Fairish 2
Fairish Karya Esti Kinasih Bagian 2
ingar-bingar seperti ini.
Baru setelah mereka dengan paksa dan susah payah menyeruak di anatara
kerumunan manusia yang berdesak-desakan dan berhasil sampai di pagar pemisah
-sebagian malah nekat melompati pagar dan lari bergabung dengan tim basket dan
suporter lain- mereka tahu apa penyebabnya.
Dan mereka -asli!- sama shocknya saat menyaksikan pemandangan itu.
Andri, salah satu suporter SMU Palagan, serentak menutup muka lalu mengintip
dari sela-sela jari. "Itu bener-bener cheerleader sekolah kita" Ya ampun! Besok gue
pindah deh! Cari sekolah laen!"
Tejo, yang ngakunya lahir dan gede di Jakarta tapi aksen Jawa-nya sama
medoknya dengan kaum urban yang baru turun dari Gambir, geleng-geleng kepala.
"Edaaan! Edan! Bener-bener nggilani! Jijik aku!"
Sementara Bunug, yang punya nama lengkap Budi Nugroho dan shalatnya nggak
pernah bolong, ngelus-ngelus dada dengan roman khawatir.
"Astagfirullahalaziiim. Inilah salah satu tanda-tanda mau kiamat!"
Tak peduli dengan ekspresi shock teman-teman yang lain, kesepuluh cowok
cheerleader itu tetap melangkah dengan penuh percaya diri. Dan mungkin inilah
cheerleader yang penampilannya memakan waktu paling lama. Sudah lewat
sepuluh menit, tapi mereka masih di pinggir lapangan karena para penonton yang
begitu terpesona membuat langkah mereka jadi tersendat. Sepanjang jalan, mereka
digoda, dipegang-pegang, dicolek-colek, ditarik-tarik.
Malah ada penonton cowok yang berteriak nyaring, "HEI KAMUUU! ITU LHO,
YANG MANIS! SINI DEH!"
Meskipun cowok itu jelas-jelas berteriak "yang manis", yang keluar dari barisan
malah Hendra. Sambil menggembungkan otot-otot lengannya menyaingi Ade Rai,
Hendra mendekati cowok itu.
"Apa lo manggil-manggil gue" Gue tau kalo gue manis! Tapi sori aja ya! Gue
nggak murahan!" Yang ada di situ kontan ketawa terpingkal-pingkal. Sementara mereka-mereka
yang duduk di tempat jauh nggak mengerti kenapa teman-teman yang lain tertawa
geli. Mereka semakin menjulurkan leher panjang-panjang, penasaran ingin tahu.
Seorang penonton lain ganti berteriak, "HAI! SAYANG YANG JENGGOTAN!
KAMU NAMANYA SIAPA" DODO YA?"
Sementara itu seorang cowok mengulurkan tangannya, lalu mencolek-colek Sam.
"Kamu imut, ih! Bikin gemes deh!"
"Masa siiih" Bisa aja deh kamu!" jawab Sam sambil balas mencolek cowok itu
sampai cowok itu terjengkang dan terkapar di lantai. Penonton yang bisa melihat
kejadian itu lagi-lagi tertawa riuh.
Penonton semakin menatap penuh perhatian saat tubuh-tubuh berotot tapi dibalut
busana seksi telah itu ada di tengah lapangan dan membentuk formasi dua garis
lurus. Perlahan intro musik terdengar, kemudian mengalunlah dengan suara keras...
lagu Kuch Kuch Hota Hai! Seisi GOR kontan terperangah. Namun sedetik kemudian meledaklah suara tawa
yang diikuti gemuruh tepuk tangan. Apalagi setelah menyaksikan aksi kesepuluh
cowok edan itu. Berbeda dengan cheerleader yang sudah umum -meloncat-loncat dan membentuk
formasi piramida- gerakan cheerleader SMU Palagan ini agak-agak erotis. Meliukliuk ke sana kemari.
Gerakan dinamis seperti meloncat-loncat sambil menggerakkan pompom malah
tidak ada sama sekali. Mmereka justru menampilkan gerak aduhai tari-tari
tradisional. Jaipong, Ronggeng, Pendet dan beberapa gerakan lain yang sepertinya
hasil ciptaan sendiri. Soalnya hot banget sih gerakannya. Sudah begitu, mereka
mengajak penonton ikutan joget, lagi!
Jadilah pagi itu suasana GOR gegap gempita. Riuh oleh suara tawa, denting batu di
botol minuman, peluit, juga terompet. Suasana juga tambah hidup karena hampir
semua penonton ikut berjoget, dengan gaya mereka sendiri-sendiri atau tanpa
malu-malu mengikuti semua gerakan kesepuluh cowok di tengah lapangan itu.
Beberapa pengunjung umum yang masuk karena tertarik oleh kehebohan itu, cuma
bisa berdiri bingung. Kok nggak matching, gitu. Kompetisi basket featuring joget
india. Tapi beberapa dari mereka akhirnya ikut larut juga.
Dan begitu Kuch Kuch Hota Hai mengalun semakin pelan dan akhirnya hilang dari
pendengaran, tanda selesainya penampilan cheerleader dari SMU Palagan,
penonton memberikan aplus yang sangat meriah. Tepuk tangan membahana
ditingkahi bunyi suitan, lengking peluit, dan tiupan terompet. Malah banyak yang
sambil loncat-loncat!! Dan yang bikin lebih tercengang lagi, penonton minta penampilan mereka di ulang.
"LAGI! LAGI! LAGI! LAGI!" Gelombang teriakan semakin lama semakin
bergemuruh. Panitia jadi kebingungan. Masalahnya, jadwal hari ini padat sekali.
Begitu babak penyisihan selesai sore ini, mereka harus segera memasang panggung
untuk acara Festival Teater nanti malam.
Setelah diberi janji-janji surga bahwa cheerleader SMU Palagan akan tampil lagi
setelah game kedua, barulah penonton tenang dan mau duduk manis di tempatnya
masing-masing. Padahal rencana panitia sih, selepas SMU Palagan bertanding
nanti, seluruh tim basket, cheerleader, sekalian suporter kalau bisa, di harap segera
cabut. Cukup kapten dan pelatih yang tinggal untuk mengetahui siapa yang akan
menjadi kawuan mereka di babak penyisihan minggu depan. Itu kalau mereka
menang. Kalau kalah ya silahkan langsung go away saja. Daripada terjadi hurahura.
Dan ternyata terjadi keajaiban lain. Suporter dari dua SMU lain, yang timnya baru
akan turun di pertandingan berikutnya, yang tadinya cuma sekedar menonton dan
memilih netral karena tim sekolahnya belum turun, kontan menjadi pendukung
SMU Palagan. Tiba-Tiba saja posisi SMU Palagan jadi di atas angin. Dengan jumlah suporter
yang hampir 70% dari seluruh penonton yang hadir, sorak-sorai mereka benarbenar menusuk kuping, membuat semangat para pemain kontan melejit.
Apalagi ditambah berondongan suporter dari sekolah mereka sendiri, yang
langsung menyeruak masuk seperti laron keluar sarang begitu penonton histeris
pertama kali tadi. Tim basket SMU Palagan kini jadi tercengang, padahal mereka
tadi sempet ngenes banget waktu ngeliat jumlah suporter yang seperti tebaran pasir
di pantai saking sedikitnya.
Lima pasang mata, milik Daniel dan keempat temannya, menatap bercahaya. Tidak
yakin dengan besarnya dukungan yang diberikan untuk mereka, dan masih tidak
percaya gimana ini bisa terjadi.
Para cheerleader itu lalu lari ke pinggir lapangan, ke tempat tim dan sebagaian
suporter mereka berkumpul.
"Good luck!" seru mereka hampir bersamaan, begitu kelima pemain SMU Palagan
turun. Yang membuat penonton lagi-lagi jadi ketawa, cowok-cowok menor itu ribet
banget waktu mau ganti baju. Ganti-gantian ditutupi pakai sarung batik rapat-rapat.
"Biar nggak ada yang ngeliat," begitu alasan mereka. Tapi begitu keluar dari
sarung, eh, malah nggak pakai baju!
Hendra malah sempat membuat permainan jadi tertunda, gara-gara Ipul sudah
menurunkan sarung padahal Hendra baru mau memakai kaus. Kontan tu cowok
menutupi dadanya yang bidang dan berotot dengan telapak tangan.
"Aduuuh.... Ikke kan belooom. Jadi kelihatan deh dada ikke! Dasar cowok kurang
azar!" Dan.... Dig! Ipul dapet bogem mentah. Meskipun itu cuma bercanda, tapi tak urung
penonton jadi ketawa terpingkal-pingkal.
Alhasil, Daniel dan Pak Hadi kena tegur panitia.
Mau main basket apa ngelawak" gitu katanya.
"Eh! Ude! Ude!" seru Udin. Cowok itu jadi nggak enak juga. Dia menengok kirikanan. "Rish! Paya! tolong dong!"
Irish dan Vaya, yang sudah complain sampai frustasi kalau namanya "Vaya"
bukannya "Paya", buru-buru menghampiri. Mereka membantu Udin membereskan
semua perlengkapan yang berserakan di tempat para cheerleader cowok ganti baju.
"Din, makasih ya?" Irish ingin sekali memeluk Udin. Cowok itu meringis.
"Pegimane" Oke, pan?"
"Oke banget! Canggih! Hebat! Heboh! Brilian!" Irish melontarkan berjuta pujian.
"Tapi elo kok nggak mau ngasih tau gue sih" Gue dari depresi sampai akhirnya
jadi pasrah, tau nggak?"
"Sori deh, Rish, kalo gue nutup-nutupin. Abis takutnye kagak jadi. Jadi gue pikir,
daripade ude ngomong tapi ntarnye malah batal, mendingan elo, Dapi, terus juge
nyang laen, gue kasih surprais. Pegimane" surprais kagak?"
"Waaah, surprise banget, Din! Bener! Sumpah disamber gledek! Elo emang benerbener oks banget!"
Udin tertawa sumringah. Kemudian mereka buru-buru duduk bergabung dengan
yang lain, karena permainan sudah mulai panas.
Daniel, Sagara, Tagor, Verdy, juga Davi, kini tampak rileks. Mereka bisa
mengembangkan permainan dengan baik. Padahal tadi mereka berangkat dalam
suasana yang kurang menyenangkan. Sepi dan dicuekin.
*** Dengan kondisi permainan yang tak berimbang -santai dan menyenangkan bagi
SMU Palagan tapi "Iiih, jijik!" bagi SMU Trisula- dengan mudah SMU Palagan
mengakhiri pertandingan dengan kemenangan mutlak.
Di akhir permainan, penonton memberikan aplus yang sangat meriah. Mereka
berdiri sambil bertepuk tangan, bersorak, juga bersuit-suit. Suporter SMU Palagan
yang jumlahnya sebenarnya tidak begitu banyak, malah pada loncat-loncat. Benarbenar tidak menyangka bisa menang. Begitu keluar lapangan, Daniel langsung
mendekati Udin. "Thanks banget ya, Din," katanya sambil meraih tangan Udin dan
menggenggamnya kuat. "Kalo nggak ada elo, gue nggak tau deh gimana jadinya."
"Yo'i, pren! Kagak usye dipikirin dah. Eni pan demi sekole!"
"Apapun alasan elo... thanks banget!"
Keempat anak buah Daniel langsung mengikuti jejak sang kapten. Mereka
merangkul Udin dan mengucapkan terima kasih. Cuma Sagara yang terima
kasihnya pakai embel-embel.
"Kalo sampe sohib gue jadi bencong beneran....gue bunuh lo!"
Udin kontan nyengir kuda.
Tak kurang Pak Hadi, guru yang paling akrab dengan hampir semua murid dan
disukai karena humornya, ikut mengucapkan terima kasih.
"Ngomong-ngomong...," sambungnya, "jangan-jangan itu kamu ya, yang Bapak
liat malam-malam berdiri di dekat gerbang sekolah?"
"Bukan, Pak! Itu saya!" sambar Sulaiman. Membuat semua tertawa geli.
Setelah itu mereka membereskan semua perlengkapan dan mundur ke tribun
penonton untuk menyaksikan pertandingan berikutnya: SMU Mahatma vs SMU
Gabriel. Pemenang pertandingan ini akan menjadi lawan mereka di pertandingan minggu
depan. Tapi mereka tidak bisa menyaksikan pertandingan sampai selesai karena
panitia meminta mereka pulang demi alasan keamanan. Cuma Pak Hadi dan Daniel
yang akan tinggal. "Elo-elo pada bikin stres, tau nggak" Nongol pas udah mepet waktu!" kata Irish
sambil membereskan semua perlengkapan cheerleader, dibantu Vaya dan Keke.
"Jangan salah. Kami udah dateng dari jam tujuh kurang," jawab Ipul. "Waktu
Sagara telepon tadi, kami udah di sini."
"Oh ya?" semuanya menoleh bersamaan.
"He-eh! Emang lo kira kami berangkat begini dari rumah" Gila aja! Bisa semaput
ibu gue!" Sam ketawa. "Waktu bawa barang ini aja, ibu gue nanyanya sampai detail banget. Gue bilang
aja buat di sumbanganin."
"Terus makeup-nya?" tanya Vaya. "Kok bisa lumayan bagus?"
Giliran di tanya begitu, semua cowok cheerleader itu pada nyengir sambil serentak
menunjuk Agus. Daniel tertawa sambil geleng-geleng kepala.
"Kacau! Kacau! Lo kenapa nggak bilang kalo bisa nyalon" Tau gitu gue nggak
bakalan mau tidur sekasur sama elo waktu nginep di rumah Saga!"
Agus ketawa ngakak, lalu mengedipkan mata.
"Elo tau nggak, Niel" Elo waktu tidur maniiis banget deh!"
Semua kontan ketawa ramai. Daniel langsung berdiri sambil mengepalkan tangan.
"Bajigur! Apa lo bilang" Coba ngomong sekali lagi!"
Agus makin ngakak. "Ck ck ck ck! Ternyata Daniel seksi, ih! Menggoda iman!"
Daniel melompat dan langsung mencekik Agus.
"Elo apain gue!" Cepet ngaku! Elo apain gue!?" serunya, membuat semua semakin
ketawa geli, juga para suporter SMU Mahatma yang duduk tak jauh dari mereka.
Sewaktu Daniel sibuk nyekek Agus, tiba-tiba di peluk Bayu dan Ivan di kiri-kanan,
dan... "Cup! Cup!" dua kecupan mendarat di dua pipinya, meninggalkan dua
cekatan bibir yang merah menyala.
"Aah! Puih! Puih!" Daniel mencelat dan langsung ngibrit jauh-jauh sambil
mengusap-usap pipi. Begitu korban mereka kabur, Bayu, Ivan, dan Agus menengok kiri-kanan, mencari
sasaran baru. Dan mata mereka hinggap di Davi.
Irish terperangah karena tiba-tiba dua lengan memeluknya dari belakang, begitu
erat dan perlahan menariknya mundur ke sudut saat Bayu, Ivan, dan Agus bergerak
maju. "Davi, curang loe ngumpet di belakang cewek!" seru Bayu.
Davi tertawa. Begitu dekat ke tengkuk Irish, hingga hangat napasnya menyapu
kulit. Dan saat Bayu, Ivan, dan Agus merangsek maju, Davi semakin
menenggelamkan Irish ke dalam pelukannya, sama sekali tidak sadar bahwa
tindakannya itu menyebabkan jantung cewek yang dipeluknya jadi deg-degan.
Irish mengeluh dalam hati. Kayak begini nih yang bikin gue cepet mati!
*** Usaha pemboikotan itu gagal. Metha dan Wulan malah di caci maki anak SMU
Palagan, terutama yang batal nonton dan cuma bisa mendengarkan ceritanya.
Apalagi semua yang nonton ngomongnya sama persis seperti bunyi pengumuman
misterius itu. "Wah, pokoknya rugi banget banget deh lo! Pokoknya, barang siapa yang nggak
nonton kemaren bener-bener rugi! Gi! Gi! Gi! Bener-bener nyesel seumur hidup!
Dup! Dup! Dup!" Dan di mana-mana anak-anak pada cecakakan tiap kali kejadian itu diceritakan
ulang. Yang tidak nonton agak susah mau percaya, wong Udin, Sam, Hendra, Ipul
dan semua nama yang katanya jadi cheerleader itu cowok tulen. Nggak ada
lembut-lembutnya sedikit pun. Apalagi Hendra, yang gelembung otot di kedua
lengannya hampir menyaingi punuk unta.
Susah membayangkan mereka memakai rok mini, kaus you can see ketat, wig
panjang, lipstick, eyeshadow, anting-anting, jepit rambut dan segala macam
pernak-pernik cewek lainnya.
Metha dan Wulan benar-benar berang. Pasalnya, mereka sudah ngabisin duit jutaan
dan hasilnya malah gagal total. Apalagi juga mereka kena amuk cewek-cewek
cheerleader gara-gara tim basket sekolah kini tidak membutuhkan mereka lagi.
SMU Palagan kini punya kelompok cheerleader sendiri. Dwifungsi malah, bisa
jadi pemain cadangan juga. Sudah begitu tidak perlu di jaga, lagi! Soalnya mereka
bisa melawan kalau ada cowok yang berani iseng.
Dan ternyata, nama SMU Palagan sekarang ngetop banget di SMU Mahatma. Jadi
bahan omongan gara-gara cheerleader-nya yang heboh dan ciamik pula itu. Dan
banyak yang udah nggak sabar menunggu sampai hari minggu nanti untuk bisa
menyaksikan penampilan mereka lagi.
"Cheerleader-nya elo lagi, Din!" kata Deni.
Udin kontan ketawa. "Pasti entu dah! Terangin, Pan!" perintahnya ke Ivan.
"Oke!" jawab Ivan, lalu memandang berkeliling. "Jadi gini. Untuk hari minggu
besok rencananya kita mau menampilkan tarian striptease!"
"APAAA!?" semuanya langsung kaget.
"Gila lo!" seru Irish.
"Tau nih!" kata Ronni. "kalo gue sih daripada nonton striptease cowok, mendingan
striptease monyet! Udah ketauan!"
"Iya! Iya!" semuanya ngakak.
"Tenang! Tenang! Jangan shock dulu!" kata Ivan buru-buru. "Striptease di sini
maksudnya, kita nanti pake kostum strip-strip. Gitu lho."
"Oooo," semuanya kontan nyengir. "Kirain striptease yang kayak Demi Moore,"
kata Irish. "Waaah, kalo itu mesti izin kepolisian dulu. Gue sih mau aja," jawab Ivan sambil
meringis. Jadi berdasarkan informasi itu, tim basket SMU Palagan tidak perlu pusing lagi
soal suporter. "Silakan kalo mau diboikot lagi!" kata Daniel waktu ketemu Metha di ruang OSIS.
"Tapi kayaknya elo perlu ngeluarin satu juta untuk satu kepala!"
Metha cuma diam. Dia tahu, kali ini dia betul-betul kalah!
PANSUS langsung mengadakan rapat lagi. Sekarang giliran Vaya yang ketiban
bencana. Sohib Irish dan satu-satunya cewek yang emang dekat dengan Irish itu
punya bisnis keripik singkong pedas yang udah kesohor di seantero sekolah.
Renyah, gurih, dan hot (pedas, maksudnya)!
"Apa!?" seru Vaya. Dia terpana waktu Pipit, jubir Pansus, membacakan memo
hasil rapat kemarin, yang menyatakan bahwa Vaya sudah tidak boleh lagi naro
dagangan di kantin dan koprasi.
"Nggak usah macem-macem deh. Itu nggak lucu buat bercanda, tau nggak?"
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa bilang ini bercanda?" balas Pipit ketus.
"Terus, kenapa gue yang kena sih" Yang pacaran sama Davi kan Irish."
"Tapi kan elo sohibnya Irish!"
"Biarpun gue sohibnya Irish, emangnya Davi dibagi ke gue juga" Yang bener aja
deh!" "Terserah apa kata lo! Yang jelas, ini serius!"
"Terus gue mesti bilang apa ke nyokap gue?"
"Oh! Elo nggak perlu bilang ke nyokap lo, Vay. Lo cukup bilang ke Irish!" tandas
Pipit enteng, lalu berbalik pergi.
Vaya geleng kepala, tidak bisa mengerti. Tapi dia juga tahu, ini bukan main-main.
Dan benar sja. Waktu dia bertanya ke Bu Nurul, pengelola koperasi, Bu Nurul
bilang dia udah nggak bisa menjual keripik singkong pedas punya Vaya di situ
lagi. Mulai besok! Gila, kan" Vaya tidak mau bertanya ke kantin. Kalau koperasi yang di bawah kendali sekolah
saja bisa diacak-acak --meskipun Vaya yakin pihak sekolah pasti tidak tahumenahu soal ini-- apalagi kantin.
Terpaksa dia mesti ngasih tahu Irish!
Begitu bel istirahat berbunyi, Vaya langsung ke sana kemari mencari sohibnya itu,
diiringi tatapan puas para anggota Pansus yang memang bertebaran di sana-sini.
Mereka puas karena ternyata awal ancaman mereka berjalan sesuai dengan yang
mereka kehendaki. Setengah mati Vaya mencari Irish. Memeriksa setiap sudut kompleks sekolah yang
sangat luas. Sejak Irish punya pacar, mereka jarang bersama-sama lagi. Jarang
banget malah, karena Davi melekat seperti lintah!
Akhirnya Vaya menarik napas lega. Setelah kedua kakinya nyaris kecengklak,
pasangan yang nyaris tak terpisahkan itu dia temukan juga di lab biologi. Vaya
tidak tahu siapa yang mereka cari di situ. Yang pasti sih temannya Davi, karena
Vaya lihat Irish cuma duduk anteng dan diam di sebelah cowok itu.
"Irish!" panggil Vaya sambil bergegas masuk. Irish menoleh, juga Davi dan
temannya yang lagi membicarakan sesuatu. "Gue mau ngomong sama elo.
Penting!" Vaya menyambar tangan Irish lalu menariknya keluar. "Bentar ya, Dav,"
katanya ke Davi. "Gue pinjem sohib gue sebentar!" Sengaja dia bilang "sohib gue",
biar Davi sadar bahwa dia sudah merampas satu-satunya sahabat yang dimiliki
Vaya! "Apaan?" tanya Irish setelah mereka sudah di luar lab.
"Gue udah nggak boleh naro keripik lagi. Nggak di kantin, nggak di koperasi."
"Kenapa?" "Ya karena elo pacaran sama Davi!"
"Hah?" Irish terperangah. "Gimana sih" Gue nggak ngerti?"
"Lo kira gue ngerti" Tapi abis mereka ngomong begitu, gue langsung tanya Bu
Nurul. Bu Nurul bilang itu bener!"
"Mereka siapa" Metha, Wulan, sama yang laen-laennya itu?"
"Siapa lagi?" Irish terdiam. Bingung sekaligus tidak menyangka.
"Kalo elo cuekin aja, gimana?"
"Gimana mau dicuekin" Itu kan udah ada jatahnya. Mau pake berapa nampan. Nah,
kalo nampan gue nggak dikeluarin, gimana" Masa keripiknya mau gue taro begitu
aja di atas kaca?" Irish diam lagi. Dia benar-benar nggak nyangka kenapa bisa pada tega begitu.
"Mulai kapan?" "Besok." "Besok!" Irish terpekik. "Gila!"
"Kalo nggak gila, gue nggak nyariin elo, Rish. Gimana?"
"Ntar deh. Gue kasih tau Davi dulu."
Vaya langsung melirik ke dalam lab dan mengecilkan volume suaranya. "Elo
nggak bisa ya, sedetiiik aja nggak nempel ke Davi?"
"Bukan gue yang nempel, tau! Dia tuh!" Irish langsung protes keras.
"Ya udah deh. Gue nyari elo cuma mau ngasih tau itu. Gue duluan ya."
"Vay, sori banget ya?" Irish menggenggam tangan Vaya sesaat sebelum
sahabatnya itu pergi. Dia benar-benar merasa bersalah. Gara-gara dia, Vaya jadi
ikut tertimpa masalah. "Iya. Nggak apa-apa kok. Emang mereka itu pada nggak becus ngaca! Yuk, ah.
Gue duluan. Dah!" Setelah Vaya pergi, Irish menarik napas panjang-panjang. Ini benar-benar tidak
lucu lagi, karena dia tahu persis besarnya peranan keripik singkong pedas itu bagi
keluarga Vaya. "Ada apa?" Tiba-tiba Davi sudah ada di sebelahnya.
"Eh" Oh, itu. Balik yuk, Dav?"
"Ini gue nyusul elo karena mau gue ajak balik. Ada apa sih" Kok tampang lo jadi
kusut?" Irish tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang-panjang dulu.
"Vaya, Dav." "Kenapa Vaya?" "Dia udah nggak boleh naro keripik lagi di kantin sama koperasi."
"Kenapa?" "Karena kita!" "APA!?" Davi terperangah.
*** Meskipun tahu ancaman itu bukan bercanda, Vaya masih berharap itu cuma gertak
sambal. Tapi ternyata, begitu besoknya dia ke koperasi, tiga nampan yang jadi
jatahnya selama ini telah ditempati dagangan lain. Bolu kukus, panada, dan donat
kacang. Vaya tidak tahu muncul dari mana kue-kue itu, karena Bu Nurul tutup
mulut. Vaya jelas jadi kebingungan. Masalahnya, bahan mentah komoditi ekspor andalan
keluarganya itu sudah dibeli. Dan hari minggu besok, seperti biasa mereja akan
kerja keras dari pagi sampai malam. Satu keluarga. Vaya, bapak-ibunya, kakaknya,
juga dua adiknya. Coba, gimana Vaya mau ngasih tau keluarganya bahwa sementara ini dia tidak bisa
nitip keripik karena ada sekelompok cewek yang iri dan tidak bisa terima Irish
jadian sama Davi" Kan konyol!
Lunglai, Vaya pun balik badan, kemudian berjalan lesu ke kelas Irish. Dia harus
memberitahu Irish bahwa ancaman Metha cs ternyata nggak main-main.
*** Pagi ini Irish terduduk muram di teras. Semalaman dia terus berpikir, mencari jalan
gimana caranya menolong Vaya. Tapi sampai pagi ini belum juga ketemu.
Dia benar-benar merasa bersalah. Semalam Vaya menelepon dan ini pertama
kalinya Irish mendengar sahabatnya itu menangis. Padahal selama ini Vaya selalu
enjoy, santai, dan tenang. Kalau dia sudah sampai putus asa begitu, berarti ini
memang sudah benar-benar keterlaluan.
Begitu seriusnya Irish larut dalam lamunan, begitu dalamnya kepalanya menunduk,
hingga deru mesin mobil Davi pun terabaikan. Bahkan setelah cowok itu berdiri di
sebelahnya, Irish masih belum sadar juga.
"Irish," setengah membungkuk Davi memanggilnya. Irish tetap nggak ngeh.
"Irish!" cowok itu mengulang. Masih juga Irish tak mendengar. Akhirnya Davi
menepuk pundak cewek itu. Tepukan pelan, tapi Irish kaget bagaikan ada petasan
yang meledak di hadapannya.
"Elooo.... bikin gue kaget aja! Kapan datengnya sih?" katanya sambil menepuknepuk dada.
"Elo yang ngelamunnya kelewat serius. Apa apa sih?"
Irish menatap cowok yang kemudian duduk di sebelahnya itu. Irish bingung.
Cerita, jangan, cerita, jangan. Tapi sebenarnya dia harus cerita, karena memang
cowok inilah sumber masalahnya.
"Ng... gini, Dav. Gue mau ngomong soal...."
"Vaya?" potong Davi.
"Kok tau?" Dua alis Irish menyatu.
Davi menarik napas. "Jelas taulah. Gue nggak secuek yang elo kira, Rish."
"Jadi?" "Suruh aja Vaya besok bawa keripiknya. Tapi elo tungguin dia, terus masukin
keripiknya ke mobil gue. Di kursi belakang ya."
"Terus?" tanya Irish heran.
"Kerjain apa yang gue minta." Davi menatapnya lurus. Irish langsung diam.
Kenapa gue bisa sampe lupa kalo cowok ini nggak suka banyak cerita ya" gerutu
Irish dalam hati. Davi berdiri. "Berangkat yuk?" ajaknya. "Udah jam setengah tujuh nih!"
*** Besoknya, setelah memarkir mobil di dekat pagar sekolah, Davi menyerahkan
kunci ke Irish. Cowok itu pergi ke kelas duluan.
Tak lama Irish menunggu, kemudian Vaya datang. Irish buru-buru menyambut
sahabtnya itu, membantu menurunkan kantong-kantong plastik dari bajaj.
"Kenapa Davi yang bawa, Rish?" tanya Vaya, mengekor langkah Irish ke tempat
mobil Davi diparkir. "Gue juga nggak ngerti. Dia orangnya gak banyak omong. Tadi udah gue tanya,
tapi dia nggak mau ngasih tau!"
"Elo kok bisa jadian sama dia sih" Gue bingung. Lagian elo juga nggak pernah
cerita apa-apa ke gue. Elo tuh sebenernya pacaran beneran apa bohongan sih?"
Irish kontan beku di tempat. Susah payah dia berusaha menenangkan diri. Kenapa
Vaya ngomong begitu" tanyanya dalam hati.
"Emangnya kenapa?" Irish kembali bertanya.
"Aneh aja. Biasanya kan elo selalu cerita ke gue. Tapi kok ini nggak. Tiba-tiba aja
elo jadian sama Davi. Semuanya kaget. Termasuk gue!"
Irish diam. Sebenarnya dia ingin cerita banyak. Tapi Davi sudah menegaskan
bahwa ini cuma rahasia mereka berdua. Cuma mereka!
Dia menoleh waktu di dengarnya Vaya menarik napas.
"Gue nggak peduli ini semua mau dibawa ke mana," ujar Vaya sambil menatap
dagangannya yang menumpuk di jok belakang mobil Davi. "Abis gue bingung.
Nyokap terus nanya-nanya, kenapa keripiknya nggak dibawa-bawa juga. Ntar
keburu nggak enak. Gue bilang aja, kantin sama ruangan koperasinya lagi
direnovasi. Jadi kantin yang sekarang kantin darurat. Serba berantakan."
"Iya. Bilang gitu aja. Nggak usah bikin nyokap lo bingung. Udah?" tanya Irish.
Vaya mengangguk. Irish menutup pintu belakang lalu menguncinya. Setelah
memeriksa dua pintu yang lain, ia mengajak Vaya ke kelas.
*** Dua hari kemudian, Davi memberikan sehelai amplop.
"Tolong kasih Vaya, Rish. Bilang sama dia, gue minta maaf."
"Keripiknya nggak elo buang kan, Dav?"
"Jelas nggaklah. Dosa, buang-buang makanan. Lagi pula kalo dibuang mana bisa
jadi duit" Dan..." tiba-tiba muka Davi berubah serius. Badannya bergeser lebih
dekat dan volume suaranya mengecil. "Rish, nanti elo temuin Metha. Bilang lo
mau ngasih tau semuanya hari sabtu nanti. Pulang sekolah."
"Apa!?" Irish terperangah. Dia hampir berteriak tadi. "Tapi kita kan belom ngarang
cerita yang komplet" Gue juga udah agak-agak lupa. Abis, kelamaan sih. Jangan
sabtu deh ya?" Davi menatapnya. Lurus ke manik mata, membuat Irish langsung tersadar. "Oke
deh!" Dia mengangguk patuh.
Davi tersenyum tipis. Cewek begini yang dia suka. Cepat mengerti kalau dia nggak
suka banyak omong, apalagi cerita.
*** Irish bingung, kuatir, dan cemas sama gagasan Davi itu. Tapi dia takut bertanya,
apalagi ngasih usul. Dia cuma bisa pasrah.
Hari yang disepakati tiba. Semua anggota Pansus sudah berkumpul satu jam lebih
awal di sekretariat PMR. Dari pagi mereka memang sudah tak sabar. Ingin cepatcepat menekan Irish supaya menceritakan yang sebenarnya. Mereka tetap yakin,
ada something wrong di balik jadiannya Irish sama Davi.
Jam tiga tepat, pintu diketuk.
"Masuk!" seru Metha dengan suara berwibawa. Pintu terbuka. Tapi yang muncul
bukan Irish, melainkan.... Davi!
Seketika ruangan jadi senyap begitu tahu siapa yang berdiri di ambang pintu.
Cewek-cewek itu jadi tegang dan saling pandang saat tubuh jangkung Davi
melangkah masuk dengan tenang dan sepasang mata dinginnya menyapu seisi
ruangan. Menatap mereka satu per satu.
"Di mana gue mesti duduk?" tanya Davi.
"Ng... ng... terserah elo! Terserah elo!" jawab Metha gugup.
Davi menarik satu kursi tepat di hadapan cewek-cewek itu, lalu duduk diam.
Menunggu. Ketenangannya, juga sepasang mata dinginnya yang menyorot tajam,
membuat para cewek anggota Pansus yang tadinya telah siap dengan daftar
panjang berisi pertanyaan, kontan jadi ngeri mau buka mulut. Davi berdecak kesal.
"Jadi elo nyuruh gue dateng cuma buat duduk diem begini?"
"Gue nyuruh Irish yang dateng kok," jawab Metha hati-hati.
"Dia udah gue anter pulang!" tandas Davi.
Tiba-tiba dia berdiri, menjulangkan tubuh jangkungnya, dan melangkah mendekati
cewek-cewek Pansus yang duduk berdekatan. Kemudian Davi menatap mereka
satu per satu dengan jeda beberapa detik namun sanggup membuat keberanian
mereka seketita menguap, nyaris tanpa sisa.
"Denger ya! Ini pertama kalinya gue ngomong, dan nggak akan ada yang kedua
kali!" Davi mendekat, membuat para anggota Pansus jadi semakin ngeri. "Gue
yang suka sama Irish! Gue yang teteg ngotot, maksa untuk duduk semeja meskipun
dia udah bilang itu kursi Ryan!" cewek-cewek Pansus langsung gelagapan. "Jadi
elo-elo tuh pada salah kalo selalu ngedesak Irish. Seharusnya elo semua minta
penjelasan ke gue! Meskipun sebenernya itu hak gue, hak Irish, hak kami berdua
untuk nggak ngomong apa-apa! Jelas!!"
Yang lain rata-rata ngeri mau ngejawab. Tapi Metha dan Wulan, yang sudah
terlanjur ngeluarin duit banyak, jelas nggak akan nyerah begitu saja. Mereka harus
tahu yang sebenarnya! "Emang apanya Irish sih yang bikin lo tertarik?" tanya Metha, saking tidak bisa
menahan rasa irinya. Seketika mata dingin Davi menyambarnya.
"Apa harus gue jawab?"
"Yaaah...," Metha kelihatan agak malu, "iya."
Davi menatap lurus ke arah Metha. Beberapa detik dia cuma begitu. Diam dan
menatap Metha tajam. Membuat suasana jadi mencekam dan anggota Pansus yang
tidak seberani Metha sudah ingin cepat-cepat lari keluar.
"Karena Irish nggak suka sama gue!" tiba-tiba Davi berkata.
Cewek-cewek Pansus kontan pada bengong.
"Ng.... maksud lo?" kali ini Wulan bertanya. Dia menatap Davi sampai nyureng
saking bingungnya. "Maksud gue...," Davi langsung beralih ke Wulan yang duduk di sebelah Metha,
"yang menarik dari Irish adalah... karena dia nyuekin gue!"
