Fairish 3
Fairish Karya Esti Kinasih Bagian 3
Davi sih tinggal diam aja. Berdiri mengawasi tanpa harus membuat move. Kadang
dia suka ketawa sendiri, antara geli dan kasihan, kalau melihat dari jauh gimana
Irish ngamuk-ngamuk karena sudah dituduh macam-macam.
Kalau sudah begitu, dia tinggal mementaskan perannya jadi cowok superbaik,
dengan cara membela Irish di depan cewek-cewek yang telah menuduh Irish
macam-macam itu. Dan itu jelas bukan tanpa tujuan. Davi tahu benar bagaimana
caranya menyelam sambil minum air dan cari ikan sekalian. Mendapatkan simpati
sekaligus mendesak Irish untuk menghentikan wira-wirinya bersama Alfa tanpa
harus ikut campur tangan.
Dengan berakting jadi cowok super perhatian, yang cuma tersenyum begitu dapat
laporan dari mana-mana, plus pembelaannya yang begitu arif bijaksana : "Mereka
cuma temenan aja karena satu hobi" -jelas saja Irish semakin dikecam. Dapat
omelan di mana-mana. Dicerca, dicap, ditegur keras, dikasih peringatan malah!
Tidak seorang pun tahu di balik sikap tenang dan kesabaran yang luar biasa yang
diperlihatkan Davi, sebenarnya cowok itu merasa dadanya hangus terbakar.
Tumpah dalam bentuk letupan lahar.
Tapi tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain menahan diri untuk tidak
membuat si Alfa itu rontok gigi atau tulang-tulangnya mesti dipasangi pen di sanasini.
SIANG ini ada pameran lukisan. Goresan mendiang Basuki Abdullah. Dan Irish
penggemar berat lukisan-lukisan beliau. Sayang tidak ada klub Basuki Abdullah
mania. Coba kalau ada, dijamin pasti dia akan mendaftar paling utama.
"Lukisan-lukisannya baguuus deh, Dav! Bener-bener hidup. Detail-detailnya
sempurna. Pokoknya nggak ada yang nandingin lukisannya!"
Davi mendengarkan letupan semangat cewek di depannya dengan diam. Kalau
sudah bicara soal lukisan, Irish pasti begitu. Meskipun dia baru menyadarinya
setelah kedatangan Alfa. Dan itu juga yang telah melepaskan si mungil ini dari
tangannya. Tanpa peduli yang diajak bicara tidak tertarik atau bahkan tidak peduli,
Irish akan terus bicara. Cewek ini bahkan rutin duduk di depan tivi tiap sore, mengikuti satu judul
telenovela, cuma telenovela itu penuh lukisan di setiap setting indoor-nya.
Sementara jalan ceritanya sendiri dia malah tidak begitu menyimak.
"Makanya...," sambung Irish. "pulang sekolah gue mau liat. Nggak apa-apa, kan?"
"Inikan baru hari pertama, Rish! Pamerannya seminggu, kan?"
"Gue mau liat tiap hari malah. Seminggu sih kurang!"
Davi geleng kepala. Minta ampun si Irish ini!
"Sama Alfa?" Kadang Davi heran sendiri, kenapa dia masih juga menanyakan dengan siapa Irish
pergi. "Sama siapa lagi"!" jawab Irish dengan intonasi yang menyimpan seribu arti.
Bosan, kesal, capek. "Gue nggak akan minta persetujuan elo kalo pergi sama orang laen atau pergi
sendiri." "Tapi elo selalu pergi, meskipun gue nggak ngomong setuju atau nggak."
Irish tersenyum manis, menyembulkan sepasang lesung pipi kecilnya.
"Itukan cuma formalitas!" jawabnya diplomatis. Davi kontan mati kutu. "So...?"
lanjut Irish. "Nggak apa-apa. Pergi aja!"
"Emang harus nggak apa-apa!" tandas Irish. Davi cuma tersenyum tipis.
Dan siang itu, saat Davi berjalan lesu ke lapangan, Irish sudah kabur begitu bel
berbunyi. "Kenapa?" tanya Davi heran saat Verdy menatapnya dengan sorot aneh.
"Heran aja," jawab cowok itu sambil melepas baju seragamnya, ganti dengan kaus.
"Elo sama Irish ke mana-mana pake mobil, berarti di antara kalian berdua ada
jarak. Tapi lo biarin dia pergi sama cowok laen naek motor. Pernah lo liat orang
naik motor jauh-jauhan" Apalagi kalo ngebut! Jadi jangan kaget kalo nanti cewek
lo itu tiba-tiba udah disamber orang. Apalagi cowok model Alfa!"
Davi kontan menegang. "Mereka naik motor!?" desisnya.
"Lo liat aja ke depan."
Tanpa buang waktu, Davi melempar tasnya ke tanah begitu saja dan belari ke
gerbang depan seperti orang kesurupan.
Benar saja! "IRISH!!" teriaknya seketika. Gelegar suaranya bukan cuma membuat Irish dan
Alfa yang kaget, tapi semua yang ada di situ juga ikut kaget. Irish langsung pucat.
Meskipun dia tidak tahu fi mana letak kesalahannya, wajah Davi yang kaku dan
merah cukup membuatnya tahu bahwa cowok itu marah besar.
"TURUN!!!" bentak Davi begitu sampai di depannya. Ditariknya Irish dari
boncengan Alfa. Begitu keras sampai cewek itu hampir terjatuh kalau tidak buruburu dipegangi Alfa.
"Kok elo kasar banget sih sama cewek!?" bentak Alfa, jadi ikut marah. Davi
menatapnya dengan wajah menyala.
"Kenapa lo nggak bilang kalo mau ngajak dia pake motor?"
"Emangnya elo siapa!" Kalo elo babenya gue kasih tau. Tapi elo kan cuma....
pacarnya!" Ada yang aneh dari cara Alfa menyebut kata "pacarnya". Mata Davi
menyempit. "Apa maksud lo?"
Alfa menyeringai. Sepasang bola mata hitamnya berkilat.
"Cewek lo buat gue! Gimana?"
Davi terperangah. Tapi dia batal memperpanjang masalah karena sekarang mereka
sudah jadi tontonan gratis. Ditatap berpasang-pasang mata dari segala penjuru.
Anak-anak yang lain juga terbelalak karena kata-kata Alfa barusan.
"Ayo pulang, Rish!" ditariknya tangan Irish yang sejak tadi memang tidak
dilepaskannya. Pontang-panting Irish berusaha mengikuti langkah Davi yang dua
kali lebih panjang dari langkahnya.
Dari atas motornya, Alfa mengikuti kedua anak itu dengan sepasang mata yang
perlahan-lahan dipercik bara. Davi tidak mengira sama sekali kalau ternyata Alfa
akan mengejarnya. Deru mesin motornya memecahkan telinga. Dan begitu bisa
menyejajari, Alfa memukul keras pintu mobil di sebelahnya. Membuat dua orang
di dalamnya terlonjak kaget.
"MINGGIR!!!" teriak Alfa keras. Sebelum Davi bisa memutuskan untuk menuruti
perintah itu atau cuek aja, Alfa sudah lebih dulu bertindak. Menghentikan paksa
dengan jalan memotong jalan mereka.
Irish meremas kesepuluh jarinya kuat-kuat. Mengikuti dengan ketakutan adegan di
depannya. Alfa yang biasanya selalu cerah, banyak tawa, lucu, konyol, sekarang
benar-benar menakutkan. Cowok itu menghampiri mereka dengan langkahlangkah panjang, kedua rahangnya mengatup keras dan sorot matanya setajam
elang. "Gue mau ngomong sama elo! Turun, cepet!" bentakan itu diakhiri dengan pukulan
di pintu mobil. Kemudian dia pergi dan menunggu di sebelah motornya. Davi
mengeratkan gerahamnya. Dia semakin marah karena tentangan dan gaya Alfa
yang sudah mirip jagoan itu.
"Alfa itu maunya apa sih!?" desisnya sambil membuka pintu dan turun. "Lo tetep
di sini, Rish. Jangan turun!"
Meskipun tetap di mobil, Irsih bisa mendengar semua percakapan Davi dan Alfa
karena cara ngomong kedua cowok itu setengah tarik urat.
"Apa sih mau lo?" bentak Davi.
"Gue minta cewek lo! Tadi udah gue bilang, kan?"
Irish sampai menepuk-nepuk dada mendengar kalimat itu. Kok Alfa jadi kasar
begini" "Tolong deh, elo sopan sedikit kalo ngomong. 'Minta, minta!' Lo pikir dia barang?"
"Bukannya buat lo dia itu begitu?"
Davi tertegun. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuatnya tercekat.
"Apa maksud lo?" volume suaranya kontan menurun dratis.
Alfa ketawa. "Kenapa suara lo jadi kecil" Takut?" ejeknya. Kemudian dia menoleh
ke Irish. "Irish, honey! Lo mendingan turun deh. Elo harus denger apa yang mau
gue omongin ke cowok lo ini!"
Irush jelas tidak berani. Pertama, karena Davi sudah melarang. Kedua, dia takut
kena bogem nyasar. "Gimana kalo kita pindah ke deket... cewek lo?" Alfa menatap Davi dengan alis
terangkat tinggi. Davi menggertakkan giginya, menahan geram.
"Al, ini ada apa sebenernya?" desisnya pelan.
Alfa ketawa lagi. "Kenapa suara lo" Ayo sini!" Dia melangkah mendekati mobil
Davi di sisi tempat duduk Irish. Ekspresi Irish tampak ketakutan. "Ayo, sini!"
serunya begitu dilihatnya Davi tidak bergerak. "Ini bukan cuma urusan elo sama
gue! Irish juga kesangkut!" kemudian ditatapnya si mungil itu. "Elo nggak apa-apa
kan, Rish" Jangan kuatir deh! Kalo elo nggak berani mengakhiri, gue yang akan
mengakhiri!" Kalimat terakhir Alfa kontan membuat sepasang mata Davi berkilat. Davi
mendekati Alfa dengan kecemasan yang perlahan memekat. Begitu juga Irish.
Meskipun tidak tahu kartu apa yang sedang dimainkan Alfa, Irish merasa sesuatu
akan terjadi. "Elo tuh ya...," Alfa meneliti sosok cowok di depannya dari ujung rambut sampai
ujung kaki, sambil tersenyum dengan sorot mata mengejek, "punya sesuatu yang
elo umpetin. Sesuatu yang mahadahsyat! Yang elo paksa untuk dikubur!"
Davi terkesiap. Seketika tubuhnya menegang. Pucat pasi, ditatapnya Alfa. Alfa
balas menatap dengan penuh kemenangan.
"Tapi... elo gagal! Soalnya masalah yang berusaha lo tutupin emang bukan
masalah yang bisa dengan gampangnya bisa lo lupain begitu aja. Iya, kan"
Sayangnya... elo melibatkan orang lain yang nggak tau apa-apa. Yang sebenernya
nggak pantas lo ajak ikut memikul beban. Sebenernya sih nggak apa-apa kalo
porsinya kecil. Tapi yang terjadi..." Alfa menoleh ke Irish. "Justru sebaliknya!
Justru Irish yang paling banyak menanggung beban. Sementara elo... cuma berdiri
di belakangnya!" Davi terperangah. Kaget luar biasa. Seketika sepasang matanya menatap Irish
dengan bara meletup. Irish kontan pusat. Putih seputih kertas. Apalagi waktu dilihatnya sepasang mata
Davi penuh dengan nyala kemarahan dan memandangnya seperti ingin membunuh.
"Jadi..." Alfa meneruskan kalimatnya, masih dengan gaya santai, "Irish emang
cewek lo, seperti yang semua orang tau. Tapiii... sekarang ada gue. Dan gue tau....
persis! Yang sebenernya! Jadi kalo elo apa-apain dia..." Alfa menoleh ke arah Irish
yang semakin pucat dikursinya, mengulurkan satu tangannya, dan menepuk lengan
gadis itu dengan lembut. "Lo akan jadi cewek gue, honey!"
*** Irish tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Begitu Alfa pergi -tak lupa cowok itu
meninggalkan salam sayang disertai pesan, "Kalo elo di apa-apain sama si Davi,
bilang gue!"- Davi melarikan mobil dengan kecepatan tinggi. Cowok itu baru
menghentikan mobil pas udah di tempat sepi, lalu meledak sejadi-jadinya.
"Elo cerita ke Alfa, ya" Lo ceritain semuanya ke Alfa!!!" teriaknya, nyaris seperti
orang kalap. Irish merapatkan badannya ke pintu, ketakutan.
"Gue nggak cerita apa-apa, Dav. Sumpah!"
"Terus gimana dia bisa tau?"
"Mana gue tau! Jangankan Alfa yang baru kenal, Vaya yang sohib gue dari SD aja
nggak gue kasih tau!"
"JANGAN BOHONG!"
"Gue nggak bohong!" Irish sudah ingin menangis. Ini kedua kalinya dia dibentakbentak Davi. Tapi yang pertama dulu dia masih bisa ngerti karena Davi nggak
sadar. Tapi sekarang"
"ELO... PASTI... CERITA... KE ALFA... SEMUANYA! PASTI!!!" Davi
memperjelas tuduhannya kata demi kata. Irish geleng kepala kuat-kuat.
"Gue nggak cerita! Gue nggak cerita apa-apa!" jeritnya melengking. Benar-benar
nelangsa. "Gue nggak cerita apa-apa! Gue nggak cerita ke siapa-siapa!"
"NGGAK MUNGKIN!"
Davi menggebrak dasbor. Begitu keras hingga pernak-pernik di atasnya melayang
dan terjun bebas. Jatuh berserak.
"Nggak mungkin! Lo pasti cerita semuanya ke Alfa! Apa maksud lo sih, Rish!"
Supaya dia tau yang sebenarnya" Supaya dia tau kalo elo itu bukan siapa-siapa
gue, begitu" Dulu gue udah bilang kan, kalo ada cowok yang elo suka... silakan!
Elo boleh pergi!" Irish menatap Davi dengan mata berkaca-kaca. Tiba-tiba dia membuka pintu di
sebelahnya, melompat turun, dan lari! Davi terperangah.
"IRISH! IRIIISH!!!" teriaknya.
Irish nggak peduli. Dia makin mempercepat larinya dan nggak menoleh lagi. Masa
bodo sekarang dia ada di mana! Kesasar masih lebih mending. Daripada dimakimaki kayak tadi!
Dia udah dituduh "mandi kembang tengah malam", dibilang sok cueklah, sok jual
mahallah, pura-pura nggak intereslah, sok imutlah. Setelah perasaannya jadi moratmarit begitu, setelah hatinya ditusuk dari mana-mana begitu, emangnya dia bisa
begitu gampang jadi pengkhianat"
Davi buru-buru mengejar, tapi Irish sudah lari ke seberang jalan dan menghilang di
kerumunan. Tercenung, Davi lalu berdiri diam. Hatinya sebenarnya ragu, tapi
karena begitu lengkapnya Alfa tahu tentang semuanya, lalu apakah ada penjelasan
lain" *** Irish baru sampai rumah sore hari. Dia benar-benar kesasar. Baru kali ini dia naik
bus yang tidak tahu ke mana tujuannya. Melewati tempat-tempat yang dia juga
baru sekali itu melihatnya. Yang paling parah, dia tidak bisa bilang ke kondektur
mau turun di mana! Sampai rumah sudah jam lima lewat, ternyata Davi ada di sana!
Cowok itu duduk di teras dengan raut cemas. Dia langsung berdiri begitu Irish
muncul di depan pagar. "Dari mana aja?"
"Dari Sabang sampai Merauke!" jawab Irish sengit. Pake nanya, lagi!
"Rish, gue minta maaf soal..."
"Ah, udah deh!" Irish mengibaskan tangannya. "Gue males ngomongin!"
Davi buru-buru menahan ketika Irish akan melangkah masuk, dan memaksanya
untuk tetap berdiri di hadapannya.
"Leeepas!" Irish meronta. "Lepas nggak" Lepas! Lepas! Lepas!"
Davi tidak melepaskan cekalannya. Dibiarkannya Irish berontak sampai akhirnya
capek sendiri. "Dari mana" Sampe sore begini?" tanyanya halus.
Irish melotot marah sebelum menyemburkan jawabannya.
"Emangnya lo kira gue dari mana" Apa gue keliatan kayak abis jalan-jalan di mal"
Apa gue keliatan kayak habis makan burger di McDonald's" Gue abis kesasar, tau!
Gue jalan ke sana kemari! Semua orang yang gue tanyaiin, satu pun nggak ada
yang tau daerah sini! Mana gue naek bus yang nggak tau mau ke mana. Puas"
Sekarang lepasin tangan gue!"
"Rish," ucap Davi lembut. Berusaha meredam emosi cewek di depannya itu. "Gue
mau ngomong..." "Gue nggak mau ngomong!" jerit Irish. "Gue mau makan! Gue mau minum! Gue
mau mandi! Gue mau tidur! Gue capek! Gue laper! Gue aus! Gue marah! Gue
kesel! Jengkel! Benci! Dongkol! Lo mendingan pulang aja deh sekarang! Sana
pulang! Cepet!" "Gue kuatir, makanya gue nungguin elo. Gue juga mau...," Davi diam sejenak,
"minta maaf." "Heh!?" Irish melongos. Minta maaf! Emangnya gampang!" Berjam-jam naik bus,
jalan ke sana kemari, sampe dikira sudah sampe Surabaya saking jauh en lamanya.
Duit abis, lagi... buat bayar ongkos!
Tahu Irish tidak akan bisa di ajak ngomong saat ini, akhirnya Davi melepaskan
genggamannya. Dengan lembut di rapikannya anak-anak rambut Irish yang jatuh di
dahi. "Gue tau elo pasti capek. Ya udah, istirahat gih. Besok..."
"Nggak ada besok!" potong Irish langsung. "Mulsi besok gue nggak mau dijemput
lagi! Gue mau berangkat sendiri!" Lalu dengan kasar, dia membanting pintu di
depan Davi. Jangan dikira Irish cuma bisa diem aja. Kalo cuma bentak-bentak aja sih.... kecil!
Dikiranya gue nggak berani!" Asal jangan diajak smackdown aja, gerutu Irish
dalam hati. Malamnya, Davi waduh mencoba menelepon. Barangkali Irish sudah agak lunak.
Tapi baru saja dia ngomong "Halo" , langsung aja terdengar bunyi.... BRAK!
Telepon di seberang di banting keras!
*** Keesokan paginya, Irish terbangun kaget.
"Aduh! Jam berapa nih?" desahnya sambil melihat jam dinding. "Jam enam?"
serunya panik. "Aduh, gawat! Gawat!"
Gara-gara peristiwa pulang sekolah kemaren, dia jadi kesel, benci, marah, dongkol,
malu, sebel! Pokoknya dia benciii banget sama Davi!
Telat deh hari ini! Biasanya dijemput Davi, jadi dia bisa bangun agak siangan. Tapi
kalo naik bus, jam enam lewat sepuluh dia kudu cabut dari rumah.
Buru-Buru Irish loncat dari tempat tidur, mematikan lampu, membuka jendela,
dan... seketika dia tertegun. Mobil Davi sudah ada di halaman!
"Mau apa lagi dia?" desisnya marah sambil jalan ke pintu. Udah dibilang gue
nggak mau dijemput. "Kan udah gue bilang, gue mau berangkat sendiri!" sentaknya begitu berhadapan
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Davi di teras rumah.
Davi mengangkat kepala dan sepasang alisnya langsung menyatu begitu melihat
penampilan cewek di depannya. Wajah Irish cemberut berat dalam baju tidur dan
rambut kusut. "Udah jam enam lewat lima, Rish."
"Gue mau berangkat sendiri!"
"Jam setengah delapan lo baru sampe sekolah."
"Biar!" "Yang piket Bu Sam lho. Elo tau dia nggak pernah mau dengar alasan apa pun."
"Biiiiiiar!" "Rish," kata Davi sabar. "Jam pertama pelajaran bahasa Inggris. Bisa abis elo
dibikin malu Bu Nursiah."
"Biar! Biar! Biar!" Irish sepertinya benar-banar naik darah soal kejadian kemarin.
"Okelah," akhirnya Davi ngalah. "Gue berangkat duluan." Dia pun berdiri. "Gue
duluan, ya?" pamitnya, berharap akan ada perubahan. Tapi Irish tidak menjawab.
Cewek itu malah balik badan dengan angkuh terus jalan ke dalam.
Masa bodo! gerutu Irish dalam hati. Masih untung gue masih punya perasaan.
Nggak ganti bikin malu dia di depan umum! Dasar! Tapi begitu keluar dari dalam
kamar mandi, tuh cewek langsung menjerit panik.
"HAH! Jam setengah tujuh" Aduh, Mati gue! Mati gue! Mati gue!" Buru-buru dia
kabur ke kamar. "Iriiish!" jerit mamanya. "Pelan-pelan kenapa sih" Tuh, kamu bikin becek, lagi?"
"Buru-buru, Mah!" Irish balas menjerit dari kamar.
"Makanya! Siapa suruh begadang!"
Irish siap-siap superkilat. Buku, alat tulis, semua dimasukan ke dalam tas begitu
saja. Tapi begitu melihat buku bahasa Inggris-nya di atas kasur, dia menjerit lagi.
"Oh, iya! Pe-er Inggris-nya belom gue kerjain! Aduuuh, mati deh gue! Gimana
dong?" sejenak Irish berdiri bengong. Ngeri membayangkan Bu Nursiah, salah satu
guru yang masuk dalam jajaran guru killer. Dengan mata tajam dan bibir tipis,
kalau Bu Nursiah sudah ngomel, wah... kuping kita kudu buru-buru diperiksa ke
dokter THT. Seakan masih kurang apes, Irish sudah berdiri lima menit berdiri di pinggir jalan,
tapi nggak ada satu pun bus yang lewat.
"Ini bus pada ke mana sih?" desisnya kesal. "Nggak tau gue udah telat, apa!"
"Naek taksi aja, Mbak," usul Yadi, pedagang asongan yang sering mangkal di
halte. Begitu ngieliat Irish tadi, cowok itu langsung ngomong kangen. Soalnya
lama nggak ketemu. "Naek taksi!?" Irish mengangkat alis. "Mana sini, pinjemin gue duit buat ongkos
naek taksi!" Yadi kontan nyengir kuda.
Di saat Irihs di ambang kepasrahan gitu, sebuah Jeep putih berhenti di hadapannya
dan pintunya langsung terbuka. Davi! Irish langsung cemberut dan melongos ke
arah lain. Davi turun karena tahu kali ini Irish takkan mau naik secara sukarela kalau tidak
dipaksa. "Udah jam tujuh kurang sepuluh, Rish," katanya pelan. Digamitnya lengan cewek
itu dan dipaksanya dengan halus untuk naik. Terpaksa Irish nurut karena bus yang
di tunggunya -yang ternyata baru saja nongol dari tikungan belakang- ternyata
banyak banget fansnya. Sampai pada ikhlas bergelantungan di pintu. Selain itu
juga, Irish ogah beradegan ala film india di tempat umum.
Jeep melaju dengan keheningan di dalamnya. Sampai kemudian jam mungil di atas
dasbor mengalunkan denting-denting halusnya. Jam tujuh tepat!
Irish mengeluh panjang. Denting jam itu seperti suara ketukan sepatu Bu Nursiah
yang berjalan di sepanjang koridor kelas. Dan Irish langsung teringat bibir tipis Bu
Nursiah yang kalau sudah ngomel..... wiiiih.... murah banget melontarkan kata-kata
lumayan pedas. Di kelas Irish yang sudah pernah merasakan ketajaman mulut Bu Nursiah adalah
Mona. Sama seperti Irish sekarang, waktu itu Mona lupa mengerjakan pe-er.
Langsung aja Bu Nur berdiri disamping meja Mona. Sambil melotot, dengan suara
nyaring dan garing dia mulai mengomel.
"Jadi... you tidak mengerjakan homework yang I suruh minggu lalu..." Bagus!
Good! Good! Berarti you sudah merasa clever ya" So.... bagaimana if now you
stand up and kerjakan itu homework di papan tulis!"
Mampus nggak" Waktu itu Mona -asli!- pucat habis. Apalagi setelah dia ternyata nggak bisa
mengerjakan soal dan cuma bisa bengong di depan papan tulis sampai lama, makin
murahlah Bu Nur mengeluarkan semua kosakata pedas dan pahitnya.
Deni sampai kasihan. Langsung dia menghibur Mona begitu jam bahasa Inggris
sudah selesai. "Udah, Mon. Nggak usah dipikirin. Kalo mau bunuh diri.... ya bunuh diri aja!"
Kini, melihat cewek di sebelahnya jadi gelisah, Davi mencoba menenangkan.
"Paling cuma di omelin lima menit, Rish."
Irish meliriknya sekilas, lalu menarik napas.
"Gue belom ngerjain pe-er," katanya memelas.
"Belom!?" Davi menoleh sambil mengangkat alis. "Wah! Kalo itu sih gawat!"
"Makanya! Gimana dong?"
"Gimana ya?" Davi pura-pura sibuk berpikir. Terlintas dipikirkannya untuk
membolos. Dulu, inilah yang kerap dilakukannya. Tapi setelah peristiwa itu, dia
sudah berjanji tidak akan menyia-nyiakan masa sekolah. Tapi kalau tetap masuk,
kadguuan Irish. Bisa habis dia dimarahi di depan kelas.
"Gini aja deh." Davi menepikan mobil. Dia meraih tas plastik di kursi belakang
lalu mengeluarkan isinya. "Kita jalan-jalan aja yuk" Nih, lo ganti baju deh."
"Bolos?" Irish terpana.
"Terpaksa. Elo mau dimarahin Bu Nursiah" Kali gue sih masalahnya cuma telat.
Nah, elo. Udah telat, nggak ngerjain pe-er, lagi!"
"Tapi kan gue lagi marah banget sama elo!"
Davi tertawa pelan. "Ya marah aja. Nggak apa-apa kok. Marah sambil jalan-jalan kan bisa."
Irish menatap cowok itu dengan kening terlipat. Dia merasa akhir-akhir ini Davi
semakin susah di tebak. Tapi rasa herannya langsung hilang begitu dia membuka
lipatan kaus yang tadi dikasih Davi. Dengan ternganga, ditatapnya kaus yang
sering dipakai Davi untuk latihan itu.
"Nggak ada yang lebih gede lagi ya, Dav?"
"Kenapa?" tanya Davi sambil menahan senyum.
"Ini sih paling cuma sampai dengkul. Yang sampe nutupin kaki gue sekalian, ada
nggak" Ini pasti tadinya daster, terus elo pake jadi kaus!"
Davi tertawa geli. Irish menatapnya, menunggu tawanya reda, lalu berkata pelan
namun dengan sungguh-sungguh. "Bukan gue yang ngasih tau Alfa. Kalaupun
akhirnya gue kasih tau ke orang lain, satu-satunya pasti Vaya, dan bukan Alfa!"
Davi menarik napas panjang.
"Iya, gue tau. Kemaren gue cuma kaget, kok tiba-tiba ada orang lain yang tau
tentang kita, juga tentang kejadian itu." Davi terdiam lalu menatap gadis di
sebelahnya dalam-dalam. "Gue minta maaf, Rish. Gue udah bikin malu elo di
depan banyak orang. Kalo elo mau marah...," Davi membuka dua tangannya,
"silakan! Gue siap dengerin. Mau mukul juga boleh!"
"Tapi entar elo bales mukul balik nggak?"
Seketika Davi tertawa. "Nggaklah. Gue pantang mukul cewek! Apalagi elo kecil!"
Irish meringis. "Nggak ah. Nggak seru kalo ditantangin. Terus soal kemaren, nanti gue tanyain
Alfa deh. Dia tau dari mana atau dari siapa."
"Jangan!" cegah Davi. "Gue aja! Kalo elo yang nanya, bisa laen buntutnya!"
"Maksud lo?" Davi menatapnya. Kadang dia tidak mengerti. Irish ini memang polos, pura-pura
polos, atau memang cuek" Padahal jelas-jelas Alfa itu suka sama dia. Sampai
semua orang pun bisa membaca dengan jelas.
"Umur lo sebenernya berapa sih?"
"Kenapa?" "Pengin tau aja."
Irish diam sesaat. "Tujuh belas. Tapi masih agak lama sih."
"Oh ya?" Davi terbelalak. Ternyata betul! Ini cewek masih kecil. Sudah hampir
mau tamat SMU, tapi tujuh belas juga belum.
"Kita mau kemana sekarang?"
Davi menatapnya lagi. Keputusan ini ambilnya semalam. Mulai sekarang dia harus
memperlihatkan rasa sukanya pada Irish. Kalau nggak, gadis di sebelahnya ini
betul-betul lepas suatu hari nanti.
"Gue punya sodara. Dia punya banyak koleksi lukisan. Di samping dia sendiri juga
pelukis. Mau ke sana?"
Irish terpana! DAVI dan Irish kaget begitu besoknya mereka masuk, ternyata Alfa sudah
menunggu di kursi Davi. "Ke mana lo kemaren?" tanyanya langsung ke Davi. "Urusan kita belum selesai!"
"Al, ini masih pagi lho," tegur Irish pelan.
"Justru itu, Rish. Tenaga gue masih full buat nonjok dia!"
Alfa berdiri dan berjalan mendekati Davi. Irish menatap cemas waktu kedua
cowok yang sama-sama jangkung itu berhadapan, dalam jarak yang benar-benar
dekat, karena Alfa sengaja melakukannya.
"Nanti siang gue ke sini lagi! Jangan kabur lo!" desis Alfa pelan, terus balik badan.
Sebelum keluar, dia mendekati Irish.
"Elo nggak apa-apa kan, Rish?" tanyanya, membungkukkan badan di depan Irish.
Irish geleng kepala dan menjawab agak ragu. "Ng... Nggak... nggak apa-apa."
"Terus, kenapa lo kemaren nggak masuk?"
"Oh, itu. Gue bangunnya kesiangan. Daripada abis diomelin Bu Nur, mendingan
gue nggak masuk." "Oh, gitu..." Alfa gangguk-ngangguk. "Terus, dia ikutan nggak masuk juga?"
dagunya bergerak ke Davi.
"Kenapa lo nggak nanya langsung?" sela Davi.
Alfa menoleh dan menatapnya dingin. "Ngomong sama elo nggak afdol kalo nggak
pake tangan!" jawabnya sambil menegakkan badan terus ngeloyor begitu saja.
"Apa katanya tadi?" tanya Irish setelah Alfa berlalu.
"Nanti siang dia mau ke sini," jawab Davi.
"Ngapain?" "Paling ngajak adu jotos."
Irish terperangah. "Kenapa?" "Mana gue tau."
Begitu bel istirahat berbunyi, Irish langsung kabur ke kelas Alfa.
"Al! Elo kenapa sih" Dia udah minta maaf kok soal kemaren itu."
"Segitu gampangnya elo kasih dia maaf" Lo nggak inget gimana dia teriak-teriak"
Semua mata ngeliatin elo! Semua mata ngeliat gimana dia narik elo dari motor gue
sampe hampir jatoh! Semua ngeliat bagaimana dia maksa elo untuk ikut dia ke
mobil!" "Yaaa... yaaa..." Irish kebingungan ngejawabnya. "Abis kalo gue lawan, nanti pasti
lebih rame lagi. Di samping itu badannya kan gede. Gimana gue ngelawannya?"
Alfa menarik napas. "Duduk sini, Rish," katanya. Dengan lembut di tariknya cewek itu sampai duduk di
sebelahnya. Kemudian diambilnya tangan Irish dan digenggamnya lembut.
Mulutnya sudah terbuka, sebelum mendadak tatapannya menyapu seluruh kelas,
karena berpasang-pasang mata menatap mereka dengan sorot ingin tahu.
"Apa liat-liat!?" bentaknya. "Kalo mau lapor ke Davi, lapor sana! Bilang sekarang
Irish Sama gue! Sana bilang!"
"Alfaaa," tegur Irish lirih.
"Biarin, Rish! Gue udah bosen sama mulut-mulut usil yang asal menarik
kesimpulan, terus ngomong yang nggak-nggak!"
"Emang mereka begitu. Diemin aja deh. Nanti malah jengkel sendiri lho.
Emangnya lo mau ngomong apa?"
Tatapan Alfa kembali ke cewek di sebelahnya.
"Gue cuma mau tanya satu hal. Elo pergi-pergi sama gue, Davi nggak apa-apa?"
Irish langsung kaku ditanya begitu.
"Ng... maksud lo?"
"Kalimat gue udah jelas, kan" Nggak mungkin elo nggak ngerti."
"Yaaah... gue nggak tau deh." Tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan
seperti itu, Irish langsung gugup dan tak sempet lagi cari alasan untuk berkelit.
Alfa tertawa pelan. Sedikit aneh.
"Lucu ya" Sebenernya ada apa sih antara elo sama Davi" Jangan bohong, Rish.
Gue nggak bego kayak yang laen."
Irish makin gugup. Tiba-tiba dia berdiri.
"Gue mau balik!" katanya, dan langsung keluar. Alfa tidak berusaha mencegah,
meskipun tindakan Irish sudah dia duga.
Irish.... Irish, keluhnya dalam hati. Elo kasian bener sih! Liat aja nanti. Gue bikin
sekarat si Davi itu.... demi elo.
*** Lima menit sebelum bel, Alfa sudah menunggu di luar pintu kelas Irish. Nggak tau
deh gimana caranya dia bisa keluar duluan begitu. Irish langsung panik.
