Pencarian

Refrain 3

Refrain Karya Winna Efendi Bagian 3


sedangkan koleksi CD dan kaset kesayangannya
diletakkan di pojokkan khusus tempatnya menulis lagu.
Nata sering kali menggubah lagu. Walaupun dia enggan
mempertontonkannya kepada orang lain, dari beberapa
lagu ciptaannya yang sering disenandungkannya, Niki
tahu sahabatnya itu sangat berbakat.
Setelah beberapa saat menunggu dalam diam, Niki
mulai tidak sabaran. Ia bangkit menuju meja belajar
Nata, melarikan jemarinya pada koleksi miniatur gitar
dan buku-buku yang berjejer rapi di sana. Sebuah buku
bersampul kulit berwarna cokelat yang menyembul dari
deretan kamus menarik perhatiannya. Niki
mengenalinya sebagai buku lirik Nata.
Dia membolak-balik halamannya, menemukan goresan
lirik dalam tulisan tangan Nata di bawah partitur lagu.
Sepertinya lagu-lagu ini sudah dibuat sejak lama, dilihat
dari begitu banyaknya coretan di sana-sini, serta guratan
pensilk yang memburam dan mengotori halaman.
Setiap lirik memiliki catatan pendek, seolah
menguraikan apa pun inspirasi Nata saat menulis lagulagu tersebut.
Kelulusan SMP"sebelas tahun kami sekelas dan duduk
sebelahan. Niki tersenyum mengingat masa kecil mereka. Dari
tahun ke tahun, dia dan Nata memang selalu berbagi
kelas dan tempat duduk. Ternyata Nata sempat
menuliskan sebuah lagu berdasarkan persahabatan
mereka. Gitar listrik pertama"hadiah kelulusan.
Niki ingat saat duduk di kelas tiga SMP, yang Nata
inginkan hanya sebuah gitar listrik baru. Sebagai hadiah
dari orang tuanya atas nilai yang hampir sempurna,
Nata akhirnya mendapatkannya pada hari kelulusan.
Rembulan, angin, hujan, dan kamu.
Niki terkikik geli saat membaca beberapa bait yang
rasanya terlalu sendu untik diciptakan oleh seorang
Nata. Padahal biasanya cowok itu hanya suka pada
lagu-lagu yang berlirik tegas yang tidak terkesan
cengeng. Hari pertama masuk SMU. Pertama kalinya gue sadar
ada yang berubah di antara kita.
Senyum Niki membeku pada wajahnya ketika dia
membaca semakin jauh, tidak mengira namanya akan
memenuhi sebagian besar halaman buku tersebut, juga
tidak menyangka akan menemukan sesuatu mengenai
Nata yang tidak seharusnya diketahuinya.
Anna bilang, Niki spesial untuk gue. Dia benar.
Cowok itu mungkin nggak kenal Niki sebaik gue kenal
dia. Niki merasa lututnya lemas. Apakah Nata menulis hal
ini mengenai dirinya" Ia terus membaca, perasaannya
campur aduk. The day I kissed her. It was sunset
14 Februari"untuk segala sesuatu yang sudah
terlambat. Lo nggak tahu... it"s always been you.
Tiba-tiba, Nata masuk ke kamar. Dia terhenyak ketika
melihat apa yang ada di tangan Niki, wajahnya
memerah saat menarik buku itu dengan satu gerakan
kasar. "Ngapain berantakin barang-barang gue?" Pertanyaan
itu terdengar seperti bentakan.
Pandangan Niki tetap pada buku yang kini disorokkan
dalam saku celana Nata. Dia tidak tahu harus berkata
apa. "Yang kamu tulis itu...."
Nata menunggu beberapa saat sebelum menjawab,
"Yang sebenarnya."
Keheningan di ruangan itu mulai menyesakkan. Niki
menggeleng, mengambil beberapa langkah untuk
meninggalkan kamar itu, tapi gerakannya ditahan oleh
Nata yang meraih tangannya dan berkata dalam suara
rendah yang menyerupai bisikan.
"Gue sayang lo, Ki."
*** Waktu seakan berhenti. Satu detik, dua detik. Nata tidak
sadar ia telah menahan napas. Detak jantungnya terasa
lebih kencang dari biasanya, satu-satunya bunyi yang
terdengar di ruangan itu.
Dalam hati, Nata tidak henti-hentinya merutuk diri atas
kebodohannya meninggalkan barang-barangnya
berserakan di tempat terbuka, melupakan kebiasaan
Niki yang suka mengobrak-abrik kamarnya. Dan, kini,
dia telah mengucapkannya begitu saja"gue sayang lo,
Ki, seakan-akan kata-kata itu adalah penjelasan atas apa
yang ditemukan Niki dalam bukunya. Tapi, apa yang
harus dikatakannya" Kebohongan lain untuk menutupi
perasaannya sendiri"
Niki tidak bergerak sejengkal pun. Nata tidak bisa
melihat ekspresi pada wajahnya karena gadis itu
memunggunginya. Cengkeramannya pada pergelangan
tangan Niki mengerat hingga ia bisa merasakan detak
jantung Niki, tidak beraturan seperti miliknya.
"Gue tau ini kedengerannya konyol dan nggak masuk
akal, tapi gue serius."
Masih tidak ada jawaban. Perlahan, pegangannya
mengendur putus asa, dan dengan cepat Niki
mengibaskan tangannya, lalu menghilang di balik pintu,
menuruni tangga dan meninggalkannya sendirian di
sana. Entah mengapa, saat itu Nata merasa dia sudah
kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya.
*** Nata menyayanginya" Nata menyayanginya"lebih dari
sekedar teman" Niki tidak bisa menghapus pikiran itu
dari benaknya. Dia berlari meninggalkan rumah Nata
tanpa memedulikan pintu yang berdebam tertutup di
belakangnya, menyeberangi jalan dan menyusuri
pekarangannya rumahnya, lalu bergegas masuk ke
dalam kamar dan mengunci pintunya.
"Kak?" Pintu kamarnya diketuk beberapa kali, ketukan
khas Acha. Niki terlonjak sedikit mendengarnya, tapi
merasa lega adik perempuannya ada di sana.
Dibukakannya pintu untuk Acha.
"Kenapa, Kak" Kakak nggak apa-apa?"
Niki menggeleng, masih berusaha mengatur napasnya.
"Kak Nata ada di bawah tuh, lagi nungguin Kakak."
Mata Niki membulat. "Suruh dia pulang!"
Kening Acha berkerut. "Kakak kenapa, sih" Lagi
berantem ya sama Kak Nata?"
"Achaaaa... please jangan bayak tanya. Tolong suruh
Nata pulang, ya?" Sambil menghela napas, Acha menuruni tangga dan
kembali lagi dalam hitungan detik. "Sekarang kakak
harus cerita ada apa," tagihnya sambil menghempaskan
tubuh di atas tempat tidur Niki.
Niki menggigit bibir dengan rasa bersalah.
Diceritakannya kejadian barusan secara singkat.
"Terus... aku pergi begitu aja tanpa bilang apa-apa."
Giliran Acha yang melotot tidak setuju. "Kakak
gimana, sih?" "Jadi aku harus bilang apa" Terima kasih, tapi aku
hanya anggap kamu sahabat" Maaf, tapi tolong jangan
bercanda lagi?" Dengan frustasi Niki menarik ujungujung kepangannya. "Ugh! Aku jadi sarkastis kayak
Nata!" "Perasaan Kakak ke Kak Nata gimana?"
Niki terdiam dan memandang Acha, sungguh-sungguh
mempertimbangkan jawabannya. Sejujurnya, dia tidak
tahu apa yang harus dilakukannya. Niki sama-sekali
belum pernah menolak cowok, apalagi cowok itu adalah
sahabatnya sendiri. Barusan Nata terlihat... sungguhsungguh. Niki tidak tahu jawaban macam apa yang
diinginkan Nata darinya. "Aku, kan, udah punya Oliver, Cha," akhirnya ia
menjawab, "aku dan Nata murni hanya sahabat."
"Mungkin saja selama ini Kakak yang nggak pernah
sadar kalau Kak Nata punya perasaan khusus untuk
Kakak." Niki terhenyak. "Jadi aku harus gimana?"
Acha tersenyum sambil memperbaiki tatanan rambut
kakaknya yang acak-acakan. "Kurasa Kak Nata pasti
mengharapkan Kakak untuk jujur, apa pun
jawabannya." *** Niki tidak menjawab teleponnya, juga tidak mau
menemuinya. Nata menunggu semalaman di trampolin
mereka, tapi Niki tidak datang. SMS-nya tidak dibalas,
dan ketika dia datang mencari Niki di rumahnya, Acha
berkata (berbohong tepatnya), bahwa Niki sudah tidur.
Nata tahu Niki tidak pernah tidur sebelum pukul sebelas
malam. Akhirnya, ia menelepon Annalise dan mencurahkan
penyeselannya pada gadis itu. Dia menyesal telah
kelepasan mengatakan kata-kata yang kini
memperkeruh hubungannya dengan Niki. Dia benci
telah mengacaukan suasana dengan membiarkan
perasaannya meluap"padahal biasanya dia selalu
bertindak dengan logika, bukan emosi. Annalise
mendengarkannya selama satu jam di telepon, padahal
Nata belum pernah mengobrol dengan siapa pun di
telepon selama itu. Ketika menutup telepon, dia merasa
lebih baik tapi tetap tidak bisa tidur sampai subuh
menjelang. Pagi ini, dia menyeret langkah dan menunggu Niki di
depan pagar walaupun dia tahu Niki akan berangkat ke
sekolah bersama Oliver, seperti biasa.
Tidak lama kemudian, gadis itu melangkah ke luar dan
melihatnya di sana. Nata merasa hatinya perih ketika
Niki berhenti dan terlihat salah tingkah.
"Kita perlu bicara, Ki."
"Tapi, sebentar lagi Oliver ngejemput." Niki
mencengkeram tali ranselnya erat-erat, seolah ingin
kabur kapan saja. Nata benci melihatnya seperti itu.
"Lima menit aja. Gue bener-bener butuh ngomong sama
lo." Niki akhirnya mengalah. Dia bergerak-gerak dengan tak
nyaman, ekspresinya kaku dan tidak tersenyum.
"Gue nggak akan bilang kalau kemarin gue Cuma
becanda, lalu narik kembali kata-kata gue. Gue sendiri
nggak sadar kapan perasaan gue ke lo berubah, dan gue
nggak bermaksud ngerusak persahabatan kita atau
hubungan lo sama Oliver. Gue hanya capek berpurapura, Ki. Gue pengen jujur tanpa lo harus menjauh darai
gue. Bisa, kan?" Niki akhirnya berhenti bergerak-gerak. Suaranya
bergetar dan kalimanya kaku, seperti sudah dilatih
berkali-kali. "Aku tetap menganggap kamu sebagai
sahabatku. Maaf kalau aku nggak bisa terima perasaan
kamu." Nata menggeleng melihat gerak-gerik Niki yang
terlampau dibuat-buat seperti itu. "Lo jangan ketakutan
gitu di depan gue dong," ujarnya lembut, dan dengan
satu tangan disentuhnya dagu Niki yang bergetar.
Secepat kilat, Niki merespons terhadap sentuhannya
dan bergerak mundur seakan terkena arus listrik.
"Aku pergi dulu, ya. Bye."
Nata tidak tahu apa yang sepatutnya dirasakannya,
semua bercampur menjadi satu; sedih, marah, kesal,
sesal. Ujung jarinya masih hangat setelah menyentuh
Niki barusan. Dia baru sadar, sedari tadi Niki sama
sekali tidak berani memandang langsung ke arah
matanya. ** Wish #37: kata-kata yang tidak terucapkan (Nata)
Annalise melambaikan tangan ketika melihat Niki
menyeberangi kantin dengan sepiring gado-gado di
tangannya. Niki tersenyum kecut, lalu bergegas untuk
bergabung dengan Helena dan kawan-kawannya.
Sejak tadi, Niki menghindari tempat di mana Nata
berada. Nata sendiri menangkap pandangan mata
Annalise dan menggeleng lesu, tanda pembicaraannya
bersama Niki tidak berhasil seperti yang direncanakan.
"Niki itu orangnya nggak bisa pura-pura." Nata
mengeluh, masih dengan intonasi lesu yang sama. "Apa
yang dirasakannya pasti muncul dengan jelas di
wajahnya." Annalise menepuk pundak Nata untuk
menyemangatinya. "Kasih dia sedikit waktu, Nat.
Mungkin Niki hanya nggak tahu gimana harus bersikap
di depan kamu." "Tapi gue nggak mau dia nganggep gue sebagai orang
asing. Kita kan udah temenan terlalu lama untuk saling
canggung seperti ini." Nata menggelengkan kepala
dengan kesal. "Gue bener-bener nggak ngerti jalan
pikiran cewek." Annalise hanya separuh mendengarkan gerutuan Nata.
Tidak jauh dari mereka, Niki sedang bercanda dengan
Helena, matanya merah karena kurang tidur, tawanya
dipaksakan. Mereka bertiga seperti terpisahkan jadi dua
kubu yang berlawanan"sahabat yang tidak lagi
mengenal satu sama lain. Ia tidak menyukai perasaan
itu. *** Sepulang sekolah, Oliver mengantar Niki pulang seperti
biasa. Ia membuka percakapan mengenai permainan
basket hari ini, tapi Niki tidak terlalu mendengarkan,
bahkan tidak sadar ketika mobil sudah berhenti di depan
rumahnya. "Ki?" Oliver memperhatikan raut wajah Niki yang
pucat. "Kita udah sampai. Ngantuk ya, sampai bengong
begitu?" Niki menggeleng dengan seulas senyum yang sedikit
dipaksakan. "Bye, Oliver."


Refrain Karya Winna Efendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oliver hanya tersenyum, lalu mengucapkan selamat
tinggal. Niki baru saja menginjakkan kaki di beranda
ketika sebuah bungkusan yang diletakkan di atas meja
menangkap perhatiannya. Namanya tercetak besar-
besar di permukaan kertas dengan tinta hitam"dalam
tulisan tangan Nata. Niki menghela napas, lalu menyelipkan bungkusan itu
dalam tasnya. *** TTRAMPOLIN Ujian akhir sudah dekat. Belakangan, Niki banyak
menghabiskan waktu luang untuk mengejar
ketinggalannya dalam pelajaran, terutama mata
pelajaran eksak seperti Matematika, Kimia, dan Fisika.
Kini, dia semakin sering belajar bersama dengan Helena
dan gengnya, berkumpul setiap sore di rumah Helena
untuk mengulang kembali pelajaran hari itu dengan
bantuan guru les privat temannya itu.
Kadang, Niki merasa mereka semua lebih banyak
mengobrol dari pada belajar. Televisi besar berlayar flat
di ruang tengah hampir selalu dinyalakan, biasanya
berhenti di MTV atau Channel V. Makanan ringan
tersebar di atas meja, di samping majalah impor edisi
terbaru. Jika salah satu dari mereka mengangkat topik
obrolan atau mulai bergosip, buku-buku pelajaran akan
terlupakan dan akhirnya mereka tidak jadi belajar sama
sekali. Bukannya Niki tidak menyukainya; dia senang menjadi
bagian dari grup Helena. Dia juga suka hangout di
rumah berlantai tiga dan tanning di kolam renang
outdoor sambil menyesap jus segar, dikelilingi oleh
teman-teman yang sama-sama menyukai fashion dan
cheerleading. Tapi, kadang dia merindukan Nata dan
Annalise, sesi studi mereka di perpustakaan sambil
berkutat dengan bergelas-gelas teh herbal dingin dan
omelan Nata ketika mengajarinya rumus Fisika sampai
bisa. Atau bermain di rumah Annalise dan berlanjut
dengan mengerjakan PR setelah makan malam,
ditemani sekotak pizza vegetarian.
