Pencarian

Fairish 1

Fairish Karya Esti Kinasih Bagian 1


Fairish Esti Kinasih SEMUA mata mentap terkesima. Sosok itu berdiri seperti magnet yg kuat.
Memukau dengan segaka pesona yang dimilikinya. Tubuhnya tinggi menjulang,
dan wajahnya memancarkan keangkuhan yang sempurna.
"Nama saya Davidio Daniel Dharmawan. Tapi cukup panggil David saja, atau
Davi," ucapnya. Tegas tapi dingin. Dan sama sekali tanpa senyum. Sedikit pun.
"Gila! Namanya keren banget!" kata Metha pelan.
"Alaaa, gitu aja keren!" ejek suara di belakang. Metha menoleh. Tampangnya
langsung sewot. "Daripada elo! Jauh-jauh dari kampung hijrah ke jakarta, eh begitu lahir namanya
Ucup lagi Ucup lagi!" Telak banget serangan balik dari Metha. Ucup, yang karena
pengaruh globalisasi dipanggilnya jadi "Yuwkap", dan tidak akan sudi meskipun
hanya sekedar melirik apalagi menjawab kalau dipanggil "Cup! Cup! Cup!",
langsung KO diledek seisi kelas.
"Sudah! Sudah!" potong Bu Indar, wali kelas 3 IPA-5. "Silakan, Davi, pilih tempat
kamu." Davi mengangguk hormat, lalu memandang berkeliling. Cewek-cewek langsung
sibuk overacting. Berusaha menarik perhatian Davi supaya duduk tak jauh dari
mereka. Tapi pilihan Davi jatuh ke seraut wajah tak acuh, yang sejak awal telah menarik
perhatiannya. Wajahnya yang dia tahu persis benar-benar tak peduli, bukan purapura tak peduli, yang sejak tadi cuma menatapnya tanpa ekspresi dan lebih
memandang berkeliling, menikmati kehebohan di sekitarnya.
Davi menatap Irish, sang pemilik wajah, yang sedang mengangguk-angguk sambil
tertawa ke arah Deni, cowok yang duduk di depannya. Dihampirinya meja cewek
itu. "Hai," sapa Davi dengan suara yang lebih tepat dibilang bentakan pelan daripada
negur. Irish menoleh kaget dan kontan terperangah. "Boleh duduk di sini, kan?"
"Hmmm...." Dengan wajah bingung, Irish menoleh ke Deni. Tadi cowok itu bilang
mau pindah ke sebelah Irish, gara-gara dongkol sama manusia di sebelahnya, Nila.
Soalnya, dari cara Nila memanggil Davi, orang akan nyangka cowok itu personel
Westlife atau Backstreet Boys. Ih, berlebihan deh!
"Tapi..." Kalimat Irish terpenggal, karena begitu dia menoleh, Davi telah
bertengger manis di sebelahnya. "Deni mau duduk... di sini...," sambung Irish
gagap. "Silahkan," jawab Davi tenang. "Gue nggak keberatam duduk bertiga."
Irish tercengang. Cowok ini.... ganteng tapi udik. Duduk bertiga" Emangnya bajaj!
??? Jam kukuk di ruang tengah baru saja selesai berteriak dua belas kali. Dan Irish
masih bengong di depan pantulan dirinya di cermin sejak beberapa jam tadi.
Dia masih susah mengerti. Masih can't belieupe at all and amazing really. Davi,
anak baru yang kece banget itu... memilih duduk di sebelahnya!
Gila kan tuh" Amazing, kan" Unbelievable, kan"
Makanya dia jadi takut tidur. Takut ini cuma mimpi, dan besoknya, pagi-pagi buta,
dia mencelat bangun. Ini pertama kalinya dalam sejarah jam bekernya kalah
langkah. Dan ketika si Smile, benda kuning itu, memperdengarkan deringnya yang
melengking, buru-buru Irish menekan tombol kecil di atasnya, dengan satu kalimat
pendek diiringi tawa. "Telat lo! Gue udah bangun dari tadi, tau!"
Irish buru-buru lari ke kamar mandi. Cepat-cepat mandi, cepat-cepat salin, cepatcepat nyisir, dan segala persiapan lain yang serba cepat-cepat.
Viorish, adik Irish yang tidur sekamar dengan Irish, terbangun kaget dan langsung
jadi panik. "Hah! Jam berapa nih" Jam berapa?"
"Setengah enam."
Grabak-grubuknya Viorish beres-beres buku langsung terhenti.
"Apa" Baru setengah enam" Kok elo udah rapi gitu?"
"Emang nggak boleh?"
"Bukan begitu.... Aaaah.... gue tau deh! Lo pasti mau bikin kebetan buat ulangan
jam pertama." "Sok tau lo!" Irish menjitak kepala adiknya, lalu langsung ngibrit ke ruang makan,
sarapan kilat, dan buru-buru lari keluar.
??? Betapa kagetnya Irish begitu tiba di sekolah, karena dia pikir dia bakalan jadi
orang pertama yang menginjakan kakinya di sekolahan. Tapi ternyata, boro-boro!
SMU Palagan, sekolahnya Irish ini, emang masih sepi, tapi begitu sampai di
kelas... udah lengkap, bo!
Irish kontan bengong. Gila, ih! Cowok-cowoknya sih sebiji belum ada. Tapi
cewek-ceweknya, asli udah komplet!
Dan yang paling membuatnya keki, bangkunya ternyata keburu disambar orang.
Metha telah bertengger manis di sana. Terpaksa Irish ngungsi. Sementara duduk di
mana saja, dan agak jauh pula, karena semua bangku di sekitar mejanya sudah
berpenghuni. Irish makin bengong begitu sadar pagi ini telah terjadi banyak perubahan. Kalau
dia responnya cuma bahagia dan berbunga-bunga sampai terbawa mimpi, reaksi
teman-temannya lebih dahsyat lagi.
Ada yang rambutnya tiba-tiba jadi keriting. Ada yang kemarin-kemarin keriting,
pagi ini mendadak jadi lurus.
Veni, yang rambutnya ikal, pagi ini sih tetap ikal. Cuma basah. Dan sampai bel
pulang, itu rambut nggak kering-kering juga. Ih!
Mona jadi serbabiru. Dari sepatu, kaus kaki, ikat pinggang, tali jam, bros, anting,
sampai bando. Nila, yang perasaan tingginya cuma beda lima senti dengan Irish, pagi ini jadi
menjulang. Selidik punya selidik, ternyata sepatunya ada hakny euy!
Avi, yang punya mata indah, pagi ini melepas kacamatanya dan pakai lensa
kontak. Sudah pasti supaya mata indahnya kelihatan jelas.
Tapi yang paling membuat Irish kaget, Metha dan Daniar pakai eyeshadow!
Meskipun tipis, tetap aja kelihatan. Supaya tidak ketahuan guru, waktu jam
pelajaran mereka menutupinya dengan poni.
Dan pagi ini kelasnya jadi semerbak dengan segala macam wangi-wangian.
Cowok-cowok yang datang kemudian, masuk kelas dengan ekspresi bingung.
"Duileee, wangi-wangi amat sih?" kata Deni sambil menatap berkeliling lalu
mengendus-endus. Sementara Adi menatap muka Metha sampai nyureng.
"Mata lo kenapa" Kok ada kelap-kelipnya?"
"Nggak usah rese deh!" jawab Metha ketus.
So, alhasil, cuma Irish seorang yang pagi ini tanpa perubahan apa-apa. Tetap
mungil, tanpa hiasan apa pun, baik di kepala-pundak-lutut-kaki. Tetap cuma pakai
bedak di muka. Tetap cuma bau wangi cologne yang biasa dipakai bayi!
??? Besoknya Irish tidak mau lagi datang pagi-pagi. Soalnya kata Mang Dudung,
penjaga sekolah, sejak pagi-pagi amat kelasnya sudah penuh. Jadi kesimpulannya,
kalau mau datang paling dulu, ya jangan pulang. Alias tidur di sekolah sekalian!
Tapi Irish sempat bengong juga begitu datang sesuai jadwalnya yang biasa, tujuh
kurang lima belas. Kelasnya penuh sama cewek yang bertebaran di sana-sini.
"Ekskyusmi! Ekskyusmi!" teriaknya keras sambil mencoba menerobos masuk.
Begitu sampai di mejanya, Irish lebih tercengang lagi. Metha dan Daniar duduk
dempet-dempetan di bangkunya! Seperti gak ada tempat lain aja. Di bangkunya
Davi, Wulan duduk desak-desakan berdua dengan Pipit, anak Bahasa yang
kelasnya ada di ujung seberang. Di bangku Adi dan Veni, dua orang yang duduk di
belakang Irish, juga penuh. Bangku Dion sama Arya, yang duduk di depannya,
begitu juga. Pokoknya just like yesterday. Semua bangku di sekitar bangku Irish dan Davi
penuh cewek. Membuat para owner yang datang belakangan jadi dongkol dan
akhirnya, sama seperti Irish, terpaksa ikhlas ngungsi sampai bel berbunyi karena
kebanyakan cewek-cewek itu susah banget diusirnya.
Besoknya, Irish baru nongol setelah nyaris bel. Percuma saja dia datang pagi-pagi,
soalnya paling cuma bisa titip tas. Karena siapa pun yang duduk di bangkunya,
tidak bakalan mau berdiri dan enyah dari situ kalau bel belum berbunyi.
Selain itu, buat apa dia sampai harus seperti mereka" Toh dia akan duduk di
sebelah Davi, dalam jarak yang paling dekat, dari jam tujuh pagi sampai jam dua
siang. Tujuh jam! Dan selama-lawa waktu itu, kecuali jam istirahat pastinya, tidak
akan ada yang berani merebut bangkunya. Jadi biar saja cewek-cewek itu berebut
sisa! Selain itu lagi, setelah dua hari duduk bersebelahan dengan Davi, Irish mulai
mencium ada sesuatu yang ganjil pada cowok itu. Dia cuek banget sama cewek.
Terlalu cuek. Sadis malah!
Itu langsung terara di hari pertama Davi duduk di sebelahnya. Dari jam tujuh pagi
sampai jam dua siang, cowok itu cuma ngajak ngomong satu kali. Cuma satu kali!
Itu juga cuma tanya nama.
"Nama lo?" Jawaban Irish juga jadi agak-agak gimana gitu. Soalnya Davi nanyanya mirip
polisi menginterogasi perampok sih. Menatapnya tajam dan tanpa senyum.
"Irish. Fairish."
"Udah" Cuma itu?" Sepasang alis Davi bertaut.
"Iya. Kenapa" Kalo mau nambahin, nggak apa-apa kok. Asal jangan minta di
cantumin di akte aja."
Baru bibir Davi mengembangkan senyum. Tipis, dan cuma sesaat.
"Nggak. Fairish. Singkat tapi bagus. Nama lo bagus. Pasti dari kata fairy."
Cuma itu! Hari kedua dan hari ketiga malah.... blas! Irish dianggap tidak
kasatmata! Hari keempat, lagi-lagi cuma satu kalimat selama tujuh jam. Itu juga
dalam rangka pinjam pensil. Dan si Davi itu, kece-kece begitu, ternyata kalau
pinjam properti orang suka lupa ngembaliin. Sementara Irish-nya juga ngeri mau
minta. Tapi cueknya Davi itu ternyata malah melambungkan namanya. Di mana-mana
sesuatu yang misterius itu memang lebih membangkitkan rasa ingin tahu.
Irish sendiri bukannya tidak mau mengakrabkan diri. Tapi dari pengamatannya,
Davi itu kalau diajak ngobrol atau ditanya, jawabannya cuma "nggak", "iya",
"masa?", atau "nggak tau". Malah sering banget dia belaga budek. Kalau ada yang
nekat bertanya, tanpa memedulikan sikap penolakannya yang terang-terangan,
dengan sadis Davi menatap sang penanya, diikuti kalimat bernada dingin.
"Bisa nggak sih, lo nggak ganggu gue"!"
Atau kalau dia sudah kelewat jengkel, si penanya itu cuma ditatapnya tajam-tajam
tanpa ngomong sedikit pun.
Mengerikan banget, kan"
Makanya Irish malas mau coba-coba ngajak ngobrol. Takut kena libas mata
dinginnya Davi. Baru jadi penonton aja dia suka nelangsa, apalagi kalau ikut
kebagian juga. Bisa berantakan hati dan harga dirinya.
Irish melirik cowok di sebelahnya diam-diam. Mencibir dalam hati. Dia kira siapa
dia" Jaim banget gitu. Justin Timberlake"
??? Di depan kelas, Udin, yang nama lengkapnya Chaeruddin -dan baru masuk hari ini
setelah satu minggu absen gara-gara gejala tipus- sedang mencatat daftar pesanan
teman-teman sekelas, seperti biasanya.
"Aye kagak pake semur jengkol, Din!" kata Bambang.
"Aye kagak pake semur terong!" teriak Adi dari belakang. "Lagian nyak lo maksa
bener sih. Terong di semur. Nape kagak timun aje sekalian!"
Udin nyengir kuda. "Entu baru namenye inopatip!" kilahnya.
Tiba-tiba Davi ketawa. Tertegun Irish menatap pemandangan yang baru pertama
kalinya itu. Juga cewek-cewek sekelas, yang kontan terpesona pada sebentuk tawa
dan sepasang mata dingin yang kini semakin memukau dengan bias hangatnya.
"Emang siapa yang jualan nasi uduk, Rish?" tanya Davi tiba-tiba. Irish tersentak.
"Eh" Oh, itu. Nyaknya si Udin."
"Oh!" Davi tertawa lagi. "Elo mau?"
Irish tersentak lagi. "Mau apa?" Dia langsung gugup.
"Ya nasi uduklah!"
"Oh. Nggak ah. Udah bosen. Elo mau" Mesennya mesti pake bahasa Betawi lho."
"Kenapa?" Davi menoleh heran.
Perlu di ketahui, Udin memang cuma melayani pemesanan yang memakai bahasa
Betawi. Untuk meredam arus globalisasi, katanya, eh, katenye. Juga supaya nilainilai tradisional tidak tergusur. Yang kebarat-baratan kayak Yuwkap, so pasti tidak
dilayani! "Elo pesennye ke Amrik aje gih sono!" begitu kata Udin waktu Ucup
minta sebungkus. "Nggak masalah!" jawab Davi enteng. Irish mengerutkan kening.
"Elo kan belum lama di Jakarta."
"Emangnya harus di Jakarta dulu untuk bisa bahasa Betawi" Sinetronnya Mandra
udah cukup buat referensi."
Dan Davi membuktikan ucapannya.
"Ade nyang sebungkusnye gopek kagak?" tanyanya nyaring. Cewek-cewek
langsung pada bengong. Ya ampun! Kece-kece mulutnya cablak! Irish menutup mulut, menahan tawa.
"Ade." Udin mengangguk. Yang lainnya kontan protes.
"Aaaah, elo! Mentang-mentang die anak baru. Kemaren-kemaren elo kagak kasih.
Paling melarat ceceng!" protes Adi, langsung yang lain pada "he-eh".
"Sekarang ade," jawab Udin.
"Kalo gitu gue nyang gopekan aje dah," ujar Davi. "Menunya ape" Nasi doangan"
Kagak ape-ape. Biar katenye cuman nasi, tapi kalo nasi uduk sih enak aje."
"Sape bilang nasi doangan?" kata Udin. "Ade sayurnye juge."
"Ah, nyang bener lo?" Adi terbelalak. "Wah, nih die. Zaman lagi suseh begini,
jarang-jarang ada makanan nyang masing mure."
"Iye. Sayur sisa kemaren. Nasinye juge. Mangkenye, khusus nyang pesen gopekan,
entar gue liat dulu. Ade sise apa kagak."
Semuanya tertawa. "Jahat lo! Nasi basi aje gopek!"
"Nyang kagak basi juga ade, Tong. Tapi kerak! Mao lo?"
Semuanya tertawa lagi. Termasuk Davi. Dia malah bangun, terus pindah duduk di
bangku Fadli. Persis di depan Udin.
Irish mengamatinya diam-diam. Ada yang semakin aneh pada diri Davi. Kalau
sama cowok, dia normal. Wajar, apa adanya. Tapi kenapa kalau sama cewek dia
sadis banget ya" "Minggir!" Semua tersentak kaget dan seketika menoleh ke sumber suara. Termasuk Irish
yang lagi ngungsi di bangku Udin. Saat itu Irish tengah asyik memperhatikan
Ronni, teman sebangku Udin, yang lagi membuat sketsa. Si Ronni ini emang jago
menggabar dam ilustrasi-ilustrasinya sering muncul di majalah-majalah.
Sama seperti yang lain, Irish terkesima menatap bangkunya sendiri. Sejak
kedatangan Davi, bangku itu serasa jadi kavelingnya Metha. Di sebelah Metha,
wajah Wulan tampak puca gara-gara dibentak Davi barusan.
"Elo nggak denger gue bilang minggir!?" bentak Davi lagi.
"Gue... gue cuma numpang duduk kok," jawab Wulan gagap.
"Ini bukan bangku kosong!" sambar Davi. "Lo bisa duduk di tempat laen! Jangan
di sini! Cepet pergi!"
Saking tidak percayanya Davi bisa sadis begiu, Wulan kontan beku di tempat. Dan
itu malah membuat Davi meledak.
"CEPET PERGI!" bentaknya dengan suara menggelegar, diikuti pukulan keras di
meja. Benda itu berderit seiring mumemucatnya wajah-wajah yang berkerumun di
sekitar situ. Wulan jangan di tanya lagi. Mukanya putih asli! Dan dengan gerakan
mirip robot, dia berdiri dan lari keluar sambil nangis.