Cewek-cewek Pansus saling pandang. Tak menyangka sama sekali dengan
jawaban Davi itu, karena mereka sudah amat yakin bahwa jawaban Davi pasti
menyangkut soal fisik. Habis apa lagi" Ketertarikan pertama antara cowok-cewek
kan selalu dari situ awalnya. Baru setelah itu muncul alasan-alasan klise. Baiklah,
perhatianlah, sabarlah, pengertianlah.
Makanya mereka sudah siap dengan seribu celaan. Irish itukan melarat, kere.
Makanya badannya imut, soalnya kurang gizi! Kalau ada pesta suka nggak mau
ikutan karena emang nggak level. Bajunya juga jarang yang ngikutin mode. Dan
masih banyak kekurangan yang lain! Semuanya udah siap dilontarkan karena dari
semula mereka sudah yakin, Davi suka Irish dari segi fisik.
Makanya mereka benar-benar nggak nyangka kalau jawaban Davi ternyata
melenceng jauh. "Irish emang cuek kok. Bukan sama elo aja. Yang laen juga dia gituin."
"Itu urusan yang laen. Kalo gue nggak bisa!"
"Irish cuek sama elo, berarti dia nggak suka sama elo," Wulan tidak mau
menyerah. "Gue nggak peduli soal itu!"
"Atau... elo jatuh cinta sama dia?" tanya Metha, agak-agak salting.
Tatapan tajam Davi kembali ke arah Metha.
"Jelas! Apa gue harus nyium dia di depan elo-elo semua?"
wajah-wajah di hadapan Davi jadi memerah.
Buset deh! Keluh Metha dalam hati. Saklek banget nih cowok!
"Berarti... elo maksa Irish untuk jadi cewek lo. Begitu?"
Untuk pertama kalinya Davi tersenyum. "Betul. Tepat sekali!"
Davi telah mengatakan yang sebenarnya, tapi mana cewek-cewek itu tahu.
Sekarang mereka sadar, usaha mereka sampai kapan pun tidak akan ada gunanya,
karena ternyata yang terjadi tidak seperti yang mereka duga.
*** Setelah hari itu -hari saat Davi mengakui sekaligus menegaskan bahwa dialah yang
naksir Irish serta memaksanya duduk semeja dan bukan sebaliknya- cewek-cewek
anggota Pansus Jadi pasrah dan terpaksa menerima kenyataan bahwa Irish memang
lagi jadi kesayangan Dewi Fortuna.
Tim basket SMU Palagan juga berhasil masuk final, karena selain pemainnya okeoke, para suporter dan cheerleader-nya juga nggak diboikot lagi.
Tapi Irish jadi menyadari satu hal. Begitu tidak ada lagi wajah-wajah iri, begitu
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak ada lagi mata-mata yang menatapnya sinis, begitu tidak ada lagi mulut-mulut
yang kasak-kusuk, dia jadi tak punya tempat untuk mengalihkan pikirannya. Dan
tanpa dia sadari, semua itu justru meringankan bebannya karena tidak ada peran
yang harus dia jalankan. Tapi ternyata, membunuh perasaan cinta terhadap
seseorang yang selalu ada bersama kita sangatlah berat!
Di saat yang sama, Irish harus melindungi Davi dengan segala cara. Takkan ada
yang menyangka bahwa keadekatan mereka dan ekspresi kasih sayang yang
mereka perlihatkan satu sama lain ternyata cuma pertunjukan opera sabun yamg
suatu saat nanti akan berakhir!
Yang membuat Irish semakin jatuh-bangun dan memaksa hatinya untuk lebih
rasional adalah Davi tidak mau menjelaskan rencana-rencananya. Jadi sebenarnya
bukan cuma orang lain yang kaget, Irish juga kaget gengan semua manuver Davi.
Hari-harinya begitu penuh kejujtan. Irish tidak tahu dan tidak berani
membayangkan apa yang akam menyambutnya esok hari.
Davi bisa tiba-tiba saja meletakan sekotak cokelat di hadapan Irish tanpa ngomong
apa-apa sebelumnya. Sepotong blackforest denan ceri merah di atasnya bisa ada di
meja Irish tanpa sepengetahuan gadis itu. Bonek Teddy Bear yang lucu bisa
nongkrong di tempat duduk Irish tanpa ada yang tahu kapan boneka itu diletakan.
Tapi yang paling membuat cewek-cewek sekelas jadi ngiri banget adalah saat Davi
meninggalkan setangkai mawar putih di meja Irish -soalnya Davi harus ikut lomba
fotografi tingkat SMU- dan meminta sang juragan nasi uduk, si Udin, untuk
menjaga pacar tersayangnya itu dengan pesan, "Kudu dianter sampe di depan
rumah dan nggak boleh lecet sedikit pun!" Sementara yang bisa dikakukan Irish
hanya terpaku, hampir mati berdiri karena malu.
Irish membayangkan lagi kemesraannya bersama Davi. Bergelayut manja di
lengan cowok itu, menyambu
t setiap uluran tangannya, larut dalam setiap dekap
dan peluknya, dan sejujta adegan yang semakin membuatnya bermimpi indah
setiap malam. Namun semua itu, segala perhatian, sejuta senyum dan tatap pandang, menghilang
dalam waktu bersamaan! Begitu ia meninggalkan gerbang besi sekolah, begitu semua mata yang menatap iri
itu tak lagi terfokus memandang, segalanya menghilang! Yang tertinggal hanyalah
sosok dingin dan diam. Davi yang sebenarnya. Davi yang bicara cuma satu-dua
kata, dengan wajah nyaris tanpa ekspresi dan sepasang mata yang bukan jendela
jiwa! Tidak akan ada yang menyangka bahwa cerita tentang makam minggu itu benarbenar cuma hasil karangannya. Tanpa ada kenyataan satu kali pun!
Pasti juga takkan ada yang menyangka bahwa sethap malam minggu Irish cuma
sendirian di rumah. Ya ngarang cerita-cerita itu. Baru senin paginya, waktu Davi
jemput, Irish memberitahu Davi supaya cowok itu memberikan jawaban yang sama
kalau diinterogasi Metha cs.
Jadi apa yang dialami semua temannya -malam mingguan bersama pacarsebenarnya juga dialami Irish walaupun dalam khayal. Namun Irish lebih parah.
Mereka-mereka masih bisa menghindari sang pacar. Ngedumel kalau sudah kesal.
Pergi kalau sudah dongkol atau bosan. Tapi Irish"
Irish terpaksa bersbar. Terpaksa pasrah. Dan terpaksa ikhlas menjalani. Dan tidak
ada yang lebih.... boooring!.... daripada semobil sama cowok gagu!
Davi itu tega lho, bira nggak ngomong sama sekak di mobil. Meskipun mereka
terpaksa berjam-jam duduk berdua karena jalanan macet. Sementara Irish sendiri
bingung mau ngajak ngobrol. Mau ngobrol apa" Davi tidak pernah cerita tentang
keluarganya, apa nama kota kelahirannya yang terletak di kaki gunung dan belum
lama dia tinggalkan itu, apa hobinya, atau apa sajalah, yang sedikit bisa
memberikan informasi seperti apa sih cowok yang selalu di sebelahnya itu. Kadang
Irish takjub sendiri. Ajaib banget, ternyata dia tidak tahu apa-apa tentang Davi.
Satu-satunya yang dia tahu tentang cowok irit ngomong itu cuma kecelakaan itu.
Bahwa Melanie terlempar hampir seratus meter. Sempat koma sebelum akhirnya
meninggal. Cuma itu! Dan itu jelas tidak bisa dijadikan bahan obrolan!
*** Hari-hari datang, diam, dan hilang. Lewat satu demi satu. Setiap melambung di
awang-awang setiap malam, dibelai mimpi indah yang rasanya seperti kenyataan
namun diempas tanpa ampun begitu mata terbuka, akhirnya kesadaran itu datang.
Akan ada hari akhir untuk semua ini. Hari saat Davi hanya akan mengucapkan
terima kasih. Tak lebih. Lalu cowok itu akan pergi.
Jadi, daripada terpuruk di hari itu nanti, lebih baik dipersiapkan sejak dini. Yang
pertama harus dilakukan adalah, menegaskan pada diri sendiri bahwa ini cuma
sandiwara. Caranya" Ya tempelkan satu kata itu di depan mata!
Dan itulah yang segera dilakukan mungil ini. Kata "SANDIWARA" kini tertempel
di atas meja belajarnya, dengan ukuran huruf sebesar gajah!
Tapi lumayan, ada hasilnya!
Bayangan saat Davi merangkulnya, menggandengnya, mengajak makan berdua,
mengerjakan tugas bersama, bercanda, tertawa, dan semua hal indah yang
dilakukan hanya apabila mereka ada di depan banyak mata, sekarang tidak lagi
membuat Irish bahagia. Karena satu kata itu, "SANDIWARA", muncul jelas-jelas
di monitor otaknya, memberikan kesadaran bahwa Davi melakuknnya pasti juga
tanpa perasaan apa-apa. Dan itu semua telah banyak membantu Irish melupakan Davi. Sukses!
Akhirnya tibalah Irish di hari itu. Hari di saat matanya betul-betul jernih. Hari di
saat perasaannya benar-benar netral. Hari di saat tidak ada lagi mimpi-mimpi di
kepala. Hari di saat hatinya tidak lagi tumbuh bunga. Hari di saat ia bisa
mengimbangi sandiwara itu tanpa beban. Di hari-hari kemudian, sandiwara itu
bahkan jadi terasa menyenangkan. Selalu bisa meninggalkan tawa juga kelakar.
Dan setiap sabtu malam, atau keesokan harinya seharian, kalau tidak ada acara
keluar, dengan enjoy Irish melewatkan waktu dengan mengarang cerita baru untuk
disiarkan di sekolah, di depan wajah-wajah yang selalu punya segudang perhatian,
untuk mendengarkan cerita tentang date time!
Perlahan, ada yang berubah. Cinta yang muncul dalam diam dan tumbuh dalam
keheningan. Yang datang bahkan tanpa dia sadari.
Berjalan bersamanya, larut dalam tawa dan semua kelakarnya, limbung dalam
senyum dan tatap mata. Bahkan saat jari-jari itu meraihnya, satu hal yang kerap
terjadi sejak semula, dan satu bisikan kecil di telinga... sesuatu di dadanya berdetak
lebih cepat dari yang dia duga.
Dan di saat dia semakin jatuh-bangun untuk tetap ada dalam skenario yang telah
mereka tata, Irish malah semakin wajar dan menjalani perannya apa adanya.
Hampir putus asa, lalu dia teriakkan cintanya ke udara, tapi ternyata.... menguap
sia-sia! Fairish, gadis itu, ada di dekatnya, hampir selalu bersamanya, tapi telah menjelma,
menjadi apa yang pernah dia minta: angin!
Dan dia terlambat menyadari. Saat melihatnya dengan hati, dan bukan dengan
kepentingan sendiri, baru dia sadar.... Irish telah ada di seberang lautan!
Dan prahara itu benar-benar datang. Menggulung bentang cakrawala, memudarkan
bianglala, menarik fajar, dan di kejauhan, bergerak perlahan...bayang-bayang
malam! Dan di sinilah dia sekarang... terseok menghalangi....
Ada yang perlahan berubah. Cinta yang muncul dalam diam dan tumbuh dalam
keheningan. Yang datang bahkan tanpa dia sadari.
Terlalu pelan kesadaran itu datang. Dan saat mata hati terbuka, dia sudah jadi
gumpalan! SIALAN! rutuk Davi. Untuk yang kesekian kali. Resah dan bingung sendiri.
Dia pernah mengenal lebih dari tiga lusin cewek manis, juga cantik. Dari cuma
yang sekedar manis sampai yang luar biasa manis, dari yang agak cantik, sampai
yang sangat cantik. Salah satunya Melanie. Dan dibanding gadis Indo itu, Irish ini agak susah untuk
bisa disejajarkan. Melanie bukan cuma menyandang nama belakangan ayahnya,
Adams. Tapi juga rambut seterang nyala matahari, kulit seputih kapas, serta garis
muka khas cewek-cewek ras Arya.
Tapi dulu Davi tak pernah seemisional ini. Padahal dulu dia mengejar Melanie
dengan segala cara. Dia juga begitu bangga bisa menggandeng cewek pirang itu.
Tapi toh tak banyak waktu yang bersedia dia lewatkan untuk mengenang-ngenang
seperti ini setelah pertemuan mereka. Lewat begitu saja.
Sementara si mungil Irish itu bukan saja berhasil membuatnya mengenang lagi
waktu yang baru saja mereka lalui, tapi juga berharap itu tak lekang ditelan esok
hari! Dan ini bukan yang pertama kali dia jadi hobi menatap bintang begini...
Membayangkan kejadian bersama Irish.
"Ini tajem beneran lho," ucap Irish waktu itu di kelas saat istirahat.
Alis Davi terangkat. Menatap menjepit kertas yang dipegang Irish. "Terus?"
"Terus...." Irish merapatkan diri, mengapit lengan Davi, menengadahkan kepala,
dan mendekatkan bibirnya. "Elo liat ada garisnya, kan?" bisiknya.
Davi mengangguk, mulai tidak bisa menahan senyum. Di depan mereka ada
sepotong puding pelangi. Dan memang ada dua garis tipis yang membagi puding
itu menjadi dua bagian. "Itu dikasih Vaya. Cuma buat gue. Dan sebenarnya juga mau gue makan sendiri.
Tapi daripada nanti muncul omongan yang nggak-nggak, terpaksa gue bagi sama
elo. Ingat ya...ter-pak-sa! Jadi, kalo elo makannya lewat dari garis sedikiiit aja...."
pelukan Irish di lengan Davi semakin kuat karena Daniar lewat dan menatap
mereka dengan sinis, "terpaksa ini gue mesti uji coba!" Irish mengacungkan
penjepit kertas. "Paham?"
"Paham!" Davi mengangguk sambil menahan tawa.
"Bagus!" Irish melepaskan pelukannya.
"Makannya pake apa nih?"
"Gue sih pake mulut."
"Bukan ituuuu, Iriiiish!" Dijitaknya si mungil itu dengan gemas. "Ini dicomot gitu
aja pake tangan?" "Tadi sih dikasih sendok plastik sama Vaya. Tapi tau deh, kok sekarang nggak
ada?" "Jadi?" Irish ikut bingung. "Pake apa ya?"
"Ini tadi bikin garisnya pake apa?" Davi balik tanya.
Bibir di depannya meringis lucu.
"Penggaris sama jangka."
"Apa!" Kan kotor!"
"Alaaa, paling juga diare!" jawab Irish enteng. "Malah kebeneran kan, bisa pulang
cepet!" "Dasar!" Davi juga pernah hampir salting waktu suatu hari Irish menyuapkan potongan kue
cokelat yang dibawanya dari rumah, begitu mesra di depan banyak mata, kemudian
berbisik lirih di kupingnya.
"Tau nggak kenapa elo gue suapin" Soalnya kalo nggak begini, lo bakal ngabisin
semuanya lagi kayak waktu itu!"
Tawa Davi hampir pecah, dan akibatnya, dia tersedak. Dengan lembur Irish
menepuk-nepuk punggungnya setelah mengangsurkan minum yang juga
dibawanyq dari rumah. "Makanya kalo makan pelan-pelan. Ya udah. Kalo gitu nggak usah makan lagi ya"
Keselek satu kali nggak apa-apa. Lebih dari itu bisa sama rumah sakit urusannya."
Sambil meringis lebar-lebar di balik geraian rambutnya, Irish melahap kuenya
tanpa sisa! Itulah Irish. Seperti itulah si mungil itu menurut Davi. Lucu dan menyenangkan.
Davi memilih Irish karena hanya sepasang mata cewek itulah yang langsung
menolaknya di tatapan pertama. Davi yakin, perasaannya tidak akan berubah, dia
tak mungkin jatuh cinta pada garis itu.
Tapi kenyataan kemudian berbicara lain. Irish memberinya tawa dari hari ke hari.
Dan tawa adalah jalan lapang menuju hati.
Kini Davi sadar, warna hatinya mulai berubah! Mengimbangi semua sandiwara
dan kepura-puraan ternyata mulai butuh konsentrasi. Menerima genggaman dan
rangkulan Irish juga butuh kesadaran.
Sintingnya lagi, sekarang jantunnya jadi gampang deg-degan kalau tiba-tiba Irish
memeluknya, bersandar di pundaknya, dan banyak macam ulah lagi. Meskipun itu
dilakukan kalau Irish lagi jengkel karena terus dipelototin Metha cs.
"Biar pada nightmare ntar malem! Pasti mereka ngimpi nyekek atau nendang gue,
atau nabrak gue pake bemper mobil kenceng-kenceng! Tapi biar aja. Cuma ngimpi
ini. Pokoknya mereka akan gue bikin..." suara Irish merubah menjadi desahan,
mirip orang yang lagi baca puisi roman, "mati merana karena kejamnya cinta...
Ooooh..." kemudian Irish menoleh ke arah Davi. "Setuju nggak?"
Davi cuma bisa mengangguk sambil, lagi-lagi, menahan tawa. Dia tidak bisa
menolak, karena pernah sekali dia tolak dan Irish langsung melotot.
"Elo ya! Udah gue bela-belain, bisa-bisanya lo bilang nggak setuju!"
Dan yang lebih membuat Davi tercengang, ternyata dia bisa benar-benar cemas
ketika suatu saat didapatinya Irish duduk diam dibangkunya. Lesu dan sedikit
pucat. "Kenapa?" "Kepala gue sakit," si mungil itu menjawab lirih, membuat Davi semakin kuatir.
"Udah minum obat?"
"Udah barusan. Belom bereaksi mungkin."
"Obat apa yang lo minum?"
Sepasang mata itu lalu menatapnya kesal.
"Obat cacing!" jawab Irish judes. "Ya obat sakit kepalaaa, tau! Orang yang sakit
kepalanya." Waktu itu ingin rasanya Davi mencium kedua pipi Irish yang berlesung pipi...
Tiba-tiba Davi tersadar dari lamunannya. Dia menghela napas panjang, heran
kenapa dia jadi menyukai kebersamaan ini. Dan jadi berharap lebih!
Yang jadi masalah, di saat dia mulai gelisah begini, Irish malah semakin enjoy,
rileks, dan asyik sendiri.
Kembali terlintas di benaknya, ekspresi iri di wajah Metha cs. Yang membuat Irish
cekikikan geli. Dan kepala cewek itu semakin penuh seribu akal-akalan lagi.
*** Siang ini mereka duduk di sudut perpustakaan, merencanakan akan ke mana hari
minggu besok. Tentu saja akan ke mana dalam tanda kutip, karena rencana mereka
cuma cerita dan tidak ada realisasinya, supaya mereka bisa menjawab kalau mulut-
mulut usil. Wulan cs bertanya.
"Kalau ke curug Nangka, gimana?" tanya Irish.
"Di mana tuh?" "Bogor." "Ada apa di sana?"
"Air terjun." "Jauh bener?" "Cuma cerita ini. Nggak beneran."
"Di Jakarta aja deh. Ragunan, gitu."
"Ragunan?" mata Irish kontan melebar. Beberapa detik kemudian ia tertawa, pelan
tapi geli banget. "Norak banget, tau! Ke Ragunan! Mau liat siapa sih" Udah nggak
mirip lagi kok sekarang. Dulu iya. Jutaan taun yang lalu. Tapi itu juga baru
dugaan. Eyang Darwin doang yang punya hipotesis begitu. Kalo gue pribadi sih....
marah! Gue nggak terima dong dibilang masih sodaraan sama monyet. Gue sih
lebih seneng sodaraan sama panda!"
Davi tertawa pelan. Yang begini ini yang membuatnya susah menahan diri. Dan
ikrarnya untuk tidak punya cewek dulu sementara ini, jadi terlupakan.
Padahal dia tidak bercanda. Belum ada tiga bulan dia menginjak ibu kota negara
ini. Dan terus terang, dia takjub berat dengan kilau gemerlapnya Jakarta, kota yang
tak pernah tidur. Davi benar-benar ingin tahu seperti apa sih yang namanya kebun binatang
Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah, Museum Gajah, Monas, Ancol, Dufan,
Sea World, dan lainnya lagi.
"Elo kalo mau main ke Ragunan, jangan bilang siapa-siapa," Irish kembali bicara.
"Kenapa?" "Ntar lo bisa diketawain. Apalagi kalo gerombolannya Metha sampe tau."
"Iya. Kenapa?" Davi masih tidak mengerti.
"Kampungan! Yang lagi ngetren sekarang tuh nongkrong di kafe."
"Di kafe kan nggak ada apa-apa. Cuma musik."
"Bukan ada atau nggak adanya. Tapi gengsinya itu lho."
Davi terdiam. Ditatapnya cewek di depannya itu lurus-lurus. Mendadak saja dia
ingin memulai. Daripada si mungil ini kena stroke dan jadi makin mungil kalau dia
tiba-tiba ungkapkan nanti, lebih baik dia mulai pelan-pelan dari dini.
"Besok temenin gue ke Ragunan ya, Rish?"
Ajakan itu sebenarnya sudah sangat gamblang. Tapi ternyata Irish salah tangkap.
Dia malah buru-buru menempelkan jari telunjuknya ke bibir.
"Sst! Jangan keras-keras kalo ngomong mau pergi ke Ragunan! Udah gue bilangan
juga!" "Mau ya?" "Nggak ah. Bosen!"
"Ya udah. Kalo gitu ke Taman Mini aja."
"Itu malah lebih parah! Udah deh mendingan ikutin usul gue aja. Gue punya
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyak alternatif. Gue pernah ke Megamendung, Situgunung, juga ke Cibeureum.
Ada foto-fotonya. Jadi elo nggak perlu susah-susah ngebayangin kayak gimana
tempatnya. Masalah Ragunan sama Taman Mini, itu ntar aja. Kita masih perlu
banyak tempat lagi karena hari minggu-nya juga masih banyak."
Davi menarik napas. Mengetukkan jari-jarinya ke meja. Kesal.
"Gimana" setuju, kan" Curug Nangka aja untuk minggu ini." Irish menatap cowok
di depannya. Wajah Davi tetap tenang tapi dalam hati dia sudah berteriak frustasi.
"Kalau kita beneran ke sana, gimana?" Davi mencoba sekali lagi. Mengirim sinyal
dengan gelombang yang lebih jelas. Tapi Irish langsung menggeleng malas.
"Nggak ah. Jauh, Dav. Mesti pagi-pagi banget berangkat dari rumah."
"Nggak apa-apa."
"Nggak mau ah!" Irish tetap menolak.
Davi menarik napas panjang-panjang. Kemudian, "Itu foto diambilnya kapan?"
"Dua tahun lalu. Eh, bukan deh! Waktu lulus-lulusan SMP. Perpisahan bareng
temen-temen." "Udah hampir tiga tahun dong. Elo tau nggak" Tempat-tempat wisata
berkembangnya cepet. Jangankan sampe tahunan gitu. Dalam waktu tiga bulan aja
bisa berubah banyak."
"Jadi?" "Ya kita harus ke sana!" tandas Davi.
Irish terdiam. Ingat waktu pergi ke sana dulu. Berangkat pagi buta dan sampai
rumah lagi juga sudah malam buta. Jangan di tanya capeknya deh.
"Nggak ah. Berubahnya paling apa sih" Paling jadi banyak warung. Terus jadi
rame. Macet. Tempat parkirnya juga jadi makin luas. Paling itu aja. Air terjunnya
sih gue jamin pasti nggak berubah. Nggak bakal bergeser. Tetap di situ-situ aja!"
Davi berdecak. Tidak bisa mengerti kenapa Irish bego banget begini!
*** Praha itu telah datang. Ada anak baru lagi. Cowok juga. Masih di jurusan IPA. Namanya Alfa. Tapi dua
benar-benar beda 180 derajat dibandingkan Davi. Alfa itu ramah, periang, murah
senyum, dan kocak pula. Mungkin karena itu, posisi Davi tak tergeser. Orang
memang lebih suka dengan sesuatu yang misterius.
Tapi herannya, dan ini yang sekali lagi membuat SMU Palagan --terutama cewekceweknya-- bingung, heran dan tidak mengerti. Alfa tuh langsung suka begitu
pertama kali melihat Irish! Dan dengan sikapnya yang cuek dan terbuka itu, jelas
saja berita itu langsung tersebar tanpa bisa direm.
Waktu itu Irish sedang berjalan di luar kelas. Sendirian. Tanpa peduli suasana
kelas yang lagi ramai, Alfa berseru keras, "Eh, siapa tu cewek" Itu tu, yang
mungil! Manis bener!" Belum sempat ada yang menjawab, Alfa sudah berteriak
duluan, "HAI, CEWEK MUNGIIIL! KAMU MANIS DEH!"
Mata-mata disekitarnya langsung jadi lebar. Irish sendiri berusaha masa bodo.
Soalnya cewek di SMU Palagan yang mungil bukan cuma dia. Jadi dia tidak perlu
ge-er. "Dia udah punya cowok lho, Al," kata Theresia.
"Oh ya?" Alfa kelihatan kaget. Tapi sedetik kemudian dia mengibaskan tangan
tidak peduli. Dan ketidakpedulian itu ternyata benar-benar dia buktikan! Di mana saja dan
kapan saja, salam spesialnya bertebaran, hanya untuk Irish seorang!
Irish sendiri sampai hampir histeris tiap kalu langkahnya di hadang. "Elo nggak
bisa ya, kalo nggak ganggu gue!?" grafiknya setengah putus asa.
Seperti biasa, Alfa memasang tampang polosnya.
"Wah, nggak bisa tuh. Maafin gue deh, Rish, kalo untuk yang satu itu. Lagian
jangan suka cemberut dong. Sayang, kan" Soalnya elo tuh maniiis banget!"
"Manis! Martabak, kali!" jawab Irish ketus sambil balik badan dan buru-buru
pergi. Tapi Alfa membuntutinya sambil tertawa geli.
"Jelas nggak dong. Lo sama sekali nggak mirip martabak. Karena martabak itu
bundar dan lebaaar."
Iiiih!! Irish mengepalkan tangan kuat-kuat, kemudian mempercepat langkah, malah
hampir berlari. Tapi itu bukan masalah buat Alfa, yang langkah kakinya dua kali
lebih panjang. Tanpa kesulitan, dia masih tetap bisa mengekor.
"Eh, nama lengkap lo tuh siapa sih" Irisan bawang, irisan timun, apa irisan tomat?"
Seketika langkah Irush yang sudah seperti lomba jalan cepat, kini berhenti. Ia
berbalik, lalu memelototi Alfa tajam-tajam. Mulutnya sudah terbuka, siap
melontarkan semua kejengkelan. Tapi detik berikutnya dia sadar, Alfa sengaja
memancing reaksinya. Akhirnya, sambil berkata, "Sabaaaar! Sabar! Sabar sabar!" Irish balik badan terus
kabur terbirit-birit. Saat itu barulah Alfa berhenti membuntuti. Dia menatap Irish sambil menahan
tawa. *** Irish lagi sibuk merapikan pembukuan MPR, ketika tiba-tiba Alfa menerobos
masuk dan langsung duduk di depannya.
"Eh, gue mau nanya nih,Rish. Udah lama sebenernya, tapi baru inget sekarang.
Katanya elo udah punya pacar, ya?" tanyanya tanpa basa-abdi apalagi salam
pembuka. Irish cuek, tapi mukanya langsung manyun. Dan seperti biasa, Alfa tidak
peduli. Dia meneruskan kalimatnya tanpa pusing dengan ekspresi mangkel.
"Gue bersedia lho jadi pacar kedua. Pacar gelap juga nggak apa-apa deh. Jadi, lo
jangan bilang siapa-siapa kalo kita pacaran. Yang penting kita bisa berangkat dan
pulang sekolah bareng, makan di kantin bareng, ngerjain pe-er bareng, jalan-jalan
bareng. Gimana" Mau, ya" Ya" Ya" Ya?"
Ya ampun! Ya ampuun! Ya ampuuun!
"Elo sarap, ya!?" bentak Irish. Padahal semalam dia sudah bertekad. Mulai besok
dia akan tabah, sabar, cuek, dan masa bodo amat terhadap kelakuan Alfa ini. Tapi
ternyata begitu berhadapan langsung, lagi-lagi dia langsung emosi. Lupa sama
tekadnya semalam. "Biarpun jadi pacar gelap, kalo elo ngomongnya kenceng begitu, semua orang jadi
pada tau!" "Oh!" seketika Alfa langsung menoleh ke kiri dan kanan, lalu menyeringai ke arah
orang-orang disekitar mereka yang memperhatikan sambil senyum-senyum.
"Jangan bilang siapa-siapa ya, kalo gue itu Shepia-nya Irish!" serunya ke seisi
ruangan. Semuanya kontan ketawa geli dan menjawab kompak, "Oke deeeh!"
Alfa menyeringai lagi, lalu berbalik menghadap Irish.
"Apa cowok lo itu sebaik gue?" tanyanya pede banget. "Asal lo tau aja, di sekolah
gue yang dulu, gue tuh cowok idaman! Soalnya gue itu lembut, sabar, perhatian,
penyayang, setia pula! Terus gue juga orangnya pengertian, lembut.... eh tadi
lembut udah ya?" Serius banget Alfa menyebutkan sifat-sifat baiknya. Mirip
salesman perabotan dapur. Tidak peduli tangan di depannya sudah gatal pengin
mencakar. "Al!" desis Irish pelan. Sebenarnya ingin rasanya ia berteriak keras-keras, tapi
sayangnya di situ banyak orang. "Jangan sampai gue bilang ke..."
"Davi?" potong Alfa santai. "Bilang aja! Gih, sana cepet! Gue tunggu di sini!"
Irish menegakkan badannya sambil menatap Alfa. Raut tenang di wajah cowok itu
membuat Irish tahu, ancamannya takkan mempan!"
Irish yang tadinya merasa lega karena bisa ke mana-mana sendirian, tidak harus
selalu berdua Davi setiap menit, setiap detik, akhirnya harus ikhlas melepaskan
kebebasannya yang baru dirasakan belum lama itu. Soalnya Alfa selalu muncul
setiap saat dan hampir di semua tempat. Tidak bisa diduga dan tidak bisa ditebak.
Siapa yang akan menyangka bakal menemukan cowok itu begitu mebuka pintu
toilet cewek" Dan itu yang terjadi. Irish kaget setengah mati waktu habis ganti baju
olahrapa dan membuka pintu, Alfa berdiri tepat di depannya.
"Ngapain lo di sini?" bentaknya. Dan seperti biasa, Alfa menjawab santai.
"Lho" Emangnya ini toilet cewek, ya?"
"Alaaaah, udah deh, nggak usah sok bego! Udah jelas-jelas ini toilet cewek!"
"Kapan gue sok sih" Pinter aja gue nggak sok, apalagi bego!" Alfa cengengesan.
Irish makin melotot. "Nggak lucu!" tandasnya judes.
"Bener, Rish! Gue nggak tau kalo ini toilet cewek. Suer! Mana bacaannya" Orang
nggak ada!" "Ya, tapi elo liat-liat dong! Mana ada cowok di sini!"
"Ya kali aja di dalem."
"Apa!?" pekik Irish seketika. "Jadi elo nuduh gue berduaan sama cowok di dalem
kamar mandi?" "Iya. Itu siapa" Bukannya cowok?" Alfa menunjuk dengan dagu ke poster
Sylvester Stallone yang nangkring di tembok kamar mandi. Tidak tahu siapa
oknum yang katro banget menempelkan poster itu di situ. Irish mendengus, terus
buru-buru kabur dari situ. Dasar sinting! gerutunya dalam hati.
Kali lain, Alfa menghadangnya di ujung tangga dan tidak mau memberi jalan.
"Bilang dulu, 'Hai, Alfa,' baru boleh lewat."
Irish melotot tapi terpaksa nurut.
"Hai!" katanya ketus.
"Aduh! Kok judes banget sih" Yang manis dong. Ya lembut, gitu."
"Aaaaah, awas! Gue buru-buru nih!" jerit Irish tertahan. Tidak berani keras-keras,
takut jadi perhatian. "Makanya cepet bilang, biar bisa cepet lewat."
Irish menarik napas dalam-dalam. Mati-matian menahan sabar.
"Haaaai.... Alfa!"
Alfa mengerucutkan hidungnya, kedua bola matanya melirik ke atas, menimbangnimbang. Lalu dia geleng kepala.
"Kurang! Masih kedengaran judes."
"Iiiih! Bodo ah!" Irish buru-buru berjalan, tapi Alfa lebih cepat lagi. Ia menggeser
badannya dan menghalangi Irish.
Dan itulah kali pertama Irish menuruti perintah Alfa. Terpaksa diucapkannya "Hai,
Alfa" dengan intonasi sesuai permintaan cowok itu.
Tapi yang paling membuat Irish malu, waktu lagi ganti baju bareng cewek-cewek
kelas sebelah yang jam olahraganya memang bersamaan, tiba-tiba terdengar suara
dari luar toilet. "AKU BISA MEMBUATMUUUUU... JATUH CINTA
KEPADAKU, MESKI KAU TAK CINTAAAA.... KEPADAKUUUUU!"
Suara itu melingking gila-gilaan. Semua yang di dalam sampai terlonjak kaget,
kemudian tertawa geli. "Rish, penggemar elo tuh! Samperin gih!" teriak Vita anak kelas sebelah. Yang
lainnya mengangguk. "Iya gih! Daripada ntar satu kaset dia nyanyiin. Kalo suaranya oke sih nggak apaapa."
Sekali lagi Irish mengelus dada sambil mengucap, "Sabaaar! Sabar! Sabar! Sabar!"
Tapi sedetik kemudian Irish mengomel, "Gue bunuh juga tuh orang!" cewek itu
keluar sambil ngamuk. "HEH!!!" bentaknya pada Alfa yang masih sibuk
bernyanyi. Sekarang cowok itu malah pakai gaya. Benar-benar nggak tahu malu!
"Elo ngapain sih!?"
"Ya nyanyi. Emang kedengerannya dari dalem gimana?" seperti biasa, Alfa
tampang pasang bego. Irish sudah tidak mau memperpanjang lagi. Buru-buru ia
berlari turun ke lapangan. Alfa nggak mau kalah. Cepat-cepat dia mengiri langkah
kebirit-birit Irish dengan salam spesialnya yang sudah membuat iri cewek-cewek
satu sekolah. "DAAAAH, IRIIIISH.... SAYANGKU! CINTAKU! MANISKU! KASIHKU!
PERMATA HATIKU! DAMBAAN KALBUKU! BELAHAN JIWAKU!
BUNGA-BUNGA MIMPIKU!"
*** Besoknya, teror-teror Alfa memaksa Irish back to basic. Ke mana-mana berdua
Davi lagi. Seperti dulu. Habis mau gimana lagi" Cuma ini satu-satunya jalan
supaya aman. Alfa itu ternyata benar-benar nekat, tidak bisa di tebak sama sekali apa isi
kepalanya. Dan Irish sadar, ternyata bila Davi ada di sebelahnya pun bukan berarti
dia akan amam dan terbebas dari godaan Alfa.
Dan siang ini terbukti. Saat ia menyeberangi lapangan sekolah -lengan kiri Davi
melingkari pundak Irish- diiringi tatapan iri teman-teman dan di tengah hiruk
pikuknya suasana karena baru usainya jam sekolah, tiba-tiba melengking keras
suara seorang cowok dari koridor di lantai tiga yang menghadap persis ke
lapangan. Ingin kubunuh pacarmu! Saat dia peluk tubuh indahmu!