Pada awalnya, Niki tetap bergabung dengan mereka,
tetapi dia merasa tidak nyaman. Sesekali, dia akan
mendongak dan menangkap basah Nata sedang diamdiam memperhatikannya, atau Annalise yang
memandangnya dengan raut khawatir. Mereka bertiga
tidak lagi bisa mengobrol seperti dulu, tertawa lepas
dan bergerak bebas. Kini, Niki merasa tidak bebas
menyentuh Nata, meras telah menyakiti perasaan Nata,
tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya.
Dia tidak bisa merasa nyaman setelah mengetahui orang
yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat ternyata
mengharapkan lebih. Karena itu, lama-lama Niki memilih untuk menjauh
sementara. Dia tidak bisa terus-menerus berada dalam
ruangan yang sama dengan Nata tanpa merasa bersalah
dan canggung. Nata pun sudah berhenti berusaha
menjelaskan posisinya padanya.
"Niki, prom nanti lo mau pake baju apa?"
Konsenterasi Niki dalam memecahkan rumus Kimia
terganggu kala Vanya menyela dan mengencangkan
voluma televisi. Prom" Niki menyelipkan pensilnya di balik telinga dan
terdiam. Beberapa minggu lalu Oliver sempat
mengatakan bahwa sekolah mereka akan mengadakan
pesta prom untuk senior yang akan lulus tahun ini, dan
dia mengajak Niki untuk datang sebagai pasangannya.
Saat itu Niki menyambutnya dengan antusias, tapi
gagasan itu sedikit terlupakan seiring dengan peristiwa
Nata dan persiapan untuk ujian akhir. Begitu melihat
antusiasme teman-temannya yang menggebu-gebu, Niki
teringat bahwa dia sama sekali belum menyiapkan apaapa.
"Masih belum tahu," dia mengaku lirih.
"Masih belum?" Mata Vanya membelalak. "Prom night
SMU Pelita selalu jadi acara paling bergengsi setiap
tahunnya, lho. Dayat aja udah booking limousine untuk
malam itu, dan gue juga udah reservasi make up di
salon dari jauh-jauh hari."
Limousine" Salon" Niki berusaha sebisa mungkin
menutupi ekspresi clueless-nya. "Gue udah ada
beberapa pilihan baju, kok, hanya belum nentuin yang
mana yang lebih bagus." Akhirnya, ia terpaksa
berbohong. Niki semakin panik memikirkannya. Gadis-gadis SMU
Pelita dan teman-temannya yang glamor pasti akan
menyiapkan setelan gaun pesta bermerek yang mewah.
Sedangkan isi lemarinya sama sekali tidak bisa
dimanfaatkan untuk acara kali ini. Bagaimana jika
pakaiannya ternyata tidak pantas untuk pesta itu"
Bagaimana kalau dia mempermalukan Oliver dan
dirinya sendiri" Ini keteledorannya karena tidak
memikirkan masalah ini dari jauh-jauh hari. Pikiranpikiran paranoid mulai bermunculan. Dasar bodoh.
Tenang dulu. Suara Helena sayup-sayup didengarnya. "Oliver bilang
MC dan band-band terkenal khusus diundang untuk
ngeramein prom tahun ini. Temanya red carpet, seperti
acara penganugerahan Oscar."
"Oliver?" Niki bertanya.
"Oh, kemarin gue hangout bareng temen-temennya di
SMU Pelita. Kebetulan Oliver juga ikut." Helena
tersenyum. "Dia nggak cerita?"
Niki menggeleng lemas. Belakangan ini, Oliver terlihat
banyak pikiran dan agak pendiam, dan setiap kali Niki
menanyakannya, Oliver selalu bilang dia baik-baik saja.
Hal ini sedikit membuatnya cemas.
"Gosipnya lagi, Zahra bakal hadir buat ngeramein pesta
itu, sebagai alumni."
"Zahra" Gila, acaranya pasti top punya dong."
Niki hanya samar-samar mendengarkan. Zahra" "Zahra
siapa?" Dengan cepat Vanya menjawab pertanyaan itu. "Lo
nggak kenal Zahra, ya" Zahra itu kakak kelasnya
Oliver, sekarang udah lulus dan kuliah di Melbourne.
Denger-denger, sejak kelas satu Oliver kepincut sama
cewek itu." "Ah, masa, sih," Niki merespons dengan tawa kecil.
"Gue juga pernah denger gosipnya, lho," timpal Linny
menimpali, "katanya Zahra ini adalah cinta pertamanya
Oliver. Sejak cewek itu lulus, Oliver selalu gonta-ganti
cewek supaya bisa ngelupain dia."
Sara turut mengiyakan. "Itu cerita sebelum dia pacaran
sama lo, Ki. Dia nggak pernah sebut nama Zahra sekali
pun?" Niki menggeleng. "Gosip itu juga belum tentu benar,
kan?" Vanya, Linny, dan Sara terdiam sedangkan Helena
mengangkat bahu tanda dia tidak ingin menjawab. Niki
tidak menyukai ekspresi di wajah mereka.
*** "Tadaaahhh!" Niki berteriak sambil merentangkan
tangan lebar-lebar. Beberapa anak bersembunyi di balik
punggungnya, tersenyum lebar dengan gigi ompong.
Oliver berdiri dengan bingung, tidak mengerti apa yang
ingin disampaikan Niki padanya. Tadi gadis itu bilang,
dia ingin memperkenalkan beberapa orang penting
kepadanya. Kini, dia dihadapkan dengan anak-anak
berpenampilan kucel dengan rambut dan muka kotor.
"Ini temen-temen kecilku. Hari ini kita akan bermain
basket bersama Kakak Oliver. Kak Oliver ini juara
basket paling jago se-Jakarta lho." Niki
memperkenalkannya pada anak-anak kecil di
sekelilingnya. Dengan enggan, Oliver menyalami
mereka satu-per-satu. "Ini anak-anak dari panti asuhan?"
Niki menggeleng, untuk sesaat terlihat muram. "Mereka
nggak punya orangtua dan tempat tinggal. Kadangkadang mereka makan dan belajar di rumahku."
"Oh." Setiap bulan keluarga Oliver menyumbangkan
sesuatu untuk panti asuhan, tapi dia tidak pernah
berhubungan langsung dengan penghuni-penghuninya.
"Ayo!" Niki menarik tangannya ke arah lapangan di
kompleks perumahannya, membawa sebuah bola basket
di tangan kirinya. "Anak-anak ini paling suka main
bola. Kami juga suka main sepak bola di tanah kosong
sana." "Kami?" "Iya. Annalise, aku, dan Nata." Niki cepat-cepat berlari
ke ujung lapangan, tidak berkata apa-apa lagi.
Oliver mengikuti dengan setengah hati, kecewa karena
kencan hari ini ternyata dibaginya dengan anak-anak
jalanan yang kumuh. Terkadang, dia sungguh tidak bisa
mengerti Niki. Gadis itu melambaikan tangan, dalam
posisi bebas untuk menerima bola. Rambutnya tergerai
bebas dengan helaian rambut membingkai wajahnya.
Oliver terdiam lama. Terik matahari menyengat
kulitnya, dan bola itu tidak pernah meninggalkan
tangannya. *** Wish #38: mengobrol panjang dengan Oliver(Niki)
Niki mengambil beberapa botol air mineral dingin dan
menempelkan satu di lengan Oliver. Laki-laki itu
terlonjak sedikit, lalu menerimanya dengan tawa kecil.
"Maaf." Niki berujar.
Oliver menoleh ke arahnya. "Maaf" Kenapa?"
"Sepertinya kamu nggak suka berda di sini."
"Bukan begitu. Aku hanya kecapekan, akhir-akhir ini
begadang buat ujian."
"Maaf." Padahal, Niki sengaja merencanakan hari ini
untuk menghibur Oliver. Oliver mengusap rambutnya ringan. "Nggak apa-apa."
Niki mengharapkannya berbicara mengenai ujiannya,
keluarganya, juga apa yang selama ini mengganggu
pikirannya. Niki juga ingin mendengar mengenai Zahra,
juga cerita mengenai gadis-gadis lain yang pernah dekat
dengannya. Tapi selama ini Oliver selalu bungkam.
Niki merasa mereka menjadi seperti dua orang asing
yang tidak benar-benar saling mengenal.
"Oliver, kemarin..." Niki tidak mampu menyelesaikan
kalimatnya. Pandangan Oliver tampak kosong, melihat
jauh ke depan seperti sedang memikirkan sesuatu yang
penting. Oliver sepertinya tidak menangkap rautnya yang
serbasalah. Ia bangkit dan mengecup pipi Niki. "Aku
pulang dulu ya. Sori, hari ini aku ada acara." Niki
menatapnya berjalan menjauh dan masuk ke dalam
mobil, lalu meninggalkannya di lapangan bersama
anak-anak yang masih berteriak dan memperebutkan
bola. "Kita pulang yuk," sahutnya dengan kurang
bersemangat. Anak-anak itu menjatuhkan bola dengan
kecewa. "Kak, hari ini kami akan difoto sama Kak Anna,"
Ajeng, salah satu murid Niki, berkata lugas. Dia
menoleh kepada teman-temannya. "Jadi.... apa namanya
ya?" "Model!" Raka, seorang anak laki-laki bertubuh besar
menyahut lantang. "Iya! Model! Model!" Mereka mulai ribut sendiri.
"Kakak ikut kan?"
Model. Pasti untuk lomba foto yang akan diikuti
Annalise, dengan topik lokalitas itu. Ah, dia ingin ikut.
Tapi Nata pasti akan ada di sana.
Niki terduduk lesu di tepi lapangan.
*** Ketika kembali ke rumah, langit sudah gelap. Niki
belum makan apa-apa sejak siang, tapi perutnya tidak
lapar. Dia merasa lemas dan tidak bersemangat. Sayupsayup trdengar suara ribut di luar. Niki bangkit dengan
malas dan mengintip melalui jendela kamarnya.
Nata sedang berbaring di atas trampolin mereka,
tubuhnya berguncang dengan tawa. Gitarnya terbaring
di sisinya, tidak jauh dari tempat Annalise duduk.
Annalise pun sedang menutupi tawanya dengan sebelah
tangan, sesekali memukul Nata dengan tangan kirinya.
Mereka berdua tampak sangat nyaman bersama, seolaholah sudah lama berteman. Mereka mengingatkannya
akan... Nata dan dirinya, sebelum mereka berdua saling
menjauh. Niki menatap pemandangan itu dengan tidak senang.
Tiba-tiba saja, dia merasa sedih sekaligus marah.
Trampolin itu adalah tempat khususnya dengan Nata,
tempat yang sejak kecil menjadi milik mereka. Baik dia
maupun Nata tidak pernah mengajak orang lain untuk
duduk di sana"hal itu menjadi seperti sebuah peraturan
tak tertulis dalam hubungan pertemanan mereka. Dan
kini Annalise ada di sana, menggantikan tempat yang
selama ini menjadi milik Niki.
Saat itu, Niki tidak bisa membedakan apakah perasaan
marahnya ini ditujukan pada siapa, Annalise, Nata, atau
dirinya sendiri. *** Annalise menakn perutnya yang sakit karena tawa,
tetapi tidak mampu menghentikan tawa yang dari tadi
menggelitik tenggotokannya. Nata pun berguling di atas
trampolin sambil tertawa keras-keras, membuat tubuh
mereka berdua terguncang. Foto-foto yang tadi sore
diambil dan dicetak untuk kompetisi dotografi tersebar
di sekeliling mereka, alasan mereka tertawa begitu
hebohnya. Beberapa foto memang cukup mengundang
tawa akibat kekonyolan anak-anak yang diundangnya
menjadi model. Pada akhirnya, Annalise memilih tema
Pramuka untuk kompetisi itu. Anak-anak itu
didandaninya dalam seragam Pramuka, lalu dipotret
saat sedang bermain dan memanjat sebuah tugu lama di
daerah Jakarta Pusat. Tugu itu selalu dilewatinya setiap
pulang sekolah, dan menarik perhatian dengan cat yang


Refrain Karya Winna Efendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah mengelupas dan coretan grafiti di sana-sini. Tugu
itu terlihat tua, namun gagah walaupun usia sudah
menggerogoti pondasinya. "Stop, stop." Annalise menyusut air mata yang
menggumpal di sudut matanya. "Perutku sakit nih."
Belum pernah dilihatnya Nata tertawa selepas itu dalam
beberapa minggu belakangan ini. Nata mengambil
napas dan mengembuskannya pelan-pelan, lalu menelan
kembali tawa yang masih tersisa.
"Pilihan gue foto yang ini, dan ini." Nata menunjuk dua
foto dan menyingkirkan yang lain.
"Hmmm. Yang ini bagus." Annalise menjentikkan jari
di atas permukaan foto yang dipilih Nata. Foto itu
adalah foto terakhir yang diambilnya sesaat sebelum
mereka semua pulang, ketika anak-anak itu memanjat
tugu dengan latar matahari terbenam. Warna langit
belum berubah, hanya tercoreng beberpa sabetan
oranye. Dia mengangkat kamera dan menjepret momen
tersebut dengan klise terakhirnya pada saat yang tepat.
Mereka mendiskusikan foto tersebut sampai Annalise
bangkit dan membereskan barang-barangnya. "Yuk,
aku harus pulang. Mau belajar untuk ujian bahasa
Inggris besok." Nata mencibir. "Lo masih perlu belajar bahasa Inggris"
Kalau gue dan Niki, sih, mungkin masih perlu ngafalin
struktur grammar." Mereka berdua terdiam ketika nama Niki disebut.
Annalise mendongakkan kepala untuk melihat ke arah
kamar Niki. Gelap. "Niki apa kabarnya ya?"
Nata ikut melirik ke arah yang sama. "Nggak tau."
Berdua tidak sama rasanya dengan bertiga. Annalise
memang merasa lebih dekat dengan Nata, tapi
hubungan mereka terasa terlalu... tenang. Tidak ada
spontanitas dan celetukan asal khas Niki, juga komentar
polos yang menghibur. Annalise pernah berbicara dua mata dengan Niki
beberapa waktu lalu. Dia ingin menjelaskan bahwa Niki
tidak perlu canggung di hadapan dia maupun Nata, dan
tidak ada yang harus berubah dalam persahabatan
mereka. Saat itu, Niki memandangnya lama dan
berkata, "Semuanya nggak bisa kembali seperti dulu begitu aja,
Ann. Setiap kali ngeliat Nata, aku ngerasa bersalah
karena Cuma bisa jadi seorang sahabat buat dia. Setiap
kali ngeliat kamu, aku ngerasa udah ngecewain kamu
karena aku udah ngambil orang yang kamu sayang. Aku
nggak bisa cerita mengenai Oliver di depan Nata, nggak
bisa curhat mengenai Nata di depan kamu. Kita bertiga
jadi penuh dengan kepura-puraan, dan aku nggak bisa
terus begitu." Annalise tidak bisa menjawabnya, dan sekarang ia
menyesal telah membiarkan Niki berjalan pergi begitu
saja. Sebelum menaiki mobil, Annalise berhenti dan
memandangi garasi mungil tempat mereka berkumpul
untuk mengajar setiap Selasa. Dia menarik lembaranlembaran foto yang ada di dalam tasnya, mencoretkan
sesuatu di balik salah satunya, lalu menyelipkannya di
dalam kotak pos keluarga Niki.
