Pencarian

Lintang Kemukus Dinihari 1

Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari Bagian 1


LINTANGKEMUKUSDINIHARI 1 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
LINTANG KEMUKUS DINIHARI Oleh Ahamad Tohari (Buku Kedua dari Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk)
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 2 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Ahmad Tohari KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kini mungkin tidak lagi sedahsyat akibatnya dibanding masa lalu,
ketika hutan-hutan jati di daerah Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah, penduduk merana kelaparan. Dulu, seperti
ditunjukkan Ahmad Tohari (57), penulis yang pernah menghasilkan novel Ronggeng Dukuh Paruk, hutan menyala menjadi
korban kebakaran akibat pertikaian politik yang menyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965.
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya
hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah
dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup
kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya.
Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala), ia telah
mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Sesuai
tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari adalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) Lintang
Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin
(kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat
(kumpulan kolom, 1994). Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggrisnya sedang
disiapkan penerbitannya. Dikumpulkan dari berbagai sumber,
Untuk warga http://groups.yahoo.com/group/id-ebook
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 3 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Bagian Pertama Dukuh Paruk masih diam meskipun beberapa jens satwanya sudah terjaga oleh pertanda datangnya pagi.
Kambing-kambing mulai gelisah dalam kandangnya. Kokok ayam jantan terdengar satu-satu, makin lama
makin sering. Burung sikatan mencecet-cecet dari tempat persembunyiannya. Dia siap melesat bila
terlihat serangga pertama melintas dalam sudut pandangnya. Dari sarangnya di pohon aren keluar seekor
bajing karena tercium bau lawan jenisnya. Mereka berkejaran. Dahan-dahan bergoyangan. Tetes-tetes
embun jatuh menimbulkan suara serempak. Seekor codot melintas di atas pohon pisang. Tepat di atas
daun yang masih kuncup, binatang mengirap itu mendadak menghentikan kecepatannya. Tubuh yang
ringan jatuh begitu saja ke dalam lubang kuncup daun pisang itu.
Jangkrik, gangsir, dan walang kerik sudah lama bungkam. Gangsir menyembunyikan diri dalam liang di
tanah yang disumbat dari dalam. Walang kerik membaurkan diri dengan warna hijau dedaunan. Dia hanya
bisa diketahui bila ada embusan angin. Pada saat itulah naluri memerintahkannya menggesekkan sayap
sehingga terjadi suara yang khas.
Ada sebatang pohon jambu air di salah satu sudut Dukuh Paruk. Dalam kerimbunan daun-daunnya sedang
dipagelarkan harmoni alam; beratus-ratus lebah madu dengan ketekunan yang menakjubkan sedang
menghimpun serbuk sari. Sayap-sayapnya mendengungkan aneka nada halus dan datar, mengisi
kelengangan pagi yang masih temaram. Tanah di bawah pohon jambu itu memutih oleh hamparan
beribu-ribu tangkai sari. Bau wangi tanah, suara lembut sayap-sayap lebah madu dan pendar embun yang
mulai menangkap cahaya dari timur.
Pucuk-pucuk nyiur dan rumpun bambu menerima kehangatan pertama pagi hari. Pancaran cahaya
matahari adalah tenaga yang setiap kali membangunkan Dukuh Paruk dengan menyingkap kabut yang
menyelimutinya. Dua puluh tiga rumah di pedukuhan kecil itu mulai hidup. Terdengar rengek anak-anak
yang terjaga dan langsung merasa lapar. Seorang perempuan keluar menjemur kain yang basah kena
ompol bayinya. Suaminya juga keluar halaman dengan tujuan berbeda. Laki-laki itu menjambret daun
pisang kering untuk menggulung tembakau. Ada orang jongkok di balik semak. Tangannya mengibas
mengusir agas yang merubung kepalanya. Dukuh Paruk sudah terjaga.
Hanya sebuah rumah yang masih sepi. Rumah itu mempunyai ukuran yang paling kecil di Dukuh Paruk.
Penghuninya tunggal, seorang nenek yang sudah linglung. Meskipun sudah bangun, perempuan tua itu
belum hendak beranjak dari tempat tidurnya, termangu-mangu dengan matanya yang kelabu. Dalam
genggamannya ada beberapa keping uang logam. Dia tidak tahu siapakah yang telah menaruh uang itu di
bawah bantalnya. Nenek Rasus itu memang linglung, sudah lama linglung.
Tidak seperti biasa, beberapa hari lamanya nenek Rasus tidak tinggal seorang diri di rumahnya. Pagi itu
pun dia tidak seorang diri. Seorang perempuan muda yang paling berharga di Dukuh Paruk masih tergolek
di atas balai-balai dalam bilik sebelah. Srintil masih menyambung mimpi setelah menempuh malam yang
paling berkesan bersama Rasus.
Seberkas sinar matahari menembus dinding bambu, lurus seperti kristal maya jatuh di pipi Srintil.
Lingkaran terang yang hanya seluas uang logam mampu menyingkap rona hidup di pipi ronggeng Dukuh
Paruk itu. Rambutnya yang hitam, meskipun begitu kusut, memantulkan kilau yang lembut. Ketika rona
terang itu akhirnya bergerak ke arah mata, Srintil berada dalam batas jaga. Irama napasnya mulai tak
teratur, bulu matanya bergerak-gerak. Akhirnya terdengar desah panjang ketika Srintil menggeliat
perlahan-lahan. Peralihan dari alam tidur ke alam jaga berlangsung sementara kelopak mata Srintil belum terbuka. Bola
mata bergulir-gulir di dalam pelupuknya. Kemudian tercipta sebuah lekuk yang bagus di kedua sudut bibir
Srintil. Kesadaran telah merayapinya, kesadaran bahwa lintasan hidupnya sedang memasuki batas waktu
di mana Srintil merasa dirinya larut dan menyatu dengan Rasus.
Karena Srintil tidur dalam posisi miring ke arah tepi balai-balai, maka ia tetap percaya masih ada
seseorang di sampingnya. Tangan kanannya digerakkan ke arah belakang dengan keyakinan yang bulat
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 4 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
bahwa jemarinya akan jatuh ke atas sebidang dada laki-laki. Tetapi yang kemudian terasa di ujung jarinya
adalah dinginnya tikar pandan. Dicobanya meraba lebih jauh. Dan kosong.
Srintil cepat bangkit dan menoleh ke belakang Didapatinya dirinya tak berteman dalam bilik yang lengang
itu. Mula-mula Srintil menduga, atau berharap, Rasus masih berada di sekitar rumah sedang berhajat di
belakang misalnya, Namun perasaan buntu tiba-tiba menguasai dirinya setelah Srintil melihat tak ada satu
pun barang milik Rasus yang tertinggal.
Dalam bilik sebelah Srintil mendapati nenek Rasus duduk hampir tanpa gerak kecuali kembang-kempis
dadanya yang tak kentara. Atau sepasang mata kelabu yang bergulir ketika melihat Srintil datang.
"Di mana Rasus, Nek?"
"Apa?" "Rasus, cucumu! Di manakah dia sekarang?"
"Si Rasus di mana?"
"Iya." "Rasus" Jadi Si Rasus sudah pulang?"
"Oh, Nenek pikun. Nenek linglung. Nenek tidak melihat ke manakah Rasus pergi?"
Sesaat lamanya perempuan itu kembali dalam sikap tanpa gerak. Kemudian menjulurkan tangan ke arah
Srintil. Telapak tangan dibuka. Beberapa keping uang logam ada di sana. Srintil menatapnya tidak
mengerti. Dan putus asa. Berbalik, menarik daun pintu dengan kasar, lalu keluar. Dicarinya tempat dari
mana dia bisa memandang dengan sempurna ke arah pancuran. Rasus tidak kelihatan. Dilongoknya
pekarangan kosong tempat orang-orang Dukuh Paruk biasa jongkok di balik semak. Hampa. Yang kelihatan
oleh Srintil adalah sepasang burung sikatan yang sedang sibuk menyambar-nyambar lalat hijau.
Akhirnya Srintil menatap jauh ke seberang sawah yang sangat luas. Di sana Dawuan mulai memperlihatkan
sosoknya. Kabut tipis yang menyelamuti Dawuan mengambang naik karena hangatnya sinar matahari.
Dawuan dengan pasarnya. Dawuan dengan markas tentaranya di bamah pimpinan Sersan Slamet, kepada
siapa Rasus pergi menggabungkan diri. Bagi Srintil, Dawuan kini berubah menjadi sosok yang angkuh.
"Oh, jadi begitu," pikir Srintil yang ingin menolak kenyataan bahwa Rasus telah meninggalkannya bahkan
tanpa pamit. Dalam perkiraan ronggeng Dukuh Paruk itu semua laki-laki adalah dari jenis yang sama, yang
bisa demikian gila hanya karena ingin hidup bersamanya barang satu-dua malam, tak peduli apa pun yang
menjadi nilai tukarnya. Sulam, Lurah Pecikalan atau bahkan Bapak Siten Wedana adalah sebagian kecil
deretan nama laki-laki yang runduk di bawah kibasan sampur Srintil. Dan ronggeng itu merasa heran
mengapa ada seorang lelaki dari jenis lainnya. Dengan keakuan yang tegar laki-laki itu lari menghindar.
Boleh jadi Srintil takkan bersedih hati bila laki-laki itu bukan Rasus.
Hingga beberapa saat lamanya Srintil tetap berdiri diam. Dibiarkannya nyamuk-nyamuk belirik yang
beterbangan mengelilingi tubuhnya. Beberapa ekor hinggap menghisap darah di kaki Srintil. Seekor lainnya
hinggap di belakang telinga dengan perut yang makin lama makin menggantung penuh darah. Rambut di
atas dahinya basah oleh kabut pagi yang mengembun. Matanya mengambang.
Dua orang anak dengan tubuh telanjang menatap Srintil dengan heran. Mata kedua anak itu adalah mata
sekalian orang Dukuh Paruk yang tidak pernah berharap melihat seorang ronggeng menangis. Ronggeng
bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan sukacita. Keakuannya adalah tembang
dan joget. Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang memancarkan semangat hidup alami,
semangat yang sama yang telah menerbangkan burung-burung dan memekarkan bunga-bunga. Jadi,
ronggeng adalah dunia sukaria dan gelak-tawa.
Kedua anak yang bertelanjang badan itu mengundurkan diri. Mereka membawa pertanyaan yang muskil:
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 5 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
mengapa seorang ronggeng bisa menangis"
Tentu saja hanya Srintil sendiri yang bisa merasakan dirinya sedang ditarik ke luar dari keakuannya. Ada
yang menelanjanginya, entah siapa dia, sehingga Srintil sedikit demi sedikit mengenal dirinya dari sisi
lain. Bukan sebagai perempuan milik bersama sebuah tatapan melainkan seorang perempuan dalam arti
yang paling bersahaja. Dia yang merasa tidak utuh tanpa kepastian seorang laki-laki berada dalam
hidupnya; dalam hatinya dan dalam kamar tidurnya. Atau bila benar bahwa dunia yang besar ini berisi
berjuta-juta dunia kecil dan dalam setiap dunia kecil itu berisi seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Srintil hanya merindukan yang kecil itu. Sebuah dunia kecil tanpa Rasus sungguh tak bisa dibayangkan oleh
ronggeng Dukuh Paruk itu.
Dukuh Paruk tidak memerlukan waktu lama buat menyadari apa yang sedang terjadi atas diri Srintil. Hari
berikutnya, pedukuhan kecil itu sudah hangat oleh celoteh orang-orang perempuan. Perhatian mereka
tertuju kepada Srintil yang kini lebih suka diam merenung dan menyendiri. Semuanya tahu bahwa keadaan
Srintil tidak bisa dipisahkan dengan Rasus yang telah meninggalkan Dukuh Paruk dan bergabung kembali
dengan kelompok tentara pimpinan Sersan Slamet.
"Eh, dengar! Pernahkah terjadi seorang ronggeng mabuk kepayang terhadap seorang lelaki?" kata seorang
perempuan yang bersama dua temannya sedang mencari kutu di bawah pohon nangka.
"Sepanjang yang kudengar tak ada cerita demikian," jawab perempuan kedua. "Yang baku, seorang
laki-laki tergila-gila kepada ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki. Dia
tidak boleh terikat kepada seorang pun. Lha, bagaimana kalau dia sendiri dimabuk cinta demikian?"
"Ya, Srintil memang aneh. Nah, kalau sudah terjadi demikian maka Nyai Kartareja yang bersalah."
"Nyai Kartareja?"
"Iya. Kalau Nyai Kartareja berhati-hati dalam mendampingi Srintil, takkan terjadi begini. Dia mengabaikan
kewajiban karena terlalu bernapsu. Srintil disuruhnya melayani sebanyak mungkin laki-laki tanpa
menghiraukan adanya hari-hari pantangan, terutama pada hari kelahiran Srintil sendiri. Memang Nyai
Kartareja ikut menjadi kaya. Nah, namun begini jadinya."
"Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus. Pokoknya tak ada yang salah.
Persoalannya bila Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas, Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja
yang kusayangkan." "Tetapi aku masih percaya kepada suami-istri Kartareja. Kalau mereka bisa memasang guna-guna sehingga
banyak laki-laki gandrung terhadap Srintil, mengapa mereka tidak mampu memutus tali asmara antara
ronggeng itu dengan Rasus?"
Ucapan yang terakhir ini memang tidak berlebihan. Kalau ada orang yang paling khawatir tentang keadaan
Srintil, tentulah dia Nyai Kartareja bersama suaminya. Mereka sungguh tidak rela anak asuhannya jatuh
hati kepada Rasus atau kepada laki-laki lain mana pun. Lebih-lebih lagi bila Srintil sampai berpikir tentang
sebuah rumah tangga yang hendak dibangunnya. Martabat mereka sebagai dukun ronggeng berada dalam
taruhan, dan, sumber penghasilan mereka yang subur terancam bahaya.
Maka Nyai Kartareja harus berbuat sesuatu. Tali asmara yang mengikat Srintil kepada Rasus harus
diputuskan. Mula-mula Nyai Kartareja mencari sebutir telur wukan. Telur ayam yang tertinggal dalam
petarangan karena tidak bisa menetas itu diam-diam ditanamnya di salah satu sudut kamar tidur Srintil.
Mantera pemutus asmara dibacakan.