Di depan teman-temanku! Makan hati jadinya.... Cantik!
Aku cemburu! Semua kepala sontak menoleh ke asal suara itu. Alfa! Cowok itu ketawa lebar
sambil melambaikan tangan ke para murid yang memenuhi lapangan. Anak-anak
menatapnya dengan berbagai ekspresi. Tapi kebanyakan sih tertawa geli. Ada juga
yang berusaha menahan tawa, tapi akhirnya nggak berhasil dan memutuskan untuk
nonton. Mereka ingin tahu apalagi yang dilakukan si sableng yang lagi terangterangan mau ngerebut pacar orang itu.
Sekarang Alfa sudah jadi pusat perhatian. Tapi tanpa peduli, dia mengulangi satu
bait lagu yang dilantunkan grup musik Dewa itu. Malah kali ini disertai gaya,
mengundang bakin banyak tawa dan tepuk tangan. Sementara Irish... jangan
ditanya lagi deh! Wajahnya benar-benar meeeerah! Tanpa bisa dicegah, cewek itu
jadi salting. Di sebelahnya, Davi mencoba tetap tenang, tak terpengaruh. Tapi
meskipun begitu, sepasang matanya tajam menghunjam ke satu sosok di lantai tiga
itu. Alfa tersenyum lebar saat tatapan mereka bertumbukan. Dikedipkannya sebelah
matanya, mengisyaratkan bahwa dia tak peduli apa pun risikonya.
Dia malah memanfaatkan momen itu, momen saat sepasang mata Davi seperti
ingin melumatnya, dengan meneruskan lagu cintanya. Dan masih tak lupa, disertai
gaya. Meskipun aku pacar rahasiamu!
Meskipun aku selalu yang kedu!
Tapi aku juga manusia! Yang bisa sakit hatiny! YEAH!!! YEAH!!! Dan sambil melompat, Alfa berteriak keras, "INGIN KUBUNUH PACARMU!!!"
sambil mengentak-entakan tubug. Setelah melayang indah dan mendarat di
langkan sempit di dinding luar koridor, sigap kedua tangannya meraih talang air
dan sedetik kemudian tubuhnya meluncur turun. Sekitar tiga meter sebelum
menyentuh tanah, Alfa mengentakan kakinya dan tubuhnya kembali melayang.
Membuat gerakan memutar di udara dengan indah, kemudian mendarat dengan
manis di atas rumput. Kontan dia mendapatkan tepuk tangan meriah. Lepas dari syair lagu yang
dinyanyikan, akrobat yang dia tunjukan lagi benar-benar hebat.
Anak-anak jadi ingin semakin tahu lagi. Mereka mengikuti dengan penuh mintat
saat Alfa -yang selalu slebor dalam penampilan, dengan baju yang jarang
terkancing dan selalu berantakan tanpa dimasukan kepinggang celana- dengan
santai menghampiri Davi dan Irish.
Dan dua cowok yang sama-sama tinggi itu lalu berhadapan. Dalam jarak yang
sangat dekat. Davi dengan ketenangannya yang tidak pernah terbaca, dan Alfa
dengan sikap santainya yang tak pernah mau peduli pada apa pun juga.
Irish menatap waswas. Benar-benar ngeri. Kalau sampai Davi dan Alfa tonjoktonjokan, yang pasti Irish-lah yang bakalan habis. Tapi untungnya itu tidak terjadi.
Setelah sekian detik saling tatap, Alfa membungkukkan badan, menyejajarkan
wajahnya dengan Irish, lalu dengan lembut menyapa si mungil itu.
"Halo, sayaaaang. Mau pulang ya?"
Irish kontan melotot marah. Tapi belum sempat dia menyemburkan jawaban,
dengan lembut Alfa mengusap kepalanya. "Ati-ati di jalan ya" Yuk, daaaah."
Kemudian Alfa melenggang pergi, masih dengan gayanya yang santai dan nggak
peduli. Ke para penonton yang masih berkerumun, dia berseru keras, "Ayo pada
pulang! Udah siang nih!"
"Gitu doang, Al!?" teriak salah satu temannya.
"Tunggu tanggal mainnya, man!" jawab Alfa sambil menyeringai lebar.
Davi dan Irish terus menatap Alfa sampai cowok itu meluncur dengan Land Rovernya.
Sepeninggal Alfa, suasana jadi hening. Bahkan ketegangan masih terasa sampai
Davi dan Irish di dalam Jeep Davi.
"Rish, lo nggak..."
"Nggak!" sambar Irish ketus. "Gue nggak tau, dan nggak ada hubungannya sama
kelakuan Alfa barusan!"
Dahi Davi berkerut. "Siapa yang bilang elo ada hubungan sama dia?" Davi kembali bertanya.
"Tapi pasti elo mau nanya gitu, kan?"
"Bukan! Elo salah!"
Kedua alis Irish menyatu.
"Terus?" Davi menatap sepasang manik mata cokelat Irish, yang bisa tampak begitu tenang.
"Yang mau gue tanyain.... elo terpengaruh nggak?"
"Maksud lo?" "Itu tadi pertunjukan heroik. Gentleman. Berani. Meskipun agak kacangan!"
"Terus, maksud lo itu apaaa?"
Mata elang Davi menajam. Tapi Irish nggak takut karena dia emang nggak tahu
apa-apa. Akhirnya Davi memalingkan muka, kembali menatap lurus ke depan.
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil memutan kunci kontak, dia berkata tegas, "Mungkin elo nggak ngerti. Tapi
gue tau apa yang harus gue cari!"
Tangannya terulur, melakukan hal yang nggak pernah dilakukannya: mengusap
kepala Irish, lalu mengacak-acak rambutnya sampai kusut. Tinggal Irish
terbengong-bengong. Benar-benar nggak mengerti.
*** Kegigihan Alfa akhirnya membuahkan hasil. Tanpa sengaja dia menemukan celah.
Dan tanpa menunggu apalagi buang waktu, dia "masuk" di antara Davi dan Irish.
Pelan tapi pasti, cowok itu membentangkan pemisah. Bukan nyaris tak teraba
seperti jaring laba-laba, tapi kokoh dan mencolok mata.
Sepele. Alfa menggunakan.... lukisan!
Di minggu pagi yang teduh karena saputan mendung, tak sengaja matanya
menangkap sosok Irish di trotoar. Cewek itu sedang menatap lukisan di depannya.
Sendirian. Tanpa banyak berpikir, Alfa mendekati si mungil itu.
"Hai," sapanya.
"Hai juga." Alfa menatap tak percaya. Ternyata begitu kuat pesona sebuah lukisan, sampai
bibir yang biasanya judes itu langsung lupa memberi sapaan galak seperti
biasanya. Yang paling hebat, ni cewek juga langsung lupa mengusirnya!
"Itu judulnya Shearing the Rams. Karya Tom Roberts.
Serta-merta Irish menoleh.
"Ini repro!?" serunya tak percaya.
"Yup!" Alfa tersenyum manis.
"Kok tau sih?" Si pelukis muda yang sejak tadi menguping pembicaraan Irish dan
Alfa ikut tertarik. "Tau dong!" Alfa tersenyum lagi.
"Kalo ini?" Pelukis itu menarik keluar satu lukisan dari tabung di sebelahnya. Hati-
hati dia membukanya. "Ih, bagus amat!" puji Irish seketika.
"Petit Dejeuner. Frederick McCuabin!" cetus Alfa.
Irish dan si pelukis muda itu menatap kagum, dan Alfa menikmati tatapan itu.
"Ayo, tes lagi!" tantangnya.
"Oh, saya bukannya mau ngetes!" jawab si pelukis muda. "Saya juga nggak tau.
Wong ini pesenan orang. Di minta buatin tiga. Satunya ini." Dikeluarkannya satu
gulungan lagi. "Mas tau juga?"
Alfa mengangguk, Irish jadi makin takjub.
"Impression for Golden Summer. Karya Sir Arthur Streeton!"
"Wah! Ck! Ck! Ck!" pelukis itu geleng-geleng kepala. "Saya jadi malu nih.
Niatnya mau jadi pelukis, tapi malah nggak begitu tau karya-karya pelukis lain."
Alfa tertawa. "Kalo itu sih nggak usah kuatir. Jumlah pelukis di dunia ini, apalagi lukaisannya,
hampir nyaingin pasir di gurun. Jadi wajar aja kalo nggak tau."
Tiba-tiba jam besar di dalam gereja di seberang jalan, berdentang nyaring. Jam
sepuluh tepat. "Ya ampun!" pelukis itu terlonjak. "Hampir lupa! Ada yang mau ngambil
pesanan!" Buru-buru dia berdiri, lalu hati-hati sekali dia menarik keluar tiga buah
lukisan yang terlindung di balik tripleks yang bersandar di pagar besi. Seketika
Alfa terperangah. "Coba liat!" serunya sambil maju beberapa langkah.
"Kenapa?" tanya pelukis itu.
"Liat! Liat, Mas! Deketin sini!"
Dengan ekspresi bingung pelukis itu mendekatkan lukisannya ke Alfa. Irish yang
juga kaget karena suara Alfa tadi jadi ikut merapat. Menatap seksama tiga buah
lukisan yang salah satunya mirim gambar anak TK itu.
"Mas tau nggak, ini lukisan siapa?" seru Alfa penuh semangat.
"Nggak," jawab pelukis itu polos.
"Ya ampun! Ini lukisannya Van Gogh!"
"MASA!?" seru pelukis itu dan Irish nyaris bersamaan.
"Iya! Ini nih, yang kayak gambarnya anak TK, judulnya Camera Artistului. Terus
ini, padang bunga biru ini, judulnya Stinjenei. Dan yang ini, pohon-pohon kering,
judulnya Livada Inflorita!"
"Wah! Gitu ya?" pelukis itu terpana.
"Ih, Mas ini!" Alfa tertawa. "Pelukis superngetop begitu, masa nggak kenal juga!"
Irish menatap cowok di sebelahnya itu dengan kekaguman yang semakin susah
disembunyikan. "Kok elo tau banyak sih, Al?"
Alfa cuma tersenyum. Dan persis seperti harapannya, kemudian Irish dengan
gampang mengiyakan ajakannya untuk jalan-jalan. Kayaknya cewek ini lupa kalau
Alfa hampir saja membuatnya membawa tombak ke sekolah.
"Sendirian, Rish?"
Irish tersenyum. Lesung pipinya seketika muncul di kiri-kanan. Alfa menatapnya.
Manis amat sih, cewek mungil ini! rutuknya dalam hati.
Irish tidak kaget dengan pertanyaan itu. Dia sudah menduga, pasti bakalan ditanya.
"Emangnya mesti berdua terus ke mana-mana?" Irish balik tanya.
"Ya nggak juga sih."
"Nah, itu lo udah tau jawabannya."
"Biasanya kan Davi nggak pernah ngebiarin elo jauh sedikit dari dia."
Irish tertawa lebar. Itu kan kalo di sekolah. Di luar itu, dia pergi ke kutub pun Davi
takkan peduli. "Elo mau gue telepon dia sekarang, biar dateng ke sini?"
"Eh, jangan! Jangan!" cegah Alfa buru-buru.
"Makanya jangan suka mancing!"
Alfa menyeringai. "Makan yuk, Rish" Udah mau jam dua belas lho. Elo pasti keluar rumah dari pagi."
"Makan apa?" "Elo sukanya apa?"
"Oh, gue sih apa aja suka. Asal jangan makanan ayam aja."
Alfa ketawa geli. Tak menyangka kalau Irish ternyata lucu juga. Mereka sampai di
pinggir jalan yang lalu lintasnya padat.
"Di seberang sama ada restoran yang enak," kata Alfa. Kemudiam dia jadi
kelihatan agak kikuk. "Kenapa?" tanya Irish heran.
"Sori nih, Rish. Gue bukannya kurang ajar. Tapi kalo nyebrang jalan yang rame
kayak begini sama cewek, meskipun itu bukan pacar gue, gue selalu menggandeng
tangan tu cewek karena gue takut dia kenapa-kenapa."
"Masa?" alis Irish bertaut. "Harus ya?"
"Ya nggak juga sih. Tapi pilihannya cuma dua..." Alfa meringis lucu. "Digandeng
atau..... digendong!"
Irish jadi ketawa. Beda banget sama penampilannya di sekolah!
"Iya deh." Irish menyodorkan tangan kanannya. Alfa segera menyambut.
"Yuk!" Digenggamnya jemari Irish dan dibimbingnya cewek itu ke seberang.
"Nama elo siapa sih?" tanyanya saat mereka antre di depan kasir.
"Lho, elo udah tau, kan?" Irish menoleh heran ke cowok yang berdiri di
belakangngnya itu. "Nama lemgkap lo. Gue cuma tau nama lo Fairish. Udah, segitu doang."
"Emang cuma itu."
"Masa!" Fairish aja" Nggak ada embel-embelnya" Titik-titik Fairish, apa Fairish
titik-titik, gitu?" Alfa terbelalak.
"Nggak." Irish geleng kepala. Dia sudah tidak heran lagi. Barangkali ada lima ratus
orang yang bertanya seperti itu. Dan Alfa ini orang yang kelima ratus satu. Ratarata orang selalu heran sama namanya yang irit banget.
"Singkat bener. Kenapa sih" Nama kan nggak kena pajak?"
"Tadinya sih nama gue Alberta Thesalonika Jevina Quintania Fairish!" jawab Irish
cuek. Terpaksa dia mengutip nama salah satu sepupunya, soalnya emang banyak yang
nggak percaya --dan rata-rata cowok-- kalau namanya memang cuma seuprit, dan
memaksa untuk memberitahu nama lengkapnya.
Lagian juga sang sepupu sekarang sudah ganti nama. Jadi "Tania" doang, sisanya
dicoret! Abis, orang-orang selalu membayangkan sepupu Fairish itu secantik
Britney Spears atau Liv Tayler. Tapi kebanyakan pada mau pingsan beitu melihat
wajah asli sang pemilik nama. Jauuuuh banget!
"Bagus!" puji Alfa. "Nama panjang lo bagus, Rish!"
"Eh! Eh! Itu bukan nama gue!" ralat Irish buru-buru. "Itu nama sepupu gue.
Abisnya elo nggak percaya sih!"
"Jadi emang cuma satu kata itu aja!?" Alfa terbelalak lagi.
"Iya! Aduh, elo tuh ya..."
"Ya nggak apa-apa deh. Tadinya malah gue kira nama lo tuh Irisan Bawang, atau
Irisan Tomat, gitu!" Alfa mengulang godaanya yang dulu sempat membuat Irish
marah. "Iya lo! Dasar!" Irish melotot bulat-bulat. "Bikin malu gue aja!"
Alfa tertawa ngakak. Dan siang itu mereka lewati bersama. Duduk di satu sudut
restoran, dan larut dalam tawa, canda, juga bicara. Berawal dari lukisan, dan
berlanjut tentang apa saja.
*** Meskipun sedikit celah itu telah terbuka, ternyata Alfa masih belum puas. Dia
harus benar-benar yakin bahwa dia udah berhasil merentang jarak. Memisahkan
Irish dari Davi. Dan cowok itu tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Di satu siang, Irish terheran-heran waktu seorang kurir menyerahkan satu gulungan
terbungkus kertas warna cokelat.
"Dari siap, Mas?"
"Dari...," kurir itu melongok kertas di kantong bajunya, "Alfa"
"Alfa?" Kening Irish langsung berkerut.
Dengan heran juga bingung, dia membawa gulungan itu ke dalam. Pelan dan hatihati, karena di secarik kertas yang ditempelkan di luar gulungan, Alfa menulis
untuk super hati-hati waktu membukanya.
Dan Irish benar-bdnar terpukau saat benda yang ternyata segulung kanvas itu telah
terbuka, dan memperlihatkan....
Pemandangan indah Lembah Kashmir!
Seluruh dunia tahu betapa indahnya lembah yang terus jadi rebutan India-Pakistan
sampi sekarang itu. Dan sekaramg lembah eksotis itu dihadirkan di hadapannya.
Dalam sapuan berbagai macam warna. Lembut meyentuh, dan begitu hidup.
Bentangan pergunungan tinggi yang tertutup salju putih melatarbelakangi bukitbukit yang saling bersambung dalam dominasi warna hijau. Dan yang paling
depan, hamparan padang bunga kuning.
Betul-betul memukau. Indah!
Kembali Irish terbengong-bengong begitu telepon berdering. Dari sang pengirim.
"Udah sampe, Rish?"
"Udah! Udah!" jawab Irish spontan dan riang.
"Suka?" Alfa tersenyum tipis.
"Suka banget! Makasih ya, Al! Eh, tapi ngomong-ngomong, dalam rangka apa sih
elo pake ngirimin gue lukisan" Gue kan nggak lagi ultah."
"Oh, gue orangnya emang penuh perhatian kok," jawab Alfa mempromosikan diri.
Irish tertawa. "Terus, itu mau ditaro di mana?"
"Di kamar gue dong!"
Alfa menyeringai. Sip! "Gue ke situ boleh nggak?"
"Jelas boleh dooong! Kapan?"
"Ya sekarang!" "Oke! Kebeneran. Gue mau bikin roti panggang," jawab Irish riang.
"Sip! Tunggu ya" Bye!"
"Bye!" Alfa tersenyum tipis. Si mungil itu sekarang telah ada dalam genggaman!
Prahara itu telah datang. Menggulung bentang cakrawala, memudarkan bianglala,
menarik fajar, dan di kejauhan, bergerak bayang-bayang malam.
UNTUK pertama kalinya, Irish menyimpan satu cerita, Alfa menyembunyikan
senyum kemenangannya, dan Davi tertegun tak percaya.
Hanya satu kali pertemuan tak sengaja di luar sekolah. Hanya satu kali!!! Dan Irish
langsung terlepas dari tangan Davi.
Dan walaupun telah dicermatinya, Davi tetap tak bisa menemukan celah yang telah
dibentangkan Alfa di antara mereka berdua.
Kemarin kali ketiga Davi meminta Irish mengulang cerita. Tentang hari saat cewek
itu bertemu Alfa. Tentang Van Gogh, McCubbin, Streeton, dan sebangsanya. Dan
masih tetap juga jadi tanda tanya!
Jujur, dia kurang tertarik pada lukisan. Satu-satunya pelukis yang dia tahu adalah
Basuki Abdullah. Itu juga karena berita tentang terbunuhnya pelukis itu ramai
diberitakan media massa. Ketidaktahuannya inilah yang telah membuatnya jadi cowok idiot sejagat raya.
Gadisnya direbut di depan mata, dengan jala yang kasat mata... yaitu goresan
warna! Dan di sinilah dia hari ini, sekali lagi, di sebuah galeri. Diam berdiri, dan mencoba
mengerti. Mirip musafir kesasar, Davi berdiri lumayan lama di depan setiap
lukisan. Mencoba memahami lebih dalam. Dan hasilnya --mudah-mudahan ini
bukan otaknya yang kelewat tolol-- dia tetap tidak menemukan apa-apa, dan tidak
bisa bilang apa-apa selain "bagus", "lumayan" dan "jelek"!
Itu masih mending. Lebih dari tiga kali, dari pintu masuk sampai pintu keluar, dari
lukisan pertama sampai lukisan penghabisan, Davi sama sekali nggak bisa
memberikan komentar. Soalnya, dia nggak mengerti, dan bingung sendiri, gambar
apa sih yang sedang dilihatnya"
Deretan lukisan yang bergantung itu benar-banar membosankan!
Davi tidak tahu, lukisan adalah sebuah awal. Jembatan bagi Alfa untuk melompat
ke seberang. Setelah itu semuanya sama saja, karena banyak hal lain dalam diri
Alfa yang kemudian lebih dominan.
Alfa adalah pribadi yang hangat dan terbuka. Matanya adalah hatinya. Irish tidak
perlu bersusah payah apabila sampai merasa cemas salah mengira. Sementara
Davi, meraba hati cowok itu mirip main poker. Lebih banyak tidak tepatnya.
Bersama Alfa juga Irish bisa bebas tertawa, merajuk, juga bicara apa adanya.
Sementara Davi, cowok itu bagaikan segara tanpa riak. Tenang, tapi selalu
memberikan keyakinan bahwa segala sesuatu bisa jatuh tertelan ke dalamannya.
Namun satu yang pasti mengapa Irish bisa begitu mudahnya menerima ajakan
Alfa.... karena dia mulai lelah jadi perisai Davi!
*** Sekarang sedang berkembang isu, bahwa Irish mengikuti jejak Lady Diana, alias....
selingkuh! Punya PIL, alias Pelajar Intim Lain!
Apalagi setelah selembar foto beredar di sekolah. Foto Irish dan Alfa sedang jalan
bareng di Pasar Seni Ancol. Malah foto itu kini sudah sampai ke tangan Davi!
Fotonya sih sebenarnya nggak heboh. Nggak ada sesuatu yang ganjil. Di situ cuma
terpampang jelas gimana serius dan semangatnya mereka berdua. Berdiri saling
merapat dan menatap lekat-lekat sebuah lukisan.
Lukisannya juga nggak terlihat karena membelakangi kamera. Tapi Metha (yang
membuat Irish heran, kenapa dia baru tahu sekarang kalo tuh cewek mulutnya
sadis banget), menyebarkan rumor bahwa itu lukisan "semi" atau "nyaris".
Tadinya Irish yang polos tidak tahu apa maksud kedua kata itu. "Nyaris kelar",
"nyaris kejual", atau "nyaris jatoh", gara-gara waktu itu tiang kanvasnya sempat
kesenggol tangan Alfa. Dan yang tidak dia sangka, Davi termakan isu itu!
Dan sekarang Irish sedang diinterogasi Davi.
"Lukisan apa, Rish?" Davi menatapnya lurus-lurus. Setelah melihat wajah Irish dan
Alfa di dalam foto yang sudah mirip tampang pakar-pakar lukisan, Davi jadi ingin
tahu apa sih dibalik gambar di balik kanvas itu"
Irish menarik napas panjang.
"Pemandangan. Repro karya Nicolae Grigorescu, yang judulnya Fete Torcind La
Poarta. Sama repro karya Ion Andreescu, judulnya Mesteceni La Marginea Baltii."
jawabnya jujur. Irish memang suka lukisan pemandangan. Dan dia benar-benar kaget waktu
mengetahui ternyata repro lukisan pelukis-pelukis Rumania itu ada. Soalnya,
belum lama ini kan Alfa mengirim kartu ucapan "selamat bobo siang" -cowok itu
emang norak- yang bergambar dua lukisan itu. Dan tiba-tiba saja Irish
mendapatkan repronya. Gimana nggak jadi histeris, coba"
Karena itu, supaya Davi tidak terus berprasangka, hari minggu ini Irish
mengajaknya ke Pasar Seni untuk membuktikan bahwa dia tidak sedang ngibul.
Tapi ternyata begitu sampai di sana, kedua lukisan itu sudah nggak ada! Dan
sebagai gantinya, yang ada cuma lukisan cewek yang memang... "nyaris bugil"!
Dua-duanya kontan tersentak kaget. Irish kaget, kok ternyata nasibnya jadi apes
begini. Sementara Davi kaget karena selentingan itu.... ternyata benar!!!
Buat yang mengerti lukisan, lukisan itu sebenarnya nggak vulgar-vulgar amat.
Bagus malah. Indah dan arsitik. Apalagi nuansanya benar-benar cuma empat
warna. Hitam, cokelat muda, cokelat tua, dan oranye gelap.. selain itu, objek
lukisan -sang cewek yang nyaris itu- dilukisnya dari belakang.
Tapi buat yang nggak mengerti seni, apalagi yang emang otaknya sudah ngeres,
lukisan itu jelas.... wooowww sekali!!
"IRISH!" Davi menoleh dan menatap garang. "Elo liat lukisan begini berdua
Alfa?" Irish langsung pucat. "Tapi... tapi... waktu itu gambarnya bukan ini kok, Dav. Sumpah! Demi Tuhan!
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lukisan pemandangan. Gambar pohon sama jalan setapak! Tanya aja sama Masnya kalo nggak percaya?"
Sialnya lagi, si pelukisnya sekarang orangnya beda! Yang waktu itu rambutnya
gozadul alias gondrong jaman dulu, kumis tebal, dan bajunya juga kasual banget.
Pokoknya tampang pelukis deh. Sementara yang sekarang klimis dan rapi.
Tampang businessman. Dan seperti yang ditakutkan Irish, si pelukis itu nggak tahu
sama sekali soal kedua lukisan pemandangan itu. Padahal Irish sudah setengah
mati menyebutkan judulnya yang susah banget dibacanya itu, eh, si Mas itu dengan
malas malah langsung memotong, padahal Irish belum selesai ngomong.
"Nggak ada lukisan yang judulnya begitu!"
"Tapi waktu itu kan bukan itu ya, Mas" Lukisan yang di dekat kaca itu bukan itu,
kan?" kejar Irish. Dia benar-benar ngeri karena di sebelahnya, sepasang mata Davi
menatapnya dengan pandang berapi. Tapi Mas itu dengan entengnya malah ikut
menceburkan Irish ke kolam buaya.
"Nggak ah. Lukisan itu udah lama kok ada di situ!"
Mati gue! Irish langsung panas-dingin.
"Mas jangan gitu dong. Inget lagi deh... tolong..."
Tapi belum sempat pelukis itu menjawab, Davi keburu memotong, "Nggak usah,
Mas. Terima kasih!" Lalu dia meraih tangan Irish dan menarik cewek itu ke
sebelahnya. "Kita pulang sekarang, Fairish!" desisnya tepat di telinga Irish.
"Tapi.... tapi..."
Irish sudah tidak sempat protes lagi. Davi melepaskan genggamannya dan sebagai
gantinya, dia merangkul si mungil itu biar tidak terlalu kelihatan seperti adegan
penculikan waktu dia memaksa cewek itu kembali ke mobil. Dan di mobil, Davi
meledak marah. "Elo liat lukisan itu berdua Alfa!?" bentaknya keras. "Kelewatan! Elo nggak punya
malu ya?" Irish menarik napas. Wajahnya nelangsa banget.
"Bukan itu lukisan yang gue liat waktu itu, Daviii. Sumpah! Sumpah! Sumpaaah!
Kenapa elo nggak percaya sih?"
"Keterangan si pelukis tadi beda sama elo, Rish!"
"Ya kali aja dia orang baru. Atau orang lama tapi mungkin lagi cuti panjang, terus
baru masuk sekarang. Jadi...."
Davi menoleh. Mata elangnya menghunjam garang, membungkam protes Irish
seketika. Kemudian Irish menyambung lemah, "Ya terserah elo deh, kalo nggak percaya."
"Gue... nggak... percaya!" tandas Davi dengan rahang terkatup kaku. Kemudian dia
memutar kunci kontak. Dengan suara berdecit, Jeep itu meninggalkan kerindangan
pohon. Waktu melewati stand lukisan, dan Mas yang jaga pas ada di luar, Irish
buru-buru minta berhenti.
"Sebentar! Sebentar, Dav!"
Davi menghentikan mobil dengan pandang tidak mengerti. Irish, yang kesal garagara kena marah Davi, ganti menumpahkan kejengkelannya ke cowok itu.
"Mas! Itu lukisan dibakar aja. Ngerusak moral generasi penerus bangsa, tau
nggak!?" serunya galak. Mas yang jaga stand itu menoleh ke arah lukisan, terus
geleng kepala. "Nggak ah!" jawabnya polos. "Emang apanya yang jorok sih" Orang cuma keliatan
belakangannya doang. Di dalem malah ada yang lebih heboh!"
Irish ternganga. Davi mendesis marah. Diinjaknya pedal gas kuat-kuat. Jeep
melompat lalu melesat kuat. Di sepanjang jalana cowok itu tidak bicara lagi -sama
sekali!- sampai akhirnya Jeep berhenti di depan rumah Irish. Cewek itu turun
masih dengan perasaan dongkol. Tapi belum sempat dia bilang terima kasih basabasi seperti biasanya, Jeep itu telah melesat pergi.
Irish menarik napas panjang-panjang. Repot bener sih deket sama Davi. Tiba-tiba
dia tersentak dan buru-buru kabur ke dalam, lalu langsung menyambar telepon. Dia
harus memberitahu Alfa! "Alfa!" perutnya langsung begitu telepon di seberang diangkat. "Halo" Alfa!"
"Iya, iya! Ya ampun!" Alfa sampai menjauhkan gagang telepon dari kupingnya.
"Ada apa sih lo jerit-jerit?"
"Al, gawat banget, Al!"
"Kenapaaaa?" "Itu bener lukisan nyaris!"
"Masa" Yang bener, Rish?" Alfa terperangah. "Kata siapa?"
"Gue udah ke sana. Berdua Davi. Abisnya dia minta bukti. Ya udah, gue ajak dia
ke sana. Eh, nggak taunya..."
Tawa Alfa pecah membahana.
"Masa sih" Ah, gila! Kaget dong Davi?"
"Bukan kaget lagi. Dia ngamuk! Gue dimarahin!" Alfa makin ketawa. Irish jadi
semakin kesal. "Kok elo ketawa sih" Elo seneng ya, gue dimarahin?"
"Sori! Sori!" Alfa buru-buru mingkem. "Jadi?"
"Ya elo mesti bantuin gue, Al. Tolong jelasin ke Davi deh, kalo waktu itu yang kita
liat emang bener-bener lukisan pemandangan!"
"Gue nggak mau!" jawab Alfa ringan. Irish terperangah.
"Kok elo begitu sih?"
"Rish, denger ya" Kalo cowok cemburuan kayak gitu, apalagi udah diterangin
sampai mendetail tapi masih nggak percaya juga, buat apa" Putusin aja!"
Irish tersentak. "Ng... begitu menurut elo?"
"Iya!" tegas Alfa. Irish jadi terdiam. Ini benar-benar diluar dugaannya, Alfa
memberikan advis yang mengagetkan begini. "Halo" Rish" Elo nggak pingsan,
kan?" "Eh" Nggak. Cuma kaget aja. Ya udah deh. Daaaah."
"Eh, bentar! Bentar!"
Irish batal meletakan gagang telepon.
"Apa?" "Emang lukisan apa sih?"
"Elo liat sendiri aja sana!"
Alfa tertawa. "Oke deh. Mau ikut?"
"Nggak!" jawab Irish seketika. Tawa Alfa semakin keras.
Irish buru-buru menutup telepon.
Tapi setelah itu saran Alfa jadi kepikiran. Iya juga ya" Gumamnya sambil
ngangguk-ngangguk sendiri. Kenapa dia mesti pusing-pusing mikirin perasaan
Davi. Mereka kan nggak ada apa-apa. Dia cuma jadi temeng. Dan karena dia justru
udah nolong, jadi Davi harusnya nggak berhak marah-marah.
Wajar dong kalo dia selingkuh. Tapi itu juga sebenarnya nggak bisa dibilang
selingkuh kok. Orang dia nggak ada apa-apa sama Alfa. Cuma sering jalan dan
ngobrol bareng, makan dan bercanda bareng, terus sama sering teleponan bareng.
"Itu belum termasuk selingkuh, kan?" seru Irish di depan kaca, lalu nyengir sendiri.
Tapi biar gimana juga, gerutunya sambil terjun ke atas kasur, Davi tetap nggak
berhak marah. Karena selain itu urusan pribadi Irish, juga karena sebenarnya dia
nggak ada apa-apa sama Alfa. Cuma akrab. Nggak labih!
Tapi saran Alfa kayaknya boleh juga. Sudah lebih dari cukup dia menolong Davi.
Sekarang saatnya memikirkan diri sendiri.
Jadi bunyi headline-nya gimana enaknya ya"
"IRISH MUTUSIN DAVI!!!"
Jangan! Jangan! Jangan mutusin! Kurang gimana gitu. Kata-katanya mesti yang
sadis. "IRISH MENCAMPAKKAN DAVI DEMI ALFA!!!"
Nah, ini baru sensasi! "mencampakkan"! Menur si kembang SMU Palagan aja
belom pernah punya record kayak begini. Tapi demi Alfa" Enak aja! Keren bener
dia! Ganti, aaaah.... Irish mencoret dua kalimat yang dia tulis gede-gede pake spidol merah itu. Terus
di bawahnya dia tulis kalimat baru.
"IRISH MENCAMPAKKAN DAVI KARENA UDAH BOSEN!!!"
Nah, ini baru keren! Kalo begini kan kesannya dia itu playgirl atau mamabravo.
Lagi asyik-asyiknya Irish membayangkan, tiba-tiba pintu di ketuk. Kepala Orish
menyembul. "Ada yang nyari tuh!"
"Siapa?" "Biasaaaa." "Oh!" paling Vaya, pikir Irish. "Suruh masuk aja."
"Masuk ke mana?"
"Ya ke sini." "Ke sini" Ke kamar?" Orish terbelalak "Gila, lo!"
"Kenapa?" "Dimarahin mama ntar lo!"
"Mama udah sering ngeliat kok."
"APA!?" Orish terpekik, lalu buru-buru menutup mulut. "Yang bener, Rish?"
sambungnya pelan. "Iya! Kenapa sih lo?" Irish menatap adiknya heran. "Ribut amat. Udah, buruan!
Suruh dia masuk." "Mama curang! Diskriminasi! Biar elo kakak gue, kita kan sama-sama belom tujuh
belas!" protesnya sambil pergi. "Ntar malem kalo mama pulang, gue mau demo!"
Irish menatap adiknya yang pergi sambil ngomel-ngomel itu. Aneh, ih! Orang
setiap ke sini Vaya selalu ke kamarnya kok.
"Hai!" Irish menatap muka dan kontan terperangah. Davi berdiri di ambang pintu
kamarnya. "Ngapain lo ke sini?" serunya seketika. "Oriiiish!"
Orish datang terbirit-birit.
"Apaan?" "Elo tuh ya!" Irish melotot.
"Kan lo yang nyuruh tadi?"
Sementara itu Davi mematung di ambang pintu. Bukan karena pertengkaran dua
bersaudara itu, tapi karena deretan kalimat di atas selembar keras di depan Irish.
Kalimat-Kalimat yang ditulis dengan spidol merah dan berukuran besar, jadi tetap
bisa terbaca jelas meskipun terbalik.
"Gue tunggu di ruang tamu!" katanya dingin. Cowok itu berbalik dan pergi.
"Ih, elo!" desis Irish ke arah Orish setelah Davi berlalu dari situ. "Maksud gue tuh
Vaya! Kalo Davi sih bilang aja gue nggak ada!"
"Naaah, ya! Aha!" Orish ketawa girang. "Lagi berantem ya" Yang keras dong, gue
pengin denger!" "Pale lo! Nih!" Irish menjitak kepala adiknya, lalu keluar dengan langkah ogahogahan. Orish mengekor di belakangnya sambil cengar-cengir.
Heran juga kalo bisa ada masalah antara Irish dan Davi, pikir Orish. Bukannya
memuji, tapi kakak dan satu-satunya saudara yang dimilikinya itu orangnya benarbenar fleksibel. Enjoy, gendong tertawa, juga pengertian. So, kalo mereka tibut
begini, pasti si Davi-nya itu yang nggak bener!