"Dav, Alfa di luar."
Davi menoleh ke luar tapi tetap tak terpengaruh.
"Biarin aja. Nggak ada alasan yang ngelarang dia but ke sini."
Alfa kayaknya lagi kalap. Metha dan Daniar, yang bertahan di kelas karena ingin
tahu ada apa, langsung di dekatinya.
"Elo berdua bisa pergi?"
"Ini kan kelas gue!" sentak Metha seketika.
"Gak lagi sekarang! Ini udah bel! Lagi pula, emangnya lo bayar SPP berapa, sampe
bisa bilang ini kelas elo" Cepet pergi!"
"Elo tuh yang seharusnya pergi!"
"Oh, gitu?" desis Alfa berang, lalu langsung menjatuhkan badannya begitu saja ke
kursi Daniar yang duduk di pinggir. Daniar kontan mencelat bangun dan pindah ke
kursi Metha. Dua cewek itu duduk dempet-dempetan.
Alfa mengurung kedua cewek yang sudah terdesak itu dengan tubuh dan rentangan
dua tangan. Tatap tajamnya seakan menguliti mereka bergantian. Daniar ketakutan.
Dia benar-benar nggak nyangka Alfa bisa sadis begini. Padahal kemarin-kemarin
ini cowok nyaris sempurna di matanya. Cakep, baik, ramah, kocak, lagi!
"Gue nggak mau ngasarin cewek. Pantang!" desis Alfa. "Tapi elo berdua kayaknya
tipe cewek yang emang perlu dikasarin dulu, baru ngerti. Jadi...," dia memajukan
badannya, "elo mau pergi sukarela apa mau gue paksa?"
"Yuk, Met. Kita pergi!" Daniar buru-buru berdiri.
"Bagus! Ada yang cepet ngerti!" Alfa ikut berdiri, memberi jalan. Tapi Metha
kelihatannya ogah-ogahan. Dia harus tau ada apa sebenarnya, karena tuh cewek
nggak abis pikir, nggak ngerti, nggak bisa terima, kalau Irish ternyata sanggup
membuat dua cowok keren saling menantang.
"CEPET PERGI!" Alfa menggebrak meja dengan seluruh kekuatan. Benda itu
sampai bergoyang dan berderit.
Metha, apalagi Daniar, terlonjak dan buru-buru lari keluar.
"Dasar cewek-cewek babel!" gerutu Alfa sambil balik badan setelah mengunci
pintu. Keningnya langsung keriting begitu melihat Irish, yang ternyata jadi ikut
ketakutan waktu Alfa membentak Metha dan Daniar tadi. Si mungil itu sekarang
sedang meringkel rapat-rapat di belakang punggung Davi sambil memeluk satu
lengan cowok itu kuat-kuat.
Sambil menahan senyum, Alfa menghampiri mereka berdua. Dengan gaya lucu,
dia melongokkan kepala ke belakang punggung Davi.
"Bukan elo kok, Rish, yang gue bentak-bentak." Irish tidak bereaksi. Alfa jadi
ketawa. "Jangan berdiri di situ. Soalnya kalo nanti Davi gue tonjok, elo bisa kena."
Irish terperangah. Tapi tetap tidak berani buka mulut.
"Iriiish, gue ke sini mau nonjokin Davi lho. Jadi elo jangan di situ."
Sementara itu Davi tetap tenang. Mengikuti tingkah Alfa tanpa ngomong apa-apa.
Juga waktu Alfa meneruskan pertanyaannya yang bernada ancaman itu.
"Rish, kalo dia gue bikin bonyok... elo gimana?"
Irish semakin bingung. Dia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya membuat
Alfa jadi berubah dratis begini.
Alfa ternyata nggak main-main. Begitu kalimatnya selesai, satu kepalannya
mendadak melayang dan mendarat tepat di hati uluh Davi. Davi kontan terhuyung,
bersamaan dengan jeritan Irish yang melengking, juga penonton yang berjubel di
luar, yang kebanyakan cewek.
Saat tubuh Davi terdorong keras ke belakang, Alfa mengulurkan tangan kirinya
dan secepat kilat menarik Irish ke sebelahnya, sepersekian detik sebelum cewek itu
kejatuhan tubuh jangkungnya Davi.
"Alfa, elo...!" jerit Irish, serentak tangannya menutup mulut. "Elo jahat banget
sih?" "Ini buat elo, Rish!"
"Buat gue gimana" Elo jangan ngelempar beban ke gue ya!"
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alfa menghela napas. Disambarnya tangan Irish begitu cewek itu bergerak akan
menghampiri Davi. Dipaksanya Irish agar tetap di sebelahnya.
"Diem aja di sini, Rish! Soalnya gue lagi marah nih!"
Irish kontan batal mau nekat. Dia cuma bisa diam melihat Davi berusaha berdiri
sambil memegangi perutnya yang terkena bogem mentah Alfa.
Sekuat tenaga Davi berusaha tersulut emosi. Selama ini dia berusaha keras untuk
berubah, dan dia nggak mau usahanya selama berbulan-bulan sia-sia karena satu
orang yang dia sendiri tidak tau begitu jelas maksudnya. Cukup kemarin dia lepas
kendali dan hampir membuat Irish pergi.
"Gue nggak mau memperpanjang masalah ini, Al. Meskipun nggak ngerti apa
maksud lo, apa kepentingan lo"
Alfa tersenyum. Tenang tapi semakin penuh tanda tanya.
"Justru gue yang punya kepentingan atas lo, tau!"
"Gue atau Irish" Gue tau elo suka dia sejak pertama kali lo liat dia!"
Seketika Alfa ketawa keras. Begitu geli, seolah kalimat Davi barusan itu benarbenar lucu.
"Oh, bukan itu yang jadi prioritas gue, Dav. Elo itu ternyata naif banget ya" Abis
kejadian kemaren pun, elo masih mikir begitu" Meskipun nggak gue pungkirin,
gue suka cewek lo. Tapi tetep elo yang terpenting buat gue!" sejenak Alfa diam,
menarik napas panjang, kemudian, "Lo putusin dia, biar gue bisa ngabisin elo
tanpa beban. Itu lho maksud gue! Soal dia mau jadi cewek gue apa nggak...," Alfa
menyeringai, "gue rasa gue lebih tau Irish daripada elo!"
Habis sudah kesabaran Davi! Satu tinjunya melayang tiba-tiba dan mendarat telak
di dada Alfa. Diiringi jeritan Irish juga para penonton di jendela, Alfa terpelanting
dan terjerembab di lantai. Dan sebelum dia sempat bangun, Davi langsung
mendekat dan mematahkan usaha Alfa dengan jalan menginjak kedua tangan Alfa.
Irish bergerak akan mendekat begitu dilihatnya Alfa menyeringai kesakitan, waktu
sepasang sepatu Davi yang bergerigi itu menginjak kedua lengannya. Tapi Davi
langsung memerintahkan Irish untuk tidak ikut campur.
"Diem aja di situ, Rish!"
"Tapi, Dav. Kasian...,"
Davi menoleh dan menatap tajam.
"Gue bilang... diem di situ!" perintahnya. Irish langsung nurut, daripada sepatu
gede yang soalnya mirip rahang buaya ganti menempel di tangannya. Tatapan Davi
langsung beralih lagi ke sosok tak berdaya di bawah kakinya.
"Apa maksud lo!?" desisnya tajam.
Alfa menggerakkan jari-jarinya ditengah usahanya menahan sakit, berusaha
memberikan isyarat agar Davi mendekatkan wajahnya. Davi menurut, tapi cuma
membungkukkan sedikit badannya.
"Gue nggak mau Irish denger!" bisik Alfa.
Mata Davi menyipit mendengar kalimat pelan itu. Dia membungkuk lebih rendah,
dan itu membuat Alfa semakin kesakitan.
"Melanie itu sepupu gue... SETAN!!!" ujar Alfa sambil menggertakan gigi..
"Melanie itu sepupu gue.... SETAN!!!" ujar Alfa sambil mengertakan gigi.
Davi terperangah amat sangat. Tubuhnya seketika limbung. Alfa langsung
menyentakan kaki Davi yang hampir membuat dua lengannya mati rasa, lalu
mendorongnya keras. Davi berdiri kaku. Pucat. Putih seputih kertas. Sepasang matanya menatap Alfa
dengan ketakutan yang begitu kentara.
Telah datang, seseorang yang ternyata tersangkut dengan masa lalunya!
Alfa mendekat. Tidak lagi dengan sikap santai dan sisa tawa, tapi ada kesedihan
sarat yang muncul di kedua matanya.
"Lo tau sekarang, kenapa gue terus kejar elo?" desisnya pelan. "Bukan Irish.... tapi
elo!!!" Irish semakin ketakutan. Davi dan Alfa berhadapan dengan jarak benar-benar
dekat. Nyaris beradu. Mata mereka saling menghujam lurus. Takut-takut Irish
mendekati kedua cowok itu.
"Udah dong. Jangan berantem lagi. Udah ya?"
Kedua cowok itu menoleh bersamaan. Irish tertegun dan langkahnya langsung
surut. Dua pasang mata itu ganti menatapnya tajam-tajam sekarang.
"Eh... Gue... nggak bermaksud misahin kok.... Silakan berantem deh. Gue pergi
dulu. Adios!" Buru-buru Irish balik badan, Siap-siap kabur. Tapi langkahnya terhenti di depan
pintu. Alfa telah menguncinya tadi, setelah Metha dan Daniar dia usir pergi.
Masalahnya, satu dari dua grendelnya adanya nun jauh di atas sana.
Irish berdiri kebingungan. Maksud hati membuka grendel, terus kabur keluar,
namun apa daya tangan tak sampai.
"Gue anter lo pulang!" Tiba-tiba Davi sudah ada di sebelahnya. Tangan kirinya
merangkul pundak Irish, sementara tangan kanannya terulur ke atas, membuka
grendel. "Gila, ih! Irish keren banget!" desis salah satu penonton yang masih berjubel di
luar, yang terus menyaksikan dari awal sampai ketika Irish di rangkul Davi dan
dibawa pergi. Sementara Alfa mengikuti dari belakang dengan langkah pelan.
"Iya. Gue juga nggak nyangka!" sambung yang lain. Mereka baru pada bubar
setelah tiga orang itu hilang di ujung koridor.
"Dav, sebenarnya ada apa sih?" tanya Irish ketika mereka melangkah menuju Jeep.
"Tolong jangan tanya-tanya dulu, Rish."
Irish terdiam. Tapi dia tahu ada sesuatu, sesuatu yang lebih besar yang sanggup
membuat kedua cowok itu baku hantam. Dan itu pasti bukan karena dia, karena
tidak ada alasan untuk itu! Dia tidak secantik Jennifer Love Hewitt atau Penelope
Cruz. Dia cuma cewek biasa, yang di sekolah pun sama sekali nggak ngetop.
Jadi.... pasti ada sebab lain!
Rumahnya sudah kelihatan di ujung jalan. Irish nekat buka suara karena tidak ada
waktu lagi. "Bukan karena gue, kan?"
Davi tidak menjawab. Cowok itu cuma menoleh sekilas.
"Udah sampe!" kata Davi seperti memerintahkan Irish untuk cepat turun.
Irish sudah terlalu mengenal cowok ini. Makanya dia langsung membuka pintu dan
melompat turun, kemudian berdiri di depan pagar seperti mau mengiringi
kepergian Davi. Tapi Davi sudah bisa mengira apa yang ada di benak Irish.
"Masuk!" perintahnya tegas.
"Ya udah. Lo kalo mau pergi, pergi aja!"
"Masuk! Kalo elo nggak masuk, gue nggak akan pergi dari sini!"
Huh! Irish cemberut. Dengan ogan-ogahan dia balik badan. Davi menunggu
sampai Irish menghilang di balik pintu, kemudian langsung tancap gas.
*** Saat Davi tiba di tempat yang sudah bisikan Alfa padanya, Alfa telah menunggu.
Cowok itu bersandar di pintu Land Rover-nya. Kemeja putih seragamnya telah
berganti kaus tanpa lengan. Urat-Urat yang menegang di kedua lengannya, katupan
keras di kedua rahangnya, juga sinar datar namun berbahaya di sepasang matanya
sudah cukup membuat Davi tahu apa yang akan segera menyambutnya.
Dan itu tepat ternyata. Hanya beberapa saat setelah dia menjejak gelombang
rumput di depannya, Alfa langsung menerjang. Menerkamnya seperti singa
terluka, lalu menghujaninya dengan pukulan dan tendangan membabi buta.
Teriakkannya menusuk telinga, seribu makian berhamburan dari mulutnya.
Davi, yang memang tak ingin melawan, terhuyung dan jatuh terjerembab dengan
tubuh penuh memar, muka lebam dan bibir pecah yang mengalirkan darah.
Matanya berkunang hebat, membuatnya terpaksa memejamkan mata rapat-rapat.
Tapi di kegelapan, semuanya justru jadi terbayang jelas. Kota kecil tempat dia lahir
dan tumbuh besar. Masa kanak-kanaknya yang menyenangkan, juga.... gadis cinta
pertamanya yang di antarnya ke haribaan Tuhan!
Sampai saat ini keluarga Melanie masih menganggapnya penyebab utama
kematian gadis itu. Mama Melanie bahkan memanggil Davi "si pembunuh" dan
memperingatkan semua orangtua untuk menjauhkan anak gadis mereka darinya.
Padahal saat itu, saat Davi tahu Melanie koma, dia benar-benar menyesal dan
berdoa sungguh-sungguh. Minta agar tempat mereka di tukar. Juga ketika
kemudian Melanie meninggal tanpa pernah sadar. Penyesalan itu menyiksanya
tanpa jeda. Menekannya di saat sadar, dan membayangi di saat gelap.
Seakan itu belum cukup, semua orang lalu seperti berlomba untuk membuatnya
makin terpuruk. Kota itu terlalu kecil. Jarak antara sudutnya terlalu dekat, sehingga
berita dengan mudah dan begitu cepatnya menyebar. Sementara untuk menguap
hilang, terlupakan.... begitu lambat!
Pintu-pintu kemudian di banting di depan wajahnya. Mata-mata lalu menatapnya
dingin, seperti tak kenal. Sementara mulut-mulut hanya bicara seperlunya. Dan
setelah peristiwa itu, tak seorang pun teman yang tersisa dan mau tinggal di
sebelah Davi. Tak seorang pun! Keputusasaan kemudian membuatnya mengambil jalan pintas. Setelah dua kali
sayatan pisau di pergelangan tangan tak mampu menerbangkan satu-satunya nyawa
yang dimilikinya, Davi mencari jalan lain.
Bukan bermaksud untuk mendramatisir suasana, atau menciptakan versi indonesia
drama roman Shakespeare, kemudian dia menerbangkan diri bersama motornya di
tempat yang sama Melanie menjemput ajal.
Hampir berhasil. Sama sepeti Melanie, Davi koma dan masuk UGD. Sayangnya,
hari itu memang belum takdirnya untuk mati. Matanya terbuka sesaat setelah
kesadarannya kembali. Setiap peristiwa mengandung hikmah. Begitu ibunya yang sabar memeluknya
sambil menangis, kalimat pertama yang dibisikkan ke telinga Davi membawa
berkah. Setidaknya, sekarang anak itu tak lagi ugal-ugalan di jalan. Tahu
menghargai nyawa, dan terutama, kecemasan orangtua.
Untuk mengubur peristiwa itu, ayahnya lalu minta dimutasi ke Jakarta. Dan
pindahlah mereka sekeluarga, di kota ini. Berharap hiruk pikuk dan kesibukan
super dinamisnya mempu mengikis luka.
Mata Davi terbuka saat sesuatu yang hangat menetes di pelipisnya. Dia tertegun.
Alfa, yang berlutut dan membungkuk di atasnya, menangis tanpa suara. Ketika
Alfa bicara, getar lirih suaranya semakin menyayat perasaan bersalah Davi.
"Dia sepupu kesayangan gue, Dav. Gue yang jaga dia dari kecil. Setiap hari kami
berangkat dan pulang sekolah bareng.... Setiap hari! Gue yang dia cari setiap dia
ketakutan. Gue yang dia cari setiap dia sedih. Dan tiba-tiba gue dapet kabar... dia
meninggal!" Davi menelan ludah yang bercampur darah. Kalimat yang terakhir itu
menikamnya. Perih. "Gue nggak sengaja, Al," desisnya dengan suara tersangkut ditenggorokan.
"Oh ya?" mata berkabut Alfa menyipit. Kedua tangannya yang bertumpu atas
rumput dan mengurung Davi dengan rentangan, terangkat dan mencengkeram
kedua bahu Davi. Menekannya kuat-kuat hingga Davi menyeringai menahan sakit
manakala batu-batu di permukaan tanah yang tertutup rumput itu menusuk kulit.
Dan dia semakin menyeringai lagi saat satu lutut Alfa menekan dadanya kuat-kuat.
"Apa maksud lo?" lanjut Alfa sambil menundukkan kepala. "Nggak sengaja
ngebut" Nggak sengaja selip" Elo tau waktu itu ujan, kan" Elo tau kalo jalan licin,
kan" Elo tau dimana-mana orang yang diboncengin selalu punya kesempatan
celaka lebih gede daripada yang nyopir, kan" Tau" Lagian, kenapa harus dia"
Kenapa harus sepupu gue" Kenapa bukan yang laen" Cewek lo kan banyak!"
Rentetan kalimat itu diteriakkan Alfa cuma dalam jarak sepuluh senti dari wajah
Davi. Davi ini, meskipun baru jadi pembalap jalanan dan lebih sering menjengkelkan
daripada menyenangkan, cewek-cewek yang mengelilinginya bejibun seolah dia
itu bintangnya Formula One.
Dan Alfa bukan cowok idiot, yang percaya begitu saja saat Melanie bercerita di
telepon bahwa biarpun banyak yang ngerubungin, Davi itu bukan playboy.
Playboy emang bukan. Tipu bajingan, Iya!
Dan Alfa langsung menyayangkan begitu tahu siapa cewek Davi sekarang. Begitu
mungil dan manis. "Dia yang pertama buat gue," Davi tiba-tiba berkata.
"Heh!" seketika Alfa menampar pipi Davi. Cowok itu menyeringai menahan sakit.
"Elo lagi ngomong sama gue, Dav. Bukan sama cewek! Yang pertama dibabak
kedua" Satu babak berapa orang" Dua puluh?"
"Al, gue lagi berusaha berubah!"
"Oh ya" Jadi berapa sekarang" Tiga puluh?"
"Al, gue..." "Jangan banyak ngomong!" Alfa meninju tubuh babak belur yang terbaring
dibawah tekanan lutut dan dua lengannya itu. "Ini bukan lagi giliran lo bikin
pembelaan, tau!" Davi terbatuk. Napasnya terengah. Rasa sakit dan tekanan lutut Alfa di dadanya
membuatnya sulit bernapas.
Kemudian dua pasang manik hitam itu saling tatap. Menghunjam lurus. Alfa,
dengan kemarahan dan kesedihannya, dan Davi, dengan penyesalan dan
permohonan maafnya. "Gue nggak sengaja, Al, " bisik Davi dengan suara parau. "Gue nggak sengaja.
Tapi kalo elo merasa itu nggak tertebus....," susah payah dia merogoh kantong
celana panjangnya dan mengeluarkan sesuatu lalu meletakan benda itu di atas
dada, "terserah elo."
Mata Alfa bergerak turun perlahan. Sebilah pisau lipat. Dia sudah mendengar
cerita itu, bahwa setelah kematian Melanie, Davi melakukan tiga kali usaha bunuh
diri. Usaha yang ketiga hampir fatal. Membuatnya terpaksa masuk UGD.
Davi sendiri pernah berpesan pada ibunya, bahwa bila suatu saat nanti ada
seseorang yang ingin membunuhnya, biarkan saja. Tidak usah dicari tahu, tak perlu
dipermasalahkan. Biarkan saja.
Dia katakan itu sehari setelah Dicky, kakak tertua Melanie, berteriak kalap di
depannya. Bersumpah akan membunuhnya!
Jadi sekarang Davi tidak peduli siapa Alfa ini. Sepupu atau bukan, mungkin dia
yang terpilih. "Gue nyesel, Al.... Gue bener-bener nyesel."
Suara seraknya begitu lirih, hampir hilang. Sepasang mata itu lalu terpejam
mengalirkan air. Alfa menatap sampai tetes-tetes itu hilang di antara hijaunya
rerumputan. Kemarahan ini ditekannya berbulan-bulan. Keinginan balas dendam itu terbawa
sampai ke alam bawa sadar. Tapi Alfa juga tahu ia takkan pernah bisa
mengembalikan yang telah hilang. "Elo nyesel, terus berusaha bunuh diri, terus lari
ke sini. Tapi kenyataannya" Elo langsung punya pacar! Begitu lo bilang
menyesal?" Alfa semakin merunduk. Kembali Davi menyeringai menahan sakit.
"Gue emang nggak pernah liat lagi lo bawa motor. Tapi apa lo kira dengan mobil,
cewek lo itu terus nggak bisa mati?"
Davi terdiam. Pertanyaan ini yang paling tidak ingin dijawabnya.
"Jangan mati dulu, jawab pertanyaan gue!" lutut Alfa semakin menekan dada Davi.
Davi mengerang. "Al, sakit..." "Oh! Lo mau nggak sakit" Jawab pertanyaan gue! Irish bisa jadi mati meskipun
bukan lagi duduk di atas motor!"
"Nggak akan!" "Kenapa lo bisa yakin?"
"Kareba gue mau berubah!"
"Begitu?" Alda mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Kalo mau berubah itu
awalnya harus jujur, Dav. Banyak yang lo mesti ubah. Dan yang pertama..," Alfa
menepuk pipi lebam Davi, "bukan cewek, tau" Cara lo berubah asyik bener" Mulai
sama yang baru, sementara yang lama elo kubur di bawah tanah!"
Davi terpuruk. Kalimat terakhir Alda membuat isi dadanya bergolak. Davi tak
tahan lagi. Dengan paksa Alfa telah mengembalikannya ke masa peling hitam
dalam hidupnya. Meruntuhkan semua kerja keras Irish yang telah menuntunnya
keluar selama ini. "GUE NGGAK SENGAJA!!!" teti sd k Davi menggelegar. Memantulkan gemuruh
gema. Putus asa. Dicengkeramnya kedua pergelangan tangan yang selama ini
menekan bahunya, dan di dorongnya cowok itu sekuat tenaga.
"GUE NGGAK SENGAJA! GUE NGGAK SENGAJA! GUE NGGAK
SENGAJA!!!" teriaknya kalap. Dipukulnya Alfa bertubi-tubi, dan baru berhenti
setelah cowok itu terkapar di atas rumput. Kemudian Davi menghampirinya
perlahan, tubuhnya menghalangi teriknya sinar matahari yang menyorot wajah
Alfa. "Gue nggak sengaja, Al," ucap Davi lirih.
Alfa menatapnya. Tetes air mata bercampur darah itu jatuh tepat di atas dadanya.
Perlahan Alfa bangkit berdiri. Lalu mendekatkan diri hingga jaraknya dengan Davi
tinggal beberapa senti. "Nggak sengaja" Okelah itu nggak sengaja. Gue cincang elo juga nggak ada
gunanya sekarang, Dav. Cuma yang gue nggak ngerti, begini cara lo berubah" Ke
mana-mana berdua Irish, hampir nggak pernah lepas. Lo peluk cewek lo di depan
banyak orang. Lo gandeng ke sana kemari. Mesin ke kantin berdua, ke perpus
berdua, ngerjain tugas berdua. Satunya latihan basket, satunya setia nungguin.
Satunya sibuk di PMR, satunya juga tidak mau ketinggalan. Sampe begitu! Gue
rasa lo berdua bakalan langsung kawin begitu kelar SMU!"
"Begitu, elo ngeliatnya?"
"Iya! Meskipun gue lihat Irish NGGWK begitu happy di sebelah elo. Kenapa" Dia
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu elo brengsek?" Diam-diam Davi jadi kaget. Ternyata Alfa bisa melihat. Dan Alfa menyambung
kalimatnya begitu Davi tidak bersuara.
"Dav..," lanjut Alfa lirih tapi tajam. "Elo tau kalo tante gue, nyokapnya Lanie,
masih sering nangis sampe sekarang" Elo tau kalo omm gue sampe nyumbangin
baju, sepatu, tas, semua barang-barang Lanie" Dibagiin ke sembarang orang
supaya istrinya bisa cepet lupa! Elo tau kan kalo Lanie murid kesayangan Bu Ning,
guru matematikanya" Dan sampe dia bulan dia meninggal, Bu Ning masih juga
susah percaya dan tanpa sadar dia terus mengabsen padahal bangku itu udah
kosong! Dan kalo Dicky nggak dihalangin, elo udah jadi mayat, Dav! Mereka
sampe begitu, sementara elo di sini katanya menyesal, tapi nggak pernah lepas dati
cewek lo!" Davi mengatupkan gerahamnya rapat-rapat. Emosinya kembali naik dan dadanya
sakit ditikam kalimat panjang Alfa itu.
"Dia... bukan cewek gue!" desisnya patah.
Akhirnya, dia katakan juga yang sebenarnya! Dan ada yang seketika terlepas. Dia
telah membiarkan terbang, satu-satunya orang yang terdekat dengannya saat ini.
"Apa maksud lo?"
Davi menarik napas panjang-panjang dan memalingkan mukanya ke arah lain.
"Irish bukan cewek gue. Kami nggak ada hubungan apa-apa."
Dahi Alfa makin mengerut.
"Terus, selama ini.... elo sama dia ke mana-mana...?"
"Cuma pura-pura..! Sandiwara!"
Alfa terperangah. "Kenapa?" Sekali lagi Davi menghela napas. Wajahnya semakin muram. Ini kali kedua, dia
kehilangan gadis yang disayanginya. Berterus terang ke Alfa sama saja seperti
menyerahkan Irish ke tangannya.
"Karena gue mau berubah. Dan untuk itu, gue perlu sendirian. Dan untuk bisa
sendirian gue perlu temeng. Jelas"
Alfa ternganga. Ya Tuhan!
"Jadi elo manfaatin dia!?" serunya seketika.
"Nggak juga. Dia udah tau. Gue cerita semuanya. Gur bilang gue butuh bantuan."
"Dan dia bersedia" Gue nggak percaya!"
"Nggak juga sebenarnya."
"Terus... lo paksa dia?"
Davi tidak menjawab. Alfa geleng kepala. "Elo emang bener-bener bajingan! Tega banget lo, sama cewek
kayak Irish! Kenapa lo nggak pacarin aja si Udin, atau Firdaus! Atau... si Nuris
sekalian! Dengan predikat hombreng, lo lebih cepat dijauhi cewek!"
"Gue nggak ada pikiran ke situ."
"Terus kenapa Irish" Kenapa nggak yang laen" Apa karena dia kecil" Jadi lebih
gampang lo ancem kalo dia berani nolak?"
Davi bungkam. Alfa balik badan. Menatap ke lain arah masih sambil gelenggeleng kepala.
"Cuma sandiwara!?" desisnya. Betul-betul di luar perkiraannya. Dan dia jelas saja
tidak percaya. Davi ini playboy di kotanya. Meskipun dia pernah bilang berkali-kali bahwa
Melanie-lah cinta pertamanya, siapa yang mau percaya" Alfa bahkan yakin si
pembunuh ini sudah mengenal cinta pertamanya waktu masih di TK, atau bahkan
sebelum itu. Dan cewek imut-manis, lagi-model Irish mana mungkin dibiarkan
Davi begitu saja! Pantas saja, Irish selalu mengelak setiap kali topik pembicaraan dia belokan ke
arah Davi. Karena ternyata, cewek itu memang tidak tahu apa-apa dan tidak punya
kepentingan apa-apa. Alfa memang sudah merasa ada yang nggak beres dalam hubungan Irish dan Davi.
Berkali-kali kalo dia sedang iseng, lewat di depan rumah Irish waktu malam
minggu atau minggu pagi-siang-sore-malam, dia lihat Irish selalu ada di rumah.
Dan dia yakin seribu persen pertemuan mereka di trotoar waktu itu adalah bukan
kali pertama Irish jalan sendirian.
Makanya Alfa sempat mengira, Irish pasti sudah kepincut wajah gantengannya
Davi, sama seperti cewek-ceweknya yang dulu, dan menyerah tanpa syarat seperti
yang selama ini selalu terjadi. Makanya cewek itu pasrah saja menerima perlakuan
apa pun juga. Alfa juga mengira Davi cuma memanfaatkan Irish untuk melupakan masa lalunya.
Cuma bagian yang tergelap pastinya. Sementara sisanya pasti akan diulangi!
Karena itu, untuk bisa mewujudkan rencananya, jelas saja Alfa harus merebut Irish
lebih dulu. Cinta soal belakang, karena memang bukan Irish sasarannya. Dia
perlakukan si mungil itu dengan begitu baik, memanjakannya dengan mewujudkan
semua keinginannya, menjaganya sungguh-sungguh setiap kalu mereka bersama,
lebih tadinya dia mengira akan memberikan kesedihan yang dalam pada saat dia
menghancurkan Davi demi kematian sepupu yang paling di sayanginya.
Tapi ternyata, sekarang mantan jagoan ini jadi begitu rapuhnya sampai perlu
bantuan seorang cewek untuk melindunginya.
"Irish buat gue! Gimana?" tanya Alfa tiba-tiba. Davi tersentak.
"Buat elo" Apa sih maksud lo?"
"Udah cukup, Dav, elo ngumpet di belakang punggungnya!"
"Sayangnya... nggak bisa!"
"Kenapa!?" tanya Alfa dengan suara mendadak tajam.
"Gue sayang dia!"
"Katanya dia cuma temeng! Elo gimana sih?"
"Tapi bukan berarti bisa seenaknya elo minta!"
Alfa berdecak. Lagu lama! Ditatapnya sekujur tubuh Davi yang penuh lebam.
"Mana yang paling sakit?" tanyanya. Kening Davi mengerut. Dan meskipun dia
heran dengan pertanyaan itu, tanpa curiga dia menunjuk dada kanannya. Alfa
tersenyum tipis. "Kalo begitu... sori!" Dihantamnya dada Davi dengan pukulan keras. Tak ayal,
Davi terjerembab dengan suara erangan yang tersedak di kerongkongan.
"Butuh temeng, cuma sandiwara, tapi sayang! Elo bener-bener nggak bisa
dipercaya! Irish buat gue. Titik!"
"Al!" Davi buru-buru mencekal pergelangan kaki Alfa waktu cowok itu bersiap
pergi. "Gue nggak mau liat nyokap gue nangis lagi!"
Alfa tertegun. Kalimat itu menyiratkan kesungguhan Davi untuk benar-benar
berubah. Tapi sedetik kemudian dia tidak peduli.
"Itu urusan elo! Oke" Sekarang gue mau pergi ke rumah calon cewek gue. Elo
tidur aja di sini!" Ditepuknya pipi Davi. "Ntar gue panggilan ambulans!"
Alfa pergi. Meninggalkan Davi terkapar di atas rumput. Davi mencoba bangun tapi
pening hebat di kepala, juga rasa ngeri luka-lukanya, membuatnya menghentikan
usahanya. Akhirnya ia tergolek pasrah. Ditudunginnya kedua matanya dengan
sebelah lengan saat sinar matahari yang terik menyorot tajam.
Begitu mobil Davi melesat pergi, Irish langsung keluar rumah dan menyetop taksi,
balik ke sekolah. Tapi ternyata kedua cowok itu tidak ada. Hampir semaput dia
periksa semua ruangan di sekolah. Nihil. Kosong.
Waktu iseng dia bertanya pada Pak Kumis, tukang es yang mangkal di depan
gerbang sekolah, Pak Kumis malah bilang kalau Davi nggak balik lagi, dan Alfa
juga langsung pergi tak lama setelah Davi mengantar Irish pulang.
Irish jadi semakin waswas. Dia merasa sesuatu akan terjadi. Sampai malam Davi
dan Alfa ternyata tidak pulang. Bolak-balik dia telepon ke rumah mereka, tapi
jawabannya selalu "Belum pulang".
*** Malam sudah larut, tapi Davi masih terjaga. Terbaring di tempat tidur. Tubuhnya
terasa luluh lantak setelah digempur Alfa tadi siang.
Sambil menatap sayu selembar kertas ungu, Davi mengingat kembali kejadian
beberapa hari lalu, hari di saat hatinya hancur dan pikirannya lelah, hari di saat
Irish tiba-tiba memberinya kertas ungu itu, entah karena betul-betul perhatian atau
karena terpaksa melakukannya.
"Masih jadi pikiran ya?" tanya Irish waktu itu, di dalam mobil Davi.
Davi tersenyum tipis mendengar pertanyaan Irish. Apa itu sesuatu yang dengan
mudahnya bisa dilupakan" Membunuh seseorang, meskipun tanpa sengaja.
Seseorang yang justru paling dekat di hatinya. Seseorang yang selalu hadir dalam
lebih dari seribu mimpi. Irish tersenyum tipis, lalu mengangguk kecil. Irish paham meskipun tak ada
jawaban yang Davi berikan.
"Dav, gue bawain ini buat elo. Barangkali aja elo bisa agak tenang. Di baca ya?"
Cewek mungil itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Selembar kertas bernuansa
ungu. Lembut dengan tebaran camar putih. Di atasnya terdapat baris-baris kalimat,
tertulis juga dengan tinta ungu.
"Puisi?" tebak Davi saat itu. Heran dan surprise.