Dengan tenang, tanpa merasa sudah melakukan tindakan keterlaluan, dan entah
sadar atau memang masa bodo dengan suasana kelas yang mendadak jadi benarbenar senyap, Davi menjatuhkan tubuhnya ke bangku.
Namun mendadak ekspresi wajahnya jadi kaku lagi begitu di sadar ada sesuatu
yang bertengger manis di atas mejanya. Sebuah kotak kue penuh potongan
blackforest dengan butiran ceri merah di atas setiap potongnya. Serpihan-serpihan
cokelat menutupi seluruh permukaan kue. Tapi ternyata Davi tak terpengaruh.
"Ini punya siapa?" tanyanya sambil menatap satu-satu kerumanan cewek di
sekitarnya. Metha yang duduk persis di sebelahnya, menjawab pelan. Jadi ngeri juga dia
setelah menyaksikn jatuh korban.
"Buat... elo, Dav."
Seketika mata elang Davi menyambarnya. Dan karena kebetulan Metha tepat di
sebelahnya, Davi menghadapkan persis wajahnya persis di depan Metha. Jantung
cewek itu seras jumpalitan. Senang juga, tapi juga ngeri.
"Elo denger ya!" desis Davi. "Gue bukan orang kelaperan! Jadi gak usah lagi lo
bawa macem-macem!" Cowok itu memajukan wajahnya. "Sebenarnya, apa sih
maksud lo bawa-bawa makanan segala?"
"Ng... nggak kok," Metha makin tergagap. "Itu juga... kalo elo suka. Kalo nggak...
ya nggak apa-apa." "Gitu ya?" Davi menarik kembali wajahnya. "Kebetulan... gue nggak suka!"
suaranya mengeras. "Ambil cepet! Gue perlu ini meja!"
Namun Metha bergeming. Meskipun mengerikan, inilah saat yang paling


Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditunggunya. Sampai mimpi-mimpi malah, bisa duduk di sebelah Davi.
"Cepet ambil!" bentak Davi. Metha tetap bertahan, tidak memberikan reaksi.
Dengan jengkel Davi meraih kotak kue, lalu menyodorkannya ke cowok-cowok
yang duduk berkerumun tak jauh dari situ.
"Elo pada mau nggak?"
Langsung aja mereka menyerbu.
"Asyoooiii. Jelas mau banget dong!"
Kotak itu berpindah tangan ke segerombolan mulut-mulut rakus yang
menyambutnya dengan sorak kegirangan. Sejak tadi mereka memandangi kue itu,
tapi cuma bisa ngiler karena Metha, yang memang spesial membawa kue untuk
Davi, jelas tidak sudi ngasih. Dan kue itu ludes dalam sekejap.
"Enak gila!" kata Ucup sambil menjilat-jilat tangan. Satu isyarat samar dari
sepasang mata Davi membuatnya tahu, apa balasan untuk kue yang barusan di
makan. Ucup menghampiri Metha dengan kotak kosong ditangan.
"Enak banget, Met. Gila deh!" katanya. Tidak jelas, muji atau merayu. "Elo bikin
sendiri ya" Atau beli" Kalo bikin sendiri, waaah... elo benar-benar hebat deh. Udah
cakep, pinter bikin kue pula!"
Ucapan Ucup membuat seisi kelas ketawa. Sementara Metha... Hiiih... Muak!
Wak! Wak! Wak! Dari dulu dia benci banget sama si Ucup ini. Udik, tapi ngakunya cool.
"Dung.... cek! Dung dung... cek!" Di belakang Ucup, Udin berjoget-joget. Girang
banget dia. Musuh bebuyutannya dipermalukan begitu.
"Untung kagak elo makan, Dap. Ketauan ade jampi-jampinye tuh. Buktinye Ucup
langsung jatuh cinte!"
"Diem lo!" bentak Metha, membuat seisi kelas ketawa lagi.
Akhirnya Metha pergi, karena dua alasan. Pertama, Davi sibuk sama bukunya dan
tidak ambil pusing dengan adegan ungkapan cinta yang terjadi di sebelahnya.
Kedua, karena Ucup benar-benar membuat Metha ingin muntah!
Cewek-cewek yang lain kontan ikut pergi begitu kepala suku mereka hengkang
dari situ. "Bangku lo udah kosong tuh. Balik gih, " Ronni mengingatkan cewek mungil di
sebelahnya. Irish langsung geleng kepala.
"Ng... gue duduk di sini ya, Ron?" pintanya memelas. Ronni tertawa.
"Bilang sama yang punya bangku dong."
Irish langsung menoleh ke sana kemari. Mencari-cari Udin.
"Udin! Sst!" panggilnya lirih. Udin menoleh dan mengangkat alis. "Siniii!" panggil
Irish lagi, tetap tidak berani keras-keras. Cuma tangannya yang memberi isyarat.
Udin berdiri dan menghampiri.
"Ape?" "Gue duduk sini ya" Sehariii aja."
"Kenape emangnye?"
"Elo nggak denger tadi?"
"Pan bukan elo nyang kena bentak?"
"Ya kali aja ada session keduanya. Boleh ya, Din" Please..."
"Ini kan sarang penyamun, Rish," kata Ronni. "Nggak ada cewek di sekitar sini."
"Tau nih anak! Elo mau digodain Nuris ampe jam terakhir?"
"Nggak apa-apa deh. Mendingan digodain," jawab Irish spontan. "Abis gue takut
duduk di sana." Ronni dan Udin tertawa geli.
"Kalo elo kayaknya nggak apa-apa deh," Ronny menenangkan. "Buktinya dia
milih duduk di sebelah elo. Padahal masih banyak tempat kosong. Lagian juga kalo
elo duduk di sini, lo nggak bakalan bisa ngeliat apa-apa. Ivan di depan lo persis."
"Iye." Udin mengangguk. Memang, di depan Udin ada Ivan, si jangkung yang anak
basket. Duduk di belakang Ivan di jamin cuma bisa menyaksikan satu
pemandangan: punggung cowok itu. Tapi masih mending begitu daripada kena
bentak Davi! "Yuk, gue anterin," kata Udin.
"Yaaah, Udiiin..."
"Mangkenye gue anterin. Biar aman. Kagak bagus elo duduk di belakang gini."
Irish bangun ogah-ogahan. Sebelum dia pergi, sambil tertawa Ronni berbisik di
kupingnya, "Ati-ati, Rish. Jangan duduk ngebelakangin Davi. Entar tau-tau elo
dicekek!" "Elo nih, jangan nakut-nakutin gue dong!" Irish melotot kesal.
Ronni tertawa terbahak. "Udeh, kagak usah didenger!" Udin menarik Irish kembali ke habitatnya. Sebelum
meninggalkan bangku Irish, Udin membisiki Davi, "Doi ketakutan tuh. Ampe
nekat mau duduk di bangku gue."
"Oh ya?" Mata Davi seketika menyipit. Diliriknya Irish yang mulai sibuk
mengeluarkan buku-bukunya. Ketika tatapan mereka bertumbukan, sepasang mata
cewek itu buru-buru menghindar. Kejadian berikutnya membuat Davi jadi tambah
geli. Hari ini ada jam kosong. Dua jam. Makanya Irish membawa sekotak kue
kebangsaannya, kaasstengel, serta satu Aqua gelas. Diletakkannya kotak kue itu di
meja, di susul buku Open the Earth's Hidden Secrets. Buku yang heboh banget dan
tak sabar ingin cepat-cepat dia tamatkan. Tapi kesibukannya langsung terhenti
waktu tak sengaja dia melihat Davi sedang memperhatikan kotak kuenya.
"Ngng... itu buat gue sendiri kok, Dav... Bukan buat elo! Dan gue juga... nggak
bermaksud nawarin elo. Bener!" kata Irish buru-buru, takut dikira mau ikutan
carmuk. Davi jadi menahan tawa. Apalagi begitu dilihatnya ternyata Irish benar-benar
melahap semua kuenya tanpa menawarinya sama sekali.
Lekat ditatapnya gadis yang tenggelam dalam buku sambil sibuk mengunyah itu.
Mengamati sikapnya, mempelajari sifatnya, dan mendadak, satu rencana muncul di
kepala Davi. *** Sejak kejadian itu, cewek-cewek jadi ngeri kalau mau overacting di depan Davi,
kecuali yang kulitnya betul-betul badak. Atau mungkin yang awal evolusinya
emang dari badak. Contohnya si Wulan itu.
Meskipun sempat kena bentak, Wulan pantang mundur. Cewek satu itu betul-betul
"Penyandang Cacat". Tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, tidak bisa bicara,
itu masih mendingan. Cacatnya Wulan ini termasuk yang sudah kronis. Dia tidak
bisa malu. Atau bahasa Indonesia bakunya: "Nggak Punya Udel".
"Sekasar-kasarnya cowok, kalo kitanya tetap sabar, mereka pasti akan luluh juga,"
begitu Wulan punya teori. Yang mendengarnya jelas jadi pada mangap.
"Elo gila banget sih," desah Irish sambil geleng kepala. "Emangnya lo nggak sakit
hati, dibentak kayak kemaren" Gue yang cuma denger aja mau marah!"
"Oh, itu masih mending, Rish. Berarti masih ada komunikasi!"
Irish ternganga. Juga semuanya. Terus dengan yakinnya, benar-benar berani mati,
Wulan duduk di bangku Davi. Tanpa bertanya-tanya apakah yang punya lagi butuh
atau tidak. Irish geleng-geleng dan segera keluar kelas. Meskipun sebentar lagi bel masuk,
daripada menyaksikan adegan Wulan dilibas Davi, mending dia minggat.
Satu sosok dari kejauhan yang baru turun dari bajaj, membuat Irish buru-buru lari
menghampiri. "Vay! Kok tumben lo telat?"
"Iya, Rish. Abisnya semalem ada tamu. Baru mulai ngebungkusinnya jam
sembilan. Selesainya udah lewat midnight," jawab Vaya, sambil menurunkan
kantong-kantong plastik. Irish buru-buru menolong.
"Kenapa nggak nelepon gue" Langsung ke koperasi nih?"
"Iya." Dua-duanya melangkah menuju koperasi sekolah sambil menenteng kantong
plastik di kedua tangan. "Elo nggak ke kelas, Rish" Udah lewat sepuluh menit nih." Vaya menatap heran
sohibnya yang masih terus membantunya menyusun bungkusan keripik singkong
pedas di nampan-nampan sambil mencatat.
Irish menarik napas. "Gue ngeri, Vay."
"Kenapa," "Biasa, si Davi."
"Oh. Siapa lagi yang dia babat?"
"Wulan." "Oh!" Vaya meringis. "Biar aja kalo Wulan sih. Dia emang badak!"
"Bukan itu masalahnya. Davi tuh nggak punya perasaan, tau nggak" Bentak-bentak
orang seenaknya. Nggak peduli tempat, nggak peduli banyak orang."
"Mungkin dia udah kesel banget, kali."
"Gue pengen pindah duduk deh, Vay. Tapi ke mana" Nggak ada bangku yang
enak." "Davi aja yang lo usir. Itu kan tempatnya Ryan. Kalo tiba-tiba Ryan masuk,
gimana?" Irish sontak terbelalak. "Oh, iya! Ya ampun! Kenapa gue bisa lupa sama Ryan ya" Abis lama bener sih tuh
anak nggak masuk-masuk. Gue juga belum tau kaki tuh anak udah sembuh apa
belom. Katanya kan dipasangin pen. Tapi, Vay... masalahnya, ngomong ke Davinya itu yang gue ngeri."
"Pelan-pelan. Pokoknya jangan keliatan kalo elo tuh udah nggak betah duduk sama
dia. *** Itu memang jalan keluar yang paling baik. Tanpa terkesan bahwa sebenarnya Irish
ingin menghindar, Davi harus tau bahwa bangku yang sekarang dia tempati itu ada
penghuninya. Ryan, yang sekarang lagi diopname. Memang masih lama sih
masuknya, tapi kan tetap aja tuh bangku ada yang punya.
Irish harus ngomong begitu, supaya mau tidk mau Davi pindah tempat. Cari
bangku lain. Dan itu berarti, Irish bakalan terbebas dari si ganteng yang misterius
dan membuatnya takut itu. Akhirnya, di suatu siang, setelah berhari-hari mundurmaju, Irish nekat ngomong masalah itu.
"Hmmm.... begini, Dav. Gue mau ngomong nih. Tapi..."
"Penting?" potong Davi dengan nada dingin.
"Penting! Penting!" jawab Irish buru-buru. Davi menatapnya, menunggu.
Meskipun niatnya mau serius nekat, tetap saja Irish langsung panik begitu
sepasang mata dingin itu menatapnya lurus.
"Hmm... tapi... tapi elo jangan marah ya?"
"Tergantung omongan lo!"
Mati gue! Irish langsung menyesal sudah berani nekat.
"Begini lho," katanya terbata. "Ng... bangku yang sekarang elo tempatin itu... ada
orangnya... Mmm... dia emang bakalan nggak masuk lama. Tapi kan.. bangkunya
tetep aja ada yang punya."
"Oh ya?" Davi kaget. "Siapa?"
"Hmm... Ryan," jawab Irish semakin waswas, takut Davi meledak. "Sori ya, Dav.
Sebenarnya waktu itu gue mau mau ngasih tau elo. Cumaaa..."
"Nggak apa-apa. Sekarang Ryan-nya ke mana?"
"Diopname. Kecelakaan."
"Di mana?" "Rumah Sakit Jakarta."
Davi terdiam. Tiba-tiba pergi. Begitu saja. Irish bengong. Buru-buru dia mengejar
cewek itu. "Dav! Dav! Elo jangan marah dong! Gue yang pindah deh. Elo di situ aja nggak
apa-apa kok. Nanti gue bilang ke Ryan!"
"Kapan elo mau bilang ke Ryan?" Mendadak Davi menghentikan langkah. Irish
seketika mengerem larinya, hampir menabrak tubuh jangkung Davi.
"Yaaah..." Irish jadi bingung. Tidak menyangka bakal begini reaksi Davi. Besok
ada ulangan, gumamnya dalam hati. Lusa juga ada.
"Dua hari lagi mungkin."
"Jadi kamis?" "Iya." "Oke!" Davi mengangguk. Dan lagi-lagi,dia pergi begitu saja.
Irish mendesis jengkel. Benar-benar nggak punya perasaan! Mentang-mentang
keren! Kini Irish menyadari akibat omongannya tadi. Bukannya Davi yang pergi, malah
dia yang sekarang harus minggat, cari tempat baru. Sedih! Mana pilihannya tinggal
yang parah-parah, lagi! Ichan, lebih berisik daripada cucakrawa. Edon, calon rocker yang sejak kini telah
memproklamirkan diri bakal menggantikan Ahmad Albar. Makanya dia suka
menjajal vokal di mana saja, kapan saja, dan sebodo amat kalau ada yang kesal.
Firdaus, tukang marah dan sering tidak jelas sebabnya. Yang terakhir dan yang
paling parah, Nuris. Sudah jadi rahasia umum kalau tuh anak suka mabok juga
nge-drug, dan tidak pernah pusing sama pelajaran.
Mana yang mesti dipilih, coba" Tidak ada pilihan, tapi tetap harus pilih salah satu.
Masa mau gelar tikar terus duduk di lantai"
SORE itu tiba-tiba saja Davi muncul di teras rumah Irish. Ternyata cowok itu bawa
mobil Jeep. "Jadi, mau besuk Ryan?" tanyanya langsung. Masih dengan gaya khasnya. Dingin.
Tanpa "Hai", apalagi "Selamat Sore". Irish, yang sempat terkesima dengan
kedatangan Davi yang mendadak itu, langsung tersinggung.
"Pasti! Ini mau ganti baju. Tapi... elo kok bisa tau rumah gue?"
"Emangnya gue gak punya informan yang bisa ditanyain?" jawab Davi.
Irish cuma terdiam. Kemudian Davi berkata, "Gue ikut ya. Lo keberatan?"
Irish menatapnya heran dan semakin tersinggung lagi.
"Gue pasti bilang ke Ryan kok, Dav, kalo bangkunya sekarang ditempatin anak
baru. Nggak usah kuatir deh."
"Bukan itu." Davi menggeleng. "Tinggal dia satu-satunya teman sekelas yang
belom gue kenal." Irish menggigit bibir, menimbang-nimbang. Sebenarnya dia tidak ingin pergi
berdua dengan Davi. Cukup di kelas dia ketakutan setiap hari. Tapi dia bingung
nolaknya. Akhirnya setelah beberapa saat terdiam, Irish mengangguk juga.
Terpaksa, apa boleh buat. Habis mau bagaimana lagi"
Dan sepanjang perjalan, lagi-lagi Davi tidak bersuara sama sekali. Blas! Hening!
Sunyi! Senyap! Irish terpaksa menahan sabar, menahan dongkol, menahan kesal, menahan marah,
menahan kaki yang rasanya kepengin loncat saja keluar. Dan dia bertekad, dari
rumah sakit nanti, dia mau pulang sendiri naik bus!
"Sudirman belok kanan, Dav."
"Gue udah ke sana. Ngobrol lama sama Ryam malah."
"Apa!?" Irish terlonjak kaget.
"Sori." Davi noleh sekilas. "Gue tanya Udin."
"Kok elo nggak bilang" Terus ngapain elo ngajak gue keluar?"
"Jadi elo nggak mau pergi sama gue" Mau pulang sekarang?"
Irish diam. Bingung. Aneh banget si Davi ini.
"Maksud lo apa sih?"
Davi tidak menjawab. Sepasang matanya menatap lurus ke ruas jalan.
"Dav?" ulang Irish mulai jengkel. Ketika Davi tidak juga bereaksi, Irish
mengeluarkan ancaman, "Kalo elo nggak mau ngomong juga, gue turun di lampu merah depan!"