Niyatingsun matak aji pamurung
Hadi aing tampean aing cikaruntung nantung
Ditarbuan boeh sana, manci rasa marang
Srintil marang Rasus Kene wurung kana wurung, pes mimpes dening
Eyang Secamenggala 2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 6 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Pentil alum cucuk layu, angen sira bungker
Si Srintil Si Rasus Ker bungker, ker bungker kersane Eyang Secamanggala
Ker bungker, ker bungker kersane Sing Murbeng
Dumadi Adalah matera; susunan kata-kata yang menyalurkan sugesti dan kekuatan alam melalui jalur nonfisika
dan bebas dari hukum-hukum tentang energi maupun mekanika yang biasa. Kekuatan itu tak terelakkan
kecuali oleh kekuatan lain yang segaris namun berlawanan arah. Dan, mantera yang dipasang oleh Nyai
Kertareja secara tak sengaja telah mendapat tandingannya. Yaitu ketika suatu malam Srintil ingin
kencing. Karena malas keluar kamar Srintil memilih salah satu sudut kamar tidurnya sebagai tempat
melepas hajat. Di sana ada bagian lantai yang gembur bekas cungkilan baru. Adalah layak bila Srintil
menganggap bagian tanah tersebut bisa dikencingi karena cepat meresap air, tak peduli di tempat itulah
Nyai Kartareja menanam telur wukan yang telah dimanterainya. Tanpa disadarinya Srintil melumpuhkan
mantera yang ditujukan kepadanya.
Sudah dua kali Srintil menolak naik pentas. Perbuatan yang sangat mengecewakan suami-istri Kartareja
dan terutama orang yang mengundangnya, oleh Srintil hanya diberi dalih enteng: malas!
Tetapi Srintil tidak malas melakukan perbuatan yang lucu di mata orang-orang Dukuh Paruk;
bercengkerama dengan anak-anak gembala yang kebanyakan masih bertelanjang badan. Tanpa canggung
Srintil ikut berlari-lari menghalau kambing. Atau duduk di bawah pohon dan membantu anak-anak
gembala membuat layang-layang dari daun gadung. Srintil bisa menyatu dengan kegembiraan anak-anak
yang menjadi lebih ceria karena mendapat teman bermain istimewa. Mula-mula anak-anak gembala itu
merasa rikuh namun akhirnya mereka cepat akrab.
"Dulu saya juga seperti kalian, senang bermain-main di tegalan sambil menggembala kambing," kata
Srintil. Tangannya sibuk membuat mainan baling-balik dari daun kelapa.
"Kakak juga pintar menangkap capung dengan getah nangka?" tanya seorang anak.
"Ah, itu gampang. Kalau mau dengan getah nangka malah bisa menangkap burung kedasih," jawab Srintil
dengan gaya seorang ibu yang bijak.
"Pernah seperti ini?" kata seorang anak lainnya yang membawa tahi sapi kering yang membara sebagian. Di
atas bara itu ada seekor jarigkrik yang sedang dibakar. Srintil tersenyum.
"Oh, tentu saja. Aduh, gurih nian jangkrik bakar itu, bukan?"
"Kakak mau" Silakan ambil."
"Boleh?" "Ambillah!" Anak-anak memperhatikan dengan minat yang penuh ketika Srintil mengunyah jangkrik yang dibakar
dalam bara tahi sapi kering itu. Semacam lambang keakraban, dan anak-anak gembala itu bersorak-sorai.
Seorang yang paling besar di antara mereka maju mendekati Srintil. Di tangannya ada bambu seruas.
"Benar juga, Kakak rupanya dulu suka bermain-main seperti kami. Tetapi apakah Kakak bisa menebak isi
tabung ini?" "Gangsir," jawab Srintil setelah mencoba berpikir.
"Bukan." "Buah salam." "Bukan." 2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 7 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
"Kepik hijau." "Bukan." "Nah, aku menyerah."
"Betul?" "Ya." Anak gembala itu membalikkan tabung hingga isinya jatuh ke tanah. Srintil menjerit dan melompat, tepat
seperti gadis kecil yang ketakutan. Seekor ular angon merayap bebas setelah sekian lama terkurung dalam
tabung bambu. Sekali lagi terdengar sorak-sorai anak-anak gembala. Srintil mengejar si Nakal, mencubit
pahanya. Anak itu meringis, namun kelihatannya dia tidak menyesal bila Srintil terus mencubitnya.
Suatu ketika Srintil merasa benar-benar ingin menyendiri. Jenuh mendekam dalam kamarnya ronggeng itu
keluar menuju tepian dukuh. Di sana, di bawah pohon nangka Srintil dahulu menghabiskan sebagian besar
waktu bermainnya. Dipungutnya selembar daun yang jatuh lalu diremasnya. Aneh, Srintil merasa ada
sesuatu yang terlampiaskan ketika daun yang tak bersalah itu remuk dalam genggamannya.
Tidak jauh dari tempat itu dua ekor anak kambing melompat-lompat dalam gerakan yang amat lucu.
Kemudian mereka berlomba mencari selangkangan induknya buat menetek. Ulah kedua kambing itu
kelihatan kasar. Tetapi induk mereka membiarkan tetek yang menggembung penuh daya hidup itu diperah
dan disodok-sodok. Srintil memperhatikan perilaku induk dan anak itu tanpa kedipan mata. Srintil
tersenyum. Kali ini senyumnya disertai oleh kontraksi kelenjar teteknya sendiri serta rangsangan aneh
pada urat-urat sekitar rahim. Tiba-tiba hasrat hendak memeluk seorang bayi mendesaknya demikian kuat.
Hampir pada saat yang sama rasa cemas karena mungkin Nyai Kartareja dengan caranya sendiri telah
mematikan indung telur dalam perut Srintil membuat ronggeng itu sesak napas. Perang yang seru terjadi


Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam dadanya yang ditandai dengan sepasang garis basah yang turun dari mata ke pipi Srintil. Ada sebuah
pertanyaan yang buat kali pertama muncul di hatinya; mengapa diriku seorang ronggeng" Pertanyaan itu
datang dari perkiraan Srintil; kalau dia bukan seorang ronggeng Rasus takkan meninggalkannya dengan
cara begitu saja. Khayalan Srintil terkacau oleh deru sepeda motor yang memasuki Dukuh Paruk. Di kecamatan Dawuan dan
sekitarnya hanya ada dua kendaraan seperti itu. Yang satu milik siten wedana, lainnya milik Marsusi,
seorang kepala perkebunan karet Wanakeling. Siapa pun di antara keduanya yang bersusah payah datang
ke Dukuh Paruk, rasanya hanya untuk satu tujuan. Srintil tertegun sejenak lalu bangkit dan berjalan
mengendap-endap menjauhi rumahnya. Pelarian kecil itu berakhir di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk
yang menerimanya dalam kesunyian.
Ada celeret melayang dari satu pohon ke pohon tanpa suara. Ada kucica betina sibuk membawa kapuk
bunga gelagah untuk bantalan sarangnya. Di dekat sebuah batu nisan seekor tabuan sedang menarik-narik
ulat besar yang sudah dilumpuhkannya. Dan Srintil terkejut ketika terdengar suara tokek dari bubungan
cungkup makam Ki Secamenggala.
Kelengangan pekuburan Dukuh Paruk menjadi ibu bagi seorang anak yang ingin memahami apa yang
sedang melintas dalam hidupnya. Srintil mengadukan kebuntuan rasanya kepada berjenis-jenis anggrek
liar yang menempel pada tubuh batang beringin besar, kepada relung-relung pakis yang berjumbai-jumbai
di lereng curam atau kepada terotok kayu mati yang dipatuk burung pelatuk. Santunan mereka yang
demikian ramah membuat Srintil merasa betah tinggal di tempat yang tersembunyi itu hingga matahari
terbenam nanti atau bisa lebih lama lagi. Dalam kelengangan di pekuburan itu alam mengajaknya bicara
banyak-banyak melalui bau tanah dan wanginya bunga kemboja. Melalui denging agas yang mengitari
kepalanya atau melalui kelembutan lumut yang menutupi batu-batu lembab. Srintil larut dalam haribaan
ibunya, merasa dimengerti dan dimanjakan. Khayalannya bcbas mengawang dan akan terus
melayang-layang apabila tidak datang seseorang yang mengusiknya.
"Srin, pulang. Ada tamu."
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 8 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Srintil terkejut sebelum kesadarannya pulih. Tanpa menoleh ke arah sumber suara dia tahu siapa yang
datang. "Pulang, Srin. Kau ditunggu," ulang Nyai Kartareja dengan suara tanpa tekanan memerintah. "Kau harus
tahu siapa tamumu kali ini; Pak Marsusi, kepala perkebunan karet itu."
Srintil mengerdip tanda mengerti.
"Nah, ayo pulang."
"Aku belum ingin pulang," jawab Srintil tanpa emosi.
"Eh, jangan begitu, Wong Ayu," kata Nyai Kartareja sambil mengatur dirinya duduk di samping Srintil.
"Kamu tak boleh menyepelekan tamu. Apalagi tamu kali ini bukan sembarang orang."
"Ya, tetapi aku tidak ingin pulang."
"Kalau aku menjadi kamu, Srin, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Menggonceng motor ubluk
bersama Pak Marsusi ke kota. Pelesir ke mana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau belur pernah melihat
tontonan itu, bukan" Kepada Pak Marsusi kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau
kau minta kalung seperti yang dipakai istri lurah Pecikalan?"
"Sudahlah, Nyai. Pulanglah dulu. Aku akan menyusul kemudian. Aku mau mandi dulu."
"Bagus. Wong Ayu. Tetapi betul, ya. Kamu kami tunggu."
Srintil mengangguk ringan.
Diperhatikan induk semangnya yang sedang berjalan menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk. Tak lama
kemudian Srintil pun ikut turun. Bukan mengikuti jalan Nyai Kartareja, melainkan jalan lain yang tidak
menuju pancuran atau menuju rumahnya. Srintil melangkah cepat ke arah jalan yang membawanya keluar
dari Dukuh Paruk. Langkahnya cepat dan panjang-panjang. Kepada orang-orang yang kebetulan
berpapasan Srintil hanya tersenyum atau mengangguk ringan. Sampai di pematang yang menuju Dawuan,
Srintil mempercepat jalannya. Matahari yang sudah melewati titik kulminasinya menyiram ronggeng itu
dengan pancaran terik yang menyakitkan kepala. Srintil terus berjalan, terkadang sambil mengangkat
tangan kirinya untuk mengurangi terik matahari ke arah wajahnya./bp/
* Di rumahnya Nyai Kartareja mulai merasa was-was karena ternyata Srintil tidak segera mengikutinya
pulang. Marsusi, laki-laki berusia lima puluhan, sudah gelisah di tempat duduknya. Caping wol Stetson
sudah beberapa kali dipasang di kepala dan dilepas lagi tanpa tujuan tertentu. Akhirnya Marsusi keluar
mengambil sesuatu di bagasi motornya. Sebuah botol persegi dibawanya masuk. Penantian yang
menggelisahkan harus ditemanijenewer, pikirnya. Minuman keras itu ditenggak langsung dari botolnya.
"sampean tadi mengatakan Srintil ada di rumah. Lalu manakah dia?" tanya Marsusi sambil meletakkan
botolnya dengan agak kasar.
Nyai Kartareja menyembunyikan kebimbangannya di balik senyum ramah.
"Betul, Pak. Tadi Srintil berkata hendak mandi dulu. Ah, anak ini. Ke mana dia?"
"Coba susul lagi. Bila benar sedang mandi mengapa bisa demikian lama?" ujar Kartareja.
"Nanti dulu," kata Marsusi yang kelihatan tidak sabar karena menunggu Srintil sekian lama. "sampean
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 9 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
berdua yang memelihara Srintil di sini, bukan?"
"Benar, Pak." "Lalu" Apa kalian kira aku datang kemari buat duduk-duduk nganggur seperti ini" Katakan saja; Srintil
sedang dipakai orang lain atau Srintil sedang pergi entah ke mana! Jangan biarkan aku jadi gusar, orang
Dukuh Paruk!" Kartareja hanya bisa menoleh kiri-kanan. Bibirnya bergerak-gerak namun tak sepatah kata pun terdengar.
Bahkan kemudian dukun ronggeng ini duduk membeku dengan mata melukiskan rasa takut ketika Marsusi
bangkit dan mendekat. Caping wol dibantingnya ke atas meja.
"sampean berdua ini orang dukuh yang tidak tahu diuntung! Aku tidak pernah lupa bahwa semacam
sampean ini mendapat rejeki dari orang seperti saya ini. Nah! Mengapa sampean berdua jadi banyak
tingkah" Sekarang jawab pertanyaanku; bisakah kalian membawa Srintil kemari sekarang juga" Kalau
tidak, mampus saja. Jangan coba-coba menjadi dukun ronggeng!"
Apabila Kartareja makin membeku oleh kekasaran Marsusi maka lain halnya dengan istrinya. Nyai
Kartareja mempunyai seribu pengalaman menghadapi laki-laki dan dunianya. Dari yang masih bocah
sampai yang perjaka, dari yang baru belajar mengenal perempuan sampai yang sudah matang seperti yang
sedang gusar di hadapannya itu. Atau karena pekerjaan seorang istri dukun ronggeng yang ternama ialah
mengerti secara tepat situasi hati seorang laki-laki yang datang kepadanya, menampung keluh-kesahnya,
menyalurkan renjananya dan meredam emosinya. Demi keberhasilan pekerjaannya Nyai Kartareja tak
pernah meninggalkan resep; seorang laki-laki yang datang kepadanya, meski yang sudah beruban sekalipun
akan dianggapnya sebagai bayi. Bayi yang mudah terlena oleh kelembutan nina-bobo dan mudah diakali
dengan senyum yang teduh serta bujukan manis.
"Aduh. Nak, eh, Pak. Benar jugalah bila sampean menjadi gusar semacam ini. Kami pun bisa mengerti
mengapa sampean kehilangan kesabaran. Ini semua karena kesalahan kami. sampean dari rumah
membawa kejenuhan atau kegemasan yang seharusnya segera cair di rumah ini. Ya, ya. Pokoknya
kehendak seorang priyayi seperti sampean pasti akan kami utamakan. Masalahnya, Srintil yang sampean
kehendaki masih kekanak-kanakan. Ah, sampean jangan lupa; Srintil masih demikian hijau. Maka siapa pun
yang menghendaki kesegarannya harus sedikit bersabar."
"Dengar, Pak. Srintil masih segar seperti kecambah," sambung Nyai Kartareja sambil menyentuh dada
Marsusi dengan lembut. "Saya tidak mencari perempuan lumutan," kata Marsusi. Nada bicaranya jatuh pada tempo yang rendah.
"Nah! Kecambah itu kami sediakan buat sampean. Soalnya kini terletak kepada kesabaran sampean itulah
karena Srintil sudah beberapa hari merajuk."
"Nanti dulu. Me-ra-juk?"
Hening. Nyai Kartareja membiarkan pertanyaan Marsusi buat sementara mengawang. Andaikan Marsusi
tahu bahwa senyuman Nyai Kartareja yang kelihatan begitu wajar adalah sebuah taktik profesional. Atau
setidaknya, senyum itu menandakan Nyai Kartareja telah merasa membuat langkah awal yang tepat untuk
menguasai keadaan. "Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak. Srintil
sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri lurah Pecikalan; sebuah rantai emas seberat
seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi
keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah dengan kami yang melarat ini. Oh, Srintil. Mentang-mentang
cantik mudah saja dia memberi beban berat kepada kami."
