Pencarian

Sang Penandai 2

Sang Penandai Karya Tere Liye Bagian 2


tiupan terompet dalam satu larikan itu adalah Perompak Yang Zhuyi.
Jim mengernyitkan dahi. Tetap tidak mengerti. Dia lari ke atas.
Mencoba melihat situasi. Geladak Pedang Langit sudah penuh oleh
ratusan prajurit yang siap di posisinya. Pedang terhunus, busur
mengembang. Meriam terarah sempurna ke depan. Jim melihat Pate
yang bersembunyi di balik sebuah tong besar, mengintip. Jim berlari
mendekat. Laksamana Ramirez berdiri dengan gagahnya di bagian kapal paling
tinggi. Belum pernah Jim melihat pemandangan semengesankan itu.
Laksamana Ramirez terlihat memesona. Pedang panjang terselempang di
pinggang, ekspresi muka dingin, mata tajam memandang ke depan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Jim ikut melihat ke depan. Ke arah tatapan Laksamana.
Demi melihatnya bergetarlah jantung Jim. Seketika.
Laut di depan mereka sempurna dipenuhi oleh kapal-kapal perang tak
dikenali. Puluhan jumlahnya, bukan, tapi ratusan, bukan, mungkin ribuan.
Menyemut menghadang 40 kapal Armada Kota Terapung.
"Merunduk, Jim!" Pate menarik tangannya.
Jim buru-buru membungkuk di sebelah Pate. Mukanya pucat pasi.
Tangannya gemetar. Dia tidak tahu apa maksud ratusan kapal di depan,
tapi melihatnya sungguh menggentarkan hati. Tiang-tiang layar kapal itu
dihiasi bendera hitam. Terlihat mengelepak pelan dari kejauhan. Jim
tidak tahu apa maksud bendera itu, tapi mendadak dia bisa merasakan
aura kematian mengerikan yang menguar dari formasi kapal-kapal
tersebut. "Apha-yhang-sebe-nharnya-ter-jhadi?" Suara Jim
tercekal. "Perompak Yang Zhuyi! legenda mengerikan terbesar yang pernah ada di
lautan benua selatan. Mereka dari bangsa-bangsa timur .... Kaulihat
sendiri, armada mereka berjumlah ratusan. Penguasa perbatasan benua!
Mereka jauh lebih berkuasa dibandingkan raja-raja di daratan
"Apa yang akan terjadi ..." Jim mengatur napasnya yang sesak,
tangannya mencengkeram tong besar, bertanya lagi. Malah takut dengan
pertanyaan itu, takut mendengar kabar buruk berikutnya dari jawaban
Pate. "Perang besar!" Pate mendesis pendek, mukanya juga pucat.
TETAPI PERANG itu tidak terjadi hingga sore hari. Hening. Senyap.
Kedua armada raksasa itu hanya saling menunggu dengan jarak tidak
kurang dari dua mil. Jarak yang cukup jauh untuk menghindari muntahan
peluru meriam dari armada Laksamana Ramirez.
Yang Zhuyi, pemimpin armada perompak legendaris itu, cukup cerdik
mengukur kekuatan. Meskipun kapal mereka berjumlah ratusan, hampir
tiga kali lipat dari armada 40 kapal, persenjataan meriam rombongan
ekspedisi menuju Tanah Harapan itu terkenal menakutkan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Dia tidak bodoh untuk mengajak duel jarak dekat antarkapal. Meriammeriam itu telanjur menghancurkan dinding-dinding kapalnya sebelum
pertempuran jarak dekat terjadi. Yang Zhuyi sudah menyiapkan rencana
lain. Dia jauh-jauh hari sudah mendengar kabar Armada Kota Terapung
tersebut akan melewati daerah kekuasaannya. Dan mereka juga sudah
lama menyiapkan acara penyambutan untuknya.
Malam datang menjelang, ketegangan semakin meningkat. Jim dan Pate
(juga ribuan kelasi dan awak kapal lainnya) menahan napas,
mengembuskannya panjang dan lama. Saling pandang dalam kabin-kabin
yang sempit. Para prajurit yang bersiap dengan pedang dan anak panah di atas
geladak kapal mendengus jengkel Pertempuran yang mereka nantikan
tak kunjung tiba. Mereka mengkal menunggu, apalagi dengan aroma
ketegangan yang tak kunjung jelas seperti ini. Kedua armada raksasa itu
masih saling tatap. Tidak beranjak sedikit pun.
Laksamana Ramirez juga memutuskan menunggu. Dia tidak akan gegabah
langsung menggebuk barikade musuh yang menghadangnya. Dia tidak
tahu rencana apa yang telah dan sedang perompak itu siapkan.
Menunggu dan memerhatikan beberapa saat adalah keputusan yang
bijak. Maka Laksamana Ramirez memutuskan untuk mengistirahatkan
pasukannya. Hanya menyisakan para prajurit pengintai untuk berjagajaga seperti biasa.
Beberapa Kepala Pasukan, terutama Si Mata Elang, keberatan dengan
keputusan itu. Namun, Laksamana Ramirez hanya mendesis memberi
perintah, "Mereka cepat atau lambat pasti akan mengambil inisiatif
penyerbuan .... Tapi itu tak akan terjadi malam ini. Jadi, lebih baik kalian
menghemat tenaga. Beristirahat .... Kita memerlukan semua tenaga yang
ada untuk melewati barikade mereka besok .... Tidurlah!"
Malam itu, bahkan angin pun enggan bertiup. Laut senyap oleh
ketegangan. Bulan dan bintang-gemintang tertutup mendung tebal.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Hanya tersisa pasukan kecil yang seperti biasa berjaga di posisi masingmasing sepanjang malam. Sisanya sesuai perintah Laksamana Ramirez
kembali ke kamar masing-masing. Berusaha untuk tidur.
Pate mengangguk berulang-kali kepada Jim yang terlihat panik
mendengar perkembangan situasi di luar, Pate berusaha
menenangkannya, "Jika Laksamana berkata demikian, dia benar sekali,
teman. Perompak Yang Zhuyi sedang mengukur kekuatan lawannya. Tidak
akan ada perang malam ini! Kau sebaiknya juga beristirahat Kemudian,
Pate dengan santai beranjak bergelung di atas ranjang, tidur.
Jim memandangnya tidak mengerti. Mengusap wajahnya yang kebas.
Bagaimana mungkin Pate bisa setenang itu"
Sama seperti separuh prajurit lainnya di seluruh Armada Kota
Terapung, Jim juga tidak bisa tidur. Dia lama termenung menatap Pate
yang bahkan sudah mendengkur. Lelap.
Kesedihan itu mendadak datang menusuk hati. Pelan tapi pasti.
Perjalanan ini ternyata amat berbahaya, Jim mendesah tertahan. Apa
yang akan terjadi dengannya kalau ratusan kapal itu menyerbu serentak.
Jangankan satu Pedang Langit, sepuluh pun rasanya tak sanggup
bertahan" Jim menelan ludah. Tapi bukankah itu baik baginya" Dengan
demikian dia akan mati" Dan bertemu dengan Nayla-nya"
Nayla" Jim mendadak mengeluh pilu .... Si Kelasi Yang Menangis
menggigil bibirnya. Tidak. Dia sudah berubah. Dia sudah berjanji akan
melupakan masa lalu itu. Melupakan kejadian itu. Melupakan wajah
membeku di pagi itu. Bukankah dia sudah lebih dari dua bulan terakhir
pelan-pelan berhasil melupakannya" Tidak. Dia tidak akan mengenangnya
lagi. Sayang semakin Jim berusaha melupakan kenangan tersebut, kesedihan
itu menghujam semakin dalam. Menelikung. Mata dan hatinya sempurna
mengukir kenangan lama. Dia jatuh tersungkur. Berusaha mencari
pegangan. CUKUP! Jim membentak dirinya kuat sekali. Cikup! Semua ini hanya akan
merusak kebahagiaan yang baru saja dia dapatkan di atas Pedang Langit.
Semua ini .... Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Jim buru-buru menggapai papan berdawai, setengah berlari dia menuju
geladak kapal. Matanya berdenting air saat kakinya menginjak anakanak tangga menuju ke atas. Berkaca-kaca mengenang wajah Nayla yang
tersenyum kaku membatu di pagi itu. Mengenang janji yang
menggantung di langit kota yang berkabut. Satu dua tetes air matanya
jatuh di anak tangga. Jim memaksa hatinya untuk terus tidak peduli.
Lari menuju tempat biasa dia dan Pate memainkan papan berdawai
tersebut. Aku harus bisa melupakannya! HARUS! Jim mengeluh
tersungkur dalam duduknya. Kenangan ini sekali lagi pasti akan melukai
hatinya, menikam perasaannya dan dia tidak ingin itu terjadi ....
Jim meletakkan papan berdawai di pangkuan. Menggigit bibir. Lintas
memetiknya sem-barangan, sekuat, dan secepat jemarinya bisa. Dia
harus bisa mengenyahkan perasaan itu sesegera mungkin. Menyanyikan
lagu mungkin membantu. Menyibukkan diri. Mencoba memikirkan hal lain
.... Lihatlah, jika kalian bisa menyaksikan dari langit malam, Jim yang
sedang duduk di atas geladak kapal, memetik papan berdawai dengan
jari bergetar, berusaha mengusir semua kesedihan itu, sungguh
menyakitkan melihatnya. Pedang Langit persis berada di depan hamparan 39 kapal Armada Kota
Terapung lainnya. Terombang-ambing pelan oleh gelombang laut.
Sementara dua mil dari armada tersebut, seratus kapal perang
berukuran sedang, panjang tiga puluh meter, berbaris rapi dalam
formasinya. Menyemut membuat barikade. Berhadap-hadapan.
Petikan dawai Jim terdengar hingga ke ujung kapal di mana pos prajurit
pengintai berada. Selama ini mereka tidak terlalu peduli, sudah terbiasa melihat Jim dan
Pate memainkan papan tersebut-bahkan menikmatinya. Tetapi malam ini
mereka merasa terganggu. Bukankah seharusnya menjadi malam yang
menegangkan" Prajurit-prajurit di pos pengintai mengomel. Betapa tak
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tahu tempatnya si Kelasi Yang Menangis. Dalam situasi siaga-perang, dia
malah santai memetik dawai, memainkan lagu" Bah!
JIM MEMBIARKAN tangannya sembarang menggubah lagu. Tidak
beraturan. Dia membiarkan hatinya yang menyusun not-not itu menjadi
sebuah irama. Jim ingin menumpahkan semua kenangan menyedihkan itu
dalam nyanyiannya. Mengalirkan luka di hati melalui jemarinya.
Membuangnya jauh-jauh dalam senyap lautan.
Irama itu terdengar menusuk. Indah. Tapi memilukan.
Entah sudah berapa lama Jim memainkan papan berdawai tersebui
ketika sebuah suara yang berwibawa menegurnya, "Wahai! Lagumu
sungguh elok, Kelasi Yang Menangis!"
Jim menoleh. Laksamana Ramirez lengkap dengan baju perangnya telah
berdiri di belakang. Begitu gagah perkasa. Begitu memesona. Tersenyum
ramah kepadanya. "Jangan .... Jangan hentikan .... Bukankah kau sudah tiba di penghabisan
lagunya" Teruskan lemari Jim yang hendak terangkat, kembali memetik dawai-dawai.
Meneruskan. Jantungnya berdebar kencang. Menelan ludah. Dia selama
ini tak pernah merasa pantas walau sekadar disapa oleh Laksamana
Ramirez Yang Agung. Bukankah Laksamana tadi memanggilnya dengan
sebutan itu" Berarti dia mengenalnya"
"Tentu saja aku mengenal setiap orang yang berada di kapal ini!
Pemimpin kapal yang baik tahu setiap jengkal kapalnya. Tetapi, tenis
terang, aku tidak pernah tahu kalau kau bisa memainkan lagu
semenyentuh ini. Jadi, kabar itu benar ...." Laksamana tersenyum,
seolah-olah bisa membaca pikiran Jim.
Jim hanya menelan ludah. Terus memetik dawainya.
Beberapa saat lagu itu usai, diakhiri dengan denting dawai yang menukik
tajam bergelombang. Jim pelan meletakkan papannya. Menyeka dahinya
yang berkeringat. Dia sedikit banyak berhasil mengusir kenangan itu.
Papan berda-wainya membantu, lagu itu membantu, di samping
keterkejutannya atas kehadiran Laksamana Ramirez juga membantu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Maafkan aku jika suara musik tadi mengganggu Laksamana Yang
Agung!" Jim menunduk
"Wahai, musik yang indah tidak akan pernah mengganggu siapa-siapa!"
laksamana tersenyum. Jim terdiam. Angin malam bertiup semakin kencang.
"Aku berharap, Pedang Langit masih bisa mendengarkan kau memainkan
dawai itu selepas malam ini .... Menyanyikan lagu seindah tadi .... Sayang,
tak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok-lusa. Mungkin kita
berhasil melewati barikade perompak, mungkin juga kita binasa!"
"Binasa?" Jim mencicit, beranjak berdiri, "Apakah kita akan
memenangkan pertempuran" Apakah kita akan menang?"
Laksamana Ramirez menatap Jim berwibawa, tersenyum. Saat Jim
berdiri, tingginya hanya sedada Laksamana Ramirez. Laksamana
memegang bahunya, "Wahai, binasa atau menang, itu kuasa langit .... Sayang, ada banyak
sekali kekuatan di dunia ini yang tidak kita ketahui batasnya, termasuk
barikade perompak ini .... Dan, sungguh lebih banyak lagi kekuasaan
langit yang sama sekali tidak kita ketahui yang mungkin menentukan
kemenangan atau kekalahan pertempuran besok pagi! Aku tidak tahu
jawaban atas pertanyaanmu
Jim tercekat. Bukan mendengar kemungkinan kabar buruk itu. Tapi
kalimat itu! Dia pernah mendengarnya. Di mana" Oleh siapa" Jim
gemetar mengingatnya .... Apakah Laksamana Ramirez kebetulan saja
mengucapkannya" Atau jangan-jangan" Sayang Laksamana Ramirez
sudah beranjak meninggalkannya sebelum Jim sempat berani
mengeluarkan walau sepotong pertanyaan.
PEROMPAK YANG Zhuyi terkenal licik dan
sadis. Mereka selalu culas dalam setiap kesepakatan, apalagi dalam
pertempuran. Tetapi untuk situasi tertentu, saat menyadari posisi
mereka di atas angin, mereka akan memilih menyerang terang-terangan
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
dalam perang terbuka. Gagah berani merangsek ke kancah pertempuran.
Menikmati betapa perkasa dan cerdasnya mereka.
Dan itulah yang perompak dari bangsa-bangsa Timur rencanakan
terhadap armada 40 kapal laksamana Ramirez.
Esok pagi, tepat jam sembilan. Ketika pasukan Laksamana Ramirez
sudah lebih dari siap menyambut kedatangan mereka, suara terompet
kapal-kapal perompak itu merobek keheningan pagi, memecah langitlangit samudra. "YEE YEEE YO!" "AI HAH!"