Barulah Davi bereaksi. Dia menarik napas panjang-panjang, lalu membelokan
mobil ke jalan kecil yang dihiasi rimbun pepohonan di sisi kiri dan kanan, dan
berhenti di satu sisinya. Tapi kemudian dia lagi-lagi cuma diam. Menatap ke depan
begitu lama padahal tidak ada apa-apa di sana. Cuma gelap dan bayang pepohonan.
Namun Irish sudah tidak mau bertanya lagi. Saking dongkolnya, dia kini pasrah.
Sehari-hari di kelas saja Davi sudah lebih bisu daripada orang bisu.
Akhirnya Davi buka suara. Mungkin akhirnya dia sadar bahwa dia yang punya
kepentingan, jadi dialah yang harus ngomong.
"Gue... pernah punya cewek, Rish. Dia... dia suka kebun teh."
Dahi Irish mengernyit seketika. Tercengang sekaligus tidak mengerti kenapa Davi
cerita. "Dan gue... gue suka... kebut-kebutan."
Davi diam lagi setelah mengucapkan satu kalimat terputus-putus itu. Kening Irish
makin keriting. Dia betul-betul tidak tahu hubungan antara pacar, kebun teh, dan
kebut-kebutan. "Te...rus?" tanya Irish, pelan dan hati-hati.
"Yah, karena dia suka kebun teh... gue ajak dia ke kebun teh."
"Oh!" Irish ber-oh meskipun sebetulnya tidak paham maksud kalimat Davi. Ya
jelas dong! Kalau orang suka kebun teh, ya diajaknya pasti ke kebun teh. Masa ke
kebun singkong. Davi ini aneh banget deh! Tapi kemudian Irish melanjutkan, "Dia
pasti suka." "Gue nggak tau."
"Lho kok?" "Ya karena... karena...," Davi nelan ludah, "dia udah nggak bisa gue tanyain lagi."
"Kenapa" Putus?"
"Bukan." Lirih banget suara Davi. "Bukan putus. Dia... dia meninggal."
Irish terperangah. "Maksud lo?"

Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Davi tidak menjawab, tapi malah memalingkan wajah ke arah lain dan menatap
kegelapan di sana. Ketika berbicara lagi, suaranya benar-benar bergetar hebat.
"Ke kebun teh. Di lereng gunung... kami naik motor. Waktu itu gue ngebu. Gue
suka kebut-kebutan dan Melanie tau itu. 'Ayo kita lawan angin!' begitu dia bilang
waktu itu. Dan itu bikin gue lupa diri. Motor gue gas gila-gilaan. Gue pikir, apa
lagi yang mesti gue pikirin kalo cewek yang gue bawa nggak ketakutan" Kami
ketawa keras-keras. Kami kibarin slayer tinggi-tinggi. Tapi.... gue lengah. Gue...."
Suara Davi semakin serak. "Kami menerjang pagar pengaman. Dia kelempar,
Rish... hampir seratus meter. Melanie tergeletak di antara pohon-pohon teh, jauh di
bawah. Dan dia... dia..." Kepala Davi terkulai di atas setir. "Dia koma... dan
meninggal. Gue bunuh dia... di tempat yang paling dia suka!"
Irish terperangah tak percaya. Apalagi saat dilihatnya air mata Davi mengalir. Tak
ada isak yang keluar, tapi tangis seorang cowok, makhluk yang pantang
mengeluarkan air mata, itu berarti beban yang di tanggung benar-benar berat.
Beban perasaan bersalah yang pasti akan membuatnya membenci diri sendiri. Dan
itu tak bisa dihindari dengan jalan apa pun.
Kecuali berdamai dengan perasaan bersalah itu. Coba melupakan, atau
membiarkannya saja dan menerima kenyataan bahwa memang itulah yang sudah
terjadi. Ragu, Irish menyentuh bahu cowok di sampingnya.
"Dav," bisiknya pelan. "Itu udah terjadi. Gue nggak bilang itu harus dilupakan.
Cuma... itulah kenyataannya. Takdir, Dav. Elo cuma perantara.
"Tapi kalo hari itu dia nggak gue ajak pergi, apa dia tetep mati" Nggak kan, Rish"
Biarpun kami pergi, kalo gue nggak ngebut, apa dia juga tetep akan mati" Nggak,
kan" Iya, kan" Nggak! Bukan takdir yang salah! Gue yang salah!"
Irish bingung sekaligus ketakutan. Mendadak Davi mirip orang kesurupan. Dia
membentak-bentak Irish yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
"Dav, denger ya," kata Irish sabar. Memang mesti sabar. Kalo Irish emosi juga,
ikut ngebentak-bentak juga, bisa-bisa dia kena kemplang. Soalnya Davi sepertinya
betul-betul nggak sadar kalau yang dia hujani bentakan tadi adalah orang yang
seratus persen tidak ikut andil dalam peristiwa itu. "Bukan elo yang salah. Itu
udah..." "Bukan gimana!?" bentak Davi seketika. "Gue yang salah! Gue!"
"Iya! Iya! Elo yang salah!" jawab Irish akhirnya. Dalam hati ia ingin protes keras,
kenapa dirinya yang terkena omelan.
"Waktu itu ujan. Jalan licin. Semua udah ngelarang kami pergi. Apalagi ke
gunung. Tapi gue nekat!"
"Betul! Elo yang salah!" tandas Irish dengan suara tinggi. "Udah jelas-jelas ujan,
kenapa lo pergi juga" Betul itu. Elo emang salah! Nggak bertanggung jawab!"
sambungnya bertubi-tubi. Mendingan ikutan nyalahin aja deh. Daripada nggak
selamet, batinnya. Mendengar itu, seketika tubuh Davi terempas. Dia menutup wajah dengan telapak
tangan. Napasnya memburu, turun-naik dengan cepat. Irish melunakkan suaranya.
Dia ngomong pelan dan takut-takut.
"Dav, umur Melanie emang cuma sampe hari itu. Jalan meninggal emang udah
ditentukan begitu. Lewat elo. Berapa kali pun elo protes, kejadian itu udah terjadi,
kan" Elo memohon jutaan kali pun dia nggak akan hidup lagi."
"Tapi..." Irish buru-buru memotong kalimat Davi, "Dav, kalo elo ngamuk begini, nanti
lama-lama gue bisa mati juga lho."
Seketika Davi sadar. Irish benar-benar ketakutan dan sudah terdesak sampai di
celah antara jok dan pintu.
"Rish, maaf.... maaf!" Davi meraih cewek itu dan memeluknya kuat-kuat. Irish
tersentak. Minta ampun nih cowok! Bentak-bentak orang sembarangan. Meluk
orang juga sembarangan. "Oh, tenang aja. Nggak apa-apa kok. Belom pernah ada cerita orang bisa mati
cuma gara-gara dibentak." Irish buru-buru melepaskan diri.
"Maaf, Rish. Gue nggak sadar."
"Iya. Nggak apa-apa," Irish buru-buru menenangkan, takut dapat pelukan tiba-tiba
lagi. Davi menghela napas, menutupi wajah dengan satu tangan. Tubuhnya lunglai, lalu
menelungkug diatas setir.
Hening. Cowok itu tenggelam dalam pikirannya sendiri dan Irish tidak berani
mengusik. "Ini rahasia kita, Rish." Tiba-tiba Davi mengangkat wajah. Tertegun, Irish menatap
wajah kuyu itu. "Jangan bilang siapa pun kalo lo pernah ngeliat gue nangis." Irish
mengangguk. "Itu sebabnya kenapa selama ini gue bersikap dingin, kasar. Gue
nggak mau ada satu cewek pun di deket gue."
"Iya." Irish mengangguk lagi, meskipun dalam hati agak heran. Apa Irish nggak
kayak cewek ya" "Jadi siapa yang harus pindah?"
"Maksud lo?" Davi mengerutkan kening.
"Iya. Siapa yang harus pindah" Gue apa elo" Tapi sih bagusnya elo aja. Meskipun
bermasalah, mendingan lo yang pindah ketimbang gue."
Davi makin tidak mengerti. "Kenapa salah satu dari kita harus pindah?"
"Lho, tadi elo bilang, elo nggak mau ada satu cewek pun di deket elo. Gue cewek
lho. Apa tampang gue mirip Udin?"
Davi kontan tertawa. Sekarang gantian Irish yang menatap tidak mengerti. Davi
geleng-geleng kepala di sisa-sisa tawanya. Sesaat kemudian wajahnya kembali
serius. "Ulang tahun Metha, elo dateng?" tanya Davi.
"Belum tau. Emangnya kenapa?"
"Dateng yuk, Rish. Gue jemput ya?"
Irish tersentak kaget. Davi menatapnya seperti merasa bersalah.
"Rish, gue minta maaf. Tapi gue bener-bener perlu bantuan lo. Kalo kita dateng
berdua, mereka akan berpikir ada something di antara kita. Dan itu gue harap akan
bikin mereka mundur. Gue udah capek ngeliat mereka numpuk di sekeliling meja.
Tiap pagi, tiap istirahat, tiap jam kosong. Gue juga udah males ngelayanin ajakan
mereka. Makan, pulang bareng, belajar bareng, bergabung di eskul ini-itu. Belom
cewek-cewek yang bikin gue hampir ilang kesabaran. Kayak Wulan, Metha,
Daniar, Pipit, terus.... nggak tau siapa-siapa aja mereka yang laen itu!"
Irish tertegun. Tidak tahu harus senang atau sedih mendengar kata-kata itu. Sesuatu
di dalam dadanya terasa luruh saat itu juga.
"Konsekuensinya, Dav," ujarnya pelan.
"Elo punya cowok?" kali ini ganti Davi yang tersentak kaget. "Atau... lagi ada yang
elo suka?" Irish buru-buru geleng kepala. "Bukan itu. Maksud gue..."
"Kalo mereka nyangka kita beneran..," Davi mengangkat alisnya, "biarin aja.
Bagus malah! Atau..." Ditatapnya Irish dengan seksama. "Elo nggak mau?"
Irish menarik napas diam-diam. Nelangsa.
"Bukan itu. Cuma..."
"Cuma pura-pura kok, Rish. Kalo nanti ada cowok yang lo suka... lo boleh pergi!"
Seketika Davi menggenggam kedua tangan Irish.
"Rish, tolong. Please...," bisiknya dengan nada memohon yang begitu sulit untuk
ditolak. "Semuanya gue serahin ke elo. Lo boleh bilang apa aja. Lo boleh bilang
kita pacaran. Lo boleh bilang, gue suka sama elo. Apa aja! Gue akan mengiyakan
semuanya!" Irish menatap wajah yg begitu dekat itu. Perlahan ia mengangguk meskipun
hatinya patah. Paling tidak, peluang itu tertutup untuk semuanya. Dan dia akan
menjadi satu-satunya orang yang paling dekat dengan Davi. Meskipun cuma untuk
sementara dan tanpa ada hubungan apa-apa.
*** Setelah kejadian itu, setelah Davi menceritakan segalanya, Irish tidak lagi melihat
Davi sebagai sosok yang menakutkan. Irish justru jadi iba. Pada semuanya. Pada
kenangan menyakitkan itu. Pada penyesalan Davi yang pasti tak tertebus.
Terutama pada caranya menghalau gadis-gadis yang mendekat.
Dan saat melihatnya lagi pagi ini, berjalan masuk dan menebar semua pesona yang
dimilikinya, dingin tanpa peduli sekeliling, rasanya tak percaya kalau semalam dia
telah melihat cowok itu menangis.
"Pagi." sapaannya pun masih seperti biasa, tanpa senyum. Formal seperti itu
memang harus dilakukan, suka atau tidak.
"Pagi," jawab Irish. Juga seperti biasa, tanpa senyum.
Meskipun kaget karena Davi telah menganggapnya sebagai orang yang bisa
dipercaya dengan menceritakan satu rahasianya yang mungkin paling hitam, Irish
tetap tidak akan memberikan senyumnya kalau Davi tidak senyum duluan. Nanti
dikira dia punya maksud, lagi. Dan senyumnya dianggap senyum murahan.
"Apa kabar, Rish?"
Irish menoleh. Nah, ini baru tidak biasa. Biasanya Davi tidak pernah peduli pada
keadaan Irish. "Baik." "Gitu ya" Bagus deh."
Diam-diam Davi mengamati reaksi cewek di sebelahnya hari ini. Ternyata tetap
tidak berubah. Tetap seperti Irish yang kemarin-kemarin. Yang tidak peduli sama
sekali. Yang baru buka suara kalau ditegur duluan. Yang lebih suka mengunyah
sendiri semua kuenya tanpa menawari apalagi bagi-bagi.
Davi bersyukur. Berarti dia tidak salah memilih teman sebangku. Berarti juga dia
telah menceritakan beban hidugnya yang paling berat pada orang yang tepat.
Tapi seharian Davi jadi gelisah. Mungkin cuma Irish yang tahu, karena jauh di
dalam hati, Irish juga sama gelisahnya. Semalaman malah dia nyaris tak bisa
memejamkan mata, masih belum yakin apakah Davi serius dengan permintaannya
itu. Apalagi cowok itu tidak ngomong apa-apa hari ini.
Irish tidak tahu bahwa Davi sebenarnya ingin membahas masalah itu secepatnya.
Tapi kondisinya tidak memungkinkan. Di sekelilingnya masih juga bertebaran
begitu banyak cewek. Meskipum waktu itu dia pernah lepas kontrol, marah sejadijadinya karena jengkel dikerubungi terus, ternyata tetap tidak bisa mengusir
mereka terlalu jauh. Wulan, Metha, Daniar, Pipit, dan masih banyak lagi yang
membuatnya ingin berteriak sekeras-kerasnya.
Terpaksa Davi menunggu waktu pulang. Dia harus mengajak Irish pulang samasama untuk membahas soal itu. Sayangnya dia lupa. Begitu bel pulang menjerit,
Irish langsung kabur ke kelas Vaya, sohibnya di 3 IPA-7.
Terpaksa Davi menguntit dua cewek itu diam-diam. Baru setelah keadaan sepi dan
aman, buru-buru dia dekati mereka. Menghadang dengan cara menghentikan mobil
pas di depan mereka. "Hai," Davi menyapa Vaya lebih dulu.
"Hai juga," Vaya membalas agak ragu. Soalnya ini pertama kalinya dia berhadapan
muka dengan cowok yang telah menggemparkan sekolah.
"Gue ada perlu sama elo, Rish." Davi menatap Irish. Cewek itu langsung tahu,
pasti tentang itu, tentang mereka nanti akan "pacaran".
Vaya menatap mereka berdua. Alisnya bertaut. Irish buru-buru ngasih alasan,
karena Vanya tidak boleh sampai tahu.
"Davi mau kenalan sama Mas Seto, Vay," jelas Irish, menyebutkan nama salah
satu sepupunya yang terjun ke dunia basket profesional.
"Oh!" Vaya mengangguk. Kena tipu dia.
*** "Mas Seto itu siapa, Rish?" tanya Davi begitu Vaya sudah turun dari Jeep dan
mereka tinggal berdua, menyusuri jalan, balik ke arah semula.
"Tukan daging!" jawab Irish asal. Dia tidak mau memberitahu. Takut Davi nanti
jadi tertarik. Apalagi Mas Seto sudah sering berlaga di Kobatama. Jangan-jangan
nanti Davi maksa-maksa mau kenalan. Bukan apa-apa. Masalah ini saja bisa
dipastikan bakalan jadi runyam.
Davi jelas tidak percaya. "Terus, kenapa gue mau kenalan sama dia?"
Irish tertawa pelan. "Dulu dia pemain basket. Terus, karena cedera dan nggak bisa maen lagi, jadi
jualan daging." "Oh, begitu." Davi mengangguk-angguk. Dia tahu Irish bohong. Mana ada mantan
atlet banting setir jadi tukang daging. Kecuali atlet matador.
"Mau ngomong masalah itu, kan?" tanya Irish sesaat kemudian.
"Iya. Gimana" Udah dipikirin?"
"Udah." "Jawabannya?" "Boleh jawab nggak mau?"
Davi jadi ketawa. "Sayangnya jawabannya harus 'iya' atau 'mau', Rish!"
"Itulah." "Rish, tolong. Gue bener-bener butuh bantuan lo."
Ini orang! Keluh Irish dalam hati. Minta tolong tapi harus! Gimana sih"
"Tapi kenapa mesti di ultahnya Metha sih" Apa nggak terlalu ngagetin?"
"Justru itu!" tegas Davi. "Justru yang gue perlu ya yang bikin kaget begitu!"
"Tapi kan..." "Sebentar! Sebentar!" potong Davi. "Kita stop dulu. Nggak enak ngomong sambil
nyetir begini. Elo nggak apa-apa kan pulang agak telat?"
"Nggak. Paling-paling gue diomelin nyokap!"
Davi ketawa tanpa suara. Si mungil ini! Pikirnya.
"Nanti gue jelasin ke nyokap lo deh. Lo nggak usah kuatir."
Irish cuma manggut-manggut. Bukan nyokap gue yang jadi masalah, gerutunya
dalam hati. Tapi elo! "Mau ngomong apa tadi?" tanya Davi setelah memarkir mobil di satu area
perparkiran yang teduh. "Ya itu. Nanti kalo ditanya-tanyain, gimana" Kita mau jawab apa?"
Sesaat Davi terdiam. "Ini juga yang mau gue omongin ke elo, Rish," katanya pelan. "Permintaan tolong
gue yang kedua." Kening Irish kontan kriting.
"Emangnya ada berapa babak sih permintaan tolong lo itu" Soalnya persediaan
tolong gue pas-pasan banget nih!"
