Pencarian

Rembulan Tenggelam Di 1

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye Bagian 1


Tere Liye - Rembulan Tenggelam di Wajahmu read online http://cerita-silat.mywapblog.com
Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Tere Liye Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Bab 1 Aku Rinai MALAM terang. Langit bersih tak tersaput awan. Bintang tumpah
mengukir angkasa, membentuk ribuan formasi. Angin malam membelai
rambut. Lembut. Menyenangkan. Menelisik, bernyanyi di sela-sela
kuping. Gema takbir memenuhi jalanan.
Malam ini: karnaval hari raya!
Kesenangan melingkupi kota kami. Beduk digebuk bertalu-talu. Dalam
irama rupa-rupa. Sedikit kasidahan. Menyerupai orkes melayu. Dangdut.
Sedikit nge-rock juga ada. Bukankah tidak ada standar baku dalam
urusan menabuh beduk takbiran" Bahkan di mesjid sebelah rumah, pakai
gaya jazz full-swing segala.
Seperti halnya irama beduk, takbir pun dilafalkan berdasarkan versi
masing-masing. Sesuai dengan logat muasal keturunan mereka. Kalau
hendak mendengar aksen ketimuran dengarlah di masjid sana. Aksen
kental kedaerahan dengarlah di masjid sini. Langgam takbir pulau
seberang. Langgam takbir pulau sini.
Apapun itu, semuanya sama.
Malam kemenangan. Semua berlomba menggemakan nama besar Tuhan.
Semua muka mengekspresikan kebahagiaan. Mulut-mulut mendesah atau
malah berteriak seperti anak-anak di masjid ujung gang yang berebut
mik. Berguling-guling menyikut rekan sepantaran. Meneriakkan takbir
dengan suara fals bin cempreng. Asyik sekali. Tidak penting keluhprotes telinga-telinga yang mendengarkan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Dan tangan-tangan reflek mulai bekerja. Memukul-mukul.
Lihatlah orang-orang tua di panti jompo perempatan utama kota.
Umurnya sih berbilang tujuh-puluh. Malam ini mereka sepi, tak ada
sanak-famili mendatangi, siapa yang peduli" Tapi tangan mereka mulai
mengetuk-ngetuk pelan dinding tanpa disadari, pinggiran ranjang,
pegangan kursi, meja jati atau entahlah dengan irama yang pernah
mereka mainkan dulu. Irama waktu kanak-kanak sungguh membahagiakan. Berlari-lari takbir
sambil memukul galon plastik.
Mereka sebentar lagi juga kembali kanak-kanak. Simaklah aki-aki yang
duduk di pojokan. Setahun terakhir kelakuannya sempurna sudah macam
anak-anak. Mandi dimandikan. Makan disuapi. Dua kali sehari merengut
kepada perawat untuk urusan sepele. Mulai dari memaksa memakai rok
dan gincu, hingga enggan buang air kalau tak diceboki. Malam ini
tangannya terkulum di mulut, tidak sibuk mengetuk seperti temannya.
Dia lagi merajuk soal buka puasa tadi sore. Ingin makan sate kambing,
mana bolehlah. Mau ditaruh kemana penyakit darah-tinggi, jantung,
asam urat, dan kolesterolnya. Aduh, meski sedang sebal, mukanya tetap
menyeringai riang bagai anak kecil dijanjikan baju baru lebaran. Maklum,
hari-raya. Tidak, kisah ini tidak akan membicarakan panti jompo. Malam ini kita
akan membicarakan panti asuhan. Tempat anak-anak tidak beruntung
ditampung. Cerita mengharukan ini toh juga bermula dari masa kanakkanak. Masa-masa (yang seharusnya) indah itu.
Masa saat pemahaman hidup mulai dibentuk.
Sepelemparan batu dari gedung panti jompo itu, berdiri seadanya
sebuah panti asuhan. Masih satu yayasan, maka letaknya berdekatan.
Rumah itu bercahaya, lazimnya sebuah rumah yang sedang menyambut
hari raya. Tiga lampu teras dihidupkan semua. Tak apalah, malam ini
lupakan soal tarif listrik yang mencekik.
Di bagian dalam, Panti itu lebih "bercahaya" lagi. Anak-anak berlarian
sibuk memamerkan baju baru untuk shalat Id esok. Televisi dihidupkan
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
menyiarkan takbir akbar dari halaman Istana. Radio dinyalakan merelai
acara yang sama. Pembawa acaranya bak komentator bola sibuk
berkomentar tentang prosesi menabuh beduk sebentar lagi. Anak-anak
itu sih tidak peduli, mereka sedang asyik jahil-menjawil. Dorongmendorong. Sambil mulut terus mengunyah makanan kecil yang berserak
di meja. Tertawa. Namun sayang seribu kali sayang, ketika malam ini di ruang tengah Panti,
di Istana, di jalanan kota dan di seluruh bumi buncah oleh suka-cita,
lihatlah kesedihan yang memancar di mata gadis kecil berumur enam
tahun. Gadis kecil malang yang apa mau dikata akan memegang semua
penjelasan kisah ini. Namanya Rinai. Ia sedang memeluk boneka beruang
madu berwarna biru. Duduk di ayunan tua yang terbuat dari ban raksasa
mobil Fuso. Berayun-ayun di bawah jambu klutuk halaman depan Panti.
Maju-mundur. Terhenti. Maju-mundur. Berderit. Ayunan itu amat
berisik, mengingat enam bulan engselnya lupa diminyaki.
Gadis kecil itu menatap kosong keramaian di hadapannya. Mata hijaunya
redup menyimak orang-orang yang berlalu lalang, mobil-mobil bak
terbuka yang sarat penumpang, rombongan demi rombongan karnaval.
Jalanan yang sibuk. Rinai mendesah ke langit-langit malam.
Gadis kecil itu sedang sedih. Ia tidak tahu apa itu hari raya. Ia tidak
mengerti ketika teman-temannya ramai bercerita tentang makan besar
besok. Ramai berceloteh soal hadiah-hadiah yang banyak terkirimkan ke
Panti mereka seminggu terakhir. Berebut. Bertengkar. Rinai justru
sedih karena tidak paham apa itu hari raya"
Rinai rindu Ayah-Bundanya. Itulah yang Rinai paham. Tapi bagaimanalah
ia akan bertemu dengan Ayah-Bunda jika gadis kecil berkepang dua itu
balikan sejak lahir tidak pernah mengenalnya. Tiada foto walau sehelai
yang menyimpan kenangan wajah. Jangankan wajah, suara pun Rinai
tidak pernah mendengar. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Urusan ini menjadi berbeda, karena gadis kecil itu sungguh berbeda
dengan rekan-rekannya yang bercengkerama di ruang depan Panti. Rinai
cerdas, teramat malah. Di tengah ketidakmengertian ini, lihatlah Rinai
justru selalu sibuk bertanya.
Bertanya tentang banyak hal.
Gadis kecil itu sekarang menatap langit. Ia mendesah lemah sambil
memeluk erat boneka beruang madunya. Bertanya.
Tadi sore Rinai sibuk bertanya ke Kak Amel. Sibuk bertanya tentang
Ayah-Bunda. Sibuk mengeluh. Sibuk
protes. Kak Amel, gadis tua tak laku-laku pengurus Panti yang justru
sedang sibuk mencatat, membagi kiriman parsel hari raya yang datang,
jengkel diganggu, kemudian tidak sengaja membentak. Menyuruhnya
menyingkir. Dan gadis kecil itu pergi dengan hati terluka. Yatim-piatu
itu dibentak. Maka sepanjang sore ini, Rinai duduk sendiri di ayunan pohon jambu
depan Panti sambil memeluk boneka beruang madu miliknya. Tidak peduli
ketika teman-temannya berbuka hari ke-30. Tidak peduli ketika Kak
Amel mendekat membujuknya masuk ke dalam. Bahkan Rinai tidak peduli
saat Kak Amel mencium tangannya meminta maaf soal urusan bentakmembentak tadi siang.
Rinai ingin sendiri. Menyuruh Kak Amel pergi.
Rinai ingin bertanya langsung kepadaMu. Tanpa perantara.
Maka kepalanya mendongak ke atas. Mencari mukaMu yang konon
katanya ada di mana-mana. Menggetarkan sekali mendengar pertanyaan
yang tidak terucap itu. Menggetarkan sekali menyimak percakapan
tanpa suara itu. Karena, Engkau selalu menjawab setiap pertanyaan.
Sungguh, satu jawaban untuk satu pertanyaan. Jawaban yang sempurna.
Tidak lebih, tidak kurang. Tetapi Rinai tidak tahu itu, ia terlampau kecil
untuk mengerti. Rinai hanya tahu ia mau menangis. Hatinya sedih.
Teramat sedih malah. Maka matanya pelan membasah. Memeluk boneka
beruang madunya lebih erat.
Angin semilir yang lembut justru menikam perasaan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Sendiri. Sepi. Setelah sekian lama menanti jawaban, Rinai perlahan
menunduk. Pegal, kepalanya lelah mendongak. Kalau anak-anak lain punya
Ayah, kenapa ia tidak" Kalau anak-anak lain punya Bunda, kenapa ia
tidak" Ia sungguh tidak berharap banyak, ia hanya ingin malam ini, saat
puasanya untuk pertama kali genap sebulan, ia ingin bercerita dengan
bangga pada Ayah-Bunda. Tidak berharap hadiah seperti yang lain. Rinai
hanya ingin bercerita. Setelah itu mereka pun boleh pergi lagi.
Mengapa tidak ada yang bisa memberikan penjelasan padanya atas
permintaan yang amat sederhana ini" Wahai, mengapa tidak ada yang
bisa menjelasakannya.... Satu bulir air akhirnya merekah, menggelayut di pelupuk mata Rinai.
Pelan kristal air itu bergulir menggelinding. Membentuk parit di pipi.
Membentuk gurat kemilau di lesung. Tetes air itu terdiam sejenak di
dagu. Menumpuk. Membesar. Kemudian dalam gerakan lambat yang pilu,
terlepaskan. P-e-r-l-a-h-a-n.
Deras menghujam tanah di bawah kakinya.
Mengapa ya, Tuhan" M-e-n-g-a-p-a"
Dan sempurna saat bulir pertama air mata Rinai jatuh, seketika petir
menyambar terang menyilaukan. Disusul guntur menggelegar mengadukaduk perasaan. Sempurna ketika air mata itu meresap di atas tanahMu,
langit entah dari mana datangnya sontak terkepung oleh awan hitampekat. Bagai ada yang amat jahil menuangkan tinta hitam ke dalam
beningnya kolam. Gelap-gulita.
Langit indah terusir sudah. Bintang-gemintang lenyap tak berbekas,
digantikan angin kencang menderu-deru yang membuat deretan pohon
nyiur di pantai meliuk-liuk. Semuanya amat mendadak. Datang begitu
saja. Dan sekejap, hujan turun dengan lebatnya. Membasuh kota kami.
Karnaval di jalanan rusuh-bubar. Orang-orang pontang-panting berlarian
berlindung. Beduk-beduk di atas mobil ditinggalkan. Galon plastik
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
dilempar sembarangan. Sarung-sarung jadi payung darurat. Peci miring
semakin miring. Sibuk menghindari hujan aneh yang entah bagaimana
pula tiba-tiba datangnya. Beberapa dari mereka malah mulai mengomel.
Lihatlah hujan ini merusak malam takbiran yang meriah.
Rinai tidak berlindung. Ia tidak menghindar. Ia tidak mengomel. Gadis
kecil itu masih diam mendekap erat bonekanya, mencoba melindungi
teman sejak kecilnya itu. Badan Rinai kuyup sekuyup hatinya. Kepang
rambutnya menggelayut lemah di sela-sela telinga, basah sebasah
perasaannya. Terisak. Kak Amel marah tadi sore. Rinai menyesal telah meng-gangu Kak Amel.
Bukankah Kak Amel sudah amat baik selama ini. Banyak bercerita. Selalu
tertawa. Mengajarkan semua. Kenapa Rinai malah sibuk bertanya soal
Ayah-Bunda. Kenapa Rinai bertanya hal serupa itu sepanjang bulan. Hei,
malah sepanjang tahun, setiap hari, seperti minum obat.... Seharusnya
Rinai justru membantu Kak Amel membawa paket-paket yang terkirim
ke ruang tengah Panti. Menumpuknya jadi rapi. Bukankah Rinai anak yang
baik. Tetapi ia terlanjur menonton salah satu stasiun teve siang tadi. Melihat
kebahagiaan mereka yang menyambut lebaran bersama keluarga. Pergi
bersama shalat Id di lapangan. Menggelayut manja naik ke bahu Ayah.
Berpegangan tangan, berjalan bersisian dengan Bunda. Mengenakan
kerudung putih. Rinai menangis lagi. Urusannya malam ini amat sederhana. Ia rindu
Ayah-Bunda. Ia ingin Ayah-Bunda. Maka kuasa langit seketika
menjawabnya. Dengan amat sederhana pula.
Karena ketahuilah.... Malam itu dan juga sepanjang tahun ini, kota kami
selalu turun hujan lebat ketika gadis kecil berkepang dua itu menangis.
Itulah rahasia kecil Rinai. Tangisnya mengundang hujan. Dan dari sinilah
semua kisah mengharukan ini bermula.
Di detik, menit, dan jam yang bersamaan. Ribuan kilometer di rumah
sakit terbaik Ibu-kota dengan segenap fasilitasnya.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tulisan hijau di mesin medis berdengking. Suster yang setengah
terkantuk menunggui tersentak. Buru-buru memeriksa layar hijau yang
tergantung di dinding. Berkedip. Naik-turun. Berkedip lagi. Naik-turun
lagi. Bergegas memeriksa puluhan belalai peralatan medis yang
menghujam ke tubuh pasien di atas ranjang. Semuanya oke. Tidak ada
yang salah. Ini justru benar-benar kejutan. Setelah sekian lama
menunggu. Akhirnya sedikit kabar baik tiba.
Suster itu berseru antusias. Buru-buru meraih telepon di atas meja.
Matanya berbinar-binar. Mukanya riang. Segera menghubungi dokter di
ruang jaga. Selang beberapa detik, tiga orang dengan seragam putihbersih bergegas mendekat. Tiga dokter spesialis terhebat sekaligus
paling terkenal di Ibukota.
"Sejak kapan?" Salah satu dokter bertanya. "Baru saja. Dia sepertinya
membaik, Dok." Bertiga dokter itu sibuk memeriksa. Mencatat.
Orang yang terbaring di ranjang itu umurnya berbilang enam puluh.
Rambutnya mulai putih-beruban. Gurat wajahnya meski keras dan dingin
sekarang terlihat kuyu dan pucat. Tubuhnya meski gempal dan kekar
sekarang terlihat kurus dan lemah.
Sudah enam bulan pasien itu dirawat di ruang VVIP rumah sakit. Malam
ini kebetulan hanya tiga dokter itu yang siap-siaga berjaga. Seharusnya
ada enam. Enam lagi malah baru akan datang minggu depan dari Swedia
dan Perancis. Bukan main. Benar-benar tim medis yang hebat. Bagaimana tidak"
Semua berkepentingan menyelamatkan nyawa orang tua di atas ranjang.