"Hm," lenguh Marsusi. Hanya itu.
Yang terjadi kemudian adalah tawar-menawar yang berlangsung dalam keheningan. Nyai Kartareja merasa
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 10 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
dirinya berada di atas angin. Langkahnya telah berhasil melumpuhkan murka Marsusi sekaligus
menempatkan laki-laki itu dalam selmah taruhan harga diri. Perhitungan istri dukun ronggeng itu terbukti
cermat. Marsusi memang bukan laki-laki kemarin sore yang tidak tahu akan adanya maksud tertentu dalam
kata-kata Nyai Kartareja. Masalahnya Marsusi kini merasa secara tidak langsung diperbandingkan hanya
dengan seorang lurah. Martabatnya sebagai priyayi kepala perkebunan terusik. "Seorang priyayi seperti
sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil," itulah kata-kata Nyai Kartareja yang
melecut hati Marsusi. "Hm," lenguhnya lagi.
Marsusi kembali ke tempat duduknya. Ditenggaknya minuman keras yang masih tersisa. Wajahnya beringas
oleh pengaruh alkohol atau oleh kerusuhan dalam hatinya. Dalam hati dia mengutuk Nyai Kartareja yang
telah memasang pemerasan terselubung. Aneh, Marsusi tak kuasa mendobrak jebakan halus itu, bahkan
menerima apa adanya sebagai tantangan. Dipasangnya caping dengan tergesa-gesa kemudian Marsusi
bangkit. "Aku mau pulang, Nyai!"
"E, lho?" ujar Nyai Kartareja pura-pura kaget.
"Yah, bagaimana lagi bila Srintil ngambek seperti itu," sela suaminya.
"Nanti dulu, Pak. Tak ada pesan buat Srintil" Besok lusa sampean mau datang lagi, bukan?"
Marsusi yang sudah duduk di atas sepeda motornya menoleh. Cuping hidungnya bergerak-gerak. Sorot
matanya menyala. Gejolak emosinya disalurkan ke kaki yang menggenjot mesin kuat-kuat. Harley
Davidson sisa masa perang itu menderu dan laju diiringi tatapan mata anak-anak Dukuh Paruk yang penuh
kekaguman. Nyai Kartareja menjatuhkan pundaknya. Lega. Sekarang dia bukan hanya merasa telah mengatasi
kemarahan Marsusi yang gagal berjumpa dengan Srintil, melainkan sekaligus menjebak laki-laki itu dalam
sebuah tantangan. "Kita main tebak-tebakan, Ki," kata Nyai Kartareja kepada suaminya.
"Aku berani bertaruh; besok atau lusa Pak Marsusi akan kembali kemari. He-he. Seratus gram kalung emas
dengan bandul berlian; tantangan yang pantas buat Pak Marsusi. Apa katamu, Ki?"
"Kamu ini bagaimana" Pikir dulu di mana sekarang Srintil," jawab Kartareja dingin tetapi tandas.
Ada perubahan yang nyata pada wajah Nyai Kartareja. Dia tersadar akan masalah yang justru di hadapan
matanya. Karena bimbang Nyai Kartareja tak mampu meneruskan kata-katanya. Tidak lama, karena
kemudian wajah perempuan itu kembali cerah.
"Ah, kukira Srintil berada di rumah kakeknya sekarang. Aku akan pergi ke rumah Sakarya."
"Aku ikut," kata Kartareja sambil meraup tembakaunya.
"Nah, ayolah!" Di rumah Sakarya, suami-istri dukun ronggeng itu mendapatkan kenyataan yang mengecewakan. Srintil
tidak berada di sana. Bahkan keduanya mendapat teguran Sakarya yang bernada meminta
pertanggungjawaban. Kemudian datang seorang tetangga yang mengatakan melihat Srintil berjalan
tergesa-gesa ke luar dari Dukuh Paruk.
"Apa sampean berdua tidak mengerti semua ini terjadi karena ada sesuatu antara cucuku dan Rasus?" kata
Sakarya, nadanya menuduh. "Dua kali sudah Srintil menampik panggilan naik pentas. Kini dia malah
minggat. Bagaimana ini?"
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 11 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Nyai Kartareja mendan ludah. Dia teringat akan telur wukan yang ditanamnya diam-diam dalam bilik
Srintil. Heran, mengapa kali ini ikhtiarnya tidak mempan.
"Nanti dulu," sela Nyai Sakarya. "Apabila Srintil suka kepada Rasus, apa salahnya kita membantu agar
mereka bisa kawin?" Sakarya diam. Kakek Srintil itu menangkap kebenaran dalam kata-kata istrinya. Pada dasarnya Sakarya
merasa mempunyai seorang cucu yang menjadi istri tentara tak perlu ditolak oleh siapa pun di Dukuh
Paruk. Namun bagi Sakarya masalahnya memang tidak begitu mudahnya.
"E, lha!" ujar Kartareja tertuju kepada Nyai Sakarya. "Tentu saja tak ada yang salah bila Srintil kawin
dengan Rasus. Itu bila cucumu tidak menjadi ronggeng pengemban nama Dukuh Paruk."
"Lalu sampean, Sakarya," kata Kartareja ganti kepada kakek Srintil. "Jaga jangan sampai sampean
mempunyai pikiran seperti istri sampean. Ingat kewajiban sampean sebagai pemangku dan kamitua
anak-cucu Ki Secamenggala di dukuh ini. Tanggung jawab sampean tidak membenarkan sampean
mementingkan kepentingan sendiri."
Sakarya terbatuk dan mengangguk.
"Ya. Tetapi sampean berdua harus berusaha membawa kembali Srintil. Kalian harus menemukan Srintil di
mana pun sekarang dia berada."
"Baik. Aku sanggup mencari dan menemukan Srintil," kata Nyai Kartareja penuh kepastian.
"Nah, begitulah. Namun hati-hati. sampean tak boleh berlaku kasar terhadap cucuku meskipun dia telah
merepotkan kita," ujar Nyai Sakarya.
"He, kapankah aku menyakiti cucu sampean" Bahkan, siapakah yang telah membuat Srintil kini mampu
memiliki harta dan perhiasan sekian banyak" sampean menyuruhku berhati-hati. Tetapi sampean sendiri
tidak berhati-hati dalam berkata!"
"Sudah, sudah!" suara Kartareja dan Sakarya terdengar hampir bersamaan.
*** Matahari masih terik ketika Srintil turun dari andong di depan pasar Dawuan. Titik-titik keringat di pucuk
hidungnya. Tengkuk dan pipinya segar dan hidup, memberi kesan kulit seorang anak usia sepuluh tahun.
Bahwa Srintil sebenarnya tidak siap mengunjungi pasar terlihat dari roman mukanya yang beku serta
pakaian dan rambutnya yang demikian acak-acakan.
Namun dalam keadaan demikian keremajaan Srintil kelihatan wajar. Kalaulah ada sesuatu yang
menodainya, maka hanya orang-orang yang sangat berpengalaman yang bisa mengetahuinya. Lihatlah
kedua pangkal alis ronggeng itu yang mulai turun masuk ke cekungan rongga mata. Bagi orang-orang yang
sangat berpengalaman hal itu adalah tanda bahwa seorang perempuan betapapun muda usianya, sudah
memasuki keaktifan kehidupan berahi.
Setelah membayar ongkos andong, Srintil tidak segera memasuki pasar melainkan hanya membuat
beberapa langkah ke tepi jalan. Belum sekaii pun Srintil kelihatan begitu canggung dan asing di pasar
Dawuan. Dia tetap berdiri di tepi jalan hingga beberapa waktu lamanya. Tatapan matanya kosong, tanpa
makna. Biasanya kedatangan Srintil di pasar Dawuan menimbulkan gairah yang spontan. Orang-orang lelaki
bersiul-siul atau membuat seloroh erotik. Orang-orang perempuan mengintip tangan, telinga, atau leher
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 12 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Srintil untuk mengetahui adakah perhiasan-perhiasan baru di sana. Kemudian menyusul celoteh spekulasi;
gendak Srintil kali ini adalah si Anu atau Bapak Anu, pangkatnya ini atau kerbaunya sekian belas.
Tetapi hari itu orang-orang pasar Dawuan banyak menahan diri. Srintil memasuki pasar dengan mendung
membayangi wajahnya. Mulutnya terkatup dengan garis bibir datar lurus. Pangkal alisnya bertemu pada
lipatan di tengah dahi. Dalam kesan keseluruhan Srintil siap menampik segala bentuk seloroh dan
senda-gurau. Orang-orang melihat Srintil dengan pandangan mata mengandung tanda tanya. Perempuan-perempuan
saling berbisik. Celoteh ringan mulai terdengar dari sudut-sudut pasar.
"Ada apa, dunianya kelihatan gulita?" kata perempuan pedagang ubi kepada rekan di sebelah. Sudut
matanya terarah kepada Srintil.
"Nah, saya bisa mengira-ngira," jawab temannya. "Kalau ada seorang ronggeng merengut seperti itu tentu
telah terjadi sesuatu dengan pamongnya."
"Maksudmu, Nyai Kartareja?"
"Ya. Seorang dukun ronggeng suka mengatur segala urusan, bahkan sering kali ingin menguasai harta anak
asuhannya." "Itu cerita lama. Aku tahu seorang ronggeng sering kali dianggap sebagai ternak piaraan oleh induk
semangnya. Lihatlah dalam musim orang berhajat atau masa lepas panen; ronggeng naik pentas setiap
malam. Siang hari dia mesti melayani laki-laki yang menggendaknya. Sementara itu yang mengatur semua
urusan, lebih-lebih urusan keuangan, adalah si dukun ronggeng. Kasihan, kan" Sebaliknya, kini suami-istri
Kartareja menjadi kaya, kan?"
"E! Kalian sedang bicara apa" Srintil yang kelihatan kusut itu?" kata perempuan ketiga yang datang
bergabung. "Kalian jangan berpikir yang bukan-bukan. Dengar. Srintil berada di sini dalam usaha melarikan
diri dari tangan seorang laki-laki yang tidak tahu diri. Laki-laki itu kukira, tidak mau tahu bahwa Srintil
sedang datang bulan. He-he-he."
"Ah, mana bisa begitu. Perhatikan sekali lagi, kain Srintil tak bernoda, tumpalnya tidak dilipat. Jadi dia
dalam keadaan bersih."
"Kita memang telah berbicara berlebihan. Kukira Srintil seperti kita juga yang kadang merasa demikian
sebal terhadap laki-laki. Jadi yang menyebabkan Srintil murung adalah perkara sederhana. Dia sedang
diamuk rasa jenuh dan muak terhadap laki-laki. Itu saja."
Celoteh di sudut pasar itu berhenti karena kehabisan bahan. Perempuan-perempuan itu memperhatikan
Srintil memasuki warung penjual lontong. Di sana Srintil duduk satu lincakbersama perempuan pemilik
warung. Karena penampilan Srintil yang kaku, perempuan penjual lontong itu menjadi salah tingkah.
"Man makan, Jenganten?"
"Tidak, Yu. Aku hanya mau minum dan beristirahat sebentar di sini. Boleh kan?" jawab Srintil tanpa
melihat pemilik warung. Sejumlah besar air dingin yang bening dihabiskan Srintil. Apabila air mampu menghidupkan kembali tanah
yang mati atau menggugah biji-bijian agar tumbuh menjadi kecambah, maka air pulalah yang bisa
menjinakkan kegelisahan Srintil dengan pertama-tama memperlambat denyut jantungnya.
Termangu-mangu di ataslincak, Srintil merasakan kesejukan air sedang mendinginkan badannya yang
semula panas oleh terik matahari dan panas oleh galau pikirannya. Sementara itu di dalam hatinya sedang
berlangsung penataan kembali keimbangan antara emosi dan rasa. Proses penguasaan diri yang
berlangsung dalam diam itu ternyata menghabiskan banyak tenaga, terbukti dari terbitnya titik-titik
keringat di seluruh permukaan kulit ronggeng Dukuh Paruk itu. Suatu kegiatan metabolik dalam intensitas
2/19/2008 10:21 AM

Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

LINTANGKEMUKUSDINIHARI 13 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
tinggi yang kemudian menuntut mekanisme tubuh Srintil beristirahat. Denyut kantuk pertama kelihatan
pada kerdipan mata Srintil yang lamban. Ketika itu Srintil melihat bayangan Rasus muncul di hadapannya.
Namun angin yang berembus pelan membuat matanya semakin redup. Rasa kantuk tak tertahankan lagi
olehnya. "Yu, aku sangat ngantuk. Aku mau tidur di sini barang sebentar. Boleh kan?" kata Srintil sambil
merebahkan diri. Pelupuh lincak berderit.
"E, Jenganten ini bagaimana" Orang mengatakan, tidak boleh orang tidur di warung Ora ilok, nanti
warungku tidak laku. Nanti..."
Perempuan pedagang lontong itu tidak ingin berkata lebih jauh karena melihat kenyataan di hadapannya.
Rasa keibuannya tergugah oleh sebentuk tubuh yang tergolek demikian damai. Sosok Srintil yang muda dan
lentur, wajah yang teduh dalam tidur mengingatkan perempuan itu akan anaknya yang masih bayi dan kini
ditinggal bersama neneknya di rumah.
Dalam keadaan lelap keakuan Srintil hampir punah. Menjadi tidak penting lagi apakah dia bernama Srintil
atau apakah dia ronggeng Dukuh Paruk. Tak ada lagi atribut apa pun yang tepat bagi sebuah subyek yang
kini terdampar di atas lincak itu. Dia hanya pantas disebut sebagai bagian alam yang bernama anak
manusia yang jelas sekali ingin mengundurkan diri barang sejenak dari keakuannya. Yang serempak
muncul ke permukaan adalah kesan memelas, kesan yang menjadi daya tarik utama seorang bayi.
Ternyata bukan hanya pedagang lontong yang bersimpati kepada Srintil, melainkan juga sebagian besar
orang yang berada di pasar Dawuan. Alam menagih janji kepada mereka; alam yang setiap hari mengasah
naluri mereka sehingga mereka dapat merasakan bahwa Srintil sedang berada dalam kesempitan sehingga
pantas mendapat pembelaan. Tidaklah penting bagi orang-orang pasar Dawuan itu untuk mengetahui apa
sebenarnya yang membuat Srintil tampak merana. Manifestasi sikap mereka menjadi jelas ketika satu jam
kemudian muncul Nyai Kartareja di gerbang pasar Dawuan. Perempuan-perempuan penjual ubi melihat
wajah kaku istri dukun ronggeng itu. Sorot mata yang keruh dan rambut yang disanggul tinggi-tinggi
memperkuat kesimpulan bahwa sedang ada ketegangan antara Nyai Kartareja dan Srintil. Atas dasar
tuntunan naluri yang paling bersahaja orang-orang pasar Dawuan bertindak melindungi ronggeng Dukuh
Paruk itu. "Ah, Nyai Kartareja. sampean sedang mencari Srintil, bukan?" tanya seorang perempuan pedagang ubi.