Davi tertawa. Dari awal dia sudah tahu, dia tidak akan bisa sok cuek dan sok galak
di depan cewek satu ini. "Cuma dua, Rish. Pertama, elo jadi cewek gue. Dan kedua, kayak yang gue bilang
semalem, tolong lo karang cerita tentang jadian kita ini."
"Mana sempet, Dav. Ultahnya Metha kan tinggal tiga hari lagi."
"Bukan di ultahnya Metha lo mesti jelasin."
"Terus?" Irish makin nggak ngerti.
Davi tidak menjawab. Dia memang sudah punya rencana sendiri. Ini
kepentingannya, jadi dia yang akan memegang kendali. Sementara Irish cukup jadi
kopral yang jelas harus nurut apa kata komandan.
"Nggak ada terus. Lo karang aja ceritanya. Nggak perlu buru-buru. Tapi kita tetep
nongol di pestanya Metha. Selebihnya..," Davi menepuk pundak Irish, "itu urusan
gue. Oke?" Irish tidak bertanya lagi. Bingung. Davi ini ternyata kelewatan banget. Minta
tolong tapi otoriter. Dia yang ngatur semuanya. Nggak mau bilang, lagi!"
"Iya deh." Tapi akhirnya Irish ngangguk juga. Pasrah.
*** Irish bingung. Dia benar-benar merasa berjalan di atas bara. Di satu sisi, dia tahu
persis pesta ultah Metha nanti akan jadi ajang untuk merebut perhatian Davi. Yang
kantong bokapnya pada gembung, kaya Metha, Wulan, Theresia, Ilen, Anis, dan
sederet nama lain, jelas berusaha menarik perhatian lewat penampilan. Dan mereka
sudah sesumbar akan datang dengan gaun yang "wow!". Sudah pasti oke punya.
Tanpa masing-masing mau bilang seperti apa.
Yang ekonominya pas-pasan, dalilnya lain lagi. Mereka mau tampil apa adanya,
karena mereka yakin Davi bukan model cowok matre. "Yang penting pede!" begitu
kata Avi. Dan itu diiyain dengan penuh keyakinan oleh sohibnya, Lia, anak 3 IPS2. Lia memang bukan dari keluarga kaya, tapi wajah cantiknya membuat banyak
cewek jadi sirik. Dan semakin mendekati hari H, anak-anak semakin semangat membahas soal itu.
Di mana-mana semua sibuk kasak-kusuk. Meskipun yang diundang terbatas,
kecuali kelas Metha sendiri, semua terpaksa diundang karena kesannya belagu
banget kalo pilih-pilih. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sembarang orang bisa masuk ke rumah
Metha. Irish sendiri baru sekali ke sana, waktu kelas satu, waktu itu Metha
ngerayain ultahnya yang keenam belas. Ini memang yang kedua kalinya Irish
sekelas sama si borjuis satu itu.
Dan Irish belum lupa, dia dan teman-temannya yang lain sampai terbengongbengong saking takjubnya melihat rumah Metha. Gedenya minta ampun! Terdiri
atas rumah satu induk dan empat paviliun untuk masing-masing anak. Di setiap
paviliun ada satu ruang tamu, satu kamar, dan satu ruang makan plus dapur. Jadi
bisa dibilang, Metha punya rumah sendiri.
Di belakang rumah ada kolam renang besar, taman anggrek, dan kebun anggur.
Wah, pokoknya gila banget deh!
Bagi kebanyakan orang, punya rumah kayak begitu mungkin cuma akan jadi
mimpi seumur hidup. Makanya Irish maklum kalau Metha yakin seratus persen
Davi bakalan langsung kepincut begitu menyaksikan rumahnya yang mirip istana
itu. Tapi bukan itu yang membuat Irish pusing. Dia sih tidak peduli dengan segala
macam usaha Metha. Yang bakalan jadi masalah gawat adalah karena di pesta itu
nanti, Davi akan menggandengnya dan mengumumkan ke semua... bahwa mereka


Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pacaran! Dalam doa seperti apa pun, selalu ada harapan untuk dikabulkan. Kecuali doanya
Irish mungkin. Yang Mahakuasa pasti mikir juga kalau mau mengabulkan doa
yang aneh itu: minta supaya waktu berputar. Atau kalau tidak bisa, loncat satu hari
saja deh. Tolong, Tuhan....
Karena tidak mungkin dikabulkan itulah maka hari yang di takutkan itu akhirnya
datang juga. Ultahnya Metha! Sejak Pagi Irish sudah nervous. Dia jadi banyak diam gara-gara ngeri memikirkan
nanti malam, sementara cewek-cewek sekelas begitu ribut dan penuh semangat
membahas penampilan mereka nanti.
"Elo kenapa sih, Rish" Kok diem aja?" Avi menatapnya heran. "Dateng nggak ntar
malem?" "Ng... kayaknya sih dateng."
"Iya dong... dateng. Meskipun kita nggak mungkin bisa nyaingin penampilan
Metha, belom tentu juga Davi tertarik sama Metha. Jadi nggak usah dipikirin deh.
Kans kita sama!" Iris nyengir kuda. Sok tau banget si Avi ini!
Sesuai janji, jam setengah tujuh teng Davi datang, mereka langsung berangkat ke
rumah Metha. Irish belum pernah merasakan ketakutan, kecemasan, dan
kekhawatiran sebesar saat ini. Rasanya hidupnya hampir tamat.
Rumah Metha, yang dulu pernah membuat Irish kesal karena jauh, sekarang bisa
dicapai dengan cuma sekali lompat. Sesaat sebelum mereka sampai ke panggung
pementasan pertama mereka yang pertama, Davi menepikan mobil.
"Sori, Rish," katanya pelan. "Gue nggak tau ke mana lagi gue mesti minta tolong."
Irish geleng kepala. "Nggak apa-apa kok. Gue cuma ngerasa jahat aja."
"Itu kalo kita jadian beneran. Kenyataannya kan kita cuma pura-pura, meskipun
nggak ada yang tau."
"Iya sih." Irish mengangguk, lalu menarik napas panjang-panjang dan
mengembuskannya kuat-kuat. Sesaat mereka diam.
"Udah?" tanya Davi pelan. Iris mengangguk lagi dengan terpaksa. Habis mau
gimana lagi" Metha ternyata benar-benar mempersiapkan pesta ultahnya khusus untuk menarik
perhatian Davi. Dari jauh gemerlapnya lampu-lampu telah terlihat dan suara musik
samar terdengar. Dan begitu Jeep Davi muncul di pintu gerbang, Metha langsung
berdiri dan berlari menyambut dengan gaya dibuat-buat. Irish dan Davi sempat
terkesima melihat penampilan Metha yang nyaris menyaingi penampilan artis
Hollywood yang masuk daftar nominasi oscar.
"Coba liat, Rish. Itu Metha apa ibunya?"
Irish ketawa. "Jahat lo. Udah jelas-jelas itu Metha!"
Davi menyeringai. Metha masih belum sadar bahwa medan telah berubah. Dia masih mengira
dirinyalah satu-satunya yang paling gemerlap malam ini. Cewek itu berlari kecil
dengan gaya yang -menurut perkiraannya- pasti indah, lalu menyeberangi halaman
depan yang luas dan penuh segala macam bunga. Senyumnya merekah. Wajahnya
yang lumayan manis jadi semakin manis dengan sapuan makeup, meskipun
kesannya jadi seperti sudah berumur dua puluh limaan.
Tapi senyumnya kontan hilang begitu dilihatnya Davi turun dari mobil, membuka
pintu penumpang, dan membimbing Irish turun dari sana. Terpana tak percaya,
Metha mendekat dengan gaya berjalan yang tak lagi seindah dan seanggun tadi.
"Elo kenapa datang berdua Irish, Dav?" tanyanya tanpa perasaan. Tidak peduli
perasaan orang lain bisa tersinggung gara-gara kalimatnya.
Davi cuma tersenyum tipis.
"Memangnya kenapa?"
"Yaaah... setau gue, rumah elo sama rumah Irish kan dari utara ke selatan."
"Justru karena itu gue jemput dia, karena rumah lo ini lebih ke selatan lagi."
"Oh gitu!"jawab Metha sambil melirik Irish dengan tatapan sinis. Sesaat dia
memperhatikan penampilan Irish yang sederhana. Cuma memakai celana panjang
pipa warna hitam dipadu blus dari bahan kaus warna biru dengan bahu terbuka dan
tali spageti. "Tadi buru-buru ya?" sindir Metha sambil berjalan mendekat lalu berdiri di sebelah
Irish. Tujuannya jelas, untuk menegaskan Davi supaya buka mata lebar-lebar.
Bahwa dibandingkan dengan penampilan Metha, si Irish ini benar-benar bagaikan
si Itik Buruk Rupa. Datang ke pesta ultah anak direktur kok kayak mau ke warung.
Ala kadarnya. Irish sempat down juga melihat dandanan Metha yang bak selebriti itu. Untungnya
Davi juga tampak sangat kasual. Cuma pake celana jins biru dan kemeja flanel
yang juga berwarna biru. Lengan kemejanya digulung sampai siku, sementara satu
kancing atasnya dibiarkan terbuka.
Davi tahu persis maksud Metha, karena itu dia meraih tangan Irish dan menarik
cewek itu ke sebelahnya. "Selamat ultah, Met," ucapnya. Tanpa jabat tangan, apalagi cium pipi dan pelukan.
Padahal Metha telah menyusun rencana, kalau Davi mengucapkan selamat, dia
mau meluk cowok itu. Soalnya kalau mengharapkan Davi yang memeluknya,
jelas-jelas tidak akan terjadi.
Dan pelukan Davi itu diwakili Irish, yang mengucapkan selamat ultah sambil
menyerahkam kado dari mereka berdua.
Metha jelas tidak sudi membalas pelukan Irish. Pertama, karena bukan dari Irish
pelukan yang diharapkan. Kedua, karena Irish datang berdua Davi. Dasar
penghianat! Tanpa menunggu dipersilahkan, Davi langsung menggandeng Irish melintasi
halaman luas rumah mewah itu menuju ruang tempat pesta diadakan. Sementara
yang punya hajat dibiarkan berdiri terperangah di pintu pagar.
Begitu masuk ruangan, Irish semakin merasa seperti masuk kandang srigal. Matamata yang sejak tadi -sejak dia dan Davi datang- sudah menatapnya tajam-tajam
dengan sejuta makna, kaget, tidak menyangka, penasar, marah, kesal, kini semakin
menusuk dan menguntit setiap geraknya tanpa jeda. Dia sampai tidak berani
melirik kiri-kanan. Ngeri.
Dan yang membuat Irish semakin nervous, semakin salting, Davi
memperlakukannya benar-benar mesra. Dia digandeng ke mana saja dan tidak
dibiarkan jauh sedikit pun.
Kayaknya Davi tahu, sedikit saja dia lengah, Irish bisa jadi serpihan. Dicabik-cabik
kawanan macan betina di sekitar mereka. Sampai Irish ke kamar mandi pun Davi
setia mengekor, lalu menunggu di luar mirip satpam pribadi. Dia takut,kalau tidak
ditungguin, Irish bakalan tewas dibenamkan di bak mandi. Kalau melihat ekspresi
wajah-wajah yang hadir, itu memang bukan mustahil.
Setengah mati Irish berusaha tetap kelihatan tenang. Wajar. Mengimbangi Davi
yang seperti juga masa bodo dengan suasana pesta yang berubah dratis begitu
mereka tiba. Dari meriah jadi mencekam.
Irish tak kuasa mencegah. Perasaannya kontan jadi kacau. Jemarinya jadi dingin.
Dan dalam genggaman Davi, jemarinya jadi semakin dingin lagi.
Davi yang mengira Irish gugup karena ekspresi sinis yang bertebaran di seluruh
ruangan pesta -dan tidak tahu bahwa sebenarnya ada faktor lain- akhirnya melepas
genggamannya. Tapi gantinya... dia merangkul Irish!
Akibatnya lebih parah. Semua mata kontan membesar. Terbelalak tak percaya. Dan
berpotong-potong hati langsung patah, jatuh berserak.
Iris sendiri tak bisa lagi mencegah perasaannya untuk tidak melambung. Tinggi di
antara awan dan tinggal menunggu kapan dan di mana dia akan jatu. Dan karena
kedatangan mereka memang bertujuan untuk mengumumkan bahwa mereka sudah
"jadian", maka Davi merasa satu setengah jam cukup.
Saat itu Metha sudah shap meniup lilinnya yang baru saja dinyalakan. Diiringi lagu
Happy Birthday yang menglun sumbang dan tepuk tangan ogah-ogahan, dia
meniup lilin berbentuk angka 18 itu kuat-kuat. Api diujung sumbu langsung padam
tanpa sempat bergoyang kiri-kanan sedikit pun. Setelah itu dia masuk ke ruang
tengah dan mempersilahkan siapa aja yang ingin mencicipi kue ultahnya untuk
motong sendiri! Kejadian itu membuat Irish semakin merasa tidak enak. Dia berdoa mudahmudahan cuma penglihatannya saja yang salah. Acara tiup lilin yang biasanya
selalu jadi momen terpenting dalam setiap pesta ultah, jadi terasa kering. Karena
itulah Irish cepat-cepat pamit.
Alhasil, dalam waktu cuma satu setengah jam, Irish langsung dapat musuh bejibun!
Begitu sudah pulang, dia diumpat dan dimaki habis-habisan.
"Irish sialan! Kurang ajar! Brengsek!" teriak Metha nyaring. Tidak peduli
rumahnya masih penuh orang.
Wajar kalau Metha jadi naik darah. Pesta ini bukan pesta murah. Juga bukan pesta
amal. Berjam-jam dia berdandan di salon, sampai badannya pada pegal. Baju yang
sekarang dia pakai sekarang juga dipesan khusus dari perancang ngetop, dengan
enam angka nol di label harganya.
Dan semua itu sia-sia! Sia-sia!!!
Metha berdiri berang di ambang pintu. Awas aja lo besok, Rish! Bakalan dapet
ganjaran! Seenaknya aja main rebut inceran orang! umpatnya dalam hati.
*** Sekarang baru jam setengah tujuh pagi, tapi sepertinya satu sekolah sudah tahu.
Dan semuanya penasaran ingin melihat kayak apa sih cewek yang dipilih Davi.
Irish benar-benar nggak nyangka. Pantas tadi Davi bersikeras mereka harus
berangkat sama-sama. Ternyata!
"Aneh, ih!" desis Irish kaget. "Baru juga semalem, masa sekarang beritanya udah
kesebar?" Davi tersenyum tipis. "Elo yang aneh. Elo kan cewek. Masa nggak tau kecepatan mulut cewek?"
"Iya. Tapi mulut gue nggak secepat ini."
Davi jadi ketawa. "Gila, ih!" desis Irish panik, begitu melirik ke segala arah dan ternyata semua mata
benar-benar tertuju pada dirinya.
Ada yang menatapnya dengan sorot aneh, ada yang cuek, ada yang rada sirik, ada
yang sirik banget. Adah yang marah malah!
Tapi tak satu pun yang berbahagia melihat Irish berjalan di sebelah Davi. Tahu
Irish panik, Davi langsung merapat. Dan itu membuat para mata yang sejak tadi
mengikuti mereka menatap semakin lebar.
Kabar bahwa Davi telah memilih seseorang untuk menjadi ceweknya memang
sudah menyebar. Cuma dalam tempo sehari, Irish langsung jadi selebriti local.
Semua ingin tahu yang pasti sih para cewek-ceweknya. Kalau cowok-cowok sih
kebanyakan pada masa bodo sama masalah itu. Yang mana sih yang namanya
Irish" Kayak apa tampangnya" Seksi nggak bodinya" Dan setelah tahu yang mana
oknum yang bernama Irish itu, kebanyakan langsung protes keras.
"Kok biasa aja sih?"
Irish memang manis, apalagi kalau tertawa, muncul sepasang lesung pipi kecil
dipipinya. Dan lagi, Irish itu mungil. Putih dan kecil, kayak marmut! Tuh
bayangin, sampai ada yang bilang begitu saking siriknya.
Irish cuma diam. Untung gue putih, keluhnya. Coba kalau item. Udah kecil, item
lagi. Kayak tikus deh! Masalahnya, cewek-cewek yang lebih manis dan lebih cantik dari Irish jumlahnya
bejibun. Sebut saja yang paling menonjol: Menur, kembangnya SMU Palagan.
Wah, kalau dia sih jangan ditanya deh. Gila. Cantik banget!
Kabar yang pernah beredar, waktu baru masuk, dua setengah tahun lalu, Menur
langsung menenggelamkan pamor Tatiana -kembang SMU Palagan waktu itucewek manis blasteran Menado-Spanyol-Indian. Dan sampai sekarang, walaupun
sudah kelas tiga, Menur tak tergoyahkan. Dua angkatan di bawahnya tidak mampu
menggeser sang primadona yang asli solo itu.
Ada si kembar Sally dan Lissa, bintang iklam dan sekaligu foto model. Ada Neni,
foto model dan peragawati freelance. Ada Aprita, model iklan tapi kelihatannya
lebih fokus ke sinetron. Ada Atiek, mantan finalis Noni Jakarta. Dan banyak lagi
cewek kece yang bertebaran di sana-sini. Makanya banyak yang heran kalau
akhirnya Irish yang terpilih.
Semuanya curiga, menduga pasti ada faktor x, y, dan z yang melatarbelakangi
proses "jadian"-nya Davi-Irish yang terkesan penuh misteri itu.
Kalau orang Jawa bilang ujug-ujug gitu lho! Tiada angin, tiada hujan, plus tiada
petir pula, kan lucu kalau tiba-tiba saja banjir!