Tapi niat Orish mau nguping langsung surut ketika dia melihat kelamnya wajah
Davi. Irish sendiri juga langsung pasang muka cemberut. Masih dongkol banget
dia, gara-gara tadi siang dituduh membabi buta begitu. Davi ini bagaimana dulu ya
sama ceweknya" Sama Irish yang nggak ada hubungan apa-apa aja galak banget
begitu. "Gue nggak gila, Dav! Liat-liat lukisan begitu sama cowok! Liat sendirian aja
nggak pernah." protesnya langsung.
"Iya." Davi menghela napas. "Harusnya gue tau. Tadi siang gue cuma.... shock aja
karena selentingan itu benar ternyata!"
"Sama! Gue juga shock. Kalo bener, nggak akan gue tantangin elo ke sana."
"Iya. Gue tau...."
"Elo nggak tau!" potong Irish ketus. Kemudian ditatapnya Davi lurus-lurus. "Gue
boleh minta satu hal nggak?"
"Apa?" "Kira-kira.... bisa nggak perjanjian kita dulu di tinjau ulang?"
Davi tersentak. "Maksud lo?" tanyanya cemas.
"Iya. Mesti diubah. Ada yang harus dikurangin, ada yang harus ditambahin. Waktu
itu kan cuma dari elo. Gue nggak ngasih syarat apa-apa."
"Kita omongin sambil makan, ya?" bujuk Davi, diam-diam jadi panik karena
permintaan Irish. "Gue udah makan!" tolak Irish serta-merta. Dia menggerutu dalam hati. Enak aja.
Habis marah-marah terus ngajak makan. Emangnya kali perut kenyang, terus
gondoknya juga jadi ilang, gitu" Gampang bener!
Tapi Davi tidak mau menyerah begitu saja. Dia tidak tahu apa yang di lempar Alfa
di ujung mata kailnya, sampai Irish jadi benar-benar jauh begini.
"Kalo.... Kasstengel, gimana?" bujuknya lagi, dalam hati jadi heran sendiri. Ini
bukan penolakan Irish yang pertama kali, tapi kenapa dia sampai kebingungan
sendiri ya" "Mau! Mau!" seru suara dari dalam. Orish nongol di pintu. Nyengir lebar begitu
sang kakak memelototinya tajam-tajam. Davi tersenyum tipis. Lega atas
kedatangan sang penolong itu.
"Kan baru kemaren dibeliin mama?"
"Kan elo abisin!"
"Dasar!" Irish jadi keki. "Awas lo ya! Ntar gue beliin satu gentong!"
"Kasstengel nggak pake gentong, tau! Emangnya cincau!" jawab Orish cepat, lalu
menoleh ke Davi. "Mas, Irish boong tuh! Dia belom makan apa-apa dari tadi
siang!" Irish kontan ternganga. Orish kurang ajaaaar!
"Orish! Awas lo ya! Dasar musuh dalam selimut!"
Orish tertawa ngakak. Davi jadi geli melihat dua cewek bersaudara itu. Fairish dan
Viorish. Sama-sama mungil, sama-sama manis, dan sama-sama judes kalo mood
mereka lagi nggak bagus. "Mas! Orish kan udah ngasih tau. Nanti kaasstengel-nya bungkusin sendiri, ya"
Jangan dititipin ke Irish. Dia maruk kalo sama kaasstengel!"
"Oriiiish!" Irish menjerit kencang. "Awas lo ya! Besok pagi susu lo gue kasih
racun!" "Gue tuker sama punya elo, kalo elo pas lagi mandi! Atau gue tuang ke
mangkoknya pussy!" jawab Orish sigap.
Davi jadi ketawa. Dan tawanya makin keras begitu Orish naik ke kursi untuk
membisikkan sesuatu di telinganya, lalu kabur ke dalam sambil cekikikan.
"Apa katanya?" Irish menatap Davi curiga.
"Nggak. " Davi geleng kepala, masih tertawa.
"Sooo..." Di tariknya napas panjang-panjang. Sial! rutuknya dalam hati. Kenapa
gue jadi gugup begini" "Kita makan ya" Elo belom makan dari pulang sekolah
tadi, kan?" "Gue nggak laper!"
"Gitu ya?" Davi melihat arlojinya. "Elo terakhir makan berarti tadi pagi, karena
selama di sekolah sampai tadi siang kita ribut, jadi nggak mikirin soal makan.
Sekarang udah hampir jam enam. Berarti selang waktunya udah dua belas jam.
Kita tunggu aja kalo begitu. Sebentar lagi elo pasti pingsan!"
Irish ternganga. "Maksud lo apa sih" Lo doain gue sakit?"
"Bukan," jawab Davi santai. "Orish tadi bilang, elo kalo lagi ngambek suka mogok
makan. Buntut-buntutnya pingsan. So, jangan nyalahin gue nanti ya?"
Irish mendesis marah. Emang kurang ajar si Orish! Dasar kompeni! Awas tuh
anak! "Terus, kita mau makan di mana?" akhirnya Irish nyerah. Pingsan kalo ada ibunya
masih mendingan. Paling Mama tersayang itu menjerit-jerit histeris. Tapi kalau
pingsan pas cuma berdua Davi begini, apalagi ada kompeni satu itu, itu sama aja
memasukan kambing ke kandang komodo.
"Gitu dong!" Davi tersenyum penuh kemenangan. "Gue perlu menunggu berapa
jam" Lo udah mandi, kan?"
*** Irish mengeluh dalam hati waktu mereka sampai di tujuan. Restoran ini lagi!
Tempat dulu dia merancang "skenario" sambil makan ayam panggang.
Kalau sudah malam begini suasananya malah makin parah. Resto ini tidak ada
lampu listriknya ternyata. Semua serbalilin, yang menyala di setiap meja dan
dinding. Di halamannya yang luas dan pohon-pohonnya yang rindang mirip hutan,
dipasangi obor. Diam-Diam Irish menarik napas panjang. Bohong aja kalau bilangnya supaya
suasananya jadi romantis. Pasti supaya irit!
Napas Irish semakin panjang lagi begitu mereka menapaki jembatan bambu. Saat
memasuki ruangan luas yang hanya dibatasi separuh dinding itu, suara lembut
Diana Ross menyambut mereka.
Endlees love lagi! gerutunya. Ini cuma kebeneran, atau emang semua kaset yang
dipunyain restoran ini cuma lagu itu doang"
"Suka bubur ayam?" tanya Davi, memecahkan kesunyian yang begitu dominan
sejak mereka tinggalkan halaman rumah. "Waktu itu gue perhatiin, elo nggak
begitu suka makan ayam, ya?"
Irish cuma tersenyum tipis. Kalau suasana begini mana ada makanan yang bisa
tertelan. Mungkin memang bubur ayam yang paling tepat. Tidak perlu dikunyah.
Dan kalau tiba-tiba dia kaget, tidak akan keselek sampai fatal.
Irish memang mulai mencium ada sesuatu yang tidak beres. Untuk apa Davi ngajak
ke sini, coba" Dan sebelumnya Davi juga nggak pernah maksa, apalagi kalau Irish
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar nggak mau. "Inget nggak, gue pernah bilang mau ngasih foto sunset di Pantai Senggigi?"
"Iya," Irish mengangguk. "Tapi sekarang udah nggak perlu lagi kok, Dav. Mereka
udah nggak nanya-nanya lagi."
"Siapa bilang ini buat mereka?"
Irish tertegun. Terlebih saat dia mendongakkan kepala. Sepasang mata itu
menatapnya lurus, menembus nyala lilin. Tiba-tiba cowok itu bangkit berdiri.
Menarik kursi dan pindah ke sebelahnya, benar-benar dekat di sebelahnya, lalu
mulai memperlihatkan sederet foto sunset yang diambilnya di berbagai tempat.
Davi menerangkan foto itu satu per satu.
"Ini gue ambil di Anyer, ini di Ujung kulon, ini di Pulau Krakatau, ini di kamar, ini
di atap gedung kantor bokap, ini...."
Irish cuma bisa ber-"ah-oh" sambil ngangguk-ngangguk tanpa bisa konsen.
Kejadian waktu itu terulang lagi. Dia jadi nervous dan perutnya mendadak
kenyang. Samar, Davi mulai "mengatakan" apa yang dia inginkan. Samar juga, dia
mengisyaratkan warna hubungan mereka yang dia inginkan sekarang.
Dan ini memang kali pertama Davi membuka diri. Dimulai dari satu hal yang
peling dia suka. Hobi yang telah ditekuninya sejak lama. Mengejar "Mata Dewa",
alias sunset! Tinggal Irish jadi bingung lagi. Tidak mengerti dan tidak mau coba-coba menebak
dugaan sendiri. Karena dia ingat hari itu, hari di saat Davi menangis di depannya dulu, cowok itu
memohon satu permintaan: "Gue cuma butuh pertolongan elo, Rish! Cuma itu!"
Jadi resto romantis ini dan deretan foto sunset ini, sebaiknya jangan diartikan
terlalu jauh! Besoknya, Alfa yang jeli tahu sesuatu telah terjadi. Irish agak pendiam hari ini.
Bicara cuma satu-dua kata, nggak semangat menyambut ajakannya seperti biasa.
Padahal dia udah yakin masalah itu akan membuat hubungan Irish dan Davi jadi
renggang. Malah mungkin bisa bubaran, kalau mendengar gimana cemasnya suara
Irish di telepon kemarin siang. Tapi yang dia lihat hari ini, mereka malah terus
berdua dari pagi sampai bel pulang.
Bikin apa lagi si Davi ini" rutuknya jengkel. Di kejauhan dia melihat cowok itu
menggandeng cewek mungilnya itu masuk ke kantin.
Itu membuat Alfa memutuskan untuk lebih agresif lagi. Lebih nekat, lebih terbuka,
dan lebih sebodo teuing apa kata orang.
Yang jelas.... sejoli itu harus bubar!
*** Alfa terpaksa mengeluarkan senjata pamungkasnya. Hari minggu sore, dia
mengajak Irish ke pantai.... Berburu sunset!
Irish tercengang. "Elo suka sunset?" tanyanya hati-hati.
Alfa tertawa pelan. "Nggak juga. Gue suka semua fenomena alam. Sunset, sunrise, bulan purnama,
badai, kabut yang menelan hutan, gelombang pasang yang memeluk bakau, puncak
gunung di atas awan. Banyak! Satu yang paling indah, gue pernah masuk
pedalaman Irian dan ngeliat tarian Cendrawasih liar!"
Irish terpana. Benar-benar tak menyangka, cowok sableng ini ternyata punya
banyak cerita. "Gue juga suka sunset," kata Irish. Lebih karena tidak ingin terlihat sebagai orang
yang nggakpunya pengalaman apa-apa.
"Bukan sunset itu yang mau gue kasih liat ke elo, sayang!"
"Terus?" Irish mengerutkan alisnya.
Alfa menarik tangannya. "Duduk di sini." Dibantunya Irish naik ke kap mesin Land Rover-nya. "Diem ya.
Pokoknya ini surprise dan elo orang pertama yang gue kasih tau...," Alfa
menatapnya lurus, "siapa sebenernya gue!"
Irish semakin tak mengerti. Alfa membuka bagasi mobil dan muncul kembali
dengan selembar kertas putih yang lumayan lebar.
"Gue lupa bawa kanvas. Tapi ini udah cukup kok. Sekarang lo liat ke sana,"
tunjuknya ke batas cakrawala. "Lo boleh bandingin, beda apa nggak."
Irish benar-benar terkesima. Begitu cepat Alfa memindahkan matahari jingga itu
ke atas kertas. Sapuan kuasnya memindahkan semua warna itu, begitu sempurna.
"Gimana?" tanya Alfa. Irish tidak bisa menjawab. Dia masih tercengang,
mematung di posisi duduknya.
"Al, elo.... lukisan-lukisan itu..."
"Yap, sweetie! Bukan dari galeri, bukan dari trotoar tempat kita ketemu waktu itu,
juga bukan dari Pasar Seni. Semua lukisan yang gue kasih ke elo... itu dari galeri
pribadi gue di rumah! Dan dari tangan gue sendiri!"
Seketika sepasang mata di depannya menyorotkan kekaguman yang sarat dan tak
tersembunyi. "Bener, Al!?" pekik Irish dan melompat turun dari kap mesin mobil.
"Bener dong! Lo kira dari mana gue bisa tau banyak tentang lukisan kalo gue
nggak suka?" "Ah, gila!" pekik Irish lagi. "Gila! Gue nggak yangka. Bener! Suer! Sumpah! Gila
ih!" Alfa tertawa geli dengan luapan kekaguman itu. Ditatapnya Irish dalam-dalam.
"Jadi, kalo nanti gue jalan -gue suka jalan lho, Rish- gue mau ngelukis lagi.
Kebanyakan lukisan-lukisan itu gue kerjain di luar rumah. Lo mau ikut?"
"Oooh, jelas mau banget dong!" jawab Irish tanpa berpikir lagi. Lukisan Tuhan
memang bagus. Tapi menurut Irish akan lebih indah kalau dihadirkan dalam
sapuan kuas, bukan diabadikan mentah-mentah lewat kamera.
Senja itu Alfa memenangkan pertarungannya. Total. Karena Irish begitu terpesona.
Melewati malam sampai benar-banar larut dengan memandang semua lukisan yang
pernah diberikan Alfa untuknya.
Lukisan Lembah Kashmir dengan pegunungan tingginya. Bromo dengan
Mahameru de belakangnya. Mount McKinley, Alaska. Gran Canyon, Arizona.
Sungai Mississippi, Iowa. Danau . St. Mary, Montana. Nicolae Grigorescu dengan
Fete Torcind La Poarta-nya. Henry Cleenewerck dengan La Ceiba-nya. Semuanya!
Mungkin ini sugesti. Setelah tahu lukisan-lukisan itu adalah hasil goresan tangan
Alfa, semuanya mendadak jadi kelihatan lebih indah di mata Irish.
Dan semua jerih payah Davi, "Mata Dewa" yang diburunya di banyak tempat dan
dengan kesabaran luar biasa, kontan masuk amplop dan menggeletak di laci meja
belajar Irish. Sayonara! *** Ini untuk kedua kalinya Davi tertegun tak percaya. Irish terlepas dari tangannya
begitu tiba-tiba. Kali ini benar-benar fatal ternyata. Dia tidak tahu apalagi yang
sudah dilakukan Alfa. Yang jelas, Irish tidak bisa lagi ditahannya!
Kedatangan Davi yang mulai rutin ke rumah Irish setiap malam minggu,
terabaikan tanpa disadari cewek itu. Telepon-teleponnya yang mulai rutin, nyaris
setiap hari, juga separti tak pernah disadari Irish.
Kemudian beredar banyak cerita. Terlalu banyak. Laporan yang masuk juga
banyak. Irish dan Alfa di galeri A, Irish dan Alfa di galeri B, di mal, di Pasar Seni,
di GKJ, di TIM, di pantai, dan di banyak tempat lagi. Sebagian karena lukisan,
sebagian lagi tanpa alasan jelas!
Tapi Davi tak bisa apa-apa karena Irish selalu melaporkan semuanya, supaya Davi
bisa menjawab kalau ada yang tanya. Kalau soal lukisan, Irish akan bilang soal
lukisan. Tapi kalau alasannya jalan-jalan, diam-diam Davi jadi harus menahan diri!
Namun sebenarnya bukan itu yang membuatnya tidak bisa berkutik. Dia terpaksa
diam karena satu kalimat yang pernah dia tegaskan dulu di awal perjanjian.
"Kalo nanti ada cowok yang lo suka, lo boleh pergi!"
Sekarang tidak ada lagi yang bisa dia lakukan kecuali berharap Irish lupa dengan
satu kalimat itu. *** Sementara Davi resah karena sesuatu yang bergolak hebat di dadanya, Irish
tenang-tenang saja. Melaporkan semua kegiatannya seperti biasa. Saat itu mereka
di dalam kelas. "Minggu depan gue mau liat pameran lukisan, Dav. Di Kemang. Sama Alfa. Terus
minggu depannya lagi, hari rabu, pulang sekolah, kami langsung mau ke Senen.
Biasa, cari buku. Kali aja ada yang bagus. Sama Alfa juga. Terus...," Irish
mengeluarkan agendanya. Lupa soalnya.
"Sibuk bener sih, Rish?"
"Yah, begitulah," jawab Irish cuek, masih sambil menunduk dan mengaduk-aduk
isi tasnya. "Oh, iya! Ya ampun!" serunya kaget begitu membuka agenda. "Siang ini
gue mau liat pameran lukisan di JCC. Pelukis-pelukis muda. Belom punya nama.
Pesertanya banyak, Dav. Wah, pasti seru! Kok gue bisa lupa sih" Yaaah, nggak
bawa baju ganti deh!"
Davi menatapnya. Tapi Irish yang lagi kebingungan, luput menangkap tatapan itu.
"Sama Alfa lagi?"
"He-eh," jawab Irish belum sadar.
"Kenapa selalu sama Alfa sih?"
Irish tersentak. Dia menoleh dan mendapati ekspresi ganjil di wajah Davi.
"Abis yang suka ngajakin jalan cuma dia," jawabnya terus terang. Davi jadi
kesentil. "Elo suka lukisan, ya?"
"Suka banget!" "Kalo pergi berdua gue, gimana?"
Irish tertegun. "Sama.... elo?" tanyanya pelan.
Davi menghela napas saat dia mendapati sinar penolakan di mata Irish.
"Nggak seru, ya?"
"Ng... bukan gitu. Bukan gitu kok!" jawab Irish buru-buru. "Soalnya yang gue liat,
elo nggak begitu seneng lukisan."
"Kalo Alfa?" "Oh, kalo dia sih maniak!"
"Masa?" Davi mengangkat alis. "Elo nggak tau kalo Verdy juga hobi ke pameran
lukisan?" "Oh" Masa?" Irish pura-pura kaget. Soalnya dia memang pernah beberapa kali
ketemu Verdy. Dan Verdy sudah pasti lapor, nggak mungkin nggak. "Elo mau gue
pergi sama Verdy?" "Nggak juga. Kenapa" Kalimat gue kesannya begitu ya?"
Irish memalingkan wajah ke luar jendela. Lagi-lagi dia mencium ada yang tidak
beres. Yang salah. Yang berubah. Bersamaan dengan itu, orang yang sedang
mereka bicarakan muncul dan tergopoh-gopoh mendekat.
"Aduh, Rish!" seru Alfa begitu nongol di pintu. "Sori banget! Kayaknya kita nggak
jadi pergi siang ini. Gue lupa bawa baju ganti!"
Davi menatap Irish dan Alfa dengan sorot yang semakin dingin dan ganjil .
"Feeling kalian berdua so good ya" Bisa sama-sama lupa bawa baju ganti?"
"Masa!?" mata Alfa membulat. Terus dia terkekeh-kekeh. Irish tertawa jengah.
Tiba-Tiba Davi berdeham. Tawa Irish lenyap seketika, sementara Alfa tetap tak
peduli. "Bisa pergi, Rish" Gue ada perlu sama Alfa."
Irish jadi semakin waswas.
"Ngomong aja," kata Alfa. "Nggak apa-apa. Gue selalu terbuka kok sama Irish."
Aduh! Irish lansung salting. Alfa nih, bener-bener nggak bisa liat bendera perang
udah berkibar tinggi-tinggi begitu.
"Oh, ya!?" seketika sepasang mata dingin Davi hinggap di wajah gelisah Irish.
"Yaaah.... maksudnya.... Alfa kalo lagi ada masalah suka cerita ke gue. Gitu aja,"
jelas Irish, jadi gugup. "Betul!" tandas Alfa. "Dan gue juga selalu tegaskan ke dia...," dagunya bergerak ke
Irish. "bahwa gue juga bisa dijadiin teman berbagi cerita. Kalo lagu ada masalah,
lagi sedih, gue selalu minta dia cerita."
"Oh, ya!?" mata Davi seketika berkilat tajam.
Aduuuuuh, si Alfa ini!!!! Jerit Irish dalam hati.
"Tapi kan gue nggak pernah cerita apa-apa sama elo!" buru-buru Irush bikin
pernyataan. Takut Davi semakin salah paham.
"Bukan nggak pernah, tapi belom!" ralat Alfa, benar-benar bebal. Tidak tahu
cewek di depannya sudah kebingungan setengah mati. "Cewek kan nggak kayak
cowok. Gampang open. Nanti-nanti mungkin. Kita kan temen sejiwa! Iya kan,
Rish?" Ya ampun! Ya ampuun! Ya ampuuun!
Irish sudah nggak bisa ngomong lagi. Alfa nyerocos tanpa pusing. Sementara Davi,
meskipun terlihat tetap tenang, sepasang manik matanya mulai menyimpan
kemarahan. Dan Irish bisa menangkap saat sepasang mata itu menatapnya. Karena
Irish tidak menjawab, Alfa meneruskan kalimatnya.
"So, besok aja ya, Rish" Nggak apa-apa, kan" Besok gue traktir deh, sebagai tanda
penyesalan gue yang paliiing dalam sekali amat sangat! Besok elo gue traktir di
restoran mana aja yang elo suka. Pasti! I promise!"
Irish meremas kesepuluh jarinya. Makin gugup. Aduh! Si Alfa ini kapan perginya
ya" "Ya udah kalo begitu," ujar Alfa. Irish mengembuskan napas lega, doanya
terjawab. Alfa berdiri. "Sampai besok ya, Rish. Daaah," pamitnya disertai
lambaian tangan yang mesra. Tapi begitu dia menoleh ke Davi, dadahnya jadi
pendek banget. Cuma satu suku kata dan ketus pula. "Dah!" dengan santai Alfa
jalan keluar. Tinggal Irish yang semakin mengecil di kursinya. Alfa benar-benar sukses
melempar petasan di dekat kompor. Karena begitu cowok itu hilang di balik
tembok, Davi langsung balik badan dan menatapnya tajam.
"Gimana" Elo mau liat pameran lukisan berdua gue nggak" Nggak usah puding
soal baju ganti. Ada banyak kaus di mobil!"
"Ng...." Irish ngeri mau menjawab.
"Perlu mikir kalo gue yang ngajak ya" Meskipun elo suka lukisan?"
"Ng... bukan gitu, Dav. Gue..."
"Lo males pergi sama gue! Gitu, kan?"
Itu elo tau! Kata Irish, tapi cuma berani dalam hati. Dengan wajah kaku, Davi
mengulurkan tangan. "Gue mau liat pameran lukisan. Lo harus nemenin!" dirangkulnya Irish dan dengan
paksa dibawanya keluar kelas.
*** Meskipun berusaha ditutup-tutupi, semua bisa lihat kalau Davi agak murung
belakangan ini. Cowok itu jadi semakin pendiam dan semakin cuek lagi. Davi dan
Irish --pasangan yang selama ini telah menyaingi Anang-Krisdayanti-- sekarang
mulai jalan sendiri-sendiri.
Metha, yang setiap hari berdoa sepuluh kali agar Davi-Irish bubaran, jelas aja jadi
girang. Sekarang peluang itu terbuka lebar. Dengan lagak sok prihatin layaknya
teman sejati, pada satu siang Metha mendekati Davi yang lagi duduk sendirian
dikursinya. Cowok itu lagi menekuri buku full rumus dan angka di depannya,
sementara Irish pasti sudah terbang ke sebelah Alfa.
Metha mendekat, lalu duduk pelan-pelan di sebelah Davi. "Udah, Dav. Nggak usah
dipikirin," katanya. Suaranya lembut banget.
Davi mendongak dan sepasang mata dinginnya langsung menatap tajam. "Lo bisa
pergi!?" desisnya. Metha, meskipun terperangah, tetap memilih maju tampang malu.
"Dav, gue nggak ada maksud apa-apa kok," ujarnya. So pasti bohong. "Gue cuma
mau ngasih tau elo, kayaknya Irish sama Alfa serius. Dua hari lalu gue ketemu
mereka lagi di Pasar Seni. Kayaknya itu udah jadi tempat favorit mereka, soalnya
udah lebih dari tiga kali gue ngeliat mereka di sana."
Davi mendesis pelan. Kejengkelannya yang di tahan mati-matian mulai merayap
naik. Dia paling tidak senang informan model begini.
"Pergi cepet!" desisnya dengan gigi gemeretak. Ditatapnya cewek di sebelahnya itu
garang. "Cepet! Apa elo mau gue bikin malu?"
"Dav, gue cuma...."
Dengan marah Davi meraih bolpoin di depannya dan...
BRAK! Benda itu seketika hancur berkeping dan tintanya mengenai meja. Metha terlonjak.
Diiringi tatap mata seluruh isi kelas, cewek itu buru-buru berdiri dan pergi dari
situ. *** Irish juga tahu perubahan Davi itu. Tahu dan sadar! Soalnya hubungan mereka
sekarang jadi kaku. Persis seperti di awal-awal dulu. Davi kembali jadi pendiam,
jarang bicara. Tapi Irish masih ingat sekali satu kalimat itu. Pendek, tegas, tandas.
"Rish, tolong. Gue bener-bener butuh bantuan lo."
Dan hancur luluhlah hatinya, padahal baru saja terbang tinggi, lalu langsung brak!
Mendarat dan hancur berkeping.
Jujur saja, waktu itu Irish sakit hati. Merasa cuma dimanfaatkan. Merasa minder
dan tak punya arti. Apalagi setelah menjalani sandiwara itu. Dua hari tambah sedih
dan nelangsa. Karena itulah dis berjuang amat keras untuk bisa netral seperti saat ini. Awal-Awal
dulu, dia harus sering memperingatkan hatinya agar tidak tumbuh bunga. Tidak
tumbuh kuncup, apalagi sampai mekar. Juga untuk tidak ganti warna. Jadi pink
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau biru! Dia juga sudah melarang otaknya sering-sering memikirkan Davi, apalagi
ketampanannya. Dia juga sudah memperingatkan telinganya untuk tidak
me ndengarkan lagu-lagu cinta yang musiknya menghanyutkan.
Irish juga telah melarang matanya membaca novel-novel roman yang bisa
membuatnya jadi menikmati kebersamaan itu. Selagi bisa. Tanpa peduli sama
sekali alasan yang sebenarnya.
Selanjutnya kata sandiwara bukan lagi satu-satunya kata yang menempel di
tembok kamarnya. Ada banyak saudaranya. Ada kata kibul, bokis, bohong, dan
masih sederet lagi, yang baru berani di tempel Irish kalau Orish sudah tidur atau
tidak ada di rumah, dan kata-kata itu buru-buru dicopot kalau Vaya datang.
Gara-gara semua itu, wajar aja kalau Irish kemudian jadi salah mengira.
Dianggapnya Davi mengkuatirkan dampak seringnya dia jalan berdua Alfa
terhadap Davi sendiri. Irish mengira Davi kuatir akan dikeroyok cewek seperti
dulu lagi. Tapi sudah empat bulan dia menolong Davi. Sekarang saatnya untuk memikirkan
diri sendiri. Sebentar lagi dia akan meninggalkan sekolah ini, untuk jadi
mahasiswi. Dan meskipun tidak mutlak mesti terjadi, dia pengin punya cerita
sendiri. Seperti lagu dari Gita Cinta dari SMA. Tidak apa-apa deh, bagian akhirnya saja.
Daripada tidak punya cerita sama sekali.
Makanya Irish "terpaksa" tidak peduli melihat perubahan Davi. Tapi tidak begitu
dengan anak-anak lain. Yang merasa kasihan banget sama cowok keren itu.
Mereka tidak terima! Akibatnya, Irish dapat kecaman dari mana-mana.
"Dasar elo emang nggak tau diri, Rish!" kata Avi nyaring. Waktu itu siang-siang,
pas Irish balik dari kantin dan Davi entah kemana.
"Kenapa?" "Kenapa, lagi! Elo kan punya cowok! Tapi elo malah jalan sana jalan sini sama
cowok laen! Maksud lo itu apa sih?"
Wih! Irish kontan bengong, lalu ketawa geli. "Udalah. Lo nggak usah ngurusin
urusan gue!" "Emang nggak!" jawab Daniar ketus. "Ngapain, lagi. Gue sih bukan mikirin elo,
tau! Tapi Davi! Daaavi!"
"Emang Davi kenapa?"
"Iiiih!" Daniar melotot. Juga cewek-cewek lain yang berkerumun di sekelilingnya.
"Nih anak, kok malah nanya" Dia kan cowok lo!"
Irish menarik napas. Menahan kesal.
"Iya! Terus kenapaaa?"
Daniar tidak langsung menjawab. Dia menatap Irish dengan mata yang sudah
benar-banar menyipit saking tidak menyertainya. Begitu ngomong, suaranya
mendesis tajam. Persis ular.
"Elo itu ternyata bener-bener orang yang nggak tau diri ya! Nggak tau terima
kasih! Nggak tau bersyukur! Elo punya cowok keren... baik, lagi... tapi masih juga
jalan sama cowok laen! Emang Davi itu kurang apa sih!?" sentaknya.
Wah!" Irish bengong lagi, dan semakin bengong begitu Nila menyambung, juga
dengan nada keras. "Elo mestinya ngaca deh, Rish. Gue sih sebenarnya nggak pengen sarkas. Tapi elo
sama Davi itu sebenarnya nggak seimbang. Gue nggak ngerti kenapa dia bisa suka
sama elo!" Nah, ini dia! Ini namanya bener-bener ngajak perang!
"Eh, denger ya!" sambil tolak pinggang, Irish melototi para demonstran di
depannya itu. "Kalian pada nggak usah ikut campur urusan gue deh. Soalnya kalian
nggak tau apa-apa! Nggak tau alasan kenapa gue begitu. Kalian juga nggak tau
yang sebenarnya!" "Nggak tau gimana?" sambar Mona seketika. "Emangnya kita-kita ini buta! Elo
pacaran sama Davi, selama ini ke sana kemari berdua mulu. Dan sekarang elo juga
masih berdua mulu... tapi sama Alfa! Gitu lo bilang kami nggak tau apa-apa" "
"Emangnya Davi kurang apa sih, Rish?" tanya Veni. Suaranya agak lunak di
banding demonstran yang laen. "Dia baek banget sama elo. Sayang, lagi. Perhatian.
Setia pula." Irish ketawa, pelan dan agak misterius.
"Justru karena dia baek banget itu, jadi gue selingkuh!"
Irish meninggikan kerumunan cewek itu, yang mengikuti kepergiannya dengan
kening terlipat. Bingung.
*** Irush yang tadinya mau sebodo amat terhadap banyaknya protes keras seputar
seringnya dia jalan berdua Alfa -soalnya ia mrnganggap itu urusan pribadinyalama-lama jadi berpikir juga. Soalnya sekarang dia jadi semakin susah bergerak.
Semakin lama hujatan yang dia terima semakin meriah. Apalagi Metha. Celaannya
pedes banget. Irish sampai bingung. Kenapa Metha cs bisa sampai begitu ya" Neneknya Davi,
bukan. Emaknya juga bukan. Tapi sebegitu sewotnya.
Irush nggak tahu bahwa Metha keki banget, karena ternyata Davi tetap tak tergapai
tangan. Tetap dingin, tetap tak peduli. Dan yang paling membuat Metha ingin
marah, cowok itu ternyata tetap juga tidak terpengaruh meskipun telah dia
beberkan informasi yang susah payah dia kumpulkan.
Metha tidak tahu, sebenarnya Davi terbakar habis di dalam! Tapi cowok itu nggak
bisa apa-apa. Karena janji itu. Dia nggak berani memulai karena feeling-nya
mengatakan, Irish menunggu!
Dan dia benar. Irish memang menunggu realisasi janji itu. Tapi karena Davi cuma
diam, akhirnya terpaksa Irish buka mulut lebih dulu.
Waktu itu mereka lagi dalam perjalanan pulang, di dalam Jeep Davi.
"Dav, gue mau ngomong sama elo."
"Soal?" "Bisa brenti sebentar?"
"Sambil makan ya?"
Irish tersenyum tipis, geleng kepala, dan menjawab tegas. "Nggak! Karena
topiknya nggak enak di bahas sambil makan!"
Davi langsung tahu apa topik itu. Dan kecemasan datang saat itu juga.
"Kalo sambil minum, gimana?" Dia jadi ingin mengulur waktu.
"Nggak!" "Sambil jalan-jalan ya" Gue tau tempat yang bagus."
Irish menarik napas. "Nggaaak, Davi! Gue mau ngomong. Cuma itu. Gue nggak mau makan. Nggak
mau minum. Apalagi jalan-jalan! Jelas!?" Irish menatap tajam. "Bisa brenti
sebentar sekarang?" Gantian Davi yang menarik napas. Sadar usahanya gagal.
"Iyaaa. Nggak usah emosi begitu dong." Davi menepikan mobil di bawah
kerindangan pohon. "Nih, udah stop. Sesuai permintaan!" kemudian di ubahnya posisi duduknya
menghadap Irish. "Mau ngomong apa?"
"Gue sekarang dikecam dari mana-mana."
"Soal Alfa?" "Apa lagi?" "Terus?" Irish tidak langsung menjawab. Keresahannya terbaca jelas.
"Gue udah bantuin elo," sambungnya kemudian, lambat-lambat. "Bantuin apa yang
elo mau. Sekarang gantian elo yang harus bantuin gue."
Davi menatap lurus. Kecemasan itu semakin kuat menekan. Tapi tetap tak terlihat
di permukaan. "Bantuan apa yang elo mau?"
Irish terdiam. Sebenarnya dia ingin mereka selesai. Tapi, setelah berhari-hari
latihan untuk tegar, dan semalam telah yakin bahwa hatinya akan kuat untuk
mengatakannya, ternyata begitu berhadapan langsung begini, lagi-lagi dia langsung
bimbang. Tidak tega. Kasihan.
Keterdiamannya yang lumayan itu membuat Davi semakin yakin dengan
dugaannya. Dan kecemasan itu seketika berganti dengan ketakutan. Menikam
teramat kuat dan mendadak memberinya satu gagasan.
Bukan gagasan untuk mencari jalan keluar. Tapi gagasan untuk mempertahankan
agar si mungil ini tak bisa hengkang, dan terpaksa terus bersamanya walaupun
untuk itu dia harus merelakan hatinya digurat pelan-pelan.
Tapi tidak apa-apa. Toh itu hanya sementara dan sakitnya pasti akan terbayar.
Lunas, pada saat Alfa menyadari ribuan mil jarak yang dijejaknya berdua Irish atau
ribuan menit waktu yang dilewatinya bersama si mungil ini tak akan memberikan
hasil apa-apa selain kenangan manis. Cuma kenangan!
Dan semanis apa pun yang namanya kenangan, itu akan tetap cuma kenangan.
Abstrak, dan adanya di belakang!
Perlahan Davi mendekat ke arah Irish yang masih menatap ke arah lain itu.
Kayaknya Irish bingung mau memulai pembicaraan.
"Sekarang begini aja, Rish. Kalo elo emang suka jalan sama Alfa... ya jalan aja!
Nggak apa-apa. Sandiwara kita terus. Selama kita nggak ribut, selama gue nggak
komplain, kecaman-Kecaman itu juga nanti ilang sendiri. Gue usahain gue nggak
akan terpengaruh isu apa pun yang mungkin nanti akan muncul, atau laporan apa
pun yang nanti gue denger."
Irish tertegun. *** Davi memainkan bidak caturnya dengan jitu. Dengan memberi keleluasan pada
Irish untuk terus jalan berdua Alfa, itu sama saja dia mengembalikan persoalan ke
Irish. Sekarang malah tanpa pilihan. Kalau Irish tidak mau dikecam, apalagi dicap
macam-macam, mau tidak mau cewek itu harus jaga jarak dengan Alfa!