Yang ditanya mengangguk kaku.
"Nah, dia tidak ada di sini. Kulihat Srintil tadi terus ke selatan."
"Seorang diri?"
"Ya. Dan Srintil kelihatan sangat murung. Ada apa ya, Nyai Kartareja?"
Pertanyaan yang bernada campur tangan itu menyinggung perasaan Nyai Kartareja. Dia tidak menjawab,
bahkan berbalik keluar pasar Dawuan dalam langkah yang panjang-panjang.
Kegiatan pasar Dawuan sebenarnya hanya berlangsung pagi hari. Setelah matahari tergelincir sebagian
pedagang sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang tinggal adalah mereka yang tidak mungkin setiap
kali membawa dagangannya pulang-balik. Mereka adalah penjual barang-barang tembikar, penjual tikar,
pedagang ubi, serta pemilik warung makanan yang melayani pembeli hingga sore hari. Para pedagang
keliling juga menggunakan pasar Dawuan sebagai terminal peristirahatan.
Pada sore hari banyak los berisi orang yang menggelar tikar; tidur berleha-leha atau duduk berkeliling,
bermain kartu. Udara yang panas membuat orang-orang kehilangan gairah bekerja. Mereka mengharapkan
suasana yang santai. Seperti burung perkutut di pohon kenari di belakang pasar. Tubuhnya lenyap dalam kerimbunan dedaunan
agar bebas dari sengatan sinar matahari. Namun merdu suaranya mencapai si betina jauh di seberang
sana. Bila yang dipanggil sudah datang maka perkutut jantan mengubah nada suaranya menjadi lebih
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 14 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
rendah dan lembut. Demikian lembut sehingga terdengar baur dengan suara angin yang menyapu
pepohonan. Sepasang burung perkutut merasa perlu menciptakan suasana pribadi untuk mencari
keselarasan dengan alam. Udara yang panas, angin yang berembus pelan, dan suara perkutut adalah
sebuah harmoni yang bersumber dari naluri alam sendiri.
Arif seperti sepasang perkutut itu adalah Wirsiter bersama Ciplak, istrinya. Pasangan penjaja musik kecapi
itu tahu betul saat yang tepat di mana musiknya menjadi kebutuhan para pelanggan. Mereka muncul di
pasar Dawuan ketika orang-orang di sana berada dalam puncak kebosanan pekerjaan rutin. Sehabis
bekerja sepanjang pagi hari orang-orang pasar itu mengharapkan kedatangan suasana selingan yang lebih
renyah dan ringan. Wirsiter dan istrinya tak pernah rela disebut tukang ngamen, apalagi disebut sebagai pengemis yang
berpura-pura menjual musik. Mereka tidak akan menggelar musik di hadapan siapa pun, termasuk
pelanggan yang tidak memintanya. Untuk mendukung sikap ini mereka selalu tampil bersih. Pakaian
mereka selalu rapi; Wirsiter dengan blangkon, baju lurik serta kain batik yang diwiru. Istrinya selalu
muncul dengan kain kebaya lengkap dengan selendang dan konde berhiaskan bunga melati. Bibir mereka
merah karena keduanya makan sirih.
Ada berbagai perkakas musik untuk menerjemahkan irama, keselarasan, bahkan renjana alam. Orang
Dukuh Paruk misalnya percaya penuh bahwa calung adalah perkakas yang tiada taranya untuk
menampilkan irama denyut jantung yang meriah dan hangat dalam rangsangan berahi. Kalau orang ingin
bertanya di manakah letak kekuatan musik calung, jawabnya sangat bersahaja; yakni kesederhanaannya.
Bukan berarti orang dengan mudahnya memotong-motong bambu, merangkainya kemudian jadilah
perangkat calung. Sederhana artinya, orang harus membatasi diri dalam campur tangannya ketika
mereka-reka bambu. Persyaratan-persyaratan yang bersifat alami lebih menentukan mutu perangkat
calung daripada keahlian tangan pembuatnya.
Calung yang sempurna hanya dihasilkan dari bambu hitam yang betul-betul kering. Tetapi orang tidak
boleh menjemurnya, apalagi memanggangnya di atas api. Bambu itu tidak boleh terluka sebelum
ditebang, baik luka oleh manusia atau luka oleh binatang mengerat atau patah ujungnya selagi masih
muda. Dia juga harus lurus dan langsing. Bambu yang tebal karena terlalu gemuk tidak baik untuk
membuat calung. Para pembuat calung tidak akan mengatakan bahwa tertib yang mereka patuhi itu
adalah cara mereka menempatkan diri dalam keselarasan Sang Empu Agung. Mereka hanya tahu, dengan
tertib itulah mereka akan memperoleh perangkat calung yang sebenar-benarnya. Bunyinya akan mampu
menerjemahkan suara puluhanblentung, iramanya bisa padu dengan suara curah hujan di atas atap ilalang
dan semangatnya adalah detak jantung yang bergairah.
Sama halnya calung, kecapi pun mengandalkan kekuatan pada kebersahajaannya. Bentuk umum sebuah
kecapi adalah kotak kayu bersegi lima dan memanjang. Pada salah satu bidangnya direntangkan
kawat-kawat dawai. Setiap helai kawat mewakili sebuah nada. Tangga nada ditentukan oleh tebal tipisnya
kawat serta sebuah bantalan logam tipis yang dipasang miring dan serong. Bantalan serong ini mengatur
jenjang panjang kawat-kawat dawai.
Tentang sebuah kecapi hendaknya orang tidak menanyakan soal presisi nada, patokan umum, apalagi
menerapkan pengetahuan akustik terhadapnya, setidaknya terhadap kecapi milik Wirsiter. Seniman
keliling itu tidak belajar teori tetek-bengek. Dengan alatnya yang demikian sederhana Wirsiter dan
istrinya melagukan keserasian alam. Guru mereka adalah kelap-kelip ribuan kunang ketika jatuh gerimis
senja hari. Atau lintasan buih yang hilang-tampak di antara bebatuan atau curah hujan yang menerpa
permukaan telaga yang tenang. Rasa dalam kesadaran sempurna; itulah guru utama Wirsiter dan istrinya.
Jadi Wirsiter bersama istrinya pergi ke sana kemari menjajakan musik yang memanjakan rasa, yang sendu,
dan yang melankolik. Musiknya tidak membuat orang bangkit berjoget, melainkan membuat pendengarnya
mengangguk-angguk menatap ke dalam diri atau terbang mengapung bersama khayalan sentimental.
Seperti pada sore hari yang panas itu orang-orang pasar Dawuan tepekur mendengarkan petikan kecapi
Wirsiter. Ciplak membawakan asmara dahana.
Li lali tan bisa lali Sun lelipur tan sengsaya 2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 15 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Katon bae sapolahe Kancil desa 'njang talingan
Aku melu karo ndika Lebu seta sari pohung Becik mati yen kapiran Seberkas lagu dan liriknya dibawakan oleh dua orang yang sejak kelahiran mereka menjadi murid alam.
Orang-orang yang sedang berjudi berhenti menjatuhkan kartu. Yang sedang tiduran berleha-leha
mengawang ke alam khayal antara tidur dan jaga. Perempuan yang sedang mengunyah sirih tetap
menggerak-gerakkan mulut, tetapi pikirannya terbang ke belakang, ke suatu masa yang paling berkesan
dalam hidupnya. Barangkali Wirsiter maupun Ciplak tidak bisa mengatakan mengapa mereka lebih banyak menyanyikan
lagu-lagu asmara. Dalam kenyataannya mereka hanya menuruti selera sebagian besar pelanggan. Atau
karena musik kecapi memang paling cocok untuk melukiskan perasaan asmara. Atau lagi; bila benar
bahkan kumbang tahi yang beterbangan di Dukuh Paruk pun diciptakan atas dasar motiyas, cinta agung,
maka Wirsiter bersama istrinya hanya patuh kepada naluri alam yang paling dasar.
Orang-orang di pasar Dawuan asyik terlena. Segala sesuatu lepas dari perhatian mereka, tak terkecuali
sebuah subyek yang sedang terdampar di atas lincak pedagang lontong. Musik Wirsiter mengantarkan
Srintil ke alam jaga dengan caranya yang paling santun. Perlahan-lahan Srintil membuka matanya. Namun
dia tidak melihat sesuatu karena pusat indrianya sedang bertumpu pada syaraf pendengaran. Memang,
Wirsiter dan istrinya dengan lagu asmara yang mereka kumandangkan tidak bermaksud menyentuh hati
Srintil. Namun ketidak-sengajaan mcreka tak urung mengusik kelenjar air mata ronggeng Dukuh Paruk
itu.Srintil bangkit, dan mengusap mata.
Perempuan pedagang lontong menoleh karena mendengar derit pelupuh bambu.
"Oh, sudah bangun, Jenganten" E, lha sampean menangis?"
"Tidak, Yu. Tidak."
"Jenganten ini bagaimana" jelas sekali sampean menangis. Sakit" Atau sebenarnya apa..."
"Tidak, Yu. Beri aku minum lagi," potong Srintil.
Penjual lontong tertegun. Ditatapnya Srintil yang sibuk mengusap air mata di pipi dan di kedua lubang
hidungnya. Lalu sadar bahwa Srintil bukan kanak-kanak lagi, karenanya dia layak mempunyai wilayah
pribadi yang tak usah diketahui orang lain.
"Anu, Jenganten, makan ya?"
"Aku tidak lapar, Yu."
"Ah jangan berdusta di hadapanku. Aku ini seorang ibu yang sudah cukup usia, jadi aku bisa membaca
tanda-tanda orang yang lapar. Bibir sampeankehilangan cahayanya. Lekuk di pangkal leher sampean
sangat kentara. Dan ketika tidur tadi perut sampean masuk ke rongga dada. Maka sekarang makanlah. Bila
tidak nanti tubuh sampean bisa rusak. Sayang, bukan?"
Srintil bukan tidak lapar. Sejak kemarin perutnya sudah terasa perih. Masalahnya dia hanya malas
menyuapkan makanan ke dalam mulut. Namun ketika sepiring nasi lontong dengan kuah panas siap di
hadapannya Srintil mengalah. Hidangan itu dihabiskannya dalam waktu singkat. Bibirnya, pipinya, merah
oleh panasnya kuah serta pedasnya sambal cabai. Keringat serta air matanya kembali menitik. Citra
hidupnya seakan menggeliat bangkit.
"Nah, benar kataku, bukan" Nasi lontong ini bisa membuat sampean lejar. Tambah, ya?"
"Terima kasih, Yu. Aku sudah kenyang."
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 16 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Srintil meninggalkan pasar Dawuan ketika orang-orang di sana masih asyik menikmati kecapi Wirsiter.
Banyak orang menoleh kepadanya tetapi tanpa komentar. Namun dalam hati mereka mencatat; baru
sekali inilah mereka melihat Srintil begitu lesu dan murung.
Baru beberapa langkah di luar pasar Srintil berhenti. Rasa bimbang menghentikan langkah-langkahnya.
Perilakunya yang serba canggung menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Seorang di antara
mereka mendekati Srintil dari arah belakang. Laki-laki berkaus putih dan bercelana hijau tentara itu tak
merasa salah ketika tangannya menggamit pantat Srintil. Tak diduganya Srintil membalas dengan tatapan
mata amarah. "Aku memang ronggeng, maka tangan laki-laki boleh hinggap di mana saja pada tubuhku.
Tetapi kini hatiku bukan lagi ronggeng. Bukan!"
Sayang. Teriakan keras Srintil hanya bergema dalam hati sendiri. Kopral Pujo yang berdiri satu jengkal di
hadapannya tidak mendengar teriakan itu. Namun setidaknya dia sadar kemarahan Srintil akibat
kelancangan tangannya bukan berpura-pura.
"Kira-kira dua jam yang lain Nyai Kartareja datang ke markasku mencari kamu. Wah! Seorang ronggeng
dicari di sebuah markas tentara. Lucu, ya?" kata Kopral Pujo sambil cengar-cengir untuk menutupi
penyesalannya. "Kamu sudah bertemu Nyai Kartareja?" sambungnya.
"Belum," jawab Srintil tak acuh.
"Kamu disangkanya pergi bersama Rasus."
"Oh?" "Begitulah. Padahal sudah tiga hari ini Rasus tidak ada di markas. Bersama Sersan Slamet, Rasus pergi ke
markas batalyon." "Oh" Jadi Rasus tidak ada lagi di sini?"
Kopral Pujo tidak mcnangkap perubahan mendadak pada wajah Srintil.
"Dia anak yang beruntung. Bila pulang nanti Rasus benar-benar sudah jadi tentara. Punya pangkat, punya
gaji. Wah, pokoknya seperti aku ini."
Srintil diam menunduk. Dan mengapa Kopral Pujo tidak mengerti bahwa sedang terjadi galau yang seru
dalam hati perempuan muda di hadapannya" Ketumpulan perasaannya menyebabkan Kopral Pujo juga
tidak berprasangka apa pun ketika Srintil bertanya,
"Kapankah kira-kira Rasus pulang?"
"Mana aku tahu. Tetapi kira-kira lama. Yang aku tahu, seorang seperti Rasus harus menempuh pendidikan
sebelum resmi diberi pangkat. Di mana dia akan dididik, entahlah. Aku baru tahu kalau Sersan Slamet
kembali ke markas." "Ya." ujar Srintil lirih.
Kini Kopral Pujo mengerti perubahan pada diri Srintil; matanya yang berkaca-kaca, sinar wajahnya yang
memudar dan napasnya yang terengah-engah. Kopral itu mengerutkan kening.
"Nanti dulu, Wong Dukuh Paruk! Aku jadi tidak mengerti. Adakah sesuatu antara dirimu dengan..."
"Tidak, Pak. Tidak!"
Srintil memutar badan lalu berjalan cepat meninggalkan Kopral Pujo yang kemudian berdiri termangu,
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 17 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
kemudian tersenyum sendiri sambil mengangguk-angguk. Dan, "Hm?" Tentang Rasus dan Srintil, Kopral
Pujo hanya tahu keduanya berasal dari Dukuh Paruk. Selama dalam pergaulan di markas, Rasus tak pernah
bercerita tentang ronggeng itu, apalagi tentang hubungan khusus di antara keduanya.
Entah dorongan apa yang menyebabkan Srintil kembali memasuki pasar Dawuan. Duduk di sebuah lincak
kosong Srintil memanggil Wirsiter dan istrinya dan meminta mereka menggelar musik. Selesai satu babak
Srintil meminta penjaja musik kccapi itu menyambungnya. Dan seterusnya, tanpa menghiraukan berapa
banyak uang yang harus dikeluarkannya.