*** Acha berbaring dengan sepiring stroberi segar di atas
tempat tidur Niki, mengolesinya dengan sendok
berlumuran selai cokelat dan menelannya dengan
nikmat. Sesekali, Niki meraih beberapa butir dan
mengikuti gerakannya. Acha akan memperhatikannya
dengan heran. Pasti ada sesuatu yang salah jika
kakaknya yang health freak itu sudah mulai makan
begitu banyak cokelat. "Aku ini bodoh banget." Niki memasukkan sebutir
stroberi ke dalam mulutnya tanpa nafsu. "Aku nggak
tau apa yang sedang aku lakukan."
Acha menunggu tanpa menginterupsi. Biasanya, cerita
demi cerita akan keluar tanpa perlu ditanya. Dan benar,
Niki memuntahkan segalanya tanpa disensor, kebiasaan
sepasang kakak beradik yang sudah terbiasa berbagi
rahasia sejak kecil. Niki mendesah panjang untuk mengakhiri curhatannya.
"Aku sendiri yang ngejauhin mereka, tapi aku juga
yang kesal melihat mereka bersenang-senang tanpa
aku." Acha menatap Niki dengan prihatin. "Itu artinya...
Kakak cemburu, kan?"
"Cemburu?" "Iya, cemburu, menyesal, gengsi. Perasaan-perasaan itu
ngebuktiin kalau mereka masih punya makna yang
penting untuk Kakak."
Niki merengut. Acha selalu menawarkan logika di
setiap analisisnya, sesuatu yang dibencinya karena
biasanya tepat sasaran. "Aku jahat, ya?"
"Bukan jahat, tapi nggak siap." Melihat ekspresi Niki
yang meminta penjelasan lebih lanjut, cha meneruskan,
"Saatnya nggak tepat. Kak Nata memilih waktu yang
nggak tepat untuk jujur, yaitu ketika Kakak masih
belum siap mendengarkan. Dan, reaksi Kakak juga
nggak membuat keadaan lebih baik, malah semakin
kacau." Niki manggut-manggut, menyadari kebenaran dalam
observasi itu dan terdiam cukup lama. Sebelum adiknya
meninggalkan ruangan dan mematikan lampu, Niki
separuh mendengar ucapannya yang lirih,
"Gak ada persahabatan yang sempurna di dunia ini,Kak.
Yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa
mungkin untuk mempertahankannya."
*** Wish #39: bertemu dengan Nata dan Anna (Niki)
Niki tidak bisa tidur. Jam weker di meja samping
tempat tidurnya menunjukkan angka satu lewat lima
belas menit. Dalam beberapa jam, dia harus menghadiri
sesi ujian bahasa Inggris, ujian pertama dalam semester
ini, yang belum siap dihadapinya sama sekali.
Kemudian, minggu-minggu liburan yang
menyenangkan akan dimulai, diikuti dengan hari
pertama mereka menjadi mahasiswa.
Dengan langkah terseok, Niki meraih ranselnya dan
meraba-raba isinya dalam kegelapan, mencoba
menemukan sesuatu yang sudah lama tersimpan di sana.
Nah, ini dia. Ia mengeluarkan kotak kertas yang sudah
sedikit penyok itu, menyisihkan pembungkusnya yang
koyak. Di dalamnya, ia menemukan sebentuk kaset, dan
tanpa banyak pikir, Niki memasukannya ke dalam tape
miliknya. Statis. Lalu terdengar suara deheman yang tidak asing,
sekali, dia kali. Tidak lama kemudian, bunyi petikan
gitar yang lembut dimulai. Terdengar agak samar, lamakelamaan semakin jelas. Setelah beberapa kali
mengulang nada yang sama, suara Nata mengisi hening
ruangan. Niki duduk di tepi tempat tidurnya sambi memeluk
bantal, memejamkan mata dan mendengarkan lagu-lagu
gubahan Nata yang perlahan-lahan membuatnya tenng.
Entah sudah berapa lama dia tidak mendengarkan suara
ini, suara berat yang familier, petikan gitar yang
tangkas, tarikan napas di antara nyanyian. Dia bisa
merasakan goncangan trampolin mereka pada tubuhnya,
seperti saat Nata bergerak untuk menyesuaikan nada
dan mulai bermain, seperti saat Niki bersorak dan
bertepuk tangan setiap kali sebait lagu selesai
dimainkan, seperti saat Nata menjulurkan sebelah
tangan untuk menyentil dahinya karena telah membuat
komentar konyol. Dia sangat merindukan Nata.
Lagu demi lagu yang dimainkan secara akustik dan
direkam dalam sebuah kaset hitam, diletakkan di atas
meja beranda rumah dan tertindih barang-barang lain
dalam ransel Niki, kini bermain bebas.
Inilah perasaan Nata selama ini, Niki tahu. Dia akhirnya
mengerti. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan,
Niki dapat tertidur pulas, dengan seulas senyum di
wajahnya. ** PROM Wish #40: prom dress (Niki)
Mencari prom dress yang tepat adalah sebuah pekerjaan
yang tidak mudah. Niki sudah menghabiskan seluruh
akhir pekan memutari hampir seluruh butik di mal dekat
rumahnya bersama Acha dan Mama, mencari sehelai
gaun yang sempurna untuk acaranya akhir pekan ini.
Namun, mereka tidak menemukannya"jika gaun itu
tidak jatuh pas di tubuh Niki, pasti karena harganya
yang terlalu mahal. Akhirnya, Mama menghela napas dan menawarkan
sebuah solusi. Mama berjanji akan mengeluarkan
koleksi gaun-gaun lamanya dari lemari dan mencoba
menemukan sesuatu yang cocok untuknya. Niki
menyetujuinya tanpa banyak argumen, karena dia sudah
putus asa. Helena dan Vanya sudah meneleponnya
untuk menjelaskan detail gaun mereka, juga jenis sepatu
yang akan dikenakan bersama gaun tersebut.
Tepat sebelum Niki memutuskan untuk menlepon
Helena untuk meminjam baju, Mama berseru
memanggil namanya berulang-ulang, diikuti oleh Acha
yang sama hebohnya. Gaun di tangan Mama bukanlah gaun paling indah yang
pernah dilihat Niki"masih ada deretan gaun-gaun
malam idamannya yang tidak mampu dibelinya"tetapi
saat melihatnya, Niki tahu bahwa gaun itu akan sangat
cantik jika dikenakan. Kainnya sangat halus ketika
disentuh, dibentuk mengikuti model gaun-gaun zaman
dulu yang menyempit di pinggang dan mengembang di
bagian roknya, dengan warna broken white yang terlihat
klasik. Bagian atasnya dilapisi oleh brokat jahitan
tangan dengan detail yang sangat teliti, menukik
beberapa sentimeter di atas belahan dada. Beberapa
bagian sedikit kotor oleh debu, tapi Mama berjanji akan
membersihkannya dan memodifikasinya sedikit.
Setelah semalaman bekerja dengan mesin jahitnya,
Mama menggantung gaun itu di kamar Niki supaya ia
bisa melihatnya ketika bangun pagi nanti.
Ketika Niki mengenakannya, ia merasakan gaun itu
mengambang lembut di atas tubuhnya, ringan seperti
sutra. Mama telah memangkas bagian lengannya
sehingga kini gaun itu tidak berlengan, memberikan
kesan modern pada pakaian Dhantage tersebut. Mama
juga telah memendekkannya, sehingga roknya yang
berlapis renda kini jatuh di atas lutut. Elegan, tapi tidak
berlebihan. Niki berlari menuruni tangga masih berbalut dalam
pakaian itu dan memeluk Mama dengan penuh rasa
terima kasih. Mereka menghabiskan beberapa jam
menata rambut dan dandanan Niki, dengan Acha yang
sesekali menawarkan opini dari tepi tempat tidur.
Rambut Niki dibiarkan tergerai supaya tidak terlihat
terlampau dewasa, dan dandanannya dibuat senatural
mungkin. Niki mengulaskan sentuhan terakhir berupa lipstik nude
merah muda pada bibir bawahnya, lalu menatap refleksi
dirinya sendiri pada cermin. Dia memiringkan kepala
dan tersenyum, melihat gadis dalam cermin membalas
senyumnya. *** Niki baru saja menyemprotkan sedikit parfum beraroma
jasmin di pergelangan tangannya ketika telepon
berbunyi. Sambil memasang sebelah sepatu, ia
menyambar telepon yang tergeletak di atas tempat
tidurnya. "Niki?" Suara Oliver terdengar lemas dan parau.
"Kamu kenapa?" Niki bertanya dengan agak panik.
"Sepertinya aku nggak enak badan. Kepalaku pusing
banget." "Kamu nggak apa-apa" Udah makan obat, belum?"
"Udah, tapi rasanya masih lemas. Tunggu sebentar lagi,
ya" Kalau udah baikan, aku bakal segera jemput kamu."
"Lebih baik kamu istirahat aja deh, daripada nanti
tambah parah." "Tapi kamu pasti udah siap, kan" Nggak apa-apa,
kayaknya aku masih bisa tahan."
Suara Oliver sudah sangat lemah. Niki menggeleng.
"Nggak pergi juga nggak apa-apa, kok."
Oliver terdiam. "Tapi prom night kan Cuma sekali
seumur hidup." Niki tidak langsung menjawab, tapi dia tersenyum saat
mengatakan, "Yang penting bukan prom, tapi kamu."
"Maaf ya." Niki berusaha mengabaikan perasaan kecewa yang
menggerogoti hatinya. Sesungguhnya, dia sangat
menantikan malam ini; merayakan akhir dari masa
SMU, mengenakan pakaian cantik dan bersama dengan
orang-orang yang disayanginya. Tapi dia lebih tidak
ingin Oliver datang dalam keadaan sakit. Dia tidak
boleh egois. Lagi pula, bukankah Oliver pasti lebih
kecewa" Ini adalah pesta prom sekolahnya, sesuatu
yang hanya terjadi sekali seumur hidup.
Pandangan Niki jatuh pada papan Monopoli yang
menyembul dari tumpukan majalahnya. Tiba-tiba saja,
dia mendapat ide brilian. Dengan semangat empat lima,
dia segera bergegas untuk berangkat.
*** Sambil mengepit sebuah thermos berisi teh hangat dan
beberapa jenis permainan yang biasa dimainkannya
bersama Nata ketika sedang sakit, Niki berdiri di depan
pagar rumah Oliver. Ia merasa sedikit gugup. Rumah itu


Refrain Karya Winna Efendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar, dilengkapi dengan taman yang luas dan pos
satpam kecil di bagian depan. Dari luar, rumah berlantai
tiga itu terlihat seperti kastil, dengan jendela besar dan
tangga yang meliuk. Selama mereka berpacaran, Niki
tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana
sebelumnya. Helena yang menunjukkan posisi rumah
itu kepadanya ketika mereka melewati jalan besar ini.
Ditekannya bel dengan waswas. Setelah menunggu
sekian detik, seorang laki-laki paruh baya dalam
seragam, satpam muncul dengan tergopoh-gopoh.
"Cari siapa, Non?"
"Saya datang menjenguk Oliver, Pak."
Satpam itu tampak bingung. "Tuan barusan saja pergi."
"Pergi?" Niki menatapnya dengan tidak percaya.
"Oliver kan lagi sakit?"
"Ndak, Non, Tuan Oliver ndak sakit. Baru saja pergi,
kok." Setelah menghabiskan beberapa menit sia-sia berdebat
dengan satpam tersebut, Niki menyerah dan berdiri di
depan pagar dengan perasaan tidak enak. Jelas-jelas tadi
dia tidak salah dengar. Seandainya mereka jadi pergi
pun, Oliver pasti akan meneleponnya dulu. Niki
berkali-kali menekan speed dial dan menghubungi
nomor handphone Oliver, tapi tidak ada jawaban.
Dia baru saja ingin memutar arah dan kembali ke
rumah, namun entah apa yang membuat Niki berubah
pikiran ketika ia memberitahukan destinasi selanjutnya
kepada pengemudi taksi. "SMU Pelita, Pak."
*** Pekarangan SMU Pelita dihias apik dengan dekorasi
bunga segar. Mobil-mobil mewah bergantian berhenti
untuk menurunkan para senior yang malam ini akan
menghabiskan hari terakhir mereka di sekolah tersebut.
Niki adalah satu-satunya yang keluar dari sebuah taksi,
berusaha untuk tidak merasa minder saat ia melintasi
lapangan ke arah hall tempat pesta prom dilangsungkan.
Muda-mudi berpakaian indah berseliweran, tangan
kanan para gadis tersemat corsage cantik dan tangan
kiri mereka menggandeng pasangan masing-masing.
Niki merasa self conscious berjalan sendirian di tempat
asing tersebut, tiba-tiba saja merasan underdressed
dalam balutan gaun turunan ibunya dua dekade lalu, di
antara gadis-gadis bergaun malam model terbaru.
Ia tersenyum tipis saat berpapasan dengan teman-teman
basket Oliver yang sempat dikenalkan kepadanya
beberapa saat yang lalu, namun mereka hanya
melewatinya tanpa menyapa. Niki menunduk, mukanya
hangat. Ia harus segera menemukan Oliver, jika cowok
itu memang ada di sini. "Niki!" Ia menoleh, menarik napas lega saat melihat Vanya
melambai dari sisi meja penerima tamu, menggandeng
Dayat, pacarnya yang juga senior SMU Pelita. Vanya
mengenakan terusan panjang warna hitam dengan
potongan kerah halter yang sangat chic. Niki merasa
pernah melihat gaun serupa di Fashion TV beberapa
waktu yang lalu. Niki menghampiri mereka, masih celingukan mencari
Oliver. "Hai. Kalian liat Oliver nggak?"
Mendadak wajah Vanya dan Dayat sedikit memucat.
Mereka saling berpandangan.
"Lo... belum tahu?"
"Tahu apa?" Iy mengerutkan alis dengan bingung.
"Oliver ada di dalam. Dia datang sama...."
Vanya tidk perlu menyelesaikan kalimatnya. Niki sudah
melihat Oliver di antara kerumunan teman-teman tim
basketnya, tampak gagah mengenakan setelan tuksedo
yang sangat pas di tubuhnya. Di sampingnya, berdiri
seorang gadis dalam balutan trapeze dress berwarna
midnight blue yang serasi dengan pakaian Oliver. Gadis
itu mengenakan tiara prom queen di kepalanya. Lalu, ia
mendongak, menangkap pandangan mata Niki dan
bibirnya perlahan menarik seulas senyum yang
menandakan ia mengerti segalanya.
Gadis itu adalah Helena. *** Niki tidak dapat memercayai pengelihatannya. Ia tidak
lagi memperhatikan ketika Vanya dan Dayat bergegas
permisi dengan tak nyaman, juga keramaian yang mulai
menyesakkan di sekelilingnya. Ia tidak bisa berhenti
memperhatikan Oliver dan Helena, dua orang yang
paling tidak pernah disangkanya akan hadir bersama di
pesta ini. Lalu akhirnya, ia menyadari satu hal.