Pria pemilik kongsi bisnis terbesar yang pernah ada. Pria pemilik
imperium bisnis yang menggurita. Yang sayangnya, sekarang terbaring
tak berdaya dibelit infus dan banyak selang.
Pemilik kongsi bisnis yang sedang sekarat.
Bab 2 Aku Rehan Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"APA yang telah kau lakukan?" "Aku tidak melakukan apapun?" Rehan,
remaja tanggung berumur belasan tahun itu menyeringai. Merasa tidak
berdosa. "Dasar pencuri! Ini bulan suci, bagaimana mungkin kau berani-beraninya
mencuri?" Pria setengah baya yang bertugas menjaga Panti itu melotot.
Lantas tangannya cepat menyambar sebilah rotan di atas meja.
Mengancam. "Mengaku atau kupukul?" "Aku tidak tahu - "
"Mengaku atau kupukul!" Rotan itu teracung ke depan.
"AKU TIDAK MELAKUKANNYA!" Rehan melawan, berteriak bahkan.
Percuma, bukan" Mengaku pun dia tetap dipukul. Tidak ada bedanya.
"Mengaku atau k-u-p-u-k-u-l!." Pecut rotan itu semakin dekat.
Diam. Rehan memutuskan membisu, meski hatinya mengucap sumpahserapah Penjaga Panti semakin jengkel. Mengangkat bilah rotannya
tinggi-tinggi, matanya membesar, "Kau sembunyikan di mana semua
bungkusan" Ayo jawab... Jawab anak bangsat!!"
Rehan menunduk. Mendesiskan kebencian. B-a-n-g-s-a-t" Siapa yang
sebenarnya bangsat" Penjaga Panti sok-suci inilah yang bangsat. Tangan
Rehan mencengkeram saku celana. Menggigit bibir. Bersiap menerima
pukulan. Bilah rotan itu tanpa ampun meluncur ke pantat. Satu kali. Sakit sekali.
Apalagi celananya lusuh dan tipis pula. Mana bisa menahan pecutan
pedas di kulit. Muka Rehan memerah menahan rasa nyeri. Dia tidak akan
berteriak. Teriakannya berarti kesenangan bagi penjaga Panti. Simbol
kemenangan penjaga Panti. Rehan mencengkeram celananya lebih
kencang.

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua kali. Sakit, melepuhkan kulit.
"Dasar anak pungut tidak tahu malu! Kau sembunyikan di mana
bungkusan-bungkusan itu" Kecil-kecil sudah jadi bajingan! Persis seperti
Ayah-Ibumu!" Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tiga kali! Anak itu meringis. Matanya berair. Tidak. Dia tidak akan
menangis. Sudah biasa. Hampir tiap hari dipukul penjaga Panti. Baginya
bukan pukulan bilah rotan di pantat yang menusuk hati, baginya ucapan
dari mulut penjaga Pantilah yang menyakitkan. Dulu saat dia dituduh
merusak tasbih penjaga Panti, dia bahkan sampai sakit selama seminggu
oleh pecut rotan. Menggigil kesakitan. Tidak dipedulikan. Sejak itulah
Rehan bersumpah tidak akan menangis setiap dipecut lagi.
"Harusnya kubiarkan anak bangsat sepertimu tetap di jalanan!!
Harusnya kutolak mentah-mentah saat bayi merahmu diantar ke Panti!
Sekarang, kau membalas semua kebaikan dengan perangai bejat. Di
mana kau sembunyikan semua bungkusan itu?" Penjaga Panti semakin
marah. Jengkel karena bagai memarahi bongkol pisang yang diam
seribu bahasa. Empat kali. Lima. Penjaga Panti tersengal menahan gerakan tangannya.
Cukup. Lima kali pecutan cukup. Menyeka keringat di dahi. Menghela
nafas dalam-dalam. Berusaha mengendalikan diri. Kemudian mendorong
remaja tanggung itu keluar dari ruang kerjanya. "Malam ini kau tidak
boleh masuk rumah.... Tidak ada baju baru. Tidak ada makanan. Tidak
ada semuanya.... Hingga kau mau mengaku di mana semua kiriman parsel
itu kau sembunyikan. KELUAR!" Merah mata penjaga Panti mendelik.
Rehan menyeringai benci, melangkah keluar ruangan. Tertatih.
Anak-anak lain yang sejak tadi berebut mengintip dari lubang jendela
buru-buru berlarian saat penjaga Panti masih dengan kemarahan yang
sama menyapu lubang-lubang itu dengan tatapan galak. Mereka
tunggang-langgang lari di koridor. Lantas mematung, seolah-olah tidak
terjadi apapun di kamar masing-masing. Bersita tap satu sama lain,
setengah cemas, setengah takut.
Maka Rehan tidak bisa berbuka bersama dengan anak-anak Panti lainnya
sore itu, hari ke-30 puasa. Dia dihukum menunggu di luar bangunan
Panti. Diar, anak panti asuhan yang sekamar dengannya, setengah jam
kemudian berbaik hati menyelinap ke halaman Panti, berusaha
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
menyerahkan sebungkus roti tawar dan segelas cendol melalui balik
pintu. Sayang, penjaga Panti keburu tahu. Mendelik mengancam Diar
dengan pecut rotan, "Biarkan bangsat itu berbuka dengan air hujan!
Atau kau mau bersamanya di luar?""
Diar menunduk kecut, beringsut kembali.
Hari itu, malam takbiran. Puluhan tahun silam.
Sama persis waktunya ketika Rinai tertunduk menangis malam ini di
ayunan jambu klutuk. Di waktu yang sama. Panti asuhan yang sama.
Hanya terpisah oleh waktu lima puluh tahun.
Semenjak sore, kota kami diguyur gerimis. Saat teman-temannya
berpesta dengan semur daging dan belahan ketupat dari tetangga,
Rehan berbuka dengan air hujan dari langit. Dia melangkah gontai
menuju sudut-sudut atap bangunan. Menjulurkan tangan, berusaha
menampung air hujan yang turun dari genting, lantas meminumnya.
Berbuka" Sebenarnya Rehan tidak pernah puasa selama sebulan ini.
Juga sepanjang bulan suci tahun-tahun lalu. Dia memang selalu ikut
sahur di malam hari. Sama selalunya dengan mencuri sisa makanan sahur
di siang hari. Kemudian sore harinya pura-pura memasang wajah
kelaparan ikut berbuka bersama yang lainnya.
Paket-paket kiriman" Itu juga dicurinya. Semalam ketika dua belas
penghuni Panti tertidur nyenyak, pelan Rehan masuk ke kamar tempat
kiriman hadiah lebaran itu ditumpuk. Penjaga Panti terlelap, maka
dengan mudah Rehan mencuri baju koko, sarung, dan kopiah. Pagi-pagi
buta menjual semua barang itu ke penadah di Pasar Induk dekat Panti.
Uangnya" Habis untuk bermain-main di sudut terminal. Juga ikut-ikutan
duduk di lepau-lepau terminal. Sekecil itu dia sudah belajar berjudi.
Malam semakin matang. Hujan semakin deras.
Malam ini tidak ada karnaval takbiran, hujan deras yang turun sejak
sore mengurungkan niat banyak orang berpergian. Hanya suara takbir
dari speaker mesjid, televisi, atau kotak radio yang terdengar. Rehan
menggigil di bawah selasar atap yang bocor. Tampias air hujan
membasahi Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
separuh tubuhnya. Badannya setengah kering (yang menempel ke
dinding), setengah lembab (yang terkena tampias air hujan). Kedinginan.
Suara gemeretuk air di atap membuat senyap perasaan.
Sepi. Sendiri. Dan dia mulai menyumpahi penjaga Panti yang sok-suci itu. Sok-baik.
Sok-mulia. Mana pernah bungkusan itu dibagikan ke mereka" Sama
seperti sumbangan dari dermawan lainnya, uang sumbangan itu hilang
entah ke mana. Dimakan sendiri olehnya. Dasar maling! Rehan mendesis
benci. Penjaga Panti itulah yang sesungguhnya bajingan-penipu. Bangsat.
Apa yang orang-orang bilang" Penjaga Panti itu sejak lama menyimpan
mimpi secara berlebihan. Mimpi yang membuatnya mati-matian
mengumpulkan uang untuk dirinya sendiri. Penjaga Panti itu mau naik
haji. Peduli amat dari mana uangnya berasal.
Apa kata orang-orang" Akhirnya tahun ini jadi juga dia naik haji" Bah,
akhirnya cukup sudah semua sumbangan dermawan itu. Rehan mendesis
mengkal, setengah terkantuk. Sudah sejak lama dia jijik tinggal di Panti
itu. Buat apa" Setiap hari hanya dipukuli" Dimarahi" Setiap hari hanya
jadi kuli" Lihatlah, dia dan dua belas anak panti lainnya terpaksa
bekerja. Ada yang jadi asongan di terminal. Tukang semir. Pengamen.
Omong-kosong soal sumbangan. Buat apa mereka bekerja jika banyak
orang yang memberikan bantuan ke Panti" Belum lagi makanan yang
dijatah. Semuanya dijatah. Belum lagi harus menerima omongan kasar
penjaga Panti setiap hari. Dasar sok-suci.
Tidak ada gunanya tinggal di sini. Dia bisa hidup sendiri di jalanan. Tidak
ada uang tinggal mencuri. Tidak
ada makanan tinggal memaksa. Kehidupan bebas. Sebebas yang dapat
dibayangkannya. Rehan menyeringai senang memikirkan ide itu. Menguap
lebar. Baiklah, besok pagi-pagi setelah membalas kelakuan penjaga Panti
dia akan pergi. Itu sungguh ide yang bagus.
Maka Rehan tersenyum puas. Pelan jatuh tertidur.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Bab 3 Aku Pasien "PULANGLAH! Istirahat. Besok hari raya...." Dokter senior, salah satu
dari tiga dokter yang memeriksa pasien di atas ranjang -pemilik kongsi
bisnis terbesar yang pernah ada -tersenyum ke arah suster yang
terlihat lelah. "Siapa yang akan menjaga - "
"Dia akan baik-baik saja. Kau bisa meninggalkannya..." Dokter itu
memotong kecemasan, tersenyum lagi. "Aneh memang. Tetapi seperti
ada yang tiba-tiba kembali dalam tubuhnya. Semua organ vitalnya
mendadak berfungsi kembali dengan baik. Tak ada yang perlu
dicemaskan. Lagipula malam ini kami akan terus berjaga."
Tidak perlu dua kali dikatakan, suster itu segera menyeringai senang.
Sungguh boleh pulang" Sekarang" Asyik! Ia mengangguk sopan. Lantas
beringsut keluar dari ruang kaca. Bergegas. Takut kalau-kalau dokter
tadi berubah pikiran. Sudah sejak pagi ia non-stop bekerja di rumah
sakit itu. Pekerjaan yang melelahkan. Melototi layar hijau penanda
kehidupan pasien. Memeriksa seluruh belalai yang terhujam ke tubuh
pasien setiap lima menit.
Lima kali bungsunya yang baru belajar menggunakan
telepon genggam sepanjang hari menelepon, bertanya kapan ia pulang.
Jawabannya pendek, "Tunggu Mama sebentar lagi, Sayang." Melirik jam
di pergelangan tangan. Selarut ini bungsunya pasti sudah terlelap. Tidur
di antara tumpukan boneka dan mainan. Lelah menunggu ia dan suaminya
pulang kerja. Dokter senior di dalam ruangan VVIP melipat buku catatan. Untuk
terakhir kalinya memeriksa pcnindai medis yang melilit tubuh pasien.
Memastikan semuanya baik-baik saja. Menoleh ke arah dua mitra
kerjanya. Temannya mengangguk pendek. Semuanya oke. Benar-benar
kejutan. Progress yang menarik. Lantas tanpa bicara, mereka melangkah
keluar ruangan. Kembali ke ruang jaga.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Melanjutkan bermain kartu truf.
Saat suster itu melambaikan tangan ke arah taksi biru yang dua-tiga
berderet rapi di lobi rumah sakit. Saat ketiga dokter itu kembali
tertawa-tawa berbincang sambil bermain kartu di ruang jaga yang
mewah. Saat hujan masih buncah membasuh kota kami.
Saat itu semua... Perlahan mata pasien berumur enam-puluh tahun itu terbuka.
Berkerjap-kerjap. Silau. Matanya silau oleh cahaya. Lampu meja
operasi" Bukan. Lampu ruangan rawat-inapnya" Bukan. Lampu kamar
tidurnya" Bukan. Cahaya menyilaukan ini bukan cahaya lampu. Hei" Ini
cahaya matahari. M-a-t-a-h-a-r-i"
Dimanakah dia" Bukankah terakhir kali yang dia ingat tubuhnya jatuh
terjengkang enam bulan lalu" Jatuh begitu saja bagai daun tua keringmenguning" Bukankah waktu itu Jo dan puluhan stafnya pontang-panting
menandu melarikannya ke rumah sakit" Ini rumah sakit"
Bukan. Dia justru sedang berdiri di tengah keramaian.
Bising sekali. Suara klakson mobil berdengking, sahut-menyahut. Orang
berlalu-lalang. Bergegas membawa kardus-kardus. Kantong-kantong
plastik. Tas-tas ransel. Beberapa penjual koran melesat lincah.
Pedagang minuman tertatih membawa ember yang penuh air mineral,
soft-drink yang terbenam dalam bongkahanes. Penjaja tissue menggoda
pembeli. Muka-muka kilat-mengkilap oleh keringat. Muka-muka lelah.
Debu mengepul. Asap knalpot membuat sesak. Petugas parkiran
meniupkan peluit kencang-kencang. Bentakan ke angkutan yang
sembarangan berhenti, sembarang-an melaju.
Di manakah dia" Bukankah ini TERMINAL" Terminal antar kota yang
amat dikenalnya" Bagaimana mungkin" Kapan terakhir kali dia ke sini"
Sepuluh tahun silam" Dua puluh" Tidak ingat. Sudah lama, lama sekali.
Tetapi dia mengenalinya. Persis. Sempurna seperti memori otaknya pertama kali merekam tempat
ini bagai selembar foto dulu. Lihatlah, gerombolan pengamen itu.
Metromini butut berwarna merah dengan asap knalpot hitam. Pemintaminta dengan kaki pura-pura pincang itu. Ibu-anak dekil yang selalu
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
berdiri di bawah gerbang bobrok. Menara terminal yang kusam dan bau
pesing. Sama sekali tidak berubah. Ruko-ruko berjejer. Lepau-lepau. Dan toilet,
toilet umum terminal itu.
Pasien itu terkesiap. Menelan ludah. Apakah ini mimpi"
Bab 4 Aku Diar "KAU kemana saja sebulan ini?" Diar bertanya pelan. Menatap ingin tahu
Rehan yang duduk jongkok di depannya.
Rehan mengangkat bahu. Matanya sedang tidak memperhatikan Diar
yang bertanya. Dia sibuk mengamati orang-orang yang keluar-masuk
toilet. Berhitung dengan sesuatu.
"Hari ini ramai?"