Hingga matahari hampir terbenam pasar Dawuan masih berhiaskan suara kecapi Wirsiter dan tembang
yang dinyanyikan oleh Ciplak. Srintil menampilkan kegembiraan yang aneh. Terkadang Srintil tersenyum
sambil pacak gulu, tetapi senyumnya aneh. Terkadang ia ikut berduet dengan Ciplak, tetapi suaranya
parau, tidak polos. Semuanya memberi kesan perilaku Srintil bertentangan dengan apa yang sedang
dirasakan dalam hatinya. Lalu apa pula yang menyebabkan Srintil demikian marah ketika Ciplak minta berhenti bertembang.
"Kami sudah lelah, Jenganten," kata Ciplak.
"Sudah dua puluh babak."
"Ya, istriku benar. Lagi pula hari sudah hampir gelap," tambah Wirsiter.
Srintil mengerutkan kening hingga kedua pangkal alisnya hampir bertemu. Matanya bersinar-sinar.
"Sudah dua puluh babak; jadi sampean berdua takut aku takkan membayar semuanya. Begitu?" ujar Srintil
tajam. "Ah, jangan salah mengerti, Jenganten," kata Wirsiter merendah. "Hari sudah sandikala!"
Dengan tekanan kata pada "sandikala" Wirsiter bermaksud mengingatkan Srintit akan hari yang sedang
memasuki saat-saat paling peka. Senjakala: saat keimbangan ekosistem alam bergoyang karena siang
sedang beralih ke malam, karena sedang berlangsung perubahan intensitas sinar kosmik yang jatuh ke
bumi. Wirsiter takkan pernah berkata demikian. Dalam hidupnya hanya ada salah satu ketentuan bahwa
orang harus beristirahat di kala hari senja ketika Bathara Kala turun mencari mangsa. Bathara Kala harus
dihormat dan dipuja; satu hal yang tak bisa ditawar-tawar bagi Wirsiter dan istrinya. Menyimpang dari
tertib itu hanya berarti menyediakan diri menjadi umpan Sang Waktu.
Srintil dapat memahami kata-kata Wirsiter; senjakala adalah saat semua orang mengundurkan diri dari
keseharian untuk memenuhi selera alam. Namun tak urung kemarahan masih tergambar jelas di wajahnya.
Barangkali kemarahan Srintil akan berkepanjangan kalau tidak dilihatnya seorang nenek berjalan
terbungkuk-bungkuk mendekatinya. Suaranya terputus-putus karena napas yang terengah-engah sehabis
jauh berjalan. "Cucuku, Wong Ayu, kau di sini?" suara Nyai Sakarya langsung menyiram hati Srintil yang sedang panas.
Suara itu adalah suara paling akrab yang dikenal Srintil sejak masa kanak-kanak. Suara ibu tak pernah
didengarnya karena Srintil jadi yatim-piatu sejak bayi. Mata Nyai Sakarya yang sudah begitu redup karena
usia masih mampu memberi daya kepada Srintil yang kemudian bangkit perlahan-lahan. Sentuhan telapak
tangan renta yang jatuh di pundaknya terasa sejuk di hati Srintil. Dia berjalan menunduk ke luar pasar
Dawuan dalam rangkulan neneknya, menggigit bibir, dan matanya kembali berkaca-kaca.
Seorang nenek yang terbungkuk-bungkuk berjalan merangkul cucunya. Nyai Sakarya maupun Srintil
membisu. Namun dalam hati masing-masing sudah tumbuh kesepakatan; mereka berdua hendak pulang ke
Dukuh Paruk. Pedukuhan kecil yang terasing di tengah sawah itu adalah ibu mereka. Haribaan dan
pelukannya teduh dan mesra.
Mereka berhenti di sebuah angkruk di luar Dawuan sambil menanti saat senjakala lewat. Dalam kegelapan
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 18 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
yang mulai membayang keduanya tetap bungkam. Nyai Sakarya sudah tahu mengapa cucunya melarikan
diri dan Srintil sudah tahu pula mengapa Nenek mencarinya. Kemudian keduanya melayangkan ingatan
masing-masing kepada dua hal yang berbeda. Nyai Sakarya teringat akan orang tua Srintil - anaknya
sendiri - yang kedua-duanya meninggal dalam malapetaka racun bongkrek ketika Srintil baru berusia lima
bulan. Duka cita masa lalu yang tak mungkin terlupakan kini menjelma menjadi rasa sayang yang amat
sangat terhadap cucunya. Sementara Srintil yang tidak tahu-menahu soal malapetaka tempe bongkrek itu hanya teringat akan Rasus.
Dan Rasus kini menjadi sebuah teka-teki yang menyakitkan setiap kali bayangannya muncul di hati Srintil.


Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak Dukuh Paruk itu entah di mana sekarang. Srintil merasa ditinggalkannya dengan cara yang paling
tidak berperasaan. Perjalanan ke Dukuh Paruk diteruskan ketika bintang-bintang mulai terang. Lepas dari jalan besar Srintil
dan neneknya menapak pematang yang lurus menuju Dukuh Paruk. Gerumbul kecil itu meremang di
kejauhan. Kiri-kanan pematang adalah hamparan sawah yang sangat luas dan kini ditanami berbagai
palawija. Burung bence yang selalu berteriak-teriak bila ada manusia berjalan dalam gelap terbang hanya
beberapa depa di atas kepala cucu dan nenek itu. Suaranya berisik, seakan-akan seluruh malam adalah
miliknya yang sedang diusik.
Agak jauh di depan sepasang sinar kebiruan bergerak menyeberang pematang diikuti oleh dua pasang
lainnya. Srintil merapat ke tubuh neneknya.
"Belacan yang mengiringkan anak-anaknya." kata Nyai Sakarya yang mengerti akan ulah Srintil. Namun
Srintil kembali merapat ke tubuh neneknya ketika terdengar kegaduhan tak jauh di sampingnya. Sesaat
kemudian samar-samar terlihat seekor unggas besar mengapung ke udara dengan tikus sawah di cakarnya.
Burung hantu telah mendapat mangsa pertama di awal malam. Dia terbang megah sementara jerit tikus
mangsanya terdengar makin jauh makin sayup.
Malam telah sempurna gelap sebelum Nyai Sakarya dan Srintil mencapai Dukuh Paruk. Bulan tua baru akan
muncul tengah malam sehingga cahaya bintang leluasa mendaulat langit. Kilatan cahaya bintang-beralih
memberi kesan hidup pada rentang langit. Tetapi bila kilatan cahaya itu berlangsung beberapa detik
lamanya dia menimbulkan rasa inferior; betapa kecil manusia di tengah keperkasaan alam. Di bawah
lengkung langit yang megah Nyai Sakarya beserta cucunya merasa menjadi semut kceil yang
merayap-rayap di permukaan bumi, tanpa kuasa dan tanpa arti sedikit pun. /-bp./
Bagian Kedua Tampi berjalan terburu-buru menuju rumah Sakarya. Goder, anaknya yang baru sepuluh bulan melekat di
balik kain embanannya. Tangan kanan Tampi memegang sesuatu yang terbungkus tumpal kain. Sesisir
pisang raja; yang ini buat Srintil yang sudah beberapa hari tergeletak sakit. Badannya mulai kurus,
wajahnya pucat. Kesan kesegarannya, ciri utamanya yang paling menonjol selama ini, hampir lenyap.
Srintil enggan bercakap-cakap dengan siapa pun, enggan makan, bahkan senyumnya yang sangat khas
hilang sama sekali. Nah, kecuali pada saat Goder kecil datang bersama emaknya. Pesona bayi adalah pesona bunga-bunga,
pesona mayang pinang yang terurai dari kelopaknya di pagi hari atau pesona biru bunga bungur di awal
musim kemarau. Ulahnya selalu menawan, bahkan bau badan dan mulutnya adalah kesegaran ajaib yang
hanya alam sendiri mampu menciptakannya. Sinar matanya yang polos bening mampu memadamkan
murka seorang ayah. Bayi adalah kesejukan alam seperti demikian adanya sehingga seorang ibu misalnya,
takkan marah bila pangkuannya terkena kencing, bahkan tahi bayinya. Seorang bayi pastilah lebih dari
anak kandung ibunya karena dia sesungguhnya adalah anak kandung alam yang paling sah. Maka siapa pun
yang mau jujur dengan nuraninya akan mengakui bahwa semua bayi hidup dalam alam yang penuh
rahmat. Siapa yang merasa sedang diamuk rasa tidak menentu bisa mendapatkan keteduhan bila dia mau
menyelinap ke dalam dunia bayi.
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 19 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Srintil yang sedang merana secara ragawi maupun rohani bisa merasakan keajaiban suasana yang dibawa
oleh si kecil Goder. Meski badannya lemah dia berusaha duduk dan meminta Tampi menyerahkan bayinya.
Demikian setiap hari bila Tampi menjenguk Srintil di rumah Sakarya.
"Kula nuwun..."
"Oh, ya. Tampi, bukan" Mari masuk," ujar Nyai Sakarya menyilakan tamunya.
"Bagaimana keadaan Srintil, Nyai?"
"Lihatlah sendiri di kamar. Wah, harus bagaimana aku ini. Srintil masih enggan makan. Ketupat dia tak
mau, lontong yang kuberikan tadi pagi masih utuh sekarang. Bubur, apalagi."
Kamar tidur Srintil yang sesungguhnya berada di rumah Kartareja. Di sanalah dia sebagai ronggeng
menerima tamunya. Kamar di rumah Kartareja itu mewah menurut ukuran Dukuh Paruk. Tempat tidurnya
terbuat dari besi pejal, kasurnya tebal dan berkelambu. Orang seperti Tampi tak berani masuk ke dalam
kamar seperti itu karena rikuh.
Sementara di rumah neneknya, Srintil tidur dalam kamar seperti milik kebanyakan orang Dukuh Paruk.
Tempat tidurnya terbuat dari bambu seluruhnya kecuali empat tiang penyangganya. Alasnya adalah tikar
pandan dengan dua bantal yang sudah lusuh. Masuk ke dalam bilik seperti itu tak ada keraguan sedikit pun
di hati Tampi. "Bagaimana, Srin?" tanya Tampi setelah melangkahi pintu bilik.
Tubuh yang tergolek itu hampir tak memberi tanggapan apa pun. Matanya kosong dan cekung.
"Ini kubawa untukmu pisang raja yang matang di pohon. Wangi sekali," sambung Tampi. Bawaannya
diletakkan di samping tubuh Srintil.
"Ah, Yu. Aku tak ingin makan apa pun. Yang kuharapkan dari sampeanbukan makanan melainkan anakmu.
Nah, turunkan Goder biar bermain bersamaku. Tanganku sudah gatal ingin menimangnya. Mari."
Tampi tidak bisa menolak permintaan itu meski dia merasa kasihan ketika melihat Srintil dengan tenaga
yang sudah lemah berusaha bangun. Sebelum berpindah tangan Goder menatap emaknya, kemudian
berganti menatap Srintil. Yang sedang dicari oleh sepasang mata bening itu adalah ketulusan hati. Seorang
bayi dengan hati yang demikian bersih akan segera tahu sikap palsu di balik keramahan dan kehangatan
yang dibuat-buat. Dia pasti akan menangis di tangan seorang yang tidak bersikap tulus.
Di pangkuan Srintil, Goder tidak menangis bahkan melonjak-lonjak gembira. Ditarik-tariknya tali kutang
Srintil yang membuat ronggeng itu meringkik geli.
"Eh, kamu masih kecil. Nanti, kalau kamu sudah besar!" ujar Srintil.
"Bukan apa-apa, Srin. Goder hanya mau netek." "Ya, memang. Tetapi bocah bagus ini memang nakal.
Seperti ayahnya, barangkali."
Dua orang perempuan tertawa bersama. Tak ada kesan bahwa seorang di antara keduanya benar-benar
dalam keadaan sakit. Nyai Sakarya memanggil Tampi dari luar bilik.
"Kemarilah kamu, Tampi. Biarkan anakmu bergurau dengan Srintil."
Tampi menurut dan keluar dari bilik Srintil dengan wajah gembira; kegembiraan seorang ibu bila anaknya
mendapat perhatian khusus orang lain. Apalagi Srintil adalah warga Dukuh Paruk yang terkenal.
Dari luar bilik Tampi dan Nyai Sakarya masih mendengar ceria di balik dinding bambu. Keduanya
tersenyum-senyum karena bisa menghayati sepenuhnya kata-kata Srintil kepada Goder. Bukan hanya itu
mereka juga bisa membayangkan gerak-gerik Srintil ketika berkata,
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 20 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
"Cah bagus, bila kamu sudah besar nanti ini buat siapa" Buat saya, boleh, kan?" Atau,
"Malam ini kau tidur bersamaku di sini. Tak apa-apa, sungguh. Paling-paling akan kucubit pipimu yang
kenes ini. Paling-paling akan kucubit pantatmu yang gempal ini. Huh!"
Kasak-kusuk di dalam bilik itu terus berlanjut berselang-seling antara tawa ringan dan suara gemas Srintil.
Goder ngoceh amat lucu dan menangis bila Srintil terlalu bernapsu menciumnya. Ketika Srintil meringkik
agak keras Tampi dan Nyai Sakarya masuk ke dalam bilik. Mereka melihat Srintil meringis menahan rasa
geli dan sakit; Goder bergayut pada tetek ronggeng itu.
"He, kamu sedang meneteki Goder?" seru Nyai Sakarya terheran-heran. "Mana bisa, kamu belum pernah
melahirkan. Tetekmu belum berputing."
Srintil menggeliat, meringis sambil menahan napas. Tetapi dia bertahan ketika Tampi hendak mengambil
Goder dari tangannya. Coder menangis, entah karena tetek Srintil tidak mengeluarkan air susu atau
karena dia merasakan ada ketegangan menyelimuti ibunya, Srintil, dan Nyai Sakarya.
"Nah, apa kataku," ujar Nyai Sakarya. "Mana mungkin kau bisa meneteki bocah bila tetekmu kosong. Lagi
pula seorang perempuan yang sedang menyusui harus banyak makan, terutama sayuran. Sedangkan kau
sudah empat-lima hari ini tidak makan apa pun. Pokoknya tidak mungkin!"
Srintil mengalah dan hendak menyerahkan Goder kepada Tampi. Dan pada saat yang sama terpancarlah
kencing dari kulup bayi itu. Srintil basah pada bagian perutnya, tetapi dia malah tertawa gembira.
Hari-hari selanjutnya Srintil makin larut dalam dunia Goder, larut dalam ocehan bayi yang lucu menawan.