Untuk sesaat, Oliver mengangkat wajah dan
menghindari pandangannya. Niki ingin menyerukan
namanya dan meminta penjelasan, tapi lidahnya kelu.
Helena menggandeng laki-laki itu untuk menghampiri
Niki yang masih terpaku di pintu masuk dengan tubuh
gemetar. "Hai, Niki. Kok sendirian?"
Niki ingin melenyapkan senyum puas dari wajah cantik
itu, tapi kedua tangannya yang bergetar terdiam bagai
lumpuh di kedua sisi tubuhnya.
"Kalian...." Oliver berjalan menjauh dari sana untuk menerima
telepon yang mendadak berdering, meninggalkan Niki
dan Helena yang saling memandang.
"Gue nggak nyangka lo akan tetap punya nyali untuk
datang," Helena berkata dengan tenang, senyum itu
tidak pernah meninggalkan wajahnya. "Tapi harus gue
akui, lebih menyenangkan ngeliat lo di sini daripada
membayangkan lo meratap di rumah karena Oliver
meninggalkan lo." "Ini semua rencana kamu?" Suara Niki bergetar, dan ia
benci mendengar nadanya yang melengking.
"Ini bukan apa-apa dibanding dengan apa yang lo ambil
dari gue. Gue mau lo tau rasanya kehilangan, ketika apa
yang berarti bagi lo dirampas begitu saja."
"Aku nggak ngerti."
Helena mendengus, untuk pertama kalinya
memperlihatkan rasa benci dalam ekspresinya. "Jangan
pura-pura bodoh. Sejak lo gabung sama tim cheers kita,
gue bagaikan nggak punya gigi. Bahkan beberapa orang
sempet mempertimbangkan lo untuk jadi kandidat
pengganti ketua tim... dan memang itu tujuan lo, kan?"
Hal itu adalah hal terkonyol yang pernah didengar Niki.
Dia, ketua cheers" hanya karena dia aktif
menyumbangkan koreografi baru dan menawarkan diri
untuk membuat mix tape lagu untuk latihan mereka"
Dia tidak pernah berpikir untuk menggusur posisi
Helena yang sudah bertahun-tahun memimpin tim itu
menuju juara satu. "Semua orang suka lo; temen-temen gue, guru-guru,
Nata, Anna... Gue nggak ngerti apa yang menarik dari
lo. Lo kan biasa aja, tapi lo malah ngambil semua yang
harusnya jadi milik gue. Sampai Oliver juga, padahal
gue yang duluan kenal dia."
Helena ingin berteman dengan Nata dan Annalise"
Helena menyukai Oliver" Niki mengerjapkan mata.
Sudah berapa lama Helena menyimpan perasaan ini dan
membencinya diam-diam, sedangkan dia tidak tahu
apa-apa mengenainya"
"Tapi, kan kita teman...."
"Teman, lo bilang?" Helena tertawa kecil. "Di dunia ini
nggak ada yang namanya teman sejati, Ki. Lo yang
terlalu naif. Teman-teman Cuma ada kalau mereka
butuh pertolongan kita, kalau kita punya sesuatu yang
bisa jadi alasan mereka untuk tetap tinggal." Helena
mengibaskan tangan dan melayangkan pandangan pada
Oliver. "Lo inget Zahra" Cewek yang nggak bisa
dilupain Oliver" Zahra itu sepupu gue. Oliver rela
melakukan apa aja demi ketemu lagi sama dia,
termasuk mutusin lo dan muncul di pesta ini sebagai
pasangan gue." Tatapan Helena saat itu sangat dingin. Niki tidak lagi
merasa marah, tapi sedih. Ternyata, selama ini dia tidak
cukup mengenal Helena maupun Oliver dengan baik.
Mereka pun tidak mengenal dirinya, tidak menerima
dirinya apa adanya. Dia tidak diinginkan di sini.
Oliver berbalik dan menghampiri mereka. Dia terlihat
serbasalah. "Ki, gue...." Niki memberanikan diri menatap langsung ke arah mata
cowok itu, mencoba mencari sisa-sisa perlakuan
gentleman yang selama ini lekat pada diri Oliver, juga
permintaan maaf yang tidak kunjung keluar. Entah
mendapat keberanian dari mana, ia mengangkat sebelah
tangan dan melayangkan tamparan keras pada pipi
kanan Oliver. Niki tidak memperhatikan seruan kaget"entah siapa
yang berteriak barusan, tidak juga menyadari betapa
keras hak sepatunya berdentum di lantai marmer ketika
ia berlari keluar, keluar sekarang juga. Dan ketika ia
berhenti dan terengah-engah di depan pagar sekolah
yang kini sepi, ia berjongkok, menyembunyikan wajah
dengan kedua tangan, dan menangis sejadi-jadinya.
*** BIKE Wish #41: menemukan Niki (Nata)
Kring kring! Niki tidak sadar sudah berapa lama bunyi yang tidak
asing itu terdengar. Ketika mendongak, dia melihat
sosok seseorang dengan senyum pengertian yang
membuatnya ingin menangis lagi.
Nata. "Pulang yuk." Cowok itu menepuk-nepuk bagian belakang sepedanya
dengan raut jenaka. Ia bangkit dari sepedanya dan
berjalan ke arah Niki, lalu mengulurkan sebelah tangan
untuk membantunya berdiri.
"Ayo." Niki menatapnya dengan mata basah. Mengapa Nata
ada di sini" Bagaimana Nata bisa tahu" Tapi, dia
merasa begitu lega melihatnya. Melihat sahabatnya
datang untuk menyelamatkannya.
*** Tadinya, Nata mengayuh sepedanya menuju SMU
Pelita sekuat mungkin, berdoa dalam hati supaya dia
belum terlambat. Ketika dilihatnya gadis itu terduduk di
luar pagar, sendirian dengan bahu mungil yang
berguncang oleh tangis, Nata merasa hatinya terenyuh.
Ia ingin memeluknya dan melindunginya sepenuh hati,
tapi untuk sesaat dia hanya bisa memandang dan
menunggu. Kenangan perlahan-lahan muncul di benaknya seperti
rekaman video. Tangan kecil yang menarik ujung
bajunya, sosok yang mengikutinya ke mana pun dia
pergi. Wajah anak perempuan yang tersenyum lebar,
memperlihatkan gigi-giginya yang ompong. Ucapan
menghibur yang keluar dari mulutnya setiap kali Nata
sedang menghadapi masalah"dan ia selalu bisa
mengetahuinya bahkan sebelum Nata berkata apa-apa.
Belaian lembut di pundaknya ketika anak itu
menemukan Nata bersembunyi di balik lemari, malu
ketahuan sedang menangis. Sejak kecil, Niki selalu bisa
menemukannya. Kali ini, adalah gilirannya menemukan
dan melindungi Niki. Niki menatapnya dengan air mata masih mengaliri
kedua sisi wajahnya, bibirnya bergetar dan matanya
sembab. Nata tersenyum, lalu menarik gadis itu berdiri.
Awalnya tangan Niki masih dengan tentatif
berpegangan pada tempat duduknya, lalu lamakelamaan, melingkari pinggang Nata seperti yang
selama ini selalu dilakukannya. Tidak ada yang
berusaha memulai percakapan, hanya keheningan yang
mengisi perjalanan pulang mereka. Nata mengayuh
lambat-lambat, angin menerpa wajahnya dan temaram
lampu menerangi jalannya. Ia merasakan punggungnya
basah, dan pelukan pada pinggangnya mengerat. Nata
mencengkeram setang sepedanya erat-erat, mencoba
menahan gejolak emosi yang meluap dan membuatnya
ingin melampiaskannya kepada siapa pun yang sudah
melukai Niki. Lo aman di sini Ki, bersama gue.
Entah sudah berapa lama Nata mengayuh, sampai ia
berhenti di depan rumahnya. Niki bergerak turun dari
sepeda, buru-buru mengeringkan air mata dengan kedua
tangannya. Nata tahu apa yang akan dilakukannya"
mengucapkan terima kasih sambil memaksakan
senyum. Keesokan harinya, mereka akan kembali
menjadi dua orang asing yang berpura-pura seakan
kejadian malam ini tidak pernah ada.
"Boleh duduk di trampolin?"
Pertanyaan itu mengejutkan Nata. Niki sedang
menatapnya penuh harap, menawarkan sesuatu yang
tidak berani ditanyakannya sejak mereka berhenti
berteman. Nata mengangguk.
Kain elastis trampolin itu berguncang mengikuti berat
badan mereka. Rasanya, sudah lama sekali sejak
mereka berdua duduk di sini, sekedar ngobrol ngalor
ngidul tentang apa saja, sembari memainkan musik.
"Aku dengerin tape kamu, beberapa hari yang lalu."
Nata mendongak, wajahnya memerah. "Isi kaset itu
semua lagu yang pernah gue buat." Untuk lo.
Niki mengangguk samar. "Lagu-lagu itu bagus sekali.
Kamu memang berbakat."
Nata memandang Niki tepat di kedua manik matanya,
sudah letih berpura-pura. "Sejak kapan kita secanggung
ini, Ki" Kenapa kita harus berbasa-basi, nggak bisa lagi
ngomong jujur apa yang ada di pikiran kita?"


Refrain Karya Winna Efendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Niki yang pertama kali mengalihkan pandangan.
Mereka berdua sama-sama tahu jawabannya.
"Gue nggak minta apa-apa dari lo. Gue nggak merasa
sakit hati karena lo nggak bisa terima perasaan gue, gue
justru lebih sakit hati karena lo menghindari gue. Gue
kecewa lo nganggep gue sepicik itu, bahwa gue akan
menjadi orang yang berbeda hanya karena perasaan gue
berubah. Gue nggak mau kita berhenti berteman garagara masalah seperti ini."
"Semua orang selalu bilang, cewek dan cowok nggak
pernah bisa jadi sekedar sahabat. Pada akhirnya, itu
bener kan, Nat?" Nata tersenyum pahit. "Yang gue tau, persahabatan itu
nggak memilih. Persahabatan bukan didasari oleh
gender, usia, motif, atau apa pun itu. Persahabatan yang
tulus gak harus punya alasan."
Senyum Niki berubah sendu. "Kamu benar. Sejak dulu,
aku selalu mengharapkan bentuk cinta yang sempurna.
Kukira kalau aku berteman dengan murid-murid yang
populer dan pacaran dengan cowok yang istimewa,
hidupku juga akan sempurna. Aku baru sadar, nggak
ada yang sempurna di dunia ini. Teman sejati adalah
orang-orang yang bisa nerima aku apa adanya, seperti
kamu dan Anna. Aku yang udah ngecewain kalian,
maaf ya." Nata memotong permintaan maaf itu dengan
meletakkan kedua tangannya di atas bahu Niki,
merasakan kulit mereka hangat oleh sentuhan itu. "Gue
maafin, asal mulai sekarang, lo nggak pura-pura nggak
kenal sama gue di sekolah."
Niki tertawa kecil di balik air matanya. Nata berusaha
tampak tak acuh, tapi dia tahu dia tidak bisa
menghentikan senyum yang kini bermain bebas di
wajahnya. "Apa pun yang terjadi, jangan pernah
memperlakukan kami seperti orang asing lagi."
Niki mengangguk mantap. Untuk pertama kalinya
malam ini, Nata memperhatikan Niki dalam balutan
gaun yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya"
berbahan halus, sebatas lutut, dipenuhi dengan potongn
renda-renda. Jalinan rambutnya sudah terlepas, riasan
ringan di wajahnya berantakan dan ada bekas-bekas air
mata di sana, namun di matanya, Niki terlihat sangat
cantik. "Hari ini lo cantik banget."
Niki belum pernah mendengar Nata berkata seperti itu.
Nata tidak pernah memuji penampilannya, tidak pernah
memperhatikan gaya berpakaian perempuan apalagi
berkomentar mengenainya. Wajah Nata merah padam
selagi mengatakannya, dan Niki merasakan senyumnya
mengembang, perasaannya jauh lebih ringan, seolaholah beban berat telah terangkat.
"Thanks, Nata."
Mereka berbaring menatap kerlip bintang yang
bertebaran di langit-langit"seperti butiran gula-gula.
Nata mengalas kepalanya dengan sebelah lengan, dan
Niki mengandarkan kepalanya pada bahu pemuda itu,
mengenakan sweatshirt sahabatnya yang kebesaran.
Hanya mereka berdua, dan itu saja sudah lebih dari
cukup. ** FORGIVE Wish #42: tertawa keras. Benar-benar tertawa. (Niki)
Niki tidak pernah menyangka akan bertemu dengan
Oliver lagi. Setidaknya, jika dia bersua dengan pemuda
itu secara tidak sengaja, dia yakin dia akan segera
berjalan menjauh ke arah yang berlawanan, sebisa
mungkin menghindari kontak apa pun. Hubungan
mereka sudah selesai, diputuskan sebelah pihak.
Namun, sampai sekarang, Niki masih belum bisa
melupakan kejadian malam itu.
Karena itulah, ketika Niki menemukan pemuda itu
berdiri di depan pintu rumahnya, dia ingin segera
membanting pintu dan berlari ke kamarnya. Tapi
bersembunyi, menghindar, dan berlari adalah hal-hal
yang sudah terlalu sering dilakukannya; terhadap Nata,
terhadap Annalise, terhadap dirinya sendiri. Dia tidak
ingin mengakhirinya seperti ini, membiarkan kata-kata
belum selesai terucapkan, lalu menyesalinya kemudian.
Jadi Niki memaksakan diri untuk memandangnya dan
bertanya apa yang dia inginkan.
"Aku mau bicara."
Mereka mencari privasi di sebuah lapangan basket
kosong tidak jauh dari sana. Niki merasakan hatinya
berdegup kencang, seperti yang selalu dirasakannya
saat berada di dekat Oliver. Diam-diam, dia membenci
dirinya sendiri karena masih merasa seperti itu.
"Aku datang untuk minta maaf."
Niki sudah menduga perkataan itu akan keluar dari
mulut Oliver. Dia pun sudah tahu mengapa. Tapi,
ternyata lebih sulit"lebih menyakitkan, untuk
mendengarnya langsung. "Helena memintaku supaya tetap membawa kamu ke
pesta itu, lalu ninggalin kamu di sana. Tapi, aku nggak
bisa...." Hati Niki melunak. "Kalau kamu nggak melakukannya,
Helena nggak akan mempertemukan kamu dengan
Zahra, kan?" Oliver tampak terkejut mendengarnya. "Kamu tahu
tentang Zahra?" "Sedikit." Hanya tahu dengan jelas kalau kamu begitu
mencintainya sehingga memilih dia dibanding aku.
"Kenapa akhirnya kamu nggak membawaku ke prom?"
Oliver menggeleng. "Aku nggak bisa mempermalukan
kamu di depan mereka semua, Niki. Akhirnya, Helena
pun bohong mengenai kepulangan Zahra. Dia
merencanakan semua ini untuk membodohi kita."
"Terima kasih."
Oliver mendongak lagi, kali ini benar-benar menatap
Niki sejak malam itu. "Terima kasih" Buat apa?"
"Karena kamu masih punya hati. Karena kamu memilih
untuk jujur sama aku." Niki tersenyum samar.