"Sepi. Seperti biasa." Diar menjawab pendek, memperhatikan pakaian
Rehan di depannya. Penampilan Rehan amat berbeda sekarang. Rambut
Rehan di buat jingkrak macam duri landak. Dicat pula. Bajunya meski
kotor terlihat gaya. Jaket kulit. Sepatu kulit. Gelang besi" Entahlah,
mungkin hanya gelang kayu. Lengannya ditato. TATO" Gambar apa"
Tidak jelas, Diar hanya menangkap sekilas saat Rehan menggaruk
sikunya. Padahal rasanya baru sebulan lalu. Sebulan lalu, Diar ingat sekali, Rehan
kabur dari Panti setelah mencuri brankas milik penjaga Panti persis di
hari raya. Sejak hari itu, dia menghilang. Semua orang sibuk mencaricarinya. Hari
ini Rehan justru datang begitu saja ke toilet terminal yang ditunggui
Diar. "Kau sudah dapat setoran berapa?" Kasar Rehan melangkah mendekati
meja tunggu Diar. Memaksa membuka kotak uang.
Terkunci. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Di dalam sini tinggal sedikit, tadi uang yang setengah hari sudah
diambil petugas." Diar menunjukkan kunci kotak di sakunya. Rehan
menyambarnya. Membuka paksa kotak. Hanya ada empat-lima keping
uang logam di dalamnya. "Kau tidak menyimpan uang lain?" Rehan bertanya tajam.
Diar menggeleng. Tidak mengerti.
Rehan mendengus. Bodoh. Selalu saja bodoh. Dulu saat penjaga Panti
menyuruh anak-anak memilih pekerjaan yang akan mereka lakukan,
bukannya memilih menjadi pedagang koran, tukang pel toko, atau
semacamnya, Diar malah memilih menjadi penjaga toilet umum terminal.
Berangkat pagi-pagi. Menyikat bekas kencing, bekas buang air besar,
sisa najis orang lain. Pulang sore-sore.
Dasar bodoh. Diar bisa saja mengambil jatah lebih dari upahnya yang
hanya tiga ribu perak perhari dari kotak uang ini. Tidak ada yang tahu.
Tetapi Diar selalu saja jujur menyerahkan semuanya.
Rehan kasar meraup uang logam di dalam kotak.
Diar buru-buru mencegah, "Jangan-"
"Nanti aku kembalikan." Rehan mendesis. Melotot.
Mulut Diar tertutup. Menelan ludah. Tidak pernah. Rehan tidak pernah
mengembalikan uang yang diambilnya dari kotak uang toilet. Nanti sore
dia sekali lagi terpaksa berbohong ke petugas terminal. Makanya sebulan terakhir petugas
terminal memasang kunci di kotak uang. Agar preman terminal tidak
memaksa mengambil uang dari kotak tersebut. Preman" Rehan-lah yang
selama ini selalu memaksa mengambil uang dari kotak.
Dan Diar sedikit pun tidak mampu mencegahnya.
"Kau kemana saja sebulan ini?" Diar bertanya lagi. Menghela nafas
pelan, tangannya pelan mengunci kembali kotak.
"Pergi!" Rehan menjawab pendek. Tidak peduli. Memasukkan empat
keping uang logam lima ratusan di dalam saku.
"Pergi kemana?"
"Pergi dari penjaga Panti sok-suci itu." Rehan tertawa.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Diar menelan ludah. Penjaga Panti sok-suci" Terdiam. Mereka teman
sekamar di Panti. Dia tahu banyak soal itu. Cerita-cerita Rehan. Kata
orang-orang. Dia tahu banyak tabiat buruk Penjaga Panti.
Pagi itu, sebulan lalu, saat mereka kembali dari shalat hari raya di
lapangan. Saat mereka berdua-belas meringkuk ketakutan di ruang
depan menyaksikan kemarahan penjaga Panti. Menatap kecut bilah rotan
yang terangkat tinggi-tinggi. Saat itu Diar tahu, Rehan sudah pergi.
Meninggalkan masalah yang serius.
"Sebulan ini, penjaga Panti sibuk mencarimu...."
"Omong kosong! Dia tidak sungguh-sungguh mencariku. Dia hanya
mencari barangnya yang hilang." Rehan memotong, tertawa lebar.
Membuat rambut jingkraknya bergerak-gerak.
Diar terdiam lagi, menatap Rehan lamat-lamat. Mereka
berbeda umur hampir empat tahun. Rehan enam belas, Diar dua belas.


Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertumbuhan fisik mereka yang berbeda membuat perbedaan usia itu
semakin kontras. Rehan yang tumbuh pesat terlihat seperti pemuda
tanggung. Sedangkan Diar yang kurus, berperawakan kecil terlihat lebih
muda dari usianya. Ringkih.
"Kau tinggal di mana sekarang?"
"Di mana saja." Rehan menjawab pendek.
"Makan?" "Kau pikir hanya penjaga panti itu yang bisa memberi makan?" Rehan
menjawab ketus. Menyeringai.
Diar urung bertanya lagi, satu orang keluar dari petak toilet.
Memberikan uang seribuan. Orang itu tidak meminta kembalian, tapi
Diar buru-buru membuka kotak uang. Mencari sekeping uang logam lima
ratusan yang tersisa. Dasar bodoh, Rehan mendengus, lihatlah orang itu
menerima kembalian tersebut tanpa ekspresi berterima-kasih. Buat apa
coba Diar sibuk-sibuk memberikan kembaliannya"
"Apa kau baik-baik saja?" Diar bertanya setelah duduk kembali di kursi
kecilnya, tersenyum. Rehan mendengus. Memasang gaya, kau lihat sendiri.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Jaket yang bagus," Diar menjulurkan tangannya. Menyentuh jaket kulit
yang dikenakan Rehan. "Apa tinggal di luar Panti semenyenangkan ini?" Diar bertanya pelan,
setelah sekian detik mengamati jaket kulit tersebut. Juga sepatu keren
yang dipakai Rehan. "Tentu saja. Kau bisa makan semau-maunya. Kau bisa tidur semaumaunya. Tidak ada yang memaksamu bangun shubuh-shubuh. Bekerja
jadi jongos seperti ini. Dimarahi. Dipukuli." Rehan berkata ringan.
Menyebut seluruh keburukan Panti.
Diar menelan ludah. Sepertinya terdengar amat menyenangkan. Kemarin
saja saat dia sibuk bertanya soal Rehan, penjaga Panti membentaknya
lima menit. Tidak. Dia tidak dipukul. Selama ini dia juga tidak pernah di
lecut dengan bilah rotan itu. Mungkin karena tubuhnya yang ringkih,
mungkin pula karena dia selama ini tidak pernah banyak ulah. Selalu
rajin menyetor uang tiga ribu perak.
Hening sejenak. Sementara Diar sibuk berpikir sendiri, Rehan sibuk melotot menatap
pengguna toilet yang baru masuk. Sopir bus antar-kota. Di bahunya
tersampir handuk besar. "Mandi dulu, Lay!" orang itu berteriak ke
seberang, ke warung makan. Lantas menyibak lorong toilet yang kecil.
Badan besarnya memaksa Rehan beringsut merapat ke meja. Rehan
entah kenapa tiba-tiba tersenyum penuh arti saat melihat orang itu
hilang dari balik pintu kamar mandi.
"Kami rindu kau, Rehan." Diar menggigit bibir, memecah diam,
mengatakan kalimat itu sambil menatap Rehan seperti seorang adik yang
menatap kakaknya. Ya, anak-anak di Panti itu sudah bagai keluarga.
Apalagi dengan semua kesulitan yang timbul dari penjaga Panti. Apalagi
bagi Diar, Rehan selalu penting.
Sayang yang ditatap menyeringai tidak peduli. Malah melambaikan
tangan, menyuruh diam. Rehan sedang mematut-matut. Mengukur.
Berhitung.... Terdengar buncah air dari dalam kamar mandi. Ada tiga
kamar mandi di toilet terminal. Sopir bus antar-kota itu nampaknya
sudah mulai mandi. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Berikan kursimu!" Rehan berbisik ke Diar. Diar menatap bingung. Kursi"
Buat apa" "Cepat!" Rehan mendesis memaksa.
Diar patah-patah berdiri. Kasar, Rehan menarik kursinya. Kaki-kaki
kursi menyenggol kaki-kaki Diar. Mengaduh. Rehan tidak peduli. Dia
bergegas menjinjing kursi itu ke dalam lorong toilet. Meletakkannya
persis di depan pintu kamar mandi tempat sopir bus tadi. Bangunan
toilet terminal itu seadanya, daun pintu kamar mandi tidak sempurna
menutup bingkai pintu. Ada celah dua puluh senti di atasnya. Dan
sekarang melalui celah itulah, berdiri di atas kursi, Rehan dengan cepat
menjulurkan tangan. Berusaha mengambil celana sopir bus yang
disangkutkan ke gantungan paku di daun pintu.
Diar seketika mengerti apa yang akan dilakukan Rehan.
"Jangan. Jangan lakukan..." Diar yang dari tadi hanya menatap bingung
buru-buru melangkah masuk. Berusaha mencegah.
Gerakan Rehan lebih cepat. Celana jeans itu dalam sekejap sudah di
tangannya. Kemudian gesit loncat dari kursi.
"Jangan lakukan! Aku mohon..." "MINGGIR!" Rehan membentak Diar.
"Kembalikan..." Diar menahan tubuh Rehan yang hendak lari. Rehan mana
peduli, waktunya sempit. Harus segera kabur sebelum sopir bus yang
lagi asyik mandi tahu celananya sudah raib di gantungan.
Diar bandel tidak bergeser dari lorong toilet. Berdiri menghalangi.
Maka tanpa pikir panjang, Rehan kasar mendorongnya. Berdebam. Tubuh
ringkih itu menghantam pintu kamar mandi. Diar mengaduh. Keributan
segera menjalar dengan cepat di toilet terminal itu.
"WOIII! SIAPA YANG AMBIL CELANAKU!" Sopir bus yang rileks
bersenandung menyadari sesuatu demi mendengar suara gedebuk di
luar. Lamban sekali kesadaran itu datang, tapi saat tahu celana jeansnya
yang penuh dengan uang setoran selama seminggu sudah hilang di paku
gantungan, dia benar-benar kalap. Panik dan beringas mendorong pintu
kamar mandi. Diar yang terjatuh didorong Rehan mencoba berdiri. Berlari menyusul
Rehan. Yang dikejar sudah melesat menghilang di sela-sela jejeran toko
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
terminal. Rehan tahu persis seluruh isi terminal. Bagai selembar foto,
memori otaknya merekam setiap celah untuk kabur. Penting
menghafalnya. Karena itu berguna.
Orang-orang segera berkerumun saat mendengar teriakan-teriakan di
depan toilet. Ada apa" Pencuri" Apa yang dicuri" Bertanya-tanya satu
sama lain. Memandang tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Satu
anak berlari terbirit-birit membawa celana. Itu pencurinya" Satu anak
lagi lari menyusul beberapa detik kemudian, ini teman pencurinya"
Dan satu orang lagi hendak berlari keluar dari dalam toilet.
Kerumunan ingin tahu itu mendadak buncah oleh tawa. Sopir bus yang
keluar dari toilet umum lupa kalau dia tidak mengenakan apapun saat
hendak mengejar Rehan. Sopir bus itu mendadak terhenti dari larinya,
lantas berdiri salah-tingkah di depan toilet umum. Menatap orang-orang
disekitar yang tertawa. Kenapa tertawa" Mentertawakan siapa" Dia
melihat ke bawah... Busa sabun berjatuhan dari tubuh telanjangnya.
Bab 5 Aku Terminal Kota "APA yang kau tertawakan, Ray?"
Pasien berumur enam puluh tahun itu buru-buru menoleh. Seseorang
tiba-tiba menepuk pundaknya dengan lembut. Seseorang yang sekaligus
menegurnya dengan ramah. Seseorang yang sama sekali tidak
dikenalinya. Sedang tersenyum amat hangat.
Sehangat matahari terminal.
Hangat" Bukankah seharusnya siang-siang begini terminal terasa
menyesakkan" Peluh mengucur membuat resah" Mata merah terkena
debu. Rambut bau terpanggang teriknya siang. Tetapi mengapa sinar
matahari justru begitu menyenangkan baginya" Angin malah bertiup
semilir pelan, membuat anak rambut bergoyang lembut. Sejuk.
Pasien itu sayangnya tidak sempat bertanya mengapa suasana terminal
terasa menyenangkan-yang kenapa pula baru disadarinya sekarang.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kepalanya sudah terlanjur dipenuhi oleh pertanyaan: siapa" Siapa orang
yang menepuk bahunya" Hei, bukankah dari tadi dia berdiri di terminal
ini orang-orang yang berlalu lalang sedikit pun tidak menghiraukannya"
Pedagang minuman tidak menawarinya
air mineral dingin. Peminta-minta tidak menjulurkan kantong kosongkusam bekas permen. Apalagi penjaja koran. Lewat begitu saja. Seperti
melewati batu besar. Seperti dia tidak sedang berdiri di situ.
Orang ini" Malah begitu ramah menegurnya. Lihatlah, mukanya terlihat
seolah bercahaya oleh gurat kearifan. Giginya putih rapi berjejer kecilkecil. Matanya bundar, sempurna hitam. Menatap akrab. Rambutnya
beruban. Beruban" Usianya mungkin berbilang enam puluh tahun.
Samalah dengannya. Mengenakan baju berwarna putih. Jubah" Bukan.
Pakaian yang aneh. Pasien itu tidak sempat memperhatikan lebih lanjut,
terpotong oleh teguran berikut.
"Apa yang kau tertawakan, Ray?" Orang itu bertanya lagi. Lebih ramah.
Seperti sahabat lama. "Ah, tentu saja banyak yang sedang kau tertawakan. Bukankah tempat
ini adalah tempat pertama kalinya kau merasa senang. Merasa bebas.
Merasa memiliki hidup dan kehidupan." Orang itu menjawab sendiri
pertanyaannya, tersenyum riang.
Sementara yang diajak bicara masih menatap tidak mengerti.
"Tahukah kau" Ada banyak orang-orang yang tidak pernah menemukan
tempat itu.... Tempat dia benar-benar merasa bahagia. Maka kau
beruntung, meskipun harus ku-akui kau mengisi sepotong tempat
menyenangkan itu dengan cara yang berbeda. Cara yang tidak lazim.
Buruk. Tetapi peduli apa" Yang penting kau menemukan sepotong tempat
untuk menjalani kehidupan yang menyenangkan, bukan?" Orang yang
berdiri di sebelah pasien itu tertawa kecil.
"Siapa kau?" Pasien itu menelan ludah, akhirnya pertanyaan itu
terlepaskan. Dengan intonasi takut-takut. Takut" Pasien itu tiba-tiba
mengkerut. Dia benar-benar takut saat menyadari banyak hal. Dia
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ternyata bisa bicara" Bagaimana mungkin" Bukankah berbulan-bulan
pita suaranya hilang" Astaga, dia juga bisa berdiri dengan kedua belah
kakinya" Dari tadi berdiri tanpa tongkat" Bukankah berbulan-bulan juga
kakinya lumpuh total"
"Aku" Percuma, kau tetap tidak akan tahu siapa aku walau kujelaskan,
Ray." Orang itu tersenyum hangat.