Suara teriakan mereka yang khas pelaut benua selatan terdengar
menggetarkan hati. Bersahut-sahutan memenuhi senyap lautan.
Genderang perang mulai ditabuh kencang. Perompak itu tampaknya
bersiap-siap memulai pertempuran. Ketegangan meningkat dengan cepat.
Laksamana Ramirez memerintahkan pasukan Armada Kota Terapung
balas meniup terompet peperangan. Si Mata Liang bahkan berdiri berkacak pinggang di garis terdepan berteriak menyemangati prajurit di
kapal Sapimu Matanya. "AYEF. .... AYEE...!" "AYEE .... AYEE...!"
Seluruh Armada Kota Terapung bersiap menerima serbuan, bersiap
menerima kemungkinan terburuk. Prajurit-prajurit menghunus pedang
dan busur. Meriam disiapkan. Terarah sempurna ke armada perompak
Yang Zhuyi. Mata prajurit menatap tajam, tangan mulai berkeringat,
jantung berdebar kencang. Akhirnya, pertempuran yang dinanti-nanti
sepanjang malam datang juga.
Tapi bukan pertempuran jarak pendek yang terjadiSesaat tercenganglah pasukan armada 40 kapal Laksamana Ramirez.
Pertempuran itu ternyata berlangsung sungguh di luar dugaan. Amat
aneh dan menggelikan. Armada perompak Yang Zhuyi bukannya merangsek maju dengan seratus
kapal perang mereka, melainkan menurunkan ribuan kano kecil
berpenumpang dua-tiga orang.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Cepat sekali mobilisasi mereka. Sigap melemparkan kano ke atas air,
perompak yang turun dengan tali-temali. Dan sekejap, lautan di antara
dua armada yang saling berhadapan, area dua mil yang ingar bingar oleh
teriakan dan suara terompet, sudah dipadati oleh ribuan kano kecil yang
merangsek cepat menuju armada 40 kapal.
Si Mata Plang beringas memerintahkan puluhan penjaga meriam di
Saputan Mata melontarkan amunisi. Suara terompet serangan meriam
dibunyikan. Belum habis gema terompet melengking, serempak seluruh
meriam di tiga puluh kapal perang menggelegar. Puluhan bola meriam
dengan ganas menghujami kano-kano kecil tersebui.
Percuma! Bagai menggarami lautan!


Sang Penandai Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itulah strategi pertempuran gemilang dari pemimpin perompak Yang
Zhuyi. Dengan mengirimkan ribuan kano. Kalaupun ada kano yang terkena
peluru meriam, jumlahnya berbilang jari. Masih tersisakan sebagian
besar kano lainnya yang sekarang semakin cepat mendekati armada 40
kapal. Berbeda ceritanya kalau armada perompak itu mengirimkan kapalkapal perang mereka yang berukuran sedang, maka itu benar-benar akan
menjadi sasaran empuk ratusan meriam lawan.
Prajurit di Pedang Langit dan tiga puluh kapal perang lainnya terkesiap.
Mereka tidak menyangka ribuan kano itu tetap bertahan dan meluncur
begitu cepat. Hanya sepersepuluh yang porak-poranda terkena
muntahan meriam. Sisanya dalam hitungan detik tinggal berjarak
ratusan meter dari dinding-dinding kapal.
Kepala Pasukan seluruh kapal perang Armada Kota Terapung berteriak.
Serangan panah! Terompet serangan panah ditiup. Sekejap, ribuan anak
panah melesat dari armada 40 kapal. Prajurit perompak yang berada di
atas kano dengan cepat mengangkat tameng besar, berlindung! Sedikit
pun tidak mengurangi laju kecepatan mereka.
Situasi di Armada Kota Terapung mulai panik. Perompak-perompak
tersebut sudah menyentuh Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
dinding-dinding kapal. Ribuan jumlahnya. Mereka sekarang mulai
melemparkan tali-tali ke atas kapal. Lantas dengan beringas memanjai
dinding kapal. Satu orang perompak yang menunggu di setiap kano kecil
melesatkan anak panah untuk melindungi rekan mereka yang memanjat.
Serbuan itu berlangsung cepat sekali. Dan sebelum pasukan laksamana
Ramirez menyadari apa yang telah terjadi, ribuan prajurit perompak
Yang Zhuyi sudah leluasa memasuki kapal-kapal armada 40 kapal.
Pertempuran dengan pedang tak terhindarkan.
Bukan masalah besar bagi prajurit terlatih Laksamana Ramirez
menghadapi pertempuran jarak pendek tersebut, mereka dengan cepat
menjaga geladak kapal masing-masing, sekuat tenaga mempertahankan
kemudi dan seluruh isi kapal. Masalahnya, menyusul di belakang ribuan
kano yang sudah berhasil mendekat dan memanjat dinding armada 40
kapal itu bergerak dengan cepat ribuan kano kecil berikutnya.
Serbuan kano kecil itu bergelombang bagai air bah yang tak kunjung
henti. Setiap kali Yang Zhuyi mengangkat tangannya. Suara terompet
terdengar menggelegar, dan kano-kano lainnya dilemparkan dari atas
kapal mereka. Pedang Langit segera dikerubuti oleh ribuan perompak. Si Mata Elang
berteriak kalap memerintahkan pemegang kemudi Saputan Mata
merapatkan diri ke Pedang Langit, dia harus segera membantu
penahanan kapal terbesar tersebut. Puluhan perompak sudah melompat
dengan kelewang terhunus ke atas Pedang Langit, juga ke kapal-kapal
perang lainnya. Prajurit Laksamana Ramirez menunggu dengan pedang
panjang. Perkelahian jarak dekat dimulai.
Pate meloncat dari balik tong, menyambar sebilah pedang dari seorang
prajurit yang terkapar di depan mereka terkena anak panah perompak.
Jim gentar tak mampu menggerakkan kakinya. Mereka dari tadi pagi
memang mengintip dari balik tong seperti kemarin. Dan sama sekali
tidak menyangka situasi akan berubah secepat ini.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Apa yang harus dia lakukan" Apa" Jim gemetar mencengkeram ujungujung pakaiannya. Giginya bergemeletukan. Mengerut.
Para perompak itu buas menyerang, mereka terus merangsek ke dalam
geladak Pedang Langit dengan jumlah yang terus melimpah, mati satu
muncul dua, menyerang bagai banteng ter-iuka, nekat tanpa berpikir.
Laksamana Ramirez dan ratusan prajurit lainnya dengan gagah berani menghadang ribuan kelewang perompak Yang Zhuyi.
Si Mata Elang yang berhasil merapat ke Pedang Langit berteriak
kencang, langsung memasuki kancah pertempuran, diikuti ratusan
pasukannya yang tidak takut mati. Pate sudah menebaskan pedang ke
dua-tiga orang perompak di dekatnya.
Jim semakin menggigil ketakutan.
Seharusnya saat pertama kali terompet tanda peperangan dibunyikan,
seperti kelasi rendahan lainnya, dia sudah terbirit-birit kabur ke anak
tangga terdekat, berlari masuk ke kabin kecilnya. Masalahnya Jim sama
sekali tidak tahu kalau suara terompet itu adalah penanda perang akan
dimulai. Dan sekarang, dia terlalu takut untuk keluar dari balik tong
besar tersebut menyelamatkan diri.
Jim terjebak dalam pertempuran.
Seorang perompak melihat ujung pakaian Jim, dengan ganas mendekat.
Jim terkesiap. Terdesak mendecit. Cepat sekali perompak itu sudah
melompat di depannya, tanpa banyak bicara langsung menebaskan
kelewang ke leher Jim. Jim tidak sempat berpikir tentang hidup atau matinya. Dia nyaris
pingsan. Mencicit ketakutan. Matanya terpejam. Kejadiannya
berlangsung seperseribu detik. Darah segar muncrat membasahi dada.
Jim terperangah, gemetar mengusap darah tersebut. Dadanya terluka"
.... Apakah dia akan mati"
Ternyata yang terjengkang bukan Jim, tapi perompak itu. Pate berdiri
gagah di hadapannya. Memegang pedang bersimbahkan darah dengan
mata menyorot tajam. Jim kembali menyentuh dadanya, menelan ludah,
itu darah perompak tersebut. Pate berhasil merobek lehernya.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"AMBIL KELEWANG ITU!" Pate berteriak kencang ke arah Jim,
bemsaha menahan dua perompak lainnya yang ganas bemsaha mendekati
tong besar persembunyian Jim.
Gemetar Jim meraih kelewang dari tangan perompak yang sudah
membeku di geladak kapal. Tidak, dia tidak pernah membayangkan akan
seperti ini jalan hidupnya. Yatim-piatu yang dibesarkan oleh dermawan
kota, si mis-kin-papa yang hanya pintar memainkan biola, pemuda yang
terlalu pengecut untuk melawan takdir hidupnya, sekarang harus
terjebak dalam kancah pertempuran mengerikan ini.
Jim berdiri dari balik tong persembunyian dengan kaki terhuyung. Satu
orang perompak lolos dari hadangan Pate, langsung menerkamnya. Jim
yang otaknya sedang tidak pada tempatnya, relleks mengangkat
kelewang. Matanya terpejam. Hampir terjerembab. Tapi kelewang itu bukan saja menangkis
tebasan perompak itu, bahkan tidak sengaja juga menembus leher
perompak tersebut. Saat matanya membuka, Jim gemetar menyaksikan pemandangan di
hadapannya .... Dia telah membunuhnya! Dia telah membunuhnya.
Tangannya yang hanya pandai memasak, mencuci, menyikat kamar mandi,
dan memetik papan berdawai baru saja membunuh seseorang.
Jim jatuh terduduk. Pedang di tangannya terjatuh.
Pate berteriak membentaknya agar segera berdiri. "AMBIL
PEDANGMU, BODOH!" Jim tidak mendengar. Jim sudah jatuh
tersungkur. Menangis. Dia baru saja membunuh .... Pate mengomel sebal,
berusaha mati-matian melindungi Jim.
Para perompak itu terus mengalir seolah tak ada habisnya.
Perang tenis berkecamuk tanpa henti setengah jam lagi. Siapa pula
peduli dengan Jim yang masih jatuh terduduk menatap tangannya, Jim
yang mengeluh menyadari baru saja memenggal kepala seseorang.
Tertunduk, sama sekali tidak percaya apa yang telah dilakukannya.
Pedang Langit tampaknya berhasil bertahan sejauh ini, juga 39 kapal
Armada Kota Terapung lainnya. Aliran bah kano kecil perompak Yang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Zhuyi mulai tersendat. Mereka berhasil di pukul mundur hingga ke
dinding-dinding kapal. Satu-dua mulai berloncatan ke laut menghindari
sabetan pedang. Dan setelah setengah jam lagi berlalu, dari ratusan armada kapal Yang
Zhuyi yang berbaris dua mil di depan sana tiba-tiba terdengar suara
terompet, maka buru-buru seluruh pasukan perompak yang semakin
terdesak di atas armada 40 kapal menarik diri ke belakang. Segera
berloncatan ke laut, bergegas naik ke atas kano masing-masing,
kemudian kembali dengan cepat ke formasi barikade kapal mereka.
Jim masih gemetar, menatap kosong sekitarnya.
Tubuh manusia bergelimpangan, berdarah-darah. Separuh terluka
parah, separuhnya lagi tanpa nyawa. Si Mata Elang yang kalap
memerintahkan Saputan Mata-nya mengejar ribuan kano tersebut,
tetapi Laksamana Ramirez cukup bijak berteriak menghentikan. Korban
di pihak mereka sudah cukup banyak hari ini. Dan mereka sama sekali
tidak tahu apa yang telah disiapkan oleh armada Yang Zhuyi di depan
sana. Adalah bunuh diri dengan sisa-sisa tenaga menghajar armada barikade
ratusan kapal yang segar-bugar di depan mereka. Lebih baik melakukan
konsolidasi pasukan tempur.
BAGI PRAJURIT di atas Pedang Langit, perang tadi hanya perang besar
ke sekian yang pernah mereka hadapi dalam hidupnya. Mereka tahu
risiko perjalanan ini. Bersiap dengan luka, bahkan dengan kematian. Tapi
bagi Jim perang tadi bukan perang ke sekian .... Perang tadi benar-benar
berarti banyak baginya. Mengerikan. Menakutkan. Memukul hatinya.
Jim memeluk kaki di kabin kecilnya. Duduk gemetar-sisa-sisa ketakutan
sepanjang pagi. Pate menatapnya lamat-lamat, menyeringai dengan
senyum. "Bukankah sudah pernah kukatakan, setelah enam bulan lagi perjalanan
di lautan akan mulai terasa tidak menyenangkan, teman!" Pate menghela
napas prihatin. Mengganti bajunya yang penuh bercak darah.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tidak. Semua ini bukan sekadar tidak menyenangkan lagi bagi Jim.
Tetapi menohok hatinya kembali. Membuat semua kenangan buruk itu
tumpah Ruah menyerbu kepalanya. Ketika menyaksikan perompak itu
terkapar oleh sabetan kelewang yang dipegangnya, Jim seketika
teringat dengan Nayla. Teringat kelewang pemburu Beduin. Betapa
nyawa manusia begitu mudah hilang. Hanya dengan sabetan kelewang tak
sengaja dari tangannya, tak diniatkan sedikit pun. MatiDia telah membunuh seseorang.
Dulu Nayla, mati begitu saja. Apakah kekasih pujaan hatinya sempat
menyadari akan meninggalkan seseorang yang akan begitu merana.
Begitu pilu setiap mengingat wajahnya. Meninggalkan seseorang yang
tak pernah berhasil menghapus seluruh kenangan buruk tersebut hingga
hari ini. Jim tergugu. Mengeluh dalam.
Apakah perompak yang dibunuhnya tadi meninggalkan kepiluan hati
kekasihnya, keluarganya, atau entah siapalah. Apakah kematian
perompak tadi berguna untuk sesuatu" Jim terisak. Lihatlah! Kematian
itu datang begitu saja .... Seolah-olah dengan demikian tidak ada lagi
yang harus diratapi. Lihatlah dirinya, entah sampai kapan kepiluan ini
berakhir .... Pate memandang Jim jengkel, terganggu oleh isak-tangis Jim. Dasar si
Kelasi Yang Menangis, Pate mengumpat dalam hati, beranjak pergi,
membiarkan Jim sendiri. SAMA HALNYA dengan Pate yang tidak peduli dengan perasaan Jim,
armada perompak Yang Zhuyi juga sedikit pun tidak peduli. Mereka bak
tabib yang menyarankan minum obat dua kali sehari, tanpa henti
mengirimkan kano-kano kecil penyerbu.
Setelah enam jam berperang tadi pagi, dan enam jam beristirahat
hingga malam tiba, tepat jam sembilan malam, mereka kembali
meniupkan terompet. Menabuh genderang peperangan dan meneriakkan
yel-yel pertempuran lagi.