"Bukan. Kebagusan bener gue bawain puisi buat elo!"
Davi jadi tersenyum dengan jawaban yang agak judes itu. Irish selalu begitu.
Walau terkadang ketus, cewek itu telah melindunginya sungguh-sungguh.
"Ini doa!" Doa" Kening Davi mengerut.
"Doa?" "He-eh. Gue lupa dari mana gue kutip ini. Tapi kalo nggak salah inget, ini doa para
peziarah dalam perjalanan menuju Santiago de Compestela. Doa ini indah banget,
Dav." Irish menatapnya, kesungguhan terpancar dari dua bola matanya. "Dosa
terindah. Bisa menenangkan. Mudah-mudahan elo juga akan begitu."
"Kalo gue nggak mau terima?"
"Sayangnya harus iya!" Irish kontan melotot, membuat Davi jadi tersenyum lagi.
Davi ingat, ternyata beberapa hal yang pernah dilakukannya kini berbalik di
lakukan si mungil itu terhadapnya.
"Boleh gue baca dulu?" tanya Davi.
Kedua alis Irish bertaut, dia tersadar. "Oh, iya! Belom gue kasih liat ke elo ya?"
Setelah memegang kertas bernuansa ungu itu, Davi tertegun. Tertunduk kelu
menatap barisan kata-kata itu.
Tuhanku.... Bicaralah padaku bila aku kesepian
Bisikkanlah aku dukungan-Mu bila aku dirundung kecemasan
Dengarkanlah suaraku bila aku jatuh
Sudilah menjadi bagiku penghiburan dalam perjalanan
Tempat bernaung di waktu panas
Tempat berteduh di kala hujan
Tongkat penuntun dalam kelelahan
Dan penolong dalam bahaya
Semoga aku berhasil Mencapai tujuanku Sekarang, dan juga nanti Pada akhir hidupku. Irish benar. Doa ini indah. Sangat indah. Damai dan meneduhkan.
Itu hadiah terindah kedua yang diberikan Irish untuknya. Hadiah yang pertama
selalu diberikan Irish di ujung minggu, sebelum cewek itu turun dan menutup pintu
mobil. "Besok jangan lupa ke gereja ya?"
Selalu. Seperti itu. Dan di hari-hari berikutnya, perlahan Davi sadari, betapa indah satu pesan itu.
Saat ini, saat doa ini di bacanya lagi, benar-benar ingin dipeluknya
Irish kuat-kuat, sebagai tanda berjuta terima kasih yang pasti takkan cukup.
Untuk doa ini... dan pesan itu...
Malam ini, sama seperti hari itu, doa teduh para peziarah dalam perjalanan panjang
mereka menuju Santiago de Compestela membuat Davi kembali termangu.
Tuhanku.... Bicaralah padaku bila aku kesepian....
Dua baris pertama yang begitu menyentuh. Selalu. Saat ini, bukan hanya kesepian
yang dirasakannya. Tapi juga kesedihan, kehilangan, kecemasan, kesakitan, juga
keputusasaan. Begitu banyak. Sangat banyak.
Perlahan, kepalanya terkulai, tangannya jatuh ke tempat tidur, masih memegang
kertas ungu itu. Perlahan, doa teduh itu terulang. Jauh direlung terdalam.
Tuhanku..... Bicaralah padaku.... *** Saking cemasnya, keesokan harinya Irish berangkat sekolah pagi-pagi sekali.
Setelah menaruh tas di kursi, buru-buru dia berlari ke depan. Berdiri di pintu
gerbang. Menunggu dengan tidak sabar. Dia ingin tahu kemana saja kedua cowok
itu kemarin. Dan yang paling membuatnya sters semalaman, apa yang mereka
lakukan!" Tujuh kurang lima, Alfa nongol. Keluar dari mobil dengan muka bonyok! Irish
nyaris saja menjerit. Langsung dia berlari menghampiri cowok itu.
"Alfa!" "Hai, sayaaang." Alfa nyengir lebar.
"Muka lo...?" "Oh! Kemaren gue abis ekshibisi boxing berdua Davi."
"Jadi ini ditonjok Davi?" Irish terperangah.
"Ya iyalah. Masa ditonjok gue sendiri?" jawab Alfa santai.
"Kenapaaa?" Irish hampir menjerit lagi.
"Nggak apa-apa. Udah deh, nggak usah dipikirin." Alfa mengusap lembut kepala
cewek di sebelahnya. "Nggak apa-apa gimana! Muka lo bonyok begitu!"
"Tadinya gue sama Davi malah mau saling bebas leher, Rish!"
"HAAAH!" Irish ternganga.
Hari itu Davi nggak masuk. Dan keterangan Alfa membuat Irish semakin kalut.
"Davi nggak masuk, Al! Lo apain dia?"
"Kemaren sih cuma gue tonjokin doang. Nggak tau deh kalo sampe rumah tuh
anak mati!" santai sekali jawabannya.
Astaga! Alfa ini! "Alfa! Gue serius!" bentak Irish. Benar-benar ingin nangis.
"Yeee, gue juga serius! Emangnya ini bonyok bohong-bohongan?" Alfa menunjuk
mukanya. "Yuk, Rish, udah mau bel nih! Lo masuk ke kelas gih!"
Irish lebih tercengang lagi waktu dia nemuin Alfa di jam istirahat. Cowok itu
melepas baju seragamnya dan menggantinya dengan kaus karena habis istirahat
kelasnya jam olahraga. Seluruh tubuhnya penuh luka memar! Biru-biru di hampir
semua tempat. "Ya Tuhan! Al... elo sama Davi tonjok-tonjokannya pake apa sih?"
"Ya pake tanganlah. Kalo pake kayu namanya gebuk-gebukan, Rish."
"Masa sampe biru-biru banget gini" Di semua tempat, lagi!"
"Iya, soalnya kita nonjoknya dengan sepenuh perasaan," jawab Alfa enteng banget.
"Alfaaa!" jerit Irish tertahan. Ingin rasanya ia menjerit kencang-kencang, tapi takut
sonya murid datang. "Elo gila bener sih" Sebenernya ini ada apa!?"
Alfa menarik napas panjang-panjang.
"Sori, Rish. Mendingan lo tunggu Davi masuk saja. Lebih baik lo denger
penjelasan dari dia."
"Lo nggak mau cerita?"
"Bukan nggak mau. Lo udah terlalu jauh melibatkan diri. Elo udah terlalu banyak
berkorban untuk Davi."
"Maksud lo?" sepasang mata Irish seketika menyipit.
Alda terdiam. Lambat-lambat menjawab pertanyaan itu.
"Gue tau antara elo dan Davi.... sebenernya nggak ada apa-apa!"
Irish terenyak. Terperangah amat sangat.
"Dia.... dia cerita?" rabyanya tergagap.
"Heh! Kalo udah gue bikin biru-biru dia masih juga nggak mau ngomong, benerbener gue tebas lehernya!"
Ya Tuhan! Irish tertunduk lunglai. Akhirnya Davi membuka rahasia mereka.
"Kenapa?" tanyanya serak.
Alfa menghela napas. "Karena gue nggak bego kayak orang-orang!"
"Jadi gue bebas sekarang?"
"Kalo itu, mendingan lo tanya Davi aja. Salah kalo elo nanya ke gue."
Iya. Cuma Davi yang bisa menjawab apakah semuanya sudah berakhir.
"Udah bel, Rish." Alfa menepuk pelan lengan gadis yang tepekur di sebelahnya.
"Yuk, gue anter ke kelas."
*** Davi baru masuk dua hari kemudian. Irish tempat terperangah begitu melihatnya.
Gila! Benar-benar babak belur! Lebih parah dari luka-luka Alfa. Tapi buru-buru
dia menelan kekagetannya, karena Davi sudah tidak berhak lagi mendapatkan
perhatiannya. "Elo kok kayaknya nggak cemas, Rish?" Davi menatap cewek yang duduk santai
di bangkunya itu. "Apa karena gue bukan Alfa?"
Irish jelas jadi kaget di tanya begitu.
"Elo mau tambah biru-biru?"
Davi tertawa pelan. "Kenapa" Elo udah nggak peduli lagi sama gue?"
"Nggak! Kita udah selesai, kan" Lo udah cerita semuanya ke Alfa!"
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Davi langsung beku di tempat.
Meskipun Irish begitu marah dan kecewa karena Davi membuka rahasia mereka,
tak urung dia kaget juga melihat luka-luka Davi. Makanya begitu bel istirahat, dia
langsung kabur ke kelas Alfa.
"Halo, sayang!" Alfa menyambutnya mesra. "Besuk gue lagi nih" Bawa makanan
nggak?" "Bawa makanan!?" Irish melotot. "Elo.... kenapa elo tonjokin Davi sampe ancurancuran begitu" Elo nggak punya perasaan banget sih!" serunya tinggi.
"Jadi elo nggak terima?" wajah Alfa tiba-tiba berubah dingin, tatapannya tajam ke
arah Irish. "Jadi lo dateng ke sini mau protes karena gue udah bikin ancur tu
anak!?" Irish tertegun. "Ng... nggak! Nggak kok!" jawab Irish buru-buru. "Kalo elo seneng, tabokin lagi
aja!" Alfa jadi ketawa. "Terus elo ngapain ke sini?"
"Eh..." Irish tersentak dan buru-buru mengelak. "Siapa bilang gue sengaja ke sini"
Orang gue cuma lewat kok!" Buru-buru dia bangun, siap-siap kabur. Tidak
disangkanya, Alfa ternyata bisa sadis juga. Irish nggak mau cari masalah. Kalau
Davi saja bisa dibuat bengep begitu... wah... dia bisa jadi presto kalau nekat!
Tapi Alfa lebih cepat bergerak. Ditangkapnya pergelangan tangan Irish dan
ditariknya cewek itu sampai jatuh terduduk lagi di sebelahnya.
"Temenin gue makan, gimana?"
"Gue lagi nggak pingin makan."
"Oh... elo nggak harus makan, Rish. Cukup duduk di sebelah gue."
"Pede banget lo ngomong begitu" Emangnya gue siapa elo?"
"Sekarang emang belom. Tapi nanti...," Alfa memberikan senyuman yang paling
manis, "elo akan jadi apa-apa gue!"
PERISTIWA Davi dan Alfa yang adu jotos sampai babak belur dengan cepat
menyebar. Seisi sekolah jadi gempar. Semuanya tidak percaya hanya karena demi
seorang Irish, dua cowok itu bisa sampai begitu.
Irish, yang jadi beken sejak jadian sama Davi, jadi semakin ngetop lagi. Kemana
pun dia pergi semua mata menatapnya lekat-lekat, tajam-tajam, lurus-lurus.
Meneliti dengan sangat seksama. Apanya dia sih yang sudah membuat Davi-Alfa
sampai rela tonjok-tonjokkan" Semuanya nggak habis pikir. Soalnya Irish itu
sebelumnya nggak pernah punya catatan jadi rebutan cowok.
Apalagi Menur, dia lebih nggak habis pikir lagi, dua tahun lebih dia jadi
kembangnya SMU Palagan. Meskipun banyak cowok yang naksir, belum pernah
ada cowok yang sampai mau berjibaku demi mendapatkannya. Rata-rata kalau
sudah dia tolak, cowok-cowok itu lalu pergi dengan pasrah.
Makanya Menur heran. Apa sekarang cowok-cowok sudah ganti selera" Mungkin
sekarang yang lagi ngetren cewek tipe-tipe seperti Irish begitu. Kecil, mungil,
putih, rambut agak ikal, punya lesung pipi, berbibir tipis.
Memang sih, pacaran sama cewek yang badannya kecil banyak untungnya.
Pertama, makanya nggak banyak, jadi nggak menguras kantong. Kedua, gampang
menjaganya. Dan ketiga, kalau berani macam-macam, tinggal dipelototi aja. Pasti
dia langsung ngeper, nggak akan berani ngelawan karena badannya imut.
Begitu juga Metha dan Wulan, dua cewek papan atas SMU Palagan, yang ketajiran
bokap-bokapnya membuat penampilan mereka -di luar baju seragam pastinyakelihatan banget borju dan kelas tingginya. Jelas mereka juga tidak mengerti.
Tidak mengerti yang benar-benar tidak mengerti. Irish itu kan kere. Tidak punya
apa-apa. Jadi pacaran sama dia, ditilik dari segi ekonomi, jelas tidak akan
mendatangkan keuntungan apa-apa. Rugi malah!
Begitu juga para murid cowok. Setiap Irish lewat, mereka menatap cewek itu
sampai nyureng. Meneliti dengan seksama. Nggak meneliti macam-macam sih.
Mereka cuma ingin tahu, siapa dan bagaimana si mungil itu, kok bisa sampai bikin
dua anak baru jotos-jotosan untuk mendapatkannya. Sebagai orang lama,
maksudnya orang yang sudah sekolah di situ sejak dari kelas satu, jelas saja
mereka merasa kecolongan.
Ada yang berubah dratis sejak peristiwa adu jotos itu. Setiap kali ada kesempatan,
Alfa selalu terbang ke hadapan Irish. Ajakan-ajakannya mulai beragam, nggak lagi
cuma lihat pameran lukisan atau cari buku. Seakan Davi nggak tidak terlihat mata,
enteng saja Alfa mengajak Irish ke sana kemari. "Nonton yuk, Rish?", atau "Rish,
nanti malem gue ke rumah lo ya?", atau "Rish, ke Dufan yuk?", atau "Rish, lo mau
ikut gue ke Anyer nggak" Minggu besok.", dan sejuta ajakan lain.
Yang membuat Irish nggak mengerti, Davi sepertinya juga nggak peduli meskipun
Alfa memanggil Irish dengan sederet sebutan yang benar-banar membuat merah
telinga. Sebutan itu dulu juga sering dilontarkan Alfa. Tapi dengan kondisi yang
sekarang, sebutan itu sudah tak bisa lagi dianggap cuma panggilan tanpa arti.
"Sayang". Itu sih sudah biasa. Sekarang malah sudah jarang terdengar. Sweetheart,
sweety, honey, darling, my lovely girl, my most beautifull flower, dan buanyak
lagi deh. Dan karena Alfa itu tipe cowok yang sebodo amat sama kuping, mata, dan mulut
orang, jelas saja dia memanggil Irish dengan segudang sebutan indah itu di mana
saja dan kapan saja mereka ketemu. Dan lagi-lagi, sebutan-sebutan itu juga akan
tetap dilontarkannya meskipun dia tahu D
avi ada di sebelahnya. Jadi jelas nggak
mungkin Davi nggak dengar!
Dan Davi -ini yang menyebabkan Irish lebih tidak mengerti lagi- cuma diam.
Cuma mengawasi Alfa dan kelakuannya tanpa bicara apa-apa. Juga tanpa reaksi
apa-apa. Dan mudah-mudahan ini hanya perasaan Irish, perlahan dan samar Davi seperti
berusaha memberitahu semua orang apa yang selama ini sebenarnya terjadi di
antara mereka..... Cuma sandiwara! Dan itu membuat seisi sekolah makin tercengang-cengang. Semua bingung.
Soalnya baru kali ini mereka menyaksikan cinta segi tiga yang terang-terangan
begitu. *** Ada yang luput dari mata Alfa dan Davi. Lepas dari kegamunan yang selalu
dibicarakan, lepas dari nama beken yang terciptakan, sebenarnya Irish sakit hati!
Benar-benar sakit hati! Cewek itu merasa dicampakkan begitu saja. Padahal dia telah melindungi Davi
sampai hampir di luar batas kemampuannya. Dia kesampingkan kepentingannya
sendiri. Dia sangkal semua kata hati. Dia telan semuanya. Kemarahan,
kejengkelan, sakit hati, kesedihan, kekecewaan. Semuanya. Cuma untuk cowok
satu itu! Balasannya!" Davi membuka semunya ke Alfa begitu saja!
Yang membuat Irish semakin sakit hati, kenapa Davi membiarkan Alfa datang dan
pergi semaunya! Davi itu ternyata benar-benar.... brengsek!
Ini memang cuma sandiwara. Semua cuma sandiwara. Tapi biar begitu apa dikira
dia tidak dengan hati saat menjalani!"
Alfa juga. Apa maksudnya, coba" Ngajak ke sana kemari, manggis sweetheart,
darling, de-el-el, de-el-el. Nggak peduli banyak orang! Dikira dia bisa gampang
begitu!" Benar-benar kurang ajar itu cowok dua!!!
Apa sebaiknya dia tonjokin aja mereka berdua sekarang ya" Mumpung tubuh
mereka masih pada biru-biru. Dengan begitu kan dia nggak perlu keluar tenaga
banyak-banyak. Nunggu mereka sembuh dulu terus baru dihajar itu sih bakalan dia
yang tewas! Tapi nggaklah! Irish geleng k kepala. Biarpun tubuh mereka penuh memar begitu,
nonjok Davi dan Alfa mah cuma akan membuat mereka berdua tertawa.
Sialan! Benar-benar kurang ajar!!!
Apalagi Ryan nggak jelas masuknya kapan, karena kakinya masih dalam proses
penyembuhan. Makin bete deh Irish sebangku sama Davi.
Irish membanting bolpoin di tangannya ke lantai. Tragis amat sih akhir
pengorbanannya!" Tapi terus dia ketawa sendiri. Memungut bolpoinnya yang nyaris hancur itu.
Namanya juga pengorbanan, pasti nggak ada keuntungannya. Karena kalau ada
untungnya, kalau dia mengharapkan sesuatu dari pengorbanannya, itu namanya
bukan pengorbanan. Irish makin tertawa. Jadi, pengorbanan adalah sesuatu yang dilakukan tanpa pamrih. Itu definisi yang
paling tepat kayaknya! "Kenapa ketawa sendiri?"
Irish tersentak. Davi ternyata sudah ada di sebelahnya. Menatapnya dengan kening
terlipat. Heran. Irish langsung waswas. Wah, Davi tau nggak ya, kalo gue udah
ketawa-ketawa sendiri dari tadi"
"Nggak kenapa-napa."
Davi duduk tanpa bertanya lagi, lalu langsung sibuk menyiapkan buku-bukunya.
Irish mengamatinya diam-diam. Tiba-tiba dia tersenyum tanpa makna.
Pengorbanan yang baik adalah.... pengorbanan yang total sekalian!
"Dav." "Hem?" "Lo tau Davina nggak?"
"Nggak." "Mau gue kasih tau?"
"Kenapa?" "Davina itu anak I-18. Gue pernah nggak nggak sengaja denger, kalo dia itu benerbeber suka sama elo. Deketin dia gih! Namanya bisa dipendekin jadi Davi juga lho.
Kan cocok. Davi dan Davi. Pas!"
Davi tersentak. Serta-merta menoleh. Dia menatap Irish tajam.
"Maksud lo apa ngomong begitu!?"
"Nggak ada." Irish tersenyum santai. "Mau ngasih advis aja." Dia lalu berdiri dan
jalan keluar. "Mau kemana, Rish?"
"Cari korban!" Davi tersentak lagi. Dia tinggalkan kesibukannya seketika, bangkit berdiri, dan
buru-buru mengejar Irish.
"Irish! Tunggu!"
Irish masa bodo. Tunggu! Tunggu! Enak aja nyuruh-nyuruh orang!
"Irish!" Davi meraih tangannya dan memaksa berhenti. "Elo kenapa sih?"
"Emangnya lo kira gue kenapa!?" jawab Irish sengit. Davi terperangah dan ketika
sadar ada yang harus dibicarakan.
"Ikut gue!" Tanpa bertanya Irish mau atau tidak, Davi menarik cilik itu dengan
paksa ke sekretariat basket. Kebetulan di tempat itu cuma ada Verdy. "Verdy,
please.... Cuma sebentar."
"Sebentar bener ya?" kaya Verdy sambil jalan keluar. "Gue lagi di suruh Daniel
bikin proposal nih."
Begitu Verdy keluar, pintu langsung di tutup dan di kunci.
"Ada apa?" tanya Davi.
"Elo nggak salah nanya!?" Irish padang muka cemberut.
Davi menghela napas. Sesaat kemudian suaranya melembut. "Rish, kalo gue tau,
gue nggak akan nanya."
Irish menatapnya. Lurus dan tajam.
"Lo ngomong apa ke dia?"
"Dia siapa?" "Alfa!" sentak Irish jengkel. Davi jadi kelihatan serbasalah.
"Elo kan udah tau," jawabnya pelan.
"Bukan itu! Laennya?"
"Laennya?" Davi mengangkat alis. "Nggak.... ada," sambungnya ragu Irish
mendesis jengkel. Kemudian dia berseru penuh nada tinggi dan penuh emosi.
"Lo kasih tau ke dia kali gue cuma temeng! Dan elo pasti juga bilang ke dia, kalo
dia mau.... dia bisa pacarin gue!"
"Irish!" Davi terperangah. "Lo kira gue tega ngomong begitu?"
"Mungkin nggak persis begitu kalimatnya! Tapi yang jelas, itu yang dia tangkep!
Buktinya dia santai dan enjoy aja tiap hari nyari gue ke kelas. Ngajak ini-itu, ke
sana kemari, manggis gue manis-lah, darling-lah, segala macem! Dan dia nggak
peduli sama sekali meskipun ada lo di sebelah gue!"
"Tapi elo dulu selalu jalan sama dia, kan?"
Seketika Irish tergeragap. Kalimat itu menusuknya telak. Irish menunduk. Dulu dia
bersedia jalan sama Alfa karena dia lelah jadi temeng. Karena Davi yang di depan
cewek-cewek lain beda banget dengan Davi yang ada di depannya begitu mereka
cuma berdua. Siapa yang nggak jadi depresi, coba"
Irish menarik napas diam-diam. Mengeluh putus asa. Kemudian masih dengan
menunduk, dia ngomong pelan. Lebih mirip penyesalan.
"Gue emang cuma nolongin elo, Dav. Tapi bukan begini caranya. Bukan begini
akhirnya. Elo nggak mau ngomong apa-apa. Gitu juga Alfa... Tapi nggak apa-apa.
Mulai sekarang gue nggak akan nanya apa-apa lagi!"
Irish mendongak. Davi tertegun melihat sepasang mata itu. Menatapnya sayu. Mata itu terluka,
begitu jelas. Dan tampak kabur di balik lapisan bening yang berkaca.
Irish menangis!!! *** Irish ternyata benar-benar membuktikan omongannya. Sekarang ia betul-betul
nggak peduli. Mada bodo. Kalu Davi dan Alfa bisa mengakhiri semuanya dengan
cara mereka sendiri, semau sendiri... dia juga bisa!
Dia juga akan mengakhiri semua ini dengan caranya sendiri! Meskipun telat!
Alfa, yang belum tahu kalau medan telah berubah, muncul pagi ini. Seperti biasa.
Dengan wajah yang selalu cerah dan sepasang mata yang selalu tertawa, cowok itu
mendekati Irish dan duduk di bangku di depannya.
"Halo, manis!" sapanya. "Ada kabar apa pagi ini?"
Irish menatap dingin. "Jangan coba-coba lagi elo manggil gue 'manis'! Gue bukan kucing, tau!"
jawabnya ketus. Irish lalu berdiri, kemudian keluar kelas. Alfa kontan bengong.
Sementara Davi cuma tersenyum tipis.
"Pasti gara-gara elo!" desis Alfa ke wajah yang selalu tenang tanpa riak itu. Buruburu Alfa berdiri terus lari menyusul Irish.
"Irish!" Dikejarnya Irish dan diraihnya tangan cewek itu, memaksa Irish berhenti
dari langkahnya yang sudah seperti tentara yang mau maju perang.
"Jangan sembarangan pegang-pegang ya!" bentak Irish galak.
"Sori! Sori!" Alfa buru-buru melepas tangannya. "Elo kok hari ini galak banget.
Ada apa sih?" "Suka-suka gue dong!"
"Jangan gitu dong. Nggak enak nih. Kenapa sih marah-marah?"
"Elo mau gue nggak marah?"
"Iya dooong!" jawab Alfa langsung, sambil meringis persis anak TK.
"Kalo gitu....," Irish memunculkan lesung pipinya sedikit, "ceritain yang
sebenarnya dong!" "Soal apa?" "Soal elo tonjok-tonjokan sama Davi waktu itu."
Alfa langsung kelihatan bingung, serbasalah. "Iya dong"-nya seketika terlupakan.
"Ng...." Irish menunggu kelanjutan "ng..."-nya Alfa yang panjang itu, tapi ternyata tidak
ada. "Mau cerita nggak!?" sentaknya. Dia pelototin Alfa. "Kalo nggak, gue nggak mau
ngomong lagi sama elo!"
"Rish, jangan gitu dong."
"Jangan gitu gimana!?" jawab Irish judes. "Elo bisa semaunya. Davi bisa
semaunya. Kenapa gue nggak?"
Alfa makin kebingungan. "Elo mau ngasih tau gue nggak!?" Ditatapnya Alfa tajam-tajam. Menunggu. Tapi
ternyata cowok itu tetap bungkam. Irish mendesis. Marah, juga putus asa. "Ya
udah! Nggak apa-apa! Tapi mulai sekarang gue nggak mau lagi ngomong sama
elo! Dan gue juga nggak mau ngeliat elo lagi!"
"Terus, gue nggak boleh sekolah, gitu?" tanya Alfa bego.
"Itu sih urusan elo!"
Alfa berdecak. Dia memegang dagu, berpikir keras mencari jalan keluar terhadap
ancaman Irish yang sepertinya serius itu.
"Atau gini aja deh. Kita kan satu sekolah. Buat dihindarin kayak gimana juga, yang
namanya kemungkinan untuk ketemu pasti ada. Entar kalo elo liat gue, elo merem
aja deh. Gitu juga kalo gue duluan yang liat elo. Gue pasti langsung merem."
Irish mengira kalau Alfa itu bercanda, tapi cewek ini lupa kalau Alfa itu sableng.
Waktu mereka nggak sengaja berpapasan, Alfa terus merem rapat-rapat sambil
terus jalan. Alhasil, dia menabrak sekelompok cewek yang kagi asyik duduk
ngerumpi. Cewek-cewek itu langsung menjerit-jerit, sisanya Alfa jatuh pas di
tengah-tengah mereka. Malah ada tang telak-telak ketibanan.
Mau nggak mau Irish jadi ketawa, melihat Alfa buru-buru berdiri terus terbirit-birit
lari menghindar gara-gara dicubitin ramai-ramai.
"Bye!" seru Alfa sambil melambaikan tangan tinggi-tinggi untuknya.
Terkadang Irish goyah juga kalau memikirkan semua itu. Alfa itu sangat
menyenangkan. Mereka mengalami hari-hari yang begitu cerah. Mengingatnya
lagi, selalu menghadirkan kembali semua hari yang pernah mereka lewati.
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kalau mengingat gimana Davi dan Alfa menyembunyikan sesuatu, sementara
Irish benar-benar sudah terlibat, kejengkelan itu kembali naik. Kini Irish akan
sekuat tenaga berusaha tak peduli pada semua kekocakan Alfa.
Apalagi Davi juga tetap sama. Cowok itu masih Davi yang tenang, tanpa banyak
bicara. Kadang Irish heran, bahkan tak pernah tahu siapa cowok yang duduk di
sebelahnya itu. Cowok yang telah menangis di hadapannya, dan dengan susah
payah telah ditolongnya. Davi itu patung bernyawa. Davi itu bibir yang jarang mengeluarkan kata-kata.
Davi itu sepasang mata tanpa ekspresi. Keseluruhan, Davi itu benar-benar.... tetap
tenda tanya! Irish tidak sadar. Meskipun diam, sepasang mata Davi selalu mengawasinya. Tak
lekang, dan tetap mengikuti kemana pun dia pergi.
*** Davi tidak masuk hari ini. Tapi Irish sudah tidak mau peduli. Biar saja, karena
tidak ada lagi peran yang harus mereka pentaskan. Orang-orang yang ingin tahu
tentang hubungan mereka juga dratis berkurang. Mungkin karena kerenggangan
mereka terlalu mencolok mata.
Tapi setelah sampai hari ketiga pun Davi belum muncul juga, mau tak mau Irish
jadi bingung. Dia nggak bisa lagi cuek aja. Den dari informasi yang susah payah
dia dapat dari TU, Davi ternyata udah izin untuk tidak masuk selama satu minggu!
Satu minggu!" Irish benar-benar tercengang. Dia lebih tercengang lagi waktu menelpon ke rumah
cowok itu dan pembantu Davi bilang bahwa Davi pulang ke Temanggung, kota
kelahirannya yang terletak di kaki gunung itu. Sendiri!
Meskipun waktu itu -dengan penuh emosi- Irish mengucapkan ikrar di depan Alfa
bahwa dia tidak mau bicara lagi dengan cowok itu, keadaan ternyata memaksanya
untuk mencari Alfa. Soalnya, siapa lagi yang bisa ditanyain tentang masalah yang
sebenarnya selain Alfa. Alfa lagi sendirian di kelasnya. Sibuk dengan miniatur pesawat. Hobi maniak di
luar lukisan yang sedikit pun tidak bisa dia tinggalkan. Begitu dilihatnya Irish,
kontan mukanya jadi cerah.
"Halo, honey," sapanya sambil nyengir lebar. Irish salut juga. Alfa ini kok nggak
bisa tersinggung ya" Padahal waktu itu, waktu Irish bilang sudah nggak mau lagi
bertemu apalagi bicara, dia sudah memakai kosakata yang cukup nyelekit di
telinga. Tapi ternyata cowok ini tetap menyambutnya dengan panggilan manis.
"Davi udah tiga hari nggak masuk, Al," kata Irish pelan.
"Jadi lo sekarang nyari gue, gitu" Karena Davi nggak ada?"
"Elo jangan asal ngomong ya" Emangnya gue model cewek kayak gitu?" Irish
tersinggung. Alfa tertawa lebar.
"Sori, Rish. Bercanda. Terus?"
"Iya. Davi udah tiga hari nggak masuk."
"Itu sih bukan urusan gue."
"Gue nggak akan nyari-nyari elo kalo itu bukan urusan elo."
"Apa maksud lo?" Alfa menatap cewek di sebelahnya, Irish balas menantang
sepasang manik hitam pekat itu.
"Lo tonjok-tonjokan sama Davi... bukan gara-gara gue, kan?"
Alfa tidak langsung menjawab. Dia kembali memusatkan perhatiannya ke pesawat
kecil di tangannya. "Kenapa lo bilang begitu?"
"Ya Karena.... karena gue selalu bilang sama Davi ke mana gue pergi. Sama siapa
aja, berapa lama." Alfa ketawa palan mendengar kalimat itu.
"Terus" Lo nyari gue cuma mau ngasih tau itu?"
Irish jadi jengkel. "Tadi kan gue udah bilang! Gue nyari elo itu mau nanya, kalian itu berantem garagara gue apa bukaaan!?"
Lagi-lagi Alfa tidak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang-panjang.
"Bukan," jawabnya pelan, "Karena kalo elo yang jadi sebab, dia nggak akan cuma
bonyok begitu, Rish..... Tapi gue bunuh!"
Irish tercengang. "Ini sebenernya ada apa sih" Gue nggak ngerti!"
Bukannya menjawab, Alfa malah menatapnya lurus.
"Jadi pacar gue, Rish. Mau, ya?" katanya. Benar-Benar membuat jantung Irish
langsung mencelat. Mulutnya sampai mangap lebar-lebar saking kagetnya.
"Elo ngomong apa sih" Emangnya ini masih kurang kisruh ya?"
Alfa diam. Beberapa saat suasana jadi senyap. Sampai kemudian Alfa berdiri.
"Gue lagi ngapain nih, Rish?" Cowok itu membuat gerakan-gerakan aneh. Dua
tangannya menggapai-gapai ke segala arah. Kesepuluh jarinya membuka dan
menutup bergantian. Irish menarik napas panjang-panjang. Nahan-nahan sabar.
"Al, gue nggak lagi bercanda nih. Gue nggak ngerti sebenarnya tuh ada apa?"
Tapi Alfa tidak menjawab.
"Ini namanya menggenggam angin," Alfa malah menerangkan arti gerakangerakan itu. "Gue pernah baca satu cerpen yang judulnya menggenggam Angin.
Sesuatu yang sia-sia. Tau" Ya kayak gini. Tadinya gue ngira ungkapan yang lebih
pas 'Menggapai Awan'. Tapi sekarang gue udah tau kalo awan itu ternyata nggak
begitu tinggi. Ada yang rendah banget malah."
"Alfa!" bentak Irish jengkel. Alfa tidak peduli.
"Angin itu emang terasa. Kita tau kemana dia berhembus. Kadang dia lembut,
kadang keras. Tapi yang lucu, sekeras apa pun yang namanya angin, kita tetep
nggak bisa menggenggamnya sedikit pun. Padahal dia bisa ngelempar kita jauhjauh!"
"Alfaaa!" jerit Irish, hampir menangis. Karena Alfa begitu sibuknya membicarakan
angin, akhirnya Irish mengulurkan tangan kanannya dan mencubit lengan Alfa
keras-keras. Sesudahnya barulah cowok itu memekik dan berhenti ngomong soal
angin. "Kalo elo nggak mau ngomong, gue cubit sampe bener-bener biru!" ancam Irish.
"Kalo perlu tangan kiri gue juga jalan nih!"
"Iya! Iya!" Alfa menyeringai kesakitan.
"Mau ngomong nggak!?"
"Iya! Aduh, Rish! Sakit, tau!"