Senyap sejenak. Bingung menggantang langit-langit terminal.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Bertanya gentar.
"Sama sepertimu. Mengenang masa lalu."
Pasien berumur enam puluh tahun yang dipanggil Ray itu menggigit bibir.
Mengenang masa lalu" Tempat yang menyenangkan" Tiba-tiba berada di
terminal ini saja sudah membuatnya bingung, apalagi bertemu dengan
orang aneh ini. Apa maksudnya" Dan astaga, bagaimana orang ini tahu
namanya" Bukankah dia sekarang seharusnya berada di rumah sakit" Terkapar
dengan berbagai komplikasi penyakit yang dideritanya enam tahun
terakhir" Penyakit yang membuatnya susah berkepanjangan. Bayangkan,
sepanjang enam tahun terakhir, dia menjalani kehidupan bagai rumus
aljabar: sehari sehat, seminggu masuk rumah sakit.
Jangan-jangan" Pasien itu mengkerut oleh rasa takut. Apakah dia sudah
mati" Di manakah ini" Bukankah terminal yang dikenalnya puluhan tahun
silam sudah lama rata. Berganti gedung menjulang tinggi puluhan lantai
yang dibangunnya" Siapa orang ini"
"Apakah kau malaikat?" Suara Ray terdengar bergetar. "Bukan." Orang
itu tertawa. Tawa yang menyenangkan. Bukan tawa yang mentertawakan
pertanyaan bodoh. "Apakah ini neraka?" "Bukan."
"Apakah ini surga?"
"Ini t-e-r-m-i-n-a-l, Ray. Bagaimana mungkin kau tidak mengenali sebuah
terminal?" Orang itu memotong, tertawa lagi.
"Apakah aku sudah mati?" "Belum. Kau belum mati." "Di mana kita?"
"Astaga" Ini terminal, Ray!"
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Bab 6 Aku Bayi Yang Selamat SAAT anak-anak bergembira memakai baju koko menuju lapangan,
Rehan masih duduk bergelung. Bajunya lembab. Sisa tampias hujan
semalaman. Matanya merah karena tidurnya berkali-kali terbangun oleh
suara guntur. Mata yang sekarang menatap penuh kebencian, sisa benci
tadi malam. Diar lagi-lagi seperti lazimnya berbaik hati sembunyi-sembunyi
menyerahkan bungkusan koko dan sarung baru jatahnya, tapi Rehan
menatap galak. Mengusir Diar jauh-jauh.
Sebelas anak dan penjaga Panti itu menghilang di kelokan jalan. Berbaris
rapi dengan baju putih-putih. Satu-dua terlihat tertawa. Riang. Tidak
terlalu takut meski sedang bersama penjaga Panti. Diar berjalan paling
belakang. Masih sibuk menoleh. Rehan mengusap muka. Tidak peduli.
Niatnya sudah bulat. Pagi ini, setelah melakukan apa yang direncanakan
semalam, dia akan pergi. Selamanya.
Dia seperti dua belas anak lainnya datang ke Panti saat tubuh mereka
masih merah, bayi-bayi mungil. Lebih tepatnya mereka di antarkan,
bukan datang. Dia diantar
enam belas tahun silam. Dan seperti anak-anak lain, dia tidak tahu siapa
orang-tuanya. Dulu penjaga Panti mempunyai istri yang membantu
merawat bayi-bayi. Apa yang sering penjaga Panti bilang ke para
dermawan yang berkunjung untuk membujuk memberikan bantuan"
"Kami tidak punya anak, mokanya kami mendirikan Panti ini!" Omong
kosong. Setahun silam istri penjaga Panti meninggal. Sejak saat itu, Panti hanya
menerima anak-anak yang berumur enam tahun ke atas. Termasuk Diar.
Diar baru datang ke Panti setahun lalu. Itulah pula kenapa nama Diar
berbeda. Bukan nama-nama sok-suci. Bukan nama-nama sok-indah yang
diberikan penjaga Panti. Berurutan sesuai abjad. Dua bayi terakhir
sebelum Rehan datang diberikan nama (P)asat dan (Q)olu. Pasat
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
sekarang tinggal berseberangan kamar dengannya. Sedangkan Qolu
sudah diadopsi. Itu berarti uang tambahan bagi penjaga Panti. Tarifnya
mahal untuk Qolu yang berwajah keturunan.
Penjaga Panti mungkin benar soal anak bangsat. Hampir seluruh anak
Panti adalah bayi-bayi yang terbuang. Ibunya entah hamil karena
menjual diri, hasil selingkuhan yang tidak diinginkan, pacaran keterlaluan
anak muda, dan semacamnya. Tetapi asal-muasal Rehan tidak sama.
Rehan tidak tahu-menahu soal itu selama lima belas tahun. Tertutup
rapat. Baginya, urusan asal-muasal ini tidak penting. Kurang-lebih
samalah dia dengan anak-anak lain, anak bajingan. Kalau pun berbeda
peduli apa" Selama lima belas tahun Rehan tumbuh berbeda dibandingkan anak-anak
Panti lain. Fisiknya berkembang lebih cepat. Menjelang usia enam belas
tingginya hampir sedagu penjaga Panti. Badannya gempal. Tidak gemuk,
tidak kurus. Kekar. Kulitnya cokelat-untuk tidak menyebutnya gelap.
Matanya hitam, tajam. Rambutnya lurus tergerai, panjang menutupi
telinga. Rehan cerdas. Kalau saja penjaga Panti merasa berkewajiban
menyekolahkan anak-anaknya, boleh jadi nama Rehan sudah terukir rapi
dalam piala-piala kelulusan. Masalahnya anak-anak di Panti itu lebih
banyak menghabiskan waktu untuk bekerja. Sejak umur enam tahun
Rehan menjadi pesuruh di salah-satu rumah makan dekat Panti. Disuruh
mencuci piring. Disuruh mengepel lantai. Disuruh mengelap kaca.
Semuanya disuruh, kecuali mencicipi makanan atau dekat-dekat dengan
dapur. Berbeda dengan anak-anak Panti lainnya yang tumbuh tertekan, Rehan
tumbuh melawan. Kepintarannya menjelma menjadi sebuah perlawanan
paling logis. Dia sering membantah perintah penjaga. Bertanya banyak
hal. Menyudutkan. Berbantah-bantah. Penjaga Panti yang tidak suka
melihat anak-anak banyak bicara langsung membungkamnya dengan
pecutan bilah rotan. Semakin banyak pecut rotan mendera tubuhnya,


Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rehan tumbuh semakin berbeda.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Perlawanan yang menemui tembok itu berubah menjadi "perang" gerilya.
Celakanya, itu sekaligus mengajari Rehan hal-hal buruk. Mulailah secara
otodidak dia mencuri makanan di dapur. Membawa tumpukan makanan ke
kamar dengan seringai muka penuh kemenangan. Rehan mulai berani
mangkir kerja, sengaja merusak barang-barang dan berbagai perangai
buruk bentuk perlawanan lainnya. Terakhir dia lebih suka duduk-duduk
di lepau-lepau yang berderet memenuhi terminal. Di sana, Rehan mulai
belajar berjudi. Langsung dari ahlinya. Uang taruhan" Dia dapatkan dari
mencuri. Dia juga mulai berani mengumpat langsung mengapa dia harus tinggal di
panti tersebut. Ada ratusan panti asuhan di kota, kenapa dia harus
dikirimkan ke panti sialan itu. Menyumpahi penjaga panti. Dan Rehan
juga mulai mencari tahu soal ayah-bunda-nya. Berkali-kali dibilang anak
bajingan, membuatnya ingin tahu.
Setahun silam saat istri penjaga panti meninggal, ketika umur Rehan
tiga belas, ketika kesedihan menggantung di wajah penjaga panti, ketika
anak-anak justru lega menghela nafas (karena berarti tak ada hukuman
dan omelan dalam waktu dekat), ketika selama seminggu penjaga panti
pergi entah kemana, Rehan tidak sengaja masuk ke ruang kerja penjaga
panti. Tidak sengaja" Tidak juga, sudah sejak sebulan terakhir dia sembunyisembunyi mengaduk ruangan itu. Seminggu lalu menemukan amplopamplop sumbangan dari dermawan. Lumayan. Penjaga panti yang lelah
menunggui istrinya di rumah sakit tidak terlalu mempedulikan hilangnya
satu-dua amplop. Hari itu dia memutuskan untuk mengendap-endap masuk lagi. Dia punya
kunci ruangan tersebut. Beberapa bulan silam, saat Pasat disuruh
menggandakannya di tukang kunci yang mangkal di terminal, Rehan
memaksanya membuat duplikat lebihan. Mengancam Pasat agar tidak
mengadu. Masih pagi. Setahun silam, waktu itu cahaya matahari pagi yang lembut
menelusup sela-sela krei. Satu-dua menimpa wajah Rehan yang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
menyeringai senang. Rehan sedang asyik membuka laci tempat dia
menemukan amplop-.implop sumbangan seminggu lalu. Kosong! Tidak ada
walau selembar amplop. Dia menghela nafas kecewa. Mungkin
dipindahkan ke laci lain. Rehan memutuskan untuk mengaduk seluruh isi
ruangan. Melakukan pengge-ledahan.
Membuka laci lemari. Penuh dengan buku-buku tentang prosesi naik haji.
Rehan mendesis benci. Buru-buru menutupnya, seolah-olah melihat
sesuatu yang menjijikkan. Membuka laci lemari lainnya. Dipenuhi berkasberkas yang tidak dikenalinya. Rehan hendak menutupnya tidak peduli.
Saat itulah ujung matanya tidak sengaja menatap sebuah file dengan
kertas kecil bertuliskan nama dirinya di bagian atas: Rehan Raujana.
Ini berkas apa" Keingintahuan menyeruak cepat. Menghilangkan nafsu
amplop-amplop uang. Terburu-buru Rehan mengeduk file tersebut.
Mengambilnya. Meletakkannya di atas meja. Membuka lembar demi
lembar isi map merah itu. Kemudian dengan terbata, hasil belajar
dengan istri penjaga Panti, mulai membaca.
Map itu berisi kertas-kertas yang entahlah tidak diketahui persis
olehnya. Ada surat dari petugas apalah. Ada keterangan dari dinas
apalah. Surat pengantar. Catatan kesehatan. Tidak banyak. Hanya limaenam lembar. Terakhir malah bukan kertas surat-menyurat, melainkan
potongan koran. Potongan Koran" Rehan mendesis tidak mengerti. Buat apa ada potongan
koran dalam map ini" Memutuskan untuk membaca. Kebakaran besar
lima belas tahun silam. Seratus rumah musnah. Pasar kumuh itu luluh
lantak tak bersisa dalam semalam. Hanya beberapa orang yang selamat.
Sa-lah-satunya bayi kecil yang ditemukan dipinggir bantaran kali dekat
lokasi kebakaran. Bayi kecil yang menangis pilu.
Apa yang tadi sudah dibilang, Rehan cerdas, dengan cepat meski hanya
berdasarkan kertas-kertas dan potongan cerita di koran itu kepalanya
mendadak merangkaikan penjelasan. Pasar kumuh" Lokasi itu sudah
berganti pusat perbelanjaan modern sekarang. Kebakaran" Luluh lantak
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
dalam semalam" Apa maksud potongan koran ini ada di dalam map
dengan namanya" Pasti ada kaitannya. Pasti ada penjelasan. Bayi itu"
Rehan tanpa berpikir panjang melipat
potongan koran tersebut, memasukkannya ke dalam saku celana.
Setahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari perangai Rehan sejak
mengetahui sepotong cerita masa lalunya itu. Fakta itu tidak berguna.
Apa dengan tahu dia lantas merasa berbeda dari anak-anak Panti lain"
Lebih baik dari mereka" Bukan anak bangsat! Tidak penting, tidak ada
gunanya. Pongah Rehan malah menjadi-jadi. Dia semakin berani mencuri
barang-barang. Menjualnya ke penadah. Menggunakan uangnya untuk
bermain-main. Memuaskan diri. Dan tentu saja semakin suka berjudi.
Penjaga Panti juga semakin menjadi-jadi kepadanya. Kembali dari
kepergiannya berkabung selama seminggu, penjaga Panti berubah
semakin galak. Mulutnya carut-marut tidak terkendali. Benar-benar
tidak ada lagi istrinya yang lemah-lembut membela anak-anak. Tidak ada
lagi istrinya yang suka sembunyi-sembunyi menambahkan jatah makanan.
Tidak ada lagi. Setahun berlalu tak-kalah menyakitkan.
Rehan mendengus kasar. Segera mengusir jauh-jauh kenangan setahun
terakhir itu. Semua orang sudah pergi ke lapangan. Saatnya beraksi.
Dia mengendap-endap mendekati jendela. Pelan mencongkel gerendel
bingkainya dari luar. Sudah biasa. Dia selalu melakukannya kalau pulang
terlalu malam dan pintu depan sudah terkunci. Gesit tubuh gempalnya
melompat masuk. Suara takbir terdengar membahana dari lapangan. Penjaga dan sebelas
anak-anak itu pasti sudah berjejer paling depan. Seperti biasa, selepas
shalat Id nanti anak-anak disuruh berbaris rapi, memasang wajah riang,
tangan terjulur, berharap mendapatkan santunan dari warga sekitar.
Rehan mendesis tidak peduli. Dia sembarang menutup kembali daun
jendela. Seperti yang sudah diduganya, di atas meja kamarnya terdapat
piring berisi makanan. Sebelah ketupat. Sebelah daging. Sebelah
kentang. Sebelah kerupuk. Rehan menelan ludah. Bukan menelan ludah
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
menyadari kebaikan Diar sepagi ini, tapi lebih karena lapar. Diar pasti
meninggalkannya. Sengaja menyisakan separuh jatah makanannya. Selalu
begitu. Dalam hitungan menit piring itu tak bersisa. Dari kejauhan suara takbir
digantikan kalimat pemberitahuan. Soal petugas zakat yang
mengumpulkan uang sekian. Soal pembagiannya. Sekian. Pasti mata
Penjaga Panti membulat sekarang. Menghitung jatah miliknya. Rehan
menyeringai benci. Dia sekarang membuka pintu kamar. Sigap melangkah di koridor menuju
ruang kerja penjaga Panti. Inilah yang direncanakannya semalam, yang
membuatnya tersenyum sebelum jatuh tertidur. Sejakdua bulan
terakhir d ia penasaran apa isi laci lemari paling bawah itu, yang
dipasangi dua gembok besar, yang paling susah dibuka sepanjang tahun.
Itulah satu-satu isi laci yang belum dicurinya.
Rehan mengeluarkan linggis kecil. Tidak percuma semua uang dari jualan
parsel lebaran kemarin dibelikan linggis kecil ini. Anggap saja modal
untuk mendapatkan curian yang lebih besar. Karena dia memutuskan
akan pergi selama-lamanya setelah membongkar laci itu, maka tidak
peduli soal kehatihatian, apalagi soal meninggalkan jejak, Rehan dengan
kasar mulai membuka laci lemari.
Dua gembok itu tidak bisa dibuka, tapi akhirnya terlepas dari rekahan
kayu. Rehan tersenyum tipis. Menarik paksa. Laci itu berdebam terbuka.