"YEL YEEE YO!" Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Al HAH!" Ribuan kano lagi-lagi bergerak merangsek ke armada kapal Laksamana
Ramirez. Lebih cepat, lebih beringas. Peperangan jarak dekat di atas
geladak armada 40 kapal kembali membara. Benar-benar percuma
persenjataan meriam Armada Kota Terapung. Pertempuran berlangsung
persis seperti yang diinginkan Yang Zhuyi.
Kali ini Jim memilih berlahan di kabin sempitnya. Menangis pilu saat
terkenang wajah Nayla yang terbaring tanpa nyawa. Apakah Nayla
pernah berpikir akan meninggalkan dia yang merana seperti ini" Apakah
Nayla berharap dia akan menyusul sehingga begitu tenang dan damai
meminum racun tersebut" Apakah Nayla tidak pernah membayangkan
jalan hidup kekasihnya yang pengecut akan menderita seperti ini"
Jim merintih memukul dinding kapal.
Dia ingin mengingat semua kenangan bersama Nayla-nya dengan bahagia,
dengan mulut menyimpul senyum. Bukan dengan perasaan pilu seperti ini.
Dia ingin riang mengingatnya. Bukankah itu kenangan-kenangan yang
indah" Tapi lihatlah, kepiluan menusuk hatinya setiap detik dia
bernapas. Penyesalan menghujam kepalanya setiap kali dia mendesah,
dan keluh kesah tertahan menelikung perasaannya setiap kali jantung
berdetak. Jim tergugu. Kenapa kenangan ini harus kembali lagi di tengah kecamuk perang.
Kenapa dia harus terlu-ka lagi setelah mengalami hal-hal yang
menyenangkan di Pedang Langit. Kenapa"
Jim terus meratapi Nayla yang pusaranya tertinggal liga ribu mil ke
arah utara. Meratapi wajah beku di pagi ituLAKSAMANA RAMIREZ!
TUJUH HARI berturut-turut, tanpa kenal lelah barikade perompak
Yang Zhuyi menyerang armada 40 kapal laksamana Ramirez. Dengan
strategi itu-itu saja. Enam jam pertempuran. Enam jam istirahat.
Beribu-ribu kano kecil dikirimkan. Beribu-ribu perompak yang sigap
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
memanjat dinding-dinding kapal. Menyerbu tanpa takut. Kemudian
mundur teratur. Penahanan armada 40 kapal Laksamana Ramirez seperti yang diharapkan
barikade perompak semakin lama semakin lemah. Sementara, mereka
entah dari mana datangnya tenis mengalir dengan kekuatan tempur bak
air bah setiap penyerangan, seolah-olah tidak berkurang sedikit pun.
Tidak terlihat lelah atau tubuh kesakitan habis terluka.
Di hari ketujuh pertempuran, si Mata Elang dengan Saputan Mata-nya
serta sembilan kapal perang lain merangsek ke depan. Laksamana
Ramirez memutuskan mengambil inisiatif penyerangan. Tetapi barikade
perompak Yang Zhuyi cerdas, mundur serentak sejauh mereka
mengejar. Kemudian, balas mengirimkan kano-kano itu lagi.
Adalah bunuh diri membiarkan sepuluh kapal terkepung oleh ribuan
kano-kano di garis terdepan. Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah
pertempuran di lautan, si Mata Elang yang tidak takut mati menarik
pasukannya kembali. Situasi semakin genting. Keadaan berubah drastis. Banyak prajurit yang
terluka, lak berdaya dengan bebat besar. Ratusan prajurit tewas dalam
pertempuran gerilya tersebut. Kekuatan tempur Armada Kota terapung
menipis. Laksamana Ramirez terpaksa memindahtugaskan separuh lebih
kelasi rendahan menjadi prajurit cadangan, untuk menambal kekuatan
tempur. Termasuk Jim. Hari itu, Jim gemetar mengenakan baju perang. Tangannya berkeringat
menyentuh hulu pedang. Gentar memasuki kancah pertempuran. Tidak
pernah terbayangkan dirinya akan berbaris di garis terdepan
menggenggam pedang terhunus. Jim yang lemah dan pengecut sekarang
menantang perompak buas legenda perbatasan benua.
Beruntung ada Pate di sampingnya. Tidak ada yang pernah tahu pria
berkulit hitam itu ternyata pandai sekali memainkan pedang. Lihatlah!
Pate bagai, menari dengan pedangnya. Dia benar-benar bukan hanya
belajar tentang pengetahuan dari pendeta di gereja tua. Bahkan
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
kepandaian bermain pedang Pate bisa dibilang setara dengan Kepala


Sang Penandai Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pasukan. Hari pertama memasuki arena peperangan, kaki, dan tangan Jim masih
bergetar kencang. Dia hanya menunggu. Jerih. Takut. Muntah. Juga hari
kedua dan ketiga. Tapi situasi yang tak terelakkan seperti itu selalu
memaksa kalian beradaptasi cepat. Apalagi pilihannya hanya dua,
melawan atau mati. Dan Jim memutuskan untuk bertahan hidup. Dia
mulai merasa harus ikut mempertahankan setiap jengkal geladak Pedang
langit. Menyaksikan Laksamana Ramirez yang membakar semangat
prajuritnya Jim mendesah pelan. Jim memutuskan melawan.
Maka mulai mantaplah tangannya menebaskan pedang. Mulai kokohlah
kakinya membentuk kuda-kuda. Mulai kuatlah hatinya menabalkan
keberanian. Tampangnya mengeras. Mata Jim mulai menatap dingin.
Giginya bergemeletukan. Pate sebenar-benarnya guru terbaik. Jim bisa belajar, melihat
bagaimana tangkasnya gerakan Pate menghabisi perompak-perompak.
Betapa lincahnya kaki Pate melompat ke sana ke mari. Tubuhnya meliuk
menghindari tebasan. Dan Jim yang sebenarnya cerdas, pelan-pelan
tumbuh menjadi petarung yang sama baiknya.
Jim memang tidak selalu beruntung. Di hari kelima menjadi prajurit di
geladak Pedang Langit, atau hari keempat belas perang gerilya lautan
perompak Yang Zhuyi tersebut, dadanya tersabet kelewang lawan. Tidak
dalam benar, tetapi cukup membanjirkan darah di pakaian. Jim tidak
gentar melihat darah mengalir di bajunya, Jim hanya menatap kosong.
Sejak sabetan itu, dia benar-benar berubah menjadi hiu buas. Tidak
pernah terbayangkan, Jim yang dulu pengecut, sekarang berteriak
gagah menyongsong perompak yang berloncatan dari dinding kapal. Pate
menatap sejuta arti di sebelahnya, menelan ludah, lantas bahu-membahu menahan serangan bergelombang perompak Yang Zhuyi.
Pate hanya mendesah dalam hati: Jim temannya, tidak akan pernah
pantas lagi disebut si Kelasi Yang Menangis. Tidak akan pernah pantas
lagi- Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
SAYANG, DAYA tahan armada 40 kapal Laksamana Ramirez ada
batasnya. Gudang-gudang makanan hanya menyisakan logistik untuk dua
hari. Obat-obatan dan perbekalan lainnya menipis. Amunisi meriam mulai
habis-meski tidak banyak gunanya. Dan semua orang di armada itu tahu,
daratan terdekat untuk melakukan konsolidasi perbekalan berada persis
di belakang barikade perompak Yang Zhuyi.
Kecemasan segera merayap di seluruh kapal. Satu-dua bahkan mulai
bergumam nada putus asa dan denting tenggat kematian. Mata-mata
memandang redup. Melangkah tertatih dengan bebat luka entah dari
pertempuran jam sembilan pagi atau malam, entah dari pertempuran
hari ke berapalah. Hanya Pate yang tetap tenang. Setiap enam jam masa beristirahat, Pate
selalu berkata yakin kepada Jim, memberikan semangat. Tak akan ada
yang bisa menundukkan armada ini, teman. Tak akan ada yang mampu
mengalahkan Laksamana Ramirez. Dia manusia terpilih yang akan
menemukan Tanah Harapan! Dia manusia terpilih-"
Jim hanya menyeringai datar. Tangannya menggapai papan berdawai.
Lihatlah, telapak tangannya yang kapalan karena memegang pedang tak
pantas lagi memelik dawai tersebut. Mendesah. Jim meletakkan papan
berdawai itu lagi. Diam. Mencoba memanfaatkan waktu istirahat sebaik
mungkin. Sudah seminggu terakhir Laksamana Ramirez mengambil inisiatif
menyerang barikade itu, tapi para perompak itu cerdik, selalu mundur,
kemudian mengepung kapal pengejarnya dengan ribuan kano. Si Mata
Elang mengatupkan rahang keras-keras melihat taktik yang lihai itu,
memendam amarah. Moncong meriam mereka yang menakutkan sama
sekali tak ada gunanya. Ironisnya, saat armada 40 kapal kehabisan napas, barikade perompak di
depan sana masih punya seratus kapal perang yang siap tempur kapan
saja. Segar bugar. Yang mereka kirimkan selama ini hanya kano-kano itu
saja. Awak armada 40 kapal gentar mendengungkan kecemasan dua hari
terakhir jika para perompak itu mengerahkan seratus kapal-kapal
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tersebut secara serentak sekarang, maka tamatlah sudah ekspedisi
menuju Tanah Harapan tersebut.
Dan kabar buruk itu sungguh tinggal menunggu waktu.
SUASANA DI Armada Kota Terapung berubah mencekam di malam
terakhir sebelum persediaan makanan benar-benar terkuras. Semua
orang bersitatap lemah. Berbicara dalam diam tentang kematian mereka
besok Mendesah tertahan. Berusaha tidur dengan kondisi mengenaskan.
Malam itu Jim bertugas sendirian. Berjaga di geladak Pedang Laut Pate
mendapatkan jatah tidurnya, terlelap di kabin sebelum jam sembilan
besok datang menjelang. Di pinggang Jim terhunus pedang panjang. Mantap jemari Jim
menggenggam hulu pedangnya Matanya dingin menatap cahaya lampulampu armada perompak Yang Zhuyi dua mil di depannya Lampu-lampu
kapal mereka dari sini terlihat indah. Lebih indah dibandingkan lampu
Pedang Langit Kata Pate malam-malam lalu saat mereka beristirahat,
lampu-lampu itu dikenal dengan nama: lampion.
Jim tidak peduli apa nama lampu indah itu. Yang dia peduli sekarang
hanya memastikan tidak ada pergerakan dari armada perompak
tersebut. Perompak Yang Zhuyi jam sembilan tadi entah kenapa untuk
pertama kalinya tidak mengirimkan ribuan kanonya. Tiba-tiba mengubah
strategi, atau entah merencanakan taklik pertempuran lainnya.
Laksamana Ramirez berdiri terdiam saat melihat musuh mereka tak
memulai pertempuran jarak dekat seperti biasanya. Air mukanya
mendadak berubah saat menunggu jam sembilan yang percuma tersebut.
Belum ada rona kecemasan di sana, tapi muka Laksamana mengerastegang. Ada yang berbeda. Ada yang tidak beres. Bergegas memanggil
seluruh Kepala Pasukan. Malam semakin matang. Bulan purnama bersinar elok di alas sana.
Bintang-gemintang bagai ditumpahkan di langit, terang berkemilauan.
Angin sudah lama berhenti bertiup di lautan, tempat di mana
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
pertempuran tiada henti itu berlangsung. Menyisakan semilir lembut
yang membuai anak rambut.
Sebulan sudah barikade perompak Yang Zhuyi menahan laju mereka, dan
kalau dia tidak salah dengar, Laksamana Ramirez tadi siang sempal
berkala, besok pagi atau dalam beberapa hari ini, perompak Yang Zhuyi
benar-benar akan mengirimkan pasukan pemukul terakhirnya, lantas
melancarkan serangan besar-besaran dengan seratus kapal tempur
mereka. Jika itu terjadi, tamat sudah riwayat Armada Kota Terapung
tersebut. Jim menggigil bibir. Berita buruk itu terdengar menakutkan. Tangannya
menyentuh dinding geladak kapal. Kalau demikian akhirnya,
itu berarti berakhir juga semua dongeng omong kosong orang aneh itu.
Dia akan mati. Tak jadi masalah, kan" Bukankah itulah yang selama ini dia harapkan
tapi tak pernah terjadi" Bukankah dari dulu dia ingin mati" Menyusul
Nayla-nya. Jim mengeluh dalam. Pertahanan hatinya mulai terbuka lagi,
kesedihan itu mulai menyelusup pelan-pelan tanpa bisa dicegah.
Jim mencengkeram hulu pedangnya, berusaha bertahan dari serbuan
kenangan yang menghantam perasaannya. Percuma, kepalanya malah
mendendang kenangan menyakitkan lainnya. Duhai, kenapa keberanian
mati itu baru dalang sekarang" Kenapa tidak dari dulu" Kenapa
keberanian dalam pertempuran ini baru datang hari ini" Kenapa tidak
saat menghadapi tembok penjara rumah orangtua Nayla"
Jim menelan ludah, teringat perpisahan mereka di lengah kabut pagi,
kota terindah itu. Nayla-nya merajuk memintanya mengirim surat. Dan
dia berjanji mengirimkan satu surat setiap harinya. Kenangan itu muncul
laksana anak panah yang terhujamkan. Kapel tua itu. Menatap orangorang bergegas di jalanan dekat taman kota, berpegangan tangan,
melempari burung gereja dengan remah-remah roti. Menyentuh
jemarinya yang patah-patah belajar menggesek biola. Menatap wajah
tersenyumnya Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Sebelum Jim lunglai oleh serbuan kenangan itu, sebelum Jim benarbenar tersungkur, sudut matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang
ganjil. Amal ganjil malah! Jim mencengkeram dinding kapal. Berusaha
berdiri dengan sempurna, kakinya masih bergetar. Mencoba bangkit dari
kepiluan hati sesaat tadi.
Hatinya mendadak berdesir. Capung"
Ada capung berdenging terbang di sekitarnya.
Ada seekor capung. Bukan, tapi puluhan, hei ribuan! Dengan formasi
yang dikenalnya. Merah. Hitam. Biru. Hijau, dan warna-warni itu. Jim
gemetar memandangnya. Dia mengenali penanda ini! Penanda kedatangannya! Di taman kota, di
pekuburan jingga tepi pantai, di kamar sewaan. Apakah pria tua itu
berada di atas Pedang Langit, sekarang" Apakah pria tua itu hendak
menemuinya" Mengatakan bahwa telah tiba baginya menjemput
kematian esok" Menjelaskan betapa sia-sia dongeng yang dijanjikannya.
Menjelaskan betapa sia-sia dia mengikuti Armada Kota Terapung ini"
Bukankah dia belum memanggilnya"
Jim menelan ludah. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Jika pria tua itu
benar-benar datang, maka tentu sudah berdiri seketika di depan Jim, atau di sebelahnya,
atau di belakangnya. Menegur dengan raut muka menyenangkan itu. Jim
takut-takut menyapu bersih sekitarnya dengan tatapan mata. Tidak ada!