Pisau Terbang Li 1 Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua Perguruan Sejati 8
ingar-bingar seperti ini.
Baru setelah mereka dengan paksa dan susah payah menyeruak di anatara
kerumunan manusia yang berdesak-desakan dan berhasil sampai di pagar pemisah
-sebagian malah nekat melompati pagar dan lari bergabung dengan tim basket dan
suporter lain- mereka tahu apa penyebabnya.
Dan mereka -asli!- sama shocknya saat menyaksikan pemandangan itu.
Andri, salah satu suporter SMU Palagan, serentak menutup muka lalu mengintip
dari sela-sela jari. "Itu bener-bener cheerleader sekolah kita" Ya ampun! Besok gue
pindah deh! Cari sekolah laen!"
Tejo, yang ngakunya lahir dan gede di Jakarta tapi aksen Jawa-nya sama
medoknya dengan kaum urban yang baru turun dari Gambir, geleng-geleng kepala.
"Edaaan! Edan! Bener-bener nggilani! Jijik aku!"
Sementara Bunug, yang punya nama lengkap Budi Nugroho dan shalatnya nggak
pernah bolong, ngelus-ngelus dada dengan roman khawatir.
"Astagfirullahalaziiim. Inilah salah satu tanda-tanda mau kiamat!"
Tak peduli dengan ekspresi shock teman-teman yang lain, kesepuluh cowok
cheerleader itu tetap melangkah dengan penuh percaya diri. Dan mungkin inilah
cheerleader yang penampilannya memakan waktu paling lama. Sudah lewat
sepuluh menit, tapi mereka masih di pinggir lapangan karena para penonton yang
begitu terpesona membuat langkah mereka jadi tersendat. Sepanjang jalan, mereka
digoda, dipegang-pegang, dicolek-colek, ditarik-tarik.
Malah ada penonton cowok yang berteriak nyaring, "HEI KAMUUU! ITU LHO,
YANG MANIS! SINI DEH!"
Meskipun cowok itu jelas-jelas berteriak "yang manis", yang keluar dari barisan
malah Hendra. Sambil menggembungkan otot-otot lengannya menyaingi Ade Rai,
Hendra mendekati cowok itu.
"Apa lo manggil-manggil gue" Gue tau kalo gue manis! Tapi sori aja ya! Gue
nggak murahan!" Yang ada di situ kontan ketawa terpingkal-pingkal. Sementara mereka-mereka
yang duduk di tempat jauh nggak mengerti kenapa teman-teman yang lain tertawa
geli. Mereka semakin menjulurkan leher panjang-panjang, penasaran ingin tahu.
Seorang penonton lain ganti berteriak, "HAI! SAYANG YANG JENGGOTAN!
KAMU NAMANYA SIAPA" DODO YA?"
Sementara itu seorang cowok mengulurkan tangannya, lalu mencolek-colek Sam.
"Kamu imut, ih! Bikin gemes deh!"
"Masa siiih" Bisa aja deh kamu!" jawab Sam sambil balas mencolek cowok itu
sampai cowok itu terjengkang dan terkapar di lantai. Penonton yang bisa melihat
kejadian itu lagi-lagi tertawa riuh.
Penonton semakin menatap penuh perhatian saat tubuh-tubuh berotot tapi dibalut
busana seksi telah itu ada di tengah lapangan dan membentuk formasi dua garis
lurus. Perlahan intro musik terdengar, kemudian mengalunlah dengan suara keras...
lagu Kuch Kuch Hota Hai! Seisi GOR kontan terperangah. Namun sedetik kemudian meledaklah suara tawa
yang diikuti gemuruh tepuk tangan. Apalagi setelah menyaksikan aksi kesepuluh
cowok edan itu. Berbeda dengan cheerleader yang sudah umum -meloncat-loncat dan membentuk
formasi piramida- gerakan cheerleader SMU Palagan ini agak-agak erotis. Meliukliuk ke sana kemari.
Gerakan dinamis seperti meloncat-loncat sambil menggerakkan pompom malah
tidak ada sama sekali. Mmereka justru menampilkan gerak aduhai tari-tari
tradisional. Jaipong, Ronggeng, Pendet dan beberapa gerakan lain yang sepertinya
hasil ciptaan sendiri. Soalnya hot banget sih gerakannya. Sudah begitu, mereka
mengajak penonton ikutan joget, lagi!
Jadilah pagi itu suasana GOR gegap gempita. Riuh oleh suara tawa, denting batu di
botol minuman, peluit, juga terompet. Suasana juga tambah hidup karena hampir
semua penonton ikut berjoget, dengan gaya mereka sendiri-sendiri atau tanpa
malu-malu mengikuti semua gerakan kesepuluh cowok di tengah lapangan itu.
Beberapa pengunjung umum yang masuk karena tertarik oleh kehebohan itu, cuma
bisa berdiri bingung. Kok nggak matching, gitu. Kompetisi basket featuring joget
india. Tapi beberapa dari mereka akhirnya ikut larut juga.
Dan begitu Kuch Kuch Hota Hai mengalun semakin pelan dan akhirnya hilang dari
pendengaran, tanda selesainya penampilan cheerleader dari SMU Palagan,
penonton memberikan aplus yang sangat meriah. Tepuk tangan membahana
ditingkahi bunyi suitan, lengking peluit, dan tiupan terompet. Malah banyak yang
sambil loncat-loncat!! Dan yang bikin lebih tercengang lagi, penonton minta penampilan mereka di ulang.
"LAGI! LAGI! LAGI! LAGI!" Gelombang teriakan semakin lama semakin
bergemuruh. Panitia jadi kebingungan. Masalahnya, jadwal hari ini padat sekali.
Begitu babak penyisihan selesai sore ini, mereka harus segera memasang panggung
untuk acara Festival Teater nanti malam.
Setelah diberi janji-janji surga bahwa cheerleader SMU Palagan akan tampil lagi
setelah game kedua, barulah penonton tenang dan mau duduk manis di tempatnya
masing-masing. Padahal rencana panitia sih, selepas SMU Palagan bertanding
nanti, seluruh tim basket, cheerleader, sekalian suporter kalau bisa, di harap segera
cabut. Cukup kapten dan pelatih yang tinggal untuk mengetahui siapa yang akan
menjadi kawuan mereka di babak penyisihan minggu depan. Itu kalau mereka
menang. Kalau kalah ya silahkan langsung go away saja. Daripada terjadi hurahura.
Dan ternyata terjadi keajaiban lain. Suporter dari dua SMU lain, yang timnya baru
akan turun di pertandingan berikutnya, yang tadinya cuma sekedar menonton dan
memilih netral karena tim sekolahnya belum turun, kontan menjadi pendukung
SMU Palagan. Tiba-Tiba saja posisi SMU Palagan jadi di atas angin. Dengan jumlah suporter
yang hampir 70% dari seluruh penonton yang hadir, sorak-sorai mereka benarbenar menusuk kuping, membuat semangat para pemain kontan melejit.
Apalagi ditambah berondongan suporter dari sekolah mereka sendiri, yang
langsung menyeruak masuk seperti laron keluar sarang begitu penonton histeris
pertama kali tadi. Tim basket SMU Palagan kini jadi tercengang, padahal mereka
tadi sempet ngenes banget waktu ngeliat jumlah suporter yang seperti tebaran pasir
di pantai saking sedikitnya.
Lima pasang mata, milik Daniel dan keempat temannya, menatap bercahaya. Tidak
yakin dengan besarnya dukungan yang diberikan untuk mereka, dan masih tidak
percaya gimana ini bisa terjadi.
Para cheerleader itu lalu lari ke pinggir lapangan, ke tempat tim dan sebagaian
suporter mereka berkumpul.
"Good luck!" seru mereka hampir bersamaan, begitu kelima pemain SMU Palagan
turun. Yang membuat penonton lagi-lagi jadi ketawa, cowok-cowok menor itu ribet
banget waktu mau ganti baju. Ganti-gantian ditutupi pakai sarung batik rapat-rapat.
"Biar nggak ada yang ngeliat," begitu alasan mereka. Tapi begitu keluar dari
sarung, eh, malah nggak pakai baju!
Hendra malah sempat membuat permainan jadi tertunda, gara-gara Ipul sudah
menurunkan sarung padahal Hendra baru mau memakai kaus. Kontan tu cowok
menutupi dadanya yang bidang dan berotot dengan telapak tangan.
"Aduuuh.... Ikke kan belooom. Jadi kelihatan deh dada ikke! Dasar cowok kurang
azar!" Dan.... Dig! Ipul dapet bogem mentah. Meskipun itu cuma bercanda, tapi tak urung
penonton jadi ketawa terpingkal-pingkal.
Alhasil, Daniel dan Pak Hadi kena tegur panitia.
Mau main basket apa ngelawak" gitu katanya.
"Eh! Ude! Ude!" seru Udin. Cowok itu jadi nggak enak juga. Dia menengok kirikanan. "Rish! Paya! tolong dong!"
Irish dan Vaya, yang sudah complain sampai frustasi kalau namanya "Vaya"
bukannya "Paya", buru-buru menghampiri. Mereka membantu Udin membereskan
semua perlengkapan yang berserakan di tempat para cheerleader cowok ganti baju.
"Din, makasih ya?" Irish ingin sekali memeluk Udin. Cowok itu meringis.
"Pegimane" Oke, pan?"
"Oke banget! Canggih! Hebat! Heboh! Brilian!" Irish melontarkan berjuta pujian.
"Tapi elo kok nggak mau ngasih tau gue sih" Gue dari depresi sampai akhirnya
jadi pasrah, tau nggak?"
"Sori deh, Rish, kalo gue nutup-nutupin. Abis takutnye kagak jadi. Jadi gue pikir,
daripade ude ngomong tapi ntarnye malah batal, mendingan elo, Dapi, terus juge
nyang laen, gue kasih surprais. Pegimane" surprais kagak?"
"Waaah, surprise banget, Din! Bener! Sumpah disamber gledek! Elo emang benerbener oks banget!"
Udin tertawa sumringah. Kemudian mereka buru-buru duduk bergabung dengan
yang lain, karena permainan sudah mulai panas.
Daniel, Sagara, Tagor, Verdy, juga Davi, kini tampak rileks. Mereka bisa
mengembangkan permainan dengan baik. Padahal tadi mereka berangkat dalam
suasana yang kurang menyenangkan. Sepi dan dicuekin.
*** Dengan kondisi permainan yang tak berimbang -santai dan menyenangkan bagi
SMU Palagan tapi "Iiih, jijik!" bagi SMU Trisula- dengan mudah SMU Palagan
mengakhiri pertandingan dengan kemenangan mutlak.
Di akhir permainan, penonton memberikan aplus yang sangat meriah. Mereka
berdiri sambil bertepuk tangan, bersorak, juga bersuit-suit. Suporter SMU Palagan
yang jumlahnya sebenarnya tidak begitu banyak, malah pada loncat-loncat. Benarbenar tidak menyangka bisa menang. Begitu keluar lapangan, Daniel langsung
mendekati Udin. "Thanks banget ya, Din," katanya sambil meraih tangan Udin dan
menggenggamnya kuat. "Kalo nggak ada elo, gue nggak tau deh gimana jadinya."
"Yo'i, pren! Kagak usye dipikirin dah. Eni pan demi sekole!"
"Apapun alasan elo... thanks banget!"
Keempat anak buah Daniel langsung mengikuti jejak sang kapten. Mereka
merangkul Udin dan mengucapkan terima kasih. Cuma Sagara yang terima
kasihnya pakai embel-embel.
"Kalo sampe sohib gue jadi bencong beneran....gue bunuh lo!"
Udin kontan nyengir kuda.
Tak kurang Pak Hadi, guru yang paling akrab dengan hampir semua murid dan
disukai karena humornya, ikut mengucapkan terima kasih.
"Ngomong-ngomong...," sambungnya, "jangan-jangan itu kamu ya, yang Bapak
liat malam-malam berdiri di dekat gerbang sekolah?"
"Bukan, Pak! Itu saya!" sambar Sulaiman. Membuat semua tertawa geli.
Setelah itu mereka membereskan semua perlengkapan dan mundur ke tribun
penonton untuk menyaksikan pertandingan berikutnya: SMU Mahatma vs SMU
Gabriel. Pemenang pertandingan ini akan menjadi lawan mereka di pertandingan minggu
depan. Tapi mereka tidak bisa menyaksikan pertandingan sampai selesai karena
panitia meminta mereka pulang demi alasan keamanan. Cuma Pak Hadi dan Daniel
yang akan tinggal. "Elo-elo pada bikin stres, tau nggak" Nongol pas udah mepet waktu!" kata Irish
sambil membereskan semua perlengkapan cheerleader, dibantu Vaya dan Keke.
"Jangan salah. Kami udah dateng dari jam tujuh kurang," jawab Ipul. "Waktu
Sagara telepon tadi, kami udah di sini."
"Oh ya?" semuanya menoleh bersamaan.
"He-eh! Emang lo kira kami berangkat begini dari rumah" Gila aja! Bisa semaput
ibu gue!" Sam ketawa. "Waktu bawa barang ini aja, ibu gue nanyanya sampai detail banget. Gue bilang
aja buat di sumbanganin."
"Terus makeup-nya?" tanya Vaya. "Kok bisa lumayan bagus?"
Giliran di tanya begitu, semua cowok cheerleader itu pada nyengir sambil serentak
menunjuk Agus. Daniel tertawa sambil geleng-geleng kepala.
"Kacau! Kacau! Lo kenapa nggak bilang kalo bisa nyalon" Tau gitu gue nggak
bakalan mau tidur sekasur sama elo waktu nginep di rumah Saga!"
Agus ketawa ngakak, lalu mengedipkan mata.
"Elo tau nggak, Niel" Elo waktu tidur maniiis banget deh!"
Semua kontan ketawa ramai. Daniel langsung berdiri sambil mengepalkan tangan.
"Bajigur! Apa lo bilang" Coba ngomong sekali lagi!"
Agus makin ngakak. "Ck ck ck ck! Ternyata Daniel seksi, ih! Menggoda iman!"
Daniel melompat dan langsung mencekik Agus.
"Elo apain gue!" Cepet ngaku! Elo apain gue!?" serunya, membuat semua semakin
ketawa geli, juga para suporter SMU Mahatma yang duduk tak jauh dari mereka.
Sewaktu Daniel sibuk nyekek Agus, tiba-tiba di peluk Bayu dan Ivan di kiri-kanan,
dan... "Cup! Cup!" dua kecupan mendarat di dua pipinya, meninggalkan dua
cekatan bibir yang merah menyala.
"Aah! Puih! Puih!" Daniel mencelat dan langsung ngibrit jauh-jauh sambil
mengusap-usap pipi. Begitu korban mereka kabur, Bayu, Ivan, dan Agus menengok kiri-kanan, mencari
sasaran baru. Dan mata mereka hinggap di Davi.
Irish terperangah karena tiba-tiba dua lengan memeluknya dari belakang, begitu
erat dan perlahan menariknya mundur ke sudut saat Bayu, Ivan, dan Agus bergerak
maju. "Davi, curang loe ngumpet di belakang cewek!" seru Bayu.
Davi tertawa. Begitu dekat ke tengkuk Irish, hingga hangat napasnya menyapu
kulit. Dan saat Bayu, Ivan, dan Agus merangsek maju, Davi semakin
menenggelamkan Irish ke dalam pelukannya, sama sekali tidak sadar bahwa
tindakannya itu menyebabkan jantung cewek yang dipeluknya jadi deg-degan.
Irish mengeluh dalam hati. Kayak begini nih yang bikin gue cepet mati!
*** Usaha pemboikotan itu gagal. Metha dan Wulan malah di caci maki anak SMU
Palagan, terutama yang batal nonton dan cuma bisa mendengarkan ceritanya.
Apalagi semua yang nonton ngomongnya sama persis seperti bunyi pengumuman
misterius itu. "Wah, pokoknya rugi banget banget deh lo! Pokoknya, barang siapa yang nggak
nonton kemaren bener-bener rugi! Gi! Gi! Gi! Bener-bener nyesel seumur hidup!
Dup! Dup! Dup!" Dan di mana-mana anak-anak pada cecakakan tiap kali kejadian itu diceritakan
ulang. Yang tidak nonton agak susah mau percaya, wong Udin, Sam, Hendra, Ipul
dan semua nama yang katanya jadi cheerleader itu cowok tulen. Nggak ada
lembut-lembutnya sedikit pun. Apalagi Hendra, yang gelembung otot di kedua
lengannya hampir menyaingi punuk unta.
Susah membayangkan mereka memakai rok mini, kaus you can see ketat, wig
panjang, lipstick, eyeshadow, anting-anting, jepit rambut dan segala macam
pernak-pernik cewek lainnya.
Metha dan Wulan benar-benar berang. Pasalnya, mereka sudah ngabisin duit jutaan
dan hasilnya malah gagal total. Apalagi juga mereka kena amuk cewek-cewek
cheerleader gara-gara tim basket sekolah kini tidak membutuhkan mereka lagi.
SMU Palagan kini punya kelompok cheerleader sendiri. Dwifungsi malah, bisa
jadi pemain cadangan juga. Sudah begitu tidak perlu di jaga, lagi! Soalnya mereka
bisa melawan kalau ada cowok yang berani iseng.
Dan ternyata, nama SMU Palagan sekarang ngetop banget di SMU Mahatma. Jadi
bahan omongan gara-gara cheerleader-nya yang heboh dan ciamik pula itu. Dan
banyak yang udah nggak sabar menunggu sampai hari minggu nanti untuk bisa
menyaksikan penampilan mereka lagi.
"Cheerleader-nya elo lagi, Din!" kata Deni.
Udin kontan ketawa. "Pasti entu dah! Terangin, Pan!" perintahnya ke Ivan.
"Oke!" jawab Ivan, lalu memandang berkeliling. "Jadi gini. Untuk hari minggu
besok rencananya kita mau menampilkan tarian striptease!"
"APAAA!?" semuanya langsung kaget.
"Gila lo!" seru Irish.
"Tau nih!" kata Ronni. "kalo gue sih daripada nonton striptease cowok, mendingan
striptease monyet! Udah ketauan!"
"Iya! Iya!" semuanya ngakak.
"Tenang! Tenang! Jangan shock dulu!" kata Ivan buru-buru. "Striptease di sini
maksudnya, kita nanti pake kostum strip-strip. Gitu lho."
"Oooo," semuanya kontan nyengir. "Kirain striptease yang kayak Demi Moore,"
kata Irish. "Waaah, kalo itu mesti izin kepolisian dulu. Gue sih mau aja," jawab Ivan sambil
meringis. Jadi berdasarkan informasi itu, tim basket SMU Palagan tidak perlu pusing lagi
soal suporter. "Silakan kalo mau diboikot lagi!" kata Daniel waktu ketemu Metha di ruang OSIS.
"Tapi kayaknya elo perlu ngeluarin satu juta untuk satu kepala!"
Metha cuma diam. Dia tahu, kali ini dia betul-betul kalah!
PANSUS langsung mengadakan rapat lagi. Sekarang giliran Vaya yang ketiban
bencana. Sohib Irish dan satu-satunya cewek yang emang dekat dengan Irish itu
punya bisnis keripik singkong pedas yang udah kesohor di seantero sekolah.
Renyah, gurih, dan hot (pedas, maksudnya)!
"Apa!?" seru Vaya. Dia terpana waktu Pipit, jubir Pansus, membacakan memo
hasil rapat kemarin, yang menyatakan bahwa Vaya sudah tidak boleh lagi naro
dagangan di kantin dan koprasi.
"Nggak usah macem-macem deh. Itu nggak lucu buat bercanda, tau nggak?"
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa bilang ini bercanda?" balas Pipit ketus.
"Terus, kenapa gue yang kena sih" Yang pacaran sama Davi kan Irish."
"Tapi kan elo sohibnya Irish!"
"Biarpun gue sohibnya Irish, emangnya Davi dibagi ke gue juga" Yang bener aja
deh!" "Terserah apa kata lo! Yang jelas, ini serius!"
"Terus gue mesti bilang apa ke nyokap gue?"
"Oh! Elo nggak perlu bilang ke nyokap lo, Vay. Lo cukup bilang ke Irish!" tandas
Pipit enteng, lalu berbalik pergi.
Vaya geleng kepala, tidak bisa mengerti. Tapi dia juga tahu, ini bukan main-main.
Dan benar sja. Waktu dia bertanya ke Bu Nurul, pengelola koperasi, Bu Nurul
bilang dia udah nggak bisa menjual keripik singkong pedas punya Vaya di situ
lagi. Mulai besok! Gila, kan" Vaya tidak mau bertanya ke kantin. Kalau koperasi yang di bawah kendali sekolah
saja bisa diacak-acak --meskipun Vaya yakin pihak sekolah pasti tidak tahumenahu soal ini-- apalagi kantin.
Terpaksa dia mesti ngasih tahu Irish!
Begitu bel istirahat berbunyi, Vaya langsung ke sana kemari mencari sohibnya itu,
diiringi tatapan puas para anggota Pansus yang memang bertebaran di sana-sini.
Mereka puas karena ternyata awal ancaman mereka berjalan sesuai dengan yang
mereka kehendaki. Setengah mati Vaya mencari Irish. Memeriksa setiap sudut kompleks sekolah yang
sangat luas. Sejak Irish punya pacar, mereka jarang bersama-sama lagi. Jarang
banget malah, karena Davi melekat seperti lintah!
Akhirnya Vaya menarik napas lega. Setelah kedua kakinya nyaris kecengklak,
pasangan yang nyaris tak terpisahkan itu dia temukan juga di lab biologi. Vaya
tidak tahu siapa yang mereka cari di situ. Yang pasti sih temannya Davi, karena
Vaya lihat Irish cuma duduk anteng dan diam di sebelah cowok itu.
"Irish!" panggil Vaya sambil bergegas masuk. Irish menoleh, juga Davi dan
temannya yang lagi membicarakan sesuatu. "Gue mau ngomong sama elo.
Penting!" Vaya menyambar tangan Irish lalu menariknya keluar. "Bentar ya, Dav,"
katanya ke Davi. "Gue pinjem sohib gue sebentar!" Sengaja dia bilang "sohib gue",
biar Davi sadar bahwa dia sudah merampas satu-satunya sahabat yang dimiliki
Vaya! "Apaan?" tanya Irish setelah mereka sudah di luar lab.
"Gue udah nggak boleh naro keripik lagi. Nggak di kantin, nggak di koperasi."
"Kenapa?" "Ya karena elo pacaran sama Davi!"
"Hah?" Irish terperangah. "Gimana sih" Gue nggak ngerti?"
"Lo kira gue ngerti" Tapi abis mereka ngomong begitu, gue langsung tanya Bu
Nurul. Bu Nurul bilang itu bener!"
"Mereka siapa" Metha, Wulan, sama yang laen-laennya itu?"
"Siapa lagi?" Irish terdiam. Bingung sekaligus tidak menyangka.
"Kalo elo cuekin aja, gimana?"
"Gimana mau dicuekin" Itu kan udah ada jatahnya. Mau pake berapa nampan. Nah,
kalo nampan gue nggak dikeluarin, gimana" Masa keripiknya mau gue taro begitu
aja di atas kaca?" Irish diam lagi. Dia benar-benar nggak nyangka kenapa bisa pada tega begitu.
"Mulai kapan?" "Besok." "Besok!" Irish terpekik. "Gila!"
"Kalo nggak gila, gue nggak nyariin elo, Rish. Gimana?"
"Ntar deh. Gue kasih tau Davi dulu."
Vaya langsung melirik ke dalam lab dan mengecilkan volume suaranya. "Elo
nggak bisa ya, sedetiiik aja nggak nempel ke Davi?"
"Bukan gue yang nempel, tau! Dia tuh!" Irish langsung protes keras.
"Ya udah deh. Gue nyari elo cuma mau ngasih tau itu. Gue duluan ya."
"Vay, sori banget ya?" Irish menggenggam tangan Vaya sesaat sebelum
sahabatnya itu pergi. Dia benar-benar merasa bersalah. Gara-gara dia, Vaya jadi
ikut tertimpa masalah. "Iya. Nggak apa-apa kok. Emang mereka itu pada nggak becus ngaca! Yuk, ah.
Gue duluan. Dah!" Setelah Vaya pergi, Irish menarik napas panjang-panjang. Ini benar-benar tidak
lucu lagi, karena dia tahu persis besarnya peranan keripik singkong pedas itu bagi
keluarga Vaya. "Ada apa?" Tiba-tiba Davi sudah ada di sebelahnya.
"Eh" Oh, itu. Balik yuk, Dav?"
"Ini gue nyusul elo karena mau gue ajak balik. Ada apa sih" Kok tampang lo jadi
kusut?" Irish tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang-panjang dulu.
"Vaya, Dav." "Kenapa Vaya?" "Dia udah nggak boleh naro keripik lagi di kantin sama koperasi."
"Kenapa?" "Karena kita!" "APA!?" Davi terperangah.
*** Meskipun tahu ancaman itu bukan bercanda, Vaya masih berharap itu cuma gertak
sambal. Tapi ternyata, begitu besoknya dia ke koperasi, tiga nampan yang jadi
jatahnya selama ini telah ditempati dagangan lain. Bolu kukus, panada, dan donat
kacang. Vaya tidak tahu muncul dari mana kue-kue itu, karena Bu Nurul tutup
mulut. Vaya jelas jadi kebingungan. Masalahnya, bahan mentah komoditi ekspor andalan
keluarganya itu sudah dibeli. Dan hari minggu besok, seperti biasa mereja akan
kerja keras dari pagi sampai malam. Satu keluarga. Vaya, bapak-ibunya, kakaknya,
juga dua adiknya. Coba, gimana Vaya mau ngasih tau keluarganya bahwa sementara ini dia tidak bisa
nitip keripik karena ada sekelompok cewek yang iri dan tidak bisa terima Irish
jadian sama Davi" Kan konyol!
Lunglai, Vaya pun balik badan, kemudian berjalan lesu ke kelas Irish. Dia harus
memberitahu Irish bahwa ancaman Metha cs ternyata nggak main-main.
*** Pagi ini Irish terduduk muram di teras. Semalaman dia terus berpikir, mencari jalan
gimana caranya menolong Vaya. Tapi sampai pagi ini belum juga ketemu.
Dia benar-benar merasa bersalah. Semalam Vaya menelepon dan ini pertama
kalinya Irish mendengar sahabatnya itu menangis. Padahal selama ini Vaya selalu
enjoy, santai, dan tenang. Kalau dia sudah sampai putus asa begitu, berarti ini
memang sudah benar-benar keterlaluan.
Begitu seriusnya Irish larut dalam lamunan, begitu dalamnya kepalanya menunduk,
hingga deru mesin mobil Davi pun terabaikan. Bahkan setelah cowok itu berdiri di
sebelahnya, Irish masih belum sadar juga.
"Irish," setengah membungkuk Davi memanggilnya. Irish tetap nggak ngeh.
"Irish!" cowok itu mengulang. Masih juga Irish tak mendengar. Akhirnya Davi
menepuk pundak cewek itu. Tepukan pelan, tapi Irish kaget bagaikan ada petasan
yang meledak di hadapannya.
"Elooo.... bikin gue kaget aja! Kapan datengnya sih?" katanya sambil menepuknepuk dada.
"Elo yang ngelamunnya kelewat serius. Apa apa sih?"
Irish menatap cowok yang kemudian duduk di sebelahnya itu. Irish bingung.
Cerita, jangan, cerita, jangan. Tapi sebenarnya dia harus cerita, karena memang
cowok inilah sumber masalahnya.
"Ng... gini, Dav. Gue mau ngomong soal...."
"Vaya?" potong Davi.
"Kok tau?" Dua alis Irish menyatu.
Davi menarik napas. "Jelas taulah. Gue nggak secuek yang elo kira, Rish."
"Jadi?" "Suruh aja Vaya besok bawa keripiknya. Tapi elo tungguin dia, terus masukin
keripiknya ke mobil gue. Di kursi belakang ya."
"Terus?" tanya Irish heran.
"Kerjain apa yang gue minta." Davi menatapnya lurus. Irish langsung diam.
Kenapa gue bisa sampe lupa kalo cowok ini nggak suka banyak cerita ya" gerutu
Irish dalam hati. Davi berdiri. "Berangkat yuk?" ajaknya. "Udah jam setengah tujuh nih!"
*** Besoknya, setelah memarkir mobil di dekat pagar sekolah, Davi menyerahkan
kunci ke Irish. Cowok itu pergi ke kelas duluan.
Tak lama Irish menunggu, kemudian Vaya datang. Irish buru-buru menyambut
sahabtnya itu, membantu menurunkan kantong-kantong plastik dari bajaj.
"Kenapa Davi yang bawa, Rish?" tanya Vaya, mengekor langkah Irish ke tempat
mobil Davi diparkir. "Gue juga nggak ngerti. Dia orangnya gak banyak omong. Tadi udah gue tanya,
tapi dia nggak mau ngasih tau!"
"Elo kok bisa jadian sama dia sih" Gue bingung. Lagian elo juga nggak pernah
cerita apa-apa ke gue. Elo tuh sebenernya pacaran beneran apa bohongan sih?"
Irish kontan beku di tempat. Susah payah dia berusaha menenangkan diri. Kenapa
Vaya ngomong begitu" tanyanya dalam hati.
"Emangnya kenapa?" Irish kembali bertanya.
"Aneh aja. Biasanya kan elo selalu cerita ke gue. Tapi kok ini nggak. Tiba-tiba aja
elo jadian sama Davi. Semuanya kaget. Termasuk gue!"
Irish diam. Sebenarnya dia ingin cerita banyak. Tapi Davi sudah menegaskan
bahwa ini cuma rahasia mereka berdua. Cuma mereka!
Dia menoleh waktu di dengarnya Vaya menarik napas.
"Gue nggak peduli ini semua mau dibawa ke mana," ujar Vaya sambil menatap
dagangannya yang menumpuk di jok belakang mobil Davi. "Abis gue bingung.
Nyokap terus nanya-nanya, kenapa keripiknya nggak dibawa-bawa juga. Ntar
keburu nggak enak. Gue bilang aja, kantin sama ruangan koperasinya lagi
direnovasi. Jadi kantin yang sekarang kantin darurat. Serba berantakan."
"Iya. Bilang gitu aja. Nggak usah bikin nyokap lo bingung. Udah?" tanya Irish.
Vaya mengangguk. Irish menutup pintu belakang lalu menguncinya. Setelah
memeriksa dua pintu yang lain, ia mengajak Vaya ke kelas.
*** Dua hari kemudian, Davi memberikan sehelai amplop.
"Tolong kasih Vaya, Rish. Bilang sama dia, gue minta maaf."
"Keripiknya nggak elo buang kan, Dav?"
"Jelas nggaklah. Dosa, buang-buang makanan. Lagi pula kalo dibuang mana bisa
jadi duit" Dan..." tiba-tiba muka Davi berubah serius. Badannya bergeser lebih
dekat dan volume suaranya mengecil. "Rish, nanti elo temuin Metha. Bilang lo
mau ngasih tau semuanya hari sabtu nanti. Pulang sekolah."
"Apa!?" Irish terperangah. Dia hampir berteriak tadi. "Tapi kita kan belom ngarang
cerita yang komplet" Gue juga udah agak-agak lupa. Abis, kelamaan sih. Jangan
sabtu deh ya?" Davi menatapnya. Lurus ke manik mata, membuat Irish langsung tersadar. "Oke
deh!" Dia mengangguk patuh.
Davi tersenyum tipis. Cewek begini yang dia suka. Cepat mengerti kalau dia nggak
suka banyak omong, apalagi cerita.
*** Irish bingung, kuatir, dan cemas sama gagasan Davi itu. Tapi dia takut bertanya,
apalagi ngasih usul. Dia cuma bisa pasrah.
Hari yang disepakati tiba. Semua anggota Pansus sudah berkumpul satu jam lebih
awal di sekretariat PMR. Dari pagi mereka memang sudah tak sabar. Ingin cepatcepat menekan Irish supaya menceritakan yang sebenarnya. Mereka tetap yakin,
ada something wrong di balik jadiannya Irish sama Davi.
Jam tiga tepat, pintu diketuk.
"Masuk!" seru Metha dengan suara berwibawa. Pintu terbuka. Tapi yang muncul
bukan Irish, melainkan.... Davi!
Seketika ruangan jadi senyap begitu tahu siapa yang berdiri di ambang pintu.
Cewek-cewek itu jadi tegang dan saling pandang saat tubuh jangkung Davi
melangkah masuk dengan tenang dan sepasang mata dinginnya menyapu seisi
ruangan. Menatap mereka satu per satu.
"Di mana gue mesti duduk?" tanya Davi.
"Ng... ng... terserah elo! Terserah elo!" jawab Metha gugup.
Davi menarik satu kursi tepat di hadapan cewek-cewek itu, lalu duduk diam.
Menunggu. Ketenangannya, juga sepasang mata dinginnya yang menyorot tajam,
membuat para cewek anggota Pansus yang tadinya telah siap dengan daftar
panjang berisi pertanyaan, kontan jadi ngeri mau buka mulut. Davi berdecak kesal.
"Jadi elo nyuruh gue dateng cuma buat duduk diem begini?"
"Gue nyuruh Irish yang dateng kok," jawab Metha hati-hati.
"Dia udah gue anter pulang!" tandas Davi.
Tiba-tiba dia berdiri, menjulangkan tubuh jangkungnya, dan melangkah mendekati
cewek-cewek Pansus yang duduk berdekatan. Kemudian Davi menatap mereka
satu per satu dengan jeda beberapa detik namun sanggup membuat keberanian
mereka seketita menguap, nyaris tanpa sisa.
"Denger ya! Ini pertama kalinya gue ngomong, dan nggak akan ada yang kedua
kali!" Davi mendekat, membuat para anggota Pansus jadi semakin ngeri. "Gue
yang suka sama Irish! Gue yang teteg ngotot, maksa untuk duduk semeja meskipun
dia udah bilang itu kursi Ryan!" cewek-cewek Pansus langsung gelagapan. "Jadi
elo-elo tuh pada salah kalo selalu ngedesak Irish. Seharusnya elo semua minta
penjelasan ke gue! Meskipun sebenernya itu hak gue, hak Irish, hak kami berdua
untuk nggak ngomong apa-apa! Jelas!!"
Yang lain rata-rata ngeri mau ngejawab. Tapi Metha dan Wulan, yang sudah
terlanjur ngeluarin duit banyak, jelas nggak akan nyerah begitu saja. Mereka harus
tahu yang sebenarnya! "Emang apanya Irish sih yang bikin lo tertarik?" tanya Metha, saking tidak bisa
menahan rasa irinya. Seketika mata dingin Davi menyambarnya.
"Apa harus gue jawab?"
"Yaaah...," Metha kelihatan agak malu, "iya."
Davi menatap lurus ke arah Metha. Beberapa detik dia cuma begitu. Diam dan
menatap Metha tajam. Membuat suasana jadi mencekam dan anggota Pansus yang
tidak seberani Metha sudah ingin cepat-cepat lari keluar.
"Karena Irish nggak suka sama gue!" tiba-tiba Davi berkata.
Cewek-cewek Pansus kontan pada bengong.
"Ng.... maksud lo?" kali ini Wulan bertanya. Dia menatap Davi sampai nyureng
saking bingungnya. "Maksud gue...," Davi langsung beralih ke Wulan yang duduk di sebelah Metha,
"yang menarik dari Irish adalah... karena dia nyuekin gue!"