Menganga memperlihatkan isinya. Brankas. Isinya brankas kecil. Tidak
ada barang lain. Maka dengan cepat Rehan menyambar brankas
berwarna merah itu. Nanti-nanti membukanya. Yang pasti isinya penting
dan berharga. Tidak mungkin digembok dua kali kalau isinya hanya
surat-surat dan kertas. Sekejap dia sudah kembali ke kamarnya. Melompati daun jendela. Tanpa
merasa perlu menutupnya lagi, dengan tenang melangkah ke jalan besar.
Sekarang, dia bisa pergi semannya. Pergi dari Panti menyebalkan itu.
Pergi dari tempat yang tidak bisa dimengerti olehnya, tenpat yang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
meninggalkan pertanyaan sama setiap hari sepanjang tahun selama
tinggal di sana. Kenapa dia harus tinggal di sana" Bukankah ada ratusan panti lain di
kota ini. Kenapa dia dulu diantarkan ke panti menyebalkan itu....
Bab 7 Aku Penjudi Ulung "DI mana kita?" "Kita tidak di mana-mana...." "Apa yang kau inginkan?"
"Tidak ada, Ray.... Kita hanya sedang melakukan perjalanan mengenang
masa lalu. Inilah pemberhentian pertamanya. Seharusnya aku
memulainya dari Panti. Tetapi kau selalu benci kembali ke sana, bukan"
Maka inilah pilihan terbaiknya. Tempat dimana pertama kali kau
merasakan hidupmu terasa sungguh menyenangkan...." Orang yang
ditanya tersenyum ramah, tangannya bersidekap anggun. Matanya
menatap kejauhan. Menara-menara kota yang menjulang.
"Siapa kau?" Pasien berumur enam puluh tahun itu mendesis, bertanya
untuk kesekian kali. Desisan itu kali ini lebih karena bingung, meski
tetap menyisakan gentar. Semua ini sungguh tidak bisa dimengerti oleh
otaknya yang cerdas. Menatap cemas.
"Tidak penting. Bukankah sudah kukatakan, aku beritahukan pun kau
tidak akan tahu." Pasien itu menelan ludah. Itu bukan jawaban yang baik.
"Yang perlu kau tahu adalah kau sangat beruntung, Ray. Amat
beruntung. Tahukah kau" Semua orang selalu diberikan kesempatan
untuk kembali. Sebelum maut menjemput, sebelum semuanya benarbenar terlambat. Setiap manusia diberikan kesempatan mendapatkan
penjelasan atas berbagai pertanyaan yang mengganjal hidupnya....
"Ada yang mendapatkan kesempatan itu dari buku-buku. Dari penjelasan
orang-orang di sekitarnya. Dari apa-apa yang terukir di langit, tergurat
di bumi atau yang tergantung di antaranya. Dari apa saja." Orang dengan
wajah menyenangkan itu terus menjelaskan sesuatu, tidak terlalu
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
mempedulikan wajah menyeringai bingung pasien di sebelahnya.
Tersenyum hangat, sehangat cahaya matahari siang terminal antar-kota.
Sayang. Senyum itu tak membantu banyak pasien itu. Dia semakin
bingung. Beruntung" Apanya yang beruntung" Penjelasan" Apanya yang
akan dijelaskan" Apa maksud semua ini.
"Kau tahu, Ray, banyak mereka yang tidak menyadari kalau penjelasan
itu sudah datang.... Mungkin karena mereka terlalu dibutakan oleh
kehidupan itu sendiri. Mungkin karena mereka tidak pernah memiliki
kemampuan untuk menggapai penjelasannya. Mungkin juga karena
mereka terlalu berharap penjelasan itu datang dengan amat fantastis.
Dalam banyak hal, banyak kasus, penjelasan itu justru datang dengan
sederhana. "Kau berbeda, Ray. Kau akan mendapatkan penjelasan melalui perjalanan
yang hebat ini. Nanti di akhir semuanya kau akan tahu mengapa kau
mendapatkan kesempatan sehebat ini, tapi sekarang baiklah kita mulai
saja...." Orang dengan wajah menyenangkan itu takjim menangkupkan kedua belah
telapak tangan di depan dada.
Pasien itu menatap bodoh. Apanya yang akan dimulai"
"Ray, tahukah kau, hari ini kita akan mengenang perjalanan hidupmu. Kau
akan mendapatkan kesempatan hebat. Kesempatan untuk mendapatkan
jawaban, jawaban atas lima pertanyaan besar dalam hidupmu. Kau
bertanya lima kali, aku menjawabnya lima kali. Semoga dengan demikian
kau akan mengerti banyak hal...."
"Kau dapat dari mana uang ini?" Bandar judi di hadapannya menyeringai.
Menatap tajam. Menyelidik. Rehan menggeleng, tidak menjawab. "Kau
dapat dari mana?" "Bukan urusanmu!" Rehan menjawab kasar. Merapikan uang taruhannya
di atas meja. Menyeringai tidak peduli. Memang tidak penting dari mana
muasal uang itu. Juga uang penjudi lainnya. Apa coba peduli Bandar"
Yang penting uang. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Bandar di hadapan Rehan balas menyeringai, lantas memasukkan tiga
buah dadu ke dalam tabung bambu. Memulai permainan judi itu.
Menggoyang-goyangkan tabung. Memutar-mutarnya. Tangkas dan
bergaya. Sudah macam di film-film itu saja.
Membanting tabung bambu ke atas meja.
Orang-orang yang berada di sekitar lepau (sopir, kondektur angkutan
umum, pedagang asongan, preman, dan sebagainya) seperti biasa mulai
mengerubung. Menatap antusias. Bagi mereka yang tidak punya uang
untuk ikut bertaruh, menonton orang lain berjudi sudah cukup
Bahan dengan mengasyikkan. Beramai-ramai, sudah macam nonton siaran langsung tinju
saja. "Nomor kecil!" Rehan mendesis mantap.
Bandar judi di lepau mengangkat tabung bambu. Tiga-tiga-dua. Mata
dadu itu berjumlah delapan. Persis di batasnya. Nomor kecil. Rehan
tersenyum puas. Awal yang baik. Orang-orang mulai berseru-seru.
Bandar menyeringai licik, hanya keberuntungan pemula. Memasukkan
dadu kembali ke dalam tabung. Menatap Rehan. Menantang. Ronde
berikut. Tetapi bandar lepau itu sungguh keliru. Hari itu entah mengapa, Rehan
amatbertuah. Nasib baik mengungkungnya. Sepuluh kali bermain.
Sepuluh-sepuluhnya Rehan menang. Sepuluh putaran yang menguras
habis uang bandar lepau terminal. Kerumunan itu ramai oleh tepuktangan. Kesenangan dari orang-orang yang selama ini justru terkuras
habis uangnya. Rasakan, desis salah satu abang becak yang sudah
seminggu ini takut pulang, uangnya habis untuk berjudi, istrinya pasti
menunggu di rumah dengan gagang panci.
Rehan tertawa lebar. Memasukkan uang kertas lecek ke dalam kantong
celana. Hari apa sekarang" Ah-ya, hari kemenangan. Bukan main, tepat
sekali istilah hari raya ini dengan nasib baiknya. Hilang sudah seringai
sebal Rehan sejak tadi pagi.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tadi pagi, dia buru-buru membawa brankas itu ke salah satu pojokan
terminal. Susah sekali membuka brankas itu. Berkali-kali dihantam
dengan linggis kecil tetap saja brankas itu bergeming. Penyok-penyok,
tapi kuncinya sedikit pun tak terbuka. Setengah jam yang menyebalkan.
Saat dia sudah berpikiran hendak meminjam linggis yang lebih
besar, brankas itu terbuka justru oleh pukulan terakhirnya yang lemah.
Menumpahkan isinya. Dan dengus sebal berikutnya segera keluar. Setengah jam yang sia-sia.
Hanya ini" Uang di dalam brankas itu hanya belasan ribu. Rehan
menyumpah-nyumpah. Dia pikir akan ada ratusan ribu, malah jutaan,
ternyata hanya ini. Buat apa coba penjaga Panti sok-suci itu
menyimpannya rapat-rapat. Digembok dua kali. Dalam brankas pula.
Tetapi sekarang, dua sebal sepanjang siang itu sudah musnah tak
bersisa, tergantikan oleh keriangan sore yang baru didapatnya.
Uangnya sudah beranak-pinak.
Rehan kembali duduk di pojokan terminal. Tempat yang akan
direncanakan menjadi rumah baru baginya. Itu selasar atap toko paling
pojok. Menyatu ke tembok pembatas rumah-rumah warga di luar.
Terlihat seperti kamar kecil. Berukuran setengah kali tiga meter
memanjang ke belakang. Sudah setahun terakhir jadi tempat


Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mangkalnya malam-malam kalau malas pulang ke Panti.
Rehan menggenggam uangnya. Cukup banyak. Rekor uang terbanyak yang
pernah dimilikinya. Tersenyum, menatap senyapnya terminal. Kalau
bukan hari raya, selarut ini, terminal masih ramai seperti siang. Sayang
sudah sepi, toko-toko tutup, padahal dengan uang banyak dia bisa puas
menghabiskan waktu di manalah.
Hei, bukankah dia bisa terus menggandakan uang ini" Kalau tadi bandar
lepau sudah kehabisan uangnya, bukankah masih ada tempat berjudi
lainnya" Rehan menyeringai. Tidak jauh dari terminal, di salah satu
deretan ruko pedagang China itu, kalau tidak salah, ada tempat berjudi
yang lebih besar. Pasti uang di sana jauh lebih banyak. Pasti. Maka tanpa
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
berpikir dua kali, Rehan bergegas berdiri. Hari bertuah, dia tak mungkin
kalah. "SIAPA YANG MELAKUKAN INI"!" Sementara Rehan tadi pagi sibuk
menghantam kuat-kuat brankas, Penjaga Panti mengamuk melihat ruang
kerjanya bagai kapal pecah saat pulang dari shalat Id, menghantamkan
keras-keras pecut bilah rotan ke atas meja.
Dua belas anak mencicit. Musnah sudah kebahagiaan sepanjang pagi,
kebahagiaan berjejer rapi shalat hari raya di saf terdepan. Diar
mendesah resah. Tertunduk. Tubuhnya gemetar. Bibirnya terkunci
rapat. Siapa lagi yang berani melakukannya" Penjaga Panti mengamuk
sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan. Penjaga Panti jelas
tahu pelakunya, tapi peduli apa" Harus ada yang menerima hukuman atas
perbuatan itu. Karena Rehan sepanjang bulan tidak kembali-kembali
juga, maka dua belas anak lainnya yang menjadi sasaran kemarahan.
Bukan uang dalam brankas yang membuatnya marah besar. Sebagian
besar uang di dalam brankas sudah dia setorkan seminggu lalu ke bank.
Setoran terakhir. Dan sebagai gantinya dia mendapatkan tanda lunas
perjalanan besar itu. Mendapatkan kepastian kursi berangkat. Bukan
uang, tapi berkas-berkas itu. Semua dokumen penting keberangkatan
hajinya ada dalam brankas merah itu. Maka tidak kunjung reda marah
penjaga Panti selama sebulan itu.
Sementara yang sepatutnya diamuk, malam itu sedang duduk penuh
keyakinan, menyeringai. Menggenggam uang taruhan.
Tadi di pintu depan, penjaga ruko menghalanginya masuk. Tidak boleh
ada anak-anak yang masuk. Rehan memperlihatkan karcisnya. Tidak ada
yang peduli dia anak-anak sepanjang membawa uang banyak. Penjaga
ruko menatap tajam. Kehilangan alasan mencegah.
Bandar di meja judi memasukkan tiga dadu ke dalam tabung kuningan.
Tersenyum tipis ke arah Rehan. Hanya ini permainan yang dikuasai
Rehan. Maka di antara pernak-pernik permainan judi yang banyak
terdapat di ruko tersebut, dia duduk di meja lempar dadu.
Sama seperti di lepau terminal.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Rehan menyeringai. Orang di hadapannya ternyata berkali-kali lipat
lebih mahir menjungkir-balikkan tabung kuningan di tangan dibandingkan
bandar lepau terminal. Benar-benar tangkas, cepat, dan sudah mirip
gerakan akrobatik.... Membantingnya ke atas meja.
"Nomor kecil!" Rehan mendesis yakin.
Entah apa yang sedang direncanakan langit. Malam itu, hingga larut, tiga
puluh putaran, sempurna sudah Rehan memenangkan seluruh taruhan.
Gemetar tangannya merengkuh uang berbilang juta. Orang-orang dalam
ruko mendadak lupa dengan aktivitas judi masing-masing. Mereka ramai
berkerumun mengelilingi meja lempar dadu. Ramai berseru ketika
tabung kuningan dibuka. Bersorak-sorak macam terjadi gol dalam
pertandingan bola ketika melihat mata tiga dadu terbuka. Menahan
nafas dalam-dalam ketika Rehan melempar uang taruhan yang semakin
lama semakin besar. Taruhan terpaksa dihentikan. Bandar ruko yang sejak setengah jam lalu
mengusap keringat memutuskan cukup. Tidak akan ada yang bisa
mengalahkan keberuntungan anak muda di hadapannya. Ini mengerikan.
Bayangkan, tiga puluh kali dia melempar dadu, semuanya sempurna
benar. Dua-tiga kali anak-muda di hadapannya malah ringan
mendesiskan angka-angkanya tanpa meleset satu mata dadu pun.
Rehan tersenyum lebar. Memampatkan uang ke dalam saku. Orang-orang
bertepuk-tangan. Satu-dua menepuk-nepuk bahu Rehan saking
senangnya. Satu-dua memendam iri. Tapi Rehan tidak peduli. Juga sama
tidak pedulinya saat satu-dua gadis penghibur dengan pakaian
mengundang-seadanya mendekat menggoda.
Rehan buru-buru kembali. Sepanjang perjalanan menuju pojokan
terminal Rehan mendesis riang. Beginilah seharusnya hidup. Bisa
memilih. Bisa memutuskan apa yang harus dilakukannya. Bagaimana
mungkin dia harus tinggal belasan tahun di Panti tak berguna itu.
Belasan tahun teraniaya oleh penjaga Panti sok-suci itu.
Ada puluhan tempat penampungan anak-anak terlantar di kota ini,
mengapa dia justru harus diantarkan ke Panti sialan itu"
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Mengapa" Bab 8 Aku Pertanyaan Pertama "KAU sudah menyebutkan berkali-kali pertanyaan besar pertama dalam
hidupmu, Ray.... Kenapa kau harus menghabiskan masa kanak-kanak di
tempat itu" Mengapa panti asuhan yang menyebalkan itu" Kenapa tidak
di tempat lain.... Kenapa kau harus melalui masa kanak-kanak yang
seharusnya menyenangkan justru di tempat yang paling kau benci
sepanjang hidupmu." Orang dengan wajah menyenangkan itu tersenyum hangat. Memotong
semua kenangan. Sambil menatap kejauhan. Menara-menara kota.