Atau jangan-jangan dia salah mengartikan pertanda capung tersebut.
Tidak mungkin! Jim menggeleng kencang-kencang. Jarak terdekat
mereka dengan daratan, menurut hitungan Pate kurang lebih dua hari
perjalanan lagi. Burung camar seekor pun tidak terlihat.
Lantas untuk siapakah dia datang malam ini" Apakah ada orang terpilih
lainnya untuk menjalankan dongeng di atas Pedang Langit ini" Orang
lainnya" T-e-r-p-i-l-i-h" Jim terkesiap. Seketika. Dia teringat kata-kata
Pate di kabin mereka hari itu.
Terpilih untuk menemukan Tanah Harapan"
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Jim bergegas berlari menuju anak tangga kapal. Tangannya gemetar
saking ingin tahunya. Meloncati tiga anak tangga terakhir sekaligus,
terus berlari menuju ruangan Laksamana Ramirez. Di sepanjang lorong,
capung-capung semakin banyak. Terbang berdesing di sela-sela telinga.
Jim menelan ludah. Dia tidak mungkin salah lagi.
Jim menghentikan langkahnya persis di depan pintu ruang kerja
Laksamana Ramirez. Ber usaha menahan napasnya yang tersengal. Mengelap keringat di dahi.
Menenangkan diri agar tak terdengar dari dalam. Kemudian
menempelkan telinganya ke daun pintu, mencoba menyelidik ....
Kau harus mengorbankan Pedang Langit dan kapal-kapal perang milikmu,
Ramirez. Gunakanlah kamar-kamar rahasia milikmu .... Dan sisanya
serahkanlah kepada pemilik semesta alam .... Biarkanlah kekuasaan langit
menentukan takdirmu besok! Biarkan waktu yang memperlihatkan jalan
nasibmu! "Selamat berjuang Ramirez .... Ini penemuan ketiga kita, dan sayangnya
itu juga berarti pertemuan kita untuk yang terakhir kalinya. Tetapi
kaubijak menggunakan kesempatan itu. Kau terpaksa melanjutkan
dongengmu tanpa bantuan-ku lagi .... Tapi aku dengan lega bisa
menggantungkan guratan dongeng itu di tanganmu. Aku tahu, kau tidak
akan pernah menyerah menjemput kisahmu .... Dongeng yang cocok
benar dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depanmu .... Selamat
malam Ramirez, jangan lupa sampaikan salamku padanya!"
Suara itu hilang. Juga capung-capung yang ada di alas kepala Jim, di
sepanjang lorong. Lenyap. Jim tersengal berusaha menahan napas.
Dia tidak tahu harus melakukan apa selain terduduk di depan daun pintu
tersebut. Laksamana Ramirez dan pria tua itu"
INGIN SEKALI malam itu juga Jim langsung berbicara kepada
Laksamana Ramirez. Bertanya banyak hal. Menuntut penjelasan atas
semua kejadian. Tetapi kesibukan luar biasa segera melanda seluruh
armada selepas Laksamana Ramirez terburu-buru keluar dari
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ruangannya. Sama sekali tidak menoleh ke arah Jim yang berdiri kaku di
depan daun pintu. Armada 40 kapal benar-benar sibuk. Tapi meski sibuk, semua prajurit
dan kelasi yang melaksanakan perintah bekerja hati-hati, tanpa suara
dalam heningnya malam dan gelapnya lautan. Sedikit pun tidak boleh
diketahui barikade perompak Yang Zhuyi yang menghadang dua mil di
depan sana. Mereka memindahkan seluruh amunisi meriam ke ruangan-ruangan
tersembunyi itu. Menyiapkan tong-tong berisi mesiu. Sumbu pemantik
api. Memindahkan semua peralatan ke kapal logistik dan kapal pejabat.
Seluruh kelasi dan prajurit yang tersisa dengan luka-luka di sekujur
tubuh bekerja keras hingga pagi datang menjelang. Bahkan si Mata
Elang ikut membantu menggendong peluru-peluru meriam.
laksamana Ramirez berdiri di atas geladak Pedang Langit. Mengawasi
seluruh aktivitas. Lantas memandang tajam ke arah armada perompak
tersebut. Tidak pernah Jim melihat tatapan mata bercahaya seyakin
itu. Sepanjang malam, Jim sedikit pun tidak sempal mendekati
Laksamana, karena seperti prajurit lainnya dia sibuk membantu
memindahkan peralatan tempur.
JAM SEMBILAN pagi. hari penghabisan.
Persis seperti yang diduga Laksamana Rami rez armada perompak Yang
Zhuyi memutuskan menyerang dengan kekuatan tak terbayangkan.
Pemukul terakhir mereka. Kano-kano itu dua kali lipat jumlahnya.
Dengan perompak yang dua kali lipat nekatnya.
Pedang Langit, Saputan Mata, dan sembilan kapal perang lainnya maju
menyambut ke depan dengan gagah berani tidak seperti biasanya.
Menghadang ribuan kano-kano.
Yang Zhuyi yang berdiri di atas kapalnya tertawa bahak, "Bodoh,
mereka sekarang benar-benar putus asa!" Lucu sekali. Armada Kota
Terapung justru menjemput pertempuran dengan ribuan kano-kano
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tersebut. Yang Zhuyi menyeringai, tangannya sejak tadi pagi sudah
gatal ingin memberikan komando penyerbuan kepada seratus kapal besarnva
Peperangan ini akan berakhir jauh lebih ce-pat dari yang
dibayangkannya. Armada 40 kapal bodoh itu paling akan benahan satudua jam lagi. Setelah mereka menguasai beberapa kapal perangnya,
maka seratus kapal armada perompaknya siap merangsek dengan
kekuatan penuh. Mereka tak takut lagi dengan peluru meriam jika
hampir separuh kapal perang lawan berhasil dikuasai.
Perkiraan Yang Zhuyi tepat. Bahkan belum satu jam, seluruh pasukan di
atas Pedang Langit dan sembilan kapal perang lainnya sudah kocar-kacir,
Jim dan Pate meloncat ke laut melarikan diri. Juga prajurit-prajurit
lainnya. Laksamana dan Si Mata elang melompat ke jung kecil yang
ditambatkan di buritan Pedang Langit, mundur meninggalkan kapal
kebanggaannya, kapal terbesar, dan kapal terindah. Mereka juga
meninggalkan sembilan kapal perang lainnya.
Terompet ditiup. Laksamana Ramirez memerintahkan sisa armada 40
kapal untuk mundur. Yang Zhuyi demi melihat kejadian itu melalui
teropongnya, tertawa bahak. Senang dengan kemenangan di depan mata.
Akhirnya, setelah sebulan penuh, armada omong-kosong ini tamat
riwayatnya. Mulut Yang Zhuyi yang mengunyah sirih, menyeringai
mengejek. Dia melambaikan tangan, memberikan kode.
"Berikan mereka Seratus Badai Yang Zhuyi!"


Sang Penandai Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terompet raksasa ditiup kencang. Tujuh kali dalam satu larikan.
Genderang perang berbunyi menggetarkan langit. Inilah pamungkas
terakhir yang disiapkan Yang Zhuyi untuk menghabisi Armada Kota
Terapung. Berita-berita itu sungguh omong kosong. Penjelajahan
menemukan Tanah Harapan itu cuma bualan belaka. Kapal-kapal mereka
akan berakhir di sini. Tenggelam di gerbang benua selaian. Yang Zhuyi
tertawa. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Seratus kapal perang armada perompak Yang Zhuyi serentak bergerak
maju. Mengerikan melihatnya. Berdesir, dipenuhi ribuan perompak.
"YEE YEEE YO!" "AI HAH!" Para perompak yang tadi menyerbu dari kano-kano kecil dan sekarang
berada di atas Pedang Langit dan sembilan kapal perang musuh lainnya
yang berhasil dikuasai berteriak riang. Perang telah usai. Pasukan
penggebuk terakhir bersiap menghabisi liga puluh kapal, sisa pasukan
Laksamana Ramirez yang berusaha melarikan diri.
Seratus armada perompak tersebut sudah berjarak lima ratus meter
dari Pedang langit, lebih dari cukup untuk jarak tembak peluru meriam.
Belum terjadi apa-apa. Keramaian di pihak armada Yang Zhuyi semakin
riuh. Satu dua perompak berhasil mengambil alih kemudi Pedang langit
dan sembilan kapal perang lainnya. Mereka membelokkan kemudi, ikut
bergabung dengan formasi kapal perang perompak. Mengejar sisa-sisa
Armada Kota Terapung yang berusaha kabur.
Tepat ketika formasi tersebut terbentuk, tepai ketika seluruh kapal
bersisian, sedikit pun tidak diduga oleh perompak Yang Zhuyi, tiba-tiba
menggelegarlah lima puluh meriam di seluruh dinding Pedang Langit dan
sembilan kapal perang lainnya.
Dinding-dinding kapal hancur berkeping-keping.
Dan dari balik debu dan serpihan kayu yang beterbangan, muncullah lima
puluh moncong meriam mengerikan yang siap ditembakkan untuk kedua
kalinya. Terarah sempurna ke barisan kapal perang perompak Yang
Zhuyi yang persis berada di sekelilingnya. Benar-benar sasaran empuk.
Yang Zhuyi terperangah. Sirih terlepas dari mulutnya. Bukankah
prajuritnya sudah menyisir
seluruh isi kapal musuh yang menyerah" tak ditemukan apa-apa"
Bagaimana mungkin di sana ada lima puluh meriam dengan jarak sedekat
itu. Bagaimana mungkin mereka bisa menyembunyikan meriam-meriam
tersebut. Bagaimana mungkin"
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tidak sempat Yang Zhuyi dan pasukannya menghela napas karena
terperanjat oleh dentuman pertama meriam tadi. Bola meriam kedua
muntah dari moncong hitam itu tanpa tedeng aling-aling. Menghantam
formasi kapal perangnya. Dua puluh kapal perompak Yang Zhuyi hancur.
Seketika. Lima belas lainnya rusak parah. Robek di lambung depan dan
belakang. Tanpa bentuk. Cepat sekali situasi berbalik. Cepat sekali semuanya terjadi. Belum
habis kepanikan di kapal perang perompak tersebut Geladak Pedang
Langit yang dipenuhi oleh pasukan perompak dari ribuan kano yang
berseru-seru gembira, juga ikut meledak. Mesiu yang disiapkan
semalaman di bakar dengan gagah berani oleh pasukan laksamana
Ramirez yang bersembunyi di tong-tong besar, sebelum lari berloncatan
ke laut. Geladak Pedang Langit terbakar. Porak-poranda. Sembilan kapal perang
lainnya juga meledak beberapa detik kemudian. Melemparkan ribuan
perompak yang tadi berteriak-teriak
riang di atas geladaknya. Perompak-perompak itu terkurung kobaran api.
Tidak sempal melarikan diri.
Keadaan menjadi kacau-balau.
Tembakan meriam ketiga menggelegar. Pasukan Laksamana Ramirez
yang bersembunyi di mangan rahasia tersebut gesit mengisi meriam
dengan sisa-sisa amunisi. Empat belas kapal perompak Yang Zhuyi karam
lagi tanpa ampun. Sembilan belas lainnya miring, menumpahkan perompak
di atasnya. Berteriak-teriak meluncur masuk ke dalam lautan.
Dan dari arah depan, liga puluh kapal perang laksamana Ramirez yang
tadi pura-pura mundur, sekarang berbalik arah dengan kecepatan penuh.
Geladak kapal-kapal itu dipenuhi oleh prajurit yang penuh bebat luka
namun menatap garang. Semangat mereka kembali menyala-nyala demi
melihat strategi Laksamana mereka berjalan sempurna.
Yang Zhuyi panik. Dia berteriak-teriak memerintahkan pasukannya
untuk siaga. Kelewang terhunus, busur panah terentangkan. Percuma!
Sebagai balasannya, liga puluh kapal perang yang mendekat
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
memuntahkan sisa-sisa amunisi meriam terakhirnya. Dengan jarak
sedekat itu, kerusakan yang ditimbulkan parah tak lerkata-kan. Dua
puluh empat kapal Yang Zhuyi lainnya langsung karam. Yang Zhuyi lupa posisi mereka lemah sekali dalam
pertempuran jarak pendek antarkapal seperti itu.
Armada perompak tersebut benar-benar tamat riwayatnya.
Kebakaran semakin menghebat di atas geladak Pedang langit dan
sembilan kapal perang lainnya. Memanggang semua pasukan perompak
yang berasal dari ribuan kano. Prajurit Armada Kota Terapung yang
memuntahkan meriam dari ruang rahasia berlompatan saat api mulai
menyentuh palka lantai dua. Pekerjaan mereka sudah lebih dari selesai.
Empat perlima armada Yang Zhuyi musnah hanya dalam hitungan menit.
Lima ribu pasukannya mati selelah begitu riangnya merayakan
kemenangan, terpanggang di atas armada 40 kapal yang berhasil mereka
kuasai, tenggelam dalam lautan yang ironisnya justru mereka kuasai
berpuluh-puluh tahun. Belasan perompak yang tersisa pontang-panting
melarikan diri secepat mungkin dengan kano-kano kecil.
Si Mata F.lang kalap ingin mengejar. Laksamana Ramirez memegang
tangannya. Cukup! Semua ada batasnya!
TANAH HARAPAN! PEDANG LANGIT rusak parah Meneruskan perjalanan dengan kemudi
patah dua dan geladak kapal nyaris terbakar habis. Sembilan kapal
perang lainnya rusak lebih parah lagi, terpaksa ditarik menuju pelabuhan
kota terdekat. laksamana Ramirez memerintahkan armadanya untuk tiba secepat
mungkin di kota pertama benua selatan itu. Mereka membutuhkan
makanan, minuman, dan berbagai keperluan penjelajahan berikutnya.
Esok pagi hingga mereka tiba di kota terdekat itu seluruh pasukan
terpaksa mengencangkan ikat pinggang. Makanan dan minuman sudah tak
tersisa lagi. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tetapi awak kapal tidak terlalu peduli ha rus berlapar diri selama dua
hari-dua malam. Mereka telah melewati barikade perompak legendaris di benua selatan.
Dan fakta itu sudah lebih dari cukup untuk membual mereka ber-senang
hati hingga seminggu ke depan meski dengan perut kosong.
Malam itu mereka menggelar pesta. Pesta tanpa minuman anggur dan
roli gandum. Siapa yang peduli" Mereka tetap bisa membuai ramai
situasi. Para kelasi kelas rendahan bergabung dengan prajurit yang
tersisa, berkumpul di Saputan Mata yang masih gagah berani tak kurang
satu apa pun. Laksamana Ramirez memindahkan operasi armada
ekspedisi ke kapal perang tersebut.
Pate dari tadi mencari Jim. Dia ingin menyuruh Jim memelik dawai di
tengah-tengah pesta. Itu akan membuat pesta semakin meriah, Pate
menyeringai senang atas idenya. Tetapi yang dicari entah menghilang ke
mana. Jim memang selalu begitu. Kalau tak dicari selalu saja tampangnya
ada di depan mata dengan raut wajah sedih itu, sebaliknya kalau sedang
dicari dia hilang entah ke mana.