Bahasa tubuh Oliver berubah rileks ketika melihat Niki
menerima permintaan maafnya. Mereka duduk di kursi
tembaga yang diletakkan di sudut lapangan, tidak jauh
dari padang ilalang kecil tempat Nata dan Niki dulu
sering mencari jangkrik dan kunang-kunang.
"Zahra itu kakak kelasku, dua tahun lebih tua. Dia atlet
renang sekolah, juga juara lomba Matematika. Dia
murid kesayangan guru-guru, disukai semua orang, dan
banyak cowok yang tergila-gila sama dia. Waktu
orientasi, dia jadi mentorku, dan sejak saat itu kami
sering ngobrol. Waktu aku kelas satu SMU, Zahra
pacaran dengan salah satu guru sekolah kami. Aku
selalu bilang kalau mereka nggak akan bisa sembunyisembunyi seperti itu, tapi Zahra nggak peduli. Beberapa
kali aku mengungkapkan perasaanku sama dia, tapi
Zahra bilang aku hanya seperti adik baginya. Sampai
suatu hari, hubungan mereka ketahuan. Mereka putus,
guru itu dipecat, dan Zahra dikirim untuk sekolah ke
luar negeri oleh orangtuanya."
Oliver menarik napas dan mengembuskannya pelanpelan. Wajahnya terlihat lelah dan sedih"ekspresi yang
berbeda dari yang selama ini diperlihatkannya kepada
semua orang, Niki baru menyadarinya.
"Aku yang melaporkan hubungan mereka ke kepala
sekolah. Sejak saat itu, Zahra nggak mau lagi menemui
aku. Dia nggak mau membalas e-mail dan teleponku.
Kami nggak pernah ketemu lagi, tapi aku nggak bisa
ngelupain dia." Oliver memandang Niki lekat-lekat.
"Kamu orang yang baik, Ki. Aku bener-bener senang
setiap kali menghabiskan waktu bersama kamu, dan
kukira aku bisa menyayangi kamu... tapi aku nggak
mau melukai kamu lebih dari ini. Kuharap kamu nggak
menganggap aku orang yang jahat."
Niki mengangguk kebas, tidak lagi mendengarkan
permintaan maaf Oliver. Selama ini, Oliver memang
tidak pernah menyayanginya, tidak menganggapnya
sebagai bentuk cinta pertama yang sempurna. Hanya
dirinya yang sudah bodoh dan berharap lebih.
Oliver tersenyum sedih. "Aku akan kuliah di
Melbourne, berangkat bulan depan. Aku mau menyusul
Zahra ke sana, mencoba memulai dari awal."
Niki menyapukan pandangan pada Oliver sekali lagi,
melihat sisi dewasa pemuda itu, sosok yang tidak
pernah benar-benar dikenalnya.
"Good luck." Hanya itu yang bisa dikatakannya.
Oliver mengangguk, dan mereka berpisah di sana.
"Good bye." Niki secepat mungkin melangkah pergi, supaya Oliver
tidak melihat air mata yang mengalir deras di wajahnya.
*** Nata baru saja kembali dari swalayan kecil di kompleks
perumahannya untuk membeli sekotak susu ketika ia
melewati lapangan basket. Niki dan Oliver sedang
berada di sana, berdiri berhadapan dengan bahasa tubuh
yang kaku. Ekspresi Oliver penuh penyesalan,
sedangkan Niki tampak tidak nyaman.
Nata menghentikan sepedanya tanpa suara dan
memperhatikan mereka dari kejauhan. Tidak lama
kemudian, Niki setengah berlari meninggalkan Oliver,
dan Nata tahu dia sedang menangis. Niki selalu
membuat ekspresi dan gestur seperti itu jika dia
menangis. Tak dapat menahan Sarasalannya, Nata
meninggalkan sepeda dan barang belanjaannya di tepi
jalan, lalu berlari mengejar Oliver yang kini sedang
berjalan ke arah mobilnya.
"Tunggu!" Oliver berhenti dan berbalik, hanya untuk mendapati
Nata sudah mencengkeram kerah kemejanya dan
mengayunkan sebelah tinjunya di udara. Untuk sesaat,
dia memejamkan mata, menunggu kepalan tangan itu
mendarat di sisi wajahnya, tetapi dirasakannya tekanan
pada cekalan tangan Nata meringan dan akhirnya
melonggar. Nata sedang menatapnya dengan marah"itu satusatunya adjektif yang tepat untuk menjelaskannya.
"Gue udah bilang lo nggak boleh bikin dia nangis lagi,"
desisnya. "Gue dateng untuk minta maaf, dan mengucapkan
selamat tinggal." Oliver menjawab dengan tenang. "Itu
aja." Mereka berdua saling berhadapan, menjaga privasi
jarak masing-masing. "Lo itu pengecut."
"Definisi pengecut adalah orang yang nggak punya
cukup keberanian untuk mengakui yang sebenarnya."
Cih. Nata mengusap keringat dengan sebelah tangan,
matanya tidak meninggalkan Oliver. Dia ingin sekali
menghajar cowok ini, satu hantaman kuat saja sudah
cukup, tapi dia tidak melakukannya. Sedetik sebelum
kepalan tangannya menyentuh rahang Oliver, Nata
teringat pada Niki, dan dia tidak bisa melakukannya.
"Gue nggak pernah bermaksud nyakitin Niki. Karena
itu gue datang ke sini untuk menjelaskan semuanya."
"Tapi, justru itu yang lo lakukan, nyakitin dia."
Oliver menggeleng. "Kalau gue pergi begitu saja tanpa
penjelasan apa-apa, selamanya gue akan merasa
bersalah sama dia." Nata memaki dalam suara rendah. "Kalau lo nggak mau
nyakitin dia, lo nggak akan bohong sama dia di pesta
itu. Lo nggak akan seperti pengecut ngikutin semua
omongan Helena dan ninggalin Niki sendirian di sana."
Oliver terdiam lama dan suaranya merendah. "Karena
itu gue nelepon lo. Karena Cuma lo yang bisa
menyelamatkan Niki, saat gue nggak bisa."
Itu adalah penjelasan paling pengecut yang pernah Nata
dengar. "Jangan pernah muncul lagi untuk nyakitin
Niki. Gue nggak akan maafin lo untuk kedua kalinya."
Dia berbalik dan meninggalkan Oliver, tapi dapat
dengan jelas mendengar seruannya di kejauhan.
"Gue bukan orang yang tepat untuk Niki. Gue dan lo
sama-sama tahu itu."
Nata terus berjalan. *** Niki berhenti di depan trampolin, terengah-engah
setengah berlari dari lapangan ke rumah Nata. Air mata
masih mengaliri wajahnya, tidak bisa berhenti
walaupun dia berusaha sebisa mungkin untuk
menghentikannya. Dia tidak ingin menangisi
berakhirnya hubungannya dengan Oliver, tidak ingin
menunjukkan betapa lemah dan terluka hatinya.
Dia menerima alasan Oliver, mengerti sakit hatinya.
Tapi bagaimana dengan sakit hatinya sendiri"
"Niki?" Suara itu mengejutknnya. Niki mengangkat kepala dan
melihat Annalise sedang berdiri di sana, memegang
kameranya dan segulung rol film. Sudah lama sekali
Niki tidak melihat Annalise, raut wajahnya yang
khawatir jika salah satu di antara dirinya atau Nata
sedang dilanda masalah. "Are you alright?"
Dengan satu pertanyaan itu, Niki kembali terisak.
Annalise beranjak maju, dan tanpa ragu, melingkarkan
kedua tangannya pada bahu Niki serta menariknya
dalam pelukan. Niki tersedu-sedu di sana, dan Anna
memeluknya dalam diam, tidak memerlukan jawaban,
penjelasan, apa pun, hanya ada di sana untuknya.
Tidak lama kemudian, dirasakannya kehangatan tubuh
Nata turut mengelilingi mereka. Nata beraroma susu
dan keringat, bau yang sangat menenangkan. Perlahan,
air mata Niki mengering dan dia merasa jauh lebih
tenang. "Barusan gue ketemu Oliver. Hampir aja gue tonjok dia
sampai bonyok." Nata berkata sambil mengepalkan
kedua tangannya. Niki ternganga kaget.

Refrain Karya Winna Efendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi, nggak jadi." Nata tersenyum. "Karena gue tau lo
nggak akan mau gue berbuat begitu."
Niki tertawa di antara tangisnya, diikuti dengan
Annalise yang terSarah lembut di sebelahnya.
"Aku punya sahabat seperti kalian, tapi aku malah
menjauh." Niki mengusap air matanya cepat-cepat, lalu
menggenggam tangan kedua sahabatnya, Nata dengan
tangan kiri, Annalise dengan tangan kanan. "Maaf ya."
"Apologies accepted." Annalise menyeringai.
"Setuju." Nata mengangkat tangannya yang masih
berbalut tangan Niki. Mereka tertwa bersama, tangan saling terpaut.
*** HELENA Menjelang ujian akhir semester, tidak banyak
pertandingan basket antarsekolah yang diadakan. Hal
ini membuat jadwal latihan cheers semakin berkurang,
dan Niki bersyukur untuk itu. Kini, dia tidak lagi
bertegursapa dengan Helena. Di kelas, mereka terpisah
dalam sudut yang berlawanan, Niki dengan Nata dan
Annalise, Helena dengan teman-temannya. Terkadang,
jika berpapasan dengan sesama cheerleader, mereka
akan tersenyum sekilas pada Niki, tetapi tidak pernah
benar-benar memulai percakapan seperti yang dulu
mereka lakukan. Awalnya Niki merasa tidak nyaman,
seperti kehilangan teman dekat, tapi dia akhirnya sadar,
bahwa sebenarnya teman-teman itu tidak pernah
menjadi miliknya. Bukankah lucu jika persahabatan harus memiliki sebuah
alasan" Lebih lucu lagi karena sebuah hubungan
pertemanan bisa putus begitu saja hanya karena alasan
itu sudah tidak lagi eksis. Niki merasa sedih jika
memandang murid-murid perempuan berseragam
cheers sedang berkumpul di sudut ruangan, tertawatawa tanpa dirinya. Dulu dia sempat menjadi bagian
dari mereka. Dia pun tahu Helena mengharapkan dirinya berhenti
dari tim. Keluar begitu saja, dengan alasan tidak tahan
diperlakukan seperti orang asing, dan merasa tidak lagi
diterima di sana. Tapi, Niki tidak ingin berbuat begitu
untuk melayani ego mereka. Jika dia sudah kehilangan
teman-temannya, dia tidak ingin kehilangan cheers
juga. Hari ini pertandingan basket tahunan antara SMU Pelita
dan SMU Harapan dilaksanakan lagi. Tepat setahun
yang lalu, acara inilah yang mempertemukan Niki
dengan Oliver. Kapten basket yang kini menggantikan posisi Oliver
berdiri di tengah lapangan sambil men-dribble bola.
Niki masih ingat dulu Oliver melakukan hal yang sama,
memicingkan mata untuk mencari anggota timnya yang
sedang berda dalam posisi bebas. Pandangan mereka
sempat bertemu untuk sepersekian detik, lalu pecah
oleh gerakan lawan yang mencoba merebut bola itu dari
tangan Oliver. Sudah lama sekali, tapi masih segar
dalam ingatan seakan baru terjadi kemarin.
Niki melakukan gerakan rutin yang sudah dilatihnya
tanpa semangat. Kenangan-kenangan itu terasa masih
mentah dalam benaknya. Oliver, Helena, Nata, malam
itu. Dia bahkan tidak sepenuhnya sadar bahwa gerakannya
sudah melencong jauh dari anggota cheers yang lain.
*** Helena membiarkan air dari keran shower menitik turun
dan membasahi tubuhnya seperti gerimis. Dia selalu
menyukai perasaan setelah memenangkan sebuah
pertandingan, merasa menjadi bagian dari kemenangan
itu, walau hanya berada di samping untuk
menyemangati. Hanya saja, hari ini dia tidak merasa menang. Entah
karena alasan apa, adrenalin yang sama tidak
dirasakannya, hanya kehampaan yang amat sangat.
Dia mengingat wajah Niki ketika melihat Oliver dalam
gandengan tangannya. Wajah Oliver ketika mengetahui
bagian dari rencananya, dan tatapan mata pemuda itu
ketika berbalik untuk meninggalkannya. Pandangan itu
lebih menyakitkan daripada kata-kata penuh amarah
dan kesedihan yang dia harapkan dari Oliver.
Air mata kini berbaur dengan air dingin, mengguyur
wajahnya yang kotor oleh keringat dan debu. Helena
memutar keran, berharap dentuman air
menyembunyikan isakannya supaya tidak terdengar
oleh siapa pun. *** Niki meletakkan peralatan mandinya di sisi wastafel,
membersihkan wajahnya dengan sepotong kapas. Dia
selalu menunggu hingga anggota cheers lain sudah
pulang sebelum menyelinap ke dalam ruang ganti untuk
membersihkan diri,karena dia merasa tidak nyaman
bertukar pakaian di tengah orang-orang yang tidak
bersahabat dengannya. Samar-samar, didengarnya suara tangisan dari salah
satu ruang mandi yang sedang digunakan. Niki tidak
tahu masih ada orang di sana, karena tadi dilihatnya
sekelompok murid perempuan berjalan keluar dari
ruangan itu sambil tertawa-tawa.
Dengan tentatif, ia menghampiri kubikel yang tertutup
oleh tirai plastik, mengulurkan tangan untuk
menyibakkannya, tapi lalu berubah pikiran dan
memutuskan untuk menunggu, menemani siapa pun
yang ada di sana hingga tangisannya mereda.
*** Baik Niki maupun Helena sama-sama terkejut ketika
mendapati satu sama lain di ruangan itu. Helena keluar
dengan rambut basah, tetapi yang mengejutkan Niki
adalah betapa pias wajahnya, bibirnya pucat dan kedua
matanya merah. Dia belum pernah melihat Helena
terlihat rapuh"sama sekali. Helena selalu terlihat
composed, percaya diri, penuh otoritas.
"Helen?" Helena mengangkat dagu dengan angkuh dan
mengubah ekspresinya, tapi Niki tidak tertipu.
"Kamu... nggak apa-apa?"
Mereka saling menatap, memikirkan seribu satu makna
yang terkandung dalam satu pertanyaan sederhana itu.
Mereka sama-sama tidak pernah menanyakannya
kepada satu-sama lain, mungkin karena mereka tidak
pernah menjadi seakrab itu untuk saling
memperlihatkan sisi rapuh masing-masing.
"Lo masih peduli?"
Mata Niki menyipit mendengarnya. "Kita pernah
berteman, Helen. Aku masih nganggep kamu salah satu
teman dekatku." Helena terSarah hambar. "Bahkan, setelah hal-hal jahat
yang gue perbuat?" "Hal-hal yang kamu lakukan itu beralasan, bukan?"
Niki sering kali memikirkan kejadian malam itu,
perkataan Helena yang menusuk, pengakuan Oliver
yang membuatnya kecewa, dering lonceng sepeda Nata.
