sipp!" Grace mengacungkan jempolnya, menyebabkan sepotong kentang goreng jatuh di
lantai karena ia melepaskan jepitan antara jempol dan telunjuknya pada kentang itu.
"Tapi... tapi... Kak Rana, aku nggak boleh dong terima gaun gratis begini... Aku..."
"Oya, sampai lupa! Stileto sama jepit rambutnya juga gratis! Hehe..."
"Kak Ranaaa..." Aku sekarang mulai terdengar kayak anak kecil merengek. Gila aja kalau ini
semua beneran gratis! Matahari bisa terbit di selatan besok pagi! "Aku nggak bisa gitu aja dapat
semua ini tanpa melakukan apa-apa..."
Kak Rana tergelak, lalu mengibaskan tangannya. "Of course kamu harus melakukan sesuatu,
Alice." GLEK! Ini sih jauh lebih parah dibanding membayar bill! Asal tahu aja nih ya, kalau di
majalah ada produk Run & Ran, biasanya ada tulisan begini: Dress by Run & Ran, price upon request.
Nah, untuk butik yang nggak biasa mencantumkan harga produknya di majalah (mungkin karena
takut pembacanya tersedak lalu mati begitu membaca harganya atau apa, aku nggak tahu), aku
pasti harus melakukan hal yang "berat" kalau benar-benar mau dapat barang gratis.
"Mmm... apa?" tanyaku ketar-ketir.
"Nanti pas di red carpet bakal ada fashion police-nya, kan?" Aku mengangguk. "Nah, yang perlu
kamu lakukan cuma... kalau mereka tanya di mana kamu dapat gaun, sepatu, dan aksesori, kamu
cuma perlu bilang kamu beli di Run & Ran, oke?"
Aku mengerjap. "Hah" Itu doang?" ceplosku.
"That"s all," yakin Kak Rana. "Promosi adalah kunci sukses bisnis!"
"Tapi masa cuma dengan bilang begitu, aku bisa dapat gaun..."
"Hei, don"t be silly!" Kak Rana menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan mukaku.
"Memangnya kamu nggak tahu berapa banyak orang yang menonton MTV awards" Nah,
seharusnya malah kami harus membayar kamu lagi kalau minta dipromosikan di red carpet! Gaun
dan yang lain-lain itu belum apa-apa!"
Aku mengangguk dengan wajah bego. Memang sih, kalau dipikir-pikir, biaya promosi di
acara sekelas MTV Awards pasti naujubile mahalnya. Dan memang lebih menguntungkan buat
Run & Ran kalau mereka "cuma" perlu membayarku dengan gaun, stileto, dan jepit rambut ini
untuk mempromosikan mereka di acara itu.
Tapi tetap aja aku merasa nggak enak. Maksudku... bilang ke orang lain kalau kamu pakai
produk berlabel Run & Ran saja sudah kebanggaan tersendiri. Confidence injection bangetlah
pokoknya. Tapi aku sekarang malah dapat keuntungan dobel: udah dapat produk gratis, bakal
jadi pede pula karena penampilan oke. Lucu aja sih rasanya. Dan ini semua karena aku pacar
Dylan" "Deal, Alice?" tanya Kak Rana sambil mengulurkan tangannya.
Aku menyambut uluran tangan itu. "Deal."
Yah, satu lagi keuntungan punya pacar seleb, hihi...
*** "Huaahh... gila, gue nggak bakal makan di situ lagi deh! Tobat!" Grace ngedumel sambil
mengelus-elus perutnya dengan wajah meringis. "Baru kali ini gue mencri-mencri di mal!"
Aku cekikikan. Tadi setelah dari Run & Ran, Grace menyeretku ke restoran yang
menyediakan menu masakan Sunda. Dia pesan ikan bakar bumbu ekstrapedas dengan gaya yang
sangat meyakinkan, tapi begitu mulai makan, dia mendesis-desis kepedasan, sampai banjir
keringat! Ternyata tukang masak di restoran itu benar-benar menuruti deskripsi "ekstrapedas"
yang diberikan Grace! Grace bilang, pasti ada lebih dari sepuluh cabe di sambal ikan bakarnya!