Jim sebenarnya tidak ke mana-mana. Jim sedang berdiri di buritan
Saputan Mata, ber-sandarkan dinding palka menatap lautan. Angin
malam memainkan anak rambutnya. Bulan menyabit di atas sana.
Bintang-gemintang bersinar
terang tanpa terhalang awan. Pemandangan yang indah. Apalagi untuk
malam yang menyenangkan ini, terasa lebih indah lagi.
Jim menyentuh jemarinya satu sama lain. Memerhatikan kepalan
tangannya. Lihatlah, dia sudah membunuh lebih dari puluhan orang dalam
pertempuran tersebut. Ah, setidaknya Pate membunuh dua kali lipat
lebih banyak, Jim menghibur diri. Menyeringai. Tersenyum getir.
hati kecilnya berbisik seharusnya dia merasa sedih atas fakta itu.
Tetapi otaknya dipenuhi banyak hal. Bukan kenangan-kenangan lama itu.
Jim kali ini tak sedikit pun memberikan celah bagi kenangan masa lalu
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
itu untuk kembali. Tidak. Dia pasti akan terluka lagi. Dan itu tak pantas
dalam situasi yang ingar-bingar menyenangkan seperti saat ini.
Olaknya sedang dipenuhi oleh beribu pertanyaan. Apalagi kalau bukan
tentang Laksamana Ramirez. Jelas sekali kemarin malam dia
mendengarkan kalimat-kalimat pria tua itu. Meskipun nada suaranya
lebih tegas dibandingkan saat pria aneh tersebut bertemu dengannya.
Dia mengenalinya. Jim sudah lima kali menghela napas. Rasanya dari tadi dia ingin segera
ke ruangan Laksamana Ramirez. Menumpahkan puluhan pertanyaan. Tapi
saat ini" Ketika ruangan itu dipenuhi oleh
Kepala Pasukan, pejabat-pejabat negara yang selamat, serta kelasi
senior lainnya yang sedang berpesta, dia hanya akan mengganggu saja.
Laksamana Ramirez terlalu agung untuk diganggu urusan aneh itu. Jim
menghela napasnya lagi. Pate mendekat. Dia sudah melihat Jim yang berdiri di buritan.
Tersenyum bergegas ke arahnya, siap memanggil. Sayang didahului oleh
teriakan kelasi lainnya yang juga mendekat ke arah Jim dari sisi lain
Saputan Mala. "hei, kaukah si Kelasi Yang Menangis?"
Jim menoleh, juga Pate yang sudah sepuluh langkah darinya. Siapa pun
yang memanggilnya, pastilah bukan kelasi Pedang Langit, karena mereka
berdua tidak mengenalinya.
"Kaukah si Kelasi Yang Menangis?" Orang itu mendekat. Bertanya lagi
dengan suara yang lebih rendah.
Jim mengangguk pelan. Mengusap wajahnya.
"laksamana Ramirez menunggumu di ruang kerja!"
JIM DAN Pate berpandangan. Si kelasi itu mendesak untuk segera
pergi mengikuti langkahnya. Maka melangkahlah Jim. Menyelusuri
geladak kapal yang ramai. Masuk ke dalam palka kapal. Menuruni anak
tangga, melewati lorong-lorong,
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tiba di kamar tersebut. Itu sebelumnya kamar si Mata Biang. Karena
Laksamana Ramirez memakainya sekarang, yang bersangkutan pindah ke
kamar lainnya. Jim masuk ke ruangan. Tidak ada siapa-siapa di sana kecuali Laksamana
Ramirez yang sedang berdiri menatap lautan luas dari jendela bundar
besar di ruangan tersebut.
Tidak ada pesta di sini, desah Jim dalam hati.
"Ah, Jim. Masuklah! Jangan ragu-ragu!" laksamana Ramirez menegurnya
dengan suara yang berat dan berwibawa.
Jim patah-patah mendekat. Si kelasi yang mengantarnya tadi pergi
entah ke mana setelah menutup pintu. Barulah Jim melihat ada empat
bebal luka di tubuh Laksamana saat dia sudah berada empat langkah
darinya. Luka di paha, luka di dua tangan, dan luka di dekat leher.
"Lihatlah! Pemandangan yang indah, bukan?" Laksamana Ramirez
menunjuk lautan di luar melalui jendela bundar besar. Tersenyum.
Jim mengangguk. Tadi dia menikmatinya dari buritan kapal. Memang
indah. Menatap senyapnya samudra. Jim diam menunggu, meskipun
bibirnya hendak melontarkan puluhan pertanyaan sejak masuk tadi.
Tapi, bukankah dia yang dipanggil"
"Tahukah kau apa arti kemenangan kita tadi?" Laksamana Ramirez
membuka mulut selelah senyap sejenak.
Jim menggeleng tidak mengerti. Pengetahuannya belumlah separuh dari
pengetahuan Pate. "Banyak. Banyak sekali Jim. Besok lusa kau akan tahu dan mengeni
beberapa di antaranya .... Tapi yang amat penting bagimu dan juga aku
adalah kita memang tidak pernah tahu kekuasaan apa saja yang ada di
dunia ini .... Apalagi kekuasaan yang ada di langit
Jim menelan ludah. Pembicaraan itu"Berdirilah di sebelahku, Jim .... Kita akan membicarakan banyak hal
sambil menatap indahnya lautan ...." Laksamana Ramirez memberikan
ruang bagi Jim untuk ikut melihat keluar melalui jendela bundar
tersebut. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Jim menurut. berdiri di sebelahnya. Tinggi mereka berdua amat
kontras. Meski perawakan dan gurat muka sudah tidak berbeda jauh
lagi. Tubuh Jim sudah berubah kekar, penuh bekas luka. Gurat wajahnya
tegas dan gagah. "Aku tahu kau mencuri dengar pembicaraanku dengan orangtua itu
kemarin malam ...." "Maafkan Laksamana Yang Agung .... Aku tak bermaksud ...." Jim
menelan ludah, baru menyadari telah melakukan kesalahan besar, itu
tabiat mata-mata dan penggal kepala hukumannya.
"Ah! Tidak masalah benar .... Lupakanlah .... Kau melihat capung-capung
itu. bukan?" Jim mengangguk.
"Ya, aku juga sama sepenimu, Jim .... Bisa melihat capung-capung itu.
Hanya yang terpilih yang bisa melihat formasi capung tersebut
Jim terdiam. Itu satu informasi baru baginya.
"Tahukah kau, sama sepeni kau. Sang Pe-nandai juga menjanjikan
dongeng terindah yang akan kuukir sendiri dengan tanganku." Laksamana
tersenyum bangga mengatakan itu. Memperlihatkan tangannya.
Seolah-olah dia menyenangi segala takdir aneh yang harus dijalaninya.
Jim menelan ludah, lihailah, dia justru amat terpaksa meyakini kalimat
tolol tersebut. Dia tidak pernah mengerti kenapa harus mengikuti
ekspedisi hidup mati ini. Bagaimana mungkin Laksamana Ramirez di
sebelahnya menganggap semua itu menyenangkan"
"Siapakah Sang Penandai?" Setelah berdiam diri beberapa saat, Jim
memberanikan diri bertanya.
"Bukankah dia sudah menjelaskan dirinya padamu?"
"Aku tak paham benar!" Jim mengeluh, maksud kalimatnya adalah: dia
waktu itu benar-benar tidak berpendidikan, jadi tak mengeni apa
sebenarnya yang dikatakan Sang Penandai.
Laksamana Ramirez mengusap wajahnya yang memesona. Berdiam
sejenak. Mengatur kalimat penjelasannya.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Dia adalah pembual dongeng, Jim .... Penjaga kisah-kisah. Pembuat
kisah-kisah .... Kisah-kisah itu kemudian diwariskan turun-temurun
melalui kakek, ayah, orang-orangtua kita saat mengantar anak-anaknya
beranjak tidur. Disampaikan saat meninabobokan anak-anaknya ....
"Sang Penandai mengukir dongeng melalui orang-orang yang dipilihnya ....
Menggurat dongeng yang dibutuhkan oleh dunia .... Memberikan
pengharapan bagi yang mendengarnya, janji kebaikan, kejahatan selalu
kalah, dan se-bagainya .... Agar kehidupan berjalan jauh lebih baik ..."
Jim terdiam. Menggurat dongeng" Orang-orang terpilih" Kalau begitu
jelas sebuah kesalahan besar saat Sang Penandai memuluskan untuk
memilihnya. "Wahai, apakah dongengmu, Jim?" Laksamana menoleh, bertanya sambil
tersenyum. Jim gagap. Yang pertama karena dia terkejut oleh pertanyaan


Sang Penandai Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendadak itu. Yang kedua, setelah dipikir-pikir dia juga bingung dengan apa sebenarnya dongengnya.
Jim menggeleng. Tidak mengeni.
Laksamana Ramirez tertawa kecil, "Bagaimana mungkin kau tidak tahu
apa yang harus kaulakukan?"
Jim diam lagi. Menahan napas. Mencoba mengingat-ingat.
Senyap lima menit. Kemudian, berkata lemah, kalau dia hanya
diperintahkan untuk mengikuti armada penjelajahan ini. Kepergiannya
pun hanya gara-gara pasukan pemburu bayaran suku Beduin tersebut.
Dia tidak punya pilihan lain.
"Ceritakanlah padaku, Jim! Semuanya
Jim menelan ludah. Lantas mulai menceritakan masa lalunya yang miskin
papa tidak berpendidikan, lemah, dan pengecut di kota terindah
tersebut. Menceritakan pekerjaannya sebagai pemain biola. Pernikahanpernikahan yang dihadirinya.
"Ah, pantas saja kau pandai memetik papan berdawai itu!" Laksamana
tersenyum, memotong. Jim tersenyum tipis.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Dan tibalah Jim di penghujungnya, di bagian yang selalu dihindarinya
untuk dikenang selama seminggu ini, juga selama hampir sepanjang
tahun. Di bagian yang selalu menyakitkan
saat diingat, apalagi saat harus menceritakannya: bagian yang terkait
dengan Nayla-nya. Suara Jim tercekat.
Dia amat terpaksa dan tersiksa menceritakannya. Maka bendungan itu
akhirnya bobol juga. Menceritakannya sama saja dengan mengingat
semua detail. Menceritakannya sama saja dengan mencungkil semua
kepiluan hati. Jim tergugu. Dia berusaha untuk tidak menangis.
Bagaimana mungkin dia akan menangis di depan Laksamana Ramirez yang
menggetarkan puluhan kapal musuh hanya dengan menyebut namanya.
Tetapi Jim tak kuasa menahan diri. Ketika tiba di bagian saat mereka
berpisah di lengah kabul yang mengungkung kota. Ketika mengulang
janji-janjinya. Jim benar-benar terisak. Dia lak lahan lagi. Air itu
meleleh dari matanya. Jim tersedan ....
Laksamana Ramirez pelan memegang bahunya.
Menatapnya bersimpati, memintanya meneruskan cerita.
Saat tiba di bagian kematian Nayla. Jim benar-benar jatuh lunglai
terduduk. Berseru parau. Menyesali betapa bodohnya dia selama ini.
Betapa pengecutnya dia mengambil keputusan. Betapa takutnya dia
mempertahankan satu-satunya
yang pernah ada dan paling berharga miliknya. Jim tersungkur.
Lama tak bisa berkata apa-apa. Kesunyian ruangan itu hanya diisi isak
tangis. Laksamana Ramirez terpekur. Senyap. Jim menutup muka dengan
kedua belah telapak tangannya. Semua ini sungguh menyakitkan. Dia tak
kunjung bisa berdamai dengan masa lalunya. Tak pernah bisa
mengenangnya dengan perasaan yang berbeda.
"Dan pria tua itu datang padaku .... Dia mengatakan: pencinta sejati
tidak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang
menjemput dirinya ...." Jim mengusap pipinya.
Laksamana Ramirez menyerahkan saputangan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Pria tua itu hanya mengatakan itu .... Aku sama sekali tidak tahu apa
yang harus kucari .... Apa yang harus kulakukan ...." Jim tertatih dibantu
Laksamana Ramirez berdiri. Terdiam.
"Ah! Kau punya cerita yang amat menyentuh Jim. Meskipun terus terang
seumur-umur hidupku aku tidak pernah jatuh cinta sepertimu .... Aku
tak paham benar bagaimana mungkin perasaan itu bisa menikammu dalam
kepiluan yang luar biasa. Aku tak pernah mengalaminya ....
"Tetapi, wahai, melihat kau menceritakannya sungguh itu sebuah cerita
yang memilukan. Kau hampir membuat seorang Ramirez yang tidak
pernah menangis dalam hidupnya, untuk pertama kalinya berkaca-kaca
...." Laksamana masih memegang bahu Jim. Bergurau, pura-pura menyeka
pipi. Jim tertunduk. "Sudah berapa kali kau bertemu dengannya?"
Tiga kali ...." Jim tetap menunduk.
Sekali di taman kota, sekali di pekuburan, dan terakhir kalinya saat pria
tua itu menyelamatkannya dari pasukan pemburu bayaran Be-duin.
Betapa semua pertemuan hanya untuk meyakinkan dia tentang dongeng
itu. Dibandingkan dengan pertemuan Laksamana semalam yang berharga
keselamatan armada 40 kapal, Jim tiba-tiba merasa telah menyianyiakan kesempatan.
Dia sungguh tidak tahu aturan mainnya, kan"
Tiga kali, itu berarti sama denganku ...." Laksamana diam sejenak.
Menghela napas panjang. "Aku pertama kali bertemu dengannya saat berusia sembilan tahun. Usia
kanak-kanak yang menyenangkan. Saat itu Ibu dan Ayah benar-benar
menjadi orangtua yang bisa diharapkan .... Mereka bergantian tiap
malam mendongengkan sesuatu, pengantar tidur, bahkan berdua
melakukannya bersamaan. Setiap malam mereka pasti memiliki dongeng
yang berbeda. Kisah-kisah hebat tiada tara ....
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Malam itu aku bertanya pada Ibu .... Dari mana Ibu mendapatkan
begitu banyak dongeng itu. Ibu menjawab dia mendapatkannya dari
kakek .... Aku bertanya lagi, dari mana kakek mendapatkan dongeng
sebanyak itu .... Ibu menjawab dari orangtua kakekku .... Dan
seterusnya. Aku terus bertanya keras kepala, bandel .... Hingga Ibu
terdiam, dan akhirnya menjawab: dari Sang Penandai.