Pasien berumur enam puluh tahun yang berdiri di sebelahnya menelan
ludah. Terdiam. Bagaimana orang ini tahu" Tahu pertanyaan yang selalu
mengganggunya selama enam belas tahun tersebut" Apa tadi" Lima
pertanyaan" Lima jawaban" Pasien itu menyeka dahi, menatap lamatlamat wajah orang menyenangkan di sebelahnya.
Benar, itulah pertanyaan yang berkali-kali muncul di kepalanya.
Mengganggu malam-malam tidurnya. Enam belas tahun masa kanakkanaknya. Dan pertanyaan itu bahkan lebih banyak muncul setelah malam
bertuah yang mengesankan di ruko pedagang China itu.
Dia berpesta sendirian malam itu. Membeli banyak makanan dan
minuman. Membawanya ke pojokan terminal. Malam itu, langit kota
bersih tak tersaput awan. Bintang-gemintang tumpah-ruah. Indah.
Semua benar-benar terasa menyenangkan. Apalagi, lihatlah, tak ada
penjaga Panti yang akan menghalanginya dari memuaskan keinginan
perut. Bahkan sebotol minuman keras terselip di atas tegel.
Esok hari dia akan membeli jaket kulit keren yang membuatnya
sepanjang minggu terpaksa mampir menatap di balik etalase pusat
perbelanjaan itu. Membeli sepatu. Juga kaca mata hitam, sabuk, dan
gelang. Menjemput kehidupan baru. Bukan main, ternyata hidup itu
mudah. Perutnya penuh. Rehan tertidur pulas sambil mengulum senyum.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Bermimpi tentang janji-janji tiga butir dadu bermata enam dalam
tabung bambu. Tidur hingga matahari pagi menerpa mukanya. Hingga burung perkutut
milik ruko di sebelahnya berisik bernyanyi. Hingga kesibukan terminal
kembali. Menjemput arus balik mudik.
Sayang, bersamaan dengan datangnya esok pagi, janji itu ternyata
kosong. Semu. Cepat sekali menguap semua keberuntungan.
Belum. Saat Rehan kembali esok malamnya ke ruko itu, saat orang-orang
antusias menyambutnya, satu-dua malah berbisik "Raja Judi datang!"
Saat itu nasib baik masih mengungkungnya. Belum berubah. Masih sespektakuler malam sebelumnya, Rehan kesulitan memampatkan uang di
kantong jaket barunya ketika beranjak pulang. Bukan main. Tapi malam
berikutnya semua tuah benar-benar luntur. Bagai baju berwarna
tersiram pemutih. Bagai cat dinding basah tersiram air. Lumer. Berkalikali Rehan mengusap dahi. Berkeringat. Sementara tumpukan uang di
mejanya semakin berkurang. Menipis. Bandar dari tadi tak lepas dari
wajah menyeringai, setengah-mengejek se-tcngah-memancing agar
Rehan terus mempertaruhkan sisa uang. Orang-orang mendesah
tertahan. Satu-dua mulai meninggalkan tontonan. Sama saja dengan
penjudi lain, jadi buat apa di tonton"
Malam ketiga itu, Rehan sempurna menghabiskan keuntungan berjudi
malam sebelumnya. Dia pulang sambil membesarkan hari, besok
keberuntungannya pasti kembali. Tak ada pesta di pojokan terminal di
sisa malam. Dia memaksa matanya terpejam lebih cepat. Memaksa
harinya melupakan kekalahan. Tapi semakin dipaksa, seringai mengejek
Bandar itu semakin terlintas di langit-langit selasar atap toko. Dadudadu yang bergeletakan, berkelotakan satu sama lain terdengar jelas
oleh telinganya. Gerakan tangan Bandar yang tangkas sambil mulutnya
mengepulkan asap rokok. Semua itu mengganggu. Menjengkelkan.
Rehan tak bisa tidur. Malah berharap malam cepat berlalu. Bila perlu
tak ada siang, langsung menyambung
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
malam berikutnya. Dia tidak sabar untuk kembali ke ruko pedagang Cina
itu. Dia ingin membalas. Begitulah. Terkadang menunggu amat
menjengkelkan. Separuh malam terasa separuh abad.
Maka setelah seharian hanya duduk-duduk di pojok-an terminal, ketika
matahari senja akhirnya lelah menghilang di ufuk barat, Rehan
melangkah tak-sabaran menuju tempat pembalasan. Bergegas. Tidak
hati-hati. Hampir berpapasan dengan Diar di gerbang terminal, dan dia
buru-buru menyingkir. Sudah tiga hari ini Rehan selalu menghindar
bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Apalagi dengan anakanak penghuni panti sialan tersebut Dia sudah memutuskan pergi, maka
lebih baik tidak bertemu dengan satu pun dengan anak-anak panti.
Rehan mempercepat langkahnya menuju ruko pedagang Cina.
Duduk dengan yakin. Melemaskan tubuh. Bersiap. Malam itu, tujuh belas
kali dadu di lempar. "Nomor kecil! Desis Rehan yakin. Ternyata besar.
"Kecil!." Ternyata besar. "Kecil!" Ternyata besar. "Kecil!" Ternyata
besar. "Besar!" Ternyata kecil.
Malam itu tiga dadu dalam tabung kuningan sempurna sudah menolak
dirinya. Berkali-kali seperti itu. Rehan terkapar nelangsa di atas kursi
beberapa jam kemudian. Sementara penonton yang mengidolakannya dua
hari lalu sudah dari tadi beranjak pergi! Kembali sibuk dengan aktivitas masingmasing. "Ternyata hanya amatiran..." "Keberuntungan pemula..." Mereka
berbisik, tertawa. Bandar menyeringai amat puas. Berbaik hati membiarkan Rehan tetap
duduk di kursi hingga ruko tutup menjelang tengah malam. Langit-langit
penuh dengan kepulan asap rokok. Yang entah mengapa baru kali ini
membuat nafas Rehan terasa sesak. Dia pulang ke pojokan terminal tak
menyisakan apapun. Uang belasan ribu yang didapatnya dari brankas itu
juga musnah. Tangannya menggenggam kosong, matanya menatap kosong.
Hatinya memendam kosong! Malam itu, Rehan berharap matahari pagi tak kunjung datang. Dia
berharap malam akan terus seperti ini. Selamanya. Dia benci datangnya
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
matahari esok. Dia berharap malam ini panjangnya satu abad. Ternyata
hidup tidak sederhana. Hidup itu menyakitkan. Tapi matahari ditunggu
atau tak, suka atau tak, pasti akan datang. Janji matahari tak pernah
teringkari. Rehan terbangun dari tidurnya, penjaga ruko berisik membuka teralis
alumunium, meneriakinya agar segera bangun. Mengusirnya. Mata Rehan
merah karena baru menjelang subuh bisa memejamkan mata. Pagi itu
perutnya kosong. Melilit. Makan" Kemana dia harus mencari makan" Tak
ada uang yang bersisa. Maka dimulailah kehidupan baru itu. Tentu bukan kehidupan baru
seperti yang dibayangkannya tiga hari lalu- Kehidupan jalanan. Awalnya
Rehan hanya memaksa anak-anak pedagang koran di terminal
menyerahkan uang. Anak-anak pedagang minuman dingin. Kemudian mulai
belajar mencopet di angkutan umum, masih kecil-kecilan. Naik lagi
sedikit, mulai berani mencuri di ruko-ruko terminal. Barang apa-saja,
sepanjang bisa dijual dan menyumpal perutnya yang kosong...,
Satu-dua kali kalau sedang beruntung hasil curiannya lumayan banyak.
Maka dengan semangat, uang itu bergerus dibawa ke ruko pedagang
Cina. Menyeringai penuh-asa. Harapan-harapan menggantung di langitlangit. Kosong. Sia-sia. Semakin sering dia datang, maka semakin 'kaya'
bandar judi itu. Satu bulan berlalu. Rehan sempurna menghilang dari panti. Selalu
menghindar bertemu dengan anak-anak, terutama Diar yang kebetulan
kerja di terminal tersebut. Tapi semakin lama urusannya semakin sulit.
Mencopet tidak mudah. Apalagi mencongkel teralis ruko. Anak-anak
penjaja koran juga mulai kompak. Melawan. Hari itu Rehan akhirnya
mampir ke toilet terminal. Perutnya lapar. Di kotak toilet itu biasanya
ada belasan ribu uang. Ke sanalah Rehan pergi. Mengambil paksa uang
dalam kotak toilet yang di jaga Diar. Kemudian mencuri celana milik
sopir bus anta-kota siang itu.
Meski gelandangan, terminal sebenarnya dengan segera menjadi tempat
yang menyenangkan bagi Rehan. Setidaknya, tidak ada lagi yang sibuksibuk mengatur. Tidak ada yang sibuk memarahinya. Memaki. Menghina.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tidak ada pecutan bilah rotan. Dia bisa melakukan apa saja yang ingin
dilakukannya. Tapi semakin ke sini, malam-malamnya mulai diisi lagi oleh pertanyaan
yang dulu sempat hilang. Semakin ke sini, Rehan yang cerdas dan banyak
bertanya mulai berpikir tentang jalan hidupnya. Dan dengan cepat,
pertanyaan yang terakhir kali muncul saat malam bertuah itu, kembali
datang, malah lebih menyesakkan.
Apalagi saat melihat potongan kehidupan orang lain. Menyimak anakanak berseragam berangkat sekolah. Menyimak restoran fast-food yang
penuh dengan anak-anak muda seumurannya. Pusat-pusat perbelanjaan
yang penuh dengan wajah-wajah bersih dan tersenyum. Menyimak
kehidupan anak-anak di panti lainnya. Lihatlah, di panti sudut kota itu
tidak ada penghuninya yang harus bekerja. Di panti ujung jalan itu
semua anaknya disekolahkan. Di panti sana....
Rehan kembali mengutuk malam dengan pertanyaan sederhana itu.
Pertanyaan yang semakin sering mengganggunya justru setelah dia
memutuskan meninggalkan panti tersebut. Kenapa enam belas tahun
masa kecilnya harus dihabiskan di panti menyebalkan tersebut. Kenapa
dia harus diantarkan ke tempat itu. Bukankah ada puluhan panti di kota
ini... Kenapa harus di panti itu" Kenapa"
Menatap rembulan. Bintang-gemintang memenuhi angkasa. Duduk dengan
perut lapar di selasar pojok terminal yang sekarang di beri plang kawat
dengan tulisan, "Di larang tidur di sini!"
Bertanya. Rehan bertanya tentang enam belas tahun nya"
*** "Ray, tidak ada kehidupan di dunia yang sia-sia...." Orang dengan wajah
menyenangkan itu menyentuh lembut bahu pasien yang berdiri di
sebelahnya. Yang disentuh masih menatap tidak mengerti. Dia masih bingung kenapa
orang berwajah menyenangkan ini tahu soal pertanyaan itu beberapa
menit lalu. Masih menatap lamat-lamat. Dan sekarang sebelum semuanya
jelas, orang ini bersiap entah hendak menjelaskan apa lagi-
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Kenapa kau harus tinggal di panti itu" Apakah kau memang tidak pernah
memiliki kesempatan untuk memilih saat kecil" Apakah orang-orang
memang tidak pernah memiliki kesemp
atan untuk memilih saat akan
dilahirkan?"Tersenyum.
Pasien itu menelan ludah. Diam.
"Itu pertanyaan pertamamu. Dan kau berhak atas jawabannya. Baiklah!
Bayangkan.... Bayangkan sebutir gandum tergeletak sendirian di lantai,
di gudang penyimpanan.... Sebutir gandum itu jatuh saat karung-karung
ditumpuk.... Butir gandum itu terkena sepakan kuli-kuli angkut yang


Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beranjak pulang di sore hari, terlempar kesana kemari, hingga akhirnya
terjepit tersembunyi di sela-sela tegel- Seseorang yang menyapu lantai
gudang, menjelang malam meletakkan ember kering di atasnya.
Sempurna menutup butir gandum itu dari apapun.... Atap gudang
penyimpanan itu kokoh dan rapi, tak pernah tempias meski setetes air
sepuluh tahun terakhir....
"Bayangkan, malam itu hujan turun deras.... Ray,kering atau basah nasib
sebutir gandum itu sudah ditentukan.... Tak peduli seberapa haik atap
gudang menahan hujan. Tak peduli seberapa kokoh ember plastik
melindunginya. Tak peduli seberapa dalam rekahan tegel menutupinya. ...
Kalau malam itu ditentukan basah, maka basahlah dia. Kalau ditentukan
kering, maka keringlah dia ...
Begitulah kehidupan! Robek-tidaknya sehelai daun di hutan paling
tersembunyi, paling dalam semua sudah ditentukan. Menguap atau
menetesnya sebulir embun yang menggelayut di bunga anggrek di dahan
paling tinggi, hutan paling jauh semua sudah ditentukan...."
Pasien berumur enam puluh tahun menatap orang di sebelahnya dengan
tatapan mangkel. Penjelasan ini. Apa maksudnya" Seumur hidupnya
sudah ratusan kali dia mendengar orang-orang mencerca hal sama. Sokalim mena-sehati. Penjaga panti itu juga sama. Dia ingat sekali, seuap
malam penjaga panti sibuk memberi nasehat. Kehidupan ini tidak sia-sia.
Omong-kosong, menyuruh orang tidak mencuri, bukankah penjaga panti
itu yang paling banyak mencuri"
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Orang dengan wajah menyenangkan itu mengabaikan ekspresi muka
tidak nyaman pasien yang berdiri di sebelahnya. Tetap tersenyum
hangat. Mukanya arif mengangguk. Melanjutkan penjelasan dengan
riang, "Kalau urusan sekecil itu sudah ditentukan, bagaimana mungkin urusan
manusia yang lebih besar luput dari ketentuan, Ray.... Bagi binatang,
tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati kehidupan adalah sebabakibat. Mereka hanya menjalani hukum alam yang sudah ditentukan....
Setandan buah pisang masak-menguning setelah sekian hari, setangkai
bunga Putri jatuh-layu setelah sekian hari, seekor buaya ditentukan
jenis kelaminnya berdasarkan hangat-dinginnya suhu induk mengeramiTidak ada yang melanggar aturan main itu. Tidak ada buah pisang yang
masak lebih cepat. Bunga melati yang layu lebih lama. Atau anak buaya
yang menjadi pejantan padahal suhu udara induk mengeraminya
memastikannya menjadi betina. Hukum alam. Sebab-akibat.
"Bagi manusia, hidup ini juga sebab-akibat, Ray. Bedanya, bagi manusia
sebab-akibat itu membentuk peta dengan likuran raksasa. Kehidupanmu
menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang
lain mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi,
kemudian entah pada siklus yang keberapa, kembali lagi ke garis
kehidupanmu.... Saling mempengaruhi, saling berinteraksi.... Sungguh
kalau kulukiskan peta itu maka ia bagai bola raksasa dengan benang
jutaan warna yang saling melilit, saling menjalin, lingkar-melingkar.
Indah. Sungguh indah. Sama sekali tidak rumit." Orang dengan wajah
menyenangkan itu menyentuh udara, seolah-olah menyentuh bola
raksasa yang sedang diceritakannya.