Sentuhan kulit bayi itu menggugah perasaan aneh pada diri Srintil. Demikian, maka entah apa yang
dirasakan Srintil ketika dia membenamkan hidung dalam-dalam ke pipi Goder. Pada saat seperti itu Srintil
kadang merasa begitu dekat dengan Rasus, kadang dia merasa dirinya adalah ibu kandung Goder tak
kurang suatu apa. Ibu kandung yang dengan senang hati menyediakan diri menjadi tanah bagi sebutir
kecambah yang sedang tumbuh, menjadi air yang mengalirkan kasih-sayang, dan menjadi pagar pelindung
bagi si kecambah. Amanat alam ini entah mengapa, menggema dalam sanubari Srintil dan biasnya
mencapai fitrah keibuannya.
Makin lama Srintil makin lekat dengan Goder, bayi Tampi. Sering kali Srintil menyuruh, jelasnya mengusir
Tampi pulang bila Goder sudah di tangannya. Hasrat meneteki Goder telah berubah menjadi renjana
jiwanya, renjana hatima, dan renjana sistem ragawinya. Maka alam jangan disalahkan bila Dia
menggerakkan kelenjar air susu Srintil bekerja meskipun ronggeng itu belum pernah melahirkan dan bukan
pula dalam masa menyusukan. Ketika kali pertama Srintil sadar teteknya mengeluarkan air susu maka dia
berurai air mata. Namun semangat hidupnya bangkit segera. Srintil kini banyak makan, banyak minum air
sayur, bahkan minta diramukan jamu pelancar air susu. Hanya dalam beberapa hari tubuhnya kembali
segar dan kelihatan lebih hidup.
Lihatlah seorang perempuan tujuh belas tahun dengan sepasang tetek yang penuh. Adalah di sana
gabungan antara kesegaran remaja dan citra kematangan seorang ibu; dua unsur utama pesona
perempuan bertemu pada diri seorang ronggeng Dukuh Paruk.
Srintil makin mempesona. Orang-orang Dukuh Paruk terutama yang tua-tua mengaku baru sekali inilah
pedukuhan kecil itu memiliki seorang ronggeng yang demikian cantik. Tetapi sesungguhnya orang-orang
Dukuh Paruk tidak akan puas dengan kecantikan Srintil. Mereka baru benar-benar puas bila Srintil sudah
kembali berjoget, kembali ke pentas ronggeng. Kecuali Tampi, tak seorang Dukuh Paruk pun
berkepentingan dengan Srintil yang ke sana kemari membopong bayi. Mereka tak peduli bahwa bayi itu
telah menjadi bagian hidup Srintil dan terbukti telah berhasil memberinya motivasi baru dan gairah baru
dalam hidupnya. Terlebih lagi orang takkan peduli karena tidak tahu bahwa ketika meneteki Goder, Srintil
merasakan kepuasan seksual yang setidaknya mengurangi kebutuhan seksual yang sebenarnya.
Orang-orang Dukuh Paruk tidak peduli semuanya. Mereka hanya ingin melihat Srintil kembali menari dan
menari. Bagi mereka apalah arti seorang ronggeng yang tidak menari, dan apalah arti Dukuh Paruk tanpa
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 21 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
suara calung serta lenggang-lenggok seorang ronggeng. Anggapan seperti itu terutama melekat demikian
kuat pada diri Sakarya, Kartareja, dan istrinya. Sakarya bukan hanya kakek Srintil; dia adalah orang yang
dituakan di Dukuh Paruk dan merasa mengemban amanat Ki Secamenggala untuk memangku kelestarian
Dukuh Paruk dengan segala coraknya. Pada masa hidupnya, pada bcberapa generasi lalu, Ki Secamenggala
- moyang semua orang Dukuh Paruk - bukan hanya penggemar ronggeng. Tokoh bromocorah ini memberi
wasiat turun-temurun agar ronggeng dan calung menjadi bagian lestari pedukuhan kecil itu.
Sementara itu suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng. Merekalah yang paling tahu segala
tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan serta statusnya sebagai dasar
mata pencarian. Dari ongkos pentas mereka mengambil bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada
bagian yang diterima Srintil. Dan keuntungan yang lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja
manakala mereka bertindak sebagai mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan
ingin tidur bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantaraan Nyai Kartareja. Maka baginya
untuk sementara tak mengapalah kalau Srintil masih enggan menari asalkan dia mau melayani laki-laki
yang menginginkannya. Ketika suatu malam Marsusi muncul kembali di Dukuh Paruk, tibalah saat bagi Nyai Kartareja meminta
Srintil kembali kepada kebiasaan semula. Dalam mempengaruhi Srintil, Nyai Kartareja menggunakan
segala kemampuannya karena dia tahu Marsusi pastilah membawa kalung emas seratus gram dengan
bandul berlian. Perhiasan seperti milik istri lurah Peeikalan itu telah lama menjadi buah mimpinya. Tetapi
kepada Marsusi dia mengatakan Srintil-lah yang menginginkannya.
Malam itu Srintil sedang berada di rumah kakeknya, Sakarya, mengayun-ayun Goder dalam embanannya.
Bahwa Nyai Kartareja akan datang menyusulnya sudah diperhitungkan oleh Srintil ketika dia mendengar
deru sepeda motor memasuki Dukuh Paruk. Kebimbangan mulai membayang pada wajahnya. Srintil belum
siap mengambil sikap apa pun. Yang pasti Srintil merasa tidak seperti dulu lagi. Semangat hidupnya
sebagian besar tersita oleh bayi gemuk yang kini lekat dalam embanannya. Kehidupan angan-angannya
terlanjur terpaut kepada anak Dukuh Paruk yang jadi tentara dan kini entah di mana, Rasus. Maka
mengapa tidak ada orang tahu sebenarnya Srintil terkejut ketika menyadari bahwa Dukuh Paruk masih
mengharuskan dirinya melayani laki-laki yang datang. "Jadi Dukuh Paruk tidak mengerti bagaimana aku
sekarang," keluhnya.
Dukuh Paruk dengan orang-orangnya memang tidak tahu banyak. Mereka hanya tahu Srintil jatuh hati
kepada Rasus dan bertepuk sebelah tangan. Apa dan sejauh mana akibat penampikan Rasus terhadap
Srintil tak pernah diperkirakan orang.
Ketika berbaring sakit beberapa hari lamanya Srintil merenungkan pengalamannya dengan dunia laki-laki.
Selama ini Srintil hanya menurut kepada Nyai Kartareja, lalu menerima uang atau perhiasan. Betapapun
dirinya seorang ronggeng Srintil merasa tidak mempunyai perbedaan dengan perempuan lain. Dia memiliki
perasaan khusus terhadap laki-laki tertentu dan dia merasa harus memiliki kesempatan memilih. Adalah
peruntungan Srintil mengapa laki-laki yang dipilih untuk dijadikan muara segenap hati dan perasaarmya
adalah Rasus; dia yang secara halus telah menampik dan meninggalkannya dengan cara yang menyakitkan.
Srintil masih terlalu muda untuk memahami keretakan-keretakan yang terjadi dalam dirinya sendiri. Pada
mulanya Srintil merasa sedih dan putus asa. Kemudian seperti yang diajarkan oleh Dukuh Paruk, Srintil
menganggap semua kegetiran yang dialaminya merupakan bagian garis hidup yang harus dilaluinya. Maka
pada dasarnya Srintil pasrah dan nrimosaja. Dalam hidup ini orang harusnrimo pandum; ikhlas menerima
jatah, jatah yang manis atau jatah yang getir.
Tetapi bahkan Srintil sendiri tidak merasa bahwa sesuatu telah menyusup ke alam bawah sadarnya.
Sesuatu itu adalah benih melembaga yang kelak akan mengubah sikap Srintil terhadap semua laki-laki.
Pada taraf pertama citra laki-laki yang berkembang di hati Srintil adalah dua wajah yang kesemuanya jauh
dari menyenangkan. Pertama adalah laki-laki jenis lembu jantan ataubajulbuntung seperti kebanyakan
mereka yang datang kepadanya. Mereka mendengus dan menggeram seperti macan berhasil menerkam
menjangan. Hampir semua dari mereka tidak mempunyai latar perkenalan sebelumnya dengan Srintil.
Melayani laki-laki yang baru dikenalnya mula-mula tidak mendatangkan masalah batiniah pada diri
ronggeng itu. Tetapi pengalaman yang sama bersama Rasus, laki-laki belia yang dikenalnya sejak masa
kanak-kanak dengan ikatan batin yang kuat, memberi Srintil sebuah perbandingan yang timpang. San
gat 2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 22 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
jauh berbeda; lebih berkesan, lebih banyak mengandung makna karena bukan hanya raga melainkan juga
jiwa yang menyatu. Lainnya adalah laki-laki jenismunyukyang lemah Mereka cengar-cengir, dan begitu mudah takluk tak
berdaya di hadapan seorang ronggeng cantik seperti Srintil. Mereka rela kehilangan apa saja kemudian
merengek hampir mengemis. Kalau mau Srintil bisa memberi segala perintah kepada mereka seperti
kacung. Para lelaki seperti itu gampang sekali bermulut bocor, menceritakan keburukan istri sendiri
kepada Srintil. Dengan cara seperti ini mereka mengharap simpati ronggeng itu untuk menciptakan
suasana yang lebih manis bersamanya. Nah, Srintil justru luar biasa benci kepada laki-laki seperti itu.
Wajah yang kedua adalah laki-laki jenis Rasus dan Rasus sendirilah modelnya. Dia tangkas seperti anak
kijang, harga dirinya hampir mencapai taraf congkak dan tidak merengek apalagi mengemis. Rasus
memberi karena Srintil meminta atau Srintil meminta dan Rasus memberi. Sebagai laki-laki
kepribadiannya menggaris jelas. Rasus memang masih muda tetapi di hati Srintil dia memberi gambaran
sebuah pohon kukuh dengan bayangan yang teduh tempat orang bernaung.
Sayang sekali betapapun Srintil mengagumi Rasus, laki-laki itu telah membuat luka di hatinya. Seperti
semua laki-laki lain Rasus pun ikut menyelipkan benih kekecewaan di alam bawah sadar Srintil. Dalam
wawasan ini Srintil tidak bisa melihat beda antara dua wajah laki-laki itu. Semuanya mengecewakan,
semua merangsang Srintil membuat suatu perhitungan.
Srintil tersadar karena Goder menggeliat dalam embanannya. Kepada neneknya, Srintil minta diri hendak
pulang ke rumah Kartareja. Suami-istri Sakarya cepat tanggap dan menilai tindakan cucunya sebagai
perubahan yang baik. Bukan hanya karena Srintil sudah sekian lama tidak mau menjenguk rumah
pamongnya, melainkan juga karena kakek dan nenek itu telah mendengar suara sepeda motor yang
berhenti di depan rumah Kartareja. Menurut perkiraan Sakarya dan istrinya, Srintil hendak menjumpai
tamunya, ini berarti cucunya itu telah kembali seperti semula dan telah melupakan Rasus. Nenek dan
kakek Srintil saling berpandangan dan tersenyum.
"Kalau kau hendak pergi menemui tamumu, sebaiknya kembalikan dulu Goder kepada emaknya. Atau
tinggalkanlah dia bersamaku di sini," kata Nyai Sakarya.
"Tidak, Nek. Biarlah anak ini tetap bersamaku," jawab Srintil di luar pintu.
Srintil melangkah dengan pasti dalam kegelapan. Sebenarnya taburan bintang di langit memberikan
cahaya temaram ke bumi. Namun kerimbunan pepohonan di Dukuh Paruk menyerap cahaya itu sehingga
tercipta kegelapan sempurna di bawahnya. Srintil berjalan cepat sambil memeluk Goder erat-erat dalam
embanannya. Hatinya mantap oleh semangat baru yang pasti akan mengejutkan semua orang, namun dia
telah bertekad akan mempertahankannya.
Di depan rumah semangnya itu Srintil berjumpa dengan Nyai Kartareja yang memang hendak
menjemputnya di rumah Sakarya.
"Srintil?" "Ya, Nyai." "Wah, bagus! Wong ayu,/I>, ada tamu datang. Kau tahu siapakah dia?"
"Tidak." "Pak Marsusi, kepala perkebunan karet Wanakeling. Berbaik-baiklah melayaninya. Eh, kau masih
membawa-bawa anak si Tampi" Mari, serahkan anak itu kepadaku. Tidak pantas menemui seorang tamu
penting sambil membopong bayi."
Srintil tidak menjawab tetapi membuat gerakan sedemikian rupa sehingga Nyai Kartareja harus tahu
bahwa Srintil enggan berpisah dengan bayinya. Nyai Kartareja mengerutkan kening karena tidak tahu
menerjemahkan sikap Srintil. Akhirnya istri dukun ronggeng itu mengalah, masuk kembali ke dalam
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 23 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
rumah. Srintil mengikutinya dari belakang.
"Nah, Pak Marsusi, inilah Srintil. Ternyata aku tak perlu bersusah payah menjemputnya karena dia sendiri
yang datang. Kukira Srintil tak akan berbuat demikian apabila tamu yang datang bukansampean. Iya kan,
Srin?" Perkenalan basa-basi itu tidak ditanggapi oleh Srintil. Apalagi pandangan mata Marsusi segera
menyergapnya. Memang hanya sesaat tetapi Srintil dapat membaca secara mendalam makna pandangan
seperti itu. Entahlah, kali ini Srintil mulai merasa muak.
Dalam hati Marsusi memercik api yang membakar gairah yang dibawanya dari rumah. Pengetahuannya
tentang Srintil sebagian besar diperolehnya dari penibicaraan umum, ditambah dengan dua kali melihat
ronggeng itu secara langsung. Satu kali ketika Srintil naik pentas di Pecikalan beberapa bulan yang lalu.


Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian satu kali lagi di pasar Dawuan. Kini semuanya menjadi lebih jelas. Apalagi Marsusi merasa Srintil
yang muncul di rumah Kartareja saat itu khusus untuk dirinya. "Ah, pantas. Pantas!" kata Marsusi dalam
hati. Tanpa disadarinya tangannya meraba kantung baju. Di dalamnya ada seuntai kalung seratus gram
dengan bandul berlian. Srintil tetap berdiri. Goder menggeliat dalam buaiannya. Oh, seorang bayi. Alam jualah yang memberinya
kepekaan luar biasa kepadanya. Dalam tidurnya bayi itu menangkap keresahan hatiibu yang sedang
membuainya. Mata hati bayi yang masih putih mampu merekam segalanya. Bukan hanya denyut jantung
Srintil yang makin cepat, melainkan juga segala sudut batinnya yang sedang gelisah.
Mengapa tidak muncul pertanda nyata bahwa seorang bayi seperti Goder sudah merasa bahwa ada pihak
lain yang ingin merebut tempatnya di haribaan Srintil" Mengapa sasmita alam im terlalu lembut sehingga
hanya seorang bayi yang mampu menangkapnya" Dan mengapa seorang bayi tidak mampu membela
kepentingannya yang paling vital sekalipun kecuali hanya dengan cara menangis" Maka apa yang
seharusnya terjadi, terjadilah. Goder menggeliat makin kuat. Kemudian meronta dan menangis. Makin
lama tangisnya makin kuat. Tangis yang sarat makna karena sesungguhnya alam sendiri telah berbisik
kepada Goder, di sana ada sepasang mata berbinar yang ingin menelan Srintil bulat-bulat.