Cewek-cewek Pansus saling pandang. Tak menyangka sama sekali dengan
jawaban Davi itu, karena mereka sudah amat yakin bahwa jawaban Davi pasti
menyangkut soal fisik. Habis apa lagi" Ketertarikan pertama antara cowok-cewek
kan selalu dari situ awalnya. Baru setelah itu muncul alasan-alasan klise. Baiklah,
perhatianlah, sabarlah, pengertianlah.
Makanya mereka sudah siap dengan seribu celaan. Irish itukan melarat, kere.
Makanya badannya imut, soalnya kurang gizi! Kalau ada pesta suka nggak mau
ikutan karena emang nggak level. Bajunya juga jarang yang ngikutin mode. Dan
masih banyak kekurangan yang lain! Semuanya udah siap dilontarkan karena dari
semula mereka sudah yakin, Davi suka Irish dari segi fisik.
Makanya mereka benar-benar nggak nyangka kalau jawaban Davi ternyata
melenceng jauh. "Irish emang cuek kok. Bukan sama elo aja. Yang laen juga dia gituin."
"Itu urusan yang laen. Kalo gue nggak bisa!"
"Irish cuek sama elo, berarti dia nggak suka sama elo," Wulan tidak mau
menyerah. "Gue nggak peduli soal itu!"
"Atau... elo jatuh cinta sama dia?" tanya Metha, agak-agak salting.
Tatapan tajam Davi kembali ke arah Metha.
"Jelas! Apa gue harus nyium dia di depan elo-elo semua?"
wajah-wajah di hadapan Davi jadi memerah.
Buset deh! Keluh Metha dalam hati. Saklek banget nih cowok!
"Berarti... elo maksa Irish untuk jadi cewek lo. Begitu?"
Untuk pertama kalinya Davi tersenyum. "Betul. Tepat sekali!"
Davi telah mengatakan yang sebenarnya, tapi mana cewek-cewek itu tahu.
Sekarang mereka sadar, usaha mereka sampai kapan pun tidak akan ada gunanya,
karena ternyata yang terjadi tidak seperti yang mereka duga.
*** Setelah hari itu -hari saat Davi mengakui sekaligus menegaskan bahwa dialah yang
naksir Irish serta memaksanya duduk semeja dan bukan sebaliknya- cewek-cewek
anggota Pansus Jadi pasrah dan terpaksa menerima kenyataan bahwa Irish memang
lagi jadi kesayangan Dewi Fortuna.
Tim basket SMU Palagan juga berhasil masuk final, karena selain pemainnya okeoke, para suporter dan cheerleader-nya juga nggak diboikot lagi.
Tapi Irish jadi menyadari satu hal. Begitu tidak ada lagi wajah-wajah iri, begitu
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak ada lagi mata-mata yang menatapnya sinis, begitu tidak ada lagi mulut-mulut
yang kasak-kusuk, dia jadi tak punya tempat untuk mengalihkan pikirannya. Dan
tanpa dia sadari, semua itu justru meringankan bebannya karena tidak ada peran
yang harus dia jalankan. Tapi ternyata, membunuh perasaan cinta terhadap
seseorang yang selalu ada bersama kita sangatlah berat!
Di saat yang sama, Irish harus melindungi Davi dengan segala cara. Takkan ada
yang menyangka bahwa keadekatan mereka dan ekspresi kasih sayang yang
mereka perlihatkan satu sama lain ternyata cuma pertunjukan opera sabun yamg
suatu saat nanti akan berakhir!
Yang membuat Irish semakin jatuh-bangun dan memaksa hatinya untuk lebih
rasional adalah Davi tidak mau menjelaskan rencana-rencananya. Jadi sebenarnya
bukan cuma orang lain yang kaget, Irish juga kaget gengan semua manuver Davi.
Hari-harinya begitu penuh kejujtan. Irish tidak tahu dan tidak berani
membayangkan apa yang akam menyambutnya esok hari.
Davi bisa tiba-tiba saja meletakan sekotak cokelat di hadapan Irish tanpa ngomong
apa-apa sebelumnya. Sepotong blackforest denan ceri merah di atasnya bisa ada di
meja Irish tanpa sepengetahuan gadis itu. Bonek Teddy Bear yang lucu bisa
nongkrong di tempat duduk Irish tanpa ada yang tahu kapan boneka itu diletakan.
Tapi yang paling membuat cewek-cewek sekelas jadi ngiri banget adalah saat Davi
meninggalkan setangkai mawar putih di meja Irish -soalnya Davi harus ikut lomba
fotografi tingkat SMU- dan meminta sang juragan nasi uduk, si Udin, untuk
menjaga pacar tersayangnya itu dengan pesan, "Kudu dianter sampe di depan
rumah dan nggak boleh lecet sedikit pun!" Sementara yang bisa dikakukan Irish
hanya terpaku, hampir mati berdiri karena malu.
Irish membayangkan lagi kemesraannya bersama Davi. Bergelayut manja di
lengan cowok itu, menyambu
t setiap uluran tangannya, larut dalam setiap dekap
dan peluknya, dan sejujta adegan yang semakin membuatnya bermimpi indah
setiap malam. Namun semua itu, segala perhatian, sejuta senyum dan tatap pandang, menghilang
dalam waktu bersamaan! Begitu ia meninggalkan gerbang besi sekolah, begitu semua mata yang menatap iri
itu tak lagi terfokus memandang, segalanya menghilang! Yang tertinggal hanyalah
sosok dingin dan diam. Davi yang sebenarnya. Davi yang bicara cuma satu-dua
kata, dengan wajah nyaris tanpa ekspresi dan sepasang mata yang bukan jendela
jiwa! Tidak akan ada yang menyangka bahwa cerita tentang makam minggu itu benarbenar cuma hasil karangannya. Tanpa ada kenyataan satu kali pun!
Pasti juga takkan ada yang menyangka bahwa sethap malam minggu Irish cuma
sendirian di rumah. Ya ngarang cerita-cerita itu. Baru senin paginya, waktu Davi
jemput, Irish memberitahu Davi supaya cowok itu memberikan jawaban yang sama
kalau diinterogasi Metha cs.
Jadi apa yang dialami semua temannya -malam mingguan bersama pacarsebenarnya juga dialami Irish walaupun dalam khayal. Namun Irish lebih parah.
Mereka-mereka masih bisa menghindari sang pacar. Ngedumel kalau sudah kesal.
Pergi kalau sudah dongkol atau bosan. Tapi Irish"
Irish terpaksa bersbar. Terpaksa pasrah. Dan terpaksa ikhlas menjalani. Dan tidak
ada yang lebih.... boooring!.... daripada semobil sama cowok gagu!
Davi itu tega lho, bira nggak ngomong sama sekak di mobil. Meskipun mereka
terpaksa berjam-jam duduk berdua karena jalanan macet. Sementara Irish sendiri
bingung mau ngajak ngobrol. Mau ngobrol apa" Davi tidak pernah cerita tentang
keluarganya, apa nama kota kelahirannya yang terletak di kaki gunung dan belum
lama dia tinggalkan itu, apa hobinya, atau apa sajalah, yang sedikit bisa
memberikan informasi seperti apa sih cowok yang selalu di sebelahnya itu. Kadang
Irish takjub sendiri. Ajaib banget, ternyata dia tidak tahu apa-apa tentang Davi.
Satu-satunya yang dia tahu tentang cowok irit ngomong itu cuma kecelakaan itu.
Bahwa Melanie terlempar hampir seratus meter. Sempat koma sebelum akhirnya
meninggal. Cuma itu! Dan itu jelas tidak bisa dijadikan bahan obrolan!
*** Hari-hari datang, diam, dan hilang. Lewat satu demi satu. Setiap melambung di
awang-awang setiap malam, dibelai mimpi indah yang rasanya seperti kenyataan
namun diempas tanpa ampun begitu mata terbuka, akhirnya kesadaran itu datang.
Akan ada hari akhir untuk semua ini. Hari saat Davi hanya akan mengucapkan
terima kasih. Tak lebih. Lalu cowok itu akan pergi.
Jadi, daripada terpuruk di hari itu nanti, lebih baik dipersiapkan sejak dini. Yang
pertama harus dilakukan adalah, menegaskan pada diri sendiri bahwa ini cuma
sandiwara. Caranya" Ya tempelkan satu kata itu di depan mata!
Dan itulah yang segera dilakukan mungil ini. Kata "SANDIWARA" kini tertempel
di atas meja belajarnya, dengan ukuran huruf sebesar gajah!
Tapi lumayan, ada hasilnya!
Bayangan saat Davi merangkulnya, menggandengnya, mengajak makan berdua,
mengerjakan tugas bersama, bercanda, tertawa, dan semua hal indah yang
dilakukan hanya apabila mereka ada di depan banyak mata, sekarang tidak lagi
membuat Irish bahagia. Karena satu kata itu, "SANDIWARA", muncul jelas-jelas
di monitor otaknya, memberikan kesadaran bahwa Davi melakuknnya pasti juga
tanpa perasaan apa-apa. Dan itu semua telah banyak membantu Irish melupakan Davi. Sukses!
Akhirnya tibalah Irish di hari itu. Hari di saat matanya betul-betul jernih. Hari di
saat perasaannya benar-benar netral. Hari di saat tidak ada lagi mimpi-mimpi di
kepala. Hari di saat hatinya tidak lagi tumbuh bunga. Hari di saat ia bisa
mengimbangi sandiwara itu tanpa beban. Di hari-hari kemudian, sandiwara itu
bahkan jadi terasa menyenangkan. Selalu bisa meninggalkan tawa juga kelakar.
Dan setiap sabtu malam, atau keesokan harinya seharian, kalau tidak ada acara
keluar, dengan enjoy Irish melewatkan waktu dengan mengarang cerita baru untuk
disiarkan di sekolah, di depan wajah-wajah yang selalu punya segudang perhatian,
untuk mendengarkan cerita tentang date time!
Perlahan, ada yang berubah. Cinta yang muncul dalam diam dan tumbuh dalam
keheningan. Yang datang bahkan tanpa dia sadari.
Berjalan bersamanya, larut dalam tawa dan semua kelakarnya, limbung dalam
senyum dan tatap mata. Bahkan saat jari-jari itu meraihnya, satu hal yang kerap
terjadi sejak semula, dan satu bisikan kecil di telinga... sesuatu di dadanya berdetak
lebih cepat dari yang dia duga.
Dan di saat dia semakin jatuh-bangun untuk tetap ada dalam skenario yang telah
mereka tata, Irish malah semakin wajar dan menjalani perannya apa adanya.
Hampir putus asa, lalu dia teriakkan cintanya ke udara, tapi ternyata.... menguap
sia-sia! Fairish, gadis itu, ada di dekatnya, hampir selalu bersamanya, tapi telah menjelma,
menjadi apa yang pernah dia minta: angin!
Dan dia terlambat menyadari. Saat melihatnya dengan hati, dan bukan dengan
kepentingan sendiri, baru dia sadar.... Irish telah ada di seberang lautan!
Dan prahara itu benar-benar datang. Menggulung bentang cakrawala, memudarkan
bianglala, menarik fajar, dan di kejauhan, bergerak perlahan...bayang-bayang
malam! Dan di sinilah dia sekarang... terseok menghalangi....
Ada yang perlahan berubah. Cinta yang muncul dalam diam dan tumbuh dalam
keheningan. Yang datang bahkan tanpa dia sadari.
Terlalu pelan kesadaran itu datang. Dan saat mata hati terbuka, dia sudah jadi
gumpalan! SIALAN! rutuk Davi. Untuk yang kesekian kali. Resah dan bingung sendiri.
Dia pernah mengenal lebih dari tiga lusin cewek manis, juga cantik. Dari cuma
yang sekedar manis sampai yang luar biasa manis, dari yang agak cantik, sampai
yang sangat cantik. Salah satunya Melanie. Dan dibanding gadis Indo itu, Irish ini agak susah untuk
bisa disejajarkan. Melanie bukan cuma menyandang nama belakangan ayahnya,
Adams. Tapi juga rambut seterang nyala matahari, kulit seputih kapas, serta garis
muka khas cewek-cewek ras Arya.
Tapi dulu Davi tak pernah seemisional ini. Padahal dulu dia mengejar Melanie
dengan segala cara. Dia juga begitu bangga bisa menggandeng cewek pirang itu.
Tapi toh tak banyak waktu yang bersedia dia lewatkan untuk mengenang-ngenang
seperti ini setelah pertemuan mereka. Lewat begitu saja.
Sementara si mungil Irish itu bukan saja berhasil membuatnya mengenang lagi
waktu yang baru saja mereka lalui, tapi juga berharap itu tak lekang ditelan esok
hari! Dan ini bukan yang pertama kali dia jadi hobi menatap bintang begini...
Membayangkan kejadian bersama Irish.
"Ini tajem beneran lho," ucap Irish waktu itu di kelas saat istirahat.
Alis Davi terangkat. Menatap menjepit kertas yang dipegang Irish. "Terus?"
"Terus...." Irish merapatkan diri, mengapit lengan Davi, menengadahkan kepala,
dan mendekatkan bibirnya. "Elo liat ada garisnya, kan?" bisiknya.
Davi mengangguk, mulai tidak bisa menahan senyum. Di depan mereka ada
sepotong puding pelangi. Dan memang ada dua garis tipis yang membagi puding
itu menjadi dua bagian. "Itu dikasih Vaya. Cuma buat gue. Dan sebenarnya juga mau gue makan sendiri.
Tapi daripada nanti muncul omongan yang nggak-nggak, terpaksa gue bagi sama
elo. Ingat ya...ter-pak-sa! Jadi, kalo elo makannya lewat dari garis sedikiiit aja...."
pelukan Irish di lengan Davi semakin kuat karena Daniar lewat dan menatap
mereka dengan sinis, "terpaksa ini gue mesti uji coba!" Irish mengacungkan
penjepit kertas. "Paham?"
"Paham!" Davi mengangguk sambil menahan tawa.
"Bagus!" Irish melepaskan pelukannya.
"Makannya pake apa nih?"
"Gue sih pake mulut."
"Bukan ituuuu, Iriiiish!" Dijitaknya si mungil itu dengan gemas. "Ini dicomot gitu
aja pake tangan?" "Tadi sih dikasih sendok plastik sama Vaya. Tapi tau deh, kok sekarang nggak
ada?" "Jadi?" Irish ikut bingung. "Pake apa ya?"
"Ini tadi bikin garisnya pake apa?" Davi balik tanya.
Bibir di depannya meringis lucu.
"Penggaris sama jangka."
"Apa!" Kan kotor!"
"Alaaa, paling juga diare!" jawab Irish enteng. "Malah kebeneran kan, bisa pulang
cepet!" "Dasar!" Davi juga pernah hampir salting waktu suatu hari Irish menyuapkan potongan kue
cokelat yang dibawanya dari rumah, begitu mesra di depan banyak mata, kemudian
berbisik lirih di kupingnya.
"Tau nggak kenapa elo gue suapin" Soalnya kalo nggak begini, lo bakal ngabisin
semuanya lagi kayak waktu itu!"
Tawa Davi hampir pecah, dan akibatnya, dia tersedak. Dengan lembur Irish
menepuk-nepuk punggungnya setelah mengangsurkan minum yang juga
dibawanyq dari rumah. "Makanya kalo makan pelan-pelan. Ya udah. Kalo gitu nggak usah makan lagi ya"
Keselek satu kali nggak apa-apa. Lebih dari itu bisa sama rumah sakit urusannya."
Sambil meringis lebar-lebar di balik geraian rambutnya, Irish melahap kuenya
tanpa sisa! Itulah Irish. Seperti itulah si mungil itu menurut Davi. Lucu dan menyenangkan.
Davi memilih Irish karena hanya sepasang mata cewek itulah yang langsung
menolaknya di tatapan pertama. Davi yakin, perasaannya tidak akan berubah, dia
tak mungkin jatuh cinta pada garis itu.
Tapi kenyataan kemudian berbicara lain. Irish memberinya tawa dari hari ke hari.
Dan tawa adalah jalan lapang menuju hati.
Kini Davi sadar, warna hatinya mulai berubah! Mengimbangi semua sandiwara
dan kepura-puraan ternyata mulai butuh konsentrasi. Menerima genggaman dan
rangkulan Irish juga butuh kesadaran.
Sintingnya lagi, sekarang jantunnya jadi gampang deg-degan kalau tiba-tiba Irish
memeluknya, bersandar di pundaknya, dan banyak macam ulah lagi. Meskipun itu
dilakukan kalau Irish lagi jengkel karena terus dipelototin Metha cs.
"Biar pada nightmare ntar malem! Pasti mereka ngimpi nyekek atau nendang gue,
atau nabrak gue pake bemper mobil kenceng-kenceng! Tapi biar aja. Cuma ngimpi
ini. Pokoknya mereka akan gue bikin..." suara Irish merubah menjadi desahan,
mirip orang yang lagi baca puisi roman, "mati merana karena kejamnya cinta...
Ooooh..." kemudian Irish menoleh ke arah Davi. "Setuju nggak?"
Davi cuma bisa mengangguk sambil, lagi-lagi, menahan tawa. Dia tidak bisa
menolak, karena pernah sekali dia tolak dan Irish langsung melotot.
"Elo ya! Udah gue bela-belain, bisa-bisanya lo bilang nggak setuju!"
Dan yang lebih membuat Davi tercengang, ternyata dia bisa benar-benar cemas
ketika suatu saat didapatinya Irish duduk diam dibangkunya. Lesu dan sedikit
pucat. "Kenapa?" "Kepala gue sakit," si mungil itu menjawab lirih, membuat Davi semakin kuatir.
"Udah minum obat?"
"Udah barusan. Belom bereaksi mungkin."
"Obat apa yang lo minum?"
Sepasang mata itu lalu menatapnya kesal.
"Obat cacing!" jawab Irish judes. "Ya obat sakit kepalaaa, tau! Orang yang sakit
kepalanya." Waktu itu ingin rasanya Davi mencium kedua pipi Irish yang berlesung pipi...
Tiba-tiba Davi tersadar dari lamunannya. Dia menghela napas panjang, heran
kenapa dia jadi menyukai kebersamaan ini. Dan jadi berharap lebih!
Yang jadi masalah, di saat dia mulai gelisah begini, Irish malah semakin enjoy,
rileks, dan asyik sendiri.
Kembali terlintas di benaknya, ekspresi iri di wajah Metha cs. Yang membuat Irish
cekikikan geli. Dan kepala cewek itu semakin penuh seribu akal-akalan lagi.
*** Siang ini mereka duduk di sudut perpustakaan, merencanakan akan ke mana hari
minggu besok. Tentu saja akan ke mana dalam tanda kutip, karena rencana mereka
cuma cerita dan tidak ada realisasinya, supaya mereka bisa menjawab kalau mulut-
mulut usil. Wulan cs bertanya.
"Kalau ke curug Nangka, gimana?" tanya Irish.
"Di mana tuh?" "Bogor." "Ada apa di sana?"
"Air terjun." "Jauh bener?" "Cuma cerita ini. Nggak beneran."
"Di Jakarta aja deh. Ragunan, gitu."
"Ragunan?" mata Irish kontan melebar. Beberapa detik kemudian ia tertawa, pelan
tapi geli banget. "Norak banget, tau! Ke Ragunan! Mau liat siapa sih" Udah nggak
mirip lagi kok sekarang. Dulu iya. Jutaan taun yang lalu. Tapi itu juga baru
dugaan. Eyang Darwin doang yang punya hipotesis begitu. Kalo gue pribadi sih....
marah! Gue nggak terima dong dibilang masih sodaraan sama monyet. Gue sih
lebih seneng sodaraan sama panda!"
Davi tertawa pelan. Yang begini ini yang membuatnya susah menahan diri. Dan
ikrarnya untuk tidak punya cewek dulu sementara ini, jadi terlupakan.
Padahal dia tidak bercanda. Belum ada tiga bulan dia menginjak ibu kota negara
ini. Dan terus terang, dia takjub berat dengan kilau gemerlapnya Jakarta, kota yang
tak pernah tidur. Davi benar-benar ingin tahu seperti apa sih yang namanya kebun binatang
Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah, Museum Gajah, Monas, Ancol, Dufan,
Sea World, dan lainnya lagi.
"Elo kalo mau main ke Ragunan, jangan bilang siapa-siapa," Irish kembali bicara.
"Kenapa?" "Ntar lo bisa diketawain. Apalagi kalo gerombolannya Metha sampe tau."
"Iya. Kenapa?" Davi masih tidak mengerti.
"Kampungan! Yang lagi ngetren sekarang tuh nongkrong di kafe."
"Di kafe kan nggak ada apa-apa. Cuma musik."
"Bukan ada atau nggak adanya. Tapi gengsinya itu lho."
Davi terdiam. Ditatapnya cewek di depannya itu lurus-lurus. Mendadak saja dia
ingin memulai. Daripada si mungil ini kena stroke dan jadi makin mungil kalau dia
tiba-tiba ungkapkan nanti, lebih baik dia mulai pelan-pelan dari dini.
"Besok temenin gue ke Ragunan ya, Rish?"
Ajakan itu sebenarnya sudah sangat gamblang. Tapi ternyata Irish salah tangkap.
Dia malah buru-buru menempelkan jari telunjuknya ke bibir.
"Sst! Jangan keras-keras kalo ngomong mau pergi ke Ragunan! Udah gue bilangan
juga!" "Mau ya?" "Nggak ah. Bosen!"
"Ya udah. Kalo gitu ke Taman Mini aja."
"Itu malah lebih parah! Udah deh mendingan ikutin usul gue aja. Gue punya
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyak alternatif. Gue pernah ke Megamendung, Situgunung, juga ke Cibeureum.
Ada foto-fotonya. Jadi elo nggak perlu susah-susah ngebayangin kayak gimana
tempatnya. Masalah Ragunan sama Taman Mini, itu ntar aja. Kita masih perlu
banyak tempat lagi karena hari minggu-nya juga masih banyak."
Davi menarik napas. Mengetukkan jari-jarinya ke meja. Kesal.
"Gimana" setuju, kan" Curug Nangka aja untuk minggu ini." Irish menatap cowok
di depannya. Wajah Davi tetap tenang tapi dalam hati dia sudah berteriak frustasi.
"Kalau kita beneran ke sana, gimana?" Davi mencoba sekali lagi. Mengirim sinyal
dengan gelombang yang lebih jelas. Tapi Irish langsung menggeleng malas.
"Nggak ah. Jauh, Dav. Mesti pagi-pagi banget berangkat dari rumah."
"Nggak apa-apa."
"Nggak mau ah!" Irish tetap menolak.
Davi menarik napas panjang-panjang. Kemudian, "Itu foto diambilnya kapan?"
"Dua tahun lalu. Eh, bukan deh! Waktu lulus-lulusan SMP. Perpisahan bareng
temen-temen." "Udah hampir tiga tahun dong. Elo tau nggak" Tempat-tempat wisata
berkembangnya cepet. Jangankan sampe tahunan gitu. Dalam waktu tiga bulan aja
bisa berubah banyak."
"Jadi?" "Ya kita harus ke sana!" tandas Davi.
Irish terdiam. Ingat waktu pergi ke sana dulu. Berangkat pagi buta dan sampai
rumah lagi juga sudah malam buta. Jangan di tanya capeknya deh.
"Nggak ah. Berubahnya paling apa sih" Paling jadi banyak warung. Terus jadi
rame. Macet. Tempat parkirnya juga jadi makin luas. Paling itu aja. Air terjunnya
sih gue jamin pasti nggak berubah. Nggak bakal bergeser. Tetap di situ-situ aja!"
Davi berdecak. Tidak bisa mengerti kenapa Irish bego banget begini!
*** Praha itu telah datang. Ada anak baru lagi. Cowok juga. Masih di jurusan IPA. Namanya Alfa. Tapi dua
benar-benar beda 180 derajat dibandingkan Davi. Alfa itu ramah, periang, murah
senyum, dan kocak pula. Mungkin karena itu, posisi Davi tak tergeser. Orang
memang lebih suka dengan sesuatu yang misterius.
Tapi herannya, dan ini yang sekali lagi membuat SMU Palagan --terutama cewekceweknya-- bingung, heran dan tidak mengerti. Alfa tuh langsung suka begitu
pertama kali melihat Irish! Dan dengan sikapnya yang cuek dan terbuka itu, jelas
saja berita itu langsung tersebar tanpa bisa direm.
Waktu itu Irish sedang berjalan di luar kelas. Sendirian. Tanpa peduli suasana
kelas yang lagi ramai, Alfa berseru keras, "Eh, siapa tu cewek" Itu tu, yang
mungil! Manis bener!" Belum sempat ada yang menjawab, Alfa sudah berteriak
duluan, "HAI, CEWEK MUNGIIIL! KAMU MANIS DEH!"
Mata-mata disekitarnya langsung jadi lebar. Irish sendiri berusaha masa bodo.
Soalnya cewek di SMU Palagan yang mungil bukan cuma dia. Jadi dia tidak perlu
ge-er. "Dia udah punya cowok lho, Al," kata Theresia.
"Oh ya?" Alfa kelihatan kaget. Tapi sedetik kemudian dia mengibaskan tangan
tidak peduli. Dan ketidakpedulian itu ternyata benar-benar dia buktikan! Di mana saja dan
kapan saja, salam spesialnya bertebaran, hanya untuk Irish seorang!
Irish sendiri sampai hampir histeris tiap kalu langkahnya di hadang. "Elo nggak
bisa ya, kalo nggak ganggu gue!?" grafiknya setengah putus asa.
Seperti biasa, Alfa memasang tampang polosnya.
"Wah, nggak bisa tuh. Maafin gue deh, Rish, kalo untuk yang satu itu. Lagian
jangan suka cemberut dong. Sayang, kan" Soalnya elo tuh maniiis banget!"
"Manis! Martabak, kali!" jawab Irish ketus sambil balik badan dan buru-buru
pergi. Tapi Alfa membuntutinya sambil tertawa geli.
"Jelas nggak dong. Lo sama sekali nggak mirip martabak. Karena martabak itu
bundar dan lebaaar."
Iiiih!! Irish mengepalkan tangan kuat-kuat, kemudian mempercepat langkah, malah
hampir berlari. Tapi itu bukan masalah buat Alfa, yang langkah kakinya dua kali
lebih panjang. Tanpa kesulitan, dia masih tetap bisa mengekor.
"Eh, nama lengkap lo tuh siapa sih" Irisan bawang, irisan timun, apa irisan tomat?"
Seketika langkah Irush yang sudah seperti lomba jalan cepat, kini berhenti. Ia
berbalik, lalu memelototi Alfa tajam-tajam. Mulutnya sudah terbuka, siap
melontarkan semua kejengkelan. Tapi detik berikutnya dia sadar, Alfa sengaja
memancing reaksinya. Akhirnya, sambil berkata, "Sabaaaar! Sabar! Sabar sabar!" Irish balik badan terus
kabur terbirit-birit. Saat itu barulah Alfa berhenti membuntuti. Dia menatap Irish sambil menahan
tawa. *** Irish lagi sibuk merapikan pembukuan MPR, ketika tiba-tiba Alfa menerobos
masuk dan langsung duduk di depannya.
"Eh, gue mau nanya nih,Rish. Udah lama sebenernya, tapi baru inget sekarang.
Katanya elo udah punya pacar, ya?" tanyanya tanpa basa-abdi apalagi salam
pembuka. Irish cuek, tapi mukanya langsung manyun. Dan seperti biasa, Alfa tidak
peduli. Dia meneruskan kalimatnya tanpa pusing dengan ekspresi mangkel.
"Gue bersedia lho jadi pacar kedua. Pacar gelap juga nggak apa-apa deh. Jadi, lo
jangan bilang siapa-siapa kalo kita pacaran. Yang penting kita bisa berangkat dan
pulang sekolah bareng, makan di kantin bareng, ngerjain pe-er bareng, jalan-jalan
bareng. Gimana" Mau, ya" Ya" Ya" Ya?"
Ya ampun! Ya ampuun! Ya ampuuun!
"Elo sarap, ya!?" bentak Irish. Padahal semalam dia sudah bertekad. Mulai besok
dia akan tabah, sabar, cuek, dan masa bodo amat terhadap kelakuan Alfa ini. Tapi
ternyata begitu berhadapan langsung, lagi-lagi dia langsung emosi. Lupa sama
tekadnya semalam. "Biarpun jadi pacar gelap, kalo elo ngomongnya kenceng begitu, semua orang jadi
pada tau!" "Oh!" seketika Alfa langsung menoleh ke kiri dan kanan, lalu menyeringai ke arah
orang-orang disekitar mereka yang memperhatikan sambil senyum-senyum.
"Jangan bilang siapa-siapa ya, kalo gue itu Shepia-nya Irish!" serunya ke seisi
ruangan. Semuanya kontan ketawa geli dan menjawab kompak, "Oke deeeh!"
Alfa menyeringai lagi, lalu berbalik menghadap Irish.
"Apa cowok lo itu sebaik gue?" tanyanya pede banget. "Asal lo tau aja, di sekolah
gue yang dulu, gue tuh cowok idaman! Soalnya gue itu lembut, sabar, perhatian,
penyayang, setia pula! Terus gue juga orangnya pengertian, lembut.... eh tadi
lembut udah ya?" Serius banget Alfa menyebutkan sifat-sifat baiknya. Mirip
salesman perabotan dapur. Tidak peduli tangan di depannya sudah gatal pengin
mencakar. "Al!" desis Irish pelan. Sebenarnya ingin rasanya ia berteriak keras-keras, tapi
sayangnya di situ banyak orang. "Jangan sampai gue bilang ke..."
"Davi?" potong Alfa santai. "Bilang aja! Gih, sana cepet! Gue tunggu di sini!"
Irish menegakkan badannya sambil menatap Alfa. Raut tenang di wajah cowok itu
membuat Irish tahu, ancamannya takkan mempan!"
Irish yang tadinya merasa lega karena bisa ke mana-mana sendirian, tidak harus
selalu berdua Davi setiap menit, setiap detik, akhirnya harus ikhlas melepaskan
kebebasannya yang baru dirasakan belum lama itu. Soalnya Alfa selalu muncul
setiap saat dan hampir di semua tempat. Tidak bisa diduga dan tidak bisa ditebak.
Siapa yang akan menyangka bakal menemukan cowok itu begitu mebuka pintu
toilet cewek" Dan itu yang terjadi. Irish kaget setengah mati waktu habis ganti baju
olahrapa dan membuka pintu, Alfa berdiri tepat di depannya.
"Ngapain lo di sini?" bentaknya. Dan seperti biasa, Alfa menjawab santai.
"Lho" Emangnya ini toilet cewek, ya?"
"Alaaaah, udah deh, nggak usah sok bego! Udah jelas-jelas ini toilet cewek!"
"Kapan gue sok sih" Pinter aja gue nggak sok, apalagi bego!" Alfa cengengesan.
Irish makin melotot. "Nggak lucu!" tandasnya judes.
"Bener, Rish! Gue nggak tau kalo ini toilet cewek. Suer! Mana bacaannya" Orang
nggak ada!" "Ya, tapi elo liat-liat dong! Mana ada cowok di sini!"
"Ya kali aja di dalem."
"Apa!?" pekik Irish seketika. "Jadi elo nuduh gue berduaan sama cowok di dalem
kamar mandi?" "Iya. Itu siapa" Bukannya cowok?" Alfa menunjuk dengan dagu ke poster
Sylvester Stallone yang nangkring di tembok kamar mandi. Tidak tahu siapa
oknum yang katro banget menempelkan poster itu di situ. Irish mendengus, terus
buru-buru kabur dari situ. Dasar sinting! gerutunya dalam hati.
Kali lain, Alfa menghadangnya di ujung tangga dan tidak mau memberi jalan.
"Bilang dulu, 'Hai, Alfa,' baru boleh lewat."
Irish melotot tapi terpaksa nurut.
"Hai!" katanya ketus.
"Aduh! Kok judes banget sih" Yang manis dong. Ya lembut, gitu."
"Aaaaah, awas! Gue buru-buru nih!" jerit Irish tertahan. Tidak berani keras-keras,
takut jadi perhatian. "Makanya cepet bilang, biar bisa cepet lewat."
Irish menarik napas dalam-dalam. Mati-matian menahan sabar.
"Haaaai.... Alfa!"
Alfa mengerucutkan hidungnya, kedua bola matanya melirik ke atas, menimbangnimbang. Lalu dia geleng kepala.
"Kurang! Masih kedengaran judes."
"Iiiih! Bodo ah!" Irish buru-buru berjalan, tapi Alfa lebih cepat lagi. Ia menggeser
badannya dan menghalangi Irish.
Dan itulah kali pertama Irish menuruti perintah Alfa. Terpaksa diucapkannya "Hai,
Alfa" dengan intonasi sesuai permintaan cowok itu.
Tapi yang paling membuat Irish malu, waktu lagi ganti baju bareng cewek-cewek
kelas sebelah yang jam olahraganya memang bersamaan, tiba-tiba terdengar suara
dari luar toilet. "AKU BISA MEMBUATMUUUUU... JATUH CINTA
KEPADAKU, MESKI KAU TAK CINTAAAA.... KEPADAKUUUUU!"
Suara itu melingking gila-gilaan. Semua yang di dalam sampai terlonjak kaget,
kemudian tertawa geli. "Rish, penggemar elo tuh! Samperin gih!" teriak Vita anak kelas sebelah. Yang
lainnya mengangguk. "Iya gih! Daripada ntar satu kaset dia nyanyiin. Kalo suaranya oke sih nggak apaapa."
Sekali lagi Irish mengelus dada sambil mengucap, "Sabaaar! Sabar! Sabar! Sabar!"
Tapi sedetik kemudian Irish mengomel, "Gue bunuh juga tuh orang!" cewek itu
keluar sambil ngamuk. "HEH!!!" bentaknya pada Alfa yang masih sibuk
bernyanyi. Sekarang cowok itu malah pakai gaya. Benar-benar nggak tahu malu!
"Elo ngapain sih!?"
"Ya nyanyi. Emang kedengerannya dari dalem gimana?" seperti biasa, Alfa
tampang pasang bego. Irish sudah tidak mau memperpanjang lagi. Buru-buru ia
berlari turun ke lapangan. Alfa nggak mau kalah. Cepat-cepat dia mengiri langkah
kebirit-birit Irish dengan salam spesialnya yang sudah membuat iri cewek-cewek
satu sekolah. "DAAAAH, IRIIIISH.... SAYANGKU! CINTAKU! MANISKU! KASIHKU!
PERMATA HATIKU! DAMBAAN KALBUKU! BELAHAN JIWAKU!
BUNGA-BUNGA MIMPIKU!"
*** Besoknya, teror-teror Alfa memaksa Irish back to basic. Ke mana-mana berdua
Davi lagi. Seperti dulu. Habis mau gimana lagi" Cuma ini satu-satunya jalan
supaya aman. Alfa itu ternyata benar-benar nekat, tidak bisa di tebak sama sekali apa isi
kepalanya. Dan Irish sadar, ternyata bila Davi ada di sebelahnya pun bukan berarti
dia akan amam dan terbebas dari godaan Alfa.
Dan siang ini terbukti. Saat ia menyeberangi lapangan sekolah -lengan kiri Davi
melingkari pundak Irish- diiringi tatapan iri teman-teman dan di tengah hiruk
pikuknya suasana karena baru usainya jam sekolah, tiba-tiba melengking keras
suara seorang cowok dari koridor di lantai tiga yang menghadap persis ke
lapangan. Ingin kubunuh pacarmu! Saat dia peluk tubuh indahmu!