Tapi emang dasar rakus, dia nekat menghabiskan pesanannya itu, walaupun mulutnya sudah
berasap kayak lokomotif Hogwarts Express. Akibatnya dia menghabiskan hampir satu jam
berikutnya di toilet mal, mengucurkan semua isi perutnya yang bergolak akibat sambal
ekstrapedas itu. "Makanya, lain kali nggak usah sok gaya pesan yang ekstrapedas! Lo kan belum tahu level
pedas di resto itu kayak apa! Bisa aja yang pedasnya sedang ternyata udah sesuai sama selera lo."
"Lice, lo prihatin dikit kek temen lo lagi kesusahan begini! Jangan malah ngomelin dong!
Aduuuhh... perut gue masih melilit nih..." Grace meringis sambil mengusap-usap perutnya lagi.
Kami terus berjalan melintasi tempat parkir menuju tempat mobil Grace diparkir, berniat pulang
karena udah kecapekan plus Grace nggak sanggup lagi jalan-jalan dengan perut jungkir-balik.
"Eh eh eh... kenapa nih?" tanya Grace begitu kami sampai di sebelah mobilnya.
"Kenapa" Lo mau balik ke toilet lagi?" tanyaku khawatir. Kalau iya, berarti ini sudah ketujuh
kalinya Grace masuk toilet dalam satu jam terakhir. Sudah masuk tingkat mengkhawatirkan nih,
harus dibawa ke rumah sakit, kalau nggak dia bakal dehidrasi!
"Nggak, nggak. Nih, lihat nih!" Grace menunjuk mobilnya, dekat pintu kursi pengemudi,
dan aku langsung menyadari apa yang dia tunjuk itu.
Mobil Grace adalah lungsuran dari Kak Julia, Toyota Kijang LGX keluaran tahun 2003, yang
masih dalam kondisi mulus. Tapi sekarang, di dekat pintu pengemudi, ada bekas sesuatu yang
dicabut. Masih ada sisa-sisa lem menempel di sana, dan aku nggak perlu menebak-nebak apa
tadinya yang menempel di situ: tulisan KIJANG beserta gambar kepala Kijang yang pasti ada di
tiap mobil bertipe ini. "Hah" Kok bisa gini?" tanyaku bingung.
"Gila, yang kayak begini bisa dicuri orang juga?" Grace berdecak, lalu dia mengelilingi
mobilnya, memeriksa kalau-kalau ada yang hilang lagi, tapi ternyata semua masih lengkap kecuali
tulisan KIJANG itu. "Tadi waktu kita turun, tulisannya masih ada, kan?" tanyaku memastikan.
"Masih. Gue ingat banget kok. Pasti diambil orang waktu kita belanja di dalam tadi." Wajah
Grace sekarang serius banget, nggak kelihatan bahwa sepuluh menit lalu dia merintih-rintih
karena harus bolak-balik ke toilet.
"Kita cari sekuriti?" tawarku, dan secara kebetulan dua satpam lewat, berboncengan sepeda
motor. Aku menghentikan mereka, dan menjelaskan apa yang terjadi pada mobil Grace.
"Gimana ini?" tanyaku galak pada kedua satpam itu setelah selesai bercerita. "Padahal kami
bayar uang parkir di sini, tapi kenapa mobil teman saya jadi begini?" Entah kenapa aku tiba-tiba
merasa marah. Kedua satpam itu saling memandang, mungkin mereka bingung anak SMA macam aku bisa
galak begini. "Bapak-bapak dari tadi berpatroli di tempat parkir ini, kan?" tanyaku lagi, dan kedua satpam
itu mengangguk. "Tapi kok bisa mobil teman saya jadi begini ya" Bapak-bapak lalai melaksanakan
tugas?" Waow, sekarang aku malah menghakimi mereka"
"Begini, Mbak," kata salah satu satpam, "sebaiknya Mbak lapor ke kantor saja."