Tak tersisa naluri yang utuh untuk membaca apa yang membuat Goder meronta dan menangis. Kartareja
dan istrinya yang semula sudah menghilang muncul kembali di ruang tengah. Mereka merasa pasti Goder
ingin kembali kepada Tampi, ibu kandungnya. Maka suami-istri dukun ronggeng itu menyuruh Srintil
membawa Goder kepada Tampi.
"Siapa menyuruhmu repot seperti itu. Kamu kan masih lan, mengapa bersusah payah mengambil anak
orang" Dan itu tamumu! Kamu tahu siapa Pak Marsusi, bukan?"
Srintil tidak ingin menanggapi kata-kata Nyai Kartareja. Dia melangkah ke luar sambil mengayun-ayun
Goder. Gerak-geriknya demikian pantas. Dari mulutnya terdengar suara desis lembut demi mengajuk bayi
dalam embanan, membuat gambaran seorang ibu tampil dengan utuh. Demikian, maka tak kurang dari Pak
Marsusi sendiri hanya bisa menelan ludah dan menggeleng-gelengkan kepala. Bersama suami-istri
Kartareja, Marsusi duduk membeku ketika mendengar Srintil bersenandung nina bobo di halaman rumah.
Yun ayun, ayun turu Turu lah neng ayunan Anakku si bocah landhung Mesuk gede dadi rebutan Yun ayun, ayun turu Turua si bocah lanung Cilike tak ayun-ayun Gedhene ngeman biyung Angkasa yang kelam sepi membisu. Bahasanya tanpa suara. Tetapi kedip-kedip bintang adalah kesaksian
yang berbicara banyak akan apa yang terjadi di bawah lengkung langit.
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 24 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Suara dendang Srintil adalah nyanyian ibu. Berlatarkan bunyi gangsir yang datar dari berat terciptalah
dendang alam yang membawa Goder kembali ke alam damai. Dia bergerak-gerak lembut kemudian lelap
dalam udara malam yang kian sejuk.
"Anak siapakah itu?" tanya Marsusi setelah Srintil berlalu ke dalam.
"Bayi itu anak si Tampi. Entahlah, Pak, Srintil begitu lekat dengan bayi itu," jawab Nyai Kartareja.
"Ya, aku melihatnya sendiri; seperti ibu dan anak kandungnya."
"Sebenarnya aku tidak suka. Beginilah jadinya. Srintil jadi tidak sempat menghormati tamu secara
semestinya." "Malam ini aku memang bermaksud mengajak Srintil ke luar. Mungkin dua atau tiga hari," ujar Marsusi
sambil menyalakan rokok. "Nah, itu baik sekali. Hampir sebulan ini Srintil membeku di Dukuh Paruk, tak mau memenuhi undangan
pentas. Mula-mula memang karena sakit. Tetapi setelah sembuh Srintil masih ngambek saja. Ah, saya tahu
sebabnya. Srintil masih tetap iri terhadap istri lurah Pecikalan. Iri terhadap kalungnya!"
"Hm. Nanti Srintil tidak akan iri lagi," jawab Marsusi. Senyumnya penuh gaya dan pasti. Nyai Kartareja tak
perlu bertanya apa pun untuk mengartikan makna serryum tamunya. Maka dalam hati istri dukun ronggeng
itu bergema sorak kemenangan.
"Ya, Pak, ya. Maka bawalah Srintil dan gembirakan dia. Srintil telah kehilangan kelincahannya,
kekenesannya. Yang demikian itu tak boleh terjadi atas diri seorang ronggeng. Dan kalau itu, Pak: tidak
boleh jadi pastilah akan melumerkan kebekuan hati Srintil!"
Di atas tempat tidurnya yang mewah menurut ukuran Dukuh Paruk Srintil membaringkan bayinya dengan
hati-hati. Ketika Goder meronta sejenak Srintil menawarkan teteknya. Mulut Srintil kembali berdesis
dengan suara lembut. Goder kembali lelap dengan kedamaian sempurna pada wajahnya. Bukan hanya
karena lembutnya belaian, tetapi karena rasa aman bagi jiwanya. Bayi itu bisa menerjemahkan tanpa
salah segala gerak-gerik ibunya, segala getar suaranya. Rangsangan spiritual itu memberinya sasmita
bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan atas diri ibunya, Srintil. Dia tak akan kehilangan setitik pun
tempat dalam haribaan ibunya.
Melihat Goder sudah tertidur Srintil bangkit. Sangguinya yang kendor dibuka dan disanggulkannya kembali
lebih kuat. Ditatapnya wajah Goder dalam sikap diam sempurna. Tetapi wajah bayi itu menjadi cermin
yang menampilkan seribu bayangan. Rasus yang paling pertama muncul, kemudian wajah ibu-bapak yang
tak pernah dilihatnya. Terakhir muncul dirinya sendiri.
Srintil menggigit bibir karena bayangan itu bertanya tentang siapa dirinya. Pertanyaan itu sejenak
mengambang karena Srintil tak kuasa menjawabnya. Menyusul pertanyaan lain; siapakah yang mengatur
diri itu, Nyai Kartareja, para lelaki yang membayarnya. ataukah diri itu sendiri" Srintil memejamkan mata
agar leluasa berbicara dengan hatinya. Lama sekali Srintil tetap berdiri tak bergerak. Kerut-kerut pada
kulit dahinya menandakan ada pergolakan sedang berlangsung di dalam dirinya.
Tetapi ketika akhirnya Srintil keluar dari kamar, wajahnya telah cerah. Keyakinan diri seakan telah berada
dalam genggamannya. Dia memperlihatkan ketenangan yang hanya mungkin dimiliki oleh
perempuan-perempuan yang benar-benar matang. Gerakannya mantap ketika Srintil duduk di bangku di
sisi ruangan. Nyai Kartareja agak terkejut terutama karena melihat anak asuhannya keluar dengan kain
dan baju yang melekat sejak siang hari.
Lebih dari itu, Srintil kelihatan tidak bergairah menyambut tamunya.
"Ah, jangan marah, Pak. Srintil terlalu lama membiarkan sampean menunggu. Sekarang, silakan
berbincang-bincang. Oh, ya, Srin. Pak Marsusi hendak mengajakmu pelesir malam ini. Apakah kau tidak
berdandan dulu?" 2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 25 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
"Tidak, Nyai," jawab Srintil singkat.
"E, lha?" Srintil tersenyum; senyum seorang yang merasa mampu mengendalikan suasana.
"Pak Marsusi, aku takkan pergi ke mana-mana malam ini. Dan..."
"Eh, nanti dulu!" potong Nyai Kartareja. Ada kegemparan dalam nada suaranya. "Apa katamu tadi?"
"Aku tak ingin pergi ke mana pun, Nyai," jawab Srintil.
Nyai Kartareja masih tak percaya akan kedua daun telinganya. Dadanya turun-naik. Namun hanya sesaat.
Kematangannya sebagai seorang mucikari berhasil menata kembali perasaannya.
"Wong Ayu," kata Nyai Kartareja lembut. Tangannya membelai pundak Srintil. "Tak baik terlalu cepat
menampik uluran tangan seseorang. Apalagi dia adalah Pak Marsusi. Kau belum bertanya hendak ke mana
kau akan dibawanya. Nah, bahkan kau belum mengerti apa hadiah Pak Marsusi buatmu kali ini."
Dua detik kemudian terdengar bunyi rantai logam dijatuhkan orang ke atas meja. Sementara mata Marsusi
mengarah ke awang-awang, mata Srintil dan kedua induk semangnya menatap benda berkilau di atas meja
itu. Dalam keheningan yang tercipta, sesaat wajah Nyai Kartareja berubah meriah. Sinar matanya
memperlihatkan hasrat yang meluap. Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tak kunjung terdengar.
Srintil pun lama menatap kalung emas yang kelihatan sangat menantang itu. Dua-tiga kali dia menelan
ludah. Sebutir berlian memancarkan cahaya kebiru-biruan: godaan yang sulit diabaikan oleh seorang
perempuan muda seperti ronggeng Dukuh Paruk itu. Ketika Srintil berada dalam puncak kebimbangannya,
Nyai Kartareja mendorongnya dengan kata-kata yang amat sugestif.
"Apa kataku, Wong Ayu. Rugi benar bila kau tidak menurutkan kehendak Pak Marsusi. Ayolah, ganti
pakaianmu. Ganti pula kalung di lehermu itu dengan yang di sana."
"Nah, ini. Ambillah," kata Marsusi dengan suara datar.
"Yang itu memang lebih baik. Jauh lebih baik dan lebih mahal tentunya," sela Kartareja. "Tak pernah
kulihat seorang perempuan memakai kalung sebagus itu kecuali istri lurah Pecikalan. Nah, Srin, kini
giliranmu." Sejenak Srintil diam membeku. Di dalam rongga hatinya muncul kembali bayangan Rasus. Gendang
telinganya menangkap suara Ciplak yang menembangkan asmara dahana. Li lali tan bisa lali, sun lelipur
tan sangsaya... "Tidak, Nyai. Aku tidak ingin pergi ke mana pun," ujar Srintil pelan namun terasa benar kepastiannya.
Ketiga orang di dekatnya terkejut. Kartareja menegakkan kepala. Marsusi meluruskan punggung sambil
melepas rokok dari mulutnya. Yang paling gempar adalah Nyai Kartareja.
"Kau" Kau ini bagaimana" Kau cucu Sakarya tidak ingin memiliki kalung sebagus itu?"
"Nyai tak usah berbicara seperti itu kepadaku," ujar Srintil dengan ketenangan yang mengagumkan.
"Oh, maafkan saya yang tua ini, Wong Ayu. Bila kau tak ingin pelesir kukira tak mengapa. Siapa tahu Pak
Marsusi tidak berkeberatan mengubah rencana. Dari niat semula hendak pelesir bersamamu barang
dua-tiga hari menjadi acara menginap di rumah ini barang dua-tiga malam. Bagaimana, Pak?"
Marsusi terbatuk. Pukulan pertama membekas berupa tanda tanya yang melintang pada wajahnya. Baru
kali inilah ajakannya pergi berkencan ditolak orang. Dan justru ketika dia bersedia memberi imbalan yang
paling mahal. Dalam keraguannya Marsusi ingin meraup kembali kalung emas itu, dan pulang. Tetapi
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 26 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
sesuatu di depan mata menahan Marsus duduk tempat.
Srintil duduk agak menyamping. Ketenangannya yang demikian utuh adalah pesona baru dalam
penampilannya. Dengan tata sanggul seadanya profil Srintil justru memperlihatkan kesegaran remaja yang
amat impresif. Bentuk rahangnya bagus. Pipinya jernih dengan hiasan jambang halus. Kulit leher berkata
apa adanya, bahwa usia Srintil memang baru tujuh belas.
Marsusi kembali terbatuk.
"Apabila Srintil enggan keluar, maka terserah kepadanyalah. Aku tak keberatan menginap di sini," kata
Marsusi akhirnya. "Dengar itu, Srin" Pokoknya, Pak Marsusi datang kemari hanya membawa satu tujuan. Yakni membuat
hatimu senang. Iya kan, Pak?"
Marsusi hanya tersenyum. Nyai Kartareja bangkit dan memberi isyarat kepada suaminya. Keduanya
kemudian menghilang ke dalam rumah. Mereka yakin bahwa suasana yang sulit telah berlalu. Tinggal satu
yang pantas mereka lakukan, yakni memberi kesempatan kepada tamunya menikmati kebebasannya
bersama Srintil. Kelengangan malam merembes masuk ke dalam rumah Kartareja. Ada kampret masuk melalui pintu depan
yang terbuka, berputar-putar sejenak dalam ruangan dan menghilang lagi lewat jalan yang sama. Dua ekor
cicak berlomba menangkap mangsa: seekor serangga yang terbang hinggap pada dinding bambu. Ketika
serangga itu terbang kembali dan berpusing-pusing di sekitar lampu kedua pengejarnya berganti acara.
Kedua cicak itu saling berkejaran. Yang besar mengejar yang kecil. Pengejaran berhenti dalam upacara
kawin yang brutal. Atap seng rumah Kartareja tiba-tiba berdentam. Sesuatu yang pekat jatuh dari langit.
Tak ada sesuatu yang bisa dituduh kecuali kalong berak sambil terbang. Atau binatang itu memuntahkan
biji salam yang sudah dimamah dan diisap airnya.
Selain itu terdengar suara yang membuat Dukuh Paruk mempunyai warna khas. Irama calung. Tetapi
malam itu yang terdengar adalah suara calung tunggal. Dalam hal demikian calung menggantikan
gambang. Di tangan orang yang tepat seperti Sakum, calung adalah gambang. Bedanya, calung terbuat
dari bambu sementara gambang dari kayu. Sebagai penabuh calung yang masyhur, meski kedua matanya
buta, Sakum tak pernah mengeluh. Bahkan gaya dan suaranya selalu berupa banyolan.
Tetapi malam itu Srintil menangkap kelainan pada suara dan irama calung Sakum. Di balik irama yang
padu dengan ketenangan malam tersirat pesan ironik. Ironinya seorang penabuh calung yang sudah sekian
lama tidak mendapat penghasilan karena Srintil belum juga hendak naik pentas. Srintil tersenyum getir
karena teringat akan nasib Sakum; si Buta yang menjadi mascot kelompok ronggengnya. Dan bukan hanya
Sakum seorang yang terputus rejeki lantaran Srintil mogok menari. Tiga orang penabuh lainnya bernasib
sama. Sementara suara calung terus mengisi kelengangan Dukuh Paruk, di rumah Kartareja terjadi suasana yang
lucu. Marsusi duduk gelisah. Sebaliknya, Srintil duduk di atas singgasana kemandirian yang nyata.
Berkali-kali Marsusi menelan ludah, tetapi Srintil tetap duduk menyamping, berpura-pura tidak tahu ada
seekor buaya lapar di dekatnya.
"Jenganten," suara Marsusi serak. Senyumnya kaku seperti anak kecil sedang minta jajan kepada emaknya.
"Ini kalungmu, ambillah."
Srintil menoleh sambil tersenyum. Tetapi siapa pun bisa memastikan senyum Srintil kali ini sama sekali
tidak erotik. "Sebentar, Pak. Untuk apa kalung itu sampean berikan kepada saya?"
Marsusi menarik napas panjang. Tingkahnya canggung.
"Begini, Pak," sela Srintil setelah tahu Marsusi gagal membuka mulut. "Kalung itu akan kuterima bila dia
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 27 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
sampean maksudkan sebagai upahku menari. Nah, sampean tinggal mengatakan kapan dan di mana pentas
hendak diadakan. Di sana sampean boleh mengajakku bertayub sepuas hati."