Dan, yang paling tidak bisa dilupakannya adalah sorot
mata mereka, terutama Helena. Saat itu, dia
mengartikannya sebagai perasaan menang telah
menyakiti Niki, bangga telah membawa Oliver ke
sisinya, tapi kini Niki menyadari, pandangan mata itu
penuh kesedihan. Sudah berapa kali dia melewatkan ekspresi yang sama"
Ketika dia bercerita penuh semangat mengenai
perkembangan hubungannya dengan Oliver, dia hanya
memikirkan kesenangannya sendiri, tanpa
memperhatikan perubahan raut wajah Helena. Niki lupa
betapa sering Helena menyebut nama Oliver sebelum
pertandingan basket antarsekolah itu dimulai,
melupakan pandangan memuja yang disapukan Helena
pada pemuda itu saat mereka berkumpul di lapangan,
dan senyumnya ketika membicarakan Oliver.
Niki terlambat menyadari bahwa dialah yang sudah
melukai Helena. "Maaf." Helena mendongak cepat, mengira dirinya salah dengar.
"Maaf?" ulangnya ragu.
Niki mengangguk. "Maaf, karena aku juga nggak
pernah menjadi teman yang baik untuk kamu. Aku
nggak pernah sadar kalau kamu sangat menyayangi
Oliver." Helena menggeleng, ekspresi wajahnya letih. "Lo pasti
senang udah menemukan kelemahan gue, tapi gue
nggak butuh dikasihani."
"Bukankah kita berdua sama-sama terluka oleh hal
yang sama?" Helena tersenyum pahit, menyadari kebenaran di balik
pertanyaan itu. "Dia pernah suka sama lo, sedangkan
dia sama-sekali nggak punya perasaan apa-apa buat
gue. Benci, mungkin."
Niki tahu alasan sebenarnya Helena melakukan hal itu
bukan sekedar untuk melukainya, tapi untuk
membuktikan sesuatu"perasaan Oliver yang
sesungguhnya. Dia juga paham bagaimana rasanya
mengetahui bahwa cinta yang kita miliki selama ini
bertepuk sebelah tangan, dan kita tidak dapat
melakukan apa-apa untuk mengubahnya.
"Oliver bilang dia akan pergi ke Australia untuk nyusul
Zahra. Dia nggak nyalahin kamu untuk sesuatu yang
udah seharusnya dia lakukan sejak dulu."
Helena menggeleng. "Lo nggak tahu, gue udah
memperhatikan Oliver selama bertahun-tahun, sejak
kami bertemu di pesta ulang tahun Zahra. Dia nggak
ingat gue sama sekali, karena pandangannya selalu
mengikuti gerak-gerik Zahra. Lagi pula, siapa yang
nggak jatuh cinta sama Zahra" Dia sempurna, punya
segalanya. Tapi dia nggak bisa menerima Oliver, malah
berhubungan dengan seorang guru yang udah menikah.
Gue invisible di hadapan Oliver. Dia nggak pernah
ngeliat gue, padahal gue selalu berusaha sebisa
mungkin untuk terlihat. Dia banyak pacaran dengan
cewek-cewek lain setelah ditinggal Zahra, sampai
akhirnya dia ketemu lo. Kenapa harus lo" Kenapa dia
bisa ngeliat lo dan cewek-cewek itu, dan bukan gue?"
Niki tidak berusaha menjawab pertanyaan itu. Perlahan,
dia mendekat dan menyentuh lengan Helena dengan
gestur bersahabat. "Kita nggak bisa memaksakan perasaan seseorang
untuk menyukai kita. Yang bisa kita lakukan Cuma
merelakan, berharap supaya dia bahagia." Niki tidak
dapat menahan diri untuk menyelipkan sebuah canda.
"Walau yang jelas dia rugi besar karena udah
ngelewatin ce wek-cewek hebat seperti kita, ya, kan?"
Helena mengangguk, diwajahnya tersungging seulas
senyum tulus yang pertama kali Niki lihat, walau kedua
matanya berkaca-kaca. Mereka mungkin tidak lagi
bersahabat, tapi Niki senang dapat memulai halaman
baru dengan seseorang yang bisa disebutnya teman.
*** SURAT UNTUK NATA Nata melongok ke dalam kotak pos, menemukan
beberapa amplop di dalamnya. Tagihan kartu kredit
milik Dhanny, katalog, undangan untuk kedua
orangtuanya, lalu sepucuk surat beramplop putih yang
ditujukan untuknya. Nama sekolah yang tertera di sudut amplop membuat
hatinya bergejolak. Beberapa bulan yang lalu, dia
pernah mengirimkan aplikasi dan tape audisi atas
rekomendasi guru musiknya, lalu melupakannya segera
setelah mengeposkannya. Sekolah itu adalah salah satu
sekolah musik terbaik di Amerika, dan dia tidak terlalu
berharap dapat diterima, karena banyak sekali anakanak berbakat yang gagal masuk ke sana.
Disobeknya ujung amplop dengan perasaan tidak enak.
Kata-kata yang tercetak pada lembaran suratnya
membuat Nata gelisah. Nata mengumpulkan surat itu dan menyelipkannya ke
dalam saku, mencoba melupakan.
*** "Nat." Sebuah tangan mungil dikibaskan di hadapan wajahnya,
membuatnya tersadar dari lamunan.
"Nat!" Suara itu kian tak sabaran. Nata mengerjapkan mata dan
memfokuskan pandangan pada Niki yang sedang
menatapnya dengan aneh. "Kenapa sih, dari tadi bengong melulu."
Nata baru menyadari bahwa sedari tadi suaranya
menggema di ruangan. Niki sedang memasang tape
berisi lagu-lagu yang direkamnya. Suaranya terdengar
asing di telinganya sendiri. Dengan satu gerakan,
dimatikannya tape, menghentikan lagu yang baru
memasuki reff. Niki merengut. "Kenapa dimatiin?"
"Jelek." "Bagus. Kalo jelek kenapa sering kuputar, coba?"
"Jelek." "Bagus." "Jelek." Niki mengembuskan napas kesal. "Kamu selalu
pesimis, padahal lagu-lagu ini bagus sekali, lho. Nggak
kalah sama lagu-lagu yang sering diputer di radio."
"Kalo lo ngedengerin suara lo sendiri menyanyikan
lagu-lagu ini, lo akan ngerti kenapa gue ngerasa risih."
Niki mengangkat bahu, lalu menarik kaset itu dari tape
dan memasukannya ke dalam walkman miliknya.
"Kalau kamu nggak mau dengerin, biar aku aja."
Sejak memiliki kaset itu, Niki semakin sering


Refrain Karya Winna Efendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendorongnya untuk menulis lebih banyak lagu, juga
mengambil kesempatan untuk manggung di kafe-kafe
kecil. Dia selalu berkata bahwa lagu-lagu Nata harus
didengarkan oleh semua orang, ada dalam setiap CD
player dan dikumandangkan di stasiun radio terkenal.
Hiperbola, Nata tahu, karena lagunya tidak sebagus itu.
Masih perlu banyak perbaikan di sana-sini, dan
permainan gitarnya tidak sempurna. Lagi pula, dia
benci mempertunjukkan lagunya di depan khalayak
ramai, dan ini sudah menjadi rahasia umum.
Nata ingin belajar musik lebih banyak lagi, di sebuah
lingkungan yang profesional. Itulah satu-satunya
alasannya mengirimkan aplikasi ke sekolah itu. Dan,
kini begitu surat penerimaannya tiba, dia malah tidak
tahu harus berbuat apa. Dhanny yang menemukan gumpalan surat itu di tepi
tong sampah ketika sedang berkunjung ke kamarnya.
Rasa penasaran membuatnya meraih lembaran lecek itu
dan meluruskannya untuk membaca isinya.
"Kamu daftar ke universitas musik di luar negeri?"
Nata tertegun. "Disuruh sama guru musik di sekolah,"
dia berusaha menjawab senetral mungkin.
"Dan kamu diterima untuk audisi kedua. Lalu, kenapa
surat ini mau dibuang?"
Nata menyambar surat itu. "Bukan dibuang, tapi
tercecer." Abangnya tidak percaya, dia tahu itu. "Kamu mau
pergi?" "Masih belum tahu."
"Ini kesempatan yang jarang datang, lho."
Nata juga tahu itu. Gurunya sudah menceritakannya
berulang-ulang, bahwa sekolah musik itu menetapkan
standar yang tinggi dengan acceptance rate hanya tujuh
persen. "Aku masih belum bisa memutuskan."
"Karena Niki?" Sebagian besar, ya. Dia tidak ingin meninggalkan Niki,
Annalise, sekolah, rumahnya. Niki, terutama. Siapa
yang akan menjaga gadis manja itu jika dia tidak ada"
Lagi pula, bukankah banyak sekolah musik yang bagus
di Jakarta" "Dia udah dewasa, Nat." Dhanny melanjutkan seakanakan dia bisa membaca penjelasan dalam kepala Nata
dengan gamblang. "Membuat pilihan bukan berarti
harus meninggalkan salah satu. Kamu masih bisa
memiliki keduanya"persahabatan dan cita-cita."
Nata menatap abangnya datar. Tidak semudah itu.
Baginya, pilihan adalah menentukan mana yang lebih
penting bagi dirinya. Bagaimana jika dia kembali dan Niki sudah berubah"
Atau, justru dia yang berubah"
*** "Pergilah, Nat, it"d be silly to waste such a big
opportunity." Nata sudah mengira Annalise akan berkata begitu,
dengan nada yang sama seperti abangnya. Sebenarnya,
dalam hati dia pun tahu itu adalah jawaban yang benar,
tapi dia masih menyimpan secercah keraguan. Surat itu
masih saru di antara sampah yang tidak lagi
diinginkannya. "Kalau memang nggak kepengen pergi, kenapa harus
ragu?" Nata ingin pergi. Nata ingin belajar. Nata ingin menjadi
seseorang. Tapi, mengapa sulit untuk menjelaskan"
"Jangan bilang-bilang ke Niki dulu sebelum gue
memutuskan ya, Ann?" pintanya pada Annalise. "Gue
butuh waktu." Annalise hanya menggeleng-geleng dengan pasrah, lalu
menyipitkan mata untuk mengamati Nata. Ia
mengambil gumpalan surat penerimn itu dari tempat
sampah dan meletakannya di meja Nata, sebuah pesan
agar ia memikirkannya baik-baik.
*** Akhir-akhir ini, Niki merasa Nata terlihat kurang
bersemangat. Dia sering bengong kalau diajak bicara
tentang ujian akhir. Gitarnya diletakkan jauh-jauh di
sudut lemari, lagu-lagu yang dulu sering
disenandungkannya hampir tidak pernah terdengar lagi.
Setiap kali Niki memutar tape pemberian Nata keras-
keras, cowok itu pasti segera mematikannya.
Terkadang, dia memandang Niki lama, seakan sedang
berusaha menemukan sebuah jawaban.
Akhir-akhir ini, Niki tidak bisa mengerti Nata.
"Ada apa, sih?" Begitu dia selalu bertanya.
"Nggak ada apa-apa." Begitu juga jawaban otomatis itu
selalu terdengar. Nata juga enggan membicarakan pilihan kampusnya.
Ketika Niki membicarakan kehidupan kampus yang
tampaknya menyenangkan, Nata terlihat masa bodoh
dengan semuanya. "Kalau udah jadi mahasiswa nanti, kita masih tetap bisa
hangout bareng, Nat. Kalo jam kuliahnya pas, kita bisa
janjian makan siang juga, sama Anna. Seru banget, bisa
belajar pake baju bebas, nggak terikat peraturan
macam-macam dan nggak ada hukuman kalo
membolos. Rasanya jadi kayak orang dewasa, iya
nggak?" Nata hanya mengangguk tanpa banyak komentar.
Niki tidak jadi meneruskan ocehannya. Ia terdiam
menatap Nata lama, menunggu hingga sahabatnya
jengah dan mendelik ke arahnya.
"Ada apa sih!" cetus Nata dengan tidak senang.
"Kenapa gue diperhatiin kayak objek penelitian
begitu?" "Justru aku yang harusnya nanya gitu, Nat. Kamu
kenapa, sih" Akhir-akhir ini selalu begitu, menghindari
pembicaraan. Bete tau, dicuekin kayak gitu."
"Jadi gue harus gimana?"
"Cerita dong, kalau ada yang ganggu pikiran."
Nata menghela napas. Dia tahu pada akhirnya dia harus
memberi tahu Niki yang sebenarnya. Dalam beberapa
hari ini, dia sudah membicarakan kepergiannya ke
Amerika dengan guru musiknya, juga keluarganya dan
Annalise. Mereka semua sangat mendukung, apalagi
kesempatan semacam ini jarang datang dua kali. Kini
yang belum dilakukan Nata adalah memberitahu Niki,
dan ini adalah bagian yang tersulit untuknya.
Bagaimana caranya, jika setiap hari yang bisa
dibicarakan Niki adalah betapa senangnya jika mereka
bisa kuliah di tempat yang sama" Setiap kali ingin buka
mulut, Nata berhenti dan menyimpan kembali katakatanya. Dia tidak ingin ada ekspresi kecewa di wajah
mungil itu. Namun, ketika memandang wajah Niki yang bahagia,
Nata sadar akan sangat tidak adil jika tidak segera
memberi tahunya. Sekarang, Niki memandanginya
dengan intens, menunggu apa pun jawaban Nata yang
bisa menjelaskan perilaku anehnya belakangan ini. Nata
menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah meja
belajarnya, membuka laci paling atas tempat surat-surat
mengenai kepergiannya ke Amerika tersimpan.
Lembaran surat penerimaan masih terletak paling atas,
lecek karena Nata pernah berusaha melenyapkannya.
Diambilnya kertas itu dan diberikannya tanpa kata-kata
kepada Niki. Niki menerimanya dengan ekspresi bingung.
Diluruskannya lembaran tersebut dan dibacanya sekilas.
Nata menunggu perubahan raut wajah Niki, seperti
yang telah diduganya. Perubahan itu datang. Terkejut,
pada awalnya, lalu gembira, lalu sedih. Berubah
kecewa. "Ini surat apa?" Dia bertanya walaupun isinya sudah
jelas. "Surat yang menyatakan gue diterima di sekolah musik,
di New york." Nata berusaha menjelaskannya sedatar
mungkin, tetapi tidak dapat menghentikan gejolak aneh
dalam suaranya. "Aku nggak tahu kamu apply ke sekolah di luar negeri."
Nata mengangguk. "Gue apply beberapa bulan yang
lalu atas rekomendasi Pak Gunawan, yang juga alumni
sekolah itu. Gue nggak nyangkan akan diterima,
makanya gue nggak pernah bilang sama siapa-siapa."
"Kamu udah mutusin untuk pergi ke sana?" Pertanyaan
itu bernada menuduh. "Gue nggak tahu." Nata meringis dalam hati. Dia tidak
ingin berbohong pada Niki, bahwa ada sebagian besar
dari dirinya yang sudah memutuskan bahwa dia ingin
mengambil kesempatan langka ini.
"Semua orang udah tau" Orangtua kamu, Kak Dhanny,
Anna?" Nata menunduk, tidak dapat menjawab. Dia tidak
menemukan jawaban untuk berkata-kata, kata-kata yang
akan memperbaiki kesalahannya dan mengobati
Sarasalan Niki. Niki tersedak dengan tawanya sendiri, tetapi kedua
matanya berlinang air mata. "Selamat ya, Nat. Kamu
memang hebat." Nata merasa hatinya kecut ketika air mata pertama
meluncur di pipi Niki. Dia telah membuat Niki
menangis. Selama ini, dia berjanji akan menghajar
jahanam mana pun yang membuat Niki menangis, tapi
ternyata dialah si berengsek itu.