Di depan teman-temanku! Makan hati jadinya.... Cantik!
Aku cemburu! Semua kepala sontak menoleh ke asal suara itu. Alfa! Cowok itu ketawa lebar
sambil melambaikan tangan ke para murid yang memenuhi lapangan. Anak-anak
menatapnya dengan berbagai ekspresi. Tapi kebanyakan sih tertawa geli. Ada juga
yang berusaha menahan tawa, tapi akhirnya nggak berhasil dan memutuskan untuk
nonton. Mereka ingin tahu apalagi yang dilakukan si sableng yang lagi terangterangan mau ngerebut pacar orang itu.
Sekarang Alfa sudah jadi pusat perhatian. Tapi tanpa peduli, dia mengulangi satu
bait lagu yang dilantunkan grup musik Dewa itu. Malah kali ini disertai gaya,
mengundang bakin banyak tawa dan tepuk tangan. Sementara Irish... jangan
ditanya lagi deh! Wajahnya benar-benar meeeerah! Tanpa bisa dicegah, cewek itu
jadi salting. Di sebelahnya, Davi mencoba tetap tenang, tak terpengaruh. Tapi
meskipun begitu, sepasang matanya tajam menghunjam ke satu sosok di lantai tiga
itu. Alfa tersenyum lebar saat tatapan mereka bertumbukan. Dikedipkannya sebelah
matanya, mengisyaratkan bahwa dia tak peduli apa pun risikonya.
Dia malah memanfaatkan momen itu, momen saat sepasang mata Davi seperti
ingin melumatnya, dengan meneruskan lagu cintanya. Dan masih tak lupa, disertai
gaya. Meskipun aku pacar rahasiamu!
Meskipun aku selalu yang kedu!
Tapi aku juga manusia! Yang bisa sakit hatiny! YEAH!!! YEAH!!! Dan sambil melompat, Alfa berteriak keras, "INGIN KUBUNUH PACARMU!!!"
sambil mengentak-entakan tubug. Setelah melayang indah dan mendarat di
langkan sempit di dinding luar koridor, sigap kedua tangannya meraih talang air
dan sedetik kemudian tubuhnya meluncur turun. Sekitar tiga meter sebelum
menyentuh tanah, Alfa mengentakan kakinya dan tubuhnya kembali melayang.
Membuat gerakan memutar di udara dengan indah, kemudian mendarat dengan
manis di atas rumput. Kontan dia mendapatkan tepuk tangan meriah. Lepas dari syair lagu yang
dinyanyikan, akrobat yang dia tunjukan lagi benar-benar hebat.
Anak-anak jadi ingin semakin tahu lagi. Mereka mengikuti dengan penuh mintat
saat Alfa -yang selalu slebor dalam penampilan, dengan baju yang jarang
terkancing dan selalu berantakan tanpa dimasukan kepinggang celana- dengan
santai menghampiri Davi dan Irish.
Dan dua cowok yang sama-sama tinggi itu lalu berhadapan. Dalam jarak yang
sangat dekat. Davi dengan ketenangannya yang tidak pernah terbaca, dan Alfa
dengan sikap santainya yang tak pernah mau peduli pada apa pun juga.
Irish menatap waswas. Benar-benar ngeri. Kalau sampai Davi dan Alfa tonjoktonjokan, yang pasti Irish-lah yang bakalan habis. Tapi untungnya itu tidak terjadi.
Setelah sekian detik saling tatap, Alfa membungkukkan badan, menyejajarkan
wajahnya dengan Irish, lalu dengan lembut menyapa si mungil itu.
"Halo, sayaaaang. Mau pulang ya?"
Irish kontan melotot marah. Tapi belum sempat dia menyemburkan jawaban,
dengan lembut Alfa mengusap kepalanya. "Ati-ati di jalan ya" Yuk, daaaah."
Kemudian Alfa melenggang pergi, masih dengan gayanya yang santai dan nggak
peduli. Ke para penonton yang masih berkerumun, dia berseru keras, "Ayo pada
pulang! Udah siang nih!"
"Gitu doang, Al!?" teriak salah satu temannya.
"Tunggu tanggal mainnya, man!" jawab Alfa sambil menyeringai lebar.
Davi dan Irish terus menatap Alfa sampai cowok itu meluncur dengan Land Rovernya.
Sepeninggal Alfa, suasana jadi hening. Bahkan ketegangan masih terasa sampai
Davi dan Irish di dalam Jeep Davi.
"Rish, lo nggak..."
"Nggak!" sambar Irish ketus. "Gue nggak tau, dan nggak ada hubungannya sama
kelakuan Alfa barusan!"
Dahi Davi berkerut. "Siapa yang bilang elo ada hubungan sama dia?" Davi kembali bertanya.
"Tapi pasti elo mau nanya gitu, kan?"
"Bukan! Elo salah!"
Kedua alis Irish menyatu.
"Terus?" Davi menatap sepasang manik mata cokelat Irish, yang bisa tampak begitu tenang.
"Yang mau gue tanyain.... elo terpengaruh nggak?"
"Maksud lo?" "Itu tadi pertunjukan heroik. Gentleman. Berani. Meskipun agak kacangan!"
"Terus, maksud lo itu apaaa?"
Mata elang Davi menajam. Tapi Irish nggak takut karena dia emang nggak tahu
apa-apa. Akhirnya Davi memalingkan muka, kembali menatap lurus ke depan.
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil memutan kunci kontak, dia berkata tegas, "Mungkin elo nggak ngerti. Tapi
gue tau apa yang harus gue cari!"
Tangannya terulur, melakukan hal yang nggak pernah dilakukannya: mengusap
kepala Irish, lalu mengacak-acak rambutnya sampai kusut. Tinggal Irish
terbengong-bengong. Benar-benar nggak mengerti.
*** Kegigihan Alfa akhirnya membuahkan hasil. Tanpa sengaja dia menemukan celah.
Dan tanpa menunggu apalagi buang waktu, dia "masuk" di antara Davi dan Irish.
Pelan tapi pasti, cowok itu membentangkan pemisah. Bukan nyaris tak teraba
seperti jaring laba-laba, tapi kokoh dan mencolok mata.
Sepele. Alfa menggunakan.... lukisan!
Di minggu pagi yang teduh karena saputan mendung, tak sengaja matanya
menangkap sosok Irish di trotoar. Cewek itu sedang menatap lukisan di depannya.
Sendirian. Tanpa banyak berpikir, Alfa mendekati si mungil itu.
"Hai," sapanya.
"Hai juga." Alfa menatap tak percaya. Ternyata begitu kuat pesona sebuah lukisan, sampai
bibir yang biasanya judes itu langsung lupa memberi sapaan galak seperti
biasanya. Yang paling hebat, ni cewek juga langsung lupa mengusirnya!
"Itu judulnya Shearing the Rams. Karya Tom Roberts.
Serta-merta Irish menoleh.
"Ini repro!?" serunya tak percaya.
"Yup!" Alfa tersenyum manis.
"Kok tau sih?" Si pelukis muda yang sejak tadi menguping pembicaraan Irish dan
Alfa ikut tertarik. "Tau dong!" Alfa tersenyum lagi.
"Kalo ini?" Pelukis itu menarik keluar satu lukisan dari tabung di sebelahnya. Hati-
hati dia membukanya. "Ih, bagus amat!" puji Irish seketika.
"Petit Dejeuner. Frederick McCuabin!" cetus Alfa.
Irish dan si pelukis muda itu menatap kagum, dan Alfa menikmati tatapan itu.
"Ayo, tes lagi!" tantangnya.
"Oh, saya bukannya mau ngetes!" jawab si pelukis muda. "Saya juga nggak tau.
Wong ini pesenan orang. Di minta buatin tiga. Satunya ini." Dikeluarkannya satu
gulungan lagi. "Mas tau juga?"
Alfa mengangguk, Irish jadi makin takjub.
"Impression for Golden Summer. Karya Sir Arthur Streeton!"
"Wah! Ck! Ck! Ck!" pelukis itu geleng-geleng kepala. "Saya jadi malu nih.
Niatnya mau jadi pelukis, tapi malah nggak begitu tau karya-karya pelukis lain."
Alfa tertawa. "Kalo itu sih nggak usah kuatir. Jumlah pelukis di dunia ini, apalagi lukaisannya,
hampir nyaingin pasir di gurun. Jadi wajar aja kalo nggak tau."
Tiba-tiba jam besar di dalam gereja di seberang jalan, berdentang nyaring. Jam
sepuluh tepat. "Ya ampun!" pelukis itu terlonjak. "Hampir lupa! Ada yang mau ngambil
pesanan!" Buru-buru dia berdiri, lalu hati-hati sekali dia menarik keluar tiga buah
lukisan yang terlindung di balik tripleks yang bersandar di pagar besi. Seketika
Alfa terperangah. "Coba liat!" serunya sambil maju beberapa langkah.
"Kenapa?" tanya pelukis itu.
"Liat! Liat, Mas! Deketin sini!"
Dengan ekspresi bingung pelukis itu mendekatkan lukisannya ke Alfa. Irish yang
juga kaget karena suara Alfa tadi jadi ikut merapat. Menatap seksama tiga buah
lukisan yang salah satunya mirim gambar anak TK itu.
"Mas tau nggak, ini lukisan siapa?" seru Alfa penuh semangat.
"Nggak," jawab pelukis itu polos.
"Ya ampun! Ini lukisannya Van Gogh!"
"MASA!?" seru pelukis itu dan Irish nyaris bersamaan.
"Iya! Ini nih, yang kayak gambarnya anak TK, judulnya Camera Artistului. Terus
ini, padang bunga biru ini, judulnya Stinjenei. Dan yang ini, pohon-pohon kering,
judulnya Livada Inflorita!"
"Wah! Gitu ya?" pelukis itu terpana.
"Ih, Mas ini!" Alfa tertawa. "Pelukis superngetop begitu, masa nggak kenal juga!"
Irish menatap cowok di sebelahnya itu dengan kekaguman yang semakin susah
disembunyikan. "Kok elo tau banyak sih, Al?"
Alfa cuma tersenyum. Dan persis seperti harapannya, kemudian Irish dengan
gampang mengiyakan ajakannya untuk jalan-jalan. Kayaknya cewek ini lupa kalau
Alfa hampir saja membuatnya membawa tombak ke sekolah.
"Sendirian, Rish?"
Irish tersenyum. Lesung pipinya seketika muncul di kiri-kanan. Alfa menatapnya.
Manis amat sih, cewek mungil ini! rutuknya dalam hati.
Irish tidak kaget dengan pertanyaan itu. Dia sudah menduga, pasti bakalan ditanya.
"Emangnya mesti berdua terus ke mana-mana?" Irish balik tanya.
"Ya nggak juga sih."
"Nah, itu lo udah tau jawabannya."
"Biasanya kan Davi nggak pernah ngebiarin elo jauh sedikit dari dia."
Irish tertawa lebar. Itu kan kalo di sekolah. Di luar itu, dia pergi ke kutub pun Davi
takkan peduli. "Elo mau gue telepon dia sekarang, biar dateng ke sini?"
"Eh, jangan! Jangan!" cegah Alfa buru-buru.
"Makanya jangan suka mancing!"
Alfa menyeringai. "Makan yuk, Rish" Udah mau jam dua belas lho. Elo pasti keluar rumah dari pagi."
"Makan apa?" "Elo sukanya apa?"
"Oh, gue sih apa aja suka. Asal jangan makanan ayam aja."
Alfa ketawa geli. Tak menyangka kalau Irish ternyata lucu juga. Mereka sampai di
pinggir jalan yang lalu lintasnya padat.
"Di seberang sama ada restoran yang enak," kata Alfa. Kemudiam dia jadi
kelihatan agak kikuk. "Kenapa?" tanya Irish heran.
"Sori nih, Rish. Gue bukannya kurang ajar. Tapi kalo nyebrang jalan yang rame
kayak begini sama cewek, meskipun itu bukan pacar gue, gue selalu menggandeng
tangan tu cewek karena gue takut dia kenapa-kenapa."
"Masa?" alis Irish bertaut. "Harus ya?"
"Ya nggak juga sih. Tapi pilihannya cuma dua..." Alfa meringis lucu. "Digandeng
atau..... digendong!"
Irish jadi ketawa. Beda banget sama penampilannya di sekolah!
"Iya deh." Irish menyodorkan tangan kanannya. Alfa segera menyambut.
"Yuk!" Digenggamnya jemari Irish dan dibimbingnya cewek itu ke seberang.
"Nama elo siapa sih?" tanyanya saat mereka antre di depan kasir.
"Lho, elo udah tau, kan?" Irish menoleh heran ke cowok yang berdiri di
belakangngnya itu. "Nama lemgkap lo. Gue cuma tau nama lo Fairish. Udah, segitu doang."
"Emang cuma itu."
"Masa!" Fairish aja" Nggak ada embel-embelnya" Titik-titik Fairish, apa Fairish
titik-titik, gitu?" Alfa terbelalak.
"Nggak." Irish geleng kepala. Dia sudah tidak heran lagi. Barangkali ada lima ratus
orang yang bertanya seperti itu. Dan Alfa ini orang yang kelima ratus satu. Ratarata orang selalu heran sama namanya yang irit banget.
"Singkat bener. Kenapa sih" Nama kan nggak kena pajak?"
"Tadinya sih nama gue Alberta Thesalonika Jevina Quintania Fairish!" jawab Irish
cuek. Terpaksa dia mengutip nama salah satu sepupunya, soalnya emang banyak yang
nggak percaya --dan rata-rata cowok-- kalau namanya memang cuma seuprit, dan
memaksa untuk memberitahu nama lengkapnya.
Lagian juga sang sepupu sekarang sudah ganti nama. Jadi "Tania" doang, sisanya
dicoret! Abis, orang-orang selalu membayangkan sepupu Fairish itu secantik
Britney Spears atau Liv Tayler. Tapi kebanyakan pada mau pingsan beitu melihat
wajah asli sang pemilik nama. Jauuuuh banget!
"Bagus!" puji Alfa. "Nama panjang lo bagus, Rish!"
"Eh! Eh! Itu bukan nama gue!" ralat Irish buru-buru. "Itu nama sepupu gue.
Abisnya elo nggak percaya sih!"
"Jadi emang cuma satu kata itu aja!?" Alfa terbelalak lagi.
"Iya! Aduh, elo tuh ya..."
"Ya nggak apa-apa deh. Tadinya malah gue kira nama lo tuh Irisan Bawang, atau
Irisan Tomat, gitu!" Alfa mengulang godaanya yang dulu sempat membuat Irish
marah. "Iya lo! Dasar!" Irish melotot bulat-bulat. "Bikin malu gue aja!"
Alfa tertawa ngakak. Dan siang itu mereka lewati bersama. Duduk di satu sudut
restoran, dan larut dalam tawa, canda, juga bicara. Berawal dari lukisan, dan
berlanjut tentang apa saja.
*** Meskipun sedikit celah itu telah terbuka, ternyata Alfa masih belum puas. Dia
harus benar-benar yakin bahwa dia udah berhasil merentang jarak. Memisahkan
Irish dari Davi. Dan cowok itu tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Di satu siang, Irish terheran-heran waktu seorang kurir menyerahkan satu gulungan
terbungkus kertas warna cokelat.
"Dari siap, Mas?"
"Dari...," kurir itu melongok kertas di kantong bajunya, "Alfa"
"Alfa?" Kening Irish langsung berkerut.
Dengan heran juga bingung, dia membawa gulungan itu ke dalam. Pelan dan hatihati, karena di secarik kertas yang ditempelkan di luar gulungan, Alfa menulis
untuk super hati-hati waktu membukanya.
Dan Irish benar-bdnar terpukau saat benda yang ternyata segulung kanvas itu telah
terbuka, dan memperlihatkan....
Pemandangan indah Lembah Kashmir!
Seluruh dunia tahu betapa indahnya lembah yang terus jadi rebutan India-Pakistan
sampi sekarang itu. Dan sekaramg lembah eksotis itu dihadirkan di hadapannya.
Dalam sapuan berbagai macam warna. Lembut meyentuh, dan begitu hidup.
Bentangan pergunungan tinggi yang tertutup salju putih melatarbelakangi bukitbukit yang saling bersambung dalam dominasi warna hijau. Dan yang paling
depan, hamparan padang bunga kuning.
Betul-betul memukau. Indah!
Kembali Irish terbengong-bengong begitu telepon berdering. Dari sang pengirim.
"Udah sampe, Rish?"
"Udah! Udah!" jawab Irish spontan dan riang.
"Suka?" Alfa tersenyum tipis.
"Suka banget! Makasih ya, Al! Eh, tapi ngomong-ngomong, dalam rangka apa sih
elo pake ngirimin gue lukisan" Gue kan nggak lagi ultah."
"Oh, gue orangnya emang penuh perhatian kok," jawab Alfa mempromosikan diri.
Irish tertawa. "Terus, itu mau ditaro di mana?"
"Di kamar gue dong!"
Alfa menyeringai. Sip! "Gue ke situ boleh nggak?"
"Jelas boleh dooong! Kapan?"
"Ya sekarang!" "Oke! Kebeneran. Gue mau bikin roti panggang," jawab Irish riang.
"Sip! Tunggu ya" Bye!"
"Bye!" Alfa tersenyum tipis. Si mungil itu sekarang telah ada dalam genggaman!
Prahara itu telah datang. Menggulung bentang cakrawala, memudarkan bianglala,
menarik fajar, dan di kejauhan, bergerak bayang-bayang malam.
UNTUK pertama kalinya, Irish menyimpan satu cerita, Alfa menyembunyikan
senyum kemenangannya, dan Davi tertegun tak percaya.
Hanya satu kali pertemuan tak sengaja di luar sekolah. Hanya satu kali!!! Dan Irish
langsung terlepas dari tangan Davi.
Dan walaupun telah dicermatinya, Davi tetap tak bisa menemukan celah yang telah
dibentangkan Alfa di antara mereka berdua.
Kemarin kali ketiga Davi meminta Irish mengulang cerita. Tentang hari saat cewek
itu bertemu Alfa. Tentang Van Gogh, McCubbin, Streeton, dan sebangsanya. Dan
masih tetap juga jadi tanda tanya!
Jujur, dia kurang tertarik pada lukisan. Satu-satunya pelukis yang dia tahu adalah
Basuki Abdullah. Itu juga karena berita tentang terbunuhnya pelukis itu ramai
diberitakan media massa. Ketidaktahuannya inilah yang telah membuatnya jadi cowok idiot sejagat raya.
Gadisnya direbut di depan mata, dengan jala yang kasat mata... yaitu goresan
warna! Dan di sinilah dia hari ini, sekali lagi, di sebuah galeri. Diam berdiri, dan mencoba
mengerti. Mirip musafir kesasar, Davi berdiri lumayan lama di depan setiap
lukisan. Mencoba memahami lebih dalam. Dan hasilnya --mudah-mudahan ini
bukan otaknya yang kelewat tolol-- dia tetap tidak menemukan apa-apa, dan tidak
bisa bilang apa-apa selain "bagus", "lumayan" dan "jelek"!
Itu masih mending. Lebih dari tiga kali, dari pintu masuk sampai pintu keluar, dari
lukisan pertama sampai lukisan penghabisan, Davi sama sekali nggak bisa
memberikan komentar. Soalnya, dia nggak mengerti, dan bingung sendiri, gambar
apa sih yang sedang dilihatnya"
Deretan lukisan yang bergantung itu benar-banar membosankan!
Davi tidak tahu, lukisan adalah sebuah awal. Jembatan bagi Alfa untuk melompat
ke seberang. Setelah itu semuanya sama saja, karena banyak hal lain dalam diri
Alfa yang kemudian lebih dominan.
Alfa adalah pribadi yang hangat dan terbuka. Matanya adalah hatinya. Irish tidak
perlu bersusah payah apabila sampai merasa cemas salah mengira. Sementara
Davi, meraba hati cowok itu mirip main poker. Lebih banyak tidak tepatnya.
Bersama Alfa juga Irish bisa bebas tertawa, merajuk, juga bicara apa adanya.
Sementara Davi, cowok itu bagaikan segara tanpa riak. Tenang, tapi selalu
memberikan keyakinan bahwa segala sesuatu bisa jatuh tertelan ke dalamannya.
Namun satu yang pasti mengapa Irish bisa begitu mudahnya menerima ajakan
Alfa.... karena dia mulai lelah jadi perisai Davi!
*** Sekarang sedang berkembang isu, bahwa Irish mengikuti jejak Lady Diana, alias....
selingkuh! Punya PIL, alias Pelajar Intim Lain!
Apalagi setelah selembar foto beredar di sekolah. Foto Irish dan Alfa sedang jalan
bareng di Pasar Seni Ancol. Malah foto itu kini sudah sampai ke tangan Davi!
Fotonya sih sebenarnya nggak heboh. Nggak ada sesuatu yang ganjil. Di situ cuma
terpampang jelas gimana serius dan semangatnya mereka berdua. Berdiri saling
merapat dan menatap lekat-lekat sebuah lukisan.
Lukisannya juga nggak terlihat karena membelakangi kamera. Tapi Metha (yang
membuat Irish heran, kenapa dia baru tahu sekarang kalo tuh cewek mulutnya
sadis banget), menyebarkan rumor bahwa itu lukisan "semi" atau "nyaris".
Tadinya Irish yang polos tidak tahu apa maksud kedua kata itu. "Nyaris kelar",
"nyaris kejual", atau "nyaris jatoh", gara-gara waktu itu tiang kanvasnya sempat
kesenggol tangan Alfa. Dan yang tidak dia sangka, Davi termakan isu itu!
Dan sekarang Irish sedang diinterogasi Davi.
"Lukisan apa, Rish?" Davi menatapnya lurus-lurus. Setelah melihat wajah Irish dan
Alfa di dalam foto yang sudah mirip tampang pakar-pakar lukisan, Davi jadi ingin
tahu apa sih dibalik gambar di balik kanvas itu"
Irish menarik napas panjang.
"Pemandangan. Repro karya Nicolae Grigorescu, yang judulnya Fete Torcind La
Poarta. Sama repro karya Ion Andreescu, judulnya Mesteceni La Marginea Baltii."
jawabnya jujur. Irish memang suka lukisan pemandangan. Dan dia benar-benar kaget waktu
mengetahui ternyata repro lukisan pelukis-pelukis Rumania itu ada. Soalnya,
belum lama ini kan Alfa mengirim kartu ucapan "selamat bobo siang" -cowok itu
emang norak- yang bergambar dua lukisan itu. Dan tiba-tiba saja Irish
mendapatkan repronya. Gimana nggak jadi histeris, coba"
Karena itu, supaya Davi tidak terus berprasangka, hari minggu ini Irish
mengajaknya ke Pasar Seni untuk membuktikan bahwa dia tidak sedang ngibul.
Tapi ternyata begitu sampai di sana, kedua lukisan itu sudah nggak ada! Dan
sebagai gantinya, yang ada cuma lukisan cewek yang memang... "nyaris bugil"!
Dua-duanya kontan tersentak kaget. Irish kaget, kok ternyata nasibnya jadi apes
begini. Sementara Davi kaget karena selentingan itu.... ternyata benar!!!
Buat yang mengerti lukisan, lukisan itu sebenarnya nggak vulgar-vulgar amat.
Bagus malah. Indah dan arsitik. Apalagi nuansanya benar-benar cuma empat
warna. Hitam, cokelat muda, cokelat tua, dan oranye gelap.. selain itu, objek
lukisan -sang cewek yang nyaris itu- dilukisnya dari belakang.
Tapi buat yang nggak mengerti seni, apalagi yang emang otaknya sudah ngeres,
lukisan itu jelas.... wooowww sekali!!
"IRISH!" Davi menoleh dan menatap garang. "Elo liat lukisan begini berdua
Alfa?" Irish langsung pucat. "Tapi... tapi... waktu itu gambarnya bukan ini kok, Dav. Sumpah! Demi Tuhan!
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lukisan pemandangan. Gambar pohon sama jalan setapak! Tanya aja sama Masnya kalo nggak percaya?"
Sialnya lagi, si pelukisnya sekarang orangnya beda! Yang waktu itu rambutnya
gozadul alias gondrong jaman dulu, kumis tebal, dan bajunya juga kasual banget.
Pokoknya tampang pelukis deh. Sementara yang sekarang klimis dan rapi.
Tampang businessman. Dan seperti yang ditakutkan Irish, si pelukis itu nggak tahu
sama sekali soal kedua lukisan pemandangan itu. Padahal Irish sudah setengah
mati menyebutkan judulnya yang susah banget dibacanya itu, eh, si Mas itu dengan
malas malah langsung memotong, padahal Irish belum selesai ngomong.
"Nggak ada lukisan yang judulnya begitu!"
"Tapi waktu itu kan bukan itu ya, Mas" Lukisan yang di dekat kaca itu bukan itu,
kan?" kejar Irish. Dia benar-benar ngeri karena di sebelahnya, sepasang mata Davi
menatapnya dengan pandang berapi. Tapi Mas itu dengan entengnya malah ikut
menceburkan Irish ke kolam buaya.
"Nggak ah. Lukisan itu udah lama kok ada di situ!"
Mati gue! Irish langsung panas-dingin.
"Mas jangan gitu dong. Inget lagi deh... tolong..."
Tapi belum sempat pelukis itu menjawab, Davi keburu memotong, "Nggak usah,
Mas. Terima kasih!" Lalu dia meraih tangan Irish dan menarik cewek itu ke
sebelahnya. "Kita pulang sekarang, Fairish!" desisnya tepat di telinga Irish.
"Tapi.... tapi..."
Irish sudah tidak sempat protes lagi. Davi melepaskan genggamannya dan sebagai
gantinya, dia merangkul si mungil itu biar tidak terlalu kelihatan seperti adegan
penculikan waktu dia memaksa cewek itu kembali ke mobil. Dan di mobil, Davi
meledak marah. "Elo liat lukisan itu berdua Alfa!?" bentaknya keras. "Kelewatan! Elo nggak punya
malu ya?" Irish menarik napas. Wajahnya nelangsa banget.
"Bukan itu lukisan yang gue liat waktu itu, Daviii. Sumpah! Sumpah! Sumpaaah!
Kenapa elo nggak percaya sih?"
"Keterangan si pelukis tadi beda sama elo, Rish!"
"Ya kali aja dia orang baru. Atau orang lama tapi mungkin lagi cuti panjang, terus
baru masuk sekarang. Jadi...."
Davi menoleh. Mata elangnya menghunjam garang, membungkam protes Irish
seketika. Kemudian Irish menyambung lemah, "Ya terserah elo deh, kalo nggak percaya."
"Gue... nggak... percaya!" tandas Davi dengan rahang terkatup kaku. Kemudian dia
memutar kunci kontak. Dengan suara berdecit, Jeep itu meninggalkan kerindangan
pohon. Waktu melewati stand lukisan, dan Mas yang jaga pas ada di luar, Irish
buru-buru minta berhenti.
"Sebentar! Sebentar, Dav!"
Davi menghentikan mobil dengan pandang tidak mengerti. Irish, yang kesal garagara kena marah Davi, ganti menumpahkan kejengkelannya ke cowok itu.
"Mas! Itu lukisan dibakar aja. Ngerusak moral generasi penerus bangsa, tau
nggak!?" serunya galak. Mas yang jaga stand itu menoleh ke arah lukisan, terus
geleng kepala. "Nggak ah!" jawabnya polos. "Emang apanya yang jorok sih" Orang cuma keliatan
belakangannya doang. Di dalem malah ada yang lebih heboh!"
Irish ternganga. Davi mendesis marah. Diinjaknya pedal gas kuat-kuat. Jeep
melompat lalu melesat kuat. Di sepanjang jalana cowok itu tidak bicara lagi -sama
sekali!- sampai akhirnya Jeep berhenti di depan rumah Irish. Cewek itu turun
masih dengan perasaan dongkol. Tapi belum sempat dia bilang terima kasih basabasi seperti biasanya, Jeep itu telah melesat pergi.
Irish menarik napas panjang-panjang. Repot bener sih deket sama Davi. Tiba-tiba
dia tersentak dan buru-buru kabur ke dalam, lalu langsung menyambar telepon. Dia
harus memberitahu Alfa! "Alfa!" perutnya langsung begitu telepon di seberang diangkat. "Halo" Alfa!"
"Iya, iya! Ya ampun!" Alfa sampai menjauhkan gagang telepon dari kupingnya.
"Ada apa sih lo jerit-jerit?"
"Al, gawat banget, Al!"
"Kenapaaaa?" "Itu bener lukisan nyaris!"
"Masa" Yang bener, Rish?" Alfa terperangah. "Kata siapa?"
"Gue udah ke sana. Berdua Davi. Abisnya dia minta bukti. Ya udah, gue ajak dia
ke sana. Eh, nggak taunya..."
Tawa Alfa pecah membahana.
"Masa sih" Ah, gila! Kaget dong Davi?"
"Bukan kaget lagi. Dia ngamuk! Gue dimarahin!" Alfa makin ketawa. Irish jadi
semakin kesal. "Kok elo ketawa sih" Elo seneng ya, gue dimarahin?"
"Sori! Sori!" Alfa buru-buru mingkem. "Jadi?"
"Ya elo mesti bantuin gue, Al. Tolong jelasin ke Davi deh, kalo waktu itu yang kita
liat emang bener-bener lukisan pemandangan!"
"Gue nggak mau!" jawab Alfa ringan. Irish terperangah.
"Kok elo begitu sih?"
"Rish, denger ya" Kalo cowok cemburuan kayak gitu, apalagi udah diterangin
sampai mendetail tapi masih nggak percaya juga, buat apa" Putusin aja!"
Irish tersentak. "Ng... begitu menurut elo?"
"Iya!" tegas Alfa. Irish jadi terdiam. Ini benar-benar diluar dugaannya, Alfa
memberikan advis yang mengagetkan begini. "Halo" Rish" Elo nggak pingsan,
kan?" "Eh" Nggak. Cuma kaget aja. Ya udah deh. Daaaah."
"Eh, bentar! Bentar!"
Irish batal meletakan gagang telepon.
"Apa?" "Emang lukisan apa sih?"
"Elo liat sendiri aja sana!"
Alfa tertawa. "Oke deh. Mau ikut?"
"Nggak!" jawab Irish seketika. Tawa Alfa semakin keras.
Irish buru-buru menutup telepon.
Tapi setelah itu saran Alfa jadi kepikiran. Iya juga ya" Gumamnya sambil
ngangguk-ngangguk sendiri. Kenapa dia mesti pusing-pusing mikirin perasaan
Davi. Mereka kan nggak ada apa-apa. Dia cuma jadi temeng. Dan karena dia justru
udah nolong, jadi Davi harusnya nggak berhak marah-marah.
Wajar dong kalo dia selingkuh. Tapi itu juga sebenarnya nggak bisa dibilang
selingkuh kok. Orang dia nggak ada apa-apa sama Alfa. Cuma sering jalan dan
ngobrol bareng, makan dan bercanda bareng, terus sama sering teleponan bareng.
"Itu belum termasuk selingkuh, kan?" seru Irish di depan kaca, lalu nyengir sendiri.
Tapi biar gimana juga, gerutunya sambil terjun ke atas kasur, Davi tetap nggak
berhak marah. Karena selain itu urusan pribadi Irish, juga karena sebenarnya dia
nggak ada apa-apa sama Alfa. Cuma akrab. Nggak labih!
Tapi saran Alfa kayaknya boleh juga. Sudah lebih dari cukup dia menolong Davi.
Sekarang saatnya memikirkan diri sendiri.
Jadi bunyi headline-nya gimana enaknya ya"
"IRISH MUTUSIN DAVI!!!"
Jangan! Jangan! Jangan mutusin! Kurang gimana gitu. Kata-katanya mesti yang
sadis. "IRISH MENCAMPAKKAN DAVI DEMI ALFA!!!"
Nah, ini baru sensasi! "mencampakkan"! Menur si kembang SMU Palagan aja
belom pernah punya record kayak begini. Tapi demi Alfa" Enak aja! Keren bener
dia! Ganti, aaaah.... Irish mencoret dua kalimat yang dia tulis gede-gede pake spidol merah itu. Terus
di bawahnya dia tulis kalimat baru.
"IRISH MENCAMPAKKAN DAVI KARENA UDAH BOSEN!!!"
Nah, ini baru keren! Kalo begini kan kesannya dia itu playgirl atau mamabravo.
Lagi asyik-asyiknya Irish membayangkan, tiba-tiba pintu di ketuk. Kepala Orish
menyembul. "Ada yang nyari tuh!"
"Siapa?" "Biasaaaa." "Oh!" paling Vaya, pikir Irish. "Suruh masuk aja."
"Masuk ke mana?"
"Ya ke sini." "Ke sini" Ke kamar?" Orish terbelalak "Gila, lo!"
"Kenapa?" "Dimarahin mama ntar lo!"
"Mama udah sering ngeliat kok."
"APA!?" Orish terpekik, lalu buru-buru menutup mulut. "Yang bener, Rish?"
sambungnya pelan. "Iya! Kenapa sih lo?" Irish menatap adiknya heran. "Ribut amat. Udah, buruan!
Suruh dia masuk." "Mama curang! Diskriminasi! Biar elo kakak gue, kita kan sama-sama belom tujuh
belas!" protesnya sambil pergi. "Ntar malem kalo mama pulang, gue mau demo!"
Irish menatap adiknya yang pergi sambil ngomel-ngomel itu. Aneh, ih! Orang
setiap ke sini Vaya selalu ke kamarnya kok.
"Hai!" Irish menatap muka dan kontan terperangah. Davi berdiri di ambang pintu
kamarnya. "Ngapain lo ke sini?" serunya seketika. "Oriiiish!"
Orish datang terbirit-birit.
"Apaan?" "Elo tuh ya!" Irish melotot.
"Kan lo yang nyuruh tadi?"
Sementara itu Davi mematung di ambang pintu. Bukan karena pertengkaran dua
bersaudara itu, tapi karena deretan kalimat di atas selembar keras di depan Irish.
Kalimat-Kalimat yang ditulis dengan spidol merah dan berukuran besar, jadi tetap
bisa terbaca jelas meskipun terbalik.
"Gue tunggu di ruang tamu!" katanya dingin. Cowok itu berbalik dan pergi.
"Ih, elo!" desis Irish ke arah Orish setelah Davi berlalu dari situ. "Maksud gue tuh
Vaya! Kalo Davi sih bilang aja gue nggak ada!"
"Naaah, ya! Aha!" Orish ketawa girang. "Lagi berantem ya" Yang keras dong, gue
pengin denger!" "Pale lo! Nih!" Irish menjitak kepala adiknya, lalu keluar dengan langkah ogahogahan. Orish mengekor di belakangnya sambil cengar-cengir.
Heran juga kalo bisa ada masalah antara Irish dan Davi, pikir Orish. Bukannya
memuji, tapi kakak dan satu-satunya saudara yang dimilikinya itu orangnya benarbenar fleksibel. Enjoy, gendong tertawa, juga pengertian. So, kalo mereka tibut
begini, pasti si Davi-nya itu yang nggak bener!
Tapi niat Orish mau nguping langsung surut ketika dia melihat kelamnya wajah
Davi. Irish sendiri juga langsung pasang muka cemberut. Masih dongkol banget
dia, gara-gara tadi siang dituduh membabi buta begitu. Davi ini bagaimana dulu ya
sama ceweknya" Sama Irish yang nggak ada hubungan apa-apa aja galak banget
begitu. "Gue nggak gila, Dav! Liat-liat lukisan begitu sama cowok! Liat sendirian aja
nggak pernah." protesnya langsung.