"Terus, kalau saya lapor ke kantor, apa kantor kalian mau mengagnti kerugian yang kami
alami?" sudutku. Kedua satpam itu nggak menjawab.
"Lice, udah nggak papa, biarin aja..." Grace menggandeng lenganku, berusaha
menenangkan. Lucu juga sebenarnya, mobilnya yang dirusak, tapi yang ngomel malah aku.
"Nggak bisa gitu, Grace. Ini bukan masalah sepele macam ganti rugi. Ini masalah keamanan,
yang sudah kita bayar, tapi nggak kita dapatkan!" jelasku, lalu menoleh lagi pada kedua satpam
itu. "Kami nggak akan kembali ke mal ini lagi! Mal ini nggak aman! Isinya doang bonafid,
keamanannya masih bagus di Tanah Abang!"
Kedua satpam itu terlongong bengong, dan aku langsung masuk ke mobil, diikuti Grace.
Nggak sampai lima menit, kami sudah keluar dari tempat parkir itu, dan melaju di jalan raya.
"Gila, lo nggak takut sama satpam itu tadi?" tanya Grace.
"Lho, buat apa takut" Kita nggak salah kok. Memang bener temapt ini yang nggak aman.
Sori, ya, Grace, gara-gara nemenin gue ke sini, mobil lo jadi dirusak..."
"Ah, udah, lupain aja. Lagian kan gue yang ngajak lo ke sini, jadi lo sama sekali nggak salah.
Malahan gue kagum banget sama lo, berani nantangin satpam-satpam tadi. Emang seharusnya
keamanan tempat parkir jadi tanggung jawab mereka, kan?" Grace mengendalikan setirnya
dengan santai. Aku terdiam, dan berpikir. Kenapa sekarang barang macam tulisan KIJANG begitu saja
sampai dicuri, ya" Kalau yang diambil velg atau tape mobil mungkin masih masuk akal, tapi ini..."
Apa ada orang yang tingkat ekonominya begitu parah, sampai harus mencuri barang seperti itu
supaya bisa dijual dan dapat uang untuk makan" Tapi sekali lagi, kalau memang itu alasannya,
kenapa nggak mencongkel velg atau apa" Tulisan KIJANG begitu harganya berapa, coba"
Aku mengembuskan napasku di kaca jendela mobil. Kasihan banget orang yang sampai
harus mencuri begitu... Apa dia nggak punya pekerjaan, yang berarti nggak punya penghasilan"
Memang, kesejahteraan masyarakat di Indonesia ini payah banget. Lapangan kerja nggak cukup,
ada pekerjaan pun penghasilan belum tentu mencukupi, gimana bisa hidup" Padahal sekarang
apa-apa mahal. Makanan, tempat tinggal, pakaian, uang sekolah, BBM, tarif Rumah Sakit,
semuanya nggak ada yang murah... Tapi gimana kalau ini bukan pencurian biasa seperti yang
kupikirkan" Bisa saja ada motif lain, kan"
"Kami nggak akan kembali ke mal ini lagi. Mal ini nggak aman! Isinya doang bonafid, keamanannya
masih bagus Tanah Abang!"
Kata-kataku di tempat parkir tadi seperti bergaung kembali di telingaku. Gimana kalau ada
orang yang sengaja melakukan ini, supaya pengunjung mal tadi merasa nggak aman, dan akhirnya
jumlah pengunjung yang datang berkurang" Developer mal saingan, mungkin" Kalau pengunjung
merasa mal itu nggak aman, dia akan mencari tempat belanja lainnya, bukan" Bisa saja
alternatifnya mal atau pusat perbelanjaan lain yang ada di dekat mal tadi, yang dirasa lebih aman"
Wah, benar juga. Developer mal saingan bisa dengan gampang membayar orang untuk
melakukan hal itu. Dan nggak masalah apa yang dicuri dari pengunjung mal, yang penting
menimbulkan kesan mal tersebut nggak aman. Aduh, kalau pikiranku itu benar, negeri ini sudah
benar-benar kacau. Persaingan bisnisnya aja sudah nggak sehat begini...