Begitulah kesimpulan para pengamat. Pengamat yang sirik, tentunya. Apalagi dari
kabar angin yang beredar, Davi juga kejatuhan cinta Menur sang Primadona.
Kan aneh kalau Davi cuek, sementara Menur yang biasanya tahan harga karena
begitu banyaknya peminat, sekarang malah bersedia memberikan diskon sampai
lima puluh persen! Khusus buat Davi! Padahal daftar korban Menur itu panjang
sekali lho. Contoh yang paling tragis, si Reinhart. Cowok itu sampai minta
pertolongan "orang tua". Dan sama orang tua tersebut, dia dikasih saran untuk
puasa empat puluh hari berturut-turut. Alhasil, bukannya mendapatkan cewek yang
didamba-dambakan, Reinhart malah dapat infus sampai lima belas botol! Plus
terkapar di rumah sakit selama tujuh hari!
Makanya kemudian berkembang isu bahwa Irish pasti "mandi kembang tengah
malam". Karena kalau tidak begitu, tidak mungkin dia bisa mendapatkan Davi
dengan begitu gampang. Irish jelas jadi sewot dituduh begitu. Davi sih, seperti biasa, tetap santai dan nggak
pusing sama omongan apa pun di sekitarnya. Apalagi dia juga tidak dirugikan
dengan tuduhan itu. Tapi Irish ini yang runyam, yang merasa nama dan harga
dirinya tercoreng. "Mandi kembang tengah malam?"
Irish melotot di depan kaca. Emangnya muka gue seancur Mak Lampir" gerutunya
dalam hati. Kalopun iya, kalopun sampe kudu mandi kembang, ngapain cuma
untuk Davi" Mendingan Indra Brugman sekalian!
Davi sendiri ternyata telah memperhitungkan akibat tindakan mereka itu. Dia
langsung mengubah kebiasaan, tidak lagi menunggu bel dengan cara berkeliaran ke
kelas-kelas lain atau ngobrol dengan teman-temannya yang juga anak basket,
ataupun baca buku di perpus. Dia takut meninggalkan Irish. Takut begitu dia balik,
itu cewek keburu RIP. Metha, juga cewek-cewek lain, jadi semakin dongkol. Mereka terpaksa sabar
menunggu kesempatan untuk bisa mengganyang Irish. Tapi kesempatan itu
sepertinya tidak akan datang, karena Davi-Irish sekarang benar-benar mirip
pasangan kembar siam. Ke mana-mana selalu berdua. Tak terpisahkan. Makan di
kantin berdua, ke perpus berdua, ngerjain tugas berdua. Kalau Davi latihan basket,
Irish sabar menunggu di pinggir lapangan. Kalau Irish sibuk di PMR, Davi ikut
nimbrung di sekretariat. Benar-benar bikin sakit mata! Dan membuat banyak orang jadi mau marah!
*** Serapi-rapinya rencana yang telah disusun, secermat-cermatnya semua
kemungkinan yang telah diperhitungkan, tapi yang namanya kejadian tak terduga
bisa datang kapan saja. Suatu hari, saat Davi harus latihan basket, mendadak ketua PMR memerintahkan
seluruh jajaran pengurus untuk berkumpul karena akan ada rapat penting. Hal itu
diumumkan lewat pengeras suara waktu jam istirahat pertama. Semua pengurus
PMR harus hadir di sekretariat begitu jam sekolah bubar.
Irish yang menjabat Bandahara II, jelas saja harus hadir. Begitu sekolah usai, dia
langsung pergi ke sekretariat diantar Davi. Tapi cowok itu cuma bisa mengantar,
tidak bisa menunggu karena dia juga harus latihan basket.
Begitu Davi pergi, entah kenapa Irish langsung mendapat firasat jelek. Soalnya di
situ ada Pipit, anggota PMR. Pipit sebenarnya tidak masuk jajaran pengurus, tapi
kok hadir. Itu yang aneh!
Pasti dia mata-matanya. Karena waktu break sepuluh menit, tuh anak menghilang,
sementara yang lainnya tetap di ruangan. Dan tiba-tiba saja, lima belas sebelum
rapat selesai, di luar ruangan nongol Metha sama Wulan, diikuti beberapa kaki
tangannya. Kalau Irish sedang jalan berdua Davi, cewek-cewek itu selalu menatap
Irish seperti ingin membunuh.
Irish langsung ketar-ketir. Masalahnya, cerita bohongnya belum selesai semuanya.
Masih banyak bagian yang bolong di sana-sini. Betul saja. Begitu rapat selesai,
Pipit langsung mendekat. "Kami mau ngomong, Rish."
"Kami siapa?" "Elo nggak usah pura-pura bloon deh!"
Irish melirik lewat sudut mata. Tampang pipit jelek banget.
"Ngomong aja kalo mau ngomong."
"Nggak bisa di sini!"
"Kenapa" Udah deh nggak usah sok secret. Nggak ada orang, juga."
"Pokoknya nggak bisa di sini!"
Belum sempat Irish bilang keberatan, tangannya dicengkram. Dengan kasar Pipit
menarik si mungil itu keluar. Di luar, Metha dan Wulan, dengan gaya bak bos
penyamun, berjalan mendekat sambil melotot.
"Jangan dikira elo bisa lolos selamanya ya!" bentak Wulan.
"Dan elo mesti ngomong yang sejujurnya sama kita-kita!" perintah Metha.
Dengan pengawalan yang superketat, Irish di giring pergi dari situ.
*** Rumah Daniar letaknya nggak jauh dari SMU Palagan. Kalau siang rumah itu sepi,
cuma ada pembantu, soalnya Daniar anak tunggal dan dua orangtuanya kerja. Jadi


Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke sanalah Irish dibawa. "Duduk!" perintah Metha. Dengan menahan dongkol, Irish menuruti perintahnya.
"Sekarang elo ceritain gimana elo bisa tiba-tiba jadian sama Davi! Jangan cobacoba bohong!"
"Ngapain gue mesti bohong sama elo?" jawab Irisk ketus.
"Bagus! Sekararang ceritain yang sebenarnya!"
"Elo kira elo tuh siapa nyuruh-nyuruh gue cerita?"
"Eh! Elo jangan macem-macem ya! Elo kan tau gue naksir Davi!"
"Itu sih urusan elo!"
Metha mendesis. Ia melotot sampai manik matanya seolah hampir copot.
"Kurang ajar! Elo tau nggak" Gue udah abis puluhan juta buat pesta kemaren, tau!
Emangnya itu semua makanan murah" Lo kira dekorasinya asal-asalan" Belum
baju gue!" "Terus kenapa" Elo mau minta ganti sama gue?"
Metha langsung tertawa keras.
"Heh, mana bisa" Emangnya lo punya apa sih" Baju yang lo pake ke rumah gue
waktu itu tuh, ama gue sih gue pake buat tidur siang! Gue nggak bakalan keluar
rumah pake baju begitu. Apalagi ke pesta!"
Irish mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kalimat panjang itu menikamkan luka. Dia
sakit hati! "Dan kami sangat yakin itu cuma rekayasa!" tukas Rinetta.
"Maksudnya?" "Iya. Pasti ada sesuatu!"
"Hahaha!" Irish tertawa untuk menyembunyikan rasa kagetnya. "Nggak ada
rekayasa-rekayasaan kok!"
"Pasti! Soalnya cowok kayak Davi nggak mungkin naksir cewek kayak elo!"
"Oh, begitu?" Irish tertawa lagi. Pede banget si bohay satu ini! Pikirnya. "Naaah,
kalo sama gue aja dia nggak bakalan naksir, apalagi sama elo!"
Rinetta, yang bodinya seksi tapi padat, mukanya langsung merah.
"Bukannya elo yang naksir dia duluan?" tuduh Theresia.
"Enak aja! Gue nggak ada tampang kayak gitu!"
"Kali aja lo paksa!"
Irish terperangah sesaat, terus ketawa geli banget.
"Elo tuh kalo ngomong mikir dulu dong! Maksa" Lo nggak liat badan si Davi gede
begitu" Maksa-maksa dia jadi pacar, bisa koit gue dikemplang!"
Theresia terdiam. Iya juga sih. Davi itu terlalu giant untuk Irish yang kecil mungil.
Eh, tapi kan yang namanya maksa tidak harus dengan fisik. Bisa memaksa dalam
bentuk lain. Theresia terbelalak. Jangan-jangan isu itu betul! Irish mandi kembang, atau kalau
nggak... dia pakai hipnotis!
"Eh, denger ya!" bentak Irish benar-benar sewot gara-gara dituduh sudah
melibatkan dukun. "Kalo gue mesti pake jalan kayak gitu, gue nggak bakalan
ngincer Davi. Mendingan juga Ricky Martin, kalo dia nanti konser di Jakarta! Atau
gue rebut aja sekalian si Bryan-nya Westlife dari Kerry Atomic Kitten!"
"Davi bilang alasan dia suka sama elo?" tanya Wulan yang sejak tadi cuma diam.
Sebenarnya dia tidak ingin ikutan ngompres Irish, soalnya dia jadi merasa
terbanting banget-banget. Sampai harus begini. Masa dia bisa kalah sama cewek
melarat" "Jelaaas dong!" jawab Irish bangga. "Pertama, karena gue manis. Kedua, karena
gue imut, mungil... Ketiga, karena gue nggak centil kayak elo-elo! Dan
keempat...," Irish tersenyum centil, "karena dia cintaaa sama gue!"
Semuanya tercengang. "Terus, langsung elo terima?" bentak Wulan.
"Kalopun gue tolak, dia bersedia nunggu. Terus lo mau apa?"
Semuanya tercengang lagi. Sampai segitunya?"
Metha jadi naik darah. "Bohong! Bohong! Nggak mungkin! Jangan percaya!" Dia menyeruak maju.
"Awas, Niar!" Dia mendorong Daniar ke samping. "Irish, elo... pasti... bohong!
Elo... pasti.. ngibul! Paaasti!"
Irish menutup kuping gara-gara Metha berteriak di depannya persis.
"Udah deh. Kalo udah nggak ada peluang, mendingan cari sasaran laen aja!"
"Apa lo bilang?" teriak Metha berang. "Elo emang bener-bener sialan!" Dia
menyentak tubuh Irish ke belakang. Irish langsung membalas. Dia mendorong
Metha kuat-kuat. Harus kuat-kuat, karena tubuhnya kalah gede.
"Lo jangan gitu dong! Lo mau nanya apa mau ngajak berantem?"
"Udah! Udah!" Anis buru-buru melerai. Dia tidak mau ada bentrok fisik. Bahaya
soalnya. Bisa ke mana-mana beritanya, dan salah-salah bisa di sidang di ruang
guru. Kalau itu bisa terjadi, alamat dia juga bakalan ikut dipanggil. Kan malu
jadinya! Emang sih, dia juga dongkol sama Irish, ngiri plus sirik, tapi kalau sampai
semua orang tahu di ikutan ngeroyok, terpaksa dia pakai topeng ke sekolah!
*** Di tempat lain, Davi juga tidak tenang latihan. Lemparannya tak satu pun ada yang
masuk ke ring. Bayangan Irish yamg terpaksa dia tinggal sendirian, membuat
konsentrasinya pecah. Dan begitu waktu lat?han -yang waktunya dia percepat sendiri- selesai, Davg
langsung cabut ke sekretariat PMR. Tapi terlambat, Irish sudah raib!
Kalang kabut, dia memeriksa semua ruangan satu per satu. Tapi kompleks
bangunan SMU Palagan kelewat luas, dan bertingkat pula.
SMU Pelagan memang SMU terbesar di Jakarta, karena dulunya merupakan dua
SMU yang berdiri berdampingan dan cuma dipisahkan tembok bata setinggi dada.
Kedua SMU tersebut terpaksa digabung karena siswa-siswanya sangat rajin dan
giat tawuran satu sama lain.
Davi baru memeriksa setengah sekolah, tapi napasnya serasa hampir putus.
Kebetulan dia ketemu Mang Dudung. Samg penjaga sekolah itulah yang
memberitahu Davi bahwa Irish di bawa Metha cs ke rumah Daniar.
"Sial!" desis Davi sambil buru-buru balik badan dan lari secepat-cepatnya. Benar
saja! Waktu dia sampai di rumah Daniar, Irish sedang dalam cengkraman Metha.
Tanpa permisi, dia menerjang pintu depan dan menyeruak masuk dengan langkahlangkah panjang. Cewek-cewek yang mengelilingi Irish kontan diam. Menatap
ngeri wajah Davi yang merah padam menahan marah.
Semuanya langsung menggeser tubuh begitu Davi menerobos ke tengah kerumuna
dan meraih Irish ke dalam pelukannya. Cowok iu menelanjangi wajah-wajah
disekitarnya dengam tatapan tajam. Tanpa bicara dia membawa Irish keluar.
"Elo nggak apa-apa, Rish?" Dengan cemas dipandangnya wajah di sebelahnya.
Irish tak menjawab. Cemberut berat. Dia sakit hati. Marah, dongkol, emosi.
Seenaknya mereka main tuduh. Nggak pada tahu cerita sebenarnya sih!
Davi merasa bersalah. Makanya dia tidak bertanya lagi, malah mempererat
rangkulannya dan berucap lirih, "Maafin gue, Rish."
*** Sejak peristiwa itu, Davi benar-benar memperketat pengawalannya. Tidak
dibiarkannya Irish hilang sekejap dari pandangan mata. Dan seandainya jadwal
kegiatan eskul mereka bertabrakan, dialah yang mengalah.
Dan Irish yang tadinya slow-slow aja, sekarang jadi ngebut menyelesaikan
"makalah" yang membahas seputar jadiannya mereka. Gara-gara cewek sialan itu,
yang bilang segala macam. Davi begolah, butalah, kena peletlah, kena tipu akting
cueknya Irish-lah. Banyak lagi deh!
Tapi yang paling menyakitkan adalah ucapan Wulan, yang sampai ke telinga Irish
setelah lewat estafet panjang.
"Irish emang ketiban bulan. Tapi Davi ketiban monyet!"
Tuh, kurang ajar banget, kan" Waktu Vaya membisikkan kalimat itu, Irish hampir
mbledug. Tapi dia tidak mau memberitahu Davi soal omongan-omongan itu. Toh
cowok sepertinya masa bodo teuing. Tapi belum tentu juga Davi nggak ge-er.
Siapa juga yang nggak bangga dibilang keren dan orang lain jadi dijelek-jelekkan
karena dianggap tidak pantas jadi pacarnya"
Makanya tadi siang di mobil Davi, sekali lagi Irish meminta ketegasan cowok itu
bahwa soal karang-mengarang itu seratus persen jadi urusannya. Dan Davi
mengangguk. Alasannya memang cukup masuk akal.
"Kalo elo ngarang, gue juga ngarang, nanti kita terpaksa harus nyocokin di sanasini. Malah repot," ujar Davi. "Jadi mendingan elo aja. Cewek kan biasanya lebih
pinter untuk urusan kayak begitu. Gue tinggal iya aja nanti."
Alhasil, setelah berpikir mencari inspirasi selama hampir delapan jam, tergokek di
atas tempat tidur dengan berbagai pose dan menghabiskan kira-kira enam gelas
Millo, satu pak wafer cokelat, sekantong cheesestick, dan sekotak kuaci yang
membuat bibir Irish menjadi lebih jentor dari bibir Mick Jagger, "makalah" itu
kelar juga meskipun masih banyak bagian yang bolong di sana-sini.
Dan besoknya, Minggu sore, Davi mengajak Irish keluar untuk membahas soal itu.
"Kok ke sini?" Irish agak heran waktu Davi membelokan mobil ke halaman
restoran. "Emangnya kenapa?" Davi bakik nanya.
"Ng... nggak apa-apa sih." Irish ragu mau bilang bahwa resto itu terlalu romantis
untuk jadi tempat membahas masalah mereka. Padahal kedatangan mereka ke sini
justru untuk menetralkan perasaan. Yang pasti sih perasan Irish sendiri. Kalau
untuk Davi jelas tidak punya perasaan.
Resto ini begitu teduh oleh rimbunnya pepohonan. Seluruh bangunannya terbuat
dari kayu. Pernak-pernik etnik mendominsi hampir seluruh ruangan, bahkan
taman-teman di sekelilingnya.
Lukisan-lukisan Bali memenuhi dinding. Ukiran-ukiran Jepara yang anggun
menghiasi meja dan kursi. Patung-patung Bali ada di setiap sudut ruangan. Asbak,
tempat tisu, tempat lilin, dan wadah sendok-garpu terbuat dari tembikar warna
tembaga dengan berbagai variasi warna cokelat. Gentong-gentong tanah liat berisi
air, di tengahnya mengapung bertangkai-tangkai teratai. Juga ada pancuran bambu
yang menciptakan gemercik air mengalir.
Secara keseluhan, resto ini betul-betul sukses menghadirkan suasana romantis.
Endless Love yang mengalun begitu lembut di antara gemersik daun dan gemercik
air juga berhasil menambah pekat kegelisahan Irish yang sedang berjalan di
sebelah Davi, menapaki batuan di sela-sela hamparan rumput.
Kenapanya sih lagunya Endless Love" gerutunya dalam hati. Bikin orang nervous
aja! "Di sini ayam panggangnya enak," kata Davi setelah mereka duduk berhadapan.
"Ooooh," Irish cuma bisa ber-oh. Dia tak yakin sanggup menelan seenak apa pun
ayam panggangnya. Masalahnya, mereka akan membahas "makalah" bagaimana
mereka telah fall in love dan akhirnya jadian. Padahal itu cuma pura-pura,
sementara jauh di dalam hati dan mimpi Irish, dia ingin kebalikannya!