Pasien berumur enam-puluh tahun itu, masih dengan wajah marah
bercampur tidak mengerti, ikut-ikutan melihat ke depan. Ke arah tangan
orang yang tidak dikenalnya terjulur. Menyeringai. Tidak ada apapun di
hadapannya. "Mengapa kau harus menjalani masa kanak-kanak yang seharusnya indah
justru di Panti menyebalkan tersebut" Mengapa" Karena kau menjadi
sebab bagi garis kehidupan Diar. Kau menjadi sebab anak ringkih, lemah,
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
dan polos itu menjemput takdir hidup yang bagai seribu saputan pelangi
di langit saat kematiannya tiba. Kau menjadi sebab seribu malaikat
takjim mengucap salam ketika menjemput Diar di penghujung umurnya
yang sayangnya masih amat muda."
Pasien itu menoleh tertahan, segera menyeringai. Bagaimana orang ini
tahu soal Diar" Menyebut nama Diar,
dengan intonasi yang begitu dalam, begitu menghargai.... Eh" Apa orang
ini bilang barusan" Kematian" Menjemput Diar di penghujung umurnya
yang masih amat muda" Diar sudah meninggal"
Pasien itu tiba-tiba mendesah resah. Kenangan itu kembali bagai anakpanah yang dilesatkan dari busur, melesat kencang menghujam memori
otaknya. Dan pasien itu entah kenapa tiba-tiba menggigil oleh sesuatu
yang segera mengungkungnya. Menggigil.
"D-i-n-g-i-n...."
"Apa yang kau rasakan?" Terburu-buru.
"D-i-n-g-i-n...." Berbisik lirih. Menggigil.
"Tenang, kami akan menyelamatkanmu. Bertahanlah!" Bergegas orangorang berseragam putih mendorong ranjang.
Diar terbaring dengan muka bersimbah darah. Bukan hanya muka, tapi
sekujur tubuh. Tubuh itu remuk tak-bersisa. Muka Iebam, tangan patah,
kaki patah. Juga bengkak oleh bekas gebukan, injakan dan entalah. Sisa
rusuh sepanjang siang tadi di toilet terminal.
Sopir bus antar-kota yang menyadari celananya hilang, marah bukan
kepalang. Hanya sekejap dia malu soal tubuhnya yang telanjang bulat
tertutup busa sabun seadanya. Setelah kembali lagi ke kamar mandi dan
keluar dengan belitan handuk, dia kesetanan berlari mengejar.
Tangannya sempat menyambar kotak uang. Kotak itu bisa digunakan
untuk menghajar seseorang. Seseorang yang harus bertanggung-jawab.
Sebenarnya amat lucu menyaksikan sopir berbadan gendut itu berlari
terbungkus handuk menerobos keramaian terminal, berusaha mengejar
pencuri celananya di siang bolong. Tetapi cerita segera berubah menjadi
sama-sekali tidak lucu bagi Diar. Tubuh Diar yang ringkih tersengal,
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
berhenti di ujung terminal. Lari Rehan terlalu cepat baginya.
Menghilang. Dia tidak akan bisa mengejarnya. Diar menyeka dahi yang
berkeringat, lemah membalik badannya, hendak kembali ke meja jaga
toilet. "KAU!! KAU KEMANAKAN CELANAKU!" Sopir bus berlari tergopoh
menopang perutnya, mendekat, tanpa tedeng aling-aling langsung
membentak. Orang-orang ramai menoleh. Tidak mengerti situasi sebenarnya. Hanya
orang-orang yang kebetulan duduk di depan toilet itu saja yang tahu
persis detail kejadian. Sayangnya, di ujung terminal ini tidak ada yang
mengerti apa yang sedang terjadi. Siapa" Pencuri" Copet" Dengan
cepat, bagai kerumunan lebah, dengung bisik-bisik mengambang di
langit-langit. Disusul dengus marah yang melesat bak semak belukar
kering terbakar api. Bukankah orang-orang selalu marah saat
membicarakan pencuri"
Diar menatap sopir bus bingung. Mulutnya bergetar terbuka hendak
menjelaskan, tapi menatap kemarahan yang terpancar dari wajah sopir
itu, suara Diar mendecit hilang di kerongkongan. Terbata-bata.
Tersengal. "I... I... Itu!" tangan Diar menunjuk celah tembok terminal. Maksudnya
Rehan berlari ke sana, yang mencuri celana itu bukan dia. Dia justru
hendak membantu mengejar Rehan. Membujuk Rehan agar
mengembalikan celana itu.
Seribu kali sayang, sopir bus justru sedang menuduhnya.
"DI MANA CELANAKU, BANGSAT!!" Sopir bus garang membentak,
tangannya yang memegang kotak uang toilet terangkat tinggi-tinggi.
Mengancam. Lima kali lebih menakutkan dibandingkan wajah penjaga
panti dengan bilah rotan.
Diar mencicit. Tubuhnya gemetar mengencang. Habis sudah semua
penjelasan baiknya. Tubuh ringkihnya meng-kerut ketakutan. Tersengal
hendak menjelaskan kejadian yang sebenarnya, tapi bagaimanakah"
Tubuh lemah itu malah menciut. Orang-orang berkerumun makin banyak.
Satu-dua mulai memasang wajah beringas. Satu-dua mulai meludah! "Ini
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
dia nih yang mencopet dompet gue kemarin! " " Dasar copet! Cuih!
Gebukin! Gebukin saja langsung, deh!' "Apanya
yang di copet?" 'Ya, dompet, Bego!" "Loh" Bukankah orangyang
dicopetnya hanya memakai handuk"Nggak mungkin dia mencopet
sekalian dengan celananya, kan?"
Tidak ada yang sempat berpikir waras dalam situasi seperti itu. Apalagi
untuk menertawakan percakapan yang tidak lazim. Tidak ada yang
sempat bertanya baik-baik. Apalagi bersusah-payah meminta penjelasan
baik-baik. Hanya sekejap. Kotak uang itu sudah melesat.
Menghantam kepala Diar. *** "Kenapa kau jerih melihatnya, Ray?"
Pasien berumur enam puluh tahun itu reflek menutup muka. Menggigil
semakin dingin. Entah dari mana semua perasaan dingin ini datangnya.
Benar-benar dingin. Membuat tengkuknya seperti membeku. Namun
bukan soal dingin ini yang mendadak membuatnya jerih dan reflek
menutup mukanya, melainkan pemandangan di hadapannya.
Tubuh ringkih Diar langsung terbanting ke tanah. Menghantam panasnya
aspal terminal. Orang-orang beringas sepersepuluh detik kemudian
tanpa perlu dikomando menyusul merangsek. Kaki-kaki bagai roda kereta
men-jejak batangan rel baja, menghantam tubuh Diar. Berebut
memukul. Menendang. Mengenaskan. Diar hanya bisa meringkuk,
berusaha melindungi diri dengan sisa-sisa kesadaran dan kekuatan yang
dimilikinya. Tubuhnya bergetar. Pasien berumur enam puluh tahun itu
mendesis tertahan. Dia tidak tahu. Sungguh! Sama sekali tidak.
"Kenapa kau jerih melihatnya?" Orang dengan wajah menyenangkan itu
bertanya lagi. Menyentuh lembut bahunya untuk kesekian kali.
Pasien berumur enam puluh tahun itu jatuh terduduk bagai sehelai kapas
ke aspal terminal. "Hentikan! Aku mohon hentikan...." Mendesis lemah.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tangannya terjulur hendak menyibak kerumunan yang bagai gerombolan
serigala lapar membusai seekor kambing. Dia hendak melompat
melindungi tubuh lemah Diar.
Memeluknya. Mendekapnya. Tak bisa. Semua itu tidak bisa dilakukannya. Tangannya hanya
menyentuh udara. Kosong. Pemandangan di depannya sempurna seperti
bayangan yang tidak bisa disentuh. Dia sungguh tidak tahu begini
jadinya. Dia tidak tahu orang-orang justru menyangka Diar yang
melakukannya. "Sayangnya kau memang tidak tahu potongan kejadian itu, Ray! Kau sama
sekali tidak tahu...."
"Bakar! Bakar!' Seseorang berteriak memberikan ide.
Ide yang langsung disambar oleh yang lain. Ide yang cepat sekali
dieksekusi. Entah dari mana datangnya plastik berisi minyak tanah itu.
Entah dari mana datangnya suluh kain yang menyala-nyala.
Pasien berumur enam puluh tahun memejamkan mata. Benar-benar
gentar. Tidak bisa meneruskan memandang kejadian itu.
"Kau harus melihatnya, Ray!" Orang berwajah menyenangkan di sebelah
mencengkeram pundaknya. MemaksaTubuh Diar disiram minyak. Suluh kain mendekat.
Bagaimana mungkin dia bisa melihatnya"
Beruntung! Sedetik sebelum semuanya benar-benar terlambat, dua
polisi yang berjaga di gerbang terminal merangsek. Melambai-lambaikan
pentungan ke arah kerumunan. Salah-seorang dari polisi berhasil
meringkus suluh kain. Berhasil memeluk Diar dari sisa-sisa gerakan "
kaki dan tangan yang jahil terjulur. Melindunginya.
Apa ada bedanya sekarang" Lihatlah, tubuh ringkih Diar tergolek
bersimbahkan darah. Lebih buruk dari bangkai kijang yang habis
dibantai serombongan harimau lapar.
"Kau memang tidak tahu kejadian ini, Ray! Karena kau sudah terlanjur
senang dengan uang di celana itu, bukan" Banyak sekali. Bagaimana
tidak, itu setoran perjalanan sopir bus selama seminggu. Lantas apa
yang kau pikirkan sepanjang sore" Kau malah memikirkan janji-janji
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
semu dadu dalam tabung...." Orang dengan wajah menyenangkan itu
menghela nafas. Sementara pasien berumur enam puluh tahun masih tertunduk,
mengeluh dalam. Tubuhnya masih terduduk di aspal terminal. Tubuh Diar
sudah dilarikan ke salah-satu angkutan umum berwarna biru. Melesat
entah menuju kemana. "Malam itu kau pergi ke ruko Cina itu. Lagi. Mempertaruhkan semua
uang dari saku celana dalam satu putaran.... Ah, percaya atau tidak, soal
keberuntungan di meja judi, kau memang bertuah Ray.... Malam itu kau
tidak memainkan lempar dadu seperti biasanya. Kau entah apa alasannya,
justru memilih bermain putaran roda. Permainan yang tidak pernah kau
pilih selama ini Meletakkan seluruh uang di salah satu nomor. Satu
banding seratus delapan puluh. Dan kau beruntung....
"Bukankah saat itu, orang-orang di ruko berseru terpesona, ramai
berbisik, 'Lihatlah! Amatiran ini sudah kembali!' 'King of Gambler
kembali!'Kau menggandakan uang itu lima puluh kali lipatnya. Kau mabuk
oleh keberuntungan yang datang kembali.... Tujuh belas putaran, dan kau
menguras seluruh uang di ruko Cina itu.... Benar-benar menguras habis....
Bukan main.... "Sayang, kau tidak menyadari petuah lama: keberuntungan yang
berlebihan selalu mengundang dengki.
Tidak. Bukan dari pengunjung ruko yang menonton antusias dan
bersorak senang saat kau berhasil membuat bangkrut tauke. Tapi
dengki dari pemilik ruko.
"Ray, tahukah kau, keberuntungan hebat milikmu tidak pernah hilang.
Sebenarnya saat bermain dadu kau tetap bertuah. Sama beruntungnya
seperti malam-malam sebelumnya. Itu takdir langit yang tidak pernah
kau sadari. Hanya saja bandar judi curang. Sejak kau selalu menang,
mereka meletakkan magnet di dalam tiga dadu. Kemudian dengan mudah
menggerakkan butir dadu di dalam tabung sesuai keinginan.... Malam itu
mereka tidak menduga kau akan bermain putaran roda. Mereka tidak
sempat menyiapkan trik licik untuk melawan tuah milikmu, dan kau
benar-benar menghabisi mereka.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Malam itu, kehabisan akal, tauke ruko membisikkan perintah ke penjaga
pintu depan. Kau mabuk oleh kemenangan, maka kau tidak hati-hati. Kau
mau saja disuguhi minuman keras. Berjudi sambil tertawa-tawa. Lantas
pulang dengan uang sekantong plastik sambil mabuk. Kau gaya sekali
menghamburkan uang di dalam ruko. Tidak peduli dengki mengundang
bala.... Dan itulah yang terjadi, bukan" Tiba di jalanan sepi, tiga orang
menyergapmu." Orang berwajah menyenangkan itu menghentikan kalimatnya. Menghela
nafas. Menatap ke depan dengan cahaya muka redup.
Pasien yang masih terduduk di aspal terminal mengangguk lemah. Ya,
malam itu, saat bulan sabit bersinar amat elok, di lorong gang pertokoan
yang tertutup dari cahaya apapun, tiga orang tidak dikenalinya datang
menyergap. Buas. Mengibaskan tiga pisau tajam-berkilat. Dia melawan
sekuat tenaga. Tubuhnya kekar dan berisi. Tapi apa daya
kekuatan fisik itu" Dia sedang mabuk. Mabuk kemenangan, mabuk
minuman keras. Pisau belati itu beringas menusuk perut, paha, dan
seluruh tubuhnya. Tubuhnya terjerambab bermandikan darah di atas
tong sampah. "Jadi bagaimana mungkin kau tahu urusan Diar. Dalam banyak hal kau
sama saja dengan Diar, mungkin lebih buruk. Urusan ini benar-benar
menyedihkan. Beruntung, peronda malam menemukan tubuhmu, takuttakut menghubungi kantor polisi. Shubuh itu juga kau dibawa ke rumah
sakit." Senyap sejenak. Pasien berumur enam puluh tahun itu tetap tertunduk.


Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia tahu soal dirinya yang dibawa ke rumah sakit. Yang dia tidak tahu
soal Diar. Pasien itu mengangkat wajahnya, menyentuh lengan orang
berwajah menyenangkan yang berdiri di sebelahnya, bertanya tanpa
suara: apakah Diar meninggal saat itu"
Apakah Diar mati karena dia" Gara-gara sehelai celana
itu" "Apakah dia akan baik-baik saja?" Penjaga Panti bertanya lirih.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Kita hanya bisa berdoa." Dokter yang sedang memeriksa Diar
menggeleng pelan. Menghela nafas.
Benar-benar kunjungan ke rumah sakit yang menyesakkan. Dua anak
Pantinya sekaligus terkapar di ranjang. Satu dengan sekujur badan
remuk-bengkak oleh bekas tonjokan. Satu lagi dengan sekujur tubuh
luka-menganga oleh bekas tusukan.
Sudah lama sekali hatinya tidak tersentuh melihat anak-anak ini. Bahkan
mungkin dia sama sekali belum pernah
tersentuh melihat kepolosan anak-anak di Panti-nya. Hari ini,
menyaksikan sekaligus dua dari mereka tergolek lemah, hati yang hitam
itu pelan mulai mengelupas. Membuka. Masih kecil memang, tapi cukup
untuk bersiap menerima penjelasan atas siklus lima pertanyaan baginya.
Sudah tiga hari tiga malam kedua anak ini tidak sadarkan diri. Dan
selama itu pula, pelan-pelan hatinya mulai menyiapkan banyak hal.