"Lho, bukan. Kalung ini bukan buat upahmu menari atau bertayub," ujar Marsusi.
"Mau sampean berikan kepadaku dengan begitu saja" Nah, marilah!"
"Bukan!" "Ya!" potong Srintil dengan kecepatan yang tidak terduga. "sampean ingin memberikan kalung ini kepadaku
bukan sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean
tidak salah. Karena saya memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian banyak lelaki. Tetapi,
Pak..." Marsusi menyondongkan kepalanya lebih ke depan. Pikirannya yang mulai baur membuat dia ingin segera
tahu apa kata Srintil selanjutnya.
"Sekarang aku tak ingin melakukannya lagi."
"Lho, kenapa?" "Hanya merasa tak ingin, begitu."
"Katakan terus terang!" nada suara Marsusi mulai berat.
"Memang hanya tak ingin. Kalau sekedar menari atau bertayub, nah, ayohlah. Aku memang seorang
ronggeng." "Nanti dulu! Mengapa hal ini baru kaukatakan kepadaku; bukan kepada laki-laki lain sebelum aku"
Mengapa?" "Persoalannya sederhana, Pak," kata Srintil masih dalam ketenangan yang utuh. "sampean kebetulan
menjadi laki-laki pertama yang datang setelah saya memutuskan mengubah haluan."
"Jelasnya! Kamu menampik kedatanganku?"
"Tidak sepenuhnya demikian, Pak. Kalau sampean ingin sekedar bertayub denganku, maka selenggarakan
pentas. Terserah, kapan dan di mana."
Urat pada kedua rahang Marsusi menggumpal. Matanya menyorot lurus ke arah wajah ronggeng Dukuh
Paruk itu. Renjana yang dibawanya dari rumah mulai berubah menjadi dorongan amarah. Marsusi bangkit
berdiri, berjalan berkeliling ruangan. Wajahnya berubah beringas. Srintil siap menanti sesuatu akan
hancur oleh tangan tamunya. Ternyata tidak. Marsusi hanya berjalan berputar-putar, mendengus-dengus,
kedua tangannya bergerak limbung.
Nyai Kartareja muncul dari dalam diikuti oleh suaminya. Tentulah mereka mendengar percakapan yang
kaku antara Srintil dan Marsusi. Kemunculan pasangan dukun ronggeng itu disambut dengan tudingan
tangan Marsusi. "Nah! sampean berdua duduk!" teriak Marsusi.
"Duduk!" ulang Marsusi karena melihat suami istri Kartareja kelihatan bimbang. Kini Marsusi bertindak
menurut gayanya yang asli; gaya seorang mandor perkebunan terhadap para kuli penyadap karet.
"Takkan sekali-kali seorang kepala perkebunan sampai kemari kalau pedukuhan ini tidak bernama Dukuh
Paruk," Marsusi mengawali pidatonya sambil tetap berjalan berputar-putar. "Dan takkan sekali-kali aku
masuk ke rumah ini bila di sini bukan sarang seorang ronggeng. Dan dia si ronggeng Dukuh Paruk yang
bernama Srintil, bukan?"
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 28 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
Karena dituding tepat di depan mata maka Srintil mengangkat muka. Sementara wajah suami-istri
Kartareja kelihatan kecut. Srintil hampir tidak memperlihatkan emosi apa pun. Tatapan matanya yang
demikian tenang membuat Marsusi menurunkan tangan. Kemudian Marsusi melangkah mendekati Nyai
Kartareja. Ucapannya terdengar habis-habisan.
"sampean cecunguk, ya! Siapakah yang secara tidak langsung menyuruhku membawa kalung seperti milik
istri lurah Pecikalan" Barang itu sudah berada di depan matamu. Tetapi apa hasilnya sekarang?"
"Pak Marsusi," suara Srintil datar, "saya mohon sampean tidak marah terhadap Nyai Kartareja. Ini
urusanku. Persoalan yang sederhana tidak perlu sampean persulit."
"Ini bukan persoalan sederhana! Aku tidak sekali-kali menganggapnya sederhana!"
"Bagaimana juga, Pak, masalahnya tetap sederhana. Yakni sampean mau membeli sesuatu di sini, tetapi
warung sudah tutup. Itu saja, Pak."
"Jadi kamu, dan sampean semua di sini, telah menghinaku. Dan kalian orang Dukuh Paruk, apakah kalian
mengira aku tidak tahu bahwa semua yang kelihatan di sini adalah hasil persundalan" Hah?"
"Sabar, Pak. Aku ingin berbicara..."
"Cukup! Kamu nenek cecurut! Biang sundal dan setan Dukuh Paruk. Aku tak ingin mendengar lagi suaramu.
Omongmu itu kentut kuda!"
Marsusi yang beringas mengambil topi lalu dipasangnya di kepala. Dengan gerak tangan yang cepat kalung
yang semula hendak dipakainya sebagai pembeli Srintil segera masuk ke saku baju. Masih ada satu lagi
yang diambilnya dari atas meja; botol jenewer. Isinya yang tinggal setengah ditenggaknya. Botol itu
dibanting mengenai umpak tiang. Suara beling remuk memecah keheningan. Semenit kemudian terdengar
suara motor Marsusi menderu.
Keberangkatan Marsusi meninggalkan ketegangan di rumah Kartareja. Wajah Nyai Kartareja gelap dan
kusut. Kekesalan hatinya dilampiaskan dengan cara berkali-kali memukul pantat sendiri.
"Toblas, toblas! Kamu ini bagaimana, Srintil" Kamu menampik Pak Marsusi" Toblas, toblas. Itu pongah
namanya. Kamu memang punya harta sekarang. Tetapi jangan lupa anak siapa kamu sebenarnya. Kamu
anak Santayib! Orang tuamu tidak lebih dari pedagang tempe bongkrek. Bapak dan emakmu mati
termakan racun!" Srintil membeku, menundukkan kepala dan menggigit bibir. Kesaksian tentang kedua orang tuanya yang


Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru disampaikan oleh Nyai Kartareja telah menggores hatinya. Tentang kedua orang tuanya Srintil telah
tahu segalanya. Tetapi setiap kali berita itu berulang, setiap kali pula hatinya terluka. Srintil menangis.
Dan Nyai Kartareja tidak peduli.
"Oalah toblas, beginilah caramu membalas budi kami, ya! Kami berdua telah memberimu jalan sehingga
kamu mendapatkan kamukten. Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh
Pak Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut kamu! Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus
gram" Merasa sudah kaya" Bila kamu tidak suka kalung itu mestinya bisa kauambil untukku. Dan kaulayani
Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal."
"Sudah, Nyai, sudah," kata Kartareja berusaha menghentikan amarah istrinya.
"Biar! Sekali ini dia harus mendapat pelajaran. Lama-kelamaan anak Santayib ini jadi kurang ajar!" Dada
Nyai Kartareja masih kembang-kempis tetapi dia sudah kehabisan kata-kata. Sisa kemarahannya tumpah
ketika dia meludah sengit ke arah Srintil.
Sampai sedemikian jauh Srintil tetap diam. Bahkan dia tetap tak bergeming meski Nyai Kartareja sudah
masuk ke kamarnya dengan membanting pintu keras-keras. Air matanya berjatuhan. Ketabahan yang
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 29 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
diperlihatkannya ketika menghadapi Marsusi telah runtuh. Hal ini terjadi karena Nyai Kartareja telah
mengusik kedua orang tuanya yang sudah menjadi tanah di pekuburan Dukuh Paruk.
Yang membawa kembali ketenangan ke dalam hati Srintil adalah suara calung tunggal yang ditabuh
Sakum. Mula-mula suara itu masih berbaur dengan lengking kemarahan Nyai Kartareja yang terus
terngiang dalam telinga Srintil. Disusui kemudian oleh derik seribu jangkrik yang menggetarkan gendang
telinga. Lama-kelamaan suara kacau itu surut. Tinggal bunyi calung yang menjalin malam Dukuh Paruk,
menyatukannya dalam satu citra yang bulat dan utuh. Klenting-klentung itu tumpah dengan runtut,
kadang ada nada yang melompat seperti belatung nangka yang ranum, namun tetap terikat dalam
keselarasan. Dengarlah suara mata calung yang menyusup ke bawah rumpun-rumpun bambu di Dukuh Paruk. Dari
bambu pulang ke bambu. Mesra dan penuh makna seperti seorang anak yang menyurukkan wajah
dalam-dalam ke selangkangan emaknya. Ketika angin malam membuat desah daun-daun bambu, suaranya
menjadi latar yang paling alami bagi irama calung yang terus mengalir melalui ayunan kedua tangan
Sakum. Tit-tuit tit-tuit suara burung prit putih yang mulai terdengar sejak matahari terbenam
memaripurnakan kidung Dukuh Paruk. Pedukuhan terpencil itu sedang menembangkan kidung malam.
Entahlah, kini yang terdengar bukan nada cepat bergairah, melainkan suara pilu yang menggayut.
Srintil masuk langsung menuju kamar. Kartareja yang sedang duduk membatu hanya menatapnya sepintas.
Tetapi dukun ronggeng itu sedikit terperangah ketika sesaat kemudian Srintil sudah berdiri di hadapannya
sambil mendekap Goder dalam embanan. Ayah dan anak asuhan bertatapan. Melalui bahasa rasa Kartareja
sudah tahu apa arti kehadiran Srintil di hadapannya. Tak terdengar kata barang sepatah meskipun bibir
Srintil kelihatan bergerak-gerak. Demikian juga halnya Kartareja. Sampai akhirnya Srintil berbalik dan
keluar halaman suasana masih bisu. Hanya derit engsel pintu. Selebihnya adalah kelengangan. Dan cericit
tikus busuk yang terkejut ketika Srintil lewat di dekatnya.
Keluar dari rumah orang tua akuannya Srintil merasakan suatu hal yang baru; begitu dekat dengan dirinya
sendiri. Akunya sepenuhnya dalam genggaman. Akunya yang terdiri atas dirinya sendiri dan seorang bayi
dalam pelukan. Hangat tubuh Goder yang melekat di dadanya menjadi kehangatan pertama bagi sebuah
semangat baru yang mulai melembaga dalam jiwa Srintil.
Sampai di rumah kakeknya, Sakarya, Srintil mendapati seorang perempuan lain. Tampi. Wajah perempuan
itu langsung meriah melihat kedatangan Srintil. Dia tergopoh bangkit menyongsong Srintil di ambang
pintu. "Oalah, Jenganten. Kemarikan anakku. Aku sudah kangen," ujar Tampi sambil mengulurkan kedua
tangannya. Namun Srintil menepis tangan itu.
"Mau melihat Goder, Lihatlah dari situ. Mau menggamit pipinya yang tambun dan padat, silakan. Tetapi
jangan ambil dia dari embananku."
"Aku bersungguh-sungguh, Jenganten. Karena aku sudah sangat kangen. Sehari ini aku belum
menyentuhnya. Dan, ah! Siapa bilang Goder tidak akan mengganggumu, Jenganten" Baru saja terbukti,
bukan?" "Terbukti?" "Aku mengerti semua yang baru terjadi di rumah Kartareja. Kalau bukan karena anakku, sampeansudah
pergi naik sepeda motor bersama..."
"Cukup. Kamu salah, Tampi. Kamu tak mengerti. Aku tidak pergi bersama laki-laki itu karena aku tak mau.
Itu saja. Tak ada sangkut-pautnya denga Goder. Tahu?"
"Tetapi aku mendengar Nyai Kartareja jelas menyebut-nyebut nama anakku. Oh, sampean tidak mengerti
bagaimana perasaanku saat itu. Ingin rasanya aku menerobos masuk untuk mengambil Goder dan
membawanya pulang selekas mungkin. Anakku masih terlalu bersih buat dilibatkan ke dalam urusan
orang-orang dewasa."
2/19/2008 10:21 AM LINTANGKEMUKUSDINIHARI 30 of 84 file:///D:/ATH%20-%20Lintang%20Kemukus%20Dinihari.htm
"Nah, kamu betul. Goder masih terlalu bersih. Maka aku tidak akan mengotorinya. St, jangan ganggu dia.
Dan jangan lagi sebut dia anakmu, melainkan anakku! Nah, iya kan?"
Tampi bersungut-sungut, tetapi senyumnya mekar kemudian. Dia merasa tidak mungkin berbohong bahwa
sesungguhnya dia berbangga hati karena anaknya menjadi boneka bagi perempuan yang paling ternama,
Srintil. "Ah, Tampi. Sesungguhnya kamu tidak usah lagi merisaukan Goder. Cukuplah aku yang menjadi emaknya.
Aku bisa menetekinya. Aku bisa membelikan baju yang terbaik di pasar Dawuan baginya. Pokoknya, apa
yang bisa kauberikan kepada Goder, aku pun bisa melakukannya secara lebih baik. Dan jangan khamatir,
bila sudah besar nanti dia tahu perempuan mana yang melahirkannya. Sekarang biarlah dia menjadi
anakku yang sebenar-benarnya. Yang perlu kaulakukan sekarang adalah melayani suami sebaik mungkin.
Supaya bayimu yang kelima cepat lahir!"
Seloroh Stintil mencairkan kekakuan. Tampi mencubit lengan temannya. Terasa benar oleh Srintil bahwa
selorohnya tepat mengena pada perasaan Tampi yang sebenarnya. Bagi perempuan Dukuh Paruk melayani
suami bukan hanya sekedar keharusan hidup. Dia adalah satu-satunya kegiatan lain di luar urusan dapur
serta memelihara anak-anak. Dalam kenyataan aspek humaniora bagi perempuan Dukuh Paruk hampir
terpusat sepenuhnya di atas pelupuh bambu mereka. Dan ketika Goder sudah menginjak usia sembilan
bulan, seloroh Srintil itu sungguh tidak bisa dielakkan oleh Tampi. Artinya, ketidakhadiran Goder di
sampingnya memberikan kedaulatan yang lebih bagi suaminya, dan dirinya juga.
Hingga tengah malam Srintil tidak mampu memejamkan mata. Kadang dia duduk termangu di bibir
balai-balai. Kadang tidur gelisah di samping Goder yang lelap. Dan sekali waktu Srintil merasa demikian
gemas karena mengetahui betis Goder bentol sebesar biji jagung. Seekor kutu busuk yang menggembung
penuh darah digilas dengan telunjuknya. Noda darah tercoreng pada tikar pandan, sengak baunya.
Sakum masih terus mengembara dengan irama calung tunggalnya. Sebenarnyalah Sakum tak bisa
menjelajah ke mana-mana karena kedua matanya buta sejak lahir. Dia tidak bisa mengembara di alam
nyata. Tetapi karena buta, Sakum memiliki kepekaan luar biasa. Pengembaraannya di alam rasa demikian
Kabut Di Bukit Gondang 1 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Mata Rantai Yang Hilang 2
^