Akhirnya pesanan mereka datang. Ayam panggang yang menggiurkan. Berwarna
cokelat dengan lelehan lemak dan mentega. Baunya juga benar-benar harum.
"Elo mau apanya, Rish?" tanya Davi sambil menarik ayam panggang itu ke
depannya. "Kakinya aja deh. Kayaknya gue pengen nyepak orang nih!"
Davi kontan tertawa. "Jangan nervous gitu dong," tegurnya halus.
Irish langsung tersentak.
Ya Tuhan! Emang keliatan ya" Buru-buru Irish mencari alasan.
"Elo nggak ngerasain sih. Gimana gue nggak kesel kalo dituduh macem-macem!"
Kesibukan Davi memotong-motong ayam langsung terhenti. Dipandangnya Irish
dengan sorot minta maaf. "Sori banget, Rish. Gue bener-bener bego waktu itu, nggak bisa cepet sadar elo
dibawa ke rumah Daniar. Tapi gue janji, kejadian itu nggak akan terulang!"
Irish menarik napas lega. Untung deh, Davi salah sangka!
"Ini sebagai tanda permintaan maaf gue." Davi meletakan satu potong ayam di
piring Irish. "Itu bagian yang paling gede lho."
Irish tersenyum tipis. "Kita mulai sekarang ya?" tanya Irish. Davi mengangguk tanpa suara karena mulai
sibuk makan. "Hmmm...." Irish membuka buku ditangannya dan langsung kebingungan. Kenapa
ini sih bagian pertamanya" keluhnya. "Begini, Dav..," katanya. Belum-belum
sudah mulai gugup. "Kalo misalnya... elo ditanya... ng.... siapa yang... yang..." Irish
tergagap, wajahnya merona merah. Ini memang pembicaraan yang sangat sensitif.
Tapi Davi tetap santai, mengunyah ayam panggangnya tanpa merasa kasihan
melihat wajah kepiting rebus di depannya.
"Yang duluan ada feeling, gitu?" tanya Davi.
"Ng... iya." "Ya gue dong. Masa elo?"
"Gitu ya?" Irish menarik napas lega. Untung deh. Dia kira Davi akan
mempersilahkannya naksir duluan.
"Jadi begini..." Davi berhenti makan, lalu mengelap mulutnya. "Karena gue suka
sama elo, makanya gue pilih duduk sebangku sama elo. Dan kalau mereka tanya
kenapa gue suka elo, bilang aja lo nggak tau."
"Oh, itu sih jelas!" kata Irish seketika. Memang begitu cerita yang sudah dia
karang. "Terus apa lagi?" Davi melanjutkan makannya.
"Terus kita jadiannya sebelum ultahnya Metha. Sore deh gitu. Abis, paginya kan
belum ada apa-apa. Gimana?"
"Boleh." "Teruuus..." Irish menarik napas panjang. Ini bagian yang paling membuatnya
pusing. Berjam- jam cari inspirasi, tapi tetap tidak dapat juga. Apalagi dia belum
pernah punya pacar, jadi tidak punya bahan referensi. "Pas gue dikereyok waktu
itu, Metha nanya.... elo nyatainnya gimana?" muka Irish jadi merah lagi.
"Nyatain gimana?" Davi menatap cewek di depannya sekilas. "Bagusnya gimana?"
"Nggak tau," jawab Irish polos. Davi tertawa.
"Elo maunya gimana?" pancing cowok itu sambil mengambil setumpuk lalapan
daun kemangi dari piring di depannya. Irish gondok banget. Kambing di manamana emang nggak punya perasaan! gerutunya mangkel.
"Gue maunya sih... ya nggak ada pernyataan!" jawab Iris, mendadak jadi judes.
Davi cuma tersenyum, tetap tenang.
"Oke deh. Sori. Kalo ini biar bagian gue. Elo suka sunset?"
"Tergantung. Tapi di Jakarta nggak ada momen sunset yang bagus."
"Bukan itu point-nya, Rish. Gue suka berburu sunset. Yang paling bagus yang gue
abadikan di Pantai Senggigi, Lombok. Jadi gitu aja. Bilang sama Metha, itu yang
gue kasih ke elo waktu gue nyatain suka sama elo. Foto sunset di Senggigi. Ukaran
4R." Kening Irish mengerut. "Agak aneh." Davi tersenyum tipis. "Bunga, cokelat, apalagi kartu... itu udah basi, Rish! Emang
dulu cowok lo ngasih apa?"
Deg! Irish tersentak. Davi ini...!
"Bukan urusan elo!"
Davi tersenyum lagi. "Ya udaaah. Balik ke permasalahan. Bilang aja begitu sama
Metha, atau siapa aja yang nanya. Besok gue bawain fotonya. Elo kan tau Metha
orangnya nekat. Kalo dia nanya, 'kok aneh" Ngasih foto"'. Bilang aja gue janji
ngajak elo ke sana kalo nanti kita kawin! Biar kapok dia!"
HAH!!!!" Asli, Irish sampai ternganga bengong. Ya Tuhan! Tabah! Tabah! Tabah!
Alhasil, dua jam berduaan di resto itu, Davi kenyang kanyag karena sudah
menghabiskan dua piring nasi plus empat potong ayam panggang. Sementara Irish
kenyang karena nervous dan jantungnya yang terus-terusan loncat ke sana kemari.
Kayaknya gue mesti ke rumah sakit nih, keluhnya Irish dalam hati. Nanya-nanya,
kali aja ada jantung nganggur. Soalnya jantung gue kayaknya sebentar lagi tewas,
karenalu sering berdebar-debar lebih cepat dari batas ketentuan maksimum.
Irish mundur-maju mau memberikan keterangan, karena masih ada bagian-bagian
yang bolong dalam cerita rekaannya. Apalagi mengingat pertanyaan Pipit: "Apa
saja kata-kata Davi waktu menyatakan perasaannya?" ngeri banget, kan" Makanya
karena pertanyaan pipit itu terlalu seram, Irish sampai tak sanggup ngarang.
Dan begitu Irish sudah nekat mau memberikan keterangan -soalnya dia benarbenar sudah jutek dimusuhi terus- terdengar pemberitahuan dari sekertariat basket
bahwa tim basket SMU Palagan akhirnya akan ikut ambil bagian dalam kompetisi
basket tingkat SMU. Karena itu latihan akan diadakan intensif, mungkin setiap
hari, mengingat kompetisi tinggal dua minggu lagi.
Pengumuman itu begitu mendadak, karena izinnya juga turun mendadak.
Sebelumnya para guru memang keberatan, soalnya anggota tim inti yang akan
turun kebanyakan siswa-siswa kelas tiga, yang sebentar lagi harus menghadapi
UAN. Jadi lebih baik menitikberatkan pada pelajaran daripada basket. Basket kan
gak di-UAN-kan, kan"
Dengan adanya pengumuman itu, rencana Irish terpaksa ditangguhkan, karena
siangnya Davi langsung ikut briefing.
"Nanti aja, Rish. Abis kompetisi" jawab Davi waktu disinggung soal itu. Irish tidak
membantah lagi. Soalnya semenjak pengumuman itu turun, tuh cowok emang jadi
sibuk banget. Dan semakin intensif Davi latihan, berati semakin intensif juga Irish nongkrong di
pinggir lapangan. Davi tidak mengizinkan cewek itu pulang sendiri, meskipun saat
itu sekolah sudah benar-benar sepi. Cewek-cewek ganas itu tidak terlihat lagi. Davi
takut Irish dicegat di jalan. Ditimpuk batu sih masih lumayan. Kalau ditimpuk
kapak kan urusannya jadi panjang.
Irish suntuk juga tiap hari harus nongkrong di pinggir lapangan. Masalahnya, Davi
latihannya lumayan lama. Rata-rata dua jam tiap hari. Pernah dia ingin ikut latihan,


Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekedar ingin tahu dan ganti suasana. Tapi Sagara -cowok superjangkung pemain
andalan tim basket SMU Palagan, karena tingginya 190 cm lebih- langsung
melarang. "Jangan, Rish! Ntar lo keinjek, lagi!"
Hah! Sialan nggak tuh" perasaan Irish nggak kecil-kecil amat. Keki juga dia waktu
itu, diketawain ramai-ramai. Sebelum kenal Davi, Irish memang nggak begitu
akrab sama anak-anak basket. Karena mereka jangkung-jangkung, dia jadi minder.
Apalagi setelah mereka tahu Irish ternyata belum tujuh belas tahun, tambah habis
si mungil itu digoda. "Pantesan aja badannya kecil!" kata Tagor, yang mulutnya rada-rada kurang sopan.
"Kalo cowok, itu artinya belum sunat, Rish. Jadi pertumbuhannya kurang lancar!"
Sialan! Muka Irish kontan merah. Davi jadi kasihan melihat Irish terus duduk
sambil cemberut. Meringkel di dekat tumpukan tas. Persis anak hilang.
"Elo mendingan belajar deh," kata Davi sambil mengeluarkan buku dari tas.
"Nggak ikut bimbingan belajar, kan?" Irish geleng kepala. "Kalo gitu elo perlu
pelajari nih buku. Bagus. Banyak variasi soal di sini."
Malas-malasan Irish menerima buku yang disodorkan Davi, dan makin jadi suntuk
lagi. "Fisika" Nggak ada yang laen?"
"Kenapa?" "Kan susah. Elo kayak nggak tau aja!"
"Justru karena susah, jadi harus lebih seiring dipelajari. Semakin susah suatu
pelajaran, semakin gede juga porsi yang harus disediakan. Paham?"
"Nggak. Abis udah siang sih," jawab Irish melantur. Davi ketawa.
"Dicoba deh. Oke ya" Met belajar!"
Di saat sepi begini, dan cuma tinggal segelintir orang, Davi masih juga
meneruskan sandiwaranya. Cowok itu mengusap kepala Irish dengan penuh
sayang, lalu cabut ke tengah lapangan. Irish menarik napas panjang-panjang begitu
melihat satu kata di tengah sampul buku itu. FISIKA. Gede amat, membuat
kepalanya tambah senut-senut.
*** Sebenarnya Davi nggak perlu khawatir soal keselamatan Irish, sampai si mungil itu
terpaksa ikut pulang telat tiap hari. Metha cs kan nggak akan lagi melakukan aksi
penculikan. Kesannya kok kayak teroris. Kurang beradab, gitu.
Dan sehubungan dengan beradanya kompetisi basket, sekarang Metha dan kawankawan sedang merencanakan aksi baru yang dijamin lebih bisa memberikan hasil.
Yaitu aksi boikot! Tapi itu baru alternatif, karena mereka memberikan penawaran lain yang mereka
anggap lebih lunak, meskipun agak-agak maksa.
Irish melongo waktu sabtu sore Vaya datang dan cerita bahwa Metha dan Wulan
sekarang sedang membentuk Panitia Khusus atau pansus! Maksudnya jelas cuma
satu -tidak lain dan tidak bukan- mereka memaksa Irish untuk mengatakan yang
sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya, dan sejelas-jelasnya, soal jadiannya dia dan
Davi. "Lucu, kan?" Vaya ketawa geli. "Itu kan namanya pelanggaran HAM! Orang mau
pacaran sama siapa kek, itu hak masing-masing!"
"Siapa aja anggotanya?"
"Gue gak tau pasti. Tapi yang ngeroyok elo waktu itu ada semua, Rish!"
"Waduh! Gawat!" Irish langsung nepuk jidat.
Davi sendiri sudah nggak sempat lagi memikirkan hal itu. Jadwalnya benar-benar
padat. Pulang sekolah harus latihan, setiap hari. Sementara bimbingan belajar yang
diikutinya jadi lima kali seminggu, makin meningkatkan kesibukannya. Total dia
cuma punya waktu istirahat hari minggu! Itu pun kadang tidak bisa, karena dia
anak baru di kompleks tempat tinggalnya, jadi nggak enak mau nolak kalau diajak
ikut kegiatan ini-itu. Makanya waktu Irish ngasih tahu soal pansus itu, Davi
menanggapinya ogah-ogahan.
"Paling nggak serius," begitu katanya. Irish akhirnya jadi ikutan cuek. Soalnya
kalau selama ini Metha cs pada agresif, sekarang tidak ada gaungnya sama sekali.
Cuma dari Vaya-lah Irish mendengar bocoran rumor bakalan ada Pansus itu.
Eh, tapi ternyata..... Bener euy!
Dua hari kemudian, setelah bak detektif diam-diam menguntit kemana pun cewek
itu pergi, Pipit dan Ilen, dua jubir Pansus, membajak si mungil itu di toilet. Satusatunya tempat di mana Davi tidak bisa terus nempel.
Dan mirip debt collector yang sudah tiga kali bolak-balik tanpa hasil, dengan
roman galak mereka ngasih tahu hasil rapat Pansus, bahwa Irish wajib memberikan
keterangan YANG BENAR!!!! Dan batas waktunya 3 X 24 jam! Kalau Irish
sampai berani menolak, apalagi melakukan walk out (maksudnya, langkah pasti
tak peduli) seperti anggota DPR, Pansus akan memberikan memorandum! Dan
Irish harus mengundurkan diri dari jabatan sebagai cewek Davi! Karena dengan
penolakan itu, berarti memang ada rekayasa di belakang proses jadiannya mereka.
Ganas, kan" Irish jadi pusing. Di satu sisi, dia tidak bisa bersikap kayak anggota DPR, maju
terus pantang mundur. Karena di samping tidak punya anggota kabinet, dia juga
tidak punya pendukung fanatik, apalagi banser. Di sisi lain, yang menyerahkan
mandat kan Davi. Jadi cuma Davi yang menentukan dia kudu lengser atau tidak.
Dan -ini yang membuat Irish makin pusing- Davi kayaknya masa bodo amat
terhadap pergolakan yang terjadi. Sementara bila di lihat dari tampang Pipit dan
Ilen, yang sudah pasti merupakan sampel random ekspresi para anggota Pansus,
dengan emosi pasti mereka akan memaksa Irish turun. karena tidak tahu mesti
gimana, akhirnya Irish cuma diam. Sekaligus sambil menunggu, apa benar bakalan
ada memorandum. Kalau betul, apa isinya.
Tiga hari kemudian, Metha telepon. Dia terpaksa berbuat begitu karena dia tahu,
meskipun satu kelas, ia takkan bisa mendekati Irish apalagi ngajak ngomong empat
mata. "Gue mau ngomong sama elo!" ketus banget suaranya. Tanpa "halo", lagi.
"Apaan!?" balas Irish sama galaknya.
"Soal pesen yang gue sampein lewat Pipit sama Ilen!"
"Oh, itu! Mana" Katanya mau ngeluarin memorandum?"
"Ini memorandumnya, bego!" bentak Metha.
Irish tercengang sesaat, terus ketawa keras. Memorandum kok di kasih tahunya
lewat telepon. "Namanya memorandum itu pake kertas, Tante. Bukan lewat telepon!"
"Ah, diem lo!" bentak Metha. Tawa Irish makin keras.
"Makanya jangan sok pinter. Ikut-ikutan bikin Pansus. Memorandum itu apa,
nggak tau!" "DIEM!!!" bentak Metha, makin dongkol. "Sekarang lo boleh ketawa. Tapi nanti,
kalo lo udah tau apa isi memorandum itu, gue jamin..... lo nggak bakalan bisa
ketawa lagi!" "Oh, iya" Apaan!?" tantang Irish, keberaniannya tidak surut. Dalam hati sih dia
sebenarnya ketar-ketir juga. Cuma dia tidak mau memperlihatkannya. Bisa makin
bertingkah si Metha ini. "Heh!" Metha mencibir angkuh. "Elo simak baik-baik ya?"
Dan Irish kontan ternganga. Terpana mendengar isi memorandum yang diucapkan
Metha dengan nada sangat tegas itu.
Bahwa dalam waktu 2 X 24 jam, Irish wajib memberikan keterangan. Kalau tidak,
di kompetisi basket tingkat SMU minggu depan, Pansus akan melakukan aksi
pemboikotan atas semua suporter!
Gawat banget, kan" Besok paginya, waktu Davi jemput, Irish langsung menceritakan isi memorandum
Metha itu dengan kecemasan yang benar-benar menggunung. Soalnya itu kan bisa
jadi urusan runyam. Tapi Davi malah tertawa dan menanggapinya dengan santai.
"Nggak mungkin!"
"Kalo mungkin, gimana" Udah deh, kita kasih keterangan aja, yuk?"
"Jadwal gue padat banget, Rish. Elo kan tau?"
"Ya gue sendiri aja!"
"Elo sandiri?" Davi mengangkat alis tinggi-tinggi. "Berani" Elo bisa keluar tanpa
bentuk nanti!" Keberanian Irish langsung ciut.
"Jadi gimana dong?"
"Nggak usah ditanggepin! Biarin aja mereka kurang kerjaan!"
*** Ancaman itu ternyata benar-benar serius. Begitu batas waktu 2 X 24 jam sudah
lewat dan Irish tetap tenang-tenang aja, Pansus langsung bertindak.
Sebenarnya Irish cuma tenang di luar. Dalam hati sih dia cemas banget. Tapi
karena Davi sudah bilang cuekin aja, ya terpaksa dia patuh. Sebagai kopral kan
jelas dia nurut saja apa kata komandan.
Sekarang Irish tinggal menunggu laporan Vaya, yang punya jabatan rangkap; sohib
sekaligus koresponden. Soalnya, sejak jadi kembar siamnya Davi, hubungan Irish
dengan dunia luar agak-agak renggang. Sekarang cewek-cewek rada segan mau
ngomong lama sama Irish, karena begitu melihat makhluk kece yang nggak pernah
jauh dari Irish, mereka suka berdoa tanpa sadar, semoga Irish dan Davi cepat
bubaran. Jadi daripada jadi banyak dosa gara-gara mendoakan yang jelek melulu,
mendingan menghindar. Dan menurut laporan Vaya, ancaman itu ternyata sangaaat serius!