"Iya." Davi menghela napas. "Harusnya gue tau. Tadi siang gue cuma.... shock aja
karena selentingan itu benar ternyata!"
"Sama! Gue juga shock. Kalo bener, nggak akan gue tantangin elo ke sana."
"Iya. Gue tau...."
"Elo nggak tau!" potong Irish ketus. Kemudian ditatapnya Davi lurus-lurus. "Gue
boleh minta satu hal nggak?"
"Apa?" "Kira-kira.... bisa nggak perjanjian kita dulu di tinjau ulang?"
Davi tersentak. "Maksud lo?" tanyanya cemas.
"Iya. Mesti diubah. Ada yang harus dikurangin, ada yang harus ditambahin. Waktu
itu kan cuma dari elo. Gue nggak ngasih syarat apa-apa."
"Kita omongin sambil makan, ya?" bujuk Davi, diam-diam jadi panik karena
permintaan Irish. "Gue udah makan!" tolak Irish serta-merta. Dia menggerutu dalam hati. Enak aja.
Habis marah-marah terus ngajak makan. Emangnya kali perut kenyang, terus
gondoknya juga jadi ilang, gitu" Gampang bener!
Tapi Davi tidak mau menyerah begitu saja. Dia tidak tahu apa yang di lempar Alfa
di ujung mata kailnya, sampai Irish jadi benar-benar jauh begini.
"Kalo.... Kasstengel, gimana?" bujuknya lagi, dalam hati jadi heran sendiri. Ini
bukan penolakan Irish yang pertama kali, tapi kenapa dia sampai kebingungan
sendiri ya" "Mau! Mau!" seru suara dari dalam. Orish nongol di pintu. Nyengir lebar begitu
sang kakak memelototinya tajam-tajam. Davi tersenyum tipis. Lega atas
kedatangan sang penolong itu.
"Kan baru kemaren dibeliin mama?"
"Kan elo abisin!"
"Dasar!" Irish jadi keki. "Awas lo ya! Ntar gue beliin satu gentong!"
"Kasstengel nggak pake gentong, tau! Emangnya cincau!" jawab Orish cepat, lalu
menoleh ke Davi. "Mas, Irish boong tuh! Dia belom makan apa-apa dari tadi
siang!" Irish kontan ternganga. Orish kurang ajaaaar!
"Orish! Awas lo ya! Dasar musuh dalam selimut!"
Orish tertawa ngakak. Davi jadi geli melihat dua cewek bersaudara itu. Fairish dan
Viorish. Sama-sama mungil, sama-sama manis, dan sama-sama judes kalo mood
mereka lagi nggak bagus. "Mas! Orish kan udah ngasih tau. Nanti kaasstengel-nya bungkusin sendiri, ya"
Jangan dititipin ke Irish. Dia maruk kalo sama kaasstengel!"
"Oriiiish!" Irish menjerit kencang. "Awas lo ya! Besok pagi susu lo gue kasih
racun!" "Gue tuker sama punya elo, kalo elo pas lagi mandi! Atau gue tuang ke
mangkoknya pussy!" jawab Orish sigap.
Davi jadi ketawa. Dan tawanya makin keras begitu Orish naik ke kursi untuk
membisikkan sesuatu di telinganya, lalu kabur ke dalam sambil cekikikan.
"Apa katanya?" Irish menatap Davi curiga.
"Nggak. " Davi geleng kepala, masih tertawa.
"Sooo..." Di tariknya napas panjang-panjang. Sial! rutuknya dalam hati. Kenapa
gue jadi gugup begini" "Kita makan ya" Elo belom makan dari pulang sekolah
tadi, kan?" "Gue nggak laper!"
"Gitu ya?" Davi melihat arlojinya. "Elo terakhir makan berarti tadi pagi, karena
selama di sekolah sampai tadi siang kita ribut, jadi nggak mikirin soal makan.
Sekarang udah hampir jam enam. Berarti selang waktunya udah dua belas jam.
Kita tunggu aja kalo begitu. Sebentar lagi elo pasti pingsan!"
Irish ternganga. "Maksud lo apa sih" Lo doain gue sakit?"
"Bukan," jawab Davi santai. "Orish tadi bilang, elo kalo lagi ngambek suka mogok
makan. Buntut-buntutnya pingsan. So, jangan nyalahin gue nanti ya?"
Irish mendesis marah. Emang kurang ajar si Orish! Dasar kompeni! Awas tuh
anak! "Terus, kita mau makan di mana?" akhirnya Irish nyerah. Pingsan kalo ada ibunya
masih mendingan. Paling Mama tersayang itu menjerit-jerit histeris. Tapi kalau
pingsan pas cuma berdua Davi begini, apalagi ada kompeni satu itu, itu sama aja
memasukan kambing ke kandang komodo.
"Gitu dong!" Davi tersenyum penuh kemenangan. "Gue perlu menunggu berapa
jam" Lo udah mandi, kan?"
*** Irish mengeluh dalam hati waktu mereka sampai di tujuan. Restoran ini lagi!
Tempat dulu dia merancang "skenario" sambil makan ayam panggang.
Kalau sudah malam begini suasananya malah makin parah. Resto ini tidak ada
lampu listriknya ternyata. Semua serbalilin, yang menyala di setiap meja dan
dinding. Di halamannya yang luas dan pohon-pohonnya yang rindang mirip hutan,
dipasangi obor. Diam-Diam Irish menarik napas panjang. Bohong aja kalau bilangnya supaya
suasananya jadi romantis. Pasti supaya irit!
Napas Irish semakin panjang lagi begitu mereka menapaki jembatan bambu. Saat
memasuki ruangan luas yang hanya dibatasi separuh dinding itu, suara lembut
Diana Ross menyambut mereka.
Endlees love lagi! gerutunya. Ini cuma kebeneran, atau emang semua kaset yang
dipunyain restoran ini cuma lagu itu doang"
"Suka bubur ayam?" tanya Davi, memecahkan kesunyian yang begitu dominan
sejak mereka tinggalkan halaman rumah. "Waktu itu gue perhatiin, elo nggak
begitu suka makan ayam, ya?"
Irish cuma tersenyum tipis. Kalau suasana begini mana ada makanan yang bisa
tertelan. Mungkin memang bubur ayam yang paling tepat. Tidak perlu dikunyah.
Dan kalau tiba-tiba dia kaget, tidak akan keselek sampai fatal.
Irish memang mulai mencium ada sesuatu yang tidak beres. Untuk apa Davi ngajak
ke sini, coba" Dan sebelumnya Davi juga nggak pernah maksa, apalagi kalau Irish
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar nggak mau. "Inget nggak, gue pernah bilang mau ngasih foto sunset di Pantai Senggigi?"
"Iya," Irish mengangguk. "Tapi sekarang udah nggak perlu lagi kok, Dav. Mereka
udah nggak nanya-nanya lagi."
"Siapa bilang ini buat mereka?"
Irish tertegun. Terlebih saat dia mendongakkan kepala. Sepasang mata itu
menatapnya lurus, menembus nyala lilin. Tiba-tiba cowok itu bangkit berdiri.
Menarik kursi dan pindah ke sebelahnya, benar-benar dekat di sebelahnya, lalu
mulai memperlihatkan sederet foto sunset yang diambilnya di berbagai tempat.
Davi menerangkan foto itu satu per satu.
"Ini gue ambil di Anyer, ini di Ujung kulon, ini di Pulau Krakatau, ini di kamar, ini
di atap gedung kantor bokap, ini...."
Irish cuma bisa ber-"ah-oh" sambil ngangguk-ngangguk tanpa bisa konsen.
Kejadian waktu itu terulang lagi. Dia jadi nervous dan perutnya mendadak
kenyang. Samar, Davi mulai "mengatakan" apa yang dia inginkan. Samar juga, dia
mengisyaratkan warna hubungan mereka yang dia inginkan sekarang.
Dan ini memang kali pertama Davi membuka diri. Dimulai dari satu hal yang
peling dia suka. Hobi yang telah ditekuninya sejak lama. Mengejar "Mata Dewa",
alias sunset! Tinggal Irish jadi bingung lagi. Tidak mengerti dan tidak mau coba-coba menebak
dugaan sendiri. Karena dia ingat hari itu, hari di saat Davi menangis di depannya dulu, cowok itu
memohon satu permintaan: "Gue cuma butuh pertolongan elo, Rish! Cuma itu!"
Jadi resto romantis ini dan deretan foto sunset ini, sebaiknya jangan diartikan
terlalu jauh! Besoknya, Alfa yang jeli tahu sesuatu telah terjadi. Irish agak pendiam hari ini.
Bicara cuma satu-dua kata, nggak semangat menyambut ajakannya seperti biasa.
Padahal dia udah yakin masalah itu akan membuat hubungan Irish dan Davi jadi
renggang. Malah mungkin bisa bubaran, kalau mendengar gimana cemasnya suara
Irish di telepon kemarin siang. Tapi yang dia lihat hari ini, mereka malah terus
berdua dari pagi sampai bel pulang.
Bikin apa lagi si Davi ini" rutuknya jengkel. Di kejauhan dia melihat cowok itu
menggandeng cewek mungilnya itu masuk ke kantin.
Itu membuat Alfa memutuskan untuk lebih agresif lagi. Lebih nekat, lebih terbuka,
dan lebih sebodo teuing apa kata orang.
Yang jelas.... sejoli itu harus bubar!
*** Alfa terpaksa mengeluarkan senjata pamungkasnya. Hari minggu sore, dia
mengajak Irish ke pantai.... Berburu sunset!
Irish tercengang. "Elo suka sunset?" tanyanya hati-hati.
Alfa tertawa pelan. "Nggak juga. Gue suka semua fenomena alam. Sunset, sunrise, bulan purnama,
badai, kabut yang menelan hutan, gelombang pasang yang memeluk bakau, puncak
gunung di atas awan. Banyak! Satu yang paling indah, gue pernah masuk
pedalaman Irian dan ngeliat tarian Cendrawasih liar!"
Irish terpana. Benar-benar tak menyangka, cowok sableng ini ternyata punya
banyak cerita. "Gue juga suka sunset," kata Irish. Lebih karena tidak ingin terlihat sebagai orang
yang nggakpunya pengalaman apa-apa.
"Bukan sunset itu yang mau gue kasih liat ke elo, sayang!"
"Terus?" Irish mengerutkan alisnya.
Alfa menarik tangannya. "Duduk di sini." Dibantunya Irish naik ke kap mesin Land Rover-nya. "Diem ya.
Pokoknya ini surprise dan elo orang pertama yang gue kasih tau...," Alfa
menatapnya lurus, "siapa sebenernya gue!"
Irish semakin tak mengerti. Alfa membuka bagasi mobil dan muncul kembali
dengan selembar kertas putih yang lumayan lebar.
"Gue lupa bawa kanvas. Tapi ini udah cukup kok. Sekarang lo liat ke sana,"
tunjuknya ke batas cakrawala. "Lo boleh bandingin, beda apa nggak."
Irish benar-benar terkesima. Begitu cepat Alfa memindahkan matahari jingga itu
ke atas kertas. Sapuan kuasnya memindahkan semua warna itu, begitu sempurna.
"Gimana?" tanya Alfa. Irish tidak bisa menjawab. Dia masih tercengang,
mematung di posisi duduknya.
"Al, elo.... lukisan-lukisan itu..."
"Yap, sweetie! Bukan dari galeri, bukan dari trotoar tempat kita ketemu waktu itu,
juga bukan dari Pasar Seni. Semua lukisan yang gue kasih ke elo... itu dari galeri
pribadi gue di rumah! Dan dari tangan gue sendiri!"
Seketika sepasang mata di depannya menyorotkan kekaguman yang sarat dan tak
tersembunyi. "Bener, Al!?" pekik Irish dan melompat turun dari kap mesin mobil.
"Bener dong! Lo kira dari mana gue bisa tau banyak tentang lukisan kalo gue
nggak suka?" "Ah, gila!" pekik Irish lagi. "Gila! Gue nggak yangka. Bener! Suer! Sumpah! Gila
ih!" Alfa tertawa geli dengan luapan kekaguman itu. Ditatapnya Irish dalam-dalam.
"Jadi, kalo nanti gue jalan -gue suka jalan lho, Rish- gue mau ngelukis lagi.
Kebanyakan lukisan-lukisan itu gue kerjain di luar rumah. Lo mau ikut?"
"Oooh, jelas mau banget dong!" jawab Irish tanpa berpikir lagi. Lukisan Tuhan
memang bagus. Tapi menurut Irish akan lebih indah kalau dihadirkan dalam
sapuan kuas, bukan diabadikan mentah-mentah lewat kamera.
Senja itu Alfa memenangkan pertarungannya. Total. Karena Irish begitu terpesona.
Melewati malam sampai benar-banar larut dengan memandang semua lukisan yang
pernah diberikan Alfa untuknya.
Lukisan Lembah Kashmir dengan pegunungan tingginya. Bromo dengan
Mahameru de belakangnya. Mount McKinley, Alaska. Gran Canyon, Arizona.
Sungai Mississippi, Iowa. Danau . St. Mary, Montana. Nicolae Grigorescu dengan
Fete Torcind La Poarta-nya. Henry Cleenewerck dengan La Ceiba-nya. Semuanya!
Mungkin ini sugesti. Setelah tahu lukisan-lukisan itu adalah hasil goresan tangan
Alfa, semuanya mendadak jadi kelihatan lebih indah di mata Irish.
Dan semua jerih payah Davi, "Mata Dewa" yang diburunya di banyak tempat dan
dengan kesabaran luar biasa, kontan masuk amplop dan menggeletak di laci meja
belajar Irish. Sayonara! *** Ini untuk kedua kalinya Davi tertegun tak percaya. Irish terlepas dari tangannya
begitu tiba-tiba. Kali ini benar-benar fatal ternyata. Dia tidak tahu apalagi yang
sudah dilakukan Alfa. Yang jelas, Irish tidak bisa lagi ditahannya!
Kedatangan Davi yang mulai rutin ke rumah Irish setiap malam minggu,
terabaikan tanpa disadari cewek itu. Telepon-teleponnya yang mulai rutin, nyaris
setiap hari, juga separti tak pernah disadari Irish.
Kemudian beredar banyak cerita. Terlalu banyak. Laporan yang masuk juga
banyak. Irish dan Alfa di galeri A, Irish dan Alfa di galeri B, di mal, di Pasar Seni,
di GKJ, di TIM, di pantai, dan di banyak tempat lagi. Sebagian karena lukisan,
sebagian lagi tanpa alasan jelas!
Tapi Davi tak bisa apa-apa karena Irish selalu melaporkan semuanya, supaya Davi
bisa menjawab kalau ada yang tanya. Kalau soal lukisan, Irish akan bilang soal
lukisan. Tapi kalau alasannya jalan-jalan, diam-diam Davi jadi harus menahan diri!
Namun sebenarnya bukan itu yang membuatnya tidak bisa berkutik. Dia terpaksa
diam karena satu kalimat yang pernah dia tegaskan dulu di awal perjanjian.
"Kalo nanti ada cowok yang lo suka, lo boleh pergi!"
Sekarang tidak ada lagi yang bisa dia lakukan kecuali berharap Irish lupa dengan
satu kalimat itu. *** Sementara Davi resah karena sesuatu yang bergolak hebat di dadanya, Irish
tenang-tenang saja. Melaporkan semua kegiatannya seperti biasa. Saat itu mereka
di dalam kelas. "Minggu depan gue mau liat pameran lukisan, Dav. Di Kemang. Sama Alfa. Terus
minggu depannya lagi, hari rabu, pulang sekolah, kami langsung mau ke Senen.
Biasa, cari buku. Kali aja ada yang bagus. Sama Alfa juga. Terus...," Irish
mengeluarkan agendanya. Lupa soalnya.
"Sibuk bener sih, Rish?"
"Yah, begitulah," jawab Irish cuek, masih sambil menunduk dan mengaduk-aduk
isi tasnya. "Oh, iya! Ya ampun!" serunya kaget begitu membuka agenda. "Siang ini
gue mau liat pameran lukisan di JCC. Pelukis-pelukis muda. Belom punya nama.
Pesertanya banyak, Dav. Wah, pasti seru! Kok gue bisa lupa sih" Yaaah, nggak
bawa baju ganti deh!"
Davi menatapnya. Tapi Irish yang lagi kebingungan, luput menangkap tatapan itu.
"Sama Alfa lagi?"
"He-eh," jawab Irish belum sadar.
"Kenapa selalu sama Alfa sih?"
Irish tersentak. Dia menoleh dan mendapati ekspresi ganjil di wajah Davi.
"Abis yang suka ngajakin jalan cuma dia," jawabnya terus terang. Davi jadi
kesentil. "Elo suka lukisan, ya?"
"Suka banget!" "Kalo pergi berdua gue, gimana?"
Irish tertegun. "Sama.... elo?" tanyanya pelan.
Davi menghela napas saat dia mendapati sinar penolakan di mata Irish.
"Nggak seru, ya?"
"Ng... bukan gitu. Bukan gitu kok!" jawab Irish buru-buru. "Soalnya yang gue liat,
elo nggak begitu seneng lukisan."
"Kalo Alfa?" "Oh, kalo dia sih maniak!"
"Masa?" Davi mengangkat alis. "Elo nggak tau kalo Verdy juga hobi ke pameran
lukisan?" "Oh" Masa?" Irish pura-pura kaget. Soalnya dia memang pernah beberapa kali
ketemu Verdy. Dan Verdy sudah pasti lapor, nggak mungkin nggak. "Elo mau gue
pergi sama Verdy?" "Nggak juga. Kenapa" Kalimat gue kesannya begitu ya?"
Irish memalingkan wajah ke luar jendela. Lagi-lagi dia mencium ada yang tidak
beres. Yang salah. Yang berubah. Bersamaan dengan itu, orang yang sedang
mereka bicarakan muncul dan tergopoh-gopoh mendekat.
"Aduh, Rish!" seru Alfa begitu nongol di pintu. "Sori banget! Kayaknya kita nggak
jadi pergi siang ini. Gue lupa bawa baju ganti!"
Davi menatap Irish dan Alfa dengan sorot yang semakin dingin dan ganjil .
"Feeling kalian berdua so good ya" Bisa sama-sama lupa bawa baju ganti?"
"Masa!?" mata Alfa membulat. Terus dia terkekeh-kekeh. Irish tertawa jengah.
Tiba-Tiba Davi berdeham. Tawa Irish lenyap seketika, sementara Alfa tetap tak
peduli. "Bisa pergi, Rish" Gue ada perlu sama Alfa."
Irish jadi semakin waswas.
"Ngomong aja," kata Alfa. "Nggak apa-apa. Gue selalu terbuka kok sama Irish."
Aduh! Irish lansung salting. Alfa nih, bener-bener nggak bisa liat bendera perang
udah berkibar tinggi-tinggi begitu.
"Oh, ya!?" seketika sepasang mata dingin Davi hinggap di wajah gelisah Irish.
"Yaaah.... maksudnya.... Alfa kalo lagi ada masalah suka cerita ke gue. Gitu aja,"
jelas Irish, jadi gugup. "Betul!" tandas Alfa. "Dan gue juga selalu tegaskan ke dia...," dagunya bergerak ke
Irish. "bahwa gue juga bisa dijadiin teman berbagi cerita. Kalo lagu ada masalah,
lagi sedih, gue selalu minta dia cerita."
"Oh, ya!?" mata Davi seketika berkilat tajam.
Aduuuuuh, si Alfa ini!!!! Jerit Irish dalam hati.
"Tapi kan gue nggak pernah cerita apa-apa sama elo!" buru-buru Irush bikin
pernyataan. Takut Davi semakin salah paham.
"Bukan nggak pernah, tapi belom!" ralat Alfa, benar-benar bebal. Tidak tahu
cewek di depannya sudah kebingungan setengah mati. "Cewek kan nggak kayak
cowok. Gampang open. Nanti-nanti mungkin. Kita kan temen sejiwa! Iya kan,
Rish?" Ya ampun! Ya ampuun! Ya ampuuun!
Irish sudah nggak bisa ngomong lagi. Alfa nyerocos tanpa pusing. Sementara Davi,
meskipun terlihat tetap tenang, sepasang manik matanya mulai menyimpan
kemarahan. Dan Irish bisa menangkap saat sepasang mata itu menatapnya. Karena
Irish tidak menjawab, Alfa meneruskan kalimatnya.
"So, besok aja ya, Rish" Nggak apa-apa, kan" Besok gue traktir deh, sebagai tanda
penyesalan gue yang paliiing dalam sekali amat sangat! Besok elo gue traktir di
restoran mana aja yang elo suka. Pasti! I promise!"
Irish meremas kesepuluh jarinya. Makin gugup. Aduh! Si Alfa ini kapan perginya
ya" "Ya udah kalo begitu," ujar Alfa. Irish mengembuskan napas lega, doanya
terjawab. Alfa berdiri. "Sampai besok ya, Rish. Daaah," pamitnya disertai
lambaian tangan yang mesra. Tapi begitu dia menoleh ke Davi, dadahnya jadi
pendek banget. Cuma satu suku kata dan ketus pula. "Dah!" dengan santai Alfa
jalan keluar. Tinggal Irish yang semakin mengecil di kursinya. Alfa benar-benar sukses
melempar petasan di dekat kompor. Karena begitu cowok itu hilang di balik
tembok, Davi langsung balik badan dan menatapnya tajam.
"Gimana" Elo mau liat pameran lukisan berdua gue nggak" Nggak usah puding
soal baju ganti. Ada banyak kaus di mobil!"
"Ng...." Irish ngeri mau menjawab.
"Perlu mikir kalo gue yang ngajak ya" Meskipun elo suka lukisan?"
"Ng... bukan gitu, Dav. Gue..."
"Lo males pergi sama gue! Gitu, kan?"
Itu elo tau! Kata Irish, tapi cuma berani dalam hati. Dengan wajah kaku, Davi
mengulurkan tangan. "Gue mau liat pameran lukisan. Lo harus nemenin!" dirangkulnya Irish dan dengan
paksa dibawanya keluar kelas.
*** Meskipun berusaha ditutup-tutupi, semua bisa lihat kalau Davi agak murung
belakangan ini. Cowok itu jadi semakin pendiam dan semakin cuek lagi. Davi dan
Irish --pasangan yang selama ini telah menyaingi Anang-Krisdayanti-- sekarang
mulai jalan sendiri-sendiri.
Metha, yang setiap hari berdoa sepuluh kali agar Davi-Irish bubaran, jelas aja jadi
girang. Sekarang peluang itu terbuka lebar. Dengan lagak sok prihatin layaknya
teman sejati, pada satu siang Metha mendekati Davi yang lagi duduk sendirian
dikursinya. Cowok itu lagi menekuri buku full rumus dan angka di depannya,
sementara Irish pasti sudah terbang ke sebelah Alfa.
Metha mendekat, lalu duduk pelan-pelan di sebelah Davi. "Udah, Dav. Nggak usah
dipikirin," katanya. Suaranya lembut banget.
Davi mendongak dan sepasang mata dinginnya langsung menatap tajam. "Lo bisa
pergi!?" desisnya. Metha, meskipun terperangah, tetap memilih maju tampang malu.
"Dav, gue nggak ada maksud apa-apa kok," ujarnya. So pasti bohong. "Gue cuma
mau ngasih tau elo, kayaknya Irish sama Alfa serius. Dua hari lalu gue ketemu
mereka lagi di Pasar Seni. Kayaknya itu udah jadi tempat favorit mereka, soalnya
udah lebih dari tiga kali gue ngeliat mereka di sana."
Davi mendesis pelan. Kejengkelannya yang di tahan mati-matian mulai merayap
naik. Dia paling tidak senang informan model begini.
"Pergi cepet!" desisnya dengan gigi gemeretak. Ditatapnya cewek di sebelahnya itu
garang. "Cepet! Apa elo mau gue bikin malu?"
"Dav, gue cuma...."
Dengan marah Davi meraih bolpoin di depannya dan...
BRAK! Benda itu seketika hancur berkeping dan tintanya mengenai meja. Metha terlonjak.
Diiringi tatap mata seluruh isi kelas, cewek itu buru-buru berdiri dan pergi dari
situ. *** Irish juga tahu perubahan Davi itu. Tahu dan sadar! Soalnya hubungan mereka
sekarang jadi kaku. Persis seperti di awal-awal dulu. Davi kembali jadi pendiam,
jarang bicara. Tapi Irish masih ingat sekali satu kalimat itu. Pendek, tegas, tandas.
"Rish, tolong. Gue bener-bener butuh bantuan lo."
Dan hancur luluhlah hatinya, padahal baru saja terbang tinggi, lalu langsung brak!
Mendarat dan hancur berkeping.
Jujur saja, waktu itu Irish sakit hati. Merasa cuma dimanfaatkan. Merasa minder
dan tak punya arti. Apalagi setelah menjalani sandiwara itu. Dua hari tambah sedih
dan nelangsa. Karena itulah dis berjuang amat keras untuk bisa netral seperti saat ini. Awal-Awal
dulu, dia harus sering memperingatkan hatinya agar tidak tumbuh bunga. Tidak
tumbuh kuncup, apalagi sampai mekar. Juga untuk tidak ganti warna. Jadi pink
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau biru! Dia juga sudah melarang otaknya sering-sering memikirkan Davi, apalagi
ketampanannya. Dia juga sudah memperingatkan telinganya untuk tidak
me ndengarkan lagu-lagu cinta yang musiknya menghanyutkan.
Irish juga telah melarang matanya membaca novel-novel roman yang bisa
membuatnya jadi menikmati kebersamaan itu. Selagi bisa. Tanpa peduli sama
sekali alasan yang sebenarnya.
Selanjutnya kata sandiwara bukan lagi satu-satunya kata yang menempel di
tembok kamarnya. Ada banyak saudaranya. Ada kata kibul, bokis, bohong, dan
masih sederet lagi, yang baru berani di tempel Irish kalau Orish sudah tidur atau
tidak ada di rumah, dan kata-kata itu buru-buru dicopot kalau Vaya datang.
Gara-gara semua itu, wajar aja kalau Irish kemudian jadi salah mengira.
Dianggapnya Davi mengkuatirkan dampak seringnya dia jalan berdua Alfa
terhadap Davi sendiri. Irish mengira Davi kuatir akan dikeroyok cewek seperti
dulu lagi. Tapi sudah empat bulan dia menolong Davi. Sekarang saatnya untuk memikirkan
diri sendiri. Sebentar lagi dia akan meninggalkan sekolah ini, untuk jadi
mahasiswi. Dan meskipun tidak mutlak mesti terjadi, dia pengin punya cerita
sendiri. Seperti lagu dari Gita Cinta dari SMA. Tidak apa-apa deh, bagian akhirnya saja.
Daripada tidak punya cerita sama sekali.
Makanya Irish "terpaksa" tidak peduli melihat perubahan Davi. Tapi tidak begitu
dengan anak-anak lain. Yang merasa kasihan banget sama cowok keren itu.
Mereka tidak terima! Akibatnya, Irish dapat kecaman dari mana-mana.
"Dasar elo emang nggak tau diri, Rish!" kata Avi nyaring. Waktu itu siang-siang,
pas Irish balik dari kantin dan Davi entah kemana.
"Kenapa?" "Kenapa, lagi! Elo kan punya cowok! Tapi elo malah jalan sana jalan sini sama
cowok laen! Maksud lo itu apa sih?"
Wih! Irish kontan bengong, lalu ketawa geli. "Udalah. Lo nggak usah ngurusin
urusan gue!" "Emang nggak!" jawab Daniar ketus. "Ngapain, lagi. Gue sih bukan mikirin elo,
tau! Tapi Davi! Daaavi!"
"Emang Davi kenapa?"
"Iiiih!" Daniar melotot. Juga cewek-cewek lain yang berkerumun di sekelilingnya.
"Nih anak, kok malah nanya" Dia kan cowok lo!"
Irish menarik napas. Menahan kesal.
"Iya! Terus kenapaaa?"
Daniar tidak langsung menjawab. Dia menatap Irish dengan mata yang sudah
benar-banar menyipit saking tidak menyertainya. Begitu ngomong, suaranya
mendesis tajam. Persis ular.
"Elo itu ternyata bener-bener orang yang nggak tau diri ya! Nggak tau terima
kasih! Nggak tau bersyukur! Elo punya cowok keren... baik, lagi... tapi masih juga
jalan sama cowok laen! Emang Davi itu kurang apa sih!?" sentaknya.
Wah!" Irish bengong lagi, dan semakin bengong begitu Nila menyambung, juga
dengan nada keras. "Elo mestinya ngaca deh, Rish. Gue sih sebenarnya nggak pengen sarkas. Tapi elo
sama Davi itu sebenarnya nggak seimbang. Gue nggak ngerti kenapa dia bisa suka
sama elo!" Nah, ini dia! Ini namanya bener-bener ngajak perang!
"Eh, denger ya!" sambil tolak pinggang, Irish melototi para demonstran di
depannya itu. "Kalian pada nggak usah ikut campur urusan gue deh. Soalnya kalian
nggak tau apa-apa! Nggak tau alasan kenapa gue begitu. Kalian juga nggak tau
yang sebenarnya!" "Nggak tau gimana?" sambar Mona seketika. "Emangnya kita-kita ini buta! Elo
pacaran sama Davi, selama ini ke sana kemari berdua mulu. Dan sekarang elo juga
masih berdua mulu... tapi sama Alfa! Gitu lo bilang kami nggak tau apa-apa" "
"Emangnya Davi kurang apa sih, Rish?" tanya Veni. Suaranya agak lunak di
banding demonstran yang laen. "Dia baek banget sama elo. Sayang, lagi. Perhatian.
Setia pula." Irish ketawa, pelan dan agak misterius.
"Justru karena dia baek banget itu, jadi gue selingkuh!"
Irish meninggikan kerumunan cewek itu, yang mengikuti kepergiannya dengan
kening terlipat. Bingung.
*** Irush yang tadinya mau sebodo amat terhadap banyaknya protes keras seputar
seringnya dia jalan berdua Alfa -soalnya ia mrnganggap itu urusan pribadinyalama-lama jadi berpikir juga. Soalnya sekarang dia jadi semakin susah bergerak.
Semakin lama hujatan yang dia terima semakin meriah. Apalagi Metha. Celaannya
pedes banget. Irish sampai bingung. Kenapa Metha cs bisa sampai begitu ya" Neneknya Davi,
bukan. Emaknya juga bukan. Tapi sebegitu sewotnya.
Irush nggak tahu bahwa Metha keki banget, karena ternyata Davi tetap tak tergapai
tangan. Tetap dingin, tetap tak peduli. Dan yang paling membuat Metha ingin
marah, cowok itu ternyata tetap juga tidak terpengaruh meskipun telah dia
beberkan informasi yang susah payah dia kumpulkan.
Metha tidak tahu, sebenarnya Davi terbakar habis di dalam! Tapi cowok itu nggak
bisa apa-apa. Karena janji itu. Dia nggak berani memulai karena feeling-nya
mengatakan, Irish menunggu!
Dan dia benar. Irish memang menunggu realisasi janji itu. Tapi karena Davi cuma
diam, akhirnya terpaksa Irish buka mulut lebih dulu.
Waktu itu mereka lagi dalam perjalanan pulang, di dalam Jeep Davi.
"Dav, gue mau ngomong sama elo."
"Soal?" "Bisa brenti sebentar?"
"Sambil makan ya?"
Irish tersenyum tipis, geleng kepala, dan menjawab tegas. "Nggak! Karena
topiknya nggak enak di bahas sambil makan!"
Davi langsung tahu apa topik itu. Dan kecemasan datang saat itu juga.
"Kalo sambil minum, gimana?" Dia jadi ingin mengulur waktu.
"Nggak!" "Sambil jalan-jalan ya" Gue tau tempat yang bagus."
Irish menarik napas. "Nggaaak, Davi! Gue mau ngomong. Cuma itu. Gue nggak mau makan. Nggak
mau minum. Apalagi jalan-jalan! Jelas!?" Irish menatap tajam. "Bisa brenti
sebentar sekarang?" Gantian Davi yang menarik napas. Sadar usahanya gagal.
"Iyaaa. Nggak usah emosi begitu dong." Davi menepikan mobil di bawah
kerindangan pohon. "Nih, udah stop. Sesuai permintaan!" kemudian di ubahnya posisi duduknya
menghadap Irish. "Mau ngomong apa?"
"Gue sekarang dikecam dari mana-mana."
"Soal Alfa?" "Apa lagi?" "Terus?" Irish tidak langsung menjawab. Keresahannya terbaca jelas.
"Gue udah bantuin elo," sambungnya kemudian, lambat-lambat. "Bantuin apa yang
elo mau. Sekarang gantian elo yang harus bantuin gue."
Davi menatap lurus. Kecemasan itu semakin kuat menekan. Tapi tetap tak terlihat
di permukaan. "Bantuan apa yang elo mau?"
Irish terdiam. Sebenarnya dia ingin mereka selesai. Tapi, setelah berhari-hari
latihan untuk tegar, dan semalam telah yakin bahwa hatinya akan kuat untuk
mengatakannya, ternyata begitu berhadapan langsung begini, lagi-lagi dia langsung
bimbang. Tidak tega. Kasihan.
Keterdiamannya yang lumayan itu membuat Davi semakin yakin dengan
dugaannya. Dan kecemasan itu seketika berganti dengan ketakutan. Menikam
teramat kuat dan mendadak memberinya satu gagasan.
Bukan gagasan untuk mencari jalan keluar. Tapi gagasan untuk mempertahankan
agar si mungil ini tak bisa hengkang, dan terpaksa terus bersamanya walaupun
untuk itu dia harus merelakan hatinya digurat pelan-pelan.
Tapi tidak apa-apa. Toh itu hanya sementara dan sakitnya pasti akan terbayar.
Lunas, pada saat Alfa menyadari ribuan mil jarak yang dijejaknya berdua Irish atau
ribuan menit waktu yang dilewatinya bersama si mungil ini tak akan memberikan
hasil apa-apa selain kenangan manis. Cuma kenangan!
Dan semanis apa pun yang namanya kenangan, itu akan tetap cuma kenangan.
Abstrak, dan adanya di belakang!
Perlahan Davi mendekat ke arah Irish yang masih menatap ke arah lain itu.
Kayaknya Irish bingung mau memulai pembicaraan.
"Sekarang begini aja, Rish. Kalo elo emang suka jalan sama Alfa... ya jalan aja!
Nggak apa-apa. Sandiwara kita terus. Selama kita nggak ribut, selama gue nggak
komplain, kecaman-Kecaman itu juga nanti ilang sendiri. Gue usahain gue nggak
akan terpengaruh isu apa pun yang mungkin nanti akan muncul, atau laporan apa
pun yang nanti gue denger."
Irish tertegun. *** Davi memainkan bidak caturnya dengan jitu. Dengan memberi keleluasan pada
Irish untuk terus jalan berdua Alfa, itu sama saja dia mengembalikan persoalan ke
Irish. Sekarang malah tanpa pilihan. Kalau Irish tidak mau dikecam, apalagi dicap
macam-macam, mau tidak mau cewek itu harus jaga jarak dengan Alfa!
Pisau Terbang Li 1 Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua Perguruan Sejati 8