Dipandangnya gadis itu meremukkan surat
penerimaannya sekali lagi, lalu beranjak keluar dari
kamarnya tanpa sepatah kata pun.
*** Niki meremas erat-erat surat di kepalan tangannya
dengan gemas, lalu melemparkannya ke ujung ruangan.
Bola kertas itu memantul sedikit di ujung tempat
sampah lalu berguling ke lantai.
Patutkah ia kesal" Bukankah seharusnya dia gembira
karena Nata berada satu langkah lebih dekat menuju
mimpinya" Dia tidak menghiraukan ketukan samar pada pintu
kamarnya. Didengarnya pintu berderit terbuka, juga
langkah kaki yang berjalan mendekat. Annalise.
Niki menoleh, bekas air mata masih menodai wajahnya,
Annalise mengulurkan sebelah tangan untuk
menghapusnya. Dibelainya helaian anak rambut Niki
yang menempel di sisi wajahnya yang basah, lalu
menyelipkannya di balik telinga. "Kamu marah karena
Nata akan pergi atau karena dia memutuskan tanpa
memberi tahu kamu?" tanyanya lembut.
"Aku marah karena aku jadi orang terakhir yang tahu."
Niki menatap Annalise. "Aku marah sama diri sendiri
karena aku egois. Lebih egois lagi karena aku nggak
mau dia pergi." Raut Annalise berubah muram. "Kita semua nggak mau
dia pergi, Ki. Nata nggak berani memutuskan
kepergiannya karena mikirin kita, terutama kamu. Tapi
terkadang, kita harus membiarkan dia membuat pilihan
yang terbaik." Pertanyaannya adalah, yang terbaik untuk siapa"
*** Wish #43: saling memiliki, apa pun yang terjadi
(Nata, Niki, dan Annalise)
Sudah tengah malam. Nata bolak-balik berjalan
mengelilingi kamarnya, menghempaskan tubuh di atas
tempat tidur, melongok ke luar jendela, bahkan
mencoba untuk tidur, tapi tidak berhasil. Akhirnya ia
menyerah dan menyambar gagang telepon, hmpir saja
menekan digit-digit angka yang dihafalnya di luar
kepala, jika tidak menyadari bahwa sudah terlalu malam
baginya untuk menelepon. Oh ya, Niki juga sedang
marah padanya. Frustasi karena insomnia dan rasa tidak nyaman yang
menyesakkan dada, Nata bangkit lalu berjalan ke luar
melalui pintu belakang di dapur. Tiba-tiba saja ia ingin
melompat-lompat di atas trampolin, sekedar untuk
melampiaskan Sarasalannya.
Nata tidak menyangka akan menemukan Niki di sana,
mengenakan setelan piyama putih dengan corak kelinci,
berbalut selimut perca yang selalu dipakainya setiap
malam. Niki tampak terkejut juga ketika melihatnya
tapi tidak ingin berkata-kata, hanya menatapnya dingin.
"Ngapain lo malam-malam di sini sendirian?"
Pertanyaan itu terdengar kasar, padahal Nata tidak
bermaksud begitu. "Mau ngerasain gimana rasanya duduk sendirian di sini,
setelah kamu pergi nanti."
Entah mengapa jawaban itu justru membuat Nata sedih.
"Ki, gue minta maaf. Karena gue egois, dan gue
berengsek. Untuk pertama kalinya gue akuin hal itu."
Sudut-sudut bibir Niki terangkat, hampir membentuk
seulas senyum, dan Nata merasa sangat lega
melihatnya. "Gue tau seharusnya gue langsung ngasih tahu lo saat
daftar ke sekolah itu, juga waktu gue diterima. Tapi
sebelumnya gue mau mikirin keputusan gue matangmatang, supaya nggak ada penyesalan di kemudian hari.
Gue nggak bisa bilang, karena gue tahu lo pasti
kecewa." "Kamu kepingin banget masuk sekolah itu kan, Nat?"
Ketika Nata tidak menjawab, Niki menatapnya sendu.
"Aku ngerti, kok. Maaf, karena aku jadi alasan yang
ngebebanin kamu dalam ngambil keputusan."
Nata tercekat saat mendengar permintaan maaf itu.
"Jangan bilang begitu."
Niki tersenyum, walau masih dengan air mata di
pelupuk matanya. "Bodoh. Aku akan selalu ngedukung
kamu, apa pun yang kamu pilih. Selama itu adalah
impian kamu." Nata tidak dapat menahan diri untuk beranjak mendekat
dan menarik tubuh mungil itu dalam pelukannya, tidak


Refrain Karya Winna Efendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi berpikir apa yang seharusnya dia lakukan dan tidak
lakukan. Gadis dalam pelukannya tidak meronta, justru
mengulurkan kedua lengan untuk balas melingkari
pinggangnya. Mereka berpelukan dalam diam, dua
sahabat yang saling mengerti dan menerima bahwa
mimpi yang berubah menjadi kenyataan adalah hal
terbaik yang dapat terjadi pada seseorang. Walaupun
salah satu dari mereka harus berkorban untuk itu.
*** DEPARTURE Hari ini, Nata dan Niki berjanji untuk menghabiskan
hari terakhir Nata di Jakarta bedua saja. Niki berjanji
pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menangis,
apa pun yang terjadi, tapi janji itu sepertinya lebih
mudah diucapkan daripada dilaksanakan.
Menjelang kepergian Nata, ia berusaha keras untuk
tampak gembira, memasang ekspresi bangga walaupun
sejujurnya ia masih menyimpan sedikit luka di hati.
Puncaknya adalah ketika dia dan Annalise membantu
mengepak barang-barang Nata. Melihat separuh isi
kamar Nata yang kini berpindah ke dalam koper, entah
mengapa Niki merasa tertekan. Dia tidak menyadari
bahwa dia sedang menangis hingga Annalise
menegurnya lembut. Buru-buru, Niki menyusut air matanya, berharap temantemannya tidak akan mempermasalahkannya lebih
lanjut. Tapi, Nata meletakkan tumpukan pakaian yang
telah dilipat rapi, berjongkok di hadapannya dan berkata
dalam nada lembut yang jarang digunakannya.
"Lo nggak perlu ngerasa harus pura-pura senang di
depan gue, Ki. Gue juga ngerasain hal yang sama
dengan lo." Niki mengangguk, mati-matian berusaha menghapus air
matanya yang kini mengucur deras dan tidak bisa
dihentikan. Annalise merasakan matanya sendiri basah
dan ia menyelinap keluar, meninggalkan dua
sahabatnya sendirian. Dia juga butuh waktu untuk
menata perasaannya. Selagi bergerak ke arah dapur untuk membuat secangkir
teh hangat, ia berpapasan dengan Dhanny yang
memegang sekantung besar keripik kentang pedas di
tangannya. "Hai." "Hei." Mereka berdua berdiri di dipan, memandang ke luar
jendela. Matahari bersinar cerah, kebun kecil keluarga
Nata tampak terawat dengan bugenvil warna-warni
yang mekar pada saat yang tepat, tapi Annalise merasa
mendung dan kelam. Dia tidak pernah
mengungkapkannya, tapi mengetahui bahwa keputusan
Nata akan pergi sudah final juga membuatnya merasa
sedih. "Besok Nata akan pergi."
Annalise mengangguk kaku.
"Kamu juga nggak mau dia pergi, kan?"
AAnn mendekatkan cangkir ke bibir, sesekali meniup
minuman di dalamnya supaya cepat dingin, sengaja
mengulur waktu untuk menjawab. "Semua orang nggak
mau Nata pergi." Dia berusaha menjawab dengan
netral. "Tapi, kamu masih sayang sama dia."
Itu bukan pertanyaan. Hanya pernyataan yang membuat
hatinya lebih miris lagi. "Gimana perasaan Kakak
waktu Sivia pergi?" Dhanny tidak berusaha menghindari pembicaraan
ketika mendengar pertanyaan tersebut, tidak juga
memasang ekspresi sedih. Dia hanya tersenyum,
senyum seseorang yang sedang mengenang masa lalu
tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang harus
disesali. "Sivia orang yang tegas. Dia bilang ada tiga jenis orang
di dunia ini; orang yang memiliki mimpi lalu memilih
untuk mengejarnya sampai dapat, orang yang memiliki
mimpi, tapi tidak melakukan apa-apa untuk
menjadikannya nyata, dan orang yang sama sekali tidak
mempunyai mimpi. Sejak kecil, dia tahu kalau dia akan
pergi jauh dari sini, dan aku nggak bisa berbuat apa-apa
selain membiarkannya pergi."
"Kakak pernah memintanya untuk tinggal?"
"Ya. Tapi, dia bilang aku egois kalau memaksanya
tinggal, bodoh kalau mengorbankan diri sendiri untuk
mengikutinya ke sana. Karena kami punya mimpi yang
berbeda. Dia ingin jadi penari, sedangkan saat itu aku
masih nggak tahu apa yang kuinginkan. Kalau
mengikutinya, aku tahu aku hanya jadi beban buat dia,
begitu juga sebaliknya. Perasaan kami saat itu tidak
cukup kuat untuk mempertahankan apa yang kami
punya." Mengapa sangat mudah bagi seseorang untuk
mengorbankan cinta demi cita-cita" Annalise ingin
tahu. Dhanny menatapnya tenang, dan saat itu juga Annalise
mengetahui jawabannya. Karena cinta tidak ingin
bertahan dalam hati dua orang yang tidak menginginkan
hal yang sama. Karena jika salah satunya tidak
memiliki ruang yang cukup untuk cinta, maka cinta itu
akan beranjak pergi. *** Wish #44: menjadi anak-anak lagi, yang tidak pernah
memusingkan banyak hal rumit (Nata)
Niki menyiapkan berbagai kudapan di basecamp
mereka. Marshmallows bakar berbalut selai cokelat.
Nachos saus keju kesukaan Nata. Gelato matcha dan
yogurt rasa blueberry. Soda dingin dan jus jeruk.
Mereka duduk bersebelahan, mendengarkan musik
sambil memandangi bintang. Hangat kulit Nata
bergesekan dengan lengannya, membuatnya merasa
aman. Sesekali, Niki melihat kerlip siluet pesawat
melintas di kejauhan, dan ia merasakan tendangan kecil
dalam hati, teringat bahwa besok pagi sahabatnya juga
akan dibawa pergi oleh salah-satu benda tersebut.
Sudah belasan tahun mereka melakukan hal ini setiap
malam, sebuah rutinitas yang sama kentalnya seperti
minum air. Bagaimana dengan esok" Niki memaksa
dirinya sendiri untuk memikirkan hal-hal yang
menyenangkan. Apa pun untuk mengalihkan
pikirannya. "Inget nggak waktu kamu pertama kali ngajak aku
duduk di atas trampolin ini?"
Saat itu, mereka berdua berusia tujuh tahun. Trampolin
baru itu terlalu besar untuk tubuh mereka yang mungil
sehingga Niki selalu merasa dia tenggelam dalam
kegelapan hitam pekat kain raksasa itu. Orangtua
mereka mewanti-wanti supaya mereka tidak terlalu
sering bermain di luar hingga larut malam, tapi baik
Niki maupun Nata tidak terlalu memedulikan nasihat
itu. Merasakan angin semilir di wajah mereka selagi
berada di udara, di bawah langit yang cerah mengikuti
terbenamnya matahari adalah salah satu hal terbaik
yang pernah mereka rasakan.
"Ingat," Nata menjawab dengan senyum di nada
suaranya, "waktu itu lo jatuh."
Pada hari kedua, Niki mengusulkan mereka berdua
melakukan kontes untuk menentukan siapa yang bisa
melompat lebih tingga. Niki melepaskan kedua
sepatunya, lalu mulai memantulkan tubuh di atas
trampolin, merasakan adrenalin yang luar biasa hanya
dengan melompat dan melayang di udara selama
beberapa detik. Namun saat mendarat, salah satu
kakinya menyentuh ujung trampolin dan dia terpantul
ke luar, terjerembab ke atas tanah. Niki hanya ingat
tangannya terpelintir dalam posisi tak wajar, seluruh
tubuhnya sakit bukan main, sedangkan Nata berteriakteriak histeris seperti kesetanan.
"Pertama kali aku masuk ambulans." Niki mengingat
dengan senyum. "Gue juga." Saat itu, Nata memaksa ikut masuk ke dalam ambulans
bersama Niki, tidak pernah melepaskan tangannya
sedetik pun. Niki mendapat lima jahitan di dagu,
sekujur tubuhnya lebam dan luka-luka, tetapi untungnya
tidak ada yang patah. Sejak saat itu, trampolin dilipat
dan mereka dilarang menyentuhnya lagi, tapi setiap
malam Niki dan Nata mengendap-endap untuk
berbaring di atasnya, memandang ke atas dan
merasakan guncangan-guncangan kecil hasil gerakan
tubuh mereka. Tidak pernah lagi diadakan kontes
melompat. "Setiap kali ngambek, pasti lo ngumpet di sini dan
nggak mau pulang." Nata tidak ingat lagi berapa kali
dia menemukan Niki yang bersembunyi di kebun ini,
entah menangis cengeng sehabis diomeli karena
nilainya jeblok, atau merajuk karena tidak diizinkan
pulang malam. Tempat ini jadi semacam tempat rahasia
mereka. "Aku pernah liat kamu ngajak Anna ke sini." Niki
berkata dalam suara kecil. "Waktu itu aku marah,
karena tempat ini adalah tempat kita berdua. Mungkin
egois kalau aku ngomong begitu, tapi entah kenapa aku
nggak senang kalau ada orang lain yag duduk di sini
selain aku." "Kamu cemburu sama Anna?" Nata memainkan
senyum nakal di wajahnya, membuat Niki mencubit
pinggangnya keras-keras. "Kalau kamu nggak ada nanti, aku akan ngajak cowok
lain duduk di trampolin ini. Nanti baru kamu tahu
gimana rasanya." Nata berubah cemberut. "Nggak boleh," tithnya tegas.
"Malam ini, kita di sini aja, ya?"
Permintaan itu diekspresikan dengan sangat polos dan
manja sehingga Nata mengiyakan sambil
menyembunyikan senyum di wajahnya. Dia ingin
menghabiskan malam-malam berbintang, mengobrol
dengan Niki di sampingnya, selamanya.
*** Hampir pukul lima pagi. Nata terjaga dari tidurnya,
merasakan gelap masih mengelilingi mereka.
Semalaman, dia dan Niki mengobrol ngalor-ngidul
hingga subuh, hingga mereka berdua akhirnya tertidur.
Nata merasakan hangat tangan kecil Niki dalam
genggamannya. Entah bagaimana, kedua tangan mereka
saling menemukan satu sama lain dan berpegangan erat,
seakan tidak ingin terlepas.
Di ufuk timur, dua bintang yang sangat terang
membentuk dua titik di langit. Tidak, bukan bintang.
Nata menyadari bahwa apa yang dilihatnya adalah
planet Jupiter dan Venus, dalam sebuah fenomena alam
yang dibacanya di halaman Astronomi koran pagi
kemarin. Beberapa saat sebelum matahari terbit, kedua
planet tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang,
berdekatan membentuk segitiga dengan bulan.
Nata menggoncang bahu Niki, yang meracau sejenak
sebelum membuka mata dengan malas.
"Bangun Ki, liat tuh."