Katanya, Metha bakal ngasih duit sepuluh ribu perak per orang buat mereka yang
nggak nongol di GOR hari minggu besok. Waktu Irish memberi tahu Davi soal itu,
cowok itu tetap tenang. "Nggak mungkinlah, Rish. Sepuluh ribu kali seratus orang aja udah berapa" Satu
juta. Ini sekolah punya murid berapa ekor, coba" Hampir 2500! Jadi berapa
totalnya" Dua puluh lima juta! Gila apa" Uang segitu bisa buat beli mobil, tau!"
"Dav, lo nggak tau Metha sih. Tuh anak belanja bajunya aja yang paling deket di
Singapura sama Hong Kong. Sekarang dia malah suka bolak-balik Paris-London.
BMW yang dia pake tiap hari ke sekolah itu, STNK-nya udah atas nama dia lho.
Hadiah ultah sweet seventeen taun kemarin. Jadi kalo cuma duit dua puluh lima
juta siih.... kecil!"
"Jadi?" "Elo mau tanding tanpa suporter?"
"Kan ada elo" Vaya, Udin, teman-teman sekelas. Pasti mereka nggak mempan
sogokannya Metha. Yang cowok lho. Nggak tau deh kalo yang cewek."
"Jadi cuekin aja nih?"
"Iya!" *** Anggota tim basket sendiri berusaha nggak ambil pusing masalah itu. Mereka tetap
giat latihan meskipun usaha pemboikotannya lumayan ekstrim.
Di saat mereka latihan di halaman sekolah, murid-murid jarang yang mau sejenak
berhenti untuk nonton, apalagi memberikan semangat. Semuanya cuma lalu-lalang,
lewat begitu saja seakan anggota tim basket tak tampak mata.
Tapi ternyata bukan cuma sampai di situ. Pansus punya aksi, cheerleader yang
sepanjang perbasketan SMU Palagan selalu ikut ambil bagian, juga ikut diboikot!
Cewek-cewek manis itu dilarang tampil mengiringi tim basket di kompetisi nanti.
Biar aja cowok-cowok itu bertanding sendiri.
Padahal kelompok cheerleader itu latihannya lebih intensif. Kalau tim basket baru
latihan begitu izin dari kepsek turun, cewek-cewek itu malah udah start waktu izin
itu masih jadi desas-desus. Dan begitu izin itu benar-benar keluar, tiap hari mereka
palah latihan sampai sore.
Tapi cewek-cewek yang kebanyakan siswa kelas satu dan dua itu terpaksa pasrah,
ikhlas merelakan usaha mereka jadi mubazir. Soalnya eskul cheerleader yang
bergabung dalam wadah bernama Persada Karya Cipta itu bisa eksis dengan
berbagai macam kegiatan karena dukungan dana dari ortunya Metha. Jadi mereka
nggak enak mau masa bodo atau jalan terus.
Daniel, kapten tim basket SMU Palagan, geleng-geleng kepala. Tidak percaya
waktu Carol, koreografer kelompok cheerleader, menyampaikan berita bahwa
mereka nggak bisa ikut memeriahkan kompetisi seperti yang sudah-sudah.
"Ada apa?" tanya Verdy, salah satu anggota tim inti, begitu Carol pergi dengan
wajah lesu. Daniel garuk-garuk kepala, lalu menarik napas panjang banget, baru
menjawab. "Yaaaah.... No support! No cheerleader! Bener-bener no one! Only us!"
Sagara yang berdiri di samping Davi, tiba-tiba ketawa. Dia merangkul cowok di
sebelahnya. "Ini gara-gara elo, Dav. Bener-bener hebat. Gue salut!"
Davi cuma menyeringai. Mereka kembali meneruskan latihan meskipun berita itu
agak memecahkan konsentrasi.
Tapi Irish yang duduk di pinggir lapangan dengan buku di pangkuan jadi
tercengang saat mendengar percakapan itu. Tanpa suporter, dan sekarang tanpa
cheerleader, pula" Ini sih benar-benar kelewatan!
*** Irish merasa dia nggak boleh diam aja. Dia harus bertindak. Ini sudah kelewatan.
Masa cuma gara-gara dia jadian sama Davi, terus nama sekolah jadi taruhan" Tapi
dia nggak mau minta pendapat Davi, paling nanti dia di suruh nyuekin lagi.
"Irish!!" Irish mendongak. Ternyata Udin. "Kenape ngelamun?"
Irish tersenyum tipis, menggeser badannya, membagi kerindangan pohon untuk
cowok yang tumben-tumbenan sudi mampir melihat orang main basket. Karena
bagi Udin, satu-satunya olahraga yang menurutnya menarik cuma biliar.
"Ngelamunin ini, yang pada mau bertanding."
"Oh iye, Rish. Gue denger-denger, katenye tim cirlider juge diboikot ame Metha,
ye?" tanya Udin pelan. "Iya," desah Irish lirih. "Gue jadi nggak enak nih, Din."
"Kenape?" "Ya kan gara-gara gue."
"Kagak juge." "Kok begitu" Udah jelas ini gara-gara Metha jealous sama gue."
"Orang kaye kelakuanye emang gitu. Kagak di mane-mane, Rish."
"Elo kok nggak" Babe lo kan juragan tanah?"
"Gue mah laen!" jawab Udin serta-merta. "Gue pan orangnye kagak sengak! Dose
kata enyak gue. Kite kagak boleh belagu. Harte pan titipan Tuhan. Bise diambil
lagi ntar." Irish tersenyum lebar. Dia salut banget sama cowok betawi satu ini. Punya ortu
kaya-raya, tapi Udin masih mau jadi sales marketing nasi uduk ibunya. Padahal
usaha ibunya itu udah cukup ngetop di daerah sekitar rumahnya sana.
"Jadi gimana ya, Din?" keluh Irish. Sebenarnya dia tidak mengharapkan jawaban,
tapi Udin jadi ikut putar otak melihat muka keruh di sebelahnya.
"Emangnye nyang namenye cirlider kudu cewek, ye?"
"Ya nggak ada peraturannya begitu sih."
"Ye udeh! Gue juge mau jadi cirlider. Timbang joget-joget doang. Cetek!"
"Ngaco lu ah!" Irish terbelalak lalu ketawa. "Masa cowok mau jadi cheerleader?"
"Yeeee, daripade kagak ade, Rish. Cirlider emerjensi. Ape mau dikate."
Irish terdiam. Boleh juga sih sebenarnya. Tapi nggak ah! Gila!
"Tapinye elo jangan bilang sape-sape dulu, ye. Takut ntar Metha tau, terus gue
diboikot juge." "Elo serius, Din?" Irish terbelalak menatap cowok itu. Tapi Udin tidak menjawab.
Ternyata dia lagi serius mikir. Keningnya sampai keriting.
"Entar latiannye di rume gue aje. Biar aman! Pan kesian. Ude latian panas-panasan
saban ari, eh kagak ade nyang dateng buat nyuport, kagak ade cirlider juge."
"Terus lo mau ngajak siapa, Din" Mana ada yang mau, lagi?"
"Entar deh gue pikirin di rume." Udin bangkit berdiri. "Gue pergi dulu ye, Rish.
Ude tenge ari bentet nih!"
"He-eh deh. Makasih ya, Din."
"Iye. Eh...." mendadak cowok itu balik lagi. "Besok pesen nasi kagak?"
Irish diam sejenak. Sebenarnya sih dia sudah bosan. Gila aja. Enam bulan lebih dia
ditawari nasi uduk Terus tiap harinya. Tapi karena Udin sudah berbaik hati mau
ikut mikirin aksi boikot ini, Irish jadi nggak tega nolak.
"Iya deh." "Ame Dapi sekalian?"
"Iya dong. Tapi duitnya besok ya."
"Entu gampang dah. Perkare duit mah kalo nasi ude di tangan. Yuk, gue jalan dulu
ye." "Yuk. Daaah." Irish menatap Udin sampai cowok itu menghilang di balik gerbang. Dia tahu
kenapa cowok itu mau memberikan bantuan, karena Udin juga pernah sakit hati
sama Metha, soalnya Metha menyebut nasi uduknya "Nasi Udik"!
"Udah ganti milenium begini, masih makan nasi uduk juga!" gitu Metha pernah
ngomong. Di depan kelas, lagi!
Padahal apa hubungannya ganti milenium sama nasi uduk, coba"
*** Irish benar-benar tidak bisa lagi cuma diam. Di bantu Vaya, Syahrul, Jose, Yakop,
dan segelintir orang lain, dia berusaha sebisa mungkin mengumpulkan suporter.
Tapi susah. Yang doyan olahraga, apalagi penggemar basket, rata-rata sudah
terima uang dari Metha. Otomatis mereka diharamkan untuk datang.
Yang ada tinggal mereka-mereka yang tidak tertarik pada pertandingan olahraga.
Nonton di tivi yang bisa sambil makan, tidur-tiduran, bahkan tidur betulan saja
mereka males. Apalagi ini, yang kudu datang langsung ke GOR.
Meskipun begitu, Irish tetap berusaha. Coba memberi keyakinan bahwa


Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimanapun juga loyalitas tidak bisa diukur dengan uang. Baru dikasih duit
sepuluh ribu perak aja masa langsung nggak peduli dengan perjuangan temanteman yang berusaha mengharumkan nama sekolah. Gimana nanti kalau Belanda
balik lagi, terus nawarin jutaan gulden buat jadi kompeni" Gimana, coba"
Dan kebanyakan mereka pada ngasih jawaban...
"Itu nggak mungkin, lagi! Dan nggak sama!"
Tapi ada juga yang gebleg dan dengan cuek menjawab, "Mau aja!".
Makanya, meskipun sudah pontang-panting sampai hari ketiga, empat hari sebelum
kompetisi di mulai, Irish cuma dapat lima puluh suporter. Itu juga dua puluh orang
teman sekelas, yang ternyata memang tidak mempan sogokannya Metha.
Tapi untuk gedung GOR yang kapasitasnya sepuluh ribu orang, itu sama saja
seperti teriak di padang pasir. Tidak mungkin ada gemanya.
Selain itu Irish juga tidak tahu Udin serius atau tidak soal cheerleader itu, karena
setelah waktu itu si Udin nggak bicara apa-apa lagi. Dan sewaktu ditanya, tu
cowok cuma cengar-cengir kuda. Dan ketika diam-diam Irish lewat beberapa kali
di depan rumah juragan nasi uduk itu -siang pulang sekolah, sore, bahkan malamrumah Udin tampak sepi! Tidak ada tanda-tanda orang berkumpul, apalagi suara
musik mengentak-entak yang sering dipakai untuk mengiringi cheerleader.
Akhirnya Irish menarik kesimpulan bahwa waktu itu Udin cuma simpati sesaat.
Cheerleader cowok" Emang edan banget sih!
*** Ternyata Davi juga mulai menerima tekanan dari teman-teman satu timnya.
"Emang konyol sih," keluh Sagara. "Naksir orang emang hak asasi setiap orang.
Hak kita untuk memilih cewek yang kita mau. Tapi kasus elo ini laen, Dav.
Masalahnya udah merembet ke mana-mana. Udah nggak masuk akal lagi kalo hal
sepenting ini jadi taruhannya. Makanya.....," Sagara menepuk-nepuk pundak Davi,
"mendingan lo jelasin deh ke cewek-cewek yang lagi pada jealous itu."
Daniel, Tagor, juga Verdy setuju sama usul itu.
"Demi kita, Dav," kata Sagara. "Orang cemburu Itu justru harus lebih diwaspadain.
Masih mending orang gila, udah ketahuan!"
Tapi usul untuk memberikan penjelasan itu ternyata cuma datang dari pemain inti.
Sementara lima pemain cadangan sama sekali tidak peduli sama ketiadaan suporter
dan cheerleader itu. "Kalo gue sih nggak masalah!" jawab Agus waktu ditanya soal itu.
"Yup! Gue juga idem!" timpal Don. "No suporter no problem! No cheerleader juga
not bad!" "Yang penting permainan kita!" cetus Ivan. "Intinya kan cuma di situ!"
Davi jadi bingung. Dengan adanya kejadiaan ini, keputusannya untuk mengajak
Irish ngasih keterangan di depan Pansus jadi mundur-maju. Empat orang sebaiknya
menganjurkan begitu, lima orang cuek bebek.
Tapi besoknya, hari jumat, dua hari menjelang pertandingan, di mading
ditempelkan pengumuman yang gedenya gila-gilaan. Di tulis dengan tinta merah di
atas selembar kertas karton hitam. Bunyinya:
UNTUK TEMAN-TEMAN SMU PALAGAN!
DATANGLAH KE GOR HARI MINGGU BESOK. KARENA AKAN ADA
KEHEBOHAN BESUAAAAR!!!! LUPAIN DUIT 10 RIBU PERAK. KARENA KALO ELO-ELO PADA NGGAK
DATENG, DIJAMIN BAKALAN.... RUGI BERAT... RAT... RAT... RAT!
MENYESAL SEUMUR HIDUP... DUP... DUP... DUP! (KATA-KATA YANG
PAKE TITIK-TITIK CERITANYA ECHO.)
10 JUTA PERAK JUGA NGGAK BAKAL NUTUPIN KERUGIAN ELO! GAK
BAKAL NGILANGIN PENYESALAN ELO-ELO KARENA NGGAK DATANG
DAN MENYAKSIKAN KEHEBOHAN ITU.
MAKANYA..... DATANGLAH! BERI DUKUNGAN. UNTUK TIM BASKET KITA! DAN ELOELO BAKAL MENYAKSIKAN SESUATU YANG LAIN DARIPADA YANG
LAIN! DAHSYAT DAN MENCENGANGKAN!!!
TTD : POLTERGEIST (HANTU TANPA WUJUD) Pengumuman itu langsung menimbulkan kegemparan. Semua bertanya-tanya dan
jadi penasaran. Yang paling kelimpungan adalah Daniel. Dia dibombardir pertanyaan dari manamana. Tapi dia tidak memberikan jawaban apa-apa karena memang tidak tahu apaapa. Waktu dia mau nanya ke salah satu anggota timnya, mereka malah lebih
antusias lagi mencari tahu siapa si Poltergeist itu. Lima pemain cadangannya
malah sebodo teuing. Nggak pusing.
Daniel makin penasaran lagi ketika menerima surat kaleng. Isinya singkat.
NGGAK USAH KUATIR SOAL SUPORTER.
MEREKA PASTI DATENG! DIJAMIN!!!! (dari kita-kita anggota cheerleader.)
Cuma begitu isinya. Daniel bingung. Dia langsung mencari Carol. Tapi Carol
bilang, surat itu bukan dari mereka karena mereka tetap tidak akan bisa tampil.
Daniel tercenung. Berarti.... ada kelompok cheerleader lain.
*** Munculnya pengumuman aneh itu langsung diantisipasi oleh Pansus dengan jalan
menaikan jumlah sogokan. Sepuluh ribu lagi. Kali ini dari koceknya Wulan.
Soalnya, dampak pengumuman itu memang dahsyat. Hampir delapan puluh persen
uang yang sudah dibagi-bagikan, langsung dikembalikan. Semua yang membaca
deretan kata itu kebanyakan langsung terhasut dan memutuskan untuk nonton.
Tapi ketika yang sepuluh ribu yang disodorkan bertambah jadi dua lembar, banyak
yang jadi ngiler dan kontan bimbang. Cewek-cewek anggota Pansus emang nggak
kurang akal. Mereka berusaha meyakinkan bahwa yang namanya kompetisi antarSMU sih kompetisi kelas teri. Amatir. Jadi nggak rugi deh kalo nggak nonton.
Kobatama itu baru keren. Berkelas! Seru!
Akibat lain dari munculnya pengumuman misterius itu adalah Irish jadi kena teror.
Sebentar-sebentar telepon berbunyi. Dan meskipun orang di ujung sana berbeda di
setiap seringnya -Metha, Wulan, Daniar, Pipit, Ilen, dan yang lainnya lagi- isinya
tetap sama. Dengan nada tegas, cenderung kasar dan maksa, Irish disuruh ngaku
sedang merencanakan apa! Metha dan Wulan bahkan dengan tegas dan terus terang menuduh Irish-lah orang
di balik munculnya pengumuman itu. Dan meskipun Irish sudah teriak sampai
nyaris histeris dan bilang bahwa dia tidak tahu apa-apa, cewek-cewek yang lagi
pada cemburu buta itu tetap tidak ada yang percaya.
Irish sendiri mulai curiga, asal-muasal pengumuman itu pasti dari Udin. Tapi dia
tidak punya kesempatan bertanya, karena hari jumat saat pengumuman itu muncul
Udin langsung pulang begitu bel. Tidak menanyakan pesanan nasi uduk seperti
biasanya. Sabtu-nya Udin malah tidak masuk. Di telepon ke rumah, katanya lagi
pergi! Daripada dongkol, akhirnya Irish menginap di rumahnya Keke, ceweknya Sagara.
Si Keke ini dari seminggu yang lalu sudah telepon Irish bahwa dia pengin bawa
kue buat cowok-cowok yang mau bertanding. Makanya dia minta Irish bantuin
masak. Sebenarnya sih Irish malas. Soalnya cowok-cowok basket perutnya pada susah
kenyangnya sih. Ngasih makan mereka tuh kaya ngasih makan sapi. Kudu banyak.