Perlahan.... Penjaga Panti itu menunggui Diar dan Rehan dari pagi hingga malam, dan
dari malam hingga pagi lagi. Dia tidak mengerti mengapa dia melakukan
itu. Memandang wajah-wajah mereka. Entah bagaimana datangnya,
perasaan itu memenuhi hati kecilnya. Muncul begitu saja. Sungguh
kontras melihat dua anak ini. Yang satu memiliki gurat muka tegas dan
yakin, yang satu mempunyai gurat muka lembut dan polos. Setahun
terakhir mereka berdua sekamar. Yang satu selalu melawannya, tidak
takut dengan ancaman pecut bilah rotan. Yang satu menurut apa-adanya.
Selalu rajin menyetor uang tiga ribu, tidak banyak protes soal jatah
makanan, diam tidak banyak mengeluh.
Sebulan lalu saat yang satu kabur setelah berani sekali mencuri brankas
penting itu, yang satunya justru sibuk bertanya di mana dia sekarang"
Membujuknya agar mencari, seolah-olah penting sekali kehadiran yang
satu bagi yang lain. Dan keduanya sekarang tergolek lemah
berseberangan dengan bekas luka menyedihkan di sekujur tubuh.
Brankas itu" Penjaga Panti menghela nafas. Besok-besok saat penjahat
kecil ini siuman dia bisa menanyainya.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Malam beranjak datang. Sabit menghias angkasa. Awan kelabu seperti
sabut kelapa berserakan memenuhi langit. Membuat suasana terlihat
senyap. Tidak mendung, tapi menimbulkan perasaan sendu.
"Ray, bukankah sudah kukatakan sebelumnya" Setiap orang selalu
mendapatkan kesempatan itu, kesempatan untuk kembali.... Nah, malam
itu penjaga Panti mendapatkan kesempatan menerima penjelasan atas
pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Masing-masing orang memiliki lima
pertanyaan masing-masing. Begitu juga dengan penjaga Panti.... Tidak,"
Orang berwajah menyenangkan itu menggeleng, tersenyum, seperti bisa
membaca pertanyaan dari wajah pasien yang sudah berdiri kembali dari
duduknya. "Dia tidak mendapatkan kesempatan sehebat kau, Ray. Aku tidak datang
menemuinya seperti sekarang aku menemuimu. Penjelasan itu datang
dari Diar. Kau menjadi sebab bagi Diar.... Dan Diar menjadi sebab bagi
penjaga Panti. Sebab kenapa kau harus menghabiskan enam belas tahun
di Panti menyedihkan tersebut."
Pasien itu mengusap dahinya yang terlipat. Sebab-akibat" Lagi-lagi soal
itu. "Ya, itulah penjelasan kenapa kau ada di Panti itu. Karena kau menjadi
sebab bagi garis hidup dan kehidupan Diar. Anak kecil ringkih yang
menjemput maut dengan baik. Malam itu, ribuan malaikat mengungkung
langit kota, tidak pernah seperti itu selama ratusan tahun terakhir, Ray.
Anak kecil polos yang menjadi sebab bagi penjaga Panti untuk memahami
lima pertanyaan-pertanyaannya. Untuk kembali....
"Kau tahu" Bukan hanya kau yang membenci penjaga Panti itu. Orangorang yang dekat dan mengenalnya juga membencinya. Mereka
mengenalnya sebagai orang yang sepanjang hidup hanya dipenuhi oleh
satu ambisi: berangkat naik haji. Kau benar saat bilang penjaga Panti itu sok-suci, sokalim.
Penjaga Panti itu adalah bentuk nyata dari kemunafikan kasat mata. Dia
memasang wajah seolah-olah mencintai anak-anak ke dermawan, tapi
sesungguhnya dia membenci anak-anak yang harus diasuhnya, dia justru
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
merasa terjebak oleh pekerjaan itu. Kau benar sekali menuduhnya
mengambil semua sumbangan yang diberikan. Dikorup. Ah, terkadang
orang-orang yang terlanjur memiliki ambisi memang bisa berbuat
sejahat itu.... "Keluarganya mendidik dan mengajarinya sejak kecil bahwa orang-orang
terhormat adalah orang yang memiliki sebutan haji di depan nama. Maka
itulah mimpinya, pulang memakai kopiah haji berwarna putih. Penjaga
Panti itu lupa, tidak ada niat baik yang boleh dicapai dengan cara buruk,
dan sebaliknya tidak ada niat buruk yang berubah baik meski dilakukan
dengan cara-cara baik. "Ada banyak yang lelah menasehati, capai memperingatkan. Termasuk
istrinya. Tentu kau amat menyukai istri penjaga Panti itu, bukan"
Sayangnya, hingga ia mati pun, ia gagal membujuk suaminya untuk
melupakan soal naik haji tersebut.... Penjaga Panti tetap tidak berubah.
Bagai batu. Atau lebih tepatnya membatukan dirinya. Jadi kalau istrinya
yang amat baik itu gagal, bagaimana mungkin orang lain akan berhasil
membujuknya untuk kembali"
"Tetapi Diar melakukannya dengan baik, Ray. Diar menjawab lima
pertanyaan yang terpendam di hati hitam-kelam penjaga Panti itu
sekaligus. Diar mencungkil gembok besar hatinya. Diar me jadi sebab
baginya, dan kau, kau menjadi sebab bagi Diar.... Malam itu, semuanya
terjadi. Kau tidak mengerti bagaimana caranya" Baiklah. Mari kita
lihat...." Orang dengan wajah menyenangkan itu tersenyum hangat,
menatap wajah pasien yang semakin tidak mengerti.
Dia pelan melambaikan tangan ke udara.
Sekejap. Pasien itu tiba-tiba merasa bagai ada yang menariknya
memasuki lorong-lorong penuh cahaya. Mata pasien itu berkerjapkerjap. Silau. Tubuhnya melesat entah ke mana, terlempar begitu saja.
Tersedot dalam-dalam. Cahaya-cahaya terang. Beberapa detik, dia tidak
tahu persis berapa lama, pelan semua terasa nyaman kembali. Saat
matanya membuka, mereka tidak lagi berada di terminal antar-kota,
mereka sudah berada di ruangan itu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Malam itu, puluhan tahun silam.
Ruangan di mana Diar terbaring tak berdaya. Ruangan di mana dia juga
terbaring tak berdaya di ranjang seberangnya. Ruangan di mana penjaga
Panti masih takjim menatap langit-langit kamar.
Ruangan penjelasan sebab-akibat.
Perlahan tubuh Diar bergerak. Jari "manis"-nya bergetar. Matanya
berkedut-kedut. Bibirnya hendak men-desahkan sesuatu.
Penjaga Panti menoleh. Mendekat.
Diar hendak menjulurkan tangan. Sakit. Tangan itu terbungkus perban.
Diar hendak menggerakkan kaki. Bagaimanalah, kaki itu terbungkus gips.
Menggerakkan kepalanya. Sakit. Tapi kepalanya perlahan bisa
digerakkan. Diar menoleh ke samping.
"Kau baik-baik saja?" Penjaga Panti bertanya dengan suara tercekat.
Bukan karena memandang kesadaran yang mendadak datang dari tubuh
Diar, lebih karena menyadari bentuk pertanyaan yang barusan keluar
dari mulutnya. Bukankah dia selama ini tidak pernah bertanya kabar
orang laini "D-i-n-g-i-n," Diar mendesis lemah. Suaranya antara terdengar dan
tidak. Kepalanya terus berputar. Menyapu seluruh ruangan.
Memaksakan diri. Menatap seberang ranjang.
"R-e-h-a-n?" Diar mendesah tertahan. Apakah itu Rehan" Mata Diar
yang berputar-putar terhenti. Terhujam ke tubuh Rehan yang terbaring
di seberangnya. Penjaga Panti mengangguk.
"Apakah dia baik-baik saja?" Tersengal Diar bertanya.
Penjaga Panti terdiam seribu bahasa. Apa maksudnya" Bukankah anak ini
jauh lebih lebam dibandingkan penjahat kecil yang terbaring di
seberangnya. Bukankah anak ini jauh lebih kesakitan dibandingkan
Rehan" Bagaimana mungkin dia malah bertanya pertanyaan tersebut"
Mempedulikan orang lain"
"Apa dia baik-baik saja?" Suara Diar terdengar bergetar.
Penjaga Panti mengangguk, patah-patah. Dia tidak tahu apakah Rehan
baik-baik saja, tapi kepalanya reflek mengangguk. Semua ini mendadak
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
mengganggu perasaa-nya. Hatinya yang terkelupas mulai terbolak-balik.
Membuatnya tidak nyaman. Hal-hal baru ini membuat tabiatnya
berubah, dan dia merasa aneh, tidak mengenalinya. Dia berusaha
tersenyum, meski lebih terlihat menyeringai. Mendesah resah mencoba
bertahan atas tabiat baru yang menyerangnya. Berpikir: dengan
mengangguk dan tersenyum setidaknya anak kecil yang ada di
hadapannya akan diam bertanya.
Malas sekali harus menjelaskan.
"Tolong... tolong selamatkan dia..." Gemetar tangan Diar menunjuk Rehan
yang terbaring. Penjaga Panti yang mencoba bersikukuh atas tabiat lamanya,
menyeringai bingung. Bagaimana mungkin anak ringkih ini begitu peduli
dengannya" Tolong selamatkan dia" Apa" Penjaga Panti mengangguk lagi,
lebih lemah. Semoga ini anggukan terakhir, dan dia tidak perlu
menjelaskan banyak hal lagi. Dia harus melawan sekuat tenaga
perasaannya yang tiba-tiba tersentuh, semua terasa ganjil.
Tetapi entah mengapa, mendadak Diar justru terisak. Isakan yang
memilukan. Muka lebamnya merekahkan air mata. Membasahi perban.
Penjaga Panti terkesiap. Menyaksikan tubuh lebam itu saja sudah
menusuk, apalagi ditambah dengan sedu-sedamiya. Kesedihan terpancar
bagai mata air yang menguar. Amat deras.... Membasahi dinding-dinding
hati yang bebal. "Apa kau baik-baik saja?" Penjaga Panti sebenarnya hendak bertanya
mengapa kau menangis" Tetapi bukankah selama ini anak-anak selalu
menangis karenanya" Diar tersengal oleh tangisnya.
"Aku.... Akulah yang dulu merusak tasbih itu..."
"Tasbih apa?" Penjaga Panti melipat keningnya.
"Tasbih Arab milik Bapak!"
"Tasbih?" penjaga Panti semakin bingung.
"Sore itu, saat Bapak menyuruhku membersihkan ruang kerja... sore itu
tidak sengaja... tidak sengaja aku menemukan tasbih itu di meja. Aku
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ingin sekali menyentuhnya. Tasbih itu indah, indah sekali. Terkena sinar
matahari, memantul berkemilauan.... Aku tidak bisa mengendalikan
keinginan, meski Bapak berkali-kali memperingatkan jangan sentuh
benda apapun...." Diar tersengal berusaha mengatur nafasnya.
"Aku tidak bisa, Bapak... tanpa kusadari, tasbih itu sudah berada dalam
genggaman tanganku... saat memegang tasbih itu, saat merasakan
betapa indahnya tasbih itu, seekor cicak jatuh menimpa kepalaku.
Mungkin itu hukuman bagiku karena membantah... tidak mendengarkan
pesan Bapak agar tidak menyentuh benda apapun. Aku terkejut.
Menghindar, tapi kakiku mengenai ember air sabun.... Aku terjerembab.
Tasbih itu tersangkut di gagang kain pel. Putus... berhamburan...." Diar
memaksa meneruskan cerita, tidak peduli nafasnya semakin tidak
beraturan. Tidak peduli sakit yang melilit dadanya.
Penjaga Panti mendesah, dengan cepat memori ingatannya kembali.
Tasbih itu, tasbih Arab hadiah dari kakeknya. Hadiah masa kanakkanaknya. Tasbih yang diberikan dengan pesan: "Kau kembalikan setelah
kau bisa mendapatkan penggantinya langsung dari Mekkah!" Bukankah
dia teramat marah saat mengetahui butir-butir tasbih itu berserakan di
ruang depannya. Mengamuk bagai induk serigala kehilangan anak.
"Malam itu...." Diar terbatuk, berjuang melanjutkan pengakuan, "Saat
Bapak memegang pecut rotan. Saat Bapak membentakku. Saat Bapak
ingin memukulku. Rehan maju ke depan. Rehan maju.... Dia bilang.... Dia
bilang, dialah yang merusak tasbih itu. Dia... dia mengakui sesuatu yang
tidak pernah dilakukannya...."
Diar terisak, isakan yang panjang. Hidungnya tersumbat, suaranya
terdengar sumbang. Dadanya sakit sekali, tapi ada yang lebih menusuk
di hatinya. Mengenang kejadian itu, mengenang betapa baik dan berani
Rehan melindunginya. "Malam itu aku hanya gemetar tidak mengerti apa yang hendak
dilakukan Rehan. Aku hanya bisa ketakutan melihat dia dipecut lima
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
kali.... Dan.... Dan kemudian menyaksikan dia harus berdiri selama dua
jam di halaman panti.... Malam itu.... Malam itu hujan turun lebat.... Dia
terus berdiri di halaman panti.... Bapak memaksanya untuk terus
berdiri.... Dua jam kemudian, saat dia boleh masuk, tubuhnya sudah
menggigil.... Ujung jemarinya membiru... Bibirnya membiru.... Dan luka
bekas pecutan rotan itu juga membiru...." Diar tidak bisa menahan sedusedannya lagi. Menangis terisak. Kalimatnya terputusPenjaga panti bergetar. Hati itu benar-benar menganga sekarang. Jebol
sudah semua pertahanannya. Dia tidak tahu soal itu. Sama sekali tidak.
Baginya malam itu semua urusan sederhana. Seseorang harus ada yang
menerima kemarahan soal tasbih tak ternilai tersebut. Dan karena
Rehan-lah yang selalu mencari ulah, maka dia tidak berpikir kalau
penjahat kecil itu melindungi tubuh ringkih Diar. Mengambil alih
hukuman yang seharusnya diterima Diar. Baginya, urusan itu amat
sederhana. Seseorang harus dihukum.
Bagi Rehan waktu itu urusan tasbih itu juga amat sederhana. Malam itu
kebenciannya kepada penjaga panti sedang memuncak. Saat penjaga
panti membentak dia dan dua belas anak lain soal tasbih itu.
Mengungkit-ungkit soal anak bajingan, dan seterusnya. Saat penjaga
panti mulai menginterogasi Diar yang sore itu memang bertugas
membersihkan ruang kerjanya. Saat itulah Rehan yang kadar bencinya
meninggi dengan berani berteriak kalau dia-lah yang merusak tasbih itu.
Peduli amat dengan tasbih yang selalu dibangga-banggakan penjaga panti
sok-suci tersebut Peduli amat dengan hukumannya. Syukurin. Tasbih itu
rusak. Toh, sudah lama dia juga berniat mencurinya. Benci sekali dia
melihat penjaga panti selalu membawa ke mana-mana tasbih tersebut,
seolah-olah dengan demikian terlihat selalu ingat Tuhan.
Pedang Dan Kitab Suci 12 The Devil's Dna Karya Peter Blauner Ksatria Negeri Salju 2
^