Niki tidak berkata apa-apa, tapi Nata tahu ia sudah
sepenuhnya terjaga. Menahan napas, memperhatikan
kedua planet bersinar, berdekatan seperti dua sahabat
yang saling menjaga. Jari-jari Niki menggenggam tangan Nata dengan lebih
erat. Nata melakukan hal yang sama.
*** Perjalanan menuju bandara diisi keheningan yang
menyesakkan. Nata duduk bersama Niki di kursi
belakang, tangan gadis itu erat-erat mencengkeram
lengan kemejanya seakan tidak merelakannya pergi.
Nata pun tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan,
hanya sesekali mengulurkan sebelah tangan untuk
menyandarkan kepala Niki di pundaknya. Dhanny yang
sedang menyetir dan Annalise yang duduk di
sampingnya menangkap gestur itu melalui kaca spion,
lalu tersenyum samar. Mereka berempat duduk berdempetan di ruang tunggu
bandara yang penuh. Jarum ham merangkak pelan
menuju waktu keberangktan Nata. Panggilan yang
ditujukan kepada seluruh penumpang pesawat yang
akan berangkat ke New York sudah diumumkan dua
kali, tetapi Nata tidak kunjung beranjak dari kursinya
untuk menuju antrean imigrasi. Tiket di tangannya
dicekal hingga lecek, satu-satunya bukti nyata yang
mengingatkannya bahwa dia sudah harus pergi. Sampai
akhirnya ia menghela napas berat, lalu bangkit dan
menatap mereka satu per satu"abangnya, Annalise,
lalu Niki. "Gue harus pergi."
Kalau bisa, Nata tidak ingin mengucapkannya, tapi dia
tidak punya pilihan. Air mata perlahan-lahan mengalir di kedua sisi wajah
Niki, walau wajahnya tersenyum. "Aku akan kuat, Nat.
Aku janji." Dengan satu gerakan cepat, Nata menarik Niki ke
dalam pelukannya, tidak memedulikan orang-orang di
sekitarnya yang sedang memperhatikan. "Kalau begitu
jangan nangis, dong," dia berbisik, tapi suaranya sendiri
serak. "Gue akan telepon sesering mungkin. Kalau ada
perlu, lo juga bisa hubungi gue kapan aja."
Nata merasakan anggukan Niki. Pelukannya mengendur
dan dipandangnya wajah Niki dalam-dalam, ingin
menghafalkan garis wajah itu baik-baik. Dia menahan
diri untuk tidak mengatakan sekali lagi bahwa dia
menyayangi Niki, dan akan melakukan apa saja
untuknya. Dia bahkan rela untuk tinggal, seandainya saja Niki


Refrain Karya Winna Efendi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memintanya sekarang. Nata merasakan matanya mulai berair, tapi berusaha
untuk menyembunyikannya. Walaupun membenci
kebiasaan yang kekanakan itu, dia mengulurkan jarinya
dan mengaitkannya pada kelingking mungil Niki
sebagai janji. "Jaga diri baik-baik, ya."
Sekali lagi Niki mengangguk. Annalise dan Dhanny
menyentuh lengan Nata, mengucapkan selamat jalan.
Mereka saling berpelukan singkat. Panggilan ketiga
samar-samar terdengar melalui speaker, dan Nata
merunduk untuk mengecup kening Niki, membekaskan
seluruh rasa cintanya pada gadis itu di sana.
Gue akan segera pulang. Dan, saat itu, gue gak akan
melepaskan lo lagi. Dia berbalik dan berjalan menjauh, berusaha untuk
tidak menoleh ke belakang lagi, pandangannya kabur
oleh air mata yang tidak jadi menetes.
*** Wish #45: aku nggak mau Nata pergi (Niki)
Siluet tubuh Nata menghilang di balik kerumunan orang
yang memadati bandara. Niki tidak terlalu merasakan
kehadiran orang lain di sana,hanya kehampaan yang
amat sangat. Keningnya masih hangat akibat ciuman
singkat barusan. Ketika menyaksikan Nata menjauh,
tiba-tiba saja ia merasakan separuh jiwanya ikut pergi
meninggalkan dirinya. Untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang
sangat penting. Dia menyayangi Nata"tidak, bukan
hanya menyayangi. Dia mencintai sahabatnya itu.
Niki tidak dapat lagi membendung air mata yang sedari
tadi berusaha ditahannya. Annalise maju dan
merangkulnya erat, mengusap punggungnya dan
memisikkan kata-kata lembut untuk menenangkannya.
"Aku sayang banget sama Nata, Ann." Niki berkata
lirik di antara isakannya.
Gerakan Annalise terhenti ketika mendengar pernyataan
yang mendadak itu. "Kenapa kamu nggak bilang sama
Nata sebelum dia pergi?"
Niki menggeleng. "Karena hanya dengan begini, dia
akan tetap pergi untuk mengejar mimpinya."
Annalise terdiam, menemani Niki yang terus menangis
di sampingnya, air matanya sendiri meleleh tanpa bisa
dihentikan. *** Niki mendorong pintu kamar Nata, lalu perlahan
berjalan masuk dan memandang sekeliling. Segalanya
terlihat kosong tanpa Nata. Gitar cowok itu tidak ada di
sana. Tidak ada tumpukan kertas yang berserakan di
atas karpet, kertas-kertas yang berisi partisi lagu dan
musik yang baru separuh dibuat. Kamar itu masih
kental dengan aroma khas pemiliknya, walau sudah
hampir sebulan Nata meninggalkannya. Entah apa yang
membuat Niki menyelinap masuk ke sana"untuk
mencari sisa-sisa diri Nata, mungkin, karena ia
merindukannya. Pandangan matanya berhenti pada sekotak kaset yang
diletakkan di atas meja belajar. Benda tersebut terlihat
asing dalam ruangan kosong yang tak berpenghuni.
Niki meraih kaset itu, lalu memasukkannya ke dalam
tape dan memencet tombol play. Petikan gitar yang
lembut mengisi keheningan, mengiringi suara Nata
yang menyanyikan sebait lagu pendek.
Bulan emas tinggal separuh
Bintang-bintang sangat pemalu
Kau terduduk di sampingku
Aku lantas mencintai bayangmu
Kau menoleh untuk tersenyum
Hatiku berserakan... lebur dan lepuh
Hanya satu lagu itu yang terekam dalam kaset. Niki
tercenung. Di mana, ya, dia pernah mendengar katakata yang sama" Untaian kalimat itu sepertinya tidak
asing. Mungkin lagu yang sempat diputarkan di radio"
Atau sajak yang pernah dibacanya dalam sebuah buku
sastra" Tunggu sebentar. Puisi. Puisi yang disalin pada
selembar kertas polos yang diselipkan ke dalam amplop
biru, salah satu surat yang diterimanya pada hari
Valentine. Ya, dia ingat sekarang.
Ternyata, bukan seorang penggemar rahasia tak
bernama yang mengirimkan surat itu untuknya, tapi
Nata. Nata yang selalu memperhatikannya, menjaganya,
menyayanginya. Niki memejamkan mata dan
membiarkan lagu itu bermain berulang-ulang,
tersenyum sambil membisikan sutas doa dalam hati.
Tersenyum karena mengetahui Nata telah
meninggalkan lagu itu untuknya.
*** EPILOG Niki mengunyah cepat sandwich isi telur yang menjadi
menu makan siangnya hari ini, lalu buru-buru
menyambar telepon genggam yang bergetar di atas
meja. Ia tersenyum ketika melihat nama peneleponnya
di layar. "Hei, Anna!" "Hei, Ki, lagi ngapain?"
Niki mengepit telepon di antara pipi dan bahu sambil
terus memeriksa setempuk berkas di hadapannya.
"Biasa, nyambi makan sambil menilai hasil ulangan
anak-anak. Kamu?" "Baru selesai meeting dengan redaksi, dan sekarang
mau nge-drop beberapa foto permintaan klien di
kantornya. Oh ya, paket kirimanku udah nyampe
belum?" "Mmmm... sebentar." Niki mengobrak-abrik surat-surat
yang berserakan di atas mejanya. Sekali lagi ia
mengingatkan diri sendiri agar segera membereskan
segunung barang yang sudah menumpuk di sana, malu
mengingat mejanya memang sudah melewati tahap
berantakan yang normal. Beberapa saat kemudian, ia
menemukan sebuah paket berbentuk segi empat dengan
namanya dalam tulisan tangan Annalise di bagian
depan, lalu menyobeknya hingga terbuka.
Sebuah bingkai sederhana yang terbuat dari kaca,
dengan selembar foto diselipkan di dalamnya. Niki
masih ingat foto itu"diambil pada hari kelulusan SMU,
yang juga merupakan hari ulang tahun Niki yang
kedelapan belas. Niki, Nata, dan Annalise membolos
upacara kelulusan dan pergi ke pantai tanpa
sepengetahuan guru. Dalam foto itu, mereka bertiga
tersenyum lebar, masing-masing saling merangkul,
seragam mereka basah kuyup. Niki tersenyum, ujung
jemarinya menyentuh permukaan bingkai dengan rindu.
"It's my birthday present for you. Happy birthday,
Niki." "Thanks, Ann. Aku suka banget hadiahnya."
Tiba-tiba, Niki merasa sentimentil. Tidak terasa, lima
tahun telah berlalu menggantikan hari cerah di pantai
itu. Dia rela melakukan apa saja untuk kembali ke
masa-masa itu, saat mereka hanyalah anak-anak yang
polos, saat persahabatan saja sudah cukup.
Annalise sepertinya dapat membaca perubahan
emosinya, karena ia lalu menyambung dengan suara
lembut, "We'll always have each other. Kita bertiga."
Niki mengangguk walau Annalise tidak bisa
melihatnya. Dia pun percaya pada hal itu.
*** Nata berdiri di depan pagar sekolah lamanya dengan
kedua tangan dalam saku. Sekolah itu tidak berubah,
masih dengan cat biru muda yang sama walau terlihat
dimakan usia. Pak Tugiran yang selalu menjaga pagar
telah digantikan oleh seorang laki-laki muda
berseragam satpam, sedang berusaha menghalau
penjual asongan yang berkumpul di depan sekolah.
Sebuah gedung baru telah dibangun di sebelah gedung
tempatnya bersekolah dulu. Ruang-ruang kelasnya
masih tampak sama walau kini terlihat lebih modern.
Nata menyusuri satu-per satu, bersyukur telah datang
pada sore hari seusai jam pelajaran sehingga dia dapat
mengenang kembali masa kecilnya tanpa gangguan.
Rasanya sudah lama sekali sejak dia terakhir
menginjakkan kaki di sana. Ketika berdiri di bawah
naungan pohon besar yang sudah puluhan tahun
menjaga sekolah itu, Nata melihat bayangan dirinya
sendiri sedang berlari menuju pagar, Niki mengikuti di
belakangnya. Mereka berdua terengah-engah, memohon
pada Pak Turigan supaya membukakan pintu dan
membiarkan mereka masuk, sebelum mereka dihukum
karena terlambat. Nata melihat dirinya menyendiri di
balik pilar, memandangi Niki yang sedang bersendagurau bersama teman-temannya. Dia melihat Niki yang
masih kental dalam ingatannya, berbalut seragam
cheers, melakukan gerakan dalam formasi piramid yang
selalu membuatnya menahan napas, takut gadis itu
jatuh. Dia melihat mereka berdua bersepeda pulang,
tangan Niki memeluk pinggangnya.
Selama ini, Nata tidak pernah melupakan Niki.
Kepergiannya ke Amerika tidak mengubah apa-apa,
perasaannya masih sama seperti dulu.
Teriakan seseorang membuatnya menoleh mencari asal
suara. Suara tawa anak-anak yang mengerjai gurunya
dalam sebuah permainan petak umpet tidak jauh dari
sana membuat Nata berhenti untuk memperhatikan.
Sang guru, seorang perempuan muda, berdiri memutari
kebun belakang, mengenakan celana jeans biru tua dan
kemeja putih berlengan pendek. Rambutnya yang lurus
panjang sepinggang, kulitnya kuning langsat. Ia
mengenakan sepatu hak tinggi berujung runcing. Kedua
matanya ditutupi oleh saputangan, bibirnya membentuk
senyum jenaka sambil memanggil-manggil sekelompok
anak kecil berderagam merah putih yang sedang
berlarian di sekelilingnya.
"Kirana! KeDhan! Kalian di mana?"
Hati Nata berdesir. Dia terpaku di sana, tidak mampu
bergerak, bahkan ketika perempuan itu berjalan
semakin dekat, lalu tersandung supaya tidak jatuh. Nata
mengulurkan tangan untuk memegangi kedua bahunya,
menahan napas saat perempuan itu melepaskan ikatan
di matanya sambil tersengal.
Mereka berdua saling berpandangan. Tawa perempuan
itu surut, mulutnya menganga seakan tidak memercayai
pengelihatannya. Dia sepertinya ingin berseru, tapi
justru hanya berbisik dengan suara tercekat.
"Nata." *** Niki terpaku lemas, lidahnya berubah kelu begitu
mengenali siapa yang sedang berdiri di hadapannya.
Tubuhnya gemetar saat ia mengambil satu langkah
mundur. Perubahan pertama yang Niki sadari mengani Nata
adalah tinggi badannya. Dulu, Nata memang tergolong
jangkung, tapi sekarang tingginya jauh melampaui Niki.
Tubuhnya kekar, bahunya bidang, dan tangannya besar.
Rambutnya dipotong cepak, wajahnya lebih dewasa dan
dagunya dipenuhi bintik-bintik halus. Tapi banyak hal
mengenai Nata tidak berubah"senyumnya, pandangan
matanya, sentuhannya. Mereka berpandangan untuk waktu yang cukup lama,
berhadapan tidak hanya sebagai sepasang sahabat yang
sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tetapi juga sebagai
individu yang memiliki banyak hal yang belum sempat
tersampaikan. Ia ingin berkata bahwa dia sudah menemukan
mimpinya"menjadi seorang guru. Ia ingin bilang
bahwa Annalise kini sudah mendapatkan tambatan
hatinya dalam sosok Kak Dhanny. Ia ingin Nata tahu
bahwa mereka semua baik-baik saja.
Niki selalu menunggu Nata"ingin mengetahui
perasaan apa yang akan terefleksikan saat ia menatap
langsung pada dua bola mata pemuda itu. Ingin tahu
apakah semuanya sudah berubah, sudah terlambat, atau
lebih baik tidak terucapkan seperti kalimat yang
disimpannya dalam hati pada hari kepergian Nata, lima
tahun yang lalu. Tapi, ketika mereka berdiri tidak jauh dari satu sama
lain dan saling berusaha menata hati, Niki menyadari
bahwa ada beberapa hal yang tidak perlu dikatakan
hanya untuk membuatnya nyata. Dia tahu jelas apa
yang ingin Nata katakan kepadanya melalui pandangan
mata itu, dan dia yakin Nata pun mengerti isi hatinya.
Tidak ada yang berubah. Mereka masih saling
memiliki; dulu, sekarang, dan selamanya.
"Gue udah kembali, Ki."
Niki menyambut ucapan itu dengan senyum. "I've
missed you." Nata membalas senyumnya, tangan kanannya
menyentuh jari-jari Niki dan menggenggamnya erat. "I
know." *** Plain melodies Simple guitar chords Your humming to my song Lyrucs of the heart ...and the rhymes of the moon
Make the best night music
Night music That belongs to you and I
*** Pendekar Lembah Naga 17 Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal Kembalinya Sang Mumi 1
^