"Hoi! Ngelamun!" Grace menepuk bahuku keras-keras. "Mikirin apa sih, bo?"
Aku menceritakan pada Grace soal pikiranku tadi, dan dia bengong.
"Hei, akhir-akhir ini lo jadi dewasa, ya?"
"Maksudnya?" tanyaku nggak paham.
"Ya lo jadi suka mikir gitu. Ingat karya tulis lo, temanya juga "berat", kan?"
Aku terdiam. Benar juga apa kata Grace, aku jadi suka mikir begini... Karya tulisku itu...
padahal baru tadi siang dikumpulkan, tapi setelah semua kejadian di Run & Ran dan tempat
parkir tadi, rasanya sudah lama sekali.
"Haha, kok diam, Lice" Nggak papa kali, malah bagus lo bisa mikir sampai sejauh itu. Gue
lihat, lo malah kayaknya peduli banget sama negara, ya?"
Aku mengedikkan bahu. "Yah, kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?"
"Iya juga sih..."
Aku mengembuskan napasku ke kaca jendela sekali lagi.
MTV AWARDS (YANG KACAU-BALAU)
BANG BUDY melongokkan kepala dari pintu ruang kerjanya. "Dylan, tolong ke sini
sebentar." Gue menoleh pada Dovan dan Dudy, yang memandang gue dengan pandangan ingin
tahu, lalu bangun dari kursi dan beranjak menuju ruangan Bang Budy.
"Ntar gue ceritain," kata gue pada mereka. Dovan dan Dudy mengangguk.
"Ini soal masalah yang kita bicarakan waktu itu," kata Bang Budy setelah gue masuk ke
ruangannya dan menutup pintu. Rupanya kali ini Bang Budy nggak mirip ayam mau bertelur
lagi, suaranya sudah terdengar tegas dan galak seperti biasa.
"Ya, aku tahu. Soal Excuse."
"Betul." Bang Budy mengangguk-angguk. "Kemarin Pak Leo menelepon lagi, dan dia...
sudah mengajukan satu ide tentang kenapa kamu dan vokalis Excuse itu... ngomongngomong namanya Yopie, bisa berantem."
Gue mengangguk dengan tampang jengah. Semoga skenarionya nggak terlalu gila, dan
semoga semua ini cepat berlalu. Rasanya gila sekali waktu gue mengambil keputusan untuk
menuruti perintah Pak Leo. Tapi mau gimana lagi, gue nggak diberikan pilihan lain.
"Nanti, kita akan mengarang seolah-olah Yopie... mengganggu Alice."
"WHAT"!" Gue refleks berdiri dari kursi, sampai kursi yang gue duduki nyaris
terjengkang ke belakang. "Iya. Harus ada alasan kenapa kamu meninju Yopie, kan" Nggak mungkin kalau kalian
tiba-tiba aja berantem tanpa sebab."
"Nggak, nggak..." Gue menggeleng. "Pokoknya nggak! Aku nggak mau Alice dibawabawa dalam skenario sinting ini."
"Tapi, Lan... nggak ada ide lainnya..."
"Ohh, pasti ada!" Gue jadi emosi. "Misalnya... dia mengatai Skillful band cengeng atau
apa, dan aku bisa langsung menonjoknya. Atau dia menghina aku, dan aku lepas kontrol."
"Tapi itu terlalu negatif..."
"Memangnya menonjok orang itu positif?" serang gue.
Perjalanan Ke Akhirat 2 Pendekar Slebor 68 Rantai Naga Siluman Tembang Tantangan 13
^