Irish melepaskan cubitannya. Alfa langsung mengusap-usap tangannya yang kena
cubit. "Gila! Sampe biru begini?" Dia terbelalak.
"Oh.... Gue bisa nyubit lebih biru lagi. Sampe tangan lo terpaksa diamputasi!"
ancam Irish. "Mau ngomong nggak?"
"Iya! Iya!" Alfa langsung menyerah. "Davi sekarang lagi 'memanggil angin'."
"Mulai lagi deh!" Irish langsung mengangkat tangannya, siap-siap mau nyubit lagi.
Alfa buru-buru berkelit. "Rish, gue lagi ngomong yang sebenernya." Ditatapnya Irish tajam-tajam.
Wajahnya sekarang benar-benar serius. "Sini!" diraihnya tangan Irish dan
digandengnya cewek itu keluar kelas, kebawah lindungan pepohonan kelapa hijau
yang berderet di samping sekolah. Sebelum memulai, Alfa menarik napas panjangpanjang.
"Bagi gue, elo itu angin, Rish," sambungnya lambat dan berat. "Gue tau kemana lo
pergi. Gue tau darimana elo datang. Tapi gue nggak bisa bikin elo tetep ada di
sebelah gue." "Terus hubungannya sama Davi?"
"Ya itu tadi. Dia lagi memanggil angin. Di tempat yang sama dia udah bikin
Melanie, sepupu gue, kehilangan nyawa. Kalo angin itu dateng dan masih angin
yang sama, itu artinya elo pun angin buat Davi. Cuma bedanya, dia bisa bikin elo
nggak berembus terlalu jauh dari dia."
"Jadi Davi... ke tempat kecelakaan itu!?" desis Irish. Terperangah.
"Yap, begitulah!"
"Ngapain dia ke sana?"
"Ya panggil angin! Aduh... Irish! Lo nggak ngerti bahasa Indonesia ya?" Alfa
melotot gemas. "Dia berdiri lagi di sana. Di tempat yang sama. Kalo dia masih juga
'lumbung', apalagi sampe 'jatuh', padahal 'angin' yang berembus mungkin pelan, itu
artinya... dua mesti ngelepas elo! Paham!?"
Irish mengangguk. Sedikit-banyak dia mengerti kalimat panjang Alfa yang di
ungkapkan dengan bahasa yang kelewat nyastra itu.
"Kenapa sih elo bilang 'angin'" Kenapa nggak langsung aja... kenangan, gitu.
Kenangan pait! Davi berdiri lagi di tempat itu untuk mengetahui apakah kenangan
itu masih jadi jurik, nightmare, trauma!"
Alfa mengangkat bahu sambil tersenyum tipis.
"Lo tanya Davi deh." Cowok itu menepuk pundak Irish. "Udah ya" Udah cukup
jelas, kan?" Irish mengangguk. Alfa langsung balik badan dan pergi.
*** Sejak tahu kejadian yang sebenarnya, Irish jadi semakin gelisah. Rasanya hari
Senin tidak akan datang saking lamanya jarum jam bergerak. Dan inilah hobi
barunya. Duduk bengong di bawah kerindangan deretan pohon kelapa di samping
sekolah. "Lagi ngapain?" tiba-tiba Alfa sudah ada di sebelahnya.
"Nunggu angin puyuh."
"Kok?" cowok itu menahan senyum.
"Iya. Soalnya otak gue kayaknya udah bergeser ke pinggir. Jadi gue kepengin
angin puyuh untuk ngejatuhin itu kelapa. Satuuu aja, biar nibanin kepala gue,
supaya otaknya balik lagi ke tengah."
Alfa kontan ketawa geli, diambilnya tempat di sebelah Irish.
"Davi kok lama ya, Al" Masa dia perlu waktu sampe seminggu?"
"Yaaah.... Karena...."
"Jangan ngomongin angin lagi!" potong Irish. "Entar gue cubit sampe tangan lo
diamputasi!" Alfa ketawa lagi. "Elo sendiri gimana?"
"Maksud lo?" Irish menoleh ke cowok itu.
"Ya, kalo ternyata...." kalimat Alfa terpenggal. Tapi Irish sudah bisa menduga
kelanjutannya. Cewek itu jadi tercenung. Padahal ini baru seandainya, tapi
sebagian hatinya langsung terasa kosong!
"Yaaaaah.....," jawab Irish lambat-lambat. "Gue akan jadi angin. Berembus ke
mana gue suka. Dan kalo gue liat elo berdua lagi duduk di sini, gue akan berembus
sekenceng-kencengnya sampe elo berdua koit kerubuhan pohon kelapa!"
Alfa kontan tertawa keras.
*** Hari senin, pagi-pagi Irish sudah duduk di bangkunya. Begitu cemasnya dia
ternyata. Tidak di sangka. Dia pikir, dia tidak akan pernah seperti dulu,
mempedulikan Davi dengan seluruh perasaannya.
Dia pikir, dia telah sukses menghilangkan perasaan itu. Berbulan-bulan bersama.
Duduk semeja. Membuat skenario tentang malam minggu. Cerita tentang Anyer,
Dufan, Pulau Seribu, Lembah Halimun, Air terjun Cibeureum, dan banyak lagi
yang semuanya.... Bohong!
Genggaman tangan, rangkulan, pengawalan dan segala perhatian yang cuma purapura!
Mengingatnya lagi, ternyata bisa juga memancing tawa. Meskipun sedih.
Tapi ternyata, saat segalanya telah berakhir, saat segalanya telah jauh, baru dia
sadar. Ada yang berubah. Semua yang telah terjadi jadi berharga untuk dikenang.
Melihat cowok itu, walau masih tersisa kemarahan, tenyata memberinya satu
keindahan. Jam setengah tujuh, yang ditunggu datang. Berjalan masuk dengan gaya khasnya.
Tenang dan tak peduli pada sekeliling. Tanpa bisa di cegah, jantung Irish berdetak
lebih cepat dari yang dia kira.
"Hai," Davi menyapanya.
"Hai," balasnya agak gugup. "Elo... dari mana aja, Dav?"
"Elo pasti tau gue dari mana!"
Irish tersentak. Jawaban Davi itu menusuk telak. Irish jadi tergeragap.
"Iya kan, Rish?" kedua alis Davi terangkat.
"Eh" Apanya?" Irish cepat-cepat menunduk, menghindari tatapan cowok itu.
Ditekurinya buku di depannya yang sudah terbuka sejak setengah jam lalu tapi
seluruh hurufnya lewat begitu saja tanpa terbaca.
"Iya. Elo tau ke mana gue pergi!"
Karena tidak bisa berkelit, akhirnya Irish mengangguk.
"Ng... Iya." Davi tersenyum tipis, "Terima kasih," katanya halus.
"Untuk?" Irish menoleh.
"Untuk usaha lo nyari tau gue pergi ke mana!"
Irish tidak mengerti apa maksud kalimat itu. Kembali dia menekuri buku di
depannya, dan perlahan tenggelam dalam lamunan. Sampai tiba-tiba sepucuk daun
teh jatuh tepat di atas lembarnya yang terbuka.
Irish tertegun dan mengangkat muka. Sepasang mata itu tengah menatapnya. Tapi
tidak ada apa-apa di sana. Datar.
MALAM minggu Alfa tiba-tiba muncul di rumah Irish. Irish sampai heran melihat
penampilan Alfa yang lain dari biasanya. Rapi banget.
"Duileeeh, rapi amat!"
Alfa meringis agak malu. "Sekali-sekali, Rish."
"Mau ke mana sih?"
"Mau ke sini." Mata Irish kontan melebar. Dia tertawa geli.
"Biar lo dandan rapinya kayak apa juga tetep nggak bakalan gue kasih makan!"
"Nggak apa-apa. Gue udah makan. Gue boleh masuk kan, Rish?"
"Oh, boleh boleh!" Irish mundur sambil melebarkan daun pintu. "Lo dari mana"
Pulang kondangan?" Alfa ketawa. "Abis kalo nggak begini, lo pasti ngira gue bercanda lagi."
"Gue juga harus rapi?"
Alfa ketawa lagi. "Nggak usah. Begitu juga udah cukup."
Irish tidak jadi jalan ke kamar. Dia duduk di depan Alfa. Agak bingung dengan
kedatangannya yang lain dari biasa. Apalagi malam ini cowok itu kelihatan agak
gelisah. Alda sendiri sekarang malah sibuk mengutuk diri. Saat mereka duduk berhadapan
kini, saat Irish menatapnya dengan sorot menunggu dan tak mengerti, dia justru
jadi kehilangan percaya diri.
Walaupun mereka telah sering bersama, satu dalam canda, tawa, dan sejuta cerita,
ternyata masih tetap tak mudah untuk bicara yang sebenarnya.
"Halo, halo," Irish mengusik kesunyian di antara mereka. Alfa tergeragap dan
seketika tersadar dari lamunan. "Elo kenapa sih, Al" Lagi ada masalah?"
"Yaaah.. begitulah kira-kira."
"Apa" Cerita aja."
Alfa diam lagi. Ditatapnya Irish dalam-dalam. Kemudian...
"Rish, jadi cewek gue ya?"
Irish kontan terpana. Meskipun ini bukan pertama kali Alfa ngomong begitu,
ekspresi dan penampilan cowok itu membuat Irish sadar, ini bukan lagi sekedar
kelakar seperti hari-hari kemarin.
"Mmm... Gue nggak busa jawab sekarang, Al."
"Gue ngerti. Gue tunggu hari senin. Ada pemeran lukisan di Orchid Gallery. Gue
tunggu elo di sana. Kalo elo nggak dateng, itu berarti..." Alfa mengangkat alis,
tersenyum dengan makna tak terbaca.
"Davi gimana?" tanya Irish. Lirih dan hati-hati.
"Davi" Gimana apanya?"
"Yang orang-orang tau, dia cowok gue."
"Biarin aja mereka makin bingung. Nggak usah dipikirin, mereka nggak penting.
Soal Davi, kalo jawaban elo nanti iya... dia jadi urusan gue!"
Irish dan Alfa tidak tahu, dari jarak yang tak terlalu jauh, sepasang mata tajam
mengawasi mereka. Dan meskipun Davi tidak mendengar suara mereka, bahasa
tubuh mereka berdua sudah cukup membuat Davi tahu, ini bukan sekedar
kunjungan. Davi jadi teringat ucapan Melanie, bahwa cewek itu mempunyai
sepupu yang slebor kelas wahid!
Jadi kalau sekarang penampilan Alfa sudah seperti orang yang mau ikutan sunatan
massal begitu, nggak perlu di ragukan lagi, dia pasti punya tujuan.
Apalagi suasana begitu senyap. Padahal selama ini anak-anak bilang bahwa Alfa
dan Irish selalu tertawa di mana dan kapan saja. Dan kesunyian yang cuma
dipecahkan satu-dua kata itu bertahan sampai kemudian Alfa pamit pulang.
Pasti! Mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius dan udah pasti... sensitif!
Terlebih lagi saat Irish mengantar Alfa sampai pagar halaman dan melepas
kepergian cowok itu dengan lambaian tangan. Walaupun mobil Alfa telah lama
hilang, Irish masih juga berdiri diam. Menatap ke ujung ruas jalan. Kemudian,
kepalanya tertunduk lunglai, jatuh di atas lengan.
Davi lebih tak percaya lagi ketika sesaat kemudian Irish mematikan lampu teras,
duduk di sudut remang, memeluk lutut dengan kedua tangan, lalu menengadah
menatap bentangan langit malam. Padahal tidak ada apa-apa di sana. Mendung
telah membuat langit hitam pekat. Nyaris tanpa satu pun bintang.
Sampai sejauh itu! Kedatangan Alfa kali ini ternyata telah membuat Irish
sedemikian resah. Sialnya, dulu Davi tak pernah sekali pun berpikir untuk ngeliat lagi tempat ini
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah kunjungannya usai. Untuk tahu apakah kedatangannya cukup punya arti.
Apakah Irish juga pernah sampai seperti itu... untuknya!
Davi menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Dengan kedua lengan
bersilang di atas setir, dia menyandarkan dagunya. Niatnya untuk langsung pulang
seketika terlupakan. Dia jadi ingin tahu, seberapa banyak waktu yang di perlukan
Irish untuk tenggelam di sudut gelap begitu.
Malam itu, tanpa salah satu tahu, dua orang sama-sama larut dalam keheningan.
Irish, untuk satu permintaan Alfa yang di luar dugaan. Sementara Davi, untuk satu
keputusan yang ternyata harus diambil lebih cepat dari yang dia perkirakan.
Karena ternyata tak tersisa banyak waktu lagi. Dan kenyataan kemudian lebih
membuatnya tak mampu percaya.
Malam menjelang larut. Akhirnya Irish beranjak. Bangkit berdiri, berjalan ke
dalam dengan langkah pelan, lalu menghilang. Lampu teras kembali dinyalakan,
sementara sebagian lampu di dalam rumah itu dipadamkan.
Perlahan, Davi meraih telepon.
"Halo, Theo?" "Yap!" "Jadi, Yo." "Kapan?" "Besok pagi." "Oke!" "Tapi malem ini gue ambil. Mau gue coba sendiri dulu. Takut besok fatal."
"Gitu" Mmm..." suara di seberang mendadak mengecil dan berucap hati-hati,
"Dav, lo yakin nggak apa-apa" Katanya udah tobat?"
Davi tertawa pelan, lalu menarik napas panjang.
"Gue udah tobat! Cuma ternyata..." Dia menelan kalimatnya. Ternyata ada yang
harus dia rebut dengan cara kembali ke masa lalu!
Hanya dengan cara itu! *** Minggu pagi yang suram. Mendung membayang sejak malam. Irish siap dengan
kebiasaanya kalau lagi nggak keluar rumah: tiduran sambil baca. Tapi sebenarnya
ini cuma eksyen doang. Dia pegang buku biar nggak kelihatan kalau sedang melamun. Kalau Orish lagi ada
di rumah, melamun terang-terangan mah bahaya. Soalnya anak satu itu hobi banget
merecoki orang melamun. "Ngelamunin apaan sih" Kasih tau dong. Biar gue bisa ikutan. Enakan
ngelamunnya berdua, lagi!"
Tuh... geblek, kan" Daripada ngelamun berdua, mending main PS.
Pagi ini kepala Irish pusing berat. Gara-gara omongan Alfa semalam.
"Jadi cewek gue ya, Rish?"
Kalimat itu nyaris tidak bisa membuat Irish memejamkan mata. Bukannya tidak
suka. Kalau mau jujur, dia lebih suka ada di sebelah Alfa daripada Davi. Bukan
karena cinta ataupun sayang, Belum sampai begitu kok, tapi lebih karena dia tidak
perlu pura-pura. Cuma itu. Di samping Alfa, dia bisa rileks. Dia bisa tertawa keraskeras. Dia bisa menjerit-jerit. Dia bisa jail.
Tapi kalau dia terima permintaan Alfa, apa kata orang nanti" Begitu cepatnya dia
berpindah dari Davi ke Alfa.
Vaya yang sohibnya sendiri, yang biasanya nggak pernah negative thinking,
kemarin malah sampai ngomong dengan nada prihatin. Sedikit nuduh malah.
"Gue nggak nyangka, Rish, elo bisa kayak begini. Jalan dua sekaligus. Nggak usah
sampe segitu paniknyalah. Lantaran baru bisa dapat pacar pas udah mau tamat
SMU, terus elo jadi ngambil semua kesempatan."
Begitu!" Coba, apa nggak langsung sakit hati dia. Kalau Vaya saja bisa menarik
kesimpulan begitu jeleknya, apalagi orang lain!
Sudah begitu, dengan sok tahunya, Vaya ngasih nasehat begini, "Kalo menurut
gue, Rish... elo mendingan sama Davi aja deh. Di samping elo udah cukup lama
jalan sama dia, gue liat Davi itu orangnya baik kok. Perhatian sama elo, sayang,
pengertian, lagi! Lo runtang-runtang sama Alfa, dia diam aja. Hebat nggak tuh"
Jarang-jarang lho, ada cowok keren yang mau digituin!"
Waktu itu, asli Irish pengen ketawa keras-keras.
Pinter emang si Davi itu. Semua yang bagus-bagus jatuhnya ke dia. Baik,
penyayang, pengertian, perhatian, sabar. Sementara dia, si Irish, cewek nggak tahu
diri! Cewek bego, nggak punya perasaan, tukang ngelaba, dan banyak lagi yang
membuatnya ingin berteriak sekeras-kerasnya, mengumumkan yang sebenarnya
pada semua orang. Biar mereka tahu, dialah satu-satunya korban! Korban yang
sangat tragis! Korban! Korban! Korban!!!
Irish menghela napas panjang-panjang. Kalau ingat semua itu, kepalanya benarbenar jadi mendidih.
Deru motor yang dipacu kencang terdengar di kejauhan. Lama-lama semakin dekat
dan semakin menusuk kuping. Dan akhirnya berhenti di depan rumah. Alis Irish
bertaut. Kenapa Alfa datang pagi ini" Janjinya kan besok. Di Orchid Gallery.
Buru-Buru dia loncat dari sofa. Jangan sampai Alfa tahu kalau kalimat cowok itu
semalam telah sukses membuat Irish jadi kusut begini.
Tapi langkah Irish, yang baru mau buru-buru kabur ke dalam, berhenti mendadak
waktu dia tahu siapa yang berdiri di sebelah motor gede itu. Davi!!!
Irish sampai kaku di tempat. Terpana dengan mulut ternganga lebar, saking tidak
percayanya. Dia langsung buru-buru ke luar.
"Dav!?" "Gue mau ngajak lo jalan, Rish. Nggak ada acara, kan?" tanya Davi tanpa basabasi. Seperti biasa.
Irish menatapnya dingin. Sejujurnya, dia sudah nggak mau pusing lagi sama
urusannya Davi. Dia nggak mau peduli lagi.
"Ke mana?" "Nanti lo juga tahu."
Nah ini! Modelnya Davi yang begini ini! Cowok ini ternyata benar-benar nggak
tahu diri! "Gue nggak mau kalo nggak jelas!" tolak Irish ketus. "Gue nggak mau lagi terlalu
baik sama orang. Terima kasih. Nggak! Malah bikin sakit hati!"
Davi menarik napas. "Sekali ini aja, Rish. Tolong. Setelah ini gue nggak akan ganggu lo lagi!" katanya
lirih. Kedua matanya menatap sungguh-sungguh. Irish terdiam sesaat.
"Okelah," kata Irush setengah enggan. "Tapi....," dia melongok ke belakang Davi,
"naek motor" Gue pikir lo nggak akan pernah lagi..."
"Setengah jam. Cukup?" Davi memotong kalimat Irish.
"Nggak usah mandi?"
Davi jadi tersenyum. "Okelah. Empat puluh lima menit."
"Ng... tunggu deh." Irish balik badan dan masuk ke dalam rumah. Cewek itu masih
agak-agak nggak yakin. Soalnya dia tahu, Davi trauma sama yang namanya motor.
Cowok itu lagi duduk tepekur waktu Irish keluar dari ruang tengah. Menunduk
dalam-dalam seakan lantai di bawah kakinya menampakkan sesuatu. Tapi Irish
malas nanya, karena mereka sudah nggak begitu dekat kagi sekarang.
Dulu itu pun, waktu mereka masih sama-sama, Irish nggak pernah tahu tentang
cowok ini. Paling cuma trauma masa lalu Davi, dan bahwa sebisa mungkin cowok
itu nggak ingin ada cewek yang berjalan di sebelahnya. Cuma itu.
Ternyata Davi benar-benar melamun. Irish berdiri persis di depannya pun dia
belum sadar juga. Setelah selembar tisu dijatuhkan, melayang turun dan jatuh
persis di titik pandangan, barulah Davi tersentak dan mendongak seketika.
Irish tertegun. Davi pucat, dan kayaknya benar-benar sedang tertekan.
"Dav, elo sakit?"
"Udah siap?" Davi tidak mengacuhkan pertanyaan Irish.
"He-eh. Tapi elo kayaknya..."
"Gue nggak apa-apa. Yuk!"
Davi meraih tangan Irish dan menggenggamnya. Irish mulai merasakan sesuatu
yang ganjil. Genggaman tangan itu begitu dingin. Dan Davi masih juga tidak mau
mengatakan ke mana tujuan mereka.
Namun, saat mesin motor telah menyala dan Irish bersiap-siap duduk di
boncengan, tiba-tiba Davi memeluknya. Begitu erat meskipun hanya sesaat.
"Maafin gue, Rish," bisiknya tepat di telinga.
Irish tidak tahu untuk apa maaf itu. Tidak tahu dan.... tidak sempat tanya!
Karena begitu dia duduk di boncengan, Davi langsung melarikan motor dengan
kecepatan tinggi. Suara mesinnya membubung dengan deru nyaring.
Irish tidak sempat lagi menjerit. Di pelakunya Davi kuat-kuat. Dipejamkannya
mata rapat-rapat. Dia tenggelamkan wajahnya ke punggung Davi dalam-dalam.
Mereka melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Meliuk-liuk di antara padatnya lalu
lintas. Di jalan yang benar-benar padat, Davi malah nekat masuk ke celah di antara
dua bus yang melaju beriringan rapat. Sampai kondektur dan sopirnya meneriaki
mereka dengan sumpah serapah. Sementara para penumpang menatap ngeri dari
balik jendela. Di jalan-jalan yang macet, Davi nekat menerjang naik ke trotoar. Tak peduli
banyak orang berseliweran, yang kemudian berlarian panik ke segala arah untuk
menghindar. Tapi Davi justru memacu motornya semakin kencang, begitu sinyal di pintu
persimpangan kereta api di depan mereka berkedip-kedip dan mengeluarkan bunyi
nada yang khas. Memberi tahu arus lalu lintas bahwa ular besi akan melintas.
"Nunduk, Rish!!!" teriak Davi menggelegar. Tidak usah dikomando, Irish otomatis
menunduk begitu tubuh Davi yang dipeluknya kuat-kuat itu menunduk. Motor
yang mereka naiki menerobos palang pengaman yang bergerak turun perlahan.
Meskipun tidak melihat, Irish bisa merasakan kegilaan macam apa yang sedang dia
jalani. Jeritan-jeritan, teriakan kaget, umpatan kemarahan, caci maki, suara orangorang berlarian menghindar, menghujani mereka sepanjang jalan.
Davi sendiri tidak menyadari pelukan kuat di pinggangnya, karena dia harus
menghadapi hantu di kepalanya yang selama ini menemani bukan hanya di dalam
mimpi. Inilah dunianya dulu. Deru bising dan sirkuit ilegal di mana saja. Skor tertinggi
bukan cuma dicatat dengan kecepatan waktu, tapi juga patah kaki-tangan, retak
tulang di sana-sini, bahkan rontok gigi. Kecemasan ayahnya, tangis ibunya,
ternyata tak cukup membuatnya sadar.
Nyawa Melanie, kebencian hampir semua penduduk kota, mata-mata yang
menatap sinis, mulut-mulut yang selalu memberinya umpatan dan caci maki, serta
teman-teman yang mendadak hilang bersamaan. Itulah harga yang harus dia bayar.
Dan ingatan tentang kejadian itu tak pernah bisa dihindarinya, kecuali mungkin
dengan dua cara. Cuma dua cara. Mengeluarkan semua otaknya dari batok kepala,
atau mencopot kepalanya sekalian dari tempatnya.
Karena itulah dia lakukan ini. Karena sejuta penyesalan takkan bisa
mengembalikan yang sudah mati. Coba berdamai, barangkali itu yang terbaik.
Davi ingin membuktikan bahwa dia bukan 'pembunuh' Melanie. Peristiwa itu
murni kecelakaan. Dengan Irish di boncengannya kini, Davi ingin membuktikan
bahwa dia bisa membawa Irish dengan selamat.
Jalan mulai menanjak curam. Dingin hawa Puncak mulai menusuk tulang. Dan
Davi memacu motornya semakin gila-gilaan.
Ini memang bukan jalan yang dilaluinya setengah tahun lalu itu. Gadis yang
memeluknya erat di belakang juga bukan gadis yang diantaranya kepelukan maut
kala itu. Tapi inilah yang dilakukannya saat itu.
Inilah! INI!!! Motor itu melaju seperti angin. Roda-rodanya menggilas selapis air bening. Hujan
turun, tipis temaram. Menghadirkan kabut suram. Seperti saat itu.
Jalan yang menanjak dan meliuk. Hujan yang turun tipis. Selimut kabut yang
mengaburkan horison. Dan.... kebun teh!
Seperti saat itu! Semuanya seperti saat itu!!!
Tanpa sadar jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Kesepuluh jarinya semakin
kuat mencengkeram. Sepasang matanya menatap tajam kejauhan. Kedua
rahangnya keras mengatup. Tapi gemeretak giginya tetap terdengar.
Tikungan tajam menghadang di depan. Pagar pengaman yang terpasang tak
sebanding dengan jurang terjal yang siap menelan. Davi memacu motor semakin
gila-gilaan. Gadis di belakangnya melekat erat di tubuhnya.
Sampai di mulut tikungan itu, yang sama sekali tidak memberikan urang padang
uuntuk tahu ada-tidaknya kendaraan di ruas seberang, Davi menjejakkan kaki
kanannya ke aspal. Bersamaan dengan tali rem yang di tarik mendadak sampai ke
pangkal, motor berhenti saat itu juga, diiringi decit suara yang mengiris tajam
telinga. Hanya setengah meter dari pagar pengaman!!!
Irish pucat pasi. Putih seputih-putihnya. Tapi Davi lebih pucat lagi.
Motor telah berhenti. Tapi Irish masih memeluk Davi kuat-kuat dan
membenamkan wajah ke punggung di depannya itu dalam-dalam. Dan davi
membiarkannya tetap seperti itu. Dia bisa merasakan, tubuh di belakangnya
gemetar ketakutan. Dia tahu, tindakannya ini memang keterlaluan. Mengajak seseorang untuk
mengusir bayangan hitam. Tapi dia benar-benar butuh gadis ini ternyata. Lebih
dari yang dia pikirkan. Dan dia berhasil.... berhasil memboncengi Irish dengan
selamat! Menit demi menit terlewat. Dengan lembut, Davi menepuk tsngan tang masih
melingkari pinggangnya. Irish tersadar dan perlahan mengangkat wajah. Membuka
matanya pelan-pelan untuk memastikan dia tidak lagi dalam perjalanan ke simpang
surga-neraka. Irish langsung melompat turun. Begitu cepat dan tiba-tiba. Seperti
takut kalau telat Davi sedetik saja Davi akan kembali mengajaknya menyongsong
haribaan Tuhan. "Elo gila!!!" jeritnya dengan emosi menggelegak dan ketakutan yang pecah. "Kalo
tadi kita sampe kecelakaan, gimana!" Kalo gue sampe mati, gimana!" Elo mau
bilang apa sama orang tua gue!" Keterlaluan! Lo bener-bener gila! Lo sarap!"
Davi cuma diam. Menatap gadis di depannya, yang histetis dan menyemburkan
kemarahan dan air mata. "Takut?" tanyanya lirih.
"Takuuuut!!!?" jeritnya melengking. Dia pelototin Davi lebar-lebar, saking
percayanya dengan pertanyaan itu. "Elo..." akhirnya irish malah tak bisa bicara
apa-apa. "Elo takut, tapi gue lebih takut lagi." Davi memalingkan wajah saat mengucapkan
itu, tapi getar suaranya tak tersembunyikan.
Namun Irish tak terpengaruh lagi. Dia tahu, Davi mengajaknya terbang
mendahului deru angin. Mendahului kenangan. Meninggalkannya di belakang, lalu
coba memastikan bahwa tak ada pengaruh yang dia tinggalkan.
Berharap semoga saat ini kenangan itu benar-benar tinggal kenangan. Hanya
kenangan. Wajah Davi menatap muram ke lengkung cakrawala. Redup mengerjap saat
butiran debu menempel di sudut-sudut mata. Sosok ini lebih mengenaskan
daripada sosok Davi yang pernah memintanya untuk jadi temeng dulu. Dan suara
Irish melunak saat mengucapkan kekecewaannya.
"Elo minta gue jadi temeng. Pura-pura jadi cewek lo. Terus kita mati-matian
berakting supaya semua orang percaya kita emang pacaran. Tapi terus sandiwara
itu elo bongkar begitu saja ke Alfa. Apa maksud lo?"
Davi tetap diam. Tetap menatap ke kejauhan. Irish mengeluh pelan dan
meneruskan dengan suara yang juga semakin pelan. Mirip penyesalan.
"Lo juga gasih isyarat ke semua orang kalo kita udah bubaran begitu aja. Gue
nggak tau kenapa. Elo juga nggak mau ngomong sebabnya. Lo mikir dong, gimana
gue mesti jawab waktu mereka nanya" Dan sekarang elo ngajak gue gila-gilaan
sampe hampir 'lewat' begini. Kenapa gue" Kalo elo udah lempar isyarat ke manamana bahwa hubungan kita udah selesai, kenapa lo ngajak gue" Kenapa nggak lo
ajak yang laen aja?"
Baru Davi bergerak. Dia turun dari motor dan menjulangkan tubuh jangkungnya di
depan Irish. "Keliatannya begitu ya?"
"Lho, emang begitu, kan?"
Irish jadi tidak mengerti ketika kemudian Davi tersenyum, menatapnya dalam,
meraihnya begitu erat dalam pelukan... dan mencium pipi kirinya perlahan.
Irish terperangah. Kemudian Davi merogoh saku kemejanya, mengeluarkan secarik
kertas, dan menyodorkannya kepada gadis mungil yang pucat dalam pelukannya.
Nanar, Irish menatap tak percaya saat lipatan kertas itu terbuka.
Aku telah bernyanyi untukmu
Tapi kau tidak juga menari
Aku telah menangis di depanmu
Tapi kau tidak juga mengerti
Haruskah aku menangis sambil bernyanyi
"Gue bukan cowok model Alfa, Rish. Yang bisa ngomong terus terang. Nggak
peduli tempat. Nggak peduli waktu."
"Tapi kenapa elo malah ngomong yang sebenernya ke Alfa?"
"Ada alasan kenapa gue harus ngomong terus terang ke dia. Tapi gue nggak bisa
cerita sekarang, karena masih ada yang harus gue selesaikan sama dia."
"Gue nggak ngerti."
"Makanya. Baca lagi itu puisi di rumah. Liat lagi ke belakang. Elo akan inget, kalo
ada begitu banyak yang terlewat. Apalagi semenjak ada Alfa. Gue bener-bener
serasa teriak di tengah gurun."
Irish mendongak. Semakin kaget. Davi menyambutnya dengan tatapan hangat.
"Oke" Udah ngerti sekarang" Pulang yuk?"
"Nggak mau ah!" Irish langsung geleng kepala. "Elo pulang sendiri aja. Gue mau
naek bus!"
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Davi ketawa pelan. "Gue bener-bener minta maaf. Tapi percaya deh, itu tadi yang terakhir. Nggak akan
ada lagi. Lagian ini juga bukan motor gue."
Irish masih ragu. Dia cuma menatap Davi tanpa bergerak. Davi meraih tangan
Irish. Dengan lembut ditariknya Irish ke boncengan motornya.
"Sori, Rish. Gue terpaksa begini, karena kalo nggak, gue harus menyerahkan elo ke
Alfa. Dan kalo elo nggak mau ikut gue pulang naik motor lagi, itu berarti... elo
setuju lepas dari gue dan...," Davi mendekatkan wajahnya, hingga Irish bisa begitu
jelas melihat gurat-gurat halus di mata cowok itu, "kita harus say goodbye. Dan
mungkin gue akan pindah duduk. Supaya Alfa nggak perlu ngusir gue kali dia
datang." Irish tertegun. Gelisah digigitnya bibir. Perlahan tangannya menyentuh jok motor,
letak jawaban yang harus dia berikan. Alfa masih memberi Irish sedikit waktu, tapi
Davi tak mau menunggu. "Tapiii..." perlahan pipi Irish bersemu merah. Dan dia menunduk. Malu untuk
menyatakannya. Namun Davi ini terlalu susah untuk dibaca, dan Irish nggak mau berjalan bersama
angin. Davi tahu apa yang berputar di kepala Irish, karena itu dia menunduk, mengangkat
dagu si mungil itu, lalu menatap sepasang mata itu sungguh-sungguh.
"Gue bisa lebih norak dari Alfa kalo elo mau... honey!"
Kedua mata Irish terbelalak, lalu dia ketawa pelan. Memunculkan sepasang lesung
pipinya yang mungil. "Jangan! Gue bunuh lo kalo sampe teriak-teriak kayak dia!"
Kini gantian Davi yang tertawa. Seketika ada kelegaan yang sarat saat gadis itu
duduk di belakangnya, memeluk pinggangnya, dan memberikan satu perintah
dengan nada tegas "Oke, jalan! Tapi pelan-pelan! Kalo kayak tadi lagi, mendingan elo di belakang,
gue yang boncengin!"
Tawa Davi makin keras. Si mungil ini begitu yakinnya tubuh imutnya sanggup
menahan berat motor. "Siap, laksanakan..." Davi menoleh ke belakang. Menatap cewek itu dengan
senyum, lalu mengedipkan sebelah mata. "Babe!"
Irish melotot. "Nggak usah centil deh!"
Mereka pulang. Membelah hamparan kebun teh, menatap jauh ke depan, dan
meninggalkan apa yang sudah terjadi.... jauh-jauh di belakang!
Akhirnya..... End.... Selesai..... Tamat......