"Aku bertanya kepada Ibu siapakah Sang Penandai" Ibu menjawabnya
tidak ada yang tahu siapa dia sesungguhnya .... 'Dia adalah penjaga
dongeng secara turun-temurun, Ramirez. Dia tiada bandingan. Dia bisa
melesat bagai kilat. Dia bisa berpindah-pindah dari satu waktu ke waktu
lain .... Dia tak terhalang oleh jarak dan waktu .... Tak ada yang tahu
siapa dia "Aku saat itu langsung menyela, 'Kalau begitu Ramirez ingin bertemu
dengannya.' Ibu hanya tersenyum 'Kau bisa setiap saat benemu
dengannya, asal kau menjadi anak yang baik ....' Maka setiap malam
sebelum mata terpejam aku selalu berkata 'Sang Penandai, datanglah
padaku. Bawakan dongeng terindah yang pernah ada
untuk Ramirez .... Sang Penandai, Ramirez berjanji menjadi anak yang
baik "Mungkin lebih sebulan aku melakukan itu. Ibu mulai cemas melihatnya
.... Meski ayah tidak terlalu khawatir .... Ayah entah kenapa tiba-tiba
mulai jarang pulang .... Aku tidak tahu kenapa. Ibu juga hanya berdiam
diri saja .... "Aku tidak peduli dengan pembahan sikap Ayah di rumah, karena aku
sibuk berharap bertemu dengan Sang Penandai .... Di malam yang entah
ke berapa, aku hanya ingat malam itu hujan turun deras .... Tiba-tiba
kamar tidur dipenuhi capung-capung .... Terbang di atas kepalaku yang
bersiap-siap hendak tidur ....
"Aku bangkit, berteriak-teriak senang berusaha menangkapi capung
tersebut .... Sebelum kulakukan, entah datang dari mana, dengan rambut
dan pakaian tanpa basah sebenang pun, orangtua itu sudah berada di
dalam kamar. Duduk di atas meja belajar .... 'Kau tidak akan bisa
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
menangkap capung itu, Ramirez" Orangtua itu tersenyum lebar .... Ajaib
aku tidak merasa takut melihatnya walau dia sama sekali asing ....
"Aku bertanya padanya, 'Siapakah kau"' Pria tua itu menjawab lembut
'Akulah orang yang selama ini ingin kautemui, akulah Sang Penandai
Laksamana Ramirez terdiam. Menghela napas lagi. Wajahnya terlihat
riang sejenak mengingat kejadian tersebut.
"Wahai, aku mengajukan banyak pertanyaan padanya saat itu, berapa
umurnya, tinggal di mana, siapa nama orangtuanya, sekolah di mana, ah
...." Laksamana tertawa.
Jim menggigil bibir, terus mendengarkan.
"Sang Penandai kelabakan menjawab pertanyaan itu, hingga akhirnya dia
mengelus rambutku dengan lembut .... 'Bukankah kau meminta dongeng
terindah yang pernah ada, Ramirez" Aku akan memberikan satu
untukmu' Aku seketika berteriak senang. Di luar hujan turun semakin
deras .... 'Ceritakan sekarang! SEKARANG!' aku membujuknya,
memegang mantel kering dan nyaman yang dikenakannya. Sang Penandai
hanya menggeleng, Tidak Ramirez, kaulah yang akan mengukir dongeng
tersebut dengan tanganmu .... Dongeng terindah yang pernah ada yang
cocok benar dengan masa lalu, masa kini, dan masa depanmu
"Setelah mengatakan itu, orangtua itu lenyap. Aku terduduk kecewa.
Benar-benar kecewa. Dia tidak mau bercerita."
laksamana mengusap wajahnya, sekarang muka itu berubah muram. Ada
denting kesedihan yang tidak pernah terlihat sebelumnya di muka memesona itu.
"Seminggu setelah itu, terjadilah sesuatu yang menyedihkan.
Orangtuaku bercerai .... Ayah yang jarang pulang selama ini ternyata
selingkuh dengan wanita lain .... Pergi begitu saja meninggalkan
kehidupan kami .... Padahal waktu itu Ibu sedang mengandung. Seminggu
setelah kepergian Ayah, setelah menangis sepanjang malam, Ibu
memuluskan mengiris pergelangan tangannya, la mati .... Dengan bayi di
perutnya ...." Laksamana berkata datar.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Jim teringat akan masa lalunya. Pisau pengulit buah apel itu.
"Wahai, sejak itu kehidupanku menjadi suram. Aku sebatang kara.
Tumbuh dengan keke rasan untuk bertahan hidup. Bocah sembilan tahun.
Mulai belajar menebas untuk melanjutkan langkah kaki, mulai belajar
memukul untuk menyingkirkan halangan, dan mulai belajar membunuh
untuk mendapatkan pengakuan ....
"Saat umurku delapan belas tahun, sudah tak terbilang keluar masuk sel
penjara .... Badanku penuh dengan bekas perkelahian, aku tumbuh
menjadi pemuda yang buas. Tak ada perasaan .... Ah, apalagi perasaan
cinta itu, Jim "Hari itu entah apa pasalnya aku membunuh lima orang di rumah makan
tersebut. Bayangkan, hanya dalam perkelahian liga puluh detik, orangorang yang memperolok-olokku itu sudah terkapar di lantai rumah
makan. Berdarah-darah. Polisi kota datang menangkapku .... Kali ini
benar-benar tak akan lolos lagi. Hukuman mati menunggu. Di gantung di
lengah lapangan kota ....
"Malam harinya, aku menyadari betapa keliru jalan yang kupilih,
menyadari semua kesia-siaan hidup, menyadari semua ini bukan salah
Ayah atau Ibuku, semua ini semata-mata salahku .... Tapi bukankah
semuanya sudah terlambat" Di penghujung rasa sesal yang membun-cah
hati, Sang Penandai tiba-tiba datang .... Itu untuk yang kedua kalinya.
"Dia datang begitu saja. Sama dengan yang pertama dulu. Capungcapung terbang memenuhi ruangan sel tahanan. Sang Penandai
tersenyum dan berkata padaku 'Hallo Ramirez, kabarmu sepertinya
buruk Aku hanya diam menatap wajah menyenangkan itu .... Kami
berdiam diri lama dalam sel yang basah, lembap dan bau tersebut.
"Kemudian Sang Penandai berdiri, sepertinya hendak beranjak pergi ....
Aku mengeluh berkata. Tolonglah, sebelum kau pergi. Sebelum
besok tiang gantungan mengakhiri segalanya, tolong ceritakan dongeng
terindah yang pernah kaukatakan dulu. AKU MOHON
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Sang Penandai menatapku tersenyum, tidak menjawab. Aku panik
'Kautahu besok aku tak akan hidup lagi .... lolonglah, di penghujung
malam yang menyedihkan ini aku hanya ingin mendengar dongeng itu!'
"Sang Penandai mendekat. Mengelus rambutku sama seperti dulu,
kemudian berkata 'Kau-lupa Ramirez, bukankah sudah kubilang, kau akan
menggurat dongeng itu dengan tanganmu. Kita lihat saja. Jika pemilik
semesta alam memaafkanmu besok, dengarlah kata-kataku, pergilah ke
ibukota .... Kau akan memulai dongeng hebat itu di sana .... 40 kapal
mengapung di lautan bagai kota yang bergerak mengambang .... 40 kapal
mengapung di lautan menuju Tanah Harapan ....' Dan pria tua itu lenyap.
Seketika." Laksamana terdiam. Jim ikut terdiam.
"Esoknya, keajaiban itu benar-benar terjadi .... Lima kali algojo
berusaha menggantungku, lima kali tali yang diikalkan putus begitu saja.
Seluruh penduduk kota yang menonton di lapangan eksekusi berseni
tertahan. Semuanya menjadi ricuh. Seseorang yang bijak, tetua kota
mendekat, 'Dia membunuh lima orang, lima tali sudah putus .... Itu
berani kelimanya sudah memaafkan. Biarkan dia pergi. Kita usir saja pemuda ini jauh-jauh ....
Agar bala menjauh dari kota!'
"Orang-orang menyetujui ide tersebut, di samping mereka sebenarnya
mulai takut akan sesuatu .... Bukankah mengerikan sekali melihat lima
kali tali gantungan putus begitu saja?" Laksamana tersenyum mengingat
kejadian aneh tersebut. "Dan, mulai hari itu aku menuju dan tinggal di ibukota .... Menjalani
dongeng tersebut. Aku tidak ragu lagi.... Aku ingin melakukannya. Aku
percaya pada takdirku .... 40 kapal mengapung di lautan, bagai kota yang
bergerak mengambang .... 40 kapal mengapung di lautan bagai menuju
Tanah Harapan Laksamana memandang jauh lautan. Cahaya matahari pagi menyemburat
Jingga di kaki timur cakrawala.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Kalau begitu dongengmu adalah menemukan Tanah Harapan?" Jim
bertanya pelan. Laksamana hanya tertawa. Tidak menjawab.
Senyap. Menatap jauh ke depan melalui jendela bundar. Sungguh
memesonakan memandang matahari terbit.
Jim teringat orang-orang Beduin itu.
"Kenapa orang-orang Beduin itu mengenali Sang Penandai?"
Laksamana menoleh, "Karena mereka masih memiliki tradisi bercerita
lisan yang hebat. Bangsa mereka memiliki kebiasaan dongeng yang luar
biasa .... Maka lebih banyak dari mereka yang mengenali siapa Sang
Penandai. Juga ibuku .... Meskipun mereka hanya meyakini itu sekadar
legenda!" Jim menelan ludah. Terdiam lagi. Legenda"
Matahari semakin tinggiPUNCAK ADAM!
Armada 40 kapal laksamana Ramirez akhirnya berhasil melepas sauh di
kota pelabuhan terdekat dua hari kemudian. Semua kapal merapat ke
dermaga. Membuat kota itu tiba-tiba membesar jika dilihat dari langit.
Yang mengejutkan seluruh penduduk kota menyambut mereka dengan
suka cita. Bahkan walikota menyempatkan diri menyambut langsung
laksamana Ramirez di Pedang Langit, menaiki jung kecil, memeluknya
erat. Berterima kasih, "Rajak laut itu sudah menyusahkan kami sepuluh
tahun, Laksamana Yang Agung. Perdagangan tidak berkembang,
kemakmuran rakyat saban hari mundur! Kalian sungguh pahlawan kota
ini." Laksamana Ramirez tersenyum, benar-benar kejutan.
Armada Kota Terapung memerlukan banyak pekerja, kayu, pasak, layar,
tali, kemudi, dan berbagai peralatan lainnya untuk memperbaiki Pedang
Langit dan sembilan kapal. Sambutan yang meriah ini berani banyak.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Tak ada tukang kayu pembuat kapal sebaik kota ini di seluruh benua
selatan." Walikota mengacungkan gelas. Toast!
Armada penjelajah itu juga memerlukan banyak kelasi dan prajurit baru.
Untuk mengganti ratusan pelaut yang tewas dalam pertempuran 40 hari
tersebut. "Tak ada pelaut yang lebih tangguh dibandingkan anak-anak muda kota
pangkal benua-benua selatan ini ...." Walikota mengacungkan gelasnya
sekali lagi. Toast! Mereka juga membutuhkan makanan, minuman, obat-obatan, dan
berbagai keperluan kapal lainnya untuk melanjutkan perjalanan. "Kami
bisa menyediakannya dengan senang hati!" Ucapan walikota disambut


Sang Penandai Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seruan setuju para pejabatnya.
Yang tidak mereka sediakan hanyalah waktu. Memperbaiki kapal butuh
waktu lama. Dengan pekerja seratus orang sekali pun kapal-kapal itu
membutuhkan sedikitnya masa empat bulan,
itu kata Pate tadi sore, setelah mereka kembali ke penginapan yang
disediakan untuk rombongan.
Kelasi dan prajurit rendahan kembali ke kabin masing-masing.
Sementara prajurit dan kelasi senior diundang walikota menginap di
seluruh kamar penginapan yang tersedia di kota itu. Laksamana Ramirez
tidak terlalu suka dengan pembagian tersebut, tapi awak kapalnya yang
kembali ke kapal mengangkat bahu, baik-baik saja, "Kami bisa berpesta
lebih larut kalau begitu. Laksamana! Tidak ada yang akan mengomel!."
Tertawa. Jangankan tidur di mana malam ini, setelah menyaksikan sendiri betapa
pintar, hebat, dan berwibawanya Laksamana Ramirez memimpin
pertempuran memukul legenda perompak Yang Zhuyi itu, diperintahkan
untuk tidak tidur sepanjang sisa tahun pun mereka menurut. Bukan main!
Jim dan Pate mendapatkan jatah penginapan. Tidak. Mereka bukan lagi
kelasi atau prajurit kelas rendahan. Sehari yang lalu sebelum merapat
ke kota itu, si Mata Elang, dengan perintah Laksamana Ramirez
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
mengangkat mereka berdua menjadi panekuk kembar. Pemimpin 48
prajurit lainnya. Kelihaian permainan pedang Pate dan betapa dinginnya mata Jim di
minggu-minggu terakhir pertempuran gerilya perompak Yang Zhuyi
membuat mereka layak naik pangkat.
"Kita tidak akan bisa lagi memanggilnya si Kelasi Yang Menangis!" Si
Mata Elang mencoba bergurau. Percuma, raut muka Si Mata Elang sama
sekali tidak berubah menyenangkan meski mencoba tertawa. Sudah
terlalu menyeramkan memang.
Meskipun demikian prajurit dan kelasi lainnya bertepuk tangan, tertawa
mendengar kalimat tersebut.
"Kita mulai hari ini akan memanggilnya si Panekuk Yang Menangis!" Seru
seseorang. Orang-orang benar-benar tenawa sekarang. Pate nyengir.
Jim ikut tertawa. Dia memang sudah berubah. Bahkan berubah banyak
sekali. Jim bukan lagi si pengecut yang tidak berpendidikan dulu.
"APA YANG akan kaulakukan besok pagi-pagi?" Jim benanya pada Pate.
Yang ditanya sedang menatap seluruh isi kota dari lantai tiga
penginapan. Malam beranjak matang.
Orang-orang di kota itu maju sekali dalam urusan arsitektur dan bentuk
bangunan. Rumah-rumah tinggi. Atap-atap rumah yang melengkung indah. Lampion-lampion indah tergantung di setiap sudut atap.
Membuat kota bercahaya indah. Apalagi, malam ini penduduk kota
menambah dua kali lipat jumlah lampion menyambut kemenangan
mereka. Bulan sabit tergantung di langit. Bintang-ge-mintang bak ditumpahkan
membentuk ratusan formasi elok. Pate justru termenung menatap siluet
hitam gunung di kejauhan.
"Aku akan ke sana besok pagi-pagi!" Suara Pate antara terdengar dan
tidak. Jim menoleh, agak terkejut.
"Ke mana?" Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Gunung-" "Gu-nung?" Pate mengangguk mantap. "Buat apa?"
"Jim, aku mengenal benar kota ini .... Aku masih ingat setiap detail yang
diceritakan pendeta di gereja tua itu. Dia setiap hari sepanjang tahun
menyebut-nyebut puncak gunung itu, berharap pernah menjejakkan kaki
di sana meski hanya sekali sebelum mati .... Menyebut-nyebut itulah
mimpinya yang tak pernah berhasil dia wujudkan .... Dan sayang dia
memang tak akan pernah tiba di puncak gunung itu .... Puncak tempat
orang pertama di dunia konon diturunkan .... Puncak Adam .... Pendeta itu lebih dulu meninggal karena uzur
Jim menatap bingung. Ikut menatap ke arah gunung itu.