Tapi daripada kuping jadi sakit, kepala juga sakit, hati apalagi, mendingan sakit
badan. Istirahat sebentar, busa hilang. Karena itu, setelah geladi resik siang itu,
Irish ikut mobil Sagara. Minggu pagi jam setengah tujuh, seluruh pemain inti dan beberapa suporter
berkumpul di dekat gerbang sekolah. Pertandingannya sih mulai jam sembilan, tapi
satu setengah jam sebelumnya mereka harus sudah ada di GOR. Sekarang mereka
tinggal menunggu lima pemain cadangan, dan akan berangkat jam tujuh teng.
Tapi tunggu punya tunggu, sampai jam tujuh kurang semenit, lima cowok itu
belum nongol juga. Daniel jadi senewen. Sebentar-sebentar ia melongok ke
perempatan di ujung jalan.
"Pada ke mana sih?" gerutunya mangkel. "Di bilang kumpul di sekolah paling telat
jam tujuh kurang lima!" Dia menoleh ke Sagara, yang kadang suka bawa ponsel.
"Teleponin Bayu, Ga. Ada di mana posisinya sekarang!"
"Oke!" jawab Sagara. Sesaat kemudian, "Kita di suruh berangkat duluan, Niel.
Ketemu langsung di GOR, katanya!"
"Terus yang laennya?"
"Sama. Ini mereka di rumah Bayu, lima-limanya."
"Kenapa sih?" seru Daniel kesal. "Kemaren nggak ngomong apa-apa! Ya udah deh.
Yuk, berangkat!" Mereka berangkat. Sesampainya mereka di GOR, ternyata cewek-cewek Pansus
sudah ada. Berjaga-jaga di dua pintu masuk. Melakukan usaha terakhir demi
suksesnya aksi boikot mereka, sekaligus memastikan bahwa mereka-mereka yang
sudah menerima uang sogokan tidak mencuri-curi kesempatan. Duit iya, nonton
iya. Irish masih gondok banget soal teror telepon itu. Apalagi pagi ini semua tulangnya
serasa mau rontok. Capek gara-gara bantuin Keke yang ternyata doyan banget
repot di dapur. Begitu mobil mereka lewat di depan Metha dan Daniar, Irish langsung memeluk
Davi dengan mesra. Dia terus melototin Metha.
"Kenapa liat-liat cowok gue!?" serunya galak. "Mau elo hipnotis, ya?"
Vaya dan Syahrul yang duduk di belakang, kontan ketawa. Sementara Davi cuma
tersenyum tipis tanpa menoleh sama sekali. Dia membalas pelukan dilehernya
dengan satu belaian sayang di kepala Irish.
Metha jelas marah banget menyaksikan adegan itu. Begitu juga gerombolannya
yang berdiri tak jauh. Mereka menatap Irish dengan sorot marah yang siap
meledak, berharap suatu saat bisa menganiaya si mungil itu ala STPDN.
Tapi Metha cs lansung berjaga-jaga lagi karena dari jalan raya muncul tiga mobil
berisi sekawanan suporter. Mereka-mereka adalah para suporter yang penasaran
banget karena janji di pengumuman misterius itu. Sebagian besar dari mereka
belum mengembalikan duit sogokan.
Daniel, Saraga, Davi dan Irish berdiri di koridor. Sementara yang lain langsung
bergabung dengan Pak Hadi, guru olahraga sekaligus pelatih yang ternyata sudah
lebih dulu hadir dan sekarang menunggu di dalam GOR.
Daniel juga penasaran sama isi pengumuman itu. Terlebih surat kaleng yang dia
terima. Berarti akan ada kelompok cheerleader. Siapa mereka" Itu yang tak sabar
dia tunggu. Betul juga. Satu jam sebelum kompetisi di mulai, para suporter dari SMU Palagan
mulai berdatangan. Meskipun tidak ada setengahnya kalau di bandingkan suporter
dari tiga SMU lain yang akan turun dalam tiga kali babak penyisihan hari ini. Tapi
lumayanlah. Jadi nggak sepi-sepi amat seperti pemikiran semula.
Namun tiba-tiba aja sebagian besar suporter itu balik badan setelah di ajak
ngomong Metha dan Wulan dan menerima sesuatu yang disodorkan Daniar dan
Theresia. "Wah! Apa lagi tuh?" Sagara langsung menajamkan mata. "Duit lagi" Ampun
deh?" Daniel ketawa pelan, geleng-geleng kepala.
"Elo pake apa sih, Dav" Bisa bikin cewek-cewek itu pada nggak waras gitu" Atau
elonya kali, Rish?" "Apa?" Irish noleh.
"Iya. Pake jampi-jampi apa?"
"Huh! Ngapain, lagi!" jawab Irish ketus. Ini dia nih. Salah satu korban isu bahwa
Irish udah "mandi kembang tengah malam".
Semua yang berdiri di koridor menatap kuatir ke dua pintu gerbang. Mereka jadi
semakin was-was tatkala semakin banyak suporter yang tergiur sogokan Metha cs.
Dan sekarang sebagian besar suporter itu cuma berkeliaran atau duduk-duduk di
area parkir GOR. "Hei! Semuanya disuruh masuk!" Tagor dan Verdy muncul dari dalam GOR.
Tagor langsung heran melihat para suporter SMU Palagan masih hilir-mudik di
luar, sementara suporter tiga SMU lain sudah pada heboh di dalam, duduk
berkelompok dan mulai mengeluarkan segala macam perkakas yang mereka bawa.
Spanduk, peluit, kerincingan, terompet, batu atau logam kecil untuk dipukulkan ke
botol minuman, sampai bendera merah putih (Lucu, kan" Padahal yang di lawan
kan teman-teman setanah air).
"Ngapain sih mereka nggak pada masuk?" tanya Tagor heran.
"Tanya aja cewek-cewek itu, apa isi amplop yang mereka bagiin?" jawab Daniel.
"Ah, sialan! Emang kurang ajar tuh cewek-cewek! Nggak ada loyalitasnya sama
sekali! Gue babat juga mereka!"
"Eit, tunggu! Mau ke mana?" Verdy buru-buru mencekal pundak Tagor, yang
sudah siap-siap meloncat menghampiri Metha cs.
"Elo nggak liat?"
"Mereka nggak akan pergi, Gor. Tenang aja!" tegas Daniel ringan.
"Gimana elo bisa yakin?"
"Sama kayak kita, mereka penasaran sama pengumuman itu. So, mereka pasti
bertahan di sana, penasaran menunggu kehebohan apa yang bakal terjadi...," Daniel
tersenyum lebar. "Kita liat aja nanti! Yuk, masuk!"
Tagor manggut-manggut. "Pinter juga mereka!"
*** Tiga puluh menit sebelum pertandingan, seluruh tim inti SMU Palagan sudah
bersiap-siap di pinggir lapangan. Melakukan pemanasan ringan. Di seberang, tim
SMU Trisula, lawan mereka, juga melakukan hal yang sama.
Meskipun begitu, sebenarnya mereka lagi cemas. Apalagi Daniel dan Pak Hadi,
guru olahraga merangkap pelatih. Soalnya pemain cadangannya belum juga
muncul. Sementara itu kelompok cheerleader SMU Trisula sudah bersiap-siap di tengah
lapangan. Ketika alunan musik mengentak, cewek-cewek itu mulai beraksi.
Acara selanjutnya seharusnya atraksi cheerleader SMU Palagan. Tapi seluruh
anggota tim dan suporter SMU Palagan tahu, cewek-cewek pemandu sorak itu
tidak datang. Cuma Daniel yang tahu bakalan ada cheerleader pengganti. Namun dia sengaja
tidak menunjukkan surat kaleng itu karena dia sendiri tidak yakin dengan
kebenaran isinya. Sejak menerima surat itu, sampai kemarin malam, diam-diam
Daniel dan Carol melakukan investigasi ke mana-mana. Dan hasilnya.... Nihil!
Sama sekali tidak tercium tanda-tanda adanya kelompok cheerleader lain. Tapi
yang dia heran, panitia tidak membatalkan jadwal penampilan cheerleader SMU
Palagan. "Mungkin pertandingannya di majuin," duga Sagara.
"Bisa jadi." Daniel mengangguk dan jadi semakin cemas lagi. Ditatapnya temantemannya satu per satu. Sagara, Verdy, Tagor, dan Davi. Pemain inti. Sepertinya
mereka akan turun tanpa di-backup pemain cadangan, karena sampai saat ini lima
pemain cadangannya belum kelihatan ujung hidungnya.
"Nggak boleh sampai cedera!" tegas Daniel. "Karena kayaknya kita akan main full
game!" Dia menarik napas dengan geram. "Awas aja tuh lima anak besok. Gue
bunuh satu-satu!" Sepuluh menit kemudian, cheerleader SMU Trisula mengakhiri penampilan
mereka. Diiringi tepuk tangan penonton, kesepuluh cewek manis itu berlari
mendekati tim basket SMU-nya dan bergabung dengan mereka.
Tanpa dikomando, kelima pemain SMU Palagan bangkit berdiri dan kembali
melemaskan otot-otot tubuh mereka di sekeliling Pak Hadi yang juga mulai
memberikan intruksi. Tiba-tiba ruangan GOR yang luas dan berlangit-langit tinggi itu berubah senyap.
Semua suara mendadak lenyap. Seluruh penonton terpaku di tempatnya masingmasing dengan tatapan lekat. Tapi hanya untuk beberapa saat, karena sedetik
kemudian meledaklah gemuruh tawa, teriakan, jeritan, suitan, juga tepuk tangan
yang membahana. Kebingungan, tim basket SMU Palagan memandang ke segala arah. Juga Vaya,
Irish, Syahrul, Keke, dan beberapa teman sekelas serta sebagian suporter SMU
Palagan. Tapi dengan segera tatapan mereka berpaling ke satu titik, seiring semakin
membahananya gemuruh suara dan tangan-tangan yang terjulur menunjuk ke satu
arah. Seketika bola mata mereka membesar. Menatap tak yakin ke pintu ruang ganti
yang terbuka. Satu per satu, sosok-sosok tubuh dengan warna busana dan rumbairumbai yang mencolok mata, keluar dari sana.
Cheerleader SMU Palagan!!!!
"Katanya nggak ada cheerleader?" kata Sagara heran. "Jadi itu siapa dong?"
Tidak ada yang bisa menjawab. Daniel sendiri, satu-satunya yang diberitahu
tentang kemunculan cheerleader pengiring tim basket di kompetisi, ternganga tak
percaya. Jadi surat kaleng itu betul! Cuma....siapa mereka"
Yang paling tahu, sudah pasti Irish. Tapi dia tidak berani buka mulut. Takut salah
meskipun hampir yakin, itu pasti Udin!
Yang membuat mereka jadi penasaran, ya itu tadi. Penonton langsung heboh.
Histeris. Malah sampai meninggalkan bangku masing-masing dan lari ke bawah.
Mereka berdesak-desakan di pagar pemisah trimbun dan lapangan. Penonton di
bagian belakang langsung pada berdiri di atas bangku. Jinjit setinggi-tingginya.
Malah banyak yang sudah berdiri di bangku tapi masih loncat-loncat pula.
Semuanya ribut cekakakan, suit-suit, teriak-teriak.
"Ada apa sih?" jerit Irish dan Vaya hampir bersamaan. Tapi jangankan mereka,
Sagara yang paling jangkung aja nggak bisa melihat apa-apa. Padahal dia sudah
berdiri di atas bangku sambil jinjit dan mengulurkan kepala panjang-panjang,
saking semua penonton tumpah ruah, tumplek-blek di sepanjang pagar pemisah
trimbun-lapangan. Sebagian malah melompat keluar, lalu menyemut di sepanjang
pinggir lapangan.

Fairish Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mendingan tunggu aja deh!" kata Daniel sambil turun dari bangku, setelah sia-sia
berusaha melihat. "Ntar mereka juga lewat sini."
"Oh, iya ya. Ngapain lagi" Tagor ikutan turun, di susul yang lain. Kemudian
mereka duduk, menunggu dengan tak sabar.
Rasanya lama sekali mereka menunggu. Ruang ganti sebetulnya ada dua. Satu di
sisi gedung sebelah kiri, yang pintunya tidak jauh dari mereka, dan satunya lagi di
sisi kanan gedung. Herannya, kenapa anak-anak cheerleader memilih ganti di
ruangan di ujung kanan sana" Masa mereka tidak tahu kalau lapangan yang mau di
pakai yang di ujung kiri"
Begitu kelompok cheerleader itu lewat di depan mereka -diiringi sebagaian
penonton di kiri, kanan, dan belakang- mangaplah mereka sejadi-jadinya.
Mereka terperangah luar biasa, terpana tak terkira, dan kaget sekaget-kagetnya.
Melintas di depan mereka, tubuh-tubuh yang dibalut busana minim dan ekstraketat.
Dengan gaya berjalan yang begitu menggoda. Meliuk-liuk mirip ular.
Para cheerleader itu di komandani Udin, atau lengkapnya Chaeruddin, anaknye
Babe Haji Rozali, tuan tanah dari Kampung Menteng. Dijamin, nyak-babe Udin
pasti nggak tau kalau anak mereka hari ini ganti kelamin. Karena kalo tau, pasti si
Udin udah dipermak jadi semur!
Di belakang Udin tampak Ipul, Hendra, Sam, Chani, dan -ini yang membuat
mangapnya Daniel semakin lebar- Agus, Don, Ivan, Bayu, dan Sulaiman... Lima
pemain cadangannya! Dan kelimanya mengirimkan salam "Cup! Cup! Aaaaah....!" untuk kapten tim
mereka yang tampangnya kayak orang yang baru ngeliat setan.
"Hai, Sagaaaa!" teriak Bayu, menyapa sobat kentalnya dengan gaya centil.
"Siapa lo"! Gue nggak kenal!! Jangan sembarangan panggil-panggil ya! Gue
gampar lo ntar!" bentak Sagara langsung.
Yang mendengar ocehan Sagara langsung tertawa. Apalagi begitu Bayu
mengibaskan rambut panjangnya lalu buang muka sambil cemberut.
"Dasar cowok zahat!"
Kesepuluh cheerleader gadungan itu melangkah pasti dan penuh percaya diri.
Tidak risi meskipun kaus you can see mereka ekstraketat dan roknya ekstramini.
(cowok sih, ya"!) Dengan centil mereka mengibas-ngibaskan pom-pom ditangan sambil mengedipngedipkan mata yang dihiasi bulu mata palsu superlentik. Bibir mereka yang
merah menyala begitu merekah, sibuk mengirimkan salam cium jauh untuk para
penonton yang terus mengikuti mereka dengan tatapan mata lekat, suitan, gelak
tawa terbahak, juga tepuk tangan.
Mereka memakai wig panjang dan berwarna-warni -ada yang hitam, pirang, ada
juga yang cokelat- yang diayunkan ke kiri dan ke kanan. Wig yang dipakai Udin
dan Ipul malah berwarna hitam legam. Terus lembut, lagi....mirip rambut modelmodel iklan sampo. Makanya, mereka semangat banget goyang-goyang kepala.
Sampai cewek-cewek yang melihat jadi pada iri.
"Rambutnya mau dong!" jerit seorang cewek yang desak-desakan di pagar, sambil
menjulurkan tangan, berusaha memegang rambut hitam kemilaunya Ipul.
"Zangan pegang-pegang dong, ih!" Ipul menepuk tangan mereka. "Emangnya kita
apaan?" Tapi ada juga yang bondol. Chani. Belum lama ini cowok itu mencukur botak
rambutnya, dan sekarang rambutnya baru tumbuh sekitar dua mili. Ngejegrik mirip
duri landak dan terpaksa dibiarkan begitu. Wig tidak bisa dipasang dan dia ogah
dipakaikan hairnet. Tapi dengan begitu, Chani tetap pede. Cukup imut dan seksi
meskipun kepalanya bondol.
Yang membuat penonton histeris dan tertawa terpingkal-pingkal ternyata bukan
hanya busana mereka yang nyaris pas-pasan. Soalnya, para cheerleader itu
memakai makeup menor dan wig yang indah tergerai, tapi atribut kecowokan
mereka masih lengkap melekat. Ada yang kumisan tipis, ada yang jenggotan, ada
juga yang bercambang. Don, si penggemar berat Charles Bronson, malah
membiarkan brewoknya yang mulai tumbuh melingkar sepanjang dagu dan pipi
tidak di cukur. Dan begitu mereka angkat tangan untuk membalas lambaian para penonton, maka
seketika tampaklah bulu ketiak yang.... amboooiiiii.... lebat nian! Jangan dibayangi
baunya deh. Dijamin bisa membuat orang yang koma lansung "lewat"!
Gemuruh tawa, jeritan, sorak-sorai dan tepuk tangan penonton membuat gedung
GOR serasa akan runtuh. Para suporter SMU Palagan yang masih berkerumunan di
luar dan menunggu janji pengumuman misterius itu jadi tercengang. Jangankan
mereka, orang-orang yang lewat saja sampai pada bingung, serentak berhenti lalu
menatap gedung GOR dengan kening terlipat. Spanduk di luar gedung sih
bertuliskan "Kompetisi Basket Tingkat SMU se-DKI". Tapi kalau mendengar suara
histeris dari dalam, jangan-jangan Westlife lagi konser nih!
Serentak para suporter SMU Palagan berdiri, buru-buru mengembalikan amplop
yang sudah mereka terima, lalu terbirit-birit masuk ke dalam gedung. Penasaran!
Segala macam bujukan Metha dan Wulan sudah tidak mempan lagi. Bahkan waktu
dua cewek itu bersikeras tidak mau menerima amplop, para suporter langsung
melemparkan amplop-amplop itu begitu saja ke tanah. Di dalam, mereka
celingukan bingung. Tidak mengerti apa yang telah menyebabkan suasana jadi
Pena Wasiat 28 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Peti Bertuah 2
^