Insan Tanpa Wajah 2 Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Mas Rara 1
Davi sih tinggal diam aja. Berdiri mengawasi tanpa harus membuat move. Kadang
dia suka ketawa sendiri, antara geli dan kasihan, kalau melihat dari jauh gimana
Irish ngamuk-ngamuk karena sudah dituduh macam-macam.
Kalau sudah begitu, dia tinggal mementaskan perannya jadi cowok superbaik,
dengan cara membela Irish di depan cewek-cewek yang telah menuduh Irish
macam-macam itu. Dan itu jelas bukan tanpa tujuan. Davi tahu benar bagaimana
caranya menyelam sambil minum air dan cari ikan sekalian. Mendapatkan simpati
sekaligus mendesak Irish untuk menghentikan wira-wirinya bersama Alfa tanpa
harus ikut campur tangan.
Dengan berakting jadi cowok super perhatian, yang cuma tersenyum begitu dapat
laporan dari mana-mana, plus pembelaannya yang begitu arif bijaksana : "Mereka
cuma temenan aja karena satu hobi" -jelas saja Irish semakin dikecam. Dapat
omelan di mana-mana. Dicerca, dicap, ditegur keras, dikasih peringatan malah!
Tidak seorang pun tahu di balik sikap tenang dan kesabaran yang luar biasa yang
diperlihatkan Davi, sebenarnya cowok itu merasa dadanya hangus terbakar.
Tumpah dalam bentuk letupan lahar.
Tapi tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain menahan diri untuk tidak
membuat si Alfa itu rontok gigi atau tulang-tulangnya mesti dipasangi pen di sanasini.
SIANG ini ada pameran lukisan. Goresan mendiang Basuki Abdullah. Dan Irish
penggemar berat lukisan-lukisan beliau. Sayang tidak ada klub Basuki Abdullah
mania. Coba kalau ada, dijamin pasti dia akan mendaftar paling utama.
"Lukisan-lukisannya baguuus deh, Dav! Bener-bener hidup. Detail-detailnya
sempurna. Pokoknya nggak ada yang nandingin lukisannya!"
Davi mendengarkan letupan semangat cewek di depannya dengan diam. Kalau
sudah bicara soal lukisan, Irish pasti begitu. Meskipun dia baru menyadarinya
setelah kedatangan Alfa. Dan itu juga yang telah melepaskan si mungil ini dari
tangannya. Tanpa peduli yang diajak bicara tidak tertarik atau bahkan tidak peduli,
Irish akan terus bicara. Cewek ini bahkan rutin duduk di depan tivi tiap sore, mengikuti satu judul
telenovela, cuma telenovela itu penuh lukisan di setiap setting indoor-nya.
Sementara jalan ceritanya sendiri dia malah tidak begitu menyimak.
"Makanya...," sambung Irish. "pulang sekolah gue mau liat. Nggak apa-apa, kan?"
"Inikan baru hari pertama, Rish! Pamerannya seminggu, kan?"
"Gue mau liat tiap hari malah. Seminggu sih kurang!"
Davi geleng kepala. Minta ampun si Irish ini!
"Sama Alfa?" Kadang Davi heran sendiri, kenapa dia masih juga menanyakan dengan siapa Irish
pergi. "Sama siapa lagi"!" jawab Irish dengan intonasi yang menyimpan seribu arti.
Bosan, kesal, capek. "Gue nggak akan minta persetujuan elo kalo pergi sama orang laen atau pergi
sendiri." "Tapi elo selalu pergi, meskipun gue nggak ngomong setuju atau nggak."
Irish tersenyum manis, menyembulkan sepasang lesung pipi kecilnya.
"Itukan cuma formalitas!" jawabnya diplomatis. Davi kontan mati kutu. "So...?"
lanjut Irish. "Nggak apa-apa. Pergi aja!"
"Emang harus nggak apa-apa!" tandas Irish. Davi cuma tersenyum tipis.
Dan siang itu, saat Davi berjalan lesu ke lapangan, Irish sudah kabur begitu bel
berbunyi. "Kenapa?" tanya Davi heran saat Verdy menatapnya dengan sorot aneh.
"Heran aja," jawab cowok itu sambil melepas baju seragamnya, ganti dengan kaus.
"Elo sama Irish ke mana-mana pake mobil, berarti di antara kalian berdua ada
jarak. Tapi lo biarin dia pergi sama cowok laen naek motor. Pernah lo liat orang
naik motor jauh-jauhan" Apalagi kalo ngebut! Jadi jangan kaget kalo nanti cewek
lo itu tiba-tiba udah disamber orang. Apalagi cowok model Alfa!"
Davi kontan menegang. "Mereka naik motor!?" desisnya.
"Lo liat aja ke depan."
Tanpa buang waktu, Davi melempar tasnya ke tanah begitu saja dan belari ke
gerbang depan seperti orang kesurupan.
Benar saja! "IRISH!!" teriaknya seketika. Gelegar suaranya bukan cuma membuat Irish dan
Alfa yang kaget, tapi semua yang ada di situ juga ikut kaget. Irish langsung pucat.
Meskipun dia tidak tahu fi mana letak kesalahannya, wajah Davi yang kaku dan
merah cukup membuatnya tahu bahwa cowok itu marah besar.
"TURUN!!!" bentak Davi begitu sampai di depannya. Ditariknya Irish dari
boncengan Alfa. Begitu keras sampai cewek itu hampir terjatuh kalau tidak buruburu dipegangi Alfa.
"Kok elo kasar banget sih sama cewek!?" bentak Alfa, jadi ikut marah. Davi
menatapnya dengan wajah menyala.
"Kenapa lo nggak bilang kalo mau ngajak dia pake motor?"
"Emangnya elo siapa!" Kalo elo babenya gue kasih tau. Tapi elo kan cuma....
pacarnya!" Ada yang aneh dari cara Alfa menyebut kata "pacarnya". Mata Davi
menyempit. "Apa maksud lo?"
Alfa menyeringai. Sepasang bola mata hitamnya berkilat.
"Cewek lo buat gue! Gimana?"
Davi terperangah. Tapi dia batal memperpanjang masalah karena sekarang mereka
sudah jadi tontonan gratis. Ditatap berpasang-pasang mata dari segala penjuru.
Anak-anak yang lain juga terbelalak karena kata-kata Alfa barusan.
"Ayo pulang, Rish!" ditariknya tangan Irish yang sejak tadi memang tidak
dilepaskannya. Pontang-panting Irish berusaha mengikuti langkah Davi yang dua
kali lebih panjang dari langkahnya.
Dari atas motornya, Alfa mengikuti kedua anak itu dengan sepasang mata yang
perlahan-lahan dipercik bara. Davi tidak mengira sama sekali kalau ternyata Alfa
akan mengejarnya. Deru mesin motornya memecahkan telinga. Dan begitu bisa
menyejajari, Alfa memukul keras pintu mobil di sebelahnya. Membuat dua orang
di dalamnya terlonjak kaget.
"MINGGIR!!!" teriak Alfa keras. Sebelum Davi bisa memutuskan untuk menuruti
perintah itu atau cuek aja, Alfa sudah lebih dulu bertindak. Menghentikan paksa
dengan jalan memotong jalan mereka.
Irish meremas kesepuluh jarinya kuat-kuat. Mengikuti dengan ketakutan adegan di
depannya. Alfa yang biasanya selalu cerah, banyak tawa, lucu, konyol, sekarang
benar-benar menakutkan. Cowok itu menghampiri mereka dengan langkahlangkah panjang, kedua rahangnya mengatup keras dan sorot matanya setajam
elang. "Gue mau ngomong sama elo! Turun, cepet!" bentakan itu diakhiri dengan pukulan
di pintu mobil. Kemudian dia pergi dan menunggu di sebelah motornya. Davi
mengeratkan gerahamnya. Dia semakin marah karena tentangan dan gaya Alfa
yang sudah mirip jagoan itu.
"Alfa itu maunya apa sih!?" desisnya sambil membuka pintu dan turun. "Lo tetep
di sini, Rish. Jangan turun!"
Meskipun tetap di mobil, Irsih bisa mendengar semua percakapan Davi dan Alfa
karena cara ngomong kedua cowok itu setengah tarik urat.
"Apa sih mau lo?" bentak Davi.
"Gue minta cewek lo! Tadi udah gue bilang, kan?"
Irish sampai menepuk-nepuk dada mendengar kalimat itu. Kok Alfa jadi kasar
begini" "Tolong deh, elo sopan sedikit kalo ngomong. 'Minta, minta!' Lo pikir dia barang?"
"Bukannya buat lo dia itu begitu?"
Davi tertegun. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuatnya tercekat.
"Apa maksud lo?" volume suaranya kontan menurun dratis.
Alfa ketawa. "Kenapa suara lo jadi kecil" Takut?" ejeknya. Kemudian dia menoleh
ke Irish. "Irish, honey! Lo mendingan turun deh. Elo harus denger apa yang mau
gue omongin ke cowok lo ini!"
Irush jelas tidak berani. Pertama, karena Davi sudah melarang. Kedua, dia takut
kena bogem nyasar. "Gimana kalo kita pindah ke deket... cewek lo?" Alfa menatap Davi dengan alis
terangkat tinggi. Davi menggertakkan giginya, menahan geram.
"Al, ini ada apa sebenernya?" desisnya pelan.
Alfa ketawa lagi. "Kenapa suara lo" Ayo sini!" Dia melangkah mendekati mobil
Davi di sisi tempat duduk Irish. Ekspresi Irish tampak ketakutan. "Ayo, sini!"
serunya begitu dilihatnya Davi tidak bergerak. "Ini bukan cuma urusan elo sama
gue! Irish juga kesangkut!" kemudian ditatapnya si mungil itu. "Elo nggak apa-apa
kan, Rish" Jangan kuatir deh! Kalo elo nggak berani mengakhiri, gue yang akan
mengakhiri!" Kalimat terakhir Alfa kontan membuat sepasang mata Davi berkilat. Davi
mendekati Alfa dengan kecemasan yang perlahan memekat. Begitu juga Irish.
Meskipun tidak tahu kartu apa yang sedang dimainkan Alfa, Irish merasa sesuatu
akan terjadi. "Elo tuh ya...," Alfa meneliti sosok cowok di depannya dari ujung rambut sampai
ujung kaki, sambil tersenyum dengan sorot mata mengejek, "punya sesuatu yang
elo umpetin. Sesuatu yang mahadahsyat! Yang elo paksa untuk dikubur!"
Davi terkesiap. Seketika tubuhnya menegang. Pucat pasi, ditatapnya Alfa. Alfa
balas menatap dengan penuh kemenangan.
"Tapi... elo gagal! Soalnya masalah yang berusaha lo tutupin emang bukan
masalah yang bisa dengan gampangnya bisa lo lupain begitu aja. Iya, kan"
Sayangnya... elo melibatkan orang lain yang nggak tau apa-apa. Yang sebenernya
nggak pantas lo ajak ikut memikul beban. Sebenernya sih nggak apa-apa kalo
porsinya kecil. Tapi yang terjadi..." Alfa menoleh ke Irish. "Justru sebaliknya!
Justru Irish yang paling banyak menanggung beban. Sementara elo... cuma berdiri
di belakangnya!" Davi terperangah. Kaget luar biasa. Seketika sepasang matanya menatap Irish
dengan bara meletup. Irish kontan pusat. Putih seputih kertas. Apalagi waktu dilihatnya sepasang mata
Davi penuh dengan nyala kemarahan dan memandangnya seperti ingin membunuh.
"Jadi..." Alfa meneruskan kalimatnya, masih dengan gaya santai, "Irish emang
cewek lo, seperti yang semua orang tau. Tapiii... sekarang ada gue. Dan gue tau....
persis! Yang sebenernya! Jadi kalo elo apa-apain dia..." Alfa menoleh ke arah Irish
yang semakin pucat dikursinya, mengulurkan satu tangannya, dan menepuk lengan
gadis itu dengan lembut. "Lo akan jadi cewek gue, honey!"
*** Irish tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Begitu Alfa pergi -tak lupa cowok itu
meninggalkan salam sayang disertai pesan, "Kalo elo di apa-apain sama si Davi,
bilang gue!"- Davi melarikan mobil dengan kecepatan tinggi. Cowok itu baru
menghentikan mobil pas udah di tempat sepi, lalu meledak sejadi-jadinya.
"Elo cerita ke Alfa, ya" Lo ceritain semuanya ke Alfa!!!" teriaknya, nyaris seperti
orang kalap. Irish merapatkan badannya ke pintu, ketakutan.
"Gue nggak cerita apa-apa, Dav. Sumpah!"
"Terus gimana dia bisa tau?"
"Mana gue tau! Jangankan Alfa yang baru kenal, Vaya yang sohib gue dari SD aja
nggak gue kasih tau!"
"JANGAN BOHONG!"
"Gue nggak bohong!" Irish sudah ingin menangis. Ini kedua kalinya dia dibentakbentak Davi. Tapi yang pertama dulu dia masih bisa ngerti karena Davi nggak
sadar. Tapi sekarang"
"ELO... PASTI... CERITA... KE ALFA... SEMUANYA! PASTI!!!" Davi
memperjelas tuduhannya kata demi kata. Irish geleng kepala kuat-kuat.
"Gue nggak cerita! Gue nggak cerita apa-apa!" jeritnya melengking. Benar-benar
nelangsa. "Gue nggak cerita apa-apa! Gue nggak cerita ke siapa-siapa!"
"NGGAK MUNGKIN!"
Davi menggebrak dasbor. Begitu keras hingga pernak-pernik di atasnya melayang
dan terjun bebas. Jatuh berserak.
"Nggak mungkin! Lo pasti cerita semuanya ke Alfa! Apa maksud lo sih, Rish!"
Supaya dia tau yang sebenarnya" Supaya dia tau kalo elo itu bukan siapa-siapa
gue, begitu" Dulu gue udah bilang kan, kalo ada cowok yang elo suka... silakan!
Elo boleh pergi!" Irish menatap Davi dengan mata berkaca-kaca. Tiba-tiba dia membuka pintu di
sebelahnya, melompat turun, dan lari! Davi terperangah.
"IRISH! IRIIISH!!!" teriaknya.
Irish nggak peduli. Dia makin mempercepat larinya dan nggak menoleh lagi. Masa
bodo sekarang dia ada di mana! Kesasar masih lebih mending. Daripada dimakimaki kayak tadi!
Dia udah dituduh "mandi kembang tengah malam", dibilang sok cueklah, sok jual
mahallah, pura-pura nggak intereslah, sok imutlah. Setelah perasaannya jadi moratmarit begitu, setelah hatinya ditusuk dari mana-mana begitu, emangnya dia bisa
begitu gampang jadi pengkhianat"
Davi buru-buru mengejar, tapi Irish sudah lari ke seberang jalan dan menghilang di
kerumunan. Tercenung, Davi lalu berdiri diam. Hatinya sebenarnya ragu, tapi
karena begitu lengkapnya Alfa tahu tentang semuanya, lalu apakah ada penjelasan
lain" *** Irish baru sampai rumah sore hari. Dia benar-benar kesasar. Baru kali ini dia naik
bus yang tidak tahu ke mana tujuannya. Melewati tempat-tempat yang dia juga
baru sekali itu melihatnya. Yang paling parah, dia tidak bisa bilang ke kondektur
mau turun di mana! Sampai rumah sudah jam lima lewat, ternyata Davi ada di sana!
Cowok itu duduk di teras dengan raut cemas. Dia langsung berdiri begitu Irish
muncul di depan pagar. "Dari mana aja?"
"Dari Sabang sampai Merauke!" jawab Irish sengit. Pake nanya, lagi!
"Rish, gue minta maaf soal..."
"Ah, udah deh!" Irish mengibaskan tangannya. "Gue males ngomongin!"
Davi buru-buru menahan ketika Irish akan melangkah masuk, dan memaksanya
untuk tetap berdiri di hadapannya.
"Leeepas!" Irish meronta. "Lepas nggak" Lepas! Lepas! Lepas!"
Davi tidak melepaskan cekalannya. Dibiarkannya Irish berontak sampai akhirnya
capek sendiri. "Dari mana" Sampe sore begini?" tanyanya halus.
Irish melotot marah sebelum menyemburkan jawabannya.
"Emangnya lo kira gue dari mana" Apa gue keliatan kayak abis jalan-jalan di mal"
Apa gue keliatan kayak habis makan burger di McDonald's" Gue abis kesasar, tau!
Gue jalan ke sana kemari! Semua orang yang gue tanyaiin, satu pun nggak ada
yang tau daerah sini! Mana gue naek bus yang nggak tau mau ke mana. Puas"
Sekarang lepasin tangan gue!"
"Rish," ucap Davi lembut. Berusaha meredam emosi cewek di depannya itu. "Gue
mau ngomong..." "Gue nggak mau ngomong!" jerit Irish. "Gue mau makan! Gue mau minum! Gue
mau mandi! Gue mau tidur! Gue capek! Gue laper! Gue aus! Gue marah! Gue
kesel! Jengkel! Benci! Dongkol! Lo mendingan pulang aja deh sekarang! Sana
pulang! Cepet!" "Gue kuatir, makanya gue nungguin elo. Gue juga mau...," Davi diam sejenak,
"minta maaf." "Heh!?" Irish melongos. Minta maaf! Emangnya gampang!" Berjam-jam naik bus,
jalan ke sana kemari, sampe dikira sudah sampe Surabaya saking jauh en lamanya.
Duit abis, lagi... buat bayar ongkos!
Tahu Irish tidak akan bisa di ajak ngomong saat ini, akhirnya Davi melepaskan
genggamannya. Dengan lembut di rapikannya anak-anak rambut Irish yang jatuh di
dahi. "Gue tau elo pasti capek. Ya udah, istirahat gih. Besok..."
"Nggak ada besok!" potong Irish langsung. "Mulsi besok gue nggak mau dijemput
lagi! Gue mau berangkat sendiri!" Lalu dengan kasar, dia membanting pintu di
depan Davi. Jangan dikira Irish cuma bisa diem aja. Kalo cuma bentak-bentak aja sih.... kecil!
Dikiranya gue nggak berani!" Asal jangan diajak smackdown aja, gerutu Irish
dalam hati. Malamnya, Davi waduh mencoba menelepon. Barangkali Irish sudah agak lunak.
Tapi baru saja dia ngomong "Halo" , langsung aja terdengar bunyi.... BRAK!
Telepon di seberang di banting keras!
*** Keesokan paginya, Irish terbangun kaget.
"Aduh! Jam berapa nih?" desahnya sambil melihat jam dinding. "Jam enam?"
serunya panik. "Aduh, gawat! Gawat!"
Gara-gara peristiwa pulang sekolah kemaren, dia jadi kesel, benci, marah, dongkol,
malu, sebel! Pokoknya dia benciii banget sama Davi!
Telat deh hari ini! Biasanya dijemput Davi, jadi dia bisa bangun agak siangan. Tapi
kalo naik bus, jam enam lewat sepuluh dia kudu cabut dari rumah.
Buru-Buru Irish loncat dari tempat tidur, mematikan lampu, membuka jendela,
dan... seketika dia tertegun. Mobil Davi sudah ada di halaman!
"Mau apa lagi dia?" desisnya marah sambil jalan ke pintu. Udah dibilang gue
nggak mau dijemput. "Kan udah gue bilang, gue mau berangkat sendiri!" sentaknya begitu berhadapan
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Davi di teras rumah.
Davi mengangkat kepala dan sepasang alisnya langsung menyatu begitu melihat
penampilan cewek di depannya. Wajah Irish cemberut berat dalam baju tidur dan
rambut kusut. "Udah jam enam lewat lima, Rish."
"Gue mau berangkat sendiri!"
"Jam setengah delapan lo baru sampe sekolah."
"Biar!" "Yang piket Bu Sam lho. Elo tau dia nggak pernah mau dengar alasan apa pun."
"Biiiiiiar!" "Rish," kata Davi sabar. "Jam pertama pelajaran bahasa Inggris. Bisa abis elo
dibikin malu Bu Nursiah."
"Biar! Biar! Biar!" Irish sepertinya benar-banar naik darah soal kejadian kemarin.
"Okelah," akhirnya Davi ngalah. "Gue berangkat duluan." Dia pun berdiri. "Gue
duluan, ya?" pamitnya, berharap akan ada perubahan. Tapi Irish tidak menjawab.
Cewek itu malah balik badan dengan angkuh terus jalan ke dalam.
Masa bodo! gerutu Irish dalam hati. Masih untung gue masih punya perasaan.
Nggak ganti bikin malu dia di depan umum! Dasar! Tapi begitu keluar dari dalam
kamar mandi, tuh cewek langsung menjerit panik.
"HAH! Jam setengah tujuh" Aduh, Mati gue! Mati gue! Mati gue!" Buru-buru dia
kabur ke kamar. "Iriiish!" jerit mamanya. "Pelan-pelan kenapa sih" Tuh, kamu bikin becek, lagi?"
"Buru-buru, Mah!" Irish balas menjerit dari kamar.
"Makanya! Siapa suruh begadang!"
Irish siap-siap superkilat. Buku, alat tulis, semua dimasukan ke dalam tas begitu
saja. Tapi begitu melihat buku bahasa Inggris-nya di atas kasur, dia menjerit lagi.
"Oh, iya! Pe-er Inggris-nya belom gue kerjain! Aduuuh, mati deh gue! Gimana
dong?" sejenak Irish berdiri bengong. Ngeri membayangkan Bu Nursiah, salah satu
guru yang masuk dalam jajaran guru killer. Dengan mata tajam dan bibir tipis,
kalau Bu Nursiah sudah ngomel, wah... kuping kita kudu buru-buru diperiksa ke
dokter THT. Seakan masih kurang apes, Irish sudah berdiri lima menit berdiri di pinggir jalan,
tapi nggak ada satu pun bus yang lewat.
"Ini bus pada ke mana sih?" desisnya kesal. "Nggak tau gue udah telat, apa!"
"Naek taksi aja, Mbak," usul Yadi, pedagang asongan yang sering mangkal di
halte. Begitu ngieliat Irish tadi, cowok itu langsung ngomong kangen. Soalnya
lama nggak ketemu. "Naek taksi!?" Irish mengangkat alis. "Mana sini, pinjemin gue duit buat ongkos
naek taksi!" Yadi kontan nyengir kuda.
Di saat Irihs di ambang kepasrahan gitu, sebuah Jeep putih berhenti di hadapannya
dan pintunya langsung terbuka. Davi! Irish langsung cemberut dan melongos ke
arah lain. Davi turun karena tahu kali ini Irish takkan mau naik secara sukarela kalau tidak
dipaksa. "Udah jam tujuh kurang sepuluh, Rish," katanya pelan. Digamitnya lengan cewek
itu dan dipaksanya dengan halus untuk naik. Terpaksa Irish nurut karena bus yang
di tunggunya -yang ternyata baru saja nongol dari tikungan belakang- ternyata
banyak banget fansnya. Sampai pada ikhlas bergelantungan di pintu. Selain itu
juga, Irish ogah beradegan ala film india di tempat umum.
Jeep melaju dengan keheningan di dalamnya. Sampai kemudian jam mungil di atas
dasbor mengalunkan denting-denting halusnya. Jam tujuh tepat!
Irish mengeluh panjang. Denting jam itu seperti suara ketukan sepatu Bu Nursiah
yang berjalan di sepanjang koridor kelas. Dan Irish langsung teringat bibir tipis Bu
Nursiah yang kalau sudah ngomel..... wiiiih.... murah banget melontarkan kata-kata
lumayan pedas. Di kelas Irish yang sudah pernah merasakan ketajaman mulut Bu Nursiah adalah
Mona. Sama seperti Irish sekarang, waktu itu Mona lupa mengerjakan pe-er.
Langsung aja Bu Nur berdiri disamping meja Mona. Sambil melotot, dengan suara
nyaring dan garing dia mulai mengomel.
"Jadi... you tidak mengerjakan homework yang I suruh minggu lalu..." Bagus!
Good! Good! Berarti you sudah merasa clever ya" So.... bagaimana if now you
stand up and kerjakan itu homework di papan tulis!"
Mampus nggak" Waktu itu Mona -asli!- pucat habis. Apalagi setelah dia ternyata nggak bisa
mengerjakan soal dan cuma bisa bengong di depan papan tulis sampai lama, makin
murahlah Bu Nur mengeluarkan semua kosakata pedas dan pahitnya.
Deni sampai kasihan. Langsung dia menghibur Mona begitu jam bahasa Inggris
sudah selesai. "Udah, Mon. Nggak usah dipikirin. Kalo mau bunuh diri.... ya bunuh diri aja!"
Kini, melihat cewek di sebelahnya jadi gelisah, Davi mencoba menenangkan.
"Paling cuma di omelin lima menit, Rish."
Irish meliriknya sekilas, lalu menarik napas.
"Gue belom ngerjain pe-er," katanya memelas.
"Belom!?" Davi menoleh sambil mengangkat alis. "Wah! Kalo itu sih gawat!"
"Makanya! Gimana dong?"
"Gimana ya?" Davi pura-pura sibuk berpikir. Terlintas dipikirkannya untuk
membolos. Dulu, inilah yang kerap dilakukannya. Tapi setelah peristiwa itu, dia
sudah berjanji tidak akan menyia-nyiakan masa sekolah. Tapi kalau tetap masuk,
kadguuan Irish. Bisa habis dia dimarahi di depan kelas.
"Gini aja deh." Davi menepikan mobil. Dia meraih tas plastik di kursi belakang
lalu mengeluarkan isinya. "Kita jalan-jalan aja yuk" Nih, lo ganti baju deh."
"Bolos?" Irish terpana.
"Terpaksa. Elo mau dimarahin Bu Nursiah" Kali gue sih masalahnya cuma telat.
Nah, elo. Udah telat, nggak ngerjain pe-er, lagi!"
"Tapi kan gue lagi marah banget sama elo!"
Davi tertawa pelan. "Ya marah aja. Nggak apa-apa kok. Marah sambil jalan-jalan kan bisa."
Irish menatap cowok itu dengan kening terlipat. Dia merasa akhir-akhir ini Davi
semakin susah di tebak. Tapi rasa herannya langsung hilang begitu dia membuka
lipatan kaus yang tadi dikasih Davi. Dengan ternganga, ditatapnya kaus yang
sering dipakai Davi untuk latihan itu.
"Nggak ada yang lebih gede lagi ya, Dav?"
"Kenapa?" tanya Davi sambil menahan senyum.
"Ini sih paling cuma sampai dengkul. Yang sampe nutupin kaki gue sekalian, ada
nggak" Ini pasti tadinya daster, terus elo pake jadi kaus!"
Davi tertawa geli. Irish menatapnya, menunggu tawanya reda, lalu berkata pelan
namun dengan sungguh-sungguh. "Bukan gue yang ngasih tau Alfa. Kalaupun
akhirnya gue kasih tau ke orang lain, satu-satunya pasti Vaya, dan bukan Alfa!"
Davi menarik napas panjang.
"Iya, gue tau. Kemaren gue cuma kaget, kok tiba-tiba ada orang lain yang tau
tentang kita, juga tentang kejadian itu." Davi terdiam lalu menatap gadis di
sebelahnya dalam-dalam. "Gue minta maaf, Rish. Gue udah bikin malu elo di
depan banyak orang. Kalo elo mau marah...," Davi membuka dua tangannya,
"silakan! Gue siap dengerin. Mau mukul juga boleh!"
"Tapi entar elo bales mukul balik nggak?"
Seketika Davi tertawa. "Nggaklah. Gue pantang mukul cewek! Apalagi elo kecil!"
Irish meringis. "Nggak ah. Nggak seru kalo ditantangin. Terus soal kemaren, nanti gue tanyain
Alfa deh. Dia tau dari mana atau dari siapa."
"Jangan!" cegah Davi. "Gue aja! Kalo elo yang nanya, bisa laen buntutnya!"
"Maksud lo?" Davi menatapnya. Kadang dia tidak mengerti. Irish ini memang polos, pura-pura
polos, atau memang cuek" Padahal jelas-jelas Alfa itu suka sama dia. Sampai
semua orang pun bisa membaca dengan jelas.
"Umur lo sebenernya berapa sih?"
"Kenapa?" "Pengin tau aja."
Irish diam sesaat. "Tujuh belas. Tapi masih agak lama sih."
"Oh ya?" Davi terbelalak. Ternyata betul! Ini cewek masih kecil. Sudah hampir
mau tamat SMU, tapi tujuh belas juga belum.
"Kita mau kemana sekarang?"
Davi menatapnya lagi. Keputusan ini ambilnya semalam. Mulai sekarang dia harus
memperlihatkan rasa sukanya pada Irish. Kalau nggak, gadis di sebelahnya ini
betul-betul lepas suatu hari nanti.
"Gue punya sodara. Dia punya banyak koleksi lukisan. Di samping dia sendiri juga
pelukis. Mau ke sana?"
Irish terpana! DAVI dan Irish kaget begitu besoknya mereka masuk, ternyata Alfa sudah
menunggu di kursi Davi. "Ke mana lo kemaren?" tanyanya langsung ke Davi. "Urusan kita belum selesai!"
"Al, ini masih pagi lho," tegur Irish pelan.
"Justru itu, Rish. Tenaga gue masih full buat nonjok dia!"
Alfa berdiri dan berjalan mendekati Davi. Irish menatap cemas waktu kedua
cowok yang sama-sama jangkung itu berhadapan, dalam jarak yang benar-benar
dekat, karena Alfa sengaja melakukannya.
"Nanti siang gue ke sini lagi! Jangan kabur lo!" desis Alfa pelan, terus balik badan.
Sebelum keluar, dia mendekati Irish.
"Elo nggak apa-apa kan, Rish?" tanyanya, membungkukkan badan di depan Irish.
Irish geleng kepala dan menjawab agak ragu. "Ng... Nggak... nggak apa-apa."
"Terus, kenapa lo kemaren nggak masuk?"
"Oh, itu. Gue bangunnya kesiangan. Daripada abis diomelin Bu Nur, mendingan
gue nggak masuk." "Oh, gitu..." Alfa gangguk-ngangguk. "Terus, dia ikutan nggak masuk juga?"
dagunya bergerak ke Davi.
"Kenapa lo nggak nanya langsung?" sela Davi.
Alfa menoleh dan menatapnya dingin. "Ngomong sama elo nggak afdol kalo nggak
pake tangan!" jawabnya sambil menegakkan badan terus ngeloyor begitu saja.
"Apa katanya tadi?" tanya Irish setelah Alfa berlalu.
"Nanti siang dia mau ke sini," jawab Davi.
"Ngapain?" "Paling ngajak adu jotos."
Irish terperangah. "Kenapa?" "Mana gue tau."
Begitu bel istirahat berbunyi, Irish langsung kabur ke kelas Alfa.
"Al! Elo kenapa sih" Dia udah minta maaf kok soal kemaren itu."
"Segitu gampangnya elo kasih dia maaf" Lo nggak inget gimana dia teriak-teriak"
Semua mata ngeliatin elo! Semua mata ngeliat gimana dia narik elo dari motor gue
sampe hampir jatoh! Semua ngeliat bagaimana dia maksa elo untuk ikut dia ke
mobil!" "Yaaa... yaaa..." Irish kebingungan ngejawabnya. "Abis kalo gue lawan, nanti pasti
lebih rame lagi. Di samping itu badannya kan gede. Gimana gue ngelawannya?"
Alfa menarik napas. "Duduk sini, Rish," katanya. Dengan lembut di tariknya cewek itu sampai duduk di
sebelahnya. Kemudian diambilnya tangan Irish dan digenggamnya lembut.
Mulutnya sudah terbuka, sebelum mendadak tatapannya menyapu seluruh kelas,
karena berpasang-pasang mata menatap mereka dengan sorot ingin tahu.
"Apa liat-liat!?" bentaknya. "Kalo mau lapor ke Davi, lapor sana! Bilang sekarang
Irish Sama gue! Sana bilang!"
"Alfaaa," tegur Irish lirih.
"Biarin, Rish! Gue udah bosen sama mulut-mulut usil yang asal menarik
kesimpulan, terus ngomong yang nggak-nggak!"
"Emang mereka begitu. Diemin aja deh. Nanti malah jengkel sendiri lho.
Emangnya lo mau ngomong apa?"
Tatapan Alfa kembali ke cewek di sebelahnya.
"Gue cuma mau tanya satu hal. Elo pergi-pergi sama gue, Davi nggak apa-apa?"
Irish langsung kaku ditanya begitu.
"Ng... maksud lo?"
"Kalimat gue udah jelas, kan" Nggak mungkin elo nggak ngerti."
"Yaaah... gue nggak tau deh." Tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan
seperti itu, Irish langsung gugup dan tak sempet lagi cari alasan untuk berkelit.
Alfa tertawa pelan. Sedikit aneh.
"Lucu ya" Sebenernya ada apa sih antara elo sama Davi" Jangan bohong, Rish.
Gue nggak bego kayak yang laen."
Irish makin gugup. Tiba-tiba dia berdiri.
"Gue mau balik!" katanya, dan langsung keluar. Alfa tidak berusaha mencegah,
meskipun tindakan Irish sudah dia duga.
Irish.... Irish, keluhnya dalam hati. Elo kasian bener sih! Liat aja nanti. Gue bikin
sekarat si Davi itu.... demi elo.
*** Lima menit sebelum bel, Alfa sudah menunggu di luar pintu kelas Irish. Nggak tau
deh gimana caranya dia bisa keluar duluan begitu. Irish langsung panik.
"Dav, Alfa di luar."