"Aku ingin melihatnya .... Setidaknya setelah kembali nanti aku bisa
berdiri di depan makam pendeta yang baik hati itu. Aku akan bilang ke
pusaranya kalau aku sudah pernah menginjak Puncak Adam atas nama
dia .... Aku ingin berterima kasih atas segala kebaikannya selama ini
dengan mewujudkan mimpinya
Pate menyeringai. Jim menatapnya tetap tidak mengerti.
"Tenang saja, kita paling membutuhkan waktu liga bulan untuk tiba di
atas sana .... Lebih dari cukup sebelum armada 40 kapal Laksamana
Ramirez kembali melaut. Anggap saja berlibur setelah hampir setahun
hanya menatap air-air-dan-air Pate tersenyum tipis.
jim menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin menuju puncak gunung itu
hanya dianggap berlibur, dan Pate relaks berucap tak ada yang perlu
dicemaskan. Jim menelan ludah Bagi Pate hidup ini memang seperti
main-main. Atau jangan-jangan memang begitu"
"Kau mau ikut?"
"En-tah-lah!" ESOK PAGINYA, Jim memutuskan untuk ikut sepenuh hati. Bagaimana
mungkin setelah kebersamaan setahun yang penuh arti di Pedang Langit,
Jim membiarkan Pate pergi ke atas gunung itu sendirian" Si Mata Elang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ringan-hati mengizinkan prajurit Armada Kota Terapung ke mana saja
sepanjang siap berangkat kembali empat bulan kemudian.
"Setidaknya setelah pulang nanti, kalian akan terlihat lebih kuat ....
Mendaki gunung bukan urusan mudah, bukan?" si Mata Elang
menyeringai, raut mukanya mencoba tersenyum. Sayang, malah
mengerikan. Belakangan, selepas pertempuran 30 hari dengan perompak
Yang Zhuyi, Si Mata Elang berusaha keras terlihat lebih ramah.
Laksamana Ramirez hanya berkata datar 'Selamat jalan' saat Jim
mengatakan dia akan pergi menemani Pate. Kembali sibuk menuliskan
sesuatu, tenggelam dalam pekerjaannya, peta-peta kuno berserakan di
meja .... Setelah Jim menghilang dari balik pintu. Laksamana bergumam
pendek, "Dia memang perlu melakukan hal-hal baru! Berdiam diri selama
empat bulan di sini bisa membuat luka itu terbuka kapan saja."
Maka pagi itu Jim dan Pate siap berangkat. Berdua. Pate merasa dia
mengenal betul wilayah itu, meskipun sama sekali belum pernah menjejakkan kakinya. Pejabat kota menyiapkan dua ekor kuda lengkap
dengan perbekalan. "Dengan kuda ini, kita bahkan bisa melakukannya hanya dalam waktu
satu setengah bulan saja!" Pate berkata riang. Jim mengangguk. Tidak
punya ide tentang apa yang akan mereka lewati. Hutan" Apa gunanya
membawa kuda. Mereka dilepas oleh beberapa prajurit menjelang tengah hari, dan
dengan mantap Jim dan Pate menggebah kuda menuju kaki gunung
tersebut. Berjalan bersisian.
BUKAN GUNUNG itu yang penting bagi Jim. Dia tidak tertarik berdiri
di Puncak Adam. Tetapi Pate! Jim merasa perlu menemani Pate, teman
baiknya yang pernah menyelamatkan nyawanya di pertempuran 30 hari.
Perjalanan menunggang kuda ternyata menyenangkan. Jim yang dulu
pernah sekali-dua mencoba menaiki kuda milik Marguirette sewaktu
bocah, mengingat pelajaran itu dengan baik. Dengan cepat mereka sudah
meninggalkan kota pangkal benua selatan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Hutan lebat menghadang. Itu juga bukan masalah besar. Ada jalan
setapak di dalam hutan rimba. Jalan yang lazim digunakan pemburu
perambah, atau pengelana lainnya. Mereka bermalam di sembarang
tempat saat gelap mulai menyergap. Pate menghidupkan api untuk mengusir binatang buas.
Membuat tempat tidur seadanya dari kayu dan daun.
"Kau tidak ingin membayangkan kita terbangun sudah di mulut harimau
bengali, kan?" Pate tertawa sambil melemparkan kayu berikutnya.
Membuat nyala api semakin terang. Jim yang tidak pernah melihat
harimau mencoba membayangkan. Sayang dia justru menggambar singa
dalam benaknya. Mereka menghabiskan malam dengan bercerita.
"Puncak Adam adalah tempat konon orang pertama di dunia, Adam,
diturunkan. Balasan atas pembangkangannya dengan Hawa .... Bagi semua
agama puncak itu suci, Jim .... Menurut penduduk setempat, dengan
kepercayaan setempat, puncak gunung itu adalah tempat tetirah dewadewa mereka.
"Pendeta tua yang mengasuhku dalam igau-annya sebelum mati berkata:
'Aku tidak akan pernah mewujudkan dongeng itu .... Menginjakkan kaki
ke puncak Adam! Tidak akan pernah!' Dongeng" Ah, aku tidak tahu
maksudnya .... Yang penting setidaknya aku bisa membantu pendeta
mewujudkan keinginannya. Kakiku akan mewakilinya ...." Pate tersenyum,
bergurau menunjukkan kaki besarnya.
Jim tertawa, menyerahkan daging bakar ke Pate. Aroma daging kelinci
itu tercium hebat. Hasil buruan Jim tadi siang.
Mereka menghabiskan sisa malam dengan mendengarkan Jim memainkan
papan berdawai. F-sok perjalanan masih panjang. Dan tak ada yang tahu
apa yang menunggu mereka.
TAPI TIDAK terjadi apa-apa sepanjang sisa perjalanan. Di akhir minggu
ke empat, Jim dan Pate menyentuh kaki gunung tersebut. Memandang
ke atas, hati Jim gentar. Dilihat dari jarak, gunung itu begitu besar,
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
begitu gagah. Diselimuti kabut misterius yang menggumpal. Hutan
belantara semakin rapat menghadang. Tak ada lagi jalan setapak
penduduk. Jim dan Pate acap kali bertemu dengan perkampungan petani dan
pemburu sepanjang perjalanan. Jalan-jalan setapak itu merekalah yang
membuatnya. Karena Jim dan Pate tidak berniat jahat, penduduk
perkampungan itu tidak mengganggu mereka. Sepertinya kalau sudah
tiba di lereng gunung, tidak ada lagi orang yang begitu bodoh mau
bermukim di atas sana. Di lereng-lereng gunung hanya terlihat kabut
yang bagai kapas putih mengambang. Senyap.
"Ayo!" Pate menarik tangan Jim sebelum yang ditarik sempat berpikir
kenangan kabul perpisahan di pagi itu.
Mereka terpaksa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. lerenglereng itu terlalu terjal untuk didaki dengan kuda. Mereka sendiri pun
kesulitan menjejak tanah yang licin dan berlumpur. Lembah-lembah
dalam membentang di kiri-kanan. Membuat Jim dan Pate tersendatsendat.
Menurut perhitungan Pate, dari kaki gunung, membutuhkan setidaknya
dua hari untuk tiba di Puncak Adam. Pate sepertinya mengetahui benar
semua seluk-beluk perjalanan. Termasuk detail lereng yang akan
dilewati. "Pendeta tua itu punya catatan lengkap tentang Puncak Adam,
Jim! Aku mencoba mengingatnya kembali ...."
Hanya satu yang tak diketahui Pate! Di dua per tiga perjalanan menuju
puncak, di lereng yang melandai lebar, ternyata ada sebuah
perkampungan. Ada berkisar tiga hingga lima puluh rumah panggung di
sana. Berjejer sempurna menghadang jalan ke puncak gunung.
Senja menjelang saat mereka tiba di lereng landai tersebut, Pate
terheran-heran menatap pemukiman tersebut. Ini bagian yang tak
pernah didengarnya dari pendeta tua. Atau mungkin pendeta itu lupa
mencatat bagian ini. Kampung
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
di hadapan mereka terlihat eksotis. Rumah-rumah kayu berdiri kokoh
dengan kolong besar di bawahnya. Beratap daun enau, berjendela besarbesar. Bagian depan rumah di penuhi ukiran binatang dan tumbuhtumbuhan. Memesona.
Patung-patung kayu besar yang entah apa maksudnya berjejer di setiap
sudut pemukiman. Patung kayu yang bagai dewa-dewa penjaga tempat.
Memegang parang besar. Ketika Jim dan Pate tiba di pemukiman tersebut, matahari beranjak
tenggelam. Cuaca terasa sejuk dan menyegarkan sebagaimana mestinya
di ketinggian gunung. Pemukiman terlihat redup oleh temaram sinar
mentari sore yang menerabas sela dedaunan pohon.
Anak-anak berlari menyambut mereka: "La-ngasing .... Langasing!"
Berteriak-teriak. Mendekat tidak takut. Ibu-ibu yang sedang berdiri
entah menumbuk apa di bawah kolong rumah menoleh. Para lelaki muda
yang sedang duduk di beranda juga menoleh ke arah mereka.
Jim dan Pate terkejut menemukan ternyata masih ada orang yang
bermukim di daerah terpencil itu. Tidak kalah terkejutnya dengan
penduduk kampung itu sendiri. Sudah lama mereka tidak kedatangan
tamu. Dan sekali datang, ternyata perawakan, raut muka, bahasa,
pakaian dan lain sebagainya amat berbeda.
Malam itu mereka diterima di rumah Kepala Kampung. Barang-barang
mereka disita oleh beberapa pemuda yang menggantungkan parang
besar di pinggang, mungkin penjaga kampung itu. Pembicaraan dengan
mimik muka dan gerakan tangan berjalan lamban dan sulit. Tetapi
setidaknya Pate mampu menerjemahkan satu-dua kalimat penting.
"Mereka mengucapkan selamat datang ...."
Jim mengangguk. Meskipun gerakan tangan dan mimik muka penduduk
pemukiman itu sama sekali tidak mirip dengan ucapan selamat datang.
Lebih mirip dengan orang yang bertanya amat curiga dan sangat hatihati: apa keperluan kalian ke puncak gunung"
"Mereka bilang mereka senang kita berada di
sini Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Jim lagi-lagi hanya mengangguk mengiyakan. Semakin bingung dengan
kemampuan membaca bahasa tangan Pate.
Pate menunjuk-nunjuk puncak. Menemukan ujung jari-jarinya: gunung.
Memainkan telunjuk dan jari tengahnya: berjalan. Menggerak-gerakkan
bahunya: mereka berdua mau ke puncak sana.
Tetua kampung dalam ruangan besar seketika berseru ramai. Di manamana seruan tidak atau jangan itu sama saja. Baik gurat muka maupun
simbol tangannya. Tapi Pate berbisik, "Jim,
mereka terkejut dan gembira saat tahu kita akan pergi ke sana ..."
Jim menelan ludah. Menatap Pate prihatin.
Barulah setelah satu jam berlalu, kedua belah pihak saling mengeni.
Tetua kampung mengatakan: puncak itu terlarang. Mereka ditugaskan
turun-temurun menjaga puncak itu tetap suci dari jamahan manusia.
Pate bersikeras akan ke sana. Tetua kampung berseru marah. Pemudapemuda yang memegang parang mengacungkan senjatanya. Mereka
dengan senang hati akan menerima tamu yang datang ke kampung itu.
Tapi jika tamu itu berniat menginjakkan kakinya di puncak tersebut,
nyawa bayarannya. Situasi memanas. Pate menolak mendengarkan, balas berseru-seru.
Bersikeras tetap ke sana. Jim langsung menarik tangan Pate Berbisik.
Mengalah. Lebih baik tidur. Besok pagi seiring berjalannya waktu
mungkin tetua tersebut berubah pikiran. Mungkin mereka bisa
membujuknya dengan memberi hadiah. Atau mungkin mereka berdua
bisa pergi secara sembunyi-sembunyi tanpa perlu izin dari mereka.
Pate menghela napas. Menurut. Penemuan bubar tanpa kesimpulan. Saat
itulah Jim tidak menyadari, kalau dia sudah bukan Jim yang dulu lagi.
Jim yang gamang mengambil kepu-tusan takut dengan masa depan. Jim
sekarang sungguh sudah berubah menjadi pemuda yang bijak.
KARENA KELELAHAN mendaki sepertiga gunung kemarin, Jim bangun
kesiangan. Badannya penat. Apalagi semalam tidur larut selepas
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
bertengkar dengan tetua kampung, ditambah pula dengan menghabiskan
waktu untuk membujuk Pate agar sedikit bersabar.
Jim tidak terbangun oleh suara kokok ayam yang berisik saat fajar
menyingsing di kampung tersebut, juga tidak oleh Pate yang selalu
membangunkannya di kabin kecil di atas Pedang Langit. Pate sepagi itu
entah sudah pergi ke mana, membiarkan Jim terlelap. Pate malas
membangunkan Jim, malas kalau Jim lagi-lagi membujuknya bersabar
untuk naik ke puncak gunung.
Jim dibangunkan oleh sesuatu.


Sang Penandai Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesuatu yang amat dikenalinya. Petikan dawai.
Jim bergegas berdiri. Menyeka muka. Melemaskan seluruh badannya
yang terasa pegal. Nyaman menggeliat di pagi yang sejuk. Melangkah
perlahan keluar dari rumah panggung. Suara itu terdengar sayup-sayup.
Jim mengenalinya. Tak mungkin Pate yang mengambil papan ber dawai
dan memainkannya. Pate tidak berbakat untuk menyanyikan lagu seindah
itu. Jim tercekat. Baru menyadari kalau lagu itu terdengar jauh lebih indah
dibandingkan pelikan dawainya. Nadanya teratur rapi dan baik. Dengan
irama yang belum pernah didengarnya.
Jim turun meloncati tiga anak tangga sekaligus.
Suara dawai itu terdengar dari belakang perkampungan. Jim menuju ke
sana. Di punggung perkampungan terdapat sungai kecil. Lebarnya tiga
depa pemuda dewasa. Airnya dangkal selutut. Bening bergemericik.
Bebatuan besar bergeletakan di sekitar sungai. Jim menelan ludah. Di
atas salah satu batu, duduk dengan anggunnya seorang gadis berambut
panjang, mengenakan pakaian setempat, memangku sebuah papan ....
Bukan! Itu bukan papan berdawai seperti miliknya. Bentuknya lebih
indah .... Gadis itu memetik dawai-dawai yang lebih indah lagi.
Jim terdiam melihat siluet pandangan di hadapannya. Cahaya matahari
pagi membungkus tubuh si gadis. Gadis itu menatap ke gemerincik
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
beningnya air sungai. Mukanya terlihat separuh. Dan hati Jim seketika
bergemerincik separuhnya.