Davi menoleh ke luar tapi tetap tak terpengaruh.
"Biarin aja. Nggak ada alasan yang ngelarang dia but ke sini."
Alfa kayaknya lagi kalap. Metha dan Daniar, yang bertahan di kelas karena ingin
tahu ada apa, langsung di dekatinya.
"Elo berdua bisa pergi?"
"Ini kan kelas gue!" sentak Metha seketika.
"Gak lagi sekarang! Ini udah bel! Lagi pula, emangnya lo bayar SPP berapa, sampe
bisa bilang ini kelas elo" Cepet pergi!"
"Elo tuh yang seharusnya pergi!"
"Oh, gitu?" desis Alfa berang, lalu langsung menjatuhkan badannya begitu saja ke
kursi Daniar yang duduk di pinggir. Daniar kontan mencelat bangun dan pindah ke
kursi Metha. Dua cewek itu duduk dempet-dempetan.
Alfa mengurung kedua cewek yang sudah terdesak itu dengan tubuh dan rentangan
dua tangan. Tatap tajamnya seakan menguliti mereka bergantian. Daniar ketakutan.
Dia benar-benar nggak nyangka Alfa bisa sadis begini. Padahal kemarin-kemarin
ini cowok nyaris sempurna di matanya. Cakep, baik, ramah, kocak, lagi!
"Gue nggak mau ngasarin cewek. Pantang!" desis Alfa. "Tapi elo berdua kayaknya
tipe cewek yang emang perlu dikasarin dulu, baru ngerti. Jadi...," dia memajukan
badannya, "elo mau pergi sukarela apa mau gue paksa?"
"Yuk, Met. Kita pergi!" Daniar buru-buru berdiri.
"Bagus! Ada yang cepet ngerti!" Alfa ikut berdiri, memberi jalan. Tapi Metha
kelihatannya ogah-ogahan. Dia harus tau ada apa sebenarnya, karena tuh cewek
nggak abis pikir, nggak ngerti, nggak bisa terima, kalau Irish ternyata sanggup
membuat dua cowok keren saling menantang.
"CEPET PERGI!" Alfa menggebrak meja dengan seluruh kekuatan. Benda itu
sampai bergoyang dan berderit.
Metha, apalagi Daniar, terlonjak dan buru-buru lari keluar.
"Dasar cewek-cewek babel!" gerutu Alfa sambil balik badan setelah mengunci
pintu. Keningnya langsung keriting begitu melihat Irish, yang ternyata jadi ikut
ketakutan waktu Alfa membentak Metha dan Daniar tadi. Si mungil itu sekarang
sedang meringkel rapat-rapat di belakang punggung Davi sambil memeluk satu
lengan cowok itu kuat-kuat.
Sambil menahan senyum, Alfa menghampiri mereka berdua. Dengan gaya lucu,
dia melongokkan kepala ke belakang punggung Davi.
"Bukan elo kok, Rish, yang gue bentak-bentak." Irish tidak bereaksi. Alfa jadi
ketawa. "Jangan berdiri di situ. Soalnya kalo nanti Davi gue tonjok, elo bisa kena."
Irish terperangah. Tapi tetap tidak berani buka mulut.
"Iriiish, gue ke sini mau nonjokin Davi lho. Jadi elo jangan di situ."
Sementara itu Davi tetap tenang. Mengikuti tingkah Alfa tanpa ngomong apa-apa.
Juga waktu Alfa meneruskan pertanyaannya yang bernada ancaman itu.
"Rish, kalo dia gue bikin bonyok... elo gimana?"
Irish semakin bingung. Dia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya membuat
Alfa jadi berubah dratis begini.
Alfa ternyata nggak main-main. Begitu kalimatnya selesai, satu kepalannya
mendadak melayang dan mendarat tepat di hati uluh Davi. Davi kontan terhuyung,
bersamaan dengan jeritan Irish yang melengking, juga penonton yang berjubel di
luar, yang kebanyakan cewek.
Saat tubuh Davi terdorong keras ke belakang, Alfa mengulurkan tangan kirinya
dan secepat kilat menarik Irish ke sebelahnya, sepersekian detik sebelum cewek itu
kejatuhan tubuh jangkungnya Davi.
"Alfa, elo...!" jerit Irish, serentak tangannya menutup mulut. "Elo jahat banget
sih?" "Ini buat elo, Rish!"
"Buat gue gimana" Elo jangan ngelempar beban ke gue ya!"
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alfa menghela napas. Disambarnya tangan Irish begitu cewek itu bergerak akan
menghampiri Davi. Dipaksanya Irish agar tetap di sebelahnya.
"Diem aja di sini, Rish! Soalnya gue lagi marah nih!"
Irish kontan batal mau nekat. Dia cuma bisa diam melihat Davi berusaha berdiri
sambil memegangi perutnya yang terkena bogem mentah Alfa.
Sekuat tenaga Davi berusaha tersulut emosi. Selama ini dia berusaha keras untuk
berubah, dan dia nggak mau usahanya selama berbulan-bulan sia-sia karena satu
orang yang dia sendiri tidak tau begitu jelas maksudnya. Cukup kemarin dia lepas
kendali dan hampir membuat Irish pergi.
"Gue nggak mau memperpanjang masalah ini, Al. Meskipun nggak ngerti apa
maksud lo, apa kepentingan lo"
Alfa tersenyum. Tenang tapi semakin penuh tanda tanya.
"Justru gue yang punya kepentingan atas lo, tau!"
"Gue atau Irish" Gue tau elo suka dia sejak pertama kali lo liat dia!"
Seketika Alfa ketawa keras. Begitu geli, seolah kalimat Davi barusan itu benarbenar lucu.
"Oh, bukan itu yang jadi prioritas gue, Dav. Elo itu ternyata naif banget ya" Abis
kejadian kemaren pun, elo masih mikir begitu" Meskipun nggak gue pungkirin,
gue suka cewek lo. Tapi tetep elo yang terpenting buat gue!" sejenak Alfa diam,
menarik napas panjang, kemudian, "Lo putusin dia, biar gue bisa ngabisin elo
tanpa beban. Itu lho maksud gue! Soal dia mau jadi cewek gue apa nggak...," Alfa
menyeringai, "gue rasa gue lebih tau Irish daripada elo!"
Habis sudah kesabaran Davi! Satu tinjunya melayang tiba-tiba dan mendarat telak
di dada Alfa. Diiringi jeritan Irish juga para penonton di jendela, Alfa terpelanting
dan terjerembab di lantai. Dan sebelum dia sempat bangun, Davi langsung
mendekat dan mematahkan usaha Alfa dengan jalan menginjak kedua tangan Alfa.
Irish bergerak akan mendekat begitu dilihatnya Alfa menyeringai kesakitan, waktu
sepasang sepatu Davi yang bergerigi itu menginjak kedua lengannya. Tapi Davi
langsung memerintahkan Irish untuk tidak ikut campur.
"Diem aja di situ, Rish!"
"Tapi, Dav. Kasian...,"
Davi menoleh dan menatap tajam.
"Gue bilang... diem di situ!" perintahnya. Irish langsung nurut, daripada sepatu
gede yang soalnya mirip rahang buaya ganti menempel di tangannya. Tatapan Davi
langsung beralih lagi ke sosok tak berdaya di bawah kakinya.
"Apa maksud lo!?" desisnya tajam.
Alfa menggerakkan jari-jarinya ditengah usahanya menahan sakit, berusaha
memberikan isyarat agar Davi mendekatkan wajahnya. Davi menurut, tapi cuma
membungkukkan sedikit badannya.
"Gue nggak mau Irish denger!" bisik Alfa.
Mata Davi menyipit mendengar kalimat pelan itu. Dia membungkuk lebih rendah,
dan itu membuat Alfa semakin kesakitan.
"Melanie itu sepupu gue... SETAN!!!" ujar Alfa sambil menggertakan gigi..
"Melanie itu sepupu gue.... SETAN!!!" ujar Alfa sambil mengertakan gigi.
Davi terperangah amat sangat. Tubuhnya seketika limbung. Alfa langsung
menyentakan kaki Davi yang hampir membuat dua lengannya mati rasa, lalu
mendorongnya keras. Davi berdiri kaku. Pucat. Putih seputih kertas. Sepasang matanya menatap Alfa
dengan ketakutan yang begitu kentara.
Telah datang, seseorang yang ternyata tersangkut dengan masa lalunya!
Alfa mendekat. Tidak lagi dengan sikap santai dan sisa tawa, tapi ada kesedihan
sarat yang muncul di kedua matanya.
"Lo tau sekarang, kenapa gue terus kejar elo?" desisnya pelan. "Bukan Irish.... tapi
elo!!!" Irish semakin ketakutan. Davi dan Alfa berhadapan dengan jarak benar-benar
dekat. Nyaris beradu. Mata mereka saling menghujam lurus. Takut-takut Irish
mendekati kedua cowok itu.
"Udah dong. Jangan berantem lagi. Udah ya?"
Kedua cowok itu menoleh bersamaan. Irish tertegun dan langkahnya langsung
surut. Dua pasang mata itu ganti menatapnya tajam-tajam sekarang.
"Eh... Gue... nggak bermaksud misahin kok.... Silakan berantem deh. Gue pergi
dulu. Adios!" Buru-buru Irish balik badan, Siap-siap kabur. Tapi langkahnya terhenti di depan
pintu. Alfa telah menguncinya tadi, setelah Metha dan Daniar dia usir pergi.
Masalahnya, satu dari dua grendelnya adanya nun jauh di atas sana.
Irish berdiri kebingungan. Maksud hati membuka grendel, terus kabur keluar,
namun apa daya tangan tak sampai.
"Gue anter lo pulang!" Tiba-tiba Davi sudah ada di sebelahnya. Tangan kirinya
merangkul pundak Irish, sementara tangan kanannya terulur ke atas, membuka
grendel. "Gila, ih! Irish keren banget!" desis salah satu penonton yang masih berjubel di
luar, yang terus menyaksikan dari awal sampai ketika Irish di rangkul Davi dan
dibawa pergi. Sementara Alfa mengikuti dari belakang dengan langkah pelan.
"Iya. Gue juga nggak nyangka!" sambung yang lain. Mereka baru pada bubar
setelah tiga orang itu hilang di ujung koridor.
"Dav, sebenarnya ada apa sih?" tanya Irish ketika mereka melangkah menuju Jeep.
"Tolong jangan tanya-tanya dulu, Rish."
Irish terdiam. Tapi dia tahu ada sesuatu, sesuatu yang lebih besar yang sanggup
membuat kedua cowok itu baku hantam. Dan itu pasti bukan karena dia, karena
tidak ada alasan untuk itu! Dia tidak secantik Jennifer Love Hewitt atau Penelope
Cruz. Dia cuma cewek biasa, yang di sekolah pun sama sekali nggak ngetop.
Jadi.... pasti ada sebab lain!
Rumahnya sudah kelihatan di ujung jalan. Irish nekat buka suara karena tidak ada
waktu lagi. "Bukan karena gue, kan?"
Davi tidak menjawab. Cowok itu cuma menoleh sekilas.
"Udah sampe!" kata Davi seperti memerintahkan Irish untuk cepat turun.
Irish sudah terlalu mengenal cowok ini. Makanya dia langsung membuka pintu dan
melompat turun, kemudian berdiri di depan pagar seperti mau mengiringi
kepergian Davi. Tapi Davi sudah bisa mengira apa yang ada di benak Irish.
"Masuk!" perintahnya tegas.
"Ya udah. Lo kalo mau pergi, pergi aja!"
"Masuk! Kalo elo nggak masuk, gue nggak akan pergi dari sini!"
Huh! Irish cemberut. Dengan ogan-ogahan dia balik badan. Davi menunggu
sampai Irish menghilang di balik pintu, kemudian langsung tancap gas.
*** Saat Davi tiba di tempat yang sudah bisikan Alfa padanya, Alfa telah menunggu.
Cowok itu bersandar di pintu Land Rover-nya. Kemeja putih seragamnya telah
berganti kaus tanpa lengan. Urat-Urat yang menegang di kedua lengannya, katupan
keras di kedua rahangnya, juga sinar datar namun berbahaya di sepasang matanya
sudah cukup membuat Davi tahu apa yang akan segera menyambutnya.
Dan itu tepat ternyata. Hanya beberapa saat setelah dia menjejak gelombang
rumput di depannya, Alfa langsung menerjang. Menerkamnya seperti singa
terluka, lalu menghujaninya dengan pukulan dan tendangan membabi buta.
Teriakkannya menusuk telinga, seribu makian berhamburan dari mulutnya.
Davi, yang memang tak ingin melawan, terhuyung dan jatuh terjerembab dengan
tubuh penuh memar, muka lebam dan bibir pecah yang mengalirkan darah.
Matanya berkunang hebat, membuatnya terpaksa memejamkan mata rapat-rapat.
Tapi di kegelapan, semuanya justru jadi terbayang jelas. Kota kecil tempat dia lahir
dan tumbuh besar. Masa kanak-kanaknya yang menyenangkan, juga.... gadis cinta
pertamanya yang di antarnya ke haribaan Tuhan!
Sampai saat ini keluarga Melanie masih menganggapnya penyebab utama
kematian gadis itu. Mama Melanie bahkan memanggil Davi "si pembunuh" dan
memperingatkan semua orangtua untuk menjauhkan anak gadis mereka darinya.
Padahal saat itu, saat Davi tahu Melanie koma, dia benar-benar menyesal dan
berdoa sungguh-sungguh. Minta agar tempat mereka di tukar. Juga ketika
kemudian Melanie meninggal tanpa pernah sadar. Penyesalan itu menyiksanya
tanpa jeda. Menekannya di saat sadar, dan membayangi di saat gelap.
Seakan itu belum cukup, semua orang lalu seperti berlomba untuk membuatnya
makin terpuruk. Kota itu terlalu kecil. Jarak antara sudutnya terlalu dekat, sehingga
berita dengan mudah dan begitu cepatnya menyebar. Sementara untuk menguap
hilang, terlupakan.... begitu lambat!
Pintu-pintu kemudian di banting di depan wajahnya. Mata-mata lalu menatapnya
dingin, seperti tak kenal. Sementara mulut-mulut hanya bicara seperlunya. Dan
setelah peristiwa itu, tak seorang pun teman yang tersisa dan mau tinggal di
sebelah Davi. Tak seorang pun! Keputusasaan kemudian membuatnya mengambil jalan pintas. Setelah dua kali
sayatan pisau di pergelangan tangan tak mampu menerbangkan satu-satunya nyawa
yang dimilikinya, Davi mencari jalan lain.
Bukan bermaksud untuk mendramatisir suasana, atau menciptakan versi indonesia
drama roman Shakespeare, kemudian dia menerbangkan diri bersama motornya di
tempat yang sama Melanie menjemput ajal.
Hampir berhasil. Sama sepeti Melanie, Davi koma dan masuk UGD. Sayangnya,
hari itu memang belum takdirnya untuk mati. Matanya terbuka sesaat setelah
kesadarannya kembali. Setiap peristiwa mengandung hikmah. Begitu ibunya yang sabar memeluknya
sambil menangis, kalimat pertama yang dibisikkan ke telinga Davi membawa
berkah. Setidaknya, sekarang anak itu tak lagi ugal-ugalan di jalan. Tahu
menghargai nyawa, dan terutama, kecemasan orangtua.
Untuk mengubur peristiwa itu, ayahnya lalu minta dimutasi ke Jakarta. Dan
pindahlah mereka sekeluarga, di kota ini. Berharap hiruk pikuk dan kesibukan
super dinamisnya mempu mengikis luka.
Mata Davi terbuka saat sesuatu yang hangat menetes di pelipisnya. Dia tertegun.
Alfa, yang berlutut dan membungkuk di atasnya, menangis tanpa suara. Ketika
Alfa bicara, getar lirih suaranya semakin menyayat perasaan bersalah Davi.
"Dia sepupu kesayangan gue, Dav. Gue yang jaga dia dari kecil. Setiap hari kami
berangkat dan pulang sekolah bareng.... Setiap hari! Gue yang dia cari setiap dia
ketakutan. Gue yang dia cari setiap dia sedih. Dan tiba-tiba gue dapet kabar... dia
meninggal!" Davi menelan ludah yang bercampur darah. Kalimat yang terakhir itu
menikamnya. Perih. "Gue nggak sengaja, Al," desisnya dengan suara tersangkut ditenggorokan.
"Oh ya?" mata berkabut Alfa menyipit. Kedua tangannya yang bertumpu atas
rumput dan mengurung Davi dengan rentangan, terangkat dan mencengkeram
kedua bahu Davi. Menekannya kuat-kuat hingga Davi menyeringai menahan sakit
manakala batu-batu di permukaan tanah yang tertutup rumput itu menusuk kulit.
Dan dia semakin menyeringai lagi saat satu lutut Alfa menekan dadanya kuat-kuat.
"Apa maksud lo?" lanjut Alfa sambil menundukkan kepala. "Nggak sengaja
ngebut" Nggak sengaja selip" Elo tau waktu itu ujan, kan" Elo tau kalo jalan licin,
kan" Elo tau dimana-mana orang yang diboncengin selalu punya kesempatan
celaka lebih gede daripada yang nyopir, kan" Tau" Lagian, kenapa harus dia"
Kenapa harus sepupu gue" Kenapa bukan yang laen" Cewek lo kan banyak!"
Rentetan kalimat itu diteriakkan Alfa cuma dalam jarak sepuluh senti dari wajah
Davi. Davi ini, meskipun baru jadi pembalap jalanan dan lebih sering menjengkelkan
daripada menyenangkan, cewek-cewek yang mengelilinginya bejibun seolah dia
itu bintangnya Formula One.
Dan Alfa bukan cowok idiot, yang percaya begitu saja saat Melanie bercerita di
telepon bahwa biarpun banyak yang ngerubungin, Davi itu bukan playboy.
Playboy emang bukan. Tipu bajingan, Iya!
Dan Alfa langsung menyayangkan begitu tahu siapa cewek Davi sekarang. Begitu
mungil dan manis. "Dia yang pertama buat gue," Davi tiba-tiba berkata.
"Heh!" seketika Alfa menampar pipi Davi. Cowok itu menyeringai menahan sakit.
"Elo lagi ngomong sama gue, Dav. Bukan sama cewek! Yang pertama dibabak
kedua" Satu babak berapa orang" Dua puluh?"
"Al, gue lagi berusaha berubah!"
"Oh ya" Jadi berapa sekarang" Tiga puluh?"
"Al, gue..." "Jangan banyak ngomong!" Alfa meninju tubuh babak belur yang terbaring
dibawah tekanan lutut dan dua lengannya itu. "Ini bukan lagi giliran lo bikin
pembelaan, tau!" Davi terbatuk. Napasnya terengah. Rasa sakit dan tekanan lutut Alfa di dadanya
membuatnya sulit bernapas.
Kemudian dua pasang manik hitam itu saling tatap. Menghunjam lurus. Alfa,
dengan kemarahan dan kesedihannya, dan Davi, dengan penyesalan dan
permohonan maafnya. "Gue nggak sengaja, Al, " bisik Davi dengan suara parau. "Gue nggak sengaja.
Tapi kalo elo merasa itu nggak tertebus....," susah payah dia merogoh kantong
celana panjangnya dan mengeluarkan sesuatu lalu meletakan benda itu di atas
dada, "terserah elo."
Mata Alfa bergerak turun perlahan. Sebilah pisau lipat. Dia sudah mendengar
cerita itu, bahwa setelah kematian Melanie, Davi melakukan tiga kali usaha bunuh
diri. Usaha yang ketiga hampir fatal. Membuatnya terpaksa masuk UGD.
Davi sendiri pernah berpesan pada ibunya, bahwa bila suatu saat nanti ada
seseorang yang ingin membunuhnya, biarkan saja. Tidak usah dicari tahu, tak perlu
dipermasalahkan. Biarkan saja.
Dia katakan itu sehari setelah Dicky, kakak tertua Melanie, berteriak kalap di
depannya. Bersumpah akan membunuhnya!
Jadi sekarang Davi tidak peduli siapa Alfa ini. Sepupu atau bukan, mungkin dia
yang terpilih. "Gue nyesel, Al.... Gue bener-bener nyesel."
Suara seraknya begitu lirih, hampir hilang. Sepasang mata itu lalu terpejam
mengalirkan air. Alfa menatap sampai tetes-tetes itu hilang di antara hijaunya
rerumputan. Kemarahan ini ditekannya berbulan-bulan. Keinginan balas dendam itu terbawa
sampai ke alam bawa sadar. Tapi Alfa juga tahu ia takkan pernah bisa
mengembalikan yang telah hilang. "Elo nyesel, terus berusaha bunuh diri, terus lari
ke sini. Tapi kenyataannya" Elo langsung punya pacar! Begitu lo bilang
menyesal?" Alfa semakin merunduk. Kembali Davi menyeringai menahan sakit.
"Gue emang nggak pernah liat lagi lo bawa motor. Tapi apa lo kira dengan mobil,
cewek lo itu terus nggak bisa mati?"
Davi terdiam. Pertanyaan ini yang paling tidak ingin dijawabnya.
"Jangan mati dulu, jawab pertanyaan gue!" lutut Alfa semakin menekan dada Davi.
Davi mengerang. "Al, sakit..." "Oh! Lo mau nggak sakit" Jawab pertanyaan gue! Irish bisa jadi mati meskipun
bukan lagi duduk di atas motor!"
"Nggak akan!" "Kenapa lo bisa yakin?"
"Kareba gue mau berubah!"
"Begitu?" Alda mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Kalo mau berubah itu
awalnya harus jujur, Dav. Banyak yang lo mesti ubah. Dan yang pertama..," Alfa
menepuk pipi lebam Davi, "bukan cewek, tau" Cara lo berubah asyik bener" Mulai
sama yang baru, sementara yang lama elo kubur di bawah tanah!"
Davi terpuruk. Kalimat terakhir Alda membuat isi dadanya bergolak. Davi tak
tahan lagi. Dengan paksa Alfa telah mengembalikannya ke masa peling hitam
dalam hidupnya. Meruntuhkan semua kerja keras Irish yang telah menuntunnya
keluar selama ini. "GUE NGGAK SENGAJA!!!" teti sd k Davi menggelegar. Memantulkan gemuruh
gema. Putus asa. Dicengkeramnya kedua pergelangan tangan yang selama ini
menekan bahunya, dan di dorongnya cowok itu sekuat tenaga.
"GUE NGGAK SENGAJA! GUE NGGAK SENGAJA! GUE NGGAK
SENGAJA!!!" teriaknya kalap. Dipukulnya Alfa bertubi-tubi, dan baru berhenti
setelah cowok itu terkapar di atas rumput. Kemudian Davi menghampirinya
perlahan, tubuhnya menghalangi teriknya sinar matahari yang menyorot wajah
Alfa. "Gue nggak sengaja, Al," ucap Davi lirih.
Alfa menatapnya. Tetes air mata bercampur darah itu jatuh tepat di atas dadanya.
Perlahan Alfa bangkit berdiri. Lalu mendekatkan diri hingga jaraknya dengan Davi
tinggal beberapa senti. "Nggak sengaja" Okelah itu nggak sengaja. Gue cincang elo juga nggak ada
gunanya sekarang, Dav. Cuma yang gue nggak ngerti, begini cara lo berubah" Ke
mana-mana berdua Irish, hampir nggak pernah lepas. Lo peluk cewek lo di depan
banyak orang. Lo gandeng ke sana kemari. Mesin ke kantin berdua, ke perpus
berdua, ngerjain tugas berdua. Satunya latihan basket, satunya setia nungguin.
Satunya sibuk di PMR, satunya juga tidak mau ketinggalan. Sampe begitu! Gue
rasa lo berdua bakalan langsung kawin begitu kelar SMU!"
"Begitu, elo ngeliatnya?"
"Iya! Meskipun gue lihat Irish NGGWK begitu happy di sebelah elo. Kenapa" Dia
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu elo brengsek?" Diam-diam Davi jadi kaget. Ternyata Alfa bisa melihat. Dan Alfa menyambung
kalimatnya begitu Davi tidak bersuara.
"Dav..," lanjut Alfa lirih tapi tajam. "Elo tau kalo tante gue, nyokapnya Lanie,
masih sering nangis sampe sekarang" Elo tau kalo omm gue sampe nyumbangin
baju, sepatu, tas, semua barang-barang Lanie" Dibagiin ke sembarang orang
supaya istrinya bisa cepet lupa! Elo tau kan kalo Lanie murid kesayangan Bu Ning,
guru matematikanya" Dan sampe dia bulan dia meninggal, Bu Ning masih juga
susah percaya dan tanpa sadar dia terus mengabsen padahal bangku itu udah
kosong! Dan kalo Dicky nggak dihalangin, elo udah jadi mayat, Dav! Mereka
sampe begitu, sementara elo di sini katanya menyesal, tapi nggak pernah lepas dati
cewek lo!" Davi mengatupkan gerahamnya rapat-rapat. Emosinya kembali naik dan dadanya
sakit ditikam kalimat panjang Alfa itu.
"Dia... bukan cewek gue!" desisnya patah.
Akhirnya, dia katakan juga yang sebenarnya! Dan ada yang seketika terlepas. Dia
telah membiarkan terbang, satu-satunya orang yang terdekat dengannya saat ini.
"Apa maksud lo?"
Davi menarik napas panjang-panjang dan memalingkan mukanya ke arah lain.
"Irish bukan cewek gue. Kami nggak ada hubungan apa-apa."
Dahi Alfa makin mengerut.
"Terus, selama ini.... elo sama dia ke mana-mana...?"
"Cuma pura-pura..! Sandiwara!"
Alfa terperangah. "Kenapa?" Sekali lagi Davi menghela napas. Wajahnya semakin muram. Ini kali kedua, dia
kehilangan gadis yang disayanginya. Berterus terang ke Alfa sama saja seperti
menyerahkan Irish ke tangannya.
"Karena gue mau berubah. Dan untuk itu, gue perlu sendirian. Dan untuk bisa
sendirian gue perlu temeng. Jelas"
Alfa ternganga. Ya Tuhan!
"Jadi elo manfaatin dia!?" serunya seketika.
"Nggak juga. Dia udah tau. Gue cerita semuanya. Gur bilang gue butuh bantuan."
"Dan dia bersedia" Gue nggak percaya!"
"Nggak juga sebenarnya."
"Terus... lo paksa dia?"
Davi tidak menjawab. Alfa geleng kepala. "Elo emang bener-bener bajingan! Tega banget lo, sama cewek
kayak Irish! Kenapa lo nggak pacarin aja si Udin, atau Firdaus! Atau... si Nuris
sekalian! Dengan predikat hombreng, lo lebih cepat dijauhi cewek!"
"Gue nggak ada pikiran ke situ."
"Terus kenapa Irish" Kenapa nggak yang laen" Apa karena dia kecil" Jadi lebih
gampang lo ancem kalo dia berani nolak?"
Davi bungkam. Alfa balik badan. Menatap ke lain arah masih sambil gelenggeleng kepala.
"Cuma sandiwara!?" desisnya. Betul-betul di luar perkiraannya. Dan dia jelas saja
tidak percaya. Davi ini playboy di kotanya. Meskipun dia pernah bilang berkali-kali bahwa
Melanie-lah cinta pertamanya, siapa yang mau percaya" Alfa bahkan yakin si
pembunuh ini sudah mengenal cinta pertamanya waktu masih di TK, atau bahkan
sebelum itu. Dan cewek imut-manis, lagi-model Irish mana mungkin dibiarkan
Davi begitu saja! Pantas saja, Irish selalu mengelak setiap kali topik pembicaraan dia belokan ke
arah Davi. Karena ternyata, cewek itu memang tidak tahu apa-apa dan tidak punya
kepentingan apa-apa. Alfa memang sudah merasa ada yang nggak beres dalam hubungan Irish dan Davi.
Berkali-kali kalo dia sedang iseng, lewat di depan rumah Irish waktu malam
minggu atau minggu pagi-siang-sore-malam, dia lihat Irish selalu ada di rumah.
Dan dia yakin seribu persen pertemuan mereka di trotoar waktu itu adalah bukan
kali pertama Irish jalan sendirian.
Makanya Alfa sempat mengira, Irish pasti sudah kepincut wajah gantengannya
Davi, sama seperti cewek-ceweknya yang dulu, dan menyerah tanpa syarat seperti
yang selama ini selalu terjadi. Makanya cewek itu pasrah saja menerima perlakuan
apa pun juga. Alfa juga mengira Davi cuma memanfaatkan Irish untuk melupakan masa lalunya.
Cuma bagian yang tergelap pastinya. Sementara sisanya pasti akan diulangi!
Karena itu, untuk bisa mewujudkan rencananya, jelas saja Alfa harus merebut Irish
lebih dulu. Cinta soal belakang, karena memang bukan Irish sasarannya. Dia
perlakukan si mungil itu dengan begitu baik, memanjakannya dengan mewujudkan
semua keinginannya, menjaganya sungguh-sungguh setiap kalu mereka bersama,
lebih tadinya dia mengira akan memberikan kesedihan yang dalam pada saat dia
menghancurkan Davi demi kematian sepupu yang paling di sayanginya.
Tapi ternyata, sekarang mantan jagoan ini jadi begitu rapuhnya sampai perlu
bantuan seorang cewek untuk melindunginya.
"Irish buat gue! Gimana?" tanya Alfa tiba-tiba. Davi tersentak.
"Buat elo" Apa sih maksud lo?"
"Udah cukup, Dav, elo ngumpet di belakang punggungnya!"
"Sayangnya... nggak bisa!"
"Kenapa!?" tanya Alfa dengan suara mendadak tajam.
"Gue sayang dia!"
"Katanya dia cuma temeng! Elo gimana sih?"
"Tapi bukan berarti bisa seenaknya elo minta!"
Alfa berdecak. Lagu lama! Ditatapnya sekujur tubuh Davi yang penuh lebam.
"Mana yang paling sakit?" tanyanya. Kening Davi mengerut. Dan meskipun dia
heran dengan pertanyaan itu, tanpa curiga dia menunjuk dada kanannya. Alfa
tersenyum tipis. "Kalo begitu... sori!" Dihantamnya dada Davi dengan pukulan keras. Tak ayal,
Davi terjerembab dengan suara erangan yang tersedak di kerongkongan.
"Butuh temeng, cuma sandiwara, tapi sayang! Elo bener-bener nggak bisa
dipercaya! Irish buat gue. Titik!"
"Al!" Davi buru-buru mencekal pergelangan kaki Alfa waktu cowok itu bersiap
pergi. "Gue nggak mau liat nyokap gue nangis lagi!"
Alfa tertegun. Kalimat itu menyiratkan kesungguhan Davi untuk benar-benar
berubah. Tapi sedetik kemudian dia tidak peduli.
"Itu urusan elo! Oke" Sekarang gue mau pergi ke rumah calon cewek gue. Elo
tidur aja di sini!" Ditepuknya pipi Davi. "Ntar gue panggilan ambulans!"
Alfa pergi. Meninggalkan Davi terkapar di atas rumput. Davi mencoba bangun tapi
pening hebat di kepala, juga rasa ngeri luka-lukanya, membuatnya menghentikan
usahanya. Akhirnya ia tergolek pasrah. Ditudunginnya kedua matanya dengan
sebelah lengan saat sinar matahari yang terik menyorot tajam.
Begitu mobil Davi melesat pergi, Irish langsung keluar rumah dan menyetop taksi,
balik ke sekolah. Tapi ternyata kedua cowok itu tidak ada. Hampir semaput dia
periksa semua ruangan di sekolah. Nihil. Kosong.
Waktu iseng dia bertanya pada Pak Kumis, tukang es yang mangkal di depan
gerbang sekolah, Pak Kumis malah bilang kalau Davi nggak balik lagi, dan Alfa
juga langsung pergi tak lama setelah Davi mengantar Irish pulang.
Irish jadi semakin waswas. Dia merasa sesuatu akan terjadi. Sampai malam Davi
dan Alfa ternyata tidak pulang. Bolak-balik dia telepon ke rumah mereka, tapi
jawabannya selalu "Belum pulang".
*** Malam sudah larut, tapi Davi masih terjaga. Terbaring di tempat tidur. Tubuhnya
terasa luluh lantak setelah digempur Alfa tadi siang.
Sambil menatap sayu selembar kertas ungu, Davi mengingat kembali kejadian
beberapa hari lalu, hari di saat hatinya hancur dan pikirannya lelah, hari di saat
Irish tiba-tiba memberinya kertas ungu itu, entah karena betul-betul perhatian atau
karena terpaksa melakukannya.
"Masih jadi pikiran ya?" tanya Irish waktu itu, di dalam mobil Davi.
Davi tersenyum tipis mendengar pertanyaan Irish. Apa itu sesuatu yang dengan
mudahnya bisa dilupakan" Membunuh seseorang, meskipun tanpa sengaja.
Seseorang yang justru paling dekat di hatinya. Seseorang yang selalu hadir dalam
lebih dari seribu mimpi. Irish tersenyum tipis, lalu mengangguk kecil. Irish paham meskipun tak ada
jawaban yang Davi berikan.
"Dav, gue bawain ini buat elo. Barangkali aja elo bisa agak tenang. Di baca ya?"
Cewek mungil itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Selembar kertas bernuansa
ungu. Lembut dengan tebaran camar putih. Di atasnya terdapat baris-baris kalimat,
tertulis juga dengan tinta ungu.
"Puisi?" tebak Davi saat itu. Heran dan surprise.
"Bukan. Kebagusan bener gue bawain puisi buat elo!"
Davi jadi tersenyum dengan jawaban yang agak judes itu. Irish selalu begitu.
Walau terkadang ketus, cewek itu telah melindunginya sungguh-sungguh.
"Ini doa!" Doa" Kening Davi mengerut.
"Doa?" "He-eh. Gue lupa dari mana gue kutip ini. Tapi kalo nggak salah inget, ini doa para
peziarah dalam perjalanan menuju Santiago de Compestela. Doa ini indah banget,
Dav." Irish menatapnya, kesungguhan terpancar dari dua bola matanya. "Dosa
terindah. Bisa menenangkan. Mudah-mudahan elo juga akan begitu."
"Kalo gue nggak mau terima?"
"Sayangnya harus iya!" Irish kontan melotot, membuat Davi jadi tersenyum lagi.
Davi ingat, ternyata beberapa hal yang pernah dilakukannya kini berbalik di
lakukan si mungil itu terhadapnya.
"Boleh gue baca dulu?" tanya Davi.
Kedua alis Irish bertaut, dia tersadar. "Oh, iya! Belom gue kasih liat ke elo ya?"
Setelah memegang kertas bernuansa ungu itu, Davi tertegun. Tertunduk kelu
menatap barisan kata-kata itu.
Tuhanku.... Bicaralah padaku bila aku kesepian
Bisikkanlah aku dukungan-Mu bila aku dirundung kecemasan
Dengarkanlah suaraku bila aku jatuh
Sudilah menjadi bagiku penghiburan dalam perjalanan
Tempat bernaung di waktu panas
Tempat berteduh di kala hujan
Tongkat penuntun dalam kelelahan
Dan penolong dalam bahaya
Semoga aku berhasil Mencapai tujuanku Sekarang, dan juga nanti Pada akhir hidupku. Irish benar. Doa ini indah. Sangat indah. Damai dan meneduhkan.
Itu hadiah terindah kedua yang diberikan Irish untuknya. Hadiah yang pertama
selalu diberikan Irish di ujung minggu, sebelum cewek itu turun dan menutup pintu
mobil. "Besok jangan lupa ke gereja ya?"
Selalu. Seperti itu. Dan di hari-hari berikutnya, perlahan Davi sadari, betapa indah satu pesan itu.
Saat ini, saat doa ini di bacanya lagi, benar-benar ingin dipeluknya
Irish kuat-kuat, sebagai tanda berjuta terima kasih yang pasti takkan cukup.
Untuk doa ini... dan pesan itu...
Malam ini, sama seperti hari itu, doa teduh para peziarah dalam perjalanan panjang
mereka menuju Santiago de Compestela membuat Davi kembali termangu.
Tuhanku.... Bicaralah padaku bila aku kesepian....
Dua baris pertama yang begitu menyentuh. Selalu. Saat ini, bukan hanya kesepian
yang dirasakannya. Tapi juga kesedihan, kehilangan, kecemasan, kesakitan, juga
keputusasaan. Begitu banyak. Sangat banyak.
Perlahan, kepalanya terkulai, tangannya jatuh ke tempat tidur, masih memegang
kertas ungu itu. Perlahan, doa teduh itu terulang. Jauh direlung terdalam.
Tuhanku..... Bicaralah padaku.... *** Saking cemasnya, keesokan harinya Irish berangkat sekolah pagi-pagi sekali.
Setelah menaruh tas di kursi, buru-buru dia berlari ke depan. Berdiri di pintu
gerbang. Menunggu dengan tidak sabar. Dia ingin tahu kemana saja kedua cowok
itu kemarin. Dan yang paling membuatnya sters semalaman, apa yang mereka
lakukan!" Tujuh kurang lima, Alfa nongol. Keluar dari mobil dengan muka bonyok! Irish
nyaris saja menjerit. Langsung dia berlari menghampiri cowok itu.
"Alfa!" "Hai, sayaaang." Alfa nyengir lebar.
"Muka lo...?" "Oh! Kemaren gue abis ekshibisi boxing berdua Davi."
"Jadi ini ditonjok Davi?" Irish terperangah.
"Ya iyalah. Masa ditonjok gue sendiri?" jawab Alfa santai.
"Kenapaaa?" Irish hampir menjerit lagi.
"Nggak apa-apa. Udah deh, nggak usah dipikirin." Alfa mengusap lembut kepala
cewek di sebelahnya. "Nggak apa-apa gimana! Muka lo bonyok begitu!"
"Tadinya gue sama Davi malah mau saling bebas leher, Rish!"
"HAAAH!" Irish ternganga.
Hari itu Davi nggak masuk. Dan keterangan Alfa membuat Irish semakin kalut.
"Davi nggak masuk, Al! Lo apain dia?"
"Kemaren sih cuma gue tonjokin doang. Nggak tau deh kalo sampe rumah tuh
anak mati!" santai sekali jawabannya.
Astaga! Alfa ini! "Alfa! Gue serius!" bentak Irish. Benar-benar ingin nangis.
"Yeee, gue juga serius! Emangnya ini bonyok bohong-bohongan?" Alfa menunjuk
mukanya. "Yuk, Rish, udah mau bel nih! Lo masuk ke kelas gih!"
Irish lebih tercengang lagi waktu dia nemuin Alfa di jam istirahat. Cowok itu
melepas baju seragamnya dan menggantinya dengan kaus karena habis istirahat
kelasnya jam olahraga. Seluruh tubuhnya penuh luka memar! Biru-biru di hampir
semua tempat. "Ya Tuhan! Al... elo sama Davi tonjok-tonjokannya pake apa sih?"
"Ya pake tanganlah. Kalo pake kayu namanya gebuk-gebukan, Rish."
"Masa sampe biru-biru banget gini" Di semua tempat, lagi!"
"Iya, soalnya kita nonjoknya dengan sepenuh perasaan," jawab Alfa enteng banget.
"Alfaaa!" jerit Irish tertahan. Ingin rasanya ia menjerit kencang-kencang, tapi takut
sonya murid datang. "Elo gila bener sih" Sebenernya ini ada apa!?"
Alfa menarik napas panjang-panjang.
"Sori, Rish. Mendingan lo tunggu Davi masuk saja. Lebih baik lo denger
penjelasan dari dia."
"Lo nggak mau cerita?"
"Bukan nggak mau. Lo udah terlalu jauh melibatkan diri. Elo udah terlalu banyak
berkorban untuk Davi."
"Maksud lo?" sepasang mata Irish seketika menyipit.
Alda terdiam. Lambat-lambat menjawab pertanyaan itu.
"Gue tau antara elo dan Davi.... sebenernya nggak ada apa-apa!"
Irish terenyak. Terperangah amat sangat.
"Dia.... dia cerita?" rabyanya tergagap.
"Heh! Kalo udah gue bikin biru-biru dia masih juga nggak mau ngomong, benerbener gue tebas lehernya!"
Ya Tuhan! Irish tertunduk lunglai. Akhirnya Davi membuka rahasia mereka.
"Kenapa?" tanyanya serak.
Alfa menghela napas. "Karena gue nggak bego kayak orang-orang!"
"Jadi gue bebas sekarang?"
"Kalo itu, mendingan lo tanya Davi aja. Salah kalo elo nanya ke gue."
Iya. Cuma Davi yang bisa menjawab apakah semuanya sudah berakhir.
"Udah bel, Rish." Alfa menepuk pelan lengan gadis yang tepekur di sebelahnya.
"Yuk, gue anter ke kelas."
*** Davi baru masuk dua hari kemudian. Irish tempat terperangah begitu melihatnya.
Gila! Benar-benar babak belur! Lebih parah dari luka-luka Alfa. Tapi buru-buru
dia menelan kekagetannya, karena Davi sudah tidak berhak lagi mendapatkan
perhatiannya. "Elo kok kayaknya nggak cemas, Rish?" Davi menatap cewek yang duduk santai
di bangkunya itu. "Apa karena gue bukan Alfa?"
Irish jelas jadi kaget di tanya begitu.
"Elo mau tambah biru-biru?"
Davi tertawa pelan. "Kenapa" Elo udah nggak peduli lagi sama gue?"
"Nggak! Kita udah selesai, kan" Lo udah cerita semuanya ke Alfa!"
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Davi langsung beku di tempat.
Meskipun Irish begitu marah dan kecewa karena Davi membuka rahasia mereka,
tak urung dia kaget juga melihat luka-luka Davi. Makanya begitu bel istirahat, dia
langsung kabur ke kelas Alfa.
"Halo, sayang!" Alfa menyambutnya mesra. "Besuk gue lagi nih" Bawa makanan
nggak?" "Bawa makanan!?" Irish melotot. "Elo.... kenapa elo tonjokin Davi sampe ancurancuran begitu" Elo nggak punya perasaan banget sih!" serunya tinggi.
"Jadi elo nggak terima?" wajah Alfa tiba-tiba berubah dingin, tatapannya tajam ke
arah Irish. "Jadi lo dateng ke sini mau protes karena gue udah bikin ancur tu
anak!?" Irish tertegun. "Ng... nggak! Nggak kok!" jawab Irish buru-buru. "Kalo elo seneng, tabokin lagi
aja!" Alfa jadi ketawa. "Terus elo ngapain ke sini?"
"Eh..." Irish tersentak dan buru-buru mengelak. "Siapa bilang gue sengaja ke sini"
Orang gue cuma lewat kok!" Buru-buru dia bangun, siap-siap kabur. Tidak
disangkanya, Alfa ternyata bisa sadis juga. Irish nggak mau cari masalah. Kalau
Davi saja bisa dibuat bengep begitu... wah... dia bisa jadi presto kalau nekat!
Tapi Alfa lebih cepat bergerak. Ditangkapnya pergelangan tangan Irish dan
ditariknya cewek itu sampai jatuh terduduk lagi di sebelahnya.
"Temenin gue makan, gimana?"
"Gue lagi nggak pingin makan."
"Oh... elo nggak harus makan, Rish. Cukup duduk di sebelah gue."
"Pede banget lo ngomong begitu" Emangnya gue siapa elo?"
"Sekarang emang belom. Tapi nanti...," Alfa memberikan senyuman yang paling
manis, "elo akan jadi apa-apa gue!"
PERISTIWA Davi dan Alfa yang adu jotos sampai babak belur dengan cepat
menyebar. Seisi sekolah jadi gempar. Semuanya tidak percaya hanya karena demi
seorang Irish, dua cowok itu bisa sampai begitu.
Irish, yang jadi beken sejak jadian sama Davi, jadi semakin ngetop lagi. Kemana
pun dia pergi semua mata menatapnya lekat-lekat, tajam-tajam, lurus-lurus.
Meneliti dengan sangat seksama. Apanya dia sih yang sudah membuat Davi-Alfa
sampai rela tonjok-tonjokkan" Semuanya nggak habis pikir. Soalnya Irish itu
sebelumnya nggak pernah punya catatan jadi rebutan cowok.
Apalagi Menur, dia lebih nggak habis pikir lagi, dua tahun lebih dia jadi
kembangnya SMU Palagan. Meskipun banyak cowok yang naksir, belum pernah
ada cowok yang sampai mau berjibaku demi mendapatkannya. Rata-rata kalau
sudah dia tolak, cowok-cowok itu lalu pergi dengan pasrah.
Makanya Menur heran. Apa sekarang cowok-cowok sudah ganti selera" Mungkin
sekarang yang lagi ngetren cewek tipe-tipe seperti Irish begitu. Kecil, mungil,
putih, rambut agak ikal, punya lesung pipi, berbibir tipis.
Memang sih, pacaran sama cewek yang badannya kecil banyak untungnya.
Pertama, makanya nggak banyak, jadi nggak menguras kantong. Kedua, gampang
menjaganya. Dan ketiga, kalau berani macam-macam, tinggal dipelototi aja. Pasti
dia langsung ngeper, nggak akan berani ngelawan karena badannya imut.
Begitu juga Metha dan Wulan, dua cewek papan atas SMU Palagan, yang ketajiran
bokap-bokapnya membuat penampilan mereka -di luar baju seragam pastinyakelihatan banget borju dan kelas tingginya. Jelas mereka juga tidak mengerti.
Tidak mengerti yang benar-benar tidak mengerti. Irish itu kan kere. Tidak punya
apa-apa. Jadi pacaran sama dia, ditilik dari segi ekonomi, jelas tidak akan
mendatangkan keuntungan apa-apa. Rugi malah!
Begitu juga para murid cowok. Setiap Irish lewat, mereka menatap cewek itu
sampai nyureng. Meneliti dengan seksama. Nggak meneliti macam-macam sih.
Mereka cuma ingin tahu, siapa dan bagaimana si mungil itu, kok bisa sampai bikin
dua anak baru jotos-jotosan untuk mendapatkannya. Sebagai orang lama,
maksudnya orang yang sudah sekolah di situ sejak dari kelas satu, jelas saja
mereka merasa kecolongan.
Ada yang berubah dratis sejak peristiwa adu jotos itu. Setiap kali ada kesempatan,
Alfa selalu terbang ke hadapan Irish. Ajakan-ajakannya mulai beragam, nggak lagi
cuma lihat pameran lukisan atau cari buku. Seakan Davi nggak tidak terlihat mata,
enteng saja Alfa mengajak Irish ke sana kemari. "Nonton yuk, Rish?", atau "Rish,
nanti malem gue ke rumah lo ya?", atau "Rish, ke Dufan yuk?", atau "Rish, lo mau
ikut gue ke Anyer nggak" Minggu besok.", dan sejuta ajakan lain.
Yang membuat Irish nggak mengerti, Davi sepertinya juga nggak peduli meskipun
Alfa memanggil Irish dengan sederet sebutan yang benar-banar membuat merah
telinga. Sebutan itu dulu juga sering dilontarkan Alfa. Tapi dengan kondisi yang
sekarang, sebutan itu sudah tak bisa lagi dianggap cuma panggilan tanpa arti.
"Sayang". Itu sih sudah biasa. Sekarang malah sudah jarang terdengar. Sweetheart,
sweety, honey, darling, my lovely girl, my most beautifull flower, dan buanyak
lagi deh. Dan karena Alfa itu tipe cowok yang sebodo amat sama kuping, mata, dan mulut
orang, jelas saja dia memanggil Irish dengan segudang sebutan indah itu di mana
saja dan kapan saja mereka ketemu. Dan lagi-lagi, sebutan-sebutan itu juga akan
tetap dilontarkannya meskipun dia tahu D
avi ada di sebelahnya. Jadi jelas nggak
mungkin Davi nggak dengar!
Dan Davi -ini yang menyebabkan Irish lebih tidak mengerti lagi- cuma diam.
Cuma mengawasi Alfa dan kelakuannya tanpa bicara apa-apa. Juga tanpa reaksi
apa-apa. Dan mudah-mudahan ini hanya perasaan Irish, perlahan dan samar Davi seperti
berusaha memberitahu semua orang apa yang selama ini sebenarnya terjadi di
antara mereka..... Cuma sandiwara! Dan itu membuat seisi sekolah makin tercengang-cengang. Semua bingung.
Soalnya baru kali ini mereka menyaksikan cinta segi tiga yang terang-terangan
begitu. *** Ada yang luput dari mata Alfa dan Davi. Lepas dari kegamunan yang selalu
dibicarakan, lepas dari nama beken yang terciptakan, sebenarnya Irish sakit hati!
Benar-benar sakit hati! Cewek itu merasa dicampakkan begitu saja. Padahal dia telah melindungi Davi
sampai hampir di luar batas kemampuannya. Dia kesampingkan kepentingannya
sendiri. Dia sangkal semua kata hati. Dia telan semuanya. Kemarahan,
kejengkelan, sakit hati, kesedihan, kekecewaan. Semuanya. Cuma untuk cowok
satu itu! Balasannya!" Davi membuka semunya ke Alfa begitu saja!
Yang membuat Irish semakin sakit hati, kenapa Davi membiarkan Alfa datang dan
pergi semaunya! Davi itu ternyata benar-benar.... brengsek!
Ini memang cuma sandiwara. Semua cuma sandiwara. Tapi biar begitu apa dikira
dia tidak dengan hati saat menjalani!"
Alfa juga. Apa maksudnya, coba" Ngajak ke sana kemari, manggis sweetheart,
darling, de-el-el, de-el-el. Nggak peduli banyak orang! Dikira dia bisa gampang
begitu!" Benar-benar kurang ajar itu cowok dua!!!
Apa sebaiknya dia tonjokin aja mereka berdua sekarang ya" Mumpung tubuh
mereka masih pada biru-biru. Dengan begitu kan dia nggak perlu keluar tenaga
banyak-banyak. Nunggu mereka sembuh dulu terus baru dihajar itu sih bakalan dia
yang tewas! Tapi nggaklah! Irish geleng k kepala. Biarpun tubuh mereka penuh memar begitu,
nonjok Davi dan Alfa mah cuma akan membuat mereka berdua tertawa.
Sialan! Benar-benar kurang ajar!!!
Apalagi Ryan nggak jelas masuknya kapan, karena kakinya masih dalam proses
penyembuhan. Makin bete deh Irish sebangku sama Davi.
Irish membanting bolpoin di tangannya ke lantai. Tragis amat sih akhir
pengorbanannya!" Tapi terus dia ketawa sendiri. Memungut bolpoinnya yang nyaris hancur itu.
Namanya juga pengorbanan, pasti nggak ada keuntungannya. Karena kalau ada
untungnya, kalau dia mengharapkan sesuatu dari pengorbanannya, itu namanya
bukan pengorbanan. Irish makin tertawa. Jadi, pengorbanan adalah sesuatu yang dilakukan tanpa pamrih. Itu definisi yang
paling tepat kayaknya! "Kenapa ketawa sendiri?"
Irish tersentak. Davi ternyata sudah ada di sebelahnya. Menatapnya dengan kening
terlipat. Heran. Irish langsung waswas. Wah, Davi tau nggak ya, kalo gue udah
ketawa-ketawa sendiri dari tadi"
"Nggak kenapa-napa."
Davi duduk tanpa bertanya lagi, lalu langsung sibuk menyiapkan buku-bukunya.
Irish mengamatinya diam-diam. Tiba-tiba dia tersenyum tanpa makna.
Pengorbanan yang baik adalah.... pengorbanan yang total sekalian!
"Dav." "Hem?" "Lo tau Davina nggak?"
"Nggak." "Mau gue kasih tau?"
"Kenapa?" "Davina itu anak I-18. Gue pernah nggak nggak sengaja denger, kalo dia itu benerbeber suka sama elo. Deketin dia gih! Namanya bisa dipendekin jadi Davi juga lho.
Kan cocok. Davi dan Davi. Pas!"
Davi tersentak. Serta-merta menoleh. Dia menatap Irish tajam.
"Maksud lo apa ngomong begitu!?"
"Nggak ada." Irish tersenyum santai. "Mau ngasih advis aja." Dia lalu berdiri dan
jalan keluar. "Mau kemana, Rish?"
"Cari korban!" Davi tersentak lagi. Dia tinggalkan kesibukannya seketika, bangkit berdiri, dan
buru-buru mengejar Irish.
"Irish! Tunggu!"
Irish masa bodo. Tunggu! Tunggu! Enak aja nyuruh-nyuruh orang!
"Irish!" Davi meraih tangannya dan memaksa berhenti. "Elo kenapa sih?"
"Emangnya lo kira gue kenapa!?" jawab Irish sengit. Davi terperangah dan ketika
sadar ada yang harus dibicarakan.
"Ikut gue!" Tanpa bertanya Irish mau atau tidak, Davi menarik cilik itu dengan
paksa ke sekretariat basket. Kebetulan di tempat itu cuma ada Verdy. "Verdy,
please.... Cuma sebentar."
"Sebentar bener ya?" kaya Verdy sambil jalan keluar. "Gue lagi di suruh Daniel
bikin proposal nih."
Begitu Verdy keluar, pintu langsung di tutup dan di kunci.
"Ada apa?" tanya Davi.
"Elo nggak salah nanya!?" Irish padang muka cemberut.
Davi menghela napas. Sesaat kemudian suaranya melembut. "Rish, kalo gue tau,
gue nggak akan nanya."
Irish menatapnya. Lurus dan tajam.
"Lo ngomong apa ke dia?"
"Dia siapa?" "Alfa!" sentak Irish jengkel. Davi jadi kelihatan serbasalah.
"Elo kan udah tau," jawabnya pelan.
"Bukan itu! Laennya?"
"Laennya?" Davi mengangkat alis. "Nggak.... ada," sambungnya ragu Irish
mendesis jengkel. Kemudian dia berseru penuh nada tinggi dan penuh emosi.
"Lo kasih tau ke dia kali gue cuma temeng! Dan elo pasti juga bilang ke dia, kalo
dia mau.... dia bisa pacarin gue!"
"Irish!" Davi terperangah. "Lo kira gue tega ngomong begitu?"
"Mungkin nggak persis begitu kalimatnya! Tapi yang jelas, itu yang dia tangkep!
Buktinya dia santai dan enjoy aja tiap hari nyari gue ke kelas. Ngajak ini-itu, ke
sana kemari, manggis gue manis-lah, darling-lah, segala macem! Dan dia nggak
peduli sama sekali meskipun ada lo di sebelah gue!"
"Tapi elo dulu selalu jalan sama dia, kan?"
Seketika Irish tergeragap. Kalimat itu menusuknya telak. Irish menunduk. Dulu dia
bersedia jalan sama Alfa karena dia lelah jadi temeng. Karena Davi yang di depan
cewek-cewek lain beda banget dengan Davi yang ada di depannya begitu mereka
cuma berdua. Siapa yang nggak jadi depresi, coba"
Irish menarik napas diam-diam. Mengeluh putus asa. Kemudian masih dengan
menunduk, dia ngomong pelan. Lebih mirip penyesalan.
"Gue emang cuma nolongin elo, Dav. Tapi bukan begini caranya. Bukan begini
akhirnya. Elo nggak mau ngomong apa-apa. Gitu juga Alfa... Tapi nggak apa-apa.
Mulai sekarang gue nggak akan nanya apa-apa lagi!"
Irish mendongak. Davi tertegun melihat sepasang mata itu. Menatapnya sayu. Mata itu terluka,
begitu jelas. Dan tampak kabur di balik lapisan bening yang berkaca.
Irish menangis!!! *** Irish ternyata benar-benar membuktikan omongannya. Sekarang ia betul-betul
nggak peduli. Mada bodo. Kalu Davi dan Alfa bisa mengakhiri semuanya dengan
cara mereka sendiri, semau sendiri... dia juga bisa!
Dia juga akan mengakhiri semua ini dengan caranya sendiri! Meskipun telat!
Alfa, yang belum tahu kalau medan telah berubah, muncul pagi ini. Seperti biasa.
Dengan wajah yang selalu cerah dan sepasang mata yang selalu tertawa, cowok itu
mendekati Irish dan duduk di bangku di depannya.
"Halo, manis!" sapanya. "Ada kabar apa pagi ini?"
Irish menatap dingin. "Jangan coba-coba lagi elo manggil gue 'manis'! Gue bukan kucing, tau!"
jawabnya ketus. Irish lalu berdiri, kemudian keluar kelas. Alfa kontan bengong.
Sementara Davi cuma tersenyum tipis.
"Pasti gara-gara elo!" desis Alfa ke wajah yang selalu tenang tanpa riak itu. Buruburu Alfa berdiri terus lari menyusul Irish.
"Irish!" Dikejarnya Irish dan diraihnya tangan cewek itu, memaksa Irish berhenti
dari langkahnya yang sudah seperti tentara yang mau maju perang.
"Jangan sembarangan pegang-pegang ya!" bentak Irish galak.
"Sori! Sori!" Alfa buru-buru melepas tangannya. "Elo kok hari ini galak banget.
Ada apa sih?" "Suka-suka gue dong!"
"Jangan gitu dong. Nggak enak nih. Kenapa sih marah-marah?"
"Elo mau gue nggak marah?"
"Iya dooong!" jawab Alfa langsung, sambil meringis persis anak TK.
"Kalo gitu....," Irish memunculkan lesung pipinya sedikit, "ceritain yang
sebenarnya dong!" "Soal apa?" "Soal elo tonjok-tonjokan sama Davi waktu itu."
Alfa langsung kelihatan bingung, serbasalah. "Iya dong"-nya seketika terlupakan.
"Ng...." Irish menunggu kelanjutan "ng..."-nya Alfa yang panjang itu, tapi ternyata tidak
ada. "Mau cerita nggak!?" sentaknya. Dia pelototin Alfa. "Kalo nggak, gue nggak mau
ngomong lagi sama elo!"
"Rish, jangan gitu dong."
"Jangan gitu gimana!?" jawab Irish judes. "Elo bisa semaunya. Davi bisa
semaunya. Kenapa gue nggak?"
Alfa makin kebingungan. "Elo mau ngasih tau gue nggak!?" Ditatapnya Alfa tajam-tajam. Menunggu. Tapi
ternyata cowok itu tetap bungkam. Irish mendesis. Marah, juga putus asa. "Ya
udah! Nggak apa-apa! Tapi mulai sekarang gue nggak mau lagi ngomong sama
elo! Dan gue juga nggak mau ngeliat elo lagi!"
"Terus, gue nggak boleh sekolah, gitu?" tanya Alfa bego.
"Itu sih urusan elo!"
Alfa berdecak. Dia memegang dagu, berpikir keras mencari jalan keluar terhadap
ancaman Irish yang sepertinya serius itu.
"Atau gini aja deh. Kita kan satu sekolah. Buat dihindarin kayak gimana juga, yang
namanya kemungkinan untuk ketemu pasti ada. Entar kalo elo liat gue, elo merem
aja deh. Gitu juga kalo gue duluan yang liat elo. Gue pasti langsung merem."
Irish mengira kalau Alfa itu bercanda, tapi cewek ini lupa kalau Alfa itu sableng.
Waktu mereka nggak sengaja berpapasan, Alfa terus merem rapat-rapat sambil
terus jalan. Alhasil, dia menabrak sekelompok cewek yang kagi asyik duduk
ngerumpi. Cewek-cewek itu langsung menjerit-jerit, sisanya Alfa jatuh pas di
tengah-tengah mereka. Malah ada tang telak-telak ketibanan.
Mau nggak mau Irish jadi ketawa, melihat Alfa buru-buru berdiri terus terbirit-birit
lari menghindar gara-gara dicubitin ramai-ramai.
"Bye!" seru Alfa sambil melambaikan tangan tinggi-tinggi untuknya.
Terkadang Irish goyah juga kalau memikirkan semua itu. Alfa itu sangat
menyenangkan. Mereka mengalami hari-hari yang begitu cerah. Mengingatnya
lagi, selalu menghadirkan kembali semua hari yang pernah mereka lewati.
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kalau mengingat gimana Davi dan Alfa menyembunyikan sesuatu, sementara
Irish benar-benar sudah terlibat, kejengkelan itu kembali naik. Kini Irish akan
sekuat tenaga berusaha tak peduli pada semua kekocakan Alfa.
Apalagi Davi juga tetap sama. Cowok itu masih Davi yang tenang, tanpa banyak
bicara. Kadang Irish heran, bahkan tak pernah tahu siapa cowok yang duduk di
sebelahnya itu. Cowok yang telah menangis di hadapannya, dan dengan susah
payah telah ditolongnya. Davi itu patung bernyawa. Davi itu bibir yang jarang mengeluarkan kata-kata.
Davi itu sepasang mata tanpa ekspresi. Keseluruhan, Davi itu benar-benar.... tetap
tenda tanya! Irish tidak sadar. Meskipun diam, sepasang mata Davi selalu mengawasinya. Tak
lekang, dan tetap mengikuti kemana pun dia pergi.
*** Davi tidak masuk hari ini. Tapi Irish sudah tidak mau peduli. Biar saja, karena
tidak ada lagi peran yang harus mereka pentaskan. Orang-orang yang ingin tahu
tentang hubungan mereka juga dratis berkurang. Mungkin karena kerenggangan
mereka terlalu mencolok mata.
Tapi setelah sampai hari ketiga pun Davi belum muncul juga, mau tak mau Irish
jadi bingung. Dia nggak bisa lagi cuek aja. Den dari informasi yang susah payah
dia dapat dari TU, Davi ternyata udah izin untuk tidak masuk selama satu minggu!
Satu minggu!" Irish benar-benar tercengang. Dia lebih tercengang lagi waktu menelpon ke rumah
cowok itu dan pembantu Davi bilang bahwa Davi pulang ke Temanggung, kota
kelahirannya yang terletak di kaki gunung itu. Sendiri!
Meskipun waktu itu -dengan penuh emosi- Irish mengucapkan ikrar di depan Alfa
bahwa dia tidak mau bicara lagi dengan cowok itu, keadaan ternyata memaksanya
untuk mencari Alfa. Soalnya, siapa lagi yang bisa ditanyain tentang masalah yang
sebenarnya selain Alfa. Alfa lagi sendirian di kelasnya. Sibuk dengan miniatur pesawat. Hobi maniak di
luar lukisan yang sedikit pun tidak bisa dia tinggalkan. Begitu dilihatnya Irish,
kontan mukanya jadi cerah.
"Halo, honey," sapanya sambil nyengir lebar. Irish salut juga. Alfa ini kok nggak
bisa tersinggung ya" Padahal waktu itu, waktu Irish bilang sudah nggak mau lagi
bertemu apalagi bicara, dia sudah memakai kosakata yang cukup nyelekit di
telinga. Tapi ternyata cowok ini tetap menyambutnya dengan panggilan manis.
"Davi udah tiga hari nggak masuk, Al," kata Irish pelan.
"Jadi lo sekarang nyari gue, gitu" Karena Davi nggak ada?"
"Elo jangan asal ngomong ya" Emangnya gue model cewek kayak gitu?" Irish
tersinggung. Alfa tertawa lebar.
"Sori, Rish. Bercanda. Terus?"
"Iya. Davi udah tiga hari nggak masuk."
"Itu sih bukan urusan gue."
"Gue nggak akan nyari-nyari elo kalo itu bukan urusan elo."
"Apa maksud lo?" Alfa menatap cewek di sebelahnya, Irish balas menantang
sepasang manik hitam pekat itu.
"Lo tonjok-tonjokan sama Davi... bukan gara-gara gue, kan?"
Alfa tidak langsung menjawab. Dia kembali memusatkan perhatiannya ke pesawat
kecil di tangannya. "Kenapa lo bilang begitu?"
"Ya Karena.... karena gue selalu bilang sama Davi ke mana gue pergi. Sama siapa
aja, berapa lama." Alfa ketawa palan mendengar kalimat itu.
"Terus" Lo nyari gue cuma mau ngasih tau itu?"
Irish jadi jengkel. "Tadi kan gue udah bilang! Gue nyari elo itu mau nanya, kalian itu berantem garagara gue apa bukaaan!?"
Lagi-lagi Alfa tidak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang-panjang.
"Bukan," jawabnya pelan, "Karena kalo elo yang jadi sebab, dia nggak akan cuma
bonyok begitu, Rish..... Tapi gue bunuh!"
Irish tercengang. "Ini sebenernya ada apa sih" Gue nggak ngerti!"
Bukannya menjawab, Alfa malah menatapnya lurus.
"Jadi pacar gue, Rish. Mau, ya?" katanya. Benar-Benar membuat jantung Irish
langsung mencelat. Mulutnya sampai mangap lebar-lebar saking kagetnya.
"Elo ngomong apa sih" Emangnya ini masih kurang kisruh ya?"
Alfa diam. Beberapa saat suasana jadi senyap. Sampai kemudian Alfa berdiri.
"Gue lagi ngapain nih, Rish?" Cowok itu membuat gerakan-gerakan aneh. Dua
tangannya menggapai-gapai ke segala arah. Kesepuluh jarinya membuka dan
menutup bergantian. Irish menarik napas panjang-panjang. Nahan-nahan sabar.
"Al, gue nggak lagi bercanda nih. Gue nggak ngerti sebenarnya tuh ada apa?"
Tapi Alfa tidak menjawab.
"Ini namanya menggenggam angin," Alfa malah menerangkan arti gerakangerakan itu. "Gue pernah baca satu cerpen yang judulnya menggenggam Angin.
Sesuatu yang sia-sia. Tau" Ya kayak gini. Tadinya gue ngira ungkapan yang lebih
pas 'Menggapai Awan'. Tapi sekarang gue udah tau kalo awan itu ternyata nggak
begitu tinggi. Ada yang rendah banget malah."
"Alfa!" bentak Irish jengkel. Alfa tidak peduli.
"Angin itu emang terasa. Kita tau kemana dia berhembus. Kadang dia lembut,
kadang keras. Tapi yang lucu, sekeras apa pun yang namanya angin, kita tetep
nggak bisa menggenggamnya sedikit pun. Padahal dia bisa ngelempar kita jauhjauh!"
"Alfaaa!" jerit Irish, hampir menangis. Karena Alfa begitu sibuknya membicarakan
angin, akhirnya Irish mengulurkan tangan kanannya dan mencubit lengan Alfa
keras-keras. Sesudahnya barulah cowok itu memekik dan berhenti ngomong soal
angin. "Kalo elo nggak mau ngomong, gue cubit sampe bener-bener biru!" ancam Irish.
"Kalo perlu tangan kiri gue juga jalan nih!"
"Iya! Iya!" Alfa menyeringai kesakitan.
"Mau ngomong nggak!?"
"Iya! Aduh, Rish! Sakit, tau!"
Irish melepaskan cubitannya. Alfa langsung mengusap-usap tangannya yang kena
cubit. "Gila! Sampe biru begini?" Dia terbelalak.