Gadis itu cantik tak terbilang. Mukanya putih bersinar. Matanya hijau
elok. Di pipi kanannya tersembul lesung pipit. Jim bergetar melangkahkan kaki, mendekat.
Matanya tak lepas dari menatap cahaya muka tersebut. Oh Ibu,
bagaimana mungkin perasaan itu kembali datang menghujamnya"
Karena tidak berhati-hati, kaki Jim tersandung batu koral di dasar
sungai. Jatuh berde-bam ke dalam dinginnya air pagi hari.
Betikan dawai terhenti. Jim buru-buru bangkit.
"Maafkan aku ...." Jim menelan ludah, menatap gadis itu yang sedikit
kaget, banyak takut-takut melihatnya. Badan Jim kuyup, sekuyup
hatinya. Ah, setidaknya air membuatnya tersadarkan oleh
keterpesonaan. Jim melangkah lagi. Tersandung lagi. Hampir
terjerembab. Berhasil mengimbangkan badannya.
"Tapepa." Gadis itu mengucapkan kata yang tak dimengerti Jim. Seperti
waktu itu. Mereka berbeda bahasa satu sama lain. Tapi sekarang tidak
ada Marguirette. Urusan ini akan sulit, seperti perdebatan mereka
dengan tetua semalam. Gadis itu perlahan mengenalinya. Salah satu dari langasing kemarin sore.
Orang-orang dari peradaban luar. Orang-orang bawah gunung
Sebenarnya sudah lama gadis itu ingin mendengar cerita tentang
peradaban luar. Maka dengan tersenyum, ia turun dari batunya. Berusaha membantu Jim.
Tangan gadis itu menyentuh lengan Jim. Dan seketika berdesirlah hati
Jim, tak tertahankan. Tumpah ruah. Membuat hatinya kuyup, sekarang
lebih dari basah pakaiannya.
Gadis itu sungguh cantik.
Mereka tidak banyak bicara beberapa jenak. Apa pula yang harus
dikatakan jika tidak mengerti satu sama lain. Jim pelan mengibaskan
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
rambutnya yang basah. Gadis itu beranjak duduk lagi di atas batu besar.
Jim duduk di batu yang lebih kecil, sebelahnya.
Tangan Jim menunjuk alat musik yang ada dalam dekapan gadis
tersebut. "Arpa..." Gadis itu mengucapkan sesuatu. Jim mengulurkan
tangannya, menggerak-gerakkan jarinya seperti Pate semalam: boleh
aku pinjam" Gadis itu pelan menyerahkan Arpa-nya.
Benar-benar alat musik yang indah. Jim menelan ludah, betapa halusnya
alat musik tersebut. Dibandingkan papan kayu kasarnya, pembuat alat
musik yang ada di pangkuannya hebat. Juga dibandingkan dengan
biolanya dulu sekalipun. Dawai-dawainya nyaman disentuh. Jim memetiknya. Nada yang keluar
sempurna. Tak meleset satu getaran pun. Terbawa oleh perasaan
yang muncul dan takjub dengan alat indah tersebut, Jim memainkan
sebuah lagu. Lagu yang dia buat malam itu, saat ditegur pertama kali
oleh Laksamana Ramirez. Lagu yang keluar begitu saja.
Gadis itu terpesona. Sungguh sebuah lagu yang indah. Dan saat Jim
berhenti memainkan dawai, gadis tersebut berkata sesuatu. Jim tak
mengerti apa aninya. Tetapi dia tahu apa maksudnya, sama seperti
ketika dia pertama kali mengenal Nayla di kota terindah itu dulu,
kalimat itu adalah: "Mainkanlah satu lagu istimewa lagi untukku!"
URUSAN DI pemukiman lereng Puncak Adam itu berubah jadi kapiran
bagi Pate. Tetua kampung tenis bersikukuh menolak memberikan izin
baginya. Dan Pate sama sekali tidak terbantu dengan perubahan sikap
Jim. Apalagi saat Pate menyadari Jim semakin dekat dengan gadis
berambut panjang tersebut.
Dua hari berlalu tanpa kemajuan. Sekarang ke mana saja Pate pergi,
tetua kampung menugaskan dua orang pemuda untuk menjaganya,
lengkap dengan parang besar di tangan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Pate banyak mengomel, mondar-mandir, dan diam-diam mencari rute
terbaik menuju puncak gunung. Siapa tahu dia bisa melakukannya tanpa bilang. Sayang
satu-satunya jalan menuju puncak gunung melewati gerbang belakang
perkampungan, sekarang penjagaannya sudah dilipat-gandakan.
Jim dan gadis berlesung pipit itu hari saban sering ditemukan
memainkan Arpa di atas bebatuan besar belakang perkampungan. Jim
malu-malu menunjukkan papan kasar berdawainya Gadis itu tidak
menertawakan, tersenyum malah. Mengambilnya lembut dari pangkuan
Jim, mencoba memetiknya. Karena alat musiknya buruk lagu yang keluar
tak seindah biasanya. Tapi bagi Jim lagu tersebut terdengar bak lagu
terindah yang pernah dia kenal.
Tanpa disadari, urusan itu pelan-pelan juga menjadi kapiran bagi Jim. Di
hatinya entah bagaimana caranya mulai tumbuh tunas-tunas harapan.
Mulai bersemi perasaan-perasaan itu.
Jim sejenak sempurna lupa Nayla-nya, kekasih sejatinya .... Ah, tidak
juga, desah Jim menipu hatinya, Nayla memang cinta pertamanya, tapi
bukan cinta sejatinya. Dulu sekadar jatuh cinta pada pandangan
pertama. Jim menyeringai .... Sama saja, bukan" Dia juga menyukai gadis
bermata hijau ini pada pandangan pertama.
Bukankah boleh-boleh saja dia menyukai gadis-gadis lain. Cinta itu bisa
datang lagi. Dan mungkin untuk yang satu ini, jauh lebih sejati. Gadis ini juga terlihat
menyukainya. Tertawa bersama di atas bebatuan sungai. Menatap senja
tenggelam di balik pepohonan. Saling memercikkan air ke wajah. Basah.
Hati Jim juga basah oleh harapan baru.
Gadis itu anak tunggal Kepala Kampung. Karena Jim tidak menunjukkan
minat ke puncak gunung, tetua pemukiman tidak keberatan dengan
tindak tanduk Jim di perkampungan. Termasuk berhubungan dengan
anak gadisnya. Tidak ada pengawal yang menungguinya, seperti Pate
yang selalu dijaga oleh tiga-empat pemuda bersenjata parang besar.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
HARI KEEMPAT, gadis itu mengajak Jim entah ke mana. Mereka
menuju sebuah lembah yang curam. Gesit gadis itu menuruni tanah
becek yang terjal Sementara Jim sudah dua kali tergelincir. Pakaiannya
kotor oleh lumpur. Rambutnya berantakan. Gadis itu tertawa
melihatnya. Mereka sejauh ini memang tak bisa berkata-kata langsung dan saling
mengerti satu sama lain dengan ucapan, tetapi cara mereka
berkomunikasi jauh lebih bermakna dibandingkan sebuah perbincangan
panjang dan akrab berhari-hari. Jim bisa mengerti hanya dengan
menatap paras cantiknya. Dan gadis itu juga sebaliknya.
Mereka tiba di dasar lembah dan Jim menelan ludah melihat
pemandangan di depannya. Terpesona. Lebar lembah itu mungkin hanya
seluas geladak kapal Pedang Langit. Tanah menghampar datar. Yang
membuatnya indah adalah tak ada pepohonan di sana. Hanya ada tiga
rumpun salak liar yang berdiri berdekatan Rumput tumbuh pendek di
sekeliling salak tersebut. Membuainya seperti permadani.
Gadis itu menggamit tangan Jim, mendekati rumpun salak yang berbuah
lebat. Buahnya yang bunting bertumpuk-tumpuk menggiurkan. Jim
menatap gadis itu. Gadis itu mengangguk Tangan Jim meraih salah satu
buah salak. Dia tidak pernah membayangkan pohon salak terlihat
seindah ini. Dia pernah beberapa kali menikmati buah itu di rumah
Marguirettc. Tapi rasa salak liar yang sekarang dicicipinyi sungguh lebih
lezat. Jim bersitatap dengan gadis itu lagi. Saling tersenyum.
Mereka berdua menghabiskan senja dengan duduk-duduk di bawah
pohon salak beralaskan rumput tipis yang menghijau. Saling berbincang
dengan menggurat tanah dan menggerakkan tangan. Gadis itu banyak
bertanya dunia luar, dan cerita Jim tentang armada 40 kapal lebih dari
cukup untuk menimbulkan kekaguman dari gadis mana pun di seluruh
dunia. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Ketika matahari beranjak tenggelam, mereka berpegangan tangan,
kembali mendaki lereng lembah menuju pemukiman. Dengan hati mulai
mendendang denting dawai cinta.
Ah, urusan ini akan seperti apa ujungnya.
"DARI MANA saja kau?" Pate bertanya gusar.
Jim menjawab dengan menumpahkan lima buah salak dari saku
celanannya ke tangan Pate. Dua di antaranya terjatuh, saking besarnya,
tidak muat di tangan Pate
Pate menyeringai bingung.
Pate hendak membicarakan hal penting dengan Jim. Setelah mengamati
berhari-hari, dia tahu setiap jam empat pagi, pos penjagaan di belakang
pemukiman itu kosong, karena semua penduduk bersiap-siap melakukan
ritual pagi mereka. Pate tidak peduli ritual apa yang mereka lakukan,
yang dia peduli, itulah waktu terbaik baginya kalau ingin pergi diam-diam
ke Puncak Adam. "Mungkin kita urungkan saja rencana itu!" Jim berkata pelan sambil
membuka kulit salak. Pate menatapnya galak. Jim tidak memerhatikan.
"Maksudku, kita tidak akan bertengkar dengan penduduk kampung hanya
untuk melihat puncak gunung tersebut, kan" Maksudku bukankah ada
banyak sekali gunung di benua selatan" Carilah yang tidak dijaga
puncaknya ...." Cara berpikir Jim memang sedang berbeda, ganjil. Dan
dia mengucapkan kalimat itu santai, tidak sensitif.
Sebenarnya maksud kalimat Jim sederhana: bagaimana mungkin dia akan
bertengkar dengan Kepala Kampung mengingat hubungan Jim dengan
anak gadisnya, bukan"
Pate memandang sebal. Mengembalikan biji salak yang telah dimakannya
ke tangan Jim. Maksud Pate juga jelas: dia tetap akan pergi ke puncak
gunung, meski Jim tidak ikut bersamanya.
Jim mengangkat bahu. Pembicaraan selesai.
Malam itu Jim dan Pate bermimpi tentang dua hal yang berbeda, yang
membuat esok pagi mereka juga berbeda sekali.
Mimpi yang mengungkit masa lalu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Pate bermimpi saat-saat terakhir pendeta tua itu sebelum
mengembuskan napas. Pendeta tua berkata terbata sambil terbatuk
tentang Puncak Adam. 'Dari sana kau bisa mendengar malaikat-malaikat
berbicara, bahkan kalau sedikit beruntung kau bisa mengajak mereka
berbicara, Pate. Ah ... aku tidak akan pernah bisa mewujudkan dongeng tersebut .... Tidak akan
pernah bisa Sementara Jim di saat yang bersamaan entah apa pemicunya bermimpi
tentang perpisahannya dengan Nayla ketika kabut menyelungkup kota
terindah tempat kelahirannya. Bermimpi kenangan-kenangan yang
selama ini susah payah dilupakan. Masa lalu yang selalu saja membuat
hatinya pilu dan terluka. Kenangan yang seminggu terakhir tersingkirkan
oleh gadis berambut panjang, bermata hijau, dan berlesung pipit itu.
"Berjanjilah kau akan selalu mengirimkan surat!" Nayla berbisik ke
telinga kekasihnya "Aku akan mengirimkan satu surat setiap harinya!" Jim berjanji,
meskipun dia sama sekali tak pandai menulis dan membaca.
"Berjanjilah suatu saat kau akan datang ke ibukota. Meminangku!"
"Aku akan datang ke sana. Meski itu adalah hal terakhir yang dapat
kulakukan di dunia ini..."
Jim terbangun. Cahaya matahari menerobos jendela kamar.
N-a-y-l-a. Bibirnya kelu menyebut nama sang kekasih pujaan hati yang
seminggu terakhir terlupakan. N-a-y-l-a! Dan bagai desing jutaan anak panah,
kenangan itu menerobos, membongkar seluruh pertahanan Jim.
Membolak-balik hatinya. Apa mau dikata hati Jim sedang terbuka. Gadis kampung pemetik dawai
itu membuat jendela hatinya menganga lebar-lebar. Pertahanannya yang
muncul bagai karang setelah pertempuran 30 hari dengan perompak
Yang Zhuyi jebol. Dan dialah sebenarnya yang membukanya sendiri saat
berharap banyak dengan anak gadis Kepala Kampung.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Jim tak pernah menyangka, di saat hatinya sedemikian rupa keroposnya,
kenangan akan Nayla menerobosnya buas. Dia jatuh tertelungkup
mengenang semua kejadian. Hatinya koyak lagi. Bahkan lebih besar.
Nayla-nya bukan cinta sejatinya" SUNGGUH hati Jim berdusta.
Hatinya menipu. Nayla-nya tidak akan pernah tergantikan.
Kenapa harus datang sekarang" Kenapa dia harus datang dalam
mimpinya" Jim meratap parau. Kenapa harus dalang dalam mimpinya"
Dia tidak pernah memintanya! Jim tersedu. Berusaha menahan tangis.
Hatinya terasa sakit. Sesak!
Jim terkapar nelangsa dalam kesedihan.
Aku memang tidak pernah berani walau sedetik untuk datang
menjemputnya di ibukota .... Aku
memang pengecut .... Aku memang tak layak mendapatkan cinta yang
agung dari seorang gadis yang cantik, berpendidikan dan baik sepertinya
.... Dan lihatlah! Semua kepengecutan itu membuat Nayla-nya bunuh diri!
Jim tersedak oleh ratapan.
Dan lihatlah apa balasan yang Nayla dapatkan darinya setelah bunuh
diri" Dia yang gemetar memegang pisau pengulit apel itu, ketakutan saat
menyentuh tali di langit-langit kamar, atau menciut saat menggenggam
racun hama anggur. Dia sungguh mengkhianati janji yang terucap di
kapel suci .... Jim terisak panjang. Lihatlah apa balasan yang dia berikan pada Nayla-nya saat ini" Dia
justru berharap cinta gadis lain. Tertarik hanya oleh kecantikan, mata
hijaunya. Tertarik hanya karena pandainya ia memainkan dawai-dawai ....
Lihatlah! Dia berusaha mencari pelarian dari masa lalu itu .... Mencoba
untuk memaafkan kepengeculan itu ....
Jim bergelung di atas lantai kayu. Menyakitkan melihatnya.
Beruntung sebelum luka itu semakin menganga, sebelum keluh itu
Serikat Candu Iblis 2 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Ki Ageng Tunggul Akhirat 1
^