"Oh.... Gue bisa nyubit lebih biru lagi. Sampe tangan lo terpaksa diamputasi!"
ancam Irish. "Mau ngomong nggak?"
"Iya! Iya!" Alfa langsung menyerah. "Davi sekarang lagi 'memanggil angin'."
"Mulai lagi deh!" Irish langsung mengangkat tangannya, siap-siap mau nyubit lagi.
Alfa buru-buru berkelit. "Rish, gue lagi ngomong yang sebenernya." Ditatapnya Irish tajam-tajam.
Wajahnya sekarang benar-benar serius. "Sini!" diraihnya tangan Irish dan
digandengnya cewek itu keluar kelas, kebawah lindungan pepohonan kelapa hijau
yang berderet di samping sekolah. Sebelum memulai, Alfa menarik napas panjangpanjang.
"Bagi gue, elo itu angin, Rish," sambungnya lambat dan berat. "Gue tau kemana lo
pergi. Gue tau darimana elo datang. Tapi gue nggak bisa bikin elo tetep ada di
sebelah gue." "Terus hubungannya sama Davi?"
"Ya itu tadi. Dia lagi memanggil angin. Di tempat yang sama dia udah bikin
Melanie, sepupu gue, kehilangan nyawa. Kalo angin itu dateng dan masih angin
yang sama, itu artinya elo pun angin buat Davi. Cuma bedanya, dia bisa bikin elo
nggak berembus terlalu jauh dari dia."
"Jadi Davi... ke tempat kecelakaan itu!?" desis Irish. Terperangah.
"Yap, begitulah!"
"Ngapain dia ke sana?"
"Ya panggil angin! Aduh... Irish! Lo nggak ngerti bahasa Indonesia ya?" Alfa
melotot gemas. "Dia berdiri lagi di sana. Di tempat yang sama. Kalo dia masih juga
'lumbung', apalagi sampe 'jatuh', padahal 'angin' yang berembus mungkin pelan, itu
artinya... dua mesti ngelepas elo! Paham!?"
Irish mengangguk. Sedikit-banyak dia mengerti kalimat panjang Alfa yang di
ungkapkan dengan bahasa yang kelewat nyastra itu.
"Kenapa sih elo bilang 'angin'" Kenapa nggak langsung aja... kenangan, gitu.
Kenangan pait! Davi berdiri lagi di tempat itu untuk mengetahui apakah kenangan
itu masih jadi jurik, nightmare, trauma!"
Alfa mengangkat bahu sambil tersenyum tipis.
"Lo tanya Davi deh." Cowok itu menepuk pundak Irish. "Udah ya" Udah cukup
jelas, kan?" Irish mengangguk. Alfa langsung balik badan dan pergi.
*** Sejak tahu kejadian yang sebenarnya, Irish jadi semakin gelisah. Rasanya hari
Senin tidak akan datang saking lamanya jarum jam bergerak. Dan inilah hobi
barunya. Duduk bengong di bawah kerindangan deretan pohon kelapa di samping
sekolah. "Lagi ngapain?" tiba-tiba Alfa sudah ada di sebelahnya.
"Nunggu angin puyuh."
"Kok?" cowok itu menahan senyum.
"Iya. Soalnya otak gue kayaknya udah bergeser ke pinggir. Jadi gue kepengin
angin puyuh untuk ngejatuhin itu kelapa. Satuuu aja, biar nibanin kepala gue,
supaya otaknya balik lagi ke tengah."
Alfa kontan ketawa geli, diambilnya tempat di sebelah Irish.
"Davi kok lama ya, Al" Masa dia perlu waktu sampe seminggu?"
"Yaaah.... Karena...."
"Jangan ngomongin angin lagi!" potong Irish. "Entar gue cubit sampe tangan lo
diamputasi!" Alfa ketawa lagi. "Elo sendiri gimana?"
"Maksud lo?" Irish menoleh ke cowok itu.
"Ya, kalo ternyata...." kalimat Alfa terpenggal. Tapi Irish sudah bisa menduga
kelanjutannya. Cewek itu jadi tercenung. Padahal ini baru seandainya, tapi
sebagian hatinya langsung terasa kosong!
"Yaaaaah.....," jawab Irish lambat-lambat. "Gue akan jadi angin. Berembus ke
mana gue suka. Dan kalo gue liat elo berdua lagi duduk di sini, gue akan berembus
sekenceng-kencengnya sampe elo berdua koit kerubuhan pohon kelapa!"
Alfa kontan tertawa keras.
*** Hari senin, pagi-pagi Irish sudah duduk di bangkunya. Begitu cemasnya dia
ternyata. Tidak di sangka. Dia pikir, dia tidak akan pernah seperti dulu,
mempedulikan Davi dengan seluruh perasaannya.
Dia pikir, dia telah sukses menghilangkan perasaan itu. Berbulan-bulan bersama.
Duduk semeja. Membuat skenario tentang malam minggu. Cerita tentang Anyer,
Dufan, Pulau Seribu, Lembah Halimun, Air terjun Cibeureum, dan banyak lagi
yang semuanya.... Bohong!
Genggaman tangan, rangkulan, pengawalan dan segala perhatian yang cuma purapura!
Mengingatnya lagi, ternyata bisa juga memancing tawa. Meskipun sedih.
Tapi ternyata, saat segalanya telah berakhir, saat segalanya telah jauh, baru dia
sadar. Ada yang berubah. Semua yang telah terjadi jadi berharga untuk dikenang.
Melihat cowok itu, walau masih tersisa kemarahan, tenyata memberinya satu
keindahan. Jam setengah tujuh, yang ditunggu datang. Berjalan masuk dengan gaya khasnya.
Tenang dan tak peduli pada sekeliling. Tanpa bisa di cegah, jantung Irish berdetak
lebih cepat dari yang dia kira.
"Hai," Davi menyapanya.
"Hai," balasnya agak gugup. "Elo... dari mana aja, Dav?"
"Elo pasti tau gue dari mana!"
Irish tersentak. Jawaban Davi itu menusuk telak. Irish jadi tergeragap.
"Iya kan, Rish?" kedua alis Davi terangkat.
"Eh" Apanya?" Irish cepat-cepat menunduk, menghindari tatapan cowok itu.
Ditekurinya buku di depannya yang sudah terbuka sejak setengah jam lalu tapi
seluruh hurufnya lewat begitu saja tanpa terbaca.
"Iya. Elo tau ke mana gue pergi!"
Karena tidak bisa berkelit, akhirnya Irish mengangguk.
"Ng... Iya." Davi tersenyum tipis, "Terima kasih," katanya halus.
"Untuk?" Irish menoleh.
"Untuk usaha lo nyari tau gue pergi ke mana!"
Irish tidak mengerti apa maksud kalimat itu. Kembali dia menekuri buku di
depannya, dan perlahan tenggelam dalam lamunan. Sampai tiba-tiba sepucuk daun
teh jatuh tepat di atas lembarnya yang terbuka.
Irish tertegun dan mengangkat muka. Sepasang mata itu tengah menatapnya. Tapi
tidak ada apa-apa di sana. Datar.
MALAM minggu Alfa tiba-tiba muncul di rumah Irish. Irish sampai heran melihat
penampilan Alfa yang lain dari biasanya. Rapi banget.
"Duileeeh, rapi amat!"
Alfa meringis agak malu. "Sekali-sekali, Rish."
"Mau ke mana sih?"
"Mau ke sini." Mata Irish kontan melebar. Dia tertawa geli.
"Biar lo dandan rapinya kayak apa juga tetep nggak bakalan gue kasih makan!"
"Nggak apa-apa. Gue udah makan. Gue boleh masuk kan, Rish?"
"Oh, boleh boleh!" Irish mundur sambil melebarkan daun pintu. "Lo dari mana"
Pulang kondangan?" Alfa ketawa. "Abis kalo nggak begini, lo pasti ngira gue bercanda lagi."
"Gue juga harus rapi?"
Alfa ketawa lagi. "Nggak usah. Begitu juga udah cukup."
Irish tidak jadi jalan ke kamar. Dia duduk di depan Alfa. Agak bingung dengan
kedatangannya yang lain dari biasa. Apalagi malam ini cowok itu kelihatan agak
gelisah. Alda sendiri sekarang malah sibuk mengutuk diri. Saat mereka duduk berhadapan
kini, saat Irish menatapnya dengan sorot menunggu dan tak mengerti, dia justru
jadi kehilangan percaya diri.
Walaupun mereka telah sering bersama, satu dalam canda, tawa, dan sejuta cerita,
ternyata masih tetap tak mudah untuk bicara yang sebenarnya.
"Halo, halo," Irish mengusik kesunyian di antara mereka. Alfa tergeragap dan
seketika tersadar dari lamunan. "Elo kenapa sih, Al" Lagi ada masalah?"
"Yaaah.. begitulah kira-kira."
"Apa" Cerita aja."
Alfa diam lagi. Ditatapnya Irish dalam-dalam. Kemudian...
"Rish, jadi cewek gue ya?"
Irish kontan terpana. Meskipun ini bukan pertama kali Alfa ngomong begitu,
ekspresi dan penampilan cowok itu membuat Irish sadar, ini bukan lagi sekedar
kelakar seperti hari-hari kemarin.
"Mmm... Gue nggak busa jawab sekarang, Al."
"Gue ngerti. Gue tunggu hari senin. Ada pemeran lukisan di Orchid Gallery. Gue
tunggu elo di sana. Kalo elo nggak dateng, itu berarti..." Alfa mengangkat alis,
tersenyum dengan makna tak terbaca.
"Davi gimana?" tanya Irish. Lirih dan hati-hati.
"Davi" Gimana apanya?"
"Yang orang-orang tau, dia cowok gue."
"Biarin aja mereka makin bingung. Nggak usah dipikirin, mereka nggak penting.
Soal Davi, kalo jawaban elo nanti iya... dia jadi urusan gue!"
Irish dan Alfa tidak tahu, dari jarak yang tak terlalu jauh, sepasang mata tajam
mengawasi mereka. Dan meskipun Davi tidak mendengar suara mereka, bahasa
tubuh mereka berdua sudah cukup membuat Davi tahu, ini bukan sekedar
kunjungan. Davi jadi teringat ucapan Melanie, bahwa cewek itu mempunyai
sepupu yang slebor kelas wahid!
Jadi kalau sekarang penampilan Alfa sudah seperti orang yang mau ikutan sunatan
massal begitu, nggak perlu di ragukan lagi, dia pasti punya tujuan.
Apalagi suasana begitu senyap. Padahal selama ini anak-anak bilang bahwa Alfa
dan Irish selalu tertawa di mana dan kapan saja. Dan kesunyian yang cuma
dipecahkan satu-dua kata itu bertahan sampai kemudian Alfa pamit pulang.
Pasti! Mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius dan udah pasti... sensitif!
Terlebih lagi saat Irish mengantar Alfa sampai pagar halaman dan melepas
kepergian cowok itu dengan lambaian tangan. Walaupun mobil Alfa telah lama
hilang, Irish masih juga berdiri diam. Menatap ke ujung ruas jalan. Kemudian,
kepalanya tertunduk lunglai, jatuh di atas lengan.
Davi lebih tak percaya lagi ketika sesaat kemudian Irish mematikan lampu teras,
duduk di sudut remang, memeluk lutut dengan kedua tangan, lalu menengadah
menatap bentangan langit malam. Padahal tidak ada apa-apa di sana. Mendung
telah membuat langit hitam pekat. Nyaris tanpa satu pun bintang.
Sampai sejauh itu! Kedatangan Alfa kali ini ternyata telah membuat Irish
sedemikian resah. Sialnya, dulu Davi tak pernah sekali pun berpikir untuk ngeliat lagi tempat ini
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah kunjungannya usai. Untuk tahu apakah kedatangannya cukup punya arti.
Apakah Irish juga pernah sampai seperti itu... untuknya!
Davi menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Dengan kedua lengan
bersilang di atas setir, dia menyandarkan dagunya. Niatnya untuk langsung pulang
seketika terlupakan. Dia jadi ingin tahu, seberapa banyak waktu yang di perlukan
Irish untuk tenggelam di sudut gelap begitu.
Malam itu, tanpa salah satu tahu, dua orang sama-sama larut dalam keheningan.
Irish, untuk satu permintaan Alfa yang di luar dugaan. Sementara Davi, untuk satu
keputusan yang ternyata harus diambil lebih cepat dari yang dia perkirakan.
Karena ternyata tak tersisa banyak waktu lagi. Dan kenyataan kemudian lebih
membuatnya tak mampu percaya.
Malam menjelang larut. Akhirnya Irish beranjak. Bangkit berdiri, berjalan ke
dalam dengan langkah pelan, lalu menghilang. Lampu teras kembali dinyalakan,
sementara sebagian lampu di dalam rumah itu dipadamkan.
Perlahan, Davi meraih telepon.
"Halo, Theo?" "Yap!" "Jadi, Yo." "Kapan?" "Besok pagi." "Oke!" "Tapi malem ini gue ambil. Mau gue coba sendiri dulu. Takut besok fatal."
"Gitu" Mmm..." suara di seberang mendadak mengecil dan berucap hati-hati,
"Dav, lo yakin nggak apa-apa" Katanya udah tobat?"
Davi tertawa pelan, lalu menarik napas panjang.
"Gue udah tobat! Cuma ternyata..." Dia menelan kalimatnya. Ternyata ada yang
harus dia rebut dengan cara kembali ke masa lalu!
Hanya dengan cara itu! *** Minggu pagi yang suram. Mendung membayang sejak malam. Irish siap dengan
kebiasaanya kalau lagi nggak keluar rumah: tiduran sambil baca. Tapi sebenarnya
ini cuma eksyen doang. Dia pegang buku biar nggak kelihatan kalau sedang melamun. Kalau Orish lagi ada
di rumah, melamun terang-terangan mah bahaya. Soalnya anak satu itu hobi banget
merecoki orang melamun. "Ngelamunin apaan sih" Kasih tau dong. Biar gue bisa ikutan. Enakan
ngelamunnya berdua, lagi!"
Tuh... geblek, kan" Daripada ngelamun berdua, mending main PS.
Pagi ini kepala Irish pusing berat. Gara-gara omongan Alfa semalam.
"Jadi cewek gue ya, Rish?"
Kalimat itu nyaris tidak bisa membuat Irish memejamkan mata. Bukannya tidak
suka. Kalau mau jujur, dia lebih suka ada di sebelah Alfa daripada Davi. Bukan
karena cinta ataupun sayang, Belum sampai begitu kok, tapi lebih karena dia tidak
perlu pura-pura. Cuma itu. Di samping Alfa, dia bisa rileks. Dia bisa tertawa keraskeras. Dia bisa menjerit-jerit. Dia bisa jail.
Tapi kalau dia terima permintaan Alfa, apa kata orang nanti" Begitu cepatnya dia
berpindah dari Davi ke Alfa.
Vaya yang sohibnya sendiri, yang biasanya nggak pernah negative thinking,
kemarin malah sampai ngomong dengan nada prihatin. Sedikit nuduh malah.
"Gue nggak nyangka, Rish, elo bisa kayak begini. Jalan dua sekaligus. Nggak usah
sampe segitu paniknyalah. Lantaran baru bisa dapat pacar pas udah mau tamat
SMU, terus elo jadi ngambil semua kesempatan."
Begitu!" Coba, apa nggak langsung sakit hati dia. Kalau Vaya saja bisa menarik
kesimpulan begitu jeleknya, apalagi orang lain!
Sudah begitu, dengan sok tahunya, Vaya ngasih nasehat begini, "Kalo menurut
gue, Rish... elo mendingan sama Davi aja deh. Di samping elo udah cukup lama
jalan sama dia, gue liat Davi itu orangnya baik kok. Perhatian sama elo, sayang,
pengertian, lagi! Lo runtang-runtang sama Alfa, dia diam aja. Hebat nggak tuh"
Jarang-jarang lho, ada cowok keren yang mau digituin!"
Waktu itu, asli Irish pengen ketawa keras-keras.
Pinter emang si Davi itu. Semua yang bagus-bagus jatuhnya ke dia. Baik,
penyayang, pengertian, perhatian, sabar. Sementara dia, si Irish, cewek nggak tahu
diri! Cewek bego, nggak punya perasaan, tukang ngelaba, dan banyak lagi yang
membuatnya ingin berteriak sekeras-kerasnya, mengumumkan yang sebenarnya
pada semua orang. Biar mereka tahu, dialah satu-satunya korban! Korban yang
sangat tragis! Korban! Korban! Korban!!!
Irish menghela napas panjang-panjang. Kalau ingat semua itu, kepalanya benarbenar jadi mendidih.
Deru motor yang dipacu kencang terdengar di kejauhan. Lama-lama semakin dekat
dan semakin menusuk kuping. Dan akhirnya berhenti di depan rumah. Alis Irish
bertaut. Kenapa Alfa datang pagi ini" Janjinya kan besok. Di Orchid Gallery.
Buru-Buru dia loncat dari sofa. Jangan sampai Alfa tahu kalau kalimat cowok itu
semalam telah sukses membuat Irish jadi kusut begini.
Tapi langkah Irish, yang baru mau buru-buru kabur ke dalam, berhenti mendadak
waktu dia tahu siapa yang berdiri di sebelah motor gede itu. Davi!!!
Irish sampai kaku di tempat. Terpana dengan mulut ternganga lebar, saking tidak
percayanya. Dia langsung buru-buru ke luar.
"Dav!?" "Gue mau ngajak lo jalan, Rish. Nggak ada acara, kan?" tanya Davi tanpa basabasi. Seperti biasa.
Irish menatapnya dingin. Sejujurnya, dia sudah nggak mau pusing lagi sama
urusannya Davi. Dia nggak mau peduli lagi.
"Ke mana?" "Nanti lo juga tahu."
Nah ini! Modelnya Davi yang begini ini! Cowok ini ternyata benar-benar nggak
tahu diri! "Gue nggak mau kalo nggak jelas!" tolak Irish ketus. "Gue nggak mau lagi terlalu
baik sama orang. Terima kasih. Nggak! Malah bikin sakit hati!"
Davi menarik napas. "Sekali ini aja, Rish. Tolong. Setelah ini gue nggak akan ganggu lo lagi!" katanya
lirih. Kedua matanya menatap sungguh-sungguh. Irish terdiam sesaat.
"Okelah," kata Irush setengah enggan. "Tapi....," dia melongok ke belakang Davi,
"naek motor" Gue pikir lo nggak akan pernah lagi..."
"Setengah jam. Cukup?" Davi memotong kalimat Irish.
"Nggak usah mandi?"
Davi jadi tersenyum. "Okelah. Empat puluh lima menit."
"Ng... tunggu deh." Irish balik badan dan masuk ke dalam rumah. Cewek itu masih
agak-agak nggak yakin. Soalnya dia tahu, Davi trauma sama yang namanya motor.
Cowok itu lagi duduk tepekur waktu Irish keluar dari ruang tengah. Menunduk
dalam-dalam seakan lantai di bawah kakinya menampakkan sesuatu. Tapi Irish
malas nanya, karena mereka sudah nggak begitu dekat kagi sekarang.
Dulu itu pun, waktu mereka masih sama-sama, Irish nggak pernah tahu tentang
cowok ini. Paling cuma trauma masa lalu Davi, dan bahwa sebisa mungkin cowok
itu nggak ingin ada cewek yang berjalan di sebelahnya. Cuma itu.
Ternyata Davi benar-benar melamun. Irish berdiri persis di depannya pun dia
belum sadar juga. Setelah selembar tisu dijatuhkan, melayang turun dan jatuh
persis di titik pandangan, barulah Davi tersentak dan mendongak seketika.
Irish tertegun. Davi pucat, dan kayaknya benar-benar sedang tertekan.
"Dav, elo sakit?"
"Udah siap?" Davi tidak mengacuhkan pertanyaan Irish.
"He-eh. Tapi elo kayaknya..."
"Gue nggak apa-apa. Yuk!"
Davi meraih tangan Irish dan menggenggamnya. Irish mulai merasakan sesuatu
yang ganjil. Genggaman tangan itu begitu dingin. Dan Davi masih juga tidak mau
mengatakan ke mana tujuan mereka.
Namun, saat mesin motor telah menyala dan Irish bersiap-siap duduk di
boncengan, tiba-tiba Davi memeluknya. Begitu erat meskipun hanya sesaat.
"Maafin gue, Rish," bisiknya tepat di telinga.
Irish tidak tahu untuk apa maaf itu. Tidak tahu dan.... tidak sempat tanya!
Karena begitu dia duduk di boncengan, Davi langsung melarikan motor dengan
kecepatan tinggi. Suara mesinnya membubung dengan deru nyaring.
Irish tidak sempat lagi menjerit. Di pelakunya Davi kuat-kuat. Dipejamkannya
mata rapat-rapat. Dia tenggelamkan wajahnya ke punggung Davi dalam-dalam.
Mereka melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Meliuk-liuk di antara padatnya lalu
lintas. Di jalan yang benar-benar padat, Davi malah nekat masuk ke celah di antara
dua bus yang melaju beriringan rapat. Sampai kondektur dan sopirnya meneriaki
mereka dengan sumpah serapah. Sementara para penumpang menatap ngeri dari
balik jendela. Di jalan-jalan yang macet, Davi nekat menerjang naik ke trotoar. Tak peduli
banyak orang berseliweran, yang kemudian berlarian panik ke segala arah untuk
menghindar. Tapi Davi justru memacu motornya semakin kencang, begitu sinyal di pintu
persimpangan kereta api di depan mereka berkedip-kedip dan mengeluarkan bunyi
nada yang khas. Memberi tahu arus lalu lintas bahwa ular besi akan melintas.
"Nunduk, Rish!!!" teriak Davi menggelegar. Tidak usah dikomando, Irish otomatis
menunduk begitu tubuh Davi yang dipeluknya kuat-kuat itu menunduk. Motor
yang mereka naiki menerobos palang pengaman yang bergerak turun perlahan.
Meskipun tidak melihat, Irish bisa merasakan kegilaan macam apa yang sedang dia
jalani. Jeritan-jeritan, teriakan kaget, umpatan kemarahan, caci maki, suara orangorang berlarian menghindar, menghujani mereka sepanjang jalan.
Davi sendiri tidak menyadari pelukan kuat di pinggangnya, karena dia harus
menghadapi hantu di kepalanya yang selama ini menemani bukan hanya di dalam
mimpi. Inilah dunianya dulu. Deru bising dan sirkuit ilegal di mana saja. Skor tertinggi
bukan cuma dicatat dengan kecepatan waktu, tapi juga patah kaki-tangan, retak
tulang di sana-sini, bahkan rontok gigi. Kecemasan ayahnya, tangis ibunya,
ternyata tak cukup membuatnya sadar.
Nyawa Melanie, kebencian hampir semua penduduk kota, mata-mata yang
menatap sinis, mulut-mulut yang selalu memberinya umpatan dan caci maki, serta
teman-teman yang mendadak hilang bersamaan. Itulah harga yang harus dia bayar.
Dan ingatan tentang kejadian itu tak pernah bisa dihindarinya, kecuali mungkin
dengan dua cara. Cuma dua cara. Mengeluarkan semua otaknya dari batok kepala,
atau mencopot kepalanya sekalian dari tempatnya.
Karena itulah dia lakukan ini. Karena sejuta penyesalan takkan bisa
mengembalikan yang sudah mati. Coba berdamai, barangkali itu yang terbaik.
Davi ingin membuktikan bahwa dia bukan 'pembunuh' Melanie. Peristiwa itu
murni kecelakaan. Dengan Irish di boncengannya kini, Davi ingin membuktikan
bahwa dia bisa membawa Irish dengan selamat.
Jalan mulai menanjak curam. Dingin hawa Puncak mulai menusuk tulang. Dan
Davi memacu motornya semakin gila-gilaan.
Ini memang bukan jalan yang dilaluinya setengah tahun lalu itu. Gadis yang
memeluknya erat di belakang juga bukan gadis yang diantaranya kepelukan maut
kala itu. Tapi inilah yang dilakukannya saat itu.
Inilah! INI!!! Motor itu melaju seperti angin. Roda-rodanya menggilas selapis air bening. Hujan
turun, tipis temaram. Menghadirkan kabut suram. Seperti saat itu.
Jalan yang menanjak dan meliuk. Hujan yang turun tipis. Selimut kabut yang
mengaburkan horison. Dan.... kebun teh!
Seperti saat itu! Semuanya seperti saat itu!!!
Tanpa sadar jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Kesepuluh jarinya semakin
kuat mencengkeram. Sepasang matanya menatap tajam kejauhan. Kedua
rahangnya keras mengatup. Tapi gemeretak giginya tetap terdengar.
Tikungan tajam menghadang di depan. Pagar pengaman yang terpasang tak
sebanding dengan jurang terjal yang siap menelan. Davi memacu motor semakin
gila-gilaan. Gadis di belakangnya melekat erat di tubuhnya.
Sampai di mulut tikungan itu, yang sama sekali tidak memberikan urang padang
uuntuk tahu ada-tidaknya kendaraan di ruas seberang, Davi menjejakkan kaki
kanannya ke aspal. Bersamaan dengan tali rem yang di tarik mendadak sampai ke
pangkal, motor berhenti saat itu juga, diiringi decit suara yang mengiris tajam
telinga. Hanya setengah meter dari pagar pengaman!!!
Irish pucat pasi. Putih seputih-putihnya. Tapi Davi lebih pucat lagi.
Motor telah berhenti. Tapi Irish masih memeluk Davi kuat-kuat dan
membenamkan wajah ke punggung di depannya itu dalam-dalam. Dan davi
membiarkannya tetap seperti itu. Dia bisa merasakan, tubuh di belakangnya
gemetar ketakutan. Dia tahu, tindakannya ini memang keterlaluan. Mengajak seseorang untuk
mengusir bayangan hitam. Tapi dia benar-benar butuh gadis ini ternyata. Lebih
dari yang dia pikirkan. Dan dia berhasil.... berhasil memboncengi Irish dengan
selamat! Menit demi menit terlewat. Dengan lembut, Davi menepuk tsngan tang masih
melingkari pinggangnya. Irish tersadar dan perlahan mengangkat wajah. Membuka
matanya pelan-pelan untuk memastikan dia tidak lagi dalam perjalanan ke simpang
surga-neraka. Irish langsung melompat turun. Begitu cepat dan tiba-tiba. Seperti
takut kalau telat Davi sedetik saja Davi akan kembali mengajaknya menyongsong
haribaan Tuhan. "Elo gila!!!" jeritnya dengan emosi menggelegak dan ketakutan yang pecah. "Kalo
tadi kita sampe kecelakaan, gimana!" Kalo gue sampe mati, gimana!" Elo mau
bilang apa sama orang tua gue!" Keterlaluan! Lo bener-bener gila! Lo sarap!"
Davi cuma diam. Menatap gadis di depannya, yang histetis dan menyemburkan
kemarahan dan air mata. "Takut?" tanyanya lirih.
"Takuuuut!!!?" jeritnya melengking. Dia pelototin Davi lebar-lebar, saking
percayanya dengan pertanyaan itu. "Elo..." akhirnya irish malah tak bisa bicara
apa-apa. "Elo takut, tapi gue lebih takut lagi." Davi memalingkan wajah saat mengucapkan
itu, tapi getar suaranya tak tersembunyikan.
Namun Irish tak terpengaruh lagi. Dia tahu, Davi mengajaknya terbang
mendahului deru angin. Mendahului kenangan. Meninggalkannya di belakang, lalu
coba memastikan bahwa tak ada pengaruh yang dia tinggalkan.
Berharap semoga saat ini kenangan itu benar-benar tinggal kenangan. Hanya
kenangan. Wajah Davi menatap muram ke lengkung cakrawala. Redup mengerjap saat
butiran debu menempel di sudut-sudut mata. Sosok ini lebih mengenaskan
daripada sosok Davi yang pernah memintanya untuk jadi temeng dulu. Dan suara
Irish melunak saat mengucapkan kekecewaannya.
"Elo minta gue jadi temeng. Pura-pura jadi cewek lo. Terus kita mati-matian
berakting supaya semua orang percaya kita emang pacaran. Tapi terus sandiwara
itu elo bongkar begitu saja ke Alfa. Apa maksud lo?"
Davi tetap diam. Tetap menatap ke kejauhan. Irish mengeluh pelan dan
meneruskan dengan suara yang juga semakin pelan. Mirip penyesalan.
"Lo juga gasih isyarat ke semua orang kalo kita udah bubaran begitu aja. Gue
nggak tau kenapa. Elo juga nggak mau ngomong sebabnya. Lo mikir dong, gimana
gue mesti jawab waktu mereka nanya" Dan sekarang elo ngajak gue gila-gilaan
sampe hampir 'lewat' begini. Kenapa gue" Kalo elo udah lempar isyarat ke manamana bahwa hubungan kita udah selesai, kenapa lo ngajak gue" Kenapa nggak lo
ajak yang laen aja?"
Baru Davi bergerak. Dia turun dari motor dan menjulangkan tubuh jangkungnya di
depan Irish. "Keliatannya begitu ya?"
"Lho, emang begitu, kan?"
Irish jadi tidak mengerti ketika kemudian Davi tersenyum, menatapnya dalam,
meraihnya begitu erat dalam pelukan... dan mencium pipi kirinya perlahan.
Irish terperangah. Kemudian Davi merogoh saku kemejanya, mengeluarkan secarik
kertas, dan menyodorkannya kepada gadis mungil yang pucat dalam pelukannya.
Nanar, Irish menatap tak percaya saat lipatan kertas itu terbuka.
Aku telah bernyanyi untukmu
Tapi kau tidak juga menari
Aku telah menangis di depanmu
Tapi kau tidak juga mengerti
Haruskah aku menangis sambil bernyanyi
"Gue bukan cowok model Alfa, Rish. Yang bisa ngomong terus terang. Nggak
peduli tempat. Nggak peduli waktu."
"Tapi kenapa elo malah ngomong yang sebenernya ke Alfa?"
"Ada alasan kenapa gue harus ngomong terus terang ke dia. Tapi gue nggak bisa
cerita sekarang, karena masih ada yang harus gue selesaikan sama dia."
"Gue nggak ngerti."
"Makanya. Baca lagi itu puisi di rumah. Liat lagi ke belakang. Elo akan inget, kalo
ada begitu banyak yang terlewat. Apalagi semenjak ada Alfa. Gue bener-bener
serasa teriak di tengah gurun."
Irish mendongak. Semakin kaget. Davi menyambutnya dengan tatapan hangat.
"Oke" Udah ngerti sekarang" Pulang yuk?"
"Nggak mau ah!" Irish langsung geleng kepala. "Elo pulang sendiri aja. Gue mau
naek bus!"
Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Davi ketawa pelan. "Gue bener-bener minta maaf. Tapi percaya deh, itu tadi yang terakhir. Nggak akan
ada lagi. Lagian ini juga bukan motor gue."
Irish masih ragu. Dia cuma menatap Davi tanpa bergerak. Davi meraih tangan
Irish. Dengan lembut ditariknya Irish ke boncengan motornya.
"Sori, Rish. Gue terpaksa begini, karena kalo nggak, gue harus menyerahkan elo ke
Alfa. Dan kalo elo nggak mau ikut gue pulang naik motor lagi, itu berarti... elo
setuju lepas dari gue dan...," Davi mendekatkan wajahnya, hingga Irish bisa begitu
jelas melihat gurat-gurat halus di mata cowok itu, "kita harus say goodbye. Dan
mungkin gue akan pindah duduk. Supaya Alfa nggak perlu ngusir gue kali dia
datang." Irish tertegun. Gelisah digigitnya bibir. Perlahan tangannya menyentuh jok motor,
letak jawaban yang harus dia berikan. Alfa masih memberi Irish sedikit waktu, tapi
Davi tak mau menunggu. "Tapiii..." perlahan pipi Irish bersemu merah. Dan dia menunduk. Malu untuk
menyatakannya. Namun Davi ini terlalu susah untuk dibaca, dan Irish nggak mau berjalan bersama
angin. Davi tahu apa yang berputar di kepala Irish, karena itu dia menunduk, mengangkat
dagu si mungil itu, lalu menatap sepasang mata itu sungguh-sungguh.
"Gue bisa lebih norak dari Alfa kalo elo mau... honey!"
Kedua mata Irish terbelalak, lalu dia ketawa pelan. Memunculkan sepasang lesung
pipinya yang mungil. "Jangan! Gue bunuh lo kalo sampe teriak-teriak kayak dia!"
Kini gantian Davi yang tertawa. Seketika ada kelegaan yang sarat saat gadis itu
duduk di belakangnya, memeluk pinggangnya, dan memberikan satu perintah
dengan nada tegas "Oke, jalan! Tapi pelan-pelan! Kalo kayak tadi lagi, mendingan elo di belakang,
gue yang boncengin!"
Tawa Davi makin keras. Si mungil ini begitu yakinnya tubuh imutnya sanggup
menahan berat motor. "Siap, laksanakan..." Davi menoleh ke belakang. Menatap cewek itu dengan
senyum, lalu mengedipkan sebelah mata. "Babe!"
Irish melotot. "Nggak usah centil deh!"
Mereka pulang. Membelah hamparan kebun teh, menatap jauh ke depan, dan
meninggalkan apa yang sudah terjadi.... jauh-jauh di belakang!
Akhirnya..... End.... Selesai..... Tamat......
Insan Tanpa Wajah 2 Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Mas Rara 1